Waktu itu, Juli 1921, Semarang
terkenal sebagai pusat kaum merah. Revelusi ini, Mei 1947, tiadalah membatalkan
persangkaan itu. Pada masa itu di Semarang terdapat markas V.S.T.P. Vereeniging
van Spoor den Tram Personeel, Sarekat Sekerja Kereta Api, yang paling teratur
buat seluruh Indonesia. V.S.T.P. didirikan dalam tahun 1904. Pernah mempunyai
anggota yang membayar iuran 17.000, mempunyai cabang dimana-mana, percetakan
dan surat kabar yang rapi teratur secara modern. Ketuanya adalah saudara
Semauan. Dia mendapat bantuan dari beberapa personeel Belanda, bekas pemogok di
Nederland, dan yang boleh dianggap sebagai pelopornya gerakan Sarekat Sekerja
di Indonesia. Disamping V.S.T.P. berada PKI, Partai Komunis India, dahulu
bernama I.S.D.P, Indische Social Democratische Partai, yang didirikan oleh kaum
Socialis revolusioner Belanda dalam tahun 1914. Setiba saya di Semarang saudara
Semauan pula yang mengetuai partai ini. para pemimpin Belanda seperti Sneevliet
dan Baars sudah lama dibuang. Dalam tahun 1922, setelah diakui sebagai seksi
oleh Internasional ke-3, I.S.D.P memutar namanya menjadi PKI, mempunyai majalah
Het Vrije Woords dan Suara Rakyat. Yang dibelakang ini dipimpin oleh saudara
Darsono, yang menjadi Wakil Ketua PKI boleh dianggap sebagai Kader, sedang yang
menjadi Partai Rakyat Jelata ialah Sarekat Islam Merah Semarang, yang berhubung
dengan adanya partai disiplin oleh Sentral Sarekat Islam dipisahkan dari pusat.
Buat memenuhi gambaran semarang di waktu itu, perlulah pula disebut Nationale
Indische Partai (N.I.P) yang mengenal para pemimpin seperti Dr. Douwes Dekker
(sekarang Dr. Setyabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat
(sekarang Ki Hajar Dewantoro).
Suasana Indonesia seluruhnya pada
tahun 1921 itu adalah menyamai suasana 1913-1919. Perbaikan Ekonomi-Dunia baru
saja (tahun 1920) memuncak. Pada tahun 1921 perekonomian mulai merosot pula
N.I.P, partai nasional tertua, kecuali cabang Deli, tak berapa lama lagi
memperdengarkan suaranya Sarekat Islam, yang pada Kongresnya ke-3 di Surabaya
mempunyai 87 cabang dan anggota 450.000, dan menurut De Gids, Nederland, dimasa
Perang Dunia I, pernah serentak sanggup memanggil 6.000.000 pengikut dan penyayang
(bersimpati S.I) buat semua kepulangan dan sekalian kita kampung Indonesia pada
rapat umumnya, sedang terbengkalai karena perpecahan dengan golongan Semarang.
Perang Jambi yang disertai oleh pengikut S.I, kerusuhan di Toli-Toli
(Sulawesi), keributan di Garut oleh afdeling B, semuanya itu sudah lama berada
di belakang. Aksi revolusioner Belanda berhubung dengan Soldaten-Bond, yang
dipimpin oleh Sneevliet dan Bransterder, yang juga banyak menggemparkan
imperialisme Belanda, sudah tinggal kenang-kenangan saja, PKI cuma mempunyai
kader yang kecil saja, terutama di Semarang.
Dengan turunnya semangat Sarekat
Islam, Garut affaire, penangkapan Cokroaminoto, perpecahan dalam SI, naiklah
kembali kepercayaan imprialisme Belanda, yang sesungguhnya sudah bingung menghadapi
S.I di masa perang Dunia I. Kepercayaan atas diri sendiri itu diperkokohnya
pula dengan bermacam-macam undang-undang yang mengungkung kemerdekaan
berserikat, bersidang, menulis dan berbicara. Semua undang-undang tersebut
sungguh membatasi hak manusia, hak demokrasi, dan menghambat jalannya
pergerakan nasional serta perserikatan buruh. Tetapi semuanya itu, masih boleh
dianggap ranjau yang kelihatan oleh Pemimpin, yang laksana bom terpendam, entah
dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu. Inilah yang kita kenal dengan nama
“exorbitante rechten”, atau hak istimewa yang dipegang oleh Gobnor Jendral
Hindia Belanda untuk membuang seorang pergerakan yang dianggap berbahaya buat
ketentraman umum (baca: berbahaya buat yang oleh penjajah Belanda dianggapnya ketentraman).
Sepanjang hak istimewa di tangan Gobnor Jendral Hindia Belanda ini, maka siapa
saja yang dianggap berbahaya buat jajahan Belanda, bila saja dikehendaki, boleh
ditangkap dan dibuang dengan tiada diberi kesempatan untuk mempertahankan
dirinya pada satu pengadilan yang syah serta umum terbuka.
Dalam suasana demikianlah, maka
Janji Bulan November, janji yang diberikan oleh Penjajahan Belanda waktu
tersesak untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia, entah berapa %, sedikit
demi sedikit ditarik kembali. Yang dikabulkan ialah Gedung Sandiwara di
Pejambon, Batavia, yang dinamai Volksraad, bersama-sama dengan ranjau pers,
berserikat dan berbicara serta hak membuang orang Indonesia keluar tanah tumpah
darah dan masyarakat asalnya atau ke hutan rimba seperti Digul.
“It is a long way to the pray, a
long way to go”. Ketika itu saya bukannya berada dalam iklim politik yang
hangat panas, diantara murba yang bergerak menentang dengan program yang pasti
serta organisasi teratur rapi dan terdisiplin. Suasana murba yang menentang
sudah jauh di belakang, organisasi nasional yang rapi teratur dan terdisiplin,
sanggup merebut dan mempertahankan daerah lebih dari seluas Eropa seluruhnya
dan Rakyat 70 juta banyaknya, belum ada. Sepantasnyalah kalau saya masuk ke Semarang
dari pintu perguruan. Tatkala meninggalkan Deli menuju ke Semarang, hati saya
bulat hendak mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat
murba di masa itu. Dasar tujuan sudah saya pastikan, pengalaman sementara buat
memperteguh dasar tujuan sudah saya peroleh di Deli selama 2 tahun. Yang saya
butuhkan ialah tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa murid, material berupa
rumah dan serta akhirnya, yang tak kurang juga pentingnya adalah keliling yang
mengandung penghargaan atas pekerjaan perguruan itu.
Ketika mampir di rumah guru
Horensma, yang sudah naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia,
berkedudukan di Jakarta, maka saya ditanya apakah saya mau bekerja di ibu kota
itu dan mau bekerja apa supaya ia dapat diusahakan. Saya jawab, bahwa saya mau
meneruskan melakukan maksud yang sudah dia kenal dan tak pernah dia bantah,
malahan sebaliknya. Dengan pendek dia berkata Ga je gang maar (teruskan saja).
Di Yogya saya menempat kepada
sahabat baru, saudara Sutopo, bekas Pemimpin surat kabar Budi Utomo. Kepada
sahabat baru ini saya diperkenalkan dengan surat oleh sahabat saya di Medan,
ketua Budi Utomo disana. Saudara Sutopo segera mendesak saya pindah dari hotel
ke rumahnya, dimana saya mendapat perlayanan tak ada ubahnya dengan saudara
kandung. Seolah-olah saya saudaranya yang baru pulang merantau. Saya
dikenalkannya kesana-kesini. Dia usahakan mendirikan sebuah sekolah yang hendak
saya pimpin. Tetapi kebetulan pula Serikat Islam membikin rapat besar untuk
membicarakan, perselisihan di dalam badan sarekat Islam, disebabkan oleh apa
yang dimasa itu dinamai “Kritik Darsono”. Oleh saudara Sutopo saya
diperkenalkan pula kepada saudara Cokroaminoto, saudara Darsono dan saudara
Semaun.
Seperti orang yang sudah berkenalan
lama pula saudara Cokroaminoto terhadap saya. Seperti orang yang tak insyaf
akan pengaruhnya di seluruh kepulauan Indonesia, seorang yang dimulut orang
Barat pasti akan disebutkan “the uncrowned king of Indonesia”, (Raja tak
bermahkota) bersikap ramah tamah kepada siapa saja yang menghampiri. “Sekali
menjadi sahabatnya, susah berpisah, apalagi bermusuhan dengan Cokroaminoto”.
Demikianlah kata seorang anggota PKI bekas pengikut Cokroaminoto kepada saya.
“Dengar suara Cokroaminoto merebut hati rakyat Indonesia”, kata teman yang
lain. “Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara”, demikianlah perkataan
perpisahan yang diucapkan oleh saudara Cokroaminoto kepada saya.
Sebelum rapat banyak orang sibuk
berjalan kian kemari. Saya dibawa kepada saudara Darsono, “Rakyat kita”,
demikianlah kata saudara Darsono, “masih terlalu persoonlijk dalam perbedaan
paham. Mereka belum bisa memperbedakan paham atau kecakapan seseorang dengan
orangnya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka amat cintai”.
Saudara Darsono kelihatan sedikit
dipengaruhi oleh apa yang dinamai serangan atas dirinya sendiri, dan memang
dirinya diancam orang. Kalau ia membela dirinya di muka rapat. Mesti diketahui,
bahwa populariteit saudara Cokroaminoto pada waktu itu masih tinggi sekali.
Tetapi panitianya yang menyelidiki “Kritik Darsono” membenarkan haknya saudara
Darsono mengadakan kritik, hanya menyalahkan caranya melakukan.
Saudara Semaun, yang dengan
pakaiannya walaupun sederhana tapi amat menarik hati, seperti juga muka dan
senyumnya, belum lagi bertanya ini atau itu sudah berkata kepada saya:
“Bersiaplah saudara buat pergi ke Semarang bersama-sama kami keesokan hari.
Nanti kami akan berusaha supaya saudara bisa memimpin perguruan. Memang sudah
pada tempatnya.
Cuma saya mesti berpisah dengan
Saudara Sutopo yang dengan keras menahan saya di rumahnya di Yogya, karena dia
sedang berusaha betul mendirikan sekolah buat saya pimpin.
Didorong oleh hasrat yang
terang-teguh, maka sering kita lupakan sifat jasmani yang takluk pada undangnya
alam. Dalam mencocokkan badan saya dengan keadaan alam Eropa dalam iklim serta
keperluan lahir yang dalam serba kekurangan itu, maka satu kali kesehatan saya
sudah mendapat tamparan yang hebat. Kesehatan itu dikembalikan dengan
mencocokkan diri pula pada penghidupan. Kehidupan secara Eropah itu diteruskan
di Deli, bahkan dengan berlebih-lebihan.
Mulanya saya tak insyaf, bahwa saya
sekarang berada di Jawa dalam keadaan lahir yang berbeda dengan keadaan di
Deli, seperti bumi dengan langit. Pada permulaan tak di-insyafi, bahwa rumah di
Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum (Nederland), makan di Jawa tak
sama dengan yang di Deli atau Bussum. Tak diketahui, bahwa hawa Semarang
berlainan dengan yang dilain tempat, semuanya lupa karena suasana baru, suasana
meredeka berbicara dengan teman sepaham seperjuangan.
Semenjak hari pertama saya jatuh
berbaring di tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun, demam,
panas sampai akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit.
Saya menderita serangan paru-paru (longonsteking), satu bulan lamanya harus
dirawat.
Tidak ada di alam ini organ, badan,
yang sanggup melayani perubahan besar dengan sekonyong-konyong. Laksana gelas,
kalau tiba-tiba dituangi air mendidih niscaya akan pecah, demikianlah badan
yang kuatpun akan menderita kesakitan, kalau sekonyong-konyong ditaruh dalam
keadaan yang serba berlainan. Ibarat gelas tadi harus dituangi perlahan-lahan
sedikit demi sedikit, dengan air mendidih pun tiada akan rusak, begitu pula
badan manusia yang fana itu harus berangsur-angsur disesuaikan dengan keliling
yang berbeda. Hal ini sering kita lupakan, apalagi kalau rohani berada dalam
suasana yang sejahtera, yang menggembirakan.
Setelah sedikit merasa kuat kembali,
saudara Semaun membuat rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam Semarang,
mengusulkan mendirikan perguruan. Usul ini diterima baik, dan pencatatan murid
dimulai hari itu juga. Perumahan sekolah tiadalah menjadi halangan, karena
Sarekat Islam Semarang mempunyai gedung sendiri buat rapat. Gedung inilah yang
sementara akan dijadikan sekolah. Bangku, papan tulis dan perkakas lain-lain
juga segera diperoleh. Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan
kurang lebih 50 orang murid.
Dalam brousure kecil “S.I. Semarang
dan Onderwijs” saya uraikan dasar dan tujuan perguruan kami caranya mencapai
tujuan itu. bukanlah tujuan kami mendidik murid menjadi jurutulis seperti
tujuannya sekolah gupernemen. Melainkan, selain buat mencari nafkah buat diri
dan keluarga sendiri, juga buat membantu rakyat dalam pergerakannya. Teranglah
kalau begitu, bahwa dasar yang dipakai ialah dasar kerakyatan dalam masa
penjajahan, ialah: Hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata.
Bukanlah buat menjadi satu klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh
pemerintah penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan
sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kecerdasan, perasaan dan kemauan
murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat
sehari-hari, idam-idaman rakyat dan pergerakan serta organisasi rakyat.
Karena hampir semuanya murid ialah
anak petani, buruh dan pegawai atau pedagang kecil, yang langsung atau tidak
langsung bertali erat dengan Sarekat Islam, maka mencocokkan didikan murid
dengan pekerjaan, idam-idaman dan gerakan Rakyat sehari-hari itu, bukanlah
suatu pekerjaan yang sulit. Tiadalah pula mengherankan, kalau sesudah tiada
berada lama, sang Ibu Bapa memandang anaknya sebagai ahli waris mereka dalam
pekerjaan dan cita-citanya.
Saya masih ingat demonstrasi,
pertunjukan yang pertama, yang dilakukan di tengah-tengah Sarekat Islam.
Seorang dua murid yang baru berumur 14 tahun meminta bantuan orang tua dan
mengeritik serta mengajak kerja lebih keras para temannya sendiri untuk
organisasi mereka sendiri. Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana
merah, berbaris-baris, bersaf-saf di depan khalayak dan menyanyikan lagu
“Internasionale” pertama kali di antara rakyat Indonesia. Setelah semuanya
berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan
rakyat.... yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang
menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insyaf akan
nasif anaknya dan diri sendiri “sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira,
karena para murid ini dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan,
melainkan buat mengangkat derajat tertindas, terhisap dan terhina, ialah
golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan.
Baru sesudah bermenit-menit tepuk
tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan tepuk tangan
yang riuh.
Murid terus saja mengalir ke sekolah
kami, sampai susah lebih dari 200 orang. Surat yang meminta menjadi guru di
sekolah kami datang dari mana-mana. Ada yang mau meninggalkan pekerjaan yang
memberi hasil baik dan bekerja pada sekolah kami dengan percuma. Disamping itu
di hari petangnya saya adakan kursus sendiri, mendidik murid di kelas 5 menjadi
guru dan mendidik guru yang ada untuk menjadi guru berhaluan kerakyatan.
Malang dan mujur datang tiba-tiba
dari semua tempat. Begitu pula permintaan mendirikan sekolah itu datang dari
semua pelosok Malan, karena tenaga sedikit, dan pusat, ialah Semarang, belum
lagi teguh. Mujur, karena dengan perhatian Nasional, bisalah kelak diwujudkan
program meliputi seluruh Indonesia dan mengharapkan bantuan seluruh rakyat.
Dengan perhatian dan bantuan Rakyat jelata, seluruhnya atau sebagian besar,
dapatlah kelak diharapkan sekolahan menengah akan mendapat iklim yang baik dan
tanah yang subur. Setelah tamat sekolah pertanian, murid akan bisa memimpin
koperasi rakyat di desa-desa. Tamat sekolah tukang para murid akan bisa
menyelenggarakan koperasi pertukangan. Murid keluaran sekolah dagang akan bisa
menyusun dan memimpin berbagai macam koperasi. Demikianlah kalau sekolah dapat
kerja sama dengan Serikat Sekerja dan kumpulan politik, maka pergerakan
kemerdekaan akan mendapatkan tenaga yang terdidik dalam segala lapangan. Kader
yang benar-benar tergembleng.
Bandung sudah tak bisa ditahan lagi.
Rumah sekolah yang bagus dengan kebun dan
tempat permainan murid yang luas, sudah disediakan oleh seorang
dermawan, anggota Sarikat Islam. Semua
tenaga perguruan yang ada terpaksa dikerahkan buat mendirikan sekolah
rakyat yang kedua, dengan murid antara 200 dengan 300 di Bandung.
Saya sendiri tiada bisa menyaksikan
kemajuannya. Sepeninggal saya dibuang, maka menurut laporan yang saya terima,
sekolah Rakyat tumbuh sebagai jamur di musim hujan. (Dengan bertukarnya Sarikat
Islam Semarang menjadi Sarikat Rakyat, maka nama sekolahpun bertukar). Kemana
saja murid Semarang mengunjungi rapat Rakyat, disana segera didirikan sekolah
model Semarang. Para murid dengan celana merah dan lagu Internasionalnya adalah
laksana ahli suling kota Harmelin, di dalam dongeng, yang menarik segala hewan
mengikuti sulingnya, kemana saja ia pergi. Memangnya ada pula murid yang
tinggal di Surabaya mengikuti temannya sampai di Semarang dengan tak meminta
izin kepada orang tuanya lebih dahulu.
Sebagai sepongang (kumandan) gerakan
perguruan kami di masa itu, dalam ENCYCLOPAEDIE VAN NED.OOST-INDIE VI
SUPLEMENT, muka 534 kita bisa membaca yang terjemahan sbb:
Dimana-mana berdiri Sekolah Rakyat
menurut model Tan Malaka; diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan
barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan
sistem Komintern. Di mana mungkin bisa dibikin kursus kilat untuk membentuk
propagandis yang aktif, yang sebagai warga-rumekso akan menjadi Kader
organisasi, mula-mula dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau
rapat tertutup yang terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan
partikular bumi putera ternyata tak berdaya buat memberantas propaganda
perguruan yang semacam itu. (Lihatlah pemberi tahuan pemerintah tentang
beberapa perkara kepentingan umum, April 1924)
Baru ini, sambil memperingati
perayaan 1 Mei 1947, saudara Alimin yang sudah menyaksikan perguruan
revolusioner di mana-mana negara di dunia ini, dalam satu interpiu, memerlukan
juga memperingati dan mengucapkan penghargaannya atas sekolah Rakyat di masa
lampau itu.
Saya ingat akan percakapan dengan
almarhum saudara Haji Busro, seorang terkemuka dalam gerakan Sarikat Islam
Semarang dan penyokong lahir batin gerakan perguruan. “Saudara”, katanya kepada
saya, saudara jangan bicara-bicara dulu di rapat umum. Biarlah orang lain saja
dulu. Baiklah saudara tumpahkan semua tenaga kepada pendidikan saja. Nanti
sesudah tiga empat tahun tentu sudah cukup pengganti, kalau saudara mencampuri
gerakan politik, dan kalau dibuang-buang” – Seperti kebiasaan dari saudara Haji
Busro ini tiap-tiap kalimat itu disudahi dengan yang “istimewa” Busro: “yo
rak?”
Ini berlaku pada permulaan perguruan
itu. memang itu suatu nasehat yang bijaksana. Tetapi karena memang kekurangan
tenaga di semua lapangan maka saya terpaksa juga terjun ke Surabaya,
mengunjungi rapat Serikat Islam disana. Suasana politik masih berada dalam
pertentangan Serikat Islam melawan “ke-Semarangan” (Islamisme melawan
Komunisme), berhubung dengan perpecahan. Tetapi sesudah beberapa waktu saya
berada di tengah-tengah teman seperjuangan, saya mendapat kesan bahwa isinya
pertengkaran tiada banyak mengandung persoalan ekonomi politik yang tegas
nyata, yang kongkrit, dan caranya pertengkaran itu cuma membangunkan nafsu
membenci saja. Akibatnya tentulah melumpuhkan kedua belah pihaknya. Sebelum
saya mendapat kesempatan buat bicara di Surabaya, oleh Ketua sudah
diperingatkan, supaya jangan membikin propaganda tentang komunisme. Walaupun
saya cuma memperingatkan persekutuan Turki dengan Sovyet Rusia dimasa itu buat
menentang imperialisme, tetapi saya sudah dapat teguran lagi dari ketua. Cuma
rapat rupanya benar tak merasa keberatan kalau saya meneruskan pidato yang
berhubungan dengan pentingnya persatuan kaum Komunis dan Islam Indonesia
menghadapi lawan bersama. Saya sendiri hanya dikasih waktu 5 menit, tetapi
dengan hadiah 5 menit dari saudara Semaun, dan 5 menit lagi dari saudara PKI
lain, dapat juga terperas pembicaraan selama 15 menit.
Kunjungan ke Surabaya amat
memuaskan. Beberapa pemimpin Islam berkenan nanti akan mengunjungi Kongres PKI di Semarang, dimana akan kita rundingkan
lagi perkara kerja bersama kaum Semarangan dengan Serikat Islam.
Di sini saya sudah menginjak tanah
lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali.
Pada satu hari, tak ada pendahuluan ini dan itu, tiba-tiba saudara Semaun
berkata kepada saya: “Saya harap besok Minggu saudara pergi ke Cepu. Baru ini
saya kembali dari sana mendirikan: “Serikat Buruh Pelikan (tambang) Indonesia”.
Sudah saya usulkan dan sudah pula usul itu diterima, yakni saudaralah yang
menjadi wakil ketua”.
Ini langkah pertama memasuki Serikat
Sekerja. Memang disegala lapangan kekurangan tenaga, yang oleh saudara Busro
pun tak dapat disangkalnya. Sesudah berbisik-bisik disekitar saja, maka
tiba-tiba dengan diam-diam rahasia, saudara Darsono berangkat ke “Moskow. Tak
lama sesudah itu, sehabis berbisik-bisik di antara kita pula, saudara Semaun
pun, berangkat menyusul ke....Moskow. Tenaga yang sudah kurang itu makin terasa
lebih kurang lagi!
Dalam keadaan kekurangan tenaga
dalam segala lapangan itu, maka reserve calonpun harus dikerahkan! Tiadalah
mengherankan kalau pada Kongres PKI sekonyong-konyong saya di “bombardeer”
menjadi pemborong semua pembicaraan. Yang sangat mengherankan saya sendiri,
sehabisnya rapat umum dalam rapat anggota tertutup saya “dibombardeer” lagi
menjadi ketua PKI. Saya memajukan keberatan, tetapi saya tak berdaya berhadapan
dengan suara bulat dan disiplin.
Sekarang saya tidak saja berada di
lapangan politik yang lincir, tetapi malah sudah dilapangan politik yang lincir
di tepi jurang.
Yang sekarang masih saya ingat
pidato saya yang terpenting dalam kongres PKI tadi, adalah uraian tentang
akibatnya perpecahan awak sama awak, antara kaum Komunis dengan kaum Islam,
berhubung dengan politiknya “pecah dan adu” imperialisme Belanda. Perpecahan
kita di zaman lampau, yang diperkudakan oleh politik “devide et Impera” itu
sudah menarik kita ke lembah penjajahan. Keadaan kita sekarang, sebagai bangsa
yang terjajah ini berdasarkan perpecahan Raja dan Rakyat disamping perpecahan
Raja dan Raja. Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan
lebih-lebihkan, maka kita memberi kesempatan penuh kepada musuh yang
mengintai-intai dan memakai permusuhan kita sama kita itu untuk melumpuhkan gerakan
Indonesia. Marilah kita majukan persamaan, dan laksanakan persamaan itu
persoalan politik dan ekonomi yang kongkrit nyata terasa. Demikianlah sari
pidato saya.
Penerimaan baik dari anggota Serikat
Islam dan PKI sendiri lebih dari yang saya harapkan. Tetapi malangnya, saudara
Abdul Muis, wakil dari Sentral Serikat Islam datang terlambat dan sepatah
katapun tak mendengar pidato saya. Haji Agus Salim yang dulu berjanji akan
datang, tak hadir pula. Saudara Abdul Muis memulai pidatonya dengan mengupas
luka yang lama-lama. Sebentar saja suasana ingin bersatu yang semula bertukar
menjadi suasana yang keruh kembali.
Buat menjawab pidato saudara Abdul
Muis, tampil 3 orang wakil Semarang berturut-turut dari Sarikat Islam Semarang
dan PKI. Suasana meningkat seperti yang sudah-sudah di Yogya dan lain-lain
tempat. Pada saat inilah sebagai wasit yang bijaksana, yang walaupun masuk
golongan Serikat Islam juga, tampil ke muka Kiai Hadikusumo.
Wajah dan suara saudara Kiai
Hadikusumo segera menentramkan suasana yang keruh itu. Saudar Kiai menyetujui
sangat persatuan yang dianjurkan tadi, dan menganggap sesat orang Islam yang
tiada menyetujui persatuan menghadapi musuh bersama itu. Saudara Kiai
menyetujui pula kalau dibelakang hari akan diadakan rapat lagi yang dihadiri
oleh kedua belah pihak, buat melaksanakan persatuan itu. (Rapat itu dibelakang
hari betul diadakan. Tetapi waktu itu saya sudah tak berada di Indonesia lagi.
Pada Kongres C.S.I di Madiun Pebruari 1923, partai disiplin yang wujudnya
mengeluarkan orang-orang komunis dari Serikat Islam, terus dijalankan. Memang
susahlah menghilangkan sentimen dan mendapatkan persamaan berbentuk satu
program yang tegas nyata, dalam bangun organisasi bagaimanapun juga.
Selang beberapa hari setelah
Kongrres PKI di Semarang, Revolusionarie Vackcentrale, yang mengikat VSTP,
Buruh pegadaian. Pada kami diminta
bantuan. Sewajarnyalah bantuan ini diberikan dengan ikhlas dan
sepenuhnya. Sebagai pemimpin maka pada bulan Januari tahun 1922 timbullah pemogokan
buruh buhan (??) dan minyak, maka kami berjanji, apabila pemerintah sebagai
majikan tiada menerima kembali kaum pemogok, buruh yang terikat Vakcentrale
tadi akan dikerahkan mogok memberi bantuan.
Saya sendiri sebagai wakil Vakcentrale itu, mengunjungi rapat kaum
pemogok di Yogyakarta, dan menyampaikan pesannya kaum buruh yang dibawah
pimpinan kami. Dalam rapat yang dikunjungi oleh berjenis-jenis kaum buruh di
kota Semarang, dimana juga saya berbicara, terasa benarlah hangatnya suasana.
Dimana-mana kaum buruh kereta apipun merundingkan nasibnya sendiri, sambil
memberi bantuan kepada teman senasib kaum pegadaian yang sedang membela
kepentingannya.
Memangnya buat saya sendiri cuaca
adalah gelap gulita, yang tergambar pula pada wajah saudara Haji Busro. Para
teman seperjuangan sudah berbisik-bisik akan kemungkinan yang boleh jadi akan
menimpa diri saya. Resisir Inlander yang tiada pernah meninggalkan samping saya
selama berada di Semarang ditambah banyak orangnya dan ditambah rapi
penjagaannya. Tetapi semua kemungkinan memang sudah saya pertimbangkan lebih
dahulu, sebelum saya berangkat ke Semarang. Begitupun semua macam akibat sudah
saya pertanggung jawabkan. Semua kemungkinan itu saya sandarkan kepada logika
dan konsekwensi paham, perkataan dan perbuatan saya. Tak sekejappun saya merasa menyimpang dari
kebenaran dan kejujuran. Dalam hal ihwal demikian maka semboyan saya cuma
terbenam atau terapung. Seperti kata pepatah: “Untung sabut terapung, untung
batu terbenam.”
Sekarang sedikit sebagai
iseng-iseng, perlancongan pikiran!
Dalam perantauan selama itu, sayapun
banyak menjumpai peristiwa mengherankan, karena terjadinya di luar persangkaan
dan perhitungan. Baik juga peristiwa itu saya sebutkan, supaya orang jangan
mengira, bahwa hidup saya tak berdasarkan cukup pengalaman.
Tak sedikit orang yang percaya,
bahwa barang siapa yang mengunjungi Borobodur, maka orang itu akan tertimpa
kemalangan, umpamanya bisa terpaksa meninggalkan pulau Jawa ini. Memangnya,
ketika saya dari logis berangkat kembali ke Semarang, saya singgah ke candi
yang mashur ini. begitu pula tahun yang lalu, sebelum saya ditangkap di Madiun.
Saya juga mampir di Borobudur.
Terserah kepada para ahli tahyul
buat memperhubungkan ke Borobudur itu dengan pembuangan saya pada bulan Maret
1922 dan penangkapan di Madiun pada bulan Maret 1946.
Memang Indonesia penuh dengan
kejadian yang berupa ajaib. Tetapi kepada ahli akal saya majukan pula keadaan
perjuangan saya di kedua waktu tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar