Tiap-tiap
revolusi mengenai partai kanan, partai tengah (lunak-moderate) dan partai kiri
serta extremisnya. Begitu revolusi Borjuis dan kemudian proletar di Rusia.
Sifat Kanan, lunak dan Kiri itu, sebenarnya cuma dapat
dipastikan oleh sejarah belaka, ialah setelah revolusi berlaku. Dalam revolusi
itu sendiri boleh jadi sekali si kanan menamai dirinya moderat-progressif dan
si lunak menamai dirinya “sayap-kiri” yang revolusioner progressif. Susahlah
bagi seseorang bersikap tenang obyektif dalam waktu penggeloraan revolusi itu
sendiri.
Demikialah dalam
revolusi borjuis di Perancis (tahun 1789) Partai Gironde, ialah Club (kumpulan)
borjuis tulen, yang dipimpin oleh Verginiaud, Brissort, Madame Roland dan
lain-lain merasa dirinya Partai yang paling berhak memimpin revolusi itu.
Berhubung dengan itu, maka mereka menganggap Club Jacobin, ialah Kumpulan Murba
di bawah pimpinan Marat, Danten, Roberspiere dan lain-lain sebagai Kumpulan
penghasut, pengacau dan perusak. Mereka yang dibelakang ini digelari “Ultras”
atau “Yang lebih Kiri dan Kiri”. Begitulah pula di Russia (tahun 1917) Borjuis
Kecil, ialah Partai Sosial Revolusioner, yang dipimpin oleh Kerensky,
Isorotelli dan lain-lain menganggap dirinya sebagai pemimpin tulen
(constructive) pada masa itu dan menganggap Partai Murba, ialah Partai Komunis
Komunis (bolsjewik) sebagai penghasut, pengacau dan perusak (destructive). Tidak
saja begitu! Mereka giat pula menyiarkan dan membisikkan di tengah-tengah
rakyat, bahwa Lenin adalah spionnya Jerman. Baru setelah Gerakan Revolusi itu
berhenti dan salah satu daripada kelas yang ber-revolusi itu berhasil merebut
dan mempertahankan kekuasaan Negara serta memberikan kemerdekaan, kemakmuran
dan kemajuan kepada masyarakat baru, dalam semua lapangan, barulah Ahli Sejarah
dan Umum dapat menentukan, kaum mana dan Partai mana, yang sesungguhnya berhak
memimpin revolusi itu.
Revolusi
Indonesia tiadalah yang menjadi satu kekecualiaan! Kita pun sekarang (Maret
1948) mengenal gelaran “Sayap Kanan”, “Sayap Kiri” dan “Aliran Lebih Kiri dari
Kiri” atau aliran “Trotskyst”, pengacau dan perusak. Tetapi kalau gelaran itu
misalnya harus ditentukan oleh “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” sendiri maka boleh
jadi sekali, mereka yang menamai dirinya itu “Sayap Kiri” akan diberi gelaran
Curah (moderate). Dalam hal ini, maka menurut pandangan mereka yang “Lebih Kiri
dari Kiri” itu juga mereka sendirilah Partai yang revolusioner. Mereka
sendirilah pula yang berhak melanjutkan revolusi Titik-Berat (centre of
Gravity) dalam gerakan revolusi ini tercapai dan gerakan revolusi itu terhenti
di sekitar Titik-Berat itu dengan tenang. Dengan istilah tehnis, maka akan
tercapailah keadaan equilibrium-sosial atau keseimbangan-kekuatan-sosial dalam
masyarakat Indonesia.
Sang Sejarah
sajalah kelak yang dapat memastikannya! Manusia yang berada dalam
taufan-revolusi itu sendiri, terpaksalah diombang-ambingkan oleh kepentingan,
paham dan perasaan diri disertai pula oleh Purbasangka (prejudico), kebencian
serta ketakutan kepada lawan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala
perkataan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan, nista,
karena perasaan dalam segala-galanya dalam sesuatu revolusi itu, memangnya
sedang memuncak penggeloraannya dan mudah sekali terlepas dari sekitar titik
beratnya, dan dari equilibriumnya. Tetapi memangnya pula pengendalian diri
terhadap lawan politik itu sukar sekali dipraktekkan, mungkin bagi saya
sendiripun tiada terkecuali.
Berhubung dengan
itu pula, maka tinjauan saya terhadap pertikaian antara kaum yang menganut
diplomasi dengan kaum yang menganut Massa Aksi pada permulaan tahun 1946,
bilamana bentuk, sikap dan sifatnya beberapa golongan dalam masyarakat kita di
revolusi ini sudah mulai nyata, bukanlah dimaksudkan sebagai putusannya Sang
Sejarah.
Tinjauan saya itu adalah tinjauan
seorang manusia, yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada dalam keadaan terikat (handicapped), yang
membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat kekuasaan Negara dan
Keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai “blacklist” palsu,
fluistercampagne dan fitnah resmi besar-besaran terhadap diri saya.
Semenjak lebih
dari seperempat abad saya memajukan pertentangan tajam, pertentangan yang tiada
dapat diperdamaikan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan
pemerasan-penindasan Rakyat Indonesia. Berhubung dengan pertentangan tajam
itulah, maka Demarkasi Revolusi Indonesia ini dapatlah ditarik dengan
sejelas-jelasnya.
Dari bermula sekali saya anggap
Demarkasi Revolusi Indonesia itu bukanlah satu amban (girdle, band) melainkan
satu garis. Artinya bukanlah satu garis yang mempunyai panjang dan mempunyai
lebar, melainkan satu garis yang mempunyai panjang, tetapi tiada mempunyai
lebar. Bukanlah satu amban, di mana borjuis-imperialis bisa berjabat tangan
dengan borjuis-jajahan, buat kerja sama, memeras dan menindas murba di
Indonesia. Melainkan satu garis, di mana Borjuis-Imperialis Belanda dengan
memperkudakan Inlanders-Alat, memeras dan menindas Murba Indonesia.
Di Hindustan,
Tiongkok dan Pilipina dan amban-sosial yang bisa dijadikan Demkarkasi antara
kaum penjajah dengan Murba-terjajah. Di sana kepentingan bersama dalam ekonomi
antara borjuis-imperialis dengan borjuis-jajahan dapat dijadikan dasar untuk
mengadakan kerjasama dalam Politik. Di sana pertentangan antara
borjuis-imperialis dengan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan (Tiongkok) boleh
diperdamaikan. Dengan demikian, maka pergerakan revolusioner dapat
dihalang-halangi atau dibelokkan kepada reformisme dan ke dalam status, di mana
borjuis-imperialis menyerahkan sebagian besar kekuasaan politiknya kepada
borjuis-jajahan (Hindustan dan Pilipina). Bahkan pada lahirnya semua kekuasaan
politik adalah borjuis-imperialis boleh diserahkan kepada borjuis-jajahan,
sambil tetap mengendali “Negara Merdeka” itu dengan “Perjanjian” Keuangan,
“Perjanjian” Kemiliteran, “Perjanjian” Ekonomi dan “Perjanjian” Urusan Luar
Negeri. Keadaan semacam itu terdapat lebih kurang pada perhubungan Amerika
Serikat dengan Mexico dan beberapa Negara di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, dengan Canada, Pilipina, Tiongkok, Turki dan lain-lain.
Karena tak
adanya borjuis-besar dan borjuis-menengah yang kuat di Indonesia, dalam arti
ekonomi, maka borjuis-imperialis tak bisa mengadakan ambas sebagai demarkasi di
Indonesia. Borjuis-imperialis cuma bisa “kerja sama” dengan bangsa Indonesia,
yang bisa diperalat semata-mata, dengan Inlanders-Alat untuk memeras dan
menindas Murba Indonesia. Inlanders-Alat ini di zaman “Hindia Belanda”
sebelumnya Belanda menyerah kalah kepada Jepang berpusat pada “Binnenlands
Bestuur Amtenaaren”, Pangreh-Praja namanya di masa Jepang. B.B. Ambtenar itu
adalah turunan dari Ningrat-Takluk, yang akan menjadi penganjur (MURBA), kalau
sekiranya tiada diperalatkan oleh Belanda. Dengan didikan sekolah Ambteenar,
serta dipersenjatai dengan “Undang-Undang Bumiputra” (Inlandsche Reglement) dan
dengan bantuan politie, maka B.B. Ambtenaar inilah intinya, Kern-nya,
Borjuis-Indonesia. Merekalah yang sudi “Kerja sama” dengan borjuis-imperialis,
laksana sebuah centera (gilingan) yang “Kerja Sama” dengan pelayannya untuk
memeras manisan tebu.
Ringkasnya di
Indonesia tak dapat diadakan Amban-Demarkasi, ialah garis yang mempunyai lebar,
yang dapat memperdamaikan borjuis-imperialis dengan borjuis-nasional. Di
Indonesia cuma ada Garis-Demarkasi, ialah garis yang tiada mempunyai lebar,
garis yang tajam, yang menghimpit, ialah Borjuis-Alat, bernama B.B. Ambtenaar,
garis yang dengan terang-tajam memisahkan borjuis-imperialis Belanda dengan
Murba Terjajah Indonesia.
Barang siapa
yang berada di sebelah Sananya Garis Demarkasi itu adalah kelas
pemeras-penindas. Barang siapa yang berada di sebelah sininya Garis Demarkasi
itu adalah kelas Murba terperas-tertindas. Ketika gerakan kemerdekaan itu
berlaku dalam waktu damai, maka garis demarkasi itu cuma dapat diketahui dengan
filsafat revolusioner. Tetapi dalam masa revolusi, maka garis demarkasi itu
menjadi Demarkasi Revolusi, yakni: Revolusi yang berdemarkasi, revolusi yang
bertapal batas, yang jelas. Berhubung dengan itu, maka musuhilah dan gempurlah
semuanya yang berada di seberangnya dan gempurlah pula mereka yang dulu berada
di sebelah sini, tetapi oleh kesengitan perjuangan lari dari sini dan kini
berada di sebelah sana.
Masih sulit
kiranya bagi khalayak umumnya di masa “Hindia Belanda” untuk menentukan
disebelah manakah Sukarno-Hatta Syahrir dan Amir akan berada pada permulaan
revolusi, pada pertengahan revolusi dan pada penghabisan revolusi. Bagi
manusia, sebagai kelas atau golongan, maka soal yang semacam itu lebih mudah
diselesaikan daripada oleh manusia sebagai individu, sebagai seseorang.
Filsafat
revolusi saja tak dapat memastikan lebih dahulu. Cuma prakteklah yang dapat
memastikan. Bukan sedikit anak-Murba, yang meninggalkan Front-Murba. Bukan satu
dua orang pula anggota Yang Bukan Murba, yang sampai pada napas terakhir berada
di kalangan Murba. Bukankah Para Bapak dan Para Pemimpin Murba, seperti Marat,
Marx, Engel, Lenin, Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg dan lain-lain semuanya
berasal dari golongan Yang Bukan Murba? Ada yang mendapatkan paham kemurbaan
dengan melalui otak pikiran serta jantung perasaan saja. Tetapi sampai pada
napas terakhir, mereka setia kepada klas yang dibelanya dan paham-klas yang
dianutnya itu. Ada pula yang memangnya lebih banyak lagi mereka yang berasal
dari klas Murba sendiri, yang sampai titik darah penghabisan membela klasnya
dan kepentingan serta paham klasnya sendiri.
Bahwasanya maka
empat pemimpin terkemuka dalam revolusi ini, seperti tersebut di atas tadi,
satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting,
daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petitio-burgeois,
borjuis Kecil Indonesia; sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda yang
tertinggi dan sama-sama bercita-cita “kerja sama” dengan Imperialis Belanda,
menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbedaan tentang quality, sifat,
sebagai orang (person) saja.
Sukarno mempunyai sifat terbuka, mudah
percaya dan mudah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Tahu akan jiwanya rakyat
Indonesia, mahir memakai perkataan, maka seandainya Sukarno mempunyai Filsafat
Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas, di samping hati yang teguh memegang
filsafat dan tujuan itu, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya
dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret 1948) menjadi Liberator, Pembebas
Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi Sukarno tiada
mempunyai tujuan yang nyata karena dia tiada mempergunakan cara berpikir
revolusioner dan Filsafat Revolusi yang tepat. Dia tiada pula mempunyai hati
yang teguh memegang tujuan bermula. Dengan menerima dan mengalamkan semua
kemewahan hidup, yang dengan rencanan teratur sengaja diberikan oleh
imperialisme Jepang kepadanya, Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat
kemurbaan seperti bermula. Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme
Inggris-Belanda, di samping tiada percaya kepada kekuatan Murba dan
Dialektiknya Revolusi, maka Sukarno cocok dengan sifat borjuis-kecil dalam
tiap-tiap revolusi, jatuh kembali kepada asalnya: reverting totype. Dia
mengambil jalan yang paling sedikit membahayakan jalan “of the least
resistance”.
Moh. Hatta bukanlah seorang
revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih
senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya
menghadiri pidato di lapangan Gambir Jakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa
memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan
kesanggupan Murba. Di kalangan intelekt-borjuis-kecil dia bisa juga mendapatkan
pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan
keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal
padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambition, lebih besar daripada kecakapannya
yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber
akalnya itu! Sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan memangnya pula (dia)
mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang mencocok idaman
klasnya, ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (bukewurm),
bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat cermat, serta teliti yang
ada padanya, di waktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi
bisa melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan
sifatnya itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling
sedikit membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat
golongan keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berbeda.
Saya tiada kenal
dengan dirinya Amir Sjarifuddin.
Usul dari salah seorang pemuda, yang dulunya rapat sekali bekerja dengan Amir,
yang ingin menjumpakan saya dengan Amir, yang katanya disetujui oleh Amir
sendiri, selalu saja saya tolak. Lebih dahulu saya mau mendengar penerangan
resmi tentang tindakannya di Jawa Barat, ialah melarang Rakyat/Pemuda menyerang
Inggris, seperti isinya sepucuk surat, yang dibacakan oleh Armunanto dalam
Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto, pada tanggal 4-5 Januari 1946.
Rupanya Amir menganggap semua tindakannya terhadap Rakyat/Pemuda di Jawa Barat
itu sudah semestinya. Sekali lagi dia dengan perantaraan Dj.Maj. Djokosujono
meminta berbicara dengan saya, ketika saya di tahan di Jetis Solo, ialah
seperti dibelakang hari ternyata atas Surat Delegasi Indonesia kepada
Pemerintah dari Yogya dan ata usahanya Amir sendiri. Saya hanya mau berbicara
setelah kami ber-empat dimerdekakan. Pada masa itu (April 1946) saya belum mendapat
keterangan, sebab apa saya ditangkap. Dari mereka yang paling dekat padanya,
saya mendapat keterangan, bahwa di masa “Hindia Belanda” Amir tiada dibuang,
meskipun aksinya oleh Belanda mulanya dianggap “berbahaya”. Bahkan sebaliknya,
Amir “ditendang ke atas”, dijadikan “pegawai tinggi” dari Ekonomise Zaknn di
bawah Van Mook, Idenburg dan Van Hoogsratraten. Dihukum buat seumur hidup oleh
Jepang, bukan dia anti sembarang imperialisme, melainkan dia anti imperialisme
Jepang, tetapi pro Belanda. Tiadalah mengherankan kalau Asal, didikan dan
Pandangan Hidupnya dia berhasil mendapatkan “Perjanjian Renville”! Tetapi di
samping mendapatkan “Renville” itu Amir, sebagai Menteri Pertahanan kehilangan
Jawa Barat, kehilangan
Pekalongan, kehilangan Banyumas dan kehilangan Malang, yang semuanya itu
direbut oleh Belanda hampir dengan tak ada perlawanan.
Keuletan Amir mempertahankan,
sebagai Menteri Pertahanan, cuma ternyata dalam perjuangan mempertahankan
kedudukannya terhadap kaum opposisi dan terhadap Laskar Rakyat Jakarta-Raya,
yang bersikap teguh mempertahankan kemerdekaan 100% dan sudah sanggup
mempertahankan Krawang dan Cirebon terhadap Tentara Inggris dan Belanda lebih
daripada satu tahun lamanya, sebelum dicerai-beraikan oleh T.R.I pada tanggal
13 sampai 17 April 1947, ialah di masa Amir memegang Kementrian Pertahanan.
Sampai pada waktu Jepang menyerah,
maka Sutan Syahrir adalah paling
dekat kepada para pemuda, karena dia paling jauh kepada Jepang, kalau
dibandingkan dengan para pemimpin lain. Tetapi dalam sikap tindakan merebut
senjata dari Jepang pada tanggal 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara
Syahrir cs dengan para Pemuda, yang kemudian memusatkan aksinya pada Comite van
Aksi di Menteng 31, Jakarta. Walaupun dibelakang hari Syahrir dalam Brosure
“Perjuangan Kita” masih memakai para pemimpin cooleborator Jepang sebagai
“anjing dan kaki tangan Jepang” dan “penghianat perjuangan”, tetapi sebenarnya
Syahrir sudah bertindak sepadan dengan Sukarno-Hatta. Dia dengan golongan
pemudanya sudah melayang-layang diantara Massa Aksi dan Diplomasi. Dia kelak
dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih Salah Satunya, ialah pekerjaan
yang sangat sukar bagi borjuis kecil. Dalam kebimbangan begitulah rupanya, maka
dia tiada sanggup memberi komentar sepatahpun, ketika di Serang, saya dimajukan
kemungkinan kaum-lunak (moderate) akan muncul kaum-extremis, yang sudah
disetujui Inggris-Belanda itu. Dalam keragu-raguan begitulah pula rupanya,
Sutan Syahrir membatalkan sendiri janjinya, berjumpa dengan saya atas
permintaannya sendiri dengan perantaraan Sukarni. Saya, yang pada tanggal 26
Februari (1946) tergopoh-gopoh datang dipanggil dari Kongres Semua Laskar di
Magelang untuk menemui Syahrir di Yogya, tiada berhasil berjumpa. Begitupun di
Solo, pula menurut janji Syahrir sendiri. Rupanya Syahrir sudah mengandung
putusan tentang mana yang akan dipilihnya: Massa Aksi ataukah Diplomasi, yakni
berjuang dengan Persatuan Perjuangan atau berunding dengan maling di dalam
rumah. Tetapi Syahrir merasa perlu merahasiakan pilihannya itu.
Tiadalah saya ketahui di masa itu,
bahwa:
1. Badan Pekerja K.N.I Pusat sudah
menunjukkan persetujuan dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
2. Berhubung dengan itulah, maka Sutan
Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena programnya tiada
cocok dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan tadi.
Baik juga di sini saya catat
tulisannya Dr. A. Halim, seorang
anggota Badan Pekerja K.N.I. Pusat, dalam Revue Indonesia, Peringatan satu
tahun Merdeka, Menuju ke Parlemen Sempurna, 1946, a.l seperti berikut:
“Pendek kata Pemerintahan pada waktu
itu adalah Pemerintahan dari seorang, yaitu Presiden, yang kekuasaannya
meliputi hampir seluruh kekuasaan Negara”.
“Bahwa kurang representatipnya Badan
Pekerja dan K.N.I Pusat dibuktikan oleh berdirinya satu Badan yang bernama
Persatuan Perjuangan, dipimpin oleh Tan Malaka cs. yang dengan mudah dapat
memikat beberapa Partai-Politik, sosial dan bahan-bahan perjuangan, sehingga
dengan demikian memperhebat pemusatan kehidupan politik di luar K.N.I. Pusat”!
“...Bahwasanya kedudukan Badan
Pekerja lemah pada waktu itu, terbukti oleh pengumuman No.21, yang menyatakan
kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya Persatuan Perjuangan dan
menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk memperkuat usaha itu” (tekanan dari
saya).
“...Jatuhnya Kabinet Syahrir ke-I,
buat sebagian besar disebabkan oleh “aksi exstra Parlementer” tadi, yang aneh sekali disokong oleh Badan
Pekerja K.N.I. Pusat”
“...Dalam Sidang K.N.I Pusat Pleno
di Solo pada tanggal 28 Februari sampai tanggal 3 Maret 1946 dipersoalkannyalah
badan manakah yang lebih representatif, Persatuan Perjuangan atau K.N.I Pusat”.
Sekianlah Dr.A.Halim
Peletakan jabatan Syahrir sebagai
Perdana Menteri yang berlaku pada tanggal 23 Februari itu baru diketahui
setelah Rapat K.N.I Pusat dibuka di Solo, pada tanggal 27/28 Februari.
Pada Rapat ini, yang dibuka oleh
Mr.Asaat, Presiden Sukarno dengan menggemparkan mengumumkan, peletakan Syahrir
rapat atas meletakkan jabatannya. Presiden juga meminta pengesahan permintaan
peletakan jabatan itu. syahrir tampil di muka untuk memberikan tanggung jawab
tentang kebijaksanaan Politik Kabinet dalam pidato lebih kurang satu jam
lamanya.
Kesimpulan tanggung jawabnya Syahrir ialah: bahwa dia
merasa “yang kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menempuh jalan damai dan
perundingan”.
Paham Syahrir yang nyata
bertentangan dengan Minimum Program Persatuan Persatuan Perjuangan, yang sudah
disetujui oleh Badan Pekerja K.N.I Pusat di Jakarta dan oleh Sidang K.N.I Pusat
di Solo, diselingi pula dengan demonstrasi Tentara dan Laskar dan pemakaman
para korban pahlawan kita.
Panglima Besar yang memberikan
sambutan, mengharapkan, supaya rapat dengan cepat mendapatkan putusan yang
segera dijalankan.
Pada tempatnyalah pula Chaerul
Saleh, Ketua bagian Politik dari Persatuan Perjuangan tampil ke muka dengan
perkataan: “Kita tak usah mempersoalkan pertanggungjawaban seseorang yang sudah
meletakkan jabatannya. Kita tidak ada pimpinan Pemerintahan semenjak 23
Februari, jadi selama lebih dari empat hari. Maka sebab itulah saya mengharap,
supaya pimpinan Pemerintah Negara dibentuk. Dan saya harap, supaya Presiden,
segera membentuknya. Saya tunggu jawaban di mimbar ini sekarang juga”.
Rapat kelihatan terharu dan gelisah!
Akhirnya Ketua Mr. Asaat menerangkan, bahwa atas pidato Chaerul Saleh itu, maka
rapat ditunda sementara, sampai kelak ada pemberitahuan. Dikatakan pula, bahwa
pimpinan Pemerintah kelak akan dibentuk oleh Presiden, ialah jam 16.00.
Pada Rapat tanggal 28 Februari di
rumahnya Tn. Suroso, Komisaris Tinggi Surakarta, di mana hadir Presiden, Amir
Syarifuddin, Abd. Madjid, Trimurti, Ny. Mangunsarkoro, Wali Al Fatah, Chaerul
Saleh, Sukarni dan lain-lain. Presiden mencoba merancangkan nama mereka, yang
akan duduk dalam Kabinet. Presiden meminta pula bantuannya para hadirin menyusun
nama bagi Kabinet itu.
Setelah terbentuk susunan nama,
dengan Syahrir sebagai Menteri Luar Negeri, Amir sebagai Menteri Pertahanan,
Wikana sebagai..., maka Chaerul Saleh tampil bertanya: Bagaimana halnya Minimum
Program Persatuan Perjuangan?
Menurut Chaerul Saleh, bahwa yang
terpenting ialaha Programnya Pemerintah. Kalau Minimum Programnya Persatuan
Perjuangan diterima, maka soal susunan mereka dalam Kabinet adalah perkara
“sekunder”, perkara kedua.
Mr. Abdul Madjid “anggota
Perhimpunan Indonesia di Nederland, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100%
dan hanya menyetujui pembentukan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan
Belanda”, salah seorang dari “rombongan lima orang (Mr. Abdul Madjit,
Setiadjit, Mr.Tamsil, Mr. Muwaladi, Drs. Maruto Darusman) yang dikirim Belanda
ke Indonesia untuk menjamin terlaksananya maksud Belanda atas Tanah Air kita,
yang telah merdeka”; Abd. Madjit yang dengan secepat kilat “mendapatkan tempat
di Pemerintahan Agung kita” (bacalah harian Murba No.9, yang mengumumkan Rahasia
Lima Serangkai Pembantu Belanda oleh Gerakan Revolusi Rakyat); Mr. Abd. Madjid
yang pada bulan Desember 1945, setibanya dia dari Nederland dengan kapal
Belanda dicurigai, diperiksa dan sementara ditahan oleh Pemuda Jakarta, yang
bermarkas pada Menteng 31; Abd. Madjid yang ikut merundingkan dan ikut
melakukan suara memutus dalam sidang pengesahan Minimum Program di Solo, pada
tanggal 15-16 Pebruari; Mr. Abd. Madjid penghalang kerajaan Belanda itu,
berkata bahwa tidak semua Partai terikat oleh Minimum Program.
Cukuplah sudah sikap Mr. Abd. Madjid
buat ditafsirkan oleh mereka yang berdiri atas kemerdekaan 100% yang sekarang
sudah bisa memeriksa sendiri siapa sebenarnya Mr. Abdul Madjid itu. Cukuplah
pula buat kami sendiri pengetahuan, bahwa kalau pada masa itu diadakan undian
(pemungutan suara) yang syah dalam Partai Sosialis, maka Mr. Abdul Madjid
sendiri akan tercengang, berapa persen cabang atau anggota Partai Sosialis,
yang setuju dengan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda dan berapa
persen pula yang setuju dengan kemerdekaan 100%.
Kembalilah pada rapat tadi
Mr. Amir Syariffudin mengemukakan
“pemeliharaan continuiteit” (kelanjutan) da Kabinet dan juga dari pemerintahan,
karena (menurut Amir yang pada masa Proklamasi berada dalam penjara Jepang
dihukum seumur hidup atas tuduhan melakukan spionage buat Belanda)......karena
Republik diproklamirkan oleh Sukarno Hatta. Merekalah, beserta mereka, yang
pernah duduk dalam Kabinet-lah menurut Amir Syariffudin yang berhak meneruskan
Pemerintahan.
Sukarni, salah seorang yang paling
dekat dengan Sukarno-Hatta disekitar Proklamasi itu, segera menyambut usul Amir
itu lebih kurang dengan perkataan: “bahwa bung Amir tidak tahu menahu dengan
jalannya Proklamasi itu, maka tak usahlah dia banyak memberi komentar”.
Lantaran tak tampak arah yang pasti
maka Rapat menjadi agak gaduh pula.
Atas permintaan Presiden supaya
Persatuan Perjuangan memajukan putusan penghabisan dan Daftar-Nama-Calon, maka
pengurus Persatuan Perjuangan berjanji menyampaikan putusan-terakhir dan daftar
nama itu pada jam 10 malam, setelah nanti mengadakan Putusan Rapat Anggota
lebih dahulu.
Dalam Rapat Anggota Persatuan
Perjuangan di gedung KNIP Solo, pada tanggal 28-29 Pebruari 1946, jam 21.00,
yang dihadiri oleh para wakil dari Masyumi, PBI, PNI, PPI, Dewan Perjuangan
Jawa Timur, Dewan Perjuangan Jawa Tengah, Pesindo, BPRI (pemberontak), Koperasi
Rakyat Cirebon dan Gas Listrik, maka dibicarakanlah laporan Rapat Presiden dan
sikap yang harus diambil oleh Persatuan Perjuangan.
Dengan tegas semuanya organisasi-gabungan
menghendaki terlaksananya Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Bahkan BPRI (pemberontak) yang
diwakili oleh Bung Tomo dan Indartono mengancam dengan perkataan: “bahwa kalau
Persatuan Perjuangan tidak sanggup mempertahankan Minimum Programnya, maka BPRI
akan mengobrak-abrik Persatuan Perjuangan dan jika Pemerintah yang tidak
sanggup menjalankan Minimum Program itu, maka dia (Bung Tomo) akan mengadakan
“coup” terhadap Pemerintah sendiri”.
Dibicarakanlah pula Daftar Nama
mereka, yang akan memikul tanggung jawab Pemerintahan, kalau Pemerintah tak
sanggup menjalankan Minimum Program Persatuan Perjuangan. Dalam hal ini
Pemerintah akan dibentuk oleh para wakil dari beberapa organisasi yang
tergabung pada Persatuan Perjuangan.
Begitu pula beberapa tindakan yang
akan dilakukan jika Pengurus Persatuan Perjuangan tak cakap memperjuangkan Minimum Program itu.
Putusan yang diambil oleh Rapat
Persatuan Perjuangan pada malam itu lebih kurang berbunyi.
1. Menghendaki supaya Minimum Program
Persatuan Perjuangan pada menjadi Programnya Pemerintah.
2. Kalau Pemerintah tak sanggup
menjalankan Programnya Persatuan Perjuangan, maka Persatuan Perjuangan sendiri
mempertanggung jawabkan Pemerintahan.
3. Kalau dua putusan itu ditolak, maka
para pemimpin Persatuan Perjuangan akan menentukan satu sikap pula.
Malamnya 28-29 Pebruari ketika
Persatuan Perjuangan sedang bermusyawarah itu, maka Sukarni sebentar datang
menjumpai saya, bertanyakan, apakah saya sudi duduk dalam Pemerintahan. Jawab
saya, ialah, perkara duduk atau tidak dalam Pemerintahan itu adalah soal yang
kedua. Yang menjadi soal pertama, ialah diterima atau tidaknya Minimum Program
oleh Pemerintah.
Pagi harinya pada tanggal 29
Pebruari, apabila Sukarni dapat berjumpa dengan Presiden Sukarno, maka Sukarni
mengemukakan soal Minimum Program. “Soal Program itu gampang tanggung beres.
Hanya menunggu kedatangan Wakil Presiden nanti siang hari dari Yogya”.
Demikianlah jawabnya Presiden.
“Bagaimanakah halnya kalau nanti Wakil Presiden menolak Minimum
Program?”, tanya Sukarni pula.
“Ach, itu soal gampang. Saya tanggung, bahwa Program itu akan
disetujui”, jawab Presiden.
Sekianlah soal jawab antara Presiden
dengan Sukarni, sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan!
Tetapi memangnya cocok dengan dugaan
saya sebelumnya itu tentang sikap Wakil Presiden tiadalah akan menyerah saja
kepada kemauan 141 Organisasi Rakyat, yang menggabungkan diri pada Persatuan
Perjuangan yang pada Kongresnya di Solo, tanggal 15-16 Januari sudah memutuskan
akan menyita Miliknya musuh. Wakil Presiden dengan tiada mendapatkan
persetujuan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia lebih dahulu dengan tiada
memperbedakan sahabat dengan musuh, Pendamai dengan Ceroboh (agresor) diantara
Asing itu, dalam maklumat pada tanggal 1 Nopember 1945 sudah menganjurkan kepada
Belanda, bahwa “segala hutang Hindia Belanda” sebelum penyerahan Jepang dan
patut menjadi tanggungan kita dan segala Milik Bangsa Asing selain daripada
yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh Negara sendiri,
dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh Negara akan kerugiannya
dengan seadil-adilnya.
Demikianlah selaras dengan isi
Maklumat Presiden (apakah dengan pengetahuan dan persetujuan Presiden lebih
dahulu?) dalam pertemuan di rumah Tn. Suroso yang dihadiri oleh Presiden, Moh.
Hatta, Syariffudin, Abd. Madjid, Wali Alfatah, Sukiman, Tuan dan Ny.
Mangunsarkoro, Trimurti, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain, pertemuan yang
mulanya diketuai oleh Presiden, kemudian oleh Wakil Presiden, terjadi
perdebatan antara Pelupessy (Sunda Kecil), Kasimo (Katolik) dan Abd. Madjid
pada satu pihak dan Chaerul Saleh serta Wali Al Fatah (keduanya dan Persatuan
Perjuangan) di lain pihak.
Akhirnya Moh. Hatta bertanya: “Apakah saudara-saudara dari Persatuan
Perjuangan tidak tahu, bahwa dengan penyitaan seperti “dimaksudkan dalam pasal
6 dan 7 Minimum Program semua imperialis di dunia bersatu untuk menghantam
Republik?”
Chaerul Saleh dengan segera menjawab pertanyaan Moh. Hatta itu dengan
pertanyaan pula, ialah seperti berikut: “Apakah sdr. Hatta tidak insaf, bahwa
dengan Proklamasi Kemerdekaan kita, kita sudah tentu akan berhadapan dengan
semua imperialis dunia, terutama imperialis Belanda?”
Hatta tiada memberi jawaban apa-apa!
Karena memangnya sukar dijawab tentang itu.
Perdebatan menjadi hebat dan kalut,
tetapi walaupun sudah sampai jauh malam, keputusan tiada di dapat.
Pada tanggal 1 Maret pada Rapat KNIP
yang dibuka oleh Mr. Asaat, dimana Wakil Presiden hadir, tetapi Presiden tidak
hadir, maka diumumkanlah, bahwa Sutan Syahrir ditunjuk lagi sebagai Perdana
Menteri. Pada siang harinya disiarkan Program Pemerintah Yang Lima Pasal.
Berhubung dengan peristiwa itu dan
cocok dengan putusan Rapat Persatuan Perjuangan, seperti tersebut di atas, maka
Wikana, tampil ke muka untuk mengumumkan, “Bahwa
semua anggota Persatuan Perjuangan dilarang duduk dalam Kabinet, yang tidak
menjalankan Minimum Program itu”.
Rapat amat gaduh! Program Pemerintah
yang Lima Pasal itu tiada dibicarakan, jangankan lagi disyahkan oleh Rapat KNIP
itu! Soal Kabinet-pun dipelantingkan begitu saja. Rapat KNIP selanjutnya
(sampai 3 Maret) hanyalah menyatakan bubarnya KNIP dan menyerahkan pembentukan
kepada Presiden.
Demikianlah kemauan Persatuan
Perjuangan terhadap Badan mana, Badan Pekerja KNIP dengan Maklumat No. 21
“menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya dan menganjurkan kepada
seluruh Rakyat untuk memperkuat usaha itu” diabaikan oleh Sukarno-Hatta, Amir
dan Syahrir dengan bantuan Mr. Abdul Madjid, yang tidak setuju dengan
kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui Kemerdekaan dalam Lingkaran Kerajaan
Belanda”.
Demikianlah pula Minimum Program,
yang sudah dipelajari selama sepuluh hari, diperundingkan, dan diputuskan oleh
141 organisasi Rakyat Pemuda, Tentara (Panglima Besar pun ikut memutuskan),
Laskar dan Badan itu, begitu saja dibatalkan oleh Program Pemerintah yang
dibentuk oleh Sutan Syahrir, Moh. Hatta, dan Abd. Madjid, zonder perundingan
dengan – dan zonder pengesahan dari Pemerintah seluruhnya dan BPKNIP ataupun
sidang Pleno KN Pusat.
Demikianlah pula, Kabinet Syahrir
yang menurut Dr. Halim seluruhnya ialah, “Disebabkan oleh aksi extra
parlementer” itu yang pentingnya pula disokong oleh Badan Pekerja KNIP tidak
diganti dengan kaum yang beroposisi, ialah kaum yang menjatuhkan untuk
menjalankan Politik-nya mereka yang beroposisi itu, seperti yang lazim berlaku
di dunia demokrasi, melainkan (aneh sekali!) oleh gerombolan Yang Kalah untuk
menjalankan Politik yang sudah disalahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat sendiri
yang pada masa itu berbentuk K.N. Pusat.
Demikianlah pula akhirnya Rapat K.N.
Pusat di Solo itu, menarik garis pemisahan waktu, diantara Phase Bermula dengan
Phase Kedua, yakni antara Phase Massa Aksi dengan Phase Diplomasi, dalam
Revolusi Indonesia ini.
Pada Phase Massa Aksi, kasarnya
antara 17 Agustus dengan 3-17 Maret 1946, maka hampirlah seluruhnya Rakyat
menentang sembarang Penjajah (Jepang, Inggris dan Belanda) dengan senjata Bambu
Runcing sebagai modal yang pertama. Phase Massa Aksi ini berhasil mendapatkan
kemenangan luar biasa, lahir dan batin, senjata dan moril, nasional da
internasional.
Pada Phase Diplomasi Berunding,
kasarnya antara 3-17 Maret itu sampai sekarang 17 Maret 1948, maka gerombolan
borjuis kecil Indonesia berusaha keras berkompromi dengan Inggris-Belanda dan
berhasil mendapatkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Perjuangan
ini berarti keruntuhan Repulik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran,
perekonomian, sosial dan moril.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar