Sabtu, 28 Mei 2016

SUKARNO: MITOS DAN REALITAS


            Oleh Onghokham

Sukarno adalah pribadi yang kompleks. Dia dilahirkan di bawah bintang Gemini yang menurut pendapatnya sendiri memberi corak yang beraneka-warna pada pribadinya. Persoalan Sukarno erat sangkut pautnya dengan persoalan bangsa kita sendiri. Pada masa puncak-puncak kekuasaannya, Sukarno digelari Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Aminul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain-lain. Dan tiba-tiba semua gelar-gelarnya dicopot. Jasa dan peranannya ditiadakan. Malahan dia diejek. Persoalannya kini bukan saja “siapakah Sukarno” akan tetapi “siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang?” Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik? Apa kita semua bersifat Gemini?

Ada berbagai pandangan sarjana luar negeri yang turut memikirkan Sukarno dan kita. Yang menyolok di antara mereka adalah Bernard Dahm. Teorinya adalah bahwa Sukarno tidak lain daripada seorang tokoh dalam tradisi Ratuadil-Ratuadil di Indonesia yang untuk sementara dapat menghipnotisir masyarakat. Dengan cara sophitisticated  dia berusaha menjelaskan teori ini. Dan pula ada orang-orang bodoh yang juga melihat Sukarno sebagai satu-satunya penyebab revolusi Indonesia. Bagi kaum reaksioner ini berarti bahwa kalau saja momok revolusi bisa dihilangkan maka revolusi Indonesia akan selesai. Pihak-pihak reaksinoner yang dimaksudkan adalah Belanda. Maka sayang kata mereka bahwa pada waktu itu tidak ada tidak atau tidak mampu “mem-Diponegoro-kan” Sukarno. Kaum reaksioner inilah yang lalu membuat legenda Sukarno. Dikatakan bahwa Sukarno sebenarnya seorang Indo atau mempunyai darah Belanda sebab tanpa ini tentu tidak bisa melakukan kerja raksasanya.

Ada sarjana-sarjana yang melihat Sukarno sebagai seorang Ratu Jawa yang berpeci, pemimpin tradisionil dalam bentuk modern. Spekulasi-spekulasi ini memang menarik dan masih akan merupakan perdebatan yang tak berakhir.

Di sini saya akan berusaha menempatkan Sukarno dalam perkembangan sejarah Indonesia yang terakhir – artinya selama bergeraknya Sukarno sampai akhir kepresidenannya. Saya akan berusaha untuk meneliti pemikiran-pemikiran Sukarno dalam rangka pertumbuhan pergerakan nasional Indonesia, sebab antara Sukarno dan zamannya selalu ada semacam dialektik, hubungan timbal balik. Saya akan melihat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya, serta peranannya dalam pergerakan, revolusi dan zaman kemerdekaan.

Masa muda

Sukarno berasal dari keluarga priyayi rendahan. Ayahnya seorang guru. Kedudukan sosial-ekonomis keluarganya hanya agak sedikit lebih baik daripada golongan marhaen yang nanti nasibnya akan diperjuangkan Sukarno. Selain asalnya, Sukarno tidak lagi mengenal segala bentuk persamaan lain antara dirinya dan kaum marhaen. Pendidikan Sukarno menempatkannya dalam kalangan atas masyarakat Indonesia: ELS (Sekolah Dasar Belanda), HBS (Sekolah Menengah Belanda) (tamat 1921). Tahun 1927, ketika Sukarno memulai karir politik yang sesungguhnya, tidak lebih dari 78 orang Indonesia yang mempunyai ijazah HBS. Ini berarti satu diantara 7 juta manusia Indonesia memiliki ijazah tersebut. Lebih sedikit lagi jumlah orang-orang Indonesia tamatan universitas seperti Ir. Sukarno. Para pemimpin pergerakan nasional kebanyakan ditarik dari yang berpendidikan tinggi ini. Tanpa memperhatikan ras, agama, asal dan suku bangsa, orang-orang Indonesia yang berpendidikan tinggi merupakan suatu elite tersendiri. Mereka saling mengenal, berhubungan erat, merasa setingkat dan agak sinis terhadap satu sama lain, namun bersatu karena adanya suatu jurang dalam yang memisahkan mereka dari rakyat yang buta huruf dan dicengkram keterbelakangan. Neopriyayisme  mudah timbul di antara mereka.

Di samping kedudukan elitisnya, ada juga gangguan terhadap kesadaran sosial pada diri mereka. Dalam hal ini Sukarno menempati kedudukan yang unik. Selama masa HBS-nya dia berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang kharismatis. Dengan mudah Sukarno yang cerdas diperkenalkan kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java, anggota SI. Sejak 1911 Sukarno telah menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam penerbitan-penerbitan nasionalis, Oetoesan Hindia. Di sana ditulisnya: “Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budak Imperialisme. Dengan kekuatan Islam Insja Allah itu segera dilaksanakan.” Dalam hubungan pertanyaan apa yang akan terjadi bila Indonesia telah merdeka, Sukarno muda menulis: “.....Apa artinya memerintah sendiri kalau itu dilakukan oleh pengikut-pengikut kapitalisme dan imperialisme?” Lebih menarik lagi di masa Sukarno muda ini adalah tindakan-tindakannya. Dalam suatu pertemuan Jong Java, bagian dari Budi Utomo, Sukarno mengagetkan semua hadirin dengan penolakannya untuk mempergunakan bahasa Jawa kromo. Sebab sebagai penganut Jawa Dwipa (gerakan untuk menghapuskan pemakaian tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa) yang lahir di Surabaya, dia menolak pemakaian tingkatan-tingkatan bahasa. Sukarno memakai bahasa Jawa ngoko (rendahan). Dengan jelas Sukarno mau menghilangkan kedudukan elitisnya atau menghapuskan elitisme. Populisme Sukarno terlihat juga pada tulisannya pada tahun 1921, ketika perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera dan lain-lain merencanakan persatuan. Ini dianggapnya tak berguna. Sukarno menulis untuk apa mengejar cita-cita yang muluk-muluk, “para intelektuil harus memikirkan nasib rakyat.” Sikap terakhir ini memang sangat berlainan dengan sikap-sikapnya di kemudian hari untuk menggalang persatuan.

Akan tetapi mungkin yang terakhir ini adalah hati nurani Sukarno yang sebenarnya: “pikirkanlah nasib rakyat.” Rakyat selalu menjadi perhatian Sukarno yang utama. Baik marhaenismenya, pidato-pidato sandang pangan, amanat penderitaan rakyat dan identifikasinya sebagai penyambung lidah rakyat, itulah yang disayanginya. Ucapan Belanda bahwa rakyat Indonesia cukup hidup dengan pendapatan segobang (2,5 sen) sehari, betul-betul membangkitkan amarahnya. Bagi pemimpin-pemimpin Indonesia lain kemakmuran rakyat memang penting. Akan tetapi pertimbangan-pertimbangan lain seperti kebebasan pribadi tidak kurang pentingnya. Atau pertimbangan bahwa kemakmuran rakyat tidak dapat dipisahkan dan malah tergantung dari soal produksi, yakni pembangunan. Karena itu memikirkannya secara segera adalah tidak riil. Bagi mereka populisme Sukarno dapat membahayakan kebebesan pribadi dan pembangunan. Untuk apa menciptakan impian-impian muluk di kalangan rakyat kalau itu toh tidak dapat direalisir?

Yang menarik dari Sukarno di sini adalah tiga unsur pokok pemikirannya, yakni anti elitisme, anti imperialisme-kolonialisme. Dan bagi Sukarno ketiga-ketiganya identik dengan nasib rakyat. Pemikiran-pemikiran dasar ini akan tetap menjadi tema Sukarno.
 
Ideologi Sukarno

Setelah tamat HBS di tahun 1921, sebenarnya Sukarno dapat langsung terjun ke masyarakat, misalnya menjadi pemimpin politik, sebab dasar-dasarnya cukup kuat. Tetapi Sukarno memilih meneruskan studinya ke Techische Hoge Schoo (THS-ITB sekarang) yang setahun yang lalu dibuka. Pematangan diri dan studi yang dipilihnya dan bukan glamor seorang politikus. Ciri pemimpin Indonesia seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir adalah bahwa semasa mudanya, mereka dapat mengatur hidup menurut cita-cita serta peranan yang mereka idamkan. Maka dari itu menurut ukuran usia tokoh-tokoh politik yang lain, Sukarno sebenarnya sudah agak lanjut umurnya ketika tampil ke depan panggung pergerakan nasional secara sungguh-sungguh. Setahun sebelum Sukarno tamat THS pada tahun 1926 dia ikut mendirikan Algemene Studie Club Bandung, yang menerbitkan Indonesia Muda.

Masa belajar di THS digunakan Sukarno seluruhnya untuk menelan buku-buku mengenai nasionalisme, marxisme, persoalan-persoalan internasional dan sejarah. Dalam kuliah di THS hal-hal tersebut sama sekali tidak diajarkan. Pengaruh buku-buku ini terlihat dalam pidato pembebasannya di depan pengadilan kolonial (1930) yang terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat”. Pengetahuannya  mengenai Indonesia terlihat dari kutipan-kutipan para sarjana kenamaan pada zamannya. Dan dia menyandarkan diri sepenuhnya pada tingkat kesarjanaan Belanda pada waktu itu: P.J. Veth, Snouck Hurgronje dan lain-lain. Namun kesadaran akan nasib Indonesia diperoleh melalui pemikir-pemikir Marxis Barat yang tergolong dalam sosial-demokrasi. Dalam hal ini ada sekelompok pemikir sosialis Belanda yang dikutip Sukarno seperti P.J Troelstra, pendiri partai sosialis Belanda, H. Roland Holst, seorang pengarang wanita yang sangat imaginatif dan dua pemuka sosialis lain yang kurang penting yaitu H.H. van Kol, seorang anggota parlemen Belanda yang pernah mengunjungi Indonesia dan J.W. Alberds yang di tahun 1930 menjadi pembicara utama partai sosialis dalam parlemen Belanda. Namun harus diingat bahwa pidato “Indonesia Menggugat” diucapkan dan ditujukan kepada hakim-hakim Belanda dan secara tak langsung kepada rakyat Indonesia terutama golongan cendikiawannya. Sukarno ingin menekankan ironi proses pengadilan yang dari mulanya disebut proses politik. Apa yang diperbolehkan orang-orang Belanda di Nederland tidak diperbolehkan oleh orang-orang Belanda yang sama juga di koloninya. Namun Sukarno tidak membatasi diri pada tokoh sosialis Belanda saja. Yang tidak jarang disebutnya, juga di kemudian hari adalah Otto Bauer dari Austria, H.N. Brailsford dari sayap kiri partai buruh Inggeris. Dia banyak menganalisa imperialisme Inggeris. Analisa serupa sesuai untuk meneropong hubungan Indonesia-Nederland. Dua tokoh lain rupanya sangat cocok dengan Sukarno yaitu Karl Kautsky dari Jerman dan Jean Jaures dari Perancis. Yang terakhir ini sering disebut-sebut dalam seluruh karir Sukarno.

Mengenai kutipan-kutipannya yang diambil dari pemuka-pemuka sosialis ini Sukarno senantiasa mendapat kritik para sarjana Barat. Dikatakan bahwa Sukarno mengutip secara salah, tidak tepat atau di luar rangkaian di mana kata-kata tersebut digunakan. Bagi Sukarno memang hanya kegunaannya yang difikirkan, atau kecocokan dengan keadaan di Indonesia. Sosialisme Sukarno tidak tumbuh di kalangan pemikir-pemikir yang sefaham seperti lazimnya timbul dalam partai-partai Sosialis atau marxis lainnya. Hal ini agak berbeda dengan pertumbuhan Hatta dan Sjahrir yang berpenglaman di luar negeri dan hadir dalam kongres-kongres sosialis internasional. Bagi tokoh-tokoh seperti Hatta dan Sjahrir ideologi Sukarno terlalu bersifat “Sukarnois”. Hal ini terutama karena keengganan Sukarno yang terkenal terhadap soal-soal ekonomi. Sebaliknya bagi Sukarno persoalan ekonomi yang dibicarakan Hatta bukan persoalan ekonomi sosialis. Ia terlalu mendetail. Tekanan kebebasan manusia dalam ajaran-ajaran sosial-demokrasi oleh Sukarno dirasakan sebagai mengarah kepada keelitisme. Sukarno memang hanya memikirkan pokok-pokok. Dan malah cendrung untuk berfikir dalam garis besar. Program-program yang mendetail mengenai masyarakat sosialis atau organisasi partai dianggap Sukarno sebagai sesuatu yang dapat memecah belah saja. Sebaliknya kesatuan ingin digalangkan dengan menam suatu tujuan yang jelas.
Tetapi Sukarno dan strateginya demikian sering dibicarakan sehingga kadang-kadang dapat kita lupakan apa yang sebenarnya menjadi dasar pemikirannya yaitu kapitalisme dan imperialisme. Kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme. Kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme terjalin erat dalam cita-cita masyarakat Indonesia idaman Sukarno. Kapitalisme menurut Sukarno adalah “suatu pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi....kapitalisme berarah ke  pemiskinan.” Dalam pidato-pidatonya kemudian Sukarno selalu menyebut penolakannya terhadap sistem masyarakat di mana manusia mengeksploitir sesamanya. Bahasa Sukarno yang imaginatif menunjukkan kebenciannya terhadap imperialisme yang baginya identik dengan kolonialisme: “Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan ambtenar BB (pejabat), bukan  pemerintah, bukan penguasa. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri...” Sukarno melihat imperialisme ini sebagai sebab dari segala kesengsaraan bangsanya, kemiskinan, tidak adanya kebebasan maupun pembangunan. Untuk menentang “nafsu” yang mencengkram tanah airnya ini, Sukarno akan serahkan dirinya, dan baginya imperialisme adalah obsesi hidupnya. Bangsanya tinggal di salah suatu tanah air yang terindah di dunia, tersubur dan terkaya – Ibu Pertiwi, Wanita yang elok. Tetapi penghuni-penghuninya miskin dan impoten. Dengan kesatuan kekuatan (samenbundeling van alle revolutionaire krachten) Sukarno ingin merebutnya kembali. “Nafsu” imperialisme ini merubah tanah-tanahnya yang subur menjadi perkebunan-perkebunan . Dan tambang-tambang penuh kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa pada tanah air ini dikuasai orang-orang asing. Sukarno tidak akan rela bila sejemput tanah pun dari Ibu Pertiwi ini dikuasai Belanda, simbol sebuah “nafsu”, yaitu imperialisme.

Strategi: negara dalam negara

Tahun 1926-27 Sukarno tampil untuk menjadi pemimpin politik. Pekerjaan sebagai asisten di THS ditolaknya. Sukarno malahan mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) sebagai jawaban bagi tawaran kerjasama dari pihak Belanda ini. Pada waktu itu pergerakan Indonesia dalam keadaan yang sangat suram. Sejak bangkitnya pergerakan kira-kira tigapuluh tahun yang lalu perpecahan di dalam dan tekanan dari luar telah merusaknya. Keaneka-ragaman masyarakat Indonesia, sukuisme, agama-agama, aliran-aliran isme-ismenya serta konflik-konflik sosial menggoncangkan pergerakan ini. namun dari semuanya juga dapat ditarik satu pelajaran bahwa rakyat dapat menghilangkan apatismenya untuk ikut serta bergerak. Sarekat Islam membuktikannya. Dalam waktu singkat Sarekat Islam dapat menarik ratusan ribu anggota-anggotanya penuh semangat. Sayangnya partai dengan penganut massal yang pertama di Indonesia ini dalam keadaan sangat merosot pada tahun 1927. Tujuan-tujuan Sarekat Islam ini tidak selalu jelas. Baru kemudian umpamanya Sarekat Islam menolak kerjasama dengan Belanda, dan menentang kapitalisme. Kritik terhadap kapitalisme didasarkan atas agama dan bukan karena struktur sosial. Sebab bukankah Islam menghalalkan pemetikan bunga dari modal? Dan bukankah penimbunan modal merupakan unsur pokok kapitalisme yang berdosa”? Dalam keadaan demikian dengan mudah pengaruh pimpinannya digeser oleh pimpinan-pimpinan yang lebih radikal, dan lebih mempunyai fikiran-fikiran sosial. Sarekat Islam pecah menjadi Sarekat Hijau dan Sarekat Merah yang kemudian tumbuh menjadi PKI. PKI mengorganisir pemberontakan 1926 terhadap Belanda akan tetapi pemberontakan ini gagal. Pemerintah Belanda menunjukkan tangan besi untuk menghancurkan PKI serta melarangnya. Ratusan orang dibuang ke Digul di Irian Jaya. Sejarah masa-masa terakhir tersebut meninggalkan dua kesan yang kuat membekas pada Sukarno. Daya tarik Islam dan kemampuan PKI untuk mengorganisir pemberontakan pertama dalam skala nasional. Pada tahun 1926 Sukarno menerbitkan tulisan pertamanya yang matang dalam Indonesia Muda: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Fikiran pokok di sini adalah nasionalismenya. Dengan cermat dia melihat bahwa suatu ide nasionalisme yang lebih dipertajam dengan tujuan-tujuan yang jelas akan dapat diterima semua dalam keadaan pergerakan pada waktu itu dan dengan itu mengorganisir kembali pergerakan. Tulisannya terutama ditujukan kepada elite pergerakan dan bukan kepada rakyat. Tercantum dalam konsepsi Sukarno seruan kepada para cendikiawan dan orang-orang Indonesia yang berpendikan karena mereka biasanya memiliki kecurigaan terhadap rakyat yang buta huruf. “Golongan-golongan konservatif,” katanya , menganggap rakyat kecil puas dengan nasibnya, puas dengan menonton peristiwa-peristiwa sejarah dan hanya mengabdi pada tuan-tuannya. Kepuasaan ini menurut Sukarno telah hilang dan bersama itu hilang pula kepercayaan rakyat kepada para penguasa. Rakyat tidak lagi menerima begitu saja pembagian masyarakat antara kaya dan miskin seperti dalam keadaan masyarakat tradisionil. Pada kesempatan lain Sukarno masih akan menulis dan kita sendiri masih ingat pada ucapan-ucapannya di kemudian hari: “cacingpun bisa bangkit, bila diinjak-injak.”

Sukarno dalam tulisannya tadi mencoba meyakinkan golongan-golongan Islam dan nasionalis untuk tidak Marxis-phobi. “Saya bukan orang Komunis, saya tidak memihak! Saya hanya menghendaki kesatuan, kesatuan Indonesia dan persaudaraan di antara berbagai gerakan.” Persatuan ini akan merupakan jembatan emas yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Namun dasar bahwa Sukarno merasa Marxisme adalah esensiil dalam perjuangan mungkin terletak pada pertumbuhan intelektuil Sukarno sendiri yang demikian dipengaruhi oleh Marxisme. Nasionalisme maupun Islam dirasakan sebagai faham-faham yang kurang tajam untuk menganalisa keadaan. Namun Sukarno hanya akan membatasi analisa marxisnya pada phenomena imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia. Justru sebaliknya menurut penilaian R. Mc Vey, Sukarno melihat rakyat ini sebagai suatu kelompok  yang tidak terbagi-bagi dalam klas tetapi sebagai suatu massa yang tak berbeda-beda. Aliran serta isme-ismelah yang membagi masyarakat dan bukan kedudukan sosial-ekonomi. Dalam hal ini Sukarno rupanya dipengaruhi oleh perkembangan analisa para sarjana pada waktu itu mengenai masyarakat Indonesia, di mana masyarakat terbagi dalam golongan elite (priyayi) dan rakyat kecil (wong cilik), yang memang juga merupakan pandangan tradisionil. Sukarno berbeda dengan Lenin – tokoh revolusi zaman Sukarno muda – yang mencapai tujuannya melalui disiplin sebagian masyarakat yaitu golongan proletar. Sukarno pada gilirannya ingin mencapai revolusi dengan konsepsi rakyat ini. sukarno justru melihat bahwa kaum proletar di Indonesia lemah. Tidak ada atau belum ada karena sistem eksploitasi Belanda yang terlalu banyak memeras dan memerlukan Indonesia sebagai tempat buruh murah.

Tampilnya Sukarno dengan konsep nasionalismenya pada saat di mana pergerakan mendapat pukulan dan hambatan dan di tengah-tengah kekacauan tujuan, membuka suatu babak baru dalam perkembangan nasionalisme Indonesia. Fokus baru diberikan Sukarno bagi pergerakan dan bagi semua orang yang terlibat dalam politik atau sadar akan politik. Dengan aksi dan programnya Sukarno bagi pergerakan dan bagi semua orang yang terlibat dalam politik atau sadar akan politik. Dengan aksi dan programnya Sukarno bertindak seolah-olah telah berdiri suatu negara di dalam negara kolonial. Salah seorang pendengar pidato Sukarno mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka. Dengan susah payah Sukarno akhirnya berhasil mendirikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia) di mana PNI mendapat mendapat peranan penting. Tetapi tahun 1930 diadakan razia terhadap PNI dan Sukarno ditangkap. Di depan pengadilan, Sukarno lalu mengucapkan tuduhan klasiknya terhadap kolonialisme baru – imperialisme. Sukarno dihukum dua tahun dan sekeluarganya dari penjara dia terjun lagi ke dalam kancah politik. Pada tahun 30-an ini di dalam penjara dan pembuangan Sukarno mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan melahirkan Marhaenisme.

Pada suatu waktu Sukarno berjalan-jalan di desa dan bertemu dengan seroang tani. Ketika ditanyakan siapa yang memiliki tanah yang sedang dikerjakan, sang petani menjawab, “Milik saya,” “Siapa yang memiliki pacul itu? “Milik saya,” katanya lagi, “Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu?” “Milik saya”, jawab petani sekali lagi. Petani itu bernama Marhaen. Jelas, kata Sukarno, si petani tidak menjual tenaganya  pada majikan sebagai seorang proletar. Si petani memiliki alat-alat produksi. Panen adalah panenya sendiri. Akan tetapi petani Marhaen ini tetap miskin. Usahanya hanya sekedar untuk melangsungkan hidup dari harta miliknya. Rakyat Indonesia menurut Sukarno adalah jutaan Marhaen – Marhaen seperti itu – kalau bukannya sebagian terbesar berada dalam keadaan Marhaen. Demikian juga para tukang besi, penjual di pasar, penjual sate/soto dan pedagang-pedagang kaki-lima adalah Marhaen. Kemiskinan  mereka ini adalah karena kolonialisme. Marhaen ini tidak akan berubah menjadi pelopor dan kekuatan revolusi kalau kesadaran mereka tidak dibangkitkan.

Yang menarik di sini adalah bahwa fokus Sukarno mengenai rakyat adalah sebenarnya “enterpreuneur kecil”. Hubungan-hubungan di dalam masyarakat ini tidak dilihatnya. Sukarno mengabaikan golongan-golongan seperti lurah, pamong desa, atau marhaen-marhaen yang mempunyai milik lebih besar ataupun tengkulak dan juragan-juragan batik yang kaya. Pun tidak dipersoallkan Sukarno jutaan rakyat yang tidak dipersoalkan Sukarno jutaan rakyat yang tidak memiliki tanah tetapi kerja sebagai penggarap atau buruh-tani, karena mengemukakan hal-hal ini hanya akan berarti memecah  belah. Di sini rupanya Sukarno mempersoalkan strategi pergerakan yang harus membangkitkan marhaen dengan memperhatikan nasib mereka juga. Buruh tani dan lain-lain rupanya diperkirakan akan terlalu apatis untuk dapat menghadapi dunia luar. Namun bagi Sukarno yang menjadi pertimbangan utama untuk melancarkan konsepsi Marhaen adalah buat meyakinkan elite Indonesia yang terdidik untuk menghilangkan konsepsi-konsepsi mereka sendiri mengenai rakyat. Konsepsi-konsepsi tradisionil kaum elite ini adalah seperti tercantum dalam kata-kata “rakyat bodoh”, “kampungan”, “orang dusun” dan seterusnya. Ungkapan semacam ini demikian berlimpah baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah. Konsepsi tradisionil elite ini didobrak dan diganti  dengan istilah Marhaen, sebab proletar tidak cocok malahan akan lebih mengagetkan elite. Terlepas dari masalah apakah itu strategis atau tidak, akan tetapi Sukarno bercita-cita untuk menunjukkan bahwa Marhaen adalah sebagian besar rakyat Indonesia. Dan mereka juga mempunyai hak untuk hidup.

Gelora Sukarno: perpecahan

Salah satu sebab mengapa Sukarno ditangkap pada tahun 1930 adalah pemakaian bahasanya yang keras. Sering dipakai kata revolusi, atau istilah-istilah lain yang radikal. Di depan pengadilan kolonial Sukarno menjelaskan pemakai kata-kata tersebut. Katanya nada pidato-pidatonya adalah untuk membangkitkan semangat rakyat. Sukarno menyangkal bahwa adalah tujuan PNI untuk menggulingkan Hindia Belanda dengan kekerasan. Memang PNI telah mengambil keputusan untuk menjalankan “aksi dengan perbuatan.” Namun manakah cara yang dipakai aksi ini? Apakah akan dipakai....”bom, bedil, dinamit! Tidak...” “Kami kaum PNI memang bukan sabar, memang kami bukan orang sedang, kami bukan uler-kambang.” Sukarno lalu mengutip Karl Kautsky, “sosial demokrasi adalah suatu partai revolusioner, tetapi bukan suatu partai revolusioner, tetapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi.” PNI tidak akan memakai “bom, golok dan dinamit....seperti tidak ada senjata-senjata lain yang lebih tajam.” “Kekuasaan semangat rakyat” itulah senjata yang paling tajam yang dilihat Sukarno. Namun tak ada hakim Belanda yang percaya.

Pemakaian bahasa radikal bagi Sukarno adalah alat seorang politikus untuk menggelorakan semangat rakyat dengan mana diisi keberanian serta kepercayaan akan hari depan. Bahasa  radikal pun sering digunakan kaum sosial-demokrat seperti Troelstra, Kautsky dan Jaures. Gaya kepemimpinan Sukarno ini akhirnya menyebabkan keretakan dalam kalangan pergerakan nasional, yaitu antara Sukarno di satu pihak dan Hatta serta Sjahrir di pihak lain. Kedua yang terakhir ini menekankan pembentukan kader dan kursus-kursus politik. Mereka melihat Sukarno kurang memperhatikan bidang ini.

Sebab langsung dari perpecahan dalam pergerakan adalah karena Mr. Sartono membubarkan PNI tanpa konsultasi dengan ribuan anggotanya ketika Sukarno ditangkap. Kemudian Partai Indonesia (Partindo) dibentuk. Sedangkan Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) atau PNI-baru. Sekeluarnya Sukarno dari penjara dia menggabungkan diri dengan Partindo.

Keretakan antara Sukarno dan Hatta-Sjahrir semakin mendalam. Tindakan sewenang-wenang Sartono dilihat sebagai hasil gaya kepemimpinan Sukarno yang menyebabkan struktur partai kurang demokratis. Sjahrir mengatakan bahwa gaya pimpinan Sukarno ini seperti orang yang memberikan jimat-jimat kepada rakyat dan membangkitkan perang jihad. Kritik mereka adalah bahwa cara machtsvorming (penggalangan kekuatan) akan menjebloskan pemimpin pergerakan ke dalam penjara sebelum kekuatan yang sesungguhnya terwujud. Ketika Belanda sekali lagi memukul pergerakan, Hatta menulis: “Tidak ada seorang lain kecuali dia yang membawa PARTINDO.....ke arah agitasi dan demonstrasi dan sekarang seluruh pergerakan kiri menderita di bawahnya karena itu.”

Pihak Sukarno sebaliknya melihat bahaya pembentukan kader-kader yang ketat. Sejarah  pemukulan terhadap PKI menginsyafkannya akan ini. “Kemauan” yang akan datang dari visi harus ditumbuhkan dengan segera di kalangan rakyat. Bagaimanapun juga keretakan antara tiga tokoh pergerakan tersebut kemudian berubah menjadi saling tuduh-menuduh melepaskan prinsip-prinsip perjuangannya ketika Belanda sekali lagi memukul pergerakan nasional. Dalam tahun 1933 baik Sukarno maupun Hatta dan Sjahrir dibuang. Yang pertama ke Endeh (Flores) dan yang lain ke Digul (Irian Jaya). Apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan antara ketiga pemimpin ini? Mungkin pengalaman mereka berbeda. Sukarno tidak pernah berada di luar negeri. Dia bertumbuh sendiri dan beraksi sendiri. Sukarno tidak pernah dikelilingi oleh orang-orang setara dalam pertumbuhannya dan dalam peran politiknya. Sedangkan Hatta dan Sjahrir melihat dan mempelajari struktur partai-partai di Belanda. Dan mereka dikelilingi kawan-kawan seperjuangan yang setingkat sejak permulaan. Sukarno dikelilingi rekan-rekan Indonesia yang tidak memperhatikan politik atau oleh orang-orang yang jauh lebih rendah pendidikannya. Ciri khas Sukarno adalah bahwa dia selalu berdiri sendiri.

Ada faktor yang lebih penting yang menyebabkan perpecahan. Sukarno percaya pada rakyat sedangkan Sjahrir melihat bahwa rakyat berada dalam cengkeraman feodalisme. “Setiap pemuda yang bersemangat harus melihat ke Barat...” tulisnya. Sukarno melihat bahwa dalam kebudayaan Indonesia sendiri ada motor-motor yang membangun. Bagi Sukarno, pembentukan kader-kader hanya akan menimbulkan elitisme saja. Ini berarti pergerakan tanpa memperhitungkan rakyat. Namun pada Sukarno pun sering timbul keraguan mengenai rakyatnya. Dalam tahun 1933, suatu tahun yang suram, dia menulis kepada seorang teman:
“........Kita tidak lain daripada menjiplak saja, untuk membuat hal-hal yang asli kita tidak mampu, belum mampu. Masih akan lama sekali sebelum pergerakan nasional akan berarti sesuatu..”

Kepada seorang teman lain dia mengatakan bahwa bila dia melihat kegunaan dari koperasi (kerjasama) maka dia akan kerjasama......
Dalam pembuangan di Flores, spirit Sukarno kelihatan masih tetap bergelora. Yang menjadi sasarannya kali ini adalah Islam. Kepercayaan Sukarno akan rakyatnya menyebabkan dia memakai cara-cara persuasi dan mencoba meyakinkan orang. Kekerasan tidak pernah atau jarang sekali dipakainya. Sukarno melihat bahwa pranata-pranata Islam di Indonesia kolot dan orang-orangnya tidak mengenal sejarah. Sukarno sadar bahwa semua negara Islam dalam keadaan mundur dan berada di bawah penguasaan asing. Sukarno menyerang status tinggi yang diberikan pada para Sajid, sebab “tidak ada agama yang menekankan persamaan daripada Islam.” Sukarno melihat bahwa banyak hadith-hadith salah yang masuk dalam ajaran Islam yang tidak ada hubungannya dengan agama: “...sehingga ajaran Islam dikelumuti oleh ketidak-tahuan, kekolotan, tahyul, ajaran-ajaran salah dan anti rasionalisme, sedang agama adalah lebih sederhana dan rasionil daripada ajarannya.” Tahun 1938 Sukarno dipindahkan ke Bengkulen. Dengan perbuatan dan pidato-pidatonya dia mencoba memodernisir Islam di sana.

Memang tidak banyak yang dapat diperbuat oleh pemimpin-pemimpin Indonesia. Namun Belanda membayar politiknya dengan harga yang mahal. Ketika perang Pasifik pecah di tahun 1941 dengan mudah Jepang menduduki Hindia Belanda tanpa orang Indonesia pun yang mengulurkan tangan untuk  menolongnya secara sungguh-sungguh. Hindia Belanda lenyap tanpa kemampuan membangkitkan pendukung-pendukungnya yang berarti baginya.

Sukarno dalam revolusi

Peranan Sukarno dan Hatta yang bersatu kembali sudah banyak diketahui untuk dijelaskan lebih lanjut. Kritik bahwa mereka bekerjasama dengan Jepang dan mau disamakan dengan para kolaborator Jerman di Eropa, tidak tepat sebab keadaan Indonesia lain dengan negara-negara merdeka di Eropa. Sjahrir pada waktu itu memutuskan untuk tidak ikut dalam kehidupan politik tetapi mengadakan hubungan erat dengan yang kemudian dikenal sebagai dwi-tunggal revolusi. Yang memecah belah tokoh-tokoh revolusi pada waktu itu bukan persoalan “kolaboarasi” dwi-tunggal tetapi cara memproklamirkan kemerdekaan dan cara merebut kekuasaan dari Jepang.

Benedict Anderson, sejarawan tahun pertama revolusi Indonesia menulis bahwa pada saat “kritis proklamasi” elite politik Jakarat dibagi dalam dua golongan. Sukarno-Hatta di satu pihak dan mereka yang disebut tokoh-tokoh politik sebelum perang dan kaum pemuda di pihak lain, yang diwakili oleh Adam Mali, Chaerul Saleh, B.M Diah, Wikana dan lain-lain. Kaum pemuda ingin merebut kekuasaan dari Jepang dengan kekerasan. Sukarno-Hatta menunjukkan bahwa persoalannya bukan lagi Jepang yang sudah menyerah tetapi Belanda. Untuk apa menjatuhkan korban-korban dan pertumpahan darah yang sia-sia. Kekuatan tokoh politik sebelum perang ini terletak pada nama mereka dan karena itu kemampuan mereka untuk berunding dengan Jepang, sekutu dan akhirnya Belanda. Konflik di antara kekuatan-kekuatan revolusi Indonesia selama 5 tahun didominir oleh masalah diplomasi dan perjuangan. Sukarno, Hatta dan kebanyakan tokoh politik yang memegang pemerintahan menjalankan diplomasi perundingan-perundingan dengan sekutu dan Belanda sebagai strategi mereka yang utama.

Pertanyaannya adalah apakah dengan demikian pimpinan nasional yaitu presiden dan kabinet-kabinetnya mengisolir diri dari perjuangan? Terutama apakah mereka mengisolir diri dari tenaga-tenaga revolusioner? Segera setelah Republik Indonesia diproklamirkan Sukarno mengadakan perjalanan, tour ke seluruh Jawa. Tidak pernah dia tinggal diam dan di mana-mana berpidato. Dan kharismanya menangkap jutaan manusia yang sekarang hanya memiliki satu harapan. Anderson menulis: “Kalau secara rasionil Sukarno setuju dengan politik hati-hati yang dilakukan kabinet, maka dalam hatinya dia memahami bahwa di mana kekuasaan administratif pemerintahan sedang berada dalam keruntuhan, maka makna gambaran-gambaran dan janji-janji akan bertumbuh. Dan dalam zaman kekacauan dan pembebasan akan merupakan tata susunan yang riil.

Namun Sukarno, Hatta, tokoh-tokoh politik lain adalah orang sipil selama karirnya. Dengan tiba-tiba sekarang mereka ditempatkan dalam kedudukan sebagai kepala negara dengan pemerintah yang mereka idam-idamkan. Namun mereka mengira akan memperolehnya dengan cara lain. Kesalahan-kesalahan dibuat. Atas desakan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air) dibubarkan pada hari-hari pertama sesudah proklamasi – sedangkan PETA merupakan satu-satunya organisasi tentara dengan hirarki yang ketat. Atas dorongan pemuda-pemuda, Sukarno masih mencoba menghindarkan pembubarannya. Namun terlambat. Dan dengan demikian pemerintah kehilangan kesempatan selama beberapa tahun untuk mengontrol tentara. Malahan tentara sekarang tumbuh sendirian, dan tidak terorganisir. Perwira-perwira PETA kembali ke kampung-kampung mereka dan mengorganisir barisan perjuangan. Antara golongan-golongan perjuangan dan Sukarno tidak selalu ada hubungan mesra yang sungguh-sungguh, kalau bukannya diliputi kecurigaan. Hal ini sendiri mungkin mempengaruhi politik-politik Sukarno selanjutnya.

Pimpinan revolusi Indonesia tidak pernah mengembangkan strategi militer. Bahkan campur tangan sajapun tidak. Persoalan militer memang merupakan bagian terasing bagi Sukarno seumur hidup. Sukarno pun tidak menghasilkan anak buah yang sungguh-sungguh dapat dipercaya di kalangan militer untuk memberikan seluruh loyalitas kepadanya. Akan tetapi sebaliknya mungkin karena itu pengaruh politik dan ideologi Sukarno sedikit di kalangan militer. Proses perkembangan ini adalah tragedi revolusi Indonesia. Berlainan dengan revolusi Indonesia, Mao Tse-tung di Tiongkok dan Ho Chi Minh di Vietnam memakai militer sebagai alat revolusi dan mencampuri strategi militer kalau tidak melahirkan strateginya sendiri. Tokoh-tokoh revolusi di Tiongkok dan Vietnam mempunyai anak buah militer seperti Jendral Giap dan lain-lain. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh tersebut tidak ada satu katapun mengenai militer maupun mengenai gerilya dalam tulisan-tulisan Sukarno. Dan inilah yang akhirnya menjatuhkannya.

Dalam zaman revolusi Sukarno tidak saja terisolir dari soal-soal militer tetapi diapun merupakan orang yang sejak permulaan dikelilingi oleh suatu pemerintahan lengkap dengan birokrasinya dan partai-partai politik yang beraneka ragam. Republik Indonesia menjadi realitas tanpa satupun cita-cita dan ideologi Sukarno dipraktekkan. Pada permulaan memang ada rencana untuk membentuk partai pelopor (Staatspartei) namun rencana ini ditinggalkan demi menghapuskan segala sesuatu yang berbau Jepang atau fasisme untuk bisa berunding dengan Belanda. Juga dalam soal diplomasi, Sukarno tidak menunjukkan banyak pengaruhnya. Satu bidang lain rupanya juga tidak disukai Sukarno yaitu duduk di tengah-tengah meja  perundingan untuk tawar menawar. Diplomasi diserahkan pada Sjahrir dan tokoh-tokoh yang lebih dekat dengan Hatta. Hatta sebenarnya lebih banyak mencampuri soal diplomasi dan perundingan dengan Belanda. Namun selama tahun 1945-1950 antara Sukarno dan Hatta tidak ada persaingan atau perpecahan. Sukarno menyokong segala politik kabinet, juga dalam negeri seperti pemberontakan Madiun, dan lain-lain. Sebaliknya, meskipun mungkin peranan Sukarno kurang dalam pemerintahan sehari-hari, namun diplomasi pribadinya menjadi identik dengan revolusi. Kharismanya dipakai untuk menguasai massa rakyat. Simbolik Sukarno bagi revolusi ini, menyebabkan semua lapisan masyarakat Indonesia, tokoh politik, pemuda juga militer dan sipil serta yang penting sekali dunia luar, percaya akan realitas revolusi Indonesia.

Sukarno dan kemerdekaan

Tahun 1950 kemerdekaan Indonesia dicapai. Dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia. Sukarno menjadi presiden dari pemerintahan parlementer, yaitu presiden konstitusionil. Namun dalam batinnya sendiri Sukarno merasa dia adalah presiden bekas Hindia Belanda yang dicairkan dalam arti sosial politik. Irian Barat masih di tangan Belanda. Perusahaan Belanda masih berkuasa. Dan Indonesia adalah uni dengan kerajaan Belanda. Militansi Sukarno dan pidato-pidatonya yang berkobar-kobar mengerakkan hati rakyat. Namun kalau dalam zaman revolusi hal semacam ini demikian berguna, sekarang dianggap sebagai ancaman kestabilan negara baru. Sukarno tak henti-hentinya menuntut Irian Barat dikembalikan, bubarkan Uni, nasionalisir perusahaan-perusahaan Belanda. Banyak penguasa Republik Indonesia melihat peranan Sukarno sebagai suatu ancaman. Namun dia adalah presiden! Perpecahan di kalangan elite Indonesia ini pada akhirnya ditandai oleh perpecahan antara Sukarno dan Hatta. Hasil pemilihan umum 1955 menambah kegawatan karena banyak partai. Dan hasil yang dicapai PKI semakin menambah runyamnya keadaan. Sukarno hendak memberikan tempat kepada PKI. Nasionalisme, Islam dan Marxisme, fikirannya sebelum perang mau direalisirnya sekarang. Sebagai tekanan yang paling kuat di samping segalanya ini adalah cita-cita kemerdekaan yang belum dipenuhi, keadaan sosial dan ekonomis yang masih kacau. Semua pihak mengharapkan suatu penerobosan keadaan. Kup-kup militer telah mengancam keadaan. Percobaan-percobaan pembunuhan terjadi.

Setiap pemimpin  revolusi yang hidupnya berada dalam ancaman akan segera menyadari bahwa dia terkurung dalam kurun umurnya yang terbatas di dunia ini. karena itu Sukarno segera bertindak. Dimunculkan konsepsi Presiden yang kemudian menuntut kembalinya Undang-Undang Dasar 1945. Dan memang ia merupakan kerangka Demokrasi Terpimpin. Sistem Demokrasi Terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai (termasuk PKI), tentara dan presiden sebagai pihak ketiga. Biarpun tindakan-tindakan ini serta Demokrasi Terpimpin menjamin demokrasi dan pimpinannya diterima secara populer, namun semuanya mengandung kelemahan-kelemahan dalam dirinya. Sebab akhirnya segala sesuatu akan tergantung dari presiden yang mempraktekkan politik perimbangan. Sedangkan seorang presiden adalah manusia yang terkungkung dalam batasan umur. Selama presiden masih diperkirakan mampu melanjutkan hayatnya dan masih lama menguasai keadaan maka sistemnya diharapkan tetap kokoh. Akan tetapi sekali tanda-tanda penyakit timbul, sistem Sukarno pun mulai goncang. Hal ini mungkin bisa menjelaskan ketidak-tentraman Sukarno sejak tahun-tahun 1960-an. Dia mundar-mandir melakukan perjalanan ke luar negeri, berpesta pora. Dan Sukarno bergerak terus. Segalanya diperbuat untuk menunjukkan bahwa dia belum mendekati akhir hayatnya dan masih sehat, penuh kesegaran hidup dan semangat. Lebih pemuda dari para pemuda. Akan tetapi makin lama makin banyak orang melihat tanda-tanda ketuaan pada Sukarno yang semakin berumur. Kekuatan-kekuatan di luarnya mulai dipersatukan. Dan semuanya bersiap-siap untuk bertindak kalau-kalau akan terjadi sesuatu dengan pimpinan revolusi dan pimpinan negara. Semuanya berproses terus dan akhirnya menjadi sebab langsung kejatuhannya. Balon persatuan pecah berkeping keping dalam tahun 1965.

Sukarno sendiri insaf bahwa dia hanya seorang diri. Setelah bulan September 1965 Presidenn Sukarno dalam salah satu pidatonya yang masih saya ingat mengatakan: ....”Yang dimaksudkan di sini adalah “dengan suatu establishment.” Elite baru Indonesia oleh Sukarno sendiri secara bersendagurau sering disebutnya sebagai orang-orang yang berlaku seperti pemegang saham dalam sebuah perseroan terbatas yang namanya Republik Indonesia. Di puncak masa kekuasaan Sukarno, 1963, establishment ini mempunyai harapan-harapan tinggi kepada masa depan. Irian Barat sudah menjadi bagian Indonesia. Deklarasi Ekonomi (Dekon) diumumkan sebagai niat baik para pemimpin Indonesia. Dan tahap pembangunan ekonomi akan segera dimulai. Justru pada saat rising hopes, di mana mereka telah kenyang dengan visi dan kini ingin bekerja tenang, Sukarno melancarkan politik konfrontasinya dengan Malaysia. Sukarno keliru menganalisa keadaan. Malaysia jauh lebih kuat dan kokoh daripada yang dikira Sukarno dan orang-orang di sekelilingnya. Lebih berbahaya lagi baginya, karena Sukarno tidak menyelami suasana Indonesia pada saat konfrontasi dengan Malaysia. Dalam tahun-tahun 50-an ketika Sukarno melancarkan konfrontasi dengan Belanda mengenai Irian Barat, saat itu memang penuh dengan kekhawatiran akan macetnya revolusi, saat rising fears. Akan tetapi Indonesia dalam tahun 1963 penuh dengan harapan. Dan dalam masa rising hopes, establishment tidak lagi membutuhkan Sukarno. Saat rising fears adalah saat yang cocok bagi Bung Karno.

Peranan Sukarno dalam sejarah Indonesia terlihat paling besar pada saat-saat adanya kemacetan. Dalam 1927 tampilnya Sukarno ke depan menolong pergerakan nasional dan memberikan arah dan arti baru padanya. Baik situasi maupun pribadinya memang paling cocok dalam keadaan-keadaan tersebut. Pada saat pembentukan negara Indonesia sekali lagi pidato Pancasilanya memecahkan pertentangan-pertentangan antara berbagai golongan. Pada saat (1959) kehidupan politik macet karena perpecahan partai-partai dan ancaman kup di daerah-daerah peranan Sukarno dengan konsepsi presiden  berdasarkan Undang-Undang Dasar 45 sekali lagi terlihat. Pada saat itulah “aksi dengan perbuatannya” terlihat. Penyatuan Irian Barat dengan Indonesia dapat dikatakan jasanya dan hasil keuletan pendapatnya. Selain itu tuntutan-tuntutan dan daya upayanya mengenai Irian Barat memberikan semangat bagi sebuah keadaan yang diancam dengan kepuasan diri sendiri, kemacetan dan sinisme. Bahaya-bahaya kemacetan dalam tahun-tahun 50-an memang besar. Dan visi Sukarno mengenai Irian Barat seakan-akan memberikan semangat baru pada revolusi. Di sinilah peranan Bung Karno yang terbesar yaitu pada masa-masa adanya kekhawatiran dan adanya kemacetan.

Establishment Republik Indonesia muncul dari masa pergerakan dan revolusi. Apakah dasar penseleksian untuk menjadi pemimpin di antara 100 juta orang Indonesia ini? Apa latar belakang sosial pemimpin-pemimpin ini? Yang utama tentu bahwa mereka itu setuju dengan cita-cita Indonesia merdeka, berperanan dalam pergerakan dan revolusi atau paling sedikit tidak menentang tercapainya Indonesia merdeka. Namun salah satu ukuran yang menonjol dalam penseleksian ini adalah dasar pendidikan establishment tersebut. Kabinet-kabinet yang pernah memerintah senantiasa memiliki rasio yang tinggi dari menteri-menteri tamatan universitas atau paling sedikit HBS (sekolah menengah). Pendidikan rupanyanya menjadi ukuran untuk memperoleh tempat penting daripada semangat, rasa nasionalisme yang lain. Hal ini membatasi dan memberikan ciri-ciri pada pimpinan revolusi dan politik Indonesia. Orang-orang yang berpendidikan tinggi biasanya berasal dari kalangan yang sudah berstatus sosial tinggi. Sukarno merupakan bagian dari elite ini dan juga merupakan tokoh unik di dalamnya.

Penutup

Yang demikian menyolok mengenai Sukarno adalah bahwa dia berdiri sendirian dan tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding. Sukarno tidak memiliki tangan-kanan dan tangan-kiri yang terpecaya, kecuali (mungkin) pada akhir-akhir kekuasaannya. Subandrio pun bukan alter-ego yang sebenarnya. Untuk itu Sukarno sudah terlalu lanjut usianya. Pada akhirnya Sukarno hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut serta para pengagum dan bukannya partner. Rencana partai pelopor pada masa kekuasaannya juga sudah terlambat untuk direalisir. Seperti pada awal karir politiknya, maka dalam detik-detik terakhir kekuasaan dan hidupnya, Sukarno berdiri lagi. Sendirian. Ada semacam keagungan melihat tokoh revolusi ini mencoba memberikan arah kepada jalannya revolusi. Tetapi di sana dia berdiri. Sekali lagi sendirian. Sedangkan segala arus umum menentangnya. Di mana tempat Sukarno dalam sejarah? Kita ikhlaskan saja kepada sejarah untuk membicarakan itu. untuk sementara orang hanya dapat menilai peranannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar