Oleh Nugroho Notosusanto
Pada hari Minggu,
29 Januari 1950, di sebuah rumah peristirahatan di Magelang, Soedirman, Letnan
Jenderal, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, menutup mata untuk
selama-lamanya. Keesokan hari, jenazahnya diantar dengan iring-iringan menuju
ke Yogyakart, ibukota perjuangan, untuk dimakamkan di sana.
Sepanjang route
yang jaraknya 43 km itu rakyat berderet-deret di tepi jalan. Orang-orang
sederhana keluar dari desa-desanya dan dengan berdiam diri memandang jenazah
lalu. Ketika iring-iringan tiba di Yogyakarta, khalayak yang menunggu di
sepanjang jalan kian menebal, hingga akhirnya di alun-alun utara
berjubal-jubal. Jenazah diturunkan
sebentar untuk disembahyangkan di Mesjid Agung, tempat almarhum begitu
sering melaksanakan ibadah.
Mereka yang
menyaksikan tahap terakhir dalam perjalanan penghabisan almarhum, dari Mesjid
Agung ke Taman Makam Pahlawan Semaki, tidak akan dapat melupakan suasana duka
yang diaksentuasi oleh bunyi redup genderang yang disalut oleh kain hitam.
Suasana yang hening, mengingkari hadirnya ribuan manusia yang berjejal-jejal,
berhimpit-himpit di kedua tepi jalan.
Pada tempatnyalah
jika orang bertanya, baik pada waktu itu maupun sekarang 27 tahun kemudian,
mengapa tokoh yang kurus dan rapuh itu telah memperoleh tempat yang begitu
hangat di dalam dada orang dari sekian banyak lapisan masyarakat, yang sebagian
terbesar belum pernah melihat wajahnya pada suatu zaman yang belum mengenal
televisi dan yang mempunyai pers yang masih sangat sederhana perlengkapannya?
Mengapa orang yang baru empat tahun hadir pada pentas nasional dapat memperoleh
tempat di sisi sekian banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang telah selama
beberapa puluh tahun menjadi buah bibir khalayak ramai?
Dari kaki gunung Slamet
Sebagaimana banyak
tokoh yang tampil dalam revolusi kita sejak 17 Agustus 1945, Soedirman berasal
dari rakyat kecil. Ayahnya seorang mandor tebu. Ibunya juga wanita desa biasa.
Namun, sejak bayi ia diangkat sebagai anak oleh pamannya, seorang asisten
wedana atau camat.
Ia dilahirhan 24
Januari 1916 di desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga di
kaki gunung Slamet, dan karena naungan nama pamannya dapat masuk ke
Hollands-Inlandse School (HIS) yang hanya teruntuk/buat anak priyayi. Ia bahkan
dapat masuk HIS Gubernemen, meskipun ketika tinggal setahun lagi pindah ke
perguruan Taman Siswa untuk akhirnya
menamatkan pendidikan dasarnya pada sekolah swasta lainnya: Wiworo Tomo.
Dalam perguruan ini pula ia melanjutkan studinya, yakni pada Meer Uitgebreid
Large Onderwijs (MULO) Wiworo Tomo, sampai tamat. Dari pelbagai kesaksian dapat
disimpulkan, bahwa dalam perguruan Wiworo Tomo ini, salah satu lembaga
pendidikan nasional yang oleh pemerintah kolonial disebut dengan pejoratif
wilde scholen atau “sekolah liar”, Soedirman memperoleh patriotismenya yang
ternyata sangat intens.
Perguruan Wiworo
Tomo itu diasuh oleh tiga orang yang meskipun mempunyai outlook yang
berbeda-beda, yang seorang berjiwa nasionalis-sekuler, yang lainnya
nasionalistis-konfensionil Islam dan yang ketiga berpendidikan Akademi Militer
di Breda, Negeri Belanda, tetapi kemudian kecewa, namun sama-sama mengambil
sikap non-kooperasi; artinya mereka menolak untuk bekerja dalam dinas kolonial.
Dapat disimpulkan, bahwa ketiga orang itu meninggalkan kesan pada jiwa
Soedirman, nasionalismenya, ke-Islamannya dan militansi militernya. Sebagai unsur
human interest kiranya dapat disebutkan di sini, bahwa juga dalam perguruan ini
Soedirman memperoleh jodohnya.
Kecenderungan-kecenderungan
dalam jiwa Soedirman itu kemudian berkembang lebih jauh ketika ia memasuki
kepanduan Hizbulwaton yang diasuh Muhammadiyah. Minatnya kepada Islam mendalam
menjadi penghayatan yang serius, baik dalam bidang ajarannya maupun dalam
ibadah. Minatnya kepada langgam militer dengan disiplin, tanggungjawab dan
pengabdiannya, juga semakin menggores di dalam hidup kepanduan.
Ia kemudian
menerjunkan diri ke pergerakan yakni dalam pemuda Muhammadiyah. Di sini ia
dengan ketekunannya yang karakteristik, belajar dan menguasai teknik-teknik
aksi terorganisasi dan lebih memperkembangkan lagi kemampuannya untuk memimpin
manusia-manusia yang “sukar diatur” dengan daya persuasinya yang tenang dan
berwibawa. Dan pada akhir pemerintahan kolonial Belanda, ia telah sampai pada
pucuk pimpinan pemuda Muhammadiyah di Keresidenan Banyumas sebagai wakil ketua.
Bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah
Seperti juga
seorang jenderal revolusi yang lain, yakni Vo Nguyen Giap, Soedirman pernah
menjadi guru. Setamatnya dari MULO Wiworo Tomo ia diangkat menjadi guru pada
HIS Muhammadiyah tempat ia mengembangkan kegemaran yang telah nampak waktu ia
masih duduk di bangku sekolah, yakni bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah.
Kegemarannya kepada bahasa Indonesia
tidak terbatas kepada penguasaan pasif, melainkan juga ia ungkapkan dengan
penggunaan di dalam tugasnya sebagai muballigh maupun sebagai pemimpin pandu
dan pemimpin pergerakan pemuda. Kegemaran kepada ilmu pasti pun tidak hanya
berupa bahasa pelajaran bagi murid-muridnya, melainkan ia manfaatkan untuk
mendisiplinkan cara berfikirnya, sehingga logis dan lugas, Dan akhirnya,
kegemarannya kepada sejarah: ia tidak berminat kepada angka-angka tahun seperti
yang masih menjadi porsi besar dalam pelajaran sejarah zaman itu. Melainkan
imanjinasinya terbakar oleh tindakan-tindakan herois pejuang-pejuang Indonesia,
maupun oleh tindak kepahlawanan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya. Ia
juga sering mengisahkan peristiwa-peristiwa dalam Revolusi Perancis.
Sebagai guru ia
meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan yang rumit secara
gamblang. Suatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika ia memegang
tampuk pimpinan organisasi yang terbesar di dalam lingkungan Pemerintah
Republik Indonesia, yakni Angkatan Perang.
Zaman Jepang
Maka berakhirlah
pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1942 dan mulailah pemerintahan
pendudukan Jepang. Pada tahun 1943 pemerintah militer Jepang di Jawa mulai
dengan pembentukan sebuah genjumin guntai atau pasukan pribumi yang digariskan
oleh Daihon-ei atau Markas Besar Kemaharajaan di Tokyo. Di seluruh jajaran
Tentara Umum Selatan, yakni komando mandala yang meliputi seluruh Asia Tenggara
di bawah pimpinan Jenderal Besar Terauchi, mulai tahun 1943 itu dibentuklah apa
yang diberi nama umum giyugun, tentara sukarela, baik di Sumatera, di Jawa
maupun di Malaya dan Singapura.
Motivasi pihak
Jepang dalam meng-otorisasi pembentukan pasukan-pasukan pribumi itu adalah
pertama kali militer yang kemudian memperoleh aspek politik. Aspek militernya
adalah bahwa pihak Jepang sudah kehabisan manpower karena rentang ofensif
mereka terlalu luas, sehingga mereka memerlukan tenaga untuk tugas-tugas
garnisun, terutama di Indonesia dan apa yang sekarang adalah Malaysia, yang
pada waktu itu merupakan pangkalan logistik yang utama bagi usaha perangnya.
Aspek politisnya
adalah, bahwa mereka harus memberikan suatu stake, suatu taruhan kepada rakyat
yang negerinya mereka duduki, supaya secara maksimal membantu usaha perangnya,
dan secara minimalnya tidak berontak terhadap mereka. Bahkan dia bangsa yang
negerinya terletak di front, yakni Birma di Barat dan Filipina di Timur, telah
sempat memberi mereka “kemerdekaan.” Sedangkan Indonesia baru diberi janji
“kemerdekaan” di kelak kemudian hari” yang tidak pernah akan terpenuhi.
Karena
aspek-rangkap ini, militer dan politis, pihak Jepang memilih tokoh-tokoh yang
dianggapnya mempunyai pengaruh di daerahnya masing-masing untuk dijadikan
pemimpin-pemimpin giyugun. Demikianlah untuk para daidancho atau komandan
batalyon daripada Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA, sebagaimana
giyugun di Jawa disebut, dipilih tokoh-tokoh terkemuka di lokalitasnya
masing-masing. Dengan demikian Soedirman dipilih untuk menjadi salahsatu di
antara 69 daidancho di Jawa Madura
dan Bali.
Di dalam PETA
inilah bertemu kebutuhan Jepang akan manpower dengan aspirasi bangsa Indonesia
untuk memiliki sebuah tentara nasional. Menurut gambaran-diri atau self-image
kebanyakan perwira Tentara PETA itu mereka adalah kader-kader bagi Indonesia
merdeka yang ketika itu sudah dibayang-bayangkan. Sesuai dengan suasana
keprajuritan pada waktu itu khazana nilai-nilai pewayangan dihidup-hidupkan
untuk menjadi landasan mental para anggota PETA. Self image sebagai kesatria ini
nantinya akan semakin berkembang ketika kemerdekaan benar-benar tercapai atas
dasar kekuatan rakyat Indonesia sendiri, terutama sekali karena negara merdeka
yang baru dibentuk itu langsung diancam oleh kekuatan-kekuatan yang hendak
menghancurkannya.
Di dalam iklim
yang sedemikian itulah Soedirman menempuh masa-akhir di dalam persiapan-dirinya
untuk tugas-utama yang dipikulkan oleh sejarah di atas pundaknya. Pengetahuan
dan keterampilan teknik-militer yang diperolehnya dari lembaga pendidikan
perwira PETA di Bogor, sangatlah minim. Tetapi manfaat besar yang diperolehnya
adalah kepercayaan kepada diri sendiri, baik diri-sendiri sebagai pribadi,
maupun ia sebagai eksponen generasi muda bangsa yang secara intuitif
dirasakannya sedang berdiri pada ambang kemerdekaan. Ketika kemudian ia
memangku jabatannya sebagai komandan batalyon di Kroya, ia dapat memperoleh
feeling atau “rasa” sebagai seorang pemimpin militer dalam suatu satuan yang
relatif sungguh-sungguh. Dan ternyata ia merasa “mempunyai bakat” untuk berkecimpung
di dalam dunia militer.
Revolusi dan Perang Kemerdekaan 1945-1949
Pada tanggal 17
Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh dua pemimpin senior
Pergerakan Nasional Indonesia, yakni Sukarno-Hatta. Proklamasi itu mencetuskan
Revolusi Indonesia yang berkobar sampai akhir 1949 tatkala eksistensi dan hak
hidup selanjutnya Republik Indonesia diakui oleh keluarga bangsa-bangsa. Adalah
wajar, bahwa revolusi itu maupun bangsa yang mengembannya, dipimpin oleh
tokoh-tokoh pergerakan nasional yang telah berdaya dan berjasa di dalam
mengantarkan “rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” sebagaimana
dikatakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pemimpin-pemimpin pergerakan
nasional itu dibesarkan dan digembleng dalam suatu perjuangan politik yang
berat dan cukup lama, melawan kolonialisme Belanda. Seluruh pengalaman mereka
adalah di bidang politik. Tidak pernah mereka merencanakan suatu perjuangan
bersenjata, sebagaimana ditegaskan oleh Ir. Sukarno tatkala ia diadili oleh
suatu mahkamah kolonial di tahun 1930.
Karena itu dapat
dimengerti, bahwa mereka bersikap sangat hati-hati tatkala mereka lihat
Republik Indonesia yang baru berdiri itu diancam oleh kekuatan-kekuatan asing
yang hendak menghancurkannya. Mereka menggariskan suatu strategi nasional yang
bersifat low profile, yang mencoba mengambil hati pasukan-pasukan Serikat yang
mendarat di Indonesia. Mereka ingin benar-benar menghindari penampilan suatu
image yang agresif dan militan pada pihak Republik. Sesuai dengan garis
kebijaksanaan yang sedemikian itulah mereka tidak segera membentuk suatu
tentara nasional.
Sikap itu
berlawanan dengan persepsi generasi muda, yang berpendapat, bahwa justru karena
terancam oleh pelbagai kekuatan asing, teramatlah perlu Republik Indonesia
memiliki suatu kekuatan bersenjata. Pemerintah ternyata hanya bersedia
membentuk suatu formasi bersenjata yang sangat rendah hati dan longgar
organisasinya, yakni Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dari bawah dan
dikendalikan secara lokal.
Reaksi para pemuda
ada dua macam, mereka yang nampaknya lebih berselera politik, membentuk apa
yang dikenal dengan sebutan badan-badan perjuangan, yakni organisasi-organisasi
yang bergerak sekaligus di bidang politik dan di bidang militer (mungkin dapat
dibandingkan dengan club-club dalam Revolusi Perancis seperti Jacobin dan
Girondin) maupun laskar-laskar. Sedangkan pemuda-pemuda lainnya, terutama
eks-anggota Tentara PETA, eks-heiho maupun yang eks-perwira tentara kolonial
Belanda, segera membentuk satuan-satuan BKR di tempat tinggalnya masing-masing.
Situasi ini berlangsung selama kurang lebih satu setengah bulan sejak
Proklamasi. Tetapi kemudian Pemerintah menyadari, bahwa suatu tentara nasional
bukanlah suatu tentara nasional bukanlah suatu luxe bagi Republik Indonesia.
Mereka melihat, bahwa pasukan-pasukan Inggeris yang mewakili Serikat di Jawa
dan Sumatera mulai melepaskan dan mempersenjatai kembali serdadu-serdadu
kolonial Belanda, yang segera berlaku seolah-olah Hindia Belanda sudah berdiri
kembali. Dan akhirnya nampak pula bahwa pasukan-pasukan Inggeris sedikit banyak
mendukung pasukan-pasukan kolonial Belanda itu; bahkan, pasukan-pasukan Jepang
yang seharusnya dilucuti, malahan dipergunakan untuk melawan kekuatan-kekuatan
bersenjata Indonesia.
Pembentukan tentara nasional
Pada tanggal 5
Oktober 1945 Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat mengenai pembentukan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Untuk melaksanakan organisasi tentara yang baru
lahir itu, ditunjuk Oerip Soemohardjo, Mayor pensiun dari Koninklijk
Nederlands-Indisch Leger (KNIL), yang beberapa waktu sebelumnya bersama
beberapa rekannya mengeluarkan pernyataan berdiri di belakang Republik
Indonesia.
Oerip Soemohardjo,
yang diangkat menjadi Kepala Markas Besar Umum dengan pangkat Letnan Jenderal,
segera mulai melaksanakan tugasnya. Karena situasi keamanan nasional, ia
memilih Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Markas Besar Umum TKR itu. Setelah
satu setengah bulan meletakkan landasan organisatoris TKR, ia merasa bahwa
sudah tiba saatnya untuk memantapkan personilnya, dan untuk itu ia
menyelenggarakan suatu konferensi di antara semua panglima yang ada untuk
memilih pucuk pimpinan TKR. Pada konferensi itu yang terpilih menjadi Panglima
Besar Angkatan Perang, adalah Soedirman.
Ketika revolusi
meletus, Soedirman sedang dalam “panggilan” pembesar-pembesar militer Jepang di
Jawa Barat. Ia bergegas pulang ke Banyumas dan di sana mengambil
langkah-langkah untuk menyusun organisasi BKR. Ia terpilih sebagai Kepala BKR
Keresidenan Banyumas dan kemudian bersama-sama Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo yang
baru saja diangkat menjadi Residen Banyumas oleh Pemerintah Republik Indonesia,
mengadakan diplomasi dengan komandan batalyon Jepang setempat. Sebagai hasil
perundingan itu mereka memperoleh semua senjata-api yang ada di Karesidenan
Banyumas tanpa harus memberikan korban nyawa.
Ketika Maklumat 5
Oktober dikeluarkan, sebagaimana juga kepala-kepala BKR
dikaresidenan-karesidenan lain, Soedirman mentransformasi satuan-satuan BKR di
Banyumas menjadi satuan-satuan TKR. Semua satuan TKR di Kerisidenin Banyumas
itu dipersatukannya ke dalam satu formasi yang ditetapkan menjadi Divisi V
Banyumas; Soedirman menjadi panglimanya dengan pangkat kolonel.
Meletakkan landasan-landasan kejiwaan TKR
Setelah terpilih
menjadi Panglima Besar dalam bulan November 1945 itu, bulan berikutnya
Soedirman diangkat dan dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Panglima Besar
Angkatan Perang Republik Indonesia dengan pangkat Jenderal. (Ketika diadakan
Rekonstruksi Rasionalisasi atau RERA pada tahun 1948, pangkatnya diturunkan
menjadi Letnan Jenderal, yang kemudian dinaikkan lagi secara anumerta pada
bulan Januari 1950). Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo telah terpilih kembali
menjadi Kepala Staf, meskipun sesungguhnya ia telah diangkat oleh Pemerintah.
Maka sejak itu
mulailah diletakkan landasan-landasan awal bagi kehidupan TKR sebagai tentara
nasional bangsa Indonesia, Jenderal Oerip meletakkan landasan-landasan
teknis-militer, sedangkan Jenderal Soedirman meletakkan landasan kejiwaannya.
Tugas mereka tidaklah gampang: mereka tidak menghadapi situasi di mana “dari
yang tiada” dibentuk “yang ada”. Satuan-satuan tentara sudah terbentuk secara
spontan dan dari bawah dalam suasana revolusioner yang hiruk pikuk di mana
disiplin dan ketertiban masih sukar dicari.
Di sinilah
bakat-bakat kepemimpinan Soedirman nampak efektif. Menghadapi tugas
“penertiban” organisasi suatu tentara
yang masih jauh daripada profesionalisme, maka non-profesionalismenya yang kuat
pada diri Oerip Soemohardjo. Juga usianya yang relatif masih muda, yakni 29
tahun ketika ia terpilih menjadi Panglima Besar, merupakan suatu aset dalam
menghadapi panglima-panglima bawahannya yang rata-rata masih berumur likuran
tahun itu. Dalam lingkungan yang penuh dengan pemuda-pemuda galak dengan mata
yang membelalak itu Soedirman merupakan kutub yang menenangkan dan
menstabilkan.
Sejak tahun 1946
mulai terkenallah amanat-amanat Panglima Besar yang isi dan nadanya khas itu,
amanat-amanat yang pada umumnya membahas soal-soal nasional, meskipun yang
menyangkut pertahanan dan angkatan perang. “Anak-anakku segenap anggota
Angkatan Perang, anggota Polisi Negara serta seluruh anggota Lasykar dan
Barisan Perjuangan......” merupakan awal amanat yang telah menjadi baku di
dalam kenangan kolektif bangsa Indonesia mengenai masa-masa permulaan
kemerdekaannya. Hal itu menggambarkan pula tradisi hubungan antara bapak dan
anak yang terdapat dalam lingkungan ABRI yang masih hidup hingga sekarang
antara komandan dan anak buah.
Sementara itu,
pihak lawan telah selesai dengan build-up kekuatannya di bawah payung Allied
Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Sekitar 100 ribu pasukan di darat, laut
dan udara telah siap untuk menglikwidasi Republik Indonesia. Setelah
pertempuran-pertempuran terbatas di pelbagai tempat di tanah-air kita, maka
pada tanggal 21 Juli 1947, tentara ekspedisi Belanda menyerbu ke daerah-daerah
Republik secara besar-besaran. Pada waktu itu Soedirman belum selesai dengan
konsolidasi Angkatan Perang. Benar, semua formasi bersenjata, baik yang reguler
maupun yang ireguler, baik satuan-satuan TKR (kemudian TRI- Tentara Republik
Indonesia) maupun satuan-satuan laskar dan badan-badan perjuangan telah
dipersatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia, TNI. Tetapi tahap itu baru
tercapai selama satu bulan lagi. Lagi pula TNI masih mempergunakan taktik
perang linier tanpa senjata-senjata berat dan dukungan udara menghadapi
kolone-kolone Belanda yang dipelopori oleh satuan-satuan berlapis-baja dan
senjata bantuan lainnya secara lengkap.
Puncak karier Soedirman: gerilya
Aksi Militer I
Belanda terhenti karena intervensi PBB: TNI tidak berhasil menahan musuh pada
pelbagai front. Tetapi pengalaman pahit itu membantu pemimpin-pemimpin Angkatan
Perang di dalam merumuskan doktrin pertahanannya yang baru, yang dikenal dengan
nama Perang Rakyat Semesta yang pada
waktu itu juga dikenal dengan sebutan bahasa Inggeris Total People’s Defence.
Dalam sistem
pertahanan ini prinsip linier sudah ditinggalkan, diganti dengan susunan
Wehrkreis atau “lingkungan pertahanan” yang kenyal dan berlandaskan desa
sebagai satuan pertahanan yang terkecil dan kecamatan sebagai unit pertahanan
militer yang terendah. Soedirman dan stafnya yang pada waktu itu diperkuat oleh
Kolonel A.H. Nasution, Panglima Divisi Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi
wakil Soedirman selaku Wakil Panglima Angkatan Perang Mobil merangkap Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa, dengan tempo yang tinggi mempersiapkan Angkatan
Perang untuk “ronde” berikutnya. Karena memang tidak ada orang yang mempunyai
ilusi pada waktu itu, bahwa pihak Belanda akan membatalkan niatnya untuk
menghancurkan Republik dengan kekuatan senjata.
Dan pada waktu
tentara ekspedisi Belanda benar-benar menyerbu kembali pada tanggal 19 Desember
1948, Angkatan perang dan rakyat yang secara konsepsionil diikutsertakan di
dalam pertahanan negara, telah siap. Pukulan tentara musuh yang sangat keras,
tidak ditangkap, melainkan dibiarkan lalu dengan sia-sia. Ibukota Yogyakarta
diduduki musuh sebagaimana pula hampir semua kota di daerah Republik yang masih
bebas dari pendudukan mereka.
TNI hanya
memerlukan waktu satu sampai dua minggu untuk konsolidasi di desa-desa sesuai
dengan rencana yang telah disusun dengan cermat. Setelah itu
Wehrkreis-Wehrkreis berfungsi secara efektif dan TNI mulai menghantam
garis-garis komunikasi dan logistik musuh. Untuk tetap membuka garis-garis itu,
musuh terpaksa mengadakan penyebaran pasukan untuk mengawal pos-pos sepanjang
route-route tersebut. Tetapi untuk itu mereka terpaksa mengurangi
pasukan-pasukan yang mengawal garnisun-garnisunnya. Begitu pertahanan kota-kota
menipis, TNI segera mengarahkan serangan-serangannya ke kota-kota pendudukan.
Salah satu serangan seperti itu yang mashur, adalah serangan 1 Maret 1949
terhadap ibu-kota Yogyakarta yang diduduki oleh musuh. Selama enam jam di siang
hari, pasukan-pasukan TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, dapat
bertahan di dalam kota.
Pada semua front, TNI dengan dukungan rakyat,
melancarkan perang gerilya yang dalam waktu singkat menciptakan suatu military
stalemate dan menggagalkan rencana Belanda untuk menghancurkan TNI dan dengan
demikian menghancurkan Republik Jiwa perang gerilya itu adalah Panglima Besar
Jenderal Soedirman yang sejak masa itu menjadi buah bibir rakyat dengan sebutan
Pak Dirman.
Mengapa Soedirman menjadi tokoh sentral selama gerilya
itu?
Pertama, pada waktu itu pimpinan nasional, yakni
Presiden dan Wakil Presiden telah membiarkan diri mereka ditawan oleh musuh
ketika mereka menyerbu ibukota Yogyakarta. Hal itu menyebabkan Soedirman menjadi rallying point bagi rakyat
yang berjuang, menjadi lambang daripada perlawanannya terhadap musuh.
Kedua, Soedirman
memperoleh respek dari segenap pejuang
pada waktu itu, karena ia menepati janjinya akan memegang kembali tampuk
pimpinan Angkatan Perang, apabila musuh menyerang kembali. Pada waktu itu
Soedirman telah selama berbulan-bulan non-aktif, karena harus beristirahat
untuk penyembuhan penyakit paru-paru yang dideritanya. Ia mengetahui
konsekwensinya apabila ia harus berangkat ke medan gerilya: ia akan dipaksa
untuk terus berpindah-pindah dalam segala macam cuaca tanpa istirahat. Namun,
ia toh menepati janjinya.
Generasi-generasi muda ABRI yang pada waktu sekarang menelusuri Route Gerilya
Panglima Besar Jenderal Soedirman, dapat menilai seberapa besar penderitaan
almarhum, seberapa berat perjalanan sejauh kurang lebih seribu kilometer, naik
turun gunung, turun jurang, menempuh terik matahari dan kuyup oleh hujan serta
pada suatu ketika tanpa obat-obatan, yang begitu menentukan bagi sakitnya.
Ketiga, selama
gerilya itu Tentara Nasional Indonesia pada akhirnya berkesempatan untuk
mengembangkan ethos-nya, suatu ethos yang oleh Soedirman dirumuskan sebagai
“Tentara Nasional”, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.” Dan memang, selama
gerilya itu TNI benar-benar satu dengan rakyat; tanpa rakyat jelaslah bahwa TNI
tidak akan dapat survive. Dan Soedirman adalah personifikasi dari TNI dengan
sifat-sifatnya yang menonjol.
Karena itulah
Soedirman, Pak Dirman, telah memperoleh popularitas yang sedemikian luas. Ia
adalah “panutan” dalam suatu periode yang maha gelap, merupakan pelita yang
dapat diikuti dan dapat dijadikan pangkal orientasi. Ia pada akhirnya menjadi
simbol survival rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Soedirman dalam kenangan ABRI
Dalam lingkungan
ABRI, Soedirman tetap menjadi simbol segala apa yang baik pada TNI yang kini
diperluaskan menjadi ABRI. Segala apa yang baik itulah yang kini diberi nama
“nilai-nilai TNI 45,” yang merupakan bagian dari nilai-nilai 45. Nilai-nilai 45
ini pada waktu sekarang sering disalah tafsirkan sebagai “nilai-nilai generasi
45,” yang oleh sementara pihak dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai
tersebut. Yang merupakan suatu kekeliruan logika seperti misalnya menganggap
nilai-nilai yang diperlihatkan dalam perilaku (khususnya yang negatif) dari
umat sesuatu agama seolah-olah sama dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
Ketika nilai-nilai 45 dan nilai-nilai TNI 45 itu dirumuskan Seminar TNI AD III
pada tahun 1972, kenangan para peserta yang berasal dari generasi yang masih
mengalami Perang Kemerdekaan, tertuju kepada Soedirman. Yang pernah berhadapan
muka atau pernah melihatnya pada parade atau pelbagai kesempatan lain,
terbayang-bayang akan sosok-tubuhnya yang tinggi, kurus dan nampak begitu rawan
kesehatannya. Ketika rumusan itu akhirnya terbit dengan nama Darma Pusaka 45,
yang sayang sekali hanya sedikit sekali warga masyarakat yang pernah membacanya
karena oplaag-nya yang kecil, isinya adalah seperti suatu penyajian katalogus
kepribadian Pak Dirman.
Salah satu unsur
yang penting daripada Darma Pusaka 45 adalah 11 Azas Kepemimpinan ABRI, yang
sesungguhnya sudah dirumuskan pada Seminar TNI AD II pada tahun 1966. Bagi
mereka yang pernah mengenal Pak Dirman, 11 Azas Kepemimpinan ABRI itu terlihat
sebagai cermin daripada solah-bawa Pak Dirman sebagaimana yang pernah mereka
amati:
1.
Taqwa, ialah beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan Taat kepada-Nya.
2.
Ing ngarsa sung tulada, yaitu
memberi suri tauladan di hadapan anak buah.
3.
Ing Madya Mangun Karsa, yaitu
ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah-tengah anak buah.
4.
Tut Wuri Handayani, yaitu
mempengaruhi dan memberikan dorongan dari belakang kepada anak buah.
5.
Waspada Purba Wisesa, yaitu
selalu waspada mengawasi serta sanggup dan berani memberi koreksi kepada anak
buah
6.
Ambeg Parama Arta, yaitu dapat
memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan.
7.
Prasaja, yaitu tingkah laku
yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan
8.
Sata, yaitu sikap loyal yang
timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan bawahan terhadap atasan, dan ke
samping.
9.
Gemi Nastiti, yaitu
kesederhanaan dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala
sesuatu kepada benar-benar diperlukan
10.
Belaka, yaitu kemauan, kerelaan
dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan
11.
Legawa, yaitu kemauan, kerelaan
dan keikhlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggungjawab dan kedudukan
kepada generasi berikutnya.
Dan bukan itu
saja, masih banyak lagi prinsip-prinsip yang dianut Pak Dirman yang dimasukkan
ke dalam tradisi-tradisi ABRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar