SHANGHAI Dan CHAP KAU LOO KUN
Ialah Tentara
ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai,
permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang
Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada
Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer
(1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh
tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa
sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas
diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali
mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang
bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara
Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan
tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu.
Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari
daerah Kwantung. Inferiority complex,
rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh
tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu
tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan
tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok
jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak
putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang
Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan
manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu
tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan
serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan
masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai
berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir),
(3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5)
Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para
prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit
atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum
Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam
sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di
masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja
Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang
menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi)
tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum
Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum
saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan
golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa
terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin
lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang
tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat
Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku:
zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar
bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau
dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah
menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara
Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa
modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan.
Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan
idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak
ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir,
industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya
No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan
sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan
kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada tahun 1932 belum pernah perhitungan yang
teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa
itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di
semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah
menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi
kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai
sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan
Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi
hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di
Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak
lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum
pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang
di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah
satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua,
setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam
feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping
yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari
di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang
sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah
tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau.
Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik
bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung
bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan
penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan
asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian
Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping
makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927
ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping
pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih
bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah
salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu
(tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja,
yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842.
Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok
dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu,
maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar
perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka
perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori,
semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah
artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah
polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris,
Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada
tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane.
Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu
mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan
saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin,
terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu.
Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok
dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat.
Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas
duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen
daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara
asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu
belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu
adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara
Tiongkok.
Ada lagi akibat
buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing
yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada
undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri
menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang
“Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok
berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa
perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya.
Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri
Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang
negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya
biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian
internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh
ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul
kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya
saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya
berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa
di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan
Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing
terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa
tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa
sendiri.
Perjanjian pincang
(unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan
menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi
perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat,
menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya
kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu
membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih
kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa,
bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan
ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama
penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir
Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa
berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa
Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan
semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal
Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar
Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya
sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan
Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600
juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $
250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat
Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John
Gunter halaman 167).
Modal asing itu
ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian
terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama
di Shanghai.
Pun modal Tionghoa
sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak
kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok
berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane
seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai
bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil,
sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh
dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka,
modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat,
dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank
(milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak
pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko
seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American
ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal
Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang
asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti
60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah
kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang
asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga
buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki
oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara
modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan
asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan
kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang
asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi
lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama
sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid)
dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid)
berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat
Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist
asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu
terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai
Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang
keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa
asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar
cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain
pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau
dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik
(reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal
tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang
semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika)
dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh
unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4
sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $
16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu
masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak
Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik.
Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji
selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli
perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi
lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka
berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak
belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan.
(Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan
kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa
asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia
yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar
Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang
kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan
Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih,
“lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre.
Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian
ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau
gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka
para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma
menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap
pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat
kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di
bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum
beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan
sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah
pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di
Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap
bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau
terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang
berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan
kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business
(perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti
jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah
asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari
“municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak
dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika
ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis:
Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang
terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama
“manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa
pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi
itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka
beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar
sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri.
Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang
asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin
juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak
wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api
“Vickers” made in England secara
gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya
menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta
tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang
business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa
di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada,
tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan
candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota
internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh
perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang
Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing
menamai dia “the most interesting
man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada
juga orang yang memanggil dia dengan
nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya
dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung
Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang
dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur
dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik
dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu
yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai
kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah
yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen
menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita
terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su,
Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi
Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar,
menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa
Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air
(Hokkian: Sui Ho?) diceritakan
riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang
termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam
Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin
juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat
suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang
Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu.
Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita
orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk
mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat
mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi
rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan
zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang
menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka
menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai
persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan
kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan
memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan
tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya
dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu,
maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok.
Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam
hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para
Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda
Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen
seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya
di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual
kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai
Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai
banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan
tukang penyelundup (smokkelaar). Kata
orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat
Hijau” itu.
Buat pemimpin
tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu
mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang
perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan,
perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang
sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa
membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu
mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang
perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian
atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang
anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah
mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin
ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen,
anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir,
Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy
(tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok.
Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan
pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan
sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima
Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam
percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya
oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan
di French Consession (tanah
concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai
mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun
begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah
banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen,
tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk
menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika
Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para
pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah
dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja,
sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi
belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh
bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan
menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen
menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya
Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in
Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula
Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.
Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi
undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya,
perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang
sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan
prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau
dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa
sendiri. Orang Hartawan asing amat ditakuti
karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan
penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan
Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa
Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa)
saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya
dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana
yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya.
Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan
para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan
dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan
permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak
dikirimkan pada sekian waktu, atau kalau
perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau
permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau
ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga
si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan
yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si
penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga
anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para
penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan
penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING
SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian
Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai.
Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi
international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang
nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh Chicago dalam hal pergangsteran. Umum
diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari
$ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di
Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas
“lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup
mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru
tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai
babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan
seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti
seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di
Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam
ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di
hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula
sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah
terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan
sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang
ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah
menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol
rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos
polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa.
Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan
tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para
pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal
politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze,
daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200
juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh
dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal
yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para
jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau
peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan
memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang
Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan
senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international.
Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para
jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa
Tionghoa.
(Tientsin buat
Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan,
lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal
perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan,
tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan
mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat
barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas,
sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat
kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara
asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah
larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara,
perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang
saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis
Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para
kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis
tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk
mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing
menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah.
Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk
perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula
tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien
bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial!
Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan
mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan
kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan,
penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan
tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta
orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di
jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya
banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal
biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin
diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya
sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara
borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang
menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab
orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering
menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di
Inggris atau Amerika, meskipun dia
seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau
perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan
demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan
teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada
dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus
dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna,
bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran
yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan
dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran
rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota
Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh
borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit
khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua
golongan Tionghoa yang diam di French
Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis)
wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping
pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali
cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar.
Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda
oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan.
Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan
antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia.
Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan
tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan
Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan
dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang
kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan
pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing
(Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula
golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu
pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik,
perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu
mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu
pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para
pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat
memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada
dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode
autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua
bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang
belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak
pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa
autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa
tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya
demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak
mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti.
Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan
kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan
berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing
atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok.
Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula
pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik
bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat
kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah
berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh
kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan
itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya
berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat
pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli
senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar,
ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang
hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan
militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen
proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang
militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang
Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa
opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji,
berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan
pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau
seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk
kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan
Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah
umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan
untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu.
Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak
uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula
banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara
yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di
daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan
bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk
mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak
lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu.
Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang
saudara pula.
Oleh karena
sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di
bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas
kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist.
Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San
Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa.
Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher
perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing
tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak
akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai
hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah
cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John
Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang
dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang
perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman.
Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak
sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara
tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan
para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat
luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini
pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas
pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap
daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi
kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan
pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah
pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang
resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah
antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan
taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang
bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu
sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi
bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan
negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang
menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja
negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa
belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat
baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan
tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran,
perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa
perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan
sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka
jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan
penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya
kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara.
Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah
kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam
hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1.
Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas
tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian
Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan nasional Tiongkok atas politik luar dan
dalam negeri sendiri. Kelemahan
pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik
mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan
yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu
salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping,
yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang
perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen
proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain,
yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya
lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa
pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah
pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya
itu.
Dalam hakekatnya
Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak
langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat
juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat
Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu
pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi
9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat
Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr.
Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini
atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo
(oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.
Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara
Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung
tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis
Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti
imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan
Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai
bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan
intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1)
aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum
borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka
berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum
komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum
Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan
kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum
Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman
seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan
kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir
dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan
perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum
buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai
tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya
Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya
kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan
anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan
cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek
disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan
perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh
kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara
nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal
Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula
kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar
sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang
amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow.
Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2
buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini
mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai
daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh
sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan
bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing
seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah
pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa,
kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara
nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya,
bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan
seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera
mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah
perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum
nasionalist radikal.
Haruslah disini
diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah
Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah
pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam
pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu
semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara
nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan
turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum
komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai
Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan
nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang
dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan
menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat
bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara
Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan
kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah
sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu.
Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan
sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi
dan sosialisme.
Dalam pertentangan
sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu
kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan
sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya
bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang
bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang
termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang
amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum
feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis,
dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang
Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum
Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang
bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para
Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam
Kuomintang.
Sayap kanan yang
mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan
kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang
Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan
terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman
seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran
kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap
kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan
pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum
komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi
yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya
organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka
berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan
begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus
persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang
Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong,
yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya
Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika
yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah
kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu.
menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun
1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan
nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula
akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan
seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan
sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu
saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum
nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme
internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum
imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu
dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah
ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi
dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil
bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat
perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan
atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai
pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan
yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri
dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan
kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan
100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan
mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu
dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar
tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal
borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan
buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan
pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam,
kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur
pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis
mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan
tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang
paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini,
bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh
rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan
rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun
1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta
populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang
tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah
sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian
berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan
mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan
negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari
siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta
serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya
mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika
dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika
yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan
rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu
memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai
Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat
pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai
Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja.
Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih
berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah
massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka
datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu
dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka.
Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di
Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun
1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya
proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para
tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya
kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping
kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan
proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya
sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran,
buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang
diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh
penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini
dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan
ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan
perguruan, dari SMP sa mpai sekolah
tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas
mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan
ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat
biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya
sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara
asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu.
Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai
murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi
kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang
berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja
tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh
anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi
Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu.
Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno
Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti
meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang
segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini
pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan
yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi
sake.
Inilah upahnya
mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang
bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan
berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4.
Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula
lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok
Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di
dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang
panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya
Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat
mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing
di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di
negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat
menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang
berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka
menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang
Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai
senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk
partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi
terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang,
ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada
kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah
terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai
Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan
Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun,
tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung
dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai
ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19
datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang
Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari
Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia
ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula
rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan
kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan
perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah
tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu
Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa
Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang
Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan
laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian
besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke
pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri;
sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia
menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh
ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi
kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai
satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal
dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada
saya supaya pindah rumah, karena something
will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese
agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan
pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di
sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat
semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan
rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang
asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas.
Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang
terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang
hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa
sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada
satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada
diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di
sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang.
Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam
10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan
pitchin, English, bahasa Inggris pasar No
go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat
atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga
kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu
sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke
jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis
Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya
kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam
sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan
barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa
dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing
sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak
dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali
sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu
meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya
(lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat
kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang
pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu
Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan
bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit
diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir
berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa
berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road
dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak
yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus
penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di
rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta
pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka
secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu
Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa
dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang
terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak
bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang
ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut
serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan
sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat
nyonya rumah dan tidur dilao-ka
(tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat
hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami
menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan
sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar
membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi
kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan
dan air.
Untunglah pada
hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada
penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit
saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar
saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah
terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di
kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis
daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong,
tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang
paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus
langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada
satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya
segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya
seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi
Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan
saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat
ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya.
Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah
saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti
menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan”
bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu
dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa
persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta
kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya
perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak
mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan.
Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh.
Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan
“neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel
saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit,
di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari
saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa
keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya
berjalan menuju ke French Settlement,
ke rumahnya Sensei (tuan) Chen.
Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula,
menghindarkan tembakannya para “snippers”
yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian
sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai
di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my
house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa
tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi
ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama
kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering
membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino,
ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy
ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat
menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng
Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama
saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena
suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat
terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam
kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya
Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari
daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk,
Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya
merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan
tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para
wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi
hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan.
Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi
dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di
sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga
dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa
memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini.
Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi
saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana.
Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak
ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus
terang kepada saya.
“Jenderal” Chen
memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada
diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya
ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya
daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan
dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya
diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di
Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham
saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung.
Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil
saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara
Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun
begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19
yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan
persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya
tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena
letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya,
yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya
sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak
menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa
“mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.
Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja,
yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti,
bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita
kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan,
setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai
dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini,
menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang
menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar
patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di
atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya
kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung
oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam
hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya
berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei
Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada
seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara
Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa
itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa
si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa
juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih
menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan
belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau
mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya
oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku
di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah
turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada
keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di
kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke
bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit,
kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar
itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus.
Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya
dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur
saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan
pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini.
Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas
manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh
semuanya penduduk rumah, “jenderal”.
Rupanya Sensei
Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya
bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang
petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya
melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat
yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di
waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani,
pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan
hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai
terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu
tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau
dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri.
Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping
saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya,
mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan
begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat
mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan
lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota,
Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan
dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya,
yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang
terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya
sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke
Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan
maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang
datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat
disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin
cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah
masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka
yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu.
Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus
pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam,
ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan
cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan,
pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu
dilakukan.
Baru tengah hari
sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan
menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin
sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range
Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun
penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan
sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan
pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa
bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh
musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan
keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang
tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya
berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka
yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa
Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si
ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya.
Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu,
bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia
ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan”
surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan
rumah saya berjumpa dengan tauka
(yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar
dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long
diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian.
Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga,
kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan
rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir.
Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh
la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya
berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap,
bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap
bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya
ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat
celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah
yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah
dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang
lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu
surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di
dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus
jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya
berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap
yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai
bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong
Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama
saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu
nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik
benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak
Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu
bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu
identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang
matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya
bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1
x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap
tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee
adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa
Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee
Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong
Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan
potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu
yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong
dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri
kepada seorang “American returned student”
(mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung
dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah
peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai
daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya
pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam
reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan
La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.
Ialah Tentara
ke-19. Yang tak bisa dipisahkan dari Perang Shanghai pada tahun 1932.
Perang Shanghai,
permulaan tahun 1932, memberi bab baru kepada sejarah militer Tiongkok. Perang
Shanghai membubuh titik pada penghinaan atas tentara Tiongkok yang kalah pada
Perang Candu (1842), Perang Jepang-Tiongkok pada tahun 1895 dan Perang Boxer
(1900). Semenjak Perang Shanghai kalimat baru dan bab baru dimulai ditulis oleh
tentara Tiongkok modern. Naiklah dengan sekejap mata quality, sifat Tionghoa
sebagai prajurit di seluruh dunia. Timbullah pengharapan dan kepercayaan atas
diri sendiri. 400 juta Tionghoa yang dalam lapangan kemiliteran berkali-kali
mendapat kekalahan dalam peperangan menghadapi negara asing.
Chap Kau Loo Kun, Tentara ke-19 lah yang
bermula mengangkat kehormatan kemiliteran itu. Bukan seluruhnya tentara
Tionghoa yang kabarnya tiga empat juta atau lebih itu, yang berani melawan
tentara asing, tentara modern, tentara Jepang yang terbilang jempolan itu.
Melainkan tentara ke-19, yang terdiri dari +- 80.000 prajurit, berasal dari
daerah Kwantung. Inferiority complex,
rasa kurang, yang timbul oleh karena penghinaan yang berkali-kali diderita oleh
tentara Tionghoa itu, sesudah Perang Shanghai tiba-tiba melampung menjadi superiority complex: Sedangkan satu
tentara dari satu propinsi saja yang bersenjata serba kurang bisa menahan
tentara Jepang yang masyhur dan modern itu, apalagi seluruhnya tentara Tiongkok
jika dipersenjatai lengkap modern. Demikianlah dari mulut rakyat Tiongkok tak
putus-putusnya terdengar perkataan tadi. Biasanya ditambah pula dengan: Orang
Tionghoa ialah prajurit yang paling jempolan di seluruh dunia.
Memang perasaan
manusia itu mudah sekali berputar 180 derajat. Perasaan Tionghoa pun tentu
tidak terkecuali. Dalam filsafat dan masyarakat Tionghoa pekerjaan dan golongan
serdadu itu rupanya tidak mendapat penghargaan tinggi. Dalam filsafat dan
masyarakat Hindustan Asli kita menyaksikan susunan golongan manusia sebagai
berikut: (1) Kaum Brahmana (pendeta), (2) Kaum Ksatria (raja dan para opsir),
(3) Kaum Waisa (saudagar, majikan, dll), (4) Kaum Sudra (kaum pekerja), (5)
Kaum Paria (manusia haram-jadah).
Di Eropa pun, para
prajurit mendapat kedudukan yang diatas, (ninggrat), tetapi golongan prajurit
atau pahlawan itu tidak disebut-sebut dalam susunan masyarakat Tionghoa. Kaum
Su, ialah kaum kesusasteraan, kaum yang sudah digembleng dan diuji dalam
sekolah tinggi secara purbakala. Kaum Su inilah, yang dipandang tertinggi di
masa dahulu. Dari kaum inilah golongan pegawai negara dibentuk oleh Maharaja
Tiongkok. Kaum yang ke-2 ialah Kaum Dong, kaum petani. Jadi kaum yang
menghasilkan inilah yang dianggap penting beserta kaum kesusasteraan (leterasi)
tadi. Yang ke-3 ialah kaum yang produktif, yang menghasilkan juga, yakni kaum
Kong, kaum tukang, kaum pekerja. Aneh atau lucu kaum Sionglah ialah kaum
saudagar, kaum yang terbawah. Su, Dong, Kong, Siong, demikianlah susunan
golongan masyarakat Tionghoa asli disusun menurut penghargaan rakyat Tionghoa
terhadap serdadu itu. Demikianlah bunyinya: Tembaga yang baik jangan dibikin
lonceng, orang baik jangan dijadikan serdadu. Jadi menurut ejekan ini, orang
tak baiklah yang dijadikan serdadu itu.
Tetapi buat
Tiongkok pun walaupun pernah ratusan tahun dikurung oleh dinding tembok, berlaku:
zaman beredar, lembaga bertukar. Demikianlah diseluruh Tiongkok, walaupun benar
bahwa pemerintah resmi mempunyai 3-4 juta serdadu, tetapi tak salah kalau
dikatakan bahwa lebih kurang ada 10 juta manusia yang sedang atau pernah
menjadi serdadu. Tetapi diantara 10 juta itu Chap Kau Loo Kun dan tentara
Komunis, tentaranya Mao Chu (Mao Tse Tung dan Chu Teh) di mata rakyat Tionghoa
modern, pastilah tidak termasuk golongan bangsanya yang harus diberi ejekan.
Bahkan sebaliknya, kedua tentara tersebut melambung menjadi alat menyampaikan
idaman kebangsaan dan masyarakat Tionghoa modern.
Begitulah pula tak
ada Tionghoa modern yang akan memandang rendah kepada kaum Siong, kaum bankir,
industrialis dan saudagar Tionghoa modern.
Shanghai! Kotanya
No. 6 di seluruh dunia, kalau dibandingkan besarnya dengan New York, London dan
sebagainya. Saya tak terima dengan begitu saja derajat yang biasa diberikan
kepada kota Shanghai itu. Saya tahu, bahwa sampai pada tahun 1932 belum pernah perhitungan yang
teliti diadakan buat Shanghai Raya, ialah seluruhnya bagian Eropa dan Tionghoa
itu. tak pula mudah diadakan perhitungan tentang penduduk yang rapat sesak di
semua rumah dan jalan besar dan kecil i tu. Mungkin sekali Shanghai sudah
menjadi kota No. 5 atau No.4. Bahkan tak akan mengherankan kalau sedang menjadi
kota No.3. Bagaimanapun Shanghai di masa lalu itu adalah bandar yang ramai
sekali, mungkin bandar yang terbesar (Tokyo), di seluruh Asia, Afrika, dan
Australia. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Johor yang sudah mengunjungi
hampir semua kota di dunia dan yang pada ketika itu sedang bertamasya di
Shanghai: “Apakah yang sangat menarik hati tuan di kota ini?” Jawabnya: “I see nothing, but men, men, men!” (Tak
lain yang saya lihat melainkan orang, orang, orang). Memang kalau orang belum
pernah pergi ke Shanghai orang tak bisa menggambarkan bagaimana rapatnya orang
di kota Shanghai di kedua pinggir Sungai yang membelah kota Shanghai itu.
Shanghai adalah
satu bandar yang penuh pertentangan yang menyolok mata. Yang kolot tua,
setua-tuanya berdampingan dengan yang semodern-modernnya. Yang kejam
feodalistis berada di samping yang liberal kapitalistis. Yang kaya disamping
yang miskin, yang mahal beserta yang murah.
Dari hari ke hari
di kali Shanghai di dalam kota, kita melihat kapal Eropa atau Amerika yang
sebesar dan seindah mahligai, seperti, “Presiden”, berada ditengah-tengah
tongkang atau sampan yang sudah dikenal di zaman dua tiga ribu tahun lampau.
Bus, tram dan trolley bus dijalan modern di dalam kota, dijalankan oleh listrik
bersama-sama ribuan becak yang ditarik oleh manusia. Rumah dan gedung
bertingkat lengkap dengan dengan elevator (lift, tangga listrik), telepon dan
penerangan listriknya dibagian-bagian internasional, didiami oleh hartawan
asing dan Tionghoa bersama-sama dengan rumah sempit, gelap dan kotor dibagian
Tionghoa, didiami Tionghoa. Makan $ 600 atau lebih buat satu orang disamping
makan 6 sen buat kuli becak. Potong 6000 komunis pada tahun 1927
ditengah-tengah jalan raya oleh militarist Tionghoa dibagian Tiongkok disamping
pengadilan modern oleh bangsa asing dimana pencuri dan penyelundup kulit putih
bisa lolos dengan hukuman satu-dua minggu atau denda seratus-dua ratus rupiah.
Shanghai adalah
salah satu dari treaty-ports (bandar-perjanjian) yang jumlahnya di masa itu
(tahun 1932) tak kurang daripada 38 buah. Dimulai dengan lima bandar saja,
yakni Canton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai, ialah pada tahun 1842.
Setelah Tiongkok kalah dalam Perang Candu pada tahun tersebut, maka Tiongkok
dipaksa mengadakan perjanjian (treaty) dengan Inggris. Menurut perjanjian itu,
maka pelabuhan Tiongkok tersebut, dibuka buat asing. Pada treaty ports (bandar
perjanjian itu), asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka
perusahaan dibawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri. Dalam teori,
semua (38) bandar tersebut masih di bawah kedaulatan Tiongkok. Tetapi apakah
artinya kedaulatan semacam itu, kalau polisi di tempat-tempat tersebut, ialah
polisi asing dan pemerintahan kota di sana terdiri dari bangsa asing? (Inggris,
Perancis, Jepang, Amerika, Italia dll).
Perdamaian pada
tahun 1842 itu juga membawa Customs Controle, pengawasan atas Duane.
Administration duane, katanya ditunjuk oleh Tionghoa. Tetapi yang ditunjuk itu
mestinya orang asing. Semenjak tahun 1861 sampai tahun 1932 itu, maka kebetulan
saja yang ditunjuk itu ialah orang Inggris. Kian hari Tiongkok kian miskin,
terutama disebabkan oleh pengawasan atas dagang keluar masuk pelabuhannya itu.
Jarak antara kemiskinan dan peminjaman cuma satu depa saja. Pemerintah Tiongkok
dimudahkan, bahkan digoda meminjam, asal saja ada jaminan yang sungguh kuat.
Demikianlah disamping perusahaan garam dan kereta api, maka cukai atas
duane-lah yang menjadi jaminan yang pasti tetap teguh. Tiga puluh persen
daripada hasi duane diwajibkan buat pembayar hutang dan bunganya kepada negara
asing, hutang tetapi yang kian hari kian bertimbun-timbun. Rupanya 30% itu
belum terasa besarnya. Tetapi harus diketahui, bahwa 30% dari hasil duane itu
adalah sama harganya dengan 60% daripada seluruhnya uang masuk (revenue) Negara
Tiongkok.
Ada lagi akibat
buruknya Perang Candu antara Inggris-Tiongkok pada tahun 1842 itu. Orang asing
yang berdagang dibagian mana saja di Tiongkok, tidaklah takluk kepada
undang-undang negara Tiongkok, melainkan kepada undang-undang negaranya sendiri
menurut hak extra-territoriality. Seandainya seorang Amerika membunuh seorang
“Chinese” (Cina) di daerah pedalaman Tiongkok, maka tidaklah polisi Tiongkok
berhak menangkapnya dan tidaklah pula pengadilan Tiongkok berhak memeriksa
perkaranya. Cuma Consulnya orang asing yang berhak menangkap dan menghukumnya.
Jadi orang asing itu membawa undang-undang negaranya sendiri ke negeri
Tiongkok, seperti orang Romawi di zaman purbakala membawa undang-undang
negaranya dimana saja dia berada di tengah-tengah bangsa yang dianggapnya
biadab (barbar). Sebaliknya pula orang Tionghoa tulen yang berada dibagian
internasional di semua bandar-perjanjian kalau mengadakan pelanggaran boleh
ditangkap oleh polisi asing dan dihukum oleh hakim asing. Begitulah bisa timbul
kejadian yang pincang, dimana wakil kekuasaan asing bisa bertindak semaunya
saja terhadap orang Tionghoa dalam negara Tiongkok sendiri, yang katanya
berdaulat itu. Pada tahun 1925 polisi Inggris menembaki mati pekerja Tionghoa
di Shanghai dan Canton (Shamun). Pada tahun 1927, kapal Perang Inggris dan
Amerika membombardir ibu kota Nangking. Nyatalah sudah bahwa bangsa asing
terlepas daripada undang-undang Tionghoa, tetapi sebaliknya orang Tionghoa
tidaklah bebas daripada undang-undang orang asing dinegaranya orang Tionghoa
sendiri.
Perjanjian pincang
(unequal treaty), yang mencekik leher perekonomian Tiongkok dengan jalan
menguasai hampir semua bandar yang penting (custom-control) dan memberi
perlindungan kepada bangsa asing, baik pedagang biasa ataupun bangsat,
menimbulkan kemakmuran dan kesentosaan bagi bangsa asing serta sebaliknya
kemelaratan serta kekacauan bagi bangsa Tionghoa.
Inggris selalu
membanggakan bahwa dialah yang membangunkan Shanghai diatas lumpur, lebih
kurang seratus tahun yang lalu. Inggris lupa, sengaja atau pura-pura lupa,
bahwa lumpur itu ialah tanah dan airnya Tionghoa serta tenaga buat membangunkan
ialah tenaga Tionghoa pula. Akhirnya yang meramaikan kota Shanghai itu terutama
penduduk sebagai pekerja dan pembeli ialah bangsa Tionghoa juga. Di gurun pasir
Sahara umpamanya Inggris dengan teknik, ilmu dan kapitalnya pasti tak akan bisa
berbuat apa-apa. Cuma di tanah air, Tiongkok dan di tengah-tengah bangsa
Tionghoa dia bisa membangunkan satu bandar seperti Shanghai tetapi bukan
semata-mata buat Tiongkok dan Tionghoa.
Jumlah modal
Inggris yang ditanam di Tiongkok dimasa itu ditaksir $ 1.250 juta (dollar
Amerika). Ini jauh lebih besar dari jumlah modal yang ditanam dijajahannya
sendiri di Hindustan. Jumlah modal Jepang yang ditanam di Manchukuo dan
Tiongkok hampir sebesar itu juga. Di Tiongkok saja modal Jepang adalah $ 600
juta. Modal Amerika dan Perancis dimasa itu (1932) masing-masing lebih kurang $
250 juta. Perdagangan Amerika dengan Tiongkok juga masih belum berarti buat
Amerika, yaitu $ 100 juta setiah tahun. (Dikutip dari Inside Asia oleh John
Gunter halaman 167).
Modal asing itu
ditanam pada perkapalan, Bank (asuransi), tambang dan perdagangan. Sebagian
terbesar daripada modal asing itu tentulah ditanam dibandar perjanjian terutama
di Shanghai.
Pun modal Tionghoa
sendiri dari pedalaman lari ke Shanghai sebagai ditarik oleh besi berani. Tak
kurang daripada 60% daripada seluruhnya perindustrian Tionghoa di Tiongkok
berada di bandar Shanghai. Disamping itu, tak kurang daripada 41,5% bea duane
seluruhnya Tiongkok dipungut di Shanghai. Dibandar Shanghai Tionghoa mempunyai
bermacam-macam Bank yang berserikat. Tionghoa memiliki perusahaan tekstil,
sabun, dll, toko besar, sedang dan kecil.
Tetapi tidak boleh
dikatakan, bahwa sebagian besarnya modal Tionghoa itu, adalah modal mereka,
modal yang terlepas daripada modal asing. Bukan saja Banknya terikat,
dipengaruhi atau disaingi oleh Bank asing, seperti oleh Hongkong-Shanghai Bank
(milik Inggris) dll, tetapi juga dalam perusahaan, ataupun perdagangan tampak
pengaruhnya modal asing. Kita acap benar melihat nama perusahaan atau toko
seperti Anglo Chinese ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino-American
ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dll. Pada perusahaan tersebut, modal
Inggris atau Amerika kerjasama dengan modal Tionghoa. Biasanya modal orang
asing lebih besar daripada modal orang Tionghoa, berbanding umpamanya seperti
60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manager ialah
kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa yang kerja sama semacam itu dengan orang
asing dinamai “Copradore”. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga
buruh, padar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tidak dimiliki
oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara
modern tidaklah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. Dengan kerjasama Tionghoa dan
asing itu timbullah dan tumbuhlah dengan cepat modal yang boleh kita namakan
kapital-compradore. Sudahlah tentu dalam kerja sama semacam itu, dimana orang
asing mempunyai modal lebih besar, pengetahuan tentang teknik dan administrasi
lebih tinggi, kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama
sekali ditangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid)
dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid)
berada di pihak asing, maka tentulah sifatnya kapital compradore itu buat
Tionghoa ialah perbudakan semata-mata. Si Compradore adalah budaknya kapitalist
asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar dan langganan. Perbudakan itu
terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing.
Dengan memakai
Tionghoa sebagai Compradore, atau tengkulak, yang tentulah paham benar tentang
keadaan ekonomi, kebudayaan serta jiwa bangsanya sendiri, maka mudahlah bangsa
asing mendapatkan kuli dan pekerja yang taat patuh, bisa diberi gaji sebesar
cukup membeli nasi untuk menghentikan keroncongan perut dan sebidang kain
pembalut tulang. Penggaran di dalam pekerjaan di dalam sesuatu perusahaan atau
dalam masyarakat di bandar perjanjian sendiri mudah dibereskan oleh penyelidik
(reserse) dan polisi Tionghoa yang disewa oleh kapital compradore, modal
tengkulak, yang merajalela di semua bandar-perjanjian, terutama di Shanghai.
Gaji buruh yang
semi skilled (setengah tukang) di kota Shanghai adalah $ 2.40 (Dollar Amerika)
dimasa sebelum perang dunia kedua, dalam satu bulan. Sedangkan gaji buruh
unskilled (buruh tukang) seperti tukang cuci piring Hotel Amerika adalah $ 4
sehari dan gaji yang skilled (tukang) seperti tukang batu di Amerika adalah $
16 sehari. Di dalam pabrik kain Jepang yang banyak terdapat di Shanghai itu
masih dipakai kuli kontrak perempuan. Kuli kontrak ini dibeli oleh tengkulak
Tionghoa seharga $ 4.80 (dollar Amerika) buat dikerjakan di dalam pabrik.
Hutang mereka kepada para tengkulak harus dibayar berangsur-angsur dengan gaji
selama dipekerjakan tiga atau empat tahun. Setelah hutangnya lunas kuli
perempuan tadi dijual pula kepada pabrik. Dalam hakekatnya para tengkulak tadi
lebih daripada tengkulak. Selama kuli perempuan itu masih muda remaja, mereka
berada di bawah perlindungannya para tengkulak. Mereka sebenarnyalah budak
belian. Dalam pabrik Tionghoa dan Inggris kontrak semacam itu tidak dibolehkan.
(Inside Asia halaman 170).
Kepastian hukum dan
kepastian perusahaan itu ternyata besar sekali guna faedahnya buat bangsa
asing. Bukan saja untuk bangsa Eropa-Amerika, tetapi juga untuk bangsa Asia
yang diperlindungi oleh bendera asing. Demikianlah pada tuan tanah bandar
Shanghai seperti keluarga Hardoons. Ezras, Shamoons, Elis dan Kadooris yang
kaya raya itu adalah bangsa Yahudi atau Parsi (?) yang datang dari Bagdad dan
Bombay, British subject, atau rakyat kerajaan Inggris. Ketika Shanghai masih,
“lumpur” para tuan tanah tadi membeli tanah sebenggol dua benggol satu acre.
Harga tanah itu sekarang meningkat menjadi $ 1.500.000 satu acre. Dengan kian
ramainya Shanghai dari tahun ke tahun permintaan atas tanah buat rumah atau
gedung kian hari kian naik pula. Demikian pula harga tanah. Dengan begitu maka
para tuan tanah Hardoons, Shamoons & Co, sambil tidur, benggolnya menjelma
menjadi perbendaharaan emas. Karena pajak atas bangsa asing, baik terhadap
pemerintahan sendiri ataupun pemerintahan Shanghai kecuali pajak tanah, amat
kecil sekali, maka modal asing berada dalam keadaan yang sangat aman sentosa di
bandar Shanghai itu.
Kepastian hukum
beserta kepastian perusahaan buat bangsa asing kalau dibandingkan dengan
sewenang-wenang dan kekacauan (perang saudara terus menerus) di daerah
pedalaman, menimbulkan perasaan yang terlalu pasti buat bangsa asing di
Shanghai. Adapun pelanggaran yang mereka lakukan teristimewa pula terhadap
bangsa Tionghoa, mereka pasti tak akan dijerat oleh undang-undang. Atau kalau
terjerat akan bisa dilepaskan oleh $ dan pokrol bambu. Sebab $-lah yang
berkuasa di bandar Shanghai.
Kekuasaan dan
kesentosaan $-lah pula yang menyebabkan bermacam-macam fake business
(perusahaan palsu) dan “illegal trafic” (perusahaan terlarang) tumbuh seperti
jamur di musim hujan. Asal saja dapat “foreigner” (orang asing) atau setengah
asing, ialah darah campuran buat (mudah) mendapatkan licence (permisi) dari
“municipal Government”, pemerintaha kota Shanghai, maka dengan atau tidak
dengan modalpun bisa didirikan; Kongsi Anglo Chinese ini atau itu, Sino-Amerika
ini atau itu. demikianlah atas “Name Board” (papan nama) umpamanya tertulis:
Anglo-Chinese Trading Co, tetapi modalnya diperoleh dari para pegawai yang
terjerumus dengan “nama kongsi” itu. Mereka diharuskan memasukkan modal. Nama
“manager” –nya saja, umpamanya John Flake sudah memberi jaminan, bahwa
pemerintah Shanghai segera akan memberikan surat izin; buat berdirinya kongsi
itu. sekali surat izin buat diperoleh dan Name Board dipasang maka
beratus-ratus andeel houders (pemegang perseroan) Tionghoa akan datang melamar
sebagai tengkulak atau juru tulis. Jadi Name Board tadi memberi modal sendiri.
Sering tak perlu dibubuh Anglo atau American asal saja managernya adalah orang
asing. Inferiority-Complex sudah cukup mendalam di masyarakat Tionghoa. Mungkin
juga Trading Co tadi menurut surat izinnya mengimport obat-obatan atau minyak
wangi, tetapi para pendiri yang sebenarnya berusaha memasukkan Lewis Gun made in U.S.A atau senjata api
“Vickers” made in England secara
gelap. Mungkin pula surat izinnya sesuatu Banking Corporation umpamanya
menuliskan perkara simpanan atau piutang uang, tetapi manager asingnya beserta
tengkulak Tionghoanya berusaha keras menyelundupkan candu ke pedalaman. Memang
business yang lekas memberi hasi kepada buaya-uang dari bermacam-macam bangsa
di Shanghai ialah penyelundupan candu dan senjata. Betul juga resikonya ada,
tetapi upahnya kalau jaya besar sekali. Tiba-tiba si “business-man” si pedagang itu bisa kaya dalam beberapa hari saja.
Penyelundupan
candu dan senjata itu amat subur sekali hidupnya di kota Shanghai, kota
internasional itu. Tidak saja orang asing yang menjadi kaya raya oleh
perdagangan gelap itu, tetapi juga orang Tionghoa sendiri. Diantara orang
Tionghoa Besar dalam Almanak Tionghoa tersebut juga nama Tu-Ye-Sen. Orang asing
menamai dia “the most interesting
man” (Orang yang amat menarik perhatian). Selain daripada nama tersebut ada
juga orang yang memanggil dia dengan
nama Dau Young Tu-Tuhseng. Umumnya
dia dianggap sebagai hartawan-dermawan. Memangnya pula dia presiden dari Tung
Wai Bank dan Direktur dari Bank of China (Bank Negara). Dia sangat anti Jepang
dan mengetahui Shanghai Civic Assosiation. Dia menjadi Hopredaktur dan Direktur
dari surat kabar China Press dan China Times. Kepala dari perusahaan listrik
dan sebagainya. Dia menjadi pemimpin terutama di dalam Kuomintang dan pembantu
yang amat dihargai oleh Chiang Kai Shek. Apabila Chiang Kai Shek menciderai
kaum seperjuangannya yakni kaum komunis pada tahun 1927, maka Tu-Ye-Sen-lah
yang memberi bantuan yang berharga kepada kepala Negara Tiongkok itu. Tu-Ye-Sen
menyembelih tak kurang daripada 6000 komunis di kota Shanghai.
Seperti sudah kita
terangkan lebih dahulu golongan Satria tidaklah tersebut dalam susunan Su,
Dong, Kong, Siong (golongan kesusasteraan, tani, pekerja dan pedagang). Tetapi
Tionghoa juga mengenal In-hyong (bahasa Hokkian). Tionghoa terpelajar,
menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan perkataan “hero”. Dalam bahasa
Indonesia perkataan ini ialah Satria. Dalam buku Tionghoa bernama ditepi Air
(Hokkian: Sui Ho?) diceritakan
riwayatnya 108 satria. Cerita ini adalah salah satu cerita purbakala yang
termasyhur di Tiongkok, di samping cerita Sam
Kok (tiga negara). Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, mungkin
juga ke dalam bahasa Indonesia. Kabarnya konon Chiang Kai Shek sendiri amat
suka membaca riwayatnya 108 satria itu. Yang amat dibanggakan oleh orang
Tionghoa terpelajar dalam buku itu, ialah perbedaan watak satria 108 orang itu.
Tak ada satu yang bersamaan wataknya dengan yang lain. Memangnya buat kita
orang Indonesia pun riwayat itu ada faedahnya untuk dibaca. Tidak saja untuk
mengetahui adat istiadat Tionghoa di zaman purbakala. Tetapi pula buat
mengambil pelajaran dari 108 hero itu; bagaimana mereka mengadakan organisasi
rahasia yang sangat jitu buat melawan pemerintah pusat yang sangat korup dan
zalim. Mereka hidup barangkali di zaman pemerintahan Keluarga Soong. Yang
menjadi persamaan diantara mereka, dan memberi nama Ing-Hyong kepada mereka
menurut paham saya sepintas lalu ialah persamaan sifat mereka yang mempunyai
persamaan dengan Robin Hood, yakni dalam sikap mereka terhadap orang kaya dan
kuasa dan terhadap orang miskin. 108 Satria itu selalu berada dalam keadaan
memberontak. Mereka senantiasa berusaha merampas harta yang berkuasa dan tuan
tanah (yang dianggap pemeras dan penindas rakyat) tetapi selalu bersifat ramah tamah terhadap orang miskin. Selainnya
dari sikap yang selalu mendapat simpati dari kaum terhisap dan tertindas itu,
maka tak ada diantara 108 satria itu yang bukan pemabuk, penjudi atau perampok.
Tampak sekali yang teristimewa, yang dimiliki oleh seorang Ing Hyong, ialah dalam
hal minum arak. Bercangkir-cangkir arak bisa mengalir ke dalam jasmani para
Ing-Hyong melalui tenggorokannya seperti air sungai melalui jembatan.
Kalau pemuda
Tionghoa pun menamai Tu-Ye-Sen
seorang “satria” maka menurut ukuran purbakala nama ini memang cocok. Kabarnya
di masa kecilnya Tu-Yen-Sen amat miskin, hidup sebagai anak petani penjual
kentang. Setelah dewasa ia memasuki kumpulan jawara (garong) yang dinamai
Serikat Hijau. Serikat Hijau adalah satu kumpulan yang rahasia, mempunyai
banyak anggota diantaranya juga tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan
tukang penyelundup (smokkelaar). Kata
orang, Chiang Kai Shek sendiri di masa sengsaranya adalah anggota dari “Serikat
Hijau” itu.
Buat pemimpin
tukang copet, tukang culik, tukang rampok dan tukang penyelundup, orang perlu
mempunyai sifat pemimpin yang istimewa buat golongan semacam itu. pertama orang
perlu mengetahui dimana, bagaimana dan bilamana pencopetan, penculikan,
perampokan dan penyelundupan harus dijalankan supaya bisa mendapatkan hasil yang
sebanyak-banyaknya serta pengorbanan yang sekecilnya. Sekali gagal bisa
membahayakan seluruh organisasi dan pemimpinnya sendiri. Lagi pula orang perlu
mengetahui sifat, tingkah laku para anggota yang dipimpin itu. Akhirnya orang
perlu punya keberanian buat melopori sesuatu percobaan, mempunyai keberanian
atau kebijaksanaan buat mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang
anggota, supaya persatuan dan pemimpin tetap terpegang. Tu-Ye-Sen pun tentulah
mempunyai pengetahuan, keberanian dan kebijaksanaan luar biasa untuk memimpin
ribuan ahli copet, penculik, perampok dan penyelundup. Sebelumnya Tu-Ye-Sen,
anggota Serikat Hijau menjadi Tu-Ye-Sen kepala, ketua Serikat Hijau, Bankir,
Redaktur dan pemimpin. Kuomintang tentulah ia harus melalui hierarchy
(tingkatan pangkat) seperti biasanya dalam sesuatu kumpulan rahasia Tiongkok.
Seolah-olah seperti di dalam tentara, maka dia juga harus memulai dengan
pangkat prajurit biasa. Dia harus melalui pangkat kopral, sersan, dan
sebagainya baru sampai ke pangkat Panglima Besar. Sebelumnya menjadi Panglima
Besar itu perlulah Tu-Ye-Sen mengalami berbagai-bagai kesukaran dalam bermacam
percobaan yang mengandung bahaya.
Konon kabarnya
oleh karena banyak sekali pencopetan, penculikan dan perampokan yang dilakukan
di French Consession (tanah
concesessie di bawah Perancis) maka pemerintah kota Perancis di Shanghai
mengambil tindakan keras dan menambah kekuatan polisinya. Tetapi walaupun
begitu pelanggaran tidak bertambah kurang, melainkan sebaliknya bertambah
banyak. Walaupun semua “tali” penyelidikan berujung di “istana”-nya Tu-Ye-Sen,
tetapi pemerintah kota Perancis tidaklah bisa mendapatkan dasar hukum untuk
menangkapnya. Pemerintah Perancis juga mendapat nasehat dan mengerti jika
Tu-Ye-Sen ditangkap dan dihukum apalagi tidak dengan dasar hukum tentulah para
pengikutnya akan membalas dendam. Sedangkan penangkapan, dan hukuman yang sudah
dijalankan oleh para opsirnya Tu-Ye-Sen yang sudah nyata bersalah itu saja,
sudah menimbulkan “perang gerilya” antara pemerintah kota dan Serikat Hijau dan mempertinggi
belanja pemerintah kota. Hal ini bisa menjadikan French Consession jatuh
bangkrut. Dalam keadaan beginilah akhirnya pemerintah Perancis menerima dan
menjalankan nasehat seorang penasehat Tionghoanya ialah mengangkat Tu-Ye-Sen
menjadi “anggota” pemerintah kota. Semenjak itulah pula, dibawah gambarnya
Tu-Ye-Sen, didalam surat-surat kabar asing bisa ditaruh: A prominent Chinese in
Shanghai (Tionghoa yang terkemuka di Shanghai). Disamping itu sering pula
Tu-Ye-Sen digelari El Capone of Shanghai.
Seperti El Capone menjadi milioner karena perusahaannya menyelundupi
undang-undang Amerika dan memperdagangkan candu secara gelap. Inilah kabarnya,
perusahaan yang benar-benar mengangkat Tu-Ye-Sen dari kacung penjual kentang
sampai menjadi Bankir, Redaktur, pembantu pemerintah Chiang Kai Shek dan
prominent man of Shanghai. Bahan buat dirampok dan diculik oleh Serikat Hijau
dan lain-lainnya itu bukanlah orang asing melainkan orang kaya Tionghoa
sendiri. Orang Hartawan asing amat ditakuti
karena tebal perlindungannya. Dengan hilangnya “pasar” perampokan dan
penculikan atas hartawan asing maka tersusutlah pasar itu kepada hartawan
Tionghoa. Saya dengar, bahwa beberapa
Tionghoa tonnair, yang beruang lebih daripada $ 100.000 (dollar Tionghoa)
saja, sudah bertahun-tahun tak berani keluar rumah. Depan dan belakang rumahnya
dijaga oleh pengawal. Beruntunglah seorang hartawan, kalau tidak mempunyai ana
yang perlu disekolahkan, yang terpaksa hari-hari pulang pergi ke sekolahnya.
Jika mempunyai anak semacam itu, maka sang anak itulah yang akan menjadi bahan
para penculik. Anak itu ditangkap, dilarikan ke suatu tempat yang tidak akan
dapat diketahui oleh polisi. Surat akan disampaikan kepada orang tuanya dengan
permintaan sekian $ dengan ancaman, kalau uang sebanyak itu tidak
dikirimkan pada sekian waktu, atau kalau
perkara itu disampaikan kepada polisi maka anak itu akan dibunuh. Kalau
permintaan itu tidak diluluskan dengan lekas, maka tak akan mengherankan kalau
ibu bapa si anak yang malang itu pada suatu hari akan merima jari atau telinga
si anak yang dipotong dan dikirimkan kepada orang tuanya sebagai peringatan
yang terakhir. Biasanya benar-benar anak itu dibunuh karena permintaan si
penculik tidak dikabulkan atau maksudnya para penculik dibahayakan. Sering juga
anak disimpan di luar kota. Acap kali pula di dalam kota saja, kalau para
penculik mempunyai organisasi yang kuat dan tebal pula rumah-rumah perseroan
penculikan yang melindungi mereka. Papan peringatan seperti “ANTI KIDNAPPING
SOCIETY” yang dipasang di depan salah satu gedung di kota Shanghai bagian
Inggris (International Settlement) termasuk salah satu lelucon Shanghai.
Kumpulan anti penculikan tersebut itu cuma menunjukkan tidak berdayanya polisi
international settlement terhadap organisasi jempolan dari kaum penculik yang
nekat dalam satu kota di Tiongkok yang tak kalah oleh Chicago dalam hal pergangsteran. Umum
diketahui di Shanghai, bahwa tak ada hartawan Tionghoa yang beruang lebih dari
$ 100.000, yang penyimpanannya tidak diketahui oleh “Gangster kuning” di
Tiongkok yang lebih 100 tahun lampau oleh imperialisme Inggris didirikan diatas
“lumpur” Tiongkok itu. Sesuatu kumpulan rahasia penculik atau perampok cukup
mempunyai “cel” penyelidik yang memasuki Bank-Simpanan di Shanghai sebagai juru
tulis, dapurnya hartawan sebagai koki atau jongos kamarnya hartawan sebagai
babu, supirnya hartawan yang mengantar anak dan babunya hartawan. Masakan
seorang ibu hartawan Tionghoa di Shanghai bisa terus memangku anaknya, seperti
seekor ibu Kangguru terus memangku bayinya. Tak mengherankan kalau hartawan di
Shanghai dan bandar perjanjian atau kota lainnya di Tiongkok selalu saja dalam
ketakutan dan kegemetaran. Yang mempunyai pengawal pun tidak aman sentosa. Di
hari siang pun seorang hartawan yang diantar dengan auto yang berpengawal pula
sering diserbu oleh para “gangster” yang bersenjata lebih lengkap. Pernah
terjadi dihari siang polisi Inggris melihat beberapa Tionghoa berkepitan tangan
sambil tertawa-tawa melalui “post”. Baru dibelakang hari diketahui, bahwa yang
ikut tertawa yang dikepit kiri-kanan itu adalah seorang hartawan yang sudah
menjadi mangsanya si penculik. Si mangsa diperintahkan dengan ancaman pistol
rusuknya (ribbon) bahwa apa bila dia berteriak meminta tolong jika melalui pos
polisi maka jiwanya akan melayang. Begitu pula kalau dia tidak ikut tertawa.
Polisi Inggris tentulah tidak bisa membedakan tertawa karena gembira dengan
tertawa karena ujung pistol ditusukkan lebih dahulu ke tulang rusuk oleh para
pengepit di kiri-kanan.
Demikianlah.
Shanghai dalam hal
politik kemiliteran untuk bagian Tiongkok Tengah, ialah daerah Sungai Yangtze,
daerah yang paling makmur buat seluruhnya Tiongkok, yang diduduki oleh l.k. 200
juta Tionghoa, iala kira-kira seperdua penduduk seluruhnya Tiongkok boleh
dianggap sebagai pintu gerbang buat penyelundupan senjata buat para jenderal
yang berperang-perangan di daerah pedalaman. Di Shanghai para
jenderal-politikus mengadakan komplotan buat merancang pemberontakan atau
peperangan saudara di daerah pedalaman. Shanghailah pula kelak yang akan
memberi perlindungan kepadal jenderal, seperti almarhum Chang Cho Lin, Chang
Chun Chang dll berlusin-lusin banyaknya amat penting buat perdagangan
senjata-senjata gelap. Mereka tidak pernah mendapat gangguan dari polisi international.
Walaupun pemerintah kota Shanghai insyaf benar, bahwa banyak diantara para
jenderal itu dialah bekas penyamun yang berkhianat kepada Negara dan bangsa
Tionghoa.
(Tientsin buat
Tiongkok Utara, untuk lembah Sungai Kuning dan Hongkong buat Tiongkok Selatan,
lembah Sungai Mutiara berlaku lakon hampir sedemikian pula)
Shanghai dalam hal
perekonomian, adalah pusat perindustrian ringan seperti pabrik kain, setangan,
tinta, minuman, sabun, gosok gigi dll perindustrian berat ialah pembikinan
mesin tentulah dihambat tumbuhnya di Tiongkok. Pusat kantor dan toko buat
barang-barang import dari negara asing dan untuk barang export seperti kapas,
sutera dll dari Tiongkok; pusat Bank simpanan, pinjaman dan asuransi; pusat
kantor perkapalan, tram dan kereta api Tiongkok yang dikuasai oleh negara
asing; pusat kantor buat pengawasan duane untuk Tiongkok Tengah. Ke Shanghailah
larinya modal Tionghoa yang dimiliki oleh tuan tanah, perang saudara,
perampokan, dan Bankir Tionghoa di pedalaman yang selalu terancam oleh perang
saudara, perampokan dan penculikan. Di Shanghailah pula akhirnya kaum kapitalis
Tionghoa mendapat keamanan kalau mereka menggabungkan diri dengan para
kapitalis asing dan menerima kedudukan sebagai kapitalis Compradore, kapitalis
tengkulak; kaum modal yang membudak mengabdi kepada kapitalis asing untuk
mendapatkan perlindungan buat dirinya sendiri dan bersama-sama dengan asing
menghisap buruh Tionghoa dan menguasai pasar Tionghoa di Tiongkok Tengah.
Shanghai-lah pula benteng dan pintu gerbangnya lembah Sungai Yang Tze untuk
perekonomian dan perdagangan modal tengkulak (kapital compradore).
Begitulah pula
tetapi dalam ukuran yang lebih kecil lakon yang dijalankan oleh Tientsien
bandar perjanjian dan Hong-Kong, jajahan Inggris dalam hal perekonomian.
Shanghai! Sosial!
Pada suatu pihak kaum borjuis asing dan borjuis Tionghoa yang hidup dengan
mewah di mana keadaan memberikan kesempatan. Pada pihak lain puluh ratus ribuan
kaum melarat yang terdiri dari pekerja pabrik pengangkutan, perdagangan,
penarik becak, pengungsi dari pedalaman serta pengemis yang berkeliaran dan
tidur bergelimpangan di jalan raya di hari malam. Tiap-tiap tahun dua juta
orang mati kelaparan di seluruhnya Tiongkok. 35.000 bangkai diangkat di
jalan-jalan di kota Shanghai pada tahun 1935 karena mati kelaparan. Diantaranya
banyak bayi perempuan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tahun ini ada tahun normal
biasa saja (catatan dari Inside Asia hal 152). Perbedaan kaya dan miskin
diantara bangsa Tionghoa sendiri tidaklah begitu terasa, lantaran sisanya
sistem kekeluargaan. Perbedaan sosial diantara
borjuis asing dengan borjuis Tionghoa masih umum berlaku. Keadaan yang
menyerupai wakil ketua Volkskraad, ditolak masuk sebuah hotel Belanda sebab
orang inlander saja pun tak kurang terjadi di Shanghai. Club Inggris sering
menolak seorang Cina (Chinese) walaupun cina itu keluaran Universitas di
Inggris atau Amerika, meskipun dia
seorang wali kota ataupun menteri Tiongkok. Bukannya satu gambaran atau
perasaan yang usang, kalau ada tertulis ditempat umum: CHINESE AND DOGS ARE NOT ALLOWED. Walaupun tidak tertulis perasaan
demikian terhadap yang mereka anggap “kuli Cina” tak bisa dihapuskan dengan
teori “Internationalisme” begitu saja. Perasaan kesombongan kulit putih ada
dimana-mana di Asia; meski diakui sebagai bukti, sebagai penghinaan yang harus
dilenyapkan buat selama-lamanya dan buat seluruhnya bangsa berwarna,
bersama-sama dengan kapitalisme dan imperialismenya.
Sosial! Pelacuran
yang ada di International settlement (bagian) Inggris tak berapa kalau dibandingkan
dengan pelacuran dibagian Perancis. Bukan terutama di golongan pelacuran
rendahan, tetapi terutama di bagian ataslah semua kenajisan dan kekotoran kota
Paris dipindahkan ke Shanghai seperti ke semua tempat yang di jajah oleh
borjuis Perancis. Kalau wabah penyakit Perancis umumnya, dan wabah penyakit
khususnya dianggap berbahaya, maka pelacuran ala Paris dalam hampir semua
golongan Tionghoa yang diam di French
Concession itulah (seperti juga di Saigon, Algiers dll jajahan Perancis)
wabah yang paling berbahaya buat kejasmanian dan kerohanian Tiongkok. Disamping
pelacuran itu, maka perjudian (roulet) secara besar-besaran tampak sekali
cepatnya meruntuhkan moralnya pemuda-pemudi Tionghoa, terutama yang terpelajar.
Banyak sekali pemuda-pemudi yang kena penyakit hendak lekas kaya, yang tergoda
oleh permainan roulet di French Concession dan jatuh ke lembah kemelaratan.
Banyak yang putus asa dan mengambil putusan mencabut jiwanya sendiri.
Dalam perjuangan
antara buruk dan baik, Dialektik tak akan meninggalkan masyarakat manusia.
Keadaan yang buruk mengandung senjata dan alat buat kebaikan. Hisapan dan
tindasan kapital Internasional di Shanghai itu menimbulkan beberapa golongan
Tionghoa yang mempunyai tujuan, organisasi dan tekad buat melenyapkan hisapan
dan tindasan tersebut. Kaum pedagang Tionghoa yang mempunyai organisasi yang
kuat dan semangat nasionalisme yang tak kunjung padam sering mengadakan
pemboikotan nasional yang rapi teratur dan sangat menakuti pedagan asing
(Inggris dan Jepang).
Disamping itu pula
golongan kaum buruh yang juga mempunyai organisasi yang kokoh membantu
pemboikotan tadi dengan pemogokan umum terhadap perusahaan asing (pabrik,
perkapalan, dll). Para pelajar dan mahasiswa yang menurut berita diwaktu itu
mengikat lebih kurang 5.000.000 orang dengan segala tekad pengorbanan membantu
pemboikotan dan pemogokan tersebut. Dimana-mana saja ke seluruh Tiongkok para
pelajar dan mahasiswa membikin propaganda anti-imperialisme.
Amat sulitlah buat
memutuskan dalam periode (tingkatan zaman) manakah revolusi Tiongkok berada
dimasa itu. Sepintas lalu tampaknya bukanlah Tiongkok berada dalam periode
autokratis-feodalisme, seperti Perancis dimasa tahun 1789. Sebab hampir semua
bandarnya yang penting sudah dimasuki kapital internasional yang modern, yang
belum ada pada bagian dunia manapun juga pada tahun 1789 itu. Sebaliknya tidak
pula Tiongkok berada dalam periode demokratis-kapitalisme tulen, sebab sisa
autokratis-feodalisme, apalagi di daerah pedalaman masih merajalela. Berapa
tinggalnya sisa autokratis-feodalisme dan berapa timbulnya
demokratis-imperialisme susahlah dapat dipastikan begitu saja dengan tidak
mempunyai sumber bukti yang sempurna dan penyelidikan yang sangat teliti.
Tetapi bagaimanapun juga tidaklah akan bisa disangkal, bahwa Tiongkok dengan
kapitalisme-Compradorenya berada dalam keadaan semi colony, setengah jajahan
berkuasa. Kekuasaan politik dan ekonomi, yang bersifat kekuatan bangsa asing
atas semua bandar-perjanjian mengurangi kekuasaan politik pemerintah Tiongkok.
Kelemahan dalam hal politik negara itu, menyebabkan tak berdayanya pula
pemerintah Tiongkok untuk menguasai perekonomiannya.
Dalam hal politik
bangsa Tionghoa cuma berkuasa di daerah pedalaman yang amat miskin dan amat
kekurangan jalan buat lalu-lintas. Sedangkan semua bandar yang makmur dan mudah
berhubungan dengan luar dan dalam negeri sudah dikuasai oleh
kapital-internasional. Dalam daerah yang miskin dan kekurangan perhubungan
itulah rakyat Tionghoa yang 90% buta huruf dan dalam kemiskinan itu, namanya
berhak menentukan nasibnya sendiri, ialah merdeka: memilih dan memecat
pemerintah daerah dan pusat itu jatuh ke tangan seorang yang sanggup membeli
senapan dan membayar serdadu. Adanya lebih kurang 80.000.000 lompen proletar,
ialah kaum yang tak mempunyai apa-apa lagi dan tidak mempunyai pekerjaan yang
hidupnya luntang-lantang, amat memudahkan subur hidupnya kaum militarist dan
militerisme. Yang kuat atau kaya atau keduanya mudahlah mengrequiter lompen
proletar, kaum compang-camping tadi buat dijadikan alat penyerobot oleh seseorang
militarist itu. pekerjaan itu dipermudah pula oleh sifat kepatuhan seseorang
Tionghoa kepada pemimpinnya. Umumnya seorang serdadu Tionghoa kalau dia merasa
opsirnya sedikit baik terhadap dirinya, maka dia, walaupun tak menerima gaji,
berbulan-bulan terus akan mengikut opsirnya itu kemana saja dan untuk melakukan
pekerjaan apa saja tidak mengomel. Sifat patuh ini tentulah baik juga, kalau
seseorang opsir membawa serdadunya ke jalan yang benar, jujur dan untuk
kepentingan negara. Tetapi amat berbahaya buat keamanan dan keselamatan
Tiongkok, kalau opsir itu cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah
umumnya yang terjadi di Tiongkok. Seorang militaris cuma memikirkan kekuasaan
untuk dirinya sendiri saja. Kekuasaan itu bersandar atas banyaknya serdadu.
Banyaknya serdadu itu bergantung terutama kepada banyak uangnya. Semakin banyak
uangnya, semakin banyak pula serdadu yang bisa dibayarnya. Sebaliknya pula
banyaknya uang itu bergantung itu semakin banyak pula uangnya. Dengan tentara
yang kuat, dia bisa mengalahkan saingannya, ialah seorang militaris pula di
daerah lain. Dengan memperluaskan daerahnya dia bisa menambah uang pajak dan
bea yang masuk kantongnya. Demikianlah bolak-balik perhubungan keperluan untuk
mempunyai serdadu dan keperluan untuk mempunyai uang oleh seorang militaris tak
lepas dari perang saudara. Seorang militaris membutuhkan banyak serdadu.
Banyaknya serdadu membutuhkan uang. Kebutuhan uang itu membutuhkan perang
saudara pula.
Oleh karena
sarinya kekayaan Tiongkok sudah dihisap oleh kapital compradore di
bandar-bandar perjanjian, maka yang tinggal di daerah pedalaman itu cuma ampas
kekayaan belaka. Ampas kekayaan inilah yang diperebutkan oleh para militarist.
Nine Powers treaty, perjanjian 9 negara yang diperbuat oleh 9 negara di San
Fracisco pada tahun 1921 tidaklah dapat mengubah keadaan bangsa Tionghoa.
Bahkan sebaliknya mempererat ikatan kapital-internasional atas leher
perekonomian Tiongkok. (Negara itu satu sama lainnya berjanji masing-masing
tidak akan memancing dalam air keruhnya Tiongkok. Masing-masing berjanji tidak
akan mengurangi Sovereignty (kedaulatan) Tiongkok dan semuanya negara mempunyai
hak sama satu sama lainnya buat berniaga di Tiongkok). Perjanjian ini adalah
cocok dengan open-door-policy, politik pintu terbuka yang diumumkan oleh John
Hay, Sekretaris Negara Amerika pada tahun 1889. Oleh karena eratnya ikatan yang
dilakukan oleh 9 negara itu atas lehernya pemerintah pusat di Tiongkok yang
perlu dilakukan atas berlusin-lusin militarist besar dan kecil di daerah pedalaman.
Karena adanya kemiskinan umum di pedalaman Tiongkok maka pemerintah pusat tak
sanggup membayar pegawai negara secukupnya; dan tidak sanggup memelihara
tentara dan polisi yang tidak korup dan cukup berdisiplin untuk melenyapkan
para militarist, besar dan kecil di daerah dan di distrik pedalaman, yang amat
luast tetapi sukar buat ditempuh lantaran kekurangan lalu-lintas itu. Disini
pun bolak-balik berlaku; kekuatan ikatan kapital internasional atas
pemerintahan pusat Tiongkok, memperlemahkan kekuasaan pemerintah pusat terhadap
daerah pedalaman dan kekacauan di pedalaman memperkuat pula kekuasaan ekonomi
kapital internasional atas politik negara Tiongkok.
Sering dikatakan
pada masa itu (1932) bahwa pokok kemiskinan Tiongkok ialah karena pemerintah
pusat mempunyai tentara yang terlalu besar. Taksiran banyaknya tentara yang
resmi dan yang tidak, yang dikuasai oleh pemerintah pusat dan daerah, ialah
antara 5 juta dan 10 juta. Memangnya sukar kalau tidak mustahil mengadakan
taksiran yang pasti, sebab banyak sekali terdapat dimana-mana mereka yang
bekas-bekas serdadunya jenderal ini atau itu, yang keok. Mereka itu
sewaktu-waktu bisa kembali menjadi serdadu kalau jenderalnya yang keok tadi
bangun kembali; hal mana acap kali terjadi. Di pandang dari sudut keuangan
negara, maka tentara sebesar itu tentulah amat melebihi kekuatan Tiongkok yang
menderita kemiskinan itu. Biasanya ditaksir lebih dari 80% daripada belanja
negara Tiongkok ditelan oleh tentara saja. Tidaklah ada yang tinggal lagi sisa
belanja buat dipakai untuk politik kemakmuran, demikianlah bunyinya p endapat
baru. Tetapi pokok-perkara diantara lain-lainnya perkara, ialah perhubungan
tentara dengan kemakmuran. Buat mengurangi tentara dan menambah kemakmuran,
perlulah lebih dahulu ada kemakmuran atau sumber kemakmuran yang berupa
perindustrian dan pertanian. Pabrik, tambang, kebun dan pengangkutan itu akan
sanggup mengisap jutaan serdadu yang akan dilepas itu. Kalau tidak begitu, maka
jutaan serdadu yang dilepas itu akan menjelma menjadi To-hui, perampok dan
penculik yang jahat, dahsyat, dan justru akan mengakibatkan turunnya
kemakmuran. Demikianlah: buat kemakmuran perlu lebih dahulu dikurangi tentara.
Tetapi sebaliknya buat mengurangi Tentara perlu lebih dahulu ditambah
kemakmuran.
Ikhtisar: Dalam
hal ekonomi kapital internasional membelah Tiongkok menjadi dua bagian: 1.
Bandar yang makmur dipandang dari sudut tengkulak dan 2. Pedalaman yang luas
tetapi miskin-melarat. Pengendalian kapital internasional atas perekonomian
Tiongkok mengakibatkan lemahnya pengendalian pemerintahan nasional Tiongkok atas politik luar dan
dalam negeri sendiri. Kelemahan
pemerintah pusat terhadap pemerintah militarist di daerah dan di distrik
mengakibatkan kekacauan politik terus menerus dan kemiskinan dan kemelaratan
yang tidak mudah dipahamkan oleh orang yang belum mengalaminya. Kemiskinan itu
salah satunya merupakan +- 80 juta lompen proletar, golongan compang-camping,
yang siap sedia memasuki tentaranya seorang militarist atau barisannya seorang
perampok yang sanggup menjamin sekedarnya alat hidup sebagai manusia. Lompen
proletarlah hambatan yang amat besar sekali diantara hambatan yang lain-lain,
yang menghalang-halangi adanya pemerintah pusat yang kuat teratur. Adanya
lompen-proletar pula yang menghalangi berjalannya satu rencana ekonomi, berapa
pun juga kecilnya dan bagaimanapun juga coraknya walaupun cuma di daerah
pedalaman saja, yang sesungguhnya masih amat luas dan amat rapat penduduknya
itu.
Dalam hakekatnya
Tiongkok berhadapan dengan kapital internasional yang langsung atau tidak
langsung dibantu oleh hamba-sahayanya, yaitu kaum compradore Tionghoa. Tepat
juga ucapan Dr. Sun, yang artinya lebih kurang, bahwa dia lebih suka melihat
Tiongkok sebagai jajahan, karena dalam hal ini dia cuma menghadapi satu
pemerintahan bangsa asing yang nyata dan bertanggung jawab daripada menghadapi
9 negara yang satu sama lainnya melemparkan tanggungjawabnya.
Selalu susah buat
Tiongkok buat mendapatkan sesuatu perseteruan dengan 9 negara itu. Pernah Dr.
Sun menjalankan diplomasi yang bersandarkan pada kerjasama dengan negara ini
atau itu, menurut kepentingan pada suatu kesempatan dan sesuatu tempo
(oportunistis). Tetapi semuanya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.
Akhirnya dia mengadakan kerjasama dengan Soviet-Rusia (1924-1925).
Kerjasama antara
Soviet-Rusia dengan pemerintah Dr. Sun yang menguasai propinsi Kwantung
tergambar pula antara kerjasama antara kaum komunis dan kaum nasionalis
Tionghoa. Dengan timbulnya kerjasama itu timbullah kembali semangat anti
imprialisme, mulanya di Selatan Tiongkok, akhirnya juga di bagian Tengah dan
Utara. Kaum buruh dan kaum tani disampingnya borjuis dan feodal Tionghoa mulai
bergerak. Partai komunis memusatkan perhatiannya kepada kaum buruh, tani dan
intelejensia. Dalam Partai Kuomintang nyata adanya tiga aliran, yakni (1)
aliran yang berasal dari kaum feodal (2) dari kaum borjuis dan (3) dari kaum
borjuis radikal. Aliran kananlah yang sangsi terhadap kaum komunis. Mereka
berhasil mendesak pimpinan Partai Kuomintang mengadakan perjanjian dengan kaum
komunis. Yang terpenting diantara beberapa perjanjian itu pertama, ialah Kaum
Komunis tak boleh membikin propaganda tentang komunisme dalam Kuomintang dan
kedua, tidak boleh mendirikan tentara merah.
Barangkali kaum
Komunis Tionghoa teramat jujur menjalankan perjanjian ini ditengah-tengah teman
seperjuangan yang tidak jujur. Seakan-akan Kaum Komunis Tionghoa itu melupakan
kerjasama proletar-borjuis pada masa Commune Paris (tahun 1871), yang berakhir
dengan penyembelihan lebih daripada 30.000 kaum buruh. Bukanlah dengan
perjanjian diatas tadi tidak ada sama sekali jaminan buat keselamatan kaum
buruh dan komunis terhadap kaum feodal dan borjuis Tionghoa yang mempunyai
tentara yang kuat itu.
Dengan bangunnya
Sarekat Sekerja dan Sarekat Tani diseluruh Tiongkok sebagai akibat dari aksinya
kaum komunis, maka pergerakan anti-feodalisme, anti imperialisme dan
anti-militarisme yang bertolak dari Canton menuju Utara berjalan dengan
cepat-pesat dan dahsyat. Tentara nasionalist dibawah pimpinan Chiang Kai Shek
disambut dimana-mana dengan pemogokan dan pemboikotan terhadap perusahaan dan
perdagangan asing. Massa-Aksi daripada seluruhnya rakyat yang digerakkan oleh
kaum komunis itulah sebenarnya yang sangat memudahkan pekerjaan tentara
nasionalist. Dimana-mana tentara sewaannya kaum militarist dan kaum feodal
Tionghoa yang reaksioner itu terusir oleh tentara nasionalist. Dimana-mana pula
kaum tani mengusir kaum feodal dan kaum tanah Tionghoa yang menjadi dasar
sosialnya kaum militaris, kaum kontra revolusioner itu.
Dalam waktu yang
amat pendek maka tentara nasionalist sanggup menanam benderanya di kota Hankow.
Kota ini terletak di tepi sungai Yang tse-Kiang, bandar perjanjian yang ke-2
buat seluruhnya Tiongkok, sebuah kota pusat di pedalaman. Kota pusat ini
mempunyai perindustrian dan perdagangan yang sangat penting, yang menguasai
daerah yang amat makmur dan rapat penduduknya. Kota Hankow dibelah dua oleh
sungai Yang-tse-Kiang, mempunyai bagian yang dikuasai oleh bangsa asing dan
bangsa Tionghoa dan penuh pula dengan pertentangan Tiongkok melawan asing
seperti di bandar Shanghai, dalam arti politik ekonomi dan sosial.
Di kota Hankow lah
pertentangan yang tajam itu menjelma menjadi perjuangan bangsa lawan bangsa,
kemudian meletus menjadi perjuangan kelas lawan kelas. Setibanya tentara
nasionalis di Hankow, imperialis Inggris yang gemetar terdesak pada lahirnya,
bersiap sedia menghapuskan perjanjian pincang di kota itu dan menyerahkan
seluruhnya pemerintahan kota kepada Kuomitang. Partai Kuomintang segera
mendirikan pemerintahan nasional. Tidak berapa lama kemudiannya maka timbullah
perjuangan antara nasionalist kolot melawan kaum komunis yang dibantu oleh kaum
nasionalist radikal.
Haruslah disini
diperingatkan, bahwa pada permulaan itu pemerintah Hankow bukanlah
Soviet-Hankow seperti juga Kuomintang bukanlah Partai Komunis. Tetapi tidaklah
pula bisa disangkal, bahwa baik dalam Partai Kuomintang ataupun dalam
pemerintahan Hankow itu terasa benar pengaruhnya Kaum Komunis. Pengaruh itu
semakin lama semakin besar. Baik demi naiknya pengaruh komunis diantara
nasionalis radikal didalam Partai Kuomintang itu berjalan sejajar dengan
turunnya demi turunnya kepercayaan dan simpati nasionalis kolot terhadap kaum
komunis dan nasionalis radikal.
Di dalam Partai
Kuomintang sendiri timbullah pertentangan paham antara nasionalis kanan dan
nasionalis radikal, juga disebut antara sayap kanan dan sayap kiri. Yang
dibelakang ini sedia memberi hak kepada kaum tani proletar dengan jalan
menghapuskan feodalisme dan membagikan tanah kepada tani proletar yang giat
bertempur menghalaukan kaum militaris dan tuan tanah disepanjang jalan diantara
Canton dan Hankow.
Kaum feodal dan
kaki-tangannya kaum militaris yang mempunyai wakil didalam Kuomintang, ialah
sayap kanan menentang sikap sayap kiri yang dibantu oleh kaum komunis itu.
Sayap kanan mengutamakan kebangsaan (nasionalisme) dan kaum kiri mengutamakan
sosialisme. Keduanya menjadi tiangnya Tiga Dasar (San-Min-Chui)-nya Dr. Sun Yat Sen, ialah: nasionalisme, demokrasi
dan sosialisme.
Dalam pertentangan
sayap kanan dan sayap kiri yang timbul di Hankow, bandar perjanjiannya no.2 itu
kalau saya tak salah imperilisme Inggris yang sudah terdesak ke sudut itu, dan
sudah mulai memikirkan penghapusan seluruhnya perjanjian pincang untuk semuanya
bandar perjanjian, akhirnya pada tempat yang tepat mendapat kesempatan yang
bagus untuk melakukan politik bulusnya, ialah politik devide et impera yang
termashyur manjur itu. Mungkin juga imperialisme Jepang mengambil bagian yang
amat penting dalam pekerjaan setan ini. tidaklah dapat kita lupakan, bahwa kaum
feodal dan militaris Tiongkok amat rapat perhubungannya, sosial dan ekonomis,
dengan kau Compradore Tionghoa, ialah kaum bankir, industrialis dan pedagang
Tionghoa disemua bandar perjanjian, tentulah juga di bandar Hankow. Pada kaum
Compradore inilah imperialisme asing yang dipelopori oleh Inggris/Jepang
bermula menyuntikkan anti-komunisme. Suntikan ini diteruskan oleh para
Compradore kepada kaum feodal dan militaris sampai kepada sayap kanan di dalam
Kuomintang.
Sayap kanan yang
mabuk anti-komunis itu dan Jenderal Chiang Kai Sek yang mabuk kekuasaan dan
kekayaan itu, lupa akan kepentingan persatuan dan kepentingan negara. Chiang
Kai Shek dengan tiba-tiba membalik mencedera dan mengadakan penyembelihan
terhadap mereka komunis. Selamanya ini kaum komunis itu adalah teman
seperjuangan yang ikut serta membawakan kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran
kepaa Chiang Kai Shek.
Pemerintah sayap
kiri dan Hankow dirobohkan oleh Chiang Kai Shek pada tahun 1927. Dia mendirikan
pemerintaha militer diktator di Nanking. Di seluruh Tiongkok ratusan ribu kaum
komunis, buruh dan tani yang revolusioner beserta para student, pemuda-pemudi
yang disembelih secara hewan buat ditontonkan kepada khalayak. Dengan hancurnya
organisasi dan para pemimpin buruh, tani dan intelijensia yang radikal, maka
berhentilah pula pemogokan dan pemboikotan terhadap kapital asing. Dengan
begitu maka sebenarnya gagallah sudah percobaan menuntut kemerdekaan seratus
persen. Perjuangan yang diteruskan cuma merebut kekuasaan militarisnya Chiang
Kai Shek cap baru, ialah diktator militer yang dibantu oleh keluarga Soong,
yakni tengkulaknya Amerika. (Keluarga Soong itu paling kuat diseluruhnya
Tiongkok. Mereka boleh dianggap hasil daripada politik peng-Kristenan Amerika
yang paling taat. Rumah sakit dan sekolah zending disamping Y.M.C.A, ialah
kumpulan pemuda Kristen adalah alat penting untuk politik peng-Kristenan itu.
menurut hemat saya, maka kegagalan perjuangan anti-imperialisme pada tahun
1925-1927 itu adalah salah satu akibat langsung dari perpecahan komunis dan
nasionalis yang meletus di Hankow itu. perpecahan itu selanjutnya adalah pula
akibat daripada tidak adanya minimum program buat Persatuan Perjuangan
seluruhnya rakyat Tionghoa menentang imperialisme asing. Nasionalisme dan
sosialisme yang dibayangkan secara abstrak dalam San Min Chui sepintas lalu
saja itu, tidaklah dapat dijadikan semen yang kuat untuk membulatkan aksi kaum
nasionalis dan komunis dalam perjuangan yang sukar sulit menentang imperialisme
internasional. Setetes saja racun perpecahan itu dituangkan oleh kaum
imperialisme keatas semen semacam itu pecah-belahlah aksi bersama itu, satu
dari lainnya bertumbuk-tumbukan. Sebelum aksi-bersama dijalankan haruslah
ditetapkan lebih dahulu oleh program yang nyata tentang hak politik, ekonomi
dan sosial untuk semua golongan masyrakat yang benar-benar akan mengambil
bagian dalam perjuangan anti imperialisme itu. Minimum Program sebagai hasrat
perjuangan yang tegas nyat itu tentulah pula harus disertai dengan kepercayaan
atas diri sendiri sebagai bangsa dan sebagai rakyat yang tertindas; disertai
pula dengan pimpinan yang jujur-cakap dan organisasi Partai, tentara dan badan
yang teguh berdisiplin, serta kesanggupan pimpinan buat menyesuaikan diri
dengan segala tingkat (phase) perjuangan. Akhirnya disertai pula dengan
kehendak bersatu atas dasar tak mau menyerah kepada musuh sebelum kemerdekaan
100% itu tercapai. Teristimewa pula kaum proletar tak boleh mempertaruhkan dan
mempercayakan semua nasibnya kepada kaum feodal, militaris dan compradore itu
dengan membatalkan haknya sebagai golongan untuk membentuk tentara, buat dasar
tujuan golongan sendiri, serta semangat sendiri disamping golongan feodal
borjuis yang bersenjata lengkap itu.
Penyembelihan
buruh tani radikal dan pemimpin komunis itu, tentulah tidak berarti kelenyapan
pergerakan komunis. Malah sebaliknya setelah menemui hambatan yang nyata kejam,
kalau bergerak di atas tanah secara terang-terangan, maka kaum komunis mengatur
pergerakan di bawah tanah secara gelap. Dalam daya upaya ini kaum komunis
mendapat bahan yang bagus. Rakyat Tionghoa yang menderita tindasan ratusan
tahun dibawah pemerintah asing dan bangsa sendiri, memangnya satu rakyat yang
paling terlatih dalam hal kumpulan rahasia. Tidak ada bangsa di muka bumi ini,
bangsa Rus di zaman Tsar pun tak terkecuali yang lebih cakap memegang teguh
rahasia disiplin dan persatuan, semuanya faktor yang terpenting buat gerakan
rahasia itu. Hasil gerakan rahasia partai komunis semenjak penyembelihan tahun
1927 keatas itu kita kenal sekarang. Satu Partai Komunis yang kuat serta
populer diseluruhnya Tiongkok di antara seluruhnya rakyat Tionghoa yang
tertindas dan intelejensia yang radikal. Satu Partai yang mempunyai daerah
sendiri, politik negara sendiri, tentara polisi sendiri serta perekonomian
berdasarkan kepentingan rakyat jelata. Satu Partai yang pernah menangkap dan
mengampuni musuhnya, Chiang Kai Shek, ialah buat persatuan dan kepentingan
negara. Satu partai yang dihari tuanya Chiang Kai Shek menggetarkan tubuhnya dihari
siang dan penglinduran (mimpi-ketakutan) dihari malam, walaupun berjuta-juta
serdadu sewaan yang mengawasi tahta-kekuasaannya. Satu partai akhirnya
mengakibatkan sekian hari semakin mempererat tali jeratan imperialisme Amerika
dilehernya Chiang Kai Shek sendiri. Supaya jangan lari dari Tuan Bankir Amerika
yang terus menerus meminjamkan uang kepadanya untuk memerangi kaum komunis dan
rakyat Tionghoa yang percaya kepada kaum komunis itu, karena rakyat itu
memangnya mengalami perbaikan nasib lahir dan batin dibawah pimpinannya Partai
Komunis Tiongkok itu.
Pada tingkat
pertama dalam permusuhan nasionalis-kanan melawan komunis itu, maka Chiang Kai
Shek terutama memusatkan segala tenaganya terhadap musuh di dalam negeri saja.
Dalam pada itu, maka imperialisme Jepang menyiapkan diri buat lebih
berterang-terangan merebut kekuasaan ekonomi dan politik di Tiongkok. Setelah
massa-aksi pada tahun 1925-1927 maka imperialisme Inggris merasa kapok, maka
datanglah masanya buat Tentara Tenno Heika menjalankan politik Hakko Iciu
dengan pedang samurai dan menguasai daerah taklukan dengan pemerintah Boneka.
Dengan kapoknya Albion, maka majulah Jepang ke gelanggang perebutan pasar di
Tiongkok sebagai musuh No.1.
Di sekitar tahun
1930, Negara Matahari naik mengalami penurunan ekonomi-politik. Hutangnya
proletar tani dan tani kecil kepada tuan tanah semakin bertimbun-timbun. Para
tani melarat tak sanggup lagi memikul hutang dan bunganya itu. Di seluruhnya
kaum tani Jepang timbullah perasaan gelisah dan bermusuhan terhadap kau feodal.
Disamping
kegelisahan petani diseluruhnya Jepang itu timbullah pula keinsyafan jutaan
proletar industri dan pengangkutan atas haknya sebagai kelas dan kekuatannya
sebagai kelas, asal saja mereka bersatu tersusun. Gerakan keproletaran,
buruh-tani semakin hebat dan semangat komunisme dan radikalisme mengembang
diseluruhnya rakyat Jepang. Tidak kaum buruh tani saja yang dihinggapi oleh
penyakit komunis dan radikalisme tetapi juga golongan yang selamanya ini
dianggap immune (kebal) terhadap paham radikalisme, ialah anak borjuis dan
ninggrat sendiri. Tidak saja perindustrian, tetapi juga ketentaraan dan
perguruan, dari SMP sa mpai sekolah
tinggi dihinggapi oleh penyakit komunisme dan radikalisme.
Penghisap-penindas
mempunyai obat (walaupun kemanjurannya tak selalu terjamin). Untuk melawan
ketidak senangan rakyat terhadap yang berkuasa itu. Penghisap-penindas rakyat
biasanya membelokkan gerakan terhadap pemerintah dalam negeri, terhadap dirinya
sendiri, kepada pemerintah asing dan negara asing. Pemerintah dan negara
asinglah yang bersalah menyebabkan kesukaran didalam negara sendiri itu.
Demikianlah politiknya Bismarck, Hitler dan lain-lain diktator Jepang sebagai
murid Jerman, paham benar akan politik membusukkan orang lain buat menutupi
kebusukan sendiri. Tiongkok tak aman buat perusahaan dan orang Jepang yang
berdagang disana katanya. Ubermenschnya Nietsche tidak didapat di Jerman saja
tetapi juga di negara yang dibentuk oleh “Ameterasu Omikami” dan didiami oleh
anak cucunya Dewa itu, ialah bangsa Nippon. Bangsa ini wajib melindungi
Tiongkok, Asia dan dunia, dengan jalan mengangkat pedang samurai, kalau perlu.
Serdadu Jepang kemana saja menuju medan peperangan akan dilindungi oleh Tenno
Heika, turunannya Dewi Amaterasu tadi. Mati di medan peperangan itu cuma berarti
meninggalkan badan kasar buat memberik kesempatan kepada badan halus yang
segera terbang melayang kembali ke Jepang ke kuil Yasukunijinja. Di sini
pahlawan tadi akan bersenda-gurau dengan para temannya, para arwah pahlawan
yang lain-lain disamping arwahnya Tenno Heika, bersama-sama bidadari dan sopi
sake.
Inilah upahnya
mati syahid ala Nippon. Tiongkok harus dikangkangi oleh militaris Jepang, yang
bertanggung jawab kepada Tenno Heikanya saja. Harus ditaklukkan dan dibonekakan
berturut-turut. 1. Mansyuria, 2. Tiongkok Utara, 3. Tiongkok Tengah, 4.
Tiongkok Selatan, 5. Asia Afrika, 6. Eropa dan tak kurang, tetapi tak pula
lebih daripada seluruhnya bumi ini. pemberontakan tentara Tenno ke Tiongkok
Utara itu berarti pertama memadamkan kegelisahan dan pergerakan revolusioner di
dalam negeri sendiri dan kedua menjalankan point No. 1, dari program yang
panjang terhadap luar negeri.
Dengan takluknya
Tiongkok, maka akan lenyaplah, kapitalisme nasional Tiongkok, yang sangat
mendesak perindustrian-ringannya Jepang dan akan berakhirlah imperialisme asing
di Tiongkok. Kemenangan itu akan memadamkan (sementara) pergerakan radikal di
negeri Jepang sendiri. Semua kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan buat
menyampaikan maksud Jepang yang theokratis, militaris imperialis itu.
Dalam rencana yang
berbau sopi-sake itu militaris Jepang rupanya melupakan daratan. Mereka
menjumpakan halangan yang tidak disangka-sangka.
Memangnya Chiang
Kai Shek, “belum” bermaksud hendak membantah kecerobohan Jepang dengan memakai
senjata. Pada lahirnya ia sedang berurusan dengan kaum komunis yang membentuk
partai dan tentara dan dengan gagah perkasa mempertahankan propinsi Kiangsi
terhadap serangannya tentara Chiang Kai Shek. Pada batinnya dia pro-Jepang,
ialah menurut apa yang dibisikkan oleh rakyat di sana-sini. Didikan Jepang pada
kemiliteran dibawa-bawa pula buat mengeraskan persangkaan, bahwa dia sudah
terpikat oleh Jepang. Tetapi bagaimanapun juga perasaan dan sikapnya Chiang Kai
Shek ada satu bagian dari tentara nasional yang sudah jemu akan kecerobohan
Jepang ialah Chap Kuo Loo Kun,
tentaranya (army) ke-10. Tentara ini terdiri dari rakyat propinsi Kwantung
dibawah pimpinan Jenderal Tsai Tingkai
ialah seorang anggota Sayap Kiri.
Tentara ke-19
datang ke Shanghai adalah berhubungan dengan penangkapan Hu Han Min oleh Chiang
Kai Shek. Hu Han Min adalah pengikut yang ternama dari Dr. Sun, berasal dari
Kwantung pula dan tidak setuju dengan politiknya Chiang Kai Shek. Apabila dia
ditangkap, maka timbullah kemarahan seluruhnya rakyat Tiongkok terutama pula
rakyat Kwantung. Chiang Kai Shek tidak berani menentang kemarahan rakyat dan
kemungkinan perang saudara. Hu Han Min segera dilepaskan kabarnya dengan
perjanjian, bahwa tentara ke-19 haruslah menjaga Hu Han Min. demikianlah
tentara ke-19 datang di Shanghai untuk menjaga (?) Hu Han Min.
Tetapi bukanlah Hu
Ha Min yang berjaga melainkan kaum militaris Jepang. Sudah lama benar bangsa
Jepang merayap-rayap disalah satu bagian dalam kota Shanghai yang bernama Yang
Tzepoo. Tempat ini amat strategis letaknya karena berdekatan dengan sungati dan
laut. Disinilah berkumpul puluhan-ribu Jepang. Mereka sudah menguasai sebagian
besar daripada pertenunan di Shanghai, mempunyai Bank sendiri; perkapalan ke
pedalaman Tiongkok; toko-toko sendiri; boleh dikatakan pasar sendiri;
sayur-sendiri; polisi sendiri disamping tentara laut yang selalu siap-sedia
menunggu-nunggu dalam restoran Sukiyake dan warung sopi-sake yang tidak boleh
ketinggalan buat calon pembesar dunia ini. pendeknya di Yang Tzepoo, di tepi
kali dan laut, di tempat yang strategis, kaum militaris Jepang sudah mempunyai
satu negara di dalam negara.
Siang Tze, berasal
dari Kwantung, pernah ke Amerika pada satu hari senja memperingatkan kepada
saya supaya pindah rumah, karena something
will happen this night (ada yang akan kejadian malam hari ini) katanya. “The Canton soldiers will resist Japanese
agression”, tentara Kwantung akan melawan kecerobohan Jepang, dilanjutkan
pula. Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di
sekitar kampung saya. Tadinya petang hari saya sudah mendapatkan nasehat
semacam itu pula dari sahabat saya Siangsen Chen juga berasal dari Kwantung dan
rupanya pula ada perhubungannya dengan tentara Kwantung, tentara ke-19.
Saya sebagai orang
asing, tentulah tidak bisa dengan langsung menerima kebenarannya kabar diatas.
Walaupun dalam hati kecil, saya menyetujui pembalasan kecerobohan Jepang
terus-menerus itu dengan tindakan yang nyata (meskipun cuma berupa protes yang
hebat saja) tidaklah dapat saya menerima begitu saja nasehat tadi.
Saya menyewa
sebuah kamar, dalam rumah sewaan seorang Tionghoa agak gelap dan kecil pada
satu kampung terletak dekat jembatan bernama Wan Panco. Kampung itu berada
diantara kampung Cha-Pai ialah kampung Tionghoa yang rapat penduduknya. Di
sinilah ditempatkan tentara ke-19. Di tepi jalan Szu Chun Road tadi berdiri satu sekolah menengah buat gadis Jepang.
Disinilah rupanya ditempatkan markasnya tentara Jepang.
Lebih kurang jam
10 malam setelah saya sampai di rumah oleh nyonya rumah saya disambut dengan
pitchin, English, bahasa Inggris pasar No
go uppe star. This night pong-pong. Maksudnya: janganlah pergi ke tingkat
atas, (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak tembakan. Setelah ketiga
kalinya ini saya mendapatkan nasehat semacam itu, maka saya merasa perlu
sedikit mengadakan penilikan. Saya keluar rumah, keluar dari kampung menuju ke
jalan Szu-Chuan-Road. Benarlah pula, di pekarangan rumah sekolah menengah gadis
Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap. Jalan raya
kelihatan sunyi senyap dan semuanya toko Tionghoa, walaupun baru jam 11 malam
sudah ditutup rapat dan sudah gelap. Barulah timbul kecurigaan dihati saya dan
barulah saya insyaf betapa cepatnya kabar rahasia menjalar diantara Tionghoa
dan Tionghoa itu. Pada siang harinya tadi surat kabar asing dan orang asing
sedikit pun tidak membayangkan kejadian yang akan datang itu. kalau saya tidak
dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut diatas tadi, barangkali
sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu
meletus dan “pong-pong”nya berbunyi seperti mercon petasan di hari raya
(lebaran). Saya kembali pulang dan tidur di tempat biasa juga, ialah di tingkat
kedua. Tetapi belum lagi saya menutup mata kedengaranlah buyi mortir yang
pertama yang segera dibarengi oleh tembakan yang seru dari kiri kanan. Serdadu
Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan
bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit
diantara “two-fires” (dua gerombolan penembak). Bunyi peluru mortir
berdengungan di atas rumah. Bukan ini saja. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa
berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak di jalan Szu Chuan Road
dan simpang-simpangannya itu. snipers (penembak gelap) ini adalah para penembak
yang amat jitu tembakannya. Kabarnya satu dua hari sebelumnya perang meletus
penembak gelap ini sudah dikirimkan dari lain tempat dan bersarang di
rumah-rumah patriot Tionghoa. Mereka ini adalah pendidik yang terpilih serta
pahlawan yang sudah acap kali berhadapan dengan malaikat maut. Tembakan mereka
secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu
Jepang. Mereka menjadi mata gelap. Mereka merebos ke rumah-rumah Tionghoa
dimana terdengar tembakan dan kelihatan asap bedil. Penembak gelap yang
terdapat segera ditembak mati. Sering pula mereka yang sama sekali tidak
bersalah yang jadi korbannya ronin (satria) yang mata gelap.
Kacau balau yang
ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut
serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan
sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka. Saya terima nasehat
nyonya rumah dan tidur dilao-ka
(tingkatan tanah) terapi-terapi dengan keluarga tuan rumah. Setelah kami empat
hari empat malam lamanya berada dalam keadaan sedemikian, maka mulailah kami
menderita kekurangan makanan dan air. Satu kali dua kali, kalau penembakan
sedikit reda, maka nyonya rumah dapat juga cepat-cepat menyelundup keluar
membeli ini atau itu pada warung yang masih sedikit mempunyai simpanan. Tetapi
kesempatan ini tidak berapa banyak dan lama-kelamaan terasa kekurangan makanan
dan air.
Untunglah pada
hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang, yang menguasai kampung kami, kepada
penduduk diberi kesempatan buat mengungsi.Waktu yang diberikan cuma lima menit
saja. Dalam waktu berkemas yang sedikit itu saya naik ke tingkat atas, ke kamar
saya dan sambar apa yang dapat disambar saja. Peti, buku, mesin tulis, tentulah
terpaksa ditinggalkan. Begitu juga barang yang amat penting di musim dingin di
kota Shanghai ialah selimut yang sebenarnya kasur yang cuma sedikit lebih tipis
daripada kasur biasa terpaksa ditinggalkan. Yang dibawa cuma pakaian sepotong,
tentulah lengkap dengal mantel-tebal penangkis hawa sejuk pada bulan-bulan yang
paling dingin di Tiongkok, ialah pada Januari-Februari.
Seratus dua ratus
langkah saya keluar jalan kecil, menuju ke jalan raya. Saya tertumbuk kepada
satu rombongan serdadu Jepang bersenjata lengkap dibawah seorang komandan. Saya
segera hampiri komandan itu dalam dan dalam bahasa Inggris saya katakan: saya
seorang Philipino, terkurung di sini sudah 4 hari lamanya. Saya hendak pergi
Internasional Settlement. Dia menyambut dengan ramah tamah serta mengirimkan
saya selangkah dua menunjukkan jalan ke luar kampung dan jalan raya menuju ke International Settlement yang aman buat
ditempuh. Ketika berpisah saya lihat seorang Tionghoa diikuti anak istrinya.
Kakinya basah dan penuh lumpur karena menyeberangi kali kecil disamping rumah
saya. Dia dan anak isterinya kelihatan gugup dan mengangkat tangan seperti
menyerah. Saya memakai keramah-tamahan pemimpin rombongan tadi dan “dongengan”
bahwa mereka Tionghoa itu adalah orang baik kenalan saya. Mereka dibiarkan lalu
dengan tiada penggeledahan.
Kami lekas merasa
persahabatan dan bersatu mengatasi bahaya. Ini nyata perlu sekali. Kusir kereta
kuda mencatut seorang pengungsi sekejam-kejamnya. Sewa kereta yang sebelumnya
perang cuma 50 sen tiba-tiba meningkat menjadi $ 15 atau lebih. Para kusir tak
mau pula menerima satu atau dua orang penumpang melainkan penuh semuatan.
Demikianlah Tionghoa serta anak-istrinya tadi dengan saya menjadi muatan penuh.
Tawar-menawar dengan cepat bisa dijalankan dan kereta bisa meninggalkan
“neraka” itu dengan segera pula.
Dekat Honkew Hotel
saya turun. Saya rasa di sini akan terus aman. Saya sewa sebuah kamar sempit,
di dekat dapur dengan harga catut dan dengan membayar “kum sha” uang persen yang bukan sedikit pula. Belum lagi siang hari
saya terpaksa keluar beramai-ramai pula. Belum lagi siang hari saya terpaksa
keluar beramai-ramai pula karena atapnya hotel ditembus pelornya mortir. Saya
berjalan menuju ke French Settlement,
ke rumahnya Sensei (tuan) Chen.
Ketika meninggalkan Honkew Park, kami terpaksa kian kemari menyelundup pula,
menghindarkan tembakannya para “snippers”
yang sudah bersarang di sekitarnya Honkew Hotel tadi.
Dengan pakaian
sepotong, dalam hawa udara yang amat dingin, karena hari masih pagi saya sampai
di rumahnya Sensei Chen. Dia menyambut saya dengan perkataan. “I told you so, why didn’t you come to my
house that same day”. (Saya sudah katakan kepada tuan lebih dahulu. Kenapa
tuan tidak datang pada hari itu rumah saya). Saya dipersilahkan makan pagi
ditunjuki kamar yang boleh saya tumpangi selama “perang”.
Saya sudah lama
kenal Sensei Chen. Dia bekerja pada majalah Bankers Weekly. Saya sering
membantunya dalam tulis menulis surat dalam bahasa Inggris. Sahabat Philipino,
ialah S, yang sudah saya sebut lebih dahulu, yang terpaksa pula lari dari Amoy
ke Shanghai karena disangka polisi Amerika yang datang dari Philipina buat
menangkap dirinya, memperkenalkan saya, kepada Sensei Chen ini. Oleh Siangseng
Chen saya dikenal sebagai Philipino dengan nama “Ossorio”.
Pada malam pertama
saya menumpang di rumah Sensei Chen, saya tidur dengan nyenyak rupanya karena
suasana damai di sekitar dan karena mendapat kesempatan menebus tidur yang amat
terganggu dalam 4 hari lampau. Saya ingin melanjutkan tidur itu pada malam
kedua, tetapi ini tak dapat dilakukan.
Pada hari kedua rumahnya
Sensei Chen sudah mulai dibanjiri oleh para keluarganya yang mengungsi dari
daerah peperangan. Mulanya, setelah rombongan keluarga yang pertama masuk,
Sensei Chen mendekati saya dengan perkataan: “I am sorry, you and me must sleep downstair on the floor.” (saya
merasa sedih, karena saya dan tuan, terpaksa tidur di lantai bawah). Yang akan
tidur di kamar di tingkat atas, tempat saya bermula itu ialah keluarga para
wanita. Yang lelakinya akan tidur bersama-sama dengan kami. Tetapi belum lagi
hari senja tibalah pula rombongan lain para keluarga juga, lelaki perempuan.
Yang perempuannya, dicampurkan bersempit-sempit dengan para wanita yang tadi
dan lelakinya harus dicarikan tempat bersama kami di lantai bawah. Tetapi di
sini sudah amat sempit. Saya ingat ikan sardin yang disusun rapat.
Pada hari ketiga
dikatakan pula oleh Sensei Chen kepada saya: “I am sory again”, saya berulang sedih pula. “Sekarang saya terpaksa
memindahkan tuan ke tempat saudara saya, tak jauh dari rumahnya dari sini.
Rumahnya amat besar, tiga tingkat. Dia bekas “jenderal” dekat Hankow tetapi
saya sendiri tak suka kepadanya. Biarlah nanti kita pergi bersama-sama ke sana.
Saya tak sampai hati menempatkan tuan di rumah saya, yang sudah penuh sesak
ini. buat saya pun sudah terlalu sesak”, Sensei Chen selalu berkata terus
terang kepada saya.
“Jenderal” Chen
memang mempunyai rumah tiga tingkat. Mungkin pula pada tiap-tiap tingkat ada
diam seorang isteri. Salah satu sebab, maka Sensei Chen tak senang kepadanya
ialah karena Sang Saudara bekas “jenderal” itu mempunyai entah berapa orang “concubines”, ialah selir. Selainnya
daripada itu, bekas jenderal itu kebanyakan “humbug”, terlalu banyak lagak (Jawa, “ambek”), kata Sensei Chen.
Malam perkenalan
dengan “jenderal” kita, saya sudah tertumbug kepada “humbug” itu. Saya
diperkenalkan oleh Sensei Chen, sebagai wartawan dari salah satu surat kabar di
Philipina. Tuan “jenderal” rupanya tertarik dan bertanyakan bagaimanakah paham
saya umumnya tentang perang Shanghai, Tentara ke 19, dan Benteng di Kota Woosung.
Saya mencoba menguraikan paham saya: “Bahwa Perang Shanghai, cuma perang kecil
saja karena Shanghai bukanlah Tiongkok dan Tentara ke 19 bukanlah tentara
Tiongkok seluruhnya.”
Tetapi walaupun
begitu, dunia umumnya dan saya khususnya amat mengagumi pembelaan tentara ke 19
yuang bertempur dengan senjata serba kekurangan kalau dibandingkan dengan
persenjataan Jepang. Tentara ke 19 memberi penghargaan besar buat seluruhnya
tentara Tiongkok di hari depan.
Bahwa karena
letaknya di tepi laut, Jepang dapat mempergunakan ketiga jenis tentaranya,
yakni tentara darat, laut dan udara. Benteng Woosung sebagai benteng sebenarnya
sudah tak ada lagi dan masuknya Jepang ke Woosung cuma perkara tempo saja.
Jawab ini amat tak
menyenangkan tuan rumah. Berulang-ulang diucapkan oleh “jenderal” kita, bahwa
“mustahil” Benteng Woosung akan jatuh.
Memangnya rupanya dia cuma membaca surat kabar patriot Tionghoa saja,
yang sudah kelupaan daratan. Memang dari sudut kejiwaan mudah pula dimengerti,
bahwa rasa kekurangan pada diri sendiri itu setelah berkali-kali menderita
kekalahan (tahun 1842, 1895 dan 1900) mudah bertukar menjadi rasa kelebihan,
setelah sedikit mendapat kemenangan. Demikianlah di seluruhnya kota Shanghai
dari hari ke hari oleh berlusin-lusin surat kabar nyamuk (mosquito papers) didengungkan, bahwa tentara ke 19 menang di sini,
menang di sana dan belum pernah kalah atau mundur, “Jenderal” kita yang
menyaksikan semua kemenangan itu di tingkat ketiga, di atas surat kabar
patriot, tentulah pula terbawa dilondong oleh chauvinisme Tionghoa yang tiba-tiba timbul seperti topan! “Chamber Strategist” kita, ahli siasat di
atas kursi malas tadi amat kemalu-maluan apabila tiga-empat hari di belakangnya
kami berjumpa, tepat dengan jatuhnya Benteng Woosung, yakni ditinggalkannya Woosung
oleh Tentara ke-19, dengan resmi.
Saya cuma malam
hari datang di rumahnya “jenderal” buat tidur saja. Siang harinya saya
berkeliling di kota Shanghai menyaksikan pertempuran. Pada suatu hari Sensei
Chen menasehatkan supaya saya tinggal di rumahnya saja. Katanya kemarin ada
seorang “baba” yang dibunuh oleh rakyat karena tidak bisas lancar berbicara
Shanghai. Mereka yang malang itu disangka orang Jepang, yang namanya pada masa
itu ialah “perampok katek”. Baru setelah pembunuhan dilakukan diketahui, bahwa
si-malang terbunuh itu bukannya perampok kate, melainkan orang berasal Tionghoa
juga. Buat saya hal ini tidak menakutkan. Pada masa itu untuk saya lebih
menarik hati di antara rakyat yang bangun memberontak memecah-belahkan
belenggunya berabad-abad daripada duduk di rumah membaca koran atau
mendengarkan dentuman meriam atau bom dari jauh saja.
Malam pertama saya
oleh, “jenderal” dipersilahkan tidur di kamar tingkat ketiga. Riwayat berlaku
di rumah Sensei Chen di sinipun berulang pula. Pada malam kedua saya sudah
turun pangkat ke tingkat dua, karena kamar semalam harus diserahkan pula kepada
keluarga wanita, dan anak-anak yang datang mengungsi. Tidak lama saya berada di
kamar baru ini tengah malamnya saya sudah dibangunkan pula buat pindah ke
bawah, karena kedatangan tamu pengungsi juga. Saya berada di kamar sempit,
kecil rupanya bekas tempat menyimpan barang dan perkakas dapur. Di depan kamar
itu adalah kakus dengan alat dan benda yang biasanya berhubungan dengan kakus.
Mulanya saya dapat tidur di atas balai-balai. Tetapi pada satu malam saya
dibangunkan pula. Tamu pengungsi laki-isteri mengambil balai-balai tempat tidur
saya tadi. Saya tidur di ubin atas tikar, di tengah-tengah arang, periuk dan
pagi harinya berada di dalam udara yang baunya tidak dapat dituliskan di sini.
Maklumlah para pembaca, biasanya jam 4 atau 5 pagi para kuli mengambil ampas
manusia yang dilemparkan ke dalam kakus atau tempat di sampingnya, oleh
semuanya penduduk rumah, “jenderal”.
Rupanya Sensei
Chen mendengar kabar tentang keadaan saya dari salah seorang teman. Ketika saya
bertolak meninggalkan rumah Sensei Chen saya diberi kawan olehnya ialah seorang
petani, pengungsi, rupanya karibnya Sensei Chen pula. Orang ini rupanya
melaporkan keadaan saya kepada Sensei Chen. Bagaimana juga saya diberi tempat
yang biasanya dipakai buat menerima tamu, walaupun tempat ini amat sejuk di
waktu malam (Februari), tetapi bau udara tidaklah mengganggu lagi. Dari petani,
pengungsi teman saya, saya selalu mendapat perhatian, rupanya tidak banyak memperdulikan
hawa dingin. Tetapi rupanya dia mengerti benar, bahwa buat saya hawa Shanghai
terlalu dingin. Teristimewa pula dengan selimut yang ada pada saya. Selimut itu
tidak cukup untuk penangkis sejuk, teristimewa pula di waktu dini hari. Kalau
dingin memuncak rupanya saya gelisah dan mengambil siasat melipat diri.
Kegelisahan tidur itu rupanya menarik perhatian petani pengungsi di samping
saya. Sering saya bangun, karena teman petani pengungsi yang tidur dekat saya,
mengikatkan selimut saya ke kaki saya serapat-rapatnya.
Memangnya dengan
begitu, maka bagian badan, yang pertama menderita hawa dingin dan sangat
mengganggu tidur kita, ialah kaki, lama kelamaan menjadi hangat.
Setelah sebulan
lamanya Perang Shanghai berlangsung, maka terdengarlah kabar, bahwa Balai kota,
Municipal Shanghai bagian international Settlement, mendapatkan persetujuan
dengan tentara Jepang untuk memberi izin kepada penduduk, kembali ke rumahnya,
yang terletak di sepanjang Szu Chuan Road. Kampung tempat saya tinggal yang
terletak dekat jalan itu dan termasuk daerahnya international settlement. Saya
sangka juga termasuk bagian aman yang sudah boleh dimasuki. Sayapun pergi ke
Balai Kota untuk meminta surat izin masuk ke kampung bekas kediaman saya dengan
maksud mengambil barang-barang saya yang terpaksa saya tinggalkan dulu.
Ribuan orang yang
datang meminta surat izin. Antri (deretan) yang, dilakukan tidak selalu dapat
disusun dengan nasehat. Banyak orang, kebanyakan orang Tionghoa, yang ingin
cepat mendapatkan surat izin. Maklum orang mau lekas kembali ke rumah
masing-masing, menyaksikan rumah dan barang-barang yang ditinggalkan. Mereka
yang tidak sabar lagi mencoba mendahului orang lain yang sudah lama menunggu.
Acapkali polisi internasional (yang kebanyakan terdiri daripada orang Rus
pengungsi) terpaksa mengambil tindakan. Cuma sering tindakan itu terlalu kejam,
ialah berupa pukulan yang keras, yang berkali-kali dilakukan. Sebenarnya dengan
cara Tionghoa saja, ialah dengan ramah-tamah dan kalau perlu sedikit paksaan,
pukulan kuat berkali-kali yang menyakitkan dan menghina itu tak perlu
dilakukan.
Baru tengah hari
sesudah berjam-jam berdiri, saya mendapatkan surat izin. Saya segera berjalan
menuju ke Szu Chuan Road. Semakin jauh saya masuki jalan Szu Chuan Road semakin
sunyi rumah dan orang lalu lintas. Sampai di simpang empat, yang bernama Range
Road, yang pada keadaan damai selalu ramai, saya tidak melihat seorang pun
penduduk Shanghai. Yang tampak cuma serdadu Jepang di sana-sini berdiri dengan
sangkur terhunus dan muka yang kejam. Maklumlah mereka itu baru saja melakukan
pembunuhan sehingga jiwa manusia itu tak ada harganya bagi mereka, kecuali jiwa
bangsanya sendiri. Pagi pula mereka selalu merasa jiwanya sendiri terancam oleh
musuh yang kelihatan atau bersembunyi.
Saya mulai sangsi akan
keamanan di sekitar itu. Tetapi saya teruskan juga perjalanan sampai ke simpang
tiga, ke jalan yang masuk ke kampung dan bekas rumah saya. Satu dua kali saya
berhadapan dengan ronin satria Jepang yang mengawal. Tak ada diantara mereka
yang mengerti bahasa asing. Mereka memperhentikan saya dengan memakai bahasa
Jepang. Tetapi saya tidak mengerti maksudnya dan keluarkan surat izin saya. Si
ronin membaca surat yang tentulah dia tak bisa baca, apalagi mengerti isinya.
Dia bertanyakan ini itu walaupun dia mestinya tahu, bahwa bahasa Jepangnya itu,
bukanlah bahahasa internasional, yang dimengerti oleh semua bangsa di dunia
ini. Dengan senyum dan jangan memperlihatkan kegugupan biasanya “pemeriksaan”
surat ini dapat diselesaikan.
Sampai di depan
rumah saya berjumpa dengan tauka
(yang empunya) rumah, bukannya penyewa (tuan/nyonya) rumah. Yang saya dengar
dari dia cuma: semua barang sudah habis dicuri oleh “la-li-long” (pencuri) la-li-long
diucapkan berulang-ulang. Dia sendirian di sana rupanya banyak menderita kerugian.
Semua rumah antara Szu Chuan Road dan rumah saya habis terbakar. Ajaib juga,
kelihatan, seolah-olah api berhenti sesampainya di blok rumah kami.
Saya saksikan
rumah tetangga dalam blok rumah saya bolong atapnya, kemasukan pelor mortir.
Rumah saya sedikit mendapat cacat tetapi isinya diangkut sama sekali oleh
la-li-long. Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya
berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap,
bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap
bersama-sama dengan la-li-longnya....!
Di rumah saya
ceritakan avontir saya kepada Siang-seng Chen. Kesekian kalinya saya mendapat
celaan: “Kenapa tuan tak kabarkan kepada saya, bahwa tuan mau kembali ke rumah
yang dahulu. Kalau saya tahu, tentu saya akan melarang tuan pergi. Saya sudah
dengar ada orang yang ditusuk perutnya atau dipukuli oleh serdadu Jepang
lantaran saling tidak mengerti.
Untunglah satu
surat penting ialah “pasport” tidak hilang. Pasport itu saya bawa dan simpan di
dalam dompet ketika mengungsi. Berhubung dengan kewajiban yang saya harus
jalankan di Hindustan, maka pasport tadi adalah barang yang amat berharga.
Lama sungguh saya
berusaha mendapatkan pasport tadi. Banyak kunjung-mengunjungi dan suap-menyuap
yang perlu dijalankan sebelumnya mendapatkan kertas yang berharga itu. shanghai
bukan saja kota Peng-Al Capone-an tetapi juga kota pengsuapan.
Tertulis di atas pasport itu nama Ong Soong
Lee. Apabila “lawyer” (ahli hukum) yang mengurus pasport saya mendengarkan nama
saya, ialah “Ossorio” maka dengan tersenyum dia mengusulkan: jadi kalau begitu
nama Tioghoa tuan ialah Ong Soong Lee. Saya sahut pula dengan tertawa: “baik
benar nama itu”. Jadinya Ong Soong Lee adalah turunan Tionghoa-Philipino, bapak
Tionghoa, ibu Philipino.
Memangnya nama itu
bisa menjelma menjadi bermacam-macam tulisan, dengan tidak mengganggu
identitynya dengan (persamaannya) tulisan pasport. Cocok dengan undang
matematika, maka pertama sekali tiga kata yang berlainan dan masing-masingnya
bisa menjadi nama keluarga (Se Tionghoanya dan Sur-name Inggrisnya) itu bisa 1
x 2 x 3 = 6 x ditukar-tukarkan tempatnya.
Tetapi tiap-tiap
tukaran itu masih tetap tinggal nama Tionghoa. Ketiganya Ong, Soong dan Lee
adalah Se, ialah nama keluarga yang lazim dan Ong itu adalah nama Tionghoa
Hokkian pula. Jadinya (variation) pertukarannya (1) Ong Soong Lee, (2) Ong Lee
Soong, (3) Soong Ong Lee, (4) Soong Lee Ong, (5) Lee Soong Ong, dan (6) Lee Ong
Soong termasuk kepada golongan nama Tionghoa. Di sampingnya itu boleh dilakukan
potongan seperti S.L. Ong dari nama Ong Soong Lee (dalam nama Tionghoa Ong itu
yang Se). seterusnya boleh dilakukan potongan L.S. Ong dari nama Ong Lee Soong
dll, sampai enam kali pula. Selainnya daripada itu kalau memperkenalkan diri
kepada seorang “American returned student”
(mahasiswa kembali dari Amerika), maka lagak Amerika yang dibawa-bawanya dari “Contry of the biggest” (negara ulung
dalam segala-galanya) itu bisa pula ditangkis dengan lagak Lee S. Ong, ialah
peng-Amerikaan dari nama Ong Soong Lee, turunan Tionghoa yang lahir di Hawai
daerah Amerika negaranya Franklin D. Roosevelt.
Syahdah akhirnya
pada suatu hari, Ong Soong Lee yang sanggup mengadakan lebih dari 13 macam
reserve addres menumpangi sebuh kapal dan meninggalkan bandar Shanghai dan
La-Li-Long-nya menuju ke Hongkong termasuk jajahan Inggris yang sering dinamai the Outpost on the British Empire.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar