DAFTAR
ISI
Shanghai Dan Chap Kau Loo Kun
Di Hongkong
Ke Mana
Menuju Ke Tempat Yang Tidak Disetujui
Menyeberang
Ke Arah Republik Indonesia
SHANGHAI Dan CHAP KAU LOO KUN
Ialah Tentara
ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai,
permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang
Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada
Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer
(1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh
tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa
sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas
diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali
mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang
bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara
Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan
tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu.
Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari
daerah Kwantung. Inferiority complex,
rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh
tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu
tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan
tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok
jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak
putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang
Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan
manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu
tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan
serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan
masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai
berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir),
(3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5)
Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para
prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit
atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum
Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam
sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di
masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja
Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang
menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi)
tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum
Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum
saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan
golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa
terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin
lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang
tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat
Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku:
zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar
bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau
dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah
menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara
Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa
modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan.
Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan
idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak
ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir,
industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya
No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan
sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan
kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada tahun 1932 belum pernah perhitungan yang
teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa
itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di
semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah
menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi
kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai
sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan
Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi
hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di
Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak
lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum
pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang
di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah
satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua,
setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam
feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping
yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari
di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang
sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah
tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau.
Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik
bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung
bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan
penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan
asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian
Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping
makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927
ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping
pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih
bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah
salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu
(tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja,
yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842.
Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok
dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu,
maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar
perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka
perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori,
semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah
artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah
polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris,
Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada
tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane.
Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu
mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan
saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin,
terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu.
Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok
dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat.
Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas
duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen
daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara
asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu
belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu
adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara
Tiongkok.
Ada lagi akibat
buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing
yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada
undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri
menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang
“Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok
berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa
perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya.
Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri
Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang
negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya
biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian
internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh
ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul
kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya
saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya
berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa
di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan
Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing
terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa
tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa
sendiri.
Perjanjian pincang
(unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan
menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi
perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat,
menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya
kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu
membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih
kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa,
bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan
ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama
penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir
Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa
berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa
Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan
semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal
Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar
Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya
sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan
Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600
juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $
250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat
Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John
Gunter halaman 167).
Modal asing itu
ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian
terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama
di Shanghai.
Pun modal Tionghoa
sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak
kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok
berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane
seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai
bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil,
sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh
dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka,
modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat,
dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank
(milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak
pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko
seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American
ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal
Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang
asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti
60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah
kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang
asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga
buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki
oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara
modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan
asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan
kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang
asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi
lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama
sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid)
dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid)
berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat
Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist
asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu
terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai
Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang
keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa
asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar
cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain
pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau
dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik
(reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal
tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang
semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika)
dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh
unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4
sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $
16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu
masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak
Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik.
Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji
selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli
perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi
lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka
berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak
belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan.
(Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan
kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa
asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia
yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar
Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang
kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan
Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih,
“lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre.
Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian
ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau
gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka
para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma
menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap
pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat
kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di
bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum
beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan
sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah
pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di
Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap
bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau
terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang
berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan
kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business
(perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti
jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah
asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari
“municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak
dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika
ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis:
Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang
terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama
“manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa
pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi
itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka
beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar
sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri.
Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang
asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin
juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak
wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api
“Vickers” made in England secara
gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya
menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta
tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang
business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa
di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada,
tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan
candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota
internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh
perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang
Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing
menamai dia “the most interesting
man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada
juga orang yang memanggil dia dengan
nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya
dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung
Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang
dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur
dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik
dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu
yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai
kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah
yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen
menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita
terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su,
Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi
Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar,
menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa
Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air
(Hokkian: Sui Ho?) diceritakan
riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang
termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam
Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin
juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat
suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang
Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu.
Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita
orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk
mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat
mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi
rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan
zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang
menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka
menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai
persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan
kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan
memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan
tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya
dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu,
maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok.
Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam
hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para
Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda
Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen
seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya
di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual
kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai
Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai
banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan
tukang penyelundup (smokkelaar). Kata
orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat
Hijau” itu.
Buat pemimpin
tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu
mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang
perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan,
perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang
sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa
membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu
mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang
perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian
atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang
anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah
mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin
ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen,
anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir,
Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy
(tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok.
Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan
pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan
sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima
Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam
percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya
oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan
di French Consession (tanah
concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai
mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun
begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah
banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen,
tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk
menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika
Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para
pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah
dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja,
sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi
belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh
bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan
menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen
menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya
Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in
Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula
Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.
Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi
undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya,
perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang
sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan
prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau
dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa
sendiri. Orang Hartawan asing amat ditakuti
karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan
penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan
Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa
Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa)
saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya
dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana
yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya.
Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan
para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan
dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan
permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak
dikirimkan pada sekian waktu, atau kalau
perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau
permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau
ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga
si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan
yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si
penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga
anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para
penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan
penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING
SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian
Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai.
Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi
international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang
nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh Chicago dalam hal pergangsteran. Umum
diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari
$ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di
Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas
“lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup
mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru
tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai
babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan
seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti
seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di
Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam
ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di
hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula
sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah
terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan
sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang
ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah
menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol
rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos
polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa.
Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan
tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para
pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal
politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze,
daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200
juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh
dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal
yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para
jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau
peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan
memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang
Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan
senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international.
Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para
jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa
Tionghoa.
(Tientsin buat
Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan,
lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal
perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan,
tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan
mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat
barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas,
sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat
kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara
asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah
larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara,
perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang
saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis
Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para
kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis
tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk
mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing
menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah.
Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk
perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula
tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien
bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial!
Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan
mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan
kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan,
penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan
tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta
orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di
jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya
banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal
biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin
diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya
sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara
borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang
menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab
orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering
menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di
Inggris atau Amerika, meskipun dia
seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau
perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan
demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan
teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada
dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus
dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna,
bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran
yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan
dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran
rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota
Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh
borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit
khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua
golongan Tionghoa yang diam di French
Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis)
wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping
pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali
cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar.
Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda
oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan.
Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan
antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia.
Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan
tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan
Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan
dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang
kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan
pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing
(Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula
golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu
pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik,
perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu
mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu
pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para
pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat
memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada
dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode
autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua
bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang
belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak
pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa
autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa
tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya
demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak
mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti.
Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan
kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan
berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing
atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok.
Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula
pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik
bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat
kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah
berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh
kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan
itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya
berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat
pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli
senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar,
ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang
hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan
militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen
proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang
militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang
Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa
opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji,
berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan
pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau
seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk
kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan
Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah
umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan
untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu.
Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak
uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula
banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara
yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di
daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan
bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk
mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak
lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu.
Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang
saudara pula.
Oleh karena
sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di
bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas
kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist.
Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San
Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa.
Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher
perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing
tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak
akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai
hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah
cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John
Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang
dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang
perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman.
Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak
sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara
tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan
para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat
luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini
pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas
pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap
daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi
kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan
pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah
pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang
resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah
antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan
taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang
bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu
sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi
bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan
negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang
menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja
negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa
belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat
baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan
tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran,
perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa
perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan
sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka
jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan
penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya
kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara.
Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah
kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam
hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1.
Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas
tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian
Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan nasional Tiongkok atas politik luar dan
dalam negeri sendiri. Kelemahan
pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik
mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan
yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu
salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping,
yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang
perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen
proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain,
yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya
lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa
pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah
pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya
itu.
Dalam hakekatnya
Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak
langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat
juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat
Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu
pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi
9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat
Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr.
Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini
atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo
(oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.
Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara
Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung
tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis
Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti
imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan
Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai
bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan
intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1)
aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum
borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka
berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum
komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum
Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan
kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum
Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman
seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan
kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir
dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan
perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum
buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai
tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya
Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya
kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan
anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan
cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek
disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan
perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh
kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara
nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal
Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula
kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar
sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang
amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow.
Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2
buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini
mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai
daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh
sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan
bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing
seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah
pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa,
kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara
nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya,
bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan
seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera
mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah
perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum
nasionalist radikal.
Haruslah disini
diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah
Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah
pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam
pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu
semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara
nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan
turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum
komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai
Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan
nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang
dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan
menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat
bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara
Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan
kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah
sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu.
Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan
sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi
dan sosialisme.
Dalam pertentangan
sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu
kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan
sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya
bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang
bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang
termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang
amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum
feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis,
dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang
Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum
Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang
bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para
Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam
Kuomintang.
Sayap kanan yang
mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan
kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang
Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan
terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman
seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran
kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap
kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan
pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum
komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi
yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya
organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka
berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan
begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus
persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang
Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong,
yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya
Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika
yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah
kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu.
menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun
1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan
nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula
akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan
seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan
sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu
saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum
nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme
internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum
imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu
dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah
ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi
dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil
bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat
perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan
atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai
pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan
yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri
dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan
kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan
100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan
mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu
dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar
tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal
borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan
buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan
pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam,
kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur
pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis
mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan
tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang
paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini,
bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh
rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan
rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun
1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta
populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang
tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah
sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian
berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan
mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan
negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari
siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta
serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya
mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika
dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika
yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan
rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu
memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai
Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat
pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai
Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja.
Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih
berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah
massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka
datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu
dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka.
Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di
Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun
1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya
proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para
tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya
kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping
kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan
proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya
sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran,
buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang
diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh
penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini
dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan
ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan
perguruan, dari SMP sa mpai sekolah
tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas
mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan
ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat
biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya
sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara
asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu.
Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai
murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi
kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang
berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja
tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh
anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi
Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu.
Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno
Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti
meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang
segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini
pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan
yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi
sake.
Inilah upahnya
mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang
bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan
berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4.
Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula
lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok
Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di
dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang
panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya
Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat
mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing
di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di
negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat
menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang
berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka
menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang
Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai
senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk
partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi
terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang,
ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada
kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah
terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai
Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan
Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun,
tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung
dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai
ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19
datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang
Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari
Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia
ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula
rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan
kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan
perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah
tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu
Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa
Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang
Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan
laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian
besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke
pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri;
sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia
menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh
ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi
kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai
satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal
dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada
saya supaya pindah rumah, karena something
will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese
agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan
pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di
sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat
semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan
rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang
asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas.
Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang
terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang
hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa
sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada
satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada
diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di
sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang.
Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam
10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan
pitchin, English, bahasa Inggris pasar No
go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat
atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga
kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu
sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke
jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis
Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya
kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam
sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan
barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa
dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing
sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak
dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali
sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu
meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya
(lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat
kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang
pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu
Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan
bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit
diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir
berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa
berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road
dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak
yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus
penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di
rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta
pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka
secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu
Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa
dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang
terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak
bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang
ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut
serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan
sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat
nyonya rumah dan tidur dilao-ka
(tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat
hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami
menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan
sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar
membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi
kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan
dan air.
Untunglah pada
hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada
penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit
saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar
saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah
terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di
kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis
daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong,
tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang
paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus
langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada
satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya
segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya
seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi
Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan
saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat
ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya.
Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah
saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti
menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan”
bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu
dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa
persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta
kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya
perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak
mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan.
Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh.
Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan
“neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel
saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit,
di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari
saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa
keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya
berjalan menuju ke French Settlement,
ke rumahnya Sensei (tuan) Chen.
Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula,
menghindarkan tembakannya para “snippers”
yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian
sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai
di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my
house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa
tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi
ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama
kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering
membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino,
ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy
ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat
menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng
Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama
saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena
suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat
terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam
kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya
Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari
daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk,
Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya
merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan
tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para
wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi
hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan.
Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi
dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di
sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga
dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa
memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini.
Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi
saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana.
Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak
ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus
terang kepada saya.
“Jenderal” Chen
memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada
diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya
ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya
daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan
dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya
diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di
Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham
saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung.
Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil
saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara
Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun
begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19
yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan
persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya
tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena
letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya,
yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya
sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak
menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa
“mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.
Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja,
yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti,
bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita
kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan,
setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai
dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini,
menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang
menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar
patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di
atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya
kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung
oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam
hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya
berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei
Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada
seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara
Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa
itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa
si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa
juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih
menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan
belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau
mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya
oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku
di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah
turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada
keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di
kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke
bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit,
kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar
itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus.
Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya
dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur
saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan
pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini.
Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas
manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh
semuanya penduduk rumah, “jenderal”.
Rupanya Sensei
Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya
bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang
petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya
melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat
yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di
waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani,
pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan
hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai
terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu
tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau
dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri.
Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping
saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya,
mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan
begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat
mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan
lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota,
Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan
dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya,
yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang
terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya
sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke
Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan
maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang
datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat
disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin
cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah
masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka
yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu.
Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus
pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam,
ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan
cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan,
pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu
dilakukan.
Baru tengah hari
sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan
menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin
sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range
Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun
penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan
sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan
pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa
bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh
musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan
keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang
tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya
berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka
yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa
Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si
ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya.
Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu,
bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia
ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan”
surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan
rumah saya berjumpa dengan tauka
(yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar
dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long
diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian.
Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga,
kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan
rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir.
Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh
la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya
berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap,
bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap
bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya
ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat
celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah
yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah
dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang
lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu
surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di
dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus
jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya
berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap
yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai
bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong
Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama
saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu
nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik
benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak
Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu
bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu
identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang
matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya
bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1
x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap
tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee
adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa
Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee
Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong
Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan
potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu
yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong
dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri
kepada seorang “American returned student”
(mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung
dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah
peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai
daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya
pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam
reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan
La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.
DI HONGKONG
Ong Soong Lee,
nama penuhnya, yang mengandung 13 nama reserve, dengan tidak membatalkan nama
di atas pasportnya dengan kopor baru, kebetulan pula seharga $ 13, pada
permulaan bulan Oktober tahun 1932, menyewa kamar No. 13 di Station Hotel
Kowloon, kota di seberang bandar Hongkong.
Syahdan pada hari
2 x 10, ialah bulan 10 dan hari 10, hari ulang tahunnya Republik Tiongkok, maka
angka 3 x 13 tersebut di atas, buat mereka yang percaya kepada kecelakaan angka
13 benar-benar menjalankan rohnya. Buat mereka yang bersandar atas barang yang
nyata, tentulah kemalangan diri saya pada malam hari itu berhubungan dengan
sebab dan akibat yang nyata pula.
Tetapi memangnya
pula, entah karena perasaan apa, maka pada sorenya hari 2 x 10, hari double-ten
itu saya mengadakan persiapan dengan kawan saya Dawood. Semua pesan yang perlu
saya berikan pada malam hari itu, seolah-olah ada bahaya yang akan menimpa.
Dawood datang dari Indonesia menjumpai saya di Shanghai. Kemudian dia berangkat
dulu ke Hongkong dimana kami berjumpa lagi. Dia tinggal di kota Hongkong dengan
memakai nama Phipino dan saya tinggal di Kowloon.
Di Hongkong di
tepi pantai pada hari tersebut sampai jauh malam kami bercakap-cakap. Kami
berpisah hampir jam 12 malam. Dia tinggal di Hongkong dan saya menumpang ferry
boat, kapal yang pulang balik antara Hongkong dan Kowloon. Lamanya berlayar
lebih kurang 5 menit. Setelah sampai di Kowloon, maka saya merasa diikuti oleh
polisi rahasia Inggris. Seorang Tionghoa berpakaian biasa dan seorang Benggali,
tinggi besar selalu saja di belakang saya.
Apabila sudah saya
memperoleh kepastian bahwa kedua polisi rahasia tersebut benar-benar mengikuti
saya, maka saya mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri. Dengan segala
muslihat saya berusaha melepaskan diri dari mata mereka, tetapi karena
keadaannya kota Kowloon, di tengah-tengah malam hari pula, tidaklah berhasil
usaha itu. Saya tetap diikuti. Kowloon dikelilingi laut. Satu jalan yang
menghubungkan Kowloon dengan Canton ialah jalan kereta api yang rupanya sudah
dijaga pula.
Jalan keluar kota,
sudah tertutup sama sekali. Apabila saya sampai ke depang hotel saya, maka saya
merasa tidaklah aman masuk ke dalam hotel. Saya tidak jadi masuk ke dalam
hotel, melainkan membelok ke kanan. Tiba-tiba saya diserang dari belakang oleh
dua orang.
Si Tionghoa yang
mengikuti saya tadi dengan tangan kirinya menekan leher saya sambil memegang
tangan kanan saya dengan tangan kanannya
pula. Si Benggali, yang tinggi besar itu dengan tangan kanannya menekan leher
bagian belakang saya dan memegang tangan kiri saya dengan kirinya pula.
Serangan ini dilakukan sekoyong-konyong dengan kekerasan seperti polisi hendak
menangkap seorang penjahat pembunuh orang.
Segera saya
bertanya dalam bahasa Inggris: “What is
the matter? (Apa perkaranya?), oleh Benggali pertanyaan itu cuma dijawab
dengan perkataan “What is the matter”
pula. Cuma perkataan itu diteriakkannya keras-keras sambil leher belakang saya
ditekankannya lebih kuat ke depan.
Ditekan oleh dua
kiri kanan itu saya hampir tidak bisa bernapas. Dengan sendirinya kaki saya
sebelah kiri yang pernah mendapat “latihan kampung” bergerak ke lobang belakang
lututnya menuju ke depan dan siku kiri saya bergerak menekan perutnya menuju ke
belakang. Dia terpaksa melepaskan tekanannya atas leher saya, berbalik, sambil
meraba hulu pistolnya.
Saya baru insyaf,
bahwa saya berhadapan dengan polisi rahasia yang bersenjata lengkap itu. Karena
si Tionghoa tidak bersikap keras seperti si Benggali dan melonggarkan
pegangannya maka cuma satu jalan yang dapat saya tempuh untuk membela diri:
menerjang si Tionghoa ke kiri (kalau perlu), dan menendang dengan cepat si
Benggali, yang sudah setengah terbalik itu. Apa kelak akibatnya saya pada saat
itu tidak pikirkan lagi. Menghadapi maut orang tak bisa berpikir panjang. Lagi
pula penghinaan semacam itu walaupun dari dua orang bersenjata lengkap tidak
dapat saya terima begitu saja.
Untunglah saya
tidak menyabung jiwa, cuma buat membela kehormatan diri sendiri. Ada lagi
kehormatan yang lebih tinggi yang akan dibela. Sekonyong-konyong keluarlah dari
sudut yang gelap polisi resmi, polisi Inggris, dengan teriakan dalam bahasa
Hindu kepada Benggali tadi sambil menghampiri saya dengan perkataan: “That is not the way to arrest a man”.
(bukan demikian caranya menangkap orang).
Oleh polisi resmi
itu saya digiring ke kantor polisi, cabang Kowloon, yang tidak jauh dan agak
tinggi letaknya. Di belakang kami kedua polisi rahasia tadi mengikuti, agak
jauh jaraknya. Sambil berjalan polisi resmi berkata dalam suara rendah kepada
saya: “I am a Punjabi Moslem”. Yang
kedua kalilah saya berkenalan dengan Islam Hindustan, dalam keadaan sulit.
Pertama ketika ditangkap di Manila. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu dia
memberikan sumbangan kaum Islam di Manila dengan berupa uang. Yang di Kowloon
ini memberikan sumbangan dengan jalan memisahkan saya dari mereka yang menjadi
kaki tangan imperialisme Inggris yang kesetiaannya kepada tuannya tak kurang
daripada kesetiaan anjing pemburu, siap sedia menerkam mangsanya kalau
diperintahkan oleh tuan yang memberi makan padanya.
Di kantor polisi
Kowloon lewat jam satu malam, saya disambut oleh para polisi, lima enam orang
polisi Tionghoa di bawah pimpinan seorang sersan Inggris. Baru saja diserahkan
oleh polisi Islam tadi ke sersan Inggris itu maka yang di belakang ini
memerintahkan kepada orang bawahannya buat menggeledah saya. Saya digeledah
habis-habisan sampai tak ada bagian badan yang tidak digeledahnya. Protes yang
saya majukan kepada sersan Inggris tak ada gunanya.
Setelah digeledah
saya disuruh duduk menunggu kedatangan orang, katanya dari Singapore. Antara
jam 2 dengan jam 3, datanglah seorang Hindu, gemuk-pendek, dikenal di Singapore
oleh kaum pelarian Komunis dengan nama Pritvy Chan, ialah anggota I.S. (Badan
Penyelidik) Inggris.
Pritvy Chan,
seorang Benggali (?) menghampiri saya seolah-olah hendak memukul. Dalam bahasa
Indonesia kasar dia berteriak: “Lu bukan
orang Filipina. Mana boleh lu orang Filipina. Lu bohong, lu bohong” Dari
mulutnya keluar hawa berbau arak.
Saya diam saja.
Tetapi dengan segera saya mengerti bahwa yang dimaksudkan dengan orang Filipina
itu tentulah teman saya Dawood, di Hongkong, yang memang memakai nama Filipina.
Saya mengerti pula, bahwa dia datang dari Singapore untuk mencari Dawood, bukan
mencari saya. Saya seperti tersebut di atas saya memakai nama Tionghoa. Inilah
salah satu contoh yang sering disebutkan salah raba.
Pritvy Chan,
melihat saya berdiri dan tidak menyaut apa-apa rupanya bertambah marah. Dengan
suara lebih keras dia berteriak-teriak terus. “Ayo coba lu akui, lu orang Filipina”, sambil mengacungkan tangannya
hendak memegang rambut saya.
Tangan itu saya
sambut dengan tangan dan perkataan: “I
don’t understand you” (Saya tidak mengerti perkataan tuan).
Jawab ini menambah
marahnya. Perkataan yang tidak senonoh berhamburan keluar bersama-sama hawa
sopinya.
Protes saya tidak
didengarkan. Sersan Inggrisnya terus menulis seolah-olah semuanya itu perkara
biasa saja. Buat saya seorang Benggali gendut, seperti Pritvy Chan itu bukanlah
perkara susah. Kalau mau, beradu kekuatan kasar atau halus. Caranya Benggali
berkelahi, dimana kekuatannya dan dimana kelemahannya, cukuplah saya ketahui.
Apalagi pula Benggali Chan, yang sedang mabuk itu, bukanlah lawan yang
sebanding. Tetapi sekelilingnya Pritvy Chan ada setengah lusin agen polisi.
Dengan susah payah
saya menekan kesabaran, walaupun provokasi dari Pritvy Chan sudah memuncak.
Kalau saya dengarkan perkataannya, perhatikan potongan badannya dan caranya dan
berteriak sambil mengacungkan tangannya itu sering pula saya tergoda hendak
mematahkan tulang rusuknya. Tetapi saya merasa bahwa masih ada jalan buat
menghindarkan malapetaka. Akhirnya saya berkata: I am a Hawaian born Chinese. I
can show you my passport” (saya seorang Tionghoa Hawai. Saya bisa menunjukkan
pasport saya kepada tuan). Setelah dia mempelajari pasport saya, maka dia
termenung bermenit-menit lamanya. Akhirnya dia berdiri dan ajukan tangannya
kepada saya buat bersalaman.
“Please for give me. Now I know you from the picture in your
pasport. I have you as for Gandhi. Please forgive me, please for give me.” (Maafkan saya. Sekarang saya kenal tuan daripada gambar tuan
dalam surat pas. Saya selalu menghormati tuan seperti saya menghormati Ghandi.
Maafkan saya!)
Jadinya Pritvy
Chan mengenal benar gambar saya. Di Singapore dia perlu mempelarinya baru
menangkap saya. Tetapi mengenal gambar seseorang belum lagi berarti mengenal
orangnya sendiri. Yang sebaliknya mungkin terjadi. Walaupun gambar Ong Soong
Lee banyak berubah, karena langsung diambil dengan alat potret besar dan dari gambar besar diambil gambar kecilnya,
ukuran pasport, tetapi Pritvy Chan bisa juga mengenalnya.
Hampir jam empat
pagi dini hari oleh Pritvy Chan dan seorang opsir Inggris saya dibawa
menyeberang ke Hongkong, terus ke pusat-kantor polisi. Dalam perjalanan
berulang-ulang Pritvy Chan mengucapkan seperti tersebut di atas. Ditambahnya
pula dengan ucapan: Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau kejadian apa-apa,
“that” shall be uppon my shoulder,
akan menjadi tanggungan dipundak saya.
Berulang-ulang di
belakang hari diucapkan: “that shall be
upon my shoulder” itu. Sikap Pritvy Chan terhadap saya selama dalam penjara
Hongkong membuktikan penjelasan akan kejadian pada malam hari pertama di kantor
polisi Kowloon itu. Berkali-kali saya katakan, bahwa semuanya itu memang sudah
saya lupakan dan harus saya maafkan, teristimewa pula karena salah raba. Lagi
pula saya sudah bersiap sedia menanggung semua resiko perjuangan dan
penyamaran. Tetapi Pritvy Chan, merasa tidak puas dan selalu diucapkan: “Saya
harap tuan akan selamat saja. Kalau tidak, tanggung jawab juga akan terletak di
pundak (bahu) saya”. Biasanya ditambah pula dengan: “I have many children, (saya beranak banyak). Tetapi apa
perhubungannya “anak banyak itu” dengan ucapan, “saya harap tuan akan selamat
saja”, itu kurang saya pahamkan. Barangkali berhubungan dengan agamanya Pritvy
Chan dan dosa (?) yang dia sangka dijalankannya. Juga barangkali dengan
pengetahuannya bahwa almarhum Subakat meninggal di dalam penjara Belanda.
Pada malam hari
tangkapan itu sekejap matapun tidaklah dapat saya tidur. Sesampainya di kantor
pusat di Hongkong, oleh Kepala Inspektur Polisi, Murphy, saya dihujani dengan
pertanyaan yang mengenai kepolisian dan gerakan kemerdekaan. Seluruhnya riwayat
hidup saya perlu diceritakan lagi. Semuanya pertanyaan yang oleh Inggris
dianggap berguna buat keselamatan Negara dan jajahannya dimajukannya. Tentulah
dia ingin mengetahui apa maksud saya pergi ke Birma seperti tercantum dalam
surat pas saya. Lebih ingin dia pula dia hendak pergi ke Hindustan. Persoalan
yang di belakang inilah yang melambatkan pemeriksaan dan amat memberatkan
perkara saya dan melamakan saya tinggal di penjara Inggris di Hongkong.
Walaupun Inggris kekurangan bukti dan semua pertanyaannya berupa abstrak,
terpisah, tergantung di awang-awang saja dan berdasarkan “commited crime”, ialah pelanggaran yang dilakukan, pemerintah
Hongkong tiada bisa memutuskan dengan cepat dan tepat. Dia keragu-raguan dan
sayalah yang menjadi korban keragu-raguan itu. Dua-tiga bulan lamanya saya
harus meringkuk di penjara Inggris di Hongkong itu.
Rupanya sesudah
tiap-tiap soal-jawab berlaku hasilnya dilaporkan kepada Pemerintah Hongkong.
Tiada mengherankan kalau tiap-tiap laporan tersebut menimbulkan pertanyaan baru
pula. Pertanyaan baru itu disambungkan pula dengan catatan yang dirampas dari
saya. Saya biasa sekali membikin catatan dan apa yang berhubungan dengan
kejadian dan bukti yang saya kumpulkan dari hari ke hari. Kejadian dan bukti
itu tidak ada hubungannya dengan gerak-gerik saya, tetapi penting buat
pengetahuan saya di hari kemudian, umpamanya kejadian penting di Tiongkok,
Filipina dan lain-lain yang berguna buat pengetahuan. Rupanya buat pemerintah imperialis Inggris yang selalu
hidup dengan kecurigaan atas keamanan jajahannya, catatan saya semacam itu bisa
dikaitkan dengan aksi ini atau yang lain yang mungkin membahayakan British
Empire itu. Saya masih geli tertawa, kalau mengingat bagaimana polisi Amerika
di Filipina membesar-besarkan isi buku peringatan (note book) yang dirampasnya
dari saya dari tahun 1927 di Manila sampai nyamuk bisa berubah menjadi gajah.
Sesudah tiga empat
hari pemeriksaan berlangsung, kadang-kadang lama kadang-kadang sebentar saja,
maka akhirnya inspektur Murphy, rupanya dengan suara sedikit terharu kepada
saya: “I have at last carried out what I
have considered my duty”. Akhirnya saya sudah jalankan apa yang yang saya
anggap kewajiban saya. Perkataan “considered”,
saya anggap, itu diucapkan dengan bibir yang mencemohkan dan bahu yang
diangkat. Seolah-olah kemauannya Murphy sendiri tiada cocok dengan
“kewajibannya” itu.
Murphy adalah nama
yang lazim dipakai oleh orang Irlandia. Apakah Murphy seorang Irlandia yang
bekerja di jajahan Inggris? Kalau Murphy seorang turunan Irlandia, Irlandianya
de Valera, mungkinkah dia bersimpati pada gerakan kemerdekaan Irlandia yang
berlaku sudah puluhan tahun itu? Kalalu begitu tidak mustahil, bahwa Murphy
bersimpati juga terhadai pergerakan kemerdekaan bangsa lain yang bukan Bangsa
Irlandia, seperti Bangsa Indonesia. Bagaimana juga kepada saya kepala Inspektur
Murphy selalu berlaku ramah tamah.
Pada hari pertama
saja, saya berada dalam tahanan, saya sudah mengajukan permintaan memakai
pengacara orang Tionghoa. Bukannya karena saya tidak sanggup membela diri
sendiri melainkan ini adalah hak tiap orang tahanan. Dengan adanya perhubungan
dengan luar penjara maka saya akan mendapat jaminan bahwa perkara saya dan diri
saya sendiri tak akan disimpan diam-diam saja atau akan dipermainkan begitu
saja. Perkara saya akan diketahui juga oleh masyarakat Tionghoa. Permintaan itu
karena memangnya hak dan adil tak pernah dibantah oleh pegawai rendahan
Inggris, seperti oleh Murphy, tetapi tak pernah diluluskan oleh pemerintah
Hongkong. Pegawai rendahan membenarkan, birokrasi menolak atau mensaboteer.
Sikap imperialis yang biasa. Teristimewa pula terhadap seorang Indonesia yang
terasing di luar negerinya, lepas dari masyarakatnya sendiri dan tak dikenal
oleh masyarakat asing.
Ingat saya dan
lebih-lebih pula saya hargai bangsa Indonesia-Filipina yang cepat memberi
bantuan, ketika lima tahun lampau alangkah besar bedanya keadaan Hongkong dan
di Manila. Di Hongkong terasing sunyi senyap cuma dikelilingi oleh kaki tangan
pemerintahan imperialis. Di Manila dilepaskan oleh rakyat bersimpati dan terus
dibantu lahir batin seberapa kuatnya Rakyat Filipina selama saya berada di
Filipina. Memangnya pula dekat sekali rakyat Filipina yaitu dalam sejarahnya
kepada rakyat Indonesia dan besar pula hak dan keinsyafan politik turunannya
Rizal-Bonifacio-Mabini.
Tetapi tidak
begitu saja saya memutuskan bahwa rakyat Tionghoa, walaupun yang di bawah
bendera Inggris saja tidak memberikan perhatian terhadap perkara saya. Pada
suatu hari Murphy bertanya kepada saya (tentulah atas suruhan birokrasi
Hongkong) apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Karena pertanyaan itu
dilakukan dengan tersenyum maka saya jawab pula dengan tersenyum: “tuan lihatlah saja sendiri”. Dia pergi
dengan berkata: “sayapun sangka tidak”.
Tetapi rupanya soal itu, adalah satu soal yang tiada bisa diselesaikan dengan
senyum saja dari kedua belah pihak. Tidak berapa lama maka diulangilah
pertanyaan tersebut apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Tetapi pertanyaan
kali ini harus dijawab dengan tulisan dan ditandatangani. Sebab karena konsul,
wakil pemerintah Kwantung di Hongkong mengakui bahwa Tan Malaka adalah turunan
Tionghoa. Syahdan menurut Undang-Undang Negara Tiongkok, dimana saja dan
bilamana saja seseorang yang setetespun mempunyai darah Tionghoa, akan diakui
oleh pemerintah Tiongkok sebagai rakyat Tiongkok. Demikianlah dilakukan soal
jawab yang bunyinya lebih kurang dibawah ini:
Tanya: “Are you Chinese?” (Apakah tuan seorang Tionghoa?)
Jawab: “Scientifically speaking yes” (menurut
ilmu bangsa, memangnya begitu). (Menurut ahli bangsa, seperti Haddon, Smith,
dll, maka bangsa Indonesia itu adalah salah satu suku daripada bangsa Mongolia.
Kedalam bangsa Mongolia itu termasuk juga bangsa Tionghoa, Jepang, Korea,
Tibet, dan bangsa Mongolia sendiri. Sering juga bangsa Indonesia, Siam,
Filipina, Birma dan Annam disebut Oceanic Mongolia, ialah bangsa Mongolia
Samudra).
Mendengar jawab “scientifically yes” itu semuanya orang
tertawa. Pun saya sendiri. Murphy berkata bahwa bukanlah itu yang dimaksudkan.
Yang dimaksudkan ialah apakah saya warga Tiongkok apakah tidak. Dalam hal ini
saya jawab “tidak”. Saya sendiri merasa bahwa pasport saya tak akan diakui sah,
karena kekurangan syarat. Buat orang Indonesia kalau hendak menjadi warga
Tionghoa perlulah beberapa syarat. Menurut Murphy, maka konsul Kwantung
mengatakan bahwa darah Tionghoa yang ada pada saya ialah “from my mother side”, datangya dari pihak ibu saya.
Hal ini menurut
sejarah yang masih kita kenal, tentulah tiada mungkin terjadi. Keluarga saya
adalah keluarga yang beragama Islam dan beradat asli Minangkabau di desa kecil,
yang berjauhan sangat dengan yang ada tempat orang Tionghoanya. Apalagi di masa
ibu saya lahir. Mungkin di seluruh Padang Darat belum ada Tionghoa di masa ibu
saya lahir itu. apalagi di masa nenek saya lahir, yang masih saya kenal dan
anaknya seorang kiai (syeh) di abad lampau.
Tetapi memangnya
Tionghoalah yang mempusakakan kepada bangsa Indonesia beberapa bukti kejadian
Indonesia yang sebenarnya. Teristimewa pula di zaman lampau, seperti di zaman
Sriwijaya, Sunda Kelapa, dls. Demikianlah kalau kita kembali lebih dari 500
tahun ke belakang, maka Sang Sejarah (bacalah buku sejarah Melayu). Mengabarkan
kepada kita bahwa seorang sultan Kerajaan Malaka (Musafir atau Mansyur Syah)
kawin dengan seorang puteri Tionghoa. Sekembalinya dia ke Malaka, maka puteri
tadi diberi pula 500 oran dayang-dayang ialah para gadis anaknya para pembesar
Tionghoa. Sesampainya di Malaka mereka di Islamkan dan dikawinkan dengan para
pembesar di Malaka. Kuburan mereka masih terdapat di suatu tempat yang bernama
“Bukit Cina”. Sesungguhnya pula kalau almarhum ibu saya berpakaian Tionghoa dan
duduk di antara wanita Tionghoa tak akan banyak orang yang akan melihat
perbedaan, karena perawakan dan warna kulitnya seperti sering terdapat pada
wanita Indonesia lainnya memang banyak persamaan. Pula Minangkabau asli dan
sekarang amat rapat perhubungannya dalam segala-galanya dengan Tanah
Semenanjung Malaka. Walaupun saya tak akan merasa kecewa kalau dari pihak ibu,
saya ada mewarisi darah Tionghoa, tetapi apa yang terjadi lebih daripada 500
tahun lampau itu tiadalah sanggup saya menyelidikinya, apakah pula membenarkan
atau menyalahkan “teorinya”, Konsul pemerintah Kwantung di Hongkong itu. Di
samping sejarahnya “Puteri Cina” di Malaka itu janganlah dilupakan banyaknya
beberapa suku Indonesia asli dengan Tionghoa itu (Batak umpamanya). Kalau tiada
banyak persamaan itu masakan pula para ahli akan memasukkan bangsa Indonesia ke
dalam jenis manusia Mongolia.
Perhatian tuan
Konsul sebenarnya amat menggembirakan saya di masa itu. Saya merasa kurang
sunyi, karena suara dari luar senjata sudah ada yang masuk.
Sebenarnya yang
mendorong saya memberikan jawaban tidak (bukan Tionghoa) itu ialah karena tiada
pastinya bagi saya, apakah sifat dan bagaimanakah sikap pemerintah Kwantung di
masa itu terhadap komunis di luar Tiongkok umumnya dan terhadap saya khususnya.
Kalau pemeriintah Tiongkok Selatan 100% berdiri di belakang Chiang Kai Shek
maka pasti apa saja dan siapa saja yang berhaluan komunis tiada akan diampuni.
Berlainan halnya dengan kalau pemerintah Kwantung berhaluan sayap kiri atau
mirip ke situ. Inilah hal yang tiada saya ketahui dan tiada pula saya bisa
ketahui. Inilah hal yang amat menimbulkan kejengkelan saya terhadap pemerintah
Hongkong, karena pemerintah dari negara demokratis ini membatalkan hak
demokrasi saya ialah memakai seorang pembela hukum. Seandainya hak saya itu
tiada dilanggar oleh pemerintah Hongkong, saya dapat mengetahui sifat dan
sikapnya pemerintah Kwantung di masa itu. pelanggaran hak demokrasi itu di
belakang hari lebih memukul pula. Peristiwa itu kelak akan lebih dimengerti
pembaca yang bijaksana dan budiman!
Teranglah rasanya
bahwa jawab tepat yang mengatakan bahwa saya bukan Tionghoa,dan mestinya
mengecewakan konsul Kwantung itu, sama sekali tiada berhubungan dengan
persoalan kebangsaan. Buat saya diakui oleh satu bangsa yang berkebudayaan
luhur serta bersejarah gemilang seperti Tionghoa itu, sebagai anggota sendiri,
adalah satu penghormatan yang luar biasa. Supaya hal ini juga diketahui oleh
pembaca Tionghoa. Seandainya Dr. Sun masih hidup, dan berada dalam keadaan
seperti sediakala, tentulah saya tiada akan ragu-ragu mengambil sikap dan
tindakan. Dalam hal ini tiadalah saya akan mempelajari lebih dahulu usulnya
konsul Kwantung, melainkan sendiri akan berusaha dengan segala akal dan tenaga
masuk ke Canton Dr. Sun itu.
Meskipun saya
ditangkap oleh imperialisme Inggris saya tiada berurusan dengan pemerintah
Inggris saja. Rupanya entah hak apa, Inggris memberi kesempatan pula pada wakil
pemerintah imperialisme lainnya, seperti konsul Amerika, Perancis dan Belanda
buat melakukan pertanyaan. Kalau diterangkan lebih dahulu, bahwa pertanyaan itu
langsung datangnya dari pihak yang bukan Inggris, tentulah dengan mentah-mentah
bisa saya tolak menjawabnya itu. Tetapi pertanyaan itu biasanya dilakukan
dengan cara Inggris (British way)
ialah dengan cara licik. Maklumlah pemerintah Hongkong adalah wakil negara-negara
yang menjalankan demokrasi buat negara atau buat borjuis negaranya sendiri,
tetapi dalam hakekatnya dengan segala macam tipu muslihatnya selalu berusaha
membatalkan hak demokratis itu kepada bangsa berwarna, yang tiada menyetujui
imperialisme! Cuma kalau percakapan sudah sedikit lanjut, kita merassa, bahwa
Inggris membiarkan dirinya dipakai oleh Amerika, Perancis, dan Belanda untuk
mengetahui ini itu yang berhubungan dengan gerakan revolusioner di jajahannya
masing-masing. Berhadapan denga solidarity, kesetiaan antara imperialis satu
dengan yang lainnya itu maka saya anggap perlu juga saya hadapkan solidarity
saya dengan para pemimpin gerakan kemerdekaan di mana saja, di bawah langit
ini. Mungkin ada, mungkin pula tak ada seorang pemimpin revolusioner Annam,
yang katanya ada dalam penjara Hongkong.....mungkin atau tak mungkin pula
pemimpin Annam itu mengakui mengenal saya di Moskow atau di Canton....tetapi
saya tolak mengenal siapapun pemimpin revolusioner, kecuali kalau memang tak
bisa ditolak lagi. Bukannya saya juga tak pernah menanyakan siapakah spionnya
Inggris yang mencari-cari saya dan para teman saya dimana-mana? Kesolideran
(kesetiaan satu sama lainnya) musuh itu mesti zonder tawar menawar dibalas pula
dengan kesolideran di kalangan teman seperjuangan, di dalam menghadapi musuh
bersama. Sikap inilah pula yang memberatkan keadaan saya di belakang harinya,
di Hongkong atau di mana saja saya berada dalam tangkapan.
Rupanya belum
cukup lagi berhari-hari saya dihujani dengan pertanyaan yang timbul dari
pemerintah Hongkong dan wakil teman dari imperialis sejawatnya di Hongkong itu.
sesudah seminggu saya berada di penjara Hongkong maka tibalah pula wakil
pemerintah Singapura, wakil Inggris di Shanghai dan dari Nangking. Semuanya
ingin “berkenalan” dengan saya.
Bahwa sesungguhnya
pula pada suatu malam saya dikeluarkan dari dalam sel, buat dijumpakan dengan
beberapa orang wakil pemerintah Inggris di Singapura yang baru saja tiba di
Hongkong. Saya dipersilahkan duduk di salah satu kamar di dekat sebuah meja. Di
antara tiga orang tamu adalah satu orang yang sudah saya kenal, selama dalam
penjara, ialah Pritvy Chan. Pritvy Chan cuma memperingatkan dirinya sendiri
saja dengan perkataan: “nah tuan sudah
kenal saya”. Segera menyusul salah seorang dari yang baru datang dari
Singapura itu dengan perkataan: nama saya Dickenson. Saya sama sekali tiada
berhubungan dengan “kepolisian”.
Roman mukanya tuan
Dickenson amat menarik perhatian bentuk muka sangat harmonis, matanya sedang
dan memandang dengan langsung, semuanya pantas dimasukkan ke dalam golongan
Inggris budiman. Rupanya dia banyak menaruh perhatian pada Revolusi Siam.
Ditarik ke jurusan itu saya cuma mengatakan bahwa pergerakan di Siam tidaklah
mudah buat dipahamkan. Terlampau banyak terjadi di belakang layar yang tiada
mudah dimengerti oleh orang luar. Tuan Dickenson yang katanya tak berhubungan
dengan kepolisian, di belakang harinya menj abat pekerjaan sebagai kepala I.S.
Inggris di Singapura.
Akhirnya tuan yang
duduk di depan saya, yang selama ini berdiam diri bertanya kepada saya: “Do you know me?” (tuan kenal saya?)
Jawab: Yes!
Tanya: “Siapa nama
saya?”
Jawab: “Onreadt”.
Tuan Onread adalah
kepala Kepolisian di Singapura. Dikalangan kami, orang pelarian, dia cukup
terkenal. Walaupun baru kali ini saya melihat mukanya, saya tidak dengan
ragu-ragu menjawab seperti di atas. Keadaan saya sendiri dan pekerjaannya tuan
Onreadt yang sudah-sudah, bentuk muka dengan kumis-seru-seram itu menarik saya
pada kesimpulan, bahwa pada saat itu saya berhadapan bukan lagi dengan bayang-bayangan
seperti di Singapura, melainkan dengan badannya sendiri. Tidaklah pula akan
mengherankan, kalau seseorang yang selamanya ini mencari seseorang “musuhnya”
dengan persangkaan, bahwa musuhnya itu tidak mengenal dirinya, maka setelah
ternyata musuhnya itu mengenali dia, tidak mengherankan kalau dia terperanjat.
Seolah-olah dia sekonyong-konyong insyaf bahwa gerak-geriknya yang disangkanya
tersembunyi itu, semuanya diketahui oleh musuhnya. Demikianlah agaknya dengan
tuan Onreadt.
Bentuk dan mukanya
tuan Onreadt tidak pula memberi kesangsian sedikit pun akan pekerjaannya. Tuan
Onreadt setelah mendapat jawaban yang mungkin tiada disangkanya tadi itu coba
menyusun pertanyaan lain.
“What is your porpuse of life!” (Apakah
maksud hidup tuan?)
Jawab: “To do something useful for the society”.
(Berbuat sesuatu yang berguna buat masyarakat).
Sesudah tidak
beberapa lama maka dia berkata:
“My heart is top side down. I see you are on
the side of the front-line. And I on this side. But I can’t do otherwise. I have
to protect the British Empire”. (Hati saya terbalik berputar. Saya melihat
tuan di sebelah sananya di garis-perjuangan. Dan saya di sebelah sini. Tetapi
saya tidak bisa berbuat lainnya. Saya harus membela Kerajaan Inggris).
Percakapan
berhenti dengan begitu. Sebelumnya berpisah diucapkan lagi oleh tuan Onreadt
perkataan seperti: “How your people will
remember you after hundreds of years”. (Bagaimana bangsa tuan akan
memperingati tuan selama ratusan tahun di belakang) dan ucapan lain yang
maknanya, sedemikian juga sampai menyebut-nyebut dan membandingkan saya dengan
Nabi Isa.
Ucapannya yang
tiada berpadanan dengan taksiran saya sendiri atas diri saya sendiri itu dan
apalagi tiada pula berpadanan dengan perlakuan kepolisian Inggris terhadap diri
saya, ketika ditangkap segera saya potong dengan keterangan bagaimana caranya
para polisi Inggris melakukan tangkapan terhadap diri saya. Tiada bedanya
dengan penangkapan atas seorang penjahat pembunuh yang dijalankan di tengah
malam.
Dengan amat
malu-malu tuan Onreadt menjawab, bahwa ia sendiri amat menyesali peristiwa itu
dan akan memeriksanya dengan segera. Buat saya peristiwa itu sudah terjadi dan
tak bisa dicabut kembali. Seperti kata pepatah “Nasi sudah menjadi bubur”.
Sesudah
berhari-hari vooronderzoek pemeriksaan
semula dijalankan, maka pada suatu hari saya diiringkan ke suatu kamar besar di
dalam pekarangan kepolisian juga. Di sana saya berhadapan dengan beberapa orang
Inggris yang saya sudah sebut di atas, ialah wakil pemerintah Inggris dan
Hongkong, Singapura, Shanghai, dan Nangking atau Peiping. Berpakaian resmi
kelihatan pula wakil gubernur Hongkong, ialah sekretaris jenderal Halifax.
Rupanya saya dihadapkan ke muka Police
Count, pengadilan polisi.
Pertanyaan datang
dari beberapa sudut. Yang terutama mengambil bagian dalam soal-jawab itu ialah
wakil Inggris dari Shanghai (?) dia sudah pernah menjadikan tempat “pembuangan”
untuk saya ialah Jamaica, sebuah pulau kerajaan Inggris di Amerika Tengah.
Tetapi tak pernah dia memperkenalkan namanya kepada saya. Saya tak bisa
memastikan apakah dia berhubungan dengan I-S Inggris atau dengan diplomasi.
Tetapi dialah yang mengambil bagian terbesar dalam bersoal jawab dengan saya.
Pertanyaan kecil-kecil, dari pihak para pegawai yang lain-lainnya tidak
diizinkannya ditanyakan kepada saya.
Caranya berbicara dan bertanya mirip kepada
tukang-gertak. Matanya tak pernah memandang mata saya dengan tetap, seperti
tuan Dickenson. Rambutnya dan kumisnya merah. Semua perawakan serta
gerak-geriknya memperingatkan kepada kucing yang kalau mengintai mangsanya bisa
berjalan di atas ujung kukunya dengan tidak kedengaran jalannya. Biasanya
menurut naluri (instinct) saja, saya sesuaikan sikap saya dengan kesan-firasat
yang saya peroleh daripada orang yang di depan saya itu. Begitu pula terhadap
rambut merah dan kumis merah ini!
Dia mencoba
menghujani saya dengan pertanyaan ala public
prosecutor, officier van justitie, penuduh resmi. Taktik yang sebaiknya
yang dipakai buat menghadapi lawan semacam itu ialah: tenang dan pendek
berbicara. Setelah benar-benar kelak diketahui mau kemana ia pergi, barulah
diberikan tangkisa yang jitu.
Dalam pertanyaan
yang banyak diucapkan secara gertak sambal, saya mendapat kesimpulan, bahwa dia
tiada mempunyai bukti yang bisa dimajukan kepada saya sebagai suatu “pelanggaran”.
Dia cuma mengetahui pengetahuan umum tentang saya, yang tiada perlu saya
sangkal kebenarannya seperti: saya dibuang dari Indonesia oleh pemerintah
Belanda, dari Manila oleh pemerintah Amerika, pernah ke Moscow, pernah bekerja
buat Komintern dan Profintern dan lain-lain sebagainya. Tentulah dia bisa
mengambil kesimpulan sendiri, bahwa saya mengenal beberapa orang pergerakan
revolusioner di mana-mana negeri. Tetapi yang penting buat dia tentulah mereka
yang bekerja giat untuk merobohkan apa yang paling dekat sekali ke hati
tiap-tiap orang imperialis Inggris ialah: “The
British Empire where the sun never set”, kerajaan Inggris yang (karena
luasnya) tak mengenal matahari tenggelam.
Dalam soal jawab,
kami memegang pendirian bahwa hak saya menyimpan rahasia tentang segala hal
yang berhubungan dengan kemanan para teman seperjuangan saya, tiadalah kurang
dari haknya seseorang pegawai pemerintah Inggris buat menyimpan rahasia tentang segala-galanya yang
berhubungan dengan kejayaan para mata-mata imperialis Inggris. Selainnya
daripada itu, maka hak Inggris untuk mengetahui organisasi yang bermaksud untuk
merobohkan kapitalisme dan imperialisme tiadalah lebih dari hak saya untuk
melindungi dan menyembunyikan semua organisasi yang bersifat demikian.
Apabila Inggris
berambut merah tadi umpamanya bertanyakan, apakah saya kenal dengan beberapa
orang Hindu yang benar-benar termasuk
organisasi yang menentang penjajahan Inggris, maka saya jawab, saya tiada
kenal. Walaupun hal yang sesungguhnya adalah sebaliknya.
Sebagai satu
“umpan” maka saya mengakui mengenal seorang Hindu yang saya sebenarnya tiada
mengenal orangnya, tetapi kenal namanya seperti “Raja Mahindra Pratap”, seorang
oppurtunist atau pengimpi atau keduanya, yang di belakang hari menjadi
kolaborator Jepang. Beberapa pemimpin buruh Tionghoa, yang dulu saya kenal baik
di Hongkong dan Canton, seperti saudara Sou dan Ho sudah meninggal dan tiada
menjadi persoalan lagi. Teman seperjuangan Tionghoa yang lain-lain boleh dicari
oleh Inggris sendiri, jadi pada waktu itu tak bisa dihadapkan ke depan saya.
Berhadapan dengan
beberapa kesulitan, maka tuan Kumis Merah mengubah sikap mukanya dan dengan
suara yang dia kira bisa memberi pengaruh di luar gedung sandiwara tiba-tiba
saja berkata: “Pada jam ini kami mendapat kabar dari Singapura, bahwa Jamaludin
Tamim dan teman-temannya ditangkap oleh pemerintah Inggris di Singapura. Segera
sesudah dia mengambil kesan dari sambutan saya, dia bertanya pula: “Are you upset?” (Apakah tuan putus asa?)
Dengan cepat saya jawab: “No”
Memangya lebih
dahulu saya sudah maklum akan hal itu. Kejadian atas diri saya sendiri dan
sekitar saya sudah memberi petunjuk ke arah itu. Tak perlu hal tersebut
dikatakan lagi kepada saya.
Mendengar
keterangan tentang saudara Jamaludin itu saya berusaha tiada mengubah warna
muka saya, meskipun kepastian penangkapan itu amat mengharukan saya. Saya ingin
tahu, siapakah lagi yang ditangkap bersama-sama dengan saudara Jamaludin di
Singapura dan Indonesia. Tetapi saya mencoba memberi kesan, bahwa pergerakan kemerdekaan
Indonesia tiada tergantung kepada saudara Jamaludin atau pun pada saya sendiri.
Rupanya Kumis
Merah mendapatkan suasana yang dikehendakinya dari saya. Maka dia sekarang
memulai dengan soal jawab tentang Pan Pacific Trade Union, gabungan serikat sekerja
di Pacific yang berkedudukan di Tiongkok. Ketika ditanyakan arti dan maksudnya
serikat sekerja tersebut kepada saya maka saya jawab dengan arti yang biasa dan
logisch dimaknakan oleh “The man on the
street”, (yang diartikan oleh orang pasar saja). Berputar-putar Kumis Merah
dan pegawai yang lain-lain bergerak mencoba mengadakan, lubang dalam benteng
pertahanan saya tetapi rupanya sia-sia belaka. Saya berdiri tegak atas haknya
si penuduh dan haknya si tertuduh.
Akhirnya sesudah
beberapa lama tiada mendapat keterangan yang sedikitpun memberi keuntungan
kepada I.S. Inggris, maka Kumis Merah yang serentak diikuti oleh seluruhnya
para hadirin berdiri dan berkata: “If
that is your attitude, we don’t know what tod do with you” (Kalau sikap
tuan “terus” sedemikian, maka kami tiada bisa menjamin apa yang akan kami
lakukan kepada tuan).
Segera saya
berdiri pula dan jawab “But I know your
law. And I know also that if your are violating your own law (or usage), I
shall not come alive in the hand of my enemy” (Tetapi saya tahu
Undang-Undang negeri tuan, juga saya tahu bahwa kalau tuan melanggar
Undang-Undang tuan sendiri, saya tiada akan hidup sampai di tangannya musuh
saya).
Setelah berdiri,
kalau saya masih ingat, Pritvy Chan dan tuan-tuan Onreadt dan Dickenson menghampiri
saya dengan bujukan: “Don’t do it!
Britishers will stick to their own law”. (Jangan dijalankan. Orang Inggris
akan pegang Undang-Undangnya sendiri).
Saya diantarkan
sampai ke kamar tahanan oleh mereka itu dengan bujukan tersebut.
Pada masa itu dunia
Tionghoa dan semuanya bandar perjanjian goncang disebabkan oleh “mogok makan”
Noulens, komunis Rusia, sebagai protes atas tangkapan dan perlakuannya. Inilah
yang ditakuti oleh para pegawai Inggris itu. Inggris sudah cukup mempunyai nama
busuk di mana saja kuku penjajahannya dicengkeramkannya di dunia ini. Tiadalah
perlu ditambah-tambah lagi dengan mogok makan baru oleh saya.
Negara Inggris
memang taat juga menjalankan dasar demokrasi, sebagai negara kapitalis, yakni
kalau dibandingkan dengan negara demokrasi kapitalistis yang lain-lain,
memperlindungi pelarian itu dengan kekuasaan yang ada padanya; serta menolak
permintaan negara yang bersangkutan memulangkan pelarian politik itu ke
negerinya senantiasa dilakukan oleh pemerintah Inggris, rupanya dengan tiada
memandang warna kulit. Selang beberapa lama Raja Spanyol yang didaulat oleh
rakyatnya sendiri mendapat perlindungan pemerintah Inggris. Demikian pula
halnya dengan raja berwarna yang didaulat oleh rakyatnya sendiri raja
Pracha-Dipok dari Siam. Seorang revolusioner Tiongkok yang bermaksud
membolehkan pemerintah Manchu, yang oleh agen Manchu itu ditangkap di London
untuk dipulangkan dengan diam-diam ke Tiongkok, yakni Dr. Sun Yat Sen,
dilepaskan oleh pemerintah Inggris dari kuku cengkeramannya Manchu itu.
Semuanya itu belum
berarti bahwa mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna,
yang berada dalam jajahannya pula, akan mendapat perlindungan yang
dimaksudkannya itu. Tetapi kalau Inggris hendak berlaku jujur konsekuen,
memangnya mereka yang berada dalam keadaan sedemikian rupa tiada boleh
dikecualikan. Perkara yang prinsipil yang mengenai dasar-dasar demokrasi itu
seharusnya tiada boleh digantungkan kepada setuju atau tidaknya pemerintah
Inggris dengan politiknya si-pelarian, ialah sebelumnya ternyata dengan sah,
bahwa si-pelarian melakukan pelanggaran penting terhadap undang-undang Inggris
yang ada.
Rupanya para
pengawal Inggris yang ada di Hongkong merasa juga in-konsekuen, ketidak
jujurannya kepada saya, berhubung dengan ancaman tersembunyi di dalam
pemeriksaan pengadilan polisi tadi. Pritvy Chan berjanji, zonder permintaan
saya, akan berusaha keras supaya saya tiada akan dikembalikan ke tangan musuh.
Berkali-kali diucapkan: “That would be
uppon my shoulders”. (Tanggung jawab saya). Kepada rambut merah yang di
belakang harinya lalu di depan terali kamar tahanan saya, ketika dia mau
berangkat kembali ke tempatnya, saya sindirkan: “Wah, bagaimana halnya dengan
pembuangan ke Jamaica yang dijanjikan dahulu kepada saya itu?” Dia mengangkat pundaknya
sambil berkata: “That would be dangerous
for the British Empire” (Itu akan membahayakan kerajaan Inggris).
Tiada berapa lama
antaranya pintu kamar tahanan saya dibuka. Yang masuk ialah tuan Dickenson,
untuk pamitan. Dia mengajukan tangannya buat berjabat tangan mengucapkan
selamat tinggal, yang diucapkan dengan suara terharu berikut dengan perkataan:
“I admire you very much for the attitude
you have taken” (Saya mengagumi tuan, berhubung dengan sikap yang tuan
ambil). Tiadalah baik saya sembunyikan di sini, bahwa beserta suaranya yang
terharu itu, saya saksikan matanya yang basah. Bukan sekali dua saya berpisahan
dengan orang Eropa dan mengalami tekanan tangan, suara dan air mata yang
berasal dari perasaan yang jujur. Walaupun tuan Dickenson berada di garis front
sebelah sana, seperti tuan Onreadt tetapi perasaan simpati semacam itu
memangnya bukan sesuatu kemustahilan, walaupun di antara dua pihak yang
berlainan paham.
Pritvy Chan pun
tiada ketinggalan. Beberapa jam di belakangnya tuan Dickenson, Pritvy Chan
menyelundupkan tangannya ke sela terali kamar saya, juga dengan suara terharu
dan air mata berlinang: “Will you forgive
me, will you forgive me.....that would be upon my shoulders.” (“Maukah tuan
mengampuni saya, maukah tuan mengampuni saya......tanggung jawabnya akan di
atas bahu saya).
Pritvy Chan belum
lupa akan tingkah lakunya pada malam penangkapan saya di Kowloon. Pun Pritvy
Chan tahu benar, bahwa almarhum Subakat mati dalam penjara Belanda.........!
Simpati memangnya
tiada mustahil, pun dalam penjara imperialisme Inggris. Para pegawai yang
menjaga saya selama berada di belakang terali itu tiada semuanya manusia yang
jantungnya keras seperti besinya terali itu, tetapi ada juga yang lembut berisi
darah manusia. Tiadalah semua jantungnya dingin seperti air beku, tetapi ada
yang panas, bisa menggerakkan perasaan kemanusiaan. Saya masih ingat pada suatu
malam hari sesudah kantor tertutup kepala polisi Murphy sendiri datang ke depan
terali saya, pula penuh perasaan memberikan sebotol limonade yang dikeluarkan
dari dalam kantongnya sendiri. Tak banyak perkataannya dan terus dia pergi.
Apakah pula
artinya peristiwa yang tak pernah kejadian ini: Murphy sendiir memberikan
minuman itu?
Besok harinya saya
baru mengetahuinya. Pagi harinya kamar saya dibuka oleh seorang pegawai
Inggris. Saya diantarkan ke gedung bagian hukuman orang Tionghoa. Sebelumnya
saya ke “sel” saya harus mencatatkan saya pada satu kamar! Di depan kamar
terlihat mayat seorang hukuman yang bertelanjang bulat. Entah bagaimana
matinya, entah lantaran sakit, entah sesudah digantung. Mereka hukuman Tionghoa
yang masuk untuk diappel, berjalan sambil jongkok. Saya masuk tetap berdiri
tegak. Apa bila seorang Inggris di meja tulis berbisik kepada Inggris yang lain
rupanya bertanyakan, siapakah saya, maka dijawab pula dengan bisikan: “Tan
Malaka”. Tiada lama sesudahnya, maka saya dimasukkan ke “sel Cina” seperti “sel
buat Inlanders” yang dikenal di Indonesia. Tiadalah perlu saya uraikan besar,
bentuk dan keadaan “sel Cina” itu pada tulisan ini.
Pindah dari kamar
buat tahanan Eropa ke “sel Cina” inilah rupanya yang menggerakkan hati kepala
polisi Murphy, yang rupanya cuma sanggup memperlihatkan simpatinya dengan nasib
saya itu, dengan hadiah sebotol limonade yang kabarnya dibeli sendiri.
Apakah pula
sebabnya saya diturunkan “pangkat” itu dan apakah pula kemungkinan di hari
depan? Waktu merenungkan di dalam gelap dalam “sel Cina” tentang kemungkinan
sebabnya saya diturunkan dari kamar Eropa ke “Sel Cina” itu saya tiada
mendapatkan kepastian. Sebab yang sebenarnya cuma diketahui oleh birokrasi
imperialisme Inggris saja.
Mulanya saya
pikir, bahwa saya segera akan dilepaskan atau diserahkan kepada Belanda (uitgeleverd). Tanda-tanda ke jurusan itu
memangnya ada. Tetapi ada pula persangkaan, bahwa saya akan diam-diam dipenjara
dalam hukuman. Maklumlah saya tiada mempunyai hubungan sama sekali dengan dunia
luar, jadi tak bisa memastikan. Akhirnya ada pula pengiraan saya, bahwa
kejadian ini adalah akibatnya satu dua peristiwa yang oleh satu dua orang pegawai
rendahan Inggris dianggapnya sebagai “pelanggaran” atas ketertiban, ketika saya
masih berada di kamar tahan Eropa.
Pada suatu hari
ketika jauh malam apabila suasana rupanya mulai senyap maka serdadu India,
ialah penjaga di depan kamar saya, sesudah melihat ke kiri-ke kanan,
menghampiri terali kamar dan bertanyakan dalam bahasa Inggris: “Berapakah
banyaknya orang Islam yang berada di Jawa?” Saya jawab: “+- 60 juta (tahun
1932).” Dia kelihatan gembira sekali dan mengatakan bahwa dirinya adalah
seorang Islam dari Punjab. Sedang dia menceritakan ini-itu dan asyik
bertanyakan apa yang ingin diketahuinya, maka tiba-tiba dari gelap keluar
seorang pegawai Inggris, kepada saya berkata: “You are not allowed to talk to the British soldier”. (Tuan tiada
diizinkan berbicara dengan serdadu Inggris).
Rupanya kabar
bahwa saya seorang pergerakan berasal dari Indonesia, rupanya sudah banyak
diketahui. Sesudah kejadian di atas saya tiada pernah lagi melihat serdadu
Islam di depan terali kamar tahanan Eropa itu. Yang saya lihat berganti-ganti
menjaga adalah serdadu Sikh dan serdadu Hindu. Mulanya mereka berupa streng
(keras). Tetapi tiada lama, serdadu Hindu atau Sikh, yang sudah mashur
ketaatannya pun, menghampiri terali saya untuk bercerita dan bertanya kepada
saya. Tentulah akan saya dengarkan ceritanya dan akan saya jawab pertanyaannya,
teristimewa pula dalam keadaan tiada mempunyai teman untuk berbicara itu. Pada
suatu malam itu pula, apabila seorang serdadu Sikh dengan suara agak keras
memaki-maki Inggris, karena gajinya tak berbanding dengan gaji serdadu Inggris,
sedangkan pekerjaan lebih berat dan lebih berbahaya kalau ada kerusuhan atau
peperangan, maka tiba-tiba dari tempat gelap keluarlah pula pegawai Inggris
yang rupanya sedang mengintip dekat tempat saya. Sekali lagi diperingatkan
kepada saya, bahwa saya tiada boleh berbicara kepada serdadu Inggris. “Membela
diri” tiada baik dalam keadaan sedemikian, karena bagaimanapun juga pembelaan
itu dilakukan, semuanya akan memberatkan si serdadu saja. Dalam hal ini baik
diperhatikan juga pepatah asing yang berbunyi “Zwijgen is goud, spreken is zilver” (berdiam diri itu adalah emas
dan berbicara itu adalah perak).
Tetapi berdiam
diri itu buat saya sendiri resikonya mungkin ada. Inilah pula salah satu
daripada kemungkinan sebab, maka pangkat diturunkan dari tingkat Eropa ke
tingkat “Cina”. Tiada berapa lama saya merenungkan semua kemungkinan apakah
sebabnya saya dipindahkan itu, maka saya dengar ketukan perlahan-lahan di pintu
saya. Apabila saya hampiri, maka saya dengar suara daril luar dengan suara
kecil dengan bahasa Indonesia Tionghoa: “Gua ol (r) ang Cina. Gua dihukum empat
tahun. Dulu gua tinggal lama tinggal di Medan. Sobat mau apa boleh gua tolong.
Sobat mau daging gua cal (r) i. Mau telot (r) gua cali.
Saya: “Kenapa
sobat dihukum?”
Jawab: “Keleja
kuli di kebon”.
Saya: “Tak mau
daging dan tak mau telur. Coba sobat tolong carikan kertas dan pena. Saya mau
tulis surat. Nanti sobat tolong kirim. Apa sobat bisa apa tidak?”
Jawab: “Bisa”.
Apabila masih
berada di kamar tahanan Eropa dan gagal mendesak mendapatkan “lawyer” (pembela
hukum), maka akhirnya permintaan saya untuk mengirimkan surat dan kawat
dibenarkan.
Kepada ketua
Partai Sosialis Inggris, almarhum Lansbury, yang duduk dalam parlemen saya
kirim kawat buat menerangkan keadaan saya. Saya tiada merasa pasti, bahwa kawat
itu akan disampaikan atau tiada disampaikan dengan cepat dan tiada pula
mengandung pengharapan banyak akan hasilnya. Sebab itu saya kirim lagi surat
dengan secara gelap dengan perantaraan sobat tadi kepada almarhum Mackston,
bekas pemimpin Independent Labour Party
dan anggota Parlemen Inggris. Pemimpin kaum buruh yang lebih radikal yang
menjadi anggota parlemen di waktu itu tiadalah saya kenal namanya. Surat kepada
Mackston itu ternyata memberikan hasil. Setelah saya keluar dari tahanan, maka
saya dapat membaca surat kabar, bahwa Mackston mengadakan pertanyaan dalam
parlemen Inggris, yang berhubungan dengan penangkapan atas diri saya itu.
Mungkin sekali inilah yang menyebabkan Inggris tak boleh lebih lama menahan
saya dalam penjara dengan tiada mengadakan pemeriksaan pengadilan seperti
lazimnya di dunia demokrasi.
Mungkin pula ada
hasilnya surat yang kedua, ialah yang dikirimkan secara gelap dari “sel Cina”
pula yang berhasil “menerobos” blokade Inggris dan menjumpai para sahabat saya
di Manila. Dari Manila saya mendapat jawaban yang diantaranya berbunyi:
“Suratmu sudah
kami terima. Semua sahabatmu berduka cita karena insyaf benar akan kesulitannya
keadaanmu. Tetapi kami pula percaya akan “British
Justice” (keadilan Inggris).
Pada permulaan
tahanan, saya diizinkan keluar lebih kurang setengah jam sehari buat
berjalan-jalan di pekarangan polisi yang tertutup oleh rumah kepolisian,
penjara dan tembok batu. Saya selalu diiringi oleh dua serdadu Hindu, satu di
kiri dan satu di kanan dan dijaga oleh serdadu pula di tiap-tiap sudut
pekarangan dan pintu gerbang. Saya merasa penjagaan itu seperti juga pada malam
hari, terlalu keras. Tampaknya Inggris takut benar akan penyerbuan dari luar.
Apakah ada alasan buat ketakutan itu? Saya tak sanggup memastikan hal ini.
Di tempat hukuman
Tionghoa saya juga diizinkan tiap-tiap hari setengah jam keluar. Pada suatu hari
saya kebetulan melihat sdr. Dawood beberapa puluh meter jauhnya dari saya. Dia
melambai-lambaikan tangannya dengan teriakan “Hidup Indonesia Merdeka”
berkali-kali.
Sesudah beberapa
minggu berpisah barulah hari itu saya melihat dia kembali. Dia dan saya ditangkap
berhubungan pula dengan penangkapan sdr. Jamaludin di Singapura. Rupanya alamat
dialah yang dicari ke Hongkong, setelah sdr. Jamaludin ditangkap. Bagaimana
perasaan saya melihat sikapnya Dawood tentulah mudah digambarkan. Dia selalu
memegang teguh pendiriannya sampai saya menuliskan perkataan ini (Oktober
1947). Semenjak perpisahan kami di Hongkong sampai sekarang ialah selama 15
tahun ini, Dawood seperti banyak temannya yang lain-lain, yang sama pendirian,
sudah melalui penjara di Hindia Belanda dan pembuangan di Digul. Dari Dawood
baru saja saya mendapat surat dari Jakarta, sekembalinya dia dari Digul. Yang
kedua kalinya ialah dari Australia bersama-sama dengan 22 orang temannya, yang
oleh Belanda dianggap “overzoenlijken”
(tak mau berdamai)
Di waktu berada di
dalam “sel Cina” pun rupanya birokrasi tiada melupakan “kecantikan” untuk saya.
Saya juga diizinkan keluar sel buat berpotong rambut. Rupanya Nyi Birokrasi
juga berkewajiban menjaga supaya hair-dressing,
potongan rambut saya dalam “sel Cina” itu tak kalah dengan potongan rambut
seorang pegawai pemerintah Inggris di waktu “dansa” dengan para ladies (wanita)nya.
Tetapi sesudah
berpotong rambut saya tahu-tahu sudah dipotret dari depan, samping dan
belakang. Lagi pula sekonyong-konyong dua tiga orang kuat memegang kedua tangan
saya. Salah seorang pemegang jempol saya buat diambil capnya. Jadinya saya
dipancing keluar “sel Cina” buat digambar dari empat penjuru dan buat diserobot
“cap jempol” saya. Umpamanya ialah berpotong rambut.
Karena semuanya dilakukan
dengan tiba-tiba, secara serobotan oleh beberapa orang Tionghoa suruhan, yang
bersibisu, kalau ditanyai ini-itu, maka perlakuan semacam itu terpaksa
dibiarkan saja. Di belakang harinya Murphy meminta maaf atas kejadian tersebut
kepada saya. Dikatakannya pula, bahwa mereka itu harus minta izin lebih dahulu
kepada saya dan saya sendiri berhak menolak. Tetapi tentang kejadian inipun
seperti dengan penangkapan di Kowloon, saya dijumpakan dengan “fait accompli” ialah sesudah nasi
menjadi bubur. Lebih tepat lagi kalau dikatakan: pukul dahulu, maaf kemudian.
Inipun adalah salah satunya British way,
caranya Inggris.
Entah apa
sebabnya, maka setelah beberapa lama saya berada dalam “sel Cina” saya
dikembalikan ke kamar tahanan Eropa. Bukan untuk tetap tinggal di sini. Di
belakang harinya saya dipindahkan lagi ke “sel Cina” yang lebih terpencil lagi
daripada yang bermula. Kemudian dikembalikan pula ke kamar tahanan masnusia
atasan, ialah orang Eropa. Demikianlah saya dipulang balikkan en tah dengan maksud apa. Tetapi Murphy berkata,
bahwa dia tiada setuju, saya dimasukkan ke “sel Cina” itu. Tetapi perintahnya
birokrasi dari atas khayangan tentulah mestik dijalankan.
Pada suatu hari
ketika berada dalam kamar tahanan Eropa, maka saya dipanggil ke kantor. Diberitakan
kepada saya, bahwa Hindia Belanda mengirimkan wakilnya ke Hongkong ialah
Viesbeen yang semula bekerja pada PID dan kemudian pada parket. Dia meminta
kepada pemerintah Hongkong untuk menginterview saya. Murphy bertanya kapada
saya, ap akah saya mau diinterview oleh Viesben itu. dengan cepat saya jawab
tidak.
Balasan saya itu
katanya disampaikan kepada Viesbeen. Di belakang harinya lagi Murphy
menghampiri saya pula. Dia katakan, bahwa Viesbeen tiada percaya saya menolak
permintaannya tadi. Supaya Viesbeen jangan menyangka, bahwa pemerintah Hongkong
tiada menyampaikan permintaan Viesbeen meng-interview saya, maka Murphy meminta
kepada saya, supaya mengizinkan dia (Viesbeen) dijumpakan dengan saya. Apa dan
berapa nanti yang akan saya katakan, terserah kepada saya, kata Murphy. Diminta
pula kepada saya supaya pembicaraan dilakukan dalam bahasa Inggris. Catatan
akan diambil secara stenografis.
Begitulah pada
suatu pagi hari Viesbeen dibawa masuk ke kantor polisi. Pembicaraan tiada
diadakan langsung antara Viesbeen dan saya, melainkan dengan perantaraan
Murphy. Kalau saya tak salah ada lagi orang Inggris yang lain-lain menyaksikan.
Tanya : “Gambar
siapa ini?” (Ditunjukkan gambar saya dengan beberapa serdadu Tionghoa, ketika
berada dalam Kikoq di desa Sionching. Rupanya gambar itu dirampas dari almarhum
Subakat, ketika dia ditangkap di Bangkok!)
Jawab: “Boleh
lihat sendiri”
Tanya: “Dimanakah
serdadu itu sekarang?”
Jawab: “Di salah
satu gua dekat kantornya Viesbeen. Awaslah” (semuanya tertawa!)
Tanya: “Benarkah
Tan Malaka kembali ke Indonesia kira-kira tahun 1925?
Bagaimana jalan yang diambil?”
Jawab: “Pertanyaan
semacam itu bukan “interview” tentang pemandangan dalam politik, seperti biasa
dimaknakan. Pertanyaan yang berhubungan dengan kepolisian semacam itu saya tak
ingin menjawabnya”.
Murphy lalu
menoleh kepada saya. Dia bertanyakan, apakah yang mau saya katakan atau
tanyakan. Saya berkata: “Ingatlah, bahwa
dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
Murphy menyuruh
mencatatkan ini kepada nona sekretaris baik-baik. Kemudian Murphy bertanya
pula, apakah lagi yang akan saya katakan.
Saya sampaikan
kepada pemerintah Hindia Belanda peringatan saya: “Storm ahead, don’t lose your head.” (Topan di depan, jangan
kehilangan kepala).
Karena semuanya
tertawa mendengar, maka nona sekretaris terpaksa bertanya lagi apa yang saya
katakan tadi sepenuhnya. Saya ulang perlahan-lahan “Storm ahead, don’t lose your head”.
Kalimat ini
mengandung dua arti. Arti yang pertama ialah: jangan kehilangan akal. Arti yang
kedua ialah: jangan kehilangan kepala, karena dipotong.
“Don’t lose your head” itu diucapkan pada
bulan Desember 1932. Pada bulan Desember 1941 Jepang menyerang Singapura. Pada
tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda tiada saja kehilangan akal,
tetapi juga kehilangan kepala. Sayang Viesbeend sebelumnya “nujum” itu
terlaksana, sudah mati. Kabar ini kebetulan saja saya baca dalam salah satu
surat kabar.
Di belakangnya
interview tersebut, maka rupanya Viesbeen mendesak keras kepada pemerintah
Hongkong supaya saya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Maksud
interview itu boleh jadi cuma untuk menyaksikan apakah benar Tan Malaka yang
ditangkap atau tidak. Bukankah sudah terlalu banyak kabar yang menyebutkan
tangkapan dan matinya Tan Malaka di mana-mana negeri. Dua tiga kali dikatakan
kepada saya, bahwa pemerintah Inggris “will
stick to their own law” (akan pegang teguh Undang-Undangnya). Jawab saya
kalau benar-benar kelak saya diserahkan kepada Hindia Belanda, sudah terang
pada pengadilan polisi tempo hari. Pula sudah saya bayangkan dalam interview
dengan Viesbeen: “Dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari
atas bumi”. Di waktu itu memang saya bersiap menghadapi semua kemungkinan. Dan
saya yakin benar bahwa kemerdekaan Indonesia memerlukan banyak korban.
Setelah
berkali-kali saya dipulang balikkan dari kamar tawanan Eropa ke “sel Cina”,
maka akhirnya pada penghabisan bulan Desember tahun 1932 kepada saya dimajukan
pertanyaan: kemanakah saya ingin pergi, kalau saya disuruh keluar dari
Hongkong. Saya peringatkan sekian kali, bahwa jika saya melakukan pelanggaran
berhubung dengan Undang-Undang pemerintah Hongkong, maka sepatutnya saya
dituntut di depan pengadilan. Kalau kelak dalam pemeriksaan ternyata saya
bersalah, maka tentulah saya akan menerima hukuman. Tetapi kalau kelak ternyata
saya tiada bersalah, maka sebenarnya menurut kebiasaan negara sopan di dunia
ini, saya berhak tinggal di Hongkong. Sering pula saya peringatkan, bahwa Dr.
Sun Yat Sen, ialah seorang revolusioner Tionghoa, selalu dapat perlindungan di
Hongkong atau di bandar perjanjian seperti Shanghai. Pegawai Inggris tak pernah
memberi jawab yang pasti terhadap peringatan saya seperti ini. Tetapi rupanya
pemerintah Hongkong seolah-olah mau menjalankan lembaga negara sopan, ialah
menyediakan tempat pembuangan lebih dahulu, sebelum calon pembuangan itu
diusir.
Saya jawab, bahwa
kalau saya akan dibuang juga, maka suka saya ingin pergi kembali ke Manila.
Maka menurut pemerintah Hongkong, atas nama konsul Amerika di Hongkong, saya
tiada diperbolehkan masuk ke Filipina. Kemudian saya bertanyakan, apakah
keamanan diri saya akan dijamin kalau melalui Perancis dan Nederland. Saya
berniat melanjutkan perjalanan saya sesudah mengambil kembali uang saya yang
sepuluh tahun sebelumnya saya simpan di dua Bank di Nederland. Dengan uang itu
dan pekerjaan sebagai wartawan surat kabar di Asia saya akan bisa menjamin
kehidupan saya sendiri di salah satu negara di Eropa. Hal yang dibelakang ini
perlu dimajukan, karena kebanyakan negara memangnya segan sekali menerima orang
asing yang tiada berpencaharian pasti. Di belakang hari saya mendapat jawab,
bahwa saya tiada boleh lalu di negara Nederland, karena katanya saya sudah
kehilangan “Nederlandsche onderdaanschan” saya (kerakyatan Nederland). Setelah
saya bertanya menurut Undang-Undang manakah saya kehilangan hak tersebut, maka
dijawab, bahwa menurut peraturan Hinida Belanda, jika seseorang Indonesia lebih
dari lima tahun tiada menghubungkan dirinya dengan salah satu wakil pemerintah
Nederland (duta atau konsul), dimana orang Indonesia itu berada, maka orang itu
akan kehilangan haknya sebagai rakyat Nederland. Jadi dengan begitu saya tiada
berhak lagi mendapatkan pasport. Dengan demikian maka sendirinya pula, tiada
saya bisa bepergian dengan legal, resmi. Dan kecuali ada negara yang mau
menerima saya masuk ke negerinya, maka tiada lagi tempat yang lain buat saya
sesudah jatuh ke tangan Inggris di Hongkong itu selainnya daripada rumah
penjara. Ternyatalah pula bahwa penangkapan atas diri saya di Hongkong itu
tiada saja menghilangkan kemungkinan buat bepergian atau tinggal di Hongkong,
tetapi seterusnya menghilangkan semua kemungkinan untuk mencari nafkah hidup.
Rupanya diwaktu
itu pemerintah Hindia Belanda tiada
berjumpa dengan persoalan yang mudah diselesaikan ataupun menjalankan
pelanggaran yang mudah dilakukakan. Saya dengar pemerintah Hindia Belanda ingin
mengambil saya kembali. Itulah pula maksudnya mengirimkan Viesbeen ke Hongkong.
Tetapi maksud itu gagal berhubung dengan sikap pemerintah Hongkong dan sikap
saya sendiri. Sebagai penjahat (criminal) saya tiada bisa dituntut,
dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, karena saya tiada pernah melakukan
kejahatan. Benar adanya saya di luar negara oleh pemerintah Hindia Belanda
terus dianggap sebagai bahaya buat dirinya, tetapi saya tiada pernah melakukan
kejahatan seperti pemalsuan uang atau pembunuhan atas pembesar Belanda. Dan
sebenarnya tiadalah pula ada alasan buat menuntut kembali orang yang sudah
dibuang menurut Exobitante Rechten, hak istimewanya gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Tetapi rupanya
para Conspirators, tuan-tuan besar imperialis yang berkomplotan terhadap
seseorang berwarna yang tiada berdaya, yang tiada mempunyai negara, yang tiada
diizinkan oleh negara sopan, seperti Inggris, Amerika, Perancis, dan Belanda,
masuk ke negara atau melalui negara atau jajahannya mencari tempat buat hidup,
rupanya para Conspirators satu hari mendapatkan “akal”. Saya katanya, boleh
pergi ke Eropa. Pegawai Inggris tergesa-gesa hendak mengurus karcis saya.
Ketergesa-gesaan itu menimbulkan kecurigaan di hati saya. Segera saya tanyakan
dengan kapal apakah saya akan diberangkatkan. Setelah dikatakan bahwa kapal
Perancislah yang akan membawa saya itu maka dengan tegas saya tolak kapal
Perancis itu. Saya katakan bahwa kalau saya akan diberangkatkan ke jurusan
Eropa, maka saya cuma mau menumpangi kapal Inggris saja. Saya katakan pula
bahwa saya ditangkap oleh pemerintah Inggris dan Inggris pulalah yang harus
bertanggung jawab atas keselamatan atau kemalangan, atas hidup dan matinya
saya. Biarpun rakyat Indonesia masih bodoh, dan lemah, tetapi pada suatu masa
Rakyat Indonesia akan mengerti juga peraturan Internasional. Kalau kemalangan
atas diri saya itu dilakukan oleh pemerintah Inggris, biarlah kelak rakyat
Indonesia tahu siapa yang bertanggung jawab. Di mata saya masih terbayang
tingkah lakunya imperialisme Perancis terhadap almarhum Subakat. Kapalnya
Perancis lah kabarnya yang membawa almarhum Subakat dari Bangkok ke Singapura
apabila dia dibuang oleh bekas Raja Dipok. Kapal Perancis itulah dengan tiada
malu-malu menyerahkan almarhum Subakat ke tangan pemerintah Hindia Belanda.
Siasat di atas
rupanya gagal. Pada suatu hari saya oleh Murphy diperkenalkan kepada
penggantinya, namanya kalau saya masih ingat ialah Thomson. Bersama tuan
Thomson dan Murphy saya dibawa ke suatu kamar berhadapan dengan kepala I.S.
Nama kepala I.S. saya sudah lupa, tetapi dikenal dengan mata palsunya. Sebelah
matanya hilang diganti dengan kaca.
Setelah sebentar
saya duduk, saya diberitahukan oleh Mata Kaca: “Tuan mesti berangkat”.
Jawab : “Kemana?”
Mata Kaca : “Kami tidak tahu”
Saya : “Bolehkah saya pergi ke
Inggris?”
Jawab : “Tidak”
Saya : “Dalam Parlemen cuma satu
orang wakil komunis”
Jawab : “Tak perlu tuan tambah lagi”
Saya :
“Bukankah aturannya pemerintah Inggris biasanya menyediakan
lebih dahulu tempat pembuangan dan menanggung jawab
keselamatan orang buangan itu selama berada di jalan menuju ke
tempat pembuangan yang seharusnya sudah ditetapkan lebih dahulu
itu?”
Saya : “Kenapa saya tiada mendapat perlakuan seperti
biasa menurut
peraturan Inggris?”
jawab : “You are Tan Malaka”. (Tuan Tan
Malaka).
Rupanya karena
memang saya Tan Malaka, saya tiada mempunyai hak buat menggunakan ahli hukum
sebagai pembela; tiada berhak dihadapkan kepada pengadilan umum (public trial);
tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun tiada berhak untuk
dibuang ke tempat yang aman di jalan dan di tempat pembuangan. Karena saya
tiada diizinkan memakai ahli hukum, maka tiadalah pula dapat saya mengetahui
apakah tidak ada bagian Tiongkok yang mau mengizinkan saya masuk.
Sebagai akibat
semua yang tersebut di atas ini, maka sebenarnya saya tiada diberi hak lagi
buat bergerak, kecuali di dalam penjara imperialis, diikuti oleh agen
imperialis.
Akhirnya Mata Kaca
berkata: “Besok tuan boleh mengambil keputusan”. Tetapi setelah mendapat
desakan tiba-tiba itu, saya menjawab: “Ini hari saya akan mengambil keputusan,
nanti pukul satu”.
Di kantor polisi
saya tanyakan kepada Thomson “Berapa lamakah saya akan dihukum, kalau saya
menolak dibuang dari Hongkong?”
Jawab: “Satu
tahun, ialah berhubungan dengan pelanggaran (misdemeaner)”.
Tanya: “Berapakah
pula lama hukumannya kalau sesudah dihuku setahun itu saya tolak lagi dibuang?”
Jawab: “dua atau
tiga tahun”.
Kemudian Thomson
pergi keluar kantor. Yang tinggal cuma nona sekretaris dan saya. Nona itu
biasanya mencarikan buku bacaan buat saya. Pada waktu itu saya meminta surat
kabar yang paling belakang, di sinilah saya pelajari perjalanan kapal yang
bertolak dari Hongkong ke semua penjuru.
Setelah Thomson
akan kembali saya berkata, bahwa saya sudah memutuskan akan bertolak ke
Shanghai. Kira-kira jam 2 akan ada kapal berangkat menuju ke Shanghai. Saya
sendiri tahu, bahwa kapalnya kongsi yang akan saya tumpangi itu biasanya
berhenti di Shanghai bagian Perancis. Seperti saya bayangkan di atas,
pemerintah Perancis tentulah tiada akan segan-segan menangkap dan mengembalikan
saya ke pemerintah Hindia Belanda.
Saya diantarkan ke
kongsi kapal oleh seorang I.S. Inggris untuk membeli karcis. Setelah semuanya
selesai saya diantarkan ke kapal oleh orang I.S Inggris tadinya dan rupanya
juga diikuti oleh polisi lain.
Kapal yang katanya
tadi akan berangkat pukul dua menunda bertolaknya sampai pukul empat atau
lebih. Kapal itu kepunyaan sebuah kongsi Inggris dan kaptennya tentulah orang
Inggris pula. Sesudah sekian lama saya menunggu di dalam kapal, maka masuklah
pula seorang Inggris sebagai penumpang. Dia diperkenalkan kepada saya sebagai
pegawai konsul Inggris di Amoy.
Demikianlah akhirnya
sesudah meringkuk di dalam penjara Inggris, +- 2 ½ bulan lamanya pada
penghabisan bulan Desember 1932, saya bertolak dari Hongkong bersama pegawai
Inggris dengan kapal Inggris menuju ke Shanghai, ke bandar yang dikuasai oleh
imperialis dan tak lebih aman buat saya daripada di Hongkong.
Seakan-akan saya
menuju perangkap!
Biarlah para
Conpirators imperialis bersuka cita!
Tunggu sajalah
saya di Shanghai!
KEMANA??
Syahdan dalam
hakekatnya tiadalah ada bedanya perjalanan yang saya alami dari kedua negara
besar di dunia ini, ialah Amerika dan Inggris. Dengan beberapa contoh yang
sudah saya rasakan atas kulit saya sendiri, maka saya dapat membandingkan teori
dan prakteknya demokrasi Anglo-Saksen,
yang selalu digembar-gemborkan di dunia ini dan katanya yang menjadi dasarnya
kedua negara terbesar di dunia ini.
Teori dan praktek
yang dimaksudkan itu ialah yang berhubungan dengan haknya seorang pelarian
politik (right of asylum) terhadap
kepada seorang anggota bangsa berwarna pula. Hal ini disambung-sambungkan pula
dengan soal propaganda komunis.
Caranya polisi
Amerika menangkap saya di Manila tak berapa bedanya dengan caranya Inggris
menangkap saya di Kowloon, Hongkong. Keduanya dilakukan tiba-tiba, di waktu
malam, dengan tiada memakai surat tuduhan dari yang berwajib (right of warrant). Hak menghadapi surat
tuduhan dari yang berwajib dimana dengan jelas tertulis pelanggaran.
Undang-undang yang sudah dilakukan itu adalah hak seseorang warga negara
demokrasi semenjak revolusi Inggris dan Perancis. Sebelum Revolusi tersebut,
maka seorang polisi Perancis (atau warga besarpun) berhak menangkap seseorang
warga atas surat perintah yang tiada berisi tuduhan yang pasti (lettre de cachet).
Di Manila dan
Hongkong, lettre de cachet pun tak
ada, jangankan pula surat warrant. Di
kedua tempat itu, penangkapan atas diri saya dilakukan dengan bengis, seperti
polisi menangkap penjahat. Penangkapan di Hongkong malah bisa menyebabkan
pembunuhan dari salah satu pihak yang menangkap dan yang ditangkap.
Oleh Manila dan
Hongkong akhirnya, sesudah ternyata bahwa saya tiada dapat diserahkan begitu
saja kembali kepada musuh saya (uitgeleverd),
maka dengan 13 macam tipu muslihat saya dibuang buat disambut di lain tempat
oleh para imperialis pula. Pembuangan dari Manila dilakukan buat penangkapan
kembali di Amoy. Pembuangan dari Hongkong (diharapkan atau tidak) pasti akan
berakhir dengan penangkapan, kalau saya benar-benar sampai di Shanghai.
Terbukti sudah bahwa Inggris tiada mengindahkan kebiasaan (usage) demokrasi yang sudah dikenalnya selama ratusan tahun di
negaranya sendiri, ialah: menentukan tempat pembuangan sebelumnya yang
bersangkutan itu dibuang dan menjamin keselamatannya di jalan ke pembuangan.
Terhadap hak
manusia yang dijunjung tinggi oleh demokrasi Anglo-Saksen, seperti right of
warrant (hak atas tuduhan), right of public trial (pengadilan umum) dan right
of asylum (hak perlindungan buat seorang pelarian politik), maka Amerika
terpaksa saja berlaku pura-pura demokratis, karena pembelaan rakyat, pembesar
dan para pemimpin Philipina. Sesudah terhalang memasukkan saya dengan diam-diam
ke kapal Belanda di pelabuhan Manila, maka pemerintah Amerika dengan kapal
Philipina sebenarnya mengirimkan saya ke tangan imperialis internasional di
Amoy. Gagal kehendaknya itu cuma karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri.
Pemerintah Inggris di Hongkong, sesudah membatalkan semua hak saya sebagai
manusia dan gagal menyerahkan saya kepada pemerintah Hindia Belanda, dalam
prakteknya memancing supaya saya ditangkap kembali oleh imperialis teman
sejawatnya. Saya terlepas daripada cengkeraman imperialis, bukan karena
kejujuran dan kesetiaan Inggris kepada dasar serta peraturan demokrasinya
sendiri, melainkan karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri pula.
Hubungkanlah pula
keadaan saya dengan halnya seorang berkulit putih yang mempunyai negara
merdeka. Ketika surat kabar dan orang Amerika berteriak-teriak di Manila
menuduh saya membuat propaganda komunis. Maka seorang Profesor dari salah satu
Universitas yang terkenal di Amerika, yang baru saja kembali dari Moscow
dibolehkan menyebar-nyebar brosur dan buku komunis di Manila. Tentulah saya
sendiri memuji pekerjaannya saudara Profesor tadi.
Tetapi yang saya
majukan di sini ialah perbedaan terjemahan undang-undang yang berkulit putih
dengan orang yang berwarna. Kebetulan pula bersamaan atau hampir bersamaan
dengan penangkapan saya di Hongkong itu, ditangkap pula seorang Inggris dan di
waktu itu oleh satu pemerintah bangsa berwarna oleh pemerintah Jepang. Orang
Inggris itu sudah bertahun-tahun menjadi guru di Tokyo? Dan tuduhannya ialah
bahwa ia dengan uang dan nasehat membantu Partai Komunis Jepang. Semua surat
kabar Inggris di Tiongkok yang dapat saya baca di waktu itu berteriak dan
memprotes kepada pemerintah Jepang berhubung dengan caranya pemeriksaan
terhadap dirinya orang Inggris komunis itu dilakukan. Pada masa itu berhentilah
persoalan, Komunis atau tidaknya orang Inggris itu, ya atau tidaknya ia
melakukan propaganda dan membantu dengan langsung atau tidak kerobohannya
kerajaan Jepang. Yang dikemukakan oleh para pembela Inggris tadi, ialah seorang
ditangkap di Jepang dan orang Inggris itu perlu diperlindungi dan benar
diperlindungi oleh pemerintah Inggris.
Memangnya
pemerintah Inggris dan Amerika tiada membedakan paham warga negaranya sendiri
apabila warga negaranya, teristimewa pula bangsanya sendiri, yang berurusan
dengan pengadilan di luar negerinya, terutama pula di Asia (dengan Tiongkok,
Jepang dll). Dalam hal ini tak bisa disangsikan sikap kedua negara itu.
sikapnya Inggris tepat sekali digambarkan oleh semboyan “right or wrong my country!” (benar atau tidak saya akan bela
(orang) negara saya). Sejarah inilah yang langsung menimbulkan adanya
pengadilan istimewa buat bangsa kulit putih di Tiongkok (extra territoriality).
Status ini dipaksakan kepada Tiongkok sesudah terjadi kejahatan oleh bangsa
kulit putih di Hongkong pada abad yang lalu. Kejahatan itu mengakibatkan satu
hukuman berat atas orang berkulit putih itu. Tetapi putusan dan pemeriksaan
secara Tionghoa tiada disetujui oleh bangsa Barat. Mereka menuntut pengadilan
sendiri di negaranya Tionghoa. Mereka menuntut adanya extra-territoriality. Hak
membela warganya itu di negara lain oleh Inggris selanjutnya dipakai buat
dijadikan alasan untuk menjalankan agresinya. Pada ababd yang lampau pemerintah
Inggris di pulau Penang mengirimkan seorang Tionghoa, rakyat Inggris (British-subject) ke pedalaman Malaya
melalui tempat berbahaya. Kemungkinan bahaya yang akan menimpa itu sudah
diperingatkan lebih dahulu kepada pemerintah Penang. Tetapi memangnya
imperialisme Inggris sedang mencari-cari bahan buat provokasi. Tionghoa yang
malang tadi terbunuh oleh para penyamun. Peristiwa inilah yang dipergunakan
oleh pemerintah imperialis Inggris buat mengadakan penyerbuan ke pedalaman
Malaya (kerajaan Perak), kerajaan yang tanahnya banyak mengandung timah itu.
Timah itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh kapitalis Inggris.
Sikap “right or
wrong my country” itu terasa benar, terutama pula oleh kita yang tiada
mempunyai negara. Demikialah persamaan bangsa dan bangsa, warna dan warna itu
tiadalah bisa kita selesaikan dengan perasaan (sentiment) semata-mata. Semua hak berhubungan dengan statusnya
seseorang berkulit putih atau berwarna yang berurusan dengan pengadilan dan
undang-undangnya sesuatu negara (putih atau berwarna) haruslah ditetapkan
dengan pasti dalam undang-undang internasional dalam peratuaran yang disokong
oleh jaminan (sanction). Tiadalah boleh diserahkan kepada aturan demokrasinya
sesuatu negara saja.
Penghabisan bulan
Desember 1932! Hawa sudah mulai sejuk dan angin bertiup dari utara ke selatan.
Setiap waktu angin itu bisa bertukar menjadi tai-fung, memang dari daerah
inilah berasalnya perkataan taufan (Arab) dan topan (Indonesia) itu?
Kerenggangan udara ditandus Australia yang memuncak pada bulan Desember itu,
menyebabkan mengalirnya udara dari utara Tiongkok mengisi tempat yang renggang
itu. Amat sejuklah terasa angin dari Utara itu. lautpun tiadalah tenang karena
angin yang tiada berhentinya bertiup itu. kebanyakan penumpang tiadalah banyak
keluar kabin kamarnya.
Pelayaran
Hongkong-Shanghai di waktu musim rontok atau panas, biasanya buat penumpang
kelas satu amat menyenangkan. Udara laut segar bersih menambah nafsu makan
sehingga pelajaran itu boleh dianggap masa beristirahat. Tetapi di masa laut
bergelombang tinggi dan hawa dingin, maka seorang penumpang cuma mengharapkan
lekas sampai ke tempat yang ditujunya saja. Mujurlah seseorang kalau tiada
digoda oleh mabuk laut.
Pelayaran
Hongkong-Shanghai dengan kapal yang saya tumpangi singgah di pelabuhan Swatow,
Amoy dan Foochow. Semuanya bandar yang besar. Swatow berpenduduk lebih kurang
300.000 orang, Amoy 500.000 dan Foochow tak kurang daripada 1.000.000 orang.
Semuanya bandar itu terhitung bandar perjanjian dan mempunyai bagian yang
didiami oleh orang Tionghoa dan asing. Swatow adalah salah satu kota yang
terbilang bersih dan maju. Banyak Tionghoa yang beragama Kristen dan banyak
yang pencarian hidupnya berhubungan dengan Siam. Sedikit sekali orang Eropa
terdapat di sini. Tentang kota Amoy sudah banyak saya ceritakan. Bandar Foochow
sudah pernah juga saya kunjungi. Kota ini mempunyai bagian Tionghoa dan bagian
Eropa. Di Foochow makanan sangat murah
harganya dan terkenal baik masakannya, maupun buah-buahan banyak ragamnya dan
lezat rasanya.
Bahkan tak ada
kapal berlayar langsung dari Hongkong ke Shanghai. Pelayaran langsung itu
mengambil waktu cuma dua tiga hari saja. Sedangkan pelayaran kapal saya akan
mengambil waktu lebih kurang seminggu lamanya. Bukan saya tiada tahu perbedaan
lama pelayaran itu. Walaupun demikian, dan meskipun saya, mengetahui bahwa ada
kapal yang berlayar langsung, tetapi saya pilih juga pelayaran yang lama.
Tentulah Hongkong sudah memberitahukan kepada Shanghai, bahwa tanggal sekian
dan jam sekian, saya sudah berangkat dengan kapal anu, menuju Shanghai. Saya
tiada pula sangsi, bahwa para Conpirator-international sudah membuka-buka pintu
perangkapnya di Shanghai buat seorang berwarna, yang tiada mempunyai negara.
Duta negara manakah yang akan memprotes, jangankan lagi melindungi, kalau saya
diperlakukan seperti macam memperlakukan mangsanya; tangkap lepaskan
berulang-ulang, sampai mangsanya payah, tiada berdaya lagi dan menyerah
bulat-bulat kepada musuh.
Setelah saya
merasa menyesal membiarkan para Conspirator international membuang-buang waktu,
menunggu-nunggu saya di Shanghai, karena lebih lama berlayar. Saya ingin
mempelajari suasana di sepanjang jalan Hongkong Shanghai, yang saya kenal lebih
baik daripada semuanya Conspirators di Hongkong atau Shanghai yang cuma
mengenal jalan antara kursi di rumah dan kantornya saja. Sebagian daripada
pesisir propinsi Hokkian, diantara Amoy dan district Kim-Chi, saya kenal baik
sekali. Malah pesisir sepanjang Semenanjung Tentang-Witau yang pernah saya
sebut diatas, saya kenal seperti saya mengenal kampung saya sendiri. Pesisirnya
sudah saya jalani berkali-kali. Lautnya sudah saya renangi di musim panas. Pada
bagian pesisir ini, dimana terletak desa Sionching dan Iwe yang sudah saya
diami berbulan-bulan, kapal berlayar tiada jauh dari pesisir. Buat orang yang
tersempit, yang tiada mempunyai pilihan lain, buat orang yang benar pandai
berenang, penyeberangan antara kapal dan pesisir itu bukanlah pekerjaan yang
mustahil. Saya biasa berenang di sungai atau lautan dengan kaki atau tangan
atau keduanya, sambil menelungkupkan atau menelentang, bahkan sambil berdiri
membawa kain. Sungai Ombilin di Minangkabau, sungai yang dalam dan deras
arusnya, yang sering meminta korban kepada yang kurang cakap, memberi latihan
kepada saya dalam segala ragam berenang di waktu saya belum dewasa. Cuma saja
air laut Tiongkok di bulan Desember terasa agak dingin. Kalau ada jalan yang
lain baiklah dia dihindarkan saja. Jalan lain itulah yang sedang dipikirkan.
Selainnya daripada
pegawai “konsulat Inggris” yang menuju
ke Amoy itu bersama dengan saya menumpang pula seorang Tionghoa tuan Lim, bekas
mahasiswa Amerika yang mempunyai toko barang listrik di Amoy. Lagi pula seorang
profesor Amoy University. Tetapi yang menarik perhatian dan simpati saya ialah
seorang pelajar dari Hongkong bernama Chu yang pulang beristirahat ke
kampungnya bernama Hosan, dekat kota Amoy.
Entah karena apa
maka pelajar Chu tak mau berpisah dengan saya selama di dalam kapal. Mungkin
sekali dia sudah membaca surat kabar Inggris di Hongkong yang pernah
mengabarkan penangkapan saya. Umumnya pelajar Tiongkok berpolitik radikal.
Banyak yang berpihak kepada Sayap kiri, di bawah pengaruhnya Madame Sun Yat
Sen, tetapi banyak pula yang bersimpati dengan kesusasteraan dan gerakan
komunis. Pelajar Chu memindahkan barangnya ke kamar saya dan mengambil tempat
tidur kosong di kamar saya pula. Apabila saya keluar kamar, maka keluar pulalah
pelajar Chu. Apabila penumpang lain meminta saya dan pelajar Chu bermain kartu,
maka pelajar Chu melihat mata saya lebih dahulu dan bertanya lebih dahulu
kepada saya. Jika saya mau main, mainlah dia, jika saya tolak, menolak pula
pelajar Chu. Apabila saya pergi tidur maka mengikutilah pula dia.
Pelajar Chu belajar
Inggris dengan lancar dan fasih sekali. Dia baru saja tamat S.M.T. Inggris di
Hongkong. Sekolah ini dipimpin oleh guru Inggris sendiri dan pelajarannya
terutama dalam bahasa Inggris terkenal baik juga. Pelajar Chu selalu meminta
nasehat kepada saya, apakah dia akan terus belajar ke Universitas apa tidak.
Heran juga saya, karena dia meminta nasehat kepada saya yang dia kenal cuma
baru dalam kapal saja. Kenapakah dia tiada menghampiri tuan Lim atau Profesor
Amoy University yang sama-sama berlayar di Amoy ???
Menurut tingkah
laku dan caranya berbicara pelajar Chu adalah anak keluarga termasuk baik di
Amoy. Bapaknya adalah compradore Hongkong-Shanghai Bank, cabang Amoy. Jadinya
anak hartawan Tionghoa.
Menurut filsafat
saya tidak ada alasan bagi saya untuk mencurigai pelajar Chu. Tetapi memang ada
satu dua penumpang di atas dek yang kelihatan amat memperhatikan saya. Saya tak
heran kalau mereka berhubungan dengan I.S. Inggris atau dengan konsulat
Belanda. Bagaimanapun juga saya juga mengawasi langkah saya dan mengawasi siapa
saja yang ada di sekitar saya.
Sudah semalam
lebih kapal berlayar, maka pada pagi hari sampailah kami ke pelabuhan Swatow.
Di sini kapal berhenti setengah hari lamanya. Nanti sorenya pelayaran akan
dilanjutkan ke Amoy. Akan naik daratkah saya disini mempelajari suasana?
Rupanya pelajar Chu tidak setuju saya naik ke darat. Entah apa sebabnya. Tetapi
sudah saya pertimbangkan baik buruknya, maka bersama Profesor Amoy University
dan tuan Lim saya naik darat juga.
Belum lagi berapa
lama kami berada di daratan, maka di depan kami tiba-tiba berhenti sebuah mobil
besar. Seorang Tionghoa berpakaian modern keluar dan berjabatan tangan dengan
kami. Kami dipersilahkan masuk mobilnya, Profesor Amoy University menolak dan
tuan Lim serta saya masuk.
Saya tidak
mengerti asal mulanya persahabatan ini. Tetapi melihat mukanya Tionghoa modern
ini saya tidak menaruh kecurigaan sedikitpun. Juga tidak curiga, kalau dia
kepada saya memakai bahasa Inggris dan kepada tuan Lim memakai bahasa Tinghoa.
Yang sedikit mengherankan saya, cuma kenapa datangnya mobil tepat dengan
pendaratan kami. Tidak mungkin perhubungan tuan Lim dengan kenalan baru itu
sebergitu rupa sehingga pertemuan itu bisa tepat saja.
Kami dibawa dengan
mobil berkeliling kota. Kota Swatow bukanlah lagi asing buat saya. Setelah
mobil menghampiri rumah penjara, maka mau tidak mau timbul juga pertanyaan di
dalam hati saya. Akan berhentikah mobil disini? Memangnya pula mobil berhenti.
Kenalan baru memang keluar dari mobil, tetapi tidak diundang untuk mengikuti.
Sebentar lagi kenalan baru kembali masuk ke mobil dan perjalanan diteruskan.
Rumah penjara
bukanlah asing lagi bagi saya. Di Indonesia saya diperkenalkan dengan tiga
penjara sebelum berangkat pada tahun 1922, ialah penjara Bandung, Semarang, dan
Jakarta. Di Manila saya berkenalan pula dengan penjara. Penjara Hongkong pun
tidak melupakan saya. Sebaliknya tiap-tiap rumah penjara atau semua rumah yang berbentuk
penjara seolah-olah dengan diam-diam berkata kepada saya: Silahkan masuk!
Bagaimanapun juga
keadaan di penjara imperialis Belanda, Amerika dan Inggris, kalau dibandingkan
dengan penjara Tionghoa seperti kandang kuda dengan kandang babi. Di dalam
penjara Tiongkok orang dikumpulkan berdesak-desak. Di sanalah mereka tidur,
makan, buang air besar atau kecil dan merenungkan nasib yang buruk dalam
masyarakat yang zalim dan kejam. Jarang orang yang lama tahan sehat atau hidup,
sekali ia memasuki penjara Tiongkok yang tulen.
Sedang saya masih
memfilsafatkan rumah penjara Tiongkok, maka tiba-tiba mobil berhenti di depan
sebuah rumah. Dapat dilihat dari luar bahwa rumah ini adalah sebaliknya
daripada rumah yang difilsafatkan tadi. Rumah ini adalah rumah tempat Tionghoa
yang berpunya melepaskan hausnya; menghentikan laparnya dan memuaskan nafsunya;
serta menambah kegembiraan dan kesenangan hidupnya. Juga terutama untuk
menjumpai para tamunya dan merundingkan urusan atau perdagangannya. Rumah ini
ialah restoran, rumah makan.
Kami mengambil
tempat di k amar yang terpisah dan bersih dalam segala-galanya. Kenalan baru
segera mengambil daftara makanan dan memiliih makanan dan minuman yang cocok
dengan kedudukannya dalam masyarakat Tionghoa. Pembaca yang pernah diundang ke
sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa yang pernah diundang ke sesuatu selamatan
(kenduri) Tionghoa atau ke rumah makan Tionghoa, dapat mengira, bahwa kenalan
baru tak akan memilih makanan Swatow yang sembarangan. Masakan Tionghoa sudah
masyhur di seluruh dunia dan dari mulut orang Eropa saya sering mendengar: “The Chinese are the best cook on the world”.
(Orang Tionghoa adalah ahli masak yang paling jempol di dunia). Menurut ukuran
saya memangnya pujian ini tidak melebihi sedikitpun. Boleh juga saya tambahi,
bahwa masakan Swatow mempunyai kedudukan yang teristimewa pula di tengah-tengah
daerah lainnya di Tiongkok.
Setelah sebentar
kami duduk, maka kenalan baru mengambil kartu nama dari dompetn ya dan memberikan kartu itu kepada saya.
Tertulis di atas namanya: Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow. Nama Chen itu
ialah dalam bahasa nasional atau dalam bahasa Kwantung. Dalam bahasa (daerah)
Hokkian bertukar menjadi Tan.
Chen Min Shu atau
Tan Min Shu, menceritakan kepada kami, bahwa selang beberapa lama dia kembali
dari perjalanannya ke Siam dan Manila. Dia bepergian ke sana untuk mengumpulkan
uang sokongan buat Chap Kau Loo Kun,
tentara ke-19 yang menjadi buah tuturnya semua patriot Tionghoa tua, muda,
laki, perempuan. Chen Min Shu, sebagai sekretaris polisi Swatow, sebagai
wakilnya tentara ke-19 di kota No.2 buat propinsi Kwantung ini tentulah
mempunyai kekuasaan yang besar sekali kalau tiada yang terbesar.
Kenapakah tuan
Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow itu dalam berbicara selalu memalingkan
mukanya kepada saya? Saya tidak memperkenalkan nama kepadanya.
Menurut bentuk dan
warna mukanya itu Chen Min Shu, maka tidaklah akan mengherankan kalau dia
seorang Hoakiao, baba. Bahasa Tionghoa diucapkannya menurut tekanan (accent) Hoa-kiao. Bahasa Inggrisnya
jelas dan berbeda dengan bahasa Inggris yang diucapkan oleh orang Tionghoa
totok. Tentulah tidak cocok dengan tata krama Asia, kalau ditanyakan asal
usulnya tuan Chen Min Shu.
Apakah tuan Chen
Min Shu tahu kalau saya seorang pelarian politik? Apakah tuan Chen Min Shu
hendak memberi suggestion
(pertimbangan), bahwa saya boleh tinggal di Swatow, kalau saya mau. Ataukah
sebaliknya, ialah jangan coba tinggal di Swatow.
Bagaimanapun juga
saya mendapat kesan yang baik sekali tentang tuan Chen Min Shu. Kami diantarkan
dengan mobil sampai ke pelabuhan Swatow termasuk propinsi Kwantung. Sendirinya
saya teringat akan peringatan konsul Kwantung kepada pemerintah Hongkong, bahwa
saya adalah keturunan Tionghoa. Jika waktu itu diizinkan mempergunakan seorang
Tionghoa, pembela hukum, tentulah saya bisa menaksir suasana di Tiongkok. Akan
sanggup pula saya menentukan bolehkah dan di bagian mana Tiongkok-kah saya
dapat berdiam.
Dengan
bersenjatakan sedikit pengetahuan tentang Tiongkok (Swatow). Saya kembali masuk
ke kapal. Ingin saya mengetahui, bagaimanakah keadaan di Amoy dan propinsi
Hokkian. Besok paginya kapal menurunkan jangkarnya. Kapal berlabuh di
tengah-tengah teluk Amoy, di antara pulau Kulangsu dan Pulau Amoy. Kalau
memakai sampan, maka dalam lebih kurang sepuluh menit kita bisa mendarat.
Malam tadi pelajar
Chu terus mendesak saya, supaya berhenti saja di Amoy, dan jangan terus ke
Shanghai. Saya boleh menumpang di rumah keluarganya dan menjadi temannya,
katanya. Saya terus menolak! Tetapi saya sudah memasukkan barang yang
terpenting ke dalam kantong. Koper baru, berisikan pakaian dan buku, yang baru
saya beli sesudah perang Shanghai, saya taruh baik-baik. Kunci kamar saya
berikan kepada penjaga kamar. Pertanyaannya apakah saya akan naik darat, saya
jawab: tidak.
Saya antarkan
pelajar Chu ke kaki tangga yang menyinggung air laut. Kelihatannya sebuah
sekoci yang dengan cepat menuju kepada kami. Saya sedikit curiga, karena
mengingat sekoci polisi Kulangsu bagian internasional, yang mau menangkap saya
di kapal Suzana, lima tahun lampau. Tetapi sekoci itu dikirimkan oleh
Hongkong-Shanghai Bank buat menjemput dia. Seperti disebutkan di atas bapaknya
pelajar Chu, ialah Compradore Bank tersebut.
Sekocinya pelajar
Chu sudah berdampingan dekat kapal kami. Pelajar Chu menarik tangan saya
mengajak masuk ke sekocinya. Saya tolak dengan suara keras sambil menoleh ke
arah buritan kapal di atas dek, dimana berada satu dua orang yang gerak
geriknya mencurigakan saya. Biarlah mereka sangka bahwa saya tak akan mendarat.
Pelajar Chu terus
mendesak saya menaiki sekocinya dan saya tetap menolak dengan kedua tangan di
kantong celana buat menunjukkan seolah-olah saya tidak mau mendarat. Kalau
tidak mau “I am sorry, good bye!”
kata pelajar Chu, (saya merasa sayang dan selamat tinggal).
Tetapi setelah
sekoci bertolak, satu dua hasta jaraknya dari kapal, maka sekonyong-konyong
saya meloncat masuk ke sekoci. Dalam lebih kurang 5 menit lamana sekoci sudah
sampai ke darat. Apabila saya menoleh kembali ke kapal, maka barulah saya lihat
beberapa orang turun tangga dengan cepat dan memilih sampan yang berdayung
mendekati kapal. Siapa yang pertama mendapatkan sampan, musuh atau tidak,
pemburu manusia atau manusia biasa, tidaklah dapat saya pastikan. Saya tahu
bahawa saya sedikitnya sudah lima menit menang berlomba. Secepat-cepat sampan
bedayung tak kurang dari seperempat jam lagi, barulah penumpangnya bisa mendapat. Jadi paling sedikitnya 20 menit saya mendapat
voorsprong (penjaran, tepeuk).
Waktu yang 20
menit itulah yang harus saya pergunakan untuk mendapatkan rumah tempat
bersembunyi. Hotel tentulah tidak akan saya pakai. Segera saya pastikan lagi
alamatnya pelajar Chu. Siapa tahu kalau-kalau nanti terpaksa dipakai. Saya
katakan bahwa saya ada mempunyai urusan penting di Amoy dan kalau masih ada
kesempatan kelak saya akan pergi ke Hosan menjumpai dia. Saya berjabat tangan
dan berpisah dengan pemuda yang saya kenal cuma sebentar saja. Tetapi lekas
menarik simpati saya. Sayang sekali saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Dengan tidak
membuang-buang waktu sekejappun saya menaiki satu becak, saya suruh tukang
becak menuju ke jalan Ang Pun Po. Di
sinilah saya pernah menumpang lima tahun yang lalu di rumahnya sahabat karib
Tan Ching Hua. Keadaan saya sekarang tak ada bedanya dari lima tahun yang
dahulu itu, ialah mencari perlindungan.
Sedikit pikiran
saya terganggu apabila di kiri-kanan melihat rumah baru dan jalan baru dan
jalan baru. Pada ketika itu sudah hampir seluruhnya kota Amoy lama dibongkar
dan ditukar dengan yang baru. Rumah yang dahulunya sempit, kecil, rendah,
berganti dengan rumah yang besar, tinggi, dan modern. Jalan yang sempit, kotor,
dan penuh sesak berganti menjadi jalan yang lapang, bersih, dan di sepanjang
toko-toko yang tak kalah dengan toko kepunyaan Tionghoa di bandar besar seperti
Shanghai.
Saya hampir tak
mengenal Amoy lagi. Bertanya pula saya dalam hati. Apakah rumahnya sahabat Tan
Ching Hua, Ka-It, yang bernama Tiong Huat masih ada di jalan Ang Pun Po? Dan
apakah jalan Ang Pun Po itu ataupun kampungnya Ang Pun Po itu sendiri masih
ada?
Bagaimanakah rumah
penginapan Tiong Huat bisa menahan desakan muncipal, Balai Kota Amoy,
meruntuhkan rumah yang tua-tua dan menggantinya dengan yang baru?
Orang luar tak
mudah mengerti, kalau tidak mengetahui kedudukan satu keluarga dalam masyarakat
negara Tiongkok. Rahasia bisa berdirinya terus Tiong Huat dengan jalan sempit
gelap dikiri, depan dan belakangnya terletak pada kedudukan keluarga Tan di
kota Amoy. Kemauan keluarga Tan tak bisa dibatalkan begitu saja. Kalau keluarga
Tan bersatu mempertahankan rumah tua lapuk dan jalan sempit gelapnya dengan
bersama-sama dengan kampungnya, maka balai kota Amoy harus berhati-hati sekali
dan berfikir panjang benar sebelumnya ia menjalankan kemauannya. Hasilnya
seperti disebutkan di atas, Tiong Huat berdiri terus dengan segala kemegahan
menentang pembaruan. Kecuali kalau Balai Kota Amoy sanggup memberi ganti yang besar
dan disetujui pula oleh yang punya rumah, tidak lain jalan baginya daripada
membiarkan usang berdiri terus di tengah-tengah kota yang baru.
Saya memperhatikan
becak dan segera memasuki kamar bawah yang gelap dan terus nai ke tingkat
ketiganya Tiong Huat. Tidak berapa lamanya saya menunggu, maka sahabat Ka-It,
Tan Ching Hua pulang. Saya ceritakan keadaan saya dan kami memutuskan supaya
selekas-lekasnya saya pergi ke desanya Ka-It ialah desa Iwe, berdekatan dengan
desa Sion-Ching yang saya diami lima tahun lalu. Yang menjadi persoalan ialah,
apakah saya akan mengambil jalan darat atau laut. Satu-satunya keberatan dan
keuntungan. Akhirnya diputuskan saya akan mengambil jalan darat. Perjalanan di
darat ini, seperti perjalanan di laut mengambil waktu 12 sampai 14 jam.
Selainnya ada penyeberangan laut yang mesti dilakukan antara pulau Amoy dengan
benua Tiongkok, maka perjalanan Amoy ke desa Iwe dilakukan dengan mobil bis.
Perjalanan itu melalui kota Chip-Bi, Tang-Ua, Behang, Swantaw, (?) Anhai, Siuk
Chai dan Kom Chi. Semuanya kota tersebut tidak berapa besar penduduknya kalau
dibandingkan dengan penduduk kota-kota besar di Tiongkok seperti Shanghai,
Hankow, Canton dll yang mempunyai penduduk dihitung dengan juga. Tetapi kalau
dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia, maka isinya kota-kota Tionghoa yang
tidak pernah kita pelajari di bangku sekolah kita itu, mengherankan. Kota
Yogyakarta di zaman Hindia Belanda baru mempunyai penduduk 200.000 lebih.
Tetapi penduduk Tiong-Ua lebih daripada 300.000 orang. Kota lain-lain
berpenduduk antara 100.000 dan 200.000 orang. Di antara Behang dan Swantow ada
satu desa dekat satu bukit itu, di mana orangnya ataupun mobil bis terpaksa
memperlambat perjalanannya, maka para penyamun ini sangat nekat, katanya mereka
itu adalah bekas serdadu.
Sebab jalan yang
saya lalui itu selalu saja diancam penyamun maka tentara ke-19 didatangkan ke
sana untuk melakukan pembersihan. Buat ini maka diadakan peraturan surat pas.
Barang siapa yang singgah bermalam di dalam satu tempat diwajibkan memberitahukan
hal ini lebih dahulu kepada kepala tempat itu. Tentara ke-19 berlaku streng,
keras sekali. Pada permulaan pembersihan dilakukan, maka banyak orang yang
lewat atau menumpang yang tidak mempunyai keterangan yang cukup ditembak mati
di tempat itu juga. Taktik yang dijalankan tentara ke-19 ialah taktik menakuti.
Memangnya kalau tidak begitu tak mungkin lekas bisa diadakan pembersihan itu.
Ada kalanya terjadi orang yang tidak bersalah, tetapi tidak mempunyai surat
keterangan, kaena memangnya tidak mengetahui perintah, atau orang dari desa
lain tidak mempunyai kenalan ditempatnya bermalam ditembak mati. Maklumlah
tentara ke-19 terdiri dari orang Kwantung yang tidak mengerti bahasa Tiongkok
(nasional). Sedangkan mereka biasanya harus pula berurusan dengan rakyat jelata
di Hokkian yang tidak mengerti sepatah katapun bahasa nasional (Kue-Yu).
Tidak bisa
disangkal, bahwa karena ada yang terbunuh dengan tidak bersalah itu,
kepopuleran tentara ke-19 menjadi sedikit kurang. Tetapi tidak pula bisa
disangkahl bahwa tindakan keras itu perlu dilakukan dan nyata pula diberikan
hasil yang memuaskan. Tentulah hasil yang kekal akan bisa didapat kalau
perekonomian betul-betul diperbaiki. Hal ini tidak mudah dilakukan.
Maka ketika kami
melalui soal la’ Nia’ yang kesohor jahat
tadi nyata kegelisahan penumpang. Apabila mobil bis mendaki bukit dengan
kecepatan berkurang, maka di pinggir jalan saya melihat satu dua orang duduk di
pinggir jalan. Orangnya kelihatan tegap dan pemberani, tetapi rupanya kecewa
dan marah karena tidak sanggup melakukan pekerjaannya. Antara Behang dan
Swatow, melalui Soa’l la’ Nia’ itu seorang anggota tentara ke-19 yang
bersenjata lengkap, menumpang mobil kami sebagai pengawal.
Di salah satu
stasiun di perjalanan maka mobil kami diperhentikan untuk ditukar. Di sini
diadakan penggeledahan barang dan badan yang teliti sekali. Saya sedikit
gelisah juga, karena tidak mempunyai surat apa-apa. Tetapi saya memakai pakaian
Tionghoa, ialah pakaian juba sensei. Pengalaman saya yang sudah-sudah dengan
orang Kwantung di Shanghai, memberi keyakinan kepada saya, bahwa tentara ke-19
ini akan membiarkan saya lalu zonder digeledah atau ditanyai apa-apa. Biasanya
kalau saya memasuki satu toko orang Kwantung di Shanghai, maka orangnya selalu
amat ramah tamah dan bertanyakan dari Kwantung bagian manakah saya berasal.
Dipandang oleh orang Kwantung di tengah-tengah orang Tionghoa-Utara yang besar
tinggi itu rupanya kita orang Indonesia yang berwarna coklat ini hampir sama
dengan orang Kwantung. Memang begitu! Semakin ke Selatan kita pergi semakin
banyak di antara orang Tionghoa terdapat mereka yang mirip perawakan dan
warnanya dengan orang Indonesia. Apalagi diantara orang petani yang jarang
sekali berwarna kuning, karena biasa bekerja di dalam panas.
Melihat saya yang
memakai jubah sensei (tengpau), maka
dengan senyum para pemeriksa tentara ke-19 mempersilahkan saya lewat. Tak ada
pertanyaan dan tak ada penggeledahan di koper ataupun badan saya.
Kira-kira jam
tujuh malam sampailah saya di desa Iwe, cuma 100-200 meter saja letaknya dari
pesisir lautan Pacific. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu, desa Iwe tidak
berapa jauhnya daripada desa Sion-Ching yang pernah saya diami.
Maksud semula di Amoy, saya kelak di Iwe akan
bermalam di rumah sekolah bersama dengan guru sekolah itu. Rumah sekolah itu
bukan rumah sekolah biasa, melainkan tempel/klenteng yang dipakai buat sekolah.
Gurunya didatangkan dari tempat lain, ialah dari kota Chuan Chu. Dia keluaran
sekolah Guru.
Tetapi sahabat
baru Tan Tien Jin yang baru datang dari Manila tidak membiarkan saya tinggal di
Kelenteng. Ibunya dan dia sendiri merasa malu, katanya kalau saya tidur di
Kelenteng. Tan Tien Jin tentulah keluarga pula dari keluarga Tan Ching Hua atau
Ka It, yang rumahnya berdekatan sekali. Ka It juga sudah mengusulkan supaya
tinggal di rumahnya saja, tetapi ada keberatannya Jin, karena yang tinggal di
rumah kebanyakan para wanita. Rumahnya Tien-Jin sudah mempersiapkan untuk saya
satu kamar, saya terima usul itu dengan segala senang hati dan banyak terima
kasih.
Baru saja dua tiga
malam saya berada di rumahnya Tien Jin, maka pada suatu hari hampir jam dua
malam saya dibangunkan oleh suara riuh rendah. Dari dua tiga rumah di desa Iwe
dibunyikan canang, (Jawa-Bende). Suara canang itu diperkuat pula dengan kaleng
yang dipukul di sana-sini. Suara yang datang dari canang dan kaleng dipukul itu
ditambah pula dengan suara manusia yang berteriak-teriak mengatakan to-hui,
bandit, datang menyerang rumah Ka-It dan rumah kami sudah lama diperhubungkan
dengan tali yang bisa menggerakkan kaleng berisi batu di kedua ujungnya.
Maksudnya ialah untuk saling memberi peringatan. Riuh sekali bunyinya kalen
berisi batu ini setelah talinya ditarik. Siapakah yang tidak bangun
mendengarkan suara canang kaleng dipukul, kaleng yang berisi batu yang
ditarik-tarik, campur aduk dengan suara manusia yang berteriak-teriak.
Saya bangun dan
keluar kamar menjumpai Tien-Jin yang sedang berkumpul dengan beberapa lelaki
lain di rumah kami. Mereka ini semuanya memegang senjata api. Saya segera
disuruh kembali tidur ke kamar. Permintaan saya supaya bisa ikut serta ditolak
mentah-mentah. Memangnya saya orang asing akan memberatkan siasat pembelaan
saja. Para to-hui tentulah pula akan menyangka, bahwa saya adalah seorang kaya
dari “Nanyang” yang harus dicabut bulunya habis-habis.
Tembak menembak
habis-habisan jarang dilakukan oleh penyerang dan yang diserang. Penyerangan
itu biasanya dihabiskan dengan perundingan dan konsesi yang besar atau kecil
menurut besar kecilnya kantong yang diserang dan kuat lemahnya pertahanan.
Demikianlah pula besok harinya saya mendengar kabar, bahwa penyerang malam hari
itu berakhir dengan perundingan disertai $ 3.000,- pembayaran “ongkosnya” para
to-hui. Harus dimengerti bahwa para to-hui datang dari tempat yang agak jauh
letaknya dan mempunyai tentara tak kurang daripada 100 orang banyaknya. Lagi
pula tak boleh dilupakan, bahwa pihak yang diserang ialah seorang kaya baru
datang dari Lam-Yu, dari Luzon (Manila). Kekayaan itu tak dapat disembunyikannya dengan
perundingan. Bukti yang nyata bagi para to-hui ialah si-terserang itu sedang
membuat rumah batu yang besar dan bagus. Kerugian jiwa tak ada di waktu itu!
Tetapi tuan rumah terpaksa mengubah rencana rumahnya; dikurangi besar dan
bagusnya.
Kemalangan ini
berlaku di dekat sekolah kelenteng yang hampir saja saya tinggali. Kata Guru
kepada saya, bahwa mujur juga saya tak jadi tinggal di sana, karena para to-hui
juga masuk ke dalam sekolah untuk memeriksa harta benda di sana. Setelah mereka
mengetahui bahwa yang tinggal di sana cuma seorang guru bantu dengan gaji $
20,- (dua puluh dollar) sebulan (ialah kalau uang sokongan datang dari Luzon)
maka para to-hui juga mengambil kesimpulan, manakah bisa mendapatkan telur
kucing. Tetapi akan lain halnya “kalau saya ada di sana”, kata sahabat guru.
Anehnya pula lebih
dari sepuluh pegawai desa Iwe, yang mengambil tempat di dalam kelenteng juga
tak membuat perlawanan apa-apa. Mereka adalah pemuda penduduk Iwe sendiri dan
dibayar dengan uang iuran. Mereka juga bersenjata lengkap. Alasan mereka ialah:
musuh jauh lebih besar, overmacht
(perkataan bahasa Belanda yang kita kenal ketika bertekuk lutut menghadapi
tentara Jepang). Sangat digembirakan, oleh mereka pengawal Iwe ini, bahwa
mereka kehilangan bedil sepucukpun. Tetapi mereka tidak menerangkan guna apa
bedil itu disimpan. Lagipula tidak mereka terangkan apakah mereka kehilangan
muka (be-bin-pe) apa tidak! Di
belakang hari saya tak pernah melihat pengawal lagi dalam kelenteng itu.
Mungkin para penduduk Iwe sudah berpendapat bahwa met atau zonder tentara
pengawal, keamanan atau bahaya buat Iwe “Sio-Siang”
ialah podo wae, sama saja.
Dalam hal ini saya
setuju dengan penduduk Iwe. Ingat saya di waktu itu pada Ki-Koq, ketika berada
di Sion-Ching. Sering dia mengejek-ejek serdadu yang penakut dengan perkataan potato-soldiers. Bukan potato kentang
biasa, melainkan ubi jalar. Ialah makanan rakyat di sana. Dalam bahasa Hokkian,
ejekan itu berbunyi: han-chu-ping, prajurit untuk mencari makan semata-mata.
Ubi jalar sudah
tak menjalar lagi, karena kami sudah berada dalam bulan Januari tahun 1933.
Tetapi saya kembali makan ubi terus-menerus, seperti tempo hari di desa
Sionching. Cuma kadang-kadang saja kami makan nasi. Chiak han chu, pe ta usi makan ubi, dengan kacang kedelai (bersama
kecap) inilah makanan rakyat di daerah Chuan-chu dan banyak yang dimakan di
musim dingin. Tetapi walaupun panen ubi itu dilakukan di bulan Juli-Agustus,
pada bulan Desember masih ada yang tinggal di dalam tanah. Orang Hokkian bisa
lama membiarkan ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi itu
terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi supaya jangan busuk atau
tumbuh. Biasanya ubi yang tidak dibikin gaplek itu dilumuri kapur dan disimpan
di tempat yang kering.
Yang mengherankan
saya ialah, ketika saya dalam tangkapan seperti di Manila dan Hongkong maka
saya tidak merasa sakit. Rupanya penyakit itu diam terpendam. Tetapi setelah
aman kembali maka sekonyong-konyong timbullah penyakit itu. Penyakit itu
memangnya tidak keras, tidak pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari.
Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit
saja salah “makan” (sedikit banyak daging), maka pencernaan dan tidur
terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali
kemasukan angin! Demikianlah kelemahan
badan itu terus-menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935.
Suntikan yang
bermacam-macam dari berbagai-bagai macam dokter Barat atau Timur yang mendapat
pendidikan Barat tak berapa memberi pertolongan. Di sini saya mau menerangkan
bahwa tidak mengurangkan penghargaan saya terhadap kedokteran Barat yang
berdasarkan science, ilmu bukti, bahwa tinggi sekali penghargaan saya terhadap
dukun dan jamu, obat-obatan Tionghoa. Banyak dipersoalkan kemanjuran obat kaum
dukun Tionghoa itu. Ada yang pro dan ada pula yang anti diantara para dokter
Barat terhadap jamu Indonesia. Tentang dari saya bolehlah saya katakan, bahwa
kelemahan badan itu disembuhkan oleh jamunya dukun Tionghoa! Obat yang saya
terima dari bermacam dokter dari berbagai bangsa di beberapa kota besar di Asia
tidak menyembuhkan. Baru di Iwe saya merasa pertama kali jamu bisa menguasai
kelemahan yang sudah bertahun-tahun. Artinya bisa makan sekedarnya gemuk
(daging) dengan tidak mengganggu pencernaan dan tidur yang mengakibatkan lesu
dan sakit kepala.
Dukun Tionghoa
yang tulen (ada pula yang palsu) tidak akan memberikan obat yang langsung untuk
cuci perut umpamanya. Dia akan memberikan obat yang tidak langsung ialah jamu
yang bisa memperkuat seluruh badan dan usus khususnya. Kalau badan sudah kuat
dan usus sudah jalan, maka kelak sendirinya makanan akan dicernakan.
Dukun Tionghoa
juga tahu artinya casctor-olie, tapi dia tidak menasehatkan memakainya kecuali
dalam keadaan luar biasa. Biasanya jamu itu dimasak bersama-sama dengan bahan
makanan yang mengandung khasiatl.
Di rumah Tien-Jin
ada seorang keponakannya yang kembali dari Manila pula sudah 2 tahun dia
tinggal di Iwe untuk berobat secara kuno. Dulunya dia sakit keras di Cebu
(Philipina) yang disangka tak akan bisa hidup lagi. Dia sakit comsumption,
tering, sakit rabu. Sampai beberapa malam dia harus dijaga oleh dua tiga orang
dokter. Apabila dia sedikit kuat, dia berangkat pulang ke Iwe walaupun dokter
tak mengizinkan. Di Iwe dia memakai jamu Tionghoa. Dia sudah memakan
bermacam-macam daun, buah dan urat kayu, memakan bebek dan penyu bercampur jamu
Tionghoa. Sekarang dia sudah kuat seperti sedia kala dan sudah sanggup bekerja
keras mencangkul dan memikul seperti seorang petani di Hokkian.
Kesehatannya itu dikembalikan oleh seorang
Sinsei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Iwe melalui desa So-lao
dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya namanya desa itu,
mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be, banyak cerita atau dongeng
tentang kemanjuran jamunya Sinsei di Chia-be. Nama penuhnya Sinsei itu saya
sudah lupa. Tetapi nama turunannya (Se’) saya masih ingat benar. Kami juga
tidak biasa menyebut nama penuhnya.
Kami biasa
memanggil dia: Sinsei Choa. Dan saya masih ingat benar nama Sinsei Choa dari
Chia-be.
Saya ingin berobat
kepada Sensei Choa. Tien-Jin pun sudi mengantarkan saya ke desa Chia-be.
Setelah memperlengkapi diri masing-masing dengan satu pistol maka pada suatu
hari berangkatlah kami menuju ke desa Chia-be. Kebetulan saja Sinsei Choa ada
di rumah.
Bukanlah adatnya
Sensei Choa: begitu tamu (pasien) datang, begitu pula menanyakan penyakitnya.
Kami lebih dahulu masuk ke kamar tamu. Di sini kami dijamu dengan teh atau air
panas. Mulailah percakapan tentang perkara yang menarik perhatian di waktu itu.
sendirinya percakapan itu akhirnya menyimpang kepada kedukunan dan obat-obatan.
Sensei Choa dengan gembira menceritakan bermacam-macam penyakit yang sudah
dilayaninya. Dia selalu siap sedia akan menceritakan sejarahnya kedukunan
Tionghoa. Tetapi seperti tiap-tiap dukun Tionghoa lainnya dia akan menyimpan
teguh rahasia jamu dan kedukunan yang dipusakakan oleh nenek moyangnya
kepadanya. Pula dia akan pesankan kepada anak cucunya supaya beberapa rahasia
tentang khasiat jamu, percampuran jamu dan cara
mengobati disimpan seerat-eratnya (rahasia). Tak boleh dibuka rahasia
itu kepada yang bukan turunannya. Demikialah kedudukan Tionghoa itu (kepintaran
khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh
tiap-tiap keluarga saja. Lenyaplah pula kedukunan itu bersama lenyapnya
keluarga itu. demikianlah paham umum tentang kedukunan Tionghoa. Tetapi umum
pula diketahui oleh rakyat jamu yang harus dipakai untuk mengobati sakit biasa
seperti pilek, pusing dsbnya.
Sensei tentulah
tidak terkecuali dalam hal ini. Dengan segala kehalusan diplomasi Tionghoa dia
akan menyingkiri menjawab pertanyaan yang agaknya berkenaan dengan rahasia
kedukunan. Dan dengan kehalusan Tionghoa pula seseorang tamu (pasien) akan
menyingkiri segala pertanyaan yang rasanya bersangkutan dengan rahasia
obat-obatan. Walaupun begitu masih banyak pengetahuan yang bisa diperoleh
dengan tanya jawab dan yang bisa dipakai untuk kesehatan kita. Rasa kemanusiaan
para dukun Tionghoa biasanya amat besar sekali.
Setelah sekian
lama bercakap-cakap maka oleh sensei Choa kami diajak turun ke kamar
pemeriksaan. Di sinilah pula Sensei Choa menyimpan bermacam-macam daun, urat,
buah-kayu, bunga dan bagian dari hewan yang dianggap mengandung zat sebagai
bahan jamu. Tidaklah pula ketinggalan satu neraca untuk menimbang beratnya
tiap-tiap macam jamu. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia.
Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang inilah yang sering
berbunyi keras di salah satu toko obat di kota-kota besar, seolah-olah untuk menunjukkan
bahwa toko ini atau itu dikunjungi tamu (pasien). Makin banyak berbunyi berarti
makin banyak pula langganannya. Tetapi semakin keras bunyinya tidak pula selalu
berarti bahwa toko obat itulah yang terbanyak mempunyai langganan. Toko obat
yang kurang laku belum tentu kurang keras bunyi lumpangnya. Di sinipun bisa
berlaku sesuatu pepatah: kaleng kosong keras bunyinya.
Sensei Choa tak
perlu membunyikan lumpangnya keras-keras. Dia tinggal di desa kecil saja.
Tetapi namanya sudah terkenal. Orang dari desa-desa lain datang sendiri ke
tempatnya meminta pertolongannya. Bukan pula di desa Chia-be saja dia
menjalankan prakteknya. Dia lama tinggal di Philipina dan cukup mendapatkan
hasil daripada pekerjaannya. Dia sanggup mendirikan rumah yang sedang besarnya buat
hari tuanya di desa ibu-bapaknya di Chia-be. Tamu yang datang di rumah seorang
dukun selainnya daripada bayaran obat, biasanya membayar $ 1,-. Boleh lebih dan
boleh pula kurang menurut penyakit dan kekuatan pundinya si sakit. Kalau lebih
kurang $ 3,- ialah berhubung dengan ongkos kendaraan (tandu atau becak).
Di kamar obat
Sensei Choa melakukan pemeriksaan yang terakhir. Sebenarnya dalam percakapan
tadi Sensei Choa sudah sedikit mendapat pemandangan tentang kesehatan saya.
Sekarang dia cuma tinggal memastikan penyakit saya dengan mengadakan beberapa
pertanyaan. Tentulah tidak dilupakan pemeriksaan pols (nadi tangan), kelopak mata, warna kuku, dan warna lidah.
Kemudian Sensei
Choa mengambil kertas Tionghoa yang memakai alamatnya. Dengan pensil dan tinta
Tionghoa dan mulailah dituliskan semua nama jamu yang harus dicampurkan. Pula
disebutkan berapa air yang perlu dipakai untuk memasak dan berapa pula mestinya
didapat sisa air masakan itu. Kalau saya tak salah, maka tak kurang dari 18
macam bahan yang dicampurkan. Ada bahan yang bisa didapat di Hokkian sendiri,
tetapi ada pula yang harus didatangkan dari Szuchuan, Mongolia dan Korea.
Sambil menghitung
nadi tadi, Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat “panas”, singku chin dia. Istilah ini acap kali
benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas itu ialah darah
yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa, maka “darah panas” itu
menyebabkan kurangnya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang
nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah
itu. Berapa cocoknya istilah ini dengan ilmu kedokteran modern, tidaklah
sanggup saya memerikannya.
Dalam usaha
“mendinginkan” darah itu, maka sendirinya kami sampai kepada persoalan makanan.
Sensei Choa menasehati saya Chiak-poo
(memakan yang mengandung zat kuat). Saya dinasehatkan memakan bebek (chiak-ok) yang dimasak bersama-sama
dengan obat. Enam ekor bebek harus dimakan, seekor seminggu. Jadi satu setengah
bulan berturut-turut. Kemudian baiklah pula dimakan penyu (chiak-pik), satu dua ekor. Penyu itu ialah penyu selokan di dekat
sawah. Makin tua penyunya makin baik. Buat bebek dan penyu Sensei Choa
menuliskan (resep) jamu yang berlain-lain pula.
Maka dengan
nasehat memakan bebek untuk memperkuat badan, perut dan syaraf, tibalah Sensei
Choa kepada riwayatnya ratusan, kalau tidak ribuan bebek yang dipelihara di
suatu paya yang sedikit jauh letaknya dari desa kami.
Kata sahibul
hikayat, pada suatu masa Hong-te yakni
Maharaja Langit, datang mengunjungi Chuan-Chu ibukota Hokkian melalui paya
tersebut. Setelah Hong-te memperhatikan paya itu, maka sekonyong-konyong
Baginda mendapat ilham dan berkata: “paya ini baik sekali dipakai buat
memelihara bebek hitam (oo-ak).
Dagingnya kelak akan besar khasiatnya (poo)
buat manusia.
Benar tidaknya
Maharaja Langit pernah melalui paya itu, dan pernah apa tidaknya oo-ak yang
dipelihara di paya dekat Chuan Chu itu mengandung “poo”, khasiat, tidak pula dapat saya putuskan secara ilmu modern.
Tetapi memangnya benar bahwa enam ekor bebek hitam dari paya dekat Chuan-Chu
itu banyak mengadakan perubahan dalam badan saya. Benarlah pula kebanyakan
obat-obatan Tionghoa itu banyak mengandung dongeng.
Tidak saja obat
itu didongengkan, tetapi juga cara (eksperimen) mendapatkan obat itu.
Sesungguhnya dongeng semacam itu sedap didengar oleh dan banyak memberi
kepercayaan kepada yang berobat.
Saya masih ingat
salah satu daripada dongeng, bagaimana dukun Tionghoa di zaman lampau
mendapatkan obat untuk sakit rabu. Anjing itu diberi makanan yang sudah dimamah
oleh si sakit rabu tadi. Anjing itu ditulari penyakit rabu. Si anjing yang
biasa mencari obat buat dirinya sendiri itu terus diikuti sampailah mereka
kepada sebuah kuburan.
Di sana anjing
tadi mendapatkan cendawan yang terus dimakannya. Cendawan itulah pula yang
dipakai oleh dukun tadi sebagai salah satu bahan mengobati penyakit rabu.
Sesudah diperiksa ternyatalah sudah, cendawan tadi tumbuh di tanah di depan
rabunya satu mayat yang sudah meninggal lantaran penyakit rabu.
Berapa benarnya
pengobatan semacam itu dan benar atau tidaknya pula cara mendapatkan obat
semacam itu cuma salah satu sepongan (echo)
dari experiment Barat modern, tentulah pula terserah kepada ahli obat dan ahli
sejarah saja. Tetapi memang lazim didengar semboyan kedukunan di Tiongkok: racun
lawan racun menjadi obat; sakit mata obatilah dengan mata; sakit jantung
obatilah dengan jantung (hewan) dan lain sebagainya.
Pemeriksaan
percakapan dan dongeng banyak mengambil waktu. Hari sudah pukul satu. Kami
minta izin kembali pulang. Sensei Choa tak mengizinkan demikian itu. “Makanlah
dahulu, sebab perjalanan agak jauh”, diusulkan oleh Sensei Choa. Kami terima
usul itu! Di belakang harinya saya sendiri sekali-dua pergi mengunjungi dukun
Tionghoa yang ramah tamah dan sangat simpati ini. wajah dan suaranya memberikan
banyak kepercayaan kepada yang sakit.
Di suatu desa
kecil di Tiongkok seperti Iwe, di musim dingin pula jadi yakni di bulan
Januari, dimana segala masyarakat yang segala asing itu, menambah kesunyian,
maka perawatan badan yang sudah banyak menderita dorongan alam, adalah satu
peristiwa yang sedikit memberi penghiburan. Saya dapat menyaksikan dan
mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam
yang sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang
saya terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok
saya sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa
sebagai bahan.
Sewaktu malam
sebelum tidur, kira-kira jam sepuluh datanglah periuk berisi masakan bebek ke
kamar saya. Sekali makan dihabiskan setengah bebek dan setengah daripada
kuahnya berisi sarinya jamu serta patinya daging dan sum-sumnya bebek.
Minyaknya bebek hitam itu adalah 3-4 mm tebalnya. Semuanya dimakan dan diminum
sepanas-panasnya. Dinasehatkan selalu, kalau sesudah makan haruslah tidur, Chiak pakun. Menurut teori “dukun” maka
sedang kita tidur, obat itu bergerak sepanjang pembuluh darah menambah darah
yang kurang dan membersihkan yang kotor. Chiak
pa kun, demikianlah syaratnya chiak
poo itu! Dalam satu setengah bulan itu maka dua belas kalilah saya jalankan
“chiak pa kun” itu. barulah saya
menyelenggarakan “chiak poo” itu
dengan “pek” (penyu) sebagai bahan. Sari
obat beserta patinya daging dan sum-sum “pek” masuk pula ke dalam badan.
Berbeda sekali
dengan dahulu, maka makan daging gemuk, dan sum-sum yang begitu banyak, sama
sekali tidak menimbulkan akibat seperti biasa lagi kepada saya. Tidak
tergganggu pencernaan dan tidak terganggu tidur. Bahkan, chiak pa kun itu memangnya chiak,
makan, pa, kenyang dan kun, tidur yang nyenyak. Zonder jamunya
sensei Choa daging dan minyaknya bebek hitam sebanyak itu pastilah akan
mengakibatkan terganggunya pencernaan dan tidur serta pusing kepala
berhari-hari! Tidaklah susah buat mempercayai, bahwa makanan yang kaya dengan
zat patri itu memberikan khasiatnya sepenuh-penuhnya. Terasalah dan ternyatalah
di sini, bahwa zat patri itu dimasukkan ke dalam badan kita dalam keadaan yang
sangat mudah dihancurkan. Jamu yang disangka menjadi alat bantu usus
menghancurkan makanan itu. Pada tingkat yang pertama, zat patri yang terdapat
pada bebek dan penyu itu dengan bantuan jamu memperkuat badan dan usus. Pada
tingkat yang kedua maka badan dan usus yang sudah lebih kuat itu memudahkan
dicernanya makanan. Tingkat kedua ini mulai saya peroleh di Iwe. Demikianlah
saya mendapatkan jalan buat meneruskan perbaikan kesehatan. Perlahan-lahan
kembalilah kesehatan itu sesudah hilang bertahun-tahun lamanya (th. 1925-1935).
Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak. Inilah rasanya pangkal
kesehatan.
Kesunyian desa Iwe
seperti di desa lain-lainnya di Tiongkok diselingi oleh keramaian pada
tiap-tiap tahun baru, oleh Chap-go-me,
perkawinan dan kematian. Tahun baru dan Chap-go-me itu dilakukan di seluruhnya
Tiongkok. Inilah hari besar nasional Tionghoa. Orang Tionghoa di seluruh negara
leluhurnyapun tidak ketinggalan merayakannya. Kita cukup mengenal di Indonesia,
karena keramaian itu dilakukan dengan terbuka. Kematian Tioghoa buat kita mau
tak mau terpaksa dimasukkan pada jenis keramaian juga. Bukan buat yang mendapat
kemalangan itu sendiri, tetapi buat para pengunjung. Bersamaan sedu-sedih serta
ratap tangisnya keluarga yang kematian kita menyaksikan bersamaan dengan
upacara penguburan dengan besar-besaran. Saya kenal di desa Iwe seorang
berpunya yang kematian bapak (angkat) untuk memperlihatkan terima kasihnya
kepada yang meninggal. Menghabiskan hampir semua hartanya untuk upacara
penguburan. Kadang-kadang mayat itu dibalsem dan tidak dikuburkan sampai
sebulan atau lebih. Hal ini acap kali terjadi di Hokkian, karena yang meninggal
mempunyai anak di Lam-Yu, yang ditunggu kedatangannya buat menyaksikan
penguburannya.
Yang hendak saya
uraikan sekedarnya di sini ialah peristiwa perkawinan. Persiapan dan upacara
perkawinan itu mengambil waktu yang lama dan memakan biaya yang besar. Yang
pertama ialah atas dasar paling kolot. Kedua atas cara paling modern. Ketiga
atas aturan di tengah-tengah yang dua itu. Saya cukup menyaksikan ketiga macam itu. menurut adat
kolot, maka mempelai dan anak dara satu sama lainnya tidak perlu kenal
mengenal. Para pengantin dipertemukan oleh kemauan ibu bapak kedua belah pihak
dengan perantaraan “minang”, seorang tengkulak yang biasanya perempuan. Yang
menjadi syarat penting buat ibu-bapaknya si Bujang ialah kekayaan, kecantikan,
kepatuhan dll, si gadis yang akan diterima di keluarganya buat selama-lamanya.
Buat ibu bapaknya si gadis syarat yang utama tentulah kekayaan dan kekuasaan
bekal menantunya, kemana gadisnya akan diserahkannya buat selama-lamanya. Tapo kya lau e, chawe kia, pa lang e.
(Anak lelaki kita yang punya, anak perempuan orang lain yang punya).
Ibu-bapak yang
kaya biasanya memakai lebih dari seorang “minang” (tengkulak). Terletak pada
“kebijaksanaan” minanglah banyak tergantung jaya atas gagahnya sesuatu
perkawinan. Tak sukar dimengerti bahwa tujuan yang pertama seorang minang ialah
supaya perkawinan berlangsung. Apabila berlangsung, maka ia mendapatkan yang dicarinya,
ialah uang sebagai upah.
Sudahlah tentu
seorang “minang” berusaha sekeras-kerasnya memuji bakal pengantin dan
keluarganya pengantin itu. oleh karena kepintarannya dan pengalamannya dalam
hal melayani langganannya, maka hidung mancung, serta hutang menjadi piutang;
yang miskin menjadi yang kaya. Banyak perkawinan yang lucu yang terjadi karena
usahanya para “minang”. Pernah lelaki yang tua bungkuk kawin dengan gadis yang
cantik molek, yang lumpuh kawin dengan yang buta. Memangnya yang menang dalam perkawinan
secara adat kolot itu biasanya minang yang cerdik licin. Perkawinan modern
disangka diakibatkan oleh modernisme yang bertiup ke Tiongkok sebagaian besar
dibawa motion picture, bioskop. Besar sekali pengaruhnya Clark Gable, Greta
Garbo, Dorothy Lamour dll, bintang Hollywood terutama diantara para pelajar dan
mahasiswa Tionghoa. Dasar perkawinan modern itu ialah sebaliknya daripada dasar
yang baru disebutkan di atas. Para pengantin tidak lagi mau menjadi objek
perkakas mati, para ibu bapak dengan “minangnya”, melainkan mau menjadi subyek,
menjadi seorang yang menentukan kesukaan diri sendiri. Perkawinan modern ini,
jadinya berdasarkan “saling mengakui”. Syukur kalau orang tuanya menyetujui
kalau tidak, perkawinan akan berlangsung zonder upacara yang lama dan mahal.
Mestinya
perkawinan semacam itu pun sebaiknya. Sebaiknya yang pertama ialah kalau kedua
belah pihak mempunyai watak yang isi mengisi, kedua belah pihak mempunyai cukup
tanggung jawab satu sama lainnya dan terutama kepada turunannya. Syarat yang
lain ialah kesanggupan mencari nafkah. Tetapi semua syarat tersebut tak dapat
dianggap cukup ada pada usianya pemuda-pemudi dalam Sturm und Drang periode, (usia bergelora) seperti terdapat pada
pemuda-pemudi pelajar sekolah menengah ataupun University. Banyak di antaranya
perkawinan atas dasar “saling mengakui” itu saya kenal berakhir dengan tragedi
kesedihan. Ada yang memukul istri mudanya, ada yang mempertaruh-kannya kepada
temannya setelah ia jemu, ada pula yang menceraikan bekas kekasihnya dengan anaknya
dan ada pula bahkan banyak “gadis” yang membuang atau membunuh anaknya.
Tetapi membantah
kemauan pemuda pemudi modern oleh ibu bapak kolot tak pula sedikit bahayanya di
Tiongkok modern. Sering kita membaca di sura kabar di kota besar, pemuda pemudi
ini melarikan diri, menggantung diri atau menerjunkan dir ke dalam air. Jalan
menengah ialah jalan di antara yang kolot dan paling modernpun tak selalu jaya.
Tetapi rupanya ada yang mempunyai tempat sendiri.
Inilah macamnya
perkawinan yang dilakukan di rumah Tien-Jin semasa saya berada di Iwe.
Pemuda (Tan) Hien-Tam sudah lama kenalan dengan
seorang pemudi. Hien-Tam ialah adiknya (Tan) Tien-Jin yang sudah kita kenal
dalam riwayat ini. Hien-Tam baru saja tamat Sekolah Menengah Dagang di satu
kota murid, dekat Amoy bernama Chip-Bi. Pemudi tadipun bersekolah di situ juga
ialah pada sekolah Guru Perempuan. Kabarnya pemudi tadi disekolahkan disana
oleh Tien-Jin sendiri. Di kota Chip-Bi, tempat lahirnya hartawan Tan Kah Kee,
maka Hien-Tam dan pemudinya mempunyai pergaulan yang merdeka. Tidak ada
barangkali di seluruhnya Tiongkok pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi yang
lebih umum, daripada Chip-Bi. Tetapi tak ada pula sekolah di Tiongkok yang
mempunyai tragedinya perkawinan berdasarkan “saling mengakui” daripada Chip-Bi.
Di masa kemajuannya maka Chip-Bi mempunyai lebih kurang 4000 murid, dari
Sekolah Frobel sampai ke Sekolah Menengah Tinggi. Sekolah Menengah itu terdiri
dari Sekolah Menengah Dagang, Perikanan, Guru, dan Umum. Semuanya murid tinggal
di asrama di kota Chip-bi pula. Keterusan Sekolah Menengah Chip-Bi ialah Amoy
University. Kedua perguruan ini dibiayai
oleh hartawan Tan Kah Kee, yang tinggal di Singapura.
Pergaulan merdeka
antara pemuda-pemudi pelajar berlaku dengan leluasa. Kesusasteraan modern yang mengalir
ke Chip-Bi dengan leluasanya; keleluasaan pemuda-pemudi pada hari liburan
mengunjungi lakon Hollywood di Amoy, lakonnya percintaan manusia tak bekerja,
yang tak tahu apa yang akan dipikulnya dengan uangnya dan apa yang bisa
diperbuat oleh uang atas dirinya dan last
but not least, uncritical mind dalam Sturm
und Drang Periode (semangat yang tidak kritis di masa pergolakan usia
pemuda)...........semuanya ini menjadi alat untuk mengubah perguruan di Chip-Bi
menjadi pergurauan. Tak sedikit pemuda-pemudi yang pada permulaan belajarnya
memberi pengharapan baik, di kemudian hari terombang-ambing diantara perguruan
dan pergurauan dan akhirnya terpelanting ke golongan kegagalan. Dalam salah
satu suratnya ke Chip-Bi, hartawan dermawan Tan Kah Kee pernah mengemukakan
kegagalan perguruan Chip-Bi (dengan Co-eds-nya, campuran laki perempuan) dan
menyesalkan uang sejumlah $ 16.000.000,- yang sudah dikeluarkannya semenjak
berdirinya.
Hien-Tam dan
pemudinya tidak dapat menghindarkan diri daripada penggeloraan modernisme di
seluruh dunia dan Tiongkok umumnya serta di Chip-Bi khususnya. Tetapi tidaklah
pula mereka melampaui garis yang dianggap larangan oleh masyarakat Tionghoa di
masa itu. mereka bersamaan pergi ke sekolah ke Chip-Bi yang setengah hari
perjalanan jauhnya dari desanya. Bersama-sama pula mereka pulang ke desanya di
waktu liburan. Lupa saya nama desanya pemudi itu, mungkin Lam-Oo. Saya namai
saja Lam-Oo. Letaknya tak jauh dari Kun-Chi.
Meskipun pergaulan
Hien-Tam dan pemudinya dipandang dari sudut masyarakat pemuda pemudi Chip-Bi
biasa saja, tetapi untuk desa Lam-Oo, perbuatan Hien-Tam dan pemudinya bersama
pergi ke sekolah dan bersama pulang ke desa dan berbicara pula satu sama
lainnya di rumah pemudi itu, sudah terlalu melanggar adat istiadat walaupun semenjak
beberapa lama mereka sudah bertunangan. Memang bilakah di seluruh sejarahnya
desa Lam-Oo, pernah bujang gadis bertunangan, bersama pergi jauh dan bersama
pulang ke desa dan bercakap-cakap pula satu sama lainnya di rumah bakal
mertuanya? Ini terlalu! Pernah Hien-Tam di waktu liburan datang dari Iwe ke
Lam-Oo untuk mengunjungi bakal tunangannya diancam oleh penduduk Lam-Oo buat
diserobot. Hien-Tam tidak mengindahkan ancaman itu. Dia pergi juga ke sana
dengan bersenjata. Sampai waktu itu Hien-Tam masih selamat. Malah pertunangan
akan disudahi dengan perkawinan.
Proses perkawinan
semacam inipun ialah yang bukan lagi cara kolot dan tidak pula secara ultra
modern ini masih mengambil banyak waktu dan banyak ongkos.
Saling hadiah
menghadiahkan barang yang ditetapkan adat ratusan tahun harus dilakukan. Bakal
istri harus dibelikan sepotong pakaian yang baru yang cocok harganya dengan
standing (kedudukan) bakal suami dalam masyarakat. Mas kawin tidak pula boleh
dilupakan. Banyaknya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak. Tidak
sedikit waktu yang terpakai buat “perundingan” menetapkan banyaknya mas kawin
itu. Akhirnya dari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga (Tan dan
Go?), malah oleh kedua desa yang akan dirapatkan dengan perkawinan sudah tiba.
Kedua pengantin sudah bersiap menanti dengan pakaian yang sebagus-bagusnya.
Hien-Tam sebagai pemuda modern memakai pakaian Eropa tulen. Cuma sedikit
keaslian yang terlihat pada bakal istrinya, yang biasanya berpakaian modern
pula. Hien-Tam menunggu di Iwe dan bakal istrinya akan datang dari desa Lam-Oo.
Tien-Jin dan istri, dua lelaki lain dalam rumah dengan istri, ibu Tien-Jin dan
seorang perempuan muda lagi, beberapa anak, dan jangan lupa saya sendiri
sebagai anggota baru rumahnya orang tua Tan Pek Lam (tuan rumah sebenarnya)
siap pula berpakaian untuk menunggu datangnya anggota baru dari desa Lam-Oo.
Banyak pula penduduk Iwe tua muda, terutama kanak-kanak keluar rumah, ikut
menyaksikan perkawinan dari anggota keluarga yang rumahnya terbesar buat seluruhnya
desa Iwe.
Matahari sudah
sedikit melampaui puncaknya, tetapi pengantin dari Lam-Oo belum juga kelihatan.
Akhirnya terdengarlah bunyi canang rebab dan suling sayup-sayup sekali dari
balik bukit mendekati Iwe. Bunyi yang pertama kedengaran itu disambut oleh para
penunggu dengan suara riuh gembira lae-la,
lae-la, sudah tiba, sudah tiba. Suara orkes Tionghoa itu makin lama makin
keras seperti pula suaranya para penyambut. Setelah sampai dihadapan rumah maka
tandu pengangkat pengantin dan dayang-dayang yang mengantarkan, diperhentikan.
Maka keluarlah anak dara dari tandunya disambut oleh mempelai, diantara para
keluarga dan para penonton dan dipapah masuk rumah dan kamar pengantin yang
sudah lama disiapkan dan diperhiasi. Hari itu berakhir dengan selamatan seperti
yang kita kenal juga di Indonesia. Satu dua malam terus-menerus dipermainkan
wayang Tionghoa di depan rumah. Permainan ini tentulah menarik perhatian hampir
seluruhnya desa Iwe beserta banyak pula tamu di sekitarnya desa Iwe.
Caranya pengantin
baru di desa yang baru pula baginya, diperkenalkan dengan para penduduk di desa
Iwe dan desa sekitarnya, amat menarik hati. Bermalam-malam lamanya pintu dibuka
untuk dibuka menunggu rombongan tamu, ialah kaum lelaki yang datang dari
mana-mana tempat pada malam hari untuk memperkenalkan dirinya dengan jalan
penggodaan. Sebelum mereka masuk, maka mereka membunyikan mercon di halaman
rumah. Kemudian kedua pengantin yang duduk berpakaian bagus, diajak berbuat
begini begitu. Ada-ada saja yang dipikirkan oleh para tamu untuk menguji dan
mengejutkan anak dara. Umpamanya mempelai disuruh menyajikan kue kepada anak
daranya dan harus dimakan oleh anak daranya. Tetapi sampai di mulut kue itu
meletus, karena berisi mercon. Mempelai dan anak dara tidak boleh marah. Tetapi
mempelai yang bijaksana dapat saja akal buat menghindarkan yang keterlaluan dan
menjaga supaya istri mudanya jangan terkejut. Penggodaan ini pada satu dua
peristiwa dalam sejarahnya ada dua juga yang melanggar batas. Seperti terjadi
pada perpeloncoan (ontgroening) para
mahasiswa baru. Tetapi biasanya berlaku dengan menggembirakan dan bisa
memperkenalkan semua pihak dengan cara lekas dan praktis.
Buat mempelai dan
anak dara secara kolot perpeloncoan sepasang merpati muda itu tentulah ada juga
gunanya. Mereka sebelum kawin mungkin sama sekali belum kenal-mengenal.
Perkenalan laki-istri dan perkenalan anak dara dengan sekitar baru baik juga
dilakukan dengan banyak kelucuan dan kegembiraan. Tetapi antara Hien-Tam dan
isterinya perkenalan itu sudah lama berlaku.
Adalagi peristiwa
desa yang setiap tahun berlaku yang baik juga sedikit diceritakan disini,
sekedar untuk menambah pengetahuan kita tentang adat istiadatnya satu bangsa
besar di dunia ini yang mempunyai anggota terbilang jutaan di tengah-tengah
masyarakat seluruhnya Indonesia.
Kita kenal bangsa
Tionghoa sebagai penganut agama Budha seperti leluhur kita di zaman Sriwijaya.
Kita boleh pula saksikan berapa eratnya perhubungan Budhisme Tiongkok itu
dengan Indonesia, bahkan tak kurang eratnya dengan perhubungan Tionghoa dengan
Hindustan. Bukankah wali pertama Budhisme Tionghoa itu seperti para Rahib,
I-Ching, Tah-Hien dan Chuan-Cheng bertahun-tahun lamanya tinggal di Sriwijaya
mempelajari bahasa Sansekerta dan agama Budha?
Tetapi selainnya
persamaan dan perhubungan bangsa Indonesia dengan Tionghoa dalam keagamaan di
zaman silam itu ada lagi persamaan lain dalam pandangan hidup sesudah mati;
ialah pemujaan arwah leluhur. Tidak bisa disangkal, bahwa sebelumnya Islam dan
Hindustan masuk ke masyarakat kita, maka leluhur bangsa Indonesia rupanya
memusatkan pemujaannya pada arwah leluhurnya. Wayang adalah peninggalan leluhur
kita sebagai alat pemujaan itu.
Selainnya daripada
memuja arcanya Budha di dalam temple yang tersohor di gunung dan bukit di
seluruhnya Tiongkok, maka pemujaan arwah leluhur itu tidaklah kurang artinya
buat hidupnya di Tionghoa. Berhubung dengan itu maka kuburan itu adalah salah
satu tempat yang amat dipentingkan. Di sekitar kuburan inilah disangka arwah
leluhur itu bersemayam. Kepercayaan kepada “Hong
Shui” adalah umum dan dalam sekali terpendam di kebanyakan sanubari
Tionghoa, kaum terpelajarpun tidak terkecualinya. Menurut kepercayaan kepada
Hong-Shui itu, maka tanah “baik” yang didapat untuk kuburan seseorang yang
meninggal itu boleh mengakibatkan kebahagiaan kepada turunan. Sebaliknya pula
ada kepercayaan, bahwa tulang belulang leluhurnya seseorang besar bisa didapat
dan bersama-sama dengan tulang-belulangan juga dilemparkan ke laut, maka
sekonyong-konyong akan hilanglah kebahagiaan orang besar tadi. Dia tiba-tiba
akan ditimpa kemalangan.
Apa defenisinya
Hong-Shui itu susahlah didapat. Oleh beberapa intellect, Hong-Shui itu dianggap
sebagai “listrik” yang terus memancar kepada jiwa turunannya. Bagaimananya
tentulah tak dapat dipastikan. Buat rakyat biasa, Hong-Sui itu berarti “kuburan
di tanah bahagia (dingin)”. Bagaimana juga, leluhuru itu masih bersemayam di
tanahnya bumi ini. Sebab itulah kuburan itu penting sekali di mata rakyat
Tionghoa. (Di Tiongkok Utara, Hong-Shui itu, ialah semangat (spirit) angin dan
air, yang harus dipuja).
Sekali setahun
maka kuburan itu dibersihkan dengan upacara dan bakti. Di musim bunga, kuntum
bunga dan daun mulai keluar, dan alam seluruhnya bangun daripada tidurnya di
musim dingin, maka seluruhnya keluarga tua muda, lelaki-perempuan, perbaikan
bagus, dipimpin oleh lelaki tertua berangkat dari kuburan ke kuburan, mengenali
dan membersihkan kuburan leluhur, serta menyelenggarakan upacara pujaan dan
akhirnya memberi selamat tinggal kepada arwahnya leluhur itu dengan dentuman
bedil berkali-kali. Tak ada kuburan dan sejarah arwahnya yang terkubur itu yang
dilupakakan. Bukankah tak ada bangsa di dunia ini yang lebih mengenal dan
berterima kasih kepada leluhurnya itu?
Terutama pula
karena upacara pemujaan itu dilakukan oleh anak lelakinya almarhum yang tertua,
maka malanglah seorang bapak yang tidak mempunyai anak lelaki. Bukan pula
berarti, bahwa perempuan Tionghoa menurut adat Tionghoa asli tidak berhak
apa-apa seperti biasa dikatakan orang! Di semua keluarga di desa-desa yang saya
kunjungi besar sekali kekuasaan dan pengaruh perempuan. Ibu Ki-koq di desa
Sionching dan ibu Tien-Jin kedua berlaku sebagai Raja de facto di dalam
keluarganya, terutama dalam urusan harta benda. Bukankah dimana-mana dan dalam
segala sumber pencarian, seperti pertanian dan perdagangan, Tionghoa-istri itu
rajin dan taat membantu suaminya? Pengetahuan dan pengalaman yang banyak itu
tak bisa diabaikan begitu saja, apalagi di masa susah. Akhirnya setelah
tiga-empat bulan saya berobat, beristirahat dan menambah pengetahuan masyarakat
Tionghoa desa, maka datanglah waktunya meninggalkan keluarga yang baik budi
itu. Kesehatan saya sudah mendapatkan kepastian buat dilanjutkan. Saya
mendapatkan rahasia caranya hidup; makanan yang baik buat saya, apa yang tidak,
bagaimana memasaknya, dsb. Obat m ana, dengan bahan apa yang baik saya
selenggarakan dari waktu ke waktu untuk memperkuat badan yang banyak menderita
itu. Perbandingan gerak badan dan tidur tidak pula boleh dilupakan. Iwe dengan
laut dan pesisirnya, ladang dan bukit-bukitnya banyak sekali mengambil bagian
dalam pengembalian kesehatan saya itu. Tetapi walaupun begitu saya harus
meninggalkan desa ini, karena hampir semuanya para lelaki dalam keluarga Tan,
akan meninggalkan desanya. Tien Jien, baru kembali ke Philipina. Hien-Tam pun
dengan istrinya akan kembali ke Philipina. Yang tinggal cuma orang tua Tan
beberapa perempuan muda, penghuni (penjaga) rumah.
Tibalah sudah
waktunya untuk berangkat! Semua keluarga tua-muda diketahui oleh ibunya Tien
Jin dengan para istri lain-lainnya beserta anak-anak keluar rumah untuk
mengantarkan. Tak ada bedanya dengan peristiwa memberi selamat jalan kepada
keluarga sendiri. Mungkin berlebihan, karena kami kedua belah pihak banyak
membuktikan perasaan terharu dan iba berpisah. Oleh beberapa anggota saya sudah
dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Buat mereka perginya, Tien Jin ialah
pergi untuk mencari nafkah ke tempat yang tertentu atas pencarian hidup yang
sudah tetap, seperti di Philipina. Mereka tahu saya tidak mempunyai pencarian
yang pasti itu dan tempat keluarga yang dapat ditetapi. Mereka tahu, bahwa saya
seorang dicari, dikejar buat ditangkap dimana saja berada. Sudah dipastikan
kepada saya, oleh salah seorang anggota keluarga, bahwa sesudah tiga tahun,
saya boleh kembali ke Iwe untuk mendiami sebuah kamar sampai hari terakhir yang
dimaksudkan ialah rupanya kamar orang tua Tan, yang sudah amat tua dan selalu
sakit saja itu.
Beratlah hati
meninggalkan keluarga baru ini. apabila saya mendaki bukit meninggalkan Iwe,
menoleh ke pesisir dengan pasir putih dan air tenangnya, ke bukit dan ladang ke
kiri-kanan yang saya kenal baik dan menoleh ke belakang, ke rumah dan keluarga
yang saya anggap tak asing lagi, maka ada juga sentimen, perasaan tersangkut,
timbul di dalam dada. Tetapi perjalanan mesti terus, terus entah ke mana. Saya
belum merasa cukup sehat buat tinggal di dalam kota, dengan keramaian serta
hawa kotanya seperti Amoy.
Saya merasa masih
perlu memperkuatkan diri di tempat yang berhawa segar. Hien-Tam-lah pula yang
memperkenalkan saya kepada para temannya Kota-Murid, di Chip-Bi. Di sini saya
mendapat menyewa kamar pada rumahnya seorang guru Sekolah Menengah. Saya bisa
hidup dengan sederhana sambil menyelenggarakan makanan saya sendiri. Di samping
itu dapat pula saya berkenalan dengan beberapa para pemuda pemudi yang datang
dari semua jurusan di Lam-Yu, Selatan. Perkenalan itu seperti dimana-mana saja,
saya harapkan buat kemanfaatannya kebangunan Asia seluruhnya.
Yang tidak boleh
saya lupakan ialah sahabat lama yang tinggal di Amoy. Tan Ching Hua dipanggil
Ka-It yang diam di gang sempit gelap, di jalan Ang Pun Poo, di rumah Tionghuat.
Besar gelora
hidup, Tionghoa biasa, bekas opsir dan bekas anggota Kuomintang ini. belum
terputus perhubungan saya dengan Tionghoa ini. Pada suatu hari, ketika saya
masuk ke rumah Tionghuat yang gelap di siang hari itu, maka dari atas, tingkat
pertama, saya mendengar suara: Ka-It bo
ti-e (Ka-It tak dirumah) suara itu datangnya dari penjaga rumah.
Saya terus naik ke
tingkat pertama buat bertanyakan kemana perginya. Sedang kami bertanya jawab,
datanglah seorang penjaga lain dari tingkat kedua, menyuruh saya masuk ke
kamarnya Ka-It, di tingkat kedua itu.
Saya terkejut dan
sedih melihat air mukanya Ka-It. Dia sedang memegang tasbih, melakukan sembahyang
secara agama Budha. Kitab Sucinya sedang terbuka. Rambutnya dicukur seperti
rahib. Diambilnya gambar istrinya, ketika mudanya, yang baru saja meninggal.
Diperlihatkannya gambar itu kepada saya dengan perkataan “lihatlah rupanya
ketika saya baru mengenal dia”. Memang selama saya mengenal istrinya yang
meninggal itu, istrinya itu selalu sakit-sakit saja, berlainan sekali rupanya
dengan gambarnya. Tidak saja kematian istri itu yang memutus asakan Ka-It.
Urusan yang lain ialah percekcokan perkara pusaka dengan saudara tua lelaki dan
dan istrinya. Ka-It cuma mewarisi rumah tua, sedang saudara tuanya mengambil
semua uang yang ditinggalkan. Apakah yang akan dibikin dengan Tionghuat, rumah
tua dan tak dengan uang sepeserpun? Kematian istri dan kezaliman yang
dirasainya itulah yang mendesak Ka-It ke pinggir jurang hidup.
Semua kemalangan
berupa “jatuh dihimpit tangga” itu terjadi, maka Ka-It memang memperlihatkan
kecondongannya hati kepada mistik Budhisme. Saya sering diajak ke rumah
kelenteng di atas bukit, dekat kota Amoy, buat berkenalan dan makan
bersama-sama dengan para rahib. Ka-It mengatakan kepada saya, bahwa dia ingin
masuk ke kelenteng buat menjadi murid rahib. Kalau kelak sudah diizinkan dia
akan meneruskan hidup rahib itu pada suatu kelenteng yang mahsyhur dekat
Shanghai. Ka-It mengajak saya pergi ke Shanghai.
Biarlah saya
tinggal di sana bersama dengan dia, katanya. Tak ada orang asing akan tahu dan
akan mengganggu, katanya pula karena letaknya kelenteng itu amat terpencil.
Saya tak suka
membantah sesuatu kepercayaan orang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Saya
berjanji akan sering menjumpainya di kelenteng dekat Amoy itu. Saya
menasehatkan baiklah coba dahulu menjadi murid. Janganlah berlaku tergesa-gesa,
sebab amat berat ujian sebelum menjadi rahib selama-lamanya dan meninggalkan
masyarakat biasa sampai nafas terakhir.
Ketika saya turun
rumah maka di tingkat pertama oleh penjaga tadi diceritakan kepada saya, bahwa
sudah sebulan lamanya, Ka-It tidak mau menerima seorang juapun, baik sahabat yang
sekarib-karibnya ataupun keluarganya sendiri. Dia mau memisahkan diri sama
sekali dari masyarakat yang bengis ini. Sudah berhari-hari dia terus menerus
mengaji, sembahyang dan tafakur. Penjaga meminta maaf kepada saya karena
melarang saya naik ke atas menjumpai Ka-It pula, saya boleh sewaktu-waktu
menjumpai dia, katanya pula.
Orang persalahkan
Ka-It, karena pemabuk sampai memukul orang, pemarah, boros dan beristri dua.
Memang pemboros, terutama kepada temannya adalah sifat Ka-It, yang banyak
merugikan dalam masyarakat persaingan hebat seperti Tiongkok. Tak banyak
pengharapan bagi seseorang pemboros akan menjadi kaya. Tetapi berapa banyakkah
di Tiongkok, terutama di bandar-bandar perjanjian, Tionghoa sedikit mampu, yang
tidak peminum dan tidak beristri dua? Malah “kesalahan” seperti itu boleh
ditambah dengan tambahan “istri” lebih banyak lagi daripada dia dan kebiasaan
mengisap madat. Semuanya hanya dibatasi oleh kemampuan saja, mereka yang
menuduhkan semua “kesalahan” yang menyebabkan Ka-It tak menerima pusaka yang
diharapkannya itu sebenarnya bukanlah karena keborosannya Ka-It, melainkan
keinginan biasa diantara paraa warisan masing-masingnya mau menerima pusaka itu
lebih banyak daripada yang lain. Bagaimanapun juga, terhadap saya sendiri,
Ka-It dalam kesulitan saya, berlaku seperti manusia yang jujur kepada paham
persahabatan dan kepada agamanya. Selainnya daripada contoh yang sudah-sudah
kelak akan saya selipkan lagi satu dua contoh yang lain-lain.
Banyak juga
tambahnya pengalaman saya sebagai revolusioner diantara para pelajar Chip-Bi,
yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentang cara dan hasilnya
pekerjaan saya dipandang dari jurusan proganda itu bukanlah masanya buat
ditulisakan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum imperialis
internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa yang sudah
saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada siapapun juga yang
berhak menuntut tanggung jawab itu. baiklah hal ini saya peringatkan kepada
para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imperialis
internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan
komplotan anti imperialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.
Beralasan atas dua
perkara yang penting maka pada permulaan tahun 1936, saya meninggalkan desa di
benua Tiongkok dan pindah ke kota di pulau Amoy. Pertama sekali, kesehatan saya
masih harus berjaga-jaga. Jikalau tidak mendapatkan hawa seperti di Iwe dan
Chip-Bi dan tidak pula mendapatkan jamu dan nasehat yang berharga dari Sensei
Choa, maka barangkali kesehatan itu akan terus menerus merosot saja, apalagi
kalau terpaksa tinggal di satu kota Tionghoa.
Kedua, sesudahnya
tangkapan Hongkong, maka perhubungan saya dengan Philipina terputus sama
sekali. Mungkin se kali para Conspirators interansional, sesudah Inggris
merampas surat saya di Hongkong, berhasil memutuskan perhubungan itu. dengan
putusnya perhubungan saya dengan Philipina itu, maka hilanglah pula
sumber-sumber penghidupan yang utama, ialah pekerjaan saya sebagai koresponden
dari persurat kabaran di Philipina.
Dengan kehilangan
sumber penghidupan timbullah pula, keperluan buat mencari sumber penghidupan
yang lain. Diam di desa memangnya tidak memerlukan ongkos yang besar, tetapi
sesudah sekian lama, maka uang yang ada pada saya mulai menjelang sen yang
terakhir.
Tetapi dengan
kesehatan kembali baik, maka optimisme juga kembali. Dengan optimisme serta
kesehatan yang baik, di kota seperti Amoy pun tentu ada lubang pencaharian yang
halal dan bermanfaat.
Sudah lama saya
pelajari dari dekat tingkah lakunya dan cita-citanya pelajar Tionghoa. Mereka
umumnya pecinta bangsa dan tanah airnya dan umumnya suka mempelajari semua ilmu
pengetahuan, ilmu tepat (exact-science) atau ilmu kesusasteraan. Merekapun
dengan segala patriotismenya dan kebangsaan dan kebudayaannya insaf benar akan
kekurangan negaranya.
Mereka tertarik
kepada pengetahuan (science), teknik dan kesusasteraan asing. Di luar kegiatan
membuat propaganda, dan demonstrasi anti imperialisme, pelajar Tionghoa juga
ingin memakai waktunya untuk membaca buku dalam bahasa asing.
Dalam bahasa
Inggrislah kebanyakan tertulis buku asing yang masuk ke Tiongkok atau yang
dicetak oleh percetakan Tionghoa sendiri. Bahasa Inggrislah pula diantara semua
bahasa asing yang amat diutamakan di Tiongkok. Bahasa Inggris termasuk
“important subject” (pelajaran penting). Bahasa Inggris juga termasuk “heavy subject” (pelajaran sukar) seperti
pelajaran ilmu tepat dan bahasa Tionghoa sendiri. Sebagai pelajaran penting dan
sukar, maka bahasa Inggris seperti pelajaran penting dan sukar yang lain-lain
diajarkan pada waktu pagi hari, di masa otak masih segar bugar.
Tetapi pemerintah
nasional Tiongkok dengan bahasa Inggrisnya tidaklah meng-Inggris-kan, ialah
menukar bahasa Tionghoa menjadi Inggris gadungan seperti pemerintah Hindia
Belanda dengan bahasa Belandanya mencetak Belandist, Belanda gadungan, ataupun
pemerintah Amerika di Philipina mencetak American gadungan. Murid Tionghoa
dididik menjadi Tionghoa patriot. Bahasa Inggris dipakai untuk reading knowledge, untuk pandai membaca
saja. Sudahlah cukup kalau murid itu bisa memahamkan isi buku ilmu dalam bahasa
Inggris. Kebanyakan buku matematika dan ilmu alam dll. Yang dipakai di sekolah
menengah tinggi dan sekolah tinggi ialah buku dalam bahasa Inggris. Walaupun
bahasa Inggris itu banyak diajarkan di sekolah Tionghoa, dan walaupun umumnya
murid Tionghoa mudah memahamkan isi buku seperti tersebut diatas, maka umumnya
mereka tidak bisa berbicara, susah “menangkap” pembicaraan Inggrisnya orang
yang dipakai oleh surat kabar Inggris. Banyak murid sekolah Tionghoa yang ingin
mempelajari berbicara Inggris dan mempelajari Inggrisnya surat kabar.
Disinilah luas
sekali lapangan buat saya: mengadakan kursus buat melatih murid sekolah dalam
percakapan dan menambah yang kurang dalam hal ilmu saraf. Selainnya daripada
bahasa Inggris adapula mahasiswa yang memerlukan latihan bahasa Jerman, ialah
mereka yang ingin meneruskan sekolah ke Jermania. Akhirnya adapula diantara
mereka yang berhubungan dengan Indonesia yang ingin mempelajari bahasa
Indonesia dan bahasa Belanda. Demikianlah timbul maksud saya hendak mendirikan
“Foreign Languages School” (kursus buat beberapa bahasa asing). Baru saja saya
membicarakan hal ini dengan beberapa teman, dan baru saja saya menduduki sebuah
kamar kecil di kota Amoy, datanglah kesulitan baru.
Pada permulaan
tahun 1936, pemerintah pusat Tiongkok mulai aktif melawan Agresi Jepang. Di
Amoy yang dekat letaknya dari Taiwan, jajahan Jepang, banyak sekali terdapat
orang Taiwan. Mereka ini sebenarnya berasal dari Hokkian dan masih berbahasa
Hokkian. Tetapi di Amoy dengan perlindungan bendera Jepang mereka berbuat
semau-maunya terhadap bangsa Tionghoa Hokkian ialah bangsa mereka sendiri.
Orang Taiwan-lah di Amoy yang menguasai perusahaan pemadatan, perjudian, dan
pelacuran. Pemerintah pusat Tiongkok sudah mulai dengan sungguh hati membasmi
semua penyakit masyarakat Tiongkok ini. Tetapi selalu terantuk (tertumbuk)
kepada bendera Hinomaru. Pemerintah Tiongkok walaupun dengan alasan cukup dan
sah tidak berhak menangkap dan mengadili penjahat atau seorang pelanggar Jepang
atau kaki tangannya, orang Taiwan. Buat menangkap penjudi Taiwan umpamanya,
Pemerintah Tiongkok di Amoy harus memberitahukan hal itu lebih dahulu kepada
konsul Jepang di Kulangsu. Biasanya si-penjudi sudah diperingati dan sudah
tidak ada lagi ketika mau ditangkap, kalau benar-benar mau ditangkap. Tetapi
selainnya perbuatan busuk tersebut diatas, orang Taiwan pada tahun 1936 itu
semakin giat melakukan spionage. Terhadap spionage ini pemerintah Amoy
mengadakan pembersihan di daerahnya. Barang siapa orang asing yang tidak
mempunyai surat-pas atau tak mempunyai wakil negara asing yang melindunginya
tidak dibolehkan tinggal di Amoy, bagian Tionghoa. Barang siapa tua
surat-pasnya disuruh diperbaharui.
Pemuda polisi
Tionghoa yang baru tamat latihan istimewa berkeliling dari rumah ke rumah untuk
mengadakan penyelidikan. Mereka menyelidik ini sampai juga ke kamar saya.
Kepada saya ditanyakan, hal ihwal, surat-pas sebelumnya saya menceritakan hal
ihwal surat pas ini selanjutnya, perlu saya sedikit menyimpang kembali kepada
sahabat saya Ka-It. Dua bulan lebih dia menjalankan kewajibannya sebagai murid
rahib di salah satu temple di bukit dekat kota Amoy. Saya pernah juga pergi
mengunjungi ke tempat perpisahan itu. Pada hari permulaan nampak benar akibat
penderitaan batin yang terbayang pada mukanya. Tetapi pada ribut topan
sanubari, sebagai akibatnya kehilangan kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai
balsem pada luka yang dalam. Manusia akan tenggelam saja dalam duka cita
jikalau jurang dalam diantara duka cita dengan kegembiraan hidup itu tidak
dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun perlahan-lahan.
Setelah lebih
kurang tiga bulan lamanya dia berada di kelenteng, maka Ka-It kembali ke rumah
usang Tionghoa buat meneruskan pencarian untuk diri dan keluarganya di Iwe yang
masih membutuhkan pertolongannya. Buat mereka yang kembali dari Philipina ke
kampungnya dan kembali dari desanya di distrik Chuan-Chu ke Philipina rumah
penginapan Tionghuat adalah satu bantuan yang besar yang mereka sudah kenal
bertahun-tahun. Mereka yang tak berpunya sering mendapat bantuan (pinjaman)
dari Tionghuat yang dibayar kembali kalau sanggup pula membayarnya. Tionghuat
berlaku lebih kurang sebagai Balai Desa. Belum lama lagi Ka-It membelakangi
kesedihan hatinya datanglah pula saya dengan persoalan baru. Saya ceritakan
kepadanya tindakan baru dari polisi Amoy dan kemungkinan bahwa juga saya akan
diperiksa. Segera diberikannya kepada saya surat pas dia sendiri yang
diperolehnya dari pemerintah Amerika di Manila sebelum kembali ke Amoy. Surat
pas itu sebenarnya sudah tua (verjaard)
tetapi saya kira sebagai tanda akan boleh juga saya pakai, asal saja gambarnya
Ka-It bisa ditukarkan dengan gambar saya sendiri. Penukaran itu buat saya bukanlah
satu perkara yang sulit, saya sendiri yang “menyelenggarakannya”.
Dengan surat pas
lama inilah saya jawab pertanyaan para pemuka polisi ketika mereka sampai di
kamar saya. Tetapi mereka tidak puas dengan surat pas yang sudah tua itu.
Mereka mengusulkan supaya saya pergi ke konsul Amerika di Kulangsu buat
“membaharui”. Tentulah ini tidak bisa saya jalankan. Terlampau banyak
resikonya. Kepada pemuda polisi ini tentulah pula tidak bisa dikatakan dengan
terang-terangan siapa yang saya dan darimana saya sebenarnya datang. Tetapi
pemuda polisi memberi waktu beberapa hari lamanya buat mengurus perkara itu.
Seperti tersebut
di atas tadi Ka-It sudah kembali ke tempatnya, seperti biasa dengan kegembiraan
atas kemarahan seperti sifatnya pada sedia kala. Tinghoa yang selama ini
tiga-empat bulan seolah-olah kehilangan penduduk, mulai ramai kembali.
Kelihatanlah pula gembiranya mereka dari distrik Kun-Chi, yang pulang pergi ke
Philipina mendapatkan Ka-It kembali ke tempatnya. Rupanya uang tidak menjadi
persoalan. Mudahnya uang lepas daripada tangannya Ka-It diimbangi pula dengan
lekasnya uang kembali mengalir ke tangannya dari berbagai penjuru. Pengaliran
pulang balik dari tangannya Ka-It ke tangan sahabatnya itulah saja hasrat
hidupnya. Dia tidak mengindahkan mas berpeti-peti yang dikumpulkan dalam
perbendaharaannya buat dirinya sendiri.
Pada malam saya
datang itu seorang tamu yang pulang dari Philipina memberi jamuan makan. Tamu
itu sudah ada pula saya kenal. Dia termasuk orang terpelajar dan seorang “bussines man” pedagang modern. Bersama
dia pula seorang tamu, ialah seorang pegawai tinggi pada pemerintah kota Amoy
dan berasal dari Foochow. Pegawai ini diperkenalkan pula kepada saya.
Bukan sekali ini
saya di “chia”, di jamu
besar-besaran. Pengalaman saya sudah cukup benar dalam hal ini. Makan dengan
“sumpit dua” pun tidak asing bagi saya. Mereka yang menyangka ada pengharapan
buat dipanggil keselamatan Tionghoa hendaknya memperhatikan apa yang saya
tuliskan dengan pendek di bawah ini tentang perjamuan Tionghoa itu.
Hidangan pertama
jangan terlampau diacuhkan. Ambillah sedikit sekedar memenuhi ‘adat’. Orang Indonesia umumnya merasa
tidak enak kalau hidangannya tidak “ditegur”.
Dia merasa senang kalau masakannya disukai, artinya itu “dapurnya” mendapat penghormatan. Nyonya rumah akan bergembira
mendengarnya. Beginilah pula orang Tionghoa! Kelihatan gembira tuan rumah kalau
tamunya makan dengan bernafsu. Buat tuan rumah itu kejadian semacam ini adalah
satu tanda bahwa “dapurnya” benar-benar mendapat kehormatan. Tetapi salah dan
rugilah si-tamu kalau pada permulaan perjamuan dia sudah membuka semua ruangan
perutnya buat dipenuhi. Seperti Shakespeare tahu: bahwa mesti ada klimaks dalam
tonilnya dan paling sedih atau paling lucu harus ditaruh pada penghabisan
karangannya itu, demikianlah pula tuan rumah Tionghoa menghidangkan makanan itu
atas dasar lezat demi lezat dan memberikan “finishing
touch-nya” menyudahi (jamuannya) dengan hidangan yang paling lezat. Tamu
yang berpengalaman menunggu datangnya duat tiga hidangan sebagai pengunci. Lama
benar perjamuan itu berlaku, acap kali sampai jauh malam ialah menurut
kemampuan dapur dan pundinya tuan rumah. Semakin banyak ragamnya hidangan,
semakin lamalah pula perjamuan dan kesenangannya perjamuan itu. Waktu itu
diperpanjang pula oleh minuman pe-chiu
(arak putih) yang hebat dan ang-chiu
(arak merah) yang lebih hebat lagi sebelum dan selamanya makan.
Tuan rumah dan
para tamu bersuka ria bertambah suka dan gembira dengan meningkatnya akibat pe-chiu dan ang-chiu dan mendekatnya hidangan yang lebih lezat lagi. “Jangan
malu-malu, bo-kek-ki-ah, bo-siong-keah”, inilah ajakan tuan rumah
yang acap kali terdengar. Anggaplah satu tanda persahabatan, kalau tuan rumah
atau seorang tamu dengan sumpit yang sedang dipakainya menjepit sepotong
makanan dan menaruh potongan itu ke piring kita dengan perkataan “bo-keh-ki” tadi. Maklumlah kegirangan
sedang memuncak. Kegirangan itu ditambah pula oleh akibatnya ang-chiu.
Sebagai pengunci
atau sebelumnya itu biasanya dihidangkan seekor bebek yang dimasak sampai
selembut-lembutnya. Asapnya bebek itu masih membual-bual dan baunya amat
membuka selera makan. Tampillah biasanya tuan rumah ke depan untuk mengoperasi,
membelah-belah bebek tadi. Bukan dengan pisau atau garpu! Di sinilah letaknya
kesenian si ahli masak di dapurnya tuan rumah. Bebek yang masaknya jempol sudah
cukup diraba beberapa bukunya (gewricht)
saja dengan ujung sumpit. Dan jatuh bercerai-berailah semua bagian badannya.
Segeralah semua sumpit daripada tamu menyerbu menjepit potongan daging yang
disukainya.
Kembali kita
kepada tuan rumah dan pegawai tinggi Balai Kota Amoy tadi. Seberes-beres dan
semarah-marahnya Ka-It dia tidak lupa akan maksudnya memperkenalkan saya kepada
pegawai tinggi berasal dari Foochow tadi. (Hampir semua pegawai pemerintah
Balai Kota Amoy terdiri dari orang Foochow). Di tengah-tengah asapnya makanan
yang lezat dan banjiran pe-chiu dan ang-chiu tadi dia tidak lupa menceritakan
riwayat saya seperti seorang pelarian dan membandingkan nasib saya itu dengan
pemimpin Tiongkok ketika dikejar-kejar oleh pemerintah Manchu. Simpati pegawai
tinggi terbuka dan simpati memangnya kunci semua persoalan. Sesulit-sulitnya
persoalan, selama ada simpati dari kedua belah pihak, memangnya mudah sekali
diselesaikan.
Demikianlah
masalah “kewargaan” saya diselesaikan
pada malam hari itu secara Tionghoa lama. Kalau ada keluarga yang menjamin
seseorang apalagi mengakui seseorang sebagai anggota keluarganya, maka kewargaan
itu beres sendirinya. Tak ada urusan “denaturalisasi”
menurut adat Tionghoa lama. Lagi pula pegawai tinggi mengaku dirinya seorang
Asia dan seorang Kek-Bing,
revolusioner, dia wajib membantu saya katanya. Besok hal surat pas saya itu
akan diselesaikannya dengan para koleganya.
Dalam keadaan
biasa kewargaan itu mudah diselesaikan. Syarat pertama, menurut undang-undang
Tionghoa yang baru, ialah seorang asing baru boleh menjadi warga negara
Tiongkok, sesudah lima tahun tinggal di Tiongkok. Mudah pula diselesaikan
perkara jaminan. Tetapi menyelesaikan itu dengan cara resmi dengan pemerintah
pusat memang ada mengandung kesulitan, terutama karena paham politik saya
sendiri dan sikapnya pemerintah Chiang Kai Shek beserta imperialisme asing
terhadap kaum radikal. Ka-It tiada banyak memusingkan perkara politik atau
Chiang Kai Shek itu. Berkali-kali sudah dikatakannya, bahwa kalau di Amoy pun
saya tidak boleh tinggal, baiklah saya kembali saja ke desa Iwe. Di sana tidak
akan ada orang yang mengganggu. Cuma baiklah tindakan terakhir ini janganlah
dahulu dijalankan sementara mendapatkan jalan yang lebih baik.
Dengan selesainya
perkara surat pas barulah saya bisa kembali kepada soal bermula, ialah soal
sumber hidup.
Untuk ini Ka-It
setuju benar dengan maksud saya seperti tersebut di atas. Ialah mendirikan “Foreign Languanges School”. Modal dia
tidak punya, tetapi perabo buat permulaan, seperti beberapa meja dan kursi siap
sedia akan dipinjamkannya. Rumah walaupun rumah tua pula, ialah rumah di
seberang Tionghoa dengan cepat bisa disewa dengan harga rendah karena yang
empunya rumah itu ialah kenalah Ka-It.
Demikianlah saya
siap dengan rumah dan perabotnya, selain daripada itu, advertensi sudah saya pasang dalam surat kabar Tionghoa di Amoy dan
program-program pun sudah dicetak. Mulailah para pemuda datang mengambil
program buat dipelajarinya. Saya menunggu hasilnya dengan kepercayaan penuh.
Tetapi Ka-It nyata kegelisahannya setelah dilihatnya bahwa sesudah dua minggu
lebih “rumah sekolah” saya masih kosong. Dari hari ke hari dia datang meninjau
menanyakan hasilnya dan kecewa kalau saya katakan, bahwa program saja yang
hampir habis, tetapi seorang muridpun belum masuk.
Buat merebut
hatinya pelajar Tionghoa modern dengan kekal, tidak cukup persediaan rumah
sekolah yang besar pantas, diploma college ini atau itu yang paling gemilang,
karena sekolah di Hongkong atau seberang atau program yang menarik hati saja.
Dua tiga kursus bahasa Inggris di Amoy pada masa itu yang mempunyai gedung
besar guru yang berdiploma tinggi dan program yang bagus pada permulaannya
memang penuh sesak, tetapi buat sebulan dua saja. Di belakangnya menjadi kosong
sunyi senyap.
Harus diketahui
bahwa bersama dengan modernisme di semua lapangan, penggeloraan berbagai-bagai
isme amat mempengaruhi jiwanya pemuda Tionghoa. Nasionalisme, Sosialisme dan
Komunisme yang datang dari semua penjuru bertiup ke Tiongkok tepat sekali
mendapatkan sasarannya nasionalisme dan komunisme-lah yang mengambil bagian
yang terbesar diantara semua aliran itu. Isme itu sampai menjadi ukuran buat
menentukan nasibnya seorang guru. Seorang guru yang ahli seahli-ahlinya pun
dalam vaknya tidak akan laku atau akan lama terpakai kalau ia
menganut/politik/paham yang kolot. Segera ia akan tertumbuk kepada isme
muridnya. Berhubung dengan keadaan beginilah maka sering dikatakannya bahwa
pelajar Tionghoa itu tidak mau mengenal disiplin lagi.
Kesimpulan semacam
ini saya rasa kurang tepat. Menurut pikiran saya, maka disampingnya murid harus
tunduk kepada disiplin perguruan, pun guru juga harus mengetahui dan
menyesuaikan diri dengan cita-cita yang cocok dengan perubahan zaman dan
mempengaruhi jiwa para pelajar yang paling aktif. Pertikaian antara guru dan
murid yang sering terjadi itu sebenarnya disebabkan oleh pertentangan
pemandangan hidup. Pertikaian itu terjadi dimana guru dan murid masing-masing
memegang pahamnya. Kepercayaan terdapat, disiplin berjalan, dan pelajaran
berlangsung dimana pelajar mendapatkan guru yang tidak saja memenuhi
keinginannya atas pengetahuan, tetapi juga bisa memuaskan cita-cita politik
negara dan bangsa yang dicintainya.
Diploma saja belum
menjadi jaminan buat seseorang guru. Pernah diceritakan peristiwa seorang
dokter dalam ekonomi yang tamat belajar dalam salah satu Universiteit di
Amerika yang menerima kewajiban mengajar pada salah satu sekolah tinggi di
salah satu kota tentang ekonomi pula. Sebelumnya dia masuk kelas maka para
muridnya sudah bersiap-siap pula untuk “menguji” guru “American returned”, guru
keluaran American University itu. Murid A mempelajari teori Marx, tentang
MEHRWERT “NILAI LEBIH”; si B mempelajari teori Marx tentang KRISIS, si C
tentang GAJI, dsb. Sang guru, yang keluaran American University tadi setibanya
di kelas dan menganggap pengetahuannya sudah sempurna karena titelnya, dihujani
dengan bermacam-macam persoalan yang berhubungan dengan Nilai Lebih, Krisis,
Gaji, dll sbg tadi. Kabarnya besok harinya guru tadi tidak masuk kelas lagi.
Ini adalah sikap yang baik buat guru dalam ekonomi tadi. Karena hari depan,
bilamana dia, sebagai seorang doktor dalam perekonomian borjuis akan terus
menerus bertentangan dengan para murid yang mempunyai paham perekonomian
Marxist, bukanlah hari depan yang bisa menjamin tidur yang nyenyak.
Mungkin kejadian
ini cuma satu contoh saja. Mungkin pula salah satu daripada berbagai-bagai
contoh. Tetapi contoh itu tepat sekali menggambarkan semangatnya para pelajar
Tionghoa. Tepat pula menggambarkan akibatnya sesuatu perguruan kalau para murid
berpaham modern mendapat seorang guru yang berpaham kolot, feodal ataupun
borjuis.
Sudah dua tiga
hari saya umumkan kursus dan progamnya, maka saya dikunjungi seorang pemuda
berpakaian mahasiswa. Memangnya dia baru tamat Amoy University. Dia bermaksud
meneruskan pelajarannya dalam ekonomi, mulanya ke Amerika dan kemudian ke
Jerman. Bahasa Inggrinya, katanya, belum lagi mencukupi. Dia mau belajar bahasa
Jerman. Ditinggalkannya karangannya dalam hal ekonomi, katanya buat saya
periksa bahasa Inggrisnya dan isi karangannya, ialah tentang ekonomi tadi. Nama
kecilnya tak perlu saya sebutkan. Nama turunannya ialah Huang. Keluarganya
ialah seorang hartawan dan anggota Partai Kuomintang dan seorang yang amat
dianggap di Amoy.
Saya mengerti
opzet maksud atau lebih tepat “Zet”-nya
(muslihatnya) mahasiswa Huang, setelah satu muka saja saya baca karangannya.
Buku ekonomi yang diiktisarkannya itu mirip kepada dasar sosialisme. Tidak saja
bahasa Inggrisnya yang dipentingkan oleh mahasiswa Huang, tetapi terutama pula
ilmu ekonomi. Kedua perkara itu memberi kesempatan baik mengenal mahasiswa
Huang lebih dekat lagi. Kekurangannya dalam hal ilmu saraf, percakapan
(conversation) dan karang-mengarang segera diakuinya dan untunglah pula dapat
saya betulkan. Apalagi keinginginannya dalam perekonomian sosialisme mudah pula
saya penuhi. Dibelakang hari dapat saya mengetahui, bahwa mahasiswa Huang
termasuk golongan yang amat radikal diantara para mahasiswa Amoy University.
Kesusasteraan yang paling disukainya ternyata pula kesusasteraan yang paling
radikal. Tentulah saya harus mengawasi provokasi.
Para pertemuan
kedua, maka mahasiswa Huang membawa karangan tentang filsafat. Inipun berbau
sosialis, bahkan Marxis. Setelah mahasiswa Huang mendapat keyakinan, bahwa
dalam hal inipun saya sanggup mengikuti dia, maka rupanya selesailah sudah
“ujian” atas diri saya tentang ideologi dimatanya mahasiswa Huang.
Ujian ini berlaku
dalam lebih kurang dua minggu lamanya. Inilah waktu yang akan menentukan jaya
gagalnya percobaan saya. Benar pula dua-tiga murid suda mulai masuk, ialah
karena introduksi (anjuran) beberapa sahabat lain. Tetapi akan lambat majunya
percobaan atau akan sebentar saja kemajuann kalau tidak mendapat kepercayaan
golongan radikal, seperti mahasiswa Huang.
Nyatalah sudah,
bahwa mahasiswa Huang tidak pula begitu saja memberikan persetujuannya ialah
dengan tidak tawar menawar mencatatkan namanya buat belajar setengah tahun
seperti dua tiga murid tersebut di atas. Dua tiga kali datang dengan karangan
dan dengan 1001 macam pertanyaan yang sebenarnya lebih menyerupai satu
perdebatan sebelumnya memasuki partai politik daripada memasuki kursu dalam
bahasa Inggris dll. bahasa asing.
Akhirnya ia lebih
banyak datang dan berjanji belajar bahasa Inggris, Jerman dan yang
“lain-lainnya” yang bisa diperlukan oleh seorang mahasiswa Tionghoa yang
radikal. Pada suatu hari adiknya beserta entah berapa temannya dari Sekolah
Menengah Tinggi dan University datang mencatatkan nama buat belajar bahasa
Inggris dan Jerman. Kamar dekat Tionghoa di kampung Ang Pun Po mulai sempit dan
saya terpaksa pindah ke rumah yang lebih besar sesudah satu bulan berdirinya
kursus tadi.
Tidak jauh dari
jalan Sun Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy, di tepi jalan Ku Ceng Loo, di
tempat yang sunyi berdirilah “School for Foreign Languages”. Ketika saya
tinggalkan sekolah itu, maka muridnya sudah berpuluh-puluh orang ialah
terbanyak sekali, kalau dibandingkan dengan kursus bahasa asing di Amoy dan
Kulangsu. Kebanyakan muridnya terdiri dari pemuda-pemudi Sekolah Menengah dan
satu dua orang dari University. Diluar murid yang tetap pada waktu yang
ditentukan di waktu hari pagi dan petang, ada lagi beberapa murid yang “liar”
yang datang belajar di sekolah atau menunggu saya datang di rumahnya. Kenaikan
banyak muridnya lebih cepat daripada kesanggupan saya menambah banyak bangku
dan meja perabot sekolah. Banyak pula surat dari tempat di pedalaman yang
meminta tempat tinggal dalam asrama di sekolah, karena mereka tak mempunyai
keluarga di Amoy. Pendeknya kalau saya tak terpaksa meninggalkan, maka dengan
perluasan pelajaran seperti “book keeping”, journalism dll, dan dengan
penerimaan guru untuk pembantu, sekolah itu memangnya bisa mendapatkan tempat
pada masyarakat Tionghoa di pelabuhan dagang seperti Amoy.
Perkara
penghasilan atau modal untuk perluasan tidak lagi menjadi persoalan yang sukar,
sekali kita mendapat penghargaan dan kepercayaan dari murid Tionghoa. Mereka,
anak orang berpunya tidak mengulur uang sekolah semata-mata dengan ditetapkan
oleh tarif (daftar) bayaran yang kita umumkan. Kalau seorang guru disukainya,
maka guru itu buat dia terletak di tempat No.2, mungkin juga No.1 dalam hati
kecilnya, terhitung ibu bapaknya. Guru semacam itu ditariknya ke rumahnya dan
ke tempat kesenangannya menurut kemampuannya. Rumah guru itu bukan lagi rumah lain
daripada rumahnya sendiri.
Di waktu liburan,
jarang saya bisan tinggal di rumah. Saya diajak kesana-kesini oleh para murid.
Yang saya jaga ialah supaya yang dahulu mengajak kesana atau kesini harus lebih
dahulu pula dilayani. Jangan hendaknya menimbulkan perasaan seorang murid bahwa
undangannya tidak dikabulkan karena kita melayani orang lain, murid yang lebih
mampu, walaupun dia mengundang dibelakang yang pertama.
Saya sedikit
banyak mengemukakan sifat “kebesaran” dan cara Ka-It melakukan pekerjaannya. Cara
bekerja semacam itu memang banyak sekali dipakai di bandar besar Tiongkok,
Shanghai terutama Orang dagang “business” urusannya sambil makan, minum dan
menghisap madat diwaktu malam, bahkan tengah malam. Disinilah “transaction”
perdagangan besar-besaran antara Tionghoa dan Tionghoa banyak dilakukan.
Saya kenal
beberapa Hoa-Kiau (Tionghoa seberang) dan Philipina dan Indonesia yang membawa
modal tak kecil ke Shanghai dengan
maksud hendak membuka perusahaan. Tetapi setelah menyaksikan bagaimana
bangsanya sendiri berurusan, maka mereka setelah banyak menghabiskan uang
modalnya, dengan tidak mendapatkan hasil yang seimbang, maka kembalilah mereka
ke tempatnya semula, meninggalkan tanah leluhurnya, yang disangkanya sama
dengan gambaran dalam pikiran selama di Nan Yang itu dengan hati kecewa sekali.
“Lain caranya orang Tionghoa (totok) melakukan perdagangan”, kota Hokkian tadi.
“Mereka (Tionghoa totok) tak mempunyai waktu yang pasti dan kantor yang tetap”
katanya Hoa Kiau pula. (Didekat Chuan Chu di Hoakkian kebun tebu seorang
patriot Hoa Kiau yang sudah mempunyai pengalaman perkebunan tebu di Jawa
dirusakkan oleh penduduk karena caranya berkebun itu berlainan sekali dengan
cara Tiong asli). Selainnya daripaa cara bekerja seperti tersebut diatas, maka
“business-relation” perhubungan dagang dengan para sahabat atau keluarga
sendiri amat penting sekali buat seorang pedagang Tionghoa. Hoa Kiau yang sudah
tidak tahu lagi dimana keluarganya, tidak lagi mengerti bahasa nasional (atau
daerah); yang tidak mempunyai banyak sahabat yang boleh dipercaya, pasti akan
tenggelam saja dengan modalnya dalam masyarakat Tionghoa yang sengit dan kejam
persaingannya itu.
Tidak perlu
diambil contoh yang begitu jauh buat membandingkan caranya Ka-It bekerja.
Cukuplah sudah dengan mengambil perbandingan dengan saudaranya sendiri yang
menjadikan dia berduka cita, tempo hari dan hampir memasukkan dia ke-kelenteng
buat selama-lamanya menjadi He-siu’ (rahib). Saudara tua inipun saya kenal
baik. Saudara tua ini melakukan urusan secara asli, dengan hemat bahkan kerap
(kikir).
Saudara tua
membuka sebuah Bank dengan jalan perseroan dengan para rekan yang lain-lain.
Kesinilah rupanya dibelokkan uang yang oleh Ka-It dianggapnya sebagai haknya.
Mungkin saudara tua bermaksud baik juga. Tetapi walaupun perusahaan itu
dilakukan secara hemat-kerap (kikir) tidak berapa lama antaranya perusahaan ini
jatuh bangkrut. Kebangkrutan itu menimbulkan akibat yang sedikit mengenai
riwayat yang dituliskan ini. Baik juga sedikit disinggung-singgung buat
memperlengkap yang sudah-sudah.
Di depan rumah
saya, adalah sebuah rumah besar yang mempunyai atap datar, seperti lazimnya
terdapat di rumah bikinan Tionghoa. Pemandangan dari atap datar itu amat permai
sekali, meliputi pegunungan dan lautan di sekitar kota Amoy. Pada hari petang,
apabila matahari hampir terbenam, maka sudah dua tiga kali terpandanglah saya
kepada seorang pemuda dengan pemudi. Mereka kelihatan seperti sepasang merpati,
walaupun tidak berarti sejak sekali dua yang gadis menjauhkan diri dari
pemudanya, memandang ke tempat saya sambil tersenyum. Saya tidak memperdulikan
kelakuannya pemudi ini. Saya sangka senyum itu bukan ditujukan kepada saya.
Tidak berapa lama
antaranya, saya mengerti bahwa senyum itu memang ditujukan ke arah saya dan di
belakang senyum itu terselip perkara yang masih lazim terjadi di Tiongkok.
Senyum itu menutup kesusahan seorang pemudi modern menghadapi satu adat
istiadat yang kolot.
Seorang sahabat
pula, saya namai saja Buna, yang belum lagi saya majukan di sini, walaupun
rapat sekali perhubungannya dengan saya, pada suatu hari bertanya kepada saya,
apakah saya sudah lupa sama A.P. inilah saja saya namakan gadis tersebut
diatas, ialah nama kecilnya. Sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1927,
di tempat pertama bersembunyi di rumahnya Ka-It di jalan gelap sempit Ang Pun Po juga saya berkenalan dengan
anak perempuan kecil. Anak ini adalah ponakannya Ka-It, anak saudara tuanya
yang sering tersebut diatas. Anak ini baru berumur 7 tahun, tetapi cerdik
sekali, malah terlampau cerdik kalau dipandang umurnya. Dia suka bergurau
dengan saya dan suka mengajar saya dua tiga patah bahasa Hokkian. Sesudah dua
tiga tahun dibelakangnya, saya tidak lagi menjumpainya.
Sekarang pada
tahun 1937 itu, kebetulan pula dia tinggal tepat berhadapan dengan rumah saya
dan sudah gadris berumur 17 tahun. Dia akan tamat belajar Sekolah Menengah
Putri, dahulu dipimpin oleh Zending dan diwaktu riwayat ini, masih amat baik
pelajarannya dan berdasarkan kebangsaan. Manakala semangat mencinta bangsa
sedang menyala-nyala didada seluruhnya pemuda-pemudi Tionghoa, begitulah pula
jiwa pemudi ini tidak lepas dari bunga api patriotisme. Masuk bagian yang
penting pintar di kelasnya, dalam segala-galanya dan selalu dipilih untuk
mengetahui kelasnya, cocok dengan dasarnya Kuomintang. Kecerdasan patriotisme
dan kesosialan disertai pula dengan kecantikan menurut ideal kecantikan
Tionghoa. Inilah gadis A.P yang saya maksudkan diatas. Saya kenal namanya,
tetapi tidak lagi mengenal rupa yang sudah jauh berubah dari anak kecil menjadi
gadis remaja.
Buna, sahabat
saya, kebetulan gurunya pula menceritakan kepada saya, bahwa tidak lama lagi
gadis A.P. akan dikawinkan dengan seorang mahasiswa dari Philipina. Pemuda yang
sering kelihatan diatas dataran atap tadilah yang dimaksudkan dengan mahasiswa
itu.
Perkawinan itu
disetujui oleh ibu bapak kedua belah pihak. Perkawinan itulah sebenarnya adalah
satu condition, satu syarat buat menerima bapaknya A.P. dalam perusahaan
bapaknya mahasiswa tadi di Philipina. Persetujuan ibu bapak kedua belah pihak
tidak disetujui oleh A.P. sendiri. A.P menolak memberontak, karena dia sebagai
pecinta bangsa dan negara kelak ingin berjasa kepada bangsanya menurut
kepandaian kecondongan hati dan kecakapannya. Belumlah lagi gadis A.P. merasa
dia sudah mempunyai cukup kepandaian yang akan dicurahkannya kepada bangsanya.
Hasrat murni ini
mendapat penuh penghargaan dari pihak ibu bapak yang penuh kecintaan. Tetapi
sesudah bapak menderita kegagalan dalam perusahaannya dengan apakah hasrat yang
sunyi murni itu bisa disampaikan? Pihak lain tak pula mau tahu akan penundaan
perkawinan. Mereka menghendaki supaya perkawinan harus dilangsungkan lebih
dahulu. Barulah bapaknya A.P. akan diterima di dalam satu perseroan.
Sifat baiknya
gadis Tionghoa ialah tak ada dalam hatinya atau perbuatan menyaingi para
temannya dalam percampurannya dengan pemuda. Sebaliknya dia berusaha, memberi
nasehat baik, kepada temannya dan mempererat persahabatan antara gadis temannya
dengan pemuda yang mendekati. Rebut-merebut hatinya seorang pemuda, yang mendekati
temannya, bukanlah sifat yang lazim tampak diantara para pemudi Tionghoa.
Tetapi para
pemudi, rombongan A.P., rupanya tak sanggup memberi nasehat yang constructive,
berhubungan denga persoalan yang dihadapi A.P. Oleh para teman disampaikan pula
hal ihwalnya A.P. kepada saya. A.P. berpesan kepada temannya, untuk disampaikan
kepada saya, bahwa (dengan persetujuan ibu bapaknya) dia ingin pula memperbaiki
bahasa Inggrisnya.
Setelah bakal
suami mengetahui bahwa A.P. pergi belajar bahasa Inggris ke rumah saya, maka
rupanya dia bertanya kenapa A.P tidak belajar kepada dia dan kenapa A.P. lebih
suka belajar bahasa Inggris daripada bermain-main diatas datar. Ibunya A.P yang
mengenal saya sudah lama dan mengetahui seluk beluknya perkara menjawab dengan
menyimpang. Ibunya A.P memperingatkan bagaimana dia sendiri pernah menahan air
mata, ketika sekian tahun lampau memperhatikan saya sendiri saja di desa Iwe,
ketika tinggal di rumahnya, ialah di rumahnya Ka-It, bilamana kesehatan amat
terganggu.\
A.P sendiri yang
rupanya ingin hendak mengetahui bagaimana pikiran saya tentang perkawinan paksa
itu tidak pernah sampai membuka rahasia hatinya. Tetapi dari temannya saya
dengar bahwa dia ingin mendengarkan paham saya. Nasehat saya semestinya
berbunyi: Periksalah suara hati kecilmu sendiri. Janganlah berbuat sesuatu yang
bisa membatalkan hasrat yang mulia terhadap masyarakatmu sendiri. Timbanglah
besar-besar sebelum mengambil langkah yang terakhir, supaya jangan menyesal di
kemudian hari. Nasehat biasa saja!
Saya tidak tahu bahwa
krisis hidupnya hampir memuncak, ketika memberi nasehat itu. besoknya terdengar
kabar bahwa A.P menjawab desakan ibu bapaknya supaya kawin dengan perkataan
“bahwa” dia bukannya sapi yang akan diperdagangkan. Malam itu juga sesudah
pertikaian itu terjadi dia mencoba meminum racun yang sudah disediakannya
sendiri di dalam kamar yang dikuncinya. Rupanya racun itu tidak segera
menyampaikan ajalnya, tetapi menimbulkan kesakitan yang dahsyat. Gerak-geriknya
terdengar, pintu diterobos dan A.P didapati dalam keadaan payah. Untunglah
masih bisa ditolong oleh tabib.
Seminggu setelah
kejadian itu saya mendapat kiriman dari desa (Iwe), ialah makanan yang biasa
dihidangkan ketika perkawinan seperti wajik dan kue-kue yang lain. Barulah saya
tahu bahwa A.P. dikawinkan juga dengan paksa. Kemauan yang keras daripada anak
dikalahkan oleh kemauan yang lebih keras pula daripada ibu bapak. Rusaklah
sekuntum bunga yang baru saja mengembang untuk dipersunting menurut kesukaan
manusia, menentang kehendak alam.
Kemauan A.P. dikalahkan,
tetapi tidak dipatahkan.
Setelah sebulan
lamanya tinggal di desa kembalilah dia ke kota Amoy. Kawan sekelas yang
selamanya kehilangan teman yang paling dicinta kembali gembira meskipun tidak
lagi seperti semulanya. A.P bukan lagi gadis, merdeka, remaja, seperti
sediakala, tetapi masih dicinta dan dianggap sebagai penganjur. Bersama-sama
mereka datang menjumpai saya.
Dengan suaminya A.P. sering juga mengundang
saya ke rumahnya atau berjalan-jalan A.P. mempunyai kemauan sendiri, yang
memang susah dibasmi dengan perkawinan paksa. Kalau undangan itu juga disetujui
dan dicampuri oleh suaminya, tidaklah susah buat menerimannya. Tetapi
bagaimanakah menjawabnya undangan seperti pergi piknik atau berenang tidak
dengan suami, walaupun dengan temannya? Ibu bapak tidak keberatan, buat
masyarakat Tionghoa modern hal itu sudah biasa saja.
Tetapi bagaimana,
kalau suami tak menyetujui? Semuanya menjadi pelajaran dan pertimbangan buat
ibu bapak, yang membiarkan anak perempuan dididik secara modern, tetapi hendak
mengawinkan si-anak secara kolot, ialah dengan paksa, sebelum waktunya pula.
Tidaklah lama saya
mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan undangan A.P. seperti diatas.
Memangnya tidak semudah menyelesaikan persoalan sumber hidup. Tetapi sebagai
satu pertolongan yang sekonyong-konyong jatuh dari langit, maka armada Jepang
dikabarkan mendekati Amoy buat menyerang. Pesawat Tiongkok mulai
melayang-layang diatas kota Amoy, seolah-olah hendak melakukan pembelaan.
Dalam keadaan ini
maka Amoy berada dalam kegelisahan. A.P. pada suatu hari datang mengatakan
bahwa dia akan berangkat ke Hongkong dengan ibu bapak dan suaminya. “Selamat
jalan”, kata saya, setelah merasa lega, karena keluarga A.P. akan bisa terus ke
Philipina. Suasana baru kelak akan
menimbulkan semangat yang baru pula. Mudah-mudahan saja!
Amoy makin lama makin kosong. Hampir semua
murid sudah mengungsi ke pedalaman. Barang siapa yang mempunyai uang dan
keluarga di Nan Yang segeralah dia mengatur pelayarannya. Mahasiswa Huang dan
saudaranya mengajak saya pergi ke rumahnya di Kulangsu. Di sana saya tinggal
beberapa lama buat menunggu putusan pergi ke pedalaman atau ke Rangoon.
Mahasiswa Huang ingin pergi ke Rangoon dan mengajak saya mengikut. Saya dengan
senang menerima ajakan itu. Tetapi orang tua Huang berat hati meninggalkan
rumah besar dan Kulangsunya. Menurut paham dia lantaran belum pernah Kulangsu
sebagai international settlement, diserang Jepang, maka ini kalipun Kulangsu
akan tetap dalam keadaan damai. Setelah penyerangan Jepang sudah lebih nyata,
juga ditujukan ke Amoy, maka mulailah orang tua Huang gelisah dan akhirnya amat
gugup. Dia sekonyong-konyong mau pindah rumah, tetapi dia mau pindah ke
Hongkong.
Tentulah saya tak
bisa pindah ke Hongkong itu. ini berarti pindah ke penjara Inggris. Saya
berpisah pula dengan mahasiswa Huang dan pergi menjumpai Ka-It yang sedang
mencari saya pula. Ka-It dengan tegas bertanya: ke pedalaman atau ke Nan Yang?
Kalau hendak pergi ke pedalaman lekaslah bersiap. Ini hari juga kita pergi,
katanya. Kalau hendak pergi ke Nan Yang, tentulah kemana, supaya segera diatur
surat pas dan karcis kapal. Tak bisa lama-lama menunggu, katanya pula, sebab
musuh sudah dekat.
Saya tetapkan
pergi ke Rangoon, Birma. Ka-It memberikan seorang pembantu kepada saya buat
mengurus surat pas dan karcis kapal. Tidaklah lagi mudah mengurus semua itu
dalam satu minggu apa lagi dalam satu hari. Surat pas baru bisa diminta pada
kantor polisi setelah mendapatkan keterangan dari pe-tiu’ (kepala kampung, wijkmeester)
dan chi-tiu (wali kota) Amoy yang
harus menerangkan, siapa saya, kerja apa, dimana dan berapa lama saya tinggal
di Amoy. Surat pas juga harus lebih dahulu dibubuhi visa oleh konsul Inggris di
Kulangsu. Atas surat pas yang dibubuhi visa itulah baru kongsi kapal (Inggris)
mau menjual karcis kapal surat keterangan dari pe-tiu dan chiu-tiu, surat pas
dari polisi Amoy, yang di visa oleh konsul Inggris di Kulangsu dan akhirnya
karcis kapal itulah yang harus diperoleh dalam empat lima jam saja, karena
kapal hendak berangkat petang hari itu.
Pemerintah kota
Amoy sudah menutup kantor memberikan surat keterangan kepada siap saja; takut
kalau-kalau nanti kemasukan kolonne ke-5 nya Jepang. Tetapi pembantu yang
diberikan oleh Ka-It rupanya orang luar biasa. Dia mempunyai sesuatu kekuatan
yang tidak dimiliki semua orang ialah drive,
kodrat pendorong. Dia tiada mengenal tak bisa, tak boleh atau tak-kan-dapat.
Disamping sifat baiknya pembantu ini, untunglah saya sudah dicatat lebih dahulu
di kantor keluarga Tiongkok. Memangnya saya sudah menjalankan kewajiban saya
sebagai warga negara, ialah membayar pajak. Latihan sebagai milisi-pun sudah
dimajukan kepada saya. Sudah pula saya setujui dan sedang saya tunggu.
Pintu depan Pe-tiu tertutup. Penjaga berkata kepada
kami, bahwa Pe-tiu tidak di rumah dan surat keterangan tak diberikan lagi. Kami
menerobos dari belakang, dan dapur. Kedapatan Pe-tiu sedang makan dan tersenyum
melihat saya, karena dia sudah maklum maksud saya dan kami sudah lama
berkenalan. Tak sampai 5 menit, surat keterang Pe-tiu selesai. Pintu depan Chiu-tiu pun tertutup. Dapurnya
diterobos pula, surat keterangan Chi-tiu pun didapat dalam beberapa menit.
Kantor polisi kota dijaga oleh pengawal yang melarang kami masuk. Inipun dengan
tiada ragu-ragu diterobos. Dengan cepat pula pemerintah Amoy mengurus surat-pas
saya. Kabarnya konon, inilah surat pas yang paling terakhir dikeluarkan, pada
waktu krisis ini. Sebelumnya saya datang, banyak permintaan surat-pas hari pada
hari itu yang ditolak, karena disangsikan oleh polisi kota.
Kantornya kongsi
kapal sedang istirahat! Pembantu tak mengenal peristirahatan. Dia panggil juru
tulisnya buat menjualkan karcis. Juru tulis menolak, pertama karena belum ada
visa dari konsul Inggris dan kedua karena waktu istirahat. Percekcokan hebat
antara juru tulis dan pembantu terjadi. Karcis dapat dan visa pun akan diurus.
Saya bisa berangkat petang hari juga. Saya tak perlu pula memperlihatkan muka
saya kepada konsul Inggris di Kulangsu! Hidup pembantu!!!
Ciak-teh, uang suapan, baikpun dalam
kantor resmi umum dipakai di Tiongkok. Lain daripada uang bayaran sedikit buat
segel dll. yang ditentukan oleh aturan yang pasti tiada satu sen-pun saya
mengeluarkan. Diantara orang Tionghoa-pun tidak banyak saya melihat orang yang
mempunyai “push”, dorongan, dan
keuletan seperti pembantu yang baru saja saya kenal ini. Memang push dorongan
dan keuletan itu adalah salah satu sifat Tionghoa yang harus kita contoh.
Tepat pada
waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya
kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan,
meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu
diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe,
Amoy! Selamat tinggal Foreign
Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq. Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan
Ching Hua dengan A.P. beserta
tragedinya. Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas karcis
tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu. Yang tentu
cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah
dimana, belum dapat diketahui....pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!
MENUJU KE TEMPAT YANG TIDAK DISETUJUI
Kapal kami penuh
sesak dengan pengungsi dari bermacam-macam golongan yang menuju ke berbagai
tempat. Klas 1 dan klas 2 penuh sesak dengan pengungsi Tionghoa yang mampu.
Bahkan ada pula pengungsi yang mampu yang terpaksa menumpang di atas geladak
(dek). Pembaca bisa menggambarkan bagaimana keadaan geladak di tempat saya
menumpang. Perkataan penuh sesak sesungguhnya tidaklah lagi sanggup memberikan
gambaran yang sebenarnya. Pikiran “tempat yang baik” tidak lagi mempengaruhi
seseorang penumpang. Pikiran yang terpenting cuma “asal dapat pergi saja”.
Pergi dari Amoy yang dekat dari Taiwan, jajahan Jepang itu. Amoy yang entah
akan dibagaimanakan oleh angkatan Udara dan armada Jepang itu, pergi itulah
saja pikiran yang terutama. Ada pula penumpang yang berniat pergi ke Hongkong
saja atau terus ke Manila; ada yang hendak pergi ke Singapura dan banyak yang
mengambil karcis yang menuju ke Birma, seperti saya sendiri. Tetapi tidak pula
sedikit penumpang yang sebenarnya belum tahu, dimana mereka akan tetap tinggal.
Ke dalam golongan yang belum lagi tahu “dimana kelak akan tinggal” inilah saya
sendiri termasuk. Seperti banyak pengungsi lain, maka yang saya jaga cuma, asal
jangan terlempar ke laut saja, karena tak ada tempat yang sedikit terluang
lagi.
Dihembus ribut
taufan yang luar biasa hebatnya, yang belum pernah dialami oleh para penumpang
selama hidupnya, maka setelah sehari semalam kami berlayar, sampai kapal di
pelabuhan Hongkong. Pelabuhan Hongkong masyhur indahnya kalau dilihat diwaktu
malam. Kita menghadapi bukit yang berkaki, pinggang dan puncaknya ditaburi oleh
rumah, gedung dan villanya hartawan Hongkong. Ribuan lampu sebagai sumber
pancaran cahaya listrik tampak di waktu malam, seolah-olah hendak bersaing
dengan bintang di langit. Tetapi pada malam hari kita tiba itu, tidaklah ada
kesempatan untuk mengagumi bandar Hongkong di waktu malam dipandang dari laut.
Kapal kami, walaupun telah menjatuhkan sauhnya, masih saja tergeleng-geleng ke
kiri-kanan dengan sangat hebatnya, meskipun teluk Hongkong berada di lingkungan
bukit, dengan susah payah penumpang yang berhenti di Hongkong turun ke sampan dan
mendekati daratan. Kabarnya pada malam itu ada dua-tiga kapal api dan puluhan
sampan yang karam sedang berlabuh dan puluhan manusia yang mati tenggelam
terlempar ke laut. Kapal kami sesudah menurunkan penumpang dan barang segera
berangkat meninggalkan pelabuhan Hongkong menuju ke Singapura. Mulanya ada
niatan kapal berhenti di Hongkong dua tiga hari, tetapi karena ribut taufan
yang lebih membahayakan kapal ketika berlabuh daripada sedang berlayar itu,
maka niatan tadi dibatalkan. Saya sama sekali tidak merasa kecewa atas
pembatalan itu. Memangnya apabila saya mendengar kabar, bahwa kapal akan
berhenti dua tiga hari lamanya di Hongkong, maka saya memikir-mikirkan “siasat”
yang harus saya jalankan. Baru lima tahun lampau saya ditangkap di Hongkong,
dan ketika terpaksa dilepaskan, dilarang keras menginjak tanah mana saja yang
termasuk jajahan kerajaan Inggris. Kalau saya naik darat dan berjalan-jalan di
kota Hongkong yang sempit itu tentulah mudah dikenal oleh banyak penyelidik
(I.S). Inggris yang dari semua penjuru sudah mempelajari rupa dan gerak badan
saya selama berada dalam penjara. Tidak mendarat dan tinggal dua tiga hari
dalam kapal, tentulah lebih mencurigakan pula. Belum tentulah pula kapal yang
berlabuh itu sama sekali bebas dari kunjungan atau incaran matanya penyelidik
I.S. Inggris, teristimewa dalam keadaan perang Jepang-Tiongkok yang sedang
memuncak itu.
Setelah lima enam
hari meninggalkan Hongkong, maka tibalah kapal di Singapura. Pemeriksaan atas
orang Tionghoa yang masuk ke Malaya sangat teliti. Buat laekek (tamu lama) pemeriksaan lebih longgar daripada sin kek (tamu baru). Mereka digirin ke
kantor duane di pelabuhan, dan dari sini ke kantor imigrasi Tionghoa di dalam
kota, buat diperiksa surat pasnya satu persatu. Amat diperhatikan nama dan rupa
orang komunis atau penjahat Tionghoa yang pernah dibuang dari Malaya yang tidak
sedikit banyaknya itu. mereka yang sudah dibuang, tetapi kembali ke Singapura,
itu amat berat hukumannya. Benar sekali rupanya “siasat” yang saya pikirkan di
Amoy, yaitu tidak akan berhenti di Singapura. Tetapi ini tidak berarti saya
tidak turun di Singapura!
Apabila semua
orang yang berhenti di Singapura sudah habis keluar maka barulah saya turun ke
darat, saya terus berangkat meninjau kota dan terus menuju ke Johor mempelajari
keadaan disana-sini. Saya banyak mempunyai kesempatan buat mendarat dan mencari
tempat. Tetapi saya tidak mau memakai kesempatan itu, karena dengan begitu saya
akan kehilangan uang $ 25,- dan surat pas yang saya anggap amat penting buat
hari depan. Tidak berapa lama kapal meninggalkan Amoy, maka pengurus
administrasi kapal meminta semua surat pas dan uang $ 25,- kepada penumpang
yang menuju ke Rangoon, Birma. Baru setelah kapal meninggalkan Penang, ialah
apabila mendekati Rangoon maka surat pas dan uang $ 25,- tadi dikembalikan
kepada kami. Uang $ 25,- tetapi terutama surat pas itulah yang mengikat saya
untuk meneruskan pelayaran sampai ke Rangoon. Memang surat pas dan $ 25,- itu
ditahan buat menjamin, supaya penumpang ke Burma jangan turun di Singapura.
Sesudah saya
mendapat kembali pas saya diantara Penang dan Rangoon, maka saya perlu
melepaskan apa yang sudah lama saya simpan, yakni dua buku peringatan, yang
penuh dengan catatan yang amat berharga, yang saya peroleh sebagai hasil
pengalaman saya dimana-mana negeri. Dengan hati yang amat berat saya lemparkan
dua buku peringatan itu dekat pesisirnya Tanaserrim, Birma. Di dasar laut di
dekat Tanaserrim-lah lapuk dua buku peringatan. Yang saya isi bertahun-tahun
lamanya itu. Tindakan ini ternyata tepat pula. Di Duane Rangoon semua isi dan
penjuru koper saya diperiksa dengan teliti sekali. Malah kamus Inggris-pun yang
ada di dalam koper saya dibalik lembar demi lembar. Belakangan saya mendengar,
bahwa pemerintah Inggris di Birma amat menakuti seorang Tionghoa masuk, yang
sedikit saja berbau intelektual. Kantong pun tidak luput dari rabaan yang
dilakukan oleh pegawai yang berbentuk Eurasian, campuran darah Eropa dan Asia.
Pemeriksaan duane
yang dilakukan dengan teliti oleh seorang Eurasian itu memberikan sedikit
petunjuk, bahwa pergerakan kebangsaan dan sosial di Birma itu, walaupun berupa
tenang di muka air, tetapi sangat bergelora di bawahnya. Pemberontakan kaum
tani yang dipimpin oleh seorang rahib pada tahun 1927 (?) masih diingat oleh
rakyat jelata, sebagai permulaan perlawanan senjata terhadap imperialisme
Inggris dan oleh Inggris dipandang sebagai mendung yang mengandung guruh petir.
Rahib Saya-San pemimpin pemberontakan tersebut, yang digantung dan diejek
sebagai quack (dukun palsu) oleh
Inggris, oleh rakyat dibisikkan sebagai pahlawan bangsa.
Hampir serupa
dengan keadaan di Indonesia, maka lemah sekalilah jembatan ekonomi, sosial,
politik antara bangsa Inggris dan bangsa Birma. Perindustrian Berat,
Perindustrian Mesin Pembikinan Mesin, tak ada di Birma. Perindustrian enteng,
yang penting buat rakyatpun, seperti industri kain, tak pula ada. hasil Birma
yang terutama ialah beras, minyak dan kayu. Semua tambang minyak, perdagangan
keluar dan ke dalam, semua alat pengangkutan (kapal, kereta) berada di tangan asing.
Tanahpun, seperti di delta sungai Irrawadi, tanah yang paling subur buat padi
sawah itu, hampir semuanya sudah jatuh di tangan chetty, bangsa Hindustan yang
hidup sebagai lintah darat yang kejam sekali. Hampir semua tokoh di kota
Rangoon dipunyai oleh bahasa Inggris, Hindustan, Pakistan dan Tionghoa. Cuma
dua-tiga buah kedai nasi dan satu dua toko alat bunyi-bunyian yang dipunyai
oleh bangsa Birma. Yang saya kunjungi cuma kota Rangoon saja, ialah bandar
terbesar untuk seluruhnya Birma. Statistik tentang ekonomi memberi gambaran
yang amat menyedihkan buat rakyat aslinya Birma. Mungkin di pedalaman juga ada
orang Birma yang mempunyai tanah yang luas atau sedang. Tetapi umumnya tempat
yang penting kepada kota dan alat pengangkutan seperti kereta dan kapal, sumber
pencarian hidup sudah jatuh ke tangan asing. Bangsa Birma yang mempunyai
sejarah yang amat gemilang sampai pada penghabisan abad yang lampau itu, dalam
kira-kira setengah abad di belakang ini sudah jatuh menjadi kaum kuli kantornya
bangsa asing.
Di sebelah
kanannya jurang , terdapat kapitalis-imperialis Inggris, yang menguasai
produksi, perdagangan, pengangkutan dan Bank secara besar-besaran internasional
dan menguasai sepenuhnya politik dalam dan luar Birma (th. 1937).
Di sebelah kirinya
jurang terdapatlah kaum buruh dan tani Birma, kaum pendeta Birma dan kaun
intelektual didikan Barat. Kaum pendeta rapat sekali perhubungannya dengan
rakyat. Sebagian kaum intelek menjadi kaki tangannya Inggris, sebagian kecil
yang radikal memihak kepada rakyat jelata, dan sebagian pula terombang-ambing
diantara imperialis Inggris dan kemerdekaan Birma yang sempurna, yang 100%.
Kedua jurang tadi dijembatani oleh Rakyat Hindustan dan Pakistan serta
Tionghoa, yang menguasai perdagangan tengah dan kecil dan memiliki tanah subur
di Delta Irawadi. Dalam kota Rangoon, yang berpenduduk kurang lebih 500.000 itu
terutama kelihatan bangsa Hindustan, Pakistan, dan Tionghoa. Bangsa Birma
sedikit sekali tampaknya.
Karena tak adanya
jembatan ekonomi antara kapitalisme asing dan perekonomian rakyat asli, maka
pergerakan kemerdekaan Birma bersifat amat radikal, ialah membutuhkan
penyelesaian persoalan politik, ekonomi dan sosial. Tidaklah cukup buat kuli
dan tani Birma, terutama untuk kaum tani proletar di Delta Irawadi, kalau
kekuasaan politik saja yang dipindahkan dari tangan yang berkulit putih ke
tangan yang berwarna coklat (bangsa Birma). Perubahan yang radikal dalam
perekonomian dan kesosialan Birma harus dijalankan bersama-sama dengan
pemindahan kekuasaan politik tadi. Dan perubahan yang radikal, yang bisa
memberikan obat yang sesungguhnya dapat menyembuhkan masyarakat Birma, hanyalah
dapat diselenggarakan apabila bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik
ke tangan rakyat Birma asli itu, juga tanah-tanah dikembalikan kepada para
petani Birma, dan alat-alat produksi yang lain (tambang, pabrik) serta
pengangkutan diberikan kepada buruh dan rakyat Birma.
Dan sekarang pun
(th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagian besar atau kecil), sedang
memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa
itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan
bertiup di Birma.
Dan sekarang pun
(th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagaian besar atau kecil), sedang
memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa
itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan
bertiup di Birma, yang banyak mempunyai persamaan dengan Indonesia, dalam hal
bumi iklim, kebangsaan, teknik perekonomian, sosial politik, bahkan juga dalam
hal kebudayaan kejiwaan bersama dengan jurang luas dan dalamnya antara
kapitalis imperialis asing dengan buruh tani bangsa Birma yang radikal itu.
Pada lahirnya saja
kelihatan bahwa kebudayaan Budhisme yang berdasarkan kelemah lembutan itu dapat
membendung jiwanya bangsa Birma yang berbentuk dan berjiwa sama dengan bangsa
Indonesia itu. Kini sudah kelihatan, bahwa jika itu sudah menembus bendungan
itu disatu dua tempat dan sudah mulai meluap, bergelora, laksana sungai Irrawadi
yang tenang dangkal di musim kemarau berubah menjadi banjir yang deras, meluap,
di musim hujan.
Saya tidak sanggup
lama tinggal di Rangoon dan mempelajari segala-galanya lebih teliti dan lebih
mendalam. Ongkos hidup, walaupun hotel Tionghoa tempat saya menumpang sedikit
sekali meminta bayaran, menyebabkan kantong saya semakin hari semakin kempis.
Buat pekerjaan yang bisa menjamin penghidupan, kita perlu sedikit lama tinggal
di Rangoon. Persaingan di pasar (lapangan) kaum pekerja, halus ataupun kasar amat
tajam sekali. Pekerjaan kantor
pemerintah dan perdagangan tidak saja membutuhkan bahasa Birma dan bahasa
Inggris, tetapi umumnya juga menghendaki ijazah sekolah Inggris. Banyak pemuda
yang berijazah Inggris yang tidak mendapat pekerjaan. Kalau saya cukup lama
tinggal di Rangoon, tentulah saya akan bisa mendapat sahabat. Di negara asing
itu seorang sahabat boleh jadi sekali sebuah kunci pembuka sumber penghidupan
buat kita. Tetapi saya tidak ingin tinggal lama di Birma. Suasana politik di
sekitar Indonesia terasa menarik saya ke sana. Sesudah lebih dari sebulan saya
tinggal di Rangoon, saya bertolak menuju ke Malaya.
Tidak sedikit pekerjaan, terbuka atau tertutup
yang harus dilakukan dan uang suap (Ciak-teh)
yang harus dikeluarkan buat mendapatkan visa dari pemerintah Birma dan karcis
dari kongsi kapal Inggris, Kongsi kapal Inggris tak akan mampu menjual karcis,
kalau pembeli tak mempunyai visa. Pertanyaan yang harus dijawab di kantor
pemerintah kota Amoy sangat banyak memberi pertolongan. Atas surat pas itu
konsul Tiongkok di Rangoon dapat memberikan bantuan. Tetapi resmi atau tidak,
“kerja sama” antara hotel dengan badan resmi membutuhkan Ciak-teh yang tidak
sedikit.
Di pelabuhan
Penang saya tak dapat keluar begitu saja bersama-sama dengan penumpang yang
lain-lain. Lama juga saya ditahan di duane. Entah apa sebabnya saya tidak tahu.
Tetapi saya mendapat kesan, bahwa ada kecurigaan terhadap saya. Si penyelidik
mengakui dirinya Tionghoa. Mungkin sekali ada darah Tionghoa dalam tubuhnya,
tetapi bentuk dan mukanya serta warna kulitnya lebih banyak mirip pada Keling
daripada Tionghoa. Bagaimanapun juga bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik
darida bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik daripada bahasa Tionghoa saya. Oleh
karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa
saya tak perlu mengangkat bendera putih ke depannya. Sekali dia mengakui
dirinya Tionghoa dan memakai bahasa Tionghoa, cepat saya ikuti gerak-geriknya
dalam ke-Tionghoa-an. Apabila dia mau membelok kepada bahasa “Melayu” atau
“Inggris” entah apa sebabnya, maka saya tetap ber-si-Tionghoa dan menarik dia
kembali kepada ke-Tionghoa-an. Setelah beberapa lama pencak silat itu berlaku, maka saya mengambil langkah yang
selamanya ini mendapatkan hasil yang baik, ialah langkah ke arah “Ciak-teh”. Barulah saya lepas.
Di sepanjang
pesisir antara Shanghai dan Rangoon, dimana saja bendera Union Jack berkibar,
sistem “Ciak-teh” itu adalah lazim sekali. Di kedua ujungnya jembatan utara
“kerajaan Johor” dengan pulau Singapura, British Colony, kendaraan kita
“distop” (diberhentikan) buat memberi kesempatan kepada polisi kerajaan Johor
dan polisi Singapura memeriksa barang si penumpang. Ada barang yang mesti
dikenakan cukai, kalau keluar masuk kerajaan Johor. Si penyelundupnya (smugler) men-stop pen-stopan polisi tadi
dengan Ciak-teh, besar atau kecil menurut besar kecilnya untung si penyelendup
yang diharapkannya di waktu depan kalau dia jaya. Si penumpang biasa yang
membawa barang pemakaian biasa saja lama kelamaan terpaksa memberi Ciak-teh
pula, untuk men-stop. Agen polisi yang sudah biasa, dengan jalan pemeriksaan
yang lama dan pelemparan barang-barang penumpang kesana sini, kalau Ciak-teh
alias uang suap tidak segera keluar. Sebaliknya pula, tak akan dilakukan
kewajiban memeriksa itu, ataupun men-stop kendaraan seperti becak, kalau
Ciak-teh lekas dan banyak keluar.
Dengan menjalarnya
penyakit Ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka “immigration law” Inggris yang maksudnya
“membatasi” pemasukan bangsa Tionghoa itu ke Malaya (atas desakan bangsa
Indonesia di Malaya) Farce, sandiwara semata-mata. Orang Tionghoa dari mana,
dari golongan mana dan bilamana saja bisa masuk ke Malaya, asal membayar
Ciak-teh besar atau kecil. Seorang tauke Tionghoa yang sin-kek bisa membayar
Ciak-teh buat surat-pas atau visa dan jaminannya itu dari kantongnya sendiri.
Tionghoa kuli sin-kek bisa dibayarkan oleh majikan atau keluarganya sendiri
yang sudah berada di Malaya. Pelacuran “Immigration Law-nya” Inggris itu
disertai pula oleh pelacuran “Mining Law-nya”, undang-undang yang berhubungan
dengan pertambangan. Undang-undang Inggris yang katanya buat memperlindungi
bangsa Indonesia (Melayu) mencegah bangsa asing atau modal besar menyewa tanah
yang mengandung timah, kalau timah terdapat dalam sawahnya putera bumi oleh
bangsa Indonesia. Tetapi Ciak-teh biasanya dengan mudah menerobos undang-undang
Inggris itu untuk mendapatkan sawahnya mana saja dan bilamana saja kapital
asing menghendaki. Pada tahun 1941, di waktu hampir jatuhnya pertahanan Militer
Inggris dikenai pukulan tentara Jepang, maka ada satu perkara yang menarik
hati, yang sedang digantungkan. Perkara itu berhubungan dengan penerimaan
“Ciak-teh” oleh polisi dan pegawai Inggris, dari pangkat bawahan sampai
insinyur Inggris kepala jawatan pertambangan. Ciak-teh itu diselenggarakan
untuk mendapatkan (dibeli atau disewa?) sawah yang mengandung timah yang selama
ini dimiliki oleh sebuah kampung Melayu.
Pembanjiran orang
Tionghoa dan Hindustan ke Melayu, mudahnya buat kapital besar asing mendapatkan
tanah yang subur untuk perkebunan dan tanah yang mengandung timah, besi dan
arang untuk pertambangan, dan adanya polisi dan pegawai yang korup untuk
“memperlindungi” bangsa Melayu, adalah tiga sebab yang terutama yang mendesak
bangsa Indonesia Melayu ke jurang kemiskinan dan kemusnahan sebagai bangsa.
Dari abad ke-14 sampai ke penghabisan abad ke-16, maka bangsa Indonesia di
Semenanjung Melayu, di bawah kerajaan Malaka, terkenal di seluruh dunia sebagai
kekuasaan laut yang terbesar serta gagah perkasa. Ibu kota Malaka adalah bandar
yang mempunyai traffic, perdagangan
yang terbesar di sepanjang pesisir Asia, dari Shanghai sekarang sampai ke Aden,
bahkan mungkin juga buat di seluruh pesisir Afrika. Dari Indonesia Selatan,
Filipina, Birma, Siam, Hindustan, Persia, Arabia, dan dari Tiongkok dan Jepang
kapal dagang berlayar pulang pergi ke Malaka. Di bandar Malakalah terpusatnya
perdagangan pula, cengkeh dan lada yang sangat dibutuhkan oleh dunia seluruhnya
itu, sebagai bumbu makanan dan obat-obatan. Malakalah pula yang menjadi pusat
timah yang dihasilkan oleh Semenanjung Melayu sendiri dan emas yang dihasilkan
terutama oleh Sumatera. Bandar Malaka yang menjadi pusat perdagangan hasil bumi
seluruh kepulauan Indonesia lambat laun menjadi pusat perdagangan hampir seluruh
dunia. Hindustan dan lain-lain negara disebelah Barat Malaka mengirimkan
utusannya ke-istana Sultan Malaka. Maharaja Tiongkok menerima Sultan Mansur
sebagai menantunya; menerima kunjungannya Sultan itu dengan armada yang terdiri
dari ratusan (900?) kapal perang besar kecil semata-mata buat “perkawinan” saja
(?). Dua kali serangan tentara Siam dihancurkan oleh tentara Malaka. Armada
bajak laut dari Bugis yang hebat dahsyat itu dapat diusir dari selat Malaka.
Pedagang Islam Malaka menjualkan baragnya dan mengembangkan agama Islam serta
bahasa Indonesia hampir di seluruhnya pesisir Kalimantan; berdagang ke pantai
Timur Sumatera, ke Sulawesi dan Maluku; berdagang dan menyebarkan agama Islam
hampir di seluruhnya pesisir Jawa di sebelah Utara. Pendek kata, ada kalanya
kerajaan Malaka menjadi calon yang mengandung pengharapan besar untuk
melanjutkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang meliputi seluruhnya
kepulauan Indonesia. Kerajaan Malaka sanggup melahirkan ahli Negara dan ahli
filsafat Islam seperti Sultan Mansur Syah dan Sultan Muzafar Syah dan Laksamana
seperti Hang Tuah dan Hang Nazim. Pujangga Barat, Portugis dan Inggris
mengagumi Laksamana Hang Tuah sebagai “Pahlawan Indonesia” yang tak ada
taranya” (beyond compare). Perang
Malaka-Portugis yang dimulai pada tahun 1509 berlaku selama lebih dari 40
tahun. Perebutan kota Malaka berjalan 2 tahun lamanya (tahun 1509-1511).
Kemudian ibu kota Malaka ditinggalkan dan peperangan gerilya dilangsungkan
terus di laut, di darat dan ada kalanya di dalam kota Malaka sendiri.
Berkali-kali armada Portugis, yang terkuat di seluruh dunia dimasa itu, dipukul
mundur, dikalahkan atau dibinasakan.
Apakah sebab yang
sebenarnya maka Malaka kalah? Disinilah sejarah, karangan bangsa Indonesia
menunjukkan kekurangannya. Dipukul rata “sejarah Melayu” yang ditulis di Johor
oleh Tuan Sri Lanang dan Paduka Raja pada th. 1612, jauh lebih jelas
(berdasarkan bukti yang nyata) daripada 1001 dongeng yang lain-lain di
Indonesia. Kebanyakan dongeng Indonesia lebih banyak bumbu daripada makanannya:
enak baunya, tetapi tak ada atau sedikit sekali patrinya. Sukar sekali kalau
tiada mustahil memastikan secara ilmu (sejarah tempat, tempo dan kejadian yang
sesungguhnya. Dalam hal yang tersebut di belakang ini sejarah Melayu ada banyak
juga memberi kepastian. Tetapi sukarlah, kalau tidak mustahil kita akan
mendapatkan keadan masyrakat di bandar Malaka yang besar memberi kepastian
tentang: cacah jiwanya bangsa asing (Tionghoa, Arab, Hindu, dll) dan banyaknya
bangsa Indonesia (Melayu, Jawa, Sumatera, Bugis) di masa itu; banyak anggotanya
masing-masing suku bangsa Indonesia di bandar Malaka dan banyak anggota
golongan pegawai kerajaan, saudagar, tukang, buruh serta tani dan nelayan
Indonesia; hal kerja sama atau pertentangan (dalam hal ekonomi dan politik)
antara suku dan suku bangsa Indonesia atau antara golongan dan golongan dalam
masyarakat Indonesia itu. Pengetahuan secara statistik dalam hal tersebut
dibelakang inilah yang sebenarnya bisa kita pakai sebagai bahan berpikir untuk
menentukan keadaan dan kekuatan masyarakat Indonesia dalam kerajaan Malaka yang
sesungguhnya. Sejarah Asia umumnya, kecuali Tiongkok dan Arab (?) serta
Hindustan Indonesia khususnya tidak memusingkan kepala tentang statistik itu.
Dari sumber Barat
kita dapat mengetahui, bahwa teknik Portugis itu dalam dasarnya tak seberapa
melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. (Menurut
sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membuat
bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap
tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia).
Perbedaan teknik Portugis dan Malaka cuma terdapat dalam kekuatan senjata itu
saja. Meriam Portugis dapat menembak lebih jauh daripada Malaka! Memang perbedaan
kekuatan ini menimbulkan satu “handicap” (rintangan) di pihak Malaka, tetapi
rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Laksamana Malaka
selalu menghindarkan pertempuran pada jarak yang memberi keuntungan kepada
meriam Portugis. Laksamana Malaka menyerbu di waktu hujan kabut, ribut topan,
dengan maksud merapatkan kapal perangnya ke kapal Portugis dan menaiki kapal
perang Portugis dengan Pelaut Indonesia yang tak mengenal takut dan gentar itu.
Demikianlah
berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan. Tetapi riwayat kemenangan yang
berkali-kali terdapat di laut itu kita baca sesudahnya kota Malaka
ditinggalkan. Selama pertempuran berlaku di kota Malaka sendiri, tak terdengar
kabar dimana adanya Armada dan laksamana Malaka yang masyhur itu. Riwayat Hang
Tuah memang tidak jelas seluruhnya bagi kita. Apakah Laksamana Hang Tuah sudah
meninggal dunia di waktu itu tetap belum mendapat ganti? Atau sudah mendapat
ganti (Hang Nazim) tetapi, entah lantaran apa, belum juga bertindak? Ataukah
Hang Tuah masih hidup, tetapi masih dalam buangan dan dalam persangkaan sudah
di hukum bunuh atas fitnah istana dan tuduhan palsu yang sudah terkenal itu?
Sejarah yang
tertulis tidak memberi jawaban atas pertanyaan seperti di atas itu, kepada
saya. Tetapi bagi saya, Armada, Tentara dan Strategi Portugis belum tentu
sekali dapat mengalahkan Armada, tentara dan strategi Malaka, kalau yang
tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara
Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang
berasal dari Aceh menghalaukan Armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan
Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya dan memotong jalan Portugis ke
Maluku mencari barang dagang penting.
Pokok sebab yang
menaklukkan Kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan
keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali prajurit laut Portugis
pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak dapat
pertolongan ratusan jong Tionghoa berada di pelabuhan Malaka. Kapal perang
Portugis terpaksa berlabuh di tengah-tengah. Karena dangkalnya lautan di tepi
pantai. Dengan jong Tionghoa-lah prajurit itu mesti diangkut ke darat. Bandar
Malaka yang sesudah ditinggalkan oleh semua penduduknya menyingkir ke luar
kota, ke dalam hutan, pada permulaan perang itu, akan terus kosong, kalau
penduduk Tionghoa tidak kembali ke kota untuk, berlindung di bawah bendera yang
menang, dan dengan begitu memelopori bangsa asing lainnya dan bangsa Indonesia
yang pengecut dan berkhianat, masuk ke kota. Bangsa Jepang tidak membantu
penjajah Barat dengan alat perang seperti Tionghoa membantu dengan jongnya itu,
tetapi dengan senjata di tangan. Dalam sejarah yang ditulis oleh Portugis, maka
bangsa Jepang tercatat sebagai pembantu yang amat patuh dan taat sekali. Sikap
tindakan Tionghoa-Jepang dalam usahanya membantu penjajahan Barat untuk
meruntuhkan Kerajaan Malaka itu adalah paralel (sejalan) dengan sikap tindakan
Tionghoa-Jepang di Jakarta ketika membantu Jan Pieterszoon Coen mengalahkan
Tentara Sultan Agung. Baiklah juga pemuda Indonesia memperingati sikap tindakan
Tionghoa Jepang dimasa lampau itu, supaya berlaku awas, dengan tidak
mengabaikan usaha untuk merapatkan perhubungan kita sesama bangsa Asia, yang
sama ditindas dan dihisap oleh kapitalisme imperialisme Barat ini. Peringatilah
pula, bahwa meskipun perkawinan Sultan Malaka dengan Putri Tionghoa itu
mengandung politik diplomasi, tetapi peristiwa itu juga mengandung makna yang
dalam. Memang satu golongan bangsa Hindustan di masa itu mengambil sikap
tindakan ragu-ragu dan merugikan kita. Tapi sikap tindakan seorang Hindu, yang
terkenal dalam sejarah dengan nama Tuan Bondan, yang pernah menjadi utusan
sultan Malaka ke kapal perang Portugis, cuma boleh dikatakan sikap dan tindakan,
yang tak ada bedanya dengan sikap dan tindakan Indonesia asli, pecinta bangsa
dan negaranya. Jadi dipukul rata sikap dan tindakan bangsa asing, adalah sangat
merugikan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia Malaka.
Kedua, boleh
dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dari Jepara dengan
Armada Malaka. Atas anjuran Patih Katir (Kadir) dari Malaka, maka Bupati Unus
di Jepara mengirimkan Armada yang kuat, katanya terdiri dari 900 kapal perang
besar-kecil, lengkap dengan senjata api serta pelaut yang terdiri dari hampir
semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Palembang, Bugis). Armada ini berlayar
mengelilingi pulau Sumatra, ialah sebagian melalui pesisir Barat Sumatra dan
terus ke – utara sampai ke Selat Malaka dengan maksud hendak menyerang armada
Portugis. Yang sebagian lagi melalui laut Jawa, dari selatan menuju ke utara
dan banyak sekali membawa makanan. Oleh Armada Bupati Unuus saja Armada
Portugis sudah hampir kalah. Tak dengan
kekalahan penuh dilautpun, kalau pasukan Portugis yang berada di bandar Malaka
terus diblokir (dikepung), niscaya tentara Portugis itu akan mati kelaparan.
Tentara Portugis dapat tertolong, karena Armada Bupati Unus yang mengangkat
beras buat tentaranya sendiri, ditawan oleh Portugis. Dengan begitu, maka
tentara Portugis yang hampir mati kelaparan itu mendapat beras banyak sekali.
Boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dengan Armada
Sultan Malaka yang bergerilya itu, baik dalam hal merencanakan persiapan
ataupun dalam usaha merencanakan siasat. Akan berlainanlah jalannya sejarah
kerajaan Malaka khususnya dan sejarah Indonesia umumnya, jika Armada Bupati
Unis yang pulang kembali ke Jawa, tetapi tak pernah ditaklukkan itu, dapat
kerja sama dengan Armada Malaka, ketika mengadakan persiapan membentuk siasat
dan menyerang musuh.
Ketiga, tipis sekali kerja sama antara
pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni dibawah Patih Unus (?)
dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah Sultan pada
peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka.
Provincialisme yang membahayakan itu sesungguhnya tipis sekali atau tak ada
sama sekali diantara rakyat jelata dari kedua suku bangsa itu. Utimutis lama
memihak kepada Portugis dan akhirnya dibunuh juga oleh Portugis, setelah
tenaganya dipergunakan. Tetapi pengkhianatan itu ditebus dengan menantunya dan
gantinya sebagai Patih Kamping Upi, ialah oleh patih Katir, yang dengan surat
mempermaklumkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Sultan Malaka. Kerja sama
antara Patih Katir dengan Sultan dan Laksamana, yang berarti pula kerja sama
antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa Melayu pada masa perang gerilya,
amat rapat dan kekal sekali, sehingga sering mendapatkan hasil perjuangan yang
gilang gemilang. Alangkah baiknya pula, kalau kerja sama antara kedua suku
bangsa itu direncanakan dan dilaksanakan dari semula, ketika masih bertempur
membela bandar Malaka.
Keempat,
perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud,
yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan
kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak menjadi alat
adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka
sendiri. Sultan tentulah mempunyai tentara resmi. Putera Mahkota, Aladdin
mempunyai tentara prive. Bendahara (Mangkubumi) pun mempunyai tentara prive
pula. Demikianlah pula para pembesar lain-lain mempunyai pasukan sendiri buat
membela kepentingannya sendiri. Sengketa diantara partai dan partai, golongan
dan golongan, diwaktu banyak perampokan yang merajalela itu, maka raja-raja
yang zalim itu sendirinya menjadi contoh dalam hal kezalimannya bagi pembesar
yang lain. Raja tak mempunyai pengaruh atas pegawai negara dan rakyat, karena
raja itu berlaku sewenang-wenang terhadap harta benda rakyat serta para wanita.
Raja tidak disegani lagi oleh rakyatnya, dan cuma ditakuti oleh yang lemah.
Oleh yang kuat, yang kaya dan bersenjata, raja itu dibenci dan dimusuhi. Ke
dalam “bellum emnum contra emnes”
(perjuangan seorang melawan seorang
lain) lah yang bersimaharajalela, di kota Malaka. Datuk Maharajalela sendiri
yang mulanya cuma seorang hulubalang sebagai penjaga dalam suatu rapat Kerajaan
saja, menjelma menjadi lambang sewenang-wenang. Dengan sudut mata saja,
seseorang pembicara dalam rapat kerajaan yang tidak disenangai oleh Sang Datuk
atau Rajanya, dapat dipegang dan dipancung pada ketika itu juga.
Satu dongeng
sajakah atau memang satu kenyataankah tentang adanya sifat dan watak manusia
yang dikatakan dimiliki oleh Hang Tuah itu, tidaklah dapat dipastikan. Tetapi
tampak perhubungannya watak Hang Tuah yang dikehendaki, diidealkan dan dipuja
itu dengan kekacauan dan anarki (tak mengakui kekuasaan, authority), maka
dimajukan lawannya, ialah tunduk sama sekali kepada authority, kepada Raja,
ialah lambang kekuasaan: “Pemerintah Raja tak bisa disanggah (dibantah),
walaupun Raja itu tidak adil”. Bukankah Hang Tuah yang cerdik, bijaksana,
satria dan suci itu sendiri terima kezaliman itu dengan patuh? Dengan
“kepatuhan mutlak” itu sesungguhnya tersingkirlah Filsafat politik Melayu yang
dianut selamanya ini, yakni: Raja adil
Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah (dibantah).”
Memang dengan
sifat patuhnya maka Hang Tuah biasanya dapat mempengaruhi dan mengendalikan
Rajanya yang zalim. Tetapi berapakah orang yang sebenarnya sudah dihukum mati
itu, tidak jadi dibunuh oleh karena Datuk Maharajalela, algojo, sendiri atas
tanggung jawabnya sendiri, menyembunyikan Hang Tuah di desanya algojo itu
sendiri. Kalau simpati itu tak ada, maka Hang Tuah tak akan ada pula lagi.
Bagaimanapun juga watak tingkah lakunya Hang Tuah yang dipuja itu cukup memberi
petunjuk kepada kebencian dan ketakutan rakyat pada watak dan tingkah lakunya
Sultan Mahmud.
Benar atau tidak
Hang Tuah hidup dalam buangan pada permulaan perang Portugis-Malaka, tetapi
pada waktu yang amat penting itu, Laksamana tidak tampil ke muka. Putera
Mahkota sendiri bertentangan hebat dengan ayahanda. Pertentangan ini berakhir
dengan perpisahan antara ayah dan anak, masing-masing memimpin tentara
menghadapi musuh. Walaupun Sultan Mahmud bukannya seorang pengecut, melainkan
sebaliknya, tetapi perpecahan antara ayah dan anak itu sangat merugikan
seluruhnya prejuangan melawan imperialisme Portugis itu.
Ringkasnya,
sebagai jawaban sementara atas pertanyaan diatas “apakah sebabnya maka Kerajaan
Malaka kalah oleh Portugis” saya majukan bahwa disamping kekurangan teknik,
maka perkara yang terpenting ialah perkara persatuan juga. Seperti diterangkan
diatas tak ada atau tipis sekali persatuan antara penduduk asli Kerajaan Malaka
dengan bangsa Asia lain-lain, antara satu bangsa dengan suku bangsa Indonesia
lainnya, antara Sultan dengan Putera Mahkota, semua ini bersamaan dengan
kezaliman Sultan Mahmud itu.
Sejarah kota
Malaka tidak berhenti dengan pendudukan tentara Portugis di kota itu saja. Aceh
mencoba melepaskan Malaka dari cengkeraman Portugis. Belanda mencoba dan
berhasil merebut Malaka dari tangannya Portugis (1641). Akhirnya kota Malaka
oleh Belanda dipertukarkan dengan Bengkulen yang dijajah oleh Inggris. Sebentar
pada tahun 1942 Malaka direbut oleh Jepang dari tangan Inggris. Setelah Jepang
kalah, maka Malaka jatuh kembali ke tangannya Inggris sampai sekarang.
Di tangan Inggris
kota Malaka tidak bertambah besar, dan tidak dapat menyamai artinya di masa
lampau. Bahkan sebaliknya. Malaka sudah lama dikalahkan oleh kota dan bandar
lainnya di Semenanjung sendiri, apalagi oleh kota dan bandar Asia lainnya.
Sebab yang pertama ialah karena pelabuhan Malaka tidak memenuhi syarat untuk
kapal Samudera. Samuderalah yang oleh Raffles dianggap mempunyai syarat yang
dibutuhkan sebagai bandar, berhubung dengan perniagaan dan strategi, Rafles
berusaha dan dapat pula membeli Singapura dengan harga $ 60.000,- dari Sultan
Hussein, seorang gila yang ditolak oleh rakyat Johor dijadikan Raja, sebab
gilanya itu, tetapi diangkat oleh Rafles sebagai bonekanya.
Tidaklah adatnya
imperialisme Inggris memukul dengan langsung. Dia mengalahkan sesuatu negara,
pertama dengan siasat memutar (indirect)
dan setelah masuk buat direbut, barulah dengan siasat langsung, siasat perang.
Dia memulai dengan politik adu domba dan blokade ekonomi, dan mengakhiri dengan
pukulan militer.
Dengan hilangnya
kota Malaka sebagai ibu kota, maka lambat laut Semenanjung mundur dan
pecah-belah berupa berbagai-bagai “kerajaan” sebesar nyamuk. Johor sebagai ibu
kota pelarian dari pemerintah kerajaan Malaka, tidaklah pernah dapat menyamai
kekayaan dan kekuasaan kota Malaka.
Pada masa Raffles
menduduki kota Singapura, jadi lebih dari satu abad lampau, maka menurut satu
statistik yang saya baca dalam “Straits Time” (?) penduduk Singapura baru 6
ribu orang. Memang sudah ada juga orang Tionghoa di masa itu, tetapi bangsa
Indonesia jauh lebih banyak, kalau saya masih ingat adalah l.k. 90% dari semua
penduduk. Tidak saja banyaknya penduduk, tetapi hampir seluruhnya mata
pencarian masih ditangannya bangsa Indonesia. (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis,
Palembang dll). Perusahaan, pelayaran, perikanan, dll. masih sebagian terbesar
berada di tangannya bangsa Indonesia. Apalagi di pedalaman, semua sumber
pencarian hidup masih di tangan putera bumi. Pertambangan timah yang masyhur
dari zaman dahulu kala itu, berada di tangannya Indonesia. Disebutkan dalam
salah satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan yang
terbesar ialah yang dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja
Mandailing.
Memang bangsa
Tionghoa dan Hindu di zaman lampau banyak mengambil bagian dalam perdagangan
Indonesia. Tetapi terutama dalam bagian export. Di pasar pedalaman boleh
dikatakan seluruhnya perdagangan berada di tangannya Indonesia, seperti masih
kelihatan sekarang di Minangkabau. Pun perdagangan export dan perkapalan,
sebagian besar masih digenggam oleh bangsa Indonesia (Sriwijaya, Majapahit,
Banten, Minangkabau, Malaka dll). Tentang pertukangan, seperti dalam hal
tembaga, perak, besi dan emas, bangsa Indonesia pasti tak kalah oleh bangsa manapun
juga di masa lampau itu. kainpun ditenun di Indonesia sendiri. Yang masuk dari
luar negeri tidak berapa macam dan banyaknya barang. Umpamanya sutera dari
Tiongkok, cawan-piring dari Indo-Cina. Tetapi Indonesia hampir mengeluarkan
semua macam logam untuk alat dan perhiasan, rempah-rempah, kayu serta barang
hutan seperti rotan, damar, kamper dll. Di kota Malaka dan Singapura sebelum
Raffles, sebagai bandar-bandar Indonesia yang didiami oleh berbagai-bagai suku
bangsa dari seluruhnya Indonesia, perusahaan, perdagangan, dan perkapalan
sebagian besar berada di tangannya bangsa Indonesia. Musafir Tionghoa yang
melukiskan kota Malaka di zaman luhurnya menghargai saudagar Indonesia sebagai
orang yang cakap dan jujur.
Berturut-turut
bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris menghancurkan tentara dan semangat
keprajuritan Melayu di daratan dan di lautan. Kemudian dalam lebih kurang satu
abad belakangan ini Inggris menghancur luluhkan perusahaan, perdagangan dan
perkapalan Melayu dan menukar bangsa Melayu dari bangsa penyebar agama, ahli
dan pembesar negara, prajurit, tukang, pelaut dan saudagar menjadi polisi,
sopir, tengkulak, dan bujang kantor.
Kejadian Inggris
dalam usahanya itu terutama disebabkan oleh (1) perampasan tanah dan logam, (2)
pemasukan modal dan tenaga bangsa asing dengan tidak terbatasnya, atau namanya
dibatasi tetapi mudah diselundupi karena adanya polisi yang korup.
Perkara perampokan
tanah tidaklah perlu banyak lagi saya uraiakan disini. Diatas sudah banyak saya
sebutkan sebagai modal besar menerobos “Mining
Lawnya”, Undang-Undang tambang itu dibikin (buat diselundupi!), maka hampir
semua tanah yang berisi logam (timah, arang, dan besi) sudah dirampas oleh
modal besar met of zonder persetujuan
“para Raja”, ialah kaki tangannya Inggris, dan penindas serta pengisap
rakyatnya. Tetapi dihampir jatuhnya Malaka ke tangan Jepang, maka masih banyak
orang Tionghoa, dengan tidak seizinnya Indonesia asli berkeliaran di hutan,
merampas tanah yang mengandung emas. Mereka menambang emas, mengeruhkan
sungai-sungai yang dahulunya mengandung banyak ikan untuk makanan putera bumi
dan musnah lantaran kekeruhan air itu. Seorang Inggris bernama Hubback (?)
acapkali menulis dan memprotes perkara ini, tetapi tidak diacuhkan oleh
pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh modal timah dan getah. Hampir seluruh
perikanan di pesisir semenanjung, yang dahulunya menjadi sumber pencarian bagi
Putera bumi sudah lama jatuh ke tangan Tionghoa totok. Dengan izinnya
pemerintah Inggris memberikan tanah kepada bangsa Tionghoa di beberapa tempat,
maka akan mungkin gelap benarlah nasibnya Indonesia asli di hari depan.
Perkara masuk
tidak terbatas (unlimited immigration)
bangsa asing itu ke Malaya, sekarang sebenarnya bukan soal lagi bagi bangsa
Melayu. Sekarang pun bangsa Melayu yang 2 juta banyaknya itu sudah kurang
daripada jumlah bangsa Tionghoa dan Hindustan. (Tionghoa lebih dari dua juta
dan Hindustan kurang dari 1 juta banyaknya!). Sekarang bukan lagi soal
membatasi masuknya orang asing yang sudah lebih banyak daripada bangsa asli
itu, melainkan perkara bagaimana jalannya mengurangi banyaknya bangsa asing
yang mendesak bangsa asli dalam penghidupannya sendiri atau menambah banyak
bangsa asli sekarang supaya mendapatkan angka yang patut pantas berhubung
dengan politik, ekonomi dan sosial Tanah Semenanjung dan kemerdekaan 100% bagi
seluruhnya bangsa Indonesia.
Bahwa penduduk
asli sudah dilebihi oleh jumlah penduduk asing itu, belumlah memberi gambaran
yang benar tentang nasib hidupnya bangsa asli. Begitu pula sedikit jumlah
bangsa Yahudi di sesuatu negara di Eropa atau sedikit jumlahnya orang Chetty di
Burma kalau dibandingkan dengan penduduk asli, bukanlah pada memberi gambaran
yang sempurna tentang keadaan bangsa asing. Haruslah terutama diselidiki
keadaan ekonomi umumnya dan sumber pencaharian yang dipegang oleh bangsa asing
itu khususnya.
Semua perkebunan besar sudah dimiliki oleh
bangsa asing (Inggris dan Tionghoa). Cuma ladang getah yang setelapak tangan
luasnya yang masih berada di tangan bangsa asli. Hasil getah yang seluas
telapak tangan itupun jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan). Setelah dikumpulkan getah yang dibatasi
keluarnya itu (buat membantu kebun asing), maka seterusnya getah putera bumi
tadi jatuh ke tangan tengkulak saudagar dan exportir asing. Dua tiga benggol
saja yang tinggal di kantongnya bangsa Melayu. Perusahaan timah sudah lama
jatuh di tangan bangsa asing. Tetapi kalau seandainya pekerjaan buruh di
pertambangan dan diperkebunan di jalankan oleh bangsa Melayu, maka akan ada
juga ampas perekonomian yang jatuh ke tangan Melayu, akan ada juga timah yang
jatuh dari meja makannya modal asing, yang dapat dimakan oleh putera bumi.
Tetapi ampas perekonomian inipun jatuh ke tangan kuli asing. Lompen proletar
asing, orang luntang-lantung di Tiongkok ataupun penjahat yang dikejar-kejar
oleh pemerintahan Tiongkok, baik dahulu maupun sekarang, dapat masuk ke
Singapura, satu Free-port, pelabuhan
bebas. Mereka lepas dari tuntutan dan berbahagia mendapatkan satu dua benggol
untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun.
Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya
dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya)
menerima upah yang amat rendah (30 sen sehari). Semakin banyak “luntang-lantung”
Tionghoa dan Keling yang masuk, semakin tajam persaingan antara kuli dan kuli
dan semakin baik buat si kapitalis yang menghendaki kuli yang murah, rajin dan
patuh.
Dengan masuknya Tionghoa, Hindu, Keling ke
Malaya, dengan kekuatan sebagai arus banjir menerobos pematang (dijk,
galangan), maka hancurlah bangsa Indonesia ke pinggir-pinggir kota dan ke
pegunungan. Kota, dan kebun rata-rata diduduki oleh “para tamu”. Beberapa
contoh yang saya saksikan sendiri dalam lebih kurang seperempat abad di belakang
ini, dapatlah kiranya memberikan sekedarnya gambaran. Sekembalinya saya dari
Nederland tahun 1919, maka di bagian kota Singapura, yang sekarang berada di
sekitarnya “High Street” masih
terdapat toko bangsa Indonesia. Pun disana sini kelihatan rumah yang sedang
besarnya, yang didiami oleh bangsa Indonesia. High Street adalah tiga atau
empat km jauhnya dari pelabuhan Tanjung Pagar. Di Kampung Gelam, yang juga
dinamai Kampung Jawa, boleh dikatakan cuma kedai dan rumah bangsa Melayu yang
terdapat. Bangsa Indonesia masih mempunyai perusahaan emas, perak, tembaga,
toko kain, perusahaan penjahitan, toko barang kelontong, warung nasi dan rumah
yang besar-besar juga. Jauhnya Kampung Gelam, dimana masih berdiri “istana”
yang diberikan oleh Raffles kepada Sultan Hussein sebagai umpan, adalah +- 5-6
km jauhnya dari pelabuhan. Selanjutnya Kampung Geylang yang luas dan +- 9-10 km
jauhnya dari pelabuhan itu, hampir sama sekali pula didiami oleh bangsa
Indonesia. Bangsa Tionghoa sebagian besar terkumpul dekat pelabuhan Tanjung
Pagar, dinamai “Cina Town”, kampung
Cina.
Pada tahun 1927,
jadi kurang 10 tahun lamanya di belakang hari, maka sekitarnya High Street
sudah tak kelihatan lagi dari toko dan rumah orang Indonesia. Kampung Gelam
atau Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Hindu dan
Keling. Cuma Geylang saja yang masih boleh dikatakan kampung Melayu.
Pada tahun 1937,
ketika saya masuk kembali ke Singapura maka tidak saja sekitarnya High Street,
tetapi juga Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa,
Keling, dan Hindu. Orang Indonesia cuma terdapat disana-sini sebagai barang
peringatan ke masa lampaunya. Oleh karena usaha Encik Yunus, seorang Indonesia
Minangkabau, maka pemerintah Singapura membenarkan berdirinya “kampung
istimewa” buat orang Melayu. Disini cuma orang Indonesia saja yang boleh
tinggal. Jauhnya Kampung Melayu “istimewa” ini lk. sudah 20 km dari pelabuhan.
Seperti Amerika Serikat akhirnya, berdasarkan peri kemanusiaan mereka perlu
mengadakan Indian Reservation, tanah istimewa buat penduduk asli orang Indian
itu, demikianlah pula karena prikemanusiaan, ala Inggris, pemerintah Singapura
merasa perlu mengadakan “Malaya
Reservation” untuk bangsa Indonesia yang sudah sangat mendesak itu, di
tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937
itu, jadi lebih kurang dalam seperempat abad semenjak saya mengunjungi
Singapura yang pertama kalinya itu, maka bangsa Indonesia sudah berturut-turut
terpelanting dari pelabuhan Tanjung Pagar (tempat kediaman mereka semula,
ketika Inggris masuk) : (1) ke sekitar High Street, 3-4 km dari pelabuhan,
ialah pada tahun 1919, (2) ke Kampung Gelam, 5-6 km dari pelabuhan, ialah pada
tahun 1927 (3) ke Kampung “istimewa” +- 20 km dari pelabuhan, ialah pada tahun
1937.
Di Kampung Jawa,
bekas pusatnya perekonomian Indonesia, hilang lenyaplah perusahaan logam (emas,
perak, tembaga) Indonesia. Yang tinggal cuma satu dua penjahitan kulit dan
pecis. Dua toko kain Padang dan satu warung nasi Padang, satu toko obat Jawa
dan satu toko buku Indonesia lagi, berdiri sebagai “candi” perekonomian
Indonesia di tengah-tengah masyarakat asing di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937
itu penduduk Singapura ditaksir 700 ribu orang banyaknya. Diantaranya ditaksir
600.000 Tionghoa atau lebih kurang Tionghoa atau lebih kurang 85%; orang Keling
Hindu 70.000 orang atau 10% dan orang Melayu 30.000 orang atau lebih kurang 5%.
Ada pula yang menaksir banyaknya orang Melayu cuma 10.000 orang saja, atau cuma
1% lebih sedikit saja. Demikianlah jatuh perbandingan banyaknya bangsa Melayu
dari 90%, ketika Inggris masuk, sampai ke 5% atau 1% dari jumlah penduduk
diwaktu satu abad dikemudian hari.
Hal jumlah di
Singapura saja belumlah dapat memberi ukuran yang sempurna. Harus diketahui
pula bahwa tidak saja di kota Singapura, tetapi juga di kota-kota besar seperti
Penang, Kuala Lumpur dll, bangsa Timur Asing sudah mempunyai sebegitu banyak,
sehingga mereka bisa mengadakan produksi sendiri, pasar sendiri, perguruan
sendiri, masyarakat sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakatnya
sendiri dan logis-nya sendiri. Tak berapa jauh daripada kebenaran, kalau
dikatakan, bahwa bangsa Timur Asing umumnya dan bangsa Tionghoa khususnya sudah
mengadakan “Negara di dalam Negara”
di Semenanjung Malaya.
Bangsa Indonesia
sendiri, yang mengaku dirinya sebagai putera bumi, turunan ahli agama, ahli
negara dan pembentuk Undang-undang Laut seperti Sultan Mansyur Syah; turunan
Hang Tuah seorang anak miskin yang sanggup menjadi ahli siasat, politi, ahli
jiwa serta lambang kesatriaan dan kejujuran; bangsa Indonesia Malaya yang
pernah menguasai produksi, perdagangan dan perkapalan; bangsa Indonesia Malaka,
yang oleh Maharaja Langit dari kerajaan yang terbesar di dunia ini diakui
sebagai bangsa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”; bangsa Indonesia
yang cakap mengawasi ketentraman di laut daerahnya dan sanggup memberikan
hukuman kepada pelanggar undang-undang lautnya, walaupun dari rakyatnya
kerajaan yang terbesar di dunia, dalam kurang lebih satu abad oleh Inggris
diturunkan menjadi bangsa polisi, bujang kantor dan sopir dari bangsa asing di
tanah airnya sendiri.
Bangsa Indonesia
seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya.
Sebagai pusat pasar dunia, pusat lalu
lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular
berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan komplotan dan perusakan
imperialis Inggris di Malaya itu tak diperamati oleh bangsa Indonesia dengan
berpangku tangan saja. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak
berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhirnya di
Madiaun pada tanggal 17 Maret 1946 saja. Pun tidak pula tidak akan terhenti
dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan
sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Kemusnahan bangsa Indonesia Malaya, atau tenggelamnya
bangsa Indonesia Malaya diantara bangsa Asia-Timur yang masih mengakui
leluhurnya sebagai negaranya, adalah perkara yang langsung dan tak langsung
akan mempengaruhi soal hidup matinya Republik, teristimewa di hari depan.
Demikianlah adanya
suasana di Semenanjung Tanah Malaya, ketika saya keluar dari Duane di Penang.
“Dimanakah saya bisa tinggal untuk mendapatkan pekerjaan pertama kali untuk
sumber penghidupan”, inilah pertanyaan yang mendesak dalam pikiran saya, karena
uang simpanan saya semakin hari semakin habis
Di Kampung Melayu
tak ada mata pencaharian, yang lekas dapat memberikan hasil. Bersawah tidaklah
umum, dan tanaman getah baru mengadakan hasil sesudah 7 tahun. Mengajar di
surau (langgar) memangnya buat seorang alim Indonesia adalah suatu pekerjaan
yang mudah dilakukan, tetapi mengajar di sekolah (kalau ada sekolah!)
memberlakukan ijazah Inggris. Ijazah Inggris saya tidak mempunyai. Ijazah
Hindia Belanda tidak boleh saya simpan apalagi dipertontonkan. Lagi pula orang
Indonesia dari Jawa atau Sumatera, yang pandai “cakap orang putih”, yang pada
masa itu cuma mencurigakan saja. “Mungkin sekali dia komunis pelarian”,
demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927. Intelligence Service (I.S)
Inggris yang bekerja sama dengan P.I.D Belanda sama tajam penciumannya dengan
herdershond tulen (anjing pemburu). Di pertambangan sukar didapatkan pekerjaan,
karena hampir semua pekerjaan sudah dimonopoli oleh Tionghoa totok. Di kebun
getah lebih besar pengharapan mendapatkan pekerjaan, yakni di waktu makmur.
Tetapi pada masa itu pengangguran masih umum berlaku di Malaya. Bagaimanapun
juga hidup di kampung atau di kebun buat kita orang kota yang sudah jauh merantau,
adalah satu kesunyian, satu siksaan. Baiklah buat seminggu dua, tetapi lebih
lama dan itu kita rasa sebagai hidup di dalam penjara saja. Di kotalah tempat
yang dapat memenuhi penghidupan dan perasaan kita yang biasa hidup di kota
besar. Bukannya saya tidak mencoba hidup di desa Melayu. Tetapi segera saya
tertumbuk pada peristiwa yang membahayakan kemerdekaan diri.
Disalah satu
“kerajaan” di Malaya, memangnya saya mempunyai sahabat lama, yang sudah diuji
kesetiaannya. Tetapi karena imperialisme Inggris sekarang kembali lagi ke
sarangnya, sesudah diperlututkan oleh tentara Jepang pada tahun 1942, maka
tidalah baik saya sebut namanya sahabat itu. Memangnya pula ada kebahagiaan
karangan ini saya tidak lagi dengan sengaja akan memakai “nama” yang pasti dari
siapa ataupun apa saja, yang bisa memberi petunjuk, yang kiranya dapat
dipergunakan oleh P.I.D nya imperialisme mana saja.
Setelah beberapa
kota dan kampung di pedalaman Malaya saya kunjungi, dan sesudah mendapatkan
kepastian, bahwa saya tidak mudah mendapatkan pekerjaan maka akhirnya pada satu
hari di tengah malam saya mengetuk pintu rumahnya sahabat (sh) X di kampung Y.
Dia terkejut, karena dia tidak menyangka kunjungan saya di tengah malam,
sesudah perpisahan +- 10 tahun lamanya itu. Dia ceritakan bagaimana dia
menderita kesusahan, karena berhubungan dengan saya di waktu lampau. Pangkatnya
diturunkan dan berbulan-bulan lamanya ia diawasi oleh I.S. walaupun begitu,
karena memangnya persamaan keyakinan, dengan tidak ragu-ragu ia mempersilahkan
saya tinggal di salah satu rumah keluarganya.
Malangnya pula
diantara keluarganya itu ada seorang pensiunan yang dulunya bekerja dalam
kepolisian Inggris. Dalam kampung Y yang kecil itu tentulah dengan adanya saya
sebagai tamu tak lama dapat disembunyikan. Setelah saya melihat perhatian yang
ganjil terhadap saya dari pihak pensiunan polisi tadi, maka pada tengah malam
pula saya pergi mengunjungi X dan meminta penjelasan. Berterus terang
dikatakannya bahwa memangnya orang itu saudaranya sendiri, dan walaupun sudah pensiun,
X sebenarnya tidak percaya sungguh kepadanya. “Maklumlah walaupun polisi itu
sudah pensiun, semangatnya masih semangat penangkap”, katanya. Bintang tanda
“jasa” besar, sangat disukai oleh polisi di sini, katanya pula dengan segala
kejujuran di mukanya.
Kepada sh X saya
meminta pertimbangannya, apakah baiknya saya lekas pergi saja, ataukah tunggu
dulu. Segera sh menjawab: “Terserah kepada saudara! Maklumlah saya ingin hendak
memberikan pertolongan!!?? Tetapi saya tak ingin memberi kesan, bahwa saya seolah-olah
mengusir saudara”.
Dengan cepat saya
putuskan, hendak bertolak, dengan tidak pula menunggu-nunggu. Dia menyerahkan
sekedarnya uang, yang kebetulan baru saja diterimanya dari salah seorang
saudaranya sebagai pinjaman getah, dengan perkataan: Ini uang rupanya rezeki
saudara. Kebetulan baru saja saya terima. Selamat jalan.”
Pagi benar saya
meninggalkan kampung Y. saya mengendarai sebuah becak. Tetapi karena bekas
pensiunan juga memberi pamitan ketika saya berangkat, dan menurut pengakuannya
dia dulu memang banyak mempelajari gambar saya pula maka di tengah jalan becak
itu sengaja saya tinggalkan. Pembaca harus maklum bahwa becak di Singapura
(Malaya) mempunyai nomor, dan seorang polisi Malaya, apalagi sudah pensiunan
pula, tajam sekali peringatannya tentang nomor becak itu. Nomor itu dapat
dipakai oleh I.S Inggris dibelakang hari. Sepotong kain kepunyaan orang yang
dicarinya saja bisa dipergunakan untuk diciumkan kepada anjing pemburunya.
Apakah lagi nomor becak. Tetapi seorang pelarian Veteran, tajam pula
persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi petunjuk sedapat-dapatnya
dihapuskannya.
Saya meninggalkan
becak mengambil jalan hutan yang tidak mudah buat dilalui, berjalan 6 atau 7 km
jauhnya memikul koper saya yang tidak ringan. Akhirnya sampailah pula saya ke
rumahnya sahabat lama yang lain. Saya namakan saja sh Z. Sh Z sudah menjadi
orang berada, sudah beristeri empat dan mempunyai mobil. Berbandingan dengan
naiknya kemewahan hidupnya selama 10 tahun saya tinggalkan itu, maka turunlah
pula semangat kemerdekaannya. Saya diterimanya dengan baik, tetapi dengan
perasaan yang agak dingin dan sedikit takut. Dia cuma menjalankan kewajibannya
sebagai sahabat lama. Akan besar hatinya, kalau “tamu komunis pelarian” itu
berangkat dari rumahnya.
Kesempatan itu
tiba, sesudah beberapa hari saja saya tinggal di kampungnya. Dia berangkat ke
Singapura buat menjumpai sahabatnya. Sesampainya di sana, saya meminta berpisah
dan meloncat ke sana-sini. Di Singapura saya pindah dari pemondokan ke
pemondokan. Sepuluh tahun lampau, tidaklah sukar mendapatkan rumah di kampung
Melayu buat disewa. Tetapi pada tahun 1937 itu seperti saya sebutkan diatas,
masyrakat Melayu di dalam kota Singapura sudah cerai berai dan suda terdesak ke
“Kampung Istimewa” jauh di pinggir kota. Di dalam kota Singapura sendiri
diantara 100 orang di jalan raya kita amat susah mendapatkan satu biji orang
Indonesia, biasanya agen polisi, sopir atau bujang kantor (office boy). Agen
polisi dibangsalkan di beberapa tangsi di dalam kota, bujang kantor atau sopir
boleh bergembira, kalau dapat menyewa serambi atau kamar kecil kepada Tionghoa
atau Keling. Tidak aman tinggal bersama-sama dengan mereka buat seorang
pelarian politik. Memangnya orang Indonesia di Singapura dimasa itu tidak
memikirkan politik dan tidak bisa menyimpan rahasia kita sebagai pelarian
politik Imperialisme Inggris jaya menarik orang Indonesia keluar dari
perjuangan politik yang sedikit radikal, dan berhasil menarik mereka masuk ke
warung kopi buat mengobrol tentang pertandingan sepakbola, dengan tidak
memikirkan waktu.
Dalam seminggu dua
saya tinggal di Singapura itu saya coba memasuki kantor maskapai yang
besar-besar buat mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis ataupun bujang.
Tetapi tidak berhasil. Lain sekali keadaan pada tahun 1937 itu dari 10 tahun
lampau. Dahulu mudah saya mendapatkan pekerjaan seperti sudah saya ceritakan
lebih dahulu. Tetapi pada tahun 1937 itu dikatakan dalam surat kabar, bahwa +-
4000 pemuda keluaran sekolah menengah yang menganggur. Pekerjaan kantor yang
bukan Straits Born Chinese, Tionghoa yang tidak lahir di Singapura dan tidak
pula mempunyai ijazah Sekolah Inggris, bahkan tidak pula mempunyai salah satu
surat keterangan, adalah perkara yang amat sukar. Lari kian kemari membutuhkan
banyak “siasat”, tetapi lebih banyak lagi membutuhkan uang. Dengan tidak
disangka-sangka dompet kita sudah kosong. Dengan kawan yang ditinggilkan dilain
tempat, tentulah tidak dapat diadakan perhubungan sehari dua saja.
Kadang-kadang juga tak dapat diadakan dalam berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
lantaran kekuarangan alamat yang “pantas” untuk menerima balasan surat.
Pekerjaan baru untuk sumber hidup tak pula selalu bisa didapat dalam seminggu,
sebulan atau lebih. Keadaan “musim
kemarau” dalam kehidupan itu sudah pernah saya alami di Siam, Tiongkok, dan
pada tahun 1937 itu di Singapura. Tetapi biasanya dengan tidak dikira-kira.
Tibalah pertolongan yang dibutuhkan.
Jerih lesu karena
berjalan masuk kantor keluar kantor menanyakan pekerjaan yang terlowong, merasa
akibatnya kekurangan tidur dan makan pada dua tiga minggu yang belakangan ini,
akhirnya saya jatuh termenung diatas sebuah bangku dalam gedung Raffles Museum.
Sebagai kilat menyambar di dalam gelap, timbullah sekonyong-konyong pikiran
yang amat ganjil: Kalau Buna ada di sini, selesailah semua kesulitan, dan “Buna
ada”! Pada saat itu juga tampaklah +- sepuluh langkah jauhnya dari saya,
seorang Tionghoa yang lenggangnya seperti lenggang Buna. Saya panggil dia
dengan suara keras, sambil menggosok-gosok mata saya sendiri. Keduanya kami
tercengang atas pertemuan yang tidak disangka-sangka itu. Tidak sanggup kami
berbicara beberapa lama.
Setelah sekian
waktu kami berpegang-pegangan, sambil takjub dan tertawa, tertawa dan takjub,
bertanya dan menjawab, menjawab sambil bertanya, tak karuan, tak berujung dan
berpangkal berbicara melompat kian kemari barulah terdapat suasana yang agak
tenang.
Sedikit selama ini saya singgung-singgung
persahabatan saya dengan Buna. Selama 10 tahun di belakangan itu sedikit sekali
saya bercerai dengan Buna. Dia tahu benar keadaan saya. Pernah saya tinggal di
rumah keluarganya. Pernah pula saya bertikai dengan salah seorang pamannya
sendiri. Dia menganggap saya yang berada dalam kebenaran. Buat memelihara
keamanan diri saya, dia ikut menemani saya pergi ke lain tempat, melalui
bermacam-macam kesulitan dan kesukaran di jalan. Dia adalah seorang pemuda
Hokkian beragama Kristen dan mempunyai keahlian dalam hal listrikdan kimia.
Ketika Jepang
hendak menyerang Amoy, maka kami berpisahan. Tetapi pada ketika itu dia berangkat
ke pedalaman Tiongkok. Berhubung dengan soal belanja maka pada permulaan
tidaklah ada maksudnya hendak berangkat meninggalkan Hokkian yang belum pernah
ditinggalkannya seumur hidupnya. Tiba-tiba waktu yang amat penting bagi saya
ini dia berada di depan saya dengan kecepatan lampu ajaibnya Aladdin dari
cerita 1001 malam.
Selang beberapa
tahun di Amoy, Buna dan saya berpisah dengan seorang pemuda bekas teman
sekolahnya Buna. Kita namakan saja teman itu Y.Y. Dia berada di Singapura,
tetapi saya tidak mengetahui alamatnya. Buna pun tidak lagi mempunyai tulisan
alamat itu, tetapi ada bagian alamat yang masih diingatnya, ialah sebagian nama
dari nama sekolah yang dipimpin oleh temannya Y.Y
Karena keadaan
memang sudah sangat mendesak, maka dengan segera kami berangkat mencari sekolah
itu. Tidaklah mudah mendapatkan sekolah itu karena amat kecil sekali dan
namanya hampir sama pula dengan beberapa sekolah Tionghoa lainnya. Terpaksalah
kami hampir sehari lamanya berjalan atau menaiki trem dari ujung ke ujung kota
Singapura, yang amat panjang dan lebar itu. Sebagai akibat dari usaha itu, maka
pada besok harinya Buna jatuh sakit, karena lelah dan kepanasan. Tetapi kami
berjumpa dengan teman yang dicari itu.
Oleh Y.Y yang cuma
sebentar saja saya kenal di Amoy, saya dipersilahkan tinggal di rumah sekolah
temannya tadi, ialah kalau mau tidur di bangku sekolah saja. Jangankan di atas
bangku sekolah, di atas ubin atau di atas lantai pun sudah sering saya tidur.
Yang penting, ialah hidup di Singapura dalam masyarakat Tionghoa, karena
masyarakat Indonesia bagi saya pasti tak mengizinkan tinggal agak
lama.Untunglah pula bahasa dan adat istiadat Tionghoa yang sekedarnya saya
ketahui dan surat pas Tionghoa yang saya miliki, cukup memberikan syarat buat
hidup dalam masyarakat Tionghoa yang boleh dikatakan autonom di Singapura itu.
Malam itu juga saya pindah ke Sekolah kecil itu meninggalkan pemondokan yang
paling belakang tadi.
Kebetulan pula
beberapa hari dibelakangnya, terbukalah lowongan buat guru bahasa Inggris di
sekolah temannya Y.Y. Sayalah yang diangkat oleh kepala sekolah! Tetapi
pengangkatan itu harus pula disahkan oleh Pemerintah Inggris bagian perguruan,
karena sekolah di Singapura berada di bawah penilikan Department of Education,
jabatan pengajaran. Sebenarnya yang dibolehkan mengajarkan bahasa Inggris itu
cuma British Subject, rakyat Inggris yang mempunyai ijazah sekolah Inggris
pula. Tetapi kesulitan ini sesudah sekolah ini dikunjungi oleh inspektur
sekolah dengan sedikit “muslihat” dapat diselesaikan. Syarat yang terpenting
tentulah cakap mengajarkan bahasa Inggris kepada anak Tionghoa totok. Dan “metode” saya mengajarkan bahasa Inggris
kepada murid Tionghoa sudah mendapat “ujian” pesat di Tiongkok sendiri.
Begitulah dengan
gaji $ 8 (tertera delapan dollar Singapura, seharga 8 x F 0.85; atau F 6.80)
sebulan, maka saya mengajarkan bahasa Inggris, kepada lima kelas di Sekolah
Rendah Tionghoa, dua tahun lamanya. Makan dan tempat adalah bebas, ialah dalam
rumah sekolah itu sendiri. Karena makan kurang baik (maklumlah sekolah kecil)
maka gaji dinaikkan menjadi $ 10 (atau F 8.50) sebulan, dengan tetap bebas
tempat tinggal, tetapi membeli makan sendiri. Agak susah mencari makan sendiri
dengan gaji F 0.28 sehari. Apalagi dobi harus bayar sendiri, dan saban-saban
pakaian yang sudah usang rombang-rambing harus diganti pula dengan yang baru,
yang baik dipandang murid. Tetapi saya merasa aman. Siang hari saya dapat
menjalankan pekerjaan dalam sepenuhnya waktu, yang tetap, berguna dan bisa
menjadi tabir asap. Anjing pemburu tak “lekas” menyelundupkan hidungnya ke
dalam kamar sekolah kanak-kanak. Di
jalanan pun bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak
pula lekas tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa
buat tuannya. Di waktu terluang dan tempat yang baik dapat juga berbicara
dengan orang Indonesia. Maklum sajalah pembaca yang arif dan bijaksana!
Indonesia lebih dekat letaknya dan semua kemungkinan daripada tempat dan masa
yang sudah-sudah.
Sahabat Tionghoa
semakin lama semakin banyak pula. Mengajarkan bahasa Inggris tidak lagi di
sekolah saja. Malam hari pun sudah tak ada lagi waktu yang terluang. Seorang
dua sahabat membutuhkan supaya anaknya, lelaki dan perempuan dari umur 6 tahun
murid sekolah rendah sampai anak berumur 18 tahun murid sekolah menengah
tinggi, diulangi pelajarannya di waktu malam hari, tidak saja dalam bahasa
Inggris, tetapi juga tentang kimia dan matematika. Sebenarnya dengan
mengembangkan sahabat pekerjaan buat pencaharian sudah tidak menjadi soal lagi.
Pada perusahaan (Tionghoa) mana saja, dan bila mana saja, saya dapat mencari
tempat. Sekali mendapat “surat keterangan” tentang pekerjaan, tidak pula sukar
mendapat pekerjaan baru pada maskapai Eropa.
Dulunya dimasa
musim susah di Singapura, pernah saya majukan surat permintaan pada salah satu
Sekolah Menengah Partikulir yang dipimpin seorang Inggris. Sekolah itu
menyiarkan advertansi mencari seorang guru untuk ilmu bumi. Saya dipanggil,
disetujui oleh direktur sekolah. Tetapi karena “Department of Education” membutuhkan
ijazah, maka saya tidak bisa diterima menjadi guru.
Dengan
bertambahnya sahabat dikalangan Tionghoa, perkara ijazah itu menjadi perkara
yang kedua. Yang terpenting ialah perkara bisa. Demikianlah akhirnya pada tahun
1941, saya di lapangan perguruan Tionghoa di Singapura sampai juga ke tingkat
yang tertinggi, ialah mengajar bahasa Inggris di salah satu sekolah Menengah
Tinggi. Kalau tidak terputus oleh perlututan Inggris kepada tentara Jepang pada
bulan Februari 1942, maka disampingnya mengajarkan bahasa Inggris, atas
permintaan murid sendiri, saya juga akan mengajarkan matematika (aljabar dan
ilmu ukur).
Nama saya (nama
surat pas) masih tercatat dengan resmi dalam kantor Chinese Protectore
(perlindungan Tionghoa) di Singapura sebagai guru bahasa Inggris Sekolah
Menengah Tinggi tersebut. Karena kesulitan ijazah maka inspektur Inggris
sendiri rupanya ingin mendengarkan saya mengajar. Tak lebih dari satu menit dia
hadir dan pergi, artinya ini OK,
......zonder tanda British Subject, surat ijazah dan surat
keterangan...........Kekurangan syarat secara Formal, kebiasaan dikalahkan oleh
syarat menurut kecakapan.
Beranilah saya
memperingatkan kepada pemuda-pemudi kita, bahwa syarat yang terakhir yang
terpenting dalam suatu pekerjaan itu ialah “kecakapan” dan “rasa tanggung
jawab” terhadap kewajiban sendiri. Bukannya ijazah! Ijazah cuma untuk pembuka
jalan, buat sementara saja, menjelang kecakapan itu terbukti.
Berapa kali seumur
hidup sudah bertukar tempat dan pekerjaan. Tidak pernah lama saya dapat
mengecap hasilnya pekerjaan yang sedikit menyenangkan. Hampir dua tahun saya
tinggal di Deli dengan gaji besar, tetapi suasana yang sempit sesak. Cuma enam
bulan di Semarang dalam suasanana revolusioner bebas dan menggembirakan hati.
Tidak pula berapa lama sebagai wartawan s.k di Filipina. Sebentar pada satu
Firma Jerman di Singapura di tahun 1927 sebagai klerk kantor. Hampir setahun di
Amoy sebagai pemimpin kursus dalam beberapa bahasa. Lama dalam perguruan
Tionghoa di Singapura, tetapi cuma setahun dalam suasana yang sangat memuaskan.
Nanti di Bayah, Banten Selatan sampai kewaktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945.
Tiga kali saya
terganggu karena serangan Jepang. Pertama di Shanghai pada tahun 1932. Kedua di
Amoy pada tahun 1937. Akhirnya saya terdesak lagi dari tempat saya di Singapura
pada tahun 1942. Seperti di Amoy, maka di Singapura pula, di tengah-tengah
masyarakat Tionghoa umumnya dan pemuda-pemudi Tionghoa khususnya, bilamana
hasil pencaharian sudah dapat melebihi keperluan hidup sehari-hari, waktu buat
sedikit membaca dan “mengaso” mulai sedikit terluang, maka tibalah pula tentara
Jepang buat merusakkan suasana yang akhirnya menjadi baik buat saya tadi.
Sekonyong-konyong,
jam 4 dini hari, datanglah serombongan pesawat udara Jepang, 125 buah banyaknya,
menyerang Singapura. Banyak bom dijatuhkan tak berapa jauhnya dari sekolah
kami. Lebih kurang 300 penduduk tak bersalah tewas pada serangan pertama itu,
dan banyak rumah yang runtuh. Ratusan murid yang tinggal di asrama kami, lari
keluar mengamankan diri. Ada yang tidak bisa berjalan lagi, ada pula yang
pingsan ketakutan, karena serangan dahsyat dan dilakukan zonder ultimatum itu.
Bersamaan dengan
serangan Jepang di Singapura itu, tentara Jepang mendarat di Kotabaru, Kelantan
l.k. 600 mil jauhnya ke sebelah Utara Singapura, di pantai Malaya sebelah
Timur. Dengan serangan zonder ultimatum itu, pemerintah Inggris
mempermaklumkan, bahwa kerajaan Inggris berada dalam keadaan perang dengan
Jepang.
Kami para guru
mengatur penjagaan atas pan murid. Kami bergiliran menjaga bahaya udara siang
dan malam. Apabila sirene berbunyi, maka kami berganti-ganti memimpin para
murid ke lubang perlindungan yang sudah disiapkan. Kebanyakan murid pergi ke
suatu tempat +- setengah mil jauhnya dari sekolah kami. Di sana terdapat
belukar dan pohon-pohon kayu yang besar dan rindang. Rumah sekolah dianggap
terlalu tampak karena besar, tinggi dan agak terpencil letaknya. Lagi pula di
Tiongkok rumah Sekolah Menengah dan Tinggi itu acap kali menjadi sasarannya
pesawat Jepang. Memangnya pula satu dua kali bom jatuh lima atau enam meter
saja jauhnya dari sekolah kami.
Tak pernah kurang
dari dua kali sehari serangan udara berlaku. Tak pernah kurang dari empat puluh
pesawat yang serempak datang menyerang, biasanya menuju ke pelabuhan Singapura,
yang tak jauh letaknya dari sekolah kami. Perlawanan Inggris di udara hampir
tak ada. Pesawat Inggris yang bisa terbang tinggi tidak kelihatan. Yang tampak
hanya pesawat Buffalo yang rendah terbangnya itu. Pesawat Jepang yang datang
menyerang amat tinggi sekali terbangnya. Kabarnya berhubung dengan bantuan
Inggris kepada Rusia, maka semua pesawat Inggris yang besar di Singapura
dikirimkan menuju ke Barat.
Pendeknya
Singapura terbuka di udara. Penduduk memang merasa gelisah, karena tak ada
perlawanan di udara itu. Berhubung dengan itu. Maka dengan amat mudah Jepang
merebut kota demi kota di Malaya. Malah Pemerintah Penang sudah lari, baru saja
sebuah pesawat Jepang datang mengintai tinggi. Karena pemerintah sudah lari,
maka penyerahan resmi kepada tentara Jepang tidak dapat dilakukan. Berhari-hari
Jepang mengebom kota Penang, yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh pemerintah
Inggris yang lari tunggang-langgang ke Singapura, meninggalkan ratusan ribu
penduduk yang katanya dibawah perlindungan itu. Ribuan penduduk yang mati kena
bom dan puluhan rumah yang terbakar. Menurut kabar seorang Jepang keluar
penjara Inggris, menulis dengan huruf Jepang di suatu lapangan, memperingatkan
bahwa pemerintah Inggris sudah lama lari. Barulah pengeboman diperhentikan.
Tidak lama antaranya tentara Jepang masuk ke Penang dan mengambil
pemerintahnya.
Kemajuan tentara
Jepang dari Utara ke Selatan sebenarnya tidak mendapat gangguan yang berarti.
Jarak yang 600 mil antara Kotabaru dengan Singapura dijalaninya dua bulan
lamanya. Sehari tentara Jepang dapat maju 10 mil atau 17 km. menurut istilah
kemiliteran, ini namnya “an easy
walk-over”, satu kemenangan yang mudah diperoleh.
Menurut kabar yang
tersiar di waktu itu, di Kotabaru, di garis paling depan terdapat Malay
Regiment. Di belakangnya berikut: Barisan Gurkha, Barisan Sikh, Barisan
Punjabi, Barisan Australia, Barisan Inggris. Maka Barisan Inggris rupanya
seperti Barisan Belanda dalam tentara Hindia Belanda, berada di garis paling
belakang dekat roti, mentega, coklat, sigaret dan brandy.
Barisan Malay Regiment hampir semuanya tewas
dalam pertempuran di Kotabaru itu. Barisan Australia dan Gurkha ada memberi
perlawanan dan juga ada merebut rasa kehormatan prajurit Jepang. Tetapi
terhadap serdadu Inggris, tentara Jepang cuma menutup lubang hidungnya saja.
Barisan Inggris, terutama opsir Inggris yang seharusnya paling terdepan,
membela Malaya, bagian dari “British
Empire” itu, cuma memikirkan keselamatan dirinya semata-mata. Ada yang
berkata, bahwa para serdadu dan opsir Inggris itu tak mempunyai kepentingan
diri membela imperialisme Inggris. Perkataan ini banyak benarnya. Tetapi kalau
mereka mau makan gaji besar, yakni dari hasil keringatnya rakyat di Asia,
tetapi dalam waktu bahaya menyerahkan rakyat itu zonder perlawanan sedikitpun
kepada tentara yang kejam seperti tentara Jepang, ini bertentangan dengan semua
dasar dan moril. Kalau tidak menyetujui imperialisme Inggris, janganlah mau dipakai
menjadi kaki tangannya imperialisme itu terhadap musuhnya ke dalam dan ke luar.
Barulah ada alasan buat opsir atau serdadu Inggris itu berkata, bahwa dia tidak
berkepentingan dalam peperangan di Malaya atau lainnya bagian Asia.
Tetapi orang yang
mau makan, tetapi tak mau bayar tak mau kerja, tidaklah bisa mendapatkan
persetujuan dari orang yang mengerti akan aturan tanggung jawab.
Tentara Jepang
mengerti benar akan tempat dan kualiteitnya serdadu dan opsir Inggris di
tengah-tengah coklat, sigaret dan whysky nya itu itu. Kalau belum “Rari” (lari) maka dia kirimkan dua tiga
biji, “jibakutai” prajurit berani matinya ke belakang sayap kanan dan sayap
kirinya tentara Inggris yang melintang dari Barat ke Timur Malaya. Dengan
sekoci jibakutai tadi diselendupkan di pesisir Timur dan Barat Malaya, ke
belakang tentara Inggris. Biasanya setengah lusin jibakutai Jepang itu sanggup
mengkocar-kacirkan seluruh tentara British Empire itu. Tentara Inggris mundur
dan membuat garis baru ke arah Selatan. Mau tak mau barisan tentara Inggris
yang lain-lainnya harus ikut mundur pula. Mungkin bukanlah satu dongeng yang
pernah saya dengar pada salah satu tempat dalam perjalanan ke Penang, bahwa
kannonier (penembak dengan meriam) Jepang menaruh meriamnya dekat warung kopi.
Saban lima sepuluh menit meriam itu ditembakkan ke arah serdadu Inggris.
Setelah menembak, dia kembali ke warung buat minum kopi. Sesudah minum kembali
pula ke meriamnya. Demikianlah setelah beberapa kali dia pulang pergi dari
meriam ke cangkir kopinya, dia menerima laporan, bahwa dia mesti maju merebut stelling baru, karena “Iggris-jin” sudah
lari dengan roti, mentega, coklat, sigaret dan whyskynya menuju ke Singapura.
Sambil menembak dan minum kopi akhirnya tentara Jepang sampailah ke Johor, lk.
20 mil jauhnya dari kota Singapura. Pada saat inilah pemerintah Inggris yang
licik itu mengizinkan keluarga Partai Komunis Malaya dengan resmi dan kepada
masyarakat Tionghoa mengizinkan pula membentuk “volunteer corps”, tentara
sukarela untuk menantang Tentara Jepang. Tentara sukarela itu dibentuk di
gedung sekolah kami, dimana terkumpul ratusan buruh pemuda-pemudi Tionghoa.
Murid sekolah kami banyak yang terkemuka dalam berbagai cabang pembelaan,
terutama cabang penerangan (politik).
Pada masa itu oleh
badan pengurus sekolah saya diserahi pekerjaan penerangan kepada para murid
tentang situasi politik. Pada beberapa pemuda saya kemukakan kelicinan Inggris
tadi. Saya merasa heran, kenapa dua bulan lampau, ketika tentara Jepang masih
600 mil jauhnya dari Singapura, Partai Komunis tidak di izinkan keluar dengan
resmi oleh Pemerintah Inggris dan tentara sukarela tidak pula diizinkan
dibentuk. Sekarang, setelah tentara Jepang, yang terpilih dan berpengalaman
perang itu sudah sampai ke pintu, baru diizinkan. Apakah latihan satu dua hari
buat buruh dan pemuda cukup buat melawan tentara pilihan Jepang itu? Bukankah
seolah-olah pemerintah Inggris mau membinasakan kedua musuhnya, ialah keluar
dan ke dalam, dengan muslihat mengorbankan Partai Komunis dan pemuda Tionghoa
yang radikal itu terhadap Jepang?
Setelah sekolah
ditutup dengan resmi, dipergunakan buat latihan dan asrama tentara sukarela;
apabila tentara Jepang sudah mendarat di pulau Singapura, dan seluruhnya kota
Singapura sebenarnya sudah lama kehilangan kepercayaan kepada tentara Inggris
dan armadanya, mengingat tenggelamnya kapal perang modern seperti Prince of
Wales, maka saya dengan dua orang murid dengan susah payah mendapatkan rumah di
luar kota menuju ke benteng Seletar. Disinilah saya di rumah orang Tionghoa
dari dekat menyaksikan keulungan tentara Jepang, sebagai perseorangan atau
barisan. Dengan senjata jauh lebih kurang, kecuali di udara, tetapi dengan
semangat seperti belum pernah diperlihatkan oleh tentara Eropa Barat, maka
tentara Inggris di daratan yang bersenjatakan jauh lebih lengkap, oleh tentara
Jepang dibelah seperti pohon pisang dibelah dengan parang. Pertempuran terjadi
di samping rumah kami, senjata api dari berbagai nama dan kaliber berdentuman
seperti mercon di masa cap-gome. Bunyi dentuman yang riuh itu mulanya
kedengaran jauh di pesisir pulau Singapura, di Bukit Timah, di kebun getah
dekat rumah kami, akhirnya sampai keliling rumah kami sendiri.
Pada tanggal 12
Februari 1942, pagi benar kelihatan di depan rumah kami dua tiga orang prajurit
Jepang naik ke bukit ke kebun getah, masuk rumah seorang Tionghoa dan keluar
dengan cangkir berisi bubur. Mereka rupanya berada paling depan, makan dengan
tenang, seperti tak ada peperangan sama sekali. Tak berapa lama diantaranya
datanglah menyusul sebuah meriam Jepang, yang ditarik oleh beberapa prajurit
diikuti oleh rombongan prajurit dengan satu dua opsir. Cuma seratus atau dua
ratus meter saja jauhnya dari rumah kami. Tembakan pertama dilepaskan oleh
meriam tadi dari stelling Jepang itu. peluru granat tak berapa meter jatuhnya
dari rumah kami. Kami baru insaf bahwa bombardemen berlaku di sekitar kami.
Lelaki perempuan dan kanak-kanak seisi rumah disebarkan pada dua lubang
perlindungan di samping rumah.
Tengah menembak
yang rasanya akan memecahkan anak telinga berlaku dari pukul 10 pagi sampai jam
3 petang. Pucuk kelapa banyak yang runtuh karena peluru granat yang meledak di
sana. Pecahan granat sudah banyak menembus atap dan dinding rumah kami.
Beberapa tetangga sudah berteriak meminta tolong, karena kena pecahan granat
mengenai badannya. Tak ada diantara kami yang menyangka, bahwa kami akan
tinggal selamat. Sewaktu-waktu rumah mungkin terbakar, dan pecahan granat
berpencaran kian kemari, sedangkan kami terkepung diantara penembakan di kedua
belah pihak.
Tembak menembak
berhenti pada jam 3 petang. Tetapi pertempuran belum lagi selesai. Bahkan
menurut kabar orang Tionghoa yang datang dari kota, pada malam itu akan
diadakan penyerbuan besar-besaran oleh tentara Jepang yang sudah menang di
bukit Timah. Seorang jibakutai Jepang
dengan tenang lalu di depan rumah kami, bertanyakan “Inggris jin wa dokodesuka? Orang Inggris dimana? Seorang menunjuk
ke salah satu tempat, dimana terdapat ratusan serdadu Sikh dan Inggris. Jepang
tadi seorang diri saja dengan senapan disandang menuju ke tempat yang
ditunjukkan itu. Dia tidak merayap atau membungkuk, melainkan berjalan tegak
seperti melancong saja......memang mengagumkan! Pesawat pengintai Jepang
terbang rendah sekali mendekati benteng Seletar, yang katanya tak dapat direbu
itu. Setiap kali pesawat itu datang melayang, setiap kali pula bunyi penangkis
udara berdentuman seperti mercon. Tetapi walaupun pesawat itu terbang rendah
sekali, dan bunyi meriam penangkis gemuruh, konon pesawat itu tidak jatuh. Saya
bertanya dalam hati, apakah benar-benar meriam itu ditujukan kepada pesawat
itu, ataukah serdadu Inggris sudah menyangka akan kalah dan takut, kalau nanti
sudah menyerah, Jepang akan membalas dendam?
Malamnya 12/13
Februari itu kami alami dengan penuh kesangsian. Pembelaan mati-matian dari
pihak Inggris juga dibisikkan dimana-mana. Dalam hal itu kami tidak sangsi lagi
akan kemusnahan kami semua, lantaran kebakaran ataupun karena dikenai peluru
kesasar. Tidak jauh dibelakang rumah berada serdadu dari kedua belah pihak.
Dalam hal kebingungan pada malam hari ini ada diantara isi rumah yang mengusulkan
supaya pindah rumah saja. Usul semacam itu saya tolak dengan tegas, karena
peluru kesasar dari kedua belah pihak, yang berperang akan lebih membahayakan
sedang kita berjalan, daripada berdiam diri di dalam rumah atau di lubang
perlindungan. Memangnya tindakan ini lebih tepat daripada pindah tengah malam.
besok harinya mendengara kabar, bahwa hampir semua penduduk kampung Paya Lebar
mati atau luka, karena lari meninggalkan tempat di waktu malam hari. Yang
tinggal di rumah kebanyakan selamat saja.
Pada hari 13
Februari datanglah kabar yang tidak disangka begitu lekas datangnya disebabkan
oleh propaganda Inggris ini, bahwa Inggris menyerah dan perpecahan berhenti.
Peristiwa ini cuma
sebentar saja menggembirakan kami. Di waktu inilah siksaan atas penduduk yang
tidak bersalah berlaku dimana-mana. Orang ditampari, kalau tidak jongkok
melalui He-tai-san (Prajurit Jepang); ditampari kalau tak mau memanjatkan buah
kelapa, buat Hei-tai-san yang ingin; perempuan orang diperkosa; orang dipaksa
memikul ini atau itu; mobil, sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas
orang dirampas dll sbg tak putus-putusnya berhari-hari.
Dua tiga hari
sesudah tentara Jepang menguasai Singapura, maka kampung kami mendapat
perintah, supaya semua penduduk laki, perempuan, tua dan muda, datang berkumpul
pada satu tanah lapang. Pintu dan jendela rumah yang ditinggalkan tak boleh
ditutup.
Peti dan lemaripun
mesti dibuka saja. Para “anak dewa” akan datang, keluar masuk rumah,
“memeriksa”, semua lemari, peti dan dapur. Maklumlah, berapa banyaknya penduduk
yang kembali ke rumahnya kehilangan arloji, sepeda, emas dan perak. Para “anak
dewa” yang berjuang buat “Hakko Iciu”, kekeluargaan dunia ini, ingin juga
“harta benda” kaum sekeluarganya di “Dai-Toa” ini. Jalan yang menuju ke lapangan
tadi sudah ditentukan oleh Hei-tai-san lebih dahulu dan dijaganya dengan pedang
terhunus. Siapa yang tidak melalui jalan yang ditentukannya itu dipancung atau
ditembaknya. Pagi hari lk. jam 9 sudah padat lapangan yang sudah ditentukan
itu. Tiap-tiap penjuru dijaga oleh mitraliur. Pintu masuknya dijaga oleh
beberapa opsir dan kempei Jepang, rupanya diperkuat dengan I.S Inggris itu,
sebagai bekas komunis dan bekas sukarela diasingkan dan ditahan. Saya dengan
dua murid rapat-rapat melalui cordon (barisan) penyelidik itu. Kami selamat
lalu dan pulang. Tetapi seorang anggota rumah ditahan buat beberapa hari
lamanya.
Ada diantara
kenalan saya, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan
yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka
dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti
dan tidak atau sedikitpun diberi makan. Banyak pula yang dijemur atau disiksa
sampai mati.
Bersamaan pula dengan kami pada lapangan lain
+- 50 ribu orang dikumpulkan pula. Mereka diperintahkan keluar rumah
masing-masing dengan tidak boleh membawa makanan atau minuman buat anak-anak.
Di tanah lapang itu mereka, tua, muda, lelaki, perempuan berjemur dan berhujan
4 hari 4 malam lamanya. Mereka tak diizinkan keluar lapangan mengambil makanan
atau air minum. Banyak yang mati karena kelaparan, kehausan dan ketakutan.
Kabarnya konon sebenarnya tentara Jepang bermula hendak melenyapkan orang
Tionghoa yang 50.000 itu dengan mitraliur. Tetapi ada juga rupanya diantara “anak
dewa” yang masih mempunyai hati kemanusiaan. Kebetulan pula dia mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam keadaan ketentaraan dan dapat mencegah kebinatangan
bangsanya itu.
Kebinatangan itu
sudah dilakukan di lain tempat. Dalam perjalanan ke Penang di belakang hari
saya mendengar kabar, bahwa di Seremban 200 pemuda pemudi dan penduduk
Tionghoa, yang dikumpulkan oleh tentara Tenno Haika, ketika menuju ke Selatan
itu.
Mereka dimitraliur
sampai habis, karena di Seremban itu ada
perlawanan dari pihak Tionghoa.
Kebinatangan itu
dilakukan juga terhadap mereka suka rela yang terdapat di sekolah kami, tempat
mereka berlatih. Mereka terkepung setelah tentara Jepang menyerbu ke Singapura
satu-dua hari saja, setelah para guru termasuk saya sendiri meninggalkan asrama
sekolah kami, 300 orang pemuda-pemudi yang terdapat di sana dengan tidak banyak
pemeriksaan dimuatkan ke dalam 6 truk, diangkut ke luar kota, pada suatu bukit,
disuruh menggali buat kuburnya sendiri. Kemudian mereka disuruh berjejer-jejer
di pinggir lubang itu, ditutup matanya dengan kain, untuk dimitraliur. Ada
diantara mereka, yang rebah sambil menyanyikan lagu kebangsaan Tionghoa.
Barangkali
terlampau sedikit angka resmi yang diumumkan, ialah sejumlah 5000 orang
Tionghoa yang mati dibunuh oleh penjahat perang Jepang. Tetapi dipandang dari
sudut moral dan kehormatan, lebih baik mati ditembak seperti yang dialami oleh
para pemudi tersebut diatas. Dikatakan, bahwa adalah “adat” bagi tentara Tenno
Haika, sebelumnya musuh menyerah, maka para “hei-tai-san”, para “ronin” para satrian Kusuma bangsa, diizinkan
memasuki tiap-tiap rumahnya kota musuh untuk melepaskan hawa nafsu
kebinatangannya terhadap para wanita, istri ataupun gadis. Rupanya ada juga
harganya “surga” di dunia ini, bagi para “ronin”, sebelum arwahnya sebagai
pahlawan Tenno Haika memasuki “Yasukuni
Jinja”.
Akhirnya sampailah
waktunya yang lama diharap dan ditaksir akan datang. Setelah keadaan di kota
Singapura sedikit mulai teratur, maka saya mengadakan persiapan kembali ke
Indonesia. Dua tiga orang Indonesia yang sudah berjanji mau berlayar ke
Sumatera bersama dengan saya, setelah saatnya datang membatalkan janjinya itu.
Melihat perahu kecil yang pinggirnya cuma satu dua jengkal saja tingginya dari
muka air laut, maka dia mula gemetar. Dengan dua orang empunya perahu kecil
tiga empat meter panjangnya, dan lebih kurang satu meter lebarnya yang kembali
ke Tembilahan sesudah membawa barang dagangan dari sana, saya mulanya sendiri
mau berangkat meninggalkan Singapura, sekarang bernama Sho-nantoo, Kota Gemilang. Pelayaran ini tidak terjadi, lantara
yang mempunyai perahu terlalu lama sekali menunggu-nunggu berangkatnya.
Baru pada
penghabisan bulan April 1942 saya bertolak ke Penang dengan kereta api dengan
maksud hendak menyeberang Selat Malaka menuju ke Belawan, Medan.
MENYEBERANG
Tiap-tiap kita
barangkali pernah mengalami sesuatu peristiwa penting atau tidak buat
masyarakat atau diri sendiri, bilamana peristiwa itu kita anggap sebagai hasil
perhitungan yang jitu yang sudah kita kandung sekian lama atau cuma sebagai
buah pengharapan saja. Sukarlah kita memastikan, apakah peristiwa itu
benar-benar hasilnya perhitungan kita, ataukah cuma buah pengharapan belaka,
yang sudah lama terselip di dalam perbendaharaan hati sanubari kita. Apabila
peristiwa itu memangnya cocok dengan akibatnya berpikir, yang kita
selenggarakan dengan cara berpikir yang tepat atas semua bahan berpikir, maka
tak salah agaknya kita kalau peristiwa semacam itu kita namakan hasil
perhitungan kita, seperti 4 adalah pendapatan 2 x 2. Sebaliknya daripada itu
ialah yang tidak berdasarkan bahan berpikir, maka kita namai saja pengharapan.
Peristiwa berdasarkan pengharapan semata-mata itu kita namai saja sesuatu
kebetulan saja.
Berdasarkan
perhitungan atas bahan politik, ekonomi dan sosial di Hindia Belanda maka dalam
massa aksi, yang ditulis pada tahun 1926 di Singapura, dalam Kata Pengantar
saya menulis: “Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan
memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorangpun yang dapat
mengatakan bilamana dan dimana bendera Kemerdekaan yang pertama akan berkibar.
Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan
sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai panjang yang mengikat perbudakan
Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng
imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Kalau keruntuhan
imperialisme Belanda dalam brosure Massa-Aksi memangnya tidak lagi berupakan
sesuatu pengharapan belaka, (karena pula semuanya taktik strategi buat
meruntuhkan imperialisme yang bakal runtuh itu memangnya dipusatkan pada
“Halkah rantai yang lemah”, ialah Hindia Belanda itu), maka perhitungan tentang
keruntuhan itu sudah terbukti pula hitam di atas putih lama sebelumnya tahun
1927 itu (dimajukan disini bukan pula untuk berlagak, melainkan untuk mengu ji
kebenaran): Pada permulaan tahun 1924, saya tulis dengan tergesa-gesa di
Singapura juga “Naar de Republiek
Indonesia” Ke arah Republik Indonesia) tidak saja runtuhnya Hindia Belanda sudah
diperhitungkan, tetapi pula bentuk pemerintahan ialah Republik yang akan
menjadi pengganti pemerintah Hindia Belanda itu. Tidak saja bentuk Republik itu
yang dengan sadar disetujui, tetapi juga taktik strategi yang dipusatkan kepada
rakyat Murba di Solo-Valley, Lembah sungai Bengawan Solo, yang berasal di
daerah Solo dan bermuara di daerah Surabaya itu. Ingatlah pula hari peringatan,
hari pahlawan ialah tanggal pecahnya pembelaan Rakyat terhadap serangan Inggris
dari darat, lautan, udara, pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya,
ujungnya lembah sungai Bengawan Solo itu. Bukannya satu Dominion, satu Gemeene
Best, satu Free State, satu Trusteeship, satu Uni-Nederland-Indonesia ataupun
satu kerajaan yang ditujui, melainkan Satu Republik yang lepas bebas dari
negara manapun juga di bawah kolong langit ini. PARI, Partai Republik
Indonesia, didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok, dengan tegas nyata
memberi kepastian kepada perhitungan, bahwa diatas runtuhan Hindia Belanda akan
berdiri Republik Indonesia, yang akan dibela oleh rakyat, pemuda dan Murba
Indonesia, berdasarkan atas tenaga sendiri dan otak sendiri atas self helf,
menuju ke dunia yang berdasarkan Federasi yang Sosialistis.
Baik juga
diperiksa, apakah sikap taktik dan strategy-nya PARI pada tahun 1927 itu, tidak
100% cocok dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan Republik Indonesia, dimasa
berdirinya ini, ialah dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang 17 November
1947.
Berhubung dengan
pendirian kita diatas, maka baiklah pula sekali lagi diperingatkan kepada yang
tidak fanatik nama dan masih bisa dan mau berpikir dengan memakai bukti dan
akal, bahwa keadaan sudah mendesak Sovyet Rusia membubarkan Komintern dengan
resmi pada tahun 1943. Dan tidaklah pula salahnya memperingatkan perkataan Josef
Stalin berhubungan dengan berdirinya Kominform (Informasi Biro Komunis) baru
ini.
Menurut antara
U.P. London 23/10-47, maka Konni Ziliacus yang mengepalai delegasi 8 wakil
Sayap kiri Partai Buruh di Parlemen Inggris dalam perjalanannya meninjau ke Polania,
Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Rusia, menyatakan setibanya di London begini:
“Pada tanggal
14/10-47, yang lalu, kami mengunjungi Josef Stalin di Villanya di lereng
pegunungan Kaukasus di dekat laut Hitam. Berdirinya Kominform (Information
Bureau) di Belgrado, kata Stalin, bukan dimaksud menghidupkan Komintern dan
sekali-kali tidak mengubah keinginan Rusia untuk memperbaiki perhubungannya
dengan Amerika dan Inggris”.
“Stalin dengan
ikhlas menegaskan: Komintern didirikan sesudah perang dunia ke-I ketika
partai-partai Komunis mulai tumbuh. Di waktu itu Komintern bekerja
menyelenggarakan hubungan antara kaum buruh berbagai negeri tetapi sekarang
keadaan sudah lain. Di berbagai negara partai-partai komunis telah menjadi kuat, penuh tanggung
jawab serta berakar dalam sekali dan dituntun pula oleh orang-orang yang teguh
dan cakap. Karena itu salah sekali kalau Partai-Partai Komunis dikendalikan
langsung dari suatu pusat (pembesaran huruf oleh Pen). Mendirikan lagi Komunis
Internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah” (pembesaran
huruf oleh Pen).
“Kemungkinan
partai-partai komunis dari 9 negara tidak lain daripada pernyataan akan bekerja
sama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat sedunia
serta memperlindungi kemerdekaan dan kedaulatan Negaranya masing-masing.”
Buat penulis ini
mendirikan PARI bukanlah berarti “mengliquidir” komunisme. Apakah tindakan
Stalin membubarkan Komintern yang didirikan oleh partai Bolsjewiki dibawah
pimpinan Lenin bersama-sama Partai Komunis dan pemimpinnya. Di beberapa Negara
itu bersifat “mengliquidir” komunisme, itu terserah pertimbangan pembaca yang
bijaksana. Apakah pula pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dirundingkan
dan disetujui lebih dahulu oleh semua partai komunis di dunia, tidaklah penulis
ini mendapatkan keterangan. Demikianlah pula akhirnya belumlah penulis ini
dapat memastikan apakah Kominform, yang sekarang cuma meliputi 9 negara di
sekitarnya Soviet Rusia itu kelak tidak akan kembali kepada dasar dan bentuk
Kominform, ialah meliputi seluruhnya di dunia. Semuanya yang bukan dimajukan
sebagai kritik, melainkan sebagai kritik, melainkan sebagai penjelasan
semata-mata.
Tetapi bagaimana
juga tindakan Stalin pada tahun 1943 rupanya adalah akibatnya desakan yang
hebat terhadap Soviet Rusia, berhubung dengan serangan tentara Jerman pada satu
pihak dan kebutuhan kerja sama dengan Inggris dan Amerika di lain pihak. Lagi
pula seandainya Komunis Internasional akan berdiri kembali, maka sifatnya pasti
tidak lagi akan seperti yang sudah dibubarkan, ialah sangat terpusat itu.
Dan bagaimana juga
sikap dan tindakan Stalin pada tahun 1943 itu terhadap Komintern, sejarah sudah
membuktikan, bahwa dengan kerja sama antara Soviet Rusia dengan Inggris/Amerika
itu, Soviet Rusia keluar dari medan perang dunia ke-II ini sebagai negara
menang. Sekarang Soviet Rusia terbilang negara yang terkuat di Eropa dan entah
mana yang kuat dengan Amerika untuk seluruhnya dunia. Dasar sosialisme-pun
sudah lebih terjamin pada daerah Soviet Rusia sendiri ditambah dengan Polonia,
Cekoslowakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Albania dan Bulgaria.
Tetapi dengan
mengemukakan manfaatnya bagi Soviet Rusia pembubaran Komintern pada tahun 1943
itu dan dengan mengemukakan lebih kuatnya Soviet Rusia sekeluarnya dari medan
perang dunia ke II itu sebagai akibatnya perserikatan Rusia-Amerika-Inggris
dalam perang dunia ke-II, tidaklah penulis bermaksud mengambil kesimpulan,
bahwa benarlah sikap dan tindakan pembubaran komintern itu dan akan celakalah
proletar internasional, kalau komintern itu diteruskan berdiri dan menolak
tuntutan Amerika dan Inggris membubarkan komintern itu. Sejarah sudah berlaku
atas pembubaran komintern dan sang sejarah itu tidak dapat dipanggil kembali
buat berlaku atau tidak dibubarkannya komintern dengan atau tak dengan kerja
sama antara Soviet Rusia dan Amerika-Inggris. Bagi kami pendiri PARI, pada dua
puluh tahun lampau itu sudah terbayang, bahkan Soviet Rusia akan bersandar pada
diri sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern,
seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.
Atas perhitungan
bahwa Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri itulah pula revolusi
Indonesia dan pembelaan Republik Indonesia kami dasarkan, yakni atas self help,
atas tenaga sendiri dan otak sendiri. Pada keterangan Stalin, ialah menurut
berita dari London tersebut, bahwa “salah sekali kalau partai-partai komunis
dikendalikan langsung dari suatu pusat” –lah kami sekarang merasa mendapat
kecocokan dan pengesahan 100%, cocoklah pendirian kami dengan keterusan
perkataan Stalin pada intervieu tersebut, bahwa “mendirikan lagi
komunis-internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah”.
Memangnya juga PARI (what is but a name! Apakah artinya nama itu!) menghendaki
“bekerja bersama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan
rakyat, sedunia serta memperlindungi kemerdekaan kedaulatan negaranya
masing-masing, seperti wujudnya Kominform itu. Cuma Kominform itu pada tahun
1947 ini sudah dilaksanakan pada daerahnya 9 negara dengan Soviet Rusia sebagai
daerah melangkah. Sedangkan kami pada tahun 1927 dan sekarangpun baru
memperhitungkan Republik Indonesia sebagai daerah tempat melangkah menuju ke
arah ASLIA. Seperti persamaan bumi iklim, kebangsaan, kewargaan, perekonomian,
sosial dan kebudayaan sudah merapatkan beberapa negara yang sekarang tergabung
dalam Kominform, demikianlah (pula menurut perhitungan kami dikemudian hari
persamaan tersebut antara beberapa negara di Asia Tenggara akan merapatkan diri
dalam gabungan ASLIA dengan ASLIA sebagai Satuan (Unit) yang dalam perekonomian
lebih kurang sanggup memenuhi keperluan diri sendiri sebagai negara sosialis,
bersama dengan Amerika-sosialis,
Tiongkok-sosialis, Hindustan-sosialis, Soviet Rusia dll. Negara Raksasa yang
sosialis, kita akan mengatur satu federasi dunia atas dasar sama rata antara
negara-negara. Perlu sekali ditegaskan disini, bahwa dunia itu bukanlah kelak
berdiri dari mereka yang ditunjuk oleh salah satu atau dua tiga gelintir negara
besar, melainkan dipilih oleh rakyatnya tiap-tiap negara anggota gabungan,
secara demokratis: bukan tunjukan dari pusat, melainkan pilihan dari bawah.
Demikianlah pula ciptaan kami tentang Komintern dihari depan.
Dalam tingkat kemajuan dunia, teknik, politik
ekonomi dan kebudayaan seperti sekarang ini, menurut pikiran kami, sesuatu
Komintern atau pemerintah (proletar) dunia di hari depan, mau tak mau, harus
mempertimbangkan dasar, yang dengan pendek kami namakan saja demokrasi
regional, ialah dasar demokrasi yang dilakukan atas daerah yang seluas-luasnya
berhubung dengan persamaan hawa-iklim, kebangsaan, kewargaan, bahkan
perekonomian, sosial kebudayaan dan gerak jiwa (psychologie). Banyak sekali
kecocokan yang terlihat dalam sikap dan tindakan Soviet Rusia dibawah pimpinan
Stalin berhubung dengan politik luar negerinya Soviet Rusia dan adanya
Kominform dengan pemandangan PARI
diwaktu berdirinya. Kecocokan itu tertulis pula hitam diatas putih. Tetapi
belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup bagi kami, bahwa
dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan tindakannya PARI.
Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan adalah sendi
kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan yang baik buat
mengumumkannya.
Seperti pasir baru
atas tersapu oleh angin topan demikianlah pula imperialisme Inggris di Malaya,
dan Imperialisme Belanda di Indonesia disapu oleh tentara Jepang. Malaya jatuh
pada 13 Februari, setelah tentara Inggris bertahan lebih kurang 2 bulan lamanya. Indonesia jatuh
pada 8 Maret 1942, setelah delapan hari lamanya serdadu Hindia Belanda yang
95.000 banyaknya itu terdesak sesudah lari tunggang langgang melihat prajurit
Jepang yang jumlah lk. setengah dari serdadu Belanda, bersenjata jauh kurang
lengkap dan baru datang dari tempat 5000 km jauhnya. Seperti Julius Caesar, +-
2000 tahun lampau, Imamura pada abad ke-20 ini dapat pula meriwayatkan
kemenangan atas tentara Hindia Belanda dengan perkataan: Veni, Vidi, Vici, saya
datang, saya lihat, dan saya taklukkan.
Dengan bertolaknya
pemerintah Inggris dari Malaya dan terbentuknya pemerintah Tentara Jepang, maka
suasana kota Singapura, Sho-nanto bertukar sama sekali; tak mudah digambarkan
disini. Pertukaran yang sangat mencolok mata seperti mestinya juga terasa di
Indonesia ialah “orang putih kalau kelihatan cuma sebagai tawanan yang digiring
kemana-mana oleh prajurit Jepang dan sering dipukuli sebagai sapi kebiri”.
Terasa benar tak ada kantor ini atau itu, Maskapai ini atau itu. Buat saya,
yang selama 20 tahun harus menyelundup dengan segala kelicinan buat membeli
karcis kapal, mendapatkan surat pas atau surat visa di kantor ini atau itu,
kalau mau bertolak dari tempat-tempat terasa benar tak ada kantor dan maskapai
itu.
Tentu saja saya
merasa kelegaan dengan tak adanya semua rintangan itu. Tetapi saya insyaf
benar, bahwa sebentar lagi pemerintah tentara Jepang tentu pula akan mengadakan
pengawasan atas lalu lintas antara Malaya dan kepulauan Indonesia itu. Saya
pikir baiklah lekas-lekas diseberangi Selat Malaka sebelumnya nanti timbul
bermacam-macam peraturan militer Jepang, dan menuju, “ke arah Republik
Indonesia”, bukan lagi dalam teori, seperti 18 tahun lampau.
Perhubungan
Singapura dan Minangkabau belum dapat dipastikan pada masa itu. Yang agak pasti
cuma perhubungan antara Singapura dengan satu dua tempat di pesisir Timur pulau
Sumatera, seperti Tembilahan dan Selat Panjang. Masuknya perahu kecil ke Kuala
Sungai Kuantan buat terus ke Tembilahan belum lagi pasti karena derasnya arus
sungai, kalau angin besar. Dari pesisir Sumatera Timur ke Padang belum tentu
ada keamanan berjalan. Saya putuskan berangkat ke Penang. Dari sana kelak akan
saya pelajari jalan ke Medan.
Seorang guru
kolega, L.Y. dan tiga pelajar Tionghoa ingin ikut bersama saya pergi ke
Sumatera atau Jawa. Kami memangnya sudah benar-benar sehidup semati dalam
beberapa bulan di belakang ini. kolega L.Y. mempunyai keluarga di Malaya dan
seorang pelajar mempunyai keluarga di Borneo Utara. Dua pelajar lainnya
memangnya mempunyai keluarga di Sumatera Timur.
Berlimalah kami
berangkat meninggalkan Shonanto pada pertengahan bulan Mei tahun 1942.
Perjalanan antara Singapura dengan Penang apalagi antara Singapura dengan
Jakarta, melalui Penang, Medan, Padang, Palembang dan Lampung terlampau banyak
memberi pemandangan, yang berarti buat dirawayatkan di sini.
Saya terpaksa
mengambil yang penting dan berkenaan saja. Stasiun Shonanto dijaga oleh
prajurit Jepang dengan senapan dan sangkur terhunus. Kuli pengangkat barang
tidak dibolehkan masuk stasiun. Tiap-tiap penumpang harus mengangkat barangnya
sendiri. Entah darimana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di
depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Entah dari mana datangnya tukang
copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang
sendiri. Dengan berdesak-desakan dan rebut-rebutan akhirnya kami mendapatkan
tempat juga dalam kereta yang luar biasa panjangnya itu.
Banyak sekali
jembatan yang dirusak disebabkan peperangan yang sudah lampau. Jembatan itu
diperbaiki atau diganti dengan jembatan kayu. Kereta berjalan dengan kekuatan,
apalagi kalau melalui jembatan. Seringkali kereta lama mesti menunggu di
stasiun. Perjalanan Singapura Penang, yang biasanya dapat dilakukan dalam
sehari semalam, sekarang mengambil waktu dua-tiga hari.
Di stasiun Prai,
sebelumnya kami menyeberang dengan ferry, kapal, ke pulau Penang, badan dan
barang diperiksa dengan teliti sekali. Kabarnya konon baru saja seorang gadis
Tionghoa dikoyak badannya oleh empat prajurit Jepang, yang masing-masing
menarik kaki dan tangan gadis yang malang itu sampai koyak. Pada pemudi ini
kabarnya terdapat dua granat yang ditaruh di dadanya.
Lama juga kami
terpaksa menunggu perahu buat menyeberang ke Medan. Saban hari kami berpecah
bepergian menanyakan ke sana-sini apakah ada dan dari manakah perahu berlayar.
Sementara itu dapat pula kami menyaksikan, berapa hebatnya kerusakan yang
diderita oleh kota Penang, sebagai akibatnya serangan Udara Jepang.
Akhirnya pada
suatu hari kolega L. Y. datang membawa kabar yang memberi pengharapan buat
berangkat. Katanya, adalah sebuah kongsi kapal Indonesia yang mengurus
pelayaran ke Belawan, Medan. Segera kami bersama-sama pergi mengunjungi kongsi
tersebut.
Baru saja kami
lima orang duduk berjejer-jejer maka dengan tak langsung “tauke” kongsi kapal
menuju dan menunjuk kepada saya dengan perkataan: “Ini tuan tentu berasal dari
Sumatera”.
Orang tak boleh
kehilangan akal, kalau tiba-tiba terdesak seperti saya di waktu itu. Saya
merasa tak perlu membuka rahasia saya dan menyebutkan nama saya yang sebenarnya.
Sama sekali belum datang waktunya buat itu. Saya jawab dengan (seolah-olah)
mengingat masa lampau: “Barangkali saya sudah pernah berjumpa dengan tuan di
Hilir Palembang”. Dia diam serupa berpikir, mengenang masa lampaunya itu.
Sambil dia menggeleng-geleng menandakan, bahwa yang saya katakan itu tidak
cocok dengan peringatannya, maka saya terus bercakap-cakap dalam bahasa
Tionghoa dengan para murid dan bahasa Inggris dengan kolega L.Y.
Berkali-kali saya
pergi ke kongsi kapal Indonesia itu, buat menanyakan kapan kapalnya akan
berangkat. Tetapi dia, tauke, tadi sudah terlalu sibuk dan tak banyak
memperdulikan saya lagi. Tauke itu tak kurang dan tak lebih daripada Mohammad
Samin bekas ketua Sarekat Islam Medan, dan saya kenal baik selama tinggal di Medan,
lebih dari 20 tahun sebelumnya. Kabarnya selang berapa lama dia pindah ke
Penang. Rambutnya sudah putih, tetapi potongan badan dan bentuk mukanya
belumlah lagi saya lupakan. Boleh jadi sekali dia sudah melupakan saya.
Sampai sekarang
saya memegang keyakinan, bahwa perpisahan dua puluh tahun bisa melupakan
kenalan dengan kenalan. Apalagi kalau satu sama lainnya tidak pikir memikirkan
dan berjumpa pada tempat atau waktu yang tidak disangka-sangka. Begitulah di
belakang hari di Pematang Siantar, pada penghabisan bulan Juni (20 Juni?) tepat
ditengah jalan saya berjumpa dengan dokter hewan Ali Musa, lima kelas lebih
tinggi dari saya di Kweekschool Bukit
Tinggi. Malah ketika saya pada tahun 1920 pergi ke Minangkabau mengunjungi ibu
bapak, saya bermalam di rumahnya Dr. Ali Musa di Pematang Siantar itu. Dengan
Drs. Moh. Hatta di Bayah dan di tengah jalan Oranye Boulevard, Jakarta, di masa
Jepang, malah dengan teman sekelas sendiri, Dahlan Abdullah, bekas Sico Jakarta di tengah jalan di Jakarta
saya pernah bertemukan muka sama muka. Tetapi siapakah diantara mereka yang
akan menyangka menjumpai seorang yang sudah lebih 20 tahun dipisahkan.
Banyak benar
cerita Riep van Winkel seorang penduduk salah satu desa di Amerika. Setelah
bertahun-tahun dia meninggalkan desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia
kembali ke desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya.
Tidak saja teman sedesa yang tidak lagi mengenal dia, tetapi mereka tertawa dan
tidak mau kenal, apabila dia memperkenalkan dirinya sebagai Riep van Winkel.
Saya belum setua Riep van Winkel, tetapi tentulah banyak perubahan rupa yang
terjadi selama lebih 20 tahun.
Pada kira-kira
pertengahan bulan Mei 1942, kami akhirnya bertolak dari Malaka dengan sebuah
tongkang kepunyaan dan dikemudikan oleh orang Tionghoa dan disewa oleh kongsi
kapal Indonesia tadi. Sebetulnya tongkang ini hanya sanggup membawa 20 orang
penumpang dengan barang-barangnya. Tetapi jumlah pada masa itu tak kurang
daripada 40 orang. Kami berdesak-desakan mencari tempat di bawah geladak
(dek). Walaupun tempat itu gelap, karena
tak ada jendela dan hawanya banyak mengganggu, lantaran banyaknya manusia, kami
merasa senang, karena dapat menyeberang menuju ke tempat yang baru.
Para penumpang
terdiri dari bermacam-macam bangsa: Indonesia, Tionghoa, dan Hindu. Penumpang
Hindu selalu membuka pikiran saya dimana saja mereka saya jumpai. Pernah saya
bertanyakan kepada seorang Hindu pada sebuah kapal, kenapa dia tidak mau tidur
atau duduk dekat orang senegerinya, maka dia jawab, bahwa orang itu bukan
“bangsanya”. Sesudah saya periksa lebih jauh, maka ternyatalah, bahwa yang
bukan “bangsanya” itu, ialah orang Hindu juga tetapi termasuk kasta lain entah
kasta apa diantara lebih kurang 3000 kasta besar kecil itu. Di tongkang kami,
yang saya sudah lupa namanya, tetapi baik disebut Ho-Kang saja artinya untung besar. Kami sudah melihat bayangan
perpecahan British India di hari depan. Perpecahan itu bukan disebabkan oleh
perbedaan kasta, melainkan oleh perbedaan agama Hindu dan Islam. Di Tongkang
Ho-Kang, ada dua penumpang, yang warna kulit, potongan badan dan bentuk muka,
bahkan pakaianpun sama tetapi berlaku seperti anjing dengan kucing. Mereka
berbaring berjauhan satu sama lainnya dan membiarkan satu lapang yang agak luas
diantara mereka. Sering mereka
kedengaran bertengkar dalam bahasa mereka sendiri. Karena tempat memangnya
sempit, maka salah seorang penumpang Tionghoa, meminta supaya dia mendekat saja
kepada temannya. Tetapi di suruh Tionghoa itu berbaring diantara mereka. Sebab
memangnya berlainan “bau” maka Tionghoa tadi menolak dan bersikeras menyuruh
penumpang Hindu tadi berbaring berdekatan dengan “bangsanya” sendiri. Dengan
tegas orang Hindu tadi memberi jawab: “Itu bukan bangsa saya. Saya Islam punya
orang. Dia Hindu punya orang”.
Memang sudah lama
kita ketahui mendalamnya biji divide et
impera antara Hindu dan Islam masuk di British India sendiri, sampai bunuh
membunuh, adalah kejadian biasa disana. Tetapi kalau permusuhan itu denga
terang-terangan pula, diperlihatkan di negeri asing di antara bangsa asing,
maka sikap semacam itu tidaklah akan menambah kehormatan bangsa Asia lainnya
terhadap penduduk British India, yang mempunyai kebudayaan yang gilang-gemilang
di zaman lampau itu. Apakah perpecahan British India diantara Hindustan dan Pakistan
itu, yang sekarang (November 1947) sudah berlaku, tetapi belum lagi memberi
kepuasan, kelak dikemudian hari akan memberikan kepuasan yang kekal? Ataukah
perpecahan itu akan menimbulkan sengketa terus-menerus antara dua negara,
sebangsa, tetapi berlainan agama, sampai salah satu negara itu dengan paksa
akan menguasai yang lain? Ataukah akhirnya “Mahkota” Inggris (atau negara lain)
akan datang dengan senyum simpul mendekat mereka dan mempertautkan perpecahan
itu kembali? Cuma sejarah saja yang akan dapat memberi jawab. Tongkang Ho-Kang
sudah membayangkan perpecahan yang sekarang sudah menjadi bukti.
Selainnya daripada
pertikaian biasa diantara orang India dan India itu, para penumpang amat rukun
satu sama lainnya. Biasanya dalam masyarakat kecil seperti dalam tongkang kecil
itu, apalagi kalau menghadapi angin topan dan bahaya, manusia itu merapatkan
diri satu dengan lainnya. Cuma Islam India dalam Tongkang Ho-Kang, seperti juga
banyak kelihatan di Malaya merapatkan diri kepada Islam Indonesia.
Selat Malaka tidaklah
selalu berada dalam keadaan tenang, jernih dan datar seperti kaca. “The
Sumatera”, yang dimaksudkan oleh Inggris ialah topan yang bertiup dari Sumatera
terkenal dahsyatnya di Malaya. Di waktu laut tenang, kami bergurau-gurau di
geladak membandingkan cepatnya Tongkang Ho-Kang dengan Kapal Kedah dari
Straits-Steamship Co. Kapal Kedah sebelum Inggris menyerah kepada Jepang,
menyeberangi Selat Malaka dalam 10 jam. Tetapi sesudah berdaya 10 hari Tongkang
Ho-Kang belum lagi menghilangkan pesisir Malaya dari mata penumpang dan belum
juga lagi memperlihatkan garis pesisir Pulau Sumatera. Muka air laut dekat
sekali jaraknya dari geladak, bahkan bisa diraba airnya. Ikan lumba-lumba yang
berlomba-lomba mengikuti Tongkang, dapat diperamati dari dekat, walaupun tidak
boleh ditunjuk! (Maklumlah bukan saja pelaut Indonesia, tetapi pelaut Tionghoa
pun sama bertahyul). Entah karena “menunjuk” ikan lumba-lumba, entah karena
memangnya disebabkan gerakan alam, maka pada suatu malam kami terbangun. “Topan
Sumatera” bertiup dengan semua kodratnya. Tongkang Ho-Kang diombang-ambingkan
seperti sebuah kacang direbus. Semua layar diturunkan. Kajang yang melindungi
kami menumpang dari angin dan hujanpun terpaksa diturunkan. Kajang tadi menjadi
sasaran topan dan mungkin dapat membalikkan Tongkang Ho-Kang, untung besar.
Memangnya satu untung besar kalau sekiranya topan Sumatera itu bertiup di masa
lampau, tatkala Laksaman Hang Tuah mengintai musuhnya dan menunggu saat yang
baik untuk merapatkan kapal perangnya ke kapal perang Portugis dan menyerbu
dengan segala ketangkasan dan keprawiraan pahlawan laut Indonesia. Tetapi buat
tauke Tongkang Ho-Kang topan Sumatera bukan berarti untung besar, bahkan
sebaliknya mungkin menyebabkan rugi besar.
Pada permulaan
bulan Juni, kami penumpang semuanya bergembira ketika memperamati garis kabur
di depan kami. Rupanya pesisir Sumatera sudah samar-samar terlihat di depan
mata. Dengan tidak bertanya-tanya (maklumlah juragan Tionghoa amat bertahyul)
dan dengan telunjuk disembunyikan di dalam kantong celana. (Maklumlah juragan
Tionghoa melarang menunjuk!). Kami berbisik-bisik mengeluarkan pendapat, bahwa
Sumatera sudah dekat. Ada diantara penumpang yang berasal dari Medan, yang tahu
benar bahwa pulau yang tampak di depan itu ialah pulau Berhala namanya. Karena
pengetahuan ini maka kami tidak bertanya kepada juragan Tionghoa yang rupanya
bergembira karena sudah dekat ke tempat yang dituju dan tidak pula kami perlu
“menunjuk”: ke tempat yang tidak boleh “ditunjuk” itu.
Tetapi pada
keesokan harinya kami terlihat pula kepada suatu pulau yang berbentuk lain dan
terlihat bukan lagi di depan melainkan di sebelah kiri. “Pulau apakah gerangan
ini?”, begitulah pertanyaan yang timbul di dalam hati”.
“Ahli kami” yang
berasal dari Medan tadi, dapatlah pula memberi jawab, bahwa pulau itu ialah
pulau Berhala juga, cuma dilihat dari lain tempat. Kita tidak maju selangkahpun
dari kemarin, bahkan lebih mundur lagi. Zonder “menunjuk” dan zonder “menanya”,
maka dari tauke Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin
keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan
bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang belum juga
dapat masuk ke pelabuhan Belawan. Malah angin keras itu, toa-hong itu memukul
tongkang Ho-Kang beberapa km kembali kebelakang. Tiga empat (hari) pagi kami
kecewa, karena terus melihat pulau Berhala saja, cuma dari berlainan jurusan:
kiri dan kanan, depan berganti-ganti. Baru pada tanggal 10 (?) Juni kami bisa
masuk ke pelabuhan Belawan. Setelah
pemeriksaan oleh polisi Indonesia dibawah pengawasan Jepan selesai, maka besok
harinya kami berangkat ke Medan. Di Medan kami berlima diperkenankan oleh tuan
pengurus, ialah tuan Ramli untuk seminggu lamanya tinggal di rumah Kongsi
Pelayaran Indonesia tadi, yakni cabang atau pusat yang terletak tidak jauh dari
pasar yang baru dan sangat indah itu. Dalam seminggu itu saya mempunyai
kesempatan penuh untuk mempelajari keadaan di kota Medan, yang sudah saya
tinggalkan lebih dari 20 tahun lamanya. Pula untuk mempelajari jalan ke Padang
dan seterusnya jalan ke Pulau Jawa, seperti maksud kami semula.
Kota Medan
bolehlah dikatakan kota yang amat teratur buat seluruhnya Indonesia. Rumah baru
tidaklah boleh didirikan disembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah
dtentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tidak menyaksikan
yang baru di samping yang usang, yang bersih indah disampingnya yang kotor
bobrok, seperti di ibu kota Jakarta umpamanya. Lihatlah saja di ibukota
Indonesia ini. Wijk Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan
kebunnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun
Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor gelap yang berhimpitan, di pinggir
selokan tempat mandi, berkumur-kumur, dan buang air besar dan kecil;
rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga
kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah
kota pula.
Pasar di Medan
amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap
indah permai buatannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan
penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan
teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa
menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebersihannya. Pasar ini tidak
saja menarik, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat
penghidupan beberapa teman saya Kolega L.Y. dan pemuda dari Borneo Utara asyik
mencatat harga barang di pasar Medan; harga barang seperti buah-buahan di pasar
dan di tempat asalnya ialah Brastagi; prebedaan harga barang di Medan dengan di
Malaya.
Satu sifat bangsa
Tionghoa yang selalu mengagumkan saya, ialah sifat optimisme dalam masa
marabahaya dan tak malu-malu mengerjakan pekerjaan halal buat mendapatkan
penghidupan. Sifat baik itu nyat buat saya di Tiongkok sendiri dan nyata pula
didalam kegentingan hidup bangsa Tionghoa di Malaya. Ini hari Inggris menyerah
dan besoknya Singapura diduduki oleh Jepang, maka kolega L.Y. walaupun
mempunyai ijazah yang setinggi-tingginya buat perguruan Inggris di Malaya,
membukan perusahaan tao-hu. Dia dengan beberapa murid membeli bahan sendiri,
membuat tao-hu dan sendiri pula menjualnya di pinggir jalan. Banyak intelek
Tionghoa lainnya yang berbuat macam itu pula. “Singsingkan lengan baju”,
demikianlah slogan mereka. Baik juga sifat ini diperhatikan oleh “intelektual”
kita.
Kolega L.Y. sudah
mendapat kepastian, bahwa dia bisa pulang balik dari Medan ke Penang membawa
barang dagang. Barang kelontong amat tinggi harganya di Medan, kalau
dibandingkan dengan harga kelontong di Penang. Sebaliknya harga hasil bumi,
yang agak tahan lama, seperti bawang, dan kentang amat rendah harganya di
Medan, kalau dibandingkan dengan di Penang. “Alangkah baiknya” kata kolega L.Y
pada suatu hari “jika dibeli hasil bumi di Medan dan dijual ke Penang,
seterusnya beli barang kelontong di Penang dan dijual di Medan”. Dia bisa pergi
pulang dari Medan ke Penang, kalau perlu bawa saudara atau bapaknya dari
Malaya, untuk mendapatkan penghidupan diwaktu yang amat sulit itu.
Pemuda dari Borneo
Utara, sudah bertemu dengan salah seorang temannya di pasar Medan. Dia sudah
mengerti, bahwa dengan pulang pergi dari Brastagi ke Medan buat membeli hasil
bumi dia akan bisa hidup sederhana, asal ada saja pokok sedikit. Memangnya dia
anak miskin, tetapi kami sayangi karena amat pintar, amat rajin dan jujur.
Buat dua orang
pelajar Tionghoa lainnya pencarian itu bukanlah suatu soal, karena sudah
disebutkan diatas, mereka mempunyai keluarga di Sumatera Timur. Walaupun kolega
L.Y. dan pelajar Borneo Utara sudah melihat lubang pencarian, mereka belum lagi
mengusulkan apa-apa kepada saya, lantaran di Singapura kami bermaksud akan
terus ke Jawa. Selama dalam kesunyian itu kami sering membuat perjanjian. Kami
selalu pula taat kepada perjanjian kami. Ini kalipun perjanjian itu akan kami
taati asal bisa dan ada kesempatan dan mempunyai cukup uang buat berjalan, maka
maksud itu akan diteruskan juga. Untuk menyelidiki hal ikhwal perjalanan ke
Jawa itulah saya kian kemari bertanya kepada orang Indonesia di Medan.
Perusahaan
Indonesia di kota Medan ada mengambil bagian diantara perusahaan asing. Yang
ternyata benar hasil usaha bangsa Indonesia di Medan ialah dalam hal
percetakan. Banyak percetakan buku dan surat kabar di Medan yang dimiliki,
diurus dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sepintas lalu terlihat
lebih banyak dan lebih besar perbandingannya dari perusahaan percetakan
Indonesia dilain-lain kota. Selainnya daripada toko-toko buku yang teratur
rapi, banyak pula terdapat ditepi-tepi jalan penjualan “secondhand Books” (buku usang). Tempat ini selalu dikerumuni oleh
pemuda yang ingin membaca dan membeli.
Tidak berapa lama
saya membalik-balik lembar buku pada suatu tempat, maka penjualnya meloloskan
satu buku ke tangan saya dengan perkataan: “Ini buku yang baik dan laku”. Buku
itu bertitel “Pacar Merah” dikarang
oleh “Matu Mona”. Baru pertama kali saya mendengar nama dan pengarangnya itu.
Belum lagi lama saya membolak-balikkan lembarannya, penjual buku mendekati saya
dan berbisik-bisik: “Tuan tahu, Tan Malaka sudah berada di Padang. Dia sudah
berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Dia sudah berbicara hari ini di
tanah lapang Padang. Tinggi sekali pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara
Nippon saya tanyakan apakah pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon
itu? Jawab: “Kolonel, kata orang”.
Saya tak ingin
meneruskan pembicaraan semacam itu. Saya sudah maklum, bahwa Jepang memakai
taktik seperti di lain tempat juga di Asia, ialah menipu rakyat Indonesia.
Seolah-olah hendak membuktikan bahwa dia sudah mendapat kepercayaan penuh dari
para pemimpin rakyat itu. Tinggal lagi rakyat, yang patut percaya pula kepada
Jepang. Selainnya daripada itu saya maklum pula, bahwa disamping “kolonel” Tan
Malaka itu Jepang sedang mencari Tan Malaka yang lain.
Buat meneruskan
penyelidikan saya, maka saya memasuki sebuah toko, yang baru dibuka oleh orang
Minangkabau. Toko itu dimaksudkan untuk
menjual hasil bumi dari Minangkabau, terutama kopi dan tembakau. Dari tuan
toko saya mendapat kabar, akan dibuka kongsi kapal Indonesia yang bertempat di
Padang buat pelayaran ke Jawa. Tetapi akan dibuka belum lagi berarti sudah
dibuka. Saya pikir, armada Jepang tidak akan lepas begitu saja memberi izin,
berhubung dengan penjagaan lautnya. Dengan tidak ditanya apa-apa, maka tuan
toko menceritakan pula kepada saya dan kepada teman-teman sendiri, bahwa
“kolonel” Tan Malaka sudah berbicara di tanah lapang Padang, dll, dsb. Semuanya
memperkuat kepercayaan saya, bahwa tidak baik buat saya tinggal di Sumatera.
Setelah saya yakin
bahwa perhubungan dengan Jawa belum bisa dijamin dan pasti perjalanan itu akan
memakan banyak ongkos. Buat kolega L.Y. malah dengan perasaan lega, segera
berkata, bahwa lantaran tak tentunya perhubungan dan besarnya ongkos ke Jawa
itu, maka dia lebih suka mengambil jalan yang pasti saja. Dia ingin berdagang
antara Medan dan Malaya, asal saja dia dapat bantuan seperlunya dari kongsi
Kapal Indonesia. Perkara ini dapat saya atur dengan cepat, sehingga sewaktu-waktu
kolega L.Y. boleh berangkat kembali ke Penang membawa barang dagang. Pelajaran
bahasa Indonesia sudah saya berikan kepadanya, sehingga dia dapat berbicara
langsung dengan pedagang Indonesia. Rumah dan pokok buat pelajar dari Borneo
Utara, sudah pula saya bereskan. Dengan beberapa bekas murid yang tinggal di
Pematang Siantar saya akhirnya bertolak menuju ke Bukit Tinggi, melalui
Sibolga.
Lain benar corak
dan isi kota Bukit Tinggi daripada ketika saya tinggalkan 22 tahun lampau.
Jalan, rumah, gedung dan penerangan jauh lebih besar dan bagus daripada dahulu.
Tetapi saya tidak ingin banyak
berjalan-jalan walaupun Bukit Tinggi banyak memberi kenang-kenangan lama, yang
masih mengharukan pikiran. Kweekschool, yang biasanya disebut Sekolah Raja,
dimana saya 6 tahun lamanya menerima pelajaran dan mengalami penghidupan dalam
asrama yang sudah condong ke Barat. Taman pelajaran ini yang dimasa berdirinya
termasyhur buat seluruhnya Sumatera, lama sudah ditutup. Juga Opleidingschool,
sudah lama mengalami nasib semacam itu pula. Perguruan di Minangkabau sudah
amat merosot atau lebih tepat sangat dimerosotkan. Untuk 2 juta rakyat
Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda cuma mendirikan 2 buah Normaalschool di
Padang Panjang dan 2 MULO, tak ada sekolah Menengah Tinggi, jangankan lagi
University. Memang puluhan pemuda-pemudi Minangkabau bersebaran di Jawa buat
mencari pelajaran. Tetapi karena kekurangan uang bantuan, kekurangan pengawasan
dari pihak keluarga, mereka terombang-ambing diantara ke pelesiran dan
pergerakan politik. Jarang yang jaya usahanya. Ini sama sekali tidak
mengherankan. Pelajar dimana dan dari bangsa manapun juga dalam keadaan yang
sama akan mendapatkan hasil tidak lebih baik daripada itu. Kemerosotan
perguruan itu tidak sebanding dengan kemajuan perekonomian Minangkabau selama
saya tinggalkan itu. Penjualan sekalian hasil bumi di pasar Bukit Tinggi
semuanya masih berada di tangan putera bumi. Semua toko besar menjual kain dan
barang pabrik Eropa berada di tangan bangsa asli juga. Demikianlah pula toko buat
mengexport hasil bumi serta semua hotel adalah di tangan bangsa Indonesia!
Adapula Bank Nasional dan Bank Insuransi Indonesia. Di Minangkabau ada pula onderneming modern yang dimiliki dan
diurus oleh bangsa Indonesia sendiri.. Di kota Bukit Tinggi pada ketika itu
saya tidak melihat tokonya orang Tionghoa. Setelah imperialisme Inggris dan
Belanda menyerah, maka pedagang Minangkabau dengan cepat menuju ke semua
penjuru di Indonesia membawa hasil bumi dan merebut pasar. Sebuah pasar di
dekat pelabuhan perahu yang datang dari Sumatera dan sebagian kota Singapura
yang tokonya sudah ditinggalkan asing sudah sama sekali diduduki oleh pedagang
Minangkabau. Di Medan proses semacam itu berjalan pula. Pedagang Minangkabau
sudah tidak putus-putusnya bergerak menuju ke Jawa, melalui Lampung, membawa
gambar dan lada.
Saya sudah
perhatikan pedagang Minangkabau dan Tionghoa di Sumatera dan Jawa terutama di
Jakarta, Pasar Senen. Dalam hal inisiatif, keberanian pergi merantau entah
kemana, memangnya bangsa Minangkabau tak kalah oleh orang Tionghoa. Tetapai
orang Minangkabau masih kalah dalam hal mengeluarkan uang buat memelihara “appearance”, ialah yang baik dipandang
mata. Umpamanya membelanjakan banyak uang untuk kebagusan rumah, perhiasan dan
lain-lainnya belanja yang langsungnya memang tidak memberi untung. Tetapi
karena menarik dan membeli kepercayaan pembeli memang dengan tidak langsung
memberi keuntungan. Kekurangan ini juga disebabkan oleh kekurangan modal dan
pengetahuan. Tetapi dalam hal kehematan orang Minangkabau tidak kalah oleh
orang Tionghoa. Dan dalam hal pelayaran,
karena kelebihan dalam pemakaian bahasa dan pengetahuan tentang jiwa pembeli (psychology) maka saudagar Minangkabau
yang berurusan dengan bangsanya sendiri itu, agaknya melebihi bangsa manapun
juga.
Hal ini diketahui
benar oleh penganut Hakko Iciu, yang
dimana saja mereka berada seperti di Korea, Tiongkok dan Taiwan dengan kejam
menindas perusahaan putera bumi. Di Bukit Tinggi pada suat hari saya saksikan
sendiri lebih dari 10 truck sudah penuh dengan muatan berisi kopi dan tembakau
siap buat berangkat ke Medan. Itu hari pula “Osamu Serei” keluar buat melarang pengeluaran barang tersebut dari
Minangkabau. Saya saksikan pula di Jakarta dibelakang harinya, bagaimana
pedagang Minangkabau yang dengan 1001 kesukaran di jalan antara Minangkabau
dengan Jakarta dan menjual gambir dan ladanya di Jakarta dengan harga tak
begitu mahal, kalau dipikirkan resikonya ditampari sesudah barangnya disita.
Memangnya banyak mata pencarian yang dibuka dengan inisiatif pedagang
Minangkabau yang disita oleh “saudara tua” sesudah “saudara mudanya” di-bakero-i, ditampar dan diancam. Di mata
Jepang memangnya tak ada pedagang Indonesia yang lebih “jahat” daripada
pedagang Minangkabau. Mungkin sekali dibelakang harinya, semua jalan dari
Minangkabau ke Medan, Singapura dan Jakarta, yang dibuka oleh pedagang dari
Minangkabau ditutup dengan Osamu Serei atau pedang samurainya Kempe-tai, yang
menganggap pedagang Padang sebagai konkurensi
pedagang Jepang dan berbahaya buat kerakusannya.
Niat saya bermula
ketika meninggalkan Padang, ialah dengan diam-diam singgah sebentar ke Suliki,
sekedar mengunjungi kuburan ibu bapak dan cucuk kemenakan yang sudah lama dan
belum lahir ketika saya meninggalkan Indonesia. Dengan cerita “kolonel” Tan Malaka
yang disiarkan dimana-mana itu, teristimewa pula di Bukit Tinggi, maka saya
tidak merasa aman pergi mengunjungi kampung halaman itu. Bahkan saya harus
lekas meninggalkan Bukit Tinggi. Tetapi susahlah mendapatkan truck apalagi
mobil buat berangkat ke Jakarta melalui Palembang atau Lampung. Semua truck
yang ada sudah diborong oleh pedagang.
Orang katakan,
bahwa lebih mudah berangkat dari Padang Panjang. Saya pergi ke Padang Panjang.
Tetapi tidak mudah. Disana saya dengar kabar, bahwa lebih mudah berangkat dari
Padang. Saya pergi pula ke Padang. Tetapi ternyata pula tidak mudah. Disana
dikatakan pula, bahwa tentu lebih mudah dari Bukit Tinggi. Sebelumnya saya
kembali ke Bukit Tinggi, maka saya berjumpa dengan kenalan yang dulu saya
jumpai di jalan antara Medan dengan Bukittinggi. Diapun mempunyai pengalaman
seperti saya. Diapun sudah dipulang balikkan oleh “nasehat” dari Bukit Tinggi
ke Padang. Kenalan di jalan ini berasal dari Palembang. Dia pergi ke Pematang
Siantar mengurus mobilnya yang dahulu “dipinjam” oleh tentara Dai Nippon,
ketika berangkat dari Palembang menuju ke Tapanuli. Tetapi dia tidak
mendapatkan mobilnya itu. Pinjam itu dalam bahasa Jepang, seperti kita alami,
ialah merampas dalam bahasa kita
Kenalan di jalan
ini mengajak saya tinggal saja di Padang, menunggu truck beberapa hari lamanya.
Dia dengan dua tiga teman lainnya sedang memperbaiki truck yang rusak.
Bersama-sama mereka akan membayar ongkonsnya. Sayapun boleh ikut dan membantu
membayar ongkos jalan. Usul itu saya terima.
Dalam tunggu
menunggu dalam perjalanan ke Jawa itu saya mendapat banyak kesempatan buat
mempelajari sikapnya pernduduk terhadap penjajahan lama dari penjajah baru.
Terhadap Belanda sendiri sikap Rakyat Indonesia umumnya sudah bisa diselidiki
dalam dua macam keadaan. Pada 8 Maret 1942 mereka berhadapan dengan Belanda
yang malang, kalah menyerah. Sekarang (November 1947) mereka berhadapan dengan
Belanda sebagai penyerang dan penjajah.
Apakah rakyat
Indonesia tetap tinggal Extremist, terorist dan perampok, ketika menghadapi
Belanda dalam dua keadaan yang berlainan itu? apakah extremist, terrorist dan
perampok yang dipropagandakan oleh imperialist Belanda di dalam dan di luar
Nederland itu tidak hanya terdapat diujung lidah dan penanya imperialist dan
kaki tangannya Belanda saja?
Pedagang Indonesia
yang dengan Tionghoa Ho-Kang bersama saya datang dari Penang, apabila melihat
beberapa orang Belanda yang digiring oleh Jepang di Medan dengan spontan zonder
pikir-pikir mengeluarkan perkataan: “Kasihan juga kita melihat nasibnya
Belanda”. Di Padang tersiar kabar diantara rakyat bahwa seorang dokter Belanda
ditampari oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali oleh
Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali dengan tidak memberi
pembalasan. Tak ada diantara mereka, yang menceritakan itu ataupun pendengarnya
yang bersuka cita, seolah-olah menunjukkan “Schaden
freude”, ialah suka melihat orang lain dalam kesusahan. Seorang bekas
pelarian Silungkang yang saya jumpai di daerah Jambi, seorang yang sudah
melarat bertahun-tahun semenjak pemberontakan di Silungkang pada tahun 1927,
berulang-ulang mengucapkan: “Hiba hati
awak, hiba hati awak melihatnya”. Dia melihat beberapa orang Belanda
berhenti dengan trucknya: Si Jepang membuka bungkus roti dan memanggil orang
Belanda tawanan itu satu persatu dan memberikan sebuah roti dengan ucapan “heh”. Kalau Belanda itu tidak lekas
datang, maka roti itu dilemparkan oleh Jepang itu kepadanya. Belanda itu
bukannya serdadu, melainkan bekas B.B, tuan besar ini atau itu. Dimasa
kekejaman Jepang terhadap Belanda masih merajalela, maka pada stasiun kecil
dekat Jakarta, seorang nyonya Belanda menangis-nangis mendekati kepala stasiun
Indonesia.
Nyonya itu baru
tahu, bahwa anaknya sesat menyimpang dengan kereta lain menuju ke Bandung. Dia
sendiri mengambil jalan lain dan harus segera pindah kereta menyusul anaknya.
Tetapi uang tidak ada buat membeli karcis dan karcis sudah ditentukan lebih
dahulu oleh orang Jepang. Walaupun besar bahayanya buat kepala stasiun
Indonesia buat dirinya sendiri, dia dengan diamd-diam memberikan pertolongan
yang diperlukan. Banyak contoh yang lain-lain yang membuktikan pri-kemanusiaan
yang sebenarnya. Kalau bangsa Indonesia tak mempunyai pri-kemanusiaan itu,
masakan Belanda di masa Jepang itu bisa hidup dengan aman diantara Rakyat
Indonesia.
Yang menggelikan
orang Indonesia pada waktu penyerahan Belanda, ialah melihat “nyonya besar
mengangkat koper dan barangnya sendiri, karena Jepang tak membolehkan “nyonya
besar” memakai jongos dan babu seberti dimasa mewahnya. Yang tak kurang
menggelikan bangsa Indonesia pada waktu penyerahan itu pula, ialah kejanggalan
penglihatan ketika para opsir tinggi Belanda dengan segala pakaian angkatannya
menyerahkan diri pada opsir Jepang yang berpakaian sederhana itu; ketika
ratusan serdadu Belanda yang perawakannya jauh lebih besar itu digiring oleh
satu dua gelintir serdadu Katek dari Nippon. Akhirnya yang menjadikan darah
Indonesia mendidih dan serentak membela dan menyerang, sampai dinamai
extremist, terroris dan perampok, ialah ketika Belanda, yang tak sanggup
melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya itu, sekarang kembali menjajah dan
melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan Rakyat
Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
ialah cocok dengan hak mutlaknya!
Dalam waktu antara
Belanda menyerah dan Jepang masuk, antara 8 Maret dan 17 Maret 1942, maka di
Padang sebenarnya tak ada pemerintahan. Rakyat dan pemuda dengan Laskar Rakyat
sudah mengatur segala-galanya dan menghapuskan peraturan Belanda yang selamanya
dibenci oleh rakyat. Kabarnya cukai pasar dihapuskan. Tanah kosong yang dahulu
kepunyaan bersama untuk memelihara ternak, tetapi kemudian pemakaian bersama
itu dilarang oleh Belanda, sekarang dikembalikan kepada rakyat. Pembagian
klas-klas di dalam kereta api dihapuskan. Keamanan dijaga oleh rakyat dan
pemuda. Memangnya sebelum Belanda menyerah, Rakyat Minangkabau menentang keras
tindakan Belanda yang hendak menghancurkan semua jembatan. Semangat kemerdekaan
itu dalam sekali terselip dalam hati sanubari Rakyat Minangkabau. Jika Ir.
Sukarno yang pada masa peralihan pemerintahan antara 8 Maret dan 17 Maret itu
berada di Padang memajukan diri sebagai “pemimpin gerilya”, maka rakyat dan
pemuda Minangkabau (bersama dengan Rakyat dan Pemuda Aceh yang dengan senjata
di tangan menggempur tentara Belanda) pasti akan menyambutnya dengan segala
kegirangan. Memangnya kesempatan baik buat menjadi “pemimpin gerilnya” itu buat
Ir. Sukarno tidak saja ada sekarang untuk melawan penjajah Belanda, tetapi juga
dahulu untuk melawan penjajah Jepang.
Pada permulaan
Jepang masuk, rakyat Minangkabau masih ragu-ragu tentang kemauan Jepang.
Kemauan kemerdekaan masih kuat bersarang dalam hatinya rakyat dan pemuda
Minangkabau. Tetapi karena propaganda Jepang dengan slogan yang kita kenal
ialah “Nippon Indonesia sama-sama”
maka rakyat menjadi bingung. Kebingungan ini ditambah pula dengan sikapnya para
pemimpin “besar” buat Indonesia umumnya dan beberapa pemimpin Minangkabau
khususnya yang lebih Jepang daripada Jepang sendiri.
Pada suatu hari
ketika saya di Padang berada di tengah-tengah beberapa orang, maka tiba-tiba
keluar lagi “dongeng” umum tentang “kolonel” Tan Malaka, yang “berpidato” di
tanah lapang pada keesokan harinya Jepang masuk, jadinya ketika Tan Malaka yang
lain masih berada di “Singapura”. Satu dua orang pendengar menunjukkan tak
percayanya. Merasa dibantu oleh mereka yang tak percaya, saya mencoba bertanya:
“Mungkin kabar itu tak benar. Dan politiknya Tan Malaka adalah berlainan”.
Tukang dongeng amat marah atau pura-pura marah. Mungkin juga Jepang
mengangkat dan menyewa tukang dongeng
semacam itu, seperti di Jawa ia menyewa Tan Malaka palsu. Tentulah saya tidak
mengingini bertengkar. Setelah mendapat kesempatan, maka saya meloloskan diri
saja dari gerombolan tukang dongeng dengan para pendengarnya itu.
Herannya saya
pula, beberapa kali apabila saya masuk di kamar hotel saya di Padang ialah
Hotel Muslimin dengan memakain nama Ramli Hussein maka tahu-tahu saya mendengar
perkataan seperti: “Kata orang Tan Malaka sudah disini. Saya sendiri belum
pernah berjumpa dengan dia”. Menyindir-nyindir sayakah dia” demikian pertanyaan
dalam hati saya.
Semuanya
menjelaskan kepada saya, bahwa sebaiknyalah selekas-lekasnya saya berangkat ke
Jawa. Untunglah pula dalam empat lima hari, truck yang diperbaiki tadi selesai.
Segera kami berangkat melalui Solok, Sijunjung, daerah Jambi sampai ke kota
Palembang dalam perjalanan yang memakan waktu dan akhirnya (26?) bulan Juni
sampai pada permulaan bulan Juli.
Tidaklah lama saya
tinggal di Palembang. Tidak banyak yang perlu diceritakan tentang hal
Palembang. Sudah diketahui, bahwa penduduk Indonesia, Palembang adalah pedagang
yang ulung yang membuka perusahaan dimana-mana di Jawa dan lain-lain tempat
seperti Singapura. Di Palembang sendiri tidak sedikit orang Palembang yang
bermodal F 1.000.000,- atau lebih. Tetapi keinginan belajar di sekolah masih
amat rendah. Ketinggian nafsu berdagang, kalau dibandingkan dengan penduduk
Jawa, pukul rata, sepadan dengan kerendahan nafsu bersekolah. Memangnya pula
perdagangan itu memberi sumber penghidupan yang boleh dikatakan tinggi juga.
Selainnya daripada penduduk asli Palembang, pedagang Minangkabau juga mengambil
bagian yang berarti dalam perekonomian di Palembang itu.
Kepentingan
Palembang terletak pula pada isi buminya. Batu bara terdapat dekat muka bumi di
bukit Asam. Quality dan Quantity sifat dan bilangannya amat tinggi sekali.
Minyak tanah terdapat dimana-mana. Teristimewa sebagai sumbernya bensin untuk
kapal terbang. Aviation Spirit. Palembang tergolong daerah yang terpenting buat
minyak tanah di seluruhnya dunia. Tentara Jepang dengan terburu-buru menuju ke
Palembang, ialah dengan maksud hendak menduduki sumber minyak yang amat penting
buat pembelaannya itu. sekarangpun Amerika berusaha keras dan rupanya berhasil
menduduki kembali pabrik minyaknya. Plaju dan sungai Gerong adalah dua kota
minyak semata-mata.
Sesudah dua tiga
hari tinggal di Palembang, saya mendapat keterangan, bahwa ada kemungkinan buat
berangkat ke Jawa melalui Lampung dan menyeberangi Selat Sunda.
Banyak juga
kejadian yang ganjil yang saya saksikan di Lampung, Tanjung Karang. Tak ada
salahnya barangkali dicatat disini, dalam sepatah dua patah kata untuk menjadi
peringatan sejarah penjajahan Jepang yang kejam dan dahsyat itu.
Sebentar saja
tentara Jepang merasa aman di tengah-tengah penduduk Indonesia, maka dia segera
memaksakan kemauannya dalam segala-galanya terhadap bangsa Indonesia, yang
katanya dimerdekakannya itu! Tidak saja dalam hal politik kemiliteran dan
perekonomian yang semuanya dimonopolinya, tetapi pula dalam hal kebudayaan,
adat istiadat dan agama. Pada waktu permulaan diperintahkanlah oleh
Shu-cho-kan, residen Jepang, kepada buruh kasar dan halus di bermacam-macam
kantor, supaya sebelumnya masuk kantor semua orang membungkukkan badan
menyembah Maha Dewa di Tokyo, ialah yang dinamai Tenno Heika, Baginda Langit
itu. Dalam surat kabar TENNO HEIKA, nama yang buat mereka sakti itu sudah
dituliskan dengan huruf besar. Disamping itu semua restoran dan rumah makan
diperintahkan mengadakan “pelayan”. Pula pada hari liburan diperintahkan supaya
para “gadis” datang dengan karangan bunga “menghibur” para “pahlawan” Jepang di
rumah sakit. Rakyat Lampung menganggap semua ini sebagai suatu pelanggaran
agama, dan adat istiadat Indonesia. Beberapa penganjur rakyat yang terkemuka
memajukan keberatan terhadap “sembahyang” menuju ke Tokyo itu. Memangnya dasar
agaama Islam, melarang seorang penganutnya menyembah yang lain daripada Tuhan,
seperti menyembah orang, batu dll. Adat istiadat Lampung tidak membolehkan para
gadis berjalan-jalan di luar rumah, apalagi sendiri pergi mempersembahkan
“karangan bunga” kepada lelaki asing yang setengah telanjang itu. Setelah
karena paksa anak gadisnya seorang dokter Manado mempersembahkan karangan bunga
dengan muka masam dan melihat ke tanah, maka dia dipaksa mempersembahkan itu
dengan muka “tersenyum”. Saya dengar anak gadis ini melarikan diri, barangkali
ke Jakarta. Para pemuka Indonesia yang berani memajukan keberatan tentang
“sembahyang yang menghadap TENNO HEIKA” (yang sekarang setelah tentara Jepang
menyerah, menjelma menjadi musuh bernama
Hirohito itu!), para pemuka itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Bersama-sama dengan tangkapan itu Shu-cho-kan berkata, bahwa kalau Rakyat
Lampung tidak suka sama tentara Dai Nippon, mereka boleh berangkat ke lain
tempat.
Mulanya ada perahu yang berangkat dari Lampung ke
pulau Merak, Banten. Tetapi beberapa hari saja sebelum saya datang, maka
turunlah perintah, bahwa pelayaran leluasa itu harus diperhentikan. Semua
perahu yang berlayar harus melalui duane Jepang. Dan orang yang dibolehkan naik
perahu sebagai penumpang cuma orang yang membawa barang dagang sekurangnya
sebesar 300 kg.
Banyak terjemahan
yang diucapkan tentang 300 kg itu. Bukanlah pula harga emas seberat 300 kg
berlainan sekali dengan harga lada atau kelapa, apalagi kelapa dengan kulitnya,
seberat 300 kg? Anehnya pula keterangan yang didapat dari kantor ke kantor itu
juga sangat berlainan. Dengan surat perkenalan dari seorang landbouw-konsultan
di Tanjung Karang dan dengan seorang pegawai pemerintah di Lampung. Dan tuan
Landbouw-konsultan dan pegawai tadi tidak dapat memberi pertolongan selainnya
daripada mendapatkan keterangan yang tidak jelas dari bermacam-macam kantor.
Dalam pada itu
saya sendiri tidak berhentinya mencari jalan. Pada suatu hari di tengah jalan,
saya tepuk bahunya seorang penduduk Tanjung Karang, buat bertanyakan hal ihwal
pelayaran di Selat Sunda. Rupanya tidak sia-sia. Hospitality, gastvrijheid, lekas menerima dan ramah tamah pada tamu
itu, memangnya bukan monopoli di Barat. Saya dipersilahkan begitu saja datang
di rumahnya, dijamu ini dan itu seolah-olah saya sudah lama dikenalnya. Mang
Mamat, (kita namakan saja begitu!) Berasal dari Banten dan sudah lama benar
tinggal di Tanjung Karang. Di kampungnya Mang Mamat, kebanyakan penduduk
berasal dari Banten. Sesudah dua tiga hari berusaha menanyakan perihal
pelayaran ke pulau Merak, maka akhirnya diputuskan: “Kalau memangnya tak bisa
berangkat dengan perahu resmi, maka akan diambil jalan yang tidak resmi”.
Tentulah saya tidak akan bisa naik perahu itu di pelabuhan tempat duane. Saya
harus bangun jam 3 pagi, angkat barang sendiri menyeberangi laut yang dangkal
sampai ke perahu yang berlabuh agak ke tengah. Kalau kelak di pelayaran dapat
tertangkap oleh kempei-tai, maka haruslah saya menunggu resikonya, seperti
dijemur dipanas dan ditampari sedangkan barang-barang “disita”.
Sebenarnya saya
sudah menyetujui berlayar besok pagi, menentang resiko jemuran, tamparan dan
sitaan. Tetapi jalan lain masih saya cari-cari. Kebetulan pula di pelabuhan
Teluk Betung saya berjumpa dengan seorang pedagang besar, berasal dari
Silungkang dan di masa Hindia Belanda mempunyai toko besar di Surabaya. Saya
namakan saja dia tauke Silungkang. Saya jumpai tauke Silungkang tadi di jalan
dekat duane, sedang sibuk memuatkan barang yang ribuan kg beratnya dan puluhan
ribu rupiah harganya. Dia masih muda dan caranya bekerja adalah cepat, teliti
dan jitu. Dengan perantaraan seorang kenalan saya menghampiri dia dengan
pertanyaan apakah saya boleh menumpang perahu yang sebenarnya seluruhnya sudah
disewanya. Dia menjawab, bahwa memang perahu
itu sewaan dia, tetapi dia ingin menolong orang lain, yang mau berangkat
ke Jakarta. Berhubungan dengan itu dia sudah isi daftar penumpang lebih kurang
12 orang banyaknya. Walaupun para penumpang itu kebanyakannya orang biasa saja
(bukannya pedagang) tetapi diatas daftar dia tuliskan, bahwa semua orang tadi
adalah anggota “perseroan”. Dengan begitu maka tiap-tiap orang penumpang
“mempunyai” lebih daripada 300 kg (yakni diatas kertas), ialah syarat yang
dibutuhkan oleh Osemu-serei Jepang
tadi. Kantor duane sudah memberi “cap” Jepang, sebagai pengesahan atas “haknya”
para penumpang buat berlayar. Tauke Silungkang, setelah sekejap dengan cepat
memandang muka saya, berkata pula: “satu jam lagi perahu akan berlayar.
Barangkali seorang penumpang tak akan datang. Dalam hal i ni tuan boleh ikut.
Yang dibayar cuma sewa perahu saja dan tuan sebagai “anggota” perseroan
“berhak” atas 300 kg menurut Osamu-serei. Buat melancarkan pekerjaan lekaslah
tuan kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang tuan. Nanti kita
berjumpa di depan perahu”. Demikianlah usulnya tauke Silungkang.
Dengan cepat saya
kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang dan kembali ke pelabuhan
Teluk Betung. “Beres” kata tauke Silungkang yang sudah siap buat berlayar.
Kebetulan saya
berangkat dari Lampung pada waktu yang sama dengan Ir. Sukarno berangkat dari
Palembang. Di atas selembar surat kabar yang diterbitkan di Palembang terlibat
gambarnya Ir. Sukarno diatas kapal api kecil di samping seorang kempe-tai.
Perahu kami
mempunyai nama yang gilang gemilang, yakni SRI RENJET. Barangkali nama itu tak
cocok dengan keadaan dan rupanya. Perahu itu sudah tua dan amat bocor. Di
pelayaran sering harus ditempel dengan tanah tempelen dan terus menerus ditimba
airnya. Hampir hari sore, maka Sri Renjet membongkar sauhnya dan “berlayar”.
Kalau berangsur sekian meter jauhnya dalam satu jam boleh dinamakan berlayar,
maka memangnya Sri Renjet berhak disebutkan sedang berlayar menuju ke Jakarta,
Pasar Ikan. Tetapi jika kecepatan itu dilakukan di daratan, maka pergerakan
yang secepat itu cuma boleh disebutkan merangkak.
Walaupun penumpang
“pedagang” yang berhak boleh berlayar ialah mereka yang membawa sedikitnya
seberat 300 kg saja, tetapi terhitung para anak istri para pedagang serta juru
mudi dengan para kelasinya, maka jumlah orang isi kapal tidak kurang daripada
20 orang. Ini sudah terlalu banyak, karena barang dagang memangnya berat
sekali. Tetapi bukan karena beratnya maka Sri Renjet terpaksa bergerak secepat
siput. Yang terutama sekali, ialah karena tak ada angin sama sekali dan kalau
ada, maka yang ada hanya angin sak saja. Tanya bertanya tentang angin dan
pelayaran kapal tidak lebih leluasa daripada dalam tongkang Ho-Kang, yang
berlayar dari Penang ke Belawan tempo hari. Berhubung dengan itu, hari
dipetangkan dengan percakapan, nyanyian dan pemandangan ke pesisir Teluk
Semangka, yang pokok kelapanya seolah-olah bisa dihitung karena lambatnya Sri
Renjet berlayar.
Kebosanan di
perahu sering-sering diperhentikan oleh percekcokan seorang mbak dengan
kang-masnya. Kang-mas juga ingin pulang ke Jawa buat menjumpai orang tua yang
memang sudah lama ditinggalkannya. Memangnya ini adalah suatu keinginan anak
yang selayaknya dan patut dipuji! Tetapi ‘mbak’ mempunyai paham lain! ‘Mbak’
tidak lagi mempunyai ibu bapak itu itu di Jawa. Keluarganya yang sudah agak
jauh, tidak lagi menarik kenang-kenangannya penuh, ialah Lubuk Linggau. Di sini
‘mbak’ sudah mempunyai rumah yang cukup besarnya, ladang yang luas dan beberapa
ekor ternak. Semua itu cukup buat dia laki-istri dan buat anaknya dihari depan.
Apakah semuanya itu akan mendapat pemeliharaan baik, dari salah seorang
keluarga selama ditinggalkan? Inilah yang selalu menganggu pikiran ‘mbak’.
Gangguan itu semakin keras dengan semakin lambatnya kapal berlayar dan semakin
bosan hidup di perahu yang panas dan sempit sesak, karena banyaknya penumpang
dan barang, last but not least, terakhir dan tak kurang pentingnya, karena
buruknya keadaan makanan. Kalau ‘mbak’ sudah memuncak kemarahannya, maka dia
putuskan saja dengan perkataan: “Ayo kang-mas, mari kita kembali saja ke Lubuk
Linggau”. Dalam keadaan yang sama dengan ini, saya pikir, semua atau sebagian
besar dari orang pindahan dari Jawa ke Sumatera yang sudah makmur di Deli atau
lain tempat, akan 100% setuju dengan ‘mbak’ kita yang sedang mengeluh dan
menyesali kang-masnya di perahu Sri Renjet yang maju tidak, mundurpun tidak di
teluk Semangka. Buat saya percekcokan ‘mbak dengan kangmasnya itu menimbulkan
kecocokan yang memuaskan dalam penyelesaian persoalan perpindahan (emigration)
dari Jawa padat ke Sumatera kosong, di hari depan dalam suasana merdeka 100%.
Setelah hampir
seminggu lamanya Sri Renjet terkatung-katung, maka sampailah kami ke dekat
sebuah batu besar dekat Ketapang. Di sini kami berhenti, rupanya untuk menanti
angin baik buat menyeberangi Selat Sunda. Sampai jauh malam angin yang
ditunggu-tunggu itu belum juga lagi bertiup. Untuk menghindarkan panas sesak di
dalam perahu, maka saya pergi tidur ke atas bubungan atap kajang dimana
terdapat sedikit tempat yang datar.
Di langit
kelihatan bintang! Hawa terasa segar! Lekas sekali saya tertidur. Sekonyong-konyong
saya bangun, dibangunkan oleh titik hujan, yang menimpa muka saya. Barulah saya
insyaf, bahwa Sri Renjet sudah berada di tengah Selat Sunda, dalam hujan lebat,
ditiup angin deras menuju dengan lajunya ke pulau Merak. Tergesa-gesa saya
menggulung tikar dengan selimut dan alat tidur yang lain-lain. Tergopoh-gopoh
pula saya meniti di pinggir perahu menuju ke dalam perahu. Pada ketika inilah
dua-tiga kelambu baru, yang saya bawa dari asrama di Singapura sebagai
peringatan, tergelincir dari dalam tikar dan meluncur ke laut di Selat Sunda.
Untunglah rasanya sebegitu saja saya kerugian! Angin terlampau keras dan hujan
terlampau lebat dan melangkah amat sukar sekali di pinggir perahu yang
teroleng-oleng seperti buaian. Sedikit saja tergelincir, ombak dan gelombanglah
yang akan menyambut.
Sampai juga saya
ke dekat kemudi di buritan perahu Sri Renjet, tetapi tidak sampai masuk ke
bawah atap! Perahu amat penuh isinya dan tempat saya sudah ditiduri oleh salah
seorang penumpang lain, ketika saya pergi tidur ke bubungan atap. Saya tidak
ingin membangunkan siapapun, apalagi setelah saya mengetahui bahwa beberapa
penumpang menderita mabuk laut. Saya sudah merasa lega, apabila bagian kepala
saya bisa berlindung di bawah atap dan alat tidur dapat saya masukkan ke tempat
yang kering. Bagian badan yang lain saya biarkan saja ditimpa hujan lebat.
Apabila saya
menoleh ke belakang, maka saya merasa masih lebih beruntung daripada saudara
juragan. Seorang tua memegang kemudi, dengan tangan yang tegap mengemudikan
perahu, yang dipermainkan oleh kodrat alam dan dengan mata nyalang menerobos
hujan lebat menentukan arah pelayaran. Dan saudara juragan ini sepanjang hari
malam itu dan sepanjang siang hari besoknya di tengah hujan dan ribut topan
menyelamatkan kami, memakai kodrat pendorong yang turun dari angkasa itu,
sambil menyanyi seolah-olah berterima kasih atas hadiah alam yang sudah lama
ditunggu-tunggunya itu, sedangkan pakaian dan badannya basah kuyup.
Bukan maksud saya
membelokkan pembaca kepada poizie, kalau saya tuliskan, bahwa saudara juragan
Sri Renjet bernyanyi seperti bersukaria ditengah-tengah hujan lebat dan angin
topan itu! Perkataan laut buat kita orang darat tidak menimbulkan rasa, nafsu
dan semangat seperti pada seorang pelaut. Mungkin laut itu buat kita
menggambarkan satu suasana yang ganjil, tak cocok dengan keadaan hidup kita di
daratan. Mungkin pula perkataan laut itu pada seorang pelaut diatas sebuah
kapal api, kapal samudra, yang singgah dari benua ke benua dan dari bandar ke
bandar, menerbitkan perasaan yang lain daripada pelaut asli Indonesia yang
dengan perahu mengarungi lautan Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan
Indonesia dari pulau ke pulau dan selat ke selat. Tetapi barangkali tidaklah
jauh daripada kebenaran kalau dikatakan ribut topan bagi seorang pelaut diatas
kapal api dianggap sebagai suatu gangguan, kalau tidak bahaya, sebanding dengan
kebutuhan, kalau tidak sesuatu bahagia, untuk pelaut asli, yang dapat laju cuma
oleh dorongan ribut topan itu. Bagaimanapun juga, lautan yang sebenarnya, ialah
yang berada dalam suasana tenang dan hening, datar atau kadang-kadang berada
dalam keadaan bergelora dengan dahsyat itu. cinta lautan, ialah cinta kepada
laut, tidak saja diwaktu reda tenang-ratanya tetapi juga diwaktu bergelora
dengan ombak gelombangnya. Baik kapal layar ataupun kapal samudra tidaklah
dapat memisahkan keburukannya lautan daripada keindahannya. Sesuai dengan hidup
dilaut dan cinta kepada suasana lautan, tidaklah dapat diperoleh dalam sekali
dua pelayaran saja. Ribuan pelaut seperti juragan Sri Renjet tidaklah terbentuk
dalam setahun dua. Tempat kediaman di pesisir pencarian hidup yang tidak
berpisah dengan lautan, pengetahuan serta pengalaman yang diwariskan turun
temurun, dari abad ke abad membentuk satu golongan besar diantara penduduk Indonesia
yang paham perasaan dan semangatnya bersangkut paut dengan lautan. Golongan
inilah kelak bahan yang akan dibutuhkan untuk membentuk satu angkatan dagang
dan armada yang kuat untuk kepentingan Indonsia merdeka. Berbahagialah
kepulauan Indonesia yang memiliki bahan armada, yang cuma menantikan latihan
yang tetap dan semata-mata ditujukan kepada kemakmuran dan keselamatan rakyat
Indonesia.
Tidak berapa
lamanya kami menerima hadiah yang tidak disangka-sangka dari langit itu!
Setelah penyeberangan Selat Sunda selesai dan pelayaran pesisir Banten
dilanjutkan, maka angin ribut reda kembali. Sri Renjet terpaksa kembali pula
berlayar dengan kecepatan siput. Saya sudah merasa bosan atas kelambatan ini.
Dengan beberapa
orang lain saya turun di Banjarnegara, Banten. Dari sini kami dengan tiga empat
kali pertukaran sado terus menerus menuju ke Benteng Baru disinilah kami dapat
menaiki kendaraan yang cepat ialah kereta api.
Pada hari senja,
pertengahan bulan Juli, tibalah saya di Jakarta....lelah, lesu, sebagai akibatnya
perjalanan dan pelayaran yang begitu jauh dan lama.
KE ARAH
REPUBLIK INDONESIA
Sebermula, maka
perlulah saya katakan disini, bahwa sekali-kali saya tidak menyetujui perkataan
Gico Sukarno, yang selalu didengung-dengungkan pada hampir penghabisan
pendudukan Jepang, yang berbunyi: “Saya (Gico Cuo Sangi In Sukarno) tidak
memihak kepada Nippon atas perhitungan kalah menangnya tentara Nippon,
melainkan karena Nippon berada dalam kebenaran, keadilan dan kesucian”.
(Baikpun radio
ataupun surat-surat kabar cukup mengumumkan pendirian Gico Sukarno seperti
diatas. Cuo Sangi In, ialah dewan serombongan “picked up men” (orang yang
ditunjuk oleh tentara Jepang), untuk usaha militernya di Indonesia ini. Picked
up men ini “dibolehkan” menjawab pertanyaan yang dimajukan oleh tentara Jepang
kepadanya dan buat mengelabui mata rakyat juga “dibolehkan” memajukan usul.
Gico, iala ketua dari picked up men tersebut. Nippon, ialah perkataan pengganti
nama Jepang, atau Japs, ialah nama bangsa dan negara Jepang yang rupanya
dianggap suatu penghinaan oleh “samurai” Jepang.
Kembali pada
ucapan Gico Sukarno diatas, maka baiklah juga saya terangkan disini, bahwa
menurut pikiran saya “kebenaran” Jepang itu tak lain dan tak bukan, melainkan
kebenaran si penjajah. Keadilan itu ialah pengerahan hei-ho untuk pembantu
tentara Jepang, perampasan padi dan pencurian atas tenaga jutaan romusha. Yang
disebut “kesucian” itu, ialah perkosaan wanita dan gadis Indonesia
terang-terangan atau sembunyi berupa “pelayan”, juru rawat dan “murid sekolah”
ini atau itu ringkasnya: kebenaran, keadilan dan kesucian Jepang untuk menutup
kebangsaan dan kebudayaan militerisme-imperialisme Jepang.
Buat saya,
perhitungan kalah menangnya Jepang memangnya penting dan sudah saya selesaikan
semenjak terdesak oleh tentara Jepang di Shanghai pada tahun 1932, terdesak
dari Amoy pada tahun 1937 dan akhirnya dan terutama sekali dari Singapura pada
tahun 1942, ketika Inggris menyerah. Semenitpun tak ada pada saya pikiran
hendak “kerjasama” dengan tentara Jepang, baikpun kalau dia menang ataupun
kalah. Tetapi caranya mengoreksi kekuasaan Jepang dan caranya mengatur
penghidupan diri, memangnya banyak berhubungan dengan kalah menangnya Jepang
dan lama lekasnya kalah menangnya Jepang itu.
Berlainan sekali
dengan anggapan “ahli militer” Barat, bahwa serdadu Jepang, “a drille d
automata” atau “trained robbot”
(boneka dilatih), maka bukti di Malaya dan Indonesia menyaksikan bahwa prajurit
Jepang lebih mempunyai inisiatif, keberanian dan ketabahan daripada serdadu
Inggris ataupun Belanda. Opsir Jepang lebih pintar, lebih berani dan siap untuk
berjibaku. Strategy Jepang pasti pula tidak kalah oleh strategy Barat.
Seandainya Jepang pada permulaan perang bisa memberikan pukulan hebat kepada
Amerika yang belum siap itu dalam satu bulan, ataupun lebih sedikit, maka
mungkin benar Jepang tidak akan menderita kekalahan seperti sudah terjadi.
Dalam hal ini boleh jadi sekali Jepang lebih daripada selangkah maju kepada
tujuannya terakhir, ialah mengangkangi seluruh Asia dan dunia.
Tetapi setelah
lebih kurang 2 tahun tidak juga bertekuk lutut, maka mulailah
kekuasaan-produksi Amerika mengejar kekurangannya dan memperlihatkan
kelebihannya. Lama-kelamaan dia dapat mengatasi persenjataan Jepang sekian
banyak, sehingga kekalahan Jepangs sebenarnya sudah dikantongi Serikat.
Serangan Jepang
dengan cara mencedera di Hawai itu, cuma setengah saja memberi kemenangan
militer di Hawai. Memang banyak kapal perang Amereika yang tenggelam atau
rusak, tetapi hampir semua pelautnya berdansa di daratan. Keselamatan ribuan
pelaut itu banyak memberi bantuan atas usaha Amerika buat menambah kekuatan
armadanya di hari depannya. Di masa itu latihan pelaut dianggap mengambil waktu
tak kurang daripada 9 tahun lamanya. Dengan kader yang belum rusak itu sambil
mengangkat kapal yang tenggelam, serta memperbaiki yang rusak, Amerika
sebenarnya cuma mendapat tempeleng di pipi saja, bukan bacaokan seperti di
leher atau di dada. Sebab tamparan di pipi itu Amerika tidak kehilangan
tenaga., bahkan sebaliknya mendapat dorongan moril dan politik yang tidak disangka-sangka
kuatnya buat mengumpulkan semua tenaganya yang sudah lahir dan masih
tersembunyi.
Sebelumnya
serangan Hawai, maka public opinion, suara umum di Amerikan belum sampai
mendidih buat diajak memerangi Serikat-Fascist-Jerman-Italia-Jepang. Tidak dengan
public opinion, Kongres tidak dapat digerakkan dan tidak bisa diumumkan oleh
Negara Amerika. Yang berhak menentukan perang hanya Kongres dengan suara
lebihnya. Dengan pencederaan Japang di Hawai, ialah menyerang dengan tidak
memberi peringatan (ultimatum) lebih dahulu, maka public opinion berbalik sama
sekali, sehingga Finance-Capital
Amerika mendapat kesempatan memakai Kongres untuk menetapkan perang kepada
Jepang.
Rodanya mesin
perang Amerika setelah serangan Hawai, dapat bergerak dengan lancar kencang.
Kaum modal Amerika dapat membuka bermacam-macam pabrik perang membuat senjata
seperti mitraliur, meriam, mesin, kapal perang, pesawat terbang, dll. Dengan
begitu pengangguran yang mengancam perekonomian dan masyarakat Amerika bisa
terbasmi dan kaum buruh dan tani dapat pula dikerahkan ke luar negeri buat
meluaskan jajahannya, menanam modal Amerika.
Keuntungan Jepang
yang sedikit di Teluk Mutiara tidak seimbang dengan kerugian moril dan politik
yang diperolehnya. Moril dan politik itulah yang akan menggerakkan mesin perang
Amerika yang sampai sekarang belum ada yang dapat mengatasinya di dunia ini.
Kelebihan dalam
keuletan, keberanian dan kenekatan serdadu dan opsir Jepang di darat, di laut
dan udara pada permulaan perang, sesudahnya pencederaan di pelabuhan Mutiara,
sehari demi sehari dibandingi dan akhirnya diatasi oleh kelebihan Amerika dalam
geography, cacah jiwa, keuangan dan produksi, bahan, tekhnik, science
(pengetahuan) serta moril. Dalam perlombaan mengatasi persenjataan Jepang itu,
maka bom atom cuma memberi pukulan memperlekas saja. Logisnya Jepang yang sudah
terkepung di laut dan udara; Jepang yang kekurangan makanan dan bahan perang
itu lambat laun mesti menyerah atauh hancur binasa secara perlahan-lahan. Tak
ada negara asing yang sebenarnya membutuhkan Jepang. Tetapi sebaliknya Jepang
membutuhkan makanan dan bahan perindustrian dari negara asing, karena rapat
penduduknya disamping kurus tanahnya.
Karena armada
Jepang tidak dapat memberikan knocked out blow (pukulan terakhir) di Hawai dan
karena dalam perhitungan saya, Amerika kalau dibandingkan dengan Jepang
mempunyai staying power (tahan lama)
yang jauh lebih besar daripada Jepang, lamakah Jepang bisa bertahan? Berhubung
dengan ini, dimanakah tempat yang baik buat saya untuk menunggu rubuhnya “soap bubble” buih sabunnya kekuasaan
militer Jepang itu?
Dalam sehari saja
tinggal di Jakarta, saya sudah yakin, bahwa saya tidak akan lama bisa
bersembunyi di sini. Tauke Silungkang di hotel bertanya kepada saya: “Siapakah tuan yang sebenarnya?” Jawab: ya, saya ialah bekas juru tulis dari salah
satu toko di Singapura. “Bukan begitu”
katanya pula “saya ingin tahu siapa tuan
yang sebenarnya. Sebab rupanya pembicaraan tuan ada lain daripada yang lain”.
Saya tetap memegang nama Hussein, ialah bekas juru tulis di Singapura.
Memangnya buat seorang pelarian politik bilmana masyarakat penuh dengan udara
politik, semuanya serba susah, berbicara susah dan diam-diam mencurigakan.
Penumpang Sri Renjet, juga berasal dari
Silungkang pula, tetapi bekas pelarian politik sesudah keributan Silungkang
terjadi, lebih cerdik. Dia tidak bertanyakan apa-apa. Rupanya bisa menduga
siapa saya dan perkenalkan saja saya seorang sahabat baiknya dekat Pasar Senen.
Saya sudah
mendapatkan beberapa bukti tentang penghargaan Rakyat Indonesia dimasa Hindia
Belanda terhadap orang pergerakan. Mungkin juga ada yang mengenal saya di jalan
antara Singapura dan Jakarta itu, tetapi mereka tidak berniat menimbulkan
kesusahan bagi diri saya. Banyak bukti yang menyatakan, bahwa Rakyat jelata
Indonesia dimana mereka dapat menyembunyikan pemimpin atau rahasia pemimpin
mereka memberi pertolongan sedapat-dapatnya. Sifat rakyat jelata kita, selau
menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi
penghargaan buat hari depan. Tahu berterimakasih dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang
berusaha membela bangsa atau kaum itu, adalah sifat yang pertama dan terutama
untuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!
Tetapi berhubungan
dengan sifatnya pertanyaan dan sifat para penumpang Sri Renjet seperti saya
tuliskan diatas tadi, maka saya merasa tidak aman bagi kerahasiaan diri saya,
jika saya lebih lama tinggal di kota seperti Jakarta. Semakin kurang bercampur
dengan orang “kota”, teristimewa kota Jakarta semakin baik, ialah buat saya.
Selainnya daripada
alasan tersebut, saya merasa perlu mengambil tempat yang agak sunyi buat
menulis beberapa buku. (Madilog dan sebagian dari Aslia pada tahun 1942-1943).
Jakarta kota terlampau ramai dan panas buat manusia.
Akhirnya pula
karena saya lebih daripada 20 tahun sudah meninggalkan Indonesia maka perlulah
saya kembali mempelajari keadaan yang amat berubah itu. Bayi yang saya
tinggalkan 20 tahun lampau sudah menjadi
orang dewasa dan teman pergerakan sudah menjadi orang tua. Kota Jakarta sendiri
sudah bertukar rupa.
Supaya saya dapat
menyingkiri banyak perhatian orang “pintar” dan orang yang suka mengobrol di
kota, menghemat, belanja, menuliskan beberapa pengetahuan dan pengalaman serta
mempelajari keduanya kota dan desa, maka saya pilih Rawa Jati, dekat pabrik sepatu Kali Bata
sebagai tempat tinggal, atau lebih tepat sebagai tempat mondok.
Tidak jauh dari
pabrik Kali Bata, saya menyewa salah satu bilik dalam jejeran bilik yang
dipersewakan kepada kaum pekerja dalam pabrik tersebut. Panjangnya bilik itu
tak lebih daripada 5 meter dan lebarnya lebih kurang 3 meter. Dindingnya
pelupuh dan atapnya sebagian genteng dan sebagian jalinan daun rumbia.
Tetangga saya
adalah seorang pemuda, berasal dari Cirebon dan bekerja sebagai pelayan mesin
dalam pabrik tersebut. Dia beristerikan perempuan dari Cirebon juga. Tidak jauh
lagi tinggal seorang pekerja juga yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah
bekerja di Seberang. Diapun mempunyai keluarga. Rapat benar perhubungan kami
bertiga, di masa itu. Ada lagi sahabat saya dan lain-lain diantara kaum buruh
dan orang kampung.
Penghidupan
sebagai rakyat Rawa Jati, ialah bercocok tanam. Kebanyakan rumah penduduk
berada dalam kebun sawo, sirih, nangka, salak, pepaya dll. Memborong
buah-buahan dan menjualkannya ke kota Jakarta inilah pula pencarian hidupnya
sebagian lainnya rakyat di sekitarnya Rawa Jati. Antara Rawa Jati dengan Pasar
Minggu, yang terletak di sebelah Selatan, adalah sedikit kurang daripada satu
jam perjalanan. Sekitar Pasar Minggulah tempat tanaman buah-buahan yang
sesungguhnya. Jaraknya Rawa Jati dengan Bukit Duri, sekitar Jakarta kota adalah
satu jam perjalanan pula. Disepanjang jalan ke Jakarta, kita berjumpakan rumah penduduk ditengah-tengah
kebun buah-buahan. Dekat Bukit Duri ada bengkel Manggarai, ialah bengkel kereta
yang terbesar di masa Hindia Belanda. Diwaktu saya berada di Rawa Jati, tak
kurang daripada 6000 buruh yang bekerja dalam bengkel Mangarai dan lebih kurang
600 orang yang bekerja pada pabrik sepatu Kalibata. Kabarnya konon angka-angka
tersebut adalah rendah sekali, kalau dibandingkan dengan dahulu sebelumnya
pendudukan Jepang.
Pertanian yang
sebenarnya, barulah terdapat di sebelah selatannnya Pasar Minggu, atau lebih
baik lagi di sebelah timurnya garis Jakarta-Pasar Minggu, ke arah Krawang. Disinilah
kelihatan sawah yang luas dan subur. Demikianlah pula buat saya Rawa Jati cukup
memenuhi syarat untuk mempelajari penghidupan rakyat di kota seperti Jakarta
dan desa-desa sekitarnya, dan penghidupan kaum buruh dalam perusahaan besar.
Inilah tempat yang amat saya perlukan untuk mencari pengalaman, sesudah
meninggalkan Indonesia sekian lama.
Saya hidup amat
murah, terpaksa pula saya murahkan dan dapat pula murahkan. Tak pernah saya
selama setahun lebih berbelanja lebih daripada F 6,- (tertera enam rupiah)
sebulan, baik sewa rumah serta makan minum. Sewa rumah adalah F 2,- sebulan dan
belanja sehari adalah lebih kurang 13 sen. Tak pernah saya mengendarai becak
atau tram, kalau saya pergi ke Jakarta. Saya beli beras, kayu, minyak dan sayur
mayur sendiri dan masak sendiri. Pada ketika itu beras, ialah pokok
perekonomian hidup rakyat cuma 6 sen saja seliter. 15 liter sebulan sudah lebih
daripada cukup buat saya. Sayur, minyak dan kayu masih amat murah harganya pada
tahun permulaan pendudukan Jepang itu.
Seluruhnya pagi hari, dari pukul enam sampai
pukul 12 atau satu, saya pakai buat menulis. Sesudahnya itu saya memasak, sore
dan malam saya pergunakan waktu buat berjalan-jalan di sekita Rawa Jati dan
bercakap-cakap dengan buruh, tani, pedagang kecil dan para “jago”. Tidak pernah
kurang daripada 3 kali seminggu saya pergi ke Jakarta, untuk membaca buku dan
surat kabar dalam perpustakaan di rumah arca (museum) di Gambir, Jakarta.
Biasanya saya bangun jam setengah lima pagi, berangkat jam lima pagi dan sampai
pada jam sembilan di Gedung Arca tadi. Lebih kurang jam satu perpustakaan saya
tinggalkan. Biasanya saya bertualang di kota Jakarta untuk mempelajari keadaan
didalam kotal. Kemudian para hari petangnya saya kembali berjalan kaki menuju
ke “sarang” saya di Kali Bata. Demikianlah saya pertukarkan menulis dan
membaca, bekerja dan berjalan, bercakap-cakap dan merenungkan percakapan itu
lebih daripada setahun lamanya ditengah-tengah masyarakat yang bergelora,
masyarakat seperti kabut yang mengandung hujan dan petir.
Kalau saya tidak
lupa, maka Madilog saya tulis dalam jumlah 720 jam. Mulanya saya tidak
mendapatkan pembacaan untuk membantu atau menambah peringatan saya, karena
selainnya dari dua tiga jilid buku sekolah, saya sama sekali tak mempunyai buku
semenjak tahun 1937. Di belakang hari saya mendapatkan perpustakaan di Gambir
tadi. Sebagian besar Madilog, ialah semua yang berhubungan dengan tulisannya
Marx, Engels, Mehring, Plechanoff dan Lenin terpaksa saya catat dari luar
kepala saja. Yang sebagian berhubungan dengan Logika, sebagian (Russel) saya
catat diluar kepala dan sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan
pembacaan di perpustkaan Gambir. Demikian pula halnya dengan perkara yang
berhubungan filsafat, ilmu bintang, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu yan hidup
(biologi), matematika dll, sebagian saya catat dari peringatan dan sebagian
dari buku yang didapat. Keterangan yang lebih lanjut ada tertulis dalam
pendahuluan Madilog.
Buku ASLIA baru
setengah saya tulis. Saya terpaksa meninggalkannya, dari tahun 1943 sampai
sekarang (30 November 1947). Yang sudah saya uraikan ialah yang berhubungan
dengan bumi-iklim, kebangsaan, sejarah politik dan sedikit perekonomian. Yang
terpaksa belum saya jelaskan ialah bentuknya perhubungan antara satu bagiannya
ASLIA dengan bagian ASLIA lainnya dan akhirnya perhubungan antara semua bagian
dengan pusat. Amat saya sesalkan hal itu, tetapi saya terpaksa membiarkan
pekerjaan saya itu terbengkalai sampai sekarang. Amat saya sesalkan, kaena kini
sudah lebih nyata, bahwa kemerdekaan 100% buat Indonesia kita, terutama dihari
depan lebih terjamin atas kekuatan sendiri, digantungkan dengan tenaga dengan
tetangga yang bersamaan hawa iklim, kebangsaan/kewargaan, bahan mentah,
perekonomian dan kebudayaan dengan perhitungan federasi, dari macam yang
serenggang-renggangnya sampai federasi yang serapat-rapatnya dan
sekolah-kolahnya. Dalam hal membentuk ASLIA, meskipun saya banyak juga
mendapatkan bahan dalam perpustakaan di Gambir, tetapi amat saya sesalkan
catatan yang terpaksa saya lemparkan ke laut ketika mendekati Rangoon, seperti
sudah saya tuliskan lebih dahulu. Catatan tersebut banyak sekali mengandung
bahan yang aktual, hidup, hasil observation, penglihatan saya sendiri, sekian
tahun lamanya di Asia Tenggara dan Timur jauh.
Penghidupan rakyat
di masa itu (1942-1943) belum berapa bedanya dengan di zaman Belanda. Harga
uang Jepang pun belum berapa bedanya dengan uang Hindia Belanda. Upah buruh
rendahan (unskilled) lebih kurang F. 0.50,- sehari dan buruh yang tukang lebih
kurang F. 1.50,- sehari, juru tulis F.15,- sebulan sampai F.60,- atau lebih.
Kerendahan upah buruh Indonesia, kalau dibandingkan dengan upah buruh di Eropa
atau Amerika bolehlah rasanya digambarkan dengan upah seorang buruh tukang di
Manggarai, yang menurut kabar, sesudah bekerja selama 25 tahun (dari murid,
leerling sampai menjadi tukang) berhenti dengan gaji E.50,- (tertera lima puluh
rupiah) sebulan. Sebelum perang dunia kedua ini, maka gajinya buruh tukang di
Amerika adalah $ 16,- atau F. 40,- sehari.
Ada pencocok tanam
yang umpamanya mempunyai 10 pohon sawo atau lebih. Ini sudah dianggap orang
yang berpunya. Apalagi kalau dia bersama itu mempunyai pula pohon kelapa,
singkong, rambutan atau nangka. Tetapi kebanyakan penduduk disekitarnya Rawa
Jati tidak cukup mempunyai tanah dan tanaman yang memberikan hasil. Kebanyakan
mereka terpaksa memburuh atau berdagang disamping bercocok tanam itu. Banyak
yang membeli buah-buahan dan memperdagangkannya ke Jakarta. Kereta api Bogor –
Pasar Minggu – Jakarta selalu penuh dengan pedagang buah-buahan semacam itu.
Tidak pula sedikit mereka yang memikul dagangannya dari Pasar Minggu ke
Jakarta. Biasanya mereka masuk kampung keluar kampung memperdagangkan
barangnya. Biasanya dengan pokok F.1,- mereka setelah petang hari dapat kembali
dengann jumlah F. 1.25,- jadi dengan untung F.0.25,- sehari. Kita baru mengerti
nasibnya mereka, kalau diketahui pula, bahwa pedagang atau lebih tepat pemikul
barang-barang ini harus membantu keluarganya dengan untung sedikit itu pula.
Lebih kita insafi pula nasib ribuan si-kecil ini, yang hidupnya sudah terdesak
dari kota ini, kalau kita ketahui, bahwa mereka harus berjalan kaki di musim
hujan pada bulan Desember, Januari, Februari melalui hujan dan tanah yang
lincah seperti sawah. Semakin lama Jepang berdiam semakin buruklah nasib
mereka. Kaum buruh sering-sering mendapat pembagian makanan dan pakaian. Tetapi
memikul barang dagang harus hidup dengan F.0.25 sehari itu. akhirnya mereka tak
mempunyai lain daripada rombengan dan pakaian tempelan yang ada pada bagian
dirinya dan anak istrinya.
Syahdan kisahnya
seorang pedagang kecil!!! Dari Pasar Minggu dipikul barangnya ke Jakarta. Tak
kurang daripada empat jam lamanya dia berjalan. Diletakkannya bakulnya berisi
pisang yang diborongnya di Pasar Minggu disalah satu simpang jalan di depan
salah satu kantor. Tempat ini sudah lama dan biasa didudukinya, karena banyak
orang lalu lintas disini, jadi laku pisangnya. Tetapi bakul dengan pisangnya
itu tidak memberi pemandangan yang indah dan lama kelamaan tidak dapat menahan
hatinya “saudara tua” yang duduk diatas kursi di kantor tersebut. Pada suatu
hari disuruhnya seorang “kai-sat-su” (agen polisi) melarang orang itu berjualan
disana.
Kai-sat-su :
“Bang, janganlah abang berjualan disini”!
Penjual : “Sudah lama saya berjualan disini. Ada
apa si?”
Kai-sat-su : “Saya
disuruh Nippon melarang abang menjual pisang disini”.
Penjual : “Masa bodoh! Kalau mau perkara, perkara
deh! Kai-sat-su kembali
kepada tuan Nippon menceritakan pengalamannya dengan penjual
tadi.
Sekarang tuan Nippon sendiri pergi berhadapan muka dengan
penjual
pisang.
Tuan
Nippon: “Sebab apa senang sekali?”
Penjual :
“Dulu saya miskin, sekarang saya kaya!”
Tuan
Nippon: “Tercengang dan bertanya: “Apa betulkah?”
Penjual : “Betul tuan! Lihatlah
baju saya dulu cuma satu macam. Sekarang tuan
lihat sendiri,
sudah berapa macam. Ada yang putih, yang hitam, hijau,
dll”
Melihat baju
tambalan dari bermacam-macam warna yang dimaksudkan itu, maka tuan Nippon
senyum sambil menepuk-nepuk bahunya penjual itu dengan perkataan: ya sabar dulu
saja!
Pedagang pisang
pulang dan menyangka perkara itu sudah selesai. Besok harinya dia kembali ke
tempat itu pula dengan bakulnya yang penuh dengan pisang. Tuan Nippon datang
pula buat mengunjungi dan bertanya: “Ini pisang apa?”
Penjual : “Ini
pisang raja tuan”.
Tuan Nippon tahu
bahwa itu bukan pisang raja namanya. Dan melihat warna mukanya pedagang itu
tuan Nippon merasa dikasih sindiran (Jakarta). Sebab itulah dia bertanya terus:
“Pisang raja apa?”
Penjual yang
rupanya sudah memuncak kejengkelannya menjawab: “Pisang raja Australi namanya.”
Si Jepang menjadi
marah! Dia dengan sepatu kaplaarnya naik ke atas bakul menginjak-nginjak pisang
sampai menjadi lumpur. Setelah kedua bakul penuh dengan lumpur pisang dan
sepatunya berlumuran pisang pula, barulah si Jepang turun dengan lubang hidung
terbuka dan suara mendengus-dengus seperti kerbau marah; hrm, hrm, hrm.
Untunglah si
Jepang menimpakan kemarahannya kepada pisangnya si penjual saja. Abang Jakarta,
kalau sudah terdesak tak akan segan-segan pula memakai parangnya yang selalu
ada di pinggangnya. Tetapi buat penjual sendiri, lebih baiklah pulang menemui
anak istri walaupun kehilangan pisang daripada memasuki kantor Kempe-tai dengan
kemungkinan kehilangan kepala! Lagi pula dia juga sedikit merasa puas. Betul
bakulnya berlumuran pisang. Yang lebih memuaskan pula, ialah perkataan raja
Australia sudah disemburkannya kepada si Jepang tadi.
Yang selama ini disegani
oleh Jepang antara prajurit berkulit putih ialah bangsa Australi. Pada masa itu
tersebar pula kabar angin, bahwa kekalahan Jepang dekat Australi lebih berat
daripada yang disembunyikan dalam surat-surat kabar di Indonesia. Kalimat
seperti “Armada Nippon atau Garuda Nippon kembali ke pangkalan dengan selamat’
atau Armada musuh masuk perangkap di “Solomon” lazim sekali dipakai untuk
menyembunyikan kekalahan Jepang.
Entah gara-gara
saja, entah benar, tetapi kabar yang dibawah ini tepat benar menggambarkan
temper, perasaan hati, serdadu Jepang pada masa pertempuran Solomon itu. Sikap
pasti menang, ketika saudara tua baru masuk itu mulai bertukar dengan
kesangsian, dan ucapan “Nippon Indonesia sama-sama” mulai bertukar dengan
makian “genjumin bagero”.
Kabarnya, ada
orang Indonesia yang bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa dia baru saja
melihat 12 pesawat Jepang berangkat dan menyaksikan cuma 11 saja yang kembali.
Dia dipanggil oleh Kempei-tai dan diberi entah teguran, entah tamparan, entah
kedua-duanya. Kabarnya pula orang itu juga keesokan harinya, sengaja atau
tidak, bercerita pula kepada kawan-kawannya, menceritakan, bahwa dia melihat 12
pesawat berangkat dan menyaksikan 13 yang kembali. Dia dipanggil pula oleh
Kempei-tai dan pasti diberi tamparan untuk melarang menceritakan apa-apa
tentang garuda Jepang yang tak mungkin dan tak pernah kalah itu.
Semakin kurang
“kemenangan tentara Nippon” yang dapat dilaporkan oleh surat-surat kabar, lekas
tersinggungnya perasaan “saudara tua” terhadap “saudara muda” dan semakin cepat
keluarnya makian dan tamparan dan akhirnya semakin giat bekerja Kempei-tai dan
kaki tangannya Kempei-ho. Sikap “ramah-tamah” dari “saudara tua” terhadap
“saudara muda” yang sebangsa-seketurunan” seperti pada permulaan pendudukan
Jepang, lambat laun bertukar menjadi sikap Tuan Besar Nippon terhadap genjumin bagero yang harus diawasi
perkataan dan perbuatannya.
Dengan turunnya
prestasi (hasil pekerjaan) Jepang dalam dunia kemiliteran, dimata rakyat
Indonesia, maka bertambahlah rasanya kesempatan bagi saya, buat menjelaskan
kelemahan dan membuka topengnya Jepang dimata rakyat. Perkataan yang pada
permulaan harus saya bungkus sewaktu-waktu seawas-awasnya, maka pada para
sahabat yang paling dekat lagi, lama-kelamaan, diantara empat mata, sudah dapat
saya ucapkan tak lagi dengan tedeng aling-aling. Dengan semakin sukarnya
penghidupan rakyat, semakin lekaslah kritik terhadap militerisme Jepang itu
diterima oleh rakyat kita.
Tetapi memang kaki
tangan sewaan berupa mata-mata banyak berkeliaran. Sedikit saja kelihatan tidak
cocok dengan yang biasa, maka segeralah mereka pergi kepada tuannya.
Begitulah pada
suatu hari dengan tiba-tiba saya didatangi oleh Assisten Wedana Pasar Minggu.
Dia seorang muda terpelajar. Dia masuk ke bilik saya dan berkata, bahwa dia
“terpaksa” memeriksa barang saya. Dimintanya saya membuka koper saya. Kutyo (Wijkmeester) tuan bek dan juru tulisnya
tidak masuk. Mereka menunggu di depan pintu. Tidak berapa Assisten Wedana tadi
membalik-balikkan pakaian saya, maka mukanya bertukar dari kecurigaan menjadi
kemalu-maluan. Dia ambil saja satu catatan saya dalam bahasa Inggris, ialah
catatan tentang keadaan sejarah Indo-China dalam bahasa Inggris dan Jerman yang
saya kutip dari perpustakaan di Gambir. Dia bacakan catatan itu dengan suara yang
agak keras, entah buat menunjukkan bahwa dia juga mengerti kedua bahasa asing
itu, entah buat memperlihatkan, bahwa dia juga menaruh perhatian pada catatan
semacam itu. Setelah dilihatnya buku karangan salah seorang pemimpin Indonesia
yang saya beli di Jakarta, maka dia meminjam buku itu kepada saya. Saya tidak
keberatan.
Untunglah pada jam
itu saya tidak menulis lagi. Semua tulisan saya yang bukan kutipan, memangnya
selalu saya simpan di tempat yang istimewa. Assisten Wedana cuma dapat
mendapatkan barang, buku dan catatan yang boleh dibaca oleh semua orang saja.
Setelah semuanya
selesai, maka malam harinya datanglah Kutyo dan juru tulis mengunjungi saya,
untuk menyatakan penyesalannya. Mereka berkata, bahwa mereka menolak usulnya
Asisten Wedana itu menggeledah barang saya, dan menerangkan bahwa mereka berani
memberi jaminan, bahwa saya orang baik. Tetapi “orang muda” itu tidak mau
mengindahkannya. “Buat menutup kemaluannya”, kata tuan Kutyo dan juru tulis
tadi seterusnya, “maka dia pura-pura meminjam buku kepada tuan”. Tuan Kutyo dan
juru tulis menerangkan pula kepada saya, bahwa pengaduan kepada Assisten Wedana
Pasar Minggu itu dilakukan oleh seorang Dantyo
(Mandor besar) di pabrik Kalibata. Dia seorang Tionghoa yang lahir di Padang
dan mengaku sebagai orang Indonesia asli Padang. Saya sama sekali tidak
berkenalan dengan dia, bahkan melihat mukanyapun saya belum pernah. Rupanya dia
hendak berjasa kepada tuan Nippon, dan mungkin juga untuk menutupi kedoknya
selama ini maka dia memfitnahkan saya kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu.
Kalau dia mengaku bahwa dirinya orang Tionghoa, maka ia harus membayar F.100,-
uang jaminan yang terkenal. Rupanya ia mau menyingkiri pembayaran ini.
Setelah hal
penggeledahan Assisten Wedana saya ceritakan kepada tetangg saya, maka tidak
dengan pengetahuan saya, tetangga ini pergi mengunjungi Tionghoa yang mengaku
orang Indonesia itu. Rupanya mereka bertengkar. Tak lama diantaranya tetangga
dan teman-temannya di pabrik mengadakan daftar buruh yang saban hari “dimakan”
oleh Dantyo Tionghoa itu. Dia mau dirinya diakui sebagai orang Indonesia.
Tetapi dia tidak segan-segan menghisap hasil tenaga orang Indonesia
dibawahannya, yang sudah kurus kering dihisap Jepang itu dan mengorbankan orang
Indonesia kepada Kempeitai. Di belakangnya, di depan tuan Jepang dia mengakui,
bahwa semua buruh yang dimandorinya itu sudah lama dilintah-daratinya dan
meminta maaf. Si Jepang rupanya memang lekas memaafkan kaki tangannya asal saja
jangan merugikan kepada bangsa sesama, anak dewa sendiri. Di belakang hari
orang Indonesia yang kedapatan “mencuri” beberapa buah paku, dijemuri dua tiga
hari, ditampari dan diusir.
Meskipun saya
sudah mendapat bukti, bahwa kaki tangan Jepang, yang kian hari kian banyak itu
sudah menaruh perhatian kepada saya, tetapi saya belum menghilang, sebab saya
ingin dan masih perlu mendapat kepastian, tentang satu hal yang penting ialah:
Akan bagaimanakah jadinya status Indonesia dimasa pendudukan Jepang? Memangya
saya ingin hendak mengetahui sampai manakah Jepang bisa dan mau memberikan hak
politik kepada Indonesia. Dan berhubung dengan itu akan sampai manakah ada
kemungkinan buat saya untuk hidup dan bekerja.
Saya baca dalam
surat kabar dan tersiarlah kabar sampai ke Rawa Jati bahwa di kebun binatang
Jakarta akan diadakan rapat raksasa. Yang akan bicara ialah Mr. Syamsudin,
pemimpin 3A dan Ir. Sukarno yang baru kembali dari tempat pengasingannya yang
paling belakang ialah Sumatera Barat. Di jalan-jalan sudah tertulis ditembok
slogan yang berbunyi:
NIPPON cahaya
Asia!
NIPPON pelindung
Asia!
NIPPON pemimpin
Asia!
Pada pertama
kalinya saya melihat slogan semacam itu, maka dalam hati saya timbullah
pertanyaan: Kenapa tidak 3N? Bukankah Nippon 3 kali disebut dalam slogan itu
dan pertama kali pula disebut. Seakan-akan slogan itu hendak menyembunyikan
arti yang sebenarnya ialah:
NIPPON penggelapan Asia!
NIPPON perampas
Asia!
NIPPON penipu
Asia!
Saya tidak kenal
dirinya Mr. Syamsuddin! Tetapi bagaimanapun juga saya pikir pemimpin Nasionalis
Asia, seperti Tilak; Mustafa Kemal dan Sun Yat Sen akan berbalik dalam kuburnya
kalau mendengar slogan 3A itu! Pendeknya gerakan 3 A sama sekali tidak
memuaskan saya. Bahkan sebaliknya sangat mengecewakan. Tetapi siapa tahu
barangkali nanti dalam rapat di kebun binatang itu akan mendapatkan apa yang saya
harapkan dari Banteng Besar Indonesia selama ini. Tetapi sebelumnya Banteng
Besar Indonesia keluar, hati saya sudah dipatahkan oleh tampil ke depan dan
pidatonya seorang Jepang (entah benar orang Islam) yang mmperkenalkan dirinya
sebagai Abdul Hamid Ono. Saya tidak dapat memastikan kealimannya dan
kejujurannya Islam Jepang ini. Indonesia sudah cukup mempunyai pengalaman
dengan Muslimin seperti Snouck Hurgronje dan Van de Plas. Saya pikir seorang
Muslimin yang diperalat oleh imperialis-kafir majusi tak ada bedanya dengan
seorang Muslimin yang diperalatkan oleh Imperialis-kafir-kitabi.
Selain daripada
pemikat dengan agama, militerisme Jepang mengadakan pemikat dan mata-mata
politik yang berupa manusia Simizu. Inggris yang pada Perang Dunia ke-I
melahirkan Laurence of Arabia, buat
memata-matai, memikat dan menipu bangsa Arab, demikianlah militer Jepang,
penipu di Asia mencetak beberapa Laurence di Tiongkok, Philipina dan Indonesia.
Cuma Laurence Jepang lebih kentara pekerjaannya. Kemana saja Banteng Besar
Indonesia pergi diikutinya, sampai membosankan dan menjijikkan orang yang
melihat. “Manusia” Simizu pun hadir dalam rapat tersebut diatas, dan tentulah
berbicara pula.
Akhirnya tampillah
ke depang yang ditunggu-tunggu selama ini, ialah Banteng Besar Indonesia Ir.
Sukarno. Yang saya masih ingat diantaranya isi pidato Banteng Besar Indonesia
ini sampailah sekarang ialah: pertama yang mengenai dirinya sendiri, dimasa
serangan Jepang di Sumatera, kedua yang mengenai dasar politiknya. Kedua hal
itu acap kali pula diucapkan dibelakang daripada beberapa rapat raksasa yang
saya kunjungi di tanah lapang Gambir.
Maka yang mengenai
dirinya Banteng Besar Indonesia itu, ialah, dia dilarikan oleh Residen dari
Bengkulen ke Padang, ketika Jepang menyerang. Yang mengherankan saya cuma,
kenapa sebuah Residen, yang ketakutan seperti tikus tersempit itu masih bisa
melarikan Banteng Besar Indonesia yang berada ditengah-tengah jutaan rakyat
Indonesia yang cinta kepadanya dan benci kepada penjajahan Belanda itu.
Sebenarnya saya, sebagai seorang pelarian, merasa malu mendengarkannya dan
sebenarnya saya akan lebih suka mendengar kalau sebaliknya yang terjadi, ialah
Banteng Besar Indonesia yang melarikan tikus Belanda yang sudah setengah mati
ketakutan itu.
Maka yang mengenai
dasar politiknya Banteng Besar Indonesia berbunyi lebih kurang: “Kalau Liong
Barong-Sai dari Tiongkok, Gajah Putih dari Muangthai, Merak dari Birma, Lembu
Nandi dari India dan Sphine dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia
dengan disinari oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka Dunia Imperialisme sekutu akan
hancur lebur”.
Tentulah spion
Simizu cocok dengan isinya perkataan diatas! Pertama sekali buat spion Simizu
perkataan bersatu yang diucapkan oleh Banteng Besar Indonesia itu ialah apa
yang sudah ditaburkan oleh serdadu Jepang dimana-mana, ialah Nippon Indonesia
sama-sama dan seterusnya persatuan Dai Toa, Asia Timur Raya, yang dalam
hakekatnya berarti: Semua kekayaan, harta benda, tenaga, dan “kecantikan”
Indonesia dan Asia untuk orang Jepang. Kedua “Disinari oleh matahari Dai
Nippon” mempunyai maksud yang dalam, yang batin, mengenai kepercayaan bangsa
Jepang. Inilah pula yang sebenarnya terselip dalam semboyan 3A pada garis
pertama, ialah Nippon cahaya ASIA. Menurut kepercayaan Jepang, resmi dimasa
itu, maka kepulauan Jepang dibikin oleh Dewi Amaterasu O Mikami, Dewi Matahari.
Tidak disebutkan dari apa dibikinnya. Entah dari kosong (nothing) entah dari
tanah dan air, entah dengan firman, entah dengan kaki tangannya. Tetapi Dewi
MATAHARI tadi menurunkan (entah dengan apa pula!!) cucunya ke kepulauan Jepang.
Namanya cucu ini ialah Jimu. Gelarnya Tenno Heika, dalam bahasa kita artinya
lebih kurang, ialah anak Matahari. Rakyat Jepang yang 70 juta itu katanya
berasal dari anak Langit itulah. Dewi Amaterasu tadi rupanya ada pula bapaknya,
ialah Izatagi O Mikote. Ibunya ialah Izanagi O Mikote. Jelaslah sudah, bahwa
MATAHARI itu penting sekali buat kepercayaan dan hidupnya Jepang. Disinari
MATAHARI DAI NIPPON buat Jepang sendirinya disinari oleh kepercayaan Jepang.
Kalau seperti
pidato Banteng Besar Indonesia, bahwa Asia, dari Liong Barong-sai-nya sampai ke
Banteng Indonesia bersatu disinari pula oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka ucapan
semacam itu (yang benar-benar dipahamkan
oleh tentara Dai Nippon dan Tenno Heika-nya), tentulah sangat menggembirakan
hati mereka!
Spion Simizu
tentulah senyum simpul mendengarkan pidato Bung Karno yang “berapi-api”,
“bernyala-nyala” dan “berkobar-kobar” membangkitkan Rakyat Indonesia itu! Atau
Hamid Ono (atau Ona?) mungkin pula bukan menganggapnya sebagai ucapan yang
murtad ialah sebagai ucapan yang dianggapnya bertentangan dengan syahadat,
sendi pokok agama Islam, yakni: Tidak ada Tuhan melainkan Allah
(Laila-ha-illalah).
Pada petangnya
saya kembali ke Rawa Jati dengan amat kecewa sekali. Dalam pidato Bung Karno
yang berapi-api tadi, tujuan yang jelas sedikitpun tidak saya peroleh. Tetapi
semenjak tahun 1927 saya menunggu-nunggu, maka ringanlah buat saya menunggu
sedikit lama lagi. Siapa tahu (dan seharusnya pula), kalau-kalau Bung Karno
bekerja secara “illegal”. Akhirnya saya bacalah pula dalam advertensi dan di
dinding dimana saja, bahwa tentara Jepang memperkenankan bangsa-bangsa
Indonesia mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan Empat
Serangkai: Bung Karno, Moh. Hatta, Dewantoro dan Kyai Mansur.
Menurut
desas-desus yang saya tangkap diluar golongan “Nippon-Indonesia sama-sama”,
pada masa Banteng. Tetapi karena Barisan Banteng menunjukkan semangat radikal,
maka barisan Banteng dibubarkan oleh tentara Jepang. Buat terus menerus menina-bobokkan
Rakyat Indonesia dan memberi sedikit pekerjaan kepada “para pemimpin”
Indonesia, maka tentara Jepang mengizinkan berdirinya PUTERA itu.
Sayapun tak
ketinggalan mengunjungi “Rapat Raksasa” sebagai upacara berdirinya PUTERA. Agak
besar juga mata saya mendengar ucapan Bung Karno yang mengatakan, bahwa Jepang
tak turut campur tangan dalam “urusan PUTERA”. Inilah yang mau saya pastikan
berhubung pula dengan janjinya Jepang hendak memerdekakan Indonesia “dikelak
kemudian hari”. Dalam surat kabarpun dituliskan, Jepang tak akan turut campur
dalam urusan PUTERA.
Tetapi seperti
janji Jepang yang lain-lainnya, maka janji inipun segera dibatalkannya dengan
perbuatan. Tidak berapa lama dibelakangnya, maka tercantumlah pula dalam
surat-kabar namanya orang-orang Jepang sebagai “penasehat” – nya PUTERA.
Saya belum putus
asa! Gedung No. 19 di Jalan Sunda Jakarta selalu saya perhatikan, tiga kali
seminggu kalau saya lalu lalang dari Rawa Jati ke Gambir pulang pergi. Siapa
tahu mungkin ada “aksi yang “illegal” yang diselimuti oleh PUTERA ini.
Saya sudah tua
dalam gerakan “illegal” itu. saya juga dapat melihat-lihat tanda, kalau memang
ada aksi illegal. Tetapi saya tidak melihat tanda apa-apa dan pidato Bung Karno
yang dibelakang hari saya dengar di rapat raksasa di tanah lapang Gambir tak
ada bedanya dengan yang saya dengar di kebun Binatang lebih kurang setahun yang
lampau. Sebaliknya dari lamanya maka desas-desus, membubarkan PUTERA sudah
terdengar pula. PUTERA sudah membosankan rakyat pula seperti 3A dahulunya. Setelah
saya berada di Bayah, saya mendengar kabar bahwa PUTERA dibubarkan, diganti
dengan Hokokai. Buat saya namanya saja sudah memuntahkan. Isinya boleh diterka
sendiri.
Demikianlah
tentara Jepang, sambil memakai harta benda dan tenaga rakyat Indonesia buat
mencapai kemenangannya yang terakhir, dia menentramkan rakyat Indonesia dengan
perkataan dan perjanjian yang bagus muluk dan melengah-lengah para pemimpin
rakyat, dengan memberi izin bermain-main dengan perkumpulan demi perkumpulan,
dari 3A sampai ke Hokokai, supaya jangan lekas bosan. Di samping itu rakyat
jelata diperalatkan langsung sebagai Heiho, Kempei-ho dan Kaisatsu, dan
diperdayakan serta dipersiapkan dalam bermacam-macam latihan dalam barisan Keibodan, Seinendan, Suisintai, Peta
dan Jibakutai. Kalau sekiranya dalam peperangan Asia Timur Raya ini Jepang
menang, maka tenaga perburuhan dan kemiliteran Indonesia kelak dapat dipakainya
dilain tempat di Asia buat menindas bangsa Asia yang lain atau mengusir
imperialisme Barat dari Asia seluruhnya. Setelah akhirnya seluruh Asia
dikangkanginya, maka Jepang bermaksud hendak mengangkangi seluruh dunia!
(Menurut rencana Baron Tanaka).
Walaupun pidatonya
Moh. Hatta, yang biasanya hambar itu dengan ucapan “lebih baik kita tenggelam di dalam dasar lautan, daripada dijajah
kembali” sedikit menjadi asin, tetapi kalau saya ingat pula, bahwa “ahli
ekonomi” ini berhasrat menjadikan Indonesia daerah Asia Timur Raya yang
menghasilkan bahan mentah buat ditukarkan dengan hasil perindustrian di
kota-kota Jepang, supaya ada pertukaran antara Indonesia dan Jepang serta
menghindarkan bahaya industrialisasi di Indonesia. (Bacalah Nomor Peringatan
berkepala Ekonomi Perang pada tahun 1944?), maka “ahli” ekonomi inipun tidak
memberi harapan sedikitpun kepada saya. Bahkan “ahli” ekonomi inilah yang saya
pandang dengan langsung menjalankan politik “co-prosperity” Jepang, “kemakmuran
bersama” yang dalam prakteknya akan menjadikan Jepang pusat perindustrian,
kemesinan, pengetahuan dan kebudayaan, disamping Indonesia yang akan dipaksakan
menjadikan jajahan Jepang yang menghasilkan bahan mentah dan makanan. Indonesia
yang tidak membutuhkan kemesinan, pengetahuan teknik dan ilmu Bukti, jadinya
Indonesia yang terdiri dari kebun, tambang, hutan, lautan dengan kuli, romusha
serta “ahli” seperti Doktorandus Mohammad Hatta cs.
Sudah cukup
rasanya saya obori semua pemimpin yang “terkemuka” dan kumpulan yang berada di
atas tanah selama lebih daripada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa
akan datang perubahan dalam organisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi.
Sebaliknya pula makin cepat masuknya padi, emas-intan, Prajurit dan gadis
Indonesia ke tulang rahang, diantara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang,
diangkut oleh para pemimpin resmi itu.
Cukuplah pula
rasanya selama itu saya pelajari keadaan Rakyat Murba di kota Jakarta, pabrik,
kampung dan desa sekitarnya. Buruh, tani, pedagang menengah kecil sudah cukup
saya kenal dari dekat sekalip; rumah tangganya, keluarganya, pencahariannya dan
senang susahnya serta pekik tangisnya.
Cukuplah pula
rasanya saya menuliskan pengetahuan dan pengalaman saya buat hari depan dan
akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya, sudah cukuplah rasanya saya memakai
uang simpanan, hasil tenaga dan jerih payah selama bertahun-tahun lampau.
Berhubung dengan tiga
soal tersebut diatas dan berhubung pula dengan bertambah banyaknya kaki tangan
Jepang yang ingin berjasa kepada tuannya, maka saya merasa perlu sekali
mendapatkan sekitar baru, suasana baru dan pekerjaan baru, dengan dasar “bekerja untuk hidup dan paham”. “Pekerjaan apa dan dimana” inilah yang
menjadi pertanyaan dalam diri saya sendiri sehari-hari. Bekerja dalam kota
Jakarta sama sekali tidak saya kehendaki, walaupun ada suatu pekerjaan. Dalam
hal timbang menimbang dan cari mencari ini tampaklah berkali-kali dalam surat
kabar tulisan yang kira-kira berbunyi:
“Orang-orang
terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasehat Balatentara Dai Nippon,
Pegangsaan Timur 36, dengan datang sendiri atau mengirimkan keterangan biografi
lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak”.
Di pasar Senen
saya sudah lama mendengar keterangan, bahwa yang duduk dalam kantor “Penasehat”
Balatentara Dai Nippon itu tak kurang, tetapi juga tidak lebih daripada Drs
Moh. Hatta, sebagai pegawai tinggi.
Kantor “Penasehat”
Balatentara Dai Nippon saya ketahui benar letaknya, tetapi tak pernah menarik
perhatian saya. Dan karena yang diminta mendaftarkan diri itu hanya
“orang-orang terkemuka” saja dan satu daripada yang terkemuka yang menjadi
“penasehat” kantor itu sudah bisa saya duga dalam dangkalnya, maka saya tidak
merasa tertarik oleh golongan terkemuka itu.
Tetapi kembali
pertanyaan dengan mendesak: “Pekerjaan apa dan dimana?”
Dengan pikiran
yang sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang pasti dan dengan kaki yang
diayunkan seolah-olah otomatis, tiba-tiba saya masuk ke Gedung Arca. Terus ke
kamar perpustakaan. Pembaca agak banyak hari itu, sebagian besar rupanya
mahasiswa. Sekonyong-konyong sedang saya membalik-balik halaman buku, pintu
dibuka oleh seorang berusia lanjut dan berperawakan tinggi yang katanya dengan
suara keras; “Maafkan saya bertanya, siapakah diantara tuan-tuan yang dapat
membantu saya! Disini ada tulisan dalam bahasa Inggris, yang saya kurang
mengerti!” Mendengar suara itu saya berdiri, agak kemalu-maluan, dibelakang
kursi menutupi kemeja dan celana saya yang sudah usang dan tidak disetrika,
menunjukkan bahwa mungkin saya sanggup membantu.
Tuan Purbocaroko
dibelakangnya baru saya tahu bahwa penanya ini tak kurang dari Dr. Purbocaroko
pengurus perpustakaan! Datang mendekati saya sambil membuka buku dan
menunjukkan satu kalimat, yang kurang jelas dari pujangga yang masyhur itu.
Saya belum pernah baca buku itu, tetapi segera maklum bahwa buku itu ialah buku
sejarah. Setelah saya uraikan terjemahan saya, dan mulanya sedikit mendapat
bantahan, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Dr. Purbocaroko, maka
pujangga itu dengan senyum berkata: Tuan ini dari mana?
Jawab : Dari Singapura.
Dr. Pubocaroko : Apakah pekerjaan tuan disini?
Saya : Belum dapat
pekerjaan.
Dr. Purbocaroko : Kenapa tuan tidak pergi ke kantor
Sosial, Tanah Abang Oost?
Saya membilang
terima kasih atas anjuran Dr. Purbocaroko, yang datang sebagai hadiah dari
langit itu. Segera saya pergi ke kantor Sosial itu, menanyakan apakah ada
pekerjaan buat saya. Rupanya kantor itu mengurus romusha.
Pegawai kantonr
bertanya kepada saya, apakah saya mau bekerja di tambang arang di Bayah?
Walaupun saya cuma bisa tahu, bahwa Bayah itu letaknya di Banten, tetapi
mendengar perkataan tambang itu saya tidak pikir-pikir lagi. Pegawai meminta
saya datang esok harinya. Berjumpa dengan seorang pegawai Indonesia yang datang
dari Bayah yang mencari pekerja buat perusahaan arang tersebut.
Besoknya saya datang. Setelah saya ketahui,
bahwa yang dibutuhkan hanya lebih kurang 30 orang saja, tetapi orang yang
melamar lebih dari 50 orang, lengkap dengan ijazah dan surat-surat keterangan,
dari ijazah SMP sampai SMT dan HBS dimasa Hindia Belanda dan surat keterangan
dari KPM, BPM sampai ke kantor post dimasa lampau tersebut, maka saya merasa
“kekurangan” karena tidak mempunyai ijazah ataupun surat keterangan. Supaya
jangan menghabiskan waktu dan untuk menghindari penolakan, kalau giliran kelak
kepada saya, maka saya maju ke depan untuk mengatakan bahwa saya tidak mempunyai
ijazah dan surat keterangan. Saya katakan pula, bahwa kalau ijazah dan surat
keterangan itu menjadi syarat, yang terpenting, maka lebih baik saya minta izin
kembali saja pulang, karena saya tidak mempunyai apa-apa. Tuan pengurus dengan
ramah tamah sekali, setelah melihat muka saya dengan cepat, bertanya, apakah
saya pernah bekerja, dimana, dan sekolah apakah yang pernah saya kunjungi. Saya
jawab, bahwa saya sudah pernah bekerja pada salah satu kantor import Jerman di
Singapura. Didikan saya kira-kira sekolah MULO kelas 2. “Jadinya tuan mesti
tahu bahasa Inggris” katanya pula. Persangkaan itu saya benarkan. “Tentulah
tuan juga tahu bahasa Jerman dan bahasa “Belanda” diteruskan pula. Inipun saya
benarkan pula. “Kalau begitu” katanya “tuan tunggulah sebentar”. Setelah
sampailah pada giliran saya, maka oleh tuan pengurus Bayah saya disuruh bersiap
buat besok pagi berangkat ke Bayah dengan kereta api dari Tanah Abang.
Dengan rombongan
lebih dari 30 orang, saya dari pagi hari berangkat ke Bayah. Perjalanan dengan
kereta api antara Jakarta dengan Rangkas Bitung tidaklah banyak memberikan
pemandangan yang mengandung arti. Buminya datar, adapula yang tanahnya kurus
dan alam tidaklah permai. Di Rangkas rombongan kami berhenti. Disinilah jalan
yang menuju ke Selatan bersimpang dua. Jalan di sebelah Barat, ialah jalan
kereta api, ke selatan berujung di Saketi dan membelok ke Barat sampai ke
Labuhan dan berputar kembali ke Jakarta. Jalan sebelah Timur ialah jalan raya
yang di selatan berujung di Malimping. Jalan kereta api antara Saketi dan
Bayah, melalui Malimping sedang dibikin, belum lagi habis. Tetapi jalan raya
antara Malimping dengan Bayah sudah selesai. Jalan inilah yang kami ambil
dengan truck.
Jalan Saketi-Bayah
mengandung sejarah yang menyedihkan, tak kalah sedihnya dengan jalan dari Anyer
ke Banyuwangi. Seperti pembikinan jalan Anyer-Banyuwangi, dimasa Daendels
memakan tenaga paksa dan jiwa ribuan bangsa Indonesia buat Imperialisme
Belanda, maka pembikinan jalan Saketi Bayah juga memakan ribuan tenaga percuma,
tenaga romusha dan jiwanya romusha. Dengan tiada persiapan untuk perumahan,
makanan dan kesehatan bagi romusha yang jatuh sakit dan mati disebabkan oleh
berat dan susahnya kerja, kekurangan makanan dan obat-obatan beserta cambuknya
serdadu Jepang, adalah laksana padi sabit.
“Saketi” kata seorang penduduk asli
kepada saya, saketi yang berarti seratus ribu itu sekarang sudah melaksanakan
artinya! Menurut nujum, maka pada suatu waktu, Saketi Bayah yang jaraknya lebih
kurang 150 km itu akan diperhubungkan dengan jalan besi oleh kuda besi. Jalan
besi itu akan meminta korban tidak kurang daripada saketi manusia. Demikianlah
nujum itu sekarang sudah berlaku!
Saya tidak dapat
memastikan benar salahnya saketi (100.000) romusha yang mati buat mendirikan
jalan kereta api dari Saketi ke Bayah itu. Saya juga tidak sanggup memeriksa,
apakah dongeng dan nujum tersebut sudah terkenal, sebelumnya jalan kereta
Saketi Bayah dibentuk. Tetapi dari semua pihak memang saya dengar kabar, bahwa
tingginya angka kematian romusha, yang bekerja pada jalan Saketi Bayah sungguh
mengerikan. Lagi pula kerusakan jasmani dan rohani serta kemusnahan jiwa, yang
saya saksikan sendiri pada tahun pertama saya berada di Bayah, mudah sekali
menimbulkan perasaan yang membenarkan nujumnya kampung Saketi itu.
Kira-kira 5-6 kmi
jauhnya dari kampung Bayah, di pinggir laut, terletak satu tempat yang dinamai
pulau Manuk inilah yang sangat ditakuti terus-menerus. Sedikit sekali diantara
romusha yang bekerja disana, yang tidak dihinggapi penyakit yang bisa membawa
maut, seperti borok, dysentri dan malaria. Jarang yang hidup kalau sudah
dihinggapi salah satu penyakit tersebut. Romusha umumnya kekurangan makanan,
obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan
perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan
antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan
romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke
gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan disini menuju ajalnya. Pun di
kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir
jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu mau
ini. Ada kalanya di sekitar Bayah terpaksa dikuburkan lebih dari 10 orang dalam
satu kuburan, karena kekurangan penggali kubur dan kekurangan perhatian umum.
Di musim hujan, mayat yang tertimbun-timbun itu terpaksa pula dimasukkan ke
dalam kubur yang digenangi air itu! Dimanakah pula di sekitarnya Bayah itu
terdapat masyarakat Indonesia asli, yang cukup besar dan menganut perasaan
kebangsaan yang cukup luas dan dalam, yang bisa meluap memprotes dan menuntut
pelayanan yang layak bagi romusha yang umumnya datang dari jauh itu, dari Jawa
Tengah itu?
Pemandangan yang
amat menyedihkan hati inilah yang sangat meliputi perasaan saya pada waktu
pertama. Suasana masyrakat Bayah umumnya dan semangat kaum pekerja halus dan
kasar khususnya belum membenarkan saya membuka paham, perasaan dan kemauan saya
terhadap ribuan romusha yang bekerja mati-matian, yang menderita serangan
penyakit berbahaya dan yang mati bergelimpangan di sana-sini itu. Saya sendiri
masih perlu lebih dahulu mencari tempat berdiri yang agak tegap sebagai batu
loncatan dan tempat yang agak baik untuk mengumpulkan tenaga dan mengerahkan
tenaga itu selangkah demi selangkah menghadapi satu hisapan yang melampaui
batas dan tindasan, yang asing dari semua perikemanusiaan.
Syahdan Bayah
Kozan, adalah salah satu perusahaan arang yang namanya perusahaan partikelir,
kepunyaan salah satu daripada keluarga kapitalis Jepang yang ternama ialah
Sumitomo. Tetapi perusahaan ini berada dibawah pengawasan tentara Jepang.
Modalnya ialah modal partikelir, yakni modalnya keluarga Sumitomo tadi, tetapi
hasilnya harus dijual menurut keperluan militer Jepang yang sedang berperang
itu.
Sebenarnya
salahlah, kalau dikatakan, bahwa Sumitomo-lah yang membelanjai dan memiliki
perusahaan Bayah-Kozan itu. Tentara Jepang menyita tanah kita di Banten yang
berisi arang itu. Sebagian besar dari alat mesin dan alat tambang di-sita-nya
pula dari masa Hindia Belanda. Tenaga dengan upah romusha, upah budak itupun,
bisa dilakukan karena pertolongan sangkur-senapannya serdadu Jepang itu pula.
Ringkasnya sangkur senapanlah yang mendapatkan tanah, mesin dan tenaga buat
Bayah-Kozan itu dan keluarganya Sumitomo-lah yang membelanjai perusahaan
“partikelir” dengan harga murah itu.
Dalam brosur
RENCANA EKONOMI sudah saya jelaskan sekedarnya, bagaimana jalannya (proses)
produksinya tambang arang Bayah-Kozan ini. Dalam brosur tersebut saya namakan
perekonomian tersebut EKONOMI MERAMPOK, karena memang semua faktor produksi
diperoleh secara rampokan, hal ini tidak perlu saya ulang lagi.
Yang perlu saya
sebutkan disini, cuma efisiensinya Bayah-Kozan yang amat rendah itu. Hasil sebulan,
kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 100 ton. Hasil yang rendah ini
didapat oleh tak kurang daripada 10.000 tenaga romusha. Bahkan di masa
permulaan tak kurang daripada 20.000 romusha yang bekerja pada semua bagian
tambang Bayah-Kozan, ialah bagian menambang, bagian pengangkutan, listrik,
bangunan dan administrasi.
Faktor yang
terutama yang mengakibatkan rendahnya produksi, ialah karena memang sedikit
sekali arang yang ada, yang bisa dipakai dan digali, kalau dibandingkan dengan
tanah arang di Borneo. Kalau perhubungan Jawa dan Seberang tidak terganggu
memangnya pembukaan tambang arang Bayah tidak akan dilakukan, karena tidak
cukup memberi keuntungan (profitable). Kecuali pada satu dua tempat arang itu mesti
digali dalam sekali. Tebal arangnya biasanya hanya satu meter saja dan
panjangnya pohon arang itu (ader) itupun tidak seberapa. Terutama pula arang
Bayah masih muda sekali. Selainnya daripada itu mesinnya tidak pula modern,
tenaganya, karena tidak mendapat makanan dan pelajaran yang cukup tidak kuat.
Akhirnya organisasinya produksi dan administrasi memangnya kurang memuaskan.
20.000 pekerja
halus dan kasar pada tahun permulaan dan lebih kurang 10.000 pada waktu hampir
menyerahnya Jepang terpencar pada beberapa tempat penggalian arang, ialah di
gunung Madur, di Tumang dan Ciahara. Tiap-tiap penggalian mempunyai beberapa
lubang. Bayah ialah tempat untuk pusat administrasi.
Lima enam jam
lamanya kami bersempit-sempit diantara orang dan barang di dalam truck, diasapi
dan dimabukkan oleh asapnya minyak motor, kabarnya minyak tanah, dan
terempas-empas, karena batu besar-besar di jalan antara Malimping dan Bayah.
Lelah letih serta bingung mabuk kendaraan, maka pada sorenya kami sampai di
Bayah. Berdesak-desak pula pada malam pertama kami tinggal di rumah serba bambu
beratapkan rumbia.
Besok kami dibawa ke kantor. Disini kami
dipersilahkan menuliskan riwayat masing-masing. Sayapun tidak ketinggalan
menuliskan “riwayat” saya. Tidak mudah menuliskan riwayat diri bagi siapapun
juga dalam keadaan seperti saya dimasa itu dalam semua pertanyaan yang mesti
diisi dalam satu formulir, nyatalah sekali Jepang ingin benar hendak
mengetahui, apakah seorang pelamar itu pernah memasuki suatu perkumpulan. Kalau
pernah, tentulah dia ingin pula hendak mengetahui kumpulan apakah! Tak perlu
dikatakan disini, bahwa kumpulan yang ditindasnya dimana-mana, ialah kumpulan
komunuis, orang yang dicarinya, dibencinya serta dihukum, disiksa dan
dibunuhnya dimana-mana negeri, ialah orang komunis. Tetapi tak perlu dikatakan
disini, bahwa dalam keadaan demikian sama susahlah pula mendapatkan seorang
komunis, yang akan membiarkan dirinya ditangkap oleh surat formulir Jepang
daripada mendapatkan macan yang menggantungkan diri. Caranya Jepang membasmi
komunisme menunjukkan kekolotannya dalam ideology dan kesingkatan akal serta
kekejamannya dalam siasat politik.
Ringkasnya
“riwayat” saya diterima! Demikianlah sejarah di Bayah saya mulai dengan nama
Ilyas Hussein, keluaran MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis sesuatu firma di
Singapura. Dengan beberapa orang lagi, tua muda, saya kerjakan di Bayah-kota
pada bagian gudang.
Yang mengenai nama
saya, ialah Hussein itu, pada permulaan tidaklah menarik perhatian pekerja dan
pegawai Bayah Kozan. Memangnya pula Bayah terletak terpancir sekali di Indonesia
dan pekerja serta pengawal di Bayah Kozan untunglah tak ada yang berkenalan
dengan saya waktu 20 tahun lampau, walaupun mereka berasal dari hampir semuanya
pulau di Indonesia ini.
Yang mengenai
didikan, memangnya sedikit mendapat perhatian. Salah seorang Indonesia, kepala
dari salah satu bagian kantor, keluaran MULO, sesudahnya kami agak lama kami
saling kenal mengenal, merasa dididikan saya seperti yang sudah saya terangkan
dalam formulir Jepang itu, agak tidak cocok dengan pendapatnya. Dia ada mempunyai
kekuasaan, buat mengerjakannya dan atas kemauannya sendiri, dia mengganti
keterangan saya dengan keterangannya sendiri, yang mengatakan, bahwa didikan
saya sama dengan didikan dia sendiri, ialah keluaran MULO.
Yang, akhirnya
mengenai pekerjaan saya dahulu, sebagai juru tulis mulanya tidak sama sekali
cocok dengan pekerjaan saya di Bayah Kozan itu. Di gudang saya lebih banyak
mengangkat barang daripada duduk menulis diatas kursi dan meja. Malah saya sama
sekali tidak mempunyai meja tulis dan kursi. Kalau terpaksa menulis, maka saya
buat meja sendiri dari peti yang agak tinggi dan kursi dari peti yang agak
rendah. Selama bekerja itu biasanya saya berdiri, berjalan, atau mengangkat
barang, buat diterima, dikirimkan atau dihitung. Tak ada tempat buat duduk,
menulis di atas kursi yang empuk, bergoyang senderannya, dengan mesin tulis di
atas meja yang licin lengkap dengan teleponnya.
Saya diwajibkan
menyusun barang yang tidak tersusun, yang bertaburan dalam gudang. Bagaimana
menyusunnya diserahkan kepada saya saja. Kami cuma mendapat seorang dua
pembantu buat angkat mengangkat, tetapi karena kebanyakan kerja biasanya saya
sendiri yang mengangkat di dalam gudang, yang gelap atau di atas pagu yang
panas.
Barang-barang
tambang seperti mesin bor dan pompa, bagian mobil dll bergelimpangan disisi dan
belakang gudang, ditimpa hujan dan digenangi air. Di dalam gudan drill (bor
tambang) yang mahal harganya campur aduk dengan paku, belincung, baut, pahat,
palu, kunci Inggris, gergaji, baja, pemotong, baja angin, bahkan ratusan ribu
jumlahnya. Barang-barang itu terus bertambah saja banyaknya didatangkan dari
Sukabumi dan Jakarta. Tetapi ada pula yang keluar atas permintaan dari beberapa
cabang Bayah Kozan, ialah Tambang Madur, Cihara, dan Cimang. Yang mulanya
sangat mengherankan saya, ialah melihat sikapnya sep Jepang, yang kantornya
dekat gudang itu juga! Dia dengan senang saja berbulan-bulan melihatkan barang
yang mahal dan murah, halus dan kasar campur aduk bertaburan disana-sini.
Tetapi
dibelakangnya saya mengerti, bahwa ketidakpedulian Jepang itu, ialah terutama
karena ratusan ribu potong barang itu, yang harganya mungkin sekali lebih dari
satu juta rupiah (uang lama) adalah barang gedoran atau dibelakang hari dibeli
dengan harga murah. Sep-Jepang tadi sudah lama tinggal di Indonesia dan dulu
bekerja pada salah satu firma Jepang, tentulah insyaf benar akan pentingnya
alat besi dan mesin diwaktu perang itu. Dimasa lampau, pastilah dia seperti
teman sakuranya yang lain-lain, seorang pedagang Jepang yang hemat cermat, yang
dengan teliti menghitung keluar masuknya satu dua sen, sepotong atau dua potong
paku pun. Tetapi karena puluhan ribu barang tersebut diatas didapatnya dengan
mudah sekali, maka sukarlah baginya memberikan perhatian penuh kepada barang
itu.
Perhatian tak
peduli itu segera bertukar menjadi perhatian penuh, malah kekuatiran, apabila
akibatnya blokade Sekutu semakin terasa oleh militer Jepang di Indonesia dan
barang lama dari besi semakin sukar diperoleh. Pertukaran sikap dari tak peduli
menjadi kuatir inilah yang rupanya mendesak Bayah Kozan, supaya berhemat dengan
barang yang lama. Janganlah barang itu dibuang-buang atau dibiarkan lapuk kena
hujan seperti biasanya! Itulah rupanya sebabnya kami diterima buat dipekerjakan
di gudang, untuk mengadakan perhitungan jenis dan jumlahnya barang, mengadakan
pendaftaran barang, yang teratur, mencatatkan keluar masuknya barang setiap
hari dan mengadakan perhitungan (stockopname) dua kali sebulan.
Mudah sekali buat
sep-Jepang itu memerintahkan mengadakan perhitungan dua kali sebulan kepada
kami, tetapi tidak semuanya diantara kami yang sanggup mengerjakannya. Tidak
saja barang yang ada itu campur aduk, tak diketahui banyak dan jenisnya, tetapi
datangnya bermacam barang juga tak ada batas dan ketentuan jamnya, siang dan malam.
Permintaan atas barang ini atau itupun tidak terbatas waktunya. Ditambah pula
kekurang-ajaran Jepang, yang keluar masuk gudang, melempar-lemparkan barang
yang sudah disusun dan memilih barang yang bagus menurut pikirannya sendiri
saja. Seringkali pula barang yang belum dicatatkan sudah dipegang, dan disuruh
angkatnya ke tempat bekerjanya karena “bagus” menurut pikirannya. Adakalanya
dengan tidak diketahui barang mahal umpamanya baja angin, sudah masuk ke dalam
kantongnya dan setelah sampain dilain tempat, baru ketahuan oleh kami kemana
perginya. Tentulah harus didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu
tidak bisa didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa
didapatkan kembali. Bahwa kami tanggung jawab atas keluar masuknya barang itu
dan bahwa tambang yang lain juga suka kepada barang yang “bagus” itu, tidak
perlu dipikirkan oleh “saudara tua”. Kalau kita tidak sabar dan tidak tegap
melarang atau menolak sikap Jepang yang tidak senonoh, maka perkelahianlah yang
akan terjadi dengan anak dewa itu setiap hari.
Stockopname,
perhitungan sisa keluar masuknya barang dua kali sebulan itu tidaklah dapat
dilakukan, kalau barang yang sudah ada belum diketahui jenis dan banyaknya,
setiap jenis. Jadi sebelumnya stockopname dijalankan, haruslah lebih dahulu
diadakan pendaftaran! Inilah pekerjaan yang berat dan sukar. Ambillah saja satu
jenis barang seperti kunci (slot). Kunci itu ada yang didatangkan dari Amerika
yang made in “U.S.A”. Adapula kunci yang paling murah, tetapi paling buruk
ialah “made in Japan”. Negara asalnya kunci itu harus dipisahkan. Pendaftaran
yang begitu belum lagi memberi kepastian apa-apa. Namanya kunci tadi hatus
dicatat pula, supaya yang datang dari Amerika tadi umpamanya Yale, jangan
disamakan dengan nama “Yala” ialah bikinan Jepang. Atau lebih tepat tiruan atau
penipuan Jepang. Maksud Jepang melanggar aturan internasional (yaitu hak paten
Amerika itu), ialah supaya bisa menjual kunci yang sama bunyi namanya (Yale dan
Yala) lebih murah harganya. Tetapi berlainan sekali qualitetnya, kekuatannya.
Setelah selesai asal dan nama dipisahkan, barulah diambil ukurannya. Apabila
dipikirkan, bahwa barang yang seasal seperti kunci tadi bertaburan disana-sini
tertimbun oleh barang-barang lain, dan kunci yang seasal, senama dan seukuran itu
tidak didapat pada suatu tempat saja, maka barulah dimengerti, bahwa untuk
mendaftarkan satu macam barang, yang seasal, senama dan seukuran saja bisa
menghabiskan waktu berhari-hari. Apalagi harus mendaftarkan berjenis-jenis
barang, yang berasal dari berlainan negara, yang mempunyai cap dan ukuran yang
berbeda!! Acapkali pula terjadi, apabila jenis, nama dan ukuran sesuatu barang
sudah selesai didaftarkan, maka pada suatu ketika didapatlah pula di tempat
lain barang sejenisnya dan senama dengan yang sudah didaftarkan itu. Daftar
yang sudah selesai dan bagus rasanya itu harus dirobek-robek dan diganti dengan
yang baru. Tambahan saja biasanya tidak memadai.
Pernah datang
barang Jepang, yang tidak mempunyai cap dan nama, yang terdiri dari
bermacam-macam onderdil, bagian mesin. Sep-Jepangpun tak tahu namanya!
Bagaimana mendaftarkan barang semacam itu? Saya tahu, bahwa mungkin sekali
dibelakang hari tiba-tiba datang pertanyaan tentang barang yang tidak seorang
pun diantara kami yang mengetahui nama dan merk-nya itu. Sebagai persiapan
dengan lekas, maka barang itu saya gambar dan susun pada tempat terpisah.
Kebetulan pula
sep-Jepang pada suatu hari terdesak oleh Jepang yang lebih tinggi pangkatnya,
yang baru datang dari Jakarta, menanyakan barang tadi. Ini kali saya melihat
sep-Jepang itu ketakutan! Dengan suara kecil dan keringatan dia datang dan
mendekati saya menanyakan tempat dan keadaan barang itu. Karena saya tahu,
bahwa dia sendiri tidak mengetahui nama barang itu maka saya bertanyakan nama
barang itu. Tentulah dia sendiri tidak dapat memberi jawab. Keringatnya semakin
keluar! Barulah saya ambil gambaran barang itu dan bertanyakan, apakah barang
itu yang dimaksudnya. Baru dia senyum, dan bernafas lega dan dengan suara yang
jauh lebih rendah daripada biasa, sekarang dia minta kepada saya menunjukkan
tempatnya barang-barang itu. Setelah saya bawa dia ke tempat yang saya pisahkan
itu, maka dengan langkah lebih tegap dia pergi kembali ke kantornya
mempersilahkan Jepang “sep dari sep-nya” itu melihat barang-barang yang
dimaksudnya itu. Semenjak itu sep Jepang mulai berlaku sedikit merendah
terhadap saya Hussein, pekerja gudang.
Jepang yang
lancang dan kurang ajar, yang masuk ke gudang, mengangkat dan memilih barang
yang “bagus” semau-maunya itu dengan “pengetahuan” bisa pula ditundukkan. Kalau
dia dengan langkah dan suara congkaknya bertanyakan ini atau itu, maka saya
dahului dengan pertanyaan: cap (merk) apa dan ukuran apa? Biasanya dia malu,
kalau dia sendiri sebagai “ahli” ini atau itu tidak bisa menjawab. Tetapi kalau
dia bisa menjawab dan dengan lekas pula kita bisa menunjukkan, yang
dimaksudnya, maka kelancangannya turun. Memangnya dalam hal inipun “pengetahuan
itu sudah kekuasaan”. Itulah memangnya guna pendaftaran itu bagi saya sendiri.
Berhubung dengan
pekerjaan yang berat dan sukar itu, maka tidaklah mengharapkan, kalau hari-hari
terjadi percekcokan antara kami pekerja Indonesia baru dengan yang baru,
diantara kami pekerja Indonesia baru dengan pegawai Indonesia gudang lama, dan
akhirnya diantara kami dengan sep-Jepang. Diantara kami tujuh orang baru,
selainnya daripada saya sebagai orang termasuk golongan baru, adalagi dua orang
tua yang lain-lain. Mereka banyak mempunyai pengalaman pada maskapai besar,
seperti BPM, Borsumy dll, pada kantor pos, di masa Hindia Belanda. Tetapi
mereka boleh dikatakan tidak sanggup bekerja di Gudang Bayah Kozan tadi. Mereka
yang sudah biasa bekerja dengan sistem yang pasti, pembagian kerja yang jelas
dan pekerjaan yang biasanya enteng, tak betah (tahan) kerja di gudang. Diantara
empat pemuda yang sama masuk dengan saya cuma satu orang yang benar tahan uji.
Yang lainnya minta berhenti, lari atau minta dipindahkan.
Setelah lebih
kurang enam bulan lamanya kami merangkak dalam gelap mencari paku, pahat dll
memanjat ke atas pagu mengumpulkan pipa karet, bor, pompa, kompas dan
lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut,
pahat, gergaji, dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mengukur
panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji dan
bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mendaftarkan barang itu, menerima
yang baru dan mengeluarkan yang lama, serta dua kali sebulan mengadakan
stockopname, maka selesailah pekerjaan kami. Tenaga yang muda yang kurang upah
dan pengalamannya sudah boleh dipakai sebagai ganti. Beberapa orang diantara
kami pada suatu hari dipindahkan ke kantor pusat. Tetapi tidak berapa lama
dibelakangnya, maka diantara kami tiga orang tua yang pindah ke kantor cuma
saya sendiri yang tinggal. Yang dua lagi diperhatikan. Diantara empat pemuda,
maka cuma seorang pula yang tetap terpakai di Bayah. Demikianlah akhirnya
sesudah lebih dari setengah tahun. Diantara tujuh orang yang masuk gudang cuma
seorang muda dan saya sendiri yang “betah” bekerja di Bayah.
Pekerjaan kantor
berlainan sifatnya dengan di gudang. Di kantor saya tidak lagi berurusan dengan
barang, tetapi dengan orang. Pekerjaan saya ialah mendaftarkan romusha yang
masuk dan keluar di Bayah Kozan setiap hari, dan mengadakan perhitungan
sisa-sisa tiap bulan. Saya sudah diberi meja tulis, mesin tulis, laci, lemari
dan kunci sendiri serta dua orang pemudi pembantu.
Sebenarnya semua
pekerjaan halal menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas
dan baik mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak “lekas
beres”, dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur
lebarnya kepala pakupun tidak terkecuali! Yang saya ingini sedang bekerja itu
ialah supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing
jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah
diperingati. Rupanya pada sejarah itu kita bekerjapun berlaku proses sebagai
berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya,
keberesanpun mempengaruhi pekerjaan kita. Tetapi dalam mengerjakan penerimaan
dan pengiriman romusha ada hal yang lain-lain yang sangat menarik hati saya.
Benar-benar disini keberesan itu memeluk semua perhatian saya.
Seperti diketahui,
maka pemerintah tentara Jepang, memerintahkan semua daerah Jawa mengirimkan
romusha kemana-mana di Indonesia dan luar Indonesia. Sebagian daripada romusha
itu diperintahkan untuk dikirimkan ke Bayah. Biasanya tuan Son-Co (ass. Wedana)
mendapat perintah menyiapkan sekian romusha buat dikirimkan ke Bayah pada
sekian waktu. Seperti pada semua hal yang lain-lain, dalam hal pengiriman
romusha pun, serdadu Jepang hanya tahu beres saja. Arang mesti dapat! Di Bayah
ada Tambang Arang! Buat menggali arang di Bayah itu mesti ada romusha dan mesti
lekas ada!!
Dalam hal tersebut
diatas, maka seseorang anggota pamong projo bisa mengambil salah satu daripada
beberapa sikap seperti di bawah ini:
1.
Dia bisa tolak perintah Jepang
itu.
2.
Dia bisa minta berhenti.
3.
Dia bisa menerima perintah itu
dan jalankan dengan jujur.
4.
Dia bisa menerima perintah itu
tetapi mensabotir perjalanannya.
Seseorang anggota
pamong projo, bukan anggota lagi, atau tidak akan adalagi sama sekali di dunia
fana ini kalau dia jalankan sikap No. 1, ialah tolak perintah Jepang. Mungkin
dia akan berada dalam penjara Jepang, atau di dalam kubur. Pun sikap No. 2
tidak mudah terjadi pula. Jepang mempunyai kekuasaan penuh buat menjalankan
perintah dengan halus atau memaksa dengan pedang samurainya seorang “saudara
muda” yang tidak mau “bekerja sama” dengan tentara Dai Nippon “untuk kemenangan
Asia Timur Raya”.
Memang ada
terdapat beberapa orang anggota pamong projo, yang menjalankan perintah mencari
romusha itu dengan jujur. Kalau ada anggota pamong projo yang jujur bekerja di
bawah telapak sepatu Belanda, kenapa tak ada yang jujur mencari kedudukan di
bawah telapak kaki serdadu Jepang? Bahkan ada diantara mereka, yang menambah
kejujurannya itu dengan persembahan anak gadisnya kepada anak dewa dari negara
Matahari terbit itu.
Sikap yang juga
diambil oleh anggota pangreh praja, dalam hal tersebut diatas, ialah sikap No.
4, terima perintah dan dijalankan dengan sabotase. Kalau Jepang meminta
umpamanya 300 orang, buat Bayah, dari salah satu daerah, pada tanggal sekian,
maka Son-Co disamping sebagian orang yang memang kuat, juga mengirimkan orang
dari desanya, yang dianggap tidak baik, seperti pencuri, penganggur dan
pengemis. Maksudnya cuma buat mengisi daftar nama 300 orang, buat dikirimkan
pada hari yang ditetapkan oleh Jepang.
Tetapi tidak saja
Jepang yang dikenali oleh Son-Co kita ini. buat memenuhi angka permintaan
Jepang pada waktu itu, maka dia terpaksa atau dengan sekehendak hatinya
melakukan tipu muslihat. Petani yang sedang mencangkul (umpamanya saja),
diperintahkan datang ke kecamatan buat berlatih. Disana truck sudah siap untuk
berangkat. Tetapi tidak lama di jalan barulah petani kita yang umpamanya buta
huruf itu, bertanya pada diri sendiri, atau kepada teman-teman, dimanakah
tempat latihan itu. Tentulah tidak seoranga pun tahu, kecuali pemimpin rombongan
(dan-co). Yang diketahui oleh kebanyakan penumpang cuma cangkul masih terlantar
di sawah, serta anak istri tidak diberitahukan lebih dahulu, bahwa mereka akan
disuruh “berlatih”. Setelah sampai di Jakarta atau Rangkas, barulah kebanyakan
mereka insyaf, bahwa mereka akan dipekerjakan di Bayah sebagai romusha.
Banyak yang putus
asa, sesudah tipu muslihat seperti salah satu contoh diatas, diketahui oleh
para penumpang. Mereka setelah merasa pasti akan dibawa ke Bayah, lari ketika
kereta berhenti di stasiun atau meloncat dari kereta yang sedang berjalan.
Kematian dan kerusakan badan, karena meloncat keluar kereta, ketika menuju ke
Bayah itu banyak yang dilemparkan kepada kami.
Selain daripada
mereka yang memang kuat, walaupun tertipu banyak pula penganggur atau pengemis
yang ikut memancing uang “saku” sebelum berangkat, ada pula yang ditipu oleh
Son-co buat mengisi daftar. Adapula yang menggantikan saudara ataupun bapaknya
yang sudah dicatatkan dalam daftar, tetapi keberatan berangkat. Semuanya ini
yang amat menyusahkan pekerjaan kami penerima romusha di Bayah. Bahwa diantara
kiriman yang 300 di atas kertas itu biasanya cuma 200 orang ataupun kurang yan
sampai di Bayah, setelah tiga atau empat hari di jalan. Perihal ini saja sudah
sangat menyusahkan penermaan di kantor kami. Daftar yang kami terima dari
daerah romusha, seperti Solo, Kediri dan lain-lain tentang nama, keluarga,
umur, pekerjaan, desa, kabupaten dan daerah romusha harus kami cocokkan dengan
romusha yang benar-benar kami terima. Kalau umpamanya 100 orang yang hilang,
maka hal ini saja berhubung dengan balasan surat kami kepada daerah yang
mengirimkan romusha itu dan berhubung dengan ongkos-ongkos di jalan sudah
memusingkan pemeriksaan. Apalagi kalau mesti mencocokkan nama romusha Senen
yang tertulis hitam diatas putih dengan romusha Rebo yang kita hadapi, sebagai
pengganti atau penyelundup dengan tidak setahunya membuat daftar di daerahnya,
maka pemeriksaan itu bisa banyak menghabiskan waktu. Kita berurusan dengan buta
huruf yang enggan, yang tertipu, yang ingin kembali ke desa dan memakai seribu
satu muslihat buat melepaskan diri dari ikatan sebagai romusha. Tetapi nama,
keluarga dan lain-lain itu harus diketahui! Karena ada romusha yang hilang di
jalan, maka tentulah kami sendiri tidak mau membiarkannya begitu saja. Buat
Jepang yang hilang itu adalah perkara kecil. Dia mudah mendapatkan
penggantinya. Buat kami perkara itu adalah perkara sakit sehatnya, hidup
matinya seorang dari rakyat, yang biasanya bodoh tidak tahu jalan. Kalau
hilang, kami mau tahu kemana hilangnya dan laporkan ke daerahnya, supaya diurus
keselamatannya. Kejelasan tentang nama, keluarga, desa, daerah dan lain-lain
itu perlu, karena pada ketika itu, juga atas anjuran kami orang Indonesia,
Bayah Kozan, mengirimkan sokongan yang tertentu kepada keluarganya romusha yang
bekerja pada Bayah Kozan. Pendeknya kami sendiri merasa berkewajiban menentukan
berapa romusha yang dikirim, berapa yang sampai, berapa yang hilang, siapa dan
dimana tempat dan siapa keluarganya yang sampai di Bayah atau hilang di jalan.
Setelah diketahui
berapa yang sampai di Bayah, berapa yang hilang, maka barulah diadakan
saringan. Yang tidak kuat, karena lemah atau mengandung penyakit segera
dikirimkan kembali ke desanya. Mereka ini dinamakan pekiran (afkeeren). Yang sampai di Bayah
dikurangi dengan pekiran itulah yang akan tinggal di Bayah Kozan, selama tiga
bulan. Kepada mereka akan diberi pekerjaan menurut kekuatan badan dan
pengalaman masing-masing. Yang tukang segera dipisahkan dengan yang bukan.
Tukang besi, kayu, batu dan lain-lain, akan dipekerjakan pada tempat yang
bersangkutan dengan ketukangannya dan mendapat pelayanan yang lebih baik
daripada temannya yang lain-lain. Sisa yang terakhir, ialah yang unskilled (bukan tukang) dibagi-bagi
pula, semata-mata menurut kekuatan badan. Biasanya mereka terbagi atas tiga
golongan, ialah yang kuat, lemah dan sedang. Yang kuat dipekerjakan di dalam
tambang dengan upah sampai F.1,- sehari dan beras 400 gram sehari. Yang lainnya
bekerja memotong kayu di hutan, mencangkul dan mengangkut dan lain-lain dengan
upah F. 0,40,- sehari dan beras 250 gram seorang sehari. Menurut pengalaman
saya, maka Kedirilah diantara semua daerah dipulau Jawa yang tinggi persentase,
tentang kekuatan dan kesehatan romusha.
Demikianlah
setelah saringan terakhir dijalankan, maka sisa dari yang tertulis diatas
daftar pengiriman dikurangi dengan yang lari, sakit dan pekiraan dan lain-lain
tidaklah berapa lagi banyaknya. Sisa bersih daripada yang datang dari Solo atau
Bojonegoro biasanya tidak lebih daripada 50%. Sering pula kurang daripada itu,
sehingga sangat memberatkan ongkos pengiriman pulang pergi. Kekecilan
persentase itu sebagiannya disebabkan oleh kemiskinan rakyat daerah itu, tetapi
mungkin juga menunjukkan akibat sabotase pamong praja atau akibat “siasat” yang
dilakukan oleh rakyat sebagai akibat dari semua faktor tersebut diatas.
Sebaliknya mungkin pula tingginya persentase Kediri, menunjukkan kekuatan badan
rakyat disana, dan ketaatan pamong praja di Kediri.
Apabila
pendaftaran sudah selesai, maka romusha yang akan dipekerjakan dipisahkan dari
yang akan dikirim pulang kembali. Yang akan dipekerjakan itu dibagi-bagi buat
dikirimkan di tiga cabang Bayah Kozan itu. pendaftaran mereka untuk
masing-masing cabang segera dilakukan dengan cepat. Begitu pula pendaftaran
mereka, yang akan dikembalikan ke desanya masing-masing. Truck-truck pengangkut
ke cabang, dan tempat tinggal, serta makanan mereka harus dipersiapkan lebih
dahulu. Sibuknya pekerjaan terjadi, kalau selainnya daripada menerima romusha, dari
daerah, pada hari itu pula harus dipulangkan ratusan romusha, yang sudah habis
perjanjiannya ke daerah masing-masing. Tidak jarang terjadi pada satu hari
terpaksa kami mengurus romusha pulang pergi yang tidak berapa kurangnya
daripada 1000 orang. Kalau dipikirkan pula betapa sempitnya semua “bangsal”
romusha yang ada di Bayah, betapa sulitnya mendapatkan makanan dimasa itu,
mengertilah pembaca bahwa pekerjaan kami membutuhkan waktu yang banyak sekali,
perhatian sepenuhnya kesemua jurusan, teristimewa pula ke jurusan kesosialan.
Sebelumnya saya mengerjakan pekerjaan menerima dan memulangkan romusha ini,
maka sudah dua tiga orang yang berhenti karena tidak sanggup menjalankannya.
Bagi diri saya
sendiri pekerjaan ini pula yang sekolah kesosialan yang selengkap-lengkapnya.
Sehari saja berurusan dengan seratus romusha dari salah satu daerah, kita sudah
bisa mendapatkan gambaran yang agak cocok dengan keadaan rakyat pada daerah
itu. Dipandang dari sudut politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Disini pula
kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa
Indonesia, yang menjadi korban militerisme Jepang dan korban persetujuan serta
proganda para pemimpin.
Bermula dengan
para dan co romusha, yang mendapat perhubungan dan kesempatan memberi nasehat
yang dirasa berguna untuk keselamatan romusha, berhubung dengan upah dan
kesehatan: “Jagalah supaya upah romusha yang sudah rendah itu semuanya sampai
ke tangannya! Janganlah romusha disuruh kerja lebih dari waktunya atau di
tempat yang tidak sehat atau berbahaya!” demikianlah biasanya bunyi nasehat
itu! Selalu dijelaskan pula, bahaya bagi seorang romusha, yang tidak mempunyai
uang sepeser di kantongnya, yang mencoba melarikan diri kembali ke desanya di
Jawa Tengah. Kebanyakan diantara mereka akan tidak sampai pulang, melainkan
sakit atau mati kelaparan di jalan. Ribuan romusha kurus kering bergelandangan
diantara Bayah dan Jawa Tengah, terdiri dari mereka yang mencoba melarikan diri
inilah. Selalu diusulkan, supaya pada dan co bersatu dengan yang dipimpinnya
dalam kesenangan, apalagi dalam kesusahan. Pula dimajukan, bahwa kalau tambang,
yang mau memegang romusha lebih daripada tiga bulan menurut perjanjian, maka
kami di pusat akan mengurusnya.
Pula dengan rumah
sakit, yang memeriksa kesehatan romusha, kami mendapat persetujuan, supaya
sebanyak-banyaknya di pikir, supaya boleh dengan segera dipulangkan. Begitu
pula dengan para pegawai cabangnya sendiri semangat melayani golongan terhisap
tertindas dengan sebaik-baiknya didapati persetujuan. Disamping itu, diusahakan
pula, supaya seboleh-bolehnya janganlah Jepang campur mengatur apa yang
berhubungan dengan keselamatan romusha dan kalau perlu serempak bertindak
melawan kekurangajaran dan keganasan Jepang. Pendeknya dari romusha sampai ke
pegawai yang paling tinggi saya berusaha mengadakan persatuan dan keinginan
tolong-menolong, menghadapi hisapan dan tindasan yang kejam dan keji dari
penjajah yang bersenjata lengkap.
Lapang terlalu
untuk kami buat langsung terbuka berpropaganda, apakah pula menganjurkan tindakan
yang radikal kepada kaum romusha tambang Bayah. Romusha dikehendaki oleh
tentara Jepang, disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan oleh para
pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalankan oleh para pemimpin,
terutama Bung Karno sendiri dan dijalanka oleh pamong praja. Kami
cumamenghadapi keadaan yang sudah ada saja, satu fait accompli saja. Kaum romusha terikat kepada perjanjian tiga
bulan kerja, dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras pukul rata 250 gram sehari.
Keadaan pekerja “sukarela” dibelakang hari, yang terdiri dari Seinendan, tidak
berbeda dengan keadaan romusha biasa. Seinendan, yang datang dari Pekalongan
dan Kedu dengan pakaian besih, koper, bendera berkibar serta berbaris sambil
menyanyi, setelah perjanjian habis, ialah sebulan, maka pulangnya mereka,
dengan jumlah yang kurang dari ketika datangnya di Bayah, dengan baju
compang-camping, koper terjual, badan kurus kering dan sering dengan malaria,
borok atau dysentri. Berhubung dengan singkatnya waktu buat romusha untuk dipekerjakan,
yakni tiga bulan, bersangkutan pula dengan larangan Jepang mendirikan kumpulan
yang diluar yang resmi dan takutnya romusha dan rakyat dimasa itu kepada
Jepang, maka tidak dapat dipikirkan buat mendirikan Serikat Sekerja buat kaum
romusha itu. Apalagi Serikat Sekerja untuk Seinendan, yang datang buat satu
bulan saja dan bekerja denga “sukarela” pula. Diantara pegawai dan juru tulis
kantor dan para tukang bengkel, atau pekerja dibagian listrikpun masih belum
dapat didirikan Serikat Sekerja. Bukan saja larangan Jepang dan penjagaannya
keras sekali, tetapi diantara pegawai dan tukang banyak pula orang terdapat
yang tertipu oleh propaganda Jepang dan para “pemimpin” resmi. Pada permulaan
saya diam di Bayah, banyak sekali diantara pegawai Indonesia yang lebih
pro-Jepang daripada Jepangnya sendiri. Usaha membuat kumpulan rahasia di masa
Jepang berarti menentang bahaya maut.
Tetapi semuanya
ini tidak berarti, bahwa kita harus berpangku tangan saja. Cuma caranya menjalankan propaganda rahasia berlainan
dengan keadaan semacam itu! Walaupun organisasi resmi yang formal tidak boleh
didirkan, tetapi “semangat” revolusioner boleh digembleng dan dikoordinir dan
kalau waktunya datang, maka semangat yang sudah siap tergembleng dan
dikoordinir itu dengan segera dapat menggerakkan ribuan pegawai, tukang dan
romusha di Bayah Kozan itu. Persiapan kesana tidak cukup diadakan dengan
bisikan atau kritikan dalam gelap saja, tetapi terutama dengan mengadakan
perhubungan dari hari ke hari dengan Murba di Bayah, ialah kaum buruh, petani
dan pegawai. Perhubungan yang sejitu-jitunya ialah usaha yang jujur dan terus
menerus, melayani kepentingan Murba di bayah dengan tidak mengenal payah, putus
asa, jemu dan takut akan konsekuensinya pekerjaan yang cuma dapat kita
pertanggungjawabkan kepada masyarakat dan diri sendiri. Kepercayaan yang
diperoleh dari Murba itu, adalah ibarat listrik yang terpendam yang kalau
saatnya sampai dengan menekan knop saja, bisa membangunkan kekuatan yang nyata.
Berapapun sempitnya lapang bekerja di bawah himpitan militerisme Jepang, tetapi
masih cukup bahan dan kemungkinan untuk mengadakan bahan peledak dibawah
himpitan itu!
Agak berpihak
(one-sided) penjelasan yang saya berikan tentang Jepang selama ini. Terpaksa
begitu, karena saya memandang dari sudut Kemerdekaan Indonesia terhadap
militerisme Jepang. Tetapi tentulah sudah dimengerti oleh pembaca yang
bijaksana, bahwa militerisme Jepang tidak sama dengan rakyat Jepang. Rakyat
Jepang terdiri dari bermacam-macam golongan dan menganut berbagai aliran
politik. Di Jepangpun tiada sedikit rakyat, terutama diantara buruh, tani dan
intellegensia rendahan, yang terbuka atau tertutup menentang militerisme,
kapitalisme dan imperialisme Jepang. Tentulah banyak pula diantara buruh, tani,
intellegensia Jepang di negeri Jepang itu yang sepaham dengan sebagian buruh,
tani dan intellegensia Indonesia.
Dalam masyarakat Jepang yang kecil di Bayah
Kozan itu tidak seluruhnya terbayang masyarakat Jepang umumnya. Tetapi sebagian
kecil terbayang juga! Di bayah Kozan kita tidak mempunyai ular politik dan
diplomasi seperti Simizu, Miyosi dan lain-lain, ataupun singa perang seperti
Jenderal Imamura. Bayah Kozan bukanlah suatu instansi (tingkat) pemerintahan
ataupun kemiliteran Jepang. Bayah Kozan cuma satu perusahaan arang swasta yang
diawasi oleh Pemerintah Militer Jepang. Seperti dimana ada organisasi penting
lainnya bagi tentara Jepang, begitu pula pada perusahaan penting, seperti
ditambang arang ini Jepang menanam kempe-tai dengan kempei-ho pembantunya. Si
Kempetai tentu menjaga supaya jangan terjadi sabotase ataupun pemogokan dalam
perusahaan arang ini. tetapi selainnya dari seorang kempei dan dan seorang
sidokang, pemimpin PETA, maka orang Jepang yang lain-lain adalah pemimpin
perusahaan teknik dan dagang. Memang mereka umumnya pencinta negaranya, tetapi
mereka umumnya warga negara Jepang biasa saja.
Pemimpin umum
(So-moo) di pusat administrasi, ialah di Bayah Kota, adalah seorang ahli hukum
yang muda. Mungkin pahamnya lebih kiri daripada paham liberal. Dikatakannya
pada suatu hari kepada kami, bahwa ahli sejarah di Jepang ada bermacam-macam:
“Ada ahli sejarah feodal, ahli sejarah liberal, ahli sejarah sosialistis,
bahkan ada pula ahli sejarah yang berpaham komunistis”. Dengan tidak memberi
kepastian sedikitpun, bahwa dia seorang radikal, tetapi dari perkataannya tadi
sudah dapat dipahami bahwa dia sedikitnya mempunyai pandangan yang luas.
Tingkah lakunya-pun menunjukkan keliberalannya. Dia mau diajak menonton
sandiwara yang kami atur sendiri berjam-jam lamanya, meskipun dia sedikit saja
mengerti.
Permintaan uang
ribuah rupiah untuk sport, musik dan sandiwara, wayang dan lain-lain, buat
menghibur pegawai dan romusha, makan dan sekedarnya pakaian buat penjamu dan
pembantu romusha tak pernah ditolaknya.
Pengurus bagian
pekerja dan romusha, bagian Romu, adalah seorang yang pula dengan perkataan dan
perbuatan menunjukkan hati lapang dan pri kemanusiaan. Dia bukan keluaran
sekolah tinggi dan pangkatnya dalam ketentaraan cuma kapten saja. Tak pernah
dia ketinggalan menjemput romusha yang baru datang dari daerah atau
mengantarkan romusha yang hendak pulang, walaupun dihari hujan. Jam empat pagi
dia sudah ada di stasiun untuk mengantarkan romusha yang pulang, memberikan
obat-obatan dan menjemur romusha. Kalau ada diantara romusha yang memang tidak
berpakaian lagi, maka dengan tidak menunggu lagi dia memberikan kain sedapatnya
kepunyaannya sendiri kepada romusha itu. Tingkah laku semacam ini jarang sekali
terdapat diantara orang Jepang yang lain-lain di Bayah. Memangnya Jepang inipun
membela kepentingan negaranya, tetapi tidak dengan cara yang menambah remuk
rusaknya kaum romusha, yang tiada berdaya itu!
Tetapi jarang
orang yang baik terdapat diantara Jepang yang bekerja pada cabang Bayah Kozan.
Kebanyakan pemabuk, penampar dan pemelihara pelayan. Pernah mereka membuat
huru-hara ke kantor pusat di Bayah, tetapi segera kami layani dengan cepat. Di
belakang hari kami berusaha membasmi semua keterlaluan itu di cabang itu
sendiri. Memang karena gara-garanya Jepang dari cabang itu satu dua kali hampir
terjadi perkelahian antara pegawai Indonesia dengan semua sep Jepang dari semua
bagian di kantor bagian di kantor pusat sendiri. Tetapi untunglah perkelahian
itu dapat diundurkan, dapat diselesaikan dengan pembicaraan saja. Dan bentrokan
itu menambah jernihnya suasana dan mempertinggi penghargaan orang Jepang di
kantor pusat terhadap orang Indonesia.
Seperti di gudang,
maka kantor pusatpun memang ada perselisihan paham antara sep-Jepang dengan
saya. Tetapi tidak mengenai pekerjaan. Dalam pekerjaan saya jaga supaya si
Jepang jangan mendapat alasan buat, mengkritik pekerjaan saya. Memangnya pula
tak pernah terjadi. Dia membiarkan saya memakai sistem saya sendiri, malah
selalu betanya sistem apa yang baik buat sesuatu pekerjaan.
Dalam suasana saya
merasa sudah mendapatkan sedikit penghargaan sebagai pekerja dan persahabatan
yang lebih rapat antara saya dengan para pegawai, pemuda dan pekerja Bayah
umumnya, maka barulah saya rasa datang waktunya buat melangkahkan kaki lebih
lanjut lagi. Pada suatu malam hiburan dan jadangkai rapat sambil mengomong
untuk semuanya kantor, baik Jepang ataupun Indonesia, maka oleh pengurus Jepang
ditanyakan kepada kami apakah yang kami rasakan sesuatu kekurangan.
Sesudah pegawai
lama mengeluarkan pendapat masing-masing, maka sayapun tampil memajukan
pemandangan saya. Tentu berlainan dengan pembicara yang sudah tidak memajukan
nasib kami para pegawai sendiri. Memang gaji pegawai belum mencukupi buat diri
sendiri dan keluarga (kebanyakan diantara F. 30,- dan F. 80,- sebulan dan satu
dua orang F. 125,- dan F. 150,- sebulan), tetapi kalau dibandingkan dengan gaji
romusha yang F 0,40,- sehari itu dengan kerja berat seperti kuda beban, maka
perbandingan itu amat mencolok mata. Bagi seseorang “pecinta bangsa” perihal
ini mestinya menggarut perasaan hati. Apalagi, kalau dipikirkan sandang dan
pangan serta kesehatan para romusha. Angka kematian romusha sebulan pada masa
itu berkisar antara 400 sampai 500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha.
Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah belum lagi
masuk hitungan.
Keadaan yang
selalu menganggu perasaan hati saya itulah yang saya bentangkan pada malam itu.
Saya kemukakan bahwa semua pelarian, penyakit bahkan kematian sebanyak itu bisa
dihindarkan, kalau keperluan hidup romusha diperbaiki, maka tidak ada yang
perlu Bayah Kozan mencari romusha, melainkan sebaliknya kaum buruh dari
mana-mana akan datang dengan sendirinya mencari Bayah Kozan. Sebaliknya pula
jika kaum tani yang kuat akan datang ke Bayah terus menerus, tetapi setelah
tiga bulan bekerja di Bayah mereka kembali ke desanya dengan penyakit borok,
dysentri dan malaria atau tidak akan kembali, karena sudah mati di Bayah atau
di jalan, maka sesudah beberapa tahun saja Indonesia akan kehilangan tenaga,
ialah harta nasional Indonesia yang tidak bisa ditaksir nilainya dengan uang.
Dan Bayah akan terus menjadi momok buat rakyat Indonesia. Saya anjurkan supaya
Bayah Kozan memperbaiki nasib kaum romusha seluruhnya sebelum terlambat. Saya
sudahi pidato saya dengan perkataan “
Prevention is better than cure” (menolak penyakit itu lebih baik daripada
mengobati).
Orang Jepang
pengurus bagian umum (So-moo) dan pengurus bagian pekerja (Romu) rupanya
memberikan perhatian penuh pada pidato saya. Pengurus So moo orang Indonesia,
yang menerima saya di Jakartalah yang memberi sambutan dan melahirkan
persetujuan. Kemudian tampillah seorang pemuda dari Jawa Tengah, yang juga
menyatakan persetujuannya. Pemuda inilah yang dikemudian hari menjadi salah
seorang pembantu yang paling rajin.
Semenjak itu saya
merasa benar-benar perbedaan penghargaan para pegawai terhadap saya. Pada
permulaan bekerja, gaji kami dua-tiga orang, yang pokoknya dimulai dengan
F.60,-sebulan itu menyebabkan amarahnya beberapa pegawai lama dan menyebabkan
meminta berhentinya dua orang pegawai lama. Sebenarnya mereka masih muda,
tetapi merasa lebih cakap dan berjasa daripada kami yang baru datang. Mereka
merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka merasa dilangkahi oleh
pengurus Bayah Kozan. Mereka sudah bekerja di Bayah Kozan semenjak berdirinya,
ialah ketika kantor dan rumah pegawai-pegawai masih diselimuti semak belukar.
Mereka tamat MULO pula, sedangkan saya cuma keluaran kelas 2 MULO saja.
Walaupun begitu cuma mendapat gaji masing-masing F. 45,- sampai F. 50,- saja
sebulan. Perbedaan gaji sering dikemukakan di depan saya, bahkan pernah saya
dihina karena gaji besar itu. tetapi sesudah saya memajukan nasib romusha dan
menganjurkan perbaikan yang radikal dalam dalam rapat sambil duduk tadi, maka
“gaji besar” saya tadi tak pernah disebut-sebut oleh para pegawai kantor pusat
lagi. Bahkan seperti sudah saya sebutkan diatas oleh salah seorang pegawai
Indonesia keluaran MULO, saya atas kemauannya sendiri dalam surat keterangan
tentangan saya dinaikkan satu kelas dari kelas 2 ke kelas 3 MULO.
Di sekitar saya
sudah terdapat beberapa orang pemuda yang cerdas dan jujur dan sudah insyaf
akan kewajiban mereka ialah menaruh perhatian dan memberikan bantuan
lahir-batin sepenuhnya kepada para romusha. Mereka berasal dari berbagai daerah
Indonesia, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Tidaklah perlu dan tidak baik
saya sembunyikan disini, bahwa walaupun “teori” kebangsaan sudah sekian lama
didengung-dengungkan oleh para pemimpin nasionalis, tetapi provinsialisme masih
amat mendalam di masyarakat Bayah seperti juga pada lain tempat di masa itu.
Tetapi dalam keadaan hidup yang sama, menghadapi militerisme Jepang bersama
pula, timbullah pula kebangsaan yang diikat oleh keperluan bersama ialah saling
menghindarkan perbedaan tak berharga. Saya mendapat kesempatan untuk mengupas
kekuatan perangnya Jepang, menunjukkan kebohongan surat kabar Indonesia yang
dikendalikan oleh Jepang, kebohongan dan akibatnya “kerja sama” antara Jepang
dan Indonesia. Disamping kamilah nyata terlihat salah satu dari akibatnya
anjuran dan kemahiran pidato Bung Karno yang masyhur yang berbunyi “Setetes keringat romusha adalah racun bagi
Sekutu”.
Golongan kami
semakin besar dan kuat, apalagi tuan pengurus umum, orang Indonesia yang
menjadi ketua Badan Pembantu keluarga tentara PETA, ringkasnya B.P.P bepergian
itu sebulan-dua bulan lamanya. Selama bepergian itu tuan ketua B.P.P menunjuk
saya sebagai wakil ketua. Angkatan itu tentulah bersifat resmi dan harus
disetujui oleh Bayah Kozan dan Son-co. Angkatan itu memperluas daerah pekerjaan
saya dan memperbesar golongan kami. Tidak saja saya dengan tak mendapat
gangguan dan kecurigaan kempei-tai dan kempei-ho bisa mengadakan perhubungan
dan permusyawaratan dengan para pengurus B.P.P disemua cabang Bayah Kozan,
tetapi pula perhubungan dan permusyawaratan di semua desa di sekitar Bayah
Kozan ialah tempat tinggalnya keluarga PETA (Prajurit Pembela Tanah Air) dan
Heiho. Akhirnya dan tiada kurang pentingnya saya dapat dengan leluasa
mengadakan perhubungan dengan tentara PETA sendiri. Kesempatan buat berhubungan
dengan para pemuda di seluruh Bayah Kozan buat dibangunkan membantu dengan uang
dan tenaga tentara PETA, yang dimasa itu adalah harapan bangsa, kesempatan
perhubungan dengan “resmi” dengan semua desa di sekitarnya Bayah dan dengan
para opsir dan prajurit PETA yang ditempatkan di Bayah, Malimping dan lain-lain
saya pergunakan denga sepenuhnya. Dengan mengerahkan anggota B.P.P tidak saja
didapat kesempatan untuk merapatkan para pemuda seluruhnya Bayah Kozan, tetapi
juga merapatkan mereka dengan rakyat dan tentara PETA dan Hei-Ho.
Tak ada tempat
yang terluang yang tidak kami pergunakan, Hari Ahad dan liburan kami pakai buat
memberikan uang atau pakaian kepada keluarga prajurit di desa-desa. Hujan
panas, lelah letih tidaklah menjadi halangan buat para pemuda buat menyeberangi
sungai dan mendaki gunung mengunjungi desa Penggarangan, Cimancak, Cikotok, dan
lain-lain. Berangkat pagi jam 4 barulah sore atau malam kami kembali ke rumah.
Tetapi jerih payah itu dibalas dengan hasil yang nyata, ialah keinsyafan atas
tertanamnya semangat tolong menolong diantara sama awak.
Kas kami termasyhur kaya! Kas saya mendapat
gelar kas-berjalan, karena seseorang keluarga PETA, yang ingin kelain tempat,
atau terlantar atau kematian dengan tidak banyak formality, upacara, di jalan
rayapun segera diberi bantuan. Yang perlu diketahui ialah benar tidaknya
kesukarannya dan betul atau tidak orangnya. Pembagian sarung umpamanya ialah
pembagian yang diselenggarakan oleh ranting Mallimping, buat Bayah (anak
ranting) pembagian yang mewajibkan keluarganya PETA dan HEIHO membayar F.20,-
buat sehelai, kami putuskan saja dengan hadiah kepada keluarga itu. Orang desa
di daerah Bayah tidaklah sanggup membayar harga yang F.20,- itu, meskipun
sebenarnya sudah 15-20 kali dimurahkan harganya. Kain sarung memangnya
dibutuhkan penduduk, apalagi oleh keluarga PETA HEIHO yang kebanyakan di
sekitar Bayah bukan keluarga orang kaya. Kita terpaksa memilih atau kain itu
dihadiahkan saja atau dikembalikan saja ke Malimping. Para pemuda dan pegawai
tidak keberatan memberi bantuan berupa uang, ataupun tenaga kepada PETA dan
keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama
PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke
asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang
dikirimkan ke asrama PETA dan sekurangnya sekali sebulan kami memberikan
penghiburan berupa sandiwara atau pertandingan sepakbola kepada mereka. Para
pekerja tua muda tak pernah keberatan mengeluarkan uang dan mencurahkan tenaga
buat menunjukkan perhatian dan penghargaan kepada prajurit sukarela.
Perhubungan saya sendiri dengan para opsir PETA yang berada di Bayah dan
Malimping, pada ketika hampir menyerahnya Jepang amat rapat sekali. Diantara
beberapa opsir dan saya, tak ada lagi rahasia tentang keadaan politik dan
kemiliteran. Chu-dan co, kepala kompi PETA, yang berkedudukan di Bayah selalu
memanggil saya kalau dia mendapatkan kabar yang penting.
Pada suatu hari
kami di Bayah menerima kabar yang sangat menggembirakan. Kami dihormati dengan
kunjungan yang luar biasa oleh para pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta.
Hati pada pegawai berdebar-debar menunggu-nunggu hari yang mulia menggembirakan
itu. Semua pegawai dari semua cabang Bayah Kozan, Jepang dan Indonesia
bersiap-siap menantikan para tamu agung.
Sayapun, Ilyas
Hussein yang dari pekerja gudang sudah naik menjadi pengurus pulang perginya
romusha antara Bayah dengan desanya, wakil ketua dari Badan Pembantu Keluarga
Prajurit Sukarela, di Bayah, anak ranting, mendapat kehormatan pula, sebagai
limpahnya kehormatan yang diperoleh kota Bayah, karena para pemimpin besar
bermurah hati datang mencemar-cemarkan kaki ke kota romusha itu. Oleh para
pegawai saya diserahi kewajiban bersama dengan duat tiga pegawai lainnya
menerima para tamu agung ini di pintu gerbang dan mengiringkan beliau-beliau
ini ke tempat pertemuan. Selain daripada itu saya menerima kebahagiaan pula,
ialah menghidangkan kue dan minuman kepada para pemimpin besar yang tercinta
itu.
Alangkah besanya
pula hati saya, melihat keiskhlasan hati salah seorang teman, yang berseri-seri
wajahnya, ketika meminjamkan sehelai kemeja dan dasi kepada saya, pakaian mana
yang perlu dan pantas saya pakai untuk berhadapan muka dengan para pemimpin
besar. Saya sendiri sudah lama memakai pakaian potongan dan tambalan, tak
sanggup lagi mengeluarkan pakaian yang bagus-bagus dari tempat simpanan.
Setelah beberapa
lamanya kami bersiap menanti di pintu kantor pertemuan, maka sekonyong-konyong
terdengarlah seruan bersiap diantara pekik “Hidup Bung Karno” dan “Hindup Bung
Hatta”. Tidak berapa lama antaranya maka kedua pemimpin Besar melalui barisan
kami para penerima tamu dan langsung duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Pidato Bung Karno,
Cuo Sangi-In no Gico dan Bung Hatta, Fuku Gico tidaklah perlu lagi saya
tuliskan disini. Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang
diucapkan di rapat raksasa dan radio, serta ditulis dengan huruf raksasa pula
dalam surat-surat kabar. Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang
penjajah: “Kita mesti berbakti dulu
kepada Jepang, “saudara tua”, yang sekarang berperang mati-matian menentang
Sekutu yang jahanam itu (cocok dengan “Amerika kita setrika dan Inggris
kita linggis”!). Setelah Sekutu kalah, maka kita oleh “saudara tua” akan diberi
kemerdekaan (cocok pula dengan isi Panca Dharma: “Sehidup semati dengan Jepang
sebelum dan sesudahnya perang Asia Timur Raya”). Kewajiban kami, pekerja Bayah
Kozan menurut Bung Karno, ialah memberi bantuan sepenuhnya untuk mendapatkan
kemenangan akhir! Kewajiban itu berarti mempertinggi hasil arang.
Sehabisnya Bung
Karno dan Bung Hatta berpidato, maka tuan Sukarjo Wiryopranoto mempersilahakan
hadirin mengemukakan pertanyaan. Hadirin tidak diizinkan berpendapat. Jadinya
sistem Jepang dengan Cuo Sangi-In-nya terbawa pula ke Bayah kota Romusha.
Saya sedang
memilih kue yang enak dan minuman yang lebih lezat untuk para tamu Agung.
Ketika beberapa hadirin bertanya dan mendapat jawaban yang dilucukan, sering
juga jawaban ejekan dari tuan Sukarjo. Kepada tuan Son-co Bayah umpamanya diusulkan, supaya dia sekali lagi menghadiri
“kursus Pamong Projo” (Pangreh Praja namanya dimasa itu!).
Tergesa-gesa saya
meletakkan talam kue dan minuman dan dari tempat yang paling belakang sekali saya
meminta bertanya: “Kalau tidak salah, bahwa kemenangan berakhir dahulu dan
dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Artinya itu kemenangan terakhir
dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Tanya saya: “Apakah tidak
lebih tepat, bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin kemenangan
terakhir?”
Sebagai satu automaton (perkakas yang bergerak
sendiri), maka tuan Sukarjo segera duduk. Bung Karno, sebagai telah
dimufakatkan lebih dahulu segera berdiri. Dengan sikap tak begitu memperdulikan,
maka Bung Karno memberi penjelasan lebih lanjut, bahwa kalau kita diberi
kemerdekaan sekarang, kita kelak toh akan terpaksa juga memperjuangkan
kemerdekaan itu. Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya
jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita.
Demikianlah isi jawaban Bung Karno!
Dengan tidak
menunggu izin ketua rapat lagi saya segera memberi jawaban. Keringkasannya
jawaban itu, ialah: bahwa saya juga insyaf benar akan perlunya memperjuangkan
kemerdekaan itu pun, kalau diberikan sekarang kepada kita. Tetapi kita akan
memperjuangkan dengan lebih bersemangat, karena kita tidak akan memperjuangkan
kemerdekaan yang dijanjikan, melainkan memperjuangkan kemerdekaan yang sudah
ada di tangan kita, yang sudah dirasakan.
Sebenarnya saya
menyerobot berpidato terus dengan memberi dua contoh. Contoh yang pertama,
ialah seorang gembala pengecut pada sebuah desa, yang dibelakangnya masyhur
sebagai pemberani, karena ia dengan
sebuah parang saja menyerang macam disarangnya dan membunuh macam itu.
keberaniannya itu timbul sesudah Raja Hutan tadi menerkam kerbaunya. Ketakutan
bertukar menjadi keberanian, sebab membela hak yang nyata, yang ada di tangan.
Contoh yang kedua menunjukkan sikap yang sebaliknya. Gibbon dalam sejarah
“Jatuhnya Kerajaan Romawi” menunjukkan, bahwa sebab jatuhnya Kerajaan Romawi,
yang terpenting ialah karena kaum pekerja dalam masyarakat Romawi sebagian
besar terdiri dari budak belian. Mereka tak peduli sama sekali sama ternak,
perkakas dan pekerjaannya, sehingga produksi merosot ke bawah. Dengan
merosotnya produksi, maka merosot pula pertahanan negara.
Daripada dua
contoh tersebut saya mengambil kesimpulan, bahwa semangat membela naik dengan
adanya hak nyata itu di tangan kita manusia. Dengan adanya hak kemerdekaan di
tangan kita, maka kita akan berjuang mati-matian membela hak itu. Sumbangan
kita melawan imperialisme Sekutu, sambil membela kemerdekaan kita itu akan
memperkuat jaminan untuk kemenangan terakhir. Itulah saya maksudkan dengan
pertanyaan diatas yang berbunyi: “Apakah tidak lebih tepat bahwa Kemerdekaan
Indonesia kelak yang lebih menjamin Kemenangan Terakhir??”
Tepat dengan
berhentinya saya berpidato, Bung Karno berdiri pula! Beliau mengules-ngules
lengan baju, merapikan pakaian, sambil memandang kri-kanan seolah-olah hendak
menunjukkan kepada hadirin, bahwa tidak pantas Bayah, kota romusha (terkenal
sebagai Kota Nyamuk Malaria kata tuan Sukarjo) membantah pahamnya Banteng Besar
Indonesia. Sedang puluhan ribuan khalayak pada sembarangan rapat raksasa di
pulau Jawa ini cuma tahu menyambut pidato Bung Karno yang “berapi-api” dengan
tepuk sorak yang gemuruh saja. Bung Karno sekarang mengeluarkan suara yang
menggetarkan kota kecil di Bayah dan pula mengakhiri pidatonya dengan
kesimpulan yang saya dan beberapa pegawai lainnya menganggap amat penting,
ialah: Kalau Dai Nippon sekarang juga
memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (ialah Sukarno!) tidak akan
terima.”
Saya siap kembali hendak melanjutkan perdebatan. Saya
hendak mengkritik kesimpulan tersebut diatas dan ucapan Bung Karno yang
lain-lain. Tuan Son-co pun yang selama ini seolah-olah lena kena ejekan tuan
Sukarjo, minta berbicara pula. Tetapi apa yang sudah saya nanti-nanti selama
ini sekarang terjadi. Seorang Indonesia, yang begitu mahir bahasa Jepang,
sehingga bahasa Indonesia sendiri di-Jepangkannya, ialah pembantu Jepang di
Bayah Kozan dan berlaku sebagai pengawas terhadap para pegawai Indonesia, yang
pada tiap-tiap “jadangkai”
menghalang-halangi saya, sekarang merasa sampai saatnya untuk memutuskan: “Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan
Hussein berbicara”.
Yang penting buat
saya pada waktu itu ialah politiknya Bung Karno sudah lebih jelas buat para
pemuda dan pegawai Bayah Kozan. Ketika besok harinya Bung Karno berseru diantara
diantara romusha tambang di Gunung Madur, cabang Bayah Kozan yang terbesar,
mengatakan, bahwa “Bung Karno sendiri juga “sama” dengan saudara romusha yang
hadir” maka diantara kaum romusha yang spontan terdengar perkataan: “Tetapi kami orang yang sudah remuk rusak”.
Kalau memangnya
“setetes” ataupun 1001 tetes saja keringat romusha yang mengalir sebagai
“racun” buat Sekutu itu, tidaklah peristiwa semacam itu berarti sama sekali.
Tetapi kalau sampai 80%, kalau tidak lebih, yang mati, hilang atau rusak sama
sekali, diantara 15.000 romusha yang tinggal kerja di Bayah Kozan,
diperhubungkan dengan perhitungan yang sederhana, bahwa lebih kurang lima puluh
ribu setahun yang ulang pergi antara beberapa daerah dan Bayah, maka angka ini
sudah tiga tahun harus mengambil banyak perhatian kita. Kalau perihal ini
diluaskan menjadi peristiwa romusha buat seluruhnya Indonesia yang dipekerjakan
di Asia Tenggara untuk membuat jalan, benteng pertahanan dan lapangan terbang
Jepang, maka kehilangan romusha yang ditaksir 3-4 juta banyaknya itu selama
pendudukan Jepang tidak lagi berarti bencana daerah, melainkan sudah bencana
nasional, lebih dahsyat dan lebih jauh akibatnya daripada letusan sebuah
gunung. Apalagi kalau perampasan jiwa dan tenaga romusha itu diperhitungkan
pula dengan kemusnahan para prajurit Heiho di Papua, Kalimantan, Birma atau
dimana saja Jepang kelak hendak merampas tanah, harta benda dan gadis bangsa
lain serta diperhubungkan pula dengan kekurangan makanan penting karena
rampokan Jepang dari hari ke hari. Dalam beberapa keturunan saja kemusnahan
tenaga kuat itu akan mengancam adanya bangsa Indonesia di muka bumi ini. Pidato
Bung Karno yang mahir dan berapi-api tentang pemakaian romusha, pengumpulan
padi, pengumpulan emas-intan dan persetujuan Bung Karno dengan perantaraan
Hokokainya yang menyetujui dan membantu pengerahan wanita dan “pemudi”
Indonesia disemua “lapangan pembelaan” cuma akan mempercepat demoralisasi atau
kemusnahan orang Indonesia sebagai bangsa.
Belum kita insyaf
akan kerusakan romusha, kalau belum pernah kita pergi mengantarkan romusha ke
daerahnya masing-masing adalah pekerjaan yang dperebutkan oleh para pegawai.
Buat siapa saja mengantarkan romusha berarti “beristirahat” dengan ongkosnya
Bayah-Kozan. Walaupun pergi ke salah satu daerah itu biasanya memakan
tiga-empat hari saja, tetapi pulang pergi saja sudah berarti seminggu lebih.
Dan dengan 1001 alasan lain, seperti kurang “enak badan”, “ketinggalan kereta”,
“tergelincir dari kulit pisang” dan lain sebagainya, maka istirahat yang 10
hari yang dianggap normal itu bisa diperpanjang menjadi dua minggu, bahkan
sebulan. Semua ongkos perjalanan, penginapan, ongkos “luar biasa” dan lain-lain
pula ditanggung oleh Bayah Kozan, dengan “uang” kertas Jepang, yang tidak
pernah usang jatuh ke tangan para pegawai. Istirahat itu sebenarnya perlu buat
para pegawai Bayah, karena hari liburan, lebih dari satu-dua hari belum saya
kenal. Buat saya mengantarkan romusha atau lebih tepat, beristirahat untuk
mengunjungi keluarga memang tidak pada tempatnya. Saya tidak punya seorangpun
anggota keluarga di Jawa. Tetapi besar artinya mengantarkan romusha itu buat
siapa saja, kalau dipandang dari sudut kesosialan dan pengalaman. Simpati
terhadap romusha itu sudah umum meresap di hati sanubari pegawai dan pemuda di
Bayah. Kebanyakan pengantar mengerti, bahwa mereka harus mengawasi para romusha
dari stasiun ke stasiun supaya jangan keluar kereta dan ketinggalan, hal mana
acap kali terjadi. Para romusha ingin membeli ini atau itu, ingin membuang air
tidak memperdulikan lonceng kereta. Mereka buta huruf, banyak yang tidak
mengerti bahasa Sunda atau Indonesia. Sekali ketinggalan maka bahayalah yang
dihadapi oleh mereka. Maka buat betul-betul mengetahui keadaan romusha yang
sesungguhnya di perjalanan, haruslah seorang pegawai mempunyai pengalaman
mengantarkan sampai ke daerahnya, adalah salah satu usul dari pegawai Bayah
Kozan juga, yang terbit dari perasaan tanggung jawab terhadap Nusa dan Bangsa.
Sebab pada suatu
hari memangnya kekurangan pengantar, maka oleh pengurus Bayah Kozan, saya
diminta mengantarkan romusha ke Jawa Tengah. Saya ambil kesempatan ini buat
mendapatkan pengalaman dan buat istirahat, yakni mengelilingi beberapa daerah
di Jawa Barat dan Tengah. Yang dibelakang inilah yang sangat saya harapkan pula
setelah beberapa lama.
Tidaklah dapat
dituliskan pada satu dua halaman saja kesusahan mengantarkan romusha bagi
seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab dan perikemanusiaan. Penyakit borok
Bayah yang kecil pada waktu berangkat dan dalam sehari perjalanan saja sudah
meluas dan mendalam susah sekali dikendali. Biasanya romusha yang mempunyai
surihan (garis) kecil saja waktu diperiksa diizinkan saja oleh dokter berangkat
ke daerahnya. Surihan kecil itu besoknya sudah menjadi besar dan busuk. Romusha
yang mengandung penyakit malaria ataupun dysentri, tidak suka mengatakannya
kepada dokter dan berusaha menyembunyikannya supaya boleh dipulangkannya.
Penyakit itulah yang menimbulkan bermacam-macam kesusahan bagi pengantarnya.
Urusan makanan
pada tempat penginapan yang disediakan oleh Bayah Kozan buat para romusha
seperti di Rangkas dan Jakarta tidak selalu memberi kepuasan. Biasanya romusha
yang sudah lapar itu terpaksa menunggu makanan sampai jauh malam dan terpaksa
mengambil tempat tidur dimana saja, atau sama sekali tidak tidur. Pagi benar,
jam 4, mereka sudah dibangunkan buat berangkat terus. Di kereta tempat tidak
selalu sedia, gerobak harus istimewa buat romusha saja. Penumpang biasanya akan
lari meninggalkan tempatnya di kelas 2 atau 3 kalau seorang saja romusha yang
sesat masuk. Apalagi kalau yang masuk itu borokan pula.
Kebetulan pula
ketika pertama kali saya mengantarkan romusha, maka antara Bayah dan Jakarta
terjadi kemalangan yang menyedihkan! Dua orang romusha meninggal berturut-turut
di Rangkas dan Warung Panjang. Nama, keluarga dan desa mereka tidak terdapat
dalam daftar yang saya bawa. Sep stasiun di Rangkas meminta saya memberikan
keterangan yang jelas tentang mayat itu (nama, keluarga, desa dll), katanya
supaya dia bisa menanggung-jawabkan kepada polisi yang akan menguburkannya
kelak. Tentulah saya tidak bisa memberikannya. Saya bangunkan rasa kebangsaan
kepada saudara sep itu. Tetapi dia menuntut keterangan cukup tentang mayat dan
meminta supaya saya sendiri pergi ke kantor polisi memberi keterangan formil.
Usul saya supaya telpon saja polisi ke Bayah dan keberatan saya, ialah kalau
saya turun layani mayat yang satu ini, siapakah yang akan turun melayani mayat
yang lebih banyak, kalau saya mesti meninggalkan kereta dan romusha yang saya
antarkan mulanya tidak didengarnya. Tetapi setelah lama berunding maka dia
membiarkan saya berangkat dan berjanji akan mengurusnya. Tuan sep di Warung
Panjang dengan tidak meminta keterangan ini atau itu sendiri yang mengurus
mayat yang kedua. Memangnya ada perasaan kebangsaan dan prikemanusiaan pun
diantara tuan-tuan sep kereta.
Baru di Jakarta
saya tahu, bahwa mereka yang mati di jalan tadi, ialah romusha yang sudah lama
sesat dan ketinggalan di jalan, menderita penyakit dan mereka masuk di salah
satu stasiun campur ke dalam romusha kami. Memangnya mereka berasal dari Jawa
Tengah juga dan bekas romusha di Bayah pula. Tentulah mereka tidak masuk ke dalam daftar saya.
Apakah ditolak
mereka yang tidak masuk daftar, mereka yang menyelundup di jalan ini? menurut
aturan harus; Tetapi menurut perasaan tidak! Dengan bersandarkan
prikemanusiaan, maka bertambah banyaklah kesulitan yang saya alami berhubung
dengan makanan, penginapan dan tempat dalam kereta.
Begitulah seperti
yang di Rangkas, tempat penginapan pertama dan di Jakarta di Tanah Abang tempat
penginapan kedua, saya tidak sempat tidur. Makanan dan tempat dikeduanya sudah
susah didapat harus disediakan buat romusha yang berhak dan menyelundup.
Berhubung dengan
banyaknya yang sakit, maka perjalanan antara Tanah Abang dan Jakarta Kota
terpaksa saya lakukan dalam tiga-empat jam. Sering-sering saya terpaksa lari ke
depan barisan yang ratusan meter panjangnya, terdiri dari tiga-empat ratus
romusha, mengejar dan memberhentikan mereka yang cepat berjalan, yang terlampau
maju ke depan, sehingga meninggalkan jauh di belakang mereka, yang lemah dan
sakit, yang perlu dipapah atau digendong oleh teman-temannya. Disinilah saya
insyaf yang sedalam-dalamnya akan arti yang sebenarnya tentang sengsara hidup
manusia. Tetapi untunglah saya rasakan pula, bahwa kodrat simpati tidak kurang
besar daripada amarah dan perasaan lain-lain, yang membangunkan semangat kita!
Selama tiga-empat hari dalam perjalanan ke Purwokerto entah berapa kali langkah
yang saya ayunkan dan percekcokan dengan pengurus penginapan, kereta, karcis
yang harus saya selesaikan..........tetapi saya tidak merasa lelah sedikitpun
walau dalam tiga-empat hari itu sedikit saya makan dan tidur. Inilah kodratnya perasaan
simpati, perasaan hiba, sayang.
Pengalaman
mengantarkan romusha sekali itu, besar sekali artinya buat saya untuk dijadikan
perimbangan yang berharga dalam hal kirim-mengirim romusha. Berdasarkan
pengalaman, maka dibelakang hari saya mengusulkan ini-itu yang berhubungan
dengan makana, obat-obatan, penginapan, transport dan terutama pula dengan
sifatnya pegawai pengantar yang diperlukan buat keselamatan romusha yang sudah
remuk-rusak dipulangkan ke desanya itu. dengan semangat yang semakin lama semakin
baik diantara pegawai tua dan muda di kantor Bayah, maka lama-kelamaan dapatlah
dijaga supaya Romusha yang dikirimkan pulang itu sampai ke desanya dengan tidak
kekurangan suatu apapaun dan mempunyai sedikit uang disakunya.
Selainnya daripada
pengalaman yang berguna buat pemeliharaan romusha, maka saya juga dengan segala
perhatian dan kegembiraan dapat mempelajari beberapa daerah di Jawa Barat dan
Timur. Bisikan anti Jepang yang mulanya perlahan-lahan makin lama makin
terdengar. “Kerja sama” Nippon Indonesia sudah mulai diejek-ejek. Setelah dua
tiga minggu berputar-putar, maka kembalilah saya ke Bayah membawa pengalaman
dan kesan yang baru tentang Rakyat Indonesia umumnya dan tentang arti “setetes
keringat romusha khususnya”.
Golongan kami yang
kecil, tetapi mempunyai tujuan yang nyata dan semangat yang sehat buat
menjalankannya mempergiat usaha memperlindungi tenaga romusha, memperingati
keperwiraan dan kepercayaan diri sendiri diantara prajurti sukarela dan
mempererat perhubungan antara romusha pekerja Bayah Kozan dengan PETA-HEIHO dan dengan kaum tani di desa-desa
sekitarnya Bayah.
Usul yang sudah
lama kami ajukan, yakni membuat dapur umum untuk romusha, yang tinggal di kota
Bayah, akhirnya oleh Bayah Kozan dijalankan. Lebih daripada 1000 orang romusha
yang berpondok dekat dapur umum mendapat makanan dari dapur umum. Dengan begitu
mereka lepas dari tangan mandor, pada siapa selamanya ini mereka membayar
“makan”. Pada dapur umum mereka diwajibkan membayar 10 sen sehari (gajinya 40
sen sehari). Pagi hari mereka mendapat kopi dengan ubi atau ketan. Lohor dan
sore mereka mendapat nasi, sayur dan sedikit ikan. Kalau saya tak lupa, ukuran
berat buat seseorang romusha adalah 300 gram sehari. Urusan membeli dan memasak
adalah di tangan pegawai yang kami
majukan kepada kantor Bayah Kozan. Kebersihan dan pemasakn selalu berada
dibawah penjagaan kami. Walaupun semuanya belum sempurna, tetapi sudah lebih
teratur dan lebih baik daripada selamanya ini. banyak diantara pegawai kantor
sendiri yang diam-diam membeli nasi dan sayur dari dapur memangnya nasi adalah
pokok persoalan makanan di masa serba susah itu. Dengan begitu buat romusha,
baik pula buat para pegawai. Saya sendiri sering dihidangkan makanan dari dapur
umum.
Karet, ialah nama
satu tempat, dimana dahulu bergelimpangan romusha yang sakit dan mati sudah
menjadi rumah sakit. Untuk romusha sudah diadakan tempat buat menerima 700
orang sakit. Rumah obat dan beberapa juru rawat sudah tersedia pula. Rumahnya
memang masih berdinding pelepah (bambu) dan beratap rumbia, tetapi kebersihan
dan air minum dan mandi sudah terjaga. Penguburan romusha seperti usul kami
pula, sudah dilakukan menurut adat dan agama, dan dibawah pimpinan seorang
kalifah yang diangkat oleh Bayah Kozan. Karet terletak diantara gunung Madur
dan Bayah kota. Di Bayah sendiri sudah didirikan rumah sakit baru. Rumah sakit
ini dipimpin oleh dua orang orang dokter Tionghoa, dibantu oleh beberapa juru
rawat dan lengkap dengan obat-obatan. Perubahan yang menjamin kesehatan seperti
di Bayah itu mulai dilakukan pula di cabang-cabang seperti Madur, Cimang,
Cihara.
Pula boleh
dikatakan sebagai usul kami, yakni para pegawai, maka dekat satu kampung
bernama Tegal Lumbu, sudah diadakan kebun sayur dan buah-buahan. Pada akhirnya
tahun 1944, maka kebun ini sudah memberi hasil cukup dan mengirimkan hasilnya
setiap hari ke seluruh perusahaan Bayah Kozan. Dengan begitu tidak lagi perlu
Bayah Kozan mencari sayur ke Sukabumi dan menerima sayur, yang sudah busuk
sesampainya di Bayah. Sayur Tegal Lumbu adalah berbagai ragam dan memangnya
baik sekali kualiteitnya.
Tidak saja dalam
lapangan jasmani, tetapi dalam lapangan rohani pun tidaklah kami putus
berusaha.
Bermula saya
usulkan mendirikan satu sandiwara. Usul ini diterima dan dijalankan giat sekali
oleh para pemuda. Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencuriga kempetai, maka
sandiwara itu dijadikan saja “bagian hiburan” yang termasuk anggaran dasarnya
B.P.P yang sudah diakui oleh tentara Jepang itu. Saya sendiri yang menulis
lakonnya, memilih pemainnya dan melatih pemainnya.
Lakon pertama
sekali bernama P2, huruf pangkal Prajurit Pekerja. Diceritakan disini nasibnya
kaum romusha, dari mulanya dia dikumpulkan di desanya oleh Son-co sampai dia ke
Bayah, dan akhirnya dia sampai kering dipekerjakan atau sakit dan mati
bergelimpangan di jalan ibarat “sepah” yang dibuang sesudah manisnya habis”.
Lakon yang kedua
masih terpaksa saya menuliskan, karena belum juga timbul tenaga muda dan baru. Lakon itu berdasar “Hikayat
Hang Tuah”. Walaupun Laksamana Hang Tuah dengan Hulubalangnya Hang Jebat, Hang
Lekir, Hang Lekin dan Hang Kasturi yang dijunjung tinggi, tetapi yang merasakan
yang pertama sekali tentu para prajurit sukarela yang dipersilahkan duduk
menonton di garis kursi yang paling depan.
Sesudah kedua
lakon itu mendapat sambutan yang hangat dari Bayah Kota, dan cabang-cabang
Bayah, maka keluarlah penyusun baru. Dengan sekedarnya bantuan saya, berikutnya
dipermainkan lakon Diponegoro dan Puputan Bali. Disini dimajukan kritik yang
tajam terhadap imperialisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit. Pemuda
dan rakyat supaya bersatu dan menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan.
Disamping
sandiwara tadi didirikan pula oleh satu Orkestra dan rombongan penyanyi buat
pembantu sandiwara. Ongkos instrumen ditanggung oleh Bayah Kozan. Tidak saja untuk
pegawai yang dipentingkan, tetapi juga para romusha yang berada di Bayah
mendapat perhatian istimewa. Buat permainan wayang, maka dibeli pula gamelan
yang tidak murah harganya. Ketoprak buat pekerja Sunda dan Bayah juga sering
sekali dipertunjukkan.
Disamping
sandiwara didirikan pula satu Sport club,
pertama buat sepak bola. Dalam pertandingan dengan cabang, dengan pekerja di
tambang emas Cikotok, dengan prajurit sukarela, malah juga dengan kesebelasan
di daerah Banten, club kami sudah mendapatkan tempat yang baik sekali. Akan
diusahakan pula memberi kesempatan bermain sepak bola kepada kaum tukang dan
romusha. Untuk ini kami perlu mempunyai tanah lapang sendiri. Selamanya ini
kami para pegawai meminjam tanah lapang rakyat Bayah. Mulanya Bayah Kozan menjanjikan
mendirikan tanah lapang buat kami.
Tetapi apabila sesudah beberapa lama tidak juga ditepati, karena “kekurangan”
romusha, maka atas usul saya, kami sendiri dan seluruhnya pegawai kantor,
gudang, pembangunan, bengkel dan lain-lain tua-muda, pemuda-pemudi,
mengerjakannya. Sehabis bekerja kantor, kami sendiri menebang kayu, membuang
batu dan mencangkul. Setelah lebih daripada setengah pekerjaan itu selesai,
maka barulah Bayah Kozan insyaf akan kelalaiannya dan ikut mencampuri pekerjaan
itu. Tanah lapang itu baru selesai, ketika saya meninggalkan Bayah, yakni pada
waktu Indonesia merdeka diproklamirkan.
Pada waktu
belakangan, maka olah raga dan sandiwara digabungkan dalam satu badan yang
bernama “Pantai Selatan”. Pantai Selatan sudah cukup dikenal di sekitarnya
Bayah. Dari Rangkas Bitung sudah berkali-kali datang undangan untuk
mempermainkan salah satu lakon tersebut diatas, katanya buat menambah semangat
rakyat dan pemuda. Juga diusulkannya pertandingan sepakbola, untuk membalas
kunjungan kesebelasan daerah Banten (atau Rangkas) yang tempo hari datang dari
Bayah (Madur) untuk bertanding.
Rupanya Pantai
Selatan bagian sandiwara sampai juga suaranya ke telinga para pemimpin Sendenbu yang dulu sering datang ke
Bayah untuk menjalankan propaganda. Setelah salah seorang diantara kami
bertanyakan, kenapa Sendenbu tidak lagi datang ke Bayah mempermainkan
“lakonnya”, maka dengan senyum yang mengandung arti dijawab: “Kami yang
sepatutnya memanggil Pantai Selatan ke Jakarta”.
Lakon kami juga
tidak luput dari pengawasan sensor, pemeriksaan kaisatsu. Tetapi biasanya saya sendiri mengurusnya dengan pemuda
polisi. Masakan pemuda polisi tadi sampai hati melarang pemuda PETA-HEIHO, dan
pemuda lainnya menonton pertunjukan lakon yang berdasarkan sejarah awak,
seperti Hikayat Hang Tuah, Perang Diponegoro, Puputan Bali dan lain-lain pada
masa kita perlu membangkitkan semangat keprawiraan, menentang penindasan dan
penghisapan. Siapakah pula diantara penonton Jepang yang semuanya hadir, yang
bisa mengerti apa yang “terselip” dalam Bahasa Indonesia yang penuh dengan
mengandung sindiran itu?
Teristimewa pula
apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu
tidak mengeluarkan perkataan apa-apa?
Nyatalah bagi saya
bahwa Jepang sendiri sudah mengunjungi beberapa lakon tentang kebudayaan,
kebijaksanaan dan kesatriaan leluhurnya bangsa Indonesia, insyaf akan
kekurangan penghargaan Jepang terhadap sejarahnya bangsa Indonesia selama ini.
Pada pidato resmi dibelakang hari kepala urusan Bayah Kozan sendiri sudah mulai
menyinggung-nyinggung kegemilangan sejarah Indonesia itu. Dengan begitu tidak
saja kepercayaan diri dan keprawiraan pemuda Indonesia bisa kami bangkitkan
tetapi juga penghargaan Jepang terhadap kita juga bisa dikoreksi dan
dibetulkan.
Pada suatu hari saya
dipanggil oleh Jepang pengurus bagian romusha. Ditanyakannya kepada saya,
apakah saya mau memimpin K.U.P.P. ialah Kantor Urusan Prajurit Pekerja. Segera
saya jawab: “Tidak karena terlalu berat”.
Kantor ini
mengurus pembagian makanan, seperti pembagian beras, aci, kacang, gula, minyak
tanah dan minyak kelapa, ikan, garam, dan lain-lain. Selain daripada itu,
kantor tadi harus pula mengawasi dapur umum dan hidupnya lebih kurang 2000
tukang dan romusha di sekitar dapur umum, mengawasi penerimaan dan pengiriman
romusha dari hari ke hari yang pulang pergi antara Bayah dan daerah di Jawa
Tengah (penduduk Banten khususnya dan penduduk Jawa Barat umumnya menolak keras
dijadikan romusha!): mengurus romusha yang sakit dan mati, mengurus perumahan
dan lain-lain.
Jumlahnya pegawai
kira-kira sama dengan jumlahnya pegawai di kantor pusat. Tidak mengherankan!
Karena pusat umumnya mengerjakan pekerjaan tulis menulis, sedangkan K.U.P.P.
selainnya pekerjaan tulis menulis, juga pekerjaan yang langsung berhubungan
dengan makanan, perumahan, gaji, kesehatan dan sakit matinya 3000-4000 romusha,
termasuk juga dibelakang hari penduduk kampung Bayah dan sekitarnya dalam
beberapa hal. Pembagian minyak, yang berdasarkan seperempat botol seorang,
pembagian beras yang 200 gram seorang, aci yang 100 gram dan sebagainya
kecil-kecilan tetapi harus adil, adalah pekerjaan yang banyak mengambil waktu
dan kesabaran. Family-system, kecurangan dari bujang, gundik atau kekasih
Jepang, kecerobohan para pegawai bangsa sendiri, harus dibasmi, kalau perhitungan
barang masuk dan keluar harus cocok (klop). Disinilah terutama terletaknya
kesulitan! Yang menerima barang ialah kantor Jepang, bernama Minami. Yang
membagikan barang itu ialah lain badan pula. Tetapi K.U.P.P harus tanggung
jawab atas beresnya kartu pembagian. Barang tidak boleh jatuh ke tangan yang
tidak berhak dan yang berhak harus mendapatkan barang sepenuhnya dengan tidak
memperdulikan kekuasaan seorang pegawai Indonesia atau Jepang yang mencoba
mendapat izin dari K.U.P.P. Tetapi si Jepang tidak lupa memendam 3 orang
kempei-ho dan penyelidik dikanan kiri saya.
Seorang pemuda
keluaran H.B.S. sudah gagal memimpin K.U.P.P! Seorang bekas wedana yang berumur
tinggi pula tidak sanggup lagi mengerjakannya. Melihat kejadian ini, maka saya
tolak usul Jepang, pengurus Ro-moo tadi yang meminta saya sebagai pemimin
K.U.P.P., jadinya pemimpin yang ketiga.
Beberapa teman
kepercayaan meminta kepada saya, supaya diterima saja, supaya saya dapat
mengontrol pembagian barang dan tempat yang memang kalut itu, yang penting pula
buat umum. Seorang Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia, melihat saya
terus menolak, datang menghampiri saya dengan berkata: “Tuan Hussein selalu menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Jepang
memangnya akan pergi! Cuma belum tentu kapan. Dalam hal ini siapa lagi yang
akan mengurus Bayah Kozan sendiri, kalau bukan orang Indonesia. Tetapi kalau
orang Indonesia mau merd eka, tetapi tidak berani tanggung jawab, bagaimana
kemerdekaan itu bisa dijalankan”.
“Logika” ini
sebagai logika memang tegap. Saya terpaksa terima, walaupun pekerjaan itu terus
saya anggap berat. Memang pula begitu. Kecurangan, family system, kesulitan
pekerjaan dan tak ada kerjasama antara Minami (penerima barang) dengan Haikyu
(pembagian Makanan) maka banyak sekali kotoran yang sudah lama dan harus
dibersihkan. “Catut” sudah tersohor di masa itu! Diantara pegawai kantor Minami
dan Haikyu dan pengangkutan sering terdapat “kerjasama” buat menyembunyikan
barang dan mencatutkan barang itu. hukuman jemur dan potong kepala tidak lagi
diperdulikan. Minyak yang umpamanya menurut harga kantor cuma F. 6,- F.7,-
sekaleng bisa dicatutkan dengan harga F. 200,- atau F. 300,- Yang menjadi
korban tentulah rakyat jelata dan romusha juga, karena merekalah yang akan
kekurangan atau tidak dakan mendapat apa-apa.
Pekerjaan K.U.P.P
saya lakukan! Dengan begitu saya mendapatkan perhubungan yang lebih rapat lagi
dengan romusha, tukang dan rakyat di Bayah. Lebih daripada yang sudah-sudah
saya insyaf lagi akan keadaan hidupnya romusha. Dapur memang mudah memeriksanya
di waktu siang hari. Tetapi pemeriksaan harus selalu dijalankan, supaya
tiap-tiap romusha mendapatkan yang sudah ditetapkan. Banyak praktek dapur yang
harus dibasmi. Tidur romusha pun harus kita jaga. Mereka takut tidur diatas
lantai pelepuh (bambu) kaena penuh kepinding (kutu busuk). Mereka turun ke
tanah dan tidur di tanah. Ini lebih membahayakan kesehatan mereka. Sesudah saya
larang mereka kembali ke atas lantai, tetapi setelah saya pergi mereka kembali
ke tanah. Sebab itulah saya biasanya sekali lagi saya terpaksa datang,
menyaksikan, apakah mereka benar-benar tidur di lantai. Perkara kutu busuk
sangat memusingkan kepala. Kami pegawai sendiri harus berperang dengan kutu
busuk. Tetapi lebih berbahaya tidur di tanah Bayah, yang lembab (vochtig) itu daripada berperang dengan
kutu busuk diatas lantai. Yang tak kurang memusingkan kepala saya ialah perkara
kebersihan! Karena kejengkelan, maka beberapa romusha sengaja buang air di
jalan-jalan. Sudah dua tiga kali mereka ditegur masalah ini. diterangkan betapa
bahayanya kotoran manusia itu buat mereka sendiri. Didengarkan, tetapi tidak
juga dijalankan! Akhirnya saya sendiri membersihkan! Semenjak itu berhentilah
mereka membuang kotoran di tempat yang tidak pantas.
Karena susahnya
mendapatkan ari diluar sungai Bayah yang agak jauh letaknya itu, maka
pembikinan kakus dan sumur, adalah soal yang mengenai teknik dan ongkos. Tetapi
kami memang sedang memejamkan soal tersebut.
Pada masa mengurus
K.U.P.P itulah saya sedikit berkenalan dengan prakteknya “koperasi” ahli
ekonomi Drs. Mohammad Hatta. Membaca keterangan tentang koperasi saya tahu-tahu
sudah menggelengkan kepala. Bagaimanakah sesuatu teori ekonomi bisa dijalankan
kalau yang menjalankan ini sama sekali tiada mempunyai kekuasaan politik, beginilah
pikiran yang timbul di kepala saya di masa itu. Prakteknya koperasi di Bayah
dan lain-lain tempat di Banten, lebih kurang seperti berikut:
Pengumuman
koperasi: “Minyak datang Rakyat harus siap tanggal sekian jam sekian. Jangan
lupa membawa botol. Yang terlambat tak akan mendapat minyak”.
Rakyat datang
berkerumun dan antri (berjejeran). Mereka menunggu dengan teratur dan sabar,
cocok dengan tabiatnya bangsa Indonesia. Akhirnya setelah sekian lama menunggu,
maka pembagian dijalankan.
Setelah dua tiga
kaleng dibagikan maka tuan pengurus koperasi berteriak keras, supaya terdengar
oleh khalayak yang berjejer panjang, yang dalam panas atau hujan menunggu
bagiannya, mengucapkan: Saudara-saudara, pembagian diperhentikan karena minyak
sudah habis. Memangnya tujuh atau delapan kaleng lainnya sudah lenyap dari
kantor “koperasi”. Tetapi tidak lenyap jatuh ke tangan rakyat yang berhak,
melainkan dicatutkan oleh “pengurus” di pasar gelap di waktu gelap.
Drs. Mohammad
Hatta yang mestinya insyaf akan ketiadaan kekuasaan politik di tangan rakyat
Indonesia di masa Jepang itu, oleh sebab mana dia sebenarnya tidak berdaya
sedikitpun untuk membasmi berbagai-bagai kecurangan (termasuk kecurangan dan
korupsi kempei sendiri!!!) mestinya lebih dulu berusaha supaya rakyat Indonesia
mempunyai cukup kekuasaan. Barulah ambil kesempatan untuk menjalankan suatu
teori, seperti teori koperasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi seluruhnya
atau sebagian besar dari perekonomian rakyat.
Tetapi sebagai
tukang hapal suatu teori ekonomi doktorandus ini tidak insyaf akan Naiviteitnya dalam politik. Pengurus
ekonomi yang jujur tetapi menemui kegagalan di masa Jepang itu kalau datang
mengunjungi Moh. Hatta, dengan tidak pemeriksaan lebih dalam biasanya dimarahi
dengan perkataan: Saudara yang salah! Saudara yang bodoh! Saudara yang belum
baca buku ini atau itu! Saudara yang tidak bisa kerja sama dengan Son-co dan
lain-lain, dan sebagainya etc, etc.
Sekianlah
sekadarnya gambaran tentang Bayah kota. Dalam setahun dua kampung kecil,
terpencil tak terkenal, bernama Bayah, disebabkan adanya batu arang
disekitarnya sudah menjadi sebuah kota, sebagai pusat administrasi, lengkap
dengan bengkel, stasiun kereta api dan bangunana listrik. Jepang memang ahli
dalam membuat kota baru. Terhadap Bayah dengan pelabuhan pulau Manuk, Jepang
mempunyai rencana yang mengandung akibat jauh dan bercabang-cabang pula.
Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Banten Selatan masih jarang penduduknya, tetapi
ada mengandung logam yang berharga, seperti dibuktikan oleh tambang emas dan
tembaga di Cikotok.
Dengan naiknya
pengaruh Bayah Kozan di sekitarnya Bayah, maka sebanding dengan itu pula
turunnya derajat pamong praja di daerah tersebut. Lama kelamaan Son-co Bayah
sendiri sudah terdesak oleh Bayah Kozan dalam hal urusan kenegaraan, ekonomi dan
sosial. Jika tuan Son-co insyaf akan pertukaran masa, bersemangat kebangsaan
dan mencari perhubungan rapat dan kerja sama dengan kami para pegawai, maka
kami akan membantu dia akan menjadikan
bapak rakyat. Tetapi karen Son-co di Bayah masih menganggap dirinya seperti Ass
Wedana dimasa Belanda, bersemangat kedaerahan, bahkan kekeluargaan, serta
mencoba bertentangan dengan kami terpaksa menaruhkan pada tempat yang
selayaknya.
Pada permulaan
saya menjalankan pekerjaan sebagai wakil ketua B.P.P ketika ketuanya bepergian,
maka Bayah, anak ranting B.P.P didatangi oleh ketua cabang dari Rangkas. Ketua
cabang mengadakan kritik tajam terhadap urusan uang B.P.P yang berada di tangan
ketua lama. Dia mendesak kami mengadakan pembersihan dalam hal keuangan itu. Karena
ketua tak ada dan kas lama berada di tangan ketua itu, maka jalan yang
sebaiknya menurut persetujuan rapat pada masa itu, ialah mengadakan pemilihan
pengurus yang sebenarnya belum pernah diadakan pada masa itu. Pemilihan berlaku
dihadiri oleh Son-co sendiri. Menurut pemilihan itu, maka jabatan ketua jatuh
ke tangan saya. Dengan begitu maka urusan uang saya pisahkan dari bulu lama dan
tanggung jawab (di bawan penilikan saya), diberikan kepada yan biasa berhak,
ialah bendahara. Sebelumnya saya, maka ketualah yang menerima uang dan
membelanjakannya. Selainnya daripada penghiburan gamelan yang memakan ongkos
ratusan ribu rupiah, belumlah ada bantuan yang diberikan kepada keluarga PETA
dan Sukarela itu. Belum pernah ia selangkah berjalan menuju ke desa menjumpai
keluarga PETA-HEIHO itu.
Setelah ketua kembali, dan mendengar bahwa dia
tidak lagi ketua, melainkan penasehat, maka atas desakan dia diadakan lagi
pemilihan. Menurut pemilihan inipun saya diangkat menjadi ketua. Tetapi tuan
Son-co tidak juga mau memberikan pengesahannya, ialah syarat yang ditetapkan
oleh tentara Jepang di masa itu. Harus diketahui bahwa ketua lama pengurus umum
bagian Indonesia di kantor Pusat, ialah karib baiknya tuan Son-co juga di masa
Belanda pernah menjabat pekerjaan salah satu kantor pamong praja Banten umumnya
dan golongan Tubagus (ninggrat di Jawa Tengah) khususnya, satu sama lainnya
melekat seperti minyak dengan minyak dan air dengan air.
Akhirnya karena
desakan saya, supaya pembersihan yang dulu dituntut oleh ketua cabang dari Rangkas
dibereskannya sendiri di Bayah, maka pada suatu hari datanglah dia mengunjungi
Bayah. Ketua Rangkas inipun tidak mau mendekati saya dan tidak mau menerangkan
bila ada rapat dan apa acaranya B.P.P. yang akan diadakannya itu. Ketua lama
mengusulkan supaya saya mengumpulkan orang, dimana saja. Dalam surat selebaran,
maka saya panggil yang bersangkutan ke K.U.P.P dimana terdapat tempat yang
lapang dan kursi yang lengkap. Tetapi karena hari hujan dan sedikit orang yang
datang (ialah mereka yang membantu saya mengunjungi keluarga PETA-HEIHO di
desa-desa), maka saya kira rapat itu tidak bisa berlangsung. Tetapi ketika saya
pergi mengunjungi teman-teman, maka kira-kira jam 10 malam saya lihat banyak
orang berkumpul di pendopo Son-co. Saya coba masuk. Oleh ketua lama saya
dipersilahkan berbicara. Sebenarnya saya tidak siap berbicara lebih dahulu.
Saya anggap ketua cabang yang akan mengusulkan ini-itu berhubung dengan desanya
dahulu kepada kami mengadakan pembersihan. Diantara hadirin cuma satu dua orang
yang saya kenal rajin membantu. Yang lainnya ialah mereka yang diundang oleh
ketua lama sendiri dan orang-orang yang diangkatnya sendiri di kantor Bayah,
karena ia memang kepala urusan personil (Son-moo!).
Tetapi saya tidak
berpikir panjang dan percaya kepada pemuda dan para hadirin. Saya uraikan
pekerjaan yang sudah kami lakukan diwaktu terluang. Saya peringatkan bahwa
pembersihan yang dituntut oleh ketua cabang, kami jalankan dengan pemilihan
yang berakhir dengan pilihan atas diri saya sebagai ketua. Saya meminta kepada
ketua cabang supaya sekarang dia sendiri yang menentukan bagaimana cara yang
dikehendakinya buat mengadakan pembersihan dalam hal keuangan, sebelumnya saya
tahu menahu dengan urusan B.P.P. Buku keuangan selama di bawah pimpinan saya,
sebagai ketua, adalah terbukanya bilamana saja dan buat siapa saja!
Perdebatan
berlangsung sedikit lama, bukan tentang keuangan, melainkan tentang ke-ketuaan.
Ketua cabang Rangkas, dengan persetujuan Son-co dan ketua lama mengusulkan
mengadakan pemilihan sekali lagi.
Walaupun para
pembantu saya, cuma saja yang hadir dan hampir semuanya yang hadir cuma saya
kenal mukanya saja. Tetapi saya membenarkan
usul pemilihan ketiga kalinya itu. saya isyaf, bahwa saya ditipu masuk
ke perangkap pemilihan, yang pemilihnya ditentukan oleh pihak sana. Sebab ini
maka saya sendiri sangat heran ketika menyaksikan bahwa kecuali dua suara
(Son-co dan ketua lama ikut pula mengundi) semua suara jatuh kepada saya. Mau
tak mau Son-co harus mengesahkan keketuaan saya itu, atas B.P.P atau B.P.2.
Sekarang sedikit
tentang B.P.3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja), walaupun mengandung sejarah
yang tak kurang panjang dan sulit pula.
Setelah B.P.3
lahir, maka Son-co memanggil saya. Dia mengadakan pemilihan, dimana saya
terpilih pula sebagai ketua. Pekerjaan ini tentulah mudah saya jalankan, karena
hari-hari saya berurusan dengan pulang pergi dan keadaan romusha. Siapa saja
orang lain yang mau menjadi ketua B.P.3 terkpaksa akan meminta pertolongan
kepada saya.
Tetapi di belakang
hari apabila seorang turunan Tubagus dan “memangnya” tuan Son-co dan ketua lama
B.P.2 “memang” yang ingin menjadi ketua B.P.3, maka tuan Son-co mengubah
sikapnya terhadap keketuaan saja, walaupun keketuaan saya itu diusulkan
disaksikannya di rumah sendiri. Terpaksa lagi diadakan pemilihan. Tetapi pada
pemilihan inipun saya dipilih menjadi ketua. Walaupun begitu tuan Son-co tidak
juga memberi pengesahan. Bantuan pemberesan yang saya minta ke cabang B.P.3 Di
Serang dan Pusat di Jakarta tidak memberikan hasil. Tak ada seorang pun yang mau
datang mengurusnya ke Bayah, sampai akhirnya ke waktu penyerahan Jepang dan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Son-co ada mempunyai calon ketua B.P.3
dibawah pimpinan Moh. Hatta sendiri kabarnya, mau mengizinkan cabang atau
ranting mendirikan “perusahaan” (sabun, minyak kelapa dll) dan memberi bantuan
uang dari Pusat di Jakarta. Tetapi karena pekerjaan Bayah sudah memberikan
kepercayaan kepada saya, dan karena saya tahu sejarahnya “Tubagus” tadi dalam
hal keuangan, maka kami siap sedia mengawai, supaya uang pusat B.P.3 ialah
hasil keringat rakyat jelata, yang akan dipinjamkan kepada Bayah itu jangan
sekali-kali jatuh ke dalam kas bolong, kas yang tidak mempunyai lantai.
Tiap-tiap bulan
Bayah Kozan mengirimkan 1.50.000,- kepada keluarga romusha di desa tempat
tinggalnya. Tetapi keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi puluhan
ribu uang masih tertumpuk di kantor pamong praja, tidak sampai ke alamatnya.
Kesulitan kirim mengirim itu sedang saya urus dengan perantaraan B.P.3 di
daerah.
Sebenarnya kami
tidak membutuhkan uang dari pusat buat dipinjamkan kepada perusahaan ini atau
itu yang hasil bersihnya akan dipakai untuk “membantu romusha”!! Kami sendiri
sebaliknya sudah siap mengirimkan uang ke pusat yang mudah kami peroleh dari
para pegawai. Sokongan uang buat romusha Bayah Kozan lebih pasti akan lebih
lekas kami dapatkan dari kantor dan para pegawai sendiri.
Tetapi berhubung
dengan kemungkinan korupsi yang akan ditimbulkan oleh “perusahaan” B.P.3
seperti pada “koperasi” Moh. Hatta, maka kami selalu menjaga-jaga! Setelah
nyata bahwa Son-co tidak mau mengesahkan kami sebagai pemimpin B.P.3, sedangkan
pegawai dan pemimpin rakyat Bayah sudah memilih kami, sedangkan uang iuran akan
keluar dari kantong kami pula dan pekerjaan bagi membagi serta hibur-menghibur
kami pula yang akan melakukannya, maka pada suatu rapat diantara para wakil
Bayah Kozan dan wakil rakyat Bayah sendiri, kami terpaksa mengambil satu
putusan.
Perlulah lebih
dulu diketahui, bahwa usahanya Pantai Selatan dalam sport, kebudayaan dan penghiburan
amat memberi kebahagiaan kepada Son-co Bayah. Dialah yang dikemukakan dalam
semua upacara perayaan yang dirayakan dengan permainan olah raga, sandiwara
dll. Pada tanah lapang rakyatlah segala upacara dan keolah ragaan dilakukan.
Dengan begitu maka Son-co, bapak rakyatlah yang mendapat bahan lengkap untuk
“laporan” yang harus dikirimkannya kepada sep-nya.
Tetapi semuanya
itu tidak masuk ke dalam pertimbangannya. Apabila pada suatu hari terjadi
kematian lantaran hanyut di sungai, maka Son-co menolak mengurusnya penguburan
orang mati itu karena katanya yang mati itu ialah seorang romusha. Kami sendiri
dibelakangnya dapat memastikan, bahwa yang mati itu bukan romusha melainkan
seorang penduduk Bayah asli yang menyeberangi sungai menuju ke sawahnya di seberang
sungai dan hanyut karena derasnya arus. Dengan begitu nyata dia membedakan
penduduk yang ada di Bayah. Perbedaan dan sistem kekeluargaan Son-co itu yang
sangat kami sesali.
Demikianlah pada
suatu hari perayaan, maka para wakil rakyat Bayah sendiri, yang selalu kerja
sama dengan kami, baik dengan perantaraan B.P.2 ataupun B.P.3, menolak
permintaan Son-co mengadakan permainan olah raga di tanah lapang rakyat, Bayah.
Mereka mengusulkan supaya permainan dilakukan di lapangan kami dekat pemondokan
romusha saja. Biarlah tuan Son-co mengerahkan rakyat asli Bayah ke lapangan
kami itu. Usul itu sehabis perdebatan hangat dengan wakil rakyatnya sendiri
itu, terpaksa diterima oleh tuan Son-co. Buat rakyat Bayah sudah kami siapkan
tempat istimewa pada lapangan kami tadi. Memangnya kami tak pernah membedakan
rakyat asli Bayah dengan romusha yang 100% berasal dari Jawa Tengah dan Timur.
Bahkan sebaliknya kami berusaha keras memperhubungkan mereka.
Dari Bayah Kozan
kami dapatkah 3 ekor kerbau untuk dipotong. Disamping itu diperoleh
bermacam-macam hadiah buat yang menang berlomba. Semua istri para pegawai saya
kerahkan untuk memasak. Buat perlombaan itu kami belikan barang yang berguna
untuk romusha, seperti tudung, celana pendek, terompah dll. Semua pegawai
menyerahkan bagiannya kepada tukang dan romusha yang akan berlomba. Para
pegawai ikut berlomba dan menyelenggarakan permainan dan hiburan, tetapi tidak
mengambil hadiah. Si Jepang pun ditarik ikut serta bermain. Pembagian hadiah
dilakukan sedemikian rupa, sehingga hampir semua romusha akan mendapat bagian.
Demikianlah pula rakyatnya Son-co Bayah diperkenankan makan minum dan
diperkenankan mengambil bagian dalam perlombaan.
Tetapi......tetapi.......tetapi
seorangpun rakyat Son-co tidak ada yang datang! Kalau tuan Son-co sendiri tidak
membeda-bedakan mana yang rakyat dan mana yang romusha, yang Tubagus atau
gembel, yang anggota keluarganya atau orang Indonesia yang diluar daerah atau
propinsinya, maka sebenarnya mudah sekali buat Son-co mengambil hati pegawai,
tukang dan romusha Bayah Kozan, apalagi hati rakyatnya sendiri dimasa serba
sulit itu. Seperti kebanyakan anggota Pamong Praja, maka Son-co Bayah walaupun
sudah dikursus oleh Jepang, tetapi tinggal product imperialisme Belanda.
Perundingan kami
di Rangkas yang secara tidak resmi itu berpusat pada janji Jepang yang pada
masa itu tersusun dalam perkataan: “Kemerdekaan bagi Indonesia dikelak kemudian
hari”. Juga dibicarakan perkara perhubungan aliran baru itu dengan Hokokai dan
para pemimpinnya. Saya kupas janji “kemerdekaan dikelak kemudian hari” itu
semestinya dan saya tolak kerja sama dengan Hokokai dan pemimpinnya itu.
Gerakan baru harus mempunyai organisasi sendiri, dasar perjuangan sendiri, dan
pimpinan sendiri. Atau belum merasa kuat berlaku sedemikian, baiklah sama
sekali jangan keluar membentuk organisasi sendiri itu. Membentuk organisasi
baru yang tak akan bisa menolak Jepang atau kaki tangannya atau yang tidak
sanggup menolak usaha Jepang dan kaki tangannya. Genjumin bakero, yang akan
menggandengkan organisasi baru itu kepada Hokokai, cuma akan menambah
kebingungan rakyat yang sudah bingung dan jemu itu saja.
Setelah diadakan
pemilihan, maka saya terpilih menjadi wakil Banten ke Konferensi Jakarta
tersebut diatas.
Sesampainya di
Jakarta saya mendapat kabar, bahwa konferensi Angkatan Muda dan Angkatan Baru
itu tidak jadi berlangsung. Jepang campur tangan dan melarang konferensi itu.
Jepanglah yang
menjadi salah satu sebabnya perpecahan antara pemuda dan para pemimpin resmi.
Jepang pula yang mencoba mempertautkan perpecahan itu. Itu rupanya maksud
Jepang dengan Kongres Pemuda di Bandung. Tetapi setelah pemuda insyaf akan
gerak-geriknya Jepang di belakang layar, maka mencoba melepaskan diri dari
ikatan Jepang dan kaki tangannya dan mencoba mempersatukan diri, seperti
maksudnya konferensi Jakarta. Tetapi setelah nyata pula sikap pemuda
sedemikian, maka Jepang melarang berlakunya konferensi itu.
Kabarnya
dibelakang layar, terdapat dua tangan yang mencoba memperalat beberapa orang
pemuda yang berada dalam dua Angkatan tersebut diatas. Tangan yang satu ialah
tangannya Kikakuka (planning Board) yang dikuasai oleh kaum politisi dan Kempei
Jepang. Tangan yang lain ialah tangannya Sendenbu, organisasi Jepang dalam
propaganda. Kedua tangan itu rupanya tidak berdaya lagi memegang pemuda untuk
dipermainkan. Para pemuda tetap menolak digandengkan dengan Jepang, Hokokai dan
pemimpin resmi dan tetap berusaha mempersatukan diri.
Saya merasa rugi
tidak dapat mengunjungi konferensi itu, karena tidak dapat menyaksikan jiwa
pemuda di ibu kota yang terasa getarnya di masa itu, tetapi dapat juga saya
berjumpa dengan beberapa pemuda. Dua orang diantaranya sampai sekarang masih
berada pada golongan yang mempertahankan
kemerdekaan 100%. Pada waktu itu, saya sudah merasa berhubungan batin dengan
mereka, tetapi saya belum dapat berterus terang memperkenalkan nama saya yang
sebenarnya. Mereka mengenal saya sebagai Hussein dari Banten.
Dengan penerimaan
pilihan sebagai wakil ke konferensi Angkatan Muda di Jakarta pada bulan Juni
1945 itu dan dengan percakapan dengan beberapa anggota pemuda, maka saya merasa
menginjak tingkat yang lebih dalam usaha saya mencari perhubungan yang lebih
mendalam dan lebih meluas dengan rakyat Indonesia. Saya merasa agak kurangnya
himpitan kemiliteran Jepang yang agak kuatnya tantangan dari prajurit sukarela
(Blitar), Rakyat (Tasikmalaya dan Indramayu) dan dari pihak pemuda umumnya
(Angkatan Muda dan Angkatan Baru).
Sebab itu maka
saya tidak terkejut ataupun gentar ketika Jepang, kepala So-moo bertanya kepada
saya, apakah maksudnya konferensi yang saya kunjungi di Jakarta yang tidak jadi
itu. Seperti dalam perdebatan dengan Gico Sukarno di Bayah tempo hari itu, saya
terangkan kepada Jepang itu, bahwa Indonesia merdeka akan lebih menjamin
kemenangan terakhir.
Saya juga tidak
heran, kalau sekembalinya dari Jakarta itu saya dari K.U.P.P dipindahkan
kembali ke kantor pusat. Barangkali perhubungan saya dengan romusha, tukang,
pegawai dan rakyat dengan perantaraan K.U.P.P itu menurut para kempei-ho, akan
membahayakan Jepang, tuannya. Mungkin pula tuan “Tubagus” menghendaki K.U.P.P
buat mudah melangkah menjadi ketua B.P.3 dan mendirikan “perusahaan” penyokong
romusha. Dan K.U.P.P sendiri dengan pembagian kartunya bisa memberi kesempatan
kepada tuan “Tubagus” (bagus turunan Arab), memangnya pengurus umum Indonesia,
ketua lama B.P.2, mengesahkan kartu ini atau itu untuk kaum kerabatnya yang
terus menduduki tempat yang baik-baik di kantor pusat, bagian pembangunan,
K.U.P.P, listrik dan bengkelnya Bayah Kozan dengan tidak memandang pengalaman
dan kecakapannya. Nyata “politiknya” tuan Tubagus hendak memonopoli semua “key
position” (kedudukan yang strategis) dalam perusahaan Bayah Kozan, sedangkan
yang mengerjakan pekerjaan pelopor yang paling berat pada permulaan bukanlah
kaum Tubagus, melainkan mereka dari seberang dan Jawa Tengah. Family systemnya
kepala bagian personil orang Indonesia, ialah ketua lama B.P.P, yang masuk
golongan Tubagus juga di hari belakang diserang dan dibasmi oleh para pemuda.
Bagaimanapun juga
pemindahan saya bukannya berarti penurunan tanggung jawab dan luasnya
pekerjaan. Diantara empat bagian romu yang dikepalai oleh orang Indonesia, maka
saya diharuskan mengepalai salah satu bagian. Pekerjaan saya mengenai
pendaftaran (statistik) yang dulu terbagi atas dua bagian sekarang digabungkan
menjadi satu bagian. Statistik itu pertama mengenai pengiriman dan penerimaan
romusha untuk seluruh Bayah Kozan yang dulu dianggap satu bagian. Selainnya
daripada itu, maka statistik itu pula meliputi keadaan sakit, sembuh dan matinya
lebih kurang 15.000 yang berada seluruhnya perusahaan, yang dulunya termasuk
satu bagian pula.
Pekerjaan yang mengenai seluruh Bayah Kozan
selalu susah dan sulit. Harus diketahui, bahwa cocok dengan keinginan Jepang
untuk menjadi “Tuan besar” pada tiap-tiap bagian pekerjaan (jabatan) dan
tiap-tiap cabang (Sayah, Madur, Cimang, Cihara) maka keinginan sep-sepan itu
menular pada bangsa Indonesia. Cocok dengan main sep-sepan diantara jabatan di
Pusat dan sep-sepan antara beberapa cabang, diantara “tuan Nippon”, demikianlah
permainan sep-sepan itu dilakukan pula oleh orang Indonesia. Jadinya susah
untuk seorang pemimpin di pusat seperti dalam jabatan statistik tadi,
mendapatkan persamaan sistem dengan cabang, menerima laporan pada waktunya dari
semua cabang, supaya boleh disusun statistik yang sempurna, yang mengenai
Bayah, Pusat dan semua cabangnya, yang harus dikirimkan ke Jakarta pada tanggal
yang sudah ditetapkan. Satu cabang saja gagal mengirimkan statistik yang harus
dikerjakannya maka tidaklah di pusat dapat disusun statistik yang meliputi
seluruhnya Bayah Kozan. Koordinasi antara pusat dan cabang amat susah didapat,
banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Dengan menjabat
pekerjaan statistik itu, maka saya mendapatkan tinjauan (view, overzicht) buat keadaan romusha yang mengenai seluruhnya
perusahaan. Terutama pula dapat saya mempelajari seluk beluknya administrasi
dari perusahaan, bukan saja dipandang dari sudut teknis, ialah bagaimana
membuat statistik yang bagus, tetapi terutama pula dipandang dari sudut perhubungan
orang dan orang. Tidak kita berurusan pekerjaan serta tanggung jawab bagian
terhadap pusat saja, tetapi juga dengan soal pimpinan, soal mendapatkan
semangat kerja sama antara kita dengan kita. Ini berarti soal kecakapan
memimpin dalam suatu perusahaan besar. Buat itu tidak cukup pemimpin itu
bergantung kepada telepon saja, meminta beresnya statistik ini atau itu,
memperingatkan, memarahi atu menggertak, tetapi perlu pula dia mengadakan
personal contact, perhubungan orang dengan orang. Biasanya kalau ada personal
contact maka koordinasi yang sehat mudah dijalankan. Tetapi dengan gertak atau
sentak, biasanya sebaliknya yang didapat, sebab cabang yang jauh letaknya itu
mudah menjalankan sabotase dengan bermacam-macam alasan dan tipu muslihat.
Sekali suasana kerja sama terganggu maka sukarlah kelak memperbaikinya. Saya
melakukan koordinasi dengan sikap lain dan suara lain. Berharga amat saya
anggap pengalaman dalam administrasi itu!
Tetapi keadaan
sudah terbalik sama sekali. Jepang sudah terdesak ke sudut. Angkatan perang
Amerika sudah menduduki Okinawa. Jerman dan Italia, ialah Serikat Jepang di
Eropa sudah kalah perang. Pada ketika ini kami para pegawai dan penduduk Bayah
diperingatkan supaya pada waktu sore hadir di gedung bioskop untuk mendengarkan
pengumuman Jepang, pemimpin Bayah Kozan.
Apa yang dinamakan
pengumuman itu sebenarnya ialah pidato dua orang Jepang, pemimpin Romu dan
Direktur perusahaan sendiri, guna memperbaiki perasaan romusha, pegawai dan
rakyat yang sangat gelisah, karena peraturan pembagian baru. Menurut pembagian
baru ini maka seorang pekerja (pegawai atau romusha) akan menerima beras pukul
rata 200 gram sehari, jadi turun 50 gram. Tetapi selainnya daripada penurunan
tersebut, istri dan anak yang dahulu menerima 100 gram seorang, sekarang tidak
akan menerima apa-apa lagi.
Akibat peraturan
baru itu tentulah pekerja harus makan kurang daripada dahulu dan atau
mengirimkan, anak istri ke lain tempat. Ini mudah disebutkan, tetapi tidak
mudah dijalankan. Kemana anak istri akan dikirimkan? Dimana-mana rakyat
kekurangan makanan. Dua ratus gram sehari buat seorang pekerja Bayah Kozan
berarti, atau hidup bersama keluarga memakan 200 gram sehari, atau sendiri
memakan 200 gram sehari dan membiarkan keluarga terlantar entah dimana. Perihal
inilah yang sangat menggelisahkan seluruhnya pekerja Bayah Kozan.
Di Gedung Bioskop
pemimpin Romu mencoba memberi penerangan tentang perlunya “persatuan”. Dia mengambil perumpamaan dari rombongan lebah
yang bersatu. Karena rombongan lebah dapat mengumpulkan madu bersama-sama.
Disamping itu rombongan tadi dapat mengusir seorang “anak” yang nakal yang pada
suatu hari mau membinasakan sarang lebah itu.
Yang dimaksudkan
rombongan lebah yang bersatu itu ialah bangsa Jepang dan Indonesia dan yang
dimaksudkan dengan madu itu ialah batu arang yang harus dihasilkan sebagai
akibatnya “kerjasama” antara Jepang dan Indonesia. Akhirnya anak yang nakal
yang mau membinasakan lebah itu ialah kaum Sekutu.
Direktur Bayah
Kozan mengemukakan kepentingan batu arang buat perusahaan. Kalau tak ada batu
arang, maka kereta api tak akan berjalan
dan pabrik akan terpaksa ditutup, katanya. Dengan begitu maka “kemenangan
terakhir” masakan akan dicapai.
Semuanya orang
Jepang, semuanya pegawai hadir di dalam gedung. Ada banyak pula tukang, romusha,
mandor dan rakyat biasa yang berdiri di samping gedung bioskop yang terbuka
itu. Mendengarkan pidatonya kedua orang Jepang tersebut, hadirin merasa kecewa,
tetapi tentulah tidak seorang pun yang berani membantahnya.
Seorang pemuda
meminta saya berbicara. Tetapi saya persilahkan dia sendiri dulu memberi
sambutan. Beberapa surat kecil dilayangkan dri tangan ke tangan menuju kepada
saya meminta saya memberi pandangan.
Beberapa bisikan
dari dalam dan luar gedung, diteruskan pula kepada saya, mendesak untuk
berbicara.
Pemuda tadi,
walaupun sedikit sekali menyinggung keadaan makanan (dan pakaian) diantara
semua golongan, yang dimaksudkan sebagai syarat yang terpenting buat persatuan
dan efficiency, tetapi dengan segera dia mendapat persetujuan dari hadirin. Sesudah
berbicara dia menuju ke tempat saya meminta saya sendiri berbicara.
Bukannya apa yang
akan dibicarakan, yang saya pikirkan pada saat itu, melainkan apa akibatnya apa
yang saya bicarakan. Tetapi sudah saya pertimbangkan kekuatan Jepang di masa
itu dan keadaan Rakyat Indonesia umumnya dan keadaan penduduk Bayah khususnya.
Kebenaran, akhirnya, harus saya tegakkan.
Keringkasan pidato
saya yang agak panjang itu, adalah seperti berikut: Dengan memakai perumpamaan
Jepang kepala Ro-moo tadi sebagai “batu loncatan”, maka pada permulaan saya
benarkan maksud pidato itu, yakni: bahwa persatuan itu bisa mengakibatkan hasil
yang bagus. Tetapi saya akhiri pidato saya dengan memajukan perbedaan lebah
tadi dengan kami bangsa Indonesia, yakni: lebah itu adalah hewan yang merdeka,
merdeka mencari temannya dan merdeka mengerjakan pekerjaannya. Jadi lebah tadi
bekerja sama atas dasar kemerdekaan dan sama rata.
Dengan memakai kesimpulan direktur Bayah
Kozan, bahwa batu arang sangat penting buat kereta dan pabrik (tak ada batu
arang, tak berjalan kereta dan pabrik), maka saya bandingkan batu arang buat
kereta dan pabrik itu dengan makanan buat kita manusia, “Andaikan” kata akan
berjalan ke Malimping kereta itu memerlukan sepikul arang, sampai kemanakah
kereta sanggup berjalan dengan arang setengah pikul? Tanya saya. Setengah jalan
ke Cihara”......begitulah disambut dengan serempak.
Khalayak yang ada
diluar bioskop mulai mendesak masuk!
“Andaikan pula”
tanya saja, “kereta cuma diberi batu arang dua tiga buah saja, sampai manakah
dia sanggup berjalan?”
“Sejengkalpun
tidak, barangkali mendesuspun tidak”.....demikianlah kiranya jawab hadirin,
serempak pula. Tepuk tangan serta tertawa mulai diperdengarkan oleh khalayak
yang selama ini berdiam, pasif saja. Saya lihat orang Jepang gelisah, agak
ketakutan melihat ramai berduyun-duyun masuk dengan sikap yang agak agresif,
berlainan daripada yang sudah-sudah.
Pertanyaan saya
seterusnya kepada hadirin, apakah pada masa ini cukup untuk satu orang pekerja
setengah liter sehari. Jawab dengan: “cukup”. Pertanyaan selanjutnya, apakah
dengan pembagian setengah liter untuk seorang pekerja dalam satu hari, kita
sanggup bekerja delapan jam sehari, jawab “ya, sanggup”.
Tetapi tanya saya,
kalau cuma dapat 200 gram sehari, sedangkan anak istri mesti hidup dengan 200
gram itu, karena jarang sekali terdapat seorang bapak Indondenesia yang sampai
hati melihat anak dan istri kelaparan, berapa jamkah dia akan sanggup bekerja?
“Berjalan saja tak
akan bisa”......begitulah dijawab oleh khalayak.” Bisa berjalan, ialah menuju
ke Karet”.......saya sambut pula.
Mendengar komentar
saya ini ramai bertepuk tangan dan bersorak, hal mana tidak disukai oleh
Jepang. Karet ialah tempat rumah sakit dan dulunya tempat bergelimpangan
romusha, yang sakit atau mati. Karet masih dianggap sebagai kuburan oleh
penduduk Bayah.
Setelah saya
memberikan salah satu kesimpulan, bahwa dengan gaji F.0.40,- sehari, romusha
cuma dapat membeli sebutir pisang (harga sebuah sudah F.0.38,-), maka rapat
menjadi sangat riuh, merupakan satu “angry mob”, ramai yang marah.
“Angry mob” dan
“Jepang takut”, inilah kesan yang saya bawa pulang sekembalinya dari rapat itu.
“Akibatnya pidato
di bioskop itu jauh sekali!
Di jalan-jalan
pekerja dan penduduk Bayah bertanya kepada saya: “kapan kita menerima setengah
seliter sehari?”
Pertanyaan semacam
itu amat terburu-buru, tetapi menunjukkan betapa pentingnya soal beras untuk
Bayah di masa itu. Di mana-mana tersiar kabar, bahwa sebagian besar romusha
tambang, di gunung Madur mogok dan lari.
Seorang wakil,
pusat dari B.P.3 dari Jakarta, yang datang di Bayah pada masa itu, setelah
menengok ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan lebih dulu bahwa tak ada
Jepang, kempei-ho atau telingan yang bisa membahayakan disamping kami, dengan
berbisik-bisik bertanya kepada saya: “Benarkah ada keributan di Bayah baru-baru
ini?”
Apabila saya selidiki tanggal “keributan”
yang dimaksudkan itu, maka nyatalah bahwa tanggal itu jatuh pada waktu pidato
bioskop tadi diucapkan. Seorang petani terkemuka di Bayah, yang selalu kerja
sama dengan kami, melaporkan kepada saya, bahwa seorang dari “lain tempat”
datang kepadanya menanyakan, siapakah orang yang paling dianggap oleh rakyat
Bayah, dan bahwa dia mengemukakan nama saya. Teman petani ini sangat
mengharapkan, supaya kelak saya dimajukan menjadi anggota (Giin) Sangi Kai buat
daerah Banten.
Setelah proklamasi
Indonesia merdeka, maka saya mendapat kepastian, bahwa nama Hussein memang
sudah tercatat di kantor Kempei di Jakarta, lengkap dengan ukuran tinggi, warna
dan rupa dan semuanya tanda. Sesudah proklamasi pulalah saya tahu, bahwa seorang
Kempei-ho Bayah ada berniat melakukan
pekerjaan yang paling jahat dengan diam-diam terhadap saya, sebagai akibatnya
pidato bioskop itu. Tetapi tanpa sepengetahuan saya pula, dua orang pemuda
listrik selalu merapati si Kempei-ho tadi kalau dia berani mengangkat
senjatanya terhadap saya. Maksud itu baru saya ketahui, sesudah Proklamasi.
Kedua pemuda tadi datang menjumpai saya di Jakarta, menceritakan, bahwa apabila
Bayah sudah mendirikan Komite Nasional dan Laskar pembelaan, kedua pemuda
listrik tadi diboikot oleh teman-temannya tuan Hussein sendiri, karena kata
mereka, kedua pemuda itu dulu terlampau rapat perhubungannya dengan si
Kempei-ho tadi. Saya tak berkesempatan lagi menyelesaikan kesalah pahaman itu.
Tetapi memangnya kedua pemuda itu saya kenal baik dan memangnya pula semua
pengurus K.N.I dan laskar di Bayah sesudahnya Proklamasi adalah bekas pembantu
B.P.2 dan B.P.3 yang terkemuka dan rajin diwaktu sebelumnya Proklamasi.
Di kantor, rupanya
pada waktu Jepang hampir menyerah, sudah lama si Jepang bertanya-tanya kepada
orang Indonesia: “Siapakah Hussein itu yang sebenarnya?” tetapi tak ada
seorangpun diantara penduduk Bayah yang akan dapat memberi jawaban yang
sesungguhnya. Yang mungkin bisa memberikan penerangan yang sebenarnya, seperti
bekas sahabat dan teman sekolah atau anggota keluarga selalu dapat saya
singkiri. Dan bekas kawan separtai dengan saya, kebanyakan masih disingkirkan
di Digul.
Gugup serta
tergopoh-gopoh pada suatu hari seorang teman pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang
bekerja pada bagian So-moo, datang menceritakan, bahwa pagi tadi sidokan (opsir penyelidik Jepang) datang
ke kantor menanyakan surat permintaan Hussein, dimana riwayat saya dituliskan.
Teman pembantu itu menceritakan pula, bahwa satu dua minggu lampau terjadi pula
yang sedemikian, berhubung dengan dua orang Indo ditambang Cimang (Rosen
namanya). Dibelakangnya kedua orang Indo itu dibawa oleh Sidokan tadi ke
Serang. Yang seorang mati di dalau auto dan yang lain mati di tangan Kempei di
Serang. Oleh teman pembantu tadi diusulkan supaya saya lekas bersiap lari saja.
Saya rasa tak
perlu lari itu! Saya katakan bahwa semuanya sudah saya perhitungkan. Surat
kabar dengan berita penyerahan Jerman, Italia dan pulau Okinawanya sudah cukup
memberi keterangan yang sebenarnya kepada saya.
Besoknya saya
dipanggil berjumpa dengan Jepang, kepala So-moo
yang seperti saya sebutkan di atas mempunyai paham yang liberal. Dia bicarakan
pidato bioskop. Dia peringatkan satu rapat di Jerman, dimana akan berbicara
seorang pemimpin sosialis. Rakyat memutuskan akan pergi mengunjungi Presiden
buat mengucapkan terimakasih. Tetapi sebelum berangkat seorang pembicara
komunis mengucapkan pidato pula. Sesudah komunis itu berbicara, maka hadirin di
rapat itu berangkat ke tempat Presiden dengan maksud bukan mengucapkan terima
kasih, tetapi membunuh presiden.
“Begitu, ya, tuan
Hussein”, katanya pula, “ini contoh saya kasih bagaimana satu pidato bisa
diterima oleh “angry mob” (ramai yang amarah).
“Ya, tetapi rakyat
lebih marah, kalau perut lapar dan janji tidak ditepati”, jawab saya.
“Tetapi dimana
kita bisa dapat beras.....ditanyakannya.
“Di
Cibaliung”...............jawab saya.
“Susah
mengangkutnya”..........katanya.
“Cikar bisa
dibikin berapa saja. Kayu ada! Besi dan bengkel ada! kerbau banyak sekali di
Bayah! Jalan ada! Dahulu orang orang Indonesia juga mengangkut dengan cikar
(pedati) kerbau. Kalau dari dahulu dikerjakan, sekarang tak akan kekurangan
beras. Di Cibaliung beras bertumpuk-tumpuk. Dahulu juga kantor Bayah
berkeberatan menanam sayur sendiri. Sekarang ternyata bisa dikerjakan. Kita
sekarang selain kelebihan sayur. Banyak sayur yang busuk karena tak habis
dimakan. Demikianlah isi uraian saya. Pengurus So-moo cuma mengeluarkan napas saja. Ia selalu menerima dan
melakukan usul saya yang baik. Dia berani melihat paham melakukan usul yang
baik. Dia berani melihat paham kami yang berlainan dengan pahamnya sendiri. Dia
suka mempelajari bahasa dan adat istiadat orang Indonesia. Tetapi sekarang dia
tampaknya lesu, lemah! Beberapa orang Jepang yang lain-lain cuma duduk di atas
kursi, termenung kelihatan susah, dengan kedua kaki diangkat ke atas kursi dan
dagu diatas lututnya. Waktu itu ialah permulaan Agustus 1945. Jepang kelihatan
takut. Rupanya mereka tiada lagi memikirkan siapa orang Indonesia yang harus
ditangkap oleh orang Jepang, melainkan sebaliknya orang Indonesia yang mungkin
akan menangkap orang Jepang. Melihat suasana demikian maka saya sorongkan saja
sehelai formulir, yang sudah saya isi lebih dahulu, ialah permintaan kepada
kantor buat mengunjungi Konferensi Pemuda di Jakarta yang dijanjikan berlaku
pada permulaan Agustus itu bilamana Bung Karno, Gico Cuo Sangi In akan berbicara. Izin mengunjungi konferensi itu
dengan lekas saya peroleh, dan sebagai urusan jabatan, ialah atas ongkosnya
kantor. Para pegawai memberikan mandat penuh kepada saya sebagai wakil Bayah
Kozan. Mandat itu dibarengi pula dengan sepucuk surat kepada Bung Karno dan
Bung Hatta.
Demikianlah
akhirnya pada permulaan bulan Agustus saya menuju “ke arah Republik Indonesia”
bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih daripada
20 tahun lampau melainkan dengan kedua kaki di atas Tanah Indonesia sendiri!!
Namaku Mrs. Maria Pedro, manajer cabang JAMINAN JAMINAN. Apakah Anda memerlukan pinjaman atau hipotek atau tunjangan lainnya? Apakah Anda memerlukan pinjaman? Sudahkah anda menolak bank dan lembaga keuangan lainnya? Cari tahu lebih banyak tentang masalah keuangan di masa lalu !!! Kami memberikan pinjaman kepada perusahaan, entitas dan individu dengan harga rendah dan wajar untuk jangka waktu tetap 1-30 tahun dan enam bulan sebelum dimulainya cicilan bulanan. Anda bisa menghubungi kami melalui e-mail: (mariapedroguaranteetrustloan@gmail.com)
BalasHapusAPLIKASI DATA
1) nama:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Status perkawinan:
6) Pekerjaan:
7) Nomor Telepon:
8) posisi di tempat kerja:
9) penghasilan bulanan:
10) Jumlah pinjaman:
11) Jangka waktu pinjaman:
(12) Tujuan pinjaman:
13) Tanggal Lahir:
terima kasih
NAMA SAYA: MRS MARIA ARTIKA
BalasHapusNEGARA: INDONESIA
KOTA: BATU MALANG JATIMMY
WHATSAPP: +62 877-4316-8500
HIBAH PINJAMAN: Rp350.000.000,00
EMAIL SAYA: mariaartika27@gmail.com
Saya ingin memulai dengan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah kehidupan.
Nama saya MRS MARIA ARTIKA dan saya ingin berbagi cerita yang bagus tentang KARINA ROLAND LOAN COMPANY. Favorit, perusahaan yang mampu secara finansial membuat hidup saya berbalik.
Saya mengalami kesulitan keuangan untuk beberapa waktu dan saya harus meminjam dari teman-teman saya karena saya berharap dapat melunasinya setelah menerima pembayaran saya.
Dan ketika menghadapi hidup saya berubah menjadi yang terburuk, saya dipecat dari pekerjaan dan saya kehilangan ibu saya beberapa bulan kemudian. Setelah ibu saya dimakamkan, teman-teman saya mulai meminta uang mereka kembali.
Tetapi kompilasi saya mengira hidup saya sudah berakhir, saya sebenarnya berusaha untuk melarikan diri, sekarang TUHAN menggunakan teman dan tetangga saya Bu Rini anggraeni yang membantu saya untuk menghubungi IBU KARINA yang mengatakan bahwa teman dari Indonesaia menghubungkannya dengan IBU KARINA, jadi saya menceritakan kisah saya kepada ibu, dia meminta dokumen yang saya tunjukkan dan sebelum saya menyadarinya permintaan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000,00, sebelumnya saya telah meminta tiga perusahaan pinjaman online yang lebih baik untuk tidak membutuhkan bantuan positif, tetapi IBU KARINA ROLAND melalui pinjamannya perusahaan, KARINA ROLAND LOAN COMPANY telah mengubah hidup saya dan saya telah memutuskan sebelumnya bahwa saya akan terus membagikan cerita ini sehingga warga negara saya dapat memanfaatkannya, berharap dapat meminjamkan pinjaman kepada orang yang terkena banjir. Proses persetujuan kredit saya telah selesai dan saya telah menerima surat persetujuan dari perusahaan yang menyetujui say yes harus memberikan bank saya. Saya menerima permintaan dari bank saya yang menyatakan bahwa rekening bank saya telah dikreditkan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp350.000.000,00 yang saya minta. KARINA ROLAND LOAN COMPANY adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang nyata dan tulus di seluruh dunia, jadi jangan ragu untuk menghubungi MOTHER KARINA di saluran ini. Anda dapat menghubungi perusahaan ini melalui atau email whatsapp: karinarolandloancompany@gmail.com, whatsapp +1585 708-3478, begitulah hidup saya berubah dan saya akan terus membagikan kabar baik agar semua orang dapat melihat dan menghubungi perusahaan baik yang mengubah hidup saya .
Anda juga dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan saya atau Anda ingin bertanya kepada saya tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman saya. Ini email saya: mariaartika27@gmail.com
PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA
HANYA WHATSAPP: +1585 708-3478
NAMA FACEBOOK: KARINA ELENA ROLAND
EMAIL: KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM