Kapal kami penuh
sesak dengan pengungsi dari bermacam-macam golongan yang menuju ke berbagai
tempat. Klas 1 dan klas 2 penuh sesak dengan pengungsi Tionghoa yang mampu.
Bahkan ada pula pengungsi yang mampu yang terpaksa menumpang di atas geladak
(dek). Pembaca bisa menggambarkan bagaimana keadaan geladak di tempat saya
menumpang. Perkataan penuh sesak sesungguhnya tidaklah lagi sanggup memberikan
gambaran yang sebenarnya. Pikiran “tempat yang baik” tidak lagi mempengaruhi
seseorang penumpang. Pikiran yang terpenting cuma “asal dapat pergi saja”.
Pergi dari Amoy yang dekat dari Taiwan, jajahan Jepang itu. Amoy yang entah
akan dibagaimanakan oleh angkatan Udara dan armada Jepang itu, pergi itulah
saja pikiran yang terutama. Ada pula penumpang yang berniat pergi ke Hongkong
saja atau terus ke Manila; ada yang hendak pergi ke Singapura dan banyak yang
mengambil karcis yang menuju ke Birma, seperti saya sendiri. Tetapi tidak pula
sedikit penumpang yang sebenarnya belum tahu, dimana mereka akan tetap tinggal.
Ke dalam golongan yang belum lagi tahu “dimana kelak akan tinggal” inilah saya
sendiri termasuk. Seperti banyak pengungsi lain, maka yang saya jaga cuma, asal
jangan terlempar ke laut saja, karena tak ada tempat yang sedikit terluang
lagi.
Dihembus ribut
taufan yang luar biasa hebatnya, yang belum pernah dialami oleh para penumpang
selama hidupnya, maka setelah sehari semalam kami berlayar, sampai kapal di
pelabuhan Hongkong. Pelabuhan Hongkong masyhur indahnya kalau dilihat diwaktu
malam. Kita menghadapi bukit yang berkaki, pinggang dan puncaknya ditaburi oleh
rumah, gedung dan villanya hartawan Hongkong. Ribuan lampu sebagai sumber
pancaran cahaya listrik tampak di waktu malam, seolah-olah hendak bersaing
dengan bintang di langit. Tetapi pada malam hari kita tiba itu, tidaklah ada
kesempatan untuk mengagumi bandar Hongkong di waktu malam dipandang dari laut.
Kapal kami, walaupun telah menjatuhkan sauhnya, masih saja tergeleng-geleng ke
kiri-kanan dengan sangat hebatnya, meskipun teluk Hongkong berada di lingkungan
bukit, dengan susah payah penumpang yang berhenti di Hongkong turun ke sampan dan
mendekati daratan. Kabarnya pada malam itu ada dua-tiga kapal api dan puluhan
sampan yang karam sedang berlabuh dan puluhan manusia yang mati tenggelam
terlempar ke laut. Kapal kami sesudah menurunkan penumpang dan barang segera
berangkat meninggalkan pelabuhan Hongkong menuju ke Singapura. Mulanya ada
niatan kapal berhenti di Hongkong dua tiga hari, tetapi karena ribut taufan
yang lebih membahayakan kapal ketika berlabuh daripada sedang berlayar itu,
maka niatan tadi dibatalkan. Saya sama sekali tidak merasa kecewa atas
pembatalan itu. Memangnya apabila saya mendengar kabar, bahwa kapal akan
berhenti dua tiga hari lamanya di Hongkong, maka saya memikir-mikirkan “siasat”
yang harus saya jalankan. Baru lima tahun lampau saya ditangkap di Hongkong,
dan ketika terpaksa dilepaskan, dilarang keras menginjak tanah mana saja yang
termasuk jajahan kerajaan Inggris. Kalau saya naik darat dan berjalan-jalan di
kota Hongkong yang sempit itu tentulah mudah dikenal oleh banyak penyelidik
(I.S). Inggris yang dari semua penjuru sudah mempelajari rupa dan gerak badan
saya selama berada dalam penjara. Tidak mendarat dan tinggal dua tiga hari
dalam kapal, tentulah lebih mencurigakan pula. Belum tentulah pula kapal yang
berlabuh itu sama sekali bebas dari kunjungan atau incaran matanya penyelidik
I.S. Inggris, teristimewa dalam keadaan perang Jepang-Tiongkok yang sedang
memuncak itu.
Setelah lima enam
hari meninggalkan Hongkong, maka tibalah kapal di Singapura. Pemeriksaan atas
orang Tionghoa yang masuk ke Malaya sangat teliti. Buat laekek (tamu lama) pemeriksaan lebih longgar daripada sin kek (tamu baru). Mereka digirin ke
kantor duane di pelabuhan, dan dari sini ke kantor imigrasi Tionghoa di dalam
kota, buat diperiksa surat pasnya satu persatu. Amat diperhatikan nama dan rupa
orang komunis atau penjahat Tionghoa yang pernah dibuang dari Malaya yang tidak
sedikit banyaknya itu. mereka yang sudah dibuang, tetapi kembali ke Singapura,
itu amat berat hukumannya. Benar sekali rupanya “siasat” yang saya pikirkan di
Amoy, yaitu tidak akan berhenti di Singapura. Tetapi ini tidak berarti saya
tidak turun di Singapura!
Apabila semua
orang yang berhenti di Singapura sudah habis keluar maka barulah saya turun ke
darat, saya terus berangkat meninjau kota dan terus menuju ke Johor mempelajari
keadaan disana-sini. Saya banyak mempunyai kesempatan buat mendarat dan mencari
tempat. Tetapi saya tidak mau memakai kesempatan itu, karena dengan begitu saya
akan kehilangan uang $ 25,- dan surat pas yang saya anggap amat penting buat
hari depan. Tidak berapa lama kapal meninggalkan Amoy, maka pengurus
administrasi kapal meminta semua surat pas dan uang $ 25,- kepada penumpang
yang menuju ke Rangoon, Birma. Baru setelah kapal meninggalkan Penang, ialah
apabila mendekati Rangoon maka surat pas dan uang $ 25,- tadi dikembalikan
kepada kami. Uang $ 25,- tetapi terutama surat pas itulah yang mengikat saya
untuk meneruskan pelayaran sampai ke Rangoon. Memang surat pas dan $ 25,- itu
ditahan buat menjamin, supaya penumpang ke Burma jangan turun di Singapura.
Sesudah saya
mendapat kembali pas saya diantara Penang dan Rangoon, maka saya perlu
melepaskan apa yang sudah lama saya simpan, yakni dua buku peringatan, yang
penuh dengan catatan yang amat berharga, yang saya peroleh sebagai hasil
pengalaman saya dimana-mana negeri. Dengan hati yang amat berat saya lemparkan
dua buku peringatan itu dekat pesisirnya Tanaserrim, Birma. Di dasar laut di
dekat Tanaserrim-lah lapuk dua buku peringatan. Yang saya isi bertahun-tahun
lamanya itu. Tindakan ini ternyata tepat pula. Di Duane Rangoon semua isi dan
penjuru koper saya diperiksa dengan teliti sekali. Malah kamus Inggris-pun yang
ada di dalam koper saya dibalik lembar demi lembar. Belakangan saya mendengar,
bahwa pemerintah Inggris di Birma amat menakuti seorang Tionghoa masuk, yang
sedikit saja berbau intelektual. Kantong pun tidak luput dari rabaan yang
dilakukan oleh pegawai yang berbentuk Eurasian, campuran darah Eropa dan Asia.
Pemeriksaan duane
yang dilakukan dengan teliti oleh seorang Eurasian itu memberikan sedikit
petunjuk, bahwa pergerakan kebangsaan dan sosial di Birma itu, walaupun berupa
tenang di muka air, tetapi sangat bergelora di bawahnya. Pemberontakan kaum
tani yang dipimpin oleh seorang rahib pada tahun 1927 (?) masih diingat oleh
rakyat jelata, sebagai permulaan perlawanan senjata terhadap imperialisme
Inggris dan oleh Inggris dipandang sebagai mendung yang mengandung guruh petir.
Rahib Saya-San pemimpin pemberontakan tersebut, yang digantung dan diejek
sebagai quack (dukun palsu) oleh
Inggris, oleh rakyat dibisikkan sebagai pahlawan bangsa.
Hampir serupa
dengan keadaan di Indonesia, maka lemah sekalilah jembatan ekonomi, sosial,
politik antara bangsa Inggris dan bangsa Birma. Perindustrian Berat,
Perindustrian Mesin Pembikinan Mesin, tak ada di Birma. Perindustrian enteng,
yang penting buat rakyatpun, seperti industri kain, tak pula ada. hasil Birma
yang terutama ialah beras, minyak dan kayu. Semua tambang minyak, perdagangan
keluar dan ke dalam, semua alat pengangkutan (kapal, kereta) berada di tangan asing.
Tanahpun, seperti di delta sungai Irrawadi, tanah yang paling subur buat padi
sawah itu, hampir semuanya sudah jatuh di tangan chetty, bangsa Hindustan yang
hidup sebagai lintah darat yang kejam sekali. Hampir semua tokoh di kota
Rangoon dipunyai oleh bahasa Inggris, Hindustan, Pakistan dan Tionghoa. Cuma
dua-tiga buah kedai nasi dan satu dua toko alat bunyi-bunyian yang dipunyai
oleh bangsa Birma. Yang saya kunjungi cuma kota Rangoon saja, ialah bandar
terbesar untuk seluruhnya Birma. Statistik tentang ekonomi memberi gambaran
yang amat menyedihkan buat rakyat aslinya Birma. Mungkin di pedalaman juga ada
orang Birma yang mempunyai tanah yang luas atau sedang. Tetapi umumnya tempat
yang penting kepada kota dan alat pengangkutan seperti kereta dan kapal, sumber
pencarian hidup sudah jatuh ke tangan asing. Bangsa Birma yang mempunyai
sejarah yang amat gemilang sampai pada penghabisan abad yang lampau itu, dalam
kira-kira setengah abad di belakang ini sudah jatuh menjadi kaum kuli kantornya
bangsa asing.
Di sebelah
kanannya jurang , terdapat kapitalis-imperialis Inggris, yang menguasai
produksi, perdagangan, pengangkutan dan Bank secara besar-besaran internasional
dan menguasai sepenuhnya politik dalam dan luar Birma (th. 1937).
Di sebelah kirinya
jurang terdapatlah kaum buruh dan tani Birma, kaum pendeta Birma dan kaun
intelektual didikan Barat. Kaum pendeta rapat sekali perhubungannya dengan
rakyat. Sebagian kaum intelek menjadi kaki tangannya Inggris, sebagian kecil
yang radikal memihak kepada rakyat jelata, dan sebagian pula terombang-ambing
diantara imperialis Inggris dan kemerdekaan Birma yang sempurna, yang 100%.
Kedua jurang tadi dijembatani oleh Rakyat Hindustan dan Pakistan serta
Tionghoa, yang menguasai perdagangan tengah dan kecil dan memiliki tanah subur
di Delta Irawadi. Dalam kota Rangoon, yang berpenduduk kurang lebih 500.000 itu
terutama kelihatan bangsa Hindustan, Pakistan, dan Tionghoa. Bangsa Birma
sedikit sekali tampaknya.
Karena tak adanya
jembatan ekonomi antara kapitalisme asing dan perekonomian rakyat asli, maka
pergerakan kemerdekaan Birma bersifat amat radikal, ialah membutuhkan
penyelesaian persoalan politik, ekonomi dan sosial. Tidaklah cukup buat kuli
dan tani Birma, terutama untuk kaum tani proletar di Delta Irawadi, kalau
kekuasaan politik saja yang dipindahkan dari tangan yang berkulit putih ke
tangan yang berwarna coklat (bangsa Birma). Perubahan yang radikal dalam
perekonomian dan kesosialan Birma harus dijalankan bersama-sama dengan
pemindahan kekuasaan politik tadi. Dan perubahan yang radikal, yang bisa
memberikan obat yang sesungguhnya dapat menyembuhkan masyarakat Birma, hanyalah
dapat diselenggarakan apabila bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan politik
ke tangan rakyat Birma asli itu, juga tanah-tanah dikembalikan kepada para
petani Birma, dan alat-alat produksi yang lain (tambang, pabrik) serta
pengangkutan diberikan kepada buruh dan rakyat Birma.
Dan sekarang pun
(th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagian besar atau kecil), sedang
memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa
itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan
bertiup di Birma.
Dan sekarang pun
(th. 1947) rupanya sebagian rakyat Birma (sebagaian besar atau kecil), sedang
memperjuangkan hak penuhnya dalam politik, ekonomi dan sosial itu. Pada masa
itu (th. 1937) buat saya sendiri sudah terasa angin taufan revolusi yang akan
bertiup di Birma, yang banyak mempunyai persamaan dengan Indonesia, dalam hal
bumi iklim, kebangsaan, teknik perekonomian, sosial politik, bahkan juga dalam
hal kebudayaan kejiwaan bersama dengan jurang luas dan dalamnya antara
kapitalis imperialis asing dengan buruh tani bangsa Birma yang radikal itu.
Pada lahirnya saja
kelihatan bahwa kebudayaan Budhisme yang berdasarkan kelemah lembutan itu dapat
membendung jiwanya bangsa Birma yang berbentuk dan berjiwa sama dengan bangsa
Indonesia itu. Kini sudah kelihatan, bahwa jika itu sudah menembus bendungan
itu disatu dua tempat dan sudah mulai meluap, bergelora, laksana sungai Irrawadi
yang tenang dangkal di musim kemarau berubah menjadi banjir yang deras, meluap,
di musim hujan.
Saya tidak sanggup
lama tinggal di Rangoon dan mempelajari segala-galanya lebih teliti dan lebih
mendalam. Ongkos hidup, walaupun hotel Tionghoa tempat saya menumpang sedikit
sekali meminta bayaran, menyebabkan kantong saya semakin hari semakin kempis.
Buat pekerjaan yang bisa menjamin penghidupan, kita perlu sedikit lama tinggal
di Rangoon. Persaingan di pasar (lapangan) kaum pekerja, halus ataupun kasar amat
tajam sekali. Pekerjaan kantor
pemerintah dan perdagangan tidak saja membutuhkan bahasa Birma dan bahasa
Inggris, tetapi umumnya juga menghendaki ijazah sekolah Inggris. Banyak pemuda
yang berijazah Inggris yang tidak mendapat pekerjaan. Kalau saya cukup lama
tinggal di Rangoon, tentulah saya akan bisa mendapat sahabat. Di negara asing
itu seorang sahabat boleh jadi sekali sebuah kunci pembuka sumber penghidupan
buat kita. Tetapi saya tidak ingin tinggal lama di Birma. Suasana politik di
sekitar Indonesia terasa menarik saya ke sana. Sesudah lebih dari sebulan saya
tinggal di Rangoon, saya bertolak menuju ke Malaya.
Tidak sedikit pekerjaan, terbuka atau tertutup
yang harus dilakukan dan uang suap (Ciak-teh)
yang harus dikeluarkan buat mendapatkan visa dari pemerintah Birma dan karcis
dari kongsi kapal Inggris, Kongsi kapal Inggris tak akan mampu menjual karcis,
kalau pembeli tak mempunyai visa. Pertanyaan yang harus dijawab di kantor
pemerintah kota Amoy sangat banyak memberi pertolongan. Atas surat pas itu
konsul Tiongkok di Rangoon dapat memberikan bantuan. Tetapi resmi atau tidak,
“kerja sama” antara hotel dengan badan resmi membutuhkan Ciak-teh yang tidak
sedikit.
Di pelabuhan
Penang saya tak dapat keluar begitu saja bersama-sama dengan penumpang yang
lain-lain. Lama juga saya ditahan di duane. Entah apa sebabnya saya tidak tahu.
Tetapi saya mendapat kesan, bahwa ada kecurigaan terhadap saya. Si penyelidik
mengakui dirinya Tionghoa. Mungkin sekali ada darah Tionghoa dalam tubuhnya,
tetapi bentuk dan mukanya serta warna kulitnya lebih banyak mirip pada Keling
daripada Tionghoa. Bagaimanapun juga bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik
darida bahasa Tionghoa-nya tidak lebih baik daripada bahasa Tionghoa saya. Oleh
karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa
saya tak perlu mengangkat bendera putih ke depannya. Sekali dia mengakui
dirinya Tionghoa dan memakai bahasa Tionghoa, cepat saya ikuti gerak-geriknya
dalam ke-Tionghoa-an. Apabila dia mau membelok kepada bahasa “Melayu” atau
“Inggris” entah apa sebabnya, maka saya tetap ber-si-Tionghoa dan menarik dia
kembali kepada ke-Tionghoa-an. Setelah beberapa lama pencak silat itu berlaku, maka saya mengambil langkah yang
selamanya ini mendapatkan hasil yang baik, ialah langkah ke arah “Ciak-teh”. Barulah saya lepas.
Di sepanjang
pesisir antara Shanghai dan Rangoon, dimana saja bendera Union Jack berkibar,
sistem “Ciak-teh” itu adalah lazim sekali. Di kedua ujungnya jembatan utara
“kerajaan Johor” dengan pulau Singapura, British Colony, kendaraan kita
“distop” (diberhentikan) buat memberi kesempatan kepada polisi kerajaan Johor
dan polisi Singapura memeriksa barang si penumpang. Ada barang yang mesti
dikenakan cukai, kalau keluar masuk kerajaan Johor. Si penyelundupnya (smugler) men-stop pen-stopan polisi tadi
dengan Ciak-teh, besar atau kecil menurut besar kecilnya untung si penyelendup
yang diharapkannya di waktu depan kalau dia jaya. Si penumpang biasa yang
membawa barang pemakaian biasa saja lama kelamaan terpaksa memberi Ciak-teh
pula, untuk men-stop. Agen polisi yang sudah biasa, dengan jalan pemeriksaan
yang lama dan pelemparan barang-barang penumpang kesana sini, kalau Ciak-teh
alias uang suap tidak segera keluar. Sebaliknya pula, tak akan dilakukan
kewajiban memeriksa itu, ataupun men-stop kendaraan seperti becak, kalau
Ciak-teh lekas dan banyak keluar.
Dengan menjalarnya
penyakit Ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka “immigration law” Inggris yang maksudnya
“membatasi” pemasukan bangsa Tionghoa itu ke Malaya (atas desakan bangsa
Indonesia di Malaya) Farce, sandiwara semata-mata. Orang Tionghoa dari mana,
dari golongan mana dan bilamana saja bisa masuk ke Malaya, asal membayar
Ciak-teh besar atau kecil. Seorang tauke Tionghoa yang sin-kek bisa membayar
Ciak-teh buat surat-pas atau visa dan jaminannya itu dari kantongnya sendiri.
Tionghoa kuli sin-kek bisa dibayarkan oleh majikan atau keluarganya sendiri
yang sudah berada di Malaya. Pelacuran “Immigration Law-nya” Inggris itu
disertai pula oleh pelacuran “Mining Law-nya”, undang-undang yang berhubungan
dengan pertambangan. Undang-undang Inggris yang katanya buat memperlindungi
bangsa Indonesia (Melayu) mencegah bangsa asing atau modal besar menyewa tanah
yang mengandung timah, kalau timah terdapat dalam sawahnya putera bumi oleh
bangsa Indonesia. Tetapi Ciak-teh biasanya dengan mudah menerobos undang-undang
Inggris itu untuk mendapatkan sawahnya mana saja dan bilamana saja kapital
asing menghendaki. Pada tahun 1941, di waktu hampir jatuhnya pertahanan Militer
Inggris dikenai pukulan tentara Jepang, maka ada satu perkara yang menarik
hati, yang sedang digantungkan. Perkara itu berhubungan dengan penerimaan
“Ciak-teh” oleh polisi dan pegawai Inggris, dari pangkat bawahan sampai
insinyur Inggris kepala jawatan pertambangan. Ciak-teh itu diselenggarakan
untuk mendapatkan (dibeli atau disewa?) sawah yang mengandung timah yang selama
ini dimiliki oleh sebuah kampung Melayu.
Pembanjiran orang
Tionghoa dan Hindustan ke Melayu, mudahnya buat kapital besar asing mendapatkan
tanah yang subur untuk perkebunan dan tanah yang mengandung timah, besi dan
arang untuk pertambangan, dan adanya polisi dan pegawai yang korup untuk
“memperlindungi” bangsa Melayu, adalah tiga sebab yang terutama yang mendesak
bangsa Indonesia Melayu ke jurang kemiskinan dan kemusnahan sebagai bangsa.
Dari abad ke-14 sampai ke penghabisan abad ke-16, maka bangsa Indonesia di
Semenanjung Melayu, di bawah kerajaan Malaka, terkenal di seluruh dunia sebagai
kekuasaan laut yang terbesar serta gagah perkasa. Ibu kota Malaka adalah bandar
yang mempunyai traffic, perdagangan
yang terbesar di sepanjang pesisir Asia, dari Shanghai sekarang sampai ke Aden,
bahkan mungkin juga buat di seluruh pesisir Afrika. Dari Indonesia Selatan,
Filipina, Birma, Siam, Hindustan, Persia, Arabia, dan dari Tiongkok dan Jepang
kapal dagang berlayar pulang pergi ke Malaka. Di bandar Malakalah terpusatnya
perdagangan pula, cengkeh dan lada yang sangat dibutuhkan oleh dunia seluruhnya
itu, sebagai bumbu makanan dan obat-obatan. Malakalah pula yang menjadi pusat
timah yang dihasilkan oleh Semenanjung Melayu sendiri dan emas yang dihasilkan
terutama oleh Sumatera. Bandar Malaka yang menjadi pusat perdagangan hasil bumi
seluruh kepulauan Indonesia lambat laun menjadi pusat perdagangan hampir seluruh
dunia. Hindustan dan lain-lain negara disebelah Barat Malaka mengirimkan
utusannya ke-istana Sultan Malaka. Maharaja Tiongkok menerima Sultan Mansur
sebagai menantunya; menerima kunjungannya Sultan itu dengan armada yang terdiri
dari ratusan (900?) kapal perang besar kecil semata-mata buat “perkawinan” saja
(?). Dua kali serangan tentara Siam dihancurkan oleh tentara Malaka. Armada
bajak laut dari Bugis yang hebat dahsyat itu dapat diusir dari selat Malaka.
Pedagang Islam Malaka menjualkan baragnya dan mengembangkan agama Islam serta
bahasa Indonesia hampir di seluruhnya pesisir Kalimantan; berdagang ke pantai
Timur Sumatera, ke Sulawesi dan Maluku; berdagang dan menyebarkan agama Islam
hampir di seluruhnya pesisir Jawa di sebelah Utara. Pendek kata, ada kalanya
kerajaan Malaka menjadi calon yang mengandung pengharapan besar untuk
melanjutkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang meliputi seluruhnya
kepulauan Indonesia. Kerajaan Malaka sanggup melahirkan ahli Negara dan ahli
filsafat Islam seperti Sultan Mansur Syah dan Sultan Muzafar Syah dan Laksamana
seperti Hang Tuah dan Hang Nazim. Pujangga Barat, Portugis dan Inggris
mengagumi Laksamana Hang Tuah sebagai “Pahlawan Indonesia” yang tak ada
taranya” (beyond compare). Perang
Malaka-Portugis yang dimulai pada tahun 1509 berlaku selama lebih dari 40
tahun. Perebutan kota Malaka berjalan 2 tahun lamanya (tahun 1509-1511).
Kemudian ibu kota Malaka ditinggalkan dan peperangan gerilya dilangsungkan
terus di laut, di darat dan ada kalanya di dalam kota Malaka sendiri.
Berkali-kali armada Portugis, yang terkuat di seluruh dunia dimasa itu, dipukul
mundur, dikalahkan atau dibinasakan.
Apakah sebab yang
sebenarnya maka Malaka kalah? Disinilah sejarah, karangan bangsa Indonesia
menunjukkan kekurangannya. Dipukul rata “sejarah Melayu” yang ditulis di Johor
oleh Tuan Sri Lanang dan Paduka Raja pada th. 1612, jauh lebih jelas
(berdasarkan bukti yang nyata) daripada 1001 dongeng yang lain-lain di
Indonesia. Kebanyakan dongeng Indonesia lebih banyak bumbu daripada makanannya:
enak baunya, tetapi tak ada atau sedikit sekali patrinya. Sukar sekali kalau
tiada mustahil memastikan secara ilmu (sejarah tempat, tempo dan kejadian yang
sesungguhnya. Dalam hal yang tersebut di belakang ini sejarah Melayu ada banyak
juga memberi kepastian. Tetapi sukarlah, kalau tidak mustahil kita akan
mendapatkan keadan masyrakat di bandar Malaka yang besar memberi kepastian
tentang: cacah jiwanya bangsa asing (Tionghoa, Arab, Hindu, dll) dan banyaknya
bangsa Indonesia (Melayu, Jawa, Sumatera, Bugis) di masa itu; banyak anggotanya
masing-masing suku bangsa Indonesia di bandar Malaka dan banyak anggota
golongan pegawai kerajaan, saudagar, tukang, buruh serta tani dan nelayan
Indonesia; hal kerja sama atau pertentangan (dalam hal ekonomi dan politik)
antara suku dan suku bangsa Indonesia atau antara golongan dan golongan dalam
masyarakat Indonesia itu. Pengetahuan secara statistik dalam hal tersebut
dibelakang inilah yang sebenarnya bisa kita pakai sebagai bahan berpikir untuk
menentukan keadaan dan kekuatan masyarakat Indonesia dalam kerajaan Malaka yang
sesungguhnya. Sejarah Asia umumnya, kecuali Tiongkok dan Arab (?) serta
Hindustan Indonesia khususnya tidak memusingkan kepala tentang statistik itu.
Dari sumber Barat
kita dapat mengetahui, bahwa teknik Portugis itu dalam dasarnya tak seberapa
melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. (Menurut
sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membuat
bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap
tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia).
Perbedaan teknik Portugis dan Malaka cuma terdapat dalam kekuatan senjata itu
saja. Meriam Portugis dapat menembak lebih jauh daripada Malaka! Memang perbedaan
kekuatan ini menimbulkan satu “handicap” (rintangan) di pihak Malaka, tetapi
rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Laksamana Malaka
selalu menghindarkan pertempuran pada jarak yang memberi keuntungan kepada
meriam Portugis. Laksamana Malaka menyerbu di waktu hujan kabut, ribut topan,
dengan maksud merapatkan kapal perangnya ke kapal Portugis dan menaiki kapal
perang Portugis dengan Pelaut Indonesia yang tak mengenal takut dan gentar itu.
Demikianlah
berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan. Tetapi riwayat kemenangan yang
berkali-kali terdapat di laut itu kita baca sesudahnya kota Malaka
ditinggalkan. Selama pertempuran berlaku di kota Malaka sendiri, tak terdengar
kabar dimana adanya Armada dan laksamana Malaka yang masyhur itu. Riwayat Hang
Tuah memang tidak jelas seluruhnya bagi kita. Apakah Laksamana Hang Tuah sudah
meninggal dunia di waktu itu tetap belum mendapat ganti? Atau sudah mendapat
ganti (Hang Nazim) tetapi, entah lantaran apa, belum juga bertindak? Ataukah
Hang Tuah masih hidup, tetapi masih dalam buangan dan dalam persangkaan sudah
di hukum bunuh atas fitnah istana dan tuduhan palsu yang sudah terkenal itu?
Sejarah yang
tertulis tidak memberi jawaban atas pertanyaan seperti di atas itu, kepada
saya. Tetapi bagi saya, Armada, Tentara dan Strategi Portugis belum tentu
sekali dapat mengalahkan Armada, tentara dan strategi Malaka, kalau yang
tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara
Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang
berasal dari Aceh menghalaukan Armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan
Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya dan memotong jalan Portugis ke
Maluku mencari barang dagang penting.
Pokok sebab yang
menaklukkan Kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan
keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali prajurit laut Portugis
pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak dapat
pertolongan ratusan jong Tionghoa berada di pelabuhan Malaka. Kapal perang
Portugis terpaksa berlabuh di tengah-tengah. Karena dangkalnya lautan di tepi
pantai. Dengan jong Tionghoa-lah prajurit itu mesti diangkut ke darat. Bandar
Malaka yang sesudah ditinggalkan oleh semua penduduknya menyingkir ke luar
kota, ke dalam hutan, pada permulaan perang itu, akan terus kosong, kalau
penduduk Tionghoa tidak kembali ke kota untuk, berlindung di bawah bendera yang
menang, dan dengan begitu memelopori bangsa asing lainnya dan bangsa Indonesia
yang pengecut dan berkhianat, masuk ke kota. Bangsa Jepang tidak membantu
penjajah Barat dengan alat perang seperti Tionghoa membantu dengan jongnya itu,
tetapi dengan senjata di tangan. Dalam sejarah yang ditulis oleh Portugis, maka
bangsa Jepang tercatat sebagai pembantu yang amat patuh dan taat sekali. Sikap
tindakan Tionghoa-Jepang dalam usahanya membantu penjajahan Barat untuk
meruntuhkan Kerajaan Malaka itu adalah paralel (sejalan) dengan sikap tindakan
Tionghoa-Jepang di Jakarta ketika membantu Jan Pieterszoon Coen mengalahkan
Tentara Sultan Agung. Baiklah juga pemuda Indonesia memperingati sikap tindakan
Tionghoa Jepang dimasa lampau itu, supaya berlaku awas, dengan tidak
mengabaikan usaha untuk merapatkan perhubungan kita sesama bangsa Asia, yang
sama ditindas dan dihisap oleh kapitalisme imperialisme Barat ini. Peringatilah
pula, bahwa meskipun perkawinan Sultan Malaka dengan Putri Tionghoa itu
mengandung politik diplomasi, tetapi peristiwa itu juga mengandung makna yang
dalam. Memang satu golongan bangsa Hindustan di masa itu mengambil sikap
tindakan ragu-ragu dan merugikan kita. Tapi sikap tindakan seorang Hindu, yang
terkenal dalam sejarah dengan nama Tuan Bondan, yang pernah menjadi utusan
sultan Malaka ke kapal perang Portugis, cuma boleh dikatakan sikap dan tindakan,
yang tak ada bedanya dengan sikap dan tindakan Indonesia asli, pecinta bangsa
dan negaranya. Jadi dipukul rata sikap dan tindakan bangsa asing, adalah sangat
merugikan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia Malaka.
Kedua, boleh
dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dari Jepara dengan
Armada Malaka. Atas anjuran Patih Katir (Kadir) dari Malaka, maka Bupati Unus
di Jepara mengirimkan Armada yang kuat, katanya terdiri dari 900 kapal perang
besar-kecil, lengkap dengan senjata api serta pelaut yang terdiri dari hampir
semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Palembang, Bugis). Armada ini berlayar
mengelilingi pulau Sumatra, ialah sebagian melalui pesisir Barat Sumatra dan
terus ke – utara sampai ke Selat Malaka dengan maksud hendak menyerang armada
Portugis. Yang sebagian lagi melalui laut Jawa, dari selatan menuju ke utara
dan banyak sekali membawa makanan. Oleh Armada Bupati Unuus saja Armada
Portugis sudah hampir kalah. Tak dengan
kekalahan penuh dilautpun, kalau pasukan Portugis yang berada di bandar Malaka
terus diblokir (dikepung), niscaya tentara Portugis itu akan mati kelaparan.
Tentara Portugis dapat tertolong, karena Armada Bupati Unus yang mengangkat
beras buat tentaranya sendiri, ditawan oleh Portugis. Dengan begitu, maka
tentara Portugis yang hampir mati kelaparan itu mendapat beras banyak sekali.
Boleh dikatakan tak ada kerja sama antara Armada Bupati Unus dengan Armada
Sultan Malaka yang bergerilya itu, baik dalam hal merencanakan persiapan
ataupun dalam usaha merencanakan siasat. Akan berlainanlah jalannya sejarah
kerajaan Malaka khususnya dan sejarah Indonesia umumnya, jika Armada Bupati
Unis yang pulang kembali ke Jawa, tetapi tak pernah ditaklukkan itu, dapat
kerja sama dengan Armada Malaka, ketika mengadakan persiapan membentuk siasat
dan menyerang musuh.
Ketiga, tipis sekali kerja sama antara
pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni dibawah Patih Unus (?)
dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah Sultan pada
peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka.
Provincialisme yang membahayakan itu sesungguhnya tipis sekali atau tak ada
sama sekali diantara rakyat jelata dari kedua suku bangsa itu. Utimutis lama
memihak kepada Portugis dan akhirnya dibunuh juga oleh Portugis, setelah
tenaganya dipergunakan. Tetapi pengkhianatan itu ditebus dengan menantunya dan
gantinya sebagai Patih Kamping Upi, ialah oleh patih Katir, yang dengan surat
mempermaklumkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Sultan Malaka. Kerja sama
antara Patih Katir dengan Sultan dan Laksamana, yang berarti pula kerja sama
antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa Melayu pada masa perang gerilya,
amat rapat dan kekal sekali, sehingga sering mendapatkan hasil perjuangan yang
gilang gemilang. Alangkah baiknya pula, kalau kerja sama antara kedua suku
bangsa itu direncanakan dan dilaksanakan dari semula, ketika masih bertempur
membela bandar Malaka.
Keempat,
perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud,
yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan
kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak menjadi alat
adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka
sendiri. Sultan tentulah mempunyai tentara resmi. Putera Mahkota, Aladdin
mempunyai tentara prive. Bendahara (Mangkubumi) pun mempunyai tentara prive
pula. Demikianlah pula para pembesar lain-lain mempunyai pasukan sendiri buat
membela kepentingannya sendiri. Sengketa diantara partai dan partai, golongan
dan golongan, diwaktu banyak perampokan yang merajalela itu, maka raja-raja
yang zalim itu sendirinya menjadi contoh dalam hal kezalimannya bagi pembesar
yang lain. Raja tak mempunyai pengaruh atas pegawai negara dan rakyat, karena
raja itu berlaku sewenang-wenang terhadap harta benda rakyat serta para wanita.
Raja tidak disegani lagi oleh rakyatnya, dan cuma ditakuti oleh yang lemah.
Oleh yang kuat, yang kaya dan bersenjata, raja itu dibenci dan dimusuhi. Ke
dalam “bellum emnum contra emnes”
(perjuangan seorang melawan seorang
lain) lah yang bersimaharajalela, di kota Malaka. Datuk Maharajalela sendiri
yang mulanya cuma seorang hulubalang sebagai penjaga dalam suatu rapat Kerajaan
saja, menjelma menjadi lambang sewenang-wenang. Dengan sudut mata saja,
seseorang pembicara dalam rapat kerajaan yang tidak disenangai oleh Sang Datuk
atau Rajanya, dapat dipegang dan dipancung pada ketika itu juga.
Satu dongeng
sajakah atau memang satu kenyataankah tentang adanya sifat dan watak manusia
yang dikatakan dimiliki oleh Hang Tuah itu, tidaklah dapat dipastikan. Tetapi
tampak perhubungannya watak Hang Tuah yang dikehendaki, diidealkan dan dipuja
itu dengan kekacauan dan anarki (tak mengakui kekuasaan, authority), maka
dimajukan lawannya, ialah tunduk sama sekali kepada authority, kepada Raja,
ialah lambang kekuasaan: “Pemerintah Raja tak bisa disanggah (dibantah),
walaupun Raja itu tidak adil”. Bukankah Hang Tuah yang cerdik, bijaksana,
satria dan suci itu sendiri terima kezaliman itu dengan patuh? Dengan
“kepatuhan mutlak” itu sesungguhnya tersingkirlah Filsafat politik Melayu yang
dianut selamanya ini, yakni: Raja adil
Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah (dibantah).”
Memang dengan
sifat patuhnya maka Hang Tuah biasanya dapat mempengaruhi dan mengendalikan
Rajanya yang zalim. Tetapi berapakah orang yang sebenarnya sudah dihukum mati
itu, tidak jadi dibunuh oleh karena Datuk Maharajalela, algojo, sendiri atas
tanggung jawabnya sendiri, menyembunyikan Hang Tuah di desanya algojo itu
sendiri. Kalau simpati itu tak ada, maka Hang Tuah tak akan ada pula lagi.
Bagaimanapun juga watak tingkah lakunya Hang Tuah yang dipuja itu cukup memberi
petunjuk kepada kebencian dan ketakutan rakyat pada watak dan tingkah lakunya
Sultan Mahmud.
Benar atau tidak
Hang Tuah hidup dalam buangan pada permulaan perang Portugis-Malaka, tetapi
pada waktu yang amat penting itu, Laksamana tidak tampil ke muka. Putera
Mahkota sendiri bertentangan hebat dengan ayahanda. Pertentangan ini berakhir
dengan perpisahan antara ayah dan anak, masing-masing memimpin tentara
menghadapi musuh. Walaupun Sultan Mahmud bukannya seorang pengecut, melainkan
sebaliknya, tetapi perpecahan antara ayah dan anak itu sangat merugikan
seluruhnya prejuangan melawan imperialisme Portugis itu.
Ringkasnya,
sebagai jawaban sementara atas pertanyaan diatas “apakah sebabnya maka Kerajaan
Malaka kalah oleh Portugis” saya majukan bahwa disamping kekurangan teknik,
maka perkara yang terpenting ialah perkara persatuan juga. Seperti diterangkan
diatas tak ada atau tipis sekali persatuan antara penduduk asli Kerajaan Malaka
dengan bangsa Asia lain-lain, antara satu bangsa dengan suku bangsa Indonesia
lainnya, antara Sultan dengan Putera Mahkota, semua ini bersamaan dengan
kezaliman Sultan Mahmud itu.
Sejarah kota
Malaka tidak berhenti dengan pendudukan tentara Portugis di kota itu saja. Aceh
mencoba melepaskan Malaka dari cengkeraman Portugis. Belanda mencoba dan
berhasil merebut Malaka dari tangannya Portugis (1641). Akhirnya kota Malaka
oleh Belanda dipertukarkan dengan Bengkulen yang dijajah oleh Inggris. Sebentar
pada tahun 1942 Malaka direbut oleh Jepang dari tangan Inggris. Setelah Jepang
kalah, maka Malaka jatuh kembali ke tangannya Inggris sampai sekarang.
Di tangan Inggris
kota Malaka tidak bertambah besar, dan tidak dapat menyamai artinya di masa
lampau. Bahkan sebaliknya. Malaka sudah lama dikalahkan oleh kota dan bandar
lainnya di Semenanjung sendiri, apalagi oleh kota dan bandar Asia lainnya.
Sebab yang pertama ialah karena pelabuhan Malaka tidak memenuhi syarat untuk
kapal Samudera. Samuderalah yang oleh Raffles dianggap mempunyai syarat yang
dibutuhkan sebagai bandar, berhubung dengan perniagaan dan strategi, Rafles
berusaha dan dapat pula membeli Singapura dengan harga $ 60.000,- dari Sultan
Hussein, seorang gila yang ditolak oleh rakyat Johor dijadikan Raja, sebab
gilanya itu, tetapi diangkat oleh Rafles sebagai bonekanya.
Tidaklah adatnya
imperialisme Inggris memukul dengan langsung. Dia mengalahkan sesuatu negara,
pertama dengan siasat memutar (indirect)
dan setelah masuk buat direbut, barulah dengan siasat langsung, siasat perang.
Dia memulai dengan politik adu domba dan blokade ekonomi, dan mengakhiri dengan
pukulan militer.
Dengan hilangnya
kota Malaka sebagai ibu kota, maka lambat laut Semenanjung mundur dan
pecah-belah berupa berbagai-bagai “kerajaan” sebesar nyamuk. Johor sebagai ibu
kota pelarian dari pemerintah kerajaan Malaka, tidaklah pernah dapat menyamai
kekayaan dan kekuasaan kota Malaka.
Pada masa Raffles
menduduki kota Singapura, jadi lebih dari satu abad lampau, maka menurut satu
statistik yang saya baca dalam “Straits Time” (?) penduduk Singapura baru 6
ribu orang. Memang sudah ada juga orang Tionghoa di masa itu, tetapi bangsa
Indonesia jauh lebih banyak, kalau saya masih ingat adalah l.k. 90% dari semua
penduduk. Tidak saja banyaknya penduduk, tetapi hampir seluruhnya mata
pencarian masih ditangannya bangsa Indonesia. (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis,
Palembang dll). Perusahaan, pelayaran, perikanan, dll. masih sebagian terbesar
berada di tangannya bangsa Indonesia. Apalagi di pedalaman, semua sumber
pencarian hidup masih di tangan putera bumi. Pertambangan timah yang masyhur
dari zaman dahulu kala itu, berada di tangannya Indonesia. Disebutkan dalam
salah satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan yang
terbesar ialah yang dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja
Mandailing.
Memang bangsa
Tionghoa dan Hindu di zaman lampau banyak mengambil bagian dalam perdagangan
Indonesia. Tetapi terutama dalam bagian export. Di pasar pedalaman boleh
dikatakan seluruhnya perdagangan berada di tangannya Indonesia, seperti masih
kelihatan sekarang di Minangkabau. Pun perdagangan export dan perkapalan,
sebagian besar masih digenggam oleh bangsa Indonesia (Sriwijaya, Majapahit,
Banten, Minangkabau, Malaka dll). Tentang pertukangan, seperti dalam hal
tembaga, perak, besi dan emas, bangsa Indonesia pasti tak kalah oleh bangsa manapun
juga di masa lampau itu. kainpun ditenun di Indonesia sendiri. Yang masuk dari
luar negeri tidak berapa macam dan banyaknya barang. Umpamanya sutera dari
Tiongkok, cawan-piring dari Indo-Cina. Tetapi Indonesia hampir mengeluarkan
semua macam logam untuk alat dan perhiasan, rempah-rempah, kayu serta barang
hutan seperti rotan, damar, kamper dll. Di kota Malaka dan Singapura sebelum
Raffles, sebagai bandar-bandar Indonesia yang didiami oleh berbagai-bagai suku
bangsa dari seluruhnya Indonesia, perusahaan, perdagangan, dan perkapalan
sebagian besar berada di tangannya bangsa Indonesia. Musafir Tionghoa yang
melukiskan kota Malaka di zaman luhurnya menghargai saudagar Indonesia sebagai
orang yang cakap dan jujur.
Berturut-turut
bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris menghancurkan tentara dan semangat
keprajuritan Melayu di daratan dan di lautan. Kemudian dalam lebih kurang satu
abad belakangan ini Inggris menghancur luluhkan perusahaan, perdagangan dan
perkapalan Melayu dan menukar bangsa Melayu dari bangsa penyebar agama, ahli
dan pembesar negara, prajurit, tukang, pelaut dan saudagar menjadi polisi,
sopir, tengkulak, dan bujang kantor.
Kejadian Inggris
dalam usahanya itu terutama disebabkan oleh (1) perampasan tanah dan logam, (2)
pemasukan modal dan tenaga bangsa asing dengan tidak terbatasnya, atau namanya
dibatasi tetapi mudah diselundupi karena adanya polisi yang korup.
Perkara perampokan
tanah tidaklah perlu banyak lagi saya uraiakan disini. Diatas sudah banyak saya
sebutkan sebagai modal besar menerobos “Mining
Lawnya”, Undang-Undang tambang itu dibikin (buat diselundupi!), maka hampir
semua tanah yang berisi logam (timah, arang, dan besi) sudah dirampas oleh
modal besar met of zonder persetujuan
“para Raja”, ialah kaki tangannya Inggris, dan penindas serta pengisap
rakyatnya. Tetapi dihampir jatuhnya Malaka ke tangan Jepang, maka masih banyak
orang Tionghoa, dengan tidak seizinnya Indonesia asli berkeliaran di hutan,
merampas tanah yang mengandung emas. Mereka menambang emas, mengeruhkan
sungai-sungai yang dahulunya mengandung banyak ikan untuk makanan putera bumi
dan musnah lantaran kekeruhan air itu. Seorang Inggris bernama Hubback (?)
acapkali menulis dan memprotes perkara ini, tetapi tidak diacuhkan oleh
pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh modal timah dan getah. Hampir seluruh
perikanan di pesisir semenanjung, yang dahulunya menjadi sumber pencarian bagi
Putera bumi sudah lama jatuh ke tangan Tionghoa totok. Dengan izinnya
pemerintah Inggris memberikan tanah kepada bangsa Tionghoa di beberapa tempat,
maka akan mungkin gelap benarlah nasibnya Indonesia asli di hari depan.
Perkara masuk
tidak terbatas (unlimited immigration)
bangsa asing itu ke Malaya, sekarang sebenarnya bukan soal lagi bagi bangsa
Melayu. Sekarang pun bangsa Melayu yang 2 juta banyaknya itu sudah kurang
daripada jumlah bangsa Tionghoa dan Hindustan. (Tionghoa lebih dari dua juta
dan Hindustan kurang dari 1 juta banyaknya!). Sekarang bukan lagi soal
membatasi masuknya orang asing yang sudah lebih banyak daripada bangsa asli
itu, melainkan perkara bagaimana jalannya mengurangi banyaknya bangsa asing
yang mendesak bangsa asli dalam penghidupannya sendiri atau menambah banyak
bangsa asli sekarang supaya mendapatkan angka yang patut pantas berhubung
dengan politik, ekonomi dan sosial Tanah Semenanjung dan kemerdekaan 100% bagi
seluruhnya bangsa Indonesia.
Bahwa penduduk
asli sudah dilebihi oleh jumlah penduduk asing itu, belumlah memberi gambaran
yang benar tentang nasib hidupnya bangsa asli. Begitu pula sedikit jumlah
bangsa Yahudi di sesuatu negara di Eropa atau sedikit jumlahnya orang Chetty di
Burma kalau dibandingkan dengan penduduk asli, bukanlah pada memberi gambaran
yang sempurna tentang keadaan bangsa asing. Haruslah terutama diselidiki
keadaan ekonomi umumnya dan sumber pencaharian yang dipegang oleh bangsa asing
itu khususnya.
Semua perkebunan besar sudah dimiliki oleh
bangsa asing (Inggris dan Tionghoa). Cuma ladang getah yang setelapak tangan
luasnya yang masih berada di tangan bangsa asli. Hasil getah yang seluas
telapak tangan itupun jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan). Setelah dikumpulkan getah yang dibatasi
keluarnya itu (buat membantu kebun asing), maka seterusnya getah putera bumi
tadi jatuh ke tangan tengkulak saudagar dan exportir asing. Dua tiga benggol
saja yang tinggal di kantongnya bangsa Melayu. Perusahaan timah sudah lama
jatuh di tangan bangsa asing. Tetapi kalau seandainya pekerjaan buruh di
pertambangan dan diperkebunan di jalankan oleh bangsa Melayu, maka akan ada
juga ampas perekonomian yang jatuh ke tangan Melayu, akan ada juga timah yang
jatuh dari meja makannya modal asing, yang dapat dimakan oleh putera bumi.
Tetapi ampas perekonomian inipun jatuh ke tangan kuli asing. Lompen proletar
asing, orang luntang-lantung di Tiongkok ataupun penjahat yang dikejar-kejar
oleh pemerintahan Tiongkok, baik dahulu maupun sekarang, dapat masuk ke
Singapura, satu Free-port, pelabuhan
bebas. Mereka lepas dari tuntutan dan berbahagia mendapatkan satu dua benggol
untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun.
Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya
dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya)
menerima upah yang amat rendah (30 sen sehari). Semakin banyak “luntang-lantung”
Tionghoa dan Keling yang masuk, semakin tajam persaingan antara kuli dan kuli
dan semakin baik buat si kapitalis yang menghendaki kuli yang murah, rajin dan
patuh.
Dengan masuknya Tionghoa, Hindu, Keling ke
Malaya, dengan kekuatan sebagai arus banjir menerobos pematang (dijk,
galangan), maka hancurlah bangsa Indonesia ke pinggir-pinggir kota dan ke
pegunungan. Kota, dan kebun rata-rata diduduki oleh “para tamu”. Beberapa
contoh yang saya saksikan sendiri dalam lebih kurang seperempat abad di belakang
ini, dapatlah kiranya memberikan sekedarnya gambaran. Sekembalinya saya dari
Nederland tahun 1919, maka di bagian kota Singapura, yang sekarang berada di
sekitarnya “High Street” masih
terdapat toko bangsa Indonesia. Pun disana sini kelihatan rumah yang sedang
besarnya, yang didiami oleh bangsa Indonesia. High Street adalah tiga atau
empat km jauhnya dari pelabuhan Tanjung Pagar. Di Kampung Gelam, yang juga
dinamai Kampung Jawa, boleh dikatakan cuma kedai dan rumah bangsa Melayu yang
terdapat. Bangsa Indonesia masih mempunyai perusahaan emas, perak, tembaga,
toko kain, perusahaan penjahitan, toko barang kelontong, warung nasi dan rumah
yang besar-besar juga. Jauhnya Kampung Gelam, dimana masih berdiri “istana”
yang diberikan oleh Raffles kepada Sultan Hussein sebagai umpan, adalah +- 5-6
km jauhnya dari pelabuhan. Selanjutnya Kampung Geylang yang luas dan +- 9-10 km
jauhnya dari pelabuhan itu, hampir sama sekali pula didiami oleh bangsa
Indonesia. Bangsa Tionghoa sebagian besar terkumpul dekat pelabuhan Tanjung
Pagar, dinamai “Cina Town”, kampung
Cina.
Pada tahun 1927,
jadi kurang 10 tahun lamanya di belakang hari, maka sekitarnya High Street
sudah tak kelihatan lagi dari toko dan rumah orang Indonesia. Kampung Gelam
atau Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Hindu dan
Keling. Cuma Geylang saja yang masih boleh dikatakan kampung Melayu.
Pada tahun 1937,
ketika saya masuk kembali ke Singapura maka tidak saja sekitarnya High Street,
tetapi juga Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa,
Keling, dan Hindu. Orang Indonesia cuma terdapat disana-sini sebagai barang
peringatan ke masa lampaunya. Oleh karena usaha Encik Yunus, seorang Indonesia
Minangkabau, maka pemerintah Singapura membenarkan berdirinya “kampung
istimewa” buat orang Melayu. Disini cuma orang Indonesia saja yang boleh
tinggal. Jauhnya Kampung Melayu “istimewa” ini lk. sudah 20 km dari pelabuhan.
Seperti Amerika Serikat akhirnya, berdasarkan peri kemanusiaan mereka perlu
mengadakan Indian Reservation, tanah istimewa buat penduduk asli orang Indian
itu, demikianlah pula karena prikemanusiaan, ala Inggris, pemerintah Singapura
merasa perlu mengadakan “Malaya
Reservation” untuk bangsa Indonesia yang sudah sangat mendesak itu, di
tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937
itu, jadi lebih kurang dalam seperempat abad semenjak saya mengunjungi
Singapura yang pertama kalinya itu, maka bangsa Indonesia sudah berturut-turut
terpelanting dari pelabuhan Tanjung Pagar (tempat kediaman mereka semula,
ketika Inggris masuk) : (1) ke sekitar High Street, 3-4 km dari pelabuhan,
ialah pada tahun 1919, (2) ke Kampung Gelam, 5-6 km dari pelabuhan, ialah pada
tahun 1927 (3) ke Kampung “istimewa” +- 20 km dari pelabuhan, ialah pada tahun
1937.
Di Kampung Jawa,
bekas pusatnya perekonomian Indonesia, hilang lenyaplah perusahaan logam (emas,
perak, tembaga) Indonesia. Yang tinggal cuma satu dua penjahitan kulit dan
pecis. Dua toko kain Padang dan satu warung nasi Padang, satu toko obat Jawa
dan satu toko buku Indonesia lagi, berdiri sebagai “candi” perekonomian
Indonesia di tengah-tengah masyarakat asing di tanah airnya sendiri.
Pada tahun 1937
itu penduduk Singapura ditaksir 700 ribu orang banyaknya. Diantaranya ditaksir
600.000 Tionghoa atau lebih kurang Tionghoa atau lebih kurang 85%; orang Keling
Hindu 70.000 orang atau 10% dan orang Melayu 30.000 orang atau lebih kurang 5%.
Ada pula yang menaksir banyaknya orang Melayu cuma 10.000 orang saja, atau cuma
1% lebih sedikit saja. Demikianlah jatuh perbandingan banyaknya bangsa Melayu
dari 90%, ketika Inggris masuk, sampai ke 5% atau 1% dari jumlah penduduk
diwaktu satu abad dikemudian hari.
Hal jumlah di
Singapura saja belumlah dapat memberi ukuran yang sempurna. Harus diketahui
pula bahwa tidak saja di kota Singapura, tetapi juga di kota-kota besar seperti
Penang, Kuala Lumpur dll, bangsa Timur Asing sudah mempunyai sebegitu banyak,
sehingga mereka bisa mengadakan produksi sendiri, pasar sendiri, perguruan
sendiri, masyarakat sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakatnya
sendiri dan logis-nya sendiri. Tak berapa jauh daripada kebenaran, kalau
dikatakan, bahwa bangsa Timur Asing umumnya dan bangsa Tionghoa khususnya sudah
mengadakan “Negara di dalam Negara”
di Semenanjung Malaya.
Bangsa Indonesia
sendiri, yang mengaku dirinya sebagai putera bumi, turunan ahli agama, ahli
negara dan pembentuk Undang-undang Laut seperti Sultan Mansyur Syah; turunan
Hang Tuah seorang anak miskin yang sanggup menjadi ahli siasat, politi, ahli
jiwa serta lambang kesatriaan dan kejujuran; bangsa Indonesia Malaya yang
pernah menguasai produksi, perdagangan dan perkapalan; bangsa Indonesia Malaka,
yang oleh Maharaja Langit dari kerajaan yang terbesar di dunia ini diakui
sebagai bangsa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”; bangsa Indonesia
yang cakap mengawasi ketentraman di laut daerahnya dan sanggup memberikan
hukuman kepada pelanggar undang-undang lautnya, walaupun dari rakyatnya
kerajaan yang terbesar di dunia, dalam kurang lebih satu abad oleh Inggris
diturunkan menjadi bangsa polisi, bujang kantor dan sopir dari bangsa asing di
tanah airnya sendiri.
Bangsa Indonesia
seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya.
Sebagai pusat pasar dunia, pusat lalu
lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular
berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan komplotan dan perusakan
imperialis Inggris di Malaya itu tak diperamati oleh bangsa Indonesia dengan
berpangku tangan saja. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak
berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhirnya di
Madiaun pada tanggal 17 Maret 1946 saja. Pun tidak pula tidak akan terhenti
dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan
sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Kemusnahan bangsa Indonesia Malaya, atau tenggelamnya
bangsa Indonesia Malaya diantara bangsa Asia-Timur yang masih mengakui
leluhurnya sebagai negaranya, adalah perkara yang langsung dan tak langsung
akan mempengaruhi soal hidup matinya Republik, teristimewa di hari depan.
Demikianlah adanya
suasana di Semenanjung Tanah Malaya, ketika saya keluar dari Duane di Penang.
“Dimanakah saya bisa tinggal untuk mendapatkan pekerjaan pertama kali untuk
sumber penghidupan”, inilah pertanyaan yang mendesak dalam pikiran saya, karena
uang simpanan saya semakin hari semakin habis
Di Kampung Melayu
tak ada mata pencaharian, yang lekas dapat memberikan hasil. Bersawah tidaklah
umum, dan tanaman getah baru mengadakan hasil sesudah 7 tahun. Mengajar di
surau (langgar) memangnya buat seorang alim Indonesia adalah suatu pekerjaan
yang mudah dilakukan, tetapi mengajar di sekolah (kalau ada sekolah!)
memberlakukan ijazah Inggris. Ijazah Inggris saya tidak mempunyai. Ijazah
Hindia Belanda tidak boleh saya simpan apalagi dipertontonkan. Lagi pula orang
Indonesia dari Jawa atau Sumatera, yang pandai “cakap orang putih”, yang pada
masa itu cuma mencurigakan saja. “Mungkin sekali dia komunis pelarian”,
demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927. Intelligence Service (I.S)
Inggris yang bekerja sama dengan P.I.D Belanda sama tajam penciumannya dengan
herdershond tulen (anjing pemburu). Di pertambangan sukar didapatkan pekerjaan,
karena hampir semua pekerjaan sudah dimonopoli oleh Tionghoa totok. Di kebun
getah lebih besar pengharapan mendapatkan pekerjaan, yakni di waktu makmur.
Tetapi pada masa itu pengangguran masih umum berlaku di Malaya. Bagaimanapun
juga hidup di kampung atau di kebun buat kita orang kota yang sudah jauh merantau,
adalah satu kesunyian, satu siksaan. Baiklah buat seminggu dua, tetapi lebih
lama dan itu kita rasa sebagai hidup di dalam penjara saja. Di kotalah tempat
yang dapat memenuhi penghidupan dan perasaan kita yang biasa hidup di kota
besar. Bukannya saya tidak mencoba hidup di desa Melayu. Tetapi segera saya
tertumbuk pada peristiwa yang membahayakan kemerdekaan diri.
Disalah satu
“kerajaan” di Malaya, memangnya saya mempunyai sahabat lama, yang sudah diuji
kesetiaannya. Tetapi karena imperialisme Inggris sekarang kembali lagi ke
sarangnya, sesudah diperlututkan oleh tentara Jepang pada tahun 1942, maka
tidalah baik saya sebut namanya sahabat itu. Memangnya pula ada kebahagiaan
karangan ini saya tidak lagi dengan sengaja akan memakai “nama” yang pasti dari
siapa ataupun apa saja, yang bisa memberi petunjuk, yang kiranya dapat
dipergunakan oleh P.I.D nya imperialisme mana saja.
Setelah beberapa
kota dan kampung di pedalaman Malaya saya kunjungi, dan sesudah mendapatkan
kepastian, bahwa saya tidak mudah mendapatkan pekerjaan maka akhirnya pada satu
hari di tengah malam saya mengetuk pintu rumahnya sahabat (sh) X di kampung Y.
Dia terkejut, karena dia tidak menyangka kunjungan saya di tengah malam,
sesudah perpisahan +- 10 tahun lamanya itu. Dia ceritakan bagaimana dia
menderita kesusahan, karena berhubungan dengan saya di waktu lampau. Pangkatnya
diturunkan dan berbulan-bulan lamanya ia diawasi oleh I.S. walaupun begitu,
karena memangnya persamaan keyakinan, dengan tidak ragu-ragu ia mempersilahkan
saya tinggal di salah satu rumah keluarganya.
Malangnya pula
diantara keluarganya itu ada seorang pensiunan yang dulunya bekerja dalam
kepolisian Inggris. Dalam kampung Y yang kecil itu tentulah dengan adanya saya
sebagai tamu tak lama dapat disembunyikan. Setelah saya melihat perhatian yang
ganjil terhadap saya dari pihak pensiunan polisi tadi, maka pada tengah malam
pula saya pergi mengunjungi X dan meminta penjelasan. Berterus terang
dikatakannya bahwa memangnya orang itu saudaranya sendiri, dan walaupun sudah pensiun,
X sebenarnya tidak percaya sungguh kepadanya. “Maklumlah walaupun polisi itu
sudah pensiun, semangatnya masih semangat penangkap”, katanya. Bintang tanda
“jasa” besar, sangat disukai oleh polisi di sini, katanya pula dengan segala
kejujuran di mukanya.
Kepada sh X saya
meminta pertimbangannya, apakah baiknya saya lekas pergi saja, ataukah tunggu
dulu. Segera sh menjawab: “Terserah kepada saudara! Maklumlah saya ingin hendak
memberikan pertolongan!!?? Tetapi saya tak ingin memberi kesan, bahwa saya seolah-olah
mengusir saudara”.
Dengan cepat saya
putuskan, hendak bertolak, dengan tidak pula menunggu-nunggu. Dia menyerahkan
sekedarnya uang, yang kebetulan baru saja diterimanya dari salah seorang
saudaranya sebagai pinjaman getah, dengan perkataan: Ini uang rupanya rezeki
saudara. Kebetulan baru saja saya terima. Selamat jalan.”
Pagi benar saya
meninggalkan kampung Y. saya mengendarai sebuah becak. Tetapi karena bekas
pensiunan juga memberi pamitan ketika saya berangkat, dan menurut pengakuannya
dia dulu memang banyak mempelajari gambar saya pula maka di tengah jalan becak
itu sengaja saya tinggalkan. Pembaca harus maklum bahwa becak di Singapura
(Malaya) mempunyai nomor, dan seorang polisi Malaya, apalagi sudah pensiunan
pula, tajam sekali peringatannya tentang nomor becak itu. Nomor itu dapat
dipakai oleh I.S Inggris dibelakang hari. Sepotong kain kepunyaan orang yang
dicarinya saja bisa dipergunakan untuk diciumkan kepada anjing pemburunya.
Apakah lagi nomor becak. Tetapi seorang pelarian Veteran, tajam pula
persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi petunjuk sedapat-dapatnya
dihapuskannya.
Saya meninggalkan
becak mengambil jalan hutan yang tidak mudah buat dilalui, berjalan 6 atau 7 km
jauhnya memikul koper saya yang tidak ringan. Akhirnya sampailah pula saya ke
rumahnya sahabat lama yang lain. Saya namakan saja sh Z. Sh Z sudah menjadi
orang berada, sudah beristeri empat dan mempunyai mobil. Berbandingan dengan
naiknya kemewahan hidupnya selama 10 tahun saya tinggalkan itu, maka turunlah
pula semangat kemerdekaannya. Saya diterimanya dengan baik, tetapi dengan
perasaan yang agak dingin dan sedikit takut. Dia cuma menjalankan kewajibannya
sebagai sahabat lama. Akan besar hatinya, kalau “tamu komunis pelarian” itu
berangkat dari rumahnya.
Kesempatan itu
tiba, sesudah beberapa hari saja saya tinggal di kampungnya. Dia berangkat ke
Singapura buat menjumpai sahabatnya. Sesampainya di sana, saya meminta berpisah
dan meloncat ke sana-sini. Di Singapura saya pindah dari pemondokan ke
pemondokan. Sepuluh tahun lampau, tidaklah sukar mendapatkan rumah di kampung
Melayu buat disewa. Tetapi pada tahun 1937 itu seperti saya sebutkan diatas,
masyrakat Melayu di dalam kota Singapura sudah cerai berai dan suda terdesak ke
“Kampung Istimewa” jauh di pinggir kota. Di dalam kota Singapura sendiri
diantara 100 orang di jalan raya kita amat susah mendapatkan satu biji orang
Indonesia, biasanya agen polisi, sopir atau bujang kantor (office boy). Agen
polisi dibangsalkan di beberapa tangsi di dalam kota, bujang kantor atau sopir
boleh bergembira, kalau dapat menyewa serambi atau kamar kecil kepada Tionghoa
atau Keling. Tidak aman tinggal bersama-sama dengan mereka buat seorang
pelarian politik. Memangnya orang Indonesia di Singapura dimasa itu tidak
memikirkan politik dan tidak bisa menyimpan rahasia kita sebagai pelarian
politik Imperialisme Inggris jaya menarik orang Indonesia keluar dari
perjuangan politik yang sedikit radikal, dan berhasil menarik mereka masuk ke
warung kopi buat mengobrol tentang pertandingan sepakbola, dengan tidak
memikirkan waktu.
Dalam seminggu dua
saya tinggal di Singapura itu saya coba memasuki kantor maskapai yang
besar-besar buat mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis ataupun bujang.
Tetapi tidak berhasil. Lain sekali keadaan pada tahun 1937 itu dari 10 tahun
lampau. Dahulu mudah saya mendapatkan pekerjaan seperti sudah saya ceritakan
lebih dahulu. Tetapi pada tahun 1937 itu dikatakan dalam surat kabar, bahwa +-
4000 pemuda keluaran sekolah menengah yang menganggur. Pekerjaan kantor yang
bukan Straits Born Chinese, Tionghoa yang tidak lahir di Singapura dan tidak
pula mempunyai ijazah Sekolah Inggris, bahkan tidak pula mempunyai salah satu
surat keterangan, adalah perkara yang amat sukar. Lari kian kemari membutuhkan
banyak “siasat”, tetapi lebih banyak lagi membutuhkan uang. Dengan tidak
disangka-sangka dompet kita sudah kosong. Dengan kawan yang ditinggilkan dilain
tempat, tentulah tidak dapat diadakan perhubungan sehari dua saja.
Kadang-kadang juga tak dapat diadakan dalam berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
lantaran kekuarangan alamat yang “pantas” untuk menerima balasan surat.
Pekerjaan baru untuk sumber hidup tak pula selalu bisa didapat dalam seminggu,
sebulan atau lebih. Keadaan “musim
kemarau” dalam kehidupan itu sudah pernah saya alami di Siam, Tiongkok, dan
pada tahun 1937 itu di Singapura. Tetapi biasanya dengan tidak dikira-kira.
Tibalah pertolongan yang dibutuhkan.
Jerih lesu karena
berjalan masuk kantor keluar kantor menanyakan pekerjaan yang terlowong, merasa
akibatnya kekurangan tidur dan makan pada dua tiga minggu yang belakangan ini,
akhirnya saya jatuh termenung diatas sebuah bangku dalam gedung Raffles Museum.
Sebagai kilat menyambar di dalam gelap, timbullah sekonyong-konyong pikiran
yang amat ganjil: Kalau Buna ada di sini, selesailah semua kesulitan, dan “Buna
ada”! Pada saat itu juga tampaklah +- sepuluh langkah jauhnya dari saya,
seorang Tionghoa yang lenggangnya seperti lenggang Buna. Saya panggil dia
dengan suara keras, sambil menggosok-gosok mata saya sendiri. Keduanya kami
tercengang atas pertemuan yang tidak disangka-sangka itu. Tidak sanggup kami
berbicara beberapa lama.
Setelah sekian
waktu kami berpegang-pegangan, sambil takjub dan tertawa, tertawa dan takjub,
bertanya dan menjawab, menjawab sambil bertanya, tak karuan, tak berujung dan
berpangkal berbicara melompat kian kemari barulah terdapat suasana yang agak
tenang.
Sedikit selama ini saya singgung-singgung
persahabatan saya dengan Buna. Selama 10 tahun di belakangan itu sedikit sekali
saya bercerai dengan Buna. Dia tahu benar keadaan saya. Pernah saya tinggal di
rumah keluarganya. Pernah pula saya bertikai dengan salah seorang pamannya
sendiri. Dia menganggap saya yang berada dalam kebenaran. Buat memelihara
keamanan diri saya, dia ikut menemani saya pergi ke lain tempat, melalui
bermacam-macam kesulitan dan kesukaran di jalan. Dia adalah seorang pemuda
Hokkian beragama Kristen dan mempunyai keahlian dalam hal listrikdan kimia.
Ketika Jepang
hendak menyerang Amoy, maka kami berpisahan. Tetapi pada ketika itu dia berangkat
ke pedalaman Tiongkok. Berhubung dengan soal belanja maka pada permulaan
tidaklah ada maksudnya hendak berangkat meninggalkan Hokkian yang belum pernah
ditinggalkannya seumur hidupnya. Tiba-tiba waktu yang amat penting bagi saya
ini dia berada di depan saya dengan kecepatan lampu ajaibnya Aladdin dari
cerita 1001 malam.
Selang beberapa
tahun di Amoy, Buna dan saya berpisah dengan seorang pemuda bekas teman
sekolahnya Buna. Kita namakan saja teman itu Y.Y. Dia berada di Singapura,
tetapi saya tidak mengetahui alamatnya. Buna pun tidak lagi mempunyai tulisan
alamat itu, tetapi ada bagian alamat yang masih diingatnya, ialah sebagian nama
dari nama sekolah yang dipimpin oleh temannya Y.Y
Karena keadaan
memang sudah sangat mendesak, maka dengan segera kami berangkat mencari sekolah
itu. Tidaklah mudah mendapatkan sekolah itu karena amat kecil sekali dan
namanya hampir sama pula dengan beberapa sekolah Tionghoa lainnya. Terpaksalah
kami hampir sehari lamanya berjalan atau menaiki trem dari ujung ke ujung kota
Singapura, yang amat panjang dan lebar itu. Sebagai akibat dari usaha itu, maka
pada besok harinya Buna jatuh sakit, karena lelah dan kepanasan. Tetapi kami
berjumpa dengan teman yang dicari itu.
Oleh Y.Y yang cuma
sebentar saja saya kenal di Amoy, saya dipersilahkan tinggal di rumah sekolah
temannya tadi, ialah kalau mau tidur di bangku sekolah saja. Jangankan di atas
bangku sekolah, di atas ubin atau di atas lantai pun sudah sering saya tidur.
Yang penting, ialah hidup di Singapura dalam masyarakat Tionghoa, karena
masyarakat Indonesia bagi saya pasti tak mengizinkan tinggal agak
lama.Untunglah pula bahasa dan adat istiadat Tionghoa yang sekedarnya saya
ketahui dan surat pas Tionghoa yang saya miliki, cukup memberikan syarat buat
hidup dalam masyarakat Tionghoa yang boleh dikatakan autonom di Singapura itu.
Malam itu juga saya pindah ke Sekolah kecil itu meninggalkan pemondokan yang
paling belakang tadi.
Kebetulan pula
beberapa hari dibelakangnya, terbukalah lowongan buat guru bahasa Inggris di
sekolah temannya Y.Y. Sayalah yang diangkat oleh kepala sekolah! Tetapi
pengangkatan itu harus pula disahkan oleh Pemerintah Inggris bagian perguruan,
karena sekolah di Singapura berada di bawah penilikan Department of Education,
jabatan pengajaran. Sebenarnya yang dibolehkan mengajarkan bahasa Inggris itu
cuma British Subject, rakyat Inggris yang mempunyai ijazah sekolah Inggris
pula. Tetapi kesulitan ini sesudah sekolah ini dikunjungi oleh inspektur
sekolah dengan sedikit “muslihat” dapat diselesaikan. Syarat yang terpenting
tentulah cakap mengajarkan bahasa Inggris kepada anak Tionghoa totok. Dan “metode” saya mengajarkan bahasa Inggris
kepada murid Tionghoa sudah mendapat “ujian” pesat di Tiongkok sendiri.
Begitulah dengan
gaji $ 8 (tertera delapan dollar Singapura, seharga 8 x F 0.85; atau F 6.80)
sebulan, maka saya mengajarkan bahasa Inggris, kepada lima kelas di Sekolah
Rendah Tionghoa, dua tahun lamanya. Makan dan tempat adalah bebas, ialah dalam
rumah sekolah itu sendiri. Karena makan kurang baik (maklumlah sekolah kecil)
maka gaji dinaikkan menjadi $ 10 (atau F 8.50) sebulan, dengan tetap bebas
tempat tinggal, tetapi membeli makan sendiri. Agak susah mencari makan sendiri
dengan gaji F 0.28 sehari. Apalagi dobi harus bayar sendiri, dan saban-saban
pakaian yang sudah usang rombang-rambing harus diganti pula dengan yang baru,
yang baik dipandang murid. Tetapi saya merasa aman. Siang hari saya dapat
menjalankan pekerjaan dalam sepenuhnya waktu, yang tetap, berguna dan bisa
menjadi tabir asap. Anjing pemburu tak “lekas” menyelundupkan hidungnya ke
dalam kamar sekolah kanak-kanak. Di
jalanan pun bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak
pula lekas tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa
buat tuannya. Di waktu terluang dan tempat yang baik dapat juga berbicara
dengan orang Indonesia. Maklum sajalah pembaca yang arif dan bijaksana!
Indonesia lebih dekat letaknya dan semua kemungkinan daripada tempat dan masa
yang sudah-sudah.
Sahabat Tionghoa
semakin lama semakin banyak pula. Mengajarkan bahasa Inggris tidak lagi di
sekolah saja. Malam hari pun sudah tak ada lagi waktu yang terluang. Seorang
dua sahabat membutuhkan supaya anaknya, lelaki dan perempuan dari umur 6 tahun
murid sekolah rendah sampai anak berumur 18 tahun murid sekolah menengah
tinggi, diulangi pelajarannya di waktu malam hari, tidak saja dalam bahasa
Inggris, tetapi juga tentang kimia dan matematika. Sebenarnya dengan
mengembangkan sahabat pekerjaan buat pencaharian sudah tidak menjadi soal lagi.
Pada perusahaan (Tionghoa) mana saja, dan bila mana saja, saya dapat mencari
tempat. Sekali mendapat “surat keterangan” tentang pekerjaan, tidak pula sukar
mendapat pekerjaan baru pada maskapai Eropa.
Dulunya dimasa
musim susah di Singapura, pernah saya majukan surat permintaan pada salah satu
Sekolah Menengah Partikulir yang dipimpin seorang Inggris. Sekolah itu
menyiarkan advertansi mencari seorang guru untuk ilmu bumi. Saya dipanggil,
disetujui oleh direktur sekolah. Tetapi karena “Department of Education” membutuhkan
ijazah, maka saya tidak bisa diterima menjadi guru.
Dengan
bertambahnya sahabat dikalangan Tionghoa, perkara ijazah itu menjadi perkara
yang kedua. Yang terpenting ialah perkara bisa. Demikianlah akhirnya pada tahun
1941, saya di lapangan perguruan Tionghoa di Singapura sampai juga ke tingkat
yang tertinggi, ialah mengajar bahasa Inggris di salah satu sekolah Menengah
Tinggi. Kalau tidak terputus oleh perlututan Inggris kepada tentara Jepang pada
bulan Februari 1942, maka disampingnya mengajarkan bahasa Inggris, atas
permintaan murid sendiri, saya juga akan mengajarkan matematika (aljabar dan
ilmu ukur).
Nama saya (nama
surat pas) masih tercatat dengan resmi dalam kantor Chinese Protectore
(perlindungan Tionghoa) di Singapura sebagai guru bahasa Inggris Sekolah
Menengah Tinggi tersebut. Karena kesulitan ijazah maka inspektur Inggris
sendiri rupanya ingin mendengarkan saya mengajar. Tak lebih dari satu menit dia
hadir dan pergi, artinya ini OK,
......zonder tanda British Subject, surat ijazah dan surat
keterangan...........Kekurangan syarat secara Formal, kebiasaan dikalahkan oleh
syarat menurut kecakapan.
Beranilah saya
memperingatkan kepada pemuda-pemudi kita, bahwa syarat yang terakhir yang
terpenting dalam suatu pekerjaan itu ialah “kecakapan” dan “rasa tanggung
jawab” terhadap kewajiban sendiri. Bukannya ijazah! Ijazah cuma untuk pembuka
jalan, buat sementara saja, menjelang kecakapan itu terbukti.
Berapa kali seumur
hidup sudah bertukar tempat dan pekerjaan. Tidak pernah lama saya dapat
mengecap hasilnya pekerjaan yang sedikit menyenangkan. Hampir dua tahun saya
tinggal di Deli dengan gaji besar, tetapi suasana yang sempit sesak. Cuma enam
bulan di Semarang dalam suasanana revolusioner bebas dan menggembirakan hati.
Tidak pula berapa lama sebagai wartawan s.k di Filipina. Sebentar pada satu
Firma Jerman di Singapura di tahun 1927 sebagai klerk kantor. Hampir setahun di
Amoy sebagai pemimpin kursus dalam beberapa bahasa. Lama dalam perguruan
Tionghoa di Singapura, tetapi cuma setahun dalam suasana yang sangat memuaskan.
Nanti di Bayah, Banten Selatan sampai kewaktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945.
Tiga kali saya
terganggu karena serangan Jepang. Pertama di Shanghai pada tahun 1932. Kedua di
Amoy pada tahun 1937. Akhirnya saya terdesak lagi dari tempat saya di Singapura
pada tahun 1942. Seperti di Amoy, maka di Singapura pula, di tengah-tengah
masyarakat Tionghoa umumnya dan pemuda-pemudi Tionghoa khususnya, bilamana
hasil pencaharian sudah dapat melebihi keperluan hidup sehari-hari, waktu buat
sedikit membaca dan “mengaso” mulai sedikit terluang, maka tibalah pula tentara
Jepang buat merusakkan suasana yang akhirnya menjadi baik buat saya tadi.
Sekonyong-konyong,
jam 4 dini hari, datanglah serombongan pesawat udara Jepang, 125 buah banyaknya,
menyerang Singapura. Banyak bom dijatuhkan tak berapa jauhnya dari sekolah
kami. Lebih kurang 300 penduduk tak bersalah tewas pada serangan pertama itu,
dan banyak rumah yang runtuh. Ratusan murid yang tinggal di asrama kami, lari
keluar mengamankan diri. Ada yang tidak bisa berjalan lagi, ada pula yang
pingsan ketakutan, karena serangan dahsyat dan dilakukan zonder ultimatum itu.
Bersamaan dengan
serangan Jepang di Singapura itu, tentara Jepang mendarat di Kotabaru, Kelantan
l.k. 600 mil jauhnya ke sebelah Utara Singapura, di pantai Malaya sebelah
Timur. Dengan serangan zonder ultimatum itu, pemerintah Inggris
mempermaklumkan, bahwa kerajaan Inggris berada dalam keadaan perang dengan
Jepang.
Kami para guru
mengatur penjagaan atas pan murid. Kami bergiliran menjaga bahaya udara siang
dan malam. Apabila sirene berbunyi, maka kami berganti-ganti memimpin para
murid ke lubang perlindungan yang sudah disiapkan. Kebanyakan murid pergi ke
suatu tempat +- setengah mil jauhnya dari sekolah kami. Di sana terdapat
belukar dan pohon-pohon kayu yang besar dan rindang. Rumah sekolah dianggap
terlalu tampak karena besar, tinggi dan agak terpencil letaknya. Lagi pula di
Tiongkok rumah Sekolah Menengah dan Tinggi itu acap kali menjadi sasarannya
pesawat Jepang. Memangnya pula satu dua kali bom jatuh lima atau enam meter
saja jauhnya dari sekolah kami.
Tak pernah kurang
dari dua kali sehari serangan udara berlaku. Tak pernah kurang dari empat puluh
pesawat yang serempak datang menyerang, biasanya menuju ke pelabuhan Singapura,
yang tak jauh letaknya dari sekolah kami. Perlawanan Inggris di udara hampir
tak ada. Pesawat Inggris yang bisa terbang tinggi tidak kelihatan. Yang tampak
hanya pesawat Buffalo yang rendah terbangnya itu. Pesawat Jepang yang datang
menyerang amat tinggi sekali terbangnya. Kabarnya berhubung dengan bantuan
Inggris kepada Rusia, maka semua pesawat Inggris yang besar di Singapura
dikirimkan menuju ke Barat.
Pendeknya
Singapura terbuka di udara. Penduduk memang merasa gelisah, karena tak ada
perlawanan di udara itu. Berhubung dengan itu. Maka dengan amat mudah Jepang
merebut kota demi kota di Malaya. Malah Pemerintah Penang sudah lari, baru saja
sebuah pesawat Jepang datang mengintai tinggi. Karena pemerintah sudah lari,
maka penyerahan resmi kepada tentara Jepang tidak dapat dilakukan. Berhari-hari
Jepang mengebom kota Penang, yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh pemerintah
Inggris yang lari tunggang-langgang ke Singapura, meninggalkan ratusan ribu
penduduk yang katanya dibawah perlindungan itu. Ribuan penduduk yang mati kena
bom dan puluhan rumah yang terbakar. Menurut kabar seorang Jepang keluar
penjara Inggris, menulis dengan huruf Jepang di suatu lapangan, memperingatkan
bahwa pemerintah Inggris sudah lama lari. Barulah pengeboman diperhentikan.
Tidak lama antaranya tentara Jepang masuk ke Penang dan mengambil
pemerintahnya.
Kemajuan tentara
Jepang dari Utara ke Selatan sebenarnya tidak mendapat gangguan yang berarti.
Jarak yang 600 mil antara Kotabaru dengan Singapura dijalaninya dua bulan
lamanya. Sehari tentara Jepang dapat maju 10 mil atau 17 km. menurut istilah
kemiliteran, ini namnya “an easy
walk-over”, satu kemenangan yang mudah diperoleh.
Menurut kabar yang
tersiar di waktu itu, di Kotabaru, di garis paling depan terdapat Malay
Regiment. Di belakangnya berikut: Barisan Gurkha, Barisan Sikh, Barisan
Punjabi, Barisan Australia, Barisan Inggris. Maka Barisan Inggris rupanya
seperti Barisan Belanda dalam tentara Hindia Belanda, berada di garis paling
belakang dekat roti, mentega, coklat, sigaret dan brandy.
Barisan Malay Regiment hampir semuanya tewas
dalam pertempuran di Kotabaru itu. Barisan Australia dan Gurkha ada memberi
perlawanan dan juga ada merebut rasa kehormatan prajurit Jepang. Tetapi
terhadap serdadu Inggris, tentara Jepang cuma menutup lubang hidungnya saja.
Barisan Inggris, terutama opsir Inggris yang seharusnya paling terdepan,
membela Malaya, bagian dari “British
Empire” itu, cuma memikirkan keselamatan dirinya semata-mata. Ada yang
berkata, bahwa para serdadu dan opsir Inggris itu tak mempunyai kepentingan
diri membela imperialisme Inggris. Perkataan ini banyak benarnya. Tetapi kalau
mereka mau makan gaji besar, yakni dari hasil keringatnya rakyat di Asia,
tetapi dalam waktu bahaya menyerahkan rakyat itu zonder perlawanan sedikitpun
kepada tentara yang kejam seperti tentara Jepang, ini bertentangan dengan semua
dasar dan moril. Kalau tidak menyetujui imperialisme Inggris, janganlah mau dipakai
menjadi kaki tangannya imperialisme itu terhadap musuhnya ke dalam dan ke luar.
Barulah ada alasan buat opsir atau serdadu Inggris itu berkata, bahwa dia tidak
berkepentingan dalam peperangan di Malaya atau lainnya bagian Asia.
Tetapi orang yang
mau makan, tetapi tak mau bayar tak mau kerja, tidaklah bisa mendapatkan
persetujuan dari orang yang mengerti akan aturan tanggung jawab.
Tentara Jepang
mengerti benar akan tempat dan kualiteitnya serdadu dan opsir Inggris di
tengah-tengah coklat, sigaret dan whysky nya itu itu. Kalau belum “Rari” (lari) maka dia kirimkan dua tiga
biji, “jibakutai” prajurit berani matinya ke belakang sayap kanan dan sayap
kirinya tentara Inggris yang melintang dari Barat ke Timur Malaya. Dengan
sekoci jibakutai tadi diselendupkan di pesisir Timur dan Barat Malaya, ke
belakang tentara Inggris. Biasanya setengah lusin jibakutai Jepang itu sanggup
mengkocar-kacirkan seluruh tentara British Empire itu. Tentara Inggris mundur
dan membuat garis baru ke arah Selatan. Mau tak mau barisan tentara Inggris
yang lain-lainnya harus ikut mundur pula. Mungkin bukanlah satu dongeng yang
pernah saya dengar pada salah satu tempat dalam perjalanan ke Penang, bahwa
kannonier (penembak dengan meriam) Jepang menaruh meriamnya dekat warung kopi.
Saban lima sepuluh menit meriam itu ditembakkan ke arah serdadu Inggris.
Setelah menembak, dia kembali ke warung buat minum kopi. Sesudah minum kembali
pula ke meriamnya. Demikianlah setelah beberapa kali dia pulang pergi dari
meriam ke cangkir kopinya, dia menerima laporan, bahwa dia mesti maju merebut stelling baru, karena “Iggris-jin” sudah
lari dengan roti, mentega, coklat, sigaret dan whyskynya menuju ke Singapura.
Sambil menembak dan minum kopi akhirnya tentara Jepang sampailah ke Johor, lk.
20 mil jauhnya dari kota Singapura. Pada saat inilah pemerintah Inggris yang
licik itu mengizinkan keluarga Partai Komunis Malaya dengan resmi dan kepada
masyarakat Tionghoa mengizinkan pula membentuk “volunteer corps”, tentara
sukarela untuk menantang Tentara Jepang. Tentara sukarela itu dibentuk di
gedung sekolah kami, dimana terkumpul ratusan buruh pemuda-pemudi Tionghoa.
Murid sekolah kami banyak yang terkemuka dalam berbagai cabang pembelaan,
terutama cabang penerangan (politik).
Pada masa itu oleh
badan pengurus sekolah saya diserahi pekerjaan penerangan kepada para murid
tentang situasi politik. Pada beberapa pemuda saya kemukakan kelicinan Inggris
tadi. Saya merasa heran, kenapa dua bulan lampau, ketika tentara Jepang masih
600 mil jauhnya dari Singapura, Partai Komunis tidak di izinkan keluar dengan
resmi oleh Pemerintah Inggris dan tentara sukarela tidak pula diizinkan
dibentuk. Sekarang, setelah tentara Jepang, yang terpilih dan berpengalaman
perang itu sudah sampai ke pintu, baru diizinkan. Apakah latihan satu dua hari
buat buruh dan pemuda cukup buat melawan tentara pilihan Jepang itu? Bukankah
seolah-olah pemerintah Inggris mau membinasakan kedua musuhnya, ialah keluar
dan ke dalam, dengan muslihat mengorbankan Partai Komunis dan pemuda Tionghoa
yang radikal itu terhadap Jepang?
Setelah sekolah
ditutup dengan resmi, dipergunakan buat latihan dan asrama tentara sukarela;
apabila tentara Jepang sudah mendarat di pulau Singapura, dan seluruhnya kota
Singapura sebenarnya sudah lama kehilangan kepercayaan kepada tentara Inggris
dan armadanya, mengingat tenggelamnya kapal perang modern seperti Prince of
Wales, maka saya dengan dua orang murid dengan susah payah mendapatkan rumah di
luar kota menuju ke benteng Seletar. Disinilah saya di rumah orang Tionghoa
dari dekat menyaksikan keulungan tentara Jepang, sebagai perseorangan atau
barisan. Dengan senjata jauh lebih kurang, kecuali di udara, tetapi dengan
semangat seperti belum pernah diperlihatkan oleh tentara Eropa Barat, maka
tentara Inggris di daratan yang bersenjatakan jauh lebih lengkap, oleh tentara
Jepang dibelah seperti pohon pisang dibelah dengan parang. Pertempuran terjadi
di samping rumah kami, senjata api dari berbagai nama dan kaliber berdentuman
seperti mercon di masa cap-gome. Bunyi dentuman yang riuh itu mulanya
kedengaran jauh di pesisir pulau Singapura, di Bukit Timah, di kebun getah
dekat rumah kami, akhirnya sampai keliling rumah kami sendiri.
Pada tanggal 12
Februari 1942, pagi benar kelihatan di depan rumah kami dua tiga orang prajurit
Jepang naik ke bukit ke kebun getah, masuk rumah seorang Tionghoa dan keluar
dengan cangkir berisi bubur. Mereka rupanya berada paling depan, makan dengan
tenang, seperti tak ada peperangan sama sekali. Tak berapa lama diantaranya
datanglah menyusul sebuah meriam Jepang, yang ditarik oleh beberapa prajurit
diikuti oleh rombongan prajurit dengan satu dua opsir. Cuma seratus atau dua
ratus meter saja jauhnya dari rumah kami. Tembakan pertama dilepaskan oleh
meriam tadi dari stelling Jepang itu. peluru granat tak berapa meter jatuhnya
dari rumah kami. Kami baru insaf bahwa bombardemen berlaku di sekitar kami.
Lelaki perempuan dan kanak-kanak seisi rumah disebarkan pada dua lubang
perlindungan di samping rumah.
Tengah menembak
yang rasanya akan memecahkan anak telinga berlaku dari pukul 10 pagi sampai jam
3 petang. Pucuk kelapa banyak yang runtuh karena peluru granat yang meledak di
sana. Pecahan granat sudah banyak menembus atap dan dinding rumah kami.
Beberapa tetangga sudah berteriak meminta tolong, karena kena pecahan granat
mengenai badannya. Tak ada diantara kami yang menyangka, bahwa kami akan
tinggal selamat. Sewaktu-waktu rumah mungkin terbakar, dan pecahan granat
berpencaran kian kemari, sedangkan kami terkepung diantara penembakan di kedua
belah pihak.
Tembak menembak
berhenti pada jam 3 petang. Tetapi pertempuran belum lagi selesai. Bahkan
menurut kabar orang Tionghoa yang datang dari kota, pada malam itu akan
diadakan penyerbuan besar-besaran oleh tentara Jepang yang sudah menang di
bukit Timah. Seorang jibakutai Jepang
dengan tenang lalu di depan rumah kami, bertanyakan “Inggris jin wa dokodesuka? Orang Inggris dimana? Seorang menunjuk
ke salah satu tempat, dimana terdapat ratusan serdadu Sikh dan Inggris. Jepang
tadi seorang diri saja dengan senapan disandang menuju ke tempat yang
ditunjukkan itu. Dia tidak merayap atau membungkuk, melainkan berjalan tegak
seperti melancong saja......memang mengagumkan! Pesawat pengintai Jepang
terbang rendah sekali mendekati benteng Seletar, yang katanya tak dapat direbu
itu. Setiap kali pesawat itu datang melayang, setiap kali pula bunyi penangkis
udara berdentuman seperti mercon. Tetapi walaupun pesawat itu terbang rendah
sekali, dan bunyi meriam penangkis gemuruh, konon pesawat itu tidak jatuh. Saya
bertanya dalam hati, apakah benar-benar meriam itu ditujukan kepada pesawat
itu, ataukah serdadu Inggris sudah menyangka akan kalah dan takut, kalau nanti
sudah menyerah, Jepang akan membalas dendam?
Malamnya 12/13
Februari itu kami alami dengan penuh kesangsian. Pembelaan mati-matian dari
pihak Inggris juga dibisikkan dimana-mana. Dalam hal itu kami tidak sangsi lagi
akan kemusnahan kami semua, lantaran kebakaran ataupun karena dikenai peluru
kesasar. Tidak jauh dibelakang rumah berada serdadu dari kedua belah pihak.
Dalam hal kebingungan pada malam hari ini ada diantara isi rumah yang mengusulkan
supaya pindah rumah saja. Usul semacam itu saya tolak dengan tegas, karena
peluru kesasar dari kedua belah pihak, yang berperang akan lebih membahayakan
sedang kita berjalan, daripada berdiam diri di dalam rumah atau di lubang
perlindungan. Memangnya tindakan ini lebih tepat daripada pindah tengah malam.
besok harinya mendengara kabar, bahwa hampir semua penduduk kampung Paya Lebar
mati atau luka, karena lari meninggalkan tempat di waktu malam hari. Yang
tinggal di rumah kebanyakan selamat saja.
Pada hari 13
Februari datanglah kabar yang tidak disangka begitu lekas datangnya disebabkan
oleh propaganda Inggris ini, bahwa Inggris menyerah dan perpecahan berhenti.
Peristiwa ini cuma
sebentar saja menggembirakan kami. Di waktu inilah siksaan atas penduduk yang
tidak bersalah berlaku dimana-mana. Orang ditampari, kalau tidak jongkok
melalui He-tai-san (Prajurit Jepang); ditampari kalau tak mau memanjatkan buah
kelapa, buat Hei-tai-san yang ingin; perempuan orang diperkosa; orang dipaksa
memikul ini atau itu; mobil, sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas
orang dirampas dll sbg tak putus-putusnya berhari-hari.
Dua tiga hari
sesudah tentara Jepang menguasai Singapura, maka kampung kami mendapat
perintah, supaya semua penduduk laki, perempuan, tua dan muda, datang berkumpul
pada satu tanah lapang. Pintu dan jendela rumah yang ditinggalkan tak boleh
ditutup.
Peti dan lemaripun
mesti dibuka saja. Para “anak dewa” akan datang, keluar masuk rumah,
“memeriksa”, semua lemari, peti dan dapur. Maklumlah, berapa banyaknya penduduk
yang kembali ke rumahnya kehilangan arloji, sepeda, emas dan perak. Para “anak
dewa” yang berjuang buat “Hakko Iciu”, kekeluargaan dunia ini, ingin juga
“harta benda” kaum sekeluarganya di “Dai-Toa” ini. Jalan yang menuju ke lapangan
tadi sudah ditentukan oleh Hei-tai-san lebih dahulu dan dijaganya dengan pedang
terhunus. Siapa yang tidak melalui jalan yang ditentukannya itu dipancung atau
ditembaknya. Pagi hari lk. jam 9 sudah padat lapangan yang sudah ditentukan
itu. Tiap-tiap penjuru dijaga oleh mitraliur. Pintu masuknya dijaga oleh
beberapa opsir dan kempei Jepang, rupanya diperkuat dengan I.S Inggris itu,
sebagai bekas komunis dan bekas sukarela diasingkan dan ditahan. Saya dengan
dua murid rapat-rapat melalui cordon (barisan) penyelidik itu. Kami selamat
lalu dan pulang. Tetapi seorang anggota rumah ditahan buat beberapa hari
lamanya.
Ada diantara
kenalan saya, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan
yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka
dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti
dan tidak atau sedikitpun diberi makan. Banyak pula yang dijemur atau disiksa
sampai mati.
Bersamaan pula dengan kami pada lapangan lain
+- 50 ribu orang dikumpulkan pula. Mereka diperintahkan keluar rumah
masing-masing dengan tidak boleh membawa makanan atau minuman buat anak-anak.
Di tanah lapang itu mereka, tua, muda, lelaki, perempuan berjemur dan berhujan
4 hari 4 malam lamanya. Mereka tak diizinkan keluar lapangan mengambil makanan
atau air minum. Banyak yang mati karena kelaparan, kehausan dan ketakutan.
Kabarnya konon sebenarnya tentara Jepang bermula hendak melenyapkan orang
Tionghoa yang 50.000 itu dengan mitraliur. Tetapi ada juga rupanya diantara “anak
dewa” yang masih mempunyai hati kemanusiaan. Kebetulan pula dia mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam keadaan ketentaraan dan dapat mencegah kebinatangan
bangsanya itu.
Kebinatangan itu
sudah dilakukan di lain tempat. Dalam perjalanan ke Penang di belakang hari
saya mendengar kabar, bahwa di Seremban 200 pemuda pemudi dan penduduk
Tionghoa, yang dikumpulkan oleh tentara Tenno Haika, ketika menuju ke Selatan
itu.
Mereka dimitraliur
sampai habis, karena di Seremban itu ada
perlawanan dari pihak Tionghoa.
Kebinatangan itu
dilakukan juga terhadap mereka suka rela yang terdapat di sekolah kami, tempat
mereka berlatih. Mereka terkepung setelah tentara Jepang menyerbu ke Singapura
satu-dua hari saja, setelah para guru termasuk saya sendiri meninggalkan asrama
sekolah kami, 300 orang pemuda-pemudi yang terdapat di sana dengan tidak banyak
pemeriksaan dimuatkan ke dalam 6 truk, diangkut ke luar kota, pada suatu bukit,
disuruh menggali buat kuburnya sendiri. Kemudian mereka disuruh berjejer-jejer
di pinggir lubang itu, ditutup matanya dengan kain, untuk dimitraliur. Ada
diantara mereka, yang rebah sambil menyanyikan lagu kebangsaan Tionghoa.
Barangkali
terlampau sedikit angka resmi yang diumumkan, ialah sejumlah 5000 orang
Tionghoa yang mati dibunuh oleh penjahat perang Jepang. Tetapi dipandang dari
sudut moral dan kehormatan, lebih baik mati ditembak seperti yang dialami oleh
para pemudi tersebut diatas. Dikatakan, bahwa adalah “adat” bagi tentara Tenno
Haika, sebelumnya musuh menyerah, maka para “hei-tai-san”, para “ronin” para satrian Kusuma bangsa, diizinkan
memasuki tiap-tiap rumahnya kota musuh untuk melepaskan hawa nafsu
kebinatangannya terhadap para wanita, istri ataupun gadis. Rupanya ada juga
harganya “surga” di dunia ini, bagi para “ronin”, sebelum arwahnya sebagai
pahlawan Tenno Haika memasuki “Yasukuni
Jinja”.
Akhirnya sampailah
waktunya yang lama diharap dan ditaksir akan datang. Setelah keadaan di kota
Singapura sedikit mulai teratur, maka saya mengadakan persiapan kembali ke
Indonesia. Dua tiga orang Indonesia yang sudah berjanji mau berlayar ke
Sumatera bersama dengan saya, setelah saatnya datang membatalkan janjinya itu.
Melihat perahu kecil yang pinggirnya cuma satu dua jengkal saja tingginya dari
muka air laut, maka dia mula gemetar. Dengan dua orang empunya perahu kecil
tiga empat meter panjangnya, dan lebih kurang satu meter lebarnya yang kembali
ke Tembilahan sesudah membawa barang dagangan dari sana, saya mulanya sendiri
mau berangkat meninggalkan Singapura, sekarang bernama Sho-nantoo, Kota Gemilang. Pelayaran ini tidak terjadi, lantara
yang mempunyai perahu terlalu lama sekali menunggu-nunggu berangkatnya.
Baru pada
penghabisan bulan April 1942 saya bertolak ke Penang dengan kereta api dengan
maksud hendak menyeberang Selat Malaka menuju ke Belawan, Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar