Kamis, 07 April 2016

Pertentangan Antara Diplomasi dengan Massa Aksi

Tiap-tiap revolusi mengenai partai kanan, partai tengah (lunak-moderate) dan partai kiri serta extremisnya. Begitu revolusi Borjuis dan kemudian proletar di Rusia.
Sifat Kanan,  lunak dan Kiri itu, sebenarnya cuma dapat dipastikan oleh sejarah belaka, ialah setelah revolusi berlaku. Dalam revolusi itu sendiri boleh jadi sekali si kanan menamai dirinya moderat-progressif dan si lunak menamai dirinya “sayap-kiri” yang revolusioner progressif. Susahlah bagi seseorang bersikap tenang obyektif dalam waktu penggeloraan revolusi itu sendiri.
Demikialah dalam revolusi borjuis di Perancis (tahun 1789) Partai Gironde, ialah Club (kumpulan) borjuis tulen, yang dipimpin oleh Verginiaud, Brissort, Madame Roland dan lain-lain merasa dirinya Partai yang paling berhak memimpin revolusi itu. Berhubung dengan itu, maka mereka menganggap Club Jacobin, ialah Kumpulan Murba di bawah pimpinan Marat, Danten, Roberspiere dan lain-lain sebagai Kumpulan penghasut, pengacau dan perusak. Mereka yang dibelakang ini digelari “Ultras” atau “Yang lebih Kiri dan Kiri”. Begitulah pula di Russia (tahun 1917) Borjuis Kecil, ialah Partai Sosial Revolusioner, yang dipimpin oleh Kerensky, Isorotelli dan lain-lain menganggap dirinya sebagai pemimpin tulen (constructive) pada masa itu dan menganggap Partai Murba, ialah Partai Komunis Komunis (bolsjewik) sebagai penghasut, pengacau dan perusak (destructive). Tidak saja begitu! Mereka giat pula menyiarkan dan membisikkan di tengah-tengah rakyat, bahwa Lenin adalah spionnya Jerman. Baru setelah Gerakan Revolusi itu berhenti dan salah satu daripada kelas yang ber-revolusi itu berhasil merebut dan mempertahankan kekuasaan Negara serta memberikan kemerdekaan, kemakmuran dan kemajuan kepada masyarakat baru, dalam semua lapangan, barulah Ahli Sejarah dan Umum dapat menentukan, kaum mana dan Partai mana, yang sesungguhnya berhak memimpin revolusi itu.
Revolusi Indonesia tiadalah yang menjadi satu kekecualiaan! Kita pun sekarang (Maret 1948) mengenal gelaran “Sayap Kanan”, “Sayap Kiri” dan “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” atau aliran “Trotskyst”, pengacau dan perusak. Tetapi kalau gelaran itu misalnya harus ditentukan oleh “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” sendiri maka boleh jadi sekali, mereka yang menamai dirinya itu “Sayap Kiri” akan diberi gelaran Curah (moderate). Dalam hal ini, maka menurut pandangan mereka yang “Lebih Kiri dari Kiri” itu juga mereka sendirilah Partai yang revolusioner. Mereka sendirilah pula yang berhak melanjutkan revolusi Titik-Berat (centre of Gravity) dalam gerakan revolusi ini tercapai dan gerakan revolusi itu terhenti di sekitar Titik-Berat itu dengan tenang. Dengan istilah tehnis, maka akan tercapailah keadaan equilibrium-sosial atau keseimbangan-kekuatan-sosial dalam masyarakat Indonesia.
Sang Sejarah sajalah kelak yang dapat memastikannya! Manusia yang berada dalam taufan-revolusi itu sendiri, terpaksalah diombang-ambingkan oleh kepentingan, paham dan perasaan diri disertai pula oleh Purbasangka (prejudico), kebencian serta ketakutan kepada lawan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan, nista, karena perasaan dalam segala-galanya dalam sesuatu revolusi itu, memangnya sedang memuncak penggeloraannya dan mudah sekali terlepas dari sekitar titik beratnya, dan dari equilibriumnya. Tetapi memangnya pula pengendalian diri terhadap lawan politik itu sukar sekali dipraktekkan, mungkin bagi saya sendiripun tiada terkecuali.
Berhubung dengan itu pula, maka tinjauan saya terhadap pertikaian antara kaum yang menganut diplomasi dengan kaum yang menganut Massa Aksi pada permulaan tahun 1946, bilamana bentuk, sikap dan sifatnya beberapa golongan dalam masyarakat kita di revolusi ini sudah mulai nyata, bukanlah dimaksudkan sebagai putusannya Sang Sejarah.
Tinjauan saya itu adalah tinjauan seorang manusia, yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada  dalam keadaan terikat (handicapped), yang membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat kekuasaan Negara dan Keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai “blacklist” palsu, fluistercampagne dan fitnah resmi besar-besaran terhadap diri saya.
Semenjak lebih dari seperempat abad saya memajukan pertentangan tajam, pertentangan yang tiada dapat diperdamaikan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan pemerasan-penindasan Rakyat Indonesia. Berhubung dengan pertentangan tajam itulah, maka Demarkasi Revolusi Indonesia ini dapatlah ditarik dengan sejelas-jelasnya.
Dari bermula sekali saya anggap Demarkasi Revolusi Indonesia itu bukanlah satu amban (girdle, band) melainkan satu garis. Artinya bukanlah satu garis yang mempunyai panjang dan mempunyai lebar, melainkan satu garis yang mempunyai panjang, tetapi tiada mempunyai lebar. Bukanlah satu amban, di mana borjuis-imperialis bisa berjabat tangan dengan borjuis-jajahan, buat kerja sama, memeras dan menindas murba di Indonesia. Melainkan satu garis, di mana Borjuis-Imperialis Belanda dengan memperkudakan Inlanders-Alat, memeras dan menindas Murba Indonesia.
Di Hindustan, Tiongkok dan Pilipina dan amban-sosial yang bisa dijadikan Demkarkasi antara kaum penjajah dengan Murba-terjajah. Di sana kepentingan bersama dalam ekonomi antara borjuis-imperialis dengan borjuis-jajahan dapat dijadikan dasar untuk mengadakan kerjasama dalam Politik. Di sana pertentangan antara borjuis-imperialis dengan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan (Tiongkok) boleh diperdamaikan. Dengan demikian, maka pergerakan revolusioner dapat dihalang-halangi atau dibelokkan kepada reformisme dan ke dalam status, di mana borjuis-imperialis menyerahkan sebagian besar kekuasaan politiknya kepada borjuis-jajahan (Hindustan dan Pilipina). Bahkan pada lahirnya semua kekuasaan politik adalah borjuis-imperialis boleh diserahkan kepada borjuis-jajahan, sambil tetap mengendali “Negara Merdeka” itu dengan “Perjanjian” Keuangan, “Perjanjian” Kemiliteran, “Perjanjian” Ekonomi dan “Perjanjian” Urusan Luar Negeri. Keadaan semacam itu terdapat lebih kurang pada perhubungan Amerika Serikat dengan Mexico dan beberapa Negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dengan Canada, Pilipina, Tiongkok, Turki dan lain-lain.
Karena tak adanya borjuis-besar dan borjuis-menengah yang kuat di Indonesia, dalam arti ekonomi, maka borjuis-imperialis tak bisa mengadakan ambas sebagai demarkasi di Indonesia. Borjuis-imperialis cuma bisa “kerja sama” dengan bangsa Indonesia, yang bisa diperalat semata-mata, dengan Inlanders-Alat untuk memeras dan menindas Murba Indonesia. Inlanders-Alat ini di zaman “Hindia Belanda” sebelumnya Belanda menyerah kalah kepada Jepang berpusat pada “Binnenlands Bestuur Amtenaaren”, Pangreh-Praja namanya di masa Jepang. B.B. Ambtenar itu adalah turunan dari Ningrat-Takluk, yang akan menjadi penganjur (MURBA), kalau sekiranya tiada diperalatkan oleh Belanda. Dengan didikan sekolah Ambteenar, serta dipersenjatai dengan “Undang-Undang Bumiputra” (Inlandsche Reglement) dan dengan bantuan politie, maka B.B. Ambtenaar inilah intinya, Kern-nya, Borjuis-Indonesia. Merekalah yang sudi “Kerja sama” dengan borjuis-imperialis, laksana sebuah centera (gilingan) yang “Kerja Sama” dengan pelayannya untuk memeras manisan tebu.
Ringkasnya di Indonesia tak dapat diadakan Amban-Demarkasi, ialah garis yang mempunyai lebar, yang dapat memperdamaikan borjuis-imperialis dengan borjuis-nasional. Di Indonesia cuma ada Garis-Demarkasi, ialah garis yang tiada mempunyai lebar, garis yang tajam, yang menghimpit, ialah Borjuis-Alat, bernama B.B. Ambtenaar, garis yang dengan terang-tajam memisahkan borjuis-imperialis Belanda dengan Murba Terjajah Indonesia.
Barang siapa yang berada di sebelah Sananya Garis Demarkasi itu adalah kelas pemeras-penindas. Barang siapa yang berada di sebelah sininya Garis Demarkasi itu adalah kelas Murba terperas-tertindas. Ketika gerakan kemerdekaan itu berlaku dalam waktu damai, maka garis demarkasi itu cuma dapat diketahui dengan filsafat revolusioner. Tetapi dalam masa revolusi, maka garis demarkasi itu menjadi Demarkasi Revolusi, yakni: Revolusi yang berdemarkasi, revolusi yang bertapal batas, yang jelas. Berhubung dengan itu, maka musuhilah dan gempurlah semuanya yang berada di seberangnya dan gempurlah pula mereka yang dulu berada di sebelah sini, tetapi oleh kesengitan perjuangan lari dari sini dan kini berada di sebelah sana.
Masih sulit kiranya bagi khalayak umumnya di masa “Hindia Belanda” untuk menentukan disebelah manakah Sukarno-Hatta Syahrir dan Amir akan berada pada permulaan revolusi, pada pertengahan revolusi dan pada penghabisan revolusi. Bagi manusia, sebagai kelas atau golongan, maka soal yang semacam itu lebih mudah diselesaikan daripada oleh manusia sebagai individu, sebagai seseorang.
Filsafat revolusi saja tak dapat memastikan lebih dahulu. Cuma prakteklah yang dapat memastikan. Bukan sedikit anak-Murba, yang meninggalkan Front-Murba. Bukan satu dua orang pula anggota Yang Bukan Murba, yang sampai pada napas terakhir berada di kalangan Murba. Bukankah Para Bapak dan Para Pemimpin Murba, seperti Marat, Marx, Engel, Lenin, Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg dan lain-lain semuanya berasal dari golongan Yang Bukan Murba? Ada yang mendapatkan paham kemurbaan dengan melalui otak pikiran serta jantung perasaan saja. Tetapi sampai pada napas terakhir, mereka setia kepada klas yang dibelanya dan paham-klas yang dianutnya itu. Ada pula yang memangnya lebih banyak lagi mereka yang berasal dari klas Murba sendiri, yang sampai titik darah penghabisan membela klasnya dan kepentingan serta paham klasnya sendiri.
Bahwasanya maka empat pemimpin terkemuka dalam revolusi ini, seperti tersebut di atas tadi, satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting, daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petitio-burgeois, borjuis Kecil Indonesia; sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda yang tertinggi dan sama-sama bercita-cita “kerja sama” dengan Imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbedaan tentang quality, sifat, sebagai orang (person) saja.
Sukarno mempunyai sifat terbuka, mudah percaya dan mudah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Tahu akan jiwanya rakyat Indonesia, mahir memakai perkataan, maka seandainya Sukarno mempunyai Filsafat Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas, di samping hati yang teguh memegang filsafat dan tujuan itu, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret 1948) menjadi Liberator, Pembebas Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi Sukarno tiada mempunyai tujuan yang nyata karena dia tiada mempergunakan cara berpikir revolusioner dan Filsafat Revolusi yang tepat. Dia tiada pula mempunyai hati yang teguh memegang tujuan bermula. Dengan menerima dan mengalamkan semua kemewahan hidup, yang dengan rencanan teratur sengaja diberikan oleh imperialisme Jepang kepadanya, Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat kemurbaan seperti bermula. Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme Inggris-Belanda, di samping tiada percaya kepada kekuatan Murba dan Dialektiknya Revolusi, maka Sukarno cocok dengan sifat borjuis-kecil dalam tiap-tiap revolusi, jatuh kembali kepada asalnya: reverting totype. Dia mengambil jalan yang paling sedikit membahayakan jalan “of the least resistance”.
Moh. Hatta bukanlah seorang revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya menghadiri pidato di lapangan Gambir Jakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan kesanggupan Murba. Di kalangan intelekt-borjuis-kecil dia bisa juga mendapatkan pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambition, lebih besar daripada kecakapannya yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber akalnya itu! Sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan memangnya pula (dia) mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang mencocok idaman klasnya, ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (bukewurm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat cermat, serta teliti yang ada padanya, di waktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan sifatnya itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling sedikit membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat golongan keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berbeda.
Saya tiada kenal dengan dirinya Amir Sjarifuddin. Usul dari salah seorang pemuda, yang dulunya rapat sekali bekerja dengan Amir, yang ingin menjumpakan saya dengan Amir, yang katanya disetujui oleh Amir sendiri, selalu saja saya tolak. Lebih dahulu saya mau mendengar penerangan resmi tentang tindakannya di Jawa Barat, ialah melarang Rakyat/Pemuda menyerang Inggris, seperti isinya sepucuk surat, yang dibacakan oleh Armunanto dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto, pada tanggal 4-5 Januari 1946. Rupanya Amir menganggap semua tindakannya terhadap Rakyat/Pemuda di Jawa Barat itu sudah semestinya. Sekali lagi dia dengan perantaraan Dj.Maj. Djokosujono meminta berbicara dengan saya, ketika saya di tahan di Jetis Solo, ialah seperti dibelakang hari ternyata atas Surat Delegasi Indonesia kepada Pemerintah dari Yogya dan ata usahanya Amir sendiri. Saya hanya mau berbicara setelah kami ber-empat dimerdekakan. Pada masa itu (April 1946) saya belum mendapat keterangan, sebab apa saya ditangkap. Dari mereka yang paling dekat padanya, saya mendapat keterangan, bahwa di masa “Hindia Belanda” Amir tiada dibuang, meskipun aksinya oleh Belanda mulanya dianggap “berbahaya”. Bahkan sebaliknya, Amir “ditendang ke atas”, dijadikan “pegawai tinggi” dari Ekonomise Zaknn di bawah Van Mook, Idenburg dan Van Hoogsratraten. Dihukum buat seumur hidup oleh Jepang, bukan dia anti sembarang imperialisme, melainkan dia anti imperialisme Jepang, tetapi pro Belanda. Tiadalah mengherankan kalau Asal, didikan dan Pandangan Hidupnya dia berhasil mendapatkan “Perjanjian Renville”! Tetapi di samping mendapatkan “Renville” itu Amir, sebagai Menteri Pertahanan kehilangan Jawa Barat, kehilangan Pekalongan, kehilangan Banyumas dan kehilangan Malang, yang semuanya itu direbut oleh Belanda hampir dengan tak ada perlawanan.
Keuletan Amir mempertahankan, sebagai Menteri Pertahanan, cuma ternyata dalam perjuangan mempertahankan kedudukannya terhadap kaum opposisi dan terhadap Laskar Rakyat Jakarta-Raya, yang bersikap teguh mempertahankan kemerdekaan 100% dan sudah sanggup mempertahankan Krawang dan Cirebon terhadap Tentara Inggris dan Belanda lebih daripada satu tahun lamanya, sebelum dicerai-beraikan oleh T.R.I pada tanggal 13 sampai 17 April 1947, ialah di masa Amir memegang Kementrian Pertahanan.
Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Syahrir adalah paling dekat kepada para pemuda, karena dia paling jauh kepada Jepang, kalau dibandingkan dengan para pemimpin lain. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada tanggal 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Syahrir cs dengan para Pemuda, yang kemudian memusatkan aksinya pada Comite van Aksi di Menteng 31, Jakarta. Walaupun dibelakang hari Syahrir dalam Brosure “Perjuangan Kita” masih memakai para pemimpin cooleborator Jepang sebagai “anjing dan kaki tangan Jepang” dan “penghianat perjuangan”, tetapi sebenarnya Syahrir sudah bertindak sepadan dengan Sukarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang diantara Massa Aksi dan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih Salah Satunya, ialah pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil. Dalam kebimbangan begitulah rupanya, maka dia tiada sanggup memberi komentar sepatahpun, ketika di Serang, saya dimajukan kemungkinan kaum-lunak (moderate) akan muncul kaum-extremis, yang sudah disetujui Inggris-Belanda itu. Dalam keragu-raguan begitulah pula rupanya, Sutan Syahrir membatalkan sendiri janjinya, berjumpa dengan saya atas permintaannya sendiri dengan perantaraan Sukarni. Saya, yang pada tanggal 26 Februari (1946) tergopoh-gopoh datang dipanggil dari Kongres Semua Laskar di Magelang untuk menemui Syahrir di Yogya, tiada berhasil berjumpa. Begitupun di Solo, pula menurut janji Syahrir sendiri. Rupanya Syahrir sudah mengandung putusan tentang mana yang akan dipilihnya: Massa Aksi ataukah Diplomasi, yakni berjuang dengan Persatuan Perjuangan atau berunding dengan maling di dalam rumah. Tetapi Syahrir merasa perlu merahasiakan pilihannya itu.
Tiadalah saya ketahui di masa itu, bahwa:
1.      Badan Pekerja K.N.I Pusat sudah menunjukkan persetujuan dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
2.      Berhubung dengan itulah, maka Sutan Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena programnya tiada cocok dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan tadi.

Baik juga di sini saya catat tulisannya Dr. A. Halim, seorang anggota Badan Pekerja K.N.I. Pusat, dalam Revue Indonesia, Peringatan satu tahun Merdeka, Menuju ke Parlemen Sempurna, 1946, a.l seperti berikut:
“Pendek kata Pemerintahan pada waktu itu adalah Pemerintahan dari seorang, yaitu Presiden, yang kekuasaannya meliputi hampir seluruh kekuasaan Negara”.
“Bahwa kurang representatipnya Badan Pekerja dan K.N.I Pusat dibuktikan oleh berdirinya satu Badan yang bernama Persatuan Perjuangan, dipimpin oleh Tan Malaka cs. yang dengan mudah dapat memikat beberapa Partai-Politik, sosial dan bahan-bahan perjuangan, sehingga dengan demikian memperhebat pemusatan kehidupan politik di luar K.N.I. Pusat”!
“...Bahwasanya kedudukan Badan Pekerja lemah pada waktu itu, terbukti oleh pengumuman No.21, yang menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya Persatuan Perjuangan dan menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk memperkuat usaha itu” (tekanan dari saya).
“...Jatuhnya Kabinet Syahrir ke-I, buat sebagian besar disebabkan oleh “aksi exstra Parlementer”  tadi, yang aneh sekali disokong oleh Badan Pekerja K.N.I. Pusat”
“...Dalam Sidang K.N.I Pusat Pleno di Solo pada tanggal 28 Februari sampai tanggal 3 Maret 1946 dipersoalkannyalah badan manakah yang lebih representatif, Persatuan Perjuangan atau K.N.I Pusat”.
Sekianlah Dr.A.Halim

Peletakan jabatan Syahrir sebagai Perdana Menteri yang berlaku pada tanggal 23 Februari itu baru diketahui setelah Rapat K.N.I Pusat dibuka di Solo, pada tanggal 27/28 Februari.
Pada Rapat ini, yang dibuka oleh Mr.Asaat, Presiden Sukarno dengan menggemparkan mengumumkan, peletakan Syahrir rapat atas meletakkan jabatannya. Presiden juga meminta pengesahan permintaan peletakan jabatan itu. syahrir tampil di muka untuk memberikan tanggung jawab tentang kebijaksanaan Politik Kabinet dalam pidato lebih kurang satu jam lamanya.
Kesimpulan  tanggung jawabnya Syahrir ialah: bahwa dia merasa “yang kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menempuh jalan damai dan perundingan”.
Paham Syahrir yang nyata bertentangan dengan Minimum Program Persatuan Persatuan Perjuangan, yang sudah disetujui oleh Badan Pekerja K.N.I Pusat di Jakarta dan oleh Sidang K.N.I Pusat di Solo, diselingi pula dengan demonstrasi Tentara dan Laskar dan pemakaman para korban pahlawan kita.
Panglima Besar yang memberikan sambutan, mengharapkan, supaya rapat dengan cepat mendapatkan putusan yang segera dijalankan.
Pada tempatnyalah pula Chaerul Saleh, Ketua bagian Politik dari Persatuan Perjuangan tampil ke muka dengan perkataan: “Kita tak usah mempersoalkan pertanggungjawaban seseorang yang sudah meletakkan jabatannya. Kita tidak ada pimpinan Pemerintahan semenjak 23 Februari, jadi selama lebih dari empat hari. Maka sebab itulah saya mengharap, supaya pimpinan Pemerintah Negara dibentuk. Dan saya harap, supaya Presiden, segera membentuknya. Saya tunggu jawaban di mimbar ini sekarang juga”.
Rapat kelihatan terharu dan gelisah! Akhirnya Ketua Mr. Asaat menerangkan, bahwa atas pidato Chaerul Saleh itu, maka rapat ditunda sementara, sampai kelak ada pemberitahuan. Dikatakan pula, bahwa pimpinan Pemerintah kelak akan dibentuk oleh Presiden, ialah jam 16.00.
Pada Rapat tanggal 28 Februari di rumahnya Tn. Suroso, Komisaris Tinggi Surakarta, di mana hadir Presiden, Amir Syarifuddin, Abd. Madjid, Trimurti, Ny. Mangunsarkoro, Wali Al Fatah, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain. Presiden mencoba merancangkan nama mereka, yang akan duduk dalam Kabinet. Presiden meminta pula bantuannya para hadirin menyusun nama bagi Kabinet itu.
Setelah terbentuk susunan nama, dengan Syahrir sebagai Menteri Luar Negeri, Amir sebagai Menteri Pertahanan, Wikana sebagai..., maka Chaerul Saleh tampil bertanya: Bagaimana halnya Minimum Program Persatuan Perjuangan?
Menurut Chaerul Saleh, bahwa yang terpenting ialaha Programnya Pemerintah. Kalau Minimum Programnya Persatuan Perjuangan diterima, maka soal susunan mereka dalam Kabinet adalah perkara “sekunder”, perkara kedua.
Mr. Abdul Madjid “anggota Perhimpunan Indonesia di Nederland, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui pembentukan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda”, salah seorang dari “rombongan lima orang (Mr. Abdul Madjit, Setiadjit, Mr.Tamsil, Mr. Muwaladi, Drs. Maruto Darusman) yang dikirim Belanda ke Indonesia untuk menjamin terlaksananya maksud Belanda atas Tanah Air kita, yang telah merdeka”; Abd. Madjit yang dengan secepat kilat “mendapatkan tempat di Pemerintahan Agung kita” (bacalah harian Murba No.9, yang mengumumkan Rahasia Lima Serangkai Pembantu Belanda oleh Gerakan Revolusi Rakyat); Mr. Abd. Madjid yang pada bulan Desember 1945, setibanya dia dari Nederland dengan kapal Belanda dicurigai, diperiksa dan sementara ditahan oleh Pemuda Jakarta, yang bermarkas pada Menteng 31; Abd. Madjid yang ikut merundingkan dan ikut melakukan suara memutus dalam sidang pengesahan Minimum Program di Solo, pada tanggal 15-16 Pebruari; Mr. Abd. Madjid penghalang kerajaan Belanda itu, berkata bahwa tidak semua Partai terikat oleh Minimum Program.
Cukuplah sudah sikap Mr. Abd. Madjid buat ditafsirkan oleh mereka yang berdiri atas kemerdekaan 100% yang sekarang sudah bisa memeriksa sendiri siapa sebenarnya Mr. Abdul Madjid itu. Cukuplah pula buat kami sendiri pengetahuan, bahwa kalau pada masa itu diadakan undian (pemungutan suara) yang syah dalam Partai Sosialis, maka Mr. Abdul Madjid sendiri akan tercengang, berapa persen cabang atau anggota Partai Sosialis, yang setuju dengan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda dan berapa persen pula yang setuju dengan kemerdekaan 100%.
Kembalilah pada rapat tadi
Mr. Amir Syariffudin mengemukakan “pemeliharaan continuiteit” (kelanjutan) da Kabinet dan juga dari pemerintahan, karena (menurut Amir yang pada masa Proklamasi berada dalam penjara Jepang dihukum seumur hidup atas tuduhan melakukan spionage buat Belanda)......karena Republik diproklamirkan oleh Sukarno Hatta. Merekalah, beserta mereka, yang pernah duduk dalam Kabinet-lah menurut Amir Syariffudin yang berhak meneruskan Pemerintahan.
Sukarni, salah seorang yang paling dekat dengan Sukarno-Hatta disekitar Proklamasi itu, segera menyambut usul Amir itu lebih kurang dengan perkataan: “bahwa bung Amir tidak tahu menahu dengan jalannya Proklamasi itu, maka tak usahlah dia banyak memberi komentar”.
Lantaran tak tampak arah yang pasti maka Rapat menjadi agak gaduh pula.
Atas permintaan Presiden supaya Persatuan Perjuangan memajukan putusan penghabisan dan Daftar-Nama-Calon, maka pengurus Persatuan Perjuangan berjanji menyampaikan putusan-terakhir dan daftar nama itu pada jam 10 malam, setelah nanti mengadakan Putusan Rapat Anggota lebih dahulu.
Dalam Rapat Anggota Persatuan Perjuangan di gedung KNIP Solo, pada tanggal 28-29 Pebruari 1946, jam 21.00, yang dihadiri oleh para wakil dari Masyumi, PBI, PNI, PPI, Dewan Perjuangan Jawa Timur, Dewan Perjuangan Jawa Tengah, Pesindo, BPRI (pemberontak), Koperasi Rakyat Cirebon dan Gas Listrik, maka dibicarakanlah laporan Rapat Presiden dan sikap yang harus diambil oleh Persatuan Perjuangan.
Dengan tegas semuanya organisasi-gabungan menghendaki terlaksananya Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Bahkan BPRI (pemberontak) yang diwakili oleh Bung Tomo dan Indartono mengancam dengan perkataan: “bahwa kalau Persatuan Perjuangan tidak sanggup mempertahankan Minimum Programnya, maka BPRI akan mengobrak-abrik Persatuan Perjuangan dan jika Pemerintah yang tidak sanggup menjalankan Minimum Program itu, maka dia (Bung Tomo) akan mengadakan “coup” terhadap Pemerintah sendiri”.
Dibicarakanlah pula Daftar Nama mereka, yang akan memikul tanggung jawab Pemerintahan, kalau Pemerintah tak sanggup menjalankan Minimum Program Persatuan Perjuangan. Dalam hal ini Pemerintah akan dibentuk oleh para wakil dari beberapa organisasi yang tergabung pada Persatuan Perjuangan.
Begitu pula beberapa tindakan yang akan dilakukan jika Pengurus Persatuan Perjuangan tak cakap  memperjuangkan Minimum Program itu.
Putusan yang diambil oleh Rapat Persatuan Perjuangan pada malam itu lebih kurang berbunyi.
1.      Menghendaki supaya Minimum Program Persatuan Perjuangan pada menjadi Programnya Pemerintah.
2.      Kalau Pemerintah tak sanggup menjalankan Programnya Persatuan Perjuangan, maka Persatuan Perjuangan sendiri mempertanggung jawabkan Pemerintahan.
3.      Kalau dua putusan itu ditolak, maka para pemimpin Persatuan Perjuangan akan menentukan satu sikap  pula.

Malamnya 28-29 Pebruari ketika Persatuan Perjuangan sedang bermusyawarah itu, maka Sukarni sebentar datang menjumpai saya, bertanyakan, apakah saya sudi duduk dalam Pemerintahan. Jawab saya, ialah, perkara duduk atau tidak dalam Pemerintahan itu adalah soal yang kedua. Yang menjadi soal pertama, ialah diterima atau tidaknya Minimum Program oleh Pemerintah.
Pagi harinya pada tanggal 29 Pebruari, apabila Sukarni dapat berjumpa dengan Presiden Sukarno, maka Sukarni mengemukakan soal Minimum Program. “Soal Program itu gampang tanggung beres. Hanya menunggu kedatangan Wakil Presiden nanti siang hari dari Yogya”. Demikianlah jawabnya Presiden.
“Bagaimanakah halnya kalau nanti Wakil Presiden menolak Minimum Program?”, tanya Sukarni pula.
“Ach, itu soal gampang. Saya tanggung, bahwa Program itu akan disetujui”, jawab Presiden.
Sekianlah soal jawab antara Presiden dengan Sukarni, sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan!
Tetapi memangnya cocok dengan dugaan saya sebelumnya itu tentang sikap Wakil Presiden tiadalah akan menyerah saja kepada kemauan 141 Organisasi Rakyat, yang menggabungkan diri pada Persatuan Perjuangan yang pada Kongresnya di Solo, tanggal 15-16 Januari sudah memutuskan akan menyita Miliknya musuh. Wakil Presiden dengan tiada mendapatkan persetujuan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia lebih dahulu dengan tiada memperbedakan sahabat dengan musuh, Pendamai dengan Ceroboh (agresor) diantara Asing itu, dalam maklumat pada tanggal 1 Nopember 1945 sudah menganjurkan kepada Belanda, bahwa “segala hutang Hindia Belanda” sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita dan segala Milik Bangsa Asing selain daripada yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh Negara sendiri, dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh Negara akan kerugiannya dengan seadil-adilnya.
Demikianlah selaras dengan isi Maklumat Presiden (apakah dengan pengetahuan dan persetujuan Presiden lebih dahulu?) dalam pertemuan di rumah Tn. Suroso yang dihadiri oleh Presiden, Moh. Hatta, Syariffudin, Abd. Madjid, Wali Alfatah, Sukiman, Tuan dan Ny. Mangunsarkoro, Trimurti, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain, pertemuan yang mulanya diketuai oleh Presiden, kemudian oleh Wakil Presiden, terjadi perdebatan antara Pelupessy (Sunda Kecil), Kasimo (Katolik) dan Abd. Madjid pada satu pihak dan Chaerul Saleh serta Wali Al Fatah (keduanya dan Persatuan Perjuangan) di lain pihak.
Akhirnya Moh. Hatta bertanya: “Apakah saudara-saudara dari Persatuan Perjuangan tidak tahu, bahwa dengan penyitaan seperti “dimaksudkan dalam pasal 6 dan 7 Minimum Program semua imperialis di dunia bersatu untuk menghantam Republik?”
Chaerul Saleh dengan segera menjawab pertanyaan Moh. Hatta itu dengan pertanyaan pula, ialah seperti berikut: “Apakah sdr. Hatta tidak insaf, bahwa dengan Proklamasi Kemerdekaan kita, kita sudah tentu akan berhadapan dengan semua imperialis dunia, terutama imperialis Belanda?”
Hatta tiada memberi jawaban apa-apa! Karena memangnya sukar dijawab tentang itu.
Perdebatan menjadi hebat dan kalut, tetapi walaupun sudah sampai jauh malam, keputusan tiada di dapat.
Pada tanggal 1 Maret pada Rapat KNIP yang dibuka oleh Mr. Asaat, dimana Wakil Presiden hadir, tetapi Presiden tidak hadir, maka diumumkanlah, bahwa Sutan Syahrir ditunjuk lagi sebagai Perdana Menteri. Pada siang harinya disiarkan Program Pemerintah Yang Lima Pasal.
Berhubung dengan peristiwa itu dan cocok dengan putusan Rapat Persatuan Perjuangan, seperti tersebut di atas, maka Wikana, tampil ke muka untuk mengumumkan, “Bahwa semua anggota Persatuan Perjuangan dilarang duduk dalam Kabinet, yang tidak menjalankan Minimum Program itu”.

Rapat amat gaduh! Program Pemerintah yang Lima Pasal itu tiada dibicarakan, jangankan lagi disyahkan oleh Rapat KNIP itu! Soal Kabinet-pun dipelantingkan begitu saja. Rapat KNIP selanjutnya (sampai 3 Maret) hanyalah menyatakan bubarnya KNIP dan menyerahkan pembentukan kepada Presiden.
Demikianlah kemauan Persatuan Perjuangan terhadap Badan mana, Badan Pekerja KNIP dengan Maklumat No. 21 “menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya dan menganjurkan kepada seluruh Rakyat untuk memperkuat usaha itu” diabaikan oleh Sukarno-Hatta, Amir dan Syahrir dengan bantuan Mr. Abdul Madjid, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui Kemerdekaan dalam Lingkaran Kerajaan Belanda”.
Demikianlah pula Minimum Program, yang sudah dipelajari selama sepuluh hari, diperundingkan, dan diputuskan oleh 141 organisasi Rakyat Pemuda, Tentara (Panglima Besar pun ikut memutuskan), Laskar dan Badan itu, begitu saja dibatalkan oleh Program Pemerintah yang dibentuk oleh Sutan Syahrir, Moh. Hatta, dan Abd. Madjid, zonder perundingan dengan – dan zonder pengesahan dari Pemerintah seluruhnya dan BPKNIP ataupun sidang Pleno KN Pusat.
Demikianlah pula, Kabinet Syahrir yang menurut Dr. Halim seluruhnya ialah, “Disebabkan oleh aksi extra parlementer” itu yang pentingnya pula disokong oleh Badan Pekerja KNIP tidak diganti dengan kaum yang beroposisi, ialah kaum yang menjatuhkan untuk menjalankan Politik-nya mereka yang beroposisi itu, seperti yang lazim berlaku di dunia demokrasi, melainkan (aneh sekali!) oleh gerombolan Yang Kalah untuk menjalankan Politik yang sudah disalahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat sendiri yang pada masa itu berbentuk K.N. Pusat.
Demikianlah pula akhirnya Rapat K.N. Pusat di Solo itu, menarik garis pemisahan waktu, diantara Phase Bermula dengan Phase Kedua, yakni antara Phase Massa Aksi dengan Phase Diplomasi, dalam Revolusi Indonesia ini.
Pada Phase Massa Aksi, kasarnya antara 17 Agustus dengan 3-17 Maret 1946, maka hampirlah seluruhnya Rakyat menentang sembarang Penjajah (Jepang, Inggris dan Belanda) dengan senjata Bambu Runcing sebagai modal yang pertama. Phase Massa Aksi ini berhasil mendapatkan kemenangan luar biasa, lahir dan batin, senjata dan moril, nasional da internasional.
Pada Phase Diplomasi Berunding, kasarnya antara 3-17 Maret itu sampai sekarang 17 Maret 1948, maka gerombolan borjuis kecil Indonesia berusaha keras berkompromi dengan Inggris-Belanda dan berhasil mendapatkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Perjuangan ini berarti keruntuhan Repulik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran, perekonomian, sosial dan moril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar