Kamis, 02 Juni 2016

Genesis Pemikiran dan Cita-cita Bung Hatta


             Oleh P. Swantoro


Bangsa Indonesia yang bersatu, sejahtera kehidupannya, demokratis penyelenggaraan negaranya, dan negara ini bukan saja sebuah negara hukum, tetapi juga sebuah negara kultural. Demikian dinyatakan oleh Bung Hatta dalam pidatonya pada akhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, 29 Oktober 1949. Penegasan itu pulalah yang selalu menjadi pemikiran, cita-cita dan yang tidak henti diusahakan terwujudnya oleh Bung Hatta, salah seorang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Wakil Presiden yang pertama, dan yang tahun ini, 12 Agustus 2002, genap berusia seratus tahun, kalau ia masih berada di antara kita di dunia fana ini. Tetapi Mohammad Hatta yang dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat 12 Agustus 1902, telah tiada pada 14 Maret 1980 di Jakarta.

Seperti halnya setiap manusia, Bung Hatta pun tidak langsung menjadi dewasa tetapi harus menjalani pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun kepribadian manusiawinya dalam kehidupan yang dijalaninya di dunia ini. Dalam pertumbuhan dan perkembangan ini, berbagai faktor pun tidak bisa diabaikan pengaruhnya. Lingkungan hidupnya, pendidikannya, berbagai peristiwa yang dialaminya, manusia-manusia lain sesamanya, terutama mereka yang erat hubungannya. Tidak akan kita jumpai Bung Hatta yang kita kenal, seandainya dia dulu dari sekolah rendah Belanda tidak meneruskan studinya di MULO (Sekolah Menengah) Padang, tetapi menjadi pegawai pos,  atau menurut arahan keluarga almarhum ayahnya di Batuhampar, agar ia menempuh pendidikan agama di Mekah dan kemudian dilanjutkan di Kairo.

Juga tentu akan lain pula Hatta yang kita kenal, seandainya semenjak kecil ia hidup di sebuah negara yang sudah merdeka dan sejahtera keadaannya dengan penyelenggaraan negara yang demokratis, dan tidak menjadi seorang kaula negeri jajahan yang disebut Nederlands-Indie. Akan tetapi itu semua tidaklah berarti bahwa Mohammad Hatta yang kini kita kenal adalah sekadar “produk cetakan” dari semua faktor yang melingkupi dan menyusupi perjalanan hidupnya. Terjadi interaksi antara faktor-faktor itu dengan Hatta sebagai seorang persona yang memiliki potensi intelektual, emosional, dan spiritual. Ia tidak seperti bahan patung dari lilin yang mudah dilekak-lekuk, dibentuk sekehendak pematungnya.

***

Cukup lama proses interaksi itu yang akhirnya membuahkan pemikiran dan kesadaran dalam diri Hatta, bahwa tanah kelahirannya, Minangkabau, dan bahkan juga Sumatra, hanya sebagian kecil dari tanah-airnya, sehingga penduduk Minang dan Sumatra pun hanyalah sebagian pula dari penduduk tanah-air itu. ketika Jong Sumatranen Bond didirikan 9 Desember 1917, Bung Hatta menyatakan terus terang, bahwa ia “hanya terpikat” oleh semboyan “Sumatera masa depan”. Menurut penafsirannya sendiri, “Sumatra masa depan” adalah Sumatra yang berada dalam “zaman emas”, zaman gilang-gemilang. Tetapi untuk mencapainya tergantung pada pemuda Sumatra sendiri. Dari sebab itu tepat sekali bahwa dalam anggaran Jong Sumatranen Bond, para pemuda-pemudi Sumatra mendapat panggilan untuk menjadi pemimpin dan pendidik bangsanya, bangsa Sumatra. Mengenai masalah kolonial, ia baru bisa mengatakan: “Sudah kurasai, belum lagi kupelajari”

Ketika Hatta sudah menjadi pelajar Sekolah Dagan Prins Hendrik School di Betawi dan berteman-dekat dengan Bahder Djohan, pelajar Sekolah Dokter Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen), keduanya sudah mulai membicarakan kemungkinan kerja sama antara organisasi-organisasi pemuda di berbagai daerah, seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, yang akhirnya dipersatukan menjadi Jong Indie. Akan tetapi  ternyata gagasan itu masih sulit dilaksanakan. “Orang tetap berpegang kepada suku bangsa masing-masing. Cita-cita itu baru dapat hinggap dalam kepala orang-orang yang tidak banyak jumlahnya,” tulis Hatta dalam memoirnya.

Sedangkan kata “Indier” itu pun berasal dari saran Ir. Fourier, Ketua Gerakan Theosofie di Hindia Belanda, kepada dua anggota Jong Java, Amir dan Basuki. Gagasan dari usul ini diilhami oleh pergerakan pemuda di India untuk mencapai persatuan.

Juga menarik, bahwa di masa bersekolah di Betawi itu (1912-1921), Bahder Djohan dan Hatta mempunyai rencana untuk menerbitkan sebuah majalah berbahasa Melayu, yang akan diberinya nama Malaya. Pada awalnya akan terbit tiga bulan sekali, dan kemudian sebulan sekali. Akan tetapi rencana ini tidak terwujud, karena pada 3 Agustus 1921 Bung Hatta harus meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur berlayar ke Rotterdam, untuk menjadi mahasiswa handelshogeschool, perguruan tinggi dagang.
Baik gagasan untuk menghimpun organisasi-organiasi kepemudaan yang berdasarkan kesukuan ke dalam satu organisasi Jong Indier, maupun rencana untuk menerbitkan majalah berbahasa Melayu, bahasa lingua franca di Nusantara, dapat kiranya dijadikan suatu petunjuk bahwa dalam diri pemuda Hatta dan beberapa temannya sudah mulai tumbuh benih-benih pemikiran ke-Indonesiaan, meskipun barangkali belum disadarinya.

***

Semasa masih bersekolah MULO di Padang maupun ketika menjadi pelajar Sekolah Dagang di Betawi, Mohammad Hatta memang sudah mendapat percikan-percikan pemikiran yang berkaitan dengan permasalahan kolonial. Sumbernya bukanlah sekolahnya, tetapi orang-orang yang dikenalnya. Di Padang misalnya, ia memelihara hubungan dengan Engku Taher Marah Sutan, sekretaris “Sarikat Usaha”, yang disebutnya “seorang idealis yang giat bekerja tidak kenal lelah. Kalau tidak karena dia”, tulis Bung Hatta, “Sarekat Usaha tidak menjadi pusat pertemuan orang-orang terkemuka serta kaum cerdik-pandai di Padang.” Ia berlangganan dua suratkabar terkemuka waktu itu yang terbit di Jawa, masing-masing Utusan Hindia dari Surabaya yang dipimpin oleh tokoh Sarekat Islam H.O.S Tjokroaminoto, dan Neraca yang berada di bawah asuhan Abdul Muis, kemudian H. Agus Salim di Betawi. Ia pun berlangganan Verslagen van de Volksraad, Laporan Volkskraad, untuk mengikuti permasalahan yang dibicarakan di Lembaga kolonial tersebut. Karena itu, pemuda Hatta pun memperoleh banyak informasi dari Pak Marah Sutan. Termasuk mengenai tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan Haji Agus Salim. Juga tentu saja mengenai Sarekat Islam yang mereka pimpin.

Kedatangan Abdul Muis sendiri di Sumatra Barat sebagai anggota Volkskraad dalam bulan Agustus atau September 1918, menambah pula pengetahuan pemuda Hatta mengenai permasalahan kolonial, meskipun ia belum dapat sepenuhnya menangkap hal-hal yang dibicarakan oleh Abdul Muis dengan para pemuka masyarakat. “Aku hanya mendengarkan saja; aku belum banyak mempunyai pengetahuan tentang masalah yang dikupasnya,” kata Hatta yang hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Abdul Muis itu sebagai anggota pengurus Jong Sumatranen Bond.
**

Abdul Muis tidak saja mengupas masalah rodi, yang bahasa Belandanya heerendiest, yang artinya “kerja wajib untuk yang dipertuan”, tetapi ia pun menjelaskan bahwa Volksraad belumlah merupakan Dewan Rakyat yang sesungguhnya. “Tetapi apabila rakyat sungguh-sungguh bergerak, tujuan itu akan tercapai juga”. Dalam rapat-rapat terbuka, Abdul Muis memang juga membahas mengenai masalah “rakyat memerintah sendiri”. Inilah yang menjadi tujuan pergerakan nasional, khususnya Sarekat Islam.
Pemuda Hatta sendiri ketika itu barangkali lebih terpesona oleh penampilan Abdul Muis daripada tertarik kepada materi pembicaraannya. “Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato; aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya.”

Ketika sekitar dua tahun kemudian, pertengahan Maret 1920, Hatta yang sudah menjadi siswa Prins Hendrik School di Betawi, bertemu lagi dengan Abdul Muis, ia nampaknya juga masih belum terlibat betul dalam permasalahan tanah air-nya. Padahal dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam dengan Abdul Muis itu, ia hanya disertai kawan-karibnya, Bahder Djohan, dan permasalahan yang dikemukakan oleh Abdul Muis pun sangat aktual; antara lain mengenai “Janji November”. Abdul Muis menyatakan tidak percaya bahwa janji itu akan dipenuhi.

“Janji November” atau November Beloften” berpangkal pada janji Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (1916-1921) yang diumumkannya 18 November 1918, bahwa Hindia Belanda akan menempuh “arah baru” (nieuwe koers) sesuai dengan perkembangan jaman. Maka dibentuklah sebuah komisi yang diberi nama Commissie voor Staatskundige Hervormingen, Komisi Pembaharuan Ketatanegaraan. Pada medio 1920 komisi yang diketui oleh J.H. Carpentier Alting, Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda itu berhasil menyelesaikan tugasnya berupa usul pembaharuan seperti yang dimaksud oleh Van Limburg Stirum. Isi pokoknya: Tujuan kehidupan ketatanegaraan di Hindia Belanda tidak lain adalah untuk mengusahakan agar sumber-sumber alamnya sebanyak mungkin digali dengan kekuatan dan kemampuan rakyatnya sendiri. Bersamaan dengan itu, akan diusahakan agar penduduk pribumi akhirnya mampu mengurus kepentingan dan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian komisi hendak meletakkan dasar-dasar bagi “een volledig zelfbetuur”, pemerintahan sendiri sepenuhnya. Inilah semangat yang terkandung dalam diri VanLimburgStirum, yang oleh DMG Koch disebut “een international georienteerd staatsman”, seorang negarawan yang berorientasi internasional. Akan tetapi seperti sudah diramalkan oleh Abdul Muis, Menteri Koloni Belanda Idenburg, menilai usul mengenai nieuwe koers atau “arah baru” bagi Hindia-Belanda itu terlalu jauh, dan langkah-langkah yang ditempuh oleh Van Limburg Stirum terlalu cepat. Maka akhirnya bukan hanya “Janji November”-lah yang kandas, tetapi Gubernur Van Limburg Stirum pun terpental dari kedudukannya. Ia digantikan oleh lawan “Janji November”, Gubernur Jenderal D. Fock.

Pesan Abdul Muis yang dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya ialah, agar “Jong Sumatranen Bond kelak sanggup menyediakan tenaga-tenaga muda bagi pergerakan kebangsaan menuju home rule dan kemajuan tanah-air”.

Haji Agus Salim pun yang sebulan sebelumnya juga ditemui oleh Hatta dan Bahder Djohan memberikan pula pesan senada, bahkan lebih jelas muatan kebangsaan Indonesianya: “Ia mengkritik gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam idea kedaerahan, kepulauan masing-masing, dan lupa akan tanah-airnya yang sebenarnya, yaitu Hindia. Kita harus melenyapkan Belandanya, tinggal Hindianya bagi kita”.

**

Dari semua kesaksian Hatta sendiri yang kebanyakan ditulis dalam Memoirnya di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa sampai ia menginjakkan kakinya di bumi Rotterdam 5 September 1921, ia belum memahami sepenuhnya permasalahan Hindia Belanda sebagai sebuah koloni. Karena itu belum lahirlah pula pada dirinya pemikiran, cita-cita dan upaya untuk mewujudkan “Indonesia Merdeka”. Tetapi masukan-masukan yang berupa informasi dan pengalaman selama ia tinggal di Sumatra Barat maupun Betawi sebagai pelajar, tetap pentinig sebagai bahan yang diolahnya bersama dengan masukan-masukan yang diterimanya kemudian; baik ketika ia sebelas tahun lamanya di Nederland sebagai mahasiswa dan pemimpin gerakan mahasiswa, maupun pada waktu ia tampil sebagai seorang pemimpin bangsa pada awal kemerdekaan Indonesia dan sebelumnya.

Suatu contoh. Terbentuknya pemikiran Bung Hatta mengenai sosialisme, kiranya berpangkal-mula dari buku H.P. Quack, De Socialisten yang enam jilid, dan dari pembicaraannya dengan Haji Agus Salim pada pertengahan Februari 1920. Mengenai buku De Socialisten, yang dibelikan oleh pamannya, Mak Etek Ayub, ketika ia baru masuk Prins Hendrik School di Batavia, Hatta menulis, bahwa ia tertarik buku ini, karena buku inilah yang pertama kali membuka matanya, bahwa cita-cita sosialisme “sudah bermula berabad-abad lamanya, sekian abad sebelum Masehi. Sekalipun pandangan sosialisme di masa tua itu agak berlainan dari pendapat-pendapat pujangga sesudah abad 18, dasarnya banyak yang serupa, sekitar masalah kaya dan miskin, punya dan tak punya dalam masyarakat”.

Dalam pembicaraannya dengan Haji Agus Salim, yang ketika itu berusia sekitar 30 tahun, pada pertengahan 1920, Hatta mendapat penjelasan mengenai sosialisme sebagai berikut: “Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah 12 abad lebih dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme. Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti-Tuhan. Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama rata yang bebas dari kemiskinan, sudah lebih dahulu dibentangkan di dalam Islam, agama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia. Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadatnya dan Fiqh dan melupakan segi kemasyarakatan dari Islam itu. Mengerjakan segi kemasyarakatan itu ialah juga perintah Allah dalam Qur’ran. Dari ulama-ulama kita didikan langgar yang pengetahuannya berat sebelah, tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan sanggup menelaah segi kemasyarakatan itu dalam Islam. Inilah kewajiban bagi kaum intelektuil Islam yang mempelajari ilmu-ilmu sosial. Tjokroaminoto sudah mulai memperingatkan kepada umat Islam segi sosialisme dalam Islam. Aku akan membantu dia dengan sekuat-kuat tenagaku.”

Agus Salim sendiri mula-mula pertama mengenal sosialisme dari seorang gurunya di HBS Willem III Salemba. Guru yang tidak disebut oleh Bung Hatta dalam memoirnya itu adalah seorang sosial-demokrat. Sosialisme Islam diyakini oleh Agus Salim setelah 1906 ia ke Jedah.

Bagaimana tanggapan pemuda Hatta? “Uraian H. Agus Salim itu memperkuat keyakinanku kepada sosialisme yang sudah mulai bersarang dalam jiwaku. Aku berniat dalam hati akan mencoba kelak menyelami dasar-dasar sosialisme itu dari ajaran Islam. Di waktu itu sulit rasanya, sebab belum ada salinan Al Qur’an dalam bahasa Melayu.” Bung Hatta menepati janji kepada dirinya sendiri ini. Dan sebagaimana kelihatan antara lain dari tulisan-tulisannya. Upaya menyelami dasar-dasar sosialisme menurut ajaran Islam itu dilakukannya dengan studi perbandingan pula dengan berbagai macam ajaran sosialisme, termasuk sosialisme Marx. Ini terjadi ketika ia bermukim di Negeri Belanda, di mana ia juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh sosialis di negeri itu.

Hasilnya dapat dibaca antara lain dalam tulisannya “Marxisme of Epigonenwijsheid”. “Kelirulah pendapat bahwa hanya Marxisme yang menuju ke sosialisme. Bagi makin banyak kalangan, sosialisme bukan lagi merupakan persoalan kausalitas mekanis, melainkan sesuatu yang dikehendaki dengan sadar. Para sosialise religius menimba keyakinan sosialistisnya dari Wahyu. Bagi mereka ini, pelaksanaan sosialisme adalah kewajiban religius. Di kalangan sosialis Inggris, dapatlah ditunjuk sejumlah tokoh, yang dalam kalbunya merasa dapat mengaitkan iman katolik dengan sosialisme revolusioner. Sementara itu prinsip-dasar Islam, apabila di dalami dengan konsekuen, tidak bisa lain kecuali membawa ke sosialisme. Sebab, bertitik-pangkal dari pemikiran bahwa manusia tunduk kepada kehendak Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil, seorang muslim wajib mengabdikan hidup dan perjuangannya bagi persaudaraan dan keadilan di antara umat manusia. Dan karena hal itu hanya dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat yang sosialistis, maka ia pun menerima konsekuensinya, bahwa perjuangan bagi sosialisme adalah perintah Allah yang tidak dapat dielakkannya.
Memang, tulis Hatta selanjutnya, banyak pula teolog Islam dogmatis yang berpendapat lain. Tapi barangsiapa betul-betul meneliti lingkungan hidup dan posisinya, maka ia akan mengakui bahwa keadaan kemasyarakatannya akan menentukan kesadaran keagamaannya. Kolektivisme Indonesia bertumpu pada dasar-landasan yang lain daripada masyrakat Barat. Tetapi ia mengusahakan terwujudnya tatanan-hidup, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua, yang juga menghendaki sosialisme.
Bagaimana selanjutnya sosialisme akan direalisasikan dalam kenyataan hidup, tidak ada orang yang dapat mengatakannya dengan tepat. Realisasi ini akan berbeda-beda, tergantung dari negara, sifat bangsa, sejarah dan budayanya. Dalam hal ini pun marxisme tidak mampu memberikan jawaban positif.

**

Jelas bagi Bung Hatta sebagai seorang muslim, bahwa sosialisme Islam seperti yang dirumuskannya di atas itulah yang dianutnya. Meski demikian, jelas pula bahwa Bung Hatta pun tidak menutup mata terhadap adanya aliran-aliran sosialisme yang lain, yang juga mengandung prinsip-prinsip – setidaknya sebagian – dari prinsip-prinsip dalam sosialisme Islam yang dianutnya. Salah satunya yang penting ialah, bahwa dalam hampir semua aliran sosialisme sebagai ideal di bidang kehidupan sosial dan ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal di bidang kehidupan sosial dan ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal demokrasi. Karena itu, di sejumlah negara tampil partai yang menamakan diri Partai Sosial-Demokrat. Bagi partai ini demokrasi adalah sarana dan sekaligus tujuan. Sebagai sarana, demokrasi adalah penegasan adanya jaminan penuh bagi kebebasan berbicara dan berserikat maupun terlenggaranya hak politik untuk beroposisi. Sedangkan sebagai tujuan, demokrasi dinyatakan sebagai terjaminnya persetujuan suka rela dari mereka yang diperintah (free consent of the governed). Karena itu tidaklah mengherankan bahwa penulis dan wartawan seperti Sal Tas, yang dimasa Hatta dan Sjahrir berada di Negeri Belanda, erat hubungannya dengan mereka, menyatakan bahwa kedua tokoh itu democratische socialisten yang moderat.

Free consent of the people bisa diterjemahkan dalam bahasa Belanda volkssouvereiniteit dan dibahasa-Indonesiakan “kedaulatan rakyat”. Akan tetapi dalam uraiannya mengenai demokrasi, Bung Hatta memperingatkan, bahwa teori volkssouvereiniteit yang berkembang di Barat berdasarkan individualisme. Sedangkan kedaulatan rakyat – berbeda konsepnya. Kedaulatan rakyat mempertahankan azas kerakyatan yang sebenarnya, baik dalam kehidupan politik, perekonomian maupun pergaulan sosial. Rakyat adalah yang utama. Karena rakyat adalah jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya bangsa.

Kapan persisnya Bung Hatta melihat Hindia-Belanda yang kemudian disebut Indonesia sebagai tanah air-nya? Ini tentu belum terjadi ketika Jong Sumatranen Bond (JSB) didirikan 9 Desember 1917 di Betawi, dan cabangnya di Padang dibentuk dalam bulan Januari 1918. Waktu itu pemuda Hatta masih seorang pelajar MULO dan menjadi salah seorang pengurusnya (bendahara) yang pertama. Bahkan ketika ia menjadi pelajar Sekolah Dagang Menengah di Betawi pun agaknya masih belum jelas pula ke-Indonesiaannya. Walaupun ia bersama Bahder Djohan dan beberapa temannya sudah berinisiatif untuk menghimpun semua organisasi kepemudaan etniki menjadi Jong Indier. Seperti dikemukakan sebelumnya, usaha itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan dari kalangan organisasi-organisasi kepemudaan etnik.

Kiranya baru di Nederland-lah kesadaran ke-Indonesiaan Hatta menjadi mantap. Berarti sesudah 5 September 1921, ketika pemuda Hatta menapakkan kakinya untuk pertama kalinya di Rotterdam, meskipun sebenarnya redaksi Indonesia Merdeka, majalah para mahasiswa di Nederland telah pada 1918 mengkampanyekan nama Indonesia bagi tanah airnya, yang ketika itu disebut Nederlands-Indie atau Hindia-Belanda. Tetapi memang baru pada 1922 lah Perhimpoenan Indonesia memproklamasikan dengan resmi kata “Indonesia” dalam artian politik. Kedua artikel itu ditulis oleh Bung Hatta sendiri pada 1928 dan 1929.

Bung Hatta sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk melenyapkan provinsialisme dan untuk menggalang persatuan di negeri kita Indonesia. Sebabnya, karena negeri kita adalah negeri agraris dan insuler atau kepulauan. Sifat tani yang dipengaruhi oleh lingkungan tanah yang dikerjakannya, dan sifat insuler yang penduduknya di pulau-pulau dipisahkan oleh laut satu sama lain, menimbulkan kecendrungan untuk hidup sendiri-sendiri dan berpikiran seperti katak dalam tempurung. Ini juga terjadi di negara agraris Italia dalam abad 16. Berbeda dengan negara industri seperti Inggris yang rakyatnya tidak dicengkeram oleh ikatan tanah.

**

Bagaimana dengan gagasan dan sikap non-cooperation Hatta yang sangat kuat? Kapan mulai tumbuh dan berkembang? Ini juga terjadi setelah ia studi dan bermukim di Negeri Belanda. Ia sendiri bercerita, ketika masih di MULO Padang pada suatu hari ia membaca Verhandelingan van de Volksraad  (Berita atau Laporan Volksraad), kepunyaan Marah Sutan, sekretaris Sarikat Usaha. Ia tertarik pada polemik antara Haji Agus Salim dengan Sosokardono, sekretaris Sentral Sarekat Islam. Tidak puas dengan jalannya perundingan di Volksraad, Sosrokardono menganjurkan agar Agus Salim keluar saja dari lembaga yang disebutnya “Badan Komedi Omong” itu. Tetapi pendapat ini ditentang oleh Agus Salim yang mengatakan, bahwa Volksraad masih dapat dipergunakan sebagai mimbar yang merdeka untuk menyatakan keluh-kesah dan tuntutan rakyat kepada pemerintah jajahan. Sekalipun tidak akan berhasil, tetapi kepentingan rakyat harus diperjuangkan sungguh-sungguh. Agus Salim mengakhiri polemiknya dengan semboyan: “Jangan lari, jangan ngambek, itu perbuatan kanak-kanak”.

Setelah membaca polemik itu, pemuda Hatta menyatakan, bahwa pendapat Agus Salim tersebut sangat berpengaruh padanya. Katanya pula, “waktu itu aku belum mengerti politik dan baru mulai  memperhatikannya. Tetapi tiga tahun kemudian, setelah aku sampai di Nederland untuk meneruskan pelajaranku, aku ikut menempuh haluan politik yang bertentangan, yaitu politik non-cooperation. Enam tahun kemudian, Haji Agus Salim sendiri pun mengubah pendapatnya.

Ia keluar dari Volksraad dan menjadi penganjur politik noncooperation yang terkemuka di Indonesia.
Dalam majalah sepuluh harian Daulat Ra’yat yang terbit di Betawi 10 November 1932, Mohammad Hatta menulis: “Kalau kita mencintai Indnonesia Merdeka, maka haruslah kita berusaha membangun perumahan kita sendiri dan memperbaiki susunannya; dan kita tidak bekerja untuk memperkuat Hindia Belanda. Dari sebab itu kita menolak Volksraad, Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yang didirikan untuk menguasai Indonesia selama-lamanya”. Bagi para pendukungnya yang memang prinipiil, non-cooperation adalah sekaligus suatu kritik dan pendidikan, penghancuran dan pembangunan. Prinsip itu (non-cooperation) mempertajam antitese kolonial, menegaskan adanya batas-pemisah antara pihak penguasa dan pihak yang dikuasai, bersifat menolak ke luar dan menyatukan ke dalam. Segala sesuatu dilihatnya dari titik-pandang sikap percaya diri dan kemerdekaan.

Kita bisa bertanya, mengapa pemuda Hatta dapat cepat berubah jadi mengeras sikapnya dalam permasalahan kolonial dari tahap mendengar; membaca dan mempelajarinya? Tahap mempelajari ini berlangsung sejak ia bersekolah di MULO Padang (lulus Mei 1919) sampai ia lulus Sekolah Dagang Menengah di Betawi (Mei 1921). Pada 5 September 1921 ia sudah berada di Nederland. Sejumlah faktor membantu mematangkannya dengan cepat. Pergaulan dengan teman-temannya para mahasiswa Indonesia di Nederland, yang pada 1918 pun sudah mulai mempropagandakan nama Indonesia sebagai nama tanah-airnya; pengalaman hidup di Negeri-Belanda, di mana ia menghirup udara kebebasan, ia bukan lagi seorang pelajar MULO di Padang dan Sekolah Dagang Menengah di Betawi berusia di bawah 19 tahun, tetapi seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam yang banyak membaca dan yang juga langsung aktif di gelanggang gerakan mahasiswa Indonesia. Ia juga terus mengikuti perkembangan politik di tanah air-nya, di Nederland dan din negara-negara Eropa.

**

Dalam perkembangannya di Nederland itulah ia akhirnya pada 1925 bersama dengan rekan-rekannya di Perhimpoenan Indonesia mencetuskan beginsel-program, pernyataan prinsip atau suatu manifesto politik sebagai arahan untuk memperjuangkan tercapainya Indonesia Merdeka. Isi pokoknya: mutlak perlunya persatuan dan solidaritas di kalangan seluruh rakyat Indonesia, yang menegakkan prinsip non-kooperasi dan mengandalkan kekuatan diri sendiri. Ia akhirnya ditangkap bersama tiga rekannya (Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoaningrat) pada 23 September 1927, dengan tiga tuduhan: menjadi anggota perhimpunan terlarang; terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Tetapi akhirnya ia dibebaskan 22 Maret 1928, karena semua tuduhan tidak terbukti. Toh penangkapan di Den Haag itu hanya bagaikan prolog dari penangkapannya di Betawi dan pembuangannya ke Tanah Merah, Papua, 28 Januari 1935. Sekitar satu tahun kemudian dia dipindahkan ke Banda Naira.

Banyak orang bertanya, apakah dengan demikian Bung Hatta tidak menyia-nyiakan hidupnya; apakah ia tidak memubasirkan pendidikannya yang sampai sebelas tahun di Negeri Belanda? Dari mana pula daya tahannya untuk berkorban dan menderita, meskipun ketika ia diasingkan ke Tanah Merah dan Banda Naira, ia tidak dapat meramalkan, kapan pembuangan itu akan berakhir? Setidaknya, sebagian jawabnya dapat dibaca dalam tulisan Bung Hatta sendiri, berjudul “Pendidikan” di majalah Daulat Ra’yat 20 September 1932. Ia menjelaskan mengenai prinsip Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). “Memang, kita mau ‘bersekolah’ dahulu; bersekolah untuk membentuk budi dan pekerti; bersekolah dalam memperkuat iman. Ternyata dalam riwayat yang baru lalu, budi pekerti dan iman itu yang paling perlu bagi pergerakan kita. Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahun menahan sakit”. Dalam pembicaraannya dengan beberapa kader PNI Baru di Bandung pada akhir September 1932 pun ia menegaskan perlunya mendidik kader yang tahan uji dan yang mampu memberi contoh, termasuk contoh berani masuk bui dan dibuang.

**

Dalam masalah iman, Hatta nampak mencatat dan menghayati betul nasihat yang diwariskan oleh Datuk Syekh Abdul Rahman, ulama besar di Batuhampar (dekat Payakumbuh), ayah dari Haji Muhammad Djamil, ayah Bung Hatta yang sudah meninggal sewaktu berusia 30 tahun dan Bung Hatta sendiri baru berumur delapan bulan. Meskipun Bung Hatta sendiri juga tidak sempat berjumpa dengan Datuk Syekh Abdul Rahman, yang sudah tutup-usia sebelum Hatta lahir, namun ajaran-ajaran almarhum sampai juga kepada Hatta, khususnya lewat putera tertua Syekh Abdul Rahman, yakni Haji Arsad, yang menggantikan ayahnya menjadi Syekh Batuhampar. Di antara nasihat yang diwariskan oleh Syekh Abdul Rahman dan dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya, adalah berikut ini: “Allah tidak kekurangan suatu apa pun, tidakk kurang hormat, tidak kurang kebesaran, tidak ingin disembah dan dipuji. Sembah dan pujian kepada Allah tidak lain maksudnya daripada didikan kepada diri sendiri, supaya menjadi orang yang baik dan cinta kepada yang benar yang ditunjukkan Allah; kepada yang adil dan jujur, dan kasih antara sesama manusia. Takut kepada Allah, ujudnya menjauhkan yang jahat dan salah. Mengabdi kepada Tuhan, ujudnya supaya pikiran dan minat tertuju kepada segala perbuatan yang benar, adil dan baik, dan meninggalkan segala yang curang dan buruk yang merusak akhlak. Selama ia hidup di dunia ini manusia hendaklah mencoba sedapat-dapatnya berbuat menurut sifat dan budi yang dipujikan kepada Allah yang Pengasih dan Penyayang dan Maha adil.

Petunjuk itu, yang tentunya didalami dan dihayati benar-benar oleh Bung Hatta sepanjang hidupnya dan di tengah berbagai macam cobaan, kiranya dapat memberinya keteguhan iman. Dari nasihat itu pula, dapat ditimba sikap toleransi kepada sesama, sehingga nasionalisme Hatta pun adalah nasionalisme yang mencakup-menyatukan semua unsur masyrakat Indonesia, sesuai dengan prinsip persatuan serta solidaritasnya beginsel-program Perhimpunan Indonesia 1925 dan kebangsaannya Pancasila. Baik dicatat pula dalam hubungan ini jawaban Bung Hatta ketika ditanya oleh Dr. Zainul Yasni, apa sebenarnya yang mendorong Bung Hatta untuk merencanakan pembentukan Partai Demokrasi Islam pada tahun 1966? Jawabnya: “Tujuan pokoknya adalah untuk mendidik umat Islam di Indonesia, bagaimana sebaiknya berpartai dengan azas Islam di dalam suatu kehidupan demokrasi yang bertanggung jawab dalam suatu negara yang berdasarkan Pancasila”.
Karena itu pula, Bung Hatta pun tidak dapat menyetujui pendirian kaum Padri, yang menyebabkan perang di Sumatra Barat sekitar 1823-1842. Ia menulis dalam Memoirnya: “Perang Padri berasal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Guru-guru agama yang baru kembali dari Mekah, yang terpengaruh di sana dengan sikap keras dan murni Kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih dan mengisap cerutu. Beberapa bagian dari hukum dianggap mereka bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai. Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad s.a.w. membiarkan berlaku hukum kebiasaan yang berlaku di Tanah Arab yang menjamin keselamatan umum. Tetapi menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat, lebih fanatik dari Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama. Pertentangan kaum pemangku agama yang menyebut diri mereka kaum Padri dan kaum adat dipergunakan oleh orang Belanda untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

**

Pendidikan bangsa menjadi salah satu obsesi Bung Hatta dalam konteks memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Agar para warga bangsa menyadari hak-haknya, yakni berdaulat sebagai rakyat, dan mempunyai harga diri sebagai manusia sehingga tidak mau dijajah, maka diperlukan lah pendidikan. Dalam hal ini salah satu inspirasinya datang dari seorang ahli pendidikan atau pedagog Denmark, Grundtvig, dengan sistem Volkschochshule-nya atau “Sekolah Tinggi Rakyat” (Volkshochschule). Disebut “Sekolah Tinggi”, karena dalam lembaga itu hanya hal-hal yang tinggi nilainyalah yang ditampilkan. Dan disebut “Sekolah Tinggi Rakyat”, karena ditujukan kepada seluruh masyrakat. Tujuannya adalah menciptakan budaya rakyat nasional yang pada lapisan atasnya didorong setinggi mungkin kualitasnya sejauh kemampuan yang dapat dicapai oleh manusia, tetapi yang lapisan dasarnya homogen, dan dapat dicapai oleh siapa pun. Jalan yang ditempuh ke arah itu ialah pendidikan kepribadian, sebab hanya kebebasan atau kemerdekaan yang bersemayam di kedalaman kalbu kepribadian manusialah yang mampu mengembangkan kesadaran-budaya.”

Berpola pada tujuan Volkschochule itu, Perhimpoenan Indonesia dalam upayanya membebaskan rakyat Indonesia dari usaha pembodohan oleh kekuasaan kolonial, berhasrat pula menyelenggarakan pendidikan massal yang berorientasi pada pendidikan karakter. Akan diusahakan pula mengangkat tingkat intelektual rakyat, dan cakrawala wawasannya dengan menyelenggarakan kursus-kursus di bidang sejarah, politik dan sebagainya, seperti yang kemudian dilaksanakan oleh PNI Baru. Tetapi kegiatan itu terhenti setelah Bung Hatta sendiri ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, disusul terjadinya invasi dan pendudukan Jepang, dan kemudian berkobar revolusi Indonesia melawan Belanda. Pada jaman Orde Lama diselenggarakanlah di sekolah-sekolah dan di kursus-kursus indoktrinasi Manipol-Usdek; demikian pula di jaman Orde mendidik rakyat semua lapisan supaya menjadi warganegara yang baik. Akan tetapi kenyataannya indoktrinasi itu hanya menjadi bahan ejekan. Baik pelajar; para mahasiswa, maupun warga masyarakat lainnya diharuskan mengikuti indoktrinasi itu, yang bahan-bahannya harus dihafalkan tanpa perubahan, karena memang tidak boleh disangsikan kebenarannya, apa lagi dibantah. Maka tidak terjadilah pembentukan karakter dan pengembangan budaya bangsa. Sehingga pada jaman yang disebut “reformasi” pun tertib kehidupan bernegara dan bermasyarakat malam semakin memprihatinkan. Sehingga cita-cita yang dikemukakan oleh Bung Hatta pada akhir Konferensi Meja Bundar; bahwa negara kita tidak saja akan menjadi negara hukum, tetapi juga negara kultural, sampai sekarang belum kunjung terwujud. Untuk dapat disebut sebagai sebuah negara kultural, maka tingkat kehidupan intelektual, spiritual dan emosional bangsa Indonesia harus sudah mencapai tataran “berperadaban” di segala bidang.

**

Masih ada satu lagi obsesi Bung Hatta dalam konteks upayanya mewujudkan Indonesia Merdeka. Yakni, terciptanya kesejahteraan rakyat dengan cara selfhelp atau berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Wahananya adalah terutama gerakan koperasi. Bung Hatta menyatakan dalam tulisannya “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, bahwa sejak jaman penjajahan Belanda, cita-cita koperasi sudah dipandang sebagai jalan yang terbaik untuk membangun berangsur-angsur ekonomi rakyat yang lemah. Orang sudah membaca dan mengetahui contoh-contoh yang diperlihatkan oleh kaum buruh di Inggris dan kaum tani di Denmark pada abad ke-19.

Bung Hatta-lah kiranya yang berperan besar atas lahirnya pasal 33 UUD 45, walaupun ide koperasi itu sendiri tidak berasal dari Bung Hatta. Dengan koperasi, yang meletakkan titik-berat pada usaha bersama, kata Bung Hatta, orang belajar mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri, melaksanakan selfhelp dan oto-aktivitas beserta solidaritas, setia kawan dan tolong-menolong. Itulah azas kekeluargaan. Istilah “kekeluargaan” sebenarnya berasal dari Taman Siswa, untuk menunjukkan keakraban hubungan antara para guru dan murid-muridnya sebagai satu keluarga. Koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

Meskipun demikian bagus cita-cita koperasi, dan Pasal 33 UUD 45 malah memandang koperasi sebagai “sokoguru ekonomi Indonesia”, tetapi mengapa sampai sekarang koperasi justru terdesak oleh dua komponen lainnya dalam perekonomian Indonesia? Komponen pertama adalah “usaha negara” yang diberi kepercayaan untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting untuk negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Komponen kedua adalah “usaha swasta”, baik yang bermodal pribumi murni, maupun yang bermitra-usaha dengan asing? Mengapa koperasi di Indonesia tidak ada yang berkembang menjadi besar seperti yang dicita-citakan, sehingga seperti salah satu contohnya yang terjadi di Swedia, mampu bersaing dengan pabrik bola lampu Philips? Dengan membuat sendiri pabrik bola lampu, koperasi dapat menjual bola lampu yang lebih murah daripada bola lampu bikinan Philips. Pabrik Philips akhirnya gulung tikar.

Pada akhir ceritanya mengenai pabrik bola lampu di Swedia itu, Bung Hatta menulis: “Jadi, koperasi dapat menjadi tenaga koreksi bagi keganjilan-keganjilan dan ketidakadilan. Tugas-tugas ekonominya yang rasional merupakan senjata yang ampuh untuk membela kehidupan rakyat kecil. Koperasi punya disiplin dan dinamik sendiri. Sandarannya adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah merupakan kumpulan manusia, sedangkan uang faktor kedua. Sedangkan PT adalah merupakan kumpulan modal.

Penjelasan Bung Hatta itulah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Koperasi Indonesia tidak berjalan baik, karena tidak adanya orang-orang, atau sangat sedikit jumlah orang, yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi tulang-punggung kegiatan koperasi. Sistem pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh “Sekolah Tinggi Rakyat” di Denmark, dan yang sudah didaptasi oleh PNI Baru, meskipun hanya sebentar, penting pula untuk menyiapkan kader-kader koperasi. Hakikat sistem pendidikan ini adalah pendidikan karakter; pendidikan kultural, yang mengajak para anak-didiknya menjadi manusia-manusia berperadaban; yakni manusia-manusia yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual.

Jakarta, 26 Juni 2002






Tidak ada komentar:

Posting Komentar