Kamis, 07 April 2016

Di Sekitar Peristiwa Proklamasi

           Dunia menganggap bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan oleh atas dasar inisiatif Sukarno Hatta. Cuma beberapa orang saja mengetahui, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh Sukarno Hatta, tetapi atas inisiatif, bahkan tidak dengan persetujuan Sukarno Hatta, Proklamasi 17 Agustus bukanlah oleh kemauan Sukarno Hatta. Proklamasi itu berlaku, walaupun tidak menurut kemauan Sukarno Hatta. Kalau ada PROKLAMASI yang mendapat persetujuan penuh dari Sukarno Hatta, maka Proklamasi semacam itu oleh Sekutu akan sudah dituduhkan sebagai PROKLAMASI JEPANG. Banyak orang yang akan tersinggung hatinya mendengarkan keterangan tersebut di atas itu. tetapi sesuatu sejarah bukanlah suatu impian, pengharapan atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar atau para pemegang kekuasaan belaka; melainkan suatu  kejadian yang memang sudah terbukti. Inilah maksudnya sedikit tulisan ini, ialah memberi sekedarnya penerangan tentang peristiwa sebelum sedang dan sedikit waktu setelah Proklamasi,  menurut penyaksian saya sendiri dan penyaksian beberapa orang lain, yang saya kenal.
Rupanya sudah ada usaha untuk menghitam-putihkan Sejarah Proklamasi. Untuk mengimbangi usaha semacam itu dan membela kebenaran dan mewariskan yang kami anggap kebenaran Sejarah Proklamasi yang benar itu kepada turunan kitalah, maksud saya memberikan sedikit keterangan tentangan sejarah proklamasi itu disini, yakni menurut pandangan dan pendengaran saya sendiri.
Pada bulan Juni 1945, saya sebagai Ketua Anak Ranting B.P.P Bajah diundang oleh Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga Peta) di Rangkas Bitung buat menghadiri satu rapat yang bermaksud menentukan sikap dan memilih wakil yang akan dikirim ke Jakarta. Di Jakarta akan diadakan pula konferensi para pemuda yang dibelakang hari menamai organisasinya Angkatan Baru Indonesia yang menuntut kemerdekaan Indonesia pada ketika itu juga dan menentang keras sikapnya Para Pemimpin Tua (resmi).
Di antara beberapa wakil dan seluruhnya daerah Banten yang hadir di Rangkas Bitung tadi, saya terpilih sebagai utusan ke Jakarta. Di Jakarta saya dengan nama HUSSEIN cuma baru dapat berjumpa dengan pemuda Anwar dan Harsono Tjokroaminoto, Chairul Saleh, Sukarni dan B.M. Diah. Saya belum dapat menjumpai para pemuda Pandu K. Wiguna dan Wikana yang namanya juga diperkenalkan kepada saya di Banten. Saya tidak dapat mengunjungi konferensi yang dimaksudkan itu, karena memangnya konferensi itu tidak jadi berlangsung, sebab Jepang tidak mengizinkan. Saya terpaksa lekas kembali ke Bajah, menjalankan pekerjaan saya sebagai pegawai ditambang arang.
Pada tanggal 15 Juni 1945 berdirilah Angkatan Baru Indonesia, yang “mempunyai Konsepnya sendiri” yang diurus oleh para pemuda Harsono, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Supeno, Wikana dan lain-lain.
Rakyat dan pemuda yang sudah amat bosan pula dengan HOKOKAI rupanya mendorong Jepang mendirikan gerakan yang bernama baru, tetapi berisi usang. Gerakan itu dinamai Gerakan Baru, sebagai calon pengganti HOKOKAI. Dalam sidang pertama pada tanggal 6 bulan Juli dipersoalkan nama, tujuan dan organisasi. Rapat ini diketuai oleh Gitjo Sukarno. Yang hadir juga para anggota Panitia kecil, yakni Mr. Subardjo, Mr.Moh.Yamin, Drs. Moh. Hatta, Abikusno dan lain-lain beserta para pemuda, yakni Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Supeno, Trimurti, Dr. Muwardi, Sudiro (mBah), Harsono, Sutomo (Bung Tomo) dan lain-lain.
Perdebatan terpusat pada istilah Republik. Usul Panitia Kecil supaya nama Republik dikurung saja, ditolak oleh Rapat. Rapat memutuskan supaya nama Republik dipakai terus terang saja.
Jepang Gunseikanbu, bernama Saito, tak setuju dengan nama itu dan melayangkan sepucuk surat, secara main belakang, kepada Ketua Rapat Sukarno. Menurut Jepang Saito ini soal bentuk Republik atau lain bentuk itu adalah soalnya Tenno Haika. Saito meminta kepada Sukarno membacakan surat yang ditulis oleh Jepang Saito kepada sidang. Rapat menjadi gaduh, kabarnya sangat gaduh, setelah mendengarkan isi surat kecil yang ditulis oleh Jepang Saito begitu saja, dengan menentang putusan para wakil rakyat dan pemuda Indonesia. Keterlibatan rapat kabarnya lepas dari tangannya Gitjo Sukarno. Akhirnya Adam Malik berdiri sambil mengucapkan perkataan kira-kira sebagai berikut: “Kami pemuda semuanya datang sebagai utusan rakyat. Kalau kami harus membatalkan putusan yang telah kami ambil bersama dengan rakyat, maka kami tak dapat bertanggung jawab kepada rakyat. Kami tak ada gunanya lagi buat berapat di sini dan saya terpaksa meninggalkan rapat”.
Perkataan Adam Malik membelah rapat menjadi yang ikut ke luar dan setuju dengan Republik dan yang tinggal duduk dan tak setuju lagi dengan nama Republik atau setuju, tetapi dengan Republik yang “dikurung” = tanda () = lantaran takut atau segan kepada Saito atau Simizu, Ular Jepang yang terkenal.
Perlu disebutkan nama mereka, yang mau “melompat sama patah” mengikuti sdr. Adam Malik keluar, ialah Chaerul Saleh, Sukarni, Pandu Wiguna, B.M.Diah, Trimurti, Wikana, Sudiro (mBah), Chalid Rasjidi, Supeno dan yang lain-lainnya tinggal duduk.
Banyak persamaan akibatnya perkataan Adam Malik dengan akibat Merabeau dan Siyes, pada salah satu saat yang mengandung bahaya di masa revolusi Perancis. Pemuda yang keluar rapat mengikuti Adam Malik itu terus diawasi, bahkan dikejar-kejar oleh Kempei Jepang buat ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Tetapi Jerman sudah menyerah. Rusia menyerang Jepang pada 9 Agustus 1945. Tidaklah lama sesudah sidang tersebut Bom-Atom akan dijatuhkan di Horosima.
Walaupun di Bajah saya tidak mendengar segala peristiwa tersebut, tetapi dalam surat kabar resmi yang terlampau banyak menyembunyikan kabar pahit buat Jepang dan cahaya mukanya orang Jepang yang tampak, saya sudah dapat membaca, bahwa Jepang sudah terdesak ke pinggir jurang. Jepang harus menyelesaikan peperangan dengan tentara merah dan bom-atom Amerika lebih dahulu, sebelumnya rakyat dan Pemuda Indonesia yang sudah benci kepada Jepang dan kaki tanganya di Indonesia sampai kerongkongan (tenggorokan).
Pada masa itu perhubungan saya dengan para pekerja tambang arang di Bajah, dengan rakyat Jelata di sekitar Bajah dan dengan satu Daidan Peta di Banten Selatan sudah agak rapat juga. Pada masa itu ancaman dari Sidokang Jepang dan ancaman Kempei-Ho terhadap jiwa saya, berhubung dengan pidato saya di gedung bioskop Bajah, bilamana saya mengusulkan ½ liter  beras sehari untuk seorang pekerja, saya rasa sudah tak begitu perlu saya hiraukan lagi.
Kesempatan yang kabarnya hendak diberikan oleh Gitjo Sukarno kepada para Pemuda (Angkatan Baru) untuk mengadakan pertemuan dengan para Pemuda itu, pada pertengahan bulan Agustus, menyebabkan pekerja pemuda Bajah mengirimkan saya (Hussein) sekali lagi ke Jakarta sebagai wakil untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Tibalah saya pada petang hari pukul 4 di jalan Padang No.3, di rumahnya pemuda Sukarni. Yang kedua kalinyalah saya berjumpa dengan pemuda ini.
Berhubung dengan beberapa tulisan para pemuda dalam s.k. Aria Raja dan berhubung pula dengan berdirinya Angkatan Muda (Bandung) dan Angkatan Baru (Jakarta), maka saya mulai insaf, bahwa jiwa baru dan semangat baru sudah mulai menjelma dalam dadanya para pemuda Indonesia dengan cepat pesat. Dari percakapan dengan para pemuda Sukarni dan Chaerul Saleh pada bulan Juni yang lampau, sudah sedikit saya mendapat kesan bahwa semenjak zaman Belanda sampai sekarang adalah juga perhubungan dengan pemuda ini, langsung atau tidak, dengan usaha kami di luar negeri (buku MASA AKSI dll). Tetapi saya masih memakai nama Hussein dan belum membicarakan perkara perhubungan tersebut lebih lanjut. Saya masih menunggu kesempatan dan saat yang lebih tepat.
Malangnya pula pemuda Sukarni kelihatan sangat sibuk pada tanggal 15 Agustus itu. banyak orang yang keluar masuk rumahnya dan banyak rupanya hal yang disembunyikannya. Setelah sekedarnya saya menguraikan pendapat saya tentang waktu itu, (saya belum tahu bahwa Jepang sudah menyerah) dan mengusulkan sikap dan persiapan yang harus dijalankan (pergerakan Murba), maka saya ditinggalkan oleh pemuda Sukarni. Saya diminta menunggu di asrama belakang rumahnya bersama satu dua orang lain yang belum pernah saya kenal. Tempat saya tidur sudah ditunjukkan pula.
Waktu jauh malam Sdr. Sukarni pulang sebentar. Tetapi sesudah itu saya tidak melihat mukanya lagi kurang lebih satu setengah bulan sesudah Proklamasi. Dengan putusnya perhubungan dengan Sdr. Sukarni dan Chaerul Saleh,  justru satu hari sebelum Proklamasi, sampai satu setengah bulan sesudah Proklamasi, maka putuslah hubungan saya dengan para pemuda yang kiranya sepaham dengan saya. Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan; hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan. Tetapi sejarah tidak memperdulikan penyesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia.

Apakah yang terjadi pada malam 15/16 Agustus itu?

Dari Sdr. Sukarni, Pandu Wiguna dan lain-lain baru dibelakang hari saya mendapat keterangan seperti berikut:
Atas nama Pemuda Jakarta, maka Sjahrir mendesak Sukarno Hatta, supaya menentukan “sikap yang tegas” terhadap Jepang sesudah Pemerintah Jepang menyerah (14Agustus 1945). Tetapi Sukarno Hatta tak setuju dengan maksud mengadakan MASSA AKSI terhadap Jepang. Maka oleh rapat antara Sjahrir dan Para Pemuda diputuskan (pada tanggal 15 Agustus 1945 jam 22.00) : (“Menyingkirkan Sukarno-Hatta sebagai penghalang Aksi Rakyat dan Pemuda. Sukarni ditunjuk untuk menyelenggarakan penyingkiran itu dan para pemuda yang lain-lain diharuskan mempersiapkan PROKLAMASI”.
Dikawali oleh para prajurit yang bersenjata, setelah beberapa pemuda lainnya gagal, maka akhirnya Sukarni berhasil menjumpai berturut-turut Hatta dan Sukarno yang dikawal pula oleh para prajurit. Sukarni terpaksa  menjalankan desakan tegas kepada Sukarno Hatta, supaya dapat berangkat ke Rengas Dengklok (jam 4 pagi tanggal 17 Agustus 1945).
Di Rengas Dengklok Sukarno Hatta disembunyikan dalam sebuah rumah peta. Setelah mengadakan persiapan yang cepat, maka pasukan (Daidah) Peta, dibawah pimpinan Tjuandantjo Subeno, menawan semua orang Jepang dan kaki-tangannya orang Indonesia (Wedanan dan lain-lain pengikut); menduduki semua tempat yang penting; menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) serta menaikkan bendera Indonesia (merah putih); dan akhirnya mempersiapkan rakyat untuk membela kemerdekaan Indonesia. Syahdan di Rengas Dengklok dengan bendera merah putih pertama sekali di seluruh Indonesia naik ke angkasa.
Atas pertanyaan Sukarno Hatta kepada Sukarni, mengapa mereka dibawa ke Rengas Dengklok dan berhubung dengan itu, maka dalam soal jawab antara Sukarno Hatta pemuda percaya, bahwa Jepang sudah menyerah. Bahwa menurut mereka, maka kabar penyerahan Jepang adalah “bohong”; bahwa pemuda banyak “terpengaruh oleh berita mata-mata musuh” dan kabar yang benar, ialah kabar yang didengar oleh Sukarno Hatta sendiri dari “hoogstand persoon” (seorang Jepang yang luhur, tak mungkin bohong), tetapi tidak disebut namanya.
(Bukankah menurut si Jepang, Profesor Bekki, bahwa Jepang itu selama sejarahnya dikenal, belum pernah dijajah? Bukankah pula nyata di sini, bahwa kabar yang diterima oleh para pemuda dengan pesawat rahasianya lebih benar daripada kabar yang diterima oleh Sukarno Hatta dari “hoogstand persoon” seperti Mijoshi atau “penasehat” Jepang yang lain-lain?
Dimajukan pula oleh Sukarno Hatta, bahwa Jepang masih bersenjata lengkap, serta “Sekutu akan datang pula ke Indonesia dengan senjata lengkap” dan bahwa Sukarno Hatta sendiri “tidak percaya kekuatan rakyat dan Pemuda”. Berhubung dengan semacam itu, maka perjuangan itu akan berakhir dengan “pengorbanan besar-besaran dan sia-sia saja”. Ditanyakan pula oleh Moh. Hatta kepada Sukarni : “Wat hebben wij?” (Senjata apa yang ada pada kita?)
Demikianlah rupanya paham MASSA AKSI, yang sekian tahun lamanya digembar-gemborkan oleh Ir.Sukarno di masa “Hindia Belanda” sudah beterbangan kian kemari oleh lambaian bendera Hinomaru.
Setelah beberapa lamanya perdebatan berlaku, pertanyaan Sukarni kepada Sukarno Hatta tentang maksud kedua pemimpin besar ini, diberi jawaban kira-kira sebagai berikut:
“Sebetulnya hari ini sudah saya putuskan, bahwa kami (para pemimpin besar) akan mengadakan voor vergadering (rapat semula). Besok tanggal 17 sampai tanggal 22, selambat-lambatnya tanggal 23, sudah selesai rapat di Gedung Tjuo Sangi-in, Pedjambon. Tanggal 24 semua putusan akan dikirimkan ke Tokyo. Tanggal 24 kita akan menerima balasan telegram (dari Markas Tentara Pendudukan Amerika? Pen.) dari Tokyo. Tanggal 25 Agustus 1945 selambat-lambatnya kita sudah merdeka”.
Komentar! Beruntunglah Indonesia yang tidak jadi menerima kemerdekaan dari tangannya Jepang itu. bahwasanya dengan tidak diketahui oleh Sukarno Hatta, maka pada tanggal 25 Agustus yang dijanjikan itu akan sudah 11 harilah Jepang menyerah zonder perjanjian apa-apa. Seandainya usul Sukarno Hatta itu dijalankan, dan seandainya pula Tenno Haika masih leluasa memutuskan, maka kemerdekaan Indonesia yang akan diterima dari Tokyo itu, 100% akan cocok dengan ciptaan Jepang. Dalam hal ini, maka Sekutu akan dapat pula berkata, bahwa Republik Indonesia adalah ciptaan Jepang dan Sekutu 100% berhak mewarisi Republik ciptaan Jepang itu, yakni mewarisi hak miliknya negara kalah perang. Tetapi lebih besar sekali kemungkinan, telegram Sukarno Hatta akan jatuh ke Markas Besar Tentara Amerika. Perkara dibalas atau tidaknya telegram itu, soal bagaimana cara membalasnya dan perkara bila akan dibalasnya semua itu akan terletak di tangan Mac Arthur! Kalau Rakyat/Pemuda sementara itu tidak mendesak Sukarno Hatta, mungkin Proklamasi tidak akan berlaku sama sekali. Sebagai inventarislah Indonesia dan rakyatnya bulat-bulat akan dikembalikan ke bawah Mahkota Belanda, zonder Linggarjati, Renville dan lain-lain.
Setelah Sukarni mengemukakan bahwa kemerdekaan Indonesia ala Sukarno Hatta itu adalah kemerdekaan ala Jepang dan apabila sekali lagi Sukarno Hatta mengemukakan tidak percayanya akan kekuatan rakyat/pemuda, untuk menghadapi Jepang bersenjata lengkap yang nanti bertambah pula dengan tentara Sekutu bersenjata lengkap, maka Sukarni akhirnya mengemukakan putusan rakyat/pemuda Jakarta yakni:
“Bahwa rakyat/pemuda sudah menentukan sikapnya yaitu tidak mau diserahkan oleh Jepang sebagai rakyat jajahan kepada sekutu dan Belanda”.
Bahwa rakyat/pemuda hendak menunjukkan sikapnya kepada dunia luar, berapapun juga besar korbannya”.
“Bahwa sekaranglah saat yang sebaik-baiknya buat bertindak, karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”.
“Bahwa, walaupun korban di Jakarta akan besar, kelak lain-lain tempat akan mengikuti, membela kemerdekaan”.
“Bahwa di Rengas Dengklok sendiri Jepang dan kaki tangannya sudah ditangkap; Hinomaru sudah diturunkan; bendera merah-putih sudah dinaikkan serta rakyat dan peta sudah dipersiapkan”.
“Bahwa Sukarno Hatta jangan menghalang-halangi kehendak rakyat/pemuda itulah, maka mereka disingkirkan ke Rengas Dengklok”.
Hatta menjawab: “Baiklah sejarah akan membuktikan”.
Di Rengas Dengklok penawanan dan penangkapan Jepang dan kaki tangannya diteruskan! Empat orang Sidokang dan Syotjokan Sutardjo dengan para pengikutnya yang tiba di Rengas Dengklok, katanya untuk mengadakan rapat, ditawan pula.
Pada tanggal 16 Agustus itu tiba-tiba Jusuf Kunto sampai di Rengas Dengklok (entah dari siapa di dapat mengetahui!) membawa Mr. Subardjo dan Sudiro (mbah). Atas pertanyaan Sukarni-Subeno dengan maksud apakah mereka datang di Rengas Dengklok, oleh Mr. Subardjo dijawab: “bahwa mereka setuju dengan aksi pemuda; bahwa mereka berjanji akan memberi bantuan kepada para pemuda dan memberikan kesanggupan mereka meyakinkan Sukarno-Hatta, supaya jangan menghalang-halangi aksi rakyat/pemuda yang sudah bersiap-siap untuk memproklamirkan kemerdekaan”.
Oleh Mr. Subardjo seterusnya dijanjikan pula, bahwa Sukarno-Hatta akan ikut memproklamirkan kemerdekaan! “Leher sayalah yang akan menjadi jaminan, kalau sekiranya Sukarno-Hatta tidak ikut memproklamirkan kemerdekaan”, jawab Mr. Subardjo atas pernyataan Sukarni-Subeno, yang menanyakan “jaminan apakah yang dapat diberikan oleh Mr. Subardjo”.
Barulah Mr. Subardjo dijumpakan oleh Sukarni-Subeno dengan Sukarno-Hatta pada suatu kamar di rumah Peta di Rengas Dengklok itu. Dalam perundingan yang berlaku, akhirnya ketiga pemimpin ialah Sukarno-Hatta dan Subardjo, mengatakan sanggup melaksanakan proklamasi, sebelum jam 10 malam tanggal 16 Agustus 1945. Mereka berjanji pula akan mengumpulkan semuanya pemimpin yang ada di Jakarta untuk mengadakan Proklamasi. Kalau mereka kelak tiada menepati janji, maka mereka akan ikhlas dijatuhi hukuman apapun juga oleh rakyat dan pemuda.
Sukarni-Subeno tiada keberatan lagi terhadap usul Mr. Subardjo, asal saja mendapat persetujuan dari pihak para pemuda Jakarta. Sebelum berangkat, maka Sukarno berjanji kepada Sukarni-Subeno akan melakukan Proklamasi. Kira-kira jam enam pagi dan paling lambatnya jam dua belas tengah hari tanggal 17 Agustus, kabar Proklamasi pastilah akan disiarkan di radio dan surat kabar. Sukarno meminta pula, supaya sebelumnya waktu yang dijanjikan itu, jangan mengadakan tindakan apapun juga.
“Tetapi kalau kelak Sukarni dikenai bahaya, awaslah pula akan jiwanya Sukarno-Hatta dan Subardjo”, demikianlah kata perpisahan daripada Subeno, pemimpin pasukan PETA di Rengas Dengklok itu.
Peringatan itu diterima oleh Sukarno sendiri dengan persetujuan! Dengan satu auto yang membawa Jusuf Kunto, Sudiro (mbah) dan Rachman, berjalan di depan, dan auto yang membawa Sutardjo di belakang, maka auto berisi Sukarno, laki-isteri dan putera, Moh. Hatta, Subardjo dan Sukarni berjalan di tengah-tengah dan tiba di Jakarta di depan rumahnya Hatta, lebih kurang jam 22.00. disinilah isteri dan puteranya Sukarno diturunkan.
Sekonyong-konyong Sukarno-Hatta dan Subardjo dijemput seorang Jepang, bernama Forada, untuk dibawa ke rumahnya Maeda (Kaigun). Sukarni diharuskan mengikutinya. Di tangga naik rumah Maeda, maka Sukarni diancam dengan pistol oleh seorang Jepang. Sukarno-Hatta dan Subardjo tampil melarang, dan mengemukakan. Bahwa kalau Sukarni dibunuh, maka mereka (Sukarno-Hatta-Subardjo) sendiri dan beberapa orang Jepang tawanan akan ikut dibunuh oleh para pemuda kawannya Sukarni.
Di rumah Maeda sudah ada B.M. Diah, yang baru dilepaskan Kempei dari tahanan. B.M. Diah ditawan sebagai Ketua Angkatan Baru Indonesia. Kelihatan juga Sayuti Melik. Jepang yang hadir, selainnya dari Maeda ialah Nishi Shima, Saito dan Mijoshi. Apabila pada jam 23.00 Jamamoto (Gunseikan) yang ditunggu-tunggu kedatangannya tidak juga kelihatan mukanya, maka Maeda mulai membuka perundingan. Dia mengemukakan bahwa dia mengerti dan setuju dengan hasrat pemuda, yakni Indonesia Merdeka. Malah dia sudah siap akan membantunya. Cuma dia menyesali perpecahan antara golongan tua dengan golongan muda Indonesia.
Hatta mengemukakan, bahwa pernyataan kemerdekaan pada malam hari itu tak bisa dihindarkan dan dihalang-halangi lagi. Hanya dia mengharap supaya bahaya pertempuran secara besar-besaran (antara Jepang dan rakyat/Pemuda Indonesia) dapat dihindarkan. Dan dikemukakan pula, kalau golongan tua tidak mengakui kehendak pemuda, maka merekapun (golongan tua) akan terancam oleh bahaya maut. Hatta menganjurkan mencari jalan yang baik.
Sukarno-Subardjo memperkuat pandangan Hatta dan mengatakan lebih kurang: kalau sampai lewat jam dua belas malam ini belum ada keputusan, maka gerakan pertama barangkali akan dilakukan oleh pemuda. Jepang dan lain-lain juga sudah banyak yang sudah ditawan. Kamipun (yang dimaksudkan ialah Sukarno Hatta Subardjo) adalah dalam bahaya.
Setelah perundingan selesai, maka Sukarno berangkat katanya hendak menjumpai Jamamoto (Gunseikan) yang ingin berbicara dan Sukarno berjanji akan menyelenggarakan Proklamasi dan mengumpulkan para pemimpin.
Sukarni dan Chaerul Saleh berangkat ke Manggarai menjumpai Sjahrir, Maruto, Pandu, Adam Malik, Kusnian, Djawoto dan lain-lain. Setelah Sukarni memberikan laporan perjalanannya ke Rengas Dengklok kepada mereka tersebut di atas ini, maka diputuskanlah, bahwa yang akan menanda tangani proklamasi ialah enam orang pemuda (bukan para pemimpin besar) dan Sukarni beserta Chaerul Saleh diwajibkan menghadiri rapat yang akan diadakan.
Yang hadir dalam rapat (lk. Jam 3.00 tanggal 1 Agustus 1945) ialah 1) Mr. Subardjo. 2) M. Sutardjo. 3) Tengku Moh. Hassan. 4) Mr. Latuharhary. 5) Dr. Radjiman Widyodininggrat. 6) Dr. Moh. Amir. 7) Mr. Dr. Supomo 8) G.S.S.J. Ratulangi 9) I.Gusti Ketut Pudja. 10) R. Oto Iskandar Dinata. 11) Ande Sultan Daeng Radja. 12) Mr. A. Abbas 13) Andi Pangeran. 14) Supeno. 15) Gunadi. 16). Semaun Bakri 17)Sajuti Melik 18) B.M.Diah. 19) Jusuf Kunto. 20) Chaerul Saleh 21) Sukarni. 22) Dr.Samsi 23) Dr. Buntaran. 24) Mr. Iwa Kusumasumantri 25). Kamidhan. 26). A.R.Rivai.

Baru hampir jam 4 pagi 17 Agustus Sukarno Hatta datang sesudah tulisan PROKLAMASI diselesaikan bersama-sama oleh Sajuti Melik, Chaerul Saleh dan Sukarni, yang disetuji rapat dan berbunyi:

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno Hatta

Berhubung dengan soal penanda tanganan Proklamasi, maka Chaerul Saleh, wakil pemuda memajukan enam nama yang sudah diputuskan dalam rapat di Manggarai. Tetapi rapat Proklamasi menghendaki supaya semuanya nama mereka yang hadir dicantumkan dalam Proklamasi, Sukarni berkeberatan mencampurkan nama enam pemuda tadi dengan nama mereka yang disetujui dan dimajukan oleh Kempei Jepang, dia mengemukakan, supaya nama enam pemuda tiada diumumkan sama sekali dan memajukan supaya Sukarno Hatta saja yang menanda tangani.
Usul ini disetujui dan Proklamasi dibacakan oleh Sukarno jam 4.00 pagi 17 Agustus 1945.
Sesudah Proklamasi, maka Chaerul Saleh dan Sukarni diajak oleh Nishima ke rumah no.70 Kebon Sirih, katanya untuk mengaso. Tetapi nyata, bahwa mereka dipancing ke sana buat ditahan. Sukarni yang selamanya ini berlaku sebagai pertindak atas nama pemuda Jakarta, oleh Jepang tadi diancam dengan pistol ketika hendak keluar. Tetapi usaha Chaerul Saleh hendak keluar sudah berhasil. Dia bisa mendapatkan auto menjemput Sukarni dan bersama-sama mereka berangkat ke tempat persembunyian.
Di Kepuh Selatan Jakarta para pemuda bermaksud mengadakan pertemuan. Tetapi Sjahrir tidak datang lagi dan cuma mengirimkan salah seorang pengikutnya saja. Di sini sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. Pada satu pihak, yang dibelakang hari tercemplung ke dalam diplomasi Linggarjati dan para pemuda di lain pihak yang dibelakang hari bersandar pada Minimum Program Persatuan Perjuangan serta membela kemerdekaan 100%, ialah para pemuda Maruto, Armunanto, Sukarni, Pandu, Chaerul Saleh, Adam Malik dan lain-lain.
Pada tanggal 18 Agustus Chaerul Saleh bersama Jusuf Kunto mengajak Sukarni berkumpul dengan para pemuda lain di Kramat, Asrama Ikadaigaku (Ketabiban). Di sini dibicarakan tentangan sesuatu rapat yang bermaksud hendak membentuk Undang-Undang Dasar, di Pejompongan, di mana juga nama Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik dan Wikana diputuskan, supaya empat pemuda tersebut pergi menghadiri rapat pembentukan UUD itu. Diputuskan pula, bahwa mereka Pemuda akan membentuk Panitia Kebangsaan Indonesia (Komite Nasional Indonesia), yang akan merancang segala urusan negara dan akan diserahkan kepada Sukarno Hatta untuk dijalankan. Kemudian ditetapkan pula akan membentuk KOMITE v. AKSI yang berkewajiban mengatur dan memimpin gerakan militer serta rakyat/pemuda.
Setelah di Pejambon terbukti bahwa masih ada orang Jepang (ialah Mijoshi, Saito dan Nishishima) dalam rapat pembentukan UUD tadi, maka empat pemuda tadi cocok dengan putusan rapat pemuda di asrama ketabiban seperti tersebut di atas MEMBOIKOT pembentukan UUD itu.
Di rapat Penjambon, yang dihadiri oleh lk.40 orang itulah atas usulnya Oto Iskandar Dinata, usul mana cocok dengan kehendak Jenderal Terauchi di Saigon (9 Agustus), yang menetapkan Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Moh. Hatta sebagai wakil ketua, jadi dengan tidak mengadakan tegen-candidaat (calon saingan) menurut cara demokrasi, maka Sukarno dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden ialah buat sementara waktu.
Beralaskan sekadarnya bukti yang saya kemukakan di atas cukuplah sudah keterangan buat menjelaskan, bahwa Proklamasi 17 Agustus bukanlah berlaku atas inisiatif dan persetujuan hati kecilnya Sukarno  Hatta. Mereka melakukan itu karena desakan pemuda Jakarta yang dibantu oleh rakyat.
Kalau soal Kemerdekaan Indonesia itu diserahkan begitu saja kepada Sukarno Hatta, maka menurut perhitungan mereka, kemerdekaan itu paling cepat akan diproklamirkan pada tanggal 24 Agustus 1945, dan kemerdeakaan Indonesia itu sudahlah tentu akan mempunyai bentuk dan isi menurut kehendak Kempei Jepang. Ada pula kemungkinan, bahwa dan akan diserahkan oleh Tenno Haika kepada Sekutu, sebagai milik (inventaris) negara kalah kepada negara menang.
Nyatalah sudah dari sejarah di sekitar Proklamasi seperti tersebut di atas:
1.      Bahwa Sukarno Hatta tidak  percaya akan kekuatan yang hebat tersembunyi dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa dinamis dan merdeka.
2.      Bahwa Sukarno Hatta cuma memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda semata-mata.
3.      Bahwa Sukarno Hatta seperti dibuktikan oleh 3,5 tahun sejarah di bawah Jepang sudi menerima janji dan status di bawah Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan oleh Jepang kepada rakyat Indonesia.

Tetapi rakyat/pemuda Indonesia dengan gembira menyambut dan dengan ketabahan, tekad dan pengorbanan tenaga, harta benda dan jiwa yang besarnya di luar semua dugaan membela kemerdekaan yang diproklamirkan ke seluruh Indonesia itu.
 Pertentangan antar paham, sikap dan tindakan Sukarno Hatta dengan paham sikap dan tindakan rakyat/pemuda terhadap hak kemerdekaan dan hak membela kemerdekaan itulah yang sampai sekarang (Maret 1948) menjadi kesedihan sejarah dan sejarah kesedihan Republik Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar