Selasa, 12 April 2016

Hari-hari Terakhir Tan Malaka





BLIMBING DISERBU

Dari pihak pengikut Tan Malaka dinyatakan, bahwa berita palsu tentang akan terjadinya serangan Belanda atas Mrican dan Grogol, menyebabkan tiga kompi Sabarudin pada petang hari tanggal 18 Februari telah bergegas berangkat meninggalkan Blimbing untuk mengambil posisi di sana.[170] Tentang ‘provokasi’ ini tidak disebut-sebut lagi di manapun – sehingga tentang kebenaran adanya pun bisa diragukan. Di Blimbing jumlah pasukan yang ada sangat sedikit saja, dan itu pun oleh TNI. Beberapa hari sebelum itu Sabarudin memutuskan hubungan dengan TNI; perintah agar ia memindahkan pasukannya – kalaupun hal ini benar – ia tidak akan mengakui perintah itu.

‘Pacifik’ menulis laporan tentang penyerbuan itu.

Dengan tiba2 pada tg. 19 Pebruari 1949 jam 5.30 pagi, Blimbing dimana gerombolan Tan Malaka berada, di’gropok’ oleh kesatuan tentara ‘Matjan Kerah’ jang dipimpin oleh Kapten Sampurno. Dengan suara keras, suara didikan Djepang, Sampurno memerintahkan supaja semua orang jang berada di dalam rumah, dimana termasuk Tan Malaka, bangun dan keluar rumah dengan mengangkat tangan keatas. Barang siapa jang tidak mengangkat tangan, akan ditembak dengan seketika. Semua orang jang ada disuruh duduk berdjongkok dan disuruh membuka badju jang dipakai, kemudian digeledah dan semua surat2 dirampas. Rumah pun tidak luput dari geledahan. Dengan suara keras dan kasar jang merasa dirinja menang, Kapten Sampurno mengatakan bahwa gerombolan itu ialah ‘gerombolan perampok’ jang dipimpin oleh Majoor Sabarudin. Sesudah pengeledahan dan penangkapan selesai, penangkapan jang dilakukan dengan tjara ‘kurang adjar’, gerombolan Tan Malaka itu digiring keluar dari desa Blimbing. Dalam perdjalanan, gerombolan itu mengetahui persiapan ‘Matjan Kerah’ sangat kuat, selain bersendjataan pistol karabijn, brengun dan stengun, djuga memakai sendjata berat: 12,7 dan dipasang dimuka rumah jang dilutjuti serta disemua persimpangan2 djalan (perapatan dan pertelon).
       Ditengah djalan, gerombolan Budipranoto disatukan dengan rombongan Tan Malaka dan rombongan Sabarudin, digiring sebagai tawanan menudju kedaerah Sawahan Brebek (Ngandjuk) kl. 15 K.M. djaraknja dari Blimbing, ditahan dalam satu rumah satu rumah. Banjaknja tawanan kl. 80 orang. Tidak antara lama sesudah gerombolan tawanan itu berada di dalam rumah, pendjaga jang mengaku dirinja CPM, tergopoh2 meninggalkan tempat pendjagaanja itu. Oleh karena pendjaga sudah tidak ada, dan disebabkan sedjak pagi belum diberi minum dan sarapan, maka rombongan itu keluar, bersama2 minum dan makan diwarung2 jang berdekatan, dan oleh karena tidak seorang djuga jang mempunjai uang (uang dan harta benda mereka habis dijarah oleh ‘Matjan Kerah’), mereka memberikan bon kepada jang punja warung dengan disuruh memintaknja kepada ‘Matjan Kerah’ jang menawan mereka. Sdr. Sjamsu Harja Udaja jang membawa setjarik surat dengan memakai nama lain, surat keterangan sebagai penduduk, diberikannja kepada Sdr. Tan Malaka untuk dipakai beliau. Dikala itu hudjan sangat lebat.[171]


Laporan ini agaknya bisa dipercaya dan tidak hilang kekuatannya oleh sumber-sumber dan pernyataan-pernyataan lainnya. Sukatma, pengawal Tan Malaka itu, teringat bahwa ia ditodong bayonet pada dadanya, dan bahwa kelompoknya dikumpulkan di depan rumah dan dilucuti senjata mereka. Satu jam kemudian mereka digiring dalam barisan.[172]
Tan Malaka yang dalam piyama bergaris-garis dibawa pergi. Ia bisa menyelamatkan harta miliknya: kantung kecil dengan testamen di dalamnya, beberapa keping emas, dan sebuah jimat. Tongkatnya untuk jalan kaki ditinggalkannya.[173]
Di manakah rombongan itu berada, ketika CPM, menurut perintah Soewido, mengambilalih tahanan-tahanan itu dari Matjan Kerah? Jumlah terakhir rombongan seluruhnya sekitar dua sampai tiga ratus orang, dan menurut berbagai sumber di antara mereka sebanyak dua puluh sampai delapan puluh orang adalah tawanan.[174] Di tengah jalan rombongan itu bertambah banyak. Rombongan Tan Malaka disatukan dengan rombongan Sabarudin dan Boedipranoto. Sabaruddin dan rombongannya disergap di tempat lain di Blimbing atau di sekitarnya, dan pada mulanya digiring terpisah.[175] Pertempuran dari Matjan Kerah dengan Batalyon S diteruskan pada pagi hari 19 Desember di Desa Jatikapur, dan berlangsung sampai pukul dua tengah hari. Walaupun dengan kekuatan pasukan yang lebih kecil Matjan Kerah memenangkan pertempuran, dan juga ditangkap Sabarudin. Herdi Subekti menulis laporan tentang ini. Sabarudin tidak terkesan olehnya.

Sebagai tawanan ia selalu melotot dan berteriak-teriak minta ditembak. ‘Ayo tembak kalau berani katanya sambil melotot. Ia menudung aku. ‘Hei, kan, masih ingat di Dungus!’ katanya. Aku diam saja. ‘Mana uang itu? Kau jangan main-main! Uang itu baru saja saya bon dari Bandung! ‘Teriaknya dengan suara serak dan berat. ‘Tidak bisa Pak! Uang itu sudah jadi rampasan!’ sahutku.

Dan Herdi menyerahkan Sabarudin kepada komandannya.[176]  Boedipranoto juga ditangkap dengan cara seperti itu. Pemisahan yang semula menjadi tiga bagian itu mungkin menjelaskan tentang jumlah tawanan yang sangat berbeda. Hujan lebat yang turun telah dibenarkannya.[177] Perjalanan itu sendiri berlangsung selama tiga jam.[178] Jarak antara Blimbing dengan Sawahan sekitar 10 km, melalui tanah datar dan jalan setapak yang lumayan. Dengan demikian, kendati di bawah hujan lebat, rombongan mungkin berhasil tiba di tempat tujuan itu.[179] Detail tentang penyerahan bon-bon pinjaman kepada para pemilik warung hampir tidak mungkin direka-reka, dan membesar-besarkan kemungkinan kebenaran versi ini.

Pada pertempuran pertama tampaknya kemenangan memang pada TNI. Kejutan itu menjadi sempurna, dan di antara para tawanan adalah buron paling kakap paling besar, yakni Tan Malaka dan Sabarudin, Djalaluddin dan Djakfar. Juga Soediro mBah, Boedipranoto, dan keluarga Sabarudin serta Djalaluddin pun ikut dibawa. Tidak tampak di antara mereka Wasid Soewarto, dan Roestam Effendi berhasil lolos. Pandoe Kartawigoena sudah tidak ada di tempat, dan Abdul Djalil Muluk dalam tugas di tempat lain.[180] Tindakan lanjutan harus dilakukan oleh kesatuan-kesatuan TNI lainnya yang, apabila perlu melakukan pembubaran secara efektif terhadap Batalyon S dengan kekerasan.

Kesimpangsiuran dan kesalahpahaman

Rencana pembubaran batalyon Sabarudin menjadi kandas juga oleh intervensi Belanda. Secara rahasia operasi ‘Tijger’ sedang dipersiapkan. Sebuah operasi besar dengan Nganjuk sebagai basis penyerangan, yang harus memulihkan keamanan dan ketertiban di kawasan sebelah selatan kota, serta untuk mengamankan jalan Madiun-Kertosono yang penting itu. Komandan militer mengetahui, bahwa perwira-perwira tinggi TNI, dan juga diduga sejumlah pejabat-pejabat tinggi sipil ada di daerah itu. Perhatian khusus diminta untuk mengamat-amati jejak gerombolan-gerombolan komunis. Juga di sana mungkin ada Tan Malaka; dan di sana pula basis Batalyon Sabarudin. Pemancar Republik di Sawahan yang ternyata telah aktif kembali merupakan sasaran istimewa. Tanggal pelaksanaan operasi ditetapkan pada 19Februari.[181] Untuk pelaksanaannya satu batalyon berkekuatan 430 orang, dari Korps Speciale Troepen (KST; Korps Pasukan Istimewa) dikerahkan dari Jawa Barat. Batalyon tersebut tiba sore hari tanggal 19 Februari di Nganjuk. Disebabkan oleh keadaan jalan yang rusak, maka permulaan operasi ditunda sampai pagi hari berikut.[182]
Aksi berlangsung selama lima hari. Batalyon yang menempuh rute berbeda-beda, dimana perlu mendapat bantuan dari angkatan udara. Seluruh daerah sasaran berhasil dibersihkan dalam aksi yang ‘dengan mobilitas maksimum, tindakan cepat dan drastic, satu barisan patroli yang panjang dan aksi pertempuran siang-malam.[183] Kebanyakan kesatuan-kesatuan TNI bisa selamat dengan melarikan diri ke lereng-lereng gunung, dan bersama mereka juga para pejabat tinggi sipil dan militer, tapi tentara Belanda juga berhasil mencapai sukses. Mereka menangkap seluruh pembesar sipil di Jawa Timur. Menteri Soepeno ditembak mati. Eksekusi-eksekusi dilakukan di depan umum, menurut laporan TNI, sebagai alat untuk mengintimidasi penduduk. Usai unjuk kekuatan mereka membagi-bagi pakaian dan makanan.[184] Laporan-laporan Belanda menyatakan setiap hari terjadi ‘baku tembak sengit, yang mengakibatkan puluhan orang dari pihak lawan tewas. Temuan senjata dalam jumlah besar semakin mengherankan lagi.’ Dengan demikian,  menurut laporan Belanda tersebut, penduduk dalam keadaan sangat terkesan, sehingga atas prakarsa sendiri mereka memberikan dukungan kepada KST: memberi informasi tentang daerah-daerah lain, dan membantu dalam perbaikan jembatan dan jalan-jalan. Di pihak TNI jatuh korban tewas 93 orang, 80 buah miltrayur, 63.000 kg munisi dan berpuluh-puluh sarana angkutan dihancurkan.[185]

Kejadian yang tidak disengaja itu berpengaruh terhadap dimulainya operasi militer besar-besaran pada hari Sabtu 19 Februari dan hari Minggu 20 Februari, di suatu daerah yang berukuran kira-kira 15 x 10 Km di arah selatan Nganjuk. Sasaran dua operasi militer tersebut ialah Tan Malaka dan Sabarudin. Rencana untuk itu dipelajari dengan cermat oleh TNI; dalam aksi pembersihannya Batalyon KST mengharapkan akan bisa menangkap kedua tokoh buron tersebut. Kebetulan masih terus: Matjan Kerah segera bergerak menuju Blimbing; pasukan Belanda menamakan gerakan mereka juga ‘Tijger’. Kedua-dua macan itu memenuhi haluannya sendiri-sendiri; sehingga Tan Malaka dan Sabarudin mendapat kesempatan yang tak terduga. Kesimpangsiuran dan kesalahpahaman ternyata berpengaruh atas perkembangan peristiwa. Dengan tak terduga sekelompok tawanan dibebaskan di Sawahan, disebabkan oleh para CPM pengawal yang bergegas melarikan diri sebagai akibat dugaan bahwa pasukan Belanda sedang bergerak maju.

Tidak lama sesudah makan, lebih kurang djam 2, kedengaran gemuruhnya suara pelor Belanda jang baru datang dari Ngandjuk menudju ke Djati dan kedjurusan rumah, dimana Tan Malaka bersama kawan2nja ditahan.
      Tan Malaka bersama gerombolannja mundur meninggalkan tempat itu, menudju ke djurusan Selatan, menaiki Gunung Wilis. Sambil mundur itu, dimana dapat, Tan Malaka mengadjak dan mengandjurkan penduduk desa rupanja mempersiapkan bambu runtjing dan bersama2 menaiki Wilis.[186]

Dengan demikian tidak ada tembakan senjata dari pihak Belanda, seperti yang dinyatakan di sini, dan juga yang dibenarkan oleh informan-informan belakangan pada umumnya. Suara-suara tembakan mungkin sekali dari anak buah Sabarudin yang sedang bertempur melawan Matjan Kerah. ‘Di dekat Kedungsari mereka menembaki para penjaga yang segera lari cerai-berai. Para tahanan yang mengira, bahwa mereka itu pasukan Sampoerno juga melarikan diri [...].’[187]

Prajurit-prajurit Sabarudin yang masih tersisa segera disusun kembali, dan tentang ini dituliskan di dalam sumber lain. Di Blimbing, Matjan Kerah tidak menangkap semua anakbuah Sabarudin, beberapa dari mereka berhasil menyembunyikan diri. Seorang bernama Muchamad lolos dari Blimbing, dan dalam perjalanan untuk memperingatkan kawan-kawannya seperjuangan. Untuk itu ia segera menghubungi seorang kurir yang datang dari sebelah timur Sungai Brantas, untuk menyampaikan laporan kepada Sabarudin. Sehari sebelumnya ia ada di Datengan, 3 km dari Blimbing, yang oleh karena hari mulai menjadi gelap terpaksa tertahan di sana. Mereka melakukan tindakan bersama. Muchamad minta semua anakbuahnya dikirim ke Blimbing.

Dengan serentak segenap Pas. Bat. S menudju ke Blimbing, lebih kurang 3 Compie rieel. Sedatangnja kesana sudah tidak ada siapa2, hingga kawan2 hampir putus asa. Kebetulan dimuka rumah Pa Tua kami dengan 6 orang menemui tentara 7 orang dengan berpakaian tjentel kami kira kawan2 jang ketinggalan. Diwaktu kami tanja ‘siapa’ beberapa kali, mereka mengakui Matjan Kerah, baru disitu mulai tembak menembak antara Pas. Bat. S dengan Pas. Matjan Kerah. Mereka dikedjar hingga kedesa Patje. Disitu Pas. S mendapat keterangan dari salah satu Angg. Bat. S jang baru dilepaskan, bahwa mereka menudju desa Dampes. Pasukan terus mengedjar biarpun waktu itu hudjan lebat. Di Dampes mendapat keterangan mereka menudju ke atas gunung, tetapi hanja dikawal oleh bambu-runtjing.[188]

Anak buah Matjan Kerah yang melarikan diri memperingatkan penduduk, bahwa mereka dalam keadaan dikejar-kejar oleh tentara Belanda. Penduduk menyembunyikan diri, dan mengakibatkan anakbuah Sabarudin perlu waktu dan bersusahpayah untuk bisa menemukan, merebut kembali kepercayaan mereka, dan memperoleh informasi dari mereka.[189]

Dalam laporan ini samasekali tidak ada alasan pasti yang menyatakan tembak-menembak itu telah mengakibatkan para penjaga pemimpin-pemimpin dan kawan-kawannya yang ditahan itu melarikan diri. Dengan semuanya ini Batalyon S ternyata tidak mendapat perlawanan sedikit pun dari satuan-satuan TNI lainnya, yang menurut perintah Soewido harus bertanggungjawab terhadap pembubaran batalyon. Mengapa hal ini tidak terjadi pada saat aksi seperti telah ditetapkan? Masalah koordinasi agaknya penjelasan yang bisa diterima. Ketika itu serangan Belanda belum bisa dipakai sebagai alasan, berbeda dengan saat belakangan.

Kisah tentang pencarian Sabarudin berjalan terus:

Pasukan terus mengedjar ta’ mengenal lelah, di atas gunung kelihatan segerombolan orang dgn membawa 2 kuda. Dengan serentak 2 orang dari Pasukan mengedjarnja dan mengadakan tembakan keatas 2 kali dengan maksud: djika dikatjau oleh mereka dilepaskan dan Bapa Cdt. sekawan dapat direbut kembali. Tetapi sajang, sesudahnya ada tembakan mereka lari tunggang langgang, hanja tinggal 2 perempuan dan 2 ekor kuda. Mereka didekati oleh 2 anak tadi dan ditegor. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah pengikut Cdt. Sabarudin dan mereka lari semua itu, ialah mengira djika Pas. Matjan Kerah terus mentjarinya. Dan mendapat keterangan dari mereka bahwa Cdt. akan menudju ke Wates atau Trenggalek.

Kemudian dengan rasa sesal kawan-kawan menyusun pasukannya, guna menyatukan dengan kawan yang baru saja melarikan diri karena ketakutan itu. Mereka turun gunung pada waktu larut malam, dan hampir pagi ketika pasukan kembali tiba di jalan raya di Joko.[190]

‘Pacific’ membenarkan laporan itu, dari sudut pandang kelompok Tan Malaka. ‘Sesampainja dilereng Wilis, dari kedjauhan terdengar tembakan terus menerus dari belakang dan ketika menoleh ke belakang kelihatan gerombolan menguber terus dengan tembakan2, Rombongan Tan Malaka menjadi kelut. Rombongan penduduk menjendiri.[191]

Ternyata semuanya itu merupakan kesalahpahaman yang fatal. Pasukan Sabarudin menduga, para pengawal yang bersikap bermusuhan itu dengan cerdik beraksi untuk mengejar dan membebaskan pimpinan mereka. Tapi para pengawal sebenarnya penduduk desa yang secara spontan atau karena sedikit terpaksa menjadi ikut terlibat. Bagi mereka juga berlaku, bahwa mereka dalam ketidakpatian samasekali tentang jalannya keadaan.

Apa arti serangan Matjan Kerah dan peranan CPM? Mengapa mereka kemudian menghilang kembali? Apa yang diperbuat oleh pasukan Belanda? Apakah pasukan Surachmad dan Belanda bergabung bersama melawan ‘kaum revolusioner’ sejati? Asumsi tersebut akhir yang cocok dengan teori persekongkolan dalam pamflet-pamflet dari Markas Murba Terpendam itu, dilihat sebagai kemungkinan yang riil.[192]

Di tengah suasana panik sesudah terjadi baku tembak dan penduduk desa melarikan diri, kelompok Tan Malaka dan Sabarudin itu pun terpecah menjadi empat bagian.
I.        Berputar menudju ke Lotjeret
II.     Sembunji di djurang2 dan paginja, sesudah matahari bersinar, lari menudju Trenggalek.
III.   Rombongan Sabaradin malam bersembuji di hutan, dan paginya menudju ke desa Tarukan dilereng sebelah Timur Gunung Wilis.
IV.  Rombongan Sdr. Tan Malaka jang dikawal oleh Kapten Dimin menudju kedjurusan Modjo[...][193]


Tentang akhir kisah

Di tengah kekacauan itu sekelompok kecil pengawal Tan Malaka menyusun diri. Sabarudin memerintahkan pada Djakfar untuk membawa Tan Malaka ke Trenggalek, dengan harapan di sana TRIP akan bisa menemukan tempat tinggal yang aman baginya. Juga Kapten Dimin bersama bawahan-bawahannya Ali dan Tjut, dan Teguh, pembantu-pembatu Tan Malaka, semuanya ditemukan kembali di sini.[194] Dalam hal ini orang ketujuh ialah Sukatma, yang oleh Kapten Dimin ditunjuk sebagai pengawal Tan Malaka.[195]

Sukar untuk menjelaskan, mengapa Tan Malaka berpisah dari Sabarudin. Tentunya pertimbangan keamanan merupakan alasan yang pertama baginya. TRIP dipandang aman. Tapi perjalanan itu lewat suatu daerah yang dikuasai oleh pasukan yang loyal pada Surachmad. Apakah resiko penahanan akan lebih kecil dibanding dengan bahaya sergapan oleh Belanda di daerah sendiri? Keselamatan Tan Malaka sangat penting untuk Sabarudin seperti tampak dengan perintah kepada kepala stafnya Djakfar untuk memimpin rombongan.

Rombongan menempuh perjalanan kearah selatan selama dua hari dan dua malam. Ketika kaki kanan Tan Malaka menderita luka perjalanan selanjutnya menjadi semakin bertambah sukar.[196]

Ketika itu tanggal 21 Februari. Djakfar menuliskan kisahnya.

Kira-kira hampir magrib rombongan sampai di Gunung Kelotok, di atas. Rombongan berhenti, dan Gimin mengatakan pada saya kalau ia ingin membawa Oude heer Tan Malaka ke bawah ke rumah kawannya. Tapi saya keberatan dan melarangnya, karena hal itu bertentangan dengan perintah Komandan. Tapi Saudara Gimin bersitegang dan mengatakan pada saya: “Bung itu sudah tak bersenjata”, lalu ia menarik broekspijp (kaki celana) celananya yang di sebelah kanan, dimana terselip pistol revolver Vickers. Saudara Gimin mengatakan bahwa dia masih bersenjata dan keselamatan Gae ini dia yang akan menanggung. Dengan berat hati saya mengizinkan Sdr. Gimin membawa Oude heer Tan Malaka ke bawah untuk sementara, dan mengatakan kepadanya bahwa jangan sampai kita melanggar perintah Komandan untuk menuju ke Trenggalek. Kita harus melanjutkan ke Trenggalek dan ia menyetujui.
      Saudara Gimin menyarankan agar saya menunggu di tempat tersebut selama 1 jam. Jika dalam waktu 1 jam tidak ada sein dari bawah maka kami boleh melanjutkan perjalanan. Saya bersama Cut menunggu di atas, sedang mereka yang lain turun ke bawah. Rombongan itu terdiri dari Oude heer Tan Malaka, Kapten Gimin, Ali dan Teguh.
      Setelah 1 jam menunggu saya menyarankan kepada Cut untuk memberi sein ke bawah bahwa ini sudah 1 jam, dan kita meninggalkan tempat ini kalau mereka tidak menjawab. Setelah kita memberi sein tiga kali, ternyata tidak ada jawaban, maka kita melanjutkan perjalanan ke Trenggalek.[197]


Kisah di atas tersebut sebagian merupakan kisah yang aneh. Mengapa Djakfar membiarkan Tan Malaka pergi bersama Dimin? Bukankah lebih baik ia bersama Tan Malaka menunggu isyarat dari Dimin? Dan mengapa ia, tanpa pemeriksaan lebih dahulu, segera berangkat ke Trenggalek sesudah menunngu satu jam saja? Dialah orang pertama yang bertanggung jawab atas keselamatan Tan Malaka.

Sukatma memberikan kisahnya yang berbeda

Kira2 djam empat sore saja diperintahkan membeli sekedar makanan untuk Tan Malaka. Kelihatan dari persawahan kurang lebih satu setengah kilo ada satu djalan besar dan ada warung. Saja diperintahkan untuk beli sekedar makanan. Saja tolak sebetulnja – takut kalau nanti ada apa2 lagi. Karena mungkin kita kenal bukan tentara disitu. Pakaian kita tjompang-tjamping tjoklat diatas hitam, pakai koloran tjelana itu. Saja takut, tetapi karena kembali ke ketaatan saja sebagai bawahan, saja berangkat, beli makanan. Saja sudah punja perasaan bahwa mungkin ada apa2. Saja hanja beli, kalau tak salah enam potong pisang goreng, pulang lagi. Tetapi kembali lagi diperintahkan, saja tolak. Tetapi Pak Dimin bilang: ‘Tjepat, harus dibelikan lagi, masih kurang’. Saja kembali. Betul sadja diwarung itu ditangkap, mengakunja dari Matjan Kerah. ‘Dimana kawan?’ Mau tidak mau, sudah ditodong. Saja tundjuk, dibawa kepinggir sawah, ada gubuk disitu...Terus ditangkap semua dan dibawa ke warung.[198]

Bagaimana menyatukan dua versi ini, atau menjelaskan perbedaan antara keduanya?

 Cerita Sukatma memberikan kesan lebih bisa dipercaya daripada kisah tuturan Djakfar. Mengapa Djakfar memerkosa kebenaran?

Hal itu bisa terjadi jika ia bersama Tjut melarikan diri, ketika Sukatma kembali lagi dengan barisan TNI. Dengan begitu ia meninggalkan Tan Malaka yang terpincang-pincang begitu saja. Dengan Djakfar sebagai pimpinan rombongan melepaskan tugas pengawalan itu, jelas para pengikut Tan Malaka akan melemparkan kesalahan kepadanya. Karenanya ia tutup mulut ketika tidak lama kemudian ia bertemu dengan pimpinan Partai Murba, dan ia tetap memegang teguh pada versinya, serta barangkali dengan tetap memercayai selama bertahun-tahun kemudian. Kendatipun demikian perkembangan kejadian menjelaskan absurditas itu menurut jalannya kisah itu sendiri.[199] Dan barangkali Sukatma lupa menyebut Djakfar dan Tjut, sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman emosionalnya pada waktu belakangan. Ataukah ia ingin menaruh hormat pada dua orang itu?

Sukatma melanjutkan.

Kira2 djam 4.30 sore saja dibawa ke suat penahanan sementara. Tidak ada pertanjaan sepatah katapun, tidak ada. kira2 djam 7.15, saja disuruh tjari tukang pidjit oleh Tan Malaka – kaki kanan bungkak. 7.30 datang wanita tukang pidjit. Malam kira2 djam 11 atau 12 datang satu peleton, kurang lebih, tetapi jang masuk hanja empat orang. Hormat biasa bagaimana bawahan terhadap atasan. Katanja ‘Pak, kita diperintah mengambil bapak ini  malam’. Lalu didjawab oleh Tan Malaka, jang saja dengar, dan saja lihat tangannja mengetjung. ‘Kalau akan membawa saja dan akan membunuh saja, supaja minta idjin atau minta permisi kepada Presiden Soekarno, kata beliau. Didjawab lagi oleh pengawal: ‘Saja hanya diperintah’. Terus dibawa ditandu. Memang sudah disediakan satu tandu karena tahu sudah digotong di sawah djuga. ‘Baik, baik, saja akan pergi’, begitu. Saja ingin mengetahui belok kemana bawa djalan mana. Saja ikut ke pintu, lalu (satu kata tidak jelas). Tan Malaka dibawa sendirian. Saja tidak tahu kemana beliau pergi, kalau dibunuh beliau, pakai apa dibunuhnja; ditahan, dimana ditahannja – saja tidak tahu sama sekali. Sudah terpisah dengan beliau pada malam itu.[200]


Juga cerita Sukatma memancing pertanyaan. Ia memang tidak ditangkap Matjan Kerah. Kiranya tidak mungkin bahwa tidak kurang dari satu peleton tentara akan mengambil Tan Malaka – itu akan sangat terlalu banyak; di daerah ini, bagaimanapun, TNI bergerak dalam satuan-satuan yang sangat kecil saja. Akankah Tan Malaka meminta kekuasaan Soekarno padahal tentang dia Tan Malaka dan juga lawan-lawannya sudah tahu bahwa Soekarno sudah ditangkap oleh Belanda?
Menurut Firman Sanjoto, ketika itu Komandan Militer Onderdistrik (Kecamatan) Mojo, Tan Malaka yang tidak bisa berjalan ditangkap, sesudah pengawal-pengawalnya berhasil melarikan diri, waktu mereka melihat pasukan TNI datang. Tan Malaka mereka tinggalkan seorang diri, sehingga menjadi mangsa yang empuk bagi TNI. Pada saat melarikan diri enam orang pengawal itu bercerai-berai mencari jalannya sendiri-sendiri. Djakfar dan Tjut sampai di Trenggalek dengan selamat, empat orang lainnya tertangkap di tangan para pengejarnya.[201]

Sukatma yang tentang kejadian ini menceritakannya dalam waktu yang singkat, demikian juga halnya dengan Djakfar, berkepentingan untuk menyembunyikan tentang Tan Malaka yang mereka tinggalkan. Bagaimanapun Tan Malaka tertangkap; dan jika kita berpegang pada kebenaran cerita Sukatma, Tan Malaka luput dari pengamatan lawan-lawannya ketika di dalam tawanan, atau pada saat dibawa keluar dari tempat tahanan sementara, pada saat larut malam tanggal 21 Februari. Bagi para pengikutnya ia hilang tanpa jejak. Adapun tentang nasib selanjutnya telah dilakukan penyelidikan mendalam, tapi kabar kepastiannya tidak pernah diperoleh. Bagi Partai Murba, TNI yang saat itu beroperasi di sektor ini, merupakan sumber informasi yang hampir tidak bisa diakses. TNI sendiri memilih bungkam. Namun karena takut terhadap tindakan balas dendam pribadi dari kalangan pengikut Tan Malaka.

Bersama tahun-tahun yang berlalu hanya tampak ada lubang-lubang kecil saja pada perisai itu. Sebagai peneliti asing pada tahun 1980 dan 1986, saya memang bisa menerobos batas antara Partai Murba dan TNI, dan berusaha mengisi lubang-lubang pada jam-jam terakhir Tan Malaka.

Bagi para pengungsi yang pergi ke Blimbing dan ingin menuju Trenggalek hanya ada satu jalan yang bisa dilalui: melintasi antara Wilis dan Brantas. Menyeberangi Brantas ke arah tepi timur penuh resiko, di samping itu di sebelah timur Brantas inilah tentara Belanda berkubu. Ke arah selatan melalui lereng-lereng Gunung Wilis yang tinggi merupakan lintasan perjalanan yang tidak bisa dilalui. Karena itu semua pengungsi terperangkap di sebelah barat Kediri. Dengan begitu mereka mempunyai ruang antara Brantas dan Wilis selebar kira-kira tujuh kilometer sebagai jalan masuk, dengan jalan-jalan penghubung utara-selatan yang belum diperkeras. Keadaan ini tentu saja berakibat mereka tidak terlindung, karena juga sektor ini diperuntukkan bagi kesatuan-kesatuan TNI yang mempunyai reputasi anti-kiri. Satu kesatuan CPM ditempatkan di sini, dan ditugasi sebagai bagian dari tentara biasa, di bawah pimpinan Kapten Sugito. Juga menjaga sektor ini Kompi Dekking Komando Brigade S dari Batalyon Sabirin (kelak dinamakan Batalyon Sikatan), dipimpin oleh Letnan I Soekadji Hendrotomo, yang berumur 23 tahun dan bermarkas di Pamongan. Perwira stafnya ialah Letnan II Sukotjo, sebagai Komandan Peleton, merupakan penguasa militer tertinggi untuk daerah ini. Setelah evakuasi dari Kediri kompi ini tidak lagi mempunyai tugas sebagai pengawal Surachmad. Pada akhir Maret kompi ini sebagai kompi ketiga dan merupakan bagian dari Batalyon Sikatan, yang juga disebut Batalyon Sabirin mengikuti nama komandannya. Hendrotomo tetap sebagai komandan; sedangkan Sukotjo pindah sebagai staf brigade.[202]

Di sektor ini TNI selalu berskiap wasapada terhadap tamu yang tidak dikenal. Tentang aksi tanggal 19 Februari mungkin sekali mereka juga diberi informasi; setidak-tidaknya Jonosewojo telah melakukannya.[203] Kewaspadaan itu beroleh pahala; Tan Malaka hadiah utama bagi mereka.

Sukotjo dan anak-buahnya menangkapnya di Selopanggung, tidak jauh dari Tonggul, sebuah desa panjang di sepanjang jalan terusan ke Wilis yang berkelok-kelok.[204] Sukotjo bermarkas di Selopanggung, dan bersama stafnya yang tiga orang ia tinggal di sebuah rumah kecil.[205] Sukotjo yang tahu siapa tahananannya,  memerlukan sedikit waktu sebelum mengambil keputusan: Tan Malaka seorang komunis yang berbahaya, yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer. Sukotjo memberikan perintah; dan orang yang ditugasi menembak ialah Suradi Tekebek. Tentang ini tidak dibikin laporan atau dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tan Malaka dimakamkan di tengah hutan.[206] Agaknya itu terjadi pada petang hari 21 Februari.
Sukotjo melaporkannya kepada Hendrotomo, yang berniat mempertanggungjawabkan atas jalannya kejadian. Pada percakapan antara Hendrotomo dengan Surachmad, ia bertanya:

“Di mana Tan Malaka sekarang?”
Soekadji Hendrotomo menjawab: “Sudah ditembak mati, Pak, dan sudah ditanam”.
“Apa melalui proses?”
“Ya, proses yang singkat pengadilan perang di lapangan”, jawabnya.

Dan dengan percakapan itu masalah ini dianggap sudah cukup dibicarakan. Dan kemudian Surachmad tak mau lagi berbicara perihal ini.[207]
Tentang peranan Hendrotomo yang telah diberi jalan olehnya sendiri itu, sudah menjadi pengetahuan umum bagi kalangan terbatas sebelumnya. Ia bercerita kepada koleganya, Soedarto, yang dalam tahun 1958 pernah sekamar ketika opname di rumah sakit, bahwa tanpa perintah atasan – Soengkono atau Surachmad[208] – atas inisiatif sendiri melalui pengadilan kilat di lapangan, ia telah menjatuhkan hukuman mati pada Tan Malaka di Mojo. Sudah dalam tahun 1950 perwira intelijen Nanlohy telah mendengar desas-desus santer, bahwa atas perintah Surachamad, Hendrotomo telah menembak mati Tan Malaka. [209]

Hendrotomo dilukiskan sebagai ‘bukan seorang yang kuat, bukan seorang yang berkemauan keras, tapi seorang yuris’.[210] Orang lain menyebutnya sebagai ‘laki-laki aneh, sangat kanan, tak bisa dipercaya’. Ia konon ambil bagian dalam sidang pengadilan yang menjatuhkan hukuman pada dua orang Belanda Schmidt dan Jungschlager dalam suatu showproses yang menghebohkan (1954-1956). Karier selanjutnya berjalan dalam organisasi pengadilan militer, dan mengantarkannya dalam tahun 1974 sebagai anggota Mahkamah Militer Agung. Ia adalah Ketua Mahkamah Militer Istimewa yang dalam tahun 1964 menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap Soumokil, pemimpin gerakan separatisme Maluku Selatan.[211] Sesudah 1950 Sukotjo melanjutkan kariernya di dalam Divisi Brawijaya. Selanjutnya ia diangkat sebagai walikota Surabaya (1972-1974), dan mengakhiri kariernya dengan pangkat Brigadir Jenderal.[212]

Tekai-teki terurai?

Mengapa versi tentang tewasnya Tan Malaka yang benar ini, dan semua versi lain yang masih banyak itu, disebut sebagai tidak benar? Sampai saat Tan Malaka terpisah dari pengawal-pengawalnya kejadian sudah jelas. Di mana perpisahan itu terjadi sedikit banyak juga sudah diketahui. Versi kejadian menurut penuturan Djakfar dan Sukatma barangkali diwarnai oleh keinginan mereka untuk menjaga agar panji-panjinya tetap tak ternoda oleh Partai Murba. Terhadap pihak lain, yaitu pihak TNI, tidak ada kebutuhan untuk menawarkannya sebagai sasaran balas dendam kepada Partai Murba atau pihak pejabat tinggi, yang bersalah telah membunuh seorang tokoh nasional dengan cara-cara yang melanggar hukum. Sampai berapa jauh dan di mana terletak jawabkan? Cukup terhenti pada Sukotjo dan Hendrotomo, dan kemudian Surachmad? Dan sejauh mana yang diketahui Soengkono?

Kepada saya Suracmad berkata, bahwa ia menerima informasi tentang Tan Malaka yang tewas dalam baku tembak dengan kompi Sukotjo atau Hendrotomo. Ia teringat pada sebuah laporan tertulis dengan pensil perihal itu dari salah seorang di antara dua perwira tersebut. Juga diceritakan, bahwa Tan Malaka sudah dikuburkan oleh penduduk. Dengan begitu baginya persoalan sudah selesai.[213] Dalam ingatan kepala stafnya, Kartidjo, ia tidak pernah mendengar desas-desus tentang tewasnya Tan Malaka; apalagi melihat data setepatnya perihal ini.[214]

Apakah Surachmad bisa dipercaya? Ia contoh tentang seorang perwira tentara yang kaku, yang sangat membenci campurtangan politik di dalam pasukannya, terutama dari pihak kiri. Dalam tindakan-tindakannya sebelum serangan Belanda bulan Desember 1948, hal itu benar-benar telah berkali-kali diperlihatkannya. Jika dialah yang bertanggung jawab atas eksekusi Tan Malaka, maka dengan demikian terdedahkanlah sikapnya yang, dengan berdasarkan pada kesadarannya yang kaku, ia merasa telah mengambil keputusan yang benar. Sebagai seorang perwira purnawirawan, ketika saya mewawancarainya, sikapnya yang berjarak itu tidak lagi terlalu dipegang. Ia kelihatan jujur pada keheranannya ketika berhadapan dengan kenyataan, bahwa di kalangan Partai Murba ia dianggap sebagai bertanggung jawab atas tewasnya Tan Malaka. Ia mengatakan, tapi ini tidak benar, bahwa kepadanya tidak pernah ditanyakan sebelumnya tentang campur tangannya dalam masalah tewasnya Tan Malaka. Keterangan ini mengilustrasikan tentang perpisahan yang hampir mutlak antara kalangan Partai Murba dengan TNI, tanpa ada tukar menukar informasi sedikit pun.[215]
Menurut pola ini penuturan Firman Sanjoto sesuai dengan jalannya peristiwa. Hal yang penting bahwa ia tidak termasuk kalangan tertentu, yang memungkinkan terjadi kesepakatan tentang versi jalannya kejadian yang paling diinginkan; dan bahwa tanpa pemberitahuan sebelumnya saya muncul di rumahnya di Mojo, di mana ia menikmati pensiunnya dan menceritakan kisahnya pada saya. Sebagai Komandan dari Komando Onder Distrik Militer (KODM) Mojo, dengap pangkat sersan, ia tahu benar tentang apa yang terjadi di wilayahya, suatu hal yang tidak terjadi pada sementara rekan sejajaran lainnya. Dengan fungsinya di dalam bagian ‘teritorial’ militer, ia secara formal terlepas dari kesatuan-kesatuan yang ‘fungsional’, yang mobil, dan tidak mempunyai wilayah tetap yang ditentukan untuknya. Ia tahu tentang keadaan Tan Malaka yang tidak bisa berjalan lagi, dan kawan-kawan seperjalanannya telah melarikan diri, namun kemudian tertangkap lagi. Apa yang kemudian terjadi dengan mereka ini, sejalan dengan apa yang diceritakan oleh Sukatma tentang hal yang sama. Informasinya tentang Sukotjo dan Hendrotomo benar belaka. Selopanggung merupakan tempat kejadian yang cocok dengan gambaran umum. Sesudah eksekusi selubung kebisuan ditutupkan pada jalannya kejadian. Tidak ada laporan disampaikan ke atas. Dengan begitu sepotong demi sepotong semuanya jatuh pada tempat masing-masing.
Semuanya itu akan cocok apabila bisa diputuskan dengan merujuk pada tempat di mana Tan Malaka dikebumikan. Selopanggung dicapai melalui ‘jalan raya’, menuruni jalan terjal beberapa ratus meter ke bawah. Kemudian di sana mengalir sungai desa yang kecil. Di pinggir kali sebelah sana TNI memagih lima buah rumah, tempat Sukotjo dan anak buahnya tinggal. Tidak tampak adanya perumahana lebih banyak. Pada sebelah pos mereka itu terdapat sebidang tanah lapang, sekitar lima puluh kali seratus meter, sekarang sudah ditumbuhi semakbelukar lebat. Di situlah makam Tan Malaka mungkin bisa ditemukan. Tidak teringat sedikit pun tentang pemakaman di dalam hutan; juga tidak teringat tentang eksekusi atau desas desus seputar itu. Namun demikian eksekusi di tanah yang sangat berbukit-bukit, yang tidak mendapat perhatian itu, memang sangat mungkin terjadi.[216] Monumen peringatan tewasnya Tan Malaka diberi tempat, dan kebenaran juga bisa ditegakkan di Selopanggung tanpa memperkosa sejarah. [217]

Kesimpulan-kesimpulan di atas ditulis tahun 2007. Sesudah peluncuran buku dalam bahasa Belanda di Jakarta bulan Juli 2007, saya melakukan penelitian baru di Selopanggung dengan hasil yang mengejutkan. Temuan dan dampak penelitian tersebut diungkapkan dalam bab IV buku ini (hlm. 385-407)

Harry A. Poeze
Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia
Jilid 4: September 1948 – Desember 1949
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta 2014
(hlm. 204-224)










[170] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, III’, Pacific, 20-11-1950, Tan Malaka 1949-1956. 1956:6 dan Peringatan sewindu 1957:65 mengulangi tuturan ini. Wasid Soewarto (wawancara Jakarta, 3-10-1980) menyatakan ini perintah untuk Sabarudin untuk berangkat ke front. Seri karangan di dalam Pacific bisa dipandang sebagai ringkasan dari pengetahuan yang ada pada Partai Murba tentang keadaan pada 19 Februari, dengan sedikit nada propaganda. Dimyati 1951: 130, dikutip dalam Tamar Djaja 1975: 36, menyebut pengarang seri karangan dalam Pacific adalah Hasan Utomo. Seri tersebut digunakan dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:6 dan dalam ‘Hilangnja Tan Malaka, Bapak Murba & R.I.’, sebuah pernyataan dari Sekretariat Urusan Agit/Prop Dewan Partai Murba, tertanggal 19-2-1957, dalam Peringatan sewindu 1957: 61-67. Wasid Soewarto telah menyumbangkan pernyataan dalam bentuk tertulis.

[171] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka III, IV, Pacific, 20- dan 21-11-1950. Versi singkat dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:6 dan “Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan sewindu 1957: 65-66. Menurut pernyataan terakhir, dalam sebuah buku kecil untuk peredaran lebih luas, tidak disebutkan nama-nama para penyerang dan kesatuan mereka – jelas agar tidak membikin pemerintah dan TNI menjadi marah. Tamin 1968: 6-7; 1969: 1, 1970, I-II: 1-2, 1972: [3], yang mendasarkan diri pada informasi dari tiga orang pemuda yang ditangkap pada saat penyerbuan itu, dan yang dalam bulam April 1949 ia berkata, dan Sukatma – pengawal Tan Malaka – bertemu sekitar sepuluh tahun kemudian, menyebut sebanyak 65 orang laki-laki dan perempuan yang ketika itu ditangkap. Yang laki-laki hanya boleh memakai celana pendek, dan dirampasnya arloji, vulpen dan cincin mereka. Laporan lain, ‘Pertempuran di Jatim’, dari Mob. Staf Div. 1, 12-6-1949, hlm. 36, dalam Gunawi Kartosapoetro, ‘Perang Kemerdekaan ke-II; Buku sejarah documenter; Buku induk ke 1”, disusun oleh Dinas Sejarah Militer TNI-AD, 1975, hlm. 306, dalam Arsip ABRI, menyebut waktunya pada pukul empat pagi, dan jumlah tahanan sebanyak dua ratus orang – agaknya ini terlalu banyak. Tapi laporan ini menyebut CPM, di bawah perintah Sidik, sebagai pengawal – sesuai dengan perintah Soewido – yang karena ‘kekurangan penanggungan dijawab atau lain2nja membiarkan tawanan mereka melarikan diri. Seorang informan yang bisa dipercaya mengatakan kepada dinas intelijen Belanda, bahwa Sampoerno telah mengerahkan dua ratus orang pasukan orang yang didatangkan dari Banyakan (Wekelijks Terr. Inlichtingenrapport van de Tr. Cmdt Oost-Java no. 14 (10-6-1949), hlm. 3 dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 34-90). Moch. Sifun, orang kedua Sampoerno, dalam laporannya yang dikutip oleh Moehkardi 1993: 151-152, menyebut serangan itu terjadi pada pukul empat pagi, datang dari empat penjuru yang samasekali mengejutkan dan mengakibatkan sekitar seratus orang ditangkap.
[172] Wawancara Helen Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiii-cxxiv.
[173] Wwawancara Djalaludin, Jakarta 16-9-1980. Tongkat itu belakangan ditemukan dan menjadi milik Hasan Sastraatmadja
[174] Wawancara Wasid Soewarto, Jakarta, 3-10-1980 (menurut informasi dari Sabaradin);
[175] Wawancara Djalaluddin, Jakarta, 16-9-1980.
[176]  Herdi Subekti 1993: 205-206. Saat berakhirnya pertempuran tidak cocok dengan data-data lain tentang kejadian tersebut. Untuk ketepatan laporannya ia mengajukan pembelaan, bahwa ia melihat berpuluh-puluh mesin tulis yang, sayang, harus dihancurkannya, karena ia tidak bisa membawa semuanya itu.
[177] Wawancara Djalaluddin, Jakarta, 16-9-1980; ‘Verslag kedjadian sekitar Belimbing daerah Kediri, Barat Sungai Brantas pada tanggal 19-2-1949’, dalam Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34, hlm. 81-82.
[178] Wawancara Djakfar, Jakarta, 10-9-1980; Djalaluddin (wawancara Jakarta, 16-9-1980) menyebut mereka tiba di Sawahan antara pukul sembilan sampai sepuluh.
[179] Djakfar (wawancara Jakarta, 10-9-1980), berpendapat rombongan tidak mencapai lebih jauh dari Pace, sekitar empat kilometer dari Blimbing, di tengah perjalanan menuju Sawahan. Laporan dari pihak TNI menyebut tempat penahanan merka ialah Mlandangsa (‘Pertempuran di Jatim’, dari Mob. Staf Div.I, 12-6-1949, hlm.36, dalam Gunawi Kartosapoetro, ‘Perang Kemerdekaan ke II; Buku sejarah documenter; Buku induk ke-I’, disusun oleh Dinas Sejarah Militer TNI-AD, 1975, hlm. 306, dalam Arsip ABRI. Laporan dari Moch. Sifun, dalam Moehkardi 1993: 152, menyebut Mlandangan tempat rombongan tawanan akan diserang oleh Batalyon Sabarudin dan terpecah-pecah – hal tersebut itu tidak benar. Menurut Djalaluddin (wawancara, Jakarta, 16-9-1980) mereka hampir sampai di Sawahan, tapi rombongan tercerai-berai di sana. Penduduk desa di Blimbing mengatakan pada saya, pada 23-5-1996, tempat tujuan mereka di Jampes, yaitu desa antara Pace dan Sawahan. Sukatma (dalam Jarvis 1991: cxxiv), keliru ketika pada dua kilometer di luar Blimbing ia membiarkan Matjan Kerah meninggalkan rombongan oleh alasan yang tidak dijelaskan. Menurut sebuah laporan Belanda tentang Sabarudin (F.W.M. Huynen, ‘Korte biographie van Zainal Sabarudin Nasution’, 25-10-1949, hlm. 3, dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 59-314), para tahanan dibawa ke Kedungsari, empat kilometer di baratdaya Blimbing, di mana mereka hampir terkejar oleh kesatuan-kesatuan Sabarudin yang mendapat laporan tentang mereka itu.
[180] Wawancara Abdul Djalil Muluk (Jakarta, 30-8-1980). Dalam wawancaranya dengan Helen Jarvis (Jakarta, 1-11-1972) ia mengatakan, bahwa ia ditugasi mencari basis alternatif. Menurut Djakfar (wawancara 10-9-1980) Djalil mencari di timur atas perintah Tan Malaka – pada Warouw? – tempat kediaman baru untuk Tan Malaka. Wasid Soewarto (wawancara, Jakarta 3-10-1980) sedang dalam tugas informasi dan propaganda.

[181] ‘Instructie operatie “Tijger” door Staf A Divisie, Kantoor Inlichtingen’ [Instruksi operasi “Tijger” oleh Staf A Divisi, Kantor Intelijen], dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 52-187 dan NA, HKGS, GG 52-1594
[182] KNIL, KL, KST, ‘Verslag zuivering-actie “Oost-Java”, 20-4-1949, Bijlage 1, ‘Verslag zuivering-actie in omgeving Ngandjoek (“Tijger”)’ [Laporan aksi pembersihan “Jawa Timur”, 20-4-1949, Lampiran 1, ‘Laporan aksi pembersihan di sekitar Nganjuk (‘Tijger’),
[183]  De Moor 1999: 343-346. Kutipan dari hlm. 346.
[184] Chronologisch overzicht pertempuran daerah S.T.M. Kediri 10-2-1949 sampai 28-2-1949’, hlm. 7, dalam Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34, hlm. 74; Nasution 1979, C: 116-117; Wajah Pahlawan Nasional 1989: 243-244; Sudarmanto 1992: 139, 1996: 258; Sudarno 1993: 332 (dalam sebuah laporran dari Soesanto Tirtoprodjo); ‘Wekelijks overzicht en ontwik keling der toestand in het actiegebied en federaal gebied Oost-Java’, no. 109 (25-2-49): 1-2, dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 12-32.
[185] De Moor 1999:346-347; KNIL, KL, KST, ‘Verslag zuiverings-actie “Oost-Java”, 20-4-1949, Bijlage 1, ‘Verslag zuivering-actie in omgeving Nganjoek (“Tijger”)’, dalam SMG 0112/1. Korpsgeschiedenis KST.S.H. Spoor, “Beoordeling van de toesland’ (Penilaian tentang keadaan) 23-2/1-3-1949, dalam NIB 18:4, menyebut tentang akibat dari ‘gerakan besar’ di Jawa Timur adalah seribu seratus orang mati dan enam ratus ‘teroris’ ditangkap. Tabel dalam Groen 1991: 262, 264 memperlihatkan, akibat-akibat dari pengerahan ekstra dari akhir Februari sampai awal Maret hampir seribu orang tewas dan sejumlah sedikit lebih kecil tawanan perang. Untuk medan 3 (Kediri) angka korban tewas dalam paroh pertama dan kedua Februari dan Maret: 346, 982, 643 dan 339; untuk tawanan perang: 129, 487, 801 dan 502. Soengkono memindahkan markasnya dari Genjeng ke Ngluyu, dua puluh kilometer di utara Nganjuk, di daerah yang bergunung-gunung (‘Consept: Riwajat Divisi I’, hlm. 16, dalam Arsip ABRI, Dokumen Kol. Sungkono, Buku 22). Laporan dari isteri Soetomo (Sulistina Soetomo 1995:65-69) tentang pengalaman Soetomo – ia berada di dekat Sawahan – memperlihatkan kebingungannya menyaksikan perkembangan keadaan dengan terjadinya pertempuran antara Matjan Kerah, Batalyon S dan tentara Belanda. Tentang adanya Soetomo di sana juga dalam Sudarno 1993:331, 333-334 dalam sebuah pemberitaan oleh Soesanto. Soekiman yang lolos dari penangkapan atau lebih buruk lagi dari itu pada awal Maret kembali ke Yogya, ke tempat kediaman sendiri. Di sini ia tertangkap pada 25 Maret. Alasan ia kembali ke Yogya, menurutnya, mengingat pada perkembangan politik baru. Soekiman menyangkal, bahwa dengan satu dan lain cara ia telah bekerjasama dengan Tan Malaka (‘Dr. Soekiman ditangkep’, Sin Po 29-3-1949). Ia tetap dipenjara (Sin Po, 2-4-1949), walaupun berita mengabarkan sebaliknya (Sin Po, 30-3-1949). Dalam bulan Mei kembali dibebaskan; kemudian ia memberikan komentarnya terhadap persetujuan Van Roijen-Roem (‘Pro dan contra terhadep persetoedjoean!’, Sin Po, 30-3-1949). Dalam bulan Mei kembali dibebaskan; kemudian ia memberikan komentarnya terhadap persetujuan Van Roijen-Roem (‘Pro dan contra terhadep persetoedjoean!, Sin Po, 10-5-1949). Sudarsono 1993: 327-41 berisi laporan oleh Soesanto tentang pengembaraannya semasa perang gerilya. Menteri-menteri Soesanto dan Kasimo dalam bulan Mei masih di daerah gerilya (‘Mantri Soesanto dalam Kasimo masi di oetan’, Sin Po, 19-5-1949).
[186] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950, dikutip dalam Tan Malaka 1949-1956:6-7.
[187] F.W.M. Huynen, ‘Korte biographie van Zainal Sabarudin Nasution’, 25-10-1949, hlm.3, dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 59-314. ‘Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan Sewindu 1957:66 mengikut artikel dalam Pacific (lihat catatan sebelumnya), tapi dengan menambahkan, bahwa suara tembakan itu berasal dari prajurit anak-buah Batalyon S yang mencari komandan mereka, Djakfar (Laporan, Jakarta, 10-9-1980) menyebutkan pelarian karena serangan Belanda. Menurut Djalaluddin (wawancara Jakarta, 16-9-1980) rombongan terkejut oleh infanteri Belanda, dan merka melarikan diri ke arah selatan, di daerah pegunungan. Ia lupa pada episode ketika rombongan beada dalam tahanan di Sawahan.
[188] ‘Verslag kedjadian sekitar Blimbing daerah Kediri, Barat Sungai Brantas pada tanggal 19-21-1949’, Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34, hlm. 81-82. Djalaluddin (wawancara, Jakarta, 16-9-1980) juga menyebut Muchamad sebagai orang yang ditinggalkan dan disembunyikan. Menurut Tamin (1968:7, 1969:1, 1972:[3] dalam kontak senjata dua puluh empat orang dari Matjan Kerah terbunuh. Dia satu-satunya yang memberikan data seperti ini. Iwa Kusuma Sumantri 1963:188 menulis, bahwa beberapa pemuda berhasil melarikan diri dengan membawa serta dokumen-dokumen bersejarah, seperti misalnya testamen politik dari Soekarno dan Hatta.

[189] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950, dikutip dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:7. Herdi Subekti 1993:206 membenarkan tentang Matjan Kerah yang melarikan diri dari Cerme ke hutan Tunglur di dekat Bogor.

[190] ‘Verslag kedjadian sekitar Blimbing daerah Kediri, Barat Sungai Brantas pada tanggal 19-2-1949’, dalam Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34,hlm. 81-82; ‘Sedjarah hilangnja Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950; Tan Malaka 1949-1956 1956:7. Verslag Djakfar, Jakarta, 10-9-1980 mengutip Sabarudin yang menceritakan kepadanya, pada waktu mereka saling bertemu, bahwa pasukannya sendiri telah melepaskan tembakan.
[191] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV, Pacific, 21-11-1950; Tan Malaka 1949-1956 1956:7
[192] ‘Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan sewindu 1957: 67; wawancara Wasisd Soewarto, Jakarta, 3-10-1980.
[193] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV, Pacific, 21-11-1950; Tan Malaka 1949-1956 1956:7; ‘Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan sewindu 1957: 67
[194] Laporan Djakfar, Jakarta, 10-9-1980
[195] Wawancara Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv. Laporan Djakfar (Jakarta, 10-9-1980) dan wawancara Sukatna dengan Jarvis – yang didahului oleh informasinya kepada para peneliti Partai Murba tak lama sesudah peristiwa  tahun 1949 informasinya kepada peneliti Partai Murba tak lama sesudah peristiwa tahun 1949 – merupakan sumber-sumber satu-satunya tentang pengalaman perjalanannya menuju Trenggalek. Sukatma juga berbicara dengan Tamin tahun 1956 (Tamin 1968:7-8) atau paa suatu hari tahun 1959, 1960 atau 1961 (Tamin 1970:I-II:1) ketika ia mencarinya di rumahnya di Jakarta, dan disanalah ia bercerita. Jarvis 1991: cxxiii, tidak cermat menyebut tahun 1959, dan selanjutnya membicarakan tentang personalianya. Djakfar  menyebut Sukatma tidak sebagai bagian dari kelompol kecil itu; Sukatma tidak menyebut-nyebut tentang Djakfar dan Tjut. Menurut Djakfar beberapa tahun kemudian tentang hal ini, dan juga tentang hal-hal yang lain, disebabkan oleh kesalahan ingatan. Hal ini juga mungkin berlaku untuk Sukatma, tapi mungkin masih ada keterangan lain lagi. Kedua-duanya juga sama-sama kurang cermat dalam tuturan mereka tentang penyerangan di Blimbing dan peristiwa-peristiwa tentang terpecah-pecahnya kelompok Sabarudin.
[196] Wawancara Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv. Djakfar (wawancara, Jakarta, 10-9-1980) menyatakan, bahwa rombongan hanya menempuh perjalanan selama beberapa jam saja. Jarak yang ditempuh mungkin hanya beberapa puluh kilometer. Medan yang sangat berbukit-bukit, dari pengelihatan dan pengalaman saya sendiri, membikin perjalanan menjadi sangat perlahan; keharusan untuk tetap tidak terlihat oleh penduduk desa dan pasukan TNI, dan juga karena luka kaki Tan Malaka, semuanya menunjukkan bahwa Sukatma benar tentang lamanya waktu perjalanan.
[197] Laporan Djakfar, Jakarta, 10-9-1980. Tan Malaka disebut ‘Oude heer’ (tuan tua) oleh pengikutnya.
[198] Wawancara Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv.
[199] Juga ketika saya mewawancarai Djakfar pada tahun 1980, dan menuliskan keterangannya untuk saya, hal itu terjadi dalam kaitan dengan para pendukung lama Partai Murba. Juga selain itu sudah sejak beberapa puluh tahun Djakfar tidak pernah ditanyai lagi tentang pengalamannya. ‘Gugahan’ saya tentang jaringan Murba telah memancing hasratnya ‘bereksplorasi’.
[200] Wawancara Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv-cxxv
[201] Wawancara Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1966.
[202] Lintasan kisah Sikatan 1988: 45-50, 52, 55; wawancara Surachmad, Jakarta, 12-11-1980 (ia menyebut Hendrotomo sebagai Soekadji; dari Siapa dia? 1988:133 ternyatalah, bahwa Soekadji merupakan bagian pertama dari nama Hendrotomo); Kartidjo, Jakarta, 6-11-1980; Suhario Padmodiwiryo, Jakarta, 10-11-1986; Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996 dan Soejoedi Soerachmad, Jakarta, 6-1-2005; Sam karya 1968: 179. Tentang Pamongan mungkin Firman lupa. Pada mulanya tentang pimpinan CPM dan Brigade Surachmad ditetapkan di Mojo. Tak lama kemudian dipindahkan dan Hendrotomo menetapkan markasnya di Mojo, yang dipertahankannya sampai akhir Maret. Pada 18 Februari terjadi aksi besar-besaran dari pihak Belanda yang hampir sampai di Mojo. Belakangan, mungkin setelah serangan Belanda atas Mojo bulan Mei 1949, kedudukan TNI ketika itu dipindahkan ke Pamongan tempat yang lebih tinggi (Sudarmo 1999: 95; wawancara Moh. Padang, Jakarta, 27-8-1980). Pamongan pernah merupakan tempat pertemuan pemimpin-pemimpin sipil dan militer (Sudarno 1999:333-334, dalam sebuah tuturannya dari Soesanto Tirtoprodjo).
[203]  Wawancara Jonosewojo, Jakarta, 5-11-1986.
[204] Wawancara Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996. Djakfar (Laporan, 10-9-1980) menyebut Kelotok sebagai tempat ketika ia melihat Tan Malaka yang terakhir. Gunung ini (tinggi 472 meter), tepat di arah barat Kediri, terletak lima kilometer di utara Tonggul. Wawancara Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv menyebut Parangan.
[205] Wawancara Jateni, Karsan dan Tolu, Selopanggung, 24-5-1996
[206] Wawancara Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996. Firman membenarkan data ini dalam wawancaranya di Mojo, 21-4-2005. Sebuah ‘Daftar: kekuasaan anggota Kompi III. Bn. 23 Sikatan di masa Perang Kemerdekaan/Gerilya pada tahun 1948 s/d 1951 sampai pada Reformasi I dan II, disusun oleh Paguyuban Warga Mantan Yonif 507/Sikatan, Surabaya, tanpa tahun, 10 hlm. (kopi ada pada saya) menyebut 189 nama-nama para anggota kompi, yang tidak mencantumkan nama Suradi. Menurut penyusun daftar tersebut tidak lengkap. Juga bisa terjadi Suradi oleh komandannya, Sukotjo, diikutkannya ke staf brigade.
[207] Soejoedi Soerachamad 2004: 138. Dialog ini ditandatangani oleh anak laki-laki Surachmad yang berumur 15 tahun, yang ikut hadir dalam percakapan tersebut (wawancara Soejoedi Soerachmad, Jakarta, 6-1-2005)
[208] Wawancara Soedarto, Jakarta, 26-11-1986
[209] Wawancara Domingus Nanlohy, Jakarta, 15-9-1980. Tapi Nanlohy tidak menyebut nama Hendrotomo. Ia menunjuk pada seorang kapten ketika itu, yang sekarang (1980) duduk di Mahkamah Tentara Agung. Juga Hasan Sastraatmadja dalam tahun 1980 secara tidak langsung menyebut Hendrotomo. Selanjutnya bagi saya, dalam tahun 1980 secara tidak langsung menyebut Hendrotomo. Selanjutnya bagi saya, atas dasar bahan-bahan biografis yang ada, menjadi tidak terlalu sukar untuk mencari tahu, siapa saja yang dimaksud sebagai anggota-anggota Mahkamah Agung. Kedua orang informan itu tidak berlaku sebagai sumber untuk rujukan tentang seorang hakim militer tinggi yang menjadi pembunuh Tan Malaka. Hendrotomo meninggal tahun 1982 (Siapa dia? 1988:133). Selanjutnya menjadi lebih mudah berbicara tentang kesalahannya (wawancara Jonosewojo, Jakarta, 5-11-1986); Suhario Padmodiwiryo, Jakarta, 10-11-1986; Soedarto, Jakarta, 26-11-1986). Ibu Sastraatmadja (wawancara, Jakarta, 14-11-1986) menceritakan tentang seorang kenalan baik, di atas ranjang mautnya, telah membukakan tabir tentang peranan Hendrotomo kepada Hasan Sastraatmadja. Para pendukung setia Partai Murba tidak bisa berbuat banyak dengan data tersebut, juga mereka tidak bisa mempertimbangkan bobot kebenaran data-data itu. Pengetahuan mereka itu secara tidak langsung kemungkinan bisa menjadi pegangan bagi saya untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasan Sastraatmadja (wawancara, Jakarta, 16-9-1980) menceritakan bahwa ia telah mendengar – dari Soerjadi, kepala intelijen polisi militer di daerah itu – bahwa Soejatmo, komandan CPM Jawa Timur, telah menyusun proses-verbal tentang eskekusi Tan Malaka. Tiga orang penyusun tersebut telah bersumpah untuk merahasiakan. Menurut Pamoe Rahardjo (wawancara  Jakarta, 29-8-2002) Tan Malaka ditembak mati ketika berusaha menyeberangi Brantas. Para penembaknya, atas perintah Hendrotomo, tidak tahu bahwa yang harus mereka selesaikan adalah Tan Malaka.
[210] Wawancara Soedarto, Jakarta, 26-11-1986
[211] Wawancara Suhario Padmodiwiryo, 10-11-1986. Suhario adalah sepupu ipar Hendrotomo. Dalam dua buku tentang pengadilan anti-Belanda itu (Beynon 1956 dan Schimidt 1961) nama Hedrotomo tidak disebut-sebut. 
[212]  Wawancara Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996. Sukotjo lahir di Tulungagung tahun 1921, bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School, MULO, dan Algemeene Middelbare School sampai perang pecah perang dunia, dan selanjutnya ia memasuki pendidikan ketentaraan di dalam walikota Surabaya’, Liberty no. 1066(9-2-1974):11 dan ‘Kepercayaan yang tidak sia-sia’, Gapura 5-6(1972):4-5. Ia meninggal tahun 1992 (wawancara Ibu Sukotjo, Surabaya, 20-4-2005). Ibu Sukotjo tidak tahu apa-apa tentang peranan suaminya dalam perkara tewasnya Tan Malaka. Sukotjo mendapat tempat di dalam sebuah buku tentang sketsa kehidupan dua puluh satu orang tokoh terkemuka Surabaya, sebagai para pemrakarsa modernisasi kota (Agus Wahyudi 2006)
[213] Wawancara Surachmad, Jakarta, 12-11-1980. Dengan begitu pada pokoknya Surachamad telah memberikan gambaran yang benar tentang jalannya peristiwa, sejauh yang dilaporkan kepadanya.
[214]  Wawancara Kartidjo, Jakarta, 6-11-1980. Dalam hal ini Kartidjo, apakah karena ingatannya yang buruk saja, ataukah dengan sadar hendak menyembunyikan informasi. Yang terakhir itulah yang sangat mungkin. Sukotjo adalah adik Kartidjo. Tentang hal ini pada 1980 saya masih belum tahu; Soejodi Soerachmad mengatakan pada saya tentang ini baru pada 6 Januari 2005.
[215] Tentang ini Surachmad lupa, bahwa pada awal 1951 ia dipersalahkan oleh Sjamsu Harya Udaya tentang keterlibatannya langsung pada eksekusi Tan Malaka. Ia menyangkalnya dengan keras (Pedoman, 10-2-1951, dikutip dalam D. Anderson 1976b:37, catatan 91). Sjamsu mengulanginya sekali lagi dalam Keng Po lima tahun kemudian, yang disusul dengan penyangkalan lagi oleh Surachmad, tapi diakuinya bahwa ia memerintahkan untuk menangkap ‘para pengatjau’. Tampaknya hal ini disebabkan oleh pernyataan Sjamsu dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:9. Dalam penerbitan ini juga (hlm.11) Partai Murba menyerukan kepada pemerintah, agar tentang tewasnya Tan Malaka diselidiki, dan menyerukan kepada pemerintah, agar tentang tewasnya Tan Malaka diselidiki, dan menyerukan agar mereka yang terkait menuturkan cerita mereka, di antara mereka antara lain disebut Soengkono, Surachmad, Soemarsono (kepala PAM di Kediri), Soejatmo (Komandan CPM Jawa Timur), Suprapto (Kepala Polisi Kediri), Kartidjo (Kepala Staf Surachmad) dan penggantinya Komar. Mereka tutup mulut. Tentang riwayat hidup Surachmad sebelum 1945: Soejoedi Soerachmad 2004, yang di dalamnya juga ditekankan tentang ciri-ciri wataknya.   
[216] Observasi setempat dan wawancara dengan Jateni, Karsan serta Tolu, Selopanggung, 24-5-1996; Sukardji, Pak Kjai Kodir dan Selop, Selopanggung, 21-4-2005. Pak Kjai Kodir menyebut pos Sukotjo sebagai pos CPM, dan selanjutnya di antara rombongannya Soedajat yang tewas pada 1949 di Tonggul dalam pertempuran melawan Belanda.
[217] Pada kunjungan saya yang kedua ke daerah ini, bersama dengan penganut-penganut setia PM, Asmun dan Wahjudi Nugroho (20 dan 21 April 2005), tentu saja juga dengan dengan diantar oleh Peter Bimo, yang sudah sejak lama, tetapi tanpa mengetahui penemuan-penemuan saya baru-baru ini mengumpulkan data tentang tewasnya Tan Malaka di daerah ini. Inti laporannya menyatakan, bahwa sekelompok lima orang termasuk Tan Malaka ditangkap pada 21 Februari di Petok. Semua mengatakan mereka bernama Tan Malaka. Dari lima orang itu tiga orang melarikan diri, termasuk Tan Malaka yang sebenarnya. Dua orang yang tersisa ditembak mati. Dua hari kemudian, tanggal 23 Februari, dari yang tiga orang itu Tan Malaka kembali tertangkap; dua orang pengawalnya berhasil lolos. Penangkapan terjadi di Blimbing Kidul, dekat pos tentara di perkebunan karet Secang. Ia ditembak mati, mayatnya dibiarkan tergeletak sepanjang hari. Jurukunci makam di desa itu kemudian membawa mayat tersebut ke Desa Kraton, dan di sana ia menguburkannya. Anak laki-laki jurukunci, Selamat, yang ketika itu berumur sebelas tahun, mencetakan kisah ini kepada Peter Bimo. Para pengawal yang lolos tidak terlepas dari nasib mereka yang buruk. Mereka ditangkap kembali, ditembak mati, dan mayat mereka dilempar ke sungai.
   Setelah Peter membaca catatan saya tentang hari-hari terakhir Tan Malaka – halaman-halaman tentang kisah ini sudah saya terjemahkan dan saya bawa serta – ia memberi tahu tidak mau lagi bekerja bersama kami, kecuali jika permintaannya sejumlah uang dipenuhi. Saya tidak bersedia memenuhinya (wawancara Peter Bimo, Pace, 20-4-2005).
   Dalam perjalanan kami mengelilingi daerah ini, kami menjumpai Pak Selamat di Blimbing Lor. Dia menceritakan tentang eksekusi atas seorang tak dikenal, yang berwajah seperti seorang China. Ia dibawa dari pos tentara di dekat perkebunan Sukosewu (wawancara Pak Selamat, dengan Pak Saidan dan Pak Sali, Blimbing Lor, 21-4-2005). Ia dikubur di pinggir sungai, tempat yang ketika itu kami mengunjungi. Agaknya ini bukanlah makam yang diduga Peter Bimo sebagai makam Tan Malaka – tempat makam ini tidak cocok satu sama lain; sementara itu agaknya Peter Bimo telah berbicara dengan seseorang bernama sama dengan Pak Selamat. Lawan bicara  kami ini lahir sekitar 1928.
    Di Kraton terdapat sebuah pemakaman Islam tua, di mana konon dikuburkan sejumlah anak-anak – yang beribu Jawa dan berayah Belanda – yang bekerja di Sukosewu. Apakah kuburan ini yang dimaksud oleh Peter Bimo? Sepertinya ceritanya tidak bisa dipertahankan, dan sepertinya kombinasi dari berbagai fakta dengan desas-desus di daerah itu yang dituliskan menurut ingatan kolektif.
   Ketua Partai Murba daerah itu, Wahjudi, pada kunjungan saya terdahulu mengajukan usul hendak mendirikan monumen untuk Tan Malaka di Selopanggung – tapi di dalam usul itu nama desa tidak disebut. Usul tetap tinggal usul, dengan anggaran biaya dan denah (Wahjudi Nugroho (Ketua Panitia) dan Solikin (Sekretaris), ‘Proposal proyek persiapan pembangunan obyek wisata sejarah “Loka Pralaya” Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka di Kediri, Kediri, 11-3-2001, 2 hlm.)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar