“Dengarkan nyanyi sangsai Seruling
Bambu
Mendesah selalu, sejak direngut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.”
(Rumi)
Tan Malaka sebagai Pengarang:
Antara Ketegangan Buronan Politik dan Kesunyian Kreatif
Tan Malaka sebagai seorang
pelarian politik adalah unik karena dia termasuk pengarang yang meninggalkan
banyak tulisan. Bagaimanakah proses kreatif Tan sebagai pengarang yang paling
berpengaruh dalam sejarah Republik Indonesia? Ini didapatkannya dari dua buah
proses. Pertama Tan menyerap ide-ide penting terutama ketika masa sekolahnya di
Negeri Belanda selama enam tahun.
“Proses
pertama sudah berlaku dalam pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu.
“Keadaan sudah membentuk paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk
dek hujan.”
Walaupun kehidupan Tan
Malaka terlihat sunyi kalau dilihat dari luar, tapi di dalam kepala bukan main
ramainya terjadi pergolakan pemikiran yang kasat mata. Tapi apakah itu cukup
untuk membuatnya menjadi seorang pengarang yang produktif dan kreatif? Ternyata
tidak. Ada proses kedua yang sifatnya unik yang merupakan pengalaman pribadi
sang pengarang yaitu ketika Tan menjadi seorang pelarian politik yang terbuang
dari tanah air. Pada masa inilah maka pengalaman hidupnya menjadi “buku” yang
bisa dibaca. Pada saat menjadi pelarian politik sekaligus menjadi proses
merantaunya. “Rantau terkembang menjadi Guru.” Pada periode kedua ini juga
tulisan akan menjadi senjata buat perjuangan seorang pelarian politik. Tulisan
menjadi alat perpanjangannya sebagai seorang guru yang tidak bisa bertatap muka
dengan para murid-muridnya.
“Proses kedua: “Paham berkehendak membentuk
masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban hidup yang mesti dilakukan dalam
hujan atau panasnya penghidupan.”
Maka Kesengsaraan
akibat terusir dari Tanah Air dan teman seperjuangan yang dialami Tan Malaka
menjadi hikmah, seperti puisi yang ditulis oleh Rumi:
“Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi
sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke
permukaan, merintih terus menerus tiada henti,
“Mengapakah engkau letakkan api di
bawahku?
Engkau membeliku: Mengapa kini kau
siksa aku seperti ini?
Sang isteri memukulnya dengan
penyendok. “Sekarang,” katanya, “jadi benar-benar matanglah kau dan jangan
meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau
membangkitkan kebencianku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih
lezat.
Dan menjadi gizi serta bercampur
dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar,
engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun
diri tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman
bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan masuk ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini
jadilah singa hutan!
Hidup Tan Malaka menjadi
seperti “buncis” dalam puisi Rumi diatas “direbus” oleh “api kehidupan sampai
akhirnya menjadi matang lezat. Pengusirannya, membuat Tan Malaka merantau dari
satu negri ke negeri lain untuk menghindari musuh yang hendak menangkapnya.
Penderitaan yang dijalananinya membuat dia sengsara, hampir-hampir tak tertahankan.
Sang Buncis sudah berteriak minta dikeluarkan dari dalam panci, namun Sang Koki
belum membolehkannya keluar sampai sang buncis benar-benar matang dan menjadi
singa hutan.
Kedua proses yang terjadi inilah yang membuat tulisan Tan
Malaka sangat memikat dan hidup pada hampir semua tulisannya dalam pelarian,
menjadi tidak kering dan gersang seperti layaknya tulisan akademis termasuk
juga buku Madilog walaupun topik-nya sangat “berat” tetap enak dibaca. Apalagi
membaca Otobiografinya Dari Penjara ke Penjara.
Berikut contoh narasinya
yang puitis di Otobiografinya:
“Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik,
angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat
jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak
gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan
sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan
sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang
mata....”
Siapa yang mempengaruhi gaya bahasa tulisan
Tan Malaka?
Kekaguman
atas persatuan semangat dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca
buku yang berisi, menarik saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat
mempengaruhi pemuda penggempur Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut
Jacobijnen-straat ada sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya
melalui toko buku tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan
memuncaknya gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang mengikat usia saya.
Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan kilat. Cuma kesanggupan
membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan menutup mata terhadap
barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih erat.
De groote denkers der eeuwen dipasang
dipasang di belakang kaca: Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang tak
kurang popule rnya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot Macht.
Kalau
pernah saya ditarik oleh bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian
amat besar: “Die Umwertung aller Werten”,
pembatalan nilainya segala nilai.
Betapa besar memang
pengaruhnya sebuah buku pada perjalanan intelektual seseorang. Ide seperti
mempunyai “kaki yang terus berjalan sampai jauh” Padahal filsuf Schopenhauer
mempengaruhi Nietzche.
Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu
peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzche. Dan ini juga terjadi
di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan
dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya.
Ketika ia mengunjungi sebuah toko buku-bekas, ia tertarik pada salah satu buku
bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die
Welt als Wille und Vors-tellung (The
Worlds as Will and Idea, Dunia
sebagai Kehendak dan Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini hanya karena
‘iseng’ saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera
menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi seorang pengikut
Schopenhauer.
Lantas seperti apakah
pengaruhnya bahasa Nietzsche pada Tan Malaka?
Hampir semua buku Nietzsche
tidak ada yang ditulis secara sistematis. Untuk mengungkapkan
gagasan-gagasannya ia menulis dalam bentuk aforisme.
Satu aforisme terdiri dari beberapa kalimat saja atau hanya satu paragraf.
Bahkan ada juga satu aforisme yang terdiri dari satu kalimat. Satu aforisme ini
merupakan gagasan utuh, yang tidak tergantung pada aforisme sebelum dan
sesudahnya.
Sebagai
perbandingan aforisme Nietzsche, berikut contoh-contoh Quetes Tan Malaka yang
diambi dari berbagai bukunya:
“Idealisme
adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”
“Sedangkan
sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil
sendiri.
“Tujuan
pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta
memperhalus perasaan”
“Ingatlah!
Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”
“Kalau
suatu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut
Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan.
“Bahwa
kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh,
mekanis, seperti mesin.”
“BerGelap-gelaplah dalam
Terang, Berterang-teranglah dalam Gelap!”
“Modal
bisa memenjarakan manusia, membuat manusia bekerja tanpa henti dari jam 5 subuh
sampai jam 8 malam untuk kekayaan oranglain.”
“Belajarlah
dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur
yang cerdas”
“Bila
seseorang ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan mestilah merdeka lebih
dulu dan pengetahuan tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan
dipergunakan.”
“Jeruk
sebagai benda, lembu sebagai benda, bumi dan bintang sebagai benda, ya,
"engkau" sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide,
pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau.
"Engkau",kata hume, cuma "ide" buat saya.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya diri sendiri, mengakui, bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya diri sendiri, mengakui, bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.
“Berpikir
besar kemudian Bertindak”
“Cuma manusia pengecut
atau curang yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat
buat masyarakat sekarang dan dihari kemudian itu”
“Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan
hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”
“Revolusi
Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional Semata-mata, seperti diciptakan beberapa gelitir orang Indonesia, yang
maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia
menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada Semuanya
bangsa Asing, baik Musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia, mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkusi dengan revolusi-nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus Diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.”
bangsa Asing, baik Musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia, mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkusi dengan revolusi-nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus Diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.”
“Selama
toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang
perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
“Kalau
sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah
Ilmu Pasti itu.”
“Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakatyang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali"
“Sudah
tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah
murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain.
Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya
sendiri.”
“Bukankah
seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia
tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian.
Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai
tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan
militer siap gempur) yang setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan
apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.”
“Seperti
seekor semut hanyut bergantung pada sepotong rumput yang diayun-ayunkan
gelombang.”
“Tetapi
kalau Madilog masih kekurangan bentuk, saya pikir dia tidak kekurangan sifat.”
“Kebaikan
buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan
masing-masing orang.”
“Murid
yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu undang,
satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia
mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan
persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.”
“Seorang
tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok
dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan
dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa
menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan
yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam
propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti
semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai
sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat
pengetahuan dalam arti umumnya.”
“Bahwa
mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia.”
“Yang
kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang.”
“Sudah
pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu negara
seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia
lebih dahulu buat sendi kekuasaan.”
“Yang
tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal mengena.”
Sedikit perbandingan pengaruh Nietzsche pada filsuf
penyair Muhammad Iqbal yang juga bapak Republik Pakistan.
Tidaklah mudah untuk
menentukan sejauh mana pengaruh Nietzsche terhadap seorang eksistensialis
Muslim ini, disebabkan banyak gagasannya terasa begitu personal dan orisinal.
Berbicara tentang pengaruh, Iqbal sendiri mengakui
bahwa dia adalah seorang pengagum Goethe (1749-1832) dan Hegel. Goethe dan
Hegel, kata Iqbal, telah mengajaknya ‘masuk’ ke dalam segala sesuatu. Dia
merasa berhutang banyak pada Goethe dan Hegel. Dia bahkan mengakui bahwa
pujangga Jerman ini telah ikut membentuk hidupnya. Kalau berbicara tentang dua
orang ini, dia seolah-olah tidak kuasa untuk tidak mengikuti mereka. Dia merasa
iri pada bangsa Jerman yang menjadi tempat kelahiran Goethe dan Hegel.
Salah satu catatan yang
memberikan isyarat tentang bagaimana sikap Iqbal terhadap pemikiran Nietzsche
dapat ditemukan dalam salah satu catatan hariannya yang berbunyi:
“Filsafat
Nietzsche – paling tidak dalam bidang etika – adalah sebuah usaha rasional
untuk membenarkan perilaku bangsa Eropa, tapi nabi besar aristokrasi ini juga
dikutuk hampir di seluruh Eropa. Hanya sedikit sekali yang mengerti arti
kegilaannya”.
Di satu pihak, catatan ini
menunjukkan pengakuan Iqbal atas usaha Nietzsche, di lain pihak catatan ini
melukiskan keterbatasan orang-orang Eropa menangkap seruan “nabi” dari Jerman
ini. Dengan pernyataannya ini tak dapat disangkal bahwa Iqbal merasa sebagai
salah seorang dari kelompok yang “hanya sedikit” dalam memahami pemikiran
Nietzsche. Memang, dalam tulisan-tulisan Iqbal, Nietzsche seolah bagaikan sumur
tanpa dasar. Nietzshce tampil sebagai pribadi yang diajak dialog terus menerus. Hal ini kadang-kadang
membuat sulit untuk membedakan mana pandangan Nietzshce dan mana pandangan
Iqbal.
Perbandingan
Kesepian dan kegelisahan: Nietzsche, Iqbal dan Tan Malaka
Salah satu temperamen
kepribadian Iqbal adalah pendiam. Dia adalah tipe orang yang memendam kesepian.
Inilah, paling tidak, kesan-kesan yang ditangkap oleh orang-orang yang
mengenalnya secara dekat termasuk oleh Javid Iqbal, putra sulungnya. Kesepian
merupakan bagian dari pengalaman hidup Iqbal yang cukup menonjol. Sejauh mana
hubungannya antara pengalaman kesepian dan hasil-hasil pemikirannya, sulit
untuk menilainya. Berbicara tentang Nietzshce dan Iqbal dari segi kesepian, ada
satu hal yang sangat menarik. Keduanya merupakan tipe orang yang tidak hanya
dilanda kesepian namun juga lama-kelamaan menjadi pemuja kesepian. Nietzshce
pernah mengatakan: “Kesepian adalah
rumahku”, dan Iqbal mengatakan: “Keadaan
dasar jiwa manusia adalah kesepian.”
Javid Iqbal, anak pertama
Muhammad Iqbal, dalam artikelnya berjudul “Ayahku”, tak henti-hentinya
menyebutkan sisi kehidupan ayahnya yang kesepian dan pendiam. Pengalaman
kesepian Iqbal tampak sangat mencolok terutama pada tahun-tahun terakhir
hidupnya sebagaimana disaksikan oleh Javid:
“Pada fase
kehidupan ini, dia dikejar-kejar oleh perasaan kesepian yang sangat. Dia sering
meratap: “Aku menghabiskan seluruh hari-hariku berbaring di sini, seakan-akan
aku orang asing. Tak seorang pun yang datang dan duduk bersamaku.”
Bagi Iqbal kesepian
bukanlah sekedar merupakan pengalaman psikologis. Seperti sudah diungkapkan
diatas, dia sampai pada kesimpulan bahwa “keadaan dasar jiwa manusia adalah
kesepian”.
Temperamen Iqbal ini
berpengaruh pada cara hidupnya sehari-hari. Dia, menurut pengamatan Javid,
sangat menyukai kesendirian dan kesunyian. Dia sangat tidak suka dengah hal-hal
yang memecah keheningan. “Satu-satunya aturan”, demikianlah kata Javid, “yang
begitu ketat dijaga oleh ayah adalah untuk tidak berisik di dalam rumah. Temperamennya
ini juga berpengaruh pada kedudukannya sebagai ayah. Iqbal bukanlah tipe
seorang ayah yang hangat. Javid memberikan kesaksian:
“Sekilas dia mengesankan seorang ayah yang
pendiam dan agak dingin. Ketika melihatku berlarian ke sekeliling rumah, dia
tersenyum kecil, seakan-akan memaksanya tersenyum. Tapi, seringkali aku
menyaksikannya duduk sendirian di kursi malas, dengan mata terpejam, tenggelam
dalam pikiran-pikirannya sendiri”.
Sekalipun Iqbal menyukai
keheningan, dia juga dikenal sebagai orang yang penuh humor. Akan tetapi
sekalipun dia mengakui bahwa keadaan jiwa manusia adalah kesepian, dia sangat
membenci kesepian. Salah satu perjuangan hidup Iqbal adalah bagaimana keluar
dari rasa getirnya kesepian ini. “Apa yang dimilikinya”, kata Daud Rahbar, “
paras yang tampan, rasa humor yang tinggi, dan gaya bicara yang brilian –
semuanya itu hanyalah pasir, batu dan adonan semen dari semuanya itu hanyalah
pasir, batu, dan adonan semen dari sebuah bendungan yang menyimpan aliran deras air mata.
Walaupun Tan Malaka juga
mengalami psikologi kesepian, namun Filsafat Marx yang menyerukan untuk merubah
dunia menjaganya tidak larut dalam eksistensialisme.
“Revolusi Rusia sudah hampir satu tahun
berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia saya
harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu terpaksa
meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada pemuda, tak
mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam percakapan hari-hari
tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R,
nyonya teman saya, kalau berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah saya
insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Revolusi Rusia inilah yang
membuatnya memasuki periode kedua dalam hidupnya yang akan membuatnya juga
menjadi seorang pelarian politik dan menjadi sumber kreatifnya sekaligus.
Berikut Tan Malaka menulisnya:
Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini bumi
serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini
bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu,
tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf
pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan
yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat dan
ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita tak
mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita bandingkan
dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman
seperjuangan.
Barulah
kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti,
apabila kita berada di negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir
dihempaskan oleh gelombang kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang
biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita
menyesuaikan diri dengan hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di
negeri asing pada tingkat kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula
kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan
semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali
diam-diam atau bunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang
yang bisa memegang paham bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan
masyarakat yang bersimpati pada dirinya, membuatnya pengusirannya semakin pilu.
Ini dialaminya setelah meninggalkan Filipina yang dianggapnya merupakan tanah
airnya, bagian dari Indonesia Asli.
Hidup setahun sebagai orang buruan, sama
dengan hidup damai entah berapa tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah
menjadi koresponden di Selatan. Bahannya seorang wartawan berita yang baru
hangat. Tetapi setelah warta berita menjadi sepi dingin, dan keluarga
seperjuangan disampingnya bertambah besar, maka terpaksa pula saya mencari
pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan hasil untuk hidup bersama. Belum
lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma import Jerman, terpaksa pula
melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh 1001 macam sebab dan soal.
Bantuan yang berupa benda dan uang dari
mereka yang tak dikenal namanya mengalir
dengan deras. Dalam sikap mereka memberi bantuan itu kita mendapat
keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai sejarah revolusi dan tahu akan
kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau. Kaya miskin, tukang warung
nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya. Seolah-olah mereka mengingat
kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak boleh saya lupakan sikapnya kaum
Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk Manila. Pada satu hari andong
saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam Hindustan: “Sir, we hear you are a
moslem from Java. We have already collected some money for you”. (Kami dengar
tuan adalah seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan).
Kelak di Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu
kepada bangsa Indonesia.
Akhirnya
kaum buruh kota Manila, di bawah pimpinan Legihairo del Trabaho (gabungan
Serikat Sekerja) memutuskan akan mengadakan rapat raksasa, buat membela politik
parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan uang buat
bekal saya.
Lantas apa yang membuat Tan
Malaka untuk tetap kuat bertahan? Tan Malaka menyadari penderitaan ini
merupakan Thesis dan Anti Thesis yang ditulis di atas kulitnya sebagai Alam
Terkembang.
Tak seberapa salahnya, kalau dikatakan bahwa
alam raya kita ini, laksana satu gelanggang perjuangan yang tak putus-putusnya,
antara dua kodrat yang dalam hakikatnya berderajat sama, ialah kodrat negatif
dan kodrat positif. Dipandang dari sudut lain dan bergerak di lapangan lain,
kedua kodrat yang sederajat ini menjelma berupa kodrat penolak dan kodra
penarik (repulsion and attraction).
Rupanya Ilmu modern sedang memusatkan semua
cabang pengetahuan dalam golongan ilmu alam dan ilmu kimia. Pada ilmu listrik, ilmu alam dan ilmu pisah
keduanya mempunyai sari yang sama, ialah ilmu listrik. Memangnya dalam ilmu
listrik inilah perjuangan terus menerus antara dua kodrat di atas tadi, nyata
sekali. Mulai dari badan terkecil yang dinamai atom, maka kodrat negatif dan
positif tadi menjelmakan pertentangan terus menerus.
Adapun dua kodrat tersebut berbadan pada dua
bahagian atom itu, ialah elektron dan proton. Badan atom yang oleh ilmu modern
dianggap terkecil itu, adalah hasil perjuangan dua kodrat positif dan negatif
tadi, atau dipandang dari sudut lain adalah hasil perjuangan kodrat menolak dan
kodrat menarik. Pun adanya Badan Terbesar di seluruhnya Alam Terkembang ini,
seperti Bumi, Bintang, Komet dan Matahari, adalah hasil kodrat negatif-positif,
serta tolak-tarik dalam juta-milyunan tahun.
Tegasnya perjuangan Adil dan Zhalim yang
memakai diri dan hidup penulis ini sendiri sebagai medan perjuangan itu;
perjuangan antara Adil dan Zhalim yang bersangkutan dengan hukum yang dilakukan
atas diri dan hidup Sahibul hikayat ini sendiri oleh Imperialisme Belanda,
Amerika dan Inggris. Akhirnya oleh Republik Indonesia yang berdasarkan
KeTuhanan, Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Persatuan dan Kedaulatan Rakyat
ini....... dan ke apa lagian itu.
Perlakuan atas diri dan hidup kami itu tidak
dipandang dengan mata dan perasaan perseorangan semata-mata, melainkan dengan
jiwa yang mengakui adanya perjuangan dan kodrat, juga yang mengakui Alam Raya
kita. Menurut paham kami maka masyarakat golongan dalam masyarakat itu, bahkan
seorang anggotapun dalam cabang penghidupan yang mananapun juga, tak dapat
luput dari kekuasaan dua kodrat itu......thesis dan anti thesis.
Buku kecil ini meriwayatkan dan anti thesis
di atas kulit kami.
Di
Tiongkok
Di bulan Desember 1923 Tan Malaka tiba di
Canton dari Moscow.
Orang belum berhak berkata mengenal
Tiongkok, kalau belum tahu hidup di desanya. Karena sebagian besar, barangkali
antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok yang 400
juta itu berdiam di ratusan ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan
sistem pemerintahan kekeluargaan yang dipisahkan oleh Guru Kung (Kong Tze),
maka desa Tiongkok semenjak zaman purbakala terdiri dari satu atau beberapa
suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq, terdiri cuma dari satu suku saja, ialah
suku Tan.
Rumah desa
di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus menerus, sering
berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama empat-lima bulan di musim
sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding batu, dinding belakang rumah,
yang menghadap ke Selatan, dimana matahari berada, cahaya matahari dapat
memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya matahari yang masuk dari Selatan
dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh angin Selantan yang mahsyur itu
(lam-hong); masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan
badan yang sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang
saya kenal benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas
matahari dan di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Semuanya
ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai “sosial animal”
(hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya di desa
Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat dalam
“broken English”nya, Inggris salah.
Perasaan
kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya sudah menjadi
perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan dari kecil sudah
bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang desa Tionghoa,
apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara menderu-deru
seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin, bahwa perasaan
sunyi terpencil itu oleh seorang buangan
di Digul yang paling penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya
di Digul masih banyak teman seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan
berpengharapan dan berbahasa sama.
Namun kesepian bertahun-tahun
hidup dalam masyarakat Tiongkok tidak membuat Tan Malaka menganut filsafat
mistik sepeti Taoisme misalnya. Paham ini adalah suatu mistisisme alam. Para
penganut Taoisme berusaha untuk mencapai kemanunggalan dengan Alam, yang
disebut Tao. Di dalam suasana kehidupan kota-kota besar di negeri kita, Taoisme
mungkin sekali dipandang sebagai omong kosong belaka. Tetapi kalau melihat ke
luar, ke alam bebas, ke pepohonan, ke dunia unggas, ke pemandangan nun jauh, ke
ketenangan tamasya alam di musim panas atau ke amukan badai yang ganas, maka akan
tampaklah bahwa banyak segi ajaran ini memperoleh bukti-bukti yang lebih kuat
dibanding bukti-bukti yang dapat diberikan oleh logika yang paling canggih
sekalipun.
Lagi-lagi Masyarakat
Manusialah yang mengembalikan pikiran Tan Malaka tetap memijak bumi, antara
lain melalui Ki-Koq sahabatnya di rantau.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya!
Pada satu hari Ki-Koq membawa saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini
dia mengajak saya mengangkat tangan dan berjanji satu sama lainnya akan
menganggap saudara kandung dan tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti
dan Ki-Koq pun terus memegang teguh sampai perhubungan kami terputus.
Begitu
juga pada seorang perempuan yang menganggap Tan Malaka adiknya:
Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi yang
sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap sayang,
karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik. Kakak, toa-chi, karena dia seorang wanita yang
lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam rumah. Saya
tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi
mengeluarkan anak-baju, baju dan mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara
kami tak bisa, kecuali sepatah dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi pernah
di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan sekurangnya
totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya guna
menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya
dalam rumah yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada
suatu hari petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak
kelihatan suatu apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi
terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita kesakitan yang
hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya tak berobah,
tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
Pada
kira-kira jam 1 malam datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”, salah
satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa mundar-mandir dan
dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang dikenal oleh
bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang jahat dan meminta
pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah melihat mukanya
Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan
merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya tertidur,
dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi
sudah meninggalkan kami. Hampir pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi
rumah menuju ke bukit tempat kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan
digali untuk menguburkan mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang
diserang penyakit pesat itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di
desa-desa Hokkian untuk menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain
ialah meninggalkan desa yang sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk
desa laki-laki dan perempuan tua muda buat sekian lama.
Demikianlah
pada pagi harinya toa-chi meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan
seluruh desa sionching berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah
kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq
mengucapkan maksud sekeluarganya kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang
dituju, melainkan mengikuti saja para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya
sendiri dan para laki-laki lainnya belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi
mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke
Amoy baru dua tiga hari lagi akan siap.
Dengan
cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita dan anak-anak,
dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri saya.
Ki-Koq
berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam kayu cendana buat
dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras untuk dimasak.
Kamar yang
saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang sudah tua dan rusak itu
apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan, menambah seramnya suasana
kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya pernah menderita sakit demam
berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam berturut-turut, sesudah toa-chi
meninggal, dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas.
Apabila
sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah
suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari
terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang
masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang
mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan
terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.........
Sesudah
dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani dikirimkan oleh
Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana sekoci sudah
menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan baru, penuh
riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan
dan kesentosaan hidup”.
Begitu
juga kehangatan masyarakat yang dirasakan Tan Malaka waktu berobat dengan Tabib
Cina menjadi pengobat kesepiannya.
Di suatu desa kecil di Tiongkok seperti Iwe,
di musim dingin pula jadi yakni di bulan Januari, dimana segala masyarakat yang
segala asing itu, menambah kesunyian, maka perawatan badan yang sudah banyak
menderita dorongan alam, adalah satu peristiwa yang sedikit memberi penghiburan.
Saya dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam yang
sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang saya
terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok saya
sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa
sebagai bahan.
Tan Malaka
juga menulis pada kesedihan sahabatnya yang ditinggalkan sang istri akibat
sakit akhirnya akan terobati juga oleh perjalanan waktu, yang sebenarnya dia
menuliskan juga bagi perasaan hatinya sendiri.
Topan sanubari, sebagai akibatnya kehilangan
kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai balsem pada luka yang dalam. Manusia
akan tenggelam saja dalam duka cita jikalau jurang dalam diantara duka cita
dengan kegembiraan hidup itu tidak dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun
perlahan-lahan.
Akhirnya
Serangan Jepang membuat Tan harus kembali pergi meninggalkan orang-orang yang
sudah dikenalnya dengan baik.
Tepat pada
waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya
kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan,
meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu
diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign
Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq.
Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan Ching Hua dengan A.P. beserta tragedinya.
Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas
karcis tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu.
Yang tentu cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan
bekerja. Entah dimana, belum dapat diketahui....pada tanggal 31 Agustus 1937
itu!
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar