Oleh Mohamad Roem
Perkenalan pertama
Suatu hari di
tahun 1925, Kasman dan Soeparno mengajak saya ke rumah Haji Agus Salim di Gang
Tanah Tinggi, Jakarta. Kasman dan Soeparno adalah pelajar Stovia kelas dua
bagian persiapan. Saya pelajar kelas satu. Pada permulaan tahun itu,
Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten
Bond, dan Haji Agus Salim menjadi penasehatnya. Kasman dan Soeparno,
anggota pengurus cabang Jakarta, ingin tahu kapan Haji Agus Salim mulai
memberikan kursus agama Islam.
Ajakan ini saya
sambut gembira. Saya sudah sering mendengar nama Haji Agus Salim. Saya dengar
dia adalah seorang pemimpin rakyat, pemimpin Sarekat Islam, terkenal pandai
tentang agama Islam dan mahir menggunakan berbagai bahasa.
Dari Asrama Stovia
di Gang kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selama 10 menit naik sepeda. Jalan yang
diaspal hanya sampai stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan
berlubang-lubang. Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas
air yang berombak.
Haji Agus Salim
kami jumpai duduk di serambi dan menyambut kami dengan ramah. Sikapnya sangat
menarik. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara, yang ditujukan kepada Kasman,
“Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan sepeda dan manusia
terbalik.”
Saya tahu, kemarin
Kasman datang sendiri. Dan dia yang melihat saya serta Soeparno tidak mengerti
apa yang dibicarakan, lantas menjelaskan. “Kemarin saya datang, dan ditunggangi
sepeda, bukan saya yang menunggangi sepeda.” Kemarin dia di tengah jalan
dikejar hujan, dan mengalami nasib seperti yang diceritakan Haji Agus Salim.
Tanah liat yang setengah basah melekat pada roda sepedanya, dan tak dapat
berputar sama sekali. Kasman menyambung, “Dan kemarin saya katakan, ‘Jalan
pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita.”
Ucapan Kasman
mempunyai arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa
Belanda ada dua kata yang berbunyi sama, tapi ditulis berbeda: leiden
(memimpin) dan lijden (menderita).
Waktu itu Kasman berkata: “Ein leidersweg
is een lijdensweg. Leiden is lijden.” Waktu itu Kasman sudah menunjukkan
bakat pemimpin. Dia mengucapkan kalimat itu dengan suara yang agak lain, dengan
tekanan lebih tegas. Dan di kemudian hari terbukti, bahwa apa yang dikatakan
Kasman itu merupakan ramalan tentang dirinya. Empat kali dia dijebloskan ke
penjara oleh yang berkuasa. Sekali di zaman Belanda, tiga kali di bawah rezim
Sukarno. Dua kali dia dibebaskan pengadilan, dan dua kali dihukum. Soalnya
bukan karena kejahatan, tetapi karena yang apa dia katakan. Kasman memang
seorang yang senang dan pandai bicara. Score
–nya masih lumayan, 2 lawan 2. Penderitaan yang dialami seorang pemimpin
adalah masuk penjara. Tetapi tidak berarti pemimpin tidak hidup bahagia.
Bahagian dalam keluarga. Bahagia hidup bercita-cita.
Dalam pertemuan
pertama itu, yang berbicara dari pihak kami hanya Kasman. Meskipun dia baru
kelas dua di bagian persiapan, dia sudah lancara berbahasa Belanda. Saya baru
satu setengah tahun di Jakarta. Hidup di asrama, dimana setiap hari berbahasa
Belanda. Saya belum selancar Kasman tetapi dapat mengikuti seluruh percakapan.
(Dari tiga pelajar Stovia itu yang berhasil menjadi dokter hanya Soeparno).
Haji Agus Salim
menarik perhatian saya karena dia lain dari yang lain. Rumahnya rumah kampung.
Meja dan kursinya sangat sederhana. Sangat berlainan dengan apa yang saya
bayangkan tentang seseorang yang sudah terkenal. Pakaiannya pun lain dari yang
biasa dipakai orang. Pegawai negeri pergi ke kantor dengan pakaian lengkap,
celana dan baju tertutup atau baju buka dengan dasi dan sepatu. Pelajar-pelajar
pun berpakaian lengkap, celana pendek atau panjang dengan baju, kaus kaki dan
sepatu. Memakai kemeja saja dengan celana dianggap tidak sopan. Rakyat biasa
memakai jas, sarung batik dan pici.
Haji Agus Salim
memakai pakaian menurut model sendiri. Kesan pertama, bukan piyama dan bukan
pula pakaian untuk pergi ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama,
tetapi modelnya lebih mirip dengan piyama. Potongan bajunya seperti kemeja,
tetapi dipakai di luar celana dan tidak pakai dasi. Pakaian Haji Agus Salim
mendekati pakaian yang banyak dipakai di tahun-tahun pertama sesudah proklamasi
di Yogyakarta. Yang paling menarik ialah tarbus warna merah dengan kuncir hitam
yang dipakainya.
Tarbus ini umumnya
dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Dan tetap dipakai sampai umat
Islam di Hindia Belanda memboikot barang-barang Italia karena kekejaman bangsa
Italia terhadap umat Islam di Tripoli. Tarbus adalah made in Italy. Pada demonstrasi itu juga ada seorang pemilik mobil
Fiat membakar mobilnya. Sejak itu Haji Agus Salim menciptakan kopiah model
sendiri. Dibuat dari kain hijau (kain serdadu) yang ia namakan pici model OK.
Kami asyik
mendengar Haji Agus Salim bercakap-cakap. Bahasanya bagus. Caranya menerangkan
sesuatu sangat menarik. Akhirnya hanya Haji Agus Salim yang berbicara,
sedangkan kami terpaku mendengarkan. Sudah ditentukan bahwa Haji Agus Salim
akan memberi pelajaran agama Islam. Waktu dan tempatnya juga sudah ditetapkan.
Tetapi karena dia masih terus bicara, kami tetap mendengarkan dengan penuh
perhatian.
Di tengah
pembicaraan yang asyik ini, sekonyong-konyong datang anaknya kira-kira berumur
4 tahun dengan memakai celana monyet. Badannya gatal dan minta digaruk oleh
ayahnya. Dan sangat mengherankan, karena dia berbicara dalam bahasa Belanda.
Dengan penuh kasih
sayang, perhatian Haji Agus Salim beralih kepada anaknya dan menjalankan apa
yang dimintakan. Pada saat itu terdengar suara keras dari dalam, “Syauket,
dimana kau?” juga dalam bahasa Belanda. Dan sesaat kemudian datanglah seorang
anak perempuan umur 6 tahun di tempat kami duduk. Ia juga memakai celana
monyet.
“O, Syauket ada di
sini,” ujarnya. Syauket rupanya sudah puas digaruk oleh sang ayah, karena itu
ayahnya berkata, “Nah adik, bawalah sekarang Syauket ke dalam lagi. Ayah sedang
ngomong dengan saudara-saudara kita.” Syauket dan Adik menjadi teman saya di
belakang hari. Syauket meninggal lebih dahulu dan dimakamkan di Taman Pahlawan
Tangerang. Dia tewas bersama kawan-kawannya yang menyerbu Jepang bulan Oktober
1945.
Hasil pembicaraan
dengan Haji Agus Salim ialah berapa kali pelajaran agama Islam yang diberikan
di tempat yang berganti-ganti. Pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda yang
baik dan jelas oleh orang yang mampu, tidak saja mengambil inti sari agama
tetapi juga memberi inspirasi kepada golongan muda akan tugasnya di hari
kemudian. Inilah selamanya yang menjadi latar belakang pelajaran-pelajaran Haji
Agus Salim. Tidak saja kami menyadari hal itu dari pelajaran-pelajarannya,
tetapi semakin lama, kami mengenal Haji Agus Salim jelas kami melihat bahwa
seluruh kehidupannya – termasuk kehidupan keluarganya – ditumpahkan kepada
tugas-tugas yang dia pikul sebagai pemimpin umat.
Keluarga Haji Agus Salim berpindah-pindah
Beberapa bulan
setelah saya berkenalan dengan Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, kami
mendengar bahwa dia pindah ke Gang Toapekong. Agak aneh kedengarannya, Haji
Agus Salim pemimpin Islam tinggal di Gang Toapekong. Hal itu tentu tidak ada
artinya sama sekali. Hanyalah suatu kebetulan saja.
Letaknya di Pintu
Besi, di depan Gereja Ayam. Meskipun rumahnya tidak kurang besarnya
dibandingkan rumah di Gang Tanah Tinggi, tetapi jauh kurang sehat. Di Gang
Toapekong, pernah satu atau dua kali kami berkumpul mendapatkan pelajaran agama
Islam. Di luar ada meja dan kursi. Tetapi di dalam hampir-hampir kosong. Dan
waktu kami berkumpul di ruangan itu, kami duduk di tikar. Rumah itu menunjukkan
rumah keluarga yang kurang berada. Tetapi waktu itu kami tidak pernah
menanyakan, mengapa Haji Agus Salim pindah dari rumah di Gang Tanah Tinggi.
Tidak sempat memikirkan perasaan kasihan dengan keadaan keluarga Haji Agus
Salim yang hidup dalam kekurangan. Di Gang Toapekong ini kami juga mulai
berkenalan dengan keluarganya dengan isterinya dan anak-anaknya.
Dari tahun ke
tahun bertambah erat. Tiap kali kami datang, baik sebagai anggota JIB yang
mendatangi penasehatnya, maupun sebagai kawan anak-anaknya, selalu terasa
kenikmatan mendapat pelajaran dan petunjuk-petunjuk baru. Tentang ini di
kemudian hari, hampir setiap orang mengatakan: bercakap-cakap dengan Haji Agus
Salim berarti mendengarkan pembicaraan yang brilyan. Kecuali itu, sesudah kami
berkenalan dengan isteri dan anak-anaknya, maka kadang-kadang, jika kami
datang, Haji Agus Salim sedang bersama-sama dengan anak isterinya, dan kami
terus ikut serta dalam pertemuan itu. Pertemuan ini merupakan senda-gurau yang meriah,
penuh ketawa serta percakapan bermutu, dan humor yang sehat. Beberapa bulan
lamanya keluarga Haji Agus Salim tinggal di Gang Toapekong, dan kemudian pindah
lagi ke Mr. Cornelis (Jatinegara) di rumah Saeroen, seorang rekan yang bekerja
di salah satu harian di Jakarta.
Rumah Saeroen
memang lebih bagus dan lebih besar. Letaknya di jalan yang lebih baik. Tetapi
seluruh keluarga Haji Agus Salim hanya menempati satu ruangan. Koper
bertumpuk-tumpuk di pinggir dan beberapa kasur digulung. Bagian tengah ruangan
ini dipakai untuk duduk-duduk dan menerima tamu. Di sini kami mendapati suasana
gembira. Anak-anak yang sudah kami kenal senang bersenda-gurau. Tapi Haji Agus
Salim waktu itu tidak di rumah. Sedang bepergian untuk keperluan partai. Hanya
beberapa bulan keluarga Haji Agus Salim tinggal di rumah Saeroen dan kemudian
pindah lagi ke Bogor di sekolah swasta yang dibina Sarekat Islam. Di sinipun
keluarganya mendapat satu ruangan yang keadaannya lebih buruk lagi dari rumah
Saeroen. Kegembiraan bersama anak-anak Haji Agus Salim membuat kita lupa,
betapa melaratnya keluarga ini. dalam percakapan dengan Haji Agus Salim di
hari-hari yang lalu itu, kadang-kadang muncul sesuatu lagi yang memberi
kesempatan bagi saya untuk menyinggungnya atau untuk menanyakannya. Pada tahun
1925 itu, Haji Agus Salim menjadi pemimpin harian Hindia Baru kepunyaan segolongan orang, termasuk orang Belanda yang
berpendapat lebih maju tentang jajahan Hindia Belanda. Mereka mengenal Haji
Agus Salim, sepak terjangnya,
politiknya, kemampuannya dan dapat menghargainya. Mereka minta Haji Agus Salim
menjadi pemimpin redaksi Hindia Baru, atau
yang dinamakan waktu itu Hoofdredacteur.
Tuga Hoofdredacteur mengisi tajuk rencana,
dan mengisi ruang “Mimbar Jum’at,” serta mengatur cara dan bentuk pemberitaan
harian. Dalam hal ini Haji Agus Salim seorang pionir persurat-kabaran
Indonesia. Mimbar Jum’at diisinya dengan khotbah Jum’at yang pada waktu itu
masih baru di kalangan umat Islam. Khotbah di mesjid-mesjid umumnya masih dalam
bahasa Arab, yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu bahasa itu.
perkumpulan-perkumpulan seperti Muhamadiyah di Persatuan Islam masih berjuang
untuk meyakinkan parfa ulama di Indonesia, bahwa khotbah Jum’at di samping membaca
ayat-ayat Qur’an dan doa dalam bahasa Arab, tidak melanggar syari’at Islam,
bila disertai tafsiran dan penjelasan dalam bahasa melayu atau bahasa daerah
yang dimengerti para jema’ah.
Waktu Haji Agus
Salim menerima pengangkatan menjadi pemimpin Hindia Baru, ia mengajukan sebuah syarat: bahwa ia akan kerjakan
dengan kebebasan. Haji Agus Salim memimpin Hindia
Baru tidak seperti harian partai. Pemberitaan tentang partai hanya dimuat
jika perlu diketahui oleh umum. Akan tetapi isi dan semangat tajuk dan isi Mimbar
Jum’at tidak dapat dipisahkan dari pribadinya, yang kebebasannya sudah
disepakati. Maka langganan harian membaca buah fikiran Haji Agus Salim seperti
yang sudah dikenal. Ia pemimpin rakyat yang bebas mengeluarkan suara, memuji
atau menyalahkan menurut pendapatnya, siapa saja termasuk pemerintah Belanda.
Inilah yang lama-kelamaan tidak dapat diikuti oleh para pemilik Hindia Baru. Harian itu maju, tapi tidak
sejalan dengan maksud pemiliknya. Maka pada suatu hari mereka minta
dipertimbangkan agar kritik-kritik terhadap pemerintah Belanda agak dikurangi
atau diperlunak. Esok harinya Haji Agus Salim memberitahu, bahwa ia meletakkan
jabatan sebagai Hoofdredacteur Hindia
Baru. Saya menanyakan: “Mengapa reaksinya begitu kontan. Mengapa tidak
berusaha mencari waktu agar tidak tergesa-gesa harus pindah rumah, karena
pendapatan sekonyong-konyong berhenti dan tidak dapat membayar sewa rumah
lagi.” Jawab Haji Agus Salim: “Hal ini sudah saya fikirkan sebelumnya. Malah
menjadi kebijaksanaan. Selama saya menjadi pemimpin dan pengisi Hindia Baru, saya tidak berbuat seperti
Pemimpin Sarekat Islam dan kalau saya menulis tajuk rencana saya tidak berfikir
seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya rakyat Indonesia pada
umumnya. Saya memikirkan apa yang menjadi perhatiannya. Apa yang umumnya
disukai dan tidak, apa yang dipandang tidak adil. Saya berusaha benar-benar
agar Hindia Baru menjadi harian umum.
Dalam hal ini saya banyak mendapat kritik dari kawan-kawan sendiri. Banyak
kawan-kawan partai mengirimkan karangan yang tidak saya muat, karena kurang
bermutu, atau hanya bermutu bagi partai. Akan tetapi mengenai keyakinan saya
tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang Pemerintah Hindia Belanda
serta kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar. Hal tersebut
diketahuinya. Dan itulah juga syarat waktu saya menerima memimpin Hindia Baru. Apakah memang memerlukan
waktu untuk pindah rumah, lebih tepat ditanyakan kepada pemilik rumah yang saya
diami. Jawab itu satu-satunya yang mungkin karena sejak saat itu dasar
kerjasama antara pemilik harian dengan saya tidak ada lagi. Kalau saya terus
menulis, maka hanya ada dua kemungkinan: Saya tidak mempedulikan permintaan
pemilik harian atau saya menyerah dan berkompromi dengan hati nurani saya.”
Berpindah-pindah rumah
dalam keadaan yang semakin memburuk ternyata sudah diperhitungkannya. Sayapun
teringat pada perkataan Kasman, Leiden is
lijden. Memimpin adalah menderita. Dan penderitaan tidak saja berupa
dipenjarakan oleh yang berkuasa, tapi juga kepahitan hidup. Penderitaannya
ditunjukkan dalam hidup sederhana, yang kadang-kadang mendekati hidup dalam
kekurangan dan kemiskinan. Haji Agus Salim tidak pernah mendapat suatu Persdelict, karena karangan-karangan
atau pidato-pidatonya. Padahal ia terkenal sebagai pemimpin yang berani. Banyak
bicara dan banyak menulis, mengkritik yang berkuasa. Barangkali di situ juga
terletak keunggulannya.
Waktu keluarga
Haji Agus Salim pindah ke Bogor, kami tidak banyak berhubungan dan tidak lagi
mendapat kursus agama Islam. Kami carikan orang-orang lain yang memberikan
kursus agama. Tetapi tidak kami nikmati seperti kursus Haji Agus Salim.
Kemudian kami mendengar bahwa keluarga Haji Agus Salim pindah lagi ke Surabaya, berhubung dengan
tugas yang akan diserahkan kepadanya.
Tahun 1926 keluarga
Haji Agus Salim kembali lagi ke Jakarta dan tinggal di Gang Lontar Satu. Kalau
kita mau ke Gang Lontar Satu maka kita harus masuki dulu Gang Kernolong.
Kemudian masuk lagi ke sebuah gang kecil. Rumahnya lebih sederhana dari rumah
di Gang Tanah Tinggi dan di Gang Toapekong.
Waktu itu sudah
didirikan sebuah PT, yang menerbitkan sebuah harian bernama Fajar Asia di bawah pimpinan
Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Lingkungan
pemikiran Cokroaminoto dan Haji Agus Salim di tahun 1926 sudah melampaui
batas-batas Indonesia.
Kehadiran Haji
Agus Salim senantiasa disambut dengan gembira oleh anggota-anggota Jong Islamieten Bond, karena itu berarti
adanya seorang penasehat yang memberi kursus-kursus agama Islam yang sangat
menarik. Kawan-kawan yang sejak semula berkenalan dengan Haji Agus Salim
meneruskan perkenalannya dan terjalinlah persahabatan pribadi di luar JIB.
Kecuali Kasman dan saya, kawan seangkatan lainnya juga menjadi kawan baik.
Berkenalan dengan Haji Agus Salim berarti juga berkenalan dengan isterinya dan
anak-anaknya. Dalam JIB beliau dipanggil Ouwe
Heer dan nama itu kemudian menjadi nama yang resmi, meskipun Haji Agus
Salim mula-mula tidak menyetujuinya. Ouwe
Heer berarti orang tua, dan Haji Agus Salim tidak mau diberi nama Orang
Tua, sekalipun maksudnya untuk memberikan sebuah nama kehormatan. Tapi dia
menerima nama tersebut dengan rasa menyerah yang ikhlas. Anak-anaknya memanggil
ayahnya Paatje dan ibunya Maatje. Lama-kelamaan kami juga tertarik
untuk meniru anak-anaknya dan memanggil Haji Agus Salim, Paatje dan Ibu Salim, Maatje.
Pelajaran untuk anak-anaknya
Waktu kami
berkenalan dengan Haji Agus Salim di tahun 1925, ia sudah mempunyai 6 orang
anak. Dolly, perempuan (12 tahun), Totok, laki-laki (10 tahun), Jojet,
perempuan (8tahun). Adik, perempuan (6tahun), Syauket, laki-laki (4 tahun),
Islam, laki-laki (1 tahun).
Waktu kami pertama
kali datang di Gang Tanah Tinggi, kami baru melihat Syauket yang keluar untuk
digaruk punggungnya oleh ayahnya, kemudian datang Adik yang membawa Syauket
masuk lagi. Waktu kami meneruskan perkenalan di Gang Lontar Satu tahun 1926,
kita sudah maju setahun. Kami heran, bahwa Syauket yang umurnya baru 4 tahun
sudah berbicara dalam bahasa Belanda yang baik, dapat menerangkan bahwa
badannya gatal dan minta digaruk. Waktu itu kami mengetahui, bahwa Haji Agus
Salim bercakap-cakap bahasa Belanda dengan anak-anaknya sejak mereka
dilahir-kan.
Haji Agus Salim
menerangkan, bahwa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur” akibat pelajaran
kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan serupa dan akan memberi
pelajaran sendiri kepada anak-anaknya. Di waktu itu bahasa Belanda tidak
mungkin mendapat pelajaran yang wajar dalam masyarakat. Orang yang tidak tahu
bahasa Belanda dianggap orang rendahan. Malah yang tidak tahu bahasa Belanda
dianggap, merasa rendah diri. Dalam golongan terpelajar, bahasa yang dipakai
dalam hidup sehari-hari juga bahasa Belanda.
Karena itu maka
Haji Agus Salim mulai memberi pelajaran kepada anak-anaknya, sejak mereka
dilahirkan. Saya mengenal keluarga Haji Agus Salim, bukan sejak ia mendapat
anak pertama. Tapi sejak anak pertama berusia 12 tahun, tidak pernah saya
melihat ia memberikan pelajaran dengan suatu aturan. Ada jam belajar. Ada jam
bermain-main. Antara jam belajar dan jam bermain-main tidak ada batasnya.
Artinya tiap saat ia bersama dengan anaknya ia memberi pelajaran. Dan itu sudah
dimulai di saat anaknya lahir. Begitulah sikap Haji Agus Salim terhadap
anak-anaknya. Oleh karena itu setiap orang yang pertama kali berkenalan dengan
keluarga Haji Agus Salim akan heran mengapa anak-anaknya yang tidak bersekolah,
pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus. Tentu saja sebabnya
adalah karena gurunya Haji Agus Salim sendiri. Dan dalam diri anaknya
ditanamkan keinginan untuk lebih mengetahui. Ia tanamkan kemauan untuk mencari
sendiri pengetahuan lebih lanjut.
Misalnya anak
pertama Dolly, menurut kesaksiannya pada umur 6 tahun sudah membaca buku-buku
Nick Carter dan Lord Lister, dua buku detektif yang terbit tiap bulan dan pada
waktu itu sangat populer. Katanya, ayahnya sering pulang dengan membawa buku
itu.
Anak kedua, Totok,
waktu Haji Agus Salim masih tinggal di Gang Toapekong, pernah saya lihat duduk
di pojok, sedang kami mendapat kursus dari ayahnya. Selesai kursus saya
mendekatinya dan melihat sebuah buku tebal sedang dibacanya. Saya baca
judulnya, Mahabarata, dalam bahasa
Belanda. Saya melihat gambar, Kresna sedang memberi pelajaran kepada Arjuna.
Saya bertanya: “Sedang mengapa Kresna dan Arjuna itu?” Totok menceritakan,
bahwa Kresna sedang memberi pelajaran memanah kepada Arjuna. Waktu itu saya
berumur 20 tahun, Dolly 15, sedang Totok 13 tahun. Terbukti bahwa mereka sudah
membaca apa yang menjadi bacaan di sekolah AMS, malah melebihinya. Di sekolah
lanjutan, pelajar tidak lagi mendapat pelajaran menyanyi. Tapi nyanyian Belanda
dari buku Kun je nog zingen masih
banyak yang ingat. Dolly memiliki buku Kun
je nog zingen, karena kita sering menyanyi bersama. Dari pelajaran bahasa
Jerman, saya hafal sajak-sajak Heidenroslein,
dan Die Lorelei. Dolly dan Totok
tidak saja mengenal sajak itu, malah dapat menyanyikannya pula. Maka saya
belajar lagunya dari Dolly. Saya hanya cerita tentang Dolly dan Totok, karena
pada waktu itu yang lainnya masih lebih kecil. Anak nomor tiga pada waktu kini
berumur 60 tahun. Ia adalah janda dari Johan Sjahruzah, dalam hidupnya Sekjen
Partai Sosialis Indonesia. Menurut cerita Nyonya Johan kepada saya, tidak ada
orang yang percaya bahwa ia tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hal itu
memang dapat dimengerti. Bagaimana orang bisa percaya, kalau berkenalan dengan
Ny. Johan Sjahruzah, seorang yang mengasyikkan. Bicaranya penuh humor. Dia
mengetahui beberapa bahasa asing. Menghafal sajak-sajak dalam berbagai bahasa.
Dan malah juga menyanyikannya? Saya dapat membayangkan betapa sulit untuk
dipercaya, bahwa seorang seperti Ny. Johan tidak pernah duduk di bangku
sekolah.
Pada suatu hari
Dolly menceritakan kepada saya, bahwa ia bertemu dengan seorang Belanda yang
memuji ayahnya. Orang tersebut adalah guru bahasa Belanda di sekolah lanjutan.
Dia berkata: “Ayah anda, bahasa Belandanya bagus sekali. Ia berbicara seperti
orang Belanda.” Dolly marah. Dan karena itu ia hanya menyahut: “O ja?” Saya
pada saat itu berfikir sejenak. Reaksi saya andaikata saya anak Haji Agus
Salim, adalah rasa bangga. Mengapa Dolly marah? Adakah perbedaan jiwa antara
Dolly yang tidak pernah mendapat pelajaran kolonial, dan saya? Saya menanyakan,
mengapa ia marah. Dolly menjawab, bahwa ayahnya tidak berbicara seperti orang
Belanda. Ayah berbicara seperti ayah. Dia bicara baik dan bagus. Tidak ada
perbedaan antara Dolly dan Belanda itu. Dolly menambahkan: “Siapa dia itu?
Begitu beraninya menilai ayah.”
Saya pernah
mengikuti Kongres Ahli Hukum di Batavia yang dihadiri oleh ahli hukum bangsa
Belanda dan Indonesia. Waktu seorang Indonesia ikut serta dalam pembicaraan ia
mulai dengan minta maaf, kalau nanti ia membuat kesalahan, karena bahasa
Belanda bahasa asing baginya. Ia seorang yang pandai. Sudah terkenal dan sudah
menulis beberapa buku dan karangan, yang mendapat penghargaan dari ahli hukum
Belanda. Bahasanya baik. Hannya lidahnya seorang Jawa, dan masih kentara. Haji
Agus Salim berbahasa asing tanpa “aksen.” Tapi benar apa yang dikatakan Dolly
bahwa ia tidak bicara seperti orang
Belanda. Pernah saya singgung masalah tersebut dalam percakapan dengan
Haji Agus Salim. Menurut pendapatnya minta maaf tidak perlu. Malah tidak baik.
Kita tidak dapat merubah lidah kita. Yang penting ialah bahwa kita tidak
melanggar aturan bahasanya. Dalam masyarakat waktu itu orang Belanda yang
dihinggapi penyakit meerderwaardeigheid hanya akan diperkuat penyakitnya.
Mungkinkah itu
yang dinamakan akibat pendidikan kolonial? Haji Agus Salim tidak setuju dengan
basa-basi semacam itu, yang hanya akan dipandang sebagai kelemahan oleh Belanda.
Tahun 1930 Haji
Agus Salim menghadiri Konferensi Buruh Internasional di Genewa sebagai
penasehat delegasi buruh Nederland. Dalam konferensi itu ia berpidato dalam
bahasa Inggeris yang mengagumkan, baik karena mutunya maupun cara
membacakannya. Kemudian ada seorang yang minta (mungkin menantang) supaya ia
lain kali mengadakan pidato dalam bahasa Perancis, yang dipakai juga dalam
konferensi itu. ketika datang giliran Haji Agus Salim, ia berpidato dalam
bahasa Perancis, dengan didahului keterangan, bahwa ia diminta memakai bahasa
Perancis. Permintaan itu dengan mudah ia penuhi, karena bahasa Perancis
baginya, sama asingnya seperti bahasa Inggeris. Bahasa dan isi pidato dalam
bahasa Perancis itu juga mendapat pujian. Setahu saya orang Belanda tidak suka mengucapkan
pujian, malah penghargaanpun tidak. Ketika kita berhubungan dengan orang asing
sesudah proklamasi, orang Amerika, Inggeris dan lain-lain maka tidak jarang
lebih-lebih orang Amerika, lekas sekali mengatakan kepada orang Indonesia: “You speak worderful English.” Pada hemat
saya hal yang demikian itu hanya basa-basi. Tapi sangat menonjol, bahwa orang
Belanda tidak mempunyai sikap demikian. Mereka terikat oleh perasaan, bahwa
bangsa Indonesia masih terbelakang.
Ada kalimat yang
terkenal dalam bahasa Belanda, yaitu kalimat Jan Pieterszoon Coen dari abad ke-
16: Daar is een gebied, waar een klein
land groot kan zijn. (Itulah suatu lingkungan, dimana negeri kecil mampu
berbuat besar). Yang dimaksudkan antara lain negeri kecil mampu menjajah negeri
besar. Tentang Haji Agus Salim memberi komentar yang menurut saya tepat sekali.
Benar apa yang dikatakan J.P. Coen tiga abad yang lalu, ujar Haji Agus Salim.
Tapi sesudah tiga abad Belanda masih tetap merasa kecil. Andai kata Belanda
tidak merasa kecil lagi, mungkin hubungan dengan Indonesia berlainan. Belanda
yang senantiasa merasa kecil meskipun mampu menguasai Indonesia yang besar,
merasa berbuat tidak sesuai dengan hati nuraninya. Saya menyatakan, barangkali
ada hikmahnya Belanda senantiasa memeras negara kecil. Kalau tidak, lebih sulit
melepaskan diri dari kolonialismenya.
Begitulah,
anak-anak Haji Agus Salim mendapat pendidikan dari orang tuanya sendiri. Dari
Dolly ke Totok, Jojet, Adik, Syauket, Islam dan Bibsy. Bibsy pernah tinggal di
Kobe ikut suaminya Sunharyo, Konsul RI Kobe. Dalam waktu singkat Bibsy
menguasai bahasa Jepang dan dapat bicara sangat lancar seperti wanita-wanita
Jepang sendiri. Ketika anak bungsu Haji Agus Salim mencapai umur sekolah,
Belanda sudah meninggalkan Indonesia, dalam mana menurut penilaian Haji Agus
Salim, sekolah-sekolah, Indonesia, meskipun masih diawasi Jepang sudah tidak
bersifat kolonial lagi. Ciddig masuk sekolah rakyat seperti anak-anak lainnya
tidak memanggil neef Roem kepada saya seperti
saudara-saudaranya tapi oom Roem, seperti
cucu-cucu Haji Agus Salim. Dalam rumah mereka berbahasa Belanda, kecuali dengan
anak-anak yang bersekolah Indonesia. Tapi anak-anak ini, karena setiap hari
mendengar bahasa Belanda dapat memahaminya juga.
Begitulah pelajaran
dan bahasa Belanda diselenggarakan dalam rumah Haji Agus Salim. Dapat dikatakan
ada kelemahannya. Anak-anaknya tidak dapat pelajaran eksata, aljabar, ilmu
hitung, logaritma, seperti saya di AMS bagian B. Di zaman itu dikatakan bahwa
aljabar membuat orang berfikir logis. Dalam pada itu dipercakapkan sehari-hari
orang tidak pernah menyinggung aljabar, seperti lain-lain. Dalam ilmu eksata
anak-anak Haji Agus Salim sedikit, atau tidak mendapat pelajaran. Sebaliknya
saya, yang dibangku sekolah bertahun-tahun mendapat pelajaran kimia, ilmu alam,
aljabar, logaritma, sebagai sarjana hukum sudah tidak mengingat semuanya dan
tidak pernah juga memerlukannya dalam pekerjaan sebagai advokat. Tanpa
mengetahui aljabar orang juga berfikir logis.
Pendidikan Haji Agus Salim sendiri
Haji Agus
Salim dilahirkan 8 Oktober 1884 di Kota Gedang Bukit Tinggi. Anak ke-4 dari
Sutan Moehamad Salim, Jaksa pada Pengadilan Negeri. Ketika ayahnya bekerja di
Riau sebagai Jaksa Kepala, Agus, begitulah nama kecilnya, mencapai umur
sekolah, dan karena kedudukan ayahnya ia diterima di Europes Largere School (sekolah
untuk anak-anak Belanda). Kepala sekolah melihat betapa cerdiknya anak Sutan
Salim. Orang Belanda ini berpendapat bahwa Agus, yang memperlihatkan
tanda-tanda akan menjadi orang pandai, harus diberi lingkungan serta makanan
yang tepat, agar bibit baik itu tidak terhambat di jalan. Karena itu ia minta
kepada keluarga Sutan Salim agar Agus tinggal di rumah kepala sekolah itu.
Sutan Salim berkeberatan anaknya dididik sepenuhnya oleh Belanda. Akan tetapi
dia ingin menghargai maksud baik kepala sekolah tersebut. Karena itu maka
ditemukan jalan tengah. Agus akan berada di rumah kepala sekolah di waktu
makan, pagi, siang dan malam, dan sejenak sesudah itu. Tapi seterusnya Agus
tinggal dengan orang tuanya. Dengan begitu maka Agus cukup mendapat bimbingan
terutama bahasa Belanda dan mendapat makanan Belanda. Menurut guru Belanda ini
makanan Belanda juga penting bagi perkembangan Agus seterusnya. Saya masih
ingat cerita Haji Agus Salim sendiri, waktu sang guru memberi contoh bagaimana
ia harus memoles roti dengan mentega. Jangan tipis-tipis tapi yang tebal.
Sesudah tamat Europese Lagere School ia meneruskan pelajarannya di Hogere Burgerschool (HBS) di Jakarta.
Dan diselesaikannya pada tahun 1898. Sesudah tamat HBS, ia bekerja dalam
lingkungan Pemerintah Belanda, yang terpenting di konsulat Belanda di Jedah
dari tahun 1906 sampai 1911. Di situlah ia belajar bahasa Arab serta mengenal
agama Islam lebih mendalam, antara lain dengan membaca buku-buku yang ada di Konsulat
tersebut. Tahun 1912 Haji Agus Salim kawin dengan gadis sekampungnya, yaitu
Zainatun Nahar binti Engku Almatsir. Tahun 1913 Dolly, anak pertama,
dilahirkan. Dia tidak pernah disekolahkan seperti anak-anak orang lain. Dan
sejak kecil dia berbicara bahasa Belanda dengan ayah dan ibunya.
Jadi pada saat itu
Haji Agus Salim sudah sampai kepada kesimpulan, bahwa jalan yang ia lalui
sendiri, yaitu mendapat didikan sekolah Belanda dari Lagere School sampai HBS serta bekerja sebagai pegawai Pemerintah
Belanda adalah jalan berlumpur. Dan ia tidak tega anaknya sendiri melalui jalan
yang sama. Teranglah bahwa keberatannya tidak ditujukan kepada bahasa Belanda.
Malah menurut pendapatnya bahasa Belanda pada waktu itu adalah sarana,
setidaknya bahasa yang pertama, untuk mendapat pendidikan dan pengetahuan yang
ingin diberikan kepada anak-anaknya.
Pendidikan nasional dan kolonial
Saya rasa bukan
hanya Haji Agus Salim yang memandang pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
mempunyai ciri yang tidak baik bagi bangsa sendiri. Lebih-lebih dalam usaha dan
perjuangan menjadi bangsa yang ingin jadi tuan di rumah sendiri. Orang-orang
seperti Ki Hajar Dewantara, Kiyai Dahlan, Engku Syafe’i di Kayu Tanam
berpendirian demikian. Sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda
mempunyai maksud mencetak tenaga-tenaga yang diperlukan masyarakat yang
dikuasai Belanda. Masyarakat kolonial memerlukan karyawan kasar, rendah,
menengah, dan atas, sampai insinyur. Juga juru tulis, dan birokrat, yang
bekerja di kantor, di bawah pimpinan Belanda. Kecuali kecakapan teknis, mereka
itu dibekali dengan mentalitas untuk dapat menjalankan tujuan pemerintah
kolonial.
Haji Agus Salim
mulai dengan anak-anaknya sendiri. Waktu Muhammadiyah menerima subsidi dari
pemerintah Belanda untuk sekolah-sekolahnya dengan menerima syarat dan
pengawasan, maka dapat dimengerti, mengapa Sarekat Islam mengambil keputusan
yang sangat keras, yaitu mengadakan “partai disiplin.” Keanggotaan Sarekat Islam
tidak dapat dirangkap dengan Muhammadiyah.
Haji Agus Salim
mulai mempelajari pergerakan Sarekat Islam dan pemimpinnya, Cokroaminoto,
ketika ia mendengar dari seorang kenalannya, yaitu Datuk Tumenggung, bahwa
Sarekat Islam sedang memikirkan tindakan yang melanggar hukum untuk mencapai
tujuannya. Hasil penyelidikan itu ialah, bahwa yang dituduhkan itu tidak benar.
Malah ia mengenal asas dan tujuan Sarekat Islam dan Cokroaminoto. Ia yakin,
bahwa tujuan Sarekat Islam baik serta dipimpin oleh orang yang tepat pula. Maka
ia menjadi anggota Sarekat Islam, dan menjadi pemimpin di samping Cokroaminoto.
Sejarah pergerakan Indonesia mengenal, bahwa semula Sarekat Islam satu-satunya
pergerakan rakyat yang berpolitik. Sampai Cokroaminoto meninggal dunia di tahun
1934, Haji Agus Salim menjadi pemimpin yang mendampinginya. Untuk memakai
istilah yang kemudian hari dipakai, maka Cokroaminoto dan Haji Agus Salim
adalah dwitunggal, sampai saat Cokroaminoto meninggal dunia.
Meskipun banyak
golongan yang menuduh, terutama Belanda, bahwa Sarekat Islam partai yang
mempergunakan kekerasan, Sarekat Islam tetap menyatakan akan menempuh jalan
hukum. Hal itu terbukti dalam Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam di
Bandung tahun 1916. Waktu Dewan Rakyat dibentuk, berdasarkan “janji-janji bulan
November 1918” Cokroaminoto menerima pengangkatan sebagai anggota. Dia
digantikan Haji Agus Salim di tahun 1921. Selama Haji Agus Salim menjadi
anggota Volksraad, maka ia terkenal
sebagai pembicara ulung dalam bahasa Belanda. Seorang ahli debat yang lincah,
dan tajam dalam kritik. Kalau ada orang yang “menginterupsi,” maka segera ia
menjawabnya. Dan kadang-kadang menjadikan lawannya sasaran tertawaan. Karena
itu jarang orang berani berdebat dengan Haji Agus Salim. Pada tahun 1923,
setelah Cokroaminoto mempunyai pengalaman tiga tahun sebagai anggota Dewan
Rakyat, begitu juga Haji Agus Salim, kedua pemimpin itu mendapat kesimpulan,
bahwa peranan Dewan Rakyat tidak sesuai dengan “janji-janji bulan November,”
bahwa Dewan Rakyat tidak lebih dari “komidi ngomong.” Maka Sarekat Islam
memutuskan menarik diri dari Dewan Rakyat. Malah berkesimpulan, bahwa ikut
serta dalam Dewan Rakyat hanya memperkuat pemerintah kolonial dan menghambat
usaha menjadi bangsa merdeka. Bahwa anggota Dewan Rakyat mempunyai penghasilan
cukup, tidak mempengangaruhi sedikitpun alam pikiran dan pertimbangan kedua
pemimpin tersebut. Politik itu dinamakan “non kooperasi”, yang dianjurkan juga
oleh Perhimpunan Indonesia di Nederland. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan Ir. Sukarno di tahun 1927,
juga berpolitik “non-kooperasi.”
Melepaskan diri dari cekaman sugesti superioritas
Barat
Sejak anak pertama
ia sudah memberinya pendidikan sendiri. Ini menunjukkan bahwa ia sudah lama
memikirkan hal itu. Ia tidak mau anak-anaknya melalui jalan “berlumpur” yang ia
sudah lalui sendiri. Pada kongres pertama Jong
Islamieten Bond ia mengucapkan
pidato yang menunjukkan arah ke mana ia memberi pendidikan kepada pemuda. Pada
hemat saya itu pula dasar pikirannya sebagai pemimpin rakyat yang ikut
dituntunya ke arah penghidupan sendiri sebagai bangsa merdeka. Rakyat yang
sudah mempunyai sesuatu yang patut dijadikan pedoman, tapi belum cukup
disadarinya.
Pada tahun 1925
Samsuridjal mendirikan perkumpulan pemuda Islam, yang diberi nama dalam bahasa
Belanda, sesuai dengan corak zamannya. Inisiatif ini adalah dari Sam sendiri.
Waktu Sam menujukan harapannya kepada Haji Agus Salim untuk memperoleh
bimbingan, hal itu disambut sebagai terlaksananya hartewens, idaman hati. Ada orang yang menuduh Sam dan Haji Salim,
sebagai penyebab perpecahan di kalangan pemuda. Tuduhan ini perlu dijawab.
Jangan anggap sepi fikiran orang, sekalipun salah. Ada dua hal yang baru dalam Jong Islamieten Bond. Pertama pemuda
Islam tidak berorganisasi dalam garis kedaerahan. Anggota-anggota JIB menamakan
dirinya nasionalis Indonesia. Waktu itu masih ada yang menolak hal semacam ini.
Kedua, anggota JIB akan mempelajari agama Islam dan melaksanakan ajarannya
dengan kesadaran bahwa Islam milik nenek moyang dan melalaui pelajaran Islam
mencapai cita-cita kehidupan bangsa Indonesia yang jadi tuan di rumah sendiri.
Haji Agus Salim di
kongres JIB pertama di Yogya pada hari Natal 1926, antara lain berkata sebagai
berikut:
“Apakah tidak ada
hubungan antara dia dan pendidikan Jong
Islamieten Bond?”
“Tidak ada melainkan pendirian JIB
merupakan terlaksananya idaman hati, yang menyebabkan, bahwa dia sewaktu dan
sesudah perserikatan berdiri memberikan bantuan dan dukungan yang diharapkan
daripadanya. Hal itu ia jalankan semata-mata sebagai kewajiban orang Islam,
yang ia juga sanggup memberikan seterusnya.”
“Ketahuilah,” kata
Haji Agus Salim seterusnya, “masa muda saya sama saja dengan masa muda anda.
Meskipun dilahirkan dari keluarga yang beragama, dan dibesarkan dengan mendapat
didikan agama, dalam waktu singkat saya kehilangan kepercayaan. Kepandaian
sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggungjawab
sungguh-sungguh, memudahkan pergantian itu. Dan keadaan itu akan berlangsung
selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah.”
“Anda sudah
mempersatukan diri untuk mempelajari agama Islam. Menurut keyakinan saya, Islam
tahan terhadap penyelidikan yang kritis, maka mengharapkan diselidiki yang
sungguh-sungguh....” “Islam memberikan pengertian yang terang tentang
penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia
sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan yang
mungkin dicapai.”
“Ada sebab lain
yang membuat saya sangat bersyukur dengan lahirnya Jong Islamieten Bond. Pendirian itu, terlepas dari hasil-hasil yang
diharapkan sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan dari pendukungnya.” Akhirnya
berdiri sebuah organisasi yang meliputi mereka yang masih belajar dan mereka
yang sudah selesai belajar, tapi masih termasuk golongan muda, yang
berorientasi kepada kepribadian dan jiwa sendiri, yang dimiliki rakyat. Inilah
sesuatu yang luar biasa.
Di bawah pengaruh
kekuasaan Barat dan pendidikan Barat rakyat kita, terutama yang menamakan
dirinya “intelektuil” tercekam di bawah sugesti superioritas Barat. Juga dalam
gerakan perlawanannya dan usaha melepaskan diri dari dominasi Barat, kita
bergerak menurut garis yang diberikan orang Barat dan di bawah pimpinan
langsung atau tidak langsung orang Barat. Dan sampai kini hampir semata-mata
orang Barat yang memegang pimpinan, sedang kawan-kawan bangsa sendiri hanya
berfungsi sebagai pelaku dalam melaksanakan “demonstrasi” di bawah rezim Barat.
Gamelan, wayang,
tarian asli, pakaian adat sebenarnya baru menjadi populer, berkat “penghargaan”
dan “kekaguman” orang Barat, malah dapat dikatakan menjadi populer oleh
propaganda orang Barat. Lebih-lebih dalam bidang busana, pengaruh Barat sangat
menonjol. Ada suatu masa, di mana orang-orang pribumi dilarang memakai pakaian
Barat. Pada waktu itu “pakaian jongos,” yaitu baju, pantolan dan ikat kepala
dipakai di kalangan priyayi, dan menjadi pakaian terhormat. Pakaian itu
dipandang sebagai pakaian yang menunjukkan peradaban tinggi.
Waktu larangan
memakai “pakaian Eropa,” tidak ketat lagi, dengan cepat ikat kepala diganti
dengan topi vilt atau merang (strooen viltenhoed). Sampai datang
saatnya orang Barat memuji-muji “keindahan pakaian nasional.” Maka kita melihat
kesibukan ke arah sebaliknya. Sampai-sampai jas tutup yang tadinya dipuji karena
praktis dikalahkan oleh baju sikep Jawa asli.
Adalah benar,
bahwa kain panjang serta iket dan sikep pakaian nasional Jawa. Tapi benar juga
bahwa sikap orang Barat mengembalikan pakaian itu.
Untuk kembali
kepada titik tolak saya, dalam segala pergerakan golongan intelektuil kita
melihat bahwa sesuatu gerakan baru hidup jika ia menikmati simpati dan
perhatian dari orang Barat, malah di bawah propaganda dan kerjasama dengan
orang Barat.
Yang demikian itu
menunjukkan tidak adanya hormat kepada diri sendiri, menunjukkan kekalahan
total sampai kepada jiwa kita sendiri. Kurang hormat kepada diri sendiri memang
gejala umum di kalangan rakyat kita, akibat dari penjajahan dan tekanan yang
sudah berlangsung beberapa abad, malah lebih lama dari penjajahan Belanda. Hanya
orang asing adalah “tuan” bagi kita. Kita menyebut mereka “tuan” atau meneer. Mereka menyebut diri sendiri
tidak pernah kita sebut “tuan” atau meneer.
Malah ayah kita kita sendiri tidak berani dipanggil “tuan” atau meneer. Nah, pendirian Jong Islamieten Bond adalah kembali dari
jalan penghinaan itu. Di sini dengan sadar kita menunjukkan pandangan kepada
yang semata-mata menjadi milik rakyat kita sendiri, untuk meningkatkan rakyat
sendiri, untuk kita hormati sendiri, untuk meningkatkan ia berhadapan dengan
semua yang asing, tidak mungkin. Agama Islam tidak akan dipandang lagi sebagai
pusaka yang menghalang-halangi kemajuan, tidak lagi sebagai lari, karena kita
takut ancaman hari akhirat. Tapi Islam dijunjung tinggi sebagai panji yang kita
banggakan, karena ajaran-ajarannya sudah 13 abad tidak saja tahan uji terhadap
penilikan yang jujur, menang kalau dibandingkan dengan agama apapun, akan
tetapi juga tahan terhadap perlakuan yang tidak wajar dari ilmu pengetahuan
Barat, malah karena ilmu pengetahuan Barat dibenarkan.”
Membuka tabir
Pada kongres JIB
di Yogya di tahun 1925, para peserta laki-laki dan perempuan duduknya terpisah
oleh tabir (kain putih). Peserta perempuan tempatnya di bagian belakang dan
hanya mendengar suara orang laki-laki atau sebaliknya. Pengaturan demikian
mungkin dipengaruhi oleh kongres-kongres perkumpulan Islam lain, yang sering
diadakan di Yogya.
Pada kongres JIB
kedua di Solo akhir 1927, Haji Agus Salim dengan persetujuan Pengurus Besar JIB
membuka tabir yang memisahkan tempat duduk kaum laki-laki dan perempuan. Sesudah
itu Haji Agus Salim memberikan pidato yang berjudul De sluiering en afzondering der
vrouw “Tentang pemakaian kudung dan pemisahan perempuan.”
Menurut Haji Agus
Salim ada kecendrungan di kalangan JIB untuk mencari “yang Islam itu,”
sebaliknya dari yang biasa di kalangan terpelajar. Hal ini tentu saja keliru.
“Salah satu
kecondongan ialah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan
disimpan di pojok dengan ditutup sebuah kain putih (tabir). Meniru-niru bangsa
Arab ini, lebih-lebih menonjol karena orang perempuan datang bebas dengan
berkendaraan umum dan terbuka, tanpa kepala ditutup, seperti pada
kesempatan-kesempatan lain, di mana orang perempuan tidak dihindarkan dari
penglihatan orang laki-laki.”
Selanjutnya Haji
Agus Salim menerangkan, bahwa ia dengan senang hati memberi keterangan tentang
tindakan, yang baru diambil itu. “Jong
Islamieten Bond bertujuan mempelajari Islam dengan sebaik-baiknya dan jika
sudah yakin melaksanakan perintahnya. Perlu sekali anggota-anggota JIB
menyadari yang benar-benar menjadi perintah Tuhan, sebagaimana sudah
dicontohkan oleh Nabi. Tidak termasuk di dalamnya, bahwa orang perempuan harus
dipisahkan, (afzondering) apalagi
harus disendirikan (afsluiting). Bahwa
memisahkan orang perempuan itu adat kebiasaan Arab, kenyataan itu tidak
menyebabkan pemisahan orang perempuan menjadi perintah Islam. Adat kebiasaan
itu mungkin termasuk kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen, menurut
kepercayaan mana kedudukan perempuan rendah, tapi terang tidak sesuai dengan
ajaran dan semangat Islam, yang dengan Qur’annya mempelopori emansipasi
perempuan.”
“Apakah perintah Qur’an?” ujar Haji Agus
Salim. Hal itu terdapat dalam Surat AnNur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31
untuk perempuan. Surat An-Nur ayat 30: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara malu mereka;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alla Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Ayat 31: “Katakanlah kepada orang
perempuan yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
malunya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya.” Peraturannya sudah jelas-jelas mengenai keluarnya orang
perempuan di hadapan umum, di hadapan orang laki-laki dan perempuan, di luar
batas-batas keluarga dan mereka yang dekat, dalam lingkungan mana orang dapat
bergaul dengan akrab. Adanya perintah ini berarti tidak adanya keharusan orang
perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.”
Tentang tindakan
Haji Agus Salim ini Ir. Sukarno dalam salah satu “Surat-surat dari Endeh”
menulis: “Bagi saya tabir itu simbul perbudakan, yang tidak dikehendaki oleh
Islam. Saya ingat bahwa dulu H.A. Salim pernah merobek tabir di salah satu rapat umum – ia merobek
terang-terangan! Di dalam pandangan saya, perbuatan beliau itu adalah satu
perbuatan yang lebih besar misalnya daripada menolong pahlawan dari air laut
yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sekalipun. Sebab perbuatan
demikian itu minta keberanian moril yang besar.” (Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama, halaman 330). Kata merobek
yang dipakai Ir. Sukarno, jangan diartikan secara harfiah, melainkan sesuai
dengan gayanya.
Haji Agus Salim
di zaman Jepang
Di zaman Jepang
Haji Agus Salim tidak memainkan peranan yang menonjol. Ia bekerja pada suatu
kantor Jepang sebagai penasehat, untuk membantu menemukan kata-kata istilah Indonesia yang tepat dalam usaha
menterjemahkan buku-buku bahasa Jepang. Di bawah pimpinan sala seorang anaknya,
Islam Islam, keluarga tersebut berusaha hidup sebagai penghasil dan pedagang
arang.
Haji Agus Salim sesudah proklamasi
Terutama sesudah
pasukan Inggris mendarat, yang membawa penasehat-penasehat orang Belanda, ia
menjadi orang yang banyak dicari dan banyak dimintai pendapat. Waktu orang
Belanda sebagai bagian atau penasehat pasukan Sekutu Inggeris lebih banyak
datang, baik orang Belanda maupun Inggeris senang mendatangi Haji Agus Salim. Dengan
dia mereka dapat bertukar fikiran yang memadai tingkat pengetahuannya dan
pengalamannya. Salah seorang Belanda yang sudah mengenal Haji Agus Salim
sebelum perang dengan maksud agar Haji Agus Salim terkejut mengatakan: “Zeg Salim, bagaimana itu, adik anda
masuk agama Katolik.” Haji Agus Salim mempunyai adik, Khalid Salim, yang selama
lima belas tahun meringkuk di Digul, karena ia seorang atau dituduh komunis. Khalid
Salim sekarang bekerja di KBRI bagian penerangann di Den Haag. Dengan tenang
Haji Agus Salim menjawab: “Gode zij dank,
Alhamdulilah. Ia sekarang lebih dekat dengan saya.” Orang Belanda itu
terkejut dan bertanya: “Mengapa anda berterima kasih kepada Tuhan?” Jawab Haji
Agus Salim, “Ia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya
pada Tuhan.”
Dalam pemerintahan
Republik Indonesia Haji Agus Salim beberapa kali duduk dalam kabinet: Sebagai
Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir
III (1947), Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir Sjarifudin (1947), Menteri Luar
Negeri Kabinet Hatta (1948-1949).
Ada suatu tugas
yang dikerjakannya dengan berhasil, yaitu mendapatkan pengakuan dari
negara-negara Arab. Ia bertolak ke Timur Tengah sebagai Menteri Muda Luar
Negeri akhir tahun 1946. Di Kairo ia mendapat rintangan Duta Nederland yang
menyatakan, bahwa usaha Haji Agus Salim melanggar perjanjian Linggarjati. Jelas
bahwa itu tafsiran Duta Belanda atas instruksi Pemerintah Nederland. Perjanjian
persahabatan pertama yang ditandatangani Republik dengan Mesir diselenggarakan
oleh Haji Agus Salim, dan ditandatangani di Mesir pada tanggal 10 Juni 1946. Kemudian,
waktu Kabinet Sjahrir diganti dengan Kabinet Amir Sjarifudin, Haji Agus Salim
masih berada di Mesir. Ia muncul sebagai Menteri Luar Negeri.
Duta Belanda pada
waktu itu, yang tidak berani menemui Haji Agus Salim menerima pesan, andaikata
usahanya melanggar persetujuan Linggarjati, maka ia tidak akan menjadi Menteri
Luar Negeri dalam kabinet baru. Pengangkatan sebagai Menteri Luar Negeri
berarti Pemerintah RI membenarkan usahanya malah menaruh kepercayaan kepadanya.
Haji Agus Salim
tidak langsung ikut serta dalam perundingan akan tetapi dalam hubungan dengan
anggota delegasi dari pihak Belanda maupun Inggeris ia sebagai lobbyst mendapat penghargaan.
Ia menyertai Sutan
Sjahrir, ketika Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB diterima sebagai “pihak
dalam sengketa” dan berhak bersuara di sidang-sidang Dewan Keamanan.
Oleh orang-orang
Inggeris yang datang di Indonesia, untuk membantu Nederland dan Republik
Indonesia mencapai penyelesaian dengan damai, mula-mula di bawah pimpinan Lord
Interchapel dan kemudian Lord Killearn, Haji Agus Salim banyak dihubunginya dan
mampu memberi pengertian tentang sikap dan keadaan di Indonesia. Bagaimana anggapan
kalangan Inggeris tentang Haji Agus Salim terbukti dari keterangan seorang
Belanda yang akan disebut di bawah nanti.
Juga dengan
kalangan Belanda Haji Agus Salim banyak mengadakan percakapan atau hubungan,
yang meskipun tidak resmi berarti sekali bagi kesudahan perundingan. Salah satu
usaha pihak Belanda ialah memelihara kepentingannya di Indonesia sebanyak
mungkin. Hal itu berlawanan dengan sikap Republik yang berslogan “Merdeka 100%”.
Karena itu pihak Belanda seringkali menunjukkan, bahwa dalam dunia sesudah
Perang Dunia II, tidak ada lagi negara yang merdeka 100%. Negara-negara merdeka
yang sudah tua menerima macam-macam ikatan.
Percakapan semacam
itu berlangsung juga antara Prof. Schermerhorn dan Haji Agus Salim yang
tercatat dalam Het dagboek van
Schermerhorn (halaman 11): “Atas keterangan saya, bahwa ada benang yang
menelusuri sejarah, yang membuat negara nasional sulit mencapai berbagai-bagai
bentuk (termasuk merdeka 100%, penulis),
sehingga kita di sini, di Indonesia, menentang arus, ia menjawab, bahwa akhirnya
tiap bangsa sedap atau tidak, baik atau buruk, ingin memperoleh pengalaman dari
kemerdekaannya. Ia menunjukkan contoh-contoh indah untuk itu.” Seterusnya Prof.
Schermerhorn memberikan penilaiannya tentang Haji Agus Salim: “Ia seorang yang
sangat menarik, sedang kita melihat juga dengan jelas sekali, betapa ia
dihormati di kalangan Inggris. Ini berlaku juga bagi orang-orang Indonesia di
luar kau republik.”
Siapa saja yang
bercakap-cakap dengan Haji Agus Salim mengalami, bahwa lambat laun Haji Agus Salim
yang bicara sendiri, sedang yang berhadapan dengannya mendengarkan dengan
tekun. Demikian juga pengalaman Prof. Schermerhorn: “Saya sendiri bicara lama
dengan Haji Agus Salim seorang yang sangat luar biasa. Tetapi tidak terlalu
sulit bicara dengannya, karena ia sama sekali tidak keberatan bicara sendiri.” Meskipun
begitu atau barangkali karena itu Prof. Schermerhorn ingin bicara lagi dengan
Haji Agus Salim. Keinginan itu ia tuliskan dalam halaman 43-44 dari buku
hariannya: “Senen malam, 14 Oktober 1946, jam 21.15. lusa, yaitu Rabu malam
akan diadakan jamuan makan besar di istana, di mana dari tiap-tiap pihak akan
hadir delapan orang. Hari Kamis kita akan makan bersama dengan pihak Indonesia
di kapal muatan Rotterdamsche Lloyd,
Overijssel, yang berlabuh di sini. Pada dua kesempatan itu kita mempunyai kemungkinan mengadakan kontak
pribadi tidak resmi mengenai berbagai-bagai persoalan. Saya akan memelihara
hubungan dengan Sjahrir dan barang kali juga dengan beberapa orang dari
lingkungannya. Dalam hubungan ini khusus saya ingat kepada Salim, yang suatu
hari akan saya undang di istana. Orang tua yang sangat pandai ini seorang
jenius dalam bidang bahasa, mampu bicara dan menulis dengan sempurna dalam
paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama
hidupnya melarat. Pada waktu ini ia jelas bermain ke arah kita. Akhirnya ia
Menteri Muda Luar Negeri dan karena itu orang kedua di samping Sjahrir dalam
perundingan. Barangkali ia yang paling pandai dari seluruh mereka itu.”
Haji Agus Salim
pernah juga diasingkan oleh Pemerintah Belanda, yaitu bersama dengan Presiden
Sukarno dan Sjahrir ke Brastagi dan kemudian dipindahkan ke Prapat, sesudah
pastikan pasukan Belanda menduduki Yogya, 20 Desember 1948.
Sukarno dan Haji
Agus Salim kemudian dipindahkan ke Pulau Bangka dikumpulkan dengan Hatta dan
kawan-kawan yang sudah berada di sana. Mereka kembali ke Yogya, waktu
Pemerintah Republik Indonesia dipulihkan, 6 Juli 1949.
Beberapa orang
pengikutnya pernah mendengar pernyataannya, ia sangat bersyukur kepada Allah
Yang Maha Murah serta Kasih, bahwa ia mengalami Republik Indonesia, yang
berdaulat dan merdeka. Ia meninggal dunia tanggal 4 November 1954.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar