Bagaimana pandangan Tan Malaka diantara Soebardjo, Soekarno, Hatta dan Sjahrir ketika ikut berunding pertama kali dengan Wakil Amerika?
Pada 23 September 1945 Soebardjo
mengundang Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh pimpinan politik lainnya di rumahnya
untuk bertemu Tan Malaka, yang pada kesempatan di depan kelompok yang besar ini
ia menanggalkan nama samarannya. Di antara mereka juga hadir Soekarni, sehingga
kontak dengan kelompok Menteng akhirnya terjalin. Tan Malaka berbicara. Ia
menekankan pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya tentang
perjuangan Republik. Kemudian Hatta memintanya untuk duduk sebagai menteri
penerangan, tapi Tan Malaka dengan sopan menolak tawaran itu, dan menurut Hatta
ia mengatakan: “Di waktu sekarang saudara berdua, Sukarno-Hatta, sudah tepat
itu. biarlah saya menyokong dari belakang, dengan mengerahkan rakyat di
belakang saudara.”[1]
Tan Malaka memang tidak mau duduk di
dalam kabinet yang menyebarkan bau Jepang. Hubungannya dengan para mahasiswa
dan pemuda jelas akan membuat keengganannya pada kabinet tersebar luas. Juga ia
menolak tujuan dan ‘ketidakjelasan’ politiknya. Dengan demikian Tan Malaka
secara formal menolak kedudukan sebagai menteri, tapi ia bukannya tidak mau
ambil bagian terhadap apa yang dinamakannya sendiri sebagai ‘kabinet bayangan’.
Ini dibentuk atas gagasan Soebarjo, yang anggota-anggotanya ialah Soekarno,
Hatta, Soebardjo, Sjahrir, dan Tan Malaka.[2]
‘Kabinet bayangan’ mungkin sekali
sepatah kata besar untuk rapat-rapat di mana lima sekawan itu saling terkait.
Hanya beberapa kali saja kelompok ini bisa berkumpul – selama rentang waktu
dari 23 September – saat perkenalan dengan Hatta – sampai 1 Oktober – saat Tan
Malaka meninggalkan Jakarta. Tan Malaka menamakannya demikian mungkin sekali
karena alasan prestise pertemuan-pertemuan mereka itu. Hatta dengan tepat juga
mengingkari adanya kabinet bayangan itu,[3]
pertemuan informal para pemimpin ini terjadi beberapa kali saja.[4]
Kritik Tan Malaka terhadap pendirian
Soekarno yang bimbang, seperti ketika di Lapangan Ikada, juga menunjuk pada
pelarangannya untuk merebut persenjataan Jepang. Dalam segala hal, menurut Tan
Malaka, apabila Soekarno diminta untuk mengambil keputusan, hasilnya selalu
negatif. Ini berakibat pada kelumpuhan, kepasifan, dan kekacauan. Ia sendiri
menyaksikan tentang kebimbangan Soekarno di tengah situasi krisis. Sementara
‘kabinet bayangan’ tengah bersidang, yang dihadiri juga oleh Ketua KNIP Kasman
Singodimedjo, diajukan pertanyaan melalui telepon dari Bandung tentang
penyerangan terhadap kamp tahanan untuk merebut senjata yang disimpan di sana.
‘Presiden Sukarno melarang dengan
muka pucat dan suara gugup.’
Mendengar reaksi ‘Presiden Revolusi’
seperti itu Tan Malaka menjadi kecewa. Ia pribadi dengan sangat menyesal
merasa, merupakan keharusan untuk
menyokong serangan itu.
Sjahrir yang diminta pendapatnya
oleh Soekarno, memberikan jawaban yang tak berarti dan tidak jelas.
Hatta yang tenang, akhirnya
menanyakan pada Tan Malaka apakah pemuda Bandung itu akan dibiarkan saja mau
berbuat sesuatu.
Tan Malaka membenarkan. Tapi di luar
Tan Malaka dan rapat itu, sebuah larangan sudah dikirim melalui telepon ke
Bandung.[5]
Sebelum tanggal 29 September, sebelum
tentara Inggris mendarat, Tan Malaka kembali lagi sangat aktif. Ia menghadiri
pertemuan antara Hatta, Sjahrir, dan Soebardjo – di rumah Soebardjo – dengan
wakil-wakil Amerika.
Dalam pertemuan ini Hatta
menegaskan, bahwa semua daerah dan perusahaan asing yang sudah disita akan
dikembalikan tanpa syarat.
Tan Malaka menanggapi dengan
mengatakan, bahwa penyerahan kembali ini sama sekali tidak boleh terjadi.
Perusahaan-perusahaan penting harus menjadi milik negara dan di bawah kekuasaan
negara. Dalam hal ini maka ganti rugi hendaknya diberikan kepada para
pemiliknya.
Tan Malaka jelas belum cukup
berbicara. Ia menyebut ada empat tujuan pokok Republik – dalam kata-kata
Inggris:
1. Speedy negotiations (Berunding
selekas-lekasnya)
2. Forming of a national defence-force
(Membentuk Pertahanan Nasional)
3. Withdrawal of all foreign forces
(Penarikan kembali semua tentara asing)
4. International exchange of good
(Penukaran barang-barang antara Republik dan Negara Asing)
Empat fasal, yang
saya majukan itu oleh Sutan Sjahrir disebutkan ‘ a clear cut policy’ (politik
yang tegas). Karena sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak
terlampau banyak bicara pada pertemuan tersebut, sedangkan bukannya mentri,
maka utusan Amerika itu bertanya kepada saya: “In what capacity are you
speaking?”.
Untunglah Mr.
Soebardjo, yang sudah lebih dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab
dengan cepat: “He is one of our staff members”.
Untunglah pula tak
diantara anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat
fasal yang saya madjukan itu.[6]
Cerita Tan Malaka itu bisa diuji
melalui laporan yang ada dalam simpanan arsip OSS – Office for Strategic
Services, pendahulu CIA. Pada tanggal 28 September, di rumah Soebardjo, seorang
Letnan Kolonel Amerika K.K. Kennedy dan Jane Foster berbicara dengan Soekarno,
Hatta, Soebardjo, Amir Sjarifoeddin, Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Kasman.
Pada lima nama pertama disebut fungsi masing-masing, pada Kasman tidak – Kasman
Singodimedjo, Ketua KNIP.
“Pada awal rapat
Pengamat Militer AS menjelaskan pada Dr. Soekarno, bahwa misi AS merupakan misi
intelijen sepenuhnya, dan bagaimanapun kedatangannya tidak bisa atau tidak
semestinya diartikan sebagai pernyataan persetujuan terhadap gerakan mereka.
Dr. Soekarno minta maaf karena tidak banyak bicara sebagai juru bicara. Namun
demikian semua pembicaraan dilakukan oleh Dr. Kasman, dengan diselang-seling
oleh keterangan dari Dr.Soekarno, Dr.Hatta dan Dr. Soebardjo.”
Tan Malaka lupa ketika ia menyebut
nama Sjahrir dan bukannya Amir yang hadir. Tapi di manakah dia sendiri?
Pertama-tama agaknya ia hadir dengan nama samaran, tapi ikut sertanya dalam
pembicaraan yang begitu dominan, menyebabkan Kennedy mempertanyakan apa dan
siapakah dia. Soebardjo menyelamatkan keadaan dengan menyebut Tan Malaka
sebagai bernama Kasman. Kasman yang sebenarnya tidak menonjolkan dirinya dan
juga tidak menguasai pandangan Tan Malaka yang luas. Dalam laporan itu
sumbangan pikiran Tan Malaka menjadi jelas. Sebagaimana “Sikap terhadap modal
swasta” menyatakan: “Pemerintah akan mengambil alih semua perusahaan-perusahaan
besar, apakah perusahaan Indonesia, Belanda atau milik asing lain, dan kemudian
kontrak baru dirunding dengan para pemiliknya.” Soebardjo sedikit memperlunak
kata-kata ini, yang jauh lebih dari yang dikehendaki Hatta. Bahwa di sini Tan
Malaka ditampilkan sebagai Kasman, menjadi pasti di dalam laporan tentang
‘Perundingan dengan Sekutu’:
Selanjutnya Dr.
Kasman mengajukan usul-usul sebagai berikut: (laporan ini di dalam National
Archives, RG 226, Records OSS, Intelligence Report XL 23085 oleh Jane Foster,
penerjemah dan sekretaris Kennedy)
a. Permintaan untuk perundingan secepatnya antara
wakil-wakil Sekutu dengan Pemerintah Nasional
b. Permintaan untuk pengakuan Sekutu dan penerimaan
terhadap ‘Pasukan Keamanan Nasional’ untuk bekerjasama dengan Sekutu, dan
memelihara hukum dan ketertiban selama masa sementara
c.Penarikan tentara pendudukan asing secepatnya dan
bersamaan itu terjaminnya keamanan warganegara asing serta terpeliharanya hukum
dan ketertiban.[7]
Betapa juapun pertemuan ini
merupakan pertemuan yang sangat luar biasa. Tan Malaka mengoreksi Wakil
Presiden dan selanjutnya menjelaskan program pemerintah Republik kepada
wakil-wakil Amerika. Menteri-menteri
yang bertanggungjawab berdiam diri dan menyetujuinya, walaupun mungkin
bertentangan dengan pendapat mereka. Suasana ini semakin memperlihatkan betapa
masih belum pasti dan belum jelas Republik berfungsi. Pertemuan itu merupakan
salah satu dari ‘konferensi pers’ pertama para pemimpin Republik.
Pada 1959 Williard Hanna menyebut
Tan Malaka hadir disana. Tan Malaka tidak dikenal, baik oleh orang-orang
Amerika maupun beberapa orang Indonesia yang hadir. Dan ia memainkan peranan
sebagai orang asing yang misterius dan percaya diri, yang kepadanya Soekarno
menunjukkan rasa hormat yang luar biasa.[8]
Sumber yang patut dipercaya
menyatakan pertemuan itu merupakan salah satu dari ‘konferensi pers’ pertama
para pemimpin Republik. Dalam pernyataan pemerintah tanggal 5 Juli 1946, yang
menuduh Tan Malaka terlibat dalam percobaan perebutan kekuasaan tanggal 3 Juli,
antara lain ia dipersalahkan: ‘Djuga Tan Malaka sendiri pada satu pertemuan di
rumah Mr. Subardjo dalam bulan September 1945 telah menjatakan kerelaannja
dengan “trusteeship” itu.[9] Tanggal, tempat, dan peristiwanya cocok.
Kenedy memang mengemukakan masalah
perwalian yang mendapat tanggapan: ‘Pemerintah nasional akan tunduk pada
pengawasan internasional, asal saja tidak akan ada campur tangan terhadap
urusan dalam negeri, dan tidak ada usaha untuk mengembalikan Belanda pada
kedudukan sebelum perang. Mereka harus diijinkan untuk mempunyai pemerintahan
mereka sendiri.’ Jelas bahwa isi pengertian trusteeship
(perwalian) tidak terlalu jelas bagi para pemimpin Indonesia.
Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan
Revolusi Indonesia
Jilid 1: Agustus 1945-1946 (halaman
105-109)
Harry A. Poeze
[1]
Hatta 1974: 6. Hatta 1978: 17
(dalam terjemahan 1979b: 28) menyebut hal ini sebagai langkah agar pemerintah
membentuk barisan propaganda. Juga dalam wawancarac-wawancara Anderson dengan
Hatta, 5-6-1960, dalam Anderson 1972:278 dan Helen Jarvis dengan Hatta,
Jakarta, 29-11-1972. Dalam wawancara terakhir ini Hatta menyebutkan tentang
pertemuan pertamanya dengan Tan Malaka. Apakah ia lupa pernah berjalan bersama
di Lapangan Ikada, ataukah ketika itu Tan Malaka masih dikenal sebagai Iljas
Hussein, juga bagi Hatta?
[2]
Pendjara III:64; Jail III:102.
Dalam terjemahan lupa disebut peran serta Sjahrir. Lihat juga Jail III: 241,
catatan 18
[3]
Wawancara Helen Jarvis dengan
Hatta, Jakarta, 29-11-1972
[4]
Sjahrir juga membenarkan
adanya pertemuan-pertemuan itu secara tidak langsung. Sebagai pimpinan
informasi Revolusi pada tingkat pertama ia menyebut nama-nama Soekarno, Hatta,
Soebardjo, Iwa dan dirinya sendiri, di dalam wawancaranya dengan Kahin
(15-1949), dikutip oleh Mrazek 1994: 304. Juga Iwa Koesoema Soemantri 1963: 41
memuat tentang pimpinan informal ini. Ia sendiri juga beberapa kali hadir. Sjahrir
tidak menyebutnya sebagai peserta.
[5]
Pendjara III: 64-65; Jail III:
102. Nasution 1977, I:323 membenarkan pernyataan Tan Malaka dan menyebut Ketua
KNIP, Kasman Singodimedjo, sebagai penyampai pesan atas nama Soekarno, dalam
hal ini Nasution tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Smail 1964:55-56 menyebut
aksi para pemuda itu dimulai pada 27 September. Tanggal yang bertepatan dengan
Tan Malaka ikut serta dalam rapat tingkat tinggi dalam minggu terakhir
September.
[6]
Pendjara III: 65-67; Jail III:
103-105. Kutipan berbahasa Inggris itu dari Tan Malaka sendiri. Soekarni dalam
Peringatan sewindu 1957: 106 mengutip Tan Malaka tentang percakapan itu. dari
kutipan ini tidak berarti bahwa Soekarni pribadi hadir di sana. Dalam suatu
pidato pada rapat memperingati Tan Malaka tanggal 24-2-1969 ia menyatakan,
bahwa ia ada di tempat itu (transkrip pita rekaman, milik Helen Jarvis)
[7]
Laporan ini di dalam National Archieves, RG 226, Records OSS,
Intelligence Reports XL 23085. Gouda 2002: 167 juga menyebut percakapan dan
dokumen ini sepintas lalu. Sebuah laporan dari Jane Foster menjadi dasar untuk
penuturan kembali percakapan ini dalam MacDonald 1947: 297-298. Jane Foster
adalah sekretaris dan penerjemah Kennedy. Ia mencari kontak dengan Soekarno
untuk menjajaki pandangannya dan kabinetnya. Juga dilakukan perjanjian lisan
dengan para pemimpin yang masih di bawah tanah. ‘Jalan rahasia ke tempat
persembunyiannya dijaga di sepanjang jalan dari kota oleh orang-orang Indoesia
yang bersenjata, yang sebentar-sebentar menghentikan jip Amerika, tulisnya. Pemerintah
Indonesia disembunyikan di sebuah gedung indah bergaya Eropa, dan berhias asri
dengan meja dan kursi yang menyenangkan. Permadani ketimuran dan contoh-contoh
karya seni Indonesia yang adi luhung. Soekarno pribadi seorang gentleman yang
memikat gaya bicaranya, tampan dan wibawa, fasih berbicara Inggris dan
menyilakan tamu-tamunya duduk menikmati minuman serbat begitu mereka tiba. Menlu
Republik Indonesia, Soebardjo, dan anggota kabinet yang lain, Sjarfoedin, hadir
pada pertemuan informal yang menyusul ketika ketika Soekarno, melalui Jane,
menerangkan tujuan dan politik republik baru ini. Dalam laporan ini usul
ketiga-tiganya Kasman disebut lagi – yang kali ini ditumpukan pada Soekarno. Akhirnya:
‘Jane segera kembali ke markas dengan berita yang sudah ditunggu-tunggu setiap
orang: Indonesia tidak merencanakan revolusi. Merka ingin
berbicara perdamaian. Di sini Jane Foster memperbesar peranan Soekarno
dengan mengorbankan Kasman alias Tan Malaka yang
tak dikenal. Leupold 1976: 178-179 membenarkan peranan OSS yang pada 15
September sebuah ‘tim komunikasi dan intelijen’, di bawah pimpinan Kapten
Richard B. Shaw, mendarat di Jakarta. Jane Foster memainkan peranan penting
sebagai penghubung. Reportasenya juga diambil dalam Bills 1990: 132-133, 135. Otobiografi
Foster menyebut tugasnya sebagai pegawai OSS yang bertugas mengikuti
perkembangan politik di Indonesia, dan melakukan hubungan yang teratur dengan
Soerkarno dan kabinetnya, tapi tidak disebut secara terus terang tentang
pertemuan tanggal 28 September (Foster 1980: 139, 150-151). Episode ini juga
dalam Smith 1972: 290-291. Di sini ia menambahkan, bahwa pada 1957 Jane Foster
diadukan dengan alasan spionase. Peranan Foster secara ringkas juga di dalam
Aldrich 2005: 355. Ia telah menyerahkan laporan OSS-nya tahun 1945 itu pada
NKVD, polisi rahasia Soviet. Penelitian lebih lanjut (Haynes en Klehr
1999:272-273, 2006:221-223, Romerstein en Breindel 2000:335. Ia telah menyerahkan
laporan OSS-nya tahun 1945 itu pada NKVD, polisi rahasia Soviet. Penelitian lebih
lanjut (Haynes en Klehr 1999:272-273, 2006:221-223; Romerstein en Breindel
2000P:295-296, 467) membenarkan bahwa ia anggota Partai Komunis Amerika
Serikat, dan pada waktu perang aktif sebagai agen Soviet. Ia memberikan
bahan-bahannya kepada seorang mata-mata Soviet. Foster (1980:166-167)
memberikan pandangannya sendiri pada penyerahan laporannya – hal yang tidak
salah – yang oleh Manuilsky, wakil Ukraina di Dewan Keamanan PBB diperluas dan
tidak salah – yang oleh Mnuilsky, wakil Ukraina di Dewan Keamanan PBB diperluas
dan dipergunakannya dalam makalahnya untuk debat pertama tentang Indonesia di
sana. FRUS 1945, VI:1178-1180 berisi laporan Kennedy di Washington tentang
pengalamannya (‘Memorandum of conversation, oleh Chief of the Division of Southeast Asian Affairs (Moffat), 6-12-1945).
Ia mengunjungi Batavia dalam bulan September dan Oktober. Ia untuk pertama kali
bertemu Soekarno. [Usul-usul Tan Malaka dalam laporannya tidak disebut.] Jarvis
dalam Jail III:242, dalam catatan 24 menyatakan, bahwa wakil-wakil Amerika para
perwira intelijen atau wartawan ada di sana, yang bersama armada Ingrris telah
datang dan mendarat.
[8]
Hanna 1959:19. Hanna tidak
menyebut satu sumber pun. Ia tidak kenal jilid tiga Dari pendjara ke pendjara,
demikian juga arsip Amerika [yang] menyimpan laporan itu. Dengan begitu
pastilah Kennedy atau Foster yang menjadi sumber baginya – tapi apakah yang
tersebut akhir itu tahu, bahwa Tan Malaka hadir di sana?
[9]
Raliby 1953: 344, juga dimuat
dalam Pendjara III:139, Jail III:205. Tan Malaka membuktikan bahwa dakwaan itu
ngawur. Dalam bulan September 1945 ia belum pernah mendengar masalah perwalian,
dan para hadirin pun kemungkinan juga tidak. Soalnya yang ketiga jelas
bertentangan dengan dukungannya yang dituduhkan. Akhirnya ia bisa menunjuk pada
pengabdiannya seumur hidup untuk kemerdekaan Indonesia (Pendjara III:66, Jail
III: 104).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar