Rabu, 20 April 2016

Testamen Politik

Amanat Kami

Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu, ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
   Setelah kami menjatakan kemerdekaan Indonesia, atas dasar kemauan rakjat Indonesia sendiri pada 17 Agustus 1945 bersandar pada Undang2 Dasar jang sesuai dengan hasrat rakjat untuk mendirikan negara jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Maka negara Indonesia menghadapi bermatjam-matjam kesulitan dan rintangan, jang hanja bisa diselesaikan oleh rakjat jang bersatu-padu serta gagah berani dibawah pimpinan yang tjerdik, pandai, tjakap dan tegap.
   Sedangkan sedjarah dunia membuktikan pula, bahwa penglaksanaan tjita2 kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakjat untuk memberi korban apapun djua, seperti sudah dibuktikan oleh negara2 atau bangsa2 jang besar di Amerika-Utara dan Selatan, di Eropah-Barat, di Rusia, Mesir, Turki, dan Tiongkok.
   Sjahdan datanglah saatnja buat menentukan ketangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainja kami tiada berdaja lagi akan meneruskan perjuangan kita ditengah-tengah rakjat sendiri.
   Perjuangan rakjat kita seterusnja menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap diatas dasar persatuan segala golongan rakjat dengan mendjundjung tinggi Republik Indonesia, seperti jang tertjantum pokok2nja Undang2 Dasar kita.
   Bahwasanja setelah kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetudjuan penuh dengan para pemimpin jang ikut serta bertanggung djawab,
   Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perdjuangan kemerdekaan kita diteruskan oleh sdr2:
Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, Wongsonegoro.

Hidup Republik Indonesia!

Hidup Bangsa Indonesia!

Merdeka!

Djakarta, 1 Oktober 1945

Kami,
Sukarno, Moh. Hatta.

Selasa, 19 April 2016

Pidato hari pertama Persatuan Perjuangan

Sesudah 23 tahun, Tan Malaka untuk pertama kalinya berbicara kembali di depan umum pada tanggal 4 Januari 1946, selang 55 hari setelah peristiwa 10 November 1945.

Di Gedung ‘Serba Guna’, yang digunakan untuk berbagai macam pertemuan dan juga sebagai gedung bioskop, di Purwokerto pada tanggal 4 Januari petang hari, ‘seratus hari sesudah pendaratan tentara Inggris di Jawa’, dibuka sebuah sidang besar, untuk membahas masalah ‘hasrat perjuangan rakyat seluruh Indonesia’. Tidak ada pemberitaan satu pun di pers.[1] Semua peserta mendapat undangan pribadi dari panitia penyelenggara, atau melalui organisasi yang diwakilinya.[2]

Banyak yang hadir. 300 laki-laki dan perempuan berangkat ke Purwokerto, yang mewakili 40 organisasi, antara lain pimpinan pusat partai-partai Partai Sosialis, Partai Komoenis Indonesia, Serindo (Serikat Rakjat Indonesia), Masjoemi, Partai Boeroeh Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia (Parindo), organisasi-organisasi pemuda dan pejuang Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Angkatan Muda Republik Indonesia, Kebaktian Rayat Indonesia Sulawesi, Pemuda Republik Indonesia Sumatera, dan federasi perempuan Persatuan Wanita Indonesia (Perwari), dan tentara. Orang-orang dari semua lapisan rakyat melengkapi semuanya itu, termasuk Panglima Besar Soedirman dan Tan Malaka.[3]

Peserta yang hadir sangat mengesankan. Semua organisasi politik dan (para) militer yang penting ikut hadir. Hanya wakil pemerintah tidak terlihat hadir.[4] (pada kesempatan itu Amir Sjarifoeddin menyampaikan harapan-harapan terbaiknya secara tertulis kepada kongres).

Sidang dibuka dengan tiga laporan. Ismail untuk Jawa Timur, Sajoeti Melok untuk Jawa Tengah, dan Armoenanto serta Chairul Saleh, pimpinan-pimpinan Laskar Rakyat Jakarta Raya untuk Jawa Barat yang melaporkan tentang daerah mereka masing-masing.[5]
Mereka semua sependapat. Kepalsuan, provokasi dan tipu daya Inggris tidak mendapat cukup reaksi, terutama dari tanggapan pemerintah.
Di Surabaya mereka mendapat waktu dan kesempatan dan juga kesempatan untuk menghindari kekalahan.
Di Jawa Tengah mereka memanfaatkan dengan cerdik tipuan adanya perpecahan di kalangan kaum Republiken.
Di Jawa Barat dengan politik devide et impera , sejalan dengan itu juga provokasi-provokasi, dan pemerintah melarang tentara bereaksi. Rakyat sendiri hanya tahu tampil untuk berperang. Pemerintah membiarkan penculikan, perampokan dan pembunuhan terjadi dan berdiam diri. Mereka duduk, kata Chairul Saleh, tetap di atas haluan diplomasi dan kebingungan. Kesatuan dan koordinasi diperlukan, demikian Ismail dan Sajoeti Melok berkata. Untuk itu Sajoeti Melok mengusulkan agar dibentuk sebuah badan koordinasi.[6] (Kedaulatan Rakyat, 6-1-1946. Armoenanto bahkan membacakan sebuah surat, di mana Amir Sjarifoeddin melarang tampil bersenjata melawan Inggris).

Muhamad Yamin melaporkan di  “Tan Malacca, bapak Republik Indonesia; Riwajat-politik seorang penganjoer revolusioner jang berfikir, berjoeang dan menderita membentoek negara Republik Indonesia.” Djakarta: Berita Indonesia, 1946a: hal. 31-33

“Pada penghabisan rapat Purwokerto pada malam hari denga tiba-tiba ketua permusyawaratan berkata: “Kami minta saudara Tan Malaka angkat bicara menyambut laporan. Kelihatan rapat terdiam dan menahan napas, karena ingin mendengar putera Indonesia yang telah begitu lamanya terpisah dari pada perjuangan Rakyat yang nyata.Dia keluar dari hadirin yang tak mengenal dia, naik panggung dan berdiri tegak lurus, berkemeja dan bercelana pendek, dengan tangan kiri di pinggang di hadapan hadirin, yang selama dua hari meninggalkan medan pertempuran untuk mengisi jiwa dengan ajaran perjuangan. Seperti dia berdiri di sana dan pertama kalinya mengangkat bicara menyambut laporan pertempuran dan kemudian bersambung pada rapat lain dengan uraian tentang perjuangan dan pembentukan Republik Indonesia, maka dengan sekali pukul dia membuktikan kepandaian sebagai seorang orator besar yang menarik dan mengisi dada Rakyat yang mengangkat senjata membela Negara Merdeka dan yang sedang melaksanakan peperangan-pertahanan. Hadirin berasa mendapat penjelasan, dan Revolusi yakinlah mendapat pimpinan baru, siap dengan ajaran taktik dan usaha yang dapat dijalankan. Dia sendiri cuma menamai dirinya sebagai veteran revolusioner yang telah mendapat pengalaman  dalam perantauan yang begitu lamanya. Pidatonya  penuh kesungguhan hati dan kesiapan terus berjuang melanjutkan Revolusi, dapat didengar dari perkataannya, dapat dilihat dalam wajah mukanya, dan dapat dirasakan dalam ujaran yang berbunyi sebagai suara Proletar merebut kekuasaan atas ajaran yang jelas. Hadirin berasa mendapat pedoman Revolusi dan yang lapar rohani berasa dapat makanan otak. Dan melihat kesungguhan dia berjam-jam berbicara menurut ikatan kesenian oratorik yang indah-indah, mengertilah kita, mengapakah beberapa pemuda dan orang tua yang sedang berjuang dengan tak disangka-sangka tengah mendengarkan dia berpidato mencucurkan air mata, didorongkan agaknya oleh rasa yang kena tusuk oleh teladan dan ikatan kata yang berisi ajaran yang keluar dari hati iklas yang dalam dan otak yang tinggi. Tak ubahlah keadaan itu dengan rapat digedung Smolny di kota Petograd waktu Lenin sebagai presiden pada hari pertama tanggal 8 November 1917 berbicara di depan wakil-wakil revolusi diturutkan dengan perhatian dan perasaan yang menangis, karena terima kasih mendapat lanjutan hidup menurut kemauan perjuangan. Belum pernah rapat Indonesia mengalami udara yang begitu sesungguhnya dalam sepuluh tahun pergerakan Indonesia waktu belakangan ini.

Sesudah 23 tahun, Tan Malaka untuk pertama kalinya berbicara kembali di depan umum

Beliau angkat bicara sebagai jago lama, dengan memberi penerangan yang penuh dengan tinjauan yang dalam-dalam, berbicara beralasan pengetahuan filosofi, sosiologi dan taktik. Tiga kali beliau angkat berbicara tentang bentukan serta susunan Persatuan Perjuangan Rakyat atau Volksfront. Orang tak menyangka, bahwa beliau seorang ahli pidato yang berbicara dengan suara turun naik, menarik perhatian menurut susunan oratorik yang memakai permulaan dan diiringi oleh bagian tengah tentang penerangan politik dan selalu berakhir dengan penutup yang bergelora sebagai gelombang membanting ke tepi pantai, dengan meninggalkan suara gemuruh dalam dada pemuda yang berisi pembakaran api revolusioner. Dengan pidato Poerwokerto itu maka perjalanan revolusi secara revolusioner. Pergolakan Republik Indonesia dalam menetapkan kedudukan dan kedaulatan sampailah ke dalam fase kedua.”[7]

Koran-koran Indonesia ketika itu yang setiap hari pada umumnya hanya terdiri dari dua halaman, jarang memuat liputan tentang latar belakang atau suasana. Informasi membatasi diri pada laporan atau ulasan faktual. Laporan Yamin mendapat tandingan kecil di Kedaulatan Rakyat, namun membuktikan antusiasme terhadapnya yang sesuai dengan kenyataan.

“Umur beliau lebih dari 50 th. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat Kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh kuat dan berdisiplin.
   Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaus kaki panjang. Cara beliau berpidato lain dari pada ahli-ahli pidato yang biasa kita lihat di Indonesia.
   Waktu pidato di Poerwokerto sampai pada saat membicarakan tentang kemerdekaan 100 % dan bagaimana mulia dan sucinya perjuangan kita ini yang diucapkan beliau dengan berkobar-kobar, maka kelihatan dengan nyata kepada kita bahwa suara dan perkataan itu keluar betul-betul dari hati sanubari beliau dengan penuh keyakinan pula. Rambut serta bulu roma beliau turut menunjukkan dan memperkuat apa yang beliau ucapkan itu sehingga beberapa orang yang hadir mengeluarkan air mata.”[8]

Tan Malaka bicara di luar kepala, bahkan tanpa dibantu catatan apa pun.[9] Dalam penampilan pertama Tan Malaka di atas panggung ini ia bisa mengaitkannya dengan empat pembicara sebelumnya. Persatuan diperlukan, dan untuk itu sarannya ialah Volksfront serta program minimum. Sebuah program untuk semua, sesingkat mungkin, lepas dari segala ‘isme-isme’, di mana yang menjadi butir pertama dan utama ialah pengakuan terhadap kemerdekaan 100%. Baru sesudah itu dan sesudah musuh meninggalkan wilayah Indonesia dimungkinkan dilakukan perundingan. “Orang toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya. Selama masih ada satu musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan”. Gagal belaka diplomasi terhadap Inggris dan Belanda, yang hendak mengembalikan kekuasaan kolonial. Rakyat tidak mempunyai pimpinan dalam perjuangan; satu organisasi yang kuat, satu Volksfront diperlukan sebagai pusat dalam perjuangan untuk sebuah prograrm minimum. Indonesia berjalan di depan dalam perjuangan kemerdekaan rakyat-rakyat di timur dalam melawan imperialisme. Ia memperingatkan Inggris, bahwa tidak ada kekuatan di seluruh dunia akan bisa melawan kekuatan Indonesia.

“Kita sedang bikin sejarah, sejarah itu baru permulaannya, baru bab I, bab II akan kita bikin. Bisa kita tulis dengan warna merah atau putih. Kita mesti punya organisasi yang teguh, kalau ini semua ada pada kita, kita yang akan bikin sejarah. Kalau tidak sejarah yang akan bikin kita, akan dikembalikan kita ke dalam penjajahan.”

Akhirnya Tan Malaka menjelaskan tentang rencana pembentukan Volksfront itu.[10]
Sesudah kritik terang-terangan dilancarkan oleh para pelapor terhadap pemerintah, Tan Malaka hampir tidak berminat lagi melontarkan kritiknya. Sementara itu ia lebih menekankan tentang persatuan, dan yang paling kuat dari segala-galanya tentang pengakuan atas ‘merdeka 100%’, sebagai syarat sebelum melakukan perundingan jelas sudah cukup. Tanpa bersikeras untuk melaksanakan ide-idenya, ia berusaha sebaik mungkin agar bisa diterima. Tan Malaka berbicara sebagai Godam alter-egonya, dan kadangkala meminjam secara harfiah dari risalah Rentjana Ekonomi dan Moeslihat.[11]

(Harry Poeze. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 1: hal 207-212)






[1] Sebuah sindiran tersirat dalam Boeroeh, yang bersimpati pada PBI, tanggal 3-1-1946, dalam komentar berjudul ‘Politik contra politik’, yang di dalamnya ditekankan tentang keinginan akan adanya front rakyat, yang ‘tidak sebagai Badan Pekerdja atau aparat pemerintah, tapi sebagai tuntutan politik untuk menjembatani jurang yang memisahkan antara rakyat dari pemerintah’. Penutup artikel ini mengatakan: ‘Bisakah pada akhir minggu ini artikel kami pun membuahkan hasil?’
[2] Wawancara Hasan Sastraatmadja, Jakarta, 11-11-1980. Panitia penyelenggara berkedudukan di Yogya; Pandu Kartawigoena salah seorang anggotanya. Jelas sangat luas undangan disebarkan (SV 1948: 143-144 pemeriksaan Yamin, 8-3-1940; 252 (pemeriksaan Pandoe Kartawigoena, 15-3-1948). Tan Malaka menumpak di rumah eks-Digulis Slamet Gandawidjaja, di sini ia mendapat kamar khusus untuk dia. Slamet ikut aktif dalam pengorganisasian sidang itu (wawancara Perintis Gunawan, anak Slamet, Jakarta, 2-1-2007 dan Ibu Martini Slamet Gandawidjaja, Jakarta, 5-1-2007). Mengapa jatuh pilihan pada Purwokerto? Apakah karena fasilitas-fasilitas yang bisa disediakan Gatot di sana?
[3] Daftar para peserta menyebutkan satu demi satu, terdapat dalam Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946.
[4] Pada kesempatan itu Amir Sjarifoedin menyampaikan harapan-harapan terbaiknya secara tertulis kepada kongres (SV 1948: 253(pemeriksaan Pandoe Kartawigoena, 15-3-1948)
[5]Ismail yang sementara itu berlaku sebagai sekretaris pimpinanan kongres
[6] Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946
[7] Yamin 1946a: 31-33
[8] Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946, dikutip dalam Merdeka, 10-1-1946
[9] Wawancara Banoerli Mangkoesoejatno, Jakarta 27-11-1986

[10] Pidato ini berjudul “Isi dan Susunan Volksfront”, dikutip oleh :Kedaulatan Rakjat 6-1-1946, Merdeka, 10 dan 11-1-1946 dan Soera Rakjat (Malang), 12-1-1946. Nasution 1977, III: 72-75 memuat seutuhnya teks yang dikutip dalam koran-koran tersebut (Sekitar perang Kemerdekaan Indonesia; jilid III Diplomasi sambil bertempur. Bandung: Disjarah-AD/Angkasa, xxx+ 669 hlm) Yamin 1946b: 11-13 memberikan intisari daripadanya. Terjemahan Inggris ‘Volksfront (Tan Malaka’s speech before 300 delegates sent by political parties, organisations, institutions, etc, at a conference held at Poerwokerton on the 5 th of January 1946’, in the Voice of Free Indonesia 1-4 (January 1946): 7-9 mengandung versi yang panjang. Tapi di sini tanpa keterangan lebih lanjut tentang pidato Tan Malaka di kongres PP di Solo tanggal 15 Januari yang dicantumkan tanggal 4 Januari. Juga ringkasan dalam Sutter 1959, II: 331

[11] Abu Hanifah: 1972. Tales of a revolution.Sidney. hlm.166 mengutip beberapa patah kalimat dan berpendapat: “The speech was masterly and very clever. It combined all the wishes of politicians discontended with the Government.”



Tan Malaka dalam kemelut Sejarah



Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian
Oleh Alfian

1

Suasana politik, di situ termasuk sikap yang diambil serta tingkah laku yang diperlihatkan oleh mereka yang berkuasa, sering memberi kerumitan yang luar biasa dalam mendudukkan seorang tokoh (apalagi kalau dia kontroversil) secara wajar, obyektif dan jujur. Kecendrungan dari sebagian penting anggota masyarakat untuk berperangai ekstrim, menyanjung tokoh yang disenangi secara berlebihan sampai kadang-kadang seolah  mendewakan, dan sebaliknya memperlakukan secara buruk atau dengki sekali tokoh yang dimusuhi, tambah mempersulit lagi usaha buat mencari apalagi menegakkan secara obyektif benar. Tan Malaka (lengkapnya Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) yang menurut salah satu sumber, lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dan meninggal (lebih tepat mati terbunuh) secara tragis pada 19 Februari 1949 di dekat Kediri, Jawa Timur, adalah salah seorang tokoh yang rumit itu. Bertambah rumit lagi karena tokoh ini tak banyak yang mengenalnya dari dekat atau bertemu muka secara fisik. Dulu, sebagian orang mungkin banyak mendengar tentang dia dari mulut ke mulut dalam berbagai versi, atau membaca riwayat hidupnya yang dramatis – Dari Penjara ke Penjara – serta karya-karya tulisnya yang lain. Itu semua rupanya cendrung untuk menjadikannya seorang tokoh legendaris, manusia yang penuh misteri, yang rakyat banyak tak pernah melihat rupa dan batang tubuhnya secara riil.
Tidaklah mengherankan kalau sewaktu dia muncul di rumah Ahmad Subardjo, di Jakarta, pada permulaan revolusi (25 Agustus 1945) menyebabkan si tuan rumah amat terperanjat karena dia mengira bahwa tamu dan teman yang pernah dikenalnya di Negeri Belanda di permulaan tahun 1920-an ini sudah lama mati. Sewaktu Ahmadi Subardjo membawa dan memperkenalkannya dengan elite politik Jakarta, seperti Sukarno, Hatta dan Syahrir, pada hari-hari berikutnya tokoh ini, walaupun sudah lama mereka dengar, barangkali baru pada waktu itulah mereka bertemu buat pertama kali. Bagi merekapun Tan Malaka tampaknya lebih banyak merupakan seorang tokoh legendaris, dan karena baru kenal juga masih merupakan orang asing. Suasana seperti itu tentu mempunyai pengaruh dalam pergaulan dan hubungan politik mereka kemudian. Sebagai orang yang belum begitu kenal, sulit bagi mereka untuk menerka siapa sebenarnya Tan Malaka ini dalam arti peta bumi politik di permulaan revolusi itu. Sebaliknya, Tan Malaka yang lebih mengenal tokoh-tokoh yang lebih tua seperti Semauan dan Tjokroaminoto, tentu menemui kerumitan pula dalam memahami tokoh-tokoh yang lebih muda ini, walaupun perbedaan umurnya dengan mereka tidaklah seberapa. Suasana revolusi yang tegang, kacau, serta komunikasi yang sulit menambah sukar mereka untuk bisa lebih mengenal masing-masing secara lebih dekat dan intim. Demikianlah, pada saat kemunculannya kembali secara terbuka dalam dunia politik Indonesia, Tan Malaka menemukan dirinya sebagai seorang tokoh yang mengundang banyak tanda tanya bagi mereka yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Apalagi kalau dia sampai dianggap pula sebagai seorang saingan berat bagi mereka yang berambisi dan ingin memonopoli kekuasaan dan ketenaran. Walaupun bagaimana, usaha buat memahami grafik perjuangan si revolusioner tua yang kesepian ini, terutama pada masa pemunculannya yang terakhir, barangkali dapat dimulai dengan gambaran suasana tadi.

II
Suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka kadang-kadang mengagumkan dan mengharumkan namanya, kadang-kadang diekploitir orang, kadang-kadang mengundang kecurigaan yang bisa menodai reputasi atau mencelakakan dirinya. Salah satu hal yang menjadikannya legendaris ialah karena seringnya dia muncul dengan memakai nama samaran atau alias, yang menurut pengakuannya adalah karena keperluan buat menghilangkan jejak sebagai buronan politik yang selalu diincer oleh spion atau intel penguasa kolonial. Nama samaran biasanya dipakai buat keperluan memasuki negara baru yang akan dijadikannya tempat bersembunyi atau bergerak, seperti dia memakai nama Elias Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927), Ong Soong Lee sewaktu memasuki Hongkong dari Syanghai (1932), Ramli Husein sewaktu kembali ke Indonesia dari Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942). Sewaktu bekerja di pertambangan Jepang di Bayah, Banten, sampai permulaan revolusi dia memakai nama samaran Ilyas Husein. Beberapa nama samarannya yang lain adalah Cheng Kun Tat, Eliseo Rivera, dan Howard Law.
Kerjasama yang erat antara intel penguasa-penguasa kolonial (Belanda, Inggeris dan Amerika Serikat) berhasil menjaring Tan Malaka sewaktu dia memasuki Manila dari Hongkong sebagai mahasiswa Manila dari Hongkong sebagai mahasiswa Filipina dengan nama samaran Elias Fuentes tanggal  12 Agustus 1927. Penangkapan itu dan proses pemeriksaannya menjadi berita hangat koran-koran setempat. Kaum nasionalis Filipina dan beberapa surat kabar terkemuka, jelas menunjukkan simpati mereka kepada nasibnya, antara lain juga karena legenda dan misteri perjuangannya. Salah satu koran, The Tribune, menulis komentar yang amat memuji perjuangan Tan Malaka dalam terbitannya tanggal 16 Agustus 1927. “Tan Malaka”, tulisnya, “muncul hari ini kepala setiap orang Filipina sebagai patriot sejati, dan pada suatu ketika, kalau seandainya nasib buruk menimpa dirinya, sebagai martir yang syahid dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya”. Tokoh ini disejajarkan namanya dengan patriot Filipina angkatan Jose Rizal, dan oleh karena itu merupakan simbol yang jelas dari “pergerakan nasionalis Jawa”.
Akan tetapi, penguasa kolonial akhirnya memutuskan untuk mendeportasikannya dengan dalih bahwa dia memasuki Filipina secara tidak sah. Keputsannya ini memberi angin kepada kekuatan yang tidak senang dengan perjuangannya buat mencemarkan namanya secara berlebihan pula. Sebuah  mingguan, Philippines Free Press, memuat tiga artikel berturut-turut yang isinya bertolak belakang dengan sanjungan yang diberikan The Tribune di atas. Dia ditelanjangi habis-habisan karena memakai nama samaran untuk masuk Filipina secara misterius. Oleh karena dia memakai nama samaran itu, maka dianggap tidak pantaslah dia disamakan dengan Jose Rizal, karena bapak nasionalis Filipina ini (berbeda dengan Tan Malaka) tidak pernah memakai nama palsu atau berjuang secara terselubung.
Sungguhpun begitu, simpati yang cukup jelas diperlihatkan oleh kaum nasionalis Filipina tampak berpengaruh terhadap keputusan yang relatif lunak, menderpotasikannya. Sebenarnya, dalam pandangan penguasa kolonial Tan Malaka aalah orang yang amat berbahaya. Untuk membuktikan itu mereka tidak mengalami kesulitan melalui kerjasama yang erat buat mencari kegiatan-kegiatannya di masa lampau sebagai tokoh PKI dan agen Komintern (Moskow). Suasana anti komunis yang keras pada waktu itu sudah cukup untuk dipakai sebagai alasan bahwa dia berbahaya bagi keamanan dan kestabilan politik.
Dari sinopsis tadi dapat dilihat bahwa suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka menyulitkan orang buat menilainya secara wajar dan obyektif. Di satu pihak ciri itu mudah mengundang rasa kagum, sedang di pihak lain dan pada waktu yang sama ia juga merupakan sumber yang mudah diekploitir buat mengembangkan rasa curiga dan dengki. Dari semakin jelas bagaimana dia muncul sebagai salah seorang tokoh kontroversial, amat sukar untuk diterka, ditelaah dan difahami.
Tan Malaka bukan saja tampak berhasil menjadikan dirinya sebagai sumber konflik atau kontroversi, bahkan seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan mentalnya , merupakan pertarungan yang tak habis-habisnya dengan konflik. Riwayat hidupnya, bagaikan cerita detektif. Riwayat hidupnya, bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan dan oleh karena itu mengasyikkan kalau dibaca, penuh berisi perintaiannya dengan bahaya dan malapetaka. Pada saat-saat yang amat kritis ia berhasil lolos, lepas, tetapi bahaya dan malapetaka baru sudah menghadangnya pula di depan.  Yang menarik ialah justru pada saat-saat yang amat menegangkan itu kelihaian dan kehebatannya muncul, pemikiran-pemikirannya yang berbobot lahir. Karya-karya tulisnya yang bernilai tercipta sewaktu organis tubuhnya bertarung dengan kuman-kuman penyakit (dia mengidap tbc), atau sewaktu fisiknya meringkuk dalam penjara, atau sewaktu dia harus menanggung dan menahan kemiskinan yang menyengsarakan.
Konflik memberikan tantangan dan sekaligus rangsangan baginya, dan oleh karena itu dia tampak menghadapinya dengan penuh gairah. Dia menemukan vitalitasnya yang tinggi justru dalam suasana konflik. Itulah rupanya yang telah menjadikannya seorang revolusioner yang tak kenal lelah, seorang pemikir yang aktif, seorang idealis tak kenal putus asa. Sejalan dengan itu, kunci penting lain yang dapat dipakai untuk memahami tokoh ini ialah berusaha melihatnya dalam suasana seperti itu. Dalam suasana konflik kita mungkin akan dapat lebih mengerti siapa Tan Malaka sebenarnya.

III

Rudolf Mrazek dalam artikelnya (1972) tentang tokoh ini mencoba mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan struktur pengalaman kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa yang berlaku. Seorang personalitas politik mengkonsepsuilkan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi yang sama dan sesuai dengan visi (atau nilai-nilai) struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.
Struktur pengalaman Tan Malaka, menurut Mrazek, adalah typis masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau permulaan abad ini (abad 20) yang mempuyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif, yang sampai sekarang tampak masih kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensiil buat mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika” yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi. Kemampuan adat bertahan melawan perubahan zaman terletak keluwesannya mengembangkan diri dalam menerima proses pembaruan. Dari segi bentuk adat dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik diterima dan dimasukkan ke dalamnya. Dalam hal ini kaitan yang erat antara adat dan agama (Islam), umpamanya, dapat dilihat melalui perspektif itu. perspektif itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons terhadap kekuasaan kolonial dan kebudayaan Barat. Demikianlah analisa Mrazek tentang masyarakat Minangkabau yang umumnya didasarkannya atas karya ilmiah Taufik Abdullah.
Yang menarik perhatian ialah karena masyarakat Minangkabau berhasil mengidealisasikan adat dan falsafah hidup mereka melalui perspektif dinamisme dan anti parokhialisme itu, sehingga bukan saja tampak relevan dengan tetapi juga mendorong proses kemajuan atau modernisasi. Tidaklah mengerankan kalau kaum cendikiawan Minangkabau berpendidikan Barat pada pertukaran abad ini terundang untuk menerima dan memegang visi itu, terutama karena melihat bahwa alam Minangkbau membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi pada waktu yang sama mampu pula mempertahankan karakter dan bentuknya yang asli. Oleh karena itu, pemasukan unsur-unsur baru dari luar (yang dianggap baik tentunya) ke dalam alam atau masyarakat mereka, tidaklah berarti merusak atau memperlemahkannya, melainkan justru memperkuat dan memperkayanya. Pada waktu yang sama proses dinamis itu dengan sendirinya pula menyingkirkan elemen-elemen yang terbukti lapuk atau usang dari alam itu sendiri. Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk mengambil yang baik dari luar dan menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika itulah kekuatannya terletak sehingga menjadikan dirinya tetap relevan dari zaman ke zaman. Menurut Mrazek, Tan Malaka termasuk salah seorang cendikiawan Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang begitu. Itulah landasan atau dasar struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikirannya amat diwarnai oleh itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama dimungkinkan oleh konsep “rantau”. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar alam Minangkabau si perantau akan mampu melihat diri dan peranannya secara lebih jelas dalam konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, si perantau betapa jauhpun dia pergi pada suatu waktu akan kembali ke alamnya dengan segala bawaanya- harta ataupun ilmu. Dia, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru penerang atau guru atau ulama sehingga masyrakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan melihat, lalu membuang, apa yang buruk dalam alam mereka sendiri. Di sini jelas terlihat bahwa pengertian rantau bukan semata mencari uang dan harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Ditarik lebih jauh, di samping merantau secara fisik, secara mental (pemikiran) seseorang (dalam hal ini cendikiawan) juga bisa merantau. Berdasarkan batasan ini, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik secara fisik maupun secara mental.
Kedudukan perantau yang begitu mulia dalam masyarakatnya, dan juga karela landasan struktur pengalamannya sendiri memperkuat atau membenarkan itu, maka Tan Malaka melihat dirinya sebagai guru atau pembaharu masyarakatnya. Tingkah laku politik serta pemikiran-pemikirannya juga tampak diwarnai oleh pemahaman peranan itu di dalam dirinya.
Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan tempat lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukittinggi. Walaupun masih berada di alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandan Gadang. Sewaktu dia tamat belajar di Bukittinggi ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya, sebagai kepala adat mereka. Baginya yang masih berusia remaja itu pemberian gelar begitu tinggi tentu berkaitan erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau, dan itu sekaligus membenarkan serta memperkuat visi struktur pengalamannya di atas. Ia menjadi orang terpandang bukanlah karena kebetulan, melainkan karena dinamika adat dan falsafah Minangkabau sendiri. Si perantau yang sukses pulang ke kampung halaman buat menerima eluan kaumnya.
Tidak lama sesudah itu, dia pergi lagi melanjutkan studinya. Kali ini ke Negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi seorang anak muda yang baru berumur 16 tahun. Walaupun landasan struktur pengalamannya relatif sama, namun ruang-lingkup alamnya lambat laun berubah dari Nagari Pandan Gadang yang kecil meluas menjadi alam Minangkabau dan kemudian Indonesia. Dengan lain perkataan, visi adat dan falsafah Minangkabau yang dimilikinya dikembangkannya untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia. Titik tolak dari pemikiran-pemikirannya adalah visi atau perspektif yang berasal dari kebudayaan Minangkabau seperti dijelaskan tadi. Hal ini jelas membekas dalam karya-karya tulisnya, terutama dalam karya terbaiknya Madilog.
Visi adat dan falsafah Minangkabau di atas menuntut kepada warganya, terutama si perantau, untuk mengkontraskan atau memperbandingkan dunia rantaunya dengan realitas alam asalnya, karena hanya dengan jalan begitulah dia akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu mengundang orang untuk berfikir kritis, dan itu bisa terjadi dengan tajam kalau ada refrensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam tempat asal adalah refrensi itu. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya menekankan cara berfikir dialektis, dan oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena difahami bahwa suasana kontradiksi atau konflik itu akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan mana yang buruk. Keberhasilan dari pemilihan itu tergantung pada akal, yaitu kemampuan berfikir secara rasionil. Kalau begitu, visi itu mendorong orang untuk berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir yang dikembangkan Tan Malaka, yang dalam kamusnya dikenal dengan “thesis-antithesis-synthesis” tampak sesuai sekali dengan visi di atas. Rantau bagi Tan Malaka adalah antithesis yang berkonflik dengan thesis (alam sebagai refrensi asal), dan dari situ lahirlah synthesis-hasil pemikiran atau idealisme baru- yang mendorong manusia untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan nasibnya. Dia mengembangkan cara berfikir begini secara luas dalam bukunya Madilog, kependekan dari Materialisme, Dialektika dan Logika yang ditulisnya dalam tahun 1942-1943. Pada esensinya, Madilog dimaksudkannya sebagai suatu “cara berfikir” baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhyul yang menyebabkan orang menyerah kepada alam.
Walaupun Tan Malaka mengakui bahwa cara berfikir baru yang diperkenalkannya ini banyak berasal dari dunia Barat yang rasionil, logis dan Marxis-Leninist, Mrazek justru menunjukkan bahwa pada dasarnya itu berasal dari visi yang lahir dari struktur pengalamannya yang sudah lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau. Memang Tan Malaka doyan sekali memakai terminologi Marxist-Leninist dalam karya-karyanya. Tetapi, hal  yang selalu ditekankannya berulang kali adalah “kekuatan ide (the power of ideas) seagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dalam pertentangan kelas.” Di samping itu, konsep-konsep yang dilontarkannya mempunyai pengertian sendiri yang berbeda dengan apa yang lazim dimengerti orang Barat. Konsepnya tentang materialisme, umpamanya, tidak identik dengan pengertian yang biasanya berlaku di Barat. Bagi Tan Malaka, materialisme adalah “cara berfikir” yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Orang yang berfikir dengan cara materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Orang yang begitu melandaskan kegiatan atau hasil karyanya berdasarkan serangkaian bukti yang nyata, yang sudah dialami dan dapat dicek. Barangkali, secara kasar pengertian materialisme Tan Malaka adalah cara berfikir yang terpusat paa masalah bagaimana memperbaiki atau merubah kehidupan duniawi secara realistis dan pragmatis.
Erat berkaitan dengan itu ialah konsep dialektikanya, yang dimaksudkannya untuk memerangi cara berfikir yang pasif atau dogmatis. Cara berfikir atau dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak percaya kepada kemampuan intelektuil dan kekuatan mereka sendiri untuk merubah dunia materi. Dia mengecam habis cara berfikir dogmatis sebagai menjerumuskan masyarakat ke dalam penipuan diri sendiri, kepasifan, mentalitas  budak, dan itulah yang mengakibatkan takluknya dunia Timur kepada Barat. Sebaliknya dia menyanjung cara berfikir dialektis- yang antara lain dimaksudkannya sebagai cara berfikir dinamis – karena ini memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualitasnya secara terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan terus menerus, atau berfikir dinamis. Tetapi berfikir secara dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika. Di sini kita kembali melihat pertemuan antara visi adat dan falsafah Minangkabau dengan cara berfikir yang ingin dikembangkan Tan Malaka.
Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa hasil-hasil pemikiran Tan Malaka hanya membesit dari visi atau idealisasinya tentang adat dan falsafah Minangkabau mungkin terasa amat berlebihan atau keterlaluan. Ia sendiri mengakui bahwa dia juga melihat pada modernisme Islam (yang juga mulai berkembang di Minangkabau dan tempat-tempat lain sewaktu mudanya) sebagai pendorong cara berfikir dinamis itu dan anti dogmatis. Dari dunia Barat yang banyak diketahuinya dalam perantauan dia juga melihat begitu, bukan saja dari aliran Marx dan Lenin, tetapi juga dari dinamika yang diperlihatkan oleh masyrakat Amerika dan Jerman.
Sungguhpun begitu, visi adat dan falsafah Minangkabau seperti di atas, mungkin membekali dia dengan suatu perspektif dasar yang tajam sehingga memungkinkannya untuk selalu tetap kritis terhadap sesuatu yang baru ditemuinya di dunia luar. Pertemuannya dengan cara berfikir dialektis di Barat mungkin telah memperkuat atau bahkan memperluas perspektif tadi. Yang amat penting mungkin ialah bahwa struktur pengalaman Minangkabau yang dibawanya itu tidak menjadikannya merasa rendah diri terhadap pemikir-pemikir besar di Barat. Dia tentu belajar dari karya-karya mereka, tetapi sebagai seorang intelektuil yang kritis, bukan sebagai murid yang “nrimo” saja. Oleh karena itu dia tidak pernah menjadi pengikut pemikiran seseorang, apakah itu Marx atau yang lain, secara dogmatis. Bahkan kalau kita ikuti cara berfikir dialektis, yang biasanya dikaitkan dengan Marx, Marx sendiri tentunya juga menentang dogmatisme, tidak perduli  apakah yang dijadikan dogma itu adalah hasil pemikirannya sendiri. Marx yang sejati, menurut salah seorang yang mempelajarinya secara tekun dan kritis, Michael Harrington, menginginkan kebebasan berfikir dan oleh karena itu mengutuk dogmatisme.
Segi lain dari adat  dan falsafah Minangkabau yang tampak berpengaruh pula pada Tan Malaka ialah tuntutan untuk selalu melihat pada realitas yang ada di alam tempat asalnya sebagai refrensi pembanding. Sebagaimana telah dikemukakan, pengertian alam di sini tentu bisa berubah dan meluas sifatnya. Dalam pemikiran-pemikirannya, Tan Malaka boleh dikatakan tidak pernah lupa kepada refrensi pembanding itu. pengetahuannya yang cukup dalam tentang masyrakatnya, sebagai refrensi, menjadikan dia semakin bertambah kritis terhadap dunia luar. Itu memberi kekuatan kepadanya untuk tidak mudah terpukau dengan ide atau pemikiran orang lain. Ia tetap mempunyai untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, Tan Malaka dapat dikatakan bertuan kepada dirinya sendiri, baik dalam tindakan politik maupun dalam berfikir. Hubungannya dengan kaum komunis dapat dipakai sebagai salah satu ilustrasi tentang itu.

V

Pada tahun-tahun pertama Tan Malaka di Negeri Belanda ia tampak tertarik dengan kemajuan Amerika Serikat dan Jerman. Tetapi, sukses Revolusi Bolsyewik tahun 1918 di Rusia semakin mendorongnya ke kiri. Literatur-literatur beraliran ini semakin banyak dipelajarinya. Pada tahun 1919 dia kembali ke Indonesia sebagai guru (dengan gaji besar yang disamakan dengan gaji orang Eropa) di perkebunan Senembah, Deli. Kontras kehidupan yang amat tajam antara antara tuan-tuan kolonialis yang mewah dengan kuli-kuli inlander yang sengsara sangat memuakkannya. Pengaruh Revolusi Bolsyewik semakin tertanam di dalam dirinya, dan dari situ idenya tentang revolusi  sebagai solusi  buat menyelamatkan bangsa Indonesia dari cengkeraman kaum kapitalis-kolonialis berkembang cepat. Ia menjadi semakin revolusioner. Senembah dan gaji besar ditinggalkannya. Ia berlayar ke Jawa (1921). Pertemuannya dengan tokoh komunis kenamaan, Semaun, membawanya ke sarang PKI di Semarang, di mana dia diberi tugas buat memimpin sebuah sekolah yang diselenggarakan oleh partai itu. Suksesnya dalam menjalankan sekolah itu, dan oleh karena itu kemudian terkenal dengan sebutan “Sekolah Tan Malaka”, mengorbitkan namanya dalam PKI. Dalam waktu yang relatif pendek ia berhasil menjadi ketuanya, tetapi hanya beberapa bulan. Sewaktu ia terlibat dalam kegiatan pemogokan buruh di permulaan 1922 dia ditangkap penguasa kolonial dan dibuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangannya itu memastikan dirinya sebagai pejuang revolusioner. Partai Komunis Belanda menjadikannya “martyr” atau pahlawan dan dipasang sebagai calon nomor tiganya dalam pemilihan umum. Kepopuleran Tan Malaka jelas terlihat ketika dia berhasil mendapatkan suara terbanyak kedua partai itu. Walaupun suara itu memungkinkannya duduk di dalam Parlemen Belanda, teapi hal itu tak mungkin terjadi karena dia hanya calon resmi nomor tiga (Partai Komunis Belanda hanya memenangkan dua kursi dan juga karena umurnya belum cukup. Sementara itu dia sudah berada di Berlin dalam perjalanannya ke Moscow buat memainkan peranan lain.
Sewaktu di Semarang, dia sudah menunjukkan sikap bebasnya dalam pemikiran atau ide yang dikemukakannya, kadang-kadang bahkan mengambil posisi yang berlawanan dengan tokoh-tokoh PKI lainnya. Visi revolusi Tan Malaka dari semula adalah menentang kolonialis-imperialis Belanda. Masyarakat Indonsia versus kekuasaan kolonial sebagai titik tolaknya. Tidaklah mengherankan kalau dia kemudian menentang sikap atau garis yang diperlihatkan oleh sebagian penting tokoh PKI dalam percekcokan mereka dengan Sarekat Islam. Perpecahan seperti itu menurut Tan Malaka hanya melemahkan kekuatan bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam menentang penjajah, dan oleh karena itu perlu dihindari.
Sikap keras yang diperlihatkan tokoht-tokoh PKI lain rupanya sebagian dipengaruhi oleh kebijaksanaan politik Komintern di Moskow yang menentang Pan Islamisme (Modernisme Islam) sebagai corak baru dari imprialisme. Tan Malaka tidak bisa menerima sikap Komunis International itu, antara lain karena menurut dia Pan Islamisme justru bangkit menentang imperialisme Barat yang menjajah kaum Muslimin di berbagai negara di dunia ini. Ciri Pan Islamisme adalah juga anti imperialisme. Di samping itu, Tan Malaka rupanya memahami pula bahwa jika modernisme yang dibawa oleh Pan Islamisme sesuai dengan sikap anti dogmatisme. Tambahan lagi, Islam secara realistis merupakan kekuatan politik yang besar di Indonesia. Itu semua menyebabkan Tan Malaka menilai bahwa sikap anti Pan-Islamisme Moskow tidak mencerminkan realita suasana perkembangan dunia pada waktu itu, dan sejalan dengan  itu sikap anti Sarekat Islam dari PKI tidak pula sesuai dengan keadaan sebenarnya dari masyarakat Indonesia. Setia kepada pandangan politiknya yang berasal dari hasil pemikirannya sendiri, Tan Malaka meneruskan sikap bebasnya itu sewaktu dia berkesempatan berbicara di muka Kongres Komintern sebagai wakil PKI, tidak lama sesudah dia dibuang Belanda. Dia tetap mengemukakan kekeliruan kebijaksanaan Komintern terhadap Pan-Islamisme, dan menghendaki agar sikap itu dirubah. Komintern tidak menghiraukannya.
Dari uraian ini jelas kelihatan bahwa Tan Malaka mengembangkan dan berani mengemukakan pemikirannya sendiri, walaupun itu berbeda atau bertentangan dengan garis politik yang ada. Salah satu kasus lagi ialah pertentangannya dengan tokoh-tokoh PKI akan mencetuskan pemberontakan (Putusan Prambanan 1925) dia berusaha keras untuk mencegahnya karena menganggap saatnya belum tiba. PKI masih kecil, belum begitu berkuku, tak mungkin mampu menggerakkan massa rakyat. Lagipula gerak geriknya selalu diawasi dengan ketat oleh penguasa kolonial. Tan Malaka menganalisa pemberontakan itu, kalau jadi dilakukan, akan mengalami kegagalan. Usahanya untuk mencegah memang tidak berhasil. Pemberontakan meletus, di Sumatera Barat dan Banten, tapi dalam waktu pendek berhasil dilumpuhkan penguasa. Analisa Tan Malaka terbukti benar. Dilihat dari kacamatanya, mereka yang mencetuskan pemberontakan itu tampak berfikir atau mengikuti ideologi secara dogmatis, dan oleh karena itu nekad.
Sikap bebas yang diperlihatkan Tan Malaka, baik dalam tingkah laku politik maupun pemikirannya, merupakan sumber penting dalam perselisihannya dengan kaum komunis di kemudian hari, apalagi kalau mereka dianggapnya terlalu dogmatis terhadap ideologi. Sebagaimana diketahui, dia kemudian berpisah dengan orang-orang komunis. Kaum komunis memperlihatkan rasa tidak senang mereka terhadap Tan Malaka melalui berbagai macam cara, antara lain dengan jalan menuduhnya sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis karena dianggap menyeleweng. Bahkan, Tan Malaka kemudian dituduh sebagai  penghianat yang telah menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat menghargai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatisme terhadap ideologi secara ketat. Orang seperti itu akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di manapun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan Malaka tentang Barat merupakan merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguhpun dia secara politik dan ekonomis menentang kapitalisme dan imperialisme Barat, namun masih bisa melihat segi-segi yang positif dari sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. “Akuilah dengan putih bersih,” tulisnya, “bahwa kamu orang Indonesia sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas...Juga jangan dilupakan, bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri...Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai senjata Barat yang rasionil.
Pada waktu  yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai kebudayaan kuno yang dianggapnya penuh berisi kesesatan, kepasifan dan takhyul yang menyebabkan mereka bersemangat budak. Dalam Madilog, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berfikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di pulau Jawa, menurutnya telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dalam sisa-sisa feodalisme. Di sini dia, apakah untuk keperluan pengkontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk lekas-lekas mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan.
Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Sukarno, seperti yang terbit antara tahun 1926  dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide yang juga berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Sukarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukakan cara berfikir aktif dan dinamis, dari mana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti “marhaenisme”. Secara garis besarnya, cara berfikir Sukarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dinamisme atau dialektisme jelas terlihat. Sebagaimana Tan Malaka, Sukarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas hasil-hasil pemikirannya sendiri.
  Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuannya dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan synthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena dia bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul. Kalau di Minangkabau salah seorang dari orang itu adalah Tan Malaka, maka di Jawa salah seorang dari mereka adalah Sukarno.

VI

Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipuyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya untuk melahirkan synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagimana antara lain terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan fikirannya, ia tidak pernah menyerah kepada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektualismenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah.
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat kepada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan drastis dalam segala bidang-politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton dia menerbitkan buku (1925) Menuju Republik Indonesia (titel asnya Naar de Republik Indonesia). Dalam karya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan bahkan militer. Program-program itu sebenarnya dimaksudkannya sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang dicita-citakannya. Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana telah diungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak samasekali setelah terjadi Pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik pada waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya, Massa Aksi, di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/terorganisir. Di sini kembali tampak dengan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk suksesnya revolusi itu baginya tetap dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama atau persatuan antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap merupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. Bila mana kerjasama itu sampai terputus ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudakan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa.
Tetapi, mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa jalan itulah yang terbaik untuk mengenyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga mempunyai satu alasan atau argumentasi lain. Menurut dia, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan, baik perbudakan dalam feodalisme (oleh bangsa sendiri) maupun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing). Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yaitu mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia mempunyai dua tombak, yaitu mengusir imprialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan, yang akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial dan bahkan mental. Dan itu berarti lahirnya masyarakat Indonesia Baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya ialah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya “murbaisme”, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh penguasa kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan “Partai Republik Indonesia” atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927) dan ketidak-sesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut Pan-Islamisme). Sementara itu Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan “hegemony” internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salah satu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukkan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentunya juga berkaitan erat dengan sistem pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika.
Sungguhpun begitu, dia tidak pula mungkin dapat dilepaskan samasekali dari kaitan pengaruh Marx yang telah mengilhami revolusi Rusia. Sukses Revolusi Bolsyewik itu sangat berkesan padanya, dan oleh karena itu tak mungkin hapus begitu saja. Secara idealis dan teoritis dia mungkin masih menganggap dirinya seorang bolsyewik atau komunis, tetapi seorang bolsyewik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. “Marxisme”, katanya, “bukan kaji hafalan (dogma) melainkan suatu petunjuk untuk revolusi.” Oleh karena itu seorang Marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekannya pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial dari suatu masyarakat dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan diperoleh  kesimpulan oleh “ahli revolusi di Indonesia ataupun di Hindustan (yang) tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang bersamaan cuma cara berfikir...dialektika materialistis.
Setelah sebulan PARI berdiri dia pergi ke Manila  (melalui Hong Kong) dan tertangkap. Sewaktu yang memeriksanya menanyakan apakah dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan bolsyewikisme. Ia jawab, “Ya”. Apa itu? “Itu adalah doktrin melalui apa kelas buruh di dunia dapat mencapai emansipasi sosial dan politik dengan jalan mempersatukan diri mereka buat merubah sistem yang berlaku sekarang dengan jalan apapun. Apakah kamu mengikuti doktrin ini? (pertanyaan). “Secara teoritis ya, tetapi tujuannya harus tergantung pada batasan-batasan (kondisi) yang terdapat di masing-masing negeri.” Sewaktu dia ditanya tentang apakah dia percaya pada pemakaian kekerasan fisik atau senjata untuk mencapai kemerdekaan. Jawabnya, “Saya percaya pada aksi massa untuk mencapai kemerdekaan kami dengan cara apapun, apakah fisik atau yang lain, politik, ekonomi dan kalau perlu dengan kekarasan fisik/senjata. Pada bagian lain Tan Malaka mencoba memisahkan dirinya dari PKI (dengan mengaku sebagai ketua Sarekat Rakyat, bukan ketua PKI) dan Komintern (dengan menyangkal bahwa dia bukan agitator merah atau agen bolsyewik). “Saya bukan seorang bolsyewik,” katanya menyangkal tuduhan,” katanya menyangkal tuduhan. “Kalau seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan kecendrungan-kecendrungan terhadap bolsyewikisme, maka panggilah saya bolsyewik.” Penguasa kolonial di Filipina (Amerika Serikat) karena bekerjasama erat sekali dengan penguasa kolonial Belanda, tentu telah mempunyai data lengkap kegiatan-kegiatan Tan Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagaian berlainan dengan keterangan Tan Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagian berlainan dengan keterangan Tan Malaka di atas. Sikap anti komunis yang keras dari penguasa-penguasa kolonial, dan terjadinya malapetaka pemberontakan PKI 1926/1927 yang berakibat bagi aktifis-aktifis PKI, barangkali merupakan penyebab kuat mengapa dia merasa perlu untuk agak membohong tentang kegiatan politik masa lampaunya.
Sungguhpun begitu, pengakuannya bahwa dia menerima bolsyewikisme secara teoritis dan tidak menolak kemungkinan untuk memakai kekerasan fisik buat mencapai kemerdekaan mungkin dapat dianggap sebagai suatu sikap yang konsisten dan konsekwen, yang paling kurang dalam kaitan pandangannya terhadap Marxisme sebagai petunjuk untuk berevolusi, bukan sebagai dogma atau kaji hafalan. Kalau boleh disimpulkan, Tan Malaka dalam arti kata yang sesungguhnya tetap konsisten dan konsekwen sebagai seorang revolusioner. Seorang revolusioner yang antara lain menerima Marxisme sebagai petunjuk, tetapi jauh di lubuk hatinya lebih meresapkan nasionalisme.
PARI, yang dimaksudkannya sebagai kendaraan untuk menuju revolusi Indonesia yang diinginkannya, tidak pernah sempat berakar untuk menjalar luas di Indonesia. Dua orang pendiri lainnya, Subakat dan Djamaluddin Tamin, tertangkap. Subakat memilih bunuh diri dalam penjara di Jakarta. Sisa-sisa terakhir dari PARI di Jakarta dan Surabaya digulung habis Belanda dalam tahun 1935. Sementara itu, Tan Malaka yang praktis terputus hubungannya dengan teman-temannya boleh dikatakan bergerak sendiri. Dalam tahun 1928 dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara. Pada waktu itu Moskow rupanya belum mengetahui kegiatan Tan Malaka dan PARI-nya. Sewaktu dia memasuki Hong Kong dari Syanghai, (1932), dalam perjalanan menuju pos barunya di Buma sebagai agen Komintern, dia ditangkap Inggeris, dan ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas dia kembali ke Cina (Amoy), di mana dia menghidupi dirinya dengan mendirikan Sekolah Bahasa Asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937, ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkar ke Singapura, menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu dia sampai di Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Jadi semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi tetap setia kepada cita-cita revolusinya.
Sementara itu Komintern dan orang-orang komunis Indonesia mengetahui tentang PARI, dan itu dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Belanda, yang menulis pamflet menentang tokoh ini dengan PARI-nya, Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh utama mereka.
Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kontroversilnya tokoh ini. sikap, tingkah laku politik serta ide atau pemikirannya menempatkannya dalam suasana konflik dengan berbagai kekuasaan. Sebagai pejuang nasionalis atau burnonan politik kolonial dia berkonflik dengan penguasa-penguasa kolonial di Asia pada waktu itu. Sebagai politisi yang berfikir dinamis dan menerima Marxisme secara kritis dia berani mengeritik tokoh-tokoh separtainya (PKI) dan kemudian mendirikan partai baru tanpa kata komunis di dalamnya, dan itu semua menempatkan dia berkonflik dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia dan Komintern. Tetapi, apakah ada jalan lain dari menyelusuri liku-liku berbagai konflik itu untuk dapat memahami siapa tokoh ini sebenarnya?

VII

Dua siklus pertama dari perantauannya di tandai dengan titik puncak sewaktu dia kembali pulang. Titik puncak pertama ialah pada waktu ia diangkat menjadi datuk sewaktu dia pulang ke kampungnya sehabis menamatkan sekolah di Bukittinggi. Titik puncak dari perantauan kedua ialah ketika dia berhasil memainkan peranan amat penting dalam pergerakan nasional Indonesia, sebagai tokoh dan ketua PKI, tak lama sesudah ia kembali dari Negeri Belanda. Dengan begitu, arti rantau bagi dirinya memang penting. Rantau telah menjadikannya manusia yang semakin berarti dan berguna bagi perjuangan bangsanya.
Siklus ketiga perantauannya berjalan lama sekali, 20 tahun sebagai buangan politik. Pengalamannya dalam perantauan ketiga ini jauh lebih banyak, penderitaan jauh lebih mendalam, kecemasan jauh lebih sering datang. Itu semua semakin mematangkan dan mendewasakan dirinya, baik sebagai intelektuil-pemikir, politisi-idealis, maupun pejuang revolusioner yang kesepian. Iapun sudah semakin berumur. Dapatlah dimengerti kalau dia melihat kepulangannya kali ini sebagai sesuatu yang amat berarti. Ia melihat bahwa siklus-siklus hidupnya sejajar dengan siklus-siklus perjuangan bangsanya, dan itu diidentikkannya pula dengan perkembangan organis tubuhnya yang telah sampai pada siklus akhirnya.
Dia memperkirakan dan mengantisipasi kepulangannya dari perantauan yang ketiga dan terakhir kalinya ini akan bertautan dengan terjadinya revolusi Indonesia, dan dia ingin hadir dan ikut aktif sebagai peserta di dalamnya. Bagi dia, ini adalah kesempatan terakhir  untuk merealisir revolusi totalnya, dan oleh karena itu tak ingin melepaskan kesempatan itu berlalu dengan sia-sia. Seluruh kehidupannya selama ini tercurah ke sana, dan dapatlah dimengerti kalau ia ingin memberikan sesuatu yang amat berarti bagi bangsanya pada saat yang amat bersejarah itu. Bermakna  untuk penghabisan kalinya. Tetapi, menarik pula untuk diketahui bahwa sewaktu pulang dari perantauan ketiga ini Tan Malaka tidak segera menggabungkan diri dalam barisan perjuangan atau mengambil peranan aktif dalam percaturan politik. Salah satu faktor mungkin karena dia membutuhkan waktu buat mempelajari suasana masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya. Ia ingin masuk sekolah sosial dulu. Alasan lain yang diberikan Tan Malaka ialah karena ingin menulis sesuatu yang berarti yang bisa dipakai sebagai pegangan oleh bangsanya nanti dalam hidup bernegara sebagai bangsa merdeka yang sosialistis. Dia memang menulis apa yang dianggapnya sebagai karya terbaiknya yang ingin ditinggalkan sebagai “pusaka bertuah”. Itulah Madilog, yang ditulisnya dalam suasana kemiskinan yang luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggir Jakarta. Pada waktu itu dia masih belum keluar dengan mamakai nama aslinya. Faktor lain yang menyebabkan merasa masih perlu menyembunyikan identitas sebenarnya barangkali pengaruh pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri yang tentu selalu menghantuinya, walaupun suasana romantis dan misteri yang lahir bersamaan dengan itu tampak pula disenanginya. Dia mungkin masih merasa perlu menyembunyikan diri di bawah kekuasaan Jepang yang tak kalah kejamnya itu.
Kekejaman fasis Jepang tambah memuakkan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di pertambangan Bayah, Banten. Di sini, sebagai krani yang cukup baik kedudukannya, dengan memakai nama samaran Ilyas Husein dia kembali menyaksikan, sebagai mana pernah dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploitasian bangsanya oleh kekuasaan imperialis baru. Ia melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan - antara hidup dan mati – kaum romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal itu tentunya tambah memperkuat keyakinannya tentang perlunya adanya aksi massa buat melahirkan revolusi.
Suasana politik Indonesia selama pendudukan Jepang secara garis besarnya diwarnai oleh Sukarno, Hatta dan sejumlah pemimpin lain yang memilih bekerjasama atau berkolaborasi dengan Jepang. Mereka, senang ataukah tidak, ikut serta dalam sistem kekuasaan, sesuatu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebagai pejuang nasionalis mereka tentu mempunyai alasan-alasan sendiri buat memilih jalan itu. Di fihak lain, sejumlah tokoh yang relatif lebih muda seperti Sutan Sjahrir memilih untuk bergerak di bawah tanah melawan rezim fasis Jepang. Antara kedua kelompok, yang di bawah tanah, barangkali terdapat kontak atau kerjasama pula. Kecendrungan ke arah asumsi ini dikuatkan oleh relatif mudahnya kedua kelompok ini, yang disimbolkan oleh Sukarno-Hatta dan Sjahrir, bekerjasama kemudian dalam revolusi kemerdekaan.
Tan Malaka juga melihat adanya dua kekuatan, tetapi dengan pemahaman yang agak lain. Sukarno dan hatta dianggapnya sebagai simbol dari golongan tua yang berkoloborasi dengan kekuasaan Jepang, dan oleh karena itu dia menganggap mereka terutama Sukarno, sebagai oportunis. Sikap sinis Tan Malaka terhadap Sukarno antara lain berkaitan dengan pandangan negatifnya terhadap kebudayaan Hindu-Jawa. Strategi Sukarno (dan Hatta) untuk mencapai kemerdekaan melalui kerjasama dengan kaum penjajah baginya menunjukkan masih adanya sisa-sisa mentalitas budak yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa itu. Ini jelas sangat kontras dengan ide revolusi Tan Malaka sendiri yang antara lain ingin menghancurkan sisa-sisa kebudayaan lama yang bernilai buruk, terutama ciri-ciri feodalismenya.
Kekuatan kedua yang dilihatnya ialah pemuda yang dinilainya sebagai tombak revolusi. Baginya di sinilah terletak kekuatan revolusi yang sebenarnya, dan oleh karena itu ia menaruh perhatian yang sangat besar kepada mereka. Dia berusaha mengidentikkan dirinya dengan semangat revolusioner pemuda, melalui mana dia melambungkan harapan bahwa merekalah yang akan berhasil merealisir revolusi yang dicita-citakannya. Pengkontrasan yang tajam antara golongan tua (Sukarno-Hatta) yang dinilainya opurtunis dengan pemuda yang revolusioner berasal dari cara berfikir Tan Malaka yang dialektis. Akan tetapi, ia rupanya kurang begitu memahami realita sebenarnya dari masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sukarno-Hatta, terutama Sukarno (apakah itu sebagai akibat dari pengaruh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa dalam masyarakat ataukah tidak) sudah lama mempunyai kekuatan kharisma politik yang menjalar jauh ke dalam masyarakat. Dwitunggal ini telah berhasil menjadikan diri mereka sebagai simbol dari persatuan dan perjuangan nasional. Cara berfikir Tan Malaka yang amat dialektis ternyata tidak begitu tepat, kalaulah tidak samasekali salah. Melalui ini barangkali dapat dimengerti sebagian dari penyebab mengapa riwayat Tan Malaka dalam revolusi Indonesia berakhir secara tragis.

VIII

Beberapa minggu menjelang proklamasi, Tan Malaka masih memakai nama samaran Ilyas Husein, mulai mengadakan kontak dengan sejumlah kecil pemuda revolusioner. Akan tetapai ia tidak hadir sewaktu peristiwa bersejarah itu, proklamasi, terjadi, yang kemudian disesalinya. Ia baru muncul di arena politik, langsung dengan nama aslinya, beberapa hari kemudian di rumah Ahmad Subardjo yang selanjutnya memperkenalkannya dengan anggota elite politik Jakarta yang lain pada hari-hari berikutnya. Sewaktu dia sempat berbicara dengan Sukarno,yang sudah menjadi presiden, Tan Malaka berhasil mengemukakan ide-idenya tentang revolusi, antara lain mengenai bagaimana pimpinan revolusi harus dilanjutkan kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mati atau ditangkap) atas diri Sukarno dan Hatta. Diperkirakan, pengaruh pembicaraan ini, setelah beberapa waktu mendorongnya lahirnya semacam surat amanat dari Sukarno dan Hatta, yang antara lain berisi bahwa kalau mereka berdua, karena sesuatu dan lain hal, sampai tidak berdaya memimpin revolusi, maka pimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Surat amanat ini kemudian menjadi isyu politik yang hangat, lalu dicabut. Walaupun isyu tentang surat yang berisi semacam wasiat itu kemudian tampak banyak  merugikan  nama Tan Malaka, namun kelahirannya dapat dipakai sebagai ukuran dari pengaruhnya di kalangan elite politik pada waktu itu.
Di samping Sukarno dan Hatta, Sjahrir merupakan tokoh penting pula dalam minggu-minggu pertama revolusi. Ia, dengan dukungan pemuda di sekitarnya, berhasil banyak mempengaruhi jalannya politik, yang akhirnya menempatkan dirinya di kursi Perdana Menteri. Itu terjadi pada tanggal 14 November 1945. Lahirnya sistem Kabinet Perdana Menteri ini secara konstitusional sebenarnya menyimpang dari ketentuan UUD 45, walaupun secara politis pada waktu itu dibenarkan oleh suasana darurat revolusioner.
Garis politik Sjahrir tercermin dalam brosurnya “Perjuangan Kita” yang penerbitannya diumumkan oleh Kementerian Penerangan pada tanggal 10 November 1945. Dalam brosur ini Sjahrir mengemukakan idenya tentang revolusi demokratis yang menekankan pentingnya arti demokrasi buat melawan kecendrungan fasisme yang masih membekas, terutama di kalangan pemuda, akibat pengaruh pendudukan Jepang. Dengan lain perkataan Sjahrir tidak menginginkan semangat revolusi meluap menjadi terorisme yang tidak bertanggung jawab terhadap orang-orang Belanda, Indo dan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap pro Belanda seperti Cina, Ambon dan Menado. Dari situ dapat dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan (atau demokrasi sosial) yang ingin disemaikan Sjahrir di kalangan pemuda. Akan tetapi, hal itu berkaitan erat dengan pandangan Sjahrir tentang kekuatan Indonesia yang sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di daerah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara muda yang masih rapuh ini untuk memusuhi mereka. Syahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan  Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak terundang buat mendukung Belanda secara penuh”. “Selanjutnya, secara logis sikap itu menuntut lahirnya kebijaksanaan politik yang liberal terhadap modal asing; pengakhiran kekerasan corak-pemuda, terutama terhadap orang-orang kulit putih; mendirikan lembaga-lembaga politik ang dapat diterima Barat. Itu semua tampak serasi dengan kecendrungan-kecendrungan politiknya  yang liberal-demokratis. Sulit kiranya untuk disangkal bahwa Sjahrir mengutamakan diplomasi dari pada memakai kekerasan/kekuatan senjata, dalam revolusi Indonesia, dan itu sesuai dengan jalan pemikirannya tentang demokrasi sosial yang humanis.
Pandangan Sjahrir di atas jelas sangat kontras, kalaulah tidak samasekali bertolak belakang, dengan visi Tan Malaka tentang revolusi. Bagi Tan Malaka, sebagaimana diketahui, perombakan masyarakat Indonesia yang bermakna hanya mungkin terjadi melalui suatu revolusi total, di mana bukan saja si penjajah yang diusir tetapi juga mengikis habis sisa-sisa kebudayaan lama yang tidak menguntungkan seperti feodalisme yang menyuburkan mentalitas budak dalam masyarakat selama ini. baginya, kemerdekaan bukan hanya berarti politik, tetapi juga ekonomi sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total seperti itu hanya bisa terjadi juga ekonomi sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total seperti itu hanya bisa terjadi dan berhasil kalau massa dapat digerakkan, ada organisasi yang kuat untuk menjaga jalan dan disiplin revolusi secara hukum besi, dan ada pimpinan revolusi.
Tan Malaka berfikir dalam kerangka itu, dan setia kepada ide revolusinya dia menerjunkan diri dengan sepenuh hati ke dalamnya.
Sewaktu dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri akibat yang amat menyedihkan dari pertempuran 10 November  1945 di Surabaya, di mana para pemuda dan rakyat yang bersenjata sangat minim berani menyabung nyawa melawan senjata modern tentara Sekutu. Tan Malaka melihat dan meyakini bahwa semangat yang muncul pada waktu itu mampu menggerakkan massa buat merealisir revolusi totalnya. Pada tanggal 2 Desember 1945 munculah brosurnya yang berjudul “Muslihat”, yang berisi ajakan kepada semua golongan/lapisan untuk bersatu mengadakan perlawanan bersama-revolusi total-lengkap dengan strategi dasarnya. Strategi itu antara lain menyangkut keperluan membentuk Laskar Rakyat, pembagian tanah kepada si miskin, hak buruh dalam mengontrol produksi, membuat rencana ekonomi perang, pengusiran tentara asing dan  perlucutan senjata Jepang. Kunci dari strategi ini ialah bahwa revolusi mempunyai tiga segi, yaitu politik, ekonomi dan militer. Melalui ketiganya bangsa Indonesia, menurutnya, akan mampu mengadakan revolusi jangka panjang dan pada akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Taktik revolusi yang berjangka lama ini, kemudian dituangkannya sebagai gerilya politik dan ekonomi atau lebih populer dengan sebutan GERPOLEK.
Ide revolusi Tan Malaka yang berani ini rupanya mendapat sambutan baik di kalangan pemuda dan masyarakat, antara lain karena sesuai dengan gejolak semangat yang menggelora waktu itu. Banyak kalangan, terutama pemuda dan lasykar, mulai melihat kepada Tan Malaka sebagai alternatif baru dalam revolusi, jauh berbeda dengan Sjahrir yang mengutamakan berunding atau diplomasi. Salah satu tanda dari meningkatnya pengaruh Tan Malaka adalah tulisan Muhamad Yamin di surat-surat kabar di akhir tahun 1945 (dan kemudian dibukukan) yang berjudul “Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia”. Tokoh ini yang menurut pengakuannya sendiri tidak mempunyai pengikut (kecuali mungkin beberapa gelintir pemuda) dan organisasi sebagai landasan kekuatan politik, berhasil memainkan rol seperti di atas lebih banyak berdasarkan kekuatan yang dibawa oleh idenya di samping suasana legendaris dan misteri yang melekat pada namanya.
Demikianlah, Tan Malaka dalam waktu yang relatif pendek muncul sebagai kekuatan baru yang langsung menantang relevansi kebijaksanaan penguasa pada waktu itu yang dikontrol oleh Sjahrir dan Partai Sosialisnya. Mengetahui ini, partai itu berusaha mendekati dan mengajaknya untuk ikut duduk dalam pimpinannya. Tan Malaka, yang memandang pendirian partai-partai pada waktu itu sebagai merugikan usaha buat menghimpun kekuatan massa yang diperlukan revolusi, menolak. Pertentangan politik, yang bermula dengan perbedaan visi, antara dia dengan Sjahrir tak terhindarkan lagi.
Kelambanan pemerintahan Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu faktor mengapa banyak pemuda, laskar dan massa memihak kepada visi revolusi Tan Malaka. Pemerintah yang mengutamakan jalan diplomasi berhadapan dengan semangat serta kemauan keras (sebagian besar) massa rakyat yang berjuang untuk meneruskan dan meningkatkan revolusi bersenjata. Semangat dan kemauan keras itu akhirnya melahirkan Persatuan Perjuangan (PP) pada permulaan tahun 1946 yang berhasil menghimpun sebanyak 141 organisasi politik, lasykar, dan entah apalagi, termasuk partai-partai politik yang berpengaruh seperti Masyumi (Islam) dan PNI (nasionalis). Dalam pertemuan pembentukan organisasi massa revolusi yang bernama Persatuan Perjuangan ini , di Purwokerto, Tan Malaka memberikan pidato yang menekankan pentingnya arti persatuan buat mencapai kemerdekaan 100%. Persatuan Perjuangan dalam kongresnya di Solo beberapa hari kemudian mengambil keputusan politik penting yang disebut minimum program yang berisi tujuh fasal. Minimum program ini pada dasarnya berasal dari pidato Tan Malaka pula dan oleh karena itu sangat mencerminkan visi revolusinya. Isinya adalah:
I.                    Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100%.
II.                 Pemerintahan Rakyat (dalam arti: kemauan Pemerintahan sesuai dengan kemauan Rakyat)
III.               Tentara Rakyat (dalam arti: kemauan Tentara sesuai dengan kemauan Rakyat)
IV.              Menyelenggarakan Tawanan Eropa.
V.                 Melucuti senjata Jepang.
VI.              Menyita hak dan milik musuh
VII.            Menyita perusahaan (pabrik, bengkel dan lain-lain) dan pertanian (perkebunan, pertambangan dan lain-lain musuh.

Bahkan nama Persatuan Perjuangan juga diambil dari pidatonya. Tan Malaka kemudian terpilih sebagai salah seorang dari 11 anggota sub-komite yang diserahi tugas untuk menyempurnakan organisasi itu. Kecuali dia, yang boleh dikatakan duduk atas namanya sendiri atas usul beberapa pemuda pendukungnya, yang sepuluh lagi duduk mewakili organisasi atau kekuatan politik tertentu. Salah seorang dari mereka adalah Jenderal Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan seorang lagi, Atmaji, duduk mewakili TKR-Laut. Sulit kiranya untuk membantah bahwa Persatuan Perjuangan pada waktu itu mewakili sebagian besar dari kekuatan-kekuatan sosial politik, termasuk militer, lasykar dan pemuda.
Ide Tan Malaka tentang revolusi-merdeka 100% - akhirnya secara formil diterima banyak orang, walaupun dalam aktualitas kadar penerimaan itu berbeda-beda. Pembentukan Persatuan Perjuangan dengan tujuh fasal minimum programnya merupakan titik puncak terakhir dari karir politik Tan Malaka, atau dari siklus ketiga kehidupannya. Hal itu tentu tambah meyakinkan pandangannya bahwa ide mempunyai kekuatan sendiri; perubahan masyarakat yang berarti bisa terjadi melalui kekuatan yang dilahirkan ide. Akan tetapi, tidak lama sesudah itu dia menghadapi kenyataan pahit (dan hal itu bukannya tidak mungkin difahminya sendiri) bahwa kekuatan ide saja tidaklah cukup.

IX

Satu-satunya tali yang merangkaikan 141 macam organisasi ke dalam Persatuan Perjuangan adalah semangat revolusi yang tersimbol dalam ungkapan “merdeka 100%”. Sedangkan itupun belum tentu sama kadarnya. Banyak organisasi yang ada di dalamnya cenderung untuk mengundang sikap kompromistis, oportunistis, atau berkompetisi memperlihatkan mana yang lebih revolusioner. Persatuan Perjuangan secara romantis barangkali merupakan nama yang tepat buat mencerminkan ide revolusi Tan Malaka, tetapi secara aktualitas sifat persatuan dari berbagai organisasi itu sulit untu dipertahankan, karena memang tidak kuat. Sungguhpun begitu, lahirnya Persatuan Perjuangan sulit pula buat diartikan lain kecuali sebagai peryataan tidak puas diri dri sebagian besar masyarakat terhadap garis kebijasanaan politik Sjahrir yang mereka anggap lunak karena mengutamakan diplomasi. Jenderal Sudirman yang ikut aktif dalam Persatuan Perjuangan, dan sebagai pimpinan tentara, jelas memperlihatkan pemihakannya kepada ide “kemerdekaan 100%”. Semua itu telah memaksa Sjahrir meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri, walaupun kemudian diminta kembali buat membentuk kabinet baru.
 Suasan pembentukan kabinet Sjahrir kedua penuh dengan permainan politik, di mana Sukarno dan Hatta ikut memainkan peranan penting. Pembentukan kabinet berusaha mendapatkan dukungan seluas mungkin, dan itu hanya mungkin kalau kekuatan-kekuatan penting dalam Persatuan Perjuangan diikut sertakan. Jalan ke arah itu antara lain ditempuh melalui pewarnaan program kabinet baru dengan mengambil sebagian dari minimum program Persatuan Perjuangan diikut sertakan. Jalan ke arah itu antara lain ditempuh melalui pewarnaan program kabinet baru dengan mengambil sebagian dari minimum program Persatuan Perjuangan sendiri. Antara lain fasal pertama (dari lima fasal) program kabinet (jelas berbau minimum program) berbunyi: “Perundingan atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%., Sungguhpun begitu, Tan Malaka, dan sejumlah tokoh lain melihat program kabinet itu masih kurang keras, tambahan lain bunyinya mengandung kekaburan. Namun bagi sebagian kekuatan politik yang ada dalam Persatuan Perjuangan itu rupanya sudah cukup memuaskan mereka. Dengan begitu terbentuklah Kabinet Sjahrir II, di mana duduk pul orang-orang Masyumi dan PNI. Tan Malaka yang pernah ditawari pula untuk duduk dalam kabinet tetap konsekwen dengan pendiriannya, menolak, karena minimum program Persatuan Perjuangan tidak diambil sepenuhnya sebagai program kabinet. Proses pembentukan kabinet ini jelas menunjukkan kerapuhan Persatuan Perjuangan, dan dalam hal ini peranan pengaruh Sukarno dan Hatta, terutama Sukarno, yang memihak kepada Sjahrir juga merupakan faktor yang amat penting. Sesudah kabinet terbentuk, kekuatan yang beroposisi kepada pemerintah menjadi berkurang. Di samping itu, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan yang masih tetap memperlihatkan sikap keras seperti Tan Malaka, Yamin, Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, dan beberapa tokoh pemuda boleh dikatakan tidak mempunyai landasan politik yang berakar dalam masyarakat. Hal ini memudahkan Sjahrir dan kawan-kawannya buat menghadapi mereka. Demikianlah, pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh itu ditangkapi, dan alasan penuh secara resmi baru dikeluarkan dua  minggu kemudian (1April). Alasan itu antara lain tuduhan bahwa mereka yang ditangkap melakukan oposisi yang sudah menjurus kepada tidak atau kurang loyal yang bertujuan untuk melemahkan kedudukan pemerintah secara tidak bertanggungjawab. Dituduhkan pula bahwa kegiatan mereka bertujuan melemahkan kedudukan pemerintah secara tidak bertanggung jawab. Dituduhkan pula bahwa kegiatan mereka bertujuan untuk merubah struktur pemerintahan pusat melalui cara-cara di luar konstitusi. Tuduhan-tuduhan itu tampak sekali berbau politik dari mereka yang berkuasa sebagai usaha buat mematahkan atau membungkam para pengeritiknya.
Yang menarik perhatian ialah sikap yang diambil pimpinan militer atas penangkapan itu. Dalam pengumumannya pimpinan militer menyatakan bahwa penangkapan itu sekali-kali bukan dilakukan atas perintah mereka. Menarik perhatian pula ialah bahwa pengumuman tentang penangkapan itu tidak ditandatangani oleh Sukarno sebagai presiden. Kalau begitu, dugaan paling kuat ialah bahwa penangkapan itu merupakan inisiatif Sjahrir dan kawan-kawan separtainya, terutama Amir Sjarifuddin (Menteri Pertahanan) dan Dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri). Dalam kaitan ini semakin jelas duduk pertentangan antara kelompok Sjahrir dengan kelompok Tan Malaka.
Walaupun bagaimana, posisi Tan Malaka sebagai orang tak bersalah di mata masyarakat tumbuh dipersulit sewaktu seorang perwira militer yang masih muda bernama Abdul Kadir Jusuf mengambil inisiatif sendiri, atas sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal Sudarsono, menculik Sutan Sjahrir (25 Juni 1946) karena dia menilai Perdana Menteri itu sudah mengkhianati revolusi melalui perundingan-perundingan yang merugikan dengan Belanda. Tindakan perwira muda ini mungkin sekali didorong oleh semangat revolusi Visi Tan Malaka, tetapi Tan Malaka sendiri tidak mengetahui apa-apa tentang penculikan itu, apalagi merencanakannya. Dia masih meringkuk dalam penjara. Melalui pidato radio yang bersejarah, 30 Juni Presiden Sukarno (yang telah mengambil alih kekuasaan pemerintahan sejak 28 Juni, karena Perdana Menteri diculik menyerukan bahwa demi nama baik Indonesia mereka yang menangkap Sjahrir segera melepaskannya. Sjahrir akhirnya dilepaskan penculiknya. Tidak lama sesudah itu terjadi peristiwa 3 Juli, di mana kembali nama Tan Malaka disangkut-pautkan dengan tuduhan adanya komplotan yang ingin melakukan kudeta.  Bahkan dia seolah-olah dituduh sebagai otaknya. Tan Malaka yang juga masih dalam penjara sulit pula  untuk dikatakan mengetahui apa-apa tentang tuduhan kudeta yang mamai namanya itu. Hasil proses verbal dari mereka yang diadili dalam perkara itu, seperti perkara Muhammad Yamin, memang tidak membuktikan terlibatnya Tan Malaka dalam usaha kudeta yang dituduhkan itu.
Meskipun begitu, namanya sudah terlanjur cemar atau (dan mungkin lebih tepat) dicemarkan. Selama lebih kurang 30 bulan si revolusioner tua itu meringkuk dalam penjara bangsanya sendiri, tanpa mengetahui apa benar kesalahan yang telah diperbuatnya. Karena memang tidak bisa dibuktikan, akhirnya dia dilepaskan juga. Penglepasan itu terjadi sewaktu revolusi Indonesia tengah berada pula dalam suasana kritis, sekitar pemberontakan PKI 18 September 1948. Suasana saling curiga semakin memanas. Sungguhpun begitu, Tan Malaka masih sempat mendirikan sebuah partai baru bernama Murba, dan kembali mengambil bagian aktif dalam revolusi sebagai gerilyawan. Tidak lama sesudah itu, nasib malang menimpa dirinya. Dia mati terbunuh di hadapan senapan sekelompok tentara republik sendiri. Pada hal pada waktu itu dia juga tengah memimpin sekelompok gerilyawan dalam usaha meneruskan ide revolusinya memerdekakan tanah airnya. Apakah ada kematian seorang pejuang revolusioner yang lebih tragis dari itu memang sangat rumit untuk dibicarakan, apalagi dibeberkan.

X

Sebagaimana dapat dilihat, visi revolusi total Tan Malaka kandas di tengah jalan. Pada suatu saat, di permulaan tahun 1946, ia menemukan momentumnya, muncul sebagai sesuatu yang sangat riil bagi banyak orang, dan oleh karena itu merupakan alternatif terbaik bagi mereka. Sungguhpun begitu, visi revolusi demokrasi Sjahrir bukannya tidak mempunyai kekuatan, walaupun kekuatan itu lebih banyak terletak pada kenyataan bahwa ia yang memerintah dan berkuasa. Pertarungan antara kedua visi itu melahirkan suatu visi baru, sebagai kompromi dari keduanya, sebagaimana tercermin dalam program Kabinet Sjahrir II. Tetapi visi baru ini masih lebih berat pada visi Sjahrir semula. Kalau kita lihat proses pertarungan kedua visi itu melalui cara berfikir dialektis Tan Malaka, maka visi Sjahrir adalah thesis, visi Tan Malaka sendiri antithesis, dan visi baru yang dilahirkan keduanya adalah synthesis.
Kalau diamati secara cermat, kelahiran synthesis itu terutama dimungkinkan oleh pengaruh peranan Sukarno dan Hatta. Tan Malaka tidak mau menerima synthesis itu, dan itu telah membawa risiko buruk baginya. Sjahrir yang menerimanya, antara lain karena tentu merasa dimenangkan, terus ikut berkuasa. Akan tetapi, melalui proses terjadinya synthesis itu dapat pula dilihat bahwa kekuatan politik Sjahrir sudah semakin merosot. Sukarno dan Hatta yang memainkan peranan penting dan mungkin menentukan dalam proses itu muncul sebagai pemenang yang sebenarnya. Mereka berdualah, sebagai dwitunggal, yang akhirnya menjadi simbol persatuan dan revolusi Indonesia. Kekuatan pengaruh kharisma mereka, terutama Sukarno, melampaui jauh Sjahrir dan Tan Malaka. Sebagaimana di ketahui, dalam suasana revolusi yang amat emosionil kharisma pemimpin memainkan peranan yang amat penting, dan sering menentukan.
Walaupun ide revolusi total Tan Malaka akhirnya mengalami kekandasan, hal itu tetap mengusik benak mereka yang kritis. Bagaimanakah hasilnya kalau seandainya visi revolusinya yang menang dan diikuti? Memang sulit pula buat menjawabnya. Visi revolusi yang barangkali mendekati Tan Malaka ialah yang dipunyai oleh Ho Chi Minh di Vietnam. Sebagaimana dapat dilihat, pelaksanaan yang konsekwn dari visi itu berhasil dengan gemilang mengalahkan dua kekuatan kapitalis-imperialis besar, Perancis dan Amerika Serikat. Semangat nasionalisme serta kepercayaan kepada kekuatan sendiri yang tinggi, sebagaimana diperlihatkan oleh rakyat Vietnam, membuktikan bahwa pada akhirnya visi revolusi total bisa dimenangkan oleh mereka yang walaupun secara materi dan persenjataan adalah lemah. Revolusi itu memang berjalan lama sekali dan telah memakan banyak korban.
Revolusi kemerdekaan Indonesia telah lama selesai, dan Tan Malaka tak sempat melihat penyelesaiannya itu. Kalau seandainya dia masih hidup sekarang, apakah dia dapat menganggap bahwa ide revolusinya sudah terealisir, yaitu dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan mental? Secara lebih pendek, apakah “merdeka 100%” seperti yang diinginkannya sudah tercapai? Kalau seandainya pemahaman kita tentang Tan Malaka ini mendekati kebenaran, dia agaknya akan menjawab “belum”. Kalau memang itulah jawabannya, maka kita akan melihatnya muncul kembali sebagai seorang figur kontroversil. Seorang tokoh yang rupanya tak mungkin bisa menghindarkan diri dari suasana konflik.
Lalu, apakah dia melihat kemungkinan terealisirnya “merdeka 100%” itu? jawaban terhadap pertanyaan ini perlu dicari pada apa yang dianggapnya esensiil bagi terciptanya perubahan masyarakat yang menuju kepada kemerdekaan penuh itu. sebagaimana telah diungkapkannya, terutama dalam karya terbaiknya Madilog, kunci dari perubahan masyarakat terletak pada cara berfikir. Cara berfikir yang mampu memerdekakan suatu masyarakat secara politis, ekonomis, sosial, budaya dan sebagainya menurut Tan Malaka ialah cara berfikir materialisme, dialektis, dan logis. Secara lebih mudah, secara berfikir kritis dan dinamis. Melalui cara berfikir begitu, orang akan menjadi intelektual-aktif yang tidak memungkinkannya menjadi dogmatis atau bermental budak. Oleh karena intelektuil-aktif orang itu akan kreatif, dan oleh sebab itu akan tahu menghargai kebebasan berfikir. Seseorang yang bermental budak, menurut Tan Malaka, akan menjadi intelektuil pasif yang tak mungkin kreatif. Logikanya, dia tak mungkin dapat menghargai betul arti kebebasan berfikir. Selama cara berfikir yang begitu tidak berubah, orang atau masyarakat itu tidak akan mampu memerdekakan dirinya 100%. Perubahan cara berfikir, atau tepatnya perubahan mental, adalah kunci atau fundamentil bagi Tan Malaka. Pengertiannya tentang kekuatan ide dalam proses perubahan masyarakat berkaitan erat dengan itu. Itulah kiranya esensi dari Tan Malaka yang antara lain dapat dibaca dalam Madilog. Tetapi, siapakah kini yang membaca karyanya itu?