Kamis, 07 April 2016

Tangkap Buang II


Satu gambaran dari seniman yang terulung sekalipun, kalau dekat tempat kita sendiri, maka adalah tiadalah nyata rupa dan maksudnya. Yang kelihatan cuma garis silang siur bersama kelompokan aneka warna. Setelah agak jauh kita berdiri barulah perang rupa, jarak serta maksud gambaran itu.
Pun sejarah yang dilakonkan oleh manusia itu rupanya banyak mengandung perasaan dengan gambaran buah tangan seorang seniman tadi. Tatkala berada dalam  lakon sejarah itu sendiri kita terombang-ambing oleh pelbagai tujuan bermacam-macam golongan partai dan pemimpinnya. Susah memandang garis besar yang akan memberi kata akhir dalam perjuangan itu. Setelah agak maju kita ke depan, dan cukup jauhnya, kita bisa memandang ke belakang, barulah kita bisa mengenal badan dan jiwanya sejarah yang kita lampaui tadi.
Beberapa catatan yang akan memperbandingkan suasana tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 ini mudah-mudahan akan memberi penjelasan kepada mereka yang ingin memandang sesuatu kejadian dari semua penjuru. Dua puluh tahun diwaktu damai tidaklah beberapa banyak menimbulkan perbedaan pada masyarakat kita. Tetapi dua puluh tahun waktu memperkenalkan perang dunia kedua dan revolusi kepada masyarakat Indonesia nyatalah sudah sanggup memperlihatkan perbedaan dua suasana tersebut.
Sedangkan pada tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 kita berada di tengah-tengah Hochkonjunktur, maka pada tahun 1946-1947 ini kita berada dalam belitan blokade Belanda, di tengah-tengah krisis ekonomi dunia yang sehebat-hebatnya semenjak dunia berkembang.
Sedangkan pabrik, bengkel, kebun, alat pengangkutan serta mesin-mesinnya, genap pada tahun 1926-1927, maka pada tahun 1946-1947 ini sebagian besar pabrik gula lenyap atau rusak, banyak sekali ladang dijadikan kebun atau binasa, dan boleh dikatakan hampir semuanya mesin yang baik sudah rusak, luntur atau habis diangkat oleh Jepang ke negerinya.
Sedangkan tenaga tehnik ahli yang kuat, kasar sedang melimpah pada tahun 1926-1927, maka pada pendudukan Jepang 1942-1945, semua tenaga tersebut sangat menderita kemusnahan atau kerusakan. Mungkin tak salah taksiran, bahwa di masa pendudukan Jepang 4 atau 5 juta tenaga buruh dan tani juga lenyap atau binasa.
Syahdan maka tiap-tiap suasana pertentangan, dimana ada kebaikan buat satu golongan itu sendiri, dipandang dari sudut penjuru disanalah adalah keburukan buat golongan itu sendiri, dipandang dari penjuru lain. Dan sebaliknya.
Di masa Hochkonjuktur (1926-1927) rakyat agak mudah mencari rezeki, buruh agak mudah mencari pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan untuk mempelajari “Holandsch spreken” dan menduduki kursi empuk sebagai juru tulis. Di samping itu banyak pula diadakan pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola dansa dan hula-hula.
Di masa “saudara tua” dari “Asia Timur Raya” rakyat dirampoki padi dan ternaknya. Buruh tani diculik dan dipekerjakan dalam panas dan hujan, membikin jalan, lapangan terbang dan benteng buat Jepang, dikasih makan jagung atau nasi 200 gram seorang sehari, diberi bangsal buat tempat tidur, goni (kalau ada) buat pakaian, dipukul, dijemur dan dibenamkan di dalam air, kalau katanya malas. Pemuda diajarkan “Nippon go” membungkuk ke Tokyo dan masuk barisan Keibodan, Seinedan, Suisintai, Heiho dan Peta. Pemudi dilatih menjadi pelajar. Seluruhnya bangsa Indonesia dianggap sebagai genjumin bagero.
Sedangkan di masa Hochkonjunktur (1926-1927), Rakyat Indonesia umumnya berada dalam keadaan lesu, kurang bersemangat, memandang bangsa kulit putih sebagai mahluk yang lebih tinggi, dari diri sendiri; sebagai mahluk yang rendah, di masa “genjumin” bagero (1942-1945) Rakyat Indonesia isyaf benar akan rampokan terang-terangan atas tanah, tenaga harta benda serta gadisnya, insyaf akan harga kebangsaan dan warna kulitnya, insyaf akan hak mutlak dan kekuatannya yang tersembunyi. Disampin keinsyafan bahwa mereka mesti melenyapkan imperialisme Jepang untuk menimbulkan suatu negara yang merdeka. Rakyat pemuda Indonesia, berbeda dengan dimasa imperialisme Belanda, mendapat latih militer sehebat-hebatnya yang membangunkan, keberanian dan kecakapan berjuang sekonyong-konyong meluap.
Zonder latihan militer latihan pada tahun 1942-1945 itu, maka seperti di masa Belanda, satu biji pompa air saja mungkin pula bisa membubarkan demonstrasi, atau letusan bedil saja bisa mengacau-balaukan gerombolan yang tadinya berniat atau bersumpah sakti mau berjuang mati-matian.
Hasil akhir dari penderitaan yang luar biasa selama pendudukan Jepang, keinsyafan akan perlunya satu negara sendiri yang merdeka, buat mengatur kehidupan sendiri serta disamping latihan militer yang memang paling ulung, maka rakyat Jakarta dibawah pimpinan Menteng 31, pada 19 September 1945, dengan golok dan bambu runcing saja menentang pemerintahan Jepang yang melarang berdemonstrasi dan mengancam dengan mitraliur serta tanknya yang berjejer....pada bulan September 1945, seluruh rakyat Surabaya dibawah pimpinan pemudanya, dengan bambu runcing menentang kekuatan Belanda Jepang dan land air force and all modern weapon of war” dari kerajaan Inggris....Rakyat Pemuda Jawa Tengah merebut senjata Jepang di Yogyakarta Solo, serta menghalaukan tentara Inggris, tentara menang dari Magelang ke Semarang.....Rakyat Pemuda Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan lain-lain mengikuti jejak saudaranya di Jawa dengan tak kurang hebatnya.....bahkan di Deli, buruh dan tani mengambil tindakan cepat, tepat, dahsyat menghancurkan kapitalisme-imperialisme serta kaki tangannya yakni feodalisme.
Dorongan merebut kemerdekaan ini bukan ditiup dari luar melainkan timbul dari masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang, Inggris, Belanda, bukan berarti tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin meniru-niru pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil faktor-faktor dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, dasar tujuan hidup sendiri, kepercayaan atas diri sendiri dan senjata sendiri (bambu runcing) dalam suasana hidup sendiri. Mengharapkan pertolongan luar negeri boleh dikata tidak ada pada Rakyat Pemuda ketika menghadapi mitralyur, meriam tank dan kapal terbang di Jakarta, Surabaya, Magelang, Padang, Medan dan lain-lain tempat itu. Pun belum pernah revolusi yang sebenarnya tergantung pada tiupan janji atau pertolongan dari luar! Juga tidak sebagai hasilnya diperhitungkan kakek-nenek yang hemat-cermat, yang takut mengandung resiko, meskipun sekecil-kecilnya!
Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah hasil dari beberapa faktor yang terdapat, terutama suasana pada tahun 1942-1945 sendiri, yang seperti bumi dengan langit jika dibandingkan pada tahun 1926-1927......Salah satu dari beberapa faktor  itu tentulah pula hasil (tak langsung) dari pendidikan selama 40 tahun lampau!
Lebih setahun saya berada di sekitarnya kejadian 1926-1927, menunggu arah ke mana dan sampai ke mana perginya gerakan rakyat dengan persediaan saya untuk memasuki gelanggang, kalau memang beberapa syarat revolusi yang sebenarnya sudah nyata. Salah satu dari syarat yang sebenarnya itu tentulah tuntutan politik dan ekonomi yang nyata daripada rakyat dengan tak mengenal mundur, seperti tak kurangnya pada tahun 1945 sampai sekarang (1947) ini. Baru sesudah saya usulkan dan perjuangan beberapa tindakan yang saya rasa wajib saya tanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia, Partai dan organisasi Internasional (yang tentulah menghendaki tanggung jawab pada tiap-tiap anggota) baru sesudah gerakan 1926-1927 hancur, dan hubungan terputus baru sesudah anjing dan pemburu imperialisme sudah teramat dekat saya berangkat menuju kembali ke Filipina, pula buat kesehatan.
Sekaranglah, sesudah dua puluh tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun 1927! Yang ingin melihat kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia dalam keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atas kepercayaan kekuatan diri sendiri; kedua dengan cara berpisah tapi sejajar dengan gerakan proletaria di seluruh dunia, getrennt marchieren. Vereint schlsgen. (Berpisah mengerahkan dan serempak menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta pejuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya PARI semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).
Hidup setahun sebagai orang buruan, sama dengan hidup damai entah berapa tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah menjadi koresponden di Selatan. Bahannya seorang wartawan berita yang baru hangat. Tetapi setelah warta berita menjadi sepi dingin, dan keluarga seperjuangan disampingnya bertambah besar, maka terpaksa pula saya mencari pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan hasil untuk hidup bersama. Belum lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma import Jerman, terpaksa pula melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh 1001 macam sebab dan soal.
Dalam semua keadaan tersebut, alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik, alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik. Akhirnya yang bukan Filipino mempunyai hak American Citizen, dan mempunyai pasport tulen, bersama-sama seorang Filipino tulen, tetapi tak mempunyai pasport, berangkat meninggalkan Siam menuju Manila. Kami satu sama lainnya butuh membutuhkan. Menyelundupi daun membutuhkan pelbagai akal dan ragam. Setelah lebih kurang tiga minggu di perjalanan, bilamana sebagian besar waktu berada diatas dek, tersempit diantara ratusan penumpang Tionghoa yang pulang, sampailah kami di Manila pada permulaan Agustus 1927. Syukurlah para pegawai duane tak memperhatikan persamaan orangnya tetapi perbedaan namanya orang itu juga, ialah lampau bernama Elias Fuentes, sekarang dengan Hassan Gozali.
Saya terus menuju ke Manila University. Kebetulan sahabat saya Dr. Mariano Santos sedang bercakap-cakap dengan kakaknya Direktur, ialah Apollinario de Los Santos. Orang Filipina biasa juga tegas, cepat, tepat. “Tuan” kata Dr. Apollinario “deserves our support” patut mendapat bantuan kami. Inilah kamar dalam asrama sekolah Tinggi buat tuan. Makanan dan lain-lain kamilah yang menanggung selama tuan ingin berada di Filipina.
Kaum muda Filipina tahu artinya berjuang buat kemerdekaan. Perkataan lelah atau lemah tiadalah cukup untuk menggambarkan keadaan diri saya dimasa itu. Baru sesudah bangun tidur, esoknya jauh tengah hari, saya insyaf bahwa selekas mungkin harus mencari dokter lagi. Tetapi tiadalah dibenarkan oleh apa yang sering kita sebut nasib istilah yang saya pakai disini sebab kekurangan kata lain.
Pada suatu malam, maka kedua kalinya saya pergi menjumpai pemimpin surat kabar El Debate, Francisco Varona.   Banyak juga tulisan saya dimuat dalam surat kabar tersebut. Pada malam pertama Francisco Varona mengantarkan saya ke asrama. Tetapi pada malam kedua saya tolak diantarkan oleh wakil pemimpin, bilamana Varona tak ada.
Setelah saya turun dari rumah dan sampai keluar, maka seorang berpakaian preman bertanya kepada saya: “Apakah tuan bernama Fuentes?” Saya jawab: “Ya, betul”. Sekonyong-konyong dari kiri-kanan saya diserbu dan digeledah kalau-kalau saya bersenjata. Segera saya disuruh masuk auto yang berdekatan, disuruh duduk diantara dua orang, rupanya orang Konstabulari (pel polisi).
Baru saya insyaf akan apa yang terjadi. Dengan tak bertangguh lagi saya berkata: “Tuan ini salah tangkap! Kemerdekaan buat negeri saya itu, juga akan mengandung bahagia buat negeri tuan sendiri....”
Dia gugup dan tutup telinga sambil berkata: “Janganlah tuan berbicara terus”.
Sebentar saja berjalan lalu auto berhenti di depan kantor polisi. Di sini sudah menunggu P.I.D Nevins, orang Amerika dan kolonel Ramos, seorang Mestiza, Indo Spanyol.
Penangkap saya tadi kapten Quimbo, Filipino, memperkenalkan saya dengan perkataan: “Inilah tuan Tan Malaka”. Dia seorang gentelman. Saya harap tuan-tuan akan melayani dia sebagai gentelman.
Kapten Quimbo pergi! Kami tinggal bertiga, jam 12. Saya sungguh dimitraliyuri dari kiri-kanan dengan pertanyaan. Belum lagi selesai yang satu bertanya, yang kedua sudah mulai bertanya pula. Tiap-tiap pertanyaan mereka bermaksud mencari lobang buat digali untuk mendapatkan keterangan yang mereka kehendaki. Itulah satu pemeriksaan yang dinamakan “cross examination”. Detective Nevins tadi kabarnya ulung sekali dalam menjalankan pemeriksaan ala Amerika itu. saya ambil sikap defensief, sikap pembelaan. Alasan pertama ialah karena kepada saya tak dimajukan lebih dahulu pelanggaran apa yang sudah saya lakukan. Kedua, karena saya tidak tahu, apakah mereka kira saya tinggal di Manila terus menerus dari pertengahan tahun 1925 sampai Agustus 1927 itu, ataukah mereka tahu, bahwa saya keluar setahun lebih dan baru kembali dari Indonesia Selatan. Ketiga, apakah mereka mencium-cium adanya pasport atas nama Hasan Gozali yang diperoleh pada kantor Gubernur Jenderal Amerika itu.
Berhubungan dengan alasan kedua, maka jika mereka tahu bahwa saya keluar Filipina, maka perkara masuk yang kedua kalinya akan menimbulkan pertanyaan banyak pula. Tetapi kalau sebaliknya mereka sangka, bahwa saya terus menerus tinggal di Manila, maka saya harus memberikan keterangan lengkap tentang sejarah selama dua tahun saja tinggal di Manila (rumah-rumah, dan lain-lain). Dan menghadapi seribu satu persoalan lain-lain lagi.
 Berhubung dengan alasan ketiga maka kalau diketahu bahwa saya memakai “a good false American Passport”, maka beratlah hukuman penjara yang bukan saya saja harus menghadapi, tetapi juga beberapa orang terkemuka yang memberi bantuan kepada saya. Tanggung jawab terhadap pada teman bersimpati-pun menurut pikiran saya harus dipelihara kalau diri kita sendiri terlibat dalam sesuatu perkara!!
Syahdan dan cara “offensief” (menyerang) mereka berganti-ganti menjatuhkan “pukulan” atas diri saya sambil mencari bagian yang lemah. Maka sebaliknya dengan cara “defensief”, mempertahankan, saya mengelakkan “pukulan” mereka sambil mencari lobang yang lemah di kalangan mereka sendiri.
Akhirnya saya mendapat tahu bahwa mereka sangka saya tinggal terus-menerus dua tahun di Filipina. Itulah pula maka tadinya sebelum ditangkap ditanyai apakah saya bernama Fuentes, orang melarat dan tak banyak mempunyai teman, hidup luntang-lantung, sering tidur di kantornya surat kabar El Debate. Sikap ini diperkokoh pula oleh hasil pemeriksaan dalam dompet saya yang terdapat cuma beberapa sen saja.
Tanya jawab diteruskan sampai pagi. Yang sering tergelincir dalam pertempuran soal jawab itu bukannya saya. Acapkali muka mereka yang mulanya berseri-seri, karena sudah merasa mendapat “jejak”, tetapi setelah pertanyaan dilanjutkan nyatalah pula bahwa “jejak” itu menyesatkan dan menggelincirkan. Sering mereka kecewa, tetapi sering pula tertawa. Memang seorang detective yang mencinta pekerjaannya, meski juga gembira menjumpakan lawan yang sedikit bisa memberi perlawanan atau memukul kembali. Sikap “sportief” itu seharusnya jangan berlaku di lapangan olah raga saja.
Nyatalah bagi saya, bahwa dari “Batavia” ada “signal” dikirim dan “Batavia” tentulah menghendaki supaya dikembalikan. Tetapi yang pula amat menarik perhatian para detective, ialah mengetahui apakah ada atau berapakah besarnya bagian yang saya ambil dalam keributan di Visapaya pada waktu itu. Disana timbul pemogokan kaum buruh gula yang disertai oleh peletusan bom. Kebetulan pula Senator (wakil Majelis Tinggi) yang juga salah seorang pemimpin El Debate, adalah sahabat saya. Menginjaki soal-jawab dalam hal yang dibelakang ini, para detective tiada mendapatkan apa yang dicari.
Pauze cuma sebentar setelah hampir pagi. Saya dijamu dengan baik, ditanya lagi apa mau tambahan. Memangnya saya baru kembali dari serba kekurangan, dan walaupun berada dalam perjuangan soal jawab di kantor polisi nafsu makan adalah agak besar juga. Bukannya para detective memperlihatkan simpati terhadap lawannya!
Soal jawab diteruskan. Detective Mestiza, kolonel Ramoz, mengemukakan tulisan saya dalam El Debate. Katanya satu golongan sudah disimpan, dan kalau saya memungkiri, golongan itu akan diperlihatkannya “in order to refresh your memory” (untuk memperingatkan tuan kembali). Tetapi saya tak ingin menyangkal apa yang sudah terbukti. Tetapi mau tahu, apakah pelanggaran yang terselip dalam tulisan tadi “Round” inipun adalah buat saya: para detective tak bisa memberi jawaban.
Akhirnya sesudah menjalani turun naiknya perdebatan dan suara, mula tinggallah pertanyaan yang kongkrit, tegas, nyata, yang harus dijawab, ialah: kapan dan nama apakah tuan masuk di Filipina. Toh tidak bisa dipungkiri bahwa saya mesti masuk di salah satu nama.
Saya rasa: ini mestinya climax, ujung semua pemeriksaan. Saya jawab: saya masuk pada tanggal 6 Juli 1925 dengan nama Fuentes, di pelabuhan Manila.
Jawab ini tentulah menunggu pemeriksaan di kantor duane. Saya seterusnya disuruh menuliskan sejarah saya.
“6 Juli 1925 Elias Fuentes masuk di pelabuhan Manila”. Memang benar! Di Duane ada catatan. “Tetapi bagaimana tuan bisa masuk tak dengan pasport?”
Ya inilah rahasianya pandai besi, kata suatu pepatah.
Entah siapa yang dimarahi, entah siapa yang dikagumi oleh dua detective ternama tadi terserah kepada pembaca buat menerka! Tetapi rupanya sumprit puput (fluit) wasiat sudah berbunyi, ialah tanda pertandingan soal-jawab harus diberhentikan.
Tempat tidur saya di gedung kepolisian ialah dalam kamar, berpagarkan besi, di samping beberapa kamar buat orang tahanan yang lain-lain. Pada malam yang kedua, setelah saya “nginap” di kamar besi tadi, maka saya dihampiri oleh kolonel Ramoz. Dia berbisik-bisik menanyakan, apakah saya mempunyai “istri” di luar. Sebentar saya berpikir. Kemudian saya jawab: tidak. Kolonel Ramoz tentunya cukup pintar buat tiada menyebutkan namanya “istri” itu. Dan dari pihak saya, kalau seandainya memang mempunyai istri, masakan pada tempatnya menanyakan siapa namanya. Kalau kolonel Ramoz menyebutkan namanya, tentulah saya bisa tahu, bagaimana keadaan di luar. Tetapi dengan pertanyaan tadi saya sudah maklum dan gembira, bahwa para teman di luar sudah tahu bahwa saya ditangkap. Di belakangnya saya tahu pula, bahwa memangnya pihak kaum buruh mengirimkan nona buat menyampaikan pesan. Memberi bukti pula, bahwa rakyat Filipina sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pekerjaan di bawah tanah.
Tiada berapa lama kemudian, maka datanglah pula kolonel Ramoz buat bertanyakan apakah saya mau menerima seorang abocado (pembela hukum). Namanya ada disebutkan, tetapi saya sendiri belum pernah berkenalan dengan dia. Sebab atas pertanyaan kemarin apakah saya ingin memakai advokat, saya lebih dahulu usulkan supaya Fracisco Varona saja mencarikan seorang pembela hukum yang pantas menurut keadaan; lagi pula diketahui oleh beberapa teman di luar, maka saya tak merasa perlu lagi mengambil sendiri seorang pembela.
Benar pula! Pada ketika paginya saya ditangkap, maka oleh kolonel Ramoz saya dibawa ke depan kantor buat dijumpakan dengan serombongan teman Dr. Apollinario de Los Santos, direktur Manila University yang memimpin rombongan itu berkata: “Lima puluh ahli hukum Filipina (kalau perlu) akan membela perkataan tuan, di bawah pimpinan Jose Abad Santos. “Tuan ditangkap tidak dengan surat tuduhan. Maka kami menuntut tuan dilepaskan, menurut hak “habcas corpus” (have the body)”.
Nyata kepada saya kolonel Ramoz pucat mukanya. Tangkapan atas diri saya “without a warrant” (tak dengan surat tuduhan) itu, adalah langsung mengenai dirinya, kolonel Ramoz, yang dituduh bertindak sebagai seorang penyerobot. Sebentar lagi oleh kolonel Ramoz saya diajak masuk auto pergi ke kantor duane. Dalam auto sepatahpun kolonel Ramoz tak mengeluarkan perkataan. Dia isnyaf akan kekuatan yang ada di belakang perkataan Dr. Apollinario de Los Santos! Ramah tamah yang selama ini diperlihatkan kepada saya bertukar menjadi muram-murka.
Kepada saya oleh kepala pegawai duane dimajukan beberapa pertanyaan. Yang pertama dan terutama pula ialah: “Apakah yang dimaksudkan dengan bolsjewisme? (What does it mean by boljsjevism?)”
Dijawab: “The emancipation of the working class” (Kemerdekaan kaum buruh).
Salah seorang Profesor pembela menunjukkan persetujuannya dengan semua jawab saya, ialah: pendek. Katanya pula: “Kalau begitu maksudnya bolsjewisme, siapakah orang sopan yang tidak akan setuju. Momok bolsjewisme memang dipakai buat membingungkan mereka yang tak tahu dan tak mau tahu. Tahu apakah sebenarnya kita di Filipina tentang dasar tujuan bolsjewisme yang sebenarnya”. Sekian profesor tadi!
Sepulangnya dari duane saya dibolehkan tinggal di asrama Manila University. Tetapi saban hari saya harus melaporkan diri ke kantor polisi. Belakangan saya dapat kabar, bahwa saya dijamin Rp. 10.000,- oleh Juan Fernandez, menurut hak seorang tahanan  disana (bail). Juan Fernandez, ialah majikan dari surat-surat kabar El Debate dan La Commercio. Pula ia dengan saudaranya memiliki kongsi perkapalan di kepulauan Filipina. Dengan Dr. Santos dia juga ada berkarib (sekeluarga). Di masa itu ia terkenal sebagai patriot di Filipina dan kepada saya dia selalu menunjukkan perhatian yang luar biasa tentang sejarah dan  kebudayaan Indonesia.
Apakah yang sebenarnya yang terjadi ketika tiga hari saya berada di tahanan i tu, di luar penjara?
Setelah semalam saya ditangkap, paginya Manila Buletin, surat kabar Amerika, dengan huruf besar-besar ala Amerika menulis lebih kurang: “Tan Malaka, seorang Bolsjewiek Jawa ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog, Tionghoa dan Melayu........”
Buat memperhangat sensasi dan hasutan, maka oleh Manila Buletin tadi tiadalah pula dilupakan menyebut setengah lusin nama palsu yang sudah saya pakai dimana-mana.
Surat kabar Filipina yang belum tahu apa-apa mulanya menyalin saja apa yang dituliskan oleh surat kabar Amerika dengan cara menghasut yang sensasionil.
Francisco Varona dalam El Debate memberi perlawanan dengan berita: “Tan Malaka, wakil dari Jawa buat mengunjungi Pan Malaya Conference yang akan diadakan di Manila, tertangkap........dan lain-lain. (Chajal Pan Malayan itu timbulnya bukanlah pada tahun 1946 di dalam otaknya wartawan Romulos yang terkenal itu!)
Bermulah aksi dari pihak imperialisme Amerika yang dilawan oleh contra aksi dari pihak Rakyat Filipina. Semua surat-surat kabar di kota-kota dan propinsi, dalam bahasa Tagalog, Spanyol dan Inggris nasionalistis mengikuti jejaknya El Debate.
Pergolakan menjalar ke gedung Parlemen, ke University dan ke kalangan kaum buruh dengan cepat sekali. Isinya, perkaranya bertukar corak dan si Penuduh berobah menjadi si Tertuduh.
Kolonel Ramosz cs mau menjadikan perkara saya sebagai perkara pelanggaran duane biasa saja. Tan Malaka masuk dengan tiada memakai pasport. Jadinya melanggar peraturan imigrasi Filipina. Sebab itu ia mesti disuruh pergi dari Filipina.......logika imperialisme Amerika dan kaki tangannya.
Parlemen Filipina di bawah pimpinan Manuel Quezon sendiri, menganggap Tan Malaka cuma musuh Belanda dalam hal politik, bukannya musuh Rakyat dan Pemerintah Filipina. Menurut pengakuan Parlemen dan Quezon, Tan Malaka sebagai political-refugee, pelarian politik, berhak tinggal di Filipina. Dalam beberapa tulisannya, almarhum Manuel Quezon memberi contoh yang bersamaan, seperti yang sudah dialami oleh para pemimpin revolusioner Filipina sendiri di masa lampau, oleh Dr. Sun Yat Sen, De Valera dan sebagainya....mungkin juga disebutkan olehnya Karl Marx sendiri, ialah bapa dari scientific sosialisme sendiri, ketika ia berada di Inggris setelah meninggalkan Jerman. Dikemukakan, bahwa....the right of asylum” (mendapat perlindungan buat pelarian politik) itu termasuk pada dasar demokrasi dari peri kemanusiaan, yang sudah berabad-abad dijalankan oleh satu negara sopan.
Senate (Dewan Perwakilan Tinggi) Filipina sendiri memutuskan pengumpulan P. 3.000 dari anggotanya buat diberikan kepada Tan Malaka sebagai bekal.
Para pembela di bawah pimpinan Dr. Jose Abad Santos menunjukkan serangannya terhadap kolonel Ramoz, yang sekarang dituduh menjalankan penangkapan yang tidak sah, ialah “without warrant”.
Demikianlah diluar persangkaan saya sendiri, penangkapan atas diri saya di Manila itu berlaku sebagai satu anasir pemisah, diantara penduduk Filipina. Satu bagian memihak kepada Ramoz Nevins, sebagai lambang kekuasaan Amerika di Filipina. Sebagian lagi memihak kepada mereka yang memperjuangkan The right of asylum, sebagai jaminan bagi kedaulatan Filipina dikemudian hari.
Masyarakat Amerika dengan surat kabar Manila Buletin sebagai trompetnya, berusaha keras mencarikan dan mengemukakan yang mereka sangka merugikan saya.
Majalah Philippine Free Press, dengan cara sensasionil mengemukakan, bahwa Tan Malaka itu tak lain daripada Hasan yang ikut memimpin Canton-Conference buat kaum buruh lalu lintas di seluruh Asia, yang dilangsungkan di Canton selang berapa lama. Tulisan saya dalam THE DAWN, terutama yang berkenan dengan imperialisme Amerika dihidangkan kepada pembacanya yang banyak itu seolah-olah dengan sikap menepuk dada: Zie je wel? Dipertakuti dan diasuti pula rakyat Filipina dengan setengah lusin nama palsu yang saya pakai.
Kolonel Ramoz mencela rakyat Filipina, karena tiada menghargai jasanya. “Tan Malaka disanjung setinggi langit”, kata kolonel Ramoz “sedangkan dia, penjaga ketentraman mendapat umpat (blame) dari rakyat”.
Nevins menusuk dengan halus, kalau dalam interview dia berkata, bahwa dalam “cross examination”, yang sudah dilakukan berkali-kali itu belum pernah dia berhadapan dengan orang seperti Tan Malaka.
Kolonel Sweat, wakil Gubernur Jenderal, pernah menyampaikan pesan kepada saya, bahwa saya tiada akan diserahkan kepada musuh saya, karena mungkin akan menganiaya saya, “They may cau you bodly harma”. Tetapi setelah suasana menjadi hangat dan masyarakat mulai berpisah dua, maka kolonel Sweat dalam salah satu interview pula memberikan “judas kiss”, taji berlemang: “Tan Malaka adalah seorang yang besar tetapi ia menjalankan instruksi Moskow”.
Bolehlah dikatakan semua harian dan majalah Filipina, dalam tiga bahasa, di kota dan provinsi, mengikuti sikap Parlemen dan Presidennya Manuel Quezon. Pembela Jose Abad Santos cs bermaksud akan meneruskan perkara saya kepada Mahkamah Tinggi di Filipina, buat menuntut hak membolehkan saya tinggal di Filipina, sebagai pelarian politik, kalau usaha itu gagal di Filipina, maka mereka akan apel ke Kongres di Amerika.
Membalas tuduhan dari pihak Amerika, bahwa Tan Malaka adalah agen Moskow, maka El Debate mengemukakan bukti yang sangat mencolok mata atas demokrasinya Uncle Sam. Kenapa seorang profesor Amerika dalam ekonomi pada Columbia University di New York, seorang komunis ternama, ahli ekonomi yang jempol dan university yang masyhur, yang baru saja kembali dari Moskow dengan pasport Amerika dan sekarang membagi-bagikan brosure-merah di tiap-tiap pelosok kota Manila, dibiarkan begitu saja oleh detective Amerika? Sedangkan seorang pelarian politik diuber-uber? Warna kulitkah??? Para Mahasiswa Manila University mulai berapat dan mengambil resolusi, ikut berusaha mempertahankan “the right of asylum” tadi. Segera Filipine University mengikuti menuntut  hak perlindungan itu sebagai usaha membantu pergerakan kemerdekaannya “our sister nation”, negara saudara kita.
Dua University yang lain-lain dan beberapa Colleges segera pula menyusuli.
Manuel Quezon memperingatkan kepada saya supaya bersiap-siap buat memberi penjelasan kepada lebih kurang 20 orang terkemuka tentang maksud dan tujuan serta keadaan pergerakan kemerdekaan Indonesia. “We are ready to give our support”, kami siap memberi bantuan, kata presiden Quezon almarhum.
Bantuan yang berupa benda dan uang dari mereka yang tak dikenal namanya mengalir dengan deras. Dalam sikap mereka memberi bantuan itu kita mendapat keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai sejarah revolusi dan tahu akan kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau. Kaya miskin, tukang warung nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya. Seolah-olah mereka mengingat kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak boleh saya lupakan sikapnya kaum Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk Manila. Pada satu hari andong saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam Hindustan: “Sir, we hear you are a moslem from Java. We have already collected some money for you”. (Kami dengar tuan adalah seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan). Kelak di Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu kepada bangsa Indonesia.
Akhirnya kaum buruh kota Manila, di bawah pimpinan Legihairo del Trabaho (gabungan Serikat Sekerja) memutuskan akan mengadakan rapat raksasa, buat membela politik parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan uang buat bekal saya.
This should not happen! Dit most not magge! Ini tak boleh, ya!!! Peristiwa sekonyong-konyong, seolah-olah pertolongan yang jatuh dari langit, di masa lampau, sekali dua saja terjadi, apabila saya menghadapi marabahaya. Namakanlah itu: nasib, takdir, toeval, atau apa saja. Datanglah tak disangka lebih dahulu, tetapi tak ternilai harganya!
Tentang orang yang sudah meninggal cuma kita kemukakan yang baiknya saja kata suatu nasihat. Demikianlah pula sebenarnya! Bersamaan dengan harinya saya ditangkap. Gubernur Jenderal Wood, yang kebetulan perlop beristirahat di Amerika, meninggal dunia. Entah karena kebetulan hari besar pula, maka kantor tak ditutup pula, pasti saya akan dinaikkan begitu saja ke dalam kapal Belanda, yang kebetulan pula berlabuh di Manila, dan siap berangkat ke Jawa. Pemerintah memulangkan saya ke Jawa, katanya pula, pasti akan diberikan ke Manila dari Amerika, karena Wood adalah sahabat karib dari bekas Gubernur Jenderal Fock di Hindia Belanda, Fock dan Wood sudah kunjung mengunjungi.
Wood sebagai militer tak banyak memusingkan formaliteit, katanya pula. Tetapi karena Wood meninggal dan duane ditutup, maka pemulangan saya (uitllevering) ditangguhkan sehari lagi. Dan...para teman pembela, ahli yuris, mencium-cium serta mengambil tindakan dengan cepat-cepat.
Mulanya para pembela mendapat simpati juga dari Wakil Gubernur Jenderal Gilmore, teristimewa pula karena Gilmore sendiri adalah seorang ahli yuris. Pun dia mulanya setuju akan hak saya untuk diperbolehkan tinggal di Filipina dan sebagai yuris ingin tahu pula, apakah Washington akan membenarkan Filipina memakai hak yang sudah lama diakui oleh seluruh negara modern itu. tetapi setelah suara gemuruh dari surat-surat kabar dan majalah-majalah di ibu kota dan propinsi dalam tiga bahasa, serta sikap parlemen dan universiteit seperti kata pepatah “membangunkan anjing yang tidur”, maka ahli yuris “acting governoor general” menjadi terkejut. Dan apabila harinya rapat raksasa kaum buruh kota Manila sudah dekat, maka pembela Dr. Jose Abad Santos dipanggilnya pada hampir tengah malam. Kepada yang dibelakang ini diusulkan, “lebih baik saya pergi saja dari Filipina dengan diam-diam”. Katanya besok pagi kapal Suzana kepunyaan bangsa Filipina akan berangkat ke Amoy, Tiongkok. Tidak ada lagi kesempatan yang lebih baik, sebab akan melalui Hongkong ada bahaya ditangkap oleh Inggris. Dr. Jose Abad Santos tercengang, tak mau menerima begitu saja. Dia memperingatkan perjanjian yang dulu, ia membela “the right of asylum”. Ahli yuris Amerika, acting governor general, membujuk dengan janji, bahwa nanti Tan Malaka boleh kembali “kalau suasana yang hangat ini sudah reda”:. Apabila yuris nasionalis memegang teguh pendiriannya semula, maka yuris imperialis menjawab dengan perkataan yang mengandung ancaman: “Bahwa kalau Tan Malaka tak pergi diam-diam, maka ada lagi perkara yang akan dimajukan, yang tidak saja mengenai dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyeret beberapa orang paling terkemuka di Filipina.
Pembela Dr. Jose Abad Santos terpaksa mengalah. Dia mengerti bahwa yang dimaksudkan itu dalam urusan pasport, yang bisa dianggap suatu pelanggaran, sebagai falsification of public document, memalsukan dokumen negara.
Lebih kurang jam 1 malam peri hal tersebut oleh Dr. Jose Abad Santos diberitahukan kepada saya untuk meminta pertimbangan. Oleh sebab memang buka membela perkara yang hak dan pula akan membawa-bawa beberapa orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, maka terpaksalah saya menerima perintah halus buat meninggalkan Filipina.
Akhirul kalam saya kalah. Tetapi lawan saya juga tak mendapat kemenangan dengan mudah. Setelah sampai di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa kolonel Ramoz, kepala rombongan yang menangkap saya oleh pemerintah Filipina diturunkan gajinya. Ini adalah suatu cara yang menunjukkan, bahwa pekerjaannya tiada mendapat penghargaan dari pemerintah Filipina, bahkan sebaliknya. Tindakakn itu adalah sebagai perintah halus pula, menyuruh minta berhenti saja: “Your service is no longer needed”,  tenagamu tak dibutuhkan lagi. Kolonel Ramoz mengerti perintah halus itu, minta berhenti dan pulang ke....Spanyol. Yang seorang lagi, yang menjadi sebab pertama atas penangkapan saya pada malam hari tersebut di atas,, kabarnya pula ialah salah seorang....editor, redaktur surat kabar El Debate sendiri. Dia selang berapa lama sengaja dikirimkan ke sana oleh kolonel Ramoz tadi buat mengawasi perhubungan saya dengan surat kabar itu, setelah P.I.D Amerika mencium-cium bau beradanya saya di Filipina. Mulanya bekerja sebagai pembantu biasa saja. Oleh karena dia menunjukkan kecakapan, maka ia mendapat kepercayaan dari Varona dan diangkat menjadi salah seorang  editor. Dialah yang menelpon kolonel Ramoz ketika saya mengunjungi El Debate malam hari tersebut sampai saya ditangkap. Sesudah pekerjaan yang “berjasa” itu dilakukannya, dan setelah ia menerima pujian serta upah yang sepantasnya dari majikannya, maka pada suatu hari sepeda motornya tertumbuk pada tiang jembatan dekat kantor El Debate. Kabarnya, motornya hancur dan jiwanya melayang seketika itu juga. Rakyat Filipina yang percaya kepada kodratnya kebenaran dan kesucian menganggap peristiwa ini sebagai hukuman yang adil dan tegas.
Pagi benar saya dengan para sahabat sudah berada di kapal Suzana, para wakil buruh menyampaikan salam organisasinya masing-masing dan sumbangan yang dikumpulkan dengan sangat tergesa-gesa. Maklumlah keberangkatan saya tidak dapat diundur lagi. Dan maksud Pembesar Amerika juga supaya umum jangan mengetahui saya berangkat. Sebab itulah pula maka perintah halus buat mengeluarkan saya dari Filipina dilakukan setelah larut malam. Walaupun demikian tiadalah sedikit para pengantar. Seorang wartawan Tionghoa memberikan surat kepada saya buat memperkenalkan saya kepada salah seorang mahaguru di Universiteit Amoy. Menurut wartawan ini di Amoy saya “tak akan” mendapat gangguan, karena Amoy berada di bawah pemerintahan “nasionalis” Tiongkok. Majikan kapal Suzana, tuan Madrigal yang juga majikan surat kabar Philippine Herald, sahabat pula dari Juan Fernandez, penjamin saya di masa di luar penjara, apabila kapal hendak berangkat memperkenalkan saya kepada kapten kapal dengan perkataan: “Beri perlindungan sama Tan Malaka, kalau perlu dengan jiwamu”.
“Yes Sir....” jawab yang pendek.
Bahasanya orang tua Filipina yang mengalami masa revolusi Filipina yang terakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar