Selasa, 19 April 2016

Perundingan Tingkat Tinggi



Bagaimana pandangan Tan Malaka diantara Soebardjo, Soekarno, Hatta dan Sjahrir ketika ikut berunding pertama kali dengan Wakil Amerika?


Pada 23 September 1945 Soebardjo mengundang Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh pimpinan politik lainnya di rumahnya untuk bertemu Tan Malaka, yang pada kesempatan di depan kelompok yang besar ini ia menanggalkan nama samarannya. Di antara mereka juga hadir Soekarni, sehingga kontak dengan kelompok Menteng akhirnya terjalin. Tan Malaka berbicara. Ia menekankan pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya tentang perjuangan Republik. Kemudian Hatta memintanya untuk duduk sebagai menteri penerangan, tapi Tan Malaka dengan sopan menolak tawaran itu, dan menurut Hatta ia mengatakan: “Di waktu sekarang saudara berdua, Sukarno-Hatta, sudah tepat itu. biarlah saya menyokong dari belakang, dengan mengerahkan rakyat di belakang saudara.”[1]

Tan Malaka memang tidak mau duduk di dalam kabinet yang menyebarkan bau Jepang. Hubungannya dengan para mahasiswa dan pemuda jelas akan membuat keengganannya pada kabinet tersebar luas. Juga ia menolak tujuan dan ‘ketidakjelasan’ politiknya. Dengan demikian Tan Malaka secara formal menolak kedudukan sebagai menteri, tapi ia bukannya tidak mau ambil bagian terhadap apa yang dinamakannya sendiri sebagai ‘kabinet bayangan’. Ini dibentuk atas gagasan Soebarjo, yang anggota-anggotanya ialah Soekarno, Hatta, Soebardjo, Sjahrir, dan Tan Malaka.[2]

‘Kabinet bayangan’ mungkin sekali sepatah kata besar untuk rapat-rapat di mana lima sekawan itu saling terkait. Hanya beberapa kali saja kelompok ini bisa berkumpul – selama rentang waktu dari 23 September – saat perkenalan dengan Hatta – sampai 1 Oktober – saat Tan Malaka meninggalkan Jakarta. Tan Malaka menamakannya demikian mungkin sekali karena alasan prestise pertemuan-pertemuan mereka itu. Hatta dengan tepat juga mengingkari adanya kabinet bayangan itu,[3] pertemuan informal para pemimpin ini terjadi beberapa kali saja.[4]
 
Kritik Tan Malaka terhadap pendirian Soekarno yang bimbang, seperti ketika di Lapangan Ikada, juga menunjuk pada pelarangannya untuk merebut persenjataan Jepang. Dalam segala hal, menurut Tan Malaka, apabila Soekarno diminta untuk mengambil keputusan, hasilnya selalu negatif. Ini berakibat pada kelumpuhan, kepasifan, dan kekacauan. Ia sendiri menyaksikan tentang kebimbangan Soekarno di tengah situasi krisis. Sementara ‘kabinet bayangan’ tengah bersidang, yang dihadiri juga oleh Ketua KNIP Kasman Singodimedjo, diajukan pertanyaan melalui telepon dari Bandung tentang penyerangan terhadap kamp tahanan untuk merebut senjata yang disimpan di sana.
‘Presiden Sukarno melarang dengan muka pucat dan suara gugup.’
Mendengar reaksi ‘Presiden Revolusi’ seperti itu Tan Malaka menjadi kecewa. Ia pribadi dengan sangat menyesal merasa, merupakan keharusan untuk  menyokong serangan itu.
Sjahrir yang diminta pendapatnya oleh Soekarno, memberikan jawaban yang tak berarti dan tidak jelas.
Hatta yang tenang, akhirnya menanyakan pada Tan Malaka apakah pemuda Bandung itu akan dibiarkan saja mau berbuat sesuatu.
Tan Malaka membenarkan. Tapi di luar Tan Malaka dan rapat itu, sebuah larangan sudah dikirim melalui telepon ke Bandung.[5]

Sebelum tanggal 29 September, sebelum tentara Inggris mendarat, Tan Malaka kembali lagi sangat aktif. Ia menghadiri pertemuan antara Hatta, Sjahrir, dan Soebardjo – di rumah Soebardjo – dengan wakil-wakil Amerika.
Dalam pertemuan ini Hatta menegaskan, bahwa semua daerah dan perusahaan asing yang sudah disita akan dikembalikan tanpa syarat.
Tan Malaka menanggapi dengan mengatakan, bahwa penyerahan kembali ini sama sekali tidak boleh terjadi. Perusahaan-perusahaan penting harus menjadi milik negara dan di bawah kekuasaan negara. Dalam hal ini maka ganti rugi hendaknya diberikan kepada para pemiliknya.

Tan Malaka jelas belum cukup berbicara. Ia menyebut ada empat tujuan pokok Republik – dalam kata-kata Inggris:
1.      Speedy negotiations (Berunding selekas-lekasnya)
2.      Forming of a national defence-force (Membentuk Pertahanan Nasional)
3.      Withdrawal of all foreign forces (Penarikan kembali semua tentara asing)
4.      International exchange of good (Penukaran barang-barang antara Republik dan Negara Asing)

Empat fasal, yang saya majukan itu oleh Sutan Sjahrir disebutkan ‘ a clear cut policy’ (politik yang tegas). Karena sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak terlampau banyak bicara pada pertemuan tersebut, sedangkan bukannya mentri, maka utusan Amerika itu bertanya kepada saya: “In what capacity are you speaking?”.
Untunglah Mr. Soebardjo, yang sudah lebih dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab dengan cepat: “He is one of our staff members”.
Untunglah pula tak diantara anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat fasal yang saya madjukan itu.[6]


Cerita Tan Malaka itu bisa diuji melalui laporan yang ada dalam simpanan arsip OSS – Office for Strategic Services, pendahulu CIA. Pada tanggal 28 September, di rumah Soebardjo, seorang Letnan Kolonel Amerika K.K. Kennedy dan Jane Foster berbicara dengan Soekarno, Hatta, Soebardjo, Amir Sjarifoeddin, Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Kasman. Pada lima nama pertama disebut fungsi masing-masing, pada Kasman tidak – Kasman Singodimedjo, Ketua KNIP.

“Pada awal rapat Pengamat Militer AS menjelaskan pada Dr. Soekarno, bahwa misi AS merupakan misi intelijen sepenuhnya, dan bagaimanapun kedatangannya tidak bisa atau tidak semestinya diartikan sebagai pernyataan persetujuan terhadap gerakan mereka. Dr. Soekarno minta maaf karena tidak banyak bicara sebagai juru bicara. Namun demikian semua pembicaraan dilakukan oleh Dr. Kasman, dengan diselang-seling oleh keterangan dari Dr.Soekarno, Dr.Hatta dan Dr. Soebardjo.”

Tan Malaka lupa ketika ia menyebut nama Sjahrir dan bukannya Amir yang hadir. Tapi di manakah dia sendiri? Pertama-tama agaknya ia hadir dengan nama samaran, tapi ikut sertanya dalam pembicaraan yang begitu dominan, menyebabkan Kennedy mempertanyakan apa dan siapakah dia. Soebardjo menyelamatkan keadaan dengan menyebut Tan Malaka sebagai bernama Kasman. Kasman yang sebenarnya tidak menonjolkan dirinya dan juga tidak menguasai pandangan Tan Malaka yang luas. Dalam laporan itu sumbangan pikiran Tan Malaka menjadi jelas. Sebagaimana “Sikap terhadap modal swasta” menyatakan: “Pemerintah akan mengambil alih semua perusahaan-perusahaan besar, apakah perusahaan Indonesia, Belanda atau milik asing lain, dan kemudian kontrak baru dirunding dengan para pemiliknya.” Soebardjo sedikit memperlunak kata-kata ini, yang jauh lebih dari yang dikehendaki Hatta. Bahwa di sini Tan Malaka ditampilkan sebagai Kasman, menjadi pasti di dalam laporan tentang ‘Perundingan dengan Sekutu’:

Selanjutnya Dr. Kasman mengajukan usul-usul sebagai berikut: (laporan ini di dalam National Archives, RG 226, Records OSS, Intelligence Report XL 23085 oleh Jane Foster, penerjemah dan sekretaris Kennedy)
a. Permintaan untuk perundingan secepatnya antara wakil-wakil Sekutu dengan Pemerintah Nasional
b.  Permintaan untuk pengakuan Sekutu dan penerimaan terhadap ‘Pasukan Keamanan Nasional’ untuk bekerjasama dengan Sekutu, dan memelihara hukum dan ketertiban selama masa sementara
c.Penarikan tentara pendudukan asing secepatnya dan bersamaan itu terjaminnya keamanan warganegara asing serta terpeliharanya hukum dan ketertiban.[7]


Betapa juapun pertemuan ini merupakan pertemuan yang sangat luar biasa. Tan Malaka mengoreksi Wakil Presiden dan selanjutnya menjelaskan program pemerintah Republik kepada wakil-wakil Amerika.  Menteri-menteri yang bertanggungjawab berdiam diri dan menyetujuinya, walaupun mungkin bertentangan dengan pendapat mereka. Suasana ini semakin memperlihatkan betapa masih belum pasti dan belum jelas Republik berfungsi. Pertemuan itu merupakan salah satu dari ‘konferensi pers’ pertama para pemimpin Republik.

Pada 1959 Williard Hanna menyebut Tan Malaka hadir disana. Tan Malaka tidak dikenal, baik oleh orang-orang Amerika maupun beberapa orang Indonesia yang hadir. Dan ia memainkan peranan sebagai orang asing yang misterius dan percaya diri, yang kepadanya Soekarno menunjukkan rasa hormat yang luar biasa.[8]

Sumber yang patut dipercaya menyatakan pertemuan itu merupakan salah satu dari ‘konferensi pers’ pertama para pemimpin Republik. Dalam pernyataan pemerintah tanggal 5 Juli 1946, yang menuduh Tan Malaka terlibat dalam percobaan perebutan kekuasaan tanggal 3 Juli, antara lain ia dipersalahkan: ‘Djuga Tan Malaka sendiri pada satu pertemuan di rumah Mr. Subardjo dalam bulan September 1945 telah menjatakan kerelaannja dengan “trusteeship” itu.[9]  Tanggal, tempat, dan peristiwanya cocok.

Kenedy memang mengemukakan masalah perwalian yang mendapat tanggapan: ‘Pemerintah nasional akan tunduk pada pengawasan internasional, asal saja tidak akan ada campur tangan terhadap urusan dalam negeri, dan tidak ada usaha untuk mengembalikan Belanda pada kedudukan sebelum perang. Mereka harus diijinkan untuk mempunyai pemerintahan mereka sendiri.’ Jelas bahwa isi pengertian trusteeship (perwalian) tidak terlalu jelas bagi para pemimpin Indonesia.

Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia
Jilid 1: Agustus 1945-1946 (halaman 105-109)
Harry A. Poeze





[1] Hatta 1974: 6. Hatta 1978: 17 (dalam terjemahan 1979b: 28) menyebut hal ini sebagai langkah agar pemerintah membentuk barisan propaganda. Juga dalam wawancarac-wawancara Anderson dengan Hatta, 5-6-1960, dalam Anderson 1972:278 dan Helen Jarvis dengan Hatta, Jakarta, 29-11-1972. Dalam wawancara terakhir ini Hatta menyebutkan tentang pertemuan pertamanya dengan Tan Malaka. Apakah ia lupa pernah berjalan bersama di Lapangan Ikada, ataukah ketika itu Tan Malaka masih dikenal sebagai Iljas Hussein, juga bagi Hatta?
[2] Pendjara III:64; Jail III:102. Dalam terjemahan lupa disebut peran serta Sjahrir. Lihat juga Jail III: 241, catatan 18
[3] Wawancara Helen Jarvis dengan Hatta, Jakarta, 29-11-1972
[4] Sjahrir juga membenarkan adanya pertemuan-pertemuan itu secara tidak langsung. Sebagai pimpinan informasi Revolusi pada tingkat pertama ia menyebut nama-nama Soekarno, Hatta, Soebardjo, Iwa dan dirinya sendiri, di dalam wawancaranya dengan Kahin (15-1949), dikutip oleh Mrazek 1994: 304. Juga Iwa Koesoema Soemantri 1963: 41 memuat tentang pimpinan informal ini. Ia sendiri juga beberapa kali hadir. Sjahrir tidak menyebutnya sebagai peserta.
[5] Pendjara III: 64-65; Jail III: 102. Nasution 1977, I:323 membenarkan pernyataan Tan Malaka dan menyebut Ketua KNIP, Kasman Singodimedjo, sebagai penyampai pesan atas nama Soekarno, dalam hal ini Nasution tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Smail 1964:55-56 menyebut aksi para pemuda itu dimulai pada 27 September. Tanggal yang bertepatan dengan Tan Malaka ikut serta dalam rapat tingkat tinggi dalam minggu terakhir September.
[6] Pendjara III: 65-67; Jail III: 103-105. Kutipan berbahasa Inggris itu dari Tan Malaka sendiri. Soekarni dalam Peringatan sewindu 1957: 106 mengutip Tan Malaka tentang percakapan itu. dari kutipan ini tidak berarti bahwa Soekarni pribadi hadir di sana. Dalam suatu pidato pada rapat memperingati Tan Malaka tanggal 24-2-1969 ia menyatakan, bahwa ia ada di tempat itu (transkrip pita rekaman, milik Helen Jarvis)
[7]  Laporan ini di dalam National Archieves, RG 226, Records OSS, Intelligence Reports XL 23085. Gouda 2002: 167 juga menyebut percakapan dan dokumen ini sepintas lalu. Sebuah laporan dari Jane Foster menjadi dasar untuk penuturan kembali percakapan ini dalam MacDonald 1947: 297-298. Jane Foster adalah sekretaris dan penerjemah Kennedy. Ia mencari kontak dengan Soekarno untuk menjajaki pandangannya dan kabinetnya. Juga dilakukan perjanjian lisan dengan para pemimpin yang masih di bawah tanah. ‘Jalan rahasia ke tempat persembunyiannya dijaga di sepanjang jalan dari kota oleh orang-orang Indoesia yang bersenjata, yang sebentar-sebentar menghentikan jip Amerika, tulisnya. Pemerintah Indonesia disembunyikan di sebuah gedung indah bergaya Eropa, dan berhias asri dengan meja dan kursi yang menyenangkan. Permadani ketimuran dan contoh-contoh karya seni Indonesia yang adi luhung. Soekarno pribadi seorang gentleman yang memikat gaya bicaranya, tampan dan wibawa, fasih berbicara Inggris dan menyilakan tamu-tamunya duduk menikmati minuman serbat begitu mereka tiba. Menlu Republik Indonesia, Soebardjo, dan anggota kabinet yang lain, Sjarfoedin, hadir pada pertemuan informal yang menyusul ketika ketika Soekarno, melalui Jane, menerangkan tujuan dan politik republik baru ini. Dalam laporan ini usul ketiga-tiganya Kasman disebut lagi – yang kali ini ditumpukan pada Soekarno. Akhirnya: ‘Jane segera kembali ke markas dengan berita yang sudah ditunggu-tunggu setiap orang: Indonesia tidak merencanakan revolusi. Merka ingin berbicara perdamaian. Di sini Jane Foster memperbesar peranan Soekarno dengan mengorbankan Kasman alias Tan Malaka yang tak dikenal. Leupold 1976: 178-179 membenarkan peranan OSS yang pada 15 September sebuah ‘tim komunikasi dan intelijen’, di bawah pimpinan Kapten Richard B. Shaw, mendarat di Jakarta. Jane Foster memainkan peranan penting sebagai penghubung. Reportasenya juga diambil dalam Bills 1990: 132-133, 135. Otobiografi Foster menyebut tugasnya sebagai pegawai OSS yang bertugas mengikuti perkembangan politik di Indonesia, dan melakukan hubungan yang teratur dengan Soerkarno dan kabinetnya, tapi tidak disebut secara terus terang tentang pertemuan tanggal 28 September (Foster 1980: 139, 150-151). Episode ini juga dalam Smith 1972: 290-291. Di sini ia menambahkan, bahwa pada 1957 Jane Foster diadukan dengan alasan spionase. Peranan Foster secara ringkas juga di dalam Aldrich 2005: 355. Ia telah menyerahkan laporan OSS-nya tahun 1945 itu pada NKVD, polisi rahasia Soviet. Penelitian lebih lanjut (Haynes en Klehr 1999:272-273, 2006:221-223, Romerstein en Breindel 2000:335. Ia telah menyerahkan laporan OSS-nya tahun 1945 itu pada NKVD, polisi rahasia Soviet. Penelitian lebih lanjut (Haynes en Klehr 1999:272-273, 2006:221-223; Romerstein en Breindel 2000P:295-296, 467) membenarkan bahwa ia anggota Partai Komunis Amerika Serikat, dan pada waktu perang aktif sebagai agen Soviet. Ia memberikan bahan-bahannya kepada seorang mata-mata Soviet. Foster (1980:166-167) memberikan pandangannya sendiri pada penyerahan laporannya – hal yang tidak salah – yang oleh Manuilsky, wakil Ukraina di Dewan Keamanan PBB diperluas dan tidak salah – yang oleh Mnuilsky, wakil Ukraina di Dewan Keamanan PBB diperluas dan dipergunakannya dalam makalahnya untuk debat pertama tentang Indonesia di sana. FRUS 1945, VI:1178-1180 berisi laporan Kennedy di Washington tentang pengalamannya (‘Memorandum of conversation, oleh Chief of the Division of  Southeast Asian Affairs (Moffat), 6-12-1945). Ia mengunjungi Batavia dalam bulan September dan Oktober. Ia untuk pertama kali bertemu Soekarno. [Usul-usul Tan Malaka dalam laporannya tidak disebut.] Jarvis dalam Jail III:242, dalam catatan 24 menyatakan, bahwa wakil-wakil Amerika para perwira intelijen atau wartawan ada di sana, yang bersama armada Ingrris telah datang dan mendarat.
[8] Hanna 1959:19. Hanna tidak menyebut satu sumber pun. Ia tidak kenal jilid tiga Dari pendjara ke pendjara, demikian juga arsip Amerika [yang] menyimpan laporan itu. Dengan begitu pastilah Kennedy atau Foster yang menjadi sumber baginya – tapi apakah yang tersebut akhir itu tahu, bahwa Tan Malaka hadir di sana?
[9] Raliby 1953: 344, juga dimuat dalam Pendjara III:139, Jail III:205. Tan Malaka membuktikan bahwa dakwaan itu ngawur. Dalam bulan September 1945 ia belum pernah mendengar masalah perwalian, dan para hadirin pun kemungkinan juga tidak. Soalnya yang ketiga jelas bertentangan dengan dukungannya yang dituduhkan. Akhirnya ia bisa menunjuk pada pengabdiannya seumur hidup untuk kemerdekaan Indonesia (Pendjara III:66, Jail III: 104).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar