Oleh P. Swantoro
Bangsa Indonesia
yang bersatu, sejahtera kehidupannya, demokratis penyelenggaraan negaranya, dan
negara ini bukan saja sebuah negara hukum, tetapi juga sebuah negara kultural.
Demikian dinyatakan oleh Bung Hatta dalam pidatonya pada akhir Konferensi Meja
Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, 29 Oktober 1949. Penegasan itu pulalah yang
selalu menjadi pemikiran, cita-cita dan yang tidak henti diusahakan terwujudnya
oleh Bung Hatta, salah seorang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia,
Wakil Presiden yang pertama, dan yang tahun ini, 12 Agustus 2002, genap berusia
seratus tahun, kalau ia masih berada di antara kita di dunia fana ini. Tetapi
Mohammad Hatta yang dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat 12 Agustus 1902,
telah tiada pada 14 Maret 1980 di Jakarta.
Seperti halnya
setiap manusia, Bung Hatta pun tidak langsung menjadi dewasa tetapi harus
menjalani pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun kepribadian manusiawinya
dalam kehidupan yang dijalaninya di dunia ini. Dalam pertumbuhan dan
perkembangan ini, berbagai faktor pun tidak bisa diabaikan pengaruhnya.
Lingkungan hidupnya, pendidikannya, berbagai peristiwa yang dialaminya,
manusia-manusia lain sesamanya, terutama mereka yang erat hubungannya. Tidak
akan kita jumpai Bung Hatta yang kita kenal, seandainya dia dulu dari sekolah
rendah Belanda tidak meneruskan studinya di MULO (Sekolah Menengah) Padang,
tetapi menjadi pegawai pos, atau menurut
arahan keluarga almarhum ayahnya di Batuhampar, agar ia menempuh pendidikan
agama di Mekah dan kemudian dilanjutkan di Kairo.
Juga tentu akan
lain pula Hatta yang kita kenal, seandainya semenjak kecil ia hidup di sebuah
negara yang sudah merdeka dan sejahtera keadaannya dengan penyelenggaraan
negara yang demokratis, dan tidak menjadi seorang kaula negeri jajahan yang
disebut Nederlands-Indie. Akan tetapi itu semua tidaklah berarti bahwa Mohammad
Hatta yang kini kita kenal adalah sekadar “produk cetakan” dari semua faktor
yang melingkupi dan menyusupi perjalanan hidupnya. Terjadi interaksi antara
faktor-faktor itu dengan Hatta sebagai seorang persona yang memiliki potensi
intelektual, emosional, dan spiritual. Ia tidak seperti bahan patung dari lilin
yang mudah dilekak-lekuk, dibentuk sekehendak pematungnya.
***
Cukup lama proses
interaksi itu yang akhirnya membuahkan pemikiran dan kesadaran dalam diri
Hatta, bahwa tanah kelahirannya, Minangkabau, dan bahkan juga Sumatra, hanya
sebagian kecil dari tanah-airnya, sehingga penduduk Minang dan Sumatra pun
hanyalah sebagian pula dari penduduk tanah-air itu. ketika Jong Sumatranen Bond
didirikan 9 Desember 1917, Bung Hatta menyatakan terus terang, bahwa ia “hanya
terpikat” oleh semboyan “Sumatera masa depan”. Menurut penafsirannya sendiri,
“Sumatra masa depan” adalah Sumatra yang berada dalam “zaman emas”, zaman
gilang-gemilang. Tetapi untuk mencapainya tergantung pada pemuda Sumatra
sendiri. Dari sebab itu tepat sekali bahwa dalam anggaran Jong Sumatranen Bond,
para pemuda-pemudi Sumatra mendapat panggilan untuk menjadi pemimpin dan
pendidik bangsanya, bangsa Sumatra. Mengenai masalah kolonial, ia baru bisa
mengatakan: “Sudah kurasai, belum lagi kupelajari”
Ketika Hatta sudah
menjadi pelajar Sekolah Dagan Prins Hendrik School di Betawi dan berteman-dekat
dengan Bahder Djohan, pelajar Sekolah Dokter Stovia (School tot Opleiding van
Indische Artsen), keduanya sudah mulai membicarakan kemungkinan kerja sama
antara organisasi-organisasi pemuda di berbagai daerah, seperti Jong Sumatra,
Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, yang akhirnya dipersatukan menjadi Jong
Indie. Akan tetapi ternyata gagasan itu
masih sulit dilaksanakan. “Orang tetap berpegang kepada suku bangsa
masing-masing. Cita-cita itu baru dapat hinggap dalam kepala orang-orang yang
tidak banyak jumlahnya,” tulis Hatta dalam memoirnya.
Sedangkan kata
“Indier” itu pun berasal dari saran Ir. Fourier, Ketua Gerakan Theosofie di
Hindia Belanda, kepada dua anggota Jong Java, Amir dan Basuki. Gagasan dari
usul ini diilhami oleh pergerakan pemuda di India untuk mencapai persatuan.
Juga menarik,
bahwa di masa bersekolah di Betawi itu (1912-1921), Bahder Djohan dan Hatta
mempunyai rencana untuk menerbitkan sebuah majalah berbahasa Melayu, yang akan
diberinya nama Malaya. Pada awalnya
akan terbit tiga bulan sekali, dan kemudian sebulan sekali. Akan tetapi rencana
ini tidak terwujud, karena pada 3 Agustus 1921 Bung Hatta harus meninggalkan
pelabuhan Teluk Bayur berlayar ke Rotterdam, untuk menjadi mahasiswa
handelshogeschool, perguruan tinggi dagang.
Baik gagasan untuk
menghimpun organisasi-organiasi kepemudaan yang berdasarkan kesukuan ke dalam
satu organisasi Jong Indier, maupun
rencana untuk menerbitkan majalah berbahasa Melayu, bahasa lingua franca di Nusantara, dapat kiranya dijadikan suatu petunjuk
bahwa dalam diri pemuda Hatta dan beberapa temannya sudah mulai tumbuh
benih-benih pemikiran ke-Indonesiaan, meskipun barangkali belum disadarinya.
***
Semasa masih
bersekolah MULO di Padang maupun ketika menjadi pelajar Sekolah Dagang di
Betawi, Mohammad Hatta memang sudah mendapat percikan-percikan pemikiran yang
berkaitan dengan permasalahan kolonial. Sumbernya bukanlah sekolahnya, tetapi
orang-orang yang dikenalnya. Di Padang misalnya, ia memelihara hubungan dengan
Engku Taher Marah Sutan, sekretaris “Sarikat Usaha”, yang disebutnya “seorang
idealis yang giat bekerja tidak kenal lelah. Kalau tidak karena dia”, tulis
Bung Hatta, “Sarekat Usaha tidak menjadi pusat pertemuan orang-orang terkemuka
serta kaum cerdik-pandai di Padang.” Ia berlangganan dua suratkabar terkemuka
waktu itu yang terbit di Jawa, masing-masing Utusan Hindia dari Surabaya yang dipimpin oleh tokoh Sarekat Islam
H.O.S Tjokroaminoto, dan Neraca yang
berada di bawah asuhan Abdul Muis, kemudian H. Agus Salim di Betawi. Ia pun
berlangganan Verslagen van de Volksraad, Laporan
Volkskraad, untuk mengikuti permasalahan yang dibicarakan di Lembaga kolonial
tersebut. Karena itu, pemuda Hatta pun memperoleh banyak informasi dari Pak
Marah Sutan. Termasuk mengenai tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Abdul
Muis, dan Haji Agus Salim. Juga tentu saja mengenai Sarekat Islam yang mereka
pimpin.
Kedatangan Abdul
Muis sendiri di Sumatra Barat sebagai anggota Volkskraad dalam bulan Agustus
atau September 1918, menambah pula pengetahuan pemuda Hatta mengenai
permasalahan kolonial, meskipun ia belum dapat sepenuhnya menangkap hal-hal
yang dibicarakan oleh Abdul Muis dengan para pemuka masyarakat. “Aku hanya
mendengarkan saja; aku belum banyak mempunyai pengetahuan tentang masalah yang
dikupasnya,” kata Hatta yang hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Abdul Muis
itu sebagai anggota pengurus Jong Sumatranen Bond.
**
Abdul Muis tidak
saja mengupas masalah rodi, yang bahasa Belandanya heerendiest, yang artinya “kerja wajib untuk yang dipertuan”,
tetapi ia pun menjelaskan bahwa Volksraad belumlah merupakan Dewan Rakyat yang
sesungguhnya. “Tetapi apabila rakyat sungguh-sungguh bergerak, tujuan itu akan
tercapai juga”. Dalam rapat-rapat terbuka, Abdul Muis memang juga membahas
mengenai masalah “rakyat memerintah sendiri”. Inilah yang menjadi tujuan
pergerakan nasional, khususnya Sarekat Islam.
Pemuda Hatta
sendiri ketika itu barangkali lebih terpesona oleh penampilan Abdul Muis
daripada tertarik kepada materi pembicaraannya. “Aku kagum melihat cara Abdul
Muis berpidato; aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau,
terpesona oleh ayun katanya.”
Ketika sekitar dua
tahun kemudian, pertengahan Maret 1920, Hatta yang sudah menjadi siswa Prins
Hendrik School di Betawi, bertemu lagi dengan Abdul Muis, ia nampaknya juga
masih belum terlibat betul dalam permasalahan tanah air-nya. Padahal dalam
pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam dengan Abdul Muis itu, ia hanya
disertai kawan-karibnya, Bahder Djohan, dan permasalahan yang dikemukakan oleh
Abdul Muis pun sangat aktual; antara lain mengenai “Janji November”. Abdul Muis
menyatakan tidak percaya bahwa janji itu akan dipenuhi.
“Janji November”
atau November Beloften” berpangkal pada janji Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum (1916-1921) yang diumumkannya 18 November 1918, bahwa Hindia Belanda
akan menempuh “arah baru” (nieuwe koers) sesuai
dengan perkembangan jaman. Maka dibentuklah sebuah komisi yang diberi nama Commissie voor Staatskundige Hervormingen, Komisi
Pembaharuan Ketatanegaraan. Pada medio 1920 komisi yang diketui oleh J.H.
Carpentier Alting, Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda itu berhasil
menyelesaikan tugasnya berupa usul pembaharuan seperti yang dimaksud oleh Van
Limburg Stirum. Isi pokoknya: Tujuan kehidupan ketatanegaraan di Hindia Belanda
tidak lain adalah untuk mengusahakan agar sumber-sumber alamnya sebanyak
mungkin digali dengan kekuatan dan kemampuan rakyatnya sendiri. Bersamaan
dengan itu, akan diusahakan agar penduduk pribumi akhirnya mampu mengurus
kepentingan dan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian komisi hendak
meletakkan dasar-dasar bagi “een volledig
zelfbetuur”, pemerintahan sendiri sepenuhnya. Inilah semangat yang
terkandung dalam diri VanLimburgStirum, yang oleh DMG Koch disebut “een international georienteerd staatsman”,
seorang negarawan yang berorientasi internasional. Akan tetapi seperti sudah
diramalkan oleh Abdul Muis, Menteri Koloni Belanda Idenburg, menilai usul
mengenai nieuwe koers atau “arah
baru” bagi Hindia-Belanda itu terlalu jauh, dan langkah-langkah yang ditempuh
oleh Van Limburg Stirum terlalu cepat. Maka akhirnya bukan hanya “Janji
November”-lah yang kandas, tetapi Gubernur Van Limburg Stirum pun terpental
dari kedudukannya. Ia digantikan oleh lawan “Janji November”, Gubernur Jenderal
D. Fock.
Pesan Abdul Muis
yang dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya ialah, agar “Jong Sumatranen Bond
kelak sanggup menyediakan tenaga-tenaga muda bagi pergerakan kebangsaan menuju home rule dan kemajuan tanah-air”.
Haji Agus Salim
pun yang sebulan sebelumnya juga ditemui oleh Hatta dan Bahder Djohan
memberikan pula pesan senada, bahkan lebih jelas muatan kebangsaan
Indonesianya: “Ia mengkritik gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam idea
kedaerahan, kepulauan masing-masing, dan lupa akan tanah-airnya yang
sebenarnya, yaitu Hindia. Kita harus melenyapkan Belandanya, tinggal Hindianya
bagi kita”.
**
Dari semua
kesaksian Hatta sendiri yang kebanyakan ditulis dalam Memoirnya di atas,
dapatlah disimpulkan, bahwa sampai ia menginjakkan kakinya di bumi Rotterdam 5
September 1921, ia belum memahami sepenuhnya permasalahan Hindia Belanda
sebagai sebuah koloni. Karena itu belum lahirlah pula pada dirinya pemikiran,
cita-cita dan upaya untuk mewujudkan “Indonesia Merdeka”. Tetapi masukan-masukan
yang berupa informasi dan pengalaman selama ia tinggal di Sumatra Barat maupun
Betawi sebagai pelajar, tetap pentinig sebagai bahan yang diolahnya bersama
dengan masukan-masukan yang diterimanya kemudian; baik ketika ia sebelas tahun
lamanya di Nederland sebagai mahasiswa dan pemimpin gerakan mahasiswa, maupun
pada waktu ia tampil sebagai seorang pemimpin bangsa pada awal kemerdekaan
Indonesia dan sebelumnya.
Suatu contoh.
Terbentuknya pemikiran Bung Hatta mengenai sosialisme, kiranya berpangkal-mula
dari buku H.P. Quack, De Socialisten yang
enam jilid, dan dari pembicaraannya dengan Haji Agus Salim pada pertengahan
Februari 1920. Mengenai buku De Socialisten, yang dibelikan oleh pamannya, Mak
Etek Ayub, ketika ia baru masuk Prins Hendrik School di Batavia, Hatta menulis,
bahwa ia tertarik buku ini, karena buku inilah yang pertama kali membuka
matanya, bahwa cita-cita sosialisme “sudah bermula berabad-abad lamanya, sekian
abad sebelum Masehi. Sekalipun pandangan sosialisme di masa tua itu agak berlainan
dari pendapat-pendapat pujangga sesudah abad 18, dasarnya banyak yang serupa,
sekitar masalah kaya dan miskin, punya dan tak punya dalam masyarakat”.
Dalam
pembicaraannya dengan Haji Agus Salim, yang ketika itu berusia sekitar 30
tahun, pada pertengahan 1920, Hatta mendapat penjelasan mengenai sosialisme
sebagai berikut: “Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam
di atas dunia ini sudah 12 abad lebih dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme.
Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti-Tuhan.
Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama
rata yang bebas dari kemiskinan, sudah lebih dahulu dibentangkan di dalam
Islam, agama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia.
Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadatnya dan Fiqh dan
melupakan segi kemasyarakatan dari Islam itu. Mengerjakan segi kemasyarakatan
itu ialah juga perintah Allah dalam Qur’ran. Dari ulama-ulama kita didikan
langgar yang pengetahuannya berat sebelah, tidak dapat diharapkan bahwa mereka
akan sanggup menelaah segi kemasyarakatan itu dalam Islam. Inilah kewajiban
bagi kaum intelektuil Islam yang mempelajari ilmu-ilmu sosial. Tjokroaminoto
sudah mulai memperingatkan kepada umat Islam segi sosialisme dalam Islam. Aku
akan membantu dia dengan sekuat-kuat tenagaku.”
Agus Salim sendiri
mula-mula pertama mengenal sosialisme dari seorang gurunya di HBS Willem III
Salemba. Guru yang tidak disebut oleh Bung Hatta dalam memoirnya itu adalah seorang
sosial-demokrat. Sosialisme Islam diyakini oleh Agus Salim setelah 1906 ia ke
Jedah.
Bagaimana
tanggapan pemuda Hatta? “Uraian H. Agus Salim itu memperkuat keyakinanku kepada
sosialisme yang sudah mulai bersarang dalam jiwaku. Aku berniat dalam hati akan
mencoba kelak menyelami dasar-dasar sosialisme itu dari ajaran Islam. Di waktu
itu sulit rasanya, sebab belum ada salinan Al Qur’an dalam bahasa Melayu.” Bung
Hatta menepati janji kepada dirinya sendiri ini. Dan sebagaimana kelihatan
antara lain dari tulisan-tulisannya. Upaya menyelami dasar-dasar sosialisme
menurut ajaran Islam itu dilakukannya dengan studi perbandingan pula dengan
berbagai macam ajaran sosialisme, termasuk sosialisme Marx. Ini terjadi ketika
ia bermukim di Negeri Belanda, di mana ia juga banyak bergaul dengan
tokoh-tokoh sosialis di negeri itu.
Hasilnya dapat
dibaca antara lain dalam tulisannya “Marxisme of Epigonenwijsheid”. “Kelirulah
pendapat bahwa hanya Marxisme yang menuju ke sosialisme. Bagi makin banyak
kalangan, sosialisme bukan lagi merupakan persoalan kausalitas mekanis,
melainkan sesuatu yang dikehendaki dengan sadar. Para sosialise religius
menimba keyakinan sosialistisnya dari Wahyu. Bagi mereka ini, pelaksanaan
sosialisme adalah kewajiban religius. Di kalangan sosialis Inggris, dapatlah
ditunjuk sejumlah tokoh, yang dalam kalbunya merasa dapat mengaitkan iman
katolik dengan sosialisme revolusioner. Sementara itu prinsip-dasar Islam,
apabila di dalami dengan konsekuen, tidak bisa lain kecuali membawa ke
sosialisme. Sebab, bertitik-pangkal dari pemikiran bahwa manusia tunduk kepada
kehendak Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil, seorang muslim wajib
mengabdikan hidup dan perjuangannya bagi persaudaraan dan keadilan di antara
umat manusia. Dan karena hal itu hanya dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat
yang sosialistis, maka ia pun menerima konsekuensinya, bahwa perjuangan bagi
sosialisme adalah perintah Allah yang tidak dapat dielakkannya.
Memang, tulis
Hatta selanjutnya, banyak pula teolog Islam dogmatis yang berpendapat lain.
Tapi barangsiapa betul-betul meneliti lingkungan hidup dan posisinya, maka ia
akan mengakui bahwa keadaan kemasyarakatannya akan menentukan kesadaran
keagamaannya. Kolektivisme Indonesia bertumpu pada dasar-landasan yang lain
daripada masyrakat Barat. Tetapi ia mengusahakan terwujudnya tatanan-hidup, di
mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua, yang juga menghendaki
sosialisme.
Bagaimana
selanjutnya sosialisme akan direalisasikan dalam kenyataan hidup, tidak ada
orang yang dapat mengatakannya dengan tepat. Realisasi ini akan berbeda-beda,
tergantung dari negara, sifat bangsa, sejarah dan budayanya. Dalam hal ini pun
marxisme tidak mampu memberikan jawaban positif.
**
Jelas bagi Bung
Hatta sebagai seorang muslim, bahwa sosialisme Islam seperti yang dirumuskannya
di atas itulah yang dianutnya. Meski demikian, jelas pula bahwa Bung Hatta pun
tidak menutup mata terhadap adanya aliran-aliran sosialisme yang lain, yang
juga mengandung prinsip-prinsip – setidaknya sebagian – dari prinsip-prinsip
dalam sosialisme Islam yang dianutnya. Salah satunya yang penting ialah, bahwa
dalam hampir semua aliran sosialisme sebagai ideal di bidang kehidupan sosial
dan ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal di bidang kehidupan sosial dan
ekonomi tidaklah terpisahkan dari ideal demokrasi. Karena itu, di sejumlah
negara tampil partai yang menamakan diri Partai Sosial-Demokrat. Bagi partai
ini demokrasi adalah sarana dan sekaligus tujuan. Sebagai sarana, demokrasi
adalah penegasan adanya jaminan penuh bagi kebebasan berbicara dan berserikat
maupun terlenggaranya hak politik untuk beroposisi. Sedangkan sebagai tujuan,
demokrasi dinyatakan sebagai terjaminnya persetujuan suka rela dari mereka yang
diperintah (free consent of the governed).
Karena itu tidaklah mengherankan bahwa penulis dan wartawan seperti Sal Tas,
yang dimasa Hatta dan Sjahrir berada di Negeri Belanda, erat hubungannya dengan
mereka, menyatakan bahwa kedua tokoh itu democratische
socialisten yang moderat.
Free consent of the people bisa
diterjemahkan dalam bahasa Belanda volkssouvereiniteit
dan dibahasa-Indonesiakan “kedaulatan rakyat”. Akan tetapi dalam uraiannya
mengenai demokrasi, Bung Hatta memperingatkan, bahwa teori volkssouvereiniteit yang berkembang di Barat berdasarkan
individualisme. Sedangkan kedaulatan
rakyat – berbeda konsepnya. Kedaulatan rakyat mempertahankan azas
kerakyatan yang sebenarnya, baik dalam kehidupan politik, perekonomian maupun
pergaulan sosial. Rakyat adalah yang utama. Karena rakyat adalah jantung hati
bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya bangsa.
Kapan persisnya
Bung Hatta melihat Hindia-Belanda yang kemudian disebut Indonesia sebagai tanah
air-nya? Ini tentu belum terjadi ketika Jong Sumatranen Bond (JSB) didirikan 9
Desember 1917 di Betawi, dan cabangnya di Padang dibentuk dalam bulan Januari
1918. Waktu itu pemuda Hatta masih seorang pelajar MULO dan menjadi salah
seorang pengurusnya (bendahara) yang pertama. Bahkan ketika ia menjadi pelajar
Sekolah Dagang Menengah di Betawi pun agaknya masih belum jelas pula
ke-Indonesiaannya. Walaupun ia bersama Bahder Djohan dan beberapa temannya
sudah berinisiatif untuk menghimpun semua organisasi kepemudaan etniki menjadi Jong Indier. Seperti dikemukakan
sebelumnya, usaha itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan dari kalangan
organisasi-organisasi kepemudaan etnik.
Kiranya baru di
Nederland-lah kesadaran ke-Indonesiaan Hatta menjadi mantap. Berarti sesudah 5
September 1921, ketika pemuda Hatta menapakkan kakinya untuk pertama kalinya di
Rotterdam, meskipun sebenarnya redaksi Indonesia
Merdeka, majalah para mahasiswa di Nederland telah pada 1918
mengkampanyekan nama Indonesia bagi tanah airnya, yang ketika itu disebut
Nederlands-Indie atau Hindia-Belanda. Tetapi memang baru pada 1922 lah
Perhimpoenan Indonesia memproklamasikan dengan resmi kata “Indonesia” dalam
artian politik. Kedua artikel itu ditulis oleh Bung Hatta sendiri pada 1928 dan
1929.
Bung Hatta sendiri
mengakui bahwa memang sulit untuk melenyapkan provinsialisme dan untuk
menggalang persatuan di negeri kita Indonesia. Sebabnya, karena negeri kita
adalah negeri agraris dan insuler atau kepulauan. Sifat tani yang dipengaruhi
oleh lingkungan tanah yang dikerjakannya, dan sifat insuler yang penduduknya di
pulau-pulau dipisahkan oleh laut satu sama lain, menimbulkan kecendrungan untuk
hidup sendiri-sendiri dan berpikiran seperti katak dalam tempurung. Ini juga
terjadi di negara agraris Italia dalam abad 16. Berbeda dengan negara industri
seperti Inggris yang rakyatnya tidak dicengkeram oleh ikatan tanah.
**
Bagaimana dengan
gagasan dan sikap non-cooperation Hatta
yang sangat kuat? Kapan mulai tumbuh dan berkembang? Ini juga terjadi setelah
ia studi dan bermukim di Negeri Belanda. Ia sendiri bercerita, ketika masih di
MULO Padang pada suatu hari ia membaca Verhandelingan
van de Volksraad (Berita atau
Laporan Volksraad), kepunyaan Marah Sutan, sekretaris Sarikat Usaha. Ia
tertarik pada polemik antara Haji Agus Salim dengan Sosokardono, sekretaris
Sentral Sarekat Islam. Tidak puas dengan jalannya perundingan di Volksraad,
Sosrokardono menganjurkan agar Agus Salim keluar saja dari lembaga yang
disebutnya “Badan Komedi Omong” itu. Tetapi pendapat ini ditentang oleh Agus
Salim yang mengatakan, bahwa Volksraad masih dapat dipergunakan sebagai mimbar
yang merdeka untuk menyatakan keluh-kesah dan tuntutan rakyat kepada pemerintah
jajahan. Sekalipun tidak akan berhasil, tetapi kepentingan rakyat harus
diperjuangkan sungguh-sungguh. Agus Salim mengakhiri polemiknya dengan
semboyan: “Jangan lari, jangan ngambek, itu perbuatan kanak-kanak”.
Setelah membaca
polemik itu, pemuda Hatta menyatakan, bahwa pendapat Agus Salim tersebut sangat
berpengaruh padanya. Katanya pula, “waktu itu aku belum mengerti politik dan
baru mulai memperhatikannya. Tetapi tiga
tahun kemudian, setelah aku sampai di Nederland untuk meneruskan pelajaranku,
aku ikut menempuh haluan politik yang bertentangan, yaitu politik non-cooperation. Enam tahun kemudian,
Haji Agus Salim sendiri pun mengubah pendapatnya.
Ia keluar dari
Volksraad dan menjadi penganjur politik noncooperation
yang terkemuka di Indonesia.
Dalam majalah
sepuluh harian Daulat Ra’yat yang
terbit di Betawi 10 November 1932, Mohammad Hatta menulis: “Kalau kita
mencintai Indnonesia Merdeka, maka haruslah kita berusaha membangun perumahan
kita sendiri dan memperbaiki susunannya; dan kita tidak bekerja untuk
memperkuat Hindia Belanda. Dari sebab itu kita menolak Volksraad, Dewan Rakyat
Hindia-Belanda, yang didirikan untuk menguasai Indonesia selama-lamanya”. Bagi
para pendukungnya yang memang prinipiil, non-cooperation
adalah sekaligus suatu kritik dan pendidikan, penghancuran dan pembangunan.
Prinsip itu (non-cooperation)
mempertajam antitese kolonial, menegaskan adanya batas-pemisah antara pihak
penguasa dan pihak yang dikuasai, bersifat menolak ke luar dan menyatukan ke
dalam. Segala sesuatu dilihatnya dari titik-pandang sikap percaya diri dan
kemerdekaan.
Kita bisa
bertanya, mengapa pemuda Hatta dapat cepat berubah jadi mengeras sikapnya dalam
permasalahan kolonial dari tahap mendengar; membaca dan mempelajarinya? Tahap
mempelajari ini berlangsung sejak ia bersekolah di MULO Padang (lulus Mei 1919)
sampai ia lulus Sekolah Dagang Menengah di Betawi (Mei 1921). Pada 5 September
1921 ia sudah berada di Nederland. Sejumlah faktor membantu mematangkannya
dengan cepat. Pergaulan dengan teman-temannya para mahasiswa Indonesia di
Nederland, yang pada 1918 pun sudah mulai mempropagandakan nama Indonesia
sebagai nama tanah-airnya; pengalaman hidup di Negeri-Belanda, di mana ia
menghirup udara kebebasan, ia bukan lagi seorang pelajar MULO di Padang dan
Sekolah Dagang Menengah di Betawi berusia di bawah 19 tahun, tetapi seorang
mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam yang banyak membaca dan yang juga
langsung aktif di gelanggang gerakan mahasiswa Indonesia. Ia juga terus
mengikuti perkembangan politik di tanah air-nya, di Nederland dan din
negara-negara Eropa.
**
Dalam
perkembangannya di Nederland itulah ia akhirnya pada 1925 bersama dengan
rekan-rekannya di Perhimpoenan Indonesia mencetuskan beginsel-program, pernyataan prinsip atau suatu manifesto politik
sebagai arahan untuk memperjuangkan tercapainya Indonesia Merdeka. Isi
pokoknya: mutlak perlunya persatuan dan solidaritas di kalangan seluruh rakyat
Indonesia, yang menegakkan prinsip non-kooperasi dan mengandalkan kekuatan diri
sendiri. Ia akhirnya ditangkap bersama tiga rekannya (Nazir Pamontjak, Ali
Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoaningrat) pada 23 September 1927, dengan
tiga tuduhan: menjadi anggota perhimpunan terlarang; terlibat dalam
pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Tetapi akhirnya
ia dibebaskan 22 Maret 1928, karena semua tuduhan tidak terbukti. Toh
penangkapan di Den Haag itu hanya bagaikan prolog dari penangkapannya di Betawi
dan pembuangannya ke Tanah Merah, Papua, 28 Januari 1935. Sekitar satu tahun
kemudian dia dipindahkan ke Banda Naira.
Banyak orang
bertanya, apakah dengan demikian Bung Hatta tidak menyia-nyiakan hidupnya;
apakah ia tidak memubasirkan pendidikannya yang sampai sebelas tahun di Negeri
Belanda? Dari mana pula daya tahannya untuk berkorban dan menderita, meskipun
ketika ia diasingkan ke Tanah Merah dan Banda Naira, ia tidak dapat meramalkan,
kapan pembuangan itu akan berakhir? Setidaknya, sebagian jawabnya dapat dibaca
dalam tulisan Bung Hatta sendiri, berjudul “Pendidikan” di majalah Daulat Ra’yat 20 September 1932. Ia
menjelaskan mengenai prinsip Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). “Memang,
kita mau ‘bersekolah’ dahulu; bersekolah untuk membentuk budi dan pekerti;
bersekolah dalam memperkuat iman. Ternyata dalam riwayat yang baru lalu, budi
pekerti dan iman itu yang paling perlu bagi pergerakan kita. Tidak perlu tepuk
dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahun menahan sakit”. Dalam
pembicaraannya dengan beberapa kader PNI Baru di Bandung pada akhir September
1932 pun ia menegaskan perlunya mendidik kader yang tahan uji dan yang mampu
memberi contoh, termasuk contoh berani masuk bui dan dibuang.
**
Dalam masalah
iman, Hatta nampak mencatat dan menghayati betul nasihat yang diwariskan oleh
Datuk Syekh Abdul Rahman, ulama besar di Batuhampar (dekat Payakumbuh), ayah
dari Haji Muhammad Djamil, ayah Bung Hatta yang sudah meninggal sewaktu berusia
30 tahun dan Bung Hatta sendiri baru berumur delapan bulan. Meskipun Bung Hatta
sendiri juga tidak sempat berjumpa dengan Datuk Syekh Abdul Rahman, yang sudah
tutup-usia sebelum Hatta lahir, namun ajaran-ajaran almarhum sampai juga kepada
Hatta, khususnya lewat putera tertua Syekh Abdul Rahman, yakni Haji Arsad, yang
menggantikan ayahnya menjadi Syekh Batuhampar. Di antara nasihat yang
diwariskan oleh Syekh Abdul Rahman dan dicatat oleh Bung Hatta dalam Memoirnya,
adalah berikut ini: “Allah tidak kekurangan suatu apa pun, tidakk kurang
hormat, tidak kurang kebesaran, tidak ingin disembah dan dipuji. Sembah dan
pujian kepada Allah tidak lain maksudnya daripada didikan kepada diri sendiri,
supaya menjadi orang yang baik dan cinta kepada yang benar yang ditunjukkan
Allah; kepada yang adil dan jujur, dan kasih antara sesama manusia. Takut
kepada Allah, ujudnya menjauhkan yang jahat dan salah. Mengabdi kepada Tuhan,
ujudnya supaya pikiran dan minat tertuju kepada segala perbuatan yang benar,
adil dan baik, dan meninggalkan segala yang curang dan buruk yang merusak
akhlak. Selama ia hidup di dunia ini manusia hendaklah mencoba sedapat-dapatnya
berbuat menurut sifat dan budi yang dipujikan kepada Allah yang Pengasih dan
Penyayang dan Maha adil.
Petunjuk itu, yang
tentunya didalami dan dihayati benar-benar oleh Bung Hatta sepanjang hidupnya
dan di tengah berbagai macam cobaan, kiranya dapat memberinya keteguhan iman.
Dari nasihat itu pula, dapat ditimba sikap toleransi kepada sesama, sehingga
nasionalisme Hatta pun adalah nasionalisme yang mencakup-menyatukan semua unsur
masyrakat Indonesia, sesuai dengan prinsip persatuan serta solidaritasnya
beginsel-program Perhimpunan Indonesia 1925 dan kebangsaannya Pancasila. Baik
dicatat pula dalam hubungan ini jawaban Bung Hatta ketika ditanya oleh Dr.
Zainul Yasni, apa sebenarnya yang mendorong Bung Hatta untuk merencanakan
pembentukan Partai Demokrasi Islam pada tahun 1966? Jawabnya: “Tujuan pokoknya
adalah untuk mendidik umat Islam di Indonesia, bagaimana sebaiknya berpartai
dengan azas Islam di dalam suatu kehidupan demokrasi yang bertanggung jawab
dalam suatu negara yang berdasarkan Pancasila”.
Karena itu pula,
Bung Hatta pun tidak dapat menyetujui pendirian kaum Padri, yang menyebabkan
perang di Sumatra Barat sekitar 1823-1842. Ia menulis dalam Memoirnya: “Perang
Padri berasal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Guru-guru agama yang
baru kembali dari Mekah, yang terpengaruh di sana dengan sikap keras dan murni
Kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai
perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih dan mengisap
cerutu. Beberapa bagian dari hukum dianggap mereka bertentangan dengan
hukum-hukum Islam. Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam
ialah damai. Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar
rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad
s.a.w. membiarkan berlaku hukum kebiasaan yang berlaku di Tanah Arab yang
menjamin keselamatan umum. Tetapi menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru
dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan
akhirat, lebih fanatik dari Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama. Pertentangan kaum pemangku agama yang menyebut diri mereka
kaum Padri dan kaum adat dipergunakan oleh orang Belanda untuk meluaskan
kekuasaannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
**
Pendidikan bangsa
menjadi salah satu obsesi Bung Hatta dalam konteks memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Agar para warga bangsa menyadari hak-haknya, yakni berdaulat sebagai
rakyat, dan mempunyai harga diri sebagai manusia sehingga tidak mau dijajah,
maka diperlukan lah pendidikan. Dalam hal ini salah satu inspirasinya datang
dari seorang ahli pendidikan atau pedagog Denmark, Grundtvig, dengan sistem
Volkschochshule-nya atau “Sekolah Tinggi Rakyat” (Volkshochschule). Disebut “Sekolah Tinggi”, karena dalam lembaga
itu hanya hal-hal yang tinggi nilainyalah yang ditampilkan. Dan disebut
“Sekolah Tinggi Rakyat”, karena ditujukan kepada seluruh masyrakat. Tujuannya
adalah menciptakan budaya rakyat nasional yang pada lapisan atasnya didorong
setinggi mungkin kualitasnya sejauh kemampuan yang dapat dicapai oleh manusia,
tetapi yang lapisan dasarnya homogen, dan dapat dicapai oleh siapa pun. Jalan
yang ditempuh ke arah itu ialah pendidikan kepribadian, sebab hanya kebebasan
atau kemerdekaan yang bersemayam di kedalaman kalbu kepribadian manusialah yang
mampu mengembangkan kesadaran-budaya.”
Berpola pada
tujuan Volkschochule itu,
Perhimpoenan Indonesia dalam upayanya membebaskan rakyat Indonesia dari usaha
pembodohan oleh kekuasaan kolonial, berhasrat pula menyelenggarakan pendidikan
massal yang berorientasi pada pendidikan karakter. Akan diusahakan pula
mengangkat tingkat intelektual rakyat, dan cakrawala wawasannya dengan
menyelenggarakan kursus-kursus di bidang sejarah, politik dan sebagainya,
seperti yang kemudian dilaksanakan oleh PNI Baru. Tetapi kegiatan itu terhenti
setelah Bung Hatta sendiri ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, disusul
terjadinya invasi dan pendudukan Jepang, dan kemudian berkobar revolusi
Indonesia melawan Belanda. Pada jaman Orde Lama diselenggarakanlah di
sekolah-sekolah dan di kursus-kursus indoktrinasi Manipol-Usdek; demikian pula
di jaman Orde mendidik rakyat semua lapisan supaya menjadi warganegara yang
baik. Akan tetapi kenyataannya indoktrinasi itu hanya menjadi bahan ejekan.
Baik pelajar; para mahasiswa, maupun warga masyarakat lainnya diharuskan
mengikuti indoktrinasi itu, yang bahan-bahannya harus dihafalkan tanpa
perubahan, karena memang tidak boleh disangsikan kebenarannya, apa lagi
dibantah. Maka tidak terjadilah pembentukan karakter dan pengembangan budaya
bangsa. Sehingga pada jaman yang disebut “reformasi” pun tertib kehidupan bernegara
dan bermasyarakat malam semakin memprihatinkan. Sehingga cita-cita yang
dikemukakan oleh Bung Hatta pada akhir Konferensi Meja Bundar; bahwa negara
kita tidak saja akan menjadi negara hukum, tetapi juga negara kultural, sampai
sekarang belum kunjung terwujud. Untuk dapat disebut sebagai sebuah negara
kultural, maka tingkat kehidupan intelektual, spiritual dan emosional bangsa
Indonesia harus sudah mencapai tataran “berperadaban” di segala bidang.
**
Masih ada satu
lagi obsesi Bung Hatta dalam konteks upayanya mewujudkan Indonesia Merdeka.
Yakni, terciptanya kesejahteraan rakyat dengan cara selfhelp atau berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Wahananya
adalah terutama gerakan koperasi. Bung Hatta menyatakan dalam tulisannya
“Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, bahwa sejak jaman penjajahan
Belanda, cita-cita koperasi sudah dipandang sebagai jalan yang terbaik untuk
membangun berangsur-angsur ekonomi rakyat yang lemah. Orang sudah membaca dan
mengetahui contoh-contoh yang diperlihatkan oleh kaum buruh di Inggris dan kaum
tani di Denmark pada abad ke-19.
Bung Hatta-lah
kiranya yang berperan besar atas lahirnya pasal 33 UUD 45, walaupun ide
koperasi itu sendiri tidak berasal dari Bung Hatta. Dengan koperasi, yang
meletakkan titik-berat pada usaha bersama, kata Bung Hatta, orang belajar
mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri, melaksanakan selfhelp dan oto-aktivitas beserta
solidaritas, setia kawan dan tolong-menolong. Itulah azas kekeluargaan. Istilah
“kekeluargaan” sebenarnya berasal dari Taman Siswa, untuk menunjukkan keakraban
hubungan antara para guru dan murid-muridnya sebagai satu keluarga. Koperasi
Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.
Meskipun demikian
bagus cita-cita koperasi, dan Pasal 33 UUD 45 malah memandang koperasi sebagai
“sokoguru ekonomi Indonesia”, tetapi mengapa sampai sekarang koperasi justru
terdesak oleh dua komponen lainnya dalam perekonomian Indonesia? Komponen
pertama adalah “usaha negara” yang diberi kepercayaan untuk mengelola cabang-cabang
produksi yang penting untuk negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Komponen kedua adalah “usaha swasta”, baik yang bermodal pribumi murni, maupun
yang bermitra-usaha dengan asing? Mengapa koperasi di Indonesia tidak ada yang
berkembang menjadi besar seperti yang dicita-citakan, sehingga seperti salah
satu contohnya yang terjadi di Swedia, mampu bersaing dengan pabrik bola lampu
Philips? Dengan membuat sendiri pabrik bola lampu, koperasi dapat menjual bola
lampu yang lebih murah daripada bola lampu bikinan Philips. Pabrik Philips
akhirnya gulung tikar.
Pada akhir
ceritanya mengenai pabrik bola lampu di Swedia itu, Bung Hatta menulis: “Jadi,
koperasi dapat menjadi tenaga koreksi bagi keganjilan-keganjilan dan
ketidakadilan. Tugas-tugas ekonominya yang rasional merupakan senjata yang
ampuh untuk membela kehidupan rakyat kecil. Koperasi punya disiplin dan dinamik
sendiri. Sandarannya adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah merupakan
kumpulan manusia, sedangkan uang faktor kedua. Sedangkan PT adalah merupakan
kumpulan modal.
Penjelasan Bung
Hatta itulah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Koperasi Indonesia
tidak berjalan baik, karena tidak adanya orang-orang, atau sangat sedikit
jumlah orang, yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi tulang-punggung kegiatan
koperasi. Sistem pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh “Sekolah Tinggi
Rakyat” di Denmark, dan yang sudah didaptasi oleh PNI Baru, meskipun hanya
sebentar, penting pula untuk menyiapkan kader-kader koperasi. Hakikat sistem pendidikan
ini adalah pendidikan karakter; pendidikan kultural, yang mengajak para
anak-didiknya menjadi manusia-manusia berperadaban; yakni manusia-manusia yang
matang secara intelektual, emosional dan spiritual.
Jakarta, 26 Juni
2002