Pada 1913 Ibrahim
menerima gelar Datuk Tan Malaka dalam adat Minang. Pesta penobatan digelar
sebagai penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di
Bukittinggi sekaligus pesta perpisahan Ibrahim yang hendak berangkat merantau
melanjutkan sekolah guru di Haarlem. Sinah, ibu Ibrahim padahal juga telah
menyiapkan jodoh untuk perkawinan Ibrahim, tapi Ibrahim menolaknya.
Penolakan Ibrahim
terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya karena telah ada gadis di hatinya
yaitu Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur – guru bahasa Melayu di
Kweek yang membantu Ophuijsen menyusun Kitab
Logat Melajoe pada 1901.
Syarifah adalah
perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di
sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool
1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka
16 orang. Syarifah menjadi ‘kembang’ karena satu-satunya perempuan di sekolah,
dan Ibrahim satu dari tiga siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah
pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan halangan bagi sang Datuk untuk melupakan
Syarifah. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi
sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk
sebelah tangan.
Syarifah tak
pernah sekali pun membalas surat-surat itu. “Tan Malaka? Hmm, dia seorang
pemuda yang aneh,” begitu kata Syarifah kepada Harry A. Poeze sejarawan Belanda
yang menulis biografi Tan Malaka sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak
menjelaskan dimana keanehan orang yang menaksirnya itu.
Pada 1916 Syarifah
kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah
punya lima anak dari dua selir. Menurut anekdot di kalangan keluarga dan
sejarawan, Tan Malaka menjadi Marxis
karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi antiborjuis dan feodal
untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya.
Pada 1919 Tan
Malaka pulang dari Belanda, tetua adat Pandan Gadang “melelang”-nya dalam
upacara perjodohan, Tan menolak banyak pinangan. Dia mampir sebentar di kampung
halaman untuk berpamitan hendak bekerja menjadi guru di perusahaan perkebunan
di Deli. Setelah bekerja selama dua tahun dan mengalami kematian spiritual di
Deli, Tan Malaka memutuskan pindah ke Semarang untuk menyongsong hidup dan
kematiannya yang disebut Poeze “lebih dahsyat ketimbang fiksi”.
Pada 1924
Wiranatakoesoema menceraikan Syarifah karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa
mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Syarifah menjadi janda dengan tiga
anak. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Tan mendatangi Syarifah dan meminang
Syarifah yang sudah menjadi “mamah muda”. Tapi lagi-lagi cinta Tan Malaka ditolak. Mungkin saja Tan
Malaka kala itu melihat sosok Syarifah
yang merupakan mamah muda malah tampak lebih menarik dibandingkan waktu
sama-sama belajar di Bukittinggi layaknya Dian Sastro yang sekarang, Mamah muda
beranak dua dibandingkan Cinta yang gadis SMA. Dian tampak jauh lebih matang,
lebih utuh sebagai seorang ibu dan percaya diri.
Sesudah Proklamasi
1945, tersiar Tan Malaka punya hubungan serius dengan Paramitha Rahayu
Abdurrachman yang berusia 25 tahun yang merupakan keponakan Menteri Luar Negeri
Ahmad Soebardjo. Umur mereka kala itu terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang
menemui Paramita pada 1980, Paramita yang tak menikah hingga meninggal pada 1986
itu mengaku mencintai Tan.
Paramita ‘Jo’
Abdurrachman memperkenalkan diri kepada Tan Malaka sebagai tetangganya yang
tinggal di halaman rumah Soebardjo. Sesudah Tan Malaka pergi dari sana pun ia
masih bertemu dengannya berkali-kali, dan Paramita yang mempunyai perasaan
kasih memberi lebih banyak pengertian kepadanya. Jo bercakap-cakap lama dengan
Tan Malaka, dan mendapat kesempatan untuk mengenal lebih baik sosok misterius
dan tokoh sejarah ini, pada bulan Agustus dan September 1945 yang revolusioner
dan menegangkan. Menurut Paramita, Tan Malaka seorang yang jujur dan dalam hal
tertentu naif. Tidak banyak orang yang dikenalnya. Tapi di antara mereka yang
dikenalnya itu ia menaruh kepercayaan yang sangat besar. Sementara itu Tan
Malaka melihat mereka, yang dikenalnya dari sejak masa lalu pun, seakan-akan
ide-ide mereka masih tidak berubah.
Kehidupannya
selama bertahun-tahun sebagai orang buangan telah memberi cap yang mendalam
baginya. Ia tidak bisa membebaskan diri dari perasaan selalu dibuntuti. Setiap
kali melihat orang yang belum dikenalnya, reaksinya pertama ialah melarikan
diri atau menghilang. Terhadap orang-orang yang tidak dikenal ia hanya mau
berkenalan melalui orang yang telah dikenalnya. Karena sudah terbiasa hidup
sebagai pelarian politik, ia tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari
kehati-hatian yang berlebihan – yang sudah menjadi kompleks trauma. Kecurigaan
sangat menjadi kendala bagi fungsi politik dan kemasyarakatannya, dan membawa
orang-orang yang sehaluan pada keadaan putus asa.
“Ia seorang yang
pesimistis, fatalistis – menjauhkan diri, tidak lagi bisa berteman...Ia tidak
bisa lagi hidup lumrah menuruti kehidupan yang teratur. Sungguh sangat tragis.
Ia terlalu cepat curiga terhadap orang baru siapa saja. Sangat sulit bagi para
pengikutnya yang masih muda. Mereka tidak boleh ke sana, tidak boleh ke sini.
Suatu kompleks ketakutan. Ia memandang kejadian-kejadian yang sangat wajar
sebagai penghianatan”
Untuk kehidupan
yang wajar ia tidak lagi mempunyai syarat. Ia tidak mempunyai sesuatu apa pun
selain pakaian, yang merupakan pemberian dari kawan-kawan taruhan dan cara
hidupnya dipengaruhi sama sekali oleh cita-cita politiknya: pembebasan rakyat
Indonesia. Ia tolak segala kemewahan kesenangan yang akan merugikan
cita-citanya, atau menyebabkan menyimpang dari cita-cita itu. maka ia mencela
Jo makan di restoran dan bahkan juga menolak makan Soebardjo yang secara
Belanda. Cintanya pada musik tidak berkuran, dan bersama Jo – yang bisa bermain
musik piano sangat bagus – serta Soebardjo – yang violis berpendidikan – mereka
sering berbincang tentangnya. Tan Malaka meninggalkan hobi bermain musik,
karena harus mengorbankan tugas politiknya. Namun demikian, ia begitu senang
mendengarkan permainan Jo, terutama untuk Schubert. Tapi ketika Jo berhasrat
untuk menempuh karir di bidang musik, Tan Malaka tidak menyetujuinya. Tan
mengutip perkataan Napoleon: “Musik akan menuntut korban cita-cita
revolusioner”, begitulah ia menanggapi ambisi Jo dan karenanya mereka berdua
tidak sejalan. Jo harus mengambil pilihan. Bagi Jo ikatannya yang kuat dengan
Tan Malaka berarti penyerahan sebagian besar kepribadiannya sendiri. Tan Malaka
menuntut kepasrahan tanpa syarat. Tan Malaka tidak hanya melihat Jo sebagai
individu, tetapi sebagai personifikasi dari perempuan Indonesia. Berkali-kali
Tan Malaka minta kepada Jo agar berteladan kepada Rosa Luxemburg atau Henriette
Roland Holst. Tan Malaka sendiri seorang yang ‘tangkas, brilian, tajam,
terbuka, dan sama sekali Barat’, demikian menurut Paramita
Situasi politik
membuat Tan harus meninggalkan tumpangannya di paviliun rumah Soebardjo di
Cikini. Hubungan Tan dan Paramita pun retak. Kata Paramita kepada Poeze, “Tan
Malaka orang yang hidup tak normal. Dia kelewat besar buat saya. Dia
menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.”
Ironisnya, ibu
Paramita tak lain teman karib Syarifah Nawawi. Minarsih Soedarpo
Wiranatakoesoeman, anak bungsu Syarifah, dengan Paramita sama-sama aktif di
Palang Merah Indonesia. Minarsih mengatakan “Ibu saya cuma bilang kenal Tan
sewaktu di Kweekschool.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar