Oleh Onghokham
Sukarno adalah pribadi yang kompleks. Dia dilahirkan di bawah
bintang Gemini yang menurut pendapatnya sendiri memberi corak yang
beraneka-warna pada pribadinya. Persoalan Sukarno erat sangkut pautnya dengan persoalan
bangsa kita sendiri. Pada masa puncak-puncak kekuasaannya, Sukarno digelari
Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Aminul Amri, Panglima
Tertinggi, dan lain-lain. Dan tiba-tiba semua gelar-gelarnya dicopot. Jasa dan
peranannya ditiadakan. Malahan dia diejek. Persoalannya kini bukan saja
“siapakah Sukarno” akan tetapi “siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita
sekarang?” Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik? Apa kita
semua bersifat Gemini?
Ada berbagai pandangan sarjana luar negeri yang turut memikirkan
Sukarno dan kita. Yang menyolok di antara mereka adalah Bernard Dahm. Teorinya adalah bahwa Sukarno tidak lain daripada
seorang tokoh dalam tradisi Ratuadil-Ratuadil di Indonesia yang untuk sementara
dapat menghipnotisir masyarakat. Dengan cara sophitisticated dia berusaha
menjelaskan teori ini. Dan pula ada orang-orang bodoh yang juga melihat Sukarno
sebagai satu-satunya penyebab revolusi Indonesia. Bagi kaum reaksioner ini
berarti bahwa kalau saja momok revolusi bisa dihilangkan maka revolusi
Indonesia akan selesai. Pihak-pihak reaksinoner yang dimaksudkan adalah
Belanda. Maka sayang kata mereka bahwa pada waktu itu tidak ada tidak atau
tidak mampu “mem-Diponegoro-kan” Sukarno. Kaum reaksioner inilah yang lalu
membuat legenda Sukarno. Dikatakan bahwa Sukarno sebenarnya seorang Indo atau
mempunyai darah Belanda sebab tanpa ini tentu tidak bisa melakukan kerja
raksasanya.
Ada sarjana-sarjana yang melihat Sukarno sebagai seorang Ratu Jawa
yang berpeci, pemimpin tradisionil dalam bentuk modern. Spekulasi-spekulasi ini
memang menarik dan masih akan merupakan perdebatan yang tak berakhir.
Di sini saya akan berusaha menempatkan Sukarno dalam perkembangan
sejarah Indonesia yang terakhir – artinya selama bergeraknya Sukarno sampai
akhir kepresidenannya. Saya akan berusaha untuk meneliti pemikiran-pemikiran
Sukarno dalam rangka pertumbuhan pergerakan nasional Indonesia, sebab antara
Sukarno dan zamannya selalu ada semacam dialektik, hubungan timbal balik. Saya
akan melihat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya, serta peranannya
dalam pergerakan, revolusi dan zaman kemerdekaan.
Masa muda
Sukarno berasal dari keluarga priyayi rendahan. Ayahnya seorang
guru. Kedudukan sosial-ekonomis keluarganya hanya agak sedikit lebih baik daripada
golongan marhaen yang nanti nasibnya akan diperjuangkan Sukarno. Selain
asalnya, Sukarno tidak lagi mengenal segala bentuk persamaan lain antara
dirinya dan kaum marhaen. Pendidikan Sukarno menempatkannya dalam kalangan atas
masyarakat Indonesia: ELS (Sekolah Dasar Belanda), HBS (Sekolah Menengah
Belanda) (tamat 1921). Tahun 1927, ketika Sukarno memulai karir politik yang
sesungguhnya, tidak lebih dari 78 orang Indonesia yang mempunyai ijazah HBS.
Ini berarti satu diantara 7 juta manusia Indonesia memiliki ijazah tersebut.
Lebih sedikit lagi jumlah orang-orang Indonesia tamatan universitas seperti Ir.
Sukarno. Para pemimpin pergerakan nasional kebanyakan ditarik dari yang
berpendidikan tinggi ini. Tanpa memperhatikan ras, agama, asal dan suku bangsa,
orang-orang Indonesia yang berpendidikan tinggi merupakan suatu elite
tersendiri. Mereka saling mengenal, berhubungan erat, merasa setingkat dan agak
sinis terhadap satu sama lain, namun bersatu karena adanya suatu jurang dalam
yang memisahkan mereka dari rakyat yang buta huruf dan dicengkram
keterbelakangan. Neopriyayisme mudah
timbul di antara mereka.
Di samping kedudukan elitisnya, ada juga gangguan terhadap kesadaran
sosial pada diri mereka. Dalam hal ini Sukarno menempati kedudukan yang unik.
Selama masa HBS-nya dia berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat
Islam yang kharismatis. Dengan mudah Sukarno yang cerdas diperkenalkan kepada
kalangan nasionalis, anggota Jong Java, anggota SI. Sejak 1911 Sukarno telah
menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam penerbitan-penerbitan nasionalis, Oetoesan Hindia. Di sana ditulisnya:
“Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budak Imperialisme. Dengan
kekuatan Islam Insja Allah itu segera dilaksanakan.” Dalam hubungan pertanyaan
apa yang akan terjadi bila Indonesia telah merdeka, Sukarno muda menulis:
“.....Apa artinya memerintah sendiri kalau itu dilakukan oleh pengikut-pengikut
kapitalisme dan imperialisme?” Lebih menarik lagi di masa Sukarno muda ini
adalah tindakan-tindakannya. Dalam suatu pertemuan Jong Java, bagian dari Budi Utomo, Sukarno mengagetkan semua
hadirin dengan penolakannya untuk mempergunakan bahasa Jawa kromo. Sebab
sebagai penganut Jawa Dwipa (gerakan untuk menghapuskan pemakaian
tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa) yang lahir di Surabaya, dia menolak
pemakaian tingkatan-tingkatan bahasa. Sukarno memakai bahasa Jawa ngoko (rendahan). Dengan jelas Sukarno
mau menghilangkan kedudukan elitisnya atau menghapuskan elitisme. Populisme
Sukarno terlihat juga pada tulisannya pada tahun 1921, ketika
perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera dan
lain-lain merencanakan persatuan. Ini dianggapnya tak berguna. Sukarno menulis
untuk apa mengejar cita-cita yang muluk-muluk, “para intelektuil harus
memikirkan nasib rakyat.” Sikap terakhir ini memang sangat berlainan dengan
sikap-sikapnya di kemudian hari untuk menggalang persatuan.
Akan tetapi mungkin yang terakhir ini adalah hati nurani Sukarno
yang sebenarnya: “pikirkanlah nasib rakyat.” Rakyat selalu menjadi perhatian
Sukarno yang utama. Baik marhaenismenya, pidato-pidato sandang pangan, amanat
penderitaan rakyat dan identifikasinya sebagai penyambung lidah rakyat, itulah
yang disayanginya. Ucapan Belanda bahwa rakyat Indonesia cukup hidup dengan
pendapatan segobang (2,5 sen) sehari, betul-betul membangkitkan amarahnya. Bagi
pemimpin-pemimpin Indonesia lain kemakmuran rakyat memang penting. Akan tetapi
pertimbangan-pertimbangan lain seperti kebebasan pribadi tidak kurang
pentingnya. Atau pertimbangan bahwa kemakmuran rakyat tidak dapat dipisahkan
dan malah tergantung dari soal produksi, yakni pembangunan. Karena itu
memikirkannya secara segera adalah tidak riil. Bagi mereka populisme Sukarno
dapat membahayakan kebebesan pribadi dan pembangunan. Untuk apa menciptakan impian-impian
muluk di kalangan rakyat kalau itu toh tidak dapat direalisir?
Yang menarik dari Sukarno di sini adalah tiga unsur pokok
pemikirannya, yakni anti elitisme, anti imperialisme-kolonialisme. Dan bagi
Sukarno ketiga-ketiganya identik dengan nasib rakyat. Pemikiran-pemikiran dasar
ini akan tetap menjadi tema Sukarno.
Ideologi Sukarno
Setelah tamat HBS di tahun 1921, sebenarnya Sukarno dapat langsung
terjun ke masyarakat, misalnya menjadi pemimpin politik, sebab dasar-dasarnya
cukup kuat. Tetapi Sukarno memilih meneruskan studinya ke Techische Hoge Schoo
(THS-ITB sekarang) yang setahun yang lalu dibuka. Pematangan diri dan studi
yang dipilihnya dan bukan glamor seorang politikus. Ciri pemimpin Indonesia
seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir adalah bahwa semasa mudanya, mereka dapat
mengatur hidup menurut cita-cita serta peranan yang mereka idamkan. Maka dari
itu menurut ukuran usia tokoh-tokoh politik yang lain, Sukarno sebenarnya sudah
agak lanjut umurnya ketika tampil ke depan panggung pergerakan nasional secara
sungguh-sungguh. Setahun sebelum Sukarno tamat THS pada tahun 1926 dia ikut
mendirikan Algemene Studie Club Bandung,
yang menerbitkan Indonesia Muda.
Masa belajar di THS digunakan Sukarno seluruhnya untuk menelan
buku-buku mengenai nasionalisme, marxisme, persoalan-persoalan internasional
dan sejarah. Dalam kuliah di THS hal-hal tersebut sama sekali tidak diajarkan.
Pengaruh buku-buku ini terlihat dalam pidato pembebasannya di depan pengadilan
kolonial (1930) yang terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat”.
Pengetahuannya mengenai Indonesia
terlihat dari kutipan-kutipan para sarjana kenamaan pada zamannya. Dan dia
menyandarkan diri sepenuhnya pada tingkat kesarjanaan Belanda pada waktu itu:
P.J. Veth, Snouck Hurgronje dan lain-lain. Namun kesadaran akan nasib Indonesia
diperoleh melalui pemikir-pemikir Marxis Barat yang tergolong dalam
sosial-demokrasi. Dalam hal ini ada sekelompok pemikir sosialis Belanda yang
dikutip Sukarno seperti P.J Troelstra, pendiri partai sosialis Belanda, H.
Roland Holst, seorang pengarang wanita yang sangat imaginatif dan dua pemuka
sosialis lain yang kurang penting yaitu H.H. van Kol, seorang anggota parlemen
Belanda yang pernah mengunjungi Indonesia dan J.W. Alberds yang di tahun 1930
menjadi pembicara utama partai sosialis dalam parlemen Belanda. Namun harus
diingat bahwa pidato “Indonesia Menggugat” diucapkan dan ditujukan kepada
hakim-hakim Belanda dan secara tak langsung kepada rakyat Indonesia terutama
golongan cendikiawannya. Sukarno ingin menekankan ironi proses pengadilan yang
dari mulanya disebut proses politik. Apa yang diperbolehkan orang-orang Belanda
di Nederland tidak diperbolehkan oleh orang-orang Belanda yang sama juga di
koloninya. Namun Sukarno tidak membatasi diri pada tokoh sosialis Belanda saja.
Yang tidak jarang disebutnya, juga di kemudian hari adalah Otto Bauer dari
Austria, H.N. Brailsford dari sayap kiri partai buruh Inggeris. Dia banyak
menganalisa imperialisme Inggeris. Analisa serupa sesuai untuk meneropong
hubungan Indonesia-Nederland. Dua tokoh lain rupanya sangat cocok dengan
Sukarno yaitu Karl Kautsky dari Jerman dan Jean Jaures dari Perancis. Yang
terakhir ini sering disebut-sebut dalam seluruh karir Sukarno.
Mengenai kutipan-kutipannya yang diambil dari pemuka-pemuka sosialis
ini Sukarno senantiasa mendapat kritik para sarjana Barat. Dikatakan bahwa
Sukarno mengutip secara salah, tidak tepat atau di luar rangkaian di mana
kata-kata tersebut digunakan. Bagi Sukarno memang hanya kegunaannya yang
difikirkan, atau kecocokan dengan keadaan di Indonesia. Sosialisme Sukarno
tidak tumbuh di kalangan pemikir-pemikir yang sefaham seperti lazimnya timbul
dalam partai-partai Sosialis atau marxis lainnya. Hal ini agak berbeda dengan
pertumbuhan Hatta dan Sjahrir yang berpenglaman di luar negeri dan hadir dalam
kongres-kongres sosialis internasional. Bagi tokoh-tokoh seperti Hatta dan
Sjahrir ideologi Sukarno terlalu bersifat “Sukarnois”. Hal ini terutama karena
keengganan Sukarno yang terkenal terhadap soal-soal ekonomi. Sebaliknya bagi
Sukarno persoalan ekonomi yang dibicarakan Hatta bukan persoalan ekonomi
sosialis. Ia terlalu mendetail. Tekanan kebebasan manusia dalam ajaran-ajaran
sosial-demokrasi oleh Sukarno dirasakan sebagai mengarah kepada keelitisme.
Sukarno memang hanya memikirkan pokok-pokok. Dan malah cendrung untuk berfikir
dalam garis besar. Program-program yang mendetail mengenai masyarakat sosialis
atau organisasi partai dianggap Sukarno sebagai sesuatu yang dapat memecah
belah saja. Sebaliknya kesatuan ingin digalangkan dengan menam suatu tujuan
yang jelas.
Tetapi Sukarno dan strateginya demikian sering dibicarakan sehingga
kadang-kadang dapat kita lupakan apa yang sebenarnya menjadi dasar pemikirannya
yaitu kapitalisme dan imperialisme. Kritik terhadap kapitalisme dan
imperialisme. Kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme terjalin erat dalam
cita-cita masyarakat Indonesia idaman Sukarno. Kapitalisme menurut Sukarno
adalah “suatu pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan
kaum buruh dari alat-alat produksi....kapitalisme berarah ke pemiskinan.” Dalam pidato-pidatonya kemudian
Sukarno selalu menyebut penolakannya terhadap sistem masyarakat di mana manusia
mengeksploitir sesamanya. Bahasa Sukarno yang imaginatif menunjukkan kebenciannya
terhadap imperialisme yang baginya identik dengan kolonialisme: “Imperialisme
juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan ambtenar BB
(pejabat), bukan pemerintah, bukan
penguasa. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi
ekonomi bangsa lain atau negeri...” Sukarno melihat imperialisme ini sebagai
sebab dari segala kesengsaraan bangsanya, kemiskinan, tidak adanya kebebasan
maupun pembangunan. Untuk menentang “nafsu” yang mencengkram tanah airnya ini,
Sukarno akan serahkan dirinya, dan baginya imperialisme adalah obsesi hidupnya.
Bangsanya tinggal di salah suatu tanah air yang terindah di dunia, tersubur dan
terkaya – Ibu Pertiwi, Wanita yang elok. Tetapi penghuni-penghuninya miskin dan
impoten. Dengan kesatuan kekuatan (samenbundeling van alle revolutionaire
krachten) Sukarno ingin merebutnya kembali. “Nafsu” imperialisme ini merubah
tanah-tanahnya yang subur menjadi perkebunan-perkebunan . Dan tambang-tambang
penuh kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa pada tanah air ini
dikuasai orang-orang asing. Sukarno tidak akan rela bila sejemput tanah pun
dari Ibu Pertiwi ini dikuasai Belanda, simbol sebuah “nafsu”, yaitu
imperialisme.
Strategi: negara dalam
negara
Tahun 1926-27 Sukarno tampil untuk menjadi pemimpin politik.
Pekerjaan sebagai asisten di THS ditolaknya. Sukarno malahan mendirikan PNI
(Partai Nasional Indonesia) sebagai jawaban bagi tawaran kerjasama dari pihak
Belanda ini. Pada waktu itu pergerakan Indonesia dalam keadaan yang sangat
suram. Sejak bangkitnya pergerakan kira-kira tigapuluh tahun yang lalu
perpecahan di dalam dan tekanan dari luar telah merusaknya. Keaneka-ragaman
masyarakat Indonesia, sukuisme, agama-agama, aliran-aliran isme-ismenya serta
konflik-konflik sosial menggoncangkan pergerakan ini. namun dari semuanya juga
dapat ditarik satu pelajaran bahwa rakyat dapat menghilangkan apatismenya untuk
ikut serta bergerak. Sarekat Islam membuktikannya. Dalam waktu singkat Sarekat
Islam dapat menarik ratusan ribu anggota-anggotanya penuh semangat. Sayangnya
partai dengan penganut massal yang pertama di Indonesia ini dalam keadaan
sangat merosot pada tahun 1927. Tujuan-tujuan Sarekat Islam ini tidak selalu
jelas. Baru kemudian umpamanya Sarekat Islam menolak kerjasama dengan Belanda,
dan menentang kapitalisme. Kritik terhadap kapitalisme didasarkan atas agama
dan bukan karena struktur sosial. Sebab bukankah Islam menghalalkan pemetikan
bunga dari modal? Dan bukankah penimbunan modal merupakan unsur pokok
kapitalisme yang berdosa”? Dalam keadaan demikian dengan mudah pengaruh
pimpinannya digeser oleh pimpinan-pimpinan yang lebih radikal, dan lebih
mempunyai fikiran-fikiran sosial. Sarekat Islam pecah menjadi Sarekat Hijau dan
Sarekat Merah yang kemudian tumbuh menjadi PKI. PKI mengorganisir pemberontakan
1926 terhadap Belanda akan tetapi pemberontakan ini gagal. Pemerintah Belanda
menunjukkan tangan besi untuk menghancurkan PKI serta melarangnya. Ratusan
orang dibuang ke Digul di Irian Jaya. Sejarah masa-masa terakhir tersebut
meninggalkan dua kesan yang kuat membekas pada Sukarno. Daya tarik Islam dan
kemampuan PKI untuk mengorganisir pemberontakan pertama dalam skala nasional.
Pada tahun 1926 Sukarno menerbitkan tulisan pertamanya yang matang dalam
Indonesia Muda: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Fikiran pokok di sini adalah
nasionalismenya. Dengan cermat dia melihat bahwa suatu ide nasionalisme yang
lebih dipertajam dengan tujuan-tujuan yang jelas akan dapat diterima semua
dalam keadaan pergerakan pada waktu itu dan dengan itu mengorganisir kembali
pergerakan. Tulisannya terutama ditujukan kepada elite pergerakan dan bukan
kepada rakyat. Tercantum dalam konsepsi Sukarno seruan kepada para cendikiawan
dan orang-orang Indonesia yang berpendikan karena mereka biasanya memiliki
kecurigaan terhadap rakyat yang buta huruf. “Golongan-golongan konservatif,”
katanya , menganggap rakyat kecil puas dengan nasibnya, puas dengan menonton
peristiwa-peristiwa sejarah dan hanya mengabdi pada tuan-tuannya. Kepuasaan ini
menurut Sukarno telah hilang dan bersama itu hilang pula kepercayaan rakyat
kepada para penguasa. Rakyat tidak lagi menerima begitu saja pembagian
masyarakat antara kaya dan miskin seperti dalam keadaan masyarakat tradisionil.
Pada kesempatan lain Sukarno masih akan menulis dan kita sendiri masih ingat
pada ucapan-ucapannya di kemudian hari: “cacingpun bisa bangkit, bila
diinjak-injak.”
Sukarno dalam tulisannya tadi mencoba meyakinkan golongan-golongan
Islam dan nasionalis untuk tidak Marxis-phobi. “Saya bukan orang Komunis, saya
tidak memihak! Saya hanya menghendaki kesatuan, kesatuan Indonesia dan
persaudaraan di antara berbagai gerakan.” Persatuan ini akan merupakan jembatan
emas yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Namun dasar bahwa Sukarno
merasa Marxisme adalah esensiil dalam perjuangan mungkin terletak pada
pertumbuhan intelektuil Sukarno sendiri yang demikian dipengaruhi oleh
Marxisme. Nasionalisme maupun Islam dirasakan sebagai faham-faham yang kurang
tajam untuk menganalisa keadaan. Namun Sukarno hanya akan membatasi analisa
marxisnya pada phenomena imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia.
Justru sebaliknya menurut penilaian R. Mc Vey, Sukarno melihat rakyat ini
sebagai suatu kelompok yang tidak
terbagi-bagi dalam klas tetapi sebagai suatu massa yang tak berbeda-beda.
Aliran serta isme-ismelah yang membagi masyarakat dan bukan kedudukan
sosial-ekonomi. Dalam hal ini Sukarno rupanya dipengaruhi oleh perkembangan
analisa para sarjana pada waktu itu mengenai masyarakat Indonesia, di mana
masyarakat terbagi dalam golongan elite (priyayi) dan rakyat kecil (wong
cilik), yang memang juga merupakan pandangan tradisionil. Sukarno berbeda
dengan Lenin – tokoh revolusi zaman Sukarno muda – yang mencapai tujuannya
melalui disiplin sebagian masyarakat yaitu golongan proletar. Sukarno pada
gilirannya ingin mencapai revolusi dengan konsepsi rakyat ini. sukarno justru
melihat bahwa kaum proletar di Indonesia lemah. Tidak ada atau belum ada karena
sistem eksploitasi Belanda yang terlalu banyak memeras dan memerlukan Indonesia
sebagai tempat buruh murah.
Tampilnya Sukarno dengan konsep nasionalismenya pada saat di mana
pergerakan mendapat pukulan dan hambatan dan di tengah-tengah kekacauan tujuan,
membuka suatu babak baru dalam perkembangan nasionalisme Indonesia. Fokus baru
diberikan Sukarno bagi pergerakan dan bagi semua orang yang terlibat dalam
politik atau sadar akan politik. Dengan aksi dan programnya Sukarno bagi
pergerakan dan bagi semua orang yang terlibat dalam politik atau sadar akan
politik. Dengan aksi dan programnya Sukarno bertindak seolah-olah telah berdiri
suatu negara di dalam negara kolonial. Salah seorang pendengar pidato Sukarno
mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka. Dengan susah payah Sukarno akhirnya
berhasil mendirikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik
Kebangsaan Indonesia) di mana PNI mendapat mendapat peranan penting. Tetapi
tahun 1930 diadakan razia terhadap PNI dan Sukarno ditangkap. Di depan
pengadilan, Sukarno lalu mengucapkan tuduhan klasiknya terhadap kolonialisme
baru – imperialisme. Sukarno dihukum dua tahun dan sekeluarganya dari penjara
dia terjun lagi ke dalam kancah politik. Pada tahun 30-an ini di dalam penjara
dan pembuangan Sukarno mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan
melahirkan Marhaenisme.
Pada suatu waktu Sukarno berjalan-jalan di desa dan bertemu dengan
seroang tani. Ketika ditanyakan siapa yang memiliki tanah yang sedang
dikerjakan, sang petani menjawab, “Milik saya,” “Siapa yang memiliki pacul itu?
“Milik saya,” katanya lagi, “Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu?”
“Milik saya”, jawab petani sekali lagi. Petani itu bernama Marhaen. Jelas, kata
Sukarno, si petani tidak menjual tenaganya
pada majikan sebagai seorang proletar. Si petani memiliki alat-alat
produksi. Panen adalah panenya sendiri. Akan tetapi petani Marhaen ini tetap
miskin. Usahanya hanya sekedar untuk melangsungkan hidup dari harta miliknya.
Rakyat Indonesia menurut Sukarno adalah jutaan Marhaen – Marhaen seperti itu –
kalau bukannya sebagian terbesar berada dalam keadaan Marhaen. Demikian juga
para tukang besi, penjual di pasar, penjual sate/soto dan pedagang-pedagang
kaki-lima adalah Marhaen. Kemiskinan
mereka ini adalah karena kolonialisme. Marhaen ini tidak akan berubah
menjadi pelopor dan kekuatan revolusi kalau kesadaran mereka tidak
dibangkitkan.
Yang menarik di sini adalah bahwa fokus Sukarno mengenai rakyat
adalah sebenarnya “enterpreuneur kecil”. Hubungan-hubungan di dalam masyarakat
ini tidak dilihatnya. Sukarno mengabaikan golongan-golongan seperti lurah,
pamong desa, atau marhaen-marhaen yang mempunyai milik lebih besar ataupun
tengkulak dan juragan-juragan batik yang kaya. Pun tidak dipersoallkan Sukarno
jutaan rakyat yang tidak dipersoalkan Sukarno jutaan rakyat yang tidak memiliki
tanah tetapi kerja sebagai penggarap atau buruh-tani, karena mengemukakan
hal-hal ini hanya akan berarti memecah
belah. Di sini rupanya Sukarno mempersoalkan strategi pergerakan yang
harus membangkitkan marhaen dengan memperhatikan nasib mereka juga. Buruh tani
dan lain-lain rupanya diperkirakan akan terlalu apatis untuk dapat menghadapi
dunia luar. Namun bagi Sukarno yang menjadi pertimbangan utama untuk
melancarkan konsepsi Marhaen adalah buat meyakinkan elite Indonesia yang
terdidik untuk menghilangkan konsepsi-konsepsi mereka sendiri mengenai rakyat.
Konsepsi-konsepsi tradisionil kaum elite ini adalah seperti tercantum dalam
kata-kata “rakyat bodoh”, “kampungan”, “orang dusun” dan seterusnya. Ungkapan
semacam ini demikian berlimpah baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa
daerah. Konsepsi tradisionil elite ini didobrak dan diganti dengan istilah Marhaen, sebab proletar tidak
cocok malahan akan lebih mengagetkan elite. Terlepas dari masalah apakah itu
strategis atau tidak, akan tetapi Sukarno bercita-cita untuk menunjukkan bahwa
Marhaen adalah sebagian besar rakyat Indonesia. Dan mereka juga mempunyai hak
untuk hidup.
Gelora Sukarno: perpecahan
Salah satu sebab mengapa Sukarno ditangkap pada tahun 1930 adalah
pemakaian bahasanya yang keras. Sering dipakai kata revolusi, atau
istilah-istilah lain yang radikal. Di depan pengadilan kolonial Sukarno
menjelaskan pemakai kata-kata tersebut. Katanya nada pidato-pidatonya adalah
untuk membangkitkan semangat rakyat. Sukarno menyangkal bahwa adalah tujuan PNI
untuk menggulingkan Hindia Belanda dengan kekerasan. Memang PNI telah mengambil
keputusan untuk menjalankan “aksi dengan perbuatan.” Namun manakah cara yang
dipakai aksi ini? Apakah akan dipakai....”bom, bedil, dinamit! Tidak...” “Kami
kaum PNI memang bukan sabar, memang kami bukan orang sedang, kami bukan
uler-kambang.” Sukarno lalu mengutip Karl Kautsky, “sosial demokrasi adalah
suatu partai revolusioner, tetapi bukan suatu partai revolusioner, tetapi bukan
suatu partai yang bikin revolusi-revolusi.” PNI tidak akan memakai “bom, golok
dan dinamit....seperti tidak ada senjata-senjata lain yang lebih tajam.”
“Kekuasaan semangat rakyat” itulah senjata yang paling tajam yang dilihat
Sukarno. Namun tak ada hakim Belanda yang percaya.
Pemakaian bahasa radikal bagi Sukarno adalah alat seorang politikus
untuk menggelorakan semangat rakyat dengan mana diisi keberanian serta
kepercayaan akan hari depan. Bahasa
radikal pun sering digunakan kaum sosial-demokrat seperti Troelstra,
Kautsky dan Jaures. Gaya kepemimpinan Sukarno ini akhirnya menyebabkan
keretakan dalam kalangan pergerakan nasional, yaitu antara Sukarno di satu
pihak dan Hatta serta Sjahrir di pihak lain. Kedua yang terakhir ini menekankan
pembentukan kader dan kursus-kursus politik. Mereka melihat Sukarno kurang
memperhatikan bidang ini.
Sebab langsung dari perpecahan dalam pergerakan adalah karena Mr.
Sartono membubarkan PNI tanpa konsultasi dengan ribuan anggotanya ketika
Sukarno ditangkap. Kemudian Partai Indonesia (Partindo) dibentuk. Sedangkan
Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) atau PNI-baru.
Sekeluarnya Sukarno dari penjara dia menggabungkan diri dengan Partindo.
Keretakan antara Sukarno dan Hatta-Sjahrir semakin mendalam.
Tindakan sewenang-wenang Sartono dilihat sebagai hasil gaya kepemimpinan
Sukarno yang menyebabkan struktur partai kurang demokratis. Sjahrir mengatakan
bahwa gaya pimpinan Sukarno ini seperti orang yang memberikan jimat-jimat
kepada rakyat dan membangkitkan perang jihad. Kritik mereka adalah bahwa cara
machtsvorming (penggalangan kekuatan) akan menjebloskan pemimpin pergerakan ke
dalam penjara sebelum kekuatan yang sesungguhnya terwujud. Ketika Belanda
sekali lagi memukul pergerakan, Hatta menulis: “Tidak ada seorang lain kecuali
dia yang membawa PARTINDO.....ke arah agitasi dan demonstrasi dan sekarang
seluruh pergerakan kiri menderita di bawahnya karena itu.”
Pihak Sukarno sebaliknya melihat bahaya pembentukan kader-kader yang
ketat. Sejarah pemukulan terhadap PKI
menginsyafkannya akan ini. “Kemauan” yang akan datang dari visi harus
ditumbuhkan dengan segera di kalangan rakyat. Bagaimanapun juga keretakan
antara tiga tokoh pergerakan tersebut kemudian berubah menjadi saling
tuduh-menuduh melepaskan prinsip-prinsip perjuangannya ketika Belanda sekali
lagi memukul pergerakan nasional. Dalam tahun 1933 baik Sukarno maupun Hatta
dan Sjahrir dibuang. Yang pertama ke Endeh (Flores) dan yang lain ke Digul
(Irian Jaya). Apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan antara ketiga pemimpin
ini? Mungkin pengalaman mereka berbeda. Sukarno tidak pernah berada di luar
negeri. Dia bertumbuh sendiri dan beraksi sendiri. Sukarno tidak pernah
dikelilingi oleh orang-orang setara dalam pertumbuhannya dan dalam peran
politiknya. Sedangkan Hatta dan Sjahrir melihat dan mempelajari struktur
partai-partai di Belanda. Dan mereka dikelilingi kawan-kawan seperjuangan yang
setingkat sejak permulaan. Sukarno dikelilingi rekan-rekan Indonesia yang tidak
memperhatikan politik atau oleh orang-orang yang jauh lebih rendah
pendidikannya. Ciri khas Sukarno adalah bahwa dia selalu berdiri sendiri.
Ada faktor yang lebih penting yang menyebabkan perpecahan. Sukarno
percaya pada rakyat sedangkan Sjahrir melihat bahwa rakyat berada dalam
cengkeraman feodalisme. “Setiap pemuda yang bersemangat harus melihat ke
Barat...” tulisnya. Sukarno melihat bahwa dalam kebudayaan Indonesia sendiri
ada motor-motor yang membangun. Bagi Sukarno, pembentukan kader-kader hanya
akan menimbulkan elitisme saja. Ini berarti pergerakan tanpa memperhitungkan
rakyat. Namun pada Sukarno pun sering timbul keraguan mengenai rakyatnya. Dalam
tahun 1933, suatu tahun yang suram, dia menulis kepada seorang teman:
“........Kita tidak lain daripada menjiplak saja, untuk membuat
hal-hal yang asli kita tidak mampu, belum mampu. Masih akan lama sekali sebelum
pergerakan nasional akan berarti sesuatu..”
Kepada seorang teman lain dia mengatakan bahwa bila dia melihat
kegunaan dari koperasi (kerjasama) maka dia akan kerjasama......
Dalam pembuangan di Flores, spirit Sukarno kelihatan masih tetap
bergelora. Yang menjadi sasarannya kali ini adalah Islam. Kepercayaan Sukarno
akan rakyatnya menyebabkan dia memakai cara-cara persuasi dan mencoba
meyakinkan orang. Kekerasan tidak pernah atau jarang sekali dipakainya. Sukarno
melihat bahwa pranata-pranata Islam di Indonesia kolot dan orang-orangnya tidak
mengenal sejarah. Sukarno sadar bahwa semua negara Islam dalam keadaan mundur
dan berada di bawah penguasaan asing. Sukarno menyerang status tinggi yang
diberikan pada para Sajid, sebab “tidak ada agama yang menekankan persamaan
daripada Islam.” Sukarno melihat bahwa banyak hadith-hadith salah yang masuk
dalam ajaran Islam yang tidak ada hubungannya dengan agama: “...sehingga ajaran
Islam dikelumuti oleh ketidak-tahuan, kekolotan, tahyul, ajaran-ajaran salah
dan anti rasionalisme, sedang agama adalah lebih sederhana dan rasionil
daripada ajarannya.” Tahun 1938 Sukarno dipindahkan ke Bengkulen. Dengan
perbuatan dan pidato-pidatonya dia mencoba memodernisir Islam di sana.
Memang tidak banyak yang dapat diperbuat oleh pemimpin-pemimpin
Indonesia. Namun Belanda membayar politiknya dengan harga yang mahal. Ketika
perang Pasifik pecah di tahun 1941 dengan mudah Jepang menduduki Hindia Belanda
tanpa orang Indonesia pun yang mengulurkan tangan untuk menolongnya secara sungguh-sungguh. Hindia
Belanda lenyap tanpa kemampuan membangkitkan pendukung-pendukungnya yang
berarti baginya.
Sukarno dalam revolusi
Peranan Sukarno dan Hatta yang bersatu kembali sudah banyak
diketahui untuk dijelaskan lebih lanjut. Kritik bahwa mereka bekerjasama dengan
Jepang dan mau disamakan dengan para kolaborator Jerman di Eropa, tidak tepat
sebab keadaan Indonesia lain dengan negara-negara merdeka di Eropa. Sjahrir
pada waktu itu memutuskan untuk tidak ikut dalam kehidupan politik tetapi
mengadakan hubungan erat dengan yang kemudian dikenal sebagai dwi-tunggal
revolusi. Yang memecah belah tokoh-tokoh revolusi pada waktu itu bukan
persoalan “kolaboarasi” dwi-tunggal tetapi cara memproklamirkan kemerdekaan dan
cara merebut kekuasaan dari Jepang.
Benedict Anderson, sejarawan tahun pertama revolusi Indonesia
menulis bahwa pada saat “kritis proklamasi” elite politik Jakarat dibagi dalam
dua golongan. Sukarno-Hatta di satu pihak dan mereka yang disebut tokoh-tokoh
politik sebelum perang dan kaum pemuda di pihak lain, yang diwakili oleh Adam
Mali, Chaerul Saleh, B.M Diah, Wikana dan lain-lain. Kaum pemuda ingin merebut
kekuasaan dari Jepang dengan kekerasan. Sukarno-Hatta menunjukkan bahwa
persoalannya bukan lagi Jepang yang sudah menyerah tetapi Belanda. Untuk apa
menjatuhkan korban-korban dan pertumpahan darah yang sia-sia. Kekuatan tokoh
politik sebelum perang ini terletak pada nama mereka dan karena itu kemampuan
mereka untuk berunding dengan Jepang, sekutu dan akhirnya Belanda. Konflik di
antara kekuatan-kekuatan revolusi Indonesia selama 5 tahun didominir oleh
masalah diplomasi dan perjuangan. Sukarno, Hatta dan kebanyakan tokoh politik
yang memegang pemerintahan menjalankan diplomasi perundingan-perundingan dengan
sekutu dan Belanda sebagai strategi mereka yang utama.
Pertanyaannya adalah apakah dengan demikian pimpinan nasional yaitu
presiden dan kabinet-kabinetnya mengisolir diri dari perjuangan? Terutama
apakah mereka mengisolir diri dari tenaga-tenaga revolusioner? Segera setelah
Republik Indonesia diproklamirkan Sukarno mengadakan perjalanan, tour ke
seluruh Jawa. Tidak pernah dia tinggal diam dan di mana-mana berpidato. Dan
kharismanya menangkap jutaan manusia yang sekarang hanya memiliki satu harapan.
Anderson menulis: “Kalau secara rasionil Sukarno setuju dengan politik
hati-hati yang dilakukan kabinet, maka dalam hatinya dia memahami bahwa di mana
kekuasaan administratif pemerintahan sedang berada dalam keruntuhan, maka makna
gambaran-gambaran dan janji-janji akan bertumbuh. Dan dalam zaman kekacauan dan
pembebasan akan merupakan tata susunan yang riil.
Namun Sukarno, Hatta, tokoh-tokoh politik lain adalah orang sipil
selama karirnya. Dengan tiba-tiba sekarang mereka ditempatkan dalam kedudukan
sebagai kepala negara dengan pemerintah yang mereka idam-idamkan. Namun mereka
mengira akan memperolehnya dengan cara lain. Kesalahan-kesalahan dibuat. Atas
desakan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air) dibubarkan pada hari-hari pertama
sesudah proklamasi – sedangkan PETA merupakan satu-satunya organisasi tentara
dengan hirarki yang ketat. Atas dorongan pemuda-pemuda, Sukarno masih mencoba
menghindarkan pembubarannya. Namun terlambat. Dan dengan demikian pemerintah
kehilangan kesempatan selama beberapa tahun untuk mengontrol tentara. Malahan
tentara sekarang tumbuh sendirian, dan tidak terorganisir. Perwira-perwira PETA
kembali ke kampung-kampung mereka dan mengorganisir barisan perjuangan. Antara
golongan-golongan perjuangan dan Sukarno tidak selalu ada hubungan mesra yang
sungguh-sungguh, kalau bukannya diliputi kecurigaan. Hal ini sendiri mungkin
mempengaruhi politik-politik Sukarno selanjutnya.
Pimpinan revolusi Indonesia tidak pernah mengembangkan strategi
militer. Bahkan campur tangan sajapun tidak. Persoalan militer memang merupakan
bagian terasing bagi Sukarno seumur hidup. Sukarno pun tidak menghasilkan anak
buah yang sungguh-sungguh dapat dipercaya di kalangan militer untuk memberikan
seluruh loyalitas kepadanya. Akan tetapi sebaliknya mungkin karena itu pengaruh
politik dan ideologi Sukarno sedikit di kalangan militer. Proses perkembangan
ini adalah tragedi revolusi Indonesia. Berlainan dengan revolusi Indonesia, Mao
Tse-tung di Tiongkok dan Ho Chi Minh di Vietnam memakai militer sebagai alat
revolusi dan mencampuri strategi militer kalau tidak melahirkan strateginya
sendiri. Tokoh-tokoh revolusi di Tiongkok dan Vietnam mempunyai anak buah
militer seperti Jendral Giap dan lain-lain. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh
tersebut tidak ada satu katapun mengenai militer maupun mengenai gerilya dalam
tulisan-tulisan Sukarno. Dan inilah yang akhirnya menjatuhkannya.
Dalam zaman revolusi Sukarno tidak saja terisolir dari soal-soal
militer tetapi diapun merupakan orang yang sejak permulaan dikelilingi oleh
suatu pemerintahan lengkap dengan birokrasinya dan partai-partai politik yang
beraneka ragam. Republik Indonesia menjadi realitas tanpa satupun cita-cita dan
ideologi Sukarno dipraktekkan. Pada permulaan memang ada rencana untuk
membentuk partai pelopor (Staatspartei) namun rencana ini ditinggalkan demi
menghapuskan segala sesuatu yang berbau Jepang atau fasisme untuk bisa
berunding dengan Belanda. Juga dalam soal diplomasi, Sukarno tidak menunjukkan
banyak pengaruhnya. Satu bidang lain rupanya juga tidak disukai Sukarno yaitu
duduk di tengah-tengah meja perundingan
untuk tawar menawar. Diplomasi diserahkan pada Sjahrir dan tokoh-tokoh yang
lebih dekat dengan Hatta. Hatta sebenarnya lebih banyak mencampuri soal
diplomasi dan perundingan dengan Belanda. Namun selama tahun 1945-1950 antara
Sukarno dan Hatta tidak ada persaingan atau perpecahan. Sukarno menyokong
segala politik kabinet, juga dalam negeri seperti pemberontakan Madiun, dan
lain-lain. Sebaliknya, meskipun mungkin peranan Sukarno kurang dalam
pemerintahan sehari-hari, namun diplomasi pribadinya menjadi identik dengan
revolusi. Kharismanya dipakai untuk menguasai massa rakyat. Simbolik Sukarno
bagi revolusi ini, menyebabkan semua lapisan masyarakat Indonesia, tokoh
politik, pemuda juga militer dan sipil serta yang penting sekali dunia luar,
percaya akan realitas revolusi Indonesia.
Sukarno dan kemerdekaan
Tahun 1950 kemerdekaan Indonesia dicapai. Dari Republik Indonesia
Serikat menjadi Republik Indonesia. Sukarno menjadi presiden dari pemerintahan
parlementer, yaitu presiden konstitusionil. Namun dalam batinnya sendiri
Sukarno merasa dia adalah presiden bekas Hindia Belanda yang dicairkan dalam
arti sosial politik. Irian Barat masih di tangan Belanda. Perusahaan Belanda
masih berkuasa. Dan Indonesia adalah uni dengan kerajaan Belanda. Militansi
Sukarno dan pidato-pidatonya yang berkobar-kobar mengerakkan hati rakyat. Namun
kalau dalam zaman revolusi hal semacam ini demikian berguna, sekarang dianggap
sebagai ancaman kestabilan negara baru. Sukarno tak henti-hentinya menuntut
Irian Barat dikembalikan, bubarkan Uni, nasionalisir perusahaan-perusahaan
Belanda. Banyak penguasa Republik Indonesia melihat peranan Sukarno sebagai
suatu ancaman. Namun dia adalah presiden! Perpecahan di kalangan elite
Indonesia ini pada akhirnya ditandai oleh perpecahan antara Sukarno dan Hatta.
Hasil pemilihan umum 1955 menambah kegawatan karena banyak partai. Dan hasil
yang dicapai PKI semakin menambah runyamnya keadaan. Sukarno hendak memberikan
tempat kepada PKI. Nasionalisme, Islam dan Marxisme, fikirannya sebelum perang
mau direalisirnya sekarang. Sebagai tekanan yang paling kuat di samping
segalanya ini adalah cita-cita kemerdekaan yang belum dipenuhi, keadaan sosial
dan ekonomis yang masih kacau. Semua pihak mengharapkan suatu penerobosan
keadaan. Kup-kup militer telah mengancam keadaan. Percobaan-percobaan
pembunuhan terjadi.
Setiap pemimpin revolusi yang
hidupnya berada dalam ancaman akan segera menyadari bahwa dia terkurung dalam
kurun umurnya yang terbatas di dunia ini. karena itu Sukarno segera bertindak.
Dimunculkan konsepsi Presiden yang kemudian menuntut kembalinya Undang-Undang
Dasar 1945. Dan memang ia merupakan kerangka Demokrasi Terpimpin. Sistem
Demokrasi Terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai (termasuk
PKI), tentara dan presiden sebagai pihak ketiga. Biarpun tindakan-tindakan ini
serta Demokrasi Terpimpin menjamin demokrasi dan pimpinannya diterima secara
populer, namun semuanya mengandung kelemahan-kelemahan dalam dirinya. Sebab
akhirnya segala sesuatu akan tergantung dari presiden yang mempraktekkan
politik perimbangan. Sedangkan seorang presiden adalah manusia yang terkungkung
dalam batasan umur. Selama presiden masih diperkirakan mampu melanjutkan
hayatnya dan masih lama menguasai keadaan maka sistemnya diharapkan tetap
kokoh. Akan tetapi sekali tanda-tanda penyakit timbul, sistem Sukarno pun mulai
goncang. Hal ini mungkin bisa menjelaskan ketidak-tentraman Sukarno sejak
tahun-tahun 1960-an. Dia mundar-mandir melakukan perjalanan ke luar negeri,
berpesta pora. Dan Sukarno bergerak terus. Segalanya diperbuat untuk
menunjukkan bahwa dia belum mendekati akhir hayatnya dan masih sehat, penuh
kesegaran hidup dan semangat. Lebih pemuda dari para pemuda. Akan tetapi makin
lama makin banyak orang melihat tanda-tanda ketuaan pada Sukarno yang semakin
berumur. Kekuatan-kekuatan di luarnya mulai dipersatukan. Dan semuanya
bersiap-siap untuk bertindak kalau-kalau akan terjadi sesuatu dengan pimpinan
revolusi dan pimpinan negara. Semuanya berproses terus dan akhirnya menjadi
sebab langsung kejatuhannya. Balon persatuan pecah berkeping keping dalam tahun
1965.
Sukarno sendiri insaf bahwa dia hanya seorang diri. Setelah bulan
September 1965 Presidenn Sukarno dalam salah satu pidatonya yang masih saya
ingat mengatakan: ....”Yang dimaksudkan di sini adalah “dengan suatu
establishment.” Elite baru Indonesia oleh Sukarno sendiri secara bersendagurau
sering disebutnya sebagai orang-orang yang berlaku seperti pemegang saham dalam
sebuah perseroan terbatas yang namanya Republik Indonesia. Di puncak masa
kekuasaan Sukarno, 1963, establishment ini mempunyai harapan-harapan tinggi
kepada masa depan. Irian Barat sudah menjadi bagian Indonesia. Deklarasi
Ekonomi (Dekon) diumumkan sebagai niat baik para pemimpin Indonesia. Dan tahap
pembangunan ekonomi akan segera dimulai. Justru pada saat rising hopes, di mana
mereka telah kenyang dengan visi dan kini ingin bekerja tenang, Sukarno
melancarkan politik konfrontasinya dengan Malaysia. Sukarno keliru menganalisa
keadaan. Malaysia jauh lebih kuat dan kokoh daripada yang dikira Sukarno dan
orang-orang di sekelilingnya. Lebih berbahaya lagi baginya, karena Sukarno
tidak menyelami suasana Indonesia pada saat konfrontasi dengan Malaysia. Dalam
tahun-tahun 50-an ketika Sukarno melancarkan konfrontasi dengan Belanda
mengenai Irian Barat, saat itu memang penuh dengan kekhawatiran akan macetnya
revolusi, saat rising fears. Akan tetapi Indonesia dalam tahun 1963 penuh
dengan harapan. Dan dalam masa rising hopes, establishment tidak lagi
membutuhkan Sukarno. Saat rising fears adalah saat yang cocok bagi Bung Karno.
Peranan Sukarno dalam sejarah Indonesia terlihat paling besar pada
saat-saat adanya kemacetan. Dalam 1927 tampilnya Sukarno ke depan menolong
pergerakan nasional dan memberikan arah dan arti baru padanya. Baik situasi
maupun pribadinya memang paling cocok dalam keadaan-keadaan tersebut. Pada saat
pembentukan negara Indonesia sekali lagi pidato Pancasilanya memecahkan
pertentangan-pertentangan antara berbagai golongan. Pada saat (1959) kehidupan
politik macet karena perpecahan partai-partai dan ancaman kup di daerah-daerah
peranan Sukarno dengan konsepsi presiden
berdasarkan Undang-Undang Dasar 45 sekali lagi terlihat. Pada saat
itulah “aksi dengan perbuatannya” terlihat. Penyatuan Irian Barat dengan
Indonesia dapat dikatakan jasanya dan hasil keuletan pendapatnya. Selain itu
tuntutan-tuntutan dan daya upayanya mengenai Irian Barat memberikan semangat
bagi sebuah keadaan yang diancam dengan kepuasan diri sendiri, kemacetan dan
sinisme. Bahaya-bahaya kemacetan dalam tahun-tahun 50-an memang besar. Dan visi
Sukarno mengenai Irian Barat seakan-akan memberikan semangat baru pada
revolusi. Di sinilah peranan Bung Karno yang terbesar yaitu pada masa-masa
adanya kekhawatiran dan adanya kemacetan.
Establishment Republik Indonesia muncul dari masa pergerakan dan
revolusi. Apakah dasar penseleksian untuk menjadi pemimpin di antara 100 juta
orang Indonesia ini? Apa latar belakang sosial pemimpin-pemimpin ini? Yang
utama tentu bahwa mereka itu setuju dengan cita-cita Indonesia merdeka,
berperanan dalam pergerakan dan revolusi atau paling sedikit tidak menentang
tercapainya Indonesia merdeka. Namun salah satu ukuran yang menonjol dalam
penseleksian ini adalah dasar pendidikan establishment tersebut.
Kabinet-kabinet yang pernah memerintah senantiasa memiliki rasio yang tinggi
dari menteri-menteri tamatan universitas atau paling sedikit HBS (sekolah
menengah). Pendidikan rupanyanya menjadi ukuran untuk memperoleh tempat penting
daripada semangat, rasa nasionalisme yang lain. Hal ini membatasi dan
memberikan ciri-ciri pada pimpinan revolusi dan politik Indonesia. Orang-orang
yang berpendidikan tinggi biasanya berasal dari kalangan yang sudah berstatus
sosial tinggi. Sukarno merupakan bagian dari elite ini dan juga merupakan tokoh
unik di dalamnya.
Penutup
Yang demikian menyolok mengenai Sukarno adalah bahwa dia berdiri
sendirian dan tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding.
Sukarno tidak memiliki tangan-kanan dan tangan-kiri yang terpecaya, kecuali
(mungkin) pada akhir-akhir kekuasaannya. Subandrio pun bukan alter-ego yang
sebenarnya. Untuk itu Sukarno sudah terlalu lanjut usianya. Pada akhirnya
Sukarno hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut serta
para pengagum dan bukannya partner. Rencana partai pelopor pada masa
kekuasaannya juga sudah terlambat untuk direalisir. Seperti pada awal karir
politiknya, maka dalam detik-detik terakhir kekuasaan dan hidupnya, Sukarno
berdiri lagi. Sendirian. Ada semacam keagungan melihat tokoh revolusi ini
mencoba memberikan arah kepada jalannya revolusi. Tetapi di sana dia berdiri.
Sekali lagi sendirian. Sedangkan segala arus umum menentangnya. Di mana tempat
Sukarno dalam sejarah? Kita ikhlaskan saja kepada sejarah untuk membicarakan
itu. untuk sementara orang hanya dapat menilai peranannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar