Sesudah 23 tahun, Tan Malaka untuk
pertama kalinya berbicara kembali di depan umum pada tanggal 4 Januari 1946,
selang 55 hari setelah peristiwa 10 November 1945.
Di Gedung ‘Serba Guna’, yang
digunakan untuk berbagai macam pertemuan dan juga sebagai gedung bioskop, di
Purwokerto pada tanggal 4 Januari petang hari, ‘seratus hari sesudah pendaratan
tentara Inggris di Jawa’, dibuka sebuah sidang besar, untuk membahas masalah
‘hasrat perjuangan rakyat seluruh Indonesia’. Tidak ada pemberitaan satu pun di
pers.[1]
Semua peserta mendapat undangan pribadi dari panitia penyelenggara, atau
melalui organisasi yang diwakilinya.[2]
Banyak yang hadir. 300 laki-laki dan
perempuan berangkat ke Purwokerto, yang mewakili 40 organisasi, antara lain
pimpinan pusat partai-partai Partai Sosialis, Partai Komoenis Indonesia,
Serindo (Serikat Rakjat Indonesia), Masjoemi, Partai Boeroeh Indonesia, Partai
Revolusioner Indonesia (Parindo), organisasi-organisasi pemuda dan pejuang
Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia,
Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII), Angkatan Muda Republik Indonesia, Kebaktian Rayat Indonesia
Sulawesi, Pemuda Republik Indonesia Sumatera, dan federasi perempuan Persatuan
Wanita Indonesia (Perwari), dan tentara. Orang-orang dari semua lapisan rakyat
melengkapi semuanya itu, termasuk Panglima Besar Soedirman dan Tan Malaka.[3]
Peserta yang hadir sangat
mengesankan. Semua organisasi politik dan (para) militer yang penting ikut hadir.
Hanya wakil pemerintah tidak terlihat hadir.[4]
(pada kesempatan itu Amir Sjarifoeddin menyampaikan harapan-harapan terbaiknya
secara tertulis kepada kongres).
Sidang dibuka dengan tiga laporan.
Ismail untuk Jawa Timur, Sajoeti Melok untuk Jawa Tengah, dan Armoenanto serta
Chairul Saleh, pimpinan-pimpinan Laskar Rakyat Jakarta Raya untuk Jawa Barat
yang melaporkan tentang daerah mereka masing-masing.[5]
Mereka semua sependapat. Kepalsuan,
provokasi dan tipu daya Inggris tidak mendapat cukup reaksi, terutama dari
tanggapan pemerintah.
Di Surabaya mereka mendapat waktu
dan kesempatan dan juga kesempatan untuk menghindari kekalahan.
Di Jawa Tengah mereka memanfaatkan
dengan cerdik tipuan adanya perpecahan di kalangan kaum Republiken.
Di Jawa Barat dengan politik devide et impera , sejalan dengan itu
juga provokasi-provokasi, dan pemerintah melarang tentara bereaksi. Rakyat
sendiri hanya tahu tampil untuk berperang. Pemerintah membiarkan penculikan,
perampokan dan pembunuhan terjadi dan berdiam diri. Mereka duduk, kata Chairul
Saleh, tetap di atas haluan diplomasi dan kebingungan. Kesatuan dan koordinasi
diperlukan, demikian Ismail dan Sajoeti Melok berkata. Untuk itu Sajoeti Melok
mengusulkan agar dibentuk sebuah badan koordinasi.[6]
(Kedaulatan Rakyat, 6-1-1946. Armoenanto bahkan membacakan sebuah surat, di
mana Amir Sjarifoeddin melarang tampil bersenjata melawan Inggris).
Muhamad Yamin melaporkan di “Tan Malacca, bapak Republik Indonesia;
Riwajat-politik seorang penganjoer revolusioner jang berfikir, berjoeang dan
menderita membentoek negara Republik Indonesia.” Djakarta: Berita Indonesia,
1946a: hal. 31-33
“Pada penghabisan
rapat Purwokerto pada malam hari denga tiba-tiba ketua permusyawaratan berkata:
“Kami minta saudara Tan Malaka angkat bicara menyambut laporan. Kelihatan rapat
terdiam dan menahan napas, karena ingin mendengar putera Indonesia yang telah
begitu lamanya terpisah dari pada perjuangan Rakyat yang nyata.Dia keluar dari
hadirin yang tak mengenal dia, naik panggung dan berdiri tegak lurus, berkemeja
dan bercelana pendek, dengan tangan kiri di pinggang di hadapan hadirin, yang
selama dua hari meninggalkan medan pertempuran untuk mengisi jiwa dengan ajaran
perjuangan. Seperti dia berdiri di sana dan pertama kalinya mengangkat bicara
menyambut laporan pertempuran dan kemudian bersambung pada rapat lain dengan
uraian tentang perjuangan dan pembentukan Republik Indonesia, maka dengan
sekali pukul dia membuktikan kepandaian sebagai seorang orator besar yang
menarik dan mengisi dada Rakyat yang mengangkat senjata membela Negara Merdeka
dan yang sedang melaksanakan peperangan-pertahanan. Hadirin berasa mendapat
penjelasan, dan Revolusi yakinlah mendapat pimpinan baru, siap dengan ajaran
taktik dan usaha yang dapat dijalankan. Dia sendiri cuma menamai dirinya
sebagai veteran revolusioner yang telah mendapat pengalaman dalam perantauan yang begitu lamanya.
Pidatonya penuh kesungguhan hati dan
kesiapan terus berjuang melanjutkan Revolusi, dapat didengar dari perkataannya,
dapat dilihat dalam wajah mukanya, dan dapat dirasakan dalam ujaran yang
berbunyi sebagai suara Proletar merebut kekuasaan atas ajaran yang jelas. Hadirin
berasa mendapat pedoman Revolusi dan yang lapar rohani berasa dapat makanan
otak. Dan melihat kesungguhan dia berjam-jam berbicara menurut ikatan kesenian
oratorik yang indah-indah, mengertilah kita, mengapakah beberapa pemuda dan
orang tua yang sedang berjuang dengan tak disangka-sangka tengah mendengarkan
dia berpidato mencucurkan air mata, didorongkan agaknya oleh rasa yang kena tusuk
oleh teladan dan ikatan kata yang berisi ajaran yang keluar dari hati iklas
yang dalam dan otak yang tinggi. Tak ubahlah keadaan itu dengan rapat digedung
Smolny di kota Petograd waktu Lenin sebagai presiden pada hari pertama tanggal
8 November 1917 berbicara di depan wakil-wakil revolusi diturutkan dengan
perhatian dan perasaan yang menangis, karena terima kasih mendapat lanjutan
hidup menurut kemauan perjuangan. Belum pernah rapat Indonesia mengalami udara
yang begitu sesungguhnya dalam sepuluh tahun pergerakan Indonesia waktu
belakangan ini.
Sesudah 23 tahun, Tan Malaka untuk pertama
kalinya berbicara kembali di depan umum
Beliau angkat
bicara sebagai jago lama, dengan memberi penerangan yang penuh dengan tinjauan
yang dalam-dalam, berbicara beralasan pengetahuan filosofi, sosiologi dan
taktik. Tiga kali beliau angkat berbicara tentang bentukan serta susunan
Persatuan Perjuangan Rakyat atau Volksfront. Orang tak menyangka, bahwa beliau
seorang ahli pidato yang berbicara dengan suara turun naik, menarik perhatian
menurut susunan oratorik yang memakai permulaan dan diiringi oleh bagian tengah
tentang penerangan politik dan selalu berakhir dengan penutup yang bergelora
sebagai gelombang membanting ke tepi pantai, dengan meninggalkan suara gemuruh
dalam dada pemuda yang berisi pembakaran api revolusioner. Dengan pidato
Poerwokerto itu maka perjalanan revolusi secara revolusioner. Pergolakan
Republik Indonesia dalam menetapkan kedudukan dan kedaulatan sampailah ke dalam
fase kedua.”[7]
Koran-koran Indonesia ketika itu yang setiap
hari pada umumnya hanya terdiri dari dua halaman, jarang memuat liputan tentang
latar belakang atau suasana. Informasi membatasi diri pada laporan atau ulasan
faktual. Laporan Yamin mendapat tandingan kecil di Kedaulatan Rakyat, namun
membuktikan antusiasme terhadapnya yang sesuai dengan kenyataan.
“Umur beliau lebih
dari 50 th. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat,
muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat Kerut-kerut wajah
beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh kuat dan
berdisiplin.
Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana
pendek dan berkaus kaki panjang. Cara beliau berpidato lain dari pada ahli-ahli
pidato yang biasa kita lihat di Indonesia.
Waktu pidato di Poerwokerto sampai pada saat
membicarakan tentang kemerdekaan 100 % dan bagaimana mulia dan sucinya
perjuangan kita ini yang diucapkan beliau dengan berkobar-kobar, maka kelihatan
dengan nyata kepada kita bahwa suara dan perkataan itu keluar betul-betul dari
hati sanubari beliau dengan penuh keyakinan pula. Rambut serta bulu roma beliau
turut menunjukkan dan memperkuat apa yang beliau ucapkan itu sehingga beberapa
orang yang hadir mengeluarkan air mata.”[8]
Tan Malaka bicara di luar kepala,
bahkan tanpa dibantu catatan apa pun.[9]
Dalam penampilan pertama Tan Malaka di atas panggung ini ia bisa mengaitkannya
dengan empat pembicara sebelumnya. Persatuan diperlukan, dan untuk itu sarannya
ialah Volksfront serta program minimum. Sebuah program untuk semua, sesingkat
mungkin, lepas dari segala ‘isme-isme’, di mana yang menjadi butir pertama dan
utama ialah pengakuan terhadap kemerdekaan 100%. Baru sesudah itu dan sesudah
musuh meninggalkan wilayah Indonesia dimungkinkan dilakukan perundingan. “Orang
toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya. Selama masih ada satu
musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan”.
Gagal belaka diplomasi terhadap Inggris dan Belanda, yang hendak mengembalikan
kekuasaan kolonial. Rakyat tidak mempunyai pimpinan dalam perjuangan; satu
organisasi yang kuat, satu Volksfront diperlukan sebagai pusat dalam perjuangan
untuk sebuah prograrm minimum. Indonesia berjalan di depan dalam perjuangan
kemerdekaan rakyat-rakyat di timur dalam melawan imperialisme. Ia
memperingatkan Inggris, bahwa tidak ada kekuatan di seluruh dunia akan bisa
melawan kekuatan Indonesia.
“Kita sedang bikin
sejarah, sejarah itu baru permulaannya, baru bab I, bab II akan kita bikin.
Bisa kita tulis dengan warna merah atau putih. Kita mesti punya organisasi yang
teguh, kalau ini semua ada pada kita, kita yang akan bikin sejarah. Kalau tidak
sejarah yang akan bikin kita, akan dikembalikan kita ke dalam penjajahan.”
Akhirnya Tan Malaka menjelaskan
tentang rencana pembentukan Volksfront itu.[10]
Sesudah kritik terang-terangan
dilancarkan oleh para pelapor terhadap pemerintah, Tan Malaka hampir tidak
berminat lagi melontarkan kritiknya. Sementara itu ia lebih menekankan tentang
persatuan, dan yang paling kuat dari segala-galanya tentang pengakuan atas
‘merdeka 100%’, sebagai syarat sebelum melakukan perundingan jelas sudah cukup.
Tanpa bersikeras untuk melaksanakan ide-idenya, ia berusaha sebaik mungkin agar
bisa diterima. Tan Malaka berbicara sebagai Godam alter-egonya, dan kadangkala
meminjam secara harfiah dari risalah Rentjana Ekonomi dan Moeslihat.[11]
(Harry Poeze. Tan Malaka, Gerakan
Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 1: hal 207-212)
[1]
Sebuah sindiran tersirat dalam
Boeroeh, yang bersimpati pada PBI, tanggal 3-1-1946, dalam komentar berjudul
‘Politik contra politik’, yang di dalamnya ditekankan tentang keinginan akan
adanya front rakyat, yang ‘tidak sebagai Badan Pekerdja atau aparat pemerintah,
tapi sebagai tuntutan politik untuk menjembatani jurang yang memisahkan antara
rakyat dari pemerintah’. Penutup artikel ini mengatakan: ‘Bisakah pada akhir
minggu ini artikel kami pun membuahkan hasil?’
[2]
Wawancara Hasan Sastraatmadja,
Jakarta, 11-11-1980. Panitia penyelenggara berkedudukan di Yogya; Pandu
Kartawigoena salah seorang anggotanya. Jelas sangat luas undangan disebarkan
(SV 1948: 143-144 pemeriksaan Yamin, 8-3-1940; 252 (pemeriksaan Pandoe
Kartawigoena, 15-3-1948). Tan Malaka menumpak di rumah eks-Digulis Slamet
Gandawidjaja, di sini ia mendapat kamar khusus untuk dia. Slamet ikut aktif
dalam pengorganisasian sidang itu (wawancara Perintis Gunawan, anak Slamet,
Jakarta, 2-1-2007 dan Ibu Martini Slamet Gandawidjaja, Jakarta, 5-1-2007).
Mengapa jatuh pilihan pada Purwokerto? Apakah karena fasilitas-fasilitas yang
bisa disediakan Gatot di sana?
[3]
Daftar para peserta
menyebutkan satu demi satu, terdapat dalam Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946.
[4]
Pada kesempatan itu Amir
Sjarifoedin menyampaikan harapan-harapan terbaiknya secara tertulis kepada
kongres (SV 1948: 253(pemeriksaan Pandoe Kartawigoena, 15-3-1948)
[6]
Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946
[7]
Yamin 1946a: 31-33
[8]
Kedaulatan Rakjat, 6-1-1946, dikutip
dalam Merdeka, 10-1-1946
[10] Pidato ini berjudul
“Isi dan Susunan Volksfront”, dikutip oleh :Kedaulatan Rakjat 6-1-1946,
Merdeka, 10 dan 11-1-1946 dan Soera Rakjat (Malang), 12-1-1946. Nasution 1977,
III: 72-75 memuat seutuhnya teks yang dikutip dalam koran-koran tersebut
(Sekitar perang Kemerdekaan Indonesia; jilid III Diplomasi sambil bertempur.
Bandung: Disjarah-AD/Angkasa, xxx+ 669 hlm) Yamin 1946b: 11-13 memberikan
intisari daripadanya. Terjemahan Inggris ‘Volksfront (Tan Malaka’s speech
before 300 delegates sent by political parties, organisations, institutions,
etc, at a conference held at Poerwokerton on the 5 th of January 1946’, in the
Voice of Free Indonesia 1-4 (January 1946): 7-9 mengandung versi yang panjang.
Tapi di sini tanpa keterangan lebih lanjut tentang pidato Tan Malaka di kongres
PP di Solo tanggal 15 Januari yang dicantumkan tanggal 4 Januari. Juga
ringkasan dalam Sutter 1959, II: 331
[11] Abu Hanifah: 1972.
Tales of a revolution.Sidney. hlm.166 mengutip beberapa patah kalimat dan
berpendapat: “The speech was masterly and very clever. It combined all the
wishes of politicians discontended with the Government.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar