Kamis, 07 April 2016

Buku Dua

DAFTAR ISI



Shanghai Dan Chap Kau Loo Kun
Di Hongkong
Ke Mana
Menuju Ke Tempat Yang Tidak Disetujui
Menyeberang
Ke Arah Republik Indonesia   





SHANGHAI Dan CHAP KAU LOO KUN


Ialah Tentara ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai, permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer (1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu. Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari daerah Kwantung. Inferiority complex, rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir), (3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5) Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi) tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku: zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan. Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir, industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada  tahun 1932 belum pernah perhitungan yang teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua, setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau. Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927 ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu (tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja, yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842. Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu, maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori, semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris, Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane. Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin, terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu. Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat. Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara Tiongkok.
Ada lagi akibat buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang “Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya. Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa sendiri.
Perjanjian pincang (unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat, menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa, bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600 juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $ 250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John Gunter halaman 167).
Modal asing itu ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama di Shanghai.
Pun modal Tionghoa sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil, sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka, modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat, dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank (milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti 60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid) berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik (reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika) dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4 sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $ 16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik. Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan. (Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih, “lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre. Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business (perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari “municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis: Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama “manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri. Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api “Vickers” made in England secara gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada, tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing menamai dia “the most interesting man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada juga orang yang memanggil  dia dengan nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su, Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar, menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air (Hokkian: Sui Ho?) diceritakan riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu. Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat  ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu, maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok. Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup (smokkelaar). Kata orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat Hijau” itu.
Buat pemimpin tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan, perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen, anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir, Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy (tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok. Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan di French Consession (tanah concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen, tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja, sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah  kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.  Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya, perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa sendiri. Orang Hartawan asing  amat ditakuti karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa  Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa) saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya. Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak dikirimkan  pada sekian waktu, atau kalau perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai. Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh  Chicago dalam hal pergangsteran. Umum diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari $ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas “lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa. Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze, daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200 juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international. Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa Tionghoa.
(Tientsin buat Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan, lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan, tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas, sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara, perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah. Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial! Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan, penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara  borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di Inggris atau Amerika,  meskipun dia seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna, bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua golongan Tionghoa yang diam di French Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis) wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar. Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan. Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia. Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing (Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik, perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti. Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok. Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar, ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji, berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu. Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu. Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang saudara pula.
Oleh karena sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist. Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa. Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman. Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran, perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara. Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1. Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan  nasional Tiongkok atas politik luar dan dalam  negeri sendiri. Kelemahan pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping, yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain, yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya itu.
Dalam hakekatnya Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi 9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr. Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo (oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1) aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow. Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2 buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa, kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya, bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum nasionalist radikal.
Haruslah disini diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu. Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme.
Dalam pertentangan sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis, dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam Kuomintang.
Sayap kanan yang mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong, yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu. menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun 1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan 100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam, kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini, bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun 1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja. Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka. Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun 1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran, buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan perguruan, dari SMP sa  mpai sekolah tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu. Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu. Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi sake.
Inilah upahnya mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4. Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang, ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun, tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19 datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri; sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada saya supaya pindah rumah, karena something will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas. Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang. Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam 10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan pitchin, English, bahasa Inggris pasar No go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya (lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat nyonya rumah dan tidur dilao-ka (tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan dan air.
Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong, tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya. Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan” bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan. Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh. Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan “neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit, di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya berjalan menuju ke French Settlement, ke rumahnya Sensei (tuan) Chen. Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula, menghindarkan tembakannya para “snippers” yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino, ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk, Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan. Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini. Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana. Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus terang kepada saya.
“Jenderal” Chen memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung. Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19 yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya, yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa “mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.  Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja, yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti, bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan, setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini, menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit, kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus. Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini. Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh semuanya penduduk rumah, “jenderal”.     
Rupanya Sensei Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani, pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri. Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya, mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota, Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya, yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu. Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam, ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan, pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu dilakukan.
Baru tengah hari sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya. Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu, bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan” surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan rumah saya berjumpa dengan tauka (yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian. Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga, kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir. Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
 Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1 x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri kepada seorang “American returned student” (mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.




DI HONGKONG


Ong Soong Lee, nama penuhnya, yang mengandung 13 nama reserve, dengan tidak membatalkan nama di atas pasportnya dengan kopor baru, kebetulan pula seharga $ 13, pada permulaan bulan Oktober tahun 1932, menyewa kamar No. 13 di Station Hotel Kowloon, kota di seberang bandar Hongkong.
Syahdan pada hari 2 x 10, ialah bulan 10 dan hari 10, hari ulang tahunnya Republik Tiongkok, maka angka 3 x 13 tersebut di atas, buat mereka yang percaya kepada kecelakaan angka 13 benar-benar menjalankan rohnya. Buat mereka yang bersandar atas barang yang nyata, tentulah kemalangan diri saya pada malam hari itu berhubungan dengan sebab dan akibat yang nyata pula.
Tetapi memangnya pula, entah karena perasaan apa, maka pada sorenya hari 2 x 10, hari double-ten itu saya mengadakan persiapan dengan kawan saya Dawood. Semua pesan yang perlu saya berikan pada malam hari itu, seolah-olah ada bahaya yang akan menimpa. Dawood datang dari Indonesia menjumpai saya di Shanghai. Kemudian dia berangkat dulu ke Hongkong dimana kami berjumpa lagi. Dia tinggal di kota Hongkong dengan memakai nama Phipino dan saya tinggal di Kowloon.
Di Hongkong di tepi pantai pada hari tersebut sampai jauh malam kami bercakap-cakap. Kami berpisah hampir jam 12 malam. Dia tinggal di Hongkong dan saya menumpang ferry boat, kapal yang pulang balik antara Hongkong dan Kowloon. Lamanya berlayar lebih kurang 5 menit. Setelah sampai di Kowloon, maka saya merasa diikuti oleh polisi rahasia Inggris. Seorang Tionghoa berpakaian biasa dan seorang Benggali, tinggi besar selalu saja di belakang saya.
Apabila sudah saya memperoleh kepastian bahwa kedua polisi rahasia tersebut benar-benar mengikuti saya, maka saya mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri. Dengan segala muslihat saya berusaha melepaskan diri dari mata mereka, tetapi karena keadaannya kota Kowloon, di tengah-tengah malam hari pula, tidaklah berhasil usaha itu. Saya tetap diikuti. Kowloon dikelilingi laut. Satu jalan yang menghubungkan Kowloon dengan Canton ialah jalan kereta api yang rupanya sudah dijaga pula.
Jalan keluar kota, sudah tertutup sama sekali. Apabila saya sampai ke depang hotel saya, maka saya merasa tidaklah aman masuk ke dalam hotel. Saya tidak jadi masuk ke dalam hotel, melainkan membelok ke kanan. Tiba-tiba saya diserang dari belakang oleh dua orang.
Si Tionghoa yang mengikuti saya tadi dengan tangan kirinya menekan leher saya sambil memegang tangan kanan saya dengan tangan  kanannya pula. Si Benggali, yang tinggi besar itu dengan tangan kanannya menekan leher bagian belakang saya dan memegang tangan kiri saya dengan kirinya pula. Serangan ini dilakukan sekoyong-konyong dengan kekerasan seperti polisi hendak menangkap seorang penjahat pembunuh orang.
Segera saya bertanya dalam bahasa Inggris: “What is the matter? (Apa perkaranya?), oleh Benggali pertanyaan itu cuma dijawab dengan perkataan “What is the matter” pula. Cuma perkataan itu diteriakkannya keras-keras sambil leher belakang saya ditekankannya lebih kuat ke depan.
Ditekan oleh dua kiri kanan itu saya hampir tidak bisa bernapas. Dengan sendirinya kaki saya sebelah kiri yang pernah mendapat “latihan kampung” bergerak ke lobang belakang lututnya menuju ke depan dan siku kiri saya bergerak menekan perutnya menuju ke belakang. Dia terpaksa melepaskan tekanannya atas leher saya, berbalik, sambil meraba hulu pistolnya.
Saya baru insyaf, bahwa saya berhadapan dengan polisi rahasia yang bersenjata lengkap itu. Karena si Tionghoa tidak bersikap keras seperti si Benggali dan melonggarkan pegangannya maka cuma satu jalan yang dapat saya tempuh untuk membela diri: menerjang si Tionghoa ke kiri (kalau perlu), dan menendang dengan cepat si Benggali, yang sudah setengah terbalik itu. Apa kelak akibatnya saya pada saat itu tidak pikirkan lagi. Menghadapi maut orang tak bisa berpikir panjang. Lagi pula penghinaan semacam itu walaupun dari dua orang bersenjata lengkap tidak dapat saya terima begitu saja.
Untunglah saya tidak menyabung jiwa, cuma buat membela kehormatan diri sendiri. Ada lagi kehormatan yang lebih tinggi yang akan dibela. Sekonyong-konyong keluarlah dari sudut yang gelap polisi resmi, polisi Inggris, dengan teriakan dalam bahasa Hindu kepada Benggali tadi sambil menghampiri saya dengan perkataan: “That is not the way to arrest a man”. (bukan demikian caranya menangkap orang).        
Oleh polisi resmi itu saya digiring ke kantor polisi, cabang Kowloon, yang tidak jauh dan agak tinggi letaknya. Di belakang kami kedua polisi rahasia tadi mengikuti, agak jauh jaraknya. Sambil berjalan polisi resmi berkata dalam suara rendah kepada saya: “I am a Punjabi Moslem”. Yang kedua kalilah saya berkenalan dengan Islam Hindustan, dalam keadaan sulit. Pertama ketika ditangkap di Manila. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu dia memberikan sumbangan kaum Islam di Manila dengan berupa uang. Yang di Kowloon ini memberikan sumbangan dengan jalan memisahkan saya dari mereka yang menjadi kaki tangan imperialisme Inggris yang kesetiaannya kepada tuannya tak kurang daripada kesetiaan anjing pemburu, siap sedia menerkam mangsanya kalau diperintahkan oleh tuan yang memberi makan padanya. 
Di kantor polisi Kowloon lewat jam satu malam, saya disambut oleh para polisi, lima enam orang polisi Tionghoa di bawah pimpinan seorang sersan Inggris. Baru saja diserahkan oleh polisi Islam tadi ke sersan Inggris itu maka yang di belakang ini memerintahkan kepada orang bawahannya buat menggeledah saya. Saya digeledah habis-habisan sampai tak ada bagian badan yang tidak digeledahnya. Protes yang saya majukan kepada sersan Inggris tak ada gunanya.
Setelah digeledah saya disuruh duduk menunggu kedatangan orang, katanya dari Singapore. Antara jam 2 dengan jam 3, datanglah seorang Hindu, gemuk-pendek, dikenal di Singapore oleh kaum pelarian Komunis dengan nama Pritvy Chan, ialah anggota I.S. (Badan Penyelidik) Inggris.
Pritvy Chan, seorang Benggali (?) menghampiri saya seolah-olah hendak memukul. Dalam bahasa Indonesia kasar dia berteriak: “Lu bukan orang Filipina. Mana boleh lu orang Filipina. Lu bohong, lu bohong” Dari mulutnya keluar hawa berbau arak.
Saya diam saja. Tetapi dengan segera saya mengerti bahwa yang dimaksudkan dengan orang Filipina itu tentulah teman saya Dawood, di Hongkong, yang memang memakai nama Filipina. Saya mengerti pula, bahwa dia datang dari Singapore untuk mencari Dawood, bukan mencari saya. Saya seperti tersebut di atas saya memakai nama Tionghoa. Inilah salah satu contoh yang sering disebutkan salah raba.
Pritvy Chan, melihat saya berdiri dan tidak menyaut apa-apa rupanya bertambah marah. Dengan suara lebih keras dia berteriak-teriak terus. “Ayo coba lu akui, lu orang Filipina”, sambil mengacungkan tangannya hendak memegang rambut saya.
Tangan itu saya sambut dengan tangan dan perkataan: “I don’t understand you” (Saya tidak mengerti perkataan tuan).
Jawab ini menambah marahnya. Perkataan yang tidak senonoh berhamburan keluar bersama-sama hawa sopinya.
Protes saya tidak didengarkan. Sersan Inggrisnya terus menulis seolah-olah semuanya itu perkara biasa saja. Buat saya seorang Benggali gendut, seperti Pritvy Chan itu bukanlah perkara susah. Kalau mau, beradu kekuatan kasar atau halus. Caranya Benggali berkelahi, dimana kekuatannya dan dimana kelemahannya, cukuplah saya ketahui. Apalagi pula Benggali Chan, yang sedang mabuk itu, bukanlah lawan yang sebanding. Tetapi sekelilingnya Pritvy Chan ada setengah lusin agen polisi.
Dengan susah payah saya menekan kesabaran, walaupun provokasi dari Pritvy Chan sudah memuncak. Kalau saya dengarkan perkataannya, perhatikan potongan badannya dan caranya dan berteriak sambil mengacungkan tangannya itu sering pula saya tergoda hendak mematahkan tulang rusuknya. Tetapi saya merasa bahwa masih ada jalan buat menghindarkan malapetaka. Akhirnya saya berkata: I am a Hawaian born Chinese. I can show you my passport” (saya seorang Tionghoa Hawai. Saya bisa menunjukkan pasport saya kepada tuan). Setelah dia mempelajari pasport saya, maka dia termenung bermenit-menit lamanya. Akhirnya dia berdiri dan ajukan tangannya kepada saya buat bersalaman.
“Please for give me. Now I know you from the picture in your pasport. I have you as for Gandhi. Please forgive me, please for give me.” (Maafkan saya. Sekarang saya kenal tuan daripada gambar tuan dalam surat pas. Saya selalu menghormati tuan seperti saya menghormati Ghandi. Maafkan saya!)
Jadinya Pritvy Chan mengenal benar gambar saya. Di Singapore dia perlu mempelarinya baru menangkap saya. Tetapi mengenal gambar seseorang belum lagi berarti mengenal orangnya sendiri. Yang sebaliknya mungkin terjadi. Walaupun gambar Ong Soong Lee banyak berubah, karena langsung diambil dengan alat potret besar dan  dari gambar besar diambil gambar kecilnya, ukuran pasport, tetapi Pritvy Chan bisa juga mengenalnya.
Hampir jam empat pagi dini hari oleh Pritvy Chan dan seorang opsir Inggris saya dibawa menyeberang ke Hongkong, terus ke pusat-kantor polisi. Dalam perjalanan berulang-ulang Pritvy Chan mengucapkan seperti tersebut di atas. Ditambahnya pula dengan ucapan: Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau kejadian apa-apa, “that” shall be uppon my shoulder, akan menjadi tanggungan dipundak saya.
Berulang-ulang di belakang hari diucapkan: “that shall be upon my shoulder” itu. Sikap Pritvy Chan terhadap saya selama dalam penjara Hongkong membuktikan penjelasan akan kejadian pada malam hari pertama di kantor polisi Kowloon itu. Berkali-kali saya katakan, bahwa semuanya itu memang sudah saya lupakan dan harus saya maafkan, teristimewa pula karena salah raba. Lagi pula saya sudah bersiap sedia menanggung semua resiko perjuangan dan penyamaran. Tetapi Pritvy Chan, merasa tidak puas dan selalu diucapkan: “Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau tidak, tanggung jawab juga akan terletak di pundak (bahu) saya”. Biasanya ditambah pula dengan: “I have many children, (saya beranak banyak). Tetapi apa perhubungannya “anak banyak itu” dengan ucapan, “saya harap tuan akan selamat saja”, itu kurang saya pahamkan. Barangkali berhubungan dengan agamanya Pritvy Chan dan dosa (?) yang dia sangka dijalankannya. Juga barangkali dengan pengetahuannya bahwa almarhum Subakat meninggal di dalam penjara Belanda.
Pada malam hari tangkapan itu sekejap matapun tidaklah dapat saya tidur. Sesampainya di kantor pusat di Hongkong, oleh Kepala Inspektur Polisi, Murphy, saya dihujani dengan pertanyaan yang mengenai kepolisian dan gerakan kemerdekaan. Seluruhnya riwayat hidup saya perlu diceritakan lagi. Semuanya pertanyaan yang oleh Inggris dianggap berguna buat keselamatan Negara dan jajahannya dimajukannya. Tentulah dia ingin mengetahui apa maksud saya pergi ke Birma seperti tercantum dalam surat pas saya. Lebih ingin dia pula dia hendak pergi ke Hindustan. Persoalan yang di belakang inilah yang melambatkan pemeriksaan dan amat memberatkan perkara saya dan melamakan saya tinggal di penjara Inggris di Hongkong. Walaupun Inggris kekurangan bukti dan semua pertanyaannya berupa abstrak, terpisah, tergantung di awang-awang saja dan berdasarkan “commited crime”, ialah pelanggaran yang dilakukan, pemerintah Hongkong tiada bisa memutuskan dengan cepat dan tepat. Dia keragu-raguan dan sayalah yang menjadi korban keragu-raguan itu. Dua-tiga bulan lamanya saya harus meringkuk di penjara Inggris di Hongkong itu.
Rupanya sesudah tiap-tiap soal-jawab berlaku hasilnya dilaporkan kepada Pemerintah Hongkong. Tiada mengherankan kalau tiap-tiap laporan tersebut menimbulkan pertanyaan baru pula. Pertanyaan baru itu disambungkan pula dengan catatan yang dirampas dari saya. Saya biasa sekali membikin catatan dan apa yang berhubungan dengan kejadian dan bukti yang saya kumpulkan dari hari ke hari. Kejadian dan bukti itu tidak ada hubungannya dengan gerak-gerik saya, tetapi penting buat pengetahuan saya di hari kemudian, umpamanya kejadian penting di Tiongkok, Filipina dan lain-lain yang berguna buat pengetahuan. Rupanya buat  pemerintah imperialis Inggris yang selalu hidup dengan kecurigaan atas keamanan jajahannya, catatan saya semacam itu bisa dikaitkan dengan aksi ini atau yang lain yang mungkin membahayakan British Empire itu. Saya masih geli tertawa, kalau mengingat bagaimana polisi Amerika di Filipina membesar-besarkan isi buku peringatan (note book) yang dirampasnya dari saya dari tahun 1927 di Manila sampai nyamuk bisa berubah menjadi gajah.
Sesudah tiga empat hari pemeriksaan berlangsung, kadang-kadang lama kadang-kadang sebentar saja, maka akhirnya inspektur Murphy, rupanya dengan suara sedikit terharu kepada saya: “I have at last carried out what I have considered my duty”. Akhirnya saya sudah jalankan apa yang yang saya anggap kewajiban saya. Perkataan “considered”, saya anggap, itu diucapkan dengan bibir yang mencemohkan dan bahu yang diangkat. Seolah-olah kemauannya Murphy sendiri tiada cocok dengan “kewajibannya” itu.
Murphy adalah nama yang lazim dipakai oleh orang Irlandia. Apakah Murphy seorang Irlandia yang bekerja di jajahan Inggris? Kalau Murphy seorang turunan Irlandia, Irlandianya de Valera, mungkinkah dia bersimpati pada gerakan kemerdekaan Irlandia yang berlaku sudah puluhan tahun itu? Kalalu begitu tidak mustahil, bahwa Murphy bersimpati juga terhadai pergerakan kemerdekaan bangsa lain yang bukan Bangsa Irlandia, seperti Bangsa Indonesia. Bagaimana juga kepada saya kepala Inspektur Murphy selalu berlaku ramah tamah.
Pada hari pertama saja, saya berada dalam tahanan, saya sudah mengajukan permintaan memakai pengacara orang Tionghoa. Bukannya karena saya tidak sanggup membela diri sendiri melainkan ini adalah hak tiap orang tahanan. Dengan adanya perhubungan dengan luar penjara maka saya akan mendapat jaminan bahwa perkara saya dan diri saya sendiri tak akan disimpan diam-diam saja atau akan dipermainkan begitu saja. Perkara saya akan diketahui juga oleh masyarakat Tionghoa. Permintaan itu karena memangnya hak dan adil tak pernah dibantah oleh pegawai rendahan Inggris, seperti oleh Murphy, tetapi tak pernah diluluskan oleh pemerintah Hongkong. Pegawai rendahan membenarkan, birokrasi menolak atau mensaboteer. Sikap imperialis yang biasa. Teristimewa pula terhadap seorang Indonesia yang terasing di luar negerinya, lepas dari masyarakatnya sendiri dan tak dikenal oleh masyarakat asing.
Ingat saya dan lebih-lebih pula saya hargai bangsa Indonesia-Filipina yang cepat memberi bantuan, ketika lima tahun lampau alangkah besar bedanya keadaan Hongkong dan di Manila. Di Hongkong terasing sunyi senyap cuma dikelilingi oleh kaki tangan pemerintahan imperialis. Di Manila dilepaskan oleh rakyat bersimpati dan terus dibantu lahir batin seberapa kuatnya Rakyat Filipina selama saya berada di Filipina. Memangnya pula dekat sekali rakyat Filipina yaitu dalam sejarahnya kepada rakyat Indonesia dan besar pula hak dan keinsyafan politik turunannya Rizal-Bonifacio-Mabini.
Tetapi tidak begitu saja saya memutuskan bahwa rakyat Tionghoa, walaupun yang di bawah bendera Inggris saja tidak memberikan perhatian terhadap perkara saya. Pada suatu hari Murphy bertanya kepada saya (tentulah atas suruhan birokrasi Hongkong) apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Karena pertanyaan itu dilakukan dengan tersenyum maka saya jawab pula dengan tersenyum: “tuan lihatlah saja sendiri”. Dia pergi dengan berkata: “sayapun sangka tidak”. Tetapi rupanya soal itu, adalah satu soal yang tiada bisa diselesaikan dengan senyum saja dari kedua belah pihak. Tidak berapa lama maka diulangilah pertanyaan tersebut apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Tetapi pertanyaan kali ini harus dijawab dengan tulisan dan ditandatangani. Sebab karena konsul, wakil pemerintah Kwantung di Hongkong mengakui bahwa Tan Malaka adalah turunan Tionghoa. Syahdan menurut Undang-Undang Negara Tiongkok, dimana saja dan bilamana saja seseorang yang setetespun mempunyai darah Tionghoa, akan diakui oleh pemerintah Tiongkok sebagai rakyat Tiongkok. Demikianlah dilakukan soal jawab yang bunyinya lebih kurang dibawah ini:
Tanya: “Are you Chinese?” (Apakah tuan seorang Tionghoa?)
Jawab: “Scientifically speaking yes” (menurut ilmu bangsa, memangnya begitu). (Menurut ahli bangsa, seperti Haddon, Smith, dll, maka bangsa Indonesia itu adalah salah satu suku daripada bangsa Mongolia. Kedalam bangsa Mongolia itu termasuk juga bangsa Tionghoa, Jepang, Korea, Tibet, dan bangsa Mongolia sendiri. Sering juga bangsa Indonesia, Siam, Filipina, Birma dan Annam disebut Oceanic Mongolia, ialah bangsa Mongolia Samudra).
Mendengar jawab “scientifically yes” itu semuanya orang tertawa. Pun saya sendiri. Murphy berkata bahwa bukanlah itu yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan ialah apakah saya warga Tiongkok apakah tidak. Dalam hal ini saya jawab “tidak”. Saya sendiri merasa bahwa pasport saya tak akan diakui sah, karena kekurangan syarat. Buat orang Indonesia kalau hendak menjadi warga Tionghoa perlulah beberapa syarat. Menurut Murphy, maka konsul Kwantung mengatakan bahwa darah Tionghoa yang ada pada saya ialah “from my mother side”, datangya dari pihak ibu saya.
Hal ini menurut sejarah yang masih kita kenal, tentulah tiada mungkin terjadi. Keluarga saya adalah keluarga yang beragama Islam dan beradat asli Minangkabau di desa kecil, yang berjauhan sangat dengan yang ada tempat orang Tionghoanya. Apalagi di masa ibu saya lahir. Mungkin di seluruh Padang Darat belum ada Tionghoa di masa ibu saya lahir itu. apalagi di masa nenek saya lahir, yang masih saya kenal dan anaknya seorang kiai (syeh) di abad lampau.
Tetapi memangnya Tionghoalah yang mempusakakan kepada bangsa Indonesia beberapa bukti kejadian Indonesia yang sebenarnya. Teristimewa pula di zaman lampau, seperti di zaman Sriwijaya, Sunda Kelapa, dls. Demikianlah kalau kita kembali lebih dari 500 tahun ke belakang, maka Sang Sejarah (bacalah buku sejarah Melayu). Mengabarkan kepada kita bahwa seorang sultan Kerajaan Malaka (Musafir atau Mansyur Syah) kawin dengan seorang puteri Tionghoa. Sekembalinya dia ke Malaka, maka puteri tadi diberi pula 500 oran dayang-dayang ialah para gadis anaknya para pembesar Tionghoa. Sesampainya di Malaka mereka di Islamkan dan dikawinkan dengan para pembesar di Malaka. Kuburan mereka masih terdapat di suatu tempat yang bernama “Bukit Cina”. Sesungguhnya pula kalau almarhum ibu saya berpakaian Tionghoa dan duduk di antara wanita Tionghoa tak akan banyak orang yang akan melihat perbedaan, karena perawakan dan warna kulitnya seperti sering terdapat pada wanita Indonesia lainnya memang banyak persamaan. Pula Minangkabau asli dan sekarang amat rapat perhubungannya dalam segala-galanya dengan Tanah Semenanjung Malaka. Walaupun saya tak akan merasa kecewa kalau dari pihak ibu, saya ada mewarisi darah Tionghoa, tetapi apa yang terjadi lebih daripada 500 tahun lampau itu tiadalah sanggup saya menyelidikinya, apakah pula membenarkan atau menyalahkan “teorinya”, Konsul pemerintah Kwantung di Hongkong itu. Di samping sejarahnya “Puteri Cina” di Malaka itu janganlah dilupakan banyaknya beberapa suku Indonesia asli dengan Tionghoa itu (Batak umpamanya). Kalau tiada banyak persamaan itu masakan pula para ahli akan memasukkan bangsa Indonesia ke dalam jenis manusia Mongolia.
Perhatian tuan Konsul sebenarnya amat menggembirakan saya di masa itu. Saya merasa kurang sunyi, karena suara dari luar senjata sudah ada yang masuk.
Sebenarnya yang mendorong saya memberikan jawaban tidak (bukan Tionghoa) itu ialah karena tiada pastinya bagi saya, apakah sifat dan bagaimanakah sikap pemerintah Kwantung di masa itu terhadap komunis di luar Tiongkok umumnya dan terhadap saya khususnya. Kalau pemeriintah Tiongkok Selatan 100% berdiri di belakang Chiang Kai Shek maka pasti apa saja dan siapa saja yang berhaluan komunis tiada akan diampuni. Berlainan halnya dengan kalau pemerintah Kwantung berhaluan sayap kiri atau mirip ke situ. Inilah hal yang tiada saya ketahui dan tiada pula saya bisa ketahui. Inilah hal yang amat menimbulkan kejengkelan saya terhadap pemerintah Hongkong, karena pemerintah dari negara demokratis ini membatalkan hak demokrasi saya ialah memakai seorang pembela hukum. Seandainya hak saya itu tiada dilanggar oleh pemerintah Hongkong, saya dapat mengetahui sifat dan sikapnya pemerintah Kwantung di masa itu. pelanggaran hak demokrasi itu di belakang hari lebih memukul pula. Peristiwa itu kelak akan lebih dimengerti pembaca yang bijaksana dan budiman!
Teranglah rasanya bahwa jawab tepat yang mengatakan bahwa saya bukan Tionghoa,dan mestinya mengecewakan konsul Kwantung itu, sama sekali tiada berhubungan dengan persoalan kebangsaan. Buat saya diakui oleh satu bangsa yang berkebudayaan luhur serta bersejarah gemilang seperti Tionghoa itu, sebagai anggota sendiri, adalah satu penghormatan yang luar biasa. Supaya hal ini juga diketahui oleh pembaca Tionghoa. Seandainya Dr. Sun masih hidup, dan berada dalam keadaan seperti sediakala, tentulah saya tiada akan ragu-ragu mengambil sikap dan tindakan. Dalam hal ini tiadalah saya akan mempelajari lebih dahulu usulnya konsul Kwantung, melainkan sendiri akan berusaha dengan segala akal dan tenaga masuk ke Canton Dr. Sun itu.
Meskipun saya ditangkap oleh imperialisme Inggris saya tiada berurusan dengan pemerintah Inggris saja. Rupanya entah hak apa, Inggris memberi kesempatan pula pada wakil pemerintah imperialisme lainnya, seperti konsul Amerika, Perancis dan Belanda buat melakukan pertanyaan. Kalau diterangkan lebih dahulu, bahwa pertanyaan itu langsung datangnya dari pihak yang bukan Inggris, tentulah dengan mentah-mentah bisa saya tolak menjawabnya itu. Tetapi pertanyaan itu biasanya dilakukan dengan cara Inggris (British way) ialah dengan cara licik. Maklumlah pemerintah Hongkong adalah wakil negara-negara yang menjalankan demokrasi buat negara atau buat borjuis negaranya sendiri, tetapi dalam hakekatnya dengan segala macam tipu muslihatnya selalu berusaha membatalkan hak demokratis itu kepada bangsa berwarna, yang tiada menyetujui imperialisme! Cuma kalau percakapan sudah sedikit lanjut, kita merassa, bahwa Inggris membiarkan dirinya dipakai oleh Amerika, Perancis, dan Belanda untuk mengetahui ini itu yang berhubungan dengan gerakan revolusioner di jajahannya masing-masing. Berhadapan denga solidarity, kesetiaan antara imperialis satu dengan yang lainnya itu maka saya anggap perlu juga saya hadapkan solidarity saya dengan para pemimpin gerakan kemerdekaan di mana saja, di bawah langit ini. Mungkin ada, mungkin pula tak ada seorang pemimpin revolusioner Annam, yang katanya ada dalam penjara Hongkong.....mungkin atau tak mungkin pula pemimpin Annam itu mengakui mengenal saya di Moskow atau di Canton....tetapi saya tolak mengenal siapapun pemimpin revolusioner, kecuali kalau memang tak bisa ditolak lagi. Bukannya saya juga tak pernah menanyakan siapakah spionnya Inggris yang mencari-cari saya dan para teman saya dimana-mana? Kesolideran (kesetiaan satu sama lainnya) musuh itu mesti zonder tawar menawar dibalas pula dengan kesolideran di kalangan teman seperjuangan, di dalam menghadapi musuh bersama. Sikap inilah pula yang memberatkan keadaan saya di belakang harinya, di Hongkong atau di mana saja saya berada dalam tangkapan.
Rupanya belum cukup lagi berhari-hari saya dihujani dengan pertanyaan yang timbul dari pemerintah Hongkong dan wakil teman dari imperialis sejawatnya di Hongkong itu. sesudah seminggu saya berada di penjara Hongkong maka tibalah pula wakil pemerintah Singapura, wakil Inggris di Shanghai dan dari Nangking. Semuanya ingin “berkenalan” dengan saya.
Bahwa sesungguhnya pula pada suatu malam saya dikeluarkan dari dalam sel, buat dijumpakan dengan beberapa orang wakil pemerintah Inggris di Singapura yang baru saja tiba di Hongkong. Saya dipersilahkan duduk di salah satu kamar di dekat sebuah meja. Di antara tiga orang tamu adalah satu orang yang sudah saya kenal, selama dalam penjara, ialah Pritvy Chan. Pritvy Chan cuma memperingatkan dirinya sendiri saja dengan perkataan: “nah tuan sudah kenal saya”. Segera menyusul salah seorang dari yang baru datang dari Singapura itu dengan perkataan: nama saya Dickenson. Saya sama sekali tiada berhubungan dengan “kepolisian”.
Roman mukanya tuan Dickenson amat menarik perhatian bentuk muka sangat harmonis, matanya sedang dan memandang dengan langsung, semuanya pantas dimasukkan ke dalam golongan Inggris budiman. Rupanya dia banyak menaruh perhatian pada Revolusi Siam. Ditarik ke jurusan itu saya cuma mengatakan bahwa pergerakan di Siam tidaklah mudah buat dipahamkan. Terlampau banyak terjadi di belakang layar yang tiada mudah dimengerti oleh orang luar. Tuan Dickenson yang katanya tak berhubungan dengan kepolisian, di belakang harinya menj abat pekerjaan sebagai kepala I.S. Inggris di Singapura.
Akhirnya tuan yang duduk di depan saya, yang selama ini berdiam diri bertanya kepada saya: “Do you know me?” (tuan kenal saya?)
Jawab: Yes!
Tanya: “Siapa nama saya?”
Jawab: “Onreadt”.
Tuan Onread adalah kepala Kepolisian di Singapura. Dikalangan kami, orang pelarian, dia cukup terkenal. Walaupun baru kali ini saya melihat mukanya, saya tidak dengan ragu-ragu menjawab seperti di atas. Keadaan saya sendiri dan pekerjaannya tuan Onreadt yang sudah-sudah, bentuk muka dengan kumis-seru-seram itu menarik saya pada kesimpulan, bahwa pada saat itu saya berhadapan bukan lagi dengan bayang-bayangan seperti di Singapura, melainkan dengan badannya sendiri. Tidaklah pula akan mengherankan, kalau seseorang yang selamanya ini mencari seseorang “musuhnya” dengan persangkaan, bahwa musuhnya itu tidak mengenal dirinya, maka setelah ternyata musuhnya itu mengenali dia, tidak mengherankan kalau dia terperanjat. Seolah-olah dia sekonyong-konyong insyaf bahwa gerak-geriknya yang disangkanya tersembunyi itu, semuanya diketahui oleh musuhnya. Demikianlah agaknya dengan tuan Onreadt.
Bentuk dan mukanya tuan Onreadt tidak pula memberi kesangsian sedikit pun akan pekerjaannya. Tuan Onreadt setelah mendapat jawaban yang mungkin tiada disangkanya tadi itu coba menyusun pertanyaan lain.
What is your porpuse of life!” (Apakah maksud hidup tuan?)
Jawab: “To do something useful for the society”. (Berbuat sesuatu yang berguna buat masyarakat).
Sesudah tidak beberapa lama maka dia berkata:
My heart is top side down. I see you are on the side of the front-line. And I on this side. But I can’t do otherwise. I have to protect the British Empire”. (Hati saya terbalik berputar. Saya melihat tuan di sebelah sananya di garis-perjuangan. Dan saya di sebelah sini. Tetapi saya tidak bisa berbuat lainnya. Saya harus membela Kerajaan Inggris).
Percakapan berhenti dengan begitu. Sebelumnya berpisah diucapkan lagi oleh tuan Onreadt perkataan seperti: “How your people will remember you after hundreds of years”. (Bagaimana bangsa tuan akan memperingati tuan selama ratusan tahun di belakang) dan ucapan lain yang maknanya, sedemikian juga sampai menyebut-nyebut dan membandingkan saya dengan Nabi Isa.
Ucapannya yang tiada berpadanan dengan taksiran saya sendiri atas diri saya sendiri itu dan apalagi tiada pula berpadanan dengan perlakuan kepolisian Inggris terhadap diri saya, ketika ditangkap segera saya potong dengan keterangan bagaimana caranya para polisi Inggris melakukan tangkapan terhadap diri saya. Tiada bedanya dengan penangkapan atas seorang penjahat pembunuh yang dijalankan di tengah malam.
Dengan amat malu-malu tuan Onreadt menjawab, bahwa ia sendiri amat menyesali peristiwa itu dan akan memeriksanya dengan segera. Buat saya peristiwa itu sudah terjadi dan tak bisa dicabut kembali. Seperti kata pepatah “Nasi sudah menjadi bubur”.
Sesudah berhari-hari vooronderzoek pemeriksaan semula dijalankan, maka pada suatu hari saya diiringkan ke suatu kamar besar di dalam pekarangan kepolisian juga. Di sana saya berhadapan dengan beberapa orang Inggris yang saya sudah sebut di atas, ialah wakil pemerintah Inggris dan Hongkong, Singapura, Shanghai, dan Nangking atau Peiping. Berpakaian resmi kelihatan pula wakil gubernur Hongkong, ialah sekretaris jenderal Halifax. Rupanya saya dihadapkan ke muka Police Count, pengadilan polisi.
Pertanyaan datang dari beberapa sudut. Yang terutama mengambil bagian dalam soal-jawab itu ialah wakil Inggris dari Shanghai (?) dia sudah pernah menjadikan tempat “pembuangan” untuk saya ialah Jamaica, sebuah pulau kerajaan Inggris di Amerika Tengah. Tetapi tak pernah dia memperkenalkan namanya kepada saya. Saya tak bisa memastikan apakah dia berhubungan dengan I-S Inggris atau dengan diplomasi. Tetapi dialah yang mengambil bagian terbesar dalam bersoal jawab dengan saya. Pertanyaan kecil-kecil, dari pihak para pegawai yang lain-lainnya tidak diizinkannya ditanyakan kepada saya.
 Caranya berbicara dan bertanya mirip kepada tukang-gertak. Matanya tak pernah memandang mata saya dengan tetap, seperti tuan Dickenson. Rambutnya dan kumisnya merah. Semua perawakan serta gerak-geriknya memperingatkan kepada kucing yang kalau mengintai mangsanya bisa berjalan di atas ujung kukunya dengan tidak kedengaran jalannya. Biasanya menurut naluri (instinct) saja, saya sesuaikan sikap saya dengan kesan-firasat yang saya peroleh daripada orang yang di depan saya itu. Begitu pula terhadap rambut merah dan kumis merah ini!
Dia mencoba menghujani saya dengan pertanyaan ala public prosecutor, officier van justitie, penuduh resmi. Taktik yang sebaiknya yang dipakai buat menghadapi lawan semacam itu ialah: tenang dan pendek berbicara. Setelah benar-benar kelak diketahui mau kemana ia pergi, barulah diberikan tangkisa yang jitu.
Dalam pertanyaan yang banyak diucapkan secara gertak sambal, saya mendapat kesimpulan, bahwa dia tiada mempunyai bukti yang bisa dimajukan kepada saya sebagai suatu “pelanggaran”. Dia cuma mengetahui pengetahuan umum tentang saya, yang tiada perlu saya sangkal kebenarannya seperti: saya dibuang dari Indonesia oleh pemerintah Belanda, dari Manila oleh pemerintah Amerika, pernah ke Moscow, pernah bekerja buat Komintern dan Profintern dan lain-lain sebagainya. Tentulah dia bisa mengambil kesimpulan sendiri, bahwa saya mengenal beberapa orang pergerakan revolusioner di mana-mana negeri. Tetapi yang penting buat dia tentulah mereka yang bekerja giat untuk merobohkan apa yang paling dekat sekali ke hati tiap-tiap orang imperialis Inggris ialah: “The British Empire where the sun never set”, kerajaan Inggris yang (karena luasnya) tak mengenal matahari tenggelam.
Dalam soal jawab, kami memegang pendirian bahwa hak saya menyimpan rahasia tentang segala hal yang berhubungan dengan kemanan para teman seperjuangan saya, tiadalah kurang dari haknya seseorang pegawai pemerintah Inggris buat  menyimpan rahasia tentang segala-galanya yang berhubungan dengan kejayaan para mata-mata imperialis Inggris. Selainnya daripada itu, maka hak Inggris untuk mengetahui organisasi yang bermaksud untuk merobohkan kapitalisme dan imperialisme tiadalah lebih dari hak saya untuk melindungi dan menyembunyikan semua organisasi yang bersifat demikian.
Apabila Inggris berambut merah tadi umpamanya bertanyakan, apakah saya kenal dengan beberapa orang  Hindu yang benar-benar termasuk organisasi yang menentang penjajahan Inggris, maka saya jawab, saya tiada kenal. Walaupun hal yang sesungguhnya adalah sebaliknya.
Sebagai satu “umpan” maka saya mengakui mengenal seorang Hindu yang saya sebenarnya tiada mengenal orangnya, tetapi kenal namanya seperti “Raja Mahindra Pratap”, seorang oppurtunist atau pengimpi atau keduanya, yang di belakang hari menjadi kolaborator Jepang. Beberapa pemimpin buruh Tionghoa, yang dulu saya kenal baik di Hongkong dan Canton, seperti saudara Sou dan Ho sudah meninggal dan tiada menjadi persoalan lagi. Teman seperjuangan Tionghoa yang lain-lain boleh dicari oleh Inggris sendiri, jadi pada waktu itu tak bisa dihadapkan ke depan saya.
Berhadapan dengan beberapa kesulitan, maka tuan Kumis Merah mengubah sikap mukanya dan dengan suara yang dia kira bisa memberi pengaruh di luar gedung sandiwara tiba-tiba saja berkata: “Pada jam ini kami mendapat kabar dari Singapura, bahwa Jamaludin Tamim dan teman-temannya ditangkap oleh pemerintah Inggris di Singapura. Segera sesudah dia mengambil kesan dari sambutan saya, dia bertanya pula: “Are you upset?” (Apakah tuan putus asa?) Dengan cepat saya jawab: “No
Memangya lebih dahulu saya sudah maklum akan hal itu. Kejadian atas diri saya sendiri dan sekitar saya sudah memberi petunjuk ke arah itu. Tak perlu hal tersebut dikatakan lagi kepada saya.
Mendengar keterangan tentang saudara Jamaludin itu saya berusaha tiada mengubah warna muka saya, meskipun kepastian penangkapan itu amat mengharukan saya. Saya ingin tahu, siapakah lagi yang ditangkap bersama-sama dengan saudara Jamaludin di Singapura dan Indonesia. Tetapi saya mencoba memberi kesan, bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia tiada tergantung kepada saudara Jamaludin atau pun pada saya sendiri.
Rupanya Kumis Merah mendapatkan suasana yang dikehendakinya dari saya. Maka dia sekarang memulai dengan soal jawab tentang Pan Pacific Trade Union, gabungan serikat sekerja di Pacific yang berkedudukan di Tiongkok. Ketika ditanyakan arti dan maksudnya serikat sekerja tersebut kepada saya maka saya jawab dengan arti yang biasa dan logisch dimaknakan oleh “The man on the street”, (yang diartikan oleh orang pasar saja). Berputar-putar Kumis Merah dan pegawai yang lain-lain bergerak mencoba mengadakan, lubang dalam benteng pertahanan saya tetapi rupanya sia-sia belaka. Saya berdiri tegak atas haknya si penuduh dan haknya si tertuduh.
Akhirnya sesudah beberapa lama tiada mendapat keterangan yang sedikitpun memberi keuntungan kepada I.S. Inggris, maka Kumis Merah yang serentak diikuti oleh seluruhnya para hadirin berdiri dan berkata: “If that is your attitude, we don’t know what tod do with you” (Kalau sikap tuan “terus” sedemikian, maka kami tiada bisa menjamin apa yang akan kami lakukan kepada tuan).
Segera saya berdiri pula dan jawab “But I know your law. And I know also that if your are violating your own law (or usage), I shall not come alive in the hand of my enemy” (Tetapi saya tahu Undang-Undang negeri tuan, juga saya tahu bahwa kalau tuan melanggar Undang-Undang tuan sendiri, saya tiada akan hidup sampai di tangannya musuh saya).
Setelah berdiri, kalau saya masih ingat, Pritvy Chan dan tuan-tuan Onreadt dan Dickenson menghampiri saya dengan bujukan: “Don’t do it! Britishers will stick to their own law”. (Jangan dijalankan. Orang Inggris akan pegang Undang-Undangnya sendiri).
Saya diantarkan sampai ke kamar tahanan oleh mereka itu dengan bujukan tersebut.
Pada masa itu dunia Tionghoa dan semuanya bandar perjanjian goncang disebabkan oleh “mogok makan” Noulens, komunis Rusia, sebagai protes atas tangkapan dan perlakuannya. Inilah yang ditakuti oleh para pegawai Inggris itu. Inggris sudah cukup mempunyai nama busuk di mana saja kuku penjajahannya dicengkeramkannya di dunia ini. Tiadalah perlu ditambah-tambah lagi dengan mogok makan baru oleh saya.
Negara Inggris memang taat juga menjalankan dasar demokrasi, sebagai negara kapitalis, yakni kalau dibandingkan dengan negara demokrasi kapitalistis yang lain-lain, memperlindungi pelarian itu dengan kekuasaan yang ada padanya; serta menolak permintaan negara yang bersangkutan memulangkan pelarian politik itu ke negerinya senantiasa dilakukan oleh pemerintah Inggris, rupanya dengan tiada memandang warna kulit. Selang beberapa lama Raja Spanyol yang didaulat oleh rakyatnya sendiri mendapat perlindungan pemerintah Inggris. Demikian pula halnya dengan raja berwarna yang didaulat oleh rakyatnya sendiri raja Pracha-Dipok dari Siam. Seorang revolusioner Tiongkok yang bermaksud membolehkan pemerintah Manchu, yang oleh agen Manchu itu ditangkap di London untuk dipulangkan dengan diam-diam ke Tiongkok, yakni Dr. Sun Yat Sen, dilepaskan oleh pemerintah Inggris dari kuku cengkeramannya Manchu itu.
Semuanya itu belum berarti bahwa mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna, yang berada dalam jajahannya pula, akan mendapat perlindungan yang dimaksudkannya itu. Tetapi kalau Inggris hendak berlaku jujur konsekuen, memangnya mereka yang berada dalam keadaan sedemikian rupa tiada boleh dikecualikan. Perkara yang prinsipil yang mengenai dasar-dasar demokrasi itu seharusnya tiada boleh digantungkan kepada setuju atau tidaknya pemerintah Inggris dengan politiknya si-pelarian, ialah sebelumnya ternyata dengan sah, bahwa si-pelarian melakukan pelanggaran penting terhadap undang-undang Inggris yang ada.
Rupanya para pengawal Inggris yang ada di Hongkong merasa juga in-konsekuen, ketidak jujurannya kepada saya, berhubung dengan ancaman tersembunyi di dalam pemeriksaan pengadilan polisi tadi. Pritvy Chan berjanji, zonder permintaan saya, akan berusaha keras supaya saya tiada akan dikembalikan ke tangan musuh. Berkali-kali diucapkan: “That would be uppon my shoulders”. (Tanggung jawab saya). Kepada rambut merah yang di belakang harinya lalu di depan terali kamar tahanan saya, ketika dia mau berangkat kembali ke tempatnya, saya sindirkan: “Wah, bagaimana halnya dengan pembuangan ke Jamaica yang dijanjikan dahulu kepada saya itu?” Dia mengangkat pundaknya sambil berkata: “That would be dangerous for the British Empire” (Itu akan membahayakan kerajaan Inggris).
Tiada berapa lama antaranya pintu kamar tahanan saya dibuka. Yang masuk ialah tuan Dickenson, untuk pamitan. Dia mengajukan tangannya buat berjabat tangan mengucapkan selamat tinggal, yang diucapkan dengan suara terharu berikut dengan perkataan: “I admire you very much for the attitude you have taken” (Saya mengagumi tuan, berhubung dengan sikap yang tuan ambil). Tiadalah baik saya sembunyikan di sini, bahwa beserta suaranya yang terharu itu, saya saksikan matanya yang basah. Bukan sekali dua saya berpisahan dengan orang Eropa dan mengalami tekanan tangan, suara dan air mata yang berasal dari perasaan yang jujur. Walaupun tuan Dickenson berada di garis front sebelah sana, seperti tuan Onreadt tetapi perasaan simpati semacam itu memangnya bukan sesuatu kemustahilan, walaupun di antara dua pihak yang berlainan paham.
Pritvy Chan pun tiada ketinggalan. Beberapa jam di belakangnya tuan Dickenson, Pritvy Chan menyelundupkan tangannya ke sela terali kamar saya, juga dengan suara terharu dan air mata berlinang: “Will you forgive me, will you forgive me.....that would be upon my shoulders.” (“Maukah tuan mengampuni saya, maukah tuan mengampuni saya......tanggung jawabnya akan di atas bahu saya).
Pritvy Chan belum lupa akan tingkah lakunya pada malam penangkapan saya di Kowloon. Pun Pritvy Chan tahu benar, bahwa almarhum Subakat mati dalam penjara Belanda.........!
Simpati memangnya tiada mustahil, pun dalam penjara imperialisme Inggris. Para pegawai yang menjaga saya selama berada di belakang terali itu tiada semuanya manusia yang jantungnya keras seperti besinya terali itu, tetapi ada juga yang lembut berisi darah manusia. Tiadalah semua jantungnya dingin seperti air beku, tetapi ada yang panas, bisa menggerakkan perasaan kemanusiaan. Saya masih ingat pada suatu malam hari sesudah kantor tertutup kepala polisi Murphy sendiri datang ke depan terali saya, pula penuh perasaan memberikan sebotol limonade yang dikeluarkan dari dalam kantongnya sendiri. Tak banyak perkataannya dan terus dia pergi.
Apakah pula artinya peristiwa yang tak pernah kejadian ini: Murphy sendiir memberikan minuman itu?
Besok harinya saya baru mengetahuinya. Pagi harinya kamar saya dibuka oleh seorang pegawai Inggris. Saya diantarkan ke gedung bagian hukuman orang Tionghoa. Sebelumnya saya ke “sel” saya harus mencatatkan saya pada satu kamar! Di depan kamar terlihat mayat seorang hukuman yang bertelanjang bulat. Entah bagaimana matinya, entah lantaran sakit, entah sesudah digantung. Mereka hukuman Tionghoa yang masuk untuk diappel, berjalan sambil jongkok. Saya masuk tetap berdiri tegak. Apa bila seorang Inggris di meja tulis berbisik kepada Inggris yang lain rupanya bertanyakan, siapakah saya, maka dijawab pula dengan bisikan: “Tan Malaka”. Tiada lama sesudahnya, maka saya dimasukkan ke “sel Cina” seperti “sel buat Inlanders” yang dikenal di Indonesia. Tiadalah perlu saya uraikan besar, bentuk dan keadaan “sel Cina” itu pada tulisan ini.
Pindah dari kamar buat tahanan Eropa ke “sel Cina” inilah rupanya yang menggerakkan hati kepala polisi Murphy, yang rupanya cuma sanggup memperlihatkan simpatinya dengan nasib saya itu, dengan hadiah sebotol limonade yang kabarnya dibeli sendiri.
Apakah pula sebabnya saya diturunkan “pangkat” itu dan apakah pula kemungkinan di hari depan? Waktu merenungkan di dalam gelap dalam “sel Cina” tentang kemungkinan sebabnya saya diturunkan dari kamar Eropa ke “Sel Cina” itu saya tiada mendapatkan kepastian. Sebab yang sebenarnya cuma diketahui oleh birokrasi imperialisme Inggris saja.
Mulanya saya pikir, bahwa saya segera akan dilepaskan atau diserahkan kepada Belanda (uitgeleverd). Tanda-tanda ke jurusan itu memangnya ada. Tetapi ada pula persangkaan, bahwa saya akan diam-diam dipenjara dalam hukuman. Maklumlah saya tiada mempunyai hubungan sama sekali dengan dunia luar, jadi tak bisa memastikan. Akhirnya ada pula pengiraan saya, bahwa kejadian ini adalah akibatnya satu dua peristiwa yang oleh satu dua orang pegawai rendahan Inggris dianggapnya sebagai “pelanggaran” atas ketertiban, ketika saya masih berada di kamar tahan Eropa.
Pada suatu hari ketika jauh malam apabila suasana rupanya mulai senyap maka serdadu India, ialah penjaga di depan kamar saya, sesudah melihat ke kiri-ke kanan, menghampiri terali kamar dan bertanyakan dalam bahasa Inggris: “Berapakah banyaknya orang Islam yang berada di Jawa?” Saya jawab: “+- 60 juta (tahun 1932).” Dia kelihatan gembira sekali dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Islam dari Punjab. Sedang dia menceritakan ini-itu dan asyik bertanyakan apa yang ingin diketahuinya, maka tiba-tiba dari gelap keluar seorang pegawai Inggris, kepada saya berkata: “You are not allowed to talk to the British soldier”. (Tuan tiada diizinkan berbicara dengan serdadu Inggris).
Rupanya kabar bahwa saya seorang pergerakan berasal dari Indonesia, rupanya sudah banyak diketahui. Sesudah kejadian di atas saya tiada pernah lagi melihat serdadu Islam di depan terali kamar tahanan Eropa itu. Yang saya lihat berganti-ganti menjaga adalah serdadu Sikh dan serdadu Hindu. Mulanya mereka berupa streng (keras). Tetapi tiada lama, serdadu Hindu atau Sikh, yang sudah mashur ketaatannya pun, menghampiri terali saya untuk bercerita dan bertanya kepada saya. Tentulah akan saya dengarkan ceritanya dan akan saya jawab pertanyaannya, teristimewa pula dalam keadaan tiada mempunyai teman untuk berbicara itu. Pada suatu malam itu pula, apabila seorang serdadu Sikh dengan suara agak keras memaki-maki Inggris, karena gajinya tak berbanding dengan gaji serdadu Inggris, sedangkan pekerjaan lebih berat dan lebih berbahaya kalau ada kerusuhan atau peperangan, maka tiba-tiba dari tempat gelap keluarlah pula pegawai Inggris yang rupanya sedang mengintip dekat tempat saya. Sekali lagi diperingatkan kepada saya, bahwa saya tiada boleh berbicara kepada serdadu Inggris. “Membela diri” tiada baik dalam keadaan sedemikian, karena bagaimanapun juga pembelaan itu dilakukan, semuanya akan memberatkan si serdadu saja. Dalam hal ini baik diperhatikan juga pepatah asing yang berbunyi “Zwijgen is goud, spreken is zilver” (berdiam diri itu adalah emas dan berbicara itu adalah perak).
Tetapi berdiam diri itu buat saya sendiri resikonya mungkin ada. Inilah pula salah satu daripada kemungkinan sebab, maka pangkat diturunkan dari tingkat Eropa ke tingkat “Cina”. Tiada berapa lama saya merenungkan semua kemungkinan apakah sebabnya saya dipindahkan itu, maka saya dengar ketukan perlahan-lahan di pintu saya. Apabila saya hampiri, maka saya dengar suara daril luar dengan suara kecil dengan bahasa Indonesia Tionghoa: “Gua ol (r) ang Cina. Gua dihukum empat tahun. Dulu gua tinggal lama tinggal di Medan. Sobat mau apa boleh gua tolong. Sobat mau daging gua cal (r) i. Mau telot (r) gua cali.
Saya: “Kenapa sobat dihukum?”
Jawab: “Keleja kuli di kebon”.
Saya: “Tak mau daging dan tak mau telur. Coba sobat tolong carikan kertas dan pena. Saya mau tulis surat. Nanti sobat tolong kirim. Apa sobat bisa apa tidak?”
Jawab: “Bisa”.

Apabila masih berada di kamar tahanan Eropa dan gagal mendesak mendapatkan “lawyer” (pembela hukum), maka akhirnya permintaan saya untuk mengirimkan surat dan kawat dibenarkan.
Kepada ketua Partai Sosialis Inggris, almarhum Lansbury, yang duduk dalam parlemen saya kirim kawat buat menerangkan keadaan saya. Saya tiada merasa pasti, bahwa kawat itu akan disampaikan atau tiada disampaikan dengan cepat dan tiada pula mengandung pengharapan banyak akan hasilnya. Sebab itu saya kirim lagi surat dengan secara gelap dengan perantaraan sobat tadi kepada almarhum Mackston, bekas pemimpin Independent Labour Party dan anggota Parlemen Inggris. Pemimpin kaum buruh yang lebih radikal yang menjadi anggota parlemen di waktu itu tiadalah saya kenal namanya. Surat kepada Mackston itu ternyata memberikan hasil. Setelah saya keluar dari tahanan, maka saya dapat membaca surat kabar, bahwa Mackston mengadakan pertanyaan dalam parlemen Inggris, yang berhubungan dengan penangkapan atas diri saya itu. Mungkin sekali inilah yang menyebabkan Inggris tak boleh lebih lama menahan saya dalam penjara dengan tiada mengadakan pemeriksaan pengadilan seperti lazimnya di dunia demokrasi.
Mungkin pula ada hasilnya surat yang kedua, ialah yang dikirimkan secara gelap dari “sel Cina” pula yang berhasil “menerobos” blokade Inggris dan menjumpai para sahabat saya di Manila. Dari Manila saya mendapat jawaban yang diantaranya berbunyi:
“Suratmu sudah kami terima. Semua sahabatmu berduka cita karena insyaf benar akan kesulitannya keadaanmu. Tetapi kami pula percaya akan “British Justice” (keadilan Inggris).
Pada permulaan tahanan, saya diizinkan keluar lebih kurang setengah jam sehari buat berjalan-jalan di pekarangan polisi yang tertutup oleh rumah kepolisian, penjara dan tembok batu. Saya selalu diiringi oleh dua serdadu Hindu, satu di kiri dan satu di kanan dan dijaga oleh serdadu pula di tiap-tiap sudut pekarangan dan pintu gerbang. Saya merasa penjagaan itu seperti juga pada malam hari, terlalu keras. Tampaknya Inggris takut benar akan penyerbuan dari luar. Apakah ada alasan buat ketakutan itu? Saya tak sanggup memastikan hal ini.
Di tempat hukuman Tionghoa saya juga diizinkan tiap-tiap hari setengah jam keluar. Pada suatu hari saya kebetulan melihat sdr. Dawood beberapa puluh meter jauhnya dari saya. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan teriakan “Hidup Indonesia Merdeka” berkali-kali.
Sesudah beberapa minggu berpisah barulah hari itu saya melihat dia kembali. Dia dan saya ditangkap berhubungan pula dengan penangkapan sdr. Jamaludin di Singapura. Rupanya alamat dialah yang dicari ke Hongkong, setelah sdr. Jamaludin ditangkap. Bagaimana perasaan saya melihat sikapnya Dawood tentulah mudah digambarkan. Dia selalu memegang teguh pendiriannya sampai saya menuliskan perkataan ini (Oktober 1947). Semenjak perpisahan kami di Hongkong sampai sekarang ialah selama 15 tahun ini, Dawood seperti banyak temannya yang lain-lain, yang sama pendirian, sudah melalui penjara di Hindia Belanda dan pembuangan di Digul. Dari Dawood baru saja saya mendapat surat dari Jakarta, sekembalinya dia dari Digul. Yang kedua kalinya ialah dari Australia bersama-sama dengan 22 orang temannya, yang oleh Belanda dianggap “overzoenlijken” (tak mau berdamai)
Di waktu berada di dalam “sel Cina” pun rupanya birokrasi tiada melupakan “kecantikan” untuk saya. Saya juga diizinkan keluar sel buat berpotong rambut. Rupanya Nyi Birokrasi juga berkewajiban menjaga supaya hair-dressing, potongan rambut saya dalam “sel Cina” itu tak kalah dengan potongan rambut seorang pegawai pemerintah Inggris di waktu “dansa” dengan para  ladies (wanita)nya.
Tetapi sesudah berpotong rambut saya tahu-tahu sudah dipotret dari depan, samping dan belakang. Lagi pula sekonyong-konyong dua tiga orang kuat memegang kedua tangan saya. Salah seorang pemegang jempol saya buat diambil capnya. Jadinya saya dipancing keluar “sel Cina” buat digambar dari empat penjuru dan buat diserobot “cap jempol” saya. Umpamanya ialah berpotong rambut.
Karena semuanya dilakukan dengan tiba-tiba, secara serobotan oleh beberapa orang Tionghoa suruhan, yang bersibisu, kalau ditanyai ini-itu, maka perlakuan semacam itu terpaksa dibiarkan saja. Di belakang harinya Murphy meminta maaf atas kejadian tersebut kepada saya. Dikatakannya pula, bahwa mereka itu harus minta izin lebih dahulu kepada saya dan saya sendiri berhak menolak. Tetapi tentang kejadian inipun seperti dengan penangkapan di Kowloon, saya dijumpakan dengan “fait accompli” ialah sesudah nasi menjadi bubur. Lebih tepat lagi kalau dikatakan: pukul dahulu, maaf kemudian. Inipun adalah salah satunya British way, caranya Inggris.
Entah apa sebabnya, maka setelah beberapa lama saya berada dalam “sel Cina” saya dikembalikan ke kamar tahanan Eropa. Bukan untuk tetap tinggal di sini. Di belakang harinya saya dipindahkan lagi ke “sel Cina” yang lebih terpencil lagi daripada yang bermula. Kemudian dikembalikan pula ke kamar tahanan masnusia atasan, ialah orang Eropa. Demikianlah saya dipulang balikkan en  tah dengan maksud apa. Tetapi Murphy berkata, bahwa dia tiada setuju, saya dimasukkan ke “sel Cina” itu. Tetapi perintahnya birokrasi dari atas khayangan tentulah mestik dijalankan.
Pada suatu hari ketika berada dalam kamar tahanan Eropa, maka saya dipanggil ke kantor. Diberitakan kepada saya, bahwa Hindia Belanda mengirimkan wakilnya ke Hongkong ialah Viesbeen yang semula bekerja pada PID dan kemudian pada parket. Dia meminta kepada pemerintah Hongkong untuk menginterview saya. Murphy bertanya kapada saya, ap akah saya mau diinterview oleh Viesben itu. dengan cepat saya jawab tidak. 
Balasan saya itu katanya disampaikan kepada Viesbeen. Di belakang harinya lagi Murphy menghampiri saya pula. Dia katakan, bahwa Viesbeen tiada percaya saya menolak permintaannya tadi. Supaya Viesbeen jangan menyangka, bahwa pemerintah Hongkong tiada menyampaikan permintaan Viesbeen meng-interview saya, maka Murphy meminta kepada saya, supaya mengizinkan dia (Viesbeen) dijumpakan dengan saya. Apa dan berapa nanti yang akan saya katakan, terserah kepada saya, kata Murphy. Diminta pula kepada saya supaya pembicaraan dilakukan dalam bahasa Inggris. Catatan akan diambil secara stenografis.
Begitulah pada suatu pagi hari Viesbeen dibawa masuk ke kantor polisi. Pembicaraan tiada diadakan langsung antara Viesbeen dan saya, melainkan dengan perantaraan Murphy. Kalau saya tak salah ada lagi orang Inggris yang lain-lain menyaksikan.
Tanya : “Gambar siapa ini?” (Ditunjukkan gambar saya dengan beberapa serdadu Tionghoa, ketika berada dalam Kikoq di desa Sionching. Rupanya gambar itu dirampas dari almarhum Subakat, ketika dia ditangkap di Bangkok!)
Jawab: “Boleh lihat sendiri”
Tanya: “Dimanakah serdadu itu sekarang?”
Jawab: “Di salah satu gua dekat kantornya Viesbeen. Awaslah” (semuanya tertawa!)
Tanya: “Benarkah Tan Malaka kembali ke Indonesia kira-kira tahun 1925?   
              Bagaimana jalan yang diambil?”
Jawab: “Pertanyaan semacam itu bukan “interview” tentang pemandangan dalam politik, seperti biasa dimaknakan. Pertanyaan yang berhubungan dengan kepolisian semacam itu saya tak ingin menjawabnya”.

Murphy lalu menoleh kepada saya. Dia bertanyakan, apakah yang mau saya katakan atau tanyakan. Saya berkata: “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
Murphy menyuruh mencatatkan ini kepada nona sekretaris baik-baik. Kemudian Murphy bertanya pula, apakah lagi yang akan saya katakan.
Saya sampaikan kepada pemerintah Hindia Belanda peringatan saya: “Storm ahead, don’t lose your head.” (Topan di depan, jangan kehilangan kepala).
Karena semuanya tertawa mendengar, maka nona sekretaris terpaksa bertanya lagi apa yang saya katakan tadi sepenuhnya. Saya ulang perlahan-lahan “Storm ahead, don’t lose your head”.
Kalimat ini mengandung dua arti. Arti yang pertama ialah: jangan kehilangan akal. Arti yang kedua ialah: jangan kehilangan kepala, karena dipotong.
Don’t lose your head” itu diucapkan pada bulan Desember 1932. Pada bulan Desember 1941 Jepang menyerang Singapura. Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda tiada saja kehilangan akal, tetapi juga kehilangan kepala. Sayang Viesbeend sebelumnya “nujum” itu terlaksana, sudah mati. Kabar ini kebetulan saja saya baca dalam salah satu surat kabar.
Di belakangnya interview tersebut, maka rupanya Viesbeen mendesak keras kepada pemerintah Hongkong supaya saya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Maksud interview itu boleh jadi cuma untuk menyaksikan apakah benar Tan Malaka yang ditangkap atau tidak. Bukankah sudah terlalu banyak kabar yang menyebutkan tangkapan dan matinya Tan Malaka di mana-mana negeri. Dua tiga kali dikatakan kepada saya, bahwa pemerintah Inggris “will stick to their own law” (akan pegang teguh Undang-Undangnya). Jawab saya kalau benar-benar kelak saya diserahkan kepada Hindia Belanda, sudah terang pada pengadilan polisi tempo hari. Pula sudah saya bayangkan dalam interview dengan Viesbeen: “Dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”. Di waktu itu memang saya bersiap menghadapi semua kemungkinan. Dan saya yakin benar bahwa kemerdekaan Indonesia memerlukan banyak korban.
Setelah berkali-kali saya dipulang balikkan dari kamar tawanan Eropa ke “sel Cina”, maka akhirnya pada penghabisan bulan Desember tahun 1932 kepada saya dimajukan pertanyaan: kemanakah saya ingin pergi, kalau saya disuruh keluar dari Hongkong. Saya peringatkan sekian kali, bahwa jika saya melakukan pelanggaran berhubung dengan Undang-Undang pemerintah Hongkong, maka sepatutnya saya dituntut di depan pengadilan. Kalau kelak dalam pemeriksaan ternyata saya bersalah, maka tentulah saya akan menerima hukuman. Tetapi kalau kelak ternyata saya tiada bersalah, maka sebenarnya menurut kebiasaan negara sopan di dunia ini, saya berhak tinggal di Hongkong. Sering pula saya peringatkan, bahwa Dr. Sun Yat Sen, ialah seorang revolusioner Tionghoa, selalu dapat perlindungan di Hongkong atau di bandar perjanjian seperti Shanghai. Pegawai Inggris tak pernah memberi jawab yang pasti terhadap peringatan saya seperti ini. Tetapi rupanya pemerintah Hongkong seolah-olah mau menjalankan lembaga negara sopan, ialah menyediakan tempat pembuangan lebih dahulu, sebelum calon pembuangan itu diusir.
Saya jawab, bahwa kalau saya akan dibuang juga, maka suka saya ingin pergi kembali ke Manila. Maka menurut pemerintah Hongkong, atas nama konsul Amerika di Hongkong, saya tiada diperbolehkan masuk ke Filipina. Kemudian saya bertanyakan, apakah keamanan diri saya akan dijamin kalau melalui Perancis dan Nederland. Saya berniat melanjutkan perjalanan saya sesudah mengambil kembali uang saya yang sepuluh tahun sebelumnya saya simpan di dua Bank di Nederland. Dengan uang itu dan pekerjaan sebagai wartawan surat kabar di Asia saya akan bisa menjamin kehidupan saya sendiri di salah satu negara di Eropa. Hal yang dibelakang ini perlu dimajukan, karena kebanyakan negara memangnya segan sekali menerima orang asing yang tiada berpencaharian pasti. Di belakang hari saya mendapat jawab, bahwa saya tiada boleh lalu di negara Nederland, karena katanya saya sudah kehilangan “Nederlandsche onderdaanschan” saya (kerakyatan Nederland). Setelah saya bertanya menurut Undang-Undang manakah saya kehilangan hak tersebut, maka dijawab, bahwa menurut peraturan Hinida Belanda, jika seseorang Indonesia lebih dari lima tahun tiada menghubungkan dirinya dengan salah satu wakil pemerintah Nederland (duta atau konsul), dimana orang Indonesia itu berada, maka orang itu akan kehilangan haknya sebagai rakyat Nederland. Jadi dengan begitu saya tiada berhak lagi mendapatkan pasport. Dengan demikian maka sendirinya pula, tiada saya bisa bepergian dengan legal, resmi. Dan kecuali ada negara yang mau menerima saya masuk ke negerinya, maka tiada lagi tempat yang lain buat saya sesudah jatuh ke tangan Inggris di Hongkong itu selainnya daripada rumah penjara. Ternyatalah pula bahwa penangkapan atas diri saya di Hongkong itu tiada saja menghilangkan kemungkinan buat bepergian atau tinggal di Hongkong, tetapi seterusnya menghilangkan semua kemungkinan untuk mencari nafkah hidup.
Rupanya diwaktu itu pemerintah  Hindia Belanda tiada berjumpa dengan persoalan yang mudah diselesaikan ataupun menjalankan pelanggaran yang mudah dilakukakan. Saya dengar pemerintah Hindia Belanda ingin mengambil saya kembali. Itulah pula maksudnya mengirimkan Viesbeen ke Hongkong. Tetapi maksud itu gagal berhubung dengan sikap pemerintah Hongkong dan sikap saya sendiri. Sebagai penjahat (criminal) saya tiada bisa dituntut, dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, karena saya tiada pernah melakukan kejahatan. Benar adanya saya di luar negara oleh pemerintah Hindia Belanda terus dianggap sebagai bahaya buat dirinya, tetapi saya tiada pernah melakukan kejahatan seperti pemalsuan uang atau pembunuhan atas pembesar Belanda. Dan sebenarnya tiadalah pula ada alasan buat menuntut kembali orang yang sudah dibuang menurut Exobitante Rechten, hak istimewanya gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tetapi rupanya para Conspirators, tuan-tuan besar imperialis yang berkomplotan terhadap seseorang berwarna yang tiada berdaya, yang tiada mempunyai negara, yang tiada diizinkan oleh negara sopan, seperti Inggris, Amerika, Perancis, dan Belanda, masuk ke negara atau melalui negara atau jajahannya mencari tempat buat hidup, rupanya para Conspirators satu hari mendapatkan “akal”. Saya katanya, boleh pergi ke Eropa. Pegawai Inggris tergesa-gesa hendak mengurus karcis saya. Ketergesa-gesaan itu menimbulkan kecurigaan di hati saya. Segera saya tanyakan dengan kapal apakah saya akan diberangkatkan. Setelah dikatakan bahwa kapal Perancislah yang akan membawa saya itu maka dengan tegas saya tolak kapal Perancis itu. Saya katakan bahwa kalau saya akan diberangkatkan ke jurusan Eropa, maka saya cuma mau menumpangi kapal Inggris saja. Saya katakan pula bahwa saya ditangkap oleh pemerintah Inggris dan Inggris pulalah yang harus bertanggung jawab atas keselamatan atau kemalangan, atas hidup dan matinya saya. Biarpun rakyat Indonesia masih bodoh, dan lemah, tetapi pada suatu masa Rakyat Indonesia akan mengerti juga peraturan Internasional. Kalau kemalangan atas diri saya itu dilakukan oleh pemerintah Inggris, biarlah kelak rakyat Indonesia tahu siapa yang bertanggung jawab. Di mata saya masih terbayang tingkah lakunya imperialisme Perancis terhadap almarhum Subakat. Kapalnya Perancis lah kabarnya yang membawa almarhum Subakat dari Bangkok ke Singapura apabila dia dibuang oleh bekas Raja Dipok. Kapal Perancis itulah dengan tiada malu-malu menyerahkan almarhum Subakat ke tangan pemerintah Hindia Belanda.
Siasat di atas rupanya gagal. Pada suatu hari saya oleh Murphy diperkenalkan kepada penggantinya, namanya kalau saya masih ingat ialah Thomson. Bersama tuan Thomson dan Murphy saya dibawa ke suatu kamar berhadapan dengan kepala I.S. Nama kepala I.S. saya sudah lupa, tetapi dikenal dengan mata palsunya. Sebelah matanya hilang diganti dengan kaca.
Setelah sebentar saya duduk, saya diberitahukan oleh Mata Kaca: “Tuan mesti berangkat”.
Jawab              : “Kemana?”
Mata Kaca       : “Kami tidak tahu”
Saya                 : “Bolehkah saya pergi ke Inggris?”
Jawab              : “Tidak”
Saya                 : “Dalam Parlemen cuma satu orang wakil komunis”
Jawab              : “Tak perlu tuan tambah lagi”
Saya                 : “Bukankah aturannya pemerintah Inggris biasanya menyediakan  
                            lebih dahulu tempat pembuangan dan menanggung jawab 
                            keselamatan orang buangan itu selama berada di jalan menuju ke 
                            tempat pembuangan yang seharusnya sudah ditetapkan lebih dahulu 
                            itu?”
Saya                 :  “Kenapa saya tiada mendapat perlakuan seperti biasa menurut
                 peraturan Inggris?”
            jawab               : “You are Tan Malaka”. (Tuan Tan Malaka).

Rupanya karena memang saya Tan Malaka, saya tiada mempunyai hak buat menggunakan ahli hukum sebagai pembela; tiada berhak dihadapkan kepada pengadilan umum (public trial); tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun tiada berhak untuk dibuang ke tempat yang aman di jalan dan di tempat pembuangan. Karena saya tiada diizinkan memakai ahli hukum, maka tiadalah pula dapat saya mengetahui apakah tidak ada bagian Tiongkok yang mau mengizinkan saya masuk.
Sebagai akibat semua yang tersebut di atas ini, maka sebenarnya saya tiada diberi hak lagi buat bergerak, kecuali di dalam penjara imperialis, diikuti oleh agen imperialis.
Akhirnya Mata Kaca berkata: “Besok tuan boleh mengambil keputusan”. Tetapi setelah mendapat desakan tiba-tiba itu, saya menjawab: “Ini hari saya akan mengambil keputusan, nanti pukul satu”.
Di kantor polisi saya tanyakan kepada Thomson “Berapa lamakah saya akan dihukum, kalau saya menolak dibuang dari Hongkong?”
Jawab: “Satu tahun, ialah berhubungan dengan pelanggaran (misdemeaner)”.
Tanya: “Berapakah pula lama hukumannya kalau sesudah dihuku setahun itu saya tolak lagi dibuang?”
Jawab: “dua atau tiga tahun”.

Kemudian Thomson pergi keluar kantor. Yang tinggal cuma nona sekretaris dan saya. Nona itu biasanya mencarikan buku bacaan buat saya. Pada waktu itu saya meminta surat kabar yang paling belakang, di sinilah saya pelajari perjalanan kapal yang bertolak dari Hongkong ke semua penjuru.
Setelah Thomson akan kembali saya berkata, bahwa saya sudah memutuskan akan bertolak ke Shanghai. Kira-kira jam 2 akan ada kapal berangkat menuju ke Shanghai. Saya sendiri tahu, bahwa kapalnya kongsi yang akan saya tumpangi itu biasanya berhenti di Shanghai bagian Perancis. Seperti saya bayangkan di atas, pemerintah Perancis tentulah tiada akan segan-segan menangkap dan mengembalikan saya ke pemerintah Hindia Belanda.
Saya diantarkan ke kongsi kapal oleh seorang I.S. Inggris untuk membeli karcis. Setelah semuanya selesai saya diantarkan ke kapal oleh orang I.S Inggris tadinya dan rupanya juga diikuti oleh polisi lain.
Kapal yang katanya tadi akan berangkat pukul dua menunda bertolaknya sampai pukul empat atau lebih. Kapal itu kepunyaan sebuah kongsi Inggris dan kaptennya tentulah orang Inggris pula. Sesudah sekian lama saya menunggu di dalam kapal, maka masuklah pula seorang Inggris sebagai penumpang. Dia diperkenalkan kepada saya sebagai pegawai konsul Inggris di Amoy.
Demikianlah akhirnya sesudah meringkuk di dalam penjara Inggris, +- 2 ½ bulan lamanya pada penghabisan bulan Desember 1932, saya bertolak dari Hongkong bersama pegawai Inggris dengan kapal Inggris menuju ke Shanghai, ke bandar yang dikuasai oleh imperialis dan tak lebih aman buat saya daripada di Hongkong.
Seakan-akan saya menuju perangkap!
Biarlah para Conpirators imperialis bersuka cita!
Tunggu sajalah saya di Shanghai!
























KEMANA??

Syahdan dalam hakekatnya tiadalah ada bedanya perjalanan yang saya alami dari kedua negara besar di dunia ini, ialah Amerika dan Inggris. Dengan beberapa contoh yang sudah saya rasakan atas kulit saya sendiri, maka saya dapat membandingkan teori dan prakteknya demokrasi Anglo-Saksen, yang selalu digembar-gemborkan di dunia ini dan katanya yang menjadi dasarnya kedua negara terbesar di dunia ini.
Teori dan praktek yang dimaksudkan itu ialah yang berhubungan dengan haknya seorang pelarian politik (right of asylum) terhadap kepada seorang anggota bangsa berwarna pula. Hal ini disambung-sambungkan pula dengan soal propaganda komunis.
Caranya polisi Amerika menangkap saya di Manila tak berapa bedanya dengan caranya Inggris menangkap saya di Kowloon, Hongkong. Keduanya dilakukan tiba-tiba, di waktu malam, dengan tiada memakai surat tuduhan dari yang berwajib (right of warrant). Hak menghadapi surat tuduhan dari yang berwajib dimana dengan jelas tertulis pelanggaran. Undang-undang yang sudah dilakukan itu adalah hak seseorang warga negara demokrasi semenjak revolusi Inggris dan Perancis. Sebelum Revolusi tersebut, maka seorang polisi Perancis (atau warga besarpun) berhak menangkap seseorang warga atas surat perintah yang tiada berisi tuduhan yang pasti (lettre de cachet).
Di Manila dan Hongkong, lettre de cachet pun tak ada, jangankan pula surat warrant. Di kedua tempat itu, penangkapan atas diri saya dilakukan dengan bengis, seperti polisi menangkap penjahat. Penangkapan di Hongkong malah bisa menyebabkan pembunuhan dari salah satu pihak yang menangkap dan yang ditangkap.
Oleh Manila dan Hongkong akhirnya, sesudah ternyata bahwa saya tiada dapat diserahkan begitu saja kembali kepada musuh saya (uitgeleverd), maka dengan 13 macam tipu muslihat saya dibuang buat disambut di lain tempat oleh para imperialis pula. Pembuangan dari Manila dilakukan buat penangkapan kembali di Amoy. Pembuangan dari Hongkong (diharapkan atau tidak) pasti akan berakhir dengan penangkapan, kalau saya benar-benar sampai di Shanghai. Terbukti sudah bahwa Inggris tiada mengindahkan kebiasaan (usage) demokrasi yang sudah dikenalnya selama ratusan tahun di negaranya sendiri, ialah: menentukan tempat pembuangan sebelumnya yang bersangkutan itu dibuang dan menjamin keselamatannya di jalan ke pembuangan.
Terhadap hak manusia yang dijunjung tinggi oleh demokrasi Anglo-Saksen, seperti right of warrant (hak atas tuduhan), right of public trial (pengadilan umum) dan right of asylum (hak perlindungan buat seorang pelarian politik), maka Amerika terpaksa saja berlaku pura-pura demokratis, karena pembelaan rakyat, pembesar dan para pemimpin Philipina. Sesudah terhalang memasukkan saya dengan diam-diam ke kapal Belanda di pelabuhan Manila, maka pemerintah Amerika dengan kapal Philipina sebenarnya mengirimkan saya ke tangan imperialis internasional di Amoy. Gagal kehendaknya itu cuma karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri. Pemerintah Inggris di Hongkong, sesudah membatalkan semua hak saya sebagai manusia dan gagal menyerahkan saya kepada pemerintah Hindia Belanda, dalam prakteknya memancing supaya saya ditangkap kembali oleh imperialis teman sejawatnya. Saya terlepas daripada cengkeraman imperialis, bukan karena kejujuran dan kesetiaan Inggris kepada dasar serta peraturan demokrasinya sendiri, melainkan karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri pula.
Hubungkanlah pula keadaan saya dengan halnya seorang berkulit putih yang mempunyai negara merdeka. Ketika surat kabar dan orang Amerika berteriak-teriak di Manila menuduh saya membuat propaganda komunis. Maka seorang Profesor dari salah satu Universitas yang terkenal di Amerika, yang baru saja kembali dari Moscow dibolehkan menyebar-nyebar brosur dan buku komunis di Manila. Tentulah saya sendiri memuji pekerjaannya saudara Profesor tadi.
Tetapi yang saya majukan di sini ialah perbedaan terjemahan undang-undang yang berkulit putih dengan orang yang berwarna. Kebetulan pula bersamaan atau hampir bersamaan dengan penangkapan saya di Hongkong itu, ditangkap pula seorang Inggris dan di waktu itu oleh satu pemerintah bangsa berwarna oleh pemerintah Jepang. Orang Inggris itu sudah bertahun-tahun menjadi guru di Tokyo? Dan tuduhannya ialah bahwa ia dengan uang dan nasehat membantu Partai Komunis Jepang. Semua surat kabar Inggris di Tiongkok yang dapat saya baca di waktu itu berteriak dan memprotes kepada pemerintah Jepang berhubung dengan caranya pemeriksaan terhadap dirinya orang Inggris komunis itu dilakukan. Pada masa itu berhentilah persoalan, Komunis atau tidaknya orang Inggris itu, ya atau tidaknya ia melakukan propaganda dan membantu dengan langsung atau tidak kerobohannya kerajaan Jepang. Yang dikemukakan oleh para pembela Inggris tadi, ialah seorang ditangkap di Jepang dan orang Inggris itu perlu diperlindungi dan benar diperlindungi oleh pemerintah Inggris.
Memangnya pemerintah Inggris dan Amerika tiada membedakan paham warga negaranya sendiri apabila warga negaranya, teristimewa pula bangsanya sendiri, yang berurusan dengan pengadilan di luar negerinya, terutama pula di Asia (dengan Tiongkok, Jepang dll). Dalam hal ini tak bisa disangsikan sikap kedua negara itu. sikapnya Inggris tepat sekali digambarkan oleh semboyan “right or wrong my country!” (benar atau tidak saya akan bela (orang) negara saya). Sejarah inilah yang langsung menimbulkan adanya pengadilan istimewa buat bangsa kulit putih di Tiongkok (extra territoriality). Status ini dipaksakan kepada Tiongkok sesudah terjadi kejahatan oleh bangsa kulit putih di Hongkong pada abad yang lalu. Kejahatan itu mengakibatkan satu hukuman berat atas orang berkulit putih itu. Tetapi putusan dan pemeriksaan secara Tionghoa tiada disetujui oleh bangsa Barat. Mereka menuntut pengadilan sendiri di negaranya Tionghoa. Mereka menuntut adanya extra-territoriality. Hak membela warganya itu di negara lain oleh Inggris selanjutnya dipakai buat dijadikan alasan untuk menjalankan agresinya. Pada ababd yang lampau pemerintah Inggris di pulau Penang mengirimkan seorang Tionghoa, rakyat Inggris (British-subject) ke pedalaman Malaya melalui tempat berbahaya. Kemungkinan bahaya yang akan menimpa itu sudah diperingatkan lebih dahulu kepada pemerintah Penang. Tetapi memangnya imperialisme Inggris sedang mencari-cari bahan buat provokasi. Tionghoa yang malang tadi terbunuh oleh para penyamun. Peristiwa inilah yang dipergunakan oleh pemerintah imperialis Inggris buat mengadakan penyerbuan ke pedalaman Malaya (kerajaan Perak), kerajaan yang tanahnya banyak mengandung timah itu. Timah itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh kapitalis Inggris.
Sikap “right or wrong my country” itu terasa benar, terutama pula oleh kita yang tiada mempunyai negara. Demikialah persamaan bangsa dan bangsa, warna dan warna itu tiadalah bisa kita selesaikan dengan perasaan (sentiment) semata-mata. Semua hak berhubungan dengan statusnya seseorang berkulit putih atau berwarna yang berurusan dengan pengadilan dan undang-undangnya sesuatu negara (putih atau berwarna) haruslah ditetapkan dengan pasti dalam undang-undang internasional dalam peratuaran yang disokong oleh jaminan (sanction). Tiadalah boleh diserahkan kepada aturan demokrasinya sesuatu negara saja.
Penghabisan bulan Desember 1932! Hawa sudah mulai sejuk dan angin bertiup dari utara ke selatan. Setiap waktu angin itu bisa bertukar menjadi tai-fung, memang dari daerah inilah berasalnya perkataan taufan (Arab) dan topan (Indonesia) itu? Kerenggangan udara ditandus Australia yang memuncak pada bulan Desember itu, menyebabkan mengalirnya udara dari utara Tiongkok mengisi tempat yang renggang itu. Amat sejuklah terasa angin dari Utara itu. lautpun tiadalah tenang karena angin yang tiada berhentinya bertiup itu. kebanyakan penumpang tiadalah banyak keluar kabin kamarnya.
Pelayaran Hongkong-Shanghai di waktu musim rontok atau panas, biasanya buat penumpang kelas satu amat menyenangkan. Udara laut segar bersih menambah nafsu makan sehingga pelajaran itu boleh dianggap masa beristirahat. Tetapi di masa laut bergelombang tinggi dan hawa dingin, maka seorang penumpang cuma mengharapkan lekas sampai ke tempat yang ditujunya saja. Mujurlah seseorang kalau tiada digoda oleh mabuk laut.
Pelayaran Hongkong-Shanghai dengan kapal yang saya tumpangi singgah di pelabuhan Swatow, Amoy dan Foochow. Semuanya bandar yang besar. Swatow berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, Amoy 500.000 dan Foochow tak kurang daripada 1.000.000 orang. Semuanya bandar itu terhitung bandar perjanjian dan mempunyai bagian yang didiami oleh orang Tionghoa dan asing. Swatow adalah salah satu kota yang terbilang bersih dan maju. Banyak Tionghoa yang beragama Kristen dan banyak yang pencarian hidupnya berhubungan dengan Siam. Sedikit sekali orang Eropa terdapat di sini. Tentang kota Amoy sudah banyak saya ceritakan. Bandar Foochow sudah pernah juga saya kunjungi. Kota ini mempunyai bagian Tionghoa dan bagian Eropa. Di Foochow makanan sangat  murah harganya dan terkenal baik masakannya, maupun buah-buahan banyak ragamnya dan lezat rasanya.
Bahkan tak ada kapal berlayar langsung dari Hongkong ke Shanghai. Pelayaran langsung itu mengambil waktu cuma dua tiga hari saja. Sedangkan pelayaran kapal saya akan mengambil waktu lebih kurang seminggu lamanya. Bukan saya tiada tahu perbedaan lama pelayaran itu. Walaupun demikian, dan meskipun saya, mengetahui bahwa ada kapal yang berlayar langsung, tetapi saya pilih juga pelayaran yang lama. Tentulah Hongkong sudah memberitahukan kepada Shanghai, bahwa tanggal sekian dan jam sekian, saya sudah berangkat dengan kapal anu, menuju Shanghai. Saya tiada pula sangsi, bahwa para Conpirator-international sudah membuka-buka pintu perangkapnya di Shanghai buat seorang berwarna, yang tiada mempunyai negara. Duta negara manakah yang akan memprotes, jangankan lagi melindungi, kalau saya diperlakukan seperti macam memperlakukan mangsanya; tangkap lepaskan berulang-ulang, sampai mangsanya payah, tiada berdaya lagi dan menyerah bulat-bulat kepada musuh.
Setelah saya merasa menyesal membiarkan para Conspirator international membuang-buang waktu, menunggu-nunggu saya di Shanghai, karena lebih lama berlayar. Saya ingin mempelajari suasana di sepanjang jalan Hongkong Shanghai, yang saya kenal lebih baik daripada semuanya Conspirators di Hongkong atau Shanghai yang cuma mengenal jalan antara kursi di rumah dan kantornya saja. Sebagian daripada pesisir propinsi Hokkian, diantara Amoy dan district Kim-Chi, saya kenal baik sekali. Malah pesisir sepanjang Semenanjung Tentang-Witau yang pernah saya sebut diatas, saya kenal seperti saya mengenal kampung saya sendiri. Pesisirnya sudah saya jalani berkali-kali. Lautnya sudah saya renangi di musim panas. Pada bagian pesisir ini, dimana terletak desa Sionching dan Iwe yang sudah saya diami berbulan-bulan, kapal berlayar tiada jauh dari pesisir. Buat orang yang tersempit, yang tiada mempunyai pilihan lain, buat orang yang benar pandai berenang, penyeberangan antara kapal dan pesisir itu bukanlah pekerjaan yang mustahil. Saya biasa berenang di sungai atau lautan dengan kaki atau tangan atau keduanya, sambil menelungkupkan atau menelentang, bahkan sambil berdiri membawa kain. Sungai Ombilin di Minangkabau, sungai yang dalam dan deras arusnya, yang sering meminta korban kepada yang kurang cakap, memberi latihan kepada saya dalam segala ragam berenang di waktu saya belum dewasa. Cuma saja air laut Tiongkok di bulan Desember terasa agak dingin. Kalau ada jalan yang lain baiklah dia dihindarkan saja. Jalan lain itulah yang sedang dipikirkan.
Selainnya daripada pegawai “konsulat Inggris” yang  menuju ke Amoy itu bersama dengan saya menumpang pula seorang Tionghoa tuan Lim, bekas mahasiswa Amerika yang mempunyai toko barang listrik di Amoy. Lagi pula seorang profesor Amoy University. Tetapi yang menarik perhatian dan simpati saya ialah seorang pelajar dari Hongkong bernama Chu yang pulang beristirahat ke kampungnya bernama Hosan, dekat kota Amoy.
Entah karena apa maka pelajar Chu tak mau berpisah dengan saya selama di dalam kapal. Mungkin sekali dia sudah membaca surat kabar Inggris di Hongkong yang pernah mengabarkan penangkapan saya. Umumnya pelajar Tiongkok berpolitik radikal. Banyak yang berpihak kepada Sayap kiri, di bawah pengaruhnya Madame Sun Yat Sen, tetapi banyak pula yang bersimpati dengan kesusasteraan dan gerakan komunis. Pelajar Chu memindahkan barangnya ke kamar saya dan mengambil tempat tidur kosong di kamar saya pula. Apabila saya keluar kamar, maka keluar pulalah pelajar Chu. Apabila penumpang lain meminta saya dan pelajar Chu bermain kartu, maka pelajar Chu melihat mata saya lebih dahulu dan bertanya lebih dahulu kepada saya. Jika saya mau main, mainlah dia, jika saya tolak, menolak pula pelajar Chu. Apabila saya pergi tidur maka mengikutilah pula dia.
Pelajar Chu belajar Inggris dengan lancar dan fasih sekali. Dia baru saja tamat S.M.T. Inggris di Hongkong. Sekolah ini dipimpin oleh guru Inggris sendiri dan pelajarannya terutama dalam bahasa Inggris terkenal baik juga. Pelajar Chu selalu meminta nasehat kepada saya, apakah dia akan terus belajar ke Universitas apa tidak. Heran juga saya, karena dia meminta nasehat kepada saya yang dia kenal cuma baru dalam kapal saja. Kenapakah dia tiada menghampiri tuan Lim atau Profesor Amoy University yang sama-sama berlayar di Amoy ???
Menurut tingkah laku dan caranya berbicara pelajar Chu adalah anak keluarga termasuk baik di Amoy. Bapaknya adalah compradore Hongkong-Shanghai Bank, cabang Amoy. Jadinya anak hartawan Tionghoa.
Menurut filsafat saya tidak ada alasan bagi saya untuk mencurigai pelajar Chu. Tetapi memang ada satu dua penumpang di atas dek yang kelihatan amat memperhatikan saya. Saya tak heran kalau mereka berhubungan dengan I.S. Inggris atau dengan konsulat Belanda. Bagaimanapun juga saya juga mengawasi langkah saya dan mengawasi siapa saja yang ada di sekitar saya.
Sudah semalam lebih kapal berlayar, maka pada pagi hari sampailah kami ke pelabuhan Swatow. Di sini kapal berhenti setengah hari lamanya. Nanti sorenya pelayaran akan dilanjutkan ke Amoy. Akan naik daratkah saya disini mempelajari suasana? Rupanya pelajar Chu tidak setuju saya naik ke darat. Entah apa sebabnya. Tetapi sudah saya pertimbangkan baik buruknya, maka bersama Profesor Amoy University dan tuan Lim saya naik darat juga.
Belum lagi berapa lama kami berada di daratan, maka di depan kami tiba-tiba berhenti sebuah mobil besar. Seorang Tionghoa berpakaian modern keluar dan berjabatan tangan dengan kami. Kami dipersilahkan masuk mobilnya, Profesor Amoy University menolak dan tuan Lim serta saya masuk.
Saya tidak mengerti asal mulanya persahabatan ini. Tetapi melihat mukanya Tionghoa modern ini saya tidak menaruh kecurigaan sedikitpun. Juga tidak curiga, kalau dia kepada saya memakai bahasa Inggris dan kepada tuan Lim memakai bahasa Tinghoa. Yang sedikit mengherankan saya, cuma kenapa datangnya mobil tepat dengan pendaratan kami. Tidak mungkin perhubungan tuan Lim dengan kenalan baru itu sebergitu rupa sehingga pertemuan itu bisa tepat saja.
Kami dibawa dengan mobil berkeliling kota. Kota Swatow bukanlah lagi asing buat saya. Setelah mobil menghampiri rumah penjara, maka mau tidak mau timbul juga pertanyaan di dalam hati saya. Akan berhentikah mobil disini? Memangnya pula mobil berhenti. Kenalan baru memang keluar dari mobil, tetapi tidak diundang untuk mengikuti. Sebentar lagi kenalan baru kembali masuk ke mobil dan perjalanan diteruskan.
Rumah penjara bukanlah asing lagi bagi saya. Di Indonesia saya diperkenalkan dengan tiga penjara sebelum berangkat pada tahun 1922, ialah penjara Bandung, Semarang, dan Jakarta. Di Manila saya berkenalan pula dengan penjara. Penjara Hongkong pun tidak melupakan saya. Sebaliknya tiap-tiap rumah  penjara atau semua rumah yang berbentuk penjara seolah-olah dengan diam-diam berkata kepada saya: Silahkan masuk!
Bagaimanapun juga keadaan di penjara imperialis Belanda, Amerika dan Inggris, kalau dibandingkan dengan penjara Tionghoa seperti kandang kuda dengan kandang babi. Di dalam penjara Tiongkok orang dikumpulkan berdesak-desak. Di sanalah mereka tidur, makan, buang air besar atau kecil dan merenungkan nasib yang buruk dalam masyarakat yang zalim dan kejam. Jarang orang yang lama tahan sehat atau hidup, sekali ia memasuki penjara Tiongkok yang tulen.
Sedang saya masih memfilsafatkan rumah penjara Tiongkok, maka tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah rumah. Dapat dilihat dari luar bahwa rumah ini adalah sebaliknya daripada rumah yang difilsafatkan tadi. Rumah ini adalah rumah tempat Tionghoa yang berpunya melepaskan hausnya; menghentikan laparnya dan memuaskan nafsunya; serta menambah kegembiraan dan kesenangan hidupnya. Juga terutama untuk menjumpai para tamunya dan merundingkan urusan atau perdagangannya. Rumah ini ialah restoran, rumah makan.
Kami mengambil tempat di k amar yang terpisah dan bersih dalam segala-galanya. Kenalan baru segera mengambil daftara makanan dan memiliih makanan dan minuman yang cocok dengan kedudukannya dalam masyarakat Tionghoa. Pembaca yang pernah diundang ke sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa yang pernah diundang ke sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa atau ke rumah makan Tionghoa, dapat mengira, bahwa kenalan baru tak akan memilih makanan Swatow yang sembarangan. Masakan Tionghoa sudah masyhur di seluruh dunia dan dari mulut orang Eropa saya sering mendengar: “The Chinese are the best cook on the world”. (Orang Tionghoa adalah ahli masak yang paling jempol di dunia). Menurut ukuran saya memangnya pujian ini tidak melebihi sedikitpun. Boleh juga saya tambahi, bahwa masakan Swatow mempunyai kedudukan yang teristimewa pula di tengah-tengah daerah lainnya di Tiongkok.
Setelah sebentar kami duduk, maka kenalan baru mengambil kartu nama dari dompetn  ya dan memberikan kartu itu kepada saya. Tertulis di atas namanya: Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow. Nama Chen itu ialah dalam bahasa nasional atau dalam bahasa Kwantung. Dalam bahasa (daerah) Hokkian bertukar menjadi Tan.
Chen Min Shu atau Tan Min Shu, menceritakan kepada kami, bahwa selang beberapa lama dia kembali dari perjalanannya ke Siam dan Manila. Dia bepergian ke sana untuk mengumpulkan uang sokongan buat Chap Kau Loo Kun, tentara ke-19 yang menjadi buah tuturnya semua patriot Tionghoa tua, muda, laki, perempuan. Chen Min Shu, sebagai sekretaris polisi Swatow, sebagai wakilnya tentara ke-19 di kota No.2 buat propinsi Kwantung ini tentulah mempunyai kekuasaan yang besar sekali kalau tiada yang terbesar.
Kenapakah tuan Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow itu dalam berbicara selalu memalingkan mukanya kepada saya? Saya tidak memperkenalkan nama kepadanya.
Menurut bentuk dan warna mukanya itu Chen Min Shu, maka tidaklah akan mengherankan kalau dia seorang Hoakiao, baba. Bahasa Tionghoa diucapkannya menurut tekanan (accent) Hoa-kiao. Bahasa Inggrisnya jelas dan berbeda dengan bahasa Inggris yang diucapkan oleh orang Tionghoa totok. Tentulah tidak cocok dengan tata krama Asia, kalau ditanyakan asal usulnya tuan Chen Min Shu.
Apakah tuan Chen Min Shu tahu kalau saya seorang pelarian politik? Apakah tuan Chen Min Shu hendak memberi suggestion (pertimbangan), bahwa saya boleh tinggal di Swatow, kalau saya mau. Ataukah sebaliknya, ialah jangan coba tinggal di Swatow.
Bagaimanapun juga saya mendapat kesan yang baik sekali tentang tuan Chen Min Shu. Kami diantarkan dengan mobil sampai ke pelabuhan Swatow termasuk propinsi Kwantung. Sendirinya saya teringat akan peringatan konsul Kwantung kepada pemerintah Hongkong, bahwa saya adalah keturunan Tionghoa. Jika waktu itu diizinkan mempergunakan seorang Tionghoa, pembela hukum, tentulah saya bisa menaksir suasana di Tiongkok. Akan sanggup pula saya menentukan bolehkah dan di bagian mana Tiongkok-kah saya dapat berdiam.
Dengan bersenjatakan sedikit pengetahuan tentang Tiongkok (Swatow). Saya kembali masuk ke kapal. Ingin saya mengetahui, bagaimanakah keadaan di Amoy dan propinsi Hokkian. Besok paginya kapal menurunkan jangkarnya. Kapal berlabuh di tengah-tengah teluk Amoy, di antara pulau Kulangsu dan Pulau Amoy. Kalau memakai sampan, maka dalam lebih kurang sepuluh menit kita bisa mendarat.
Malam tadi pelajar Chu terus mendesak saya, supaya berhenti saja di Amoy, dan jangan terus ke Shanghai. Saya boleh menumpang di rumah keluarganya dan menjadi temannya, katanya. Saya terus menolak! Tetapi saya sudah memasukkan barang yang terpenting ke dalam kantong. Koper baru, berisikan pakaian dan buku, yang baru saya beli sesudah perang Shanghai, saya taruh baik-baik. Kunci kamar saya berikan kepada penjaga kamar. Pertanyaannya apakah saya akan naik darat, saya jawab: tidak.
Saya antarkan pelajar Chu ke kaki tangga yang menyinggung air laut. Kelihatannya sebuah sekoci yang dengan cepat menuju kepada kami. Saya sedikit curiga, karena mengingat sekoci polisi Kulangsu bagian internasional, yang mau menangkap saya di kapal Suzana, lima tahun lampau. Tetapi sekoci itu dikirimkan oleh Hongkong-Shanghai Bank buat menjemput dia. Seperti disebutkan di atas bapaknya pelajar Chu, ialah Compradore Bank tersebut.
Sekocinya pelajar Chu sudah berdampingan dekat kapal kami. Pelajar Chu menarik tangan saya mengajak masuk ke sekocinya. Saya tolak dengan suara keras sambil menoleh ke arah buritan kapal di atas dek, dimana berada satu dua orang yang gerak geriknya mencurigakan saya. Biarlah mereka sangka bahwa saya tak akan mendarat.
Pelajar Chu terus mendesak saya menaiki sekocinya dan saya tetap menolak dengan kedua tangan di kantong celana buat menunjukkan seolah-olah saya tidak mau mendarat. Kalau tidak mau “I am sorry, good bye!” kata pelajar Chu, (saya merasa sayang dan selamat tinggal).
Tetapi setelah sekoci bertolak, satu dua hasta jaraknya dari kapal, maka sekonyong-konyong saya meloncat masuk ke sekoci. Dalam lebih kurang 5 menit lamana sekoci sudah sampai ke darat. Apabila saya menoleh kembali ke kapal, maka barulah saya lihat beberapa orang turun tangga dengan cepat dan memilih sampan yang berdayung mendekati kapal. Siapa yang pertama mendapatkan sampan, musuh atau tidak, pemburu manusia atau manusia biasa, tidaklah dapat saya pastikan. Saya tahu bahawa saya sedikitnya sudah lima menit menang berlomba. Secepat-cepat sampan bedayung tak kurang dari seperempat jam lagi, barulah penumpangnya bisa mendapat.  Jadi paling sedikitnya 20 menit saya mendapat voorsprong (penjaran, tepeuk).
Waktu yang 20 menit itulah yang harus saya pergunakan untuk mendapatkan rumah tempat bersembunyi. Hotel tentulah tidak akan saya pakai. Segera saya pastikan lagi alamatnya pelajar Chu. Siapa tahu kalau-kalau nanti terpaksa dipakai. Saya katakan bahwa saya ada mempunyai urusan penting di Amoy dan kalau masih ada kesempatan kelak saya akan pergi ke Hosan menjumpai dia. Saya berjabat tangan dan berpisah dengan pemuda yang saya kenal cuma sebentar saja. Tetapi lekas menarik simpati saya. Sayang sekali saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Dengan tidak membuang-buang waktu sekejappun saya menaiki satu becak, saya suruh tukang becak menuju ke jalan Ang Pun Po. Di sinilah saya pernah menumpang lima tahun yang lalu di rumahnya sahabat karib Tan Ching Hua. Keadaan saya sekarang tak ada bedanya dari lima tahun yang dahulu itu, ialah mencari perlindungan. 
Sedikit pikiran saya terganggu apabila di kiri-kanan melihat rumah baru dan jalan baru dan jalan baru. Pada ketika itu sudah hampir seluruhnya kota Amoy lama dibongkar dan ditukar dengan yang baru. Rumah yang dahulunya sempit, kecil, rendah, berganti dengan rumah yang besar, tinggi, dan modern. Jalan yang sempit, kotor, dan penuh sesak berganti menjadi jalan yang lapang, bersih, dan di sepanjang toko-toko yang tak kalah dengan toko kepunyaan Tionghoa di bandar besar seperti Shanghai.
Saya hampir tak mengenal Amoy lagi. Bertanya pula saya dalam hati. Apakah rumahnya sahabat Tan Ching Hua, Ka-It, yang bernama Tiong Huat masih ada di jalan Ang Pun Po? Dan apakah jalan Ang Pun Po itu ataupun kampungnya Ang Pun Po itu sendiri masih ada?
Bagaimanakah rumah penginapan Tiong Huat bisa menahan desakan muncipal, Balai Kota Amoy, meruntuhkan rumah yang tua-tua dan menggantinya dengan yang baru?
Orang luar tak mudah mengerti, kalau tidak mengetahui kedudukan satu keluarga dalam masyarakat negara Tiongkok. Rahasia bisa berdirinya terus Tiong Huat dengan jalan sempit gelap dikiri, depan dan belakangnya terletak pada kedudukan keluarga Tan di kota Amoy. Kemauan keluarga Tan tak bisa dibatalkan begitu saja. Kalau keluarga Tan bersatu mempertahankan rumah tua lapuk dan jalan sempit gelapnya dengan bersama-sama dengan kampungnya, maka balai kota Amoy harus berhati-hati sekali dan berfikir panjang benar sebelumnya ia menjalankan kemauannya. Hasilnya seperti disebutkan di atas, Tiong Huat berdiri terus dengan segala kemegahan menentang pembaruan. Kecuali kalau Balai Kota Amoy sanggup memberi ganti yang besar dan disetujui pula oleh yang punya rumah, tidak lain jalan baginya daripada membiarkan usang berdiri terus di tengah-tengah kota yang baru.
Saya memperhatikan becak dan segera memasuki kamar bawah yang gelap dan terus nai ke tingkat ketiganya Tiong Huat. Tidak berapa lamanya saya menunggu, maka sahabat Ka-It, Tan Ching Hua pulang. Saya ceritakan keadaan saya dan kami memutuskan supaya selekas-lekasnya saya pergi ke desanya Ka-It ialah desa Iwe, berdekatan dengan desa Sion-Ching yang saya diami lima tahun lalu. Yang menjadi persoalan ialah, apakah saya akan mengambil jalan darat atau laut. Satu-satunya keberatan dan keuntungan. Akhirnya diputuskan saya akan mengambil jalan darat. Perjalanan di darat ini, seperti perjalanan di laut mengambil waktu 12 sampai 14 jam. Selainnya ada penyeberangan laut yang mesti dilakukan antara pulau Amoy dengan benua Tiongkok, maka perjalanan Amoy ke desa Iwe dilakukan dengan mobil bis. Perjalanan itu melalui kota Chip-Bi, Tang-Ua, Behang, Swantaw, (?) Anhai, Siuk Chai dan Kom Chi. Semuanya kota tersebut tidak berapa besar penduduknya kalau dibandingkan dengan penduduk kota-kota besar di Tiongkok seperti Shanghai, Hankow, Canton dll yang mempunyai penduduk dihitung dengan juga. Tetapi kalau dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia, maka isinya kota-kota Tionghoa yang tidak pernah kita pelajari di bangku sekolah kita itu, mengherankan. Kota Yogyakarta di zaman Hindia Belanda baru mempunyai penduduk 200.000 lebih. Tetapi penduduk Tiong-Ua lebih daripada 300.000 orang. Kota lain-lain berpenduduk antara 100.000 dan 200.000 orang. Di antara Behang dan Swantow ada satu desa dekat satu bukit itu, di mana orangnya ataupun mobil bis terpaksa memperlambat perjalanannya, maka para penyamun ini sangat nekat, katanya mereka itu adalah bekas serdadu.
Sebab jalan yang saya lalui itu selalu saja diancam penyamun maka tentara ke-19 didatangkan ke sana untuk melakukan pembersihan. Buat ini maka diadakan peraturan surat pas. Barang siapa yang singgah bermalam di dalam satu tempat diwajibkan memberitahukan hal ini lebih dahulu kepada kepala tempat itu. Tentara ke-19 berlaku streng, keras sekali. Pada permulaan pembersihan dilakukan, maka banyak orang yang lewat atau menumpang yang tidak mempunyai keterangan yang cukup ditembak mati di tempat itu juga. Taktik yang dijalankan tentara ke-19 ialah taktik menakuti. Memangnya kalau tidak begitu tak mungkin lekas bisa diadakan pembersihan itu. Ada kalanya terjadi orang yang tidak bersalah, tetapi tidak mempunyai surat keterangan, kaena memangnya tidak mengetahui perintah, atau orang dari desa lain tidak mempunyai kenalan ditempatnya bermalam ditembak mati. Maklumlah tentara ke-19 terdiri dari orang Kwantung yang tidak mengerti bahasa Tiongkok (nasional). Sedangkan mereka biasanya harus pula berurusan dengan rakyat jelata di Hokkian yang tidak mengerti sepatah katapun bahasa nasional (Kue-Yu).
Tidak bisa disangkal, bahwa karena ada yang terbunuh dengan tidak bersalah itu, kepopuleran tentara ke-19 menjadi sedikit kurang. Tetapi tidak pula bisa disangkahl bahwa tindakan keras itu perlu dilakukan dan nyata pula diberikan hasil yang memuaskan. Tentulah hasil yang kekal akan bisa didapat kalau perekonomian betul-betul diperbaiki. Hal ini tidak mudah dilakukan.
Maka ketika kami melalui soal la’ Nia’ yang kesohor jahat tadi nyata kegelisahan penumpang. Apabila mobil bis mendaki bukit dengan kecepatan berkurang, maka di pinggir jalan saya melihat satu dua orang duduk di pinggir jalan. Orangnya kelihatan tegap dan pemberani, tetapi rupanya kecewa dan marah karena tidak sanggup melakukan pekerjaannya. Antara Behang dan Swatow, melalui Soa’l la’ Nia’ itu seorang anggota tentara ke-19 yang bersenjata lengkap, menumpang mobil kami sebagai pengawal.
Di salah satu stasiun di perjalanan maka mobil kami diperhentikan untuk ditukar. Di sini diadakan penggeledahan barang dan badan yang teliti sekali. Saya sedikit gelisah juga, karena tidak mempunyai surat apa-apa. Tetapi saya memakai pakaian Tionghoa, ialah pakaian juba sensei. Pengalaman saya yang sudah-sudah dengan orang Kwantung di Shanghai, memberi keyakinan kepada saya, bahwa tentara ke-19 ini akan membiarkan saya lalu zonder digeledah atau ditanyai apa-apa. Biasanya kalau saya memasuki satu toko orang Kwantung di Shanghai, maka orangnya selalu amat ramah tamah dan bertanyakan dari Kwantung bagian manakah saya berasal. Dipandang oleh orang Kwantung di tengah-tengah orang Tionghoa-Utara yang besar tinggi itu rupanya kita orang Indonesia yang berwarna coklat ini hampir sama dengan orang Kwantung. Memang begitu! Semakin ke Selatan kita pergi semakin banyak di antara orang Tionghoa terdapat mereka yang mirip perawakan dan warnanya dengan orang Indonesia. Apalagi diantara orang petani yang jarang sekali berwarna kuning, karena biasa bekerja di dalam panas.
Melihat saya yang memakai jubah sensei (tengpau), maka dengan senyum para pemeriksa tentara ke-19 mempersilahkan saya lewat. Tak ada pertanyaan dan tak ada penggeledahan di koper ataupun badan saya.
Kira-kira jam tujuh malam sampailah saya di desa Iwe, cuma 100-200 meter saja letaknya dari pesisir lautan Pacific. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu, desa Iwe tidak berapa jauhnya daripada desa Sion-Ching yang pernah saya diami.
 Maksud semula di Amoy, saya kelak di Iwe akan bermalam di rumah sekolah bersama dengan guru sekolah itu. Rumah sekolah itu bukan rumah sekolah biasa, melainkan tempel/klenteng yang dipakai buat sekolah. Gurunya didatangkan dari tempat lain, ialah dari kota Chuan Chu. Dia keluaran sekolah Guru.
Tetapi sahabat baru Tan Tien Jin yang baru datang dari Manila tidak membiarkan saya tinggal di Kelenteng. Ibunya dan dia sendiri merasa malu, katanya kalau saya tidur di Kelenteng. Tan Tien Jin tentulah keluarga pula dari keluarga Tan Ching Hua atau Ka It, yang rumahnya berdekatan sekali. Ka It juga sudah mengusulkan supaya tinggal di rumahnya saja, tetapi ada keberatannya Jin, karena yang tinggal di rumah kebanyakan para wanita. Rumahnya Tien-Jin sudah mempersiapkan untuk saya satu kamar, saya terima usul itu dengan segala senang hati dan banyak terima kasih.  
Baru saja dua tiga malam saya berada di rumahnya Tien Jin, maka pada suatu hari hampir jam dua malam saya dibangunkan oleh suara riuh rendah. Dari dua tiga rumah di desa Iwe dibunyikan canang, (Jawa-Bende). Suara canang itu diperkuat pula dengan kaleng yang dipukul di sana-sini. Suara yang datang dari canang dan kaleng dipukul itu ditambah pula dengan suara manusia yang berteriak-teriak mengatakan to-hui, bandit, datang menyerang rumah Ka-It dan rumah kami sudah lama diperhubungkan dengan tali yang bisa menggerakkan kaleng berisi batu di kedua ujungnya. Maksudnya ialah untuk saling memberi peringatan. Riuh sekali bunyinya kalen berisi batu ini setelah talinya ditarik. Siapakah yang tidak bangun mendengarkan suara canang kaleng dipukul, kaleng yang berisi batu yang ditarik-tarik, campur aduk dengan suara manusia yang berteriak-teriak.
Saya bangun dan keluar kamar menjumpai Tien-Jin yang sedang berkumpul dengan beberapa lelaki lain di rumah kami. Mereka ini semuanya memegang senjata api. Saya segera disuruh kembali tidur ke kamar. Permintaan saya supaya bisa ikut serta ditolak mentah-mentah. Memangnya saya orang asing akan memberatkan siasat pembelaan saja. Para to-hui tentulah pula akan menyangka, bahwa saya adalah seorang kaya dari “Nanyang” yang harus dicabut bulunya habis-habis.
Tembak menembak habis-habisan jarang dilakukan oleh penyerang dan yang diserang. Penyerangan itu biasanya dihabiskan dengan perundingan dan konsesi yang besar atau kecil menurut besar kecilnya kantong yang diserang dan kuat lemahnya pertahanan. Demikianlah pula besok harinya saya mendengar kabar, bahwa penyerang malam hari itu berakhir dengan perundingan disertai $ 3.000,- pembayaran “ongkosnya” para to-hui. Harus dimengerti bahwa para to-hui datang dari tempat yang agak jauh letaknya dan mempunyai tentara tak kurang daripada 100 orang banyaknya. Lagi pula tak boleh dilupakan, bahwa pihak yang diserang ialah seorang kaya baru datang dari Lam-Yu, dari Luzon (Manila). Kekayaan  itu tak dapat disembunyikannya dengan perundingan. Bukti yang nyata bagi para to-hui ialah si-terserang itu sedang membuat rumah batu yang besar dan bagus. Kerugian jiwa tak ada di waktu itu! Tetapi tuan rumah terpaksa mengubah rencana rumahnya; dikurangi besar dan bagusnya.
Kemalangan ini berlaku di dekat sekolah kelenteng yang hampir saja saya tinggali. Kata Guru kepada saya, bahwa mujur juga saya tak jadi tinggal di sana, karena para to-hui juga masuk ke dalam sekolah untuk memeriksa harta benda di sana. Setelah mereka mengetahui bahwa yang tinggal di sana cuma seorang guru bantu dengan gaji $ 20,- (dua puluh dollar) sebulan (ialah kalau uang sokongan datang dari Luzon) maka para to-hui juga mengambil kesimpulan, manakah bisa mendapatkan telur kucing. Tetapi akan lain halnya “kalau saya ada di sana”, kata sahabat guru.
Anehnya pula lebih dari sepuluh pegawai desa Iwe, yang mengambil tempat di dalam kelenteng juga tak membuat perlawanan apa-apa. Mereka adalah pemuda penduduk Iwe sendiri dan dibayar dengan uang iuran. Mereka juga bersenjata lengkap. Alasan mereka ialah: musuh jauh lebih besar, overmacht (perkataan bahasa Belanda yang kita kenal ketika bertekuk lutut menghadapi tentara Jepang). Sangat digembirakan, oleh mereka pengawal Iwe ini, bahwa mereka kehilangan bedil sepucukpun. Tetapi mereka tidak menerangkan guna apa bedil itu disimpan. Lagipula tidak mereka terangkan apakah mereka kehilangan muka (be-bin-pe) apa tidak! Di belakang hari saya tak pernah melihat pengawal lagi dalam kelenteng itu. Mungkin para penduduk Iwe sudah berpendapat bahwa met atau zonder tentara pengawal, keamanan atau bahaya buat Iwe “Sio-Siang” ialah podo wae, sama saja.
Dalam hal ini saya setuju dengan penduduk Iwe. Ingat saya di waktu itu pada Ki-Koq, ketika berada di Sion-Ching. Sering dia mengejek-ejek serdadu yang penakut dengan perkataan potato-soldiers. Bukan potato kentang biasa, melainkan ubi jalar. Ialah makanan rakyat di sana. Dalam bahasa Hokkian, ejekan itu berbunyi: han-chu-ping, prajurit untuk mencari makan semata-mata.
Ubi jalar sudah tak menjalar lagi, karena kami sudah berada dalam bulan Januari tahun 1933. Tetapi saya kembali makan ubi terus-menerus, seperti tempo hari di desa Sionching. Cuma kadang-kadang saja kami makan nasi. Chiak han chu, pe ta usi makan ubi, dengan kacang kedelai (bersama kecap) inilah makanan rakyat di daerah Chuan-chu dan banyak yang dimakan di musim dingin. Tetapi walaupun panen ubi itu dilakukan di bulan Juli-Agustus, pada bulan Desember masih ada yang tinggal di dalam tanah. Orang Hokkian bisa lama membiarkan ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi supaya jangan busuk atau tumbuh. Biasanya ubi yang tidak dibikin gaplek itu dilumuri kapur dan disimpan di tempat yang kering.
Yang mengherankan saya ialah, ketika saya dalam tangkapan seperti di Manila dan Hongkong maka saya tidak merasa sakit. Rupanya penyakit itu diam terpendam. Tetapi setelah aman kembali maka sekonyong-konyong timbullah penyakit itu. Penyakit itu memangnya tidak keras, tidak pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari. Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit saja salah “makan” (sedikit banyak daging), maka pencernaan dan tidur terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali kemasukan angin! Demikianlah kelemahan  badan itu terus-menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935.
Suntikan yang bermacam-macam dari berbagai-bagai macam dokter Barat atau Timur yang mendapat pendidikan Barat tak berapa memberi pertolongan. Di sini saya mau menerangkan bahwa tidak mengurangkan penghargaan saya terhadap kedokteran Barat yang berdasarkan science, ilmu bukti, bahwa tinggi sekali penghargaan saya terhadap dukun dan jamu, obat-obatan Tionghoa. Banyak dipersoalkan kemanjuran obat kaum dukun Tionghoa itu. Ada yang pro dan ada pula yang anti diantara para dokter Barat terhadap jamu Indonesia. Tentang dari saya bolehlah saya katakan, bahwa kelemahan badan itu disembuhkan oleh jamunya dukun Tionghoa! Obat yang saya terima dari bermacam dokter dari berbagai bangsa di beberapa kota besar di Asia tidak menyembuhkan. Baru di Iwe saya merasa pertama kali jamu bisa menguasai kelemahan yang sudah bertahun-tahun. Artinya bisa makan sekedarnya gemuk (daging) dengan tidak mengganggu pencernaan dan tidur yang mengakibatkan lesu dan sakit kepala.
Dukun Tionghoa yang tulen (ada pula yang palsu) tidak akan memberikan obat yang langsung untuk cuci perut umpamanya. Dia akan memberikan obat yang tidak langsung ialah jamu yang bisa memperkuat seluruh badan dan usus khususnya. Kalau badan sudah kuat dan usus sudah jalan, maka kelak sendirinya makanan akan dicernakan.
Dukun Tionghoa juga tahu artinya casctor-olie, tapi dia tidak menasehatkan memakainya kecuali dalam keadaan luar biasa. Biasanya jamu itu dimasak bersama-sama dengan bahan makanan yang mengandung khasiatl.
Di rumah Tien-Jin ada seorang keponakannya yang kembali dari Manila pula sudah 2 tahun dia tinggal di Iwe untuk berobat secara kuno. Dulunya dia sakit keras di Cebu (Philipina) yang disangka tak akan bisa hidup lagi. Dia sakit comsumption, tering, sakit rabu. Sampai beberapa malam dia harus dijaga oleh dua tiga orang dokter. Apabila dia sedikit kuat, dia berangkat pulang ke Iwe walaupun dokter tak mengizinkan. Di Iwe dia memakai jamu Tionghoa. Dia sudah memakan bermacam-macam daun, buah dan urat kayu, memakan bebek dan penyu bercampur jamu Tionghoa. Sekarang dia sudah kuat seperti sedia kala dan sudah sanggup bekerja keras mencangkul dan memikul seperti seorang petani di Hokkian.
  Kesehatannya itu dikembalikan oleh seorang Sinsei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Iwe melalui desa So-lao dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya namanya desa itu, mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be, banyak cerita atau dongeng tentang kemanjuran jamunya Sinsei di Chia-be. Nama penuhnya Sinsei itu saya sudah lupa. Tetapi nama turunannya (Se’) saya masih ingat benar. Kami juga tidak biasa menyebut nama penuhnya.
Kami biasa memanggil dia: Sinsei Choa. Dan saya masih ingat benar nama Sinsei Choa dari Chia-be.
Saya ingin berobat kepada Sensei Choa. Tien-Jin pun sudi mengantarkan saya ke desa Chia-be. Setelah memperlengkapi diri masing-masing dengan satu pistol maka pada suatu hari berangkatlah kami menuju ke desa Chia-be. Kebetulan saja Sinsei Choa ada di rumah.
Bukanlah adatnya Sensei Choa: begitu tamu (pasien) datang, begitu pula menanyakan penyakitnya. Kami lebih dahulu masuk ke kamar tamu. Di sini kami dijamu dengan teh atau air panas. Mulailah percakapan tentang perkara yang menarik perhatian di waktu itu. sendirinya percakapan itu akhirnya menyimpang kepada kedukunan dan obat-obatan. Sensei Choa dengan gembira menceritakan bermacam-macam penyakit yang sudah dilayaninya. Dia selalu siap sedia akan menceritakan sejarahnya kedukunan Tionghoa. Tetapi seperti tiap-tiap dukun Tionghoa lainnya dia akan menyimpan teguh rahasia jamu dan kedukunan yang dipusakakan oleh nenek moyangnya kepadanya. Pula dia akan pesankan kepada anak cucunya supaya beberapa rahasia tentang khasiat jamu, percampuran jamu dan cara  mengobati disimpan seerat-eratnya (rahasia). Tak boleh dibuka rahasia itu kepada yang bukan turunannya. Demikialah kedudukan Tionghoa itu (kepintaran khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh tiap-tiap keluarga saja. Lenyaplah pula kedukunan itu bersama lenyapnya keluarga itu. demikianlah paham umum tentang kedukunan Tionghoa. Tetapi umum pula diketahui oleh rakyat jamu yang harus dipakai untuk mengobati sakit biasa seperti pilek, pusing dsbnya.
Sensei tentulah tidak terkecuali dalam hal ini. Dengan segala kehalusan diplomasi Tionghoa dia akan menyingkiri menjawab pertanyaan yang agaknya berkenaan dengan rahasia kedukunan. Dan dengan kehalusan Tionghoa pula seseorang tamu (pasien) akan menyingkiri segala pertanyaan yang rasanya bersangkutan dengan rahasia obat-obatan. Walaupun begitu masih banyak pengetahuan yang bisa diperoleh dengan tanya jawab dan yang bisa dipakai untuk kesehatan kita. Rasa kemanusiaan para dukun Tionghoa biasanya amat besar sekali.
Setelah sekian lama bercakap-cakap maka oleh sensei Choa kami diajak turun ke kamar pemeriksaan. Di sinilah pula Sensei Choa menyimpan bermacam-macam daun, urat, buah-kayu, bunga dan bagian dari hewan yang dianggap mengandung zat sebagai bahan jamu. Tidaklah pula ketinggalan satu neraca untuk menimbang beratnya tiap-tiap macam jamu. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang inilah yang sering berbunyi keras di salah satu toko obat di kota-kota besar, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa toko ini atau itu dikunjungi tamu (pasien). Makin banyak berbunyi berarti makin banyak pula langganannya. Tetapi semakin keras bunyinya tidak pula selalu berarti bahwa toko obat itulah yang terbanyak mempunyai langganan. Toko obat yang kurang laku belum tentu kurang keras bunyi lumpangnya. Di sinipun bisa berlaku sesuatu pepatah: kaleng kosong keras bunyinya.
Sensei Choa tak perlu membunyikan lumpangnya keras-keras. Dia tinggal di desa kecil saja. Tetapi namanya sudah terkenal. Orang dari desa-desa lain datang sendiri ke tempatnya meminta pertolongannya. Bukan pula di desa Chia-be saja dia menjalankan prakteknya. Dia lama tinggal di Philipina dan cukup mendapatkan hasil daripada pekerjaannya. Dia sanggup mendirikan rumah yang sedang besarnya buat hari tuanya di desa ibu-bapaknya di Chia-be. Tamu yang datang di rumah seorang dukun selainnya daripada bayaran obat, biasanya membayar $ 1,-. Boleh lebih dan boleh pula kurang menurut penyakit dan kekuatan pundinya si sakit. Kalau lebih kurang $ 3,- ialah berhubung dengan ongkos kendaraan (tandu atau becak).
Di kamar obat Sensei Choa melakukan pemeriksaan yang terakhir. Sebenarnya dalam percakapan tadi Sensei Choa sudah sedikit mendapat pemandangan tentang kesehatan saya. Sekarang dia cuma tinggal memastikan penyakit saya dengan mengadakan beberapa pertanyaan. Tentulah tidak dilupakan pemeriksaan pols (nadi tangan), kelopak mata, warna kuku, dan warna lidah.
Kemudian Sensei Choa mengambil kertas Tionghoa yang memakai alamatnya. Dengan pensil dan tinta Tionghoa dan mulailah dituliskan semua nama jamu yang harus dicampurkan. Pula disebutkan berapa air yang perlu dipakai untuk memasak dan berapa pula mestinya didapat sisa air masakan itu. Kalau saya tak salah, maka tak kurang dari 18 macam bahan yang dicampurkan. Ada bahan yang bisa didapat di Hokkian sendiri, tetapi ada pula yang harus didatangkan dari Szuchuan, Mongolia dan Korea.
Sambil menghitung nadi tadi, Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat “panas”, singku chin dia. Istilah ini acap kali benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas itu ialah darah yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa, maka “darah panas” itu menyebabkan kurangnya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah itu. Berapa cocoknya istilah ini dengan ilmu kedokteran modern, tidaklah sanggup saya memerikannya.
Dalam usaha “mendinginkan” darah itu, maka sendirinya kami sampai kepada persoalan makanan. Sensei Choa menasehati saya Chiak-poo (memakan yang mengandung zat kuat). Saya dinasehatkan memakan bebek (chiak-ok) yang dimasak bersama-sama dengan obat. Enam ekor bebek harus dimakan, seekor seminggu. Jadi satu setengah bulan berturut-turut. Kemudian baiklah pula dimakan penyu (chiak-pik), satu dua ekor. Penyu itu ialah penyu selokan di dekat sawah. Makin tua penyunya makin baik. Buat bebek dan penyu Sensei Choa menuliskan (resep) jamu yang berlain-lain pula.
Maka dengan nasehat memakan bebek untuk memperkuat badan, perut dan syaraf, tibalah Sensei Choa kepada riwayatnya ratusan, kalau tidak ribuan bebek yang dipelihara di suatu paya yang sedikit jauh letaknya dari desa kami.
Kata sahibul hikayat, pada suatu masa  Hong-te yakni Maharaja Langit, datang mengunjungi Chuan-Chu ibukota Hokkian melalui paya tersebut. Setelah Hong-te memperhatikan paya itu, maka sekonyong-konyong Baginda mendapat ilham dan berkata: “paya ini baik sekali dipakai buat memelihara bebek hitam (oo-ak). Dagingnya kelak akan besar khasiatnya (poo) buat manusia.
Benar tidaknya Maharaja Langit pernah melalui paya itu, dan pernah apa tidaknya oo-ak yang dipelihara di paya dekat Chuan Chu itu mengandung “poo”, khasiat, tidak pula dapat saya putuskan secara ilmu modern. Tetapi memangnya benar bahwa enam ekor bebek hitam dari paya dekat Chuan-Chu itu banyak mengadakan perubahan dalam badan saya. Benarlah pula kebanyakan obat-obatan Tionghoa itu banyak mengandung dongeng.
Tidak saja obat itu didongengkan, tetapi juga cara (eksperimen) mendapatkan obat itu. Sesungguhnya dongeng semacam itu sedap didengar oleh dan banyak memberi kepercayaan kepada yang berobat.
Saya masih ingat salah satu daripada dongeng, bagaimana dukun Tionghoa di zaman lampau mendapatkan obat untuk sakit rabu. Anjing itu diberi makanan yang sudah dimamah oleh si sakit rabu tadi. Anjing itu ditulari penyakit rabu. Si anjing yang biasa mencari obat buat dirinya sendiri itu terus diikuti sampailah mereka kepada sebuah kuburan.
Di sana anjing tadi mendapatkan cendawan yang terus dimakannya. Cendawan itulah pula yang dipakai oleh dukun tadi sebagai salah satu bahan mengobati penyakit rabu. Sesudah diperiksa ternyatalah sudah, cendawan tadi tumbuh di tanah di depan rabunya satu mayat yang sudah meninggal lantaran penyakit rabu.
Berapa benarnya pengobatan semacam itu dan benar atau tidaknya pula cara mendapatkan obat semacam itu cuma salah satu sepongan (echo) dari experiment Barat modern, tentulah pula terserah kepada ahli obat dan ahli sejarah saja. Tetapi memang lazim didengar semboyan kedukunan di Tiongkok: racun lawan racun menjadi obat; sakit mata obatilah dengan mata; sakit jantung obatilah dengan jantung (hewan) dan lain sebagainya.
Pemeriksaan percakapan dan dongeng banyak mengambil waktu. Hari sudah pukul satu. Kami minta izin kembali pulang. Sensei Choa tak mengizinkan demikian itu. “Makanlah dahulu, sebab perjalanan agak jauh”, diusulkan oleh Sensei Choa. Kami terima usul itu! Di belakang harinya saya sendiri sekali-dua pergi mengunjungi dukun Tionghoa yang ramah tamah dan sangat simpati ini. wajah dan suaranya memberikan banyak kepercayaan kepada yang sakit.
Di suatu desa kecil di Tiongkok seperti Iwe, di musim dingin pula jadi yakni di bulan Januari, dimana segala masyarakat yang segala asing itu, menambah kesunyian, maka perawatan badan yang sudah banyak menderita dorongan alam, adalah satu peristiwa yang sedikit memberi penghiburan. Saya dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam yang sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang saya terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok saya sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa sebagai bahan.
Sewaktu malam sebelum tidur, kira-kira jam sepuluh datanglah periuk berisi masakan bebek ke kamar saya. Sekali makan dihabiskan setengah bebek dan setengah daripada kuahnya berisi sarinya jamu serta patinya daging dan sum-sumnya bebek. Minyaknya bebek hitam itu adalah 3-4 mm tebalnya. Semuanya dimakan dan diminum sepanas-panasnya. Dinasehatkan selalu, kalau sesudah makan haruslah tidur, Chiak pakun. Menurut teori “dukun” maka sedang kita tidur, obat itu bergerak sepanjang pembuluh darah menambah darah yang kurang dan membersihkan yang kotor. Chiak pa kun, demikianlah syaratnya chiak poo itu! Dalam satu setengah bulan itu maka dua belas kalilah saya jalankan “chiak pa kun” itu. barulah saya menyelenggarakan “chiak poo” itu dengan “pek” (penyu) sebagai bahan. Sari obat beserta patinya daging dan sum-sum “pek” masuk pula ke dalam badan.
Berbeda sekali dengan dahulu, maka makan daging gemuk, dan sum-sum yang begitu banyak, sama sekali tidak menimbulkan akibat seperti biasa lagi kepada saya. Tidak tergganggu pencernaan dan tidak terganggu tidur. Bahkan, chiak pa kun itu memangnya chiak, makan, pa, kenyang dan kun, tidur yang nyenyak. Zonder jamunya sensei Choa daging dan minyaknya bebek hitam sebanyak itu pastilah akan mengakibatkan terganggunya pencernaan dan tidur serta pusing kepala berhari-hari! Tidaklah susah buat mempercayai, bahwa makanan yang kaya dengan zat patri itu memberikan khasiatnya sepenuh-penuhnya. Terasalah dan ternyatalah di sini, bahwa zat patri itu dimasukkan ke dalam badan kita dalam keadaan yang sangat mudah dihancurkan. Jamu yang disangka menjadi alat bantu usus menghancurkan makanan itu. Pada tingkat yang pertama, zat patri yang terdapat pada bebek dan penyu itu dengan bantuan jamu memperkuat badan dan usus. Pada tingkat yang kedua maka badan dan usus yang sudah lebih kuat itu memudahkan dicernanya makanan. Tingkat kedua ini mulai saya peroleh di Iwe. Demikianlah saya mendapatkan jalan buat meneruskan perbaikan kesehatan. Perlahan-lahan kembalilah kesehatan itu sesudah hilang bertahun-tahun lamanya (th. 1925-1935). Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak. Inilah rasanya pangkal kesehatan.
Kesunyian desa Iwe seperti di desa lain-lainnya di Tiongkok diselingi oleh keramaian pada tiap-tiap tahun baru, oleh Chap-go-me, perkawinan dan kematian. Tahun baru dan Chap-go-me itu dilakukan di seluruhnya Tiongkok. Inilah hari besar nasional Tionghoa. Orang Tionghoa di seluruh negara leluhurnyapun tidak ketinggalan merayakannya. Kita cukup mengenal di Indonesia, karena keramaian itu dilakukan dengan terbuka. Kematian Tioghoa buat kita mau tak mau terpaksa dimasukkan pada jenis keramaian juga. Bukan buat yang mendapat kemalangan itu sendiri, tetapi buat para pengunjung. Bersamaan sedu-sedih serta ratap tangisnya keluarga yang kematian kita menyaksikan bersamaan dengan upacara penguburan dengan besar-besaran. Saya kenal di desa Iwe seorang berpunya yang kematian bapak (angkat) untuk memperlihatkan terima kasihnya kepada yang meninggal. Menghabiskan hampir semua hartanya untuk upacara penguburan. Kadang-kadang mayat itu dibalsem dan tidak dikuburkan sampai sebulan atau lebih. Hal ini acap kali terjadi di Hokkian, karena yang meninggal mempunyai anak di Lam-Yu, yang ditunggu kedatangannya buat menyaksikan penguburannya.
Yang hendak saya uraikan sekedarnya di sini ialah peristiwa perkawinan. Persiapan dan upacara perkawinan itu mengambil waktu yang lama dan memakan biaya yang besar. Yang pertama ialah atas dasar paling kolot. Kedua atas cara paling modern. Ketiga atas aturan di tengah-tengah yang dua itu. Saya cukup  menyaksikan ketiga macam itu. menurut adat kolot, maka mempelai dan anak dara satu sama lainnya tidak perlu kenal mengenal. Para pengantin dipertemukan oleh kemauan ibu bapak kedua belah pihak dengan perantaraan “minang”, seorang tengkulak yang biasanya perempuan. Yang menjadi syarat penting buat ibu-bapaknya si Bujang ialah kekayaan, kecantikan, kepatuhan dll, si gadis yang akan diterima di keluarganya buat selama-lamanya. Buat ibu bapaknya si gadis syarat yang utama tentulah kekayaan dan kekuasaan bekal menantunya, kemana gadisnya akan diserahkannya buat selama-lamanya. Tapo kya lau e, chawe kia, pa lang e. (Anak lelaki kita yang punya, anak perempuan orang lain yang punya).
Ibu-bapak yang kaya biasanya memakai lebih dari seorang “minang” (tengkulak). Terletak pada “kebijaksanaan” minanglah banyak tergantung jaya atas gagahnya sesuatu perkawinan. Tak sukar dimengerti bahwa tujuan yang pertama seorang minang ialah supaya perkawinan berlangsung. Apabila berlangsung, maka ia mendapatkan yang dicarinya, ialah uang sebagai upah.
Sudahlah tentu seorang “minang” berusaha sekeras-kerasnya memuji bakal pengantin dan keluarganya pengantin itu. oleh karena kepintarannya dan pengalamannya dalam hal melayani langganannya, maka hidung mancung, serta hutang menjadi piutang; yang miskin menjadi yang kaya. Banyak perkawinan yang lucu yang terjadi karena usahanya para “minang”. Pernah lelaki yang tua bungkuk kawin dengan gadis yang cantik molek, yang lumpuh kawin dengan yang buta. Memangnya yang menang dalam perkawinan secara adat kolot itu biasanya minang yang cerdik licin. Perkawinan modern disangka diakibatkan oleh modernisme yang bertiup ke Tiongkok sebagaian besar dibawa motion picture, bioskop. Besar sekali pengaruhnya Clark Gable, Greta Garbo, Dorothy Lamour dll, bintang Hollywood terutama diantara para pelajar dan mahasiswa Tionghoa. Dasar perkawinan modern itu ialah sebaliknya daripada dasar yang baru disebutkan di atas. Para pengantin tidak lagi mau menjadi objek perkakas mati, para ibu bapak dengan “minangnya”, melainkan mau menjadi subyek, menjadi seorang yang menentukan kesukaan diri sendiri. Perkawinan modern ini, jadinya berdasarkan “saling mengakui”. Syukur kalau orang tuanya menyetujui kalau tidak, perkawinan akan berlangsung zonder upacara yang lama dan mahal.
Mestinya perkawinan semacam itu pun sebaiknya. Sebaiknya yang pertama ialah kalau kedua belah pihak mempunyai watak yang isi mengisi, kedua belah pihak mempunyai cukup tanggung jawab satu sama lainnya dan terutama kepada turunannya. Syarat yang lain ialah kesanggupan mencari nafkah. Tetapi semua syarat tersebut tak dapat dianggap cukup ada pada usianya pemuda-pemudi dalam Sturm und Drang periode, (usia bergelora) seperti terdapat pada pemuda-pemudi pelajar sekolah menengah ataupun University. Banyak di antaranya perkawinan atas dasar “saling mengakui” itu saya kenal berakhir dengan tragedi kesedihan. Ada yang memukul istri mudanya, ada yang mempertaruh-kannya kepada temannya setelah ia jemu, ada pula yang menceraikan bekas kekasihnya dengan anaknya dan ada pula bahkan banyak “gadis” yang membuang atau membunuh anaknya.
Tetapi membantah kemauan pemuda pemudi modern oleh ibu bapak kolot tak pula sedikit bahayanya di Tiongkok modern. Sering kita membaca di sura kabar di kota besar, pemuda pemudi ini melarikan diri, menggantung diri atau menerjunkan dir ke dalam air. Jalan menengah ialah jalan di antara yang kolot dan paling modernpun tak selalu jaya. Tetapi rupanya ada yang mempunyai tempat sendiri.
Inilah macamnya perkawinan yang dilakukan di rumah Tien-Jin semasa saya berada di Iwe.
Pemuda (Tan) Hien-Tam sudah lama kenalan dengan seorang pemudi. Hien-Tam ialah adiknya (Tan) Tien-Jin yang sudah kita kenal dalam riwayat ini. Hien-Tam baru saja tamat Sekolah Menengah Dagang di satu kota murid, dekat Amoy bernama Chip-Bi. Pemudi tadipun bersekolah di situ juga ialah pada sekolah Guru Perempuan. Kabarnya pemudi tadi disekolahkan disana oleh Tien-Jin sendiri. Di kota Chip-Bi, tempat lahirnya hartawan Tan Kah Kee, maka Hien-Tam dan pemudinya mempunyai pergaulan yang merdeka. Tidak ada barangkali di seluruhnya Tiongkok pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi yang lebih umum, daripada Chip-Bi. Tetapi tak ada pula sekolah di Tiongkok yang mempunyai tragedinya perkawinan berdasarkan “saling mengakui” daripada Chip-Bi. Di masa kemajuannya maka Chip-Bi mempunyai lebih kurang 4000 murid, dari Sekolah Frobel sampai ke Sekolah Menengah Tinggi. Sekolah Menengah itu terdiri dari Sekolah Menengah Dagang, Perikanan, Guru, dan Umum. Semuanya murid tinggal di asrama di kota Chip-bi pula. Keterusan Sekolah Menengah Chip-Bi ialah Amoy University. Kedua perguruan ini dibiayai  oleh hartawan Tan Kah Kee, yang tinggal di Singapura.
Pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi pelajar berlaku dengan leluasa. Kesusasteraan modern yang mengalir ke Chip-Bi dengan leluasanya; keleluasaan pemuda-pemudi pada hari liburan mengunjungi lakon Hollywood di Amoy, lakonnya percintaan manusia tak bekerja, yang tak tahu apa yang akan dipikulnya dengan uangnya dan apa yang bisa diperbuat oleh uang atas dirinya dan last but not least, uncritical mind dalam Sturm und Drang Periode (semangat yang tidak kritis di masa pergolakan usia pemuda)...........semuanya ini menjadi alat untuk mengubah perguruan di Chip-Bi menjadi pergurauan. Tak sedikit pemuda-pemudi yang pada permulaan belajarnya memberi pengharapan baik, di kemudian hari terombang-ambing diantara perguruan dan pergurauan dan akhirnya terpelanting ke golongan kegagalan. Dalam salah satu suratnya ke Chip-Bi, hartawan dermawan Tan Kah Kee pernah mengemukakan kegagalan perguruan Chip-Bi (dengan Co-eds-nya, campuran laki perempuan) dan menyesalkan uang sejumlah $ 16.000.000,- yang sudah dikeluarkannya semenjak berdirinya.
Hien-Tam dan pemudinya tidak dapat menghindarkan diri daripada penggeloraan modernisme di seluruh dunia dan Tiongkok umumnya serta di Chip-Bi khususnya. Tetapi tidaklah pula mereka melampaui garis yang dianggap larangan oleh masyarakat Tionghoa di masa itu. mereka bersamaan pergi ke sekolah ke Chip-Bi yang setengah hari perjalanan jauhnya dari desanya. Bersama-sama pula mereka pulang ke desanya di waktu liburan. Lupa saya nama desanya pemudi itu, mungkin Lam-Oo. Saya namai saja Lam-Oo. Letaknya tak jauh dari Kun-Chi.
Meskipun pergaulan Hien-Tam dan pemudinya dipandang dari sudut masyarakat pemuda pemudi Chip-Bi biasa saja, tetapi untuk desa Lam-Oo, perbuatan Hien-Tam dan pemudinya bersama pergi ke sekolah dan bersama pulang ke desa dan berbicara pula satu sama lainnya di rumah pemudi itu, sudah terlalu melanggar adat istiadat walaupun semenjak beberapa lama mereka sudah bertunangan. Memang bilakah di seluruh sejarahnya desa Lam-Oo, pernah bujang gadis bertunangan, bersama pergi jauh dan bersama pulang ke desa dan bercakap-cakap pula satu sama lainnya di rumah bakal mertuanya? Ini terlalu! Pernah Hien-Tam di waktu liburan datang dari Iwe ke Lam-Oo untuk mengunjungi bakal tunangannya diancam oleh penduduk Lam-Oo buat diserobot. Hien-Tam tidak mengindahkan ancaman itu. Dia pergi juga ke sana dengan bersenjata. Sampai waktu itu Hien-Tam masih selamat. Malah pertunangan akan disudahi dengan perkawinan.
Proses perkawinan semacam inipun ialah yang bukan lagi cara kolot dan tidak pula secara ultra modern ini masih mengambil banyak waktu dan banyak ongkos.
Saling hadiah menghadiahkan barang yang ditetapkan adat ratusan tahun harus dilakukan. Bakal istri harus dibelikan sepotong pakaian yang baru yang cocok harganya dengan standing (kedudukan) bakal suami dalam masyarakat. Mas kawin tidak pula boleh dilupakan. Banyaknya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak. Tidak sedikit waktu yang terpakai buat “perundingan” menetapkan banyaknya mas kawin itu. Akhirnya dari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga (Tan dan Go?), malah oleh kedua desa yang akan dirapatkan dengan perkawinan sudah tiba. Kedua pengantin sudah bersiap menanti dengan pakaian yang sebagus-bagusnya. Hien-Tam sebagai pemuda modern memakai pakaian Eropa tulen. Cuma sedikit keaslian yang terlihat pada bakal istrinya, yang biasanya berpakaian modern pula. Hien-Tam menunggu di Iwe dan bakal istrinya akan datang dari desa Lam-Oo. Tien-Jin dan istri, dua lelaki lain dalam rumah dengan istri, ibu Tien-Jin dan seorang perempuan muda lagi, beberapa anak, dan jangan lupa saya sendiri sebagai anggota baru rumahnya orang tua Tan Pek Lam (tuan rumah sebenarnya) siap pula berpakaian untuk menunggu datangnya anggota baru dari desa Lam-Oo. Banyak pula penduduk Iwe tua muda, terutama kanak-kanak keluar rumah, ikut menyaksikan perkawinan dari anggota keluarga yang rumahnya terbesar buat seluruhnya desa Iwe.
Matahari sudah sedikit melampaui puncaknya, tetapi pengantin dari Lam-Oo belum juga kelihatan. Akhirnya terdengarlah bunyi canang rebab dan suling sayup-sayup sekali dari balik bukit mendekati Iwe. Bunyi yang pertama kedengaran itu disambut oleh para penunggu dengan suara riuh gembira lae-la, lae-la, sudah tiba, sudah tiba. Suara orkes Tionghoa itu makin lama makin keras seperti pula suaranya para penyambut. Setelah sampai dihadapan rumah maka tandu pengangkat pengantin dan dayang-dayang yang mengantarkan, diperhentikan. Maka keluarlah anak dara dari tandunya disambut oleh mempelai, diantara para keluarga dan para penonton dan dipapah masuk rumah dan kamar pengantin yang sudah lama disiapkan dan diperhiasi. Hari itu berakhir dengan selamatan seperti yang kita kenal juga di Indonesia. Satu dua malam terus-menerus dipermainkan wayang Tionghoa di depan rumah. Permainan ini tentulah menarik perhatian hampir seluruhnya desa Iwe beserta banyak pula tamu di sekitarnya desa Iwe.
Caranya pengantin baru di desa yang baru pula baginya, diperkenalkan dengan para penduduk di desa Iwe dan desa sekitarnya, amat menarik hati. Bermalam-malam lamanya pintu dibuka untuk dibuka menunggu rombongan tamu, ialah kaum lelaki yang datang dari mana-mana tempat pada malam hari untuk memperkenalkan dirinya dengan jalan penggodaan. Sebelum mereka masuk, maka mereka membunyikan mercon di halaman rumah. Kemudian kedua pengantin yang duduk berpakaian bagus, diajak berbuat begini begitu. Ada-ada saja yang dipikirkan oleh para tamu untuk menguji dan mengejutkan anak dara. Umpamanya mempelai disuruh menyajikan kue kepada anak daranya dan harus dimakan oleh anak daranya. Tetapi sampai di mulut kue itu meletus, karena berisi mercon. Mempelai dan anak dara tidak boleh marah. Tetapi mempelai yang bijaksana dapat saja akal buat menghindarkan yang keterlaluan dan menjaga supaya istri mudanya jangan terkejut. Penggodaan ini pada satu dua peristiwa dalam sejarahnya ada dua juga yang melanggar batas. Seperti terjadi pada perpeloncoan (ontgroening) para mahasiswa baru. Tetapi biasanya berlaku dengan menggembirakan dan bisa memperkenalkan semua pihak dengan cara lekas dan praktis.
Buat mempelai dan anak dara secara kolot perpeloncoan sepasang merpati muda itu tentulah ada juga gunanya. Mereka sebelum kawin mungkin sama sekali belum kenal-mengenal. Perkenalan laki-istri dan perkenalan anak dara dengan sekitar baru baik juga dilakukan dengan banyak kelucuan dan kegembiraan. Tetapi antara Hien-Tam dan isterinya perkenalan itu sudah lama berlaku.
Adalagi peristiwa desa yang setiap tahun berlaku yang baik juga sedikit diceritakan disini, sekedar untuk menambah pengetahuan kita tentang adat istiadatnya satu bangsa besar di dunia ini yang mempunyai anggota terbilang jutaan di tengah-tengah masyarakat seluruhnya Indonesia.
Kita kenal bangsa Tionghoa sebagai penganut agama Budha seperti leluhur kita di zaman Sriwijaya. Kita boleh pula saksikan berapa eratnya perhubungan Budhisme Tiongkok itu dengan Indonesia, bahkan tak kurang eratnya dengan perhubungan Tionghoa dengan Hindustan. Bukankah wali pertama Budhisme Tionghoa itu seperti para Rahib, I-Ching, Tah-Hien dan Chuan-Cheng bertahun-tahun lamanya tinggal di Sriwijaya mempelajari bahasa Sansekerta dan agama Budha?
Tetapi selainnya persamaan dan perhubungan bangsa Indonesia dengan Tionghoa dalam keagamaan di zaman silam itu ada lagi persamaan lain dalam pandangan hidup sesudah mati; ialah pemujaan arwah leluhur. Tidak bisa disangkal, bahwa sebelumnya Islam dan Hindustan masuk ke masyarakat kita, maka leluhur bangsa Indonesia rupanya memusatkan pemujaannya pada arwah leluhurnya. Wayang adalah peninggalan leluhur kita sebagai alat pemujaan itu.
Selainnya daripada memuja arcanya Budha di dalam temple yang tersohor di gunung dan bukit di seluruhnya Tiongkok, maka pemujaan arwah leluhur itu tidaklah kurang artinya buat hidupnya di Tionghoa. Berhubung dengan itu maka kuburan itu adalah salah satu tempat yang amat dipentingkan. Di sekitar kuburan inilah disangka arwah leluhur itu bersemayam. Kepercayaan kepada “Hong Shui” adalah umum dan dalam sekali terpendam di kebanyakan sanubari Tionghoa, kaum terpelajarpun tidak terkecualinya. Menurut kepercayaan kepada Hong-Shui itu, maka tanah “baik” yang didapat untuk kuburan seseorang yang meninggal itu boleh mengakibatkan kebahagiaan kepada turunan. Sebaliknya pula ada kepercayaan, bahwa tulang belulang leluhurnya seseorang besar bisa didapat dan bersama-sama dengan tulang-belulangan juga dilemparkan ke laut, maka sekonyong-konyong akan hilanglah kebahagiaan orang besar tadi. Dia tiba-tiba akan ditimpa kemalangan.
Apa defenisinya Hong-Shui itu susahlah didapat. Oleh beberapa intellect, Hong-Shui itu dianggap sebagai “listrik” yang terus memancar kepada jiwa turunannya. Bagaimananya tentulah tak dapat dipastikan. Buat rakyat biasa, Hong-Sui itu berarti “kuburan di tanah bahagia (dingin)”. Bagaimana juga, leluhuru itu masih bersemayam di tanahnya bumi ini. Sebab itulah kuburan itu penting sekali di mata rakyat Tionghoa. (Di Tiongkok Utara, Hong-Shui itu, ialah semangat (spirit) angin dan air, yang harus dipuja).
Sekali setahun maka kuburan itu dibersihkan dengan upacara dan bakti. Di musim bunga, kuntum bunga dan daun mulai keluar, dan alam seluruhnya bangun daripada tidurnya di musim dingin, maka seluruhnya keluarga tua muda, lelaki-perempuan, perbaikan bagus, dipimpin oleh lelaki tertua berangkat dari kuburan ke kuburan, mengenali dan membersihkan kuburan leluhur, serta menyelenggarakan upacara pujaan dan akhirnya memberi selamat tinggal kepada arwahnya leluhur itu dengan dentuman bedil berkali-kali. Tak ada kuburan dan sejarah arwahnya yang terkubur itu yang dilupakakan. Bukankah tak ada bangsa di dunia ini yang lebih mengenal dan berterima kasih kepada leluhurnya itu?
Terutama pula karena upacara pemujaan itu dilakukan oleh anak lelakinya almarhum yang tertua, maka malanglah seorang bapak yang tidak mempunyai anak lelaki. Bukan pula berarti, bahwa perempuan Tionghoa menurut adat Tionghoa asli tidak berhak apa-apa seperti biasa dikatakan orang! Di semua keluarga di desa-desa yang saya kunjungi besar sekali kekuasaan dan pengaruh perempuan. Ibu Ki-koq di desa Sionching dan ibu Tien-Jin kedua berlaku sebagai Raja de facto di dalam keluarganya, terutama dalam urusan harta benda. Bukankah dimana-mana dan dalam segala sumber pencarian, seperti pertanian dan perdagangan, Tionghoa-istri itu rajin dan taat membantu suaminya? Pengetahuan dan pengalaman yang banyak itu tak bisa diabaikan begitu saja, apalagi di masa susah. Akhirnya setelah tiga-empat bulan saya berobat, beristirahat dan menambah pengetahuan masyarakat Tionghoa desa, maka datanglah waktunya meninggalkan keluarga yang baik budi itu. Kesehatan saya sudah mendapatkan kepastian buat dilanjutkan. Saya mendapatkan rahasia caranya hidup; makanan yang baik buat saya, apa yang tidak, bagaimana memasaknya, dsb. Obat m ana, dengan bahan apa yang baik saya selenggarakan dari waktu ke waktu untuk memperkuat badan yang banyak menderita itu. Perbandingan gerak badan dan tidur tidak pula boleh dilupakan. Iwe dengan laut dan pesisirnya, ladang dan bukit-bukitnya banyak sekali mengambil bagian dalam pengembalian kesehatan saya itu. Tetapi walaupun begitu saya harus meninggalkan desa ini, karena hampir semuanya para lelaki dalam keluarga Tan, akan meninggalkan desanya. Tien Jien, baru kembali ke Philipina. Hien-Tam pun dengan istrinya akan kembali ke Philipina. Yang tinggal cuma orang tua Tan beberapa perempuan muda, penghuni (penjaga) rumah.
Tibalah sudah waktunya untuk berangkat! Semua keluarga tua-muda diketahui oleh ibunya Tien Jin dengan para istri lain-lainnya beserta anak-anak keluar rumah untuk mengantarkan. Tak ada bedanya dengan peristiwa memberi selamat jalan kepada keluarga sendiri. Mungkin berlebihan, karena kami kedua belah pihak banyak membuktikan perasaan terharu dan iba berpisah. Oleh beberapa anggota saya sudah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Buat mereka perginya, Tien Jin ialah pergi untuk mencari nafkah ke tempat yang tertentu atas pencarian hidup yang sudah tetap, seperti di Philipina. Mereka tahu saya tidak mempunyai pencarian yang pasti itu dan tempat keluarga yang dapat ditetapi. Mereka tahu, bahwa saya seorang dicari, dikejar buat ditangkap dimana saja berada. Sudah dipastikan kepada saya, oleh salah seorang anggota keluarga, bahwa sesudah tiga tahun, saya boleh kembali ke Iwe untuk mendiami sebuah kamar sampai hari terakhir yang dimaksudkan ialah rupanya kamar orang tua Tan, yang sudah amat tua dan selalu sakit saja itu.
Beratlah hati meninggalkan keluarga baru ini. apabila saya mendaki bukit meninggalkan Iwe, menoleh ke pesisir dengan pasir putih dan air tenangnya, ke bukit dan ladang ke kiri-kanan yang saya kenal baik dan menoleh ke belakang, ke rumah dan keluarga yang saya anggap tak asing lagi, maka ada juga sentimen, perasaan tersangkut, timbul di dalam dada. Tetapi perjalanan mesti terus, terus entah ke mana. Saya belum merasa cukup sehat buat tinggal di dalam kota, dengan keramaian serta hawa kotanya seperti Amoy.
Saya merasa masih perlu memperkuatkan diri di tempat yang berhawa segar. Hien-Tam-lah pula yang memperkenalkan saya kepada para temannya Kota-Murid, di Chip-Bi. Di sini saya mendapat menyewa kamar pada rumahnya seorang guru Sekolah Menengah. Saya bisa hidup dengan sederhana sambil menyelenggarakan makanan saya sendiri. Di samping itu dapat pula saya berkenalan dengan beberapa para pemuda pemudi yang datang dari semua jurusan di Lam-Yu, Selatan. Perkenalan itu seperti dimana-mana saja, saya harapkan buat kemanfaatannya kebangunan Asia seluruhnya.
Yang tidak boleh saya lupakan ialah sahabat lama yang tinggal di Amoy. Tan Ching Hua dipanggil Ka-It yang diam di gang sempit gelap, di jalan Ang Pun Poo, di rumah Tionghuat.
Besar gelora hidup, Tionghoa biasa, bekas opsir dan bekas anggota Kuomintang ini. belum terputus perhubungan saya dengan Tionghoa ini. Pada suatu hari, ketika saya masuk ke rumah Tionghuat yang gelap di siang hari itu, maka dari atas, tingkat pertama, saya mendengar suara: Ka-It bo ti-e (Ka-It tak dirumah) suara itu datangnya dari penjaga rumah.
Saya terus naik ke tingkat pertama buat bertanyakan kemana perginya. Sedang kami bertanya jawab, datanglah seorang penjaga lain dari tingkat kedua, menyuruh saya masuk ke kamarnya Ka-It, di tingkat kedua itu.
Saya terkejut dan sedih melihat air mukanya Ka-It. Dia sedang memegang tasbih, melakukan sembahyang secara agama Budha. Kitab Sucinya sedang terbuka. Rambutnya dicukur seperti rahib. Diambilnya gambar istrinya, ketika mudanya, yang baru saja meninggal. Diperlihatkannya gambar itu kepada saya dengan perkataan “lihatlah rupanya ketika saya baru mengenal dia”. Memang selama saya mengenal istrinya yang meninggal itu, istrinya itu selalu sakit-sakit saja, berlainan sekali rupanya dengan gambarnya. Tidak saja kematian istri itu yang memutus asakan Ka-It. Urusan yang lain ialah percekcokan perkara pusaka dengan saudara tua lelaki dan dan istrinya. Ka-It cuma mewarisi rumah tua, sedang saudara tuanya mengambil semua uang yang ditinggalkan. Apakah yang akan dibikin dengan Tionghuat, rumah tua dan tak dengan uang sepeserpun? Kematian istri dan kezaliman yang dirasainya itulah yang mendesak Ka-It ke pinggir jurang hidup.
Semua kemalangan berupa “jatuh dihimpit tangga” itu terjadi, maka Ka-It memang memperlihatkan kecondongannya hati kepada mistik Budhisme. Saya sering diajak ke rumah kelenteng di atas bukit, dekat kota Amoy, buat berkenalan dan makan bersama-sama dengan para rahib. Ka-It mengatakan kepada saya, bahwa dia ingin masuk ke kelenteng buat menjadi murid rahib. Kalau kelak sudah diizinkan dia akan meneruskan hidup rahib itu pada suatu kelenteng yang mahsyhur dekat Shanghai. Ka-It mengajak saya pergi ke Shanghai.
Biarlah saya tinggal di sana bersama dengan dia, katanya. Tak ada orang asing akan tahu dan akan mengganggu, katanya pula karena letaknya kelenteng itu amat terpencil.
Saya tak suka membantah sesuatu kepercayaan orang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Saya berjanji akan sering menjumpainya di kelenteng dekat Amoy itu. Saya menasehatkan baiklah coba dahulu menjadi murid. Janganlah berlaku tergesa-gesa, sebab amat berat ujian sebelum menjadi rahib selama-lamanya dan meninggalkan masyarakat biasa sampai nafas terakhir.
Ketika saya turun rumah maka di tingkat pertama oleh penjaga tadi diceritakan kepada saya, bahwa sudah sebulan lamanya, Ka-It tidak mau menerima seorang juapun, baik sahabat yang sekarib-karibnya ataupun keluarganya sendiri. Dia mau memisahkan diri sama sekali dari masyarakat yang bengis ini. Sudah berhari-hari dia terus menerus mengaji, sembahyang dan tafakur. Penjaga meminta maaf kepada saya karena melarang saya naik ke atas menjumpai Ka-It pula, saya boleh sewaktu-waktu menjumpai dia, katanya pula.
Orang persalahkan Ka-It, karena pemabuk sampai memukul orang, pemarah, boros dan beristri dua. Memang pemboros, terutama kepada temannya adalah sifat Ka-It, yang banyak merugikan dalam masyarakat persaingan hebat seperti Tiongkok. Tak banyak pengharapan bagi seseorang pemboros akan menjadi kaya. Tetapi berapa banyakkah di Tiongkok, terutama di bandar-bandar perjanjian, Tionghoa sedikit mampu, yang tidak peminum dan tidak beristri dua? Malah “kesalahan” seperti itu boleh ditambah dengan tambahan “istri” lebih banyak lagi daripada dia dan kebiasaan mengisap madat. Semuanya hanya dibatasi oleh kemampuan saja, mereka yang menuduhkan semua “kesalahan” yang menyebabkan Ka-It tak menerima pusaka yang diharapkannya itu sebenarnya bukanlah karena keborosannya Ka-It, melainkan keinginan biasa diantara paraa warisan masing-masingnya mau menerima pusaka itu lebih banyak daripada yang lain. Bagaimanapun juga, terhadap saya sendiri, Ka-It dalam kesulitan saya, berlaku seperti manusia yang jujur kepada paham persahabatan dan kepada agamanya. Selainnya daripada contoh yang sudah-sudah kelak akan saya selipkan lagi satu dua contoh yang lain-lain.
Banyak juga tambahnya pengalaman saya sebagai revolusioner diantara para pelajar Chip-Bi, yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentang cara dan hasilnya pekerjaan saya dipandang dari jurusan proganda itu bukanlah masanya buat ditulisakan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum imperialis internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa yang sudah saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada siapapun juga yang berhak menuntut tanggung jawab itu. baiklah hal ini saya peringatkan kepada para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imperialis internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan komplotan anti imperialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.
Beralasan atas dua perkara yang penting maka pada permulaan tahun 1936, saya meninggalkan desa di benua Tiongkok dan pindah ke kota di pulau Amoy. Pertama sekali, kesehatan saya masih harus berjaga-jaga. Jikalau tidak mendapatkan hawa seperti di Iwe dan Chip-Bi dan tidak pula mendapatkan jamu dan nasehat yang berharga dari Sensei Choa, maka barangkali kesehatan itu akan terus menerus merosot saja, apalagi kalau terpaksa tinggal di satu kota Tionghoa.
Kedua, sesudahnya tangkapan Hongkong, maka perhubungan saya dengan Philipina terputus sama sekali. Mungkin se kali para Conspirators interansional, sesudah Inggris merampas surat saya di Hongkong, berhasil memutuskan perhubungan itu. dengan putusnya perhubungan saya dengan Philipina itu, maka hilanglah pula sumber-sumber penghidupan yang utama, ialah pekerjaan saya sebagai koresponden dari persurat kabaran di Philipina.
Dengan kehilangan sumber penghidupan timbullah pula, keperluan buat mencari sumber penghidupan yang lain. Diam di desa memangnya tidak memerlukan ongkos yang besar, tetapi sesudah sekian lama, maka uang yang ada pada saya mulai menjelang sen yang terakhir.
Tetapi dengan kesehatan kembali baik, maka optimisme juga kembali. Dengan optimisme serta kesehatan yang baik, di kota seperti Amoy pun tentu ada lubang pencaharian yang halal dan bermanfaat.
Sudah lama saya pelajari dari dekat tingkah lakunya dan cita-citanya pelajar Tionghoa. Mereka umumnya pecinta bangsa dan tanah airnya dan umumnya suka mempelajari semua ilmu pengetahuan, ilmu tepat (exact-science) atau ilmu kesusasteraan. Merekapun dengan segala patriotismenya dan kebangsaan dan kebudayaannya insaf benar akan kekurangan negaranya.
Mereka tertarik kepada pengetahuan (science), teknik dan kesusasteraan asing. Di luar kegiatan membuat propaganda, dan demonstrasi anti imperialisme, pelajar Tionghoa juga ingin memakai waktunya untuk membaca buku dalam bahasa asing.
Dalam bahasa Inggrislah kebanyakan tertulis buku asing yang masuk ke Tiongkok atau yang dicetak oleh percetakan Tionghoa sendiri. Bahasa Inggrislah pula diantara semua bahasa asing yang amat diutamakan di Tiongkok. Bahasa Inggris termasuk “important subject” (pelajaran penting). Bahasa Inggris juga termasuk “heavy subject” (pelajaran sukar) seperti pelajaran ilmu tepat dan bahasa Tionghoa sendiri. Sebagai pelajaran penting dan sukar, maka bahasa Inggris seperti pelajaran penting dan sukar yang lain-lain diajarkan pada waktu pagi hari, di masa otak masih segar bugar.
Tetapi pemerintah nasional Tiongkok dengan bahasa Inggrisnya tidaklah meng-Inggris-kan, ialah menukar bahasa Tionghoa menjadi Inggris gadungan seperti pemerintah Hindia Belanda dengan bahasa Belandanya mencetak Belandist, Belanda gadungan, ataupun pemerintah Amerika di Philipina mencetak American gadungan. Murid Tionghoa dididik menjadi Tionghoa patriot. Bahasa Inggris dipakai untuk reading knowledge, untuk pandai membaca saja. Sudahlah cukup kalau murid itu bisa memahamkan isi buku ilmu dalam bahasa Inggris. Kebanyakan buku matematika dan ilmu alam dll. Yang dipakai di sekolah menengah tinggi dan sekolah tinggi ialah buku dalam bahasa Inggris. Walaupun bahasa Inggris itu banyak diajarkan di sekolah Tionghoa, dan walaupun umumnya murid Tionghoa mudah memahamkan isi buku seperti tersebut diatas, maka umumnya mereka tidak bisa berbicara, susah “menangkap” pembicaraan Inggrisnya orang yang dipakai oleh surat kabar Inggris. Banyak murid sekolah Tionghoa yang ingin mempelajari berbicara Inggris dan mempelajari Inggrisnya surat kabar.
Disinilah luas sekali lapangan buat saya: mengadakan kursus buat melatih murid sekolah dalam percakapan dan menambah yang kurang dalam hal ilmu saraf. Selainnya daripada bahasa Inggris adapula mahasiswa yang memerlukan latihan bahasa Jerman, ialah mereka yang ingin meneruskan sekolah ke Jermania. Akhirnya adapula diantara mereka yang berhubungan dengan Indonesia yang ingin mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Demikianlah timbul maksud saya hendak mendirikan “Foreign Languages School” (kursus buat beberapa bahasa asing). Baru saja saya membicarakan hal ini dengan beberapa teman, dan baru saja saya menduduki sebuah kamar kecil di kota Amoy, datanglah kesulitan baru.
Pada permulaan tahun 1936, pemerintah pusat Tiongkok mulai aktif melawan Agresi Jepang. Di Amoy yang dekat letaknya dari Taiwan, jajahan Jepang, banyak sekali terdapat orang Taiwan. Mereka ini sebenarnya berasal dari Hokkian dan masih berbahasa Hokkian. Tetapi di Amoy dengan perlindungan bendera Jepang mereka berbuat semau-maunya terhadap bangsa Tionghoa Hokkian ialah bangsa mereka sendiri. Orang Taiwan-lah di Amoy yang menguasai perusahaan pemadatan, perjudian, dan pelacuran. Pemerintah pusat Tiongkok sudah mulai dengan sungguh hati membasmi semua penyakit masyarakat Tiongkok ini. Tetapi selalu terantuk (tertumbuk) kepada bendera Hinomaru. Pemerintah Tiongkok walaupun dengan alasan cukup dan sah tidak berhak menangkap dan mengadili penjahat atau seorang pelanggar Jepang atau kaki tangannya, orang Taiwan. Buat menangkap penjudi Taiwan umpamanya, Pemerintah Tiongkok di Amoy harus memberitahukan hal itu lebih dahulu kepada konsul Jepang di Kulangsu. Biasanya si-penjudi sudah diperingati dan sudah tidak ada lagi ketika mau ditangkap, kalau benar-benar mau ditangkap. Tetapi selainnya perbuatan busuk tersebut diatas, orang Taiwan pada tahun 1936 itu semakin giat melakukan spionage. Terhadap spionage ini pemerintah Amoy mengadakan pembersihan di daerahnya. Barang siapa orang asing yang tidak mempunyai surat-pas atau tak mempunyai wakil negara asing yang melindunginya tidak dibolehkan tinggal di Amoy, bagian Tionghoa. Barang siapa tua surat-pasnya disuruh diperbaharui.
Pemuda polisi Tionghoa yang baru tamat latihan istimewa berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengadakan penyelidikan. Mereka menyelidik ini sampai juga ke kamar saya. Kepada saya ditanyakan, hal ihwal, surat-pas sebelumnya saya menceritakan hal ihwal surat pas ini selanjutnya, perlu saya sedikit menyimpang kembali kepada sahabat saya Ka-It. Dua bulan lebih dia menjalankan kewajibannya sebagai murid rahib di salah satu temple di bukit dekat kota Amoy. Saya pernah juga pergi mengunjungi ke tempat perpisahan itu. Pada hari permulaan nampak benar akibat penderitaan batin yang terbayang pada mukanya. Tetapi pada ribut topan sanubari, sebagai akibatnya kehilangan kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai balsem pada luka yang dalam. Manusia akan tenggelam saja dalam duka cita jikalau jurang dalam diantara duka cita dengan kegembiraan hidup itu tidak dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun perlahan-lahan.
Setelah lebih kurang tiga bulan lamanya dia berada di kelenteng, maka Ka-It kembali ke rumah usang Tionghoa buat meneruskan pencarian untuk diri dan keluarganya di Iwe yang masih membutuhkan pertolongannya. Buat mereka yang kembali dari Philipina ke kampungnya dan kembali dari desanya di distrik Chuan-Chu ke Philipina rumah penginapan Tionghuat adalah satu bantuan yang besar yang mereka sudah kenal bertahun-tahun. Mereka yang tak berpunya sering mendapat bantuan (pinjaman) dari Tionghuat yang dibayar kembali kalau sanggup pula membayarnya. Tionghuat berlaku lebih kurang sebagai Balai Desa. Belum lama lagi Ka-It membelakangi kesedihan hatinya datanglah pula saya dengan persoalan baru. Saya ceritakan kepadanya tindakan baru dari polisi Amoy dan kemungkinan bahwa juga saya akan diperiksa. Segera diberikannya kepada saya surat pas dia sendiri yang diperolehnya dari pemerintah Amerika di Manila sebelum kembali ke Amoy. Surat pas itu sebenarnya sudah tua (verjaard) tetapi saya kira sebagai tanda akan boleh juga saya pakai, asal saja gambarnya Ka-It bisa ditukarkan dengan gambar saya sendiri. Penukaran itu buat saya bukanlah satu perkara yang sulit, saya sendiri yang “menyelenggarakannya”.
Dengan surat pas lama inilah saya jawab pertanyaan para pemuka polisi ketika mereka sampai di kamar saya. Tetapi mereka tidak puas dengan surat pas yang sudah tua itu. Mereka mengusulkan supaya saya pergi ke konsul Amerika di Kulangsu buat “membaharui”. Tentulah ini tidak bisa saya jalankan. Terlampau banyak resikonya. Kepada pemuda polisi ini tentulah pula tidak bisa dikatakan dengan terang-terangan siapa yang saya dan darimana saya sebenarnya datang. Tetapi pemuda polisi memberi waktu beberapa hari lamanya buat mengurus perkara itu.
Seperti tersebut di atas tadi Ka-It sudah kembali ke tempatnya, seperti biasa dengan kegembiraan atas kemarahan seperti sifatnya pada sedia kala. Tinghoa yang selama ini tiga-empat bulan seolah-olah kehilangan penduduk, mulai ramai kembali. Kelihatanlah pula gembiranya mereka dari distrik Kun-Chi, yang pulang pergi ke Philipina mendapatkan Ka-It kembali ke tempatnya. Rupanya uang tidak menjadi persoalan. Mudahnya uang lepas daripada tangannya Ka-It diimbangi pula dengan lekasnya uang kembali mengalir ke tangannya dari berbagai penjuru. Pengaliran pulang balik dari tangannya Ka-It ke tangan sahabatnya itulah saja hasrat hidupnya. Dia tidak mengindahkan mas berpeti-peti yang dikumpulkan dalam perbendaharaannya buat dirinya sendiri.
Pada malam saya datang itu seorang tamu yang pulang dari Philipina memberi jamuan makan. Tamu itu sudah ada pula saya kenal. Dia termasuk orang terpelajar dan seorang “bussines man” pedagang modern. Bersama dia pula seorang tamu, ialah seorang pegawai tinggi pada pemerintah kota Amoy dan berasal dari Foochow. Pegawai ini diperkenalkan pula kepada saya.
Bukan sekali ini saya di “chia”, di jamu besar-besaran. Pengalaman saya sudah cukup benar dalam hal ini. Makan dengan “sumpit dua” pun tidak asing bagi saya. Mereka yang menyangka ada pengharapan buat dipanggil keselamatan Tionghoa hendaknya memperhatikan apa yang saya tuliskan dengan pendek di bawah ini tentang perjamuan Tionghoa itu.
Hidangan pertama jangan terlampau diacuhkan. Ambillah sedikit sekedar memenuhi ‘adat’. Orang Indonesia umumnya merasa tidak enak kalau hidangannya tidak “ditegur”. Dia merasa senang kalau masakannya disukai, artinya itu “dapurnya” mendapat penghormatan. Nyonya rumah akan bergembira mendengarnya. Beginilah pula orang Tionghoa! Kelihatan gembira tuan rumah kalau tamunya makan dengan bernafsu. Buat tuan rumah itu kejadian semacam ini adalah satu tanda bahwa “dapurnya” benar-benar mendapat kehormatan. Tetapi salah dan rugilah si-tamu kalau pada permulaan perjamuan dia sudah membuka semua ruangan perutnya buat dipenuhi. Seperti Shakespeare tahu: bahwa mesti ada klimaks dalam tonilnya dan paling sedih atau paling lucu harus ditaruh pada penghabisan karangannya itu, demikianlah pula tuan rumah Tionghoa menghidangkan makanan itu atas dasar lezat demi lezat dan memberikan “finishing touch-nya” menyudahi (jamuannya) dengan hidangan yang paling lezat. Tamu yang berpengalaman menunggu datangnya duat tiga hidangan sebagai pengunci. Lama benar perjamuan itu berlaku, acap kali sampai jauh malam ialah menurut kemampuan dapur dan pundinya tuan rumah. Semakin banyak ragamnya hidangan, semakin lamalah pula perjamuan dan kesenangannya perjamuan itu. Waktu itu diperpanjang pula oleh minuman pe-chiu (arak putih) yang hebat dan ang-chiu (arak merah) yang lebih hebat lagi sebelum dan selamanya makan.
Tuan rumah dan para tamu bersuka ria bertambah suka dan gembira dengan meningkatnya akibat pe-chiu dan ang-chiu dan mendekatnya hidangan yang lebih lezat lagi. “Jangan malu-malu, bo-kek-ki-ah, bo-siong-keah”, inilah ajakan tuan rumah yang acap kali terdengar. Anggaplah satu tanda persahabatan, kalau tuan rumah atau seorang tamu dengan sumpit yang sedang dipakainya menjepit sepotong makanan dan menaruh potongan itu ke piring kita dengan perkataan “bo-keh-ki” tadi. Maklumlah kegirangan sedang memuncak. Kegirangan itu ditambah pula oleh akibatnya ang-chiu.
Sebagai pengunci atau sebelumnya itu biasanya dihidangkan seekor bebek yang dimasak sampai selembut-lembutnya. Asapnya bebek itu masih membual-bual dan baunya amat membuka selera makan. Tampillah biasanya tuan rumah ke depan untuk mengoperasi, membelah-belah bebek tadi. Bukan dengan pisau atau garpu! Di sinilah letaknya kesenian si ahli masak di dapurnya tuan rumah. Bebek yang masaknya jempol sudah cukup diraba beberapa bukunya (gewricht) saja dengan ujung sumpit. Dan jatuh bercerai-berailah semua bagian badannya. Segeralah semua sumpit daripada tamu menyerbu menjepit potongan daging yang disukainya.
Kembali kita kepada tuan rumah dan pegawai tinggi Balai Kota Amoy tadi. Seberes-beres dan semarah-marahnya Ka-It dia tidak lupa akan maksudnya memperkenalkan saya kepada pegawai tinggi berasal dari Foochow tadi. (Hampir semua pegawai pemerintah Balai Kota Amoy terdiri dari orang Foochow). Di tengah-tengah asapnya makanan yang lezat dan banjiran pe-chiu dan ang-chiu tadi dia tidak lupa menceritakan riwayat saya seperti seorang pelarian dan membandingkan nasib saya itu dengan pemimpin Tiongkok ketika dikejar-kejar oleh pemerintah Manchu. Simpati pegawai tinggi terbuka dan simpati memangnya kunci semua persoalan. Sesulit-sulitnya persoalan, selama ada simpati dari kedua belah pihak, memangnya mudah sekali diselesaikan.
Demikianlah masalah “kewargaan” saya diselesaikan pada malam hari itu secara Tionghoa lama. Kalau ada keluarga yang menjamin seseorang apalagi mengakui seseorang sebagai anggota keluarganya, maka kewargaan itu beres sendirinya. Tak ada urusan “denaturalisasi” menurut adat Tionghoa lama. Lagi pula pegawai tinggi mengaku dirinya seorang Asia dan seorang Kek-Bing, revolusioner, dia wajib membantu saya katanya. Besok hal surat pas saya itu akan diselesaikannya dengan para koleganya.
Dalam keadaan biasa kewargaan itu mudah diselesaikan. Syarat pertama, menurut undang-undang Tionghoa yang baru, ialah seorang asing baru boleh menjadi warga negara Tiongkok, sesudah lima tahun tinggal di Tiongkok. Mudah pula diselesaikan perkara jaminan. Tetapi menyelesaikan itu dengan cara resmi dengan pemerintah pusat memang ada mengandung kesulitan, terutama karena paham politik saya sendiri dan sikapnya pemerintah Chiang Kai Shek beserta imperialisme asing terhadap kaum radikal. Ka-It tiada banyak memusingkan perkara politik atau Chiang Kai Shek itu. Berkali-kali sudah dikatakannya, bahwa kalau di Amoy pun saya tidak boleh tinggal, baiklah saya kembali saja ke desa Iwe. Di sana tidak akan ada orang yang mengganggu. Cuma baiklah tindakan terakhir ini janganlah dahulu dijalankan sementara mendapatkan jalan yang lebih baik.
Dengan selesainya perkara surat pas barulah saya bisa kembali kepada soal bermula, ialah soal sumber hidup.
Untuk ini Ka-It setuju benar dengan maksud saya seperti tersebut di atas. Ialah mendirikan “Foreign Languanges School”. Modal dia tidak punya, tetapi perabo buat permulaan, seperti beberapa meja dan kursi siap sedia akan dipinjamkannya. Rumah walaupun rumah tua pula, ialah rumah di seberang Tionghoa dengan cepat bisa disewa dengan harga rendah karena yang empunya rumah itu ialah kenalah Ka-It.
Demikianlah saya siap dengan rumah dan perabotnya, selain daripada itu, advertensi sudah saya pasang dalam surat kabar Tionghoa di Amoy dan program-program pun sudah dicetak. Mulailah para pemuda datang mengambil program buat dipelajarinya. Saya menunggu hasilnya dengan kepercayaan penuh. Tetapi Ka-It nyata kegelisahannya setelah dilihatnya bahwa sesudah dua minggu lebih “rumah sekolah” saya masih kosong. Dari hari ke hari dia datang meninjau menanyakan hasilnya dan kecewa kalau saya katakan, bahwa program saja yang hampir habis, tetapi seorang muridpun belum masuk.
Buat merebut hatinya pelajar Tionghoa modern dengan kekal, tidak cukup persediaan rumah sekolah yang besar pantas, diploma college ini atau itu yang paling gemilang, karena sekolah di Hongkong atau seberang atau program yang menarik hati saja. Dua tiga kursus bahasa Inggris di Amoy pada masa itu yang mempunyai gedung besar guru yang berdiploma tinggi dan program yang bagus pada permulaannya memang penuh sesak, tetapi buat sebulan dua saja. Di belakangnya menjadi kosong sunyi senyap.
Harus diketahui bahwa bersama dengan modernisme di semua lapangan, penggeloraan berbagai-bagai isme amat mempengaruhi jiwanya pemuda Tionghoa. Nasionalisme, Sosialisme dan Komunisme yang datang dari semua penjuru bertiup ke Tiongkok tepat sekali mendapatkan sasarannya nasionalisme dan komunisme-lah yang mengambil bagian yang terbesar diantara semua aliran itu. Isme itu sampai menjadi ukuran buat menentukan nasibnya seorang guru. Seorang guru yang ahli seahli-ahlinya pun dalam vaknya tidak akan laku atau akan lama terpakai kalau ia menganut/politik/paham yang kolot. Segera ia akan tertumbuk kepada isme muridnya. Berhubung dengan keadaan beginilah maka sering dikatakannya bahwa pelajar Tionghoa itu tidak mau mengenal disiplin lagi.
Kesimpulan semacam ini saya rasa kurang tepat. Menurut pikiran saya, maka disampingnya murid harus tunduk kepada disiplin perguruan, pun guru juga harus mengetahui dan menyesuaikan diri dengan cita-cita yang cocok dengan perubahan zaman dan mempengaruhi jiwa para pelajar yang paling aktif. Pertikaian antara guru dan murid yang sering terjadi itu sebenarnya disebabkan oleh pertentangan pemandangan hidup. Pertikaian itu terjadi dimana guru dan murid masing-masing memegang pahamnya. Kepercayaan terdapat, disiplin berjalan, dan pelajaran berlangsung dimana pelajar mendapatkan guru yang tidak saja memenuhi keinginannya atas pengetahuan, tetapi juga bisa memuaskan cita-cita politik negara dan bangsa yang dicintainya.
Diploma saja belum menjadi jaminan buat seseorang guru. Pernah diceritakan peristiwa seorang dokter dalam ekonomi yang tamat belajar dalam salah satu Universiteit di Amerika yang menerima kewajiban mengajar pada salah satu sekolah tinggi di salah satu kota tentang ekonomi pula. Sebelumnya dia masuk kelas maka para muridnya sudah bersiap-siap pula untuk “menguji” guru “American returned”, guru keluaran American University itu. Murid A mempelajari teori Marx, tentang MEHRWERT “NILAI LEBIH”; si B mempelajari teori Marx tentang KRISIS, si C tentang GAJI, dsb. Sang guru, yang keluaran American University tadi setibanya di kelas dan menganggap pengetahuannya sudah sempurna karena titelnya, dihujani dengan bermacam-macam persoalan yang berhubungan dengan Nilai Lebih, Krisis, Gaji, dll sbg tadi. Kabarnya besok harinya guru tadi tidak masuk kelas lagi. Ini adalah sikap yang baik buat guru dalam ekonomi tadi. Karena hari depan, bilamana dia, sebagai seorang doktor dalam perekonomian borjuis akan terus menerus bertentangan dengan para murid yang mempunyai paham perekonomian Marxist, bukanlah hari depan yang bisa menjamin tidur yang nyenyak.
Mungkin kejadian ini cuma satu contoh saja. Mungkin pula salah satu daripada berbagai-bagai contoh. Tetapi contoh itu tepat sekali menggambarkan semangatnya para pelajar Tionghoa. Tepat pula menggambarkan akibatnya sesuatu perguruan kalau para murid berpaham modern mendapat seorang guru yang berpaham kolot, feodal ataupun borjuis.
Sudah dua tiga hari saya umumkan kursus dan progamnya, maka saya dikunjungi seorang pemuda berpakaian mahasiswa. Memangnya dia baru tamat Amoy University. Dia bermaksud meneruskan pelajarannya dalam ekonomi, mulanya ke Amerika dan kemudian ke Jerman. Bahasa Inggrinya, katanya, belum lagi mencukupi. Dia mau belajar bahasa Jerman. Ditinggalkannya karangannya dalam hal ekonomi, katanya buat saya periksa bahasa Inggrisnya dan isi karangannya, ialah tentang ekonomi tadi. Nama kecilnya tak perlu saya sebutkan. Nama turunannya ialah Huang. Keluarganya ialah seorang hartawan dan anggota Partai Kuomintang dan seorang yang amat dianggap di Amoy.
Saya mengerti opzet maksud atau lebih tepat “Zet”-nya (muslihatnya) mahasiswa Huang, setelah satu muka saja saya baca karangannya. Buku ekonomi yang diiktisarkannya itu mirip kepada dasar sosialisme. Tidak saja bahasa Inggrisnya yang dipentingkan oleh mahasiswa Huang, tetapi terutama pula ilmu ekonomi. Kedua perkara itu memberi kesempatan baik mengenal mahasiswa Huang lebih dekat lagi. Kekurangannya dalam hal ilmu saraf, percakapan (conversation) dan karang-mengarang segera diakuinya dan untunglah pula dapat saya betulkan. Apalagi keinginginannya dalam perekonomian sosialisme mudah pula saya penuhi. Dibelakang hari dapat saya mengetahui, bahwa mahasiswa Huang termasuk golongan yang amat radikal diantara para mahasiswa Amoy University. Kesusasteraan yang paling disukainya ternyata pula kesusasteraan yang paling radikal. Tentulah saya harus mengawasi provokasi.
Para pertemuan kedua, maka mahasiswa Huang membawa karangan tentang filsafat. Inipun berbau sosialis, bahkan Marxis. Setelah mahasiswa Huang mendapat keyakinan, bahwa dalam hal inipun saya sanggup mengikuti dia, maka rupanya selesailah sudah “ujian” atas diri saya tentang ideologi dimatanya mahasiswa Huang.
Ujian ini berlaku dalam lebih kurang dua minggu lamanya. Inilah waktu yang akan menentukan jaya gagalnya percobaan saya. Benar pula dua-tiga murid suda mulai masuk, ialah karena introduksi (anjuran) beberapa sahabat lain. Tetapi akan lambat majunya percobaan atau akan sebentar saja kemajuann kalau tidak mendapat kepercayaan golongan radikal, seperti mahasiswa Huang.
Nyatalah sudah, bahwa mahasiswa Huang tidak pula begitu saja memberikan persetujuannya ialah dengan tidak tawar menawar mencatatkan namanya buat belajar setengah tahun seperti dua tiga murid tersebut di atas. Dua tiga kali datang dengan karangan dan dengan 1001 macam pertanyaan yang sebenarnya lebih menyerupai satu perdebatan sebelumnya memasuki partai politik daripada memasuki kursu dalam bahasa Inggris dll. bahasa asing.
Akhirnya ia lebih banyak datang dan berjanji belajar bahasa Inggris, Jerman dan yang “lain-lainnya” yang bisa diperlukan oleh seorang mahasiswa Tionghoa yang radikal. Pada suatu hari adiknya beserta entah berapa temannya dari Sekolah Menengah Tinggi dan University datang mencatatkan nama buat belajar bahasa Inggris dan Jerman. Kamar dekat Tionghoa di kampung Ang Pun Po mulai sempit dan saya terpaksa pindah ke rumah yang lebih besar sesudah satu bulan berdirinya kursus tadi.
Tidak jauh dari jalan Sun Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy, di tepi jalan Ku Ceng Loo, di tempat yang sunyi berdirilah “School for Foreign Languages”. Ketika saya tinggalkan sekolah itu, maka muridnya sudah berpuluh-puluh orang ialah terbanyak sekali, kalau dibandingkan dengan kursus bahasa asing di Amoy dan Kulangsu. Kebanyakan muridnya terdiri dari pemuda-pemudi Sekolah Menengah dan satu dua orang dari University. Diluar murid yang tetap pada waktu yang ditentukan di waktu hari pagi dan petang, ada lagi beberapa murid yang “liar” yang datang belajar di sekolah atau menunggu saya datang di rumahnya. Kenaikan banyak muridnya lebih cepat daripada kesanggupan saya menambah banyak bangku dan meja perabot sekolah. Banyak pula surat dari tempat di pedalaman yang meminta tempat tinggal dalam asrama di sekolah, karena mereka tak mempunyai keluarga di Amoy. Pendeknya kalau saya tak terpaksa meninggalkan, maka dengan perluasan pelajaran seperti “book keeping”, journalism dll, dan dengan penerimaan guru untuk pembantu, sekolah itu memangnya bisa mendapatkan tempat pada masyarakat Tionghoa di pelabuhan dagang seperti Amoy.
Perkara penghasilan atau modal untuk perluasan tidak lagi menjadi persoalan yang sukar, sekali kita mendapat penghargaan dan kepercayaan dari murid Tionghoa. Mereka, anak orang berpunya tidak mengulur uang sekolah semata-mata dengan ditetapkan oleh tarif (daftar) bayaran yang kita umumkan. Kalau seorang guru disukainya, maka guru itu buat dia terletak di tempat No.2, mungkin juga No.1 dalam hati kecilnya, terhitung ibu bapaknya. Guru semacam itu ditariknya ke rumahnya dan ke tempat kesenangannya menurut kemampuannya. Rumah guru itu bukan lagi rumah lain daripada rumahnya sendiri.
Di waktu liburan, jarang saya bisan tinggal di rumah. Saya diajak kesana-kesini oleh para murid. Yang saya jaga ialah supaya yang dahulu mengajak kesana atau kesini harus lebih dahulu pula dilayani. Jangan hendaknya menimbulkan perasaan seorang murid bahwa undangannya tidak dikabulkan karena kita melayani orang lain, murid yang lebih mampu, walaupun dia mengundang dibelakang yang pertama.
Saya sedikit banyak mengemukakan sifat “kebesaran” dan cara Ka-It melakukan pekerjaannya. Cara bekerja semacam itu memang banyak sekali dipakai di bandar besar Tiongkok, Shanghai terutama Orang dagang “business” urusannya sambil makan, minum dan menghisap madat diwaktu malam, bahkan tengah malam. Disinilah “transaction” perdagangan besar-besaran antara Tionghoa dan Tionghoa banyak dilakukan.
Saya kenal beberapa Hoa-Kiau (Tionghoa seberang) dan Philipina dan Indonesia yang membawa modal tak kecil ke Shanghai dengan  maksud hendak membuka perusahaan. Tetapi setelah menyaksikan bagaimana bangsanya sendiri berurusan, maka mereka setelah banyak menghabiskan uang modalnya, dengan tidak mendapatkan hasil yang seimbang, maka kembalilah mereka ke tempatnya semula, meninggalkan tanah leluhurnya, yang disangkanya sama dengan gambaran dalam pikiran selama di Nan Yang itu dengan hati kecewa sekali. “Lain caranya orang Tionghoa (totok) melakukan perdagangan”, kota Hokkian tadi. “Mereka (Tionghoa totok) tak mempunyai waktu yang pasti dan kantor yang tetap” katanya Hoa Kiau pula. (Didekat Chuan Chu di Hoakkian kebun tebu seorang patriot Hoa Kiau yang sudah mempunyai pengalaman perkebunan tebu di Jawa dirusakkan oleh penduduk karena caranya berkebun itu berlainan sekali dengan cara Tiong asli). Selainnya daripaa cara bekerja seperti tersebut diatas, maka “business-relation” perhubungan dagang dengan para sahabat atau keluarga sendiri amat penting sekali buat seorang pedagang Tionghoa. Hoa Kiau yang sudah tidak tahu lagi dimana keluarganya, tidak lagi mengerti bahasa nasional (atau daerah); yang tidak mempunyai banyak sahabat yang boleh dipercaya, pasti akan tenggelam saja dengan modalnya dalam masyarakat Tionghoa yang sengit dan kejam persaingannya itu.
Tidak perlu diambil contoh yang begitu jauh buat membandingkan caranya Ka-It bekerja. Cukuplah sudah dengan mengambil perbandingan dengan saudaranya sendiri yang menjadikan dia berduka cita, tempo hari dan hampir memasukkan dia ke-kelenteng buat selama-lamanya menjadi He-siu’ (rahib). Saudara tua inipun saya kenal baik. Saudara tua ini melakukan urusan secara asli, dengan hemat bahkan kerap (kikir).
Saudara tua membuka sebuah Bank dengan jalan perseroan dengan para rekan yang lain-lain. Kesinilah rupanya dibelokkan uang yang oleh Ka-It dianggapnya sebagai haknya. Mungkin saudara tua bermaksud baik juga. Tetapi walaupun perusahaan itu dilakukan secara hemat-kerap (kikir) tidak berapa lama antaranya perusahaan ini jatuh bangkrut. Kebangkrutan itu menimbulkan akibat yang sedikit mengenai riwayat yang dituliskan ini. Baik juga sedikit disinggung-singgung buat memperlengkap yang sudah-sudah.
Di depan rumah saya, adalah sebuah rumah besar yang mempunyai atap datar, seperti lazimnya terdapat di rumah bikinan Tionghoa. Pemandangan dari atap datar itu amat permai sekali, meliputi pegunungan dan lautan di sekitar kota Amoy. Pada hari petang, apabila matahari hampir terbenam, maka sudah dua tiga kali terpandanglah saya kepada seorang pemuda dengan pemudi. Mereka kelihatan seperti sepasang merpati, walaupun tidak berarti sejak sekali dua yang gadis menjauhkan diri dari pemudanya, memandang ke tempat saya sambil tersenyum. Saya tidak memperdulikan kelakuannya pemudi ini. Saya sangka senyum itu bukan ditujukan kepada saya.
Tidak berapa lama antaranya, saya mengerti bahwa senyum itu memang ditujukan ke arah saya dan di belakang senyum itu terselip perkara yang masih lazim terjadi di Tiongkok. Senyum itu menutup kesusahan seorang pemudi modern menghadapi satu adat istiadat yang kolot.
Seorang sahabat pula, saya namai saja Buna, yang belum lagi saya majukan di sini, walaupun rapat sekali perhubungannya dengan saya, pada suatu hari bertanya kepada saya, apakah saya sudah lupa sama A.P. inilah saja saya namakan gadis tersebut diatas, ialah nama kecilnya. Sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1927, di tempat pertama bersembunyi di rumahnya Ka-It di jalan gelap sempit Ang Pun Po juga saya berkenalan dengan anak perempuan kecil. Anak ini adalah ponakannya Ka-It, anak saudara tuanya yang sering tersebut diatas. Anak ini baru berumur 7 tahun, tetapi cerdik sekali, malah terlampau cerdik kalau dipandang umurnya. Dia suka bergurau dengan saya dan suka mengajar saya dua tiga patah bahasa Hokkian. Sesudah dua tiga tahun dibelakangnya, saya tidak lagi menjumpainya.
Sekarang pada tahun 1937 itu, kebetulan pula dia tinggal tepat berhadapan dengan rumah saya dan sudah gadris berumur 17 tahun. Dia akan tamat belajar Sekolah Menengah Putri, dahulu dipimpin oleh Zending dan diwaktu riwayat ini, masih amat baik pelajarannya dan berdasarkan kebangsaan. Manakala semangat mencinta bangsa sedang menyala-nyala didada seluruhnya pemuda-pemudi Tionghoa, begitulah pula jiwa pemudi ini tidak lepas dari bunga api patriotisme. Masuk bagian yang penting pintar di kelasnya, dalam segala-galanya dan selalu dipilih untuk mengetahui kelasnya, cocok dengan dasarnya Kuomintang. Kecerdasan patriotisme dan kesosialan disertai pula dengan kecantikan menurut ideal kecantikan Tionghoa. Inilah gadis A.P yang saya maksudkan diatas. Saya kenal namanya, tetapi tidak lagi mengenal rupa yang sudah jauh berubah dari anak kecil menjadi gadis remaja.
Buna, sahabat saya, kebetulan gurunya pula menceritakan kepada saya, bahwa tidak lama lagi gadis A.P. akan dikawinkan dengan seorang mahasiswa dari Philipina. Pemuda yang sering kelihatan diatas dataran atap tadilah yang dimaksudkan dengan mahasiswa itu.
Perkawinan itu disetujui oleh ibu bapak kedua belah pihak. Perkawinan itulah sebenarnya adalah satu condition, satu syarat buat menerima bapaknya A.P. dalam perusahaan bapaknya mahasiswa tadi di Philipina. Persetujuan ibu bapak kedua belah pihak tidak disetujui oleh A.P. sendiri. A.P menolak memberontak, karena dia sebagai pecinta bangsa dan negara kelak ingin berjasa kepada bangsanya menurut kepandaian kecondongan hati dan kecakapannya. Belumlah lagi gadis A.P. merasa dia sudah mempunyai cukup kepandaian yang akan dicurahkannya kepada bangsanya.
Hasrat murni ini mendapat penuh penghargaan dari pihak ibu bapak yang penuh kecintaan. Tetapi sesudah bapak menderita kegagalan dalam perusahaannya dengan apakah hasrat yang sunyi murni itu bisa disampaikan? Pihak lain tak pula mau tahu akan penundaan perkawinan. Mereka menghendaki supaya perkawinan harus dilangsungkan lebih dahulu. Barulah bapaknya A.P. akan diterima di dalam satu perseroan.
Sifat baiknya gadis Tionghoa ialah tak ada dalam hatinya atau perbuatan menyaingi para temannya dalam percampurannya dengan pemuda. Sebaliknya dia berusaha, memberi nasehat baik, kepada temannya dan mempererat persahabatan antara gadis temannya dengan pemuda yang mendekati. Rebut-merebut hatinya seorang pemuda, yang mendekati temannya, bukanlah sifat yang lazim tampak diantara para pemudi Tionghoa.
Tetapi para pemudi, rombongan A.P., rupanya tak sanggup memberi nasehat yang constructive, berhubungan denga persoalan yang dihadapi A.P. Oleh para teman disampaikan pula hal ihwalnya A.P. kepada saya. A.P. berpesan kepada temannya, untuk disampaikan kepada saya, bahwa (dengan persetujuan ibu bapaknya) dia ingin pula memperbaiki bahasa Inggrisnya.
Setelah bakal suami mengetahui bahwa A.P. pergi belajar bahasa Inggris ke rumah saya, maka rupanya dia bertanya kenapa A.P tidak belajar kepada dia dan kenapa A.P. lebih suka belajar bahasa Inggris daripada bermain-main diatas datar. Ibunya A.P yang mengenal saya sudah lama dan mengetahui seluk beluknya perkara menjawab dengan menyimpang. Ibunya A.P memperingatkan bagaimana dia sendiri pernah menahan air mata, ketika sekian tahun lampau memperhatikan saya sendiri saja di desa Iwe, ketika tinggal di rumahnya, ialah di rumahnya Ka-It, bilamana kesehatan amat terganggu.\
A.P sendiri yang rupanya ingin hendak mengetahui bagaimana pikiran saya tentang perkawinan paksa itu tidak pernah sampai membuka rahasia hatinya. Tetapi dari temannya saya dengar bahwa dia ingin mendengarkan paham saya. Nasehat saya semestinya berbunyi: Periksalah suara hati kecilmu sendiri. Janganlah berbuat sesuatu yang bisa membatalkan hasrat yang mulia terhadap masyarakatmu sendiri. Timbanglah besar-besar sebelum mengambil langkah yang terakhir, supaya jangan menyesal di kemudian hari. Nasehat biasa saja!
Saya tidak tahu bahwa krisis hidupnya hampir memuncak, ketika memberi nasehat itu. besoknya terdengar kabar bahwa A.P menjawab desakan ibu bapaknya supaya kawin dengan perkataan “bahwa” dia bukannya sapi yang akan diperdagangkan. Malam itu juga sesudah pertikaian itu terjadi dia mencoba meminum racun yang sudah disediakannya sendiri di dalam kamar yang dikuncinya. Rupanya racun itu tidak segera menyampaikan ajalnya, tetapi menimbulkan kesakitan yang dahsyat. Gerak-geriknya terdengar, pintu diterobos dan A.P didapati dalam keadaan payah. Untunglah masih bisa ditolong oleh tabib.
Seminggu setelah kejadian itu saya mendapat kiriman dari desa (Iwe), ialah makanan yang biasa dihidangkan ketika perkawinan seperti wajik dan kue-kue yang lain. Barulah saya tahu bahwa A.P. dikawinkan juga dengan paksa. Kemauan yang keras daripada anak dikalahkan oleh kemauan yang lebih keras pula daripada ibu bapak. Rusaklah sekuntum bunga yang baru saja mengembang untuk dipersunting menurut kesukaan manusia, menentang kehendak alam.
Kemauan A.P. dikalahkan, tetapi tidak dipatahkan.
Setelah sebulan lamanya tinggal di desa kembalilah dia ke kota Amoy. Kawan sekelas yang selamanya kehilangan teman yang paling dicinta kembali gembira meskipun tidak lagi seperti semulanya. A.P bukan lagi gadis, merdeka, remaja, seperti sediakala, tetapi masih dicinta dan dianggap sebagai penganjur. Bersama-sama mereka datang menjumpai saya.
 Dengan suaminya A.P. sering juga mengundang saya ke rumahnya atau berjalan-jalan A.P. mempunyai kemauan sendiri, yang memang susah dibasmi dengan perkawinan paksa. Kalau undangan itu juga disetujui dan dicampuri oleh suaminya, tidaklah susah buat menerimannya. Tetapi bagaimanakah menjawabnya undangan seperti pergi piknik atau berenang tidak dengan suami, walaupun dengan temannya? Ibu bapak tidak keberatan, buat masyarakat Tionghoa modern hal itu sudah biasa saja.
Tetapi bagaimana, kalau suami tak menyetujui? Semuanya menjadi pelajaran dan pertimbangan buat ibu bapak, yang membiarkan anak perempuan dididik secara modern, tetapi hendak mengawinkan si-anak secara kolot, ialah dengan paksa, sebelum waktunya pula.
Tidaklah lama saya mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan undangan A.P. seperti diatas. Memangnya tidak semudah menyelesaikan persoalan sumber hidup. Tetapi sebagai satu pertolongan yang sekonyong-konyong jatuh dari langit, maka armada Jepang dikabarkan mendekati Amoy buat menyerang. Pesawat Tiongkok mulai melayang-layang diatas kota Amoy, seolah-olah hendak melakukan pembelaan.
Dalam keadaan ini maka Amoy berada dalam kegelisahan. A.P. pada suatu hari datang mengatakan bahwa dia akan berangkat ke Hongkong dengan ibu bapak dan suaminya. “Selamat jalan”, kata saya, setelah merasa lega, karena keluarga A.P. akan bisa terus ke Philipina.  Suasana baru kelak akan menimbulkan semangat yang baru pula. Mudah-mudahan saja!
  Amoy makin lama makin kosong. Hampir semua murid sudah mengungsi ke pedalaman. Barang siapa yang mempunyai uang dan keluarga di Nan Yang segeralah dia mengatur pelayarannya. Mahasiswa Huang dan saudaranya mengajak saya pergi ke rumahnya di Kulangsu. Di sana saya tinggal beberapa lama buat menunggu putusan pergi ke pedalaman atau ke Rangoon. Mahasiswa Huang ingin pergi ke Rangoon dan mengajak saya mengikut. Saya dengan senang menerima ajakan itu. Tetapi orang tua Huang berat hati meninggalkan rumah besar dan Kulangsunya. Menurut paham dia lantaran belum pernah Kulangsu sebagai international settlement, diserang Jepang, maka ini kalipun Kulangsu akan tetap dalam keadaan damai. Setelah penyerangan Jepang sudah lebih nyata, juga ditujukan ke Amoy, maka mulailah orang tua Huang gelisah dan akhirnya amat gugup. Dia sekonyong-konyong mau pindah rumah, tetapi dia mau pindah ke Hongkong.
Tentulah saya tak bisa pindah ke Hongkong itu. ini berarti pindah ke penjara Inggris. Saya berpisah pula dengan mahasiswa Huang dan pergi menjumpai Ka-It yang sedang mencari saya pula. Ka-It dengan tegas bertanya: ke pedalaman atau ke Nan Yang? Kalau hendak pergi ke pedalaman lekaslah bersiap. Ini hari juga kita pergi, katanya. Kalau hendak pergi ke Nan Yang, tentulah kemana, supaya segera diatur surat pas dan karcis kapal. Tak bisa lama-lama menunggu, katanya pula, sebab musuh sudah dekat.
Saya tetapkan pergi ke Rangoon, Birma. Ka-It memberikan seorang pembantu kepada saya buat mengurus surat pas dan karcis kapal. Tidaklah lagi mudah mengurus semua itu dalam satu minggu apa lagi dalam satu hari. Surat pas baru bisa diminta pada kantor polisi setelah mendapatkan keterangan dari pe-tiu’ (kepala kampung, wijkmeester) dan chi-tiu (wali kota) Amoy yang harus menerangkan, siapa saya, kerja apa, dimana dan berapa lama saya tinggal di Amoy. Surat pas juga harus lebih dahulu dibubuhi visa oleh konsul Inggris di Kulangsu. Atas surat pas yang dibubuhi visa itulah baru kongsi kapal (Inggris) mau menjual karcis kapal surat keterangan dari pe-tiu dan chiu-tiu, surat pas dari polisi Amoy, yang di visa oleh konsul Inggris di Kulangsu dan akhirnya karcis kapal itulah yang harus diperoleh dalam empat lima jam saja, karena kapal hendak berangkat petang hari itu.
Pemerintah kota Amoy sudah menutup kantor memberikan surat keterangan kepada siap saja; takut kalau-kalau nanti kemasukan kolonne ke-5 nya Jepang. Tetapi pembantu yang diberikan oleh Ka-It rupanya orang luar biasa. Dia mempunyai sesuatu kekuatan yang tidak dimiliki semua orang ialah drive, kodrat pendorong. Dia tiada mengenal tak bisa, tak boleh atau tak-kan-dapat. Disamping sifat baiknya pembantu ini, untunglah saya sudah dicatat lebih dahulu di kantor keluarga Tiongkok. Memangnya saya sudah menjalankan kewajiban saya sebagai warga negara, ialah membayar pajak. Latihan sebagai milisi-pun sudah dimajukan kepada saya. Sudah pula saya setujui dan sedang saya tunggu.
Pintu depan Pe-tiu tertutup. Penjaga berkata kepada kami, bahwa Pe-tiu tidak di rumah dan surat keterangan tak diberikan lagi. Kami menerobos dari belakang, dan dapur. Kedapatan Pe-tiu sedang makan dan tersenyum melihat saya, karena dia sudah maklum maksud saya dan kami sudah lama berkenalan. Tak sampai 5 menit, surat keterang Pe-tiu selesai. Pintu depan Chiu-tiu pun tertutup. Dapurnya diterobos pula, surat keterangan Chi-tiu pun didapat dalam beberapa menit. Kantor polisi kota dijaga oleh pengawal yang melarang kami masuk. Inipun dengan tiada ragu-ragu diterobos. Dengan cepat pula pemerintah Amoy mengurus surat-pas saya. Kabarnya konon, inilah surat pas yang paling terakhir dikeluarkan, pada waktu krisis ini. Sebelumnya saya datang, banyak permintaan surat-pas hari pada hari itu yang ditolak, karena disangsikan oleh polisi kota.
Kantornya kongsi kapal sedang istirahat! Pembantu tak mengenal peristirahatan. Dia panggil juru tulisnya buat menjualkan karcis. Juru tulis menolak, pertama karena belum ada visa dari konsul Inggris dan kedua karena waktu istirahat. Percekcokan hebat antara juru tulis dan pembantu terjadi. Karcis dapat dan visa pun akan diurus. Saya bisa berangkat petang hari juga. Saya tak perlu pula memperlihatkan muka saya kepada konsul Inggris di Kulangsu! Hidup pembantu!!!
Ciak-teh, uang suapan, baikpun dalam kantor resmi umum dipakai di Tiongkok. Lain daripada uang bayaran sedikit buat segel dll. yang ditentukan oleh aturan yang pasti tiada satu sen-pun saya mengeluarkan. Diantara orang Tionghoa-pun tidak banyak saya melihat orang yang mempunyai “push”, dorongan, dan keuletan seperti pembantu yang baru saja saya kenal ini. Memang push dorongan dan keuletan itu adalah salah satu sifat Tionghoa yang harus kita contoh.
Tepat pada waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan, meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq. Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan Ching Hua dengan A.P. beserta tragedinya. Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas karcis tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu. Yang tentu cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah dimana, belum dapat diketahui....pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!
                          

MENUJU KE TEMPAT YANG TIDAK DISETUJUI

Kapal kami penuh sesak dengan pengungsi dari bermacam-macam golongan yang menuju ke berbagai tempat. Klas 1 dan klas 2 penuh sesak dengan pengungsi Tionghoa yang mampu. Bahkan ada pula pengungsi yang mampu yang terpaksa menumpang di atas geladak (dek). Pembaca bisa menggambarkan bagaimana keadaan geladak di tempat saya menumpang. Perkataan penuh sesak sesungguhnya tidaklah lagi sanggup memberikan gambaran yang sebenarnya. Pikiran “tempat yang baik” tidak lagi mempengaruhi seseorang penumpang. Pikiran yang terpenting cuma “asal dapat pergi saja”. Pergi dari Amoy yang dekat dari Taiwan, jajahan Jepang itu. Amoy yang entah akan dibagaimanakan oleh angkatan Udara dan armada Jepang itu, pergi itulah saja pikiran yang terutama. Ada pula penumpang yang berniat pergi ke Hongkong saja atau terus ke Manila; ada yang hendak pergi ke Singapura dan banyak yang mengambil karcis yang menuju ke Birma, seperti saya sendiri. Tetapi tidak pula sedikit penumpang yang sebenarnya belum tahu, dimana mereka akan tetap tinggal. Ke dalam golongan yang belum lagi tahu “dimana kelak akan tinggal” inilah saya sendiri termasuk. Seperti banyak pengungsi lain, maka yang saya jaga cuma, asal jangan terlempar ke laut saja, karena tak ada tempat yang sedikit terluang lagi.
Dihembus ribut taufan yang luar biasa hebatnya, yang belum pernah dialami oleh para penumpang selama hidupnya, maka setelah sehari semalam kami berlayar, sampai kapal di pelabuhan Hongkong. Pelabuhan Hongkong masyhur indahnya kalau dilihat diwaktu malam. Kita menghadapi bukit yang berkaki, pinggang dan puncaknya ditaburi oleh rumah, gedung dan villanya hartawan Hongkong. Ribuan lampu sebagai sumber pancaran cahaya listrik tampak di waktu malam, seolah-olah hendak bersaing dengan bintang di langit. Tetapi pada malam hari kita tiba itu, tidaklah ada kesempatan untuk mengagumi bandar Hongkong di waktu malam dipandang dari laut. Kapal kami, walaupun telah menjatuhkan sauhnya, masih saja tergeleng-geleng ke kiri-kanan dengan sangat hebatnya, meskipun teluk Hongkong berada di lingkungan bukit, dengan susah payah penumpang yang berhenti di Hongkong turun ke sampan dan mendekati daratan. Kabarnya pada malam itu ada dua-tiga kapal api dan puluhan sampan yang karam sedang berlabuh dan puluhan manusia yang mati tenggelam terlempar ke laut. Kapal kami sesudah menurunkan penumpang dan barang segera berangkat meninggalkan pelabuhan Hongkong menuju ke Singapura. Mulanya ada niatan kapal berhenti di Hongkong dua tiga hari, tetapi karena ribut taufan yang lebih membahayakan kapal ketika berlabuh daripada sedang berlayar itu, maka niatan tadi dibatalkan. Saya sama sekali tidak merasa kecewa atas pembatalan itu. Memangnya apabila saya mendengar kabar, bahwa kapal akan berhenti dua tiga hari lamanya di Hongkong, maka saya memikir-mikirkan “siasat” yang harus saya jalankan. Baru lima tahun lampau saya ditangkap di Hongkong, dan ketika terpaksa dilepaskan, dilarang keras menginjak tanah mana saja yang termasuk jajahan kerajaan Inggris. Kalau saya naik darat dan berjalan-jalan di kota Hongkong yang sempit itu tentulah mudah dikenal oleh banyak penyelidik (I.S). Inggris yang dari semua penjuru sudah mempelajari rupa dan gerak badan saya selama berada dalam penjara. Tidak mendarat dan tinggal dua tiga hari dalam kapal, tentulah lebih mencurigakan pula. Belum tentulah pula kapal yang berlabuh itu sama sekali bebas dari kunjungan atau incaran matanya penyelidik I.S. Inggris, teristimewa dalam keadaan perang Jepang-Tiongkok yang sedang memuncak itu.
Setelah lima enam hari meninggalkan Hongkong, maka tibalah kapal di Singapura. Pemeriksaan atas orang Tionghoa yang masuk ke Malaya sangat teliti. Buat laekek (tamu lama) pemeriksaan lebih longgar daripada sin kek (tamu baru). Mereka digirin ke kantor duane di pelabuhan, dan dari sini ke kantor imigrasi Tionghoa di dalam kota, buat diperiksa surat pasnya satu persatu. Amat diperhatikan nama dan rupa orang komunis atau penjahat Tionghoa yang pernah dibuang dari Malaya yang tidak sedikit banyaknya itu. mereka yang sudah dibuang, tetapi kembali ke Singapura, itu amat berat hukumannya. Benar sekali rupanya “siasat” yang saya pikirkan di Amoy, yaitu tidak akan berhenti di Singapura. Tetapi ini tidak berarti saya tidak turun di Singapura!
Apabila semua orang yang berhenti di Singapura sudah habis keluar maka barulah saya turun ke darat, saya terus berangkat meninjau kota dan terus menuju ke Johor mempelajari keadaan disana-sini. Saya banyak mempunyai kesempatan buat mendarat dan mencari tempat. Tetapi saya tidak mau memakai kesempatan itu, karena dengan begitu saya akan kehilangan uang $ 25,- dan surat pas yang saya anggap amat penting buat hari depan. Tidak berapa lama kapal meninggalkan Amoy, maka pengurus administrasi kapal meminta semua surat pas dan uang $ 25,- kepada penumpang yang menuju ke Rangoon, Birma. Baru setelah kapal meninggalkan Penang, ialah apabila mendekati Rangoon maka surat pas dan uang $ 25,- tadi dikembalikan kepada kami. Uang $ 25,- tetapi terutama surat pas itulah yang mengikat saya untuk meneruskan pelayaran sampai ke Rangoon. Memang surat pas dan $ 25,- itu ditahan buat menjamin, supaya penumpang ke Burma jangan turun di Singapura.
Sesudah saya mendapat kembali pas saya diantara Penang dan Rangoon, maka saya perlu melepaskan apa yang sudah lama saya simpan, yakni dua buku peringatan, yang penuh dengan catatan yang amat berharga, yang saya peroleh sebagai hasil pengalaman saya dimana-mana negeri. Dengan hati yang amat berat saya lemparkan dua buku peringatan itu dekat pesisirnya Tanaserrim, Birma. Di dasar laut di dekat Tanaserrim-lah lapuk dua buku peringatan. Yang saya isi bertahun-tahun lamanya itu. Tindakan ini ternyata tepat pula. Di Duane Rangoon semua isi dan penjuru koper saya diperiksa dengan teliti sekali. Malah kamus Inggris-pun yang ada di dalam koper saya dibalik lembar demi lembar. Belakangan saya mendengar, bahwa pemerintah Inggris di Birma amat menakuti seorang Tionghoa masuk, yang sedikit saja berbau intelektual. Kantong pun tidak luput dari rabaan yang dilakukan oleh pegawai yang berbentuk Eurasian, campuran darah Eropa dan Asia.
Pemeriksaan duane yang dilakukan dengan teliti oleh seorang Eurasian itu memberikan sedikit petunjuk, bahwa pergerakan kebangsaan dan sosial di Birma itu, walaupun berupa tenang di muka air, tetapi sangat bergelora di bawahnya. Pemberontakan kaum tani yang dipimpin oleh seorang rahib pada tahun 1927 (?) masih diingat oleh rakyat jelata, sebagai permulaan perlawanan senjata terhadap imperialisme Inggris dan oleh Inggris dipandang sebagai mendung yang mengandung guruh petir. Rahib Saya-San pemimpin pemberontakan tersebut, yang digantung dan diejek sebagai quack (dukun palsu) oleh Inggris, oleh rakyat dibisikkan sebagai pahlawan bangsa.
Hampir serupa dengan keadaan di Indonesia, maka lemah sekalilah jembatan ekonomi, sosial, politik antara bangsa Inggris dan bangsa Birma. Perindustrian Berat, Perindustrian Mesin Pembikinan Mesin, tak ada di Birma. Perindustrian enteng, yang penting buat rakyatpun, seperti industri kain, tak pula ada. hasil Birma yang terutama ialah beras, minyak dan kayu. Semua tambang minyak, perdagangan keluar dan ke dalam, semua alat pengangkutan (kapal, kereta) berada di tangan asing. Tanahpun, seperti di delta sungai Irrawadi, tanah yang paling subur buat padi sawah itu, hampir semuanya sudah jatuh di tangan chetty, bangsa Hindustan yang hidup sebagai lintah darat yang kejam sekali. Hampir semua tokoh di kota Rangoon dipunyai oleh bahasa Inggris, Hindustan, Pakistan dan Tionghoa. Cuma dua-tiga buah kedai nasi dan satu dua toko alat bunyi-bunyian yang dipunyai oleh bangsa Birma. Yang saya kunjungi cuma kota Rangoon saja, ialah bandar terbesar untuk seluruhnya Birma. Statistik tentang ekonomi memberi gambaran yang amat menyedihkan buat rakyat aslinya Birma. Mungkin di pedalaman juga ada orang Birma yang mempunyai tanah yang luas atau sedang. Tetapi umumnya tempat yang penting kepada kota dan alat pengangkutan seperti kereta dan kapal, sumber pencarian hidup sudah jatuh ke tangan asing. Bangsa Birma yang mempunyai sejarah yang amat gemilang sampai pada penghabisan abad yang lampau itu, dalam kira-kira setengah abad di belakang ini sudah jatuh menjadi kaum kuli kantornya bangsa asing.
Di sebelah kanannya jurang , terdapat kapitalis-imperialis Inggris, yang menguasai produksi, perdagangan, pengangkutan dan Bank secara besar-besaran internasional dan menguasai sepenuhnya politik dalam dan luar Birma (th. 1937).
Di sebelah kirinya jurang terdapatlah kaum buruh dan tani Birma, kaum pendeta Birma dan kaun intelektual didikan Barat. Kaum pendeta rapat sekali perhubungannya dengan rakyat. Sebagian kaum intelek menjadi kaki tangannya Inggris, sebagian kecil yang radikal memihak kepada rakyat jelata, dan sebagian pula terombang-ambing diantara imperialis Inggris dan kemerdekaan Birma yang sempurna, yang 100%. Kedua jurang tadi dijembatani oleh Rakyat Hindustan dan Pakistan serta Tionghoa, yang menguasai perdagangan tengah dan kecil dan memiliki tanah subur di Delta Irawadi. Dalam kota Rangoon, yang berpenduduk kurang lebih 500.000 itu terutama kelihatan bangsa Hindustan, Pakistan, dan Tionghoa. Bangsa Birma sedikit sekali tampaknya.
Karena tak adanya jembatan ekonomi antara kapitalisme asing dan perekonomian rakyat asli, maka pergerakan kemerdekaan Birma bersifat amat radikal, ialah membutuhkan penyelesaian persoalan politik, ekonomi dan sosial. Tidaklah cukup buat kuli dan tani Birma, terutama untuk kaum tani proletar di Delta Irawadi, kalau kekuasaan politik saja yang dipindahkan dari tangan yang berkulit putih ke tangan yang berwarna coklat (bangsa Birma). Perubahan yang radikal dalam perekonomian dan kesosialan Birma harus dijalankan bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik tadi. Dan perubahan yang radikal, yang bisa memberikan obat yang sesungguhnya dapat menyembuhkan masyarakat Birma, hanyalah dapat diselenggarakan apabila bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik ke tangan rakyat Birma asli itu, juga tanah-tanah dikembalikan kepada para petani Birma, dan alat-alat produksi yang lain (tambang, pabrik) serta pengangkutan diberikan kepada buruh dan rakyat Birma.
Dan sekarang pun (th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagian besar atau kecil), sedang memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan bertiup di Birma.
Dan sekarang pun (th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagaian besar atau kecil), sedang memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan bertiup di Birma, yang banyak mempunyai persamaan dengan Indonesia, dalam hal bumi iklim, kebangsaan, teknik perekonomian, sosial politik, bahkan juga dalam hal kebudayaan kejiwaan bersama dengan jurang luas dan dalamnya antara kapitalis imperialis asing dengan buruh tani bangsa Birma yang radikal itu.
Pada lahirnya saja kelihatan bahwa kebudayaan Budhisme yang berdasarkan kelemah lembutan itu dapat membendung jiwanya bangsa Birma yang berbentuk dan berjiwa sama dengan bangsa Indonesia itu. Kini sudah kelihatan, bahwa jika itu sudah menembus bendungan itu disatu dua tempat dan sudah mulai meluap, bergelora, laksana sungai Irrawadi yang tenang dangkal di musim kemarau berubah menjadi banjir yang deras, meluap, di musim hujan.
Saya tidak sanggup lama tinggal di Rangoon dan mempelajari segala-galanya lebih teliti dan lebih mendalam. Ongkos hidup, walaupun hotel Tionghoa tempat saya menumpang sedikit sekali meminta bayaran, menyebabkan kantong saya semakin hari semakin kempis. Buat pekerjaan yang bisa menjamin penghidupan, kita perlu sedikit lama tinggal di Rangoon. Persaingan di pasar (lapangan) kaum pekerja, halus ataupun kasar amat tajam sekali. Pekerjaan  kantor pemerintah dan perdagangan tidak saja membutuhkan bahasa Birma dan bahasa Inggris, tetapi umumnya juga menghendaki ijazah sekolah Inggris. Banyak pemuda yang berijazah Inggris yang tidak mendapat pekerjaan. Kalau saya cukup lama tinggal di Rangoon, tentulah saya akan bisa mendapat sahabat. Di negara asing itu seorang sahabat boleh jadi sekali sebuah kunci pembuka sumber penghidupan buat kita. Tetapi saya tidak ingin tinggal lama di Birma. Suasana politik di sekitar Indonesia terasa menarik saya ke sana. Sesudah lebih dari sebulan saya tinggal di Rangoon, saya bertolak menuju ke Malaya.
 Tidak sedikit pekerjaan, terbuka atau tertutup yang harus dilakukan dan uang suap (Ciak-teh) yang harus dikeluarkan buat mendapatkan visa dari pemerintah Birma dan karcis dari kongsi kapal Inggris, Kongsi kapal Inggris tak akan mampu menjual karcis, kalau pembeli tak mempunyai visa. Pertanyaan yang harus dijawab di kantor pemerintah kota Amoy sangat banyak memberi pertolongan. Atas surat pas itu konsul Tiongkok di Rangoon dapat memberikan bantuan. Tetapi resmi atau tidak, “kerja sama” antara hotel dengan badan resmi membutuhkan Ciak-teh yang tidak sedikit.
Di pelabuhan Penang saya tak dapat keluar begitu saja bersama-sama dengan penumpang yang lain-lain. Lama juga saya ditahan di duane. Entah apa sebabnya saya tidak tahu. Tetapi saya mendapat kesan, bahwa ada kecurigaan terhadap saya. Si penyelidik mengakui dirinya Tionghoa. Mungkin sekali ada darah Tionghoa dalam tubuhnya, tetapi bentuk dan mukanya serta warna kulitnya lebih banyak mirip pada Keling daripada Tionghoa. Bagaimanapun juga bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik darida bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik daripada bahasa Tionghoa saya. Oleh karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa saya tak perlu mengangkat bendera putih ke depannya. Sekali dia mengakui dirinya Tionghoa dan memakai bahasa Tionghoa, cepat saya ikuti gerak-geriknya dalam ke-Tionghoa-an. Apabila dia mau membelok kepada bahasa “Melayu” atau “Inggris” entah apa sebabnya, maka saya tetap ber-si-Tionghoa dan menarik dia kembali kepada ke-Tionghoa-an. Setelah beberapa lama pencak silat itu berlaku, maka saya mengambil langkah yang selamanya ini mendapatkan hasil yang baik, ialah langkah ke arah “Ciak-teh”. Barulah saya lepas.
Di sepanjang pesisir antara Shanghai dan Rangoon, dimana saja bendera Union Jack berkibar, sistem “Ciak-teh” itu adalah lazim sekali. Di kedua ujungnya jembatan utara “kerajaan Johor” dengan pulau Singapura, British Colony, kendaraan kita “distop” (diberhentikan) buat memberi kesempatan kepada polisi kerajaan Johor dan polisi Singapura memeriksa barang si penumpang. Ada barang yang mesti dikenakan cukai, kalau keluar masuk kerajaan Johor. Si penyelundupnya (smugler) men-stop pen-stopan polisi tadi dengan Ciak-teh, besar atau kecil menurut besar kecilnya untung si penyelendup yang diharapkannya di waktu depan kalau dia jaya. Si penumpang biasa yang membawa barang pemakaian biasa saja lama kelamaan terpaksa memberi Ciak-teh pula, untuk men-stop. Agen polisi yang sudah biasa, dengan jalan pemeriksaan yang lama dan pelemparan barang-barang penumpang kesana sini, kalau Ciak-teh alias uang suap tidak segera keluar. Sebaliknya pula, tak akan dilakukan kewajiban memeriksa itu, ataupun men-stop kendaraan seperti becak, kalau Ciak-teh lekas dan banyak keluar.
Dengan menjalarnya penyakit Ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka “immigration law” Inggris yang maksudnya “membatasi” pemasukan bangsa Tionghoa itu ke Malaya (atas desakan bangsa Indonesia di Malaya) Farce, sandiwara semata-mata. Orang Tionghoa dari mana, dari golongan mana dan bilamana saja bisa masuk ke Malaya, asal membayar Ciak-teh besar atau kecil. Seorang tauke Tionghoa yang sin-kek bisa membayar Ciak-teh buat surat-pas atau visa dan jaminannya itu dari kantongnya sendiri. Tionghoa kuli sin-kek bisa dibayarkan oleh majikan atau keluarganya sendiri yang sudah berada di Malaya. Pelacuran “Immigration Law-nya” Inggris itu disertai pula oleh pelacuran “Mining Law-nya”, undang-undang yang berhubungan dengan pertambangan. Undang-undang Inggris yang katanya buat memperlindungi bangsa Indonesia (Melayu) mencegah bangsa asing atau modal besar menyewa tanah yang mengandung timah, kalau timah terdapat dalam sawahnya putera bumi oleh bangsa Indonesia. Tetapi Ciak-teh biasanya dengan mudah menerobos undang-undang Inggris itu untuk mendapatkan sawahnya mana saja dan bilamana saja kapital asing menghendaki. Pada tahun 1941, di waktu hampir jatuhnya pertahanan Militer Inggris dikenai pukulan tentara Jepang, maka ada satu perkara yang menarik hati, yang sedang digantungkan. Perkara itu berhubungan dengan penerimaan “Ciak-teh” oleh polisi dan pegawai Inggris, dari pangkat bawahan sampai insinyur Inggris kepala jawatan pertambangan. Ciak-teh itu diselenggarakan untuk mendapatkan (dibeli atau disewa?) sawah yang mengandung timah yang selama ini dimiliki oleh sebuah kampung Melayu.
Pembanjiran orang Tionghoa dan Hindustan ke Melayu, mudahnya buat kapital besar asing mendapatkan tanah yang subur untuk perkebunan dan tanah yang mengandung timah, besi dan arang untuk pertambangan, dan adanya polisi dan pegawai yang korup untuk “memperlindungi” bangsa Melayu, adalah tiga sebab yang terutama yang mendesak bangsa Indonesia Melayu ke jurang kemiskinan dan kemusnahan sebagai bangsa. Dari abad ke-14 sampai ke penghabisan abad ke-16, maka bangsa Indonesia di Semenanjung Melayu, di bawah kerajaan Malaka, terkenal di seluruh dunia sebagai kekuasaan laut yang terbesar serta gagah perkasa. Ibu kota Malaka adalah bandar yang mempunyai traffic, perdagangan yang terbesar di sepanjang pesisir Asia, dari Shanghai sekarang sampai ke Aden, bahkan mungkin juga buat di seluruh pesisir Afrika. Dari Indonesia Selatan, Filipina, Birma, Siam, Hindustan, Persia, Arabia, dan dari Tiongkok dan Jepang kapal dagang berlayar pulang pergi ke Malaka. Di bandar Malakalah terpusatnya perdagangan pula, cengkeh dan lada yang sangat dibutuhkan oleh dunia seluruhnya itu, sebagai bumbu makanan dan obat-obatan. Malakalah pula yang menjadi pusat timah yang dihasilkan oleh Semenanjung Melayu sendiri dan emas yang dihasilkan terutama oleh Sumatera. Bandar Malaka yang menjadi pusat perdagangan hasil bumi seluruh kepulauan Indonesia lambat laun menjadi pusat perdagangan hampir seluruh dunia. Hindustan dan lain-lain negara disebelah Barat Malaka mengirimkan utusannya ke-istana Sultan Malaka. Maharaja Tiongkok menerima Sultan Mansur sebagai menantunya; menerima kunjungannya Sultan itu dengan armada yang terdiri dari ratusan (900?) kapal perang besar kecil semata-mata buat “perkawinan” saja (?). Dua kali serangan tentara Siam dihancurkan oleh tentara Malaka. Armada bajak laut dari Bugis yang hebat dahsyat itu dapat diusir dari selat Malaka. Pedagang Islam Malaka menjualkan baragnya dan mengembangkan agama Islam serta bahasa Indonesia hampir di seluruhnya pesisir Kalimantan; berdagang ke pantai Timur Sumatera, ke Sulawesi dan Maluku; berdagang dan menyebarkan agama Islam hampir di seluruhnya pesisir Jawa di sebelah Utara. Pendek kata, ada kalanya kerajaan Malaka menjadi calon yang mengandung pengharapan besar untuk melanjutkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang meliputi seluruhnya kepulauan Indonesia. Kerajaan Malaka sanggup melahirkan ahli Negara dan ahli filsafat Islam seperti Sultan Mansur Syah dan Sultan Muzafar Syah dan Laksamana seperti Hang Tuah dan Hang Nazim. Pujangga Barat, Portugis dan Inggris mengagumi Laksamana Hang Tuah sebagai “Pahlawan Indonesia” yang tak ada taranya” (beyond compare). Perang Malaka-Portugis yang dimulai pada tahun 1509 berlaku selama lebih dari 40 tahun. Perebutan kota Malaka berjalan 2 tahun lamanya (tahun 1509-1511). Kemudian ibu kota Malaka ditinggalkan dan peperangan gerilya dilangsungkan terus di laut, di darat dan ada kalanya di dalam kota Malaka sendiri. Berkali-kali armada Portugis, yang terkuat di seluruh dunia dimasa itu, dipukul mundur, dikalahkan atau dibinasakan.
Apakah sebab yang sebenarnya maka Malaka kalah? Disinilah sejarah, karangan bangsa Indonesia menunjukkan kekurangannya. Dipukul rata “sejarah Melayu” yang ditulis di Johor oleh Tuan Sri Lanang dan Paduka Raja pada th. 1612, jauh lebih jelas (berdasarkan bukti yang nyata) daripada 1001 dongeng yang lain-lain di Indonesia. Kebanyakan dongeng Indonesia lebih banyak bumbu daripada makanannya: enak baunya, tetapi tak ada atau sedikit sekali patrinya. Sukar sekali kalau tiada mustahil memastikan secara ilmu (sejarah tempat, tempo dan kejadian yang sesungguhnya. Dalam hal yang tersebut di belakang ini sejarah Melayu ada banyak juga memberi kepastian. Tetapi sukarlah, kalau tidak mustahil kita akan mendapatkan keadan masyrakat di bandar Malaka yang besar memberi kepastian tentang: cacah jiwanya bangsa asing (Tionghoa, Arab, Hindu, dll) dan banyaknya bangsa Indonesia (Melayu, Jawa, Sumatera, Bugis) di masa itu; banyak anggotanya masing-masing suku bangsa Indonesia di bandar Malaka dan banyak anggota golongan pegawai kerajaan, saudagar, tukang, buruh serta tani dan nelayan Indonesia; hal kerja sama atau pertentangan (dalam hal ekonomi dan politik) antara suku dan suku bangsa Indonesia atau antara golongan dan golongan dalam masyarakat Indonesia itu. Pengetahuan secara statistik dalam hal tersebut dibelakang inilah yang sebenarnya bisa kita pakai sebagai bahan berpikir untuk menentukan keadaan dan kekuatan masyarakat Indonesia dalam kerajaan Malaka yang sesungguhnya. Sejarah Asia umumnya, kecuali Tiongkok dan Arab (?) serta Hindustan Indonesia khususnya tidak memusingkan kepala tentang statistik itu.
Dari sumber Barat kita dapat mengetahui, bahwa teknik Portugis itu dalam dasarnya tak seberapa melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. (Menurut sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membuat bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia). Perbedaan teknik Portugis dan Malaka cuma terdapat dalam kekuatan senjata itu saja. Meriam Portugis dapat menembak lebih jauh daripada Malaka! Memang perbedaan kekuatan ini menimbulkan satu “handicap” (rintangan) di pihak Malaka, tetapi rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Laksamana Malaka selalu menghindarkan pertempuran pada jarak yang memberi keuntungan kepada meriam Portugis. Laksamana Malaka menyerbu di waktu hujan kabut, ribut topan, dengan maksud merapatkan kapal perangnya ke kapal Portugis dan menaiki kapal perang Portugis dengan Pelaut Indonesia yang tak mengenal takut dan gentar itu.
Demikianlah berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan. Tetapi riwayat kemenangan yang berkali-kali terdapat di laut itu kita baca sesudahnya kota Malaka ditinggalkan. Selama pertempuran berlaku di kota Malaka sendiri, tak terdengar kabar dimana adanya Armada dan laksamana Malaka yang masyhur itu. Riwayat Hang Tuah memang tidak jelas seluruhnya bagi kita. Apakah Laksamana Hang Tuah sudah meninggal dunia di waktu itu tetap belum mendapat ganti? Atau sudah mendapat ganti (Hang Nazim) tetapi, entah lantaran apa, belum juga bertindak? Ataukah Hang Tuah masih hidup, tetapi masih dalam buangan dan dalam persangkaan sudah di hukum bunuh atas fitnah istana dan tuduhan palsu yang sudah terkenal itu?
Sejarah yang tertulis tidak memberi jawaban atas pertanyaan seperti di atas itu, kepada saya. Tetapi bagi saya, Armada, Tentara dan Strategi Portugis belum tentu sekali dapat mengalahkan Armada, tentara dan strategi Malaka, kalau yang tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang berasal dari Aceh menghalaukan Armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya dan memotong jalan Portugis ke Maluku mencari barang dagang penting.
Pokok sebab yang menaklukkan Kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali prajurit laut Portugis pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak dapat pertolongan ratusan jong Tionghoa berada di pelabuhan Malaka. Kapal perang Portugis terpaksa berlabuh di tengah-tengah. Karena dangkalnya lautan di tepi pantai. Dengan jong Tionghoa-lah prajurit itu mesti diangkut ke darat. Bandar Malaka yang sesudah ditinggalkan oleh semua penduduknya menyingkir ke luar kota, ke dalam hutan, pada permulaan perang itu, akan terus kosong, kalau penduduk Tionghoa tidak kembali ke kota untuk, berlindung di bawah bendera yang menang, dan dengan begitu memelopori bangsa asing lainnya dan bangsa Indonesia yang pengecut dan berkhianat, masuk ke kota. Bangsa Jepang tidak membantu penjajah Barat dengan alat perang seperti Tionghoa membantu dengan jongnya itu, tetapi dengan senjata di tangan. Dalam sejarah yang ditulis oleh Portugis, maka bangsa Jepang tercatat sebagai pembantu yang amat patuh dan taat sekali. Sikap tindakan Tionghoa-Jepang dalam usahanya membantu penjajahan Barat untuk meruntuhkan Kerajaan Malaka itu adalah paralel (sejalan) dengan sikap tindakan Tionghoa-Jepang di Jakarta ketika membantu Jan Pieterszoon Coen mengalahkan Tentara Sultan Agung. Baiklah juga pemuda Indonesia memperingati sikap tindakan Tionghoa Jepang dimasa lampau itu, supaya berlaku awas, dengan tidak mengabaikan usaha untuk merapatkan perhubungan kita sesama bangsa Asia, yang sama ditindas dan dihisap oleh kapitalisme imperialisme Barat ini. Peringatilah pula, bahwa meskipun perkawinan Sultan Malaka dengan Putri Tionghoa itu mengandung politik diplomasi, tetapi peristiwa itu juga mengandung makna yang dalam. Memang satu golongan bangsa Hindustan di masa itu mengambil sikap tindakan ragu-ragu dan merugikan kita. Tapi sikap tindakan seorang Hindu, yang terkenal dalam sejarah dengan nama Tuan Bondan, yang pernah menjadi utusan sultan Malaka ke kapal perang Portugis, cuma boleh dikatakan sikap dan tindakan, yang tak ada bedanya dengan sikap dan tindakan Indonesia asli, pecinta bangsa dan negaranya. Jadi dipukul rata sikap dan tindakan bangsa asing, adalah sangat merugikan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia Malaka.
Kedua, boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dari Jepara dengan Armada Malaka. Atas anjuran Patih Katir (Kadir) dari Malaka, maka Bupati Unus di Jepara mengirimkan Armada yang kuat, katanya terdiri dari 900 kapal perang besar-kecil, lengkap dengan senjata api serta pelaut yang terdiri dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Palembang, Bugis). Armada ini berlayar mengelilingi pulau Sumatra, ialah sebagian melalui pesisir Barat Sumatra dan terus ke – utara sampai ke Selat Malaka dengan maksud hendak menyerang armada Portugis. Yang sebagian lagi melalui laut Jawa, dari selatan menuju ke utara dan banyak sekali membawa makanan. Oleh Armada Bupati Unuus saja Armada Portugis sudah hampir kalah.  Tak dengan kekalahan penuh dilautpun, kalau pasukan Portugis yang berada di bandar Malaka terus diblokir (dikepung), niscaya tentara Portugis itu akan mati kelaparan. Tentara Portugis dapat tertolong, karena Armada Bupati Unus yang mengangkat beras buat tentaranya sendiri, ditawan oleh Portugis. Dengan begitu, maka tentara Portugis yang hampir mati kelaparan itu mendapat beras banyak sekali. Boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dengan Armada Sultan Malaka yang bergerilya itu, baik dalam hal merencanakan persiapan ataupun dalam usaha merencanakan siasat. Akan berlainanlah jalannya sejarah kerajaan Malaka khususnya dan sejarah Indonesia umumnya, jika Armada Bupati Unis yang pulang kembali ke Jawa, tetapi tak pernah ditaklukkan itu, dapat kerja sama dengan Armada Malaka, ketika mengadakan persiapan membentuk siasat dan menyerang musuh.
  Ketiga, tipis sekali kerja sama antara pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni dibawah Patih Unus (?) dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah Sultan pada peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka. Provincialisme yang membahayakan itu sesungguhnya tipis sekali atau tak ada sama sekali diantara rakyat jelata dari kedua suku bangsa itu. Utimutis lama memihak kepada Portugis dan akhirnya dibunuh juga oleh Portugis, setelah tenaganya dipergunakan. Tetapi pengkhianatan itu ditebus dengan menantunya dan gantinya sebagai Patih Kamping Upi, ialah oleh patih Katir, yang dengan surat mempermaklumkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Sultan Malaka. Kerja sama antara Patih Katir dengan Sultan dan Laksamana, yang berarti pula kerja sama antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa Melayu pada masa perang gerilya, amat rapat dan kekal sekali, sehingga sering mendapatkan hasil perjuangan yang gilang gemilang. Alangkah baiknya pula, kalau kerja sama antara kedua suku bangsa itu direncanakan dan dilaksanakan dari semula, ketika masih bertempur membela bandar Malaka.
Keempat, perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud, yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak menjadi alat adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka sendiri. Sultan tentulah mempunyai tentara resmi. Putera Mahkota, Aladdin mempunyai tentara prive. Bendahara (Mangkubumi) pun mempunyai tentara prive pula. Demikianlah pula para pembesar lain-lain mempunyai pasukan sendiri buat membela kepentingannya sendiri. Sengketa diantara partai dan partai, golongan dan golongan, diwaktu banyak perampokan yang merajalela itu, maka raja-raja yang zalim itu sendirinya menjadi contoh dalam hal kezalimannya bagi pembesar yang lain. Raja tak mempunyai pengaruh atas pegawai negara dan rakyat, karena raja itu berlaku sewenang-wenang terhadap harta benda rakyat serta para wanita. Raja tidak disegani lagi oleh rakyatnya, dan cuma ditakuti oleh yang lemah. Oleh yang kuat, yang kaya dan bersenjata, raja itu dibenci dan dimusuhi. Ke dalam “bellum emnum contra emnes” (perjuangan seorang  melawan seorang lain) lah yang bersimaharajalela, di kota Malaka. Datuk Maharajalela sendiri yang mulanya cuma seorang hulubalang sebagai penjaga dalam suatu rapat Kerajaan saja, menjelma menjadi lambang sewenang-wenang. Dengan sudut mata saja, seseorang pembicara dalam rapat kerajaan yang tidak disenangai oleh Sang Datuk atau Rajanya, dapat dipegang dan dipancung pada ketika itu juga.
Satu dongeng sajakah atau memang satu kenyataankah tentang adanya sifat dan watak manusia yang dikatakan dimiliki oleh Hang Tuah itu, tidaklah dapat dipastikan. Tetapi tampak perhubungannya watak Hang Tuah yang dikehendaki, diidealkan dan dipuja itu dengan kekacauan dan anarki (tak mengakui kekuasaan, authority), maka dimajukan lawannya, ialah tunduk sama sekali kepada authority, kepada Raja, ialah lambang kekuasaan: “Pemerintah Raja tak bisa disanggah (dibantah), walaupun Raja itu tidak adil”. Bukankah Hang Tuah yang cerdik, bijaksana, satria dan suci itu sendiri terima kezaliman itu dengan patuh? Dengan “kepatuhan mutlak” itu sesungguhnya tersingkirlah Filsafat politik Melayu yang dianut selamanya ini, yakni: Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah (dibantah).”
Memang dengan sifat patuhnya maka Hang Tuah biasanya dapat mempengaruhi dan mengendalikan Rajanya yang zalim. Tetapi berapakah orang yang sebenarnya sudah dihukum mati itu, tidak jadi dibunuh oleh karena Datuk Maharajalela, algojo, sendiri atas tanggung jawabnya sendiri, menyembunyikan Hang Tuah di desanya algojo itu sendiri. Kalau simpati itu tak ada, maka Hang Tuah tak akan ada pula lagi. Bagaimanapun juga watak tingkah lakunya Hang Tuah yang dipuja itu cukup memberi petunjuk kepada kebencian dan ketakutan rakyat pada watak dan tingkah lakunya Sultan Mahmud.
Benar atau tidak Hang Tuah hidup dalam buangan pada permulaan perang Portugis-Malaka, tetapi pada waktu yang amat penting itu, Laksamana tidak tampil ke muka. Putera Mahkota sendiri bertentangan hebat dengan ayahanda. Pertentangan ini berakhir dengan perpisahan antara ayah dan anak, masing-masing memimpin tentara menghadapi musuh. Walaupun Sultan Mahmud bukannya seorang pengecut, melainkan sebaliknya, tetapi perpecahan antara ayah dan anak itu sangat merugikan seluruhnya prejuangan melawan imperialisme Portugis itu.
Ringkasnya, sebagai jawaban sementara atas pertanyaan diatas “apakah sebabnya maka Kerajaan Malaka kalah oleh Portugis” saya majukan bahwa disamping kekurangan teknik, maka perkara yang terpenting ialah perkara persatuan juga. Seperti diterangkan diatas tak ada atau tipis sekali persatuan antara penduduk asli Kerajaan Malaka dengan bangsa Asia lain-lain, antara satu bangsa dengan suku bangsa Indonesia lainnya, antara Sultan dengan Putera Mahkota, semua ini bersamaan dengan kezaliman Sultan Mahmud itu.
Sejarah kota Malaka tidak berhenti dengan pendudukan tentara Portugis di kota itu saja. Aceh mencoba melepaskan Malaka dari cengkeraman Portugis. Belanda mencoba dan berhasil merebut Malaka dari tangannya Portugis (1641). Akhirnya kota Malaka oleh Belanda dipertukarkan dengan Bengkulen yang dijajah oleh Inggris. Sebentar pada tahun 1942 Malaka direbut oleh Jepang dari tangan Inggris. Setelah Jepang kalah, maka Malaka jatuh kembali ke tangannya Inggris sampai sekarang.
Di tangan Inggris kota Malaka tidak bertambah besar, dan tidak dapat menyamai artinya di masa lampau. Bahkan sebaliknya. Malaka sudah lama dikalahkan oleh kota dan bandar lainnya di Semenanjung sendiri, apalagi oleh kota dan bandar Asia lainnya. Sebab yang pertama ialah karena pelabuhan Malaka tidak memenuhi syarat untuk kapal Samudera. Samuderalah yang oleh Raffles dianggap mempunyai syarat yang dibutuhkan sebagai bandar, berhubung dengan perniagaan dan strategi, Rafles berusaha dan dapat pula membeli Singapura dengan harga $ 60.000,- dari Sultan Hussein, seorang gila yang ditolak oleh rakyat Johor dijadikan Raja, sebab gilanya itu, tetapi diangkat oleh Rafles sebagai bonekanya.
Tidaklah adatnya imperialisme Inggris memukul dengan langsung. Dia mengalahkan sesuatu negara, pertama dengan siasat memutar (indirect) dan setelah masuk buat direbut, barulah dengan siasat langsung, siasat perang. Dia memulai dengan politik adu domba dan blokade ekonomi, dan mengakhiri dengan pukulan militer.
Dengan hilangnya kota Malaka sebagai ibu kota, maka lambat laut Semenanjung mundur dan pecah-belah berupa berbagai-bagai “kerajaan” sebesar nyamuk. Johor sebagai ibu kota pelarian dari pemerintah kerajaan Malaka, tidaklah pernah dapat menyamai kekayaan dan kekuasaan kota Malaka.
Pada masa Raffles menduduki kota Singapura, jadi lebih dari satu abad lampau, maka menurut satu statistik yang saya baca dalam “Straits Time” (?) penduduk Singapura baru 6 ribu orang. Memang sudah ada juga orang Tionghoa di masa itu, tetapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak, kalau saya masih ingat adalah l.k. 90% dari semua penduduk. Tidak saja banyaknya penduduk, tetapi hampir seluruhnya mata pencarian masih ditangannya bangsa Indonesia. (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis, Palembang dll). Perusahaan, pelayaran, perikanan, dll. masih sebagian terbesar berada di tangannya bangsa Indonesia. Apalagi di pedalaman, semua sumber pencarian hidup masih di tangan putera bumi. Pertambangan timah yang masyhur dari zaman dahulu kala itu, berada di tangannya Indonesia. Disebutkan dalam salah satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan yang terbesar ialah yang dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja Mandailing.
Memang bangsa Tionghoa dan Hindu di zaman lampau banyak mengambil bagian dalam perdagangan Indonesia. Tetapi terutama dalam bagian export. Di pasar pedalaman boleh dikatakan seluruhnya perdagangan berada di tangannya Indonesia, seperti masih kelihatan sekarang di Minangkabau. Pun perdagangan export dan perkapalan, sebagian besar masih digenggam oleh bangsa Indonesia (Sriwijaya, Majapahit, Banten, Minangkabau, Malaka dll). Tentang pertukangan, seperti dalam hal tembaga, perak, besi dan emas, bangsa Indonesia pasti tak kalah oleh bangsa manapun juga di masa lampau itu. kainpun ditenun di Indonesia sendiri. Yang masuk dari luar negeri tidak berapa macam dan banyaknya barang. Umpamanya sutera dari Tiongkok, cawan-piring dari Indo-Cina. Tetapi Indonesia hampir mengeluarkan semua macam logam untuk alat dan perhiasan, rempah-rempah, kayu serta barang hutan seperti rotan, damar, kamper dll. Di kota Malaka dan Singapura sebelum Raffles, sebagai bandar-bandar Indonesia yang didiami oleh berbagai-bagai suku bangsa dari seluruhnya Indonesia, perusahaan, perdagangan, dan perkapalan sebagian besar berada di tangannya bangsa Indonesia. Musafir Tionghoa yang melukiskan kota Malaka di zaman luhurnya menghargai saudagar Indonesia sebagai orang yang cakap dan jujur.
Berturut-turut bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris menghancurkan tentara dan semangat keprajuritan Melayu di daratan dan di lautan. Kemudian dalam lebih kurang satu abad belakangan ini Inggris menghancur luluhkan perusahaan, perdagangan dan perkapalan Melayu dan menukar bangsa Melayu dari bangsa penyebar agama, ahli dan pembesar negara, prajurit, tukang, pelaut dan saudagar menjadi polisi, sopir, tengkulak, dan bujang kantor.
Kejadian Inggris dalam usahanya itu terutama disebabkan oleh (1) perampasan tanah dan logam, (2) pemasukan modal dan tenaga bangsa asing dengan tidak terbatasnya, atau namanya dibatasi tetapi mudah diselundupi karena adanya polisi yang korup.
Perkara perampokan tanah tidaklah perlu banyak lagi saya uraiakan disini. Diatas sudah banyak saya sebutkan sebagai modal besar menerobos “Mining Lawnya”, Undang-Undang tambang itu dibikin (buat diselundupi!), maka hampir semua tanah yang berisi logam (timah, arang, dan besi) sudah dirampas oleh modal besar met of zonder persetujuan “para Raja”, ialah kaki tangannya Inggris, dan penindas serta pengisap rakyatnya. Tetapi dihampir jatuhnya Malaka ke tangan Jepang, maka masih banyak orang Tionghoa, dengan tidak seizinnya Indonesia asli berkeliaran di hutan, merampas tanah yang mengandung emas. Mereka menambang emas, mengeruhkan sungai-sungai yang dahulunya mengandung banyak ikan untuk makanan putera bumi dan musnah lantaran kekeruhan air itu. Seorang Inggris bernama Hubback (?) acapkali menulis dan memprotes perkara ini, tetapi tidak diacuhkan oleh pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh modal timah dan getah. Hampir seluruh perikanan di pesisir semenanjung, yang dahulunya menjadi sumber pencarian bagi Putera bumi sudah lama jatuh ke tangan Tionghoa totok. Dengan izinnya pemerintah Inggris memberikan tanah kepada bangsa Tionghoa di beberapa tempat, maka akan mungkin gelap benarlah nasibnya Indonesia asli di hari depan.
Perkara masuk tidak terbatas (unlimited immigration) bangsa asing itu ke Malaya, sekarang sebenarnya bukan soal lagi bagi bangsa Melayu. Sekarang pun bangsa Melayu yang 2 juta banyaknya itu sudah kurang daripada jumlah bangsa Tionghoa dan Hindustan. (Tionghoa lebih dari dua juta dan Hindustan kurang dari 1 juta banyaknya!). Sekarang bukan lagi soal membatasi masuknya orang asing yang sudah lebih banyak daripada bangsa asli itu, melainkan perkara bagaimana jalannya mengurangi banyaknya bangsa asing yang mendesak bangsa asli dalam penghidupannya sendiri atau menambah banyak bangsa asli sekarang supaya mendapatkan angka yang patut pantas berhubung dengan politik, ekonomi dan sosial Tanah Semenanjung dan kemerdekaan 100% bagi seluruhnya bangsa Indonesia.
Bahwa penduduk asli sudah dilebihi oleh jumlah penduduk asing itu, belumlah memberi gambaran yang benar tentang nasib hidupnya bangsa asli. Begitu pula sedikit jumlah bangsa Yahudi di sesuatu negara di Eropa atau sedikit jumlahnya orang Chetty di Burma kalau dibandingkan dengan penduduk asli, bukanlah pada memberi gambaran yang sempurna tentang keadaan bangsa asing. Haruslah terutama diselidiki keadaan ekonomi umumnya dan sumber pencaharian yang dipegang oleh bangsa asing itu khususnya.
 Semua perkebunan besar sudah dimiliki oleh bangsa asing (Inggris dan Tionghoa). Cuma ladang getah yang setelapak tangan luasnya yang masih berada di tangan bangsa asli. Hasil getah yang seluas telapak tangan itupun jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan). Setelah dikumpulkan getah yang dibatasi keluarnya itu (buat membantu kebun asing), maka seterusnya getah putera bumi tadi jatuh ke tangan tengkulak saudagar dan exportir asing. Dua tiga benggol saja yang tinggal di kantongnya bangsa Melayu. Perusahaan timah sudah lama jatuh di tangan bangsa asing. Tetapi kalau seandainya pekerjaan buruh di pertambangan dan diperkebunan di jalankan oleh bangsa Melayu, maka akan ada juga ampas perekonomian yang jatuh ke tangan Melayu, akan ada juga timah yang jatuh dari meja makannya modal asing, yang dapat dimakan oleh putera bumi. Tetapi ampas perekonomian inipun jatuh ke tangan kuli asing. Lompen proletar asing, orang luntang-lantung di Tiongkok ataupun penjahat yang dikejar-kejar oleh pemerintahan Tiongkok, baik dahulu maupun sekarang, dapat masuk ke Singapura, satu Free-port, pelabuhan bebas. Mereka lepas dari tuntutan dan berbahagia mendapatkan satu dua benggol untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun. Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya) menerima upah yang amat rendah (30 sen sehari). Semakin banyak “luntang-lantung” Tionghoa dan Keling yang masuk, semakin tajam persaingan antara kuli dan kuli dan semakin baik buat si kapitalis yang menghendaki kuli yang murah, rajin dan patuh.
 Dengan masuknya Tionghoa, Hindu, Keling ke Malaya, dengan kekuatan sebagai arus banjir menerobos pematang (dijk, galangan), maka hancurlah bangsa Indonesia ke pinggir-pinggir kota dan ke pegunungan. Kota, dan kebun rata-rata diduduki oleh “para tamu”. Beberapa contoh yang saya saksikan sendiri dalam lebih kurang seperempat abad di belakang ini, dapatlah kiranya memberikan sekedarnya gambaran. Sekembalinya saya dari Nederland tahun 1919, maka di bagian kota Singapura, yang sekarang berada di sekitarnya “High Street” masih terdapat toko bangsa Indonesia. Pun disana sini kelihatan rumah yang sedang besarnya, yang didiami oleh bangsa Indonesia. High Street adalah tiga atau empat km jauhnya dari pelabuhan Tanjung Pagar. Di Kampung Gelam, yang juga dinamai Kampung Jawa, boleh dikatakan cuma kedai dan rumah bangsa Melayu yang terdapat. Bangsa Indonesia masih mempunyai perusahaan emas, perak, tembaga, toko kain, perusahaan penjahitan, toko barang kelontong, warung nasi dan rumah yang besar-besar juga. Jauhnya Kampung Gelam, dimana masih berdiri “istana” yang diberikan oleh Raffles kepada Sultan Hussein sebagai umpan, adalah +- 5-6 km jauhnya dari pelabuhan. Selanjutnya Kampung Geylang yang luas dan +- 9-10 km jauhnya dari pelabuhan itu, hampir sama sekali pula didiami oleh bangsa Indonesia. Bangsa Tionghoa sebagian besar terkumpul dekat pelabuhan Tanjung Pagar, dinamai “Cina Town”, kampung Cina.
Pada tahun 1927, jadi kurang 10 tahun lamanya di belakang hari, maka sekitarnya High Street sudah tak kelihatan lagi dari toko dan rumah orang Indonesia. Kampung Gelam atau Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Hindu dan Keling. Cuma Geylang saja yang masih boleh dikatakan kampung Melayu.
Pada tahun 1937, ketika saya masuk kembali ke Singapura maka tidak saja sekitarnya High Street, tetapi juga Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Keling, dan Hindu. Orang Indonesia cuma terdapat disana-sini sebagai barang peringatan ke masa lampaunya. Oleh karena usaha Encik Yunus, seorang Indonesia Minangkabau, maka pemerintah Singapura membenarkan berdirinya “kampung istimewa” buat orang Melayu. Disini cuma orang Indonesia saja yang boleh tinggal. Jauhnya Kampung Melayu “istimewa” ini lk. sudah 20 km dari pelabuhan. Seperti Amerika Serikat akhirnya, berdasarkan peri kemanusiaan mereka perlu mengadakan Indian Reservation, tanah istimewa buat penduduk asli orang Indian itu, demikianlah pula karena prikemanusiaan, ala Inggris, pemerintah Singapura merasa perlu mengadakan “Malaya Reservation” untuk bangsa Indonesia yang sudah sangat mendesak itu, di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937 itu, jadi lebih kurang dalam seperempat abad semenjak saya mengunjungi Singapura yang pertama kalinya itu, maka bangsa Indonesia sudah berturut-turut terpelanting dari pelabuhan Tanjung Pagar (tempat kediaman mereka semula, ketika Inggris masuk) : (1) ke sekitar High Street, 3-4 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1919, (2) ke Kampung Gelam, 5-6 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1927 (3) ke Kampung “istimewa” +- 20 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1937.
Di Kampung Jawa, bekas pusatnya perekonomian Indonesia, hilang lenyaplah perusahaan logam (emas, perak, tembaga) Indonesia. Yang tinggal cuma satu dua penjahitan kulit dan pecis. Dua toko kain Padang dan satu warung nasi Padang, satu toko obat Jawa dan satu toko buku Indonesia lagi, berdiri sebagai “candi” perekonomian Indonesia di tengah-tengah masyarakat asing di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937 itu penduduk Singapura ditaksir 700 ribu orang banyaknya. Diantaranya ditaksir 600.000 Tionghoa atau lebih kurang Tionghoa atau lebih kurang 85%; orang Keling Hindu 70.000 orang atau 10% dan orang Melayu 30.000 orang atau lebih kurang 5%. Ada pula yang menaksir banyaknya orang Melayu cuma 10.000 orang saja, atau cuma 1% lebih sedikit saja. Demikianlah jatuh perbandingan banyaknya bangsa Melayu dari 90%, ketika Inggris masuk, sampai ke 5% atau 1% dari jumlah penduduk diwaktu satu abad dikemudian hari.
Hal jumlah di Singapura saja belumlah dapat memberi ukuran yang sempurna. Harus diketahui pula bahwa tidak saja di kota Singapura, tetapi juga di kota-kota besar seperti Penang, Kuala Lumpur dll, bangsa Timur Asing sudah mempunyai sebegitu banyak, sehingga mereka bisa mengadakan produksi sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakat sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakatnya sendiri dan logis-nya sendiri. Tak berapa jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa bangsa Timur Asing umumnya dan bangsa Tionghoa khususnya sudah mengadakan “Negara di dalam Negara” di Semenanjung Malaya.
Bangsa Indonesia sendiri, yang mengaku dirinya sebagai putera bumi, turunan ahli agama, ahli negara dan pembentuk Undang-undang Laut seperti Sultan Mansyur Syah; turunan Hang Tuah seorang anak miskin yang sanggup menjadi ahli siasat, politi, ahli jiwa serta lambang kesatriaan dan kejujuran; bangsa Indonesia Malaya yang pernah menguasai produksi, perdagangan dan perkapalan; bangsa Indonesia Malaka, yang oleh Maharaja Langit dari kerajaan yang terbesar di dunia ini diakui sebagai bangsa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”; bangsa Indonesia yang cakap mengawasi ketentraman di laut daerahnya dan sanggup memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang lautnya, walaupun dari rakyatnya kerajaan yang terbesar di dunia, dalam kurang lebih satu abad oleh Inggris diturunkan menjadi bangsa polisi, bujang kantor dan sopir dari bangsa asing di tanah airnya sendiri.
Bangsa Indonesia seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya. Sebagai  pusat pasar dunia, pusat lalu lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan komplotan dan perusakan imperialis Inggris di Malaya itu tak diperamati oleh bangsa Indonesia dengan berpangku tangan saja. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhirnya di Madiaun pada tanggal 17 Maret 1946 saja. Pun tidak pula tidak akan terhenti dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemusnahan bangsa Indonesia Malaya, atau tenggelamnya bangsa Indonesia Malaya diantara bangsa Asia-Timur yang masih mengakui leluhurnya sebagai negaranya, adalah perkara yang langsung dan tak langsung akan mempengaruhi soal hidup matinya Republik, teristimewa di hari depan.
Demikianlah adanya suasana di Semenanjung Tanah Malaya, ketika saya keluar dari Duane di Penang. “Dimanakah saya bisa tinggal untuk mendapatkan pekerjaan pertama kali untuk sumber penghidupan”, inilah pertanyaan yang mendesak dalam pikiran saya, karena uang simpanan saya semakin hari semakin habis
Di Kampung Melayu tak ada mata pencaharian, yang lekas dapat memberikan hasil. Bersawah tidaklah umum, dan tanaman getah baru mengadakan hasil sesudah 7 tahun. Mengajar di surau (langgar) memangnya buat seorang alim Indonesia adalah suatu pekerjaan yang mudah dilakukan, tetapi mengajar di sekolah (kalau ada sekolah!) memberlakukan ijazah Inggris. Ijazah Inggris saya tidak mempunyai. Ijazah Hindia Belanda tidak boleh saya simpan apalagi dipertontonkan. Lagi pula orang Indonesia dari Jawa atau Sumatera, yang pandai “cakap orang putih”, yang pada masa itu cuma mencurigakan saja. “Mungkin sekali dia komunis pelarian”, demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927. Intelligence Service (I.S) Inggris yang bekerja sama dengan P.I.D Belanda sama tajam penciumannya dengan herdershond tulen (anjing pemburu). Di pertambangan sukar didapatkan pekerjaan, karena hampir semua pekerjaan sudah dimonopoli oleh Tionghoa totok. Di kebun getah lebih besar pengharapan mendapatkan pekerjaan, yakni di waktu makmur. Tetapi pada masa itu pengangguran masih umum berlaku di Malaya. Bagaimanapun juga hidup di kampung atau di kebun buat kita orang kota yang sudah jauh merantau, adalah satu kesunyian, satu siksaan. Baiklah buat seminggu dua, tetapi lebih lama dan itu kita rasa sebagai hidup di dalam penjara saja. Di kotalah tempat yang dapat memenuhi penghidupan dan perasaan kita yang biasa hidup di kota besar. Bukannya saya tidak mencoba hidup di desa Melayu. Tetapi segera saya tertumbuk pada peristiwa yang membahayakan kemerdekaan diri.
Disalah satu “kerajaan” di Malaya, memangnya saya mempunyai sahabat lama, yang sudah diuji kesetiaannya. Tetapi karena imperialisme Inggris sekarang kembali lagi ke sarangnya, sesudah diperlututkan oleh tentara Jepang pada tahun 1942, maka tidalah baik saya sebut namanya sahabat itu. Memangnya pula ada kebahagiaan karangan ini saya tidak lagi dengan sengaja akan memakai “nama” yang pasti dari siapa ataupun apa saja, yang bisa memberi petunjuk, yang kiranya dapat dipergunakan oleh P.I.D nya imperialisme mana saja.
Setelah beberapa kota dan kampung di pedalaman Malaya saya kunjungi, dan sesudah mendapatkan kepastian, bahwa saya tidak mudah mendapatkan pekerjaan maka akhirnya pada satu hari di tengah malam saya mengetuk pintu rumahnya sahabat (sh) X di kampung Y. Dia terkejut, karena dia tidak menyangka kunjungan saya di tengah malam, sesudah perpisahan +- 10 tahun lamanya itu. Dia ceritakan bagaimana dia menderita kesusahan, karena berhubungan dengan saya di waktu lampau. Pangkatnya diturunkan dan berbulan-bulan lamanya ia diawasi oleh I.S. walaupun begitu, karena memangnya persamaan keyakinan, dengan tidak ragu-ragu ia mempersilahkan saya tinggal di salah satu rumah keluarganya.
Malangnya pula diantara keluarganya itu ada seorang pensiunan yang dulunya bekerja dalam kepolisian Inggris. Dalam kampung Y yang kecil itu tentulah dengan adanya saya sebagai tamu tak lama dapat disembunyikan. Setelah saya melihat perhatian yang ganjil terhadap saya dari pihak pensiunan polisi tadi, maka pada tengah malam pula saya pergi mengunjungi X dan meminta penjelasan. Berterus terang dikatakannya bahwa memangnya orang itu saudaranya sendiri, dan walaupun sudah pensiun, X sebenarnya tidak percaya sungguh kepadanya. “Maklumlah walaupun polisi itu sudah pensiun, semangatnya masih semangat penangkap”, katanya. Bintang tanda “jasa” besar, sangat disukai oleh polisi di sini, katanya pula dengan segala kejujuran di mukanya.
Kepada sh X saya meminta pertimbangannya, apakah baiknya saya lekas pergi saja, ataukah tunggu dulu. Segera sh menjawab: “Terserah kepada saudara! Maklumlah saya ingin hendak memberikan pertolongan!!?? Tetapi saya tak ingin memberi kesan, bahwa saya seolah-olah mengusir saudara”.
Dengan cepat saya putuskan, hendak bertolak, dengan tidak pula menunggu-nunggu. Dia menyerahkan sekedarnya uang, yang kebetulan baru saja diterimanya dari salah seorang saudaranya sebagai pinjaman getah, dengan perkataan: Ini uang rupanya rezeki saudara. Kebetulan baru saja saya terima. Selamat jalan.”
Pagi benar saya meninggalkan kampung Y. saya mengendarai sebuah becak. Tetapi karena bekas pensiunan juga memberi pamitan ketika saya berangkat, dan menurut pengakuannya dia dulu memang banyak mempelajari gambar saya pula maka di tengah jalan becak itu sengaja saya tinggalkan. Pembaca harus maklum bahwa becak di Singapura (Malaya) mempunyai nomor, dan seorang polisi Malaya, apalagi sudah pensiunan pula, tajam sekali peringatannya tentang nomor becak itu. Nomor itu dapat dipakai oleh I.S Inggris dibelakang hari. Sepotong kain kepunyaan orang yang dicarinya saja bisa dipergunakan untuk diciumkan kepada anjing pemburunya. Apakah lagi nomor becak. Tetapi seorang pelarian Veteran, tajam pula persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi petunjuk sedapat-dapatnya dihapuskannya.
Saya meninggalkan becak mengambil jalan hutan yang tidak mudah buat dilalui, berjalan 6 atau 7 km jauhnya memikul koper saya yang tidak ringan. Akhirnya sampailah pula saya ke rumahnya sahabat lama yang lain. Saya namakan saja sh Z. Sh Z sudah menjadi orang berada, sudah beristeri empat dan mempunyai mobil. Berbandingan dengan naiknya kemewahan hidupnya selama 10 tahun saya tinggalkan itu, maka turunlah pula semangat kemerdekaannya. Saya diterimanya dengan baik, tetapi dengan perasaan yang agak dingin dan sedikit takut. Dia cuma menjalankan kewajibannya sebagai sahabat lama. Akan besar hatinya, kalau “tamu komunis pelarian” itu berangkat dari rumahnya.
Kesempatan itu tiba, sesudah beberapa hari saja saya tinggal di kampungnya. Dia berangkat ke Singapura buat menjumpai sahabatnya. Sesampainya di sana, saya meminta berpisah dan meloncat ke sana-sini. Di Singapura saya pindah dari pemondokan ke pemondokan. Sepuluh tahun lampau, tidaklah sukar mendapatkan rumah di kampung Melayu buat disewa. Tetapi pada tahun 1937 itu seperti saya sebutkan diatas, masyrakat Melayu di dalam kota Singapura sudah cerai berai dan suda terdesak ke “Kampung Istimewa” jauh di pinggir kota. Di dalam kota Singapura sendiri diantara 100 orang di jalan raya kita amat susah mendapatkan satu biji orang Indonesia, biasanya agen polisi, sopir atau bujang kantor (office boy). Agen polisi dibangsalkan di beberapa tangsi di dalam kota, bujang kantor atau sopir boleh bergembira, kalau dapat menyewa serambi atau kamar kecil kepada Tionghoa atau Keling. Tidak aman tinggal bersama-sama dengan mereka buat seorang pelarian politik. Memangnya orang Indonesia di Singapura dimasa itu tidak memikirkan politik dan tidak bisa menyimpan rahasia kita sebagai pelarian politik Imperialisme Inggris jaya menarik orang Indonesia keluar dari perjuangan politik yang sedikit radikal, dan berhasil menarik mereka masuk ke warung kopi buat mengobrol tentang pertandingan sepakbola, dengan tidak memikirkan waktu.
Dalam seminggu dua saya tinggal di Singapura itu saya coba memasuki kantor maskapai yang besar-besar buat mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis ataupun bujang. Tetapi tidak berhasil. Lain sekali keadaan pada tahun 1937 itu dari 10 tahun lampau. Dahulu mudah saya mendapatkan pekerjaan seperti sudah saya ceritakan lebih dahulu. Tetapi pada tahun 1937 itu dikatakan dalam surat kabar, bahwa +- 4000 pemuda keluaran sekolah menengah yang menganggur. Pekerjaan kantor yang bukan Straits Born Chinese, Tionghoa yang tidak lahir di Singapura dan tidak pula mempunyai ijazah Sekolah Inggris, bahkan tidak pula mempunyai salah satu surat keterangan, adalah perkara yang amat sukar. Lari kian kemari membutuhkan banyak “siasat”, tetapi lebih banyak lagi membutuhkan uang. Dengan tidak disangka-sangka dompet kita sudah kosong. Dengan kawan yang ditinggilkan dilain tempat, tentulah tidak dapat diadakan perhubungan sehari dua saja. Kadang-kadang juga tak dapat diadakan dalam berminggu-minggu atau berbulan-bulan, lantaran kekuarangan alamat yang “pantas” untuk menerima balasan surat. Pekerjaan baru untuk sumber hidup tak pula selalu bisa didapat dalam seminggu, sebulan atau lebih. Keadaan “musim kemarau” dalam kehidupan itu sudah pernah saya alami di Siam, Tiongkok, dan pada tahun 1937 itu di Singapura. Tetapi biasanya dengan tidak dikira-kira. Tibalah pertolongan yang dibutuhkan.
Jerih lesu karena berjalan masuk kantor keluar kantor menanyakan pekerjaan yang terlowong, merasa akibatnya kekurangan tidur dan makan pada dua tiga minggu yang belakangan ini, akhirnya saya jatuh termenung diatas sebuah bangku dalam gedung Raffles Museum. Sebagai kilat menyambar di dalam gelap, timbullah sekonyong-konyong pikiran yang amat ganjil: Kalau Buna ada di sini, selesailah semua kesulitan, dan “Buna ada”! Pada saat itu juga tampaklah +- sepuluh langkah jauhnya dari saya, seorang Tionghoa yang lenggangnya seperti lenggang Buna. Saya panggil dia dengan suara keras, sambil menggosok-gosok mata saya sendiri. Keduanya kami tercengang atas pertemuan yang tidak disangka-sangka itu. Tidak sanggup kami berbicara beberapa lama.
Setelah sekian waktu kami berpegang-pegangan, sambil takjub dan tertawa, tertawa dan takjub, bertanya dan menjawab, menjawab sambil bertanya, tak karuan, tak berujung dan berpangkal berbicara melompat kian kemari barulah terdapat suasana yang agak tenang.
Sedikit  selama ini saya singgung-singgung persahabatan saya dengan Buna. Selama 10 tahun di belakangan itu sedikit sekali saya bercerai dengan Buna. Dia tahu benar keadaan saya. Pernah saya tinggal di rumah keluarganya. Pernah pula saya bertikai dengan salah seorang pamannya sendiri. Dia menganggap saya yang berada dalam kebenaran. Buat memelihara keamanan diri saya, dia ikut menemani saya pergi ke lain tempat, melalui bermacam-macam kesulitan dan kesukaran di jalan. Dia adalah seorang pemuda Hokkian beragama Kristen dan mempunyai keahlian dalam hal listrikdan kimia.
Ketika Jepang hendak menyerang Amoy, maka kami berpisahan. Tetapi pada ketika itu dia berangkat ke pedalaman Tiongkok. Berhubung dengan soal belanja maka pada permulaan tidaklah ada maksudnya hendak berangkat meninggalkan Hokkian yang belum pernah ditinggalkannya seumur hidupnya. Tiba-tiba waktu yang amat penting bagi saya ini dia berada di depan saya dengan kecepatan lampu ajaibnya Aladdin dari cerita 1001 malam.
Selang beberapa tahun di Amoy, Buna dan saya berpisah dengan seorang pemuda bekas teman sekolahnya Buna. Kita namakan saja teman itu Y.Y. Dia berada di Singapura, tetapi saya tidak mengetahui alamatnya. Buna pun tidak lagi mempunyai tulisan alamat itu, tetapi ada bagian alamat yang masih diingatnya, ialah sebagian nama dari nama sekolah yang dipimpin oleh temannya Y.Y
Karena keadaan memang sudah sangat mendesak, maka dengan segera kami berangkat mencari sekolah itu. Tidaklah mudah mendapatkan sekolah itu karena amat kecil sekali dan namanya hampir sama pula dengan beberapa sekolah Tionghoa lainnya. Terpaksalah kami hampir sehari lamanya berjalan atau menaiki trem dari ujung ke ujung kota Singapura, yang amat panjang dan lebar itu. Sebagai akibat dari usaha itu, maka pada besok harinya Buna jatuh sakit, karena lelah dan kepanasan. Tetapi kami berjumpa dengan teman yang dicari itu.
Oleh Y.Y yang cuma sebentar saja saya kenal di Amoy, saya dipersilahkan tinggal di rumah sekolah temannya tadi, ialah kalau mau tidur di bangku sekolah saja. Jangankan di atas bangku sekolah, di atas ubin atau di atas lantai pun sudah sering saya tidur. Yang penting, ialah hidup di Singapura dalam masyarakat Tionghoa, karena masyarakat Indonesia bagi saya pasti tak mengizinkan tinggal agak lama.Untunglah pula bahasa dan adat istiadat Tionghoa yang sekedarnya saya ketahui dan surat pas Tionghoa yang saya miliki, cukup memberikan syarat buat hidup dalam masyarakat Tionghoa yang boleh dikatakan autonom di Singapura itu. Malam itu juga saya pindah ke Sekolah kecil itu meninggalkan pemondokan yang paling belakang tadi.
Kebetulan pula beberapa hari dibelakangnya, terbukalah lowongan buat guru bahasa Inggris di sekolah temannya Y.Y. Sayalah yang diangkat oleh kepala sekolah! Tetapi pengangkatan itu harus pula disahkan oleh Pemerintah Inggris bagian perguruan, karena sekolah di Singapura berada di bawah penilikan Department of Education, jabatan pengajaran. Sebenarnya yang dibolehkan mengajarkan bahasa Inggris itu cuma British Subject, rakyat Inggris yang mempunyai ijazah sekolah Inggris pula. Tetapi kesulitan ini sesudah sekolah ini dikunjungi oleh inspektur sekolah dengan sedikit “muslihat” dapat diselesaikan. Syarat yang terpenting tentulah cakap mengajarkan bahasa Inggris kepada anak Tionghoa totok. Dan “metode” saya mengajarkan bahasa Inggris kepada murid Tionghoa sudah mendapat “ujian” pesat di Tiongkok sendiri.
Begitulah dengan gaji $ 8 (tertera delapan dollar Singapura, seharga 8 x F 0.85; atau F 6.80) sebulan, maka saya mengajarkan bahasa Inggris, kepada lima kelas di Sekolah Rendah Tionghoa, dua tahun lamanya. Makan dan tempat adalah bebas, ialah dalam rumah sekolah itu sendiri. Karena makan kurang baik (maklumlah sekolah kecil) maka gaji dinaikkan menjadi $ 10 (atau F 8.50) sebulan, dengan tetap bebas tempat tinggal, tetapi membeli makan sendiri. Agak susah mencari makan sendiri dengan gaji F 0.28 sehari. Apalagi dobi harus bayar sendiri, dan saban-saban pakaian yang sudah usang rombang-rambing harus diganti pula dengan yang baru, yang baik dipandang murid. Tetapi saya merasa aman. Siang hari saya dapat menjalankan pekerjaan dalam sepenuhnya waktu, yang tetap, berguna dan bisa menjadi tabir asap. Anjing pemburu tak “lekas” menyelundupkan hidungnya ke dalam kamar sekolah kanak-kanak.  Di jalanan pun bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak pula lekas tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa buat tuannya. Di waktu terluang dan tempat yang baik dapat juga berbicara dengan orang Indonesia. Maklum sajalah pembaca yang arif dan bijaksana! Indonesia lebih dekat letaknya dan semua kemungkinan daripada tempat dan masa yang sudah-sudah.
Sahabat Tionghoa semakin lama semakin banyak pula. Mengajarkan bahasa Inggris tidak lagi di sekolah saja. Malam hari pun sudah tak ada lagi waktu yang terluang. Seorang dua sahabat membutuhkan supaya anaknya, lelaki dan perempuan dari umur 6 tahun murid sekolah rendah sampai anak berumur 18 tahun murid sekolah menengah tinggi, diulangi pelajarannya di waktu malam hari, tidak saja dalam bahasa Inggris, tetapi juga tentang kimia dan matematika. Sebenarnya dengan mengembangkan sahabat pekerjaan buat pencaharian sudah tidak menjadi soal lagi. Pada perusahaan (Tionghoa) mana saja, dan bila mana saja, saya dapat mencari tempat. Sekali mendapat “surat keterangan” tentang pekerjaan, tidak pula sukar mendapat pekerjaan baru pada maskapai Eropa.
Dulunya dimasa musim susah di Singapura, pernah saya majukan surat permintaan pada salah satu Sekolah Menengah Partikulir yang dipimpin seorang Inggris. Sekolah itu menyiarkan advertansi mencari seorang guru untuk ilmu bumi. Saya dipanggil, disetujui oleh direktur sekolah. Tetapi karena “Department of Education” membutuhkan ijazah, maka saya tidak bisa diterima menjadi guru.
Dengan bertambahnya sahabat dikalangan Tionghoa, perkara ijazah itu menjadi perkara yang kedua. Yang terpenting ialah perkara bisa. Demikianlah akhirnya pada tahun 1941, saya di lapangan perguruan Tionghoa di Singapura sampai juga ke tingkat yang tertinggi, ialah mengajar bahasa Inggris di salah satu sekolah Menengah Tinggi. Kalau tidak terputus oleh perlututan Inggris kepada tentara Jepang pada bulan Februari 1942, maka disampingnya mengajarkan bahasa Inggris, atas permintaan murid sendiri, saya juga akan mengajarkan matematika (aljabar dan ilmu ukur).
Nama saya (nama surat pas) masih tercatat dengan resmi dalam kantor Chinese Protectore (perlindungan Tionghoa) di Singapura sebagai guru bahasa Inggris Sekolah Menengah Tinggi tersebut. Karena kesulitan ijazah maka inspektur Inggris sendiri rupanya ingin mendengarkan saya mengajar. Tak lebih dari satu menit dia hadir dan pergi, artinya ini  OK, ......zonder tanda British Subject, surat ijazah dan surat keterangan...........Kekurangan syarat secara Formal, kebiasaan dikalahkan oleh syarat menurut kecakapan.
Beranilah saya memperingatkan kepada pemuda-pemudi kita, bahwa syarat yang terakhir yang terpenting dalam suatu pekerjaan itu ialah “kecakapan” dan “rasa tanggung jawab” terhadap kewajiban sendiri. Bukannya ijazah! Ijazah cuma untuk pembuka jalan, buat sementara saja, menjelang kecakapan itu terbukti.
Berapa kali seumur hidup sudah bertukar tempat dan pekerjaan. Tidak pernah lama saya dapat mengecap hasilnya pekerjaan yang sedikit menyenangkan. Hampir dua tahun saya tinggal di Deli dengan gaji besar, tetapi suasana yang sempit sesak. Cuma enam bulan di Semarang dalam suasanana revolusioner bebas dan menggembirakan hati. Tidak pula berapa lama sebagai wartawan s.k di Filipina. Sebentar pada satu Firma Jerman di Singapura di tahun 1927 sebagai klerk kantor. Hampir setahun di Amoy sebagai pemimpin kursus dalam beberapa bahasa. Lama dalam perguruan Tionghoa di Singapura, tetapi cuma setahun dalam suasana yang sangat memuaskan. Nanti di Bayah, Banten Selatan sampai kewaktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Tiga kali saya terganggu karena serangan Jepang. Pertama di Shanghai pada tahun 1932. Kedua di Amoy pada tahun 1937. Akhirnya saya terdesak lagi dari tempat saya di Singapura pada tahun 1942. Seperti di Amoy, maka di Singapura pula, di tengah-tengah masyarakat Tionghoa umumnya dan pemuda-pemudi Tionghoa khususnya, bilamana hasil pencaharian sudah dapat melebihi keperluan hidup sehari-hari, waktu buat sedikit membaca dan “mengaso” mulai sedikit terluang, maka tibalah pula tentara Jepang buat merusakkan suasana yang akhirnya menjadi baik buat saya tadi.
Sekonyong-konyong, jam 4 dini hari, datanglah serombongan pesawat udara Jepang, 125 buah banyaknya, menyerang Singapura. Banyak bom dijatuhkan tak berapa jauhnya dari sekolah kami. Lebih kurang 300 penduduk tak bersalah tewas pada serangan pertama itu, dan banyak rumah yang runtuh. Ratusan murid yang tinggal di asrama kami, lari keluar mengamankan diri. Ada yang tidak bisa berjalan lagi, ada pula yang pingsan ketakutan, karena serangan dahsyat dan dilakukan zonder ultimatum itu.
Bersamaan dengan serangan Jepang di Singapura itu, tentara Jepang mendarat di Kotabaru, Kelantan l.k. 600 mil jauhnya ke sebelah Utara Singapura, di pantai Malaya sebelah Timur. Dengan serangan zonder ultimatum itu, pemerintah Inggris mempermaklumkan, bahwa kerajaan Inggris berada dalam keadaan perang dengan Jepang.
Kami para guru mengatur penjagaan atas pan murid. Kami bergiliran menjaga bahaya udara siang dan malam. Apabila sirene berbunyi, maka kami berganti-ganti memimpin para murid ke lubang perlindungan yang sudah disiapkan. Kebanyakan murid pergi ke suatu tempat +- setengah mil jauhnya dari sekolah kami. Di sana terdapat belukar dan pohon-pohon kayu yang besar dan rindang. Rumah sekolah dianggap terlalu tampak karena besar, tinggi dan agak terpencil letaknya. Lagi pula di Tiongkok rumah Sekolah Menengah dan Tinggi itu acap kali menjadi sasarannya pesawat Jepang. Memangnya pula satu dua kali bom jatuh lima atau enam meter saja jauhnya dari sekolah kami.
Tak pernah kurang dari dua kali sehari serangan udara berlaku. Tak pernah kurang dari empat puluh pesawat yang serempak datang menyerang, biasanya menuju ke pelabuhan Singapura, yang tak jauh letaknya dari sekolah kami. Perlawanan Inggris di udara hampir tak ada. Pesawat Inggris yang bisa terbang tinggi tidak kelihatan. Yang tampak hanya pesawat Buffalo yang rendah terbangnya itu. Pesawat Jepang yang datang menyerang amat tinggi sekali terbangnya. Kabarnya berhubung dengan bantuan Inggris kepada Rusia, maka semua pesawat Inggris yang besar di Singapura dikirimkan menuju ke Barat.
Pendeknya Singapura terbuka di udara. Penduduk memang merasa gelisah, karena tak ada perlawanan di udara itu. Berhubung dengan itu. Maka dengan amat mudah Jepang merebut kota demi kota di Malaya. Malah Pemerintah Penang sudah lari, baru saja sebuah pesawat Jepang datang mengintai tinggi. Karena pemerintah sudah lari, maka penyerahan resmi kepada tentara Jepang tidak dapat dilakukan. Berhari-hari Jepang mengebom kota Penang, yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh pemerintah Inggris yang lari tunggang-langgang ke Singapura, meninggalkan ratusan ribu penduduk yang katanya dibawah perlindungan itu. Ribuan penduduk yang mati kena bom dan puluhan rumah yang terbakar. Menurut kabar seorang Jepang keluar penjara Inggris, menulis dengan huruf Jepang di suatu lapangan, memperingatkan bahwa pemerintah Inggris sudah lama lari. Barulah pengeboman diperhentikan. Tidak lama antaranya tentara Jepang masuk ke Penang dan mengambil pemerintahnya.
Kemajuan tentara Jepang dari Utara ke Selatan sebenarnya tidak mendapat gangguan yang berarti. Jarak yang 600 mil antara Kotabaru dengan Singapura dijalaninya dua bulan lamanya. Sehari tentara Jepang dapat maju 10 mil atau 17 km. menurut istilah kemiliteran, ini namnya “an easy walk-over”, satu kemenangan yang mudah diperoleh.
Menurut kabar yang tersiar di waktu itu, di Kotabaru, di garis paling depan terdapat Malay Regiment. Di belakangnya berikut: Barisan Gurkha, Barisan Sikh, Barisan Punjabi, Barisan Australia, Barisan Inggris. Maka Barisan Inggris rupanya seperti Barisan Belanda dalam tentara Hindia Belanda, berada di garis paling belakang dekat roti, mentega, coklat, sigaret dan brandy.
Barisan Malay Regiment hampir semuanya tewas dalam pertempuran di Kotabaru itu. Barisan Australia dan Gurkha ada memberi perlawanan dan juga ada merebut rasa kehormatan prajurit Jepang. Tetapi terhadap serdadu Inggris, tentara Jepang cuma menutup lubang hidungnya saja. Barisan Inggris, terutama opsir Inggris yang seharusnya paling terdepan, membela Malaya, bagian dari “British Empire” itu, cuma memikirkan keselamatan dirinya semata-mata. Ada yang berkata, bahwa para serdadu dan opsir Inggris itu tak mempunyai kepentingan diri membela imperialisme Inggris. Perkataan ini banyak benarnya. Tetapi kalau mereka mau makan gaji besar, yakni dari hasil keringatnya rakyat di Asia, tetapi dalam waktu bahaya menyerahkan rakyat itu zonder perlawanan sedikitpun kepada tentara yang kejam seperti tentara Jepang, ini bertentangan dengan semua dasar dan moril. Kalau tidak menyetujui imperialisme Inggris, janganlah mau dipakai menjadi kaki tangannya imperialisme itu terhadap musuhnya ke dalam dan ke luar. Barulah ada alasan buat opsir atau serdadu Inggris itu berkata, bahwa dia tidak berkepentingan dalam peperangan di Malaya atau lainnya bagian Asia.
Tetapi orang yang mau makan, tetapi tak mau bayar tak mau kerja, tidaklah bisa mendapatkan persetujuan dari orang yang mengerti akan aturan tanggung jawab.
Tentara Jepang mengerti benar akan tempat dan kualiteitnya serdadu dan opsir Inggris di tengah-tengah coklat, sigaret dan whysky nya itu itu. Kalau belum “Rari” (lari) maka dia kirimkan dua tiga biji, “jibakutai” prajurit berani matinya ke belakang sayap kanan dan sayap kirinya tentara Inggris yang melintang dari Barat ke Timur Malaya. Dengan sekoci jibakutai tadi diselendupkan di pesisir Timur dan Barat Malaya, ke belakang tentara Inggris. Biasanya setengah lusin jibakutai Jepang itu sanggup mengkocar-kacirkan seluruh tentara British Empire itu. Tentara Inggris mundur dan membuat garis baru ke arah Selatan. Mau tak mau barisan tentara Inggris yang lain-lainnya harus ikut mundur pula. Mungkin bukanlah satu dongeng yang pernah saya dengar pada salah satu tempat dalam perjalanan ke Penang, bahwa kannonier (penembak dengan meriam) Jepang menaruh meriamnya dekat warung kopi. Saban lima sepuluh menit meriam itu ditembakkan ke arah serdadu Inggris. Setelah menembak, dia kembali ke warung buat minum kopi. Sesudah minum kembali pula ke meriamnya. Demikianlah setelah beberapa kali dia pulang pergi dari meriam ke cangkir kopinya, dia menerima laporan, bahwa dia mesti maju merebut stelling baru, karena “Iggris-jin” sudah lari dengan roti, mentega, coklat, sigaret dan whyskynya menuju ke Singapura. Sambil menembak dan minum kopi akhirnya tentara Jepang sampailah ke Johor, lk. 20 mil jauhnya dari kota Singapura. Pada saat inilah pemerintah Inggris yang licik itu mengizinkan keluarga Partai Komunis Malaya dengan resmi dan kepada masyarakat Tionghoa mengizinkan pula membentuk “volunteer corps”, tentara sukarela untuk menantang Tentara Jepang. Tentara sukarela itu dibentuk di gedung sekolah kami, dimana terkumpul ratusan buruh pemuda-pemudi Tionghoa. Murid sekolah kami banyak yang terkemuka dalam berbagai cabang pembelaan, terutama cabang penerangan (politik).
Pada masa itu oleh badan pengurus sekolah saya diserahi pekerjaan penerangan kepada para murid tentang situasi politik. Pada beberapa pemuda saya kemukakan kelicinan Inggris tadi. Saya merasa heran, kenapa dua bulan lampau, ketika tentara Jepang masih 600 mil jauhnya dari Singapura, Partai Komunis tidak di izinkan keluar dengan resmi oleh Pemerintah Inggris dan tentara sukarela tidak pula diizinkan dibentuk. Sekarang, setelah tentara Jepang, yang terpilih dan berpengalaman perang itu sudah sampai ke pintu, baru diizinkan. Apakah latihan satu dua hari buat buruh dan pemuda cukup buat melawan tentara pilihan Jepang itu? Bukankah seolah-olah pemerintah Inggris mau membinasakan kedua musuhnya, ialah keluar dan ke dalam, dengan muslihat mengorbankan Partai Komunis dan pemuda Tionghoa yang radikal itu terhadap Jepang?
Setelah sekolah ditutup dengan resmi, dipergunakan buat latihan dan asrama tentara sukarela; apabila tentara Jepang sudah mendarat di pulau Singapura, dan seluruhnya kota Singapura sebenarnya sudah lama kehilangan kepercayaan kepada tentara Inggris dan armadanya, mengingat tenggelamnya kapal perang modern seperti Prince of Wales, maka saya dengan dua orang murid dengan susah payah mendapatkan rumah di luar kota menuju ke benteng Seletar. Disinilah saya di rumah orang Tionghoa dari dekat menyaksikan keulungan tentara Jepang, sebagai perseorangan atau barisan. Dengan senjata jauh lebih kurang, kecuali di udara, tetapi dengan semangat seperti belum pernah diperlihatkan oleh tentara Eropa Barat, maka tentara Inggris di daratan yang bersenjatakan jauh lebih lengkap, oleh tentara Jepang dibelah seperti pohon pisang dibelah dengan parang. Pertempuran terjadi di samping rumah kami, senjata api dari berbagai nama dan kaliber berdentuman seperti mercon di masa cap-gome. Bunyi dentuman yang riuh itu mulanya kedengaran jauh di pesisir pulau Singapura, di Bukit Timah, di kebun getah dekat rumah kami, akhirnya sampai keliling rumah kami sendiri.
Pada tanggal 12 Februari 1942, pagi benar kelihatan di depan rumah kami dua tiga orang prajurit Jepang naik ke bukit ke kebun getah, masuk rumah seorang Tionghoa dan keluar dengan cangkir berisi bubur. Mereka rupanya berada paling depan, makan dengan tenang, seperti tak ada peperangan sama sekali. Tak berapa lama diantaranya datanglah menyusul sebuah meriam Jepang, yang ditarik oleh beberapa prajurit diikuti oleh rombongan prajurit dengan satu dua opsir. Cuma seratus atau dua ratus meter saja jauhnya dari rumah kami. Tembakan pertama dilepaskan oleh meriam tadi dari stelling Jepang itu. peluru granat tak berapa meter jatuhnya dari rumah kami. Kami baru insaf bahwa bombardemen berlaku di sekitar kami. Lelaki perempuan dan kanak-kanak seisi rumah disebarkan pada dua lubang perlindungan di samping rumah.
Tengah menembak yang rasanya akan memecahkan anak telinga berlaku dari pukul 10 pagi sampai jam 3 petang. Pucuk kelapa banyak yang runtuh karena peluru granat yang meledak di sana. Pecahan granat sudah banyak menembus atap dan dinding rumah kami. Beberapa tetangga sudah berteriak meminta tolong, karena kena pecahan granat mengenai badannya. Tak ada diantara kami yang menyangka, bahwa kami akan tinggal selamat. Sewaktu-waktu rumah mungkin terbakar, dan pecahan granat berpencaran kian kemari, sedangkan kami terkepung diantara penembakan di kedua belah pihak.
Tembak menembak berhenti pada jam 3 petang. Tetapi pertempuran belum lagi selesai. Bahkan menurut kabar orang Tionghoa yang datang dari kota, pada malam itu akan diadakan penyerbuan besar-besaran oleh tentara Jepang yang sudah menang di bukit Timah. Seorang jibakutai Jepang dengan tenang lalu di depan rumah kami, bertanyakan “Inggris jin wa dokodesuka? Orang Inggris dimana? Seorang menunjuk ke salah satu tempat, dimana terdapat ratusan serdadu Sikh dan Inggris. Jepang tadi seorang diri saja dengan senapan disandang menuju ke tempat yang ditunjukkan itu. Dia tidak merayap atau membungkuk, melainkan berjalan tegak seperti melancong saja......memang mengagumkan! Pesawat pengintai Jepang terbang rendah sekali mendekati benteng Seletar, yang katanya tak dapat direbu itu. Setiap kali pesawat itu datang melayang, setiap kali pula bunyi penangkis udara berdentuman seperti mercon. Tetapi walaupun pesawat itu terbang rendah sekali, dan bunyi meriam penangkis gemuruh, konon pesawat itu tidak jatuh. Saya bertanya dalam hati, apakah benar-benar meriam itu ditujukan kepada pesawat itu, ataukah serdadu Inggris sudah menyangka akan kalah dan takut, kalau nanti sudah menyerah, Jepang akan membalas dendam?
Malamnya 12/13 Februari itu kami alami dengan penuh kesangsian. Pembelaan mati-matian dari pihak Inggris juga dibisikkan dimana-mana. Dalam hal itu kami tidak sangsi lagi akan kemusnahan kami semua, lantaran kebakaran ataupun karena dikenai peluru kesasar. Tidak jauh dibelakang rumah berada serdadu dari kedua belah pihak. Dalam hal kebingungan pada malam hari ini ada diantara isi rumah yang mengusulkan supaya pindah rumah saja. Usul semacam itu saya tolak dengan tegas, karena peluru kesasar dari kedua belah pihak, yang berperang akan lebih membahayakan sedang kita berjalan, daripada berdiam diri di dalam rumah atau di lubang perlindungan. Memangnya tindakan ini lebih tepat daripada pindah tengah malam. besok harinya mendengara kabar, bahwa hampir semua penduduk kampung Paya Lebar mati atau luka, karena lari meninggalkan tempat di waktu malam hari. Yang tinggal di rumah kebanyakan selamat saja.
Pada hari 13 Februari datanglah kabar yang tidak disangka begitu lekas datangnya disebabkan oleh propaganda Inggris ini, bahwa Inggris menyerah dan perpecahan berhenti.
Peristiwa ini cuma sebentar saja menggembirakan kami. Di waktu inilah siksaan atas penduduk yang tidak bersalah berlaku dimana-mana. Orang ditampari, kalau tidak jongkok melalui He-tai-san (Prajurit Jepang); ditampari kalau tak mau memanjatkan buah kelapa, buat Hei-tai-san yang ingin; perempuan orang diperkosa; orang dipaksa memikul ini atau itu; mobil, sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas orang dirampas dll sbg tak putus-putusnya berhari-hari.
Dua tiga hari sesudah tentara Jepang menguasai Singapura, maka kampung kami mendapat perintah, supaya semua penduduk laki, perempuan, tua dan muda, datang berkumpul pada satu tanah lapang. Pintu dan jendela rumah yang ditinggalkan tak boleh ditutup.
Peti dan lemaripun mesti dibuka saja. Para “anak dewa” akan datang, keluar masuk rumah, “memeriksa”, semua lemari, peti dan dapur. Maklumlah, berapa banyaknya penduduk yang kembali ke rumahnya kehilangan arloji, sepeda, emas dan perak. Para “anak dewa” yang berjuang buat “Hakko Iciu”, kekeluargaan dunia ini, ingin juga “harta benda” kaum sekeluarganya di “Dai-Toa” ini. Jalan yang menuju ke lapangan tadi sudah ditentukan oleh Hei-tai-san lebih dahulu dan dijaganya dengan pedang terhunus. Siapa yang tidak melalui jalan yang ditentukannya itu dipancung atau ditembaknya. Pagi hari lk. jam 9 sudah padat lapangan yang sudah ditentukan itu. Tiap-tiap penjuru dijaga oleh mitraliur. Pintu masuknya dijaga oleh beberapa opsir dan kempei Jepang, rupanya diperkuat dengan I.S Inggris itu, sebagai bekas komunis dan bekas sukarela diasingkan dan ditahan. Saya dengan dua murid rapat-rapat melalui cordon (barisan) penyelidik itu. Kami selamat lalu dan pulang. Tetapi seorang anggota rumah ditahan buat beberapa hari lamanya.
Ada diantara kenalan saya, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti dan tidak atau sedikitpun diberi makan. Banyak pula yang dijemur atau disiksa sampai mati.
 Bersamaan pula dengan kami pada lapangan lain +- 50 ribu orang dikumpulkan pula. Mereka diperintahkan keluar rumah masing-masing dengan tidak boleh membawa makanan atau minuman buat anak-anak. Di tanah lapang itu mereka, tua, muda, lelaki, perempuan berjemur dan berhujan 4 hari 4 malam lamanya. Mereka tak diizinkan keluar lapangan mengambil makanan atau air minum. Banyak yang mati karena kelaparan, kehausan dan ketakutan. Kabarnya konon sebenarnya tentara Jepang bermula hendak melenyapkan orang Tionghoa yang 50.000 itu dengan mitraliur. Tetapi ada juga rupanya diantara “anak dewa” yang masih mempunyai hati kemanusiaan. Kebetulan pula dia mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keadaan ketentaraan dan dapat mencegah kebinatangan bangsanya itu.
Kebinatangan itu sudah dilakukan di lain tempat. Dalam perjalanan ke Penang di belakang hari saya mendengar kabar, bahwa di Seremban 200 pemuda pemudi dan penduduk Tionghoa, yang dikumpulkan oleh tentara Tenno Haika, ketika menuju ke Selatan itu.
Mereka dimitraliur sampai habis, karena di Seremban itu ada  perlawanan dari pihak Tionghoa.
Kebinatangan itu dilakukan juga terhadap mereka suka rela yang terdapat di sekolah kami, tempat mereka berlatih. Mereka terkepung setelah tentara Jepang menyerbu ke Singapura satu-dua hari saja, setelah para guru termasuk saya sendiri meninggalkan asrama sekolah kami, 300 orang pemuda-pemudi yang terdapat di sana dengan tidak banyak pemeriksaan dimuatkan ke dalam 6 truk, diangkut ke luar kota, pada suatu bukit, disuruh menggali buat kuburnya sendiri. Kemudian mereka disuruh berjejer-jejer di pinggir lubang itu, ditutup matanya dengan kain, untuk dimitraliur. Ada diantara mereka, yang rebah sambil menyanyikan lagu kebangsaan Tionghoa.
Barangkali terlampau sedikit angka resmi yang diumumkan, ialah sejumlah 5000 orang Tionghoa yang mati dibunuh oleh penjahat perang Jepang. Tetapi dipandang dari sudut moral dan kehormatan, lebih baik mati ditembak seperti yang dialami oleh para pemudi tersebut diatas. Dikatakan, bahwa adalah “adat” bagi tentara Tenno Haika, sebelumnya musuh menyerah, maka para “hei-tai-san”, para “ronin” para satrian Kusuma bangsa, diizinkan memasuki tiap-tiap rumahnya kota musuh untuk melepaskan hawa nafsu kebinatangannya terhadap para wanita, istri ataupun gadis. Rupanya ada juga harganya “surga” di dunia ini, bagi para “ronin”, sebelum arwahnya sebagai pahlawan Tenno Haika memasuki “Yasukuni Jinja”.
Akhirnya sampailah waktunya yang lama diharap dan ditaksir akan datang. Setelah keadaan di kota Singapura sedikit mulai teratur, maka saya mengadakan persiapan kembali ke Indonesia. Dua tiga orang Indonesia yang sudah berjanji mau berlayar ke Sumatera bersama dengan saya, setelah saatnya datang membatalkan janjinya itu. Melihat perahu kecil yang pinggirnya cuma satu dua jengkal saja tingginya dari muka air laut, maka dia mula gemetar. Dengan dua orang empunya perahu kecil tiga empat meter panjangnya, dan lebih kurang satu meter lebarnya yang kembali ke Tembilahan sesudah membawa barang dagangan dari sana, saya mulanya sendiri mau berangkat meninggalkan Singapura, sekarang bernama Sho-nantoo, Kota Gemilang. Pelayaran ini tidak terjadi, lantara yang mempunyai perahu terlalu lama sekali menunggu-nunggu berangkatnya.
Baru pada penghabisan bulan April 1942 saya bertolak ke Penang dengan kereta api dengan maksud hendak menyeberang Selat Malaka menuju ke Belawan, Medan.







MENYEBERANG

Tiap-tiap kita barangkali pernah mengalami sesuatu peristiwa penting atau tidak buat masyarakat atau diri sendiri, bilamana peristiwa itu kita anggap sebagai hasil perhitungan yang jitu yang sudah kita kandung sekian lama atau cuma sebagai buah pengharapan saja. Sukarlah kita memastikan, apakah peristiwa itu benar-benar hasilnya perhitungan kita, ataukah cuma buah pengharapan belaka, yang sudah lama terselip di dalam perbendaharaan hati sanubari kita. Apabila peristiwa itu memangnya cocok dengan akibatnya berpikir, yang kita selenggarakan dengan cara berpikir yang tepat atas semua bahan berpikir, maka tak salah agaknya kita kalau peristiwa semacam itu kita namakan hasil perhitungan kita, seperti 4 adalah pendapatan 2 x 2. Sebaliknya daripada itu ialah yang tidak berdasarkan bahan berpikir, maka kita namai saja pengharapan. Peristiwa berdasarkan pengharapan semata-mata itu kita namai saja sesuatu kebetulan saja.
Berdasarkan perhitungan atas bahan politik, ekonomi dan sosial di Hindia Belanda maka dalam massa aksi, yang ditulis pada tahun 1926 di Singapura, dalam Kata Pengantar saya menulis: “Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan bilamana dan dimana bendera Kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai panjang yang mengikat perbudakan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Kalau keruntuhan imperialisme Belanda dalam brosure Massa-Aksi memangnya tidak lagi berupakan sesuatu pengharapan belaka, (karena pula semuanya taktik strategi buat meruntuhkan imperialisme yang bakal runtuh itu memangnya dipusatkan pada “Halkah rantai yang lemah”, ialah Hindia Belanda itu), maka perhitungan tentang keruntuhan itu sudah terbukti pula hitam di atas putih lama sebelumnya tahun 1927 itu (dimajukan disini bukan pula untuk berlagak, melainkan untuk mengu ji kebenaran): Pada permulaan tahun 1924, saya tulis dengan tergesa-gesa di Singapura juga “Naar de Republiek Indonesia” Ke arah Republik Indonesia) tidak saja runtuhnya Hindia Belanda sudah diperhitungkan, tetapi pula bentuk pemerintahan ialah Republik yang akan menjadi pengganti pemerintah Hindia Belanda itu. Tidak saja bentuk Republik itu yang dengan sadar disetujui, tetapi juga taktik strategi yang dipusatkan kepada rakyat Murba di Solo-Valley, Lembah sungai Bengawan Solo, yang berasal di daerah Solo dan bermuara di daerah Surabaya itu. Ingatlah pula hari peringatan, hari pahlawan ialah tanggal pecahnya pembelaan Rakyat terhadap serangan Inggris dari darat, lautan, udara, pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, ujungnya lembah sungai Bengawan Solo itu. Bukannya satu Dominion, satu Gemeene Best, satu Free State, satu Trusteeship, satu Uni-Nederland-Indonesia ataupun satu kerajaan yang ditujui, melainkan Satu Republik yang lepas bebas dari negara manapun juga di bawah kolong langit ini. PARI, Partai Republik Indonesia, didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok, dengan tegas nyata memberi kepastian kepada perhitungan, bahwa diatas runtuhan Hindia Belanda akan berdiri Republik Indonesia, yang akan dibela oleh rakyat, pemuda dan Murba Indonesia, berdasarkan atas tenaga sendiri dan otak sendiri atas self helf, menuju ke dunia yang berdasarkan Federasi yang Sosialistis.
Baik juga diperiksa, apakah sikap taktik dan strategy-nya PARI pada tahun 1927 itu, tidak 100% cocok dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan Republik Indonesia, dimasa berdirinya ini, ialah dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang 17 November 1947.
Berhubung dengan pendirian kita diatas, maka baiklah pula sekali lagi diperingatkan kepada yang tidak fanatik nama dan masih bisa dan mau berpikir dengan memakai bukti dan akal, bahwa keadaan sudah mendesak Sovyet Rusia membubarkan Komintern dengan resmi pada tahun 1943. Dan tidaklah pula salahnya memperingatkan perkataan Josef Stalin berhubungan dengan berdirinya Kominform (Informasi Biro Komunis) baru ini.
Menurut antara U.P. London 23/10-47, maka Konni Ziliacus yang mengepalai delegasi 8 wakil Sayap kiri Partai Buruh di Parlemen Inggris dalam perjalanannya meninjau ke Polania, Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Rusia, menyatakan setibanya di London begini:
“Pada tanggal 14/10-47, yang lalu, kami mengunjungi Josef Stalin di Villanya di lereng pegunungan Kaukasus di dekat laut Hitam. Berdirinya Kominform (Information Bureau) di Belgrado, kata Stalin, bukan dimaksud menghidupkan Komintern dan sekali-kali tidak mengubah keinginan Rusia untuk memperbaiki perhubungannya dengan Amerika dan Inggris”.
“Stalin dengan ikhlas menegaskan: Komintern didirikan sesudah perang dunia ke-I ketika partai-partai Komunis mulai tumbuh. Di waktu itu Komintern bekerja menyelenggarakan hubungan antara kaum buruh berbagai negeri tetapi sekarang keadaan sudah lain. Di berbagai negara partai-partai  komunis telah menjadi kuat, penuh tanggung jawab serta berakar dalam sekali dan dituntun pula oleh orang-orang yang teguh dan cakap. Karena itu salah sekali kalau Partai-Partai Komunis dikendalikan langsung dari suatu pusat (pembesaran huruf oleh Pen). Mendirikan lagi Komunis Internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah” (pembesaran huruf oleh Pen).
“Kemungkinan partai-partai komunis dari 9 negara tidak lain daripada pernyataan akan bekerja sama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat sedunia serta memperlindungi kemerdekaan dan kedaulatan Negaranya masing-masing.”
Buat penulis ini mendirikan PARI bukanlah berarti “mengliquidir” komunisme. Apakah tindakan Stalin membubarkan Komintern yang didirikan oleh partai Bolsjewiki dibawah pimpinan Lenin bersama-sama Partai Komunis dan pemimpinnya. Di beberapa Negara itu bersifat “mengliquidir” komunisme, itu terserah pertimbangan pembaca yang bijaksana. Apakah pula pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dirundingkan dan disetujui lebih dahulu oleh semua partai komunis di dunia, tidaklah penulis ini mendapatkan keterangan. Demikianlah pula akhirnya belumlah penulis ini dapat memastikan apakah Kominform, yang sekarang cuma meliputi 9 negara di sekitarnya Soviet Rusia itu kelak tidak akan kembali kepada dasar dan bentuk Kominform, ialah meliputi seluruhnya di dunia. Semuanya yang bukan dimajukan sebagai kritik, melainkan sebagai kritik, melainkan sebagai penjelasan semata-mata.
Tetapi bagaimana juga tindakan Stalin pada tahun 1943 rupanya adalah akibatnya desakan yang hebat terhadap Soviet Rusia, berhubung dengan serangan tentara Jerman pada satu pihak dan kebutuhan kerja sama dengan Inggris dan Amerika di lain pihak. Lagi pula seandainya Komunis Internasional akan berdiri kembali, maka sifatnya pasti tidak lagi akan seperti yang sudah dibubarkan, ialah sangat terpusat itu.
Dan bagaimana juga sikap dan tindakan Stalin pada tahun 1943 itu terhadap Komintern, sejarah sudah membuktikan, bahwa dengan kerja sama antara Soviet Rusia dengan Inggris/Amerika itu, Soviet Rusia keluar dari medan perang dunia ke-II ini sebagai negara menang. Sekarang Soviet Rusia terbilang negara yang terkuat di Eropa dan entah mana yang kuat dengan Amerika untuk seluruhnya dunia. Dasar sosialisme-pun sudah lebih terjamin pada daerah Soviet Rusia sendiri ditambah dengan Polonia, Cekoslowakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Albania dan Bulgaria.
Tetapi dengan mengemukakan manfaatnya bagi Soviet Rusia pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dan dengan mengemukakan lebih kuatnya Soviet Rusia sekeluarnya dari medan perang dunia ke II itu sebagai akibatnya perserikatan Rusia-Amerika-Inggris dalam perang dunia ke-II, tidaklah penulis bermaksud mengambil kesimpulan, bahwa benarlah sikap dan tindakan pembubaran komintern itu dan akan celakalah proletar internasional, kalau komintern itu diteruskan berdiri dan menolak tuntutan Amerika dan Inggris membubarkan komintern itu. Sejarah sudah berlaku atas pembubaran komintern dan sang sejarah itu tidak dapat dipanggil kembali buat berlaku atau tidak dibubarkannya komintern dengan atau tak dengan kerja sama antara Soviet Rusia dan Amerika-Inggris. Bagi kami pendiri PARI, pada dua puluh tahun lampau itu sudah terbayang, bahkan Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern, seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.
Atas perhitungan bahwa Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri itulah pula revolusi Indonesia dan pembelaan Republik Indonesia kami dasarkan, yakni atas self help, atas tenaga sendiri dan otak sendiri. Pada keterangan Stalin, ialah menurut berita dari London tersebut, bahwa “salah sekali kalau partai-partai komunis dikendalikan langsung dari suatu pusat” –lah kami sekarang merasa mendapat kecocokan dan pengesahan 100%, cocoklah pendirian kami dengan keterusan perkataan Stalin pada intervieu tersebut, bahwa “mendirikan lagi komunis-internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah”. Memangnya juga PARI (what is but a name! Apakah artinya nama itu!) menghendaki “bekerja bersama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat, sedunia serta memperlindungi kemerdekaan kedaulatan negaranya masing-masing, seperti wujudnya Kominform itu. Cuma Kominform itu pada tahun 1947 ini sudah dilaksanakan pada daerahnya 9 negara dengan Soviet Rusia sebagai daerah melangkah. Sedangkan kami pada tahun 1927 dan sekarangpun baru memperhitungkan Republik Indonesia sebagai daerah tempat melangkah menuju ke arah ASLIA. Seperti persamaan bumi iklim, kebangsaan, kewargaan, perekonomian, sosial dan kebudayaan sudah merapatkan beberapa negara yang sekarang tergabung dalam Kominform, demikianlah (pula menurut perhitungan kami dikemudian hari persamaan tersebut antara beberapa negara di Asia Tenggara akan merapatkan diri dalam gabungan ASLIA dengan ASLIA sebagai Satuan (Unit) yang dalam perekonomian lebih kurang sanggup memenuhi keperluan diri sendiri sebagai negara sosialis, bersama dengan  Amerika-sosialis, Tiongkok-sosialis, Hindustan-sosialis, Soviet Rusia dll. Negara Raksasa yang sosialis, kita akan mengatur satu federasi dunia atas dasar sama rata antara negara-negara. Perlu sekali ditegaskan disini, bahwa dunia itu bukanlah kelak berdiri dari mereka yang ditunjuk oleh salah satu atau dua tiga gelintir negara besar, melainkan dipilih oleh rakyatnya tiap-tiap negara anggota gabungan, secara demokratis: bukan tunjukan dari pusat, melainkan pilihan dari bawah. Demikianlah pula ciptaan kami tentang Komintern dihari depan.
  Dalam tingkat kemajuan dunia, teknik, politik ekonomi dan kebudayaan seperti sekarang ini, menurut pikiran kami, sesuatu Komintern atau pemerintah (proletar) dunia di hari depan, mau tak mau, harus mempertimbangkan dasar, yang dengan pendek kami namakan saja demokrasi regional, ialah dasar demokrasi yang dilakukan atas daerah yang seluas-luasnya berhubung dengan persamaan hawa-iklim, kebangsaan, kewargaan, bahkan perekonomian, sosial kebudayaan dan gerak jiwa (psychologie). Banyak sekali kecocokan yang terlihat dalam sikap dan tindakan Soviet Rusia dibawah pimpinan Stalin berhubung dengan politik luar negerinya Soviet Rusia dan adanya Kominform dengan  pemandangan PARI diwaktu berdirinya. Kecocokan itu tertulis pula hitam diatas putih. Tetapi belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup bagi kami, bahwa dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan tindakannya PARI. Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan adalah sendi kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan yang baik buat mengumumkannya.
Seperti pasir baru atas tersapu oleh angin topan demikianlah pula imperialisme Inggris di Malaya, dan Imperialisme Belanda di Indonesia disapu oleh tentara Jepang. Malaya jatuh pada 13 Februari, setelah tentara Inggris bertahan  lebih kurang 2 bulan lamanya. Indonesia jatuh pada 8 Maret 1942, setelah delapan hari lamanya serdadu Hindia Belanda yang 95.000 banyaknya itu terdesak sesudah lari tunggang langgang melihat prajurit Jepang yang jumlah lk. setengah dari serdadu Belanda, bersenjata jauh kurang lengkap dan baru datang dari tempat 5000 km jauhnya. Seperti Julius Caesar, +- 2000 tahun lampau, Imamura pada abad ke-20 ini dapat pula meriwayatkan kemenangan atas tentara Hindia Belanda dengan perkataan: Veni, Vidi, Vici, saya datang, saya lihat, dan saya taklukkan.
Dengan bertolaknya pemerintah Inggris dari Malaya dan terbentuknya pemerintah Tentara Jepang, maka suasana kota Singapura, Sho-nanto bertukar sama sekali; tak mudah digambarkan disini. Pertukaran yang sangat mencolok mata seperti mestinya juga terasa di Indonesia ialah “orang putih kalau kelihatan cuma sebagai tawanan yang digiring kemana-mana oleh prajurit Jepang dan sering dipukuli sebagai sapi kebiri”. Terasa benar tak ada kantor ini atau itu, Maskapai ini atau itu. Buat saya, yang selama 20 tahun harus menyelundup dengan segala kelicinan buat membeli karcis kapal, mendapatkan surat pas atau surat visa di kantor ini atau itu, kalau mau bertolak dari tempat-tempat terasa benar tak ada kantor dan maskapai itu.
Tentu saja saya merasa kelegaan dengan tak adanya semua rintangan itu. Tetapi saya insyaf benar, bahwa sebentar lagi pemerintah tentara Jepang tentu pula akan mengadakan pengawasan atas lalu lintas antara Malaya dan kepulauan Indonesia itu. Saya pikir baiklah lekas-lekas diseberangi Selat Malaka sebelumnya nanti timbul bermacam-macam peraturan militer Jepang, dan menuju, “ke arah Republik Indonesia”, bukan lagi dalam teori, seperti 18 tahun lampau.
Perhubungan Singapura dan Minangkabau belum dapat dipastikan pada masa itu. Yang agak pasti cuma perhubungan antara Singapura dengan satu dua tempat di pesisir Timur pulau Sumatera, seperti Tembilahan dan Selat Panjang. Masuknya perahu kecil ke Kuala Sungai Kuantan buat terus ke Tembilahan belum lagi pasti karena derasnya arus sungai, kalau angin besar. Dari pesisir Sumatera Timur ke Padang belum tentu ada keamanan berjalan. Saya putuskan berangkat ke Penang. Dari sana kelak akan saya pelajari jalan ke Medan.
Seorang guru kolega, L.Y. dan tiga pelajar Tionghoa ingin ikut bersama saya pergi ke Sumatera atau Jawa. Kami memangnya sudah benar-benar sehidup semati dalam beberapa bulan di belakang ini. kolega L.Y. mempunyai keluarga di Malaya dan seorang pelajar mempunyai keluarga di Borneo Utara. Dua pelajar lainnya memangnya mempunyai keluarga di Sumatera Timur.
Berlimalah kami berangkat meninggalkan Shonanto pada pertengahan bulan Mei tahun 1942. Perjalanan antara Singapura dengan Penang apalagi antara Singapura dengan Jakarta, melalui Penang, Medan, Padang, Palembang dan Lampung terlampau banyak memberi pemandangan, yang berarti buat dirawayatkan di sini.
Saya terpaksa mengambil yang penting dan berkenaan saja. Stasiun Shonanto dijaga oleh prajurit Jepang dengan senapan dan sangkur terhunus. Kuli pengangkat barang tidak dibolehkan masuk stasiun. Tiap-tiap penumpang harus mengangkat barangnya sendiri. Entah darimana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Entah dari mana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Dengan berdesak-desakan dan rebut-rebutan akhirnya kami mendapatkan tempat juga dalam kereta yang luar biasa panjangnya itu.
Banyak sekali jembatan yang dirusak disebabkan peperangan yang sudah lampau. Jembatan itu diperbaiki atau diganti dengan jembatan kayu. Kereta berjalan dengan kekuatan, apalagi kalau melalui jembatan. Seringkali kereta lama mesti menunggu di stasiun. Perjalanan Singapura Penang, yang biasanya dapat dilakukan dalam sehari semalam, sekarang mengambil waktu dua-tiga hari.
Di stasiun Prai, sebelumnya kami menyeberang dengan ferry, kapal, ke pulau Penang, badan dan barang diperiksa dengan teliti sekali. Kabarnya konon baru saja seorang gadis Tionghoa dikoyak badannya oleh empat prajurit Jepang, yang masing-masing menarik kaki dan tangan gadis yang malang itu sampai koyak. Pada pemudi ini kabarnya terdapat dua granat yang ditaruh di dadanya.
Lama juga kami terpaksa menunggu perahu buat menyeberang ke Medan. Saban hari kami berpecah bepergian menanyakan ke sana-sini apakah ada dan dari manakah perahu berlayar. Sementara itu dapat pula kami menyaksikan, berapa hebatnya kerusakan yang diderita oleh kota Penang, sebagai akibatnya serangan Udara Jepang.
Akhirnya pada suatu hari kolega L. Y. datang membawa kabar yang memberi pengharapan buat berangkat. Katanya, adalah sebuah kongsi kapal Indonesia yang mengurus pelayaran ke Belawan, Medan. Segera kami bersama-sama pergi mengunjungi kongsi tersebut.
Baru saja kami lima orang duduk berjejer-jejer maka dengan tak langsung “tauke” kongsi kapal menuju dan menunjuk kepada saya dengan perkataan: “Ini tuan tentu berasal dari Sumatera”.
Orang tak boleh kehilangan akal, kalau tiba-tiba terdesak seperti saya di waktu itu. Saya merasa tak perlu membuka rahasia saya dan menyebutkan nama saya yang sebenarnya. Sama sekali belum datang waktunya buat itu. Saya jawab dengan (seolah-olah) mengingat masa lampau: “Barangkali saya sudah pernah berjumpa dengan tuan di Hilir Palembang”. Dia diam serupa berpikir, mengenang masa lampaunya itu. Sambil dia menggeleng-geleng menandakan, bahwa yang saya katakan itu tidak cocok dengan peringatannya, maka saya terus bercakap-cakap dalam bahasa Tionghoa dengan para murid dan bahasa Inggris dengan kolega L.Y.
Berkali-kali saya pergi ke kongsi kapal Indonesia itu, buat menanyakan kapan kapalnya akan berangkat. Tetapi dia, tauke, tadi sudah terlalu sibuk dan tak banyak memperdulikan saya lagi. Tauke itu tak kurang dan tak lebih daripada Mohammad Samin bekas ketua Sarekat Islam Medan, dan saya kenal baik selama tinggal di Medan, lebih dari 20 tahun sebelumnya. Kabarnya selang berapa lama dia pindah ke Penang. Rambutnya sudah putih, tetapi potongan badan dan bentuk mukanya belumlah lagi saya lupakan. Boleh jadi sekali dia sudah melupakan saya.
Sampai sekarang saya memegang keyakinan, bahwa perpisahan dua puluh tahun bisa melupakan kenalan dengan kenalan. Apalagi kalau satu sama lainnya tidak pikir memikirkan dan berjumpa pada tempat atau waktu yang tidak disangka-sangka. Begitulah di belakang hari di Pematang Siantar, pada penghabisan bulan Juni (20 Juni?) tepat ditengah jalan saya berjumpa dengan dokter hewan Ali Musa, lima kelas lebih tinggi dari saya di Kweekschool Bukit Tinggi. Malah ketika saya pada tahun 1920 pergi ke Minangkabau mengunjungi ibu bapak, saya bermalam di rumahnya Dr. Ali Musa di Pematang Siantar itu. Dengan Drs. Moh. Hatta di Bayah dan di tengah jalan Oranye Boulevard, Jakarta, di masa Jepang, malah dengan teman sekelas sendiri, Dahlan Abdullah, bekas Sico Jakarta di tengah jalan di Jakarta saya pernah bertemukan muka sama muka. Tetapi siapakah diantara mereka yang akan menyangka menjumpai seorang yang sudah lebih 20 tahun dipisahkan.
Banyak benar cerita Riep van Winkel seorang penduduk salah satu desa di Amerika. Setelah bertahun-tahun dia meninggalkan desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya. Tidak saja teman sedesa yang tidak lagi mengenal dia, tetapi mereka tertawa dan tidak mau kenal, apabila dia memperkenalkan dirinya sebagai Riep van Winkel. Saya belum setua Riep van Winkel, tetapi tentulah banyak perubahan rupa yang terjadi selama lebih 20 tahun.
Pada kira-kira pertengahan bulan Mei 1942, kami akhirnya bertolak dari Malaka dengan sebuah tongkang kepunyaan dan dikemudikan oleh orang Tionghoa dan disewa oleh kongsi kapal Indonesia tadi. Sebetulnya tongkang ini hanya sanggup membawa 20 orang penumpang dengan barang-barangnya. Tetapi jumlah pada masa itu tak kurang daripada 40 orang. Kami berdesak-desakan mencari tempat di bawah geladak (dek).  Walaupun tempat itu gelap, karena tak ada jendela dan hawanya banyak mengganggu, lantaran banyaknya manusia, kami merasa senang, karena dapat menyeberang menuju ke tempat yang baru.
Para penumpang terdiri dari bermacam-macam bangsa: Indonesia, Tionghoa, dan Hindu. Penumpang Hindu selalu membuka pikiran saya dimana saja mereka saya jumpai. Pernah saya bertanyakan kepada seorang Hindu pada sebuah kapal, kenapa dia tidak mau tidur atau duduk dekat orang senegerinya, maka dia jawab, bahwa orang itu bukan “bangsanya”. Sesudah saya periksa lebih jauh, maka ternyatalah, bahwa yang bukan “bangsanya” itu, ialah orang Hindu juga tetapi termasuk kasta lain entah kasta apa diantara lebih kurang 3000 kasta besar kecil itu. Di tongkang kami, yang saya sudah lupa namanya, tetapi baik disebut Ho-Kang saja artinya untung besar. Kami sudah melihat bayangan perpecahan British India di hari depan. Perpecahan itu bukan disebabkan oleh perbedaan kasta, melainkan oleh perbedaan agama Hindu dan Islam. Di Tongkang Ho-Kang, ada dua penumpang, yang warna kulit, potongan badan dan bentuk muka, bahkan pakaianpun sama tetapi berlaku seperti anjing dengan kucing. Mereka berbaring berjauhan satu sama lainnya dan membiarkan satu lapang yang agak luas diantara mereka. Sering  mereka kedengaran bertengkar dalam bahasa mereka sendiri. Karena tempat memangnya sempit, maka salah seorang penumpang Tionghoa, meminta supaya dia mendekat saja kepada temannya. Tetapi di suruh Tionghoa itu berbaring diantara mereka. Sebab memangnya berlainan “bau” maka Tionghoa tadi menolak dan bersikeras menyuruh penumpang Hindu tadi berbaring berdekatan dengan “bangsanya” sendiri. Dengan tegas orang Hindu tadi memberi jawab: “Itu bukan bangsa saya. Saya Islam punya orang. Dia Hindu punya orang”.
Memang sudah lama kita ketahui mendalamnya biji divide et impera antara Hindu dan Islam masuk di British India sendiri, sampai bunuh membunuh, adalah kejadian biasa disana. Tetapi kalau permusuhan itu denga terang-terangan pula, diperlihatkan di negeri asing di antara bangsa asing, maka sikap semacam itu tidaklah akan menambah kehormatan bangsa Asia lainnya terhadap penduduk British India, yang mempunyai kebudayaan yang gilang-gemilang di zaman lampau itu. Apakah perpecahan British India diantara Hindustan dan Pakistan itu, yang sekarang (November 1947) sudah berlaku, tetapi belum lagi memberi kepuasan, kelak dikemudian hari akan memberikan kepuasan yang kekal? Ataukah perpecahan itu akan menimbulkan sengketa terus-menerus antara dua negara, sebangsa, tetapi berlainan agama, sampai salah satu negara itu dengan paksa akan menguasai yang lain? Ataukah akhirnya “Mahkota” Inggris (atau negara lain) akan datang dengan senyum simpul mendekat mereka dan mempertautkan perpecahan itu kembali? Cuma sejarah saja yang akan dapat memberi jawab. Tongkang Ho-Kang sudah membayangkan perpecahan yang sekarang sudah menjadi bukti.
Selainnya daripada pertikaian biasa diantara orang India dan India itu, para penumpang amat rukun satu sama lainnya. Biasanya dalam masyarakat kecil seperti dalam tongkang kecil itu, apalagi kalau menghadapi angin topan dan bahaya, manusia itu merapatkan diri satu dengan lainnya. Cuma Islam India dalam Tongkang Ho-Kang, seperti juga banyak kelihatan di Malaya merapatkan diri kepada Islam Indonesia.
Selat Malaka tidaklah selalu berada dalam keadaan tenang, jernih dan datar seperti kaca. “The Sumatera”, yang dimaksudkan oleh Inggris ialah topan yang bertiup dari Sumatera terkenal dahsyatnya di Malaya. Di waktu laut tenang, kami bergurau-gurau di geladak membandingkan cepatnya Tongkang Ho-Kang dengan Kapal Kedah dari Straits-Steamship Co. Kapal Kedah sebelum Inggris menyerah kepada Jepang, menyeberangi Selat Malaka dalam 10 jam. Tetapi sesudah berdaya 10 hari Tongkang Ho-Kang belum lagi menghilangkan pesisir Malaya dari mata penumpang dan belum juga lagi memperlihatkan garis pesisir Pulau Sumatera. Muka air laut dekat sekali jaraknya dari geladak, bahkan bisa diraba airnya. Ikan lumba-lumba yang berlomba-lomba mengikuti Tongkang, dapat diperamati dari dekat, walaupun tidak boleh ditunjuk! (Maklumlah bukan saja pelaut Indonesia, tetapi pelaut Tionghoa pun sama bertahyul). Entah karena “menunjuk” ikan lumba-lumba, entah karena memangnya disebabkan gerakan alam, maka pada suatu malam kami terbangun. “Topan Sumatera” bertiup dengan semua kodratnya. Tongkang Ho-Kang diombang-ambingkan seperti sebuah kacang direbus. Semua layar diturunkan. Kajang yang melindungi kami menumpang dari angin dan hujanpun terpaksa diturunkan. Kajang tadi menjadi sasaran topan dan mungkin dapat membalikkan Tongkang Ho-Kang, untung besar. Memangnya satu untung besar kalau sekiranya topan Sumatera itu bertiup di masa lampau, tatkala Laksaman Hang Tuah mengintai musuhnya dan menunggu saat yang baik untuk merapatkan kapal perangnya ke kapal perang Portugis dan menyerbu dengan segala ketangkasan dan keprawiraan pahlawan laut Indonesia. Tetapi buat tauke Tongkang Ho-Kang topan Sumatera bukan berarti untung besar, bahkan sebaliknya mungkin menyebabkan rugi besar.
Pada permulaan bulan Juni, kami penumpang semuanya bergembira ketika memperamati garis kabur di depan kami. Rupanya pesisir Sumatera sudah samar-samar terlihat di depan mata. Dengan tidak bertanya-tanya (maklumlah juragan Tionghoa amat bertahyul) dan dengan telunjuk disembunyikan di dalam kantong celana. (Maklumlah juragan Tionghoa melarang menunjuk!). Kami berbisik-bisik mengeluarkan pendapat, bahwa Sumatera sudah dekat. Ada diantara penumpang yang berasal dari Medan, yang tahu benar bahwa pulau yang tampak di depan itu ialah pulau Berhala namanya. Karena pengetahuan ini maka kami tidak bertanya kepada juragan Tionghoa yang rupanya bergembira karena sudah dekat ke tempat yang dituju dan tidak pula kami perlu “menunjuk”: ke tempat yang tidak boleh “ditunjuk” itu.
Tetapi pada keesokan harinya kami terlihat pula kepada suatu pulau yang berbentuk lain dan terlihat bukan lagi di depan melainkan di sebelah kiri. “Pulau apakah gerangan ini?”, begitulah pertanyaan yang timbul di dalam hati”.
“Ahli kami” yang berasal dari Medan tadi, dapatlah pula memberi jawab, bahwa pulau itu ialah pulau Berhala juga, cuma dilihat dari lain tempat. Kita tidak maju selangkahpun dari kemarin, bahkan lebih mundur lagi. Zonder “menunjuk” dan zonder “menanya”, maka dari tauke Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang belum juga dapat masuk ke pelabuhan Belawan. Malah angin keras itu, toa-hong itu memukul tongkang Ho-Kang beberapa km kembali kebelakang. Tiga empat (hari) pagi kami kecewa, karena terus melihat pulau Berhala saja, cuma dari berlainan jurusan: kiri dan kanan, depan berganti-ganti. Baru pada tanggal 10 (?) Juni kami bisa masuk ke  pelabuhan Belawan. Setelah pemeriksaan oleh polisi Indonesia dibawah pengawasan Jepan selesai, maka besok harinya kami berangkat ke Medan. Di Medan kami berlima diperkenankan oleh tuan pengurus, ialah tuan Ramli untuk seminggu lamanya tinggal di rumah Kongsi Pelayaran Indonesia tadi, yakni cabang atau pusat yang terletak tidak jauh dari pasar yang baru dan sangat indah itu. Dalam seminggu itu saya mempunyai kesempatan penuh untuk mempelajari keadaan di kota Medan, yang sudah saya tinggalkan lebih dari 20 tahun lamanya. Pula untuk mempelajari jalan ke Padang dan seterusnya jalan ke Pulau Jawa, seperti maksud kami semula.
Kota Medan bolehlah dikatakan kota yang amat teratur buat seluruhnya Indonesia. Rumah baru tidaklah boleh didirikan disembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah dtentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tidak menyaksikan yang baru di samping yang usang, yang bersih indah disampingnya yang kotor bobrok, seperti di ibu kota Jakarta umpamanya. Lihatlah saja di ibukota Indonesia ini. Wijk Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan kebunnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor gelap yang berhimpitan, di pinggir selokan tempat mandi, berkumur-kumur, dan buang air besar dan kecil; rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah kota pula.
Pasar di Medan amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap indah permai buatannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebersihannya. Pasar ini tidak saja menarik, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat penghidupan beberapa teman saya Kolega L.Y. dan pemuda dari Borneo Utara asyik mencatat harga barang di pasar Medan; harga barang seperti buah-buahan di pasar dan di tempat asalnya ialah Brastagi; prebedaan harga barang di Medan dengan di Malaya.
Satu sifat bangsa Tionghoa yang selalu mengagumkan saya, ialah sifat optimisme dalam masa marabahaya dan tak malu-malu mengerjakan pekerjaan halal buat mendapatkan penghidupan. Sifat baik itu nyat buat saya di Tiongkok sendiri dan nyata pula didalam kegentingan hidup bangsa Tionghoa di Malaya. Ini hari Inggris menyerah dan besoknya Singapura diduduki oleh Jepang, maka kolega L.Y. walaupun mempunyai ijazah yang setinggi-tingginya buat perguruan Inggris di Malaya, membukan perusahaan tao-hu. Dia dengan beberapa murid membeli bahan sendiri, membuat tao-hu dan sendiri pula menjualnya di pinggir jalan. Banyak intelek Tionghoa lainnya yang berbuat macam itu pula. “Singsingkan lengan baju”, demikianlah slogan mereka. Baik juga sifat ini diperhatikan oleh “intelektual” kita.
Kolega L.Y. sudah mendapat kepastian, bahwa dia bisa pulang balik dari Medan ke Penang membawa barang dagang. Barang kelontong amat tinggi harganya di Medan, kalau dibandingkan dengan harga kelontong di Penang. Sebaliknya harga hasil bumi, yang agak tahan lama, seperti bawang, dan kentang amat rendah harganya di Medan, kalau dibandingkan dengan di Penang. “Alangkah baiknya” kata kolega L.Y pada suatu hari “jika dibeli hasil bumi di Medan dan dijual ke Penang, seterusnya beli barang kelontong di Penang dan dijual di Medan”. Dia bisa pergi pulang dari Medan ke Penang, kalau perlu bawa saudara atau bapaknya dari Malaya, untuk mendapatkan penghidupan diwaktu yang amat sulit itu.
Pemuda dari Borneo Utara, sudah bertemu dengan salah seorang temannya di pasar Medan. Dia sudah mengerti, bahwa dengan pulang pergi dari Brastagi ke Medan buat membeli hasil bumi dia akan bisa hidup sederhana, asal ada saja pokok sedikit. Memangnya dia anak miskin, tetapi kami sayangi karena amat pintar, amat rajin dan jujur.
Buat dua orang pelajar Tionghoa lainnya pencarian itu bukanlah suatu soal, karena sudah disebutkan diatas, mereka mempunyai keluarga di Sumatera Timur. Walaupun kolega L.Y. dan pelajar Borneo Utara sudah melihat lubang pencarian, mereka belum lagi mengusulkan apa-apa kepada saya, lantaran di Singapura kami bermaksud akan terus ke Jawa. Selama dalam kesunyian itu kami sering membuat perjanjian. Kami selalu pula taat kepada perjanjian kami. Ini kalipun perjanjian itu akan kami taati asal bisa dan ada kesempatan dan mempunyai cukup uang buat berjalan, maka maksud itu akan diteruskan juga. Untuk menyelidiki hal ikhwal perjalanan ke Jawa itulah saya kian kemari bertanya kepada orang Indonesia di Medan. 
Perusahaan Indonesia di kota Medan ada mengambil bagian diantara perusahaan asing. Yang ternyata benar hasil usaha bangsa Indonesia di Medan ialah dalam hal percetakan. Banyak percetakan buku dan surat kabar di Medan yang dimiliki, diurus dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sepintas lalu terlihat lebih banyak dan lebih besar perbandingannya dari perusahaan percetakan Indonesia dilain-lain kota. Selainnya daripada toko-toko buku yang teratur rapi, banyak pula terdapat ditepi-tepi jalan penjualan “secondhand Books” (buku usang). Tempat ini selalu dikerumuni oleh pemuda yang ingin membaca dan membeli.
Tidak berapa lama saya membalik-balik lembar buku pada suatu tempat, maka penjualnya meloloskan satu buku ke tangan saya dengan perkataan: “Ini buku yang baik dan laku”. Buku itu bertitel “Pacar Merah” dikarang oleh “Matu Mona”. Baru pertama kali saya mendengar nama dan pengarangnya itu. Belum lagi lama saya membolak-balikkan lembarannya, penjual buku mendekati saya dan berbisik-bisik: “Tuan tahu, Tan Malaka sudah berada di Padang. Dia sudah berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Dia sudah berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Tinggi sekali pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon saya tanyakan apakah pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon itu? Jawab: “Kolonel, kata orang”.
Saya tak ingin meneruskan pembicaraan semacam itu. Saya sudah maklum, bahwa Jepang memakai taktik seperti di lain tempat juga di Asia, ialah menipu rakyat Indonesia. Seolah-olah hendak membuktikan bahwa dia sudah mendapat kepercayaan penuh dari para pemimpin rakyat itu. Tinggal lagi rakyat, yang patut percaya pula kepada Jepang. Selainnya daripada itu saya maklum pula, bahwa disamping “kolonel” Tan Malaka itu Jepang sedang mencari Tan Malaka yang lain.
Buat meneruskan penyelidikan saya, maka saya memasuki sebuah toko, yang baru dibuka oleh orang Minangkabau. Toko itu dimaksudkan untuk  menjual hasil bumi dari Minangkabau, terutama kopi dan tembakau. Dari tuan toko saya mendapat kabar, akan dibuka kongsi kapal Indonesia yang bertempat di Padang buat pelayaran ke Jawa. Tetapi akan dibuka belum lagi berarti sudah dibuka. Saya pikir, armada Jepang tidak akan lepas begitu saja memberi izin, berhubung dengan penjagaan lautnya. Dengan tidak ditanya apa-apa, maka tuan toko menceritakan pula kepada saya dan kepada teman-teman sendiri, bahwa “kolonel” Tan Malaka sudah berbicara di tanah lapang Padang, dll, dsb. Semuanya memperkuat kepercayaan saya, bahwa tidak baik buat saya tinggal di Sumatera.
Setelah saya yakin bahwa perhubungan dengan Jawa belum bisa dijamin dan pasti perjalanan itu akan memakan banyak ongkos. Buat kolega L.Y. malah dengan perasaan lega, segera berkata, bahwa lantaran tak tentunya perhubungan dan besarnya ongkos ke Jawa itu, maka dia lebih suka mengambil jalan yang pasti saja. Dia ingin berdagang antara Medan dan Malaya, asal saja dia dapat bantuan seperlunya dari kongsi Kapal Indonesia. Perkara ini dapat saya atur dengan cepat, sehingga sewaktu-waktu kolega L.Y. boleh berangkat kembali ke Penang membawa barang dagang. Pelajaran bahasa Indonesia sudah saya berikan kepadanya, sehingga dia dapat berbicara langsung dengan pedagang Indonesia. Rumah dan pokok buat pelajar dari Borneo Utara, sudah pula saya bereskan. Dengan beberapa bekas murid yang tinggal di Pematang Siantar saya akhirnya bertolak menuju ke Bukit Tinggi, melalui Sibolga. 
Lain benar corak dan isi kota Bukit Tinggi daripada ketika saya tinggalkan 22 tahun lampau. Jalan, rumah, gedung dan penerangan jauh lebih besar dan bagus daripada dahulu. Tetapi  saya tidak ingin banyak berjalan-jalan walaupun Bukit Tinggi banyak memberi kenang-kenangan lama, yang masih mengharukan pikiran. Kweekschool, yang biasanya disebut Sekolah Raja, dimana saya 6 tahun lamanya menerima pelajaran dan mengalami penghidupan dalam asrama yang sudah condong ke Barat. Taman pelajaran ini yang dimasa berdirinya termasyhur buat seluruhnya Sumatera, lama sudah ditutup. Juga Opleidingschool, sudah lama mengalami nasib semacam itu pula. Perguruan di Minangkabau sudah amat merosot atau lebih tepat sangat dimerosotkan. Untuk 2 juta rakyat Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda cuma mendirikan 2 buah Normaalschool di Padang Panjang dan 2 MULO, tak ada sekolah Menengah Tinggi, jangankan lagi University. Memang puluhan pemuda-pemudi Minangkabau bersebaran di Jawa buat mencari pelajaran. Tetapi karena kekurangan uang bantuan, kekurangan pengawasan dari pihak keluarga, mereka terombang-ambing diantara ke pelesiran dan pergerakan politik. Jarang yang jaya usahanya. Ini sama sekali tidak mengherankan. Pelajar dimana dan dari bangsa manapun juga dalam keadaan yang sama akan mendapatkan hasil tidak lebih baik daripada itu. Kemerosotan perguruan itu tidak sebanding dengan kemajuan perekonomian Minangkabau selama saya tinggalkan itu. Penjualan sekalian hasil bumi di pasar Bukit Tinggi semuanya masih berada di tangan putera bumi. Semua toko besar menjual kain dan barang pabrik Eropa berada di tangan bangsa asli juga. Demikianlah pula toko buat mengexport hasil bumi serta semua hotel adalah di tangan bangsa Indonesia! Adapula Bank Nasional dan Bank Insuransi Indonesia. Di Minangkabau ada pula onderneming modern yang dimiliki dan diurus oleh bangsa Indonesia sendiri.. Di kota Bukit Tinggi pada ketika itu saya tidak melihat tokonya orang Tionghoa. Setelah imperialisme Inggris dan Belanda menyerah, maka pedagang Minangkabau dengan cepat menuju ke semua penjuru di Indonesia membawa hasil bumi dan merebut pasar. Sebuah pasar di dekat pelabuhan perahu yang datang dari Sumatera dan sebagian kota Singapura yang tokonya sudah ditinggalkan asing sudah sama sekali diduduki oleh pedagang Minangkabau. Di Medan proses semacam itu berjalan pula. Pedagang Minangkabau sudah tidak putus-putusnya bergerak menuju ke Jawa, melalui Lampung, membawa gambar dan lada.
Saya sudah perhatikan pedagang Minangkabau dan Tionghoa di Sumatera dan Jawa terutama di Jakarta, Pasar Senen. Dalam hal inisiatif, keberanian pergi merantau entah kemana, memangnya bangsa Minangkabau tak kalah oleh orang Tionghoa. Tetapai orang Minangkabau masih kalah dalam hal mengeluarkan uang buat memelihara “appearance”, ialah yang baik dipandang mata. Umpamanya membelanjakan banyak uang untuk kebagusan rumah, perhiasan dan lain-lainnya belanja yang langsungnya memang tidak memberi untung. Tetapi karena menarik dan membeli kepercayaan pembeli memang dengan tidak langsung memberi keuntungan. Kekurangan ini juga disebabkan oleh kekurangan modal dan pengetahuan. Tetapi dalam hal kehematan orang Minangkabau tidak kalah oleh orang Tionghoa. Dan dalam hal  pelayaran, karena kelebihan dalam pemakaian bahasa dan pengetahuan tentang jiwa pembeli (psychology) maka saudagar Minangkabau yang berurusan dengan bangsanya sendiri itu, agaknya melebihi bangsa manapun juga.
Hal ini diketahui benar oleh penganut Hakko Iciu, yang dimana saja mereka berada seperti di Korea, Tiongkok dan Taiwan dengan kejam menindas perusahaan putera bumi. Di Bukit Tinggi pada suat hari saya saksikan sendiri lebih dari 10 truck sudah penuh dengan muatan berisi kopi dan tembakau siap buat berangkat ke Medan. Itu hari pula “Osamu Serei” keluar buat melarang pengeluaran barang tersebut dari Minangkabau. Saya saksikan pula di Jakarta dibelakang harinya, bagaimana pedagang Minangkabau yang dengan 1001 kesukaran di jalan antara Minangkabau dengan Jakarta dan menjual gambir dan ladanya di Jakarta dengan harga tak begitu mahal, kalau dipikirkan resikonya ditampari sesudah barangnya disita. Memangnya banyak mata pencarian yang dibuka dengan inisiatif pedagang Minangkabau yang disita oleh “saudara tua” sesudah “saudara mudanya” di-bakero-i, ditampar dan diancam. Di mata Jepang memangnya tak ada pedagang Indonesia yang lebih “jahat” daripada pedagang Minangkabau. Mungkin sekali dibelakang harinya, semua jalan dari Minangkabau ke Medan, Singapura dan Jakarta, yang dibuka oleh pedagang dari Minangkabau ditutup dengan Osamu Serei atau pedang samurainya Kempe-tai, yang menganggap pedagang Padang sebagai konkurensi pedagang Jepang dan berbahaya buat kerakusannya.
Niat saya bermula ketika meninggalkan Padang, ialah dengan diam-diam singgah sebentar ke Suliki, sekedar mengunjungi kuburan ibu bapak dan cucuk kemenakan yang sudah lama dan belum lahir ketika saya meninggalkan Indonesia. Dengan cerita “kolonel” Tan Malaka yang disiarkan dimana-mana itu, teristimewa pula di Bukit Tinggi, maka saya tidak merasa aman pergi mengunjungi kampung halaman itu. Bahkan saya harus lekas meninggalkan Bukit Tinggi. Tetapi susahlah mendapatkan truck apalagi mobil buat berangkat ke Jakarta melalui Palembang atau Lampung. Semua truck yang ada sudah diborong oleh pedagang.
Orang katakan, bahwa lebih mudah berangkat dari Padang Panjang. Saya pergi ke Padang Panjang. Tetapi tidak mudah. Disana saya dengar kabar, bahwa lebih mudah berangkat dari Padang. Saya pergi pula ke Padang. Tetapi ternyata pula tidak mudah. Disana dikatakan pula, bahwa tentu lebih mudah dari Bukit Tinggi. Sebelumnya saya kembali ke Bukit Tinggi, maka saya berjumpa dengan kenalan yang dulu saya jumpai di jalan antara Medan dengan Bukittinggi. Diapun mempunyai pengalaman seperti saya. Diapun sudah dipulang balikkan oleh “nasehat” dari Bukit Tinggi ke Padang. Kenalan di jalan ini berasal dari Palembang. Dia pergi ke Pematang Siantar mengurus mobilnya yang dahulu “dipinjam” oleh tentara Dai Nippon, ketika berangkat dari Palembang menuju ke Tapanuli. Tetapi dia tidak mendapatkan mobilnya itu. Pinjam itu dalam bahasa Jepang, seperti kita alami, ialah merampas dalam bahasa kita   
Kenalan di jalan ini mengajak saya tinggal saja di Padang, menunggu truck beberapa hari lamanya. Dia dengan dua tiga teman lainnya sedang memperbaiki truck yang rusak. Bersama-sama mereka akan membayar ongkonsnya. Sayapun boleh ikut dan membantu membayar ongkos jalan. Usul itu saya terima.
Dalam tunggu menunggu dalam perjalanan ke Jawa itu saya mendapat banyak kesempatan buat mempelajari sikapnya pernduduk terhadap penjajahan lama dari penjajah baru. Terhadap Belanda sendiri sikap Rakyat Indonesia umumnya sudah bisa diselidiki dalam dua macam keadaan. Pada 8 Maret 1942 mereka berhadapan dengan Belanda yang malang, kalah menyerah. Sekarang (November 1947) mereka berhadapan dengan Belanda sebagai penyerang dan penjajah.          
Apakah rakyat Indonesia tetap tinggal Extremist, terorist dan perampok, ketika menghadapi Belanda dalam dua keadaan yang berlainan itu? apakah extremist, terrorist dan perampok yang dipropagandakan oleh imperialist Belanda di dalam dan di luar Nederland itu tidak hanya terdapat diujung lidah dan penanya imperialist dan kaki tangannya Belanda saja?
Pedagang Indonesia yang dengan Tionghoa Ho-Kang bersama saya datang dari Penang, apabila melihat beberapa orang Belanda yang digiring oleh Jepang di Medan dengan spontan zonder pikir-pikir mengeluarkan perkataan: “Kasihan juga kita melihat nasibnya Belanda”. Di Padang tersiar kabar diantara rakyat bahwa seorang dokter Belanda ditampari oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali dengan tidak memberi pembalasan. Tak ada diantara mereka, yang menceritakan itu ataupun pendengarnya yang bersuka cita, seolah-olah menunjukkan “Schaden freude”, ialah suka melihat orang lain dalam kesusahan. Seorang bekas pelarian Silungkang yang saya jumpai di daerah Jambi, seorang yang sudah melarat bertahun-tahun semenjak pemberontakan di Silungkang pada tahun 1927, berulang-ulang mengucapkan: “Hiba hati awak, hiba hati awak melihatnya”. Dia melihat beberapa orang Belanda berhenti dengan trucknya: Si Jepang membuka bungkus roti dan memanggil orang Belanda tawanan itu satu persatu dan memberikan sebuah roti dengan ucapan “heh”. Kalau Belanda itu tidak lekas datang, maka roti itu dilemparkan oleh Jepang itu kepadanya. Belanda itu bukannya serdadu, melainkan bekas B.B, tuan besar ini atau itu. Dimasa kekejaman Jepang terhadap Belanda masih merajalela, maka pada stasiun kecil dekat Jakarta, seorang nyonya Belanda menangis-nangis mendekati kepala stasiun Indonesia.
Nyonya itu baru tahu, bahwa anaknya sesat menyimpang dengan kereta lain menuju ke Bandung. Dia sendiri mengambil jalan lain dan harus segera pindah kereta menyusul anaknya. Tetapi uang tidak ada buat membeli karcis dan karcis sudah ditentukan lebih dahulu oleh orang Jepang. Walaupun besar bahayanya buat kepala stasiun Indonesia buat dirinya sendiri, dia dengan diamd-diam memberikan pertolongan yang diperlukan. Banyak contoh yang lain-lain yang membuktikan pri-kemanusiaan yang sebenarnya. Kalau bangsa Indonesia tak mempunyai pri-kemanusiaan itu, masakan Belanda di masa Jepang itu bisa hidup dengan aman diantara Rakyat Indonesia.
Yang menggelikan orang Indonesia pada waktu penyerahan Belanda, ialah melihat “nyonya besar mengangkat koper dan barangnya sendiri, karena Jepang tak membolehkan “nyonya besar” memakai jongos dan babu seberti dimasa mewahnya. Yang tak kurang menggelikan bangsa Indonesia pada waktu penyerahan itu pula, ialah kejanggalan penglihatan ketika para opsir tinggi Belanda dengan segala pakaian angkatannya menyerahkan diri pada opsir Jepang yang berpakaian sederhana itu; ketika ratusan serdadu Belanda yang perawakannya jauh lebih besar itu digiring oleh satu dua gelintir serdadu Katek dari Nippon. Akhirnya yang menjadikan darah Indonesia mendidih dan serentak membela dan menyerang, sampai dinamai extremist, terroris dan perampok, ialah ketika Belanda, yang tak sanggup melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya itu, sekarang kembali menjajah dan melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan Rakyat Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah cocok dengan hak mutlaknya!
Dalam waktu antara Belanda menyerah dan Jepang masuk, antara 8 Maret dan 17 Maret 1942, maka di Padang sebenarnya tak ada pemerintahan. Rakyat dan pemuda dengan Laskar Rakyat sudah mengatur segala-galanya dan menghapuskan peraturan Belanda yang selamanya dibenci oleh rakyat. Kabarnya cukai pasar dihapuskan. Tanah kosong yang dahulu kepunyaan bersama untuk memelihara ternak, tetapi kemudian pemakaian bersama itu dilarang oleh Belanda, sekarang dikembalikan kepada rakyat. Pembagian klas-klas di dalam kereta api dihapuskan. Keamanan dijaga oleh rakyat dan pemuda. Memangnya sebelum Belanda menyerah, Rakyat Minangkabau menentang keras tindakan Belanda yang hendak menghancurkan semua jembatan. Semangat kemerdekaan itu dalam sekali terselip dalam hati sanubari Rakyat Minangkabau. Jika Ir. Sukarno yang pada masa peralihan pemerintahan antara 8 Maret dan 17 Maret itu berada di Padang memajukan diri sebagai “pemimpin gerilya”, maka rakyat dan pemuda Minangkabau (bersama dengan Rakyat dan Pemuda Aceh yang dengan senjata di tangan menggempur tentara Belanda) pasti akan menyambutnya dengan segala kegirangan. Memangnya kesempatan baik buat menjadi “pemimpin gerilnya” itu buat Ir. Sukarno tidak saja ada sekarang untuk melawan penjajah Belanda, tetapi juga dahulu untuk melawan penjajah Jepang.
Pada permulaan Jepang masuk, rakyat Minangkabau masih ragu-ragu tentang kemauan Jepang. Kemauan kemerdekaan masih kuat bersarang dalam hatinya rakyat dan pemuda Minangkabau. Tetapi karena propaganda Jepang dengan slogan yang kita kenal ialah “Nippon Indonesia sama-sama” maka rakyat menjadi bingung. Kebingungan ini ditambah pula dengan sikapnya para pemimpin “besar” buat Indonesia umumnya dan beberapa pemimpin Minangkabau khususnya yang lebih Jepang daripada Jepang sendiri.
Pada suatu hari ketika saya di Padang berada di tengah-tengah beberapa orang, maka tiba-tiba keluar lagi “dongeng” umum tentang “kolonel” Tan Malaka, yang “berpidato” di tanah lapang pada keesokan harinya Jepang masuk, jadinya ketika Tan Malaka yang lain masih berada di “Singapura”. Satu dua orang pendengar menunjukkan tak percayanya. Merasa dibantu oleh mereka yang tak percaya, saya mencoba bertanya: “Mungkin kabar itu tak benar. Dan politiknya Tan Malaka adalah berlainan”. Tukang dongeng amat marah atau pura-pura marah. Mungkin juga Jepang mengangkat  dan menyewa tukang dongeng semacam itu, seperti di Jawa ia menyewa Tan Malaka palsu. Tentulah saya tidak mengingini bertengkar. Setelah mendapat kesempatan, maka saya meloloskan diri saja dari gerombolan tukang dongeng dengan para pendengarnya itu.
Herannya saya pula, beberapa kali apabila saya masuk di kamar hotel saya di Padang ialah Hotel Muslimin dengan memakain nama Ramli Hussein maka tahu-tahu saya mendengar perkataan seperti: “Kata orang Tan Malaka sudah disini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan dia”. Menyindir-nyindir sayakah dia” demikian pertanyaan dalam hati saya.
Semuanya menjelaskan kepada saya, bahwa sebaiknyalah selekas-lekasnya saya berangkat ke Jawa. Untunglah pula dalam empat lima hari, truck yang diperbaiki tadi selesai. Segera kami berangkat melalui Solok, Sijunjung, daerah Jambi sampai ke kota Palembang dalam perjalanan yang memakan waktu dan akhirnya (26?) bulan Juni sampai pada permulaan bulan Juli.
Tidaklah lama saya tinggal di Palembang. Tidak banyak yang perlu diceritakan tentang hal Palembang. Sudah diketahui, bahwa penduduk Indonesia, Palembang adalah pedagang yang ulung yang membuka perusahaan dimana-mana di Jawa dan lain-lain tempat seperti Singapura. Di Palembang sendiri tidak sedikit orang Palembang yang bermodal F 1.000.000,- atau lebih. Tetapi keinginan belajar di sekolah masih amat rendah. Ketinggian nafsu berdagang, kalau dibandingkan dengan penduduk Jawa, pukul rata, sepadan dengan kerendahan nafsu bersekolah. Memangnya pula perdagangan itu memberi sumber penghidupan yang boleh dikatakan tinggi juga. Selainnya daripada penduduk asli Palembang, pedagang Minangkabau juga mengambil bagian yang berarti dalam perekonomian di Palembang itu.
Kepentingan Palembang terletak pula pada isi buminya. Batu bara terdapat dekat muka bumi di bukit Asam. Quality dan Quantity sifat dan bilangannya amat tinggi sekali. Minyak tanah terdapat dimana-mana. Teristimewa sebagai sumbernya bensin untuk kapal terbang. Aviation Spirit. Palembang tergolong daerah yang terpenting buat minyak tanah di seluruhnya dunia. Tentara Jepang dengan terburu-buru menuju ke Palembang, ialah dengan maksud hendak menduduki sumber minyak yang amat penting buat pembelaannya itu. sekarangpun Amerika berusaha keras dan rupanya berhasil menduduki kembali pabrik minyaknya. Plaju dan sungai Gerong adalah dua kota minyak semata-mata.
Sesudah dua tiga hari tinggal di Palembang, saya mendapat keterangan, bahwa ada kemungkinan buat berangkat ke Jawa melalui Lampung dan menyeberangi Selat Sunda.
Banyak juga kejadian yang ganjil yang saya saksikan di Lampung, Tanjung Karang. Tak ada salahnya barangkali dicatat disini, dalam sepatah dua patah kata untuk menjadi peringatan sejarah penjajahan Jepang yang kejam dan dahsyat itu.  
Sebentar saja tentara Jepang merasa aman di tengah-tengah penduduk Indonesia, maka dia segera memaksakan kemauannya dalam segala-galanya terhadap bangsa Indonesia, yang katanya dimerdekakannya itu! Tidak saja dalam hal politik kemiliteran dan perekonomian yang semuanya dimonopolinya, tetapi pula dalam hal kebudayaan, adat istiadat dan agama. Pada waktu permulaan diperintahkanlah oleh Shu-cho-kan, residen Jepang, kepada buruh kasar dan halus di bermacam-macam kantor, supaya sebelumnya masuk kantor semua orang membungkukkan badan menyembah Maha Dewa di Tokyo, ialah yang dinamai Tenno Heika, Baginda Langit itu. Dalam surat kabar TENNO HEIKA, nama yang buat mereka sakti itu sudah dituliskan dengan huruf besar. Disamping itu semua restoran dan rumah makan diperintahkan mengadakan “pelayan”. Pula pada hari liburan diperintahkan supaya para “gadis” datang dengan karangan bunga “menghibur” para “pahlawan” Jepang di rumah sakit. Rakyat Lampung menganggap semua ini sebagai suatu pelanggaran agama, dan adat istiadat Indonesia. Beberapa penganjur rakyat yang terkemuka memajukan keberatan terhadap “sembahyang” menuju ke Tokyo itu. Memangnya dasar agaama Islam, melarang seorang penganutnya menyembah yang lain daripada Tuhan, seperti menyembah orang, batu dll. Adat istiadat Lampung tidak membolehkan para gadis berjalan-jalan di luar rumah, apalagi sendiri pergi mempersembahkan “karangan bunga” kepada lelaki asing yang setengah telanjang itu. Setelah karena paksa anak gadisnya seorang dokter Manado mempersembahkan karangan bunga dengan muka masam dan melihat ke tanah, maka dia dipaksa mempersembahkan itu dengan muka “tersenyum”. Saya dengar anak gadis ini melarikan diri, barangkali ke Jakarta. Para pemuka Indonesia yang berani memajukan keberatan tentang “sembahyang yang menghadap TENNO HEIKA” (yang sekarang setelah tentara Jepang menyerah, menjelma  menjadi musuh bernama Hirohito itu!), para pemuka itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Bersama-sama dengan tangkapan itu  Shu-cho-kan berkata, bahwa kalau Rakyat Lampung tidak suka sama tentara Dai Nippon, mereka boleh berangkat ke lain tempat.
Mulanya  ada perahu yang berangkat dari Lampung ke pulau Merak, Banten. Tetapi beberapa hari saja sebelum saya datang, maka turunlah perintah, bahwa pelayaran leluasa itu harus diperhentikan. Semua perahu yang berlayar harus melalui duane Jepang. Dan orang yang dibolehkan naik perahu sebagai penumpang cuma orang yang membawa barang dagang sekurangnya sebesar 300 kg.
Banyak terjemahan yang diucapkan tentang 300 kg itu. Bukanlah pula harga emas seberat 300 kg berlainan sekali dengan harga lada atau kelapa, apalagi kelapa dengan kulitnya, seberat 300 kg? Anehnya pula keterangan yang didapat dari kantor ke kantor itu juga sangat berlainan. Dengan surat perkenalan dari seorang landbouw-konsultan di Tanjung Karang dan dengan seorang pegawai pemerintah di Lampung. Dan tuan Landbouw-konsultan dan pegawai tadi tidak dapat memberi pertolongan selainnya daripada mendapatkan keterangan yang tidak jelas dari bermacam-macam kantor.
Dalam pada itu saya sendiri tidak berhentinya mencari jalan. Pada suatu hari di tengah jalan, saya tepuk bahunya seorang penduduk Tanjung Karang, buat bertanyakan hal ihwal pelayaran di Selat Sunda. Rupanya tidak sia-sia. Hospitality, gastvrijheid, lekas menerima dan ramah tamah pada tamu itu, memangnya bukan monopoli di Barat. Saya dipersilahkan begitu saja datang di rumahnya, dijamu ini dan itu seolah-olah saya sudah lama dikenalnya. Mang Mamat, (kita namakan saja begitu!) Berasal dari Banten dan sudah lama benar tinggal di Tanjung Karang. Di kampungnya Mang Mamat, kebanyakan penduduk berasal dari Banten. Sesudah dua tiga hari berusaha menanyakan perihal pelayaran ke pulau Merak, maka akhirnya diputuskan: “Kalau memangnya tak bisa berangkat dengan perahu resmi, maka akan diambil jalan yang tidak resmi”. Tentulah saya tidak akan bisa naik perahu itu di pelabuhan tempat duane. Saya harus bangun jam 3 pagi, angkat barang sendiri menyeberangi laut yang dangkal sampai ke perahu yang berlabuh agak ke tengah. Kalau kelak di pelayaran dapat tertangkap oleh kempei-tai, maka haruslah saya menunggu resikonya, seperti dijemur dipanas dan ditampari sedangkan barang-barang “disita”.
Sebenarnya saya sudah menyetujui berlayar besok pagi, menentang resiko jemuran, tamparan dan sitaan. Tetapi jalan lain masih saya cari-cari. Kebetulan pula di pelabuhan Teluk Betung saya berjumpa dengan seorang pedagang besar, berasal dari Silungkang dan di masa Hindia Belanda mempunyai toko besar di Surabaya. Saya namakan saja dia tauke Silungkang. Saya jumpai tauke Silungkang tadi di jalan dekat duane, sedang sibuk memuatkan barang yang ribuan kg beratnya dan puluhan ribu rupiah harganya. Dia masih muda dan caranya bekerja adalah cepat, teliti dan jitu. Dengan perantaraan seorang kenalan saya menghampiri dia dengan pertanyaan apakah saya boleh menumpang perahu yang sebenarnya seluruhnya sudah disewanya. Dia menjawab, bahwa memang perahu  itu sewaan dia, tetapi dia ingin menolong orang lain, yang mau berangkat ke Jakarta. Berhubungan dengan itu dia sudah isi daftar penumpang lebih kurang 12 orang banyaknya. Walaupun para penumpang itu kebanyakannya orang biasa saja (bukannya pedagang) tetapi diatas daftar dia tuliskan, bahwa semua orang tadi adalah anggota “perseroan”. Dengan begitu maka tiap-tiap orang penumpang “mempunyai” lebih daripada 300 kg (yakni diatas kertas), ialah syarat yang dibutuhkan oleh Osemu-serei Jepang tadi. Kantor duane sudah memberi “cap” Jepang, sebagai pengesahan atas “haknya” para penumpang buat berlayar. Tauke Silungkang, setelah sekejap dengan cepat memandang muka saya, berkata pula: “satu jam lagi perahu akan berlayar. Barangkali seorang penumpang tak akan datang. Dalam hal i ni tuan boleh ikut. Yang dibayar cuma sewa perahu saja dan tuan sebagai “anggota” perseroan “berhak” atas 300 kg menurut Osamu-serei. Buat melancarkan pekerjaan lekaslah tuan kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang tuan. Nanti kita berjumpa di depan perahu”. Demikianlah usulnya tauke Silungkang.
Dengan cepat saya kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang dan kembali ke pelabuhan Teluk Betung. “Beres” kata tauke Silungkang yang sudah siap buat berlayar.
Kebetulan saya berangkat dari Lampung pada waktu yang sama dengan Ir. Sukarno berangkat dari Palembang. Di atas selembar surat kabar yang diterbitkan di Palembang terlibat gambarnya Ir. Sukarno diatas kapal api kecil di samping seorang kempe-tai.
Perahu kami mempunyai nama yang gilang gemilang, yakni SRI RENJET. Barangkali nama itu tak cocok dengan keadaan dan rupanya. Perahu itu sudah tua dan amat bocor. Di pelayaran sering harus ditempel dengan tanah tempelen dan terus menerus ditimba airnya. Hampir hari sore, maka Sri Renjet membongkar sauhnya dan “berlayar”. Kalau berangsur sekian meter jauhnya dalam satu jam boleh dinamakan berlayar, maka memangnya Sri Renjet berhak disebutkan sedang berlayar menuju ke Jakarta, Pasar Ikan. Tetapi jika kecepatan itu dilakukan di daratan, maka pergerakan yang secepat itu cuma boleh disebutkan merangkak.
Walaupun penumpang “pedagang” yang berhak boleh berlayar ialah mereka yang membawa sedikitnya seberat 300 kg saja, tetapi terhitung para anak istri para pedagang serta juru mudi dengan para kelasinya, maka jumlah orang isi kapal tidak kurang daripada 20 orang. Ini sudah terlalu banyak, karena barang dagang memangnya berat sekali. Tetapi bukan karena beratnya maka Sri Renjet terpaksa bergerak secepat siput. Yang terutama sekali, ialah karena tak ada angin sama sekali dan kalau ada, maka yang ada hanya angin sak saja. Tanya bertanya tentang angin dan pelayaran kapal tidak lebih leluasa daripada dalam tongkang Ho-Kang, yang berlayar dari Penang ke Belawan tempo hari. Berhubung dengan itu, hari dipetangkan dengan percakapan, nyanyian dan pemandangan ke pesisir Teluk Semangka, yang pokok kelapanya seolah-olah bisa dihitung karena lambatnya Sri Renjet berlayar.
Kebosanan di perahu sering-sering diperhentikan oleh percekcokan seorang mbak dengan kang-masnya. Kang-mas juga ingin pulang ke Jawa buat menjumpai orang tua yang memang sudah lama ditinggalkannya. Memangnya ini adalah suatu keinginan anak yang selayaknya dan patut dipuji! Tetapi ‘mbak’ mempunyai paham lain! ‘Mbak’ tidak lagi mempunyai ibu bapak itu itu di Jawa. Keluarganya yang sudah agak jauh, tidak lagi menarik kenang-kenangannya penuh, ialah Lubuk Linggau. Di sini ‘mbak’ sudah mempunyai rumah yang cukup besarnya, ladang yang luas dan beberapa ekor ternak. Semua itu cukup buat dia laki-istri dan buat anaknya dihari depan. Apakah semuanya itu akan mendapat pemeliharaan baik, dari salah seorang keluarga selama ditinggalkan? Inilah yang selalu menganggu pikiran ‘mbak’. Gangguan itu semakin keras dengan semakin lambatnya kapal berlayar dan semakin bosan hidup di perahu yang panas dan sempit sesak, karena banyaknya penumpang dan barang, last but not least, terakhir dan tak kurang pentingnya, karena buruknya keadaan makanan. Kalau ‘mbak’ sudah memuncak kemarahannya, maka dia putuskan saja dengan perkataan: “Ayo kang-mas, mari kita kembali saja ke Lubuk Linggau”. Dalam keadaan yang sama dengan ini, saya pikir, semua atau sebagian besar dari orang pindahan dari Jawa ke Sumatera yang sudah makmur di Deli atau lain tempat, akan 100% setuju dengan ‘mbak’ kita yang sedang mengeluh dan menyesali kang-masnya di perahu Sri Renjet yang maju tidak, mundurpun tidak di teluk Semangka. Buat saya percekcokan ‘mbak dengan kangmasnya itu menimbulkan kecocokan yang memuaskan dalam penyelesaian persoalan perpindahan (emigration) dari Jawa padat ke Sumatera kosong, di hari depan dalam suasana merdeka 100%.
Setelah hampir seminggu lamanya Sri Renjet terkatung-katung, maka sampailah kami ke dekat sebuah batu besar dekat Ketapang. Di sini kami berhenti, rupanya untuk menanti angin baik buat menyeberangi Selat Sunda. Sampai jauh malam angin yang ditunggu-tunggu itu belum juga lagi bertiup. Untuk menghindarkan panas sesak di dalam perahu, maka saya pergi tidur ke atas bubungan atap kajang dimana terdapat sedikit tempat yang datar.
Di langit kelihatan bintang! Hawa terasa segar! Lekas sekali saya tertidur. Sekonyong-konyong saya bangun, dibangunkan oleh titik hujan, yang menimpa muka saya. Barulah saya insyaf, bahwa Sri Renjet sudah berada di tengah Selat Sunda, dalam hujan lebat, ditiup angin deras menuju dengan lajunya ke pulau Merak. Tergesa-gesa saya menggulung tikar dengan selimut dan alat tidur yang lain-lain. Tergopoh-gopoh pula saya meniti di pinggir perahu menuju ke dalam perahu. Pada ketika inilah dua-tiga kelambu baru, yang saya bawa dari asrama di Singapura sebagai peringatan, tergelincir dari dalam tikar dan meluncur ke laut di Selat Sunda. Untunglah rasanya sebegitu saja saya kerugian! Angin terlampau keras dan hujan terlampau lebat dan melangkah amat sukar sekali di pinggir perahu yang teroleng-oleng seperti buaian. Sedikit saja tergelincir, ombak dan gelombanglah yang akan menyambut.
Sampai juga saya ke dekat kemudi di buritan perahu Sri Renjet, tetapi tidak sampai masuk ke bawah atap! Perahu amat penuh isinya dan tempat saya sudah ditiduri oleh salah seorang penumpang lain, ketika saya pergi tidur ke bubungan atap. Saya tidak ingin membangunkan siapapun, apalagi setelah saya mengetahui bahwa beberapa penumpang menderita mabuk laut. Saya sudah merasa lega, apabila bagian kepala saya bisa berlindung di bawah atap dan alat tidur dapat saya masukkan ke tempat yang kering. Bagian badan yang lain saya biarkan saja ditimpa hujan lebat.
Apabila saya menoleh ke belakang, maka saya merasa masih lebih beruntung daripada saudara juragan. Seorang tua memegang kemudi, dengan tangan yang tegap mengemudikan perahu, yang dipermainkan oleh kodrat alam dan dengan mata nyalang menerobos hujan lebat menentukan arah pelayaran. Dan saudara juragan ini sepanjang hari malam itu dan sepanjang siang hari besoknya di tengah hujan dan ribut topan menyelamatkan kami, memakai kodrat pendorong yang turun dari angkasa itu, sambil menyanyi seolah-olah berterima kasih atas hadiah alam yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu, sedangkan pakaian dan badannya basah kuyup.
Bukan maksud saya membelokkan pembaca kepada poizie, kalau saya tuliskan, bahwa saudara juragan Sri Renjet bernyanyi seperti bersukaria ditengah-tengah hujan lebat dan angin topan itu! Perkataan laut buat kita orang darat tidak menimbulkan rasa, nafsu dan semangat seperti pada seorang pelaut. Mungkin laut itu buat kita menggambarkan satu suasana yang ganjil, tak cocok dengan keadaan hidup kita di daratan. Mungkin pula perkataan laut itu pada seorang pelaut diatas sebuah kapal api, kapal samudra, yang singgah dari benua ke benua dan dari bandar ke bandar, menerbitkan perasaan yang lain daripada pelaut asli Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan Indonesia dari pulau ke pulau dan selat ke selat. Tetapi barangkali tidaklah jauh daripada kebenaran kalau dikatakan ribut topan bagi seorang pelaut diatas kapal api dianggap sebagai suatu gangguan, kalau tidak bahaya, sebanding dengan kebutuhan, kalau tidak sesuatu bahagia, untuk pelaut asli, yang dapat laju cuma oleh dorongan ribut topan itu. Bagaimanapun juga, lautan yang sebenarnya, ialah yang berada dalam suasana tenang dan hening, datar atau kadang-kadang berada dalam keadaan bergelora dengan dahsyat itu. cinta lautan, ialah cinta kepada laut, tidak saja diwaktu reda tenang-ratanya tetapi juga diwaktu bergelora dengan ombak gelombangnya. Baik kapal layar ataupun kapal samudra tidaklah dapat memisahkan keburukannya lautan daripada keindahannya. Sesuai dengan hidup dilaut dan cinta kepada suasana lautan, tidaklah dapat diperoleh dalam sekali dua pelayaran saja. Ribuan pelaut seperti juragan Sri Renjet tidaklah terbentuk dalam setahun dua. Tempat kediaman di pesisir pencarian hidup yang tidak berpisah dengan lautan, pengetahuan serta pengalaman yang diwariskan turun temurun, dari abad ke abad membentuk satu golongan besar diantara penduduk Indonesia yang paham perasaan dan semangatnya bersangkut paut dengan lautan. Golongan inilah kelak bahan yang akan dibutuhkan untuk membentuk satu angkatan dagang dan armada yang kuat untuk kepentingan Indonsia merdeka. Berbahagialah kepulauan Indonesia yang memiliki bahan armada, yang cuma menantikan latihan yang tetap dan semata-mata ditujukan kepada kemakmuran dan keselamatan rakyat Indonesia.
Tidak berapa lamanya kami menerima hadiah yang tidak disangka-sangka dari langit itu! Setelah penyeberangan Selat Sunda selesai dan pelayaran pesisir Banten dilanjutkan, maka angin ribut reda kembali. Sri Renjet terpaksa kembali pula berlayar dengan kecepatan siput. Saya sudah merasa bosan atas kelambatan ini.
Dengan beberapa orang lain saya turun di Banjarnegara, Banten. Dari sini kami dengan tiga empat kali pertukaran sado terus menerus menuju ke Benteng Baru disinilah kami dapat menaiki kendaraan yang cepat ialah kereta api.
Pada hari senja, pertengahan bulan Juli, tibalah saya di Jakarta....lelah, lesu, sebagai akibatnya perjalanan dan pelayaran yang begitu jauh dan lama.
































 
                   
KE ARAH
REPUBLIK INDONESIA


Sebermula, maka perlulah saya katakan disini, bahwa sekali-kali saya tidak menyetujui perkataan Gico Sukarno, yang selalu didengung-dengungkan pada hampir penghabisan pendudukan Jepang, yang berbunyi: “Saya (Gico Cuo Sangi In Sukarno) tidak memihak kepada Nippon atas perhitungan kalah menangnya tentara Nippon, melainkan karena Nippon berada dalam kebenaran, keadilan dan kesucian”.
(Baikpun radio ataupun surat-surat kabar cukup mengumumkan pendirian Gico Sukarno seperti diatas. Cuo Sangi In, ialah dewan serombongan “picked up men” (orang yang ditunjuk oleh tentara Jepang), untuk usaha militernya di Indonesia ini. Picked up men ini “dibolehkan” menjawab pertanyaan yang dimajukan oleh tentara Jepang kepadanya dan buat mengelabui mata rakyat juga “dibolehkan” memajukan usul. Gico, iala ketua dari picked up men tersebut. Nippon, ialah perkataan pengganti nama Jepang, atau Japs, ialah nama bangsa dan negara Jepang yang rupanya dianggap suatu penghinaan oleh “samurai” Jepang.
Kembali pada ucapan Gico Sukarno diatas, maka baiklah juga saya terangkan disini, bahwa menurut pikiran saya “kebenaran” Jepang itu tak lain dan tak bukan, melainkan kebenaran si penjajah. Keadilan itu ialah pengerahan hei-ho untuk pembantu tentara Jepang, perampasan padi dan pencurian atas tenaga jutaan romusha. Yang disebut “kesucian” itu, ialah perkosaan wanita dan gadis Indonesia terang-terangan atau sembunyi berupa “pelayan”, juru rawat dan “murid sekolah” ini atau itu ringkasnya: kebenaran, keadilan dan kesucian Jepang untuk menutup kebangsaan dan kebudayaan militerisme-imperialisme Jepang.
Buat saya, perhitungan kalah menangnya Jepang memangnya penting dan sudah saya selesaikan semenjak terdesak oleh tentara Jepang di Shanghai pada tahun 1932, terdesak dari Amoy pada tahun 1937 dan akhirnya dan terutama sekali dari Singapura pada tahun 1942, ketika Inggris menyerah. Semenitpun tak ada pada saya pikiran hendak “kerjasama” dengan tentara Jepang, baikpun kalau dia menang ataupun kalah. Tetapi caranya mengoreksi kekuasaan Jepang dan caranya mengatur penghidupan diri, memangnya banyak berhubungan dengan kalah menangnya Jepang dan lama lekasnya kalah menangnya Jepang itu. 
Berlainan sekali dengan anggapan “ahli militer” Barat, bahwa serdadu Jepang, “a drille d automata” atau “trained robbot” (boneka dilatih), maka bukti di Malaya dan Indonesia menyaksikan bahwa prajurit Jepang lebih mempunyai inisiatif, keberanian dan ketabahan daripada serdadu Inggris ataupun Belanda. Opsir Jepang lebih pintar, lebih berani dan siap untuk berjibaku. Strategy Jepang pasti pula tidak kalah oleh strategy Barat. Seandainya Jepang pada permulaan perang bisa memberikan pukulan hebat kepada Amerika yang belum siap itu dalam satu bulan, ataupun lebih sedikit, maka mungkin benar Jepang tidak akan menderita kekalahan seperti sudah terjadi. Dalam hal ini boleh jadi sekali Jepang lebih daripada selangkah maju kepada tujuannya terakhir, ialah mengangkangi seluruh Asia dan dunia.
Tetapi setelah lebih kurang 2 tahun tidak juga bertekuk lutut, maka mulailah kekuasaan-produksi Amerika mengejar kekurangannya dan memperlihatkan kelebihannya. Lama-kelamaan dia dapat mengatasi persenjataan Jepang sekian banyak, sehingga kekalahan Jepangs sebenarnya sudah dikantongi Serikat.
Serangan Jepang dengan cara mencedera di Hawai itu, cuma setengah saja memberi kemenangan militer di Hawai. Memang banyak kapal perang Amereika yang tenggelam atau rusak, tetapi hampir semua pelautnya berdansa di daratan. Keselamatan ribuan pelaut itu banyak memberi bantuan atas usaha Amerika buat menambah kekuatan armadanya di hari depannya. Di masa itu latihan pelaut dianggap mengambil waktu tak kurang daripada 9 tahun lamanya. Dengan kader yang belum rusak itu sambil mengangkat kapal yang tenggelam, serta memperbaiki yang rusak, Amerika sebenarnya cuma mendapat tempeleng di pipi saja, bukan bacaokan seperti di leher atau di dada. Sebab tamparan di pipi itu Amerika tidak kehilangan tenaga., bahkan sebaliknya mendapat dorongan moril dan politik yang tidak disangka-sangka kuatnya buat mengumpulkan semua tenaganya yang sudah lahir dan masih tersembunyi.
Sebelumnya serangan Hawai, maka public opinion, suara umum di Amerikan belum sampai mendidih buat diajak memerangi Serikat-Fascist-Jerman-Italia-Jepang. Tidak dengan public opinion, Kongres tidak dapat digerakkan dan tidak bisa diumumkan oleh Negara Amerika. Yang berhak menentukan perang hanya Kongres dengan suara lebihnya. Dengan pencederaan Japang di Hawai, ialah menyerang dengan tidak memberi peringatan (ultimatum) lebih dahulu, maka public opinion berbalik sama sekali, sehingga Finance-Capital Amerika mendapat kesempatan memakai Kongres untuk menetapkan perang kepada Jepang.
Rodanya mesin perang Amerika setelah serangan Hawai, dapat bergerak dengan lancar kencang. Kaum modal Amerika dapat membuka bermacam-macam pabrik perang membuat senjata seperti mitraliur, meriam, mesin, kapal perang, pesawat terbang, dll. Dengan begitu pengangguran yang mengancam perekonomian dan masyarakat Amerika bisa terbasmi dan kaum buruh dan tani dapat pula dikerahkan ke luar negeri buat meluaskan jajahannya, menanam modal Amerika.
Keuntungan Jepang yang sedikit di Teluk Mutiara tidak seimbang dengan kerugian moril dan politik yang diperolehnya. Moril dan politik itulah yang akan menggerakkan mesin perang Amerika yang sampai sekarang belum ada yang dapat mengatasinya di dunia ini.
Kelebihan dalam keuletan, keberanian dan kenekatan serdadu dan opsir Jepang di darat, di laut dan udara pada permulaan perang, sesudahnya pencederaan di pelabuhan Mutiara, sehari demi sehari dibandingi dan akhirnya diatasi oleh kelebihan Amerika dalam geography, cacah jiwa, keuangan dan produksi, bahan, tekhnik, science (pengetahuan) serta moril. Dalam perlombaan mengatasi persenjataan Jepang itu, maka bom atom cuma memberi pukulan memperlekas saja. Logisnya Jepang yang sudah terkepung di laut dan udara; Jepang yang kekurangan makanan dan bahan perang itu lambat laun mesti menyerah atauh hancur binasa secara perlahan-lahan. Tak ada negara asing yang sebenarnya membutuhkan Jepang. Tetapi sebaliknya Jepang membutuhkan makanan dan bahan perindustrian dari negara asing, karena rapat penduduknya disamping kurus tanahnya.
Karena armada Jepang tidak dapat memberikan knocked out blow (pukulan terakhir) di Hawai dan karena dalam perhitungan saya, Amerika kalau dibandingkan dengan Jepang mempunyai staying power (tahan lama) yang jauh lebih besar daripada Jepang, lamakah Jepang bisa bertahan? Berhubung dengan ini, dimanakah tempat yang baik buat saya untuk menunggu rubuhnya “soap bubble” buih sabunnya kekuasaan militer Jepang itu?
Dalam sehari saja tinggal di Jakarta, saya sudah yakin, bahwa saya tidak akan lama bisa bersembunyi di sini. Tauke Silungkang di hotel bertanya kepada saya: “Siapakah tuan yang sebenarnya?” Jawab: ya, saya ialah bekas juru tulis dari salah satu toko di Singapura. “Bukan begitu” katanya pula “saya ingin tahu siapa tuan yang sebenarnya. Sebab rupanya pembicaraan tuan ada lain daripada yang lain”. Saya tetap memegang nama Hussein, ialah bekas juru tulis di Singapura. Memangnya buat seorang pelarian politik bilmana masyarakat penuh dengan udara politik, semuanya serba susah, berbicara susah dan diam-diam mencurigakan.
 Penumpang Sri Renjet, juga berasal dari Silungkang pula, tetapi bekas pelarian politik sesudah keributan Silungkang terjadi, lebih cerdik. Dia tidak bertanyakan apa-apa. Rupanya bisa menduga siapa saya dan perkenalkan saja saya seorang sahabat baiknya dekat Pasar Senen.
Saya sudah mendapatkan beberapa bukti tentang penghargaan Rakyat Indonesia dimasa Hindia Belanda terhadap orang pergerakan. Mungkin juga ada yang mengenal saya di jalan antara Singapura dan Jakarta itu, tetapi mereka tidak berniat menimbulkan kesusahan bagi diri saya. Banyak bukti yang menyatakan, bahwa Rakyat jelata Indonesia dimana mereka dapat menyembunyikan pemimpin atau rahasia pemimpin mereka memberi pertolongan sedapat-dapatnya. Sifat rakyat jelata kita, selau menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi penghargaan buat hari depan. Tahu berterimakasih  dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang berusaha membela bangsa atau kaum itu, adalah sifat yang pertama dan terutama untuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!
Tetapi berhubungan dengan sifatnya pertanyaan dan sifat para penumpang Sri Renjet seperti saya tuliskan diatas tadi, maka saya merasa tidak aman bagi kerahasiaan diri saya, jika saya lebih lama tinggal di kota seperti Jakarta. Semakin kurang bercampur dengan orang “kota”, teristimewa kota Jakarta semakin baik, ialah buat saya.
Selainnya daripada alasan tersebut, saya merasa perlu mengambil tempat yang agak sunyi buat menulis beberapa buku. (Madilog dan sebagian dari Aslia pada tahun 1942-1943). Jakarta kota terlampau ramai dan panas buat manusia.
Akhirnya pula karena saya lebih daripada 20 tahun sudah meninggalkan Indonesia maka perlulah saya kembali mempelajari keadaan yang amat berubah itu. Bayi yang saya tinggalkan 20 tahun  lampau sudah menjadi orang dewasa dan teman pergerakan sudah menjadi orang tua. Kota Jakarta sendiri sudah bertukar rupa.
Supaya saya dapat menyingkiri banyak perhatian orang “pintar” dan orang yang suka mengobrol di kota, menghemat, belanja, menuliskan beberapa pengetahuan dan pengalaman serta mempelajari keduanya kota dan desa, maka saya pilih  Rawa Jati, dekat pabrik sepatu Kali Bata sebagai tempat tinggal, atau lebih tepat sebagai tempat mondok.
Tidak jauh dari pabrik Kali Bata, saya menyewa salah satu bilik dalam jejeran bilik yang dipersewakan kepada kaum pekerja dalam pabrik tersebut. Panjangnya bilik itu tak lebih daripada 5 meter dan lebarnya lebih kurang 3 meter. Dindingnya pelupuh dan atapnya sebagian genteng dan sebagian jalinan daun rumbia.
Tetangga saya adalah seorang pemuda, berasal dari Cirebon dan bekerja sebagai pelayan mesin dalam pabrik tersebut. Dia beristerikan perempuan dari Cirebon juga. Tidak jauh lagi tinggal seorang pekerja juga yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah bekerja di Seberang. Diapun mempunyai keluarga. Rapat benar perhubungan kami bertiga, di masa itu. Ada lagi sahabat saya dan lain-lain diantara kaum buruh dan orang kampung.
Penghidupan sebagai rakyat Rawa Jati, ialah bercocok tanam. Kebanyakan rumah penduduk berada dalam kebun sawo, sirih, nangka, salak, pepaya dll. Memborong buah-buahan dan menjualkannya ke kota Jakarta inilah pula pencarian hidupnya sebagian lainnya rakyat di sekitarnya Rawa Jati. Antara Rawa Jati dengan Pasar Minggu, yang terletak di sebelah Selatan, adalah sedikit kurang daripada satu jam perjalanan. Sekitar Pasar Minggulah tempat tanaman buah-buahan yang sesungguhnya. Jaraknya Rawa Jati dengan Bukit Duri, sekitar Jakarta kota adalah satu jam perjalanan pula. Disepanjang jalan ke Jakarta, kita  berjumpakan rumah penduduk ditengah-tengah kebun buah-buahan. Dekat Bukit Duri ada bengkel Manggarai, ialah bengkel kereta yang terbesar di masa Hindia Belanda. Diwaktu saya berada di Rawa Jati, tak kurang daripada 6000 buruh yang bekerja dalam bengkel Mangarai dan lebih kurang 600 orang yang bekerja pada pabrik sepatu Kalibata. Kabarnya konon angka-angka tersebut adalah rendah sekali, kalau dibandingkan dengan dahulu sebelumnya pendudukan Jepang.
Pertanian yang sebenarnya, barulah terdapat di sebelah selatannnya Pasar Minggu, atau lebih baik lagi di sebelah timurnya garis Jakarta-Pasar Minggu, ke arah Krawang. Disinilah kelihatan sawah yang luas dan subur. Demikianlah pula buat saya Rawa Jati cukup memenuhi syarat untuk mempelajari penghidupan rakyat di kota seperti Jakarta dan desa-desa sekitarnya, dan penghidupan kaum buruh dalam perusahaan besar. Inilah tempat yang amat saya perlukan untuk mencari pengalaman, sesudah meninggalkan Indonesia sekian lama.
Saya hidup amat murah, terpaksa pula saya murahkan dan dapat pula murahkan. Tak pernah saya selama setahun lebih berbelanja lebih daripada F 6,- (tertera enam rupiah) sebulan, baik sewa rumah serta makan minum. Sewa rumah adalah F 2,- sebulan dan belanja sehari adalah lebih kurang 13 sen. Tak pernah saya mengendarai becak atau tram, kalau saya pergi ke Jakarta. Saya beli beras, kayu, minyak dan sayur mayur sendiri dan masak sendiri. Pada ketika itu beras, ialah pokok perekonomian hidup rakyat cuma 6 sen saja seliter. 15 liter sebulan sudah lebih daripada cukup buat saya. Sayur, minyak dan kayu masih amat murah harganya pada tahun permulaan pendudukan Jepang itu.
 Seluruhnya pagi hari, dari pukul enam sampai pukul 12 atau satu, saya pakai buat menulis. Sesudahnya itu saya memasak, sore dan malam saya pergunakan waktu buat berjalan-jalan di sekita Rawa Jati dan bercakap-cakap dengan buruh, tani, pedagang kecil dan para “jago”. Tidak pernah kurang daripada 3 kali seminggu saya pergi ke Jakarta, untuk membaca buku dan surat kabar dalam perpustakaan di rumah arca (museum) di Gambir, Jakarta. Biasanya saya bangun jam setengah lima pagi, berangkat jam lima pagi dan sampai pada jam sembilan di Gedung Arca tadi. Lebih kurang jam satu perpustakaan saya tinggalkan. Biasanya saya bertualang di kota Jakarta untuk mempelajari keadaan didalam kotal. Kemudian para hari petangnya saya kembali berjalan kaki menuju ke “sarang” saya di Kali Bata. Demikianlah saya pertukarkan menulis dan membaca, bekerja dan berjalan, bercakap-cakap dan merenungkan percakapan itu lebih daripada setahun lamanya ditengah-tengah masyarakat yang bergelora, masyarakat seperti kabut yang mengandung hujan dan petir.
Kalau saya tidak lupa, maka Madilog saya tulis dalam jumlah 720 jam. Mulanya saya tidak mendapatkan pembacaan untuk membantu atau menambah peringatan saya, karena selainnya dari dua tiga jilid buku sekolah, saya sama sekali tak mempunyai buku semenjak tahun 1937. Di belakang hari saya mendapatkan perpustakaan di Gambir tadi. Sebagian besar Madilog, ialah semua yang berhubungan dengan tulisannya Marx, Engels, Mehring, Plechanoff dan Lenin terpaksa saya catat dari luar kepala saja. Yang sebagian berhubungan dengan Logika, sebagian (Russel) saya catat diluar kepala dan sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan pembacaan di perpustkaan Gambir. Demikian pula halnya dengan perkara yang berhubungan filsafat, ilmu bintang, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu yan hidup (biologi), matematika dll, sebagian saya catat dari peringatan dan sebagian dari buku yang didapat. Keterangan yang lebih lanjut ada tertulis dalam pendahuluan Madilog.
Buku ASLIA baru setengah saya tulis. Saya terpaksa meninggalkannya, dari tahun 1943 sampai sekarang (30 November 1947). Yang sudah saya uraikan ialah yang berhubungan dengan bumi-iklim, kebangsaan, sejarah politik dan sedikit perekonomian. Yang terpaksa belum saya jelaskan ialah bentuknya perhubungan antara satu bagiannya ASLIA dengan bagian ASLIA lainnya dan akhirnya perhubungan antara semua bagian dengan pusat. Amat saya sesalkan hal itu, tetapi saya terpaksa membiarkan pekerjaan saya itu terbengkalai sampai sekarang. Amat saya sesalkan, kaena kini sudah lebih nyata, bahwa kemerdekaan 100% buat Indonesia kita, terutama dihari depan lebih terjamin atas kekuatan sendiri, digantungkan dengan tenaga dengan tetangga yang bersamaan hawa iklim, kebangsaan/kewargaan, bahan mentah, perekonomian dan kebudayaan dengan perhitungan federasi, dari macam yang serenggang-renggangnya sampai federasi yang serapat-rapatnya dan sekolah-kolahnya. Dalam hal membentuk ASLIA, meskipun saya banyak juga mendapatkan bahan dalam perpustakaan di Gambir, tetapi amat saya sesalkan catatan yang terpaksa saya lemparkan ke laut ketika mendekati Rangoon, seperti sudah saya tuliskan lebih dahulu. Catatan tersebut banyak sekali mengandung bahan yang aktual, hidup, hasil observation, penglihatan saya sendiri, sekian tahun lamanya di Asia Tenggara dan Timur jauh.
Penghidupan rakyat di masa itu (1942-1943) belum berapa bedanya dengan di zaman Belanda. Harga uang Jepang pun belum berapa bedanya dengan uang Hindia Belanda. Upah buruh rendahan (unskilled) lebih kurang F. 0.50,- sehari dan buruh yang tukang lebih kurang F. 1.50,- sehari, juru tulis F.15,- sebulan sampai F.60,- atau lebih. Kerendahan upah buruh Indonesia, kalau dibandingkan dengan upah buruh di Eropa atau Amerika bolehlah rasanya digambarkan dengan upah seorang buruh tukang di Manggarai, yang menurut kabar, sesudah bekerja selama 25 tahun (dari murid, leerling sampai menjadi tukang) berhenti dengan gaji E.50,- (tertera lima puluh rupiah) sebulan. Sebelum perang dunia kedua ini, maka gajinya buruh tukang di Amerika adalah $ 16,- atau F. 40,- sehari.
Ada pencocok tanam yang umpamanya mempunyai 10 pohon sawo atau lebih. Ini sudah dianggap orang yang berpunya. Apalagi kalau dia bersama itu mempunyai pula pohon kelapa, singkong, rambutan atau nangka. Tetapi kebanyakan penduduk disekitarnya Rawa Jati tidak cukup mempunyai tanah dan tanaman yang memberikan hasil. Kebanyakan mereka terpaksa memburuh atau berdagang disamping bercocok tanam itu. Banyak yang membeli buah-buahan dan memperdagangkannya ke Jakarta. Kereta api Bogor – Pasar Minggu – Jakarta selalu penuh dengan pedagang buah-buahan semacam itu. Tidak pula sedikit mereka yang memikul dagangannya dari Pasar Minggu ke Jakarta. Biasanya mereka masuk kampung keluar kampung memperdagangkan barangnya. Biasanya dengan pokok F.1,- mereka setelah petang hari dapat kembali dengann jumlah F. 1.25,- jadi dengan untung F.0.25,- sehari. Kita baru mengerti nasibnya mereka, kalau diketahui pula, bahwa pedagang atau lebih tepat pemikul barang-barang ini harus membantu keluarganya dengan untung sedikit itu pula. Lebih kita insafi pula nasib ribuan si-kecil ini, yang hidupnya sudah terdesak dari kota ini, kalau kita ketahui, bahwa mereka harus berjalan kaki di musim hujan pada bulan Desember, Januari, Februari melalui hujan dan tanah yang lincah seperti sawah. Semakin lama Jepang berdiam semakin buruklah nasib mereka. Kaum buruh sering-sering mendapat pembagian makanan dan pakaian. Tetapi memikul barang dagang harus hidup dengan F.0.25 sehari itu. akhirnya mereka tak mempunyai lain daripada rombengan dan pakaian tempelan yang ada pada bagian dirinya dan anak istrinya.
Syahdan kisahnya seorang pedagang kecil!!! Dari Pasar Minggu dipikul barangnya ke Jakarta. Tak kurang daripada empat jam lamanya dia berjalan. Diletakkannya bakulnya berisi pisang yang diborongnya di Pasar Minggu disalah satu simpang jalan di depan salah satu kantor. Tempat ini sudah lama dan biasa didudukinya, karena banyak orang lalu lintas disini, jadi laku pisangnya. Tetapi bakul dengan pisangnya itu tidak memberi pemandangan yang indah dan lama kelamaan tidak dapat menahan hatinya “saudara tua” yang duduk diatas kursi di kantor tersebut. Pada suatu hari disuruhnya seorang “kai-sat-su” (agen polisi) melarang orang itu berjualan disana.
Kai-sat-su : “Bang, janganlah abang berjualan disini”!
Penjual     : “Sudah lama saya berjualan disini. Ada apa si?”
Kai-sat-su : “Saya disuruh Nippon melarang abang menjual pisang disini”.
Penjual     : “Masa bodoh! Kalau mau perkara, perkara deh! Kai-sat-su kembali 
kepada tuan Nippon menceritakan pengalamannya dengan penjual tadi. 
Sekarang tuan Nippon sendiri pergi berhadapan muka dengan penjual 
pisang.
            Tuan Nippon: “Sebab apa senang sekali?”
            Penjual      : “Dulu saya miskin, sekarang saya kaya!”
            Tuan Nippon: “Tercengang dan bertanya: “Apa betulkah?”
            Penjual      : “Betul tuan! Lihatlah baju saya dulu cuma satu macam. Sekarang tuan  
                                lihat sendiri, sudah berapa macam. Ada yang putih, yang hitam, hijau, 
                             dll”

Melihat baju tambalan dari bermacam-macam warna yang dimaksudkan itu, maka tuan Nippon senyum sambil menepuk-nepuk bahunya penjual itu dengan perkataan: ya sabar dulu saja!
Pedagang pisang pulang dan menyangka perkara itu sudah selesai. Besok harinya dia kembali ke tempat itu pula dengan bakulnya yang penuh dengan pisang. Tuan Nippon datang pula buat mengunjungi dan bertanya: “Ini pisang apa?”
Penjual : “Ini pisang raja tuan”.
Tuan Nippon tahu bahwa itu bukan pisang raja namanya. Dan melihat warna mukanya pedagang itu tuan Nippon merasa dikasih sindiran (Jakarta). Sebab itulah dia bertanya terus: “Pisang raja apa?”
Penjual yang rupanya sudah memuncak kejengkelannya menjawab: “Pisang raja Australi namanya.”
Si Jepang menjadi marah! Dia dengan sepatu kaplaarnya naik ke atas bakul menginjak-nginjak pisang sampai menjadi lumpur. Setelah kedua bakul penuh dengan lumpur pisang dan sepatunya berlumuran pisang pula, barulah si Jepang turun dengan lubang hidung terbuka dan suara mendengus-dengus seperti kerbau marah; hrm, hrm, hrm.
Untunglah si Jepang menimpakan kemarahannya kepada pisangnya si penjual saja. Abang Jakarta, kalau sudah terdesak tak akan segan-segan pula memakai parangnya yang selalu ada di pinggangnya. Tetapi buat penjual sendiri, lebih baiklah pulang menemui anak istri walaupun kehilangan pisang daripada memasuki kantor Kempe-tai dengan kemungkinan kehilangan kepala! Lagi pula dia juga sedikit merasa puas. Betul bakulnya berlumuran pisang. Yang lebih memuaskan pula, ialah perkataan raja Australia sudah disemburkannya kepada si Jepang tadi.
Yang selama ini disegani oleh Jepang antara prajurit berkulit putih ialah bangsa Australi. Pada masa itu tersebar pula kabar angin, bahwa kekalahan Jepang dekat Australi lebih berat daripada yang disembunyikan dalam surat-surat kabar di Indonesia. Kalimat seperti “Armada Nippon atau Garuda Nippon kembali ke pangkalan dengan selamat’ atau Armada musuh masuk perangkap di “Solomon” lazim sekali dipakai untuk menyembunyikan kekalahan Jepang.
Entah gara-gara saja, entah benar, tetapi kabar yang dibawah ini tepat benar menggambarkan temper, perasaan hati, serdadu Jepang pada masa pertempuran Solomon itu. Sikap pasti menang, ketika saudara tua baru masuk itu mulai bertukar dengan kesangsian, dan ucapan “Nippon Indonesia sama-sama” mulai bertukar dengan makian “genjumin bagero”.
Kabarnya, ada orang Indonesia yang bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa dia baru saja melihat 12 pesawat Jepang berangkat dan menyaksikan cuma 11 saja yang kembali. Dia dipanggil oleh Kempei-tai dan diberi entah teguran, entah tamparan, entah kedua-duanya. Kabarnya pula orang itu juga keesokan harinya, sengaja atau tidak, bercerita pula kepada kawan-kawannya, menceritakan, bahwa dia melihat 12 pesawat berangkat dan menyaksikan 13 yang kembali. Dia dipanggil pula oleh Kempei-tai dan pasti diberi tamparan untuk melarang menceritakan apa-apa tentang garuda Jepang yang tak mungkin dan tak pernah kalah itu.
Semakin kurang “kemenangan tentara Nippon” yang dapat dilaporkan oleh surat-surat kabar, lekas tersinggungnya perasaan “saudara tua” terhadap “saudara muda” dan semakin cepat keluarnya makian dan tamparan dan akhirnya semakin giat bekerja Kempei-tai dan kaki tangannya Kempei-ho. Sikap “ramah-tamah” dari “saudara tua” terhadap “saudara muda” yang sebangsa-seketurunan” seperti pada permulaan pendudukan Jepang, lambat laun bertukar menjadi sikap Tuan Besar Nippon terhadap genjumin bagero yang harus diawasi perkataan dan perbuatannya.
Dengan turunnya prestasi (hasil pekerjaan) Jepang dalam dunia kemiliteran, dimata rakyat Indonesia, maka bertambahlah rasanya kesempatan bagi saya, buat menjelaskan kelemahan dan membuka topengnya Jepang dimata rakyat. Perkataan yang pada permulaan harus saya bungkus sewaktu-waktu seawas-awasnya, maka pada para sahabat yang paling dekat lagi, lama-kelamaan, diantara empat mata, sudah dapat saya ucapkan tak lagi dengan tedeng aling-aling. Dengan semakin sukarnya penghidupan rakyat, semakin lekaslah kritik terhadap militerisme Jepang itu diterima oleh rakyat kita.
Tetapi memang kaki tangan sewaan berupa mata-mata banyak berkeliaran. Sedikit saja kelihatan tidak cocok dengan yang biasa, maka segeralah mereka pergi kepada tuannya.
Begitulah pada suatu hari dengan tiba-tiba saya didatangi oleh Assisten Wedana Pasar Minggu. Dia seorang muda terpelajar. Dia masuk ke bilik saya dan berkata, bahwa dia “terpaksa” memeriksa barang saya. Dimintanya saya membuka koper saya. Kutyo (Wijkmeester) tuan bek dan juru tulisnya tidak masuk. Mereka menunggu di depan pintu. Tidak berapa Assisten Wedana tadi membalik-balikkan pakaian saya, maka mukanya bertukar dari kecurigaan menjadi kemalu-maluan. Dia ambil saja satu catatan saya dalam bahasa Inggris, ialah catatan tentang keadaan sejarah Indo-China dalam bahasa Inggris dan Jerman yang saya kutip dari perpustakaan di Gambir. Dia bacakan catatan itu dengan suara yang agak keras, entah buat menunjukkan bahwa dia juga mengerti kedua bahasa asing itu, entah buat memperlihatkan, bahwa dia juga menaruh perhatian pada catatan semacam itu. Setelah dilihatnya buku karangan salah seorang pemimpin Indonesia yang saya beli di Jakarta, maka dia meminjam buku itu kepada saya. Saya tidak keberatan.
Untunglah pada jam itu saya tidak menulis lagi. Semua tulisan saya yang bukan kutipan, memangnya selalu saya simpan di tempat yang istimewa. Assisten Wedana cuma dapat mendapatkan barang, buku dan catatan yang boleh dibaca oleh semua orang saja.
Setelah semuanya selesai, maka malam harinya datanglah Kutyo dan juru tulis mengunjungi saya, untuk menyatakan penyesalannya. Mereka berkata, bahwa mereka menolak usulnya Asisten Wedana itu menggeledah barang saya, dan menerangkan bahwa mereka berani memberi jaminan, bahwa saya orang baik. Tetapi “orang muda” itu tidak mau mengindahkannya. “Buat menutup kemaluannya”, kata tuan Kutyo dan juru tulis tadi seterusnya, “maka dia pura-pura meminjam buku kepada tuan”. Tuan Kutyo dan juru tulis menerangkan pula kepada saya, bahwa pengaduan kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu dilakukan oleh seorang Dantyo (Mandor besar) di pabrik Kalibata. Dia seorang Tionghoa yang lahir di Padang dan mengaku sebagai orang Indonesia asli Padang. Saya sama sekali tidak berkenalan dengan dia, bahkan melihat mukanyapun saya belum pernah. Rupanya dia hendak berjasa kepada tuan Nippon, dan mungkin juga untuk menutupi kedoknya selama ini maka dia memfitnahkan saya kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu. Kalau dia mengaku bahwa dirinya orang Tionghoa, maka ia harus membayar F.100,- uang jaminan yang terkenal. Rupanya ia mau menyingkiri pembayaran ini.
Setelah hal penggeledahan Assisten Wedana saya ceritakan kepada tetangg saya, maka tidak dengan pengetahuan saya, tetangga ini pergi mengunjungi Tionghoa yang mengaku orang Indonesia itu. Rupanya mereka bertengkar. Tak lama diantaranya tetangga dan teman-temannya di pabrik mengadakan daftar buruh yang saban hari “dimakan” oleh Dantyo Tionghoa itu. Dia mau dirinya diakui sebagai orang Indonesia. Tetapi dia tidak segan-segan menghisap hasil tenaga orang Indonesia dibawahannya, yang sudah kurus kering dihisap Jepang itu dan mengorbankan orang Indonesia kepada Kempeitai. Di belakangnya, di depan tuan Jepang dia mengakui, bahwa semua buruh yang dimandorinya itu sudah lama dilintah-daratinya dan meminta maaf. Si Jepang rupanya memang lekas memaafkan kaki tangannya asal saja jangan merugikan kepada bangsa sesama, anak dewa sendiri. Di belakang hari orang Indonesia yang kedapatan “mencuri” beberapa buah paku, dijemuri dua tiga hari, ditampari dan diusir.
Meskipun saya sudah mendapat bukti, bahwa kaki tangan Jepang, yang kian hari kian banyak itu sudah menaruh perhatian kepada saya, tetapi saya belum menghilang, sebab saya ingin dan masih perlu mendapat kepastian, tentang satu hal yang penting ialah: Akan bagaimanakah jadinya status Indonesia dimasa pendudukan Jepang? Memangya saya ingin hendak mengetahui sampai manakah Jepang bisa dan mau memberikan hak politik kepada Indonesia. Dan berhubung dengan itu akan sampai manakah ada kemungkinan buat saya untuk hidup dan bekerja.
Saya baca dalam surat kabar dan tersiarlah kabar sampai ke Rawa Jati bahwa di kebun binatang Jakarta akan diadakan rapat raksasa. Yang akan bicara ialah Mr. Syamsudin, pemimpin 3A dan Ir. Sukarno yang baru kembali dari tempat pengasingannya yang paling belakang ialah Sumatera Barat. Di jalan-jalan sudah tertulis ditembok slogan yang berbunyi:
NIPPON cahaya Asia!
NIPPON pelindung Asia!
NIPPON pemimpin Asia!
Pada pertama kalinya saya melihat slogan semacam itu, maka dalam hati saya timbullah pertanyaan: Kenapa tidak 3N? Bukankah Nippon 3 kali disebut dalam slogan itu dan pertama kali pula disebut. Seakan-akan slogan itu hendak menyembunyikan arti yang sebenarnya ialah:
 NIPPON penggelapan Asia!
NIPPON perampas Asia!
NIPPON penipu Asia!
Saya tidak kenal dirinya Mr. Syamsuddin! Tetapi bagaimanapun juga saya pikir pemimpin Nasionalis Asia, seperti Tilak; Mustafa Kemal dan Sun Yat Sen akan berbalik dalam kuburnya kalau mendengar slogan 3A itu! Pendeknya gerakan 3 A sama sekali tidak memuaskan saya. Bahkan sebaliknya sangat mengecewakan. Tetapi siapa tahu barangkali nanti dalam rapat di kebun binatang itu akan mendapatkan apa yang saya harapkan dari Banteng Besar Indonesia selama ini. Tetapi sebelumnya Banteng Besar Indonesia keluar, hati saya sudah dipatahkan oleh tampil ke depan dan pidatonya seorang Jepang (entah benar orang Islam) yang mmperkenalkan dirinya sebagai Abdul Hamid Ono. Saya tidak dapat memastikan kealimannya dan kejujurannya Islam Jepang ini. Indonesia sudah cukup mempunyai pengalaman dengan Muslimin seperti Snouck Hurgronje dan Van de Plas. Saya pikir seorang Muslimin yang diperalat oleh imperialis-kafir majusi tak ada bedanya dengan seorang Muslimin yang diperalatkan oleh Imperialis-kafir-kitabi.
Selain daripada pemikat dengan agama, militerisme Jepang mengadakan pemikat dan mata-mata politik yang berupa manusia Simizu. Inggris yang pada Perang Dunia ke-I melahirkan Laurence of Arabia, buat memata-matai, memikat dan menipu bangsa Arab, demikianlah militer Jepang, penipu di Asia mencetak beberapa Laurence di Tiongkok, Philipina dan Indonesia. Cuma Laurence Jepang lebih kentara pekerjaannya. Kemana saja Banteng Besar Indonesia pergi diikutinya, sampai membosankan dan menjijikkan orang yang melihat. “Manusia” Simizu pun hadir dalam rapat tersebut diatas, dan tentulah berbicara pula.
Akhirnya tampillah ke depang yang ditunggu-tunggu selama ini, ialah Banteng Besar Indonesia Ir. Sukarno. Yang saya masih ingat diantaranya isi pidato Banteng Besar Indonesia ini sampailah sekarang ialah: pertama yang mengenai dirinya sendiri, dimasa serangan Jepang di Sumatera, kedua yang mengenai dasar politiknya. Kedua hal itu acap kali pula diucapkan dibelakang daripada beberapa rapat raksasa yang saya kunjungi di tanah lapang Gambir.  
Maka yang mengenai dirinya Banteng Besar Indonesia itu, ialah, dia dilarikan oleh Residen dari Bengkulen ke Padang, ketika Jepang menyerang. Yang mengherankan saya cuma, kenapa sebuah Residen, yang ketakutan seperti tikus tersempit itu masih bisa melarikan Banteng Besar Indonesia yang berada ditengah-tengah jutaan rakyat Indonesia yang cinta kepadanya dan benci kepada penjajahan Belanda itu. Sebenarnya saya, sebagai seorang pelarian, merasa malu mendengarkannya dan sebenarnya saya akan lebih suka mendengar kalau sebaliknya yang terjadi, ialah Banteng Besar Indonesia yang melarikan tikus Belanda yang sudah setengah mati ketakutan itu.
Maka yang mengenai dasar politiknya Banteng Besar Indonesia berbunyi lebih kurang: “Kalau Liong Barong-Sai dari Tiongkok, Gajah Putih dari Muangthai, Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Sphine dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia dengan disinari oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka Dunia Imperialisme sekutu akan hancur lebur”.
Tentulah spion Simizu cocok dengan isinya perkataan diatas! Pertama sekali buat spion Simizu perkataan bersatu yang diucapkan oleh Banteng Besar Indonesia itu ialah apa yang sudah ditaburkan oleh serdadu Jepang dimana-mana, ialah Nippon Indonesia sama-sama dan seterusnya persatuan Dai Toa, Asia Timur Raya, yang dalam hakekatnya berarti: Semua kekayaan, harta benda, tenaga, dan “kecantikan” Indonesia dan Asia untuk orang Jepang. Kedua “Disinari oleh matahari Dai Nippon” mempunyai maksud yang dalam, yang batin, mengenai kepercayaan bangsa Jepang. Inilah pula yang sebenarnya terselip dalam semboyan 3A pada garis pertama, ialah Nippon cahaya ASIA. Menurut kepercayaan Jepang, resmi dimasa itu, maka kepulauan Jepang dibikin oleh Dewi Amaterasu O Mikami, Dewi Matahari. Tidak disebutkan dari apa dibikinnya. Entah dari kosong (nothing) entah dari tanah dan air, entah dengan firman, entah dengan kaki tangannya. Tetapi Dewi MATAHARI tadi menurunkan (entah dengan apa pula!!) cucunya ke kepulauan Jepang. Namanya cucu ini ialah Jimu. Gelarnya Tenno Heika, dalam bahasa kita artinya lebih kurang, ialah anak Matahari. Rakyat Jepang yang 70 juta itu katanya berasal dari anak Langit itulah. Dewi Amaterasu tadi rupanya ada pula bapaknya, ialah Izatagi O Mikote. Ibunya ialah Izanagi O Mikote. Jelaslah sudah, bahwa MATAHARI itu penting sekali buat kepercayaan dan hidupnya Jepang. Disinari MATAHARI DAI NIPPON buat Jepang sendirinya disinari oleh kepercayaan Jepang.
Kalau seperti pidato Banteng Besar Indonesia, bahwa Asia, dari Liong Barong-sai-nya sampai ke Banteng Indonesia bersatu disinari pula oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka ucapan semacam itu  (yang benar-benar dipahamkan oleh tentara Dai Nippon dan Tenno Heika-nya), tentulah sangat menggembirakan hati mereka!
Spion Simizu tentulah senyum simpul mendengarkan pidato Bung Karno yang “berapi-api”, “bernyala-nyala” dan “berkobar-kobar” membangkitkan Rakyat Indonesia itu! Atau Hamid Ono (atau Ona?) mungkin pula bukan menganggapnya sebagai ucapan yang murtad ialah sebagai ucapan yang dianggapnya bertentangan dengan syahadat, sendi pokok agama Islam, yakni: Tidak ada Tuhan melainkan Allah (Laila-ha-illalah).
Pada petangnya saya kembali ke Rawa Jati dengan amat kecewa sekali. Dalam pidato Bung Karno yang berapi-api tadi, tujuan yang jelas sedikitpun tidak saya peroleh. Tetapi semenjak tahun 1927 saya menunggu-nunggu, maka ringanlah buat saya menunggu sedikit lama lagi. Siapa tahu (dan seharusnya pula), kalau-kalau Bung Karno bekerja secara “illegal”. Akhirnya saya bacalah pula dalam advertensi dan di dinding dimana saja, bahwa tentara Jepang memperkenankan bangsa-bangsa Indonesia mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan Empat Serangkai: Bung Karno, Moh. Hatta, Dewantoro dan Kyai Mansur.
Menurut desas-desus yang saya tangkap diluar golongan “Nippon-Indonesia sama-sama”, pada masa Banteng. Tetapi karena Barisan Banteng menunjukkan semangat radikal, maka barisan Banteng dibubarkan oleh tentara Jepang. Buat terus menerus menina-bobokkan Rakyat Indonesia dan memberi sedikit pekerjaan kepada “para pemimpin” Indonesia, maka tentara Jepang mengizinkan berdirinya PUTERA itu.
Sayapun tak ketinggalan mengunjungi “Rapat Raksasa” sebagai upacara berdirinya PUTERA. Agak besar juga mata saya mendengar ucapan Bung Karno yang mengatakan, bahwa Jepang tak turut campur tangan dalam “urusan PUTERA”. Inilah yang mau saya pastikan berhubung pula dengan janjinya Jepang hendak memerdekakan Indonesia “dikelak kemudian hari”. Dalam surat kabarpun dituliskan, Jepang tak akan turut campur dalam urusan PUTERA.
Tetapi seperti janji Jepang yang lain-lainnya, maka janji inipun segera dibatalkannya dengan perbuatan. Tidak berapa lama dibelakangnya, maka tercantumlah pula dalam surat-kabar namanya orang-orang Jepang sebagai “penasehat” – nya PUTERA.
Saya belum putus asa! Gedung No. 19 di Jalan Sunda Jakarta selalu saya perhatikan, tiga kali seminggu kalau saya lalu lalang dari Rawa Jati ke Gambir pulang pergi. Siapa tahu mungkin ada “aksi yang “illegal” yang diselimuti oleh PUTERA ini.
Saya sudah tua dalam gerakan “illegal” itu. saya juga dapat melihat-lihat tanda, kalau memang ada aksi illegal. Tetapi saya tidak melihat tanda apa-apa dan pidato Bung Karno yang dibelakang hari saya dengar di rapat raksasa di tanah lapang Gambir tak ada bedanya dengan yang saya dengar di kebun Binatang lebih kurang setahun yang lampau. Sebaliknya dari lamanya maka desas-desus, membubarkan PUTERA sudah terdengar pula. PUTERA sudah membosankan rakyat pula seperti 3A dahulunya. Setelah saya berada di Bayah, saya mendengar kabar bahwa PUTERA dibubarkan, diganti dengan Hokokai. Buat saya namanya saja sudah memuntahkan. Isinya boleh diterka sendiri.
Demikianlah tentara Jepang, sambil memakai harta benda dan tenaga rakyat Indonesia buat mencapai kemenangannya yang terakhir, dia menentramkan rakyat Indonesia dengan perkataan dan perjanjian yang bagus muluk dan melengah-lengah para pemimpin rakyat, dengan memberi izin bermain-main dengan perkumpulan demi perkumpulan, dari 3A sampai ke Hokokai, supaya jangan lekas bosan. Di samping itu rakyat jelata diperalatkan langsung sebagai Heiho, Kempei-ho dan Kaisatsu, dan diperdayakan serta dipersiapkan dalam bermacam-macam latihan dalam  barisan Keibodan, Seinendan, Suisintai, Peta dan Jibakutai. Kalau sekiranya dalam peperangan Asia Timur Raya ini Jepang menang, maka tenaga perburuhan dan kemiliteran Indonesia kelak dapat dipakainya dilain tempat di Asia buat menindas bangsa Asia yang lain atau mengusir imperialisme Barat dari Asia seluruhnya. Setelah akhirnya seluruh Asia dikangkanginya, maka Jepang bermaksud hendak mengangkangi seluruh dunia! (Menurut rencana Baron Tanaka).
Walaupun pidatonya Moh. Hatta, yang biasanya hambar itu dengan ucapan “lebih baik kita tenggelam di dalam dasar lautan, daripada dijajah kembali” sedikit menjadi asin, tetapi kalau saya ingat pula, bahwa “ahli ekonomi” ini berhasrat menjadikan Indonesia daerah Asia Timur Raya yang menghasilkan bahan mentah buat ditukarkan dengan hasil perindustrian di kota-kota Jepang, supaya ada pertukaran antara Indonesia dan Jepang serta menghindarkan bahaya industrialisasi di Indonesia. (Bacalah Nomor Peringatan berkepala Ekonomi Perang pada tahun 1944?), maka “ahli” ekonomi inipun tidak memberi harapan sedikitpun kepada saya. Bahkan “ahli” ekonomi inilah yang saya pandang dengan langsung menjalankan politik “co-prosperity” Jepang, “kemakmuran bersama” yang dalam prakteknya akan menjadikan Jepang pusat perindustrian, kemesinan, pengetahuan dan kebudayaan, disamping Indonesia yang akan dipaksakan menjadikan jajahan Jepang yang menghasilkan bahan mentah dan makanan. Indonesia yang tidak membutuhkan kemesinan, pengetahuan teknik dan ilmu Bukti, jadinya Indonesia yang terdiri dari kebun, tambang, hutan, lautan dengan kuli, romusha serta “ahli” seperti Doktorandus Mohammad Hatta cs.
Sudah cukup rasanya saya obori semua pemimpin yang “terkemuka” dan kumpulan yang berada di atas tanah selama lebih daripada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa akan datang perubahan dalam organisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi. Sebaliknya pula makin cepat masuknya padi, emas-intan, Prajurit dan gadis Indonesia ke tulang rahang, diantara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang, diangkut oleh para pemimpin resmi itu.
Cukuplah pula rasanya selama itu saya pelajari keadaan Rakyat Murba di kota Jakarta, pabrik, kampung dan desa sekitarnya. Buruh, tani, pedagang menengah kecil sudah cukup saya kenal dari dekat sekalip; rumah tangganya, keluarganya, pencahariannya dan senang susahnya serta pekik tangisnya.
Cukuplah pula rasanya saya menuliskan pengetahuan dan pengalaman saya buat hari depan dan akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya, sudah cukuplah rasanya saya memakai uang simpanan, hasil tenaga dan jerih payah selama bertahun-tahun lampau.
Berhubung dengan tiga soal tersebut diatas dan berhubung pula dengan bertambah banyaknya kaki tangan Jepang yang ingin berjasa kepada tuannya, maka saya merasa perlu sekali mendapatkan sekitar baru, suasana baru dan pekerjaan baru, dengan dasar “bekerja untuk hidup dan paham”. “Pekerjaan apa dan dimana” inilah yang menjadi pertanyaan dalam diri saya sendiri sehari-hari. Bekerja dalam kota Jakarta sama sekali tidak saya kehendaki, walaupun ada suatu pekerjaan. Dalam hal timbang menimbang dan cari mencari ini tampaklah berkali-kali dalam surat kabar tulisan yang kira-kira berbunyi:
“Orang-orang terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasehat Balatentara Dai Nippon, Pegangsaan Timur 36, dengan datang sendiri atau mengirimkan keterangan biografi lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak”.
Di pasar Senen saya sudah lama mendengar keterangan, bahwa yang duduk dalam kantor “Penasehat” Balatentara Dai Nippon itu tak kurang, tetapi juga tidak lebih daripada Drs Moh. Hatta, sebagai pegawai tinggi.
Kantor “Penasehat” Balatentara Dai Nippon saya ketahui benar letaknya, tetapi tak pernah menarik perhatian saya. Dan karena yang diminta mendaftarkan diri itu hanya “orang-orang terkemuka” saja dan satu daripada yang terkemuka yang menjadi “penasehat” kantor itu sudah bisa saya duga dalam dangkalnya, maka saya tidak merasa tertarik oleh golongan terkemuka itu.
Tetapi kembali pertanyaan dengan mendesak: “Pekerjaan apa dan dimana?”
Dengan pikiran yang sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang pasti dan dengan kaki yang diayunkan seolah-olah otomatis, tiba-tiba saya masuk ke Gedung Arca. Terus ke kamar perpustakaan. Pembaca agak banyak hari itu, sebagian besar rupanya mahasiswa. Sekonyong-konyong sedang saya membalik-balik halaman buku, pintu dibuka oleh seorang berusia lanjut dan berperawakan tinggi yang katanya dengan suara keras; “Maafkan saya bertanya, siapakah diantara tuan-tuan yang dapat membantu saya! Disini ada tulisan dalam bahasa Inggris, yang saya kurang mengerti!” Mendengar suara itu saya berdiri, agak kemalu-maluan, dibelakang kursi menutupi kemeja dan celana saya yang sudah usang dan tidak disetrika, menunjukkan bahwa mungkin saya sanggup membantu.
Tuan Purbocaroko dibelakangnya baru saya tahu bahwa penanya ini tak kurang dari Dr. Purbocaroko pengurus perpustakaan! Datang mendekati saya sambil membuka buku dan menunjukkan satu kalimat, yang kurang jelas dari pujangga yang masyhur itu. Saya belum pernah baca buku itu, tetapi segera maklum bahwa buku itu ialah buku sejarah. Setelah saya uraikan terjemahan saya, dan mulanya sedikit mendapat bantahan, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Dr. Purbocaroko, maka pujangga itu dengan senyum berkata: Tuan ini dari mana?
Jawab                          : Dari Singapura.
Dr. Pubocaroko           : Apakah pekerjaan tuan disini?
Saya                             : Belum dapat pekerjaan.
Dr. Purbocaroko          : Kenapa tuan tidak pergi ke kantor Sosial, Tanah Abang Oost?

Saya membilang terima kasih atas anjuran Dr. Purbocaroko, yang datang sebagai hadiah dari langit itu. Segera saya pergi ke kantor Sosial itu, menanyakan apakah ada pekerjaan buat saya. Rupanya kantor itu mengurus romusha.
Pegawai kantonr bertanya kepada saya, apakah saya mau bekerja di tambang arang di Bayah? Walaupun saya cuma bisa tahu, bahwa Bayah itu letaknya di Banten, tetapi mendengar perkataan tambang itu saya tidak pikir-pikir lagi. Pegawai meminta saya datang esok harinya. Berjumpa dengan seorang pegawai Indonesia yang datang dari Bayah yang mencari pekerja buat perusahaan arang tersebut.
 Besoknya saya datang. Setelah saya ketahui, bahwa yang dibutuhkan hanya lebih kurang 30 orang saja, tetapi orang yang melamar lebih dari 50 orang, lengkap dengan ijazah dan surat-surat keterangan, dari ijazah SMP sampai SMT dan HBS dimasa Hindia Belanda dan surat keterangan dari KPM, BPM sampai ke kantor post dimasa lampau tersebut, maka saya merasa “kekurangan” karena tidak mempunyai ijazah ataupun surat keterangan. Supaya jangan menghabiskan waktu dan untuk menghindari penolakan, kalau giliran kelak kepada saya, maka saya maju ke depan untuk mengatakan bahwa saya tidak mempunyai ijazah dan surat keterangan. Saya katakan pula, bahwa kalau ijazah dan surat keterangan itu menjadi syarat, yang terpenting, maka lebih baik saya minta izin kembali saja pulang, karena saya tidak mempunyai apa-apa. Tuan pengurus dengan ramah tamah sekali, setelah melihat muka saya dengan cepat, bertanya, apakah saya pernah bekerja, dimana, dan sekolah apakah yang pernah saya kunjungi. Saya jawab, bahwa saya sudah pernah bekerja pada salah satu kantor import Jerman di Singapura. Didikan saya kira-kira sekolah MULO kelas 2. “Jadinya tuan mesti tahu bahasa Inggris” katanya pula. Persangkaan itu saya benarkan. “Tentulah tuan juga tahu bahasa Jerman dan bahasa “Belanda” diteruskan pula. Inipun saya benarkan pula. “Kalau begitu” katanya “tuan tunggulah sebentar”. Setelah sampailah pada giliran saya, maka oleh tuan pengurus Bayah saya disuruh bersiap buat besok pagi berangkat ke Bayah dengan kereta api dari Tanah Abang.
Dengan rombongan lebih dari 30 orang, saya dari pagi hari berangkat ke Bayah. Perjalanan dengan kereta api antara Jakarta dengan Rangkas Bitung tidaklah banyak memberikan pemandangan yang mengandung arti. Buminya datar, adapula yang tanahnya kurus dan alam tidaklah permai. Di Rangkas rombongan kami berhenti. Disinilah jalan yang menuju ke Selatan bersimpang dua. Jalan di sebelah Barat, ialah jalan kereta api, ke selatan berujung di Saketi dan membelok ke Barat sampai ke Labuhan dan berputar kembali ke Jakarta. Jalan sebelah Timur ialah jalan raya yang di selatan berujung di Malimping. Jalan kereta api antara Saketi dan Bayah, melalui Malimping sedang dibikin, belum lagi habis. Tetapi jalan raya antara Malimping dengan Bayah sudah selesai. Jalan inilah yang kami ambil dengan truck.
Jalan Saketi-Bayah mengandung sejarah yang menyedihkan, tak kalah sedihnya dengan jalan dari Anyer ke Banyuwangi. Seperti pembikinan jalan Anyer-Banyuwangi, dimasa Daendels memakan tenaga paksa dan jiwa ribuan bangsa Indonesia buat Imperialisme Belanda, maka pembikinan jalan Saketi Bayah juga memakan ribuan tenaga percuma, tenaga romusha dan jiwanya romusha. Dengan tiada persiapan untuk perumahan, makanan dan kesehatan bagi romusha yang jatuh sakit dan mati disebabkan oleh berat dan susahnya kerja, kekurangan makanan dan obat-obatan beserta cambuknya serdadu Jepang, adalah laksana padi sabit.
Saketi” kata seorang penduduk asli kepada saya, saketi yang berarti seratus ribu itu sekarang sudah melaksanakan artinya! Menurut nujum, maka pada suatu waktu, Saketi Bayah yang jaraknya lebih kurang 150 km itu akan diperhubungkan dengan jalan besi oleh kuda besi. Jalan besi itu akan meminta korban tidak kurang daripada saketi manusia. Demikianlah nujum itu sekarang sudah berlaku!
Saya tidak dapat memastikan benar salahnya saketi (100.000) romusha yang mati buat mendirikan jalan kereta api dari Saketi ke Bayah itu. Saya juga tidak sanggup memeriksa, apakah dongeng dan nujum tersebut sudah terkenal, sebelumnya jalan kereta Saketi Bayah dibentuk. Tetapi dari semua pihak memang saya dengar kabar, bahwa tingginya angka kematian romusha, yang bekerja pada jalan Saketi Bayah sungguh mengerikan. Lagi pula kerusakan jasmani dan rohani serta kemusnahan jiwa, yang saya saksikan sendiri pada tahun pertama saya berada di Bayah, mudah sekali menimbulkan perasaan yang membenarkan nujumnya kampung Saketi itu.
Kira-kira 5-6 kmi jauhnya dari kampung Bayah, di pinggir laut, terletak satu tempat yang dinamai pulau Manuk inilah yang sangat ditakuti terus-menerus. Sedikit sekali diantara romusha yang bekerja disana, yang tidak dihinggapi penyakit yang bisa membawa maut, seperti borok, dysentri dan malaria. Jarang yang hidup kalau sudah dihinggapi salah satu penyakit tersebut. Romusha umumnya kekurangan makanan, obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan disini menuju ajalnya. Pun di kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu mau ini. Ada kalanya di sekitar Bayah terpaksa dikuburkan lebih dari 10 orang dalam satu kuburan, karena kekurangan penggali kubur dan kekurangan perhatian umum. Di musim hujan, mayat yang tertimbun-timbun itu terpaksa pula dimasukkan ke dalam kubur yang digenangi air itu! Dimanakah pula di sekitarnya Bayah itu terdapat masyarakat Indonesia asli, yang cukup besar dan menganut perasaan kebangsaan yang cukup luas dan dalam, yang bisa meluap memprotes dan menuntut pelayanan yang layak bagi romusha yang umumnya datang dari jauh itu, dari Jawa Tengah itu?
Pemandangan yang amat menyedihkan hati inilah yang sangat meliputi perasaan saya pada waktu pertama. Suasana masyrakat Bayah umumnya dan semangat kaum pekerja halus dan kasar khususnya belum membenarkan saya membuka paham, perasaan dan kemauan saya terhadap ribuan romusha yang bekerja mati-matian, yang menderita serangan penyakit berbahaya dan yang mati bergelimpangan di sana-sini itu. Saya sendiri masih perlu lebih dahulu mencari tempat berdiri yang agak tegap sebagai batu loncatan dan tempat yang agak baik untuk mengumpulkan tenaga dan mengerahkan tenaga itu selangkah demi selangkah menghadapi satu hisapan yang melampaui batas dan tindasan, yang asing dari semua perikemanusiaan.
Syahdan Bayah Kozan, adalah salah satu perusahaan arang yang namanya perusahaan partikelir, kepunyaan salah satu daripada keluarga kapitalis Jepang yang ternama ialah Sumitomo. Tetapi perusahaan ini berada dibawah pengawasan tentara Jepang. Modalnya ialah modal partikelir, yakni modalnya keluarga Sumitomo tadi, tetapi hasilnya harus dijual menurut keperluan militer Jepang yang sedang berperang itu.
Sebenarnya salahlah, kalau dikatakan, bahwa Sumitomo-lah yang membelanjai dan memiliki perusahaan Bayah-Kozan itu. Tentara Jepang menyita tanah kita di Banten yang berisi arang itu. Sebagian besar dari alat mesin dan alat tambang di-sita-nya pula dari masa Hindia Belanda. Tenaga dengan upah romusha, upah budak itupun, bisa dilakukan karena pertolongan sangkur-senapannya serdadu Jepang itu pula. Ringkasnya sangkur senapanlah yang mendapatkan tanah, mesin dan tenaga buat Bayah-Kozan itu dan keluarganya Sumitomo-lah yang membelanjai perusahaan “partikelir” dengan harga murah itu.
Dalam brosur RENCANA EKONOMI sudah saya jelaskan sekedarnya, bagaimana jalannya (proses) produksinya tambang arang Bayah-Kozan ini. Dalam brosur tersebut saya namakan perekonomian tersebut EKONOMI MERAMPOK, karena memang semua faktor produksi diperoleh secara rampokan, hal ini tidak perlu saya ulang lagi.
Yang perlu saya sebutkan disini, cuma efisiensinya Bayah-Kozan yang amat rendah itu. Hasil sebulan, kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 100 ton. Hasil yang rendah ini didapat oleh tak kurang daripada 10.000 tenaga romusha. Bahkan di masa permulaan tak kurang daripada 20.000 romusha yang bekerja pada semua bagian tambang Bayah-Kozan, ialah bagian menambang, bagian pengangkutan, listrik, bangunan dan administrasi.
Faktor yang terutama yang mengakibatkan rendahnya produksi, ialah karena memang sedikit sekali arang yang ada, yang bisa dipakai dan digali, kalau dibandingkan dengan tanah arang di Borneo. Kalau perhubungan Jawa dan Seberang tidak terganggu memangnya pembukaan tambang arang Bayah tidak akan dilakukan, karena tidak cukup memberi keuntungan (profitable).  Kecuali pada satu dua tempat arang itu mesti digali dalam sekali. Tebal arangnya biasanya hanya satu meter saja dan panjangnya pohon arang itu (ader) itupun tidak seberapa. Terutama pula arang Bayah masih muda sekali. Selainnya daripada itu mesinnya tidak pula modern, tenaganya, karena tidak mendapat makanan dan pelajaran yang cukup tidak kuat. Akhirnya organisasinya produksi dan administrasi memangnya kurang memuaskan.
20.000 pekerja halus dan kasar pada tahun permulaan dan lebih kurang 10.000 pada waktu hampir menyerahnya Jepang terpencar pada beberapa tempat penggalian arang, ialah di gunung Madur, di Tumang dan Ciahara. Tiap-tiap penggalian mempunyai beberapa lubang. Bayah ialah tempat untuk pusat administrasi.
Lima enam jam lamanya kami bersempit-sempit diantara orang dan barang di dalam truck, diasapi dan dimabukkan oleh asapnya minyak motor, kabarnya minyak tanah, dan terempas-empas, karena batu besar-besar di jalan antara Malimping dan Bayah. Lelah letih serta bingung mabuk kendaraan, maka pada sorenya kami sampai di Bayah. Berdesak-desak pula pada malam pertama kami tinggal di rumah serba bambu beratapkan rumbia.
 Besok kami dibawa ke kantor. Disini kami dipersilahkan menuliskan riwayat masing-masing. Sayapun tidak ketinggalan menuliskan “riwayat” saya. Tidak mudah menuliskan riwayat diri bagi siapapun juga dalam keadaan seperti saya dimasa itu dalam semua pertanyaan yang mesti diisi dalam satu formulir, nyatalah sekali Jepang ingin benar hendak mengetahui, apakah seorang pelamar itu pernah memasuki suatu perkumpulan. Kalau pernah, tentulah dia ingin pula hendak mengetahui kumpulan apakah! Tak perlu dikatakan disini, bahwa kumpulan yang ditindasnya dimana-mana, ialah kumpulan komunuis, orang yang dicarinya, dibencinya serta dihukum, disiksa dan dibunuhnya dimana-mana negeri, ialah orang komunis. Tetapi tak perlu dikatakan disini, bahwa dalam keadaan demikian sama susahlah pula mendapatkan seorang komunis, yang akan membiarkan dirinya ditangkap oleh surat formulir Jepang daripada mendapatkan macan yang menggantungkan diri. Caranya Jepang membasmi komunisme menunjukkan kekolotannya dalam ideology dan kesingkatan akal serta kekejamannya dalam siasat politik.
Ringkasnya “riwayat” saya diterima! Demikianlah sejarah di Bayah saya mulai dengan nama Ilyas Hussein, keluaran MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis sesuatu firma di Singapura. Dengan beberapa orang lagi, tua muda, saya kerjakan di Bayah-kota pada bagian gudang. 
Yang mengenai nama saya, ialah Hussein itu, pada permulaan tidaklah menarik perhatian pekerja dan pegawai Bayah Kozan. Memangnya pula Bayah terletak terpancir sekali di Indonesia dan pekerja serta pengawal di Bayah Kozan untunglah tak ada yang berkenalan dengan saya waktu 20 tahun lampau, walaupun mereka berasal dari hampir semuanya pulau di Indonesia ini.
Yang mengenai didikan, memangnya sedikit mendapat perhatian. Salah seorang Indonesia, kepala dari salah satu bagian kantor, keluaran MULO, sesudahnya kami agak lama kami saling kenal mengenal, merasa dididikan saya seperti yang sudah saya terangkan dalam formulir Jepang itu, agak tidak cocok dengan pendapatnya. Dia ada mempunyai kekuasaan, buat mengerjakannya dan atas kemauannya sendiri, dia mengganti keterangan saya dengan keterangannya sendiri, yang mengatakan, bahwa didikan saya sama dengan didikan dia sendiri, ialah keluaran MULO.
Yang, akhirnya mengenai pekerjaan saya dahulu, sebagai juru tulis mulanya tidak sama sekali cocok dengan pekerjaan saya di Bayah Kozan itu. Di gudang saya lebih banyak mengangkat barang daripada duduk menulis diatas kursi dan meja. Malah saya sama sekali tidak mempunyai meja tulis dan kursi. Kalau terpaksa menulis, maka saya buat meja sendiri dari peti yang agak tinggi dan kursi dari peti yang agak rendah. Selama bekerja itu biasanya saya berdiri, berjalan, atau mengangkat barang, buat diterima, dikirimkan atau dihitung. Tak ada tempat buat duduk, menulis di atas kursi yang empuk, bergoyang senderannya, dengan mesin tulis di atas meja yang licin lengkap dengan teleponnya.
Saya diwajibkan menyusun barang yang tidak tersusun, yang bertaburan dalam gudang. Bagaimana menyusunnya diserahkan kepada saya saja. Kami cuma mendapat seorang dua pembantu buat angkat mengangkat, tetapi karena kebanyakan kerja biasanya saya sendiri yang mengangkat di dalam gudang, yang gelap atau di atas pagu yang panas. 
Barang-barang tambang seperti mesin bor dan pompa, bagian mobil dll bergelimpangan disisi dan belakang gudang, ditimpa hujan dan digenangi air. Di dalam gudan drill (bor tambang) yang mahal harganya campur aduk dengan paku, belincung, baut, pahat, palu, kunci Inggris, gergaji, baja, pemotong, baja angin, bahkan ratusan ribu jumlahnya. Barang-barang itu terus bertambah saja banyaknya didatangkan dari Sukabumi dan Jakarta. Tetapi ada pula yang keluar atas permintaan dari beberapa cabang Bayah Kozan, ialah Tambang Madur, Cihara, dan Cimang. Yang mulanya sangat mengherankan saya, ialah melihat sikapnya sep Jepang, yang kantornya dekat gudang itu juga! Dia dengan senang saja berbulan-bulan melihatkan barang yang mahal dan murah, halus dan kasar campur aduk bertaburan disana-sini.
Tetapi dibelakangnya saya mengerti, bahwa ketidakpedulian Jepang itu, ialah terutama karena ratusan ribu potong barang itu, yang harganya mungkin sekali lebih dari satu juta rupiah (uang lama) adalah barang gedoran atau dibelakang hari dibeli dengan harga murah. Sep-Jepang tadi sudah lama tinggal di Indonesia dan dulu bekerja pada salah satu firma Jepang, tentulah insyaf benar akan pentingnya alat besi dan mesin diwaktu perang itu. Dimasa lampau, pastilah dia seperti teman sakuranya yang lain-lain, seorang pedagang Jepang yang hemat cermat, yang dengan teliti menghitung keluar masuknya satu dua sen, sepotong atau dua potong paku pun. Tetapi karena puluhan ribu barang tersebut diatas didapatnya dengan mudah sekali, maka sukarlah baginya memberikan perhatian penuh kepada barang itu.
Perhatian tak peduli itu segera bertukar menjadi perhatian penuh, malah kekuatiran, apabila akibatnya blokade Sekutu semakin terasa oleh militer Jepang di Indonesia dan barang lama dari besi semakin sukar diperoleh. Pertukaran sikap dari tak peduli menjadi kuatir inilah yang rupanya mendesak Bayah Kozan, supaya berhemat dengan barang yang lama. Janganlah barang itu dibuang-buang atau dibiarkan lapuk kena hujan seperti biasanya! Itulah rupanya sebabnya kami diterima buat dipekerjakan di gudang, untuk mengadakan perhitungan jenis dan jumlahnya barang, mengadakan pendaftaran barang, yang teratur, mencatatkan keluar masuknya barang setiap hari dan mengadakan perhitungan (stockopname) dua kali sebulan.
Mudah sekali buat sep-Jepang itu memerintahkan mengadakan perhitungan dua kali sebulan kepada kami, tetapi tidak semuanya diantara kami yang sanggup mengerjakannya. Tidak saja barang yang ada itu campur aduk, tak diketahui banyak dan jenisnya, tetapi datangnya bermacam barang juga tak ada batas dan ketentuan jamnya, siang dan malam. Permintaan atas barang ini atau itupun tidak terbatas waktunya. Ditambah pula kekurang-ajaran Jepang, yang keluar masuk gudang, melempar-lemparkan barang yang sudah disusun dan memilih barang yang bagus menurut pikirannya sendiri saja. Seringkali pula barang yang belum dicatatkan sudah dipegang, dan disuruh angkatnya ke tempat bekerjanya karena “bagus” menurut pikirannya. Adakalanya dengan tidak diketahui barang mahal umpamanya baja angin, sudah masuk ke dalam kantongnya dan setelah sampain dilain tempat, baru ketahuan oleh kami kemana perginya. Tentulah harus didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa didapatkan kembali. Bahwa kami tanggung jawab atas keluar masuknya barang itu dan bahwa tambang yang lain juga suka kepada barang yang “bagus” itu, tidak perlu dipikirkan oleh “saudara tua”. Kalau kita tidak sabar dan tidak tegap melarang atau menolak sikap Jepang yang tidak senonoh, maka perkelahianlah yang akan terjadi dengan anak dewa itu setiap hari.
Stockopname, perhitungan sisa keluar masuknya barang dua kali sebulan itu tidaklah dapat dilakukan, kalau barang yang sudah ada belum diketahui jenis dan banyaknya, setiap jenis. Jadi sebelumnya stockopname dijalankan, haruslah lebih dahulu diadakan pendaftaran! Inilah pekerjaan yang berat dan sukar. Ambillah saja satu jenis barang seperti kunci (slot). Kunci itu ada yang didatangkan dari Amerika yang made in “U.S.A”. Adapula kunci yang paling murah, tetapi paling buruk ialah “made in Japan”. Negara asalnya kunci itu harus dipisahkan. Pendaftaran yang begitu belum lagi memberi kepastian apa-apa. Namanya kunci tadi hatus dicatat pula, supaya yang datang dari Amerika tadi umpamanya Yale, jangan disamakan dengan nama “Yala” ialah bikinan Jepang. Atau lebih tepat tiruan atau penipuan Jepang. Maksud Jepang melanggar aturan internasional (yaitu hak paten Amerika itu), ialah supaya bisa menjual kunci yang sama bunyi namanya (Yale dan Yala) lebih murah harganya. Tetapi berlainan sekali qualitetnya, kekuatannya. Setelah selesai asal dan nama dipisahkan, barulah diambil ukurannya. Apabila dipikirkan, bahwa barang yang seasal seperti kunci tadi bertaburan disana-sini tertimbun oleh barang-barang lain, dan kunci yang seasal, senama dan seukuran itu tidak didapat pada suatu tempat saja, maka barulah dimengerti, bahwa untuk mendaftarkan satu macam barang, yang seasal, senama dan seukuran saja bisa menghabiskan waktu berhari-hari. Apalagi harus mendaftarkan berjenis-jenis barang, yang berasal dari berlainan negara, yang mempunyai cap dan ukuran yang berbeda!! Acapkali pula terjadi, apabila jenis, nama dan ukuran sesuatu barang sudah selesai didaftarkan, maka pada suatu ketika didapatlah pula di tempat lain barang sejenisnya dan senama dengan yang sudah didaftarkan itu. Daftar yang sudah selesai dan bagus rasanya itu harus dirobek-robek dan diganti dengan yang baru. Tambahan saja biasanya tidak memadai.
Pernah datang barang Jepang, yang tidak mempunyai cap dan nama, yang terdiri dari bermacam-macam onderdil, bagian mesin. Sep-Jepangpun tak tahu namanya! Bagaimana mendaftarkan barang semacam itu? Saya tahu, bahwa mungkin sekali dibelakang hari tiba-tiba datang pertanyaan tentang barang yang tidak seorang pun diantara kami yang mengetahui nama dan merk-nya itu. Sebagai persiapan dengan lekas, maka barang itu saya gambar dan susun pada tempat terpisah.
Kebetulan pula sep-Jepang pada suatu hari terdesak oleh Jepang yang lebih tinggi pangkatnya, yang baru datang dari Jakarta, menanyakan barang tadi. Ini kali saya melihat sep-Jepang itu ketakutan! Dengan suara kecil dan keringatan dia datang dan mendekati saya menanyakan tempat dan keadaan barang itu. Karena saya tahu, bahwa dia sendiri tidak mengetahui nama barang itu maka saya bertanyakan nama barang itu. Tentulah dia sendiri tidak dapat memberi jawab. Keringatnya semakin keluar! Barulah saya ambil gambaran barang itu dan bertanyakan, apakah barang itu yang dimaksudnya. Baru dia senyum, dan bernafas lega dan dengan suara yang jauh lebih rendah daripada biasa, sekarang dia minta kepada saya menunjukkan tempatnya barang-barang itu. Setelah saya bawa dia ke tempat yang saya pisahkan itu, maka dengan langkah lebih tegap dia pergi kembali ke kantornya mempersilahkan Jepang “sep dari sep-nya” itu melihat barang-barang yang dimaksudnya itu. Semenjak itu sep Jepang mulai berlaku sedikit merendah terhadap saya Hussein, pekerja gudang.
Jepang yang lancang dan kurang ajar, yang masuk ke gudang, mengangkat dan memilih barang yang “bagus” semau-maunya itu dengan “pengetahuan” bisa pula ditundukkan. Kalau dia dengan langkah dan suara congkaknya bertanyakan ini atau itu, maka saya dahului dengan pertanyaan: cap (merk) apa dan ukuran apa? Biasanya dia malu, kalau dia sendiri sebagai “ahli” ini atau itu tidak bisa menjawab. Tetapi kalau dia bisa menjawab dan dengan lekas pula kita bisa menunjukkan, yang dimaksudnya, maka kelancangannya turun. Memangnya dalam hal inipun “pengetahuan itu sudah kekuasaan”. Itulah memangnya guna pendaftaran itu bagi saya sendiri.
Berhubung dengan pekerjaan yang berat dan sukar itu, maka tidaklah mengharapkan, kalau hari-hari terjadi percekcokan antara kami pekerja Indonesia baru dengan yang baru, diantara kami pekerja Indonesia baru dengan pegawai Indonesia gudang lama, dan akhirnya diantara kami dengan sep-Jepang. Diantara kami tujuh orang baru, selainnya daripada saya sebagai orang termasuk golongan baru, adalagi dua orang tua yang lain-lain. Mereka banyak mempunyai pengalaman pada maskapai besar, seperti BPM, Borsumy dll, pada kantor pos, di masa Hindia Belanda. Tetapi mereka boleh dikatakan tidak sanggup bekerja di Gudang Bayah Kozan tadi. Mereka yang sudah biasa bekerja dengan sistem yang pasti, pembagian kerja yang jelas dan pekerjaan yang biasanya enteng, tak betah (tahan) kerja di gudang. Diantara empat pemuda yang sama masuk dengan saya cuma satu orang yang benar tahan uji. Yang lainnya minta berhenti, lari atau minta dipindahkan.
Setelah lebih kurang enam bulan lamanya kami merangkak dalam gelap mencari paku, pahat dll memanjat ke atas pagu mengumpulkan pipa karet, bor, pompa, kompas dan lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji, dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mendaftarkan barang itu, menerima yang baru dan mengeluarkan yang lama, serta dua kali sebulan mengadakan stockopname, maka selesailah pekerjaan kami. Tenaga yang muda yang kurang upah dan pengalamannya sudah boleh dipakai sebagai ganti. Beberapa orang diantara kami pada suatu hari dipindahkan ke kantor pusat. Tetapi tidak berapa lama dibelakangnya, maka diantara kami tiga orang tua yang pindah ke kantor cuma saya sendiri yang tinggal. Yang dua lagi diperhatikan. Diantara empat pemuda, maka cuma seorang pula yang tetap terpakai di Bayah. Demikianlah akhirnya sesudah lebih dari setengah tahun. Diantara tujuh orang yang masuk gudang cuma seorang muda dan saya sendiri yang “betah” bekerja di Bayah.
Pekerjaan kantor berlainan sifatnya dengan di gudang. Di kantor saya tidak lagi berurusan dengan barang, tetapi dengan orang. Pekerjaan saya ialah mendaftarkan romusha yang masuk dan keluar di Bayah Kozan setiap hari, dan mengadakan perhitungan sisa-sisa tiap bulan. Saya sudah diberi meja tulis, mesin tulis, laci, lemari dan kunci sendiri serta dua orang pemudi pembantu.
Sebenarnya semua pekerjaan halal menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas dan baik mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak “lekas beres”, dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur lebarnya kepala pakupun tidak terkecuali! Yang saya ingini sedang bekerja itu ialah supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah diperingati. Rupanya pada sejarah itu kita bekerjapun berlaku proses sebagai berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya, keberesanpun mempengaruhi pekerjaan kita. Tetapi dalam mengerjakan penerimaan dan pengiriman romusha ada hal yang lain-lain yang sangat menarik hati saya. Benar-benar disini keberesan itu memeluk semua perhatian saya.
Seperti diketahui, maka pemerintah tentara Jepang, memerintahkan semua daerah Jawa mengirimkan romusha kemana-mana di Indonesia dan luar Indonesia. Sebagian daripada romusha itu diperintahkan untuk dikirimkan ke Bayah. Biasanya tuan Son-Co (ass. Wedana) mendapat perintah menyiapkan sekian romusha buat dikirimkan ke Bayah pada sekian waktu. Seperti pada semua hal yang lain-lain, dalam hal pengiriman romusha pun, serdadu Jepang hanya tahu beres saja. Arang mesti dapat! Di Bayah ada Tambang Arang! Buat menggali arang di Bayah itu mesti ada romusha dan mesti lekas ada!!
Dalam hal tersebut diatas, maka seseorang anggota pamong projo bisa mengambil salah satu daripada beberapa sikap seperti di bawah ini:
1.      Dia bisa tolak perintah Jepang itu.
2.      Dia bisa minta berhenti.
3.      Dia bisa menerima perintah itu dan jalankan dengan jujur.
4.      Dia bisa menerima perintah itu tetapi mensabotir perjalanannya.

Seseorang anggota pamong projo, bukan anggota lagi, atau tidak akan adalagi sama sekali di dunia fana ini kalau dia jalankan sikap No. 1, ialah tolak perintah Jepang. Mungkin dia akan berada dalam penjara Jepang, atau di dalam kubur. Pun sikap No. 2 tidak mudah terjadi pula. Jepang mempunyai kekuasaan penuh buat menjalankan perintah dengan halus atau memaksa dengan pedang samurainya seorang “saudara muda” yang tidak mau “bekerja sama” dengan tentara Dai Nippon “untuk kemenangan Asia Timur Raya”.
Memang ada terdapat beberapa orang anggota pamong projo, yang menjalankan perintah mencari romusha itu dengan jujur. Kalau ada anggota pamong projo yang jujur bekerja di bawah telapak sepatu Belanda, kenapa tak ada yang jujur mencari kedudukan di bawah telapak kaki serdadu Jepang? Bahkan ada diantara mereka, yang menambah kejujurannya itu dengan persembahan anak gadisnya kepada anak dewa dari negara Matahari terbit itu.
Sikap yang juga diambil oleh anggota pangreh praja, dalam hal tersebut diatas, ialah sikap No. 4, terima perintah dan dijalankan dengan sabotase. Kalau Jepang meminta umpamanya 300 orang, buat Bayah, dari salah satu daerah, pada tanggal sekian, maka Son-Co disamping sebagian orang yang memang kuat, juga mengirimkan orang dari desanya, yang dianggap tidak baik, seperti pencuri, penganggur dan pengemis. Maksudnya cuma buat mengisi daftar nama 300 orang, buat dikirimkan pada hari yang ditetapkan oleh Jepang.
Tetapi tidak saja Jepang yang dikenali oleh Son-Co kita ini. buat memenuhi angka permintaan Jepang pada waktu itu, maka dia terpaksa atau dengan sekehendak hatinya melakukan tipu muslihat. Petani yang sedang mencangkul (umpamanya saja), diperintahkan datang ke kecamatan buat berlatih. Disana truck sudah siap untuk berangkat. Tetapi tidak lama di jalan barulah petani kita yang umpamanya buta huruf itu, bertanya pada diri sendiri, atau kepada teman-teman, dimanakah tempat latihan itu. Tentulah tidak seoranga pun tahu, kecuali pemimpin rombongan (dan-co). Yang diketahui oleh kebanyakan penumpang cuma cangkul masih terlantar di sawah, serta anak istri tidak diberitahukan lebih dahulu, bahwa mereka akan disuruh “berlatih”. Setelah sampai di Jakarta atau Rangkas, barulah kebanyakan mereka insyaf, bahwa mereka akan dipekerjakan di Bayah sebagai romusha.
Banyak yang putus asa, sesudah tipu muslihat seperti salah satu contoh diatas, diketahui oleh para penumpang. Mereka setelah merasa pasti akan dibawa ke Bayah, lari ketika kereta berhenti di stasiun atau meloncat dari kereta yang sedang berjalan. Kematian dan kerusakan badan, karena meloncat keluar kereta, ketika menuju ke Bayah itu banyak yang dilemparkan kepada kami.
Selain daripada mereka yang memang kuat, walaupun tertipu banyak pula penganggur atau pengemis yang ikut memancing uang “saku” sebelum berangkat, ada pula yang ditipu oleh Son-co buat mengisi daftar. Adapula yang menggantikan saudara ataupun bapaknya yang sudah dicatatkan dalam daftar, tetapi keberatan berangkat. Semuanya ini yang amat menyusahkan pekerjaan kami penerima romusha di Bayah. Bahwa diantara kiriman yang 300 di atas kertas itu biasanya cuma 200 orang ataupun kurang yan sampai di Bayah, setelah tiga atau empat hari di jalan. Perihal ini saja sudah sangat menyusahkan penermaan di kantor kami. Daftar yang kami terima dari daerah romusha, seperti Solo, Kediri dan lain-lain tentang nama, keluarga, umur, pekerjaan, desa, kabupaten dan daerah romusha harus kami cocokkan dengan romusha yang benar-benar kami terima. Kalau umpamanya 100 orang yang hilang, maka hal ini saja berhubung dengan balasan surat kami kepada daerah yang mengirimkan romusha itu dan berhubung dengan ongkos-ongkos di jalan sudah memusingkan pemeriksaan. Apalagi kalau mesti mencocokkan nama romusha Senen yang tertulis hitam diatas putih dengan romusha Rebo yang kita hadapi, sebagai pengganti atau penyelundup dengan tidak setahunya membuat daftar di daerahnya, maka pemeriksaan itu bisa banyak menghabiskan waktu. Kita berurusan dengan buta huruf yang enggan, yang tertipu, yang ingin kembali ke desa dan memakai seribu satu muslihat buat melepaskan diri dari ikatan sebagai romusha. Tetapi nama, keluarga dan lain-lain itu harus diketahui! Karena ada romusha yang hilang di jalan, maka tentulah kami sendiri tidak mau membiarkannya begitu saja. Buat Jepang yang hilang itu adalah perkara kecil. Dia mudah mendapatkan penggantinya. Buat kami perkara itu adalah perkara sakit sehatnya, hidup matinya seorang dari rakyat, yang biasanya bodoh tidak tahu jalan. Kalau hilang, kami mau tahu kemana hilangnya dan laporkan ke daerahnya, supaya diurus keselamatannya. Kejelasan tentang nama, keluarga, desa, daerah dan lain-lain itu perlu, karena pada ketika itu, juga atas anjuran kami orang Indonesia, Bayah Kozan, mengirimkan sokongan yang tertentu kepada keluarganya romusha yang bekerja pada Bayah Kozan. Pendeknya kami sendiri merasa berkewajiban menentukan berapa romusha yang dikirim, berapa yang sampai, berapa yang hilang, siapa dan dimana tempat dan siapa keluarganya yang sampai di Bayah atau hilang di jalan.
Setelah diketahui berapa yang sampai di Bayah, berapa yang hilang, maka barulah diadakan saringan. Yang tidak kuat, karena lemah atau mengandung penyakit segera dikirimkan kembali ke desanya. Mereka ini dinamakan pekiran (afkeeren). Yang sampai di Bayah dikurangi dengan pekiran itulah yang akan tinggal di Bayah Kozan, selama tiga bulan. Kepada mereka akan diberi pekerjaan menurut kekuatan badan dan pengalaman masing-masing. Yang tukang segera dipisahkan dengan yang bukan. Tukang besi, kayu, batu dan lain-lain, akan dipekerjakan pada tempat yang bersangkutan dengan ketukangannya dan mendapat pelayanan yang lebih baik daripada temannya yang lain-lain. Sisa yang terakhir, ialah yang unskilled (bukan tukang) dibagi-bagi pula, semata-mata menurut kekuatan badan. Biasanya mereka terbagi atas tiga golongan, ialah yang kuat, lemah dan sedang. Yang kuat dipekerjakan di dalam tambang dengan upah sampai F.1,- sehari dan beras 400 gram sehari. Yang lainnya bekerja memotong kayu di hutan, mencangkul dan mengangkut dan lain-lain dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras 250 gram seorang sehari. Menurut pengalaman saya, maka Kedirilah diantara semua daerah dipulau Jawa yang tinggi persentase, tentang kekuatan dan kesehatan romusha.
Demikianlah setelah saringan terakhir dijalankan, maka sisa dari yang tertulis diatas daftar pengiriman dikurangi dengan yang lari, sakit dan pekiraan dan lain-lain tidaklah berapa lagi banyaknya. Sisa bersih daripada yang datang dari Solo atau Bojonegoro biasanya tidak lebih daripada 50%. Sering pula kurang daripada itu, sehingga sangat memberatkan ongkos pengiriman pulang pergi. Kekecilan persentase itu sebagiannya disebabkan oleh kemiskinan rakyat daerah itu, tetapi mungkin juga menunjukkan akibat sabotase pamong praja atau akibat “siasat” yang dilakukan oleh rakyat sebagai akibat dari semua faktor tersebut diatas. Sebaliknya mungkin pula tingginya persentase Kediri, menunjukkan kekuatan badan rakyat disana, dan ketaatan pamong praja di Kediri.
Apabila pendaftaran sudah selesai, maka romusha yang akan dipekerjakan dipisahkan dari yang akan dikirim pulang kembali. Yang akan dipekerjakan itu dibagi-bagi buat dikirimkan di tiga cabang Bayah Kozan itu. pendaftaran mereka untuk masing-masing cabang segera dilakukan dengan cepat. Begitu pula pendaftaran mereka, yang akan dikembalikan ke desanya masing-masing. Truck-truck pengangkut ke cabang, dan tempat tinggal, serta makanan mereka harus dipersiapkan lebih dahulu. Sibuknya pekerjaan terjadi, kalau selainnya daripada menerima romusha, dari daerah, pada hari itu pula harus dipulangkan ratusan romusha, yang sudah habis perjanjiannya ke daerah masing-masing. Tidak jarang terjadi pada satu hari terpaksa kami mengurus romusha pulang pergi yang tidak berapa kurangnya daripada 1000 orang. Kalau dipikirkan pula betapa sempitnya semua “bangsal” romusha yang ada di Bayah, betapa sulitnya mendapatkan makanan dimasa itu, mengertilah pembaca bahwa pekerjaan kami membutuhkan waktu yang banyak sekali, perhatian sepenuhnya kesemua jurusan, teristimewa pula ke jurusan kesosialan. Sebelumnya saya mengerjakan pekerjaan menerima dan memulangkan romusha ini, maka sudah dua tiga orang yang berhenti karena tidak sanggup menjalankannya.
Bagi diri saya sendiri pekerjaan ini pula yang sekolah kesosialan yang selengkap-lengkapnya. Sehari saja berurusan dengan seratus romusha dari salah satu daerah, kita sudah bisa mendapatkan gambaran yang agak cocok dengan keadaan rakyat pada daerah itu. Dipandang dari sudut politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Disini pula kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia, yang menjadi korban militerisme Jepang dan korban persetujuan serta proganda para pemimpin.
Bermula dengan para dan co romusha, yang mendapat perhubungan dan kesempatan memberi nasehat yang dirasa berguna untuk keselamatan romusha, berhubung dengan upah dan kesehatan: “Jagalah supaya upah romusha yang sudah rendah itu semuanya sampai ke tangannya! Janganlah romusha disuruh kerja lebih dari waktunya atau di tempat yang tidak sehat atau berbahaya!” demikianlah biasanya bunyi nasehat itu! Selalu dijelaskan pula, bahaya bagi seorang romusha, yang tidak mempunyai uang sepeser di kantongnya, yang mencoba melarikan diri kembali ke desanya di Jawa Tengah. Kebanyakan diantara mereka akan tidak sampai pulang, melainkan sakit atau mati kelaparan di jalan. Ribuan romusha kurus kering bergelandangan diantara Bayah dan Jawa Tengah, terdiri dari mereka yang mencoba melarikan diri inilah. Selalu diusulkan, supaya pada dan co bersatu dengan yang dipimpinnya dalam kesenangan, apalagi dalam kesusahan. Pula dimajukan, bahwa kalau tambang, yang mau memegang romusha lebih daripada tiga bulan menurut perjanjian, maka kami di pusat akan mengurusnya.
Pula dengan rumah sakit, yang memeriksa kesehatan romusha, kami mendapat persetujuan, supaya sebanyak-banyaknya di pikir, supaya boleh dengan segera dipulangkan. Begitu pula dengan para pegawai cabangnya sendiri semangat melayani golongan terhisap tertindas dengan sebaik-baiknya didapati persetujuan. Disamping itu, diusahakan pula, supaya seboleh-bolehnya janganlah Jepang campur mengatur apa yang berhubungan dengan keselamatan romusha dan kalau perlu serempak bertindak melawan kekurangajaran dan keganasan Jepang. Pendeknya dari romusha sampai ke pegawai yang paling tinggi saya berusaha mengadakan persatuan dan keinginan tolong-menolong, menghadapi hisapan dan tindasan yang kejam dan keji dari penjajah yang bersenjata lengkap.
Lapang terlalu untuk kami buat langsung terbuka berpropaganda, apakah pula menganjurkan tindakan yang radikal kepada kaum romusha tambang Bayah. Romusha dikehendaki oleh tentara Jepang, disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan oleh para pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalankan oleh para pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalanka oleh pamong praja. Kami cumamenghadapi keadaan yang sudah ada saja, satu fait accompli saja. Kaum romusha terikat kepada perjanjian tiga bulan kerja, dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras pukul rata 250 gram sehari. Keadaan pekerja “sukarela” dibelakang hari, yang terdiri dari Seinendan, tidak berbeda dengan keadaan romusha biasa. Seinendan, yang datang dari Pekalongan dan Kedu dengan pakaian besih, koper, bendera berkibar serta berbaris sambil menyanyi, setelah perjanjian habis, ialah sebulan, maka pulangnya mereka, dengan jumlah yang kurang dari ketika datangnya di Bayah, dengan baju compang-camping, koper terjual, badan kurus kering dan sering dengan malaria, borok atau dysentri. Berhubung dengan singkatnya waktu buat romusha untuk dipekerjakan, yakni tiga bulan, bersangkutan pula dengan larangan Jepang mendirikan kumpulan yang diluar yang resmi dan takutnya romusha dan rakyat dimasa itu kepada Jepang, maka tidak dapat dipikirkan buat mendirikan Serikat Sekerja buat kaum romusha itu. Apalagi Serikat Sekerja untuk Seinendan, yang datang buat satu bulan saja dan bekerja denga “sukarela” pula. Diantara pegawai dan juru tulis kantor dan para tukang bengkel, atau pekerja dibagian listrikpun masih belum dapat didirikan Serikat Sekerja. Bukan saja larangan Jepang dan penjagaannya keras sekali, tetapi diantara pegawai dan tukang banyak pula orang terdapat yang tertipu oleh propaganda Jepang dan para “pemimpin” resmi. Pada permulaan saya diam di Bayah, banyak sekali diantara pegawai Indonesia yang lebih pro-Jepang daripada Jepangnya sendiri. Usaha membuat kumpulan rahasia di masa Jepang berarti menentang bahaya maut.
Tetapi semuanya ini tidak berarti, bahwa kita harus berpangku tangan saja. Cuma caranya  menjalankan propaganda rahasia berlainan dengan keadaan semacam itu! Walaupun organisasi resmi yang formal tidak boleh didirkan, tetapi “semangat” revolusioner boleh digembleng dan dikoordinir dan kalau waktunya datang, maka semangat yang sudah siap tergembleng dan dikoordinir itu dengan segera dapat menggerakkan ribuan pegawai, tukang dan romusha di Bayah Kozan itu. Persiapan kesana tidak cukup diadakan dengan bisikan atau kritikan dalam gelap saja, tetapi terutama dengan mengadakan perhubungan dari hari ke hari dengan Murba di Bayah, ialah kaum buruh, petani dan pegawai. Perhubungan yang sejitu-jitunya ialah usaha yang jujur dan terus menerus, melayani kepentingan Murba di bayah dengan tidak mengenal payah, putus asa, jemu dan takut akan konsekuensinya pekerjaan yang cuma dapat kita pertanggungjawabkan kepada masyarakat dan diri sendiri. Kepercayaan yang diperoleh dari Murba itu, adalah ibarat listrik yang terpendam yang kalau saatnya sampai dengan menekan knop saja, bisa membangunkan kekuatan yang nyata. Berapapun sempitnya lapang bekerja di bawah himpitan militerisme Jepang, tetapi masih cukup bahan dan kemungkinan untuk mengadakan bahan peledak dibawah himpitan itu!
Agak berpihak (one-sided) penjelasan yang saya berikan tentang Jepang selama ini. Terpaksa begitu, karena saya memandang dari sudut Kemerdekaan Indonesia terhadap militerisme Jepang. Tetapi tentulah sudah dimengerti oleh pembaca yang bijaksana, bahwa militerisme Jepang tidak sama dengan rakyat Jepang. Rakyat Jepang terdiri dari bermacam-macam golongan dan menganut berbagai aliran politik. Di Jepangpun tiada sedikit rakyat, terutama diantara buruh, tani dan intellegensia rendahan, yang terbuka atau tertutup menentang militerisme, kapitalisme dan imperialisme Jepang. Tentulah banyak pula diantara buruh, tani, intellegensia Jepang di negeri Jepang itu yang sepaham dengan sebagian buruh, tani dan intellegensia Indonesia.
 Dalam masyarakat Jepang yang kecil di Bayah Kozan itu tidak seluruhnya terbayang masyarakat Jepang umumnya. Tetapi sebagian kecil terbayang juga! Di bayah Kozan kita tidak mempunyai ular politik dan diplomasi seperti Simizu, Miyosi dan lain-lain, ataupun singa perang seperti Jenderal Imamura. Bayah Kozan bukanlah suatu instansi (tingkat) pemerintahan ataupun kemiliteran Jepang. Bayah Kozan cuma satu perusahaan arang swasta yang diawasi oleh Pemerintah Militer Jepang. Seperti dimana ada organisasi penting lainnya bagi tentara Jepang, begitu pula pada perusahaan penting, seperti ditambang arang ini Jepang menanam kempe-tai dengan kempei-ho pembantunya. Si Kempetai tentu menjaga supaya jangan terjadi sabotase ataupun pemogokan dalam perusahaan arang ini. tetapi selainnya dari seorang kempei dan dan seorang sidokang, pemimpin PETA, maka orang Jepang yang lain-lain adalah pemimpin perusahaan teknik dan dagang. Memang mereka umumnya pencinta negaranya, tetapi mereka umumnya warga negara Jepang biasa saja.
Pemimpin umum (So-moo) di pusat administrasi, ialah di Bayah Kota, adalah seorang ahli hukum yang muda. Mungkin pahamnya lebih kiri daripada paham liberal. Dikatakannya pada suatu hari kepada kami, bahwa ahli sejarah di Jepang ada bermacam-macam: “Ada ahli sejarah feodal, ahli sejarah liberal, ahli sejarah sosialistis, bahkan ada pula ahli sejarah yang berpaham komunistis”. Dengan tidak memberi kepastian sedikitpun, bahwa dia seorang radikal, tetapi dari perkataannya tadi sudah dapat dipahami bahwa dia sedikitnya mempunyai pandangan yang luas. Tingkah lakunya-pun menunjukkan keliberalannya. Dia mau diajak menonton sandiwara yang kami atur sendiri berjam-jam lamanya, meskipun dia sedikit saja mengerti.
Permintaan uang ribuah rupiah untuk sport, musik dan sandiwara, wayang dan lain-lain, buat menghibur pegawai dan romusha, makan dan sekedarnya pakaian buat penjamu dan pembantu romusha tak pernah ditolaknya.
Pengurus bagian pekerja dan romusha, bagian Romu, adalah seorang yang pula dengan perkataan dan perbuatan menunjukkan hati lapang dan pri kemanusiaan. Dia bukan keluaran sekolah tinggi dan pangkatnya dalam ketentaraan cuma kapten saja. Tak pernah dia ketinggalan menjemput romusha yang baru datang dari daerah atau mengantarkan romusha yang hendak pulang, walaupun dihari hujan. Jam empat pagi dia sudah ada di stasiun untuk mengantarkan romusha yang pulang, memberikan obat-obatan dan menjemur romusha. Kalau ada diantara romusha yang memang tidak berpakaian lagi, maka dengan tidak menunggu lagi dia memberikan kain sedapatnya kepunyaannya sendiri kepada romusha itu. Tingkah laku semacam ini jarang sekali terdapat diantara orang Jepang yang lain-lain di Bayah. Memangnya Jepang inipun membela kepentingan negaranya, tetapi tidak dengan cara yang menambah remuk rusaknya kaum romusha, yang tiada berdaya itu!
Tetapi jarang orang yang baik terdapat diantara Jepang yang bekerja pada cabang Bayah Kozan. Kebanyakan pemabuk, penampar dan pemelihara pelayan. Pernah mereka membuat huru-hara ke kantor pusat di Bayah, tetapi segera kami layani dengan cepat. Di belakang hari kami berusaha membasmi semua keterlaluan itu di cabang itu sendiri. Memang karena gara-garanya Jepang dari cabang itu satu dua kali hampir terjadi perkelahian antara pegawai Indonesia dengan semua sep Jepang dari semua bagian di kantor bagian di kantor pusat sendiri. Tetapi untunglah perkelahian itu dapat diundurkan, dapat diselesaikan dengan pembicaraan saja. Dan bentrokan itu menambah jernihnya suasana dan mempertinggi penghargaan orang Jepang di kantor pusat terhadap orang Indonesia.
Seperti di gudang, maka kantor pusatpun memang ada perselisihan paham antara sep-Jepang dengan saya. Tetapi tidak mengenai pekerjaan. Dalam pekerjaan saya jaga supaya si Jepang jangan mendapat alasan buat, mengkritik pekerjaan saya. Memangnya pula tak pernah terjadi. Dia membiarkan saya memakai sistem saya sendiri, malah selalu betanya sistem apa yang baik buat sesuatu pekerjaan.
Dalam suasana saya merasa sudah mendapatkan sedikit penghargaan sebagai pekerja dan persahabatan yang lebih rapat antara saya dengan para pegawai, pemuda dan pekerja Bayah umumnya, maka barulah saya rasa datang waktunya buat melangkahkan kaki lebih lanjut lagi. Pada suatu malam hiburan dan jadangkai rapat sambil mengomong untuk semuanya kantor, baik Jepang ataupun Indonesia, maka oleh pengurus Jepang ditanyakan kepada kami apakah yang kami rasakan sesuatu kekurangan.
Sesudah pegawai lama mengeluarkan pendapat masing-masing, maka sayapun tampil memajukan pemandangan saya. Tentu berlainan dengan pembicara yang sudah tidak memajukan nasib kami para pegawai sendiri. Memang gaji pegawai belum mencukupi buat diri sendiri dan keluarga (kebanyakan diantara F. 30,- dan F. 80,- sebulan dan satu dua orang F. 125,- dan F. 150,- sebulan), tetapi kalau dibandingkan dengan gaji romusha yang F 0,40,- sehari itu dengan kerja berat seperti kuda beban, maka perbandingan itu amat mencolok mata. Bagi seseorang “pecinta bangsa” perihal ini mestinya menggarut perasaan hati. Apalagi, kalau dipikirkan sandang dan pangan serta kesehatan para romusha. Angka kematian romusha sebulan pada masa itu berkisar antara 400 sampai 500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha. Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah belum lagi masuk hitungan.
Keadaan yang selalu menganggu perasaan hati saya itulah yang saya bentangkan pada malam itu. Saya kemukakan bahwa semua pelarian, penyakit bahkan kematian sebanyak itu bisa dihindarkan, kalau keperluan hidup romusha diperbaiki, maka tidak ada yang perlu Bayah Kozan mencari romusha, melainkan sebaliknya kaum buruh dari mana-mana akan datang dengan sendirinya mencari Bayah Kozan. Sebaliknya pula jika kaum tani yang kuat akan datang ke Bayah terus menerus, tetapi setelah tiga bulan bekerja di Bayah mereka kembali ke desanya dengan penyakit borok, dysentri dan malaria atau tidak akan kembali, karena sudah mati di Bayah atau di jalan, maka sesudah beberapa tahun saja Indonesia akan kehilangan tenaga, ialah harta nasional Indonesia yang tidak bisa ditaksir nilainya dengan uang. Dan Bayah akan terus menjadi momok buat rakyat Indonesia. Saya anjurkan supaya Bayah Kozan memperbaiki nasib kaum romusha seluruhnya sebelum terlambat. Saya sudahi pidato saya dengan perkataan “ Prevention is better than cure” (menolak penyakit itu lebih baik daripada mengobati).
Orang Jepang pengurus bagian umum (So-moo) dan pengurus bagian pekerja (Romu) rupanya memberikan perhatian penuh pada pidato saya. Pengurus So moo orang Indonesia, yang menerima saya di Jakartalah yang memberi sambutan dan melahirkan persetujuan. Kemudian tampillah seorang pemuda dari Jawa Tengah, yang juga menyatakan persetujuannya. Pemuda inilah yang dikemudian hari menjadi salah seorang pembantu yang paling rajin. 
Semenjak itu saya merasa benar-benar perbedaan penghargaan para pegawai terhadap saya. Pada permulaan bekerja, gaji kami dua-tiga orang, yang pokoknya dimulai dengan F.60,-sebulan itu menyebabkan amarahnya beberapa pegawai lama dan menyebabkan meminta berhentinya dua orang pegawai lama. Sebenarnya mereka masih muda, tetapi merasa lebih cakap dan berjasa daripada kami yang baru datang. Mereka merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka sudah bekerja di Bayah Kozan semenjak berdirinya, ialah ketika kantor dan rumah pegawai-pegawai masih diselimuti semak belukar. Mereka tamat MULO pula, sedangkan saya cuma keluaran kelas 2 MULO saja. Walaupun begitu cuma mendapat gaji masing-masing F. 45,- sampai F. 50,- saja sebulan. Perbedaan gaji sering dikemukakan di depan saya, bahkan pernah saya dihina karena gaji besar itu. tetapi sesudah saya memajukan nasib romusha dan menganjurkan perbaikan yang radikal dalam dalam rapat sambil duduk tadi, maka “gaji besar” saya tadi tak pernah disebut-sebut oleh para pegawai kantor pusat lagi. Bahkan seperti sudah saya sebutkan diatas oleh salah seorang pegawai Indonesia keluaran MULO, saya atas kemauannya sendiri dalam surat keterangan tentangan saya dinaikkan satu kelas dari kelas 2 ke kelas 3 MULO.
Di sekitar saya sudah terdapat beberapa orang pemuda yang cerdas dan jujur dan sudah insyaf akan kewajiban mereka ialah menaruh perhatian dan memberikan bantuan lahir-batin sepenuhnya kepada para romusha. Mereka berasal dari berbagai daerah Indonesia, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Tidaklah perlu dan tidak baik saya sembunyikan disini, bahwa walaupun “teori” kebangsaan sudah sekian lama didengung-dengungkan oleh para pemimpin nasionalis, tetapi provinsialisme masih amat mendalam di masyarakat Bayah seperti juga pada lain tempat di masa itu. Tetapi dalam keadaan hidup yang sama, menghadapi militerisme Jepang bersama pula, timbullah pula kebangsaan yang diikat oleh keperluan bersama ialah saling menghindarkan perbedaan tak berharga. Saya mendapat kesempatan untuk mengupas kekuatan perangnya Jepang, menunjukkan kebohongan surat kabar Indonesia yang dikendalikan oleh Jepang, kebohongan dan akibatnya “kerja sama” antara Jepang dan Indonesia. Disamping kamilah nyata terlihat salah satu dari akibatnya anjuran dan kemahiran pidato Bung Karno yang masyhur yang berbunyi “Setetes keringat romusha adalah racun bagi Sekutu”.
Golongan kami semakin besar dan kuat, apalagi tuan pengurus umum, orang Indonesia yang menjadi ketua Badan Pembantu keluarga tentara PETA, ringkasnya B.P.P bepergian itu sebulan-dua bulan lamanya. Selama bepergian itu tuan ketua B.P.P menunjuk saya sebagai wakil ketua. Angkatan itu tentulah bersifat resmi dan harus disetujui oleh Bayah Kozan dan Son-co. Angkatan itu memperluas daerah pekerjaan saya dan memperbesar golongan kami. Tidak saja saya dengan tak mendapat gangguan dan kecurigaan kempei-tai dan kempei-ho bisa mengadakan perhubungan dan permusyawaratan dengan para pengurus B.P.P disemua cabang Bayah Kozan, tetapi pula perhubungan dan permusyawaratan di semua desa di sekitar Bayah Kozan ialah tempat tinggalnya keluarga PETA (Prajurit Pembela Tanah Air) dan Heiho. Akhirnya dan tiada kurang pentingnya saya dapat dengan leluasa mengadakan perhubungan dengan tentara PETA sendiri. Kesempatan buat berhubungan dengan para pemuda di seluruh Bayah Kozan buat dibangunkan membantu dengan uang dan tenaga tentara PETA, yang dimasa itu adalah harapan bangsa, kesempatan perhubungan dengan “resmi” dengan semua desa di sekitarnya Bayah dan dengan para opsir dan prajurit PETA yang ditempatkan di Bayah, Malimping dan lain-lain saya pergunakan denga sepenuhnya. Dengan mengerahkan anggota B.P.P tidak saja didapat kesempatan untuk merapatkan para pemuda seluruhnya Bayah Kozan, tetapi juga merapatkan mereka dengan rakyat dan tentara PETA dan Hei-Ho.
Tak ada tempat yang terluang yang tidak kami pergunakan, Hari Ahad dan liburan kami pakai buat memberikan uang atau pakaian kepada keluarga prajurit di desa-desa. Hujan panas, lelah letih tidaklah menjadi halangan buat para pemuda buat menyeberangi sungai dan mendaki gunung mengunjungi desa Penggarangan, Cimancak, Cikotok, dan lain-lain. Berangkat pagi jam 4 barulah sore atau malam kami kembali ke rumah. Tetapi jerih payah itu dibalas dengan hasil yang nyata, ialah keinsyafan atas tertanamnya semangat tolong menolong diantara sama awak.
 Kas kami termasyhur kaya! Kas saya mendapat gelar kas-berjalan, karena seseorang keluarga PETA, yang ingin kelain tempat, atau terlantar atau kematian dengan tidak banyak formality, upacara, di jalan rayapun segera diberi bantuan. Yang perlu diketahui ialah benar tidaknya kesukarannya dan betul atau tidak orangnya. Pembagian sarung umpamanya ialah pembagian yang diselenggarakan oleh ranting Mallimping, buat Bayah (anak ranting) pembagian yang mewajibkan keluarganya PETA dan HEIHO membayar F.20,- buat sehelai, kami putuskan saja dengan hadiah kepada keluarga itu. Orang desa di daerah Bayah tidaklah sanggup membayar harga yang F.20,- itu, meskipun sebenarnya sudah 15-20 kali dimurahkan harganya. Kain sarung memangnya dibutuhkan penduduk, apalagi oleh keluarga PETA HEIHO yang kebanyakan di sekitar Bayah bukan keluarga orang kaya. Kita terpaksa memilih atau kain itu dihadiahkan saja atau dikembalikan saja ke Malimping. Para pemuda dan pegawai tidak keberatan memberi bantuan berupa uang, ataupun tenaga kepada PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan sekurangnya sekali sebulan kami memberikan penghiburan berupa sandiwara atau pertandingan sepakbola kepada mereka. Para pekerja tua muda tak pernah keberatan mengeluarkan uang dan mencurahkan tenaga buat menunjukkan perhatian dan penghargaan kepada prajurit sukarela. Perhubungan saya sendiri dengan para opsir PETA yang berada di Bayah dan Malimping, pada ketika hampir menyerahnya Jepang amat rapat sekali. Diantara beberapa opsir dan saya, tak ada lagi rahasia tentang keadaan politik dan kemiliteran. Chu-dan co, kepala kompi PETA, yang berkedudukan di Bayah selalu memanggil saya kalau dia mendapatkan kabar yang penting.
Pada suatu hari kami di Bayah menerima kabar yang sangat menggembirakan. Kami dihormati dengan kunjungan yang luar biasa oleh para pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta. Hati pada pegawai berdebar-debar menunggu-nunggu hari yang mulia menggembirakan itu. Semua pegawai dari semua cabang Bayah Kozan, Jepang dan Indonesia bersiap-siap menantikan para tamu agung.
Sayapun, Ilyas Hussein yang dari pekerja gudang sudah naik menjadi pengurus pulang perginya romusha antara Bayah dengan desanya, wakil ketua dari Badan Pembantu Keluarga Prajurit Sukarela, di Bayah, anak ranting, mendapat kehormatan pula, sebagai limpahnya kehormatan yang diperoleh kota Bayah, karena para pemimpin besar bermurah hati datang mencemar-cemarkan kaki ke kota romusha itu. Oleh para pegawai saya diserahi kewajiban bersama dengan duat tiga pegawai lainnya menerima para tamu agung ini di pintu gerbang dan mengiringkan beliau-beliau ini ke tempat pertemuan. Selain daripada itu saya menerima kebahagiaan pula, ialah menghidangkan kue dan minuman kepada para pemimpin besar yang tercinta itu.
Alangkah besanya pula hati saya, melihat keiskhlasan hati salah seorang teman, yang berseri-seri wajahnya, ketika meminjamkan sehelai kemeja dan dasi kepada saya, pakaian mana yang perlu dan pantas saya pakai untuk berhadapan muka dengan para pemimpin besar. Saya sendiri sudah lama memakai pakaian potongan dan tambalan, tak sanggup lagi mengeluarkan pakaian yang bagus-bagus dari tempat simpanan.
Setelah beberapa lamanya kami bersiap menanti di pintu kantor pertemuan, maka sekonyong-konyong terdengarlah seruan bersiap diantara pekik “Hidup Bung Karno” dan “Hindup Bung Hatta”. Tidak berapa lama antaranya maka kedua pemimpin Besar melalui barisan kami para penerima tamu dan langsung duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Pidato Bung Karno, Cuo Sangi-In no Gico dan Bung Hatta, Fuku Gico tidaklah perlu lagi saya tuliskan disini. Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkan di rapat raksasa dan radio, serta ditulis dengan huruf raksasa pula dalam surat-surat kabar. Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang penjajah: “Kita mesti berbakti dulu kepada Jepang, “saudara tua”, yang sekarang berperang mati-matian menentang Sekutu yang jahanam itu (cocok dengan “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”!). Setelah Sekutu kalah, maka kita oleh “saudara tua” akan diberi kemerdekaan (cocok pula dengan isi Panca Dharma: “Sehidup semati dengan Jepang sebelum dan sesudahnya perang Asia Timur Raya”). Kewajiban kami, pekerja Bayah Kozan menurut Bung Karno, ialah memberi bantuan sepenuhnya untuk mendapatkan kemenangan akhir! Kewajiban itu berarti mempertinggi hasil arang.
Sehabisnya Bung Karno dan Bung Hatta berpidato, maka tuan Sukarjo Wiryopranoto mempersilahakan hadirin mengemukakan pertanyaan. Hadirin tidak diizinkan berpendapat. Jadinya sistem Jepang dengan Cuo Sangi-In-nya terbawa pula ke Bayah kota Romusha.     
Saya sedang memilih kue yang enak dan minuman yang lebih lezat untuk para tamu Agung. Ketika beberapa hadirin bertanya dan mendapat jawaban yang dilucukan, sering juga jawaban ejekan dari tuan Sukarjo. Kepada tuan Son-co Bayah umpamanya diusulkan, supaya dia sekali lagi menghadiri “kursus Pamong Projo” (Pangreh Praja namanya dimasa itu!).
Tergesa-gesa saya meletakkan talam kue dan minuman dan dari tempat yang paling belakang sekali saya meminta bertanya: “Kalau tidak salah, bahwa kemenangan berakhir dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Tanya saya: “Apakah tidak lebih tepat, bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?”
Sebagai satu automaton (perkakas yang bergerak sendiri), maka tuan Sukarjo segera duduk. Bung Karno, sebagai telah dimufakatkan lebih dahulu segera berdiri. Dengan sikap tak begitu memperdulikan, maka Bung Karno memberi penjelasan lebih lanjut, bahwa kalau kita diberi kemerdekaan sekarang, kita kelak toh akan terpaksa juga memperjuangkan kemerdekaan itu. Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita. Demikianlah isi jawaban Bung Karno!
Dengan tidak menunggu izin ketua rapat lagi saya segera memberi jawaban. Keringkasannya jawaban itu, ialah: bahwa saya juga insyaf benar akan perlunya memperjuangkan kemerdekaan itu pun, kalau diberikan sekarang kepada kita. Tetapi kita akan memperjuangkan dengan lebih bersemangat, karena kita tidak akan memperjuangkan kemerdekaan yang dijanjikan, melainkan memperjuangkan kemerdekaan yang sudah ada di tangan kita, yang sudah dirasakan.
Sebenarnya saya menyerobot berpidato terus dengan memberi dua contoh. Contoh yang pertama, ialah seorang gembala pengecut pada sebuah desa, yang dibelakangnya masyhur sebagai pemberani,  karena ia dengan sebuah parang saja menyerang macam disarangnya dan membunuh macam itu. keberaniannya itu timbul sesudah Raja Hutan tadi menerkam kerbaunya. Ketakutan bertukar menjadi keberanian, sebab membela hak yang nyata, yang ada di tangan. Contoh yang kedua menunjukkan sikap yang sebaliknya. Gibbon dalam sejarah “Jatuhnya Kerajaan Romawi” menunjukkan, bahwa sebab jatuhnya Kerajaan Romawi, yang terpenting ialah karena kaum pekerja dalam masyarakat Romawi sebagian besar terdiri dari budak belian. Mereka tak peduli sama sekali sama ternak, perkakas dan pekerjaannya, sehingga produksi merosot ke bawah. Dengan merosotnya produksi, maka merosot pula pertahanan negara.
Daripada dua contoh tersebut saya mengambil kesimpulan, bahwa semangat membela naik dengan adanya hak nyata itu di tangan kita manusia. Dengan adanya hak kemerdekaan di tangan kita, maka kita akan berjuang mati-matian membela hak itu. Sumbangan kita melawan imperialisme Sekutu, sambil membela kemerdekaan kita itu akan memperkuat jaminan untuk kemenangan terakhir. Itulah saya maksudkan dengan pertanyaan diatas yang berbunyi: “Apakah tidak lebih tepat bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin Kemenangan Terakhir??”
Tepat dengan berhentinya saya berpidato, Bung Karno berdiri pula! Beliau mengules-ngules lengan baju, merapikan pakaian, sambil memandang kri-kanan seolah-olah hendak menunjukkan kepada hadirin, bahwa tidak pantas Bayah, kota romusha (terkenal sebagai Kota Nyamuk Malaria kata tuan Sukarjo) membantah pahamnya Banteng Besar Indonesia. Sedang puluhan ribuan khalayak pada sembarangan rapat raksasa di pulau Jawa ini cuma tahu menyambut pidato Bung Karno yang “berapi-api” dengan tepuk sorak yang gemuruh saja. Bung Karno sekarang mengeluarkan suara yang menggetarkan kota kecil di Bayah dan pula mengakhiri pidatonya dengan kesimpulan yang saya dan beberapa pegawai lainnya menganggap amat penting, ialah: Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (ialah Sukarno!) tidak akan terima.”
Saya siap  kembali hendak melanjutkan perdebatan. Saya hendak mengkritik kesimpulan tersebut diatas dan ucapan Bung Karno yang lain-lain. Tuan Son-co pun yang selama ini seolah-olah lena kena ejekan tuan Sukarjo, minta berbicara pula. Tetapi apa yang sudah saya nanti-nanti selama ini sekarang terjadi. Seorang Indonesia, yang begitu mahir bahasa Jepang, sehingga bahasa Indonesia sendiri di-Jepangkannya, ialah pembantu Jepang di Bayah Kozan dan berlaku sebagai pengawas terhadap para pegawai Indonesia, yang pada tiap-tiap “jadangkai” menghalang-halangi saya, sekarang merasa sampai saatnya untuk memutuskan: “Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan Hussein berbicara”.
Yang penting buat saya pada waktu itu ialah politiknya Bung Karno sudah lebih jelas buat para pemuda dan pegawai Bayah Kozan. Ketika besok harinya Bung Karno berseru diantara diantara romusha tambang di Gunung Madur, cabang Bayah Kozan yang terbesar, mengatakan, bahwa “Bung Karno sendiri juga “sama” dengan saudara romusha yang hadir” maka diantara kaum romusha yang spontan terdengar perkataan: “Tetapi kami orang yang sudah remuk rusak”.
Kalau memangnya “setetes” ataupun 1001 tetes saja keringat romusha yang mengalir sebagai “racun” buat Sekutu itu, tidaklah peristiwa semacam itu berarti sama sekali. Tetapi kalau sampai 80%, kalau tidak lebih, yang mati, hilang atau rusak sama sekali, diantara 15.000 romusha yang tinggal kerja di Bayah Kozan, diperhubungkan dengan perhitungan yang sederhana, bahwa lebih kurang lima puluh ribu setahun yang ulang pergi antara beberapa daerah dan Bayah, maka angka ini sudah tiga tahun harus mengambil banyak perhatian kita. Kalau perihal ini diluaskan menjadi peristiwa romusha buat seluruhnya Indonesia yang dipekerjakan di Asia Tenggara untuk membuat jalan, benteng pertahanan dan lapangan terbang Jepang, maka kehilangan romusha yang ditaksir 3-4 juta banyaknya itu selama pendudukan Jepang tidak lagi berarti bencana daerah, melainkan sudah bencana nasional, lebih dahsyat dan lebih jauh akibatnya daripada letusan sebuah gunung. Apalagi kalau perampasan jiwa dan tenaga romusha itu diperhitungkan pula dengan kemusnahan para prajurit Heiho di Papua, Kalimantan, Birma atau dimana saja Jepang kelak hendak merampas tanah, harta benda dan gadis bangsa lain serta diperhubungkan pula dengan kekurangan makanan penting karena rampokan Jepang dari hari ke hari. Dalam beberapa keturunan saja kemusnahan tenaga kuat itu akan mengancam adanya bangsa Indonesia di muka bumi ini. Pidato Bung Karno yang mahir dan berapi-api tentang pemakaian romusha, pengumpulan padi, pengumpulan emas-intan dan persetujuan Bung Karno dengan perantaraan Hokokainya yang menyetujui dan membantu pengerahan wanita dan “pemudi” Indonesia disemua “lapangan pembelaan” cuma akan mempercepat demoralisasi atau kemusnahan orang Indonesia sebagai bangsa.
Belum kita insyaf akan kerusakan romusha, kalau belum pernah kita pergi mengantarkan romusha ke daerahnya masing-masing adalah pekerjaan yang dperebutkan oleh para pegawai. Buat siapa saja mengantarkan romusha berarti “beristirahat” dengan ongkosnya Bayah-Kozan. Walaupun pergi ke salah satu daerah itu biasanya memakan tiga-empat hari saja, tetapi pulang pergi saja sudah berarti seminggu lebih. Dan dengan 1001 alasan lain, seperti kurang “enak badan”, “ketinggalan kereta”, “tergelincir dari kulit pisang” dan lain sebagainya, maka istirahat yang 10 hari yang dianggap normal itu bisa diperpanjang menjadi dua minggu, bahkan sebulan. Semua ongkos perjalanan, penginapan, ongkos “luar biasa” dan lain-lain pula ditanggung oleh Bayah Kozan, dengan “uang” kertas Jepang, yang tidak pernah usang jatuh ke tangan para pegawai. Istirahat itu sebenarnya perlu buat para pegawai Bayah, karena hari liburan, lebih dari satu-dua hari belum saya kenal. Buat saya mengantarkan romusha atau lebih tepat, beristirahat untuk mengunjungi keluarga memang tidak pada tempatnya. Saya tidak punya seorangpun anggota keluarga di Jawa. Tetapi besar artinya mengantarkan romusha itu buat siapa saja, kalau dipandang dari sudut kesosialan dan pengalaman. Simpati terhadap romusha itu sudah umum meresap di hati sanubari pegawai dan pemuda di Bayah. Kebanyakan pengantar mengerti, bahwa mereka harus mengawasi para romusha dari stasiun ke stasiun supaya jangan keluar kereta dan ketinggalan, hal mana acap kali terjadi. Para romusha ingin membeli ini atau itu, ingin membuang air tidak memperdulikan lonceng kereta. Mereka buta huruf, banyak yang tidak mengerti bahasa Sunda atau Indonesia. Sekali ketinggalan maka bahayalah yang dihadapi oleh mereka. Maka buat betul-betul mengetahui keadaan romusha yang sesungguhnya di perjalanan, haruslah seorang pegawai mempunyai pengalaman mengantarkan sampai ke daerahnya, adalah salah satu usul dari pegawai Bayah Kozan juga, yang terbit dari perasaan tanggung jawab terhadap Nusa dan Bangsa.
Sebab pada suatu hari memangnya kekurangan pengantar, maka oleh pengurus Bayah Kozan, saya diminta mengantarkan romusha ke Jawa Tengah. Saya ambil kesempatan ini buat mendapatkan pengalaman dan buat istirahat, yakni mengelilingi beberapa daerah di Jawa Barat dan Tengah. Yang dibelakang inilah yang sangat saya harapkan pula setelah beberapa lama.
Tidaklah dapat dituliskan pada satu dua halaman saja kesusahan mengantarkan romusha bagi seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab dan perikemanusiaan. Penyakit borok Bayah yang kecil pada waktu berangkat dan dalam sehari perjalanan saja sudah meluas dan mendalam susah sekali dikendali. Biasanya romusha yang mempunyai surihan (garis) kecil saja waktu diperiksa diizinkan saja oleh dokter berangkat ke daerahnya. Surihan kecil itu besoknya sudah menjadi besar dan busuk. Romusha yang mengandung penyakit malaria ataupun dysentri, tidak suka mengatakannya kepada dokter dan berusaha menyembunyikannya supaya boleh dipulangkannya. Penyakit itulah yang menimbulkan bermacam-macam kesusahan bagi pengantarnya.
Urusan makanan pada tempat penginapan yang disediakan oleh Bayah Kozan buat para romusha seperti di Rangkas dan Jakarta tidak selalu memberi kepuasan. Biasanya romusha yang sudah lapar itu terpaksa menunggu makanan sampai jauh malam dan terpaksa mengambil tempat tidur dimana saja, atau sama sekali tidak tidur. Pagi benar, jam 4, mereka sudah dibangunkan buat berangkat terus. Di kereta tempat tidak selalu sedia, gerobak harus istimewa buat romusha saja. Penumpang biasanya akan lari meninggalkan tempatnya di kelas 2 atau 3 kalau seorang saja romusha yang sesat masuk. Apalagi kalau yang masuk itu borokan pula.
Kebetulan pula ketika pertama kali saya mengantarkan romusha, maka antara Bayah dan Jakarta terjadi kemalangan yang menyedihkan! Dua orang romusha meninggal berturut-turut di Rangkas dan Warung Panjang. Nama, keluarga dan desa mereka tidak terdapat dalam daftar yang saya bawa. Sep stasiun di Rangkas meminta saya memberikan keterangan yang jelas tentang mayat itu (nama, keluarga, desa dll), katanya supaya dia bisa menanggung-jawabkan kepada polisi yang akan menguburkannya kelak. Tentulah saya tidak bisa memberikannya. Saya bangunkan rasa kebangsaan kepada saudara sep itu. Tetapi dia menuntut keterangan cukup tentang mayat dan meminta supaya saya sendiri pergi ke kantor polisi memberi keterangan formil. Usul saya supaya telpon saja polisi ke Bayah dan keberatan saya, ialah kalau saya turun layani mayat yang satu ini, siapakah yang akan turun melayani mayat yang lebih banyak, kalau saya mesti meninggalkan kereta dan romusha yang saya antarkan mulanya tidak didengarnya. Tetapi setelah lama berunding maka dia membiarkan saya berangkat dan berjanji akan mengurusnya. Tuan sep di Warung Panjang dengan tidak meminta keterangan ini atau itu sendiri yang mengurus mayat yang kedua. Memangnya ada perasaan kebangsaan dan prikemanusiaan pun diantara tuan-tuan sep kereta.
Baru di Jakarta saya tahu, bahwa mereka yang mati di jalan tadi, ialah romusha yang sudah lama sesat dan ketinggalan di jalan, menderita penyakit dan mereka masuk di salah satu stasiun campur ke dalam romusha kami. Memangnya mereka berasal dari Jawa Tengah juga dan bekas romusha di Bayah pula. Tentulah mereka tidak  masuk ke dalam daftar saya.
Apakah ditolak mereka yang tidak masuk daftar, mereka yang menyelundup di jalan ini? menurut aturan harus; Tetapi menurut perasaan tidak! Dengan bersandarkan prikemanusiaan, maka bertambah banyaklah kesulitan yang saya alami berhubung dengan makanan, penginapan dan tempat dalam kereta.
Begitulah seperti yang di Rangkas, tempat penginapan pertama dan di Jakarta di Tanah Abang tempat penginapan kedua, saya tidak sempat tidur. Makanan dan tempat dikeduanya sudah susah didapat harus disediakan buat romusha yang berhak dan menyelundup.
Berhubung dengan banyaknya yang sakit, maka perjalanan antara Tanah Abang dan Jakarta Kota terpaksa saya lakukan dalam tiga-empat jam. Sering-sering saya terpaksa lari ke depan barisan yang ratusan meter panjangnya, terdiri dari tiga-empat ratus romusha, mengejar dan memberhentikan mereka yang cepat berjalan, yang terlampau maju ke depan, sehingga meninggalkan jauh di belakang mereka, yang lemah dan sakit, yang perlu dipapah atau digendong oleh teman-temannya. Disinilah saya insyaf yang sedalam-dalamnya akan arti yang sebenarnya tentang sengsara hidup manusia. Tetapi untunglah saya rasakan pula, bahwa kodrat simpati tidak kurang besar daripada amarah dan perasaan lain-lain, yang membangunkan semangat kita! Selama tiga-empat hari dalam perjalanan ke Purwokerto entah berapa kali langkah yang saya ayunkan dan percekcokan dengan pengurus penginapan, kereta, karcis yang harus saya selesaikan..........tetapi saya tidak merasa lelah sedikitpun walau dalam tiga-empat hari itu sedikit saya makan dan tidur. Inilah kodratnya perasaan simpati, perasaan hiba, sayang.
Pengalaman mengantarkan romusha sekali itu, besar sekali artinya buat saya untuk dijadikan perimbangan yang berharga dalam hal kirim-mengirim romusha. Berdasarkan pengalaman, maka dibelakang hari saya mengusulkan ini-itu yang berhubungan dengan makana, obat-obatan, penginapan, transport dan terutama pula dengan sifatnya pegawai pengantar yang diperlukan buat keselamatan romusha yang sudah remuk-rusak dipulangkan ke desanya itu. dengan semangat yang semakin lama semakin baik diantara pegawai tua dan muda di kantor Bayah, maka lama-kelamaan dapatlah dijaga supaya Romusha yang dikirimkan pulang itu sampai ke desanya dengan tidak kekurangan suatu apapaun dan mempunyai sedikit uang disakunya.
Selainnya daripada pengalaman yang berguna buat pemeliharaan romusha, maka saya juga dengan segala perhatian dan kegembiraan dapat mempelajari beberapa daerah di Jawa Barat dan Timur. Bisikan anti Jepang yang mulanya perlahan-lahan makin lama makin terdengar. “Kerja sama” Nippon Indonesia sudah mulai diejek-ejek. Setelah dua tiga minggu berputar-putar, maka kembalilah saya ke Bayah membawa pengalaman dan kesan yang baru tentang Rakyat Indonesia umumnya dan tentang arti “setetes keringat romusha khususnya”.
Golongan kami yang kecil, tetapi mempunyai tujuan yang nyata dan semangat yang sehat buat menjalankannya mempergiat usaha memperlindungi tenaga romusha, memperingati keperwiraan dan kepercayaan diri sendiri diantara prajurti sukarela dan mempererat perhubungan antara romusha pekerja Bayah Kozan dengan PETA-HEIHO dan dengan kaum tani di desa-desa sekitarnya Bayah.
Usul yang sudah lama kami ajukan, yakni membuat dapur umum untuk romusha, yang tinggal di kota Bayah, akhirnya oleh Bayah Kozan dijalankan. Lebih daripada 1000 orang romusha yang berpondok dekat dapur umum mendapat makanan dari dapur umum. Dengan begitu mereka lepas dari tangan mandor, pada siapa selamanya ini mereka membayar “makan”. Pada dapur umum mereka diwajibkan membayar 10 sen sehari (gajinya 40 sen sehari). Pagi hari mereka mendapat kopi dengan ubi atau ketan. Lohor dan sore mereka mendapat nasi, sayur dan sedikit ikan. Kalau saya tak lupa, ukuran berat buat seseorang romusha adalah 300 gram sehari. Urusan membeli dan memasak adalah di tangan pegawai yang  kami majukan kepada kantor Bayah Kozan. Kebersihan dan pemasakn selalu berada dibawah penjagaan kami. Walaupun semuanya belum sempurna, tetapi sudah lebih teratur dan lebih baik daripada selamanya ini. banyak diantara pegawai kantor sendiri yang diam-diam membeli nasi dan sayur dari dapur memangnya nasi adalah pokok persoalan makanan di masa serba susah itu. Dengan begitu buat romusha, baik pula buat para pegawai. Saya sendiri sering dihidangkan makanan dari dapur umum.
Karet, ialah nama satu tempat, dimana dahulu bergelimpangan romusha yang sakit dan mati sudah menjadi rumah sakit. Untuk romusha sudah diadakan tempat buat menerima 700 orang sakit. Rumah obat dan beberapa juru rawat sudah tersedia pula. Rumahnya memang masih berdinding pelepah (bambu) dan beratap rumbia, tetapi kebersihan dan air minum dan mandi sudah terjaga. Penguburan romusha seperti usul kami pula, sudah dilakukan menurut adat dan agama, dan dibawah pimpinan seorang kalifah yang diangkat oleh Bayah Kozan. Karet terletak diantara gunung Madur dan Bayah kota. Di Bayah sendiri sudah didirikan rumah sakit baru. Rumah sakit ini dipimpin oleh dua orang orang dokter Tionghoa, dibantu oleh beberapa juru rawat dan lengkap dengan obat-obatan. Perubahan yang menjamin kesehatan seperti di Bayah itu mulai dilakukan pula di cabang-cabang seperti Madur, Cimang, Cihara.
Pula boleh dikatakan sebagai usul kami, yakni para pegawai, maka dekat satu kampung bernama Tegal Lumbu, sudah diadakan kebun sayur dan buah-buahan. Pada akhirnya tahun 1944, maka kebun ini sudah memberi hasil cukup dan mengirimkan hasilnya setiap hari ke seluruh perusahaan Bayah Kozan. Dengan begitu tidak lagi perlu Bayah Kozan mencari sayur ke Sukabumi dan menerima sayur, yang sudah busuk sesampainya di Bayah. Sayur Tegal Lumbu adalah berbagai ragam dan memangnya baik sekali kualiteitnya.
Tidak saja dalam lapangan jasmani, tetapi dalam lapangan rohani pun tidaklah kami putus berusaha.
Bermula saya usulkan mendirikan satu sandiwara. Usul ini diterima dan dijalankan giat sekali oleh para pemuda. Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencuriga kempetai, maka sandiwara itu dijadikan saja “bagian hiburan” yang termasuk anggaran dasarnya B.P.P yang sudah diakui oleh tentara Jepang itu. Saya sendiri yang menulis lakonnya, memilih pemainnya dan melatih pemainnya.
Lakon pertama sekali bernama P2, huruf pangkal Prajurit Pekerja. Diceritakan disini nasibnya kaum romusha, dari mulanya dia dikumpulkan di desanya oleh Son-co sampai dia ke Bayah, dan akhirnya dia sampai kering dipekerjakan atau sakit dan mati bergelimpangan di jalan ibarat “sepah” yang dibuang sesudah manisnya habis”.
Lakon yang kedua masih terpaksa saya menuliskan, karena belum juga timbul tenaga  muda dan baru. Lakon itu berdasar “Hikayat Hang Tuah”. Walaupun Laksamana Hang Tuah dengan Hulubalangnya Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekin dan Hang Kasturi yang dijunjung tinggi, tetapi yang merasakan yang pertama sekali tentu para prajurit sukarela yang dipersilahkan duduk menonton di garis kursi yang paling depan.
Sesudah kedua lakon itu mendapat sambutan yang hangat dari Bayah Kota, dan cabang-cabang Bayah, maka keluarlah penyusun baru. Dengan sekedarnya bantuan saya, berikutnya dipermainkan lakon Diponegoro dan Puputan Bali. Disini dimajukan kritik yang tajam terhadap imperialisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit. Pemuda dan rakyat supaya bersatu dan menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan.
Disamping sandiwara tadi didirikan pula oleh satu Orkestra dan rombongan penyanyi buat pembantu sandiwara. Ongkos instrumen ditanggung oleh Bayah Kozan. Tidak saja untuk pegawai yang dipentingkan, tetapi juga para romusha yang berada di Bayah mendapat perhatian istimewa. Buat permainan wayang, maka dibeli pula gamelan yang tidak murah harganya. Ketoprak buat pekerja Sunda dan Bayah juga sering sekali dipertunjukkan.
Disamping sandiwara didirikan pula satu Sport club, pertama buat sepak bola. Dalam pertandingan dengan cabang, dengan pekerja di tambang emas Cikotok, dengan prajurit sukarela, malah juga dengan kesebelasan di daerah Banten, club kami sudah mendapatkan tempat yang baik sekali. Akan diusahakan pula memberi kesempatan bermain sepak bola kepada kaum tukang dan romusha. Untuk ini kami perlu mempunyai tanah lapang sendiri. Selamanya ini kami para pegawai meminjam tanah lapang rakyat Bayah. Mulanya Bayah Kozan menjanjikan mendirikan tanah lapang buat  kami. Tetapi apabila sesudah beberapa lama tidak juga ditepati, karena “kekurangan” romusha, maka atas usul saya, kami sendiri dan seluruhnya pegawai kantor, gudang, pembangunan, bengkel dan lain-lain tua-muda, pemuda-pemudi, mengerjakannya. Sehabis bekerja kantor, kami sendiri menebang kayu, membuang batu dan mencangkul. Setelah lebih daripada setengah pekerjaan itu selesai, maka barulah Bayah Kozan insyaf akan kelalaiannya dan ikut mencampuri pekerjaan itu. Tanah lapang itu baru selesai, ketika saya meninggalkan Bayah, yakni pada waktu Indonesia merdeka diproklamirkan.
Pada waktu belakangan, maka olah raga dan sandiwara digabungkan dalam satu badan yang bernama “Pantai Selatan”. Pantai Selatan sudah cukup dikenal di sekitarnya Bayah. Dari Rangkas Bitung sudah berkali-kali datang undangan untuk mempermainkan salah satu lakon tersebut diatas, katanya buat menambah semangat rakyat dan pemuda. Juga diusulkannya pertandingan sepakbola, untuk membalas kunjungan kesebelasan daerah Banten (atau Rangkas) yang tempo hari datang dari Bayah (Madur) untuk bertanding.
Rupanya Pantai Selatan bagian sandiwara sampai juga suaranya ke telinga para pemimpin Sendenbu yang dulu sering datang ke Bayah untuk menjalankan propaganda. Setelah salah seorang diantara kami bertanyakan, kenapa Sendenbu tidak lagi datang ke Bayah mempermainkan “lakonnya”, maka dengan senyum yang mengandung arti dijawab: “Kami yang sepatutnya memanggil Pantai Selatan ke Jakarta”.
Lakon kami juga tidak luput dari pengawasan sensor, pemeriksaan kaisatsu. Tetapi biasanya saya sendiri mengurusnya dengan pemuda polisi. Masakan pemuda polisi tadi sampai hati melarang pemuda PETA-HEIHO, dan pemuda lainnya menonton pertunjukan lakon yang berdasarkan sejarah awak, seperti Hikayat Hang Tuah, Perang Diponegoro, Puputan Bali dan lain-lain pada masa kita perlu membangkitkan semangat keprawiraan, menentang penindasan dan penghisapan. Siapakah pula diantara penonton Jepang yang semuanya hadir, yang bisa mengerti apa yang “terselip” dalam Bahasa Indonesia yang penuh dengan mengandung sindiran itu?
Teristimewa pula apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tidak mengeluarkan perkataan apa-apa?
Nyatalah bagi saya bahwa Jepang sendiri sudah mengunjungi beberapa lakon tentang kebudayaan, kebijaksanaan dan kesatriaan leluhurnya bangsa Indonesia, insyaf akan kekurangan penghargaan Jepang terhadap sejarahnya bangsa Indonesia selama ini. Pada pidato resmi dibelakang hari kepala urusan Bayah Kozan sendiri sudah mulai menyinggung-nyinggung kegemilangan sejarah Indonesia itu. Dengan begitu tidak saja kepercayaan diri dan keprawiraan pemuda Indonesia bisa kami bangkitkan tetapi juga penghargaan Jepang terhadap kita juga bisa dikoreksi dan dibetulkan.
Pada suatu hari saya dipanggil oleh Jepang pengurus bagian romusha. Ditanyakannya kepada saya, apakah saya mau memimpin K.U.P.P. ialah Kantor Urusan Prajurit Pekerja. Segera saya jawab: “Tidak karena terlalu berat”.
Kantor ini mengurus pembagian makanan, seperti pembagian beras, aci, kacang, gula, minyak tanah dan minyak kelapa, ikan, garam, dan lain-lain. Selain daripada itu, kantor tadi harus pula mengawasi dapur umum dan hidupnya lebih kurang 2000 tukang dan romusha di sekitar dapur umum, mengawasi penerimaan dan pengiriman romusha dari hari ke hari yang pulang pergi antara Bayah dan daerah di Jawa Tengah (penduduk Banten khususnya dan penduduk Jawa Barat umumnya menolak keras dijadikan romusha!): mengurus romusha yang sakit dan mati, mengurus perumahan dan lain-lain.
Jumlahnya pegawai kira-kira sama dengan jumlahnya pegawai di kantor pusat. Tidak mengherankan! Karena pusat umumnya mengerjakan pekerjaan tulis menulis, sedangkan K.U.P.P. selainnya pekerjaan tulis menulis, juga pekerjaan yang langsung berhubungan dengan makanan, perumahan, gaji, kesehatan dan sakit matinya 3000-4000 romusha, termasuk juga dibelakang hari penduduk kampung Bayah dan sekitarnya dalam beberapa hal. Pembagian minyak, yang berdasarkan seperempat botol seorang, pembagian beras yang 200 gram seorang, aci yang 100 gram dan sebagainya kecil-kecilan tetapi harus adil, adalah pekerjaan yang banyak mengambil waktu dan kesabaran. Family-system, kecurangan dari bujang, gundik atau kekasih Jepang, kecerobohan para pegawai bangsa sendiri, harus dibasmi, kalau perhitungan barang masuk dan keluar harus cocok (klop). Disinilah terutama terletaknya kesulitan! Yang menerima barang ialah kantor Jepang, bernama Minami. Yang membagikan barang itu ialah lain badan pula. Tetapi K.U.P.P harus tanggung jawab atas beresnya kartu pembagian. Barang tidak boleh jatuh ke tangan yang tidak berhak dan yang berhak harus mendapatkan barang sepenuhnya dengan tidak memperdulikan kekuasaan seorang pegawai Indonesia atau Jepang yang mencoba mendapat izin dari K.U.P.P. Tetapi si Jepang tidak lupa memendam 3 orang kempei-ho dan penyelidik dikanan kiri saya.
Seorang pemuda keluaran H.B.S. sudah gagal memimpin K.U.P.P! Seorang bekas wedana yang berumur tinggi pula tidak sanggup lagi mengerjakannya. Melihat kejadian ini, maka saya tolak usul Jepang, pengurus Ro-moo tadi yang meminta saya sebagai pemimin K.U.P.P., jadinya pemimpin yang ketiga.
Beberapa teman kepercayaan meminta kepada saya, supaya diterima saja, supaya saya dapat mengontrol pembagian barang dan tempat yang memang kalut itu, yang penting pula buat umum. Seorang Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia, melihat saya terus menolak, datang menghampiri saya dengan berkata: “Tuan Hussein selalu menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Jepang memangnya akan pergi! Cuma belum tentu kapan. Dalam hal ini siapa lagi yang akan mengurus Bayah Kozan sendiri, kalau bukan orang Indonesia. Tetapi kalau orang Indonesia mau merd eka, tetapi tidak berani tanggung jawab, bagaimana kemerdekaan itu bisa dijalankan”.
“Logika” ini sebagai logika memang tegap. Saya terpaksa terima, walaupun pekerjaan itu terus saya anggap berat. Memang pula begitu. Kecurangan, family system, kesulitan pekerjaan dan tak ada kerjasama antara Minami (penerima barang) dengan Haikyu (pembagian Makanan) maka banyak sekali kotoran yang sudah lama dan harus dibersihkan. “Catut” sudah tersohor di masa itu! Diantara pegawai kantor Minami dan Haikyu dan pengangkutan sering terdapat “kerjasama” buat menyembunyikan barang dan mencatutkan barang itu. hukuman jemur dan potong kepala tidak lagi diperdulikan. Minyak yang umpamanya menurut harga kantor cuma F. 6,- F.7,- sekaleng bisa dicatutkan dengan harga F. 200,- atau F. 300,- Yang menjadi korban tentulah rakyat jelata dan romusha juga, karena merekalah yang akan kekurangan atau tidak dakan mendapat apa-apa.
Pekerjaan K.U.P.P saya lakukan! Dengan begitu saya mendapatkan perhubungan yang lebih rapat lagi dengan romusha, tukang dan rakyat di Bayah. Lebih daripada yang sudah-sudah saya insyaf lagi akan keadaan hidupnya romusha. Dapur memang mudah memeriksanya di waktu siang hari. Tetapi pemeriksaan harus selalu dijalankan, supaya tiap-tiap romusha mendapatkan yang sudah ditetapkan. Banyak praktek dapur yang harus dibasmi. Tidur romusha pun harus kita jaga. Mereka takut tidur diatas lantai pelepuh (bambu) kaena penuh kepinding (kutu busuk). Mereka turun ke tanah dan tidur di tanah. Ini lebih membahayakan kesehatan mereka. Sesudah saya larang mereka kembali ke atas lantai, tetapi setelah saya pergi mereka kembali ke tanah. Sebab itulah saya biasanya sekali lagi saya terpaksa datang, menyaksikan, apakah mereka benar-benar tidur di lantai. Perkara kutu busuk sangat memusingkan kepala. Kami pegawai sendiri harus berperang dengan kutu busuk. Tetapi lebih berbahaya tidur di tanah Bayah, yang lembab (vochtig) itu daripada berperang dengan kutu busuk diatas lantai. Yang tak kurang memusingkan kepala saya ialah perkara kebersihan! Karena kejengkelan, maka beberapa romusha sengaja buang air di jalan-jalan. Sudah dua tiga kali mereka ditegur masalah ini. diterangkan betapa bahayanya kotoran manusia itu buat mereka sendiri. Didengarkan, tetapi tidak juga dijalankan! Akhirnya saya sendiri membersihkan! Semenjak itu berhentilah mereka membuang kotoran di tempat yang tidak pantas.
Karena susahnya mendapatkan ari diluar sungai Bayah yang agak jauh letaknya itu, maka pembikinan kakus dan sumur, adalah soal yang mengenai teknik dan ongkos. Tetapi kami memang sedang memejamkan soal tersebut.
Pada masa mengurus K.U.P.P itulah saya sedikit berkenalan dengan prakteknya “koperasi” ahli ekonomi Drs. Mohammad Hatta. Membaca keterangan tentang koperasi saya tahu-tahu sudah menggelengkan kepala. Bagaimanakah sesuatu teori ekonomi bisa dijalankan kalau yang menjalankan ini sama sekali tiada mempunyai kekuasaan politik, beginilah pikiran yang timbul di kepala saya di masa itu. Prakteknya koperasi di Bayah dan lain-lain tempat di Banten, lebih kurang seperti berikut:
Pengumuman koperasi: “Minyak datang Rakyat harus siap tanggal sekian jam sekian. Jangan lupa membawa botol. Yang terlambat tak akan mendapat minyak”.
Rakyat datang berkerumun dan antri (berjejeran). Mereka menunggu dengan teratur dan sabar, cocok dengan tabiatnya bangsa Indonesia. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, maka pembagian dijalankan.
Setelah dua tiga kaleng dibagikan maka tuan pengurus koperasi berteriak keras, supaya terdengar oleh khalayak yang berjejer panjang, yang dalam panas atau hujan menunggu bagiannya, mengucapkan: Saudara-saudara, pembagian diperhentikan karena minyak sudah habis. Memangnya tujuh atau delapan kaleng lainnya sudah lenyap dari kantor “koperasi”. Tetapi tidak lenyap jatuh ke tangan rakyat yang berhak, melainkan dicatutkan oleh “pengurus” di pasar gelap di waktu gelap.
Drs. Mohammad Hatta yang mestinya insyaf akan ketiadaan kekuasaan politik di tangan rakyat Indonesia di masa Jepang itu, oleh sebab mana dia sebenarnya tidak berdaya sedikitpun untuk membasmi berbagai-bagai kecurangan (termasuk kecurangan dan korupsi kempei sendiri!!!) mestinya lebih dulu berusaha supaya rakyat Indonesia mempunyai cukup kekuasaan. Barulah ambil kesempatan untuk menjalankan suatu teori, seperti teori koperasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi seluruhnya atau sebagian besar dari perekonomian rakyat.
Tetapi sebagai tukang hapal suatu teori ekonomi doktorandus ini tidak insyaf akan Naiviteitnya dalam politik. Pengurus ekonomi yang jujur tetapi menemui kegagalan di masa Jepang itu kalau datang mengunjungi Moh. Hatta, dengan tidak pemeriksaan lebih dalam biasanya dimarahi dengan perkataan: Saudara yang salah! Saudara yang bodoh! Saudara yang belum baca buku ini atau itu! Saudara yang tidak bisa kerja sama dengan Son-co dan lain-lain, dan sebagainya etc, etc.
Sekianlah sekadarnya gambaran tentang Bayah kota. Dalam setahun dua kampung kecil, terpencil tak terkenal, bernama Bayah, disebabkan adanya batu arang disekitarnya sudah menjadi sebuah kota, sebagai pusat administrasi, lengkap dengan bengkel, stasiun kereta api dan bangunana listrik. Jepang memang ahli dalam membuat kota baru. Terhadap Bayah dengan pelabuhan pulau Manuk, Jepang mempunyai rencana yang mengandung akibat jauh dan bercabang-cabang pula. Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Banten Selatan masih jarang penduduknya, tetapi ada mengandung logam yang berharga, seperti dibuktikan oleh tambang emas dan tembaga di Cikotok.
Dengan naiknya pengaruh Bayah Kozan di sekitarnya Bayah, maka sebanding dengan itu pula turunnya derajat pamong praja di daerah tersebut. Lama kelamaan Son-co Bayah sendiri sudah terdesak oleh Bayah Kozan dalam hal urusan kenegaraan, ekonomi dan sosial. Jika tuan Son-co insyaf akan pertukaran masa, bersemangat kebangsaan dan mencari perhubungan rapat dan kerja sama dengan kami para pegawai, maka kami akan membantu dia akan  menjadikan bapak rakyat. Tetapi karen Son-co di Bayah masih menganggap dirinya seperti Ass Wedana dimasa Belanda, bersemangat kedaerahan, bahkan kekeluargaan, serta mencoba bertentangan dengan kami terpaksa menaruhkan pada tempat yang selayaknya.
Pada permulaan saya menjalankan pekerjaan sebagai wakil ketua B.P.P ketika ketuanya bepergian, maka Bayah, anak ranting B.P.P didatangi oleh ketua cabang dari Rangkas. Ketua cabang mengadakan kritik tajam terhadap urusan uang B.P.P yang berada di tangan ketua lama. Dia mendesak kami mengadakan pembersihan dalam hal keuangan itu. Karena ketua tak ada dan kas lama berada di tangan ketua itu, maka jalan yang sebaiknya menurut persetujuan rapat pada masa itu, ialah mengadakan pemilihan pengurus yang sebenarnya belum pernah diadakan pada masa itu. Pemilihan berlaku dihadiri oleh Son-co sendiri. Menurut pemilihan itu, maka jabatan ketua jatuh ke tangan saya. Dengan begitu maka urusan uang saya pisahkan dari bulu lama dan tanggung jawab (di bawan penilikan saya), diberikan kepada yan biasa berhak, ialah bendahara. Sebelumnya saya, maka ketualah yang menerima uang dan membelanjakannya. Selainnya daripada penghiburan gamelan yang memakan ongkos ratusan ribu rupiah, belumlah ada bantuan yang diberikan kepada keluarga PETA dan Sukarela itu. Belum pernah ia selangkah berjalan menuju ke desa menjumpai keluarga PETA-HEIHO itu.
 Setelah ketua kembali, dan mendengar bahwa dia tidak lagi ketua, melainkan penasehat, maka atas desakan dia diadakan lagi pemilihan. Menurut pemilihan inipun saya diangkat menjadi ketua. Tetapi tuan Son-co tidak juga mau memberikan pengesahannya, ialah syarat yang ditetapkan oleh tentara Jepang di masa itu. Harus diketahui bahwa ketua lama pengurus umum bagian Indonesia di kantor Pusat, ialah karib baiknya tuan Son-co juga di masa Belanda pernah menjabat pekerjaan salah satu kantor pamong praja Banten umumnya dan golongan Tubagus (ninggrat di Jawa Tengah) khususnya, satu sama lainnya melekat seperti minyak dengan minyak dan air dengan air.
Akhirnya karena desakan saya, supaya pembersihan yang dulu dituntut oleh ketua cabang dari Rangkas dibereskannya sendiri di Bayah, maka pada suatu hari datanglah dia mengunjungi Bayah. Ketua Rangkas inipun tidak mau mendekati saya dan tidak mau menerangkan bila ada rapat dan apa acaranya B.P.P. yang akan diadakannya itu. Ketua lama mengusulkan supaya saya mengumpulkan orang, dimana saja. Dalam surat selebaran, maka saya panggil yang bersangkutan ke K.U.P.P dimana terdapat tempat yang lapang dan kursi yang lengkap. Tetapi karena hari hujan dan sedikit orang yang datang (ialah mereka yang membantu saya mengunjungi keluarga PETA-HEIHO di desa-desa), maka saya kira rapat itu tidak bisa berlangsung. Tetapi ketika saya pergi mengunjungi teman-teman, maka kira-kira jam 10 malam saya lihat banyak orang berkumpul di pendopo Son-co. Saya coba masuk. Oleh ketua lama saya dipersilahkan berbicara. Sebenarnya saya tidak siap berbicara lebih dahulu. Saya anggap ketua cabang yang akan mengusulkan ini-itu berhubung dengan desanya dahulu kepada kami mengadakan pembersihan. Diantara hadirin cuma satu dua orang yang saya kenal rajin membantu. Yang lainnya ialah mereka yang diundang oleh ketua lama sendiri dan orang-orang yang diangkatnya sendiri di kantor Bayah, karena ia memang kepala urusan personil (Son-moo!).
Tetapi saya tidak berpikir panjang dan percaya kepada pemuda dan para hadirin. Saya uraikan pekerjaan yang sudah kami lakukan diwaktu terluang. Saya peringatkan bahwa pembersihan yang dituntut oleh ketua cabang, kami jalankan dengan pemilihan yang berakhir dengan pilihan atas diri saya sebagai ketua. Saya meminta kepada ketua cabang supaya sekarang dia sendiri yang menentukan bagaimana cara yang dikehendakinya buat mengadakan pembersihan dalam hal keuangan, sebelumnya saya tahu menahu dengan urusan B.P.P. Buku keuangan selama di bawah pimpinan saya, sebagai ketua, adalah terbukanya bilamana saja dan buat siapa saja!
Perdebatan berlangsung sedikit lama, bukan tentang keuangan, melainkan tentang ke-ketuaan. Ketua cabang Rangkas, dengan persetujuan Son-co dan ketua lama mengusulkan mengadakan pemilihan sekali lagi.
Walaupun para pembantu saya, cuma saja yang hadir dan hampir semuanya yang hadir cuma saya kenal mukanya saja. Tetapi saya membenarkan  usul pemilihan ketiga kalinya itu. saya isyaf, bahwa saya ditipu masuk ke perangkap pemilihan, yang pemilihnya ditentukan oleh pihak sana. Sebab ini maka saya sendiri sangat heran ketika menyaksikan bahwa kecuali dua suara (Son-co dan ketua lama ikut pula mengundi) semua suara jatuh kepada saya. Mau tak mau Son-co harus mengesahkan keketuaan saya itu, atas B.P.P atau B.P.2.
Sekarang sedikit tentang B.P.3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja), walaupun mengandung sejarah yang tak kurang panjang dan sulit pula.
Setelah B.P.3 lahir, maka Son-co memanggil saya. Dia mengadakan pemilihan, dimana saya terpilih pula sebagai ketua. Pekerjaan ini tentulah mudah saya jalankan, karena hari-hari saya berurusan dengan pulang pergi dan keadaan romusha. Siapa saja orang lain yang mau menjadi ketua B.P.3 terkpaksa akan meminta pertolongan kepada saya.
Tetapi di belakang hari apabila seorang turunan Tubagus dan “memangnya” tuan Son-co dan ketua lama B.P.2 “memang” yang ingin menjadi ketua B.P.3, maka tuan Son-co mengubah sikapnya terhadap keketuaan saja, walaupun keketuaan saya itu diusulkan disaksikannya di rumah sendiri. Terpaksa lagi diadakan pemilihan. Tetapi pada pemilihan inipun saya dipilih menjadi ketua. Walaupun begitu tuan Son-co tidak juga memberi pengesahan. Bantuan pemberesan yang saya minta ke cabang B.P.3 Di Serang dan Pusat di Jakarta tidak memberikan hasil. Tak ada seorang pun yang mau datang mengurusnya ke Bayah, sampai akhirnya ke waktu penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Son-co ada mempunyai calon ketua B.P.3 dibawah pimpinan Moh. Hatta sendiri kabarnya, mau mengizinkan cabang atau ranting mendirikan “perusahaan” (sabun, minyak kelapa dll) dan memberi bantuan uang dari Pusat di Jakarta. Tetapi karena pekerjaan Bayah sudah memberikan kepercayaan kepada saya, dan karena saya tahu sejarahnya “Tubagus” tadi dalam hal keuangan, maka kami siap sedia mengawai, supaya uang pusat B.P.3 ialah hasil keringat rakyat jelata, yang akan dipinjamkan kepada Bayah itu jangan sekali-kali jatuh ke dalam kas bolong, kas yang tidak mempunyai lantai.
Tiap-tiap bulan Bayah Kozan mengirimkan 1.50.000,- kepada keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi puluhan ribu uang masih tertumpuk di kantor pamong praja, tidak sampai ke alamatnya. Kesulitan kirim mengirim itu sedang saya urus dengan perantaraan B.P.3 di daerah.
Sebenarnya kami tidak membutuhkan uang dari pusat buat dipinjamkan kepada perusahaan ini atau itu yang hasil bersihnya akan dipakai untuk “membantu romusha”!! Kami sendiri sebaliknya sudah siap mengirimkan uang ke pusat yang mudah kami peroleh dari para pegawai. Sokongan uang buat romusha Bayah Kozan lebih pasti akan lebih lekas kami dapatkan dari kantor dan para pegawai sendiri.
Tetapi berhubung dengan kemungkinan korupsi yang akan ditimbulkan oleh “perusahaan” B.P.3 seperti pada “koperasi” Moh. Hatta, maka kami selalu menjaga-jaga! Setelah nyata bahwa Son-co tidak mau mengesahkan kami sebagai pemimpin B.P.3, sedangkan pegawai dan pemimpin rakyat Bayah sudah memilih kami, sedangkan uang iuran akan keluar dari kantong kami pula dan pekerjaan bagi membagi serta hibur-menghibur kami pula yang akan melakukannya, maka pada suatu rapat diantara para wakil Bayah Kozan dan wakil rakyat Bayah sendiri, kami terpaksa mengambil satu putusan.
Perlulah lebih dulu diketahui, bahwa usahanya Pantai Selatan dalam sport, kebudayaan dan penghiburan amat memberi kebahagiaan kepada Son-co Bayah. Dialah yang dikemukakan dalam semua upacara perayaan yang dirayakan dengan permainan olah raga, sandiwara dll. Pada tanah lapang rakyatlah segala upacara dan keolah ragaan dilakukan. Dengan begitu maka Son-co, bapak rakyatlah yang mendapat bahan lengkap untuk “laporan” yang harus dikirimkannya kepada sep-nya.
Tetapi semuanya itu tidak masuk ke dalam pertimbangannya. Apabila pada suatu hari terjadi kematian lantaran hanyut di sungai, maka Son-co menolak mengurusnya penguburan orang mati itu karena katanya yang mati itu ialah seorang romusha. Kami sendiri dibelakangnya dapat memastikan, bahwa yang mati itu bukan romusha melainkan seorang penduduk Bayah asli yang menyeberangi sungai menuju ke sawahnya di seberang sungai dan hanyut karena derasnya arus. Dengan begitu nyata dia membedakan penduduk yang ada di Bayah. Perbedaan dan sistem kekeluargaan Son-co itu yang sangat kami sesali.
Demikianlah pada suatu hari perayaan, maka para wakil rakyat Bayah sendiri, yang selalu kerja sama dengan kami, baik dengan perantaraan B.P.2 ataupun B.P.3, menolak permintaan Son-co mengadakan permainan olah raga di tanah lapang rakyat, Bayah. Mereka mengusulkan supaya permainan dilakukan di lapangan kami dekat pemondokan romusha saja. Biarlah tuan Son-co mengerahkan rakyat asli Bayah ke lapangan kami itu. Usul itu sehabis perdebatan hangat dengan wakil rakyatnya sendiri itu, terpaksa diterima oleh tuan Son-co. Buat rakyat Bayah sudah kami siapkan tempat istimewa pada lapangan kami tadi. Memangnya kami tak pernah membedakan rakyat asli Bayah dengan romusha yang 100% berasal dari Jawa Tengah dan Timur. Bahkan sebaliknya kami berusaha keras memperhubungkan mereka.
Dari Bayah Kozan kami dapatkah 3 ekor kerbau untuk dipotong. Disamping itu diperoleh bermacam-macam hadiah buat yang menang berlomba. Semua istri para pegawai saya kerahkan untuk memasak. Buat perlombaan itu kami belikan barang yang berguna untuk romusha, seperti tudung, celana pendek, terompah dll. Semua pegawai menyerahkan bagiannya kepada tukang dan romusha yang akan berlomba. Para pegawai ikut berlomba dan menyelenggarakan permainan dan hiburan, tetapi tidak mengambil hadiah. Si Jepang pun ditarik ikut serta bermain. Pembagian hadiah dilakukan sedemikian rupa, sehingga hampir semua romusha akan mendapat bagian. Demikianlah pula rakyatnya Son-co Bayah diperkenankan makan minum dan diperkenankan mengambil bagian dalam perlombaan.
Tetapi......tetapi.......tetapi seorangpun rakyat Son-co tidak ada yang datang! Kalau tuan Son-co sendiri tidak membeda-bedakan mana yang rakyat dan mana yang romusha, yang Tubagus atau gembel, yang anggota keluarganya atau orang Indonesia yang diluar daerah atau propinsinya, maka sebenarnya mudah sekali buat Son-co mengambil hati pegawai, tukang dan romusha Bayah Kozan, apalagi hati rakyatnya sendiri dimasa serba sulit itu. Seperti kebanyakan anggota Pamong Praja, maka Son-co Bayah walaupun sudah dikursus oleh Jepang, tetapi tinggal product imperialisme Belanda.
Perundingan kami di Rangkas yang secara tidak resmi itu berpusat pada janji Jepang yang pada masa itu tersusun dalam perkataan: “Kemerdekaan bagi Indonesia dikelak kemudian hari”. Juga dibicarakan perkara perhubungan aliran baru itu dengan Hokokai dan para pemimpinnya. Saya kupas janji “kemerdekaan dikelak kemudian hari” itu semestinya dan saya tolak kerja sama dengan Hokokai dan pemimpinnya itu. Gerakan baru harus mempunyai organisasi sendiri, dasar perjuangan sendiri, dan pimpinan sendiri. Atau belum merasa kuat berlaku sedemikian, baiklah sama sekali jangan keluar membentuk organisasi sendiri itu. Membentuk organisasi baru yang tak akan bisa menolak Jepang atau kaki tangannya atau yang tidak sanggup menolak usaha Jepang dan kaki tangannya. Genjumin bakero, yang akan menggandengkan organisasi baru itu kepada Hokokai, cuma akan menambah kebingungan rakyat yang sudah bingung dan jemu itu saja.
Setelah diadakan pemilihan, maka saya terpilih menjadi wakil Banten ke Konferensi Jakarta tersebut diatas.
Sesampainya di Jakarta saya mendapat kabar, bahwa konferensi Angkatan Muda dan Angkatan Baru itu tidak jadi berlangsung. Jepang campur tangan dan melarang konferensi itu.
Jepanglah yang menjadi salah satu sebabnya perpecahan antara pemuda dan para pemimpin resmi. Jepang pula yang mencoba mempertautkan perpecahan itu. Itu rupanya maksud Jepang dengan Kongres Pemuda di Bandung. Tetapi setelah pemuda insyaf akan gerak-geriknya Jepang di belakang layar, maka mencoba melepaskan diri dari ikatan Jepang dan kaki tangannya dan mencoba mempersatukan diri, seperti maksudnya konferensi Jakarta. Tetapi setelah nyata pula sikap pemuda sedemikian, maka Jepang melarang berlakunya konferensi itu.
Kabarnya dibelakang layar, terdapat dua tangan yang mencoba memperalat beberapa orang pemuda yang berada dalam dua Angkatan tersebut diatas. Tangan yang satu ialah tangannya Kikakuka (planning Board) yang dikuasai oleh kaum politisi dan Kempei Jepang. Tangan yang lain ialah tangannya Sendenbu, organisasi Jepang dalam propaganda. Kedua tangan itu rupanya tidak berdaya lagi memegang pemuda untuk dipermainkan. Para pemuda tetap menolak digandengkan dengan Jepang, Hokokai dan pemimpin resmi dan tetap berusaha mempersatukan diri.
Saya merasa rugi tidak dapat mengunjungi konferensi itu, karena tidak dapat menyaksikan jiwa pemuda di ibu kota yang terasa getarnya di masa itu, tetapi dapat juga saya berjumpa dengan beberapa pemuda. Dua orang diantaranya sampai sekarang masih berada  pada golongan yang mempertahankan kemerdekaan 100%. Pada waktu itu, saya sudah merasa berhubungan batin dengan mereka, tetapi saya belum dapat berterus terang memperkenalkan nama saya yang sebenarnya. Mereka mengenal saya sebagai Hussein dari Banten.
Dengan penerimaan pilihan sebagai wakil ke konferensi Angkatan Muda di Jakarta pada bulan Juni 1945 itu dan dengan percakapan dengan beberapa anggota pemuda, maka saya merasa menginjak tingkat yang lebih dalam usaha saya mencari perhubungan yang lebih mendalam dan lebih meluas dengan rakyat Indonesia. Saya merasa agak kurangnya himpitan kemiliteran Jepang yang agak kuatnya tantangan dari prajurit sukarela (Blitar), Rakyat (Tasikmalaya dan Indramayu) dan dari pihak pemuda umumnya (Angkatan Muda dan Angkatan Baru).
Sebab itu maka saya tidak terkejut ataupun gentar ketika Jepang, kepala So-moo bertanya kepada saya, apakah maksudnya konferensi yang saya kunjungi di Jakarta yang tidak jadi itu. Seperti dalam perdebatan dengan Gico Sukarno di Bayah tempo hari itu, saya terangkan kepada Jepang itu, bahwa Indonesia merdeka akan lebih menjamin kemenangan terakhir.
Saya juga tidak heran, kalau sekembalinya dari Jakarta itu saya dari K.U.P.P dipindahkan kembali ke kantor pusat. Barangkali perhubungan saya dengan romusha, tukang, pegawai dan rakyat dengan perantaraan K.U.P.P itu menurut para kempei-ho, akan membahayakan Jepang, tuannya. Mungkin pula tuan “Tubagus” menghendaki K.U.P.P buat mudah melangkah menjadi ketua B.P.3 dan mendirikan “perusahaan” penyokong romusha. Dan K.U.P.P sendiri dengan pembagian kartunya bisa memberi kesempatan kepada tuan “Tubagus” (bagus turunan Arab), memangnya pengurus umum Indonesia, ketua lama B.P.2, mengesahkan kartu ini atau itu untuk kaum kerabatnya yang terus menduduki tempat yang baik-baik di kantor pusat, bagian pembangunan, K.U.P.P, listrik dan bengkelnya Bayah Kozan dengan tidak memandang pengalaman dan kecakapannya. Nyata “politiknya” tuan Tubagus hendak memonopoli semua “key position” (kedudukan yang strategis) dalam perusahaan Bayah Kozan, sedangkan yang mengerjakan pekerjaan pelopor yang paling berat pada permulaan bukanlah kaum Tubagus, melainkan mereka dari seberang dan Jawa Tengah. Family systemnya kepala bagian personil orang Indonesia, ialah ketua lama B.P.P, yang masuk golongan Tubagus juga di hari belakang diserang dan dibasmi oleh para pemuda.
Bagaimanapun juga pemindahan saya bukannya berarti penurunan tanggung jawab dan luasnya pekerjaan. Diantara empat bagian romu yang dikepalai oleh orang Indonesia, maka saya diharuskan mengepalai salah satu bagian. Pekerjaan saya mengenai pendaftaran (statistik) yang dulu terbagi atas dua bagian sekarang digabungkan menjadi satu bagian. Statistik itu pertama mengenai pengiriman dan penerimaan romusha untuk seluruh Bayah Kozan yang dulu dianggap satu bagian. Selainnya daripada itu, maka statistik itu pula meliputi keadaan sakit, sembuh dan matinya lebih kurang 15.000 yang berada seluruhnya perusahaan, yang dulunya termasuk satu bagian pula.
 Pekerjaan yang mengenai seluruh Bayah Kozan selalu susah dan sulit. Harus diketahui, bahwa cocok dengan keinginan Jepang untuk menjadi “Tuan besar” pada tiap-tiap bagian pekerjaan (jabatan) dan tiap-tiap cabang (Sayah, Madur, Cimang, Cihara) maka keinginan sep-sepan itu menular pada bangsa Indonesia. Cocok dengan main sep-sepan diantara jabatan di Pusat dan sep-sepan antara beberapa cabang, diantara “tuan Nippon”, demikianlah permainan sep-sepan itu dilakukan pula oleh orang Indonesia. Jadinya susah untuk seorang pemimpin di pusat seperti dalam jabatan statistik tadi, mendapatkan persamaan sistem dengan cabang, menerima laporan pada waktunya dari semua cabang, supaya boleh disusun statistik yang sempurna, yang mengenai Bayah, Pusat dan semua cabangnya, yang harus dikirimkan ke Jakarta pada tanggal yang sudah ditetapkan. Satu cabang saja gagal mengirimkan statistik yang harus dikerjakannya maka tidaklah di pusat dapat disusun statistik yang meliputi seluruhnya Bayah Kozan. Koordinasi antara pusat dan cabang amat susah didapat, banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Dengan menjabat pekerjaan statistik itu, maka saya mendapatkan tinjauan (view, overzicht) buat keadaan romusha yang mengenai seluruhnya perusahaan. Terutama pula dapat saya mempelajari seluk beluknya administrasi dari perusahaan, bukan saja dipandang dari sudut teknis, ialah bagaimana membuat statistik yang bagus, tetapi terutama pula dipandang dari sudut perhubungan orang dan orang. Tidak kita berurusan pekerjaan serta tanggung jawab bagian terhadap pusat saja, tetapi juga dengan soal pimpinan, soal mendapatkan semangat kerja sama antara kita dengan kita. Ini berarti soal kecakapan memimpin dalam suatu perusahaan besar. Buat itu tidak cukup pemimpin itu bergantung kepada telepon saja, meminta beresnya statistik ini atau itu, memperingatkan, memarahi atu menggertak, tetapi perlu pula dia mengadakan personal contact, perhubungan orang dengan orang. Biasanya kalau ada personal contact maka koordinasi yang sehat mudah dijalankan. Tetapi dengan gertak atau sentak, biasanya sebaliknya yang didapat, sebab cabang yang jauh letaknya itu mudah menjalankan sabotase dengan bermacam-macam alasan dan tipu muslihat. Sekali suasana kerja sama terganggu maka sukarlah kelak memperbaikinya. Saya melakukan koordinasi dengan sikap lain dan suara lain. Berharga amat saya anggap pengalaman dalam administrasi itu!
Tetapi keadaan sudah terbalik sama sekali. Jepang sudah terdesak ke sudut. Angkatan perang Amerika sudah menduduki Okinawa. Jerman dan Italia, ialah Serikat Jepang di Eropa sudah kalah perang. Pada ketika ini kami para pegawai dan penduduk Bayah diperingatkan supaya pada waktu sore hadir di gedung bioskop untuk mendengarkan pengumuman Jepang, pemimpin Bayah Kozan.
Apa yang dinamakan pengumuman itu sebenarnya ialah pidato dua orang Jepang, pemimpin Romu dan Direktur perusahaan sendiri, guna memperbaiki perasaan romusha, pegawai dan rakyat yang sangat gelisah, karena peraturan pembagian baru. Menurut pembagian baru ini maka seorang pekerja (pegawai atau romusha) akan menerima beras pukul rata 200 gram sehari, jadi turun 50 gram. Tetapi selainnya daripada penurunan tersebut, istri dan anak yang dahulu menerima 100 gram seorang, sekarang tidak akan menerima apa-apa lagi.
Akibat peraturan baru itu tentulah pekerja harus makan kurang daripada dahulu dan atau mengirimkan, anak istri ke lain tempat. Ini mudah disebutkan, tetapi tidak mudah dijalankan. Kemana anak istri akan dikirimkan? Dimana-mana rakyat kekurangan makanan. Dua ratus gram sehari buat seorang pekerja Bayah Kozan berarti, atau hidup bersama keluarga memakan 200 gram sehari, atau sendiri memakan 200 gram sehari dan membiarkan keluarga terlantar entah dimana. Perihal inilah yang sangat menggelisahkan seluruhnya pekerja Bayah Kozan.
Di Gedung Bioskop pemimpin Romu mencoba memberi penerangan tentang perlunya “persatuan”. Dia  mengambil perumpamaan dari rombongan lebah yang bersatu. Karena rombongan lebah dapat mengumpulkan madu bersama-sama. Disamping itu rombongan tadi dapat mengusir seorang “anak” yang nakal yang pada suatu hari mau membinasakan sarang lebah itu.
Yang dimaksudkan rombongan lebah yang bersatu itu ialah bangsa Jepang dan Indonesia dan yang dimaksudkan dengan madu itu ialah batu arang yang harus dihasilkan sebagai akibatnya “kerjasama” antara Jepang dan Indonesia. Akhirnya anak yang nakal yang mau membinasakan lebah itu ialah kaum Sekutu.
Direktur Bayah Kozan mengemukakan kepentingan batu arang buat perusahaan. Kalau tak ada batu arang,  maka kereta api tak akan berjalan dan pabrik akan terpaksa ditutup, katanya. Dengan begitu maka “kemenangan terakhir” masakan akan dicapai.
Semuanya orang Jepang, semuanya pegawai hadir di dalam gedung. Ada banyak pula tukang, romusha, mandor dan rakyat biasa yang berdiri di samping gedung bioskop yang terbuka itu. Mendengarkan pidatonya kedua orang Jepang tersebut, hadirin merasa kecewa, tetapi tentulah tidak seorang pun yang berani membantahnya.
Seorang pemuda meminta saya berbicara. Tetapi saya persilahkan dia sendiri dulu memberi sambutan. Beberapa surat kecil dilayangkan dri tangan ke tangan menuju kepada saya meminta saya memberi pandangan.
Beberapa bisikan dari dalam dan luar gedung, diteruskan pula kepada saya, mendesak untuk berbicara.
Pemuda tadi, walaupun sedikit sekali menyinggung keadaan makanan (dan pakaian) diantara semua golongan, yang dimaksudkan sebagai syarat yang terpenting buat persatuan dan efficiency, tetapi dengan segera dia mendapat persetujuan dari hadirin. Sesudah berbicara dia menuju ke tempat saya meminta saya sendiri berbicara.
Bukannya apa yang akan dibicarakan, yang saya pikirkan pada saat itu, melainkan apa akibatnya apa yang saya bicarakan. Tetapi sudah saya pertimbangkan kekuatan Jepang di masa itu dan keadaan Rakyat Indonesia umumnya dan keadaan penduduk Bayah khususnya. Kebenaran, akhirnya, harus saya tegakkan.
Keringkasan pidato saya yang agak panjang itu, adalah seperti berikut: Dengan memakai perumpamaan Jepang kepala Ro-moo tadi sebagai “batu loncatan”, maka pada permulaan saya benarkan maksud pidato itu, yakni: bahwa persatuan itu bisa mengakibatkan hasil yang bagus. Tetapi saya akhiri pidato saya dengan memajukan perbedaan lebah tadi dengan kami bangsa Indonesia, yakni: lebah itu adalah hewan yang merdeka, merdeka mencari temannya dan merdeka mengerjakan pekerjaannya. Jadi lebah tadi bekerja sama atas dasar kemerdekaan dan sama rata.
 Dengan memakai kesimpulan direktur Bayah Kozan, bahwa batu arang sangat penting buat kereta dan pabrik (tak ada batu arang, tak berjalan kereta dan pabrik), maka saya bandingkan batu arang buat kereta dan pabrik itu dengan makanan buat kita manusia, “Andaikan” kata akan berjalan ke Malimping kereta itu memerlukan sepikul arang, sampai kemanakah kereta sanggup berjalan dengan arang setengah pikul? Tanya saya. Setengah jalan ke Cihara”......begitulah disambut dengan serempak.
Khalayak yang ada diluar bioskop mulai mendesak masuk!
“Andaikan pula” tanya saja, “kereta cuma diberi batu arang dua tiga buah saja, sampai manakah dia sanggup berjalan?”
“Sejengkalpun tidak, barangkali mendesuspun tidak”.....demikianlah kiranya jawab hadirin, serempak pula. Tepuk tangan serta tertawa mulai diperdengarkan oleh khalayak yang selama ini berdiam, pasif saja. Saya lihat orang Jepang gelisah, agak ketakutan melihat ramai berduyun-duyun masuk dengan sikap yang agak agresif, berlainan daripada yang sudah-sudah.
Pertanyaan saya seterusnya kepada hadirin, apakah pada masa ini cukup untuk satu orang pekerja setengah liter sehari. Jawab dengan: “cukup”. Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan pembagian setengah liter untuk seorang pekerja dalam satu hari, kita sanggup bekerja delapan jam sehari, jawab “ya, sanggup”.
Tetapi tanya saya, kalau cuma dapat 200 gram sehari, sedangkan anak istri mesti hidup dengan 200 gram itu, karena jarang sekali terdapat seorang bapak Indondenesia yang sampai hati melihat anak dan istri kelaparan, berapa jamkah dia akan sanggup bekerja?
“Berjalan saja tak akan bisa”......begitulah dijawab oleh khalayak.” Bisa berjalan, ialah menuju ke Karet”.......saya sambut pula.
Mendengar komentar saya ini ramai bertepuk tangan dan bersorak, hal mana tidak disukai oleh Jepang. Karet ialah tempat rumah sakit dan dulunya tempat bergelimpangan romusha, yang sakit atau mati. Karet masih dianggap sebagai kuburan oleh penduduk Bayah.
Setelah saya memberikan salah satu kesimpulan, bahwa dengan gaji F.0.40,- sehari, romusha cuma dapat membeli sebutir pisang (harga sebuah sudah F.0.38,-), maka rapat menjadi sangat riuh, merupakan satu “angry mob”, ramai yang marah.
“Angry mob” dan “Jepang takut”, inilah kesan yang saya bawa pulang sekembalinya dari rapat itu.
“Akibatnya pidato di bioskop itu jauh sekali!
Di jalan-jalan pekerja dan penduduk Bayah bertanya kepada saya: “kapan kita menerima setengah seliter sehari?”
Pertanyaan semacam itu amat terburu-buru, tetapi menunjukkan betapa pentingnya soal beras untuk Bayah di masa itu. Di mana-mana tersiar kabar, bahwa sebagian besar romusha tambang, di gunung Madur mogok dan lari.
Seorang wakil, pusat dari B.P.3 dari Jakarta, yang datang di Bayah pada masa itu, setelah menengok ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan lebih dulu bahwa tak ada Jepang, kempei-ho atau telingan yang bisa membahayakan disamping kami, dengan berbisik-bisik bertanya kepada saya: “Benarkah ada keributan di Bayah baru-baru ini?”
   Apabila saya selidiki tanggal “keributan” yang dimaksudkan itu, maka nyatalah bahwa tanggal itu jatuh pada waktu pidato bioskop tadi diucapkan. Seorang petani terkemuka di Bayah, yang selalu kerja sama dengan kami, melaporkan kepada saya, bahwa seorang dari “lain tempat” datang kepadanya menanyakan, siapakah orang yang paling dianggap oleh rakyat Bayah, dan bahwa dia mengemukakan nama saya. Teman petani ini sangat mengharapkan, supaya kelak saya dimajukan menjadi anggota (Giin) Sangi Kai buat daerah Banten.
Setelah proklamasi Indonesia merdeka, maka saya mendapat kepastian, bahwa nama Hussein memang sudah tercatat di kantor Kempei di Jakarta, lengkap dengan ukuran tinggi, warna dan rupa dan semuanya tanda. Sesudah proklamasi pulalah saya tahu, bahwa seorang Kempei-ho Bayah ada berniat melakukan pekerjaan yang paling jahat dengan diam-diam terhadap saya, sebagai akibatnya pidato bioskop itu. Tetapi tanpa sepengetahuan saya pula, dua orang pemuda listrik selalu merapati si Kempei-ho tadi kalau dia berani mengangkat senjatanya terhadap saya. Maksud itu baru saya ketahui, sesudah Proklamasi. Kedua pemuda tadi datang menjumpai saya di Jakarta, menceritakan, bahwa apabila Bayah sudah mendirikan Komite Nasional dan Laskar pembelaan, kedua pemuda listrik tadi diboikot oleh teman-temannya tuan Hussein sendiri, karena kata mereka, kedua pemuda itu dulu terlampau rapat perhubungannya dengan si Kempei-ho tadi. Saya tak berkesempatan lagi menyelesaikan kesalah pahaman itu. Tetapi memangnya kedua pemuda itu saya kenal baik dan memangnya pula semua pengurus K.N.I dan laskar di Bayah sesudahnya Proklamasi adalah bekas pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang terkemuka dan rajin diwaktu sebelumnya Proklamasi.
Di kantor, rupanya pada waktu Jepang hampir menyerah, sudah lama si Jepang bertanya-tanya kepada orang Indonesia: “Siapakah Hussein itu yang sebenarnya?” tetapi tak ada seorangpun diantara penduduk Bayah yang akan dapat memberi jawaban yang sesungguhnya. Yang mungkin bisa memberikan penerangan yang sebenarnya, seperti bekas sahabat dan teman sekolah atau anggota keluarga selalu dapat saya singkiri. Dan bekas kawan separtai dengan saya, kebanyakan masih disingkirkan di Digul.
Gugup serta tergopoh-gopoh pada suatu hari seorang teman pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang bekerja pada bagian So-moo, datang menceritakan, bahwa pagi tadi sidokan (opsir penyelidik Jepang) datang ke kantor menanyakan surat permintaan Hussein, dimana riwayat saya dituliskan. Teman pembantu itu menceritakan pula, bahwa satu dua minggu lampau terjadi pula yang sedemikian, berhubung dengan dua orang Indo ditambang Cimang (Rosen namanya). Dibelakangnya kedua orang Indo itu dibawa oleh Sidokan tadi ke Serang. Yang seorang mati di dalau auto dan yang lain mati di tangan Kempei di Serang. Oleh teman pembantu tadi diusulkan supaya saya lekas bersiap lari saja.
Saya rasa tak perlu lari itu! Saya katakan bahwa semuanya sudah saya perhitungkan. Surat kabar dengan berita penyerahan Jerman, Italia dan pulau Okinawanya sudah cukup memberi keterangan yang sebenarnya kepada saya.
Besoknya saya dipanggil berjumpa dengan Jepang, kepala So-moo yang seperti saya sebutkan di atas mempunyai paham yang liberal. Dia bicarakan pidato bioskop. Dia peringatkan satu rapat di Jerman, dimana akan berbicara seorang pemimpin sosialis. Rakyat memutuskan akan pergi mengunjungi Presiden buat mengucapkan terimakasih. Tetapi sebelum berangkat seorang pembicara komunis mengucapkan pidato pula. Sesudah komunis itu berbicara, maka hadirin di rapat itu berangkat ke tempat Presiden dengan maksud bukan mengucapkan terima kasih, tetapi membunuh presiden.
“Begitu, ya, tuan Hussein”, katanya pula, “ini contoh saya kasih bagaimana satu pidato bisa diterima oleh “angry mob” (ramai yang amarah).
“Ya, tetapi rakyat lebih marah, kalau perut lapar dan janji tidak ditepati”, jawab saya.
“Tetapi dimana kita bisa dapat beras.....ditanyakannya.
“Di Cibaliung”...............jawab saya.
“Susah mengangkutnya”..........katanya.
“Cikar bisa dibikin berapa saja. Kayu ada! Besi dan bengkel ada! kerbau banyak sekali di Bayah! Jalan ada! Dahulu orang orang Indonesia juga mengangkut dengan cikar (pedati) kerbau. Kalau dari dahulu dikerjakan, sekarang tak akan kekurangan beras. Di Cibaliung beras bertumpuk-tumpuk. Dahulu juga kantor Bayah berkeberatan menanam sayur sendiri. Sekarang ternyata bisa dikerjakan. Kita sekarang selain kelebihan sayur. Banyak sayur yang busuk karena tak habis dimakan. Demikianlah isi uraian saya. Pengurus So-moo cuma mengeluarkan napas saja. Ia selalu menerima dan melakukan usul saya yang baik. Dia berani melihat paham melakukan usul yang baik. Dia berani melihat paham kami yang berlainan dengan pahamnya sendiri. Dia suka mempelajari bahasa dan adat istiadat orang Indonesia. Tetapi sekarang dia tampaknya lesu, lemah! Beberapa orang Jepang yang lain-lain cuma duduk di atas kursi, termenung kelihatan susah, dengan kedua kaki diangkat ke atas kursi dan dagu diatas lututnya. Waktu itu ialah permulaan Agustus 1945. Jepang kelihatan takut. Rupanya mereka tiada lagi memikirkan siapa orang Indonesia yang harus ditangkap oleh orang Jepang, melainkan sebaliknya orang Indonesia yang mungkin akan menangkap orang Jepang. Melihat suasana demikian maka saya sorongkan saja sehelai formulir, yang sudah saya isi lebih dahulu, ialah permintaan kepada kantor buat mengunjungi Konferensi Pemuda di Jakarta yang dijanjikan berlaku pada permulaan Agustus itu bilamana Bung Karno, Gico Cuo Sangi In akan berbicara. Izin mengunjungi konferensi itu dengan lekas saya peroleh, dan sebagai urusan jabatan, ialah atas ongkosnya kantor. Para pegawai memberikan mandat penuh kepada saya sebagai wakil Bayah Kozan. Mandat itu dibarengi pula dengan sepucuk surat kepada Bung Karno dan Bung Hatta.
Demikianlah akhirnya pada permulaan bulan Agustus saya menuju “ke arah Republik Indonesia” bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih daripada 20 tahun lampau melainkan dengan kedua kaki di atas Tanah Indonesia sendiri!!



    













                 
















































2 komentar:

  1. Namaku Mrs. Maria Pedro, manajer cabang JAMINAN JAMINAN. Apakah Anda memerlukan pinjaman atau hipotek atau tunjangan lainnya? Apakah Anda memerlukan pinjaman? Sudahkah anda menolak bank dan lembaga keuangan lainnya? Cari tahu lebih banyak tentang masalah keuangan di masa lalu !!! Kami memberikan pinjaman kepada perusahaan, entitas dan individu dengan harga rendah dan wajar untuk jangka waktu tetap 1-30 tahun dan enam bulan sebelum dimulainya cicilan bulanan. Anda bisa menghubungi kami melalui e-mail: (mariapedroguaranteetrustloan@gmail.com)

    APLIKASI DATA

    1) nama:
    2) Negara:
    3) Alamat:
    4) Jenis Kelamin:
    5) Status perkawinan:
    6) Pekerjaan:
    7) Nomor Telepon:
    8) posisi di tempat kerja:
    9) penghasilan bulanan:
    10) Jumlah pinjaman:
    11) Jangka waktu pinjaman:
    (12) Tujuan pinjaman:
    13) Tanggal Lahir:
    terima kasih

    BalasHapus
  2. NAMA SAYA: MRS MARIA ARTIKA
    NEGARA: INDONESIA
    KOTA: BATU MALANG JATIMMY
    WHATSAPP: +62 877-4316-8500
    HIBAH PINJAMAN: Rp350.000.000,00
    EMAIL SAYA: mariaartika27@gmail.com

    Saya ingin memulai dengan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah kehidupan.
    Nama saya MRS MARIA ARTIKA dan saya ingin berbagi cerita yang bagus tentang KARINA ROLAND LOAN COMPANY. Favorit, perusahaan yang mampu secara finansial membuat hidup saya berbalik.
    Saya mengalami kesulitan keuangan untuk beberapa waktu dan saya harus meminjam dari teman-teman saya karena saya berharap dapat melunasinya setelah menerima pembayaran saya.
    Dan ketika menghadapi hidup saya berubah menjadi yang terburuk, saya dipecat dari pekerjaan dan saya kehilangan ibu saya beberapa bulan kemudian. Setelah ibu saya dimakamkan, teman-teman saya mulai meminta uang mereka kembali.
    Tetapi kompilasi saya mengira hidup saya sudah berakhir, saya sebenarnya berusaha untuk melarikan diri, sekarang TUHAN menggunakan teman dan tetangga saya Bu Rini anggraeni yang membantu saya untuk menghubungi IBU KARINA yang mengatakan bahwa teman dari Indonesaia menghubungkannya dengan IBU KARINA, jadi saya menceritakan kisah saya kepada ibu, dia meminta dokumen yang saya tunjukkan dan sebelum saya menyadarinya permintaan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000,00, sebelumnya saya telah meminta tiga perusahaan pinjaman online yang lebih baik untuk tidak membutuhkan bantuan positif, tetapi IBU KARINA ROLAND melalui pinjamannya perusahaan, KARINA ROLAND LOAN COMPANY telah mengubah hidup saya dan saya telah memutuskan sebelumnya bahwa saya akan terus membagikan cerita ini sehingga warga negara saya dapat memanfaatkannya, berharap dapat meminjamkan pinjaman kepada orang yang terkena banjir. Proses persetujuan kredit saya telah selesai dan saya telah menerima surat persetujuan dari perusahaan yang menyetujui say yes harus memberikan bank saya. Saya menerima permintaan dari bank saya yang menyatakan bahwa rekening bank saya telah dikreditkan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp350.000.000,00 yang saya minta. KARINA ROLAND LOAN COMPANY adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang nyata dan tulus di seluruh dunia, jadi jangan ragu untuk menghubungi MOTHER KARINA di saluran ini. Anda dapat menghubungi perusahaan ini melalui atau email whatsapp: karinarolandloancompany@gmail.com, whatsapp +1585 708-3478, begitulah hidup saya berubah dan saya akan terus membagikan kabar baik agar semua orang dapat melihat dan menghubungi perusahaan baik yang mengubah hidup saya .
    Anda juga dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan saya atau Anda ingin bertanya kepada saya tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman saya. Ini email saya: mariaartika27@gmail.com

    PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA
    HANYA WHATSAPP: +1585 708-3478
    NAMA FACEBOOK: KARINA ELENA ROLAND
    EMAIL: KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM

    BalasHapus