Dunia menganggap bahwa Proklamasi 17
Agustus 1945 dilakukan oleh atas dasar inisiatif Sukarno Hatta. Cuma beberapa
orang saja mengetahui, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dilakukan oleh Sukarno Hatta, tetapi atas inisiatif, bahkan tidak dengan
persetujuan Sukarno Hatta, Proklamasi 17 Agustus bukanlah oleh kemauan Sukarno
Hatta. Proklamasi itu berlaku, walaupun tidak menurut kemauan Sukarno Hatta.
Kalau ada PROKLAMASI yang mendapat persetujuan penuh dari Sukarno Hatta, maka
Proklamasi semacam itu oleh Sekutu akan sudah dituduhkan sebagai PROKLAMASI
JEPANG. Banyak orang yang akan tersinggung hatinya mendengarkan keterangan
tersebut di atas itu. tetapi sesuatu sejarah bukanlah suatu impian, pengharapan
atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar atau para pemegang kekuasaan
belaka; melainkan suatu kejadian yang
memang sudah terbukti. Inilah maksudnya sedikit tulisan ini, ialah memberi
sekedarnya penerangan tentang peristiwa sebelum sedang dan sedikit waktu
setelah Proklamasi, menurut penyaksian
saya sendiri dan penyaksian beberapa orang lain, yang saya kenal.
Rupanya sudah ada usaha untuk
menghitam-putihkan Sejarah Proklamasi. Untuk mengimbangi usaha semacam itu dan
membela kebenaran dan mewariskan yang kami anggap kebenaran Sejarah Proklamasi
yang benar itu kepada turunan kitalah, maksud saya memberikan sedikit
keterangan tentangan sejarah proklamasi itu disini, yakni menurut pandangan dan
pendengaran saya sendiri.
Pada bulan Juni 1945, saya sebagai
Ketua Anak Ranting B.P.P Bajah diundang oleh Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga
Peta) di Rangkas Bitung buat menghadiri satu rapat yang bermaksud menentukan
sikap dan memilih wakil yang akan dikirim ke Jakarta. Di Jakarta akan diadakan
pula konferensi para pemuda yang dibelakang hari menamai organisasinya Angkatan
Baru Indonesia yang menuntut kemerdekaan Indonesia pada ketika itu juga dan
menentang keras sikapnya Para Pemimpin Tua (resmi).
Di antara beberapa wakil dan
seluruhnya daerah Banten yang hadir di Rangkas Bitung tadi, saya terpilih
sebagai utusan ke Jakarta. Di Jakarta saya dengan nama HUSSEIN cuma baru dapat
berjumpa dengan pemuda Anwar dan Harsono Tjokroaminoto, Chairul Saleh, Sukarni
dan B.M. Diah. Saya belum dapat menjumpai para pemuda Pandu K. Wiguna dan
Wikana yang namanya juga diperkenalkan kepada saya di Banten. Saya tidak dapat
mengunjungi konferensi yang dimaksudkan itu, karena memangnya konferensi itu
tidak jadi berlangsung, sebab Jepang tidak mengizinkan. Saya terpaksa lekas
kembali ke Bajah, menjalankan pekerjaan saya sebagai pegawai ditambang arang.
Pada tanggal 15 Juni 1945 berdirilah
Angkatan Baru Indonesia, yang “mempunyai Konsepnya sendiri” yang diurus oleh
para pemuda Harsono, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Supeno, Wikana dan
lain-lain.
Rakyat dan pemuda yang sudah amat
bosan pula dengan HOKOKAI rupanya mendorong Jepang mendirikan gerakan yang
bernama baru, tetapi berisi usang. Gerakan itu dinamai Gerakan Baru, sebagai
calon pengganti HOKOKAI. Dalam sidang pertama pada tanggal 6 bulan Juli
dipersoalkan nama, tujuan dan organisasi. Rapat ini diketuai oleh Gitjo
Sukarno. Yang hadir juga para anggota Panitia kecil, yakni Mr. Subardjo,
Mr.Moh.Yamin, Drs. Moh. Hatta, Abikusno dan lain-lain beserta para pemuda,
yakni Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Supeno, Trimurti, Dr.
Muwardi, Sudiro (mBah), Harsono, Sutomo (Bung Tomo) dan lain-lain.
Perdebatan terpusat pada istilah
Republik. Usul Panitia Kecil supaya nama Republik dikurung saja, ditolak oleh
Rapat. Rapat memutuskan supaya nama Republik dipakai terus terang saja.
Jepang Gunseikanbu, bernama Saito,
tak setuju dengan nama itu dan melayangkan sepucuk surat, secara main belakang,
kepada Ketua Rapat Sukarno. Menurut Jepang Saito ini soal bentuk Republik atau
lain bentuk itu adalah soalnya Tenno Haika. Saito meminta kepada Sukarno
membacakan surat yang ditulis oleh Jepang Saito kepada sidang. Rapat menjadi
gaduh, kabarnya sangat gaduh, setelah mendengarkan isi surat kecil yang ditulis
oleh Jepang Saito begitu saja, dengan menentang putusan para wakil rakyat dan
pemuda Indonesia. Keterlibatan rapat kabarnya lepas dari tangannya Gitjo
Sukarno. Akhirnya Adam Malik berdiri sambil mengucapkan perkataan kira-kira
sebagai berikut: “Kami pemuda semuanya datang sebagai utusan rakyat. Kalau kami
harus membatalkan putusan yang telah kami ambil bersama dengan rakyat, maka
kami tak dapat bertanggung jawab kepada rakyat. Kami tak ada gunanya lagi buat
berapat di sini dan saya terpaksa meninggalkan rapat”.
Perkataan Adam Malik membelah rapat
menjadi yang ikut ke luar dan setuju dengan Republik dan yang tinggal duduk dan
tak setuju lagi dengan nama Republik atau setuju, tetapi dengan Republik yang
“dikurung” = tanda () = lantaran takut atau segan kepada Saito atau Simizu,
Ular Jepang yang terkenal.
Perlu disebutkan nama mereka, yang
mau “melompat sama patah” mengikuti sdr. Adam Malik keluar, ialah Chaerul
Saleh, Sukarni, Pandu Wiguna, B.M.Diah, Trimurti, Wikana, Sudiro (mBah), Chalid
Rasjidi, Supeno dan yang lain-lainnya tinggal duduk.
Banyak persamaan akibatnya perkataan
Adam Malik dengan akibat Merabeau dan Siyes, pada salah satu saat yang
mengandung bahaya di masa revolusi Perancis. Pemuda yang keluar rapat mengikuti
Adam Malik itu terus diawasi, bahkan dikejar-kejar oleh Kempei Jepang buat
ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Tetapi Jerman sudah menyerah. Rusia
menyerang Jepang pada 9 Agustus 1945. Tidaklah lama sesudah sidang tersebut
Bom-Atom akan dijatuhkan di Horosima.
Walaupun di Bajah saya tidak
mendengar segala peristiwa tersebut, tetapi dalam surat kabar resmi yang
terlampau banyak menyembunyikan kabar pahit buat Jepang dan cahaya mukanya
orang Jepang yang tampak, saya sudah dapat membaca, bahwa Jepang sudah terdesak
ke pinggir jurang. Jepang harus menyelesaikan peperangan dengan tentara merah
dan bom-atom Amerika lebih dahulu, sebelumnya rakyat dan Pemuda Indonesia yang
sudah benci kepada Jepang dan kaki tanganya di Indonesia sampai kerongkongan
(tenggorokan).
Pada masa itu perhubungan saya
dengan para pekerja tambang arang di Bajah, dengan rakyat Jelata di sekitar
Bajah dan dengan satu Daidan Peta di Banten Selatan sudah agak rapat juga. Pada
masa itu ancaman dari Sidokang Jepang dan ancaman Kempei-Ho terhadap jiwa saya,
berhubung dengan pidato saya di gedung bioskop Bajah, bilamana saya mengusulkan
½ liter beras sehari untuk seorang
pekerja, saya rasa sudah tak begitu perlu saya hiraukan lagi.
Kesempatan yang kabarnya hendak
diberikan oleh Gitjo Sukarno kepada para Pemuda (Angkatan Baru) untuk
mengadakan pertemuan dengan para Pemuda itu, pada pertengahan bulan Agustus,
menyebabkan pekerja pemuda Bajah mengirimkan saya (Hussein) sekali lagi ke
Jakarta sebagai wakil untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Tibalah saya pada petang hari pukul
4 di jalan Padang No.3, di rumahnya
pemuda Sukarni. Yang kedua kalinyalah saya berjumpa dengan pemuda ini.
Berhubung dengan beberapa tulisan
para pemuda dalam s.k. Aria Raja dan berhubung pula dengan berdirinya Angkatan
Muda (Bandung) dan Angkatan Baru (Jakarta), maka saya mulai insaf, bahwa jiwa
baru dan semangat baru sudah mulai menjelma dalam dadanya para pemuda Indonesia
dengan cepat pesat. Dari percakapan dengan para pemuda Sukarni dan Chaerul
Saleh pada bulan Juni yang lampau, sudah sedikit saya mendapat kesan bahwa
semenjak zaman Belanda sampai sekarang adalah juga perhubungan dengan pemuda
ini, langsung atau tidak, dengan usaha kami di luar negeri (buku MASA AKSI
dll). Tetapi saya masih memakai nama Hussein dan belum membicarakan perkara
perhubungan tersebut lebih lanjut. Saya masih menunggu kesempatan dan saat yang
lebih tepat.
Malangnya pula pemuda Sukarni
kelihatan sangat sibuk pada tanggal 15 Agustus itu. banyak orang yang keluar
masuk rumahnya dan banyak rupanya hal yang disembunyikannya. Setelah sekedarnya
saya menguraikan pendapat saya tentang waktu itu, (saya belum tahu bahwa Jepang
sudah menyerah) dan mengusulkan sikap dan persiapan yang harus dijalankan
(pergerakan Murba), maka saya ditinggalkan oleh pemuda Sukarni. Saya diminta
menunggu di asrama belakang rumahnya bersama satu dua orang lain yang belum
pernah saya kenal. Tempat saya tidur sudah ditunjukkan pula.
Waktu jauh malam Sdr. Sukarni pulang
sebentar. Tetapi sesudah itu saya tidak melihat mukanya lagi kurang lebih satu
setengah bulan sesudah Proklamasi. Dengan putusnya perhubungan dengan Sdr.
Sukarni dan Chaerul Saleh, justru satu
hari sebelum Proklamasi, sampai satu setengah bulan sesudah Proklamasi, maka
putuslah hubungan saya dengan para pemuda yang kiranya sepaham dengan saya.
Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan;
hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan. Tetapi sejarah
tidak memperdulikan penyesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia.
Apakah yang terjadi pada malam 15/16
Agustus itu?
Dari Sdr. Sukarni, Pandu Wiguna dan
lain-lain baru dibelakang hari saya mendapat keterangan seperti berikut:
Atas nama Pemuda Jakarta, maka
Sjahrir mendesak Sukarno Hatta, supaya menentukan “sikap yang tegas” terhadap
Jepang sesudah Pemerintah Jepang menyerah (14Agustus 1945). Tetapi Sukarno
Hatta tak setuju dengan maksud mengadakan MASSA AKSI terhadap Jepang. Maka oleh
rapat antara Sjahrir dan Para Pemuda diputuskan (pada tanggal 15 Agustus 1945
jam 22.00) : (“Menyingkirkan Sukarno-Hatta sebagai penghalang Aksi Rakyat dan
Pemuda. Sukarni ditunjuk untuk menyelenggarakan penyingkiran itu dan para
pemuda yang lain-lain diharuskan mempersiapkan PROKLAMASI”.
Dikawali oleh para prajurit yang
bersenjata, setelah beberapa pemuda lainnya gagal, maka akhirnya Sukarni
berhasil menjumpai berturut-turut Hatta dan Sukarno yang dikawal pula oleh para
prajurit. Sukarni terpaksa menjalankan
desakan tegas kepada Sukarno Hatta, supaya dapat berangkat ke Rengas Dengklok
(jam 4 pagi tanggal 17 Agustus 1945).
Di Rengas Dengklok Sukarno Hatta
disembunyikan dalam sebuah rumah peta. Setelah mengadakan persiapan yang cepat,
maka pasukan (Daidah) Peta, dibawah pimpinan Tjuandantjo Subeno, menawan semua
orang Jepang dan kaki-tangannya orang Indonesia (Wedanan dan lain-lain
pengikut); menduduki semua tempat yang penting; menurunkan bendera Jepang
(Hinomaru) serta menaikkan bendera Indonesia (merah putih); dan akhirnya
mempersiapkan rakyat untuk membela kemerdekaan Indonesia. Syahdan di Rengas
Dengklok dengan bendera merah putih pertama sekali di seluruh Indonesia naik ke
angkasa.
Atas pertanyaan Sukarno Hatta kepada
Sukarni, mengapa mereka dibawa ke Rengas Dengklok dan berhubung dengan itu,
maka dalam soal jawab antara Sukarno Hatta pemuda percaya, bahwa Jepang sudah
menyerah. Bahwa menurut mereka, maka kabar penyerahan Jepang adalah “bohong”;
bahwa pemuda banyak “terpengaruh oleh berita mata-mata musuh” dan kabar yang
benar, ialah kabar yang didengar oleh Sukarno Hatta sendiri dari “hoogstand
persoon” (seorang Jepang yang luhur, tak mungkin bohong), tetapi tidak disebut
namanya.
(Bukankah menurut si Jepang,
Profesor Bekki, bahwa Jepang itu selama sejarahnya dikenal, belum pernah
dijajah? Bukankah pula nyata di sini, bahwa kabar yang diterima oleh para
pemuda dengan pesawat rahasianya lebih benar daripada kabar yang diterima oleh
Sukarno Hatta dari “hoogstand persoon” seperti Mijoshi atau “penasehat” Jepang
yang lain-lain?
Dimajukan pula oleh Sukarno Hatta,
bahwa Jepang masih bersenjata lengkap, serta “Sekutu akan datang pula ke
Indonesia dengan senjata lengkap” dan bahwa Sukarno Hatta sendiri “tidak
percaya kekuatan rakyat dan Pemuda”. Berhubung dengan semacam itu, maka
perjuangan itu akan berakhir dengan “pengorbanan besar-besaran dan sia-sia
saja”. Ditanyakan pula oleh Moh. Hatta kepada Sukarni : “Wat hebben wij?”
(Senjata apa yang ada pada kita?)
Demikianlah rupanya paham MASSA
AKSI, yang sekian tahun lamanya digembar-gemborkan oleh Ir.Sukarno di masa
“Hindia Belanda” sudah beterbangan kian kemari oleh lambaian bendera Hinomaru.
Setelah beberapa lamanya perdebatan
berlaku, pertanyaan Sukarni kepada Sukarno Hatta tentang maksud kedua pemimpin
besar ini, diberi jawaban kira-kira sebagai berikut:
“Sebetulnya hari ini sudah saya
putuskan, bahwa kami (para pemimpin besar) akan mengadakan voor vergadering
(rapat semula). Besok tanggal 17 sampai tanggal 22, selambat-lambatnya tanggal
23, sudah selesai rapat di Gedung Tjuo Sangi-in, Pedjambon. Tanggal 24 semua
putusan akan dikirimkan ke Tokyo. Tanggal 24 kita akan menerima balasan
telegram (dari Markas Tentara Pendudukan Amerika? Pen.) dari Tokyo. Tanggal 25
Agustus 1945 selambat-lambatnya kita sudah merdeka”.
Komentar! Beruntunglah Indonesia
yang tidak jadi menerima kemerdekaan dari tangannya Jepang itu. bahwasanya
dengan tidak diketahui oleh Sukarno Hatta, maka pada tanggal 25 Agustus yang
dijanjikan itu akan sudah 11 harilah Jepang menyerah zonder perjanjian apa-apa.
Seandainya usul Sukarno Hatta itu dijalankan, dan seandainya pula Tenno Haika
masih leluasa memutuskan, maka kemerdekaan Indonesia yang akan diterima dari
Tokyo itu, 100% akan cocok dengan ciptaan Jepang. Dalam hal ini, maka Sekutu
akan dapat pula berkata, bahwa Republik Indonesia adalah ciptaan Jepang dan
Sekutu 100% berhak mewarisi Republik ciptaan Jepang itu, yakni mewarisi hak
miliknya negara kalah perang. Tetapi lebih besar sekali kemungkinan, telegram
Sukarno Hatta akan jatuh ke Markas Besar Tentara Amerika. Perkara dibalas atau
tidaknya telegram itu, soal bagaimana cara membalasnya dan perkara bila akan
dibalasnya semua itu akan terletak di tangan Mac Arthur! Kalau Rakyat/Pemuda
sementara itu tidak mendesak Sukarno Hatta, mungkin Proklamasi tidak akan berlaku
sama sekali. Sebagai inventarislah Indonesia dan rakyatnya bulat-bulat akan
dikembalikan ke bawah Mahkota Belanda, zonder Linggarjati, Renville dan
lain-lain.
Setelah Sukarni mengemukakan bahwa
kemerdekaan Indonesia ala Sukarno Hatta itu adalah kemerdekaan ala Jepang dan
apabila sekali lagi Sukarno Hatta mengemukakan tidak percayanya akan kekuatan
rakyat/pemuda, untuk menghadapi Jepang bersenjata lengkap yang nanti bertambah
pula dengan tentara Sekutu bersenjata lengkap, maka Sukarni akhirnya mengemukakan
putusan rakyat/pemuda Jakarta yakni:
“Bahwa rakyat/pemuda sudah
menentukan sikapnya yaitu tidak mau diserahkan oleh Jepang sebagai rakyat
jajahan kepada sekutu dan Belanda”.
Bahwa rakyat/pemuda hendak
menunjukkan sikapnya kepada dunia luar, berapapun juga besar korbannya”.
“Bahwa sekaranglah saat yang
sebaik-baiknya buat bertindak, karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”.
“Bahwa, walaupun korban di Jakarta
akan besar, kelak lain-lain tempat akan mengikuti, membela kemerdekaan”.
“Bahwa di Rengas Dengklok sendiri
Jepang dan kaki tangannya sudah ditangkap; Hinomaru sudah diturunkan; bendera
merah-putih sudah dinaikkan serta rakyat dan peta sudah dipersiapkan”.
“Bahwa Sukarno Hatta jangan
menghalang-halangi kehendak rakyat/pemuda itulah, maka mereka disingkirkan ke
Rengas Dengklok”.
Hatta menjawab: “Baiklah sejarah
akan membuktikan”.
Di Rengas Dengklok penawanan dan
penangkapan Jepang dan kaki tangannya diteruskan! Empat orang Sidokang dan
Syotjokan Sutardjo dengan para pengikutnya yang tiba di Rengas Dengklok,
katanya untuk mengadakan rapat, ditawan pula.
Pada tanggal 16 Agustus itu
tiba-tiba Jusuf Kunto sampai di Rengas Dengklok (entah dari siapa di dapat
mengetahui!) membawa Mr. Subardjo dan Sudiro (mbah). Atas pertanyaan
Sukarni-Subeno dengan maksud apakah mereka datang di Rengas Dengklok, oleh Mr.
Subardjo dijawab: “bahwa mereka setuju dengan aksi pemuda; bahwa mereka
berjanji akan memberi bantuan kepada para pemuda dan memberikan kesanggupan
mereka meyakinkan Sukarno-Hatta, supaya jangan menghalang-halangi aksi
rakyat/pemuda yang sudah bersiap-siap untuk memproklamirkan kemerdekaan”.
Oleh Mr. Subardjo seterusnya
dijanjikan pula, bahwa Sukarno-Hatta akan ikut memproklamirkan kemerdekaan!
“Leher sayalah yang akan menjadi jaminan, kalau sekiranya Sukarno-Hatta tidak
ikut memproklamirkan kemerdekaan”, jawab Mr. Subardjo atas pernyataan
Sukarni-Subeno, yang menanyakan “jaminan apakah yang dapat diberikan oleh Mr.
Subardjo”.
Barulah Mr. Subardjo dijumpakan oleh
Sukarni-Subeno dengan Sukarno-Hatta pada suatu kamar di rumah Peta di Rengas
Dengklok itu. Dalam perundingan yang berlaku, akhirnya ketiga pemimpin ialah
Sukarno-Hatta dan Subardjo, mengatakan sanggup melaksanakan proklamasi, sebelum
jam 10 malam tanggal 16 Agustus 1945. Mereka berjanji pula akan mengumpulkan
semuanya pemimpin yang ada di Jakarta untuk mengadakan Proklamasi. Kalau mereka
kelak tiada menepati janji, maka mereka akan ikhlas dijatuhi hukuman apapun
juga oleh rakyat dan pemuda.
Sukarni-Subeno tiada keberatan lagi
terhadap usul Mr. Subardjo, asal saja mendapat persetujuan dari pihak para
pemuda Jakarta. Sebelum berangkat, maka Sukarno berjanji kepada Sukarni-Subeno
akan melakukan Proklamasi. Kira-kira jam enam pagi dan paling lambatnya jam dua
belas tengah hari tanggal 17 Agustus, kabar Proklamasi pastilah akan disiarkan
di radio dan surat kabar. Sukarno meminta pula, supaya sebelumnya waktu yang
dijanjikan itu, jangan mengadakan tindakan apapun juga.
“Tetapi kalau kelak Sukarni dikenai
bahaya, awaslah pula akan jiwanya Sukarno-Hatta dan Subardjo”, demikianlah kata
perpisahan daripada Subeno, pemimpin pasukan PETA di Rengas Dengklok itu.
Peringatan itu diterima oleh Sukarno
sendiri dengan persetujuan! Dengan satu auto yang membawa Jusuf Kunto, Sudiro
(mbah) dan Rachman, berjalan di depan, dan auto yang membawa Sutardjo di
belakang, maka auto berisi Sukarno, laki-isteri dan putera, Moh. Hatta,
Subardjo dan Sukarni berjalan di tengah-tengah dan tiba di Jakarta di depan
rumahnya Hatta, lebih kurang jam 22.00. disinilah isteri dan puteranya Sukarno
diturunkan.
Sekonyong-konyong Sukarno-Hatta dan
Subardjo dijemput seorang Jepang, bernama Forada, untuk dibawa ke rumahnya
Maeda (Kaigun). Sukarni diharuskan mengikutinya. Di tangga naik rumah Maeda,
maka Sukarni diancam dengan pistol oleh seorang Jepang. Sukarno-Hatta dan
Subardjo tampil melarang, dan mengemukakan. Bahwa kalau Sukarni dibunuh, maka
mereka (Sukarno-Hatta-Subardjo) sendiri dan beberapa orang Jepang tawanan akan
ikut dibunuh oleh para pemuda kawannya Sukarni.
Di rumah Maeda sudah ada B.M. Diah,
yang baru dilepaskan Kempei dari tahanan. B.M. Diah ditawan sebagai Ketua
Angkatan Baru Indonesia. Kelihatan juga Sayuti Melik. Jepang yang hadir,
selainnya dari Maeda ialah Nishi Shima, Saito dan Mijoshi. Apabila pada jam
23.00 Jamamoto (Gunseikan) yang ditunggu-tunggu kedatangannya tidak juga
kelihatan mukanya, maka Maeda mulai membuka perundingan. Dia mengemukakan bahwa
dia mengerti dan setuju dengan hasrat pemuda, yakni Indonesia Merdeka. Malah
dia sudah siap akan membantunya. Cuma dia menyesali perpecahan antara golongan
tua dengan golongan muda Indonesia.
Hatta mengemukakan, bahwa pernyataan
kemerdekaan pada malam hari itu tak bisa dihindarkan dan dihalang-halangi lagi.
Hanya dia mengharap supaya bahaya pertempuran secara besar-besaran (antara Jepang
dan rakyat/Pemuda Indonesia) dapat dihindarkan. Dan dikemukakan pula, kalau
golongan tua tidak mengakui kehendak pemuda, maka merekapun (golongan tua) akan
terancam oleh bahaya maut. Hatta menganjurkan mencari jalan yang baik.
Sukarno-Subardjo memperkuat
pandangan Hatta dan mengatakan lebih kurang: kalau sampai lewat jam dua belas
malam ini belum ada keputusan, maka gerakan pertama barangkali akan dilakukan
oleh pemuda. Jepang dan lain-lain juga sudah banyak yang sudah ditawan. Kamipun
(yang dimaksudkan ialah Sukarno Hatta Subardjo) adalah dalam bahaya.
Setelah perundingan selesai, maka
Sukarno berangkat katanya hendak menjumpai Jamamoto (Gunseikan) yang ingin
berbicara dan Sukarno berjanji akan menyelenggarakan Proklamasi dan
mengumpulkan para pemimpin.
Sukarni dan Chaerul Saleh berangkat
ke Manggarai menjumpai Sjahrir, Maruto, Pandu, Adam Malik, Kusnian, Djawoto dan
lain-lain. Setelah Sukarni memberikan laporan perjalanannya ke Rengas Dengklok
kepada mereka tersebut di atas ini, maka diputuskanlah, bahwa yang akan menanda
tangani proklamasi ialah enam orang pemuda (bukan para pemimpin besar) dan
Sukarni beserta Chaerul Saleh diwajibkan menghadiri rapat yang akan diadakan.
Yang hadir dalam rapat (lk. Jam 3.00
tanggal 1 Agustus 1945) ialah 1) Mr. Subardjo. 2) M. Sutardjo. 3) Tengku Moh.
Hassan. 4) Mr. Latuharhary. 5) Dr. Radjiman Widyodininggrat. 6) Dr. Moh. Amir.
7) Mr. Dr. Supomo 8) G.S.S.J. Ratulangi 9) I.Gusti Ketut Pudja. 10) R. Oto
Iskandar Dinata. 11) Ande Sultan Daeng Radja. 12) Mr. A. Abbas 13) Andi
Pangeran. 14) Supeno. 15) Gunadi. 16). Semaun Bakri 17)Sajuti Melik 18)
B.M.Diah. 19) Jusuf Kunto. 20) Chaerul Saleh 21) Sukarni. 22) Dr.Samsi 23) Dr.
Buntaran. 24) Mr. Iwa Kusumasumantri 25). Kamidhan. 26). A.R.Rivai.
Baru hampir jam 4 pagi 17 Agustus Sukarno
Hatta datang sesudah tulisan PROKLAMASI diselesaikan bersama-sama oleh Sajuti
Melik, Chaerul Saleh dan Sukarni, yang disetuji rapat dan berbunyi:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan
KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dengan
cara saksama dan
dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno Hatta
Berhubung dengan soal penanda
tanganan Proklamasi, maka Chaerul Saleh, wakil pemuda memajukan enam nama yang
sudah diputuskan dalam rapat di Manggarai. Tetapi rapat Proklamasi menghendaki
supaya semuanya nama mereka yang hadir dicantumkan dalam Proklamasi, Sukarni
berkeberatan mencampurkan nama enam pemuda tadi dengan nama mereka yang
disetujui dan dimajukan oleh Kempei Jepang, dia mengemukakan, supaya nama enam
pemuda tiada diumumkan sama sekali dan memajukan supaya Sukarno Hatta saja yang
menanda tangani.
Usul ini disetujui dan Proklamasi
dibacakan oleh Sukarno jam 4.00 pagi 17 Agustus 1945.
Sesudah Proklamasi, maka Chaerul
Saleh dan Sukarni diajak oleh Nishima ke rumah no.70 Kebon Sirih, katanya untuk mengaso. Tetapi nyata, bahwa
mereka dipancing ke sana buat ditahan. Sukarni yang selamanya ini berlaku
sebagai pertindak atas nama pemuda Jakarta, oleh Jepang tadi diancam dengan
pistol ketika hendak keluar. Tetapi usaha Chaerul Saleh hendak keluar sudah
berhasil. Dia bisa mendapatkan auto menjemput Sukarni dan bersama-sama mereka
berangkat ke tempat persembunyian.
Di Kepuh Selatan Jakarta para pemuda
bermaksud mengadakan pertemuan. Tetapi Sjahrir tidak datang lagi dan cuma
mengirimkan salah seorang pengikutnya saja. Di sini sudah kelihatan retak
antara Sjahrir cs. Pada satu pihak, yang dibelakang hari tercemplung ke dalam
diplomasi Linggarjati dan para pemuda di lain pihak yang dibelakang hari
bersandar pada Minimum Program Persatuan Perjuangan serta membela kemerdekaan
100%, ialah para pemuda Maruto, Armunanto, Sukarni, Pandu, Chaerul Saleh, Adam
Malik dan lain-lain.
Pada tanggal 18 Agustus Chaerul
Saleh bersama Jusuf Kunto mengajak Sukarni berkumpul dengan para pemuda lain di
Kramat, Asrama Ikadaigaku
(Ketabiban). Di sini dibicarakan tentangan sesuatu rapat yang bermaksud hendak
membentuk Undang-Undang Dasar, di Pejompongan, di mana juga nama Chaerul Saleh,
Sukarni, Adam Malik dan Wikana diputuskan, supaya empat pemuda tersebut pergi
menghadiri rapat pembentukan UUD itu. Diputuskan pula, bahwa mereka Pemuda akan
membentuk Panitia Kebangsaan Indonesia (Komite Nasional Indonesia), yang akan
merancang segala urusan negara dan akan diserahkan kepada Sukarno Hatta untuk
dijalankan. Kemudian ditetapkan pula akan membentuk KOMITE v. AKSI yang
berkewajiban mengatur dan memimpin gerakan militer serta rakyat/pemuda.
Setelah di Pejambon terbukti bahwa
masih ada orang Jepang (ialah Mijoshi, Saito dan Nishishima) dalam rapat
pembentukan UUD tadi, maka empat pemuda tadi cocok dengan putusan rapat pemuda
di asrama ketabiban seperti tersebut di atas MEMBOIKOT pembentukan UUD itu.
Di rapat Penjambon, yang dihadiri
oleh lk.40 orang itulah atas usulnya Oto Iskandar Dinata, usul mana cocok
dengan kehendak Jenderal Terauchi di Saigon (9 Agustus), yang menetapkan
Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Moh. Hatta
sebagai wakil ketua, jadi dengan tidak mengadakan tegen-candidaat (calon
saingan) menurut cara demokrasi, maka Sukarno dipilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden ialah buat sementara waktu.
Beralaskan sekadarnya bukti yang
saya kemukakan di atas cukuplah sudah keterangan buat menjelaskan, bahwa
Proklamasi 17 Agustus bukanlah berlaku atas inisiatif dan persetujuan hati
kecilnya Sukarno Hatta. Mereka melakukan
itu karena desakan pemuda Jakarta yang dibantu oleh rakyat.
Kalau soal Kemerdekaan Indonesia itu
diserahkan begitu saja kepada Sukarno Hatta, maka menurut perhitungan mereka,
kemerdekaan itu paling cepat akan diproklamirkan pada tanggal 24 Agustus 1945,
dan kemerdeakaan Indonesia itu sudahlah tentu akan mempunyai bentuk dan isi
menurut kehendak Kempei Jepang. Ada pula kemungkinan, bahwa dan akan diserahkan
oleh Tenno Haika kepada Sekutu, sebagai milik (inventaris) negara kalah kepada
negara menang.
Nyatalah sudah dari sejarah di
sekitar Proklamasi seperti tersebut di atas:
1. Bahwa Sukarno Hatta tidak percaya akan kekuatan yang hebat tersembunyi
dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa dinamis dan merdeka.
2. Bahwa Sukarno Hatta cuma
memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda
semata-mata.
3. Bahwa Sukarno Hatta seperti
dibuktikan oleh 3,5 tahun sejarah di bawah Jepang sudi menerima janji dan
status di bawah Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan
oleh Jepang kepada rakyat Indonesia.
Tetapi rakyat/pemuda Indonesia
dengan gembira menyambut dan dengan ketabahan, tekad dan pengorbanan tenaga,
harta benda dan jiwa yang besarnya di luar semua dugaan membela kemerdekaan
yang diproklamirkan ke seluruh Indonesia itu.
Pertentangan antar paham, sikap dan tindakan
Sukarno Hatta dengan paham sikap dan tindakan rakyat/pemuda terhadap hak
kemerdekaan dan hak membela kemerdekaan itulah yang sampai sekarang (Maret
1948) menjadi kesedihan sejarah dan sejarah kesedihan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar