Kamis, 07 April 2016

BUKU BAGIAN TIGA

DAFTAR ISI


Pengantar Penulis
Daftar Isi
Pandangan Hidup (Weltanschauuung)
Negara (State)
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Timbul – Tumbuhnya Republik Indonesia
Dari Ir. Sukarno ke Presiden Sukarno
Di Sekitar Peristiwa Proklamasi
Ke Arah Persatuan Perjuangan
Persatuan Perjuangan
Putusan Kongres Pembentukan “Persatuan Perjuangan”
Pertentangan Antara: Diplomasi dengan Massa Aksi
Samakah Program Pemerintah dengan Program Persatuan Perjuangan?
Linggarjati dan Renville
Penangkapan di Madiun























Pengantar Penulis

Dasar dan tujuan bagian terakhir ini berlainan dengan dasar tujuan bagian yang sudah-sudah.
Bagian ini berdasarkan tahanan dalam penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubung dengan itu, maka isinya tulisan ini agak abstract (melayang) teoritis dan agak banyak mengandung sifat polemik (menantang). Sedikit banyak dikemukakan di sini soal pemandangan hidup (filsafat), soal Kenegaraan (State), soal Persatuan Perjuangan, soal Perundingan Indonesia Beland dan lain-lain. Semuanya itu diarahkan kepada pembelaan atas “tuduhan” yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada “tuduhan” yang masih kami tunggu-tunggu dari kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila bagian ini sudah selesai kami tulis. Jadi bagian mengenai keadaan sampai Maret 1948 ini. Lowong waktu, semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang tanggal 16 September tahun ini juga, yang belum tertulis dalam bagian inilah, yang kami tambahkan pada “Kata Pengantar” ini. Tetapi beberapa peristiwa, seperti “penanaman” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpanan” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpana” trek bom di belakang sel kami di Magelang serta lain “persiapan” lawan politik kami, yang mungkin akan banyak juga menarik perhatian para pembaca terpaksa kami lampaui saja.
Tulisan dalam bagian ini tiada bisa berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti ter-formulir oleh pihak “yang berhak” ialah dari Kejaksaan rupanya tidak dapat dimajukan. Pembelaan yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk atas tuduhan yang masih ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami ini juga tidak dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan persediaan buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah dilakukan.
Berhadapan dengan “tuduhan” dari “Pengumuman Resmi” tanggal 6 Juli 1946, yang dalam surat kabar di mana-mana sering dikepalai dengan “COUPT D’ETAT TAN MALAKA KANDAS”, maka pada pertemuan pertama dengan para Wakil Kejaksaan, yakni tanggal 1 November 1946 di Mojokerto, sudah saya majukan: Supaya saya dihadapkan ke depan Pengadilan Umum.
Baru pada permulaan bulan Pebruari 1948, jadi hampir dua tahun lamanya di tahanan, barulah saya berhadapan kembali dengan soal tahanan atas diri saya dengan perantaraan Wakil Kejaksaan. Tetapi anehnya pula, pada pertemuan ini, di mana tuduhan tertulis dimajukan, saya sendiri, yang selama ini terkenal sebagai pemimpin “COUP D’ETAT” (dan saudara Sukarni) tidaklah termasuk ke dalam daftar tertuduh, ialahP: bekas Jendral Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Budhiarto, Dr. Buntaran, Dr. Buntaran, Moh. Saleh Djojoranoto dan lain-lain.
Semenjak permulaan Pebruari 1948 ini, maka Tan Malaka tidak lagi disangkutkan kepada “COUP D’ETAT TAN MALAKA” itu. Tetapi anehnya dia tidak pula dibebaskan dari tuduhan dari  penjara. Sebagai alasan buat terus menahan saya dituliskan saja secara tersambil sebagai tuduhan diri saya, ialah karena melakukan “opposisi yang illegal”.
Seolah-olah mudah ditentukan “oposisi yang legal” (yang sah menurut undang-undang) dalam satu masyarakat, yang sedang bergelora, memberontak, memperjuangkan kemerdekaannya. Seolah-olah gampang saja menetapkan pengertian “opposisi yang legal dan illegal”, sah atau tidak sah dalam satu masyarakat yang sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang membentuk yang baru, di mana pemerintah dan pengadilannya belum pernah dipilih dari, oleh dan untuk rakyat, bilamana sedang diadakan ujian untuk menentukan golongan manakah kelak dalam masyarakat Indonesia kita ini (feodal, borjuis, atau Murba?) orang tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa sesuatu revolusi itu, suatu pemberontakan itu, ialah suatu tindakan seluruhnya atau sebagian masyrakat, yang akan menentukan apa yang legal dan apa ilegal: De revolutie zelf is rechtsbroen schep pende rechtsbron, kata Crabe, salah seorang dari Maha Gurunya para jurist kita di Indonesia ini. (Revolusi itu sendiri adalah sebuah sumber hukum yang sedang membentuk sumber hukum!). Dan akhirnya seolah-olah Kejaksaan yang berpendidikan, berpengalaman dan masih bersemangat hukum kolonial itulah yang berhak menetapkan “legal atau tidaknya” sesuatu “opposisi”-nya Pimpinan Rakyat yang sedang memperjuangkan 100% merdeka dari status kolonial itu.
Dengan kandasnya tuduhan yang berdasarkan “Pengumuman Resmi”, sebenarnya menurut peraturan yang lazim dipakai, maka perkara saya sudah tidak bisa lagi dimajukan ke depan hakim. Pada saat itu juga, ialah pada permulaan Pebruari 1948 ini, sesudah hampir dua tahun saya ditahan zonder tuduhan dari kejaksaan sesungguhnya saya harus dibebaskan. Tidak lagi pada tempatnya, kalau Kejaksaan memajukan tuduhan kedua, ialah tuduhan “menjalankan illegal opposisi” tadi. Dengan mengadakan tuduhan yang kedua itu, maka kejaksaan sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Filsafat Hukum, yang terkenal dengan perkataan nobis in idem. Dilarang pula oleh Hukum Adat yang “tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas” yang mengucapkan kalimat tersebut dengan: Kata dahulu ditepati, kata kemudian dicari-cari. Artinya itu, “kata dahulu” atau “tuduhan yang bermulalah” yang boleh dianggap sah. Sedangkan “kata kemudian” atau tuduhan yang kemudian itu adalah tuduhan yang dicari-cari saja: tidak sah. Dalam hal ini, maka menurut Hukum Adat si-Tertuduh harus segera dibebaskan.
Bahwa sesungguhnya, maka dengan menukar “Pengumuman Resmi” itu dengan “illegal opposisi” perkara kami belum kami anggap selesai begitu saja. Karena, kalau tuduhan sepanjang “Pengumuman Resmi” memangnya mengandung sesuatu pelanggaran, maka saya harus lekas dituntut dan diadili atas tuduhan itu juga. Tetapi kalau “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” harus dituduh sebagai pembikin hasut-fitnah (slander) dan harus diadili. Dengan membiarkan terus adanya “Pengumuman Resmi” dengan segala akibatnya itu, atau berlaku pura-pura tidak tahu akan ada dan akibatnya “Pengumuman Resmi” itu, maka Badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang, atau Dewan Perwakilan) dan bebas dari Badan Eksekutif (Pengadilan Undang, ialah Pemerintah) Badan Pengadilan (Judical atau Pengawas Undang), yang katanya objektif (tak memihak) dan dipimpin oleh “para ahli” itu sudah menjadi alat dari golongan atau orang, yang memegang kekuasaan. Hukum Adat pun sudah melintasi hal semacam itu dengan pepatah: “Tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan” (Artinya: “Yang dekat diperut, ialah keluarga dan tiba di mata ialah sahabat tidak diadili). Sesuatu Undang menurut Hukum Adat, mestinya tidak pula memandang tinggi rendahnya kedudukan orang yang harus diadili: “Tinggi kayu arau dilangkahi, rendah ilang-bilang diseluduki”. Artinya : Undang berada lebih tinggi dari pada yang tinggi daripada yang tinggi dan lebih rendah daripada yang rendah (Murba). Seorang Raja di Minangkabau pernah diadili dan dipersalahkan oleh Pengadilan Rakyat. Bukan pula pernah seorang Presiden di Amerika Serikat diadili?
Sesungguhnya kalau satu tuduhan bisa ditukar dengan tuduhan lain ( dan memangnya pula tuduhan menjalankan “illegale opposisi” itu selama lebih kurang delapan bulan tak bisa dilaksanakan oleh kejaksaan!) maka dengan tukar menukar tuduhan terus-menerus ad infinitum, maka saya boleh mempersiapkan diri buat hidup terus (belum tentu hidup terus!) dalam penjara. Dan ini memangnya kehendak beberapa orang yang berada di dalam dan di luar Pemerintahan, karena politik saya bertentangan dengan politik mereka itu. Tetapi adalah beberapa faktor di luar kehendak lawan politik, yang kebetulan memegang kekuasaan itu!
Syahdan dari semula tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946, maka hampir semua kumpulan besar kecil, kecuali “Sayap Kiri” (kemudian bernama F.D.R) menuntut, supaya perkara kami lekas diperiksa. Kami tahu bahwa massa dalam Masyumi umumnya dan para pemuda G.P.I khususnya P.N.I umumnya (kecuali beberapa pemimpinnya!) dan Pemuda Demokrat khususnya cukup memberikan perhatian kepada perkara kami B.P.K.N.I.P dan Dewan Pertimbangan Agung pun di belakang hari mendesak supaya tahanan politik dibebaskan.
Salah satu Organisasi Pemuda, walaupun dalam keadaan terancam, tampil ke muka dan dengan tegas prawira menuntut pembebasan kami sambil membela bunyi ISI Minimum Program. Di mana-mana kami berada, Pemuda kami itu berada pula mengelilingi tembok penjara, sebagai anak harimau mencari ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan di dalam penjara atau dari penjara ke penjara, kami lakukan dengan keinsyafan, bahkan ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami. Veteran-Revolusi mana, yang tak akan merasa tetap tenang detak jantungnya serta tetap tegap langkahnya, kalau dia insyaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun langkah derap tegap dari pemuda yang penuh dengan keikhlasan dan kesatriaan? Yang memegang kekuasaan pun tentu tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa pemuda kami itu
.Partai Rakyat (kemudian bernama Partai Murba) dari suara sayup sampai ke suara tenang tegas menuntut pembebasan kami, baik dalam konferensi atau kongresnya.
Akhirnya Partai Rakyat pada kongresnya ke-1 di Yogya tanggal 10-11-12 Agustus 1948 ini mendesak Pemerintah supaya selekasnya TAN MALAKA Cs dibebaskan, sebab (1) alasan penangkapan (tuduhan) tidak cukup, karena penangkapan dilakukan atas permintaan Delegasi untuk dapat melangsungkan perundingan dengan musuh, (2) penahanan sudah cukup lama dan nyata, bahwa sesudah penangkapan Tan Malaka cs (17-3-1946) nyata-nyata perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah merosot dan sangat merugikan jalannya revolusi kita.
Partai Rakyat dan Akoma, bersama-sama dengan Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat yang dibantu oleh pelbagai kelaskaran (Laskar Rakyat Jawa Barat), Barisan Banteng, Tamtomo, Anak Pelaut dan lain-lain) menggabungkan diri dalam Gerakan Revolusi Rakyat (G.R.R). Suara G.R.R berkumandang di mana-mana dan terus terang, zonder tedeng aling-aling mengatakan, bahwa dia meneruskan Minimum Program Persatuan Perjuangan dan menuntut pelaksanaan demokrasi dengan membebaskan tahanan politik. Di samping organisasi politik itu tidak pula boleh dilupakan suatu dan tuntutan pers, seperti s.k. Murba, Pasifik, almarhum Genderang (Cirebon) dan Majalah Godam Jelata (Krawang), Obor Rakyat, Kedaulatan Rakyat dan sebagainya.
Seluruh Sumatera umumnya dan Sumatera Barat khususnya pada permulaan penangkapan bersikap bimbang, ragu-ragu mendengarkan hasut fitnah dari “Pengumuman Resmi” dan dari beberapa “Pemimpin Besar”. Tetapi akhirnya kebenaran dapat juga menerobos kabut hasut-fitnah yang jahanam terkutuk itu. Dari suara sayup yang dipelopori Pepari dan di belakang hari diperkuat pula oleh Partai Rakyat, maka rakyat Sumatera akhirnya menuntut pembebasan kami. Seorang wakil Rakyat Sumatera, yang dikirim oleh rakyat di sana dapat menerobos “tirai besi” Pemerintah dan Kejaksaan di Yogya, akhirnya dapat berjumpa dengan saya dalam penjara Magelang pada penghabisan bulan Juni tahun 1948 ini. Wakil Sumatera inilah saja yang diizinkan berbicara dengan saya dihadapan empat mata, sampai pada waktu itu, oleh yang memegang kekuasaan. Dari isinya dada dan kepala wakil Sumatera inilah saya dapat membaca isinya dada kepala Rakyat Sumatera. Isi dada-kepla wakil Sumatera (teman sekolah pula di masa muda) inilah pula, yang menambah kekuatan diri saya dan batin. Suara dari Sumatera itulah yang sangat memperkuat tuntutan pembebasan kami yang sudah berkumandang di sekitar penjara di Jawa.
Telah kami cantumkan lebih dahulu tuntutan dan aksi Laskar Rakyat Jawa Barat yang sudah mengalami sejarah turun naik sampai ke tragedi 13-17 April 1947, bilamana Laskar Rakyat Jawa Barat dilucuti di Krawang dan digempur oleh Tentara Resmi dari semua penjuru. Tetapi menurut kata musuh sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat tetap memperjuangkan Minimum Program. Baik juga di sini kita biarkan musuh itu sendiri berbicara tentang Laskar Rakyat dan dasar perjuangannya. Para pembaca yang budiman kelak dapat menguji beberapa kebenaran di dalamnya.
NIEUWSGIER, S.K. Belanda, 3 September 1948, jadi ketika kami masih berada dalam penjara Magelang, NIEUWSGIER dengan kepala:
“REPUBLIK STAAKT RATIONALITATIE VAN HAAR LEGER. TAN MALAKA ZET AKTIE GEVANGENIS UIT VOORT” antara lain-lain menulis salinan Indonesia, seperti berikut:
“Republik menghentikan rasionalisasi tentaranya. Tan Malaka meneruskan aksinya dari penjara”.
“Meskipung Tan Malaka sekarang berada dalam tahanan dan dijaga dengan rapi sekali, bisa juga dia meneruskan aksinya dari penjara. Tan Malaka adalah seorang yang dapat mempengaruhi orang lain dengan sangat. Juga para penjaganya tidak sanggup melepaskan diri dari pengaruhnya. Dengan demikianlah dia bisa terus mendapatkan perhubungan dengan dunia luar. Buat ini Republik mempunyai tanda bukti yang jelas, kata SIN PO”.
“Buat melakukan aksinya Tan Malaka dapat perhubungan dengan Laskar Rakyat Jawa Barat, yang sekarang mengundurkan diri dari Jawa Barat dan di bawah para pemimpinnya yang lama, menyusun dirinya kembali di Yogya. Laskar Rakyat Jawa Barat dahulu sudah dibersihkan oleh TNI; sebagiannya di bawah Pak Panji menggabungka diri dengan Belanda. Setelah dicerai-beraikan oleh “politionele actie”, maka Laskar Rakyat menyusun dirinya kembali, sehingga dia semakin bertambah kuat, sampai sekarang dia berani menuntut berhentinya “rasionalisasi politik”-nya Moh. Hatta.
“Pendirian Tan Malaka tak pernah berubah dan apa yang sekarang dipropagandakan oleh Muso adalah sama saja, yakni memperhatikan perundingan dengan Belanda”.
“Sekarang Tan Malaka sedang bekerja melaksanakan rencana ini. Kedatangan Muso buat Tan Malaka adalah satu keuntungan. Terbukti, bahwa usahanya membentuk Folksfront tiadalah berhenti karena penangkapannya, bahkan sebaliknya mendapat kemajuan yang tetap. Banyak para ahli politik, yang berpendapat, bahwa saat ini dia memperoleh kemenangan. Tan Malaka juga tak pernah setuju dengan rasionalisasi badang perjuangan. Dia menganjurkan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk membentuk pertahanan total dengan mempersenjatai rakyat”.
“Di belakang keadaan genting sekarang (3 September) Pemerintah Hatta menerima tuntutan pelbagai organisai, ialah memperhatikan rasionalisasi. Dia malah bertindak lebih lanjut. Pelbagai organisasi tersebut mendapatkan izin buat mengembang”.
Desakan Partai, Dewan Perwakilan, Dewan Pertimbangan Agung dan desakan rakyat sudah sangat kuat pada permulaan September 1948 ini. Menurut kabar yang boleh dipercaya, desakan itu akan sampai atau hampir sampai ke puncaknya pada tanggal 19 September. Pada tanggal ini, maka G.R.R. di Jawa dan rakyat di Sumatera berniat hendak mengadakan satu Aksi Murba Teratur untuk memperkeras tuntutan Partai, Dewan dan Rakyat, yang tidak dihiraukan selama 2½ tahun ini.
Kebetulan pula tanggal 19 September itu adalah tanggal yang sangat penting buat saya sendiri. Pada tanggal ini saya dengan mata kepala sendiri menyaksikan ketabahan hati lebih kurang 200.000 Rakyat Jakarta menghadapi meriam, tank, dan pedang samurai Jepang yang terhunus. Tanggal 19 September ini bagi saya adalah satu pelaksanaan MASSA AKSI, yang bersifat ujian kekuatan (krachtproef) yang saya usulkan dan diterima oleh beberapa para menteri, tetapi ditolak oleh Sukarno-Hatta dengan peletakan jabatan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. MASSA AKSI 19 September-lah yang menunjukkan bukti kepada saya, berapa kuatnya Jepang, berapa kuat dan tabahnya Rakyat, di samping berapa sanggupnya Sukarno-Hatta melayani kemauan rakyat yang memberontak! Tanggal 19 September (tahun 1948!),  yang saya tunggu-tunggu dalam penjara itu banyak mengandung kemungkinan.

Tetapi entah karena desakan rakyat itu, semata-mata, entah ditambah pula oleh hal yang lain-lain, maka pada tanggal 16 September, tahun ini, wakil kejaksaan menyampaikan putusan Pengadilan Negeri Surakarta, di mana diterangkan, bahwa “tiadalah cukup alasan buat memajukan saya ke depan Pengadilan”.
Seperti sudah tiada rahasia lagi, maka Mahkamah Tentara Agung serta Jaksa Agungnya sendiri tidak mau dan tidak sanggup, memajukan perkara saya ke depan Mahkamah Tentara Agung dan perkara saya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Surakarta.
Badan inipun tidak mau atau tidak sanggup meformulirkan tuduhan kepada saya. Sebab itu Pengadilan Negeri Surakarta memulangkan kembali perkara itu kepada Jaksa Agung. Dari sini rupanya perkara itu ditendang kembali ke Surakarta. Akhirnya Surakarta mengambil putusan seperti tersebut di atas tadi, 3 hari sebelumnya tanggal 19 September.
Pengalaman saya dari penjara ke penjara di pelbagai tempat di dunia, selama lebih seperempat abad tidak pernah berakhir dengan kepuasan rasa keadilan Pengadilan “Hindia-Belanda” pada bulan Maret 1922, tidak “mengizinkan” saya berhadapan dengan “Gerecht, Recht en Rechtvaardigheid” ala Belanda. Amerika Serikat yang menjunjung “democracy and justice” pun tak sudi “mengizinkan” saya berhadapan muka dengan mukanya para ahli hukumnya dalam “court of justice”-nya (pengadilannya) di Manila, pada permulaan tangkapan. Inggris yang berlagak-lagak “demokratis” dan membangga-banggakan “British Justice”-nya itu cuma sanggup menahan dan mengisolasir saya berbulan-bulan lamanya dalam penjara di Hongkong pada penghabisan tahun 1932. Republik “Negara Hukum” kita pun yang katanya mempunyai “alasan” menangkap kami di Madiun, harus “berpikir” dua setengah tahun buat menyusun “tuduhan” terhadap kami. Sampai saya (dan Sukarni) dikeluarkan pada tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka “tuduhan” itu belum lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.
Bisikan gelap, yang tidak bosan-bosannya menyemburkan racunnya semenjak Persatuan Perjuangan, bahkan sudah semenjak lahirnya Tan Malaka Palsu (tahun 1936) karena pembebasan kami dari tahanan, maka selama 2½ (yang sudah nyata tak beralasan sesuatu pelanggaran hukum itu!), meniup-niup racun baru di sekitar kami dengan bisikan-bisikan bahwa kami dibebaskan buat mengimbangi PKI Muso.
Seolah-olah kami tidak tahu akan kekuatan dan kelemahannya Musso semenjak tahun 1926! Dari mula berdirinya “Pemerintah P.K.I Muso” di Madiun sampai bubarnya setelah 12 hari berdirinya, kami sudah melihat beberapa kelemahan PKI Muso dalam pelbagai syarat: (1) syarat untuk teman politik (Amir, Setiajid, Maruto cs!). (2) Syarat Ekonomi (Madiun adalah daerah Minus!). (3) Syarat Sosial (Madiun adalah 99% kota Borjuis tengah dan kecil) (4) Syarat Strategis (Madiun terbuka terhadap semua penjuru). (5) Syarat kepartaian (Peleburan PKI, PBI dan Partai Sosialis belum lagi dijalankan), apalagi dikonsolidasi! (6) Syarat psykologis moment (7) dan lain-lain syarat....”Putch” Madiun adalah ulangan “Putch” Prambanan yang pada tahun 1926 untunglah tak dapat dilakukan menurut rencana bermula. Cuma kekuatan yang tersedia dan tersembunyi pada waktu PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun pada tanggal 18 September 1948 di Madiun pada tanggal 18 September 1948 ini adalah 1001 kali lebih besar dari pada yang tersedia pada tahun 1926.
Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukkan kekuatan kepada Belanda, maka segala daya upaya akan kami bantu, walaupun bantuan itu tidak diminta kepada kami, bahkan meskipun seandainya ditolak. Dalam hal ini tak perlulah rasanya kami dikeluarkan dari penjara untuk membantunya. Sendirinya kami akan mendapat jalan. Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan kepada Pemerintah Republik yang ada sekarang pertama sekali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela kekuasaannya. Tak bisa dua kekuasaan tertinggi (authority) dalam satu negara. Rakyat harus tahu, mana pemerintah yang harus diikutinya. Berhubung dengan inilah, maka pemerintah yang adalah, yang pertama berkewajiban membela kekuasaannya, walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.
Memangnya mereka yang mendesak kepada kami, supaya menentukan sikap terhadap “Pemerintah FDR-PKI pada hari pertama, (sudah tentu dengan maksud yang baik). Tetapi dengan tegas kami tolak. Kami dikeluarkan, karena Pengadilan Negeri Surakarta, “tidak  mendapatkan alasan untuk memajukan kami ke depan pengadilan”.
Kami merasa tidak pada tempatnya dan waktunya, apabila kami ketika masih berada di dalam penjara diserang berturut-turut oleh Alimin dan Muso. Kami merasa tidak jujur-konsekuen, kalau Muso yang sedang terlibat dalam “Pemerintah FDR-PKI-nya” akan kami serang pula. Apakah pula lagi, kalau kami membiarkan diri kami (yang tentulah pula akan-nyeret teman dan anak seperjuangan kami!) dipakai sebagai Alat Pemukul  PKI Muso oleh Pemerintah ini, yang 2½  tahun lamanya menyebabkan dan membiarkan kami meringkuk dalam bermacam-macam penjara.
Garis politik kami cukup jelas buat kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir tiga tahun ini. apabila kami dalam keadaan sunyi terasing serta sering dalam bahaya  dan dilingkungi oleh beberapa kawan seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula, masakan kami sesudah mendapatkan persetujuan dan kawan dari pelbagai pihak akan meninggalkan garis politik, yang sudah mengalami ujian itu. untuk melanjutkan perjuangan kami di atas garis itu tidaklah perlu kami berjual beli dalam hal politik dan moral.

Yogyakarta, Oktober 1948                                         

TAN MALAKA







Tidak ada komentar:

Posting Komentar