Kamis, 02 Juni 2016

Genesis Pemikiran dan Cita-cita Bung Hatta


             Oleh P. Swantoro


Bangsa Indonesia yang bersatu, sejahtera kehidupannya, demokratis penyelenggaraan negaranya, dan negara ini bukan saja sebuah negara hukum, tetapi juga sebuah negara kultural. Demikian dinyatakan oleh Bung Hatta dalam pidatonya pada akhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, 29 Oktober 1949. Penegasan itu pulalah yang selalu menjadi pemikiran, cita-cita dan yang tidak henti diusahakan terwujudnya oleh Bung Hatta, salah seorang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Wakil Presiden yang pertama, dan yang tahun ini, 12 Agustus 2002, genap berusia seratus tahun, kalau ia masih berada di antara kita di dunia fana ini. Tetapi Mohammad Hatta yang dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat 12 Agustus 1902, telah tiada pada 14 Maret 1980 di Jakarta.

Seperti halnya setiap manusia, Bung Hatta pun tidak langsung menjadi dewasa tetapi harus menjalani pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun kepribadian manusiawinya dalam kehidupan yang dijalaninya di dunia ini. Dalam pertumbuhan dan perkembangan ini, berbagai faktor pun tidak bisa diabaikan pengaruhnya. Lingkungan hidupnya, pendidikannya, berbagai peristiwa yang dialaminya, manusia-manusia lain sesamanya, terutama mereka yang erat hubungannya. Tidak akan kita jumpai Bung Hatta yang kita kenal, seandainya dia dulu dari sekolah rendah Belanda tidak meneruskan studinya di MULO (Sekolah Menengah) Padang, tetapi menjadi pegawai pos,  atau menurut arahan keluarga almarhum ayahnya di Batuhampar, agar ia menempuh pendidikan agama di Mekah dan kemudian dilanjutkan di Kairo.

Juga tentu akan lain pula Hatta yang kita kenal, seandainya semenjak kecil ia hidup di sebuah negara yang sudah merdeka dan sejahtera keadaannya dengan penyelenggaraan negara yang demokratis, dan tidak menjadi seorang kaula negeri jajahan yang disebut Nederlands-Indie. Akan tetapi itu semua tidaklah berarti bahwa Mohammad Hatta yang kini kita kenal adalah sekadar “produk cetakan” dari semua faktor yang melingkupi dan menyusupi perjalanan hidupnya. Terjadi interaksi antara faktor-faktor itu dengan Hatta sebagai seorang persona yang memiliki potensi intelektual, emosional, dan spiritual. Ia tidak seperti bahan patung dari lilin yang mudah dilekak-lekuk, dibentuk sekehendak pematungnya.

***

Cukup lama proses interaksi itu yang akhirnya membuahkan pemikiran dan kesadaran dalam diri Hatta, bahwa tanah kelahirannya, Minangkabau, dan bahkan juga Sumatra, hanya sebagian kecil dari tanah-airnya, sehingga penduduk Minang dan Sumatra pun hanyalah sebagian pula dari penduduk tanah-air itu. ketika Jong Sumatranen Bond didirikan 9 Desember 1917, Bung Hatta menyatakan terus terang, bahwa ia “hanya terpikat” oleh semboyan “Sumatera masa depan”. Menurut penafsirannya sendiri, “Sumatra masa depan” adalah Sumatra yang berada dalam “zaman emas”, zaman gilang-gemilang. Tetapi untuk mencapainya tergantung pada pemuda Sumatra sendiri. Dari sebab itu tepat sekali bahwa dalam anggaran Jong Sumatranen Bond, para pemuda-pemudi Sumatra mendapat panggilan untuk menjadi pemimpin dan pendidik bangsanya, bangsa Sumatra. Mengenai masalah kolonial, ia baru bisa mengatakan: “Sudah kurasai, belum lagi kupelajari”

Ketika Hatta sudah menjadi pelajar Sekolah Dagan Prins Hendrik School di Betawi dan berteman-dekat dengan Bahder Djohan, pelajar Sekolah Dokter Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen), keduanya sudah mulai membicarakan kemungkinan kerja sama antara organisasi-organisasi pemuda di berbagai daerah, seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, yang akhirnya dipersatukan menjadi Jong Indie. Akan tetapi  ternyata gagasan itu masih sulit dilaksanakan. “Orang tetap berpegang kepada suku bangsa masing-masing. Cita-cita itu baru dapat hinggap dalam kepala orang-orang yang tidak banyak jumlahnya,” tulis Hatta dalam memoirnya.

Sedangkan kata “Indier” itu pun berasal dari saran Ir. Fourier, Ketua Gerakan Theosofie di Hindia Belanda, kepada dua anggota Jong Java, Amir dan Basuki. Gagasan dari usul ini diilhami oleh pergerakan pemuda di India untuk mencapai persatuan.

Juga menarik, bahwa di masa bersekolah di Betawi itu (1912-1921), Bahder Djohan dan Hatta mempunyai rencana untuk menerbitkan sebuah majalah berbahasa Melayu, yang akan diberinya nama Malaya. Pada awalnya akan terbit tiga bulan sekali, dan kemudian sebulan sekali. Akan tetapi rencana ini tidak terwujud, karena pada 3 Agustus 1921 Bung Hatta harus meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur berlayar ke Rotterdam, untuk menjadi mahasiswa handelshogeschool, perguruan tinggi dagang.
Baik gagasan untuk menghimpun organisasi-organiasi kepemudaan yang berdasarkan kesukuan ke dalam satu organisasi Jong Indier, maupun rencana untuk menerbitkan majalah berbahasa Melayu, bahasa lingua franca di Nusantara, dapat kiranya dijadikan suatu petunjuk bahwa dalam diri pemuda Hatta dan beberapa temannya sudah mulai tumbuh benih-benih pemikiran ke-Indonesiaan, meskipun barangkali belum disadarinya.

***

Semasa masih bersekolah MULO di Padang maupun ketika menjadi pelajar Sekolah Dagang di Betawi, Mohammad Hatta memang sudah mendapat percikan-percikan pemikiran yang berkaitan dengan permasalahan kolonial. Sumbernya bukanlah sekolahnya, tetapi orang-orang yang dikenalnya. Di Padang misalnya, ia memelihara hubungan dengan Engku Taher Marah Sutan, sekretaris “Sarikat Usaha”, yang disebutnya “seorang idealis yang giat bekerja tidak kenal lelah. Kalau tidak karena dia”, tulis Bung Hatta, “Sarekat Usaha tidak menjadi pusat pertemuan orang-orang terkemuka serta kaum cerdik-pandai di Padang.” Ia berlangganan dua suratkabar terkemuka waktu itu yang terbit di Jawa, masing-masing Utusan Hindia dari Surabaya yang dipimpin oleh tokoh Sarekat Islam H.O.S Tjokroaminoto, dan Neraca yang berada di bawah asuhan Abdul Muis, kemudian H. Agus Salim di Betawi. Ia pun berlangganan Verslagen van de Volksraad, Laporan Volkskraad, untuk mengikuti permasalahan yang dibicarakan di Lembaga kolonial tersebut. Karena itu, pemuda Hatta pun memperoleh banyak informasi dari Pak Marah Sutan. Termasuk mengenai tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan Haji Agus Salim. Juga tentu saja mengenai Sarekat Islam yang mereka pimpin.

Kedatangan Abdul Muis sendiri di Sumatra Barat sebagai anggota Volkskraad dalam bulan Agustus atau September 1918, menambah pula pengetahuan pemuda Hatta mengenai permasalahan kolonial, meskipun ia belum dapat sepenuhnya menangkap hal-hal yang dibicarakan oleh Abdul Muis dengan para pemuka masyarakat. “Aku hanya mendengarkan saja; aku belum banyak mempunyai pengetahuan tentang masalah yang dikupasnya,” kata Hatta yang hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Abdul Muis itu sebagai anggota pengurus Jong Sumatranen Bond.
**

Abdul Muis tidak saja mengupas masalah rodi, yang bahasa Belandanya heerendiest, yang artinya “kerja wajib untuk yang dipertuan”, tetapi ia pun menjelaskan bahwa Volksraad belumlah merupakan Dewan Rakyat yang sesungguhnya. “Tetapi apabila rakyat sungguh-sungguh bergerak, tujuan itu akan tercapai juga”. Dalam rapat-rapat terbuka, Abdul Muis memang juga membahas mengenai masalah “rakyat memerintah sendiri”. Inilah yang menjadi tujuan pergerakan nasional, khususnya Sarekat Islam.
Pemuda Hatta sendiri ketika itu barangkali lebih terpesona oleh penampilan Abdul Muis daripada tertarik kepada materi pembicaraannya. “Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato; aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya.”

Ketika sekitar dua tahun kemudian, pertengahan Maret 1920, Hatta yang sudah menjadi siswa Prins Hendrik School di Betawi, bertemu lagi dengan Abdul Muis, ia nampaknya juga masih belum terlibat betul dalam permasalahan tanah air-nya. Padahal dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam dengan Abdul Muis itu, ia hanya disertai kawan-karibnya, Bahder Djohan, dan permasalahan yang dikemukakan oleh Abdul Muis pun sangat aktual; antara lain mengenai “Janji November”. Abdul Muis menyatakan tidak percaya bahwa janji itu akan dipenuhi.

“Janji November” atau November Beloften” berpangkal pada janji Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (1916-1921) yang diumumkannya 18 November 1918, bahwa Hindia Belanda akan menempuh “arah baru” (nieuwe koers) sesuai dengan perkembangan jaman. Maka dibentuklah sebuah komisi yang diberi nama Commissie voor Staatskundige Hervormingen, Komisi Pembaharuan Ketatanegaraan. Pada medio 1920 komisi yang diketui oleh J.H. Carpentier Alting, Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda itu berhasil menyelesaikan tugasnya berupa usul pembaharuan seperti yang dimaksud oleh Van Limburg Stirum. Isi pokoknya: Tujuan kehidupan ketatanegaraan di Hindia Belanda tidak lain adalah untuk mengusahakan agar sumber-sumber alamnya sebanyak mungkin digali dengan kekuatan dan kemampuan rakyatnya sendiri. Bersamaan dengan itu, akan diusahakan agar penduduk pribumi akhirnya mampu mengurus kepentingan dan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian komisi hendak meletakkan dasar-dasar bagi “een volledig zelfbetuur”, pemerintahan sendiri sepenuhnya. Inilah semangat yang terkandung dalam diri VanLimburgStirum, yang oleh DMG Koch disebut “een international georienteerd staatsman”, seorang negarawan yang berorientasi internasional. Akan tetapi seperti sudah diramalkan oleh Abdul Muis, Menteri Koloni Belanda Idenburg, menilai usul mengenai nieuwe koers atau “arah baru” bagi Hindia-Belanda itu terlalu jauh, dan langkah-langkah yang ditempuh oleh Van Limburg Stirum terlalu cepat. Maka akhirnya bukan hanya “Janji November”-lah yang kandas, tetapi Gubernur Van Limburg Stirum pun terpental dari kedudukannya. Ia digantikan oleh lawan “Janji November”, Gubernur Jenderal D. Fock.

Pesan Abdul Muis yang dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya ialah, agar “Jong Sumatranen Bond kelak sanggup menyediakan tenaga-tenaga muda bagi pergerakan kebangsaan menuju home rule dan kemajuan tanah-air”.

Haji Agus Salim pun yang sebulan sebelumnya juga ditemui oleh Hatta dan Bahder Djohan memberikan pula pesan senada, bahkan lebih jelas muatan kebangsaan Indonesianya: “Ia mengkritik gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam idea kedaerahan, kepulauan masing-masing, dan lupa akan tanah-airnya yang sebenarnya, yaitu Hindia. Kita harus melenyapkan Belandanya, tinggal Hindianya bagi kita”.

**

Dari semua kesaksian Hatta sendiri yang kebanyakan ditulis dalam Memoirnya di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa sampai ia menginjakkan kakinya di bumi Rotterdam 5 September 1921, ia belum memahami sepenuhnya permasalahan Hindia Belanda sebagai sebuah koloni. Karena itu belum lahirlah pula pada dirinya pemikiran, cita-cita dan upaya untuk mewujudkan “Indonesia Merdeka”. Tetapi masukan-masukan yang berupa informasi dan pengalaman selama ia tinggal di Sumatra Barat maupun Betawi sebagai pelajar, tetap pentinig sebagai bahan yang diolahnya bersama dengan masukan-masukan yang diterimanya kemudian; baik ketika ia sebelas tahun lamanya di Nederland sebagai mahasiswa dan pemimpin gerakan mahasiswa, maupun pada waktu ia tampil sebagai seorang pemimpin bangsa pada awal kemerdekaan Indonesia dan sebelumnya.

Suatu contoh. Terbentuknya pemikiran Bung Hatta mengenai sosialisme, kiranya berpangkal-mula dari buku H.P. Quack, De Socialisten yang enam jilid, dan dari pembicaraannya dengan Haji Agus Salim pada pertengahan Februari 1920. Mengenai buku De Socialisten, yang dibelikan oleh pamannya, Mak Etek Ayub, ketika ia baru masuk Prins Hendrik School di Batavia, Hatta menulis, bahwa ia tertarik buku ini, karena buku inilah yang pertama kali membuka matanya, bahwa cita-cita sosialisme “sudah bermula berabad-abad lamanya, sekian abad sebelum Masehi. Sekalipun pandangan sosialisme di masa tua itu agak berlainan dari pendapat-pendapat pujangga sesudah abad 18, dasarnya banyak yang serupa, sekitar masalah kaya dan miskin, punya dan tak punya dalam masyarakat”.

Dalam pembicaraannya dengan Haji Agus Salim, yang ketika itu berusia sekitar 30 tahun, pada pertengahan 1920, Hatta mendapat penjelasan mengenai sosialisme sebagai berikut: “Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah 12 abad lebih dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme. Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti-Tuhan. Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama rata yang bebas dari kemiskinan, sudah lebih dahulu dibentangkan di dalam Islam, agama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia. Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadatnya dan Fiqh dan melupakan segi kemasyarakatan dari Islam itu. Mengerjakan segi kemasyarakatan itu ialah juga perintah Allah dalam Qur’ran. Dari ulama-ulama kita didikan langgar yang pengetahuannya berat sebelah, tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan sanggup menelaah segi kemasyarakatan itu dalam Islam. Inilah kewajiban bagi kaum intelektuil Islam yang mempelajari ilmu-ilmu sosial. Tjokroaminoto sudah mulai memperingatkan kepada umat Islam segi sosialisme dalam Islam. Aku akan membantu dia dengan sekuat-kuat tenagaku.”

Agus Salim sendiri mula-mula pertama mengenal sosialisme dari seorang gurunya di HBS Willem III Salemba. Guru yang tidak disebut oleh Bung Hatta dalam memoirnya itu adalah seorang sosial-demokrat. Sosialisme Islam diyakini oleh Agus Salim setelah 1906 ia ke Jedah.

Bagaimana tanggapan pemuda Hatta? “Uraian H. Agus Salim itu memperkuat keyakinanku kepada sosialisme yang sudah mulai bersarang dalam jiwaku. Aku berniat dalam hati akan mencoba kelak menyelami dasar-dasar sosialisme itu dari ajaran Islam. Di waktu itu sulit rasanya, sebab belum ada salinan Al Qur’an dalam bahasa Melayu.” Bung Hatta menepati janji kepada dirinya sendiri ini. Dan sebagaimana kelihatan antara lain dari tulisan-tulisannya. Upaya menyelami dasar-dasar sosialisme menurut ajaran Islam itu dilakukannya dengan studi perbandingan pula dengan berbagai macam ajaran sosialisme, termasuk sosialisme Marx. Ini terjadi ketika ia bermukim di Negeri Belanda, di mana ia juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh sosialis di negeri itu.

Hasilnya dapat dibaca antara lain dalam tulisannya “Marxisme of Epigonenwijsheid”. “Kelirulah pendapat bahwa hanya Marxisme yang menuju ke sosialisme. Bagi makin banyak kalangan, sosialisme bukan lagi merupakan persoalan kausalitas mekanis, melainkan sesuatu yang dikehendaki dengan sadar. Para sosialise religius menimba keyakinan sosialistisnya dari Wahyu. Bagi mereka ini, pelaksanaan sosialisme adalah kewajiban religius. Di kalangan sosialis Inggris, dapatlah ditunjuk sejumlah tokoh, yang dalam kalbunya merasa dapat mengaitkan iman katolik dengan sosialisme revolusioner. Sementara itu prinsip-dasar Islam, apabila di dalami dengan konsekuen, tidak bisa lain kecuali membawa ke sosialisme. Sebab, bertitik-pangkal dari pemikiran bahwa manusia tunduk kepada kehendak Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil, seorang muslim wajib mengabdikan hidup dan perjuangannya bagi persaudaraan dan keadilan di antara umat manusia. Dan karena hal itu hanya dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat yang sosialistis, maka ia pun menerima konsekuensinya, bahwa perjuangan bagi sosialisme adalah perintah Allah yang tidak dapat dielakkannya.
Memang, tulis Hatta selanjutnya, banyak pula teolog Islam dogmatis yang berpendapat lain. Tapi barangsiapa betul-betul meneliti lingkungan hidup dan posisinya, maka ia akan mengakui bahwa keadaan kemasyarakatannya akan menentukan kesadaran keagamaannya. Kolektivisme Indonesia bertumpu pada dasar-landasan yang lain daripada masyrakat Barat. Tetapi ia mengusahakan terwujudnya tatanan-hidup, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua, yang juga menghendaki sosialisme.
Bagaimana selanjutnya sosialisme akan direalisasikan dalam kenyataan hidup, tidak ada orang yang dapat mengatakannya dengan tepat. Realisasi ini akan berbeda-beda, tergantung dari negara, sifat bangsa, sejarah dan budayanya. Dalam hal ini pun marxisme tidak mampu memberikan jawaban positif.

**

Jelas bagi Bung Hatta sebagai seorang muslim, bahwa sosialisme Islam seperti yang dirumuskannya di atas itulah yang dianutnya. Meski demikian, jelas pula bahwa Bung Hatta pun tidak menutup mata terhadap adanya aliran-aliran sosialisme yang lain, yang juga mengandung prinsip-prinsip – setidaknya sebagian – dari prinsip-prinsip dalam sosialisme Islam yang dianutnya. Salah satunya yang penting ialah, bahwa dalam hampir semua aliran sosialisme sebagai ideal di bidang kehidupan sosial dan ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal di bidang kehidupan sosial dan ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal demokrasi. Karena itu, di sejumlah negara tampil partai yang menamakan diri Partai Sosial-Demokrat. Bagi partai ini demokrasi adalah sarana dan sekaligus tujuan. Sebagai sarana, demokrasi adalah penegasan adanya jaminan penuh bagi kebebasan berbicara dan berserikat maupun terlenggaranya hak politik untuk beroposisi. Sedangkan sebagai tujuan, demokrasi dinyatakan sebagai terjaminnya persetujuan suka rela dari mereka yang diperintah (free consent of the governed). Karena itu tidaklah mengherankan bahwa penulis dan wartawan seperti Sal Tas, yang dimasa Hatta dan Sjahrir berada di Negeri Belanda, erat hubungannya dengan mereka, menyatakan bahwa kedua tokoh itu democratische socialisten yang moderat.

Free consent of the people bisa diterjemahkan dalam bahasa Belanda volkssouvereiniteit dan dibahasa-Indonesiakan “kedaulatan rakyat”. Akan tetapi dalam uraiannya mengenai demokrasi, Bung Hatta memperingatkan, bahwa teori volkssouvereiniteit yang berkembang di Barat berdasarkan individualisme. Sedangkan kedaulatan rakyat – berbeda konsepnya. Kedaulatan rakyat mempertahankan azas kerakyatan yang sebenarnya, baik dalam kehidupan politik, perekonomian maupun pergaulan sosial. Rakyat adalah yang utama. Karena rakyat adalah jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya bangsa.

Kapan persisnya Bung Hatta melihat Hindia-Belanda yang kemudian disebut Indonesia sebagai tanah air-nya? Ini tentu belum terjadi ketika Jong Sumatranen Bond (JSB) didirikan 9 Desember 1917 di Betawi, dan cabangnya di Padang dibentuk dalam bulan Januari 1918. Waktu itu pemuda Hatta masih seorang pelajar MULO dan menjadi salah seorang pengurusnya (bendahara) yang pertama. Bahkan ketika ia menjadi pelajar Sekolah Dagang Menengah di Betawi pun agaknya masih belum jelas pula ke-Indonesiaannya. Walaupun ia bersama Bahder Djohan dan beberapa temannya sudah berinisiatif untuk menghimpun semua organisasi kepemudaan etniki menjadi Jong Indier. Seperti dikemukakan sebelumnya, usaha itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan dari kalangan organisasi-organisasi kepemudaan etnik.

Kiranya baru di Nederland-lah kesadaran ke-Indonesiaan Hatta menjadi mantap. Berarti sesudah 5 September 1921, ketika pemuda Hatta menapakkan kakinya untuk pertama kalinya di Rotterdam, meskipun sebenarnya redaksi Indonesia Merdeka, majalah para mahasiswa di Nederland telah pada 1918 mengkampanyekan nama Indonesia bagi tanah airnya, yang ketika itu disebut Nederlands-Indie atau Hindia-Belanda. Tetapi memang baru pada 1922 lah Perhimpoenan Indonesia memproklamasikan dengan resmi kata “Indonesia” dalam artian politik. Kedua artikel itu ditulis oleh Bung Hatta sendiri pada 1928 dan 1929.

Bung Hatta sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk melenyapkan provinsialisme dan untuk menggalang persatuan di negeri kita Indonesia. Sebabnya, karena negeri kita adalah negeri agraris dan insuler atau kepulauan. Sifat tani yang dipengaruhi oleh lingkungan tanah yang dikerjakannya, dan sifat insuler yang penduduknya di pulau-pulau dipisahkan oleh laut satu sama lain, menimbulkan kecendrungan untuk hidup sendiri-sendiri dan berpikiran seperti katak dalam tempurung. Ini juga terjadi di negara agraris Italia dalam abad 16. Berbeda dengan negara industri seperti Inggris yang rakyatnya tidak dicengkeram oleh ikatan tanah.

**

Bagaimana dengan gagasan dan sikap non-cooperation Hatta yang sangat kuat? Kapan mulai tumbuh dan berkembang? Ini juga terjadi setelah ia studi dan bermukim di Negeri Belanda. Ia sendiri bercerita, ketika masih di MULO Padang pada suatu hari ia membaca Verhandelingan van de Volksraad  (Berita atau Laporan Volksraad), kepunyaan Marah Sutan, sekretaris Sarikat Usaha. Ia tertarik pada polemik antara Haji Agus Salim dengan Sosokardono, sekretaris Sentral Sarekat Islam. Tidak puas dengan jalannya perundingan di Volksraad, Sosrokardono menganjurkan agar Agus Salim keluar saja dari lembaga yang disebutnya “Badan Komedi Omong” itu. Tetapi pendapat ini ditentang oleh Agus Salim yang mengatakan, bahwa Volksraad masih dapat dipergunakan sebagai mimbar yang merdeka untuk menyatakan keluh-kesah dan tuntutan rakyat kepada pemerintah jajahan. Sekalipun tidak akan berhasil, tetapi kepentingan rakyat harus diperjuangkan sungguh-sungguh. Agus Salim mengakhiri polemiknya dengan semboyan: “Jangan lari, jangan ngambek, itu perbuatan kanak-kanak”.

Setelah membaca polemik itu, pemuda Hatta menyatakan, bahwa pendapat Agus Salim tersebut sangat berpengaruh padanya. Katanya pula, “waktu itu aku belum mengerti politik dan baru mulai  memperhatikannya. Tetapi tiga tahun kemudian, setelah aku sampai di Nederland untuk meneruskan pelajaranku, aku ikut menempuh haluan politik yang bertentangan, yaitu politik non-cooperation. Enam tahun kemudian, Haji Agus Salim sendiri pun mengubah pendapatnya.

Ia keluar dari Volksraad dan menjadi penganjur politik noncooperation yang terkemuka di Indonesia.
Dalam majalah sepuluh harian Daulat Ra’yat yang terbit di Betawi 10 November 1932, Mohammad Hatta menulis: “Kalau kita mencintai Indnonesia Merdeka, maka haruslah kita berusaha membangun perumahan kita sendiri dan memperbaiki susunannya; dan kita tidak bekerja untuk memperkuat Hindia Belanda. Dari sebab itu kita menolak Volksraad, Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yang didirikan untuk menguasai Indonesia selama-lamanya”. Bagi para pendukungnya yang memang prinipiil, non-cooperation adalah sekaligus suatu kritik dan pendidikan, penghancuran dan pembangunan. Prinsip itu (non-cooperation) mempertajam antitese kolonial, menegaskan adanya batas-pemisah antara pihak penguasa dan pihak yang dikuasai, bersifat menolak ke luar dan menyatukan ke dalam. Segala sesuatu dilihatnya dari titik-pandang sikap percaya diri dan kemerdekaan.

Kita bisa bertanya, mengapa pemuda Hatta dapat cepat berubah jadi mengeras sikapnya dalam permasalahan kolonial dari tahap mendengar; membaca dan mempelajarinya? Tahap mempelajari ini berlangsung sejak ia bersekolah di MULO Padang (lulus Mei 1919) sampai ia lulus Sekolah Dagang Menengah di Betawi (Mei 1921). Pada 5 September 1921 ia sudah berada di Nederland. Sejumlah faktor membantu mematangkannya dengan cepat. Pergaulan dengan teman-temannya para mahasiswa Indonesia di Nederland, yang pada 1918 pun sudah mulai mempropagandakan nama Indonesia sebagai nama tanah-airnya; pengalaman hidup di Negeri-Belanda, di mana ia menghirup udara kebebasan, ia bukan lagi seorang pelajar MULO di Padang dan Sekolah Dagang Menengah di Betawi berusia di bawah 19 tahun, tetapi seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam yang banyak membaca dan yang juga langsung aktif di gelanggang gerakan mahasiswa Indonesia. Ia juga terus mengikuti perkembangan politik di tanah air-nya, di Nederland dan din negara-negara Eropa.

**

Dalam perkembangannya di Nederland itulah ia akhirnya pada 1925 bersama dengan rekan-rekannya di Perhimpoenan Indonesia mencetuskan beginsel-program, pernyataan prinsip atau suatu manifesto politik sebagai arahan untuk memperjuangkan tercapainya Indonesia Merdeka. Isi pokoknya: mutlak perlunya persatuan dan solidaritas di kalangan seluruh rakyat Indonesia, yang menegakkan prinsip non-kooperasi dan mengandalkan kekuatan diri sendiri. Ia akhirnya ditangkap bersama tiga rekannya (Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoaningrat) pada 23 September 1927, dengan tiga tuduhan: menjadi anggota perhimpunan terlarang; terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Tetapi akhirnya ia dibebaskan 22 Maret 1928, karena semua tuduhan tidak terbukti. Toh penangkapan di Den Haag itu hanya bagaikan prolog dari penangkapannya di Betawi dan pembuangannya ke Tanah Merah, Papua, 28 Januari 1935. Sekitar satu tahun kemudian dia dipindahkan ke Banda Naira.

Banyak orang bertanya, apakah dengan demikian Bung Hatta tidak menyia-nyiakan hidupnya; apakah ia tidak memubasirkan pendidikannya yang sampai sebelas tahun di Negeri Belanda? Dari mana pula daya tahannya untuk berkorban dan menderita, meskipun ketika ia diasingkan ke Tanah Merah dan Banda Naira, ia tidak dapat meramalkan, kapan pembuangan itu akan berakhir? Setidaknya, sebagian jawabnya dapat dibaca dalam tulisan Bung Hatta sendiri, berjudul “Pendidikan” di majalah Daulat Ra’yat 20 September 1932. Ia menjelaskan mengenai prinsip Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). “Memang, kita mau ‘bersekolah’ dahulu; bersekolah untuk membentuk budi dan pekerti; bersekolah dalam memperkuat iman. Ternyata dalam riwayat yang baru lalu, budi pekerti dan iman itu yang paling perlu bagi pergerakan kita. Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahun menahan sakit”. Dalam pembicaraannya dengan beberapa kader PNI Baru di Bandung pada akhir September 1932 pun ia menegaskan perlunya mendidik kader yang tahan uji dan yang mampu memberi contoh, termasuk contoh berani masuk bui dan dibuang.

**

Dalam masalah iman, Hatta nampak mencatat dan menghayati betul nasihat yang diwariskan oleh Datuk Syekh Abdul Rahman, ulama besar di Batuhampar (dekat Payakumbuh), ayah dari Haji Muhammad Djamil, ayah Bung Hatta yang sudah meninggal sewaktu berusia 30 tahun dan Bung Hatta sendiri baru berumur delapan bulan. Meskipun Bung Hatta sendiri juga tidak sempat berjumpa dengan Datuk Syekh Abdul Rahman, yang sudah tutup-usia sebelum Hatta lahir, namun ajaran-ajaran almarhum sampai juga kepada Hatta, khususnya lewat putera tertua Syekh Abdul Rahman, yakni Haji Arsad, yang menggantikan ayahnya menjadi Syekh Batuhampar. Di antara nasihat yang diwariskan oleh Syekh Abdul Rahman dan dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya, adalah berikut ini: “Allah tidak kekurangan suatu apa pun, tidakk kurang hormat, tidak kurang kebesaran, tidak ingin disembah dan dipuji. Sembah dan pujian kepada Allah tidak lain maksudnya daripada didikan kepada diri sendiri, supaya menjadi orang yang baik dan cinta kepada yang benar yang ditunjukkan Allah; kepada yang adil dan jujur, dan kasih antara sesama manusia. Takut kepada Allah, ujudnya menjauhkan yang jahat dan salah. Mengabdi kepada Tuhan, ujudnya supaya pikiran dan minat tertuju kepada segala perbuatan yang benar, adil dan baik, dan meninggalkan segala yang curang dan buruk yang merusak akhlak. Selama ia hidup di dunia ini manusia hendaklah mencoba sedapat-dapatnya berbuat menurut sifat dan budi yang dipujikan kepada Allah yang Pengasih dan Penyayang dan Maha adil.

Petunjuk itu, yang tentunya didalami dan dihayati benar-benar oleh Bung Hatta sepanjang hidupnya dan di tengah berbagai macam cobaan, kiranya dapat memberinya keteguhan iman. Dari nasihat itu pula, dapat ditimba sikap toleransi kepada sesama, sehingga nasionalisme Hatta pun adalah nasionalisme yang mencakup-menyatukan semua unsur masyrakat Indonesia, sesuai dengan prinsip persatuan serta solidaritasnya beginsel-program Perhimpunan Indonesia 1925 dan kebangsaannya Pancasila. Baik dicatat pula dalam hubungan ini jawaban Bung Hatta ketika ditanya oleh Dr. Zainul Yasni, apa sebenarnya yang mendorong Bung Hatta untuk merencanakan pembentukan Partai Demokrasi Islam pada tahun 1966? Jawabnya: “Tujuan pokoknya adalah untuk mendidik umat Islam di Indonesia, bagaimana sebaiknya berpartai dengan azas Islam di dalam suatu kehidupan demokrasi yang bertanggung jawab dalam suatu negara yang berdasarkan Pancasila”.
Karena itu pula, Bung Hatta pun tidak dapat menyetujui pendirian kaum Padri, yang menyebabkan perang di Sumatra Barat sekitar 1823-1842. Ia menulis dalam Memoirnya: “Perang Padri berasal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Guru-guru agama yang baru kembali dari Mekah, yang terpengaruh di sana dengan sikap keras dan murni Kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih dan mengisap cerutu. Beberapa bagian dari hukum dianggap mereka bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai. Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad s.a.w. membiarkan berlaku hukum kebiasaan yang berlaku di Tanah Arab yang menjamin keselamatan umum. Tetapi menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat, lebih fanatik dari Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama. Pertentangan kaum pemangku agama yang menyebut diri mereka kaum Padri dan kaum adat dipergunakan oleh orang Belanda untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

**

Pendidikan bangsa menjadi salah satu obsesi Bung Hatta dalam konteks memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Agar para warga bangsa menyadari hak-haknya, yakni berdaulat sebagai rakyat, dan mempunyai harga diri sebagai manusia sehingga tidak mau dijajah, maka diperlukan lah pendidikan. Dalam hal ini salah satu inspirasinya datang dari seorang ahli pendidikan atau pedagog Denmark, Grundtvig, dengan sistem Volkschochshule-nya atau “Sekolah Tinggi Rakyat” (Volkshochschule). Disebut “Sekolah Tinggi”, karena dalam lembaga itu hanya hal-hal yang tinggi nilainyalah yang ditampilkan. Dan disebut “Sekolah Tinggi Rakyat”, karena ditujukan kepada seluruh masyrakat. Tujuannya adalah menciptakan budaya rakyat nasional yang pada lapisan atasnya didorong setinggi mungkin kualitasnya sejauh kemampuan yang dapat dicapai oleh manusia, tetapi yang lapisan dasarnya homogen, dan dapat dicapai oleh siapa pun. Jalan yang ditempuh ke arah itu ialah pendidikan kepribadian, sebab hanya kebebasan atau kemerdekaan yang bersemayam di kedalaman kalbu kepribadian manusialah yang mampu mengembangkan kesadaran-budaya.”

Berpola pada tujuan Volkschochule itu, Perhimpoenan Indonesia dalam upayanya membebaskan rakyat Indonesia dari usaha pembodohan oleh kekuasaan kolonial, berhasrat pula menyelenggarakan pendidikan massal yang berorientasi pada pendidikan karakter. Akan diusahakan pula mengangkat tingkat intelektual rakyat, dan cakrawala wawasannya dengan menyelenggarakan kursus-kursus di bidang sejarah, politik dan sebagainya, seperti yang kemudian dilaksanakan oleh PNI Baru. Tetapi kegiatan itu terhenti setelah Bung Hatta sendiri ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, disusul terjadinya invasi dan pendudukan Jepang, dan kemudian berkobar revolusi Indonesia melawan Belanda. Pada jaman Orde Lama diselenggarakanlah di sekolah-sekolah dan di kursus-kursus indoktrinasi Manipol-Usdek; demikian pula di jaman Orde mendidik rakyat semua lapisan supaya menjadi warganegara yang baik. Akan tetapi kenyataannya indoktrinasi itu hanya menjadi bahan ejekan. Baik pelajar; para mahasiswa, maupun warga masyarakat lainnya diharuskan mengikuti indoktrinasi itu, yang bahan-bahannya harus dihafalkan tanpa perubahan, karena memang tidak boleh disangsikan kebenarannya, apa lagi dibantah. Maka tidak terjadilah pembentukan karakter dan pengembangan budaya bangsa. Sehingga pada jaman yang disebut “reformasi” pun tertib kehidupan bernegara dan bermasyarakat malam semakin memprihatinkan. Sehingga cita-cita yang dikemukakan oleh Bung Hatta pada akhir Konferensi Meja Bundar; bahwa negara kita tidak saja akan menjadi negara hukum, tetapi juga negara kultural, sampai sekarang belum kunjung terwujud. Untuk dapat disebut sebagai sebuah negara kultural, maka tingkat kehidupan intelektual, spiritual dan emosional bangsa Indonesia harus sudah mencapai tataran “berperadaban” di segala bidang.

**

Masih ada satu lagi obsesi Bung Hatta dalam konteks upayanya mewujudkan Indonesia Merdeka. Yakni, terciptanya kesejahteraan rakyat dengan cara selfhelp atau berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Wahananya adalah terutama gerakan koperasi. Bung Hatta menyatakan dalam tulisannya “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, bahwa sejak jaman penjajahan Belanda, cita-cita koperasi sudah dipandang sebagai jalan yang terbaik untuk membangun berangsur-angsur ekonomi rakyat yang lemah. Orang sudah membaca dan mengetahui contoh-contoh yang diperlihatkan oleh kaum buruh di Inggris dan kaum tani di Denmark pada abad ke-19.

Bung Hatta-lah kiranya yang berperan besar atas lahirnya pasal 33 UUD 45, walaupun ide koperasi itu sendiri tidak berasal dari Bung Hatta. Dengan koperasi, yang meletakkan titik-berat pada usaha bersama, kata Bung Hatta, orang belajar mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri, melaksanakan selfhelp dan oto-aktivitas beserta solidaritas, setia kawan dan tolong-menolong. Itulah azas kekeluargaan. Istilah “kekeluargaan” sebenarnya berasal dari Taman Siswa, untuk menunjukkan keakraban hubungan antara para guru dan murid-muridnya sebagai satu keluarga. Koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

Meskipun demikian bagus cita-cita koperasi, dan Pasal 33 UUD 45 malah memandang koperasi sebagai “sokoguru ekonomi Indonesia”, tetapi mengapa sampai sekarang koperasi justru terdesak oleh dua komponen lainnya dalam perekonomian Indonesia? Komponen pertama adalah “usaha negara” yang diberi kepercayaan untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting untuk negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Komponen kedua adalah “usaha swasta”, baik yang bermodal pribumi murni, maupun yang bermitra-usaha dengan asing? Mengapa koperasi di Indonesia tidak ada yang berkembang menjadi besar seperti yang dicita-citakan, sehingga seperti salah satu contohnya yang terjadi di Swedia, mampu bersaing dengan pabrik bola lampu Philips? Dengan membuat sendiri pabrik bola lampu, koperasi dapat menjual bola lampu yang lebih murah daripada bola lampu bikinan Philips. Pabrik Philips akhirnya gulung tikar.

Pada akhir ceritanya mengenai pabrik bola lampu di Swedia itu, Bung Hatta menulis: “Jadi, koperasi dapat menjadi tenaga koreksi bagi keganjilan-keganjilan dan ketidakadilan. Tugas-tugas ekonominya yang rasional merupakan senjata yang ampuh untuk membela kehidupan rakyat kecil. Koperasi punya disiplin dan dinamik sendiri. Sandarannya adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah merupakan kumpulan manusia, sedangkan uang faktor kedua. Sedangkan PT adalah merupakan kumpulan modal.

Penjelasan Bung Hatta itulah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Koperasi Indonesia tidak berjalan baik, karena tidak adanya orang-orang, atau sangat sedikit jumlah orang, yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi tulang-punggung kegiatan koperasi. Sistem pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh “Sekolah Tinggi Rakyat” di Denmark, dan yang sudah didaptasi oleh PNI Baru, meskipun hanya sebentar, penting pula untuk menyiapkan kader-kader koperasi. Hakikat sistem pendidikan ini adalah pendidikan karakter; pendidikan kultural, yang mengajak para anak-didiknya menjadi manusia-manusia berperadaban; yakni manusia-manusia yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual.

Jakarta, 26 Juni 2002






Rabu, 01 Juni 2016

Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim


         
            Oleh Mohamad Roem


Perkenalan pertama

Suatu hari di tahun 1925, Kasman dan Soeparno mengajak saya ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Kasman dan Soeparno adalah pelajar Stovia kelas dua bagian persiapan. Saya pelajar kelas satu. Pada permulaan tahun itu, Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten Bond, dan Haji Agus Salim menjadi penasehatnya. Kasman dan Soeparno, anggota pengurus cabang Jakarta, ingin tahu kapan Haji Agus Salim mulai memberikan kursus agama Islam.

Ajakan ini saya sambut gembira. Saya sudah sering mendengar nama Haji Agus Salim. Saya dengar dia adalah seorang pemimpin rakyat, pemimpin Sarekat Islam, terkenal pandai tentang agama Islam dan mahir menggunakan berbagai bahasa.

Dari Asrama Stovia di Gang kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selama 10 menit naik sepeda. Jalan yang diaspal hanya sampai stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan berlubang-lubang. Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak.

Haji Agus Salim kami jumpai duduk di serambi dan menyambut kami dengan ramah. Sikapnya sangat menarik. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara, yang ditujukan kepada Kasman, “Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan sepeda dan manusia terbalik.”

Saya tahu, kemarin Kasman datang sendiri. Dan dia yang melihat saya serta Soeparno tidak mengerti apa yang dibicarakan, lantas menjelaskan. “Kemarin saya datang, dan ditunggangi sepeda, bukan saya yang menunggangi sepeda.” Kemarin dia di tengah jalan dikejar hujan, dan mengalami nasib seperti yang diceritakan Haji Agus Salim. Tanah liat yang setengah basah melekat pada roda sepedanya, dan tak dapat berputar sama sekali. Kasman menyambung, “Dan kemarin saya katakan, ‘Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita.”

Ucapan Kasman mempunyai arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda ada dua kata yang berbunyi sama, tapi ditulis berbeda: leiden  (memimpin) dan lijden (menderita). Waktu itu Kasman berkata: “Ein leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.” Waktu itu Kasman sudah menunjukkan bakat pemimpin. Dia mengucapkan kalimat itu dengan suara yang agak lain, dengan tekanan lebih tegas. Dan di kemudian hari terbukti, bahwa apa yang dikatakan Kasman itu merupakan ramalan tentang dirinya. Empat kali dia dijebloskan ke penjara oleh yang berkuasa. Sekali di zaman Belanda, tiga kali di bawah rezim Sukarno. Dua kali dia dibebaskan pengadilan, dan dua kali dihukum. Soalnya bukan karena kejahatan, tetapi karena yang apa dia katakan. Kasman memang seorang yang senang dan pandai bicara. Score –nya masih lumayan, 2 lawan 2. Penderitaan yang dialami seorang pemimpin adalah masuk penjara. Tetapi tidak berarti pemimpin tidak hidup bahagia. Bahagian dalam keluarga. Bahagia hidup bercita-cita.

Dalam pertemuan pertama itu, yang berbicara dari pihak kami hanya Kasman. Meskipun dia baru kelas dua di bagian persiapan, dia sudah lancara berbahasa Belanda. Saya baru satu setengah tahun di Jakarta. Hidup di asrama, dimana setiap hari berbahasa Belanda. Saya belum selancar Kasman tetapi dapat mengikuti seluruh percakapan. (Dari tiga pelajar Stovia itu yang berhasil menjadi dokter hanya Soeparno).

Haji Agus Salim menarik perhatian saya karena dia lain dari yang lain. Rumahnya rumah kampung. Meja dan kursinya sangat sederhana. Sangat berlainan dengan apa yang saya bayangkan tentang seseorang yang sudah terkenal. Pakaiannya pun lain dari yang biasa dipakai orang. Pegawai negeri pergi ke kantor dengan pakaian lengkap, celana dan baju tertutup atau baju buka dengan dasi dan sepatu. Pelajar-pelajar pun berpakaian lengkap, celana pendek atau panjang dengan baju, kaus kaki dan sepatu. Memakai kemeja saja dengan celana dianggap tidak sopan. Rakyat biasa memakai jas, sarung batik dan pici.

Haji Agus Salim memakai pakaian menurut model sendiri. Kesan pertama, bukan piyama dan bukan pula pakaian untuk pergi ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama, tetapi modelnya lebih mirip dengan piyama. Potongan bajunya seperti kemeja, tetapi dipakai di luar celana dan tidak pakai dasi. Pakaian Haji Agus Salim mendekati pakaian yang banyak dipakai di tahun-tahun pertama sesudah proklamasi di Yogyakarta. Yang paling menarik ialah tarbus warna merah dengan kuncir hitam yang dipakainya.

Tarbus ini umumnya dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Dan tetap dipakai sampai umat Islam di Hindia Belanda memboikot barang-barang Italia karena kekejaman bangsa Italia terhadap umat Islam di Tripoli. Tarbus adalah made in Italy. Pada demonstrasi itu juga ada seorang pemilik mobil Fiat membakar mobilnya. Sejak itu Haji Agus Salim menciptakan kopiah model sendiri. Dibuat dari kain hijau (kain serdadu) yang ia namakan pici model OK.

Kami asyik mendengar Haji Agus Salim bercakap-cakap. Bahasanya bagus. Caranya menerangkan sesuatu sangat menarik. Akhirnya hanya Haji Agus Salim yang berbicara, sedangkan kami terpaku mendengarkan. Sudah ditentukan bahwa Haji Agus Salim akan memberi pelajaran agama Islam. Waktu dan tempatnya juga sudah ditetapkan. Tetapi karena dia masih terus bicara, kami tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.

Di tengah pembicaraan yang asyik ini, sekonyong-konyong datang anaknya kira-kira berumur 4 tahun dengan memakai celana monyet. Badannya gatal dan minta digaruk oleh ayahnya. Dan sangat mengherankan, karena dia berbicara dalam bahasa Belanda.

Dengan penuh kasih sayang, perhatian Haji Agus Salim beralih kepada anaknya dan menjalankan apa yang dimintakan. Pada saat itu terdengar suara keras dari dalam, “Syauket, dimana kau?” juga dalam bahasa Belanda. Dan sesaat kemudian datanglah seorang anak perempuan umur 6 tahun di tempat kami duduk. Ia juga memakai celana monyet.

“O, Syauket ada di sini,” ujarnya. Syauket rupanya sudah puas digaruk oleh sang ayah, karena itu ayahnya berkata, “Nah adik, bawalah sekarang Syauket ke dalam lagi. Ayah sedang ngomong dengan saudara-saudara kita.” Syauket dan Adik menjadi teman saya di belakang hari. Syauket meninggal lebih dahulu dan dimakamkan di Taman Pahlawan Tangerang. Dia tewas bersama kawan-kawannya yang menyerbu Jepang bulan Oktober 1945.

Hasil pembicaraan dengan Haji Agus Salim ialah berapa kali pelajaran agama Islam yang diberikan di tempat yang berganti-ganti. Pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda yang baik dan jelas oleh orang yang mampu, tidak saja mengambil inti sari agama tetapi juga memberi inspirasi kepada golongan muda akan tugasnya di hari kemudian. Inilah selamanya yang menjadi latar belakang pelajaran-pelajaran Haji Agus Salim. Tidak saja kami menyadari hal itu dari pelajaran-pelajarannya, tetapi semakin lama, kami mengenal Haji Agus Salim jelas kami melihat bahwa seluruh kehidupannya – termasuk kehidupan keluarganya – ditumpahkan kepada tugas-tugas yang dia pikul sebagai pemimpin umat.

Keluarga Haji Agus Salim berpindah-pindah

Beberapa bulan setelah saya berkenalan dengan Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, kami mendengar bahwa dia pindah ke Gang Toapekong. Agak aneh kedengarannya, Haji Agus Salim pemimpin Islam tinggal di Gang Toapekong. Hal itu tentu tidak ada artinya sama sekali. Hanyalah suatu kebetulan saja.
Letaknya di Pintu Besi, di depan Gereja Ayam. Meskipun rumahnya tidak kurang besarnya dibandingkan rumah di Gang Tanah Tinggi, tetapi jauh kurang sehat. Di Gang Toapekong, pernah satu atau dua kali kami berkumpul mendapatkan pelajaran agama Islam. Di luar ada meja dan kursi. Tetapi di dalam hampir-hampir kosong. Dan waktu kami berkumpul di ruangan itu, kami duduk di tikar. Rumah itu menunjukkan rumah keluarga yang kurang berada. Tetapi waktu itu kami tidak pernah menanyakan, mengapa Haji Agus Salim pindah dari rumah di Gang Tanah Tinggi. Tidak sempat memikirkan perasaan kasihan dengan keadaan keluarga Haji Agus Salim yang hidup dalam kekurangan. Di Gang Toapekong ini kami juga mulai berkenalan dengan keluarganya dengan isterinya dan anak-anaknya.

Dari tahun ke tahun bertambah erat. Tiap kali kami datang, baik sebagai anggota JIB yang mendatangi penasehatnya, maupun sebagai kawan anak-anaknya, selalu terasa kenikmatan mendapat pelajaran dan petunjuk-petunjuk baru. Tentang ini di kemudian hari, hampir setiap orang mengatakan: bercakap-cakap dengan Haji Agus Salim berarti mendengarkan pembicaraan yang brilyan. Kecuali itu, sesudah kami berkenalan dengan isteri dan anak-anaknya, maka kadang-kadang, jika kami datang, Haji Agus Salim sedang bersama-sama dengan anak isterinya, dan kami terus ikut serta dalam pertemuan itu. Pertemuan ini merupakan senda-gurau yang meriah, penuh ketawa serta percakapan bermutu, dan humor yang sehat. Beberapa bulan lamanya keluarga Haji Agus Salim tinggal di Gang Toapekong, dan kemudian pindah lagi ke Mr. Cornelis (Jatinegara) di rumah Saeroen, seorang rekan yang bekerja di salah satu harian di Jakarta.

Rumah Saeroen memang lebih bagus dan lebih besar. Letaknya di jalan yang lebih baik. Tetapi seluruh keluarga Haji Agus Salim hanya menempati satu ruangan. Koper bertumpuk-tumpuk di pinggir dan beberapa kasur digulung. Bagian tengah ruangan ini dipakai untuk duduk-duduk dan menerima tamu. Di sini kami mendapati suasana gembira. Anak-anak yang sudah kami kenal senang bersenda-gurau. Tapi Haji Agus Salim waktu itu tidak di rumah. Sedang bepergian untuk keperluan partai. Hanya beberapa bulan keluarga Haji Agus Salim tinggal di rumah Saeroen dan kemudian pindah lagi ke Bogor di sekolah swasta yang dibina Sarekat Islam. Di sinipun keluarganya mendapat satu ruangan yang keadaannya lebih buruk lagi dari rumah Saeroen. Kegembiraan bersama anak-anak Haji Agus Salim membuat kita lupa, betapa melaratnya keluarga ini. dalam percakapan dengan Haji Agus Salim di hari-hari yang lalu itu, kadang-kadang muncul sesuatu lagi yang memberi kesempatan bagi saya untuk menyinggungnya atau untuk menanyakannya. Pada tahun 1925 itu, Haji Agus Salim menjadi pemimpin harian Hindia Baru kepunyaan segolongan orang, termasuk orang Belanda yang berpendapat lebih maju tentang jajahan Hindia Belanda. Mereka mengenal Haji Agus Salim, sepak  terjangnya, politiknya, kemampuannya dan dapat menghargainya. Mereka minta Haji Agus Salim menjadi pemimpin redaksi Hindia Baru, atau yang dinamakan waktu itu Hoofdredacteur.

Tuga Hoofdredacteur mengisi tajuk rencana, dan mengisi ruang “Mimbar Jum’at,” serta mengatur cara dan bentuk pemberitaan harian. Dalam hal ini Haji Agus Salim seorang pionir persurat-kabaran Indonesia. Mimbar Jum’at diisinya dengan khotbah Jum’at yang pada waktu itu masih baru di kalangan umat Islam. Khotbah di mesjid-mesjid umumnya masih dalam bahasa Arab, yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu bahasa itu. perkumpulan-perkumpulan seperti Muhamadiyah di Persatuan Islam masih berjuang untuk meyakinkan parfa ulama di Indonesia, bahwa khotbah Jum’at di samping membaca ayat-ayat Qur’an dan doa dalam bahasa Arab, tidak melanggar syari’at Islam, bila disertai tafsiran dan penjelasan dalam bahasa melayu atau bahasa daerah yang dimengerti para jema’ah.

Waktu Haji Agus Salim menerima pengangkatan menjadi pemimpin Hindia Baru, ia mengajukan sebuah syarat: bahwa ia akan kerjakan dengan kebebasan. Haji Agus Salim memimpin Hindia Baru tidak seperti harian partai. Pemberitaan tentang partai hanya dimuat jika perlu diketahui oleh umum. Akan tetapi isi dan semangat tajuk dan isi Mimbar Jum’at tidak dapat dipisahkan dari pribadinya, yang kebebasannya sudah disepakati. Maka langganan harian membaca buah fikiran Haji Agus Salim seperti yang sudah dikenal. Ia pemimpin rakyat yang bebas mengeluarkan suara, memuji atau menyalahkan menurut pendapatnya, siapa saja termasuk pemerintah Belanda. Inilah yang lama-kelamaan tidak dapat diikuti oleh para pemilik Hindia Baru. Harian itu maju, tapi tidak sejalan dengan maksud pemiliknya. Maka pada suatu hari mereka minta dipertimbangkan agar kritik-kritik terhadap pemerintah Belanda agak dikurangi atau diperlunak. Esok harinya Haji Agus Salim memberitahu, bahwa ia meletakkan jabatan sebagai Hoofdredacteur Hindia Baru. Saya menanyakan: “Mengapa reaksinya begitu kontan. Mengapa tidak berusaha mencari waktu agar tidak tergesa-gesa harus pindah rumah, karena pendapatan sekonyong-konyong berhenti dan tidak dapat membayar sewa rumah lagi.” Jawab Haji Agus Salim: “Hal ini sudah saya fikirkan sebelumnya. Malah menjadi kebijaksanaan. Selama saya menjadi pemimpin dan pengisi Hindia Baru, saya tidak berbuat seperti Pemimpin Sarekat Islam dan kalau saya menulis tajuk rencana saya tidak berfikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya rakyat Indonesia pada umumnya. Saya memikirkan apa yang menjadi perhatiannya. Apa yang umumnya disukai dan tidak, apa yang dipandang tidak adil. Saya berusaha benar-benar agar Hindia Baru menjadi harian umum. Dalam hal ini saya banyak mendapat kritik dari kawan-kawan sendiri. Banyak kawan-kawan partai mengirimkan karangan yang tidak saya muat, karena kurang bermutu, atau hanya bermutu bagi partai. Akan tetapi mengenai keyakinan saya tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang Pemerintah Hindia Belanda serta kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar. Hal tersebut diketahuinya. Dan itulah juga syarat waktu saya menerima memimpin Hindia Baru. Apakah memang memerlukan waktu untuk pindah rumah, lebih tepat ditanyakan kepada pemilik rumah yang saya diami. Jawab itu satu-satunya yang mungkin karena sejak saat itu dasar kerjasama antara pemilik harian dengan saya tidak ada lagi. Kalau saya terus menulis, maka hanya ada dua kemungkinan: Saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian atau saya menyerah dan berkompromi dengan hati nurani saya.”

Berpindah-pindah rumah dalam keadaan yang semakin memburuk ternyata sudah diperhitungkannya. Sayapun teringat pada perkataan Kasman, Leiden is lijden. Memimpin adalah menderita. Dan penderitaan tidak saja berupa dipenjarakan oleh yang berkuasa, tapi juga kepahitan hidup. Penderitaannya ditunjukkan dalam hidup sederhana, yang kadang-kadang mendekati hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Haji Agus Salim tidak pernah mendapat suatu Persdelict, karena karangan-karangan atau pidato-pidatonya. Padahal ia terkenal sebagai pemimpin yang berani. Banyak bicara dan banyak menulis, mengkritik yang berkuasa. Barangkali di situ juga terletak keunggulannya.

Waktu keluarga Haji Agus Salim pindah ke Bogor, kami tidak banyak berhubungan dan tidak lagi mendapat kursus agama Islam. Kami carikan orang-orang lain yang memberikan kursus agama. Tetapi tidak kami nikmati seperti kursus Haji Agus Salim. Kemudian kami mendengar bahwa keluarga Haji Agus Salim  pindah lagi ke Surabaya, berhubung dengan tugas yang akan diserahkan kepadanya.

Tahun 1926 keluarga Haji Agus Salim kembali lagi ke Jakarta dan tinggal di Gang Lontar Satu. Kalau kita mau ke Gang Lontar Satu maka kita harus masuki dulu Gang Kernolong. Kemudian masuk lagi ke sebuah gang kecil. Rumahnya lebih sederhana dari rumah di Gang Tanah Tinggi dan di Gang Toapekong.

Waktu itu sudah didirikan sebuah PT, yang menerbitkan sebuah harian bernama Fajar Asia di bawah pimpinan Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Lingkungan  pemikiran Cokroaminoto dan Haji Agus Salim di tahun 1926 sudah melampaui batas-batas Indonesia.

Kehadiran Haji Agus Salim senantiasa disambut dengan gembira oleh anggota-anggota Jong Islamieten Bond, karena itu berarti adanya seorang penasehat yang memberi kursus-kursus agama Islam yang sangat menarik. Kawan-kawan yang sejak semula berkenalan dengan Haji Agus Salim meneruskan perkenalannya dan terjalinlah persahabatan pribadi di luar JIB. Kecuali Kasman dan saya, kawan seangkatan lainnya juga menjadi kawan baik. Berkenalan dengan Haji Agus Salim berarti juga berkenalan dengan isterinya dan anak-anaknya. Dalam JIB beliau dipanggil Ouwe Heer dan nama itu kemudian menjadi nama yang resmi, meskipun Haji Agus Salim mula-mula tidak menyetujuinya. Ouwe Heer berarti orang tua, dan Haji Agus Salim tidak mau diberi nama Orang Tua, sekalipun maksudnya untuk memberikan sebuah nama kehormatan. Tapi dia menerima nama tersebut dengan rasa menyerah yang ikhlas. Anak-anaknya memanggil ayahnya Paatje dan ibunya Maatje. Lama-kelamaan kami juga tertarik untuk meniru anak-anaknya dan memanggil Haji Agus Salim, Paatje dan Ibu Salim, Maatje.

Pelajaran untuk anak-anaknya

Waktu kami berkenalan dengan Haji Agus Salim di tahun 1925, ia sudah mempunyai 6 orang anak. Dolly, perempuan (12 tahun), Totok, laki-laki (10 tahun), Jojet, perempuan (8tahun). Adik, perempuan (6tahun), Syauket, laki-laki (4 tahun), Islam, laki-laki (1 tahun).

Waktu kami pertama kali datang di Gang Tanah Tinggi, kami baru melihat Syauket yang keluar untuk digaruk punggungnya oleh ayahnya, kemudian datang Adik yang membawa Syauket masuk lagi. Waktu kami meneruskan perkenalan di Gang Lontar Satu tahun 1926, kita sudah maju setahun. Kami heran, bahwa Syauket yang umurnya baru 4 tahun sudah berbicara dalam bahasa Belanda yang baik, dapat menerangkan bahwa badannya gatal dan minta digaruk. Waktu itu kami mengetahui, bahwa Haji Agus Salim bercakap-cakap bahasa Belanda dengan anak-anaknya sejak mereka dilahir-kan.

Haji Agus Salim menerangkan, bahwa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur” akibat pelajaran kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan serupa dan akan memberi pelajaran sendiri kepada anak-anaknya. Di waktu itu bahasa Belanda tidak mungkin mendapat pelajaran yang wajar dalam masyarakat. Orang yang tidak tahu bahasa Belanda dianggap orang rendahan. Malah yang tidak tahu bahasa Belanda dianggap, merasa rendah diri. Dalam golongan terpelajar, bahasa yang dipakai dalam hidup sehari-hari juga bahasa Belanda.

Karena itu maka Haji Agus Salim mulai memberi pelajaran kepada anak-anaknya, sejak mereka dilahirkan. Saya mengenal keluarga Haji Agus Salim, bukan sejak ia mendapat anak pertama. Tapi sejak anak pertama berusia 12 tahun, tidak pernah saya melihat ia memberikan pelajaran dengan suatu aturan. Ada jam belajar. Ada jam bermain-main. Antara jam belajar dan jam bermain-main tidak ada batasnya. Artinya tiap saat ia bersama dengan anaknya ia memberi pelajaran. Dan itu sudah dimulai di saat anaknya lahir. Begitulah sikap Haji Agus Salim terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu setiap orang yang pertama kali berkenalan dengan keluarga Haji Agus Salim akan heran mengapa anak-anaknya yang tidak bersekolah, pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus. Tentu saja sebabnya adalah karena gurunya Haji Agus Salim sendiri. Dan dalam diri anaknya ditanamkan keinginan untuk lebih mengetahui. Ia tanamkan kemauan untuk mencari sendiri pengetahuan lebih lanjut.

Misalnya anak pertama Dolly, menurut kesaksiannya pada umur 6 tahun sudah membaca buku-buku Nick Carter dan Lord Lister, dua buku detektif yang terbit tiap bulan dan pada waktu itu sangat populer. Katanya, ayahnya sering pulang dengan membawa buku itu.

Anak kedua, Totok, waktu Haji Agus Salim masih tinggal di Gang Toapekong, pernah saya lihat duduk di pojok, sedang kami mendapat kursus dari ayahnya. Selesai kursus saya mendekatinya dan melihat sebuah buku tebal sedang dibacanya. Saya baca judulnya, Mahabarata, dalam bahasa Belanda. Saya melihat gambar, Kresna sedang memberi pelajaran kepada Arjuna. Saya bertanya: “Sedang mengapa Kresna dan Arjuna itu?” Totok menceritakan, bahwa Kresna sedang memberi pelajaran memanah kepada Arjuna. Waktu itu saya berumur 20 tahun, Dolly 15, sedang Totok 13 tahun. Terbukti bahwa mereka sudah membaca apa yang menjadi bacaan di sekolah AMS, malah melebihinya. Di sekolah lanjutan, pelajar tidak lagi mendapat pelajaran menyanyi. Tapi nyanyian Belanda dari buku Kun je nog zingen masih banyak yang ingat. Dolly memiliki buku Kun je nog zingen, karena kita sering menyanyi bersama. Dari pelajaran bahasa Jerman, saya hafal sajak-sajak Heidenroslein, dan Die Lorelei. Dolly dan Totok tidak saja mengenal sajak itu, malah dapat menyanyikannya pula. Maka saya belajar lagunya dari Dolly. Saya hanya cerita tentang Dolly dan Totok, karena pada waktu itu yang lainnya masih lebih kecil. Anak nomor tiga pada waktu kini berumur 60 tahun. Ia adalah janda dari Johan Sjahruzah, dalam hidupnya Sekjen Partai Sosialis Indonesia. Menurut cerita Nyonya Johan kepada saya, tidak ada orang yang percaya bahwa ia tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hal itu memang dapat dimengerti. Bagaimana orang bisa percaya, kalau berkenalan dengan Ny. Johan Sjahruzah, seorang yang mengasyikkan. Bicaranya penuh humor. Dia mengetahui beberapa bahasa asing. Menghafal sajak-sajak dalam berbagai bahasa. Dan malah juga menyanyikannya? Saya dapat membayangkan betapa sulit untuk dipercaya, bahwa seorang seperti Ny. Johan tidak pernah duduk di bangku sekolah.

Pada suatu hari Dolly menceritakan kepada saya, bahwa ia bertemu dengan seorang Belanda yang memuji ayahnya. Orang tersebut adalah guru bahasa Belanda di sekolah lanjutan. Dia berkata: “Ayah anda, bahasa Belandanya bagus sekali. Ia berbicara seperti orang Belanda.” Dolly marah. Dan karena itu ia hanya menyahut: “O ja?” Saya pada saat itu berfikir sejenak. Reaksi saya andaikata saya anak Haji Agus Salim, adalah rasa bangga. Mengapa Dolly marah? Adakah perbedaan jiwa antara Dolly yang tidak pernah mendapat pelajaran kolonial, dan saya? Saya menanyakan, mengapa ia marah. Dolly menjawab, bahwa ayahnya tidak berbicara seperti orang Belanda. Ayah berbicara seperti ayah. Dia bicara baik dan bagus. Tidak ada perbedaan antara Dolly dan Belanda itu. Dolly menambahkan: “Siapa dia itu? Begitu beraninya menilai ayah.”

Saya pernah mengikuti Kongres Ahli Hukum di Batavia yang dihadiri oleh ahli hukum bangsa Belanda dan Indonesia. Waktu seorang Indonesia ikut serta dalam pembicaraan ia mulai dengan minta maaf, kalau nanti ia membuat kesalahan, karena bahasa Belanda bahasa asing baginya. Ia seorang yang pandai. Sudah terkenal dan sudah menulis beberapa buku dan karangan, yang mendapat penghargaan dari ahli hukum Belanda. Bahasanya baik. Hannya lidahnya seorang Jawa, dan masih kentara. Haji Agus Salim berbahasa asing tanpa “aksen.” Tapi benar apa yang dikatakan Dolly bahwa ia tidak bicara seperti orang  Belanda. Pernah saya singgung masalah tersebut dalam percakapan dengan Haji Agus Salim. Menurut pendapatnya minta maaf tidak perlu. Malah tidak baik. Kita tidak dapat merubah lidah kita. Yang penting ialah bahwa kita tidak melanggar aturan bahasanya. Dalam masyarakat waktu itu orang Belanda yang dihinggapi penyakit meerderwaardeigheid  hanya akan diperkuat penyakitnya.

Mungkinkah itu yang dinamakan akibat pendidikan kolonial? Haji Agus Salim tidak setuju dengan basa-basi semacam itu, yang hanya akan dipandang sebagai kelemahan oleh Belanda.

Tahun 1930 Haji Agus Salim menghadiri Konferensi Buruh Internasional di Genewa sebagai penasehat delegasi buruh Nederland. Dalam konferensi itu ia berpidato dalam bahasa Inggeris yang mengagumkan, baik karena mutunya maupun cara membacakannya. Kemudian ada seorang yang minta (mungkin menantang) supaya ia lain kali mengadakan pidato dalam bahasa Perancis, yang dipakai juga dalam konferensi itu. ketika datang giliran Haji Agus Salim, ia berpidato dalam bahasa Perancis, dengan didahului keterangan, bahwa ia diminta memakai bahasa Perancis. Permintaan itu dengan mudah ia penuhi, karena bahasa Perancis baginya, sama asingnya seperti bahasa Inggeris. Bahasa dan isi pidato dalam bahasa Perancis itu juga mendapat pujian. Setahu saya orang Belanda tidak suka mengucapkan pujian, malah penghargaanpun tidak. Ketika kita berhubungan dengan orang asing sesudah proklamasi, orang Amerika, Inggeris dan lain-lain maka tidak jarang lebih-lebih orang Amerika, lekas sekali mengatakan kepada orang Indonesia: “You speak worderful English.” Pada hemat saya hal yang demikian itu hanya basa-basi. Tapi sangat menonjol, bahwa orang Belanda tidak mempunyai sikap demikian. Mereka terikat oleh perasaan, bahwa bangsa Indonesia masih terbelakang.

Ada kalimat yang terkenal dalam bahasa Belanda, yaitu kalimat Jan Pieterszoon Coen dari abad ke- 16: Daar is een gebied, waar een klein land groot kan zijn. (Itulah suatu lingkungan, dimana negeri kecil mampu berbuat besar). Yang dimaksudkan antara lain negeri kecil mampu menjajah negeri besar. Tentang Haji Agus Salim memberi komentar yang menurut saya tepat sekali. Benar apa yang dikatakan J.P. Coen tiga abad yang lalu, ujar Haji Agus Salim. Tapi sesudah tiga abad Belanda masih tetap merasa kecil. Andai kata Belanda tidak merasa kecil lagi, mungkin hubungan dengan Indonesia berlainan. Belanda yang senantiasa merasa kecil meskipun mampu menguasai Indonesia yang besar, merasa berbuat tidak sesuai dengan hati nuraninya. Saya menyatakan, barangkali ada hikmahnya Belanda senantiasa memeras negara kecil. Kalau tidak, lebih sulit melepaskan diri dari kolonialismenya. 

Begitulah, anak-anak Haji Agus Salim mendapat pendidikan dari orang tuanya sendiri. Dari Dolly ke Totok, Jojet, Adik, Syauket, Islam dan Bibsy. Bibsy pernah tinggal di Kobe ikut suaminya Sunharyo, Konsul RI Kobe. Dalam waktu singkat Bibsy menguasai bahasa Jepang dan dapat bicara sangat lancar seperti wanita-wanita Jepang sendiri. Ketika anak bungsu Haji Agus Salim mencapai umur sekolah, Belanda sudah meninggalkan Indonesia, dalam mana menurut penilaian Haji Agus Salim, sekolah-sekolah, Indonesia, meskipun masih diawasi Jepang sudah tidak bersifat kolonial lagi. Ciddig masuk sekolah rakyat seperti anak-anak lainnya tidak memanggil neef  Roem kepada saya seperti saudara-saudaranya tapi oom Roem, seperti cucu-cucu Haji Agus Salim. Dalam rumah mereka berbahasa Belanda, kecuali dengan anak-anak yang bersekolah Indonesia. Tapi anak-anak ini, karena setiap hari mendengar bahasa Belanda dapat memahaminya juga.

Begitulah pelajaran dan bahasa Belanda diselenggarakan dalam rumah Haji Agus Salim. Dapat dikatakan ada kelemahannya. Anak-anaknya tidak dapat pelajaran eksata, aljabar, ilmu hitung, logaritma, seperti saya di AMS bagian B. Di zaman itu dikatakan bahwa aljabar membuat orang berfikir logis. Dalam pada itu dipercakapkan sehari-hari orang tidak pernah menyinggung aljabar, seperti lain-lain. Dalam ilmu eksata anak-anak Haji Agus Salim sedikit, atau tidak mendapat pelajaran. Sebaliknya saya, yang dibangku sekolah bertahun-tahun mendapat pelajaran kimia, ilmu alam, aljabar, logaritma, sebagai sarjana hukum sudah tidak mengingat semuanya dan tidak pernah juga memerlukannya dalam pekerjaan sebagai advokat. Tanpa mengetahui aljabar orang juga berfikir logis.

Pendidikan Haji Agus Salim sendiri

  Haji Agus Salim dilahirkan 8 Oktober 1884 di Kota Gedang Bukit Tinggi. Anak ke-4 dari Sutan Moehamad Salim, Jaksa pada Pengadilan Negeri. Ketika ayahnya bekerja di Riau sebagai Jaksa Kepala, Agus, begitulah nama kecilnya, mencapai umur sekolah, dan karena kedudukan ayahnya ia diterima di Europes Largere School  (sekolah untuk anak-anak Belanda). Kepala sekolah melihat betapa cerdiknya anak Sutan Salim. Orang Belanda ini berpendapat bahwa Agus, yang memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi orang pandai, harus diberi lingkungan serta makanan yang tepat, agar bibit baik itu tidak terhambat di jalan. Karena itu ia minta kepada keluarga Sutan Salim agar Agus tinggal di rumah kepala sekolah itu. Sutan Salim berkeberatan anaknya dididik sepenuhnya oleh Belanda. Akan tetapi dia ingin menghargai maksud baik kepala sekolah tersebut. Karena itu maka ditemukan jalan tengah. Agus akan berada di rumah kepala sekolah di waktu makan, pagi, siang dan malam, dan sejenak sesudah itu. Tapi seterusnya Agus tinggal dengan orang tuanya. Dengan begitu maka Agus cukup mendapat bimbingan terutama bahasa Belanda dan mendapat makanan Belanda. Menurut guru Belanda ini makanan Belanda juga penting bagi perkembangan Agus seterusnya. Saya masih ingat cerita Haji Agus Salim sendiri, waktu sang guru memberi contoh bagaimana ia harus memoles roti dengan mentega. Jangan tipis-tipis tapi yang tebal.

Sesudah tamat Europese Lagere School  ia meneruskan pelajarannya di Hogere Burgerschool (HBS) di Jakarta. Dan diselesaikannya pada tahun 1898. Sesudah tamat HBS, ia bekerja dalam lingkungan Pemerintah Belanda, yang terpenting di konsulat Belanda di Jedah dari tahun 1906 sampai 1911. Di situlah ia belajar bahasa Arab serta mengenal agama Islam lebih mendalam, antara lain dengan membaca buku-buku yang ada di Konsulat tersebut. Tahun 1912 Haji Agus Salim kawin dengan gadis sekampungnya, yaitu Zainatun Nahar binti Engku Almatsir. Tahun 1913 Dolly, anak pertama, dilahirkan. Dia tidak pernah disekolahkan seperti anak-anak orang lain. Dan sejak kecil dia berbicara bahasa Belanda dengan ayah dan ibunya.

Jadi pada saat itu Haji Agus Salim sudah sampai kepada kesimpulan, bahwa jalan yang ia lalui sendiri, yaitu mendapat didikan sekolah Belanda dari Lagere School sampai HBS serta bekerja sebagai pegawai Pemerintah Belanda adalah jalan berlumpur. Dan ia tidak tega anaknya sendiri melalui jalan yang sama. Teranglah bahwa keberatannya tidak ditujukan kepada bahasa Belanda. Malah menurut pendapatnya bahasa Belanda pada waktu itu adalah sarana, setidaknya bahasa yang pertama, untuk mendapat pendidikan dan pengetahuan yang ingin diberikan kepada anak-anaknya.

Pendidikan nasional dan kolonial

Saya rasa bukan hanya Haji Agus Salim yang memandang pendidikan Pemerintah Hindia Belanda mempunyai ciri yang tidak baik bagi bangsa sendiri. Lebih-lebih dalam usaha dan perjuangan menjadi bangsa yang ingin jadi tuan di rumah sendiri. Orang-orang seperti Ki Hajar Dewantara, Kiyai Dahlan, Engku Syafe’i di Kayu Tanam berpendirian demikian. Sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda mempunyai maksud mencetak tenaga-tenaga yang diperlukan masyarakat yang dikuasai Belanda. Masyarakat kolonial memerlukan karyawan kasar, rendah, menengah, dan atas, sampai insinyur. Juga juru tulis, dan birokrat, yang bekerja di kantor, di bawah pimpinan Belanda. Kecuali kecakapan teknis, mereka itu dibekali dengan mentalitas untuk dapat menjalankan tujuan pemerintah kolonial.

Haji Agus Salim mulai dengan anak-anaknya sendiri. Waktu Muhammadiyah menerima subsidi dari pemerintah Belanda untuk sekolah-sekolahnya dengan menerima syarat dan pengawasan, maka dapat dimengerti, mengapa Sarekat Islam mengambil keputusan yang sangat keras, yaitu mengadakan “partai disiplin.” Keanggotaan Sarekat Islam tidak dapat dirangkap dengan Muhammadiyah.

Haji Agus Salim mulai mempelajari pergerakan Sarekat Islam dan pemimpinnya, Cokroaminoto, ketika ia mendengar dari seorang kenalannya, yaitu Datuk Tumenggung, bahwa Sarekat Islam sedang memikirkan tindakan yang melanggar hukum untuk mencapai tujuannya. Hasil penyelidikan itu ialah, bahwa yang dituduhkan itu tidak benar. Malah ia mengenal asas dan tujuan Sarekat Islam dan Cokroaminoto. Ia yakin, bahwa tujuan Sarekat Islam baik serta dipimpin oleh orang yang tepat pula. Maka ia menjadi anggota Sarekat Islam, dan menjadi pemimpin di samping Cokroaminoto. Sejarah pergerakan Indonesia mengenal, bahwa semula Sarekat Islam satu-satunya pergerakan rakyat yang berpolitik. Sampai Cokroaminoto meninggal dunia di tahun 1934, Haji Agus Salim menjadi pemimpin yang mendampinginya. Untuk memakai istilah yang kemudian hari dipakai, maka Cokroaminoto dan Haji Agus Salim adalah dwitunggal, sampai saat Cokroaminoto meninggal dunia.

Meskipun banyak golongan yang menuduh, terutama Belanda, bahwa Sarekat Islam partai yang mempergunakan kekerasan, Sarekat Islam tetap menyatakan akan menempuh jalan hukum. Hal itu terbukti dalam Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam di Bandung tahun 1916. Waktu Dewan Rakyat dibentuk, berdasarkan “janji-janji bulan November 1918” Cokroaminoto menerima pengangkatan sebagai anggota. Dia digantikan Haji Agus Salim di tahun 1921. Selama Haji Agus Salim menjadi anggota Volksraad, maka ia terkenal sebagai pembicara ulung dalam bahasa Belanda. Seorang ahli debat yang lincah, dan tajam dalam kritik. Kalau ada orang yang “menginterupsi,” maka segera ia menjawabnya. Dan kadang-kadang menjadikan lawannya sasaran tertawaan. Karena itu jarang orang berani berdebat dengan Haji Agus Salim. Pada tahun 1923, setelah Cokroaminoto mempunyai pengalaman tiga tahun sebagai anggota Dewan Rakyat, begitu juga Haji Agus Salim, kedua pemimpin itu mendapat kesimpulan, bahwa peranan Dewan Rakyat tidak sesuai dengan “janji-janji bulan November,” bahwa Dewan Rakyat tidak lebih dari “komidi ngomong.” Maka Sarekat Islam memutuskan menarik diri dari Dewan Rakyat. Malah berkesimpulan, bahwa ikut serta dalam Dewan Rakyat hanya memperkuat pemerintah kolonial dan menghambat usaha menjadi bangsa merdeka. Bahwa anggota Dewan Rakyat mempunyai penghasilan cukup, tidak mempengangaruhi sedikitpun alam pikiran dan pertimbangan kedua pemimpin tersebut. Politik itu dinamakan “non kooperasi”, yang dianjurkan juga oleh Perhimpunan Indonesia di Nederland. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan  Ir. Sukarno di tahun 1927, juga berpolitik “non-kooperasi.”

Melepaskan diri dari cekaman sugesti superioritas Barat

Sejak anak pertama ia sudah memberinya pendidikan sendiri. Ini menunjukkan bahwa ia sudah lama memikirkan hal itu. Ia tidak mau anak-anaknya melalui jalan “berlumpur” yang ia sudah lalui sendiri. Pada kongres pertama Jong Islamieten Bond  ia mengucapkan pidato yang menunjukkan arah ke mana ia memberi pendidikan kepada pemuda. Pada hemat saya itu pula dasar pikirannya sebagai pemimpin rakyat yang ikut dituntunya ke arah penghidupan sendiri sebagai bangsa merdeka. Rakyat yang sudah mempunyai sesuatu yang patut dijadikan pedoman, tapi belum cukup disadarinya.

Pada tahun 1925 Samsuridjal mendirikan perkumpulan pemuda Islam, yang diberi nama dalam bahasa Belanda, sesuai dengan corak zamannya. Inisiatif ini adalah dari Sam sendiri. Waktu Sam menujukan harapannya kepada Haji Agus Salim untuk memperoleh bimbingan, hal itu disambut sebagai terlaksananya hartewens, idaman hati. Ada orang yang menuduh Sam dan Haji Salim, sebagai penyebab perpecahan di kalangan pemuda. Tuduhan ini perlu dijawab. Jangan anggap sepi fikiran orang, sekalipun salah. Ada dua hal yang baru dalam Jong Islamieten Bond. Pertama pemuda Islam tidak berorganisasi dalam garis kedaerahan. Anggota-anggota JIB menamakan dirinya nasionalis Indonesia. Waktu itu masih ada yang menolak hal semacam ini. Kedua, anggota JIB akan mempelajari agama Islam dan melaksanakan ajarannya dengan kesadaran bahwa Islam milik nenek moyang dan melalaui pelajaran Islam mencapai cita-cita kehidupan bangsa Indonesia yang jadi tuan di rumah sendiri.

Haji Agus Salim di kongres JIB pertama di Yogya pada hari Natal 1926, antara lain berkata sebagai berikut:
“Apakah tidak ada hubungan antara dia dan pendidikan Jong Islamieten Bond?”
Tidak ada melainkan pendirian JIB merupakan terlaksananya idaman hati, yang menyebabkan, bahwa dia sewaktu dan sesudah perserikatan berdiri memberikan bantuan dan dukungan yang diharapkan daripadanya. Hal itu ia jalankan semata-mata sebagai kewajiban orang Islam, yang ia juga sanggup memberikan seterusnya.”
“Ketahuilah,” kata Haji Agus Salim seterusnya, “masa muda saya sama saja dengan masa muda anda. Meskipun dilahirkan dari keluarga yang beragama, dan dibesarkan dengan mendapat didikan agama, dalam waktu singkat saya kehilangan kepercayaan. Kepandaian sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggungjawab sungguh-sungguh, memudahkan pergantian itu. Dan keadaan itu akan berlangsung selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah.”

“Anda sudah mempersatukan diri untuk mempelajari agama Islam. Menurut keyakinan saya, Islam tahan terhadap penyelidikan yang kritis, maka mengharapkan diselidiki yang sungguh-sungguh....” “Islam memberikan pengertian yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai.”

“Ada sebab lain yang membuat saya sangat bersyukur dengan lahirnya Jong Islamieten Bond. Pendirian itu, terlepas dari hasil-hasil yang diharapkan sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan dari pendukungnya.” Akhirnya berdiri sebuah organisasi yang meliputi mereka yang masih belajar dan mereka yang sudah selesai belajar, tapi masih termasuk golongan muda, yang berorientasi kepada kepribadian dan jiwa sendiri, yang dimiliki rakyat. Inilah sesuatu yang luar biasa.

Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat rakyat kita, terutama yang menamakan dirinya “intelektuil” tercekam di bawah sugesti superioritas Barat. Juga dalam gerakan perlawanannya dan usaha melepaskan diri dari dominasi Barat, kita bergerak menurut garis yang diberikan orang Barat dan di bawah pimpinan langsung atau tidak langsung orang Barat. Dan sampai kini hampir semata-mata orang Barat yang memegang pimpinan, sedang kawan-kawan bangsa sendiri hanya berfungsi sebagai pelaku dalam melaksanakan “demonstrasi” di bawah rezim Barat.

Gamelan, wayang, tarian asli, pakaian adat sebenarnya baru menjadi populer, berkat “penghargaan” dan “kekaguman” orang Barat, malah dapat dikatakan menjadi populer oleh propaganda orang Barat. Lebih-lebih dalam bidang busana, pengaruh Barat sangat menonjol. Ada suatu masa, di mana orang-orang pribumi dilarang memakai pakaian Barat. Pada waktu itu “pakaian jongos,” yaitu baju, pantolan dan ikat kepala dipakai di kalangan priyayi, dan menjadi pakaian terhormat. Pakaian itu dipandang sebagai pakaian yang menunjukkan peradaban tinggi.

Waktu larangan memakai “pakaian Eropa,” tidak ketat lagi, dengan cepat ikat kepala diganti dengan topi vilt atau merang (strooen viltenhoed). Sampai datang saatnya orang Barat memuji-muji “keindahan pakaian nasional.” Maka kita melihat kesibukan ke arah sebaliknya. Sampai-sampai jas tutup yang tadinya dipuji karena praktis dikalahkan oleh baju sikep Jawa asli.
Adalah benar, bahwa kain panjang serta iket dan sikep pakaian nasional Jawa. Tapi benar juga bahwa sikap orang Barat mengembalikan pakaian itu.
Untuk kembali kepada titik tolak saya, dalam segala pergerakan golongan intelektuil kita melihat bahwa sesuatu gerakan baru hidup jika ia menikmati simpati dan perhatian dari orang Barat, malah di bawah propaganda dan kerjasama dengan orang Barat.

Yang demikian itu menunjukkan tidak adanya hormat kepada diri sendiri, menunjukkan kekalahan total sampai kepada jiwa kita sendiri. Kurang hormat kepada diri sendiri memang gejala umum di kalangan rakyat kita, akibat dari penjajahan dan tekanan yang sudah berlangsung beberapa abad, malah lebih lama dari penjajahan Belanda. Hanya orang asing adalah “tuan” bagi kita. Kita menyebut mereka “tuan” atau meneer. Mereka menyebut diri sendiri tidak pernah kita sebut “tuan” atau meneer. Malah ayah kita kita sendiri tidak berani dipanggil “tuan” atau meneer. Nah, pendirian Jong Islamieten Bond adalah kembali dari jalan penghinaan itu. Di sini dengan sadar kita menunjukkan pandangan kepada yang semata-mata menjadi milik rakyat kita sendiri, untuk meningkatkan rakyat sendiri, untuk kita hormati sendiri, untuk meningkatkan ia berhadapan dengan semua yang asing, tidak mungkin. Agama Islam tidak akan dipandang lagi sebagai pusaka yang menghalang-halangi kemajuan, tidak lagi sebagai lari, karena kita takut ancaman hari akhirat. Tapi Islam dijunjung tinggi sebagai panji yang kita banggakan, karena ajaran-ajarannya sudah 13 abad tidak saja tahan uji terhadap penilikan yang jujur, menang kalau dibandingkan dengan agama apapun, akan tetapi juga tahan terhadap perlakuan yang tidak wajar dari ilmu pengetahuan Barat, malah karena ilmu pengetahuan Barat dibenarkan.”

Membuka tabir

Pada kongres JIB di Yogya di tahun 1925, para peserta laki-laki dan perempuan duduknya terpisah oleh tabir (kain putih). Peserta perempuan tempatnya di bagian belakang dan hanya mendengar suara orang laki-laki atau sebaliknya. Pengaturan demikian mungkin dipengaruhi oleh kongres-kongres perkumpulan Islam lain, yang sering diadakan di Yogya.

Pada kongres JIB kedua di Solo akhir 1927, Haji Agus Salim dengan persetujuan Pengurus Besar JIB membuka tabir yang memisahkan tempat duduk kaum laki-laki dan perempuan. Sesudah itu Haji Agus Salim memberikan pidato yang berjudul De sluiering en afzondering  der vrouw “Tentang pemakaian kudung dan pemisahan perempuan.”

Menurut Haji Agus Salim ada kecendrungan di kalangan JIB untuk mencari “yang Islam itu,” sebaliknya dari yang biasa di kalangan terpelajar. Hal ini tentu saja keliru.
“Salah satu kecondongan ialah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan disimpan di pojok dengan ditutup sebuah kain putih (tabir). Meniru-niru bangsa Arab ini, lebih-lebih menonjol karena orang perempuan datang bebas dengan berkendaraan umum dan terbuka, tanpa kepala ditutup, seperti pada kesempatan-kesempatan lain, di mana orang perempuan tidak dihindarkan dari penglihatan orang laki-laki.”

Selanjutnya Haji Agus Salim menerangkan, bahwa ia dengan senang hati memberi keterangan tentang tindakan, yang baru diambil itu. “Jong Islamieten Bond bertujuan mempelajari Islam dengan sebaik-baiknya dan jika sudah yakin melaksanakan perintahnya. Perlu sekali anggota-anggota JIB menyadari yang benar-benar menjadi perintah Tuhan, sebagaimana sudah dicontohkan oleh Nabi. Tidak termasuk di dalamnya, bahwa orang perempuan harus dipisahkan, (afzondering) apalagi harus disendirikan (afsluiting). Bahwa memisahkan orang perempuan itu adat kebiasaan Arab, kenyataan itu tidak menyebabkan pemisahan orang perempuan menjadi perintah Islam. Adat kebiasaan itu mungkin termasuk kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen, menurut kepercayaan mana kedudukan perempuan rendah, tapi terang tidak sesuai dengan ajaran dan semangat Islam, yang dengan Qur’annya mempelopori emansipasi perempuan.”

 “Apakah perintah Qur’an?” ujar Haji Agus Salim. Hal itu terdapat dalam Surat AnNur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31 untuk perempuan. Surat An-Nur ayat 30: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara malu mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alla Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Ayat 31: “Katakanlah kepada orang perempuan yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara malunya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” Peraturannya sudah jelas-jelas mengenai keluarnya orang perempuan di hadapan umum, di hadapan orang laki-laki dan perempuan, di luar batas-batas keluarga dan mereka yang dekat, dalam lingkungan mana orang dapat bergaul dengan akrab. Adanya perintah ini berarti tidak adanya keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.”

Tentang tindakan Haji Agus Salim ini Ir. Sukarno dalam salah satu “Surat-surat dari Endeh” menulis: “Bagi saya tabir itu simbul perbudakan, yang tidak dikehendaki oleh Islam. Saya ingat bahwa dulu H.A. Salim pernah merobek  tabir di salah satu rapat umum – ia merobek terang-terangan! Di dalam pandangan saya, perbuatan beliau itu adalah satu perbuatan yang lebih besar misalnya daripada menolong pahlawan dari air laut yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sekalipun. Sebab perbuatan demikian itu minta keberanian moril yang besar.” (Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama, halaman 330). Kata merobek yang dipakai Ir. Sukarno, jangan diartikan secara harfiah, melainkan sesuai dengan gayanya.

 Haji Agus Salim di zaman Jepang

Di zaman Jepang Haji Agus Salim tidak memainkan peranan yang menonjol. Ia bekerja pada suatu kantor Jepang sebagai penasehat, untuk membantu menemukan kata-kata  istilah Indonesia yang tepat dalam usaha menterjemahkan buku-buku bahasa Jepang. Di bawah pimpinan sala seorang anaknya, Islam Islam, keluarga tersebut berusaha hidup sebagai penghasil dan pedagang arang.

Haji Agus Salim sesudah proklamasi

Terutama sesudah pasukan Inggris mendarat, yang membawa penasehat-penasehat orang Belanda, ia menjadi orang yang banyak dicari dan banyak dimintai pendapat. Waktu orang Belanda sebagai bagian atau penasehat pasukan Sekutu Inggeris lebih banyak datang, baik orang Belanda maupun Inggeris senang mendatangi Haji Agus Salim. Dengan dia mereka dapat bertukar fikiran yang memadai tingkat pengetahuannya dan pengalamannya. Salah seorang Belanda yang sudah mengenal Haji Agus Salim sebelum perang dengan maksud agar Haji Agus Salim terkejut mengatakan: “Zeg Salim, bagaimana itu, adik anda masuk agama Katolik.” Haji Agus Salim mempunyai adik, Khalid Salim, yang selama lima belas tahun meringkuk di Digul, karena ia seorang atau dituduh komunis. Khalid Salim sekarang bekerja di KBRI bagian penerangann di Den Haag. Dengan tenang Haji Agus Salim menjawab: “Gode zij dank, Alhamdulilah. Ia sekarang lebih dekat dengan saya.” Orang Belanda itu terkejut dan bertanya: “Mengapa anda berterima kasih kepada Tuhan?” Jawab Haji Agus Salim, “Ia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya pada Tuhan.”

Dalam pemerintahan Republik Indonesia Haji Agus Salim beberapa kali duduk dalam kabinet: Sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir III (1947), Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir Sjarifudin (1947), Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948-1949).

Ada suatu tugas yang dikerjakannya dengan berhasil, yaitu mendapatkan pengakuan dari negara-negara Arab. Ia bertolak ke Timur Tengah sebagai Menteri Muda Luar Negeri akhir tahun 1946. Di Kairo ia mendapat rintangan Duta Nederland yang menyatakan, bahwa usaha Haji Agus Salim melanggar perjanjian Linggarjati. Jelas bahwa itu tafsiran Duta Belanda atas instruksi Pemerintah Nederland. Perjanjian persahabatan pertama yang ditandatangani Republik dengan Mesir diselenggarakan oleh Haji Agus Salim, dan ditandatangani di Mesir pada tanggal 10 Juni 1946. Kemudian, waktu Kabinet Sjahrir diganti dengan Kabinet Amir Sjarifudin, Haji Agus Salim masih berada di Mesir. Ia muncul sebagai Menteri Luar Negeri.

Duta Belanda pada waktu itu, yang tidak berani menemui Haji Agus Salim menerima pesan, andaikata usahanya melanggar persetujuan Linggarjati, maka ia tidak akan menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet baru. Pengangkatan sebagai Menteri Luar Negeri berarti Pemerintah RI membenarkan usahanya malah menaruh kepercayaan kepadanya.

Haji Agus Salim tidak langsung ikut serta dalam perundingan akan tetapi dalam hubungan dengan anggota delegasi dari pihak Belanda maupun Inggeris ia sebagai lobbyst mendapat penghargaan.

Ia menyertai Sutan Sjahrir, ketika Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB diterima sebagai “pihak dalam sengketa” dan berhak bersuara di sidang-sidang Dewan Keamanan.

Oleh orang-orang Inggeris yang datang di Indonesia, untuk membantu Nederland dan Republik Indonesia mencapai penyelesaian dengan damai, mula-mula di bawah pimpinan Lord Interchapel dan kemudian Lord Killearn, Haji Agus Salim banyak dihubunginya dan mampu memberi pengertian tentang sikap dan keadaan di Indonesia. Bagaimana anggapan kalangan Inggeris tentang Haji Agus Salim terbukti dari keterangan seorang Belanda yang akan disebut di bawah nanti.

Juga dengan kalangan Belanda Haji Agus Salim banyak mengadakan percakapan atau hubungan, yang meskipun tidak resmi berarti sekali bagi kesudahan perundingan. Salah satu usaha pihak Belanda ialah memelihara kepentingannya di Indonesia sebanyak mungkin. Hal itu berlawanan dengan sikap Republik yang berslogan “Merdeka 100%”. Karena itu pihak Belanda seringkali menunjukkan, bahwa dalam dunia sesudah Perang Dunia II, tidak ada lagi negara yang merdeka 100%. Negara-negara merdeka yang sudah tua menerima macam-macam ikatan.

Percakapan semacam itu berlangsung juga antara Prof. Schermerhorn dan Haji Agus Salim yang tercatat dalam Het dagboek van Schermerhorn (halaman 11): “Atas keterangan saya, bahwa ada benang yang menelusuri sejarah, yang membuat negara nasional sulit mencapai berbagai-bagai bentuk (termasuk merdeka 100%, penulis), sehingga kita di sini, di Indonesia, menentang arus, ia menjawab, bahwa akhirnya tiap bangsa sedap atau tidak, baik atau buruk, ingin memperoleh pengalaman dari kemerdekaannya. Ia menunjukkan contoh-contoh indah untuk itu.” Seterusnya Prof. Schermerhorn memberikan penilaiannya tentang Haji Agus Salim: “Ia seorang yang sangat menarik, sedang kita melihat juga dengan jelas sekali, betapa ia dihormati di kalangan Inggris. Ini berlaku juga bagi orang-orang Indonesia di luar kau republik.”

Siapa saja yang bercakap-cakap dengan Haji Agus Salim mengalami, bahwa lambat laun Haji Agus Salim yang bicara sendiri, sedang yang berhadapan dengannya mendengarkan dengan tekun. Demikian juga pengalaman Prof. Schermerhorn: “Saya sendiri bicara lama dengan Haji Agus Salim seorang yang sangat luar biasa. Tetapi tidak terlalu sulit bicara dengannya, karena ia sama sekali tidak keberatan bicara sendiri.” Meskipun begitu atau barangkali karena itu Prof. Schermerhorn ingin bicara lagi dengan Haji Agus Salim. Keinginan itu ia tuliskan dalam halaman 43-44 dari buku hariannya: “Senen malam, 14 Oktober 1946, jam 21.15. lusa, yaitu Rabu malam akan diadakan jamuan makan besar di istana, di mana dari tiap-tiap pihak akan hadir delapan orang. Hari Kamis kita akan makan bersama dengan pihak Indonesia di kapal muatan Rotterdamsche Lloyd, Overijssel, yang berlabuh di sini. Pada dua kesempatan itu kita  mempunyai kemungkinan mengadakan kontak pribadi tidak resmi mengenai berbagai-bagai persoalan. Saya akan memelihara hubungan dengan Sjahrir dan barang kali juga dengan beberapa orang dari lingkungannya. Dalam hubungan ini khusus saya ingat kepada Salim, yang suatu hari akan saya undang di istana. Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu bicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat. Pada waktu ini ia jelas bermain ke arah kita. Akhirnya ia Menteri Muda Luar Negeri dan karena itu orang kedua di samping Sjahrir dalam perundingan. Barangkali ia yang paling pandai dari seluruh mereka itu.”

Haji Agus Salim pernah juga diasingkan oleh Pemerintah Belanda, yaitu bersama dengan Presiden Sukarno dan Sjahrir ke Brastagi dan kemudian dipindahkan ke Prapat, sesudah pastikan pasukan Belanda menduduki Yogya, 20 Desember 1948.

Sukarno dan Haji Agus Salim kemudian dipindahkan ke Pulau Bangka dikumpulkan dengan Hatta dan kawan-kawan yang sudah berada di sana. Mereka kembali ke Yogya, waktu Pemerintah Republik Indonesia dipulihkan, 6 Juli 1949.

Beberapa orang pengikutnya pernah mendengar pernyataannya, ia sangat bersyukur kepada Allah Yang Maha Murah serta Kasih, bahwa ia mengalami Republik Indonesia, yang berdaulat dan merdeka. Ia meninggal dunia tanggal 4 November 1954.