Autobiografi Dari penjara ke
penjara
Alasan
Di dalam penjara Ponorogo, pada
bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama
autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948
dalam bentuk stensilan. (kata pengantar penerbit untuk penerbitan ini
tertanggal Solo, 17 April 1948. Murba, 18-6-1948 memberitakan penerbitan ini.
versi pertama tentunya sudah terbit antara bulan April dan Juni 1948.
Banyak sudah teman seperjuangan
diluar dan didalam penjara yang mengusulkan, supaya saya menuliskan sejarah
hidup saya. Katanya, agar pengalaman-pengalaman yang sudah saya dapatkan boleh
dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan.
Baru sebulan-dua yang lampau saya putuskan menerima
usul itu. sebelumnya itu saya tiada memandang perlunya yang diusulkan tadi.
Alasan pertama ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting
daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus
dikerjakan dengan cepat dan dengan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena
menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun
naik, ialah penuh dengan up and downs,
yang mengandung lebih banyak ‘down’daripada ‘up’nya bukanlah suatu pekerjaan
yang dapat disambilkan begitu begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang
pentingnya pula, ialah karena keadaan diri saya sendiri. Kehilangan kemerdekaan
yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah
pindah-pindahan tempat kian kemari tak
tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya
berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan disita,
dijadikan alasan ini dan i tu sebagai bahan fluister-campagne (kampanye
bisik-bisik) lawan yang tidak fair (adil). Karena pertimbangan yang demikian
ini, maka mulanya sejarah saya hendak saya serahkan kepada sang sejarah
sendiri.
Tetapi setelah di penjara Magelang
saya mendapat sel yang sunyi senyap tak bercamur dengan para tawanan lain, dan
mendapat kertas, potlod dan meja buat menulis, maka timbulah pikiran untuk
menulis, meskipun cuma buat mengisi waktu saja.......................
Apa yang saya tuliskan kelak boleh
dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya: tak lebih dan tak kurang, oleh
ahli sejarah. Beberapa orang yang namanya saya ajukan disini, kelak boleh
dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan. Kalau tidak cocok benar,
bukanlah terletak pada kemauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau
pada sifatnya memory, ialah peringatan.
Cuma apa yang dituliskan itu hanya
sebagian saja dari pada sejarah hidup saya. Bagian itu saya anggap bukan
bahagian yang kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya
melakukan hasrat kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bahagian hidup itu
saya pusatkan pada beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah
sekitar tiap-tiap penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap2 penjara
itu diterangi oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya saya masuk penjara.
Demikianlah berturut-turut saya
riwayatkan sebelum, sedang dan sesudahnya saya dipenjarakan di Hindia Belanda,
Philippina, Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi
dua jilid. Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia
dan Filipina.
Usaha saya mendapatkan kewajiban
menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan diri saya sendiri nyata mendapat
halangan keras dari Imprialisme Belanda, Amerika dan Inggeris. Bagi saya hal
itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya saya merasa gembira
menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di masa Imperialisme
Internasional. Saya percaya pula, jika
kelak semua halangan itu sekali terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai,
maka pada saat itu akan terjaminlah kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan
rakyat Indonesia yang merdeka itu. semua kodrat lahir dan batin yang
dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan semua halangan itu, kelak akan
menjelma menjadi kodrat pembangunan dan pelindung dalam segala2nya. Semakin banyak
kodrat itu diperlukan dan diperoleh, semangkin teguh jaminan buat hari depannya
rakyat Indonesia.
Buku ini saja beri nama “Dari
Penjara ke Penjara”. Memang saya rasa ada perhubungan antara Penjara dengan
Kemerdekaan Sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia harus siap sedia dan iklas buat menderita “Kehilangan
Kemerdekaan diri sendiri”.
Siapa ingin Merdeka harus bersedia dipenjara.
Situasi
Pastilah bukan dua melainkan tiga
jilid, yang sebelum serbuan Belanda di Jawa bulan Desember 1948, hanya jilid
pertama dan ketiga telah beredar dalam bentuk stensilan. Di Sumatra terbit
jilid pertama dan karangan pertama dari jilid kedua, dalam seri penerbitan yang
diberi nomor berturut-turut. Tebal terjemahan Helen Jarvis seluruhnya terdiri
dari 566 halaman: 166, 193 dan 207 untuk masing-masing jilid.
Dalam bukunya hampir tiga puluh kali
Tan Malaka menyebut suatu saat, atau menunjuk pada suatu peristiwa aktual, dari
itu bisa disimpulkan pada bulan apa dan sampai di mana perkembangan penulisan
manuskripnya. Ia memulai kisahnya di Magelang; sejak 11 Maret 1947 ia
dipindahkan ke sana. Di sini ia mendapat kesempatan menulis, dan barangkali
dalam bulan April 1947 kalimat-kalimat pertamanya mulai dituliskan di atas
kertas. Bagaimanapun dalam bulan Mei 1947 separoh jilid pertama telah
terselesaikan. Dalam bulan Juli ia menulis bab sebelum bab yang terakhir. Aksi
militer Belanda mungkin sekali tidak menunjang bagi penulisan naskahnya;
malahan justru memindahkannya dengan terburu-buru ke Ponorogo, yang keadaannya
jauh lebih buruk ketimbang keadaan di Magelang.
Dalam bulan September 1947 terbuka
kesempatan untuk menyusun kata pengantar dari jilid pertama, dan juga untuk
memulai jilid yang kedua. Dalam bulan Oktober lima dari enam bab telah selesai;
bab yang terakhir dan terpanjang menyusul dalam bulan November 1947. Kata
pengantar tersendiri untuk penerbitan jilid ini tidak pernah datang. Jilid
pertama belum kunjung terbit juga, dan masih harus menunggu berbulan-bulan
lagi. Dengan segala ketidakpastian ini, maka tidak semestinya mencurahkan
tenaga untuk sebuah kata pengantar baru.
Semuanya itu tidak membikin takut
Tan Malaka untuk bekerja seperlunya memulai dengan jilid ketiga, yang dalam
bulan Desember 1947 sudah seperempat terselesaikan, dan pada bulan Maret 1948
separoh yang terakhir dengan cepat terselesaikan – juga berkat pengutipan dari
karangan-karangn yang sudah terbit sebelumnya. Di dalam sel Madiun, yang sejak
26 November 1947 ia dimasukkan di sana, dituliskannya pada halaman penutup,
bahwa ia telah menyelesaikan naskahnya pada bulan Maret 1948.
Dengan demikian dalam waktu satu
tahun Tan Malaka menuliskan riwayat hidupnya, dari April 1947 sampai Maret
1948: jilid pertama dari April sampai Juli 1947; jilid kedua dari September
sampai November 1947; dan jilid ketiga dari Desember 1947 sampai Maret 1948.
Situasi untuk bisa menghasilkan karya yang begitu luas jauh dari ideal. Untuk
Tan Malaka disediakan pensil kertas dan meja tulis. Sel yang dihuninya
terkadang sepi, terkadang harus dihuni bersama sesama kawannya. Nasibnya tidak
jelas. Pemindahan bisa terjadi setiap saat; kemudahan-kemudahan bisa dengan
seenak sendiri diberikan atau dicabut. Begitu juga dengan nasib naskahnya tidak
pasti; dirampas atau dihancurkan selalu menjadi ancaman.
Bab-bab karangan yang tertulis
tangan itu diselundupkan keluar penjara, atau diambil oleh orang-orang yang
membesuk Soekarni atau Tan Malaka. Dalam hal ini juga ada seorang pegawai
penjara di Magelang yang ikut berperan sebagai kurir. Tulisan-tulisan tangan
Tan Malaka itu kemudian diketik dan distensil oleh pengikutnya di Yogya. Ikut
terlibat dalam hal itu Pangalu Lubis, Hasan Sastraatmadja, dan Paramitha
Abdurrachman. Tulisan tangan Tan Malaka itu memberi cukup masalah bagi para
pengetik, terutama dengan kata-kata dari bahasa asing dan nama-nama yang harus
disalin.
Selanjutnya teks juga memperlihatkan
gaya Tan Malaka yang istimewa: khas,
kuno, tidak selalu konsekuen mengubah gramatika dalam bahasa Indonesia,
seringkali mengambil kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Belanda,
Inggris, Perancis dan Jerman, dan dalam bukunya ini juga dari bahasa Tionghoa,
Jepang dan Latin. Jarvis menamai buku ini sebagai ‘cendrung’ pada gaya Jerman
dengan banyak menggunakan huruf kapital, khususnya untuk nama-nama benda
abstrak, dan menuliskan serangkaian tanda seru, tanda tanya dan titik-titik.
Kemungkinan menggunakan bahan
stensilan sebagai cetakan percobaan jelas tidak bisa. Jilid pertama stensilan
itu terbit dengan sangat banyak salah ketik. Sesudah terbit Tan Malaka, yang
saat itu masih di dalam penjara di Magelang, kiranya sudah melihat penerbitan
bukunya itu.
Rintangan lain dengan menuliskan
ingatannya menyebabkan tidak adanya literatur. Untuk jilid pertama dan sebagian
sangat besar jilid kedua – melihat pada rujukan-rujukan dalam teks – hanya
memberikan sebagian dari suplemen pada Encyclopaidie van Nederlandsch-Indie, di
mana J.Th. Petrus Blumberger memberikan laporan panjang lebar tentang sejarah
komunisme dan Partai Komunis di Hindia, demikian juga dari Inside Asia John
Gunther yang populer cetakan pertama tahun 1939. Ensiklopedi tersebut
seringkali dikutipnya untuk menyusun catatan tentang peranannya sendiri di
dalam gerakan komunis; Tan Malaka sedikit saja memberikan kritiknya. Gunther
dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber untuk bab panjang tentang situasi
politik di Tiongkok, tertuju pada situasi Shanghai tahun 1932. Juga brosusr
Alimin Analysis dibacanya, sesegera sesudah borosur ini terbit.
Sesudah November 1947 tampaknya Tan
Malaka mempunyai sumber lebih banyak lagi. Terutama suratkabar yang dipakainya
sebagai rujukan, seringkali dari tanggal yang sudah tua. Agaknya kawan-kawannya
sehaluan yang mengatur memasukkannya ke penjara, dengan kliping dari surat
kabar Belanda dan Indonesia yang relevan. Selanjutnya juga tersedia padanya
nomor-nomor penerbitan Indisch Tijdscrift van het Recht dari bulan Desember
1931, yang memuat vonis terhadap Soekarno, juga buku The Pacific Charter
karangan Hallet Abend.
Buku-buku rujukan tentang komunisme
yang ada pada Tan Malaka ialah bagian ketiga dari karya Engels penerbitan
Jerman Die Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats dan
penerbitan Inggris karya Lenin State and revolution.
Tentang karyanya sendiri Tan Malaka
hanya pakai Massa Actie. Tentang
karyanya yang lain disebutnya sedikit-banyak jika memang pada tempatnya. Adapun
yang tidak disebut-sebutnya Toendoek
kepada kekoeasaan, tetapi toendoek kepada kebenaran dan Semangat moeda, dan Siaran Pari, Politik dan Moeslihat dari sesudah tahun 1945.
Tan Malaka banyak mengutip dari
ingatan, terutama dari Hegel, Marx, Engels, dan Lenin – dan memang benar,
seperti Jarvis dalam terjemahannya telah dengan teliti memeriksanya.
Masalah serius untuk Tan Malaka
dalam menulis bukunya ialah, tidak adanya kemungkinan untuk mencari tahu pada
bagian-bagian manuskripnya yang terdahulu. Maka terjadilah pengulangan dan
penghilangan, sehingga memberi kesan fragmentaris pada bukunya. Hal seperti ini
masih diperkuat lagi dengan cara pendekatan Tan Malaka yang berbeda. Dari penjara ke penjara lebih dari sekadar riwayat hidup,
yang lebih dikonsentrasikan pada masa-masa di sekitar penahanannya. Buku ini
berisi penjelasan tentang Marxisme, historiografi Marxis secara umum, reportase
jurnalistik, pengalaman-pengalaman pribadi, dan akhirnya terutama juga tentang
sumbangsih serta penentuan posisi dirinya dalam perjuangan tahun 1947 dan 1948, ketika ia – setelah
dibebaskan dari tahanan – kembali diharapkan memainkan peranannya.
Jilid pertama
Dalam biografi Tan Malaka ini
berkali-kali disebut tentang riwayat hidupnya, dengan kisahnya yang memberikan
informasi mengenai sepak terjang dan pemikirannya selama dalam periode yang
terkait. Seperti sudah dikatakan, Dari pendjara ke pendjara lebih dari sekadar
riwayat hidup. Karena itu pandangan tentang isi dan susunan, serta sejumlah
bagian yang menarik memang pada tempatnya.
Buku ini dimulai dengan empat bab
pendek (seluruhnya sepuluh halaman), yang merupakan pengulangan Madilog, yaitu:
‘Perjuangan dua kodrat’, Human rights (Hak asasi manusia), ‘Hak perlindungan
diri’, dan ‘Kepastian Hukum’. Pengantar ini akan memperlihatkan dialektika
dalam hukum – dalam kasus Tan Malaka antara keadilan dan penindasan di medan
perang dirinya sendiri dan perjalanan hidupnya. Ia mengikuti perkembangan
hak-hak asasi manusia individual selama berabad-abad, yang menetapkan juga aturan-aturan
tentang penahanan, pemeriksaan dan pengadilan, sebagai hasil dari Revolusi
Perancis. Tapi apakah itu semua artinya, jika krisis ekonomi, pengangguran,
perang, dan kelaparan terus menerus mengancam terhadap lebih dari 55% penduduk
di negeri-negeri kapitalis, dan lebih dari 90% di tanah-tanah jajahan? Apa arti
aturan-aturan itu jika si terdakwa miskin dan tidak berpendidikan dan tidak
mempunyai uang dan pengetahuan untuk membela diri atau meminta bantuan
pembelaan? Apa arti hukum jika yuris-yuris yang adil pun berakar pada
kepentingan, pendidikan serta cara berpikir borjuasi?
Tentang hal tersebut di atas Tan
Malaka tidak menarik kesimpulan, bahwa juga hukum ialah alat klas yang berkuasa
dan akan diberlakukan terhadap musuh-musuh klasnya. Karena ceritanya yang
emosional terhadap tindakan buruk pengadilan terhadapnya itu, agaknya ia
memendam ilusi bahwa aturan hukum juga akan diberlakukan terhadapnya, sesudah
setiap kali dikecewakan – di Hindia Belanda, Filipina, Hongkong, dan di
Republik Indonesia.
Bab kelima ‘Pulang ke Indonesia’
dimulai dan diakhiri dalam bulan November 1919.
Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah,
November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan
mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya
ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang.
Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan
rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih
kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik
jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh
dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar
metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam dunia
bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap melambung ke
angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan baja. De
“Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai asyik tawar
menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas tanah bangsa
lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan kekayaan dan
kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah perpaduan
atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers dan
kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di
antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui
terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak
dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati,
voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda.
Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi
perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil,
kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun
bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001
kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja besar-besaran
menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko besar, memangnya
bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda dan kapal
layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika Selatan,
membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan, Burma,
dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis jalan ke
Indonesia itu, melainkan bangsa
Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi
bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus.
Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X,
belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu
tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak
mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan
perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau
pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya
(psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti
Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai
bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat
baja paduan (allay) zaman sekarang, maka
haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil
bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu,
dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan
bambu runcing dan granat tangan saja.
Negara Belanda sudah di belakang,
dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra
Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra
Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah
sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang
kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di
sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi
sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada
penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya
warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun
dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika
ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang
dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri
Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada
manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum selesai
diperhebat, didorong oleh konflik dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan
pertentangan tajam dalam masyarakat yang akan ditempuh.
Untuk perhitungan pertama dengan
Belanda Tan Malaka cukup dalam dua halaman saja. Mentalitas kruidenier masih akan kembali
seringkali. Kata pengantarnya diteruskannya dengan kenangannya pada Belanda –
tidak seluruhnya, karena menurutnya apabila seluruh kisah akan minta terlalu
banyak waktu dan tempat. Maka menyusullah cerita-cerita tentang sekolah guru di
Haarlem dan program pengajaran di sana, kesehatannya yang buruk, rumah
pondokan, dan penyadaran politiknya, yang tercakup dalam dialektika tesis,
antitesis dan sintesis (Nietzche, Rousseau, Marx/Engels), yang diperhebat
sesudah di rumah kosnya yang baru di Bussum. Utang biaya studi yang
bertambah-tambah sangat mengganggu pikirannya, sampai tahun 1919 ketika tawaran
bekerja sebagai guru untuk Senembah Maatschappij di Deli memberi jalan keluar
yang disambut baik. Tamasya kecil bercerita sedikit, meski terlalu sedikit,
tentang masa mudanya di Suliki dan di sekolah guru di Fort de Kock. Orang-orang Belanda yang ditampilkannya
sebagian disebut dalam nama lengkap mereka dan sebagian hanya huruf pertamanya
saja. Yang tersebut akhir ini digunakannya jika ia memberi komentar yang kurang
menyenangkan atau hendak menuliskan karakteristik yang bersangkutan. Dalam hal
ini ia sebagian juga menggunakan pernyataan langsung, seperti demikianlah
terdapat di dalam buku ini, sengaja untuk membuat kisahnya menjadi hidup.
Tujuh belas halaman selanjutnya
ditutup sebagai berikut:
Sekalian tinjauan selayang pandang
kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh
dibelakang, ditinggalkan kapal yang saya tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa
episode saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk
menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan
buat fasal ini sudah melebihi rancangan saja, sehingga saya terpaksa
mengikhtiarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang
saya tempuh sekarang.
Selanjutnya Laut Tengah sebagai
buaian peradaban melahirkan beberapa halaman historiografi Marxis – di sinilah
fiil daya-kerja Iskandar Akbar,
Abdarrachman, Kalifah Kordoba, dan Napoleon menentukan – yang bermuara
pada hasrat untuk menulis ulang sejarah: Yunani, Roma, Arabia, dan
negara-negara besar lainnya.
Lalu sesudah itu menyusul Samudera
Hindia, dengan India yang mengeksplorasi agama Hindu dan bencana sistem kasta.
Ketika kaum paria bangkit memberontak, maka Revolusi Perancis dan Rusia ibarat permainan anak-anak belaka.
Akhirnya Sabang Indonesia. Di tepi
pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar
setiap menit! Saksikanlah sendiri! Sampailah sekarang ke ujung pelajaran! Lautan Hindialah yang penghabisan
dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudera
yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di jaman gelap gulita.
Itulah bangsa perantau. Semangat pertahananlah yang
mendorong mereka mencari tempat kediaman baru, apabila alam tidak memungkinkan
bagi mereka untuk hidup. Semangat perantau itu mendapat dorongan dari susunan
masyarakat di masa lebih dari dua ribu tahun yang lalu – pada masyarakat
Minangkabau dan Batak. ‘Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu
ramping, di jamin oleh alat cerdik bersemangat bertoboh, bergotong royong atau
tolong menolong dimasa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama
dicacah” dan bahaya “telentang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”...
samuderapun cuma danau saja dimata mereka.
Kemudian Tan Malaka berangkat menuju
Deli. Dan tentang itu ia mulai dengan bab baru sebagai berikut:
Goudland, tanah emas, surga buat
kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar.
Deli di masa saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarangpun masih
menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan
yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan
bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang
paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Dikutub
yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja di Indonesia yang paling
terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak.
Deli mempunyai segala-galanya, juga untuk membangun
industri berat. Tapi Belanda memilih berinvestasi yang tanpa resiko namun
dengan rendemen yang tinggi, seperti dalam budidaya tembakau. Tan Malaka
mendalami lebih jauh tentang fakta-fakta yang disimpan dalam kepala hampir 30
tahun, untuk membuat gambaran tentang keadaan di Deli. Ia membeberkan tentang
organisasi perusahaan, di mana semua bekas lanterfanters (orang gelandangan),
deught voor niets (orang-orang yang gagal) dan sclemiels (orang sial yang bego)
masih bisa diterima sebagai karyawan: ‘dengan tongkat besar, kepala kosong, dan
suara keras’.
Sebaliknya ada
Klas yang membanting tulang dari
dini hari sampai malam, klas yang mendapat upah cuma cukup buat pengisi perut
dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam
kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdom-i (dimaki) atau dipukul, klas yang
sewaktu-waktu bisa kehilangan isteri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh
ndoro tuan...adalah klasnya bangsa Indonesia terkenal sebagai kuli kontrak.
Pertentangan itu sangat hebat dan
hanya berdasar atas warna kulit. ‘Dengan kulit yang putih, tongkat yang besar
dan dua tiga patah kata “Melayu pasar” dan 13 “godverdomme”, mereka itu
samasekali bergantung pada mandor-mandor Indonesia, namun begitu mereka
menerima gaji yang luarbiasa besar. ‘Adakah tempat buat saya dalam masyarakat
Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya, seorang Indonesia
yang berpaham radikal, di tengah-tengah satu masyarakat yang mengandung
pertentangan maha tajam.
Sesudah tinjauan yang emosional
tersebut Tan Malaka menceritakan pengalaman sendiri, yaitu bahwa sebagian besar
kolega-koleganya di Senembah menerima dia, karena ia diangkat sebagai karyawan
oleh Dr. C.W. Janssen, direktur Maatschappij, yang datang pada saat yang sama
dengannya untuk kunjungan inspeksi. Selain itu ia juga bertemu kawan-kawannya
sehaluan yang hendak menjembatani kendala warna kulit itu. mengenai hal itu ada
pelajaran yang telah diperoleh Tan Malaka di Belanda. Terhadap kata-kata
cacimaki seperti vuile Neger (negro
busuk) dan water Chinees (orang aneh)
pastilah disahut dengan: ‘apa kamu bilang, sebutkan sekali lagi’, kemudian
reaksinya hampir selalu: ‘niets, meneer’ (tidak
apa-apa, tuan). Belanda itu atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa
lebih, maka meminta terus sambil menendang terus. Mentalitas kruidenier yang haus keuntungan itu juga
menyatakan diri, bahwa merekalah satu-satunya bangsa Barat yang selam
berabad-abad mau tunduk pada syarat-syarat Jepang yang menghina untuk tetap
bisa berdagang di Deshima.
Selanjutnya Tan Malaka menulis
tentang kegiatannya sebagai guru, yang juga segera berujung pada kontak-kontak
dengan orangtua, dan sementara itu masalah perbaikan nasib mereka tetap menjadi
bahan pembicaraan. Posisi Tan Malaka tidak bisa dipertahankan, dan ini juga
dirasa Dr. Jansen ketika pulang kembali ke negerinya, sesudah kunjungannya ke
Indonesia yang lama. Ia memberi izin pengunduran Tan Malaka dengan hormat. Oleh
para tuan besar di Deli Dr. Janssen dipandang ‘sebagai idealist, ethis, sebagai
orang goblog dan diejek2kan dibelakangnya’. Pada kenyataannya sekolah-sekolah
kuli ialah sekolah-sekolah Potemkin, dan dengan cara itu Jansen dikelabui. Dan
dengan beberapa kalimat tentang Dr.Janssen, bab ini mengakhiri tentang Deli, di
tempat Tan Malaka menjadi radikal.
Dr.Janssen, walaupun berbudi luhur,
cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam di antara pemandangan
politik kami. Tak sekali ini saja, dan tidak dengan bangsa kulit putih saja
saya merasakan lakonnya kesedihan ‘tragedy’ hidup: bisa sehilir semudik,
seminum semakan, tetapi tak bisa seperjuangan sepasukan.
Bab ‘Semarang, Kota Merah’
melukiskan tentang medan kekuatan gerakan kiri di Jawa dan represi Belanda yang
makin meningkat, dan terutama dengan Exorbitante Rechten yang merupakan bahaya
besar – ‘laksana bom terpendam, entah dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu’.
Tan Malaka bertemu Tjokroaminoto,
Darsono dan Semaoen. Dengan pertolongan PKI ia mendapat kesempatan untuk
mewujudkan rencananya tentang sekolah proletar dengan sukses besar. Tentan ini
ia menuliskannya dengan penuh semangat. Ia masih ingat pada pembukaan pertama
sekolah itu.
Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana merah, berbaris-baris,
bersaf-saf didepan khalayak dan menyanyikan lagu internasional...pertama kali
diantara rakyat Indonesia. Setelah semuanya berlaku dengan cepat rapi teratur
oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan rakyat...yang tiada juga
terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang menyambut dengan air mata
berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insaf akan
nasib anaknya dan diri sendiri; sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira,
karena para murid ini akan dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan,
melainkan buat mengangkat derajat rakyat tertindas, terhisap dan terhina, ialah
golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan. Baru sesudah
bermenit-menit tepuk tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh
sorak dan tepuk tangan yang riuh.
Tapi Tan Malaka, karena kurangnya
pemimpin yang mampu, tidak terelakkan lagi menjadi terlibat dalam aksi-aksi
politik. ‘Disini saja sudah menginjak tanah lincir yang dinamai politik. Sekali
kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali.’ Tan Malaka mendominasi Kongres PKI
bulan Desember 1921, dan juga aktif sebagai pemimpin serikat buruh. Penangkapan
mengancam, tapi tidak ada jalan kembali, dan Tan Malaka sadar tentang segala
kemungkinan akibatnya.
Di
bawah bab berjudul ‘Tangkap buang’ menyusul kisah tentang penangkapan
Tan Malaka di Bandung pada tanggal 13 Februari 1922 bersama dengan Bergsma. Ia
memberikan kata-kata penghargaannya kepada ‘koppige
Fries’ (orang Frislandia yang keras kepala) ini. ‘Seperti Semaun dan
Darsono, juga Piet Bergsma, Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan
jejak dalam gerakan sosialisme dan Serikat Sekerja di Indonesia.’ Mereka harus
dihormati sebagai pelopor apabila proletariat Indonesia telah mencapai
kemenangan.
Tan Malaka menyerang dengan tajam
terhadap Exorbitante Rechten. ‘Barbertje moet hangen’ (salah atau benar mesti
dihukum), ia mengutip Multatuli. Kemudian ia menceritakan sebuah fabel:
“Sebermula, sekali peristiwa, seekor
anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya, sekonyong-konyong berhadapan
dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang harimau: ‘Nah, sekarang
syukurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan hukuman.
Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum?
Sahut anak kambing: ‘Ampun tuanku,
masakan patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik
minum dihilir ini, sedangkan tuanku
minum di hulu sungai.’
Kata sang harimau: ‘Mungkin tidak
sekarang kau keruhkan, tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang
mengeruhkannya.’
Sahut anak kambing pula: ‘Ampun
tuanku, beribu kali ampun, masakan dapat patik, yang hina dina ini mengeruhkan
air minum tuanku pada tahun yang lalu, karena dimasa itu patik belum lahir.’
Kata sang harimau; ‘Kalau bukan
engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentulah ibumulah yang
mengeruhkannya. Dan kalau bukan ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.’
Demikianlah kata sang harimau yang
penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu,
untuk dimakannya.”
Exorbitante Rechten laksana satu
golok yang dipegang di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang
yang dianggap musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka ‘hak
istimewa’ itu adalah aturan sewenang-wenang, despotis; dan dari sudut
kesusilaan, moral, adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut. Tapi juga
merupakan akibat logis dari harapan sekelompok kecil orang Belanda yang ingin
mempertahankan kekuasaan kolonialnya, lepas dari proses peradilan, keadilan dan
kebenaran – maka mengherankanlah jika Tan Malaka menjadi sangat marah dan
tersinggung.
Dalam bab ini juga ditulis tentang
beberapa unek-unek pribadi. Tentang pengasingannya Tan Malaka bisa
menuliskannya menurut pengalaman sendiri:
“Indonesia baru diingat dan diingini
bumi serta iklimnya, kalau kita, anak Indonesia, disalah satu bagian bumi ini
gemetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu,
tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insjaf apa
artinya sang matahari, yang selalu mengedari kita dan tumbuhan kehijauan yang
menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru ingat dan
kita ingini, kalau kita berada di tengah-tengah bangsa lain yang sepatahpun tak
kita mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah pula kita bandingkan dengan keadaan ketika
kita masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu
pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di
negeri asing, di tengah-tengah masyarakat berbahasa dan berhasrat lain, apabila
kita merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang
kesana-kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas
dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan
hawa-iklim negara baru, masyarakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat
kemajuan internasional sekarang ini. teristimewa pula kalau kita berada dalam
kemiskinan di tengah-tengah hawa-iklim, masyarakat dan semuanya asing. Dalam
hal ini banyak iman yang pecah: orang buangan kembali diam-diam atau membunuh
diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang
paham bermula, terus teguh pegang hasrat dan imannya.
Dalam bab ini Horensma juga disebut
beberapa kali. Ia masih sempat berbicara dengannya pada saat keberangkatannya.
Ia berpamitan kepada gurunya:
Entahlah. Tetapi yang memberi
sebagian pengetahuan di bangku sekolah, dimasa kanak-kanak dan pemuda, dan dibelakangnya
yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya memadamkan dahaga atas
pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah Gerardus Hendrikus
Horensma.
Seorang murid yang ingin belajar,
ingin tahun, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang
memberikan apa yang diingini si murid yakni pengetahuan. Guru yang tulen tak
akan pula memandang warna kulit muridnya. Yang ikhlas dan sanggup menerima
pelajarannya adalah sederajat di hati sanubarinya dengan anak kandungnya. Guru yang
tulen ingin menurukan pengetahuannya, seperti si murid yang tulen ingin pula
haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang
bisa benar menghilangkan prejudice, vooroordeel (prasangka) terhadap seseorang,
ialah rasa benci sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit,
bahasa atau adat istiadat, dan sebaliknya bisa menimbulkan rasa penghargaan
‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’ adalah perguruan.
Sesudah itu sedikit saja
menceritakan tentang keluarganya sendiri. Akhirnya Tan Malaka hanya mengambil
satu halaman saja untuk orangtuanya. Melalui adiknya ia berpamitan, dan minta
kedua orangtuanya untuk tidak datang ke pelabuhan Padang dan berpamitan, sebelum
perjalanannya ke pengasingan di Negeri Belanda. Juga ditulisnya tentang
kesedihan ibunya karena tidak mempunyai anak perempuan. Pada tahun 1919 ia
masih menengok orangtuanya. Mereka mengerti, bisa menerima, dan juga setuju
pada cita-citanya, demikian anak laki-laki mereka itu menulis.
Tetapi kewajiban terakhir dari anak
Indonesia terhadap ayah-bundanya, mengunjungi kubur mereka dan melakukan
keinginannya selagi hidup memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan
bermacam-macam rintangan sampai sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup
saya jalankan. Saya akui bahwa kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering
dirasa seperti ‘duri di dalam daging’. Teristimewa pula karena saya insjaf dan
selalu merasa sayang, sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka
meninggal, memang banyak menyusahkan mereka.
Bab berjudul ‘Kemana?’ menceritakan
tentang langkah-langkah besar selama periode April 1922 sampai akhir 1923. Ia
di Belanda dan menjadi terkenal sebagai orang Indonesia pertama calon anggota
Tweede Kamer, dan untuk itu Partai Komunis mengorganisasi safari pemilu yang
diperluas, dengan membawanya berkeliling di seluruh negeri. Tentang semuanya
itu Tan Malaka menuliskannya dalam satu halaman. Saya tidak bisa mengerti,
mengapa cerita ini sesingkat itu? Dengan bangga Tan Malaka mengenang kembali
pada fase kehidupannya di tengah masyarakat, seperti dalam bab-bab sebelumnya
demikian juga halnya ketika ia bisa membuat tulisan yang begitu hidup tentang
pengalamannya dengan para pemimpin CPH (Partai Komunis Belanda),
mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan orang-orang awam Belanda selama perjalanan
kelilingnya di Belanda. Ternyata ia tidak peduli dengan tempat ketiganya dalam
daftar calon, yang terlalu rendah untuk menjadi wakil dari enam puluh juta
penduduk Indonesia – tapi ini tampaknya merupakan kritik yang belakangan saja.
Ia juga menambahkan tentang dirinya yang tidak mempunyai niat untuk tinggal di
Belanda. Dari sini kemudian ia menuju ke Rusia.
Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun
1927, yang berada dalam pertikaian hebat antara gologan Stalin dan golongan
oposisi, Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia
di waktu pecahnya perang melawan nazi Jermania, Juli 1941, sesudah mengalami
tiga kali rencana ekonomi yang jaya
mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan sejarah yang sudah-sudah.
Akhirnya bukanlah pula Rusia sekarang setelah mengalami peperangan dunia kedua,
yang memusnahkan sebagian besar apa yang sudah didirikan bertahun-tahun dengan
keringat, air mata, serta jiwa.
Sampai di sini dalam tulisannya Tan
Malaka tidak bisa mengingkari memberikan pendapat tentang politik Soviet, dan
peranan Stalin di dalamnya, yang sejak 1922 ia harus berhadapan dengannya. Dan
pendapat itu p un masih memainkan peranan di dalam masa depan politiknya.
Tentang ini ditulisnya di dalam Siaran
Pari dan Thesis, di dalam Dari Penjara ke Penjara ia harus
menetapkan kembali posisi dirinya. Apakah ia masih selalu bisa mengharapkan
dukungan dari Moskow, dan dengan demikian haruskah ia menuliskan positif tentang
peranan Stalin? Tan Malaka menghadapinya dengan hati-hati.
Pula dalam masa revolusi, baik dalam
suasana anti-imprialisme ataupun anti-kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup
menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia, konperensi
ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya mewakili
P.K.I. Dalam revolusipun memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang habis
bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan sama
sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.
Selanjutnya Tan Malaka menyebut
Darwin, Marx dan Lenin sebagai pemikir-pemikir yang menerapkan dialektika,
logika, dan ilmu pengetahuan pada bidang penelitian mereka, di mana Lenin
menganalisis sendiri revolusi di Rusia. Namun kesimpulan-kesimpulannya tidak
akan diterapkan begitu saja untuk situasi di India atau Indonesia: Marxisme bukanlah
dogma, tapi suatu garis pedoman untuk aksi revolusioner. Di dalam revolusi
selalu ada faktor X: perilaku manusia, sehingga teori bisa menyimpang dari
praktik. Pengalaman praktik, hubungan dengan masaa dan pengenalan terhadap
situasi masyarakat bisa digunakan dengan sebaik-baiknya untuk prognosis tentang
kemungkinan arah perkembangannya.
Seorang revolusioner sejati haruslah
mempunyai ‘open mind’ (mata terbuka) terhadapa jalannya revolusi di
negeri-negeri lain. ‘Demikianlah pula umumnya sikap para pemimpin yang paling
terkemuka di Rusia di masa saya disana (1922).’ Mereka menyadari benar tentang
faktor X tersebut. Dengan alasan ini pulalah, maka di dalam Komintern
dilangsungkan diskusi dan debat yang diperluas. ‘Kita tak perlu kuatir kalau
kelak “Paduka yang besar” ini atau itu akan ‘tersinggung’ kalau dikemukakan
kritik ini atau itu. Diskusi-diskusi semacam itu akan menghasilkan
keputusan-keputusan yang mendapat dukungan luas. ‘Diktator proletar bukanlah
diktator yang mendiktaturi kaum proletar, apalagi mendiktaturi Partai
Proletar.’
Tan Malaka menyebut
pemimpin-pemimpin Soviet yang telah dikenalnya: Lenin, Stalin, Trotsky,
Zinoviev, Bucharin, Radek, dan lain-lain.
Menurut apa yang saya baca dalam
surat kabar, maka hampir semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada
kini yang hidup lagi. Cuma Lenin saja yang mati di tempat tidur. Yang lain-lain
mati terbunuh dalam pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti faksi oposisi
dalam Partai Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga
di Rusia ‘sang revolusi memakan anak’.
Sang Sejarah tak mengenal
penjelasan, tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh
sejarah tidak bisa dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau
buruknya, adil atau zalimnya, buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah
dilakukan di masa lampau itu. apa yang sudah dijalankan oleh revolusi itu
adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian. Dan apa yang dikira benar
itu mesti dibenarkan dahulu oleh sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran dari yang
lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap, dan memakai yang betul
tepat-baik.
Kemudian Tan Malaka kembali pada
Kongres ke-4, di mana ia memilih metode yang aman dengan membuat kutipan
panjang dari Petrus Blumberger tentang hal ini dan diberi komentar olehnya.
Sehubungan dengan itu ia menunjuk pada diskusi-diskusi tajam di komisi-komisi
Komintern tentang hubungan antara partai-partai komunis dan nasionalis di
negara-negara jajahan, yang dalam hal ini Tan Malaka seorang pendukungnya – dan
yang dengan itu ia melangkah lebih jauh dari yang diinginkan pimpinan
Komintern. Tapi kendatipun demikian ia, seperti dinyatakannya, belum sampai
ditangkap oleh polisi rahasia Tsjeka sebagai seorang pengacau atau ‘perobohan’.
Akhirnya Tan Malaka menuliskan
tentang kesan umumnya mengenai Rusia- yang dari sudut ekonomi dan organisasi
tertinggal jauh dari Jerman – tapi dalam organisasi politiknya disana berlaku
persamaan. Setiap orang ialah tovaritsj,
kawan, dari mulai Lenin dan Stalin sampai kaum buruh. Dari sudut ini orang
Rusia berada lebih dekat pada orang Asia dibandingkan dengan orang-orang Eropa
Barat. Mengapa bisa begitu, ia bertanya. ‘Generasi sekarang hidup dalam suasana
sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan mengalami banyak
kekurangan dan masih dikepung oleh sistem kapitalisme’. Dari sudut ini mereka
berbeda dari kaum Bolsyewik lama, yang dengan mudah bisa menyamakan diri dengan
nasib bangsa-bangsa jajahan. Terhadap kaum Bolsyewik lama itu Tan Malaka
mempunyai kenangan yang baik.
Ini masalah sangat peka yang harus
dihadapi Tan Malaka. Ia harus menyenangkan kedua belah pihak, tapi ia
menyepelekan loyalitas tak bersyarat yang dituntut Stalin. Dalam hal itu tidak
ada faktor X yang cocok bagi orang-orang komunis dari luar Rusia, menunjuk pada
seorang ‘Paduka yang besar ini atau itu yang tersinggung’, sebutan bagi para
pemimpin komunis yang telah jatuh di atas timbunan kotoran sejarah dan bahkan
telah tersingkir dari sejarah, dan sebagai sindirian pada Tsjeka serta kaum
Bolsyewik tua. Tapi Tan Malaka jelas masih tetap mempunyai sedikit ilusi
tentang dukungan yang akan bisa diharapkannya dari Moskow – dan jurang antara
PKI dan Tan Malaka serta pengikutnya dapat dikatakan tidak menjadi lebih dalam
daripada praktik waktu itu.
Kemudian Tan Malaka melanjutkan
dengan dua bab tentang pengalamannya selama di Tiongkok, yang menurut
pengakuaannya sendiri ia pergi ke sana dengan mandat Komintern – suatu mandat
yang diberikan kepadanya dengan tuga mengamati kinerja, dan juga untuk mendirikan
partai-partai komunis di negara-negara Asia Tenggara atau Aslia, istilah yang
dipakai Tan Malaka di dalam uraian-uraiannya.
Tulisan ini juga ringkas saja,
karena ia kekurangan kertas, dan tidak kurang penting pula: ‘Maka perlulah kita
menyimpan ‘siasat’ buat meneruskan pekerjaan kita mengatasi ranjau yang ditaruh
oleh kaki tangan imprialisme untuk mengahalang-halangi usaha kita.’ Sayang,
jika salah selangkah saja atau terlambat semenit saja, ataupun sesat sepatah
kata jawaban saja, saya sudah akan terjerumuskan ke dalam penjaranya
imperialisme’ kisah-kisah ini tidak diceritakan kepada pembacanya.
Tidak lama setelah tiba di Kanton
(sekarang Guangzhou) Tan Malaka bertemu Sun Yat-sen, suatu kunjungan yang
sangat mengesankan baginya, dan merupakan ancang-ancang untuk penggambarannya
dalam beberapa halaman tentang pribadi tokoh pemimpin Tiongkok ini. Ia bukan
seorang Marxis, bukan pula pemikir dialektika, tapi seorang revolusioner
pragmatis yang juga dikagumi Tan Malaka karena hatinya yang tulus, tidak egois
dan mempunyai hubungan erat dengan rakyat – sifat-sifat yang Tan Malaka pribadi
berusaha selalu menjunjungnya dalam setiap tindakannya.
Sebagai dasar untuk penyusunan kisahnya,
kembali lagi Petrus Blumberger digunakan Tan Malaka untuk memberikan uraiannya,
tapi dia ‘tak melihat apa yang berada di bawah muka air laut itu, karena yang
berada disana itu adalah penulis ini sendiri dan yang masih belum matang untuk
diungkapkan.
Tan Malaka juga membaca Analysis
karya Alimin, yang merupakan bantahan terhadap Thesis. Sapaannya terhadap
Alimin yang semula bersahabat, sekarang berubah menjadi kata-kata keras
terhadap Alimin yang tidak mengakui mandat Komintern yang diberikan kepadanya.
Mereka itu mencerminkan ciri watak mereka yang lama: ‘tak peduli dan tak mau
tanggung jawab, walaupun terhadap teman seperjuangannya, kalau dirinya sendiri
terlibat.
Sebuah uraian menarik tentang
masalah-masalah seputar The Dawn, majalah
yang atas perintah Profintern, gabungan serikat-serikat buruh komunis
internasional, harus diterbitkan; kehancuran fisik yang dialaminya, diatasinya
di Kanton dan memasuki Filipina secara ilegal, usaha untuk penyembuhan,
semuanya itu memenuhi satu bab. Dalam penuturan Tan Malaka Kanton sebuah kota
feodal, yang tidak berhak mengatasnamai kota dalam arti kata modern.
Bab ‘Filipina’ diawali dengan sebuah
analisis atas dasar Marxisme yang ambisius tentang sejarah kepulauan ini, yang
dipusatkan pada revolusi tahun 1898 dibunuh oleh penguasa kolonial, Andres
Bonifacio, Emilio Aguinaldo, dan Apolinario Mabini. Bonifacio bagi Tan Malaka
merupakan wakil sejati dari kaum murba; Aguinaldo seorang tani kaya dan
borjuasi, sedangkan Mabini seorang inteligensia radikal dan mewakili bagian
dari rakyat. Aguinaldo tokoh yang bertanggungjawab atas pertikaian satu sama
lain, yang berakhir dengan eksekusi terhadap Bonifacio.
Memang inilah sikap (seperti sikap
Aguinaldo) kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu masyur
berlebih-lebih, tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam
keadaan serba kekurangan’ – dengan kata-kata itu jelas, siapa yang dimaksud.
Selanjutnya Tan Malaka menulis
tentang para korban revolusi, yang jatuh nyaris tak terelakkan . Tapi tewasnya
tenaga-tenaga pimpinan dalam revolusi tidak diharapkan dan merugikan bagi
revolusi – tenaga-tenaga revolusi yang di garis depan inilah yang menentukan
jalannya dan kesudahan revolusi. Tewasnya mereka ini memberi angin bagi kaum
reaksioner – dalam hal di Filipina ini kemudian Amerika Serikat berhasil
mengambil alih kekuasaan, dan seperti juga matinya Tan Malaka sendiri membawa
kesudahan yang sama bagi Indonesia, sehingga ia
sendiri pun dinyatakan sebagai anumerta.
Tan Malaka menghormati pribadi Rizal
dan sifat-sifat tabiatnya yang jempolan – yang dalam banyak hal bisa disamakan
dengan Soetomo, pemimpin Parindra yang dalam tahun 1935 telah meninggal dalam
umur relatif muda. Ini merupakan penilaian lembut yang menarik terhadap
pemimpin partai kanan, yang dalam hal pendirian politik berjarak sangat jauh
dari pendirian Tan Malaka. Tapi ia sangat menghargai ketulusan hati mereka,
kejujuran dan pendirian mereka yang konsekuen pada prinsip dan pengabdian
kepada rakyat. Tapi Rizal tetap seorang intelektual yang terisolasi dari rakyat
Murba.
Analisis Tan Malaka benar-benar
orisinal, yang didasarkan pada informasi yang telah diperolehnya bertahun-tahun
sebelumnya, melalui percakapannya dengan orang-orang Filipina dan kemudian
dituliskannya tanpa dukungan bahan-bahan tertulis. Karena itu usahanya ini
membangkitkan kekaguman, walaupun menurut Tan Malaka sendiri tulisan ini tidak
mempunyai ‘finishing touch’, di samping adanya kekurangan-kekurangan lainnya.
Kemudian tiba-tiba Tan Malaka pindah
bercerita tentang pengalamannya sendiri di Filipina dan keberangkatannya ke
Singapura, karena hendak mencegah ancaman pemberontakan PKI yang tidak tepat
pada waktu. Sehubungan ini ia mempunyai rencana pendek, tapi karena adanya
fitnah di kiri-kanan yang dibisikkan disana-sini serta tikam belakang yang
dilakukan beberapa orang, diantara saudara Alimin, mengharuskan ia memasuki
perihal ini dengan lebih luas dibanding dengan yang seblumnya – di dalam
Thesis. Isi perluasan itu ialah, bahwasanya ia tidak lagi menenggang Alimin. Alimin
pernah lama berkunjung pada Tan Malaka di Manila dan menawarkan, agar di
Singapura Tan Malaka menjelaskan kritiknya secara tertulis terhadap rencana revolusi di bawah pimpinan
PKI – ketika itu Tan Malaka sedang tidak merasa cukup sehat untuk bepergian. Ia
sekali lagi menuliskan alasan-alasan dan alternatifnya – disebutnya aksi massa
dengan tahapan-tahapannya, dan lebih lanjut disebutnya tujuan daripadanya satu
demi satu. Sebagai wakil Komintern yang bertanggungjawab ia tidak bisa lain
kecuali menentang rencana pemberontakan. Dulu pada tahun 1926 tidak,
sekarangpun pada tahun 1947 tidak!’
Baru dua bulan berikut Alimin
menanggapinya dengan jawaban yang menghindar. Dengan demikian kepercayaan Tan
Malaka pada kejujuran Alimin menjadi sirna. Terlebih lagi ternyata kemudian,
sesudah ia datang di Singapurra, bahwa Alimin tidak pernah menyebarkan kritik
Tan Malaka tersebut di atas. Dan pertanyaan berikut ini Tan Malaka ingin
mengajukannya kepada pengarang Analysis: “Bisakah sesuatu partai revolusioner
berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur satu sama lainnya?
Reaksi ini – yang lebih bernada
murung daripada pedas – tampaknya masih juga belum hendak menutup pintu untuk
Moskow dan PKI. Ia bahkan masih menulis bisa menghargai Alimin sebagai teman
atau kenalan, tapi tidak lagi sebagai kawan seperjuangan. Ini merupakan reaksi
yang sangat lunak terhadap segala tulisan Alimin di dalam Analysis, yang
mempersalahkannya dan dengan ditambahkan pula kata-kata caci maki.
Pada bab berikut Tan Malaka masih
menyelipkan tentang pemberontakan 1926 lebih jauh, dalam kalimat-kalimat yang
analitis, yang dari sudut situasi dan kondisi ekonomi dan sosial
dipersamakannya dengan pendudukan Jepang, bahwa sebagai akibat dari penderitaan
yang luar biasa kesadaran menjadi bertambah kuat, bahwa nasib harus direbut di
tangan sendiri.
Dorongan merebut kemerdekaan ini
bukan ditiup dari luar, melainkan timbul dari dalam masyarakat Indonesia
sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang-Inggris-Belanda,
bukan terutama karena tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin
meniru-niru, pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil
faktor-faktor, dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia
sendiri.
Suatu revolusi sejati tidak
bergantung kepada bantuan luar negeri atau pemimpin-pemimpin tua yang
kekanak-kanakan, yang ketakutan bahkan terhadap risiko yang paling kecil. Tahun
1926-1927 masih terlalu dini untuk berevolusi. Ketika itu Tan Malaka mengemban
tugasnya untuk rakyat, Partai dan Internasionale, sampai PKI dibinasakan di
Indonesia dan dipatahkan dari segala jaringannya. Dengan dibuntuti oleh anjing
dan pemburu Imprialisme Tan Malaka kembali ke Filipina. Dan selanjutnya disusul
dengan satu-satunya alinea tentang didirikannya Pari, yang selayaknyalah
dimasukkan di dalam laporannya.
Sekaranglah, sesudah dua puluh
tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun
1927, yang ingin melihat kelanjutannya gerakan rakyat dan buruh Indonesia dalam
keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan buruh
Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atau kepercayaan pada kekuatan diri
sendiri; kedua dengan cara berpisah tetapi sejajar dengan gerakan proletaria di
seluruh dunia, gentrennt masrschieren, vereint schlagen (berpisah mengerahkan dan serempak
menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta
perjuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi
sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya Pari
semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).
Dari sudut lingkup cakupannya, apa
yang ditulis Tan Malaka di sini agak terlalu sedikit. Dalam Thesis ia masih
menulis tentang Pari dengan agak luas, dan ia juga mengajukan banyak alasan
mengapa Pari tidak perlu dipandang sebagai pembelot terhadap Moskow. Baginya
jelas, bahwa PKI dan barangkali juga Moskow tidak memercayainya. Bagi PKI Pari
menupakan partai yang tidak bisa diterima sebagai sekutu. Bagaimana Tan Malaka
akan bisa berkomentar tentang ini? ia bisa saja mengingkari Pari. Tapi dengan
demikian berarti, ia pun mengingkari masalalu politiknya sendiri, dan juga
sejumlah risalah-risalah politiknya dari masa sesudah perang, dan dengan hasil
yang serba tidak pasti. Ia bisa saja menuliskan aksi-aksi Pari dengan lebih
luas. Tapi jika demikian halnya, maka setiap usaha pendekatan terhadap PKI dan
pengikutnya dan mungkin juga terhadap Moskow, selamanya akan menjadi tidak
dimungkinkan. Tampaknya Tan Malaka memilih jalan tengah yang tidak tegas. Ia
menghentikan cerita tentang Pari dalam satu alinea saja di tengah-tengah bab
dan, yang menurut perkiraan pribadi, ia masih tetap mengusahakan membuka segala
pilihan.
Kelanjutan bab ini dan juga bagian
akhir daripadanya merupakan suatu kisah yang menegangkan, yaitu tentang periode
penahanannya di Manila dari tanggal 12 Agustus 1927, sampai ia dipaksa pergi ke
Tiongkok pada 23 Agustus. Perkara ini mendapat perhatian dan dukungan luas,
walaupun begitu suaka politik tidak diberikan kepadanya. Ketika para pelindung
utamanya pun diancam dengan pengejaran, ia terpaksa menyelamatkan dirinya
sendiri.
Bab penutup jilid pertama buku ini
berjudul ‘Kemana? Kapal membawanya menuju Amoy, di mana ia dengan sangat ajaib
berhasil lolos dari penangkapan para penguasa Barat di pelabuhan terbuka (verdragshaven) ini. Ia menyelinap dengan
bantuan orang-orang Tionghoa yang pernah berdiam lama di Filipina, dan yang
akhirnya membawanya masuk ke pedesaan di Tiongkok. Tan Malaka menceritakan
tentang kehidupan di sana yang sederhana dan penuh bahaya. Beberapa bulan
kemudian sesudah itu desa ditinggalkannya, yaitu sesudah dilanda wabah
mematikan, barangkali sebagai akibat penyakit pes. Tan Malaka pergi menuju
Amoy. ‘Terbukalah pula kehidupan baru, penuh dengan riwayat, tetapi masih sunyi
senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
Semuanya ini merupakan kisah
menegangkan, dengan satu alinea yang di dalamnya Tan Malaka dengan getir
menuliskan tentang penerapan hukum yang berbeda untuk orang kulit putih dan
orang kulit berwarna di ‘the country of
the free’ (negara orang bebas).
Menurutnya tidak ada hukum untuk exil (tempat pelarian). ‘Dunia sekarang
dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu saja.
Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna di
seluruh dunia itu, harus meminta merebut, dan kalau perlu memaksakan persamaan
hak, lahir dan batin “format and
essential” atas 40% kulit putih di dunia ini.
Jilid dua
Jilid dua Dari penjara ke penjara
dibuka dengan melukiskan tentang Shanghai tahun 1932, di mana Tan Malaka
terlibat di tengah kekerasan agresi Jepang terhadap kota itu. bab sebelumnya
disudahi dengan pengalamannya dalam akhir tahun 1928. Apakah ini sebagai
penjelasan tentang ‘lompatan’ waktu tiga tahun itu? Tan Malaka berdiam di Amoy
dan Shanghai, di mana penyakit, kemelaratan dan kesengsaraan telah
mengganggunya. Usaha untuk membangun jaringan Pari di Indonesia menemui
kegagalan – dalam kaitan ini tindakan yang terlalu berhati-hati justru tidak
memberi jaminan keberhasilan. Biarpun demikian hampir semua aktivis Pari ditangkap
dan diasingkan ke Digul. Pada tahun 1931 Alimin menemukan kembali Tan Malaka di
Shanghai yang dalam keadaan sakit. Ia tidak membikin Komintern menjadi lebih
bijak terhadap Pari, yang tentang eksistensinya tidak dikenal oleh Moskow. Ia
menggabungkan dirinya lagi dalam keadaan badan itu dan siap untuk menerima
tugas di India-Inggris. Maka Tan Malaka tidak berbicara tentang Pari kepada
Komintern, dan juga tidak bercerita sesuatu apa pun pada sejumlah orang
kepercayaan Pari yang tersisa, tentang hubungan dengan Komintern yang telah
diperbaruinya itu. laporan panjang lebar tentang sikapnya bisa dimengerti
karena terpaksa demi keselamatan dirinya itu, tapi bagi Tan Malaka merupakan
urusan yang menyakitkan. Namun karena ia selalu mengemukakan tentang pendirian
politiknya yang sangat konsekuen, maka karenanya lebih baik tahun-tahun ini
dilewatkannya sama sekali – yaitu dengan mengakhiri
jilid pertama dalam tahun 1928 dan memulai jilid kedua dalam tahun 1932, namun
lompatan kelalaian itu bisa diselubungi dengan sebaik-baiknya. Tentang
penalaran demikian ini sudah saya kemukakan dalam jilid pertama buku saya
tentang biografi Tan Malaka. Tentang ini Helen Jarvis tidak sependapat:
‘agaknya sangat mustahil jika Tan Malaka berusaha menutup dengan cara ganjil
semacam itu, yaitu dengan membuang dua tahun dari kisah hidupnya dan membiarkan
adanya celah antara jilid I dan II. Jarvis berpendapat
yang paling mungkin ialah, bahwa satu bab tentang tahun-tahun ini telah hilang. Hal itu mustahil,
menurut Pangulu Lubis yang erat terlibat dengan penggarapan manuskrip Tan
Malaka lebih lanjut. Munculnya Dari
penjara ke penjara dalam edisi Sumatra, dengan jilidnya yang pertama
dikeluakan dalam tiga kali penerbitan, disusul dengan penerbitan keempat yang
berhalaman urut, sama dengan bagian awal dari jilid dua dalam versi-versi Jawa
yang belakangan, sehingga mengurangi kemungkinan hilangnya sesuatu bagian. Juga
jelas bahwa, seperti ternyata dari kata pengantarnya, Tan Malaka tidak
bertanggungjawab mengenai pembagian naskahnya menjadi dua jilid itu.
Terhadap pendapat saya sebelumnya
barangkali perlu diberi sekadar nuansa. Tampaknya, tanpa hendak menyangkal
tentang keberadaan Pari dan pembaruan hubungannya kembali dengan Komintern,
karena alasan-alasan politik, Tan Malaka tidak menghendaki adanya sebuah
laporan yang koheren. Dengan alinea-alinea tentang Pari yang tersebar di
sana-sini, dan menyebutkan dengan selintas kilas tentang tugasnya di
India-Inggris, hanya bagi orang yang tahu akan mempunyai arti yang jelas –
berhubung dengan kewajiban yang harus dijalankan di Hindustan – maka selayaknya
Tan Malaka bisa mengatakan, bahwa ia tidak memerkosa kebenaran – namun demikian
informasi yang murah hati juga tidak diberikannya. Ia ingin agar semua pilihan
tetap terbuka dan juga masih tetap berharap pada bantuan Moskow – walaupun
dengan kepercayaan yang telah menurun. Selain itu tentu saja disinggung tentang
suatu episode yang kurang berjaya dalam perjalanan karir politiknya, dengan
detail-detail perihal ini yang menurutnya lebih baik dihilangkan. Akhirnya ia
selalu bertolak dari kata pengantarnya sendiri, yang menyatakan bahwa ia hanya
menuliskan sebagian dari kisah hidupnya, yang dititikberatkan pada
pengalaman-pengalaman pribadinya selama di penjara – dan pengalaman tahun-tahun
1929-1931 sebagai seorang pelarian yang dikejar-kejar, namun bagaimanapun
sebagai orang yang merdeka.
Untuk fakta-fakta di dalam kisahnya
tentang Shanghai, Tan Malaka banyak bersandar pada tulisan John Gunthers Inside
Asia, namun dengan interpretasi dan penataannya sendiri. Shanghai sebuah kota
yang penuh pertentangan dan kontras – modern di samping reaksiner, kapitalisme
liberal di samping feodalisme yang kejam, kemelaratan di samping kekayaan –
penuh dinamika dan penuh manusia. Dan Tan Malaka melanjutkan dengan cerita-cerita
tentang verdragshavens,
pelabuhan-pelabuhan bebas, dan ongelijke
verdragen, ‘perjanjian pincang’, sehingga imperialisme berhasil menguasai
Tiongkok. Ini melahirkan kapitalisme komprador dan eksploitasi yang tak
terkendalikan lagi. Penyelundupan dan kejahatan dalam hal senjata dan opium,
memberikan kepada kaum militeris uang di pedalaman yang melarat, untuk
menyelesaikan konflik-konflik mereka. Di bawah pimpinan Sun Yat-sen Koumintang
(KMT) melancarkan perlawanan terhadap kapitalisme internasional, dan dengan
dukungan kaum komunis mereka berhasil mewujudkan kekuasaan yang luas – sampai
suatu saat ketika Chiang Kai-shek, pemimpin KMT itu, tiba-tiba berbalik melawan
kaum komunis mereka berhasil mewujudkan kekuasaan yang luas – sampai suatu saat
ketika Chiang Kai-shek, pemimpin KMT itu, tiba-tiba berbalik melawan kaum
komunis dan mulailah kontra-revolusi yang berdarah. Dan dalam kesamaan yang
jelas dengan Republik, Tan Malaka melihat hal ini sebagai akibat dari tidak
adanya program minimum untuk front persatuan – tentang ini Tan Malaka
menuliskannya sebagai Persatuan Perjuangan – dari seluruh rakyat Tiongkok dalam
menghadapi imperialisme asing, bersamaan itu dengan kepercayaan akan
nasionalisme sendiri serta pimpinan yang mampu dan jujur, dan satu partai yang terorganisasi
dengan baik, tentara yang disiplin, semuanya siap berjuang untuk mencapai
kemerdekaan 100%. Untuk semuanya ini kontrol proletariat merupakan keharusan.
Kemudian Jepang mendapat kesempatan
untuk menginfiltrasi Tiongkok – dan Tan Malaka sangat negatif tentang nasfu
ekspansi Jepang. Tempat yang menjadi dambaan ialah Shanghai. Tapi di sana
Nieneteenth Route Army (Tentara Rute ke-19) Tiongkok Nasionalis merintangi
mereka. Pada tanggal 28 Januari 1932 Jepang menyerang – rumah pondokan Tan
Malaka terletak di garis depan pertempuran, dan setelah beberapa hari ia
terpaksa melarikan diri, dengan meninggalkan semua barang-barang miliknya:
‘peti saja berisi pakaian, buku2, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras,
kecap, bawang dll bahan buat dimasak hari-hari. Yang diselamatkannya hanyalah
paspor. Ia masih tinggal beberapa bulan di dalam kota, dan merasa solider
dengan rakyat Tiongkok yang bersiaga, berlawanan dan mematahkan borgol yang
telah membelenggu mereka berabad-abad lamanya.
Ia bertolak ke Hongkong. Di sana ia
bertemu kembali dengan kawan sesamanya dari Pari, Dawood. Segera disusul dengan
peristiwa penangkapan – dan dengan sangat rinci dan menarik Tan Malaka
menceritakan periode itu, tanggal 10 Oktober sampai 25 November 1932, selama
dalam sel penjara Inggris. Maka datanglah para pejabat tinggi polisi Inggris
dari Tiongkok dan Singapura, para agen PID dari Batavia, dan di latar belakang
para pejabat Prancis serta Amerika memperlihatkan perhatian mereka yang besar
terhadap informasi yang akan diperoleh dari tokoh tangkapan Inggris ini. Tan
Malaka tutup mulut atau tidak membukakan pendirian pribadinya. Ia menyatakan
ketidakpuasannya terhadap penolakan seorang pengacara untuk membelanya, dan
memberika suaka politik kepadanya. Hak-hak seperti itu tidak berlaku bagi
mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna, yang berada
dalam jajahannya pula. Dalam salah satu dari sekian banyak pemeriksaan ia
memberi pernyataan yang kemudian dicetak sebagai motto untuk jilid ini, dan
masih akan dikutip berkali-kali lagi: “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara
saya akan lebih keras dari pada di atas bumi.” Tan Malaka diekstradisi. Tapi
tidak ada jaminan bisa mencapai negeri yang aman tanpa terganggu di perjalanan.
Maka Tan Malaka bertanya:
“Kenapa saya tiada mendapat
perlakuan seperti biasa menurut peraturan Inggris?
‘You are Tan Malaka’.
Rupanya karena saya memang Tan
Malaka, saya tiada mempunyai hak buat
mempergunakan ahli hukum sebagai
pembela; tiada berhak dihadapkan kepada
pengadilan umum (public trial);
tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun
tiada berhak untuk dibuang ke tempat
yang aman di jalan dan di tempat pembuangan.
Karena saya tiada diizinka memakai
ahli hukum, maka tiadalah pula saya dapat
mengetahui, apakah tidak ada bagian
Tiongkok yang mau mengijinkan saya masuk.
Bab yang berikut mendapat judul sama
untuk ketiga kalinya, “Kemana?” Tan Malaka meloloskan diri dari para
pengikutnya di Amoy, dan setelah itu – seperti dalam tahun 1927 – ia kembali
mendapati sebuah desa yang aman dan bisa memulihkan kesehatannya di sana.
Selanjutnya ia, atas dasar pengamatan pribadinya, menceritakan tentang
pengobatan tradisional, adat perkawinan dan pemujaan leluhur. Sesudah tiga atau
empat bulan ia berangkat ke kota provinsi Chip-Bi, yang sampai tahun 1936
menjadi basis terpenting baginya. Tentang kota ini diceritakan dengan
sekadarnya saja.
Banyak juga tambahnya pengalaman
saya dalam hal mengembangkan faham saya sebagai revolusioner di antara pelajar
Chip Bi, yang datang dari semua pelosok di Selatan itu. Tetapi tentangan cara
dan hasilnya pekerjaan saya dipandang dari jurusan propaganda itu bukanlah
masanya buat dituliskan. Belum ada yang rasanya menguntungkan bagi kaum
imperialis-internasional yang sampai sekarang saya umumkan dengan sadar. Apa
yang sudah saya umumkan, bisalah rasanya saya tanggung jawabkan, kepada
siapapun juga yang berhak menuntut tanggung jawab itu. Baiklah hal ini saya
peringatkan kepada para pembaca yang budiman: tangkisan saya melawan komplotan imprialisme
internasional terhadap diri saya selama ini cuma usaha saya mendirikan
komplotan anti imprialisme dan anti kapitalisme pula dimana saya berada.
Kesamaanya dengan periode 1928-1932
yang juga masih belum dituliskan kelihatan jelas. Karena itu pendapat bahwa bab
tentang periode ini telah hilang menjadi kurang meyakinkan.
Pada awal 1936 di Amoy dengan sangat
berhasil Tan Malaka mendirikan sekolahnya sendiri, School for Foreign
Languages. Serangan Jepang atas Amoy kembali mengharuskannya melarikan diri.
Pada 31 Agustus 1937 kota itu ditinggalkannya. Dalam bulan September Jepang
memulai serangan udara atas Amoy.
Dalam hati saya dengan terharu diucapkan: Selamat
tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign Languages School dengan pemuda-pemudinya!
Selamat tinggal keluarga Kikog, keluarga Tien Djin dan keluarga Tan Ching Hua
sengan A.P. beserta tragedy-nya! Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan
berjumpa lagi.
Di atas tertulis: Menuju ke Birma. Tetapi tempat yang ditujui belumlah
tentu! Yang tentu cuma, yang kelak saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan
buat hidup dan bekerja. Entah di mana, belum dapat diketahui..pada tanggal 31
Agustus 1937 itu!
Keharuan itu benar. Di tengah suasana relatif tenang Tan Malaka bisa memberikan
perhatian pada seruannya: pendidikan untuk orang muda, tidak hanya dalam hal
pengetahuan tapi juga watak. Di Tiongkok dan di kalangan orang Tionghoa di Fukien (sekarang Fujian) ia merasa
betah. Perihal politik praktis dan Indonesia jauh darinya.
Ia tidak lama tinggal di Rangoon –
peluang untuk bekerja hampir tidak ada sama sekali. Tan Malaka berhasil masuk
Malaka di Penang. Dalam uraian yang panjang lebar ia menjelaskan, bagaimana
penduduk Melayu menjadi korban pemelaratan dan diskriminasi di tanah air mereka
sendiri. Atas dasar cerita Melayu klasik ‘Sejarah Melayu’ yang sangat uta itu,
ia memberikan pandangan sejarahnya sendiri tentang sejarah Melayu dalam
abad-abad ke-15 dan ke-16. Perebutan Portugis atas kota Malaka tahun 1511
menurutnya sebagai akibat dari kurangnya persatuan di pihak Melayu. Kolonisasi
menjadi awal dari kemunduran yang disempurnakan oleh kolonisator Inggris,
terutama dengan perampasan atas tanah dan tempat-tempat pertambangan, dan
masuknya orang-orang Tionghoa dan India yang tak terbatas. Di Singapura orang
Melayu lalu menjadi minoritas yang nirkasatmata.
Bagaimana Tan Malaka akan bisa
menentukan tempat berlindung di sini? Intelligence
Service (IS) Inggeris yang kerja sama dengan PID Belanda sama tajamnya
penciumannya dengan herdershond (anjing pelacak) tulen. Ia mendapat
bantuan dari sementara kenalan lama di kampung Melayu, tapi kehadirannya di
sana dicurigai dan ia terpaksa harus segera pergi lagi – tetapi seorang
pelarian veteran, tajam pula persangkaannya. Semua jejak yang bisa memberi
petunjuk, sedapat-dapatnya dihapuskannya.
Di Singapura ia mendapat nasib baik
yang dibutuhkannya tempat berlindung dan menjadi guru bahasa Inggris di sebuah
sekolah Tionghoa, dan ia pun masuk sepenuhnya di tengah masyarakat Tionghoa.
Pada saat-saat senggang dan di tempat-tempat yang aman ia mencari hubungan
dengan orang-orang Indonesia. Juga di sini Jepang mengganggu situasi, di mana
Tan Malaka jelas merasa senang – tahun-tahun kehidupannya di Singapura ini
diringkaskannya dalam beberapa halaman saja.
Diceritakannya tentang serangan
Jepang, perlawanan Inggris yang tanpa keberanian dalam menghadapi lawan yang
tangguh, posisi sekolah dan dirinya sendiri yang sulit di garis depan
peperangan, dan kemudian diceritakan pula tentang pembantaian Jepang terhadap
penduduk Tionghoa, serta penjarahan dan perampokan. Tan Malaka selamat dan
berniat untuk kembali ke Indonesia.
Bab selanjutnya ‘Menyeberang dimulai
pada 17 November 1947, dengan uraian tentang aktualitas: cerita tentang
percakapannya antara Stalin dan sebuah delegasi Labour Party (Partai Buruh
Inggris), yang terjadi tidak lama sesudah terbentuknya Kominform, ikatan dari
partai-partai komunis yang telah merebut kekuasaan negara di Eropa Timur
(Polandia, Cekoslowokia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan Yugoslavia),
partai-partai komunis yang kuat di Perancis dan Italia, serta partai Soviet
yang bersatu, tanpa adanya kemampuan, kewenangan dan struktur dalam Komintern.
Tahun 1943 Komintern dibubarkan – sebagai iktikad baik dari Stalin terhadap
kawan-kawan sehaluan di dalam Sekutu. Dalam laporan delegasi Komintern disebut
sebagai suatu gejala dari waktu yang berbeda, sehingga tidak ada gunanya
dihidupkan kembali dan roda sejarah tidak bisa diputar kembali. Partai Komunis
merupakan faktor yang kuat di sejumlah negeri, dan di bawah pimpinan tokoh-toko
yang mampu, yang mempunyai akar di dalam masyarakat mereka sendiri. Usaha
partai-partai ini untuk memimpin dari satu pusat, seperti halnya Komintern,
merupakan masalah yang sia-sia dan utopis – demikian Stalin.
Penjelasan tersebut memberi Tan
Malaka amunisi untuk memberi pembenaran terhadap pendirian Pari dengan dukungan
yang berlaku surut. Ini sesuai pula dengan ramalannya bahwa di Indonesia,
sebagai mata rantai paling lemah di Asia kolonial, akan lahir sebuah negara
Republik Indonesia. Pari yang didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok
menetapkan bahwa atas dasar tenaga sendiri dan otak sendiri, atas self help,
Republik juga akan menggabungkan diri bersama federasi dunia yang sosialis.
Sikap taktis dan strategis ini sama sekali sesuai dengan situasi dan kondisi
serta kepentingan, yang sejak 17 Agustus 1945 telah ditempuh oleh Republik
Indonesia. Dan kepada mereka yang tidak fanatik nama dan mereka yang masih bisa
dan mau berpikir rasional, Tan Malaka ingin minta perhatian tentang pembubaran
Komintern dan tentang kata-kata Stalin mengenai Kominform.
Bagi Tan Malaka Pari tidak berarti
likuidasi komunisme. Apakah pembubaran Komintern, yang didirikan oleh Bolsyewik
di bawah pimpinan Lenin dan partai-partai komunis serta pimpinan mereka,
‘mengliquidir komunisme’? Silakan para pembaca yang arif menilainya. Adakah
dalam tahun1943 semua anggota Komintern berkonsultasi dan menyatakan kesetujuan
mereka terhadap pembubaran itu? Ini bukan kritik, Tan Malaka menambahkan, tapi
sekadar bermaksud menjelaskan persoalan belaka.
Pada tahun 1943 Stalin berada di
bawah tekanan berat. Sejarah telah membuktikan, bahwa persekutuannya dengan
Amerika dan Inggris telah berhasil. Uni Soviet termasuk salah satu dari negara
pemenang dalam Perang Dunia II, dan sosialisme menjadi lebih kuat dari
sebelumnya. Sia-sia saja berspekulasi apakah mempertahankan Komintern akan
memberikan hasil yang lebih buruk. ‘Bagi kami pendiri Pari, pada dua puluh
tahun lampau itu sudah terbayang, bahwa Sovjet Rusia akan bersandar pada diri
sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern,
seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.’ Ucapan-ucapan Stalin ‘kami
sekarang merasa mendapat kecocokan dan pengesahan 100% pada pendirian Pari.
Program Pari sesuai dengan program Kominform. Dalam tahun 1927 Pari memilih
Republik Indonesia sebagai ancang-ancang menuju Aslia – bersama-sama dengan
Amerika yang sosialis, Tiongkok sosialis, India Sosialis, dan Soviet Rusia dan
lain-lainnya. Semua akan bersama-sama di dalam suatu federasi dunia yang
sosialis yang berdasarkan atas demokrasi regional.
Politik luar negeri Stalin dan
didirikannya Kominform memperlihatkan banyak kesesuaian dengan visi Pari tahun
1927.
“Kecocokan itu tertulis pula hitam
di atas putih. Tetapi belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup
bagi kami, bahwa dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan
tindakannya Pari. Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan
adalah sendi kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan
yang baik buat mengumumkannya.”
Sepertinya merupakan penalaran yang
bagus, dan baru belakangan ternyata di dalam penalaran itu Stalin sependapat
dengan Tan Malaka. Padahal Stalinisme meliputi kaum komunis yang sependapat
dengan Stalin, dan menyerahkan diri mereka sama sekali pada kepemimpinan
Moskow. Apakah Tan Malaka mengetahui hal ini? Rupanya jangkauan Stalinisme itu
tidak masuk dalam pikirannya. Atau, di samping itu ia mungkin mengharap bisa
memberikan kesan mendalam pada pembaca dan untuk menarik mereka menjadi
pengikutnya. Sifat misterius di sekitar Pari tetap dipertahankan Tan Malaka –
apakah dengan demikian ia bermaksud hendak memupuk rasa simpati terhadap Pari?
Sesudah dua puluh tahun Tan Malaka
berangkat menuju ke tanah kelahirannya. Ia bercerita tentang penyeberangan yang
sukar dan penuh bahaya, di atas tongkang yang bobrok dan sarat muatan dari
Penang menuju Sumatra, dan kemudian dari Sumatra ke Jawa, dan mendarat di sana
pada pertengahan bulan Juli 1942. Di Sumatra ia mendengar kabar burung, bahwa
Tan Malaka telah berbicara di Padang sebagai seorang opsir Jepang, dan lebih
lanjut juga disebut-sebut tentang penampilannya di depan umum berulang kali.
Tan Malaka merasa tidak aman di tempat ini, dan karenanya ia urungkan
berkunjung ke tempat kelahirannya dan ingin secepat-cepatnya menuju Jawa. Di
Medan, menurutnya, untuk pertama kali ia melihat roman karangan Matu Mona
tentang Pacar Merah.
Kebencian Tan Malaka terhadap
penjajah Jepang muncul terus menerus, sementara itu ia berkomentar lunak
terhadap nasib Belanda yang malang dan kalah, namun dalam pada itu meskipun
berkekuatan lebih besar mereka berlari tunggang langgang ketika menghadapi
invasi Jepang. Nasib mereka itu menimbulkan rasa kasihan; yang berlangsung
sampai ‘ketika Belana yang tak sanggup melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya
itu, sekarang kembali menjajah dan melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan
dan pembunuhan, sedangkan Rakyat Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya.’
Maka darah rakyat Indonesia menjadi mendidih, dan rakyat serentak melakukan
aksi bersenjata, yang di mata orang Belanda disebut sebagai kaum ‘extremist,
terorist, dan perampok’.
Bagian penutup yang panjang dari
jilid dua ini berjudul ‘Ke-arah Republik Indonesia’ menceritakan
pengalaman-pengalaman Tan Malaka semasa pendudukan Jepang, pertama-tama di
Jakarta dan selanjutnya di Bayah yang terpencil, daerah tambang batubara muda
yang dibuka oleh Jepang. Di sini Tan Malaka menjadi pelopor yang diilhami oleh
usahanya yang berhasil untuk memperbaiki nasib romusha, yang dengan kemampuan
yang diperlihatkannya ia selalu mendapat peluang yang lebih baik. Bersama
dengan sekelompok pemuda yang dedikatif, dan juga diajarnya tentang cita-cita
nasionalismenya, ia bekerja tanpa pamrih untuk romusha, walaupun dibatasi oleh
rezim Jepang yang memeras manusia dan materi dengan habis-habisan.
Benang merah yang lain dalam bab ini
ialah tokoh Soekarno, yang dengan kata-kata ironis diserangnya dengan sangat
keras karena dukungannya kepada penjajah Jepang. Ucapan-ucapan Soekarno tentang
motif-motif idealnya ditolak dengan keras dan sedikit-banyak bahkan dijadikan
bahan tertawaan. Apakah, ketaatannya itu bukan sebagai kedok untuk kegiatan
ilegalnya? Tapi Tan Malaka tidak menemukan petunjuk atau isyarat apa pun ke
arah sana. ‘Doktorandus’ Mohammad Hatta juga mendapat penilaian negatif yang
serupa.
“Sudah cukup rasanya saya obori
semua pemimpin yang terkemuka dan kumpulan yang berada di atas tanah selama
lebih dari pada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa akan datang
perubahan dalam orgnisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi. Sebaliknya
pula makin cepat masuknya padi, mas-intan, prajurit dan gadis Indonesia
ketulang rahang, di antara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang, diangkut
oleh para pemimpin resmi itu.
Di dalam kegiatannya untuk romusha,
‘korban militarisme Jepang dan korban persetujuan serta propaganda para
pemimpin’, Tan Malaka bisa memenuhi pertanggung-jawabannya. Pengerahan tenaga
‘disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan, terutama Bung Karno
sendiri’. Di Bayah Tan Malaka bahkan melihat akibat dari kata-kata Soekarno:
‘Setetes keringat romusha adalah racun bagi Sekutu’.
Puncak dari bagian ini ialah laporan
Tan Malaka tentang kunjungan Soekarno dan Hatta di Bayah, tempat pekerja
tambang anonim Iljas Hussein, alias Tan Malaka, mencoba untuk membantah dan
menyudutkan Soekarno. Karenanya untuk mendukung pleidoinya ia juga mengambil
contoh dengan mengutip dari Gibbon, Decline
and fall of the Roman Empire, bahwa bagi kemenangan akhir Jepang
kemerdekaan Indonesia sebelum kemenangan akhir Jepang akan lebih baik artinya
bagi kepentingan Indonesia dan Jepang, tapi oleh Soekarno urutannya
dipertahankan sebagai kemenangan akhir Jepang dan kemerdekaan. Uraian Tan
Malaka sesuai dengan kebenaran, betapapun seakan-akan tidak mungkin terjadi –
tempat-tempat yang sangat asing, waktu dan pembicara yang kiranya tidak pernah
dikaitkan dengan buku klasik ini. Di sini ia memperlihatkan dirinya sebagai
patriot dan politikus yang lebih unggul dari Soekarno.
Tan Malaka sebagai buruh di Bayah
merasa senang mendapatkan banyak kepuasan di tengah-tengah penataan gudang
perusahaan pertambangan yang semrawut – dengan begitu ia juga menunjang
kegiatan perang Jepang. Penuturan kisahnya yang bersemangat ini ditutup dengan
kesimpulan, yang lebih banyak bicara tentang pribadinya sendiri.
Sebenarnya semua pekerjaan halal
menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas dan baik
mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak ‘lekas beres’,
dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur lebarnya
kepala paku pun tiada terkecuali! Yang saya ingin sedang bekerja itu ialah
supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing
jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah
diperingati. Rupanya pada sejarah kita bekerja-pun berlaku proses seperti
berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya
keberesan-pun mempengaruhi pekerjaan kita.
Keluh-kesahnya tentang penataan bisa
ditumpahkan sepenuhnya dalam daya upayanya demi kepentingan romusha, yang dalam
batas-batas tertentu di dalam sistem yang fundamental buruk, tapi dalam
batas-batas tertentu juga menyesuaikan serta melakukan fungsinya dengan lebih
baik. Belas kasihannya terhadap romusha meman tulus dan terungkap melalui nada
kisahnya. Suatu kisah yang paternalistik, namun begitu tanpa pamrih apa pun. Ia
mencampuri urusan makan-minum mereka, tempat tidur mereka yang banyak kutu
busuk, dan mengganggu mereka itu. kebersihan merupakan masalah – sebagai protes
beberapa romusha dengan sengaja membuang hajat di jalan-jalan. Tan Malaka
sia-sia memperingatkan tentang bahaya penyakit dari kebiasaan mereka itu. Maka
karena itulah ia sendiri membersihkan tinja – dan ini merupakan tindakan yang
memberi kesan mendalam – sehingga mereka tidak lagi membuang hajat di tempat
umum. Pada bidang yang lain Tan Malaka juga menyelenggarakan
pertandingan-pertandingan olahraga dan mementaskan lakon-lakon sandiwara –
dengan penulisan skenario dan sutradara ditanganinya sendiri. Salah satu dari
lakon itu ialah kisah tentang Hang Tuah, tokoh pahlawan dalam ‘Sejarah Melayu’,
yang sudah disebut dengan lebih luas di dalam Dari penjara ke penjara.
Tan Malaka telah mengembangkan
Bayah. Banyak pertanyaan masih juga selalu dikemukakan tentang identitas
pribadinya, demikian juga penjajah Jepang memperlihatkan rasa ingin tahun
terhadapnya. Penyerahan Jepang membebaskan Tan Malaka dari penangkapan atau
keharusan bersembunyi. Ketika itu ia sudah tampil sebagai wakil Bayah untuk
ikut dalam perundingan mengenai organisasi-organisasi baru, atau
kongres-kongres pemuda, yang di dalamnya perjuangan kemerdekaan harus
dinyatakan. Ia berkali-kali berada di Jakarta, tapi masih belum berani
menyatakan namanya sendiri.
Pada awal Agustus ia mendapat
kesepakatan lagi untuk berangkat ke ibukota. Ia pergi “ke arah Republik
Indonesia”, bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti
lebih dari pada dua puluh tahun lampau, melainkan dengan kedua kaki di atas
Tanah Indonesia sendiri.
Jilid tiga
Awal bagian ketiga tidak meneruskan
denga apa yang sudah ditulis di atas, tapi dibuka dengan sebuah bab panjang
tentang ‘Pandangan hidup (Weltanschauung)’. Ini merupakan ikhtisar dari ide-ide
yang telah diuraikannya panjang lebar di dalam Madilog. Jelaslah kepercayaan
Tan Malaka pada kisah hidupnya yang akan terbit lebih besar ketimbang pada
Madilog. Dalam pandangannya Madilog merupakan karya utamanya – dan makanya
berisi ulangan mulai dari hal tentang manusia kera, Indonesia primitif,
animisme, kepercayaan di India dan Timur Tengah sampai filsafat dan ilmu
pengetahuan, materialisme dan idealisme, logika dan dialektika. Dalam hal ini
ia juga berhati-hati ketika menyatakan pendapatnya tentang agama – ia tidak
menarik kesimpulan yang negatif. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache”, dalam arti merupakan
kepercayaan masing-masing orang.
Dalam bab tentang ‘Negara (State)
Tan Malaka membandingkan defenisi-defenisi negara menurut filsafat burjuis dan
sosialis, antara lain ia juga menyebut Stalin. Ia mengikuti pembabakan
masyarakat primitif – dengan menggambarkan masyarakat Minangkabau sebagai contoh
positif – melalui masyarakat perbudakan, feodalisme dan kapitalisme menuju
sosialisme. Di dalam masyarakat kapitalisme semua alat negara – Tan Malaka
menyebutnya tiga kali – seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi dan
sarana-sarana kepenjaraan, yang digunakan oleh klas penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Kemudian ia berbicara tentang lima bentuk
masyarakat tersebut.
Tingkat masyarakat tertinggi,
sosialisme, telah tercapai di Rusia dalam tahun 1917 – dan dengan
istilah-istilah yang cerah Tan Malaka melukiskan tentang sosialisasi produksi.
Klas buruh memiliki alat produksi; produksi dibagi menurut peraturan: ‘Siapa
yang tiada bekerja, tiadalah pula akan dapat makan’. Diktator proletariat ini
telah mengalahkan kapitalisme Tsar dan antek-anteknya di luar negeri.
Perkembangan ini bersifat dialektis
– dari tesis dan anti thesis menuju sintesis pada tingkat yang lebih tinggi –
sampai akhirnya komunisme, yang diliputi oleh kesejahteraan, rasionalitas,
keadilan dan kemanusiaan. Di Rusia sekarang masih sedang berlangsung diktator
proletariat, yang dengan itu bisa mengubah negara semi-kapitalis menjadi negara
industri klas satu. Komunisme sejati harus menyelesaikan tingkatan ini.
‘Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk-berwarna bermacam-macam
itu, yang mendiami puluhan negara dengan pelbagai macam bumi iklim serta
kebudayaan pada lima Benua itu, memangnya sedang mengorganisir dan mengerahkan
kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum Ningrat Burjuis beserta
kaki-tangannya di seluruh dunia pula.
Dari perspektif masa depan ini Tan
Malaka kembali ke Indonesia, karena ia menyebut Proklamasi sebagai langkah dari
dunia pikiran ke dunia yang sesungguhnya – suatu langkah yang telah
dinanti-nantikannya selama dua puluh tahun. Proklamasi merupakan hak mutlak
bagi rakyat Indonesia, dan ia mengutip Woodrow Wilson, Atlantic Charter for
Peace (Piagam Perdamaian) dari PBB. Kemudian ia menjelaskan di atas mana
Revolusi Indonesia harus dianalisis – tidak begitu saja mengikuti model Eropa, tapi
dengan metode dialektika, suatu pemecahan secara materialis dan dengan semangat
progresif revolusioner. “Marxism is not a
dogma, but a guide to action” Marxisme itu bukanlah suatu apalan, melainkan
pedoman untuk bertindak. Sejarah selintas pandang tentang masyarakat Indonesia
– dari masa prakolonial sampai pemerasan kolonial yang semakin menghebat,
sehingga jurang antara kolonial-pemilik dengan rakyat Indonesia yang tak
berpunya semakin lebar, baik di bidang ekonomi dan sosial, politik dan
pendidikan. ‘Topan kemiliteran dari satu bangsa berkulit kuning, yang kecil itu
‘meniup lenyap Hindia Belanda bagaikan pasir di atas bukit batu. Penjajah baru
merampok Indonesia habis-habisan, dan yang
tersisa pada ‘Rakjat Djelata cuma rombongan celana karung dan tulang
kering romusha, sebagai sisa dari pada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam
dan di luar Indonesia’. Imperialisme Jepang manggali lubang kubur sendiri –
Yang Baru di Indonesia, yakni Pemuda, yang insaf dan sanggup menyusun, dan
menggerakkan Rakyat Murba untuk mengambil kesempatan baik’ dan Proklamasi
menjadi suatu kenyataan.
Tentang Soekarno
Dalam bab berjudul “Dari Ir.
Soekarno sampai ke Presiden Soekarno”, Tan Malaka menjadi lebih jelas. Ia
bermaksud menulis tentang pribadi Soekarno, dan juga tentang hubungan-hubungan
dirinya sendiri dengannya. Tulisan ini merupakan perhitungan yang destruktif,
yang ditulisnya dalam bulan Februari 1948. Pada saat itu jelaslah bahwa Tan
Malaka tidak akan dituntut dan diadili untuk keikutsertaannya di dalam Kup 3
Juli, tapi ia juga tidak akan dibebaskan. Barangkali amarah dan frustasi
perihal inilah yang menjadi penyebab pendapatnya menjadi semakin tajam.
Menurut Tan Malaka seseorang bisa
dari konservatif menjadi progresif, oleh karena watak yang tangguh dan visi
yang tepat mengenai perjuangan klas – artinya dengan pandangan hidup yang tepat
dan masak. Seseorang yang ‘tiada mempunyai Filsafat atau Pandangan-Hidup yang
tepat dan masak, tetapi mempunyai watak dan kemauan yang mudah
diombang-ambingkan oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu sendiri atau
pengaruh dari luar, biasanya, kalau bertemu dengan sesuatu rintangan, mudah
sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan
dirinya sendiri’. Dapat melihat ke depan, mempunyai watak teguh, konsekuen dan
dengan jujur memegang janji. Apakah Soekarno menepati janjinya?
Pada masa kolonial Soekarno berusaha
menuju Indonesia merdeka atas dasar aksi massa. Untuk itu ia harus membayar
mahal, namun sebaliknya mendapat kehormatan luar biasa dari rakyat. Tapi apa
yang terjadi sesudah pendudukan Jepang? Selama masa itu ia bekerjasama dengan
Jepang yang ‘imperialistis, militeristis, dan teokratis’, ia berjanji untuk
sehidup semati berjuang bersama Jepang untuk Indonesia merdeka di kelak
kemudian hari, di bawah payung ‘Asia Timur Raya’. Untuk pendiriannya itu ia
menerima tanda jasa yang tinggi dari Kaisar Jepang. Dalam bulan Agustus 1945 ia
dibawa ke Saigon untuk menerima perintah Jepang seputar kemerdekaan Indonesia
itu.
Soekarno orang yang menciptakan
semboyan ‘Amerika kita streka, Inggris kita linggis’, yang membakar potret Van
der Plas, Roosevelt dan Churchill, yang menyatakan kemerdekaan, tapi mengakui
kedaulatan Belanda melalui Linggajati dan Renville.
Selama masa pendudukan Soekarno bisa
berbuat lain. ‘Tak perlu dia sendiri menganjurkan atau menyetujui pengerahan
romusha, pengumpulan intan-berlian Rakyat Indonesia serta para gadis (“buat
dilatih”) untuk dikirim ke Tokyo.’ Kemudian hal yang sama terjadi ketika ia
menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang, mengakui negara-negara
boneka Belanda dan menarik prajurit-prajurit TNI dari ‘kantong’ di Jawa Barat
dan Jawa Timur. Selanjutnya hal yang sama juga berlaku dengan menerima kembali
Mahkota Belanda, negara federal Indonesia, dan Uni Indonesia-Belanda. Seadainya
dalam segala hal tetap berpegang teguh pada sikap semula, maka kemerdekaan 100%
pastilah sudah lebih dekat tercapainya daripada sekarang.
Tapi Soekarno tidak ambil pusing
terhadap analisis tentang masyarakat Indonesia.
“Tidak tampak bagi saya dalam semua
pidatonya perhatian kepada pertentangan yang dalam antara kebutuhan Belanda
terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada pula kelihatan dalam
semua pidatonya itu pusat perhatian kepada Pokok pendorongnya gerakan Rakyat di
Indonesia, ialah gerakan Murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada
grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para
pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan yang berdasarkan
pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk
menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena
kepintaran mempergunakan bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh
bersipongang dan mempengaruhi para-pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, meng-hypnotisir,
sesuatu rapat Rakyat Murba.
‘Grande-eloquence’
dan ‘grande-elegance’ ala
Soekarno bisa menyesatkan rakyat murba dan malah membantu imperialisme. Kaum
intelektual burjuis di kalangan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
sebenarnya takut terhadap murba, tapi
memberi harapan dan impian kepada murba dengan pidato-pidato yang ‘abstract,
kabur tapi grand’ yang digunakan
untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tiada konsekuen
serta mempalsukan semua yang konsekuen” perbuatan yang kompromistik, tindakan
yang anti aksi massa, dan yang hakikatnya anti-kemerdekaan.
Soekarno tidak pernah ‘konkret
dan nyata, serta tidak pernah
terang-terangan melawan musuh – pemerintah kolonial, penjajah Jepang, dan
imperialisme Belanda. Dengan kata-kata yang indah-indah ia menciptakan ‘perisai
terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerja sama dengan
kapitalisme imperialisme Belanda.
Tan Malaka tidak berhenti hingga di
sini. Dengan sangat pedas ia menulis, bahwa sikap politik Soekarno yang tidak
jelas membuat sukar baginya untuk menetapkan sikap Soekarno terhadap dirinya,
walaupun kelihatannya masih serba baik. Sebagai ilustrasi Tan Malaka menulis
beberapa peristiwa yang waktu itu barangkali hampir tidak atau sama sekali
tidak diketahui oleh umum. Peristiwa pertama sehubungan dengan vonis terhadap
Soekarno bulan Desember 1931, teks vonis itu ada pada Tan Malaka, dan yang
diterjemahkannya dengan panjang lebar. Ia memperlihatkan, bahwa Soekarno
mendapat inspirasi untuk aksinya dari mengutip brosur Tan Malaka tentang Massa Actie.
Kedua, mengenai hubungan-hubungan
antara Soekarno dan Tan Malaka sesudah Proklamasi, yang dalam hal ini Soekarno
berkedudukan sebagai murid dari Tan Malaka, yang berujung pada lahirnya Testamen
Politik. Tan Malaka menceritakannya secara netral, tapi kesimpulannya bagi
setiap orang jelas: Soekarno merasa berutangbudi pada
Tan Malaka, dan ia mengakui keunggulan wawasannya.
Proklamasi
Dalam bab berikut Tan Malaka
menceritakan tentang jalannya peristiwa sekitar Proklamasi – dalam hal ini ia
sangat menyesali dirinya karena tidak ikut mengambil peranan. Informasi perihal
proklamasi ini diperoleh dari berbagai sumber yang terkait, dan di antara
mereka disebutnya Soekarni dan Pandoe Kartawigoena. Tujuannya untuk
menggambarkan tentang jalannya kejadian yang sebenarnya: ‘sejarah bukanlah
suatu impian, pengharapan atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar
atau para pemegang kekuasaan belaka, melainkan suatu kejadian yang memang sudah
terbukti. Proklamasi tidak terjadi sebagaimana banyak orang mengiranya, yaitu
atas prakarsa atau persetujuan Soekarno dan Hatta. Mereka justru menentangnya.
Pemalsuan sejarah inilah yang Tan Malaka ingin menjelaskan dan membantahnya. Ia
mengikuti usaha para pemuda selama bulan-bulan terakhir menjelang Jepang
menyerah, sementara itu ia sebagai Iljas Hussein, utusan Banten, memainkan
peranan sangat kecil. Penculikan ke Rengasdengklok dan diskusi yang berlangsung
di sana diberitakan. Soekarno dan Hatta tidak mau memercayai berita-berita
tentang kapitulasi Jepang, dan juga tidak mau memercayai berita-berita tentang
kapitulasi Jepang, dan juga tidak percaya pada kekuatan yang dipunyai rakyat
dan pemuda. Akibatnya akan jatuh korban jiwa manusia besar-besaran dan sia-sia
belaka. Dan Hatta bertanya: ‘Wat hebben wij? (Senjata apa yang ada pada
kita?).” Kedua pemimpin itu, Soekarno dan Hatta, akan mengundang rapat badan
penasihat Jepang mereka, mengirim keputusan rapat ke Tokio dan menunggu
keputusan tentang kemerdekaan itu dari sana (Dari Markas Tentara Pendudukan
Amerika?’, Tan Malaka menambahkan). Sesudah datang perantara dari Jakarta,
Soekarno dan Hatta menyetujui Proklamasi, yang akan diumumkan pada 17 Agustus
sesudah perselisihan tersebut usai. Tan Malaka dengan tajam menyimpulkannya.
1. Bahwa Sukarno-Hatta tiada percaya
akan kekuatan yang hebat tersembunyi dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa
dynamis dan merdeka.
2. Bahwa Sukarno-Hatta cuma
memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda
semata-mata.
3. Bahwa Sukarno-Hatta seperti
dibuktikan oleh 3½ tahun sejarah dibawah
Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan oleh Jepang
kepada Rakyat Indonesia.
Jurang antara pendirian, pendapat
dan tindakan Soekarno dan Hatta di satu pihak dengan baik rakyat maupun pemuda
di lain pihak, Tan Malaka menyimpulkan, merupakan ‘kesedihan sejarah dan
sejarah kesedihan Republik Indonesia.”
Persatuan Perjuangan
Dalam bab ‘Ke arah Persatuan
Perjuangan’ Tan Malaka memang memainkan peranannya di pusat kekuasaan – untuk
pertama kalinya sejak September 1945. Walaupun kekuasaan itu kadang-kadang
tampak lebih simbolik daripada nyata, dan mendapat ancaman pula dari tentara
Sekutu dan Belanda, serta dari para politisi dan para diplomat. Soebardjo membukakan
jalan bagi Tan Malaka untuk memasuki kalangan penguasa Republik. Tan Malaka
menyebut demonstrasi 19 September sebagai gagasannya, dan menceritakan tentang
– sesudah mendapat peringatan dari Jepang – ketidakmauan Soekarno dan Hatta
untuk meneruskan unjuk rasa tersebut. Mereka bahkan minta meletakkan jabatan,
tapi atas permintaan Jepang mereka tetap meneruskan tugasnya. Rapat umum
berakhir dengan anti-klimaks. Soekarno minta untuk membubarkan diri dengan
tenang, dan tidak menyerukan melakukan aksi massa. Hatta mengaku, bahwa dia
bukanlah seorang pejuang. Maka akan lebih baik apabila ia – dan Soekarno –
menyerahkan pimpinan Revolusi kepada kaum revolusioner dan para pejuang.
Penolakan mereka untuk memberikan persetujuan pada aksi-aksi perebutan senjata
membawa akibat pada kelumpuhan, kepasifan, dan kebingungan. Maka aksi-aksi
perebutan senjata hanya terjadi atas inisiatif setempat sendiri-sendiri. Tan
Malaka sendiri hanya sebagai penonton ketika ia mengajukan permintaan itu
kepada Soekarno. ‘Dengan muka pucat dan suara gugup’ ia melarang perebutan
senjata.
Tan Malaka menulis panjang lebar
tentang intervensinya di dalam pertemuan antara kabinet dengan utusan-utusan
Amerika. Pada kesempatan ini ia ‘mengoreksi’ Hatta dengan membeberkan empat
pasa rencana – dan satu pertanyaan timbul tentang status dan kewenangannya.
Ia menyebut tentang permintaan agar
ia mau memimpin Partai Sosialis yang akan didirikan, tapi ia menjawab tidak
ingin menjadi teman separtai bagi kaum sosialis. Diceritakan juga tentang
kunjungan dan penahanan singkat terhadapnya di Surabaya, dan pertemuannya yang
sangat ganjil dengan Tan Malaka palsu. Empat bulan sesudah Proklamasi
kesimpulan Tan Malaka menyatakan, bahwa Soekarno dan Hatta tidak
mengejawantahkan cita-cita rakyat dan pemuda, dan bahwa tenaga revolusioner
telah dirobek-robek ke dalam berbagai organisasi, dan bahwa salam paham,
kecurigaan dan kesimpang siuran telah sangat merugikan Republik.
Tan Malaka menjawabnya dengan
pembentukan Persatuan Perjuangan. Alasan-alasan dan persiapannya dengan pendek
dilaporkannya, dan kemudian diterbitkannya resolusi-resolusi yang telah
diterima oleh Kongres PP kedua di Solo, dan program minimum berikut dengan ‘Keterangan
singkat’ daripadanya.
Bagian yang bersifat dokumenter ini
disusul dengan sebuah uraian tentang ‘Pertentangan antara: diplomasi dengan
massa-aksi’. Dalam suatu revolusi sukar untuk memastikan siapa yang disebut
‘sayap-kiri’ dan siapa yang ‘sayap kanan’, apa arti sebenarnya dari aliran yang
‘lebih kiri dari kiri’ atau aliran ‘Trotskis’. Sejarah yang akan memastikan
etiket mana yang tepat, dan golongan mana yang memang berhak untuk memimpin
revolusi itu. Di dalam ‘taufan-revolusi’ itu orang terpaksa diombang-ambingkan
oleh purbasangka, kebencian dan ketakutan terhadap lawan politik mereka. Suatu
pendapat yang obyektif menjadi sangat sulit, dan ‘mungkin bagi saya sendiripun
tidak terkecuali’. Pendapat Tan Malaka pun suatu pendapat dari ‘seorang manusia,
yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada dalam keadaan terikat
(handicapped), yang membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat
kekuasaan negara dan keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai blacklist palsu, fluistercampagne
(kampanye bisik-bisikan), dan fitnah besar-besaran terhadap diri saya.’
Di Indonesia – Tan Malaka
menggunakan tema yang sudah dikenal – tidak ada kelas menengah Indonesia yang
kuat, yang karenanya pertentangan penindas-tertindas menjadi lebih jelas dan
lebih tajam, seperti misalnya di Tiongkok atau Filipina. Di Indonsia garis
ditarik: kawan dan lawan menjadi jelas, yaitu pro- atau anti murba. Dalam
hubungan ini latar belakang pribadi tidak menentukan segala-galanya – orang
tanpa latar belakang murba bisa memilih di pihak ini, dan yang murba bisa
menyeberang ke kubu lain. Kemudian Tan Malaka menyatakan, menurut tolak-ukur
yang ada padanya, empat tokoh itulah merupakan pemimpin-pemimpin Republik yang
paling terkemuka: Soekarno, Hatta, Amir Sjarifoeddin
dan Sjahrir. Mereka semua berasal dari klas borjuasi, mengikuti
pendidikan tinggi Belanda, dan bekerjasama dengan imperialisme Belanda di dalam
Linggajati dan Renville.
Soekarno mendapat kepercayaan dari
massa rakyat. Ia mengenal psikologi rakyatnya dan juga seorang orator yang
besar – andaikata “mempunyai Filsafat Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas,
di samping hati yang teguh memegang Filsafat dan Tujuan itu, dengan segala
macam bantuan yang sudah diperolehnya dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret
1948) menjadi liberator, Pembebas
Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional”.
Tapi Soekarno tidak mempunyai tujuan
yang jelas, oleh karena ia tidak mempunyai cara berpikir dan filsafat
revolusioner. Ia tidak memegang teguh pada tujuan semula yang telah
ditetapkannya. Ia telah menerima semua kemewahan yang sengaja diberikan Jepang
dengan berencana kepadanya, sehingga dengan begitu ia akan kehilangan kontaknya
dengan massa. Ia menjadi tidak percaya pada kekuatan murba, dan pada
dialektikanya revolusi. Ia kembali lagi menjadi borjuasi kecil dan memilih
jalan ‘of the least resistance’ (perlawanan
yang paling tidak berisiko).
Moh. Hatta bukanlah seorang
revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih
senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya
menghadiri pidato dilapangan Gambir Djakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa
memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing dari pada idaman, nafsu, kemauan dan
kesanggupan Murba. Di kalangan intelektual borjuis kecil dia bisa juga
mendapatkann pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap yang bisa
membangunkan keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources,
sumber akal padanya! Tetapi sebaliknya, nafsunya adalah sebanding dengan
kerendahan sumber akalnya itu! sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan
memangnya pula dia mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang
mencocoki idaman klasnya, ialah klas borjuis kecil. Hatta adalah seorang
Ahli-Apal (boekenworm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat
hemat cermat, serta teliti yang ada
padanya, diwaktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa
melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan sifatnya
itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan paling sedikit
membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat
keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berada.
Gambaran watak seperti tersebut di
atas ada pada Amir. Tan Malaka tidak pernah bertemu
dengannya, dan juga tidak berniat hendak menemuinya. Ia
mempersalahkannya sebagai biangkeladi hilangnya sangat banyak daerah wilayah
Republik. Ia juga yang membikin perjanjian Renville, dan melancarkan serangan
terhadap Lasjkar Rakyat Djawa Barat dalam bulan April 1947 – semuanya itu
sebagai kelanjutan dari sikapnya yang pro Belanda.
Tentang Sjahrir Tan Malaka bisa
banyak bicara, tapi hal itu tidak terjadi. Bukan disebabkan karena Sjahrir
dalam bulan Agustus 1945 berada dekat dengan para pemuda, tapi dengan cepat
pula ia membuat pilihan antara aksi massa dan diplomasi, antara bekerjasama
dengan PP dan berunding dengan ‘maling di dalam rumah’, semuanya demi
keuntungan si maling di dalam rumah itu. Kemudian Tan Malaka menuliskan
catatannya tentang penampilan Sjahrir di sindang KNIP di Solo bulan Februari
1946, dan apa saja yang berlangsung di sana – terutama atas dasar informasi
Soekarni. Kembalinya Sjahrir sebagai perdana menteri dan penolakannya terhadap
pemerintah PP, dilihat oleh Tan Malaka sebagai perpisahan antara babak pertama
dan babak kedua Revolusi: diplamasi menghapuskan aksi massa. Akibat dari ini
‘keruntuhan Republik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran,
perekonomian, sosial, politik dan moril.
Sjahrir memulai masa jabatannya baru
dengan suatu program terdiri dari lima butir, yang memberi kesan persamaan
dengan program minimum PP. menanggapi hal ini Tan Malaka menjadi sangat marah,
dengan menulis pernyataan panjang yang memperbandingkan antara kedua program
tersebut. Pernyataan ini diterbitkan secara anonim. Tapi dalam kata pengantar
pada cetak-ulang pernyataan tersebut dalam Dari
penjara ke penjara – karena menurutnya masih tetap aktual – Tan Malaka
mendedahkan siapa penulis pernyataan itu. Dalam kata pengantar itu ia sekali
lagi menegaskan tentang perbedaan secara fundamental antara dua program
tersebut, yang timbul dari suatu visi tentang hubungan-hubungan kekuatan di
Indonesia dan di dunia, dan tentang imperialisme Belanda yang sama sekali
berbeda. Tan Malaka percaya pada ‘diplomasi bambu runcing’ dengan boikot total
dan gerilya. Dalam bulan Februari 1946 pemerintah tidak mengakui aturan-aturan
demokrasi. Aturan-aturan yang harus menetapkan
program mana yang mendapat dukungan rakyat, atau lebih tegasnya, PP
sebagai wakil rakyat yang sejati haruslah mendapat tugas penyusunan kabinet.
Tapi sebaliknyalah, pemerintah justru mengerahkan segenap aparat represinya,
dan didukung oleh fitnah dan tindakan-tindakan yang melanggar undang-undang
untuk menyingkirkan lawan-lawannya.
Selanjutnya disusul dengan satu bab
panjang berjudul ‘Linggardjati dan Renville’, suatu penjelasan politik tentang
dua perjanjian itu. kedua-dua perjanjian itu diadakan sesudah Proklamasi,
sehingga oleh karenanya merupakan ‘satu kekalahan besar dan bahaya yang tak
terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia’. Sesudah pendudukan
Jepang atas Indonesia dan pendudukan Jerman atas Belanda, maka perundingan itu
merupakan jalan kembalinya Belanda yang bahkan oleh mereka sendiri pun tidak
terduga. Bahasa diplomasi yang bermulut manis, main gertak sambal dan
janji-janji kosong, dengan dukungan dari ‘wasit’ ala Clark Kerr dan Killearn,
kesempatan dibuka untuk mengembalikan penindasan kolonial dalam kemasan baru –
yang ini bukanlah suatu kemenangan diplomasi Indonesia, bukan pula suatu ‘batu
loncatan’ atau ‘adempauze’. Dengan Linggajati maka Republik dipisahkan dari
Indonesia selebihnya, dan kedaulatan Republik dirongrong dengan pengakuan
terhadap Mahkota Belanda. Dan ia membantah pada jalan pikiran bahwa tidak
pernah ada kemerdekaan 100%. Jika terjadi keadaan yang demikian, maka ini
sebagai akibat dari perundingan antarnegara yang bersifat sukarela, sadar dan
sementara. Tapi Linggajati merupakan suatu perjanjian yang dibebankan secara
sepihak oleh Belanda.
Tan Malaka menganalisis lebih lanjut
tentang hubungan Belanda-Indonesia, pertama-tama atas dasar faktor ekonomi.
Selama perekonomian dikontrol oleh Belanda, maka negara Indonesia tidak bisa
berfungsi. Pertentangan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan massa
Indonesia yang terjajah bersifat ‘irreconcilable’
(tidak terdamaikan). Kekuasaan ekonomi dari minoritas Belanda tidak akan pernah
sejalan dengan kepentingan politik mayoritas Indonesia. Kaum burjuis kecil di
Indonesia dan ‘mereka yang menamai dirinya sosialis’ itu bermimpi tentang
‘Pemerintah-Bersama’. Ini pengkhianatan terhadap Proklamasi. Linggajati dan
Renville dengan jelas memperlihatkan, bahwa hubungan politik mencerminkan
hubungan ekonomi.
Selanjutnya Tan Malaka membahas
masalah bagian-bagian khusus dalam kedua perjanjian itu. Inti persoalan berupa
Pasal 14 – pengakuan terhadap hak milik Belanda – dan pengakuan terhadap
utang-negara. Kelanjutan daripadanya berupa tuntutan pada adanya ‘rechts- en bedrijfszekerheid’ (jaminan
hukum dan jaminan berusaha) bagi pedagang kruidenier
Belanda: untuk menyewa tanah, air untuk perusahaan mereka, buruh dan kuli untuk
dikuras tenaga mereka, kuli dan alat pengangkutan untuk membawa semua barang
itu ke pantai, ke pulau-pulau lain dan ke dunia di luar Indonesia. Mereka
menuntut ‘persoonlijke zekerheid’ (jaminan
keamanan pribadi) agar bisa selamat pergi dari rumah ke tempat kerja dan dalam
waktu-waktu senggang ke kota untuk mengunjungi ‘restoran, rumah bola, concert,
bioskop, rumah dansa, cabaret’ tanpa takut akan ‘kaum exstremis’. Dengan modal Amerika
mereka akan mengembangkan usaha baru, atas dasar perampasan terhadap orang Jawa
yang miskin, yang akan disewa dengan upah sangat rendah. Pembuat undang-undang sosial tidak bisa
membatasi modal internasional, seperti golongan “orang kuat”, “Marxist”,
“Leninist”, dan “Stalinist” Indonesia percaya. Pelaksanaan Pasal 14 membawa
akibat pada merongrong urusan-urusan politik luar negeri, keuangan, militer dan
kebudayaan Indonesia – Republik Indonesia menjadi boneka Belanda belaka.
Terhadap sejumlah masalah Tan Malaka
mengamatinya dari sudut hubungan Belanda-Republik. Dengan nada muram ia
melukiskan dominasi Belanda dalam urusan impor-ekspor. Dengan begitu Indonesia
akan tetap sebagai produsen bahan mentah belaka. Urusan perdagangan dan luar
negeri tetap di bawah kewenangan Belanda. Politik keuangan akan melindungi
kepentingan modal: pajak impor-ekspor rendah, dan juga upah rendah. Akibatnya
pendapatan negara rendah, gaji pegawai pun demikian pula.
Dengan jalan pecah-belah dan
kuasailah, seperti demikianlah yang selalu dilakukan di dalam ‘nuchtere realiteit’ (realitas lugas)-nya
Belanda menjangkaukan tangan mereka kepada kekuasaan politik. Untuk ini
Linggajati menyediakan ruang leluasan baginya.
Maka Tan Malaka lalu menguji
Republik dengan enam syarat-syarat eksistensinya sebagai negara yang merdeka:
daerah, penduduk, pemerintah, industri, bahan mentah, dan kedudukan geografis.
Untuk semua faktor tersebut Tan Malaka menetapkan persentase andil Republik di
dalam keseluruhan Indonesia. Ia menjumlahkan semuanya itu dan kemudian
membaginya dengan lima (faktor pemerintah tidak diberi nilai). Maka dari
perhitungan yang bisa dipertanyakan ini harus disimpulkan bahwa Linggajati
mengembalikan pada Republik sebanyak 20% dari kekuatan ‘material (lahir)’
Indonesia. Adapun Renville memberikan kurang dari 8%. Dengan begitu Belanda
mempunyai segala peluang untuk mengambil kembali status kolonialnya,
‘seakan-akan tidak ada 8 Maret 1942 dan interneeringskamp
(tempat-tempat interniran) buat Belanda dan Proklamasi bagi Rakyat Indonesia.
Belanda ingin mempunyai tentaranya
di Indonesia, yang akan bisa dikerahkan apabila perkembangan keadaan tidak
berjalan menurut keinginan Belanda. Maka Tan Malaka mengutip oposisi Belanda
terhadap Linggajati dan juga dukungan yang lebih moderat dari Logemann, yang
melalui Linggajati berusaha mencapai legitimasi, pasifikasi dan koordinasi –
bagi keuntungan Belanda. Tapi ia tidak mendapatkan apa yang dikehendakinya.
Menteri Jonkman menghubungkan ‘interpretasi’ sepihak pada perjanjian itu, yang
akhirnya diterima Republik secara diam-diam. Para diplomat Indonesia masih saja
percaya pada semangat ‘goodwill dan pri-kemanusiaan’, padahal sementara itu
tentara Belanda melakukan pembantaian massal di Sulawesi Selatan dan menduduki
wilayah Republik di Jawa. Belanda bahkan menginfiltrasi pemerintah, dalam hal
ini Tan Malaka menunjuk pada serangkaian artikel di dalam ‘Murba’ tentang ‘Lima
serangkai’. Republik menderita sebagai akibat blokade, Belanda menjual bahan
mentah hasil sitaannya, dan rupiah menjadi korban hiperinflasi.
Belanda merasa diri kuat dan pada 27
Mei 1947 memberi ultimatum pada Republik, dengan menginterpretasi
ketentuan-ketentuan Linggajati secara maksimal, dengan gendarmeri bersama
sebagai butir penutup dan titik utama sengketa. Menyusul terjadinya serangan
Belanda, dan kemudian Komisi Jasa-Jasa Baik dengan wakil-wakil dari tiga negara
imperialis, memaksa Amir Sjarifoeddin menerima persetujuan Renville.
Negara-negara boneka baru dibentuk, dan tiga puluh lima ribu orang pasukan
Indonesia dengan sukarela meninggalkan daerah-daerah kantong mereka di Jawa
Barat dan Jawa Timur.
“Akan kembalilah kelak pasal 135 bis
dan ter, pasal 161, exobitante rechten dan lain-lain aturan Belanda, yang akan
mengekang persuratkabaran bangsa Indonesia, rapat inlanders dan kumpulan politik ‘bumi putera’ (Maret
1948).
Setelah kelak semua persuratkabaran, organisasi politik, dan semua
penyiaran paham dengan tulisan dan lisan sudah dikengkang kembali oleh PID
Belanda, maka akan sampailah kelak Belanda kepada saat, bilamana dia sendiri
akan mengizinkan mengadakan ‘plebisit’ atau buat menetapkan sendiri, bahwa tak
perlu diadakan ‘plebisit’ itu sama sekali.”
Dengan tiga puluh halaman bab ini
merupakan gugatan panjang yang tak tertahankan terhadap politik Republik yang
telah menyebabkan adanya Linggajati dan Renville. Dalam karangan-karangannya di
dalam ‘Murba’ bulan Maret dan April 1948, argumentasi Tan Malaka bertolak dari
dan ditujukan terhadap Renville.
Dalam tahanan Republik
Dalam bab penutup Tan Malaka kembali
pada pengalamannya pribadi – penangkapannya di Madiun pada tanggal 17 Maret,
dan perjalanan yang dipaksakan dari penjara ke penjara di dalam Republik, yang
dari tempat satu ke tempat lain keadaannya sangat berbeda, dan karenanya
berkali-kali Tan Malaka menjadi khawatir akan keselamatan nyawanya. Di dalam
keadaan yang seperti itu ia menemukan dalam filosofinya.
“Saya dianggap musuh dan saya berada
dalam keadaan tak berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran! Sebab
itu senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri
saya dengan hati tetap tabah. Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah
berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana
semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap,
laksana kabut disinari matahari. Bahkan ada saat yang pernah saya rasa,
bilamana saya anggap pelor pun akan melantunkan kembali mengenai jantung yang
menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai
akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang
menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata. Saya
sungguh harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan
semacam itu tadi, yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung
orang yang tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.”
Namun bagaimanapun, dengan segala
fitnah dan ‘fluistercampagnes’ itu, Tan Malaka merasa terbantu oleh
“kodrat kebenaran terpendam, yang
dipegang teguh oleh segerombolan ‘unknown
friendly powers’ (kekuatan bersahabat yang tidak dikenal). Tentara-teman-terpendam
inilah, yang memberikan perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam,
karena dalam keadaan handicapped (kurang
baik). Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf benar akan
adanya tentara-teman-terpendam itu. Sayapun insjaf, akan berlakunya dalam
sesuatu masyarakat manusia pepatah ‘teeth
for teeth, eyes for eyes’. Apa saja tindakan yang akan dijalankan kepada
kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut undang-undang balas
membalas, bayar membayar, mungkin dengan rente yang tinggi sekali. Seolah-olah
darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent), sanggup memanggil satu tentara-pembalasan. Banyak orang
yang tiada gentar, bahkan sebaliknya dengan penuh semangat keprawiraan
menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan, sesudahnya
nyawanya melayang.”
Tan Malaka memberitakan tentang
pemeriksaan atas dirinya, untuk yang pertama akhir1946 – tapi dakwaan konkret
tidak diberitahukan kepadanya, selain janji akan adanya ‘public trial’
(pengadilan terbuka) – yang ternyata juga janji kosong belaka. Bagi Tan Malaka
hal ini justru merupakan alasan untuk menuliskan pengalamannya di dalam tahanan
Belanda, Amerika dan Inggris – tidak ada
public trial, tidak ada right of asylum (hak suaka), tidak ada warrant (surat perintah) – hak-hak yang
tidak dikenal bagi native (pribumi).
Republik tidak bertindak lebih baik
dari semuanya itu: tidak ada perintah penahanan atas dasar sesuatu pasal hukum
dan oleh suatu badan yang berwenang untuk itu. selain itu Tan Malaka dihitamkan
namanya dan difitnah oleh, atau dengan persetujuan pemerintah. Tapi kebenaran
tidak bisa disembunyikan, dengan gembira Tan Malaka menyatakan: pada tanggal 17
Desember 1946 Benteng Repoeblik didirikan – untuk menentang Linggajati, untuk
parlemen yang sejati, dan untuk pembebasan tahanan politik. Semangat PP tetap
hidup terus, seperti misalnya di Sumatra nama PP tetap disebut-sebut.
Tapi dukungan dalam kata dan
perbuatan terhadap program minimum datang dari Laskar Rakyat Jawa Barat. Tan
Malaka mengutip panjang lebar berita dalam ‘Merdeka’ tentang Konperensi LRDB
dalam bulan November 1946, dalam suasana yang bersemangat, berkobar-kobar dan
marah – menentang pencideraan kemerdekaan 100%, menentang kabinet Sjahrir, dan
menuntut pemerintahan revolusioner
radikal, serta menuntut pembebasan tahanan politik. Menurut Tan Malaka
resolusi-resolusi Konperensi LRDB ini mengandung ‘historical elements’ (unsur-unsur sejarah). Di Jawa Barat sendiri
dukungan terhadap pemerintahan rakyat dan tentara rakyat adalah yang paling
pertama dan utama.
Lalu dukungan ini dilakukan
sembunyi-sembunyi dan dipersulit sesudah terjadinya ‘perang saudara antara
Tentara Resmi dan Laskar Rakyat’ dalam bulan April 1947. Kemudian sesudah
Renville pasukan TNI dievakuasi, dan LRDB yang meneruskan bertempur
ditinggalkan begitu saja. Dan Tan Malaka menuliskan kalimat-kalimat penutup:
“Apakah musuh Persatuan Perjuangan, di dalam dan diluar Indonesia sudah
pasti, bahwa jiwa persatuan perjuangan ialah Minimum Program, dilain-lain
tempat diluar Jawa Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera,
sudah lenyap dengan penggantian nama Persatuan Perjuangan?
Apakah tidak lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh
mengandung dasar yang cukup kokoh tak dapat begitu saja ditindas dengan penjara
ataupun pelor?
Apakah tidak akan berlaku juga di Indonesia ini Hukum Masyarakat, ialah
bahwa darah dan jiwanya korban perjuangan Kemerdekaan dari pemerasan dan
tindasan itu kelak akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi Negara dan
Masyarakat Baru?
Bagaimanapun juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama
Persatuan Perjuangan dan menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan
teristimewa pula dibawah tanah sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah
sekejappun juga saya sangsi mengucapkan: le
roi est mort, vive le roi! (raja telah mati, hidup raja baru.)
Dengan demikian pada akhirnya Tan
Malaka memperlihatkan ke mana simpatinya diberikan – pada Lasjkar Rakjat Djawa
Barat. Pernyataan yang terang-terangan, walaupun secara politis tidak begitu
bijaksana. Di dalam Republik LRDB menempatkan dirinya di luar dunia politik dan
militer reguler. Oleh karena itulah LRDB ditindak oleh TNI. Sebagian besar
pengikut Tan Malaka, seperti misalnya yang di Partai Rakjat, bergerak dalam
garis-garis yang ditetapkan oleh Yogya. Kemenangan gagasan politik Tan Malaka
diharapkan juga dicapai di dalam kerangka kaidah-kaidah Yogya. Dalam hal ini
tampaknya Tan Malaka mengambil jarak demi keuntungan aksi di luar parlemen.
Jilid ketiga Dari penjara ke penjara masih ditambah dengan sebuah lampiran.
Keterangan pemerintah tanggal 6 Juli 1946 tentang kup 3 Juli dikutip
sepenuhnya, disusul dengan sepatah dua patah kata sebanyak empat halaman dari
Tan Malaka.
Secara yuridis, demikian Tan Malaka,
keterangan pemerintah yang di dalamnya polisi, jaksa, dan hakim digabungkan
menjadi satu, menjadi tidak mempunyai nilai sedikit pun dan juga melanggar
aturan-aturan demokrasi. Keterangan itu merupakan timbunan fitnah dan
penghinaan, dan tidak berdasar pada pembuktian nyata, melainkan sama sekali
sebuah purbasangka belaka.
Untuk penjelasan lebih lanjut Tan
Malaka menunjuk pada Sapta Dharma pembelaan Yamin, yang tetap akan menjadi
suluh. Pada beberapa masalah ia bahkan membahas lebih lanjut. Ia menyangkal
mempunyai ambisi menjadi presiden – pada tanggal 31 Oktober 1945 Soekarni yang
membawa usul kepada Hatta, agar Soekarno digantikan Tan Malaka. Selain dari itu
posisi presiden itu juga tidak menjadi jaminan mutlak bagi kemenangan revolusi.
Ia kembali memberikan
alasan-alasannya, mengapa Persatoean Perjuangan didirikan. PP bukan sebagai
senjata untuk melawan pemerintah, tapi sebagai suatu front persatuan dengan
program minimum untuk melawan imperialisme. Keterlibatan di dalam kup 3 Juli
akan bertentangan sama sekali dengan aksi massa yang diyakininya dengan
konsekuen – penculikan, sabotase, ‘individual terror’ sama sekali tidak cocok
dengan aksi massa. Dalam hubungan ini Tan Malaka juga menunjuk pada Testamen
Politik yang belum pernah dicabut. Dari sudut pandang ini sangatlah tidak
bijaksana jika PP akan mendongkel Soekarno dan Hatta.
Jika Soekarno satu kali
kali saja menghadiri Kongres PP, dan dengan satu dua patah kata menyatakan
dukungan kepadanya, maka akan terbentuklah persatuan erat antara rakyat, PP,
dan pemerintah, dan sejarah Revolusi Indonesia akan berjalan sama sekali lain. Penangkapan-penangkapan yang terjadi
di Madiun adalah buah pekerjaan trio PS Amir-Sjahrir-Soedarsono, dengan
dukungan Soekarno dan Hatta, untuk membuka jalan menuju perundingan-perundingan,
menuju Linggajati dan Renville. Hasilnya ialah ‘mendesak Republik Indonesia ke
tepi jurang penjajahan’. Maka segala fitnah beracun yang dikirimkan kepada
kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun berbalik kepada
para pengirimnya.
Saling hubungan
Jilid pertama tulisan Tan Malaka
terbit dalam bulan Juni 1946 dalam bentuk stensilan. Jilid kedua terbit tahun
1950, ketika Tan Malaka sudah tidak ada lagi. Sedangkan jilid ketiga agaknya
juga terbit dalam bentuk stensilan dalam tahun 1948. Untuk ini Tan Malaka
menulis kata pengantar, yang diberinya datum: Yogyakarta, Oktober 1948. Tentang
penyebaran buku ini, secara ala kadarnya pun barangkali tidak pernah terjadi
lagi, mengingat serangan Belanda yang sudah terjadi dalam bulan Desember 1948.
Petunjuk tentang ini ialah, bahwa sesudah bulan Desember tersebut intelijen
Belanda tidak pernah merampas satu eksemplar pun. Seandainya ada ditemukan,
pastilah hal itu dilaporkan. Karena judul-judul lain karangan Tan Malaka, Gerpolek
misalnya, berkali-kali dibeslah.
Mengingat kecilnya kemungkinan dan
sarana untuk menerbitkan Dari Penjara ke Penjara, bisa dimengerti jika Tan
Malaka lebih mengutamakan penerbitan jilid yang ketiga daripada jilid yang
kedua. Jilid ketiga sangat aktual – di sini Tan Malaka mempertahankan
pendiriannya, dan membikin perhitungan terhadap lawan-lawannya, termasuk di
antaranya Soekarno dan Hatta, dan tokoh-tokoh sosialis Amir dan Sjahrir yang
tersingkirkan dari pusat kekuasaan. Bagi Tan Malaka sendiri sekaligus sangat
penting jika falsafah politiknya bisa tersebar, meski sudah dibikin singkat
tapi tidak mengurangi visinya yang saling berkaitan – mengingat kurangya
wawasan penerbit tentang Madilog yang luas cakupannya itu.
Menurut Jarvis jilid ketiga Dari penjara
ke penjara merupakan perubahan radikal dari pendekatan naratif yang dominan
dalam Jilid I dan II. Sebuah analisis lain terhadap Dari Penjara ke Penjara
juga melihat adanya perubahan radikal itu. ‘Penulisan tiba-tiba menuntut agar
kita terlibat dalam praktik revolusi masa kini. Dengan kata lain ketegangan
yang tersirat di dalam dua j ilid pertama, yang bisa digambarkan sebagai
masalalu yang reflektif digantikan dengan masa kini yang aktif. Imbauan
diserukan kepada peserta revolusi masa kini yang ...diminta agar memilih pihak.
Ini menjadi bukan lagi sebuah otobiografi, melainkan sebuah pamflet politik...
Perbedaannya barangkali tidak besar
seperti yang diduga semula. Bagian pembukaan, yang bersifat teoritis dan
panjang (lima puluh halaman), mempunyai kemiripan dengan bab-bab awal di dalam
jilid satu dan di sana-sini juga dengan bagian-bagian yang berikut, dan bisalah
didapat kejelasan tentang penerbitan Madilog yang tidak kunjung datang itu.
Dalam tulisannya tentang pengalaman
pribadinya setelah Proklamasi, untuk pertama kalinya Tan Malaka ikut berperan
serta dalam peristiwa itu. Dalam jilid-jilid sebelumnya sedikit-banyak ia
sekadar seperti musafir, pengamat dan orang pelarian. Ia bisa bercerita tentang
pengalaman sendiri dan memberikan visinya tentang hubungan-hubungan politik dan
sosial serta perkembangan di negara-negara tempat ia tinggal – Tiongkok,
Filipina, dan Malaka. Juga tentang Indonesia, dari sudut pandang seorang
komunis, seharusnyalah ia melukiskan secara garis besar kerangka yang demikian itu,
yang di dalamnya partai dan tokoh-tokohnya memainkan peranan mereka.
Selanjutnya ia menambahkan dengan memberitakan tentang peristiwa-peristiwa,
yang ia sendiri berada di luar daripadanya – seperti dalam hal peristiwa
Proklamasi – atau kalaupun terlibat namun dalam batas sewajarnya saja. Di sini
ia kembali dalam gaya ceritanya, tapi terkadang ia terpaksa mengalah demi
dokumentasi dan polemik, dengan demikianlah Tan Malaka mempertahankan pendirian
pribadinya. Dalam hal ini peranan Dari penjara ke penjara sebagai senjata
politik yang sangat penting tentu saja tidak bisa dielakkan. Namun dari sudut
ini Jilid III, walaupun dengan adanya berbagai-bagai sudut pandang, perspektif
dan tujuan akhir, memperlihatkan adanya kohesi yang diperlukan dan struktur
yang logis. Dengan data-data ini memang sukar untuk mereka-reka tentang dasar
rencananya dengan lebih baik. Jarvis juga terlalu menyalahkan Tan Malaka dengan
mengatakannya, bahwa ‘relatif kurangnya cerita tentang pribadinya untuk
imbangan terhadap perselisihan internal dan perubahan perspektif’, dan bahkan:
“buku itu sendiri lebih terasa sebagai
manuskrip yang dalam persiapan untuk diterbitkan’.
Pendapat ini juga dikemukakan dalam
“Kata pengantar dan penambah” Tan Malaka yang bertanggal Oktober 1948.
“Dasar dan tujuan jilid terakhir
berlainan dengan dasar tujuan jilid yang sudah-sudah. Jilid ini berdasarkan
tahanan dalam penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubungan
dengan itu, maka isinya tulisan ini agak abstract teoritis, dan agak banyak
mengandung sifat polemik. Sedikit banyak dikemukakan disini soal Pemandangan
Hidup (Filsafat), soal kenegaraan (state), soal Persatuan Perjuangan, soal
Perundingan Indonesia-Belanda dll. Semuanya itu diarahkan kepada pembelaan atas
tuduhan yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi Pemerintah Republik
Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada tuduhan yang masih kami tunggu-tunggu
dari Kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila jilid ini sudah selesai kami
semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang tanggal 16
September tahun itu juga, yang belum tertulis dalam jilid inilah, yang kami
tambahkan kepada ‘Kata pengantar’ ini...
Tulisan dalam Jilid ini tiada bisa
berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti terformulir oleh
pihak yang berhak ialah dari Kejaksaan rupanya tiada dapat dimajukan. Pembelaan
yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk atas
‘tuduhan’ yang pasti ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami ini
juga tiada dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan persediaan
buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah dilakukan.
Tan Malaka merasakan ‘keanehannya’,
bahwa dirinya sebagai ‘pemimpin coup d’etat’ tidak dituntut dalam proses
terhadap Soedarsono dan Yamin. Tapi sementara itu ia pun tidak dibebaskan. Maka
yang dikemukakan sebagai alasan, bahwa ia dipersalahkan melakukan ‘oposisi yang
ilegal’. Dan Tan Malaka lalu berusaha keras menyanggahnya. Apa itu oposisi
legal dan ilegal di dalam kehidupan revolusioner? Atas dasar apa jaksa-jaksa,
yang berpendidikan kolonial itu, berhak menetapkan hukuman dalam perkara ini?
Bahkan menurut hukum, pembebasan sudah harus dilakukan – menurut asas hukum
tidak seorang pun bisa dituntut dua kali untuk kasus yang sama. Tapi kekuasaan
pengadilan sudah membiarkan dirinya digunakan sebagai alat bagi para pemegang
kekuasaan. Pemegang kekuasaan inilah yang seharusnya dituntut oleh sebab
tuduhan-tuduhan fitnah mereka. Tapi sebaliknya merekalah yang justru akan tetap
menahan dirinya selama-lamanya. Tapi berkat dukungan luas yang Tan Malaka
peroleh dari sangat banyak organisasi, niat yang demikian itu tidak bisa
dilaksanakan.
“Dimana-mana kami berada, pemuda
kami itu berada pula, mengelilingi tembok penjara, sebagai anak harimau mencari
ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan didalam penjara atau dari penjara
ke penjara, kami lakukan dengan
keinsjafan, bahwa ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami.
Veteran-revolusi mana, yang tak akan merasa tetap tenang detik jantungnya serta
tetap tegap langkahnya, kalau dia insaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun
langkah derap-tegap dari pemuda yang penuh dengan keikhlasan serta kesatriaan?
Yang memegang kekuasaanpun tentu tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa
pemuda kami itu.
Selanjutnya Tan Malaka menyebut
partai-partai dan lasykar yang memberi dukungan padanya, dan semuanya
menggabungkan diri di dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). ‘Suara GRR
bergumandang dimana-mana, dan terus terang, zonder tendeng aling-aling mengatakan,
bahwa dia meneruskan Minimum Program Persatuan Perjuangan dan menuntut
penglaksanaan demokrasi dengan membebaskan tahanan politik. Juga ia mendapat
banyak dukungan dari Sumatra. Juga Laskar Rakyat Jawa Barat kembali lagi
disebutnya, bahkan dengan kutipan panjang dari ‘Nieuwsgier’, yang diperoleh
dari ‘Sin Po’, yang menekankan tentang kedekatan hubungan antara Tan Malaka
dengan LRDB – bahkan disebutkan organisasi inilah satu-satunya yang tetap
menjunjung tinggi cita-cita dan haluan politik Tan Malaka sesudah ia di dalam
penjara. Dan Tan Malaka tidak membantah tentang hal ini.
Pada tanggal 16 September 1948 mendengar
berita, bahwa ia dibebaskan. Tidak ada dakwaan yang bisa diajukan. Dan untuk
keempat kalinya – seperti yang sedikit masih bisa diingatnya – ia dibebaskan
tanpa dilakukan pengadilan.
“Republik ‘Negara Hukum’ kitapun,
yang katanya mempunyai ‘alasan’ menangkap kami di Madiun, harus berfikir dua
setengah tahun buat menyusun ‘tuduhan’ terhadap kami. Sampai saya dan Sukarni
dikeluarkan pada tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka
tuduhan itu belum lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.”
Akhirnya Tan Malaka membantah, bahwa
ia dibebaskan untuk dipakai sebagai pengimbang terhadap Muso. Tan Malaka
menilainya sebagai perkara yang sensitif dan ikut menempuh kesalahan-kesalahan
pemerintah PKI-Moeso. Ia menolak menyatakan terang-terangan tentang Moeso,
karena tidak mau membiarkan diri diperalat oleh pemerintah.
Tan Malaka menulis autobiografinya
untuk ‘para pahlawan kemerdekaan masa sekarang dan masa depan, pemuda dan yang
sependirian dengan mereka, untuk memenangkan cita-cita mereka. Dilihat dari sudut itu buku ini konsekuen,
dengan segala sudut pandangnya yang berbeda-beda. Ada penjelasan tentang
marxisme dan penerapannya pada historiografi Indonesia dan negeri-negeri di
kawasan itu, di mana dia memperlihatkan dirinya sebagai seorang guru yang
cakap. Tulisan-tulisan jurnalistiknya memberikan informasi dan latar belakang.
Dalam kisah-kisahnya yang murni autobiografis emosi-emosi pribadinya pada
umumnya tetap di latar belakang – dalam pandangan saya emosi-emosi itu terlalu
‘banyak disoroti’ dibandingkan dengan kiprah pengabdiannya pada cita-cita.
Untuk membuat agar pesan – dan pembawa pesan – bisa dicerna dengan
sebaik-baiknya, ia memberi dirinya sendiri aureol martir yang mengesankan –
yang dikejar-kejar dan dipenjarakan oleh imprialisme Belanda, Amerika dan
Inggris, dari penjara ke penjara, walaupun ketiga-tiga pemenjaraan itu
seluruhnya hanya terjadi selama lebih sedikit dari tiga bulan. Dan apakah
pendapatnya tentang Republik yang ketika dia menyelesaikan naskahnya, sudah dua
tahun menahannya di dalam penjara? Bagaimana Republi ini ditempatkan di dalam
deretan tiga kekuasaan kolonial itu?
Tan Malaka juga berspekulasi tentang
‘nafsu sensasi’ dari pembaca-pembacanya. Cara dia meloloskan diri yang
mentakjubkan dibesar-besarkannya, dan secara tidak langsung bicara tentang
rahasia-rahasianya yang belum terbongkar. Dalam hal ini ia mendapat
inspirasinya dari roman Matu Mona, yang menurutnya secara kebetulan dibelinya
di Medan tahun 1942 – tapi sangat mungkin ia sudah membacanya selagi masih di
Singapura. Matu Mona mengubah romannya itu berdasarkan data yang diberikan Tan
Malaka pribadi di dalam ‘Pewarta Deli’ pada tahun 1934, yang kemudian
berpengaruh atas Tan Malaka ketika ia menuliskan kisah riwayat hidupnya.
Tampaknya ia cenderung berlebihan dalam mempertahankan misterinya, tapi apakah
ia menyadarinya, masih merupakan pertanyaan. Perahasiaan dan kehati-hatian
menguasai watak kedua Tan Malaka, dan dengan itu kiranya sikapnya yang suka
menjaga jarak bisa dimengerti.
Penentuan posisinya terhadap Moskow
tetap menimbulkan banyak pertanyaan yang memusingkan. Dengan pendekatan secara
rasional terhadap hubungan itu Tan Malaka mempunyai harapan, bahwa ia akan
mendapat bantuan dari pusat komunis internasional itu, namun tidak sebagai
satelit yang tanpa pendirian. Jika saja informasi dan informan-informan yang
benar akan sampai di Moskow, maka Moskow pasti akan memilih dia. Karena
kurangnya informasi yang parah tentang perkembangan keadaan di bawah Stalin,
maka pendapat Tan Malaka kurang tepat karenanya.
Pimpinan Republik didampratnya
habis-habisan. Bab terakhir dari jilid kedua bukunya memperlihatkan nada yang
demikian itu: Soekarno-Hatta sebagai kolaborator Jepang. Dan akhirnya mereka
juga menyalahgunakan wewenangnya untuk mengekang aksi massa rakyat Murba. Untuk
menghadapinya Tan Malaka memberikan sebuah alternatif: Persatuan Perjuangan
yang, dari sudut pandangannya, tenggelam sebagai akibat tindakan pemerintah –
Soekarno, Hatta dan dua tokoh pemimpin-pemimpin kiri Sjahrir dan Amir – yang
bahkan disusul dengan penahanan atas dirinya. Ia membahas politik pemerintah
dan menuliskan tentang pengalaman pribadinya. Akhirnya ia mengakui merasa
paling dekat dengan LRDB yang menempatkan dirinya di luar spektrum politik
Republik. Saat itu bulan Maret 1948; bukunya selesai, tapi kisah hidupnya
tidak. Seakan-akan semuanya ditulis dengan mata memandang kepada usaha
kebangkitan politik dan mencari pengikut untuk itu.
Dalam bulan Oktober 1948, ia
dibebaskan dari tahanan, ketika sedang
menuliskan kata pengantar untuk buku yang ketiga. Ia menyatakan pandangan
tentang penahanannya dengan nada getir, memuji bantuan yang diterimanya, sekali
lagi dengan tempat terhormat untuk LRDB, dan mengambil jarak dengan
pemberontakan Madiun, tanpa mengucapkan dukungannya kepada pemerintah. Namun ia
tidak mengajukan suatu alternatif yang jelas.
Apakah Dari penjara ke penjara
memang sebuah otobiografi? Dan dari mana Tan Malaka
mendapatkan contohnya? Sebuah autobiografi yang ‘benar’ akan berakhir
sampai si tokoh mati atau sesudah karirnya habis, tapi buku ini tidak demikian
– sehingga tidak ada kebulatan sebagai autobiografi. Lebih baik buku ini
disebut sebagai sebuah program politik, yang dalam hubungan ini, dengan surat
lamaran yang panjang, Tan Malaka memperkuat permintaannya agar program tersebut
dilaksanakan. Falsafah politiknya – yang daripada
ide-ide dan praktik politiknya dijabarkan – dedikasinya yang konsekuen, serta
ciri-ciri wataknya yang teguh, dibuktikan selama dua puluh tahun lebih
dalam pengejaran dan penahanan, sehingga
membentuk dirinya menjadi tokoh yang paling cocok untuk memimpin Republik
menuju masa depan yang baru, tidak harus sebagai presiden tapi sebagai guru dan
sumber inspirasi dengan tetap berdiri di latar belakang. Di tinjau dari
sudut pandang ini terputusnya antara dua jilid yang pertama dengan jilid
terakhir seakan-akan menjadi kurang dibicarakan sebagaimana adanya – terlepas
dari ucapan Tan Malaka sendiri tentang ini. Demikian pula dengan dua kata
pengantar yang belakangan ditulis Tan Malaka untuk buku jilid satu dan tiga,
barangkali dalam naskahnya ia mengajukan suatu sistem yang lebih dari yang ada
dalam kenyataan. Momentum, aktualitas, dan keadaan di dalam tahanan menentukan
bagian-bagian alur kisah dan isi Dari penjara ke penjara, dan memberikan
struktur yang heterogen serta peralihan-peralihan yang mendadak. Tapi seluruh
teks mengabdi pada satu titik tolak, sekurang-kurangnya tidak boleh
merugikannya: pengikut yang ada dipertahankan, pengikut baru digalang untuk
satu alternatif politik.
Analisis
Jarvis
melihat Dari pendjara ke pendjara sebagai sumber utama Revolusi Indonesia’,
seperti tentang Proklamasi , Testamen Politik, ‘perjuangan’ melawan ‘diplomasi’
dan Peristiwa 3 Juli, di mana penanganan atas Tan Malaka yang berat sebelah dan
tebang pilih sama sekali tidak tuntas. Selanjutnya buku ini juga merupakan
contoh pertama tentang penerapan historiografi marxis di Indonesia, dilihat
dalam kerangka internasional, dan akhirnya merupakan sebuah autobiografi. Dari
sudut pandang tersebut akhir itu, buku ini merupakan salah satu yang pertama
yang ditulis oleh seorang Indonesia. Penyimpangannya dari norma disebabkan oleh
‘pengalaman politik’ – kekayaan pengalamannya yang bisa menjadi pelajaran –
tradisi literer’ – pengalamannya di Eropa dan hausnya akan bacaan mengatasi
tradisi tutur Indonesia – dan ‘penghilangannya dari/terus keterlibatannya dalam
revolusi’ – dijauhkannya secara paksa dari gelanggang perjuangan politik dan
harapannya akan kembali ke sana. Maka hasilnya adalah ‘sebagian buku pelajaran,
sebagian buku kenangan, sebagian polemik, adalah sebuah dokumen berharga’ dan
pandangan yang langka di dalam pikiran seorang revolusioner Asia.
Rudolf Mrazek menulis resensi yang sangat personal tentang terjemahan Helen Jarvis
atas autobiografi Tan Malaka sebagai ‘autobiografi’ yang monumental,
mengharukan, hebat, dan bijaksana, pernyataan yang paling hangat oleh dan
tentang Indonesia selama lima puluh tahun pertama dalam abad ke-20, dan
barangkali pernyataan paling hangat oleh dan tentang revolusi Asia selama
periode yang sama’.
Mrazek memuji pekerjaan redaksi
dan penerjemahan, tapi sementara itu Tan
Malaka diperlakukan dengan tidak adil karena adaptasi bahasa Inggrisnya sebagai
‘bahasanya yang aneh’, dengan kebiasaan menyelipkan kata-kata Indonesia dengan
istilah-istilah Belanda semau sendiri, serta kutipan-kutipan dari banyak
bahasa-bahasa lain.
Ia ‘seorang ahli revolusi
yang baik’, tapi suatu revolusi yang memang belum selesai...Mrazek juga
menyatakan, bahwa bernafsu kerja yang besar, keahlian, agaknya sifat-sifat
manusia yang luhur’, dan sifat-sifat demikian itu juga berlaku untuk
orang-orang revolusioner, yang semuanya ‘persis seperti pekerja-tangan yang
mahir, ketika mereka itu berkumpul akan saling bicara tentang keahlian
masing-masing’.
Dalam resensinya W.F. Wertheim menempatkan Dari pendjara ke
pendjara di dalam polemik antara PKI dan Tan Malaka, di mana Thesis dijawab dengan Analysis Alimin; dan yang terhadap
jawaban Alimin itu Tan Malaka kembali menanggapinya melalui karyanya yang tiga
jilid.
C.W. Watson
adalah pengarang kedua yang membahas Dari
pendjara ke pendjara di dalam himpunan karangannya Of self and nation; Autobiography and the re presentation of modern
Indonesia (Tentang diri sendiri dan bangsa; Autobiografi dan gambaran
tentang Indonesia modern). Ia membeda-bedakan Tan Malaka dalam tiga peranan: ‘filosof-negarawan’, ‘eksil politik yang romantis, dan
‘pribadi yang aneh’. Watson menyebutkan gambaran tentang Tan Malaka di
dalam ‘mitologi nasionalisme Indonesia’ sebagai: ‘seorang Marxis, pahlawan
daerah, panggilan terus-menerus pada penguasa kolonial, tidak dipercaya tapi
sangat menarik bagi sesama nasionalis, akhirnya menghadapi kebengisan maut di pihak yang mengalami kegagalan dalam
perjuangan untuk hak kekuasaan nasional’. Maka terhempaslah ia pada periferi
sejarah kebangsaan, namanya berada ‘dalam bahaya dihapus’ dengan penindasan,
pengucilan dan penolakan sebagai akibatnya.
Tentang tujuan Dari pendjara ke pendjara Watson menulis:
“Tampaknya kecil
saja rencana tentang apa yang akan menjadi isi ceritanya, apakah mengikuti
kerangka kerja krnonologis, berapa banyak kisah akan dimasukkan ke dalamnya,
sejauh mana diarahkan sebagai sebuah karya didaktik, berapa jauh kisah
pribadinya akan dimasukkan. Akhirnya, ketika kita mendapati jilid ketiga
autobiografinya, segala usaha yang tersisa untuk mematuhi aturan-aturan genre
telah ditinggalkannya.
Yang lebih membuat frustasi lagi ialah
kecurigaan yang terus menerus, bahwa Tan Malaka bersembunyi dari pembacanya.
Ada sangat banyak yang dihilangkan, sangat banyak pula kekosongan.”
Sebagai sebuah autobiografi Dari pendjara ke pendjara tidak memenuhi
aturan-aturan, dimana dalam perkembangannya tahap demi tahap, pada akhirnya
cerita-cerita tentang perjalanan hidup itu berlalu dan bermuara pada suatu pola
yang utuh. Penjara membawa nilai yang besar selaku simbol dan metafora dan
dimaksud untuk memberi struktur pada kisah, tapi juga menimbulkan ulangan yang
bersifat siklis dan fatalistis. Fatalisme ini terkait pada banyak cerita Tan
Malaka tentang usaha-usaha yang gagal, namun demikian oleh Tan Malaka
dikompensasikan dengan kepercayaannya, yang diakuinya berkali-kali, pada
dialektika yang tak tertahankan, untuk membawa masyarakat secara keseluruhan
pada taraf yang lebih tinggi lagi.
Menurut Watson, seperti sudah tersebut
di atas, bisa diterapkan perubahan gaya yang tajam dalam jilid ketiga Dari pendjara ke pendjara, tapi ia juga
menunjukkan saling keterkaitannya.
Walaupun Tan Malaka menulis terutama
tentang
pengalaman-pengalaman
eksil, meskipun ia terus menerus mempertahankan kehadirannya secara simbolik di
Indonesia, dalam imaginasi bangsa Indonesia menokohkan diri sebagai lawan
politik klandestin terhadap Belanda, sebagai simbol pemersatu, dan simbol
komitmen yang tak kenal putus pada tujuan nasional dan cita-cita kemerdekaan.
Di tengah keadaan yang demikian itu, maka kembalinya ke Indonesia bukanlah
kembali ke gelanggang politik tempat ia harus mulai, tapi sebaliknya, suatu
langkah kembali yang sudah lama diimpi-impikannya untuk memenuhi janji.
Maka kembalilah ia sebagai
seorang pahlawan
nasional yang sejati, seorang arsitek yang telah membangun fondasi revolusi, di
dalam karya-karya awalnya dari tahun 1920-an Massa actie dan Naar de
‘Republiek-Indonesia, seorang yang mempunyai pengertian dan persepsi
politik yang tajam, seorang yang pragmatis dan filosof.
Di Indonesia ia harus melawan
Soekarno – dan dalam jilid kedua dan ketiga ia membikin perhitungan dengannya,
sebagai bagian dari ‘immediate political strategy’ (strategi politiknya yang
terdekat). Strategi politik yang sedikit banyak
jelas memberi warna pada seluruh bagian; tentang ini Watson tidak
memberikan penegasan.
Bagi Watson Dari pendjara ke pendjara juga sebuah karya, yang di dalamnya bisa
diungkapkan ‘unsur pokok emosional dan psikologis dari pengarang dan tokoh Tan
Malaka’ – bagian-bagian tentang ini tidak terlalu berlebihan. Di sini
diungkapkannya ‘pengaman pribadi yang dinyatakannya dengan unik – atau, dengan
pemilihan kata yang wajar, pengalaman hidup dan pendapat pribadi sendiri dari
seorang pemikir yang mandiri.
Tokoh aneh itu sebagian besar
berdiri terlepas dari pemilahan oleh teks antara ‘tokoh masyarakat’ dari
pahlawan petualang dan ‘filosof negarawan’, yang semuanya saling mengisi dan
menguatkan. Sang pahlawan ini pun harus seorang negarawan dan pemikir politik.
Dari sudut pandang tersebut akhir itu ia mencoba mencocokkan Marxisme untuk
Indonesia, dan untuk penjelasannya ia memilih contoh-contoh dari sejarah dan
kebudayaan Indonesia, tanpa menggunakan Minangkabau sebagai model secara
berlebihan. Kegiatan-kegiatannya di dalam, dan pengalaman-pengalamannya bersama
Komintern ditunjukkan melalui keinginannya untuk memikirkan dengan
sungguh-sungguh keadaan Indonesia sendiri. Usaha pendekatannya pada Moskow
barangkali telah gagal, tersebut di sana-sini di dalam Dari pendjara ke pendjara, seperti juga sebelumnya, bahkan
seandainya pribadinya belum ternoda sekalipun.
Watson telah menulis sebuah karangan
yang menarik, dengan sejumlah aspek di dalam Dari pendjara ke pendjara untuk pertama kali dibahas. Komentar-komentarnya
tentang bobot, apakah Dari pendjara ke
pendjara masih bisa disebut autobiografi masih tetap agak akademis.
Akhirnya, menurut hemat saya, ia mengakui tidak cukup, bahwa Dari pendjara ke
pendjara pertama-tama sebuah pamflet politik
yang panjang, yang ditulis untuk kalangan sendiri, di mana Tan Malaka
berkemungkinan mendokumentasikan kepemimpinan Revolusi Indoensia.
Penulis ketiga tentang autobiografi
Tan Malaka ialah seorang Indonesia Abidin
Kusno, yang bekerja pada Centre of Southeast Asian Studies dari University
of British Colombia di Vancouver. Sebuah makalah yang dibacakannya dalam tahun
2001 dan 2002 terbit tahun 2003, dengan judul: From city to city: Tan Malaka,
Shanghai and the politics of geographical imagining’ (Dari kota ke kota: Tan
Malaka, Shanghai dan politik khayalan geografis)
Bagi Abidin pengalaman-pengalaman
Tan Malaka di Shanghai tahun 1932 sangat penting dalam pembentukan visinya
tentang perjuangan melawan kolonialisme, dan sikap Indonesia dalam menghadapi
penjajahan Jepang dan Belanda yang sesudah 1945 akan merebut kembali posisinya.
Sesudah 1945 Tan Malaka dipandang
sebagai ‘seorang tokoh politik kalangan luar’ yang berbahaya, yang dengan Dari pendjara ke pendjara membuat
pengalaman perjuangannya menjadi tergelar bagi siapa saja, dan dengan demikian
memberikan pembenaran atas sikapnya, terutama untuk membantah kritik
terhadapnya dari banyak lawan-lawannya. Dengan contoh Shanghai Tan Malaka
memegangnya sebagai cermin, baik bagi para pemimpin Republik maupun pemuda,
agar bisa merenungkan di mana kelemahan-kelemahan mereka.
Abidin Kusno mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam terminologi yang memerlukan pemikiran
mendalam untuk memahaminya. Misalnya ia berpendapat, bahwa visi Tan Malaka
tentang kota-kota, yang dalam pengembaraannya terasa kurang mendapat perhatian,
dan juga arti penting kota-kota itu dalam membangun pertumbuhan baik
subyektivitas geo-historisnya maupun posisi politiknya.
Selanjutnya ia mengindentifikasikan
pengertian-pengertian pokok dalam visi Tan Malaka mengenai metropolitan
Shanghai dengan banyak perhatian pada kesenjangan sosial, ciri-ciri kebudayaan
dan konflik, yang dalam hal ini ia
menempatkan dirinya di pihak rakyat Tiongkok. Perlawanan mereka terhadap
pengaruh kekuasaan imperialis Barat dan Jepang, seperti misalnya di
pelabuhan-pelabuhan terbuka Shanghai, sangat banyak memberi kesan mendalam
padanya. Gambarannya tentang International Settlement (Pemukiman Internasional)
yang ibarat benalu melatar-belakangi penetapan posisi pribadinya. Di dalam perkampungan-perkampungan
penduduk Tionghoa dan di kawasan luas di luar sana, perlawanan terhadap
pemukiman yang membenalu itu menemukan bentuknya.
Dalam menggambarkan Jakarta semasa
pendudukan Jepang, Abidin melihat kemiripannya dengan keadaan di Tiongkok.
Jakarta seperti Shanghai yang dikuasai oleh kekuasaan asing, dengan politisi
Indonesia yang berkolaborasi, yang dipengaruhi oleh mentalitas kolonial-feodal
Jawa. Kekuatan yang baru terdapat di luar Jawa dan juga di kalangan massa kaum
buruh seperti di Bayah, di tempat Tan Malaka tiba dan menjadi mandor romusha.
Penggambarannya tentang Belanda dan
mentalitas Belanda, yang merupakan pembukaan autobiografinya, menurut Abidin
juga diwarnai oleh pengalaman-pengalamannya di Shanghai. Dengan begitu tibalah
ia pada ‘provinsialisasi atas imprialisme Barat’
Dengan demikian maka khayalan
geografis-nya menjadi dasar untuk kritiknya yang tajam terhadap para pemimpin
tua dan pemuda, dan dalam hal ini yang tersebut pertama mengejawantahkan
sifat-sifat yang paling buruk dari masyarakat Hindu-Jawa, sedangkan yang
tersebut kedua menyebarkan radikalisme yang tidak terarah – suatu revolusi
sosial yang terstruktur tidak bisa diharapkan dari kedua-dua mereka itu.
Perjalanan hidupnya yang kosmopolit
menjadikan Tan Malaka ‘suatu kesadaran akan kebangkitan trans-nasional,
perlawanan dan pembebasan, khayalan geo-politik yang tidak bisa dicapai melalui
bentuk-bentuk pengetahuan pribumi yang tersekat-sekat.
Lepas dari teori dan terminologi,
yang agak dibuat-buat dicarikan pertaliannya dengan argumentasi konkret Abidin,
tidak dapat disangkal bahwa pengalaman-pengalaman Shanghai telah berpengaruh
sangat mendalam terhadap Tan Malaka. Tapi patut disan gsikan, apakah penggambaran tentang Amsterdam
dan Belanda, dan yang tentang Jakarta itu harus serta merta dirangkai sebagai
sesuatu yang terdiri dari tiga bagian dengan penggambaran tentang Shanghai.
Melihat cara bagaimana lahirnya Dari
pendjara ke pendjara, hal tersebut kecil kemungkinannya, selain juga
pengaruh-pengaruh lain ikut berperanan. Tapi bagaimanapun Abidin mengangkat
tema yang menarik dari buku Tan Malaka ini, bahwa ia memberikan suatu sudut
pandangan baru dan merangsang timbulnya pemikiran terhadapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar