Sabtu, 28 Mei 2016

Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin


             Oleh Abu Hanifah

Rasanya tak perlu saya gambarkan terlalu banyak tentang Angkatan 28. Diketahui sekarang, bahwa dalam STOVIA telah timbul beberapa organisasi pemuda daerah, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa dan sebagainya. Semula organisasi itu bercorak kedaerahan, tetapi lama kelamaan kontak antara mereka, juga dengan cabang-cabang mereka di  seluruh nusantara mulai nampak, dan tahun 1926 ada usaha untuk menggabungkan organasisasi-organisasi pemuda daerah itu. Tetapi rupanya waktunya belum tiba; masih ada kecurigaan dari daerah-daerah terhadap kemungkinan dominasi mereka yang berasal dari Jawa, mengingat jumlah mereka ini memang besar.

Saatnya baru menjadi matang pada tahun 1928, terutama karena pimpinan pusat organisasi-organsasi pemuda itu umumnya berada di Jakarta dan dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI). Untuk diketahui, waktu itu apa yang disebut “pelajar” sama artinya dengan mahasiswa sekarang. Mereka yang belajar di sekolah lanjutan seperti MULO, AMS, HBS, biasanya disebut “murid” dengan menambahkan nama sekolah di belakangnya. Begitulah pada Kongres Pemuda II (1928) dilahirkan ikrar untuk bersatu. Lahirlah Sumpah Pemuda, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan pengakuan Merah Putih sebagai bendera Indonesia. Semua perkumpulan pemuda akan dibubarkan dan akan dilebur dalam suatu fusi. Organisasi Pemuda Indonesia yang semula menganggap dirinya sebagai wadah persatuan pemuda daerah, akhirnya mengalah juga dan ikut melebur dirinya dalam Indonesia Muda. Dengan demikian mulai 1928 itu corak perjuangan pemuda berubah: dari corak kedaerahan menjadi corak kebangsaan. Sebenarnya yang dinamakan Angkatan 28 itu berasal dari tiga tempat: Negeri Belanda (Perhimpunan Indonesia), Bandung (Studiclub) dan Jakarta (Perkumpulan Pelajar Pelajar Indonesia). Tentu saja yang saya maksudkan adalah “inti” dari Angkatan 28. Dalam Perhimpunan Indonesia, kita kenal nama-namu Datuk Nazir Pamoentjak, Nazier, Mohammad Hatta, Soekirman, Budiarto, Sartono, Soenario, Iskaq, Samsi, dan lain-lainnya. Yang berasal dari Bandun antara lain Sukarno dan Anwari. Sedang yang berasal dari Jakarta, yang jumlahnya lebih besar, adalah Mohamad Yamin, Amir Sjarifudin, Assat, Wongsonegoro, Abbas, Suwirjo, Reksodiputro, Tamzil, dan banyak lagi.

Dalam hubungan ini saya akan membicarakan salah satu kelompok dalam Angkatan 28 itu, yakni kelompok Indonesis Clubgebouw (IC) di Kramat 106, yang sekaran disebut Gedung Sumpah Pemuda. Memang di sanalah Sumpah Pemuda itu pertama kalinya diucapkan. Kelompok ini antara 1928 dan 1931 terdiri dari mahasiswa-mahasiswa senior berbagai Sekolah Tinggi dan STOVIA (tingkat 7 ke atas). Di gedung ini sering berkumpul juga mereka yang dari Bandung, seperti Bung Karno, atau mereka yang telah tamat belajar, seperti Sartono dan Soenario.

Kelompok Indonesis-Clubgebouw (IC) dalam Angkatan 1928

Kelompok IC, Angkatan 28, terdiri dari mereka yang tinggal di gedung Kramat 106, yang dinamakan Indonesis-Clubgebouw. Mereka ini umumnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa senior STOVIA dan pelbagai Sekolah Tinggi. Mereka termasuk yang bekerja keras dalam membereskan Kongres Pemuda ke dua, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bendera Sang Merah Putih dan pengakuan nasional antara para pemuda bangsa.

Ketika saya diam di gedung itu, antara tahun 1928 sampai dengan 1931, penghuni IC antaranya adalah Amir Sjarifudin, Mohamad Yamin, Assaat, Abas, Surjadi, Mangaraja Pintor, dan satu mahasiswa dari Sekolah Tinggi Kedokteran yang baru masuk. Sebenarnya IC itu hidup karena para penghuni membayar sekaligus, sewa rumah, air, listrik dan lain-lain. Tetapi kesempatan itu dipakai, juga buat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa lain, di mana mereka dapat rileks: membaca suratkabar, majalah, main billiard, main pingpong, dan catur atau bridge. Tempat rekreasi mereka di bagian depan umumnya selalu ramai. Bagian belakang dan pavilyun-pavilyun adalah tempat para penghuni tinggal, makan, beristirahat, dan lain-lain.

Sayang gedung Kramat 106 sekarang, yang telah diberi nama Gedung Sumpah Pemuda itu, dipugar kurang cermat. Justru, di mana ada kamar-kamar penghuni-penghuni plus satu kamar arca, dibongkar dan sekarang kosong. Sedangkan dapur, kamar mandi dan kamar pelayan, malahan dipugar. Jadi buat penghuni lama seperti saya, gedung itu sekarang kruang menarik. Bekas kamar saya, kamar Amir Sjarifudin, kamar Assat, kamar Abbas, dan kamar Arca dirubuhkan sama sekali.

Kalau dilihat dari nama-nama penghuni itu, pembaca akan dengan sendirinya mengerti iklim semangat yang ada antara mereka pada waktu-waktu itu. karena masing-masing memiliki cukup perasaan kritis terhadap apa-apa yang terjadi di Indonesia dan di dunia, serta terang mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan buat membicarakan, dan memperdebatkan soal-soal politik yang pelik dah hal-hal sehari-hari. Ini sering terjadi ketika habis makan malam pukul 8. Perdebatan itu kadang-kadang begitu sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dari depan dan turut mendengarkan perdebatan. Seringkali perdebatan tanpa program itu dihadiri oleh pemimpin-pemimpin pemuda lain, seperti Wongsonegoro, Jusupadi, atau Zainudin (STOVIA) dan banyak lagi. Sekali-kali Bung Karno mampir dan turut serta, kalau ia kebetulan berada di Jakarta. Saya kira mungkin banyak lagi mereka yang turut membikin sejarah Indonesia hadir dan aktif berdebat di IC. Saya ketahui, bahwa di luar kelompok IC ini ada kelompok-kelompok lain. Banyak di antara mereka kemudian masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai-partai lain. Yang penting adalah perdebatan-perdebatan itu ternyata benar-benar mengasah otak kami. Ada satu ciri khas dalam berdebat, yang kemudian ternyata menjadi kebiasaan, yaitu sengitnya perdebatan, sekalipun dijalankan secara ilmiah. Sering karena tidak puas, esok harinya atau minggu itu juga kami mencari literatur ke Museum, buat memperkuat pendapat. Pernah berbulan-bulan kami memperdebatkan Revolusi Perancis. Masing-masing mempunyai jagonya. Amir Sjarifudin mengagumi Robespierre, Mohamad Yamin menjagoi Marat, Assat pengikut Danton, dan saya lebih mengagumi Mirabeau. Kebetulan semua jago-jago revolusi Perancis itu memang ada counterpart-nya dalam revolusi Indonesia sendiri. Dan seperti revolusi Perancis, revolusi Indonesia juga menelan anak-anaknya sendiri.

Kami kaji sampai detail arti revolusi, mulai dari revolusi Perancis sampai revolusi Amerika, terus ke revolusi Rusia dan Cina. Juga gerakan nasional Gandhi dan kawan-kawan di India. Saya rasa pada akhir 1929, hampir semua revolusi di dunia telah kami bahas. Kadang-kadang dengan amat sengit. Anehnya, tidak pernah ada sifat pribadi di dalamnya. Kalau telah capek, pukul 1 malam, kami kumpulkan uang buat cari kopi plus sate atau sotong ke pasar Senen. Judul percakapan sudah berubah, lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda.

Kalau kebetulan waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing-masing terus masuk kamar. Di gedung hanya mendengar mahasiswa-mahasiswa yang masih main billiard atau bridge. Kira-kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi-bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu serenata yang sentimentil. Ini tanda bagi saya buat membalas. Sayapun mengambil biola dan membunyikan lagu yang sama. Terdengarlah teriak dari kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan karanggan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga. Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin berteriak-teriak, dan kami bersama ketawa terbahak-bahak. Kemudian IC sunyi lagi.

Di sini mungkin pembaca dapat menerka watak dan semangat penghuni-penghuni IC. Sebenarnya belum nampak benar aliran apa kemudian yang akan kami anut. Tetapi, terang perasaan romantik ada pada kami semua. Kami kagumi pejuang kemerdekaan bangsa-bangsa lain. Sejarah mereka dan buku-buku mereka kami “telan”. Kadang-kadang ada kalimat-kalimat yang merangsang. Hampir semua kagum terhadap Marx dan Engels. “Manifesto Komunis” amat mendapat perhatian, terutama karena tujuannya memperbaiki kaum melarat, atau proletar. Kadang kala, kalau ada yang menanyakan, apa ada uang buat beli gado-gado, jawabnya: “Mana bisa, uang saya kan telah habis bulan ini. Kan saya kaum proletar. Pergi saja kepada si A, ia kan kapitalis, sebab masih dapat beli rokok enak.”

Tetapi sebenarnya tiada satupun yang terlalu terpengaruh oleh ajaran komunis, sekalipun kadang-kadang kami perdebatkan Manifesto Komunis dan pengaruhnya pada dunia buruh. Kebetulan waktu itu, PKI baru dilarang, tetapi rasanya anggota-anggotanya masih berkeliaran, dan mungkin ada yang masuk partai lain. Yang sangat dicurigai polisi Belanda adalah bekas anggota Serikat Rakyat, yang merupakan organisasi-massa PKI. Mereka curiga, bahwa banyak bekas anggota organisasi itu masuk PNI. Tentu saja kami menganggap perlu mempelajari Manifesto, yang begitu berpengaruh di dunia. Sekurang-kurangnya secara ilmiah. Tetapi kami sendiri waktu itu berpendapat, bahwa kondisi dunia telah berbeda dari zaman Marx dan Engels. Tetapi kondisi ekonomi dan sosial di bagian terbesar dunia tidak banyak berubah, terutama di tanah jajahan kapitalis Barat. Buat kami yang penting adalah jalan apa yang harus ditempuh, supaya sukses melawan kaum penjajah.

Tidak terlalu mengherankan, kenapa kami amat banyak memperdebatkan komunisme, karena baru saja ada pemberontakan komunis dalam tahun 1926. Efeknya masih nampak di mana-mana. Tetapi, terutama yang lebih diperhatikan adalah tulisan-tulisan Marx dan Engels. Ingatlah, bahwa kami hidup dalam dunia kolonial, di mana masih berlaku: Poenale Sanctie, rodi, di mana rakyat Indonesia diperlakukan sebagai budak. Kekayaan Belanda melimpah-limpah. Boleh dikatakan eksploitasi petani dan buruh kita oleh Belanda dan kaki tangan mereka-termasuk penggede Indonesia sendiri-dengan parasit-parasit bangsa asing (Cina, dan lain) amat menyedihkan kami. Hal itu menerbitkan amarah dan perasaan kepahitan. Jadi, teori yang menjanjikan perubahan dari perbudakan, harus kami kami selami dan analisa. Yang penting adalah, apakah aliran itu baik buat rakyat Indonesia yang ingin merdeka.

Maka dibalik-baliklah buku yang menerangkan Manifes Komunis dari Marx yang kemudian ditambah di sana sini oleh Engels. Saya masih ingat benar perdebatan-perdebatan waktu itu, yang sebenarnya hanya perdebatan teoritis dan ilmiah. Banyak yang melihat komunisme seperti dilakukan Stalin dalam praktek sama sekali tidak menarik.

Makin dipelajari, makin nampak kontroversi dalam teori dan praktek. Mulai nampak pula oleh kami, bahwa teori-teori Stalin tak sesuai dengan Marxisme asli. Jauh juga kami menganalisa Stalinisme, yang dianggap lain dari Marxis-Leninisme. Bagi kami, mempelajari satu aliran tidak berarti pro-aliran itu. rupanya sekarang agak lain di dalam masyarakat kita. Kadang-kadang kita hampir saja seperti burung unta. Asal tidak melihat musuh, cukuplah untuk menganggap musuh tidak ada.

Dalam perdebatan-perdebatan itu, mulai terang bagi kami, bahwa Marxisme memiliki daya tarik besar pada mereka yang merasa terjepit, merasa dihina, merasa tidak mendapat keadilan, dan terang buat orang miskin. Satu persatu diperdebatkan bagian-bagian Manifesto itu. bagian historisnya, bagian ramalan, bagian moralnya, dan bagian revolusionernya.

Cukup menarik pada waktu itu adalah satu bagian dari mukadimah Manifesto, yang menyatakan, bahwa “....Sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas, pergolakan antara memeras dan yang diperas, antara kelas yang memerintah dan diperintah....” Menjadi perdebatan pula pendapat Marx, bahwa tidak boleh tidak akan ada peperangan antara kaum burjuis, yang akan menghancurkan mereka sendiri, Keganasan kaum kapital  terhadap kaum buruh, dan melaratnya rakyat banyak juga mendapat perhatian penuh. Marx dan Engels mengatakan, bahwa pengetahuan mereka tentang hal itu adalah dari laporan inspeksi-inspeksi dari pabrik-pabrik sendiri. Jadi eksploitasi rakyat dikemukakan benar. Ini amat kami rasakan, sebab pada waktu itu kebetulan ada perdebatan di dalam Volksraad tentang nasib kuli-kuli kontrak di perkebunan Sumatera Timur (Deli, Serdang, dan lain-lain). Harus disadari sekali lagi, bahwa kami waktu itu menganggap diri kami ujung tombak perjuangan kemerdekaan Indonesia, apalagi setelah 28 Oktober 1928. Menjadi obsessi benar, bagaimana caranya Indonesia dapat merdeka, dengan jalan apa, dan debatan-debatan itu kadang-kadang dihadiri oleh sekolah. Terang, banyak dari Manifesto itu yang tidak disetujui, misalnya: “meniadakan hak milik pribadi,” atau abolition of privat poverty.

Pendek kata, kami cukup memperdebatkan komunisme, dan sosialisme pada umumnya. Sosialisme juga mendapat tempat penting dalam perdebatan dan fikiran kami. Sampai-sampai buku Adam Smith dicari-cari di Museum. Hampir semua menolak apa yang disebut clasical liberalism, yang menciptakan kapitalisme dan imperialisme modern.

Debat besar sekali terjadi, tentang apakah ada kebenaran dalam ide bahwa kebenaran itu hanya bisa didapat dengan kompetisi bebas antara semua doktrin. Memang ide ini dapat dikatakan menjadi populer di negara-negara Barat. Tetapi bagaimana dengan negara-negara lemah, apalagi negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda. Ini juga sudah dirasakan oleh rakyat jelata di Eropa; dapat dibaca dalam Das Kapital. Nyatalah bahwa kami benar-benar memerlukan banyak waktu buat mempelajari soal-soal yang bersangkutan dengan satu negara Indonesia yang akan merdeka. Tetapi rasanya tidak sia-sia. Ketika revolusi 1945 mulai, rasanya saya sendiri telah siap, sekurang-kurangnya secara teoritis, buat menghadapi soal-soal yang akan timbul dalam membentuk satu negara baru.

Sekali lagi saya tegaskan, bahwa sekalipun kami banyak mempersoalkan sosialisme dan komunisme, tidak berarti kami menjadi pengikut aliran-aliran ini pada waktu itu. Mungkin ada simpati, karena melihat keadaan tanah air pada waktu itu. kolinialisme Belanda dengan tirani dan tindakan sewenang-wenang, diskriminasi yang menyolok, serta gap antara Vreemde Oosterling (bangsa Cina, India, dan lain-lain) dengan Inlander, yang secara menyolok dibina Belanda, kemiskinan rakyat (istimewa di Jawa), dan banyak lagi yang menyakitkan hati. Hal itu semua memang merangsang radikalisme di kalangan pemimpin-pemimpin pemuda dan pemimpin nasionalis.

Segala aktivitas terutama terjadi sampai akhir Desember 1929, pada waktu mana pemimpin Partai Nasional Indonesia digeledah, dan juga pemimpin-pemimpin organisasi Pemuda Indonesia. Tetapi satu hal harus saya kemukakan di sini, yang mungkin kurang diketahui. Pada tanggal 19 Oktober 1929, ketika sedang ada perdebatan agak meriah antara kami, Bung Karno masuk. Ia sekitar 1 jam turut mendengarkan, kemudian berdiri dan dengan semangat berbicara, lalu mengakhiri dengan: “Sudahlah, tidak perlu lagi banyak teori. Mari kita fikirkan, apa yang akan diperbuat. Bila kaum kapitalis perang lagi dan bunuh-membunuh satu sama lain, kita dapat menari di atas bangkai-bangkai mereka, dan berontak secara fisik. Sekarang, soalnya bagaimana mempersiapkan rakyat buat waktu itu. Itu lebih baik kita fikirkan mulai sekarang.

Kami semua tercengang, tetapi persis inilah pendapat Manifesto Komunis. Sebab Manifesto Komunis berkeyakinan, bahwa kapitalis dunia akan runtuh, dan sebagai sebabnya adalah bertambahnya gap antara over-produksi dan konsumsi kurang. Memang, apa yang dikatakan Bung Karno membikin kami berfikir. Memang setelah itu kami banyak membicarakan cara-cara berevolusi dalam praktek di beberapa bagian dunia yang berbeda-beda kenyataannya.

Tetapi mulai 1930, keadaan politik memburuk. Lagipun banyak antara kami telah disibukkan oleh pelajaran-pelajaran, sebab ujian penghabisan telah mulai mendekat. Saya sendiri  mempersiapkan diri buat ujian semi arts. Tiba-tiba tanggal 3 September 1930, Bung Karno tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun.  Pidato pembelaannya, Indonesia Klaaget aan (Indonesia menggugat) amat mengesankan.

Secara pendek tadi saya gambarkan cukilan-cukilan fikiran, sikap, dan pendapat kelompok Angkatan 1928 IC, yang tidak banyak berbeda dengan mereka di luar kelompok ini. Sekaligus dapat sedikit banyak dilihat lingkungan, di mana Amir Sjarifudin berada waktu itu. kami semua fanatik, tetapi rasanya Amir yang paling menonjol emosinya dalam perdebatan-perdebatan dan dalam mempertahankan pendapatnya. Tetapi kami semua sebenarnya dilanda obsesi patriot dan tiada fikiran sedikit juga kepada nasib sendiri. Mungkin agak congkak bunyinya, tetapi, kami merasa diri sebagai ujung tombak perjuangan kebangsaan kebangsaan. Kaum tua waktu itu belum sejauh itu fikirannya. Dan secara jujur, kami anggap mereka koperator dengan Belanda dalam Volksraad dan sedikit sebagai penyeleweng-penyeleweng di parlemen Belanda.

Hidup pribadi kami, di luar lingkungan IC adalah sedikit berlainan. Semua, selain saya mempunyai famili atau kenalan-kenalan dari keluarga Indonesia. Umumnya mereka mengongkosi studinya sendiri. Kecuali Mohamad Yamin yang mendapat beasiswa dari beberapa lembaga, sedangkan saya mendapat beasiswa STOVIA. Waktu itu rasanya kami ada juga merasakan kekosongan batin. Karena itulah, Yamin misalnya dekat sekali kepada Gerakan Theosofie, Amir mulai mendekat kepada Gereja Kristen, sekalipun ia seorang Muslim. Ada yang banyak bergaul dengan pastur-pastur Katholik. Aneh, tidak pernah kami didekati oleh kaum ulama Islam. Saya sendiri, mulai 1926 masuk kursus filsafat, yang diberikan 3 kali seminggu di gedung Blavatsky. Sebenarnya yang memberi kursus campuran guru-guru dari golongan Theosofie, antaranya guru besar dari Sekolah Tehnik Tinggi Bandung. Mula-mulanya rasanya Yamin juga turut, tetapi ia kemudian terlibat dalam terjemahan-terjemahan Tagore, dan sejarah purbakala. Jadi pada tahun 1929, saya sendirilah yang dapat diploma, sebagai: Scholar of Philosophy. Semua ini karena mau mengisi kekosongan batin. Tetapi Yamin juga asyik membikin soneta dan sajak, Amir asyik main biola, saya sendiri menutup waktu-waktu kosong dengan olahraga dan musik (biola, gitar, tennis, silat dan sepak bola, plus dansa). Amir dan saya pada waktu malam sering naik andong berjam-jam dan bicara tentang segala hal yang dirasakan, mulai dari politik sampai ke gadis dan cinta. Amir Sjarifudin adalah seorang yang umumnya emosionil, dan ini ternyata juga dalam segala hal. Dalam bertukar fikiran, dalam cara ia bergembira atau kurang senang. Pada tahun 1929, saya selain pemimpin majalah Pemuda Indonesia, juga bertanggungjawab tentang isi majalah Indonesia Raya, majalah dari PPI. Satu ketika dimuat tulisan Amir tentang perlawanan kaum Vlaming di Belgia terhadap raja Belanda. Judulnya De fiere Vlaamsche Leeuw. Artikel ditulis di bawah nama samaran dan memang isinya galak. Saya dipanggil Polisi Intel Belanda (PID), ditegur, karena artikel itu merendahkan bangsa Belanda. Setelah diperiksa beberapa jam saya lolos juga. Memang kami tidak pernah memakai nama sendiri dalam satu artikel. Misalnya saya sering menulis, tetapi tak pernah di bawah nama saya sendiri. Kawan-kawan malahan menulis sajak-sajak cinta-kasih, tetapi di bawah nama samaran. Berpotret pun kami jarang. Takut dikenali spion-spion PID.
Bahwa kami umumnya dapat dikatakan condong kepada sosialisme, itu rasanya terang. Dalam zaman revolusi 1945, Amir Sjarifudin dan Assat adalah anggota Partai Sosialis. Abas anggota PNI yang terang coraknya sosialis. Saya sendiri waktu itu sayap kiri dari “Masjumi”, yang oleh George McTurner Kahin dicap sebagai religius-socialis. Yamin condong ke Partai Murba.

***

Tahun 1932, saya berangkat dari Jakarta, dan memulai karir dokter di Medan-Deli pada Maskapai Kebon “Tanjong Morawa.” Saya tidak bersedia masuk pegawai negeri, dan karena itu melepaskan kontrak saya dengan Belanda. Berat juga hati saya ketika berpisah dengan Amir. Rasanya kami banyak persamaan dalam sifat, watak dan perasaan. Ia antarkan saya ke kapal yang akan berangkat. Kami saling merasa kehilangan sesuatu.

Baru tahun 1946 saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ketika saya balik dari Sumatera tahun 1939, buat mendapat titel arts di GHS, ia tidak di Jakarta. Kemudian saya berlayar sebagai Opsir Kesehatan Angkatan Laut Sekutu (tahun 1940-1941-1942), terus menerus di medan perang, di Bombay, Singapura kemudian di Tanjung Priok sampai ditangkap tentara Jepang akhir Maret 1942. Pada mulanya sekali-kali kami masih ada hubungan surat menyurat. Tahun 1937 Amir termasuk pimpinan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang sekalipun sosialistis dan nasionalistis tetapi menyokong Belanda, karena benci terhadap fascisme Eropa. Dalam bulan Mei 1939, terjadi satu federasi dari partai-partai yang berlandaskan nasionalisme, bernama GAPI  (Gaboengan Politiek Indonesia), dimana Amir juga tercantum sebagai salah seorang pemimpin. Anehnya, dalam Kongres Rakyat Indonesia, tahun 1939 GAPI menerima secara resmi 3 putusan, yang sebelumnya telah diikrarkan Angkatan 1928. Putusan itu ialah mengakui Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa, Sang Merah Putih sebagai Bendera Nasional, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu Kebangsaan. Benar-benar satu hal yang mengherankan. Sebab ini berarti, kaum tua sampai tahun 1939 belum mengakui Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda kedua. Rasanya, kalau tidak ada Amir Sjarifudin dan Mohamad Yamin, mungkin sekali pengakuan terhadap Sumpah Pemuda oleh partai-partai politik waktu itu belum juga terlaksana. Saya tak mengatakan, bahwa popularitas Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda kedua tidak ada. Malahan sebaliknya. Sampai organisasi-organisasi non-politis telah mengakui hasil-hasil tahun 1928. Rupanya telah menjadi penyakit kaum tua untuk tidak-lekas mengakui prestasi pemuda. Apalagi kalau pemuda itu juga telah dewasa dan mem’buldozer” kebenaran yang telah ada dalam masyarakat sendiri.

Tetapi pada tahun 1939 itu juga Amir Sjarifudin ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda bersama beberapa pemimpin lain. Ada cerita yang tidak dapat dibuktikan sekarang, bahwa Amir Sjarifudin, di belakang layar dibela oleh Prof. Schepper, seorang guru besar yang amat taat kepada agama Kristen. Rupanya pada tahun 1935, Amir Sjarifudin telah masuk agama Kristen. Ada kabar waktu itu di koran-koran, yang tidak begitu dapat dicek, bahwa sebenarnya Amir Sjarifudin semula bersedia mendirikan satu partai politik kristen. Tetapi karena perhitungan politik, tidak jadi meneruskan maksudnya itu. Malahan seperti diketahui ia turut mendirikan Gerindo pada bulan April 1937. Ketika Amir Sjarifudin berada dalam tahanan Belanda tahun 1939, ia sering didatangi oleh Prof. Schepper, yang rupanya dapat meyakinkan pemerintah Belanda, bahwa Amir Sjarifudin lebih baik dipakai dalam pemerintahan. Setelah itu, rupanya Amir diberi kesempatan memilih, apakah dibuang ke Digul atau ke kerjasama dengan Belanda di Departemen Ekonomi.

Rasanya, kalau saya boleh berspekulasi (karena sedikit mengenal Amir Sjarifudin) ia memilih taktik kerjasama. Bila ia dibuang ke Digul, kesudahannya ia terang akan terasing dari pergerakan bangsanya. Padahal Perang Dunia II telah berkobar, dan Jepang sedang bersiap-siap buat turut serta. Kalau Amir waktu masih Amir yang saya kenal, maka fascisme dan diktatorial-nazisme terang bukan idealnya. Jadi mungkin ia memilih yang “kurang jelek.” Rasanya begitu jalan fikirannya.

Itu sebabnya, Belanda menyerah kepada Jepang, Amir Sjarifudin bersedia menerima uang sebesar 25 ribu gulden sebagai modal buat mendirikan satu partai bawah-tanah untuk sabotase terhadap Jepang. Dalam hal ini rasanya ia terpaksa bekersama dengan PKI illegal yang didirikan Muso di tahun 1939.

Harus diingat, bahwa Rusia waktu itu berpihak pada Sekutu yang memerangi Fascisme dan Nazisme. Mungkin waktu itu ia telah didekati oleh PKI illegal, sebagai salah satu pemimpin Gerindo, yang memang menganut sosialisme-radikal. Mungkin Belanda telah mencium hal itu dan lekas-lekas menangkap dia, tetapi mungkin juga Belanda tidak percaya, bahwa ia seorang komunis. Kalau tidak, ia tidak akan lepas dari tahanan Belanda, betapapun besarnya pengaruh Professor Schepper.

Lagipula mungkin sekali Amir percaya kepada janji-janji Van der Plas, bahwa setelah perang, Belanda akan memerdekakan Indonesia, menurut aturan Commonwealth ala Inggeris. Kesan ini saya dapati dari satu pembicaraan dengannya dalam tahun 1946, ketika saya singgah di Yogya. Ia waktu itu menjadi Menteri Pertahanan RI. Di zaman Jepang ia tertangkap dan sedianya akan dihukum mati, tetapi tertolong oleh usaha Bung Karno. Ia waktu itu bekerjasama dengan golongan Illegal PKI.

Saya bertemu dengannya setelah 14 tahun berpisah. Rasanya ia agak berubah. Lebih fanatik, lebih emosionil. Saya waktu itu datang ke Yogya buat membicarakan soal senjata bagi pasukan-pasukan kami di Jawa Barat, bagian daerah saya. Kami kekurangan peluru dan senapan otomatis. Ia nampaknya agak sedikit curiga. Lagipun saya waktu itu anggota pemimpin pusat Masjumi, ketua pertahanan daerah Bogor, serta Ketua Dewan Nasional daerah Bogor. Saya tidak mendapat senjata yang saya minta, karena di Yogyapun tidak berlebihan senjatanya. Tetapi saya berkesempatan buat bicara kembali secara terbuka dengan Amir, sekalipun kami berada dalam pangkuan partai yang berbeda. Ia menyatakan kekecewaannya, bahwa Belanda tidak menetapkan janji, yang katanya pernah dijanjikan oleh Van der Plas. Ia sangat jengkel rupanya. Tetapi persahabatan kami tidak terlalu rusak, apalagi setelah bercerita-cerita tentang zaman IC. Kedua-kalinya saya bertemu lagi dengan Amir, ketika ada rapat-rapat KNIP di Malang. Sekali ini saya bertindak sebagai ketua fraksi Masjumi, yang sangat menentang persetujuan Linggarjati. Terjadi pertentangan keras dalam soal penanda-tanganan, karena Masjumi, kemudian juga PNI, menganggap pemerintahan Sjahrir (termasuk Amir Sjarifudin) bersedia buat sementara menerima usul Belanda, supaya Republik Indonesia hanya terdiri de facto atas Sumatera dan Madura. Masjumi dan PNI tidak bersedia turut dalam pemungutan suara. Saya jadi jurubicara Masjumi, dan PNI diwakili Mr.Ali Sastroamidjojo. Persetujuan Linggarjati diterima oleh KNIP serta disokong Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.

Seminggu setelah itu saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ia meminta saya bersedia memimpin delegasi Indonesia ke Asian Relation Conference di New Delhi, India. Saya merasa heran, mengapa kabinet Sjahrir merasa perlu menyerahkan pimpinan delegasi Indonesia yang begitu penting, kepada pihak yang menentang bleid  kabinet yang berkuasa. Kemudian Presiden Sukarno dan PM Sjahrir dalam pembicaraan dengan saya meminta lagi dengan sangat supaya saya terima pengangkatan sebagai ketua Delegasi Indonesia itu. Kemudian saya mengerti strategi mereka. Dunia luar tidak boleh berpendapat, bahwa dalam Republik Indonesia ada konflik serius antara pemerintah dengan oposisi. Di sini jelas benar, pemerintah RI amat sangat berpendapat, bahwa satu oposisi parlementer adalah satu hal yang normal dalam demokrasi, dan tidak perlu merusak hubungan antara kelompok di luar dan di dalam pemerintahan. Demokrasi murni tidak selalu dapat terjadi hidup Republik Indonesia. Tetapi ada kemungkinan suasana psikologis yang menyebabkan mereka yang memerintah dan diperintah waktu itu dianggap sederajat mutu fikirannya dan tahu benar aturan-aturan permainan politik dalam demokrasi. Kebetulan, banyak di antara mereka adalah Angkatan 1928. Memang harmoni kerjasama antara oposisi dan pemerintahan baru menghilang, ketika telah masuk angkatan-angkatan lain seperti generasi Serikat Islam, PKI, dan lain-lain. Ini menyebabkan revolusi Indonesia hampir ambruk oleh perang saudara, seperti pada pemberontakan Madiun tahun 1948.

 Sebelum saya berangkat ke Asian Relations Conference di New Delhi, ada beberapa kali rapat antara saya – sebagai Ketua Delegasi – dengan Sjahrir dan Amir Sjarifudin. Tujuannya adalah supaya Indonesia dalam konferensi itu dapat memberikan keterangan yang jelas tentang politik luar negerinya. Saya sendiri tidak puas dengan politik positive neutrality yang maksudnya waktu itu dalam mencari kawan dan menjauhkan lawan, Indonesia tidak mau campur dengan soal-soal negara-negara lain, dan akan selalu bersikap netral. Saya berpendapat, bahwa Indonesia akan menghadapi wakil negara-negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, seperti India, Vietnam, Burma, dan negara-negara lain yang setengah jajahan di Asia. Mereka tentu mengharapkan dari Indonesia satu sikap yang positif, sekurang-kurangnya dalam soal-soal jajahan, penindasan ekonomi oleh kapitalis dunia, diskrimanasi ras oleh para penjajah dan lain-lain. Setelah beberapa hari berdebat, di mana turut juga Mr. Ali Sastromidjojo dan beberapa pemimpin partai pemerintah, sampailah kami kepada konklusi, bahwa kita harus balik kepada mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Pendeknya, kesudahannya kami sampai kepada keputusan, bahwa politik luar negeri Indonesia, adalah bebas dalam memilih politik terhadap soal-soal dalam negeri, dan aktif bersikap dalam batas-batas kekuatan kita. Semua ini harus berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia. Ada yang menyatakan waktu itu, seharusnya berdasarkan kepentingan nasional. Demikianlah lahir politik luar negeri kita seperti dianut sekarang: “politik bebas dan aktif”.

Sungguhpun sejak 1947 sampai sekarang, sering politik itu dilaksanakan seperti menarik sehelai karet, kadang-kadang ditarik ke kiri, dan kemudian ditarik ke kanan, waktu itu belum jelas, ke mana karet itu ditarik. Maka berangkatlah delegasi Indonesia yang saya pimpin itu, terdiri dari 37 anggota. Tetapi ketika saya saya pulang dari New Delhi akhir Maret 1947, keadaan politik di Indonesia telah keruh. Belanda nampak sangat agresif. Saya pulang dulu ke kota saya, Sukabumi. Sebelum saya dapat memberi laporan ke Yogya, Belanda telah memulai agresi pertamanya. Tanggal 20 Juli 1947, tentara Belanda menyerang Sukabumi, salah satu daerah yang diincer benar oleh Belanda, karena kaya dengan karet, kina, teh dan beras. Saya dengan jas putih berdarah karena sedang melakukan operasi terhadap seorang pasien di Rumah Sakit, ditangkap dan ditahan di sel penjara Sukabumi. Rekan saya, yang berbangsa Cina, dibiarkan terus bekerja. Kesudahannya, saya dibawa ke Jakarta dan ditahan di penjara Glodok, kemudian di kamp tahanan Tanggerang.

Setelah ada cease-fire, tahun 1948, saya dan beberapa kawan dilepaskan ke daerah republik via Salatiga. Di Magelang, Letkol Sarbini (sekarang Letjen) menampung kami dan diteruskan ke Yogya. Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir, dengan agak terharu melihat saya yang kurus kering. Mereka rupanya mengira saya sudah mati.

Rupanya telah banyak yang terjadi selama saya dalam tahanan Belanda. Sjahrir sudah turun sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Amir Sjarifudin. Ini terjadi tanggal 3 Juli 1947. Kemudian terjadi perundingan dengan Belanda yang terkenal sebagai perundingan “Renville.” PM Amir Sjarifudin dan kabinetnya menyetujui dan menandatangani persetujuan Renville, yang kemudian ternyata lebih lagi menjepitkan posisi RI (17-19 Januari 1948). Ketika saya dan kawan-kawan sampai di Yogya pada awal 1948, Amir Sjarifudin telah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri.

Presiden Sukarno membentuk satu kabinet presidentil, di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta. Memang Presiden Sukarno, selalu membentuk satu kabinet presidentil, di bawah pimpinan harian satu PM. Tetapi ia selalu hadir dalam sidang-sidang kabinet, dan sering memveto apa yang ia anggap satu hal prinsipiil yang harus dipertimbangkan lagi. Tetapi sehari-hari kabinet bertindak seakan-akan sifatnya parlementer, sekalipun tidak bertanggungjawab pada parlemen, tetapi pada presiden.

Kabinet presidentil ini dari semula ditentang keras oleh sayap kiri. Menurut persetujuan Renville, tentara RI harus dipindahkan dari satu garis yang dinamakan “van Mook line.” Karena itu kira-kira 35 ribu prajurit TNI terutama Siliwangi dari Jawa Barat harus hijrah ke Jawa Tengah, yang masih masuk daerah Republik di Jawa. Ini terjadi 26 Februari 1948. Hijrah ini adalah soal pelik dan banyak juga barisan, terutama barisan rakyat tidak bersedia hijrah. Mereka terus menjalankan perang gerilya di daerah yang termasuk daerah yang “dikuasai” tentara Belanda. Di antaranya beberapa pasukan Hizbullah di Jawa Barat. Persetujuan Renville dipakai Belanda buat menjalankan politik cerai-berainya, terutama dengan menciptakan negara-negara boneka, seperti negara-negara Madura, Pasundan dan Jawa Timur. Di luar Jawa ada negara-negara Indonesia Timur, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Borneo Barat, Banjar, Borneo Timur, dan Bangka-Biliton. Negara-negara ciptaan Belanda ini memang tambah menyukarkan kedudukan Republik. Tetapi sebagian besar dari Sumatera masih setia kepada Republik Indonesia.

Munculnya politik Partai Komunis Indonesia

Sampai tahun 1947, PKI, dan kawan-kawan boleh dikatakan lebih sering bergerak seperti kaum nasionalis, tetapi karena politik berunding kabinet-kabinet RI sering meleset, timbul pendapat, bahwa mereka harus lebih banyak memakai cara-cara kaum komunis. Dalam hal ini Stalinis. Pendapat ini terutama berkembang setelah ada kesan keras, bahwa PBB di bawah pengaruh Amerika Serikat kuat sekali membela Belanda. PKI sebenarnya hanya mempunyai kira-kira 3 ribu anggota, tetapi menurut mereka, itu jumlah kadernya saja. Tetapi mereka dan para simpatisannya percaya, bahwa perjuangan jangka lama akan menguntungkan mereka. Sehingga mereka mulai memperkuat posisinya di dalam organisasi-organisasi seperti Partai Sosialis, organisasi Buruh dan Pesindo. Juga mereka mulai lebih banyak melihat kepada pimpinan Moskow. Waktu itu Moskow yang dikuasai Stalin, berpendapat bahwa kemerdekaan negeri-negeri yang dijajah tidak pernah diperoleh, sebelum Amerika Serikat dan sekutu tunduk kepada Sovyet Rusia. Lain daripada itu aliran komunis baru, yang ditekankan dari Moskow mengajarkan bahwa dunia ini terbagi dalam dua blok, yaitu blok kapitalis yang “agresif” dipimpin Amerika Serikat dan blok “demokratis” yang berada di bawah pimpinan Sovyet Rusia. Maksud utama waktu itu adalah menghancurkan Marshallplan Amerika di Eropa.

Kebetulan dalam bulan Februari 1948 diadakan satu Konferensi Pemuda Asia Tenggara di Calcuta dan dihadiri oleh wakil-wakil PKI di antaranya Soepeno. Di situ mereka diberitahu tentang taktik baru kaum komunis dunia dan juga detail pembagian dua blok kekuatan di dunia baru. Kembali di Indonesia, maka propaganda komunis dialirkan kepada sistem baru tadi. Dalam bulan-bulan sesudah itu pemuda-pemuda yang dilatih dalam konferensi Pemuda Komunis di Praha dan mereka yang menghadiri konferensi Buruh Internasional (juga di Praha) datang kembali ke tanah air. PKI mengikuti aliran baru yang ditunjuk oleh konferensi-konferensi komunis di atas. Banyak di antara pemimpin lama kehilangan pengikut waktu itu.

 Di dalam Partai Sosialis sendiri lama kelamaan timbul perpecahan antara mereka yang pro Sjahrir dan pro Amir Sjarifudin. Kepada Amir, Sjahrir menanyakan apakah ia lebih dulu nasionalis baru komunis atau sebaliknya. Sjahrir berpendapat, bahwa perang kelas tidak dapat diterapkan di Indonesia, sebab Indonesia belum memiliki kelas borjuis. Borjuis di Indonesia sebelumnya hanyalah orang-orang Belanda dan Cina. Sjahrir juga tidak bersedia berpihak kepada salah satu negara besar, Amerika atau Sovyet. Kembali Sjahrir kepada posisinya yang lama, yaitu positive neutrality. Buat Sjahrir itu masih lebih aman dari “politik bebas dan aktif,” karena keadaan. Bagi Sjahrir waktu itu, yang penting Indonesia jangan terlibat dalam pertengkaran antara dua negara raksasa itu. Ia mengharap, dengan begitu Indonesia dapat berbuat lebih banyak buat perdamaian dunia. Tetapi nampaknya bagi saya, Sjahrir telah mencampur-adukkan “politik bebas dan aktif” dengan politik positive neutrality. Telah mulai “soal karet,” yang akan ditarik-tarik.

Perpecahan antara kelompok Sjahrir dan Amir terjadi ketika terbentuk Kabinet Presidentil Hatta. Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang kabinet Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir menyokong. Tanggal 13 Februari 1948 terjadi perpecahan, Kelompok Amir membentuk Partai Sosialis baru, sedangkan Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia.

Partai Sosialis baru itu dipimpin oleh Amir Sjarifudin, Tan Leng Djie dan Abdul Madjid, dan garisnya menentang kabinet Hatta. Tetapi dalam rapat di Surakarta, 26 Februari 1948, sayap kiri Amir diubah menjadi Front Demokrasi Rakyat atau FDR.

Amir Sjarifudin menjadi ketua federasi baru ini, tetapi programnya tak berbeda dari Sayap Kiri, ketika kelompok Sjahrir masih bersamanya. Tetapi lama-kelamaan aliran FDR bertambah radikal. Anggota-anggotanya yang terkemuka menghendaki penghentian segala perundingan dengan Belanda, dan menganggap persetujuan Renville sebagai satu kesalahan besar. Malahan mengusulkan, supaya segala harta Belanda di Indonesia dinasionalisir. Ini sebenarnya hampir sama dengan program kelompok Tan Malaka, yang dari semula menuntut apa yang mulai dipropagandakan oleh FDR itu. posisi Amir Sjarifudin mulai sukar, sebab FDR mulai bergerak kepada aliran komunis yang lebih nyata. Tetapi sebaliknya ia memiliki kekuatan nyata.

Ketika Amir masih menjadi menteri pertahanan,  ia mengambil kesempatan itu buat membikin basis-basis kekuatan dalam angkatan bersenjata dan barisan buruh. Waktu itu ia menempatkan orang-orangnya pada posisi-posisi kunci dalam angkatan darat dan barisan buruh. Juga penyimpanan senjata-senjata cadangan hanya diketahui oleh orang-orangnya saja. Selain itu sebagai menteri pertahanan, ia sempat membentuk TNI-Masyarakat. Tetapi mereka yang terkena pengurangan jumlah dalam TNI  itu, mulai melihat kepada FDR dan Amir Sjarifudin sebagai pimpinan. Tetapi rupanya inti dari simpatisan-simpatisan FDR dalam TNI tidak begitu terkenal. Lagipun ketika Kabinet Hatta memerintahkan barisan-barisan rakyat supaya membubarkan diri hal ini ditentang keras. Tidak boleh tidak dapat diperkirakan pada suatu waktu satu bentrokan antara barisan-barisan rakyat atau lasykar-lasykar pasukan TNI yang masih patuh pada pemerintahan dapat terjadi. Sementara itu FDR memulai taktik lain, yaitu menganjurkan pemogokan-pemogokan. Ini ditentang keras oleh golongan komunis yang katanya berdasarkan nasionalisme di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Sebenarnya program GRR tidak banyak bedanya dari FDR, tetapi mereka menyokong Hatta.

Tiba-tiba datang satu perubahan besar, yang membahayakan posisi Amir Sjarifudin sebagai pemimpin top dari sayap kiri pro komunis. Rupanya Soeripno, yang pernah menjadi sekretaris saya pada Asian Relations Conference di New Delhi, tidak langsung pulang, tetapi terus berangkat ke Eropa Timur, buat keperluan partai. Rupanya dia anggota PKI dan dicap Stalinis tulen. Di Praha ia dapat janji dari Duta Besar Sovyet, bahwa negaranya akan bersedia mengadakan satu consulat treaty dengan RI. Tetapi ketika ia balik ke Indonesia Amir Sjarifudin sudah bukan PM lagi, sedangkan Hatta tidak bersedia menerima perjanjian apa-apa dengan sovyet pada waktu itu. Dengan sendirinya pemerintah Hatta bertambah curiga terhadap FDR. Memang rupanya ada maksud FDR, buat mengadakan coup dengan senjata. Mereka telah memiliki satu program yang terperinci buat itu. Pemerintah Hatta lama tidak mengetahui maksud-maksud FDR ini. Tiba-tiba Soeripno kembali ke Indonesia lewat Bukittinggi. Ia datang bersama Muso, jago lama PKI. Tanggal 11 Agustus 1948, Soeripno dan Muso sampai di Yogya. Seperti diketahui, Muso selain termasuk anggota pimpinan PKI yang berontak tahun 1926, juga pendiri dari apa yang dinamakan “PKI-Ilegal,” satu organisasi bawah tanah yang dibentuknya di tahun 1935. Sukses Muso segera nampak, sebab dengan entusias dan aklamasi ia diangkat menjadi Sekjen PKI menggantikan Sarjono.

Rasanya mulai sejak itu Amir Sjarifudin merasa posisinya terdesak sebagai pemimpin utama FDR. Bertambah lama bertambah jelas, bahwa FDR akan dikuasai kaum komunis! Maka datanglah pengakuan Amir Sjarifudin yang mengherankan kawan-kawannya dan mengejutkan pemerintah. Amir berkata tanggal 29 Agustus 1948, bahwa ia sebenarnya adalah seorang komunis, dan sejak tahun 1935, ketika berada di Surabaya, masuk “PK Illegal” dari Muso. Juga Setiadjit, Abdul Madjit dan Tan Leng Djie dari Partai Sosialis mengakui, bahwa mereka memang telah lama menjadi komunis. Setiadjit dan Abdul Madjid sejak tahun 1936, ketika mereka masih memimpin Himpunan Indonesia di negeri Belanda, sedangkan Tan Leng Djie adalah mahasiswa dari Institut Lenin dan anggota “PKI-Illegal” Muso. Jadi kartu-kartu mulai terbuka.

***

Telah diuraikan tadi, ada kaba dalam tahun 1936 (mungkin permulaan 1935), bahwa Amir Sjarifudin menjadi seorang Kristen. Ada juga kabar, bahwa dalam tahun itu ia bermaksud mendirikan partai politik Kristen, karena iklim politik tidak menguntungkan. Kemudian ia masuk Gerindo, malahan menjadi salah satu pemimpin yang penting, di bawah Mr. Sartono sebagai ketua. Dalam pimpinan Gerindo itu ada juga Wikana, yang kemudian memang juga tercatat sebagai seorang komunis. Tetapi Gerindo waktu itu menjalankan satu politik kooperasi, yang memperbolehkan anggotanya masuk Volksraad. Jadi kalau pengakuan Amir itu serius, maka ia telah menjadi komunis dalam tahun 1937, ketika Gerindo didirikan.

Ada dua kemungkinan. Satu hal, ialah Amir turut dengan kurang kesadaran tentang tindakanya. Kedua, ia memang dapat diyakinkan sebagai komunis, tetapi dalam hidupnya sehari-hari tidak ada kesan sedikitpun. Malahan cara hidupnya lebih mirip cara hidup borjuis, juga ketika ia saya jumpai di Yogya di tahun 1948. Atau mungkin ia termasuk seorang aktor besar, yang dapat menyembunyikan persaannya yang sebenarnya. Tetapi ketika ia muda dan amat rapat bergaul dengan saya sampai tahun 1931, ia lebih mirip seorang Bohemian, artis, kadang-kadang berkelakuan seperti gypsie. Seorang yang penuh emosi, sentimentil, lekas marah, tetapi lekas baik, suka ketawa, tetapi bila sedang main biola menyinarkan sedih atau gembira. Saya tidak mengatakan, bahwa seorang komunis tidak bisa mempunyai sifat-sifat seperti diperlihatkan Amir. Tetapi sukar melihat Amir sebagai seorang Stalinis, yang ia akui dengan  keyakinan itu.

Benar, seperti lazim pada seorang komunis, ia menjalankan self critic yang cukup hebat, tetapi inipun bagi saya belum merupakan bukti. Memang pada 9 September 1948, ia mengumumkan kritik yang berbunyi kira-kira sebagai berikut:

“Sebagai komunis saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi. Saya menerima 25 ribu gulden dari Belanda sebelum pendudukan Jepang, buat menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah. Tetapi say terima uang itu karena Comintern (Communist-internationale), mengusulkan supaya kita bekerjasama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan fasisme.” Ia seterusnya menjelaskan lagi, bahwa setelah perang dunia kedua berakhir, tidak ada alasan lagi buat bekerjasama dengan kaum kolonialis. Kaum komunis sekarang tidak memerlukan lagi kerja-sama dengan kaum kapitalis.

Keterangannya itu diucapkannya di Yogyakarta dalam bulan September 1948. Saya waktu itu juga di Yogya. Anehnya, baru saja pada 8 September saya bertemu dengan Amir Sjarifudin. Ceritanya begini: Amir menelpon saya pagi hari, apakah saya dapat datang ke rumahnya, sebab anaknya sakit. Ia minta saya makan siang di rumahnya, sebab Zainab, isterinya akan memasak rendang dan gulai kambing. Saya mengatakan, bahwa penjaganya anak-anak Pesindo mungkin, akan menghalang-halangi, dan bagaimana pendapat masyarakat nanti. Amir pentolan FDR, dan saya waktu itu boleh dikatakan jurubicara Masjumi dan anggota pimpinan pusat Masjumi. Tetapi ia menyatakan bahwa kita toh masih sahabat. Karena ingin melihatnya dan juga ingin tahu apa sebenarnya yang berada di belakang permintaannya itu, saya datang pukul 11 pagi. Saya juga ingin melihat anak-anak dan isterinya yang telah lama tidak saya temui. Sampai di rumahnya, rupanya dia sedang kedatangan tamu lain, Muso, yang baru diangkat menjadi Sekjen PKI. Terang rupanya maksud Amir hendak mempertemukan saya dengan Muso. Timbullah sedikit dialog antara Muso dengan saya tentang kemerdekaan Indonesia, dan corak pemerintahan yang baik. Timbul pertentangan ideologi, yang diadakan dalam suasana cukup ramah. Tetapi dari mula ternyata Muso adalah Stalinis keras, menurut faham saya.

Dialog kami tidak disertai Amir, berkisar dari Sosialisme ke Marxisme, ke Historis-Materialisme ke Manifesto Komunis, Leninisme, dan Stalinisme. Berhadapan dengan Muso, yang telah diindoktrinir ala Stalin itu berat juga. Terlalu panjang buat membicarakan dialog itu. Jelas Stalinisme seperti dikemukakan oleh Muso, amat berbeda dengan teori Lenin. Sekalipun (menurut Muso) Stalin setia kepada ajaran Lenin, tetapi nampak perbedaan dalam cara berfikirnya. Muso rupanya dengan sabar mencoba menjelaskan pada saya, bahwa tidak benar Stalinisme itu seperti banyak orang menyangka adalah staatscapitalisme. Ia caci Trotsky, dan kemudian Bukharin. Yang sebenarnya dikerjakan Stalin, katanya adalah membina sosialisme. Dan banyak lagi.

Tetapi kita tersangkut kepada pendapat saya, bahwa komunisme, apa namanya Trotskysme atau Leninisme atau Stalinisme adalah bertentangan dengan pendirian saya sebagai seorang Islam yang berkeyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya katakan juga bahwa saya seorang sosialis, tetapi sosialis religius. Muso tertawa keras. Ia menyatakan pendapat saya itu telah kuno, sebab termasuk utopis-sosialisme.

Kesudahannya setelah datang waktu makan, ia mengatakan, bahwa antara saya dan dia sebenarnya tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama bersedia mengabdi kepada rakyat, sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, “Tetapi dasar dari pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian itu harus berdasarkan satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maha-kuasa.”

Saya heran mendengar jawabannya, “Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah Tuhan itu ada atau tidak.” Baru dalam tahun 1956 saya mengerti, bahwa yang dimaksud Muso mungkin Sputnik-Sovyet, yang menggemparkan dunia itu.

Setelah makan siang Muso berangkat. Saya bertanya pada Amir mengapa ia biarkan saya berdebat dengan Muso. Ia senyum, dan berkata, “Abu, kamu saya kenal benar, tetapi saya belum kenal Muso. Tetapi saya sekarang tahu kapasitasnya.” Rupanya saya dibikin kelinci percobaan oleh Amir Sjarifudin.

Dalam pembicaraan satu jam sebelum saya pergi dari rumahnya, saya mendapat kesan, bahwa ia agak nervous, dan kadang-kadang ketika sedang bicara, tampaknya ia memikir-mikir. Rupanya ia suka minum, wiski campur air. Juga saya mendapat kesan, bahwa ia terus-menerus dalam ketegangan, tensi-tinggi, mungkin karena merasa senantiasa dalam tekanan. Tekanan itu kiranya adalah perasaan, bahwa dengan kedatangan Muso dan beralihnya aliran perjuangan kaum sosialis-radikal Indonesia yang menjurus kepada komunisme, terutama Stalinisme keras yang dibawa Muso dari Moskow dan pemimpin-pemimpin muda yang baru dapat dapat latihan dari Praha, wibawa Amir akan berkurang. Esoknya harinya, 9 September 1948, Pimpinan Pusat Masjumi mendapat surat dari Sentral Komite PKI buat bekerjasama membentuk satu persatuan nasional. Tentu saja Ketua Masjumi Dr. Soekirman, bertanya kepada saya, apakah saya memberi janji-janji pada Muso dan Amir Sjarifudin. Saya berpendapat bahwa usul PKI itu hanya balon politik dan tidak perlu dianggap serius. Pimpinan Pusat Masjumi membalas, bahwa kerjasama politik antara PKI dan Masjumi tidak mungkin, karena berbeda aliran politik dan dasar perjuangan buat memerdekakan tanah air. Rupanya PKI juga mengirim usul yang sama kepada PNI yang juga ditolak.

Sejak saat itu keadaan dalam negeri bertambah tegang. PKI mempercepat gerakannya di mana-mana. Pimpinan PKI memulai sering mengadakan rapat umum. Muso, Amir Sjarifudin, Wikana dan lain-lain pemimpin “top” turut serta berpidato anti kabinet Hatta. Mereka jalani daerah-daerah Jawa Tengah dari ujung-ujung, ke Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan banyak tempat lain lagi. Sedianya turnee pimpinan itu akan berlangsung sampai akhir September. Tetapi, tiba-tiba pemimpin-pemimpin PKI muda tak sabar lagi. Barisan-barisan bersenjata pro-PKI dari Pesindo, dan pasukan Divisi 4 pro PKI, telah memulai pemberontakan bersenjata dan menduduki Madiun. Muso dan Amir Sjarifudin menghadapi satu fait-accompli dari mana tidak ada jalan balik lagi. Revolusi Komunis telah dimulai. Tetapi pemberontakan itu tidak terorganisir baik dan koordinasinya buruk, sekalipun ribuan anggota dan simpatisan komunis turut serta. Sebenarnya kericuhan besar-besaran telah mulai di Solo, tetapi dapat dipadamkan oleh pasukan Siliwangi. Tanggal 4 September, batalyon-batalyon Siliwangi dapat menduduki kwartir pasukan-pasukan pro PKI di Solo.

Tanggal 15 September 1948, Presiden Sukarno menyatakan daerah-daerah Solo dan lingkungan di bawah keadaan perang, dan ditunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer. Pada hari itu Jenderal Soedirman mengirim 3 ribu orang dari Divisi Siliwangi ke Solo buat memperkuat kedudukan Republik dan sekaligus terus mengejar pasukan pro PKI. Kemudian terjadi satu satu pertempuran yang sebenarnya menentukan nasib pemberontakan PKI. Dalam pertempuran ini terlibat kekuatan inti mereka yang terbaik. Tetapi Madiun berada dalam tangan pasukan-pasukan pro PKI. Maka berkecamuklah perang saudara di Jawa Tengah, yang berkesudahan dengan hancurnya tenaga-tenaga militer PKI. Ribuan korban keganasan PKI di mana-mana menjadi saksi, bahwa PKI memang tidak mengenal ampun bila lawan-lawannya tertangkap.

Muso dan Amir boleh dikatakan masuk perangkap gerakan revolusinya sendiri. Kuat kesan bahwa mereka belum siap melakukan  pemberontakan bersenjata, tetapi terpaksa menyokong sikap pemimpin-pemimpin muda seperti Soemarsono dan Djokosujono. Pasukan-pasukan pemerintah ternyata memiliki pimpinan yang lebih baik dan prajurit-prajurit yang lebih berpengalaman. Lama-kelamaan nyata bagi Muso, bahwa rakyat banyak tidak berpihak kepada mereka, dan kekuatan mereka hanya ada di daerah-daerah Jawa Tengah saja. Maka berubahlah pidato-pidato mereka, yang mula-mula mengumandangkan suatu “Republik Proletar Indonesia.” Pidato penghabisan yang diucapkan oleh Amir Sjarifudin tanggal 23 September berbunyi sebagai berikut:

“Perjuangan yang kami adakah waktu ini hanya buat memberi koreksi kepada revolusi-revolusi kita. Jadi dasarnya tidak berubah samasekali. Revolusi ini tidak berubah dari corak nasionalismenya, yang sebenarnya adalah revolusi merah putih, dan lagu kebangsaan kami tetap Indonesia Raya.”

Waktu saya dengar pidato Amir Sjarifudin, yang berkali-kali diradiokan, saya benar-benar menaruh kasihan pada kawan saya itu. Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu frustasi. Suatu kebingungan dan suatu keputus-asaan.

Mungkin, ya mungkin, di tengah-tengah kehancuran perjuangannya dan dalam malam sepi, ia ingat kembali cita-cita yang ia kandung ketika muda. Mungkin ia sangat kembali pada IC. Mana tahu. Pidato itu samasekali bukan pidato seorang pemimpin komunis yang fanatik yang terdidik, sebab, komunis tulen sama fanatik sama fanatiknya dengan seorang beragama. Contoh-contoh cukup banyak kita lihat di kalangan Lenin, Mao, dan Marxis biasapun. Jadi, saya sejak itu tidak percaya, bahwa Amir Sjarifudin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya, adalah komunis. Mungkin ia seorang Radikal-Sosialis, atau Nasionalis-Revolusioner, atau Marxis tok. Terang mentalitasnya, cara hidupnya, jalan fikirannya, jalan perjuangan politiknya, tidak cocok dengan predikat komunis dalam arti klasik. Terang buat saya ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia di sekelilingnya. Di samping itu ada satu segi menyolok dalam wataknya, ambisinya besar, karena ia amat percaya kepada kapasitasnya. Memang ia seorang yang brilian, tetapi nampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar. Juga kelemahannya terletak pada emosi yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya.

Sebagai manusia, ia kawan yang baik, suami yang setia, bapak yang penyayang. Semua sifat-sifat borjuis, yang biasanya tidak terlalu diperkirakan ada pada komunis klasik. Apa lagi mau dikatakan tentang Amir Sjarifudin? Mungkin ia seorang Don Quichot, yang ke sana-sini mencari musuh cita-citanya, dan mencari kekasihnya yang berada dalam cengkeraman naga kapitalis. Kapitalis seperti yang ia kenal dalam zaman jajahan, biar berkulit putih, kuning atau sawo matang. Saya tahu benar, ia amat benci pada pamongpraja yang ia anggap sebenarnya parasit rakyat, penjilat terhadap penjajah, yang menurut dia Sklavengeist  atau jiwa budak. Sebab itu buku yang paling ia sukai adalah Max Havelaar karya Multatuli. Kesalahan Muso dan Amir Sjarifudin adalah mengira rakyat benci pada pemerintahan Sukarno-Hatta. Mereka kira oposisi yang sekali-kali diperlihatkan berarti konfrontasi. Memang dalam kamus komunis oposisi sama dengan konfrontasi, malahan kontra-revolusioner. Jadi menganggap PNI yang Nasionalis dan Masjumi yan religius-sosialistis dapat dikonfrontir dengan Presiden Sukarno justru salah tafsir. Biar PNI dan Masjumi menentang persetujuan Linggarjati Sukarno-Hatta-Sjahrir, tetapi tiada niat buat berkonfrontasi sedikitpun. Inilah yang dinamakan “demokrasi” dalam praktek.

Amir Sjarifudin kesudahannya tenggelam bersama-sama pemberontakan komunis di Madiun. Tanggal 28 Oktober 1948, pasukan-pasukan tempur PKI hancur. Tiga hari kemudian, 31 Oktober, Muso tewas dalam pertempuran dengan pasukan Mobrig, yang dipimpin Jenderal Jasin. Sebelumnya, 29 Oktober, Djokosujono dan Maruto Darusman tertangkap, dan tanggal 31 Oktober itu, Amir Sjarifudin serta Soeripno ditangkap juga. Mereka dihukum mati. Revolusi memakan anaknya sendiri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar