BLIMBING DISERBU
Dari pihak pengikut Tan Malaka
dinyatakan, bahwa berita palsu tentang akan terjadinya serangan Belanda atas
Mrican dan Grogol, menyebabkan tiga kompi Sabarudin pada petang hari tanggal 18
Februari telah bergegas berangkat meninggalkan Blimbing untuk mengambil posisi
di sana.[170]
Tentang ‘provokasi’ ini tidak disebut-sebut lagi di manapun – sehingga tentang
kebenaran adanya pun bisa diragukan. Di Blimbing jumlah pasukan yang ada sangat
sedikit saja, dan itu pun oleh TNI. Beberapa hari sebelum itu Sabarudin
memutuskan hubungan dengan TNI; perintah agar ia memindahkan pasukannya –
kalaupun hal ini benar – ia tidak akan mengakui perintah itu.
‘Pacifik’ menulis laporan tentang
penyerbuan itu.
Dengan tiba2 pada
tg. 19 Pebruari 1949 jam 5.30 pagi, Blimbing dimana gerombolan Tan Malaka
berada, di’gropok’ oleh kesatuan tentara ‘Matjan Kerah’ jang dipimpin oleh
Kapten Sampurno. Dengan suara keras, suara didikan Djepang, Sampurno
memerintahkan supaja semua orang jang berada di dalam rumah, dimana termasuk
Tan Malaka, bangun dan keluar rumah dengan mengangkat tangan keatas. Barang
siapa jang tidak mengangkat tangan, akan ditembak dengan seketika. Semua orang
jang ada disuruh duduk berdjongkok dan disuruh membuka badju jang dipakai,
kemudian digeledah dan semua surat2 dirampas. Rumah pun tidak luput dari
geledahan. Dengan suara keras dan kasar jang merasa dirinja menang, Kapten
Sampurno mengatakan bahwa gerombolan itu ialah ‘gerombolan perampok’ jang
dipimpin oleh Majoor Sabarudin. Sesudah pengeledahan dan penangkapan selesai,
penangkapan jang dilakukan dengan tjara ‘kurang adjar’, gerombolan Tan Malaka
itu digiring keluar dari desa Blimbing. Dalam perdjalanan, gerombolan itu
mengetahui persiapan ‘Matjan Kerah’ sangat kuat, selain bersendjataan pistol karabijn,
brengun dan stengun, djuga memakai sendjata berat: 12,7 dan dipasang dimuka
rumah jang dilutjuti serta disemua persimpangan2 djalan (perapatan dan
pertelon).
Ditengah djalan, gerombolan Budipranoto
disatukan dengan rombongan Tan Malaka dan rombongan Sabarudin, digiring sebagai
tawanan menudju kedaerah Sawahan Brebek (Ngandjuk) kl. 15 K.M. djaraknja dari
Blimbing, ditahan dalam satu rumah satu rumah. Banjaknja tawanan kl. 80 orang.
Tidak antara lama sesudah gerombolan tawanan itu berada di dalam rumah,
pendjaga jang mengaku dirinja CPM, tergopoh2 meninggalkan tempat pendjagaanja
itu. Oleh karena pendjaga sudah tidak ada, dan disebabkan sedjak pagi belum
diberi minum dan sarapan, maka rombongan itu keluar, bersama2 minum dan makan
diwarung2 jang berdekatan, dan oleh karena tidak seorang djuga jang mempunjai
uang (uang dan harta benda mereka habis dijarah oleh ‘Matjan Kerah’), mereka
memberikan bon kepada jang punja warung dengan disuruh memintaknja kepada
‘Matjan Kerah’ jang menawan mereka. Sdr. Sjamsu Harja Udaja jang membawa
setjarik surat dengan memakai nama lain, surat keterangan sebagai penduduk,
diberikannja kepada Sdr. Tan Malaka untuk dipakai beliau. Dikala itu hudjan
sangat lebat.[171]
Laporan ini agaknya bisa dipercaya
dan tidak hilang kekuatannya oleh sumber-sumber dan pernyataan-pernyataan
lainnya. Sukatma, pengawal Tan Malaka itu, teringat bahwa ia ditodong bayonet
pada dadanya, dan bahwa kelompoknya dikumpulkan di depan rumah dan dilucuti
senjata mereka. Satu jam kemudian mereka digiring dalam barisan.[172]
Tan Malaka yang dalam piyama
bergaris-garis dibawa pergi. Ia bisa menyelamatkan harta miliknya: kantung
kecil dengan testamen di dalamnya, beberapa keping emas, dan sebuah jimat.
Tongkatnya untuk jalan kaki ditinggalkannya.[173]
Di manakah rombongan itu berada,
ketika CPM, menurut perintah Soewido, mengambilalih tahanan-tahanan itu dari
Matjan Kerah? Jumlah terakhir rombongan seluruhnya sekitar dua sampai tiga
ratus orang, dan menurut berbagai sumber di antara mereka sebanyak dua puluh
sampai delapan puluh orang adalah tawanan.[174]
Di tengah jalan rombongan itu bertambah banyak. Rombongan Tan Malaka disatukan
dengan rombongan Sabarudin dan Boedipranoto. Sabaruddin dan rombongannya
disergap di tempat lain di Blimbing atau di sekitarnya, dan pada mulanya
digiring terpisah.[175]
Pertempuran dari Matjan Kerah dengan Batalyon S diteruskan pada pagi hari 19
Desember di Desa Jatikapur, dan berlangsung sampai pukul dua tengah hari.
Walaupun dengan kekuatan pasukan yang lebih kecil Matjan Kerah memenangkan pertempuran,
dan juga ditangkap Sabarudin. Herdi Subekti menulis laporan tentang ini.
Sabarudin tidak terkesan olehnya.
Sebagai tawanan ia
selalu melotot dan berteriak-teriak minta ditembak. ‘Ayo tembak kalau berani
katanya sambil melotot. Ia menudung aku. ‘Hei, kan, masih ingat di Dungus!’
katanya. Aku diam saja. ‘Mana uang itu? Kau jangan main-main! Uang itu baru
saja saya bon dari Bandung! ‘Teriaknya dengan suara serak dan berat. ‘Tidak
bisa Pak! Uang itu sudah jadi rampasan!’ sahutku.
Dan Herdi menyerahkan Sabarudin
kepada komandannya.[176] Boedipranoto juga ditangkap dengan cara
seperti itu. Pemisahan yang semula menjadi tiga bagian itu mungkin menjelaskan
tentang jumlah tawanan yang sangat berbeda. Hujan lebat yang turun telah
dibenarkannya.[177]
Perjalanan itu sendiri berlangsung selama tiga jam.[178]
Jarak antara Blimbing dengan Sawahan sekitar 10 km, melalui tanah datar dan
jalan setapak yang lumayan. Dengan demikian, kendati di bawah hujan lebat,
rombongan mungkin berhasil tiba di tempat tujuan itu.[179]
Detail tentang penyerahan bon-bon pinjaman kepada para pemilik warung hampir
tidak mungkin direka-reka, dan membesar-besarkan kemungkinan kebenaran versi
ini.
Pada pertempuran pertama tampaknya
kemenangan memang pada TNI. Kejutan itu menjadi sempurna, dan di antara para
tawanan adalah buron paling kakap paling besar, yakni Tan Malaka dan Sabarudin,
Djalaluddin dan Djakfar. Juga Soediro mBah, Boedipranoto, dan keluarga
Sabarudin serta Djalaluddin pun ikut dibawa. Tidak tampak di antara mereka
Wasid Soewarto, dan Roestam Effendi berhasil lolos. Pandoe Kartawigoena sudah
tidak ada di tempat, dan Abdul Djalil Muluk dalam tugas di tempat lain.[180]
Tindakan lanjutan harus dilakukan oleh kesatuan-kesatuan TNI lainnya yang,
apabila perlu melakukan pembubaran secara efektif terhadap Batalyon S dengan
kekerasan.
Kesimpangsiuran dan kesalahpahaman
Rencana pembubaran batalyon
Sabarudin menjadi kandas juga oleh intervensi Belanda. Secara rahasia operasi ‘Tijger’ sedang dipersiapkan. Sebuah
operasi besar dengan Nganjuk sebagai basis penyerangan, yang harus memulihkan
keamanan dan ketertiban di kawasan sebelah selatan kota, serta untuk
mengamankan jalan Madiun-Kertosono yang penting itu. Komandan militer
mengetahui, bahwa perwira-perwira tinggi TNI, dan juga diduga sejumlah
pejabat-pejabat tinggi sipil ada di daerah itu. Perhatian khusus diminta untuk
mengamat-amati jejak gerombolan-gerombolan komunis. Juga di sana mungkin ada
Tan Malaka; dan di sana pula basis Batalyon Sabarudin. Pemancar Republik di
Sawahan yang ternyata telah aktif kembali merupakan sasaran istimewa. Tanggal
pelaksanaan operasi ditetapkan pada 19Februari.[181]
Untuk pelaksanaannya satu batalyon berkekuatan 430 orang, dari Korps Speciale
Troepen (KST; Korps Pasukan Istimewa) dikerahkan dari Jawa Barat. Batalyon
tersebut tiba sore hari tanggal 19 Februari di Nganjuk. Disebabkan oleh keadaan
jalan yang rusak, maka permulaan operasi ditunda sampai pagi hari berikut.[182]
Aksi berlangsung selama lima hari.
Batalyon yang menempuh rute berbeda-beda, dimana perlu mendapat bantuan dari
angkatan udara. Seluruh daerah sasaran berhasil dibersihkan dalam aksi yang
‘dengan mobilitas maksimum, tindakan cepat dan drastic, satu barisan patroli
yang panjang dan aksi pertempuran siang-malam.[183]
Kebanyakan kesatuan-kesatuan TNI bisa selamat dengan melarikan diri ke
lereng-lereng gunung, dan bersama mereka juga para pejabat tinggi sipil dan
militer, tapi tentara Belanda juga berhasil mencapai sukses. Mereka menangkap
seluruh pembesar sipil di Jawa Timur. Menteri Soepeno ditembak mati.
Eksekusi-eksekusi dilakukan di depan umum, menurut laporan TNI, sebagai alat
untuk mengintimidasi penduduk. Usai unjuk kekuatan mereka membagi-bagi pakaian
dan makanan.[184]
Laporan-laporan Belanda menyatakan setiap hari terjadi ‘baku tembak sengit,
yang mengakibatkan puluhan orang dari pihak lawan tewas. Temuan senjata dalam
jumlah besar semakin mengherankan lagi.’ Dengan demikian, menurut laporan Belanda tersebut, penduduk
dalam keadaan sangat terkesan, sehingga atas prakarsa sendiri mereka memberikan
dukungan kepada KST: memberi informasi tentang daerah-daerah lain, dan membantu
dalam perbaikan jembatan dan jalan-jalan. Di pihak TNI jatuh korban tewas 93
orang, 80 buah miltrayur, 63.000 kg munisi dan berpuluh-puluh sarana angkutan
dihancurkan.[185]
Kejadian yang tidak disengaja itu
berpengaruh terhadap dimulainya operasi militer besar-besaran pada hari Sabtu
19 Februari dan hari Minggu 20 Februari, di suatu daerah yang berukuran
kira-kira 15 x 10 Km di arah selatan Nganjuk. Sasaran dua operasi militer
tersebut ialah Tan Malaka dan Sabarudin. Rencana untuk itu dipelajari dengan
cermat oleh TNI; dalam aksi pembersihannya Batalyon KST mengharapkan akan bisa
menangkap kedua tokoh buron tersebut. Kebetulan masih terus: Matjan Kerah
segera bergerak menuju Blimbing; pasukan Belanda menamakan gerakan mereka juga
‘Tijger’. Kedua-dua macan itu memenuhi haluannya sendiri-sendiri; sehingga Tan
Malaka dan Sabarudin mendapat kesempatan yang tak terduga. Kesimpangsiuran dan
kesalahpahaman ternyata berpengaruh atas perkembangan peristiwa. Dengan tak
terduga sekelompok tawanan dibebaskan di Sawahan, disebabkan oleh para CPM
pengawal yang bergegas melarikan diri sebagai akibat dugaan bahwa pasukan
Belanda sedang bergerak maju.
Tidak lama sesudah
makan, lebih kurang djam 2, kedengaran gemuruhnya suara pelor Belanda jang baru
datang dari Ngandjuk menudju ke Djati dan kedjurusan rumah, dimana Tan Malaka
bersama kawan2nja ditahan.
Tan Malaka bersama gerombolannja mundur
meninggalkan tempat itu, menudju ke djurusan Selatan, menaiki Gunung Wilis.
Sambil mundur itu, dimana dapat, Tan Malaka mengadjak dan mengandjurkan
penduduk desa rupanja mempersiapkan bambu runtjing dan bersama2 menaiki Wilis.[186]
Dengan demikian tidak ada tembakan
senjata dari pihak Belanda, seperti yang dinyatakan di sini, dan juga yang
dibenarkan oleh informan-informan belakangan pada umumnya. Suara-suara tembakan
mungkin sekali dari anak buah Sabarudin yang sedang bertempur melawan Matjan
Kerah. ‘Di dekat Kedungsari mereka menembaki para penjaga yang segera lari
cerai-berai. Para tahanan yang mengira, bahwa mereka itu pasukan Sampoerno juga
melarikan diri [...].’[187]
Prajurit-prajurit Sabarudin yang
masih tersisa segera disusun kembali, dan tentang ini dituliskan di dalam
sumber lain. Di Blimbing, Matjan Kerah tidak menangkap semua anakbuah
Sabarudin, beberapa dari mereka berhasil menyembunyikan diri. Seorang bernama
Muchamad lolos dari Blimbing, dan dalam perjalanan untuk memperingatkan
kawan-kawannya seperjuangan. Untuk itu ia segera menghubungi seorang kurir yang
datang dari sebelah timur Sungai Brantas, untuk menyampaikan laporan kepada
Sabarudin. Sehari sebelumnya ia ada di Datengan, 3 km dari Blimbing, yang oleh
karena hari mulai menjadi gelap terpaksa tertahan di sana. Mereka melakukan
tindakan bersama. Muchamad minta semua anakbuahnya dikirim ke Blimbing.
Dengan serentak
segenap Pas. Bat. S menudju ke Blimbing, lebih kurang 3 Compie rieel.
Sedatangnja kesana sudah tidak ada siapa2, hingga kawan2 hampir putus asa.
Kebetulan dimuka rumah Pa Tua kami dengan 6 orang menemui tentara 7 orang
dengan berpakaian tjentel kami kira kawan2 jang ketinggalan. Diwaktu kami tanja
‘siapa’ beberapa kali, mereka mengakui Matjan Kerah, baru disitu mulai tembak
menembak antara Pas. Bat. S dengan Pas. Matjan Kerah. Mereka dikedjar hingga
kedesa Patje. Disitu Pas. S mendapat keterangan dari salah satu Angg. Bat. S
jang baru dilepaskan, bahwa mereka menudju desa Dampes. Pasukan terus mengedjar
biarpun waktu itu hudjan lebat. Di Dampes mendapat keterangan mereka menudju ke
atas gunung, tetapi hanja dikawal oleh bambu-runtjing.[188]
Anak buah Matjan Kerah yang
melarikan diri memperingatkan penduduk, bahwa mereka dalam keadaan dikejar-kejar
oleh tentara Belanda. Penduduk menyembunyikan diri, dan mengakibatkan anakbuah
Sabarudin perlu waktu dan bersusahpayah untuk bisa menemukan, merebut kembali
kepercayaan mereka, dan memperoleh informasi dari mereka.[189]
Dalam laporan ini samasekali tidak
ada alasan pasti yang menyatakan tembak-menembak itu telah mengakibatkan para
penjaga pemimpin-pemimpin dan kawan-kawannya yang ditahan itu melarikan diri.
Dengan semuanya ini Batalyon S ternyata tidak mendapat perlawanan sedikit pun
dari satuan-satuan TNI lainnya, yang menurut perintah Soewido harus
bertanggungjawab terhadap pembubaran batalyon. Mengapa hal ini tidak terjadi
pada saat aksi seperti telah ditetapkan? Masalah koordinasi agaknya penjelasan
yang bisa diterima. Ketika itu serangan Belanda belum bisa dipakai sebagai
alasan, berbeda dengan saat belakangan.
Kisah tentang pencarian Sabarudin
berjalan terus:
Pasukan terus
mengedjar ta’ mengenal lelah, di atas gunung kelihatan segerombolan orang dgn
membawa 2 kuda. Dengan serentak 2 orang dari Pasukan mengedjarnja dan
mengadakan tembakan keatas 2 kali dengan maksud: djika dikatjau oleh mereka
dilepaskan dan Bapa Cdt. sekawan dapat direbut kembali. Tetapi sajang,
sesudahnya ada tembakan mereka lari tunggang langgang, hanja tinggal 2
perempuan dan 2 ekor kuda. Mereka didekati oleh 2 anak tadi dan ditegor. Mereka
mengatakan bahwa mereka adalah pengikut Cdt. Sabarudin dan mereka lari semua
itu, ialah mengira djika Pas. Matjan Kerah terus mentjarinya. Dan mendapat
keterangan dari mereka bahwa Cdt. akan menudju ke Wates atau Trenggalek.
Kemudian dengan rasa sesal
kawan-kawan menyusun pasukannya, guna menyatukan dengan kawan yang baru saja
melarikan diri karena ketakutan itu. Mereka turun gunung pada waktu larut
malam, dan hampir pagi ketika pasukan kembali tiba di jalan raya di Joko.[190]
‘Pacific’ membenarkan laporan itu,
dari sudut pandang kelompok Tan Malaka. ‘Sesampainja dilereng Wilis, dari
kedjauhan terdengar tembakan terus menerus dari belakang dan ketika menoleh ke
belakang kelihatan gerombolan menguber terus dengan tembakan2, Rombongan Tan
Malaka menjadi kelut. Rombongan penduduk menjendiri.[191]
Ternyata semuanya itu merupakan
kesalahpahaman yang fatal. Pasukan Sabarudin menduga, para pengawal yang
bersikap bermusuhan itu dengan cerdik beraksi untuk mengejar dan membebaskan
pimpinan mereka. Tapi para pengawal sebenarnya penduduk desa yang secara
spontan atau karena sedikit terpaksa menjadi ikut terlibat. Bagi mereka juga
berlaku, bahwa mereka dalam ketidakpatian samasekali tentang jalannya keadaan.
Apa arti serangan Matjan Kerah dan
peranan CPM? Mengapa mereka kemudian menghilang kembali? Apa yang diperbuat
oleh pasukan Belanda? Apakah pasukan Surachmad dan Belanda bergabung bersama
melawan ‘kaum revolusioner’ sejati? Asumsi tersebut akhir yang cocok dengan teori
persekongkolan dalam pamflet-pamflet dari Markas Murba Terpendam itu, dilihat
sebagai kemungkinan yang riil.[192]
Di tengah suasana panik sesudah
terjadi baku tembak dan penduduk desa melarikan diri, kelompok Tan Malaka dan
Sabarudin itu pun terpecah menjadi empat bagian.
I.
Berputar
menudju ke Lotjeret
II. Sembunji di djurang2 dan paginja,
sesudah matahari bersinar, lari menudju Trenggalek.
III. Rombongan Sabaradin malam bersembuji
di hutan, dan paginya menudju ke desa Tarukan dilereng sebelah Timur Gunung
Wilis.
IV. Rombongan Sdr. Tan Malaka jang
dikawal oleh Kapten Dimin menudju kedjurusan Modjo[...][193]
Tentang akhir kisah
Di tengah kekacauan itu sekelompok
kecil pengawal Tan Malaka menyusun diri. Sabarudin memerintahkan pada Djakfar
untuk membawa Tan Malaka ke Trenggalek, dengan harapan di sana TRIP akan bisa
menemukan tempat tinggal yang aman baginya. Juga Kapten Dimin bersama
bawahan-bawahannya Ali dan Tjut, dan Teguh, pembantu-pembatu Tan Malaka,
semuanya ditemukan kembali di sini.[194]
Dalam hal ini orang ketujuh ialah Sukatma, yang oleh Kapten Dimin ditunjuk
sebagai pengawal Tan Malaka.[195]
Sukar untuk menjelaskan, mengapa Tan
Malaka berpisah dari Sabarudin. Tentunya pertimbangan keamanan merupakan alasan
yang pertama baginya. TRIP dipandang aman. Tapi perjalanan itu lewat suatu
daerah yang dikuasai oleh pasukan yang loyal pada Surachmad. Apakah resiko
penahanan akan lebih kecil dibanding dengan bahaya sergapan oleh Belanda di
daerah sendiri? Keselamatan Tan Malaka sangat penting untuk Sabarudin seperti
tampak dengan perintah kepada kepala stafnya Djakfar untuk memimpin rombongan.
Rombongan menempuh perjalanan kearah
selatan selama dua hari dan dua malam. Ketika kaki kanan Tan Malaka menderita
luka perjalanan selanjutnya menjadi semakin bertambah sukar.[196]
Ketika itu tanggal 21 Februari.
Djakfar menuliskan kisahnya.
Kira-kira hampir
magrib rombongan sampai di Gunung Kelotok, di atas. Rombongan berhenti, dan
Gimin mengatakan pada saya kalau ia ingin membawa Oude heer Tan Malaka ke bawah ke rumah kawannya. Tapi saya keberatan
dan melarangnya, karena hal itu bertentangan dengan perintah Komandan. Tapi
Saudara Gimin bersitegang dan mengatakan pada saya: “Bung itu sudah tak
bersenjata”, lalu ia menarik broekspijp
(kaki celana) celananya yang di sebelah kanan, dimana terselip pistol revolver Vickers. Saudara Gimin
mengatakan bahwa dia masih bersenjata dan keselamatan Gae ini dia yang akan
menanggung. Dengan berat hati saya mengizinkan Sdr. Gimin membawa Oude heer Tan Malaka ke bawah untuk
sementara, dan mengatakan kepadanya bahwa jangan sampai kita melanggar perintah
Komandan untuk menuju ke Trenggalek. Kita harus melanjutkan ke Trenggalek dan
ia menyetujui.
Saudara
Gimin menyarankan agar saya menunggu di tempat tersebut selama 1 jam. Jika
dalam waktu 1 jam tidak ada sein dari bawah maka kami boleh melanjutkan
perjalanan. Saya bersama Cut menunggu di atas, sedang mereka yang lain turun ke
bawah. Rombongan itu terdiri dari Oude heer Tan Malaka, Kapten Gimin, Ali dan
Teguh.
Setelah 1 jam menunggu saya menyarankan
kepada Cut untuk memberi sein ke bawah bahwa ini sudah 1 jam, dan kita
meninggalkan tempat ini kalau mereka tidak menjawab. Setelah kita memberi sein
tiga kali, ternyata tidak ada jawaban, maka kita melanjutkan perjalanan ke
Trenggalek.[197]
Kisah di atas tersebut sebagian
merupakan kisah yang aneh. Mengapa Djakfar membiarkan Tan Malaka pergi bersama
Dimin? Bukankah lebih baik ia bersama Tan Malaka menunggu isyarat dari Dimin?
Dan mengapa ia, tanpa pemeriksaan lebih dahulu, segera berangkat ke Trenggalek
sesudah menunngu satu jam saja? Dialah orang pertama yang bertanggung jawab
atas keselamatan Tan Malaka.
Sukatma memberikan kisahnya yang
berbeda
Kira2 djam empat
sore saja diperintahkan membeli sekedar makanan untuk Tan Malaka. Kelihatan
dari persawahan kurang lebih satu setengah kilo ada satu djalan besar dan ada
warung. Saja diperintahkan untuk beli sekedar makanan. Saja tolak sebetulnja –
takut kalau nanti ada apa2 lagi. Karena mungkin kita kenal bukan tentara
disitu. Pakaian kita tjompang-tjamping tjoklat diatas hitam, pakai koloran
tjelana itu. Saja takut, tetapi karena kembali ke ketaatan saja sebagai
bawahan, saja berangkat, beli makanan. Saja sudah punja perasaan bahwa mungkin
ada apa2. Saja hanja beli, kalau tak salah enam potong pisang goreng, pulang lagi.
Tetapi kembali lagi diperintahkan, saja tolak. Tetapi Pak Dimin bilang:
‘Tjepat, harus dibelikan lagi, masih kurang’. Saja kembali. Betul sadja
diwarung itu ditangkap, mengakunja dari Matjan Kerah. ‘Dimana kawan?’ Mau tidak
mau, sudah ditodong. Saja tundjuk, dibawa kepinggir sawah, ada gubuk
disitu...Terus ditangkap semua dan dibawa ke warung.[198]
Bagaimana menyatukan dua versi ini,
atau menjelaskan perbedaan antara keduanya?
Cerita Sukatma memberikan kesan lebih bisa
dipercaya daripada kisah tuturan Djakfar. Mengapa Djakfar memerkosa kebenaran?
Hal itu bisa terjadi jika ia bersama
Tjut melarikan diri, ketika Sukatma kembali lagi dengan barisan TNI. Dengan
begitu ia meninggalkan Tan Malaka yang terpincang-pincang begitu saja. Dengan
Djakfar sebagai pimpinan rombongan melepaskan tugas pengawalan itu, jelas para
pengikut Tan Malaka akan melemparkan kesalahan kepadanya. Karenanya ia tutup
mulut ketika tidak lama kemudian ia bertemu dengan pimpinan Partai Murba, dan
ia tetap memegang teguh pada versinya, serta barangkali dengan tetap memercayai
selama bertahun-tahun kemudian. Kendatipun demikian perkembangan kejadian
menjelaskan absurditas itu menurut jalannya kisah itu sendiri.[199]
Dan barangkali Sukatma lupa menyebut Djakfar dan Tjut, sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman
emosionalnya pada waktu belakangan. Ataukah ia ingin menaruh hormat pada dua
orang itu?
Sukatma melanjutkan.
Kira2 djam 4.30
sore saja dibawa ke suat penahanan sementara. Tidak ada pertanjaan sepatah
katapun, tidak ada. kira2 djam 7.15, saja disuruh tjari tukang pidjit oleh Tan
Malaka – kaki kanan bungkak. 7.30 datang wanita tukang pidjit. Malam kira2 djam
11 atau 12 datang satu peleton, kurang lebih, tetapi jang masuk hanja empat
orang. Hormat biasa bagaimana bawahan terhadap atasan. Katanja ‘Pak, kita
diperintah mengambil bapak ini malam’.
Lalu didjawab oleh Tan Malaka, jang saja dengar, dan saja lihat tangannja
mengetjung. ‘Kalau akan membawa saja dan akan membunuh saja, supaja minta idjin
atau minta permisi kepada Presiden Soekarno, kata beliau. Didjawab lagi oleh
pengawal: ‘Saja hanya diperintah’. Terus dibawa ditandu. Memang sudah
disediakan satu tandu karena tahu sudah digotong di sawah djuga. ‘Baik, baik,
saja akan pergi’, begitu. Saja ingin mengetahui belok kemana bawa djalan mana.
Saja ikut ke pintu, lalu (satu kata tidak jelas). Tan Malaka dibawa sendirian.
Saja tidak tahu kemana beliau pergi, kalau dibunuh beliau, pakai apa
dibunuhnja; ditahan, dimana ditahannja – saja tidak tahu sama sekali. Sudah
terpisah dengan beliau pada malam itu.[200]
Juga cerita Sukatma memancing
pertanyaan. Ia memang tidak ditangkap Matjan Kerah. Kiranya tidak mungkin bahwa
tidak kurang dari satu peleton tentara akan mengambil Tan Malaka – itu akan
sangat terlalu banyak; di daerah ini, bagaimanapun, TNI bergerak dalam
satuan-satuan yang sangat kecil saja. Akankah Tan Malaka meminta kekuasaan
Soekarno padahal tentang dia Tan Malaka dan juga lawan-lawannya sudah tahu
bahwa Soekarno sudah ditangkap oleh Belanda?
Menurut Firman Sanjoto, ketika itu
Komandan Militer Onderdistrik (Kecamatan) Mojo, Tan Malaka yang tidak bisa
berjalan ditangkap, sesudah pengawal-pengawalnya berhasil melarikan diri, waktu
mereka melihat pasukan TNI datang. Tan Malaka mereka tinggalkan seorang diri,
sehingga menjadi mangsa yang empuk bagi TNI. Pada saat melarikan diri enam
orang pengawal itu bercerai-berai mencari jalannya sendiri-sendiri. Djakfar dan
Tjut sampai di Trenggalek dengan selamat, empat orang lainnya tertangkap di
tangan para pengejarnya.[201]
Sukatma yang tentang kejadian ini
menceritakannya dalam waktu yang singkat, demikian juga halnya dengan Djakfar,
berkepentingan untuk menyembunyikan tentang Tan Malaka yang mereka tinggalkan.
Bagaimanapun Tan Malaka tertangkap; dan jika kita berpegang pada kebenaran
cerita Sukatma, Tan Malaka luput dari pengamatan lawan-lawannya ketika di dalam
tawanan, atau pada saat dibawa keluar dari tempat tahanan sementara, pada saat
larut malam tanggal 21 Februari. Bagi para pengikutnya ia hilang tanpa jejak.
Adapun tentang nasib selanjutnya telah dilakukan penyelidikan mendalam, tapi
kabar kepastiannya tidak pernah diperoleh. Bagi Partai Murba, TNI yang saat itu
beroperasi di sektor ini, merupakan sumber informasi yang hampir tidak bisa
diakses. TNI sendiri memilih bungkam. Namun karena takut terhadap tindakan
balas dendam pribadi dari kalangan pengikut Tan Malaka.
Bersama tahun-tahun yang berlalu
hanya tampak ada lubang-lubang kecil saja pada perisai itu. Sebagai peneliti
asing pada tahun 1980 dan 1986, saya memang bisa menerobos batas antara Partai
Murba dan TNI, dan berusaha mengisi lubang-lubang pada jam-jam terakhir Tan
Malaka.
Bagi para pengungsi yang pergi ke
Blimbing dan ingin menuju Trenggalek hanya ada satu jalan yang bisa dilalui:
melintasi antara Wilis dan Brantas. Menyeberangi Brantas ke arah tepi timur
penuh resiko, di samping itu di sebelah timur Brantas inilah tentara Belanda
berkubu. Ke arah selatan melalui lereng-lereng Gunung Wilis yang tinggi
merupakan lintasan perjalanan yang tidak bisa dilalui. Karena itu semua
pengungsi terperangkap di sebelah barat Kediri. Dengan begitu mereka mempunyai
ruang antara Brantas dan Wilis selebar kira-kira tujuh kilometer sebagai jalan
masuk, dengan jalan-jalan penghubung utara-selatan yang belum diperkeras.
Keadaan ini tentu saja berakibat mereka tidak terlindung, karena juga sektor
ini diperuntukkan bagi kesatuan-kesatuan TNI yang mempunyai reputasi anti-kiri.
Satu kesatuan CPM ditempatkan di sini, dan ditugasi sebagai bagian dari tentara
biasa, di bawah pimpinan Kapten Sugito. Juga menjaga sektor ini Kompi Dekking
Komando Brigade S dari Batalyon Sabirin (kelak dinamakan Batalyon Sikatan),
dipimpin oleh Letnan I Soekadji Hendrotomo, yang berumur 23 tahun dan bermarkas
di Pamongan. Perwira stafnya ialah Letnan II Sukotjo, sebagai Komandan Peleton,
merupakan penguasa militer tertinggi untuk daerah ini. Setelah evakuasi dari
Kediri kompi ini tidak lagi mempunyai tugas sebagai pengawal Surachmad. Pada
akhir Maret kompi ini sebagai kompi ketiga dan merupakan bagian dari Batalyon
Sikatan, yang juga disebut Batalyon Sabirin mengikuti nama komandannya.
Hendrotomo tetap sebagai komandan; sedangkan Sukotjo pindah sebagai staf
brigade.[202]
Di sektor ini TNI selalu berskiap
wasapada terhadap tamu yang tidak dikenal. Tentang aksi tanggal 19 Februari
mungkin sekali mereka juga diberi informasi; setidak-tidaknya Jonosewojo telah
melakukannya.[203] Kewaspadaan
itu beroleh pahala; Tan Malaka hadiah utama bagi mereka.
Sukotjo dan anak-buahnya
menangkapnya di Selopanggung, tidak jauh dari Tonggul, sebuah desa panjang di
sepanjang jalan terusan ke Wilis yang berkelok-kelok.[204]
Sukotjo bermarkas di Selopanggung, dan bersama stafnya yang tiga orang ia
tinggal di sebuah rumah kecil.[205]
Sukotjo yang tahu siapa tahananannya,
memerlukan sedikit waktu sebelum mengambil keputusan: Tan Malaka seorang
komunis yang berbahaya, yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer.
Sukotjo memberikan perintah; dan orang yang ditugasi menembak ialah Suradi
Tekebek. Tentang ini tidak dibikin laporan atau dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Tan Malaka dimakamkan di tengah hutan.[206]
Agaknya itu terjadi pada petang hari 21 Februari.
Sukotjo melaporkannya kepada
Hendrotomo, yang berniat mempertanggungjawabkan atas jalannya kejadian. Pada
percakapan antara Hendrotomo dengan Surachmad, ia bertanya:
“Di mana Tan Malaka
sekarang?”
Soekadji Hendrotomo
menjawab: “Sudah ditembak mati, Pak, dan sudah ditanam”.
“Apa melalui
proses?”
“Ya, proses yang
singkat pengadilan perang di lapangan”, jawabnya.
Dan dengan percakapan itu masalah
ini dianggap sudah cukup dibicarakan. Dan kemudian Surachmad tak mau lagi
berbicara perihal ini.[207]
Tentang peranan Hendrotomo yang
telah diberi jalan olehnya sendiri itu, sudah menjadi pengetahuan umum bagi
kalangan terbatas sebelumnya. Ia bercerita kepada koleganya, Soedarto, yang
dalam tahun 1958 pernah sekamar ketika opname di rumah sakit, bahwa tanpa
perintah atasan – Soengkono atau Surachmad[208]
– atas inisiatif sendiri melalui pengadilan kilat di lapangan, ia telah
menjatuhkan hukuman mati pada Tan Malaka di Mojo. Sudah dalam tahun 1950
perwira intelijen Nanlohy telah mendengar desas-desus santer, bahwa atas
perintah Surachamad, Hendrotomo telah menembak mati Tan Malaka. [209]
Hendrotomo dilukiskan sebagai ‘bukan
seorang yang kuat, bukan seorang yang berkemauan keras, tapi seorang yuris’.[210]
Orang lain menyebutnya sebagai ‘laki-laki aneh, sangat kanan, tak bisa
dipercaya’. Ia konon ambil bagian dalam sidang pengadilan yang menjatuhkan
hukuman pada dua orang Belanda Schmidt dan Jungschlager dalam suatu showproses
yang menghebohkan (1954-1956). Karier selanjutnya berjalan dalam organisasi pengadilan
militer, dan mengantarkannya dalam tahun 1974 sebagai anggota Mahkamah Militer
Agung. Ia adalah Ketua Mahkamah Militer Istimewa yang dalam tahun 1964
menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap Soumokil, pemimpin gerakan
separatisme Maluku Selatan.[211]
Sesudah 1950 Sukotjo melanjutkan kariernya di dalam Divisi Brawijaya.
Selanjutnya ia diangkat sebagai walikota Surabaya (1972-1974), dan mengakhiri
kariernya dengan pangkat Brigadir Jenderal.[212]
Tekai-teki terurai?
Mengapa versi tentang tewasnya Tan
Malaka yang benar ini, dan semua versi lain yang masih banyak itu, disebut
sebagai tidak benar? Sampai saat Tan Malaka terpisah dari pengawal-pengawalnya
kejadian sudah jelas. Di mana perpisahan itu terjadi sedikit banyak juga sudah
diketahui. Versi kejadian menurut penuturan Djakfar dan Sukatma barangkali
diwarnai oleh keinginan mereka untuk menjaga agar panji-panjinya tetap tak
ternoda oleh Partai Murba. Terhadap pihak lain, yaitu pihak TNI, tidak ada
kebutuhan untuk menawarkannya sebagai sasaran balas dendam kepada Partai Murba
atau pihak pejabat tinggi, yang bersalah telah membunuh seorang tokoh nasional
dengan cara-cara yang melanggar hukum. Sampai berapa jauh dan di mana terletak
jawabkan? Cukup terhenti pada Sukotjo dan Hendrotomo, dan kemudian Surachmad?
Dan sejauh mana yang diketahui Soengkono?
Kepada saya Suracmad berkata, bahwa
ia menerima informasi tentang Tan Malaka yang tewas dalam baku tembak dengan
kompi Sukotjo atau Hendrotomo. Ia teringat pada sebuah laporan tertulis dengan
pensil perihal itu dari salah seorang di antara dua perwira tersebut. Juga
diceritakan, bahwa Tan Malaka sudah dikuburkan oleh penduduk. Dengan begitu
baginya persoalan sudah selesai.[213]
Dalam ingatan kepala stafnya, Kartidjo, ia tidak pernah mendengar desas-desus
tentang tewasnya Tan Malaka; apalagi melihat data setepatnya perihal ini.[214]
Apakah Surachmad bisa dipercaya? Ia
contoh tentang seorang perwira tentara yang kaku, yang sangat membenci
campurtangan politik di dalam pasukannya, terutama dari pihak kiri. Dalam
tindakan-tindakannya sebelum serangan Belanda bulan Desember 1948, hal itu
benar-benar telah berkali-kali diperlihatkannya. Jika dialah yang bertanggung
jawab atas eksekusi Tan Malaka, maka dengan demikian terdedahkanlah sikapnya
yang, dengan berdasarkan pada kesadarannya yang kaku, ia merasa telah mengambil
keputusan yang benar. Sebagai seorang perwira purnawirawan, ketika saya
mewawancarainya, sikapnya yang berjarak itu tidak lagi terlalu dipegang. Ia
kelihatan jujur pada keheranannya ketika berhadapan dengan kenyataan, bahwa di
kalangan Partai Murba ia dianggap sebagai bertanggung jawab atas tewasnya Tan
Malaka. Ia mengatakan, tapi ini tidak benar, bahwa kepadanya tidak pernah
ditanyakan sebelumnya tentang campur tangannya dalam masalah tewasnya Tan
Malaka. Keterangan ini mengilustrasikan tentang perpisahan yang hampir mutlak
antara kalangan Partai Murba dengan TNI, tanpa ada tukar menukar informasi
sedikit pun.[215]
Menurut pola ini penuturan Firman
Sanjoto sesuai dengan jalannya peristiwa. Hal yang penting bahwa ia tidak
termasuk kalangan tertentu, yang memungkinkan terjadi kesepakatan tentang versi
jalannya kejadian yang paling diinginkan; dan bahwa tanpa pemberitahuan
sebelumnya saya muncul di rumahnya di Mojo, di mana ia menikmati pensiunnya dan
menceritakan kisahnya pada saya. Sebagai Komandan dari Komando Onder Distrik
Militer (KODM) Mojo, dengap pangkat sersan, ia tahu benar tentang apa yang
terjadi di wilayahya, suatu hal yang tidak terjadi pada sementara rekan
sejajaran lainnya. Dengan fungsinya di dalam bagian ‘teritorial’ militer, ia
secara formal terlepas dari kesatuan-kesatuan yang ‘fungsional’, yang mobil,
dan tidak mempunyai wilayah tetap yang ditentukan untuknya. Ia tahu tentang
keadaan Tan Malaka yang tidak bisa berjalan lagi, dan kawan-kawan
seperjalanannya telah melarikan diri, namun kemudian tertangkap lagi. Apa yang
kemudian terjadi dengan mereka ini, sejalan dengan apa yang diceritakan oleh
Sukatma tentang hal yang sama. Informasinya tentang Sukotjo dan Hendrotomo benar
belaka. Selopanggung merupakan tempat kejadian yang cocok dengan gambaran umum.
Sesudah eksekusi selubung kebisuan ditutupkan pada jalannya kejadian. Tidak ada
laporan disampaikan ke atas. Dengan begitu sepotong demi sepotong semuanya
jatuh pada tempat masing-masing.
Semuanya itu akan cocok apabila bisa
diputuskan dengan merujuk pada tempat di mana Tan Malaka dikebumikan.
Selopanggung dicapai melalui ‘jalan raya’, menuruni jalan terjal beberapa ratus
meter ke bawah. Kemudian di sana mengalir sungai desa yang kecil. Di pinggir
kali sebelah sana TNI memagih lima buah rumah, tempat Sukotjo dan anak buahnya
tinggal. Tidak tampak adanya perumahana lebih banyak. Pada sebelah pos mereka
itu terdapat sebidang tanah lapang, sekitar lima puluh kali seratus meter,
sekarang sudah ditumbuhi semakbelukar lebat. Di situlah makam Tan Malaka
mungkin bisa ditemukan. Tidak teringat sedikit pun tentang pemakaman di dalam
hutan; juga tidak teringat tentang eksekusi atau desas desus seputar itu. Namun
demikian eksekusi di tanah yang sangat berbukit-bukit, yang tidak mendapat
perhatian itu, memang sangat mungkin terjadi.[216]
Monumen peringatan tewasnya Tan Malaka diberi tempat, dan kebenaran juga bisa
ditegakkan di Selopanggung tanpa memperkosa sejarah. [217]
Kesimpulan-kesimpulan di atas
ditulis tahun 2007. Sesudah peluncuran buku dalam bahasa Belanda di Jakarta
bulan Juli 2007, saya melakukan penelitian baru di Selopanggung dengan hasil
yang mengejutkan. Temuan dan dampak penelitian tersebut diungkapkan dalam bab
IV buku ini (hlm. 385-407)
Harry A. Poeze
Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan
Revolusi Indonesia
Jilid 4: September 1948 – Desember
1949
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia; KITLV-Jakarta 2014
(hlm. 204-224)
[170] ‘Sedjarah hilangnya Pahlawan Murba
Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, III’, Pacific, 20-11-1950, Tan Malaka 1949-1956. 1956:6 dan Peringatan sewindu 1957:65 mengulangi tuturan ini. Wasid Soewarto
(wawancara Jakarta, 3-10-1980) menyatakan ini perintah untuk Sabarudin untuk
berangkat ke front. Seri karangan di dalam Pacific bisa dipandang sebagai
ringkasan dari pengetahuan yang ada pada Partai Murba tentang keadaan pada 19
Februari, dengan sedikit nada propaganda. Dimyati 1951: 130, dikutip dalam
Tamar Djaja 1975: 36, menyebut pengarang seri karangan dalam Pacific adalah
Hasan Utomo. Seri tersebut digunakan dalam Tan
Malaka 1949-1956 1956:6 dan dalam ‘Hilangnja Tan Malaka, Bapak Murba &
R.I.’, sebuah pernyataan dari Sekretariat Urusan Agit/Prop Dewan Partai Murba,
tertanggal 19-2-1957, dalam Peringatan
sewindu 1957: 61-67. Wasid Soewarto telah menyumbangkan pernyataan dalam
bentuk tertulis.
[171]
‘Sedjarah hilangnya Pahlawan
Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka III, IV, Pacific, 20- dan 21-11-1950.
Versi singkat dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:6
dan “Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan
sewindu 1957: 65-66. Menurut pernyataan terakhir, dalam sebuah buku kecil
untuk peredaran lebih luas, tidak disebutkan nama-nama para penyerang dan
kesatuan mereka – jelas agar tidak membikin pemerintah dan TNI menjadi marah.
Tamin 1968: 6-7; 1969: 1, 1970, I-II: 1-2, 1972: [3], yang mendasarkan diri
pada informasi dari tiga orang pemuda yang ditangkap pada saat penyerbuan itu,
dan yang dalam bulam April 1949 ia berkata, dan Sukatma – pengawal Tan Malaka –
bertemu sekitar sepuluh tahun kemudian, menyebut sebanyak 65 orang laki-laki
dan perempuan yang ketika itu ditangkap. Yang laki-laki hanya boleh memakai
celana pendek, dan dirampasnya arloji, vulpen dan cincin mereka. Laporan lain,
‘Pertempuran di Jatim’, dari Mob. Staf Div. 1, 12-6-1949, hlm. 36, dalam Gunawi
Kartosapoetro, ‘Perang Kemerdekaan ke-II; Buku sejarah documenter; Buku induk
ke 1”, disusun oleh Dinas Sejarah Militer TNI-AD, 1975, hlm. 306, dalam Arsip
ABRI, menyebut waktunya pada pukul empat pagi, dan jumlah tahanan sebanyak dua
ratus orang – agaknya ini terlalu banyak. Tapi laporan ini menyebut CPM, di
bawah perintah Sidik, sebagai pengawal – sesuai dengan perintah Soewido – yang
karena ‘kekurangan penanggungan dijawab atau lain2nja membiarkan tawanan mereka
melarikan diri. Seorang informan yang bisa dipercaya mengatakan kepada dinas
intelijen Belanda, bahwa Sampoerno telah mengerahkan dua ratus orang pasukan
orang yang didatangkan dari Banyakan (Wekelijks Terr. Inlichtingenrapport van
de Tr. Cmdt Oost-Java no. 14 (10-6-1949), hlm. 3 dalam CAD, Verspreide
Archivalia GG 34-90). Moch. Sifun, orang kedua Sampoerno, dalam laporannya yang
dikutip oleh Moehkardi 1993: 151-152, menyebut serangan itu terjadi pada pukul
empat pagi, datang dari empat penjuru yang samasekali mengejutkan dan
mengakibatkan sekitar seratus orang ditangkap.
[172]
Wawancara Helen Jarvis dengan
Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiii-cxxiv.
[173]
Wwawancara Djalaludin, Jakarta
16-9-1980. Tongkat itu belakangan ditemukan dan menjadi milik Hasan
Sastraatmadja
[174]
Wawancara Wasid Soewarto,
Jakarta, 3-10-1980 (menurut informasi dari Sabaradin);
[175]
Wawancara Djalaluddin,
Jakarta, 16-9-1980.
[176]
Herdi Subekti 1993: 205-206. Saat berakhirnya
pertempuran tidak cocok dengan data-data lain tentang kejadian tersebut. Untuk
ketepatan laporannya ia mengajukan pembelaan, bahwa ia melihat berpuluh-puluh
mesin tulis yang, sayang, harus dihancurkannya, karena ia tidak bisa membawa
semuanya itu.
[177]
Wawancara Djalaluddin,
Jakarta, 16-9-1980; ‘Verslag kedjadian sekitar Belimbing daerah Kediri, Barat
Sungai Brantas pada tanggal 19-2-1949’, dalam Arsip ABRI, Intel Kediri tahun
1949, Buku 34, hlm. 81-82.
[178]
Wawancara Djakfar, Jakarta,
10-9-1980; Djalaluddin (wawancara Jakarta, 16-9-1980) menyebut mereka tiba di
Sawahan antara pukul sembilan sampai sepuluh.
[179]
Djakfar (wawancara Jakarta,
10-9-1980), berpendapat rombongan tidak mencapai lebih jauh dari Pace, sekitar
empat kilometer dari Blimbing, di tengah perjalanan menuju Sawahan. Laporan
dari pihak TNI menyebut tempat penahanan merka ialah Mlandangsa (‘Pertempuran
di Jatim’, dari Mob. Staf Div.I, 12-6-1949, hlm.36, dalam Gunawi Kartosapoetro,
‘Perang Kemerdekaan ke II; Buku sejarah documenter; Buku induk ke-I’, disusun
oleh Dinas Sejarah Militer TNI-AD, 1975, hlm. 306, dalam Arsip ABRI. Laporan
dari Moch. Sifun, dalam Moehkardi 1993: 152, menyebut Mlandangan tempat
rombongan tawanan akan diserang oleh Batalyon Sabarudin dan terpecah-pecah –
hal tersebut itu tidak benar. Menurut Djalaluddin (wawancara, Jakarta,
16-9-1980) mereka hampir sampai di Sawahan, tapi rombongan tercerai-berai di
sana. Penduduk desa di Blimbing mengatakan pada saya, pada 23-5-1996, tempat
tujuan mereka di Jampes, yaitu desa antara Pace dan Sawahan. Sukatma (dalam
Jarvis 1991: cxxiv), keliru ketika pada dua kilometer di luar Blimbing ia
membiarkan Matjan Kerah meninggalkan rombongan oleh alasan yang tidak dijelaskan.
Menurut sebuah laporan Belanda tentang Sabarudin (F.W.M. Huynen, ‘Korte
biographie van Zainal Sabarudin Nasution’, 25-10-1949, hlm. 3, dalam CAD,
Verspreide Archivalia GG 59-314), para tahanan dibawa ke Kedungsari, empat
kilometer di baratdaya Blimbing, di mana mereka hampir terkejar oleh
kesatuan-kesatuan Sabarudin yang mendapat laporan tentang mereka itu.
[180]
Wawancara Abdul Djalil Muluk
(Jakarta, 30-8-1980). Dalam wawancaranya dengan Helen Jarvis (Jakarta,
1-11-1972) ia mengatakan, bahwa ia ditugasi mencari basis alternatif. Menurut
Djakfar (wawancara 10-9-1980) Djalil mencari di timur atas perintah Tan Malaka
– pada Warouw? – tempat kediaman baru untuk Tan Malaka. Wasid Soewarto
(wawancara, Jakarta 3-10-1980) sedang dalam tugas informasi dan propaganda.
[181]
‘Instructie operatie “Tijger”
door Staf A Divisie, Kantoor Inlichtingen’ [Instruksi operasi “Tijger” oleh
Staf A Divisi, Kantor Intelijen], dalam CAD, Verspreide Archivalia GG 52-187
dan NA, HKGS, GG 52-1594
[182]
KNIL, KL, KST, ‘Verslag
zuivering-actie “Oost-Java”, 20-4-1949, Bijlage 1, ‘Verslag zuivering-actie in
omgeving Ngandjoek (“Tijger”)’ [Laporan aksi pembersihan “Jawa Timur”,
20-4-1949, Lampiran 1, ‘Laporan aksi pembersihan di sekitar Nganjuk (‘Tijger’),
[183]
De Moor 1999: 343-346. Kutipan dari hlm. 346.
[184]
Chronologisch overzicht
pertempuran daerah S.T.M. Kediri 10-2-1949 sampai 28-2-1949’, hlm. 7, dalam
Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34, hlm. 74; Nasution 1979, C:
116-117; Wajah Pahlawan Nasional 1989: 243-244; Sudarmanto 1992: 139, 1996:
258; Sudarno 1993: 332 (dalam sebuah laporran dari Soesanto Tirtoprodjo);
‘Wekelijks overzicht en ontwik keling der toestand in het actiegebied en
federaal gebied Oost-Java’, no. 109 (25-2-49): 1-2, dalam CAD, Verspreide
Archivalia GG 12-32.
[185]
De Moor 1999:346-347; KNIL,
KL, KST, ‘Verslag zuiverings-actie “Oost-Java”, 20-4-1949, Bijlage 1, ‘Verslag
zuivering-actie in omgeving Nganjoek (“Tijger”)’, dalam SMG 0112/1.
Korpsgeschiedenis KST.S.H. Spoor, “Beoordeling van de toesland’ (Penilaian
tentang keadaan) 23-2/1-3-1949, dalam NIB 18:4, menyebut tentang akibat dari
‘gerakan besar’ di Jawa Timur adalah seribu seratus orang mati dan enam ratus
‘teroris’ ditangkap. Tabel dalam Groen 1991: 262, 264 memperlihatkan, akibat-akibat
dari pengerahan ekstra dari akhir Februari sampai awal Maret hampir seribu
orang tewas dan sejumlah sedikit lebih kecil tawanan perang. Untuk medan 3
(Kediri) angka korban tewas dalam paroh pertama dan kedua Februari dan Maret:
346, 982, 643 dan 339; untuk tawanan perang: 129, 487, 801 dan 502. Soengkono
memindahkan markasnya dari Genjeng ke Ngluyu, dua puluh kilometer di utara
Nganjuk, di daerah yang bergunung-gunung (‘Consept: Riwajat Divisi I’, hlm. 16,
dalam Arsip ABRI, Dokumen Kol. Sungkono, Buku 22). Laporan dari isteri Soetomo
(Sulistina Soetomo 1995:65-69) tentang pengalaman Soetomo – ia berada di dekat
Sawahan – memperlihatkan kebingungannya menyaksikan perkembangan keadaan dengan
terjadinya pertempuran antara Matjan Kerah, Batalyon S dan tentara Belanda.
Tentang adanya Soetomo di sana juga dalam Sudarno 1993:331, 333-334 dalam
sebuah pemberitaan oleh Soesanto. Soekiman yang lolos dari penangkapan atau
lebih buruk lagi dari itu pada awal Maret kembali ke Yogya, ke tempat kediaman
sendiri. Di sini ia tertangkap pada 25 Maret. Alasan ia kembali ke Yogya,
menurutnya, mengingat pada perkembangan politik baru. Soekiman menyangkal,
bahwa dengan satu dan lain cara ia telah bekerjasama dengan Tan Malaka (‘Dr.
Soekiman ditangkep’, Sin Po 29-3-1949). Ia tetap dipenjara (Sin Po, 2-4-1949),
walaupun berita mengabarkan sebaliknya (Sin Po, 30-3-1949). Dalam bulan Mei
kembali dibebaskan; kemudian ia memberikan komentarnya terhadap persetujuan Van
Roijen-Roem (‘Pro dan contra terhadep persetoedjoean!’, Sin Po, 30-3-1949).
Dalam bulan Mei kembali dibebaskan; kemudian ia memberikan komentarnya terhadap
persetujuan Van Roijen-Roem (‘Pro dan contra terhadep persetoedjoean!, Sin Po,
10-5-1949). Sudarsono 1993: 327-41 berisi laporan oleh Soesanto tentang
pengembaraannya semasa perang gerilya. Menteri-menteri Soesanto dan Kasimo
dalam bulan Mei masih di daerah gerilya (‘Mantri Soesanto dalam Kasimo masi di
oetan’, Sin Po, 19-5-1949).
[186]
‘Sedjarah hilangnya Pahlawan
Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950, dikutip dalam Tan Malaka 1949-1956:6-7.
[187]
F.W.M. Huynen, ‘Korte
biographie van Zainal Sabarudin Nasution’, 25-10-1949, hlm.3, dalam CAD,
Verspreide Archivalia GG 59-314. ‘Hilangnja Tan Malaka’, dalam Peringatan Sewindu 1957:66 mengikut
artikel dalam Pacific (lihat catatan sebelumnya), tapi dengan menambahkan,
bahwa suara tembakan itu berasal dari prajurit anak-buah Batalyon S yang
mencari komandan mereka, Djakfar (Laporan, Jakarta, 10-9-1980) menyebutkan
pelarian karena serangan Belanda. Menurut Djalaluddin (wawancara Jakarta,
16-9-1980) rombongan terkejut oleh infanteri Belanda, dan merka melarikan diri
ke arah selatan, di daerah pegunungan. Ia lupa pada episode ketika rombongan
beada dalam tahanan di Sawahan.
[188]
‘Verslag kedjadian sekitar
Blimbing daerah Kediri, Barat Sungai Brantas pada tanggal 19-21-1949’, Arsip
ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34, hlm. 81-82. Djalaluddin (wawancara,
Jakarta, 16-9-1980) juga menyebut Muchamad sebagai orang yang ditinggalkan dan
disembunyikan. Menurut Tamin (1968:7, 1969:1, 1972:[3] dalam kontak senjata dua
puluh empat orang dari Matjan Kerah terbunuh. Dia satu-satunya yang memberikan
data seperti ini. Iwa Kusuma Sumantri 1963:188 menulis, bahwa beberapa pemuda
berhasil melarikan diri dengan membawa serta dokumen-dokumen bersejarah,
seperti misalnya testamen politik dari Soekarno dan Hatta.
[189]
‘Sedjarah hilangnya Pahlawan
Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950, dikutip dalam Tan Malaka 1949-1956 1956:7. Herdi Subekti
1993:206 membenarkan tentang Matjan Kerah yang melarikan diri dari Cerme ke
hutan Tunglur di dekat Bogor.
[190]
‘Verslag kedjadian sekitar
Blimbing daerah Kediri, Barat Sungai Brantas pada tanggal 19-2-1949’, dalam
Arsip ABRI, Intel Kediri tahun 1949, Buku 34,hlm. 81-82; ‘Sedjarah hilangnja
Pahlawan Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV’, Pacific, 21-11-1950; Tan
Malaka 1949-1956 1956:7. Verslag
Djakfar, Jakarta, 10-9-1980 mengutip Sabarudin yang menceritakan kepadanya,
pada waktu mereka saling bertemu, bahwa pasukannya sendiri telah melepaskan
tembakan.
[191]
‘Sedjarah hilangnya Pahlawan
Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV, Pacific, 21-11-1950; Tan Malaka 1949-1956 1956:7
[192]
‘Hilangnja Tan Malaka’, dalam
Peringatan sewindu 1957: 67; wawancara Wasisd Soewarto, Jakarta, 3-10-1980.
[193]
‘Sedjarah hilangnya Pahlawan
Murba Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka IV, Pacific, 21-11-1950; Tan Malaka 1949-1956 1956:7; ‘Hilangnja
Tan Malaka’, dalam Peringatan sewindu 1957: 67
[194]
Laporan Djakfar, Jakarta,
10-9-1980
[195]
Wawancara Jarvis dengan
Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv. Laporan Djakfar (Jakarta,
10-9-1980) dan wawancara Sukatna dengan Jarvis – yang didahului oleh
informasinya kepada para peneliti Partai Murba tak lama sesudah peristiwa tahun 1949 informasinya kepada peneliti
Partai Murba tak lama sesudah peristiwa tahun 1949 – merupakan sumber-sumber
satu-satunya tentang pengalaman perjalanannya menuju Trenggalek. Sukatma juga
berbicara dengan Tamin tahun 1956 (Tamin 1968:7-8) atau paa suatu hari tahun
1959, 1960 atau 1961 (Tamin 1970:I-II:1) ketika ia mencarinya di rumahnya di
Jakarta, dan disanalah ia bercerita. Jarvis 1991: cxxiii, tidak cermat menyebut
tahun 1959, dan selanjutnya membicarakan tentang personalianya. Djakfar menyebut Sukatma tidak sebagai bagian dari
kelompol kecil itu; Sukatma tidak menyebut-nyebut tentang Djakfar dan Tjut.
Menurut Djakfar beberapa tahun kemudian tentang hal ini, dan juga tentang
hal-hal yang lain, disebabkan oleh kesalahan ingatan. Hal ini juga mungkin
berlaku untuk Sukatma, tapi mungkin masih ada keterangan lain lagi.
Kedua-duanya juga sama-sama kurang cermat dalam tuturan mereka tentang
penyerangan di Blimbing dan peristiwa-peristiwa tentang terpecah-pecahnya
kelompok Sabarudin.
[196]
Wawancara Jarvis dengan
Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv. Djakfar (wawancara, Jakarta,
10-9-1980) menyatakan, bahwa rombongan hanya menempuh perjalanan selama
beberapa jam saja. Jarak yang ditempuh mungkin hanya beberapa puluh kilometer.
Medan yang sangat berbukit-bukit, dari pengelihatan dan pengalaman saya
sendiri, membikin perjalanan menjadi sangat perlahan; keharusan untuk tetap
tidak terlihat oleh penduduk desa dan pasukan TNI, dan juga karena luka kaki
Tan Malaka, semuanya menunjukkan bahwa Sukatma benar tentang lamanya waktu perjalanan.
[197]
Laporan Djakfar, Jakarta,
10-9-1980. Tan Malaka disebut ‘Oude heer’ (tuan tua) oleh pengikutnya.
[198]
Wawancara Jarvis dengan
Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv.
[199]
Juga ketika saya mewawancarai
Djakfar pada tahun 1980, dan menuliskan keterangannya untuk saya, hal itu
terjadi dalam kaitan dengan para pendukung lama Partai Murba. Juga selain itu
sudah sejak beberapa puluh tahun Djakfar tidak pernah ditanyai lagi tentang
pengalamannya. ‘Gugahan’ saya tentang jaringan Murba telah memancing hasratnya
‘bereksplorasi’.
[200]
Wawancara Jarvis dengan
Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv-cxxv
[201]
Wawancara Firman Sanjoto,
Mojo, 24-5-1966.
[202]
Lintasan kisah Sikatan 1988: 45-50, 52, 55; wawancara Surachmad, Jakarta, 12-11-1980 (ia
menyebut Hendrotomo sebagai Soekadji; dari Siapa
dia? 1988:133 ternyatalah, bahwa Soekadji merupakan bagian pertama dari
nama Hendrotomo); Kartidjo, Jakarta, 6-11-1980; Suhario Padmodiwiryo, Jakarta,
10-11-1986; Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996 dan Soejoedi Soerachmad, Jakarta,
6-1-2005; Sam karya 1968: 179.
Tentang Pamongan mungkin Firman lupa. Pada mulanya tentang pimpinan CPM dan
Brigade Surachmad ditetapkan di Mojo. Tak lama kemudian dipindahkan dan
Hendrotomo menetapkan markasnya di Mojo, yang dipertahankannya sampai akhir
Maret. Pada 18 Februari terjadi aksi besar-besaran dari pihak Belanda yang
hampir sampai di Mojo. Belakangan, mungkin setelah serangan Belanda atas Mojo
bulan Mei 1949, kedudukan TNI ketika itu dipindahkan ke Pamongan tempat yang
lebih tinggi (Sudarmo 1999: 95; wawancara Moh. Padang, Jakarta, 27-8-1980).
Pamongan pernah merupakan tempat pertemuan pemimpin-pemimpin sipil dan militer
(Sudarno 1999:333-334, dalam sebuah tuturannya dari Soesanto Tirtoprodjo).
[203]
Wawancara Jonosewojo, Jakarta, 5-11-1986.
[204]
Wawancara Firman Sanjoto,
Mojo, 24-5-1996. Djakfar (Laporan, 10-9-1980) menyebut Kelotok sebagai tempat
ketika ia melihat Tan Malaka yang terakhir. Gunung ini (tinggi 472 meter),
tepat di arah barat Kediri, terletak lima kilometer di utara Tonggul. Wawancara
Jarvis dengan Sukatma, Jakarta, 2-12-1972; Jarvis 1991: cxxiv menyebut
Parangan.
[205]
Wawancara Jateni, Karsan dan
Tolu, Selopanggung, 24-5-1996
[206]
Wawancara Firman Sanjoto,
Mojo, 24-5-1996. Firman membenarkan data ini dalam wawancaranya di Mojo,
21-4-2005. Sebuah ‘Daftar: kekuasaan anggota Kompi III. Bn. 23 Sikatan di masa
Perang Kemerdekaan/Gerilya pada tahun 1948 s/d 1951 sampai pada Reformasi I dan
II, disusun oleh Paguyuban Warga Mantan Yonif 507/Sikatan, Surabaya, tanpa
tahun, 10 hlm. (kopi ada pada saya) menyebut 189 nama-nama para anggota kompi,
yang tidak mencantumkan nama Suradi. Menurut penyusun daftar tersebut tidak
lengkap. Juga bisa terjadi Suradi oleh komandannya, Sukotjo, diikutkannya ke
staf brigade.
[207]
Soejoedi Soerachamad 2004:
138. Dialog ini ditandatangani oleh anak laki-laki Surachmad yang berumur 15
tahun, yang ikut hadir dalam percakapan tersebut (wawancara Soejoedi
Soerachmad, Jakarta, 6-1-2005)
[208]
Wawancara Soedarto, Jakarta,
26-11-1986
[209]
Wawancara Domingus Nanlohy,
Jakarta, 15-9-1980. Tapi Nanlohy tidak menyebut nama Hendrotomo. Ia menunjuk
pada seorang kapten ketika itu, yang sekarang (1980) duduk di Mahkamah Tentara
Agung. Juga Hasan Sastraatmadja dalam tahun 1980 secara tidak langsung menyebut
Hendrotomo. Selanjutnya bagi saya, dalam tahun 1980 secara tidak langsung
menyebut Hendrotomo. Selanjutnya bagi saya, atas dasar bahan-bahan biografis
yang ada, menjadi tidak terlalu sukar untuk mencari tahu, siapa saja yang
dimaksud sebagai anggota-anggota Mahkamah Agung. Kedua orang informan itu tidak
berlaku sebagai sumber untuk rujukan tentang seorang hakim militer tinggi yang
menjadi pembunuh Tan Malaka. Hendrotomo meninggal tahun 1982 (Siapa dia? 1988:133). Selanjutnya
menjadi lebih mudah berbicara tentang kesalahannya (wawancara Jonosewojo,
Jakarta, 5-11-1986); Suhario Padmodiwiryo, Jakarta, 10-11-1986; Soedarto,
Jakarta, 26-11-1986). Ibu Sastraatmadja (wawancara, Jakarta, 14-11-1986)
menceritakan tentang seorang kenalan baik, di atas ranjang mautnya, telah
membukakan tabir tentang peranan Hendrotomo kepada Hasan Sastraatmadja. Para
pendukung setia Partai Murba tidak bisa berbuat banyak dengan data tersebut,
juga mereka tidak bisa mempertimbangkan bobot kebenaran data-data itu.
Pengetahuan mereka itu secara tidak langsung kemungkinan bisa menjadi pegangan
bagi saya untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasan Sastraatmadja
(wawancara, Jakarta, 16-9-1980) menceritakan bahwa ia telah mendengar – dari
Soerjadi, kepala intelijen polisi militer di daerah itu – bahwa Soejatmo,
komandan CPM Jawa Timur, telah menyusun proses-verbal tentang eskekusi Tan
Malaka. Tiga orang penyusun tersebut telah bersumpah untuk merahasiakan.
Menurut Pamoe Rahardjo (wawancara
Jakarta, 29-8-2002) Tan Malaka ditembak mati ketika berusaha
menyeberangi Brantas. Para penembaknya, atas perintah Hendrotomo, tidak tahu
bahwa yang harus mereka selesaikan adalah Tan Malaka.
[210]
Wawancara Soedarto, Jakarta,
26-11-1986
[211]
Wawancara Suhario Padmodiwiryo,
10-11-1986. Suhario adalah sepupu ipar Hendrotomo. Dalam dua buku tentang
pengadilan anti-Belanda itu (Beynon 1956 dan Schimidt 1961) nama Hedrotomo
tidak disebut-sebut.
[212]
Wawancara Firman Sanjoto, Mojo, 24-5-1996.
Sukotjo lahir di Tulungagung tahun 1921, bersekolah di Hollandsch-Inlandsche
School, MULO, dan Algemeene Middelbare School sampai perang pecah perang dunia,
dan selanjutnya ia memasuki pendidikan ketentaraan di dalam walikota Surabaya’,
Liberty no. 1066(9-2-1974):11 dan ‘Kepercayaan yang tidak sia-sia’, Gapura
5-6(1972):4-5. Ia meninggal tahun 1992 (wawancara Ibu Sukotjo, Surabaya,
20-4-2005). Ibu Sukotjo tidak tahu apa-apa tentang peranan suaminya dalam
perkara tewasnya Tan Malaka. Sukotjo mendapat tempat di dalam sebuah buku
tentang sketsa kehidupan dua puluh satu orang tokoh terkemuka Surabaya, sebagai
para pemrakarsa modernisasi kota (Agus Wahyudi 2006)
[213]
Wawancara Surachmad, Jakarta,
12-11-1980. Dengan begitu pada pokoknya Surachamad telah memberikan gambaran
yang benar tentang jalannya peristiwa, sejauh yang dilaporkan kepadanya.
[214]
Wawancara Kartidjo, Jakarta, 6-11-1980. Dalam
hal ini Kartidjo, apakah karena ingatannya yang buruk saja, ataukah dengan
sadar hendak menyembunyikan informasi. Yang terakhir itulah yang sangat
mungkin. Sukotjo adalah adik Kartidjo. Tentang hal ini pada 1980 saya masih
belum tahu; Soejodi Soerachmad mengatakan pada saya tentang ini baru pada 6
Januari 2005.
[215]
Tentang ini Surachmad lupa,
bahwa pada awal 1951 ia dipersalahkan oleh Sjamsu Harya Udaya tentang
keterlibatannya langsung pada eksekusi Tan Malaka. Ia menyangkalnya dengan
keras (Pedoman, 10-2-1951, dikutip dalam D. Anderson 1976b:37, catatan 91).
Sjamsu mengulanginya sekali lagi dalam Keng Po lima tahun kemudian, yang
disusul dengan penyangkalan lagi oleh Surachmad, tapi diakuinya bahwa ia
memerintahkan untuk menangkap ‘para pengatjau’. Tampaknya hal ini disebabkan
oleh pernyataan Sjamsu dalam Tan Malaka
1949-1956 1956:9. Dalam penerbitan ini juga (hlm.11) Partai Murba
menyerukan kepada pemerintah, agar tentang tewasnya Tan Malaka diselidiki, dan
menyerukan kepada pemerintah, agar tentang tewasnya Tan Malaka diselidiki, dan
menyerukan agar mereka yang terkait menuturkan cerita mereka, di antara mereka
antara lain disebut Soengkono, Surachmad, Soemarsono (kepala PAM di Kediri),
Soejatmo (Komandan CPM Jawa Timur), Suprapto (Kepala Polisi Kediri), Kartidjo
(Kepala Staf Surachmad) dan penggantinya Komar. Mereka tutup mulut. Tentang riwayat
hidup Surachmad sebelum 1945: Soejoedi Soerachmad 2004, yang di dalamnya juga
ditekankan tentang ciri-ciri wataknya.
[216]
Observasi setempat dan
wawancara dengan Jateni, Karsan serta Tolu, Selopanggung, 24-5-1996; Sukardji,
Pak Kjai Kodir dan Selop, Selopanggung, 21-4-2005. Pak Kjai Kodir menyebut pos
Sukotjo sebagai pos CPM, dan selanjutnya di antara rombongannya Soedajat yang
tewas pada 1949 di Tonggul dalam pertempuran melawan Belanda.
[217]
Pada kunjungan saya yang kedua
ke daerah ini, bersama dengan penganut-penganut setia PM, Asmun dan Wahjudi
Nugroho (20 dan 21 April 2005), tentu saja juga dengan dengan diantar oleh
Peter Bimo, yang sudah sejak lama, tetapi tanpa mengetahui penemuan-penemuan
saya baru-baru ini mengumpulkan data tentang tewasnya Tan Malaka di daerah ini.
Inti laporannya menyatakan, bahwa sekelompok lima orang termasuk Tan Malaka
ditangkap pada 21 Februari di Petok. Semua mengatakan mereka bernama Tan
Malaka. Dari lima orang itu tiga orang melarikan diri, termasuk Tan Malaka yang
sebenarnya. Dua orang yang tersisa ditembak mati. Dua hari kemudian, tanggal 23
Februari, dari yang tiga orang itu Tan Malaka kembali tertangkap; dua orang
pengawalnya berhasil lolos. Penangkapan terjadi di Blimbing Kidul, dekat pos
tentara di perkebunan karet Secang. Ia ditembak mati, mayatnya dibiarkan
tergeletak sepanjang hari. Jurukunci makam di desa itu kemudian membawa mayat
tersebut ke Desa Kraton, dan di sana ia menguburkannya. Anak laki-laki
jurukunci, Selamat, yang ketika itu berumur sebelas tahun, mencetakan kisah ini
kepada Peter Bimo. Para pengawal yang lolos tidak terlepas dari nasib mereka
yang buruk. Mereka ditangkap kembali, ditembak mati, dan mayat mereka dilempar
ke sungai.
Setelah Peter membaca catatan saya tentang
hari-hari terakhir Tan Malaka – halaman-halaman tentang kisah ini sudah saya
terjemahkan dan saya bawa serta – ia memberi tahu tidak mau lagi bekerja
bersama kami, kecuali jika permintaannya sejumlah uang dipenuhi. Saya tidak
bersedia memenuhinya (wawancara Peter Bimo, Pace, 20-4-2005).
Dalam perjalanan kami mengelilingi daerah
ini, kami menjumpai Pak Selamat di Blimbing Lor. Dia menceritakan tentang
eksekusi atas seorang tak dikenal, yang berwajah seperti seorang China. Ia
dibawa dari pos tentara di dekat perkebunan Sukosewu (wawancara Pak Selamat,
dengan Pak Saidan dan Pak Sali, Blimbing Lor, 21-4-2005). Ia dikubur di pinggir
sungai, tempat yang ketika itu kami mengunjungi. Agaknya ini bukanlah makam
yang diduga Peter Bimo sebagai makam Tan Malaka – tempat makam ini tidak cocok
satu sama lain; sementara itu agaknya Peter Bimo telah berbicara dengan
seseorang bernama sama dengan Pak Selamat. Lawan bicara kami ini lahir sekitar 1928.
Di Kraton terdapat sebuah pemakaman Islam
tua, di mana konon dikuburkan sejumlah anak-anak – yang beribu Jawa dan berayah
Belanda – yang bekerja di Sukosewu. Apakah kuburan ini yang dimaksud oleh Peter
Bimo? Sepertinya ceritanya tidak bisa dipertahankan, dan sepertinya kombinasi
dari berbagai fakta dengan desas-desus di daerah itu yang dituliskan menurut
ingatan kolektif.
Ketua Partai Murba daerah itu, Wahjudi, pada
kunjungan saya terdahulu mengajukan usul hendak mendirikan monumen untuk Tan
Malaka di Selopanggung – tapi di dalam usul itu nama desa tidak disebut. Usul
tetap tinggal usul, dengan anggaran biaya dan denah (Wahjudi Nugroho (Ketua
Panitia) dan Solikin (Sekretaris), ‘Proposal proyek persiapan pembangunan obyek
wisata sejarah “Loka Pralaya” Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka di Kediri, Kediri,
11-3-2001, 2 hlm.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar