Kamis, 07 April 2016

Menuju ke Tempat Yang Tidak Disetujui

Kapal kami penuh sesak dengan pengungsi dari bermacam-macam golongan yang menuju ke berbagai tempat. Klas 1 dan klas 2 penuh sesak dengan pengungsi Tionghoa yang mampu. Bahkan ada pula pengungsi yang mampu yang terpaksa menumpang di atas geladak (dek). Pembaca bisa menggambarkan bagaimana keadaan geladak di tempat saya menumpang. Perkataan penuh sesak sesungguhnya tidaklah lagi sanggup memberikan gambaran yang sebenarnya. Pikiran “tempat yang baik” tidak lagi mempengaruhi seseorang penumpang. Pikiran yang terpenting cuma “asal dapat pergi saja”. Pergi dari Amoy yang dekat dari Taiwan, jajahan Jepang itu. Amoy yang entah akan dibagaimanakan oleh angkatan Udara dan armada Jepang itu, pergi itulah saja pikiran yang terutama. Ada pula penumpang yang berniat pergi ke Hongkong saja atau terus ke Manila; ada yang hendak pergi ke Singapura dan banyak yang mengambil karcis yang menuju ke Birma, seperti saya sendiri. Tetapi tidak pula sedikit penumpang yang sebenarnya belum tahu, dimana mereka akan tetap tinggal. Ke dalam golongan yang belum lagi tahu “dimana kelak akan tinggal” inilah saya sendiri termasuk. Seperti banyak pengungsi lain, maka yang saya jaga cuma, asal jangan terlempar ke laut saja, karena tak ada tempat yang sedikit terluang lagi.
Dihembus ribut taufan yang luar biasa hebatnya, yang belum pernah dialami oleh para penumpang selama hidupnya, maka setelah sehari semalam kami berlayar, sampai kapal di pelabuhan Hongkong. Pelabuhan Hongkong masyhur indahnya kalau dilihat diwaktu malam. Kita menghadapi bukit yang berkaki, pinggang dan puncaknya ditaburi oleh rumah, gedung dan villanya hartawan Hongkong. Ribuan lampu sebagai sumber pancaran cahaya listrik tampak di waktu malam, seolah-olah hendak bersaing dengan bintang di langit. Tetapi pada malam hari kita tiba itu, tidaklah ada kesempatan untuk mengagumi bandar Hongkong di waktu malam dipandang dari laut. Kapal kami, walaupun telah menjatuhkan sauhnya, masih saja tergeleng-geleng ke kiri-kanan dengan sangat hebatnya, meskipun teluk Hongkong berada di lingkungan bukit, dengan susah payah penumpang yang berhenti di Hongkong turun ke sampan dan mendekati daratan. Kabarnya pada malam itu ada dua-tiga kapal api dan puluhan sampan yang karam sedang berlabuh dan puluhan manusia yang mati tenggelam terlempar ke laut. Kapal kami sesudah menurunkan penumpang dan barang segera berangkat meninggalkan pelabuhan Hongkong menuju ke Singapura. Mulanya ada niatan kapal berhenti di Hongkong dua tiga hari, tetapi karena ribut taufan yang lebih membahayakan kapal ketika berlabuh daripada sedang berlayar itu, maka niatan tadi dibatalkan. Saya sama sekali tidak merasa kecewa atas pembatalan itu. Memangnya apabila saya mendengar kabar, bahwa kapal akan berhenti dua tiga hari lamanya di Hongkong, maka saya memikir-mikirkan “siasat” yang harus saya jalankan. Baru lima tahun lampau saya ditangkap di Hongkong, dan ketika terpaksa dilepaskan, dilarang keras menginjak tanah mana saja yang termasuk jajahan kerajaan Inggris. Kalau saya naik darat dan berjalan-jalan di kota Hongkong yang sempit itu tentulah mudah dikenal oleh banyak penyelidik (I.S). Inggris yang dari semua penjuru sudah mempelajari rupa dan gerak badan saya selama berada dalam penjara. Tidak mendarat dan tinggal dua tiga hari dalam kapal, tentulah lebih mencurigakan pula. Belum tentulah pula kapal yang berlabuh itu sama sekali bebas dari kunjungan atau incaran matanya penyelidik I.S. Inggris, teristimewa dalam keadaan perang Jepang-Tiongkok yang sedang memuncak itu.
Setelah lima enam hari meninggalkan Hongkong, maka tibalah kapal di Singapura. Pemeriksaan atas orang Tionghoa yang masuk ke Malaya sangat teliti. Buat laekek (tamu lama) pemeriksaan lebih longgar daripada sin kek (tamu baru). Mereka digirin ke kantor duane di pelabuhan, dan dari sini ke kantor imigrasi Tionghoa di dalam kota, buat diperiksa surat pasnya satu persatu. Amat diperhatikan nama dan rupa orang komunis atau penjahat Tionghoa yang pernah dibuang dari Malaya yang tidak sedikit banyaknya itu. mereka yang sudah dibuang, tetapi kembali ke Singapura, itu amat berat hukumannya. Benar sekali rupanya “siasat” yang saya pikirkan di Amoy, yaitu tidak akan berhenti di Singapura. Tetapi ini tidak berarti saya tidak turun di Singapura!
Apabila semua orang yang berhenti di Singapura sudah habis keluar maka barulah saya turun ke darat, saya terus berangkat meninjau kota dan terus menuju ke Johor mempelajari keadaan disana-sini. Saya banyak mempunyai kesempatan buat mendarat dan mencari tempat. Tetapi saya tidak mau memakai kesempatan itu, karena dengan begitu saya akan kehilangan uang $ 25,- dan surat pas yang saya anggap amat penting buat hari depan. Tidak berapa lama kapal meninggalkan Amoy, maka pengurus administrasi kapal meminta semua surat pas dan uang $ 25,- kepada penumpang yang menuju ke Rangoon, Birma. Baru setelah kapal meninggalkan Penang, ialah apabila mendekati Rangoon maka surat pas dan uang $ 25,- tadi dikembalikan kepada kami. Uang $ 25,- tetapi terutama surat pas itulah yang mengikat saya untuk meneruskan pelayaran sampai ke Rangoon. Memang surat pas dan $ 25,- itu ditahan buat menjamin, supaya penumpang ke Burma jangan turun di Singapura.
Sesudah saya mendapat kembali pas saya diantara Penang dan Rangoon, maka saya perlu melepaskan apa yang sudah lama saya simpan, yakni dua buku peringatan, yang penuh dengan catatan yang amat berharga, yang saya peroleh sebagai hasil pengalaman saya dimana-mana negeri. Dengan hati yang amat berat saya lemparkan dua buku peringatan itu dekat pesisirnya Tanaserrim, Birma. Di dasar laut di dekat Tanaserrim-lah lapuk dua buku peringatan. Yang saya isi bertahun-tahun lamanya itu. Tindakan ini ternyata tepat pula. Di Duane Rangoon semua isi dan penjuru koper saya diperiksa dengan teliti sekali. Malah kamus Inggris-pun yang ada di dalam koper saya dibalik lembar demi lembar. Belakangan saya mendengar, bahwa pemerintah Inggris di Birma amat menakuti seorang Tionghoa masuk, yang sedikit saja berbau intelektual. Kantong pun tidak luput dari rabaan yang dilakukan oleh pegawai yang berbentuk Eurasian, campuran darah Eropa dan Asia.
Pemeriksaan duane yang dilakukan dengan teliti oleh seorang Eurasian itu memberikan sedikit petunjuk, bahwa pergerakan kebangsaan dan sosial di Birma itu, walaupun berupa tenang di muka air, tetapi sangat bergelora di bawahnya. Pemberontakan kaum tani yang dipimpin oleh seorang rahib pada tahun 1927 (?) masih diingat oleh rakyat jelata, sebagai permulaan perlawanan senjata terhadap imperialisme Inggris dan oleh Inggris dipandang sebagai mendung yang mengandung guruh petir. Rahib Saya-San pemimpin pemberontakan tersebut, yang digantung dan diejek sebagai quack (dukun palsu) oleh Inggris, oleh rakyat dibisikkan sebagai pahlawan bangsa.
Hampir serupa dengan keadaan di Indonesia, maka lemah sekalilah jembatan ekonomi, sosial, politik antara bangsa Inggris dan bangsa Birma. Perindustrian Berat, Perindustrian Mesin Pembikinan Mesin, tak ada di Birma. Perindustrian enteng, yang penting buat rakyatpun, seperti industri kain, tak pula ada. hasil Birma yang terutama ialah beras, minyak dan kayu. Semua tambang minyak, perdagangan keluar dan ke dalam, semua alat pengangkutan (kapal, kereta) berada di tangan asing. Tanahpun, seperti di delta sungai Irrawadi, tanah yang paling subur buat padi sawah itu, hampir semuanya sudah jatuh di tangan chetty, bangsa Hindustan yang hidup sebagai lintah darat yang kejam sekali. Hampir semua tokoh di kota Rangoon dipunyai oleh bahasa Inggris, Hindustan, Pakistan dan Tionghoa. Cuma dua-tiga buah kedai nasi dan satu dua toko alat bunyi-bunyian yang dipunyai oleh bangsa Birma. Yang saya kunjungi cuma kota Rangoon saja, ialah bandar terbesar untuk seluruhnya Birma. Statistik tentang ekonomi memberi gambaran yang amat menyedihkan buat rakyat aslinya Birma. Mungkin di pedalaman juga ada orang Birma yang mempunyai tanah yang luas atau sedang. Tetapi umumnya tempat yang penting kepada kota dan alat pengangkutan seperti kereta dan kapal, sumber pencarian hidup sudah jatuh ke tangan asing. Bangsa Birma yang mempunyai sejarah yang amat gemilang sampai pada penghabisan abad yang lampau itu, dalam kira-kira setengah abad di belakang ini sudah jatuh menjadi kaum kuli kantornya bangsa asing.
Di sebelah kanannya jurang , terdapat kapitalis-imperialis Inggris, yang menguasai produksi, perdagangan, pengangkutan dan Bank secara besar-besaran internasional dan menguasai sepenuhnya politik dalam dan luar Birma (th. 1937).
Di sebelah kirinya jurang terdapatlah kaum buruh dan tani Birma, kaum pendeta Birma dan kaun intelektual didikan Barat. Kaum pendeta rapat sekali perhubungannya dengan rakyat. Sebagian kaum intelek menjadi kaki tangannya Inggris, sebagian kecil yang radikal memihak kepada rakyat jelata, dan sebagian pula terombang-ambing diantara imperialis Inggris dan kemerdekaan Birma yang sempurna, yang 100%. Kedua jurang tadi dijembatani oleh Rakyat Hindustan dan Pakistan serta Tionghoa, yang menguasai perdagangan tengah dan kecil dan memiliki tanah subur di Delta Irawadi. Dalam kota Rangoon, yang berpenduduk kurang lebih 500.000 itu terutama kelihatan bangsa Hindustan, Pakistan, dan Tionghoa. Bangsa Birma sedikit sekali tampaknya.
Karena tak adanya jembatan ekonomi antara kapitalisme asing dan perekonomian rakyat asli, maka pergerakan kemerdekaan Birma bersifat amat radikal, ialah membutuhkan penyelesaian persoalan politik, ekonomi dan sosial. Tidaklah cukup buat kuli dan tani Birma, terutama untuk kaum tani proletar di Delta Irawadi, kalau kekuasaan politik saja yang dipindahkan dari tangan yang berkulit putih ke tangan yang berwarna coklat (bangsa Birma). Perubahan yang radikal dalam perekonomian dan kesosialan Birma harus dijalankan bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik tadi. Dan perubahan yang radikal, yang bisa memberikan obat yang sesungguhnya dapat menyembuhkan masyarakat Birma, hanyalah dapat diselenggarakan apabila bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik ke tangan rakyat Birma asli itu, juga tanah-tanah dikembalikan kepada para petani Birma, dan alat-alat produksi yang lain (tambang, pabrik) serta pengangkutan diberikan kepada buruh dan rakyat Birma.
Dan sekarang pun (th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagian besar atau kecil), sedang memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan bertiup di Birma.
Dan sekarang pun (th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagaian besar atau kecil), sedang memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan bertiup di Birma, yang banyak mempunyai persamaan dengan Indonesia, dalam hal bumi iklim, kebangsaan, teknik perekonomian, sosial politik, bahkan juga dalam hal kebudayaan kejiwaan bersama dengan jurang luas dan dalamnya antara kapitalis imperialis asing dengan buruh tani bangsa Birma yang radikal itu.
Pada lahirnya saja kelihatan bahwa kebudayaan Budhisme yang berdasarkan kelemah lembutan itu dapat membendung jiwanya bangsa Birma yang berbentuk dan berjiwa sama dengan bangsa Indonesia itu. Kini sudah kelihatan, bahwa jika itu sudah menembus bendungan itu disatu dua tempat dan sudah mulai meluap, bergelora, laksana sungai Irrawadi yang tenang dangkal di musim kemarau berubah menjadi banjir yang deras, meluap, di musim hujan.
Saya tidak sanggup lama tinggal di Rangoon dan mempelajari segala-galanya lebih teliti dan lebih mendalam. Ongkos hidup, walaupun hotel Tionghoa tempat saya menumpang sedikit sekali meminta bayaran, menyebabkan kantong saya semakin hari semakin kempis. Buat pekerjaan yang bisa menjamin penghidupan, kita perlu sedikit lama tinggal di Rangoon. Persaingan di pasar (lapangan) kaum pekerja, halus ataupun kasar amat tajam sekali. Pekerjaan  kantor pemerintah dan perdagangan tidak saja membutuhkan bahasa Birma dan bahasa Inggris, tetapi umumnya juga menghendaki ijazah sekolah Inggris. Banyak pemuda yang berijazah Inggris yang tidak mendapat pekerjaan. Kalau saya cukup lama tinggal di Rangoon, tentulah saya akan bisa mendapat sahabat. Di negara asing itu seorang sahabat boleh jadi sekali sebuah kunci pembuka sumber penghidupan buat kita. Tetapi saya tidak ingin tinggal lama di Birma. Suasana politik di sekitar Indonesia terasa menarik saya ke sana. Sesudah lebih dari sebulan saya tinggal di Rangoon, saya bertolak menuju ke Malaya.
 Tidak sedikit pekerjaan, terbuka atau tertutup yang harus dilakukan dan uang suap (Ciak-teh) yang harus dikeluarkan buat mendapatkan visa dari pemerintah Birma dan karcis dari kongsi kapal Inggris, Kongsi kapal Inggris tak akan mampu menjual karcis, kalau pembeli tak mempunyai visa. Pertanyaan yang harus dijawab di kantor pemerintah kota Amoy sangat banyak memberi pertolongan. Atas surat pas itu konsul Tiongkok di Rangoon dapat memberikan bantuan. Tetapi resmi atau tidak, “kerja sama” antara hotel dengan badan resmi membutuhkan Ciak-teh yang tidak sedikit.
Di pelabuhan Penang saya tak dapat keluar begitu saja bersama-sama dengan penumpang yang lain-lain. Lama juga saya ditahan di duane. Entah apa sebabnya saya tidak tahu. Tetapi saya mendapat kesan, bahwa ada kecurigaan terhadap saya. Si penyelidik mengakui dirinya Tionghoa. Mungkin sekali ada darah Tionghoa dalam tubuhnya, tetapi bentuk dan mukanya serta warna kulitnya lebih banyak mirip pada Keling daripada Tionghoa. Bagaimanapun juga bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik darida bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik daripada bahasa Tionghoa saya. Oleh karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa saya tak perlu mengangkat bendera putih ke depannya. Sekali dia mengakui dirinya Tionghoa dan memakai bahasa Tionghoa, cepat saya ikuti gerak-geriknya dalam ke-Tionghoa-an. Apabila dia mau membelok kepada bahasa “Melayu” atau “Inggris” entah apa sebabnya, maka saya tetap ber-si-Tionghoa dan menarik dia kembali kepada ke-Tionghoa-an. Setelah beberapa lama pencak silat itu berlaku, maka saya mengambil langkah yang selamanya ini mendapatkan hasil yang baik, ialah langkah ke arah “Ciak-teh”. Barulah saya lepas.
Di sepanjang pesisir antara Shanghai dan Rangoon, dimana saja bendera Union Jack berkibar, sistem “Ciak-teh” itu adalah lazim sekali. Di kedua ujungnya jembatan utara “kerajaan Johor” dengan pulau Singapura, British Colony, kendaraan kita “distop” (diberhentikan) buat memberi kesempatan kepada polisi kerajaan Johor dan polisi Singapura memeriksa barang si penumpang. Ada barang yang mesti dikenakan cukai, kalau keluar masuk kerajaan Johor. Si penyelundupnya (smugler) men-stop pen-stopan polisi tadi dengan Ciak-teh, besar atau kecil menurut besar kecilnya untung si penyelendup yang diharapkannya di waktu depan kalau dia jaya. Si penumpang biasa yang membawa barang pemakaian biasa saja lama kelamaan terpaksa memberi Ciak-teh pula, untuk men-stop. Agen polisi yang sudah biasa, dengan jalan pemeriksaan yang lama dan pelemparan barang-barang penumpang kesana sini, kalau Ciak-teh alias uang suap tidak segera keluar. Sebaliknya pula, tak akan dilakukan kewajiban memeriksa itu, ataupun men-stop kendaraan seperti becak, kalau Ciak-teh lekas dan banyak keluar.
Dengan menjalarnya penyakit Ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka “immigration law” Inggris yang maksudnya “membatasi” pemasukan bangsa Tionghoa itu ke Malaya (atas desakan bangsa Indonesia di Malaya) Farce, sandiwara semata-mata. Orang Tionghoa dari mana, dari golongan mana dan bilamana saja bisa masuk ke Malaya, asal membayar Ciak-teh besar atau kecil. Seorang tauke Tionghoa yang sin-kek bisa membayar Ciak-teh buat surat-pas atau visa dan jaminannya itu dari kantongnya sendiri. Tionghoa kuli sin-kek bisa dibayarkan oleh majikan atau keluarganya sendiri yang sudah berada di Malaya. Pelacuran “Immigration Law-nya” Inggris itu disertai pula oleh pelacuran “Mining Law-nya”, undang-undang yang berhubungan dengan pertambangan. Undang-undang Inggris yang katanya buat memperlindungi bangsa Indonesia (Melayu) mencegah bangsa asing atau modal besar menyewa tanah yang mengandung timah, kalau timah terdapat dalam sawahnya putera bumi oleh bangsa Indonesia. Tetapi Ciak-teh biasanya dengan mudah menerobos undang-undang Inggris itu untuk mendapatkan sawahnya mana saja dan bilamana saja kapital asing menghendaki. Pada tahun 1941, di waktu hampir jatuhnya pertahanan Militer Inggris dikenai pukulan tentara Jepang, maka ada satu perkara yang menarik hati, yang sedang digantungkan. Perkara itu berhubungan dengan penerimaan “Ciak-teh” oleh polisi dan pegawai Inggris, dari pangkat bawahan sampai insinyur Inggris kepala jawatan pertambangan. Ciak-teh itu diselenggarakan untuk mendapatkan (dibeli atau disewa?) sawah yang mengandung timah yang selama ini dimiliki oleh sebuah kampung Melayu.
Pembanjiran orang Tionghoa dan Hindustan ke Melayu, mudahnya buat kapital besar asing mendapatkan tanah yang subur untuk perkebunan dan tanah yang mengandung timah, besi dan arang untuk pertambangan, dan adanya polisi dan pegawai yang korup untuk “memperlindungi” bangsa Melayu, adalah tiga sebab yang terutama yang mendesak bangsa Indonesia Melayu ke jurang kemiskinan dan kemusnahan sebagai bangsa. Dari abad ke-14 sampai ke penghabisan abad ke-16, maka bangsa Indonesia di Semenanjung Melayu, di bawah kerajaan Malaka, terkenal di seluruh dunia sebagai kekuasaan laut yang terbesar serta gagah perkasa. Ibu kota Malaka adalah bandar yang mempunyai traffic, perdagangan yang terbesar di sepanjang pesisir Asia, dari Shanghai sekarang sampai ke Aden, bahkan mungkin juga buat di seluruh pesisir Afrika. Dari Indonesia Selatan, Filipina, Birma, Siam, Hindustan, Persia, Arabia, dan dari Tiongkok dan Jepang kapal dagang berlayar pulang pergi ke Malaka. Di bandar Malakalah terpusatnya perdagangan pula, cengkeh dan lada yang sangat dibutuhkan oleh dunia seluruhnya itu, sebagai bumbu makanan dan obat-obatan. Malakalah pula yang menjadi pusat timah yang dihasilkan oleh Semenanjung Melayu sendiri dan emas yang dihasilkan terutama oleh Sumatera. Bandar Malaka yang menjadi pusat perdagangan hasil bumi seluruh kepulauan Indonesia lambat laun menjadi pusat perdagangan hampir seluruh dunia. Hindustan dan lain-lain negara disebelah Barat Malaka mengirimkan utusannya ke-istana Sultan Malaka. Maharaja Tiongkok menerima Sultan Mansur sebagai menantunya; menerima kunjungannya Sultan itu dengan armada yang terdiri dari ratusan (900?) kapal perang besar kecil semata-mata buat “perkawinan” saja (?). Dua kali serangan tentara Siam dihancurkan oleh tentara Malaka. Armada bajak laut dari Bugis yang hebat dahsyat itu dapat diusir dari selat Malaka. Pedagang Islam Malaka menjualkan baragnya dan mengembangkan agama Islam serta bahasa Indonesia hampir di seluruhnya pesisir Kalimantan; berdagang ke pantai Timur Sumatera, ke Sulawesi dan Maluku; berdagang dan menyebarkan agama Islam hampir di seluruhnya pesisir Jawa di sebelah Utara. Pendek kata, ada kalanya kerajaan Malaka menjadi calon yang mengandung pengharapan besar untuk melanjutkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang meliputi seluruhnya kepulauan Indonesia. Kerajaan Malaka sanggup melahirkan ahli Negara dan ahli filsafat Islam seperti Sultan Mansur Syah dan Sultan Muzafar Syah dan Laksamana seperti Hang Tuah dan Hang Nazim. Pujangga Barat, Portugis dan Inggris mengagumi Laksamana Hang Tuah sebagai “Pahlawan Indonesia” yang tak ada taranya” (beyond compare). Perang Malaka-Portugis yang dimulai pada tahun 1509 berlaku selama lebih dari 40 tahun. Perebutan kota Malaka berjalan 2 tahun lamanya (tahun 1509-1511). Kemudian ibu kota Malaka ditinggalkan dan peperangan gerilya dilangsungkan terus di laut, di darat dan ada kalanya di dalam kota Malaka sendiri. Berkali-kali armada Portugis, yang terkuat di seluruh dunia dimasa itu, dipukul mundur, dikalahkan atau dibinasakan.
Apakah sebab yang sebenarnya maka Malaka kalah? Disinilah sejarah, karangan bangsa Indonesia menunjukkan kekurangannya. Dipukul rata “sejarah Melayu” yang ditulis di Johor oleh Tuan Sri Lanang dan Paduka Raja pada th. 1612, jauh lebih jelas (berdasarkan bukti yang nyata) daripada 1001 dongeng yang lain-lain di Indonesia. Kebanyakan dongeng Indonesia lebih banyak bumbu daripada makanannya: enak baunya, tetapi tak ada atau sedikit sekali patrinya. Sukar sekali kalau tiada mustahil memastikan secara ilmu (sejarah tempat, tempo dan kejadian yang sesungguhnya. Dalam hal yang tersebut di belakang ini sejarah Melayu ada banyak juga memberi kepastian. Tetapi sukarlah, kalau tidak mustahil kita akan mendapatkan keadan masyrakat di bandar Malaka yang besar memberi kepastian tentang: cacah jiwanya bangsa asing (Tionghoa, Arab, Hindu, dll) dan banyaknya bangsa Indonesia (Melayu, Jawa, Sumatera, Bugis) di masa itu; banyak anggotanya masing-masing suku bangsa Indonesia di bandar Malaka dan banyak anggota golongan pegawai kerajaan, saudagar, tukang, buruh serta tani dan nelayan Indonesia; hal kerja sama atau pertentangan (dalam hal ekonomi dan politik) antara suku dan suku bangsa Indonesia atau antara golongan dan golongan dalam masyarakat Indonesia itu. Pengetahuan secara statistik dalam hal tersebut dibelakang inilah yang sebenarnya bisa kita pakai sebagai bahan berpikir untuk menentukan keadaan dan kekuatan masyarakat Indonesia dalam kerajaan Malaka yang sesungguhnya. Sejarah Asia umumnya, kecuali Tiongkok dan Arab (?) serta Hindustan Indonesia khususnya tidak memusingkan kepala tentang statistik itu.
Dari sumber Barat kita dapat mengetahui, bahwa teknik Portugis itu dalam dasarnya tak seberapa melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. (Menurut sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membuat bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia). Perbedaan teknik Portugis dan Malaka cuma terdapat dalam kekuatan senjata itu saja. Meriam Portugis dapat menembak lebih jauh daripada Malaka! Memang perbedaan kekuatan ini menimbulkan satu “handicap” (rintangan) di pihak Malaka, tetapi rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Laksamana Malaka selalu menghindarkan pertempuran pada jarak yang memberi keuntungan kepada meriam Portugis. Laksamana Malaka menyerbu di waktu hujan kabut, ribut topan, dengan maksud merapatkan kapal perangnya ke kapal Portugis dan menaiki kapal perang Portugis dengan Pelaut Indonesia yang tak mengenal takut dan gentar itu.
Demikianlah berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan. Tetapi riwayat kemenangan yang berkali-kali terdapat di laut itu kita baca sesudahnya kota Malaka ditinggalkan. Selama pertempuran berlaku di kota Malaka sendiri, tak terdengar kabar dimana adanya Armada dan laksamana Malaka yang masyhur itu. Riwayat Hang Tuah memang tidak jelas seluruhnya bagi kita. Apakah Laksamana Hang Tuah sudah meninggal dunia di waktu itu tetap belum mendapat ganti? Atau sudah mendapat ganti (Hang Nazim) tetapi, entah lantaran apa, belum juga bertindak? Ataukah Hang Tuah masih hidup, tetapi masih dalam buangan dan dalam persangkaan sudah di hukum bunuh atas fitnah istana dan tuduhan palsu yang sudah terkenal itu?
Sejarah yang tertulis tidak memberi jawaban atas pertanyaan seperti di atas itu, kepada saya. Tetapi bagi saya, Armada, Tentara dan Strategi Portugis belum tentu sekali dapat mengalahkan Armada, tentara dan strategi Malaka, kalau yang tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang berasal dari Aceh menghalaukan Armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya dan memotong jalan Portugis ke Maluku mencari barang dagang penting.
Pokok sebab yang menaklukkan Kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali prajurit laut Portugis pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak dapat pertolongan ratusan jong Tionghoa berada di pelabuhan Malaka. Kapal perang Portugis terpaksa berlabuh di tengah-tengah. Karena dangkalnya lautan di tepi pantai. Dengan jong Tionghoa-lah prajurit itu mesti diangkut ke darat. Bandar Malaka yang sesudah ditinggalkan oleh semua penduduknya menyingkir ke luar kota, ke dalam hutan, pada permulaan perang itu, akan terus kosong, kalau penduduk Tionghoa tidak kembali ke kota untuk, berlindung di bawah bendera yang menang, dan dengan begitu memelopori bangsa asing lainnya dan bangsa Indonesia yang pengecut dan berkhianat, masuk ke kota. Bangsa Jepang tidak membantu penjajah Barat dengan alat perang seperti Tionghoa membantu dengan jongnya itu, tetapi dengan senjata di tangan. Dalam sejarah yang ditulis oleh Portugis, maka bangsa Jepang tercatat sebagai pembantu yang amat patuh dan taat sekali. Sikap tindakan Tionghoa-Jepang dalam usahanya membantu penjajahan Barat untuk meruntuhkan Kerajaan Malaka itu adalah paralel (sejalan) dengan sikap tindakan Tionghoa-Jepang di Jakarta ketika membantu Jan Pieterszoon Coen mengalahkan Tentara Sultan Agung. Baiklah juga pemuda Indonesia memperingati sikap tindakan Tionghoa Jepang dimasa lampau itu, supaya berlaku awas, dengan tidak mengabaikan usaha untuk merapatkan perhubungan kita sesama bangsa Asia, yang sama ditindas dan dihisap oleh kapitalisme imperialisme Barat ini. Peringatilah pula, bahwa meskipun perkawinan Sultan Malaka dengan Putri Tionghoa itu mengandung politik diplomasi, tetapi peristiwa itu juga mengandung makna yang dalam. Memang satu golongan bangsa Hindustan di masa itu mengambil sikap tindakan ragu-ragu dan merugikan kita. Tapi sikap tindakan seorang Hindu, yang terkenal dalam sejarah dengan nama Tuan Bondan, yang pernah menjadi utusan sultan Malaka ke kapal perang Portugis, cuma boleh dikatakan sikap dan tindakan, yang tak ada bedanya dengan sikap dan tindakan Indonesia asli, pecinta bangsa dan negaranya. Jadi dipukul rata sikap dan tindakan bangsa asing, adalah sangat merugikan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia Malaka.
Kedua, boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dari Jepara dengan Armada Malaka. Atas anjuran Patih Katir (Kadir) dari Malaka, maka Bupati Unus di Jepara mengirimkan Armada yang kuat, katanya terdiri dari 900 kapal perang besar-kecil, lengkap dengan senjata api serta pelaut yang terdiri dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Palembang, Bugis). Armada ini berlayar mengelilingi pulau Sumatra, ialah sebagian melalui pesisir Barat Sumatra dan terus ke – utara sampai ke Selat Malaka dengan maksud hendak menyerang armada Portugis. Yang sebagian lagi melalui laut Jawa, dari selatan menuju ke utara dan banyak sekali membawa makanan. Oleh Armada Bupati Unuus saja Armada Portugis sudah hampir kalah.  Tak dengan kekalahan penuh dilautpun, kalau pasukan Portugis yang berada di bandar Malaka terus diblokir (dikepung), niscaya tentara Portugis itu akan mati kelaparan. Tentara Portugis dapat tertolong, karena Armada Bupati Unus yang mengangkat beras buat tentaranya sendiri, ditawan oleh Portugis. Dengan begitu, maka tentara Portugis yang hampir mati kelaparan itu mendapat beras banyak sekali. Boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dengan Armada Sultan Malaka yang bergerilya itu, baik dalam hal merencanakan persiapan ataupun dalam usaha merencanakan siasat. Akan berlainanlah jalannya sejarah kerajaan Malaka khususnya dan sejarah Indonesia umumnya, jika Armada Bupati Unis yang pulang kembali ke Jawa, tetapi tak pernah ditaklukkan itu, dapat kerja sama dengan Armada Malaka, ketika mengadakan persiapan membentuk siasat dan menyerang musuh.
  Ketiga, tipis sekali kerja sama antara pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni dibawah Patih Unus (?) dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah Sultan pada peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka. Provincialisme yang membahayakan itu sesungguhnya tipis sekali atau tak ada sama sekali diantara rakyat jelata dari kedua suku bangsa itu. Utimutis lama memihak kepada Portugis dan akhirnya dibunuh juga oleh Portugis, setelah tenaganya dipergunakan. Tetapi pengkhianatan itu ditebus dengan menantunya dan gantinya sebagai Patih Kamping Upi, ialah oleh patih Katir, yang dengan surat mempermaklumkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Sultan Malaka. Kerja sama antara Patih Katir dengan Sultan dan Laksamana, yang berarti pula kerja sama antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa Melayu pada masa perang gerilya, amat rapat dan kekal sekali, sehingga sering mendapatkan hasil perjuangan yang gilang gemilang. Alangkah baiknya pula, kalau kerja sama antara kedua suku bangsa itu direncanakan dan dilaksanakan dari semula, ketika masih bertempur membela bandar Malaka.
Keempat, perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud, yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak menjadi alat adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka sendiri. Sultan tentulah mempunyai tentara resmi. Putera Mahkota, Aladdin mempunyai tentara prive. Bendahara (Mangkubumi) pun mempunyai tentara prive pula. Demikianlah pula para pembesar lain-lain mempunyai pasukan sendiri buat membela kepentingannya sendiri. Sengketa diantara partai dan partai, golongan dan golongan, diwaktu banyak perampokan yang merajalela itu, maka raja-raja yang zalim itu sendirinya menjadi contoh dalam hal kezalimannya bagi pembesar yang lain. Raja tak mempunyai pengaruh atas pegawai negara dan rakyat, karena raja itu berlaku sewenang-wenang terhadap harta benda rakyat serta para wanita. Raja tidak disegani lagi oleh rakyatnya, dan cuma ditakuti oleh yang lemah. Oleh yang kuat, yang kaya dan bersenjata, raja itu dibenci dan dimusuhi. Ke dalam “bellum emnum contra emnes” (perjuangan seorang  melawan seorang lain) lah yang bersimaharajalela, di kota Malaka. Datuk Maharajalela sendiri yang mulanya cuma seorang hulubalang sebagai penjaga dalam suatu rapat Kerajaan saja, menjelma menjadi lambang sewenang-wenang. Dengan sudut mata saja, seseorang pembicara dalam rapat kerajaan yang tidak disenangai oleh Sang Datuk atau Rajanya, dapat dipegang dan dipancung pada ketika itu juga.
Satu dongeng sajakah atau memang satu kenyataankah tentang adanya sifat dan watak manusia yang dikatakan dimiliki oleh Hang Tuah itu, tidaklah dapat dipastikan. Tetapi tampak perhubungannya watak Hang Tuah yang dikehendaki, diidealkan dan dipuja itu dengan kekacauan dan anarki (tak mengakui kekuasaan, authority), maka dimajukan lawannya, ialah tunduk sama sekali kepada authority, kepada Raja, ialah lambang kekuasaan: “Pemerintah Raja tak bisa disanggah (dibantah), walaupun Raja itu tidak adil”. Bukankah Hang Tuah yang cerdik, bijaksana, satria dan suci itu sendiri terima kezaliman itu dengan patuh? Dengan “kepatuhan mutlak” itu sesungguhnya tersingkirlah Filsafat politik Melayu yang dianut selamanya ini, yakni: Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah (dibantah).”
Memang dengan sifat patuhnya maka Hang Tuah biasanya dapat mempengaruhi dan mengendalikan Rajanya yang zalim. Tetapi berapakah orang yang sebenarnya sudah dihukum mati itu, tidak jadi dibunuh oleh karena Datuk Maharajalela, algojo, sendiri atas tanggung jawabnya sendiri, menyembunyikan Hang Tuah di desanya algojo itu sendiri. Kalau simpati itu tak ada, maka Hang Tuah tak akan ada pula lagi. Bagaimanapun juga watak tingkah lakunya Hang Tuah yang dipuja itu cukup memberi petunjuk kepada kebencian dan ketakutan rakyat pada watak dan tingkah lakunya Sultan Mahmud.
Benar atau tidak Hang Tuah hidup dalam buangan pada permulaan perang Portugis-Malaka, tetapi pada waktu yang amat penting itu, Laksamana tidak tampil ke muka. Putera Mahkota sendiri bertentangan hebat dengan ayahanda. Pertentangan ini berakhir dengan perpisahan antara ayah dan anak, masing-masing memimpin tentara menghadapi musuh. Walaupun Sultan Mahmud bukannya seorang pengecut, melainkan sebaliknya, tetapi perpecahan antara ayah dan anak itu sangat merugikan seluruhnya prejuangan melawan imperialisme Portugis itu.
Ringkasnya, sebagai jawaban sementara atas pertanyaan diatas “apakah sebabnya maka Kerajaan Malaka kalah oleh Portugis” saya majukan bahwa disamping kekurangan teknik, maka perkara yang terpenting ialah perkara persatuan juga. Seperti diterangkan diatas tak ada atau tipis sekali persatuan antara penduduk asli Kerajaan Malaka dengan bangsa Asia lain-lain, antara satu bangsa dengan suku bangsa Indonesia lainnya, antara Sultan dengan Putera Mahkota, semua ini bersamaan dengan kezaliman Sultan Mahmud itu.
Sejarah kota Malaka tidak berhenti dengan pendudukan tentara Portugis di kota itu saja. Aceh mencoba melepaskan Malaka dari cengkeraman Portugis. Belanda mencoba dan berhasil merebut Malaka dari tangannya Portugis (1641). Akhirnya kota Malaka oleh Belanda dipertukarkan dengan Bengkulen yang dijajah oleh Inggris. Sebentar pada tahun 1942 Malaka direbut oleh Jepang dari tangan Inggris. Setelah Jepang kalah, maka Malaka jatuh kembali ke tangannya Inggris sampai sekarang.
Di tangan Inggris kota Malaka tidak bertambah besar, dan tidak dapat menyamai artinya di masa lampau. Bahkan sebaliknya. Malaka sudah lama dikalahkan oleh kota dan bandar lainnya di Semenanjung sendiri, apalagi oleh kota dan bandar Asia lainnya. Sebab yang pertama ialah karena pelabuhan Malaka tidak memenuhi syarat untuk kapal Samudera. Samuderalah yang oleh Raffles dianggap mempunyai syarat yang dibutuhkan sebagai bandar, berhubung dengan perniagaan dan strategi, Rafles berusaha dan dapat pula membeli Singapura dengan harga $ 60.000,- dari Sultan Hussein, seorang gila yang ditolak oleh rakyat Johor dijadikan Raja, sebab gilanya itu, tetapi diangkat oleh Rafles sebagai bonekanya.
Tidaklah adatnya imperialisme Inggris memukul dengan langsung. Dia mengalahkan sesuatu negara, pertama dengan siasat memutar (indirect) dan setelah masuk buat direbut, barulah dengan siasat langsung, siasat perang. Dia memulai dengan politik adu domba dan blokade ekonomi, dan mengakhiri dengan pukulan militer.
Dengan hilangnya kota Malaka sebagai ibu kota, maka lambat laut Semenanjung mundur dan pecah-belah berupa berbagai-bagai “kerajaan” sebesar nyamuk. Johor sebagai ibu kota pelarian dari pemerintah kerajaan Malaka, tidaklah pernah dapat menyamai kekayaan dan kekuasaan kota Malaka.
Pada masa Raffles menduduki kota Singapura, jadi lebih dari satu abad lampau, maka menurut satu statistik yang saya baca dalam “Straits Time” (?) penduduk Singapura baru 6 ribu orang. Memang sudah ada juga orang Tionghoa di masa itu, tetapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak, kalau saya masih ingat adalah l.k. 90% dari semua penduduk. Tidak saja banyaknya penduduk, tetapi hampir seluruhnya mata pencarian masih ditangannya bangsa Indonesia. (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis, Palembang dll). Perusahaan, pelayaran, perikanan, dll. masih sebagian terbesar berada di tangannya bangsa Indonesia. Apalagi di pedalaman, semua sumber pencarian hidup masih di tangan putera bumi. Pertambangan timah yang masyhur dari zaman dahulu kala itu, berada di tangannya Indonesia. Disebutkan dalam salah satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan yang terbesar ialah yang dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja Mandailing.
Memang bangsa Tionghoa dan Hindu di zaman lampau banyak mengambil bagian dalam perdagangan Indonesia. Tetapi terutama dalam bagian export. Di pasar pedalaman boleh dikatakan seluruhnya perdagangan berada di tangannya Indonesia, seperti masih kelihatan sekarang di Minangkabau. Pun perdagangan export dan perkapalan, sebagian besar masih digenggam oleh bangsa Indonesia (Sriwijaya, Majapahit, Banten, Minangkabau, Malaka dll). Tentang pertukangan, seperti dalam hal tembaga, perak, besi dan emas, bangsa Indonesia pasti tak kalah oleh bangsa manapun juga di masa lampau itu. kainpun ditenun di Indonesia sendiri. Yang masuk dari luar negeri tidak berapa macam dan banyaknya barang. Umpamanya sutera dari Tiongkok, cawan-piring dari Indo-Cina. Tetapi Indonesia hampir mengeluarkan semua macam logam untuk alat dan perhiasan, rempah-rempah, kayu serta barang hutan seperti rotan, damar, kamper dll. Di kota Malaka dan Singapura sebelum Raffles, sebagai bandar-bandar Indonesia yang didiami oleh berbagai-bagai suku bangsa dari seluruhnya Indonesia, perusahaan, perdagangan, dan perkapalan sebagian besar berada di tangannya bangsa Indonesia. Musafir Tionghoa yang melukiskan kota Malaka di zaman luhurnya menghargai saudagar Indonesia sebagai orang yang cakap dan jujur.
Berturut-turut bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris menghancurkan tentara dan semangat keprajuritan Melayu di daratan dan di lautan. Kemudian dalam lebih kurang satu abad belakangan ini Inggris menghancur luluhkan perusahaan, perdagangan dan perkapalan Melayu dan menukar bangsa Melayu dari bangsa penyebar agama, ahli dan pembesar negara, prajurit, tukang, pelaut dan saudagar menjadi polisi, sopir, tengkulak, dan bujang kantor.
Kejadian Inggris dalam usahanya itu terutama disebabkan oleh (1) perampasan tanah dan logam, (2) pemasukan modal dan tenaga bangsa asing dengan tidak terbatasnya, atau namanya dibatasi tetapi mudah diselundupi karena adanya polisi yang korup.
Perkara perampokan tanah tidaklah perlu banyak lagi saya uraiakan disini. Diatas sudah banyak saya sebutkan sebagai modal besar menerobos “Mining Lawnya”, Undang-Undang tambang itu dibikin (buat diselundupi!), maka hampir semua tanah yang berisi logam (timah, arang, dan besi) sudah dirampas oleh modal besar met of zonder persetujuan “para Raja”, ialah kaki tangannya Inggris, dan penindas serta pengisap rakyatnya. Tetapi dihampir jatuhnya Malaka ke tangan Jepang, maka masih banyak orang Tionghoa, dengan tidak seizinnya Indonesia asli berkeliaran di hutan, merampas tanah yang mengandung emas. Mereka menambang emas, mengeruhkan sungai-sungai yang dahulunya mengandung banyak ikan untuk makanan putera bumi dan musnah lantaran kekeruhan air itu. Seorang Inggris bernama Hubback (?) acapkali menulis dan memprotes perkara ini, tetapi tidak diacuhkan oleh pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh modal timah dan getah. Hampir seluruh perikanan di pesisir semenanjung, yang dahulunya menjadi sumber pencarian bagi Putera bumi sudah lama jatuh ke tangan Tionghoa totok. Dengan izinnya pemerintah Inggris memberikan tanah kepada bangsa Tionghoa di beberapa tempat, maka akan mungkin gelap benarlah nasibnya Indonesia asli di hari depan.
Perkara masuk tidak terbatas (unlimited immigration) bangsa asing itu ke Malaya, sekarang sebenarnya bukan soal lagi bagi bangsa Melayu. Sekarang pun bangsa Melayu yang 2 juta banyaknya itu sudah kurang daripada jumlah bangsa Tionghoa dan Hindustan. (Tionghoa lebih dari dua juta dan Hindustan kurang dari 1 juta banyaknya!). Sekarang bukan lagi soal membatasi masuknya orang asing yang sudah lebih banyak daripada bangsa asli itu, melainkan perkara bagaimana jalannya mengurangi banyaknya bangsa asing yang mendesak bangsa asli dalam penghidupannya sendiri atau menambah banyak bangsa asli sekarang supaya mendapatkan angka yang patut pantas berhubung dengan politik, ekonomi dan sosial Tanah Semenanjung dan kemerdekaan 100% bagi seluruhnya bangsa Indonesia.
Bahwa penduduk asli sudah dilebihi oleh jumlah penduduk asing itu, belumlah memberi gambaran yang benar tentang nasib hidupnya bangsa asli. Begitu pula sedikit jumlah bangsa Yahudi di sesuatu negara di Eropa atau sedikit jumlahnya orang Chetty di Burma kalau dibandingkan dengan penduduk asli, bukanlah pada memberi gambaran yang sempurna tentang keadaan bangsa asing. Haruslah terutama diselidiki keadaan ekonomi umumnya dan sumber pencaharian yang dipegang oleh bangsa asing itu khususnya.
 Semua perkebunan besar sudah dimiliki oleh bangsa asing (Inggris dan Tionghoa). Cuma ladang getah yang setelapak tangan luasnya yang masih berada di tangan bangsa asli. Hasil getah yang seluas telapak tangan itupun jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan). Setelah dikumpulkan getah yang dibatasi keluarnya itu (buat membantu kebun asing), maka seterusnya getah putera bumi tadi jatuh ke tangan tengkulak saudagar dan exportir asing. Dua tiga benggol saja yang tinggal di kantongnya bangsa Melayu. Perusahaan timah sudah lama jatuh di tangan bangsa asing. Tetapi kalau seandainya pekerjaan buruh di pertambangan dan diperkebunan di jalankan oleh bangsa Melayu, maka akan ada juga ampas perekonomian yang jatuh ke tangan Melayu, akan ada juga timah yang jatuh dari meja makannya modal asing, yang dapat dimakan oleh putera bumi. Tetapi ampas perekonomian inipun jatuh ke tangan kuli asing. Lompen proletar asing, orang luntang-lantung di Tiongkok ataupun penjahat yang dikejar-kejar oleh pemerintahan Tiongkok, baik dahulu maupun sekarang, dapat masuk ke Singapura, satu Free-port, pelabuhan bebas. Mereka lepas dari tuntutan dan berbahagia mendapatkan satu dua benggol untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun. Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya) menerima upah yang amat rendah (30 sen sehari). Semakin banyak “luntang-lantung” Tionghoa dan Keling yang masuk, semakin tajam persaingan antara kuli dan kuli dan semakin baik buat si kapitalis yang menghendaki kuli yang murah, rajin dan patuh.
 Dengan masuknya Tionghoa, Hindu, Keling ke Malaya, dengan kekuatan sebagai arus banjir menerobos pematang (dijk, galangan), maka hancurlah bangsa Indonesia ke pinggir-pinggir kota dan ke pegunungan. Kota, dan kebun rata-rata diduduki oleh “para tamu”. Beberapa contoh yang saya saksikan sendiri dalam lebih kurang seperempat abad di belakang ini, dapatlah kiranya memberikan sekedarnya gambaran. Sekembalinya saya dari Nederland tahun 1919, maka di bagian kota Singapura, yang sekarang berada di sekitarnya “High Street” masih terdapat toko bangsa Indonesia. Pun disana sini kelihatan rumah yang sedang besarnya, yang didiami oleh bangsa Indonesia. High Street adalah tiga atau empat km jauhnya dari pelabuhan Tanjung Pagar. Di Kampung Gelam, yang juga dinamai Kampung Jawa, boleh dikatakan cuma kedai dan rumah bangsa Melayu yang terdapat. Bangsa Indonesia masih mempunyai perusahaan emas, perak, tembaga, toko kain, perusahaan penjahitan, toko barang kelontong, warung nasi dan rumah yang besar-besar juga. Jauhnya Kampung Gelam, dimana masih berdiri “istana” yang diberikan oleh Raffles kepada Sultan Hussein sebagai umpan, adalah +- 5-6 km jauhnya dari pelabuhan. Selanjutnya Kampung Geylang yang luas dan +- 9-10 km jauhnya dari pelabuhan itu, hampir sama sekali pula didiami oleh bangsa Indonesia. Bangsa Tionghoa sebagian besar terkumpul dekat pelabuhan Tanjung Pagar, dinamai “Cina Town”, kampung Cina.
Pada tahun 1927, jadi kurang 10 tahun lamanya di belakang hari, maka sekitarnya High Street sudah tak kelihatan lagi dari toko dan rumah orang Indonesia. Kampung Gelam atau Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Hindu dan Keling. Cuma Geylang saja yang masih boleh dikatakan kampung Melayu.
Pada tahun 1937, ketika saya masuk kembali ke Singapura maka tidak saja sekitarnya High Street, tetapi juga Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Keling, dan Hindu. Orang Indonesia cuma terdapat disana-sini sebagai barang peringatan ke masa lampaunya. Oleh karena usaha Encik Yunus, seorang Indonesia Minangkabau, maka pemerintah Singapura membenarkan berdirinya “kampung istimewa” buat orang Melayu. Disini cuma orang Indonesia saja yang boleh tinggal. Jauhnya Kampung Melayu “istimewa” ini lk. sudah 20 km dari pelabuhan. Seperti Amerika Serikat akhirnya, berdasarkan peri kemanusiaan mereka perlu mengadakan Indian Reservation, tanah istimewa buat penduduk asli orang Indian itu, demikianlah pula karena prikemanusiaan, ala Inggris, pemerintah Singapura merasa perlu mengadakan “Malaya Reservation” untuk bangsa Indonesia yang sudah sangat mendesak itu, di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937 itu, jadi lebih kurang dalam seperempat abad semenjak saya mengunjungi Singapura yang pertama kalinya itu, maka bangsa Indonesia sudah berturut-turut terpelanting dari pelabuhan Tanjung Pagar (tempat kediaman mereka semula, ketika Inggris masuk) : (1) ke sekitar High Street, 3-4 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1919, (2) ke Kampung Gelam, 5-6 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1927 (3) ke Kampung “istimewa” +- 20 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1937.
Di Kampung Jawa, bekas pusatnya perekonomian Indonesia, hilang lenyaplah perusahaan logam (emas, perak, tembaga) Indonesia. Yang tinggal cuma satu dua penjahitan kulit dan pecis. Dua toko kain Padang dan satu warung nasi Padang, satu toko obat Jawa dan satu toko buku Indonesia lagi, berdiri sebagai “candi” perekonomian Indonesia di tengah-tengah masyarakat asing di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937 itu penduduk Singapura ditaksir 700 ribu orang banyaknya. Diantaranya ditaksir 600.000 Tionghoa atau lebih kurang Tionghoa atau lebih kurang 85%; orang Keling Hindu 70.000 orang atau 10% dan orang Melayu 30.000 orang atau lebih kurang 5%. Ada pula yang menaksir banyaknya orang Melayu cuma 10.000 orang saja, atau cuma 1% lebih sedikit saja. Demikianlah jatuh perbandingan banyaknya bangsa Melayu dari 90%, ketika Inggris masuk, sampai ke 5% atau 1% dari jumlah penduduk diwaktu satu abad dikemudian hari.
Hal jumlah di Singapura saja belumlah dapat memberi ukuran yang sempurna. Harus diketahui pula bahwa tidak saja di kota Singapura, tetapi juga di kota-kota besar seperti Penang, Kuala Lumpur dll, bangsa Timur Asing sudah mempunyai sebegitu banyak, sehingga mereka bisa mengadakan produksi sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakat sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakatnya sendiri dan logis-nya sendiri. Tak berapa jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa bangsa Timur Asing umumnya dan bangsa Tionghoa khususnya sudah mengadakan “Negara di dalam Negara” di Semenanjung Malaya.
Bangsa Indonesia sendiri, yang mengaku dirinya sebagai putera bumi, turunan ahli agama, ahli negara dan pembentuk Undang-undang Laut seperti Sultan Mansyur Syah; turunan Hang Tuah seorang anak miskin yang sanggup menjadi ahli siasat, politi, ahli jiwa serta lambang kesatriaan dan kejujuran; bangsa Indonesia Malaya yang pernah menguasai produksi, perdagangan dan perkapalan; bangsa Indonesia Malaka, yang oleh Maharaja Langit dari kerajaan yang terbesar di dunia ini diakui sebagai bangsa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”; bangsa Indonesia yang cakap mengawasi ketentraman di laut daerahnya dan sanggup memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang lautnya, walaupun dari rakyatnya kerajaan yang terbesar di dunia, dalam kurang lebih satu abad oleh Inggris diturunkan menjadi bangsa polisi, bujang kantor dan sopir dari bangsa asing di tanah airnya sendiri.
Bangsa Indonesia seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya. Sebagai  pusat pasar dunia, pusat lalu lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan komplotan dan perusakan imperialis Inggris di Malaya itu tak diperamati oleh bangsa Indonesia dengan berpangku tangan saja. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhirnya di Madiaun pada tanggal 17 Maret 1946 saja. Pun tidak pula tidak akan terhenti dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemusnahan bangsa Indonesia Malaya, atau tenggelamnya bangsa Indonesia Malaya diantara bangsa Asia-Timur yang masih mengakui leluhurnya sebagai negaranya, adalah perkara yang langsung dan tak langsung akan mempengaruhi soal hidup matinya Republik, teristimewa di hari depan.
Demikianlah adanya suasana di Semenanjung Tanah Malaya, ketika saya keluar dari Duane di Penang. “Dimanakah saya bisa tinggal untuk mendapatkan pekerjaan pertama kali untuk sumber penghidupan”, inilah pertanyaan yang mendesak dalam pikiran saya, karena uang simpanan saya semakin hari semakin habis
Di Kampung Melayu tak ada mata pencaharian, yang lekas dapat memberikan hasil. Bersawah tidaklah umum, dan tanaman getah baru mengadakan hasil sesudah 7 tahun. Mengajar di surau (langgar) memangnya buat seorang alim Indonesia adalah suatu pekerjaan yang mudah dilakukan, tetapi mengajar di sekolah (kalau ada sekolah!) memberlakukan ijazah Inggris. Ijazah Inggris saya tidak mempunyai. Ijazah Hindia Belanda tidak boleh saya simpan apalagi dipertontonkan. Lagi pula orang Indonesia dari Jawa atau Sumatera, yang pandai “cakap orang putih”, yang pada masa itu cuma mencurigakan saja. “Mungkin sekali dia komunis pelarian”, demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927. Intelligence Service (I.S) Inggris yang bekerja sama dengan P.I.D Belanda sama tajam penciumannya dengan herdershond tulen (anjing pemburu). Di pertambangan sukar didapatkan pekerjaan, karena hampir semua pekerjaan sudah dimonopoli oleh Tionghoa totok. Di kebun getah lebih besar pengharapan mendapatkan pekerjaan, yakni di waktu makmur. Tetapi pada masa itu pengangguran masih umum berlaku di Malaya. Bagaimanapun juga hidup di kampung atau di kebun buat kita orang kota yang sudah jauh merantau, adalah satu kesunyian, satu siksaan. Baiklah buat seminggu dua, tetapi lebih lama dan itu kita rasa sebagai hidup di dalam penjara saja. Di kotalah tempat yang dapat memenuhi penghidupan dan perasaan kita yang biasa hidup di kota besar. Bukannya saya tidak mencoba hidup di desa Melayu. Tetapi segera saya tertumbuk pada peristiwa yang membahayakan kemerdekaan diri.
Disalah satu “kerajaan” di Malaya, memangnya saya mempunyai sahabat lama, yang sudah diuji kesetiaannya. Tetapi karena imperialisme Inggris sekarang kembali lagi ke sarangnya, sesudah diperlututkan oleh tentara Jepang pada tahun 1942, maka tidalah baik saya sebut namanya sahabat itu. Memangnya pula ada kebahagiaan karangan ini saya tidak lagi dengan sengaja akan memakai “nama” yang pasti dari siapa ataupun apa saja, yang bisa memberi petunjuk, yang kiranya dapat dipergunakan oleh P.I.D nya imperialisme mana saja.
Setelah beberapa kota dan kampung di pedalaman Malaya saya kunjungi, dan sesudah mendapatkan kepastian, bahwa saya tidak mudah mendapatkan pekerjaan maka akhirnya pada satu hari di tengah malam saya mengetuk pintu rumahnya sahabat (sh) X di kampung Y. Dia terkejut, karena dia tidak menyangka kunjungan saya di tengah malam, sesudah perpisahan +- 10 tahun lamanya itu. Dia ceritakan bagaimana dia menderita kesusahan, karena berhubungan dengan saya di waktu lampau. Pangkatnya diturunkan dan berbulan-bulan lamanya ia diawasi oleh I.S. walaupun begitu, karena memangnya persamaan keyakinan, dengan tidak ragu-ragu ia mempersilahkan saya tinggal di salah satu rumah keluarganya.
Malangnya pula diantara keluarganya itu ada seorang pensiunan yang dulunya bekerja dalam kepolisian Inggris. Dalam kampung Y yang kecil itu tentulah dengan adanya saya sebagai tamu tak lama dapat disembunyikan. Setelah saya melihat perhatian yang ganjil terhadap saya dari pihak pensiunan polisi tadi, maka pada tengah malam pula saya pergi mengunjungi X dan meminta penjelasan. Berterus terang dikatakannya bahwa memangnya orang itu saudaranya sendiri, dan walaupun sudah pensiun, X sebenarnya tidak percaya sungguh kepadanya. “Maklumlah walaupun polisi itu sudah pensiun, semangatnya masih semangat penangkap”, katanya. Bintang tanda “jasa” besar, sangat disukai oleh polisi di sini, katanya pula dengan segala kejujuran di mukanya.
Kepada sh X saya meminta pertimbangannya, apakah baiknya saya lekas pergi saja, ataukah tunggu dulu. Segera sh menjawab: “Terserah kepada saudara! Maklumlah saya ingin hendak memberikan pertolongan!!?? Tetapi saya tak ingin memberi kesan, bahwa saya seolah-olah mengusir saudara”.
Dengan cepat saya putuskan, hendak bertolak, dengan tidak pula menunggu-nunggu. Dia menyerahkan sekedarnya uang, yang kebetulan baru saja diterimanya dari salah seorang saudaranya sebagai pinjaman getah, dengan perkataan: Ini uang rupanya rezeki saudara. Kebetulan baru saja saya terima. Selamat jalan.”
Pagi benar saya meninggalkan kampung Y. saya mengendarai sebuah becak. Tetapi karena bekas pensiunan juga memberi pamitan ketika saya berangkat, dan menurut pengakuannya dia dulu memang banyak mempelajari gambar saya pula maka di tengah jalan becak itu sengaja saya tinggalkan. Pembaca harus maklum bahwa becak di Singapura (Malaya) mempunyai nomor, dan seorang polisi Malaya, apalagi sudah pensiunan pula, tajam sekali peringatannya tentang nomor becak itu. Nomor itu dapat dipakai oleh I.S Inggris dibelakang hari. Sepotong kain kepunyaan orang yang dicarinya saja bisa dipergunakan untuk diciumkan kepada anjing pemburunya. Apakah lagi nomor becak. Tetapi seorang pelarian Veteran, tajam pula persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi petunjuk sedapat-dapatnya dihapuskannya.
Saya meninggalkan becak mengambil jalan hutan yang tidak mudah buat dilalui, berjalan 6 atau 7 km jauhnya memikul koper saya yang tidak ringan. Akhirnya sampailah pula saya ke rumahnya sahabat lama yang lain. Saya namakan saja sh Z. Sh Z sudah menjadi orang berada, sudah beristeri empat dan mempunyai mobil. Berbandingan dengan naiknya kemewahan hidupnya selama 10 tahun saya tinggalkan itu, maka turunlah pula semangat kemerdekaannya. Saya diterimanya dengan baik, tetapi dengan perasaan yang agak dingin dan sedikit takut. Dia cuma menjalankan kewajibannya sebagai sahabat lama. Akan besar hatinya, kalau “tamu komunis pelarian” itu berangkat dari rumahnya.
Kesempatan itu tiba, sesudah beberapa hari saja saya tinggal di kampungnya. Dia berangkat ke Singapura buat menjumpai sahabatnya. Sesampainya di sana, saya meminta berpisah dan meloncat ke sana-sini. Di Singapura saya pindah dari pemondokan ke pemondokan. Sepuluh tahun lampau, tidaklah sukar mendapatkan rumah di kampung Melayu buat disewa. Tetapi pada tahun 1937 itu seperti saya sebutkan diatas, masyrakat Melayu di dalam kota Singapura sudah cerai berai dan suda terdesak ke “Kampung Istimewa” jauh di pinggir kota. Di dalam kota Singapura sendiri diantara 100 orang di jalan raya kita amat susah mendapatkan satu biji orang Indonesia, biasanya agen polisi, sopir atau bujang kantor (office boy). Agen polisi dibangsalkan di beberapa tangsi di dalam kota, bujang kantor atau sopir boleh bergembira, kalau dapat menyewa serambi atau kamar kecil kepada Tionghoa atau Keling. Tidak aman tinggal bersama-sama dengan mereka buat seorang pelarian politik. Memangnya orang Indonesia di Singapura dimasa itu tidak memikirkan politik dan tidak bisa menyimpan rahasia kita sebagai pelarian politik Imperialisme Inggris jaya menarik orang Indonesia keluar dari perjuangan politik yang sedikit radikal, dan berhasil menarik mereka masuk ke warung kopi buat mengobrol tentang pertandingan sepakbola, dengan tidak memikirkan waktu.
Dalam seminggu dua saya tinggal di Singapura itu saya coba memasuki kantor maskapai yang besar-besar buat mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis ataupun bujang. Tetapi tidak berhasil. Lain sekali keadaan pada tahun 1937 itu dari 10 tahun lampau. Dahulu mudah saya mendapatkan pekerjaan seperti sudah saya ceritakan lebih dahulu. Tetapi pada tahun 1937 itu dikatakan dalam surat kabar, bahwa +- 4000 pemuda keluaran sekolah menengah yang menganggur. Pekerjaan kantor yang bukan Straits Born Chinese, Tionghoa yang tidak lahir di Singapura dan tidak pula mempunyai ijazah Sekolah Inggris, bahkan tidak pula mempunyai salah satu surat keterangan, adalah perkara yang amat sukar. Lari kian kemari membutuhkan banyak “siasat”, tetapi lebih banyak lagi membutuhkan uang. Dengan tidak disangka-sangka dompet kita sudah kosong. Dengan kawan yang ditinggilkan dilain tempat, tentulah tidak dapat diadakan perhubungan sehari dua saja. Kadang-kadang juga tak dapat diadakan dalam berminggu-minggu atau berbulan-bulan, lantaran kekuarangan alamat yang “pantas” untuk menerima balasan surat. Pekerjaan baru untuk sumber hidup tak pula selalu bisa didapat dalam seminggu, sebulan atau lebih. Keadaan “musim kemarau” dalam kehidupan itu sudah pernah saya alami di Siam, Tiongkok, dan pada tahun 1937 itu di Singapura. Tetapi biasanya dengan tidak dikira-kira. Tibalah pertolongan yang dibutuhkan.
Jerih lesu karena berjalan masuk kantor keluar kantor menanyakan pekerjaan yang terlowong, merasa akibatnya kekurangan tidur dan makan pada dua tiga minggu yang belakangan ini, akhirnya saya jatuh termenung diatas sebuah bangku dalam gedung Raffles Museum. Sebagai kilat menyambar di dalam gelap, timbullah sekonyong-konyong pikiran yang amat ganjil: Kalau Buna ada di sini, selesailah semua kesulitan, dan “Buna ada”! Pada saat itu juga tampaklah +- sepuluh langkah jauhnya dari saya, seorang Tionghoa yang lenggangnya seperti lenggang Buna. Saya panggil dia dengan suara keras, sambil menggosok-gosok mata saya sendiri. Keduanya kami tercengang atas pertemuan yang tidak disangka-sangka itu. Tidak sanggup kami berbicara beberapa lama.
Setelah sekian waktu kami berpegang-pegangan, sambil takjub dan tertawa, tertawa dan takjub, bertanya dan menjawab, menjawab sambil bertanya, tak karuan, tak berujung dan berpangkal berbicara melompat kian kemari barulah terdapat suasana yang agak tenang.
Sedikit  selama ini saya singgung-singgung persahabatan saya dengan Buna. Selama 10 tahun di belakangan itu sedikit sekali saya bercerai dengan Buna. Dia tahu benar keadaan saya. Pernah saya tinggal di rumah keluarganya. Pernah pula saya bertikai dengan salah seorang pamannya sendiri. Dia menganggap saya yang berada dalam kebenaran. Buat memelihara keamanan diri saya, dia ikut menemani saya pergi ke lain tempat, melalui bermacam-macam kesulitan dan kesukaran di jalan. Dia adalah seorang pemuda Hokkian beragama Kristen dan mempunyai keahlian dalam hal listrikdan kimia.
Ketika Jepang hendak menyerang Amoy, maka kami berpisahan. Tetapi pada ketika itu dia berangkat ke pedalaman Tiongkok. Berhubung dengan soal belanja maka pada permulaan tidaklah ada maksudnya hendak berangkat meninggalkan Hokkian yang belum pernah ditinggalkannya seumur hidupnya. Tiba-tiba waktu yang amat penting bagi saya ini dia berada di depan saya dengan kecepatan lampu ajaibnya Aladdin dari cerita 1001 malam.
Selang beberapa tahun di Amoy, Buna dan saya berpisah dengan seorang pemuda bekas teman sekolahnya Buna. Kita namakan saja teman itu Y.Y. Dia berada di Singapura, tetapi saya tidak mengetahui alamatnya. Buna pun tidak lagi mempunyai tulisan alamat itu, tetapi ada bagian alamat yang masih diingatnya, ialah sebagian nama dari nama sekolah yang dipimpin oleh temannya Y.Y
Karena keadaan memang sudah sangat mendesak, maka dengan segera kami berangkat mencari sekolah itu. Tidaklah mudah mendapatkan sekolah itu karena amat kecil sekali dan namanya hampir sama pula dengan beberapa sekolah Tionghoa lainnya. Terpaksalah kami hampir sehari lamanya berjalan atau menaiki trem dari ujung ke ujung kota Singapura, yang amat panjang dan lebar itu. Sebagai akibat dari usaha itu, maka pada besok harinya Buna jatuh sakit, karena lelah dan kepanasan. Tetapi kami berjumpa dengan teman yang dicari itu.
Oleh Y.Y yang cuma sebentar saja saya kenal di Amoy, saya dipersilahkan tinggal di rumah sekolah temannya tadi, ialah kalau mau tidur di bangku sekolah saja. Jangankan di atas bangku sekolah, di atas ubin atau di atas lantai pun sudah sering saya tidur. Yang penting, ialah hidup di Singapura dalam masyarakat Tionghoa, karena masyarakat Indonesia bagi saya pasti tak mengizinkan tinggal agak lama.Untunglah pula bahasa dan adat istiadat Tionghoa yang sekedarnya saya ketahui dan surat pas Tionghoa yang saya miliki, cukup memberikan syarat buat hidup dalam masyarakat Tionghoa yang boleh dikatakan autonom di Singapura itu. Malam itu juga saya pindah ke Sekolah kecil itu meninggalkan pemondokan yang paling belakang tadi.
Kebetulan pula beberapa hari dibelakangnya, terbukalah lowongan buat guru bahasa Inggris di sekolah temannya Y.Y. Sayalah yang diangkat oleh kepala sekolah! Tetapi pengangkatan itu harus pula disahkan oleh Pemerintah Inggris bagian perguruan, karena sekolah di Singapura berada di bawah penilikan Department of Education, jabatan pengajaran. Sebenarnya yang dibolehkan mengajarkan bahasa Inggris itu cuma British Subject, rakyat Inggris yang mempunyai ijazah sekolah Inggris pula. Tetapi kesulitan ini sesudah sekolah ini dikunjungi oleh inspektur sekolah dengan sedikit “muslihat” dapat diselesaikan. Syarat yang terpenting tentulah cakap mengajarkan bahasa Inggris kepada anak Tionghoa totok. Dan “metode” saya mengajarkan bahasa Inggris kepada murid Tionghoa sudah mendapat “ujian” pesat di Tiongkok sendiri.
Begitulah dengan gaji $ 8 (tertera delapan dollar Singapura, seharga 8 x F 0.85; atau F 6.80) sebulan, maka saya mengajarkan bahasa Inggris, kepada lima kelas di Sekolah Rendah Tionghoa, dua tahun lamanya. Makan dan tempat adalah bebas, ialah dalam rumah sekolah itu sendiri. Karena makan kurang baik (maklumlah sekolah kecil) maka gaji dinaikkan menjadi $ 10 (atau F 8.50) sebulan, dengan tetap bebas tempat tinggal, tetapi membeli makan sendiri. Agak susah mencari makan sendiri dengan gaji F 0.28 sehari. Apalagi dobi harus bayar sendiri, dan saban-saban pakaian yang sudah usang rombang-rambing harus diganti pula dengan yang baru, yang baik dipandang murid. Tetapi saya merasa aman. Siang hari saya dapat menjalankan pekerjaan dalam sepenuhnya waktu, yang tetap, berguna dan bisa menjadi tabir asap. Anjing pemburu tak “lekas” menyelundupkan hidungnya ke dalam kamar sekolah kanak-kanak.  Di jalanan pun bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak pula lekas tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa buat tuannya. Di waktu terluang dan tempat yang baik dapat juga berbicara dengan orang Indonesia. Maklum sajalah pembaca yang arif dan bijaksana! Indonesia lebih dekat letaknya dan semua kemungkinan daripada tempat dan masa yang sudah-sudah.
Sahabat Tionghoa semakin lama semakin banyak pula. Mengajarkan bahasa Inggris tidak lagi di sekolah saja. Malam hari pun sudah tak ada lagi waktu yang terluang. Seorang dua sahabat membutuhkan supaya anaknya, lelaki dan perempuan dari umur 6 tahun murid sekolah rendah sampai anak berumur 18 tahun murid sekolah menengah tinggi, diulangi pelajarannya di waktu malam hari, tidak saja dalam bahasa Inggris, tetapi juga tentang kimia dan matematika. Sebenarnya dengan mengembangkan sahabat pekerjaan buat pencaharian sudah tidak menjadi soal lagi. Pada perusahaan (Tionghoa) mana saja, dan bila mana saja, saya dapat mencari tempat. Sekali mendapat “surat keterangan” tentang pekerjaan, tidak pula sukar mendapat pekerjaan baru pada maskapai Eropa.
Dulunya dimasa musim susah di Singapura, pernah saya majukan surat permintaan pada salah satu Sekolah Menengah Partikulir yang dipimpin seorang Inggris. Sekolah itu menyiarkan advertansi mencari seorang guru untuk ilmu bumi. Saya dipanggil, disetujui oleh direktur sekolah. Tetapi karena “Department of Education” membutuhkan ijazah, maka saya tidak bisa diterima menjadi guru.
Dengan bertambahnya sahabat dikalangan Tionghoa, perkara ijazah itu menjadi perkara yang kedua. Yang terpenting ialah perkara bisa. Demikianlah akhirnya pada tahun 1941, saya di lapangan perguruan Tionghoa di Singapura sampai juga ke tingkat yang tertinggi, ialah mengajar bahasa Inggris di salah satu sekolah Menengah Tinggi. Kalau tidak terputus oleh perlututan Inggris kepada tentara Jepang pada bulan Februari 1942, maka disampingnya mengajarkan bahasa Inggris, atas permintaan murid sendiri, saya juga akan mengajarkan matematika (aljabar dan ilmu ukur).
Nama saya (nama surat pas) masih tercatat dengan resmi dalam kantor Chinese Protectore (perlindungan Tionghoa) di Singapura sebagai guru bahasa Inggris Sekolah Menengah Tinggi tersebut. Karena kesulitan ijazah maka inspektur Inggris sendiri rupanya ingin mendengarkan saya mengajar. Tak lebih dari satu menit dia hadir dan pergi, artinya ini  OK, ......zonder tanda British Subject, surat ijazah dan surat keterangan...........Kekurangan syarat secara Formal, kebiasaan dikalahkan oleh syarat menurut kecakapan.
Beranilah saya memperingatkan kepada pemuda-pemudi kita, bahwa syarat yang terakhir yang terpenting dalam suatu pekerjaan itu ialah “kecakapan” dan “rasa tanggung jawab” terhadap kewajiban sendiri. Bukannya ijazah! Ijazah cuma untuk pembuka jalan, buat sementara saja, menjelang kecakapan itu terbukti.
Berapa kali seumur hidup sudah bertukar tempat dan pekerjaan. Tidak pernah lama saya dapat mengecap hasilnya pekerjaan yang sedikit menyenangkan. Hampir dua tahun saya tinggal di Deli dengan gaji besar, tetapi suasana yang sempit sesak. Cuma enam bulan di Semarang dalam suasanana revolusioner bebas dan menggembirakan hati. Tidak pula berapa lama sebagai wartawan s.k di Filipina. Sebentar pada satu Firma Jerman di Singapura di tahun 1927 sebagai klerk kantor. Hampir setahun di Amoy sebagai pemimpin kursus dalam beberapa bahasa. Lama dalam perguruan Tionghoa di Singapura, tetapi cuma setahun dalam suasana yang sangat memuaskan. Nanti di Bayah, Banten Selatan sampai kewaktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Tiga kali saya terganggu karena serangan Jepang. Pertama di Shanghai pada tahun 1932. Kedua di Amoy pada tahun 1937. Akhirnya saya terdesak lagi dari tempat saya di Singapura pada tahun 1942. Seperti di Amoy, maka di Singapura pula, di tengah-tengah masyarakat Tionghoa umumnya dan pemuda-pemudi Tionghoa khususnya, bilamana hasil pencaharian sudah dapat melebihi keperluan hidup sehari-hari, waktu buat sedikit membaca dan “mengaso” mulai sedikit terluang, maka tibalah pula tentara Jepang buat merusakkan suasana yang akhirnya menjadi baik buat saya tadi.
Sekonyong-konyong, jam 4 dini hari, datanglah serombongan pesawat udara Jepang, 125 buah banyaknya, menyerang Singapura. Banyak bom dijatuhkan tak berapa jauhnya dari sekolah kami. Lebih kurang 300 penduduk tak bersalah tewas pada serangan pertama itu, dan banyak rumah yang runtuh. Ratusan murid yang tinggal di asrama kami, lari keluar mengamankan diri. Ada yang tidak bisa berjalan lagi, ada pula yang pingsan ketakutan, karena serangan dahsyat dan dilakukan zonder ultimatum itu.
Bersamaan dengan serangan Jepang di Singapura itu, tentara Jepang mendarat di Kotabaru, Kelantan l.k. 600 mil jauhnya ke sebelah Utara Singapura, di pantai Malaya sebelah Timur. Dengan serangan zonder ultimatum itu, pemerintah Inggris mempermaklumkan, bahwa kerajaan Inggris berada dalam keadaan perang dengan Jepang.
Kami para guru mengatur penjagaan atas pan murid. Kami bergiliran menjaga bahaya udara siang dan malam. Apabila sirene berbunyi, maka kami berganti-ganti memimpin para murid ke lubang perlindungan yang sudah disiapkan. Kebanyakan murid pergi ke suatu tempat +- setengah mil jauhnya dari sekolah kami. Di sana terdapat belukar dan pohon-pohon kayu yang besar dan rindang. Rumah sekolah dianggap terlalu tampak karena besar, tinggi dan agak terpencil letaknya. Lagi pula di Tiongkok rumah Sekolah Menengah dan Tinggi itu acap kali menjadi sasarannya pesawat Jepang. Memangnya pula satu dua kali bom jatuh lima atau enam meter saja jauhnya dari sekolah kami.
Tak pernah kurang dari dua kali sehari serangan udara berlaku. Tak pernah kurang dari empat puluh pesawat yang serempak datang menyerang, biasanya menuju ke pelabuhan Singapura, yang tak jauh letaknya dari sekolah kami. Perlawanan Inggris di udara hampir tak ada. Pesawat Inggris yang bisa terbang tinggi tidak kelihatan. Yang tampak hanya pesawat Buffalo yang rendah terbangnya itu. Pesawat Jepang yang datang menyerang amat tinggi sekali terbangnya. Kabarnya berhubung dengan bantuan Inggris kepada Rusia, maka semua pesawat Inggris yang besar di Singapura dikirimkan menuju ke Barat.
Pendeknya Singapura terbuka di udara. Penduduk memang merasa gelisah, karena tak ada perlawanan di udara itu. Berhubung dengan itu. Maka dengan amat mudah Jepang merebut kota demi kota di Malaya. Malah Pemerintah Penang sudah lari, baru saja sebuah pesawat Jepang datang mengintai tinggi. Karena pemerintah sudah lari, maka penyerahan resmi kepada tentara Jepang tidak dapat dilakukan. Berhari-hari Jepang mengebom kota Penang, yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh pemerintah Inggris yang lari tunggang-langgang ke Singapura, meninggalkan ratusan ribu penduduk yang katanya dibawah perlindungan itu. Ribuan penduduk yang mati kena bom dan puluhan rumah yang terbakar. Menurut kabar seorang Jepang keluar penjara Inggris, menulis dengan huruf Jepang di suatu lapangan, memperingatkan bahwa pemerintah Inggris sudah lama lari. Barulah pengeboman diperhentikan. Tidak lama antaranya tentara Jepang masuk ke Penang dan mengambil pemerintahnya.
Kemajuan tentara Jepang dari Utara ke Selatan sebenarnya tidak mendapat gangguan yang berarti. Jarak yang 600 mil antara Kotabaru dengan Singapura dijalaninya dua bulan lamanya. Sehari tentara Jepang dapat maju 10 mil atau 17 km. menurut istilah kemiliteran, ini namnya “an easy walk-over”, satu kemenangan yang mudah diperoleh.
Menurut kabar yang tersiar di waktu itu, di Kotabaru, di garis paling depan terdapat Malay Regiment. Di belakangnya berikut: Barisan Gurkha, Barisan Sikh, Barisan Punjabi, Barisan Australia, Barisan Inggris. Maka Barisan Inggris rupanya seperti Barisan Belanda dalam tentara Hindia Belanda, berada di garis paling belakang dekat roti, mentega, coklat, sigaret dan brandy.
Barisan Malay Regiment hampir semuanya tewas dalam pertempuran di Kotabaru itu. Barisan Australia dan Gurkha ada memberi perlawanan dan juga ada merebut rasa kehormatan prajurit Jepang. Tetapi terhadap serdadu Inggris, tentara Jepang cuma menutup lubang hidungnya saja. Barisan Inggris, terutama opsir Inggris yang seharusnya paling terdepan, membela Malaya, bagian dari “British Empire” itu, cuma memikirkan keselamatan dirinya semata-mata. Ada yang berkata, bahwa para serdadu dan opsir Inggris itu tak mempunyai kepentingan diri membela imperialisme Inggris. Perkataan ini banyak benarnya. Tetapi kalau mereka mau makan gaji besar, yakni dari hasil keringatnya rakyat di Asia, tetapi dalam waktu bahaya menyerahkan rakyat itu zonder perlawanan sedikitpun kepada tentara yang kejam seperti tentara Jepang, ini bertentangan dengan semua dasar dan moril. Kalau tidak menyetujui imperialisme Inggris, janganlah mau dipakai menjadi kaki tangannya imperialisme itu terhadap musuhnya ke dalam dan ke luar. Barulah ada alasan buat opsir atau serdadu Inggris itu berkata, bahwa dia tidak berkepentingan dalam peperangan di Malaya atau lainnya bagian Asia.
Tetapi orang yang mau makan, tetapi tak mau bayar tak mau kerja, tidaklah bisa mendapatkan persetujuan dari orang yang mengerti akan aturan tanggung jawab.
Tentara Jepang mengerti benar akan tempat dan kualiteitnya serdadu dan opsir Inggris di tengah-tengah coklat, sigaret dan whysky nya itu itu. Kalau belum “Rari” (lari) maka dia kirimkan dua tiga biji, “jibakutai” prajurit berani matinya ke belakang sayap kanan dan sayap kirinya tentara Inggris yang melintang dari Barat ke Timur Malaya. Dengan sekoci jibakutai tadi diselendupkan di pesisir Timur dan Barat Malaya, ke belakang tentara Inggris. Biasanya setengah lusin jibakutai Jepang itu sanggup mengkocar-kacirkan seluruh tentara British Empire itu. Tentara Inggris mundur dan membuat garis baru ke arah Selatan. Mau tak mau barisan tentara Inggris yang lain-lainnya harus ikut mundur pula. Mungkin bukanlah satu dongeng yang pernah saya dengar pada salah satu tempat dalam perjalanan ke Penang, bahwa kannonier (penembak dengan meriam) Jepang menaruh meriamnya dekat warung kopi. Saban lima sepuluh menit meriam itu ditembakkan ke arah serdadu Inggris. Setelah menembak, dia kembali ke warung buat minum kopi. Sesudah minum kembali pula ke meriamnya. Demikianlah setelah beberapa kali dia pulang pergi dari meriam ke cangkir kopinya, dia menerima laporan, bahwa dia mesti maju merebut stelling baru, karena “Iggris-jin” sudah lari dengan roti, mentega, coklat, sigaret dan whyskynya menuju ke Singapura. Sambil menembak dan minum kopi akhirnya tentara Jepang sampailah ke Johor, lk. 20 mil jauhnya dari kota Singapura. Pada saat inilah pemerintah Inggris yang licik itu mengizinkan keluarga Partai Komunis Malaya dengan resmi dan kepada masyarakat Tionghoa mengizinkan pula membentuk “volunteer corps”, tentara sukarela untuk menantang Tentara Jepang. Tentara sukarela itu dibentuk di gedung sekolah kami, dimana terkumpul ratusan buruh pemuda-pemudi Tionghoa. Murid sekolah kami banyak yang terkemuka dalam berbagai cabang pembelaan, terutama cabang penerangan (politik).
Pada masa itu oleh badan pengurus sekolah saya diserahi pekerjaan penerangan kepada para murid tentang situasi politik. Pada beberapa pemuda saya kemukakan kelicinan Inggris tadi. Saya merasa heran, kenapa dua bulan lampau, ketika tentara Jepang masih 600 mil jauhnya dari Singapura, Partai Komunis tidak di izinkan keluar dengan resmi oleh Pemerintah Inggris dan tentara sukarela tidak pula diizinkan dibentuk. Sekarang, setelah tentara Jepang, yang terpilih dan berpengalaman perang itu sudah sampai ke pintu, baru diizinkan. Apakah latihan satu dua hari buat buruh dan pemuda cukup buat melawan tentara pilihan Jepang itu? Bukankah seolah-olah pemerintah Inggris mau membinasakan kedua musuhnya, ialah keluar dan ke dalam, dengan muslihat mengorbankan Partai Komunis dan pemuda Tionghoa yang radikal itu terhadap Jepang?
Setelah sekolah ditutup dengan resmi, dipergunakan buat latihan dan asrama tentara sukarela; apabila tentara Jepang sudah mendarat di pulau Singapura, dan seluruhnya kota Singapura sebenarnya sudah lama kehilangan kepercayaan kepada tentara Inggris dan armadanya, mengingat tenggelamnya kapal perang modern seperti Prince of Wales, maka saya dengan dua orang murid dengan susah payah mendapatkan rumah di luar kota menuju ke benteng Seletar. Disinilah saya di rumah orang Tionghoa dari dekat menyaksikan keulungan tentara Jepang, sebagai perseorangan atau barisan. Dengan senjata jauh lebih kurang, kecuali di udara, tetapi dengan semangat seperti belum pernah diperlihatkan oleh tentara Eropa Barat, maka tentara Inggris di daratan yang bersenjatakan jauh lebih lengkap, oleh tentara Jepang dibelah seperti pohon pisang dibelah dengan parang. Pertempuran terjadi di samping rumah kami, senjata api dari berbagai nama dan kaliber berdentuman seperti mercon di masa cap-gome. Bunyi dentuman yang riuh itu mulanya kedengaran jauh di pesisir pulau Singapura, di Bukit Timah, di kebun getah dekat rumah kami, akhirnya sampai keliling rumah kami sendiri.
Pada tanggal 12 Februari 1942, pagi benar kelihatan di depan rumah kami dua tiga orang prajurit Jepang naik ke bukit ke kebun getah, masuk rumah seorang Tionghoa dan keluar dengan cangkir berisi bubur. Mereka rupanya berada paling depan, makan dengan tenang, seperti tak ada peperangan sama sekali. Tak berapa lama diantaranya datanglah menyusul sebuah meriam Jepang, yang ditarik oleh beberapa prajurit diikuti oleh rombongan prajurit dengan satu dua opsir. Cuma seratus atau dua ratus meter saja jauhnya dari rumah kami. Tembakan pertama dilepaskan oleh meriam tadi dari stelling Jepang itu. peluru granat tak berapa meter jatuhnya dari rumah kami. Kami baru insaf bahwa bombardemen berlaku di sekitar kami. Lelaki perempuan dan kanak-kanak seisi rumah disebarkan pada dua lubang perlindungan di samping rumah.
Tengah menembak yang rasanya akan memecahkan anak telinga berlaku dari pukul 10 pagi sampai jam 3 petang. Pucuk kelapa banyak yang runtuh karena peluru granat yang meledak di sana. Pecahan granat sudah banyak menembus atap dan dinding rumah kami. Beberapa tetangga sudah berteriak meminta tolong, karena kena pecahan granat mengenai badannya. Tak ada diantara kami yang menyangka, bahwa kami akan tinggal selamat. Sewaktu-waktu rumah mungkin terbakar, dan pecahan granat berpencaran kian kemari, sedangkan kami terkepung diantara penembakan di kedua belah pihak.
Tembak menembak berhenti pada jam 3 petang. Tetapi pertempuran belum lagi selesai. Bahkan menurut kabar orang Tionghoa yang datang dari kota, pada malam itu akan diadakan penyerbuan besar-besaran oleh tentara Jepang yang sudah menang di bukit Timah. Seorang jibakutai Jepang dengan tenang lalu di depan rumah kami, bertanyakan “Inggris jin wa dokodesuka? Orang Inggris dimana? Seorang menunjuk ke salah satu tempat, dimana terdapat ratusan serdadu Sikh dan Inggris. Jepang tadi seorang diri saja dengan senapan disandang menuju ke tempat yang ditunjukkan itu. Dia tidak merayap atau membungkuk, melainkan berjalan tegak seperti melancong saja......memang mengagumkan! Pesawat pengintai Jepang terbang rendah sekali mendekati benteng Seletar, yang katanya tak dapat direbu itu. Setiap kali pesawat itu datang melayang, setiap kali pula bunyi penangkis udara berdentuman seperti mercon. Tetapi walaupun pesawat itu terbang rendah sekali, dan bunyi meriam penangkis gemuruh, konon pesawat itu tidak jatuh. Saya bertanya dalam hati, apakah benar-benar meriam itu ditujukan kepada pesawat itu, ataukah serdadu Inggris sudah menyangka akan kalah dan takut, kalau nanti sudah menyerah, Jepang akan membalas dendam?
Malamnya 12/13 Februari itu kami alami dengan penuh kesangsian. Pembelaan mati-matian dari pihak Inggris juga dibisikkan dimana-mana. Dalam hal itu kami tidak sangsi lagi akan kemusnahan kami semua, lantaran kebakaran ataupun karena dikenai peluru kesasar. Tidak jauh dibelakang rumah berada serdadu dari kedua belah pihak. Dalam hal kebingungan pada malam hari ini ada diantara isi rumah yang mengusulkan supaya pindah rumah saja. Usul semacam itu saya tolak dengan tegas, karena peluru kesasar dari kedua belah pihak, yang berperang akan lebih membahayakan sedang kita berjalan, daripada berdiam diri di dalam rumah atau di lubang perlindungan. Memangnya tindakan ini lebih tepat daripada pindah tengah malam. besok harinya mendengara kabar, bahwa hampir semua penduduk kampung Paya Lebar mati atau luka, karena lari meninggalkan tempat di waktu malam hari. Yang tinggal di rumah kebanyakan selamat saja.
Pada hari 13 Februari datanglah kabar yang tidak disangka begitu lekas datangnya disebabkan oleh propaganda Inggris ini, bahwa Inggris menyerah dan perpecahan berhenti.
Peristiwa ini cuma sebentar saja menggembirakan kami. Di waktu inilah siksaan atas penduduk yang tidak bersalah berlaku dimana-mana. Orang ditampari, kalau tidak jongkok melalui He-tai-san (Prajurit Jepang); ditampari kalau tak mau memanjatkan buah kelapa, buat Hei-tai-san yang ingin; perempuan orang diperkosa; orang dipaksa memikul ini atau itu; mobil, sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas orang dirampas dll sbg tak putus-putusnya berhari-hari.
Dua tiga hari sesudah tentara Jepang menguasai Singapura, maka kampung kami mendapat perintah, supaya semua penduduk laki, perempuan, tua dan muda, datang berkumpul pada satu tanah lapang. Pintu dan jendela rumah yang ditinggalkan tak boleh ditutup.
Peti dan lemaripun mesti dibuka saja. Para “anak dewa” akan datang, keluar masuk rumah, “memeriksa”, semua lemari, peti dan dapur. Maklumlah, berapa banyaknya penduduk yang kembali ke rumahnya kehilangan arloji, sepeda, emas dan perak. Para “anak dewa” yang berjuang buat “Hakko Iciu”, kekeluargaan dunia ini, ingin juga “harta benda” kaum sekeluarganya di “Dai-Toa” ini. Jalan yang menuju ke lapangan tadi sudah ditentukan oleh Hei-tai-san lebih dahulu dan dijaganya dengan pedang terhunus. Siapa yang tidak melalui jalan yang ditentukannya itu dipancung atau ditembaknya. Pagi hari lk. jam 9 sudah padat lapangan yang sudah ditentukan itu. Tiap-tiap penjuru dijaga oleh mitraliur. Pintu masuknya dijaga oleh beberapa opsir dan kempei Jepang, rupanya diperkuat dengan I.S Inggris itu, sebagai bekas komunis dan bekas sukarela diasingkan dan ditahan. Saya dengan dua murid rapat-rapat melalui cordon (barisan) penyelidik itu. Kami selamat lalu dan pulang. Tetapi seorang anggota rumah ditahan buat beberapa hari lamanya.
Ada diantara kenalan saya, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti dan tidak atau sedikitpun diberi makan. Banyak pula yang dijemur atau disiksa sampai mati.
 Bersamaan pula dengan kami pada lapangan lain +- 50 ribu orang dikumpulkan pula. Mereka diperintahkan keluar rumah masing-masing dengan tidak boleh membawa makanan atau minuman buat anak-anak. Di tanah lapang itu mereka, tua, muda, lelaki, perempuan berjemur dan berhujan 4 hari 4 malam lamanya. Mereka tak diizinkan keluar lapangan mengambil makanan atau air minum. Banyak yang mati karena kelaparan, kehausan dan ketakutan. Kabarnya konon sebenarnya tentara Jepang bermula hendak melenyapkan orang Tionghoa yang 50.000 itu dengan mitraliur. Tetapi ada juga rupanya diantara “anak dewa” yang masih mempunyai hati kemanusiaan. Kebetulan pula dia mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keadaan ketentaraan dan dapat mencegah kebinatangan bangsanya itu.
Kebinatangan itu sudah dilakukan di lain tempat. Dalam perjalanan ke Penang di belakang hari saya mendengar kabar, bahwa di Seremban 200 pemuda pemudi dan penduduk Tionghoa, yang dikumpulkan oleh tentara Tenno Haika, ketika menuju ke Selatan itu.
Mereka dimitraliur sampai habis, karena di Seremban itu ada  perlawanan dari pihak Tionghoa.
Kebinatangan itu dilakukan juga terhadap mereka suka rela yang terdapat di sekolah kami, tempat mereka berlatih. Mereka terkepung setelah tentara Jepang menyerbu ke Singapura satu-dua hari saja, setelah para guru termasuk saya sendiri meninggalkan asrama sekolah kami, 300 orang pemuda-pemudi yang terdapat di sana dengan tidak banyak pemeriksaan dimuatkan ke dalam 6 truk, diangkut ke luar kota, pada suatu bukit, disuruh menggali buat kuburnya sendiri. Kemudian mereka disuruh berjejer-jejer di pinggir lubang itu, ditutup matanya dengan kain, untuk dimitraliur. Ada diantara mereka, yang rebah sambil menyanyikan lagu kebangsaan Tionghoa.
Barangkali terlampau sedikit angka resmi yang diumumkan, ialah sejumlah 5000 orang Tionghoa yang mati dibunuh oleh penjahat perang Jepang. Tetapi dipandang dari sudut moral dan kehormatan, lebih baik mati ditembak seperti yang dialami oleh para pemudi tersebut diatas. Dikatakan, bahwa adalah “adat” bagi tentara Tenno Haika, sebelumnya musuh menyerah, maka para “hei-tai-san”, para “ronin” para satrian Kusuma bangsa, diizinkan memasuki tiap-tiap rumahnya kota musuh untuk melepaskan hawa nafsu kebinatangannya terhadap para wanita, istri ataupun gadis. Rupanya ada juga harganya “surga” di dunia ini, bagi para “ronin”, sebelum arwahnya sebagai pahlawan Tenno Haika memasuki “Yasukuni Jinja”.
Akhirnya sampailah waktunya yang lama diharap dan ditaksir akan datang. Setelah keadaan di kota Singapura sedikit mulai teratur, maka saya mengadakan persiapan kembali ke Indonesia. Dua tiga orang Indonesia yang sudah berjanji mau berlayar ke Sumatera bersama dengan saya, setelah saatnya datang membatalkan janjinya itu. Melihat perahu kecil yang pinggirnya cuma satu dua jengkal saja tingginya dari muka air laut, maka dia mula gemetar. Dengan dua orang empunya perahu kecil tiga empat meter panjangnya, dan lebih kurang satu meter lebarnya yang kembali ke Tembilahan sesudah membawa barang dagangan dari sana, saya mulanya sendiri mau berangkat meninggalkan Singapura, sekarang bernama Sho-nantoo, Kota Gemilang. Pelayaran ini tidak terjadi, lantara yang mempunyai perahu terlalu lama sekali menunggu-nunggu berangkatnya.
Baru pada penghabisan bulan April 1942 saya bertolak ke Penang dengan kereta api dengan maksud hendak menyeberang Selat Malaka menuju ke Belawan, Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar