Karena
amat banyak menyinggung Pimpinan Negara Republik Indonesia dalam masa revolusi
ini. Maka saya perlu sekali mengemukakan sedikit pandangan mengenai dirinya
Presiden Soekarno. Barangkali ada baiknya juga saya ceritakan tentang
perhubungan saya dengan Presiden Soekarno.
Sah
dan perubahan jiwa manusia itu umumnya, sebagai cerminan perubahan masyarakat
manusia umumnya pula, juga mengalami undang dialektika, yakni perubahan sedikit
demi sedikit, dari abad ke abad pada suatu ketika menjadi pertukaran sifat.
Dengan maju berubahnya masyarakat sedunia, dari zaman komunisme-asli ke zaman
sosialisme modern melalui zaman perbudakan, zaman ningrat dan zaman
kapitalisme, maka maju dan berubahnya kebudayaan kejiwaan (psychology) manusia
itu dalam ratusan tahun.
Tetapi
dalam dirinya seseorang (manusia) pada suatu masyarakat dalam hidupnya
seseorang itu bisa berlaku gerakan kemajuan atau gerakan kemunduran. Seseorang
dalam seumur hidupnya bisa bertukar dari revolusioner menjadi konservatif atau
anti-revolusioner atau sebaliknya dari konservatif bertukar menjadi
revolusioner. Yang menjadi pendorong dalam pertukaran paham itu biasanya
perjuangan kelas dalam masyarakat itu. Filsafat atau pandangan hidup dan juga
kemauan atau wataknya orang itu sendiri. Seseorang juga berwatak waja dan
konsekwen dan mempunyai pandangan yang tepat tentang gerakan kelas dalam
masyarakat itu, biasanya patah atau tegak dengan pahamnya semula. Tetapi orang
yang tiada mempunyai filsafat atau pandangan hidup yang tepat dan masak tetapi
mempunyai watak dan kemauan yang mudah diombang-ambing oleh sentimen (perasaan)
serta hawa nafsu diri sendiri atau pengaruh dari luar, biasanya kalau bertemu
dengan rintangan mudah sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara
untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Satu
dua di antara pelbagai ukuran yang biasanya kita pakai terhadap seseorang yang
terjun terhadap seseorang, sebagai pemimpin, apakah pertama sekali ia
dapat melihat ke depan dan yang kedua pakah dia cukup mempunyai watak yang
konsekwen untuk memegang pandangan ke depan itu. Dalam prakteknya kita
bertanya, apakah yang dijanjikan pemimpin itu kepada pengikut dan rakyatnya. Kedua,
apakah dia jujur dan konsekwen melaksanakan apa yang sudah dijanjikannya itu
sambil juga memperhatikan cara dan moral yang dijungjungnya untuk menepati
janjinya itu.
Kita
pertama bertanya; apa yang dijanjikan oleh Ir.Soekarno kepada
rakyat Indonesia ketika dia memimpin PNI di masa “Hindia Belanda”? kedua,
apakah Ir.Soekarno jujur memegang janjinya itu?
Kita
semua mengetahui bahwa Ir.Soekarno menuju kepada Indonesia merdeka atas dasar
“Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokrasi” dengan cara MASSA AKSI serta dengan
semangat yang “tak kenal damai” (bukan serupa almarhum Dr Sutomo).
Ir
Soekarno sudah menderita banyak kesengsaraan
lantaran pahamnya itu dari pihak imperialisme Belanda, dan sebaliknya pula
mendapat kehormatan, simpat dan pujian yang luar biasa dari seluruh golongan
rakyat di Indonesia.
Tetapi
bagaimanakah Ir Soekarno menepati janjinya?
Dengan
Jepang yang imperialistis, militeristis dan teocratis Ir.Soekarno dari mulanya
Jepang masuk sampai jatuhnya dari tahun 1942 sampai tahun 1945 dia bisa
kerjasama bahkan bisa “sehidup semati” untuk mendirikan Indonesia merdeka di
kelak kemudian hari dalam lingkungan “Asia Timur Raya” yang pastilah cocok
dengan filsafat hidup Tenno Heika dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan
dan penghargaanTenno Heika oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh
Angkatan Perang Jepang di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di
Saigon.
Presiden
Soekrano (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945
telah memmproklamasikam kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan
“Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” serta dengan secara sandiwara
membakar potret van der Plas (Roosevelt dan Churchill)—dengan “Naskah
Linggarjati” dan “Renville principles” menerima kembali Mahkota Raja Belanda di
samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak
langsung memusuhi Republik.
Di
masa Jepang sebetulnya banyak jalan lain bagi Gico Soekarno untuk menyingkiri
ikatan halus maupun kasar yang dicoba dikenakan oleh kaki tangan Tenno Heika
kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang menganjurkan atau menyetujui pengerahan
romusha, pengumpulan intan berlian rakyat Indonesia serta para gadis (untuk
dilatih) untuk dikirim ke Tokyo. Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa
republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat
ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak
Belanda mengakui beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah Republik
Indonesia (NIT, Borneo,dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda
“mengosongkan kantong” dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa
Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan UNI
Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus.
Seandainya
Ir Sokerano tetap memegang pendiriannya semula dan bersandar atas kepercayaan
kepada kekuatan 70 juta rakyat dan dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang
dasar Indonesia Merdeka dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya”
tetap pula memegang cara Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai
(juga terhadap sembarangan imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa
jepang kemerdekaan 100 % boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada
yang disangka-sangka.
Tetapi
kalau kita pelajari perbuatannya Ir Sokerno, maka kita terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan analisanya masyarakat Indonesia. tiada
tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian yang dalam antara kebutuhan
Belanda terhadap Indonesia. Tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya
perhatian terhadap pertentangan yang antara kebutuhan Belanda terhadap
Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada kelihatan pula dalam semua
pidatonya itu perhatian terhadap pokok- pendorongnya gerakan rakyat di Indonesia,
ialah gerakan murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence,
kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar
semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan juga berdasarkan pengertian
atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan
seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena kepintaran menggunakan
Bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh bersipongang dan
mempengaruhi para pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, menghipnotis sesuatu
rapat rakyat murba.
Grande-eloquence beserta grande-elegance a’la
Soekarno yang banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang tertindas,
terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme
untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi
belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence
dan grand- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa
mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.
Partai
Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual
borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba,
tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa
memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya
bergerak untuk mencapau maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme
Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence
dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang
tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande
eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang
kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu
yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande
elegance
a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan
melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya
anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan
“kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap
untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda.
Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda,
melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di
awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang
berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa
aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan ber-“Kinro Hoozi di
zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi
ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko
Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan
Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai
terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan
kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme
Amerika-Inggris.
Berhubung
dengan amat longgarnya cara Ir.Soekarno menafsirkan suatu paham itu, maka tak
pastilah saya ini dalam menentukan apakah sikap Ir Soekarno yang
sebenarnya terhadao paham dan diri saya sendiri, walaupun di masa lampau
kelihatan masih serba baik.
Buat
sekadarnya membuktikan kerja itu di zaman lampau, ialah sebelumnya tangkapan
saya pada tanggal 17 Maret 1946 di Madiun, maka tak ada salahnya kalau di sini
saya mengemukakan beberapa peristiwa yang barangkali tidak begitu atau
samasekali tidak diketahui oleh umum.
Sebermula,
maka kebetulan saja, saya dalam tahanan di Mojokerto (13 Juli 1946 sampai 29
Januari 1947) saya terpandang satu buku yang berjudul “Indisch Schrift v/h
Recht”. Dalam buku itu tercantum Ir Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember
1931.
Hampir
setengahnya laporan proses itu yang menutupi lebih kurang 60 muka, mengambil
bagian yang memperhubungkan aksi Ir Soekarno di masa PNI dengan saya sendiri,
ialah dengan perantara buku Masa Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di
Singapura pada pertengahan 1926. Buku Masa Aksi itu sekarang sudah
diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia dan sudah disiarkan
pada tahun lampau. Karena buku itu di masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada
beberapa pemimpin yang berpengaruh besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali
dan karena isi buku itu pula yang pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno
kepada saya pada pertemuan bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan
dari beberapa pemeriksaan itu.
Beberapa
kalimat disalin ke Bahasa Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:
‘Landraad
di Bandung ketua Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22 Desember 1931. Raad van
justitie di Jakarta Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis 17 April 1931
Perkara
terhadap para pemimpin PNI menurut artikel 153 bis dan 169 dari Weboek
v.strafrecht. pada halaman 609 tertulis: Dalam Indische Tijdschrift v/h Recht
Ir Soekarno, R.Gatot Mangkuprajo, Mas Kun, Supriadinata
Semenjak
berdirinya PNI sampai tanggal 29 Desember 1929, yakni selama tahun tersebut
teristimewa pada petengahan kedua tahun itu, di Bandung dan tempat lain-lain,
ialah di Jawa dengan memimpin atau berbicara pada rapat umum kursus dan
propaganda tertutup. Demikian pula dengan jalan memberikan pimpinan kepada dan
memajukan massa aksinya partai mereka mengambil bagian dalam PNI dengan
pengetahuan tentang tujuan partai. Maksud terakhir dari PNI dengan tegas
dituliskan dalam statute..keterangan azas sebagai syarat yang pertama
disebutkan’ kemerdekaan poitik, yakni berhentinya pemerintahanan Belanda di
atas Indonesia itu.
“Sebagai
alat yang paling baik Massa Aksi yang teraturlah yang dikemukakan.”
“Landraad
menganggap penting sekali brosur Massa Aksi in Indonesie, terdapat pada produk
FN ditulis oleh Tan Malaka, pemimpin komunis yang pada waktu itu berada di
Singapura.” Pada halaman 639 Tidjs. v/h Rehct tertulis a.l:
“Menimbang
bahwa produk AX juga menunjukan, memperbaiki, masyarakat oleh Murba (massa)
dari Murba, untuk Murba perkataan mana satu persatu terdapat brosur Tan Malaka
halaman 73..”
Menimbang
bahwa thesis tentang pembagian imperialism atas corak dalam produk O (yang
menurut saksi Kamaruddin dalam pemeriksaan adalah diktat pada kursus kepada
calon anggota partai) yang juga terdapat dalam produk Bu; satu tulisan dari Inu
Perbatasari, pemimpin kursus, disalin Woordelijk (kata demi kata) dari brosur
Tan Malaka tersebut halaman 32 pada halaman 656 TIJDS. v/h RECHT:
“…………..Bahwa
(menurut terdakwa Pen!) nasionale daad (perbuatan nasional) disebutkan akan
berakhir tahun 1930.”
“………….sedangkan
dengan sedikit perubahan istilah (sedikit perubahan itu adalah atas
tanggungannya jaksa Belanda semata-mata,Pen!) Tan Malaka dalam produk FN
mengemukakan bahwa salah satu syarat untuk menimbulkan pemberontakan bersenjata
terhadap pemerintahan Hindia Belanda ialah bahwa pimpinan dari Massa Aksi harus
senantiasa sanggup membentuk tuntutan dan semboyan yang baru dan bersemangat
sehingga kemauan Murba suatu saat bertukar menjadi perbuatan Murba.
Pada
halaman 659 TIJDS v/h RECHT:
“………….Menimbang
penolakan yang menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pemberontakan yang
kecil-kecil dan tidak teratur tiadalah member jaminan bagi jayanya revolusi,
sudah terdapat pada surat kode Tan Malaka dan Subakat dalam produk V, kepada
para pemimpin komunis di negeri ini dari sudut mana berhubungan dengan produk
LL, sama sekali tidak terbukti, seperti yang hendak dikemukakan oleh Pembelaan,
bahwa PNI yakni para pemimpinnya tidak menghendaki pemberontakan
bersenjata terhadap pemerintah, tetapi lebih tepat bahwa (PNI) menolak Putsch,
revolusi yang tiada teratur sebagai siasat untuk mencapai maksudnya pengesahan
yang pasti tantangan kesimpulan itu terdapat dalam uraian Tan Malaka sendiri
dalam Brosur Produk FN, dimana penolakan yang pasti terhadap Putsch, sebagai
siasat untuk mencapai tujuan nasional, ialah kemerdekaan juga diberi alas an
penuh oleh PNI menurut produk FO dan OO dengan mempertentangkan Putsch yang
tiada sempurna itu dengan Massa Aksi yang teratur sebagai alat efissient
(sempurna) untuk mencapai maksud terakhir ialah kemerdekaan Indonesia sepanjang
revolusi bersenjata.”
Pada
halaman 660 tertulis:
“Putsch
ialah hasil pekerjaan dua orang berputus asa, sedangkan revolusi adalah
hasilnya suatu gerakan masyarakat. Satu revolusi seperti di Prancis dan Rusia
timbul, setelah rakyat Murba disebabkan oleh suatu kejadian menunjukkan
kemarahan serta kemurkaannya dengan protes pada rapat umum dan demostrasi yang
disetujui oleh seluruh rakyat yang tak lain melainkan Murba yang
diorganisir.”
Catatan
di atas bukan dimaksud untuk membenarkan tuduhan jaksa Hindia Belanda terhadap
Ir Soekarno. Juga bukan membenarkan tafsiran jaksa dan PID Hindia Belanda
tentang massa aksi tetapi atas catatan di atas oleh pihak ke tiga dapat diambil
sekedarnya kesimpulan bahwa PNI dan Soekarno setuju dengan Massa Aksi sebagai
alat yang paling baik untuk mencapai kemerdekaan politik. Dikatakan pula baik
dalam rapat umum maupun dalam rapat terbuka dan dalam kursus partai, maka buku
massa aksi banyak dipergunakan.
Rupanya
tuduhan pengadilan di masa Hindia Belanda yang berkenaan dengan Massa Aksi itu
tak seberapa jauhnya daripada kebenaran. Sesudahnya saya membaca laporan
tentang proses Ir Soekarno cs dalam TIJDS v/h RECHT tersebut di Mojokerto, maka
hal ini saja contohnya pula dengan keterangan beberapa pemimpin yang rapat
perhubungannya dengan Ir Soekarno di masa lampau. Keterangan Hindia Belanda itu
tentang perhubungan Ir Soekarno dengan buku Massa Aksi itu sama sekali
dibenarkan. Malah ditambahi pula dengan keterangan bahwa bukan PNI dan Ir.Soekarno
saja, tetapi ada lagi partai-partai lain dan para pemimpin lain yang
mempergunakan brosur massa aksi dalam gerakan kemerdekaan sebagai petunjuk.
Perkataan
yang pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada permulaan 1945 di rumah
DR.Soeharto di mana saya pertama kali berkenalan dengan Presiden Soekarno
dengan perantara Saudara Sajuti Melik atas nama yang sebenarnya setelah 3 ½
saya bersembunyi di Indonesia. Kempei perkataan itu ialah “…dalam buku Massa
Aksi rupanya Saudara (Tan Malaka) anggap sifatnya imperialism Inggris berada di
antara imperialisme Belanda dan Amerika!”
Inilah
perkataan yang pertama yang diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam pertemuan
yang sangat kami rahasiakan itu, karena Jepang masih bersenjata lengkap di
Indonesia, yang sudah 20 minggu lebih memproklamirkan kemerdekaannya.
Baik
juga saya ulangi di sini, bahwa pada permulaan September 1945 itulah
Ir.Soekarno dan saya berkenalan nama dengan nama. Muka dengan muka seperti yang
sudah saya ceritakan di lain tempat, sudah bertemu di Bayah satu tahun
sebelumnya ketika saya menghidangkan minum kepada Gitjo Soekarno. Meskipun saya
di Bajah itu belum puas dengan jawaban Soekarno atas pertanyaan saya (Husein)
tentang kemerdekaan Indonesia dan amat kecewa denga PUTERA dan HOKOKAI yang
berturut-turut dibangunkan dan dibubarkan, kecewa dengan panitia Penyeliidik
dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada Soekarno saya masih memusatkan
perhatian. Di masa Jepang berapa kali saya berniat melangkahkan kaki ke rumah
Soekarno di Pegangsaan Timur No.56, tetapi terhambat karena adanya Jepang itu!
Saya yakin akan diterima oleh Ir.Soekarno, tetapi sebaliknya yakin pula tidak
akan lepas dari cengkraman kenpei Jepang. Pada akhir percakapan yang tiada
disaksikan oleh DR.Soeharto, tuan rumah sendiri, tetapi disaksikan oleh saudara
Sajuti Melik, Presiden Soekarno sambil menunjuk berkata kepada saya lebih
kurang sebagai berikut:
“Kalau
saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan
kepada saudara.”
Kami
berpisah dengan sedikit sokongan uang dari Presiden Soekarno kepada saya.
Yang
kedua kalinya tiada lama sesudah itu dengan perantara Sdr. Sajuti Melik juga.
Saya berjumpa dengan Presiden Soekarno di rumah Dr.Muwardi (Banteng) juga dalam
keadaan rahasia.
Sekali
Presiden Soekarno menganjurkan bahwa nanti pimpinan revolusi akan diserahkan
kepada saya, sambil memberi sokongan uang pula.
Bagi
saya di masa itu, perkara saya menerima hak pimpinan revolusi, atau haknya
Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada saya, sebenarnya
sekejap pun tidak mempengaruhi perasaan, paham dan sikap memberikan sambutan
terhadap usul Presiden Soekarno. Saya sudah amat gembira bertemu muka dengan
Presiden Republik Indonesia: Republik yang sudah lama saya idamkan yang
presidennya adalah putra Indonesia sejati pula. Usul pemimpin revolusi tadi
saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai tanda suatu kepercayaan
dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu
tanda yang nyata, bahwa di masa lampau benar ada satu ikatan jiwa dan paham
antara Bung Karno dan saya, walaupun kami hidup berjauhan.
Di
belakang harinya sesudah demonstrasi 19 September 1945 di Jakarta yang saya
dengar pula kabar dari pihak para menteri, bahwa dalam satu sidang presidentil
cabinet , Presiden Soekarno berkata bahwa “…kelak dia akan menyerahkan pimpinan
revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam gerakan revolusioner.” Namanya
itu belum disebutkan tetapi akan diumumkan dalam satu rapat tertutup.
Peristiwa
penyerahan pimpinan revolusi itu saya bicarakan dengan Mr.Soebarjo yang pada
saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Mr.Soebarjo saya kenal baik ketika di
Nederland pada tahun 1922 dan saya jumpai di Jakarta pada 25 Agustus 1945 ialah
seminggu lamanya setelah proklamasi kemerdekaa dan setelah seminggu lamanya
saya sia-sia menjumpai kembali Soekarni cs dan Chaerul Shaleh cs. Mr.Soebarjo
menganggap usul penyerahan pimpinan revolusi kepada saya sebagai usul yang
penting juga. Desas-desus sudah terdengar di kiri-kanan bahwa Presiden Soekarno
akan ditangkap oleh Inggris dan akan dituduh sebagai “war criminal” (penjahat
perang) karena dianggap oleh sekutu sebagai membantu Jepang ialah musuhnya
sekutu dalam perang dunia ke dua. Berhubung dengan kemungkinan penangkapan itu
diperkuat pula oleh aksinya murba Jakarta pada tanggal 19 September yang tiada
disetujui oleh Presiden Soekarno rupanya bertambah merasa perlu mengadakan
payung sebelum hujan ialah mempersiapkan surat warisan mengenai pimpinan
revolusi.
Kelihatan
benar pada saya bahwa Mr.Soebarjo, Menteri Urusan Luar Negeri amat setuju
dengan usul tadi.
Setelah
keadaan di Jakarta mendesak karena Inggris hendak mendarat dan saya terpaksa
meninggalkan Jakarta (keterangan lebih lanjut akan menyusul di belakang) maka
Mr.Soebarjo berusaha dan berhasil mendapatkan surat warisan.
Yang
terpenting dari surat warisan itu ialah bahwa kalau tiada berdaya lagi, maka
mereka, Soekarno-Hatta akan menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada Tan
Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Surat warisan itu
ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta pada tanggal
1 Oktober 1945.
Mulanya
yang mau menandatangani cuma Presiden Soekarno dan surat warisan itu akan
diberikan kepada saya sendiri saja. Tetapi karena desakan Moh.Hatta (menurut
Soebarjo), maka Wakil Presiden Moh.Hatta ikut menandatangani dan menambah
tiga orang lainnya untuk mewarisi.
Karena
saya anggap perlu mengorganisir murba di luar kota Jakarta, sebab saya pandang
Jakarta sudah terancam dan saya belum dapat berhubungan dengan para pemuda
Jakarta dan sama sekali belum tahu adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat
warisan yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta
di dalam tas pada tanggal 1 Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai
sekarang (17 Februari 1946).
Demikian
perhubungan paham diri dengan Ir.Soekarno dengan saya semenjak berdirinya PNI
pada tanggal 4 Juli 1927 sampai satu setengah bulan berdirinya Republik
Indonesia ialah 1 Oktober 1945.
Baik
juga saya sebutkan di sini bahwa pada saat meninggalkan Jakarta dan membawa
surat warisan yang ditandatangi oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh.Hatta itu, tercamtuhlah di hati saya: kalau kelak Massa Aksi terhadap
Inggris dan Belanda berhasil, maka gugurlah tuduhan “war criminals” tuduhan
penjahat perang itu kepada Soekarno Hatta. Dan kalau Massa Aksi gagal, maka
seluruh rakyatlah yang akan menanggung jawaban tuduhan “war criminals” ditambah
“revolutionary –criminals”, tuduhan penjahat perang ditambah tuduhan penjahat
revolusi. Tegasnya saya mengharapkan Soekarno-Hatta sehidup semati dengan
rakyat/pemuda Indonesia.
Ringkasnya,
pada nasib seluruhnya murba beraksi dan aksi murba lah saya anggap
tergantungnya nasib para pemimpin Soekarno-Hatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar