Kamis, 07 April 2016

BUKU BAGIAN DUA

SHANGHAI Dan CHAP KAU LOO KUN


Ialah Tentara ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai, permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer (1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu. Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari daerah Kwantung. Inferiority complex, rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir), (3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5) Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi) tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku: zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan. Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir, industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada  tahun 1932 belum pernah perhitungan yang teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua, setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau. Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927 ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu (tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja, yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842. Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu, maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori, semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris, Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane. Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin, terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu. Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat. Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara Tiongkok.
Ada lagi akibat buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang “Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya. Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa sendiri.
Perjanjian pincang (unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat, menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa, bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600 juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $ 250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John Gunter halaman 167).
Modal asing itu ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama di Shanghai.
Pun modal Tionghoa sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil, sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka, modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat, dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank (milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti 60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid) berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik (reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika) dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4 sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $ 16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik. Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan. (Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih, “lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre. Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business (perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari “municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis: Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama “manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri. Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api “Vickers” made in England secara gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada, tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing menamai dia “the most interesting man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada juga orang yang memanggil  dia dengan nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su, Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar, menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air (Hokkian: Sui Ho?) diceritakan riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu. Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat  ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu, maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok. Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup (smokkelaar). Kata orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat Hijau” itu.
Buat pemimpin tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan, perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen, anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir, Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy (tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok. Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan di French Consession (tanah concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen, tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja, sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah  kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.  Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya, perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa sendiri. Orang Hartawan asing  amat ditakuti karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa  Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa) saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya. Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak dikirimkan  pada sekian waktu, atau kalau perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai. Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh  Chicago dalam hal pergangsteran. Umum diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari $ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas “lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa. Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze, daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200 juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international. Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa Tionghoa.
(Tientsin buat Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan, lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan, tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas, sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara, perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah. Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial! Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan, penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara  borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di Inggris atau Amerika,  meskipun dia seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna, bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua golongan Tionghoa yang diam di French Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis) wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar. Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan. Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia. Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing (Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik, perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti. Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok. Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar, ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji, berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu. Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu. Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang saudara pula.
Oleh karena sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist. Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa. Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman. Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran, perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara. Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1. Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan  nasional Tiongkok atas politik luar dan dalam  negeri sendiri. Kelemahan pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping, yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain, yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya itu.
Dalam hakekatnya Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi 9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr. Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo (oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1) aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow. Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2 buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa, kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya, bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum nasionalist radikal.
Haruslah disini diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu. Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme.
Dalam pertentangan sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis, dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam Kuomintang.
Sayap kanan yang mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong, yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu. menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun 1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan 100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam, kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini, bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun 1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja. Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka. Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun 1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran, buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan perguruan, dari SMP sa  mpai sekolah tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu. Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu. Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi sake.
Inilah upahnya mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4. Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang, ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun, tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19 datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri; sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada saya supaya pindah rumah, karena something will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas. Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang. Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam 10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan pitchin, English, bahasa Inggris pasar No go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya (lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat nyonya rumah dan tidur dilao-ka (tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan dan air.
Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong, tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya. Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan” bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan. Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh. Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan “neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit, di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya berjalan menuju ke French Settlement, ke rumahnya Sensei (tuan) Chen. Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula, menghindarkan tembakannya para “snippers” yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino, ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk, Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan. Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini. Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana. Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus terang kepada saya.
“Jenderal” Chen memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung. Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19 yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya, yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa “mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.  Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja, yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti, bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan, setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini, menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit, kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus. Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini. Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh semuanya penduduk rumah, “jenderal”.     
Rupanya Sensei Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani, pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri. Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya, mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota, Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya, yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu. Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam, ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan, pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu dilakukan.
Baru tengah hari sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya. Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu, bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan” surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan rumah saya berjumpa dengan tauka (yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian. Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga, kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir. Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
 Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1 x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri kepada seorang “American returned student” (mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.

AI Dan CHAP KAU LOO KUN


Ialah Tentara ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai, permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer (1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu. Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari daerah Kwantung. Inferiority complex, rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir), (3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5) Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi) tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku: zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan. Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir, industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada  tahun 1932 belum pernah perhitungan yang teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua, setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau. Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927 ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu (tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja, yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842. Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu, maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori, semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris, Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane. Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin, terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu. Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat. Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara Tiongkok.
Ada lagi akibat buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang “Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya. Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa sendiri.
Perjanjian pincang (unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat, menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa, bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600 juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $ 250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John Gunter halaman 167).
Modal asing itu ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama di Shanghai.
Pun modal Tionghoa sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil, sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka, modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat, dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank (milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti 60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid) berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik (reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika) dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4 sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $ 16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik. Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan. (Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih, “lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre. Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business (perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari “municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis: Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama “manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri. Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api “Vickers” made in England secara gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada, tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing menamai dia “the most interesting man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada juga orang yang memanggil  dia dengan nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su, Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar, menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air (Hokkian: Sui Ho?) diceritakan riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu. Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat  ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu, maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok. Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup (smokkelaar). Kata orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat Hijau” itu.
Buat pemimpin tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan, perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen, anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir, Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy (tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok. Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan di French Consession (tanah concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen, tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja, sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah  kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.  Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya, perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa sendiri. Orang Hartawan asing  amat ditakuti karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa  Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa) saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya. Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak dikirimkan  pada sekian waktu, atau kalau perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai. Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh  Chicago dalam hal pergangsteran. Umum diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari $ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas “lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa. Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze, daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200 juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international. Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa Tionghoa.
(Tientsin buat Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan, lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan, tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas, sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara, perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah. Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial! Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan, penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara  borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di Inggris atau Amerika,  meskipun dia seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna, bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua golongan Tionghoa yang diam di French Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis) wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar. Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan. Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia. Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing (Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik, perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti. Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok. Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar, ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji, berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu. Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu. Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang saudara pula.
Oleh karena sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist. Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa. Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman. Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran, perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara. Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1. Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan  nasional Tiongkok atas politik luar dan dalam  negeri sendiri. Kelemahan pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping, yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain, yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya itu.
Dalam hakekatnya Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi 9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr. Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo (oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1) aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow. Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2 buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa, kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya, bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum nasionalist radikal.
Haruslah disini diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu. Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme.
Dalam pertentangan sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis, dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam Kuomintang.
Sayap kanan yang mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong, yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu. menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun 1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan 100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam, kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini, bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun 1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja. Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka. Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun 1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran, buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan perguruan, dari SMP sa  mpai sekolah tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu. Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu. Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi sake.
Inilah upahnya mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4. Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang, ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun, tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19 datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri; sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada saya supaya pindah rumah, karena something will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas. Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang. Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam 10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan pitchin, English, bahasa Inggris pasar No go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya (lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat nyonya rumah dan tidur dilao-ka (tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan dan air.
Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong, tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya. Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan” bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan. Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh. Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan “neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit, di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya berjalan menuju ke French Settlement, ke rumahnya Sensei (tuan) Chen. Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula, menghindarkan tembakannya para “snippers” yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino, ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk, Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan. Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini. Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana. Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus terang kepada saya.
“Jenderal” Chen memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung. Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19 yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya, yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa “mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.  Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja, yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti, bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan, setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini, menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit, kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus. Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini. Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh semuanya penduduk rumah, “jenderal”.     
Rupanya Sensei Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani, pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri. Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya, mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota, Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya, yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu. Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam, ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan, pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu dilakukan.
Baru tengah hari sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya. Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu, bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan” surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan rumah saya berjumpa dengan tauka (yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian. Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga, kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir. Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
 Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1 x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri kepada seorang “American returned student” (mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar