Sabtu, 28 Mei 2016

Ada Apa Dengan Ibra?



Pada 1913 Ibrahim menerima gelar Datuk Tan Malaka dalam adat Minang. Pesta penobatan digelar sebagai penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi sekaligus pesta perpisahan Ibrahim yang hendak berangkat merantau melanjutkan sekolah guru di Haarlem. Sinah, ibu Ibrahim padahal juga telah menyiapkan jodoh untuk perkawinan Ibrahim, tapi Ibrahim menolaknya.
Penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya karena telah ada gadis di hatinya yaitu Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur – guru bahasa Melayu di Kweek yang membantu Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe pada 1901.
Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool 1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16 orang. Syarifah menjadi ‘kembang’ karena satu-satunya perempuan di sekolah, dan Ibrahim satu dari tiga siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan halangan bagi sang Datuk untuk melupakan Syarifah. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. “Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu kata Syarifah kepada Harry A. Poeze sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan dimana keanehan orang yang menaksirnya itu.
Pada 1916 Syarifah kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir. Menurut anekdot di kalangan keluarga dan sejarawan, Tan Malaka menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya.   
Pada 1919 Tan Malaka pulang dari Belanda, tetua adat Pandan Gadang “melelang”-nya dalam upacara perjodohan, Tan menolak banyak pinangan. Dia mampir sebentar di kampung halaman untuk berpamitan hendak bekerja menjadi guru di perusahaan perkebunan di Deli. Setelah bekerja selama dua tahun dan mengalami kematian spiritual di Deli, Tan Malaka memutuskan pindah ke Semarang untuk menyongsong hidup dan kematiannya yang disebut Poeze “lebih dahsyat ketimbang fiksi”.
Pada 1924 Wiranatakoesoema menceraikan Syarifah karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Syarifah menjadi janda dengan tiga anak. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Tan mendatangi Syarifah dan meminang Syarifah yang sudah menjadi “mamah muda”. Tapi lagi-lagi cinta  Tan Malaka ditolak. Mungkin saja Tan Malaka  kala itu melihat sosok Syarifah yang merupakan mamah muda malah tampak lebih menarik dibandingkan waktu sama-sama belajar di Bukittinggi layaknya Dian Sastro yang sekarang, Mamah muda beranak dua dibandingkan Cinta yang gadis SMA. Dian tampak jauh lebih matang, lebih utuh sebagai seorang ibu dan percaya diri.
Sesudah Proklamasi 1945, tersiar Tan Malaka punya hubungan serius dengan Paramitha Rahayu Abdurrachman yang berusia 25 tahun yang merupakan keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Umur mereka kala itu terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, Paramita yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan.
Paramita ‘Jo’ Abdurrachman memperkenalkan diri kepada Tan Malaka sebagai tetangganya yang tinggal di halaman rumah Soebardjo. Sesudah Tan Malaka pergi dari sana pun ia masih bertemu dengannya berkali-kali, dan Paramita yang mempunyai perasaan kasih memberi lebih banyak pengertian kepadanya. Jo bercakap-cakap lama dengan Tan Malaka, dan mendapat kesempatan untuk mengenal lebih baik sosok misterius dan tokoh sejarah ini, pada bulan Agustus dan September 1945 yang revolusioner dan menegangkan. Menurut Paramita, Tan Malaka seorang yang jujur dan dalam hal tertentu naif. Tidak banyak orang yang dikenalnya. Tapi di antara mereka yang dikenalnya itu ia menaruh kepercayaan yang sangat besar. Sementara itu Tan Malaka melihat mereka, yang dikenalnya dari sejak masa lalu pun, seakan-akan ide-ide mereka masih tidak berubah.
Kehidupannya selama bertahun-tahun sebagai orang buangan telah memberi cap yang mendalam baginya. Ia tidak bisa membebaskan diri dari perasaan selalu dibuntuti. Setiap kali melihat orang yang belum dikenalnya, reaksinya pertama ialah melarikan diri atau menghilang. Terhadap orang-orang yang tidak dikenal ia hanya mau berkenalan melalui orang yang telah dikenalnya. Karena sudah terbiasa hidup sebagai pelarian politik, ia tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari kehati-hatian yang berlebihan – yang sudah menjadi kompleks trauma. Kecurigaan sangat menjadi kendala bagi fungsi politik dan kemasyarakatannya, dan membawa orang-orang yang sehaluan pada keadaan putus asa.
“Ia seorang yang pesimistis, fatalistis – menjauhkan diri, tidak lagi bisa berteman...Ia tidak bisa lagi hidup lumrah menuruti kehidupan yang teratur. Sungguh sangat tragis. Ia terlalu cepat curiga terhadap orang baru siapa saja. Sangat sulit bagi para pengikutnya yang masih muda. Mereka tidak boleh ke sana, tidak boleh ke sini. Suatu kompleks ketakutan. Ia memandang kejadian-kejadian yang sangat wajar sebagai penghianatan”
Untuk kehidupan yang wajar ia tidak lagi mempunyai syarat. Ia tidak mempunyai sesuatu apa pun selain pakaian, yang merupakan pemberian dari kawan-kawan taruhan dan cara hidupnya dipengaruhi sama sekali oleh cita-cita politiknya: pembebasan rakyat Indonesia. Ia tolak segala kemewahan kesenangan yang akan merugikan cita-citanya, atau menyebabkan menyimpang dari cita-cita itu. maka ia mencela Jo makan di restoran dan bahkan juga menolak makan Soebardjo yang secara Belanda. Cintanya pada musik tidak berkuran, dan bersama Jo – yang bisa bermain musik piano sangat bagus – serta Soebardjo – yang violis berpendidikan – mereka sering berbincang tentangnya. Tan Malaka meninggalkan hobi bermain musik, karena harus mengorbankan tugas politiknya. Namun demikian, ia begitu senang mendengarkan permainan Jo, terutama untuk Schubert. Tapi ketika Jo berhasrat untuk menempuh karir di bidang musik, Tan Malaka tidak menyetujuinya. Tan mengutip perkataan Napoleon: “Musik akan menuntut korban cita-cita revolusioner”, begitulah ia menanggapi ambisi Jo dan karenanya mereka berdua tidak sejalan. Jo harus mengambil pilihan. Bagi Jo ikatannya yang kuat dengan Tan Malaka berarti penyerahan sebagian besar kepribadiannya sendiri. Tan Malaka menuntut kepasrahan tanpa syarat. Tan Malaka tidak hanya melihat Jo sebagai individu, tetapi sebagai personifikasi dari perempuan Indonesia. Berkali-kali Tan Malaka minta kepada Jo agar berteladan kepada Rosa Luxemburg atau Henriette Roland Holst. Tan Malaka sendiri seorang yang ‘tangkas, brilian, tajam, terbuka, dan sama sekali Barat’, demikian menurut Paramita
Situasi politik membuat Tan harus meninggalkan tumpangannya di paviliun rumah Soebardjo di Cikini. Hubungan Tan dan Paramita pun retak. Kata Paramita kepada Poeze, “Tan Malaka orang yang hidup tak normal. Dia kelewat besar buat saya. Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.”
Ironisnya, ibu Paramita tak lain teman karib Syarifah Nawawi. Minarsih Soedarpo Wiranatakoesoeman, anak bungsu Syarifah, dengan Paramita sama-sama aktif di Palang Merah Indonesia. Minarsih mengatakan “Ibu saya cuma bilang kenal Tan sewaktu di Kweekschool.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar