Sabtu, 28 Mei 2016

Ada Apa Dengan Ibra?



Pada 1913 Ibrahim menerima gelar Datuk Tan Malaka dalam adat Minang. Pesta penobatan digelar sebagai penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi sekaligus pesta perpisahan Ibrahim yang hendak berangkat merantau melanjutkan sekolah guru di Haarlem. Sinah, ibu Ibrahim padahal juga telah menyiapkan jodoh untuk perkawinan Ibrahim, tapi Ibrahim menolaknya.
Penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya karena telah ada gadis di hatinya yaitu Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur – guru bahasa Melayu di Kweek yang membantu Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe pada 1901.
Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool 1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16 orang. Syarifah menjadi ‘kembang’ karena satu-satunya perempuan di sekolah, dan Ibrahim satu dari tiga siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan halangan bagi sang Datuk untuk melupakan Syarifah. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. “Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu kata Syarifah kepada Harry A. Poeze sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan dimana keanehan orang yang menaksirnya itu.
Pada 1916 Syarifah kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir. Menurut anekdot di kalangan keluarga dan sejarawan, Tan Malaka menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya.   
Pada 1919 Tan Malaka pulang dari Belanda, tetua adat Pandan Gadang “melelang”-nya dalam upacara perjodohan, Tan menolak banyak pinangan. Dia mampir sebentar di kampung halaman untuk berpamitan hendak bekerja menjadi guru di perusahaan perkebunan di Deli. Setelah bekerja selama dua tahun dan mengalami kematian spiritual di Deli, Tan Malaka memutuskan pindah ke Semarang untuk menyongsong hidup dan kematiannya yang disebut Poeze “lebih dahsyat ketimbang fiksi”.
Pada 1924 Wiranatakoesoema menceraikan Syarifah karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Syarifah menjadi janda dengan tiga anak. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Tan mendatangi Syarifah dan meminang Syarifah yang sudah menjadi “mamah muda”. Tapi lagi-lagi cinta  Tan Malaka ditolak. Mungkin saja Tan Malaka  kala itu melihat sosok Syarifah yang merupakan mamah muda malah tampak lebih menarik dibandingkan waktu sama-sama belajar di Bukittinggi layaknya Dian Sastro yang sekarang, Mamah muda beranak dua dibandingkan Cinta yang gadis SMA. Dian tampak jauh lebih matang, lebih utuh sebagai seorang ibu dan percaya diri.
Sesudah Proklamasi 1945, tersiar Tan Malaka punya hubungan serius dengan Paramitha Rahayu Abdurrachman yang berusia 25 tahun yang merupakan keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Umur mereka kala itu terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, Paramita yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan.
Paramita ‘Jo’ Abdurrachman memperkenalkan diri kepada Tan Malaka sebagai tetangganya yang tinggal di halaman rumah Soebardjo. Sesudah Tan Malaka pergi dari sana pun ia masih bertemu dengannya berkali-kali, dan Paramita yang mempunyai perasaan kasih memberi lebih banyak pengertian kepadanya. Jo bercakap-cakap lama dengan Tan Malaka, dan mendapat kesempatan untuk mengenal lebih baik sosok misterius dan tokoh sejarah ini, pada bulan Agustus dan September 1945 yang revolusioner dan menegangkan. Menurut Paramita, Tan Malaka seorang yang jujur dan dalam hal tertentu naif. Tidak banyak orang yang dikenalnya. Tapi di antara mereka yang dikenalnya itu ia menaruh kepercayaan yang sangat besar. Sementara itu Tan Malaka melihat mereka, yang dikenalnya dari sejak masa lalu pun, seakan-akan ide-ide mereka masih tidak berubah.
Kehidupannya selama bertahun-tahun sebagai orang buangan telah memberi cap yang mendalam baginya. Ia tidak bisa membebaskan diri dari perasaan selalu dibuntuti. Setiap kali melihat orang yang belum dikenalnya, reaksinya pertama ialah melarikan diri atau menghilang. Terhadap orang-orang yang tidak dikenal ia hanya mau berkenalan melalui orang yang telah dikenalnya. Karena sudah terbiasa hidup sebagai pelarian politik, ia tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari kehati-hatian yang berlebihan – yang sudah menjadi kompleks trauma. Kecurigaan sangat menjadi kendala bagi fungsi politik dan kemasyarakatannya, dan membawa orang-orang yang sehaluan pada keadaan putus asa.
“Ia seorang yang pesimistis, fatalistis – menjauhkan diri, tidak lagi bisa berteman...Ia tidak bisa lagi hidup lumrah menuruti kehidupan yang teratur. Sungguh sangat tragis. Ia terlalu cepat curiga terhadap orang baru siapa saja. Sangat sulit bagi para pengikutnya yang masih muda. Mereka tidak boleh ke sana, tidak boleh ke sini. Suatu kompleks ketakutan. Ia memandang kejadian-kejadian yang sangat wajar sebagai penghianatan”
Untuk kehidupan yang wajar ia tidak lagi mempunyai syarat. Ia tidak mempunyai sesuatu apa pun selain pakaian, yang merupakan pemberian dari kawan-kawan taruhan dan cara hidupnya dipengaruhi sama sekali oleh cita-cita politiknya: pembebasan rakyat Indonesia. Ia tolak segala kemewahan kesenangan yang akan merugikan cita-citanya, atau menyebabkan menyimpang dari cita-cita itu. maka ia mencela Jo makan di restoran dan bahkan juga menolak makan Soebardjo yang secara Belanda. Cintanya pada musik tidak berkuran, dan bersama Jo – yang bisa bermain musik piano sangat bagus – serta Soebardjo – yang violis berpendidikan – mereka sering berbincang tentangnya. Tan Malaka meninggalkan hobi bermain musik, karena harus mengorbankan tugas politiknya. Namun demikian, ia begitu senang mendengarkan permainan Jo, terutama untuk Schubert. Tapi ketika Jo berhasrat untuk menempuh karir di bidang musik, Tan Malaka tidak menyetujuinya. Tan mengutip perkataan Napoleon: “Musik akan menuntut korban cita-cita revolusioner”, begitulah ia menanggapi ambisi Jo dan karenanya mereka berdua tidak sejalan. Jo harus mengambil pilihan. Bagi Jo ikatannya yang kuat dengan Tan Malaka berarti penyerahan sebagian besar kepribadiannya sendiri. Tan Malaka menuntut kepasrahan tanpa syarat. Tan Malaka tidak hanya melihat Jo sebagai individu, tetapi sebagai personifikasi dari perempuan Indonesia. Berkali-kali Tan Malaka minta kepada Jo agar berteladan kepada Rosa Luxemburg atau Henriette Roland Holst. Tan Malaka sendiri seorang yang ‘tangkas, brilian, tajam, terbuka, dan sama sekali Barat’, demikian menurut Paramita
Situasi politik membuat Tan harus meninggalkan tumpangannya di paviliun rumah Soebardjo di Cikini. Hubungan Tan dan Paramita pun retak. Kata Paramita kepada Poeze, “Tan Malaka orang yang hidup tak normal. Dia kelewat besar buat saya. Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.”
Ironisnya, ibu Paramita tak lain teman karib Syarifah Nawawi. Minarsih Soedarpo Wiranatakoesoeman, anak bungsu Syarifah, dengan Paramita sama-sama aktif di Palang Merah Indonesia. Minarsih mengatakan “Ibu saya cuma bilang kenal Tan sewaktu di Kweekschool.”


Sekolah Tan Malaka



1.      Pengalaman Tan Malaka Sebagai Guru Di Deli

Surat kabar Sumatra Post 15 Desember 1919  menulis berita kedatangan Ibrahim Tan Malaka kembali di Hindia untuk bekerja sebagai guru di salah satu sekolah perkebunan perusahaan Senembah.
Di Negeri Belanda Tan Malaka ketika itu merupakan pejabat sementara NIP di Negeri Belanda menggantikan Suwardi Surjaningrat (yang dikenal kelak sebagai Ki Hajar Dewantara),.
Dalam suatu brosur Sekolah Senembah Medan, dijelaskan apa sebab sekolah itu didirikan dan apa tujuannya. Pikiran yang sama dapat ditemukan dalam tulisan Dr.Janssen. Indonesia dan orang Barat di majalah Indische Gids tahun 1922.
Untuk diterima sebagai murid, usianya harus sedikitnya delapan tahun.
Kursus itu berlangsung empat tahun. Untuk mengikuti kursus itu harus ada permintaan dari orang tua yang secara pribadi bertanggung jawab atas kehadiran anak-anak mereka secara teratur di sekolah.
Pada pagi hari di samping pendidikan konvensional, juga dilakukan pekerjaan selama satu jam di kebun sekolah. Di sini anak-anak belajar bagaimana harus memelihara kebun dengan rapi. Sayur mayur yang ditanam di sini dibagi-bagikan di antara para murid.
Pada sore hari sepenuhnya diisi dengan pekerjaan di perkebunan, dengan maksud supaya diadakan pekerjaan produktif yang dibayar dan anak-anak belajar melakukan pekerjaan yang menambah ketrampilan mereka dan mempertinggi ambisi mereka untuk bekerja di perkebunan setelah tamat sekolah.
Pekerjaan-pekerjaan ini berupa menganyam keranjang. Menyusun atau menyortir, mengumpulkan dan menyusun tembakau, mencari ulat bulu dan bagi anak-anak perempuan pekerjaan tangan biasa dan membatik. Anak-anak juga dapat melakukan pekerjaan di kantor atau membantu tukang kayu.
Tetapi terjadi pula kesulitan dengan kehadiran secara teratur anak-anak itu ke sekolah. Mereka menjadi lebih rajin ketika pada pagi hari mereka diberi sarapan hangat.
Di tiap sekolah ada lapangan untuk bermain-main, berikut alat-alat olah raga.
Pendidikan konvensional seluruhnya diberikan dalam bahasa Jawa. Baru pada permulaan tahun pelajaran kedua diberi pelajaran dalam bahasa Melayu selama setengah jam setiap harinya di kelas. Titik berat diletakkan kepada adat, tertib, disiplin dan kerapian. Guru harus memahami kebiasaan buruk seperti perjudian dan kurang memelihara kebersihan serta mengembangkan sifat-sifat yang baik.
Maksud pendidikan seharusnya ialah mendidik anak-anak sehingga menjadi orang-orang yang senang bekerja, dan lebih banyak pengetahuannnya dan kemampuannya daripada apa yang pernah dapat diperoleh orang tuanya, tetapi maksud utama pendidikan seharusnya ialah mendidik para murid menjadi orang-orang yang baik dan bajik. Orang-orang dengan hati baik dan itikad baik dan kekuatan untuk mewujudkan itikad baik itu menjadi perbuatan-perbuatan yang baik. Pendidikan ahlaklah yang menjadi tujuan yang terutama.
Baru pada tahun 1921 didirikan suatu sekolah pendidikan untuk guru-guru  pembantu. Sepuluh murid yang terbaik dari 14 atau 15 tahun tinggal di sebuah asrama di Tanjung Morawa. Mereka dididik dan kadang-kadang memberi pelajaran sendiri.
Pada tahun 1922 sudah ada dua belas sekolah perkebunan dengan jumlah murid 581 murid seluruhnya.
Akhirnya sekolah Senembah ini didirikan supaya para pekerja tetap terikat pada perkebunan, setelah poenale sanctie, yang direncanakan akan dihapuskan benar-benar sudah terhapuskan.

2.      Di Semarang

Tan Malaka mengeluarkan buku yang berisi maksud dari percobaan Onderwijs (pengajaran), yang dirasanya cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang diberi nama SI school. Hampir semua lid SI Semarang kenal sama SI school.
Baru saja sekolah dibuka, Surabayasch Handelsblad (Harian perdagangan Belanda yag terbit di Surabaya) menulis: “Hai, pemerintah awasi sekolah SI itu”. Wakil pemerintah di Semarang (Ass.Resident) sudah melarang membikin pasar derma, yang selamanya ini boleh dilakukan, melarang anak-anak kromo meminta darma.
Larangan mencari dana untuk memperbaiki sekolah ini menimbulkan protes besar pada tanggal 13 Nopember ini, pada Rapat Pertemuan SI yang dikunjungi oleh kira-kira 5000 orang lelaki dan 4000 orang perempuan.
Sebagai perbandingan pentingnya masalah SI School ini bisa dilihat dari lamanya waktu yang dihabiskan dalam pertemuan SI. Perkara tanah yang juga penting buat Rakyat Semarang cuma memakan kira-kira 1 jam, sedangkan perkara Perguruan SI itu ada menghabiskan waktu kira-kira 2 ½ jam.
Selama Tan Malaka tinggal di Semarang, belumlah pernah dia menyaksikan suara yang begitu tajam dan keras, baik dari pihak pengurus ataupun Anggota-anggota SI. Sikapnya Rapat pertermuan SI tadi seolah-olah seekor burung, yang anaknya disambar Elang. Di dalam di luar Rapat Pertemuan di desa-desa, Tan Malaka mendengar: SI school mesti terus.
Ya, SI school mesti terus, inilah jawab kita.

Apa tujuan didirikannya SI School:
1.      Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
2.      Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging).
3.      Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo.
4.      Kalau cukup modal segera akan diajarkan bertukang pada anak yang besar-besar anak-anak Jawa yang cukup berbakat dalam bertukang dan ukir-mengukir agar bisa membikin bangku, meja, kursi dan lain-lain. Maka hasil pekerjaan itu akan dijual oleh murid-murid sendiri. Pendek kata urusan pertukangan dan administrasi akan jatuh ditangan murid-murid. Sama sekali dengan peraturan koperasi.  Cita-cita ini sudah menggemparkan SI school dan anak-anak bertanya : “Kapan, kapan dimulai”. Anak-anak bisa hidup merdeka, baik di sekolah, ataupun kelak. Kalau mau menyingsingkan lengan baju, tiadalah kelak perlu mengemis pada dan jadi budaknya kaum modal.


Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai hal organisasi, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan organisasi tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan hidup.
Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu SI School membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, SI School menunjukkan akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum melarat.

Dalam perkumpulan SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.

3.      SEKOLAH TENGAH (Sekolah Guru SI):
Dari Murid, Oleh Murid, Untuk Murid.

Keberhasilan SI School di Semarang yang awalnya sebagai sebuah sekolah percontohan yang tidak hanya memberikan pengajaran saja tapi juga mempertimbangkan hal haluan didikan perguruan, segera muncul permintaan dari kota-kota di luar Semarang, yang mau mendirikan sekolah serupa.
Sudah ada tiga atau empat kota yang sudah meminta pada SI Semarang, supaya diadakan dan diatur pula sekolah-sekolah SI. Kota-kota itu sudah siap murid, siap bangku sekolah dan perkakas yang lain-lain. Cuma belum siap akan gurunya.
Perkara guru itu penting sekali. Jarang guru keluaran kweekschool, yang mau atau berani memihak pada SI School, kalau memihak, ialah karena gaji saja, bukan karena hati atau haluan pendidikannya.
Karena kekurangan pasokan guru inilah, maka SI School mendidik juga guru buat SI School itu yang dinamakan  “Sekolah Tengah”. Tan Malaka sudah memulai Pekerjaan ini, jadi tidak tinggal dalam pikiran saja lagi.
Setiap sore (sementara ini baru 3 x satu minggu saja) di kantor SI diadakan kursus mengajar murid-murid SI yang kelas V, VI, dan VII (jadi murid-murid yang berumur dari 15 tahun ke atas) menjadi guru.
Murid-murid itu biasanya kebetulan keluaran sekolah kelas II (Sekolah ongko loro, sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan), jadi sudah menerima pengajaran dalam berbagai-bagai kepandaian.
Dalam kepandaian yang tersebut dan dalam bahasa Belanda mereka tiap-tiap pagi dari pukul 8.00 – 13.00 dapat pelajaran.
Sebab ia lulusan kelas II tadi, maka ia biasanya lekas sudah berhitung, menulis dan sebagainya. Jika ia menguasai, maka ia segera disuruh menolong mengajar di kelas rendah SI School yakni pada anak-anak yang baru masuk sekolah.
Jadi murid-murid yang besar-besar tadi tiap-tiap hari boleh belajar mendidik, tidak dalam teori saja, malah juga dalam praktek.
Murid-murid di atas dari kelas 5 yang lulusan (Sekolah ongko loro, sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan), dan berumur lebih dari 15 tahun adalah seperti di bawah ini :
Dari pukul 8.00 – 13.00  ia meneruskan pelajarannya di sekolah. Karena ia lekas sudah mengerjakan tiap mata pelajaran, maka selama waktu ¼ jam, ia disuruh membantu guru-guru SI di kelas I dan II (Semacam guru bantu).
Tiap-tiap sore murid-murid besar itu diberi ilmu pendidikan (pedagogi), supaya teorinya buat mengajar semacam guru.
Dalam waktu yang tidak terlampau lama, Tan Malaka sudah mempercayakan pengajaran kelas I sama sekali kepada anak-anak yang sudah kena kursus itu.
Sesudah tiga atau empat tahun lagi barulah kursus sore itu bisa diatur semacam kweekschool yakni dikasih pengajaran sama tinggi dengan kweekschool Gouvernement. (Tan Malaka sendiri juga sudah keluaran Kweekschool Gouvernement itu).
Tetapi sebab permintaan kota-kota yang lain-lain di atas tadi, maka dari sekarang SI School Semarang mesti bersiap, antara lain membicarakan gaji murid-murid keluaran kursus tadi. Kalau sekolah maju dan muridnya bertambah-tambah, tentu gajinya guru keluaran kweekschool SI bisa sempurna.
Jadi Pemuda-pemuda keluaran kursus SI Semarang, bisa jadi guru di SI school lain-lain. Buat anak-anak tamatan Sekolah kelas II (Sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan) juga diterima buat memimpin Rakyat, baik yang kecil, baik yang besar.
Karena sesudah sekolah, maka guru-guru SI school bisa membela perkumpulan politik atau Serikat Kerja, ilmu-ilmu mana di SI school sudah dipelajarai teori dan prakteknya.
Tan Malaka melihat berapa perlunya perguruan di Hindia ini tiadalah bisa diperdebatkan lagi. Tan Malaka memprediksi Berapa banyaknya kota-kota yang bisa SI School rebut sekolahnya sudah terang karena bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak akan bisa dalam 10 tahun ini memberi pengajaran pada 50 % anak-anak saja. Di Jawa saja baru kira-kira 2 % orang keluaran sekolah Pemerintah.
Buat SI School yang memihak pada Rakyat masih besar pasar yang bisa direbut. Makin lekas SI School bergerak dengan mempersiapkan murid, guru dan sekolah makin lekaslah  maksud dan tujuan tercapai. Kalau kaum Rakyat bekerja keras semacam ini, dalam 10 atau 15 tahun sudah bisa terlihat hasilnya pekerjaan tersebut. Sudah bisa beribu kaum yang tepelajar, yang pandai mengerti dan memihak dengan pikiran dan jiwanya pada Rakyat.
Peraturan perguruan  semacam ini tidak mimpi saja, tetapi bisa menjadi dan harus tercipta. Berulang-ulang sudah diterangkan, bahwa dari pemuda-pemuda keluaran sekolah Pemerintah tidak bisa diharapkan besar memberi pertolongan buat pergerakan Rakyat. Seperti sudah diterangkan di atas, anak-anak yang sebagian besar keluaran Kweekschool SI bisa dapat pekerjaan di perguruan SI. Selain daripada sekolah, sumber daya manusia SI tentu akan lebih suka mengambil lulusan SI School untuk bekerja di organisasi mereka.
.
Anak-anak lulusan SI school, yang mau meneruskan pengajaran pada “Sekolah Teknik Pemerintah” dan sebagainya, tentu dari pihak SI School tak akan dapat halangan, malah akan didukung agar mereka sanggup lulus menempuh ujian masuk.
Pada waktu itu pun rupanya sudah ada satu dua anak-anak yang diterima di HIS pindahan dari SI School. Jadi rupanya pintu HIS Gouvernement, tidak ditutup buat anak-anak SI school.
Sebaliknya, sekolah SI tidak perlu takut akan menjadi kosong. Anak-anak keluaran Sekolah kelas II (Sekolah ongko loro, Sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan) berumur 12 - 13, adalah bibit sejati karena tidak akan bisa diterima oleh Pemerintah.

“Lagi pula tiap-tiap minggu Kromo membawa anaknya pada kita, dan tiap-tiap minggu anak-anak minta keluar dari partikulir 1-1, dan masuk pada sekolah kita. Katanya sebab pelajaran baik, bayaran lebih murah dan buat anak-anak ada bermacam-macam permainan dan perkumpulan. Kebenaran itu boleh kita buktikan, dengan keterangan, bahwa ada murid kita yang dari Cepu, dari Sragen (Solo), dari Jawa Barat dan lain-lain. Diantaranya ada yang minta keluar dari HIS Gouvernement.

Pendek kata, dalam berlomba mencari pasar, yakni merebut mendidik sekalian anak Kromo, SI tak perlu khawatir. Makin besar dan banyak sekolah-sekolah kita dirikan, makin lekas kita sampai di padang kemajuan.
Kalau Sekolah rendah sudah cukup, maka niscaya kita dengan pertolongan SI bisa mendirikan Sekolah tengah. Kalau sudah ada umpamanya 6 sekolah rendah, dan sekolah-sekolah itu diatur dari central, maka tiadalah akan susah bagi tiap-tiap sekolah mengadakan fonds (dana) kira-kira f 100 sebulan, sehingga sesudah 5 tahun saja sudah bisa ada uang kira-kira f 40.000,- Dengan derma dan uang itu boleh ditambah-tambah. Sesudah 5 atau 6 tahun SI school berdiri, yaitu sesudah kira-kira ada anak-anak yang mesti keluar, maka anak-anak itu boleh meneruskan pengajarannya di sekolah tengah SI ambachtsschool umpamanya.

Peraturan batin ambachtsschool itu kita mesti pegang sendiri (buku-buku baca, ilmu bumi, babad, dan sebagainya). Hanya perkara bertukang atau tehnik kita serahkan pada guru-guru yang biasa. Guru ini mudah saja didapat. Di negeri Jepang, Swedia, atau Swiss ribuan orang yang pandai dan mau meninggalkan engeri, kalau ada penghidupan yang sempurna di negeri lain. Juga di Hindia ini lambat launnya akan timbul pemuda-pemuda yang rela memihak pada kita. Ringkasnya perkara guru itu (tehnik) kita tak perlu sekejappun cemas, asal ada uang di Kas.
Pun buat anak-anak keluaran ambachtsschool atau sekolah tengah lain-lain itu, adalah akan mudah juga jalan penghidupan, asal didikannya kerakyatan. Asal masih ada Rakyat dan pergerakan di Hindia ini, maka bagi pemuda-pemuda itu akan cukup pekerjaan. Bersambung dengan Rakyat dia akan bisa memimpin Koperasi dalam pertukangan umpamanya. Lagipun di tempat lain-lain tentu ia bisa dapat kerja, asal pintar dan rajin saja.

Demikianlah ringkasnya saja maksud kita tentangan onderwijs buat Rakyat. Barangkali reaksi dan musuh kita tak akan kurang terus memfitnah dan menghalang-halangi daya upaya kita. Nyata sudah, bahwa dari pihak pemerintah kita tidak akan mendapat bantuan. Jangankan bantuan, tetapi kemerdekaan pun tidak kita peroleh, yakni kemerdekaan seperti pada tiap-tiap orang atau vereeniging (partikulier dan zending) buat mendirikan sekolah yang cocok dengan haluan masing-masing.

Seperti Muhammadiyah, zending dan lain-lain di Hindia ini dapat kepercayaan dan bantuan lahir dan batin dari pihak pemerintah. Pada bulan Agustus tahun ini pemerintah sudah membenarkan statusnya “Vereeniging buat mendirikan dan menguruskan sekolah-sekolah Kristen untuk pendidikan / pengajaran tingkat rendah, menengah dan kejuruan di Jawa Tengah”.

Cuma kita campur meminta kemerdekaan seluas-luasnya, buat Perguruan, yang sepanjang keyakinan kita cocok dengan keperluan Rakyat, yang melarat, Perguruan mana juga oleh SI Semarang sudah di akui sah.

Tetapi seperti sudah disebutkan lebih dahulu, kita sudah dapat halangan keras, ketika SI mau mengadakan pasar derma, untuk memperbaiki sekolah saja. Juga baru-baru ini dilarang anak-anak mencari derma di desa-desa. Karena kita tidak mendapat subsidi, maka derma itulah saja jalan buat kita, untuk meneruskan daya upaya. Sehingga kalau derma itu dihalang-halangi, maka sama artinya dengan menghalang-halangi sekolah Serikat Islam.
Pendeknya, sekolah kita ada bisa segenap waktu dapat ancaman atau bahaya.
Terus atau tidak kita semata-mata bergantung pada SI. Kalau SI sama sekali mau mempertahankan bibit yang sudah kita tanam itu seperti SI Semarang (Bandung, Sukabumi, dll juga akan mau) maka halangan tentu semuanya terhindar. Sesudah tentu maksud kita gampang dan lekas sampai.
Buat kita sendiri sudah cukup bukti yang menerangkan, bahwa peraturan SI school Semarang, sudah dimufakati oleh beribu-ribu kaum SI. Hal ini mengeraskan keyakinan kita, bahwa jalan dan haluan kita lurus dan sah. Apa kehendak dan perbuatan kaum sama, kita tunggu dengan hati tetap. Ikhtiar kita, yaitu hendak menarik hati SI terhadap kepada didikan kita, sudahlah cukup hasilnya.
Kepercayaan Rakyat yang sudah diperoleh itu bagi kita laksanakan sesuatu Undang-undang yang kita akui sah dan terkuasa. Kepercayaan itulah saja yang mendorong kita dari belakang untuk berjalan terus, dengan tiada menoleh kiri kanan.

4.PENUTUP

Akhirnya Pemerintah Belanda melihat kemajuan yang didapat dari Perguruan SI ini sangat membahayakan bagi stabilitas kekuasaannya dan segera memutuskan untuk menangkap dan mengasingkan Tan Malaka.
Pada tahun 1922 Tan Malaka meninggalkan tanah air menuju ke Negeri Belanda. Baru 20 tahun kemudian di tahun 1942 Tan Malaka baru kembali lagi ke tanah air. Selama meninggalkan tanah air, Jiwa Tan Malaka sebagai guru tidak hilang. Dari hasil perantauannya Tan Malaka menulis banyak buku sebagai seorang Guru Bangsa.
Otobiografinya yang tiga jilid itu bisa dijadikan pelajaran bagaimana cara Mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia bagi pelajar hari hari ini.
Begitu juga pelajaran Ilmu Alam, Matematika, Logika dalam buku Madilog.
Metode Jembatan Keledai yang dikembangkan Tan Malaka juga dapat dipakai pelajar hari ini untuk membantu menghafal materi pelajaran.
Pengalaman Merantau Tan Malaka juga dapat dipakai sebagai pelajaran Antropologi mengenai Kebudayaan Minangkabau bagi pelajar Ilmu Pengetahuan Sosial.
Dan akhirnya semua buku dan tulisan Tan Malaka bisa dijadikan bacaaan untuk mempelajari Sejarah Nusantara dalam Pergolakan Sejarah Dunia.

SOEDIRMAN: PANGLIMA YANG MENEPATI JANJINYA


            Oleh Nugroho Notosusanto

Pada hari Minggu, 29 Januari 1950, di sebuah rumah peristirahatan di Magelang, Soedirman, Letnan Jenderal, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, menutup mata untuk selama-lamanya. Keesokan hari, jenazahnya diantar dengan iring-iringan menuju ke Yogyakart, ibukota perjuangan, untuk dimakamkan di sana.

Sepanjang route yang jaraknya 43 km itu rakyat berderet-deret di tepi jalan. Orang-orang sederhana keluar dari desa-desanya dan dengan berdiam diri memandang jenazah lalu. Ketika iring-iringan tiba di Yogyakarta, khalayak yang menunggu di sepanjang jalan kian menebal, hingga akhirnya di alun-alun utara berjubal-jubal. Jenazah diturunkan  sebentar untuk disembahyangkan di Mesjid Agung, tempat almarhum begitu sering melaksanakan ibadah.

Mereka yang menyaksikan tahap terakhir dalam perjalanan penghabisan almarhum, dari Mesjid Agung ke Taman Makam Pahlawan Semaki, tidak akan dapat melupakan suasana duka yang diaksentuasi oleh bunyi redup genderang yang disalut oleh kain hitam. Suasana yang hening, mengingkari hadirnya ribuan manusia yang berjejal-jejal, berhimpit-himpit di kedua tepi jalan.

Pada tempatnyalah jika orang bertanya, baik pada waktu itu maupun sekarang 27 tahun kemudian, mengapa tokoh yang kurus dan rapuh itu telah memperoleh tempat yang begitu hangat di dalam dada orang dari sekian banyak lapisan masyarakat, yang sebagian terbesar belum pernah melihat wajahnya pada suatu zaman yang belum mengenal televisi dan yang mempunyai pers yang masih sangat sederhana perlengkapannya? Mengapa orang yang baru empat tahun hadir pada pentas nasional dapat memperoleh tempat di sisi sekian banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang telah selama beberapa puluh tahun menjadi buah bibir khalayak ramai?

Dari kaki gunung Slamet

Sebagaimana banyak tokoh yang tampil dalam revolusi kita sejak 17 Agustus 1945, Soedirman berasal dari rakyat kecil. Ayahnya seorang mandor tebu. Ibunya juga wanita desa biasa. Namun, sejak bayi ia diangkat sebagai anak oleh pamannya, seorang asisten wedana atau camat.

Ia dilahirhan 24 Januari 1916 di desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga di kaki gunung Slamet, dan karena naungan nama pamannya dapat masuk ke Hollands-Inlandse School (HIS) yang hanya teruntuk/buat anak priyayi. Ia bahkan dapat masuk HIS Gubernemen, meskipun ketika tinggal setahun lagi pindah ke perguruan Taman Siswa untuk akhirnya  menamatkan pendidikan dasarnya pada sekolah swasta lainnya: Wiworo Tomo. Dalam perguruan ini pula ia melanjutkan studinya, yakni pada Meer Uitgebreid Large Onderwijs (MULO) Wiworo Tomo, sampai tamat. Dari pelbagai kesaksian dapat disimpulkan, bahwa dalam perguruan Wiworo Tomo ini, salah satu lembaga pendidikan nasional yang oleh pemerintah kolonial disebut dengan pejoratif wilde scholen atau “sekolah liar”, Soedirman memperoleh patriotismenya yang ternyata sangat intens.

Perguruan Wiworo Tomo itu diasuh oleh tiga orang yang meskipun mempunyai outlook yang berbeda-beda, yang seorang berjiwa nasionalis-sekuler, yang lainnya nasionalistis-konfensionil Islam dan yang ketiga berpendidikan Akademi Militer di Breda, Negeri Belanda, tetapi kemudian kecewa, namun sama-sama mengambil sikap non-kooperasi; artinya mereka menolak untuk bekerja dalam dinas kolonial. Dapat disimpulkan, bahwa ketiga orang itu meninggalkan kesan pada jiwa Soedirman, nasionalismenya, ke-Islamannya dan militansi militernya. Sebagai unsur human interest kiranya dapat disebutkan di sini, bahwa juga dalam perguruan ini Soedirman memperoleh jodohnya.

Kecenderungan-kecenderungan dalam jiwa Soedirman itu kemudian berkembang lebih jauh ketika ia memasuki kepanduan Hizbulwaton yang diasuh Muhammadiyah. Minatnya kepada Islam mendalam menjadi penghayatan yang serius, baik dalam bidang ajarannya maupun dalam ibadah. Minatnya kepada langgam militer dengan disiplin, tanggungjawab dan pengabdiannya, juga semakin menggores di dalam hidup kepanduan.

Ia kemudian menerjunkan diri ke pergerakan yakni dalam pemuda Muhammadiyah. Di sini ia dengan ketekunannya yang karakteristik, belajar dan menguasai teknik-teknik aksi terorganisasi dan lebih memperkembangkan lagi kemampuannya untuk memimpin manusia-manusia yang “sukar diatur” dengan daya persuasinya yang tenang dan berwibawa. Dan pada akhir pemerintahan kolonial Belanda, ia telah sampai pada pucuk pimpinan pemuda Muhammadiyah di Keresidenan Banyumas sebagai wakil ketua.

Bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah

Seperti juga seorang jenderal revolusi yang lain, yakni Vo Nguyen Giap, Soedirman pernah menjadi guru. Setamatnya dari MULO Wiworo Tomo ia diangkat menjadi guru pada HIS Muhammadiyah tempat ia mengembangkan kegemaran yang telah nampak waktu ia masih duduk di bangku sekolah, yakni bahasa Indonesia, ilmu pasti dan sejarah. Kegemarannya  kepada bahasa Indonesia tidak terbatas kepada penguasaan pasif, melainkan juga ia ungkapkan dengan penggunaan di dalam tugasnya sebagai muballigh maupun sebagai pemimpin pandu dan pemimpin pergerakan pemuda. Kegemaran kepada ilmu pasti pun tidak hanya berupa bahasa pelajaran bagi murid-muridnya, melainkan ia manfaatkan untuk mendisiplinkan cara berfikirnya, sehingga logis dan lugas, Dan akhirnya, kegemarannya kepada sejarah: ia tidak berminat kepada angka-angka tahun seperti yang masih menjadi porsi besar dalam pelajaran sejarah zaman itu. Melainkan imanjinasinya terbakar oleh tindakan-tindakan herois pejuang-pejuang Indonesia, maupun oleh tindak kepahlawanan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya. Ia juga sering mengisahkan peristiwa-peristiwa dalam Revolusi Perancis.

Sebagai guru ia meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan yang rumit secara gamblang. Suatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika ia memegang tampuk pimpinan organisasi yang terbesar di dalam lingkungan Pemerintah Republik Indonesia, yakni Angkatan Perang.

Zaman Jepang

Maka berakhirlah pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1942 dan mulailah pemerintahan pendudukan Jepang. Pada tahun 1943 pemerintah militer Jepang di Jawa mulai dengan pembentukan sebuah genjumin guntai atau pasukan pribumi yang digariskan oleh Daihon-ei atau Markas Besar Kemaharajaan di Tokyo. Di seluruh jajaran Tentara Umum Selatan, yakni komando mandala yang meliputi seluruh Asia Tenggara di bawah pimpinan Jenderal Besar Terauchi, mulai tahun 1943 itu dibentuklah apa yang diberi nama umum giyugun, tentara sukarela, baik di Sumatera, di Jawa maupun di Malaya dan Singapura.

Motivasi pihak Jepang dalam meng-otorisasi pembentukan pasukan-pasukan pribumi itu adalah pertama kali militer yang kemudian memperoleh aspek politik. Aspek militernya adalah bahwa pihak Jepang sudah kehabisan manpower karena rentang ofensif mereka terlalu luas, sehingga mereka memerlukan tenaga untuk tugas-tugas garnisun, terutama di Indonesia dan apa yang sekarang adalah Malaysia, yang pada waktu itu merupakan pangkalan logistik yang utama bagi usaha perangnya.

Aspek politisnya adalah, bahwa mereka harus memberikan suatu stake, suatu taruhan kepada rakyat yang negerinya mereka duduki, supaya secara maksimal membantu usaha perangnya, dan secara minimalnya tidak berontak terhadap mereka. Bahkan dia bangsa yang negerinya terletak di front, yakni Birma di Barat dan Filipina di Timur, telah sempat memberi mereka “kemerdekaan.” Sedangkan Indonesia baru diberi janji “kemerdekaan” di kelak kemudian hari” yang tidak pernah akan terpenuhi.

Karena aspek-rangkap ini, militer dan politis, pihak Jepang memilih tokoh-tokoh yang dianggapnya mempunyai pengaruh di daerahnya masing-masing untuk dijadikan pemimpin-pemimpin giyugun. Demikianlah untuk para daidancho atau komandan batalyon daripada Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA, sebagaimana giyugun di Jawa disebut, dipilih tokoh-tokoh terkemuka di lokalitasnya masing-masing. Dengan demikian Soedirman dipilih untuk menjadi salahsatu di antara 69 daidancho di Jawa Madura dan Bali.

Di dalam PETA inilah bertemu kebutuhan Jepang akan manpower dengan aspirasi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah tentara nasional. Menurut gambaran-diri atau self-image kebanyakan perwira Tentara PETA itu mereka adalah kader-kader bagi Indonesia merdeka yang ketika itu sudah dibayang-bayangkan. Sesuai dengan suasana keprajuritan pada waktu itu khazana nilai-nilai pewayangan dihidup-hidupkan untuk menjadi landasan mental para anggota PETA. Self image sebagai kesatria ini nantinya akan semakin berkembang ketika kemerdekaan benar-benar tercapai atas dasar kekuatan rakyat Indonesia sendiri, terutama sekali karena negara merdeka yang baru dibentuk itu langsung diancam oleh kekuatan-kekuatan yang hendak menghancurkannya.

Di dalam iklim yang sedemikian itulah Soedirman menempuh masa-akhir di dalam persiapan-dirinya untuk tugas-utama yang dipikulkan oleh sejarah di atas pundaknya. Pengetahuan dan keterampilan teknik-militer yang diperolehnya dari lembaga pendidikan perwira PETA di Bogor, sangatlah minim. Tetapi manfaat besar yang diperolehnya adalah kepercayaan kepada diri sendiri, baik diri-sendiri sebagai pribadi, maupun ia sebagai eksponen generasi muda bangsa yang secara intuitif dirasakannya sedang berdiri pada ambang kemerdekaan. Ketika kemudian ia memangku jabatannya sebagai komandan batalyon di Kroya, ia dapat memperoleh feeling atau “rasa” sebagai seorang pemimpin militer dalam suatu satuan yang relatif sungguh-sungguh. Dan ternyata ia merasa “mempunyai bakat” untuk berkecimpung di dalam dunia militer.

Revolusi dan Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh dua pemimpin senior Pergerakan Nasional Indonesia, yakni Sukarno-Hatta. Proklamasi itu mencetuskan Revolusi Indonesia yang berkobar sampai akhir 1949 tatkala eksistensi dan hak hidup selanjutnya Republik Indonesia diakui oleh keluarga bangsa-bangsa. Adalah wajar, bahwa revolusi itu maupun bangsa yang mengembannya, dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional yang telah berdaya dan berjasa di dalam mengantarkan “rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” sebagaimana dikatakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pemimpin-pemimpin pergerakan nasional itu dibesarkan dan digembleng dalam suatu perjuangan politik yang berat dan cukup lama, melawan kolonialisme Belanda. Seluruh pengalaman mereka adalah di bidang politik. Tidak pernah mereka merencanakan suatu perjuangan bersenjata, sebagaimana ditegaskan oleh Ir. Sukarno tatkala ia diadili oleh suatu mahkamah kolonial di tahun 1930.

Karena itu dapat dimengerti, bahwa mereka bersikap sangat hati-hati tatkala mereka lihat Republik Indonesia yang baru berdiri itu diancam oleh kekuatan-kekuatan asing yang hendak menghancurkannya. Mereka menggariskan suatu strategi nasional yang bersifat low profile, yang mencoba mengambil hati pasukan-pasukan Serikat yang mendarat di Indonesia. Mereka ingin benar-benar menghindari penampilan suatu image yang agresif dan militan pada pihak Republik. Sesuai dengan garis kebijaksanaan yang sedemikian itulah mereka tidak segera membentuk suatu tentara nasional.

Sikap itu berlawanan dengan persepsi generasi muda, yang berpendapat, bahwa justru karena terancam oleh pelbagai kekuatan asing, teramatlah perlu Republik Indonesia memiliki suatu kekuatan bersenjata. Pemerintah ternyata hanya bersedia membentuk suatu formasi bersenjata yang sangat rendah hati dan longgar organisasinya, yakni Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dari bawah dan dikendalikan secara lokal.

Reaksi para pemuda ada dua macam, mereka yang nampaknya lebih berselera politik, membentuk apa yang dikenal dengan sebutan badan-badan perjuangan, yakni organisasi-organisasi yang bergerak sekaligus di bidang politik dan di bidang militer (mungkin dapat dibandingkan dengan club-club dalam Revolusi Perancis seperti Jacobin dan Girondin) maupun laskar-laskar. Sedangkan pemuda-pemuda lainnya, terutama eks-anggota Tentara PETA, eks-heiho maupun yang eks-perwira tentara kolonial Belanda, segera membentuk satuan-satuan BKR di tempat tinggalnya masing-masing. Situasi ini berlangsung selama kurang lebih satu setengah bulan sejak Proklamasi. Tetapi kemudian Pemerintah menyadari, bahwa suatu tentara nasional bukanlah suatu tentara nasional bukanlah suatu luxe bagi Republik Indonesia. Mereka melihat, bahwa pasukan-pasukan Inggeris yang mewakili Serikat di Jawa dan Sumatera mulai melepaskan dan mempersenjatai kembali serdadu-serdadu kolonial Belanda, yang segera berlaku seolah-olah Hindia Belanda sudah berdiri kembali. Dan akhirnya nampak pula bahwa pasukan-pasukan Inggeris sedikit banyak mendukung pasukan-pasukan kolonial Belanda itu; bahkan, pasukan-pasukan Jepang yang seharusnya dilucuti, malahan dipergunakan untuk melawan kekuatan-kekuatan bersenjata Indonesia.

Pembentukan tentara nasional

Pada tanggal 5 Oktober 1945 Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat mengenai pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Untuk melaksanakan organisasi tentara yang baru lahir itu, ditunjuk Oerip Soemohardjo, Mayor pensiun dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), yang beberapa waktu sebelumnya bersama beberapa rekannya mengeluarkan pernyataan berdiri di belakang Republik Indonesia.
Oerip Soemohardjo, yang diangkat menjadi Kepala Markas Besar Umum dengan pangkat Letnan Jenderal, segera mulai melaksanakan tugasnya. Karena situasi keamanan nasional, ia memilih Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Markas Besar Umum TKR itu. Setelah satu setengah bulan meletakkan landasan organisatoris TKR, ia merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk memantapkan personilnya, dan untuk itu ia menyelenggarakan suatu konferensi di antara semua panglima yang ada untuk memilih pucuk pimpinan TKR. Pada konferensi itu yang terpilih menjadi Panglima Besar Angkatan Perang, adalah Soedirman.

Ketika revolusi meletus, Soedirman sedang dalam “panggilan” pembesar-pembesar militer Jepang di Jawa Barat. Ia bergegas pulang ke Banyumas dan di sana mengambil langkah-langkah untuk menyusun organisasi BKR. Ia terpilih sebagai Kepala BKR Keresidenan Banyumas dan kemudian bersama-sama Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo yang baru saja diangkat menjadi Residen Banyumas oleh Pemerintah Republik Indonesia, mengadakan diplomasi dengan komandan batalyon Jepang setempat. Sebagai hasil perundingan itu mereka memperoleh semua senjata-api yang ada di Karesidenan Banyumas tanpa harus memberikan korban nyawa.

Ketika Maklumat 5 Oktober dikeluarkan, sebagaimana juga kepala-kepala BKR dikaresidenan-karesidenan lain, Soedirman mentransformasi satuan-satuan BKR di Banyumas menjadi satuan-satuan TKR. Semua satuan TKR di Kerisidenin Banyumas itu dipersatukannya ke dalam satu formasi yang ditetapkan menjadi Divisi V Banyumas; Soedirman menjadi panglimanya dengan pangkat kolonel.

Meletakkan landasan-landasan kejiwaan TKR

Setelah terpilih menjadi Panglima Besar dalam bulan November 1945 itu, bulan berikutnya Soedirman diangkat dan dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia dengan pangkat Jenderal. (Ketika diadakan Rekonstruksi Rasionalisasi atau RERA pada tahun 1948, pangkatnya diturunkan menjadi Letnan Jenderal, yang kemudian dinaikkan lagi secara anumerta pada bulan Januari 1950). Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo telah terpilih kembali menjadi Kepala Staf, meskipun sesungguhnya ia telah diangkat oleh Pemerintah.

Maka sejak itu mulailah diletakkan landasan-landasan awal bagi kehidupan TKR sebagai tentara nasional bangsa Indonesia, Jenderal Oerip meletakkan landasan-landasan teknis-militer, sedangkan Jenderal Soedirman meletakkan landasan kejiwaannya. Tugas mereka tidaklah gampang: mereka tidak menghadapi situasi di mana “dari yang tiada” dibentuk “yang ada”. Satuan-satuan tentara sudah terbentuk secara spontan dan dari bawah dalam suasana revolusioner yang hiruk pikuk di mana disiplin dan ketertiban masih sukar dicari.

Di sinilah bakat-bakat kepemimpinan Soedirman nampak efektif. Menghadapi tugas “penertiban”  organisasi suatu tentara yang masih jauh daripada profesionalisme, maka non-profesionalismenya yang kuat pada diri Oerip Soemohardjo. Juga usianya yang relatif masih muda, yakni 29 tahun ketika ia terpilih menjadi Panglima Besar, merupakan suatu aset dalam menghadapi panglima-panglima bawahannya yang rata-rata masih berumur likuran tahun itu. Dalam lingkungan yang penuh dengan pemuda-pemuda galak dengan mata yang membelalak itu Soedirman merupakan kutub yang menenangkan dan menstabilkan.

Sejak tahun 1946 mulai terkenallah amanat-amanat Panglima Besar yang isi dan nadanya khas itu, amanat-amanat yang pada umumnya membahas soal-soal nasional, meskipun yang menyangkut pertahanan dan angkatan perang. “Anak-anakku segenap anggota Angkatan Perang, anggota Polisi Negara serta seluruh anggota Lasykar dan Barisan Perjuangan......” merupakan awal amanat yang telah menjadi baku di dalam kenangan kolektif bangsa Indonesia mengenai masa-masa permulaan kemerdekaannya. Hal itu menggambarkan pula tradisi hubungan antara bapak dan anak yang terdapat dalam lingkungan ABRI yang masih hidup hingga sekarang antara komandan dan anak buah.

Sementara itu, pihak lawan telah selesai dengan build-up kekuatannya di bawah payung Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Sekitar 100 ribu pasukan di darat, laut dan udara telah siap untuk menglikwidasi Republik Indonesia. Setelah pertempuran-pertempuran terbatas di pelbagai tempat di tanah-air kita, maka pada tanggal 21 Juli 1947, tentara ekspedisi Belanda menyerbu ke daerah-daerah Republik secara besar-besaran. Pada waktu itu Soedirman belum selesai dengan konsolidasi Angkatan Perang. Benar, semua formasi bersenjata, baik yang reguler maupun yang ireguler, baik satuan-satuan TKR (kemudian TRI- Tentara Republik Indonesia) maupun satuan-satuan laskar dan badan-badan perjuangan telah dipersatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia, TNI. Tetapi tahap itu baru tercapai selama satu bulan lagi. Lagi pula TNI masih mempergunakan taktik perang linier tanpa senjata-senjata berat dan dukungan udara menghadapi kolone-kolone Belanda yang dipelopori oleh satuan-satuan berlapis-baja dan senjata bantuan lainnya secara lengkap.

Puncak karier Soedirman: gerilya

Aksi Militer I Belanda terhenti karena intervensi PBB: TNI tidak berhasil menahan musuh pada pelbagai front. Tetapi pengalaman pahit itu membantu pemimpin-pemimpin Angkatan Perang di dalam merumuskan doktrin pertahanannya yang baru, yang dikenal dengan nama Perang Rakyat Semesta yang pada waktu itu juga dikenal dengan sebutan bahasa Inggeris Total People’s Defence.

Dalam sistem pertahanan ini prinsip linier sudah ditinggalkan, diganti dengan susunan Wehrkreis atau “lingkungan pertahanan” yang kenyal dan berlandaskan desa sebagai satuan pertahanan yang terkecil dan kecamatan sebagai unit pertahanan militer yang terendah. Soedirman dan stafnya yang pada waktu itu diperkuat oleh Kolonel A.H. Nasution, Panglima Divisi Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi wakil Soedirman selaku Wakil Panglima Angkatan Perang Mobil merangkap Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dengan tempo yang tinggi mempersiapkan Angkatan Perang untuk “ronde” berikutnya. Karena memang tidak ada orang yang mempunyai ilusi pada waktu itu, bahwa pihak Belanda akan membatalkan niatnya untuk menghancurkan Republik dengan kekuatan senjata.

Dan pada waktu tentara ekspedisi Belanda benar-benar menyerbu kembali pada tanggal 19 Desember 1948, Angkatan perang dan rakyat yang secara konsepsionil diikutsertakan di dalam pertahanan negara, telah siap. Pukulan tentara musuh yang sangat keras, tidak ditangkap, melainkan dibiarkan lalu dengan sia-sia. Ibukota Yogyakarta diduduki musuh sebagaimana pula hampir semua kota di daerah Republik yang masih bebas dari pendudukan mereka.

TNI hanya memerlukan waktu satu sampai dua minggu untuk konsolidasi di desa-desa sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan cermat. Setelah itu Wehrkreis-Wehrkreis berfungsi secara efektif dan TNI mulai menghantam garis-garis komunikasi dan logistik musuh. Untuk tetap membuka garis-garis itu, musuh terpaksa mengadakan penyebaran pasukan untuk mengawal pos-pos sepanjang route-route tersebut. Tetapi untuk itu mereka terpaksa mengurangi pasukan-pasukan yang mengawal garnisun-garnisunnya. Begitu pertahanan kota-kota menipis, TNI segera mengarahkan serangan-serangannya ke kota-kota pendudukan. Salah satu serangan seperti itu yang mashur, adalah serangan 1 Maret 1949 terhadap ibu-kota Yogyakarta yang diduduki oleh musuh. Selama enam jam di siang hari, pasukan-pasukan TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, dapat bertahan di dalam kota.

 Pada semua front, TNI dengan dukungan rakyat, melancarkan perang gerilya yang dalam waktu singkat menciptakan suatu military stalemate dan menggagalkan rencana Belanda untuk menghancurkan TNI dan dengan demikian menghancurkan Republik Jiwa perang gerilya itu adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sejak masa itu menjadi buah bibir rakyat dengan sebutan Pak Dirman.

Mengapa Soedirman menjadi tokoh sentral selama gerilya itu?

Pertama,  pada waktu itu pimpinan nasional, yakni Presiden dan Wakil Presiden telah membiarkan diri mereka ditawan oleh musuh ketika mereka menyerbu ibukota Yogyakarta. Hal itu menyebabkan  Soedirman menjadi rallying point bagi rakyat yang berjuang, menjadi lambang daripada perlawanannya terhadap musuh.

Kedua, Soedirman memperoleh respek  dari segenap pejuang pada waktu itu, karena ia menepati janjinya akan memegang kembali tampuk pimpinan Angkatan Perang, apabila musuh menyerang kembali. Pada waktu itu Soedirman telah selama berbulan-bulan non-aktif, karena harus beristirahat untuk penyembuhan penyakit paru-paru yang dideritanya. Ia mengetahui konsekwensinya apabila ia harus berangkat ke medan gerilya: ia akan dipaksa untuk terus berpindah-pindah dalam segala macam cuaca tanpa istirahat. Namun, ia toh menepati  janjinya. Generasi-generasi muda ABRI yang pada waktu sekarang menelusuri Route Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman, dapat menilai seberapa besar penderitaan almarhum, seberapa berat perjalanan sejauh kurang lebih seribu kilometer, naik turun gunung, turun jurang, menempuh terik matahari dan kuyup oleh hujan serta pada suatu ketika tanpa obat-obatan, yang begitu menentukan bagi sakitnya.

Ketiga, selama gerilya itu Tentara Nasional Indonesia pada akhirnya berkesempatan untuk mengembangkan ethos-nya, suatu ethos yang oleh Soedirman dirumuskan sebagai “Tentara Nasional”, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.” Dan memang, selama gerilya itu TNI benar-benar satu dengan rakyat; tanpa rakyat jelaslah bahwa TNI tidak akan dapat survive. Dan Soedirman adalah personifikasi dari TNI dengan sifat-sifatnya yang menonjol.

Karena itulah Soedirman, Pak Dirman, telah memperoleh popularitas yang sedemikian luas. Ia adalah “panutan” dalam suatu periode yang maha gelap, merupakan pelita yang dapat diikuti dan dapat dijadikan pangkal orientasi. Ia pada akhirnya menjadi simbol survival rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Soedirman dalam kenangan ABRI

Dalam lingkungan ABRI, Soedirman tetap menjadi simbol segala apa yang baik pada TNI yang kini diperluaskan menjadi ABRI. Segala apa yang baik itulah yang kini diberi nama “nilai-nilai TNI 45,” yang merupakan bagian dari nilai-nilai 45. Nilai-nilai 45 ini pada waktu sekarang sering disalah tafsirkan sebagai “nilai-nilai generasi 45,” yang oleh sementara pihak dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Yang merupakan suatu kekeliruan logika seperti misalnya menganggap nilai-nilai yang diperlihatkan dalam perilaku (khususnya yang negatif) dari umat sesuatu agama seolah-olah sama dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Ketika nilai-nilai 45 dan nilai-nilai TNI 45 itu dirumuskan Seminar TNI AD III pada tahun 1972, kenangan para peserta yang berasal dari generasi yang masih mengalami Perang Kemerdekaan, tertuju kepada Soedirman. Yang pernah berhadapan muka atau pernah melihatnya pada parade atau pelbagai kesempatan lain, terbayang-bayang akan sosok-tubuhnya yang tinggi, kurus dan nampak begitu rawan kesehatannya. Ketika rumusan itu akhirnya terbit dengan nama Darma Pusaka 45, yang sayang sekali hanya sedikit sekali warga masyarakat yang pernah membacanya karena oplaag-nya yang kecil, isinya adalah seperti suatu penyajian katalogus kepribadian Pak Dirman.

Salah satu unsur yang penting daripada Darma Pusaka 45 adalah 11 Azas Kepemimpinan ABRI, yang sesungguhnya sudah dirumuskan pada Seminar TNI AD II pada tahun 1966. Bagi mereka yang pernah mengenal Pak Dirman, 11 Azas Kepemimpinan ABRI itu terlihat sebagai cermin daripada solah-bawa Pak Dirman sebagaimana yang pernah mereka amati:
1.      Taqwa, ialah beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Taat kepada-Nya.
2.      Ing ngarsa sung tulada, yaitu memberi suri tauladan di hadapan anak buah.
3.      Ing Madya Mangun Karsa, yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah-tengah anak buah.
4.      Tut Wuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberikan dorongan dari belakang kepada anak buah.
5.      Waspada Purba Wisesa, yaitu selalu waspada mengawasi serta sanggup dan berani memberi koreksi kepada anak buah
6.      Ambeg Parama Arta, yaitu dapat memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan.
7.      Prasaja, yaitu tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan
8.      Sata, yaitu sikap loyal yang timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan bawahan terhadap atasan, dan ke samping.
9.      Gemi Nastiti, yaitu kesederhanaan dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada benar-benar diperlukan
10.  Belaka, yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan
11.  Legawa, yaitu kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggungjawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya.

Dan bukan itu saja, masih banyak lagi prinsip-prinsip yang dianut Pak Dirman yang dimasukkan ke dalam tradisi-tradisi ABRI