Syahdan dalam
hakekatnya tiadalah ada bedanya perjalanan yang saya alami dari kedua negara
besar di dunia ini, ialah Amerika dan Inggris. Dengan beberapa contoh yang
sudah saya rasakan atas kulit saya sendiri, maka saya dapat membandingkan teori
dan prakteknya demokrasi Anglo-Saksen,
yang selalu digembar-gemborkan di dunia ini dan katanya yang menjadi dasarnya
kedua negara terbesar di dunia ini.
Teori dan praktek
yang dimaksudkan itu ialah yang berhubungan dengan haknya seorang pelarian
politik (right of asylum) terhadap
kepada seorang anggota bangsa berwarna pula. Hal ini disambung-sambungkan pula
dengan soal propaganda komunis.
Caranya polisi
Amerika menangkap saya di Manila tak berapa bedanya dengan caranya Inggris
menangkap saya di Kowloon, Hongkong. Keduanya dilakukan tiba-tiba, di waktu
malam, dengan tiada memakai surat tuduhan dari yang berwajib (right of warrant). Hak menghadapi surat
tuduhan dari yang berwajib dimana dengan jelas tertulis pelanggaran.
Undang-undang yang sudah dilakukan itu adalah hak seseorang warga negara
demokrasi semenjak revolusi Inggris dan Perancis. Sebelum Revolusi tersebut,
maka seorang polisi Perancis (atau warga besarpun) berhak menangkap seseorang
warga atas surat perintah yang tiada berisi tuduhan yang pasti (lettre de cachet).
Di Manila dan
Hongkong, lettre de cachet pun tak
ada, jangankan pula surat warrant. Di
kedua tempat itu, penangkapan atas diri saya dilakukan dengan bengis, seperti
polisi menangkap penjahat. Penangkapan di Hongkong malah bisa menyebabkan
pembunuhan dari salah satu pihak yang menangkap dan yang ditangkap.
Oleh Manila dan
Hongkong akhirnya, sesudah ternyata bahwa saya tiada dapat diserahkan begitu
saja kembali kepada musuh saya (uitgeleverd),
maka dengan 13 macam tipu muslihat saya dibuang buat disambut di lain tempat
oleh para imperialis pula. Pembuangan dari Manila dilakukan buat penangkapan
kembali di Amoy. Pembuangan dari Hongkong (diharapkan atau tidak) pasti akan
berakhir dengan penangkapan, kalau saya benar-benar sampai di Shanghai.
Terbukti sudah bahwa Inggris tiada mengindahkan kebiasaan (usage) demokrasi yang sudah dikenalnya selama ratusan tahun di
negaranya sendiri, ialah: menentukan tempat pembuangan sebelumnya yang
bersangkutan itu dibuang dan menjamin keselamatannya di jalan ke pembuangan.
Terhadap hak
manusia yang dijunjung tinggi oleh demokrasi Anglo-Saksen, seperti right of
warrant (hak atas tuduhan), right of public trial (pengadilan umum) dan right
of asylum (hak perlindungan buat seorang pelarian politik), maka Amerika
terpaksa saja berlaku pura-pura demokratis, karena pembelaan rakyat, pembesar
dan para pemimpin Philipina. Sesudah terhalang memasukkan saya dengan diam-diam
ke kapal Belanda di pelabuhan Manila, maka pemerintah Amerika dengan kapal
Philipina sebenarnya mengirimkan saya ke tangan imperialis internasional di
Amoy. Gagal kehendaknya itu cuma karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri.
Pemerintah Inggris di Hongkong, sesudah membatalkan semua hak saya sebagai
manusia dan gagal menyerahkan saya kepada pemerintah Hindia Belanda, dalam
prakteknya memancing supaya saya ditangkap kembali oleh imperialis teman
sejawatnya. Saya terlepas daripada cengkeraman imperialis, bukan karena
kejujuran dan kesetiaan Inggris kepada dasar serta peraturan demokrasinya
sendiri, melainkan karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri pula.
Hubungkanlah pula
keadaan saya dengan halnya seorang berkulit putih yang mempunyai negara
merdeka. Ketika surat kabar dan orang Amerika berteriak-teriak di Manila
menuduh saya membuat propaganda komunis. Maka seorang Profesor dari salah satu
Universitas yang terkenal di Amerika, yang baru saja kembali dari Moscow
dibolehkan menyebar-nyebar brosur dan buku komunis di Manila. Tentulah saya
sendiri memuji pekerjaannya saudara Profesor tadi.
Tetapi yang saya
majukan di sini ialah perbedaan terjemahan undang-undang yang berkulit putih
dengan orang yang berwarna. Kebetulan pula bersamaan atau hampir bersamaan
dengan penangkapan saya di Hongkong itu, ditangkap pula seorang Inggris dan di
waktu itu oleh satu pemerintah bangsa berwarna oleh pemerintah Jepang. Orang
Inggris itu sudah bertahun-tahun menjadi guru di Tokyo? Dan tuduhannya ialah
bahwa ia dengan uang dan nasehat membantu Partai Komunis Jepang. Semua surat
kabar Inggris di Tiongkok yang dapat saya baca di waktu itu berteriak dan
memprotes kepada pemerintah Jepang berhubung dengan caranya pemeriksaan
terhadap dirinya orang Inggris komunis itu dilakukan. Pada masa itu berhentilah
persoalan, Komunis atau tidaknya orang Inggris itu, ya atau tidaknya ia
melakukan propaganda dan membantu dengan langsung atau tidak kerobohannya
kerajaan Jepang. Yang dikemukakan oleh para pembela Inggris tadi, ialah seorang
ditangkap di Jepang dan orang Inggris itu perlu diperlindungi dan benar
diperlindungi oleh pemerintah Inggris.
Memangnya
pemerintah Inggris dan Amerika tiada membedakan paham warga negaranya sendiri
apabila warga negaranya, teristimewa pula bangsanya sendiri, yang berurusan
dengan pengadilan di luar negerinya, terutama pula di Asia (dengan Tiongkok,
Jepang dll). Dalam hal ini tak bisa disangsikan sikap kedua negara itu.
sikapnya Inggris tepat sekali digambarkan oleh semboyan “right or wrong my country!” (benar atau tidak saya akan bela
(orang) negara saya). Sejarah inilah yang langsung menimbulkan adanya
pengadilan istimewa buat bangsa kulit putih di Tiongkok (extra territoriality).
Status ini dipaksakan kepada Tiongkok sesudah terjadi kejahatan oleh bangsa
kulit putih di Hongkong pada abad yang lalu. Kejahatan itu mengakibatkan satu
hukuman berat atas orang berkulit putih itu. Tetapi putusan dan pemeriksaan
secara Tionghoa tiada disetujui oleh bangsa Barat. Mereka menuntut pengadilan
sendiri di negaranya Tionghoa. Mereka menuntut adanya extra-territoriality. Hak
membela warganya itu di negara lain oleh Inggris selanjutnya dipakai buat
dijadikan alasan untuk menjalankan agresinya. Pada ababd yang lampau pemerintah
Inggris di pulau Penang mengirimkan seorang Tionghoa, rakyat Inggris (British-subject) ke pedalaman Malaya
melalui tempat berbahaya. Kemungkinan bahaya yang akan menimpa itu sudah
diperingatkan lebih dahulu kepada pemerintah Penang. Tetapi memangnya
imperialisme Inggris sedang mencari-cari bahan buat provokasi. Tionghoa yang
malang tadi terbunuh oleh para penyamun. Peristiwa inilah yang dipergunakan
oleh pemerintah imperialis Inggris buat mengadakan penyerbuan ke pedalaman
Malaya (kerajaan Perak), kerajaan yang tanahnya banyak mengandung timah itu.
Timah itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh kapitalis Inggris.
Sikap “right or
wrong my country” itu terasa benar, terutama pula oleh kita yang tiada
mempunyai negara. Demikialah persamaan bangsa dan bangsa, warna dan warna itu
tiadalah bisa kita selesaikan dengan perasaan (sentiment) semata-mata. Semua hak berhubungan dengan statusnya
seseorang berkulit putih atau berwarna yang berurusan dengan pengadilan dan
undang-undangnya sesuatu negara (putih atau berwarna) haruslah ditetapkan
dengan pasti dalam undang-undang internasional dalam peratuaran yang disokong
oleh jaminan (sanction). Tiadalah boleh diserahkan kepada aturan demokrasinya
sesuatu negara saja.
Penghabisan bulan
Desember 1932! Hawa sudah mulai sejuk dan angin bertiup dari utara ke selatan.
Setiap waktu angin itu bisa bertukar menjadi tai-fung, memang dari daerah
inilah berasalnya perkataan taufan (Arab) dan topan (Indonesia) itu?
Kerenggangan udara ditandus Australia yang memuncak pada bulan Desember itu,
menyebabkan mengalirnya udara dari utara Tiongkok mengisi tempat yang renggang
itu. Amat sejuklah terasa angin dari Utara itu. lautpun tiadalah tenang karena
angin yang tiada berhentinya bertiup itu. kebanyakan penumpang tiadalah banyak
keluar kabin kamarnya.
Pelayaran
Hongkong-Shanghai di waktu musim rontok atau panas, biasanya buat penumpang
kelas satu amat menyenangkan. Udara laut segar bersih menambah nafsu makan
sehingga pelajaran itu boleh dianggap masa beristirahat. Tetapi di masa laut
bergelombang tinggi dan hawa dingin, maka seorang penumpang cuma mengharapkan
lekas sampai ke tempat yang ditujunya saja. Mujurlah seseorang kalau tiada
digoda oleh mabuk laut.
Pelayaran
Hongkong-Shanghai dengan kapal yang saya tumpangi singgah di pelabuhan Swatow,
Amoy dan Foochow. Semuanya bandar yang besar. Swatow berpenduduk lebih kurang
300.000 orang, Amoy 500.000 dan Foochow tak kurang daripada 1.000.000 orang.
Semuanya bandar itu terhitung bandar perjanjian dan mempunyai bagian yang
didiami oleh orang Tionghoa dan asing. Swatow adalah salah satu kota yang
terbilang bersih dan maju. Banyak Tionghoa yang beragama Kristen dan banyak
yang pencarian hidupnya berhubungan dengan Siam. Sedikit sekali orang Eropa
terdapat di sini. Tentang kota Amoy sudah banyak saya ceritakan. Bandar Foochow
sudah pernah juga saya kunjungi. Kota ini mempunyai bagian Tionghoa dan bagian
Eropa. Di Foochow makanan sangat murah
harganya dan terkenal baik masakannya, maupun buah-buahan banyak ragamnya dan
lezat rasanya.
Bahkan tak ada
kapal berlayar langsung dari Hongkong ke Shanghai. Pelayaran langsung itu
mengambil waktu cuma dua tiga hari saja. Sedangkan pelayaran kapal saya akan
mengambil waktu lebih kurang seminggu lamanya. Bukan saya tiada tahu perbedaan
lama pelayaran itu. Walaupun demikian, dan meskipun saya, mengetahui bahwa ada
kapal yang berlayar langsung, tetapi saya pilih juga pelayaran yang lama.
Tentulah Hongkong sudah memberitahukan kepada Shanghai, bahwa tanggal sekian
dan jam sekian, saya sudah berangkat dengan kapal anu, menuju Shanghai. Saya
tiada pula sangsi, bahwa para Conpirator-international sudah membuka-buka pintu
perangkapnya di Shanghai buat seorang berwarna, yang tiada mempunyai negara.
Duta negara manakah yang akan memprotes, jangankan lagi melindungi, kalau saya
diperlakukan seperti macam memperlakukan mangsanya; tangkap lepaskan
berulang-ulang, sampai mangsanya payah, tiada berdaya lagi dan menyerah
bulat-bulat kepada musuh.
Setelah saya
merasa menyesal membiarkan para Conspirator international membuang-buang waktu,
menunggu-nunggu saya di Shanghai, karena lebih lama berlayar. Saya ingin
mempelajari suasana di sepanjang jalan Hongkong Shanghai, yang saya kenal lebih
baik daripada semuanya Conspirators di Hongkong atau Shanghai yang cuma
mengenal jalan antara kursi di rumah dan kantornya saja. Sebagian daripada
pesisir propinsi Hokkian, diantara Amoy dan district Kim-Chi, saya kenal baik
sekali. Malah pesisir sepanjang Semenanjung Tentang-Witau yang pernah saya
sebut diatas, saya kenal seperti saya mengenal kampung saya sendiri. Pesisirnya
sudah saya jalani berkali-kali. Lautnya sudah saya renangi di musim panas. Pada
bagian pesisir ini, dimana terletak desa Sionching dan Iwe yang sudah saya
diami berbulan-bulan, kapal berlayar tiada jauh dari pesisir. Buat orang yang
tersempit, yang tiada mempunyai pilihan lain, buat orang yang benar pandai
berenang, penyeberangan antara kapal dan pesisir itu bukanlah pekerjaan yang
mustahil. Saya biasa berenang di sungai atau lautan dengan kaki atau tangan
atau keduanya, sambil menelungkupkan atau menelentang, bahkan sambil berdiri
membawa kain. Sungai Ombilin di Minangkabau, sungai yang dalam dan deras
arusnya, yang sering meminta korban kepada yang kurang cakap, memberi latihan
kepada saya dalam segala ragam berenang di waktu saya belum dewasa. Cuma saja
air laut Tiongkok di bulan Desember terasa agak dingin. Kalau ada jalan yang
lain baiklah dia dihindarkan saja. Jalan lain itulah yang sedang dipikirkan.
Selainnya daripada
pegawai “konsulat Inggris” yang menuju
ke Amoy itu bersama dengan saya menumpang pula seorang Tionghoa tuan Lim, bekas
mahasiswa Amerika yang mempunyai toko barang listrik di Amoy. Lagi pula seorang
profesor Amoy University. Tetapi yang menarik perhatian dan simpati saya ialah
seorang pelajar dari Hongkong bernama Chu yang pulang beristirahat ke
kampungnya bernama Hosan, dekat kota Amoy.
Entah karena apa
maka pelajar Chu tak mau berpisah dengan saya selama di dalam kapal. Mungkin
sekali dia sudah membaca surat kabar Inggris di Hongkong yang pernah
mengabarkan penangkapan saya. Umumnya pelajar Tiongkok berpolitik radikal.
Banyak yang berpihak kepada Sayap kiri, di bawah pengaruhnya Madame Sun Yat
Sen, tetapi banyak pula yang bersimpati dengan kesusasteraan dan gerakan
komunis. Pelajar Chu memindahkan barangnya ke kamar saya dan mengambil tempat
tidur kosong di kamar saya pula. Apabila saya keluar kamar, maka keluar pulalah
pelajar Chu. Apabila penumpang lain meminta saya dan pelajar Chu bermain kartu,
maka pelajar Chu melihat mata saya lebih dahulu dan bertanya lebih dahulu
kepada saya. Jika saya mau main, mainlah dia, jika saya tolak, menolak pula
pelajar Chu. Apabila saya pergi tidur maka mengikutilah pula dia.
Pelajar Chu belajar
Inggris dengan lancar dan fasih sekali. Dia baru saja tamat S.M.T. Inggris di
Hongkong. Sekolah ini dipimpin oleh guru Inggris sendiri dan pelajarannya
terutama dalam bahasa Inggris terkenal baik juga. Pelajar Chu selalu meminta
nasehat kepada saya, apakah dia akan terus belajar ke Universitas apa tidak.
Heran juga saya, karena dia meminta nasehat kepada saya yang dia kenal cuma
baru dalam kapal saja. Kenapakah dia tiada menghampiri tuan Lim atau Profesor
Amoy University yang sama-sama berlayar di Amoy ???
Menurut tingkah
laku dan caranya berbicara pelajar Chu adalah anak keluarga termasuk baik di
Amoy. Bapaknya adalah compradore Hongkong-Shanghai Bank, cabang Amoy. Jadinya
anak hartawan Tionghoa.
Menurut filsafat
saya tidak ada alasan bagi saya untuk mencurigai pelajar Chu. Tetapi memang ada
satu dua penumpang di atas dek yang kelihatan amat memperhatikan saya. Saya tak
heran kalau mereka berhubungan dengan I.S. Inggris atau dengan konsulat
Belanda. Bagaimanapun juga saya juga mengawasi langkah saya dan mengawasi siapa
saja yang ada di sekitar saya.
Sudah semalam
lebih kapal berlayar, maka pada pagi hari sampailah kami ke pelabuhan Swatow.
Di sini kapal berhenti setengah hari lamanya. Nanti sorenya pelayaran akan
dilanjutkan ke Amoy. Akan naik daratkah saya disini mempelajari suasana?
Rupanya pelajar Chu tidak setuju saya naik ke darat. Entah apa sebabnya. Tetapi
sudah saya pertimbangkan baik buruknya, maka bersama Profesor Amoy University
dan tuan Lim saya naik darat juga.
Belum lagi berapa
lama kami berada di daratan, maka di depan kami tiba-tiba berhenti sebuah mobil
besar. Seorang Tionghoa berpakaian modern keluar dan berjabatan tangan dengan
kami. Kami dipersilahkan masuk mobilnya, Profesor Amoy University menolak dan
tuan Lim serta saya masuk.
Saya tidak
mengerti asal mulanya persahabatan ini. Tetapi melihat mukanya Tionghoa modern
ini saya tidak menaruh kecurigaan sedikitpun. Juga tidak curiga, kalau dia
kepada saya memakai bahasa Inggris dan kepada tuan Lim memakai bahasa Tinghoa.
Yang sedikit mengherankan saya, cuma kenapa datangnya mobil tepat dengan
pendaratan kami. Tidak mungkin perhubungan tuan Lim dengan kenalan baru itu
sebergitu rupa sehingga pertemuan itu bisa tepat saja.
Kami dibawa dengan
mobil berkeliling kota. Kota Swatow bukanlah lagi asing buat saya. Setelah
mobil menghampiri rumah penjara, maka mau tidak mau timbul juga pertanyaan di
dalam hati saya. Akan berhentikah mobil disini? Memangnya pula mobil berhenti.
Kenalan baru memang keluar dari mobil, tetapi tidak diundang untuk mengikuti.
Sebentar lagi kenalan baru kembali masuk ke mobil dan perjalanan diteruskan.
Rumah penjara
bukanlah asing lagi bagi saya. Di Indonesia saya diperkenalkan dengan tiga
penjara sebelum berangkat pada tahun 1922, ialah penjara Bandung, Semarang, dan
Jakarta. Di Manila saya berkenalan pula dengan penjara. Penjara Hongkong pun
tidak melupakan saya. Sebaliknya tiap-tiap rumah penjara atau semua rumah yang berbentuk
penjara seolah-olah dengan diam-diam berkata kepada saya: Silahkan masuk!
Bagaimanapun juga
keadaan di penjara imperialis Belanda, Amerika dan Inggris, kalau dibandingkan
dengan penjara Tionghoa seperti kandang kuda dengan kandang babi. Di dalam
penjara Tiongkok orang dikumpulkan berdesak-desak. Di sanalah mereka tidur,
makan, buang air besar atau kecil dan merenungkan nasib yang buruk dalam
masyarakat yang zalim dan kejam. Jarang orang yang lama tahan sehat atau hidup,
sekali ia memasuki penjara Tiongkok yang tulen.
Sedang saya masih
memfilsafatkan rumah penjara Tiongkok, maka tiba-tiba mobil berhenti di depan
sebuah rumah. Dapat dilihat dari luar bahwa rumah ini adalah sebaliknya
daripada rumah yang difilsafatkan tadi. Rumah ini adalah rumah tempat Tionghoa
yang berpunya melepaskan hausnya; menghentikan laparnya dan memuaskan nafsunya;
serta menambah kegembiraan dan kesenangan hidupnya. Juga terutama untuk
menjumpai para tamunya dan merundingkan urusan atau perdagangannya. Rumah ini
ialah restoran, rumah makan.
Kami mengambil
tempat di k amar yang terpisah dan bersih dalam segala-galanya. Kenalan baru
segera mengambil daftara makanan dan memiliih makanan dan minuman yang cocok
dengan kedudukannya dalam masyarakat Tionghoa. Pembaca yang pernah diundang ke
sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa yang pernah diundang ke sesuatu selamatan
(kenduri) Tionghoa atau ke rumah makan Tionghoa, dapat mengira, bahwa kenalan
baru tak akan memilih makanan Swatow yang sembarangan. Masakan Tionghoa sudah
masyhur di seluruh dunia dan dari mulut orang Eropa saya sering mendengar: “The Chinese are the best cook on the world”.
(Orang Tionghoa adalah ahli masak yang paling jempol di dunia). Menurut ukuran
saya memangnya pujian ini tidak melebihi sedikitpun. Boleh juga saya tambahi,
bahwa masakan Swatow mempunyai kedudukan yang teristimewa pula di tengah-tengah
daerah lainnya di Tiongkok.
Setelah sebentar
kami duduk, maka kenalan baru mengambil kartu nama dari dompetn ya dan memberikan kartu itu kepada saya.
Tertulis di atas namanya: Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow. Nama Chen itu
ialah dalam bahasa nasional atau dalam bahasa Kwantung. Dalam bahasa (daerah)
Hokkian bertukar menjadi Tan.
Chen Min Shu atau
Tan Min Shu, menceritakan kepada kami, bahwa selang beberapa lama dia kembali
dari perjalanannya ke Siam dan Manila. Dia bepergian ke sana untuk mengumpulkan
uang sokongan buat Chap Kau Loo Kun,
tentara ke-19 yang menjadi buah tuturnya semua patriot Tionghoa tua, muda,
laki, perempuan. Chen Min Shu, sebagai sekretaris polisi Swatow, sebagai
wakilnya tentara ke-19 di kota No.2 buat propinsi Kwantung ini tentulah
mempunyai kekuasaan yang besar sekali kalau tiada yang terbesar.
Kenapakah tuan
Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow itu dalam berbicara selalu memalingkan
mukanya kepada saya? Saya tidak memperkenalkan nama kepadanya.
Menurut bentuk dan
warna mukanya itu Chen Min Shu, maka tidaklah akan mengherankan kalau dia
seorang Hoakiao, baba. Bahasa Tionghoa diucapkannya menurut tekanan (accent) Hoa-kiao. Bahasa Inggrisnya
jelas dan berbeda dengan bahasa Inggris yang diucapkan oleh orang Tionghoa
totok. Tentulah tidak cocok dengan tata krama Asia, kalau ditanyakan asal
usulnya tuan Chen Min Shu.
Apakah tuan Chen
Min Shu tahu kalau saya seorang pelarian politik? Apakah tuan Chen Min Shu
hendak memberi suggestion
(pertimbangan), bahwa saya boleh tinggal di Swatow, kalau saya mau. Ataukah
sebaliknya, ialah jangan coba tinggal di Swatow.
Bagaimanapun juga
saya mendapat kesan yang baik sekali tentang tuan Chen Min Shu. Kami diantarkan
dengan mobil sampai ke pelabuhan Swatow termasuk propinsi Kwantung. Sendirinya
saya teringat akan peringatan konsul Kwantung kepada pemerintah Hongkong, bahwa
saya adalah keturunan Tionghoa. Jika waktu itu diizinkan mempergunakan seorang
Tionghoa, pembela hukum, tentulah saya bisa menaksir suasana di Tiongkok. Akan
sanggup pula saya menentukan bolehkah dan di bagian mana Tiongkok-kah saya
dapat berdiam.
Dengan
bersenjatakan sedikit pengetahuan tentang Tiongkok (Swatow). Saya kembali masuk
ke kapal. Ingin saya mengetahui, bagaimanakah keadaan di Amoy dan propinsi
Hokkian. Besok paginya kapal menurunkan jangkarnya. Kapal berlabuh di
tengah-tengah teluk Amoy, di antara pulau Kulangsu dan Pulau Amoy. Kalau
memakai sampan, maka dalam lebih kurang sepuluh menit kita bisa mendarat.
Malam tadi pelajar
Chu terus mendesak saya, supaya berhenti saja di Amoy, dan jangan terus ke
Shanghai. Saya boleh menumpang di rumah keluarganya dan menjadi temannya,
katanya. Saya terus menolak! Tetapi saya sudah memasukkan barang yang
terpenting ke dalam kantong. Koper baru, berisikan pakaian dan buku, yang baru
saya beli sesudah perang Shanghai, saya taruh baik-baik. Kunci kamar saya
berikan kepada penjaga kamar. Pertanyaannya apakah saya akan naik darat, saya
jawab: tidak.
Saya antarkan
pelajar Chu ke kaki tangga yang menyinggung air laut. Kelihatannya sebuah
sekoci yang dengan cepat menuju kepada kami. Saya sedikit curiga, karena
mengingat sekoci polisi Kulangsu bagian internasional, yang mau menangkap saya
di kapal Suzana, lima tahun lampau. Tetapi sekoci itu dikirimkan oleh
Hongkong-Shanghai Bank buat menjemput dia. Seperti disebutkan di atas bapaknya
pelajar Chu, ialah Compradore Bank tersebut.
Sekocinya pelajar
Chu sudah berdampingan dekat kapal kami. Pelajar Chu menarik tangan saya
mengajak masuk ke sekocinya. Saya tolak dengan suara keras sambil menoleh ke
arah buritan kapal di atas dek, dimana berada satu dua orang yang gerak
geriknya mencurigakan saya. Biarlah mereka sangka bahwa saya tak akan mendarat.
Pelajar Chu terus
mendesak saya menaiki sekocinya dan saya tetap menolak dengan kedua tangan di
kantong celana buat menunjukkan seolah-olah saya tidak mau mendarat. Kalau
tidak mau “I am sorry, good bye!”
kata pelajar Chu, (saya merasa sayang dan selamat tinggal).
Tetapi setelah
sekoci bertolak, satu dua hasta jaraknya dari kapal, maka sekonyong-konyong
saya meloncat masuk ke sekoci. Dalam lebih kurang 5 menit lamana sekoci sudah
sampai ke darat. Apabila saya menoleh kembali ke kapal, maka barulah saya lihat
beberapa orang turun tangga dengan cepat dan memilih sampan yang berdayung
mendekati kapal. Siapa yang pertama mendapatkan sampan, musuh atau tidak,
pemburu manusia atau manusia biasa, tidaklah dapat saya pastikan. Saya tahu
bahawa saya sedikitnya sudah lima menit menang berlomba. Secepat-cepat sampan
bedayung tak kurang dari seperempat jam lagi, barulah penumpangnya bisa mendapat. Jadi paling sedikitnya 20 menit saya mendapat
voorsprong (penjaran, tepeuk).
Waktu yang 20
menit itulah yang harus saya pergunakan untuk mendapatkan rumah tempat
bersembunyi. Hotel tentulah tidak akan saya pakai. Segera saya pastikan lagi
alamatnya pelajar Chu. Siapa tahu kalau-kalau nanti terpaksa dipakai. Saya
katakan bahwa saya ada mempunyai urusan penting di Amoy dan kalau masih ada
kesempatan kelak saya akan pergi ke Hosan menjumpai dia. Saya berjabat tangan
dan berpisah dengan pemuda yang saya kenal cuma sebentar saja. Tetapi lekas
menarik simpati saya. Sayang sekali saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Dengan tidak
membuang-buang waktu sekejappun saya menaiki satu becak, saya suruh tukang
becak menuju ke jalan Ang Pun Po. Di
sinilah saya pernah menumpang lima tahun yang lalu di rumahnya sahabat karib
Tan Ching Hua. Keadaan saya sekarang tak ada bedanya dari lima tahun yang
dahulu itu, ialah mencari perlindungan.
Sedikit pikiran
saya terganggu apabila di kiri-kanan melihat rumah baru dan jalan baru dan
jalan baru. Pada ketika itu sudah hampir seluruhnya kota Amoy lama dibongkar
dan ditukar dengan yang baru. Rumah yang dahulunya sempit, kecil, rendah,
berganti dengan rumah yang besar, tinggi, dan modern. Jalan yang sempit, kotor,
dan penuh sesak berganti menjadi jalan yang lapang, bersih, dan di sepanjang
toko-toko yang tak kalah dengan toko kepunyaan Tionghoa di bandar besar seperti
Shanghai.
Saya hampir tak
mengenal Amoy lagi. Bertanya pula saya dalam hati. Apakah rumahnya sahabat Tan
Ching Hua, Ka-It, yang bernama Tiong Huat masih ada di jalan Ang Pun Po? Dan
apakah jalan Ang Pun Po itu ataupun kampungnya Ang Pun Po itu sendiri masih
ada?
Bagaimanakah rumah
penginapan Tiong Huat bisa menahan desakan muncipal, Balai Kota Amoy,
meruntuhkan rumah yang tua-tua dan menggantinya dengan yang baru?
Orang luar tak
mudah mengerti, kalau tidak mengetahui kedudukan satu keluarga dalam masyarakat
negara Tiongkok. Rahasia bisa berdirinya terus Tiong Huat dengan jalan sempit
gelap dikiri, depan dan belakangnya terletak pada kedudukan keluarga Tan di
kota Amoy. Kemauan keluarga Tan tak bisa dibatalkan begitu saja. Kalau keluarga
Tan bersatu mempertahankan rumah tua lapuk dan jalan sempit gelapnya dengan
bersama-sama dengan kampungnya, maka balai kota Amoy harus berhati-hati sekali
dan berfikir panjang benar sebelumnya ia menjalankan kemauannya. Hasilnya
seperti disebutkan di atas, Tiong Huat berdiri terus dengan segala kemegahan
menentang pembaruan. Kecuali kalau Balai Kota Amoy sanggup memberi ganti yang besar
dan disetujui pula oleh yang punya rumah, tidak lain jalan baginya daripada
membiarkan usang berdiri terus di tengah-tengah kota yang baru.
Saya memperhatikan
becak dan segera memasuki kamar bawah yang gelap dan terus nai ke tingkat
ketiganya Tiong Huat. Tidak berapa lamanya saya menunggu, maka sahabat Ka-It,
Tan Ching Hua pulang. Saya ceritakan keadaan saya dan kami memutuskan supaya
selekas-lekasnya saya pergi ke desanya Ka-It ialah desa Iwe, berdekatan dengan
desa Sion-Ching yang saya diami lima tahun lalu. Yang menjadi persoalan ialah,
apakah saya akan mengambil jalan darat atau laut. Satu-satunya keberatan dan
keuntungan. Akhirnya diputuskan saya akan mengambil jalan darat. Perjalanan di
darat ini, seperti perjalanan di laut mengambil waktu 12 sampai 14 jam.
Selainnya ada penyeberangan laut yang mesti dilakukan antara pulau Amoy dengan
benua Tiongkok, maka perjalanan Amoy ke desa Iwe dilakukan dengan mobil bis.
Perjalanan itu melalui kota Chip-Bi, Tang-Ua, Behang, Swantaw, (?) Anhai, Siuk
Chai dan Kom Chi. Semuanya kota tersebut tidak berapa besar penduduknya kalau
dibandingkan dengan penduduk kota-kota besar di Tiongkok seperti Shanghai,
Hankow, Canton dll yang mempunyai penduduk dihitung dengan juga. Tetapi kalau
dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia, maka isinya kota-kota Tionghoa yang
tidak pernah kita pelajari di bangku sekolah kita itu, mengherankan. Kota
Yogyakarta di zaman Hindia Belanda baru mempunyai penduduk 200.000 lebih.
Tetapi penduduk Tiong-Ua lebih daripada 300.000 orang. Kota lain-lain
berpenduduk antara 100.000 dan 200.000 orang. Di antara Behang dan Swantow ada
satu desa dekat satu bukit itu, di mana orangnya ataupun mobil bis terpaksa
memperlambat perjalanannya, maka para penyamun ini sangat nekat, katanya mereka
itu adalah bekas serdadu.
Sebab jalan yang
saya lalui itu selalu saja diancam penyamun maka tentara ke-19 didatangkan ke
sana untuk melakukan pembersihan. Buat ini maka diadakan peraturan surat pas.
Barang siapa yang singgah bermalam di dalam satu tempat diwajibkan memberitahukan
hal ini lebih dahulu kepada kepala tempat itu. Tentara ke-19 berlaku streng,
keras sekali. Pada permulaan pembersihan dilakukan, maka banyak orang yang
lewat atau menumpang yang tidak mempunyai keterangan yang cukup ditembak mati
di tempat itu juga. Taktik yang dijalankan tentara ke-19 ialah taktik menakuti.
Memangnya kalau tidak begitu tak mungkin lekas bisa diadakan pembersihan itu.
Ada kalanya terjadi orang yang tidak bersalah, tetapi tidak mempunyai surat
keterangan, kaena memangnya tidak mengetahui perintah, atau orang dari desa
lain tidak mempunyai kenalan ditempatnya bermalam ditembak mati. Maklumlah
tentara ke-19 terdiri dari orang Kwantung yang tidak mengerti bahasa Tiongkok
(nasional). Sedangkan mereka biasanya harus pula berurusan dengan rakyat jelata
di Hokkian yang tidak mengerti sepatah katapun bahasa nasional (Kue-Yu).
Tidak bisa
disangkal, bahwa karena ada yang terbunuh dengan tidak bersalah itu,
kepopuleran tentara ke-19 menjadi sedikit kurang. Tetapi tidak pula bisa
disangkahl bahwa tindakan keras itu perlu dilakukan dan nyata pula diberikan
hasil yang memuaskan. Tentulah hasil yang kekal akan bisa didapat kalau
perekonomian betul-betul diperbaiki. Hal ini tidak mudah dilakukan.
Maka ketika kami
melalui soal la’ Nia’ yang kesohor jahat
tadi nyata kegelisahan penumpang. Apabila mobil bis mendaki bukit dengan
kecepatan berkurang, maka di pinggir jalan saya melihat satu dua orang duduk di
pinggir jalan. Orangnya kelihatan tegap dan pemberani, tetapi rupanya kecewa
dan marah karena tidak sanggup melakukan pekerjaannya. Antara Behang dan
Swatow, melalui Soa’l la’ Nia’ itu seorang anggota tentara ke-19 yang
bersenjata lengkap, menumpang mobil kami sebagai pengawal.
Di salah satu
stasiun di perjalanan maka mobil kami diperhentikan untuk ditukar. Di sini
diadakan penggeledahan barang dan badan yang teliti sekali. Saya sedikit
gelisah juga, karena tidak mempunyai surat apa-apa. Tetapi saya memakai pakaian
Tionghoa, ialah pakaian juba sensei. Pengalaman saya yang sudah-sudah dengan
orang Kwantung di Shanghai, memberi keyakinan kepada saya, bahwa tentara ke-19
ini akan membiarkan saya lalu zonder digeledah atau ditanyai apa-apa. Biasanya
kalau saya memasuki satu toko orang Kwantung di Shanghai, maka orangnya selalu
amat ramah tamah dan bertanyakan dari Kwantung bagian manakah saya berasal.
Dipandang oleh orang Kwantung di tengah-tengah orang Tionghoa-Utara yang besar
tinggi itu rupanya kita orang Indonesia yang berwarna coklat ini hampir sama
dengan orang Kwantung. Memang begitu! Semakin ke Selatan kita pergi semakin
banyak di antara orang Tionghoa terdapat mereka yang mirip perawakan dan
warnanya dengan orang Indonesia. Apalagi diantara orang petani yang jarang
sekali berwarna kuning, karena biasa bekerja di dalam panas.
Melihat saya yang
memakai jubah sensei (tengpau), maka
dengan senyum para pemeriksa tentara ke-19 mempersilahkan saya lewat. Tak ada
pertanyaan dan tak ada penggeledahan di koper ataupun badan saya.
Kira-kira jam
tujuh malam sampailah saya di desa Iwe, cuma 100-200 meter saja letaknya dari
pesisir lautan Pacific. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu, desa Iwe tidak
berapa jauhnya daripada desa Sion-Ching yang pernah saya diami.
Maksud semula di Amoy, saya kelak di Iwe akan
bermalam di rumah sekolah bersama dengan guru sekolah itu. Rumah sekolah itu
bukan rumah sekolah biasa, melainkan tempel/klenteng yang dipakai buat sekolah.
Gurunya didatangkan dari tempat lain, ialah dari kota Chuan Chu. Dia keluaran
sekolah Guru.
Tetapi sahabat
baru Tan Tien Jin yang baru datang dari Manila tidak membiarkan saya tinggal di
Kelenteng. Ibunya dan dia sendiri merasa malu, katanya kalau saya tidur di
Kelenteng. Tan Tien Jin tentulah keluarga pula dari keluarga Tan Ching Hua atau
Ka It, yang rumahnya berdekatan sekali. Ka It juga sudah mengusulkan supaya
tinggal di rumahnya saja, tetapi ada keberatannya Jin, karena yang tinggal di
rumah kebanyakan para wanita. Rumahnya Tien-Jin sudah mempersiapkan untuk saya
satu kamar, saya terima usul itu dengan segala senang hati dan banyak terima
kasih.
Baru saja dua tiga
malam saya berada di rumahnya Tien Jin, maka pada suatu hari hampir jam dua
malam saya dibangunkan oleh suara riuh rendah. Dari dua tiga rumah di desa Iwe
dibunyikan canang, (Jawa-Bende). Suara canang itu diperkuat pula dengan kaleng
yang dipukul di sana-sini. Suara yang datang dari canang dan kaleng dipukul itu
ditambah pula dengan suara manusia yang berteriak-teriak mengatakan to-hui,
bandit, datang menyerang rumah Ka-It dan rumah kami sudah lama diperhubungkan
dengan tali yang bisa menggerakkan kaleng berisi batu di kedua ujungnya.
Maksudnya ialah untuk saling memberi peringatan. Riuh sekali bunyinya kalen
berisi batu ini setelah talinya ditarik. Siapakah yang tidak bangun
mendengarkan suara canang kaleng dipukul, kaleng yang berisi batu yang
ditarik-tarik, campur aduk dengan suara manusia yang berteriak-teriak.
Saya bangun dan
keluar kamar menjumpai Tien-Jin yang sedang berkumpul dengan beberapa lelaki
lain di rumah kami. Mereka ini semuanya memegang senjata api. Saya segera
disuruh kembali tidur ke kamar. Permintaan saya supaya bisa ikut serta ditolak
mentah-mentah. Memangnya saya orang asing akan memberatkan siasat pembelaan
saja. Para to-hui tentulah pula akan menyangka, bahwa saya adalah seorang kaya
dari “Nanyang” yang harus dicabut bulunya habis-habis.
Tembak menembak
habis-habisan jarang dilakukan oleh penyerang dan yang diserang. Penyerangan
itu biasanya dihabiskan dengan perundingan dan konsesi yang besar atau kecil
menurut besar kecilnya kantong yang diserang dan kuat lemahnya pertahanan.
Demikianlah pula besok harinya saya mendengar kabar, bahwa penyerang malam hari
itu berakhir dengan perundingan disertai $ 3.000,- pembayaran “ongkosnya” para
to-hui. Harus dimengerti bahwa para to-hui datang dari tempat yang agak jauh
letaknya dan mempunyai tentara tak kurang daripada 100 orang banyaknya. Lagi
pula tak boleh dilupakan, bahwa pihak yang diserang ialah seorang kaya baru
datang dari Lam-Yu, dari Luzon (Manila). Kekayaan itu tak dapat disembunyikannya dengan
perundingan. Bukti yang nyata bagi para to-hui ialah si-terserang itu sedang
membuat rumah batu yang besar dan bagus. Kerugian jiwa tak ada di waktu itu!
Tetapi tuan rumah terpaksa mengubah rencana rumahnya; dikurangi besar dan
bagusnya.
Kemalangan ini
berlaku di dekat sekolah kelenteng yang hampir saja saya tinggali. Kata Guru
kepada saya, bahwa mujur juga saya tak jadi tinggal di sana, karena para to-hui
juga masuk ke dalam sekolah untuk memeriksa harta benda di sana. Setelah mereka
mengetahui bahwa yang tinggal di sana cuma seorang guru bantu dengan gaji $
20,- (dua puluh dollar) sebulan (ialah kalau uang sokongan datang dari Luzon)
maka para to-hui juga mengambil kesimpulan, manakah bisa mendapatkan telur
kucing. Tetapi akan lain halnya “kalau saya ada di sana”, kata sahabat guru.
Anehnya pula lebih
dari sepuluh pegawai desa Iwe, yang mengambil tempat di dalam kelenteng juga
tak membuat perlawanan apa-apa. Mereka adalah pemuda penduduk Iwe sendiri dan
dibayar dengan uang iuran. Mereka juga bersenjata lengkap. Alasan mereka ialah:
musuh jauh lebih besar, overmacht
(perkataan bahasa Belanda yang kita kenal ketika bertekuk lutut menghadapi
tentara Jepang). Sangat digembirakan, oleh mereka pengawal Iwe ini, bahwa
mereka kehilangan bedil sepucukpun. Tetapi mereka tidak menerangkan guna apa
bedil itu disimpan. Lagipula tidak mereka terangkan apakah mereka kehilangan
muka (be-bin-pe) apa tidak! Di
belakang hari saya tak pernah melihat pengawal lagi dalam kelenteng itu.
Mungkin para penduduk Iwe sudah berpendapat bahwa met atau zonder tentara
pengawal, keamanan atau bahaya buat Iwe “Sio-Siang”
ialah podo wae, sama saja.
Dalam hal ini saya
setuju dengan penduduk Iwe. Ingat saya di waktu itu pada Ki-Koq, ketika berada
di Sion-Ching. Sering dia mengejek-ejek serdadu yang penakut dengan perkataan potato-soldiers. Bukan potato kentang
biasa, melainkan ubi jalar. Ialah makanan rakyat di sana. Dalam bahasa Hokkian,
ejekan itu berbunyi: han-chu-ping, prajurit untuk mencari makan semata-mata.
Ubi jalar sudah
tak menjalar lagi, karena kami sudah berada dalam bulan Januari tahun 1933.
Tetapi saya kembali makan ubi terus-menerus, seperti tempo hari di desa
Sionching. Cuma kadang-kadang saja kami makan nasi. Chiak han chu, pe ta usi makan ubi, dengan kacang kedelai (bersama
kecap) inilah makanan rakyat di daerah Chuan-chu dan banyak yang dimakan di
musim dingin. Tetapi walaupun panen ubi itu dilakukan di bulan Juli-Agustus,
pada bulan Desember masih ada yang tinggal di dalam tanah. Orang Hokkian bisa
lama membiarkan ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi itu
terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi supaya jangan busuk atau
tumbuh. Biasanya ubi yang tidak dibikin gaplek itu dilumuri kapur dan disimpan
di tempat yang kering.
Yang mengherankan
saya ialah, ketika saya dalam tangkapan seperti di Manila dan Hongkong maka
saya tidak merasa sakit. Rupanya penyakit itu diam terpendam. Tetapi setelah
aman kembali maka sekonyong-konyong timbullah penyakit itu. Penyakit itu
memangnya tidak keras, tidak pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari.
Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit
saja salah “makan” (sedikit banyak daging), maka pencernaan dan tidur
terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali
kemasukan angin! Demikianlah kelemahan
badan itu terus-menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935.
Suntikan yang
bermacam-macam dari berbagai-bagai macam dokter Barat atau Timur yang mendapat
pendidikan Barat tak berapa memberi pertolongan. Di sini saya mau menerangkan
bahwa tidak mengurangkan penghargaan saya terhadap kedokteran Barat yang
berdasarkan science, ilmu bukti, bahwa tinggi sekali penghargaan saya terhadap
dukun dan jamu, obat-obatan Tionghoa. Banyak dipersoalkan kemanjuran obat kaum
dukun Tionghoa itu. Ada yang pro dan ada pula yang anti diantara para dokter
Barat terhadap jamu Indonesia. Tentang dari saya bolehlah saya katakan, bahwa
kelemahan badan itu disembuhkan oleh jamunya dukun Tionghoa! Obat yang saya
terima dari bermacam dokter dari berbagai bangsa di beberapa kota besar di Asia
tidak menyembuhkan. Baru di Iwe saya merasa pertama kali jamu bisa menguasai
kelemahan yang sudah bertahun-tahun. Artinya bisa makan sekedarnya gemuk
(daging) dengan tidak mengganggu pencernaan dan tidur yang mengakibatkan lesu
dan sakit kepala.
Dukun Tionghoa
yang tulen (ada pula yang palsu) tidak akan memberikan obat yang langsung untuk
cuci perut umpamanya. Dia akan memberikan obat yang tidak langsung ialah jamu
yang bisa memperkuat seluruh badan dan usus khususnya. Kalau badan sudah kuat
dan usus sudah jalan, maka kelak sendirinya makanan akan dicernakan.
Dukun Tionghoa
juga tahu artinya casctor-olie, tapi dia tidak menasehatkan memakainya kecuali
dalam keadaan luar biasa. Biasanya jamu itu dimasak bersama-sama dengan bahan
makanan yang mengandung khasiatl.
Di rumah Tien-Jin
ada seorang keponakannya yang kembali dari Manila pula sudah 2 tahun dia
tinggal di Iwe untuk berobat secara kuno. Dulunya dia sakit keras di Cebu
(Philipina) yang disangka tak akan bisa hidup lagi. Dia sakit comsumption,
tering, sakit rabu. Sampai beberapa malam dia harus dijaga oleh dua tiga orang
dokter. Apabila dia sedikit kuat, dia berangkat pulang ke Iwe walaupun dokter
tak mengizinkan. Di Iwe dia memakai jamu Tionghoa. Dia sudah memakan
bermacam-macam daun, buah dan urat kayu, memakan bebek dan penyu bercampur jamu
Tionghoa. Sekarang dia sudah kuat seperti sedia kala dan sudah sanggup bekerja
keras mencangkul dan memikul seperti seorang petani di Hokkian.
Kesehatannya itu dikembalikan oleh seorang
Sinsei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Iwe melalui desa So-lao
dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya namanya desa itu,
mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be, banyak cerita atau dongeng
tentang kemanjuran jamunya Sinsei di Chia-be. Nama penuhnya Sinsei itu saya
sudah lupa. Tetapi nama turunannya (Se’) saya masih ingat benar. Kami juga
tidak biasa menyebut nama penuhnya.
Kami biasa
memanggil dia: Sinsei Choa. Dan saya masih ingat benar nama Sinsei Choa dari
Chia-be.
Saya ingin berobat
kepada Sensei Choa. Tien-Jin pun sudi mengantarkan saya ke desa Chia-be.
Setelah memperlengkapi diri masing-masing dengan satu pistol maka pada suatu
hari berangkatlah kami menuju ke desa Chia-be. Kebetulan saja Sinsei Choa ada
di rumah.
Bukanlah adatnya
Sensei Choa: begitu tamu (pasien) datang, begitu pula menanyakan penyakitnya.
Kami lebih dahulu masuk ke kamar tamu. Di sini kami dijamu dengan teh atau air
panas. Mulailah percakapan tentang perkara yang menarik perhatian di waktu itu.
sendirinya percakapan itu akhirnya menyimpang kepada kedukunan dan obat-obatan.
Sensei Choa dengan gembira menceritakan bermacam-macam penyakit yang sudah
dilayaninya. Dia selalu siap sedia akan menceritakan sejarahnya kedukunan
Tionghoa. Tetapi seperti tiap-tiap dukun Tionghoa lainnya dia akan menyimpan
teguh rahasia jamu dan kedukunan yang dipusakakan oleh nenek moyangnya
kepadanya. Pula dia akan pesankan kepada anak cucunya supaya beberapa rahasia
tentang khasiat jamu, percampuran jamu dan cara
mengobati disimpan seerat-eratnya (rahasia). Tak boleh dibuka rahasia
itu kepada yang bukan turunannya. Demikialah kedudukan Tionghoa itu (kepintaran
khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh
tiap-tiap keluarga saja. Lenyaplah pula kedukunan itu bersama lenyapnya
keluarga itu. demikianlah paham umum tentang kedukunan Tionghoa. Tetapi umum
pula diketahui oleh rakyat jamu yang harus dipakai untuk mengobati sakit biasa
seperti pilek, pusing dsbnya.
Sensei tentulah
tidak terkecuali dalam hal ini. Dengan segala kehalusan diplomasi Tionghoa dia
akan menyingkiri menjawab pertanyaan yang agaknya berkenaan dengan rahasia
kedukunan. Dan dengan kehalusan Tionghoa pula seseorang tamu (pasien) akan
menyingkiri segala pertanyaan yang rasanya bersangkutan dengan rahasia
obat-obatan. Walaupun begitu masih banyak pengetahuan yang bisa diperoleh
dengan tanya jawab dan yang bisa dipakai untuk kesehatan kita. Rasa kemanusiaan
para dukun Tionghoa biasanya amat besar sekali.
Setelah sekian
lama bercakap-cakap maka oleh sensei Choa kami diajak turun ke kamar
pemeriksaan. Di sinilah pula Sensei Choa menyimpan bermacam-macam daun, urat,
buah-kayu, bunga dan bagian dari hewan yang dianggap mengandung zat sebagai
bahan jamu. Tidaklah pula ketinggalan satu neraca untuk menimbang beratnya
tiap-tiap macam jamu. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia.
Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang inilah yang sering
berbunyi keras di salah satu toko obat di kota-kota besar, seolah-olah untuk menunjukkan
bahwa toko ini atau itu dikunjungi tamu (pasien). Makin banyak berbunyi berarti
makin banyak pula langganannya. Tetapi semakin keras bunyinya tidak pula selalu
berarti bahwa toko obat itulah yang terbanyak mempunyai langganan. Toko obat
yang kurang laku belum tentu kurang keras bunyi lumpangnya. Di sinipun bisa
berlaku sesuatu pepatah: kaleng kosong keras bunyinya.
Sensei Choa tak
perlu membunyikan lumpangnya keras-keras. Dia tinggal di desa kecil saja.
Tetapi namanya sudah terkenal. Orang dari desa-desa lain datang sendiri ke
tempatnya meminta pertolongannya. Bukan pula di desa Chia-be saja dia
menjalankan prakteknya. Dia lama tinggal di Philipina dan cukup mendapatkan
hasil daripada pekerjaannya. Dia sanggup mendirikan rumah yang sedang besarnya buat
hari tuanya di desa ibu-bapaknya di Chia-be. Tamu yang datang di rumah seorang
dukun selainnya daripada bayaran obat, biasanya membayar $ 1,-. Boleh lebih dan
boleh pula kurang menurut penyakit dan kekuatan pundinya si sakit. Kalau lebih
kurang $ 3,- ialah berhubung dengan ongkos kendaraan (tandu atau becak).
Di kamar obat
Sensei Choa melakukan pemeriksaan yang terakhir. Sebenarnya dalam percakapan
tadi Sensei Choa sudah sedikit mendapat pemandangan tentang kesehatan saya.
Sekarang dia cuma tinggal memastikan penyakit saya dengan mengadakan beberapa
pertanyaan. Tentulah tidak dilupakan pemeriksaan pols (nadi tangan), kelopak mata, warna kuku, dan warna lidah.
Kemudian Sensei
Choa mengambil kertas Tionghoa yang memakai alamatnya. Dengan pensil dan tinta
Tionghoa dan mulailah dituliskan semua nama jamu yang harus dicampurkan. Pula
disebutkan berapa air yang perlu dipakai untuk memasak dan berapa pula mestinya
didapat sisa air masakan itu. Kalau saya tak salah, maka tak kurang dari 18
macam bahan yang dicampurkan. Ada bahan yang bisa didapat di Hokkian sendiri,
tetapi ada pula yang harus didatangkan dari Szuchuan, Mongolia dan Korea.
Sambil menghitung
nadi tadi, Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat “panas”, singku chin dia. Istilah ini acap kali
benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas itu ialah darah
yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa, maka “darah panas” itu
menyebabkan kurangnya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang
nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah
itu. Berapa cocoknya istilah ini dengan ilmu kedokteran modern, tidaklah
sanggup saya memerikannya.
Dalam usaha
“mendinginkan” darah itu, maka sendirinya kami sampai kepada persoalan makanan.
Sensei Choa menasehati saya Chiak-poo
(memakan yang mengandung zat kuat). Saya dinasehatkan memakan bebek (chiak-ok) yang dimasak bersama-sama
dengan obat. Enam ekor bebek harus dimakan, seekor seminggu. Jadi satu setengah
bulan berturut-turut. Kemudian baiklah pula dimakan penyu (chiak-pik), satu dua ekor. Penyu itu ialah penyu selokan di dekat
sawah. Makin tua penyunya makin baik. Buat bebek dan penyu Sensei Choa
menuliskan (resep) jamu yang berlain-lain pula.
Maka dengan
nasehat memakan bebek untuk memperkuat badan, perut dan syaraf, tibalah Sensei
Choa kepada riwayatnya ratusan, kalau tidak ribuan bebek yang dipelihara di
suatu paya yang sedikit jauh letaknya dari desa kami.
Kata sahibul
hikayat, pada suatu masa Hong-te yakni
Maharaja Langit, datang mengunjungi Chuan-Chu ibukota Hokkian melalui paya
tersebut. Setelah Hong-te memperhatikan paya itu, maka sekonyong-konyong
Baginda mendapat ilham dan berkata: “paya ini baik sekali dipakai buat
memelihara bebek hitam (oo-ak).
Dagingnya kelak akan besar khasiatnya (poo)
buat manusia.
Benar tidaknya
Maharaja Langit pernah melalui paya itu, dan pernah apa tidaknya oo-ak yang
dipelihara di paya dekat Chuan Chu itu mengandung “poo”, khasiat, tidak pula dapat saya putuskan secara ilmu modern.
Tetapi memangnya benar bahwa enam ekor bebek hitam dari paya dekat Chuan-Chu
itu banyak mengadakan perubahan dalam badan saya. Benarlah pula kebanyakan
obat-obatan Tionghoa itu banyak mengandung dongeng.
Tidak saja obat
itu didongengkan, tetapi juga cara (eksperimen) mendapatkan obat itu.
Sesungguhnya dongeng semacam itu sedap didengar oleh dan banyak memberi
kepercayaan kepada yang berobat.
Saya masih ingat
salah satu daripada dongeng, bagaimana dukun Tionghoa di zaman lampau
mendapatkan obat untuk sakit rabu. Anjing itu diberi makanan yang sudah dimamah
oleh si sakit rabu tadi. Anjing itu ditulari penyakit rabu. Si anjing yang
biasa mencari obat buat dirinya sendiri itu terus diikuti sampailah mereka
kepada sebuah kuburan.
Di sana anjing
tadi mendapatkan cendawan yang terus dimakannya. Cendawan itulah pula yang
dipakai oleh dukun tadi sebagai salah satu bahan mengobati penyakit rabu.
Sesudah diperiksa ternyatalah sudah, cendawan tadi tumbuh di tanah di depan
rabunya satu mayat yang sudah meninggal lantaran penyakit rabu.
Berapa benarnya
pengobatan semacam itu dan benar atau tidaknya pula cara mendapatkan obat
semacam itu cuma salah satu sepongan (echo)
dari experiment Barat modern, tentulah pula terserah kepada ahli obat dan ahli
sejarah saja. Tetapi memang lazim didengar semboyan kedukunan di Tiongkok: racun
lawan racun menjadi obat; sakit mata obatilah dengan mata; sakit jantung
obatilah dengan jantung (hewan) dan lain sebagainya.
Pemeriksaan
percakapan dan dongeng banyak mengambil waktu. Hari sudah pukul satu. Kami
minta izin kembali pulang. Sensei Choa tak mengizinkan demikian itu. “Makanlah
dahulu, sebab perjalanan agak jauh”, diusulkan oleh Sensei Choa. Kami terima
usul itu! Di belakang harinya saya sendiri sekali-dua pergi mengunjungi dukun
Tionghoa yang ramah tamah dan sangat simpati ini. wajah dan suaranya memberikan
banyak kepercayaan kepada yang sakit.
Di suatu desa
kecil di Tiongkok seperti Iwe, di musim dingin pula jadi yakni di bulan
Januari, dimana segala masyarakat yang segala asing itu, menambah kesunyian,
maka perawatan badan yang sudah banyak menderita dorongan alam, adalah satu
peristiwa yang sedikit memberi penghiburan. Saya dapat menyaksikan dan
mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam
yang sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang
saya terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok
saya sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa
sebagai bahan.
Sewaktu malam
sebelum tidur, kira-kira jam sepuluh datanglah periuk berisi masakan bebek ke
kamar saya. Sekali makan dihabiskan setengah bebek dan setengah daripada
kuahnya berisi sarinya jamu serta patinya daging dan sum-sumnya bebek.
Minyaknya bebek hitam itu adalah 3-4 mm tebalnya. Semuanya dimakan dan diminum
sepanas-panasnya. Dinasehatkan selalu, kalau sesudah makan haruslah tidur, Chiak pakun. Menurut teori “dukun” maka
sedang kita tidur, obat itu bergerak sepanjang pembuluh darah menambah darah
yang kurang dan membersihkan yang kotor. Chiak
pa kun, demikianlah syaratnya chiak
poo itu! Dalam satu setengah bulan itu maka dua belas kalilah saya jalankan
“chiak pa kun” itu. barulah saya
menyelenggarakan “chiak poo” itu
dengan “pek” (penyu) sebagai bahan. Sari
obat beserta patinya daging dan sum-sum “pek” masuk pula ke dalam badan.
Berbeda sekali
dengan dahulu, maka makan daging gemuk, dan sum-sum yang begitu banyak, sama
sekali tidak menimbulkan akibat seperti biasa lagi kepada saya. Tidak
tergganggu pencernaan dan tidak terganggu tidur. Bahkan, chiak pa kun itu memangnya chiak,
makan, pa, kenyang dan kun, tidur yang nyenyak. Zonder jamunya
sensei Choa daging dan minyaknya bebek hitam sebanyak itu pastilah akan
mengakibatkan terganggunya pencernaan dan tidur serta pusing kepala
berhari-hari! Tidaklah susah buat mempercayai, bahwa makanan yang kaya dengan
zat patri itu memberikan khasiatnya sepenuh-penuhnya. Terasalah dan ternyatalah
di sini, bahwa zat patri itu dimasukkan ke dalam badan kita dalam keadaan yang
sangat mudah dihancurkan. Jamu yang disangka menjadi alat bantu usus
menghancurkan makanan itu. Pada tingkat yang pertama, zat patri yang terdapat
pada bebek dan penyu itu dengan bantuan jamu memperkuat badan dan usus. Pada
tingkat yang kedua maka badan dan usus yang sudah lebih kuat itu memudahkan
dicernanya makanan. Tingkat kedua ini mulai saya peroleh di Iwe. Demikianlah
saya mendapatkan jalan buat meneruskan perbaikan kesehatan. Perlahan-lahan
kembalilah kesehatan itu sesudah hilang bertahun-tahun lamanya (th. 1925-1935).
Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak. Inilah rasanya pangkal
kesehatan.
Kesunyian desa Iwe
seperti di desa lain-lainnya di Tiongkok diselingi oleh keramaian pada
tiap-tiap tahun baru, oleh Chap-go-me,
perkawinan dan kematian. Tahun baru dan Chap-go-me itu dilakukan di seluruhnya
Tiongkok. Inilah hari besar nasional Tionghoa. Orang Tionghoa di seluruh negara
leluhurnyapun tidak ketinggalan merayakannya. Kita cukup mengenal di Indonesia,
karena keramaian itu dilakukan dengan terbuka. Kematian Tioghoa buat kita mau
tak mau terpaksa dimasukkan pada jenis keramaian juga. Bukan buat yang mendapat
kemalangan itu sendiri, tetapi buat para pengunjung. Bersamaan sedu-sedih serta
ratap tangisnya keluarga yang kematian kita menyaksikan bersamaan dengan
upacara penguburan dengan besar-besaran. Saya kenal di desa Iwe seorang
berpunya yang kematian bapak (angkat) untuk memperlihatkan terima kasihnya
kepada yang meninggal. Menghabiskan hampir semua hartanya untuk upacara
penguburan. Kadang-kadang mayat itu dibalsem dan tidak dikuburkan sampai
sebulan atau lebih. Hal ini acap kali terjadi di Hokkian, karena yang meninggal
mempunyai anak di Lam-Yu, yang ditunggu kedatangannya buat menyaksikan
penguburannya.
Yang hendak saya
uraikan sekedarnya di sini ialah peristiwa perkawinan. Persiapan dan upacara
perkawinan itu mengambil waktu yang lama dan memakan biaya yang besar. Yang
pertama ialah atas dasar paling kolot. Kedua atas cara paling modern. Ketiga
atas aturan di tengah-tengah yang dua itu. Saya cukup menyaksikan ketiga macam itu. menurut adat
kolot, maka mempelai dan anak dara satu sama lainnya tidak perlu kenal
mengenal. Para pengantin dipertemukan oleh kemauan ibu bapak kedua belah pihak
dengan perantaraan “minang”, seorang tengkulak yang biasanya perempuan. Yang
menjadi syarat penting buat ibu-bapaknya si Bujang ialah kekayaan, kecantikan,
kepatuhan dll, si gadis yang akan diterima di keluarganya buat selama-lamanya.
Buat ibu bapaknya si gadis syarat yang utama tentulah kekayaan dan kekuasaan
bekal menantunya, kemana gadisnya akan diserahkannya buat selama-lamanya. Tapo kya lau e, chawe kia, pa lang e.
(Anak lelaki kita yang punya, anak perempuan orang lain yang punya).
Ibu-bapak yang
kaya biasanya memakai lebih dari seorang “minang” (tengkulak). Terletak pada
“kebijaksanaan” minanglah banyak tergantung jaya atas gagahnya sesuatu
perkawinan. Tak sukar dimengerti bahwa tujuan yang pertama seorang minang ialah
supaya perkawinan berlangsung. Apabila berlangsung, maka ia mendapatkan yang dicarinya,
ialah uang sebagai upah.
Sudahlah tentu
seorang “minang” berusaha sekeras-kerasnya memuji bakal pengantin dan
keluarganya pengantin itu. oleh karena kepintarannya dan pengalamannya dalam
hal melayani langganannya, maka hidung mancung, serta hutang menjadi piutang;
yang miskin menjadi yang kaya. Banyak perkawinan yang lucu yang terjadi karena
usahanya para “minang”. Pernah lelaki yang tua bungkuk kawin dengan gadis yang
cantik molek, yang lumpuh kawin dengan yang buta. Memangnya yang menang dalam perkawinan
secara adat kolot itu biasanya minang yang cerdik licin. Perkawinan modern
disangka diakibatkan oleh modernisme yang bertiup ke Tiongkok sebagaian besar
dibawa motion picture, bioskop. Besar sekali pengaruhnya Clark Gable, Greta
Garbo, Dorothy Lamour dll, bintang Hollywood terutama diantara para pelajar dan
mahasiswa Tionghoa. Dasar perkawinan modern itu ialah sebaliknya daripada dasar
yang baru disebutkan di atas. Para pengantin tidak lagi mau menjadi objek
perkakas mati, para ibu bapak dengan “minangnya”, melainkan mau menjadi subyek,
menjadi seorang yang menentukan kesukaan diri sendiri. Perkawinan modern ini,
jadinya berdasarkan “saling mengakui”. Syukur kalau orang tuanya menyetujui
kalau tidak, perkawinan akan berlangsung zonder upacara yang lama dan mahal.
Mestinya
perkawinan semacam itu pun sebaiknya. Sebaiknya yang pertama ialah kalau kedua
belah pihak mempunyai watak yang isi mengisi, kedua belah pihak mempunyai cukup
tanggung jawab satu sama lainnya dan terutama kepada turunannya. Syarat yang
lain ialah kesanggupan mencari nafkah. Tetapi semua syarat tersebut tak dapat
dianggap cukup ada pada usianya pemuda-pemudi dalam Sturm und Drang periode, (usia bergelora) seperti terdapat pada
pemuda-pemudi pelajar sekolah menengah ataupun University. Banyak di antaranya
perkawinan atas dasar “saling mengakui” itu saya kenal berakhir dengan tragedi
kesedihan. Ada yang memukul istri mudanya, ada yang mempertaruh-kannya kepada
temannya setelah ia jemu, ada pula yang menceraikan bekas kekasihnya dengan anaknya
dan ada pula bahkan banyak “gadis” yang membuang atau membunuh anaknya.
Tetapi membantah
kemauan pemuda pemudi modern oleh ibu bapak kolot tak pula sedikit bahayanya di
Tiongkok modern. Sering kita membaca di sura kabar di kota besar, pemuda pemudi
ini melarikan diri, menggantung diri atau menerjunkan dir ke dalam air. Jalan
menengah ialah jalan di antara yang kolot dan paling modernpun tak selalu jaya.
Tetapi rupanya ada yang mempunyai tempat sendiri.
Inilah macamnya
perkawinan yang dilakukan di rumah Tien-Jin semasa saya berada di Iwe.
Pemuda (Tan) Hien-Tam sudah lama kenalan dengan
seorang pemudi. Hien-Tam ialah adiknya (Tan) Tien-Jin yang sudah kita kenal
dalam riwayat ini. Hien-Tam baru saja tamat Sekolah Menengah Dagang di satu
kota murid, dekat Amoy bernama Chip-Bi. Pemudi tadipun bersekolah di situ juga
ialah pada sekolah Guru Perempuan. Kabarnya pemudi tadi disekolahkan disana
oleh Tien-Jin sendiri. Di kota Chip-Bi, tempat lahirnya hartawan Tan Kah Kee,
maka Hien-Tam dan pemudinya mempunyai pergaulan yang merdeka. Tidak ada
barangkali di seluruhnya Tiongkok pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi yang
lebih umum, daripada Chip-Bi. Tetapi tak ada pula sekolah di Tiongkok yang
mempunyai tragedinya perkawinan berdasarkan “saling mengakui” daripada Chip-Bi.
Di masa kemajuannya maka Chip-Bi mempunyai lebih kurang 4000 murid, dari
Sekolah Frobel sampai ke Sekolah Menengah Tinggi. Sekolah Menengah itu terdiri
dari Sekolah Menengah Dagang, Perikanan, Guru, dan Umum. Semuanya murid tinggal
di asrama di kota Chip-bi pula. Keterusan Sekolah Menengah Chip-Bi ialah Amoy
University. Kedua perguruan ini dibiayai
oleh hartawan Tan Kah Kee, yang tinggal di Singapura.
Pergaulan merdeka
antara pemuda-pemudi pelajar berlaku dengan leluasa. Kesusasteraan modern yang mengalir
ke Chip-Bi dengan leluasanya; keleluasaan pemuda-pemudi pada hari liburan
mengunjungi lakon Hollywood di Amoy, lakonnya percintaan manusia tak bekerja,
yang tak tahu apa yang akan dipikulnya dengan uangnya dan apa yang bisa
diperbuat oleh uang atas dirinya dan last
but not least, uncritical mind dalam Sturm
und Drang Periode (semangat yang tidak kritis di masa pergolakan usia
pemuda)...........semuanya ini menjadi alat untuk mengubah perguruan di Chip-Bi
menjadi pergurauan. Tak sedikit pemuda-pemudi yang pada permulaan belajarnya
memberi pengharapan baik, di kemudian hari terombang-ambing diantara perguruan
dan pergurauan dan akhirnya terpelanting ke golongan kegagalan. Dalam salah
satu suratnya ke Chip-Bi, hartawan dermawan Tan Kah Kee pernah mengemukakan
kegagalan perguruan Chip-Bi (dengan Co-eds-nya, campuran laki perempuan) dan
menyesalkan uang sejumlah $ 16.000.000,- yang sudah dikeluarkannya semenjak
berdirinya.
Hien-Tam dan
pemudinya tidak dapat menghindarkan diri daripada penggeloraan modernisme di
seluruh dunia dan Tiongkok umumnya serta di Chip-Bi khususnya. Tetapi tidaklah
pula mereka melampaui garis yang dianggap larangan oleh masyarakat Tionghoa di
masa itu. mereka bersamaan pergi ke sekolah ke Chip-Bi yang setengah hari
perjalanan jauhnya dari desanya. Bersama-sama pula mereka pulang ke desanya di
waktu liburan. Lupa saya nama desanya pemudi itu, mungkin Lam-Oo. Saya namai
saja Lam-Oo. Letaknya tak jauh dari Kun-Chi.
Meskipun pergaulan
Hien-Tam dan pemudinya dipandang dari sudut masyarakat pemuda pemudi Chip-Bi
biasa saja, tetapi untuk desa Lam-Oo, perbuatan Hien-Tam dan pemudinya bersama
pergi ke sekolah dan bersama pulang ke desa dan berbicara pula satu sama
lainnya di rumah pemudi itu, sudah terlalu melanggar adat istiadat walaupun semenjak
beberapa lama mereka sudah bertunangan. Memang bilakah di seluruh sejarahnya
desa Lam-Oo, pernah bujang gadis bertunangan, bersama pergi jauh dan bersama
pulang ke desa dan bercakap-cakap pula satu sama lainnya di rumah bakal
mertuanya? Ini terlalu! Pernah Hien-Tam di waktu liburan datang dari Iwe ke
Lam-Oo untuk mengunjungi bakal tunangannya diancam oleh penduduk Lam-Oo buat
diserobot. Hien-Tam tidak mengindahkan ancaman itu. Dia pergi juga ke sana
dengan bersenjata. Sampai waktu itu Hien-Tam masih selamat. Malah pertunangan
akan disudahi dengan perkawinan.
Proses perkawinan
semacam inipun ialah yang bukan lagi cara kolot dan tidak pula secara ultra
modern ini masih mengambil banyak waktu dan banyak ongkos.
Saling hadiah
menghadiahkan barang yang ditetapkan adat ratusan tahun harus dilakukan. Bakal
istri harus dibelikan sepotong pakaian yang baru yang cocok harganya dengan
standing (kedudukan) bakal suami dalam masyarakat. Mas kawin tidak pula boleh
dilupakan. Banyaknya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak. Tidak
sedikit waktu yang terpakai buat “perundingan” menetapkan banyaknya mas kawin
itu. Akhirnya dari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga (Tan dan
Go?), malah oleh kedua desa yang akan dirapatkan dengan perkawinan sudah tiba.
Kedua pengantin sudah bersiap menanti dengan pakaian yang sebagus-bagusnya.
Hien-Tam sebagai pemuda modern memakai pakaian Eropa tulen. Cuma sedikit
keaslian yang terlihat pada bakal istrinya, yang biasanya berpakaian modern
pula. Hien-Tam menunggu di Iwe dan bakal istrinya akan datang dari desa Lam-Oo.
Tien-Jin dan istri, dua lelaki lain dalam rumah dengan istri, ibu Tien-Jin dan
seorang perempuan muda lagi, beberapa anak, dan jangan lupa saya sendiri
sebagai anggota baru rumahnya orang tua Tan Pek Lam (tuan rumah sebenarnya)
siap pula berpakaian untuk menunggu datangnya anggota baru dari desa Lam-Oo.
Banyak pula penduduk Iwe tua muda, terutama kanak-kanak keluar rumah, ikut
menyaksikan perkawinan dari anggota keluarga yang rumahnya terbesar buat seluruhnya
desa Iwe.
Matahari sudah
sedikit melampaui puncaknya, tetapi pengantin dari Lam-Oo belum juga kelihatan.
Akhirnya terdengarlah bunyi canang rebab dan suling sayup-sayup sekali dari
balik bukit mendekati Iwe. Bunyi yang pertama kedengaran itu disambut oleh para
penunggu dengan suara riuh gembira lae-la,
lae-la, sudah tiba, sudah tiba. Suara orkes Tionghoa itu makin lama makin
keras seperti pula suaranya para penyambut. Setelah sampai dihadapan rumah maka
tandu pengangkat pengantin dan dayang-dayang yang mengantarkan, diperhentikan.
Maka keluarlah anak dara dari tandunya disambut oleh mempelai, diantara para
keluarga dan para penonton dan dipapah masuk rumah dan kamar pengantin yang
sudah lama disiapkan dan diperhiasi. Hari itu berakhir dengan selamatan seperti
yang kita kenal juga di Indonesia. Satu dua malam terus-menerus dipermainkan
wayang Tionghoa di depan rumah. Permainan ini tentulah menarik perhatian hampir
seluruhnya desa Iwe beserta banyak pula tamu di sekitarnya desa Iwe.
Caranya pengantin
baru di desa yang baru pula baginya, diperkenalkan dengan para penduduk di desa
Iwe dan desa sekitarnya, amat menarik hati. Bermalam-malam lamanya pintu dibuka
untuk dibuka menunggu rombongan tamu, ialah kaum lelaki yang datang dari
mana-mana tempat pada malam hari untuk memperkenalkan dirinya dengan jalan
penggodaan. Sebelum mereka masuk, maka mereka membunyikan mercon di halaman
rumah. Kemudian kedua pengantin yang duduk berpakaian bagus, diajak berbuat
begini begitu. Ada-ada saja yang dipikirkan oleh para tamu untuk menguji dan
mengejutkan anak dara. Umpamanya mempelai disuruh menyajikan kue kepada anak
daranya dan harus dimakan oleh anak daranya. Tetapi sampai di mulut kue itu
meletus, karena berisi mercon. Mempelai dan anak dara tidak boleh marah. Tetapi
mempelai yang bijaksana dapat saja akal buat menghindarkan yang keterlaluan dan
menjaga supaya istri mudanya jangan terkejut. Penggodaan ini pada satu dua
peristiwa dalam sejarahnya ada dua juga yang melanggar batas. Seperti terjadi
pada perpeloncoan (ontgroening) para
mahasiswa baru. Tetapi biasanya berlaku dengan menggembirakan dan bisa
memperkenalkan semua pihak dengan cara lekas dan praktis.
Buat mempelai dan
anak dara secara kolot perpeloncoan sepasang merpati muda itu tentulah ada juga
gunanya. Mereka sebelum kawin mungkin sama sekali belum kenal-mengenal.
Perkenalan laki-istri dan perkenalan anak dara dengan sekitar baru baik juga
dilakukan dengan banyak kelucuan dan kegembiraan. Tetapi antara Hien-Tam dan
isterinya perkenalan itu sudah lama berlaku.
Adalagi peristiwa
desa yang setiap tahun berlaku yang baik juga sedikit diceritakan disini,
sekedar untuk menambah pengetahuan kita tentang adat istiadatnya satu bangsa
besar di dunia ini yang mempunyai anggota terbilang jutaan di tengah-tengah
masyarakat seluruhnya Indonesia.
Kita kenal bangsa
Tionghoa sebagai penganut agama Budha seperti leluhur kita di zaman Sriwijaya.
Kita boleh pula saksikan berapa eratnya perhubungan Budhisme Tiongkok itu
dengan Indonesia, bahkan tak kurang eratnya dengan perhubungan Tionghoa dengan
Hindustan. Bukankah wali pertama Budhisme Tionghoa itu seperti para Rahib,
I-Ching, Tah-Hien dan Chuan-Cheng bertahun-tahun lamanya tinggal di Sriwijaya
mempelajari bahasa Sansekerta dan agama Budha?
Tetapi selainnya
persamaan dan perhubungan bangsa Indonesia dengan Tionghoa dalam keagamaan di
zaman silam itu ada lagi persamaan lain dalam pandangan hidup sesudah mati;
ialah pemujaan arwah leluhur. Tidak bisa disangkal, bahwa sebelumnya Islam dan
Hindustan masuk ke masyarakat kita, maka leluhur bangsa Indonesia rupanya
memusatkan pemujaannya pada arwah leluhurnya. Wayang adalah peninggalan leluhur
kita sebagai alat pemujaan itu.
Selainnya daripada
memuja arcanya Budha di dalam temple yang tersohor di gunung dan bukit di
seluruhnya Tiongkok, maka pemujaan arwah leluhur itu tidaklah kurang artinya
buat hidupnya di Tionghoa. Berhubung dengan itu maka kuburan itu adalah salah
satu tempat yang amat dipentingkan. Di sekitar kuburan inilah disangka arwah
leluhur itu bersemayam. Kepercayaan kepada “Hong
Shui” adalah umum dan dalam sekali terpendam di kebanyakan sanubari
Tionghoa, kaum terpelajarpun tidak terkecualinya. Menurut kepercayaan kepada
Hong-Shui itu, maka tanah “baik” yang didapat untuk kuburan seseorang yang
meninggal itu boleh mengakibatkan kebahagiaan kepada turunan. Sebaliknya pula
ada kepercayaan, bahwa tulang belulang leluhurnya seseorang besar bisa didapat
dan bersama-sama dengan tulang-belulangan juga dilemparkan ke laut, maka
sekonyong-konyong akan hilanglah kebahagiaan orang besar tadi. Dia tiba-tiba
akan ditimpa kemalangan.
Apa defenisinya
Hong-Shui itu susahlah didapat. Oleh beberapa intellect, Hong-Shui itu dianggap
sebagai “listrik” yang terus memancar kepada jiwa turunannya. Bagaimananya
tentulah tak dapat dipastikan. Buat rakyat biasa, Hong-Sui itu berarti “kuburan
di tanah bahagia (dingin)”. Bagaimana juga, leluhuru itu masih bersemayam di
tanahnya bumi ini. Sebab itulah kuburan itu penting sekali di mata rakyat
Tionghoa. (Di Tiongkok Utara, Hong-Shui itu, ialah semangat (spirit) angin dan
air, yang harus dipuja).
Sekali setahun
maka kuburan itu dibersihkan dengan upacara dan bakti. Di musim bunga, kuntum
bunga dan daun mulai keluar, dan alam seluruhnya bangun daripada tidurnya di
musim dingin, maka seluruhnya keluarga tua muda, lelaki-perempuan, perbaikan
bagus, dipimpin oleh lelaki tertua berangkat dari kuburan ke kuburan, mengenali
dan membersihkan kuburan leluhur, serta menyelenggarakan upacara pujaan dan
akhirnya memberi selamat tinggal kepada arwahnya leluhur itu dengan dentuman
bedil berkali-kali. Tak ada kuburan dan sejarah arwahnya yang terkubur itu yang
dilupakakan. Bukankah tak ada bangsa di dunia ini yang lebih mengenal dan
berterima kasih kepada leluhurnya itu?
Terutama pula
karena upacara pemujaan itu dilakukan oleh anak lelakinya almarhum yang tertua,
maka malanglah seorang bapak yang tidak mempunyai anak lelaki. Bukan pula
berarti, bahwa perempuan Tionghoa menurut adat Tionghoa asli tidak berhak
apa-apa seperti biasa dikatakan orang! Di semua keluarga di desa-desa yang saya
kunjungi besar sekali kekuasaan dan pengaruh perempuan. Ibu Ki-koq di desa
Sionching dan ibu Tien-Jin kedua berlaku sebagai Raja de facto di dalam
keluarganya, terutama dalam urusan harta benda. Bukankah dimana-mana dan dalam
segala sumber pencarian, seperti pertanian dan perdagangan, Tionghoa-istri itu
rajin dan taat membantu suaminya? Pengetahuan dan pengalaman yang banyak itu
tak bisa diabaikan begitu saja, apalagi di masa susah. Akhirnya setelah
tiga-empat bulan saya berobat, beristirahat dan menambah pengetahuan masyarakat
Tionghoa desa, maka datanglah waktunya meninggalkan keluarga yang baik budi
itu. Kesehatan saya sudah mendapatkan kepastian buat dilanjutkan. Saya
mendapatkan rahasia caranya hidup; makanan yang baik buat saya, apa yang tidak,
bagaimana memasaknya, dsb. Obat m ana, dengan bahan apa yang baik saya
selenggarakan dari waktu ke waktu untuk memperkuat badan yang banyak menderita
itu. Perbandingan gerak badan dan tidur tidak pula boleh dilupakan. Iwe dengan
laut dan pesisirnya, ladang dan bukit-bukitnya banyak sekali mengambil bagian
dalam pengembalian kesehatan saya itu. Tetapi walaupun begitu saya harus
meninggalkan desa ini, karena hampir semuanya para lelaki dalam keluarga Tan,
akan meninggalkan desanya. Tien Jien, baru kembali ke Philipina. Hien-Tam pun
dengan istrinya akan kembali ke Philipina. Yang tinggal cuma orang tua Tan
beberapa perempuan muda, penghuni (penjaga) rumah.
Tibalah sudah
waktunya untuk berangkat! Semua keluarga tua-muda diketahui oleh ibunya Tien
Jin dengan para istri lain-lainnya beserta anak-anak keluar rumah untuk
mengantarkan. Tak ada bedanya dengan peristiwa memberi selamat jalan kepada
keluarga sendiri. Mungkin berlebihan, karena kami kedua belah pihak banyak
membuktikan perasaan terharu dan iba berpisah. Oleh beberapa anggota saya sudah
dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Buat mereka perginya, Tien Jin ialah
pergi untuk mencari nafkah ke tempat yang tertentu atas pencarian hidup yang
sudah tetap, seperti di Philipina. Mereka tahu saya tidak mempunyai pencarian
yang pasti itu dan tempat keluarga yang dapat ditetapi. Mereka tahu, bahwa saya
seorang dicari, dikejar buat ditangkap dimana saja berada. Sudah dipastikan
kepada saya, oleh salah seorang anggota keluarga, bahwa sesudah tiga tahun,
saya boleh kembali ke Iwe untuk mendiami sebuah kamar sampai hari terakhir yang
dimaksudkan ialah rupanya kamar orang tua Tan, yang sudah amat tua dan selalu
sakit saja itu.
Beratlah hati
meninggalkan keluarga baru ini. apabila saya mendaki bukit meninggalkan Iwe,
menoleh ke pesisir dengan pasir putih dan air tenangnya, ke bukit dan ladang ke
kiri-kanan yang saya kenal baik dan menoleh ke belakang, ke rumah dan keluarga
yang saya anggap tak asing lagi, maka ada juga sentimen, perasaan tersangkut,
timbul di dalam dada. Tetapi perjalanan mesti terus, terus entah ke mana. Saya
belum merasa cukup sehat buat tinggal di dalam kota, dengan keramaian serta
hawa kotanya seperti Amoy.
Saya merasa masih
perlu memperkuatkan diri di tempat yang berhawa segar. Hien-Tam-lah pula yang
memperkenalkan saya kepada para temannya Kota-Murid, di Chip-Bi. Di sini saya
mendapat menyewa kamar pada rumahnya seorang guru Sekolah Menengah. Saya bisa
hidup dengan sederhana sambil menyelenggarakan makanan saya sendiri. Di samping
itu dapat pula saya berkenalan dengan beberapa para pemuda pemudi yang datang
dari semua jurusan di Lam-Yu, Selatan. Perkenalan itu seperti dimana-mana saja,
saya harapkan buat kemanfaatannya kebangunan Asia seluruhnya.
Yang tidak boleh
saya lupakan ialah sahabat lama yang tinggal di Amoy. Tan Ching Hua dipanggil
Ka-It yang diam di gang sempit gelap, di jalan Ang Pun Poo, di rumah Tionghuat.
Besar gelora
hidup, Tionghoa biasa, bekas opsir dan bekas anggota Kuomintang ini. belum
terputus perhubungan saya dengan Tionghoa ini. Pada suatu hari, ketika saya
masuk ke rumah Tionghuat yang gelap di siang hari itu, maka dari atas, tingkat
pertama, saya mendengar suara: Ka-It bo
ti-e (Ka-It tak dirumah) suara itu datangnya dari penjaga rumah.
Saya terus naik ke
tingkat pertama buat bertanyakan kemana perginya. Sedang kami bertanya jawab,
datanglah seorang penjaga lain dari tingkat kedua, menyuruh saya masuk ke
kamarnya Ka-It, di tingkat kedua itu.
Saya terkejut dan
sedih melihat air mukanya Ka-It. Dia sedang memegang tasbih, melakukan sembahyang
secara agama Budha. Kitab Sucinya sedang terbuka. Rambutnya dicukur seperti
rahib. Diambilnya gambar istrinya, ketika mudanya, yang baru saja meninggal.
Diperlihatkannya gambar itu kepada saya dengan perkataan “lihatlah rupanya
ketika saya baru mengenal dia”. Memang selama saya mengenal istrinya yang
meninggal itu, istrinya itu selalu sakit-sakit saja, berlainan sekali rupanya
dengan gambarnya. Tidak saja kematian istri itu yang memutus asakan Ka-It.
Urusan yang lain ialah percekcokan perkara pusaka dengan saudara tua lelaki dan
dan istrinya. Ka-It cuma mewarisi rumah tua, sedang saudara tuanya mengambil
semua uang yang ditinggalkan. Apakah yang akan dibikin dengan Tionghuat, rumah
tua dan tak dengan uang sepeserpun? Kematian istri dan kezaliman yang
dirasainya itulah yang mendesak Ka-It ke pinggir jurang hidup.
Semua kemalangan
berupa “jatuh dihimpit tangga” itu terjadi, maka Ka-It memang memperlihatkan
kecondongannya hati kepada mistik Budhisme. Saya sering diajak ke rumah
kelenteng di atas bukit, dekat kota Amoy, buat berkenalan dan makan
bersama-sama dengan para rahib. Ka-It mengatakan kepada saya, bahwa dia ingin
masuk ke kelenteng buat menjadi murid rahib. Kalau kelak sudah diizinkan dia
akan meneruskan hidup rahib itu pada suatu kelenteng yang mahsyhur dekat
Shanghai. Ka-It mengajak saya pergi ke Shanghai.
Biarlah saya
tinggal di sana bersama dengan dia, katanya. Tak ada orang asing akan tahu dan
akan mengganggu, katanya pula karena letaknya kelenteng itu amat terpencil.
Saya tak suka
membantah sesuatu kepercayaan orang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Saya
berjanji akan sering menjumpainya di kelenteng dekat Amoy itu. Saya
menasehatkan baiklah coba dahulu menjadi murid. Janganlah berlaku tergesa-gesa,
sebab amat berat ujian sebelum menjadi rahib selama-lamanya dan meninggalkan
masyarakat biasa sampai nafas terakhir.
Ketika saya turun
rumah maka di tingkat pertama oleh penjaga tadi diceritakan kepada saya, bahwa
sudah sebulan lamanya, Ka-It tidak mau menerima seorang juapun, baik sahabat yang
sekarib-karibnya ataupun keluarganya sendiri. Dia mau memisahkan diri sama
sekali dari masyarakat yang bengis ini. Sudah berhari-hari dia terus menerus
mengaji, sembahyang dan tafakur. Penjaga meminta maaf kepada saya karena
melarang saya naik ke atas menjumpai Ka-It pula, saya boleh sewaktu-waktu
menjumpai dia, katanya pula.
Orang persalahkan
Ka-It, karena pemabuk sampai memukul orang, pemarah, boros dan beristri dua.
Memang pemboros, terutama kepada temannya adalah sifat Ka-It, yang banyak
merugikan dalam masyarakat persaingan hebat seperti Tiongkok. Tak banyak
pengharapan bagi seseorang pemboros akan menjadi kaya. Tetapi berapa banyakkah
di Tiongkok, terutama di bandar-bandar perjanjian, Tionghoa sedikit mampu, yang
tidak peminum dan tidak beristri dua? Malah “kesalahan” seperti itu boleh
ditambah dengan tambahan “istri” lebih banyak lagi daripada dia dan kebiasaan
mengisap madat. Semuanya hanya dibatasi oleh kemampuan saja, mereka yang
menuduhkan semua “kesalahan” yang menyebabkan Ka-It tak menerima pusaka yang
diharapkannya itu sebenarnya bukanlah karena keborosannya Ka-It, melainkan
keinginan biasa diantara paraa warisan masing-masingnya mau menerima pusaka itu
lebih banyak daripada yang lain. Bagaimanapun juga, terhadap saya sendiri,
Ka-It dalam kesulitan saya, berlaku seperti manusia yang jujur kepada paham
persahabatan dan kepada agamanya. Selainnya daripada contoh yang sudah-sudah
kelak akan saya selipkan lagi satu dua contoh yang lain-lain.
Banyak juga
tambahnya pengalaman saya sebagai revolusioner diantara para pelajar Chip-Bi,
yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentang cara dan hasilnya
pekerjaan saya dipandang dari jurusan proganda itu bukanlah masanya buat
ditulisakan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum imperialis
internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa yang sudah
saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada siapapun juga yang
berhak menuntut tanggung jawab itu. baiklah hal ini saya peringatkan kepada
para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imperialis
internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan
komplotan anti imperialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.
Beralasan atas dua
perkara yang penting maka pada permulaan tahun 1936, saya meninggalkan desa di
benua Tiongkok dan pindah ke kota di pulau Amoy. Pertama sekali, kesehatan saya
masih harus berjaga-jaga. Jikalau tidak mendapatkan hawa seperti di Iwe dan
Chip-Bi dan tidak pula mendapatkan jamu dan nasehat yang berharga dari Sensei
Choa, maka barangkali kesehatan itu akan terus menerus merosot saja, apalagi
kalau terpaksa tinggal di satu kota Tionghoa.
Kedua, sesudahnya
tangkapan Hongkong, maka perhubungan saya dengan Philipina terputus sama
sekali. Mungkin se kali para Conspirators interansional, sesudah Inggris
merampas surat saya di Hongkong, berhasil memutuskan perhubungan itu. dengan
putusnya perhubungan saya dengan Philipina itu, maka hilanglah pula
sumber-sumber penghidupan yang utama, ialah pekerjaan saya sebagai koresponden
dari persurat kabaran di Philipina.
Dengan kehilangan
sumber penghidupan timbullah pula, keperluan buat mencari sumber penghidupan
yang lain. Diam di desa memangnya tidak memerlukan ongkos yang besar, tetapi
sesudah sekian lama, maka uang yang ada pada saya mulai menjelang sen yang
terakhir.
Tetapi dengan
kesehatan kembali baik, maka optimisme juga kembali. Dengan optimisme serta
kesehatan yang baik, di kota seperti Amoy pun tentu ada lubang pencaharian yang
halal dan bermanfaat.
Sudah lama saya
pelajari dari dekat tingkah lakunya dan cita-citanya pelajar Tionghoa. Mereka
umumnya pecinta bangsa dan tanah airnya dan umumnya suka mempelajari semua ilmu
pengetahuan, ilmu tepat (exact-science) atau ilmu kesusasteraan. Merekapun
dengan segala patriotismenya dan kebangsaan dan kebudayaannya insaf benar akan
kekurangan negaranya.
Mereka tertarik
kepada pengetahuan (science), teknik dan kesusasteraan asing. Di luar kegiatan
membuat propaganda, dan demonstrasi anti imperialisme, pelajar Tionghoa juga
ingin memakai waktunya untuk membaca buku dalam bahasa asing.
Dalam bahasa
Inggrislah kebanyakan tertulis buku asing yang masuk ke Tiongkok atau yang
dicetak oleh percetakan Tionghoa sendiri. Bahasa Inggrislah pula diantara semua
bahasa asing yang amat diutamakan di Tiongkok. Bahasa Inggris termasuk
“important subject” (pelajaran penting). Bahasa Inggris juga termasuk “heavy subject” (pelajaran sukar) seperti
pelajaran ilmu tepat dan bahasa Tionghoa sendiri. Sebagai pelajaran penting dan
sukar, maka bahasa Inggris seperti pelajaran penting dan sukar yang lain-lain
diajarkan pada waktu pagi hari, di masa otak masih segar bugar.
Tetapi pemerintah
nasional Tiongkok dengan bahasa Inggrisnya tidaklah meng-Inggris-kan, ialah
menukar bahasa Tionghoa menjadi Inggris gadungan seperti pemerintah Hindia
Belanda dengan bahasa Belandanya mencetak Belandist, Belanda gadungan, ataupun
pemerintah Amerika di Philipina mencetak American gadungan. Murid Tionghoa
dididik menjadi Tionghoa patriot. Bahasa Inggris dipakai untuk reading knowledge, untuk pandai membaca
saja. Sudahlah cukup kalau murid itu bisa memahamkan isi buku ilmu dalam bahasa
Inggris. Kebanyakan buku matematika dan ilmu alam dll. Yang dipakai di sekolah
menengah tinggi dan sekolah tinggi ialah buku dalam bahasa Inggris. Walaupun
bahasa Inggris itu banyak diajarkan di sekolah Tionghoa, dan walaupun umumnya
murid Tionghoa mudah memahamkan isi buku seperti tersebut diatas, maka umumnya
mereka tidak bisa berbicara, susah “menangkap” pembicaraan Inggrisnya orang
yang dipakai oleh surat kabar Inggris. Banyak murid sekolah Tionghoa yang ingin
mempelajari berbicara Inggris dan mempelajari Inggrisnya surat kabar.
Disinilah luas
sekali lapangan buat saya: mengadakan kursus buat melatih murid sekolah dalam
percakapan dan menambah yang kurang dalam hal ilmu saraf. Selainnya daripada
bahasa Inggris adapula mahasiswa yang memerlukan latihan bahasa Jerman, ialah
mereka yang ingin meneruskan sekolah ke Jermania. Akhirnya adapula diantara
mereka yang berhubungan dengan Indonesia yang ingin mempelajari bahasa
Indonesia dan bahasa Belanda. Demikianlah timbul maksud saya hendak mendirikan
“Foreign Languages School” (kursus buat beberapa bahasa asing). Baru saja saya
membicarakan hal ini dengan beberapa teman, dan baru saja saya menduduki sebuah
kamar kecil di kota Amoy, datanglah kesulitan baru.
Pada permulaan
tahun 1936, pemerintah pusat Tiongkok mulai aktif melawan Agresi Jepang. Di
Amoy yang dekat letaknya dari Taiwan, jajahan Jepang, banyak sekali terdapat
orang Taiwan. Mereka ini sebenarnya berasal dari Hokkian dan masih berbahasa
Hokkian. Tetapi di Amoy dengan perlindungan bendera Jepang mereka berbuat
semau-maunya terhadap bangsa Tionghoa Hokkian ialah bangsa mereka sendiri.
Orang Taiwan-lah di Amoy yang menguasai perusahaan pemadatan, perjudian, dan
pelacuran. Pemerintah pusat Tiongkok sudah mulai dengan sungguh hati membasmi
semua penyakit masyarakat Tiongkok ini. Tetapi selalu terantuk (tertumbuk)
kepada bendera Hinomaru. Pemerintah Tiongkok walaupun dengan alasan cukup dan
sah tidak berhak menangkap dan mengadili penjahat atau seorang pelanggar Jepang
atau kaki tangannya, orang Taiwan. Buat menangkap penjudi Taiwan umpamanya,
Pemerintah Tiongkok di Amoy harus memberitahukan hal itu lebih dahulu kepada
konsul Jepang di Kulangsu. Biasanya si-penjudi sudah diperingati dan sudah
tidak ada lagi ketika mau ditangkap, kalau benar-benar mau ditangkap. Tetapi
selainnya perbuatan busuk tersebut diatas, orang Taiwan pada tahun 1936 itu
semakin giat melakukan spionage. Terhadap spionage ini pemerintah Amoy
mengadakan pembersihan di daerahnya. Barang siapa orang asing yang tidak
mempunyai surat-pas atau tak mempunyai wakil negara asing yang melindunginya
tidak dibolehkan tinggal di Amoy, bagian Tionghoa. Barang siapa tua
surat-pasnya disuruh diperbaharui.
Pemuda polisi
Tionghoa yang baru tamat latihan istimewa berkeliling dari rumah ke rumah untuk
mengadakan penyelidikan. Mereka menyelidik ini sampai juga ke kamar saya.
Kepada saya ditanyakan, hal ihwal, surat-pas sebelumnya saya menceritakan hal
ihwal surat pas ini selanjutnya, perlu saya sedikit menyimpang kembali kepada
sahabat saya Ka-It. Dua bulan lebih dia menjalankan kewajibannya sebagai murid
rahib di salah satu temple di bukit dekat kota Amoy. Saya pernah juga pergi
mengunjungi ke tempat perpisahan itu. Pada hari permulaan nampak benar akibat
penderitaan batin yang terbayang pada mukanya. Tetapi pada ribut topan
sanubari, sebagai akibatnya kehilangan kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai
balsem pada luka yang dalam. Manusia akan tenggelam saja dalam duka cita
jikalau jurang dalam diantara duka cita dengan kegembiraan hidup itu tidak
dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun perlahan-lahan.
Setelah lebih
kurang tiga bulan lamanya dia berada di kelenteng, maka Ka-It kembali ke rumah
usang Tionghoa buat meneruskan pencarian untuk diri dan keluarganya di Iwe yang
masih membutuhkan pertolongannya. Buat mereka yang kembali dari Philipina ke
kampungnya dan kembali dari desanya di distrik Chuan-Chu ke Philipina rumah
penginapan Tionghuat adalah satu bantuan yang besar yang mereka sudah kenal
bertahun-tahun. Mereka yang tak berpunya sering mendapat bantuan (pinjaman)
dari Tionghuat yang dibayar kembali kalau sanggup pula membayarnya. Tionghuat
berlaku lebih kurang sebagai Balai Desa. Belum lama lagi Ka-It membelakangi
kesedihan hatinya datanglah pula saya dengan persoalan baru. Saya ceritakan
kepadanya tindakan baru dari polisi Amoy dan kemungkinan bahwa juga saya akan
diperiksa. Segera diberikannya kepada saya surat pas dia sendiri yang
diperolehnya dari pemerintah Amerika di Manila sebelum kembali ke Amoy. Surat
pas itu sebenarnya sudah tua (verjaard)
tetapi saya kira sebagai tanda akan boleh juga saya pakai, asal saja gambarnya
Ka-It bisa ditukarkan dengan gambar saya sendiri. Penukaran itu buat saya bukanlah
satu perkara yang sulit, saya sendiri yang “menyelenggarakannya”.
Dengan surat pas
lama inilah saya jawab pertanyaan para pemuka polisi ketika mereka sampai di
kamar saya. Tetapi mereka tidak puas dengan surat pas yang sudah tua itu.
Mereka mengusulkan supaya saya pergi ke konsul Amerika di Kulangsu buat
“membaharui”. Tentulah ini tidak bisa saya jalankan. Terlampau banyak
resikonya. Kepada pemuda polisi ini tentulah pula tidak bisa dikatakan dengan
terang-terangan siapa yang saya dan darimana saya sebenarnya datang. Tetapi
pemuda polisi memberi waktu beberapa hari lamanya buat mengurus perkara itu.
Seperti tersebut
di atas tadi Ka-It sudah kembali ke tempatnya, seperti biasa dengan kegembiraan
atas kemarahan seperti sifatnya pada sedia kala. Tinghoa yang selama ini
tiga-empat bulan seolah-olah kehilangan penduduk, mulai ramai kembali.
Kelihatanlah pula gembiranya mereka dari distrik Kun-Chi, yang pulang pergi ke
Philipina mendapatkan Ka-It kembali ke tempatnya. Rupanya uang tidak menjadi
persoalan. Mudahnya uang lepas daripada tangannya Ka-It diimbangi pula dengan
lekasnya uang kembali mengalir ke tangannya dari berbagai penjuru. Pengaliran
pulang balik dari tangannya Ka-It ke tangan sahabatnya itulah saja hasrat
hidupnya. Dia tidak mengindahkan mas berpeti-peti yang dikumpulkan dalam
perbendaharaannya buat dirinya sendiri.
Pada malam saya
datang itu seorang tamu yang pulang dari Philipina memberi jamuan makan. Tamu
itu sudah ada pula saya kenal. Dia termasuk orang terpelajar dan seorang “bussines man” pedagang modern. Bersama
dia pula seorang tamu, ialah seorang pegawai tinggi pada pemerintah kota Amoy
dan berasal dari Foochow. Pegawai ini diperkenalkan pula kepada saya.
Bukan sekali ini
saya di “chia”, di jamu
besar-besaran. Pengalaman saya sudah cukup benar dalam hal ini. Makan dengan
“sumpit dua” pun tidak asing bagi saya. Mereka yang menyangka ada pengharapan
buat dipanggil keselamatan Tionghoa hendaknya memperhatikan apa yang saya
tuliskan dengan pendek di bawah ini tentang perjamuan Tionghoa itu.
Hidangan pertama
jangan terlampau diacuhkan. Ambillah sedikit sekedar memenuhi ‘adat’. Orang Indonesia umumnya merasa
tidak enak kalau hidangannya tidak “ditegur”.
Dia merasa senang kalau masakannya disukai, artinya itu “dapurnya” mendapat penghormatan. Nyonya rumah akan bergembira
mendengarnya. Beginilah pula orang Tionghoa! Kelihatan gembira tuan rumah kalau
tamunya makan dengan bernafsu. Buat tuan rumah itu kejadian semacam ini adalah
satu tanda bahwa “dapurnya” benar-benar mendapat kehormatan. Tetapi salah dan
rugilah si-tamu kalau pada permulaan perjamuan dia sudah membuka semua ruangan
perutnya buat dipenuhi. Seperti Shakespeare tahu: bahwa mesti ada klimaks dalam
tonilnya dan paling sedih atau paling lucu harus ditaruh pada penghabisan
karangannya itu, demikianlah pula tuan rumah Tionghoa menghidangkan makanan itu
atas dasar lezat demi lezat dan memberikan “finishing
touch-nya” menyudahi (jamuannya) dengan hidangan yang paling lezat. Tamu
yang berpengalaman menunggu datangnya duat tiga hidangan sebagai pengunci. Lama
benar perjamuan itu berlaku, acap kali sampai jauh malam ialah menurut
kemampuan dapur dan pundinya tuan rumah. Semakin banyak ragamnya hidangan,
semakin lamalah pula perjamuan dan kesenangannya perjamuan itu. Waktu itu
diperpanjang pula oleh minuman pe-chiu
(arak putih) yang hebat dan ang-chiu
(arak merah) yang lebih hebat lagi sebelum dan selamanya makan.
Tuan rumah dan
para tamu bersuka ria bertambah suka dan gembira dengan meningkatnya akibat pe-chiu dan ang-chiu dan mendekatnya hidangan yang lebih lezat lagi. “Jangan
malu-malu, bo-kek-ki-ah, bo-siong-keah”, inilah ajakan tuan rumah
yang acap kali terdengar. Anggaplah satu tanda persahabatan, kalau tuan rumah
atau seorang tamu dengan sumpit yang sedang dipakainya menjepit sepotong
makanan dan menaruh potongan itu ke piring kita dengan perkataan “bo-keh-ki” tadi. Maklumlah kegirangan
sedang memuncak. Kegirangan itu ditambah pula oleh akibatnya ang-chiu.
Sebagai pengunci
atau sebelumnya itu biasanya dihidangkan seekor bebek yang dimasak sampai
selembut-lembutnya. Asapnya bebek itu masih membual-bual dan baunya amat
membuka selera makan. Tampillah biasanya tuan rumah ke depan untuk mengoperasi,
membelah-belah bebek tadi. Bukan dengan pisau atau garpu! Di sinilah letaknya
kesenian si ahli masak di dapurnya tuan rumah. Bebek yang masaknya jempol sudah
cukup diraba beberapa bukunya (gewricht)
saja dengan ujung sumpit. Dan jatuh bercerai-berailah semua bagian badannya.
Segeralah semua sumpit daripada tamu menyerbu menjepit potongan daging yang
disukainya.
Kembali kita
kepada tuan rumah dan pegawai tinggi Balai Kota Amoy tadi. Seberes-beres dan
semarah-marahnya Ka-It dia tidak lupa akan maksudnya memperkenalkan saya kepada
pegawai tinggi berasal dari Foochow tadi. (Hampir semua pegawai pemerintah
Balai Kota Amoy terdiri dari orang Foochow). Di tengah-tengah asapnya makanan
yang lezat dan banjiran pe-chiu dan ang-chiu tadi dia tidak lupa menceritakan
riwayat saya seperti seorang pelarian dan membandingkan nasib saya itu dengan
pemimpin Tiongkok ketika dikejar-kejar oleh pemerintah Manchu. Simpati pegawai
tinggi terbuka dan simpati memangnya kunci semua persoalan. Sesulit-sulitnya
persoalan, selama ada simpati dari kedua belah pihak, memangnya mudah sekali
diselesaikan.
Demikianlah
masalah “kewargaan” saya diselesaikan
pada malam hari itu secara Tionghoa lama. Kalau ada keluarga yang menjamin
seseorang apalagi mengakui seseorang sebagai anggota keluarganya, maka kewargaan
itu beres sendirinya. Tak ada urusan “denaturalisasi”
menurut adat Tionghoa lama. Lagi pula pegawai tinggi mengaku dirinya seorang
Asia dan seorang Kek-Bing,
revolusioner, dia wajib membantu saya katanya. Besok hal surat pas saya itu
akan diselesaikannya dengan para koleganya.
Dalam keadaan
biasa kewargaan itu mudah diselesaikan. Syarat pertama, menurut undang-undang
Tionghoa yang baru, ialah seorang asing baru boleh menjadi warga negara
Tiongkok, sesudah lima tahun tinggal di Tiongkok. Mudah pula diselesaikan
perkara jaminan. Tetapi menyelesaikan itu dengan cara resmi dengan pemerintah
pusat memang ada mengandung kesulitan, terutama karena paham politik saya
sendiri dan sikapnya pemerintah Chiang Kai Shek beserta imperialisme asing
terhadap kaum radikal. Ka-It tiada banyak memusingkan perkara politik atau
Chiang Kai Shek itu. Berkali-kali sudah dikatakannya, bahwa kalau di Amoy pun
saya tidak boleh tinggal, baiklah saya kembali saja ke desa Iwe. Di sana tidak
akan ada orang yang mengganggu. Cuma baiklah tindakan terakhir ini janganlah
dahulu dijalankan sementara mendapatkan jalan yang lebih baik.
Dengan selesainya
perkara surat pas barulah saya bisa kembali kepada soal bermula, ialah soal
sumber hidup.
Untuk ini Ka-It
setuju benar dengan maksud saya seperti tersebut di atas. Ialah mendirikan “Foreign Languanges School”. Modal dia
tidak punya, tetapi perabo buat permulaan, seperti beberapa meja dan kursi siap
sedia akan dipinjamkannya. Rumah walaupun rumah tua pula, ialah rumah di
seberang Tionghoa dengan cepat bisa disewa dengan harga rendah karena yang
empunya rumah itu ialah kenalah Ka-It.
Demikianlah saya
siap dengan rumah dan perabotnya, selain daripada itu, advertensi sudah saya pasang dalam surat kabar Tionghoa di Amoy dan
program-program pun sudah dicetak. Mulailah para pemuda datang mengambil
program buat dipelajarinya. Saya menunggu hasilnya dengan kepercayaan penuh.
Tetapi Ka-It nyata kegelisahannya setelah dilihatnya bahwa sesudah dua minggu
lebih “rumah sekolah” saya masih kosong. Dari hari ke hari dia datang meninjau
menanyakan hasilnya dan kecewa kalau saya katakan, bahwa program saja yang
hampir habis, tetapi seorang muridpun belum masuk.
Buat merebut
hatinya pelajar Tionghoa modern dengan kekal, tidak cukup persediaan rumah
sekolah yang besar pantas, diploma college ini atau itu yang paling gemilang,
karena sekolah di Hongkong atau seberang atau program yang menarik hati saja.
Dua tiga kursus bahasa Inggris di Amoy pada masa itu yang mempunyai gedung
besar guru yang berdiploma tinggi dan program yang bagus pada permulaannya
memang penuh sesak, tetapi buat sebulan dua saja. Di belakangnya menjadi kosong
sunyi senyap.
Harus diketahui
bahwa bersama dengan modernisme di semua lapangan, penggeloraan berbagai-bagai
isme amat mempengaruhi jiwanya pemuda Tionghoa. Nasionalisme, Sosialisme dan
Komunisme yang datang dari semua penjuru bertiup ke Tiongkok tepat sekali
mendapatkan sasarannya nasionalisme dan komunisme-lah yang mengambil bagian
yang terbesar diantara semua aliran itu. Isme itu sampai menjadi ukuran buat
menentukan nasibnya seorang guru. Seorang guru yang ahli seahli-ahlinya pun
dalam vaknya tidak akan laku atau akan lama terpakai kalau ia
menganut/politik/paham yang kolot. Segera ia akan tertumbuk kepada isme
muridnya. Berhubung dengan keadaan beginilah maka sering dikatakannya bahwa
pelajar Tionghoa itu tidak mau mengenal disiplin lagi.
Kesimpulan semacam
ini saya rasa kurang tepat. Menurut pikiran saya, maka disampingnya murid harus
tunduk kepada disiplin perguruan, pun guru juga harus mengetahui dan
menyesuaikan diri dengan cita-cita yang cocok dengan perubahan zaman dan
mempengaruhi jiwa para pelajar yang paling aktif. Pertikaian antara guru dan
murid yang sering terjadi itu sebenarnya disebabkan oleh pertentangan
pemandangan hidup. Pertikaian itu terjadi dimana guru dan murid masing-masing
memegang pahamnya. Kepercayaan terdapat, disiplin berjalan, dan pelajaran
berlangsung dimana pelajar mendapatkan guru yang tidak saja memenuhi
keinginannya atas pengetahuan, tetapi juga bisa memuaskan cita-cita politik
negara dan bangsa yang dicintainya.
Diploma saja belum
menjadi jaminan buat seseorang guru. Pernah diceritakan peristiwa seorang
dokter dalam ekonomi yang tamat belajar dalam salah satu Universiteit di
Amerika yang menerima kewajiban mengajar pada salah satu sekolah tinggi di
salah satu kota tentang ekonomi pula. Sebelumnya dia masuk kelas maka para
muridnya sudah bersiap-siap pula untuk “menguji” guru “American returned”, guru
keluaran American University itu. Murid A mempelajari teori Marx, tentang
MEHRWERT “NILAI LEBIH”; si B mempelajari teori Marx tentang KRISIS, si C
tentang GAJI, dsb. Sang guru, yang keluaran American University tadi setibanya
di kelas dan menganggap pengetahuannya sudah sempurna karena titelnya, dihujani
dengan bermacam-macam persoalan yang berhubungan dengan Nilai Lebih, Krisis,
Gaji, dll sbg tadi. Kabarnya besok harinya guru tadi tidak masuk kelas lagi.
Ini adalah sikap yang baik buat guru dalam ekonomi tadi. Karena hari depan,
bilamana dia, sebagai seorang doktor dalam perekonomian borjuis akan terus
menerus bertentangan dengan para murid yang mempunyai paham perekonomian
Marxist, bukanlah hari depan yang bisa menjamin tidur yang nyenyak.
Mungkin kejadian
ini cuma satu contoh saja. Mungkin pula salah satu daripada berbagai-bagai
contoh. Tetapi contoh itu tepat sekali menggambarkan semangatnya para pelajar
Tionghoa. Tepat pula menggambarkan akibatnya sesuatu perguruan kalau para murid
berpaham modern mendapat seorang guru yang berpaham kolot, feodal ataupun
borjuis.
Sudah dua tiga
hari saya umumkan kursus dan progamnya, maka saya dikunjungi seorang pemuda
berpakaian mahasiswa. Memangnya dia baru tamat Amoy University. Dia bermaksud
meneruskan pelajarannya dalam ekonomi, mulanya ke Amerika dan kemudian ke
Jerman. Bahasa Inggrinya, katanya, belum lagi mencukupi. Dia mau belajar bahasa
Jerman. Ditinggalkannya karangannya dalam hal ekonomi, katanya buat saya
periksa bahasa Inggrisnya dan isi karangannya, ialah tentang ekonomi tadi. Nama
kecilnya tak perlu saya sebutkan. Nama turunannya ialah Huang. Keluarganya
ialah seorang hartawan dan anggota Partai Kuomintang dan seorang yang amat
dianggap di Amoy.
Saya mengerti
opzet maksud atau lebih tepat “Zet”-nya
(muslihatnya) mahasiswa Huang, setelah satu muka saja saya baca karangannya.
Buku ekonomi yang diiktisarkannya itu mirip kepada dasar sosialisme. Tidak saja
bahasa Inggrisnya yang dipentingkan oleh mahasiswa Huang, tetapi terutama pula
ilmu ekonomi. Kedua perkara itu memberi kesempatan baik mengenal mahasiswa
Huang lebih dekat lagi. Kekurangannya dalam hal ilmu saraf, percakapan
(conversation) dan karang-mengarang segera diakuinya dan untunglah pula dapat
saya betulkan. Apalagi keinginginannya dalam perekonomian sosialisme mudah pula
saya penuhi. Dibelakang hari dapat saya mengetahui, bahwa mahasiswa Huang
termasuk golongan yang amat radikal diantara para mahasiswa Amoy University.
Kesusasteraan yang paling disukainya ternyata pula kesusasteraan yang paling
radikal. Tentulah saya harus mengawasi provokasi.
Para pertemuan
kedua, maka mahasiswa Huang membawa karangan tentang filsafat. Inipun berbau
sosialis, bahkan Marxis. Setelah mahasiswa Huang mendapat keyakinan, bahwa
dalam hal inipun saya sanggup mengikuti dia, maka rupanya selesailah sudah
“ujian” atas diri saya tentang ideologi dimatanya mahasiswa Huang.
Ujian ini berlaku
dalam lebih kurang dua minggu lamanya. Inilah waktu yang akan menentukan jaya
gagalnya percobaan saya. Benar pula dua-tiga murid suda mulai masuk, ialah
karena introduksi (anjuran) beberapa sahabat lain. Tetapi akan lambat majunya
percobaan atau akan sebentar saja kemajuann kalau tidak mendapat kepercayaan
golongan radikal, seperti mahasiswa Huang.
Nyatalah sudah,
bahwa mahasiswa Huang tidak pula begitu saja memberikan persetujuannya ialah
dengan tidak tawar menawar mencatatkan namanya buat belajar setengah tahun
seperti dua tiga murid tersebut di atas. Dua tiga kali datang dengan karangan
dan dengan 1001 macam pertanyaan yang sebenarnya lebih menyerupai satu
perdebatan sebelumnya memasuki partai politik daripada memasuki kursu dalam
bahasa Inggris dll. bahasa asing.
Akhirnya ia lebih
banyak datang dan berjanji belajar bahasa Inggris, Jerman dan yang
“lain-lainnya” yang bisa diperlukan oleh seorang mahasiswa Tionghoa yang
radikal. Pada suatu hari adiknya beserta entah berapa temannya dari Sekolah
Menengah Tinggi dan University datang mencatatkan nama buat belajar bahasa
Inggris dan Jerman. Kamar dekat Tionghoa di kampung Ang Pun Po mulai sempit dan
saya terpaksa pindah ke rumah yang lebih besar sesudah satu bulan berdirinya
kursus tadi.
Tidak jauh dari
jalan Sun Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy, di tepi jalan Ku Ceng Loo, di
tempat yang sunyi berdirilah “School for Foreign Languages”. Ketika saya
tinggalkan sekolah itu, maka muridnya sudah berpuluh-puluh orang ialah
terbanyak sekali, kalau dibandingkan dengan kursus bahasa asing di Amoy dan
Kulangsu. Kebanyakan muridnya terdiri dari pemuda-pemudi Sekolah Menengah dan
satu dua orang dari University. Diluar murid yang tetap pada waktu yang
ditentukan di waktu hari pagi dan petang, ada lagi beberapa murid yang “liar”
yang datang belajar di sekolah atau menunggu saya datang di rumahnya. Kenaikan
banyak muridnya lebih cepat daripada kesanggupan saya menambah banyak bangku
dan meja perabot sekolah. Banyak pula surat dari tempat di pedalaman yang
meminta tempat tinggal dalam asrama di sekolah, karena mereka tak mempunyai
keluarga di Amoy. Pendeknya kalau saya tak terpaksa meninggalkan, maka dengan
perluasan pelajaran seperti “book keeping”, journalism dll, dan dengan
penerimaan guru untuk pembantu, sekolah itu memangnya bisa mendapatkan tempat
pada masyarakat Tionghoa di pelabuhan dagang seperti Amoy.
Perkara
penghasilan atau modal untuk perluasan tidak lagi menjadi persoalan yang sukar,
sekali kita mendapat penghargaan dan kepercayaan dari murid Tionghoa. Mereka,
anak orang berpunya tidak mengulur uang sekolah semata-mata dengan ditetapkan
oleh tarif (daftar) bayaran yang kita umumkan. Kalau seorang guru disukainya,
maka guru itu buat dia terletak di tempat No.2, mungkin juga No.1 dalam hati
kecilnya, terhitung ibu bapaknya. Guru semacam itu ditariknya ke rumahnya dan
ke tempat kesenangannya menurut kemampuannya. Rumah guru itu bukan lagi rumah lain
daripada rumahnya sendiri.
Di waktu liburan,
jarang saya bisan tinggal di rumah. Saya diajak kesana-kesini oleh para murid.
Yang saya jaga ialah supaya yang dahulu mengajak kesana atau kesini harus lebih
dahulu pula dilayani. Jangan hendaknya menimbulkan perasaan seorang murid bahwa
undangannya tidak dikabulkan karena kita melayani orang lain, murid yang lebih
mampu, walaupun dia mengundang dibelakang yang pertama.
Saya sedikit
banyak mengemukakan sifat “kebesaran” dan cara Ka-It melakukan pekerjaannya. Cara
bekerja semacam itu memang banyak sekali dipakai di bandar besar Tiongkok,
Shanghai terutama Orang dagang “business” urusannya sambil makan, minum dan
menghisap madat diwaktu malam, bahkan tengah malam. Disinilah “transaction”
perdagangan besar-besaran antara Tionghoa dan Tionghoa banyak dilakukan.
Saya kenal
beberapa Hoa-Kiau (Tionghoa seberang) dan Philipina dan Indonesia yang membawa
modal tak kecil ke Shanghai dengan
maksud hendak membuka perusahaan. Tetapi setelah menyaksikan bagaimana
bangsanya sendiri berurusan, maka mereka setelah banyak menghabiskan uang
modalnya, dengan tidak mendapatkan hasil yang seimbang, maka kembalilah mereka
ke tempatnya semula, meninggalkan tanah leluhurnya, yang disangkanya sama
dengan gambaran dalam pikiran selama di Nan Yang itu dengan hati kecewa sekali.
“Lain caranya orang Tionghoa (totok) melakukan perdagangan”, kota Hokkian tadi.
“Mereka (Tionghoa totok) tak mempunyai waktu yang pasti dan kantor yang tetap”
katanya Hoa Kiau pula. (Didekat Chuan Chu di Hoakkian kebun tebu seorang
patriot Hoa Kiau yang sudah mempunyai pengalaman perkebunan tebu di Jawa
dirusakkan oleh penduduk karena caranya berkebun itu berlainan sekali dengan
cara Tiong asli). Selainnya daripaa cara bekerja seperti tersebut diatas, maka
“business-relation” perhubungan dagang dengan para sahabat atau keluarga
sendiri amat penting sekali buat seorang pedagang Tionghoa. Hoa Kiau yang sudah
tidak tahu lagi dimana keluarganya, tidak lagi mengerti bahasa nasional (atau
daerah); yang tidak mempunyai banyak sahabat yang boleh dipercaya, pasti akan
tenggelam saja dengan modalnya dalam masyarakat Tionghoa yang sengit dan kejam
persaingannya itu.
Tidak perlu
diambil contoh yang begitu jauh buat membandingkan caranya Ka-It bekerja.
Cukuplah sudah dengan mengambil perbandingan dengan saudaranya sendiri yang
menjadikan dia berduka cita, tempo hari dan hampir memasukkan dia ke-kelenteng
buat selama-lamanya menjadi He-siu’ (rahib). Saudara tua inipun saya kenal
baik. Saudara tua ini melakukan urusan secara asli, dengan hemat bahkan kerap
(kikir).
Saudara tua
membuka sebuah Bank dengan jalan perseroan dengan para rekan yang lain-lain.
Kesinilah rupanya dibelokkan uang yang oleh Ka-It dianggapnya sebagai haknya.
Mungkin saudara tua bermaksud baik juga. Tetapi walaupun perusahaan itu
dilakukan secara hemat-kerap (kikir) tidak berapa lama antaranya perusahaan ini
jatuh bangkrut. Kebangkrutan itu menimbulkan akibat yang sedikit mengenai
riwayat yang dituliskan ini. Baik juga sedikit disinggung-singgung buat
memperlengkap yang sudah-sudah.
Di depan rumah
saya, adalah sebuah rumah besar yang mempunyai atap datar, seperti lazimnya
terdapat di rumah bikinan Tionghoa. Pemandangan dari atap datar itu amat permai
sekali, meliputi pegunungan dan lautan di sekitar kota Amoy. Pada hari petang,
apabila matahari hampir terbenam, maka sudah dua tiga kali terpandanglah saya
kepada seorang pemuda dengan pemudi. Mereka kelihatan seperti sepasang merpati,
walaupun tidak berarti sejak sekali dua yang gadis menjauhkan diri dari
pemudanya, memandang ke tempat saya sambil tersenyum. Saya tidak memperdulikan
kelakuannya pemudi ini. Saya sangka senyum itu bukan ditujukan kepada saya.
Tidak berapa lama
antaranya, saya mengerti bahwa senyum itu memang ditujukan ke arah saya dan di
belakang senyum itu terselip perkara yang masih lazim terjadi di Tiongkok.
Senyum itu menutup kesusahan seorang pemudi modern menghadapi satu adat
istiadat yang kolot.
Seorang sahabat
pula, saya namai saja Buna, yang belum lagi saya majukan di sini, walaupun
rapat sekali perhubungannya dengan saya, pada suatu hari bertanya kepada saya,
apakah saya sudah lupa sama A.P. inilah saja saya namakan gadis tersebut
diatas, ialah nama kecilnya. Sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1927,
di tempat pertama bersembunyi di rumahnya Ka-It di jalan gelap sempit Ang Pun Po juga saya berkenalan dengan
anak perempuan kecil. Anak ini adalah ponakannya Ka-It, anak saudara tuanya
yang sering tersebut diatas. Anak ini baru berumur 7 tahun, tetapi cerdik
sekali, malah terlampau cerdik kalau dipandang umurnya. Dia suka bergurau
dengan saya dan suka mengajar saya dua tiga patah bahasa Hokkian. Sesudah dua
tiga tahun dibelakangnya, saya tidak lagi menjumpainya.
Sekarang pada
tahun 1937 itu, kebetulan pula dia tinggal tepat berhadapan dengan rumah saya
dan sudah gadris berumur 17 tahun. Dia akan tamat belajar Sekolah Menengah
Putri, dahulu dipimpin oleh Zending dan diwaktu riwayat ini, masih amat baik
pelajarannya dan berdasarkan kebangsaan. Manakala semangat mencinta bangsa
sedang menyala-nyala didada seluruhnya pemuda-pemudi Tionghoa, begitulah pula
jiwa pemudi ini tidak lepas dari bunga api patriotisme. Masuk bagian yang
penting pintar di kelasnya, dalam segala-galanya dan selalu dipilih untuk
mengetahui kelasnya, cocok dengan dasarnya Kuomintang. Kecerdasan patriotisme
dan kesosialan disertai pula dengan kecantikan menurut ideal kecantikan
Tionghoa. Inilah gadis A.P yang saya maksudkan diatas. Saya kenal namanya,
tetapi tidak lagi mengenal rupa yang sudah jauh berubah dari anak kecil menjadi
gadis remaja.
Buna, sahabat
saya, kebetulan gurunya pula menceritakan kepada saya, bahwa tidak lama lagi
gadis A.P. akan dikawinkan dengan seorang mahasiswa dari Philipina. Pemuda yang
sering kelihatan diatas dataran atap tadilah yang dimaksudkan dengan mahasiswa
itu.
Perkawinan itu
disetujui oleh ibu bapak kedua belah pihak. Perkawinan itulah sebenarnya adalah
satu condition, satu syarat buat menerima bapaknya A.P. dalam perusahaan
bapaknya mahasiswa tadi di Philipina. Persetujuan ibu bapak kedua belah pihak
tidak disetujui oleh A.P. sendiri. A.P menolak memberontak, karena dia sebagai
pecinta bangsa dan negara kelak ingin berjasa kepada bangsanya menurut
kepandaian kecondongan hati dan kecakapannya. Belumlah lagi gadis A.P. merasa
dia sudah mempunyai cukup kepandaian yang akan dicurahkannya kepada bangsanya.
Hasrat murni ini
mendapat penuh penghargaan dari pihak ibu bapak yang penuh kecintaan. Tetapi
sesudah bapak menderita kegagalan dalam perusahaannya dengan apakah hasrat yang
sunyi murni itu bisa disampaikan? Pihak lain tak pula mau tahu akan penundaan
perkawinan. Mereka menghendaki supaya perkawinan harus dilangsungkan lebih
dahulu. Barulah bapaknya A.P. akan diterima di dalam satu perseroan.
Sifat baiknya
gadis Tionghoa ialah tak ada dalam hatinya atau perbuatan menyaingi para
temannya dalam percampurannya dengan pemuda. Sebaliknya dia berusaha, memberi
nasehat baik, kepada temannya dan mempererat persahabatan antara gadis temannya
dengan pemuda yang mendekati. Rebut-merebut hatinya seorang pemuda, yang mendekati
temannya, bukanlah sifat yang lazim tampak diantara para pemudi Tionghoa.
Tetapi para
pemudi, rombongan A.P., rupanya tak sanggup memberi nasehat yang constructive,
berhubungan denga persoalan yang dihadapi A.P. Oleh para teman disampaikan pula
hal ihwalnya A.P. kepada saya. A.P. berpesan kepada temannya, untuk disampaikan
kepada saya, bahwa (dengan persetujuan ibu bapaknya) dia ingin pula memperbaiki
bahasa Inggrisnya.
Setelah bakal
suami mengetahui bahwa A.P. pergi belajar bahasa Inggris ke rumah saya, maka
rupanya dia bertanya kenapa A.P tidak belajar kepada dia dan kenapa A.P. lebih
suka belajar bahasa Inggris daripada bermain-main diatas datar. Ibunya A.P yang
mengenal saya sudah lama dan mengetahui seluk beluknya perkara menjawab dengan
menyimpang. Ibunya A.P memperingatkan bagaimana dia sendiri pernah menahan air
mata, ketika sekian tahun lampau memperhatikan saya sendiri saja di desa Iwe,
ketika tinggal di rumahnya, ialah di rumahnya Ka-It, bilamana kesehatan amat
terganggu.\
A.P sendiri yang
rupanya ingin hendak mengetahui bagaimana pikiran saya tentang perkawinan paksa
itu tidak pernah sampai membuka rahasia hatinya. Tetapi dari temannya saya
dengar bahwa dia ingin mendengarkan paham saya. Nasehat saya semestinya
berbunyi: Periksalah suara hati kecilmu sendiri. Janganlah berbuat sesuatu yang
bisa membatalkan hasrat yang mulia terhadap masyarakatmu sendiri. Timbanglah
besar-besar sebelum mengambil langkah yang terakhir, supaya jangan menyesal di
kemudian hari. Nasehat biasa saja!
Saya tidak tahu bahwa
krisis hidupnya hampir memuncak, ketika memberi nasehat itu. besoknya terdengar
kabar bahwa A.P menjawab desakan ibu bapaknya supaya kawin dengan perkataan
“bahwa” dia bukannya sapi yang akan diperdagangkan. Malam itu juga sesudah
pertikaian itu terjadi dia mencoba meminum racun yang sudah disediakannya
sendiri di dalam kamar yang dikuncinya. Rupanya racun itu tidak segera
menyampaikan ajalnya, tetapi menimbulkan kesakitan yang dahsyat. Gerak-geriknya
terdengar, pintu diterobos dan A.P didapati dalam keadaan payah. Untunglah
masih bisa ditolong oleh tabib.
Seminggu setelah
kejadian itu saya mendapat kiriman dari desa (Iwe), ialah makanan yang biasa
dihidangkan ketika perkawinan seperti wajik dan kue-kue yang lain. Barulah saya
tahu bahwa A.P. dikawinkan juga dengan paksa. Kemauan yang keras daripada anak
dikalahkan oleh kemauan yang lebih keras pula daripada ibu bapak. Rusaklah
sekuntum bunga yang baru saja mengembang untuk dipersunting menurut kesukaan
manusia, menentang kehendak alam.
Kemauan A.P. dikalahkan,
tetapi tidak dipatahkan.
Setelah sebulan
lamanya tinggal di desa kembalilah dia ke kota Amoy. Kawan sekelas yang
selamanya kehilangan teman yang paling dicinta kembali gembira meskipun tidak
lagi seperti semulanya. A.P bukan lagi gadis, merdeka, remaja, seperti
sediakala, tetapi masih dicinta dan dianggap sebagai penganjur. Bersama-sama
mereka datang menjumpai saya.
Dengan suaminya A.P. sering juga mengundang
saya ke rumahnya atau berjalan-jalan A.P. mempunyai kemauan sendiri, yang
memang susah dibasmi dengan perkawinan paksa. Kalau undangan itu juga disetujui
dan dicampuri oleh suaminya, tidaklah susah buat menerimannya. Tetapi
bagaimanakah menjawabnya undangan seperti pergi piknik atau berenang tidak
dengan suami, walaupun dengan temannya? Ibu bapak tidak keberatan, buat
masyarakat Tionghoa modern hal itu sudah biasa saja.
Tetapi bagaimana,
kalau suami tak menyetujui? Semuanya menjadi pelajaran dan pertimbangan buat
ibu bapak, yang membiarkan anak perempuan dididik secara modern, tetapi hendak
mengawinkan si-anak secara kolot, ialah dengan paksa, sebelum waktunya pula.
Tidaklah lama saya
mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan undangan A.P. seperti diatas.
Memangnya tidak semudah menyelesaikan persoalan sumber hidup. Tetapi sebagai
satu pertolongan yang sekonyong-konyong jatuh dari langit, maka armada Jepang
dikabarkan mendekati Amoy buat menyerang. Pesawat Tiongkok mulai
melayang-layang diatas kota Amoy, seolah-olah hendak melakukan pembelaan.
Dalam keadaan ini
maka Amoy berada dalam kegelisahan. A.P. pada suatu hari datang mengatakan
bahwa dia akan berangkat ke Hongkong dengan ibu bapak dan suaminya. “Selamat
jalan”, kata saya, setelah merasa lega, karena keluarga A.P. akan bisa terus ke
Philipina. Suasana baru kelak akan
menimbulkan semangat yang baru pula. Mudah-mudahan saja!
Amoy makin lama makin kosong. Hampir semua
murid sudah mengungsi ke pedalaman. Barang siapa yang mempunyai uang dan
keluarga di Nan Yang segeralah dia mengatur pelayarannya. Mahasiswa Huang dan
saudaranya mengajak saya pergi ke rumahnya di Kulangsu. Di sana saya tinggal
beberapa lama buat menunggu putusan pergi ke pedalaman atau ke Rangoon.
Mahasiswa Huang ingin pergi ke Rangoon dan mengajak saya mengikut. Saya dengan
senang menerima ajakan itu. Tetapi orang tua Huang berat hati meninggalkan
rumah besar dan Kulangsunya. Menurut paham dia lantaran belum pernah Kulangsu
sebagai international settlement, diserang Jepang, maka ini kalipun Kulangsu
akan tetap dalam keadaan damai. Setelah penyerangan Jepang sudah lebih nyata,
juga ditujukan ke Amoy, maka mulailah orang tua Huang gelisah dan akhirnya amat
gugup. Dia sekonyong-konyong mau pindah rumah, tetapi dia mau pindah ke
Hongkong.
Tentulah saya tak
bisa pindah ke Hongkong itu. ini berarti pindah ke penjara Inggris. Saya
berpisah pula dengan mahasiswa Huang dan pergi menjumpai Ka-It yang sedang
mencari saya pula. Ka-It dengan tegas bertanya: ke pedalaman atau ke Nan Yang?
Kalau hendak pergi ke pedalaman lekaslah bersiap. Ini hari juga kita pergi,
katanya. Kalau hendak pergi ke Nan Yang, tentulah kemana, supaya segera diatur
surat pas dan karcis kapal. Tak bisa lama-lama menunggu, katanya pula, sebab
musuh sudah dekat.
Saya tetapkan
pergi ke Rangoon, Birma. Ka-It memberikan seorang pembantu kepada saya buat
mengurus surat pas dan karcis kapal. Tidaklah lagi mudah mengurus semua itu
dalam satu minggu apa lagi dalam satu hari. Surat pas baru bisa diminta pada
kantor polisi setelah mendapatkan keterangan dari pe-tiu’ (kepala kampung, wijkmeester)
dan chi-tiu (wali kota) Amoy yang
harus menerangkan, siapa saya, kerja apa, dimana dan berapa lama saya tinggal
di Amoy. Surat pas juga harus lebih dahulu dibubuhi visa oleh konsul Inggris di
Kulangsu. Atas surat pas yang dibubuhi visa itulah baru kongsi kapal (Inggris)
mau menjual karcis kapal surat keterangan dari pe-tiu dan chiu-tiu, surat pas
dari polisi Amoy, yang di visa oleh konsul Inggris di Kulangsu dan akhirnya
karcis kapal itulah yang harus diperoleh dalam empat lima jam saja, karena
kapal hendak berangkat petang hari itu.
Pemerintah kota
Amoy sudah menutup kantor memberikan surat keterangan kepada siap saja; takut
kalau-kalau nanti kemasukan kolonne ke-5 nya Jepang. Tetapi pembantu yang
diberikan oleh Ka-It rupanya orang luar biasa. Dia mempunyai sesuatu kekuatan
yang tidak dimiliki semua orang ialah drive,
kodrat pendorong. Dia tiada mengenal tak bisa, tak boleh atau tak-kan-dapat.
Disamping sifat baiknya pembantu ini, untunglah saya sudah dicatat lebih dahulu
di kantor keluarga Tiongkok. Memangnya saya sudah menjalankan kewajiban saya
sebagai warga negara, ialah membayar pajak. Latihan sebagai milisi-pun sudah
dimajukan kepada saya. Sudah pula saya setujui dan sedang saya tunggu.
Pintu depan Pe-tiu tertutup. Penjaga berkata kepada
kami, bahwa Pe-tiu tidak di rumah dan surat keterangan tak diberikan lagi. Kami
menerobos dari belakang, dan dapur. Kedapatan Pe-tiu sedang makan dan tersenyum
melihat saya, karena dia sudah maklum maksud saya dan kami sudah lama
berkenalan. Tak sampai 5 menit, surat keterang Pe-tiu selesai. Pintu depan Chiu-tiu pun tertutup. Dapurnya
diterobos pula, surat keterangan Chi-tiu pun didapat dalam beberapa menit.
Kantor polisi kota dijaga oleh pengawal yang melarang kami masuk. Inipun dengan
tiada ragu-ragu diterobos. Dengan cepat pula pemerintah Amoy mengurus surat-pas
saya. Kabarnya konon, inilah surat pas yang paling terakhir dikeluarkan, pada
waktu krisis ini. Sebelumnya saya datang, banyak permintaan surat-pas hari pada
hari itu yang ditolak, karena disangsikan oleh polisi kota.
Kantornya kongsi
kapal sedang istirahat! Pembantu tak mengenal peristirahatan. Dia panggil juru
tulisnya buat menjualkan karcis. Juru tulis menolak, pertama karena belum ada
visa dari konsul Inggris dan kedua karena waktu istirahat. Percekcokan hebat
antara juru tulis dan pembantu terjadi. Karcis dapat dan visa pun akan diurus.
Saya bisa berangkat petang hari juga. Saya tak perlu pula memperlihatkan muka
saya kepada konsul Inggris di Kulangsu! Hidup pembantu!!!
Ciak-teh, uang suapan, baikpun dalam
kantor resmi umum dipakai di Tiongkok. Lain daripada uang bayaran sedikit buat
segel dll. yang ditentukan oleh aturan yang pasti tiada satu sen-pun saya
mengeluarkan. Diantara orang Tionghoa-pun tidak banyak saya melihat orang yang
mempunyai “push”, dorongan, dan
keuletan seperti pembantu yang baru saja saya kenal ini. Memang push dorongan
dan keuletan itu adalah salah satu sifat Tionghoa yang harus kita contoh.
Tepat pada
waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya
kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan,
meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu
diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe,
Amoy! Selamat tinggal Foreign
Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq. Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan
Ching Hua dengan A.P. beserta
tragedinya. Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas karcis
tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu. Yang tentu
cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah
dimana, belum dapat diketahui....pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar