Satu gambaran dari seniman yang terulung sekalipun, kalau dekat tempat
kita sendiri, maka adalah tiadalah nyata rupa dan maksudnya. Yang kelihatan
cuma garis silang siur bersama kelompokan aneka warna. Setelah agak jauh kita
berdiri barulah perang rupa, jarak serta maksud gambaran itu.
Pun sejarah yang dilakonkan oleh manusia itu rupanya banyak mengandung
perasaan dengan gambaran buah tangan seorang seniman tadi. Tatkala berada
dalam lakon sejarah itu sendiri kita
terombang-ambing oleh pelbagai tujuan bermacam-macam golongan partai dan
pemimpinnya. Susah memandang garis besar yang akan memberi kata akhir dalam
perjuangan itu. Setelah agak maju kita ke depan, dan cukup jauhnya, kita bisa
memandang ke belakang, barulah kita bisa mengenal badan dan jiwanya sejarah
yang kita lampaui tadi.
Beberapa catatan yang akan memperbandingkan suasana tahun 1926-1927
dengan tahun 1946-1947 ini mudah-mudahan akan memberi penjelasan kepada mereka
yang ingin memandang sesuatu kejadian dari semua penjuru. Dua puluh tahun diwaktu
damai tidaklah beberapa banyak menimbulkan perbedaan pada masyarakat kita.
Tetapi dua puluh tahun waktu memperkenalkan perang dunia kedua dan revolusi
kepada masyarakat Indonesia nyatalah sudah sanggup memperlihatkan perbedaan dua
suasana tersebut.
Sedangkan pada tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 kita berada di
tengah-tengah Hochkonjunktur, maka pada tahun 1946-1947 ini kita berada dalam
belitan blokade Belanda, di tengah-tengah krisis ekonomi dunia yang
sehebat-hebatnya semenjak dunia berkembang.
Sedangkan pabrik, bengkel, kebun, alat pengangkutan serta
mesin-mesinnya, genap pada tahun 1926-1927, maka pada tahun 1946-1947 ini
sebagian besar pabrik gula lenyap atau rusak, banyak sekali ladang dijadikan
kebun atau binasa, dan boleh dikatakan hampir semuanya mesin yang baik sudah
rusak, luntur atau habis diangkat oleh Jepang ke negerinya.
Sedangkan tenaga tehnik ahli yang kuat, kasar sedang melimpah pada tahun
1926-1927, maka pada pendudukan Jepang 1942-1945, semua tenaga tersebut sangat
menderita kemusnahan atau kerusakan. Mungkin tak salah taksiran, bahwa di masa
pendudukan Jepang 4 atau 5 juta tenaga buruh dan tani juga lenyap atau binasa.
Syahdan maka tiap-tiap suasana pertentangan, dimana ada kebaikan buat
satu golongan itu sendiri, dipandang dari sudut penjuru disanalah adalah
keburukan buat golongan itu sendiri, dipandang dari penjuru lain. Dan
sebaliknya.
Di masa Hochkonjuktur (1926-1927) rakyat agak mudah mencari rezeki,
buruh agak mudah mencari pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan untuk
mempelajari “Holandsch spreken” dan menduduki kursi empuk sebagai juru tulis.
Di samping itu banyak pula diadakan pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola
dansa dan hula-hula.
Di masa “saudara tua” dari “Asia Timur Raya” rakyat dirampoki padi dan
ternaknya. Buruh tani diculik dan dipekerjakan dalam panas dan hujan, membikin
jalan, lapangan terbang dan benteng buat Jepang, dikasih makan jagung atau nasi
200 gram seorang sehari, diberi bangsal buat tempat tidur, goni (kalau ada)
buat pakaian, dipukul, dijemur dan dibenamkan di dalam air, kalau katanya
malas. Pemuda diajarkan “Nippon go” membungkuk ke Tokyo dan masuk barisan
Keibodan, Seinedan, Suisintai, Heiho dan Peta. Pemudi dilatih menjadi pelajar.
Seluruhnya bangsa Indonesia dianggap sebagai genjumin bagero.
Sedangkan di masa Hochkonjunktur (1926-1927), Rakyat Indonesia umumnya
berada dalam keadaan lesu, kurang bersemangat, memandang bangsa kulit putih
sebagai mahluk yang lebih tinggi, dari diri sendiri; sebagai mahluk yang
rendah, di masa “genjumin” bagero (1942-1945) Rakyat Indonesia isyaf benar akan
rampokan terang-terangan atas tanah, tenaga harta benda serta gadisnya, insyaf
akan harga kebangsaan dan warna kulitnya, insyaf akan hak mutlak dan
kekuatannya yang tersembunyi. Disampin keinsyafan bahwa mereka mesti
melenyapkan imperialisme Jepang untuk menimbulkan suatu negara yang merdeka.
Rakyat pemuda Indonesia, berbeda dengan dimasa imperialisme Belanda, mendapat
latih militer sehebat-hebatnya yang membangunkan, keberanian dan kecakapan
berjuang sekonyong-konyong meluap.
Zonder latihan militer latihan pada tahun 1942-1945 itu, maka seperti di
masa Belanda, satu biji pompa air saja mungkin pula bisa membubarkan
demonstrasi, atau letusan bedil saja bisa mengacau-balaukan gerombolan yang
tadinya berniat atau bersumpah sakti mau berjuang mati-matian.
Hasil akhir dari penderitaan yang luar biasa selama pendudukan Jepang,
keinsyafan akan perlunya satu negara sendiri yang merdeka, buat mengatur
kehidupan sendiri serta disamping latihan militer yang memang paling ulung,
maka rakyat Jakarta dibawah pimpinan Menteng 31, pada 19 September 1945, dengan
golok dan bambu runcing saja menentang pemerintahan Jepang yang melarang
berdemonstrasi dan mengancam dengan mitraliur serta tanknya yang
berjejer....pada bulan September 1945, seluruh rakyat Surabaya dibawah pimpinan
pemudanya, dengan bambu runcing menentang kekuatan Belanda Jepang dan land air force and all modern weapon of war” dari kerajaan Inggris....Rakyat
Pemuda Jawa Tengah merebut senjata Jepang di Yogyakarta Solo, serta
menghalaukan tentara Inggris, tentara menang dari Magelang ke
Semarang.....Rakyat Pemuda Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan lain-lain
mengikuti jejak saudaranya di Jawa dengan tak kurang hebatnya.....bahkan di
Deli, buruh dan tani mengambil tindakan cepat, tepat, dahsyat menghancurkan
kapitalisme-imperialisme serta kaki tangannya yakni feodalisme.
Dorongan merebut kemerdekaan ini bukan ditiup dari luar melainkan timbul
dari masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara
Jepang, Inggris, Belanda, bukan berarti tamat kursus ini atau itu, bukan karena
ingin meniru-niru pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai
hasil faktor-faktor dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat
Indonesia itu sendiri, dasar tujuan hidup sendiri, kepercayaan atas diri
sendiri dan senjata sendiri (bambu runcing) dalam suasana hidup sendiri.
Mengharapkan pertolongan luar negeri boleh dikata tidak ada pada Rakyat Pemuda
ketika menghadapi mitralyur, meriam tank dan kapal terbang di Jakarta,
Surabaya, Magelang, Padang, Medan dan lain-lain tempat itu. Pun belum pernah
revolusi yang sebenarnya tergantung pada tiupan janji atau pertolongan dari
luar! Juga tidak sebagai hasilnya diperhitungkan kakek-nenek yang hemat-cermat,
yang takut mengandung resiko, meskipun sekecil-kecilnya!
Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah hasil dari
beberapa faktor yang terdapat, terutama suasana pada tahun 1942-1945 sendiri,
yang seperti bumi dengan langit jika dibandingkan pada tahun
1926-1927......Salah satu dari beberapa faktor
itu tentulah pula hasil (tak langsung) dari pendidikan selama 40 tahun
lampau!
Lebih setahun saya berada di sekitarnya kejadian 1926-1927, menunggu
arah ke mana dan sampai ke mana perginya gerakan rakyat dengan persediaan saya
untuk memasuki gelanggang, kalau memang beberapa syarat revolusi yang
sebenarnya sudah nyata. Salah satu dari syarat yang sebenarnya itu tentulah
tuntutan politik dan ekonomi yang nyata daripada rakyat dengan tak mengenal
mundur, seperti tak kurangnya pada tahun 1945 sampai sekarang (1947) ini. Baru
sesudah saya usulkan dan perjuangan beberapa tindakan yang saya rasa wajib saya
tanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia, Partai dan organisasi Internasional
(yang tentulah menghendaki tanggung jawab pada tiap-tiap anggota) baru sesudah
gerakan 1926-1927 hancur, dan hubungan terputus baru sesudah anjing dan pemburu
imperialisme sudah teramat dekat saya berangkat menuju kembali ke Filipina,
pula buat kesehatan.
Sekaranglah, sesudah dua puluh tahun, nyata hasilnya tindakan kami
bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun 1927! Yang ingin melihat kelanjutan
gerakan rakyat dan Buruh Indonesia dalam keadaan serba sulit. Kami merasa,
bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia sebaiknyalah didasarkan
pertama atas kepercayaan kekuatan diri sendiri; kedua dengan cara berpisah tapi
sejajar dengan gerakan proletaria di seluruh dunia, getrennt marchieren.
Vereint schlsgen. (Berpisah mengerahkan dan serempak menggempur). Menurut
penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta pejuangan 1945-1947
banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi sampai saatnya buat
memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya PARI semenjak berdirinya
(Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).
Hidup setahun sebagai orang buruan, sama dengan hidup damai entah berapa
tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah menjadi koresponden di Selatan.
Bahannya seorang wartawan berita yang baru hangat. Tetapi setelah warta berita
menjadi sepi dingin, dan keluarga seperjuangan disampingnya bertambah besar,
maka terpaksa pula saya mencari pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan
hasil untuk hidup bersama. Belum lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma
import Jerman, terpaksa pula melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh
1001 macam sebab dan soal.
Dalam semua keadaan tersebut, alangkah pentingnya suatu pasport yang
palsu baik, alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik. Akhirnya yang
bukan Filipino mempunyai hak American Citizen, dan mempunyai pasport tulen,
bersama-sama seorang Filipino tulen, tetapi tak mempunyai pasport, berangkat
meninggalkan Siam menuju Manila. Kami satu sama lainnya butuh membutuhkan.
Menyelundupi daun membutuhkan pelbagai akal dan ragam. Setelah lebih kurang
tiga minggu di perjalanan, bilamana sebagian besar waktu berada diatas dek,
tersempit diantara ratusan penumpang Tionghoa yang pulang, sampailah kami di
Manila pada permulaan Agustus 1927. Syukurlah para pegawai duane tak
memperhatikan persamaan orangnya tetapi perbedaan namanya orang itu juga, ialah
lampau bernama Elias Fuentes, sekarang dengan Hassan Gozali.
Saya terus menuju ke Manila University. Kebetulan sahabat saya Dr.
Mariano Santos sedang bercakap-cakap dengan kakaknya Direktur, ialah
Apollinario de Los Santos. Orang Filipina biasa juga tegas, cepat, tepat.
“Tuan” kata Dr. Apollinario “deserves our support” patut mendapat bantuan kami.
Inilah kamar dalam asrama sekolah Tinggi buat tuan. Makanan dan lain-lain
kamilah yang menanggung selama tuan ingin berada di Filipina.
Kaum muda Filipina tahu artinya berjuang buat kemerdekaan. Perkataan
lelah atau lemah tiadalah cukup untuk menggambarkan keadaan diri saya dimasa
itu. Baru sesudah bangun tidur, esoknya jauh tengah hari, saya insyaf bahwa
selekas mungkin harus mencari dokter lagi. Tetapi tiadalah dibenarkan oleh apa
yang sering kita sebut nasib istilah yang saya pakai disini sebab kekurangan
kata lain.
Pada suatu malam, maka kedua kalinya saya pergi menjumpai pemimpin surat
kabar El Debate, Francisco Varona. Banyak
juga tulisan saya dimuat dalam surat kabar tersebut. Pada malam pertama
Francisco Varona mengantarkan saya ke asrama. Tetapi pada malam kedua saya
tolak diantarkan oleh wakil pemimpin, bilamana Varona tak ada.
Setelah saya turun dari rumah dan sampai keluar, maka seorang berpakaian
preman bertanya kepada saya: “Apakah tuan bernama Fuentes?” Saya jawab: “Ya,
betul”. Sekonyong-konyong dari kiri-kanan saya diserbu dan digeledah
kalau-kalau saya bersenjata. Segera saya disuruh masuk auto yang berdekatan, disuruh
duduk diantara dua orang, rupanya orang Konstabulari (pel polisi).
Baru saya insyaf akan apa yang terjadi. Dengan tak bertangguh lagi saya
berkata: “Tuan ini salah tangkap! Kemerdekaan buat negeri saya itu, juga akan
mengandung bahagia buat negeri tuan sendiri....”
Dia gugup dan tutup telinga sambil berkata: “Janganlah tuan berbicara
terus”.
Sebentar saja berjalan lalu auto berhenti di depan kantor polisi. Di
sini sudah menunggu P.I.D Nevins, orang Amerika dan kolonel Ramos, seorang
Mestiza, Indo Spanyol.
Penangkap saya tadi kapten Quimbo, Filipino, memperkenalkan saya dengan
perkataan: “Inilah tuan Tan Malaka”. Dia seorang gentelman. Saya harap
tuan-tuan akan melayani dia sebagai gentelman.
Kapten Quimbo pergi! Kami tinggal bertiga, jam 12. Saya sungguh
dimitraliyuri dari kiri-kanan dengan pertanyaan. Belum lagi selesai yang satu
bertanya, yang kedua sudah mulai bertanya pula. Tiap-tiap pertanyaan mereka
bermaksud mencari lobang buat digali untuk mendapatkan keterangan yang mereka
kehendaki. Itulah satu pemeriksaan yang dinamakan “cross examination”.
Detective Nevins tadi kabarnya ulung sekali dalam menjalankan pemeriksaan ala
Amerika itu. saya ambil sikap defensief, sikap pembelaan. Alasan pertama ialah
karena kepada saya tak dimajukan lebih dahulu pelanggaran apa yang sudah saya
lakukan. Kedua, karena saya tidak tahu, apakah mereka kira saya tinggal di
Manila terus menerus dari pertengahan tahun 1925 sampai Agustus 1927 itu,
ataukah mereka tahu, bahwa saya keluar setahun lebih dan baru kembali dari Indonesia
Selatan. Ketiga, apakah mereka mencium-cium adanya pasport atas nama Hasan
Gozali yang diperoleh pada kantor Gubernur Jenderal Amerika itu.
Berhubungan dengan alasan kedua, maka jika mereka tahu bahwa saya keluar
Filipina, maka perkara masuk yang kedua kalinya akan menimbulkan pertanyaan
banyak pula. Tetapi kalau sebaliknya mereka sangka, bahwa saya terus menerus
tinggal di Manila, maka saya harus memberikan keterangan lengkap tentang
sejarah selama dua tahun saja tinggal di Manila (rumah-rumah, dan lain-lain).
Dan menghadapi seribu satu persoalan lain-lain lagi.
Berhubung dengan alasan ketiga
maka kalau diketahu bahwa saya memakai “a good false American Passport”, maka
beratlah hukuman penjara yang bukan saya saja harus menghadapi, tetapi juga beberapa
orang terkemuka yang memberi bantuan kepada saya. Tanggung jawab terhadap pada
teman bersimpati-pun menurut pikiran saya harus dipelihara kalau diri kita
sendiri terlibat dalam sesuatu perkara!!
Syahdan dan cara “offensief” (menyerang) mereka berganti-ganti
menjatuhkan “pukulan” atas diri saya sambil mencari bagian yang lemah. Maka
sebaliknya dengan cara “defensief”, mempertahankan, saya mengelakkan “pukulan”
mereka sambil mencari lobang yang lemah di kalangan mereka sendiri.
Akhirnya saya mendapat tahu bahwa mereka sangka saya tinggal
terus-menerus dua tahun di Filipina. Itulah pula maka tadinya sebelum ditangkap
ditanyai apakah saya bernama Fuentes, orang melarat dan tak banyak mempunyai
teman, hidup luntang-lantung, sering tidur di kantornya surat kabar El Debate.
Sikap ini diperkokoh pula oleh hasil pemeriksaan dalam dompet saya yang
terdapat cuma beberapa sen saja.
Tanya jawab diteruskan sampai pagi. Yang sering tergelincir dalam
pertempuran soal jawab itu bukannya saya. Acapkali muka mereka yang mulanya
berseri-seri, karena sudah merasa mendapat “jejak”, tetapi setelah pertanyaan
dilanjutkan nyatalah pula bahwa “jejak” itu menyesatkan dan menggelincirkan.
Sering mereka kecewa, tetapi sering pula tertawa. Memang seorang detective yang
mencinta pekerjaannya, meski juga gembira menjumpakan lawan yang sedikit bisa
memberi perlawanan atau memukul kembali. Sikap “sportief” itu seharusnya jangan
berlaku di lapangan olah raga saja.
Nyatalah bagi saya, bahwa dari “Batavia” ada “signal” dikirim dan
“Batavia” tentulah menghendaki supaya dikembalikan. Tetapi yang pula amat
menarik perhatian para detective, ialah mengetahui apakah ada atau berapakah
besarnya bagian yang saya ambil dalam keributan di Visapaya pada waktu itu.
Disana timbul pemogokan kaum buruh gula yang disertai oleh peletusan bom.
Kebetulan pula Senator (wakil Majelis Tinggi) yang juga salah seorang pemimpin
El Debate, adalah sahabat saya. Menginjaki soal-jawab dalam hal yang dibelakang
ini, para detective tiada mendapatkan apa yang dicari.
Pauze cuma sebentar setelah hampir pagi. Saya dijamu dengan baik,
ditanya lagi apa mau tambahan. Memangnya saya baru kembali dari serba
kekurangan, dan walaupun berada dalam perjuangan soal jawab di kantor polisi
nafsu makan adalah agak besar juga. Bukannya para detective memperlihatkan
simpati terhadap lawannya!
Soal jawab diteruskan. Detective Mestiza, kolonel Ramoz, mengemukakan
tulisan saya dalam El Debate. Katanya satu golongan sudah disimpan, dan kalau
saya memungkiri, golongan itu akan diperlihatkannya “in order to refresh your memory” (untuk memperingatkan tuan
kembali). Tetapi saya tak ingin menyangkal apa yang sudah terbukti. Tetapi mau
tahu, apakah pelanggaran yang terselip dalam tulisan tadi “Round” inipun adalah
buat saya: para detective tak bisa memberi jawaban.
Akhirnya sesudah menjalani turun naiknya perdebatan dan suara, mula
tinggallah pertanyaan yang kongkrit, tegas, nyata, yang harus dijawab, ialah:
kapan dan nama apakah tuan masuk di Filipina. Toh tidak bisa dipungkiri bahwa
saya mesti masuk di salah satu nama.
Saya rasa: ini mestinya climax, ujung semua pemeriksaan. Saya jawab:
saya masuk pada tanggal 6 Juli 1925 dengan nama Fuentes, di pelabuhan Manila.
Jawab ini tentulah menunggu pemeriksaan di kantor duane. Saya seterusnya
disuruh menuliskan sejarah saya.
“6 Juli 1925 Elias Fuentes masuk di pelabuhan Manila”. Memang benar! Di
Duane ada catatan. “Tetapi bagaimana tuan bisa masuk tak dengan pasport?”
Ya inilah rahasianya pandai besi, kata suatu pepatah.
Entah siapa yang dimarahi, entah siapa yang dikagumi oleh dua detective
ternama tadi terserah kepada pembaca buat menerka! Tetapi rupanya sumprit puput
(fluit) wasiat sudah berbunyi, ialah tanda pertandingan soal-jawab harus
diberhentikan.
Tempat tidur saya di gedung kepolisian ialah dalam kamar, berpagarkan
besi, di samping beberapa kamar buat orang tahanan yang lain-lain. Pada malam
yang kedua, setelah saya “nginap” di kamar besi tadi, maka saya dihampiri oleh
kolonel Ramoz. Dia berbisik-bisik menanyakan, apakah saya mempunyai “istri” di
luar. Sebentar saya berpikir. Kemudian saya jawab: tidak. Kolonel Ramoz
tentunya cukup pintar buat tiada menyebutkan namanya “istri” itu. Dan dari
pihak saya, kalau seandainya memang mempunyai istri, masakan pada tempatnya
menanyakan siapa namanya. Kalau kolonel Ramoz menyebutkan namanya, tentulah
saya bisa tahu, bagaimana keadaan di luar. Tetapi dengan pertanyaan tadi saya
sudah maklum dan gembira, bahwa para teman di luar sudah tahu bahwa saya
ditangkap. Di belakangnya saya tahu pula, bahwa memangnya pihak kaum buruh
mengirimkan nona buat menyampaikan pesan. Memberi bukti pula, bahwa rakyat
Filipina sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pekerjaan di bawah tanah.
Tiada berapa lama kemudian, maka datanglah pula kolonel Ramoz buat
bertanyakan apakah saya mau menerima seorang abocado (pembela hukum). Namanya ada disebutkan, tetapi saya
sendiri belum pernah berkenalan dengan dia. Sebab atas pertanyaan kemarin
apakah saya ingin memakai advokat, saya lebih dahulu usulkan supaya Fracisco
Varona saja mencarikan seorang pembela hukum yang pantas menurut keadaan; lagi
pula diketahui oleh beberapa teman di luar, maka saya tak merasa perlu lagi
mengambil sendiri seorang pembela.
Benar pula! Pada ketika paginya saya ditangkap, maka oleh kolonel Ramoz
saya dibawa ke depan kantor buat dijumpakan dengan serombongan teman Dr.
Apollinario de Los Santos, direktur Manila University yang memimpin rombongan
itu berkata: “Lima puluh ahli hukum Filipina (kalau perlu) akan membela
perkataan tuan, di bawah pimpinan Jose Abad Santos. “Tuan ditangkap tidak
dengan surat tuduhan. Maka kami menuntut tuan dilepaskan, menurut hak “habcas
corpus” (have the body)”.
Nyata kepada saya kolonel Ramoz pucat mukanya. Tangkapan atas diri saya
“without a warrant” (tak dengan surat
tuduhan) itu, adalah langsung mengenai dirinya, kolonel Ramoz, yang dituduh
bertindak sebagai seorang penyerobot. Sebentar lagi oleh kolonel Ramoz saya
diajak masuk auto pergi ke kantor duane. Dalam auto sepatahpun kolonel Ramoz
tak mengeluarkan perkataan. Dia isnyaf akan kekuatan yang ada di belakang
perkataan Dr. Apollinario de Los Santos! Ramah tamah yang selama ini
diperlihatkan kepada saya bertukar menjadi muram-murka.
Kepada saya oleh kepala pegawai duane dimajukan beberapa pertanyaan.
Yang pertama dan terutama pula ialah: “Apakah yang dimaksudkan dengan
bolsjewisme? (What does it mean by boljsjevism?)”
Dijawab: “The emancipation of the
working class” (Kemerdekaan kaum buruh).
Salah seorang Profesor pembela menunjukkan persetujuannya dengan semua
jawab saya, ialah: pendek. Katanya pula: “Kalau begitu maksudnya bolsjewisme,
siapakah orang sopan yang tidak akan setuju. Momok bolsjewisme memang dipakai
buat membingungkan mereka yang tak tahu dan tak mau tahu. Tahu apakah
sebenarnya kita di Filipina tentang dasar tujuan bolsjewisme yang sebenarnya”.
Sekian profesor tadi!
Sepulangnya dari duane saya dibolehkan tinggal di asrama Manila
University. Tetapi saban hari saya harus melaporkan diri ke kantor polisi.
Belakangan saya dapat kabar, bahwa saya dijamin Rp. 10.000,- oleh Juan Fernandez,
menurut hak seorang tahanan disana
(bail). Juan Fernandez, ialah majikan dari surat-surat kabar El Debate dan La
Commercio. Pula ia dengan saudaranya memiliki kongsi perkapalan di kepulauan
Filipina. Dengan Dr. Santos dia juga ada berkarib (sekeluarga). Di masa itu ia
terkenal sebagai patriot di Filipina dan kepada saya dia selalu menunjukkan
perhatian yang luar biasa tentang sejarah dan
kebudayaan Indonesia.
Apakah yang sebenarnya yang terjadi ketika tiga hari saya berada di
tahanan i tu, di luar penjara?
Setelah semalam saya ditangkap, paginya Manila Buletin, surat kabar
Amerika, dengan huruf besar-besar ala Amerika menulis lebih kurang: “Tan
Malaka, seorang Bolsjewiek Jawa ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa:
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog, Tionghoa dan Melayu........”
Buat memperhangat sensasi dan hasutan, maka oleh Manila Buletin tadi
tiadalah pula dilupakan menyebut setengah lusin nama palsu yang sudah saya
pakai dimana-mana.
Surat kabar Filipina yang belum tahu apa-apa mulanya menyalin saja apa
yang dituliskan oleh surat kabar Amerika dengan cara menghasut yang
sensasionil.
Francisco Varona dalam El Debate memberi perlawanan dengan berita: “Tan
Malaka, wakil dari Jawa buat mengunjungi Pan Malaya Conference yang akan
diadakan di Manila, tertangkap........dan lain-lain. (Chajal Pan Malayan itu
timbulnya bukanlah pada tahun 1946 di dalam otaknya wartawan Romulos yang
terkenal itu!)
Bermulah aksi dari pihak imperialisme Amerika yang dilawan oleh contra
aksi dari pihak Rakyat Filipina. Semua surat-surat kabar di kota-kota dan
propinsi, dalam bahasa Tagalog, Spanyol dan Inggris nasionalistis mengikuti
jejaknya El Debate.
Pergolakan menjalar ke gedung Parlemen, ke University dan ke kalangan
kaum buruh dengan cepat sekali. Isinya, perkaranya bertukar corak dan si
Penuduh berobah menjadi si Tertuduh.
Kolonel Ramosz cs mau menjadikan perkara saya sebagai perkara
pelanggaran duane biasa saja. Tan Malaka masuk dengan tiada memakai pasport.
Jadinya melanggar peraturan imigrasi Filipina. Sebab itu ia mesti disuruh pergi
dari Filipina.......logika imperialisme Amerika dan kaki tangannya.
Parlemen Filipina di bawah pimpinan Manuel Quezon sendiri, menganggap
Tan Malaka cuma musuh Belanda dalam hal politik, bukannya musuh Rakyat dan
Pemerintah Filipina. Menurut pengakuan Parlemen dan Quezon, Tan Malaka sebagai
political-refugee, pelarian politik, berhak tinggal di Filipina. Dalam beberapa
tulisannya, almarhum Manuel Quezon memberi contoh yang bersamaan, seperti yang
sudah dialami oleh para pemimpin revolusioner Filipina sendiri di masa lampau,
oleh Dr. Sun Yat Sen, De Valera dan sebagainya....mungkin juga disebutkan
olehnya Karl Marx sendiri, ialah bapa dari scientific sosialisme sendiri,
ketika ia berada di Inggris setelah meninggalkan Jerman. Dikemukakan,
bahwa....the right of asylum” (mendapat perlindungan buat pelarian politik) itu
termasuk pada dasar demokrasi dari peri kemanusiaan, yang sudah berabad-abad
dijalankan oleh satu negara sopan.
Senate (Dewan Perwakilan Tinggi) Filipina sendiri memutuskan pengumpulan
P. 3.000 dari anggotanya buat diberikan kepada Tan Malaka sebagai bekal.
Para pembela di bawah pimpinan Dr. Jose Abad Santos menunjukkan
serangannya terhadap kolonel Ramoz, yang sekarang dituduh menjalankan
penangkapan yang tidak sah, ialah “without
warrant”.
Demikianlah diluar persangkaan saya sendiri, penangkapan atas diri saya
di Manila itu berlaku sebagai satu anasir pemisah, diantara penduduk Filipina.
Satu bagian memihak kepada Ramoz Nevins, sebagai lambang kekuasaan Amerika di Filipina.
Sebagian lagi memihak kepada mereka yang memperjuangkan The right of asylum,
sebagai jaminan bagi kedaulatan Filipina dikemudian hari.
Masyarakat Amerika dengan surat kabar Manila Buletin sebagai trompetnya,
berusaha keras mencarikan dan mengemukakan yang mereka sangka merugikan saya.
Majalah Philippine Free Press, dengan cara sensasionil mengemukakan,
bahwa Tan Malaka itu tak lain daripada Hasan yang ikut memimpin
Canton-Conference buat kaum buruh lalu lintas di seluruh Asia, yang
dilangsungkan di Canton selang berapa lama. Tulisan saya dalam THE DAWN,
terutama yang berkenan dengan imperialisme Amerika dihidangkan kepada
pembacanya yang banyak itu seolah-olah dengan sikap menepuk dada: Zie je wel? Dipertakuti dan diasuti pula
rakyat Filipina dengan setengah lusin nama palsu yang saya pakai.
Kolonel Ramoz mencela rakyat Filipina, karena tiada menghargai jasanya.
“Tan Malaka disanjung setinggi langit”, kata kolonel Ramoz “sedangkan dia,
penjaga ketentraman mendapat umpat (blame) dari rakyat”.
Nevins menusuk dengan halus, kalau dalam interview dia berkata, bahwa
dalam “cross examination”, yang sudah dilakukan berkali-kali itu belum pernah
dia berhadapan dengan orang seperti Tan Malaka.
Kolonel Sweat, wakil Gubernur Jenderal, pernah menyampaikan pesan kepada
saya, bahwa saya tiada akan diserahkan kepada musuh saya, karena mungkin akan
menganiaya saya, “They may cau you bodly
harma”. Tetapi setelah suasana menjadi hangat dan masyarakat mulai berpisah
dua, maka kolonel Sweat dalam salah satu interview pula memberikan “judas kiss”, taji berlemang: “Tan Malaka
adalah seorang yang besar tetapi ia menjalankan instruksi Moskow”.
Bolehlah dikatakan semua harian dan majalah Filipina, dalam tiga bahasa,
di kota dan provinsi, mengikuti sikap Parlemen dan Presidennya Manuel Quezon.
Pembela Jose Abad Santos cs bermaksud akan meneruskan perkara saya kepada
Mahkamah Tinggi di Filipina, buat menuntut hak membolehkan saya tinggal di
Filipina, sebagai pelarian politik, kalau usaha itu gagal di Filipina, maka
mereka akan apel ke Kongres di Amerika.
Membalas tuduhan dari pihak Amerika, bahwa Tan Malaka adalah agen
Moskow, maka El Debate mengemukakan bukti yang sangat mencolok mata atas
demokrasinya Uncle Sam. Kenapa seorang profesor Amerika dalam ekonomi pada
Columbia University di New York, seorang komunis ternama, ahli ekonomi yang
jempol dan university yang masyhur, yang baru saja kembali dari Moskow dengan
pasport Amerika dan sekarang membagi-bagikan brosure-merah di tiap-tiap pelosok
kota Manila, dibiarkan begitu saja oleh detective Amerika? Sedangkan seorang
pelarian politik diuber-uber? Warna kulitkah??? Para Mahasiswa Manila
University mulai berapat dan mengambil resolusi, ikut berusaha mempertahankan “the right of asylum” tadi. Segera
Filipine University mengikuti menuntut
hak perlindungan itu sebagai usaha membantu pergerakan kemerdekaannya “our sister nation”, negara saudara kita.
Dua University yang lain-lain dan beberapa Colleges segera pula
menyusuli.
Manuel Quezon memperingatkan kepada saya supaya bersiap-siap buat
memberi penjelasan kepada lebih kurang 20 orang terkemuka tentang maksud dan
tujuan serta keadaan pergerakan kemerdekaan Indonesia. “We are ready to give our support”, kami siap memberi bantuan, kata
presiden Quezon almarhum.
Bantuan yang berupa benda dan uang dari mereka yang tak dikenal namanya
mengalir dengan deras. Dalam sikap mereka memberi bantuan itu kita mendapat
keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai sejarah revolusi dan tahu akan
kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau. Kaya miskin, tukang warung
nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya. Seolah-olah mereka mengingat
kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak boleh saya lupakan sikapnya
kaum Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk Manila. Pada satu hari
andong saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam Hindustan: “Sir, we hear you are a moslem from Java. We
have already collected some money for you”. (Kami dengar tuan adalah
seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan). Kelak di
Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu kepada
bangsa Indonesia.
Akhirnya kaum buruh kota Manila, di bawah pimpinan Legihairo del Trabaho
(gabungan Serikat Sekerja) memutuskan akan mengadakan rapat raksasa, buat
membela politik parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan uang buat bekal saya.
This should not happen! Dit most not
magge! Ini tak
boleh, ya!!! Peristiwa sekonyong-konyong, seolah-olah pertolongan yang jatuh
dari langit, di masa lampau, sekali dua saja terjadi, apabila saya menghadapi
marabahaya. Namakanlah itu: nasib, takdir, toeval, atau apa saja. Datanglah tak
disangka lebih dahulu, tetapi tak ternilai harganya!
Tentang orang yang sudah meninggal cuma kita kemukakan yang baiknya saja
kata suatu nasihat. Demikianlah pula sebenarnya! Bersamaan dengan harinya saya
ditangkap. Gubernur Jenderal Wood, yang kebetulan perlop beristirahat di
Amerika, meninggal dunia. Entah karena kebetulan hari besar pula, maka kantor
tak ditutup pula, pasti saya akan dinaikkan begitu saja ke dalam kapal Belanda,
yang kebetulan pula berlabuh di Manila, dan siap berangkat ke Jawa. Pemerintah
memulangkan saya ke Jawa, katanya pula, pasti akan diberikan ke Manila dari
Amerika, karena Wood adalah sahabat karib dari bekas Gubernur Jenderal Fock di
Hindia Belanda, Fock dan Wood sudah kunjung mengunjungi.
Wood sebagai militer tak banyak memusingkan formaliteit, katanya pula.
Tetapi karena Wood meninggal dan duane ditutup, maka pemulangan saya
(uitllevering) ditangguhkan sehari lagi. Dan...para teman pembela, ahli yuris,
mencium-cium serta mengambil tindakan dengan cepat-cepat.
Mulanya para pembela mendapat simpati juga dari Wakil Gubernur Jenderal
Gilmore, teristimewa pula karena Gilmore sendiri adalah seorang ahli yuris. Pun
dia mulanya setuju akan hak saya untuk diperbolehkan tinggal di Filipina dan
sebagai yuris ingin tahu pula, apakah Washington akan membenarkan Filipina
memakai hak yang sudah lama diakui oleh seluruh negara modern itu. tetapi
setelah suara gemuruh dari surat-surat kabar dan majalah-majalah di ibu kota
dan propinsi dalam tiga bahasa, serta sikap parlemen dan universiteit seperti
kata pepatah “membangunkan anjing yang tidur”, maka ahli yuris “acting governoor general” menjadi
terkejut. Dan apabila harinya rapat raksasa kaum buruh kota Manila sudah dekat,
maka pembela Dr. Jose Abad Santos dipanggilnya pada hampir tengah malam. Kepada
yang dibelakang ini diusulkan, “lebih baik saya pergi saja dari Filipina dengan
diam-diam”. Katanya besok pagi kapal Suzana kepunyaan bangsa Filipina akan
berangkat ke Amoy, Tiongkok. Tidak ada lagi kesempatan yang lebih baik, sebab
akan melalui Hongkong ada bahaya ditangkap oleh Inggris. Dr. Jose Abad Santos
tercengang, tak mau menerima begitu saja. Dia memperingatkan perjanjian yang
dulu, ia membela “the right of asylum”. Ahli yuris Amerika, acting governor
general, membujuk dengan janji, bahwa nanti Tan Malaka boleh kembali “kalau
suasana yang hangat ini sudah reda”:. Apabila yuris nasionalis memegang teguh
pendiriannya semula, maka yuris imperialis menjawab dengan perkataan yang
mengandung ancaman: “Bahwa kalau Tan Malaka tak pergi diam-diam, maka ada lagi
perkara yang akan dimajukan, yang tidak saja mengenai dirinya sendiri, tetapi
juga bisa menyeret beberapa orang paling terkemuka di Filipina.
Pembela Dr. Jose Abad Santos terpaksa mengalah. Dia mengerti bahwa yang
dimaksudkan itu dalam urusan pasport, yang bisa dianggap suatu pelanggaran,
sebagai falsification of public document, memalsukan dokumen negara.
Lebih kurang jam 1 malam peri hal tersebut oleh Dr. Jose Abad Santos
diberitahukan kepada saya untuk meminta pertimbangan. Oleh sebab memang buka
membela perkara yang hak dan pula akan membawa-bawa beberapa orang yang memberi
pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, maka terpaksalah saya menerima perintah
halus buat meninggalkan Filipina.
Akhirul kalam saya kalah. Tetapi lawan saya juga tak mendapat kemenangan
dengan mudah. Setelah sampai di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa kolonel
Ramoz, kepala rombongan yang menangkap saya oleh pemerintah Filipina diturunkan
gajinya. Ini adalah suatu cara yang menunjukkan, bahwa pekerjaannya tiada
mendapat penghargaan dari pemerintah Filipina, bahkan sebaliknya. Tindakakn itu
adalah sebagai perintah halus pula, menyuruh minta berhenti saja: “Your service is no longer needed”, tenagamu tak dibutuhkan lagi. Kolonel Ramoz
mengerti perintah halus itu, minta berhenti dan pulang ke....Spanyol. Yang
seorang lagi, yang menjadi sebab pertama atas penangkapan saya pada malam hari
tersebut di atas,, kabarnya pula ialah salah seorang....editor, redaktur surat
kabar El Debate sendiri. Dia selang berapa lama sengaja dikirimkan ke sana oleh
kolonel Ramoz tadi buat mengawasi perhubungan saya dengan surat kabar itu,
setelah P.I.D Amerika mencium-cium bau beradanya saya di Filipina. Mulanya
bekerja sebagai pembantu biasa saja. Oleh karena dia menunjukkan kecakapan,
maka ia mendapat kepercayaan dari Varona dan diangkat menjadi salah
seorang editor. Dialah yang menelpon
kolonel Ramoz ketika saya mengunjungi El Debate malam hari tersebut sampai saya
ditangkap. Sesudah pekerjaan yang “berjasa” itu dilakukannya, dan setelah ia
menerima pujian serta upah yang sepantasnya dari majikannya, maka pada suatu
hari sepeda motornya tertumbuk pada tiang jembatan dekat kantor El Debate.
Kabarnya, motornya hancur dan jiwanya melayang seketika itu juga. Rakyat
Filipina yang percaya kepada kodratnya kebenaran dan kesucian menganggap
peristiwa ini sebagai hukuman yang adil dan tegas.
Pagi benar saya dengan para sahabat sudah berada di kapal Suzana, para
wakil buruh menyampaikan salam organisasinya masing-masing dan sumbangan yang
dikumpulkan dengan sangat tergesa-gesa. Maklumlah keberangkatan saya tidak
dapat diundur lagi. Dan maksud Pembesar Amerika juga supaya umum jangan
mengetahui saya berangkat. Sebab itulah pula maka perintah halus buat
mengeluarkan saya dari Filipina dilakukan setelah larut malam. Walaupun
demikian tiadalah sedikit para pengantar. Seorang wartawan Tionghoa memberikan
surat kepada saya buat memperkenalkan saya kepada salah seorang mahaguru di
Universiteit Amoy. Menurut wartawan ini di Amoy saya “tak akan” mendapat
gangguan, karena Amoy berada di bawah pemerintahan “nasionalis” Tiongkok.
Majikan kapal Suzana, tuan Madrigal yang juga majikan surat kabar Philippine
Herald, sahabat pula dari Juan Fernandez, penjamin saya di masa di luar
penjara, apabila kapal hendak berangkat memperkenalkan saya kepada kapten kapal
dengan perkataan: “Beri perlindungan sama Tan Malaka, kalau perlu dengan
jiwamu”.
“Yes Sir....” jawab yang pendek.
Bahasanya orang tua Filipina yang mengalami masa revolusi Filipina yang
terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar