Oleh Abu Hanifah
Rasanya tak perlu
saya gambarkan terlalu banyak tentang Angkatan 28. Diketahui sekarang, bahwa
dalam STOVIA telah timbul beberapa organisasi pemuda daerah, seperti Jong Java,
Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa dan sebagainya. Semula organisasi itu bercorak
kedaerahan, tetapi lama kelamaan kontak antara mereka, juga dengan
cabang-cabang mereka di seluruh
nusantara mulai nampak, dan tahun 1926 ada usaha untuk menggabungkan
organasisasi-organisasi pemuda daerah itu. Tetapi rupanya waktunya belum tiba;
masih ada kecurigaan dari daerah-daerah terhadap kemungkinan dominasi mereka
yang berasal dari Jawa, mengingat jumlah mereka ini memang besar.
Saatnya baru
menjadi matang pada tahun 1928, terutama karena pimpinan pusat
organisasi-organsasi pemuda itu umumnya berada di Jakarta dan dikuasai oleh
mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI).
Untuk diketahui, waktu itu apa yang disebut “pelajar” sama artinya dengan
mahasiswa sekarang. Mereka yang belajar di sekolah lanjutan seperti MULO, AMS,
HBS, biasanya disebut “murid” dengan menambahkan nama sekolah di belakangnya.
Begitulah pada Kongres Pemuda II (1928) dilahirkan ikrar untuk bersatu.
Lahirlah Sumpah Pemuda, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan pengakuan Merah
Putih sebagai bendera Indonesia. Semua perkumpulan pemuda akan dibubarkan dan
akan dilebur dalam suatu fusi. Organisasi Pemuda Indonesia yang semula
menganggap dirinya sebagai wadah persatuan pemuda daerah, akhirnya mengalah
juga dan ikut melebur dirinya dalam Indonesia Muda. Dengan demikian mulai 1928
itu corak perjuangan pemuda berubah: dari corak kedaerahan menjadi corak
kebangsaan. Sebenarnya yang dinamakan Angkatan 28 itu berasal dari tiga tempat:
Negeri Belanda (Perhimpunan Indonesia), Bandung (Studiclub) dan Jakarta (Perkumpulan
Pelajar Pelajar Indonesia). Tentu saja yang saya maksudkan adalah “inti” dari
Angkatan 28. Dalam Perhimpunan Indonesia, kita kenal nama-namu Datuk Nazir
Pamoentjak, Nazier, Mohammad Hatta, Soekirman, Budiarto, Sartono, Soenario,
Iskaq, Samsi, dan lain-lainnya. Yang berasal dari Bandun antara lain Sukarno
dan Anwari. Sedang yang berasal dari Jakarta, yang jumlahnya lebih besar,
adalah Mohamad Yamin, Amir Sjarifudin, Assat, Wongsonegoro, Abbas, Suwirjo,
Reksodiputro, Tamzil, dan banyak lagi.
Dalam hubungan ini
saya akan membicarakan salah satu kelompok dalam Angkatan 28 itu, yakni
kelompok Indonesis Clubgebouw (IC) di Kramat 106, yang sekaran disebut Gedung
Sumpah Pemuda. Memang di sanalah Sumpah Pemuda itu pertama kalinya diucapkan.
Kelompok ini antara 1928 dan 1931 terdiri dari mahasiswa-mahasiswa senior
berbagai Sekolah Tinggi dan STOVIA (tingkat 7 ke atas). Di gedung ini sering
berkumpul juga mereka yang dari Bandung, seperti Bung Karno, atau mereka yang
telah tamat belajar, seperti Sartono dan Soenario.
Kelompok Indonesis-Clubgebouw (IC) dalam Angkatan 1928
Kelompok IC,
Angkatan 28, terdiri dari mereka yang tinggal di gedung Kramat 106, yang
dinamakan Indonesis-Clubgebouw.
Mereka ini umumnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa senior STOVIA dan pelbagai
Sekolah Tinggi. Mereka termasuk yang bekerja keras dalam membereskan Kongres
Pemuda ke dua, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, lagu Kebangsaan Indonesia Raya,
bendera Sang Merah Putih dan pengakuan nasional antara para pemuda bangsa.
Ketika saya diam
di gedung itu, antara tahun 1928 sampai dengan 1931, penghuni IC antaranya
adalah Amir Sjarifudin, Mohamad Yamin, Assaat, Abas, Surjadi, Mangaraja Pintor,
dan satu mahasiswa dari Sekolah Tinggi Kedokteran yang baru masuk. Sebenarnya
IC itu hidup karena para penghuni membayar sekaligus, sewa rumah, air, listrik
dan lain-lain. Tetapi kesempatan itu dipakai, juga buat berkumpulnya
mahasiswa-mahasiswa lain, di mana mereka dapat rileks: membaca suratkabar,
majalah, main billiard, main pingpong, dan catur atau bridge. Tempat rekreasi mereka di bagian depan umumnya selalu
ramai. Bagian belakang dan pavilyun-pavilyun adalah tempat para penghuni
tinggal, makan, beristirahat, dan lain-lain.
Sayang gedung
Kramat 106 sekarang, yang telah diberi nama Gedung Sumpah Pemuda itu, dipugar
kurang cermat. Justru, di mana ada kamar-kamar penghuni-penghuni plus satu
kamar arca, dibongkar dan sekarang kosong. Sedangkan dapur, kamar mandi dan
kamar pelayan, malahan dipugar. Jadi buat penghuni lama seperti saya, gedung
itu sekarang kruang menarik. Bekas kamar saya, kamar Amir Sjarifudin, kamar
Assat, kamar Abbas, dan kamar Arca dirubuhkan sama sekali.
Kalau dilihat dari
nama-nama penghuni itu, pembaca akan dengan sendirinya mengerti iklim semangat
yang ada antara mereka pada waktu-waktu itu. karena masing-masing memiliki
cukup perasaan kritis terhadap apa-apa yang terjadi di Indonesia dan di dunia,
serta terang mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan buat membicarakan, dan
memperdebatkan soal-soal politik yang pelik dah hal-hal sehari-hari. Ini sering
terjadi ketika habis makan malam pukul 8. Perdebatan itu kadang-kadang begitu
sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang
sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dari
depan dan turut mendengarkan perdebatan. Seringkali perdebatan tanpa program
itu dihadiri oleh pemimpin-pemimpin pemuda lain, seperti Wongsonegoro,
Jusupadi, atau Zainudin (STOVIA) dan banyak lagi. Sekali-kali Bung Karno mampir
dan turut serta, kalau ia kebetulan berada di Jakarta. Saya kira mungkin banyak
lagi mereka yang turut membikin sejarah Indonesia hadir dan aktif berdebat di
IC. Saya ketahui, bahwa di luar kelompok IC ini ada kelompok-kelompok lain.
Banyak di antara mereka kemudian masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga
yang masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai-partai lain.
Yang penting adalah perdebatan-perdebatan itu ternyata benar-benar mengasah
otak kami. Ada satu ciri khas dalam berdebat, yang kemudian ternyata menjadi
kebiasaan, yaitu sengitnya perdebatan, sekalipun dijalankan secara ilmiah.
Sering karena tidak puas, esok harinya atau minggu itu juga kami mencari
literatur ke Museum, buat memperkuat pendapat. Pernah berbulan-bulan kami
memperdebatkan Revolusi Perancis. Masing-masing mempunyai jagonya. Amir
Sjarifudin mengagumi Robespierre, Mohamad Yamin menjagoi Marat, Assat pengikut
Danton, dan saya lebih mengagumi Mirabeau. Kebetulan semua jago-jago revolusi
Perancis itu memang ada counterpart-nya
dalam revolusi Indonesia sendiri. Dan seperti revolusi Perancis, revolusi
Indonesia juga menelan anak-anaknya sendiri.
Kami kaji sampai
detail arti revolusi, mulai dari revolusi Perancis sampai revolusi Amerika,
terus ke revolusi Rusia dan Cina. Juga gerakan nasional Gandhi dan kawan-kawan
di India. Saya rasa pada akhir 1929, hampir semua revolusi di dunia telah kami
bahas. Kadang-kadang dengan amat sengit. Anehnya, tidak pernah ada sifat
pribadi di dalamnya. Kalau telah capek, pukul 1 malam, kami kumpulkan uang buat
cari kopi plus sate atau sotong ke pasar Senen. Judul percakapan sudah berubah,
lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda.
Kalau kebetulan
waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing-masing terus masuk kamar. Di
gedung hanya mendengar mahasiswa-mahasiswa yang masih main billiard atau bridge.
Kira-kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi-bunyian. Amir Sjarifudin
melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu
serenata yang sentimentil. Ini tanda bagi saya buat membalas. Sayapun mengambil
biola dan membunyikan lagu yang sama. Terdengarlah teriak dari kamar Yamin,
bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan
karanggan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga.
Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin
berteriak-teriak, dan kami bersama ketawa terbahak-bahak. Kemudian IC sunyi
lagi.
Di sini mungkin
pembaca dapat menerka watak dan semangat penghuni-penghuni IC. Sebenarnya belum
nampak benar aliran apa kemudian yang akan kami anut. Tetapi, terang perasaan
romantik ada pada kami semua. Kami kagumi pejuang kemerdekaan bangsa-bangsa
lain. Sejarah mereka dan buku-buku mereka kami “telan”. Kadang-kadang ada
kalimat-kalimat yang merangsang. Hampir semua kagum terhadap Marx dan Engels.
“Manifesto Komunis” amat mendapat perhatian, terutama karena tujuannya
memperbaiki kaum melarat, atau proletar. Kadang kala, kalau ada yang
menanyakan, apa ada uang buat beli gado-gado, jawabnya: “Mana bisa, uang saya
kan telah habis bulan ini. Kan saya kaum proletar. Pergi saja kepada si A, ia
kan kapitalis, sebab masih dapat beli rokok enak.”
Tetapi sebenarnya
tiada satupun yang terlalu terpengaruh oleh ajaran komunis, sekalipun
kadang-kadang kami perdebatkan Manifesto Komunis dan pengaruhnya pada dunia
buruh. Kebetulan waktu itu, PKI baru dilarang, tetapi rasanya
anggota-anggotanya masih berkeliaran, dan mungkin ada yang masuk partai lain.
Yang sangat dicurigai polisi Belanda adalah bekas anggota Serikat Rakyat, yang
merupakan organisasi-massa PKI. Mereka curiga, bahwa banyak bekas anggota
organisasi itu masuk PNI. Tentu saja kami menganggap perlu mempelajari
Manifesto, yang begitu berpengaruh di dunia. Sekurang-kurangnya secara ilmiah.
Tetapi kami sendiri waktu itu berpendapat, bahwa kondisi dunia telah berbeda
dari zaman Marx dan Engels. Tetapi kondisi ekonomi dan sosial di bagian
terbesar dunia tidak banyak berubah, terutama di tanah jajahan kapitalis Barat.
Buat kami yang penting adalah jalan apa yang harus ditempuh, supaya sukses
melawan kaum penjajah.
Tidak terlalu
mengherankan, kenapa kami amat banyak memperdebatkan komunisme, karena baru
saja ada pemberontakan komunis dalam tahun 1926. Efeknya masih nampak di
mana-mana. Tetapi, terutama yang lebih diperhatikan adalah tulisan-tulisan Marx
dan Engels. Ingatlah, bahwa kami hidup dalam dunia kolonial, di mana masih
berlaku: Poenale Sanctie, rodi, di mana rakyat Indonesia diperlakukan sebagai
budak. Kekayaan Belanda melimpah-limpah. Boleh dikatakan eksploitasi petani dan
buruh kita oleh Belanda dan kaki tangan mereka-termasuk penggede Indonesia
sendiri-dengan parasit-parasit bangsa asing (Cina, dan lain) amat menyedihkan
kami. Hal itu menerbitkan amarah dan perasaan kepahitan. Jadi, teori yang menjanjikan
perubahan dari perbudakan, harus kami kami selami dan analisa. Yang penting
adalah, apakah aliran itu baik buat rakyat Indonesia yang ingin merdeka.
Maka
dibalik-baliklah buku yang menerangkan Manifes Komunis dari Marx yang kemudian
ditambah di sana sini oleh Engels. Saya masih ingat benar perdebatan-perdebatan
waktu itu, yang sebenarnya hanya perdebatan teoritis dan ilmiah. Banyak yang
melihat komunisme seperti dilakukan Stalin dalam praktek sama sekali tidak
menarik.
Makin dipelajari,
makin nampak kontroversi dalam teori dan praktek. Mulai nampak pula oleh kami,
bahwa teori-teori Stalin tak sesuai dengan Marxisme asli. Jauh juga kami
menganalisa Stalinisme, yang dianggap lain dari Marxis-Leninisme. Bagi kami,
mempelajari satu aliran tidak berarti pro-aliran itu. rupanya sekarang agak
lain di dalam masyarakat kita. Kadang-kadang kita hampir saja seperti burung
unta. Asal tidak melihat musuh, cukuplah untuk menganggap musuh tidak ada.
Dalam
perdebatan-perdebatan itu, mulai terang bagi kami, bahwa Marxisme memiliki daya
tarik besar pada mereka yang merasa terjepit, merasa dihina, merasa tidak
mendapat keadilan, dan terang buat orang miskin. Satu persatu diperdebatkan
bagian-bagian Manifesto itu. bagian historisnya, bagian ramalan, bagian
moralnya, dan bagian revolusionernya.
Cukup menarik pada
waktu itu adalah satu bagian dari mukadimah Manifesto, yang menyatakan, bahwa
“....Sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas, pergolakan antara
memeras dan yang diperas, antara kelas yang memerintah dan diperintah....”
Menjadi perdebatan pula pendapat Marx, bahwa tidak boleh tidak akan ada
peperangan antara kaum burjuis, yang akan menghancurkan mereka sendiri,
Keganasan kaum kapital terhadap kaum
buruh, dan melaratnya rakyat banyak juga mendapat perhatian penuh. Marx dan
Engels mengatakan, bahwa pengetahuan mereka tentang hal itu adalah dari laporan
inspeksi-inspeksi dari pabrik-pabrik sendiri. Jadi eksploitasi rakyat
dikemukakan benar. Ini amat kami rasakan, sebab pada waktu itu kebetulan ada
perdebatan di dalam Volksraad tentang
nasib kuli-kuli kontrak di perkebunan Sumatera Timur (Deli, Serdang, dan
lain-lain). Harus disadari sekali lagi, bahwa kami waktu itu menganggap diri
kami ujung tombak perjuangan kemerdekaan Indonesia, apalagi setelah 28 Oktober
1928. Menjadi obsessi benar, bagaimana caranya Indonesia dapat merdeka, dengan
jalan apa, dan debatan-debatan itu kadang-kadang dihadiri oleh sekolah. Terang,
banyak dari Manifesto itu yang tidak disetujui, misalnya: “meniadakan hak milik
pribadi,” atau abolition of privat
poverty.
Pendek kata, kami
cukup memperdebatkan komunisme, dan sosialisme pada umumnya. Sosialisme juga
mendapat tempat penting dalam perdebatan dan fikiran kami. Sampai-sampai buku
Adam Smith dicari-cari di Museum. Hampir semua menolak apa yang disebut clasical liberalism, yang menciptakan
kapitalisme dan imperialisme modern.
Debat besar sekali
terjadi, tentang apakah ada kebenaran dalam ide bahwa kebenaran itu hanya bisa
didapat dengan kompetisi bebas antara semua doktrin. Memang ide ini dapat
dikatakan menjadi populer di negara-negara Barat. Tetapi bagaimana dengan
negara-negara lemah, apalagi negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda. Ini
juga sudah dirasakan oleh rakyat jelata di Eropa; dapat dibaca dalam Das Kapital. Nyatalah bahwa kami
benar-benar memerlukan banyak waktu buat mempelajari soal-soal yang
bersangkutan dengan satu negara Indonesia yang akan merdeka. Tetapi rasanya
tidak sia-sia. Ketika revolusi 1945 mulai, rasanya saya sendiri telah siap,
sekurang-kurangnya secara teoritis, buat menghadapi soal-soal yang akan timbul
dalam membentuk satu negara baru.
Sekali lagi saya
tegaskan, bahwa sekalipun kami banyak mempersoalkan sosialisme dan komunisme,
tidak berarti kami menjadi pengikut aliran-aliran ini pada waktu itu. Mungkin
ada simpati, karena melihat keadaan tanah air pada waktu itu. kolinialisme
Belanda dengan tirani dan tindakan sewenang-wenang, diskriminasi yang menyolok,
serta gap antara Vreemde Oosterling
(bangsa Cina, India, dan lain-lain) dengan Inlander,
yang secara menyolok dibina Belanda, kemiskinan rakyat (istimewa di Jawa), dan
banyak lagi yang menyakitkan hati. Hal itu semua memang merangsang radikalisme
di kalangan pemimpin-pemimpin pemuda dan pemimpin nasionalis.
Segala aktivitas
terutama terjadi sampai akhir Desember 1929, pada waktu mana pemimpin Partai
Nasional Indonesia digeledah, dan juga pemimpin-pemimpin organisasi Pemuda
Indonesia. Tetapi satu hal harus saya kemukakan di sini, yang mungkin kurang
diketahui. Pada tanggal 19 Oktober 1929, ketika sedang ada perdebatan agak
meriah antara kami, Bung Karno masuk. Ia sekitar 1 jam turut mendengarkan,
kemudian berdiri dan dengan semangat berbicara, lalu mengakhiri dengan:
“Sudahlah, tidak perlu lagi banyak teori. Mari kita fikirkan, apa yang akan
diperbuat. Bila kaum kapitalis perang lagi dan bunuh-membunuh satu sama lain,
kita dapat menari di atas bangkai-bangkai mereka, dan berontak secara fisik.
Sekarang, soalnya bagaimana mempersiapkan rakyat buat waktu itu. Itu lebih baik
kita fikirkan mulai sekarang.
Kami semua
tercengang, tetapi persis inilah pendapat Manifesto Komunis. Sebab Manifesto
Komunis berkeyakinan, bahwa kapitalis dunia akan runtuh, dan sebagai sebabnya
adalah bertambahnya gap antara
over-produksi dan konsumsi kurang. Memang, apa yang dikatakan Bung Karno
membikin kami berfikir. Memang setelah itu kami banyak membicarakan cara-cara
berevolusi dalam praktek di beberapa bagian dunia yang berbeda-beda
kenyataannya.
Tetapi mulai 1930,
keadaan politik memburuk. Lagipun banyak antara kami telah disibukkan oleh
pelajaran-pelajaran, sebab ujian penghabisan telah mulai mendekat. Saya
sendiri mempersiapkan diri buat ujian semi arts. Tiba-tiba tanggal 3 September
1930, Bung Karno tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun. Pidato pembelaannya, Indonesia Klaaget aan
(Indonesia menggugat) amat mengesankan.
Secara pendek tadi
saya gambarkan cukilan-cukilan fikiran, sikap, dan pendapat kelompok Angkatan
1928 IC, yang tidak banyak berbeda dengan mereka di luar kelompok ini.
Sekaligus dapat sedikit banyak dilihat lingkungan, di mana Amir Sjarifudin
berada waktu itu. kami semua fanatik, tetapi rasanya Amir yang paling menonjol
emosinya dalam perdebatan-perdebatan dan dalam mempertahankan pendapatnya.
Tetapi kami semua sebenarnya dilanda obsesi patriot dan tiada fikiran sedikit
juga kepada nasib sendiri. Mungkin agak congkak bunyinya, tetapi, kami merasa
diri sebagai ujung tombak perjuangan kebangsaan kebangsaan. Kaum tua waktu itu
belum sejauh itu fikirannya. Dan secara jujur, kami anggap mereka koperator dengan
Belanda dalam Volksraad dan sedikit
sebagai penyeleweng-penyeleweng di parlemen Belanda.
Hidup pribadi
kami, di luar lingkungan IC adalah sedikit berlainan. Semua, selain saya
mempunyai famili atau kenalan-kenalan dari keluarga Indonesia. Umumnya mereka
mengongkosi studinya sendiri. Kecuali Mohamad Yamin yang mendapat beasiswa dari
beberapa lembaga, sedangkan saya mendapat beasiswa STOVIA. Waktu itu rasanya
kami ada juga merasakan kekosongan batin. Karena itulah, Yamin misalnya dekat
sekali kepada Gerakan Theosofie, Amir mulai mendekat kepada Gereja Kristen,
sekalipun ia seorang Muslim. Ada yang banyak bergaul dengan pastur-pastur
Katholik. Aneh, tidak pernah kami didekati oleh kaum ulama Islam. Saya sendiri,
mulai 1926 masuk kursus filsafat, yang diberikan 3 kali seminggu di gedung
Blavatsky. Sebenarnya yang memberi kursus campuran guru-guru dari golongan
Theosofie, antaranya guru besar dari Sekolah Tehnik Tinggi Bandung.
Mula-mulanya rasanya Yamin juga turut, tetapi ia kemudian terlibat dalam terjemahan-terjemahan
Tagore, dan sejarah purbakala. Jadi pada tahun 1929, saya sendirilah yang dapat
diploma, sebagai: Scholar of Philosophy. Semua ini karena mau mengisi
kekosongan batin. Tetapi Yamin juga asyik membikin soneta dan sajak, Amir asyik
main biola, saya sendiri menutup waktu-waktu kosong dengan olahraga dan musik
(biola, gitar, tennis, silat dan sepak bola, plus dansa). Amir dan saya pada
waktu malam sering naik andong berjam-jam dan bicara tentang segala hal yang
dirasakan, mulai dari politik sampai ke gadis dan cinta. Amir Sjarifudin adalah
seorang yang umumnya emosionil, dan ini ternyata juga dalam segala hal. Dalam
bertukar fikiran, dalam cara ia bergembira atau kurang senang. Pada tahun 1929,
saya selain pemimpin majalah Pemuda
Indonesia, juga bertanggungjawab tentang isi majalah Indonesia Raya, majalah dari PPI. Satu ketika dimuat tulisan Amir
tentang perlawanan kaum Vlaming di Belgia terhadap raja Belanda. Judulnya De fiere Vlaamsche Leeuw. Artikel
ditulis di bawah nama samaran dan memang isinya galak. Saya dipanggil Polisi
Intel Belanda (PID), ditegur, karena artikel itu merendahkan bangsa Belanda.
Setelah diperiksa beberapa jam saya lolos juga. Memang kami tidak pernah
memakai nama sendiri dalam satu artikel. Misalnya saya sering menulis, tetapi
tak pernah di bawah nama saya sendiri. Kawan-kawan malahan menulis sajak-sajak
cinta-kasih, tetapi di bawah nama samaran. Berpotret pun kami jarang. Takut
dikenali spion-spion PID.
Bahwa kami umumnya
dapat dikatakan condong kepada sosialisme, itu rasanya terang. Dalam zaman
revolusi 1945, Amir Sjarifudin dan Assat adalah anggota Partai Sosialis. Abas
anggota PNI yang terang coraknya sosialis. Saya sendiri waktu itu sayap kiri
dari “Masjumi”, yang oleh George McTurner Kahin dicap sebagai religius-socialis.
Yamin condong ke Partai Murba.
***
Tahun 1932, saya
berangkat dari Jakarta, dan memulai karir dokter di Medan-Deli pada Maskapai
Kebon “Tanjong Morawa.” Saya tidak bersedia masuk pegawai negeri, dan karena
itu melepaskan kontrak saya dengan Belanda. Berat juga hati saya ketika
berpisah dengan Amir. Rasanya kami banyak persamaan dalam sifat, watak dan
perasaan. Ia antarkan saya ke kapal yang akan berangkat. Kami saling merasa
kehilangan sesuatu.
Baru tahun 1946
saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ketika saya balik dari Sumatera tahun
1939, buat mendapat titel arts di
GHS, ia tidak di Jakarta. Kemudian saya berlayar sebagai Opsir Kesehatan
Angkatan Laut Sekutu (tahun 1940-1941-1942), terus menerus di medan perang, di
Bombay, Singapura kemudian di Tanjung Priok sampai ditangkap tentara Jepang
akhir Maret 1942. Pada mulanya sekali-kali kami masih ada hubungan surat
menyurat. Tahun 1937 Amir termasuk pimpinan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia)
yang sekalipun sosialistis dan nasionalistis tetapi menyokong Belanda, karena
benci terhadap fascisme Eropa. Dalam bulan Mei 1939, terjadi satu federasi dari
partai-partai yang berlandaskan nasionalisme, bernama GAPI (Gaboengan Politiek Indonesia), dimana Amir
juga tercantum sebagai salah seorang pemimpin. Anehnya, dalam Kongres Rakyat
Indonesia, tahun 1939 GAPI menerima secara resmi 3 putusan, yang sebelumnya
telah diikrarkan Angkatan 1928. Putusan itu ialah mengakui Bahasa Indonesia
sebagai satu-satunya bahasa, Sang Merah Putih sebagai Bendera Nasional, dan
lagu Indonesia Raya sebagai lagu Kebangsaan. Benar-benar satu hal yang
mengherankan. Sebab ini berarti, kaum tua sampai tahun 1939 belum mengakui
Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda kedua. Rasanya, kalau tidak ada
Amir Sjarifudin dan Mohamad Yamin, mungkin sekali pengakuan terhadap Sumpah
Pemuda oleh partai-partai politik waktu itu belum juga terlaksana. Saya tak
mengatakan, bahwa popularitas Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda
kedua tidak ada. Malahan sebaliknya. Sampai organisasi-organisasi non-politis
telah mengakui hasil-hasil tahun 1928. Rupanya telah menjadi penyakit kaum tua
untuk tidak-lekas mengakui prestasi pemuda. Apalagi kalau pemuda itu juga telah
dewasa dan mem’buldozer” kebenaran yang telah ada dalam masyarakat sendiri.
Tetapi pada tahun
1939 itu juga Amir Sjarifudin ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda bersama
beberapa pemimpin lain. Ada cerita yang tidak dapat dibuktikan sekarang, bahwa
Amir Sjarifudin, di belakang layar dibela oleh Prof. Schepper, seorang guru
besar yang amat taat kepada agama Kristen. Rupanya pada tahun 1935, Amir
Sjarifudin telah masuk agama Kristen. Ada kabar waktu itu di koran-koran, yang
tidak begitu dapat dicek, bahwa sebenarnya Amir Sjarifudin semula bersedia
mendirikan satu partai politik kristen. Tetapi karena perhitungan politik,
tidak jadi meneruskan maksudnya itu. Malahan seperti diketahui ia turut
mendirikan Gerindo pada bulan April 1937. Ketika Amir Sjarifudin berada dalam
tahanan Belanda tahun 1939, ia sering didatangi oleh Prof. Schepper, yang
rupanya dapat meyakinkan pemerintah Belanda, bahwa Amir Sjarifudin lebih baik
dipakai dalam pemerintahan. Setelah itu, rupanya Amir diberi kesempatan
memilih, apakah dibuang ke Digul atau ke kerjasama dengan Belanda di Departemen
Ekonomi.
Rasanya, kalau
saya boleh berspekulasi (karena sedikit mengenal Amir Sjarifudin) ia memilih
taktik kerjasama. Bila ia dibuang ke Digul, kesudahannya ia terang akan
terasing dari pergerakan bangsanya. Padahal Perang Dunia II telah berkobar, dan
Jepang sedang bersiap-siap buat turut serta. Kalau Amir waktu masih Amir yang
saya kenal, maka fascisme dan diktatorial-nazisme terang bukan idealnya. Jadi
mungkin ia memilih yang “kurang jelek.” Rasanya begitu jalan fikirannya.
Itu sebabnya,
Belanda menyerah kepada Jepang, Amir Sjarifudin bersedia menerima uang sebesar
25 ribu gulden sebagai modal buat mendirikan satu partai bawah-tanah untuk
sabotase terhadap Jepang. Dalam hal ini rasanya ia terpaksa bekersama dengan
PKI illegal yang didirikan Muso di tahun 1939.
Harus diingat,
bahwa Rusia waktu itu berpihak pada Sekutu yang memerangi Fascisme dan Nazisme.
Mungkin waktu itu ia telah didekati oleh PKI illegal, sebagai salah satu
pemimpin Gerindo, yang memang menganut sosialisme-radikal. Mungkin Belanda
telah mencium hal itu dan lekas-lekas menangkap dia, tetapi mungkin juga
Belanda tidak percaya, bahwa ia seorang komunis. Kalau tidak, ia tidak akan
lepas dari tahanan Belanda, betapapun besarnya pengaruh Professor Schepper.
Lagipula mungkin
sekali Amir percaya kepada janji-janji Van der Plas, bahwa setelah perang,
Belanda akan memerdekakan Indonesia, menurut aturan Commonwealth ala Inggeris. Kesan ini saya dapati dari satu
pembicaraan dengannya dalam tahun 1946, ketika saya singgah di Yogya. Ia waktu
itu menjadi Menteri Pertahanan RI. Di zaman Jepang ia tertangkap dan sedianya
akan dihukum mati, tetapi tertolong oleh usaha Bung Karno. Ia waktu itu
bekerjasama dengan golongan Illegal PKI.
Saya bertemu
dengannya setelah 14 tahun berpisah. Rasanya ia agak berubah. Lebih fanatik,
lebih emosionil. Saya waktu itu datang ke Yogya buat membicarakan soal senjata
bagi pasukan-pasukan kami di Jawa Barat, bagian daerah saya. Kami kekurangan
peluru dan senapan otomatis. Ia nampaknya agak sedikit curiga. Lagipun saya
waktu itu anggota pemimpin pusat Masjumi, ketua pertahanan daerah Bogor, serta
Ketua Dewan Nasional daerah Bogor. Saya tidak mendapat senjata yang saya minta,
karena di Yogyapun tidak berlebihan senjatanya. Tetapi saya berkesempatan buat
bicara kembali secara terbuka dengan Amir, sekalipun kami berada dalam pangkuan
partai yang berbeda. Ia menyatakan kekecewaannya, bahwa Belanda tidak
menetapkan janji, yang katanya pernah dijanjikan oleh Van der Plas. Ia sangat
jengkel rupanya. Tetapi persahabatan kami tidak terlalu rusak, apalagi setelah
bercerita-cerita tentang zaman IC. Kedua-kalinya saya bertemu lagi dengan Amir,
ketika ada rapat-rapat KNIP di Malang. Sekali ini saya bertindak sebagai ketua
fraksi Masjumi, yang sangat menentang persetujuan Linggarjati. Terjadi pertentangan
keras dalam soal penanda-tanganan, karena Masjumi, kemudian juga PNI,
menganggap pemerintahan Sjahrir (termasuk Amir Sjarifudin) bersedia buat
sementara menerima usul Belanda, supaya Republik Indonesia hanya terdiri de facto atas Sumatera dan Madura.
Masjumi dan PNI tidak bersedia turut dalam pemungutan suara. Saya jadi
jurubicara Masjumi, dan PNI diwakili Mr.Ali Sastroamidjojo. Persetujuan
Linggarjati diterima oleh KNIP serta disokong Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta.
Seminggu setelah
itu saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ia meminta saya bersedia memimpin
delegasi Indonesia ke Asian Relation Conference di New Delhi, India. Saya
merasa heran, mengapa kabinet Sjahrir merasa perlu menyerahkan pimpinan
delegasi Indonesia yang begitu penting, kepada pihak yang menentang bleid
kabinet yang berkuasa. Kemudian Presiden Sukarno dan PM Sjahrir
dalam pembicaraan dengan saya meminta lagi dengan sangat supaya saya terima
pengangkatan sebagai ketua Delegasi Indonesia itu. Kemudian saya mengerti
strategi mereka. Dunia luar tidak boleh berpendapat, bahwa dalam Republik
Indonesia ada konflik serius antara pemerintah dengan oposisi. Di sini jelas
benar, pemerintah RI amat sangat berpendapat, bahwa satu oposisi parlementer
adalah satu hal yang normal dalam demokrasi, dan tidak perlu merusak hubungan
antara kelompok di luar dan di dalam pemerintahan. Demokrasi murni tidak selalu
dapat terjadi hidup Republik Indonesia. Tetapi ada kemungkinan suasana
psikologis yang menyebabkan mereka yang memerintah dan diperintah waktu itu
dianggap sederajat mutu fikirannya dan tahu benar aturan-aturan permainan
politik dalam demokrasi. Kebetulan, banyak di antara mereka adalah Angkatan
1928. Memang harmoni kerjasama antara oposisi dan pemerintahan baru menghilang,
ketika telah masuk angkatan-angkatan lain seperti generasi Serikat Islam, PKI,
dan lain-lain. Ini menyebabkan revolusi Indonesia hampir ambruk oleh perang
saudara, seperti pada pemberontakan Madiun tahun 1948.
Sebelum saya berangkat ke Asian Relations
Conference di New Delhi, ada beberapa kali rapat antara saya – sebagai Ketua
Delegasi – dengan Sjahrir dan Amir Sjarifudin. Tujuannya adalah supaya
Indonesia dalam konferensi itu dapat memberikan keterangan yang jelas tentang
politik luar negerinya. Saya sendiri tidak puas dengan politik positive neutrality yang maksudnya waktu
itu dalam mencari kawan dan menjauhkan lawan, Indonesia tidak mau campur dengan
soal-soal negara-negara lain, dan akan selalu bersikap netral. Saya
berpendapat, bahwa Indonesia akan menghadapi wakil negara-negara yang sedang
memperjuangkan kemerdekaannya, seperti India, Vietnam, Burma, dan negara-negara
lain yang setengah jajahan di Asia. Mereka tentu mengharapkan dari Indonesia
satu sikap yang positif, sekurang-kurangnya dalam soal-soal jajahan, penindasan
ekonomi oleh kapitalis dunia, diskrimanasi ras oleh para penjajah dan
lain-lain. Setelah beberapa hari berdebat, di mana turut juga Mr. Ali
Sastromidjojo dan beberapa pemimpin partai pemerintah, sampailah kami kepada
konklusi, bahwa kita harus balik kepada mukadimah Undang-Undang Dasar 1945.
Pendeknya, kesudahannya kami sampai kepada keputusan, bahwa politik luar negeri
Indonesia, adalah bebas dalam memilih politik terhadap soal-soal dalam negeri,
dan aktif bersikap dalam batas-batas kekuatan kita. Semua ini harus berdasarkan
kepentingan rakyat Indonesia. Ada yang menyatakan waktu itu, seharusnya
berdasarkan kepentingan nasional. Demikianlah lahir politik luar negeri kita
seperti dianut sekarang: “politik bebas dan aktif”.
Sungguhpun sejak
1947 sampai sekarang, sering politik itu dilaksanakan seperti menarik sehelai
karet, kadang-kadang ditarik ke kiri, dan kemudian ditarik ke kanan, waktu itu
belum jelas, ke mana karet itu ditarik. Maka berangkatlah delegasi Indonesia
yang saya pimpin itu, terdiri dari 37 anggota. Tetapi ketika saya saya pulang
dari New Delhi akhir Maret 1947, keadaan politik di Indonesia telah keruh.
Belanda nampak sangat agresif. Saya pulang dulu ke kota saya, Sukabumi. Sebelum
saya dapat memberi laporan ke Yogya, Belanda telah memulai agresi pertamanya.
Tanggal 20 Juli 1947, tentara Belanda menyerang Sukabumi, salah satu daerah
yang diincer benar oleh Belanda, karena kaya dengan karet, kina, teh dan beras.
Saya dengan jas putih berdarah karena sedang melakukan operasi terhadap seorang
pasien di Rumah Sakit, ditangkap dan ditahan di sel penjara Sukabumi. Rekan
saya, yang berbangsa Cina, dibiarkan terus bekerja. Kesudahannya, saya dibawa
ke Jakarta dan ditahan di penjara Glodok, kemudian di kamp tahanan Tanggerang.
Setelah ada cease-fire, tahun 1948, saya dan
beberapa kawan dilepaskan ke daerah republik via Salatiga. Di Magelang, Letkol Sarbini (sekarang Letjen)
menampung kami dan diteruskan ke Yogya. Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir,
dengan agak terharu melihat saya yang kurus kering. Mereka rupanya mengira saya
sudah mati.
Rupanya telah
banyak yang terjadi selama saya dalam tahanan Belanda. Sjahrir sudah turun
sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Amir Sjarifudin. Ini terjadi
tanggal 3 Juli 1947. Kemudian terjadi perundingan dengan Belanda yang terkenal
sebagai perundingan “Renville.” PM Amir Sjarifudin dan kabinetnya menyetujui
dan menandatangani persetujuan Renville, yang kemudian ternyata lebih lagi
menjepitkan posisi RI (17-19 Januari 1948). Ketika saya dan kawan-kawan sampai
di Yogya pada awal 1948, Amir Sjarifudin telah meletakkan jabatan sebagai
Perdana Menteri.
Presiden Sukarno
membentuk satu kabinet presidentil, di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta.
Memang Presiden Sukarno, selalu membentuk satu kabinet presidentil, di bawah
pimpinan harian satu PM. Tetapi ia selalu hadir dalam sidang-sidang kabinet,
dan sering memveto apa yang ia anggap satu hal prinsipiil yang harus
dipertimbangkan lagi. Tetapi sehari-hari kabinet bertindak seakan-akan sifatnya
parlementer, sekalipun tidak bertanggungjawab pada parlemen, tetapi pada
presiden.
Kabinet
presidentil ini dari semula ditentang keras oleh sayap kiri. Menurut
persetujuan Renville, tentara RI harus dipindahkan dari satu garis yang
dinamakan “van Mook line.” Karena itu kira-kira 35 ribu prajurit TNI terutama
Siliwangi dari Jawa Barat harus hijrah ke Jawa Tengah, yang masih masuk daerah
Republik di Jawa. Ini terjadi 26 Februari 1948. Hijrah ini adalah soal pelik
dan banyak juga barisan, terutama barisan rakyat tidak bersedia hijrah. Mereka
terus menjalankan perang gerilya di daerah yang termasuk daerah yang “dikuasai”
tentara Belanda. Di antaranya beberapa pasukan Hizbullah di Jawa Barat.
Persetujuan Renville dipakai Belanda buat menjalankan politik cerai-berainya,
terutama dengan menciptakan negara-negara boneka, seperti negara-negara Madura,
Pasundan dan Jawa Timur. Di luar Jawa ada negara-negara Indonesia Timur,
Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Borneo Barat, Banjar, Borneo Timur, dan
Bangka-Biliton. Negara-negara ciptaan Belanda ini memang tambah menyukarkan
kedudukan Republik. Tetapi sebagian besar dari Sumatera masih setia kepada
Republik Indonesia.
Munculnya politik Partai Komunis Indonesia
Sampai tahun 1947,
PKI, dan kawan-kawan boleh dikatakan lebih sering bergerak seperti kaum
nasionalis, tetapi karena politik berunding kabinet-kabinet RI sering meleset,
timbul pendapat, bahwa mereka harus lebih banyak memakai cara-cara kaum
komunis. Dalam hal ini Stalinis. Pendapat ini terutama berkembang setelah ada
kesan keras, bahwa PBB di bawah pengaruh Amerika Serikat kuat sekali membela
Belanda. PKI sebenarnya hanya mempunyai kira-kira 3 ribu anggota, tetapi
menurut mereka, itu jumlah kadernya saja. Tetapi mereka dan para simpatisannya
percaya, bahwa perjuangan jangka lama akan menguntungkan mereka. Sehingga
mereka mulai memperkuat posisinya di dalam organisasi-organisasi seperti Partai
Sosialis, organisasi Buruh dan Pesindo. Juga mereka mulai lebih banyak melihat
kepada pimpinan Moskow. Waktu itu Moskow yang dikuasai Stalin, berpendapat
bahwa kemerdekaan negeri-negeri yang dijajah tidak pernah diperoleh, sebelum
Amerika Serikat dan sekutu tunduk kepada Sovyet Rusia. Lain daripada itu aliran
komunis baru, yang ditekankan dari Moskow mengajarkan bahwa dunia ini terbagi
dalam dua blok, yaitu blok kapitalis yang “agresif” dipimpin Amerika Serikat
dan blok “demokratis” yang berada di bawah pimpinan Sovyet Rusia. Maksud utama
waktu itu adalah menghancurkan Marshallplan Amerika di Eropa.
Kebetulan dalam
bulan Februari 1948 diadakan satu Konferensi Pemuda Asia Tenggara di Calcuta
dan dihadiri oleh wakil-wakil PKI di antaranya Soepeno. Di situ mereka
diberitahu tentang taktik baru kaum komunis dunia dan juga detail pembagian dua
blok kekuatan di dunia baru. Kembali di Indonesia, maka propaganda komunis
dialirkan kepada sistem baru tadi. Dalam bulan-bulan sesudah itu pemuda-pemuda
yang dilatih dalam konferensi Pemuda Komunis di Praha dan mereka yang
menghadiri konferensi Buruh Internasional (juga di Praha) datang kembali ke
tanah air. PKI mengikuti aliran baru yang ditunjuk oleh konferensi-konferensi
komunis di atas. Banyak di antara pemimpin lama kehilangan pengikut waktu itu.
Di dalam Partai Sosialis sendiri lama kelamaan
timbul perpecahan antara mereka yang pro Sjahrir dan pro Amir Sjarifudin.
Kepada Amir, Sjahrir menanyakan apakah ia lebih dulu nasionalis baru komunis
atau sebaliknya. Sjahrir
berpendapat, bahwa perang kelas tidak dapat diterapkan di Indonesia, sebab
Indonesia belum memiliki kelas borjuis.
Borjuis di Indonesia sebelumnya hanyalah orang-orang Belanda dan Cina. Sjahrir
juga tidak bersedia berpihak kepada salah satu negara besar, Amerika atau
Sovyet. Kembali Sjahrir kepada posisinya yang lama, yaitu positive neutrality. Buat Sjahrir itu masih lebih aman dari
“politik bebas dan aktif,” karena keadaan. Bagi Sjahrir waktu itu, yang penting
Indonesia jangan terlibat dalam pertengkaran antara dua negara raksasa itu. Ia
mengharap, dengan begitu Indonesia dapat berbuat lebih banyak buat perdamaian
dunia. Tetapi nampaknya bagi saya, Sjahrir telah mencampur-adukkan “politik
bebas dan aktif” dengan politik positive
neutrality. Telah mulai “soal karet,” yang akan ditarik-tarik.
Perpecahan antara
kelompok Sjahrir dan Amir terjadi ketika terbentuk Kabinet Presidentil Hatta.
Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang kabinet
Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir menyokong. Tanggal 13 Februari 1948 terjadi
perpecahan, Kelompok Amir membentuk Partai Sosialis baru, sedangkan Sjahrir
membentuk Partai Sosialis Indonesia.
Partai Sosialis
baru itu dipimpin oleh Amir Sjarifudin, Tan Leng Djie dan Abdul Madjid, dan
garisnya menentang kabinet Hatta. Tetapi dalam rapat di Surakarta, 26 Februari
1948, sayap kiri Amir diubah menjadi Front Demokrasi Rakyat atau FDR.
Amir Sjarifudin
menjadi ketua federasi baru ini, tetapi programnya tak berbeda dari Sayap Kiri,
ketika kelompok Sjahrir masih bersamanya. Tetapi lama-kelamaan aliran FDR
bertambah radikal. Anggota-anggotanya yang terkemuka menghendaki penghentian
segala perundingan dengan Belanda, dan menganggap persetujuan Renville sebagai
satu kesalahan besar. Malahan mengusulkan, supaya segala harta Belanda di
Indonesia dinasionalisir. Ini sebenarnya hampir sama dengan program kelompok
Tan Malaka, yang dari semula menuntut apa yang mulai dipropagandakan oleh FDR
itu. posisi Amir Sjarifudin mulai sukar, sebab FDR mulai bergerak kepada aliran
komunis yang lebih nyata. Tetapi sebaliknya ia memiliki kekuatan nyata.
Ketika Amir masih
menjadi menteri pertahanan, ia mengambil
kesempatan itu buat membikin basis-basis kekuatan dalam angkatan bersenjata dan
barisan buruh. Waktu itu ia menempatkan orang-orangnya pada posisi-posisi kunci
dalam angkatan darat dan barisan buruh. Juga penyimpanan senjata-senjata
cadangan hanya diketahui oleh orang-orangnya saja. Selain itu sebagai menteri
pertahanan, ia sempat membentuk TNI-Masyarakat. Tetapi mereka yang terkena
pengurangan jumlah dalam TNI itu, mulai
melihat kepada FDR dan Amir Sjarifudin sebagai pimpinan. Tetapi rupanya inti
dari simpatisan-simpatisan FDR dalam TNI tidak begitu terkenal. Lagipun ketika
Kabinet Hatta memerintahkan barisan-barisan rakyat supaya membubarkan diri hal
ini ditentang keras. Tidak boleh tidak dapat diperkirakan pada suatu waktu satu
bentrokan antara barisan-barisan rakyat atau lasykar-lasykar pasukan TNI yang
masih patuh pada pemerintahan dapat terjadi. Sementara itu FDR memulai taktik
lain, yaitu menganjurkan pemogokan-pemogokan. Ini ditentang keras oleh golongan
komunis yang katanya berdasarkan nasionalisme di bawah pimpinan Tan Malaka.
Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Sebenarnya program GRR
tidak banyak bedanya dari FDR, tetapi mereka menyokong Hatta.
Tiba-tiba datang
satu perubahan besar, yang membahayakan posisi Amir Sjarifudin sebagai pemimpin
top dari sayap kiri pro komunis. Rupanya Soeripno, yang pernah menjadi
sekretaris saya pada Asian Relations
Conference di New Delhi, tidak langsung pulang, tetapi terus berangkat ke
Eropa Timur, buat keperluan partai. Rupanya dia anggota PKI dan dicap Stalinis
tulen. Di Praha ia dapat janji dari Duta Besar Sovyet, bahwa negaranya akan
bersedia mengadakan satu consulat treaty dengan
RI. Tetapi ketika ia balik ke Indonesia Amir Sjarifudin sudah bukan PM lagi,
sedangkan Hatta tidak bersedia menerima perjanjian apa-apa dengan sovyet pada
waktu itu. Dengan sendirinya pemerintah Hatta bertambah curiga terhadap FDR.
Memang rupanya ada maksud FDR, buat mengadakan coup dengan senjata. Mereka telah memiliki satu program yang
terperinci buat itu. Pemerintah Hatta lama tidak mengetahui maksud-maksud FDR
ini. Tiba-tiba Soeripno kembali ke Indonesia lewat Bukittinggi. Ia datang
bersama Muso, jago lama PKI. Tanggal 11 Agustus 1948, Soeripno dan Muso sampai
di Yogya. Seperti diketahui, Muso selain termasuk anggota pimpinan PKI yang
berontak tahun 1926, juga pendiri dari apa yang dinamakan “PKI-Ilegal,” satu
organisasi bawah tanah yang dibentuknya di tahun 1935. Sukses Muso segera
nampak, sebab dengan entusias dan aklamasi ia diangkat menjadi Sekjen PKI
menggantikan Sarjono.
Rasanya mulai
sejak itu Amir Sjarifudin merasa posisinya terdesak sebagai pemimpin utama FDR.
Bertambah lama bertambah jelas, bahwa FDR akan dikuasai kaum komunis! Maka
datanglah pengakuan Amir Sjarifudin yang mengherankan kawan-kawannya dan mengejutkan
pemerintah. Amir berkata tanggal 29 Agustus 1948, bahwa ia sebenarnya adalah
seorang komunis, dan sejak tahun 1935, ketika berada di Surabaya, masuk “PK
Illegal” dari Muso. Juga Setiadjit, Abdul Madjit dan Tan Leng Djie dari Partai
Sosialis mengakui, bahwa mereka memang telah lama menjadi komunis. Setiadjit
dan Abdul Madjid sejak tahun 1936, ketika mereka masih memimpin Himpunan
Indonesia di negeri Belanda, sedangkan Tan Leng Djie adalah mahasiswa dari
Institut Lenin dan anggota “PKI-Illegal” Muso. Jadi kartu-kartu mulai terbuka.
***
Telah diuraikan
tadi, ada kaba dalam tahun 1936 (mungkin permulaan 1935), bahwa Amir Sjarifudin
menjadi seorang Kristen. Ada juga kabar, bahwa dalam tahun itu ia bermaksud
mendirikan partai politik Kristen, karena iklim politik tidak menguntungkan.
Kemudian ia masuk Gerindo, malahan menjadi salah satu pemimpin yang penting, di
bawah Mr. Sartono sebagai ketua. Dalam pimpinan Gerindo itu ada juga Wikana,
yang kemudian memang juga tercatat sebagai seorang komunis. Tetapi Gerindo
waktu itu menjalankan satu politik kooperasi, yang memperbolehkan anggotanya
masuk Volksraad. Jadi kalau pengakuan
Amir itu serius, maka ia telah menjadi komunis dalam tahun 1937, ketika Gerindo
didirikan.
Ada dua
kemungkinan. Satu hal, ialah Amir turut dengan kurang kesadaran tentang
tindakanya. Kedua, ia memang dapat diyakinkan sebagai komunis, tetapi dalam
hidupnya sehari-hari tidak ada kesan sedikitpun. Malahan cara hidupnya lebih
mirip cara hidup borjuis, juga ketika ia saya jumpai di Yogya di tahun 1948.
Atau mungkin ia termasuk seorang aktor besar, yang dapat menyembunyikan
persaannya yang sebenarnya. Tetapi ketika ia muda dan amat rapat bergaul dengan
saya sampai tahun 1931, ia lebih mirip seorang Bohemian, artis, kadang-kadang
berkelakuan seperti gypsie. Seorang
yang penuh emosi, sentimentil, lekas marah, tetapi lekas baik, suka ketawa,
tetapi bila sedang main biola menyinarkan sedih atau gembira. Saya tidak
mengatakan, bahwa seorang komunis tidak bisa mempunyai sifat-sifat seperti
diperlihatkan Amir. Tetapi sukar melihat Amir sebagai seorang Stalinis, yang ia
akui dengan keyakinan itu.
Benar, seperti
lazim pada seorang komunis, ia menjalankan self
critic yang cukup hebat, tetapi inipun bagi saya belum merupakan bukti.
Memang pada 9 September 1948, ia mengumumkan kritik yang berbunyi kira-kira
sebagai berikut:
“Sebagai komunis
saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi.
Saya menerima 25 ribu gulden dari Belanda sebelum pendudukan Jepang, buat
menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah. Tetapi say terima uang itu karena Comintern (Communist-internationale), mengusulkan
supaya kita bekerjasama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan
fasisme.” Ia seterusnya menjelaskan lagi, bahwa setelah perang dunia kedua
berakhir, tidak ada alasan lagi buat bekerjasama dengan kaum kolonialis. Kaum
komunis sekarang tidak memerlukan lagi kerja-sama dengan kaum kapitalis.
Keterangannya itu
diucapkannya di Yogyakarta dalam bulan September 1948. Saya waktu itu juga di
Yogya. Anehnya, baru saja pada 8 September saya bertemu dengan Amir Sjarifudin.
Ceritanya begini: Amir menelpon saya pagi hari, apakah saya dapat datang ke
rumahnya, sebab anaknya sakit. Ia minta saya makan siang di rumahnya, sebab
Zainab, isterinya akan memasak rendang dan gulai kambing. Saya mengatakan,
bahwa penjaganya anak-anak Pesindo mungkin, akan menghalang-halangi, dan
bagaimana pendapat masyarakat nanti. Amir pentolan FDR, dan saya waktu itu
boleh dikatakan jurubicara Masjumi dan anggota pimpinan pusat Masjumi. Tetapi
ia menyatakan bahwa kita toh masih sahabat. Karena ingin melihatnya dan juga
ingin tahu apa sebenarnya yang berada di belakang permintaannya itu, saya
datang pukul 11 pagi. Saya juga ingin melihat anak-anak dan isterinya yang
telah lama tidak saya temui. Sampai di rumahnya, rupanya dia sedang kedatangan
tamu lain, Muso, yang baru diangkat menjadi Sekjen PKI. Terang rupanya maksud
Amir hendak mempertemukan saya dengan Muso. Timbullah sedikit dialog antara
Muso dengan saya tentang kemerdekaan Indonesia, dan corak pemerintahan yang
baik. Timbul pertentangan ideologi, yang diadakan dalam suasana cukup ramah.
Tetapi dari mula ternyata Muso adalah Stalinis keras, menurut faham saya.
Dialog kami tidak
disertai Amir, berkisar dari Sosialisme ke Marxisme, ke Historis-Materialisme
ke Manifesto Komunis, Leninisme, dan Stalinisme. Berhadapan dengan Muso, yang
telah diindoktrinir ala Stalin itu berat juga. Terlalu panjang buat
membicarakan dialog itu. Jelas Stalinisme seperti dikemukakan oleh Muso, amat
berbeda dengan teori Lenin. Sekalipun (menurut Muso) Stalin setia kepada ajaran
Lenin, tetapi nampak perbedaan dalam cara berfikirnya. Muso rupanya dengan
sabar mencoba menjelaskan pada saya, bahwa tidak benar Stalinisme itu seperti
banyak orang menyangka adalah staatscapitalisme.
Ia caci Trotsky, dan kemudian Bukharin. Yang sebenarnya dikerjakan Stalin,
katanya adalah membina sosialisme. Dan banyak lagi.
Tetapi kita
tersangkut kepada pendapat saya, bahwa komunisme, apa namanya Trotskysme atau
Leninisme atau Stalinisme adalah bertentangan dengan pendirian saya sebagai
seorang Islam yang berkeyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya katakan
juga bahwa saya seorang sosialis, tetapi sosialis religius. Muso tertawa keras.
Ia menyatakan pendapat saya itu telah kuno, sebab termasuk utopis-sosialisme.
Kesudahannya
setelah datang waktu makan, ia mengatakan, bahwa antara saya dan dia sebenarnya
tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama bersedia mengabdi kepada rakyat,
sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, “Tetapi dasar
dari pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian itu harus berdasarkan
satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang
Maha-kuasa.”
Saya heran
mendengar jawabannya, “Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan
satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah
Tuhan itu ada atau tidak.” Baru dalam tahun 1956 saya mengerti, bahwa yang
dimaksud Muso mungkin Sputnik-Sovyet, yang menggemparkan dunia itu.
Setelah makan
siang Muso berangkat. Saya bertanya pada Amir mengapa ia biarkan saya berdebat
dengan Muso. Ia senyum, dan berkata, “Abu, kamu saya kenal benar, tetapi saya
belum kenal Muso. Tetapi saya sekarang tahu kapasitasnya.” Rupanya saya dibikin
kelinci percobaan oleh Amir Sjarifudin.
Dalam pembicaraan
satu jam sebelum saya pergi dari rumahnya, saya mendapat kesan, bahwa ia agak nervous, dan kadang-kadang ketika sedang
bicara, tampaknya ia memikir-mikir. Rupanya ia suka minum, wiski campur air.
Juga saya mendapat kesan, bahwa ia terus-menerus dalam ketegangan,
tensi-tinggi, mungkin karena merasa senantiasa dalam tekanan. Tekanan itu
kiranya adalah perasaan, bahwa dengan kedatangan Muso dan beralihnya aliran
perjuangan kaum sosialis-radikal Indonesia yang menjurus kepada komunisme,
terutama Stalinisme keras yang dibawa Muso dari Moskow dan pemimpin-pemimpin
muda yang baru dapat dapat latihan dari Praha, wibawa Amir akan berkurang.
Esoknya harinya, 9 September 1948, Pimpinan Pusat Masjumi mendapat surat dari
Sentral Komite PKI buat bekerjasama membentuk satu persatuan nasional. Tentu
saja Ketua Masjumi Dr. Soekirman, bertanya kepada saya, apakah saya memberi
janji-janji pada Muso dan Amir Sjarifudin. Saya berpendapat bahwa usul PKI itu
hanya balon politik dan tidak perlu dianggap serius. Pimpinan Pusat Masjumi
membalas, bahwa kerjasama politik antara PKI dan Masjumi tidak mungkin, karena
berbeda aliran politik dan dasar perjuangan buat memerdekakan tanah air.
Rupanya PKI juga mengirim usul yang sama kepada PNI yang juga ditolak.
Sejak saat itu
keadaan dalam negeri bertambah tegang. PKI mempercepat gerakannya di mana-mana.
Pimpinan PKI memulai sering mengadakan rapat umum. Muso, Amir Sjarifudin,
Wikana dan lain-lain pemimpin “top” turut serta berpidato anti kabinet Hatta.
Mereka jalani daerah-daerah Jawa Tengah dari ujung-ujung, ke Solo, Madiun,
Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan banyak tempat lain lagi. Sedianya turnee pimpinan itu akan berlangsung
sampai akhir September. Tetapi, tiba-tiba pemimpin-pemimpin PKI muda tak sabar
lagi. Barisan-barisan bersenjata pro-PKI dari Pesindo, dan pasukan Divisi 4 pro
PKI, telah memulai pemberontakan bersenjata dan menduduki Madiun. Muso dan Amir
Sjarifudin menghadapi satu fait-accompli dari
mana tidak ada jalan balik lagi. Revolusi Komunis telah dimulai. Tetapi
pemberontakan itu tidak terorganisir baik dan koordinasinya buruk, sekalipun
ribuan anggota dan simpatisan komunis turut serta. Sebenarnya kericuhan
besar-besaran telah mulai di Solo, tetapi dapat dipadamkan oleh pasukan
Siliwangi. Tanggal 4 September, batalyon-batalyon Siliwangi dapat menduduki
kwartir pasukan-pasukan pro PKI di Solo.
Tanggal 15
September 1948, Presiden Sukarno menyatakan daerah-daerah Solo dan lingkungan
di bawah keadaan perang, dan ditunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer. Pada hari itu Jenderal Soedirman mengirim 3 ribu orang dari Divisi
Siliwangi ke Solo buat memperkuat kedudukan Republik dan sekaligus terus
mengejar pasukan pro PKI. Kemudian terjadi satu satu pertempuran yang
sebenarnya menentukan nasib pemberontakan PKI. Dalam pertempuran ini terlibat
kekuatan inti mereka yang terbaik. Tetapi Madiun berada dalam tangan
pasukan-pasukan pro PKI. Maka berkecamuklah perang saudara di Jawa Tengah, yang
berkesudahan dengan hancurnya tenaga-tenaga militer PKI. Ribuan korban
keganasan PKI di mana-mana menjadi saksi, bahwa PKI memang tidak mengenal ampun
bila lawan-lawannya tertangkap.
Muso dan Amir
boleh dikatakan masuk perangkap gerakan revolusinya sendiri. Kuat kesan bahwa
mereka belum siap melakukan
pemberontakan bersenjata, tetapi terpaksa menyokong sikap
pemimpin-pemimpin muda seperti Soemarsono dan Djokosujono. Pasukan-pasukan
pemerintah ternyata memiliki pimpinan yang lebih baik dan prajurit-prajurit
yang lebih berpengalaman. Lama-kelamaan nyata bagi Muso, bahwa rakyat banyak
tidak berpihak kepada mereka, dan kekuatan mereka hanya ada di daerah-daerah
Jawa Tengah saja. Maka berubahlah pidato-pidato mereka, yang mula-mula mengumandangkan
suatu “Republik Proletar Indonesia.” Pidato penghabisan yang diucapkan oleh
Amir Sjarifudin tanggal 23 September berbunyi sebagai berikut:
“Perjuangan yang
kami adakah waktu ini hanya buat memberi koreksi kepada revolusi-revolusi kita.
Jadi dasarnya tidak berubah samasekali. Revolusi ini tidak berubah dari corak
nasionalismenya, yang sebenarnya adalah revolusi merah putih, dan lagu
kebangsaan kami tetap Indonesia Raya.”
Waktu saya dengar
pidato Amir Sjarifudin, yang berkali-kali diradiokan, saya benar-benar menaruh
kasihan pada kawan saya itu. Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu
frustasi. Suatu kebingungan dan suatu keputus-asaan.
Mungkin, ya
mungkin, di tengah-tengah kehancuran perjuangannya dan dalam malam sepi, ia
ingat kembali cita-cita yang ia kandung ketika muda. Mungkin ia sangat kembali
pada IC. Mana tahu. Pidato itu samasekali bukan pidato seorang pemimpin komunis
yang fanatik yang terdidik, sebab, komunis tulen sama fanatik sama fanatiknya
dengan seorang beragama. Contoh-contoh cukup banyak kita lihat di kalangan
Lenin, Mao, dan Marxis biasapun. Jadi, saya sejak itu tidak percaya, bahwa Amir
Sjarifudin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya, adalah komunis.
Mungkin ia seorang Radikal-Sosialis, atau Nasionalis-Revolusioner, atau Marxis
tok. Terang mentalitasnya, cara hidupnya, jalan fikirannya, jalan perjuangan
politiknya, tidak cocok dengan predikat komunis dalam arti klasik. Terang buat
saya ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah
airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia di
sekelilingnya. Di samping itu ada satu segi menyolok dalam wataknya, ambisinya
besar, karena ia amat percaya kepada kapasitasnya. Memang ia seorang yang
brilian, tetapi nampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar. Juga kelemahannya
terletak pada emosi yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan
perbuatannya.
Sebagai manusia,
ia kawan yang baik, suami yang setia, bapak yang penyayang. Semua sifat-sifat
borjuis, yang biasanya tidak terlalu diperkirakan ada pada komunis klasik. Apa
lagi mau dikatakan tentang Amir Sjarifudin? Mungkin ia seorang Don Quichot,
yang ke sana-sini mencari musuh cita-citanya, dan mencari kekasihnya yang
berada dalam cengkeraman naga kapitalis. Kapitalis seperti yang ia kenal dalam
zaman jajahan, biar berkulit putih, kuning atau sawo matang. Saya tahu benar,
ia amat benci pada pamongpraja yang ia anggap sebenarnya parasit rakyat,
penjilat terhadap penjajah, yang menurut dia Sklavengeist atau jiwa
budak. Sebab itu buku yang paling ia sukai adalah Max Havelaar karya Multatuli. Kesalahan Muso dan Amir Sjarifudin
adalah mengira rakyat benci pada pemerintahan Sukarno-Hatta. Mereka kira
oposisi yang sekali-kali diperlihatkan berarti konfrontasi. Memang dalam kamus
komunis oposisi sama dengan konfrontasi, malahan kontra-revolusioner. Jadi
menganggap PNI yang Nasionalis dan Masjumi yan religius-sosialistis dapat
dikonfrontir dengan Presiden Sukarno justru salah tafsir. Biar PNI dan Masjumi
menentang persetujuan Linggarjati Sukarno-Hatta-Sjahrir, tetapi tiada niat buat
berkonfrontasi sedikitpun. Inilah yang dinamakan “demokrasi” dalam praktek.
Amir Sjarifudin
kesudahannya tenggelam bersama-sama pemberontakan komunis di Madiun. Tanggal 28
Oktober 1948, pasukan-pasukan tempur PKI hancur. Tiga hari kemudian, 31
Oktober, Muso tewas dalam pertempuran dengan pasukan Mobrig, yang dipimpin
Jenderal Jasin. Sebelumnya, 29 Oktober, Djokosujono dan Maruto Darusman
tertangkap, dan tanggal 31 Oktober itu, Amir Sjarifudin serta Soeripno ditangkap
juga. Mereka dihukum mati. Revolusi memakan anaknya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar