Kamis, 07 April 2016

Ringkasan Autobiografi Dari Penjara ke Penjara 1, 2, 3



 Autobiografi Dari penjara ke penjara

Alasan

Di dalam penjara Ponorogo, pada bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948 dalam bentuk stensilan. (kata pengantar penerbit untuk penerbitan ini tertanggal Solo, 17 April 1948. Murba, 18-6-1948 memberitakan penerbitan ini. versi pertama tentunya sudah terbit antara bulan April dan Juni 1948.

Banyak sudah teman seperjuangan diluar dan didalam penjara yang mengusulkan, supaya saya menuliskan sejarah hidup saya. Katanya, agar pengalaman-pengalaman yang sudah saya dapatkan boleh dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan.
 Baru sebulan-dua yang lampau saya putuskan menerima usul itu. sebelumnya itu saya tiada memandang perlunya yang diusulkan tadi. Alasan pertama ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan dengan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun naik, ialah  penuh dengan up and downs, yang mengandung lebih banyak ‘down’daripada ‘up’nya bukanlah suatu pekerjaan yang dapat disambilkan begitu begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri saya sendiri. Kehilangan kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah-pindahan  tempat kian kemari tak tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan disita, dijadikan alasan ini dan i tu sebagai bahan fluister-campagne (kampanye bisik-bisik) lawan yang tidak fair (adil). Karena pertimbangan yang demikian ini, maka mulanya sejarah saya hendak saya serahkan kepada sang sejarah sendiri.
Tetapi setelah di penjara Magelang saya mendapat sel yang sunyi senyap tak bercamur dengan para tawanan lain, dan mendapat kertas, potlod dan meja buat menulis, maka timbulah pikiran untuk menulis, meskipun cuma buat mengisi waktu saja.......................
Apa yang saya tuliskan kelak boleh dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya: tak lebih dan tak kurang, oleh ahli sejarah. Beberapa orang yang namanya saya ajukan disini, kelak boleh dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan. Kalau tidak cocok benar, bukanlah terletak pada kemauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau pada sifatnya memory, ialah peringatan.
Cuma apa yang dituliskan itu hanya sebagian saja dari pada sejarah hidup saya. Bagian itu saya anggap bukan bahagian yang kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya melakukan hasrat kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bahagian hidup itu saya pusatkan pada beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah sekitar tiap-tiap penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap2 penjara itu diterangi oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya saya masuk penjara.
Demikianlah berturut-turut saya riwayatkan sebelum, sedang dan sesudahnya saya dipenjarakan di Hindia Belanda, Philippina, Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi dua jilid. Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia dan Filipina.
Usaha saya mendapatkan kewajiban menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan diri saya sendiri nyata mendapat halangan keras dari Imprialisme Belanda, Amerika dan Inggeris. Bagi saya hal itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya saya merasa gembira menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di masa Imperialisme Internasional. Saya  percaya pula, jika kelak semua halangan itu sekali terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai, maka pada saat itu akan terjaminlah kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat Indonesia yang merdeka itu. semua kodrat lahir dan batin yang dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan semua halangan itu, kelak akan menjelma menjadi kodrat pembangunan dan pelindung dalam segala2nya. Semakin banyak kodrat itu diperlukan dan diperoleh, semangkin teguh jaminan buat hari depannya rakyat Indonesia.
Buku ini saja beri nama “Dari Penjara ke Penjara”. Memang saya rasa ada perhubungan antara Penjara dengan Kemerdekaan Sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan iklas buat menderita “Kehilangan Kemerdekaan diri sendiri”.
    Siapa ingin Merdeka harus bersedia dipenjara.

Situasi

Pastilah bukan dua melainkan tiga jilid, yang sebelum serbuan Belanda di Jawa bulan Desember 1948, hanya jilid pertama dan ketiga telah beredar dalam bentuk stensilan. Di Sumatra terbit jilid pertama dan karangan pertama dari jilid kedua, dalam seri penerbitan yang diberi nomor berturut-turut. Tebal terjemahan Helen Jarvis seluruhnya terdiri dari 566 halaman: 166, 193 dan 207 untuk masing-masing jilid.
Dalam bukunya hampir tiga puluh kali Tan Malaka menyebut suatu saat, atau menunjuk pada suatu peristiwa aktual, dari itu bisa disimpulkan pada bulan apa dan sampai di mana perkembangan penulisan manuskripnya. Ia memulai kisahnya di Magelang; sejak 11 Maret 1947 ia dipindahkan ke sana. Di sini ia mendapat kesempatan menulis, dan barangkali dalam bulan April 1947 kalimat-kalimat pertamanya mulai dituliskan di atas kertas. Bagaimanapun dalam bulan Mei 1947 separoh jilid pertama telah terselesaikan. Dalam bulan Juli ia menulis bab sebelum bab yang terakhir. Aksi militer Belanda mungkin sekali tidak menunjang bagi penulisan naskahnya; malahan justru memindahkannya dengan terburu-buru ke Ponorogo, yang keadaannya jauh lebih buruk ketimbang keadaan di Magelang.
Dalam bulan September 1947 terbuka kesempatan untuk menyusun kata pengantar dari jilid pertama, dan juga untuk memulai jilid yang kedua. Dalam bulan Oktober lima dari enam bab telah selesai; bab yang terakhir dan terpanjang menyusul dalam bulan November 1947. Kata pengantar tersendiri untuk penerbitan jilid ini tidak pernah datang. Jilid pertama belum kunjung terbit juga, dan masih harus menunggu berbulan-bulan lagi. Dengan segala ketidakpastian ini, maka tidak semestinya mencurahkan tenaga untuk sebuah kata pengantar baru.
Semuanya itu tidak membikin takut Tan Malaka untuk bekerja seperlunya memulai dengan jilid ketiga, yang dalam bulan Desember 1947 sudah seperempat terselesaikan, dan pada bulan Maret 1948 separoh yang terakhir dengan cepat terselesaikan – juga berkat pengutipan dari karangan-karangn yang sudah terbit sebelumnya. Di dalam sel Madiun, yang sejak 26 November 1947 ia dimasukkan di sana, dituliskannya pada halaman penutup, bahwa ia telah menyelesaikan naskahnya pada bulan Maret 1948.
Dengan demikian dalam waktu satu tahun Tan Malaka menuliskan riwayat hidupnya, dari April 1947 sampai Maret 1948: jilid pertama dari April sampai Juli 1947; jilid kedua dari September sampai November 1947; dan jilid ketiga dari Desember 1947 sampai Maret 1948.
Situasi untuk bisa menghasilkan  karya yang begitu luas jauh dari ideal. Untuk Tan Malaka disediakan pensil kertas dan meja tulis. Sel yang dihuninya terkadang sepi, terkadang harus dihuni bersama sesama kawannya. Nasibnya tidak jelas. Pemindahan bisa terjadi setiap saat; kemudahan-kemudahan bisa dengan seenak sendiri diberikan atau dicabut. Begitu juga dengan nasib naskahnya tidak pasti; dirampas atau dihancurkan selalu menjadi ancaman.
Bab-bab karangan yang tertulis tangan itu diselundupkan keluar penjara, atau diambil oleh orang-orang yang membesuk Soekarni atau Tan Malaka. Dalam hal ini juga ada seorang pegawai penjara di Magelang yang ikut berperan sebagai kurir. Tulisan-tulisan tangan Tan Malaka itu kemudian diketik dan distensil oleh pengikutnya di Yogya. Ikut terlibat dalam hal itu Pangalu Lubis, Hasan Sastraatmadja, dan Paramitha Abdurrachman. Tulisan tangan Tan Malaka itu memberi cukup masalah bagi para pengetik, terutama dengan kata-kata dari bahasa asing dan nama-nama yang harus disalin.
Selanjutnya teks juga memperlihatkan gaya Tan Malaka yang  istimewa: khas, kuno, tidak selalu konsekuen mengubah gramatika dalam bahasa Indonesia, seringkali mengambil kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman, dan dalam bukunya ini juga dari bahasa Tionghoa, Jepang dan Latin. Jarvis menamai buku ini sebagai ‘cendrung’ pada gaya Jerman dengan banyak menggunakan huruf kapital, khususnya untuk nama-nama benda abstrak, dan menuliskan serangkaian tanda seru, tanda tanya dan titik-titik.
Kemungkinan menggunakan bahan stensilan sebagai cetakan percobaan jelas tidak bisa. Jilid pertama stensilan itu terbit dengan sangat banyak salah ketik. Sesudah terbit Tan Malaka, yang saat itu masih di dalam penjara di Magelang, kiranya sudah melihat penerbitan bukunya itu.
Rintangan lain dengan menuliskan ingatannya menyebabkan tidak adanya literatur. Untuk jilid pertama dan sebagian sangat besar jilid kedua – melihat pada rujukan-rujukan dalam teks – hanya memberikan sebagian dari suplemen pada Encyclopaidie van Nederlandsch-Indie, di mana J.Th. Petrus Blumberger memberikan laporan panjang lebar tentang sejarah komunisme dan Partai Komunis di Hindia, demikian juga dari Inside Asia John Gunther yang populer cetakan pertama tahun 1939. Ensiklopedi tersebut seringkali dikutipnya untuk menyusun catatan tentang peranannya sendiri di dalam gerakan komunis; Tan Malaka sedikit saja memberikan kritiknya. Gunther dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber untuk bab panjang tentang situasi politik di Tiongkok, tertuju pada situasi Shanghai tahun 1932. Juga brosusr Alimin Analysis dibacanya, sesegera sesudah borosur ini terbit.
Sesudah November 1947 tampaknya Tan Malaka mempunyai sumber lebih banyak lagi. Terutama suratkabar yang dipakainya sebagai rujukan, seringkali dari tanggal yang sudah tua. Agaknya kawan-kawannya sehaluan yang mengatur memasukkannya ke penjara, dengan kliping dari surat kabar Belanda dan Indonesia yang relevan. Selanjutnya juga tersedia padanya nomor-nomor penerbitan Indisch Tijdscrift van het Recht dari bulan Desember 1931, yang memuat vonis terhadap Soekarno, juga buku The Pacific Charter karangan Hallet Abend.
Buku-buku rujukan tentang komunisme yang ada pada Tan Malaka ialah bagian ketiga dari karya Engels penerbitan Jerman Die Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats dan penerbitan Inggris karya Lenin State and revolution.
Tentang karyanya sendiri Tan Malaka hanya pakai Massa Actie. Tentang karyanya yang lain disebutnya sedikit-banyak jika memang pada tempatnya. Adapun yang tidak disebut-sebutnya Toendoek kepada kekoeasaan, tetapi toendoek kepada kebenaran dan Semangat moeda, dan Siaran Pari, Politik dan Moeslihat dari sesudah tahun 1945.   
Tan Malaka banyak mengutip dari ingatan, terutama dari Hegel, Marx, Engels, dan Lenin – dan memang benar, seperti Jarvis dalam terjemahannya telah dengan teliti memeriksanya.
Masalah serius untuk Tan Malaka dalam menulis bukunya ialah, tidak adanya kemungkinan untuk mencari tahu pada bagian-bagian manuskripnya yang terdahulu. Maka terjadilah pengulangan dan penghilangan, sehingga memberi kesan fragmentaris pada bukunya. Hal seperti ini masih diperkuat lagi dengan cara pendekatan Tan Malaka yang berbeda. Dari penjara ke penjara lebih dari sekadar riwayat hidup, yang lebih dikonsentrasikan pada masa-masa di sekitar penahanannya. Buku ini berisi penjelasan tentang Marxisme, historiografi Marxis secara umum, reportase jurnalistik, pengalaman-pengalaman pribadi, dan akhirnya terutama juga tentang sumbangsih serta penentuan posisi dirinya dalam perjuangan  tahun 1947 dan 1948, ketika ia – setelah dibebaskan dari tahanan – kembali diharapkan memainkan peranannya.

Jilid pertama

Dalam biografi Tan Malaka ini berkali-kali disebut tentang riwayat hidupnya, dengan kisahnya yang memberikan informasi mengenai sepak terjang dan pemikirannya selama dalam periode yang terkait. Seperti sudah dikatakan, Dari pendjara ke pendjara lebih dari sekadar riwayat hidup. Karena itu pandangan tentang isi dan susunan, serta sejumlah bagian yang menarik memang pada tempatnya.
Buku ini dimulai dengan empat bab pendek (seluruhnya sepuluh halaman), yang merupakan pengulangan Madilog, yaitu: ‘Perjuangan dua kodrat’, Human rights (Hak asasi manusia), ‘Hak perlindungan diri’, dan ‘Kepastian Hukum’. Pengantar ini akan memperlihatkan dialektika dalam hukum – dalam kasus Tan Malaka antara keadilan dan penindasan di medan perang dirinya sendiri dan perjalanan hidupnya. Ia mengikuti perkembangan hak-hak asasi manusia individual selama berabad-abad, yang menetapkan juga aturan-aturan tentang penahanan, pemeriksaan dan pengadilan, sebagai hasil dari Revolusi Perancis. Tapi apakah itu semua artinya, jika krisis ekonomi, pengangguran, perang, dan kelaparan terus menerus mengancam terhadap lebih dari 55% penduduk di negeri-negeri kapitalis, dan lebih dari 90% di tanah-tanah jajahan? Apa arti aturan-aturan itu jika si terdakwa miskin dan tidak berpendidikan dan tidak mempunyai uang dan pengetahuan untuk membela diri atau meminta bantuan pembelaan? Apa arti hukum jika yuris-yuris yang adil pun berakar pada kepentingan, pendidikan serta cara berpikir borjuasi?
Tentang hal tersebut di atas Tan Malaka tidak menarik kesimpulan, bahwa juga hukum ialah alat klas yang berkuasa dan akan diberlakukan terhadap musuh-musuh klasnya. Karena ceritanya yang emosional terhadap tindakan buruk pengadilan terhadapnya itu, agaknya ia memendam ilusi bahwa aturan hukum juga akan diberlakukan terhadapnya, sesudah setiap kali dikecewakan – di Hindia Belanda, Filipina, Hongkong, dan di Republik Indonesia.

Bab kelima ‘Pulang ke Indonesia’ dimulai dan diakhiri dalam bulan November 1919.

   Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers dan kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati, voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda. Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil, kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001 kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan, Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis jalan ke Indonesia itu, melainkan  bangsa Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus. Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X, belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya (psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat baja paduan (allay) zaman sekarang,  maka haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu, dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan granat tangan saja.
Negara Belanda sudah di belakang, dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum selesai diperhebat, didorong oleh konflik dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam masyarakat yang akan ditempuh.

Untuk perhitungan pertama dengan Belanda Tan Malaka cukup dalam dua halaman saja. Mentalitas kruidenier masih akan kembali seringkali. Kata pengantarnya diteruskannya dengan kenangannya pada Belanda – tidak seluruhnya, karena menurutnya apabila seluruh kisah akan minta terlalu banyak waktu dan tempat. Maka menyusullah cerita-cerita tentang sekolah guru di Haarlem dan program pengajaran di sana, kesehatannya yang buruk, rumah pondokan, dan penyadaran politiknya, yang tercakup dalam dialektika tesis, antitesis dan sintesis (Nietzche, Rousseau, Marx/Engels), yang diperhebat sesudah di rumah kosnya yang baru di Bussum. Utang biaya studi yang bertambah-tambah sangat mengganggu pikirannya, sampai tahun 1919 ketika tawaran bekerja sebagai guru untuk Senembah Maatschappij di Deli memberi jalan keluar yang disambut baik. Tamasya kecil bercerita sedikit, meski terlalu sedikit, tentang masa mudanya di Suliki dan di sekolah guru di Fort de Kock.  Orang-orang Belanda yang ditampilkannya sebagian disebut dalam nama lengkap mereka dan sebagian hanya huruf pertamanya saja. Yang tersebut akhir ini digunakannya jika ia memberi komentar yang kurang menyenangkan atau hendak menuliskan karakteristik yang bersangkutan. Dalam hal ini ia sebagian juga menggunakan pernyataan langsung, seperti demikianlah terdapat di dalam buku ini, sengaja untuk membuat kisahnya menjadi hidup.

Tujuh belas halaman selanjutnya ditutup sebagai berikut:

Sekalian tinjauan selayang pandang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh dibelakang, ditinggalkan kapal yang saya tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan buat fasal ini sudah melebihi rancangan saja, sehingga saya terpaksa mengikhtiarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang saya tempuh sekarang.

Selanjutnya Laut Tengah sebagai buaian peradaban melahirkan beberapa halaman historiografi Marxis – di sinilah fiil daya-kerja Iskandar Akbar,  Abdarrachman, Kalifah Kordoba, dan Napoleon menentukan – yang bermuara pada hasrat untuk menulis ulang sejarah: Yunani, Roma, Arabia, dan negara-negara besar lainnya.
Lalu sesudah itu menyusul Samudera Hindia, dengan India yang mengeksplorasi agama Hindu dan bencana sistem kasta. Ketika kaum paria bangkit memberontak, maka Revolusi Perancis dan  Rusia ibarat permainan anak-anak belaka.

Akhirnya Sabang Indonesia. Di tepi pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar setiap menit! Saksikanlah sendiri! Sampailah sekarang ke ujung  pelajaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudera yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di jaman gelap gulita.

Itulah bangsa perantau. Semangat pertahananlah yang mendorong mereka mencari tempat kediaman baru, apabila alam tidak memungkinkan bagi mereka untuk hidup. Semangat perantau itu mendapat dorongan dari susunan masyarakat di masa lebih dari dua ribu tahun yang lalu – pada masyarakat Minangkabau dan Batak. ‘Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu ramping, di jamin oleh alat cerdik bersemangat bertoboh, bergotong royong atau tolong menolong dimasa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya “telentang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”... samuderapun cuma danau saja dimata mereka.

Kemudian Tan Malaka berangkat menuju Deli. Dan tentang itu ia mulai dengan bab baru sebagai berikut:

Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar. Deli di masa saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarangpun masih menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Dikutub yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja di Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak.

Deli mempunyai segala-galanya, juga untuk membangun industri berat. Tapi Belanda memilih berinvestasi yang tanpa resiko namun dengan rendemen yang tinggi, seperti dalam budidaya tembakau. Tan Malaka mendalami lebih jauh tentang fakta-fakta yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun, untuk membuat gambaran tentang keadaan di Deli. Ia membeberkan tentang organisasi perusahaan, di mana semua bekas lanterfanters (orang gelandangan), deught voor niets (orang-orang yang gagal) dan sclemiels (orang sial yang bego) masih bisa diterima sebagai karyawan: ‘dengan tongkat besar, kepala kosong, dan suara keras’.
Sebaliknya ada

Klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas yang mendapat upah cuma cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdom-i (dimaki) atau dipukul, klas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan isteri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro tuan...adalah klasnya bangsa Indonesia terkenal sebagai kuli kontrak.

Pertentangan itu sangat hebat dan hanya berdasar atas warna kulit. ‘Dengan kulit yang putih, tongkat yang besar dan dua tiga patah kata “Melayu pasar” dan 13 “godverdomme”, mereka itu samasekali bergantung pada mandor-mandor Indonesia, namun begitu mereka menerima gaji yang luarbiasa besar. ‘Adakah tempat buat saya dalam masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya, seorang Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah satu masyarakat yang mengandung pertentangan maha tajam.

Sesudah tinjauan yang emosional tersebut Tan Malaka menceritakan pengalaman sendiri, yaitu bahwa sebagian besar kolega-koleganya di Senembah menerima dia, karena ia diangkat sebagai karyawan oleh Dr. C.W. Janssen, direktur Maatschappij, yang datang pada saat yang sama dengannya untuk kunjungan inspeksi. Selain itu ia juga bertemu kawan-kawannya sehaluan yang hendak menjembatani kendala warna kulit itu. mengenai hal itu ada pelajaran yang telah diperoleh Tan Malaka di Belanda. Terhadap kata-kata cacimaki seperti vuile Neger (negro busuk) dan water Chinees (orang aneh) pastilah disahut dengan: ‘apa kamu bilang, sebutkan sekali lagi’, kemudian reaksinya hampir selalu: ‘niets, meneer’ (tidak apa-apa, tuan). Belanda itu atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih, maka meminta terus sambil menendang terus. Mentalitas kruidenier yang haus keuntungan itu juga menyatakan diri, bahwa merekalah satu-satunya bangsa Barat yang selam berabad-abad mau tunduk pada syarat-syarat Jepang yang menghina untuk tetap bisa berdagang di Deshima.
Selanjutnya Tan Malaka menulis tentang kegiatannya sebagai guru, yang juga segera berujung pada kontak-kontak dengan orangtua, dan sementara itu masalah perbaikan nasib mereka tetap menjadi bahan pembicaraan. Posisi Tan Malaka tidak bisa dipertahankan, dan ini juga dirasa Dr. Jansen ketika pulang kembali ke negerinya, sesudah kunjungannya ke Indonesia yang lama. Ia memberi izin pengunduran Tan Malaka dengan hormat. Oleh para tuan besar di Deli Dr. Janssen dipandang ‘sebagai idealist, ethis, sebagai orang goblog dan diejek2kan dibelakangnya’. Pada kenyataannya sekolah-sekolah kuli ialah sekolah-sekolah Potemkin, dan dengan cara itu Jansen dikelabui. Dan dengan beberapa kalimat tentang Dr.Janssen, bab ini mengakhiri tentang Deli, di tempat Tan Malaka menjadi radikal.
Dr.Janssen, walaupun berbudi luhur, cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam di antara pemandangan politik kami. Tak sekali ini saja, dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya merasakan lakonnya kesedihan ‘tragedy’ hidup: bisa sehilir semudik, seminum semakan, tetapi tak bisa seperjuangan sepasukan.
Bab ‘Semarang, Kota Merah’ melukiskan tentang medan kekuatan gerakan kiri di Jawa dan represi Belanda yang makin meningkat, dan terutama dengan Exorbitante Rechten yang merupakan bahaya besar – ‘laksana bom terpendam, entah dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu’.
Tan Malaka bertemu Tjokroaminoto, Darsono dan Semaoen. Dengan pertolongan PKI ia mendapat kesempatan untuk mewujudkan rencananya tentang sekolah proletar dengan sukses besar. Tentan ini ia menuliskannya dengan penuh semangat. Ia masih ingat pada pembukaan pertama sekolah itu.

   Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana merah, berbaris-baris, bersaf-saf didepan khalayak dan menyanyikan lagu internasional...pertama kali diantara rakyat Indonesia. Setelah semuanya berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan rakyat...yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insaf akan nasib anaknya dan diri sendiri; sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira, karena para murid ini akan dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan, melainkan buat mengangkat derajat rakyat tertindas, terhisap dan terhina, ialah golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan. Baru sesudah bermenit-menit tepuk tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan  tepuk tangan yang riuh.

Tapi Tan Malaka, karena kurangnya pemimpin yang mampu, tidak terelakkan lagi menjadi terlibat dalam aksi-aksi politik. ‘Disini saja sudah menginjak tanah lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali.’ Tan Malaka mendominasi Kongres PKI bulan Desember 1921, dan juga aktif sebagai pemimpin serikat buruh. Penangkapan mengancam, tapi tidak ada jalan kembali, dan Tan Malaka sadar tentang segala kemungkinan akibatnya.
Di  bawah bab berjudul ‘Tangkap buang’ menyusul kisah tentang penangkapan Tan Malaka di Bandung pada tanggal 13 Februari 1922 bersama dengan Bergsma. Ia memberikan kata-kata penghargaannya kepada ‘koppige Fries’ (orang Frislandia yang keras kepala) ini. ‘Seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma, Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan sosialisme dan Serikat Sekerja di Indonesia.’ Mereka harus dihormati sebagai pelopor apabila proletariat Indonesia telah mencapai kemenangan.
Tan Malaka menyerang dengan tajam terhadap Exorbitante Rechten. ‘Barbertje moet hangen’ (salah atau benar mesti dihukum), ia mengutip Multatuli. Kemudian ia menceritakan sebuah fabel:

“Sebermula, sekali peristiwa, seekor anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya, sekonyong-konyong berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang harimau: ‘Nah, sekarang syukurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum?
Sahut anak kambing: ‘Ampun tuanku, masakan patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik minum dihilir ini, sedangkan tuanku  minum di hulu sungai.’
Kata sang harimau: ‘Mungkin tidak sekarang kau keruhkan, tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang mengeruhkannya.’
Sahut anak kambing pula: ‘Ampun tuanku, beribu kali ampun, masakan dapat patik, yang hina dina ini mengeruhkan air minum tuanku pada tahun yang lalu, karena dimasa itu patik belum lahir.’
Kata sang harimau; ‘Kalau bukan engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentulah ibumulah yang mengeruhkannya. Dan kalau bukan ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.’
Demikianlah kata sang harimau yang penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu, untuk dimakannya.”

Exorbitante Rechten laksana satu golok yang dipegang di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang dianggap musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka ‘hak istimewa’ itu adalah aturan sewenang-wenang, despotis; dan dari sudut kesusilaan, moral, adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut. Tapi juga merupakan akibat logis dari harapan sekelompok kecil orang Belanda yang ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya, lepas dari proses peradilan, keadilan dan kebenaran – maka mengherankanlah jika Tan Malaka menjadi sangat marah dan tersinggung.
Dalam bab ini juga ditulis tentang beberapa unek-unek pribadi. Tentang pengasingannya Tan Malaka bisa menuliskannya menurut pengalaman sendiri:

“Indonesia baru diingat dan diingini bumi serta iklimnya, kalau kita, anak Indonesia, disalah satu bagian bumi ini gemetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insjaf apa artinya sang matahari, yang selalu mengedari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru ingat dan kita ingini, kalau kita berada di tengah-tengah bangsa lain yang sepatahpun tak kita mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah  pula kita bandingkan dengan keadaan ketika kita masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di negeri asing, di tengah-tengah masyarakat berbahasa dan berhasrat lain, apabila kita merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang kesana-kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan hawa-iklim negara baru, masyarakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat kemajuan internasional sekarang ini. teristimewa pula kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa-iklim, masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah: orang buangan kembali diam-diam atau membunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham bermula, terus teguh pegang hasrat dan imannya.

Dalam bab ini Horensma juga disebut beberapa kali. Ia masih sempat berbicara dengannya pada saat keberangkatannya. Ia berpamitan kepada gurunya:

Entahlah. Tetapi yang memberi sebagian pengetahuan di bangku sekolah, dimasa kanak-kanak dan pemuda, dan dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah Gerardus Hendrikus Horensma.
Seorang murid yang ingin belajar, ingin tahun, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang memberikan apa yang diingini si murid yakni pengetahuan. Guru yang tulen tak akan pula memandang warna kulit muridnya. Yang ikhlas dan sanggup menerima pelajarannya adalah sederajat di hati sanubarinya dengan anak kandungnya. Guru yang tulen ingin menurukan pengetahuannya, seperti si murid yang tulen ingin pula haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang bisa benar menghilangkan prejudice, vooroordeel (prasangka) terhadap seseorang, ialah rasa benci sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat istiadat, dan sebaliknya bisa menimbulkan rasa penghargaan ‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’ adalah perguruan.

Sesudah itu sedikit saja menceritakan tentang keluarganya sendiri. Akhirnya Tan Malaka hanya mengambil satu halaman saja untuk orangtuanya. Melalui adiknya ia berpamitan, dan minta kedua orangtuanya untuk tidak datang ke pelabuhan Padang dan berpamitan, sebelum perjalanannya ke pengasingan di Negeri Belanda. Juga ditulisnya tentang kesedihan ibunya karena tidak mempunyai anak perempuan. Pada tahun 1919 ia masih menengok orangtuanya. Mereka mengerti, bisa menerima, dan juga setuju pada cita-citanya, demikian anak laki-laki mereka itu menulis.

Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap ayah-bundanya, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti ‘duri di dalam daging’. Teristimewa pula karena saya insjaf dan selalu merasa sayang, sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak menyusahkan mereka.

Bab berjudul ‘Kemana?’ menceritakan tentang langkah-langkah besar selama periode April 1922 sampai akhir 1923. Ia di Belanda dan menjadi terkenal sebagai orang Indonesia pertama calon anggota Tweede Kamer, dan untuk itu Partai Komunis mengorganisasi safari pemilu yang diperluas, dengan membawanya berkeliling di seluruh negeri. Tentang semuanya itu Tan Malaka menuliskannya dalam satu halaman. Saya tidak bisa mengerti, mengapa cerita ini sesingkat itu? Dengan bangga Tan Malaka mengenang kembali pada fase kehidupannya di tengah masyarakat, seperti dalam bab-bab sebelumnya demikian juga halnya ketika ia bisa membuat tulisan yang begitu hidup tentang pengalamannya dengan para pemimpin CPH (Partai Komunis Belanda), mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan orang-orang awam Belanda selama perjalanan kelilingnya di Belanda. Ternyata ia tidak peduli dengan tempat ketiganya dalam daftar calon, yang terlalu rendah untuk menjadi wakil dari enam puluh juta penduduk Indonesia – tapi ini tampaknya merupakan kritik yang belakangan saja. Ia juga menambahkan tentang dirinya yang tidak mempunyai niat untuk tinggal di Belanda. Dari sini kemudian ia menuju ke Rusia.

Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun 1927, yang berada dalam pertikaian hebat antara gologan Stalin dan golongan oposisi, Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu pecahnya perang melawan nazi Jermania, Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali  rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukanlah pula Rusia sekarang setelah mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa.

Sampai di sini dalam tulisannya Tan Malaka tidak bisa mengingkari memberikan pendapat tentang politik Soviet, dan peranan Stalin di dalamnya, yang sejak 1922 ia harus berhadapan dengannya. Dan pendapat itu p un masih memainkan peranan di dalam masa depan politiknya. Tentang ini ditulisnya di dalam Siaran Pari dan Thesis, di dalam Dari Penjara ke Penjara ia harus menetapkan kembali posisi dirinya. Apakah ia masih selalu bisa mengharapkan dukungan dari Moskow, dan dengan demikian haruskah ia menuliskan positif tentang peranan Stalin? Tan Malaka menghadapinya dengan hati-hati.

Pula dalam masa revolusi, baik dalam suasana anti-imprialisme ataupun anti-kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia, konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya mewakili P.K.I. Dalam revolusipun memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang habis bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.

Selanjutnya Tan Malaka menyebut Darwin, Marx dan Lenin sebagai pemikir-pemikir yang menerapkan dialektika, logika, dan ilmu pengetahuan pada bidang penelitian mereka, di mana Lenin menganalisis sendiri revolusi di Rusia. Namun kesimpulan-kesimpulannya tidak akan diterapkan begitu saja untuk situasi di India atau Indonesia: Marxisme bukanlah dogma, tapi suatu garis pedoman untuk aksi revolusioner. Di dalam revolusi selalu ada faktor X: perilaku manusia, sehingga teori bisa menyimpang dari praktik. Pengalaman praktik, hubungan dengan masaa dan pengenalan terhadap situasi masyarakat bisa digunakan dengan sebaik-baiknya untuk prognosis tentang kemungkinan arah perkembangannya.
Seorang revolusioner sejati haruslah mempunyai ‘open mind’ (mata terbuka) terhadapa jalannya revolusi di negeri-negeri lain. ‘Demikianlah pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya disana (1922).’ Mereka menyadari benar tentang faktor X tersebut. Dengan alasan ini pulalah, maka di dalam Komintern dilangsungkan diskusi dan debat yang diperluas. ‘Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka yang besar” ini atau itu akan ‘tersinggung’ kalau dikemukakan kritik ini atau itu. Diskusi-diskusi semacam itu akan menghasilkan keputusan-keputusan yang mendapat dukungan luas. ‘Diktator proletar bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar, apalagi mendiktaturi Partai Proletar.’
Tan Malaka menyebut pemimpin-pemimpin Soviet yang telah dikenalnya: Lenin, Stalin, Trotsky, Zinoviev, Bucharin, Radek, dan lain-lain.

Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar, maka hampir semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi. Cuma Lenin saja yang mati di tempat tidur. Yang lain-lain mati terbunuh dalam pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti faksi oposisi dalam Partai Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia ‘sang revolusi memakan anak’.
Sang Sejarah tak mengenal penjelasan, tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya, adil atau zalimnya, buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dilakukan di masa lampau itu. apa yang sudah dijalankan oleh revolusi itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian. Dan apa yang dikira benar itu mesti dibenarkan dahulu oleh sejarah, oleh kejadian. Cuma  kita harus mengambil pelajaran dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap, dan memakai yang betul tepat-baik.

Kemudian Tan Malaka kembali pada Kongres ke-4, di mana ia memilih metode yang aman dengan membuat kutipan panjang dari Petrus Blumberger tentang hal ini dan diberi komentar olehnya. Sehubungan dengan itu ia menunjuk pada diskusi-diskusi tajam di komisi-komisi Komintern tentang hubungan antara partai-partai komunis dan nasionalis di negara-negara jajahan, yang dalam hal ini Tan Malaka seorang pendukungnya – dan yang dengan itu ia melangkah lebih jauh dari yang diinginkan pimpinan Komintern. Tapi kendatipun demikian ia, seperti dinyatakannya, belum sampai ditangkap oleh polisi rahasia Tsjeka sebagai seorang pengacau atau ‘perobohan’.
Akhirnya Tan Malaka menuliskan tentang kesan umumnya mengenai Rusia- yang dari sudut ekonomi dan organisasi tertinggal jauh dari Jerman – tapi dalam organisasi politiknya disana berlaku persamaan. Setiap orang ialah tovaritsj, kawan, dari mulai Lenin dan Stalin sampai kaum buruh. Dari sudut ini orang Rusia berada lebih dekat pada orang Asia dibandingkan dengan orang-orang Eropa Barat. Mengapa bisa begitu, ia bertanya. ‘Generasi sekarang hidup dalam suasana sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan mengalami banyak kekurangan dan masih dikepung oleh sistem kapitalisme’. Dari sudut ini mereka berbeda dari kaum Bolsyewik lama, yang dengan mudah bisa menyamakan diri dengan nasib bangsa-bangsa jajahan. Terhadap kaum Bolsyewik lama itu Tan Malaka mempunyai kenangan yang baik.
Ini masalah sangat peka yang harus dihadapi Tan Malaka. Ia harus menyenangkan kedua belah pihak, tapi ia menyepelekan loyalitas tak bersyarat yang dituntut Stalin. Dalam hal itu tidak ada faktor X yang cocok bagi orang-orang komunis dari luar Rusia, menunjuk pada seorang ‘Paduka yang besar ini atau itu yang tersinggung’, sebutan bagi para pemimpin komunis yang telah jatuh di atas timbunan kotoran sejarah dan bahkan telah tersingkir dari sejarah, dan sebagai sindirian pada Tsjeka serta kaum Bolsyewik tua. Tapi Tan Malaka jelas masih tetap mempunyai sedikit ilusi tentang dukungan yang akan bisa diharapkannya dari Moskow – dan jurang antara PKI dan Tan Malaka serta pengikutnya dapat dikatakan tidak menjadi lebih dalam daripada praktik waktu itu.
Kemudian Tan Malaka melanjutkan dengan dua bab tentang pengalamannya selama di Tiongkok, yang menurut pengakuaannya sendiri ia pergi ke sana dengan mandat Komintern – suatu mandat yang diberikan kepadanya dengan tuga mengamati kinerja, dan juga untuk mendirikan partai-partai komunis di negara-negara Asia Tenggara atau Aslia, istilah yang dipakai Tan Malaka di dalam uraian-uraiannya.
Tulisan ini juga ringkas saja, karena ia kekurangan kertas, dan tidak kurang penting pula: ‘Maka perlulah kita menyimpan ‘siasat’ buat meneruskan pekerjaan kita mengatasi ranjau yang ditaruh oleh kaki tangan imprialisme untuk mengahalang-halangi usaha kita.’ Sayang, jika salah selangkah saja atau terlambat semenit saja, ataupun sesat sepatah kata jawaban saja, saya sudah akan terjerumuskan ke dalam penjaranya imperialisme’ kisah-kisah ini tidak diceritakan kepada pembacanya.
Tidak lama setelah tiba di Kanton (sekarang Guangzhou) Tan Malaka bertemu Sun Yat-sen, suatu kunjungan yang sangat mengesankan baginya, dan merupakan ancang-ancang untuk penggambarannya dalam beberapa halaman tentang pribadi tokoh pemimpin Tiongkok ini. Ia bukan seorang Marxis, bukan pula pemikir dialektika, tapi seorang revolusioner pragmatis yang juga dikagumi Tan Malaka karena hatinya yang tulus, tidak egois dan mempunyai hubungan erat dengan rakyat – sifat-sifat yang Tan Malaka pribadi berusaha selalu menjunjungnya dalam setiap tindakannya.
Sebagai dasar untuk penyusunan kisahnya, kembali lagi Petrus Blumberger digunakan Tan Malaka untuk memberikan uraiannya, tapi dia ‘tak melihat apa yang berada di bawah muka air laut itu, karena yang berada disana itu adalah penulis ini sendiri dan yang masih belum matang untuk diungkapkan.
Tan Malaka juga membaca Analysis karya Alimin, yang merupakan bantahan terhadap Thesis. Sapaannya terhadap Alimin yang semula bersahabat, sekarang berubah menjadi kata-kata keras terhadap Alimin yang tidak mengakui mandat Komintern yang diberikan kepadanya. Mereka itu mencerminkan ciri watak mereka yang lama: ‘tak peduli dan tak mau tanggung jawab, walaupun terhadap teman seperjuangannya, kalau dirinya sendiri terlibat.
Sebuah uraian menarik tentang masalah-masalah seputar The Dawn, majalah yang atas perintah Profintern, gabungan serikat-serikat buruh komunis internasional, harus diterbitkan; kehancuran fisik yang dialaminya, diatasinya di Kanton dan memasuki Filipina secara ilegal, usaha untuk penyembuhan, semuanya itu memenuhi satu bab. Dalam penuturan Tan Malaka Kanton sebuah kota feodal, yang tidak berhak mengatasnamai kota dalam arti kata modern.
Bab ‘Filipina’ diawali dengan sebuah analisis atas dasar Marxisme yang ambisius tentang sejarah kepulauan ini, yang dipusatkan pada revolusi tahun 1898 dibunuh oleh penguasa kolonial, Andres Bonifacio, Emilio Aguinaldo, dan Apolinario Mabini. Bonifacio bagi Tan Malaka merupakan wakil sejati dari kaum murba; Aguinaldo seorang tani kaya dan borjuasi, sedangkan Mabini seorang inteligensia radikal dan mewakili bagian dari rakyat. Aguinaldo tokoh yang bertanggungjawab atas pertikaian satu sama lain, yang berakhir dengan eksekusi terhadap Bonifacio.
Memang inilah sikap (seperti sikap Aguinaldo) kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu masyur berlebih-lebih, tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan’ – dengan kata-kata itu jelas, siapa yang dimaksud.
Selanjutnya Tan Malaka menulis tentang para korban revolusi, yang jatuh nyaris tak terelakkan . Tapi tewasnya tenaga-tenaga pimpinan dalam revolusi tidak diharapkan dan merugikan bagi revolusi – tenaga-tenaga revolusi yang di garis depan inilah yang menentukan jalannya dan kesudahan revolusi. Tewasnya mereka ini memberi angin bagi kaum reaksioner – dalam hal di Filipina ini kemudian Amerika Serikat berhasil mengambil alih kekuasaan, dan seperti juga matinya Tan Malaka sendiri membawa kesudahan yang sama bagi Indonesia, sehingga ia  sendiri pun dinyatakan sebagai anumerta.
Tan Malaka menghormati pribadi Rizal dan sifat-sifat tabiatnya yang jempolan – yang dalam banyak hal bisa disamakan dengan Soetomo, pemimpin Parindra yang dalam tahun 1935 telah meninggal dalam umur relatif muda. Ini merupakan penilaian lembut yang menarik terhadap pemimpin partai kanan, yang dalam hal pendirian politik berjarak sangat jauh dari pendirian Tan Malaka. Tapi ia sangat menghargai ketulusan hati mereka, kejujuran dan pendirian mereka yang konsekuen pada prinsip dan pengabdian kepada rakyat. Tapi Rizal tetap seorang intelektual yang terisolasi dari rakyat Murba.
Analisis Tan Malaka benar-benar orisinal, yang didasarkan pada informasi yang telah diperolehnya bertahun-tahun sebelumnya, melalui percakapannya dengan orang-orang Filipina dan kemudian dituliskannya tanpa dukungan bahan-bahan tertulis. Karena itu usahanya ini membangkitkan kekaguman, walaupun menurut Tan Malaka sendiri tulisan ini tidak mempunyai ‘finishing touch’, di samping adanya kekurangan-kekurangan lainnya.
Kemudian tiba-tiba Tan Malaka pindah bercerita tentang pengalamannya sendiri di Filipina dan keberangkatannya ke Singapura, karena hendak mencegah ancaman pemberontakan PKI yang tidak tepat pada waktu. Sehubungan ini ia mempunyai rencana pendek, tapi karena adanya fitnah di kiri-kanan yang dibisikkan disana-sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantara saudara Alimin, mengharuskan ia memasuki perihal ini dengan lebih luas dibanding dengan yang seblumnya – di dalam Thesis. Isi perluasan itu ialah, bahwasanya ia tidak lagi menenggang Alimin. Alimin pernah lama berkunjung pada Tan Malaka di Manila dan menawarkan, agar di Singapura Tan Malaka menjelaskan kritiknya secara tertulis  terhadap rencana revolusi di bawah pimpinan PKI – ketika itu Tan Malaka sedang tidak merasa cukup sehat untuk bepergian. Ia sekali lagi menuliskan alasan-alasan dan alternatifnya – disebutnya aksi massa dengan tahapan-tahapannya, dan lebih lanjut disebutnya tujuan daripadanya satu demi satu. Sebagai wakil Komintern yang bertanggungjawab ia tidak bisa lain kecuali menentang rencana pemberontakan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947 tidak!’
Baru dua bulan berikut Alimin menanggapinya dengan jawaban yang menghindar. Dengan demikian kepercayaan Tan Malaka pada kejujuran Alimin menjadi sirna. Terlebih lagi ternyata kemudian, sesudah ia datang di Singapurra, bahwa Alimin tidak pernah menyebarkan kritik Tan Malaka tersebut di atas. Dan pertanyaan berikut ini Tan Malaka ingin mengajukannya kepada pengarang Analysis: “Bisakah sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur satu sama lainnya?
Reaksi ini – yang lebih bernada murung daripada pedas – tampaknya masih juga belum hendak menutup pintu untuk Moskow dan PKI. Ia bahkan masih menulis bisa menghargai Alimin sebagai teman atau kenalan, tapi tidak lagi sebagai kawan seperjuangan. Ini merupakan reaksi yang sangat lunak terhadap segala tulisan Alimin di dalam Analysis, yang mempersalahkannya dan dengan ditambahkan pula kata-kata caci maki.
Pada bab berikut Tan Malaka masih menyelipkan tentang pemberontakan 1926 lebih jauh, dalam kalimat-kalimat yang analitis, yang dari sudut situasi dan kondisi ekonomi dan sosial dipersamakannya dengan pendudukan Jepang, bahwa sebagai akibat dari penderitaan yang luar biasa kesadaran menjadi bertambah kuat, bahwa nasib harus direbut di tangan sendiri.

Dorongan merebut kemerdekaan ini bukan ditiup dari luar, melainkan timbul dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang-Inggris-Belanda, bukan terutama karena tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin meniru-niru, pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil faktor-faktor, dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri.

Suatu revolusi sejati tidak bergantung kepada bantuan luar negeri atau pemimpin-pemimpin tua yang kekanak-kanakan, yang ketakutan bahkan terhadap risiko yang paling kecil. Tahun 1926-1927 masih terlalu dini untuk berevolusi. Ketika itu Tan Malaka mengemban tugasnya untuk rakyat, Partai dan Internasionale, sampai PKI dibinasakan di Indonesia dan dipatahkan dari segala jaringannya. Dengan dibuntuti oleh anjing dan pemburu Imprialisme Tan Malaka kembali ke Filipina. Dan selanjutnya disusul dengan satu-satunya alinea tentang didirikannya Pari, yang selayaknyalah dimasukkan di dalam laporannya.

Sekaranglah, sesudah dua puluh tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun 1927, yang ingin melihat kelanjutannya gerakan rakyat dan buruh Indonesia dalam keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan buruh Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atau kepercayaan pada kekuatan diri sendiri; kedua dengan cara berpisah tetapi sejajar dengan gerakan proletaria di seluruh dunia, gentrennt masrschieren, vereint schlagen  (berpisah mengerahkan dan serempak menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta perjuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya Pari semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).

Dari sudut lingkup cakupannya, apa yang ditulis Tan Malaka di sini agak terlalu sedikit. Dalam Thesis ia masih menulis tentang Pari dengan agak luas, dan ia juga mengajukan banyak alasan mengapa Pari tidak perlu dipandang sebagai pembelot terhadap Moskow. Baginya jelas, bahwa PKI dan barangkali juga Moskow tidak memercayainya. Bagi PKI Pari menupakan partai yang tidak bisa diterima sebagai sekutu. Bagaimana Tan Malaka akan bisa berkomentar tentang ini? ia bisa saja mengingkari Pari. Tapi dengan demikian berarti, ia pun mengingkari masalalu politiknya sendiri, dan juga sejumlah risalah-risalah politiknya dari masa sesudah perang, dan dengan hasil yang serba tidak pasti. Ia bisa saja menuliskan aksi-aksi Pari dengan lebih luas. Tapi jika demikian halnya, maka setiap usaha pendekatan terhadap PKI dan pengikutnya dan mungkin juga terhadap Moskow, selamanya akan menjadi tidak dimungkinkan. Tampaknya Tan Malaka memilih jalan tengah yang tidak tegas. Ia menghentikan cerita tentang Pari dalam satu alinea saja di tengah-tengah bab dan, yang menurut perkiraan pribadi, ia masih tetap mengusahakan membuka segala pilihan.
Kelanjutan bab ini dan juga bagian akhir daripadanya merupakan suatu kisah yang menegangkan, yaitu tentang periode penahanannya di Manila dari tanggal 12 Agustus 1927, sampai ia dipaksa pergi ke Tiongkok pada 23 Agustus. Perkara ini mendapat perhatian dan dukungan luas, walaupun begitu suaka politik tidak diberikan kepadanya. Ketika para pelindung utamanya pun diancam dengan pengejaran, ia terpaksa menyelamatkan dirinya sendiri.
Bab penutup jilid pertama buku ini berjudul ‘Kemana? Kapal membawanya menuju Amoy, di mana ia dengan sangat ajaib berhasil lolos dari penangkapan para penguasa Barat di pelabuhan terbuka (verdragshaven) ini. Ia menyelinap dengan bantuan orang-orang Tionghoa yang pernah berdiam lama di Filipina, dan yang akhirnya membawanya masuk ke pedesaan di Tiongkok. Tan Malaka menceritakan tentang kehidupan di sana yang sederhana dan penuh bahaya. Beberapa bulan kemudian sesudah itu desa ditinggalkannya, yaitu sesudah dilanda wabah mematikan, barangkali sebagai akibat penyakit pes. Tan Malaka pergi menuju Amoy. ‘Terbukalah pula kehidupan baru, penuh dengan riwayat, tetapi masih sunyi senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
Semuanya ini merupakan kisah menegangkan, dengan satu alinea yang di dalamnya Tan Malaka dengan getir menuliskan tentang penerapan hukum yang berbeda untuk orang kulit putih dan orang kulit berwarna di ‘the country of the free’ (negara orang bebas).  Menurutnya tidak ada hukum untuk exil (tempat pelarian). ‘Dunia sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta merebut, dan kalau perlu memaksakan persamaan hak, lahir dan batin “format and essential” atas 40% kulit putih di dunia ini.

Jilid dua

Jilid dua Dari penjara ke penjara dibuka dengan melukiskan tentang Shanghai tahun 1932, di mana Tan Malaka terlibat di tengah kekerasan agresi Jepang terhadap kota itu. bab sebelumnya disudahi dengan pengalamannya dalam akhir tahun 1928. Apakah ini sebagai penjelasan tentang ‘lompatan’ waktu tiga tahun itu? Tan Malaka berdiam di Amoy dan Shanghai, di mana penyakit, kemelaratan dan kesengsaraan telah mengganggunya. Usaha untuk membangun jaringan Pari di Indonesia menemui kegagalan – dalam kaitan ini tindakan yang terlalu berhati-hati justru tidak memberi jaminan keberhasilan. Biarpun demikian hampir semua aktivis Pari ditangkap dan diasingkan ke Digul. Pada tahun 1931 Alimin menemukan kembali Tan Malaka di Shanghai yang dalam keadaan sakit. Ia tidak membikin Komintern menjadi lebih bijak terhadap Pari, yang tentang eksistensinya tidak dikenal oleh Moskow. Ia menggabungkan dirinya lagi dalam keadaan badan itu dan siap untuk menerima tugas di India-Inggris. Maka Tan Malaka tidak berbicara tentang Pari kepada Komintern, dan juga tidak bercerita sesuatu apa pun pada sejumlah orang kepercayaan Pari yang tersisa, tentang hubungan dengan Komintern yang telah diperbaruinya itu. laporan panjang lebar tentang sikapnya bisa dimengerti karena terpaksa demi keselamatan dirinya itu, tapi bagi Tan Malaka merupakan urusan yang menyakitkan. Namun karena ia selalu mengemukakan tentang pendirian politiknya yang sangat konsekuen, maka karenanya lebih baik tahun-tahun ini dilewatkannya sama sekali – yaitu dengan mengakhiri jilid pertama dalam tahun 1928 dan memulai jilid kedua dalam tahun 1932, namun lompatan kelalaian itu bisa diselubungi dengan sebaik-baiknya. Tentang penalaran demikian ini sudah saya kemukakan dalam jilid pertama buku saya tentang biografi Tan Malaka. Tentang ini Helen Jarvis tidak sependapat: ‘agaknya sangat mustahil jika Tan Malaka berusaha menutup dengan cara ganjil semacam itu, yaitu dengan membuang dua tahun dari kisah hidupnya dan membiarkan adanya celah antara jilid I dan II. Jarvis berpendapat yang paling mungkin ialah, bahwa satu bab tentang  tahun-tahun ini  telah hilang. Hal itu mustahil, menurut Pangulu Lubis yang erat terlibat dengan penggarapan manuskrip Tan Malaka lebih lanjut. Munculnya Dari penjara ke penjara dalam edisi Sumatra, dengan jilidnya yang pertama dikeluakan dalam tiga kali penerbitan, disusul dengan penerbitan keempat yang berhalaman urut, sama dengan bagian awal dari jilid dua dalam versi-versi Jawa yang belakangan, sehingga mengurangi kemungkinan hilangnya sesuatu bagian. Juga jelas bahwa, seperti ternyata dari kata pengantarnya, Tan Malaka tidak bertanggungjawab mengenai pembagian naskahnya menjadi dua jilid itu.
Terhadap pendapat saya sebelumnya barangkali perlu diberi sekadar nuansa. Tampaknya, tanpa hendak menyangkal tentang keberadaan Pari dan pembaruan hubungannya kembali dengan Komintern, karena alasan-alasan politik, Tan Malaka tidak menghendaki adanya sebuah laporan yang koheren. Dengan alinea-alinea tentang Pari yang tersebar di sana-sini, dan menyebutkan dengan selintas kilas tentang tugasnya di India-Inggris, hanya bagi orang yang tahu akan mempunyai arti yang jelas – berhubung dengan kewajiban yang harus dijalankan di Hindustan – maka selayaknya Tan Malaka bisa mengatakan, bahwa ia tidak memerkosa kebenaran – namun demikian informasi yang murah hati juga tidak diberikannya. Ia ingin agar semua pilihan tetap terbuka dan juga masih tetap berharap pada bantuan Moskow – walaupun dengan kepercayaan yang telah menurun. Selain itu tentu saja disinggung tentang suatu episode yang kurang berjaya dalam perjalanan karir politiknya, dengan detail-detail perihal ini yang menurutnya lebih baik dihilangkan. Akhirnya ia selalu bertolak dari kata pengantarnya sendiri, yang menyatakan bahwa ia hanya menuliskan sebagian dari kisah hidupnya, yang dititikberatkan pada pengalaman-pengalaman pribadinya selama di penjara – dan pengalaman tahun-tahun 1929-1931 sebagai seorang pelarian yang dikejar-kejar, namun bagaimanapun sebagai orang yang merdeka.
Untuk fakta-fakta di dalam kisahnya tentang Shanghai, Tan Malaka banyak bersandar pada tulisan John Gunthers Inside Asia, namun dengan interpretasi dan penataannya sendiri. Shanghai sebuah kota yang penuh pertentangan dan kontras – modern di samping reaksiner, kapitalisme liberal di samping feodalisme yang kejam, kemelaratan di samping kekayaan – penuh dinamika dan penuh manusia. Dan Tan Malaka melanjutkan dengan cerita-cerita tentang verdragshavens, pelabuhan-pelabuhan bebas, dan ongelijke verdragen, ‘perjanjian pincang’, sehingga imperialisme berhasil menguasai Tiongkok. Ini melahirkan kapitalisme komprador dan eksploitasi yang tak terkendalikan lagi. Penyelundupan dan kejahatan dalam hal senjata dan opium, memberikan kepada kaum militeris uang di pedalaman yang melarat, untuk menyelesaikan konflik-konflik mereka. Di bawah pimpinan Sun Yat-sen Koumintang (KMT) melancarkan perlawanan terhadap kapitalisme internasional, dan dengan dukungan kaum komunis mereka berhasil mewujudkan kekuasaan yang luas – sampai suatu saat ketika Chiang Kai-shek, pemimpin KMT itu, tiba-tiba berbalik melawan kaum komunis mereka berhasil mewujudkan kekuasaan yang luas – sampai suatu saat ketika Chiang Kai-shek, pemimpin KMT itu, tiba-tiba berbalik melawan kaum komunis dan mulailah kontra-revolusi yang berdarah. Dan dalam kesamaan yang jelas dengan Republik, Tan Malaka melihat hal ini sebagai akibat dari tidak adanya program minimum untuk front persatuan – tentang ini Tan Malaka menuliskannya sebagai Persatuan Perjuangan – dari seluruh rakyat Tiongkok dalam menghadapi imperialisme asing, bersamaan itu dengan kepercayaan akan nasionalisme sendiri serta pimpinan yang mampu dan jujur, dan satu partai yang terorganisasi dengan baik, tentara yang disiplin, semuanya siap berjuang untuk mencapai kemerdekaan 100%. Untuk semuanya ini kontrol proletariat merupakan keharusan.
Kemudian Jepang mendapat kesempatan untuk menginfiltrasi Tiongkok – dan Tan Malaka sangat negatif tentang nasfu ekspansi Jepang. Tempat yang menjadi dambaan ialah Shanghai. Tapi di sana Nieneteenth Route Army (Tentara Rute ke-19) Tiongkok Nasionalis merintangi mereka. Pada tanggal 28 Januari 1932 Jepang menyerang – rumah pondokan Tan Malaka terletak di garis depan pertempuran, dan setelah beberapa hari ia terpaksa melarikan diri, dengan meninggalkan semua barang-barang miliknya: ‘peti saja berisi pakaian, buku2, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dll bahan buat dimasak hari-hari. Yang diselamatkannya hanyalah paspor. Ia masih tinggal beberapa bulan di dalam kota, dan merasa solider dengan rakyat Tiongkok yang bersiaga, berlawanan dan mematahkan borgol yang telah membelenggu mereka berabad-abad lamanya.

Ia bertolak ke Hongkong. Di sana ia bertemu kembali dengan kawan sesamanya dari Pari, Dawood. Segera disusul dengan peristiwa penangkapan – dan dengan sangat rinci dan menarik Tan Malaka menceritakan periode itu, tanggal 10 Oktober sampai 25 November 1932, selama dalam sel penjara Inggris. Maka datanglah para pejabat tinggi polisi Inggris dari Tiongkok dan Singapura, para agen PID dari Batavia, dan di latar belakang para pejabat Prancis serta Amerika memperlihatkan perhatian mereka yang besar terhadap informasi yang akan diperoleh dari tokoh tangkapan Inggris ini. Tan Malaka tutup mulut atau tidak membukakan pendirian pribadinya. Ia menyatakan ketidakpuasannya terhadap penolakan seorang pengacara untuk membelanya, dan memberika suaka politik kepadanya. Hak-hak seperti itu tidak berlaku bagi mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna, yang berada dalam jajahannya pula. Dalam salah satu dari sekian banyak pemeriksaan ia memberi pernyataan yang kemudian dicetak sebagai motto untuk jilid ini, dan masih akan dikutip berkali-kali lagi: “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi.” Tan Malaka diekstradisi. Tapi tidak ada jaminan bisa mencapai negeri yang aman tanpa terganggu di perjalanan. Maka Tan Malaka bertanya:

“Kenapa saya tiada mendapat perlakuan seperti biasa menurut peraturan Inggris?
  ‘You are Tan Malaka’.
Rupanya karena saya memang Tan Malaka, saya tiada mempunyai hak buat
mempergunakan ahli hukum sebagai pembela; tiada berhak dihadapkan kepada
pengadilan umum (public trial); tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun
tiada berhak untuk dibuang ke tempat yang aman di jalan dan di tempat pembuangan.
Karena saya tiada diizinka memakai ahli hukum, maka tiadalah pula saya dapat
mengetahui, apakah tidak ada bagian Tiongkok yang mau mengijinkan saya masuk.

Bab yang berikut mendapat judul sama untuk ketiga kalinya, “Kemana?” Tan Malaka meloloskan diri dari para pengikutnya di Amoy, dan setelah itu – seperti dalam tahun 1927 – ia kembali mendapati sebuah desa yang aman dan bisa memulihkan kesehatannya di sana. Selanjutnya ia, atas dasar pengamatan pribadinya, menceritakan tentang pengobatan tradisional, adat perkawinan dan pemujaan leluhur. Sesudah tiga atau empat bulan ia berangkat ke kota provinsi Chip-Bi, yang sampai tahun 1936 menjadi basis terpenting baginya. Tentang kota ini diceritakan dengan sekadarnya saja.

Banyak juga tambahnya pengalaman saya dalam hal mengembangkan faham saya sebagai revolusioner di antara pelajar Chip Bi, yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentangan cara dan hasilnya pekerjaan saya dipandang dari jurusan propaganda itu bukanlah masanya buat dituliskan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum imperialis-internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa yang sudah saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada siapapun juga yang berhak menuntut tanggung jawab itu. Baiklah hal ini saya peringatkan kepada para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imprialisme internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan komplotan anti imprialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.

Kesamaanya dengan periode 1928-1932 yang juga masih belum dituliskan kelihatan jelas. Karena itu pendapat bahwa bab tentang periode ini telah hilang menjadi kurang meyakinkan.
Pada awal 1936 di Amoy dengan sangat berhasil Tan Malaka mendirikan sekolahnya sendiri, School for Foreign Languages. Serangan Jepang atas Amoy kembali mengharuskannya melarikan diri. Pada 31 Agustus 1937 kota itu ditinggalkannya. Dalam bulan September Jepang memulai serangan udara atas Amoy.

       Dalam hati saya dengan terharu diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign Languages School dengan pemuda-pemudinya! Selamat tinggal keluarga Kikog, keluarga Tien Djin dan keluarga Tan Ching Hua sengan A.P. beserta tragedy-nya! Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
      Di atas tertulis: Menuju ke Birma. Tetapi tempat yang ditujui belumlah tentu! Yang tentu cuma, yang kelak saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah di mana, belum dapat diketahui..pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!

Keharuan itu benar. Di tengah suasana relatif tenang Tan Malaka bisa memberikan perhatian pada seruannya: pendidikan untuk orang muda, tidak hanya dalam hal pengetahuan tapi juga watak. Di Tiongkok dan di kalangan orang Tionghoa di Fukien (sekarang Fujian) ia merasa betah. Perihal politik praktis dan Indonesia jauh darinya.
Ia tidak lama tinggal di Rangoon – peluang untuk bekerja hampir tidak ada sama sekali. Tan Malaka berhasil masuk Malaka di Penang. Dalam uraian yang panjang lebar ia menjelaskan, bagaimana penduduk Melayu menjadi korban pemelaratan dan diskriminasi di tanah air mereka sendiri. Atas dasar cerita Melayu klasik ‘Sejarah Melayu’ yang sangat uta itu, ia memberikan pandangan sejarahnya sendiri tentang sejarah Melayu dalam abad-abad ke-15 dan ke-16. Perebutan Portugis atas kota Malaka tahun 1511 menurutnya sebagai akibat dari kurangnya persatuan di pihak Melayu. Kolonisasi menjadi awal dari kemunduran yang disempurnakan oleh kolonisator Inggris, terutama dengan perampasan atas tanah dan tempat-tempat pertambangan, dan masuknya orang-orang Tionghoa dan India yang tak terbatas. Di Singapura orang Melayu lalu menjadi minoritas yang nirkasatmata.
Bagaimana Tan Malaka akan bisa menentukan tempat berlindung di sini? Intelligence Service (IS) Inggeris yang kerja sama dengan PID Belanda sama tajamnya penciumannya dengan herdershond  (anjing pelacak) tulen. Ia mendapat bantuan dari sementara kenalan lama di kampung Melayu, tapi kehadirannya di sana dicurigai dan ia terpaksa harus segera pergi lagi – tetapi seorang pelarian veteran, tajam pula persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi petunjuk, sedapat-dapatnya dihapuskannya.
Di Singapura ia mendapat nasib baik yang dibutuhkannya tempat berlindung dan menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah Tionghoa, dan ia pun masuk sepenuhnya di tengah masyarakat Tionghoa. Pada saat-saat senggang dan di tempat-tempat yang aman ia mencari hubungan dengan orang-orang Indonesia. Juga di sini Jepang mengganggu situasi, di mana Tan Malaka jelas merasa senang – tahun-tahun kehidupannya di Singapura ini diringkaskannya dalam beberapa halaman saja.
Diceritakannya tentang serangan Jepang, perlawanan Inggris yang tanpa keberanian dalam menghadapi lawan yang tangguh, posisi sekolah dan dirinya sendiri yang sulit di garis depan peperangan, dan kemudian diceritakan pula tentang pembantaian Jepang terhadap penduduk Tionghoa, serta penjarahan dan perampokan. Tan Malaka selamat dan berniat untuk kembali ke Indonesia.
Bab selanjutnya ‘Menyeberang dimulai pada 17 November 1947, dengan uraian tentang aktualitas: cerita tentang percakapannya antara Stalin dan sebuah delegasi Labour Party (Partai Buruh Inggris), yang terjadi tidak lama sesudah terbentuknya Kominform, ikatan dari partai-partai komunis yang telah merebut kekuasaan negara di Eropa Timur (Polandia, Cekoslowokia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan Yugoslavia), partai-partai komunis yang kuat di Perancis dan Italia, serta partai Soviet yang bersatu, tanpa adanya kemampuan, kewenangan dan struktur dalam Komintern. Tahun 1943 Komintern dibubarkan – sebagai iktikad baik dari Stalin terhadap kawan-kawan sehaluan di dalam Sekutu. Dalam laporan delegasi Komintern disebut sebagai suatu gejala dari waktu yang berbeda, sehingga tidak ada gunanya dihidupkan kembali dan roda sejarah tidak bisa diputar kembali. Partai Komunis merupakan faktor yang kuat di sejumlah negeri, dan di bawah pimpinan tokoh-toko yang mampu, yang mempunyai akar di dalam masyarakat mereka sendiri. Usaha partai-partai ini untuk memimpin dari satu pusat, seperti halnya Komintern, merupakan masalah yang sia-sia dan utopis – demikian Stalin.
Penjelasan tersebut memberi Tan Malaka amunisi untuk memberi pembenaran terhadap pendirian Pari dengan dukungan yang berlaku surut. Ini sesuai pula dengan ramalannya bahwa di Indonesia, sebagai mata rantai paling lemah di Asia kolonial, akan lahir sebuah negara Republik Indonesia. Pari yang didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok menetapkan bahwa atas dasar tenaga sendiri dan otak sendiri, atas self help, Republik juga akan menggabungkan diri bersama federasi dunia yang sosialis. Sikap taktis dan strategis ini sama sekali sesuai dengan situasi dan kondisi serta kepentingan, yang sejak 17 Agustus 1945 telah ditempuh oleh Republik Indonesia. Dan kepada mereka yang tidak fanatik nama dan mereka yang masih bisa dan mau berpikir rasional, Tan Malaka ingin minta perhatian tentang pembubaran Komintern dan tentang kata-kata Stalin mengenai Kominform.
Bagi Tan Malaka Pari tidak berarti likuidasi komunisme. Apakah pembubaran Komintern, yang didirikan oleh Bolsyewik di bawah pimpinan Lenin dan partai-partai komunis serta pimpinan mereka, ‘mengliquidir komunisme’? Silakan para pembaca yang arif menilainya. Adakah dalam tahun1943 semua anggota Komintern berkonsultasi dan menyatakan kesetujuan mereka terhadap pembubaran itu? Ini bukan kritik, Tan Malaka menambahkan, tapi sekadar bermaksud menjelaskan persoalan belaka.
Pada tahun 1943 Stalin berada di bawah tekanan berat. Sejarah telah membuktikan, bahwa persekutuannya dengan Amerika dan Inggris telah berhasil. Uni Soviet termasuk salah satu dari negara pemenang dalam Perang Dunia II, dan sosialisme menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Sia-sia saja berspekulasi apakah mempertahankan Komintern akan memberikan hasil yang lebih buruk. ‘Bagi kami pendiri Pari, pada dua puluh tahun lampau itu sudah terbayang, bahwa Sovjet Rusia akan bersandar pada diri sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern, seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.’ Ucapan-ucapan Stalin ‘kami sekarang merasa mendapat kecocokan dan pengesahan 100% pada pendirian Pari. Program Pari sesuai dengan program Kominform. Dalam tahun 1927 Pari memilih Republik Indonesia sebagai ancang-ancang menuju Aslia – bersama-sama dengan Amerika yang sosialis, Tiongkok sosialis, India Sosialis, dan Soviet Rusia dan lain-lainnya. Semua akan bersama-sama di dalam suatu federasi dunia yang sosialis yang berdasarkan atas demokrasi regional.
Politik luar negeri Stalin dan didirikannya Kominform memperlihatkan banyak kesesuaian dengan visi Pari tahun 1927.

“Kecocokan itu tertulis pula hitam di atas putih. Tetapi belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup bagi kami, bahwa dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan tindakannya Pari. Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan adalah sendi kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan yang baik buat mengumumkannya.”

Sepertinya merupakan penalaran yang bagus, dan baru belakangan ternyata di dalam penalaran itu Stalin sependapat dengan Tan Malaka. Padahal Stalinisme meliputi kaum komunis yang sependapat dengan Stalin, dan menyerahkan diri mereka sama sekali pada kepemimpinan Moskow. Apakah Tan Malaka mengetahui hal ini? Rupanya jangkauan Stalinisme itu tidak masuk dalam pikirannya. Atau, di samping itu ia mungkin mengharap bisa memberikan kesan mendalam pada pembaca dan untuk menarik mereka menjadi pengikutnya. Sifat misterius di sekitar Pari tetap dipertahankan Tan Malaka – apakah dengan demikian ia bermaksud hendak memupuk rasa simpati terhadap Pari?
Sesudah dua puluh tahun Tan Malaka berangkat menuju ke tanah kelahirannya. Ia bercerita tentang penyeberangan yang sukar dan penuh bahaya, di atas tongkang yang bobrok dan sarat muatan dari Penang menuju Sumatra, dan kemudian dari Sumatra ke Jawa, dan mendarat di sana pada pertengahan bulan Juli 1942. Di Sumatra ia mendengar kabar burung, bahwa Tan Malaka telah berbicara di Padang sebagai seorang opsir Jepang, dan lebih lanjut juga disebut-sebut tentang penampilannya di depan umum berulang kali. Tan Malaka merasa tidak aman di tempat ini, dan karenanya ia urungkan berkunjung ke tempat kelahirannya dan ingin secepat-cepatnya menuju Jawa. Di Medan, menurutnya, untuk pertama kali ia melihat roman karangan Matu Mona tentang Pacar Merah.
Kebencian Tan Malaka terhadap penjajah Jepang muncul terus menerus, sementara itu ia berkomentar lunak terhadap nasib Belanda yang malang dan kalah, namun dalam pada itu meskipun berkekuatan lebih besar mereka berlari tunggang langgang ketika menghadapi invasi Jepang. Nasib mereka itu menimbulkan rasa kasihan; yang berlangsung sampai ‘ketika Belana yang tak sanggup melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya itu, sekarang kembali menjajah dan melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan Rakyat Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya.’ Maka darah rakyat Indonesia menjadi mendidih, dan rakyat serentak melakukan aksi bersenjata, yang di mata orang Belanda disebut sebagai kaum ‘extremist, terorist, dan perampok’.
Bagian penutup yang panjang dari jilid dua ini berjudul ‘Ke-arah Republik Indonesia’ menceritakan pengalaman-pengalaman Tan Malaka semasa pendudukan Jepang, pertama-tama di Jakarta dan selanjutnya di Bayah yang terpencil, daerah tambang batubara muda yang dibuka oleh Jepang. Di sini Tan Malaka menjadi pelopor yang diilhami oleh usahanya yang berhasil untuk memperbaiki nasib romusha, yang dengan kemampuan yang diperlihatkannya ia selalu mendapat peluang yang lebih baik. Bersama dengan sekelompok pemuda yang dedikatif, dan juga diajarnya tentang cita-cita nasionalismenya, ia bekerja tanpa pamrih untuk romusha, walaupun dibatasi oleh rezim Jepang yang memeras manusia dan materi dengan habis-habisan.
Benang merah yang lain dalam bab ini ialah tokoh Soekarno, yang dengan kata-kata ironis diserangnya dengan sangat keras karena dukungannya kepada penjajah Jepang. Ucapan-ucapan Soekarno tentang motif-motif idealnya ditolak dengan keras dan sedikit-banyak bahkan dijadikan bahan tertawaan. Apakah, ketaatannya itu bukan sebagai kedok untuk kegiatan ilegalnya? Tapi Tan Malaka tidak menemukan petunjuk atau isyarat apa pun ke arah sana. ‘Doktorandus’ Mohammad Hatta juga mendapat penilaian negatif yang serupa.

“Sudah cukup rasanya saya obori semua pemimpin yang terkemuka dan kumpulan yang berada di atas tanah selama lebih dari pada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa akan datang perubahan dalam orgnisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi. Sebaliknya pula makin cepat masuknya padi, mas-intan, prajurit dan gadis Indonesia ketulang rahang, di antara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang, diangkut oleh para pemimpin resmi itu.

Di dalam kegiatannya untuk romusha, ‘korban militarisme Jepang dan korban persetujuan serta propaganda para pemimpin’, Tan Malaka bisa memenuhi pertanggung-jawabannya. Pengerahan tenaga ‘disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan, terutama Bung Karno sendiri’. Di Bayah Tan Malaka bahkan melihat akibat dari kata-kata Soekarno: ‘Setetes keringat romusha adalah racun bagi Sekutu’.
Puncak dari bagian ini ialah laporan Tan Malaka tentang kunjungan Soekarno dan Hatta di Bayah, tempat pekerja tambang anonim Iljas Hussein, alias Tan Malaka, mencoba untuk membantah dan menyudutkan Soekarno. Karenanya untuk mendukung pleidoinya ia juga mengambil contoh dengan mengutip dari Gibbon, Decline and fall of the Roman Empire, bahwa bagi kemenangan akhir Jepang kemerdekaan Indonesia sebelum kemenangan akhir Jepang akan lebih baik artinya bagi kepentingan Indonesia dan Jepang, tapi oleh Soekarno urutannya dipertahankan sebagai kemenangan akhir Jepang dan kemerdekaan. Uraian Tan Malaka sesuai dengan kebenaran, betapapun seakan-akan tidak mungkin terjadi – tempat-tempat yang sangat asing, waktu dan pembicara yang kiranya tidak pernah dikaitkan dengan buku klasik ini. Di sini ia memperlihatkan dirinya sebagai patriot dan politikus yang lebih unggul dari Soekarno.
Tan Malaka sebagai buruh di Bayah merasa senang mendapatkan banyak kepuasan di tengah-tengah penataan gudang perusahaan pertambangan yang semrawut – dengan begitu ia juga menunjang kegiatan perang Jepang. Penuturan kisahnya yang bersemangat ini ditutup dengan kesimpulan, yang lebih banyak bicara tentang pribadinya sendiri.

Sebenarnya semua pekerjaan halal menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas dan baik mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak ‘lekas beres’, dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur lebarnya kepala paku pun tiada terkecuali! Yang saya ingin sedang bekerja itu ialah supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah diperingati. Rupanya pada sejarah kita bekerja-pun berlaku proses seperti berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya keberesan-pun mempengaruhi pekerjaan kita.

Keluh-kesahnya tentang penataan bisa ditumpahkan sepenuhnya dalam daya upayanya demi kepentingan romusha, yang dalam batas-batas tertentu di dalam sistem yang fundamental buruk, tapi dalam batas-batas tertentu juga menyesuaikan serta melakukan fungsinya dengan lebih baik. Belas kasihannya terhadap romusha meman tulus dan terungkap melalui nada kisahnya. Suatu kisah yang paternalistik, namun begitu tanpa pamrih apa pun. Ia mencampuri urusan makan-minum mereka, tempat tidur mereka yang banyak kutu busuk, dan mengganggu mereka itu. kebersihan merupakan masalah – sebagai protes beberapa romusha dengan sengaja membuang hajat di jalan-jalan. Tan Malaka sia-sia memperingatkan tentang bahaya penyakit dari kebiasaan mereka itu. Maka karena itulah ia sendiri membersihkan tinja – dan ini merupakan tindakan yang memberi kesan mendalam – sehingga mereka tidak lagi membuang hajat di tempat umum. Pada bidang yang lain Tan Malaka juga menyelenggarakan pertandingan-pertandingan olahraga dan mementaskan lakon-lakon sandiwara – dengan penulisan skenario dan sutradara ditanganinya sendiri. Salah satu dari lakon itu ialah kisah tentang Hang Tuah, tokoh pahlawan dalam ‘Sejarah Melayu’, yang sudah disebut dengan lebih luas di dalam Dari penjara ke penjara.
Tan Malaka telah mengembangkan Bayah. Banyak pertanyaan masih juga selalu dikemukakan tentang identitas pribadinya, demikian juga penjajah Jepang memperlihatkan rasa ingin tahun terhadapnya. Penyerahan Jepang membebaskan Tan Malaka dari penangkapan atau keharusan bersembunyi. Ketika itu ia sudah tampil sebagai wakil Bayah untuk ikut dalam perundingan mengenai organisasi-organisasi baru, atau kongres-kongres pemuda, yang di dalamnya perjuangan kemerdekaan harus dinyatakan. Ia berkali-kali berada di Jakarta, tapi masih belum berani menyatakan namanya sendiri.
Pada awal Agustus ia mendapat kesepakatan lagi untuk berangkat ke ibukota. Ia pergi “ke arah Republik Indonesia”, bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih dari pada dua puluh tahun lampau, melainkan dengan kedua kaki di atas Tanah Indonesia sendiri.


Jilid tiga

Awal bagian ketiga tidak meneruskan denga apa yang sudah ditulis di atas, tapi dibuka dengan sebuah bab panjang tentang ‘Pandangan hidup (Weltanschauung)’. Ini merupakan ikhtisar dari ide-ide yang telah diuraikannya panjang lebar di dalam Madilog. Jelaslah kepercayaan Tan Malaka pada kisah hidupnya yang akan terbit lebih besar ketimbang pada Madilog. Dalam pandangannya Madilog merupakan karya utamanya – dan makanya berisi ulangan mulai dari hal tentang manusia kera, Indonesia primitif, animisme, kepercayaan di India dan Timur Tengah sampai filsafat dan ilmu pengetahuan, materialisme dan idealisme, logika dan dialektika. Dalam hal ini ia juga berhati-hati ketika menyatakan pendapatnya tentang agama – ia tidak menarik kesimpulan yang negatif. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache”, dalam arti merupakan kepercayaan masing-masing orang.
Dalam bab tentang ‘Negara (State) Tan Malaka membandingkan defenisi-defenisi negara menurut filsafat burjuis dan sosialis, antara lain ia juga menyebut Stalin. Ia mengikuti pembabakan masyarakat primitif – dengan menggambarkan masyarakat Minangkabau sebagai contoh positif – melalui masyarakat perbudakan, feodalisme dan kapitalisme menuju sosialisme. Di dalam masyarakat kapitalisme semua alat negara – Tan Malaka menyebutnya tiga kali – seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi dan sarana-sarana kepenjaraan, yang digunakan oleh klas penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Kemudian ia berbicara tentang lima bentuk masyarakat tersebut.
Tingkat masyarakat tertinggi, sosialisme, telah tercapai di Rusia dalam tahun 1917 – dan dengan istilah-istilah yang cerah Tan Malaka melukiskan tentang sosialisasi produksi. Klas buruh memiliki alat produksi; produksi dibagi menurut peraturan: ‘Siapa yang tiada bekerja, tiadalah pula akan dapat makan’. Diktator proletariat ini telah mengalahkan kapitalisme Tsar dan antek-anteknya di luar negeri.
Perkembangan ini bersifat dialektis – dari tesis dan anti thesis menuju sintesis pada tingkat yang lebih tinggi – sampai akhirnya komunisme, yang diliputi oleh kesejahteraan, rasionalitas, keadilan dan kemanusiaan. Di Rusia sekarang masih sedang berlangsung diktator proletariat, yang dengan itu bisa mengubah negara semi-kapitalis menjadi negara industri klas satu. Komunisme sejati harus menyelesaikan tingkatan ini. ‘Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk-berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara dengan pelbagai macam bumi iklim serta kebudayaan pada lima Benua itu, memangnya sedang mengorganisir dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum Ningrat Burjuis beserta kaki-tangannya di seluruh dunia  pula.
Dari perspektif masa depan ini Tan Malaka kembali ke Indonesia, karena ia menyebut Proklamasi sebagai langkah dari dunia pikiran ke dunia yang sesungguhnya – suatu langkah yang telah dinanti-nantikannya selama dua puluh tahun. Proklamasi merupakan hak mutlak bagi rakyat Indonesia, dan ia mengutip Woodrow Wilson, Atlantic Charter for Peace (Piagam Perdamaian) dari PBB. Kemudian ia menjelaskan di atas mana Revolusi Indonesia harus dianalisis – tidak begitu saja mengikuti model Eropa, tapi dengan metode dialektika, suatu pemecahan secara materialis dan dengan semangat progresif revolusioner. “Marxism is not a dogma, but a guide to action” Marxisme itu bukanlah suatu apalan, melainkan pedoman untuk bertindak. Sejarah selintas pandang tentang masyarakat Indonesia – dari masa prakolonial sampai pemerasan kolonial yang semakin menghebat, sehingga jurang antara kolonial-pemilik dengan rakyat Indonesia yang tak berpunya semakin lebar, baik di bidang ekonomi dan sosial, politik dan pendidikan. ‘Topan kemiliteran dari satu bangsa berkulit kuning, yang kecil itu ‘meniup lenyap Hindia Belanda bagaikan pasir di atas bukit batu. Penjajah baru merampok Indonesia habis-habisan, dan yang  tersisa pada ‘Rakjat Djelata cuma rombongan celana karung dan tulang kering romusha, sebagai sisa dari pada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam dan di luar Indonesia’. Imperialisme Jepang manggali lubang kubur sendiri – Yang Baru di Indonesia, yakni Pemuda, yang insaf dan sanggup menyusun, dan menggerakkan Rakyat Murba untuk mengambil kesempatan baik’ dan Proklamasi menjadi suatu kenyataan.

Tentang Soekarno

Dalam bab berjudul “Dari Ir. Soekarno sampai ke Presiden Soekarno”, Tan Malaka menjadi lebih jelas. Ia bermaksud menulis tentang pribadi Soekarno, dan juga tentang hubungan-hubungan dirinya sendiri dengannya. Tulisan ini merupakan perhitungan yang destruktif, yang ditulisnya dalam bulan Februari 1948. Pada saat itu jelaslah bahwa Tan Malaka tidak akan dituntut dan diadili untuk keikutsertaannya di dalam Kup 3 Juli, tapi ia juga tidak akan dibebaskan. Barangkali amarah dan frustasi perihal inilah yang menjadi penyebab pendapatnya menjadi semakin tajam.
Menurut Tan Malaka seseorang bisa dari konservatif menjadi progresif, oleh karena watak yang tangguh dan visi yang tepat mengenai perjuangan klas – artinya dengan pandangan hidup yang tepat dan masak. Seseorang yang ‘tiada mempunyai Filsafat atau Pandangan-Hidup yang tepat dan masak, tetapi mempunyai watak dan kemauan yang mudah diombang-ambingkan oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu sendiri atau pengaruh dari luar, biasanya, kalau bertemu dengan sesuatu rintangan, mudah sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya sendiri’. Dapat melihat ke depan, mempunyai watak teguh, konsekuen dan dengan jujur memegang janji. Apakah Soekarno menepati janjinya?
Pada masa kolonial Soekarno berusaha menuju Indonesia merdeka atas dasar aksi massa. Untuk itu ia harus membayar mahal, namun sebaliknya mendapat kehormatan luar biasa dari rakyat. Tapi apa yang terjadi sesudah pendudukan Jepang? Selama masa itu ia bekerjasama dengan Jepang yang ‘imperialistis, militeristis, dan teokratis’, ia berjanji untuk sehidup semati berjuang bersama Jepang untuk Indonesia merdeka di kelak kemudian hari, di bawah payung ‘Asia Timur Raya’. Untuk pendiriannya itu ia menerima tanda jasa yang tinggi dari Kaisar Jepang. Dalam bulan Agustus 1945 ia dibawa ke Saigon untuk menerima perintah Jepang seputar kemerdekaan Indonesia itu.
Soekarno orang yang menciptakan semboyan ‘Amerika kita streka, Inggris kita linggis’, yang membakar potret Van der Plas, Roosevelt dan Churchill, yang menyatakan kemerdekaan, tapi mengakui kedaulatan Belanda melalui Linggajati dan Renville.
Selama masa pendudukan Soekarno bisa berbuat lain. ‘Tak perlu dia sendiri menganjurkan atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan-berlian Rakyat Indonesia serta para gadis (“buat dilatih”) untuk dikirim ke Tokyo.’ Kemudian hal yang sama terjadi ketika ia menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang, mengakui negara-negara boneka Belanda dan menarik prajurit-prajurit TNI dari ‘kantong’ di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selanjutnya hal yang sama juga berlaku dengan menerima kembali Mahkota Belanda, negara federal Indonesia, dan Uni Indonesia-Belanda. Seadainya dalam segala hal tetap berpegang teguh pada sikap semula, maka kemerdekaan 100% pastilah sudah lebih dekat tercapainya daripada sekarang.
Tapi Soekarno tidak ambil pusing terhadap analisis tentang masyarakat Indonesia.

“Tidak tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian kepada pertentangan yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada pula kelihatan dalam semua pidatonya itu pusat perhatian kepada Pokok pendorongnya gerakan Rakyat di Indonesia, ialah gerakan Murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan yang berdasarkan pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena kepintaran mempergunakan bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para-pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, meng-hypnotisir, sesuatu rapat Rakyat Murba.

Grande-eloquence’ dan ‘grande-elegance’ ala Soekarno bisa menyesatkan rakyat murba dan malah membantu imperialisme. Kaum intelektual burjuis di kalangan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebenarnya  takut terhadap murba, tapi memberi harapan dan impian kepada murba dengan pidato-pidato yang ‘abstract, kabur tapi grand’ yang digunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tiada konsekuen serta mempalsukan semua yang konsekuen” perbuatan yang kompromistik, tindakan yang anti aksi massa, dan yang hakikatnya anti-kemerdekaan.
Soekarno tidak pernah ‘konkret dan  nyata, serta tidak pernah terang-terangan melawan musuh – pemerintah kolonial, penjajah Jepang, dan imperialisme Belanda. Dengan kata-kata yang indah-indah ia menciptakan ‘perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerja sama dengan kapitalisme imperialisme Belanda.
Tan Malaka tidak berhenti hingga di sini. Dengan sangat pedas ia menulis, bahwa sikap politik Soekarno yang tidak jelas membuat sukar baginya untuk menetapkan sikap Soekarno terhadap dirinya, walaupun kelihatannya masih serba baik. Sebagai ilustrasi Tan Malaka menulis beberapa peristiwa yang waktu itu barangkali hampir tidak atau sama sekali tidak diketahui oleh umum. Peristiwa pertama sehubungan dengan vonis terhadap Soekarno bulan Desember 1931, teks vonis itu ada pada Tan Malaka, dan yang diterjemahkannya dengan panjang lebar. Ia memperlihatkan, bahwa Soekarno mendapat inspirasi untuk aksinya dari mengutip brosur Tan Malaka tentang Massa Actie.
Kedua, mengenai hubungan-hubungan antara Soekarno dan Tan Malaka sesudah Proklamasi, yang dalam hal ini Soekarno berkedudukan sebagai murid dari Tan Malaka, yang berujung pada lahirnya Testamen Politik. Tan Malaka menceritakannya secara netral, tapi kesimpulannya bagi setiap orang jelas: Soekarno merasa berutangbudi pada Tan Malaka, dan ia mengakui keunggulan wawasannya.

Proklamasi

Dalam bab berikut Tan Malaka menceritakan tentang jalannya peristiwa sekitar Proklamasi – dalam hal ini ia sangat menyesali dirinya karena tidak ikut mengambil peranan. Informasi perihal proklamasi ini diperoleh dari berbagai sumber yang terkait, dan di antara mereka disebutnya Soekarni dan Pandoe Kartawigoena. Tujuannya untuk menggambarkan tentang jalannya kejadian yang sebenarnya: ‘sejarah bukanlah suatu impian, pengharapan atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar atau para pemegang kekuasaan belaka, melainkan suatu kejadian yang memang sudah terbukti. Proklamasi tidak terjadi sebagaimana banyak orang mengiranya, yaitu atas prakarsa atau persetujuan Soekarno dan Hatta. Mereka justru menentangnya. Pemalsuan sejarah inilah yang Tan Malaka ingin menjelaskan dan membantahnya. Ia mengikuti usaha para pemuda selama bulan-bulan terakhir menjelang Jepang menyerah, sementara itu ia sebagai Iljas Hussein, utusan Banten, memainkan peranan sangat kecil. Penculikan ke Rengasdengklok dan diskusi yang berlangsung di sana diberitakan. Soekarno dan Hatta tidak mau memercayai berita-berita tentang kapitulasi Jepang, dan juga tidak mau memercayai berita-berita tentang kapitulasi Jepang, dan juga tidak percaya pada kekuatan yang dipunyai rakyat dan pemuda. Akibatnya akan jatuh korban jiwa manusia besar-besaran dan sia-sia belaka. Dan Hatta bertanya: ‘Wat hebben wij? (Senjata apa yang ada pada kita?).” Kedua pemimpin itu, Soekarno dan Hatta, akan mengundang rapat badan penasihat Jepang mereka, mengirim keputusan rapat ke Tokio dan menunggu keputusan tentang kemerdekaan itu dari sana (Dari Markas Tentara Pendudukan Amerika?’, Tan Malaka menambahkan). Sesudah datang perantara dari Jakarta, Soekarno dan Hatta menyetujui Proklamasi, yang akan diumumkan pada 17 Agustus sesudah perselisihan tersebut usai. Tan Malaka dengan tajam menyimpulkannya.

1.       Bahwa Sukarno-Hatta tiada percaya akan kekuatan yang hebat tersembunyi dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa dynamis dan merdeka.
2.       Bahwa Sukarno-Hatta cuma memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda semata-mata.
3.       Bahwa Sukarno-Hatta seperti dibuktikan oleh 3½  tahun sejarah dibawah Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan oleh Jepang kepada Rakyat Indonesia.

Jurang antara pendirian, pendapat dan tindakan Soekarno dan Hatta di satu pihak dengan baik rakyat maupun pemuda di lain pihak, Tan Malaka menyimpulkan, merupakan ‘kesedihan sejarah dan sejarah kesedihan Republik Indonesia.”

Persatuan Perjuangan

Dalam bab ‘Ke arah Persatuan Perjuangan’ Tan Malaka memang memainkan peranannya di pusat kekuasaan – untuk pertama kalinya sejak September 1945. Walaupun kekuasaan itu kadang-kadang tampak lebih simbolik daripada nyata, dan mendapat ancaman pula dari tentara Sekutu dan Belanda, serta dari para politisi dan para diplomat. Soebardjo membukakan jalan bagi Tan Malaka untuk memasuki kalangan penguasa Republik. Tan Malaka menyebut demonstrasi 19 September sebagai gagasannya, dan menceritakan tentang – sesudah mendapat peringatan dari Jepang – ketidakmauan Soekarno dan Hatta untuk meneruskan unjuk rasa tersebut. Mereka bahkan minta meletakkan jabatan, tapi atas permintaan Jepang mereka tetap meneruskan tugasnya. Rapat umum berakhir dengan anti-klimaks. Soekarno minta untuk membubarkan diri dengan tenang, dan tidak menyerukan melakukan aksi massa. Hatta mengaku, bahwa dia bukanlah seorang pejuang. Maka akan lebih baik apabila ia – dan Soekarno – menyerahkan pimpinan Revolusi kepada kaum revolusioner dan para pejuang. Penolakan mereka untuk memberikan persetujuan pada aksi-aksi perebutan senjata membawa akibat pada kelumpuhan, kepasifan, dan kebingungan. Maka aksi-aksi perebutan senjata hanya terjadi atas inisiatif setempat sendiri-sendiri. Tan Malaka sendiri hanya sebagai penonton ketika ia mengajukan permintaan itu kepada Soekarno. ‘Dengan muka pucat dan suara gugup’ ia melarang perebutan senjata.
Tan Malaka menulis panjang lebar tentang intervensinya di dalam pertemuan antara kabinet dengan utusan-utusan Amerika. Pada kesempatan ini ia ‘mengoreksi’ Hatta dengan membeberkan empat pasa rencana – dan satu pertanyaan timbul tentang status dan kewenangannya.
Ia menyebut tentang permintaan agar ia mau memimpin Partai Sosialis yang akan didirikan, tapi ia menjawab tidak ingin menjadi teman separtai bagi kaum sosialis. Diceritakan juga tentang kunjungan dan penahanan singkat terhadapnya di Surabaya, dan pertemuannya yang sangat ganjil dengan Tan Malaka palsu. Empat bulan sesudah Proklamasi kesimpulan Tan Malaka menyatakan, bahwa Soekarno dan Hatta tidak mengejawantahkan cita-cita rakyat dan pemuda, dan bahwa tenaga revolusioner telah dirobek-robek ke dalam berbagai organisasi, dan bahwa salam paham, kecurigaan dan kesimpang siuran telah sangat merugikan Republik.
Tan Malaka menjawabnya dengan pembentukan Persatuan Perjuangan. Alasan-alasan dan persiapannya dengan pendek dilaporkannya, dan kemudian diterbitkannya resolusi-resolusi yang telah diterima oleh Kongres PP kedua di Solo, dan program minimum berikut dengan ‘Keterangan singkat’ daripadanya.
Bagian yang bersifat dokumenter ini disusul dengan sebuah uraian tentang ‘Pertentangan antara: diplomasi dengan massa-aksi’. Dalam suatu revolusi sukar untuk memastikan siapa yang disebut ‘sayap-kiri’ dan siapa yang ‘sayap kanan’, apa arti sebenarnya dari aliran yang ‘lebih kiri dari kiri’ atau aliran ‘Trotskis’. Sejarah yang akan memastikan etiket mana yang tepat, dan golongan mana yang memang berhak untuk memimpin revolusi itu. Di dalam ‘taufan-revolusi’ itu orang terpaksa diombang-ambingkan oleh purbasangka, kebencian dan ketakutan terhadap lawan politik mereka. Suatu pendapat yang obyektif menjadi sangat sulit, dan ‘mungkin bagi saya sendiripun tidak terkecuali’. Pendapat Tan Malaka pun suatu pendapat dari ‘seorang manusia, yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada dalam keadaan terikat (handicapped), yang membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat kekuasaan negara dan keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai blacklist palsu, fluistercampagne (kampanye bisik-bisikan), dan fitnah besar-besaran terhadap diri saya.’
Di Indonesia – Tan Malaka menggunakan tema yang sudah dikenal – tidak ada kelas menengah Indonesia yang kuat, yang karenanya pertentangan penindas-tertindas menjadi lebih jelas dan lebih tajam, seperti misalnya di Tiongkok atau Filipina. Di Indonsia garis ditarik: kawan dan lawan menjadi jelas, yaitu pro- atau anti murba. Dalam hubungan ini latar belakang pribadi tidak menentukan segala-galanya – orang tanpa latar belakang murba bisa memilih di pihak ini, dan yang murba bisa menyeberang ke kubu lain. Kemudian Tan Malaka menyatakan, menurut tolak-ukur yang ada padanya, empat tokoh itulah merupakan pemimpin-pemimpin Republik yang paling terkemuka: Soekarno, Hatta, Amir Sjarifoeddin dan Sjahrir. Mereka semua berasal dari klas borjuasi, mengikuti pendidikan tinggi Belanda, dan bekerjasama dengan imperialisme Belanda di dalam Linggajati dan Renville.
Soekarno mendapat kepercayaan dari massa rakyat. Ia mengenal psikologi rakyatnya dan juga seorang orator yang besar – andaikata “mempunyai Filsafat Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas, di samping hati yang teguh memegang Filsafat dan Tujuan itu, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret 1948) menjadi liberator, Pembebas Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional”.
Tapi Soekarno tidak mempunyai tujuan yang jelas, oleh karena ia tidak mempunyai cara berpikir dan filsafat revolusioner. Ia tidak memegang teguh pada tujuan semula yang telah ditetapkannya. Ia telah menerima semua kemewahan yang sengaja diberikan Jepang dengan berencana kepadanya, sehingga dengan begitu ia akan kehilangan kontaknya dengan massa. Ia menjadi tidak percaya pada kekuatan murba, dan pada dialektikanya revolusi. Ia kembali lagi menjadi borjuasi kecil dan memilih jalan ‘of the least resistance’ (perlawanan yang paling tidak berisiko).

Moh. Hatta bukanlah seorang revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya menghadiri pidato dilapangan Gambir Djakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing dari pada idaman, nafsu, kemauan dan kesanggupan Murba. Di kalangan intelektual borjuis kecil dia bisa juga mendapatkann pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap yang bisa membangunkan keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber akal padanya! Tetapi sebaliknya, nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber akalnya itu! sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan memangnya pula dia mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang mencocoki idaman klasnya, ialah klas borjuis kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (boekenworm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat hemat cermat,  serta teliti yang ada padanya, diwaktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan sifatnya itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan paling sedikit membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berada.

Gambaran watak seperti tersebut di atas ada pada Amir. Tan Malaka tidak pernah bertemu dengannya, dan juga tidak berniat hendak menemuinya. Ia mempersalahkannya sebagai biangkeladi hilangnya sangat banyak daerah wilayah Republik. Ia juga yang membikin perjanjian Renville, dan melancarkan serangan terhadap Lasjkar Rakyat Djawa Barat dalam bulan April 1947 – semuanya itu sebagai kelanjutan dari sikapnya yang pro Belanda.
Tentang Sjahrir Tan Malaka bisa banyak bicara, tapi hal itu tidak terjadi. Bukan disebabkan karena Sjahrir dalam bulan Agustus 1945 berada dekat dengan para pemuda, tapi dengan cepat pula ia membuat pilihan antara aksi massa dan diplomasi, antara bekerjasama dengan PP dan berunding dengan ‘maling di dalam rumah’, semuanya demi keuntungan si maling di dalam rumah itu. Kemudian Tan Malaka menuliskan catatannya tentang penampilan Sjahrir di sindang KNIP di Solo bulan Februari 1946, dan apa saja yang berlangsung di sana – terutama atas dasar informasi Soekarni. Kembalinya Sjahrir sebagai perdana menteri dan penolakannya terhadap pemerintah PP, dilihat oleh Tan Malaka sebagai perpisahan antara babak pertama dan babak kedua Revolusi: diplamasi menghapuskan aksi massa. Akibat dari ini ‘keruntuhan Republik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran, perekonomian, sosial, politik dan moril.
Sjahrir memulai masa jabatannya baru dengan suatu program terdiri dari lima butir, yang memberi kesan persamaan dengan program minimum PP. menanggapi hal ini Tan Malaka menjadi sangat marah, dengan menulis pernyataan panjang yang memperbandingkan antara kedua program tersebut. Pernyataan ini diterbitkan secara anonim. Tapi dalam kata pengantar pada cetak-ulang pernyataan tersebut dalam Dari penjara ke penjara – karena menurutnya masih tetap aktual – Tan Malaka mendedahkan siapa penulis pernyataan itu. Dalam kata pengantar itu ia sekali lagi menegaskan tentang perbedaan secara fundamental antara dua program tersebut, yang timbul dari suatu visi tentang hubungan-hubungan kekuatan di Indonesia dan di dunia, dan tentang imperialisme Belanda yang sama sekali berbeda. Tan Malaka percaya pada ‘diplomasi bambu runcing’ dengan boikot total dan gerilya. Dalam bulan Februari 1946 pemerintah tidak mengakui aturan-aturan demokrasi. Aturan-aturan yang harus menetapkan  program mana yang mendapat dukungan rakyat, atau lebih tegasnya, PP sebagai wakil rakyat yang sejati haruslah mendapat tugas penyusunan kabinet. Tapi sebaliknyalah, pemerintah justru mengerahkan segenap aparat represinya, dan didukung oleh fitnah dan tindakan-tindakan yang melanggar undang-undang untuk menyingkirkan lawan-lawannya.
Selanjutnya disusul dengan satu bab panjang berjudul ‘Linggardjati dan Renville’, suatu penjelasan politik tentang dua perjanjian itu. kedua-dua perjanjian itu diadakan sesudah Proklamasi, sehingga oleh karenanya merupakan ‘satu kekalahan besar dan bahaya yang tak terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia’. Sesudah pendudukan Jepang atas Indonesia dan pendudukan Jerman atas Belanda, maka perundingan itu merupakan jalan kembalinya Belanda yang bahkan oleh mereka sendiri pun tidak terduga. Bahasa diplomasi yang bermulut manis, main gertak sambal dan janji-janji kosong, dengan dukungan dari ‘wasit’ ala Clark Kerr dan Killearn, kesempatan dibuka untuk mengembalikan penindasan kolonial dalam kemasan baru – yang ini bukanlah suatu kemenangan diplomasi Indonesia, bukan pula suatu ‘batu loncatan’ atau ‘adempauze’. Dengan Linggajati maka Republik dipisahkan dari Indonesia selebihnya, dan kedaulatan Republik dirongrong dengan pengakuan terhadap Mahkota Belanda. Dan ia membantah pada jalan pikiran bahwa tidak pernah ada kemerdekaan 100%. Jika terjadi keadaan yang demikian, maka ini sebagai akibat dari perundingan antarnegara yang bersifat sukarela, sadar dan sementara. Tapi Linggajati merupakan suatu perjanjian yang dibebankan secara sepihak oleh Belanda.
Tan Malaka menganalisis lebih lanjut tentang hubungan Belanda-Indonesia, pertama-tama atas dasar faktor ekonomi. Selama perekonomian dikontrol oleh Belanda, maka negara Indonesia tidak bisa berfungsi. Pertentangan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan massa Indonesia yang terjajah bersifat ‘irreconcilable’ (tidak terdamaikan). Kekuasaan ekonomi dari minoritas Belanda tidak akan pernah sejalan dengan kepentingan politik mayoritas Indonesia. Kaum burjuis kecil di Indonesia dan ‘mereka yang menamai dirinya sosialis’ itu bermimpi tentang ‘Pemerintah-Bersama’. Ini pengkhianatan terhadap Proklamasi. Linggajati dan Renville dengan jelas memperlihatkan, bahwa hubungan politik mencerminkan hubungan ekonomi.
Selanjutnya Tan Malaka membahas masalah bagian-bagian khusus dalam kedua perjanjian itu. Inti persoalan berupa Pasal 14 – pengakuan terhadap hak milik Belanda – dan pengakuan terhadap utang-negara. Kelanjutan daripadanya berupa tuntutan pada adanya ‘rechts- en bedrijfszekerheid’ (jaminan hukum dan jaminan berusaha) bagi pedagang kruidenier Belanda: untuk menyewa tanah, air untuk perusahaan mereka, buruh dan kuli untuk dikuras tenaga mereka, kuli dan alat pengangkutan untuk membawa semua barang itu ke pantai, ke pulau-pulau lain dan ke dunia di luar Indonesia. Mereka menuntut ‘persoonlijke zekerheid’ (jaminan keamanan pribadi) agar bisa selamat pergi dari rumah ke tempat kerja dan dalam waktu-waktu senggang ke kota untuk mengunjungi ‘restoran, rumah bola, concert, bioskop, rumah dansa, cabaret’ tanpa takut akan ‘kaum exstremis’. Dengan modal Amerika mereka akan mengembangkan usaha baru, atas dasar perampasan terhadap orang Jawa yang miskin, yang akan disewa dengan upah sangat rendah.  Pembuat undang-undang sosial tidak bisa membatasi modal internasional, seperti golongan “orang kuat”, “Marxist”, “Leninist”, dan “Stalinist” Indonesia percaya. Pelaksanaan Pasal 14 membawa akibat pada merongrong urusan-urusan politik luar negeri, keuangan, militer dan kebudayaan Indonesia – Republik Indonesia menjadi boneka Belanda belaka.
Terhadap sejumlah masalah Tan Malaka mengamatinya dari sudut hubungan Belanda-Republik. Dengan nada muram ia melukiskan dominasi Belanda dalam urusan impor-ekspor. Dengan begitu Indonesia akan tetap sebagai produsen bahan mentah belaka. Urusan perdagangan dan luar negeri tetap di bawah kewenangan Belanda. Politik keuangan akan melindungi kepentingan modal: pajak impor-ekspor rendah, dan juga upah rendah. Akibatnya pendapatan negara rendah, gaji pegawai pun demikian pula.
Dengan jalan pecah-belah dan kuasailah, seperti demikianlah yang selalu dilakukan di dalam ‘nuchtere realiteit’ (realitas lugas)-nya Belanda menjangkaukan tangan mereka kepada kekuasaan politik. Untuk ini Linggajati menyediakan ruang leluasan baginya.
Maka Tan Malaka lalu menguji Republik dengan enam syarat-syarat eksistensinya sebagai negara yang merdeka: daerah, penduduk, pemerintah, industri, bahan mentah, dan kedudukan geografis. Untuk semua faktor tersebut Tan Malaka menetapkan persentase andil Republik di dalam keseluruhan Indonesia. Ia menjumlahkan semuanya itu dan kemudian membaginya dengan lima (faktor pemerintah tidak diberi nilai). Maka dari perhitungan yang bisa dipertanyakan ini harus disimpulkan bahwa Linggajati mengembalikan pada Republik sebanyak 20% dari kekuatan ‘material (lahir)’ Indonesia. Adapun Renville memberikan kurang dari 8%. Dengan begitu Belanda mempunyai segala peluang untuk mengambil kembali status kolonialnya, ‘seakan-akan tidak ada 8 Maret 1942 dan interneeringskamp (tempat-tempat interniran) buat Belanda dan Proklamasi bagi Rakyat Indonesia.
Belanda ingin mempunyai tentaranya di Indonesia, yang akan bisa dikerahkan apabila perkembangan keadaan tidak berjalan menurut keinginan Belanda. Maka Tan Malaka mengutip oposisi Belanda terhadap Linggajati dan juga dukungan yang lebih moderat dari Logemann, yang melalui Linggajati berusaha mencapai legitimasi, pasifikasi dan koordinasi – bagi keuntungan Belanda. Tapi ia tidak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Menteri Jonkman menghubungkan ‘interpretasi’ sepihak pada perjanjian itu, yang akhirnya diterima Republik secara diam-diam. Para diplomat Indonesia masih saja percaya pada semangat ‘goodwill dan pri-kemanusiaan’, padahal sementara itu tentara Belanda melakukan pembantaian massal di Sulawesi Selatan dan menduduki wilayah Republik di Jawa. Belanda bahkan menginfiltrasi pemerintah, dalam hal ini Tan Malaka menunjuk pada serangkaian artikel di dalam ‘Murba’ tentang ‘Lima serangkai’. Republik menderita sebagai akibat blokade, Belanda menjual bahan mentah hasil sitaannya, dan rupiah menjadi korban hiperinflasi.
Belanda merasa diri kuat dan pada 27 Mei 1947 memberi ultimatum pada Republik, dengan menginterpretasi ketentuan-ketentuan Linggajati secara maksimal, dengan gendarmeri bersama sebagai butir penutup dan titik utama sengketa. Menyusul terjadinya serangan Belanda, dan kemudian Komisi Jasa-Jasa Baik dengan wakil-wakil dari tiga negara imperialis, memaksa Amir Sjarifoeddin menerima persetujuan Renville. Negara-negara boneka baru dibentuk, dan tiga puluh lima ribu orang pasukan Indonesia dengan sukarela meninggalkan daerah-daerah kantong mereka di Jawa Barat dan Jawa Timur.

“Akan kembalilah kelak pasal 135 bis dan ter, pasal 161, exobitante rechten dan lain-lain aturan Belanda, yang akan mengekang persuratkabaran bangsa Indonesia, rapat inlanders  dan kumpulan politik ‘bumi putera’ (Maret 1948).
   Setelah kelak semua persuratkabaran, organisasi politik, dan semua penyiaran paham dengan tulisan dan lisan sudah dikengkang kembali oleh PID Belanda, maka akan sampailah kelak Belanda kepada saat, bilamana dia sendiri akan mengizinkan mengadakan ‘plebisit’ atau buat menetapkan sendiri, bahwa tak perlu diadakan ‘plebisit’ itu sama sekali.”

Dengan tiga puluh halaman bab ini merupakan gugatan panjang yang tak tertahankan terhadap politik Republik yang telah menyebabkan adanya Linggajati dan Renville. Dalam karangan-karangannya di dalam ‘Murba’ bulan Maret dan April 1948, argumentasi Tan Malaka bertolak dari dan ditujukan terhadap Renville.

Dalam tahanan Republik

Dalam bab penutup Tan Malaka kembali pada pengalamannya pribadi – penangkapannya di Madiun pada tanggal 17 Maret, dan perjalanan yang dipaksakan dari penjara ke penjara di dalam Republik, yang dari tempat satu ke tempat lain keadaannya sangat berbeda, dan karenanya berkali-kali Tan Malaka menjadi khawatir akan keselamatan nyawanya. Di dalam keadaan yang seperti itu ia menemukan dalam filosofinya.

“Saya dianggap musuh dan saya berada dalam keadaan tak berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran! Sebab itu senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri saya dengan hati tetap tabah. Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap, laksana kabut disinari matahari. Bahkan ada saat yang pernah saya rasa, bilamana saya anggap pelor pun akan melantunkan kembali mengenai jantung yang menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata. Saya sungguh harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan semacam itu tadi, yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung orang yang tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.”

Namun bagaimanapun, dengan segala fitnah dan ‘fluistercampagnes’ itu, Tan Malaka merasa terbantu oleh

“kodrat kebenaran terpendam, yang dipegang teguh oleh segerombolan ‘unknown friendly powers’ (kekuatan bersahabat yang tidak dikenal). Tentara-teman-terpendam inilah, yang memberikan perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam, karena dalam keadaan handicapped (kurang baik). Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf benar akan adanya tentara-teman-terpendam itu. Sayapun insjaf, akan berlakunya dalam sesuatu masyarakat manusia pepatah ‘teeth for teeth, eyes for eyes’. Apa saja tindakan yang akan dijalankan kepada kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut undang-undang balas membalas, bayar membayar, mungkin dengan rente yang tinggi sekali. Seolah-olah darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent), sanggup memanggil satu tentara-pembalasan. Banyak orang yang tiada gentar, bahkan sebaliknya dengan penuh semangat keprawiraan menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan, sesudahnya nyawanya melayang.”

Tan Malaka memberitakan tentang pemeriksaan atas dirinya, untuk yang pertama akhir1946 – tapi dakwaan konkret tidak diberitahukan kepadanya, selain janji akan adanya ‘public trial’ (pengadilan terbuka) – yang ternyata juga janji kosong belaka. Bagi Tan Malaka hal ini justru merupakan alasan untuk menuliskan pengalamannya di dalam tahanan Belanda, Amerika dan Inggris – tidak ada  public trial, tidak ada right of asylum (hak suaka), tidak ada warrant (surat perintah) – hak-hak yang tidak dikenal bagi native (pribumi).
Republik tidak bertindak lebih baik dari semuanya itu: tidak ada perintah penahanan atas dasar sesuatu pasal hukum dan oleh suatu badan yang berwenang untuk itu. selain itu Tan Malaka dihitamkan namanya dan difitnah oleh, atau dengan persetujuan pemerintah. Tapi kebenaran tidak bisa disembunyikan, dengan gembira Tan Malaka menyatakan: pada tanggal 17 Desember 1946 Benteng Repoeblik didirikan – untuk menentang Linggajati, untuk parlemen yang sejati, dan untuk pembebasan tahanan politik. Semangat PP tetap hidup terus, seperti misalnya di Sumatra nama PP tetap disebut-sebut.
Tapi dukungan dalam kata dan perbuatan terhadap program minimum datang dari Laskar Rakyat Jawa Barat. Tan Malaka mengutip panjang lebar berita dalam ‘Merdeka’ tentang Konperensi LRDB dalam bulan November 1946, dalam suasana yang bersemangat, berkobar-kobar dan marah – menentang pencideraan kemerdekaan 100%, menentang kabinet Sjahrir, dan menuntut pemerintahan  revolusioner radikal, serta menuntut pembebasan tahanan politik. Menurut Tan Malaka resolusi-resolusi Konperensi LRDB ini mengandung ‘historical elements’ (unsur-unsur sejarah). Di Jawa Barat sendiri dukungan terhadap pemerintahan rakyat dan tentara rakyat adalah yang paling pertama dan utama.
Lalu dukungan ini dilakukan sembunyi-sembunyi dan dipersulit sesudah terjadinya ‘perang saudara antara Tentara Resmi dan Laskar Rakyat’ dalam bulan April 1947. Kemudian sesudah Renville pasukan TNI dievakuasi, dan LRDB yang meneruskan bertempur ditinggalkan begitu saja. Dan Tan Malaka menuliskan kalimat-kalimat penutup:

   “Apakah musuh Persatuan Perjuangan, di dalam dan diluar Indonesia sudah pasti, bahwa jiwa persatuan perjuangan ialah Minimum Program, dilain-lain tempat diluar Jawa Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera, sudah lenyap dengan penggantian nama Persatuan Perjuangan?
   Apakah tidak lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh mengandung dasar yang cukup kokoh tak dapat begitu saja ditindas dengan penjara ataupun pelor?
   Apakah tidak akan berlaku juga di Indonesia ini Hukum Masyarakat, ialah bahwa darah dan jiwanya korban perjuangan Kemerdekaan dari pemerasan dan tindasan itu kelak akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi Negara dan Masyarakat Baru?
   Bagaimanapun juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama Persatuan Perjuangan dan menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan teristimewa pula dibawah tanah sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah sekejappun juga saya sangsi mengucapkan: le roi est mort, vive le roi! (raja telah mati, hidup raja baru.)

Dengan demikian pada akhirnya Tan Malaka memperlihatkan ke mana simpatinya diberikan – pada Lasjkar Rakjat Djawa Barat. Pernyataan yang terang-terangan, walaupun secara politis tidak begitu bijaksana. Di dalam Republik LRDB menempatkan dirinya di luar dunia politik dan militer reguler. Oleh karena itulah LRDB ditindak oleh TNI. Sebagian besar pengikut Tan Malaka, seperti misalnya yang di Partai Rakjat, bergerak dalam garis-garis yang ditetapkan oleh Yogya. Kemenangan gagasan politik Tan Malaka diharapkan juga dicapai di dalam kerangka kaidah-kaidah Yogya. Dalam hal ini tampaknya Tan Malaka mengambil jarak demi keuntungan aksi di luar parlemen.
Jilid ketiga Dari penjara ke penjara masih ditambah dengan sebuah lampiran. Keterangan pemerintah tanggal 6 Juli 1946 tentang kup 3 Juli dikutip sepenuhnya, disusul dengan sepatah dua patah kata sebanyak empat halaman dari Tan Malaka.
Secara yuridis, demikian Tan Malaka, keterangan pemerintah yang di dalamnya polisi, jaksa, dan hakim digabungkan menjadi satu, menjadi tidak mempunyai nilai sedikit pun dan juga melanggar aturan-aturan demokrasi. Keterangan itu merupakan timbunan fitnah dan penghinaan, dan tidak berdasar pada pembuktian nyata, melainkan sama sekali sebuah purbasangka belaka.
Untuk penjelasan lebih lanjut Tan Malaka menunjuk pada Sapta Dharma pembelaan Yamin, yang tetap akan menjadi suluh. Pada beberapa masalah ia bahkan membahas lebih lanjut. Ia menyangkal mempunyai ambisi menjadi presiden – pada tanggal 31 Oktober 1945 Soekarni yang membawa usul kepada Hatta, agar Soekarno digantikan Tan Malaka. Selain dari itu posisi presiden itu juga tidak menjadi jaminan mutlak bagi kemenangan revolusi.

Ia kembali memberikan alasan-alasannya, mengapa Persatoean Perjuangan didirikan. PP bukan sebagai senjata untuk melawan pemerintah, tapi sebagai suatu front persatuan dengan program minimum untuk melawan imperialisme. Keterlibatan di dalam kup 3 Juli akan bertentangan sama sekali dengan aksi massa yang diyakininya dengan konsekuen – penculikan, sabotase, ‘individual terror’ sama sekali tidak cocok dengan aksi massa. Dalam hubungan ini Tan Malaka juga menunjuk pada Testamen Politik yang belum pernah dicabut. Dari sudut pandang ini sangatlah tidak bijaksana jika PP akan mendongkel Soekarno dan Hatta.
Jika Soekarno satu kali kali saja menghadiri Kongres PP, dan dengan satu dua patah kata menyatakan dukungan kepadanya, maka akan terbentuklah persatuan erat antara rakyat, PP, dan pemerintah, dan sejarah Revolusi Indonesia akan berjalan sama sekali lain. Penangkapan-penangkapan yang terjadi di Madiun adalah buah pekerjaan trio PS Amir-Sjahrir-Soedarsono, dengan dukungan Soekarno dan Hatta, untuk membuka jalan menuju perundingan-perundingan, menuju Linggajati dan Renville. Hasilnya ialah ‘mendesak Republik Indonesia ke tepi jurang penjajahan’. Maka segala fitnah beracun yang dikirimkan kepada kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun berbalik kepada para pengirimnya.

Saling hubungan

Jilid pertama tulisan Tan Malaka terbit dalam bulan Juni 1946 dalam bentuk stensilan. Jilid kedua terbit tahun 1950, ketika Tan Malaka sudah tidak ada lagi. Sedangkan jilid ketiga agaknya juga terbit dalam bentuk stensilan dalam tahun 1948. Untuk ini Tan Malaka menulis kata pengantar, yang diberinya datum: Yogyakarta, Oktober 1948. Tentang penyebaran buku ini, secara ala kadarnya pun barangkali tidak pernah terjadi lagi, mengingat serangan Belanda yang sudah terjadi dalam bulan Desember 1948. Petunjuk tentang ini ialah, bahwa sesudah bulan Desember tersebut intelijen Belanda tidak pernah merampas satu eksemplar pun. Seandainya ada ditemukan, pastilah hal itu dilaporkan. Karena judul-judul lain karangan Tan Malaka, Gerpolek misalnya, berkali-kali dibeslah.
Mengingat kecilnya kemungkinan dan sarana untuk menerbitkan Dari Penjara ke Penjara, bisa dimengerti jika Tan Malaka lebih mengutamakan penerbitan jilid yang ketiga daripada jilid yang kedua. Jilid ketiga sangat aktual – di sini Tan Malaka mempertahankan pendiriannya, dan membikin perhitungan terhadap lawan-lawannya, termasuk di antaranya Soekarno dan Hatta, dan tokoh-tokoh sosialis Amir dan Sjahrir yang tersingkirkan dari pusat kekuasaan. Bagi Tan Malaka sendiri sekaligus sangat penting jika falsafah politiknya bisa tersebar, meski sudah dibikin singkat tapi tidak mengurangi visinya yang saling berkaitan – mengingat kurangya wawasan penerbit tentang Madilog yang luas cakupannya itu.
Menurut Jarvis jilid ketiga Dari penjara ke penjara merupakan perubahan radikal dari pendekatan naratif yang dominan dalam Jilid I dan II. Sebuah analisis lain terhadap Dari Penjara ke Penjara juga melihat adanya perubahan radikal itu. ‘Penulisan tiba-tiba menuntut agar kita terlibat dalam praktik revolusi masa kini. Dengan kata lain ketegangan yang tersirat di dalam dua j ilid pertama, yang bisa digambarkan sebagai masalalu yang reflektif digantikan dengan masa kini yang aktif. Imbauan diserukan kepada peserta revolusi masa kini yang ...diminta agar memilih pihak. Ini menjadi bukan lagi sebuah otobiografi, melainkan sebuah pamflet politik...
Perbedaannya barangkali tidak besar seperti yang diduga semula. Bagian pembukaan, yang bersifat teoritis dan panjang (lima puluh halaman), mempunyai kemiripan dengan bab-bab awal di dalam jilid satu dan di sana-sini juga dengan bagian-bagian yang berikut, dan bisalah didapat kejelasan tentang penerbitan Madilog yang tidak kunjung datang itu.
Dalam tulisannya tentang pengalaman pribadinya setelah Proklamasi, untuk pertama kalinya Tan Malaka ikut berperan serta dalam peristiwa itu. Dalam jilid-jilid sebelumnya sedikit-banyak ia sekadar seperti musafir, pengamat dan orang pelarian. Ia bisa bercerita tentang pengalaman sendiri dan memberikan visinya tentang hubungan-hubungan politik dan sosial serta perkembangan di negara-negara tempat ia tinggal – Tiongkok, Filipina, dan Malaka. Juga tentang Indonesia, dari sudut pandang seorang komunis, seharusnyalah ia melukiskan secara garis besar kerangka yang demikian itu, yang di dalamnya partai dan tokoh-tokohnya memainkan peranan mereka. Selanjutnya ia menambahkan dengan memberitakan tentang peristiwa-peristiwa, yang ia sendiri berada di luar daripadanya – seperti dalam hal peristiwa Proklamasi – atau kalaupun terlibat namun dalam batas sewajarnya saja. Di sini ia kembali dalam gaya ceritanya, tapi terkadang ia terpaksa mengalah demi dokumentasi dan polemik, dengan demikianlah Tan Malaka mempertahankan pendirian pribadinya. Dalam hal ini peranan Dari penjara ke penjara sebagai senjata politik yang sangat penting tentu saja tidak bisa dielakkan. Namun dari sudut ini Jilid III, walaupun dengan adanya berbagai-bagai sudut pandang, perspektif dan tujuan akhir, memperlihatkan adanya kohesi yang diperlukan dan struktur yang logis. Dengan data-data ini memang sukar untuk mereka-reka tentang dasar rencananya dengan lebih baik. Jarvis juga terlalu menyalahkan Tan Malaka dengan mengatakannya, bahwa ‘relatif kurangnya cerita tentang pribadinya untuk imbangan terhadap perselisihan internal dan perubahan perspektif’, dan bahkan: “buku itu sendiri lebih terasa sebagai  manuskrip yang dalam persiapan untuk diterbitkan’.
Pendapat ini juga dikemukakan dalam “Kata pengantar dan penambah” Tan Malaka yang bertanggal Oktober 1948.

“Dasar dan tujuan jilid terakhir berlainan dengan dasar tujuan jilid yang sudah-sudah. Jilid ini berdasarkan tahanan dalam penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubungan dengan itu, maka isinya tulisan ini agak abstract teoritis, dan agak banyak mengandung sifat polemik. Sedikit banyak dikemukakan disini soal Pemandangan Hidup (Filsafat), soal kenegaraan (state), soal Persatuan Perjuangan, soal Perundingan Indonesia-Belanda dll. Semuanya itu diarahkan kepada pembelaan atas tuduhan yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada tuduhan yang masih kami tunggu-tunggu dari Kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila jilid ini sudah selesai kami semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang tanggal 16 September tahun itu juga, yang belum tertulis dalam jilid inilah, yang kami tambahkan kepada ‘Kata pengantar’ ini...
Tulisan dalam Jilid ini tiada bisa berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti terformulir oleh pihak yang berhak ialah dari Kejaksaan rupanya tiada dapat dimajukan. Pembelaan yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk atas ‘tuduhan’ yang pasti ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami ini juga tiada dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan persediaan buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah dilakukan.

Tan Malaka merasakan ‘keanehannya’, bahwa dirinya sebagai ‘pemimpin coup d’etat’ tidak dituntut dalam proses terhadap Soedarsono dan Yamin. Tapi sementara itu ia pun tidak dibebaskan. Maka yang dikemukakan sebagai alasan, bahwa ia dipersalahkan melakukan ‘oposisi yang ilegal’. Dan Tan Malaka lalu berusaha keras menyanggahnya. Apa itu oposisi legal dan ilegal di dalam kehidupan revolusioner? Atas dasar apa jaksa-jaksa, yang berpendidikan kolonial itu, berhak menetapkan hukuman dalam perkara ini? Bahkan menurut hukum, pembebasan sudah harus dilakukan – menurut asas hukum tidak seorang pun bisa dituntut dua kali untuk kasus yang sama. Tapi kekuasaan pengadilan sudah membiarkan dirinya digunakan sebagai alat bagi para pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan inilah yang seharusnya dituntut oleh sebab tuduhan-tuduhan fitnah mereka. Tapi sebaliknya merekalah yang justru akan tetap menahan dirinya selama-lamanya. Tapi berkat dukungan luas yang Tan Malaka peroleh dari sangat banyak organisasi, niat yang demikian itu tidak bisa dilaksanakan.

“Dimana-mana kami berada, pemuda kami itu berada pula, mengelilingi tembok penjara, sebagai anak harimau mencari ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan didalam penjara atau dari penjara ke penjara, kami lakukan dengan  keinsjafan, bahwa ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami. Veteran-revolusi mana, yang tak akan merasa tetap tenang detik jantungnya serta tetap tegap langkahnya, kalau dia insaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun langkah derap-tegap dari pemuda yang penuh dengan keikhlasan serta kesatriaan? Yang memegang kekuasaanpun tentu tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa pemuda kami itu.

Selanjutnya Tan Malaka menyebut partai-partai dan lasykar yang memberi dukungan padanya, dan semuanya menggabungkan diri di dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). ‘Suara GRR bergumandang dimana-mana, dan terus terang, zonder tendeng aling-aling mengatakan, bahwa dia meneruskan Minimum Program Persatuan Perjuangan dan menuntut penglaksanaan demokrasi dengan membebaskan tahanan politik. Juga ia mendapat banyak dukungan dari Sumatra. Juga Laskar Rakyat Jawa Barat kembali lagi disebutnya, bahkan dengan kutipan panjang dari ‘Nieuwsgier’, yang diperoleh dari ‘Sin Po’, yang menekankan tentang kedekatan hubungan antara Tan Malaka dengan LRDB – bahkan disebutkan organisasi inilah satu-satunya yang tetap menjunjung tinggi cita-cita dan haluan politik Tan Malaka sesudah ia di dalam penjara. Dan Tan Malaka tidak membantah tentang hal ini.
 Pada tanggal 16 September 1948 mendengar berita, bahwa ia dibebaskan. Tidak ada dakwaan yang bisa diajukan. Dan untuk keempat kalinya – seperti yang sedikit masih bisa diingatnya – ia dibebaskan tanpa dilakukan pengadilan.

“Republik ‘Negara Hukum’ kitapun, yang katanya mempunyai ‘alasan’ menangkap kami di Madiun, harus berfikir dua setengah tahun buat menyusun ‘tuduhan’ terhadap kami. Sampai saya dan Sukarni dikeluarkan pada tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka tuduhan itu belum lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.”

Akhirnya Tan Malaka membantah, bahwa ia dibebaskan untuk dipakai sebagai pengimbang terhadap Muso. Tan Malaka menilainya sebagai perkara yang sensitif dan ikut menempuh kesalahan-kesalahan pemerintah PKI-Moeso. Ia menolak menyatakan terang-terangan tentang Moeso, karena tidak mau membiarkan diri diperalat oleh pemerintah.
Tan Malaka menulis autobiografinya untuk ‘para pahlawan kemerdekaan masa sekarang dan masa depan, pemuda dan yang sependirian dengan mereka, untuk memenangkan cita-cita mereka.  Dilihat dari sudut itu buku ini konsekuen, dengan segala sudut pandangnya yang berbeda-beda. Ada penjelasan tentang marxisme dan penerapannya pada historiografi Indonesia dan negeri-negeri di kawasan itu, di mana dia memperlihatkan dirinya sebagai seorang guru yang cakap. Tulisan-tulisan jurnalistiknya memberikan informasi dan latar belakang. Dalam kisah-kisahnya yang murni autobiografis emosi-emosi pribadinya pada umumnya tetap di latar belakang – dalam pandangan saya emosi-emosi itu terlalu ‘banyak disoroti’ dibandingkan dengan kiprah pengabdiannya pada cita-cita. Untuk membuat agar pesan – dan pembawa pesan – bisa dicerna dengan sebaik-baiknya, ia memberi dirinya sendiri aureol martir yang mengesankan – yang dikejar-kejar dan dipenjarakan oleh imprialisme Belanda, Amerika dan Inggris, dari penjara ke penjara, walaupun ketiga-tiga pemenjaraan itu seluruhnya hanya terjadi selama lebih sedikit dari tiga bulan. Dan apakah pendapatnya tentang Republik yang ketika dia menyelesaikan naskahnya, sudah dua tahun menahannya di dalam penjara? Bagaimana Republi ini ditempatkan di dalam deretan tiga kekuasaan kolonial itu?
Tan Malaka juga berspekulasi tentang ‘nafsu sensasi’ dari pembaca-pembacanya. Cara dia meloloskan diri yang mentakjubkan dibesar-besarkannya, dan secara tidak langsung bicara tentang rahasia-rahasianya yang belum terbongkar. Dalam hal ini ia mendapat inspirasinya dari roman Matu Mona, yang menurutnya secara kebetulan dibelinya di Medan tahun 1942 – tapi sangat mungkin ia sudah membacanya selagi masih di Singapura. Matu Mona mengubah romannya itu berdasarkan data yang diberikan Tan Malaka pribadi di dalam ‘Pewarta Deli’ pada tahun 1934, yang kemudian berpengaruh atas Tan Malaka ketika ia menuliskan kisah riwayat hidupnya. Tampaknya ia cenderung berlebihan dalam mempertahankan misterinya, tapi apakah ia menyadarinya, masih merupakan pertanyaan. Perahasiaan dan kehati-hatian menguasai watak kedua Tan Malaka, dan dengan itu kiranya sikapnya yang suka menjaga jarak bisa dimengerti.
Penentuan posisinya terhadap Moskow tetap menimbulkan banyak pertanyaan yang memusingkan. Dengan pendekatan secara rasional terhadap hubungan itu Tan Malaka mempunyai harapan, bahwa ia akan mendapat bantuan dari pusat komunis internasional itu, namun tidak sebagai satelit yang tanpa pendirian. Jika saja informasi dan informan-informan yang benar akan sampai di Moskow, maka Moskow pasti akan memilih dia. Karena kurangnya informasi yang parah tentang perkembangan keadaan di bawah Stalin, maka pendapat Tan Malaka kurang tepat karenanya.
Pimpinan Republik didampratnya habis-habisan. Bab terakhir dari jilid kedua bukunya memperlihatkan nada yang demikian itu: Soekarno-Hatta sebagai kolaborator Jepang. Dan akhirnya mereka juga menyalahgunakan wewenangnya untuk mengekang aksi massa rakyat Murba. Untuk menghadapinya Tan Malaka memberikan sebuah alternatif: Persatuan Perjuangan yang, dari sudut pandangannya, tenggelam sebagai akibat tindakan pemerintah – Soekarno, Hatta dan dua tokoh pemimpin-pemimpin kiri Sjahrir dan Amir – yang bahkan disusul dengan penahanan atas dirinya. Ia membahas politik pemerintah dan menuliskan tentang pengalaman pribadinya. Akhirnya ia mengakui merasa paling dekat dengan LRDB yang menempatkan dirinya di luar spektrum politik Republik. Saat itu bulan Maret 1948; bukunya selesai, tapi kisah hidupnya tidak. Seakan-akan semuanya ditulis dengan mata memandang kepada usaha kebangkitan politik dan mencari pengikut untuk itu.
Dalam bulan Oktober 1948, ia dibebaskan dari tahanan,  ketika sedang menuliskan kata pengantar untuk buku yang ketiga. Ia menyatakan pandangan tentang penahanannya dengan nada getir, memuji bantuan yang diterimanya, sekali lagi dengan tempat terhormat untuk LRDB, dan mengambil jarak dengan pemberontakan Madiun, tanpa mengucapkan dukungannya kepada pemerintah. Namun ia tidak mengajukan suatu alternatif yang jelas.
Apakah Dari penjara ke penjara memang sebuah otobiografi? Dan dari mana Tan Malaka mendapatkan contohnya? Sebuah autobiografi yang ‘benar’ akan berakhir sampai si tokoh mati atau sesudah karirnya habis, tapi buku ini tidak demikian – sehingga tidak ada kebulatan sebagai autobiografi. Lebih baik buku ini disebut sebagai sebuah program politik, yang dalam hubungan ini, dengan surat lamaran yang panjang, Tan Malaka memperkuat permintaannya agar program tersebut dilaksanakan. Falsafah politiknya – yang daripada ide-ide dan praktik politiknya dijabarkan – dedikasinya yang konsekuen, serta ciri-ciri wataknya yang teguh, dibuktikan selama dua puluh tahun lebih dalam  pengejaran dan penahanan, sehingga membentuk dirinya menjadi tokoh yang paling cocok untuk memimpin Republik menuju masa depan yang baru, tidak harus sebagai presiden tapi sebagai guru dan sumber inspirasi dengan tetap berdiri di latar belakang. Di tinjau dari sudut pandang ini terputusnya antara dua jilid yang pertama dengan jilid terakhir seakan-akan menjadi kurang dibicarakan sebagaimana adanya – terlepas dari ucapan Tan Malaka sendiri tentang ini. Demikian pula dengan dua kata pengantar yang belakangan ditulis Tan Malaka untuk buku jilid satu dan tiga, barangkali dalam naskahnya ia mengajukan suatu sistem yang lebih dari yang ada dalam kenyataan. Momentum, aktualitas, dan keadaan di dalam tahanan menentukan bagian-bagian alur kisah dan isi Dari penjara ke penjara, dan memberikan struktur yang heterogen serta peralihan-peralihan yang mendadak. Tapi seluruh teks mengabdi pada satu titik tolak, sekurang-kurangnya tidak boleh merugikannya: pengikut yang ada dipertahankan, pengikut baru digalang untuk satu alternatif politik.

Analisis

Jarvis melihat Dari pendjara ke pendjara  sebagai sumber utama Revolusi Indonesia’, seperti tentang Proklamasi , Testamen Politik, ‘perjuangan’ melawan ‘diplomasi’ dan Peristiwa 3 Juli, di mana penanganan atas Tan Malaka yang berat sebelah dan tebang pilih sama sekali tidak tuntas. Selanjutnya buku ini juga merupakan contoh pertama tentang penerapan historiografi marxis di Indonesia, dilihat dalam kerangka internasional, dan akhirnya merupakan sebuah autobiografi. Dari sudut pandang tersebut akhir itu, buku ini merupakan salah satu yang pertama yang ditulis oleh seorang Indonesia. Penyimpangannya dari norma disebabkan oleh ‘pengalaman politik’ – kekayaan pengalamannya yang bisa menjadi pelajaran – tradisi literer’ – pengalamannya di Eropa dan hausnya akan bacaan mengatasi tradisi tutur Indonesia – dan ‘penghilangannya dari/terus keterlibatannya dalam revolusi’ – dijauhkannya secara paksa dari gelanggang perjuangan politik dan harapannya akan kembali ke sana. Maka hasilnya adalah ‘sebagian buku pelajaran, sebagian buku kenangan, sebagian polemik, adalah sebuah dokumen berharga’ dan pandangan yang langka di dalam pikiran seorang revolusioner Asia.

Rudolf Mrazek menulis resensi yang sangat personal tentang terjemahan Helen Jarvis atas autobiografi Tan Malaka sebagai ‘autobiografi’ yang monumental, mengharukan, hebat, dan bijaksana, pernyataan yang paling hangat oleh dan tentang Indonesia selama lima puluh tahun pertama dalam abad ke-20, dan barangkali pernyataan paling hangat oleh dan tentang revolusi Asia selama periode yang sama’.
Mrazek memuji pekerjaan redaksi dan  penerjemahan, tapi sementara itu Tan Malaka diperlakukan dengan tidak adil karena adaptasi bahasa Inggrisnya sebagai ‘bahasanya yang aneh’, dengan kebiasaan menyelipkan kata-kata Indonesia dengan istilah-istilah Belanda semau sendiri, serta kutipan-kutipan dari banyak bahasa-bahasa lain.
Ia ‘seorang ahli revolusi yang baik’, tapi suatu revolusi yang memang belum selesai...Mrazek juga menyatakan, bahwa bernafsu kerja yang besar, keahlian, agaknya sifat-sifat manusia yang luhur’, dan sifat-sifat demikian itu juga berlaku untuk orang-orang revolusioner, yang semuanya ‘persis seperti pekerja-tangan yang mahir, ketika mereka itu berkumpul akan saling bicara tentang keahlian masing-masing’.

Dalam resensinya W.F. Wertheim menempatkan Dari pendjara ke pendjara di dalam polemik antara PKI dan Tan Malaka, di mana Thesis dijawab dengan Analysis Alimin; dan yang terhadap jawaban Alimin itu Tan Malaka kembali menanggapinya melalui karyanya yang tiga jilid.

C.W. Watson adalah pengarang kedua yang membahas Dari pendjara ke pendjara di dalam himpunan karangannya Of self and nation; Autobiography and the re presentation of modern Indonesia (Tentang diri sendiri dan bangsa; Autobiografi dan gambaran tentang Indonesia modern). Ia membeda-bedakan Tan Malaka dalam tiga peranan: ‘filosof-negarawan’, ‘eksil politik yang romantis, dan ‘pribadi yang aneh’. Watson menyebutkan gambaran tentang Tan Malaka di dalam ‘mitologi nasionalisme Indonesia’ sebagai: ‘seorang Marxis, pahlawan daerah, panggilan terus-menerus pada penguasa kolonial, tidak dipercaya tapi sangat menarik bagi sesama nasionalis, akhirnya menghadapi kebengisan  maut di pihak yang mengalami kegagalan dalam perjuangan untuk hak kekuasaan nasional’. Maka terhempaslah ia pada periferi sejarah kebangsaan, namanya berada ‘dalam bahaya dihapus’ dengan penindasan, pengucilan dan penolakan sebagai akibatnya.

Tentang tujuan Dari pendjara ke pendjara Watson menulis:

“Tampaknya kecil saja rencana tentang apa yang akan menjadi isi ceritanya, apakah mengikuti kerangka kerja krnonologis, berapa banyak kisah akan dimasukkan ke dalamnya, sejauh mana diarahkan sebagai sebuah karya didaktik, berapa jauh kisah pribadinya akan dimasukkan. Akhirnya, ketika kita mendapati jilid ketiga autobiografinya, segala usaha yang tersisa untuk mematuhi aturan-aturan genre telah ditinggalkannya.
    Yang lebih membuat frustasi lagi ialah kecurigaan yang terus menerus, bahwa Tan Malaka bersembunyi dari pembacanya. Ada sangat banyak yang dihilangkan, sangat banyak pula kekosongan.”

Sebagai sebuah autobiografi Dari pendjara ke pendjara tidak memenuhi aturan-aturan, dimana dalam perkembangannya tahap demi tahap, pada akhirnya cerita-cerita tentang perjalanan hidup itu berlalu dan bermuara pada suatu pola yang utuh. Penjara membawa nilai yang besar selaku simbol dan metafora dan dimaksud untuk memberi struktur pada kisah, tapi juga menimbulkan ulangan yang bersifat siklis dan fatalistis. Fatalisme ini terkait pada banyak cerita Tan Malaka tentang usaha-usaha yang gagal, namun demikian oleh Tan Malaka dikompensasikan dengan kepercayaannya, yang diakuinya berkali-kali, pada dialektika yang tak tertahankan, untuk membawa masyarakat secara keseluruhan pada taraf yang lebih tinggi lagi.
Menurut Watson, seperti sudah tersebut di atas, bisa diterapkan perubahan gaya yang tajam dalam jilid ketiga Dari pendjara ke pendjara, tapi ia juga menunjukkan saling keterkaitannya.
Walaupun Tan Malaka menulis terutama tentang

pengalaman-pengalaman eksil, meskipun ia terus menerus mempertahankan kehadirannya secara simbolik di Indonesia, dalam imaginasi bangsa Indonesia menokohkan diri sebagai lawan politik klandestin terhadap Belanda, sebagai simbol pemersatu, dan simbol komitmen yang tak kenal putus pada tujuan nasional dan cita-cita kemerdekaan. Di tengah keadaan yang demikian itu, maka kembalinya ke Indonesia bukanlah kembali ke gelanggang politik tempat ia harus mulai, tapi sebaliknya, suatu langkah kembali yang sudah lama diimpi-impikannya untuk memenuhi janji.

Maka kembalilah ia sebagai
seorang pahlawan nasional yang sejati, seorang arsitek yang telah membangun fondasi revolusi, di dalam karya-karya awalnya dari tahun 1920-an Massa actie dan Naar de ‘Republiek-Indonesia, seorang yang mempunyai pengertian dan persepsi politik yang tajam, seorang yang pragmatis dan filosof.

Di Indonesia ia harus melawan Soekarno – dan dalam jilid kedua dan ketiga ia membikin perhitungan dengannya, sebagai bagian dari ‘immediate political strategy’ (strategi politiknya yang terdekat). Strategi politik yang sedikit banyak  jelas memberi warna pada seluruh bagian; tentang ini Watson tidak memberikan penegasan.
Bagi Watson Dari pendjara ke pendjara juga sebuah karya, yang di dalamnya bisa diungkapkan ‘unsur pokok emosional dan psikologis dari pengarang dan tokoh Tan Malaka’ – bagian-bagian tentang ini tidak terlalu berlebihan. Di sini diungkapkannya ‘pengaman pribadi yang dinyatakannya dengan unik – atau, dengan pemilihan kata yang wajar, pengalaman hidup dan pendapat pribadi sendiri dari seorang pemikir yang mandiri.

Tokoh aneh itu sebagian besar berdiri terlepas dari pemilahan oleh teks antara ‘tokoh masyarakat’ dari pahlawan petualang dan ‘filosof negarawan’, yang semuanya saling mengisi dan menguatkan. Sang pahlawan ini pun harus seorang negarawan dan pemikir politik. Dari sudut pandang tersebut akhir itu ia mencoba mencocokkan Marxisme untuk Indonesia, dan untuk penjelasannya ia memilih contoh-contoh dari sejarah dan kebudayaan Indonesia, tanpa menggunakan Minangkabau sebagai model secara berlebihan. Kegiatan-kegiatannya di dalam, dan pengalaman-pengalamannya bersama Komintern ditunjukkan melalui keinginannya untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh keadaan Indonesia sendiri. Usaha pendekatannya pada Moskow barangkali telah gagal, tersebut di sana-sini di dalam Dari pendjara ke pendjara, seperti juga sebelumnya, bahkan seandainya pribadinya belum ternoda sekalipun.
Watson telah menulis sebuah karangan yang menarik, dengan sejumlah aspek di dalam Dari pendjara ke pendjara untuk pertama kali dibahas. Komentar-komentarnya tentang bobot, apakah Dari pendjara ke pendjara masih bisa disebut autobiografi masih tetap agak akademis. Akhirnya, menurut hemat saya, ia mengakui tidak cukup, bahwa Dari pendjara ke pendjara pertama-tama sebuah pamflet politik yang panjang, yang ditulis untuk kalangan sendiri, di mana Tan Malaka berkemungkinan mendokumentasikan kepemimpinan Revolusi Indoensia.

Penulis ketiga tentang autobiografi Tan Malaka ialah seorang Indonesia Abidin Kusno, yang bekerja pada Centre of Southeast Asian Studies dari University of British Colombia di Vancouver. Sebuah makalah yang dibacakannya dalam tahun 2001 dan 2002 terbit tahun 2003, dengan judul: From city to city: Tan Malaka, Shanghai and the politics of geographical imagining’ (Dari kota ke kota: Tan Malaka, Shanghai dan politik khayalan geografis)
Bagi Abidin pengalaman-pengalaman Tan Malaka di Shanghai tahun 1932 sangat penting dalam pembentukan visinya tentang perjuangan melawan kolonialisme, dan sikap Indonesia dalam menghadapi penjajahan Jepang dan Belanda yang sesudah 1945 akan merebut kembali posisinya.
Sesudah 1945 Tan Malaka dipandang sebagai ‘seorang tokoh politik kalangan luar’ yang berbahaya, yang dengan Dari pendjara ke pendjara membuat pengalaman perjuangannya menjadi tergelar bagi siapa saja, dan dengan demikian memberikan pembenaran atas sikapnya, terutama untuk membantah kritik terhadapnya dari banyak lawan-lawannya. Dengan contoh Shanghai Tan Malaka memegangnya sebagai cermin, baik bagi para pemimpin Republik maupun pemuda, agar bisa merenungkan di mana kelemahan-kelemahan mereka.
Abidin Kusno mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam terminologi yang memerlukan pemikiran mendalam untuk memahaminya. Misalnya ia berpendapat, bahwa visi Tan Malaka tentang kota-kota, yang dalam pengembaraannya terasa kurang mendapat perhatian, dan juga arti penting kota-kota itu dalam membangun pertumbuhan baik subyektivitas geo-historisnya maupun posisi politiknya.
Selanjutnya ia mengindentifikasikan pengertian-pengertian pokok dalam visi Tan Malaka mengenai metropolitan Shanghai dengan banyak perhatian pada kesenjangan sosial, ciri-ciri kebudayaan dan konflik, yang dalam hal ini ia  menempatkan dirinya di pihak rakyat Tiongkok. Perlawanan mereka terhadap pengaruh kekuasaan imperialis Barat dan Jepang, seperti misalnya di pelabuhan-pelabuhan terbuka Shanghai, sangat banyak memberi kesan mendalam padanya. Gambarannya tentang International Settlement (Pemukiman Internasional) yang ibarat benalu melatar-belakangi penetapan posisi pribadinya. Di dalam perkampungan-perkampungan penduduk Tionghoa dan di kawasan luas di luar sana, perlawanan terhadap pemukiman yang membenalu itu menemukan bentuknya.
Dalam menggambarkan Jakarta semasa pendudukan Jepang, Abidin melihat kemiripannya dengan keadaan di Tiongkok. Jakarta seperti Shanghai yang dikuasai oleh kekuasaan asing, dengan politisi Indonesia yang berkolaborasi, yang dipengaruhi oleh mentalitas kolonial-feodal Jawa. Kekuatan yang baru terdapat di luar Jawa dan juga di kalangan massa kaum buruh seperti di Bayah, di tempat Tan Malaka tiba dan menjadi mandor romusha.
Penggambarannya tentang Belanda dan mentalitas Belanda, yang merupakan pembukaan autobiografinya, menurut Abidin juga diwarnai oleh pengalaman-pengalamannya di Shanghai. Dengan begitu tibalah ia pada ‘provinsialisasi atas imprialisme Barat’
Dengan demikian maka khayalan geografis-nya menjadi dasar untuk kritiknya yang tajam terhadap para pemimpin tua dan pemuda, dan dalam hal ini yang tersebut pertama mengejawantahkan sifat-sifat yang paling buruk dari masyarakat Hindu-Jawa, sedangkan yang tersebut kedua menyebarkan radikalisme yang tidak terarah – suatu revolusi sosial yang terstruktur tidak bisa diharapkan dari kedua-dua mereka itu.
Perjalanan hidupnya yang kosmopolit menjadikan Tan Malaka ‘suatu kesadaran akan kebangkitan trans-nasional, perlawanan dan pembebasan, khayalan geo-politik yang tidak bisa dicapai melalui bentuk-bentuk pengetahuan pribumi yang tersekat-sekat.
Lepas dari teori dan terminologi, yang agak dibuat-buat dicarikan pertaliannya dengan argumentasi konkret Abidin, tidak dapat disangkal bahwa pengalaman-pengalaman Shanghai telah berpengaruh sangat mendalam terhadap Tan Malaka. Tapi patut disan  gsikan, apakah penggambaran tentang Amsterdam dan Belanda, dan yang tentang Jakarta itu harus serta merta dirangkai sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga bagian dengan penggambaran tentang Shanghai. Melihat cara bagaimana lahirnya Dari pendjara ke pendjara, hal tersebut kecil kemungkinannya, selain juga pengaruh-pengaruh lain ikut berperanan. Tapi bagaimanapun Abidin mengangkat tema yang menarik dari buku Tan Malaka ini, bahwa ia memberikan suatu sudut pandangan baru dan merangsang timbulnya pemikiran terhadapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar