DAFTAR ISI
Pengantar Penulis
Daftar Isi
Pandangan Hidup (Weltanschauuung)
Negara (State)
Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia
Timbul – Tumbuhnya Republik
Indonesia
Dari Ir. Sukarno ke Presiden Sukarno
Di Sekitar Peristiwa Proklamasi
Ke Arah Persatuan Perjuangan
Persatuan Perjuangan
Putusan Kongres Pembentukan
“Persatuan Perjuangan”
Pertentangan Antara: Diplomasi
dengan Massa Aksi
Samakah Program Pemerintah dengan
Program Persatuan Perjuangan?
Linggarjati dan Renville
Penangkapan di Madiun
Pengantar Penulis
Dasar dan tujuan bagian terakhir ini
berlainan dengan dasar tujuan bagian yang sudah-sudah.
Bagian ini berdasarkan tahanan dalam
penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubung dengan itu, maka
isinya tulisan ini agak abstract (melayang) teoritis dan agak banyak mengandung
sifat polemik (menantang). Sedikit banyak dikemukakan di sini soal pemandangan
hidup (filsafat), soal Kenegaraan (State), soal Persatuan Perjuangan, soal
Perundingan Indonesia Beland dan lain-lain. Semuanya itu diarahkan kepada
pembelaan atas “tuduhan” yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi
Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada “tuduhan” yang
masih kami tunggu-tunggu dari kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila bagian
ini sudah selesai kami tulis. Jadi bagian mengenai keadaan sampai Maret 1948
ini. Lowong waktu, semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang
tanggal 16 September tahun ini juga, yang belum tertulis dalam bagian inilah, yang
kami tambahkan pada “Kata Pengantar” ini. Tetapi beberapa peristiwa, seperti
“penanaman” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpanan” bom di dalam penjara
Madiun, dan “penyimpana” trek bom di belakang sel kami di Magelang serta lain
“persiapan” lawan politik kami, yang mungkin akan banyak juga menarik perhatian
para pembaca terpaksa kami lampaui saja.
Tulisan dalam bagian ini tiada bisa
berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti ter-formulir oleh
pihak “yang berhak” ialah dari Kejaksaan rupanya tidak dapat dimajukan.
Pembelaan yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk
atas tuduhan yang masih ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami
ini juga tidak dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan
persediaan buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah
dilakukan.
Berhadapan dengan “tuduhan” dari
“Pengumuman Resmi” tanggal 6 Juli 1946, yang dalam surat kabar di mana-mana
sering dikepalai dengan “COUPT D’ETAT TAN MALAKA KANDAS”, maka pada pertemuan
pertama dengan para Wakil Kejaksaan, yakni tanggal 1 November 1946 di
Mojokerto, sudah saya majukan: Supaya saya dihadapkan ke depan Pengadilan Umum.
Baru pada permulaan bulan Pebruari
1948, jadi hampir dua tahun lamanya di tahanan, barulah saya berhadapan kembali
dengan soal tahanan atas diri saya dengan perantaraan Wakil Kejaksaan. Tetapi
anehnya pula, pada pertemuan ini, di mana tuduhan tertulis dimajukan, saya
sendiri, yang selama ini terkenal sebagai pemimpin “COUP D’ETAT” (dan saudara
Sukarni) tidaklah termasuk ke dalam daftar tertuduh, ialahP: bekas Jendral
Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr.
Budhiarto, Dr. Buntaran, Dr. Buntaran, Moh. Saleh Djojoranoto dan lain-lain.
Semenjak permulaan Pebruari 1948
ini, maka Tan Malaka tidak lagi disangkutkan kepada “COUP D’ETAT TAN MALAKA”
itu. Tetapi anehnya dia tidak pula dibebaskan dari tuduhan dari penjara. Sebagai alasan buat terus menahan
saya dituliskan saja secara tersambil sebagai tuduhan diri saya, ialah karena
melakukan “opposisi yang illegal”.
Seolah-olah mudah ditentukan
“oposisi yang legal” (yang sah menurut undang-undang) dalam satu masyarakat,
yang sedang bergelora, memberontak, memperjuangkan kemerdekaannya. Seolah-olah
gampang saja menetapkan pengertian “opposisi yang legal dan illegal”, sah atau
tidak sah dalam satu masyarakat yang sedang memberontak, menghancurkan yang
lama dan sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang membentuk yang
baru, di mana pemerintah dan pengadilannya belum pernah dipilih dari, oleh dan
untuk rakyat, bilamana sedang diadakan ujian untuk menentukan golongan manakah
kelak dalam masyarakat Indonesia kita ini (feodal, borjuis, atau Murba?) orang
tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa sesuatu revolusi itu, suatu
pemberontakan itu, ialah suatu tindakan seluruhnya atau sebagian masyrakat,
yang akan menentukan apa yang legal dan apa ilegal: De revolutie zelf is
rechtsbroen schep pende rechtsbron, kata Crabe, salah seorang dari Maha Gurunya
para jurist kita di Indonesia ini. (Revolusi itu sendiri adalah sebuah sumber
hukum yang sedang membentuk sumber hukum!). Dan akhirnya seolah-olah Kejaksaan
yang berpendidikan, berpengalaman dan masih bersemangat hukum kolonial itulah
yang berhak menetapkan “legal atau tidaknya” sesuatu “opposisi”-nya Pimpinan
Rakyat yang sedang memperjuangkan 100% merdeka dari status kolonial itu.
Dengan kandasnya tuduhan yang
berdasarkan “Pengumuman Resmi”, sebenarnya menurut peraturan yang lazim
dipakai, maka perkara saya sudah tidak bisa lagi dimajukan ke depan hakim. Pada
saat itu juga, ialah pada permulaan Pebruari 1948 ini, sesudah hampir dua tahun
saya ditahan zonder tuduhan dari kejaksaan sesungguhnya saya harus dibebaskan.
Tidak lagi pada tempatnya, kalau Kejaksaan memajukan tuduhan kedua, ialah
tuduhan “menjalankan illegal opposisi” tadi. Dengan mengadakan tuduhan yang
kedua itu, maka kejaksaan sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Filsafat
Hukum, yang terkenal dengan perkataan nobis in idem. Dilarang pula oleh Hukum
Adat yang “tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas” yang mengucapkan kalimat
tersebut dengan: Kata dahulu ditepati, kata kemudian dicari-cari. Artinya itu,
“kata dahulu” atau “tuduhan yang bermulalah” yang boleh dianggap sah. Sedangkan
“kata kemudian” atau tuduhan yang kemudian itu adalah tuduhan yang dicari-cari
saja: tidak sah. Dalam hal ini, maka menurut Hukum Adat si-Tertuduh harus
segera dibebaskan.
Bahwa sesungguhnya, maka dengan
menukar “Pengumuman Resmi” itu dengan “illegal opposisi” perkara kami belum
kami anggap selesai begitu saja. Karena, kalau tuduhan sepanjang “Pengumuman
Resmi” memangnya mengandung sesuatu pelanggaran, maka saya harus lekas dituntut
dan diadili atas tuduhan itu juga. Tetapi kalau “Pengumuman Resmi” tidak benar,
maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin
“Pengumuman Resmi” harus dituduh sebagai pembikin hasut-fitnah (slander) dan
harus diadili. Dengan membiarkan terus adanya “Pengumuman Resmi” dengan segala
akibatnya itu, atau berlaku pura-pura tidak tahu akan ada dan akibatnya
“Pengumuman Resmi” itu, maka Badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang, atau
Dewan Perwakilan) dan bebas dari Badan Eksekutif (Pengadilan Undang, ialah
Pemerintah) Badan Pengadilan (Judical atau Pengawas Undang), yang katanya
objektif (tak memihak) dan dipimpin oleh “para ahli” itu sudah menjadi alat
dari golongan atau orang, yang memegang kekuasaan. Hukum Adat pun sudah
melintasi hal semacam itu dengan pepatah: “Tiba di perut dikempiskan, tiba di
mata dipicingkan” (Artinya: “Yang dekat diperut, ialah keluarga dan tiba di
mata ialah sahabat tidak diadili). Sesuatu Undang menurut Hukum Adat, mestinya
tidak pula memandang tinggi rendahnya kedudukan orang yang harus diadili:
“Tinggi kayu arau dilangkahi, rendah ilang-bilang diseluduki”. Artinya : Undang
berada lebih tinggi dari pada yang tinggi daripada yang tinggi dan lebih rendah
daripada yang rendah (Murba). Seorang Raja di Minangkabau pernah diadili dan
dipersalahkan oleh Pengadilan Rakyat. Bukan pula pernah seorang Presiden di
Amerika Serikat diadili?
Sesungguhnya kalau satu tuduhan bisa
ditukar dengan tuduhan lain ( dan memangnya pula tuduhan menjalankan “illegale
opposisi” itu selama lebih kurang delapan bulan tak bisa dilaksanakan oleh
kejaksaan!) maka dengan tukar menukar tuduhan terus-menerus ad infinitum, maka
saya boleh mempersiapkan diri buat hidup terus (belum tentu hidup terus!) dalam
penjara. Dan ini memangnya kehendak beberapa orang yang berada di dalam dan di
luar Pemerintahan, karena politik saya bertentangan dengan politik mereka itu.
Tetapi adalah beberapa faktor di luar kehendak lawan politik, yang kebetulan
memegang kekuasaan itu!
Syahdan dari semula tangkapan Madiun
tanggal 17 Maret 1946, maka hampir semua kumpulan besar kecil, kecuali “Sayap
Kiri” (kemudian bernama F.D.R) menuntut, supaya perkara kami lekas diperiksa.
Kami tahu bahwa massa dalam Masyumi umumnya dan para pemuda G.P.I khususnya
P.N.I umumnya (kecuali beberapa pemimpinnya!) dan Pemuda Demokrat khususnya
cukup memberikan perhatian kepada perkara kami B.P.K.N.I.P dan Dewan
Pertimbangan Agung pun di belakang hari mendesak supaya tahanan politik
dibebaskan.
Salah satu Organisasi Pemuda,
walaupun dalam keadaan terancam, tampil ke muka dan dengan tegas prawira
menuntut pembebasan kami sambil membela bunyi ISI Minimum Program. Di mana-mana
kami berada, Pemuda kami itu berada pula mengelilingi tembok penjara, sebagai
anak harimau mencari ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan di dalam
penjara atau dari penjara ke penjara, kami lakukan dengan keinsyafan, bahkan
ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami. Veteran-Revolusi mana, yang tak
akan merasa tetap tenang detak jantungnya serta tetap tegap langkahnya, kalau
dia insyaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun langkah derap tegap dari pemuda
yang penuh dengan keikhlasan dan kesatriaan? Yang memegang kekuasaan pun tentu
tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa pemuda kami itu
.Partai Rakyat (kemudian bernama
Partai Murba) dari suara sayup sampai ke suara tenang tegas menuntut pembebasan
kami, baik dalam konferensi atau kongresnya.
Akhirnya Partai Rakyat pada
kongresnya ke-1 di Yogya tanggal 10-11-12 Agustus 1948 ini mendesak Pemerintah
supaya selekasnya TAN MALAKA Cs dibebaskan, sebab (1) alasan penangkapan
(tuduhan) tidak cukup, karena penangkapan dilakukan atas permintaan Delegasi
untuk dapat melangsungkan perundingan dengan musuh, (2) penahanan sudah cukup
lama dan nyata, bahwa sesudah penangkapan Tan Malaka cs (17-3-1946) nyata-nyata
perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah merosot dan sangat merugikan jalannya
revolusi kita.
Partai Rakyat dan Akoma,
bersama-sama dengan Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita
Rakyat yang dibantu oleh pelbagai kelaskaran (Laskar Rakyat Jawa Barat),
Barisan Banteng, Tamtomo, Anak Pelaut dan lain-lain) menggabungkan diri dalam
Gerakan Revolusi Rakyat (G.R.R). Suara G.R.R berkumandang di mana-mana dan
terus terang, zonder tedeng aling-aling mengatakan, bahwa dia meneruskan
Minimum Program Persatuan Perjuangan dan menuntut pelaksanaan demokrasi dengan
membebaskan tahanan politik. Di samping organisasi politik itu tidak pula boleh
dilupakan suatu dan tuntutan pers, seperti s.k. Murba, Pasifik, almarhum
Genderang (Cirebon) dan Majalah Godam Jelata (Krawang), Obor Rakyat, Kedaulatan
Rakyat dan sebagainya.
Seluruh Sumatera umumnya dan
Sumatera Barat khususnya pada permulaan penangkapan bersikap bimbang, ragu-ragu
mendengarkan hasut fitnah dari “Pengumuman Resmi” dan dari beberapa “Pemimpin
Besar”. Tetapi akhirnya kebenaran dapat juga menerobos kabut hasut-fitnah yang jahanam
terkutuk itu. Dari suara sayup yang dipelopori Pepari dan di belakang hari
diperkuat pula oleh Partai Rakyat, maka rakyat Sumatera akhirnya menuntut
pembebasan kami. Seorang wakil Rakyat Sumatera, yang dikirim oleh rakyat di
sana dapat menerobos “tirai besi” Pemerintah dan Kejaksaan di Yogya, akhirnya
dapat berjumpa dengan saya dalam penjara Magelang pada penghabisan bulan Juni
tahun 1948 ini. Wakil Sumatera inilah saja yang diizinkan berbicara dengan saya
dihadapan empat mata, sampai pada waktu itu, oleh yang memegang kekuasaan. Dari
isinya dada dan kepala wakil Sumatera inilah saya dapat membaca isinya dada
kepala Rakyat Sumatera. Isi dada-kepla wakil Sumatera (teman sekolah pula di
masa muda) inilah pula, yang menambah kekuatan diri saya dan batin. Suara dari
Sumatera itulah yang sangat memperkuat tuntutan pembebasan kami yang sudah
berkumandang di sekitar penjara di Jawa.
Telah kami cantumkan lebih dahulu
tuntutan dan aksi Laskar Rakyat Jawa Barat yang sudah mengalami sejarah turun
naik sampai ke tragedi 13-17 April 1947, bilamana Laskar Rakyat Jawa Barat
dilucuti di Krawang dan digempur oleh Tentara Resmi dari semua penjuru. Tetapi
menurut kata musuh sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat tetap memperjuangkan
Minimum Program. Baik juga di sini kita biarkan musuh itu sendiri berbicara
tentang Laskar Rakyat dan dasar perjuangannya. Para pembaca yang budiman kelak
dapat menguji beberapa kebenaran di dalamnya.
NIEUWSGIER,
S.K. Belanda, 3 September 1948, jadi ketika kami masih berada dalam penjara
Magelang, NIEUWSGIER dengan kepala:
“REPUBLIK STAAKT RATIONALITATIE VAN
HAAR LEGER. TAN MALAKA ZET AKTIE GEVANGENIS UIT VOORT” antara lain-lain menulis
salinan Indonesia, seperti berikut:
“Republik menghentikan rasionalisasi
tentaranya. Tan Malaka meneruskan aksinya dari penjara”.
“Meskipung Tan Malaka sekarang
berada dalam tahanan dan dijaga dengan rapi sekali, bisa juga dia meneruskan
aksinya dari penjara. Tan Malaka adalah seorang yang dapat mempengaruhi orang
lain dengan sangat. Juga para penjaganya tidak sanggup melepaskan diri dari
pengaruhnya. Dengan demikianlah dia bisa terus mendapatkan perhubungan dengan
dunia luar. Buat ini Republik mempunyai tanda bukti yang jelas, kata SIN PO”.
“Buat melakukan aksinya Tan Malaka
dapat perhubungan dengan Laskar Rakyat Jawa Barat, yang sekarang mengundurkan
diri dari Jawa Barat dan di bawah para pemimpinnya yang lama, menyusun dirinya
kembali di Yogya. Laskar Rakyat Jawa Barat dahulu sudah dibersihkan oleh TNI;
sebagiannya di bawah Pak Panji menggabungka diri dengan Belanda. Setelah
dicerai-beraikan oleh “politionele actie”, maka Laskar Rakyat menyusun dirinya
kembali, sehingga dia semakin bertambah kuat, sampai sekarang dia berani
menuntut berhentinya “rasionalisasi politik”-nya Moh. Hatta.
“Pendirian Tan Malaka tak pernah berubah
dan apa yang sekarang dipropagandakan oleh Muso adalah sama saja, yakni
memperhatikan perundingan dengan Belanda”.
“Sekarang Tan Malaka sedang bekerja
melaksanakan rencana ini. Kedatangan Muso buat Tan Malaka adalah satu
keuntungan. Terbukti, bahwa usahanya membentuk Folksfront tiadalah berhenti
karena penangkapannya, bahkan sebaliknya mendapat kemajuan yang tetap. Banyak
para ahli politik, yang berpendapat, bahwa saat ini dia memperoleh kemenangan.
Tan Malaka juga tak pernah setuju dengan rasionalisasi badang perjuangan. Dia
menganjurkan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk membentuk
pertahanan total dengan mempersenjatai rakyat”.
“Di belakang keadaan genting
sekarang (3 September) Pemerintah Hatta menerima tuntutan pelbagai organisai,
ialah memperhatikan rasionalisasi. Dia malah bertindak lebih lanjut. Pelbagai
organisasi tersebut mendapatkan izin buat mengembang”.
Desakan Partai, Dewan Perwakilan,
Dewan Pertimbangan Agung dan desakan rakyat sudah sangat kuat pada permulaan
September 1948 ini. Menurut kabar yang boleh dipercaya, desakan itu akan sampai
atau hampir sampai ke puncaknya pada tanggal 19 September. Pada tanggal ini,
maka G.R.R. di Jawa dan rakyat di Sumatera berniat hendak mengadakan satu Aksi
Murba Teratur untuk memperkeras tuntutan Partai, Dewan dan Rakyat, yang tidak
dihiraukan selama 2½ tahun ini.
Kebetulan pula tanggal 19 September
itu adalah tanggal yang sangat penting buat saya sendiri. Pada tanggal ini saya
dengan mata kepala sendiri menyaksikan ketabahan hati lebih kurang 200.000
Rakyat Jakarta menghadapi meriam, tank, dan pedang samurai Jepang yang
terhunus. Tanggal 19 September ini bagi saya adalah satu pelaksanaan MASSA
AKSI, yang bersifat ujian kekuatan (krachtproef) yang saya usulkan dan diterima
oleh beberapa para menteri, tetapi ditolak oleh Sukarno-Hatta dengan peletakan
jabatan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. MASSA AKSI 19 September-lah yang
menunjukkan bukti kepada saya, berapa kuatnya Jepang, berapa kuat dan tabahnya
Rakyat, di samping berapa sanggupnya Sukarno-Hatta melayani kemauan rakyat yang
memberontak! Tanggal 19 September (tahun 1948!), yang saya tunggu-tunggu dalam penjara itu
banyak mengandung kemungkinan.
Tetapi entah karena desakan rakyat
itu, semata-mata, entah ditambah pula oleh hal yang lain-lain, maka pada
tanggal 16 September, tahun ini, wakil kejaksaan menyampaikan putusan
Pengadilan Negeri Surakarta, di mana diterangkan, bahwa “tiadalah cukup alasan
buat memajukan saya ke depan Pengadilan”.
Seperti sudah tiada rahasia lagi,
maka Mahkamah Tentara Agung serta Jaksa Agungnya sendiri tidak mau dan tidak
sanggup, memajukan perkara saya ke depan Mahkamah Tentara Agung dan perkara
saya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Surakarta.
Badan inipun tidak mau atau tidak
sanggup meformulirkan tuduhan kepada saya. Sebab itu Pengadilan Negeri
Surakarta memulangkan kembali perkara itu kepada Jaksa Agung. Dari sini rupanya
perkara itu ditendang kembali ke Surakarta. Akhirnya Surakarta mengambil
putusan seperti tersebut di atas tadi, 3 hari sebelumnya tanggal 19 September.
Pengalaman saya dari penjara ke
penjara di pelbagai tempat di dunia, selama lebih seperempat abad tidak pernah
berakhir dengan kepuasan rasa keadilan Pengadilan “Hindia-Belanda” pada bulan
Maret 1922, tidak “mengizinkan” saya berhadapan dengan “Gerecht, Recht en
Rechtvaardigheid” ala Belanda. Amerika Serikat yang menjunjung “democracy and
justice” pun tak sudi “mengizinkan” saya berhadapan muka dengan mukanya para
ahli hukumnya dalam “court of justice”-nya (pengadilannya) di Manila, pada
permulaan tangkapan. Inggris yang berlagak-lagak “demokratis” dan
membangga-banggakan “British Justice”-nya itu cuma sanggup menahan dan
mengisolasir saya berbulan-bulan lamanya dalam penjara di Hongkong pada
penghabisan tahun 1932. Republik “Negara Hukum” kita pun yang katanya mempunyai
“alasan” menangkap kami di Madiun, harus “berpikir” dua setengah tahun buat
menyusun “tuduhan” terhadap kami. Sampai saya (dan Sukarni) dikeluarkan pada
tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka “tuduhan” itu belum
lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.
Bisikan gelap, yang tidak
bosan-bosannya menyemburkan racunnya semenjak Persatuan Perjuangan, bahkan
sudah semenjak lahirnya Tan Malaka Palsu (tahun 1936) karena pembebasan kami
dari tahanan, maka selama 2½ (yang sudah nyata tak beralasan sesuatu
pelanggaran hukum itu!), meniup-niup racun baru di sekitar kami dengan
bisikan-bisikan bahwa kami dibebaskan buat mengimbangi PKI Muso.
Seolah-olah kami tidak tahu akan
kekuatan dan kelemahannya Musso semenjak tahun 1926! Dari mula berdirinya
“Pemerintah P.K.I Muso” di Madiun sampai bubarnya setelah 12 hari berdirinya,
kami sudah melihat beberapa kelemahan PKI Muso dalam pelbagai syarat: (1)
syarat untuk teman politik (Amir, Setiajid, Maruto cs!). (2) Syarat Ekonomi
(Madiun adalah daerah Minus!). (3) Syarat Sosial (Madiun adalah 99% kota
Borjuis tengah dan kecil) (4) Syarat Strategis (Madiun terbuka terhadap semua
penjuru). (5) Syarat kepartaian (Peleburan PKI, PBI dan Partai Sosialis belum
lagi dijalankan), apalagi dikonsolidasi! (6) Syarat psykologis moment (7) dan
lain-lain syarat....”Putch” Madiun adalah ulangan “Putch” Prambanan yang pada
tahun 1926 untunglah tak dapat dilakukan menurut rencana bermula. Cuma kekuatan
yang tersedia dan tersembunyi pada waktu PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun
pada tanggal 18 September 1948 di Madiun pada tanggal 18 September 1948 ini
adalah 1001 kali lebih besar dari pada yang tersedia pada tahun 1926.
Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu
adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukkan kekuatan kepada Belanda, maka
segala daya upaya akan kami bantu, walaupun bantuan itu tidak diminta kepada
kami, bahkan meskipun seandainya ditolak. Dalam hal ini tak perlulah rasanya
kami dikeluarkan dari penjara untuk membantunya. Sendirinya kami akan mendapat
jalan. Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan kepada Pemerintah Republik yang
ada sekarang pertama sekali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela
kekuasaannya. Tak bisa dua kekuasaan tertinggi (authority) dalam satu negara. Rakyat
harus tahu, mana pemerintah yang harus diikutinya. Berhubung dengan inilah,
maka pemerintah yang adalah, yang pertama berkewajiban membela kekuasaannya,
walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.
Memangnya mereka yang mendesak
kepada kami, supaya menentukan sikap terhadap “Pemerintah FDR-PKI pada hari
pertama, (sudah tentu dengan maksud yang baik). Tetapi dengan tegas kami tolak.
Kami dikeluarkan, karena Pengadilan Negeri Surakarta, “tidak mendapatkan alasan untuk memajukan kami ke
depan pengadilan”.
Kami merasa tidak pada tempatnya dan
waktunya, apabila kami ketika masih berada di dalam penjara diserang
berturut-turut oleh Alimin dan Muso. Kami merasa tidak jujur-konsekuen, kalau
Muso yang sedang terlibat dalam “Pemerintah FDR-PKI-nya” akan kami serang pula.
Apakah pula lagi, kalau kami membiarkan diri kami (yang tentulah pula
akan-nyeret teman dan anak seperjuangan kami!) dipakai sebagai Alat
Pemukul PKI Muso oleh Pemerintah ini,
yang 2½ tahun lamanya menyebabkan dan
membiarkan kami meringkuk dalam bermacam-macam penjara.
Garis politik kami cukup jelas buat
kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir tiga tahun ini.
apabila kami dalam keadaan sunyi terasing serta sering dalam bahaya dan dilingkungi oleh beberapa kawan
seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula, masakan kami sesudah
mendapatkan persetujuan dan kawan dari pelbagai pihak akan meninggalkan garis
politik, yang sudah mengalami ujian itu. untuk melanjutkan perjuangan kami di
atas garis itu tidaklah perlu kami berjual beli dalam hal politik dan moral.
Yogyakarta, Oktober 1948
TAN MALAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar