Oleh Y.B. Mangunwijaya
Sjahrir dan “jiwa yang selalu hadir”
Dalam suatu gedung di jalan Malioboro Yogyakarta di tahun 1945. Di
sana diadakan sidang penting antara Sjahrir dan sekian banyak pemimpin rakyat,
pemuda, untuk menghadapi soal berat, yakni pertempuran Surabaya. Tiba-tiba di
luar terdengar letusan-letusan senjata. Listrik mati. Orang-orang semua
terkejut, merangkak di lantai mencari perlindungan. Ternyata tidak apa-apa.
Listrik menyala lagi. Hanya Sjahrir sendiri yang ternyata masih duduk tenang di
atas kursinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sjahrir diculik gerombolan
Tan Malaka di Solo. Orang-orang gelisah karena kemungkinan ditembak mati bukan
khayalan. Sjahrir tetap bersenda dan mengajak kawan-kawanya bermain ayun-ayunan
di bawah pohon. Humor tak pernah meninggalkannya. Di hadapan RRI ia lalu berpidato
menentramkan rakyat dan tak lupa ia berterimakasih kepada penculik-penculiknya
karena diberi “hari libur selaku selingan kerja berat sebagai Perdana Menteri.”
Bom-bom berjatuhan di benteng Vredesburg di muka Istana Presiden di Yogyakarta.
Belanda menyerang. Orang pada lari, panik atau murung. Sjahrir masuk kamar dan
dengan tenang makan nasi.
Saya tak ingin memberi kesan seolah-olah mencari perlindungan atau
bersedih hati itu sesuatu yang buruk. Dalam situasinya bahkan itu wajib dan
wajar. Saya hanya ingin memberi ilustrasi, bahwa salah satu jasa Sjahrir yang
tiada ternilai harganya dalam peristiwa-peristiwa nasional yang paling kacau
dan paling menentukan nasib negara kita pada waktu awal itu, ialah bahwa
Sjahrir tetap tenang. Penuh tegenwoordigheid van geest, kata orang Belanda.
Artinya harfiah: jiwanya selalu hadir. Tidak kehilangan akal, tidak bingung.
Dan dalam diri Sjahrir masih terdapat ciri satu lagi yang penting: “jiwanya
selalu hadir” dalam arti lebih jauh lagi, walau tidak lazim: ia tidak pertama-tama
memikirkan “cari selamatnya” sendiri-sendiri.
Fungsi dan jasa Sjahrir adalah menjadi pemikir dan nahkoda-pertama
yang tenang dan harus menjawab tuntutan wajibnya: melihat ke depan jauh sekali.
Sering bahkan bagaikan melalui radar. Ia adalah pelengkap paling tepat dan
vital di kala itu dari Sukarno-Hatta. Sukarno, yang menyalakan energi mesin
diesel yang dahsyat, penggerak bahtera yang sedang terancam. Sjahrir, nahkoda
yang berpikir dingin, tokoh yang bersih dari noda-noda kolaborasi Jepang dan yang
revolusioner. Itu disadari umum, oleh hampir semua pemimpin rakyat yang berarti
ketika itu (kecuali oleh yang berhaluan komunis tentu saja, atau yang bercara
kerja fasis, karena mereka memang sudah punya resep sendiri). Termasuk
Soekarno-Hatta sendiri. Juga para pelopor pemuda. Sjahrir tampil ke depan bukan karena ia
merebut kursi, tetapi karena ditarik, didaulat oleh para pemuda untuk menjadi Ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Semula
ia masih menanti, sampai sejauh mana KNIP adalah warisan Jepang atau memang
sudah mencerminkan kehendak rakyat Indonesia sendiri. Pada saat ia mengutarakan
alasan-alasan itu kepada Soegondo Djojopoespito dan nyonya, sahabat-sahabat
karibnya sejak bersekolah di Bandung, tiba-tiba datanglah Ny. Sri
Mangoensarkoro, disertai dua orang pemuda Barisan Pelopor, Soebadio dan
Soekarni, dan mendesak Sjahrir agar mau memimpin KNIP. Soekarni itulah yang
dalam rapat pertama KNIP (masih dipimpin oleh Singodimejo) berpidato berapi-api
selaku wakil pemuda, bahwa pimpinan negara tidak revolusioner dan orang-orang
yang duduk dalam kabinet (presidensiil) tidak didukung lagi oleh perasaan umum
dan karenanya harus diletakkan dalam tangan yang benar-benar bersih dari noda
Jepang dan yang revolusioner. Sjahrir segera faham bahwa situasi sudah berubah dan
langsung menerima panggilan pemuda-pemuda. Sikap itu sering ditafsirkan kelak
selaku “kebimbingan” akan tetapi sebenarnya merupakan keharusan saat,
perhitungan dingin, bahwa untuk menghadapi dunia internasional, dibutuhkan
tokoh non-Jepang murni. Yang terang terjadi ialah, bahwa begitu ia masuk
sidang, langsung ia diangkat jadi ketuanya yang baru. Dan itupun dengan
aklamasi.
Dari proses peristiwa itu ternyatalah, bahwa Sjahrir sudah diakui
oleh para pemuda selaku aktivis kemerdekaan selama zaman Jepang. Aksi-aksinya
di bawah tanah yang dari situasinya haruslah tersembunyi dan sering berlaku di
bawah empat mata ternyata telah menghasilkan efek politik praktis, paling
sedikit dalam kalangan pemuda terkemuka dan pada Sukarno-Hatta. Kepercayaan
yang begitu besar dan hampir tanpa reserve pada saat segawat bulan-bulan Oktober-November 1945 itu dan yang
menentukan segala-galanya bagi hari depan
bangsa, tentulah punya landasan moril dan rasionil yang sangat kuat.
Intuisi para pemimpin, baik yang muda maupun tua merasa dengan pasti, bahwa
melihat situasi keseluruhan beserta faktor obyektif-subyektif yang ada,
Sjahrirlah orangnya. Bukan bagai pengganti Sukarno-Hatta, melainkan sebagai
pelengkap “triumvirat de facto” Sukarno-Hatta-Sjahrir. Intuisi mereka ketika itu
masih murni, belum dicemarkan oleh perdagangan sapi politik dikemudian hari,
ambisi pribadi atau permainan klik kala nanti, ketika para pejuang sudah binnen masuk kota-kota lagi dan
kemenangan Republik membawa serta sekian petualang yang ingin berebutan hasil
perjuangan tahun-tahun pertama 45-50. Sebelum itu para pemuka rakyat hanya
terbawa oleh ide strategis yang meyakinkan dari brosur/manifes politik Sjahrir
“Perdjoengan Kita” yang ia terbitkan beserta kawan-kawannya di bulan Oktober
45. Kala itu mereka hanya mengenal keikhlasan untuk bersama menyelamatkan
Republik yang baru tiga bulan itu dari teror pihak Belanda maupun
tendens-tendens anarkistis dari pihak Indonesia sendiri yang membalas teror dengan teror. Di bulan
Oktober-November 45 sudahlah dirasakan, bahwa semangat bergelora tok yang
bersemboyan “Merdeka atau mati!,” betapapun heroisnya, namun toh tidak mungkin
memberi garansi keberhasilan revolusi. Akal sehat mulai sadar, bahwa yang
dicari ialah “Merdeka dan hidup.” Kenyataaan bahwa justru pemuda-pemuda
sendirilah yang menarik dan mendukung Sjahrir, padahal brosur “Perdjoengan Kita” penuh kritik yang
keras-tajam terhadap pemuda adalah bukti, bahwa ada “sesuatu dalam diri Sjahrir
yang meyakinkan semua, yang bersendi fondasi kuat, tidak lapuk oleh kekosongan
demagogi yang inflasi ketika itu, tetapi segar, muda, arif menjangkau jauh
sekali ke hari depan, tanpa melupakan situasi saat yang urgen, tidak borjuis.
Revolusioner tetapi tidak ngawur. Manifes “Perdjoengan Kita” memang
menggemparkan karena hampir setiap pemimpin dan pelopor langsung terkena oleh
kritik pedas Sjahrir terhadap mereka yang bekerjasama dengan Jepang. (Dalam
luapan emosinya Sjahrir memakai kata “anjing-anjing Jepang”. Ny. Soewarsih
Djojopoespito, yang mengetik naskah itu memperingatkan pada Sjahrir: mengapa
kau pakai kata-kata itu. Kan itu tidak sesuai dengan kepribadianmu?” Tetapi
Sjahrir menjawab: Sudahlah kali ini biar, bagaimanapun itu yang otentik sedang
saya rasakan.” Tetapi dalam cetakan kedua, kata kasar itu sudah diganti.)
Seandainya “Perdjoengan Kita”
tidak seberapa kwalitasnya, jelaslah tidak akan pernah Sjahrir diberi
kesempatan yang begitu besar dan luas. Sampaipun oleh Sukarno ia tiga kali
ditunjuk menjadi formatur dan
perdana-menteri. Civil courage yang
membuka kekeliruan kawan seperjuangan pada saat yang begitu kritis secara
terang-terangan tanpa tedeng aling-aling seperti yang dikerjakan Sjahrir
merupakan bukti, bahwa iklim politik masa itu masih bersih. Kritik masih
dihargai secara sportif, bahkan perkataan yes-man
tidak pernah terdengar. Bagaimanapun ternyata, hanya Sjahrirlah satu-satunya
(kecuali kaum Komunis), yang sudah siap dengan suatu konsepsi dasar yang arif
dan strategi yang lengkap, konsisten dan menyeluruh tentang apa yang harus
dikerjakan (dan tidak hanya diagitasikan) menghadapi lautan api teror Belanda
dan dunia internasional. Bahkan begitu jauh pandangannya, sehingga apabila kita
sekarang, sekian puluh tahun sesudah 45, secara tenang membaca ulang
tulisan-tulisan Sjahrir ketika itu, maka hampir setiap kalimat bisa langsung
saja kita pakai, seolah-olah Sjahrir menulisnya bukan di kala itu, namun
sekarang; dan tidak hanya tertuju kepada bangsa Indonesia, tetapi kepada setiap
penguasa negara-negara berkembang bekas koloni.
Kepada bangsa Belanda misalnya ia menulis:
“...tanah-tumbuh untuk
segala ekstremisme nasionalistis adalah situasi kompleks rasa minder, sosial
dan rohani, dari orang-orang Indonesia, rasa dendam terhadap sikap dari ras
yang memandang ke bawah pada jutaan kaum tertindas. Kenyataan itu tidak bisa
dihilangkan oleh politik kesejahteraan apapun, oleh politik etis apapun.
Penghargaan “dari hati yang berkenan” semacam itu terhadap daya-daya kebangunan rakyat yang pada tumbuh
hanya membawa kebencian, karena merupakan permainan atas kompleks-kompleks
minder orang-orang Indonesia. Itu sudah disadari oleh orang-orang seperti
Snouck Hurgronje dan Hazeau. Dasar rasa dendam terhadap kaum penindas hanya
dapat lenyap dengan jalan ikhlas memberi harga diri kepada orang-orang
Indonesia. Dan itu hanya bisa bisa terjadi, bila ada perubahan fundamental
dalam sikap jiwa penguasa kulit putih terhadap orang-orang Indonesia, suatu
perubahan dri sikap berkenan sang bapak yang jauh lebih bijaksana terhadap si
anak yang terbukti mulai bersemi prakarsa kerja dan kecerdasannya, ke arah
penghormatan yang sejati.”
Kata-kata negarawan arif. Yang tidak hanya berlaku untuk
pejabat-pejabat Belanda, tetapi juga untuk setiap pemerintah bangsa bekas
koloni, teristimewa pada kala orang mengira, bahwa hanya dengan “politik
kesejahteraan” rakyat akan terpesona berterimakasih melihat
pembangunan-pembangunan fisik, stabilitas ekonomi dan sebagainya; seperti
perkiraan Belanda dulu juga sebelum Perang Dunia II dan sesudahnya. Ada sesuatu
yang lebih dalam pada masa permasalahan nation
kita ini, dan itu secara tajam dilihat Sjahrir.
Tegenwoordigheid van geest Sjahrir sadar, bahwa musuh yang paling berbahaya bagi nation dan negara kita bukanlah pertama
dan terutama Belanda. “Kita kuat di tengah taufan dan badai,” kata Sjahrir
dalam KNIP 25 November 45 di Salemba, Jakarta. Bertanyalah wartawan Rosihan
Anwar selaku penyambung lidah orang banyak di bulan November kelabu itu,
“Apakah Bung Cilik ini tidak agak ironis? Belanda semakin hebat melakukan
terornya, Mr. Mohamad Roem ditembak dalam rumahnya. Pejambon dan Kramat Pulo
dibakar NICA. Semarang di bom, Rakyat bertempur dengan Jepang di Bukittinggi,
stasiun radio Jogya dihantam dengan bom roket. Masih Perdana Menteri berkata
dengan segala ketenangan: “Kedudukan
bangsa kita kuat.” Hanya wartawan luar negeri yang berkat pandangannya yang
luas tahu, bahwa Bung Cilik itu tidak berdemagogi: It’s magnificent! Intuisi
dan perhitungan rasionil Sjahrir (yang selalu up to date, entah dari mana bahan-bahan informasinya selama zaman
Jepang itu) yakin, bahwa Indonesia bermodal simpati serta dukungan dari hampir
seluruh dunia, baik dari pihak Inggris-Amerika, pemberi garansi terbesar akan
terlaksananya Atlantic Charter,
maupun blok Sosialis, Komunis. Bukan, bukan dari Luar bahaya terbesar mengancam
repbulik muda ini. bahaya yang terbesar sebenarnya sudah bersarang di dalam
bangsa Indonesia sendiri. Dari sebab itu, sementara Sukarno memobilisasi gelora
semangat massa agar berapi-api merupakan himpunan dan pemusatan tenaga rakyat
melawan Belanda,
Sjahrir dan kabinetnya merasa wajib mengatur tenaga raksasa itu ke dalam pengarahan yang benar. Agar jangan sampai energi-energi yang membumbung itu berubah menjadi demon-demon yang akhirnya hanya menelan anak-anaknya sendiri, seperti yang terjadi dalam sekian revolusi di negara-negara lain. Sebab, jiwa kolonialisme dengan segala aspeknya yang negatif bukan saja ada pada si penjajah, namun secara tak sadar, sudah terhimpun pula di dalam darah daging orang-orang kita selaku hasil sekian abad kolonialisme. (“memang inlander” berarti Bung Hatta sudah marah sekali). “Sulit benar, demikian Sjahrir menulis untuk harian Merdeka, bagi orang yang berada di dalam pergolakan revolusi untuk mengetahui segala kekuasaan dan pengaruh yang berlaku atas dirinya serta atas masyarakat. Hanya orang yang telah sanggup meninjau ke belakang dengan hitungan abad, dengan lain kata, yang memang berpengertian tentang sejarah dan masyarakat, akan dapat berhadapan dengan suasana sejarah yang berupa revolusi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan tujuan sejarah.
Sjahrir dan kabinetnya merasa wajib mengatur tenaga raksasa itu ke dalam pengarahan yang benar. Agar jangan sampai energi-energi yang membumbung itu berubah menjadi demon-demon yang akhirnya hanya menelan anak-anaknya sendiri, seperti yang terjadi dalam sekian revolusi di negara-negara lain. Sebab, jiwa kolonialisme dengan segala aspeknya yang negatif bukan saja ada pada si penjajah, namun secara tak sadar, sudah terhimpun pula di dalam darah daging orang-orang kita selaku hasil sekian abad kolonialisme. (“memang inlander” berarti Bung Hatta sudah marah sekali). “Sulit benar, demikian Sjahrir menulis untuk harian Merdeka, bagi orang yang berada di dalam pergolakan revolusi untuk mengetahui segala kekuasaan dan pengaruh yang berlaku atas dirinya serta atas masyarakat. Hanya orang yang telah sanggup meninjau ke belakang dengan hitungan abad, dengan lain kata, yang memang berpengertian tentang sejarah dan masyarakat, akan dapat berhadapan dengan suasana sejarah yang berupa revolusi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan tujuan sejarah.
Agaknya salah satu sifat tiap-tiap revolusi adalah, bahwa ia buta, yaitu bahwa orang yang
berada di dalam suatu revolusi tiada dapat menangkap dan merasakan hukum
sejarah dengan pengertian, sehingga bagian terbesar dari pada tenaga yang lepas
dari ikatannya dan bergolak di dalam masyarakat itu terbuan percuma. Jika suatu
revolusi mempunyai pimpinan, maka adalah kewajiban pimpinan itu untuk
menghindarkan pemborosan tenaga di dalam revolusi. Dengan kata lain, pimpinan
harus berusaha supaya revolusi itu tidak buta dan dilakukan dengan pengertian.
Sjahrir menghargai jasa
Sukarno yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia dan menyalakan gelora
kemerdekaan di dalam massa rakyat. Sjahrir tanpa Bung Karno tidak berdaya
apa-apa. Sebaliknya Sukarno tanpa Sjahrir akan terbakar di dalam lautan api
yang ia nyalakan sendiri itu. Sjahrir yang terkenal
tajam dalam penilaian watak orang-seorang, pasti sudah tahu potensi
kreatif apa yang terdapat dalam diri
Sukarno, namun juga bahaya apa yang terkandung di dalam orator priyayi parlente
ini. Tetapi di kala itu pimpinan
revolusi belum retak. Orang saling berdebat sengit, tetapi dijaga fair play, dan orang mengakui kedudukan,
bakat serta fungsi masing-masing.
Sjahrir dan iklim politik
bersih
Munculnya tokoh jenis Sjahrir pada pucuk pimpinan revolusi 45 justru pada saat-saatnya yang paling
menentukan sebenarnya hanya bisa dimengerti dalam lingkup dan iklim politik
para pemimpin kala itu, yang menjunjung tinggi fair-play. Berpolitik bagi
generasi kala itu digenangi oleh
penghayatan suci, kebaktian kepada kawan sebangsa yang dina tanpa pamrih.
Pegangan kerja dan berfikir adalah menjunjung tinggi segala yang mulia dan
indah pada manusia dan pengangkatan bangsa dari keterbelakangan ke taraf kemerdekaan. Dari kesaksian umum, baik dari
kawan maupun lawan, (terkecuali lagi PKI dan golongan-golongan yang cenderung
fasis) Sjahrir adalah politikus yang
bersih dan jujur. Tidak pernah ia hanyut dalam godaan untuk main kotor
atau mengandalkan diri pada kekuatan senjata. Biasanya itu disebut “lemah
atau bimbang,” atau dicap “bukan politikus.”
Namun kita harus tahu, bahwa Sjahrir bukan satu-satunya orang yang
bersih di kala itu. Generasi perintis Republik kita di kala itu pada umumnya
terdiri dari tokoh-tokoh yang integer, sportif karena berjiwa budaya. Polemik
antara mereka berlakuk sangat terang-terangan tetapi saling menghormati. Tanpa
dilebih-lebihkan bisa dikatakan, bahwa iklim politik praktis generasi 28, yang senior maupun yunior,
yang masih mengalami pendidikan zaman
Belanda, punya sikap dasar kesatria
dan malu untuk berpolitik praktis secara rusuh. Bahkan PKI pun, yang mendapat
direksinya langsung dari Stalin, dianggap saudara seperjuangan demi kemerdekaan
bangsa. Naif tentunya, tetapi apapun yang kita katakan tentang generasi ketika
itu satu hal tidak bisa kita bantah: Akhirnya toh perintisan kemerdekaan bangsa
selaku hasil perjuangan politik praktis yang bersih itu, berbuah sukses.
Penganut Machiaveli bisa omong apapun, tetapi kemerdekaan bangsa kita bukan
buah politik praktis yang kotor, bukan hasil lika-liku kaum politik yang main
rusuh dan bukan berdasarkan prinsip “segala jalan dihalalkan oleh tujuan.” Juga
prinsip kaum imperialis Inggris right or
wrong my country tidak pernah dipakai maupun dijadikan pegangan oleh kaum
politik praktis generasi perintis, pendobrak dan konsolidator republik kita di
dalam badai taufun 45-50 yang nyaris menghancurkan republik semuda itu. Kita
harus bersyukur, bahwa bangsa dan negara kita bukan hasil gelap, bukan sebentuk
haram jadah. Dan sebagian besar itu adalah buah kenegarawanan Sjahrir, tanpa
meremehkan jasa pemimpin-pemimpin lain juga. Tentulah itu ditolong oleh keadaan, ketika pergerakan nasional belum
bersifat massal. Pelopor-pelopornya kaum cerdik pandai dari keluarga-keluarga
terhormat. Masih sedikit dimasuki kaum
petualang yang dalam setiap revolusi selalu timbul di samping para pejuang
sejati. Lagipula, menjadi perintis kemerdekaan bangsa membawa risiko besar
dijadikan kaum paria yang miskin, terhina, di penjara atau dibuang. Bukanlah
tempat nyaman untuk para politisi korup. “Seleksi di dalam pergerakan nasional
pada kami tidak dilakukan oleh pergerakan
itu sendiri, tetapi oleh Gubernemen (Hindia Belanda, YBM). Gubernemenlah
yang menjaga supaya jumlah akademisi yang tolol-tolol, yang menyangka harus
memberikan kepintarannya di dalam pergerakan, tinggal terbatas. Orang-orang intelektuil sejati yang ada masuk dalam
pergerakan rakyat kami, itulah intelektuil-intelektuil
kami yang pilihan. Momok Gubernemen menolong kami dalam hal itu! di
India dan Tiongkok lain halnya. Di sana pergerakan rakyat kebanyakan petualang
intelektuil.” Demikianlah Sjahrir menilai kawan-kawan seperjuangan segenerasi.
Sejenis penilaian yang bernada negatif sejak zaman Nasakom,
seolah-olah Sjahrir bukan politikus, melainkan “hanya” pemikir, (biasanya
ditambahkan predikat “pemuja Barat,”) itupun sudah waktunya kita revaluasi
secara lebih kritis dan historis. Dari sekian banyak tulisan, diskusi, polemik
dan aksi-aksi kongkrit dalam bidang politik kala itu, tampaklah jelas, bahwa
umumnya para pejuang generasi kala itu
memanglah pertama-tama pemikir. Dan untunglah alhamdulilah begitu. Tidak
seperti di beberapa negara Afrika: politisi belaka tanpa basis pemikiran yang
dalam dengan segala akibat yang kita lihat sekarang. Tetapi tidak perlu terlalu
jauh: benarkah para politisi kita di
masa ini pemikir juga? Pertanyaan yang cukup serius. Dualisme yang
dibuat-buat sejak zaman Nasakom antara sang pemikir dan sang politikus adalah
sumber malapetaka sejarah bangsa kita. Namun ternyata sejarah condong untuk
mengatakan, bahwa akhirnya, bagaimanapun jua, walaupun Sjahrir taktis kalah terhadap Amir Sjarifuddin, Muso, Sukarno,
sisa-sisa kaum fasis, namun strategis ia
menang. Sebab, sendi-sendi kebijaksanaanya yang sudah ia gariskan dalam
manifes “Perdjoengan Kita” ternyata tidak pernah usang, kendati benih-benihnya
sudah terberai dan tumbuh di petak-petak sawah lain.
Untuk para nasionalis dan our
Founding Fathers, terutama dalam lingkungan PNI dan Taman Siswa,
kemerdekaan bangsa secara politis dari Belanda betul merupakan target yang
mutlak harus tercapai, tetapi bukan tujuan terakhir. Kemerdekaan politik hanya
punya arti bila mendukung kemerdekaan yang lebih luas dan lebih dalam lagi dari
kehidupan manusia Indonesia. Teristimewa bagi yang terbelenggu jasmani rohani.
Erat dalam hubungan itu, pantaslah dicatat, bahwa Sjahrir (menarik sekali,
melawan arus pandangan umum kala itu) berpendapat, “Kebudayaan berarti sama
dengan civilization dalam bahasa Inggeris. Perbedaan antara civilization dan Kultur yang diperbuat orang Jerman saya anggap tidak berguna dan
saya tolak. Sangat menarik juga ialah, bahwa pengertian integral
kebudayaan-peradaban, yang mencakup juga segi moral, jadi secara totalitas tak
terbagi-bagi itu, telah masuk dalam redaksi final Mukadimah UUD 45, dalam sila
kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tentulah itu bukan
rumusan berkat Sjahrir. Akan tetapi yang tampak di sini ialah konformitas
citarasa antara Sjahrir dan para pemimpin rakyat lain dalam soal itu sadar atau
tak sadar. Diterjemahkan ke dalam politik itu berarti pendirian implisit, bahwa
tidaklah betul ada dualisme antara tujuan politis luhuru dan teknik politik
praktis yang boleh-boleh saja machiavelian kotor, asal itu demi tujuan politik
yang mulia dan murni. Kelirulah adalanya dualisme antara cita-cita, sila-sila
dan perumusan yang dijunjung tinggi dan di pihak lain praktek penanganan
masyarakat serta negara yang bermoto right
or wrong my contry, yang akhirnya toh akan berakhir pada mau menangnya
golongan sendiri.
Dalam generasi 08-28 dualisme tadi tidak ada. Kita bisa bertanya
terus: belum ada? pertanyaan yang begitu sulit, namun penting tak sepantasnya
dijawab tergesa-gesa begitu saja di dalam karangan pendek ini. namun dari dua
tulisan Sjahrir yang paling memperlihatkan pribadi Sjahrir, sebagai politikus
dan sebagai manusia, Perdjoangan Kita
dan Indonesische Overpeingzingen
dengan tenang dan jujur, kita melihat bukan hanya pemikir yang abstrak,
melainkan negarawan yang besar. Seorang ningrat yang merakyat, sosialis yang
kuat keyakinannya mengapa ia anti feodal dan anti fasis. Kita harus besyukur,
bahwa negara kita dalam awal pertama menghadapi dunia internasional face to
face, dan khusus si “musuh” Belanda, diwakili oleh manusia berjiwa mulia
setingkat Soetan Sjahrir. Di sini kita menghadapi seseorang yang tahu apa yang
harus dikerjakan dalam saat-saat yang serba kacau; dengan masa rakyat yang
minta garis pimpinan yang tegas dan benar, namun yang harus disegani juga dan dihormati
oleh lawan dan dunia internasional. Sjahrir memenuhi syarat-syarat itu. warisan
tegenwoordigheid van geest dalam arti
lebih dalam: kehadiran budi luhur tercermin pula dalam pidato perayaan satu
tahun merdeka, 17 Agustus 1946, ketika RI menghadapi Belanda yang picik-licik
memilih jalan-jalan tak jujur dan busuk jauh dari bijak untuk mengerti
tanda-tanda zaman. Di dalam situasi sesulit itu Sjahrir yang terjepit antara
ketololan Belanda dan emosi kekecewaan bangsanya berpidato, seolah-olah tidak
hanya untuk rakyat yang hidup di tahun 1946, namun untuk generasi-generasi
selanjutnya: “Perjuangan kita sekarang ini bagaimana juga aneh rupanya
kadang-kadang, tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebesan jiwa
bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan
sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.
Oleh karena itu kita sebagai bangsa percaya pada kehidupan, percaya
pada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah
belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau
bersumpah pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan datang untuk
kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menjepitkan kehidupan
kemanusiaan, tiada perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh-musuhan antara
sesama manusia.
Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai
bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita tidak percaya pada
mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan
semata-mata....Berhadapan dengan dunia kita tidak menggunakan jalan-jalan dan
akal-akal yang licik untuk mencapai maksud kita. Kita tidak percaya pada
jalan-jalan dan akal-akal yang demikian. Kita siap mengorbankan segala tenaga
harta benda hingga ke jiwa kita, untuk mencapai cita-cita bangsa kita yang
tinggi dan murni, akan tetapi kita tidak boleh menggunakan kelicikan dan
kebusukan di dalam perjuangan kita. Kita berjuang sebagai kesatria...
Bagi zaman yang lampau nasionalisme di dalam perhubungan antar
bangsa-bangsa sering hanya nasional-egoisme dan imperialisme...Kita tidak
demikian. Kebangsaan kita hanya jembatan
untuk mencapai derajat kemanusiaan diri sendiri kita, sekali-kali bukan untuk
merusakkan pergaulan kemanusiaan...Kebangsaan kita hanya satu roman dari
pembaktian kita pada kemanusiaan.”
Jika kita mengenang semua itu, dan meninjau peristiwa sejarah para
politisi kita sesudah tahun 1950, maka tidaklah mengherankan, mengapa di
kalangan luas generasi muda sekarang dan terutama di kalangan rakyat biasa
terasa suatu kerinduan dan dambaan akan etika dan tata negara tata masyarakat
bagi tanah air yang disebut dengan kata-kata asing clean government. Saya tidak percaya, bahwa machiavelinisme dan
praktek politik yang licik dan busuk adalah
suatu yang dikehendaki mayoritas rakyat dan generasi-generasi sesudah
28. Dan seandainya pun dengan cara-cara yang licik dan busuk kita bisa menang,
selalu pengalaman sejarah masih bertanya: sampai berapa lama? Apakah betul
“menang”? Apakah manusia-manusia dan politisi-politisi/penguasa-penguasa
kesatria benar sudah menjadi suatu uilstervend
ras, rare exception, the last Mohicans seperti yang disinyalir oleh Mochtar
Lubis? Barangkali generasi-generasi muda yang sedang tumbuh inilah yang akan
sanggup menghargai warisan tegenwoordigheid
van geest dan kearifan politik negarawan Sjahrir yang secara singkat padat
terbaca dari keyakinanannya:
“Kekuatan kita harus terdiri dari penumbuhan citarasa tentang
keadilan dan perikemanusiaan . hanya nasionalisme yang diemban oleh citarasa
seperti itu dapat memajukan kita di dalam sejarah dunia.
Sjahrir dan fasisme
Dari pihak lain si pemikir Sjahrir ternyata adalah politikus praktis
yang bergerak sangat cepat. Boleh jadi terlalu cepat untuk orang-orang lain.
Mendahului rekan-rekannya ia sudah menyusun secara matang program lengkap dan
sendi-sendi strategi bagaimana meraih pengakuan dunia internasional untuk
Republik Indonesia. Hanya dua orang sebenarnya ketika itu punya konsep yang
sungguh berarti: Sjahrir dan Tan Malaka. Selagi bangsa Indonesia
mendapat manifes Perdjoengan Kita, Sjahrir cepat-cepat langsung berofensif di
jantung negeri Belanda sendiri, dalam bahasa dan logat yang mereka mengerti,
melalui bukunya Indoneische
Overpeinzingen yang terbit di tahun
1945 itu juga di Nederland. Itulah ofensif psy war pertama yang dilancarkan oleh seorang negarawan Indonesia langsung
di tengah rakyat Belanda.
Tiada bandingannya ketika itu Sjahrir sadar, bahwa senjata paling
ampuh untuk memenangkan perjuangan Indonesia di dalam kemelut bom Nagasaki
Hiroshima ialah justru bukan senjata fisik. Melainkan kehausan dan kerinduan semua
bangsa di seluruh bumi yang sedang melihat puing-puing buatan mereka sendiri
pada segala yang manusiawi, yang ingin saling bersahabat, yang memberi
demokrasi sebenar-benarnya, setelah fasisme Barat dan Timur membakar
negeri-negeri mereka. Ke arah kemerdekaan dalam arti yang lebih luas dan betul,
dan yang sanggup melampaui garis-garis batas nasionalisme sempit. Barulah
apabila republik muda ini membuktikan bahwa ia bukan hanya bisa berevolusi
nasional, tidak lagi fasistis, maka barulah negara kita tidak dicap begitu saja
sebagai bekas kader Jepang yang militeristis fasis dan yang harus ditumpas
sekali jadi bersama Jepang. Maka tak jemu-jemu dan dengan risiko sangat besar
untuk dimaki-maki rakyat yang sedang mengangkat bambu runcing, golok, pistol
dan apa saja. Sjahrir dan kabinetnya bertekad memberantas praktek “teror
dijawab teror” dan sikap-sikap fasistis didikan Belanda dan Jepang. Dengan
cepat ia menawarkan Sekutu untuk mengungsikan tawanan-tawanan Jepang beserta
mereka yang berkeinginan keluar dari daerah Republik, dan begitu sekaligus
merebut pengakuan de facto bagi TRI. Dengan cepat dan luwes pula Sjahrir
menembus blokade Belanda sembari memperoleh pengakuan de facto lebih kokoh lagi
terhadap Republik dan aparaturnya dengan segala penjualan beras setengah juta
ton kepada India. Begitulah
berulang-ulang ia secara elegan tetapi fatal menyudutkan van Mook dan Belanda,
dan merebut posisi pengakuan dunia internasional yang sangat kuat, dan yang
untuk selanjutnya tidak bisa dihapus lagi oleh Belanda. Dan biarpun Sjahrir
menyingkir oleh partainya sendiri karena soal Linggarjati, (yang menyingkirkan
Sjahrir sebetulnya in causa adalah
Belanda dengan politiknya yang picik dan brutal). Namun toh harus diakui, bahwa
seluruh bridgehead, yang kelak dipakai oleh penerus-penerusnya untuk memaksa
Belanda menyerahkan kedaulatan, tiada lain adalah hasil diplomasi Sjahrir yang
serba gerak cepat itu. Taktis Sjahrir kalah, tetapi strategis ia pemenang.
Dan apa arti “zaman selalu meninggalkan Sjahrir” seperti yang dikatakan oleh
seorang sejarawan? Zaman mana? Zaman perebutan kursi? Zaman ambisi dagang sapi
politik tahun-tahun 50-an? Zaman Nasakom? Zaman diktator Sukarno besar, dan
sekian Sukarno kecil? Zaman korupsi dan kebudayaan komsumsi negara-negara
kapitalis? Zaman mumpung dan zaman represi kreativitas budaya, di mana kaum
intel kembali lagi ditakuti rakyat, seolah-olah PID Hindia Belanda dan zaman
Jepang belum pernah lampau? Jikalau itu yang dimaksud, maka yang dikatakan
sejarawan tadi sangat tepat. Sjahrir memang bukan politikus yang bisa dipakai
zaman-zaman seperti itu. dan jika ia tersingkir oleh zaman-zaman seperti itu,
sebenarnya kitalah yang harus berbahagia, masih mempunyai simbol yang murni tak
ternoda. Moh. Hatta pun tersingkir karena sebab yang sama. Kedua tokoh itu
terlalu demokrat dan terlalu berfikir lebih dengan abad daripada hanya dengan
tahun, untuk dikompromikan dengan suatu arah dalam sejarah bangsa yang sudah
sejak dulu mereka tentang.
Observasi Sjahrir yang tajam melihat, betapa lama dan mendalam akibat
masa silam. Sudah ada benih antitesis yang sejak awal mula ikut terkandung
dalam proses mencapai dan meneruskan cita-cita kemerdekaan. Dan beninh itu
adalah fasisme, termasuk fasisme nasional yang anti kemerdekaan. Pendidikan
chauvinistis fasistis oleh Jepang selama 3,5 tahun “menyermpurnakan” pembawaan
feodal pribumi beserta rasa minder yang sudah berabad-abad merupakan kromosom
bangsa yang terjajah. “Jiwa korupsi yang mulai timbul di zaman Jepang ini,”
begitu ia meramal pada sahabatnya keluarga Soegondo Djojopoespito, “akan jauh
sekali akibatnya.” Ketika itu baru timbul gejala dan istilah baru: tukang
catut. Tetapi lebih gawat dari mental catut adalah pendidikan militer fasistis
Jepang, terutama kepada para muda-mudi kala itu. Maka justru politik pemberantasan
radikal dan sikap anti fasisme pribumi itulah yang selalu menjadi program
kebijaksanaan kabinet-kabinetnya. Sungguh bukti keberanian sosial yang luar
biasa sikap semacam itu. Karena ia datang justru pada saat-saat bahasa bambu
runcing, golok-pelor dan penculikan-penculikan sedang laku. Dan benar, Sjahrir
sendiri pun akhirnya jadi korban penculikan. Sebab besarlah risiko untuk
terang-terangan menulis di tengah gelora
yang membara: “Seumurnya pemuda-pemuda kita hanya memiliki ketrampilan untuk
menjadi prajurit, artinya berbaris dan mematuhi perintah untuk menyerang, untuk
menerjang dan untuk mengorbankan diri dalam arti harfiah; mereka tidak pernah
belajar bagaimana untuk memimpin.” Demikian ia tulis dalam Perdjoeangan Kita. “Karena mereka tidak memiliki kemampuan itu,
maka propaganda dan agitasi kepada massa rakyat mereka lakukan juga dengan cara
yang mereka lihat dan pelajari dari orang-orang Jepang....jadi fasistis. Mental
pemuda-pemudi kita itu sangat disayangkan. Mereka selalu dalam keadaan bimbang
dan walaupun mereka penuh gelora semangat, mereka belum punya pengertian dari
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dalam tahap perjuangan yang sedang mereka
alami, sehingga pandangan mereka tidak jauh. Sering pegangan mereka
satu-satunya adalah semboyan “Merdeka atau mati!”, tetapi setiap kali bila
mereka merasa, bahwa kemerdekaan belumlah pasti sekali, sedangkan mereka secara
langsung juga belum menghadapi mati, mereka menjadi ragu-ragu.
Angkatan muda ketika itu secara sportif menerima kritik keras tadi.
Self critics mereka masih cukup sehat. Tetapi sebetulnya Sjahrir dalam
ketajaman visinya hanya mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah hidup di dalam
kalangan bangsanya dan yang sangat jelas dapat terbaca dalam karya para
sastrawan dan budayawan umumnya di masa itu, dan yang oleh H.B. Jassin disebut
Angkatan 45. Dari sekian cerpen dan roman novel buah sastra Angkatan 45 kita
lihat paralelisme dan kesatunafasan dengan apa yang dikatakan Sjahrir dari
Banda Neira kepada Pujangga Baru (jadi sebelum revolusi Chairil Anwar cs.
pecah) dan yang menampakkan betapa tepat pencerminan dunia politik atau
masyarakat atau kemasyarakatan di dalam kaca-kaca sastra:
“Menurut kehendak rakyat maka kesusateraan harus realis kasar, yaitu
naturalis, dan di sebaliknya sentimentil.” Ini hasila analisa antropologis dan
sosial yang penting. Adalah aneh bahkan paradoks sering kita melihat dalam
sejarah, betapa sering sadisme dan kekerasan sangat erat bergaul dengan sentimentilitas.
Orang-orang Jerman dan Jepang pada umumnya berwatak sentimentil, romantis.
Himbauan Blut und Boden, patos dan bombasme opera-opera Richard Wagner
(komponis favorit kaum Nazi dan seluruh Nasionalisme Nazi Jerman yang kita
lihat kembali pada sistem pendidikan dan keharuan Bushido Jepang adalah
contoh-contoh sentimentalitas yang tiada taranya. Dan justru unsur sentimentil
tersebut adalah ramuan fasisme Nazi, Jepang. Dan tiada lapisan masyarakat yang paling sentimentil dengan segala
gombyok-jambul dan kilau-kemilau keharusan dari pada kaum militer. Semakin
demokratis, semakin sedikit kadar bosbasme kaum tentara, dan semakin fasis
semakin benderang pula sentimentalitas rakyat merupakan kendaraan yang enak dan
nafsu-nafsu kekerasan, sadisme sosial dan fasisme terbuka maupun terselubung.
Apalagi bila itu dimiyaki dengan magi takhayul dan kecendrungan-kecendrungan
feodal pribumi. Maka tidaklah mengherankan, apabila Sjahrir dan sejajar senafas
dengannya, para sastrawan 45, terutama Pramudya Ananta Toer sebelum 1960 dan
Mochtar Lubis begitu gigih menerjang musuh dalam kalbu bangsanya, ialah fasisme
pribumi itu. dan bersyairlah Asrul Sani:
“Aku laksana dari lautan menghentam malam hari tinggi
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api.
Aku jadikan belantara jadi hutan mati....”
Ini tekad bangsa kita sesudah digodog oleh Sukarno, yang berhasil
menanamkan kepercayaan diri di dalam rakyat hingga sanggup membela Proklamasi.
Namun langsung di bawah kalimat tadi, Asrul bersajak:
“Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda....”
Yang terakhir adalah tugas Sjahrir dan kabinetnya.
Para pembaca sudilah membaca ulang esei H.B. Jassin yang sangat
berharga tentang Angkatan 45 dan “Humanisme Universil” seperempat abad yang
lalu namun yang masih sangat aktuil. Jassin tidak langsung bicara tentang soal
politik dan kenegaraan, tetapi segala sastra yang besar dan otentik selalu
berdimensi dan mewahyukan serat jaringan politik dan kemasyarakatan. Maka jika
ingin mengenal suhu dan riak gelombang politik atau kemasyarakatan yang sedang
berombak obyektif di dalam zaman, sebaiknyalah jangan membaca laporan
lokakarya atau pejabat pemerintah, tetapi bacalah roman-novel-sajak dan
telitilah senilukis-senipahat, last but not least dagelan-dagelan yang sedang
bergerak di masyarakat. (Apa justru karena inikah sekian pejabat dan kaum intel
sering keliru dalam menilai gerak dan suhu masyarakat, yakni karena mereka
kurang membaca (secara mendalam) roman, novel dan sajak-sajak para sastrawan
sezamannya?) Sjahrir sangat tekun membaca dan aktif dalam persoalan-persoalan
sastra, indikator dan detektor dari banyak hal yang sedang terjadi. Maka dalam
segi sastra inipun ia konsisten dengan apa yang ia permaklumkan dalam segi
politik. Bahkan apa yang dikatakan olehnya untuk dunia sastra seolah-olah
langsung dikatakan untuk dunia politik (dan sebaliknya): “Kesusastraan kita
tidak mesti direndahkan ukurannya sehingga dapat memuaskan keperluan rohani
rakyat yang belum diasah (yang kasar, sentimentil tadi, YBM) yang masih
primitif, akan tetapi kesusasteraan kita harus dapat mendidik rakyat banyak
(tampak di sini Sjahrir yang sosialis, YBM) supaya dapat menghargakan fikiran
dan perasaan, kesusasteraan yang halus jua. Kesusaseraan kita harus dapat
menghela fikiran dan perasaan rakyat pada tempat yang lebih tinggi....ke
realisme modern.” Maka dalam sastra periode 45-55 kita melihat, betapa besar
tema anti-fasisme, anti kesadisan pribumi mendapat perhatian dalam arus
realisme modern.
Fasisme adalah kediktatoran klik atau golongan yang punya kebiasaan
dan metode untuk memaksakan keinginan mereka pada seluruh bangsa, dan itu
dengan penggunaan ancaman, kekerasan senjata atau penggencetan. Dan selalu yang
menjadi momok rakyat ialah sistem yang sama walaupun namanya berganti-ganti:
PID, Gestapo, Kenpei Tai, Nefis, IVG, BPI atau umumnya: Intel. Selera dan gaya
favorit selalu sama juga: militeristis, chauvinisme, right or wrong my country
(party), satu barisan satu komando, satu bahasa satu tafsiran, dril dan
kekerasan, pakaian seragam dan heroisme sentimentil, monumen-monumen bombastis,
dan yang menyolok: pengabaian hukum. Proses ke arah itu sudah lama terjadi.
Beranalisalah Sjahrir, “Penjajahan Belanda menghimpun kekuasaannya dengan memadukan
rasio modern dengan feodalisme Indonesia, sehingga menjadi contoh pertama dari
fasisme di bumi ini. fasisme kolonial ini sudah ada jauh sebelum fasisme Hitler
atau Musolini. Jauh sebelum Hitler mendirikan kamp-kamp konsentrasi Buchenwald
atau Belsen, Boven Digul sudah ada. Sesudah fasisme Belanda jatuh, datanglah
fasisme Jepang dengan pendidikan militerisme dan etatisme totaliter....dan sama
sekali tidak sadar, sebagian dari angkatan 45 kita dipengaruhi oleh Jepang di
dalam cara mereka bertindak. Bahkan
dalam cara berfikir mereka kerap meniru Jepang.” Sesudah itu datanglah
zaman Sukarno 1955-1965. Sukarno adalah pemimpin dan pemersatu bangsa yang
sangat besar jasanya. Akan tetapi masih mendalam akar-akar jiwanya di alam
kerajaan feodal priyayi. Lagi ia agitator ulung. Dan celakanya agitasi dan
fasisme adalah selalu binatang setelur. Dan jika kita melihat perjalanan dan
gaya ber-nation semenjak Sukarno
menjadi diktator, maka jelaslah, betapa benar “ramalan” Sjahrir tadi dan betapa
relevan krititiknya bagi perjuangan kita selanjutnya.
“Tanpa henti-hentinya kita harus waspada terhadap bahaya, jangan
sampai sekali lagi kita menjadi korban dari sistem propaganda dan pendidikan
Jepang.
Sjahrir dan Revolusi Sosial
Kata bersayap populer berkelakar: seorang kapitalis borjuis selalu
menganjur-nganjurkan agar produksi ditingkatkan. Seorang sosialis berpesan,
agar produksi apapun dibagi rata. Agak getir adalah tutur ini: seorang sosialis
adalah orang yang pada saat sekarang ini mengajak orang-orang agar berfikir.
Seorang kapitalis borjuis adalah orang yang di saat ini justru agar orang-orang
jangan berfikir. Lepas dari soal sosialis atau kapitalis, Sjahrir adalah orang
yang berfikir dan selalu mengajak dan merangsang kawan-kawannya untuk berfikir.
Ia sendiri berhaluan sosialis bahkan beranggapan bahwa yang dituju oleh
nasionalisme Indonesia di zaman dan situasi sekarang ialah masyarakat sosialis.
Ia tidak sejauh Suharto yang mengatakan bahwa yang dicita-citakan bangsa
Indonesia ialah masyarakat sosialis-religius. Namun sosialisme selaku lawan
kapitalisme borjuasi liberal, selalu diakui selaku political will para pemimpin
Indonesia yang terbuka maupun terselubung. Lawan-lawan Sjahrir, terutama yang
terpengaruh oleh propaganda komunis selalu mencapnya sebagai pemuja, ya budak
Barat. Bukankah ia pernah menulis sendiri dalam manifesnya, Perdjoengan Kita:
“Sampai saat ini kita hidup di dalam dan dikepung oleh dunia pengaruh
imperialistis kapitalistis Amerika dan Inggeris, dan bagaimanapun kita akan
memeras tenaga, tenaga-tenaga kita dari diri-sendiri tidak akan cukup untuk
merobohkan dunia pengaruh itu....Selama kita hidup di tengah dunia pengaruh
kapitalistis, kita terpaksa menjaga agar kita tidak bermusuhan dengan dunia
kapitalistis itu; dan itu membawa kesimpulan, bahwa kita harus membuka diri
sebagai daerah berkarya mereka...”Bila kalimat-kalimat semacam itu dilepas dari
konteks, Sjahrir pantas disebut budak kapitalis Barat. Akan tetapi pembacaan
Perdjoeangan Kita secara menyeluruh menempatkan kalimat-kalimat semacam itu di
dalam proporsinya selaku faktor pembatasan gerak dalam politik realis. Sebab
kalimat tersebut masih ada sambungannya: (yang biasanya sengaja atau tidak
sengaja dilupakan) yakni: “....kita harus membuka diri sebagai daerah berkarya
mereka; akan tetapi dengan syarat, bahwa kesejahteraan rakyat kita tidak
dirugikan karenanya.”
Sjahrir adalah nasionalis tidak sempit yang melihat jauh ke depan:
“Keluar, revolusi kita menampakkan diri sebagai revolusi nasional; ke dalam,
revolusi kita sesuai dengan hukum-hukum demokrasi masyarakat, punya serat-serat
sosialis. Jika kita tidak sadar mendalami kenyataan itu, maka apa yang pada
saat ini kita perjuangkan, hanyalah tetap tinggal revolusi nasional belaka,
penuh pengertian palsu terhadap perubahan-perubahan sosial yang sekarang sedang
bekerja dan melaksanakan diri dalam masyarakat kita yang demokratis. Maka ada
bahaya besar, kita lalu tidak mengenal kembali salah satu musuh kita yang
mengambil yang mengambil bentuk yang cocok dengan bentuk-bentuk tertentu dari
nasionalisme; sehingga nasionalisme kita lalu mendapat raut muka dari sebentuk
solidarisme, jelasnya solidarisme feodal atau hierarkis. Dengan kata lain:
fasisme, musuh terbesar dari kemajuan semua bangsa di bumi ini.” Sjahrir
melanjutkan keterangan hal itu dengan beberapa ilustrasi situasi bangsa kita
yang terpokok: “Kita hidup dalam suatu dunia, di mana tenaga atom sudah
dimanfaatkan dengan suatu teknik, suatu organisasi dan ilmu pengetahuan yang
sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan dunia di zaman Revolusi Perancis.
Masyarakat kita sudah mengenal
pembentukan-pembetukan trust dan kartel.....dan kongsi-kongsi kapitalis minyak
dan sebagainya yang membuktikan, bahwa kendatipun revolusi kita adalah revolusi
rakyat, kita tidak boleh keliru dan menyamakannya dengan Revolusi
Perancis....Perancis dan Revolusi Perancis merupakan barisan pelopor dan
pandu-pandu dari dunia kapitalistis imperialistis; sedangkan Revolusi kita
harus menyumbang untuk mengakhiri zaman kapitalistis-imperalistis itu, seperti
pun perjuangan sosial yang sekarang bergerak di manapun di dunia ini harus
dimengerti sebagai fase akhir dari sistem kapitalistis-imperialistis...Dari
sebab itu tidak bisa lain, revolusi kita harus bersifat sosial...Suatu
kemenangan yang hanya berdasarkan kehormatan nama dan gengsi saja bukanlah
suatu kemenangan. Isinyalah yang justru menjadi pedoman perjuangan politik
kita....Sudah terlalu banyak terjadi, bahwa yang disebut kemenangan nasional
hanyalah nol dan tanpa arti untuk massa rakyat. Negara Republik Indonesia hanyalah
nama untuk isi yang kita tuju dan kita perjuangkan.
Dari konsepsi nasionalisme seperti itu yang tidak sempit sentimentil
terpukau pada soal gengsi yang kurang dewasa dan yang langsung konsisten
menunjuk pada isi revolusi nasional kita. Jelaslah, mengapa penyadaran kaum
kecil, tani buruh dan the underdog mendapat tempat yang istimewa dalam hati
Sjahrir. Menurut sahabat-sahabatnya, Sjahrir bukan hanya analis kemasyarakatan
yang cerdas rasional melihat rakyat dari atas, melainkan benar-benar bisa
menangis secara harfiah bila melihat keterbelakangan dan penderitaan orang
kecil. Kekayaan dan keselamatan pribadi tidak pernah menjadi pertimbangan
hidupnya. Tidak beda dari Haji Agus Salim tokoh seasal Kotagedang, yang tidak
pernah berharta itu.
Bagi Sjahrir bukanlah mode, melainkan keyakinan pribadi yang datang
dari penghayatan pribadinya di Digul-Banda, untuk mengingatkan, sesudah
kemerdekaan RI diakui dunia: “Kaum terpelajar kita yang menduduki segala
pangkat di dalam pemerintahan dan juga terkemuka di dalam lapangan sosial,
hingga sekarang masih belum sadar benar akan kedudukannya di dalam masyarakat
kita sekarang. Kebanyakan mereka masih menjadi korban keturunannya dari
golongan ningrat atau dari golongan burjuis kecil. Mereka kurang sadar bahwa
selama mereka tidak dapat menghubungkan kedudukannya sebagai elite dan pemimpin itu pada
kepentingan-kepentingan serta tenaga-tenaga yang pokok dalam masyarakat,
sebenarnya di dalam lingkungan bangsa kita ia tiada berakar, dan oleh karena
itu ia lemah, terutama terhadap kekuatan-kekuatan yang dihadapinya dari luar
negeri. Itu pula sebabnya maka kaum terpelajar kita tidak akan dapat
menghidupkan serta menyuburkan kehidupan kebudayaan kita, sebelum mereka sadar
akan keperluan menghubungkan diri dengan tenaga-tenaga pokok masyarakat kita,
ialah dengan rakyat banyak yang diam di desa dan dusun serta di dalam
pondok-pondok kotor di kota-kota.
Sekali lagi di sini Sjahrir melihat penghalang paling gigih dari
kaum buruh-tani dan orang kecil umumnya yang ingin maju, bukan di luar, tetapi
di dalam tubuh bangsa kita sendiri, terutama dalam feodalisme yang masih
menguasai daerah-daerah tani dan yang dipelihara oleh Pemerintah Belanda
melalui tuan-tuan tanah besar, peraturan-peraturan penguasa, kerjapaksa dan
sumbangan-sumbangan wajib. Sedangkan “kaum muda, terutama yang terpelajar tidak
bisa memenuhi tugas mereka sebagai perintis dengan sepantasnya, jika
nasionalisme mereka tidak mendapat pengisian oleh jiwa yang demokratis dan
sosial. Jika itu tidak terjadi, maka kaum muda akan macet di jalan buntu,
seperti setiap nasionalisme sempit akan macet di jalan buntu, seperti setiap
nasionalisme sempit akan macet. Jika itu terjadi, maka akan datang saat, di
mana massa rakyat tidak akan lagi mengikuti mereka, bahkan akan memeranginya. Maka
akan dialamilah oleh kaum muda, bahwa bukanlah kaum prajurit yang memenangkan
revolusi kita, akan tetapi massa, rakyat, kaum buruh dan tani bersama-sama,
dengan kaum intelektuil dan kaum muda.” Kata-kata itu dialamatkan ke
pihak-pihak pemuda yang cenderung pada fasisme (tak sadar) kala itu. Untuk
perjuangan sosialis seperti itu pertama dibutuhkan perubahan mental priyayi
borjuis kecil, namun juga dasar pengetahuan yang memadai terutama tentang
pelajaran sejarah revolusi-revolusi lain. “Kaum muda tidak boleh menjadi
pendukung militerisme yang fasistis atau feodal...” Untuk kita sungguh mengherankan, bagaimana ia
berani mengucapkan kata-kata seperti itu, justru pada situasi, di mana segala
lagu dan langgam sedang memuja sang pahlawan, yang hampir selalu diidentikkan
dengan sang prajurit, yang gagah berikat pinggang berpestol atau patetis
membidikkan karabin kepada musuh.
Maka tak mengherankanlah, bila ketika itu D. Soeprapto, Wakil
Pemimpin surat kabar Soera Rakjat dari
front Mojokerto mengeluh: “Di dalam banyak hal tindak-tanduk pemerintah
(Kabinet Sjahrir) yang seolah-olah tidak terlalu menghiraukan apa yang
dikerjakan agresor-agresor tidak dapat diikuti oleh perasaan rakyat dan
peristiwa ini mau tidak mau menimbulkan kritik.”
Tetapi tipikal mencerminkan suasana umum dalam kesadaran para pemuda
dan pejuang di front terdepan ketika itu (yang paling tahu, betapa mustahil
bambu runcing melawan panser dan roket) adalah pandangan Soeprapto yang penuh
kritis namun loyal kepada pemerintahannya. Sampai di mana Sjahrir diterima oleh
rakyat hanya dapat dibuktikan oleh fakta. Dan fakta yang historis terjadi
antara lain dapat kita lihat dalam laporan seorang wartawan medan dri harian
Merdeka yang menjelajahi kota desa dan front-front terdepan kala itu (liris
namun tepat gambarannya):
“Pada ketika itu angkasa Indonesia gelap buta rasanya. Guruh
mengguntur, halilintar membelah langit, taufan mengamuk, angin puyuh memusing
menjulang tinggi. Antara hilang dan
timbul masih sempat terdengar wejangan Presiden Sukarno “Hebatkan jiwamu. Be free, and you will be free...Di dalam
malam gelap gulita tiada bayangan penuh hingar bingar itu terdengar sebagai
seruni kecil, tetapi cukup jelas dan nyata, pidato Perdana Menteri Sjahrir pada
tanggal 15 Desember 1945 mengajak kita ingat diri meninjau ke dalam dan
memandang jauh; mengutamakan akal daripada perasaan, jangan menyia-nyiakan
daya. Revolusi perbuatan yang tidak didasarkan daya. Revolusi perbuatan yang
tidak didasarkan revolusi jiwa, yang tidak disuluhi perhitungan rasio dan rasa kemanusiaan,
pada akhirnya akan menjadi anarki.. sesudah
ucapan sederhana, tetapi penuh mengisi dada itu, amukan taufan mulai
tertahan, dan kemudian reda. Datanglah waktunya menyusun, menyesuaikan dan
memperkuat, hingga tidak suatu baji akan dapat membelah kesatuan Indonesia.
Suara seruni kecil toh akhirnya dimengerti oleh rakyat di lubang
pertahanan yang paling becek dan penuh dendam kepada musuh, maupun di garis
belakang. Semuanya ternyata dalam sikap dan bahasa Sjahrir yang bergema di
dalam rakyat kecil. Bahasa yang berbeda dari Bung Karno atau Bung Tomo, namun
diakui berharga dan perlu untuk menyelamatkan republik mereka. Sebab ada satu
perkara yang historis terjadi namun kelak selalu ditutup-tutupi, yakni
kenyataan yang disinyalir oleh Roeslan Abdoelgani yang arek pejuang Surabaya
juga:
“.......siapapun yang mengalami sendiri suasana 30 tahun dulu itu,
akan menyaksikan juga, bahwa tidak semua dari kalangan bangsa kita menyetujui
proklamasi. Adalah bertentangan dengan realita yang sesungguhnya, apabila kita
sekarang ini memastikan dengan penuh retorika, bahwa dulu semua pemuda
Indonesia tanpa perkecualian sehidup semati dengan Republik.......Sekalipun
retorika kita pada waktu itu mendengungkan patriotisme dan heroisme seluruh
pemuda Indonesia, namun realitasnya tidak sehebat demikian.”
Saya berpendapat, bahwa perjuangan Kemerdekaan di tahun-tahun 45-50
adalah herois, tetapi tidak seperti yang diretorikakan mereka “yang sedang
berkuasa”. Dokumentasi tentang itu dapat kita lihat jelas dan obyektif pada dan
di antara baris-baris roman, novel, cerpen dan sajak-sajak yang ditulis spontan
di masa itu. perekaman eksak tentang sesuatu zaman lazimlah lebih jujur dan
obyektif terbaca dari kesusasteraan spontan daripada “penerangan” politik.
Sesungguhnya kurang tepat untuk mengangkat Sjahrir dengan titel “Pahlawan
Nasional.” Nasionalisme bagi Sjahrir hanyalah kendaraan belaka dan RI nama dari
suatu revolusi yang lebih mendalam lagi. Akan lebih tepatlah titel Pahlawan
kemerdekaan, sebab Sjahrir adalah contoh manusia yang benar-benar merdeka dan
merintis kemerdekaan untuk bangsanya. Juga merdeka dari diri-sendiri dan
mencatat kecendrungan-kecendrungan hatinya yang kurang manusiawi. Tak pernah ia
menganggap secara primitif Belanda musuh dan dalam keadaan gawat dan mencemaskan
apapun ia tersenyum. Seandainya ada titel semacam Pahlawan Sosialis, boleh jadi
Sjahrir bisa disebut begitu. B anyak yang sekarang gentar atau berdebat
khawatir mendengar kata sosialisme. Maka untuk mereka ada baiknya juga
mengikuti kelakar di atas tadi: seorang sosialis adalah orang , di masa
sekarang ini berfikir. Barangkali dengan defenisi “tidak serius” itu hati bisa
lebih “tenteram.”
Sjahrir salah perhitungan
Apakah Sjahrir tidak pernah meleset atau salah dalam perhitungan
politiknya? Mana ada gading tak retak. Salah satu kekeliruan perhitungannya
ialah penilaiannya terhadap gerakan kaum buruh internasional; yang dimaksud
ialah kaum buruh di blok Barat. Ia masih mengira, bahwa kaum buruh di sana
merupakan sekutu yang ampuh dan konsekwen untuk mengakhiri kapitalisme borjuasi
yang berperangai imperialistis itu. Ternyata social engineering dan penggarapan
mental kaum buruh oleh dunia industri/bisnis di sana berhasil membuat mereka
menjadi pertahanan konservatif yang semakin
lama tidak bernafsu sedikitpun untuk solider dengan kaum kecil
negara-negara berkembang.
Kesalahan kedua pada Sjahrir, ialah bahwa ia menilai bangsa dan
pemerintah Belanda cukup rasionil untuk mengatasi saat historis kemerdekaan
Indonesia. Manusia yang cerdas dan jauh pemandangannya sering mengukur baju
sendiri, dan mengira bahwa orang lain bisa dan jauh pemandangannya seperti dia.
Sjahrir (dan pemuka-pemuka RI ketika itu sama juga, termasuk Sukarno) sama
sekali tidak mengira, bahwa seekstrim itulah ketololan politik Belanda, dan
sejauh itu perangai fasis Belanda. Sesudah Belanda menyerang Yogyakarta dan
Sukarno-Hatta menerima tawaran perundingan di Bangka, padahal masih masih dalam
status tahanan dan sama sekali tidak berkonsultasi dulu dengan Pemerintah
Darurat Sjafruddin, Sjahrir tahun, betapa lemah kedudukan RI, dan hasil Konferensi Meja Bundar dianggapnya
bukan kemenangan, melainkan kekalahan. Sebab bendera Merah Putih betul berkibar
di Jakarta, namun seluruh bangsa dan negara secara ekonomis masih penuh di
tangan Belanda. Dan sampai sekarang revolusi nasional masih tetap berpredikat
hanya nasional, belum sosial. Sjahrir disingkirkan dan musuh-musuhnya yang
paling gigih mengklaim memiliki satu-satunya cara untuk melancarkan revolusi
sosial yang paling konsekwen, ialah cara komunis. Dibantu oleh Belanda yang
kaku menghadapi soal Irian Barat Sjahrir dilikwidir dengan cara yang sudah ia
khawatirkan sejak semula: cara dan jalan fikiran fasis. Sekali lagi taktis
Sjahrir kalah, namun gagasan-gagasan strateginya tidak pernah usang sampai sekarang.
Mungkinkah kita harus berkesimpulan, bahwa sejarah sangat sabar, dan baru
generasi yang serba baru akan bisa
menilai Sjahrir seperti ia harus dinilai: selaku negarawan yang memang bertugas
untuk melihat sangat jauh ke depan dan seperti yang ia katakan pada peringatan
6 bulan RI: “menghitung dengan abadi” (?) Ataukah barangkali memang ia bukan
politikus dalam arti James Freeman Clarke yang berkata: “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang. Seorang
negarawan memikirkan generasi yang akan datang”
Manusia Sjahrir
Ke dalam jantung misteri pribadi kawan manusia lain kita tak mungkin
menembus, biarpun itu hanya untuk bernaung dan belajar, bagaimana sang pribadi
itu mengolah dirinya, menjadi manusia baik dan berjasa untuk sesama kawan alam
pemilihan alternatif yang boleh jadi bukan pemilihan peninjau. Juga karangan
ini pasti tidak bisa bebas dari kecendrungan untuk mengidealisir Sjahrir dan
dihinggapi beberapa Hineininterpretierung (penafsiran proyeksi subyektif) yang
tak tersengaja. Ketegangan antara penulisan obyektif dan interpretasi
subyektif) yang tak tersengaja. Ketegangan antara penulisan obyektif dan
interpretasi subyektif selalu merupakan pasal yang paling sulit dalam ilmu
sejarah. Namun interpretasi subyektifpun bisa memiliki harga dalam suatu
situasi tertentu, sebab peristiwa sejarah hanya berarti, bila menjelma kongkrit
dari peristiwa an sich atau fir sich menjadi fur mich, subyektif relevan.
Terbatasnya ruangan tidak mengizinkan untuk membicarakan suatu fasal yang sangat
penting, yakni Sjahrir selaku manusia. Perkaranya begitu luas dan dalam.
Namun dua hal yang penting dicatat singkat, karena bobot
relevansinya.
Pertama: Bila Sukarno adalah pertama-tama seorang nasionalis, yang
melalui nasionalismenya bercita-cita membangun baru tata dunia yang telah
lapuk, maka Soetan Sjahrir pertama-tama adalah seorang humanis, wargadunia baru
yang mentrapkan jiwa universilnya secara kongkrit pada perjuangan kemerdekaan
nasional bangsanya. Sukarno adalah personifikasi seluruh cita-cita patriotik
yang menghubungkan masalampau dengan saat kini, sedangkan Sjahrir sebenarnya
adalah manusia masa datang yang sudah mendahului terbang mengatasi batas-batas
nasionalisme apapun dan menghubungkan masa datang dengan masa kini dalam bentuk
patriotisme. Sukarno erat kuat terjalin akar-akarnya dengan bumi magis dan
feodal-priyayi dunia Timur, namun toh mencoba untuk kawin dengan dunia Barat.
Bagi Sjahrir, Timur dan Barat sudah tidak ada. Suatu dunia yang baru sama
sekali sedang lahir. Sukarno memobilisir rakyat membangun tanggul dan selokan
pertahanan melawan singa dan beruang serta ular. Sjahrir hanya tersenyum dan
mengajukan saran: jadilah burung, betapapun kecilnya seperti pipit atau seruni.
Begitu kita lepas dari hukum harimau dan buaya rawa-rawa.
Pembandingan dengan Sukarno di sini tak terelakkan. Tidak untuk
menilai siapa yang benar siapa yang salah. Keduanya, Sukarno dan Sjahrir ada
dalam diri kita masing-masing. Pertentangan Sukarno lawan Sjahrir memang
tragis, namun secara historis tidak dapat dihindari karena merupakan dinamika
dialektik yang tunggal. Hanya dengan demikian kita bisa menghargai
kedua-duanya. Dan tokoh historis yang baik justru adalah dia yang setia pada
panggilan pribadi, demi keseluruhan bangsanya. Begitu manusia tokoh menjadi
simbol dan pedoman, karena ia sanggup untuk mengejawantahkan suatu arche-type
yang hidup dalam setiap hati nurani yang bergulat mencari kesejatian.
Kedua: Selain mengatasi
Barat-Timur, Sjahrir pada dasarnya sudah melampaui juga batas nasionalisme, nasionalisme
dalam arti sempit yang abstrak dan dimitoskan selaku dewa. Sjahrir dalam
caranya sendiri adalah seorang psikolog pengenal manusia dan juga terhadap diri
sendiri ia berusaha membuang segala kemunafikan yang terselubung. Dengan jujur ia mengaku tidak punya
hubungan batin dengan Minang. Ia lebih suka di Pasundan, lebih suka lagi di
Jawa Tengah. Dan tentang Banda ia menulis: “......dua minggu aku di Banda
Neira, tapi rasanya aku sudah berabad-abad di sini....kepada orang-orang di
sini aku lebih suka dari kepada penduduk negeri Belanda, meskipun aku lihat
jelas kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Tetapi ada satu hal
yang biasanya dipergunakan lawan-lawan Sjahrir untuk mendiskreditkannya.
Sesudah kalimat tadi ia terus mengakui: “.......tapi aku tidak bisa dan tidak
akan bisa merasa bahagia di negeri ini. Tidak seperti bahagiaku di negeri
Belanda, atau di tempat lain di dunia yang luas ini......” Kebarat-baratan?
Lepas akar dari bumi tanah-air? Kurang patriotisme?
Alasannya ternyata lain: karena di luar negeri “tidak ada
hubungan-hubungan kolonial mencemari kehidupan.”
“Pergaulan kolonial ditandai di satu pihak oleh sadis-sadis dan
orang-orang yang mempunyai prasangka diri besar, di lain pihak jiwa-jiwa yang
kacau oleh kompleks-kompleks kurang harga diri.....Kita bisa mengubah diri kita
sendiri, artinya menjadi kebal, sehingga tidak marah lagi melihat
perbuatan-perbuatan yang sadistis dan tanda-tanda perasaan diri kita sendiri
sehingga kita tidak membenci orang-orang sakit, bahkanpun juga orang-orang
gila. Cukup memberikan senyuman yang mengandung belas kasihan kepada mereka
itu, kalau kita tidak merasa wajib atau tidak berdaya untuk
menyembuhkannya....Tetapi kita tidak bisa melupakan bahwa kita sendiri hidup di
antara orang-orang sakit ini, orang-orang yang menderita dan sadis-sadis.
Bahkan kita dengan segala upaya harus menjaga supaya jangan lupa, sebab lupa
berarti kita mempunyai kecakapan menyesuaikan diri yang sangat besar, sehingga
kita bisa hidup gila di antara orang-orang gila.
Dan bagaimana kesimpulan Sjahrir, manusia Sjahrir di tahun
tigapuluhan itu? Lumrah sebetulnya bila orang menuju kediaman yang ia senangi
dan lari dari yang tidak disenangi. Tetapi Sjahrir toh setia pada negeri ini.
Ia mengakui tidak bahagia di tengah orang-orang berpenyakit jiwa dari hasil
masyarakat kolonial, terlebih lagi ia manusia yang karena pendidikan dan
penghayatannya yang dalam sudah mendahului kebanyakan kawan rekan sebangsanya
hingga ia seolah menangis menggugat diri sendiri: “Apakah aku ini sudah bertambah
jauh dari bangsaku? Mengapa aku jengkel akan hal-hal yang mengisi kehidupan
mereka itu, hal-hal yang disukai mereka itu? mengapa aku acap kali merasa tidak
ada artinya dan jelek apa yang bagi mereka itu mengandung keindahan dan
menggerakkan perasaan-perasaan yang halus?” demikian ia menulis di Banda Neira
tanggal 20 Juni 1935. Dan siapa muda-mudi generasi sekarang ini yang tidak
merasa bagaikan dalam cermin, apa yang ia rasakan dan yang tertangkap oleh
Sjahrir lebih dari 40 tahun yang lalu: “Dalam hal kebudayaan kita lebih dekat
kepada Eropa atau Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabarata atau kepada
kebudayaan Islam primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Baratkah
atau benih-benih kebudayaan feodal yang masih kedapatan dalam masyarakat kita?”
Pertanyaan diri yang berat itu sudah menimbulkan perdebatan sengit. Sjahrir
sangat sadar bahwa ia selalu dituduh sebagai orang yang kebarat-baratan. Tetapi
ia lebih suka jujur terhadap diri sendiri dan lebih percaya pada observasi
realita dari pada berangan-angan wishful thinking “Sutomo” demikian ia
mencatat, “di dalam perjalanannya
mengelilingi Asia dengan heran mendapati kenyataan bahwa bangsa Indonesia yang
paling tidak konservatif dari bangsa-bangsa seluruh Asia, dan oleh sebab
itu yang paling banyak mengambil dari Barat, malahan lebih dari orang Jepang!
Orang tidak lekas berfikir yang demikian tapi memang begitu kenyataannya.”
Betul juga. Kita belum pernah melihat Nehru, Ho Chi Minh atau Mao pakai jas
berdasi parlente gaya Barat dan samapi sekarang para pemimpin India, Cina masih
setia pada way of life dari kepribadian pribumi bangsa. Di Indonesia
segala-gala ditelan mentah. Maka siapa berhak marah bila Sjahrir berkesimpulan,
“Relatif kami bangsa Indonesia menurut ukuran nasional paling tidak berwatak,
dan itulah sebabnya pada kami tidak mungkin ada nasionalisme fanatik seperti
lain-lain bangsa.” Namun sebenarnya bukan di situ inti persoalan: “Tapi mengapa
kita mesti memilih antara Barat yang kapitalistis dan Timur yang
menghamba-hamba?” begitu Sjahrir bertanya tajam “Kita tidak perlu mengambil
yang satu atau yang lain: kita boleh menolak kedua-duanya, oleh sebab
kedua-duanya harus silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.”
Belum pernah ada orang Indonesia yang berkata semacam itu sebelum Sjahrir.
Namun toh Sjahrir berjuang di dalam dan demi negeri ini. Untuk apa?
Apa motivasinya? Jawaban Sjahrir sangat sederhana, tidak teatral dramatis,
namun justru karena kesederhanaanya yang tanpa pretensi itu sangat agung dan
indah:
“Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya....Terutama barangkali
karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah. Jadi
biasa saja, simpati kepada underdog, orang-orang
yang ditindas.”
(Dari sudut motivasi dasar Sjahrir ini, sekali lagi Sjahrir kurang
tepat disebut pahlawan nasional. Ia mengatasi kesempitan batas-batas geografi
kedaerahan negeri. Seandainya yang menjajah itu bangsa Indonesia dan yang
terjajah bangsa Amerika misalnya, Sjahrir pasti tidak akan ragu-ragu memilih
pihak Amerika. Di sini tampak, bahwa Sjahrir sudah jauh mendahului pendapat
umum yang sebenarnya masih tinggal dalam abstraksi nasionalisme yang sempit.
Gerakan nasionalisme dalam suatu fase historis bisa berhimpit dengan perjuangan
membela kaum terjajah namun tidak identik dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar