Sabtu, 28 Mei 2016

Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus


           Oleh Y.B. Mangunwijaya

Sjahrir dan “jiwa yang selalu hadir”

Dalam suatu gedung di jalan Malioboro Yogyakarta di tahun 1945. Di sana diadakan sidang penting antara Sjahrir dan sekian banyak pemimpin rakyat, pemuda, untuk menghadapi soal berat, yakni pertempuran Surabaya. Tiba-tiba di luar terdengar letusan-letusan senjata. Listrik mati. Orang-orang semua terkejut, merangkak di lantai mencari perlindungan. Ternyata tidak apa-apa. Listrik menyala lagi. Hanya Sjahrir sendiri yang ternyata masih duduk tenang di atas kursinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sjahrir diculik gerombolan Tan Malaka di Solo. Orang-orang gelisah karena kemungkinan ditembak mati bukan khayalan. Sjahrir tetap bersenda dan mengajak kawan-kawanya bermain ayun-ayunan di bawah pohon. Humor tak pernah meninggalkannya. Di hadapan RRI ia lalu berpidato menentramkan rakyat dan tak lupa ia berterimakasih kepada penculik-penculiknya karena diberi “hari libur selaku selingan kerja berat sebagai Perdana Menteri.” Bom-bom berjatuhan di benteng Vredesburg di muka Istana Presiden di Yogyakarta. Belanda menyerang. Orang pada lari, panik atau murung. Sjahrir masuk kamar dan dengan tenang makan nasi.

Saya tak ingin memberi kesan seolah-olah mencari perlindungan atau bersedih hati itu sesuatu yang buruk. Dalam situasinya bahkan itu wajib dan wajar. Saya hanya ingin memberi ilustrasi, bahwa salah satu jasa Sjahrir yang tiada ternilai harganya dalam peristiwa-peristiwa nasional yang paling kacau dan paling menentukan nasib negara kita pada waktu awal itu, ialah bahwa Sjahrir tetap tenang. Penuh tegenwoordigheid van geest, kata orang Belanda. Artinya harfiah: jiwanya selalu hadir. Tidak kehilangan akal, tidak bingung. Dan dalam diri Sjahrir masih terdapat ciri satu lagi yang penting: “jiwanya selalu hadir” dalam arti lebih jauh lagi, walau tidak lazim: ia tidak pertama-tama memikirkan “cari selamatnya” sendiri-sendiri.

Fungsi dan jasa Sjahrir adalah menjadi pemikir dan nahkoda-pertama yang tenang dan harus menjawab tuntutan wajibnya: melihat ke depan jauh sekali. Sering bahkan bagaikan melalui radar. Ia adalah pelengkap paling tepat dan vital di kala itu dari Sukarno-Hatta. Sukarno, yang menyalakan energi mesin diesel yang dahsyat, penggerak bahtera yang sedang terancam. Sjahrir, nahkoda yang berpikir dingin, tokoh yang bersih dari noda-noda kolaborasi Jepang dan yang revolusioner. Itu disadari umum, oleh hampir semua pemimpin rakyat yang berarti ketika itu (kecuali oleh yang berhaluan komunis tentu saja, atau yang bercara kerja fasis, karena mereka memang sudah punya resep sendiri). Termasuk Soekarno-Hatta sendiri. Juga para pelopor pemuda.   Sjahrir tampil ke depan bukan karena ia merebut kursi, tetapi karena ditarik, didaulat oleh para pemuda untuk menjadi Ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Semula ia masih menanti, sampai sejauh mana KNIP adalah warisan Jepang atau memang sudah mencerminkan kehendak rakyat Indonesia sendiri. Pada saat ia mengutarakan alasan-alasan itu kepada Soegondo Djojopoespito dan nyonya, sahabat-sahabat karibnya sejak bersekolah di Bandung, tiba-tiba datanglah Ny. Sri Mangoensarkoro, disertai dua orang pemuda Barisan Pelopor, Soebadio dan Soekarni, dan mendesak Sjahrir agar mau memimpin KNIP. Soekarni itulah yang dalam rapat pertama KNIP (masih dipimpin oleh Singodimejo) berpidato berapi-api selaku wakil pemuda, bahwa pimpinan negara tidak revolusioner dan orang-orang yang duduk dalam kabinet (presidensiil) tidak didukung lagi oleh perasaan umum dan karenanya harus diletakkan dalam tangan yang benar-benar bersih dari noda Jepang dan yang revolusioner. Sjahrir segera faham bahwa situasi sudah berubah dan langsung menerima panggilan pemuda-pemuda. Sikap itu sering ditafsirkan kelak selaku “kebimbingan” akan tetapi sebenarnya merupakan keharusan saat, perhitungan dingin, bahwa untuk menghadapi dunia internasional, dibutuhkan tokoh non-Jepang murni. Yang terang terjadi ialah, bahwa begitu ia masuk sidang, langsung ia diangkat jadi ketuanya yang baru. Dan itupun dengan aklamasi.

Dari proses peristiwa itu ternyatalah, bahwa Sjahrir sudah diakui oleh para pemuda selaku aktivis kemerdekaan selama zaman Jepang. Aksi-aksinya di bawah tanah yang dari situasinya haruslah tersembunyi dan sering berlaku di bawah empat mata ternyata telah menghasilkan efek politik praktis, paling sedikit dalam kalangan pemuda terkemuka dan pada Sukarno-Hatta. Kepercayaan yang begitu besar dan hampir tanpa reserve pada saat segawat bulan-bulan Oktober-November 1945 itu dan yang menentukan segala-galanya bagi hari depan  bangsa, tentulah punya landasan moril dan rasionil yang sangat kuat. Intuisi para pemimpin, baik yang muda maupun tua merasa dengan pasti, bahwa melihat situasi keseluruhan beserta faktor obyektif-subyektif yang ada, Sjahrirlah orangnya. Bukan bagai pengganti Sukarno-Hatta, melainkan sebagai pelengkap “triumvirat de facto” Sukarno-Hatta-Sjahrir. Intuisi mereka ketika itu masih murni, belum dicemarkan oleh perdagangan sapi politik dikemudian hari, ambisi pribadi atau permainan klik kala nanti, ketika para pejuang sudah binnen masuk kota-kota lagi dan kemenangan Republik membawa serta sekian petualang yang ingin berebutan hasil perjuangan tahun-tahun pertama 45-50. Sebelum itu para pemuka rakyat hanya terbawa oleh ide strategis yang meyakinkan dari brosur/manifes politik Sjahrir “Perdjoengan Kita” yang ia terbitkan beserta kawan-kawannya di bulan Oktober 45. Kala itu mereka hanya mengenal keikhlasan untuk bersama menyelamatkan Republik yang baru tiga bulan itu dari teror pihak Belanda maupun tendens-tendens anarkistis dari pihak Indonesia sendiri yang membalas teror dengan teror. Di bulan Oktober-November 45 sudahlah dirasakan, bahwa semangat bergelora tok yang bersemboyan “Merdeka atau mati!,” betapapun heroisnya, namun toh tidak mungkin memberi garansi keberhasilan revolusi. Akal sehat mulai sadar, bahwa yang dicari ialah “Merdeka dan hidup.” Kenyataaan bahwa justru pemuda-pemuda sendirilah yang menarik dan mendukung Sjahrir, padahal brosur “Perdjoengan Kita” penuh kritik yang keras-tajam terhadap pemuda adalah bukti, bahwa ada “sesuatu dalam diri Sjahrir yang meyakinkan semua, yang bersendi fondasi kuat, tidak lapuk oleh kekosongan demagogi yang inflasi ketika itu, tetapi segar, muda, arif menjangkau jauh sekali ke hari depan, tanpa melupakan situasi saat yang urgen, tidak borjuis. Revolusioner tetapi tidak ngawur. Manifes “Perdjoengan Kita” memang menggemparkan karena hampir setiap pemimpin dan pelopor langsung terkena oleh kritik pedas Sjahrir terhadap mereka yang bekerjasama dengan Jepang. (Dalam luapan emosinya Sjahrir memakai kata “anjing-anjing Jepang”. Ny. Soewarsih Djojopoespito, yang mengetik naskah itu memperingatkan pada Sjahrir: mengapa kau pakai kata-kata itu. Kan itu tidak sesuai dengan kepribadianmu?” Tetapi Sjahrir menjawab: Sudahlah kali ini biar, bagaimanapun itu yang otentik sedang saya rasakan.” Tetapi dalam cetakan kedua, kata kasar itu sudah diganti.)

 Seandainya “Perdjoengan Kita” tidak seberapa kwalitasnya, jelaslah tidak akan pernah Sjahrir diberi kesempatan yang begitu besar dan luas. Sampaipun oleh Sukarno ia tiga kali ditunjuk  menjadi formatur dan perdana-menteri. Civil courage yang membuka kekeliruan kawan seperjuangan pada saat yang begitu kritis secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling seperti yang dikerjakan Sjahrir merupakan bukti, bahwa iklim politik masa itu masih bersih. Kritik masih dihargai secara sportif, bahkan perkataan yes-man tidak pernah terdengar. Bagaimanapun ternyata, hanya Sjahrirlah satu-satunya (kecuali kaum Komunis), yang sudah siap dengan suatu konsepsi dasar yang arif dan strategi yang lengkap, konsisten dan menyeluruh tentang apa yang harus dikerjakan (dan tidak hanya diagitasikan) menghadapi lautan api teror Belanda dan dunia internasional. Bahkan begitu jauh pandangannya, sehingga apabila kita sekarang, sekian puluh tahun sesudah 45, secara tenang membaca ulang tulisan-tulisan Sjahrir ketika itu, maka hampir setiap kalimat bisa langsung saja kita pakai, seolah-olah Sjahrir menulisnya bukan di kala itu, namun sekarang; dan tidak hanya tertuju kepada bangsa Indonesia, tetapi kepada setiap penguasa negara-negara berkembang bekas koloni.

Kepada bangsa Belanda misalnya ia menulis:
...tanah-tumbuh untuk segala ekstremisme nasionalistis adalah situasi kompleks rasa minder, sosial dan rohani, dari orang-orang Indonesia, rasa dendam terhadap sikap dari ras yang memandang ke bawah pada jutaan kaum tertindas. Kenyataan itu tidak bisa dihilangkan oleh politik kesejahteraan apapun, oleh politik etis apapun. Penghargaan “dari hati yang berkenan” semacam itu terhadap  daya-daya kebangunan rakyat yang pada tumbuh hanya membawa kebencian, karena merupakan permainan atas kompleks-kompleks minder orang-orang Indonesia. Itu sudah disadari oleh orang-orang seperti Snouck Hurgronje dan Hazeau. Dasar rasa dendam terhadap kaum penindas hanya dapat lenyap dengan jalan ikhlas memberi harga diri kepada orang-orang Indonesia. Dan itu hanya bisa bisa terjadi, bila ada perubahan fundamental dalam sikap jiwa penguasa kulit putih terhadap orang-orang Indonesia, suatu perubahan dri sikap berkenan sang bapak yang jauh lebih bijaksana terhadap si anak yang terbukti mulai bersemi prakarsa kerja dan kecerdasannya, ke arah penghormatan yang sejati.”

Kata-kata negarawan arif. Yang tidak hanya berlaku untuk pejabat-pejabat Belanda, tetapi juga untuk setiap pemerintah bangsa bekas koloni, teristimewa pada kala orang mengira, bahwa hanya dengan “politik kesejahteraan” rakyat akan terpesona berterimakasih melihat pembangunan-pembangunan fisik, stabilitas ekonomi dan sebagainya; seperti perkiraan Belanda dulu juga sebelum Perang Dunia II dan sesudahnya. Ada sesuatu yang lebih dalam pada masa permasalahan nation kita ini, dan itu secara tajam dilihat Sjahrir.

Tegenwoordigheid van geest Sjahrir sadar, bahwa musuh yang paling berbahaya bagi nation dan negara kita bukanlah pertama dan terutama Belanda. “Kita kuat di tengah taufan dan badai,” kata Sjahrir dalam KNIP 25 November 45 di Salemba, Jakarta. Bertanyalah wartawan Rosihan Anwar selaku penyambung lidah orang banyak di bulan November kelabu itu, “Apakah Bung Cilik ini tidak agak ironis? Belanda semakin hebat melakukan terornya, Mr. Mohamad Roem ditembak dalam rumahnya. Pejambon dan Kramat Pulo dibakar NICA. Semarang di bom, Rakyat bertempur dengan Jepang di Bukittinggi, stasiun radio Jogya dihantam dengan bom roket. Masih Perdana Menteri berkata dengan segala ketenangan: “Kedudukan bangsa kita kuat.” Hanya wartawan luar negeri yang berkat pandangannya yang luas tahu, bahwa Bung Cilik itu tidak berdemagogi: It’s magnificent! Intuisi dan perhitungan rasionil Sjahrir (yang selalu up to date, entah dari mana bahan-bahan informasinya selama zaman Jepang itu) yakin, bahwa Indonesia bermodal simpati serta dukungan dari hampir seluruh dunia, baik dari pihak Inggris-Amerika, pemberi garansi terbesar akan terlaksananya Atlantic Charter, maupun blok Sosialis, Komunis. Bukan, bukan dari Luar bahaya terbesar mengancam repbulik muda ini. bahaya yang terbesar sebenarnya sudah bersarang di dalam bangsa Indonesia sendiri. Dari sebab itu, sementara Sukarno memobilisasi gelora semangat massa agar berapi-api merupakan himpunan dan pemusatan tenaga rakyat melawan Belanda,
Sjahrir dan kabinetnya merasa wajib mengatur tenaga raksasa itu ke dalam pengarahan yang benar. Agar jangan sampai energi-energi yang membumbung itu berubah menjadi demon-demon yang akhirnya hanya menelan anak-anaknya sendiri, seperti yang terjadi dalam sekian revolusi di negara-negara lain. Sebab, jiwa kolonialisme dengan segala aspeknya yang negatif bukan saja ada pada si penjajah, namun secara tak sadar, sudah terhimpun pula di dalam darah  daging orang-orang kita selaku hasil sekian abad kolonialisme. (“memang inlander” berarti Bung Hatta sudah marah sekali). “Sulit benar, demikian Sjahrir menulis untuk harian Merdeka, bagi orang yang berada di dalam pergolakan revolusi untuk mengetahui segala kekuasaan dan pengaruh yang berlaku atas dirinya serta atas masyarakat. Hanya orang yang telah sanggup meninjau ke belakang dengan hitungan abad, dengan lain kata, yang memang berpengertian tentang sejarah dan masyarakat, akan dapat berhadapan dengan suasana sejarah yang berupa revolusi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan tujuan sejarah.

Agaknya salah satu sifat tiap-tiap revolusi adalah, bahwa ia buta, yaitu bahwa orang yang berada di dalam suatu revolusi tiada dapat menangkap dan merasakan hukum sejarah dengan pengertian, sehingga bagian terbesar dari pada tenaga yang lepas dari ikatannya dan bergolak di dalam masyarakat itu terbuan percuma. Jika suatu revolusi mempunyai pimpinan, maka adalah kewajiban pimpinan itu untuk menghindarkan pemborosan tenaga di dalam revolusi. Dengan kata lain, pimpinan harus berusaha supaya revolusi itu tidak buta dan dilakukan dengan pengertian.

Sjahrir menghargai jasa Sukarno yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia dan menyalakan gelora kemerdekaan di dalam massa rakyat. Sjahrir tanpa Bung Karno tidak berdaya apa-apa. Sebaliknya Sukarno tanpa Sjahrir akan terbakar di dalam lautan api yang ia nyalakan sendiri itu. Sjahrir yang terkenal tajam dalam penilaian watak orang-seorang, pasti sudah tahu potensi kreatif  apa yang terdapat dalam diri Sukarno, namun juga bahaya apa yang terkandung di dalam orator priyayi parlente ini. Tetapi di kala itu pimpinan revolusi belum retak. Orang saling berdebat sengit, tetapi dijaga fair play, dan orang mengakui kedudukan, bakat serta fungsi masing-masing.

Sjahrir dan iklim politik bersih

Munculnya tokoh jenis Sjahrir pada pucuk pimpinan revolusi 45 justru pada saat-saatnya yang paling menentukan sebenarnya hanya bisa dimengerti dalam lingkup dan iklim politik para pemimpin kala itu, yang menjunjung tinggi fair-play. Berpolitik bagi generasi  kala itu digenangi oleh penghayatan suci, kebaktian kepada kawan sebangsa yang dina tanpa pamrih. Pegangan kerja dan berfikir adalah menjunjung tinggi segala yang mulia dan indah pada manusia dan pengangkatan bangsa dari keterbelakangan ke taraf  kemerdekaan. Dari kesaksian umum, baik dari kawan maupun lawan, (terkecuali lagi PKI dan golongan-golongan yang cenderung fasis) Sjahrir adalah politikus yang bersih dan jujur. Tidak pernah ia hanyut dalam godaan untuk main kotor atau mengandalkan diri pada kekuatan senjata. Biasanya itu disebut “lemah atau bimbang,” atau dicap “bukan politikus.”

Namun kita harus tahu, bahwa Sjahrir bukan satu-satunya orang yang bersih di kala itu. Generasi perintis Republik kita di kala itu pada umumnya terdiri dari tokoh-tokoh yang integer, sportif karena berjiwa budaya. Polemik antara mereka berlakuk sangat terang-terangan tetapi saling menghormati. Tanpa dilebih-lebihkan bisa dikatakan, bahwa iklim politik praktis generasi 28, yang senior maupun yunior, yang masih mengalami pendidikan zaman Belanda,  punya sikap dasar kesatria dan malu untuk berpolitik praktis secara rusuh. Bahkan PKI pun, yang mendapat direksinya langsung dari Stalin, dianggap saudara seperjuangan demi kemerdekaan bangsa. Naif tentunya, tetapi apapun yang kita katakan tentang generasi ketika itu satu hal tidak bisa kita bantah: Akhirnya toh perintisan kemerdekaan bangsa selaku hasil perjuangan politik praktis yang bersih itu, berbuah sukses. Penganut Machiaveli bisa omong apapun, tetapi kemerdekaan bangsa kita bukan buah politik praktis yang kotor, bukan hasil lika-liku kaum politik yang main rusuh dan bukan berdasarkan prinsip “segala jalan dihalalkan oleh tujuan.” Juga prinsip kaum imperialis Inggris right or wrong my country tidak pernah dipakai maupun dijadikan pegangan oleh kaum politik praktis generasi perintis, pendobrak dan konsolidator republik kita di dalam badai taufun 45-50 yang nyaris menghancurkan republik semuda itu. Kita harus bersyukur, bahwa bangsa dan negara kita bukan hasil gelap, bukan sebentuk haram jadah. Dan sebagian besar itu adalah buah kenegarawanan Sjahrir, tanpa meremehkan jasa pemimpin-pemimpin lain juga. Tentulah itu ditolong oleh keadaan, ketika pergerakan nasional belum bersifat massal. Pelopor-pelopornya kaum cerdik pandai dari keluarga-keluarga terhormat. Masih sedikit  dimasuki kaum petualang yang dalam setiap revolusi selalu timbul di samping para pejuang sejati. Lagipula, menjadi perintis kemerdekaan bangsa membawa risiko besar dijadikan kaum paria yang miskin, terhina, di penjara atau dibuang. Bukanlah tempat nyaman untuk para politisi korup. “Seleksi di dalam pergerakan nasional pada kami tidak dilakukan oleh pergerakan  itu sendiri, tetapi oleh Gubernemen (Hindia Belanda, YBM). Gubernemenlah yang menjaga supaya jumlah akademisi yang tolol-tolol, yang menyangka harus memberikan kepintarannya di dalam pergerakan, tinggal terbatas. Orang-orang intelektuil sejati yang ada masuk dalam pergerakan rakyat kami, itulah intelektuil-intelektuil kami yang pilihan. Momok Gubernemen menolong kami dalam hal itu! di India dan Tiongkok lain halnya. Di sana pergerakan rakyat kebanyakan petualang intelektuil.” Demikianlah Sjahrir menilai kawan-kawan seperjuangan segenerasi.

Sejenis penilaian yang bernada negatif sejak zaman Nasakom, seolah-olah Sjahrir bukan politikus, melainkan “hanya” pemikir, (biasanya ditambahkan predikat “pemuja Barat,”) itupun sudah waktunya kita revaluasi secara lebih kritis dan historis. Dari sekian banyak tulisan, diskusi, polemik dan aksi-aksi kongkrit dalam bidang politik kala itu, tampaklah jelas, bahwa umumnya para pejuang generasi kala itu memanglah pertama-tama pemikir. Dan untunglah alhamdulilah begitu. Tidak seperti di beberapa negara Afrika: politisi belaka tanpa basis pemikiran yang dalam dengan segala akibat yang kita lihat sekarang. Tetapi tidak perlu terlalu jauh: benarkah para politisi kita di masa ini pemikir juga? Pertanyaan yang cukup serius. Dualisme yang dibuat-buat sejak zaman Nasakom antara sang pemikir dan sang politikus adalah sumber malapetaka sejarah bangsa kita. Namun ternyata sejarah condong untuk mengatakan, bahwa akhirnya, bagaimanapun jua, walaupun Sjahrir taktis kalah terhadap Amir Sjarifuddin, Muso, Sukarno, sisa-sisa kaum fasis, namun strategis ia menang. Sebab, sendi-sendi kebijaksanaanya yang sudah ia gariskan dalam manifes “Perdjoengan Kita” ternyata tidak pernah usang, kendati benih-benihnya sudah terberai dan tumbuh di petak-petak sawah lain.

Untuk para nasionalis dan our Founding Fathers, terutama dalam lingkungan PNI dan Taman Siswa, kemerdekaan bangsa secara politis dari Belanda betul merupakan target yang mutlak harus tercapai, tetapi bukan tujuan terakhir. Kemerdekaan politik hanya punya arti bila mendukung kemerdekaan yang lebih luas dan lebih dalam lagi dari kehidupan manusia Indonesia. Teristimewa bagi yang terbelenggu jasmani rohani. Erat dalam hubungan itu, pantaslah dicatat, bahwa Sjahrir (menarik sekali, melawan arus pandangan umum kala itu) berpendapat, “Kebudayaan berarti sama dengan civilization  dalam bahasa Inggeris. Perbedaan antara civilization dan Kultur yang diperbuat orang Jerman saya anggap tidak berguna dan saya tolak. Sangat menarik juga ialah, bahwa pengertian integral kebudayaan-peradaban, yang mencakup juga segi moral, jadi secara totalitas tak terbagi-bagi itu, telah masuk dalam redaksi final Mukadimah UUD 45, dalam sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tentulah itu bukan rumusan berkat Sjahrir. Akan tetapi yang tampak di sini ialah konformitas citarasa antara Sjahrir dan para pemimpin rakyat lain dalam soal itu sadar atau tak sadar. Diterjemahkan ke dalam politik itu berarti pendirian implisit, bahwa tidaklah betul ada dualisme antara tujuan politis luhuru dan teknik politik praktis yang boleh-boleh saja machiavelian kotor, asal itu demi tujuan politik yang mulia dan murni. Kelirulah adalanya dualisme antara cita-cita, sila-sila dan perumusan yang dijunjung tinggi dan di pihak lain praktek penanganan masyarakat serta negara yang bermoto right or wrong my contry, yang akhirnya toh akan berakhir pada mau menangnya golongan sendiri.  

Dalam generasi 08-28 dualisme tadi tidak ada. Kita bisa bertanya terus: belum ada? pertanyaan yang begitu sulit, namun penting tak sepantasnya dijawab tergesa-gesa begitu saja di dalam karangan pendek ini. namun dari dua tulisan Sjahrir yang paling memperlihatkan pribadi Sjahrir, sebagai politikus dan sebagai manusia, Perdjoangan Kita dan Indonesische Overpeingzingen dengan tenang dan jujur, kita melihat bukan hanya pemikir yang abstrak, melainkan negarawan yang besar. Seorang ningrat yang merakyat, sosialis yang kuat keyakinannya mengapa ia anti feodal dan anti fasis. Kita harus besyukur, bahwa negara kita dalam awal pertama menghadapi dunia internasional face to face, dan khusus si “musuh” Belanda, diwakili oleh manusia berjiwa mulia setingkat Soetan Sjahrir. Di sini kita menghadapi seseorang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam saat-saat yang serba kacau; dengan masa rakyat yang minta garis pimpinan yang tegas dan benar, namun yang harus disegani juga dan dihormati oleh lawan dan dunia internasional. Sjahrir memenuhi syarat-syarat itu. warisan tegenwoordigheid van geest dalam arti lebih dalam: kehadiran budi luhur tercermin pula dalam pidato perayaan satu tahun merdeka, 17 Agustus 1946, ketika RI menghadapi Belanda yang picik-licik memilih jalan-jalan tak jujur dan busuk jauh dari bijak untuk mengerti tanda-tanda zaman. Di dalam situasi sesulit itu Sjahrir yang terjepit antara ketololan Belanda dan emosi kekecewaan bangsanya berpidato, seolah-olah tidak hanya untuk rakyat yang hidup di tahun 1946, namun untuk generasi-generasi selanjutnya: “Perjuangan kita sekarang ini bagaimana juga aneh rupanya kadang-kadang, tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebesan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.

Oleh karena itu kita sebagai bangsa percaya pada kehidupan, percaya pada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menjepitkan kehidupan kemanusiaan, tiada perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh-musuhan antara sesama manusia.

Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan semata-mata....Berhadapan dengan dunia kita tidak menggunakan jalan-jalan dan akal-akal yang licik untuk mencapai maksud kita. Kita tidak percaya pada jalan-jalan dan akal-akal yang demikian. Kita siap mengorbankan segala tenaga harta benda hingga ke jiwa kita, untuk mencapai cita-cita bangsa kita yang tinggi dan murni, akan tetapi kita tidak boleh menggunakan kelicikan dan kebusukan di dalam perjuangan kita. Kita berjuang sebagai kesatria...

Bagi zaman yang lampau nasionalisme di dalam perhubungan antar bangsa-bangsa sering hanya nasional-egoisme dan imperialisme...Kita tidak demikian. Kebangsaan  kita hanya jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan diri sendiri kita, sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan kemanusiaan...Kebangsaan kita hanya satu roman dari pembaktian kita pada kemanusiaan.”

Jika kita mengenang semua itu, dan meninjau peristiwa sejarah para politisi kita sesudah tahun 1950, maka tidaklah mengherankan, mengapa di kalangan luas generasi muda sekarang dan terutama di kalangan rakyat biasa terasa suatu kerinduan dan dambaan akan etika dan tata negara tata masyarakat bagi tanah air yang disebut dengan kata-kata asing clean government. Saya tidak percaya, bahwa machiavelinisme dan praktek politik yang licik dan busuk adalah  suatu yang dikehendaki mayoritas rakyat dan generasi-generasi sesudah 28. Dan seandainya pun dengan cara-cara yang licik dan busuk kita bisa menang, selalu pengalaman sejarah masih bertanya: sampai berapa lama? Apakah betul “menang”? Apakah manusia-manusia dan politisi-politisi/penguasa-penguasa kesatria benar sudah menjadi suatu uilstervend ras, rare exception, the last Mohicans seperti yang disinyalir oleh Mochtar Lubis? Barangkali generasi-generasi muda yang sedang tumbuh inilah yang akan sanggup menghargai warisan tegenwoordigheid van geest dan kearifan politik negarawan Sjahrir yang secara singkat padat terbaca dari keyakinanannya:

“Kekuatan kita harus terdiri dari penumbuhan citarasa tentang keadilan dan perikemanusiaan . hanya nasionalisme yang diemban oleh citarasa seperti itu dapat memajukan kita di dalam sejarah dunia.

Sjahrir dan fasisme

Dari pihak lain si pemikir Sjahrir ternyata adalah politikus praktis yang bergerak sangat cepat. Boleh jadi terlalu cepat untuk orang-orang lain. Mendahului rekan-rekannya ia sudah menyusun secara matang program lengkap dan sendi-sendi strategi bagaimana meraih pengakuan dunia internasional untuk Republik Indonesia. Hanya dua orang sebenarnya ketika itu punya konsep yang sungguh berarti: Sjahrir dan Tan Malaka. Selagi bangsa Indonesia mendapat manifes Perdjoengan Kita, Sjahrir cepat-cepat langsung berofensif di jantung negeri Belanda sendiri, dalam bahasa dan logat yang mereka mengerti, melalui bukunya Indoneische Overpeinzingen  yang terbit di tahun 1945 itu juga di Nederland. Itulah ofensif psy war pertama yang dilancarkan oleh seorang negarawan Indonesia langsung di tengah rakyat Belanda.

Tiada bandingannya ketika itu Sjahrir sadar, bahwa senjata paling ampuh untuk memenangkan perjuangan Indonesia di dalam kemelut bom Nagasaki Hiroshima ialah justru bukan senjata fisik. Melainkan kehausan dan kerinduan semua bangsa di seluruh bumi yang sedang melihat puing-puing buatan mereka sendiri pada segala yang manusiawi, yang ingin saling bersahabat, yang memberi demokrasi sebenar-benarnya, setelah fasisme Barat dan Timur membakar negeri-negeri mereka. Ke arah kemerdekaan dalam arti yang lebih luas dan betul, dan yang sanggup melampaui garis-garis batas nasionalisme sempit. Barulah apabila republik muda ini membuktikan bahwa ia bukan hanya bisa berevolusi nasional, tidak lagi fasistis, maka barulah negara kita tidak dicap begitu saja sebagai bekas kader Jepang yang militeristis fasis dan yang harus ditumpas sekali jadi bersama Jepang. Maka tak jemu-jemu dan dengan risiko sangat besar untuk dimaki-maki rakyat yang sedang mengangkat bambu runcing, golok, pistol dan apa saja. Sjahrir dan kabinetnya bertekad memberantas praktek “teror dijawab teror” dan sikap-sikap fasistis didikan Belanda dan Jepang. Dengan cepat ia menawarkan Sekutu untuk mengungsikan tawanan-tawanan Jepang beserta mereka yang berkeinginan keluar dari daerah Republik, dan begitu sekaligus merebut pengakuan de facto bagi TRI. Dengan cepat dan luwes pula Sjahrir menembus blokade Belanda sembari memperoleh pengakuan de facto lebih kokoh lagi terhadap Republik dan aparaturnya dengan segala penjualan beras setengah juta ton kepada India.  Begitulah berulang-ulang ia secara elegan tetapi fatal menyudutkan van Mook dan Belanda, dan merebut posisi pengakuan dunia internasional yang sangat kuat, dan yang untuk selanjutnya tidak bisa dihapus lagi oleh Belanda. Dan biarpun Sjahrir menyingkir oleh partainya sendiri karena soal Linggarjati, (yang menyingkirkan Sjahrir sebetulnya in causa adalah Belanda dengan politiknya yang picik dan brutal). Namun toh harus diakui, bahwa seluruh bridgehead, yang kelak dipakai oleh penerus-penerusnya untuk memaksa Belanda menyerahkan kedaulatan, tiada lain adalah hasil diplomasi Sjahrir yang serba gerak cepat itu. Taktis Sjahrir kalah, tetapi strategis ia pemenang. Dan apa arti “zaman selalu meninggalkan Sjahrir” seperti yang dikatakan oleh seorang sejarawan? Zaman mana? Zaman perebutan kursi? Zaman ambisi dagang sapi politik tahun-tahun 50-an? Zaman Nasakom? Zaman diktator Sukarno besar, dan sekian Sukarno kecil? Zaman korupsi dan kebudayaan komsumsi negara-negara kapitalis? Zaman mumpung dan zaman represi kreativitas budaya, di mana kaum intel kembali lagi ditakuti rakyat, seolah-olah PID Hindia Belanda dan zaman Jepang belum pernah lampau? Jikalau itu yang dimaksud, maka yang dikatakan sejarawan tadi sangat tepat. Sjahrir memang bukan politikus yang bisa dipakai zaman-zaman seperti itu. dan jika ia tersingkir oleh zaman-zaman seperti itu, sebenarnya kitalah yang harus berbahagia, masih mempunyai simbol yang murni tak ternoda. Moh. Hatta pun tersingkir karena sebab yang sama. Kedua tokoh itu terlalu demokrat dan terlalu berfikir lebih dengan abad daripada hanya dengan tahun, untuk dikompromikan dengan suatu arah dalam sejarah bangsa yang sudah sejak dulu mereka tentang.

Observasi Sjahrir yang tajam melihat, betapa lama dan mendalam akibat masa silam. Sudah ada benih antitesis yang sejak awal mula ikut terkandung dalam proses mencapai dan meneruskan cita-cita kemerdekaan. Dan beninh itu adalah fasisme, termasuk fasisme nasional yang anti kemerdekaan. Pendidikan chauvinistis fasistis oleh Jepang selama 3,5 tahun “menyermpurnakan” pembawaan feodal pribumi beserta rasa minder yang sudah berabad-abad merupakan kromosom bangsa yang terjajah. “Jiwa korupsi yang mulai timbul di zaman Jepang ini,” begitu ia meramal pada sahabatnya keluarga Soegondo Djojopoespito, “akan jauh sekali akibatnya.” Ketika itu baru timbul gejala dan istilah baru: tukang catut. Tetapi lebih gawat dari mental catut adalah pendidikan militer fasistis Jepang, terutama kepada para muda-mudi kala itu. Maka justru politik pemberantasan radikal dan sikap anti fasisme pribumi itulah yang selalu menjadi program kebijaksanaan kabinet-kabinetnya. Sungguh bukti keberanian sosial yang luar biasa sikap semacam itu. Karena ia datang justru pada saat-saat bahasa bambu runcing, golok-pelor dan penculikan-penculikan sedang laku. Dan benar, Sjahrir sendiri pun akhirnya jadi korban penculikan. Sebab besarlah risiko untuk terang-terangan  menulis di tengah gelora yang membara: “Seumurnya pemuda-pemuda kita hanya memiliki ketrampilan untuk menjadi prajurit, artinya berbaris dan mematuhi perintah untuk menyerang, untuk menerjang dan untuk mengorbankan diri dalam arti harfiah; mereka tidak pernah belajar bagaimana untuk memimpin.” Demikian ia tulis dalam Perdjoeangan Kita. “Karena mereka tidak memiliki kemampuan itu, maka propaganda dan agitasi kepada massa rakyat mereka lakukan juga dengan cara yang mereka lihat dan pelajari dari orang-orang Jepang....jadi fasistis. Mental pemuda-pemudi kita itu sangat disayangkan. Mereka selalu dalam keadaan bimbang dan walaupun mereka penuh gelora semangat, mereka belum punya pengertian dari kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dalam tahap perjuangan yang sedang mereka alami, sehingga pandangan mereka tidak jauh. Sering pegangan mereka satu-satunya adalah semboyan “Merdeka atau mati!”, tetapi setiap kali bila mereka merasa, bahwa kemerdekaan belumlah pasti sekali, sedangkan mereka secara langsung juga belum menghadapi mati, mereka menjadi ragu-ragu.

Angkatan muda ketika itu secara sportif menerima kritik keras tadi. Self critics mereka masih cukup sehat. Tetapi sebetulnya Sjahrir dalam ketajaman visinya hanya mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah hidup di dalam kalangan bangsanya dan yang sangat jelas dapat terbaca dalam karya para sastrawan dan budayawan umumnya di masa itu, dan yang oleh H.B. Jassin disebut Angkatan 45. Dari sekian cerpen dan roman novel buah sastra Angkatan 45 kita lihat paralelisme dan kesatunafasan dengan apa yang dikatakan Sjahrir dari Banda Neira kepada Pujangga Baru (jadi sebelum revolusi Chairil Anwar cs. pecah) dan yang menampakkan betapa tepat pencerminan dunia politik atau masyarakat atau kemasyarakatan di dalam kaca-kaca sastra:

“Menurut kehendak rakyat maka kesusateraan harus realis kasar, yaitu naturalis, dan di sebaliknya sentimentil.” Ini hasila analisa antropologis dan sosial yang penting. Adalah aneh bahkan paradoks sering kita melihat dalam sejarah, betapa sering sadisme dan kekerasan sangat erat bergaul dengan sentimentilitas. Orang-orang Jerman dan Jepang pada umumnya berwatak sentimentil, romantis. Himbauan Blut und Boden, patos dan bombasme opera-opera Richard Wagner (komponis favorit kaum Nazi dan seluruh Nasionalisme Nazi Jerman yang kita lihat kembali pada sistem pendidikan dan keharuan Bushido Jepang adalah contoh-contoh sentimentalitas yang tiada taranya. Dan justru unsur sentimentil tersebut adalah ramuan fasisme Nazi, Jepang. Dan tiada lapisan masyarakat yang paling sentimentil dengan segala gombyok-jambul dan kilau-kemilau keharusan dari pada kaum militer. Semakin demokratis, semakin sedikit kadar bosbasme kaum tentara, dan semakin fasis semakin benderang pula sentimentalitas rakyat merupakan kendaraan yang enak dan nafsu-nafsu kekerasan, sadisme sosial dan fasisme terbuka maupun terselubung. Apalagi bila itu dimiyaki dengan magi takhayul dan kecendrungan-kecendrungan feodal pribumi. Maka tidaklah mengherankan, apabila Sjahrir dan sejajar senafas dengannya, para sastrawan 45, terutama Pramudya Ananta Toer sebelum 1960 dan Mochtar Lubis begitu gigih menerjang musuh dalam kalbu bangsanya, ialah fasisme pribumi itu. dan bersyairlah Asrul Sani:
“Aku laksana dari lautan menghentam malam hari tinggi
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api.
Aku jadikan belantara jadi hutan mati....”

Ini tekad bangsa kita sesudah digodog oleh Sukarno, yang berhasil menanamkan kepercayaan diri di dalam rakyat hingga sanggup membela Proklamasi.
Namun langsung di bawah kalimat tadi, Asrul bersajak:
“Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda....”

Yang terakhir adalah tugas Sjahrir dan kabinetnya.
Para pembaca sudilah membaca ulang esei H.B. Jassin yang sangat berharga tentang Angkatan 45 dan “Humanisme Universil” seperempat abad yang lalu namun yang masih sangat aktuil. Jassin tidak langsung bicara tentang soal politik dan kenegaraan, tetapi segala sastra yang besar dan otentik selalu berdimensi dan mewahyukan serat jaringan politik dan kemasyarakatan. Maka jika ingin mengenal suhu dan riak gelombang politik atau kemasyarakatan yang sedang berombak obyektif di dalam zaman, sebaiknyalah jangan membaca laporan lokakarya atau pejabat pemerintah, tetapi bacalah roman-novel-sajak dan telitilah senilukis-senipahat, last but not least dagelan-dagelan yang sedang bergerak di masyarakat. (Apa justru karena inikah sekian pejabat dan kaum intel sering keliru dalam menilai gerak dan suhu masyarakat, yakni karena mereka kurang membaca (secara mendalam) roman, novel dan sajak-sajak para sastrawan sezamannya?) Sjahrir sangat tekun membaca dan aktif dalam persoalan-persoalan sastra, indikator dan detektor dari banyak hal yang sedang terjadi. Maka dalam segi sastra inipun ia konsisten dengan apa yang ia permaklumkan dalam segi politik. Bahkan apa yang dikatakan olehnya untuk dunia sastra seolah-olah langsung dikatakan untuk dunia politik (dan sebaliknya): “Kesusastraan kita tidak mesti direndahkan ukurannya sehingga dapat memuaskan keperluan rohani rakyat yang belum diasah (yang kasar, sentimentil tadi, YBM) yang masih primitif, akan tetapi kesusasteraan kita harus dapat mendidik rakyat banyak (tampak di sini Sjahrir yang sosialis, YBM) supaya dapat menghargakan fikiran dan perasaan, kesusasteraan yang halus jua. Kesusaseraan kita harus dapat menghela fikiran dan perasaan rakyat pada tempat yang lebih tinggi....ke realisme modern.” Maka dalam sastra periode 45-55 kita melihat, betapa besar tema anti-fasisme, anti kesadisan pribumi mendapat perhatian dalam arus realisme modern.

Fasisme adalah kediktatoran klik atau golongan yang punya kebiasaan dan metode untuk memaksakan keinginan mereka pada seluruh bangsa, dan itu dengan penggunaan ancaman, kekerasan senjata atau penggencetan. Dan selalu yang menjadi momok rakyat ialah sistem yang sama walaupun namanya berganti-ganti: PID, Gestapo, Kenpei Tai, Nefis, IVG, BPI atau umumnya: Intel. Selera dan gaya favorit selalu sama juga: militeristis, chauvinisme, right or wrong my country (party), satu barisan satu komando, satu bahasa satu tafsiran, dril dan kekerasan, pakaian seragam dan heroisme sentimentil, monumen-monumen bombastis, dan yang menyolok: pengabaian hukum. Proses ke arah itu sudah lama terjadi. Beranalisalah Sjahrir, “Penjajahan Belanda menghimpun kekuasaannya dengan memadukan rasio modern dengan feodalisme Indonesia, sehingga menjadi contoh pertama dari fasisme di bumi ini. fasisme kolonial ini sudah ada jauh sebelum fasisme Hitler atau Musolini. Jauh sebelum Hitler mendirikan kamp-kamp konsentrasi Buchenwald atau Belsen, Boven Digul sudah ada. Sesudah fasisme Belanda jatuh, datanglah fasisme Jepang dengan pendidikan militerisme dan etatisme totaliter....dan sama sekali tidak sadar, sebagian dari angkatan 45 kita dipengaruhi oleh Jepang di dalam cara mereka bertindak. Bahkan dalam cara berfikir mereka kerap meniru Jepang.” Sesudah itu datanglah zaman Sukarno 1955-1965. Sukarno adalah pemimpin dan pemersatu bangsa yang sangat besar jasanya. Akan tetapi masih mendalam akar-akar jiwanya di alam kerajaan feodal priyayi. Lagi ia agitator ulung. Dan celakanya agitasi dan fasisme adalah selalu binatang setelur. Dan jika kita melihat perjalanan dan gaya ber-nation semenjak Sukarno menjadi diktator, maka jelaslah, betapa benar “ramalan” Sjahrir tadi dan betapa relevan krititiknya bagi perjuangan kita selanjutnya.

“Tanpa henti-hentinya kita harus waspada terhadap bahaya, jangan sampai sekali lagi kita menjadi korban dari sistem propaganda dan pendidikan Jepang.

 Sjahrir dan Revolusi Sosial

Kata bersayap populer berkelakar: seorang kapitalis borjuis selalu menganjur-nganjurkan agar produksi ditingkatkan. Seorang sosialis berpesan, agar produksi apapun dibagi rata. Agak getir adalah tutur ini: seorang sosialis adalah orang yang pada saat sekarang ini mengajak orang-orang agar berfikir. Seorang kapitalis borjuis adalah orang yang di saat ini justru agar orang-orang jangan berfikir. Lepas dari soal sosialis atau kapitalis, Sjahrir adalah orang yang berfikir dan selalu mengajak dan merangsang kawan-kawannya untuk berfikir. Ia sendiri berhaluan sosialis bahkan beranggapan bahwa yang dituju oleh nasionalisme Indonesia di zaman dan situasi sekarang ialah masyarakat sosialis. Ia tidak sejauh Suharto yang mengatakan bahwa yang dicita-citakan bangsa Indonesia ialah masyarakat sosialis-religius. Namun sosialisme selaku lawan kapitalisme borjuasi liberal, selalu diakui selaku political will para pemimpin Indonesia yang terbuka maupun terselubung. Lawan-lawan Sjahrir, terutama yang terpengaruh oleh propaganda komunis selalu mencapnya sebagai pemuja, ya budak Barat. Bukankah ia pernah menulis sendiri dalam manifesnya, Perdjoengan Kita: “Sampai saat ini kita hidup di dalam dan dikepung oleh dunia pengaruh imperialistis kapitalistis Amerika dan Inggeris, dan bagaimanapun kita akan memeras tenaga, tenaga-tenaga kita dari diri-sendiri tidak akan cukup untuk merobohkan dunia pengaruh itu....Selama kita hidup di tengah dunia pengaruh kapitalistis, kita terpaksa menjaga agar kita tidak bermusuhan dengan dunia kapitalistis itu; dan itu membawa kesimpulan, bahwa kita harus membuka diri sebagai daerah berkarya mereka...”Bila kalimat-kalimat semacam itu dilepas dari konteks, Sjahrir pantas disebut budak kapitalis Barat. Akan tetapi pembacaan Perdjoeangan Kita secara menyeluruh menempatkan kalimat-kalimat semacam itu di dalam proporsinya selaku faktor pembatasan gerak dalam politik realis. Sebab kalimat tersebut masih ada sambungannya: (yang biasanya sengaja atau tidak sengaja dilupakan) yakni: “....kita harus membuka diri sebagai daerah berkarya mereka; akan tetapi dengan syarat, bahwa kesejahteraan rakyat kita tidak dirugikan karenanya.”

Sjahrir adalah nasionalis tidak sempit yang melihat jauh ke depan: “Keluar, revolusi kita menampakkan diri sebagai revolusi nasional; ke dalam, revolusi kita sesuai dengan hukum-hukum demokrasi masyarakat, punya serat-serat sosialis. Jika kita tidak sadar mendalami kenyataan itu, maka apa yang pada saat ini kita perjuangkan, hanyalah tetap tinggal revolusi nasional belaka, penuh pengertian palsu terhadap perubahan-perubahan sosial yang sekarang sedang bekerja dan melaksanakan diri dalam masyarakat kita yang demokratis. Maka ada bahaya besar, kita lalu tidak mengenal kembali salah satu musuh kita yang mengambil yang mengambil bentuk yang cocok dengan bentuk-bentuk tertentu dari nasionalisme; sehingga nasionalisme kita lalu mendapat raut muka dari sebentuk solidarisme, jelasnya solidarisme feodal atau hierarkis. Dengan kata lain: fasisme, musuh terbesar dari kemajuan semua bangsa di bumi ini.” Sjahrir melanjutkan keterangan hal itu dengan beberapa ilustrasi situasi bangsa kita yang terpokok: “Kita hidup dalam suatu dunia, di mana tenaga atom sudah dimanfaatkan dengan suatu teknik, suatu organisasi dan ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan dunia di zaman Revolusi Perancis. Masyarakat  kita sudah mengenal pembentukan-pembetukan trust dan kartel.....dan kongsi-kongsi kapitalis minyak dan sebagainya yang membuktikan, bahwa kendatipun revolusi kita adalah revolusi rakyat, kita tidak boleh keliru dan menyamakannya dengan Revolusi Perancis....Perancis dan Revolusi Perancis merupakan barisan pelopor dan pandu-pandu dari dunia kapitalistis imperialistis; sedangkan Revolusi kita harus menyumbang untuk mengakhiri zaman kapitalistis-imperalistis itu, seperti pun perjuangan sosial yang sekarang bergerak di manapun di dunia ini harus dimengerti sebagai fase akhir dari sistem kapitalistis-imperialistis...Dari sebab itu tidak bisa lain, revolusi kita harus bersifat sosial...Suatu kemenangan yang hanya berdasarkan kehormatan nama dan gengsi saja bukanlah suatu kemenangan. Isinyalah yang justru menjadi pedoman perjuangan politik kita....Sudah terlalu banyak terjadi, bahwa yang disebut kemenangan nasional hanyalah nol dan tanpa arti untuk massa rakyat. Negara Republik Indonesia hanyalah nama untuk isi yang kita tuju dan kita perjuangkan.

Dari konsepsi nasionalisme seperti itu yang tidak sempit sentimentil terpukau pada soal gengsi yang kurang dewasa dan yang langsung konsisten menunjuk pada isi revolusi nasional kita. Jelaslah, mengapa penyadaran kaum kecil, tani buruh dan the underdog mendapat tempat yang istimewa dalam hati Sjahrir. Menurut sahabat-sahabatnya, Sjahrir bukan hanya analis kemasyarakatan yang cerdas rasional melihat rakyat dari atas, melainkan benar-benar bisa menangis secara harfiah bila melihat keterbelakangan dan penderitaan orang kecil. Kekayaan dan keselamatan pribadi tidak pernah menjadi pertimbangan hidupnya. Tidak beda dari Haji Agus Salim tokoh seasal Kotagedang, yang tidak pernah berharta itu.

Bagi Sjahrir bukanlah mode, melainkan keyakinan pribadi yang datang dari penghayatan pribadinya di Digul-Banda, untuk mengingatkan, sesudah kemerdekaan RI diakui dunia: “Kaum terpelajar kita yang menduduki segala pangkat di dalam pemerintahan dan juga terkemuka di dalam lapangan sosial, hingga sekarang masih belum sadar benar akan kedudukannya di dalam masyarakat kita sekarang. Kebanyakan mereka masih menjadi korban keturunannya dari golongan ningrat atau dari golongan burjuis kecil. Mereka kurang sadar bahwa selama mereka tidak dapat menghubungkan kedudukannya  sebagai elite dan pemimpin itu pada kepentingan-kepentingan serta tenaga-tenaga yang pokok dalam masyarakat, sebenarnya di dalam lingkungan bangsa kita ia tiada berakar, dan oleh karena itu ia lemah, terutama terhadap kekuatan-kekuatan yang dihadapinya dari luar negeri. Itu pula sebabnya maka kaum terpelajar kita tidak akan dapat menghidupkan serta menyuburkan kehidupan kebudayaan kita, sebelum mereka sadar akan keperluan menghubungkan diri dengan tenaga-tenaga pokok masyarakat kita, ialah dengan rakyat banyak yang diam di desa dan dusun serta di dalam pondok-pondok kotor di kota-kota.

Sekali lagi di sini Sjahrir melihat penghalang paling gigih dari kaum buruh-tani dan orang kecil umumnya yang ingin maju, bukan di luar, tetapi di dalam tubuh bangsa kita sendiri, terutama dalam feodalisme yang masih menguasai daerah-daerah tani dan yang dipelihara oleh Pemerintah Belanda melalui tuan-tuan tanah besar, peraturan-peraturan penguasa, kerjapaksa dan sumbangan-sumbangan wajib. Sedangkan “kaum muda, terutama yang terpelajar tidak bisa memenuhi tugas mereka sebagai perintis dengan sepantasnya, jika nasionalisme mereka tidak mendapat pengisian oleh jiwa yang demokratis dan sosial. Jika itu tidak terjadi, maka kaum muda akan macet di jalan buntu, seperti setiap nasionalisme sempit akan macet di jalan buntu, seperti setiap nasionalisme sempit akan macet. Jika itu terjadi, maka akan datang saat, di mana massa rakyat tidak akan lagi mengikuti mereka, bahkan akan memeranginya. Maka akan dialamilah oleh kaum muda, bahwa bukanlah kaum prajurit yang memenangkan revolusi kita, akan tetapi massa, rakyat, kaum buruh dan tani bersama-sama, dengan kaum intelektuil dan kaum muda.” Kata-kata itu dialamatkan ke pihak-pihak pemuda yang cenderung pada fasisme (tak sadar) kala itu. Untuk perjuangan sosialis seperti itu pertama dibutuhkan perubahan mental priyayi borjuis kecil, namun juga dasar pengetahuan yang memadai terutama tentang pelajaran sejarah revolusi-revolusi lain. “Kaum muda tidak boleh menjadi pendukung militerisme yang fasistis atau feodal...”  Untuk kita sungguh mengherankan, bagaimana ia berani mengucapkan kata-kata seperti itu, justru pada situasi, di mana segala lagu dan langgam sedang memuja sang pahlawan, yang hampir selalu diidentikkan dengan sang prajurit, yang gagah berikat pinggang berpestol atau patetis membidikkan karabin kepada musuh.

Maka tak mengherankanlah, bila ketika itu D. Soeprapto, Wakil Pemimpin surat kabar Soera Rakjat dari front Mojokerto mengeluh: “Di dalam banyak hal tindak-tanduk pemerintah (Kabinet Sjahrir) yang seolah-olah tidak terlalu menghiraukan apa yang dikerjakan agresor-agresor tidak dapat diikuti oleh perasaan rakyat dan peristiwa ini mau tidak mau menimbulkan kritik.”

Tetapi tipikal mencerminkan suasana umum dalam kesadaran para pemuda dan pejuang di front terdepan ketika itu (yang paling tahu, betapa mustahil bambu runcing melawan panser dan roket) adalah pandangan Soeprapto yang penuh kritis namun loyal kepada pemerintahannya. Sampai di mana Sjahrir diterima oleh rakyat hanya dapat dibuktikan oleh fakta. Dan fakta yang historis terjadi antara lain dapat kita lihat dalam laporan seorang wartawan medan dri harian Merdeka yang menjelajahi kota desa dan front-front terdepan kala itu (liris namun tepat gambarannya):
“Pada ketika itu angkasa Indonesia gelap buta rasanya. Guruh mengguntur, halilintar membelah langit, taufan mengamuk, angin puyuh memusing menjulang tinggi. Antara  hilang dan timbul masih sempat terdengar wejangan Presiden Sukarno “Hebatkan jiwamu. Be free, and you will be free...Di dalam malam gelap gulita tiada bayangan penuh hingar bingar itu terdengar sebagai seruni kecil, tetapi cukup jelas dan nyata, pidato Perdana Menteri Sjahrir pada tanggal 15 Desember 1945 mengajak kita ingat diri meninjau ke dalam dan memandang jauh; mengutamakan akal daripada perasaan, jangan menyia-nyiakan daya. Revolusi perbuatan yang tidak didasarkan daya. Revolusi perbuatan yang tidak didasarkan revolusi jiwa, yang tidak disuluhi perhitungan rasio dan rasa kemanusiaan, pada akhirnya akan menjadi anarki.. sesudah  ucapan sederhana, tetapi penuh mengisi dada itu, amukan taufan mulai tertahan, dan kemudian reda. Datanglah waktunya menyusun, menyesuaikan dan memperkuat, hingga tidak suatu baji akan dapat membelah kesatuan Indonesia.

Suara seruni kecil toh akhirnya dimengerti oleh rakyat di lubang pertahanan yang paling becek dan penuh dendam kepada musuh, maupun di garis belakang. Semuanya ternyata dalam sikap dan bahasa Sjahrir yang bergema di dalam rakyat kecil. Bahasa yang berbeda dari Bung Karno atau Bung Tomo, namun diakui berharga dan perlu untuk menyelamatkan republik mereka. Sebab ada satu perkara yang historis terjadi namun kelak selalu ditutup-tutupi, yakni kenyataan yang disinyalir oleh Roeslan Abdoelgani yang arek pejuang Surabaya juga:

“.......siapapun yang mengalami sendiri suasana 30 tahun dulu itu, akan menyaksikan juga, bahwa tidak semua dari kalangan bangsa kita menyetujui proklamasi. Adalah bertentangan dengan realita yang sesungguhnya, apabila kita sekarang ini memastikan dengan penuh retorika, bahwa dulu semua pemuda Indonesia tanpa perkecualian sehidup semati dengan Republik.......Sekalipun retorika kita pada waktu itu mendengungkan patriotisme dan heroisme seluruh pemuda Indonesia, namun realitasnya tidak sehebat demikian.”

Saya berpendapat, bahwa perjuangan Kemerdekaan di tahun-tahun 45-50 adalah herois, tetapi tidak seperti yang diretorikakan mereka “yang sedang berkuasa”. Dokumentasi tentang itu dapat kita lihat jelas dan obyektif pada dan di antara baris-baris roman, novel, cerpen dan sajak-sajak yang ditulis spontan di masa itu. perekaman eksak tentang sesuatu zaman lazimlah lebih jujur dan obyektif terbaca dari kesusasteraan spontan daripada “penerangan” politik. Sesungguhnya kurang tepat untuk mengangkat Sjahrir dengan titel “Pahlawan Nasional.” Nasionalisme bagi Sjahrir hanyalah kendaraan belaka dan RI nama dari suatu revolusi yang lebih mendalam lagi. Akan lebih tepatlah titel Pahlawan kemerdekaan, sebab Sjahrir adalah contoh manusia yang benar-benar merdeka dan merintis kemerdekaan untuk bangsanya. Juga merdeka dari diri-sendiri dan mencatat kecendrungan-kecendrungan hatinya yang kurang manusiawi. Tak pernah ia menganggap secara primitif Belanda musuh dan dalam keadaan gawat dan mencemaskan apapun ia tersenyum. Seandainya ada titel semacam Pahlawan Sosialis, boleh jadi Sjahrir bisa disebut begitu. B anyak yang sekarang gentar atau berdebat khawatir mendengar kata sosialisme. Maka untuk mereka ada baiknya juga mengikuti kelakar di atas tadi: seorang sosialis adalah orang , di masa sekarang ini berfikir. Barangkali dengan defenisi “tidak serius” itu hati bisa lebih “tenteram.”
 
Sjahrir salah perhitungan

Apakah Sjahrir tidak pernah meleset atau salah dalam perhitungan politiknya? Mana ada gading tak retak. Salah satu kekeliruan perhitungannya ialah penilaiannya terhadap gerakan kaum buruh internasional; yang dimaksud ialah kaum buruh di blok Barat. Ia masih mengira, bahwa kaum buruh di sana merupakan sekutu yang ampuh dan konsekwen untuk mengakhiri kapitalisme borjuasi yang berperangai imperialistis itu. Ternyata social engineering dan penggarapan mental kaum buruh oleh dunia industri/bisnis di sana berhasil membuat mereka menjadi pertahanan konservatif yang semakin  lama tidak bernafsu sedikitpun untuk solider dengan kaum kecil negara-negara berkembang.

Kesalahan kedua pada Sjahrir, ialah bahwa ia menilai bangsa dan pemerintah Belanda cukup rasionil untuk mengatasi saat historis kemerdekaan Indonesia. Manusia yang cerdas dan jauh pemandangannya sering mengukur baju sendiri, dan mengira bahwa orang lain bisa dan jauh pemandangannya seperti dia. Sjahrir (dan pemuka-pemuka RI ketika itu sama juga, termasuk Sukarno) sama sekali tidak mengira, bahwa seekstrim itulah ketololan politik Belanda, dan sejauh itu perangai fasis Belanda. Sesudah Belanda menyerang Yogyakarta dan Sukarno-Hatta menerima tawaran perundingan di Bangka, padahal masih masih dalam status tahanan dan sama sekali tidak berkonsultasi dulu dengan Pemerintah Darurat Sjafruddin, Sjahrir tahun, betapa lemah kedudukan RI,  dan hasil Konferensi Meja Bundar dianggapnya bukan kemenangan, melainkan kekalahan. Sebab bendera Merah Putih betul berkibar di Jakarta, namun seluruh bangsa dan negara secara ekonomis masih penuh di tangan Belanda. Dan sampai sekarang revolusi nasional masih tetap berpredikat hanya nasional, belum sosial. Sjahrir disingkirkan dan musuh-musuhnya yang paling gigih mengklaim memiliki satu-satunya cara untuk melancarkan revolusi sosial yang paling konsekwen, ialah cara komunis. Dibantu oleh Belanda yang kaku menghadapi soal Irian Barat Sjahrir dilikwidir dengan cara yang sudah ia khawatirkan sejak semula: cara dan jalan fikiran fasis. Sekali lagi taktis Sjahrir kalah, namun gagasan-gagasan strateginya  tidak pernah usang sampai sekarang. Mungkinkah kita harus berkesimpulan, bahwa sejarah sangat sabar, dan baru generasi  yang serba baru akan bisa menilai Sjahrir seperti ia harus dinilai: selaku negarawan yang memang bertugas untuk melihat sangat jauh ke depan dan seperti yang ia katakan pada peringatan 6 bulan RI: “menghitung dengan abadi” (?) Ataukah barangkali memang ia bukan politikus dalam arti James Freeman Clarke yang berkata: Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang. Seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang

Manusia Sjahrir

Ke dalam jantung misteri pribadi kawan manusia lain kita tak mungkin menembus, biarpun itu hanya untuk bernaung dan belajar, bagaimana sang pribadi itu mengolah dirinya, menjadi manusia baik dan berjasa untuk sesama kawan alam pemilihan alternatif yang boleh jadi bukan pemilihan peninjau. Juga karangan ini pasti tidak bisa bebas dari kecendrungan untuk mengidealisir Sjahrir dan dihinggapi beberapa Hineininterpretierung (penafsiran proyeksi subyektif) yang tak tersengaja. Ketegangan antara penulisan obyektif dan interpretasi subyektif) yang tak tersengaja. Ketegangan antara penulisan obyektif dan interpretasi subyektif selalu merupakan pasal yang paling sulit dalam ilmu sejarah. Namun interpretasi subyektifpun bisa memiliki harga dalam suatu situasi tertentu, sebab peristiwa sejarah hanya berarti, bila menjelma kongkrit dari peristiwa an sich atau fir sich menjadi fur mich, subyektif relevan. Terbatasnya ruangan tidak mengizinkan untuk membicarakan suatu fasal yang sangat penting, yakni Sjahrir selaku manusia. Perkaranya begitu luas dan dalam.

Namun dua hal yang penting dicatat singkat, karena bobot relevansinya.
Pertama: Bila Sukarno adalah pertama-tama seorang nasionalis, yang melalui nasionalismenya bercita-cita membangun baru tata dunia yang telah lapuk, maka Soetan Sjahrir pertama-tama adalah seorang humanis, wargadunia baru yang mentrapkan jiwa universilnya secara kongkrit pada perjuangan kemerdekaan nasional bangsanya. Sukarno adalah personifikasi seluruh cita-cita patriotik yang menghubungkan masalampau dengan saat kini, sedangkan Sjahrir sebenarnya adalah manusia masa datang yang sudah mendahului terbang mengatasi batas-batas nasionalisme apapun dan menghubungkan masa datang dengan masa kini dalam bentuk patriotisme. Sukarno erat kuat terjalin akar-akarnya dengan bumi magis dan feodal-priyayi dunia Timur, namun toh mencoba untuk kawin dengan dunia Barat. Bagi Sjahrir, Timur dan Barat sudah tidak ada. Suatu dunia yang baru sama sekali sedang lahir. Sukarno memobilisir rakyat membangun tanggul dan selokan pertahanan melawan singa dan beruang serta ular. Sjahrir hanya tersenyum dan mengajukan saran: jadilah burung, betapapun kecilnya seperti pipit atau seruni. Begitu kita lepas dari hukum harimau dan buaya rawa-rawa.

Pembandingan dengan Sukarno di sini tak terelakkan. Tidak untuk menilai siapa yang benar siapa yang salah. Keduanya, Sukarno dan Sjahrir ada dalam diri kita masing-masing. Pertentangan Sukarno lawan Sjahrir memang tragis, namun secara historis tidak dapat dihindari karena merupakan dinamika dialektik yang tunggal. Hanya dengan demikian kita bisa menghargai kedua-duanya. Dan tokoh historis yang baik justru adalah dia yang setia pada panggilan pribadi, demi keseluruhan bangsanya. Begitu manusia tokoh menjadi simbol dan pedoman, karena ia sanggup untuk mengejawantahkan suatu arche-type yang hidup dalam setiap hati nurani yang bergulat mencari kesejatian.

Kedua:  Selain mengatasi Barat-Timur, Sjahrir pada dasarnya sudah melampaui juga batas nasionalisme, nasionalisme dalam arti sempit yang abstrak dan dimitoskan selaku dewa. Sjahrir dalam caranya sendiri adalah seorang psikolog pengenal manusia dan juga terhadap diri sendiri ia berusaha membuang segala kemunafikan yang terselubung. Dengan jujur ia mengaku tidak punya hubungan batin dengan Minang. Ia lebih suka di Pasundan, lebih suka lagi di Jawa Tengah. Dan tentang Banda ia menulis: “......dua minggu aku di Banda Neira, tapi rasanya aku sudah berabad-abad di sini....kepada orang-orang di sini aku lebih suka dari kepada penduduk negeri Belanda, meskipun aku lihat jelas kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Tetapi ada satu hal yang biasanya dipergunakan lawan-lawan Sjahrir untuk mendiskreditkannya. Sesudah kalimat tadi ia terus mengakui: “.......tapi aku tidak bisa dan tidak akan bisa merasa bahagia di negeri ini. Tidak seperti bahagiaku di negeri Belanda, atau di tempat lain di dunia yang luas ini......” Kebarat-baratan? Lepas akar dari bumi tanah-air? Kurang patriotisme?

Alasannya ternyata lain: karena di luar negeri “tidak ada hubungan-hubungan kolonial mencemari kehidupan.”

“Pergaulan kolonial ditandai di satu pihak oleh sadis-sadis dan orang-orang yang mempunyai prasangka diri besar, di lain pihak jiwa-jiwa yang kacau oleh kompleks-kompleks kurang harga diri.....Kita bisa mengubah diri kita sendiri, artinya menjadi kebal, sehingga tidak marah lagi melihat perbuatan-perbuatan yang sadistis dan tanda-tanda perasaan diri kita sendiri sehingga kita tidak membenci orang-orang sakit, bahkanpun juga orang-orang gila. Cukup memberikan senyuman yang mengandung belas kasihan kepada mereka itu, kalau kita tidak merasa wajib atau tidak berdaya untuk menyembuhkannya....Tetapi kita tidak bisa melupakan bahwa kita sendiri hidup di antara orang-orang sakit ini, orang-orang yang menderita dan sadis-sadis. Bahkan kita dengan segala upaya harus menjaga supaya jangan lupa, sebab lupa berarti kita mempunyai kecakapan menyesuaikan diri yang sangat besar, sehingga kita bisa hidup gila di antara orang-orang gila.

Dan bagaimana kesimpulan Sjahrir, manusia Sjahrir di tahun tigapuluhan itu? Lumrah sebetulnya bila orang menuju kediaman yang ia senangi dan lari dari yang tidak disenangi. Tetapi Sjahrir toh setia pada negeri ini. Ia mengakui tidak bahagia di tengah orang-orang berpenyakit jiwa dari hasil masyarakat kolonial, terlebih lagi ia manusia yang karena pendidikan dan penghayatannya yang dalam sudah mendahului kebanyakan kawan rekan sebangsanya hingga ia seolah menangis menggugat diri sendiri: “Apakah aku ini sudah bertambah jauh dari bangsaku? Mengapa aku jengkel akan hal-hal yang mengisi kehidupan mereka itu, hal-hal yang disukai mereka itu? mengapa aku acap kali merasa tidak ada artinya dan jelek apa yang bagi mereka itu mengandung keindahan dan menggerakkan perasaan-perasaan yang halus?” demikian ia menulis di Banda Neira tanggal 20 Juni 1935. Dan siapa muda-mudi generasi sekarang ini yang tidak merasa bagaikan dalam cermin, apa yang ia rasakan dan yang tertangkap oleh Sjahrir lebih dari 40 tahun yang lalu: “Dalam hal kebudayaan kita lebih dekat kepada Eropa atau Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabarata atau kepada kebudayaan Islam primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Baratkah atau benih-benih kebudayaan feodal yang masih kedapatan dalam masyarakat kita?” Pertanyaan diri yang berat itu sudah menimbulkan perdebatan sengit. Sjahrir sangat sadar bahwa ia selalu dituduh sebagai orang yang kebarat-baratan. Tetapi ia lebih suka jujur terhadap diri sendiri dan lebih percaya pada observasi realita dari pada berangan-angan wishful thinking “Sutomo” demikian ia mencatat, “di dalam perjalanannya mengelilingi Asia dengan heran mendapati kenyataan bahwa bangsa Indonesia yang paling tidak konservatif dari bangsa-bangsa seluruh Asia, dan oleh sebab itu yang paling banyak mengambil dari Barat, malahan lebih dari orang Jepang! Orang tidak lekas berfikir yang demikian tapi memang begitu kenyataannya.” Betul juga. Kita belum pernah melihat Nehru, Ho Chi Minh atau Mao pakai jas berdasi parlente gaya Barat dan samapi sekarang para pemimpin India, Cina masih setia pada way of life dari kepribadian pribumi bangsa. Di Indonesia segala-gala ditelan mentah. Maka siapa berhak marah bila Sjahrir berkesimpulan, “Relatif kami bangsa Indonesia menurut ukuran nasional paling tidak berwatak, dan itulah sebabnya pada kami tidak mungkin ada nasionalisme fanatik seperti lain-lain bangsa.” Namun sebenarnya bukan di situ inti persoalan: “Tapi mengapa kita mesti memilih antara Barat yang kapitalistis dan Timur yang menghamba-hamba?” begitu Sjahrir bertanya tajam “Kita tidak perlu mengambil yang satu atau yang lain: kita boleh menolak kedua-duanya, oleh sebab kedua-duanya harus silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.” Belum pernah ada orang Indonesia yang berkata semacam itu sebelum Sjahrir.

Namun toh Sjahrir berjuang di dalam dan demi negeri ini. Untuk apa? Apa motivasinya? Jawaban Sjahrir sangat sederhana, tidak teatral dramatis, namun justru karena kesederhanaanya yang tanpa pretensi itu sangat agung dan indah:

“Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya....Terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada underdog, orang-orang yang ditindas.”

(Dari sudut motivasi dasar Sjahrir ini, sekali lagi Sjahrir kurang tepat disebut pahlawan nasional. Ia mengatasi kesempitan batas-batas geografi kedaerahan negeri. Seandainya yang menjajah itu bangsa Indonesia dan yang terjajah bangsa Amerika misalnya, Sjahrir pasti tidak akan ragu-ragu memilih pihak Amerika. Di sini tampak, bahwa Sjahrir sudah jauh mendahului pendapat umum yang sebenarnya masih tinggal dalam abstraksi nasionalisme yang sempit. Gerakan nasionalisme dalam suatu fase historis bisa berhimpit dengan perjuangan membela kaum terjajah namun tidak identik dengannya.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar