1. Pengalaman Tan Malaka
Sebagai Guru Di Deli
Surat kabar Sumatra Post 15 Desember 1919 menulis berita kedatangan Ibrahim Tan Malaka kembali
di Hindia untuk bekerja sebagai guru di salah satu sekolah perkebunan
perusahaan Senembah.
Di Negeri Belanda Tan Malaka ketika itu merupakan pejabat
sementara NIP di Negeri Belanda menggantikan Suwardi Surjaningrat (yang dikenal
kelak sebagai Ki Hajar Dewantara),.
Dalam suatu brosur Sekolah Senembah Medan, dijelaskan apa
sebab sekolah itu didirikan dan apa tujuannya. Pikiran yang sama dapat
ditemukan dalam tulisan Dr.Janssen. Indonesia dan orang Barat di majalah
Indische Gids tahun 1922.
Untuk diterima sebagai murid, usianya harus sedikitnya
delapan tahun.
Kursus itu berlangsung empat tahun. Untuk mengikuti
kursus itu harus ada permintaan dari orang tua yang secara pribadi bertanggung
jawab atas kehadiran anak-anak mereka secara teratur di sekolah.
Pada pagi hari di samping pendidikan konvensional, juga
dilakukan pekerjaan selama satu jam di kebun sekolah. Di sini anak-anak belajar
bagaimana harus memelihara kebun dengan rapi. Sayur mayur yang ditanam di sini
dibagi-bagikan di antara para murid.
Pada sore hari sepenuhnya diisi dengan pekerjaan di
perkebunan, dengan maksud supaya diadakan pekerjaan produktif yang dibayar dan
anak-anak belajar melakukan pekerjaan yang menambah ketrampilan mereka dan
mempertinggi ambisi mereka untuk bekerja di perkebunan setelah tamat sekolah.
Pekerjaan-pekerjaan ini berupa menganyam keranjang.
Menyusun atau menyortir, mengumpulkan dan menyusun tembakau, mencari ulat bulu
dan bagi anak-anak perempuan pekerjaan tangan biasa dan membatik. Anak-anak
juga dapat melakukan pekerjaan di kantor atau membantu tukang kayu.
Tetapi terjadi pula kesulitan dengan kehadiran secara
teratur anak-anak itu ke sekolah. Mereka menjadi lebih rajin ketika pada pagi
hari mereka diberi sarapan hangat.
Di tiap sekolah ada lapangan untuk bermain-main, berikut
alat-alat olah raga.
Pendidikan konvensional seluruhnya diberikan dalam bahasa
Jawa. Baru pada permulaan tahun pelajaran kedua diberi pelajaran dalam bahasa
Melayu selama setengah jam setiap harinya di kelas. Titik berat diletakkan
kepada adat, tertib, disiplin dan kerapian. Guru harus memahami kebiasaan buruk
seperti perjudian dan kurang memelihara kebersihan serta mengembangkan
sifat-sifat yang baik.
Maksud pendidikan seharusnya ialah mendidik anak-anak
sehingga menjadi orang-orang yang senang bekerja, dan lebih banyak
pengetahuannnya dan kemampuannya daripada apa yang pernah dapat diperoleh orang
tuanya, tetapi maksud utama pendidikan seharusnya ialah mendidik para murid
menjadi orang-orang yang baik dan bajik. Orang-orang dengan hati baik dan
itikad baik dan kekuatan untuk mewujudkan itikad baik itu menjadi
perbuatan-perbuatan yang baik. Pendidikan ahlaklah yang menjadi tujuan yang
terutama.
Baru pada tahun 1921 didirikan suatu sekolah pendidikan
untuk guru-guru pembantu. Sepuluh murid
yang terbaik dari 14 atau 15 tahun tinggal di sebuah asrama di Tanjung Morawa.
Mereka dididik dan kadang-kadang memberi pelajaran sendiri.
Pada tahun 1922 sudah ada dua belas sekolah perkebunan
dengan jumlah murid 581 murid seluruhnya.
Akhirnya sekolah Senembah ini didirikan supaya para
pekerja tetap terikat pada perkebunan, setelah poenale sanctie, yang
direncanakan akan dihapuskan benar-benar sudah terhapuskan.
2.
Di Semarang
Tan Malaka mengeluarkan buku yang berisi maksud dari percobaan
Onderwijs (pengajaran), yang dirasanya cocok dengan keperluan dan cita-cita
Rakyat yang diberi nama SI school. Hampir semua lid SI Semarang kenal sama SI
school.
Baru saja sekolah dibuka, Surabayasch Handelsblad (Harian
perdagangan Belanda yag terbit di Surabaya) menulis: “Hai, pemerintah awasi
sekolah SI itu”. Wakil pemerintah di Semarang (Ass.Resident) sudah melarang
membikin pasar derma, yang selamanya ini boleh dilakukan, melarang anak-anak
kromo meminta darma.
Larangan mencari dana untuk memperbaiki sekolah ini
menimbulkan protes besar pada tanggal 13 Nopember ini, pada Rapat Pertemuan SI
yang dikunjungi oleh kira-kira 5000 orang lelaki dan 4000 orang perempuan.
Sebagai perbandingan pentingnya masalah SI School ini
bisa dilihat dari lamanya waktu yang dihabiskan dalam pertemuan SI. Perkara
tanah yang juga penting buat Rakyat Semarang cuma memakan kira-kira 1 jam, sedangkan
perkara Perguruan SI itu ada menghabiskan waktu kira-kira 2 ½ jam.
Selama Tan Malaka tinggal di Semarang, belumlah pernah
dia menyaksikan suara yang begitu tajam dan keras, baik dari pihak pengurus
ataupun Anggota-anggota SI. Sikapnya Rapat pertermuan SI tadi seolah-olah
seekor burung, yang anaknya disambar Elang. Di dalam di luar Rapat Pertemuan di
desa-desa, Tan Malaka mendengar: SI school mesti terus.
Ya, SI school mesti terus, inilah jawab kita.
Apa tujuan didirikannya SI School:
1. Memberi senjata cukup, buat
pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi,
bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
2. Memberi Haknya murid-murid,
yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging).
3. Menunjukan kewajiban kelak,
terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo.
4. Kalau cukup modal segera
akan diajarkan bertukang pada anak yang besar-besar anak-anak Jawa yang cukup
berbakat dalam bertukang dan ukir-mengukir agar bisa membikin bangku, meja,
kursi dan lain-lain. Maka hasil pekerjaan itu akan dijual oleh murid-murid
sendiri. Pendek kata urusan pertukangan dan administrasi akan jatuh ditangan
murid-murid. Sama sekali dengan peraturan koperasi. Cita-cita ini sudah menggemparkan SI school
dan anak-anak bertanya : “Kapan, kapan dimulai”. Anak-anak bisa hidup merdeka,
baik di sekolah, ataupun kelak. Kalau mau menyingsingkan lengan baju, tiadalah
kelak perlu mengemis pada dan jadi budaknya kaum modal.
Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan
sendiri pelbagai hal organisasi, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan
badan dan otak). Dalam urusan organisasi tadi anak-anak itu sudah belajar
membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan
hidup.
Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia
dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu.
Selainnya dari pada itu SI School membangunkan hati belas kasihan pada kaum
terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, SI School menunjukkan akan kewajiban
kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum melarat.
Dalam perkumpulan SI dan Buruh, maka murid-murid yang
sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum
Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan
usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan
pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau
kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.
3.
SEKOLAH TENGAH (Sekolah
Guru SI):
Dari Murid, Oleh Murid, Untuk Murid.
Keberhasilan SI School di Semarang yang awalnya sebagai
sebuah sekolah percontohan yang tidak hanya memberikan pengajaran saja tapi
juga mempertimbangkan hal haluan didikan perguruan, segera muncul permintaan
dari kota-kota di luar Semarang, yang mau mendirikan sekolah serupa.
Sudah ada tiga atau empat kota yang sudah meminta pada SI
Semarang, supaya diadakan dan diatur pula sekolah-sekolah SI. Kota-kota itu
sudah siap murid, siap bangku sekolah dan perkakas yang lain-lain. Cuma belum
siap akan gurunya.
Perkara guru itu penting sekali. Jarang guru keluaran
kweekschool, yang mau atau berani memihak pada SI School, kalau memihak, ialah
karena gaji saja, bukan karena hati atau haluan pendidikannya.
Karena kekurangan pasokan guru inilah, maka SI School
mendidik juga guru buat SI School itu yang dinamakan “Sekolah Tengah”. Tan Malaka sudah memulai
Pekerjaan ini, jadi tidak tinggal dalam pikiran saja lagi.
Setiap sore (sementara ini baru 3 x satu minggu saja) di
kantor SI diadakan kursus mengajar murid-murid SI yang kelas V, VI, dan VII
(jadi murid-murid yang berumur dari 15 tahun ke atas) menjadi guru.
Murid-murid itu biasanya kebetulan keluaran sekolah kelas
II (Sekolah ongko loro, sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan),
jadi sudah menerima pengajaran dalam berbagai-bagai kepandaian.
Dalam kepandaian yang tersebut dan dalam bahasa Belanda
mereka tiap-tiap pagi dari pukul 8.00 – 13.00 dapat pelajaran.
Sebab ia lulusan kelas II tadi, maka ia biasanya lekas
sudah berhitung, menulis dan sebagainya. Jika ia menguasai, maka ia segera
disuruh menolong mengajar di kelas rendah SI School yakni pada anak-anak yang
baru masuk sekolah.
Jadi murid-murid yang besar-besar tadi tiap-tiap hari
boleh belajar mendidik, tidak dalam teori saja, malah juga dalam praktek.
Murid-murid di atas dari kelas 5 yang lulusan (Sekolah
ongko loro, sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan), dan berumur
lebih dari 15 tahun adalah seperti di bawah ini :
Dari pukul 8.00 – 13.00
ia meneruskan pelajarannya di sekolah. Karena ia lekas sudah mengerjakan
tiap mata pelajaran, maka selama waktu ¼ jam, ia disuruh membantu guru-guru SI
di kelas I dan II (Semacam guru bantu).
Tiap-tiap sore murid-murid besar itu diberi ilmu
pendidikan (pedagogi), supaya teorinya buat mengajar semacam guru.
Dalam waktu yang tidak terlampau lama, Tan Malaka sudah mempercayakan
pengajaran kelas I sama sekali kepada anak-anak yang sudah kena kursus itu.
Sesudah tiga atau empat tahun lagi barulah kursus sore
itu bisa diatur semacam kweekschool yakni dikasih pengajaran sama tinggi dengan
kweekschool Gouvernement. (Tan Malaka sendiri juga sudah keluaran Kweekschool
Gouvernement itu).
Tetapi sebab permintaan kota-kota yang lain-lain di atas
tadi, maka dari sekarang SI School Semarang mesti bersiap, antara lain membicarakan
gaji murid-murid keluaran kursus tadi. Kalau sekolah maju dan muridnya
bertambah-tambah, tentu gajinya guru keluaran kweekschool SI bisa sempurna.
Jadi Pemuda-pemuda keluaran kursus SI Semarang, bisa jadi
guru di SI school lain-lain. Buat anak-anak tamatan Sekolah kelas II (Sekolah
dasar untuk anak pribumi golongan rendahan) juga diterima buat memimpin Rakyat,
baik yang kecil, baik yang besar.
Karena sesudah sekolah, maka guru-guru SI school bisa
membela perkumpulan politik atau Serikat Kerja, ilmu-ilmu mana di SI school
sudah dipelajarai teori dan prakteknya.
Tan Malaka melihat berapa perlunya perguruan di Hindia
ini tiadalah bisa diperdebatkan lagi. Tan Malaka memprediksi Berapa banyaknya
kota-kota yang bisa SI School rebut sekolahnya sudah terang karena bahwa Pemerintah
Hindia Belanda tidak akan bisa dalam 10 tahun ini memberi pengajaran pada 50 %
anak-anak saja. Di Jawa saja baru kira-kira 2 % orang keluaran sekolah Pemerintah.
Buat SI School yang memihak pada Rakyat masih besar pasar
yang bisa direbut. Makin lekas SI School bergerak dengan mempersiapkan murid,
guru dan sekolah makin lekaslah maksud
dan tujuan tercapai. Kalau kaum Rakyat bekerja keras semacam ini, dalam 10 atau
15 tahun sudah bisa terlihat hasilnya pekerjaan tersebut. Sudah bisa beribu
kaum yang tepelajar, yang pandai mengerti dan memihak dengan pikiran dan jiwanya
pada Rakyat.
Peraturan perguruan semacam ini tidak mimpi saja, tetapi bisa
menjadi dan harus tercipta. Berulang-ulang sudah diterangkan, bahwa dari
pemuda-pemuda keluaran sekolah Pemerintah tidak bisa diharapkan besar memberi
pertolongan buat pergerakan Rakyat. Seperti sudah diterangkan di atas, anak-anak
yang sebagian besar keluaran Kweekschool
SI bisa dapat pekerjaan di perguruan SI. Selain daripada sekolah, sumber daya
manusia SI tentu akan lebih suka mengambil lulusan SI School untuk bekerja di
organisasi mereka.
.
Anak-anak lulusan SI school, yang mau meneruskan
pengajaran pada “Sekolah Teknik Pemerintah” dan sebagainya, tentu dari pihak SI
School tak akan dapat halangan, malah akan didukung agar mereka sanggup lulus
menempuh ujian masuk.
Pada waktu itu pun rupanya sudah ada satu dua anak-anak
yang diterima di HIS pindahan dari SI School. Jadi rupanya pintu HIS
Gouvernement, tidak ditutup buat anak-anak SI school.
Sebaliknya, sekolah SI tidak perlu takut akan menjadi
kosong. Anak-anak keluaran Sekolah kelas II (Sekolah ongko loro, Sekolah dasar
untuk anak pribumi golongan rendahan) berumur 12 - 13, adalah bibit sejati
karena tidak akan bisa diterima oleh Pemerintah.
“Lagi pula tiap-tiap minggu Kromo membawa anaknya pada
kita, dan tiap-tiap minggu anak-anak minta keluar dari partikulir 1-1, dan
masuk pada sekolah kita. Katanya sebab pelajaran baik, bayaran lebih murah dan
buat anak-anak ada bermacam-macam permainan dan perkumpulan. Kebenaran itu
boleh kita buktikan, dengan keterangan, bahwa ada murid kita yang dari Cepu,
dari Sragen (Solo), dari Jawa Barat dan lain-lain. Diantaranya ada yang minta
keluar dari HIS Gouvernement.
Pendek kata, dalam berlomba mencari pasar, yakni merebut
mendidik sekalian anak Kromo, SI tak perlu khawatir. Makin besar dan banyak
sekolah-sekolah kita dirikan, makin lekas kita sampai di padang kemajuan.
Kalau Sekolah rendah sudah cukup, maka niscaya kita
dengan pertolongan SI bisa mendirikan Sekolah tengah. Kalau sudah ada umpamanya
6 sekolah rendah, dan sekolah-sekolah itu diatur dari central, maka tiadalah
akan susah bagi tiap-tiap sekolah mengadakan fonds (dana) kira-kira f 100
sebulan, sehingga sesudah 5 tahun saja sudah bisa ada uang kira-kira f 40.000,-
Dengan derma dan uang itu boleh ditambah-tambah. Sesudah 5 atau 6 tahun SI
school berdiri, yaitu sesudah kira-kira ada anak-anak yang mesti keluar, maka
anak-anak itu boleh meneruskan pengajarannya di sekolah tengah SI
ambachtsschool umpamanya.
Peraturan batin ambachtsschool itu kita mesti pegang
sendiri (buku-buku baca, ilmu bumi, babad, dan sebagainya). Hanya perkara
bertukang atau tehnik kita serahkan pada guru-guru yang biasa. Guru ini mudah
saja didapat. Di negeri Jepang, Swedia, atau Swiss ribuan orang yang pandai dan
mau meninggalkan engeri, kalau ada penghidupan yang sempurna di negeri lain.
Juga di Hindia ini lambat launnya akan timbul pemuda-pemuda yang rela memihak
pada kita. Ringkasnya perkara guru itu (tehnik) kita tak perlu sekejappun
cemas, asal ada uang di Kas.
Pun buat anak-anak keluaran ambachtsschool atau sekolah
tengah lain-lain itu, adalah akan mudah juga jalan penghidupan, asal didikannya
kerakyatan. Asal masih ada Rakyat dan pergerakan di Hindia ini, maka bagi
pemuda-pemuda itu akan cukup pekerjaan. Bersambung dengan Rakyat dia akan bisa
memimpin Koperasi dalam pertukangan umpamanya. Lagipun di tempat lain-lain
tentu ia bisa dapat kerja, asal pintar dan rajin saja.
Demikianlah ringkasnya saja maksud kita tentangan
onderwijs buat Rakyat. Barangkali reaksi dan musuh kita tak akan kurang terus
memfitnah dan menghalang-halangi daya upaya kita. Nyata sudah, bahwa dari pihak
pemerintah kita tidak akan mendapat bantuan. Jangankan bantuan, tetapi
kemerdekaan pun tidak kita peroleh, yakni kemerdekaan seperti pada tiap-tiap
orang atau vereeniging (partikulier dan zending) buat mendirikan sekolah yang
cocok dengan haluan masing-masing.
Seperti Muhammadiyah, zending dan lain-lain di Hindia ini
dapat kepercayaan dan bantuan lahir dan batin dari pihak pemerintah. Pada bulan
Agustus tahun ini pemerintah sudah membenarkan statusnya “Vereeniging buat
mendirikan dan menguruskan sekolah-sekolah Kristen untuk pendidikan /
pengajaran tingkat rendah, menengah dan kejuruan di Jawa Tengah”.
Cuma kita campur meminta kemerdekaan seluas-luasnya, buat
Perguruan, yang sepanjang keyakinan kita cocok dengan keperluan Rakyat, yang
melarat, Perguruan mana juga oleh SI Semarang sudah di akui sah.
Tetapi seperti sudah disebutkan lebih dahulu, kita sudah
dapat halangan keras, ketika SI mau mengadakan pasar derma, untuk memperbaiki
sekolah saja. Juga baru-baru ini dilarang anak-anak mencari derma di desa-desa.
Karena kita tidak mendapat subsidi, maka derma itulah saja jalan buat kita,
untuk meneruskan daya upaya. Sehingga kalau derma itu dihalang-halangi, maka
sama artinya dengan menghalang-halangi sekolah Serikat Islam.
Pendeknya, sekolah kita ada bisa segenap waktu dapat
ancaman atau bahaya.
Terus atau tidak kita semata-mata bergantung pada SI.
Kalau SI sama sekali mau mempertahankan bibit yang sudah kita tanam itu seperti
SI Semarang (Bandung, Sukabumi, dll juga akan mau) maka halangan tentu semuanya
terhindar. Sesudah tentu maksud kita gampang dan lekas sampai.
Buat kita sendiri sudah cukup bukti yang menerangkan,
bahwa peraturan SI school Semarang, sudah dimufakati oleh beribu-ribu kaum SI.
Hal ini mengeraskan keyakinan kita, bahwa jalan dan haluan kita lurus dan sah.
Apa kehendak dan perbuatan kaum sama, kita tunggu dengan hati tetap. Ikhtiar
kita, yaitu hendak menarik hati SI terhadap kepada didikan kita, sudahlah cukup
hasilnya.
Kepercayaan Rakyat yang sudah diperoleh itu bagi kita
laksanakan sesuatu Undang-undang yang kita akui sah dan terkuasa. Kepercayaan
itulah saja yang mendorong kita dari belakang untuk berjalan terus, dengan
tiada menoleh kiri kanan.
4.PENUTUP
Akhirnya Pemerintah Belanda melihat kemajuan yang didapat
dari Perguruan SI ini sangat membahayakan bagi stabilitas kekuasaannya dan
segera memutuskan untuk menangkap dan mengasingkan Tan Malaka.
Pada tahun 1922 Tan Malaka meninggalkan tanah air menuju
ke Negeri Belanda. Baru 20 tahun kemudian di tahun 1942 Tan Malaka baru kembali
lagi ke tanah air. Selama meninggalkan tanah air, Jiwa Tan Malaka sebagai guru
tidak hilang. Dari hasil perantauannya Tan Malaka menulis banyak buku sebagai
seorang Guru Bangsa.
Otobiografinya yang tiga jilid itu bisa dijadikan
pelajaran bagaimana cara Mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia bagi
pelajar hari hari ini.
Begitu juga pelajaran Ilmu Alam, Matematika, Logika dalam
buku Madilog.
Metode Jembatan Keledai yang dikembangkan Tan Malaka juga
dapat dipakai pelajar hari ini untuk membantu menghafal materi pelajaran.
Pengalaman Merantau Tan Malaka juga dapat
dipakai sebagai pelajaran Antropologi mengenai Kebudayaan Minangkabau bagi
pelajar Ilmu Pengetahuan Sosial.
Dan akhirnya semua buku dan tulisan Tan Malaka bisa dijadikan bacaaan untuk mempelajari Sejarah Nusantara dalam Pergolakan Sejarah Dunia.