Sabtu, 28 Mei 2016

SOEDIRMAN: PANGLIMA YANG MENEPATI JANJINYA


            Oleh Nugroho Notosusanto

Pada hari Minggu, 29 Januari 1950, di sebuah rumah peristirahatan di Magelang, Soedirman, Letnan Jenderal, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, menutup mata untuk selama-lamanya. Keesokan hari, jenazahnya diantar dengan iring-iringan menuju ke Yogyakart, ibukota perjuangan, untuk dimakamkan di sana.

Sepanjang route yang jaraknya 43 km itu rakyat berderet-deret di tepi jalan. Orang-orang sederhana keluar dari desa-desanya dan dengan berdiam diri memandang jenazah lalu. Ketika iring-iringan tiba di Yogyakarta, khalayak yang menunggu di sepanjang jalan kian menebal, hingga akhirnya di alun-alun utara berjubal-jubal. Jenazah diturunkan  sebentar untuk disembahyangkan di Mesjid Agung, tempat almarhum begitu sering melaksanakan ibadah.

Mereka yang menyaksikan tahap terakhir dalam perjalanan penghabisan almarhum, dari Mesjid Agung ke Taman Makam Pahlawan Semaki, tidak akan dapat melupakan suasana duka yang diaksentuasi oleh bunyi redup genderang yang disalut oleh kain hitam. Suasana yang hening, mengingkari hadirnya ribuan manusia yang berjejal-jejal, berhimpit-himpit di kedua tepi jalan.

Pada tempatnyalah jika orang bertanya, baik pada waktu itu maupun sekarang 27 tahun kemudian, mengapa tokoh yang kurus dan rapuh itu telah memperoleh tempat yang begitu hangat di dalam dada orang dari sekian banyak lapisan masyarakat, yang sebagian terbesar belum pernah melihat wajahnya pada suatu zaman yang belum mengenal televisi dan yang mempunyai pers yang masih sangat sederhana perlengkapannya? Mengapa orang yang baru empat tahun hadir pada pentas nasional dapat memperoleh tempat di sisi sekian banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang telah selama beberapa puluh tahun menjadi buah bibir khalayak ramai?

Dari kaki gunung Slamet

Sebagaimana banyak tokoh yang tampil dalam revolusi kita sejak 17 Agustus 1945, Soedirman berasal dari rakyat kecil. Ayahnya seorang mandor tebu. Ibunya juga wanita desa biasa. Namun, sejak bayi ia diangkat sebagai anak oleh pamannya, seorang asisten wedana atau camat.

Ia dilahirhan 24 Januari 1916 di desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga di kaki gunung Slamet, dan karena naungan nama pamannya dapat masuk ke Hollands-Inlandse School (HIS) yang hanya teruntuk/buat anak priyayi. Ia bahkan dapat masuk HIS Gubernemen, meskipun ketika tinggal setahun lagi pindah ke perguruan Taman Siswa untuk akhirnya  menamatkan pendidikan dasarnya pada sekolah swasta lainnya: Wiworo Tomo. Dalam perguruan ini pula ia melanjutkan studinya, yakni pada Meer Uitgebreid Large Onderwijs (MULO) Wiworo Tomo, sampai tamat. Dari pelbagai kesaksian dapat disimpulkan, bahwa dalam perguruan Wiworo Tomo ini, salah satu lembaga pendidikan nasional yang oleh pemerintah kolonial disebut dengan pejoratif wilde scholen atau “sekolah liar”, Soedirman memperoleh patriotismenya yang ternyata sangat intens.

Perguruan Wiworo Tomo itu diasuh oleh tiga orang yang meskipun mempunyai outlook yang berbeda-beda, yang seorang berjiwa nasionalis-sekuler, yang lainnya nasionalistis-konfensionil Islam dan yang ketiga berpendidikan Akademi Militer di Breda, Negeri Belanda, tetapi kemudian kecewa, namun sama-sama mengambil sikap non-kooperasi; artinya mereka menolak untuk bekerja dalam dinas kolonial. Dapat disimpulkan, bahwa ketiga orang itu meninggalkan kesan pada jiwa Soedirman, nasionalismenya, ke-Islamannya dan militansi militernya. Sebagai unsur human interest kiranya dapat disebutkan di sini, bahwa juga dalam perguruan ini Soedirman memperoleh jodohnya.

Kecenderungan-kecenderungan dalam jiwa Soedirman itu kemudian berkembang lebih jauh ketika ia memasuki kepanduan Hizbulwaton yang diasuh Muhammadiyah. Minatnya kepada Islam mendalam menjadi penghayatan yang serius, baik dalam bidang ajarannya maupun dalam ibadah. Minatnya kepada langgam militer dengan disiplin, tanggungjawab dan pengabdiannya, juga semakin menggores di dalam hidup kepanduan.

Ia kemudian menerjunkan diri ke pergerakan yakni dalam pemuda Muhammadiyah. Di sini ia dengan ketekunannya yang karakteristik, belajar dan menguasai teknik-teknik aksi terorganisasi dan lebih memperkembangkan lagi kemampuannya untuk memimpin manusia-manusia yang “sukar diatur” dengan daya persuasinya yang tenang dan berwibawa. Dan pada akhir pemerintahan kolonial Belanda, ia telah sampai pada pucuk pimpinan pemuda Muhammadiyah di Keresidenan Banyumas sebagai wakil ketua.

Bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah

Seperti juga seorang jenderal revolusi yang lain, yakni Vo Nguyen Giap, Soedirman pernah menjadi guru. Setamatnya dari MULO Wiworo Tomo ia diangkat menjadi guru pada HIS Muhammadiyah tempat ia mengembangkan kegemaran yang telah nampak waktu ia masih duduk di bangku sekolah, yakni bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah. Kegemarannya  kepada bahasa Indonesia tidak terbatas kepada penguasaan pasif, melainkan juga ia ungkapkan dengan penggunaan di dalam tugasnya sebagai muballigh maupun sebagai pemimpin pandu dan pemimpin pergerakan pemuda. Kegemaran kepada ilmu pasti pun tidak hanya berupa bahasa pelajaran bagi murid-muridnya, melainkan ia manfaatkan untuk mendisiplinkan cara berfikirnya, sehingga logis dan lugas, Dan akhirnya, kegemarannya kepada sejarah: ia tidak berminat kepada angka-angka tahun seperti yang masih menjadi porsi besar dalam pelajaran sejarah zaman itu. Melainkan imanjinasinya terbakar oleh tindakan-tindakan herois pejuang-pejuang Indonesia, maupun oleh tindak kepahlawanan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya. Ia juga sering mengisahkan peristiwa-peristiwa dalam Revolusi Perancis.

Sebagai guru ia meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan yang rumit secara gamblang. Suatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika ia memegang tampuk pimpinan organisasi yang terbesar di dalam lingkungan Pemerintah Republik Indonesia, yakni Angkatan Perang.

Zaman Jepang

Maka berakhirlah pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1942 dan mulailah pemerintahan pendudukan Jepang. Pada tahun 1943 pemerintah militer Jepang di Jawa mulai dengan pembentukan sebuah genjumin guntai atau pasukan pribumi yang digariskan oleh Daihon-ei atau Markas Besar Kemaharajaan di Tokyo. Di seluruh jajaran Tentara Umum Selatan, yakni komando mandala yang meliputi seluruh Asia Tenggara di bawah pimpinan Jenderal Besar Terauchi, mulai tahun 1943 itu dibentuklah apa yang diberi nama umum giyugun, tentara sukarela, baik di Sumatera, di Jawa maupun di Malaya dan Singapura.

Motivasi pihak Jepang dalam meng-otorisasi pembentukan pasukan-pasukan pribumi itu adalah pertama kali militer yang kemudian memperoleh aspek politik. Aspek militernya adalah bahwa pihak Jepang sudah kehabisan manpower karena rentang ofensif mereka terlalu luas, sehingga mereka memerlukan tenaga untuk tugas-tugas garnisun, terutama di Indonesia dan apa yang sekarang adalah Malaysia, yang pada waktu itu merupakan pangkalan logistik yang utama bagi usaha perangnya.

Aspek politisnya adalah, bahwa mereka harus memberikan suatu stake, suatu taruhan kepada rakyat yang negerinya mereka duduki, supaya secara maksimal membantu usaha perangnya, dan secara minimalnya tidak berontak terhadap mereka. Bahkan dia bangsa yang negerinya terletak di front, yakni Birma di Barat dan Filipina di Timur, telah sempat memberi mereka “kemerdekaan.” Sedangkan Indonesia baru diberi janji “kemerdekaan” di kelak kemudian hari” yang tidak pernah akan terpenuhi.

Karena aspek-rangkap ini, militer dan politis, pihak Jepang memilih tokoh-tokoh yang dianggapnya mempunyai pengaruh di daerahnya masing-masing untuk dijadikan pemimpin-pemimpin giyugun. Demikianlah untuk para daidancho atau komandan batalyon daripada Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA, sebagaimana giyugun di Jawa disebut, dipilih tokoh-tokoh terkemuka di lokalitasnya masing-masing. Dengan demikian Soedirman dipilih untuk menjadi salahsatu di antara 69 daidancho di Jawa Madura dan Bali.

Di dalam PETA inilah bertemu kebutuhan Jepang akan manpower dengan aspirasi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah tentara nasional. Menurut gambaran-diri atau self-image kebanyakan perwira Tentara PETA itu mereka adalah kader-kader bagi Indonesia merdeka yang ketika itu sudah dibayang-bayangkan. Sesuai dengan suasana keprajuritan pada waktu itu khazana nilai-nilai pewayangan dihidup-hidupkan untuk menjadi landasan mental para anggota PETA. Self image sebagai kesatria ini nantinya akan semakin berkembang ketika kemerdekaan benar-benar tercapai atas dasar kekuatan rakyat Indonesia sendiri, terutama sekali karena negara merdeka yang baru dibentuk itu langsung diancam oleh kekuatan-kekuatan yang hendak menghancurkannya.

Di dalam iklim yang sedemikian itulah Soedirman menempuh masa-akhir di dalam persiapan-dirinya untuk tugas-utama yang dipikulkan oleh sejarah di atas pundaknya. Pengetahuan dan keterampilan teknik-militer yang diperolehnya dari lembaga pendidikan perwira PETA di Bogor, sangatlah minim. Tetapi manfaat besar yang diperolehnya adalah kepercayaan kepada diri sendiri, baik diri-sendiri sebagai pribadi, maupun ia sebagai eksponen generasi muda bangsa yang secara intuitif dirasakannya sedang berdiri pada ambang kemerdekaan. Ketika kemudian ia memangku jabatannya sebagai komandan batalyon di Kroya, ia dapat memperoleh feeling atau “rasa” sebagai seorang pemimpin militer dalam suatu satuan yang relatif sungguh-sungguh. Dan ternyata ia merasa “mempunyai bakat” untuk berkecimpung di dalam dunia militer.

Revolusi dan Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh dua pemimpin senior Pergerakan Nasional Indonesia, yakni Sukarno-Hatta. Proklamasi itu mencetuskan Revolusi Indonesia yang berkobar sampai akhir 1949 tatkala eksistensi dan hak hidup selanjutnya Republik Indonesia diakui oleh keluarga bangsa-bangsa. Adalah wajar, bahwa revolusi itu maupun bangsa yang mengembannya, dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional yang telah berdaya dan berjasa di dalam mengantarkan “rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” sebagaimana dikatakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pemimpin-pemimpin pergerakan nasional itu dibesarkan dan digembleng dalam suatu perjuangan politik yang berat dan cukup lama, melawan kolonialisme Belanda. Seluruh pengalaman mereka adalah di bidang politik. Tidak pernah mereka merencanakan suatu perjuangan bersenjata, sebagaimana ditegaskan oleh Ir. Sukarno tatkala ia diadili oleh suatu mahkamah kolonial di tahun 1930.

Karena itu dapat dimengerti, bahwa mereka bersikap sangat hati-hati tatkala mereka lihat Republik Indonesia yang baru berdiri itu diancam oleh kekuatan-kekuatan asing yang hendak menghancurkannya. Mereka menggariskan suatu strategi nasional yang bersifat low profile, yang mencoba mengambil hati pasukan-pasukan Serikat yang mendarat di Indonesia. Mereka ingin benar-benar menghindari penampilan suatu image yang agresif dan militan pada pihak Republik. Sesuai dengan garis kebijaksanaan yang sedemikian itulah mereka tidak segera membentuk suatu tentara nasional.

Sikap itu berlawanan dengan persepsi generasi muda, yang berpendapat, bahwa justru karena terancam oleh pelbagai kekuatan asing, teramatlah perlu Republik Indonesia memiliki suatu kekuatan bersenjata. Pemerintah ternyata hanya bersedia membentuk suatu formasi bersenjata yang sangat rendah hati dan longgar organisasinya, yakni Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dari bawah dan dikendalikan secara lokal.

Reaksi para pemuda ada dua macam, mereka yang nampaknya lebih berselera politik, membentuk apa yang dikenal dengan sebutan badan-badan perjuangan, yakni organisasi-organisasi yang bergerak sekaligus di bidang politik dan di bidang militer (mungkin dapat dibandingkan dengan club-club dalam Revolusi Perancis seperti Jacobin dan Girondin) maupun laskar-laskar. Sedangkan pemuda-pemuda lainnya, terutama eks-anggota Tentara PETA, eks-heiho maupun yang eks-perwira tentara kolonial Belanda, segera membentuk satuan-satuan BKR di tempat tinggalnya masing-masing. Situasi ini berlangsung selama kurang lebih satu setengah bulan sejak Proklamasi. Tetapi kemudian Pemerintah menyadari, bahwa suatu tentara nasional bukanlah suatu tentara nasional bukanlah suatu luxe bagi Republik Indonesia. Mereka melihat, bahwa pasukan-pasukan Inggeris yang mewakili Serikat di Jawa dan Sumatera mulai melepaskan dan mempersenjatai kembali serdadu-serdadu kolonial Belanda, yang segera berlaku seolah-olah Hindia Belanda sudah berdiri kembali. Dan akhirnya nampak pula bahwa pasukan-pasukan Inggeris sedikit banyak mendukung pasukan-pasukan kolonial Belanda itu; bahkan, pasukan-pasukan Jepang yang seharusnya dilucuti, malahan dipergunakan untuk melawan kekuatan-kekuatan bersenjata Indonesia.

Pembentukan tentara nasional

Pada tanggal 5 Oktober 1945 Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat mengenai pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Untuk melaksanakan organisasi tentara yang baru lahir itu, ditunjuk Oerip Soemohardjo, Mayor pensiun dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), yang beberapa waktu sebelumnya bersama beberapa rekannya mengeluarkan pernyataan berdiri di belakang Republik Indonesia.
Oerip Soemohardjo, yang diangkat menjadi Kepala Markas Besar Umum dengan pangkat Letnan Jenderal, segera mulai melaksanakan tugasnya. Karena situasi keamanan nasional, ia memilih Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Markas Besar Umum TKR itu. Setelah satu setengah bulan meletakkan landasan organisatoris TKR, ia merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk memantapkan personilnya, dan untuk itu ia menyelenggarakan suatu konferensi di antara semua panglima yang ada untuk memilih pucuk pimpinan TKR. Pada konferensi itu yang terpilih menjadi Panglima Besar Angkatan Perang, adalah Soedirman.

Ketika revolusi meletus, Soedirman sedang dalam “panggilan” pembesar-pembesar militer Jepang di Jawa Barat. Ia bergegas pulang ke Banyumas dan di sana mengambil langkah-langkah untuk menyusun organisasi BKR. Ia terpilih sebagai Kepala BKR Keresidenan Banyumas dan kemudian bersama-sama Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo yang baru saja diangkat menjadi Residen Banyumas oleh Pemerintah Republik Indonesia, mengadakan diplomasi dengan komandan batalyon Jepang setempat. Sebagai hasil perundingan itu mereka memperoleh semua senjata-api yang ada di Karesidenan Banyumas tanpa harus memberikan korban nyawa.

Ketika Maklumat 5 Oktober dikeluarkan, sebagaimana juga kepala-kepala BKR dikaresidenan-karesidenan lain, Soedirman mentransformasi satuan-satuan BKR di Banyumas menjadi satuan-satuan TKR. Semua satuan TKR di Kerisidenin Banyumas itu dipersatukannya ke dalam satu formasi yang ditetapkan menjadi Divisi V Banyumas; Soedirman menjadi panglimanya dengan pangkat kolonel.

Meletakkan landasan-landasan kejiwaan TKR

Setelah terpilih menjadi Panglima Besar dalam bulan November 1945 itu, bulan berikutnya Soedirman diangkat dan dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia dengan pangkat Jenderal. (Ketika diadakan Rekonstruksi Rasionalisasi atau RERA pada tahun 1948, pangkatnya diturunkan menjadi Letnan Jenderal, yang kemudian dinaikkan lagi secara anumerta pada bulan Januari 1950). Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo telah terpilih kembali menjadi Kepala Staf, meskipun sesungguhnya ia telah diangkat oleh Pemerintah.

Maka sejak itu mulailah diletakkan landasan-landasan awal bagi kehidupan TKR sebagai tentara nasional bangsa Indonesia, Jenderal Oerip meletakkan landasan-landasan teknis-militer, sedangkan Jenderal Soedirman meletakkan landasan kejiwaannya. Tugas mereka tidaklah gampang: mereka tidak menghadapi situasi di mana “dari yang tiada” dibentuk “yang ada”. Satuan-satuan tentara sudah terbentuk secara spontan dan dari bawah dalam suasana revolusioner yang hiruk pikuk di mana disiplin dan ketertiban masih sukar dicari.

Di sinilah bakat-bakat kepemimpinan Soedirman nampak efektif. Menghadapi tugas “penertiban”  organisasi suatu tentara yang masih jauh daripada profesionalisme, maka non-profesionalismenya yang kuat pada diri Oerip Soemohardjo. Juga usianya yang relatif masih muda, yakni 29 tahun ketika ia terpilih menjadi Panglima Besar, merupakan suatu aset dalam menghadapi panglima-panglima bawahannya yang rata-rata masih berumur likuran tahun itu. Dalam lingkungan yang penuh dengan pemuda-pemuda galak dengan mata yang membelalak itu Soedirman merupakan kutub yang menenangkan dan menstabilkan.

Sejak tahun 1946 mulai terkenallah amanat-amanat Panglima Besar yang isi dan nadanya khas itu, amanat-amanat yang pada umumnya membahas soal-soal nasional, meskipun yang menyangkut pertahanan dan angkatan perang. “Anak-anakku segenap anggota Angkatan Perang, anggota Polisi Negara serta seluruh anggota Lasykar dan Barisan Perjuangan......” merupakan awal amanat yang telah menjadi baku di dalam kenangan kolektif bangsa Indonesia mengenai masa-masa permulaan kemerdekaannya. Hal itu menggambarkan pula tradisi hubungan antara bapak dan anak yang terdapat dalam lingkungan ABRI yang masih hidup hingga sekarang antara komandan dan anak buah.

Sementara itu, pihak lawan telah selesai dengan build-up kekuatannya di bawah payung Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Sekitar 100 ribu pasukan di darat, laut dan udara telah siap untuk menglikwidasi Republik Indonesia. Setelah pertempuran-pertempuran terbatas di pelbagai tempat di tanah-air kita, maka pada tanggal 21 Juli 1947, tentara ekspedisi Belanda menyerbu ke daerah-daerah Republik secara besar-besaran. Pada waktu itu Soedirman belum selesai dengan konsolidasi Angkatan Perang. Benar, semua formasi bersenjata, baik yang reguler maupun yang ireguler, baik satuan-satuan TKR (kemudian TRI- Tentara Republik Indonesia) maupun satuan-satuan laskar dan badan-badan perjuangan telah dipersatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia, TNI. Tetapi tahap itu baru tercapai selama satu bulan lagi. Lagi pula TNI masih mempergunakan taktik perang linier tanpa senjata-senjata berat dan dukungan udara menghadapi kolone-kolone Belanda yang dipelopori oleh satuan-satuan berlapis-baja dan senjata bantuan lainnya secara lengkap.

Puncak karier Soedirman: gerilya

Aksi Militer I Belanda terhenti karena intervensi PBB: TNI tidak berhasil menahan musuh pada pelbagai front. Tetapi pengalaman pahit itu membantu pemimpin-pemimpin Angkatan Perang di dalam merumuskan doktrin pertahanannya yang baru, yang dikenal dengan nama Perang Rakyat Semesta yang pada waktu itu juga dikenal dengan sebutan bahasa Inggeris Total People’s Defence.

Dalam sistem pertahanan ini prinsip linier sudah ditinggalkan, diganti dengan susunan Wehrkreis atau “lingkungan pertahanan” yang kenyal dan berlandaskan desa sebagai satuan pertahanan yang terkecil dan kecamatan sebagai unit pertahanan militer yang terendah. Soedirman dan stafnya yang pada waktu itu diperkuat oleh Kolonel A.H. Nasution, Panglima Divisi Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi wakil Soedirman selaku Wakil Panglima Angkatan Perang Mobil merangkap Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dengan tempo yang tinggi mempersiapkan Angkatan Perang untuk “ronde” berikutnya. Karena memang tidak ada orang yang mempunyai ilusi pada waktu itu, bahwa pihak Belanda akan membatalkan niatnya untuk menghancurkan Republik dengan kekuatan senjata.

Dan pada waktu tentara ekspedisi Belanda benar-benar menyerbu kembali pada tanggal 19 Desember 1948, Angkatan perang dan rakyat yang secara konsepsionil diikutsertakan di dalam pertahanan negara, telah siap. Pukulan tentara musuh yang sangat keras, tidak ditangkap, melainkan dibiarkan lalu dengan sia-sia. Ibukota Yogyakarta diduduki musuh sebagaimana pula hampir semua kota di daerah Republik yang masih bebas dari pendudukan mereka.

TNI hanya memerlukan waktu satu sampai dua minggu untuk konsolidasi di desa-desa sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan cermat. Setelah itu Wehrkreis-Wehrkreis berfungsi secara efektif dan TNI mulai menghantam garis-garis komunikasi dan logistik musuh. Untuk tetap membuka garis-garis itu, musuh terpaksa mengadakan penyebaran pasukan untuk mengawal pos-pos sepanjang route-route tersebut. Tetapi untuk itu mereka terpaksa mengurangi pasukan-pasukan yang mengawal garnisun-garnisunnya. Begitu pertahanan kota-kota menipis, TNI segera mengarahkan serangan-serangannya ke kota-kota pendudukan. Salah satu serangan seperti itu yang mashur, adalah serangan 1 Maret 1949 terhadap ibu-kota Yogyakarta yang diduduki oleh musuh. Selama enam jam di siang hari, pasukan-pasukan TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, dapat bertahan di dalam kota.

 Pada semua front, TNI dengan dukungan rakyat, melancarkan perang gerilya yang dalam waktu singkat menciptakan suatu military stalemate dan menggagalkan rencana Belanda untuk menghancurkan TNI dan dengan demikian menghancurkan Republik Jiwa perang gerilya itu adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sejak masa itu menjadi buah bibir rakyat dengan sebutan Pak Dirman.

Mengapa Soedirman menjadi tokoh sentral selama gerilya itu?

Pertama,  pada waktu itu pimpinan nasional, yakni Presiden dan Wakil Presiden telah membiarkan diri mereka ditawan oleh musuh ketika mereka menyerbu ibukota Yogyakarta. Hal itu menyebabkan  Soedirman menjadi rallying point bagi rakyat yang berjuang, menjadi lambang daripada perlawanannya terhadap musuh.

Kedua, Soedirman memperoleh respek  dari segenap pejuang pada waktu itu, karena ia menepati janjinya akan memegang kembali tampuk pimpinan Angkatan Perang, apabila musuh menyerang kembali. Pada waktu itu Soedirman telah selama berbulan-bulan non-aktif, karena harus beristirahat untuk penyembuhan penyakit paru-paru yang dideritanya. Ia mengetahui konsekwensinya apabila ia harus berangkat ke medan gerilya: ia akan dipaksa untuk terus berpindah-pindah dalam segala macam cuaca tanpa istirahat. Namun, ia toh menepati  janjinya. Generasi-generasi muda ABRI yang pada waktu sekarang menelusuri Route Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman, dapat menilai seberapa besar penderitaan almarhum, seberapa berat perjalanan sejauh kurang lebih seribu kilometer, naik turun gunung, turun jurang, menempuh terik matahari dan kuyup oleh hujan serta pada suatu ketika tanpa obat-obatan, yang begitu menentukan bagi sakitnya.

Ketiga, selama gerilya itu Tentara Nasional Indonesia pada akhirnya berkesempatan untuk mengembangkan ethos-nya, suatu ethos yang oleh Soedirman dirumuskan sebagai “Tentara Nasional”, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.” Dan memang, selama gerilya itu TNI benar-benar satu dengan rakyat; tanpa rakyat jelaslah bahwa TNI tidak akan dapat survive. Dan Soedirman adalah personifikasi dari TNI dengan sifat-sifatnya yang menonjol.

Karena itulah Soedirman, Pak Dirman, telah memperoleh popularitas yang sedemikian luas. Ia adalah “panutan” dalam suatu periode yang maha gelap, merupakan pelita yang dapat diikuti dan dapat dijadikan pangkal orientasi. Ia pada akhirnya menjadi simbol survival rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Soedirman dalam kenangan ABRI

Dalam lingkungan ABRI, Soedirman tetap menjadi simbol segala apa yang baik pada TNI yang kini diperluaskan menjadi ABRI. Segala apa yang baik itulah yang kini diberi nama “nilai-nilai TNI 45,” yang merupakan bagian dari nilai-nilai 45. Nilai-nilai 45 ini pada waktu sekarang sering disalah tafsirkan sebagai “nilai-nilai generasi 45,” yang oleh sementara pihak dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Yang merupakan suatu kekeliruan logika seperti misalnya menganggap nilai-nilai yang diperlihatkan dalam perilaku (khususnya yang negatif) dari umat sesuatu agama seolah-olah sama dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Ketika nilai-nilai 45 dan nilai-nilai TNI 45 itu dirumuskan Seminar TNI AD III pada tahun 1972, kenangan para peserta yang berasal dari generasi yang masih mengalami Perang Kemerdekaan, tertuju kepada Soedirman. Yang pernah berhadapan muka atau pernah melihatnya pada parade atau pelbagai kesempatan lain, terbayang-bayang akan sosok-tubuhnya yang tinggi, kurus dan nampak begitu rawan kesehatannya. Ketika rumusan itu akhirnya terbit dengan nama Darma Pusaka 45, yang sayang sekali hanya sedikit sekali warga masyarakat yang pernah membacanya karena oplaag-nya yang kecil, isinya adalah seperti suatu penyajian katalogus kepribadian Pak Dirman.

Salah satu unsur yang penting daripada Darma Pusaka 45 adalah 11 Azas Kepemimpinan ABRI, yang sesungguhnya sudah dirumuskan pada Seminar TNI AD II pada tahun 1966. Bagi mereka yang pernah mengenal Pak Dirman, 11 Azas Kepemimpinan ABRI itu terlihat sebagai cermin daripada solah-bawa Pak Dirman sebagaimana yang pernah mereka amati:
1.      Taqwa, ialah beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Taat kepada-Nya.
2.      Ing ngarsa sung tulada, yaitu memberi suri tauladan di hadapan anak buah.
3.      Ing Madya Mangun Karsa, yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah-tengah anak buah.
4.      Tut Wuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberikan dorongan dari belakang kepada anak buah.
5.      Waspada Purba Wisesa, yaitu selalu waspada mengawasi serta sanggup dan berani memberi koreksi kepada anak buah
6.      Ambeg Parama Arta, yaitu dapat memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan.
7.      Prasaja, yaitu tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan
8.      Sata, yaitu sikap loyal yang timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan bawahan terhadap atasan, dan ke samping.
9.      Gemi Nastiti, yaitu kesederhanaan dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada benar-benar diperlukan
10.  Belaka, yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan
11.  Legawa, yaitu kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggungjawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya.

Dan bukan itu saja, masih banyak lagi prinsip-prinsip yang dianut Pak Dirman yang dimasukkan ke dalam tradisi-tradisi ABRI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar