Kamis, 07 April 2016

Kemana?


Syahdan dalam hakekatnya tiadalah ada bedanya perjalanan yang saya alami dari kedua negara besar di dunia ini, ialah Amerika dan Inggris. Dengan beberapa contoh yang sudah saya rasakan atas kulit saya sendiri, maka saya dapat membandingkan teori dan prakteknya demokrasi Anglo-Saksen, yang selalu digembar-gemborkan di dunia ini dan katanya yang menjadi dasarnya kedua negara terbesar di dunia ini.
Teori dan praktek yang dimaksudkan itu ialah yang berhubungan dengan haknya seorang pelarian politik (right of asylum) terhadap kepada seorang anggota bangsa berwarna pula. Hal ini disambung-sambungkan pula dengan soal propaganda komunis.
Caranya polisi Amerika menangkap saya di Manila tak berapa bedanya dengan caranya Inggris menangkap saya di Kowloon, Hongkong. Keduanya dilakukan tiba-tiba, di waktu malam, dengan tiada memakai surat tuduhan dari yang berwajib (right of warrant). Hak menghadapi surat tuduhan dari yang berwajib dimana dengan jelas tertulis pelanggaran. Undang-undang yang sudah dilakukan itu adalah hak seseorang warga negara demokrasi semenjak revolusi Inggris dan Perancis. Sebelum Revolusi tersebut, maka seorang polisi Perancis (atau warga besarpun) berhak menangkap seseorang warga atas surat perintah yang tiada berisi tuduhan yang pasti (lettre de cachet).
Di Manila dan Hongkong, lettre de cachet pun tak ada, jangankan pula surat warrant. Di kedua tempat itu, penangkapan atas diri saya dilakukan dengan bengis, seperti polisi menangkap penjahat. Penangkapan di Hongkong malah bisa menyebabkan pembunuhan dari salah satu pihak yang menangkap dan yang ditangkap.
Oleh Manila dan Hongkong akhirnya, sesudah ternyata bahwa saya tiada dapat diserahkan begitu saja kembali kepada musuh saya (uitgeleverd), maka dengan 13 macam tipu muslihat saya dibuang buat disambut di lain tempat oleh para imperialis pula. Pembuangan dari Manila dilakukan buat penangkapan kembali di Amoy. Pembuangan dari Hongkong (diharapkan atau tidak) pasti akan berakhir dengan penangkapan, kalau saya benar-benar sampai di Shanghai. Terbukti sudah bahwa Inggris tiada mengindahkan kebiasaan (usage) demokrasi yang sudah dikenalnya selama ratusan tahun di negaranya sendiri, ialah: menentukan tempat pembuangan sebelumnya yang bersangkutan itu dibuang dan menjamin keselamatannya di jalan ke pembuangan.
Terhadap hak manusia yang dijunjung tinggi oleh demokrasi Anglo-Saksen, seperti right of warrant (hak atas tuduhan), right of public trial (pengadilan umum) dan right of asylum (hak perlindungan buat seorang pelarian politik), maka Amerika terpaksa saja berlaku pura-pura demokratis, karena pembelaan rakyat, pembesar dan para pemimpin Philipina. Sesudah terhalang memasukkan saya dengan diam-diam ke kapal Belanda di pelabuhan Manila, maka pemerintah Amerika dengan kapal Philipina sebenarnya mengirimkan saya ke tangan imperialis internasional di Amoy. Gagal kehendaknya itu cuma karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri. Pemerintah Inggris di Hongkong, sesudah membatalkan semua hak saya sebagai manusia dan gagal menyerahkan saya kepada pemerintah Hindia Belanda, dalam prakteknya memancing supaya saya ditangkap kembali oleh imperialis teman sejawatnya. Saya terlepas daripada cengkeraman imperialis, bukan karena kejujuran dan kesetiaan Inggris kepada dasar serta peraturan demokrasinya sendiri, melainkan karena daya upaya dan kemujuran saya sendiri pula.
Hubungkanlah pula keadaan saya dengan halnya seorang berkulit putih yang mempunyai negara merdeka. Ketika surat kabar dan orang Amerika berteriak-teriak di Manila menuduh saya membuat propaganda komunis. Maka seorang Profesor dari salah satu Universitas yang terkenal di Amerika, yang baru saja kembali dari Moscow dibolehkan menyebar-nyebar brosur dan buku komunis di Manila. Tentulah saya sendiri memuji pekerjaannya saudara Profesor tadi.
Tetapi yang saya majukan di sini ialah perbedaan terjemahan undang-undang yang berkulit putih dengan orang yang berwarna. Kebetulan pula bersamaan atau hampir bersamaan dengan penangkapan saya di Hongkong itu, ditangkap pula seorang Inggris dan di waktu itu oleh satu pemerintah bangsa berwarna oleh pemerintah Jepang. Orang Inggris itu sudah bertahun-tahun menjadi guru di Tokyo? Dan tuduhannya ialah bahwa ia dengan uang dan nasehat membantu Partai Komunis Jepang. Semua surat kabar Inggris di Tiongkok yang dapat saya baca di waktu itu berteriak dan memprotes kepada pemerintah Jepang berhubung dengan caranya pemeriksaan terhadap dirinya orang Inggris komunis itu dilakukan. Pada masa itu berhentilah persoalan, Komunis atau tidaknya orang Inggris itu, ya atau tidaknya ia melakukan propaganda dan membantu dengan langsung atau tidak kerobohannya kerajaan Jepang. Yang dikemukakan oleh para pembela Inggris tadi, ialah seorang ditangkap di Jepang dan orang Inggris itu perlu diperlindungi dan benar diperlindungi oleh pemerintah Inggris.
Memangnya pemerintah Inggris dan Amerika tiada membedakan paham warga negaranya sendiri apabila warga negaranya, teristimewa pula bangsanya sendiri, yang berurusan dengan pengadilan di luar negerinya, terutama pula di Asia (dengan Tiongkok, Jepang dll). Dalam hal ini tak bisa disangsikan sikap kedua negara itu. sikapnya Inggris tepat sekali digambarkan oleh semboyan “right or wrong my country!” (benar atau tidak saya akan bela (orang) negara saya). Sejarah inilah yang langsung menimbulkan adanya pengadilan istimewa buat bangsa kulit putih di Tiongkok (extra territoriality). Status ini dipaksakan kepada Tiongkok sesudah terjadi kejahatan oleh bangsa kulit putih di Hongkong pada abad yang lalu. Kejahatan itu mengakibatkan satu hukuman berat atas orang berkulit putih itu. Tetapi putusan dan pemeriksaan secara Tionghoa tiada disetujui oleh bangsa Barat. Mereka menuntut pengadilan sendiri di negaranya Tionghoa. Mereka menuntut adanya extra-territoriality. Hak membela warganya itu di negara lain oleh Inggris selanjutnya dipakai buat dijadikan alasan untuk menjalankan agresinya. Pada ababd yang lampau pemerintah Inggris di pulau Penang mengirimkan seorang Tionghoa, rakyat Inggris (British-subject) ke pedalaman Malaya melalui tempat berbahaya. Kemungkinan bahaya yang akan menimpa itu sudah diperingatkan lebih dahulu kepada pemerintah Penang. Tetapi memangnya imperialisme Inggris sedang mencari-cari bahan buat provokasi. Tionghoa yang malang tadi terbunuh oleh para penyamun. Peristiwa inilah yang dipergunakan oleh pemerintah imperialis Inggris buat mengadakan penyerbuan ke pedalaman Malaya (kerajaan Perak), kerajaan yang tanahnya banyak mengandung timah itu. Timah itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh kapitalis Inggris.
Sikap “right or wrong my country” itu terasa benar, terutama pula oleh kita yang tiada mempunyai negara. Demikialah persamaan bangsa dan bangsa, warna dan warna itu tiadalah bisa kita selesaikan dengan perasaan (sentiment) semata-mata. Semua hak berhubungan dengan statusnya seseorang berkulit putih atau berwarna yang berurusan dengan pengadilan dan undang-undangnya sesuatu negara (putih atau berwarna) haruslah ditetapkan dengan pasti dalam undang-undang internasional dalam peratuaran yang disokong oleh jaminan (sanction). Tiadalah boleh diserahkan kepada aturan demokrasinya sesuatu negara saja.
Penghabisan bulan Desember 1932! Hawa sudah mulai sejuk dan angin bertiup dari utara ke selatan. Setiap waktu angin itu bisa bertukar menjadi tai-fung, memang dari daerah inilah berasalnya perkataan taufan (Arab) dan topan (Indonesia) itu? Kerenggangan udara ditandus Australia yang memuncak pada bulan Desember itu, menyebabkan mengalirnya udara dari utara Tiongkok mengisi tempat yang renggang itu. Amat sejuklah terasa angin dari Utara itu. lautpun tiadalah tenang karena angin yang tiada berhentinya bertiup itu. kebanyakan penumpang tiadalah banyak keluar kabin kamarnya.
Pelayaran Hongkong-Shanghai di waktu musim rontok atau panas, biasanya buat penumpang kelas satu amat menyenangkan. Udara laut segar bersih menambah nafsu makan sehingga pelajaran itu boleh dianggap masa beristirahat. Tetapi di masa laut bergelombang tinggi dan hawa dingin, maka seorang penumpang cuma mengharapkan lekas sampai ke tempat yang ditujunya saja. Mujurlah seseorang kalau tiada digoda oleh mabuk laut.
Pelayaran Hongkong-Shanghai dengan kapal yang saya tumpangi singgah di pelabuhan Swatow, Amoy dan Foochow. Semuanya bandar yang besar. Swatow berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, Amoy 500.000 dan Foochow tak kurang daripada 1.000.000 orang. Semuanya bandar itu terhitung bandar perjanjian dan mempunyai bagian yang didiami oleh orang Tionghoa dan asing. Swatow adalah salah satu kota yang terbilang bersih dan maju. Banyak Tionghoa yang beragama Kristen dan banyak yang pencarian hidupnya berhubungan dengan Siam. Sedikit sekali orang Eropa terdapat di sini. Tentang kota Amoy sudah banyak saya ceritakan. Bandar Foochow sudah pernah juga saya kunjungi. Kota ini mempunyai bagian Tionghoa dan bagian Eropa. Di Foochow makanan sangat  murah harganya dan terkenal baik masakannya, maupun buah-buahan banyak ragamnya dan lezat rasanya.
Bahkan tak ada kapal berlayar langsung dari Hongkong ke Shanghai. Pelayaran langsung itu mengambil waktu cuma dua tiga hari saja. Sedangkan pelayaran kapal saya akan mengambil waktu lebih kurang seminggu lamanya. Bukan saya tiada tahu perbedaan lama pelayaran itu. Walaupun demikian, dan meskipun saya, mengetahui bahwa ada kapal yang berlayar langsung, tetapi saya pilih juga pelayaran yang lama. Tentulah Hongkong sudah memberitahukan kepada Shanghai, bahwa tanggal sekian dan jam sekian, saya sudah berangkat dengan kapal anu, menuju Shanghai. Saya tiada pula sangsi, bahwa para Conpirator-international sudah membuka-buka pintu perangkapnya di Shanghai buat seorang berwarna, yang tiada mempunyai negara. Duta negara manakah yang akan memprotes, jangankan lagi melindungi, kalau saya diperlakukan seperti macam memperlakukan mangsanya; tangkap lepaskan berulang-ulang, sampai mangsanya payah, tiada berdaya lagi dan menyerah bulat-bulat kepada musuh.
Setelah saya merasa menyesal membiarkan para Conspirator international membuang-buang waktu, menunggu-nunggu saya di Shanghai, karena lebih lama berlayar. Saya ingin mempelajari suasana di sepanjang jalan Hongkong Shanghai, yang saya kenal lebih baik daripada semuanya Conspirators di Hongkong atau Shanghai yang cuma mengenal jalan antara kursi di rumah dan kantornya saja. Sebagian daripada pesisir propinsi Hokkian, diantara Amoy dan district Kim-Chi, saya kenal baik sekali. Malah pesisir sepanjang Semenanjung Tentang-Witau yang pernah saya sebut diatas, saya kenal seperti saya mengenal kampung saya sendiri. Pesisirnya sudah saya jalani berkali-kali. Lautnya sudah saya renangi di musim panas. Pada bagian pesisir ini, dimana terletak desa Sionching dan Iwe yang sudah saya diami berbulan-bulan, kapal berlayar tiada jauh dari pesisir. Buat orang yang tersempit, yang tiada mempunyai pilihan lain, buat orang yang benar pandai berenang, penyeberangan antara kapal dan pesisir itu bukanlah pekerjaan yang mustahil. Saya biasa berenang di sungai atau lautan dengan kaki atau tangan atau keduanya, sambil menelungkupkan atau menelentang, bahkan sambil berdiri membawa kain. Sungai Ombilin di Minangkabau, sungai yang dalam dan deras arusnya, yang sering meminta korban kepada yang kurang cakap, memberi latihan kepada saya dalam segala ragam berenang di waktu saya belum dewasa. Cuma saja air laut Tiongkok di bulan Desember terasa agak dingin. Kalau ada jalan yang lain baiklah dia dihindarkan saja. Jalan lain itulah yang sedang dipikirkan.
Selainnya daripada pegawai “konsulat Inggris” yang  menuju ke Amoy itu bersama dengan saya menumpang pula seorang Tionghoa tuan Lim, bekas mahasiswa Amerika yang mempunyai toko barang listrik di Amoy. Lagi pula seorang profesor Amoy University. Tetapi yang menarik perhatian dan simpati saya ialah seorang pelajar dari Hongkong bernama Chu yang pulang beristirahat ke kampungnya bernama Hosan, dekat kota Amoy.
Entah karena apa maka pelajar Chu tak mau berpisah dengan saya selama di dalam kapal. Mungkin sekali dia sudah membaca surat kabar Inggris di Hongkong yang pernah mengabarkan penangkapan saya. Umumnya pelajar Tiongkok berpolitik radikal. Banyak yang berpihak kepada Sayap kiri, di bawah pengaruhnya Madame Sun Yat Sen, tetapi banyak pula yang bersimpati dengan kesusasteraan dan gerakan komunis. Pelajar Chu memindahkan barangnya ke kamar saya dan mengambil tempat tidur kosong di kamar saya pula. Apabila saya keluar kamar, maka keluar pulalah pelajar Chu. Apabila penumpang lain meminta saya dan pelajar Chu bermain kartu, maka pelajar Chu melihat mata saya lebih dahulu dan bertanya lebih dahulu kepada saya. Jika saya mau main, mainlah dia, jika saya tolak, menolak pula pelajar Chu. Apabila saya pergi tidur maka mengikutilah pula dia.
Pelajar Chu belajar Inggris dengan lancar dan fasih sekali. Dia baru saja tamat S.M.T. Inggris di Hongkong. Sekolah ini dipimpin oleh guru Inggris sendiri dan pelajarannya terutama dalam bahasa Inggris terkenal baik juga. Pelajar Chu selalu meminta nasehat kepada saya, apakah dia akan terus belajar ke Universitas apa tidak. Heran juga saya, karena dia meminta nasehat kepada saya yang dia kenal cuma baru dalam kapal saja. Kenapakah dia tiada menghampiri tuan Lim atau Profesor Amoy University yang sama-sama berlayar di Amoy ???
Menurut tingkah laku dan caranya berbicara pelajar Chu adalah anak keluarga termasuk baik di Amoy. Bapaknya adalah compradore Hongkong-Shanghai Bank, cabang Amoy. Jadinya anak hartawan Tionghoa.
Menurut filsafat saya tidak ada alasan bagi saya untuk mencurigai pelajar Chu. Tetapi memang ada satu dua penumpang di atas dek yang kelihatan amat memperhatikan saya. Saya tak heran kalau mereka berhubungan dengan I.S. Inggris atau dengan konsulat Belanda. Bagaimanapun juga saya juga mengawasi langkah saya dan mengawasi siapa saja yang ada di sekitar saya.
Sudah semalam lebih kapal berlayar, maka pada pagi hari sampailah kami ke pelabuhan Swatow. Di sini kapal berhenti setengah hari lamanya. Nanti sorenya pelayaran akan dilanjutkan ke Amoy. Akan naik daratkah saya disini mempelajari suasana? Rupanya pelajar Chu tidak setuju saya naik ke darat. Entah apa sebabnya. Tetapi sudah saya pertimbangkan baik buruknya, maka bersama Profesor Amoy University dan tuan Lim saya naik darat juga.
Belum lagi berapa lama kami berada di daratan, maka di depan kami tiba-tiba berhenti sebuah mobil besar. Seorang Tionghoa berpakaian modern keluar dan berjabatan tangan dengan kami. Kami dipersilahkan masuk mobilnya, Profesor Amoy University menolak dan tuan Lim serta saya masuk.
Saya tidak mengerti asal mulanya persahabatan ini. Tetapi melihat mukanya Tionghoa modern ini saya tidak menaruh kecurigaan sedikitpun. Juga tidak curiga, kalau dia kepada saya memakai bahasa Inggris dan kepada tuan Lim memakai bahasa Tinghoa. Yang sedikit mengherankan saya, cuma kenapa datangnya mobil tepat dengan pendaratan kami. Tidak mungkin perhubungan tuan Lim dengan kenalan baru itu sebergitu rupa sehingga pertemuan itu bisa tepat saja.
Kami dibawa dengan mobil berkeliling kota. Kota Swatow bukanlah lagi asing buat saya. Setelah mobil menghampiri rumah penjara, maka mau tidak mau timbul juga pertanyaan di dalam hati saya. Akan berhentikah mobil disini? Memangnya pula mobil berhenti. Kenalan baru memang keluar dari mobil, tetapi tidak diundang untuk mengikuti. Sebentar lagi kenalan baru kembali masuk ke mobil dan perjalanan diteruskan.
Rumah penjara bukanlah asing lagi bagi saya. Di Indonesia saya diperkenalkan dengan tiga penjara sebelum berangkat pada tahun 1922, ialah penjara Bandung, Semarang, dan Jakarta. Di Manila saya berkenalan pula dengan penjara. Penjara Hongkong pun tidak melupakan saya. Sebaliknya tiap-tiap rumah  penjara atau semua rumah yang berbentuk penjara seolah-olah dengan diam-diam berkata kepada saya: Silahkan masuk!
Bagaimanapun juga keadaan di penjara imperialis Belanda, Amerika dan Inggris, kalau dibandingkan dengan penjara Tionghoa seperti kandang kuda dengan kandang babi. Di dalam penjara Tiongkok orang dikumpulkan berdesak-desak. Di sanalah mereka tidur, makan, buang air besar atau kecil dan merenungkan nasib yang buruk dalam masyarakat yang zalim dan kejam. Jarang orang yang lama tahan sehat atau hidup, sekali ia memasuki penjara Tiongkok yang tulen.
Sedang saya masih memfilsafatkan rumah penjara Tiongkok, maka tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah rumah. Dapat dilihat dari luar bahwa rumah ini adalah sebaliknya daripada rumah yang difilsafatkan tadi. Rumah ini adalah rumah tempat Tionghoa yang berpunya melepaskan hausnya; menghentikan laparnya dan memuaskan nafsunya; serta menambah kegembiraan dan kesenangan hidupnya. Juga terutama untuk menjumpai para tamunya dan merundingkan urusan atau perdagangannya. Rumah ini ialah restoran, rumah makan.
Kami mengambil tempat di k amar yang terpisah dan bersih dalam segala-galanya. Kenalan baru segera mengambil daftara makanan dan memiliih makanan dan minuman yang cocok dengan kedudukannya dalam masyarakat Tionghoa. Pembaca yang pernah diundang ke sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa yang pernah diundang ke sesuatu selamatan (kenduri) Tionghoa atau ke rumah makan Tionghoa, dapat mengira, bahwa kenalan baru tak akan memilih makanan Swatow yang sembarangan. Masakan Tionghoa sudah masyhur di seluruh dunia dan dari mulut orang Eropa saya sering mendengar: “The Chinese are the best cook on the world”. (Orang Tionghoa adalah ahli masak yang paling jempol di dunia). Menurut ukuran saya memangnya pujian ini tidak melebihi sedikitpun. Boleh juga saya tambahi, bahwa masakan Swatow mempunyai kedudukan yang teristimewa pula di tengah-tengah daerah lainnya di Tiongkok.
Setelah sebentar kami duduk, maka kenalan baru mengambil kartu nama dari dompetn  ya dan memberikan kartu itu kepada saya. Tertulis di atas namanya: Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow. Nama Chen itu ialah dalam bahasa nasional atau dalam bahasa Kwantung. Dalam bahasa (daerah) Hokkian bertukar menjadi Tan.
Chen Min Shu atau Tan Min Shu, menceritakan kepada kami, bahwa selang beberapa lama dia kembali dari perjalanannya ke Siam dan Manila. Dia bepergian ke sana untuk mengumpulkan uang sokongan buat Chap Kau Loo Kun, tentara ke-19 yang menjadi buah tuturnya semua patriot Tionghoa tua, muda, laki, perempuan. Chen Min Shu, sebagai sekretaris polisi Swatow, sebagai wakilnya tentara ke-19 di kota No.2 buat propinsi Kwantung ini tentulah mempunyai kekuasaan yang besar sekali kalau tiada yang terbesar.
Kenapakah tuan Chen Min Shu, sekretaris polisi Swatow itu dalam berbicara selalu memalingkan mukanya kepada saya? Saya tidak memperkenalkan nama kepadanya.
Menurut bentuk dan warna mukanya itu Chen Min Shu, maka tidaklah akan mengherankan kalau dia seorang Hoakiao, baba. Bahasa Tionghoa diucapkannya menurut tekanan (accent) Hoa-kiao. Bahasa Inggrisnya jelas dan berbeda dengan bahasa Inggris yang diucapkan oleh orang Tionghoa totok. Tentulah tidak cocok dengan tata krama Asia, kalau ditanyakan asal usulnya tuan Chen Min Shu.
Apakah tuan Chen Min Shu tahu kalau saya seorang pelarian politik? Apakah tuan Chen Min Shu hendak memberi suggestion (pertimbangan), bahwa saya boleh tinggal di Swatow, kalau saya mau. Ataukah sebaliknya, ialah jangan coba tinggal di Swatow.
Bagaimanapun juga saya mendapat kesan yang baik sekali tentang tuan Chen Min Shu. Kami diantarkan dengan mobil sampai ke pelabuhan Swatow termasuk propinsi Kwantung. Sendirinya saya teringat akan peringatan konsul Kwantung kepada pemerintah Hongkong, bahwa saya adalah keturunan Tionghoa. Jika waktu itu diizinkan mempergunakan seorang Tionghoa, pembela hukum, tentulah saya bisa menaksir suasana di Tiongkok. Akan sanggup pula saya menentukan bolehkah dan di bagian mana Tiongkok-kah saya dapat berdiam.
Dengan bersenjatakan sedikit pengetahuan tentang Tiongkok (Swatow). Saya kembali masuk ke kapal. Ingin saya mengetahui, bagaimanakah keadaan di Amoy dan propinsi Hokkian. Besok paginya kapal menurunkan jangkarnya. Kapal berlabuh di tengah-tengah teluk Amoy, di antara pulau Kulangsu dan Pulau Amoy. Kalau memakai sampan, maka dalam lebih kurang sepuluh menit kita bisa mendarat.
Malam tadi pelajar Chu terus mendesak saya, supaya berhenti saja di Amoy, dan jangan terus ke Shanghai. Saya boleh menumpang di rumah keluarganya dan menjadi temannya, katanya. Saya terus menolak! Tetapi saya sudah memasukkan barang yang terpenting ke dalam kantong. Koper baru, berisikan pakaian dan buku, yang baru saya beli sesudah perang Shanghai, saya taruh baik-baik. Kunci kamar saya berikan kepada penjaga kamar. Pertanyaannya apakah saya akan naik darat, saya jawab: tidak.
Saya antarkan pelajar Chu ke kaki tangga yang menyinggung air laut. Kelihatannya sebuah sekoci yang dengan cepat menuju kepada kami. Saya sedikit curiga, karena mengingat sekoci polisi Kulangsu bagian internasional, yang mau menangkap saya di kapal Suzana, lima tahun lampau. Tetapi sekoci itu dikirimkan oleh Hongkong-Shanghai Bank buat menjemput dia. Seperti disebutkan di atas bapaknya pelajar Chu, ialah Compradore Bank tersebut.
Sekocinya pelajar Chu sudah berdampingan dekat kapal kami. Pelajar Chu menarik tangan saya mengajak masuk ke sekocinya. Saya tolak dengan suara keras sambil menoleh ke arah buritan kapal di atas dek, dimana berada satu dua orang yang gerak geriknya mencurigakan saya. Biarlah mereka sangka bahwa saya tak akan mendarat.
Pelajar Chu terus mendesak saya menaiki sekocinya dan saya tetap menolak dengan kedua tangan di kantong celana buat menunjukkan seolah-olah saya tidak mau mendarat. Kalau tidak mau “I am sorry, good bye!” kata pelajar Chu, (saya merasa sayang dan selamat tinggal).
Tetapi setelah sekoci bertolak, satu dua hasta jaraknya dari kapal, maka sekonyong-konyong saya meloncat masuk ke sekoci. Dalam lebih kurang 5 menit lamana sekoci sudah sampai ke darat. Apabila saya menoleh kembali ke kapal, maka barulah saya lihat beberapa orang turun tangga dengan cepat dan memilih sampan yang berdayung mendekati kapal. Siapa yang pertama mendapatkan sampan, musuh atau tidak, pemburu manusia atau manusia biasa, tidaklah dapat saya pastikan. Saya tahu bahawa saya sedikitnya sudah lima menit menang berlomba. Secepat-cepat sampan bedayung tak kurang dari seperempat jam lagi, barulah penumpangnya bisa mendapat.  Jadi paling sedikitnya 20 menit saya mendapat voorsprong (penjaran, tepeuk).
Waktu yang 20 menit itulah yang harus saya pergunakan untuk mendapatkan rumah tempat bersembunyi. Hotel tentulah tidak akan saya pakai. Segera saya pastikan lagi alamatnya pelajar Chu. Siapa tahu kalau-kalau nanti terpaksa dipakai. Saya katakan bahwa saya ada mempunyai urusan penting di Amoy dan kalau masih ada kesempatan kelak saya akan pergi ke Hosan menjumpai dia. Saya berjabat tangan dan berpisah dengan pemuda yang saya kenal cuma sebentar saja. Tetapi lekas menarik simpati saya. Sayang sekali saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Dengan tidak membuang-buang waktu sekejappun saya menaiki satu becak, saya suruh tukang becak menuju ke jalan Ang Pun Po. Di sinilah saya pernah menumpang lima tahun yang lalu di rumahnya sahabat karib Tan Ching Hua. Keadaan saya sekarang tak ada bedanya dari lima tahun yang dahulu itu, ialah mencari perlindungan. 
Sedikit pikiran saya terganggu apabila di kiri-kanan melihat rumah baru dan jalan baru dan jalan baru. Pada ketika itu sudah hampir seluruhnya kota Amoy lama dibongkar dan ditukar dengan yang baru. Rumah yang dahulunya sempit, kecil, rendah, berganti dengan rumah yang besar, tinggi, dan modern. Jalan yang sempit, kotor, dan penuh sesak berganti menjadi jalan yang lapang, bersih, dan di sepanjang toko-toko yang tak kalah dengan toko kepunyaan Tionghoa di bandar besar seperti Shanghai.
Saya hampir tak mengenal Amoy lagi. Bertanya pula saya dalam hati. Apakah rumahnya sahabat Tan Ching Hua, Ka-It, yang bernama Tiong Huat masih ada di jalan Ang Pun Po? Dan apakah jalan Ang Pun Po itu ataupun kampungnya Ang Pun Po itu sendiri masih ada?
Bagaimanakah rumah penginapan Tiong Huat bisa menahan desakan muncipal, Balai Kota Amoy, meruntuhkan rumah yang tua-tua dan menggantinya dengan yang baru?
Orang luar tak mudah mengerti, kalau tidak mengetahui kedudukan satu keluarga dalam masyarakat negara Tiongkok. Rahasia bisa berdirinya terus Tiong Huat dengan jalan sempit gelap dikiri, depan dan belakangnya terletak pada kedudukan keluarga Tan di kota Amoy. Kemauan keluarga Tan tak bisa dibatalkan begitu saja. Kalau keluarga Tan bersatu mempertahankan rumah tua lapuk dan jalan sempit gelapnya dengan bersama-sama dengan kampungnya, maka balai kota Amoy harus berhati-hati sekali dan berfikir panjang benar sebelumnya ia menjalankan kemauannya. Hasilnya seperti disebutkan di atas, Tiong Huat berdiri terus dengan segala kemegahan menentang pembaruan. Kecuali kalau Balai Kota Amoy sanggup memberi ganti yang besar dan disetujui pula oleh yang punya rumah, tidak lain jalan baginya daripada membiarkan usang berdiri terus di tengah-tengah kota yang baru.
Saya memperhatikan becak dan segera memasuki kamar bawah yang gelap dan terus nai ke tingkat ketiganya Tiong Huat. Tidak berapa lamanya saya menunggu, maka sahabat Ka-It, Tan Ching Hua pulang. Saya ceritakan keadaan saya dan kami memutuskan supaya selekas-lekasnya saya pergi ke desanya Ka-It ialah desa Iwe, berdekatan dengan desa Sion-Ching yang saya diami lima tahun lalu. Yang menjadi persoalan ialah, apakah saya akan mengambil jalan darat atau laut. Satu-satunya keberatan dan keuntungan. Akhirnya diputuskan saya akan mengambil jalan darat. Perjalanan di darat ini, seperti perjalanan di laut mengambil waktu 12 sampai 14 jam. Selainnya ada penyeberangan laut yang mesti dilakukan antara pulau Amoy dengan benua Tiongkok, maka perjalanan Amoy ke desa Iwe dilakukan dengan mobil bis. Perjalanan itu melalui kota Chip-Bi, Tang-Ua, Behang, Swantaw, (?) Anhai, Siuk Chai dan Kom Chi. Semuanya kota tersebut tidak berapa besar penduduknya kalau dibandingkan dengan penduduk kota-kota besar di Tiongkok seperti Shanghai, Hankow, Canton dll yang mempunyai penduduk dihitung dengan juga. Tetapi kalau dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia, maka isinya kota-kota Tionghoa yang tidak pernah kita pelajari di bangku sekolah kita itu, mengherankan. Kota Yogyakarta di zaman Hindia Belanda baru mempunyai penduduk 200.000 lebih. Tetapi penduduk Tiong-Ua lebih daripada 300.000 orang. Kota lain-lain berpenduduk antara 100.000 dan 200.000 orang. Di antara Behang dan Swantow ada satu desa dekat satu bukit itu, di mana orangnya ataupun mobil bis terpaksa memperlambat perjalanannya, maka para penyamun ini sangat nekat, katanya mereka itu adalah bekas serdadu.
Sebab jalan yang saya lalui itu selalu saja diancam penyamun maka tentara ke-19 didatangkan ke sana untuk melakukan pembersihan. Buat ini maka diadakan peraturan surat pas. Barang siapa yang singgah bermalam di dalam satu tempat diwajibkan memberitahukan hal ini lebih dahulu kepada kepala tempat itu. Tentara ke-19 berlaku streng, keras sekali. Pada permulaan pembersihan dilakukan, maka banyak orang yang lewat atau menumpang yang tidak mempunyai keterangan yang cukup ditembak mati di tempat itu juga. Taktik yang dijalankan tentara ke-19 ialah taktik menakuti. Memangnya kalau tidak begitu tak mungkin lekas bisa diadakan pembersihan itu. Ada kalanya terjadi orang yang tidak bersalah, tetapi tidak mempunyai surat keterangan, kaena memangnya tidak mengetahui perintah, atau orang dari desa lain tidak mempunyai kenalan ditempatnya bermalam ditembak mati. Maklumlah tentara ke-19 terdiri dari orang Kwantung yang tidak mengerti bahasa Tiongkok (nasional). Sedangkan mereka biasanya harus pula berurusan dengan rakyat jelata di Hokkian yang tidak mengerti sepatah katapun bahasa nasional (Kue-Yu).
Tidak bisa disangkal, bahwa karena ada yang terbunuh dengan tidak bersalah itu, kepopuleran tentara ke-19 menjadi sedikit kurang. Tetapi tidak pula bisa disangkahl bahwa tindakan keras itu perlu dilakukan dan nyata pula diberikan hasil yang memuaskan. Tentulah hasil yang kekal akan bisa didapat kalau perekonomian betul-betul diperbaiki. Hal ini tidak mudah dilakukan.
Maka ketika kami melalui soal la’ Nia’ yang kesohor jahat tadi nyata kegelisahan penumpang. Apabila mobil bis mendaki bukit dengan kecepatan berkurang, maka di pinggir jalan saya melihat satu dua orang duduk di pinggir jalan. Orangnya kelihatan tegap dan pemberani, tetapi rupanya kecewa dan marah karena tidak sanggup melakukan pekerjaannya. Antara Behang dan Swatow, melalui Soa’l la’ Nia’ itu seorang anggota tentara ke-19 yang bersenjata lengkap, menumpang mobil kami sebagai pengawal.
Di salah satu stasiun di perjalanan maka mobil kami diperhentikan untuk ditukar. Di sini diadakan penggeledahan barang dan badan yang teliti sekali. Saya sedikit gelisah juga, karena tidak mempunyai surat apa-apa. Tetapi saya memakai pakaian Tionghoa, ialah pakaian juba sensei. Pengalaman saya yang sudah-sudah dengan orang Kwantung di Shanghai, memberi keyakinan kepada saya, bahwa tentara ke-19 ini akan membiarkan saya lalu zonder digeledah atau ditanyai apa-apa. Biasanya kalau saya memasuki satu toko orang Kwantung di Shanghai, maka orangnya selalu amat ramah tamah dan bertanyakan dari Kwantung bagian manakah saya berasal. Dipandang oleh orang Kwantung di tengah-tengah orang Tionghoa-Utara yang besar tinggi itu rupanya kita orang Indonesia yang berwarna coklat ini hampir sama dengan orang Kwantung. Memang begitu! Semakin ke Selatan kita pergi semakin banyak di antara orang Tionghoa terdapat mereka yang mirip perawakan dan warnanya dengan orang Indonesia. Apalagi diantara orang petani yang jarang sekali berwarna kuning, karena biasa bekerja di dalam panas.
Melihat saya yang memakai jubah sensei (tengpau), maka dengan senyum para pemeriksa tentara ke-19 mempersilahkan saya lewat. Tak ada pertanyaan dan tak ada penggeledahan di koper ataupun badan saya.
Kira-kira jam tujuh malam sampailah saya di desa Iwe, cuma 100-200 meter saja letaknya dari pesisir lautan Pacific. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu, desa Iwe tidak berapa jauhnya daripada desa Sion-Ching yang pernah saya diami.
 Maksud semula di Amoy, saya kelak di Iwe akan bermalam di rumah sekolah bersama dengan guru sekolah itu. Rumah sekolah itu bukan rumah sekolah biasa, melainkan tempel/klenteng yang dipakai buat sekolah. Gurunya didatangkan dari tempat lain, ialah dari kota Chuan Chu. Dia keluaran sekolah Guru.
Tetapi sahabat baru Tan Tien Jin yang baru datang dari Manila tidak membiarkan saya tinggal di Kelenteng. Ibunya dan dia sendiri merasa malu, katanya kalau saya tidur di Kelenteng. Tan Tien Jin tentulah keluarga pula dari keluarga Tan Ching Hua atau Ka It, yang rumahnya berdekatan sekali. Ka It juga sudah mengusulkan supaya tinggal di rumahnya saja, tetapi ada keberatannya Jin, karena yang tinggal di rumah kebanyakan para wanita. Rumahnya Tien-Jin sudah mempersiapkan untuk saya satu kamar, saya terima usul itu dengan segala senang hati dan banyak terima kasih.  
Baru saja dua tiga malam saya berada di rumahnya Tien Jin, maka pada suatu hari hampir jam dua malam saya dibangunkan oleh suara riuh rendah. Dari dua tiga rumah di desa Iwe dibunyikan canang, (Jawa-Bende). Suara canang itu diperkuat pula dengan kaleng yang dipukul di sana-sini. Suara yang datang dari canang dan kaleng dipukul itu ditambah pula dengan suara manusia yang berteriak-teriak mengatakan to-hui, bandit, datang menyerang rumah Ka-It dan rumah kami sudah lama diperhubungkan dengan tali yang bisa menggerakkan kaleng berisi batu di kedua ujungnya. Maksudnya ialah untuk saling memberi peringatan. Riuh sekali bunyinya kalen berisi batu ini setelah talinya ditarik. Siapakah yang tidak bangun mendengarkan suara canang kaleng dipukul, kaleng yang berisi batu yang ditarik-tarik, campur aduk dengan suara manusia yang berteriak-teriak.
Saya bangun dan keluar kamar menjumpai Tien-Jin yang sedang berkumpul dengan beberapa lelaki lain di rumah kami. Mereka ini semuanya memegang senjata api. Saya segera disuruh kembali tidur ke kamar. Permintaan saya supaya bisa ikut serta ditolak mentah-mentah. Memangnya saya orang asing akan memberatkan siasat pembelaan saja. Para to-hui tentulah pula akan menyangka, bahwa saya adalah seorang kaya dari “Nanyang” yang harus dicabut bulunya habis-habis.
Tembak menembak habis-habisan jarang dilakukan oleh penyerang dan yang diserang. Penyerangan itu biasanya dihabiskan dengan perundingan dan konsesi yang besar atau kecil menurut besar kecilnya kantong yang diserang dan kuat lemahnya pertahanan. Demikianlah pula besok harinya saya mendengar kabar, bahwa penyerang malam hari itu berakhir dengan perundingan disertai $ 3.000,- pembayaran “ongkosnya” para to-hui. Harus dimengerti bahwa para to-hui datang dari tempat yang agak jauh letaknya dan mempunyai tentara tak kurang daripada 100 orang banyaknya. Lagi pula tak boleh dilupakan, bahwa pihak yang diserang ialah seorang kaya baru datang dari Lam-Yu, dari Luzon (Manila). Kekayaan  itu tak dapat disembunyikannya dengan perundingan. Bukti yang nyata bagi para to-hui ialah si-terserang itu sedang membuat rumah batu yang besar dan bagus. Kerugian jiwa tak ada di waktu itu! Tetapi tuan rumah terpaksa mengubah rencana rumahnya; dikurangi besar dan bagusnya.
Kemalangan ini berlaku di dekat sekolah kelenteng yang hampir saja saya tinggali. Kata Guru kepada saya, bahwa mujur juga saya tak jadi tinggal di sana, karena para to-hui juga masuk ke dalam sekolah untuk memeriksa harta benda di sana. Setelah mereka mengetahui bahwa yang tinggal di sana cuma seorang guru bantu dengan gaji $ 20,- (dua puluh dollar) sebulan (ialah kalau uang sokongan datang dari Luzon) maka para to-hui juga mengambil kesimpulan, manakah bisa mendapatkan telur kucing. Tetapi akan lain halnya “kalau saya ada di sana”, kata sahabat guru.
Anehnya pula lebih dari sepuluh pegawai desa Iwe, yang mengambil tempat di dalam kelenteng juga tak membuat perlawanan apa-apa. Mereka adalah pemuda penduduk Iwe sendiri dan dibayar dengan uang iuran. Mereka juga bersenjata lengkap. Alasan mereka ialah: musuh jauh lebih besar, overmacht (perkataan bahasa Belanda yang kita kenal ketika bertekuk lutut menghadapi tentara Jepang). Sangat digembirakan, oleh mereka pengawal Iwe ini, bahwa mereka kehilangan bedil sepucukpun. Tetapi mereka tidak menerangkan guna apa bedil itu disimpan. Lagipula tidak mereka terangkan apakah mereka kehilangan muka (be-bin-pe) apa tidak! Di belakang hari saya tak pernah melihat pengawal lagi dalam kelenteng itu. Mungkin para penduduk Iwe sudah berpendapat bahwa met atau zonder tentara pengawal, keamanan atau bahaya buat Iwe “Sio-Siang” ialah podo wae, sama saja.
Dalam hal ini saya setuju dengan penduduk Iwe. Ingat saya di waktu itu pada Ki-Koq, ketika berada di Sion-Ching. Sering dia mengejek-ejek serdadu yang penakut dengan perkataan potato-soldiers. Bukan potato kentang biasa, melainkan ubi jalar. Ialah makanan rakyat di sana. Dalam bahasa Hokkian, ejekan itu berbunyi: han-chu-ping, prajurit untuk mencari makan semata-mata.
Ubi jalar sudah tak menjalar lagi, karena kami sudah berada dalam bulan Januari tahun 1933. Tetapi saya kembali makan ubi terus-menerus, seperti tempo hari di desa Sionching. Cuma kadang-kadang saja kami makan nasi. Chiak han chu, pe ta usi makan ubi, dengan kacang kedelai (bersama kecap) inilah makanan rakyat di daerah Chuan-chu dan banyak yang dimakan di musim dingin. Tetapi walaupun panen ubi itu dilakukan di bulan Juli-Agustus, pada bulan Desember masih ada yang tinggal di dalam tanah. Orang Hokkian bisa lama membiarkan ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi itu terbenam di tanah, dan bisa pula memelihara ubi supaya jangan busuk atau tumbuh. Biasanya ubi yang tidak dibikin gaplek itu dilumuri kapur dan disimpan di tempat yang kering.
Yang mengherankan saya ialah, ketika saya dalam tangkapan seperti di Manila dan Hongkong maka saya tidak merasa sakit. Rupanya penyakit itu diam terpendam. Tetapi setelah aman kembali maka sekonyong-konyong timbullah penyakit itu. Penyakit itu memangnya tidak keras, tidak pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari. Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit saja salah “makan” (sedikit banyak daging), maka pencernaan dan tidur terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali kemasukan angin! Demikianlah kelemahan  badan itu terus-menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935.
Suntikan yang bermacam-macam dari berbagai-bagai macam dokter Barat atau Timur yang mendapat pendidikan Barat tak berapa memberi pertolongan. Di sini saya mau menerangkan bahwa tidak mengurangkan penghargaan saya terhadap kedokteran Barat yang berdasarkan science, ilmu bukti, bahwa tinggi sekali penghargaan saya terhadap dukun dan jamu, obat-obatan Tionghoa. Banyak dipersoalkan kemanjuran obat kaum dukun Tionghoa itu. Ada yang pro dan ada pula yang anti diantara para dokter Barat terhadap jamu Indonesia. Tentang dari saya bolehlah saya katakan, bahwa kelemahan badan itu disembuhkan oleh jamunya dukun Tionghoa! Obat yang saya terima dari bermacam dokter dari berbagai bangsa di beberapa kota besar di Asia tidak menyembuhkan. Baru di Iwe saya merasa pertama kali jamu bisa menguasai kelemahan yang sudah bertahun-tahun. Artinya bisa makan sekedarnya gemuk (daging) dengan tidak mengganggu pencernaan dan tidur yang mengakibatkan lesu dan sakit kepala.
Dukun Tionghoa yang tulen (ada pula yang palsu) tidak akan memberikan obat yang langsung untuk cuci perut umpamanya. Dia akan memberikan obat yang tidak langsung ialah jamu yang bisa memperkuat seluruh badan dan usus khususnya. Kalau badan sudah kuat dan usus sudah jalan, maka kelak sendirinya makanan akan dicernakan.
Dukun Tionghoa juga tahu artinya casctor-olie, tapi dia tidak menasehatkan memakainya kecuali dalam keadaan luar biasa. Biasanya jamu itu dimasak bersama-sama dengan bahan makanan yang mengandung khasiatl.
Di rumah Tien-Jin ada seorang keponakannya yang kembali dari Manila pula sudah 2 tahun dia tinggal di Iwe untuk berobat secara kuno. Dulunya dia sakit keras di Cebu (Philipina) yang disangka tak akan bisa hidup lagi. Dia sakit comsumption, tering, sakit rabu. Sampai beberapa malam dia harus dijaga oleh dua tiga orang dokter. Apabila dia sedikit kuat, dia berangkat pulang ke Iwe walaupun dokter tak mengizinkan. Di Iwe dia memakai jamu Tionghoa. Dia sudah memakan bermacam-macam daun, buah dan urat kayu, memakan bebek dan penyu bercampur jamu Tionghoa. Sekarang dia sudah kuat seperti sedia kala dan sudah sanggup bekerja keras mencangkul dan memikul seperti seorang petani di Hokkian.
  Kesehatannya itu dikembalikan oleh seorang Sinsei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Iwe melalui desa So-lao dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya namanya desa itu, mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be, banyak cerita atau dongeng tentang kemanjuran jamunya Sinsei di Chia-be. Nama penuhnya Sinsei itu saya sudah lupa. Tetapi nama turunannya (Se’) saya masih ingat benar. Kami juga tidak biasa menyebut nama penuhnya.
Kami biasa memanggil dia: Sinsei Choa. Dan saya masih ingat benar nama Sinsei Choa dari Chia-be.
Saya ingin berobat kepada Sensei Choa. Tien-Jin pun sudi mengantarkan saya ke desa Chia-be. Setelah memperlengkapi diri masing-masing dengan satu pistol maka pada suatu hari berangkatlah kami menuju ke desa Chia-be. Kebetulan saja Sinsei Choa ada di rumah.
Bukanlah adatnya Sensei Choa: begitu tamu (pasien) datang, begitu pula menanyakan penyakitnya. Kami lebih dahulu masuk ke kamar tamu. Di sini kami dijamu dengan teh atau air panas. Mulailah percakapan tentang perkara yang menarik perhatian di waktu itu. sendirinya percakapan itu akhirnya menyimpang kepada kedukunan dan obat-obatan. Sensei Choa dengan gembira menceritakan bermacam-macam penyakit yang sudah dilayaninya. Dia selalu siap sedia akan menceritakan sejarahnya kedukunan Tionghoa. Tetapi seperti tiap-tiap dukun Tionghoa lainnya dia akan menyimpan teguh rahasia jamu dan kedukunan yang dipusakakan oleh nenek moyangnya kepadanya. Pula dia akan pesankan kepada anak cucunya supaya beberapa rahasia tentang khasiat jamu, percampuran jamu dan cara  mengobati disimpan seerat-eratnya (rahasia). Tak boleh dibuka rahasia itu kepada yang bukan turunannya. Demikialah kedudukan Tionghoa itu (kepintaran khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh tiap-tiap keluarga saja. Lenyaplah pula kedukunan itu bersama lenyapnya keluarga itu. demikianlah paham umum tentang kedukunan Tionghoa. Tetapi umum pula diketahui oleh rakyat jamu yang harus dipakai untuk mengobati sakit biasa seperti pilek, pusing dsbnya.
Sensei tentulah tidak terkecuali dalam hal ini. Dengan segala kehalusan diplomasi Tionghoa dia akan menyingkiri menjawab pertanyaan yang agaknya berkenaan dengan rahasia kedukunan. Dan dengan kehalusan Tionghoa pula seseorang tamu (pasien) akan menyingkiri segala pertanyaan yang rasanya bersangkutan dengan rahasia obat-obatan. Walaupun begitu masih banyak pengetahuan yang bisa diperoleh dengan tanya jawab dan yang bisa dipakai untuk kesehatan kita. Rasa kemanusiaan para dukun Tionghoa biasanya amat besar sekali.
Setelah sekian lama bercakap-cakap maka oleh sensei Choa kami diajak turun ke kamar pemeriksaan. Di sinilah pula Sensei Choa menyimpan bermacam-macam daun, urat, buah-kayu, bunga dan bagian dari hewan yang dianggap mengandung zat sebagai bahan jamu. Tidaklah pula ketinggalan satu neraca untuk menimbang beratnya tiap-tiap macam jamu. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang buat penumbuk rempah tentulah pula tersedia. Lumpang inilah yang sering berbunyi keras di salah satu toko obat di kota-kota besar, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa toko ini atau itu dikunjungi tamu (pasien). Makin banyak berbunyi berarti makin banyak pula langganannya. Tetapi semakin keras bunyinya tidak pula selalu berarti bahwa toko obat itulah yang terbanyak mempunyai langganan. Toko obat yang kurang laku belum tentu kurang keras bunyi lumpangnya. Di sinipun bisa berlaku sesuatu pepatah: kaleng kosong keras bunyinya.
Sensei Choa tak perlu membunyikan lumpangnya keras-keras. Dia tinggal di desa kecil saja. Tetapi namanya sudah terkenal. Orang dari desa-desa lain datang sendiri ke tempatnya meminta pertolongannya. Bukan pula di desa Chia-be saja dia menjalankan prakteknya. Dia lama tinggal di Philipina dan cukup mendapatkan hasil daripada pekerjaannya. Dia sanggup mendirikan rumah yang sedang besarnya buat hari tuanya di desa ibu-bapaknya di Chia-be. Tamu yang datang di rumah seorang dukun selainnya daripada bayaran obat, biasanya membayar $ 1,-. Boleh lebih dan boleh pula kurang menurut penyakit dan kekuatan pundinya si sakit. Kalau lebih kurang $ 3,- ialah berhubung dengan ongkos kendaraan (tandu atau becak).
Di kamar obat Sensei Choa melakukan pemeriksaan yang terakhir. Sebenarnya dalam percakapan tadi Sensei Choa sudah sedikit mendapat pemandangan tentang kesehatan saya. Sekarang dia cuma tinggal memastikan penyakit saya dengan mengadakan beberapa pertanyaan. Tentulah tidak dilupakan pemeriksaan pols (nadi tangan), kelopak mata, warna kuku, dan warna lidah.
Kemudian Sensei Choa mengambil kertas Tionghoa yang memakai alamatnya. Dengan pensil dan tinta Tionghoa dan mulailah dituliskan semua nama jamu yang harus dicampurkan. Pula disebutkan berapa air yang perlu dipakai untuk memasak dan berapa pula mestinya didapat sisa air masakan itu. Kalau saya tak salah, maka tak kurang dari 18 macam bahan yang dicampurkan. Ada bahan yang bisa didapat di Hokkian sendiri, tetapi ada pula yang harus didatangkan dari Szuchuan, Mongolia dan Korea.
Sambil menghitung nadi tadi, Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat “panas”, singku chin dia. Istilah ini acap kali benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas itu ialah darah yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa, maka “darah panas” itu menyebabkan kurangnya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah itu. Berapa cocoknya istilah ini dengan ilmu kedokteran modern, tidaklah sanggup saya memerikannya.
Dalam usaha “mendinginkan” darah itu, maka sendirinya kami sampai kepada persoalan makanan. Sensei Choa menasehati saya Chiak-poo (memakan yang mengandung zat kuat). Saya dinasehatkan memakan bebek (chiak-ok) yang dimasak bersama-sama dengan obat. Enam ekor bebek harus dimakan, seekor seminggu. Jadi satu setengah bulan berturut-turut. Kemudian baiklah pula dimakan penyu (chiak-pik), satu dua ekor. Penyu itu ialah penyu selokan di dekat sawah. Makin tua penyunya makin baik. Buat bebek dan penyu Sensei Choa menuliskan (resep) jamu yang berlain-lain pula.
Maka dengan nasehat memakan bebek untuk memperkuat badan, perut dan syaraf, tibalah Sensei Choa kepada riwayatnya ratusan, kalau tidak ribuan bebek yang dipelihara di suatu paya yang sedikit jauh letaknya dari desa kami.
Kata sahibul hikayat, pada suatu masa  Hong-te yakni Maharaja Langit, datang mengunjungi Chuan-Chu ibukota Hokkian melalui paya tersebut. Setelah Hong-te memperhatikan paya itu, maka sekonyong-konyong Baginda mendapat ilham dan berkata: “paya ini baik sekali dipakai buat memelihara bebek hitam (oo-ak). Dagingnya kelak akan besar khasiatnya (poo) buat manusia.
Benar tidaknya Maharaja Langit pernah melalui paya itu, dan pernah apa tidaknya oo-ak yang dipelihara di paya dekat Chuan Chu itu mengandung “poo”, khasiat, tidak pula dapat saya putuskan secara ilmu modern. Tetapi memangnya benar bahwa enam ekor bebek hitam dari paya dekat Chuan-Chu itu banyak mengadakan perubahan dalam badan saya. Benarlah pula kebanyakan obat-obatan Tionghoa itu banyak mengandung dongeng.
Tidak saja obat itu didongengkan, tetapi juga cara (eksperimen) mendapatkan obat itu. Sesungguhnya dongeng semacam itu sedap didengar oleh dan banyak memberi kepercayaan kepada yang berobat.
Saya masih ingat salah satu daripada dongeng, bagaimana dukun Tionghoa di zaman lampau mendapatkan obat untuk sakit rabu. Anjing itu diberi makanan yang sudah dimamah oleh si sakit rabu tadi. Anjing itu ditulari penyakit rabu. Si anjing yang biasa mencari obat buat dirinya sendiri itu terus diikuti sampailah mereka kepada sebuah kuburan.
Di sana anjing tadi mendapatkan cendawan yang terus dimakannya. Cendawan itulah pula yang dipakai oleh dukun tadi sebagai salah satu bahan mengobati penyakit rabu. Sesudah diperiksa ternyatalah sudah, cendawan tadi tumbuh di tanah di depan rabunya satu mayat yang sudah meninggal lantaran penyakit rabu.
Berapa benarnya pengobatan semacam itu dan benar atau tidaknya pula cara mendapatkan obat semacam itu cuma salah satu sepongan (echo) dari experiment Barat modern, tentulah pula terserah kepada ahli obat dan ahli sejarah saja. Tetapi memang lazim didengar semboyan kedukunan di Tiongkok: racun lawan racun menjadi obat; sakit mata obatilah dengan mata; sakit jantung obatilah dengan jantung (hewan) dan lain sebagainya.
Pemeriksaan percakapan dan dongeng banyak mengambil waktu. Hari sudah pukul satu. Kami minta izin kembali pulang. Sensei Choa tak mengizinkan demikian itu. “Makanlah dahulu, sebab perjalanan agak jauh”, diusulkan oleh Sensei Choa. Kami terima usul itu! Di belakang harinya saya sendiri sekali-dua pergi mengunjungi dukun Tionghoa yang ramah tamah dan sangat simpati ini. wajah dan suaranya memberikan banyak kepercayaan kepada yang sakit.
Di suatu desa kecil di Tiongkok seperti Iwe, di musim dingin pula jadi yakni di bulan Januari, dimana segala masyarakat yang segala asing itu, menambah kesunyian, maka perawatan badan yang sudah banyak menderita dorongan alam, adalah satu peristiwa yang sedikit memberi penghiburan. Saya dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam yang sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang saya terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok saya sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa sebagai bahan.
Sewaktu malam sebelum tidur, kira-kira jam sepuluh datanglah periuk berisi masakan bebek ke kamar saya. Sekali makan dihabiskan setengah bebek dan setengah daripada kuahnya berisi sarinya jamu serta patinya daging dan sum-sumnya bebek. Minyaknya bebek hitam itu adalah 3-4 mm tebalnya. Semuanya dimakan dan diminum sepanas-panasnya. Dinasehatkan selalu, kalau sesudah makan haruslah tidur, Chiak pakun. Menurut teori “dukun” maka sedang kita tidur, obat itu bergerak sepanjang pembuluh darah menambah darah yang kurang dan membersihkan yang kotor. Chiak pa kun, demikianlah syaratnya chiak poo itu! Dalam satu setengah bulan itu maka dua belas kalilah saya jalankan “chiak pa kun” itu. barulah saya menyelenggarakan “chiak poo” itu dengan “pek” (penyu) sebagai bahan. Sari obat beserta patinya daging dan sum-sum “pek” masuk pula ke dalam badan.
Berbeda sekali dengan dahulu, maka makan daging gemuk, dan sum-sum yang begitu banyak, sama sekali tidak menimbulkan akibat seperti biasa lagi kepada saya. Tidak tergganggu pencernaan dan tidak terganggu tidur. Bahkan, chiak pa kun itu memangnya chiak, makan, pa, kenyang dan kun, tidur yang nyenyak. Zonder jamunya sensei Choa daging dan minyaknya bebek hitam sebanyak itu pastilah akan mengakibatkan terganggunya pencernaan dan tidur serta pusing kepala berhari-hari! Tidaklah susah buat mempercayai, bahwa makanan yang kaya dengan zat patri itu memberikan khasiatnya sepenuh-penuhnya. Terasalah dan ternyatalah di sini, bahwa zat patri itu dimasukkan ke dalam badan kita dalam keadaan yang sangat mudah dihancurkan. Jamu yang disangka menjadi alat bantu usus menghancurkan makanan itu. Pada tingkat yang pertama, zat patri yang terdapat pada bebek dan penyu itu dengan bantuan jamu memperkuat badan dan usus. Pada tingkat yang kedua maka badan dan usus yang sudah lebih kuat itu memudahkan dicernanya makanan. Tingkat kedua ini mulai saya peroleh di Iwe. Demikianlah saya mendapatkan jalan buat meneruskan perbaikan kesehatan. Perlahan-lahan kembalilah kesehatan itu sesudah hilang bertahun-tahun lamanya (th. 1925-1935). Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak. Inilah rasanya pangkal kesehatan.
Kesunyian desa Iwe seperti di desa lain-lainnya di Tiongkok diselingi oleh keramaian pada tiap-tiap tahun baru, oleh Chap-go-me, perkawinan dan kematian. Tahun baru dan Chap-go-me itu dilakukan di seluruhnya Tiongkok. Inilah hari besar nasional Tionghoa. Orang Tionghoa di seluruh negara leluhurnyapun tidak ketinggalan merayakannya. Kita cukup mengenal di Indonesia, karena keramaian itu dilakukan dengan terbuka. Kematian Tioghoa buat kita mau tak mau terpaksa dimasukkan pada jenis keramaian juga. Bukan buat yang mendapat kemalangan itu sendiri, tetapi buat para pengunjung. Bersamaan sedu-sedih serta ratap tangisnya keluarga yang kematian kita menyaksikan bersamaan dengan upacara penguburan dengan besar-besaran. Saya kenal di desa Iwe seorang berpunya yang kematian bapak (angkat) untuk memperlihatkan terima kasihnya kepada yang meninggal. Menghabiskan hampir semua hartanya untuk upacara penguburan. Kadang-kadang mayat itu dibalsem dan tidak dikuburkan sampai sebulan atau lebih. Hal ini acap kali terjadi di Hokkian, karena yang meninggal mempunyai anak di Lam-Yu, yang ditunggu kedatangannya buat menyaksikan penguburannya.
Yang hendak saya uraikan sekedarnya di sini ialah peristiwa perkawinan. Persiapan dan upacara perkawinan itu mengambil waktu yang lama dan memakan biaya yang besar. Yang pertama ialah atas dasar paling kolot. Kedua atas cara paling modern. Ketiga atas aturan di tengah-tengah yang dua itu. Saya cukup  menyaksikan ketiga macam itu. menurut adat kolot, maka mempelai dan anak dara satu sama lainnya tidak perlu kenal mengenal. Para pengantin dipertemukan oleh kemauan ibu bapak kedua belah pihak dengan perantaraan “minang”, seorang tengkulak yang biasanya perempuan. Yang menjadi syarat penting buat ibu-bapaknya si Bujang ialah kekayaan, kecantikan, kepatuhan dll, si gadis yang akan diterima di keluarganya buat selama-lamanya. Buat ibu bapaknya si gadis syarat yang utama tentulah kekayaan dan kekuasaan bekal menantunya, kemana gadisnya akan diserahkannya buat selama-lamanya. Tapo kya lau e, chawe kia, pa lang e. (Anak lelaki kita yang punya, anak perempuan orang lain yang punya).
Ibu-bapak yang kaya biasanya memakai lebih dari seorang “minang” (tengkulak). Terletak pada “kebijaksanaan” minanglah banyak tergantung jaya atas gagahnya sesuatu perkawinan. Tak sukar dimengerti bahwa tujuan yang pertama seorang minang ialah supaya perkawinan berlangsung. Apabila berlangsung, maka ia mendapatkan yang dicarinya, ialah uang sebagai upah.
Sudahlah tentu seorang “minang” berusaha sekeras-kerasnya memuji bakal pengantin dan keluarganya pengantin itu. oleh karena kepintarannya dan pengalamannya dalam hal melayani langganannya, maka hidung mancung, serta hutang menjadi piutang; yang miskin menjadi yang kaya. Banyak perkawinan yang lucu yang terjadi karena usahanya para “minang”. Pernah lelaki yang tua bungkuk kawin dengan gadis yang cantik molek, yang lumpuh kawin dengan yang buta. Memangnya yang menang dalam perkawinan secara adat kolot itu biasanya minang yang cerdik licin. Perkawinan modern disangka diakibatkan oleh modernisme yang bertiup ke Tiongkok sebagaian besar dibawa motion picture, bioskop. Besar sekali pengaruhnya Clark Gable, Greta Garbo, Dorothy Lamour dll, bintang Hollywood terutama diantara para pelajar dan mahasiswa Tionghoa. Dasar perkawinan modern itu ialah sebaliknya daripada dasar yang baru disebutkan di atas. Para pengantin tidak lagi mau menjadi objek perkakas mati, para ibu bapak dengan “minangnya”, melainkan mau menjadi subyek, menjadi seorang yang menentukan kesukaan diri sendiri. Perkawinan modern ini, jadinya berdasarkan “saling mengakui”. Syukur kalau orang tuanya menyetujui kalau tidak, perkawinan akan berlangsung zonder upacara yang lama dan mahal.
Mestinya perkawinan semacam itu pun sebaiknya. Sebaiknya yang pertama ialah kalau kedua belah pihak mempunyai watak yang isi mengisi, kedua belah pihak mempunyai cukup tanggung jawab satu sama lainnya dan terutama kepada turunannya. Syarat yang lain ialah kesanggupan mencari nafkah. Tetapi semua syarat tersebut tak dapat dianggap cukup ada pada usianya pemuda-pemudi dalam Sturm und Drang periode, (usia bergelora) seperti terdapat pada pemuda-pemudi pelajar sekolah menengah ataupun University. Banyak di antaranya perkawinan atas dasar “saling mengakui” itu saya kenal berakhir dengan tragedi kesedihan. Ada yang memukul istri mudanya, ada yang mempertaruh-kannya kepada temannya setelah ia jemu, ada pula yang menceraikan bekas kekasihnya dengan anaknya dan ada pula bahkan banyak “gadis” yang membuang atau membunuh anaknya.
Tetapi membantah kemauan pemuda pemudi modern oleh ibu bapak kolot tak pula sedikit bahayanya di Tiongkok modern. Sering kita membaca di sura kabar di kota besar, pemuda pemudi ini melarikan diri, menggantung diri atau menerjunkan dir ke dalam air. Jalan menengah ialah jalan di antara yang kolot dan paling modernpun tak selalu jaya. Tetapi rupanya ada yang mempunyai tempat sendiri.
Inilah macamnya perkawinan yang dilakukan di rumah Tien-Jin semasa saya berada di Iwe.
Pemuda (Tan) Hien-Tam sudah lama kenalan dengan seorang pemudi. Hien-Tam ialah adiknya (Tan) Tien-Jin yang sudah kita kenal dalam riwayat ini. Hien-Tam baru saja tamat Sekolah Menengah Dagang di satu kota murid, dekat Amoy bernama Chip-Bi. Pemudi tadipun bersekolah di situ juga ialah pada sekolah Guru Perempuan. Kabarnya pemudi tadi disekolahkan disana oleh Tien-Jin sendiri. Di kota Chip-Bi, tempat lahirnya hartawan Tan Kah Kee, maka Hien-Tam dan pemudinya mempunyai pergaulan yang merdeka. Tidak ada barangkali di seluruhnya Tiongkok pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi yang lebih umum, daripada Chip-Bi. Tetapi tak ada pula sekolah di Tiongkok yang mempunyai tragedinya perkawinan berdasarkan “saling mengakui” daripada Chip-Bi. Di masa kemajuannya maka Chip-Bi mempunyai lebih kurang 4000 murid, dari Sekolah Frobel sampai ke Sekolah Menengah Tinggi. Sekolah Menengah itu terdiri dari Sekolah Menengah Dagang, Perikanan, Guru, dan Umum. Semuanya murid tinggal di asrama di kota Chip-bi pula. Keterusan Sekolah Menengah Chip-Bi ialah Amoy University. Kedua perguruan ini dibiayai  oleh hartawan Tan Kah Kee, yang tinggal di Singapura.
Pergaulan merdeka antara pemuda-pemudi pelajar berlaku dengan leluasa. Kesusasteraan modern yang mengalir ke Chip-Bi dengan leluasanya; keleluasaan pemuda-pemudi pada hari liburan mengunjungi lakon Hollywood di Amoy, lakonnya percintaan manusia tak bekerja, yang tak tahu apa yang akan dipikulnya dengan uangnya dan apa yang bisa diperbuat oleh uang atas dirinya dan last but not least, uncritical mind dalam Sturm und Drang Periode (semangat yang tidak kritis di masa pergolakan usia pemuda)...........semuanya ini menjadi alat untuk mengubah perguruan di Chip-Bi menjadi pergurauan. Tak sedikit pemuda-pemudi yang pada permulaan belajarnya memberi pengharapan baik, di kemudian hari terombang-ambing diantara perguruan dan pergurauan dan akhirnya terpelanting ke golongan kegagalan. Dalam salah satu suratnya ke Chip-Bi, hartawan dermawan Tan Kah Kee pernah mengemukakan kegagalan perguruan Chip-Bi (dengan Co-eds-nya, campuran laki perempuan) dan menyesalkan uang sejumlah $ 16.000.000,- yang sudah dikeluarkannya semenjak berdirinya.
Hien-Tam dan pemudinya tidak dapat menghindarkan diri daripada penggeloraan modernisme di seluruh dunia dan Tiongkok umumnya serta di Chip-Bi khususnya. Tetapi tidaklah pula mereka melampaui garis yang dianggap larangan oleh masyarakat Tionghoa di masa itu. mereka bersamaan pergi ke sekolah ke Chip-Bi yang setengah hari perjalanan jauhnya dari desanya. Bersama-sama pula mereka pulang ke desanya di waktu liburan. Lupa saya nama desanya pemudi itu, mungkin Lam-Oo. Saya namai saja Lam-Oo. Letaknya tak jauh dari Kun-Chi.
Meskipun pergaulan Hien-Tam dan pemudinya dipandang dari sudut masyarakat pemuda pemudi Chip-Bi biasa saja, tetapi untuk desa Lam-Oo, perbuatan Hien-Tam dan pemudinya bersama pergi ke sekolah dan bersama pulang ke desa dan berbicara pula satu sama lainnya di rumah pemudi itu, sudah terlalu melanggar adat istiadat walaupun semenjak beberapa lama mereka sudah bertunangan. Memang bilakah di seluruh sejarahnya desa Lam-Oo, pernah bujang gadis bertunangan, bersama pergi jauh dan bersama pulang ke desa dan bercakap-cakap pula satu sama lainnya di rumah bakal mertuanya? Ini terlalu! Pernah Hien-Tam di waktu liburan datang dari Iwe ke Lam-Oo untuk mengunjungi bakal tunangannya diancam oleh penduduk Lam-Oo buat diserobot. Hien-Tam tidak mengindahkan ancaman itu. Dia pergi juga ke sana dengan bersenjata. Sampai waktu itu Hien-Tam masih selamat. Malah pertunangan akan disudahi dengan perkawinan.
Proses perkawinan semacam inipun ialah yang bukan lagi cara kolot dan tidak pula secara ultra modern ini masih mengambil banyak waktu dan banyak ongkos.
Saling hadiah menghadiahkan barang yang ditetapkan adat ratusan tahun harus dilakukan. Bakal istri harus dibelikan sepotong pakaian yang baru yang cocok harganya dengan standing (kedudukan) bakal suami dalam masyarakat. Mas kawin tidak pula boleh dilupakan. Banyaknya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak. Tidak sedikit waktu yang terpakai buat “perundingan” menetapkan banyaknya mas kawin itu. Akhirnya dari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga (Tan dan Go?), malah oleh kedua desa yang akan dirapatkan dengan perkawinan sudah tiba. Kedua pengantin sudah bersiap menanti dengan pakaian yang sebagus-bagusnya. Hien-Tam sebagai pemuda modern memakai pakaian Eropa tulen. Cuma sedikit keaslian yang terlihat pada bakal istrinya, yang biasanya berpakaian modern pula. Hien-Tam menunggu di Iwe dan bakal istrinya akan datang dari desa Lam-Oo. Tien-Jin dan istri, dua lelaki lain dalam rumah dengan istri, ibu Tien-Jin dan seorang perempuan muda lagi, beberapa anak, dan jangan lupa saya sendiri sebagai anggota baru rumahnya orang tua Tan Pek Lam (tuan rumah sebenarnya) siap pula berpakaian untuk menunggu datangnya anggota baru dari desa Lam-Oo. Banyak pula penduduk Iwe tua muda, terutama kanak-kanak keluar rumah, ikut menyaksikan perkawinan dari anggota keluarga yang rumahnya terbesar buat seluruhnya desa Iwe.
Matahari sudah sedikit melampaui puncaknya, tetapi pengantin dari Lam-Oo belum juga kelihatan. Akhirnya terdengarlah bunyi canang rebab dan suling sayup-sayup sekali dari balik bukit mendekati Iwe. Bunyi yang pertama kedengaran itu disambut oleh para penunggu dengan suara riuh gembira lae-la, lae-la, sudah tiba, sudah tiba. Suara orkes Tionghoa itu makin lama makin keras seperti pula suaranya para penyambut. Setelah sampai dihadapan rumah maka tandu pengangkat pengantin dan dayang-dayang yang mengantarkan, diperhentikan. Maka keluarlah anak dara dari tandunya disambut oleh mempelai, diantara para keluarga dan para penonton dan dipapah masuk rumah dan kamar pengantin yang sudah lama disiapkan dan diperhiasi. Hari itu berakhir dengan selamatan seperti yang kita kenal juga di Indonesia. Satu dua malam terus-menerus dipermainkan wayang Tionghoa di depan rumah. Permainan ini tentulah menarik perhatian hampir seluruhnya desa Iwe beserta banyak pula tamu di sekitarnya desa Iwe.
Caranya pengantin baru di desa yang baru pula baginya, diperkenalkan dengan para penduduk di desa Iwe dan desa sekitarnya, amat menarik hati. Bermalam-malam lamanya pintu dibuka untuk dibuka menunggu rombongan tamu, ialah kaum lelaki yang datang dari mana-mana tempat pada malam hari untuk memperkenalkan dirinya dengan jalan penggodaan. Sebelum mereka masuk, maka mereka membunyikan mercon di halaman rumah. Kemudian kedua pengantin yang duduk berpakaian bagus, diajak berbuat begini begitu. Ada-ada saja yang dipikirkan oleh para tamu untuk menguji dan mengejutkan anak dara. Umpamanya mempelai disuruh menyajikan kue kepada anak daranya dan harus dimakan oleh anak daranya. Tetapi sampai di mulut kue itu meletus, karena berisi mercon. Mempelai dan anak dara tidak boleh marah. Tetapi mempelai yang bijaksana dapat saja akal buat menghindarkan yang keterlaluan dan menjaga supaya istri mudanya jangan terkejut. Penggodaan ini pada satu dua peristiwa dalam sejarahnya ada dua juga yang melanggar batas. Seperti terjadi pada perpeloncoan (ontgroening) para mahasiswa baru. Tetapi biasanya berlaku dengan menggembirakan dan bisa memperkenalkan semua pihak dengan cara lekas dan praktis.
Buat mempelai dan anak dara secara kolot perpeloncoan sepasang merpati muda itu tentulah ada juga gunanya. Mereka sebelum kawin mungkin sama sekali belum kenal-mengenal. Perkenalan laki-istri dan perkenalan anak dara dengan sekitar baru baik juga dilakukan dengan banyak kelucuan dan kegembiraan. Tetapi antara Hien-Tam dan isterinya perkenalan itu sudah lama berlaku.
Adalagi peristiwa desa yang setiap tahun berlaku yang baik juga sedikit diceritakan disini, sekedar untuk menambah pengetahuan kita tentang adat istiadatnya satu bangsa besar di dunia ini yang mempunyai anggota terbilang jutaan di tengah-tengah masyarakat seluruhnya Indonesia.
Kita kenal bangsa Tionghoa sebagai penganut agama Budha seperti leluhur kita di zaman Sriwijaya. Kita boleh pula saksikan berapa eratnya perhubungan Budhisme Tiongkok itu dengan Indonesia, bahkan tak kurang eratnya dengan perhubungan Tionghoa dengan Hindustan. Bukankah wali pertama Budhisme Tionghoa itu seperti para Rahib, I-Ching, Tah-Hien dan Chuan-Cheng bertahun-tahun lamanya tinggal di Sriwijaya mempelajari bahasa Sansekerta dan agama Budha?
Tetapi selainnya persamaan dan perhubungan bangsa Indonesia dengan Tionghoa dalam keagamaan di zaman silam itu ada lagi persamaan lain dalam pandangan hidup sesudah mati; ialah pemujaan arwah leluhur. Tidak bisa disangkal, bahwa sebelumnya Islam dan Hindustan masuk ke masyarakat kita, maka leluhur bangsa Indonesia rupanya memusatkan pemujaannya pada arwah leluhurnya. Wayang adalah peninggalan leluhur kita sebagai alat pemujaan itu.
Selainnya daripada memuja arcanya Budha di dalam temple yang tersohor di gunung dan bukit di seluruhnya Tiongkok, maka pemujaan arwah leluhur itu tidaklah kurang artinya buat hidupnya di Tionghoa. Berhubung dengan itu maka kuburan itu adalah salah satu tempat yang amat dipentingkan. Di sekitar kuburan inilah disangka arwah leluhur itu bersemayam. Kepercayaan kepada “Hong Shui” adalah umum dan dalam sekali terpendam di kebanyakan sanubari Tionghoa, kaum terpelajarpun tidak terkecualinya. Menurut kepercayaan kepada Hong-Shui itu, maka tanah “baik” yang didapat untuk kuburan seseorang yang meninggal itu boleh mengakibatkan kebahagiaan kepada turunan. Sebaliknya pula ada kepercayaan, bahwa tulang belulang leluhurnya seseorang besar bisa didapat dan bersama-sama dengan tulang-belulangan juga dilemparkan ke laut, maka sekonyong-konyong akan hilanglah kebahagiaan orang besar tadi. Dia tiba-tiba akan ditimpa kemalangan.
Apa defenisinya Hong-Shui itu susahlah didapat. Oleh beberapa intellect, Hong-Shui itu dianggap sebagai “listrik” yang terus memancar kepada jiwa turunannya. Bagaimananya tentulah tak dapat dipastikan. Buat rakyat biasa, Hong-Sui itu berarti “kuburan di tanah bahagia (dingin)”. Bagaimana juga, leluhuru itu masih bersemayam di tanahnya bumi ini. Sebab itulah kuburan itu penting sekali di mata rakyat Tionghoa. (Di Tiongkok Utara, Hong-Shui itu, ialah semangat (spirit) angin dan air, yang harus dipuja).
Sekali setahun maka kuburan itu dibersihkan dengan upacara dan bakti. Di musim bunga, kuntum bunga dan daun mulai keluar, dan alam seluruhnya bangun daripada tidurnya di musim dingin, maka seluruhnya keluarga tua muda, lelaki-perempuan, perbaikan bagus, dipimpin oleh lelaki tertua berangkat dari kuburan ke kuburan, mengenali dan membersihkan kuburan leluhur, serta menyelenggarakan upacara pujaan dan akhirnya memberi selamat tinggal kepada arwahnya leluhur itu dengan dentuman bedil berkali-kali. Tak ada kuburan dan sejarah arwahnya yang terkubur itu yang dilupakakan. Bukankah tak ada bangsa di dunia ini yang lebih mengenal dan berterima kasih kepada leluhurnya itu?
Terutama pula karena upacara pemujaan itu dilakukan oleh anak lelakinya almarhum yang tertua, maka malanglah seorang bapak yang tidak mempunyai anak lelaki. Bukan pula berarti, bahwa perempuan Tionghoa menurut adat Tionghoa asli tidak berhak apa-apa seperti biasa dikatakan orang! Di semua keluarga di desa-desa yang saya kunjungi besar sekali kekuasaan dan pengaruh perempuan. Ibu Ki-koq di desa Sionching dan ibu Tien-Jin kedua berlaku sebagai Raja de facto di dalam keluarganya, terutama dalam urusan harta benda. Bukankah dimana-mana dan dalam segala sumber pencarian, seperti pertanian dan perdagangan, Tionghoa-istri itu rajin dan taat membantu suaminya? Pengetahuan dan pengalaman yang banyak itu tak bisa diabaikan begitu saja, apalagi di masa susah. Akhirnya setelah tiga-empat bulan saya berobat, beristirahat dan menambah pengetahuan masyarakat Tionghoa desa, maka datanglah waktunya meninggalkan keluarga yang baik budi itu. Kesehatan saya sudah mendapatkan kepastian buat dilanjutkan. Saya mendapatkan rahasia caranya hidup; makanan yang baik buat saya, apa yang tidak, bagaimana memasaknya, dsb. Obat m ana, dengan bahan apa yang baik saya selenggarakan dari waktu ke waktu untuk memperkuat badan yang banyak menderita itu. Perbandingan gerak badan dan tidur tidak pula boleh dilupakan. Iwe dengan laut dan pesisirnya, ladang dan bukit-bukitnya banyak sekali mengambil bagian dalam pengembalian kesehatan saya itu. Tetapi walaupun begitu saya harus meninggalkan desa ini, karena hampir semuanya para lelaki dalam keluarga Tan, akan meninggalkan desanya. Tien Jien, baru kembali ke Philipina. Hien-Tam pun dengan istrinya akan kembali ke Philipina. Yang tinggal cuma orang tua Tan beberapa perempuan muda, penghuni (penjaga) rumah.
Tibalah sudah waktunya untuk berangkat! Semua keluarga tua-muda diketahui oleh ibunya Tien Jin dengan para istri lain-lainnya beserta anak-anak keluar rumah untuk mengantarkan. Tak ada bedanya dengan peristiwa memberi selamat jalan kepada keluarga sendiri. Mungkin berlebihan, karena kami kedua belah pihak banyak membuktikan perasaan terharu dan iba berpisah. Oleh beberapa anggota saya sudah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Buat mereka perginya, Tien Jin ialah pergi untuk mencari nafkah ke tempat yang tertentu atas pencarian hidup yang sudah tetap, seperti di Philipina. Mereka tahu saya tidak mempunyai pencarian yang pasti itu dan tempat keluarga yang dapat ditetapi. Mereka tahu, bahwa saya seorang dicari, dikejar buat ditangkap dimana saja berada. Sudah dipastikan kepada saya, oleh salah seorang anggota keluarga, bahwa sesudah tiga tahun, saya boleh kembali ke Iwe untuk mendiami sebuah kamar sampai hari terakhir yang dimaksudkan ialah rupanya kamar orang tua Tan, yang sudah amat tua dan selalu sakit saja itu.
Beratlah hati meninggalkan keluarga baru ini. apabila saya mendaki bukit meninggalkan Iwe, menoleh ke pesisir dengan pasir putih dan air tenangnya, ke bukit dan ladang ke kiri-kanan yang saya kenal baik dan menoleh ke belakang, ke rumah dan keluarga yang saya anggap tak asing lagi, maka ada juga sentimen, perasaan tersangkut, timbul di dalam dada. Tetapi perjalanan mesti terus, terus entah ke mana. Saya belum merasa cukup sehat buat tinggal di dalam kota, dengan keramaian serta hawa kotanya seperti Amoy.
Saya merasa masih perlu memperkuatkan diri di tempat yang berhawa segar. Hien-Tam-lah pula yang memperkenalkan saya kepada para temannya Kota-Murid, di Chip-Bi. Di sini saya mendapat menyewa kamar pada rumahnya seorang guru Sekolah Menengah. Saya bisa hidup dengan sederhana sambil menyelenggarakan makanan saya sendiri. Di samping itu dapat pula saya berkenalan dengan beberapa para pemuda pemudi yang datang dari semua jurusan di Lam-Yu, Selatan. Perkenalan itu seperti dimana-mana saja, saya harapkan buat kemanfaatannya kebangunan Asia seluruhnya.
Yang tidak boleh saya lupakan ialah sahabat lama yang tinggal di Amoy. Tan Ching Hua dipanggil Ka-It yang diam di gang sempit gelap, di jalan Ang Pun Poo, di rumah Tionghuat.
Besar gelora hidup, Tionghoa biasa, bekas opsir dan bekas anggota Kuomintang ini. belum terputus perhubungan saya dengan Tionghoa ini. Pada suatu hari, ketika saya masuk ke rumah Tionghuat yang gelap di siang hari itu, maka dari atas, tingkat pertama, saya mendengar suara: Ka-It bo ti-e (Ka-It tak dirumah) suara itu datangnya dari penjaga rumah.
Saya terus naik ke tingkat pertama buat bertanyakan kemana perginya. Sedang kami bertanya jawab, datanglah seorang penjaga lain dari tingkat kedua, menyuruh saya masuk ke kamarnya Ka-It, di tingkat kedua itu.
Saya terkejut dan sedih melihat air mukanya Ka-It. Dia sedang memegang tasbih, melakukan sembahyang secara agama Budha. Kitab Sucinya sedang terbuka. Rambutnya dicukur seperti rahib. Diambilnya gambar istrinya, ketika mudanya, yang baru saja meninggal. Diperlihatkannya gambar itu kepada saya dengan perkataan “lihatlah rupanya ketika saya baru mengenal dia”. Memang selama saya mengenal istrinya yang meninggal itu, istrinya itu selalu sakit-sakit saja, berlainan sekali rupanya dengan gambarnya. Tidak saja kematian istri itu yang memutus asakan Ka-It. Urusan yang lain ialah percekcokan perkara pusaka dengan saudara tua lelaki dan dan istrinya. Ka-It cuma mewarisi rumah tua, sedang saudara tuanya mengambil semua uang yang ditinggalkan. Apakah yang akan dibikin dengan Tionghuat, rumah tua dan tak dengan uang sepeserpun? Kematian istri dan kezaliman yang dirasainya itulah yang mendesak Ka-It ke pinggir jurang hidup.
Semua kemalangan berupa “jatuh dihimpit tangga” itu terjadi, maka Ka-It memang memperlihatkan kecondongannya hati kepada mistik Budhisme. Saya sering diajak ke rumah kelenteng di atas bukit, dekat kota Amoy, buat berkenalan dan makan bersama-sama dengan para rahib. Ka-It mengatakan kepada saya, bahwa dia ingin masuk ke kelenteng buat menjadi murid rahib. Kalau kelak sudah diizinkan dia akan meneruskan hidup rahib itu pada suatu kelenteng yang mahsyhur dekat Shanghai. Ka-It mengajak saya pergi ke Shanghai.
Biarlah saya tinggal di sana bersama dengan dia, katanya. Tak ada orang asing akan tahu dan akan mengganggu, katanya pula karena letaknya kelenteng itu amat terpencil.
Saya tak suka membantah sesuatu kepercayaan orang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Saya berjanji akan sering menjumpainya di kelenteng dekat Amoy itu. Saya menasehatkan baiklah coba dahulu menjadi murid. Janganlah berlaku tergesa-gesa, sebab amat berat ujian sebelum menjadi rahib selama-lamanya dan meninggalkan masyarakat biasa sampai nafas terakhir.
Ketika saya turun rumah maka di tingkat pertama oleh penjaga tadi diceritakan kepada saya, bahwa sudah sebulan lamanya, Ka-It tidak mau menerima seorang juapun, baik sahabat yang sekarib-karibnya ataupun keluarganya sendiri. Dia mau memisahkan diri sama sekali dari masyarakat yang bengis ini. Sudah berhari-hari dia terus menerus mengaji, sembahyang dan tafakur. Penjaga meminta maaf kepada saya karena melarang saya naik ke atas menjumpai Ka-It pula, saya boleh sewaktu-waktu menjumpai dia, katanya pula.
Orang persalahkan Ka-It, karena pemabuk sampai memukul orang, pemarah, boros dan beristri dua. Memang pemboros, terutama kepada temannya adalah sifat Ka-It, yang banyak merugikan dalam masyarakat persaingan hebat seperti Tiongkok. Tak banyak pengharapan bagi seseorang pemboros akan menjadi kaya. Tetapi berapa banyakkah di Tiongkok, terutama di bandar-bandar perjanjian, Tionghoa sedikit mampu, yang tidak peminum dan tidak beristri dua? Malah “kesalahan” seperti itu boleh ditambah dengan tambahan “istri” lebih banyak lagi daripada dia dan kebiasaan mengisap madat. Semuanya hanya dibatasi oleh kemampuan saja, mereka yang menuduhkan semua “kesalahan” yang menyebabkan Ka-It tak menerima pusaka yang diharapkannya itu sebenarnya bukanlah karena keborosannya Ka-It, melainkan keinginan biasa diantara paraa warisan masing-masingnya mau menerima pusaka itu lebih banyak daripada yang lain. Bagaimanapun juga, terhadap saya sendiri, Ka-It dalam kesulitan saya, berlaku seperti manusia yang jujur kepada paham persahabatan dan kepada agamanya. Selainnya daripada contoh yang sudah-sudah kelak akan saya selipkan lagi satu dua contoh yang lain-lain.
Banyak juga tambahnya pengalaman saya sebagai revolusioner diantara para pelajar Chip-Bi, yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentang cara dan hasilnya pekerjaan saya dipandang dari jurusan proganda itu bukanlah masanya buat ditulisakan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum imperialis internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa yang sudah saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada siapapun juga yang berhak menuntut tanggung jawab itu. baiklah hal ini saya peringatkan kepada para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imperialis internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan komplotan anti imperialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.
Beralasan atas dua perkara yang penting maka pada permulaan tahun 1936, saya meninggalkan desa di benua Tiongkok dan pindah ke kota di pulau Amoy. Pertama sekali, kesehatan saya masih harus berjaga-jaga. Jikalau tidak mendapatkan hawa seperti di Iwe dan Chip-Bi dan tidak pula mendapatkan jamu dan nasehat yang berharga dari Sensei Choa, maka barangkali kesehatan itu akan terus menerus merosot saja, apalagi kalau terpaksa tinggal di satu kota Tionghoa.
Kedua, sesudahnya tangkapan Hongkong, maka perhubungan saya dengan Philipina terputus sama sekali. Mungkin se kali para Conspirators interansional, sesudah Inggris merampas surat saya di Hongkong, berhasil memutuskan perhubungan itu. dengan putusnya perhubungan saya dengan Philipina itu, maka hilanglah pula sumber-sumber penghidupan yang utama, ialah pekerjaan saya sebagai koresponden dari persurat kabaran di Philipina.
Dengan kehilangan sumber penghidupan timbullah pula, keperluan buat mencari sumber penghidupan yang lain. Diam di desa memangnya tidak memerlukan ongkos yang besar, tetapi sesudah sekian lama, maka uang yang ada pada saya mulai menjelang sen yang terakhir.
Tetapi dengan kesehatan kembali baik, maka optimisme juga kembali. Dengan optimisme serta kesehatan yang baik, di kota seperti Amoy pun tentu ada lubang pencaharian yang halal dan bermanfaat.
Sudah lama saya pelajari dari dekat tingkah lakunya dan cita-citanya pelajar Tionghoa. Mereka umumnya pecinta bangsa dan tanah airnya dan umumnya suka mempelajari semua ilmu pengetahuan, ilmu tepat (exact-science) atau ilmu kesusasteraan. Merekapun dengan segala patriotismenya dan kebangsaan dan kebudayaannya insaf benar akan kekurangan negaranya.
Mereka tertarik kepada pengetahuan (science), teknik dan kesusasteraan asing. Di luar kegiatan membuat propaganda, dan demonstrasi anti imperialisme, pelajar Tionghoa juga ingin memakai waktunya untuk membaca buku dalam bahasa asing.
Dalam bahasa Inggrislah kebanyakan tertulis buku asing yang masuk ke Tiongkok atau yang dicetak oleh percetakan Tionghoa sendiri. Bahasa Inggrislah pula diantara semua bahasa asing yang amat diutamakan di Tiongkok. Bahasa Inggris termasuk “important subject” (pelajaran penting). Bahasa Inggris juga termasuk “heavy subject” (pelajaran sukar) seperti pelajaran ilmu tepat dan bahasa Tionghoa sendiri. Sebagai pelajaran penting dan sukar, maka bahasa Inggris seperti pelajaran penting dan sukar yang lain-lain diajarkan pada waktu pagi hari, di masa otak masih segar bugar.
Tetapi pemerintah nasional Tiongkok dengan bahasa Inggrisnya tidaklah meng-Inggris-kan, ialah menukar bahasa Tionghoa menjadi Inggris gadungan seperti pemerintah Hindia Belanda dengan bahasa Belandanya mencetak Belandist, Belanda gadungan, ataupun pemerintah Amerika di Philipina mencetak American gadungan. Murid Tionghoa dididik menjadi Tionghoa patriot. Bahasa Inggris dipakai untuk reading knowledge, untuk pandai membaca saja. Sudahlah cukup kalau murid itu bisa memahamkan isi buku ilmu dalam bahasa Inggris. Kebanyakan buku matematika dan ilmu alam dll. Yang dipakai di sekolah menengah tinggi dan sekolah tinggi ialah buku dalam bahasa Inggris. Walaupun bahasa Inggris itu banyak diajarkan di sekolah Tionghoa, dan walaupun umumnya murid Tionghoa mudah memahamkan isi buku seperti tersebut diatas, maka umumnya mereka tidak bisa berbicara, susah “menangkap” pembicaraan Inggrisnya orang yang dipakai oleh surat kabar Inggris. Banyak murid sekolah Tionghoa yang ingin mempelajari berbicara Inggris dan mempelajari Inggrisnya surat kabar.
Disinilah luas sekali lapangan buat saya: mengadakan kursus buat melatih murid sekolah dalam percakapan dan menambah yang kurang dalam hal ilmu saraf. Selainnya daripada bahasa Inggris adapula mahasiswa yang memerlukan latihan bahasa Jerman, ialah mereka yang ingin meneruskan sekolah ke Jermania. Akhirnya adapula diantara mereka yang berhubungan dengan Indonesia yang ingin mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Demikianlah timbul maksud saya hendak mendirikan “Foreign Languages School” (kursus buat beberapa bahasa asing). Baru saja saya membicarakan hal ini dengan beberapa teman, dan baru saja saya menduduki sebuah kamar kecil di kota Amoy, datanglah kesulitan baru.
Pada permulaan tahun 1936, pemerintah pusat Tiongkok mulai aktif melawan Agresi Jepang. Di Amoy yang dekat letaknya dari Taiwan, jajahan Jepang, banyak sekali terdapat orang Taiwan. Mereka ini sebenarnya berasal dari Hokkian dan masih berbahasa Hokkian. Tetapi di Amoy dengan perlindungan bendera Jepang mereka berbuat semau-maunya terhadap bangsa Tionghoa Hokkian ialah bangsa mereka sendiri. Orang Taiwan-lah di Amoy yang menguasai perusahaan pemadatan, perjudian, dan pelacuran. Pemerintah pusat Tiongkok sudah mulai dengan sungguh hati membasmi semua penyakit masyarakat Tiongkok ini. Tetapi selalu terantuk (tertumbuk) kepada bendera Hinomaru. Pemerintah Tiongkok walaupun dengan alasan cukup dan sah tidak berhak menangkap dan mengadili penjahat atau seorang pelanggar Jepang atau kaki tangannya, orang Taiwan. Buat menangkap penjudi Taiwan umpamanya, Pemerintah Tiongkok di Amoy harus memberitahukan hal itu lebih dahulu kepada konsul Jepang di Kulangsu. Biasanya si-penjudi sudah diperingati dan sudah tidak ada lagi ketika mau ditangkap, kalau benar-benar mau ditangkap. Tetapi selainnya perbuatan busuk tersebut diatas, orang Taiwan pada tahun 1936 itu semakin giat melakukan spionage. Terhadap spionage ini pemerintah Amoy mengadakan pembersihan di daerahnya. Barang siapa orang asing yang tidak mempunyai surat-pas atau tak mempunyai wakil negara asing yang melindunginya tidak dibolehkan tinggal di Amoy, bagian Tionghoa. Barang siapa tua surat-pasnya disuruh diperbaharui.
Pemuda polisi Tionghoa yang baru tamat latihan istimewa berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengadakan penyelidikan. Mereka menyelidik ini sampai juga ke kamar saya. Kepada saya ditanyakan, hal ihwal, surat-pas sebelumnya saya menceritakan hal ihwal surat pas ini selanjutnya, perlu saya sedikit menyimpang kembali kepada sahabat saya Ka-It. Dua bulan lebih dia menjalankan kewajibannya sebagai murid rahib di salah satu temple di bukit dekat kota Amoy. Saya pernah juga pergi mengunjungi ke tempat perpisahan itu. Pada hari permulaan nampak benar akibat penderitaan batin yang terbayang pada mukanya. Tetapi pada ribut topan sanubari, sebagai akibatnya kehilangan kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai balsem pada luka yang dalam. Manusia akan tenggelam saja dalam duka cita jikalau jurang dalam diantara duka cita dengan kegembiraan hidup itu tidak dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun perlahan-lahan.
Setelah lebih kurang tiga bulan lamanya dia berada di kelenteng, maka Ka-It kembali ke rumah usang Tionghoa buat meneruskan pencarian untuk diri dan keluarganya di Iwe yang masih membutuhkan pertolongannya. Buat mereka yang kembali dari Philipina ke kampungnya dan kembali dari desanya di distrik Chuan-Chu ke Philipina rumah penginapan Tionghuat adalah satu bantuan yang besar yang mereka sudah kenal bertahun-tahun. Mereka yang tak berpunya sering mendapat bantuan (pinjaman) dari Tionghuat yang dibayar kembali kalau sanggup pula membayarnya. Tionghuat berlaku lebih kurang sebagai Balai Desa. Belum lama lagi Ka-It membelakangi kesedihan hatinya datanglah pula saya dengan persoalan baru. Saya ceritakan kepadanya tindakan baru dari polisi Amoy dan kemungkinan bahwa juga saya akan diperiksa. Segera diberikannya kepada saya surat pas dia sendiri yang diperolehnya dari pemerintah Amerika di Manila sebelum kembali ke Amoy. Surat pas itu sebenarnya sudah tua (verjaard) tetapi saya kira sebagai tanda akan boleh juga saya pakai, asal saja gambarnya Ka-It bisa ditukarkan dengan gambar saya sendiri. Penukaran itu buat saya bukanlah satu perkara yang sulit, saya sendiri yang “menyelenggarakannya”.
Dengan surat pas lama inilah saya jawab pertanyaan para pemuka polisi ketika mereka sampai di kamar saya. Tetapi mereka tidak puas dengan surat pas yang sudah tua itu. Mereka mengusulkan supaya saya pergi ke konsul Amerika di Kulangsu buat “membaharui”. Tentulah ini tidak bisa saya jalankan. Terlampau banyak resikonya. Kepada pemuda polisi ini tentulah pula tidak bisa dikatakan dengan terang-terangan siapa yang saya dan darimana saya sebenarnya datang. Tetapi pemuda polisi memberi waktu beberapa hari lamanya buat mengurus perkara itu.
Seperti tersebut di atas tadi Ka-It sudah kembali ke tempatnya, seperti biasa dengan kegembiraan atas kemarahan seperti sifatnya pada sedia kala. Tinghoa yang selama ini tiga-empat bulan seolah-olah kehilangan penduduk, mulai ramai kembali. Kelihatanlah pula gembiranya mereka dari distrik Kun-Chi, yang pulang pergi ke Philipina mendapatkan Ka-It kembali ke tempatnya. Rupanya uang tidak menjadi persoalan. Mudahnya uang lepas daripada tangannya Ka-It diimbangi pula dengan lekasnya uang kembali mengalir ke tangannya dari berbagai penjuru. Pengaliran pulang balik dari tangannya Ka-It ke tangan sahabatnya itulah saja hasrat hidupnya. Dia tidak mengindahkan mas berpeti-peti yang dikumpulkan dalam perbendaharaannya buat dirinya sendiri.
Pada malam saya datang itu seorang tamu yang pulang dari Philipina memberi jamuan makan. Tamu itu sudah ada pula saya kenal. Dia termasuk orang terpelajar dan seorang “bussines man” pedagang modern. Bersama dia pula seorang tamu, ialah seorang pegawai tinggi pada pemerintah kota Amoy dan berasal dari Foochow. Pegawai ini diperkenalkan pula kepada saya.
Bukan sekali ini saya di “chia”, di jamu besar-besaran. Pengalaman saya sudah cukup benar dalam hal ini. Makan dengan “sumpit dua” pun tidak asing bagi saya. Mereka yang menyangka ada pengharapan buat dipanggil keselamatan Tionghoa hendaknya memperhatikan apa yang saya tuliskan dengan pendek di bawah ini tentang perjamuan Tionghoa itu.
Hidangan pertama jangan terlampau diacuhkan. Ambillah sedikit sekedar memenuhi ‘adat’. Orang Indonesia umumnya merasa tidak enak kalau hidangannya tidak “ditegur”. Dia merasa senang kalau masakannya disukai, artinya itu “dapurnya” mendapat penghormatan. Nyonya rumah akan bergembira mendengarnya. Beginilah pula orang Tionghoa! Kelihatan gembira tuan rumah kalau tamunya makan dengan bernafsu. Buat tuan rumah itu kejadian semacam ini adalah satu tanda bahwa “dapurnya” benar-benar mendapat kehormatan. Tetapi salah dan rugilah si-tamu kalau pada permulaan perjamuan dia sudah membuka semua ruangan perutnya buat dipenuhi. Seperti Shakespeare tahu: bahwa mesti ada klimaks dalam tonilnya dan paling sedih atau paling lucu harus ditaruh pada penghabisan karangannya itu, demikianlah pula tuan rumah Tionghoa menghidangkan makanan itu atas dasar lezat demi lezat dan memberikan “finishing touch-nya” menyudahi (jamuannya) dengan hidangan yang paling lezat. Tamu yang berpengalaman menunggu datangnya duat tiga hidangan sebagai pengunci. Lama benar perjamuan itu berlaku, acap kali sampai jauh malam ialah menurut kemampuan dapur dan pundinya tuan rumah. Semakin banyak ragamnya hidangan, semakin lamalah pula perjamuan dan kesenangannya perjamuan itu. Waktu itu diperpanjang pula oleh minuman pe-chiu (arak putih) yang hebat dan ang-chiu (arak merah) yang lebih hebat lagi sebelum dan selamanya makan.
Tuan rumah dan para tamu bersuka ria bertambah suka dan gembira dengan meningkatnya akibat pe-chiu dan ang-chiu dan mendekatnya hidangan yang lebih lezat lagi. “Jangan malu-malu, bo-kek-ki-ah, bo-siong-keah”, inilah ajakan tuan rumah yang acap kali terdengar. Anggaplah satu tanda persahabatan, kalau tuan rumah atau seorang tamu dengan sumpit yang sedang dipakainya menjepit sepotong makanan dan menaruh potongan itu ke piring kita dengan perkataan “bo-keh-ki” tadi. Maklumlah kegirangan sedang memuncak. Kegirangan itu ditambah pula oleh akibatnya ang-chiu.
Sebagai pengunci atau sebelumnya itu biasanya dihidangkan seekor bebek yang dimasak sampai selembut-lembutnya. Asapnya bebek itu masih membual-bual dan baunya amat membuka selera makan. Tampillah biasanya tuan rumah ke depan untuk mengoperasi, membelah-belah bebek tadi. Bukan dengan pisau atau garpu! Di sinilah letaknya kesenian si ahli masak di dapurnya tuan rumah. Bebek yang masaknya jempol sudah cukup diraba beberapa bukunya (gewricht) saja dengan ujung sumpit. Dan jatuh bercerai-berailah semua bagian badannya. Segeralah semua sumpit daripada tamu menyerbu menjepit potongan daging yang disukainya.
Kembali kita kepada tuan rumah dan pegawai tinggi Balai Kota Amoy tadi. Seberes-beres dan semarah-marahnya Ka-It dia tidak lupa akan maksudnya memperkenalkan saya kepada pegawai tinggi berasal dari Foochow tadi. (Hampir semua pegawai pemerintah Balai Kota Amoy terdiri dari orang Foochow). Di tengah-tengah asapnya makanan yang lezat dan banjiran pe-chiu dan ang-chiu tadi dia tidak lupa menceritakan riwayat saya seperti seorang pelarian dan membandingkan nasib saya itu dengan pemimpin Tiongkok ketika dikejar-kejar oleh pemerintah Manchu. Simpati pegawai tinggi terbuka dan simpati memangnya kunci semua persoalan. Sesulit-sulitnya persoalan, selama ada simpati dari kedua belah pihak, memangnya mudah sekali diselesaikan.
Demikianlah masalah “kewargaan” saya diselesaikan pada malam hari itu secara Tionghoa lama. Kalau ada keluarga yang menjamin seseorang apalagi mengakui seseorang sebagai anggota keluarganya, maka kewargaan itu beres sendirinya. Tak ada urusan “denaturalisasi” menurut adat Tionghoa lama. Lagi pula pegawai tinggi mengaku dirinya seorang Asia dan seorang Kek-Bing, revolusioner, dia wajib membantu saya katanya. Besok hal surat pas saya itu akan diselesaikannya dengan para koleganya.
Dalam keadaan biasa kewargaan itu mudah diselesaikan. Syarat pertama, menurut undang-undang Tionghoa yang baru, ialah seorang asing baru boleh menjadi warga negara Tiongkok, sesudah lima tahun tinggal di Tiongkok. Mudah pula diselesaikan perkara jaminan. Tetapi menyelesaikan itu dengan cara resmi dengan pemerintah pusat memang ada mengandung kesulitan, terutama karena paham politik saya sendiri dan sikapnya pemerintah Chiang Kai Shek beserta imperialisme asing terhadap kaum radikal. Ka-It tiada banyak memusingkan perkara politik atau Chiang Kai Shek itu. Berkali-kali sudah dikatakannya, bahwa kalau di Amoy pun saya tidak boleh tinggal, baiklah saya kembali saja ke desa Iwe. Di sana tidak akan ada orang yang mengganggu. Cuma baiklah tindakan terakhir ini janganlah dahulu dijalankan sementara mendapatkan jalan yang lebih baik.
Dengan selesainya perkara surat pas barulah saya bisa kembali kepada soal bermula, ialah soal sumber hidup.
Untuk ini Ka-It setuju benar dengan maksud saya seperti tersebut di atas. Ialah mendirikan “Foreign Languanges School”. Modal dia tidak punya, tetapi perabo buat permulaan, seperti beberapa meja dan kursi siap sedia akan dipinjamkannya. Rumah walaupun rumah tua pula, ialah rumah di seberang Tionghoa dengan cepat bisa disewa dengan harga rendah karena yang empunya rumah itu ialah kenalah Ka-It.
Demikianlah saya siap dengan rumah dan perabotnya, selain daripada itu, advertensi sudah saya pasang dalam surat kabar Tionghoa di Amoy dan program-program pun sudah dicetak. Mulailah para pemuda datang mengambil program buat dipelajarinya. Saya menunggu hasilnya dengan kepercayaan penuh. Tetapi Ka-It nyata kegelisahannya setelah dilihatnya bahwa sesudah dua minggu lebih “rumah sekolah” saya masih kosong. Dari hari ke hari dia datang meninjau menanyakan hasilnya dan kecewa kalau saya katakan, bahwa program saja yang hampir habis, tetapi seorang muridpun belum masuk.
Buat merebut hatinya pelajar Tionghoa modern dengan kekal, tidak cukup persediaan rumah sekolah yang besar pantas, diploma college ini atau itu yang paling gemilang, karena sekolah di Hongkong atau seberang atau program yang menarik hati saja. Dua tiga kursus bahasa Inggris di Amoy pada masa itu yang mempunyai gedung besar guru yang berdiploma tinggi dan program yang bagus pada permulaannya memang penuh sesak, tetapi buat sebulan dua saja. Di belakangnya menjadi kosong sunyi senyap.
Harus diketahui bahwa bersama dengan modernisme di semua lapangan, penggeloraan berbagai-bagai isme amat mempengaruhi jiwanya pemuda Tionghoa. Nasionalisme, Sosialisme dan Komunisme yang datang dari semua penjuru bertiup ke Tiongkok tepat sekali mendapatkan sasarannya nasionalisme dan komunisme-lah yang mengambil bagian yang terbesar diantara semua aliran itu. Isme itu sampai menjadi ukuran buat menentukan nasibnya seorang guru. Seorang guru yang ahli seahli-ahlinya pun dalam vaknya tidak akan laku atau akan lama terpakai kalau ia menganut/politik/paham yang kolot. Segera ia akan tertumbuk kepada isme muridnya. Berhubung dengan keadaan beginilah maka sering dikatakannya bahwa pelajar Tionghoa itu tidak mau mengenal disiplin lagi.
Kesimpulan semacam ini saya rasa kurang tepat. Menurut pikiran saya, maka disampingnya murid harus tunduk kepada disiplin perguruan, pun guru juga harus mengetahui dan menyesuaikan diri dengan cita-cita yang cocok dengan perubahan zaman dan mempengaruhi jiwa para pelajar yang paling aktif. Pertikaian antara guru dan murid yang sering terjadi itu sebenarnya disebabkan oleh pertentangan pemandangan hidup. Pertikaian itu terjadi dimana guru dan murid masing-masing memegang pahamnya. Kepercayaan terdapat, disiplin berjalan, dan pelajaran berlangsung dimana pelajar mendapatkan guru yang tidak saja memenuhi keinginannya atas pengetahuan, tetapi juga bisa memuaskan cita-cita politik negara dan bangsa yang dicintainya.
Diploma saja belum menjadi jaminan buat seseorang guru. Pernah diceritakan peristiwa seorang dokter dalam ekonomi yang tamat belajar dalam salah satu Universiteit di Amerika yang menerima kewajiban mengajar pada salah satu sekolah tinggi di salah satu kota tentang ekonomi pula. Sebelumnya dia masuk kelas maka para muridnya sudah bersiap-siap pula untuk “menguji” guru “American returned”, guru keluaran American University itu. Murid A mempelajari teori Marx, tentang MEHRWERT “NILAI LEBIH”; si B mempelajari teori Marx tentang KRISIS, si C tentang GAJI, dsb. Sang guru, yang keluaran American University tadi setibanya di kelas dan menganggap pengetahuannya sudah sempurna karena titelnya, dihujani dengan bermacam-macam persoalan yang berhubungan dengan Nilai Lebih, Krisis, Gaji, dll sbg tadi. Kabarnya besok harinya guru tadi tidak masuk kelas lagi. Ini adalah sikap yang baik buat guru dalam ekonomi tadi. Karena hari depan, bilamana dia, sebagai seorang doktor dalam perekonomian borjuis akan terus menerus bertentangan dengan para murid yang mempunyai paham perekonomian Marxist, bukanlah hari depan yang bisa menjamin tidur yang nyenyak.
Mungkin kejadian ini cuma satu contoh saja. Mungkin pula salah satu daripada berbagai-bagai contoh. Tetapi contoh itu tepat sekali menggambarkan semangatnya para pelajar Tionghoa. Tepat pula menggambarkan akibatnya sesuatu perguruan kalau para murid berpaham modern mendapat seorang guru yang berpaham kolot, feodal ataupun borjuis.
Sudah dua tiga hari saya umumkan kursus dan progamnya, maka saya dikunjungi seorang pemuda berpakaian mahasiswa. Memangnya dia baru tamat Amoy University. Dia bermaksud meneruskan pelajarannya dalam ekonomi, mulanya ke Amerika dan kemudian ke Jerman. Bahasa Inggrinya, katanya, belum lagi mencukupi. Dia mau belajar bahasa Jerman. Ditinggalkannya karangannya dalam hal ekonomi, katanya buat saya periksa bahasa Inggrisnya dan isi karangannya, ialah tentang ekonomi tadi. Nama kecilnya tak perlu saya sebutkan. Nama turunannya ialah Huang. Keluarganya ialah seorang hartawan dan anggota Partai Kuomintang dan seorang yang amat dianggap di Amoy.
Saya mengerti opzet maksud atau lebih tepat “Zet”-nya (muslihatnya) mahasiswa Huang, setelah satu muka saja saya baca karangannya. Buku ekonomi yang diiktisarkannya itu mirip kepada dasar sosialisme. Tidak saja bahasa Inggrisnya yang dipentingkan oleh mahasiswa Huang, tetapi terutama pula ilmu ekonomi. Kedua perkara itu memberi kesempatan baik mengenal mahasiswa Huang lebih dekat lagi. Kekurangannya dalam hal ilmu saraf, percakapan (conversation) dan karang-mengarang segera diakuinya dan untunglah pula dapat saya betulkan. Apalagi keinginginannya dalam perekonomian sosialisme mudah pula saya penuhi. Dibelakang hari dapat saya mengetahui, bahwa mahasiswa Huang termasuk golongan yang amat radikal diantara para mahasiswa Amoy University. Kesusasteraan yang paling disukainya ternyata pula kesusasteraan yang paling radikal. Tentulah saya harus mengawasi provokasi.
Para pertemuan kedua, maka mahasiswa Huang membawa karangan tentang filsafat. Inipun berbau sosialis, bahkan Marxis. Setelah mahasiswa Huang mendapat keyakinan, bahwa dalam hal inipun saya sanggup mengikuti dia, maka rupanya selesailah sudah “ujian” atas diri saya tentang ideologi dimatanya mahasiswa Huang.
Ujian ini berlaku dalam lebih kurang dua minggu lamanya. Inilah waktu yang akan menentukan jaya gagalnya percobaan saya. Benar pula dua-tiga murid suda mulai masuk, ialah karena introduksi (anjuran) beberapa sahabat lain. Tetapi akan lambat majunya percobaan atau akan sebentar saja kemajuann kalau tidak mendapat kepercayaan golongan radikal, seperti mahasiswa Huang.
Nyatalah sudah, bahwa mahasiswa Huang tidak pula begitu saja memberikan persetujuannya ialah dengan tidak tawar menawar mencatatkan namanya buat belajar setengah tahun seperti dua tiga murid tersebut di atas. Dua tiga kali datang dengan karangan dan dengan 1001 macam pertanyaan yang sebenarnya lebih menyerupai satu perdebatan sebelumnya memasuki partai politik daripada memasuki kursu dalam bahasa Inggris dll. bahasa asing.
Akhirnya ia lebih banyak datang dan berjanji belajar bahasa Inggris, Jerman dan yang “lain-lainnya” yang bisa diperlukan oleh seorang mahasiswa Tionghoa yang radikal. Pada suatu hari adiknya beserta entah berapa temannya dari Sekolah Menengah Tinggi dan University datang mencatatkan nama buat belajar bahasa Inggris dan Jerman. Kamar dekat Tionghoa di kampung Ang Pun Po mulai sempit dan saya terpaksa pindah ke rumah yang lebih besar sesudah satu bulan berdirinya kursus tadi.
Tidak jauh dari jalan Sun Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy, di tepi jalan Ku Ceng Loo, di tempat yang sunyi berdirilah “School for Foreign Languages”. Ketika saya tinggalkan sekolah itu, maka muridnya sudah berpuluh-puluh orang ialah terbanyak sekali, kalau dibandingkan dengan kursus bahasa asing di Amoy dan Kulangsu. Kebanyakan muridnya terdiri dari pemuda-pemudi Sekolah Menengah dan satu dua orang dari University. Diluar murid yang tetap pada waktu yang ditentukan di waktu hari pagi dan petang, ada lagi beberapa murid yang “liar” yang datang belajar di sekolah atau menunggu saya datang di rumahnya. Kenaikan banyak muridnya lebih cepat daripada kesanggupan saya menambah banyak bangku dan meja perabot sekolah. Banyak pula surat dari tempat di pedalaman yang meminta tempat tinggal dalam asrama di sekolah, karena mereka tak mempunyai keluarga di Amoy. Pendeknya kalau saya tak terpaksa meninggalkan, maka dengan perluasan pelajaran seperti “book keeping”, journalism dll, dan dengan penerimaan guru untuk pembantu, sekolah itu memangnya bisa mendapatkan tempat pada masyarakat Tionghoa di pelabuhan dagang seperti Amoy.
Perkara penghasilan atau modal untuk perluasan tidak lagi menjadi persoalan yang sukar, sekali kita mendapat penghargaan dan kepercayaan dari murid Tionghoa. Mereka, anak orang berpunya tidak mengulur uang sekolah semata-mata dengan ditetapkan oleh tarif (daftar) bayaran yang kita umumkan. Kalau seorang guru disukainya, maka guru itu buat dia terletak di tempat No.2, mungkin juga No.1 dalam hati kecilnya, terhitung ibu bapaknya. Guru semacam itu ditariknya ke rumahnya dan ke tempat kesenangannya menurut kemampuannya. Rumah guru itu bukan lagi rumah lain daripada rumahnya sendiri.
Di waktu liburan, jarang saya bisan tinggal di rumah. Saya diajak kesana-kesini oleh para murid. Yang saya jaga ialah supaya yang dahulu mengajak kesana atau kesini harus lebih dahulu pula dilayani. Jangan hendaknya menimbulkan perasaan seorang murid bahwa undangannya tidak dikabulkan karena kita melayani orang lain, murid yang lebih mampu, walaupun dia mengundang dibelakang yang pertama.
Saya sedikit banyak mengemukakan sifat “kebesaran” dan cara Ka-It melakukan pekerjaannya. Cara bekerja semacam itu memang banyak sekali dipakai di bandar besar Tiongkok, Shanghai terutama Orang dagang “business” urusannya sambil makan, minum dan menghisap madat diwaktu malam, bahkan tengah malam. Disinilah “transaction” perdagangan besar-besaran antara Tionghoa dan Tionghoa banyak dilakukan.
Saya kenal beberapa Hoa-Kiau (Tionghoa seberang) dan Philipina dan Indonesia yang membawa modal tak kecil ke Shanghai dengan  maksud hendak membuka perusahaan. Tetapi setelah menyaksikan bagaimana bangsanya sendiri berurusan, maka mereka setelah banyak menghabiskan uang modalnya, dengan tidak mendapatkan hasil yang seimbang, maka kembalilah mereka ke tempatnya semula, meninggalkan tanah leluhurnya, yang disangkanya sama dengan gambaran dalam pikiran selama di Nan Yang itu dengan hati kecewa sekali. “Lain caranya orang Tionghoa (totok) melakukan perdagangan”, kota Hokkian tadi. “Mereka (Tionghoa totok) tak mempunyai waktu yang pasti dan kantor yang tetap” katanya Hoa Kiau pula. (Didekat Chuan Chu di Hoakkian kebun tebu seorang patriot Hoa Kiau yang sudah mempunyai pengalaman perkebunan tebu di Jawa dirusakkan oleh penduduk karena caranya berkebun itu berlainan sekali dengan cara Tiong asli). Selainnya daripaa cara bekerja seperti tersebut diatas, maka “business-relation” perhubungan dagang dengan para sahabat atau keluarga sendiri amat penting sekali buat seorang pedagang Tionghoa. Hoa Kiau yang sudah tidak tahu lagi dimana keluarganya, tidak lagi mengerti bahasa nasional (atau daerah); yang tidak mempunyai banyak sahabat yang boleh dipercaya, pasti akan tenggelam saja dengan modalnya dalam masyarakat Tionghoa yang sengit dan kejam persaingannya itu.
Tidak perlu diambil contoh yang begitu jauh buat membandingkan caranya Ka-It bekerja. Cukuplah sudah dengan mengambil perbandingan dengan saudaranya sendiri yang menjadikan dia berduka cita, tempo hari dan hampir memasukkan dia ke-kelenteng buat selama-lamanya menjadi He-siu’ (rahib). Saudara tua inipun saya kenal baik. Saudara tua ini melakukan urusan secara asli, dengan hemat bahkan kerap (kikir).
Saudara tua membuka sebuah Bank dengan jalan perseroan dengan para rekan yang lain-lain. Kesinilah rupanya dibelokkan uang yang oleh Ka-It dianggapnya sebagai haknya. Mungkin saudara tua bermaksud baik juga. Tetapi walaupun perusahaan itu dilakukan secara hemat-kerap (kikir) tidak berapa lama antaranya perusahaan ini jatuh bangkrut. Kebangkrutan itu menimbulkan akibat yang sedikit mengenai riwayat yang dituliskan ini. Baik juga sedikit disinggung-singgung buat memperlengkap yang sudah-sudah.
Di depan rumah saya, adalah sebuah rumah besar yang mempunyai atap datar, seperti lazimnya terdapat di rumah bikinan Tionghoa. Pemandangan dari atap datar itu amat permai sekali, meliputi pegunungan dan lautan di sekitar kota Amoy. Pada hari petang, apabila matahari hampir terbenam, maka sudah dua tiga kali terpandanglah saya kepada seorang pemuda dengan pemudi. Mereka kelihatan seperti sepasang merpati, walaupun tidak berarti sejak sekali dua yang gadis menjauhkan diri dari pemudanya, memandang ke tempat saya sambil tersenyum. Saya tidak memperdulikan kelakuannya pemudi ini. Saya sangka senyum itu bukan ditujukan kepada saya.
Tidak berapa lama antaranya, saya mengerti bahwa senyum itu memang ditujukan ke arah saya dan di belakang senyum itu terselip perkara yang masih lazim terjadi di Tiongkok. Senyum itu menutup kesusahan seorang pemudi modern menghadapi satu adat istiadat yang kolot.
Seorang sahabat pula, saya namai saja Buna, yang belum lagi saya majukan di sini, walaupun rapat sekali perhubungannya dengan saya, pada suatu hari bertanya kepada saya, apakah saya sudah lupa sama A.P. inilah saja saya namakan gadis tersebut diatas, ialah nama kecilnya. Sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1927, di tempat pertama bersembunyi di rumahnya Ka-It di jalan gelap sempit Ang Pun Po juga saya berkenalan dengan anak perempuan kecil. Anak ini adalah ponakannya Ka-It, anak saudara tuanya yang sering tersebut diatas. Anak ini baru berumur 7 tahun, tetapi cerdik sekali, malah terlampau cerdik kalau dipandang umurnya. Dia suka bergurau dengan saya dan suka mengajar saya dua tiga patah bahasa Hokkian. Sesudah dua tiga tahun dibelakangnya, saya tidak lagi menjumpainya.
Sekarang pada tahun 1937 itu, kebetulan pula dia tinggal tepat berhadapan dengan rumah saya dan sudah gadris berumur 17 tahun. Dia akan tamat belajar Sekolah Menengah Putri, dahulu dipimpin oleh Zending dan diwaktu riwayat ini, masih amat baik pelajarannya dan berdasarkan kebangsaan. Manakala semangat mencinta bangsa sedang menyala-nyala didada seluruhnya pemuda-pemudi Tionghoa, begitulah pula jiwa pemudi ini tidak lepas dari bunga api patriotisme. Masuk bagian yang penting pintar di kelasnya, dalam segala-galanya dan selalu dipilih untuk mengetahui kelasnya, cocok dengan dasarnya Kuomintang. Kecerdasan patriotisme dan kesosialan disertai pula dengan kecantikan menurut ideal kecantikan Tionghoa. Inilah gadis A.P yang saya maksudkan diatas. Saya kenal namanya, tetapi tidak lagi mengenal rupa yang sudah jauh berubah dari anak kecil menjadi gadis remaja.
Buna, sahabat saya, kebetulan gurunya pula menceritakan kepada saya, bahwa tidak lama lagi gadis A.P. akan dikawinkan dengan seorang mahasiswa dari Philipina. Pemuda yang sering kelihatan diatas dataran atap tadilah yang dimaksudkan dengan mahasiswa itu.
Perkawinan itu disetujui oleh ibu bapak kedua belah pihak. Perkawinan itulah sebenarnya adalah satu condition, satu syarat buat menerima bapaknya A.P. dalam perusahaan bapaknya mahasiswa tadi di Philipina. Persetujuan ibu bapak kedua belah pihak tidak disetujui oleh A.P. sendiri. A.P menolak memberontak, karena dia sebagai pecinta bangsa dan negara kelak ingin berjasa kepada bangsanya menurut kepandaian kecondongan hati dan kecakapannya. Belumlah lagi gadis A.P. merasa dia sudah mempunyai cukup kepandaian yang akan dicurahkannya kepada bangsanya.
Hasrat murni ini mendapat penuh penghargaan dari pihak ibu bapak yang penuh kecintaan. Tetapi sesudah bapak menderita kegagalan dalam perusahaannya dengan apakah hasrat yang sunyi murni itu bisa disampaikan? Pihak lain tak pula mau tahu akan penundaan perkawinan. Mereka menghendaki supaya perkawinan harus dilangsungkan lebih dahulu. Barulah bapaknya A.P. akan diterima di dalam satu perseroan.
Sifat baiknya gadis Tionghoa ialah tak ada dalam hatinya atau perbuatan menyaingi para temannya dalam percampurannya dengan pemuda. Sebaliknya dia berusaha, memberi nasehat baik, kepada temannya dan mempererat persahabatan antara gadis temannya dengan pemuda yang mendekati. Rebut-merebut hatinya seorang pemuda, yang mendekati temannya, bukanlah sifat yang lazim tampak diantara para pemudi Tionghoa.
Tetapi para pemudi, rombongan A.P., rupanya tak sanggup memberi nasehat yang constructive, berhubungan denga persoalan yang dihadapi A.P. Oleh para teman disampaikan pula hal ihwalnya A.P. kepada saya. A.P. berpesan kepada temannya, untuk disampaikan kepada saya, bahwa (dengan persetujuan ibu bapaknya) dia ingin pula memperbaiki bahasa Inggrisnya.
Setelah bakal suami mengetahui bahwa A.P. pergi belajar bahasa Inggris ke rumah saya, maka rupanya dia bertanya kenapa A.P tidak belajar kepada dia dan kenapa A.P. lebih suka belajar bahasa Inggris daripada bermain-main diatas datar. Ibunya A.P yang mengenal saya sudah lama dan mengetahui seluk beluknya perkara menjawab dengan menyimpang. Ibunya A.P memperingatkan bagaimana dia sendiri pernah menahan air mata, ketika sekian tahun lampau memperhatikan saya sendiri saja di desa Iwe, ketika tinggal di rumahnya, ialah di rumahnya Ka-It, bilamana kesehatan amat terganggu.\
A.P sendiri yang rupanya ingin hendak mengetahui bagaimana pikiran saya tentang perkawinan paksa itu tidak pernah sampai membuka rahasia hatinya. Tetapi dari temannya saya dengar bahwa dia ingin mendengarkan paham saya. Nasehat saya semestinya berbunyi: Periksalah suara hati kecilmu sendiri. Janganlah berbuat sesuatu yang bisa membatalkan hasrat yang mulia terhadap masyarakatmu sendiri. Timbanglah besar-besar sebelum mengambil langkah yang terakhir, supaya jangan menyesal di kemudian hari. Nasehat biasa saja!
Saya tidak tahu bahwa krisis hidupnya hampir memuncak, ketika memberi nasehat itu. besoknya terdengar kabar bahwa A.P menjawab desakan ibu bapaknya supaya kawin dengan perkataan “bahwa” dia bukannya sapi yang akan diperdagangkan. Malam itu juga sesudah pertikaian itu terjadi dia mencoba meminum racun yang sudah disediakannya sendiri di dalam kamar yang dikuncinya. Rupanya racun itu tidak segera menyampaikan ajalnya, tetapi menimbulkan kesakitan yang dahsyat. Gerak-geriknya terdengar, pintu diterobos dan A.P didapati dalam keadaan payah. Untunglah masih bisa ditolong oleh tabib.
Seminggu setelah kejadian itu saya mendapat kiriman dari desa (Iwe), ialah makanan yang biasa dihidangkan ketika perkawinan seperti wajik dan kue-kue yang lain. Barulah saya tahu bahwa A.P. dikawinkan juga dengan paksa. Kemauan yang keras daripada anak dikalahkan oleh kemauan yang lebih keras pula daripada ibu bapak. Rusaklah sekuntum bunga yang baru saja mengembang untuk dipersunting menurut kesukaan manusia, menentang kehendak alam.
Kemauan A.P. dikalahkan, tetapi tidak dipatahkan.
Setelah sebulan lamanya tinggal di desa kembalilah dia ke kota Amoy. Kawan sekelas yang selamanya kehilangan teman yang paling dicinta kembali gembira meskipun tidak lagi seperti semulanya. A.P bukan lagi gadis, merdeka, remaja, seperti sediakala, tetapi masih dicinta dan dianggap sebagai penganjur. Bersama-sama mereka datang menjumpai saya.
 Dengan suaminya A.P. sering juga mengundang saya ke rumahnya atau berjalan-jalan A.P. mempunyai kemauan sendiri, yang memang susah dibasmi dengan perkawinan paksa. Kalau undangan itu juga disetujui dan dicampuri oleh suaminya, tidaklah susah buat menerimannya. Tetapi bagaimanakah menjawabnya undangan seperti pergi piknik atau berenang tidak dengan suami, walaupun dengan temannya? Ibu bapak tidak keberatan, buat masyarakat Tionghoa modern hal itu sudah biasa saja.
Tetapi bagaimana, kalau suami tak menyetujui? Semuanya menjadi pelajaran dan pertimbangan buat ibu bapak, yang membiarkan anak perempuan dididik secara modern, tetapi hendak mengawinkan si-anak secara kolot, ialah dengan paksa, sebelum waktunya pula.
Tidaklah lama saya mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan undangan A.P. seperti diatas. Memangnya tidak semudah menyelesaikan persoalan sumber hidup. Tetapi sebagai satu pertolongan yang sekonyong-konyong jatuh dari langit, maka armada Jepang dikabarkan mendekati Amoy buat menyerang. Pesawat Tiongkok mulai melayang-layang diatas kota Amoy, seolah-olah hendak melakukan pembelaan.
Dalam keadaan ini maka Amoy berada dalam kegelisahan. A.P. pada suatu hari datang mengatakan bahwa dia akan berangkat ke Hongkong dengan ibu bapak dan suaminya. “Selamat jalan”, kata saya, setelah merasa lega, karena keluarga A.P. akan bisa terus ke Philipina.  Suasana baru kelak akan menimbulkan semangat yang baru pula. Mudah-mudahan saja!
  Amoy makin lama makin kosong. Hampir semua murid sudah mengungsi ke pedalaman. Barang siapa yang mempunyai uang dan keluarga di Nan Yang segeralah dia mengatur pelayarannya. Mahasiswa Huang dan saudaranya mengajak saya pergi ke rumahnya di Kulangsu. Di sana saya tinggal beberapa lama buat menunggu putusan pergi ke pedalaman atau ke Rangoon. Mahasiswa Huang ingin pergi ke Rangoon dan mengajak saya mengikut. Saya dengan senang menerima ajakan itu. Tetapi orang tua Huang berat hati meninggalkan rumah besar dan Kulangsunya. Menurut paham dia lantaran belum pernah Kulangsu sebagai international settlement, diserang Jepang, maka ini kalipun Kulangsu akan tetap dalam keadaan damai. Setelah penyerangan Jepang sudah lebih nyata, juga ditujukan ke Amoy, maka mulailah orang tua Huang gelisah dan akhirnya amat gugup. Dia sekonyong-konyong mau pindah rumah, tetapi dia mau pindah ke Hongkong.
Tentulah saya tak bisa pindah ke Hongkong itu. ini berarti pindah ke penjara Inggris. Saya berpisah pula dengan mahasiswa Huang dan pergi menjumpai Ka-It yang sedang mencari saya pula. Ka-It dengan tegas bertanya: ke pedalaman atau ke Nan Yang? Kalau hendak pergi ke pedalaman lekaslah bersiap. Ini hari juga kita pergi, katanya. Kalau hendak pergi ke Nan Yang, tentulah kemana, supaya segera diatur surat pas dan karcis kapal. Tak bisa lama-lama menunggu, katanya pula, sebab musuh sudah dekat.
Saya tetapkan pergi ke Rangoon, Birma. Ka-It memberikan seorang pembantu kepada saya buat mengurus surat pas dan karcis kapal. Tidaklah lagi mudah mengurus semua itu dalam satu minggu apa lagi dalam satu hari. Surat pas baru bisa diminta pada kantor polisi setelah mendapatkan keterangan dari pe-tiu’ (kepala kampung, wijkmeester) dan chi-tiu (wali kota) Amoy yang harus menerangkan, siapa saya, kerja apa, dimana dan berapa lama saya tinggal di Amoy. Surat pas juga harus lebih dahulu dibubuhi visa oleh konsul Inggris di Kulangsu. Atas surat pas yang dibubuhi visa itulah baru kongsi kapal (Inggris) mau menjual karcis kapal surat keterangan dari pe-tiu dan chiu-tiu, surat pas dari polisi Amoy, yang di visa oleh konsul Inggris di Kulangsu dan akhirnya karcis kapal itulah yang harus diperoleh dalam empat lima jam saja, karena kapal hendak berangkat petang hari itu.
Pemerintah kota Amoy sudah menutup kantor memberikan surat keterangan kepada siap saja; takut kalau-kalau nanti kemasukan kolonne ke-5 nya Jepang. Tetapi pembantu yang diberikan oleh Ka-It rupanya orang luar biasa. Dia mempunyai sesuatu kekuatan yang tidak dimiliki semua orang ialah drive, kodrat pendorong. Dia tiada mengenal tak bisa, tak boleh atau tak-kan-dapat. Disamping sifat baiknya pembantu ini, untunglah saya sudah dicatat lebih dahulu di kantor keluarga Tiongkok. Memangnya saya sudah menjalankan kewajiban saya sebagai warga negara, ialah membayar pajak. Latihan sebagai milisi-pun sudah dimajukan kepada saya. Sudah pula saya setujui dan sedang saya tunggu.
Pintu depan Pe-tiu tertutup. Penjaga berkata kepada kami, bahwa Pe-tiu tidak di rumah dan surat keterangan tak diberikan lagi. Kami menerobos dari belakang, dan dapur. Kedapatan Pe-tiu sedang makan dan tersenyum melihat saya, karena dia sudah maklum maksud saya dan kami sudah lama berkenalan. Tak sampai 5 menit, surat keterang Pe-tiu selesai. Pintu depan Chiu-tiu pun tertutup. Dapurnya diterobos pula, surat keterangan Chi-tiu pun didapat dalam beberapa menit. Kantor polisi kota dijaga oleh pengawal yang melarang kami masuk. Inipun dengan tiada ragu-ragu diterobos. Dengan cepat pula pemerintah Amoy mengurus surat-pas saya. Kabarnya konon, inilah surat pas yang paling terakhir dikeluarkan, pada waktu krisis ini. Sebelumnya saya datang, banyak permintaan surat-pas hari pada hari itu yang ditolak, karena disangsikan oleh polisi kota.
Kantornya kongsi kapal sedang istirahat! Pembantu tak mengenal peristirahatan. Dia panggil juru tulisnya buat menjualkan karcis. Juru tulis menolak, pertama karena belum ada visa dari konsul Inggris dan kedua karena waktu istirahat. Percekcokan hebat antara juru tulis dan pembantu terjadi. Karcis dapat dan visa pun akan diurus. Saya bisa berangkat petang hari juga. Saya tak perlu pula memperlihatkan muka saya kepada konsul Inggris di Kulangsu! Hidup pembantu!!!
Ciak-teh, uang suapan, baikpun dalam kantor resmi umum dipakai di Tiongkok. Lain daripada uang bayaran sedikit buat segel dll. yang ditentukan oleh aturan yang pasti tiada satu sen-pun saya mengeluarkan. Diantara orang Tionghoa-pun tidak banyak saya melihat orang yang mempunyai “push”, dorongan, dan keuletan seperti pembantu yang baru saja saya kenal ini. Memang push dorongan dan keuletan itu adalah salah satu sifat Tionghoa yang harus kita contoh.
Tepat pada waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan, meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq. Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan Ching Hua dengan A.P. beserta tragedinya. Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas karcis tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu. Yang tentu cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah dimana, belum dapat diketahui....pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!
                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar