Kamis, 07 April 2016

Semarang Kota Merah

Waktu itu, Juli 1921, Semarang terkenal sebagai pusat kaum merah. Revelusi ini, Mei 1947, tiadalah membatalkan persangkaan itu. Pada masa itu di Semarang terdapat markas V.S.T.P. Vereeniging van Spoor den Tram Personeel, Sarekat Sekerja Kereta Api, yang paling teratur buat seluruh Indonesia. V.S.T.P. didirikan dalam tahun 1904. Pernah mempunyai anggota yang membayar iuran 17.000, mempunyai cabang dimana-mana, percetakan dan surat kabar yang rapi teratur secara modern. Ketuanya adalah saudara Semauan. Dia mendapat bantuan dari beberapa personeel Belanda, bekas pemogok di Nederland, dan yang boleh dianggap sebagai pelopornya gerakan Sarekat Sekerja di Indonesia. Disamping V.S.T.P. berada PKI, Partai Komunis India, dahulu bernama I.S.D.P, Indische Social Democratische Partai, yang didirikan oleh kaum Socialis revolusioner Belanda dalam tahun 1914. Setiba saya di Semarang saudara Semauan pula yang mengetuai partai ini. para pemimpin Belanda seperti Sneevliet dan Baars sudah lama dibuang. Dalam tahun 1922, setelah diakui sebagai seksi oleh Internasional ke-3, I.S.D.P memutar namanya menjadi PKI, mempunyai majalah Het Vrije Woords dan Suara Rakyat. Yang dibelakang ini dipimpin oleh saudara Darsono, yang menjadi Wakil Ketua PKI boleh dianggap sebagai Kader, sedang yang menjadi Partai Rakyat Jelata ialah Sarekat Islam Merah Semarang, yang berhubung dengan adanya partai disiplin oleh Sentral Sarekat Islam dipisahkan dari pusat. Buat memenuhi gambaran semarang di waktu itu, perlulah pula disebut Nationale Indische Partai (N.I.P) yang mengenal para pemimpin seperti Dr. Douwes Dekker (sekarang Dr. Setyabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hajar Dewantoro).
Suasana Indonesia seluruhnya pada tahun 1921 itu adalah menyamai suasana 1913-1919. Perbaikan Ekonomi-Dunia baru saja (tahun 1920) memuncak. Pada tahun 1921 perekonomian mulai merosot pula N.I.P, partai nasional tertua, kecuali cabang Deli, tak berapa lama lagi memperdengarkan suaranya Sarekat Islam, yang pada Kongresnya ke-3 di Surabaya mempunyai 87 cabang dan anggota 450.000, dan menurut De Gids, Nederland, dimasa Perang Dunia I, pernah serentak sanggup memanggil 6.000.000 pengikut dan penyayang (bersimpati S.I) buat semua kepulangan dan sekalian kita kampung Indonesia pada rapat umumnya, sedang terbengkalai karena perpecahan dengan golongan Semarang. Perang Jambi yang disertai oleh pengikut S.I, kerusuhan di Toli-Toli (Sulawesi), keributan di Garut oleh afdeling B, semuanya itu sudah lama berada di belakang. Aksi revolusioner Belanda berhubung dengan Soldaten-Bond, yang dipimpin oleh Sneevliet dan Bransterder, yang juga banyak menggemparkan imperialisme Belanda, sudah tinggal kenang-kenangan saja, PKI cuma mempunyai kader yang kecil saja, terutama di Semarang.
Dengan turunnya semangat Sarekat Islam, Garut affaire, penangkapan Cokroaminoto, perpecahan dalam SI, naiklah kembali kepercayaan imprialisme Belanda, yang sesungguhnya sudah bingung menghadapi S.I di masa perang Dunia I. Kepercayaan atas diri sendiri itu diperkokohnya pula dengan bermacam-macam undang-undang yang mengungkung kemerdekaan berserikat, bersidang, menulis dan berbicara. Semua undang-undang tersebut sungguh membatasi hak manusia, hak demokrasi, dan menghambat jalannya pergerakan nasional serta perserikatan buruh. Tetapi semuanya itu, masih boleh dianggap ranjau yang kelihatan oleh Pemimpin, yang laksana bom terpendam, entah dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu. Inilah yang kita kenal dengan nama “exorbitante rechten”, atau hak istimewa yang dipegang oleh Gobnor Jendral Hindia Belanda untuk membuang seorang pergerakan yang dianggap berbahaya buat ketentraman umum (baca: berbahaya buat yang oleh penjajah Belanda dianggapnya ketentraman). Sepanjang hak istimewa di tangan Gobnor Jendral Hindia Belanda ini, maka siapa saja yang dianggap berbahaya buat jajahan Belanda, bila saja dikehendaki, boleh ditangkap dan dibuang dengan tiada diberi kesempatan untuk mempertahankan dirinya pada satu pengadilan yang syah serta umum terbuka.
Dalam suasana demikianlah, maka Janji Bulan November, janji yang diberikan oleh Penjajahan Belanda waktu tersesak untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia, entah berapa %, sedikit demi sedikit ditarik kembali. Yang dikabulkan ialah Gedung Sandiwara di Pejambon, Batavia, yang dinamai Volksraad, bersama-sama dengan ranjau pers, berserikat dan berbicara serta hak membuang orang Indonesia keluar tanah tumpah darah dan masyarakat asalnya atau ke hutan rimba seperti Digul.
“It is a long way to the pray, a long way to go”. Ketika itu saya bukannya berada dalam iklim politik yang hangat panas, diantara murba yang bergerak menentang dengan program yang pasti serta organisasi teratur rapi dan terdisiplin. Suasana murba yang menentang sudah jauh di belakang, organisasi nasional yang rapi teratur dan terdisiplin, sanggup merebut dan mempertahankan daerah lebih dari seluas Eropa seluruhnya dan Rakyat 70 juta banyaknya, belum ada. Sepantasnyalah kalau saya masuk ke Semarang dari pintu perguruan. Tatkala meninggalkan Deli menuju ke Semarang, hati saya bulat hendak mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat murba di masa itu. Dasar tujuan sudah saya pastikan, pengalaman sementara buat memperteguh dasar tujuan sudah saya peroleh di Deli selama 2 tahun. Yang saya butuhkan ialah tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa murid, material berupa rumah dan serta akhirnya, yang tak kurang juga pentingnya adalah keliling yang mengandung penghargaan atas pekerjaan perguruan itu.
Ketika mampir di rumah guru Horensma, yang sudah naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia, berkedudukan di Jakarta, maka saya ditanya apakah saya mau bekerja di ibu kota itu dan mau bekerja apa supaya ia dapat diusahakan. Saya jawab, bahwa saya mau meneruskan melakukan maksud yang sudah dia kenal dan tak pernah dia bantah, malahan sebaliknya. Dengan pendek dia berkata Ga je gang maar (teruskan saja).
Di Yogya saya menempat kepada sahabat baru, saudara Sutopo, bekas Pemimpin surat kabar Budi Utomo. Kepada sahabat baru ini saya diperkenalkan dengan surat oleh sahabat saya di Medan, ketua Budi Utomo disana. Saudara Sutopo segera mendesak saya pindah dari hotel ke rumahnya, dimana saya mendapat perlayanan tak ada ubahnya dengan saudara kandung. Seolah-olah saya saudaranya yang baru pulang merantau. Saya dikenalkannya kesana-kesini. Dia usahakan mendirikan sebuah sekolah yang hendak saya pimpin. Tetapi kebetulan pula Serikat Islam membikin rapat besar untuk membicarakan, perselisihan di dalam badan sarekat Islam, disebabkan oleh apa yang dimasa itu dinamai “Kritik Darsono”. Oleh saudara Sutopo saya diperkenalkan pula kepada saudara Cokroaminoto, saudara Darsono dan saudara Semaun.
Seperti orang yang sudah berkenalan lama pula saudara Cokroaminoto terhadap saya. Seperti orang yang tak insyaf akan pengaruhnya di seluruh kepulauan Indonesia, seorang yang dimulut orang Barat pasti akan disebutkan “the uncrowned king of Indonesia”, (Raja tak bermahkota) bersikap ramah tamah kepada siapa saja yang menghampiri. “Sekali menjadi sahabatnya, susah berpisah, apalagi bermusuhan dengan Cokroaminoto”. Demikianlah kata seorang anggota PKI bekas pengikut Cokroaminoto kepada saya. “Dengar suara Cokroaminoto merebut hati rakyat Indonesia”, kata teman yang lain. “Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara”, demikianlah perkataan perpisahan yang diucapkan oleh saudara Cokroaminoto kepada saya.
Sebelum rapat banyak orang sibuk berjalan kian kemari. Saya dibawa kepada saudara Darsono, “Rakyat kita”, demikianlah kata saudara Darsono, “masih terlalu persoonlijk dalam perbedaan paham. Mereka belum bisa memperbedakan paham atau kecakapan seseorang dengan orangnya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka amat cintai”.
Saudara Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi oleh apa yang dinamai serangan atas dirinya sendiri, dan memang dirinya diancam orang. Kalau ia membela dirinya di muka rapat. Mesti diketahui, bahwa populariteit saudara Cokroaminoto pada waktu itu masih tinggi sekali. Tetapi panitianya yang menyelidiki “Kritik Darsono” membenarkan haknya saudara Darsono mengadakan kritik, hanya menyalahkan caranya melakukan.
Saudara Semaun, yang dengan pakaiannya walaupun sederhana tapi amat menarik hati, seperti juga muka dan senyumnya, belum lagi bertanya ini atau itu sudah berkata kepada saya: “Bersiaplah saudara buat pergi ke Semarang bersama-sama kami keesokan hari. Nanti kami akan berusaha supaya saudara bisa memimpin perguruan. Memang sudah pada tempatnya.
Cuma saya mesti berpisah dengan Saudara Sutopo yang dengan keras menahan saya di rumahnya di Yogya, karena dia sedang berusaha betul mendirikan sekolah buat saya pimpin.
Didorong oleh hasrat yang terang-teguh, maka sering kita lupakan sifat jasmani yang takluk pada undangnya alam. Dalam mencocokkan badan saya dengan keadaan alam Eropa dalam iklim serta keperluan lahir yang dalam serba kekurangan itu, maka satu kali kesehatan saya sudah mendapat tamparan yang hebat. Kesehatan itu dikembalikan dengan mencocokkan diri pula pada penghidupan. Kehidupan secara Eropah itu diteruskan di Deli, bahkan dengan berlebih-lebihan.
Mulanya saya tak insyaf, bahwa saya sekarang berada di Jawa dalam keadaan lahir yang berbeda dengan keadaan di Deli, seperti bumi dengan langit. Pada permulaan tak di-insyafi, bahwa rumah di Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum (Nederland), makan di Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum. Tak diketahui, bahwa hawa Semarang berlainan dengan yang dilain tempat, semuanya lupa karena suasana baru, suasana meredeka berbicara dengan teman sepaham seperjuangan.
Semenjak hari pertama saya jatuh berbaring di tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun, demam, panas sampai akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit. Saya menderita serangan paru-paru (longonsteking), satu bulan lamanya harus dirawat.
Tidak ada di alam ini organ, badan, yang sanggup melayani perubahan besar dengan sekonyong-konyong. Laksana gelas, kalau tiba-tiba dituangi air mendidih niscaya akan pecah, demikianlah badan yang kuatpun akan menderita kesakitan, kalau sekonyong-konyong ditaruh dalam keadaan yang serba berlainan. Ibarat gelas tadi harus dituangi perlahan-lahan sedikit demi sedikit, dengan air mendidih pun tiada akan rusak, begitu pula badan manusia yang fana itu harus berangsur-angsur disesuaikan dengan keliling yang berbeda. Hal ini sering kita lupakan, apalagi kalau rohani berada dalam suasana yang sejahtera, yang menggembirakan.
Setelah sedikit merasa kuat kembali, saudara Semaun membuat rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam Semarang, mengusulkan mendirikan perguruan. Usul ini diterima baik, dan pencatatan murid dimulai hari itu juga. Perumahan sekolah tiadalah menjadi halangan, karena Sarekat Islam Semarang mempunyai gedung sendiri buat rapat. Gedung inilah yang sementara akan dijadikan sekolah. Bangku, papan tulis dan perkakas lain-lain juga segera diperoleh. Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid.
Dalam brousure kecil “S.I. Semarang dan Onderwijs” saya uraikan dasar dan tujuan perguruan kami caranya mencapai tujuan itu. bukanlah tujuan kami mendidik murid menjadi jurutulis seperti tujuannya sekolah gupernemen. Melainkan, selain buat mencari nafkah buat diri dan keluarga sendiri, juga buat membantu rakyat dalam pergerakannya. Teranglah kalau begitu, bahwa dasar yang dipakai ialah dasar kerakyatan dalam masa penjajahan, ialah: Hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata. Bukanlah buat menjadi satu klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kecerdasan, perasaan dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idam-idaman rakyat dan pergerakan serta organisasi rakyat.
Karena hampir semuanya murid ialah anak petani, buruh dan pegawai atau pedagang kecil, yang langsung atau tidak langsung bertali erat dengan Sarekat Islam, maka mencocokkan didikan murid dengan pekerjaan, idam-idaman dan gerakan Rakyat sehari-hari itu, bukanlah suatu pekerjaan yang sulit. Tiadalah pula mengherankan, kalau sesudah tiada berada lama, sang Ibu Bapa memandang anaknya sebagai ahli waris mereka dalam pekerjaan dan cita-citanya.
Saya masih ingat demonstrasi, pertunjukan yang pertama, yang dilakukan di tengah-tengah Sarekat Islam. Seorang dua murid yang baru berumur 14 tahun meminta bantuan orang tua dan mengeritik serta mengajak kerja lebih keras para temannya sendiri untuk organisasi mereka sendiri. Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana merah, berbaris-baris, bersaf-saf di depan khalayak dan menyanyikan lagu “Internasionale” pertama kali di antara rakyat Indonesia. Setelah semuanya berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan rakyat.... yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insyaf akan nasif anaknya dan diri sendiri “sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira, karena para murid ini dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan, melainkan buat mengangkat derajat tertindas, terhisap dan terhina, ialah golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan.
Baru sesudah bermenit-menit tepuk tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan tepuk tangan yang riuh.
Murid terus saja mengalir ke sekolah kami, sampai susah lebih dari 200 orang. Surat yang meminta menjadi guru di sekolah kami datang dari mana-mana. Ada yang mau meninggalkan pekerjaan yang memberi hasil baik dan bekerja pada sekolah kami dengan percuma. Disamping itu di hari petangnya saya adakan kursus sendiri, mendidik murid di kelas 5 menjadi guru dan mendidik guru yang ada untuk menjadi guru berhaluan kerakyatan.
Malang dan mujur datang tiba-tiba dari semua tempat. Begitu pula permintaan mendirikan sekolah itu datang dari semua pelosok Malan, karena tenaga sedikit, dan pusat, ialah Semarang, belum lagi teguh. Mujur, karena dengan perhatian Nasional, bisalah kelak diwujudkan program meliputi seluruh Indonesia dan mengharapkan bantuan seluruh rakyat. Dengan perhatian dan bantuan Rakyat jelata, seluruhnya atau sebagian besar, dapatlah kelak diharapkan sekolahan menengah akan mendapat iklim yang baik dan tanah yang subur. Setelah tamat sekolah pertanian, murid akan bisa memimpin koperasi rakyat di desa-desa. Tamat sekolah tukang para murid akan bisa menyelenggarakan koperasi pertukangan. Murid keluaran sekolah dagang akan bisa menyusun dan memimpin berbagai macam koperasi. Demikianlah kalau sekolah dapat kerja sama dengan Serikat Sekerja dan kumpulan politik, maka pergerakan kemerdekaan akan mendapatkan tenaga yang terdidik dalam segala lapangan. Kader yang benar-benar tergembleng.
Bandung sudah tak bisa ditahan lagi. Rumah sekolah yang bagus dengan kebun dan  tempat permainan murid yang luas, sudah disediakan oleh seorang dermawan, anggota Sarikat Islam. Semua  tenaga perguruan yang ada terpaksa dikerahkan buat mendirikan sekolah rakyat yang kedua, dengan murid antara 200 dengan 300 di Bandung.
Saya sendiri tiada bisa menyaksikan kemajuannya. Sepeninggal saya dibuang, maka menurut laporan yang saya terima, sekolah Rakyat tumbuh sebagai jamur di musim hujan. (Dengan bertukarnya Sarikat Islam Semarang menjadi Sarikat Rakyat, maka nama sekolahpun bertukar). Kemana saja murid Semarang mengunjungi rapat Rakyat, disana segera didirikan sekolah model Semarang. Para murid dengan celana merah dan lagu Internasionalnya adalah laksana ahli suling kota Harmelin, di dalam dongeng, yang menarik segala hewan mengikuti sulingnya, kemana saja ia pergi. Memangnya ada pula murid yang tinggal di Surabaya mengikuti temannya sampai di Semarang dengan tak meminta izin kepada orang tuanya lebih dahulu.
Sebagai sepongang (kumandan) gerakan perguruan kami di masa itu, dalam ENCYCLOPAEDIE VAN NED.OOST-INDIE VI SUPLEMENT, muka 534 kita bisa membaca yang terjemahan sbb:
Dimana-mana berdiri Sekolah Rakyat menurut model Tan Malaka; diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern. Di mana mungkin bisa dibikin kursus kilat untuk membentuk propagandis yang aktif, yang sebagai warga-rumekso akan menjadi Kader organisasi, mula-mula dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau rapat tertutup yang terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan partikular bumi putera ternyata tak berdaya buat memberantas propaganda perguruan yang semacam itu. (Lihatlah pemberi tahuan pemerintah tentang beberapa perkara kepentingan umum, April 1924)
Baru ini, sambil memperingati perayaan 1 Mei 1947, saudara Alimin yang sudah menyaksikan perguruan revolusioner di mana-mana negara di dunia ini, dalam satu interpiu, memerlukan juga memperingati dan mengucapkan penghargaannya atas sekolah Rakyat di masa lampau itu.
Saya ingat akan percakapan dengan almarhum saudara Haji Busro, seorang terkemuka dalam gerakan Sarikat Islam Semarang dan penyokong lahir batin gerakan perguruan. “Saudara”, katanya kepada saya, saudara jangan bicara-bicara dulu di rapat umum. Biarlah orang lain saja dulu. Baiklah saudara tumpahkan semua tenaga kepada pendidikan saja. Nanti sesudah tiga empat tahun tentu sudah cukup pengganti, kalau saudara mencampuri gerakan politik, dan kalau dibuang-buang” – Seperti kebiasaan dari saudara Haji Busro ini tiap-tiap kalimat itu disudahi dengan yang “istimewa” Busro: “yo rak?”
Ini berlaku pada permulaan perguruan itu. memang itu suatu nasehat yang bijaksana. Tetapi karena memang kekurangan tenaga di semua lapangan maka saya terpaksa juga terjun ke Surabaya, mengunjungi rapat Serikat Islam disana. Suasana politik masih berada dalam pertentangan Serikat Islam melawan “ke-Semarangan” (Islamisme melawan Komunisme), berhubung dengan perpecahan. Tetapi sesudah beberapa waktu saya berada di tengah-tengah teman seperjuangan, saya mendapat kesan bahwa isinya pertengkaran tiada banyak mengandung persoalan ekonomi politik yang tegas nyata, yang kongkrit, dan caranya pertengkaran itu cuma membangunkan nafsu membenci saja. Akibatnya tentulah melumpuhkan kedua belah pihaknya. Sebelum saya mendapat kesempatan buat bicara di Surabaya, oleh Ketua sudah diperingatkan, supaya jangan membikin propaganda tentang komunisme. Walaupun saya cuma memperingatkan persekutuan Turki dengan Sovyet Rusia dimasa itu buat menentang imperialisme, tetapi saya sudah dapat teguran lagi dari ketua. Cuma rapat rupanya benar tak merasa keberatan kalau saya meneruskan pidato yang berhubungan dengan pentingnya persatuan kaum Komunis dan Islam Indonesia menghadapi lawan bersama. Saya sendiri hanya dikasih waktu 5 menit, tetapi dengan hadiah 5 menit dari saudara Semaun, dan 5 menit lagi dari saudara PKI lain, dapat juga terperas pembicaraan selama 15 menit.
Kunjungan ke Surabaya amat memuaskan. Beberapa pemimpin Islam berkenan nanti akan mengunjungi Kongres  PKI di Semarang, dimana akan kita rundingkan lagi perkara kerja bersama kaum Semarangan dengan Serikat Islam.
Di sini saya sudah menginjak tanah lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali. Pada satu hari, tak ada pendahuluan ini dan itu, tiba-tiba saudara Semaun berkata kepada saya: “Saya harap besok Minggu saudara pergi ke Cepu. Baru ini saya kembali dari sana mendirikan: “Serikat Buruh Pelikan (tambang) Indonesia”. Sudah saya usulkan dan sudah pula usul itu diterima, yakni saudaralah yang menjadi wakil ketua”.
Ini langkah pertama memasuki Serikat Sekerja. Memang disegala lapangan kekurangan tenaga, yang oleh saudara Busro pun tak dapat disangkalnya. Sesudah berbisik-bisik disekitar saja, maka tiba-tiba dengan diam-diam rahasia, saudara Darsono berangkat ke “Moskow. Tak lama sesudah itu, sehabis berbisik-bisik di antara kita pula, saudara Semaun pun, berangkat menyusul ke....Moskow. Tenaga yang sudah kurang itu makin terasa lebih kurang lagi!
Dalam keadaan kekurangan tenaga dalam segala lapangan itu, maka reserve calonpun harus dikerahkan! Tiadalah mengherankan kalau pada Kongres PKI sekonyong-konyong saya di “bombardeer” menjadi pemborong semua pembicaraan. Yang sangat mengherankan saya sendiri, sehabisnya rapat umum dalam rapat anggota tertutup saya “dibombardeer” lagi menjadi ketua PKI. Saya memajukan keberatan, tetapi saya tak berdaya berhadapan dengan suara bulat dan disiplin.
Sekarang saya tidak saja berada di lapangan politik yang lincir, tetapi malah sudah dilapangan politik yang lincir di tepi jurang.
Yang sekarang masih saya ingat pidato saya yang terpenting dalam kongres PKI tadi, adalah uraian tentang akibatnya perpecahan awak sama awak, antara kaum Komunis dengan kaum Islam, berhubung dengan politiknya “pecah dan adu” imperialisme Belanda. Perpecahan kita di zaman lampau, yang diperkudakan oleh politik “devide et Impera” itu sudah menarik kita ke lembah penjajahan. Keadaan kita sekarang, sebagai bangsa yang terjajah ini berdasarkan perpecahan Raja dan Rakyat disamping perpecahan Raja dan Raja. Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, maka kita memberi kesempatan penuh kepada musuh yang mengintai-intai dan memakai permusuhan kita sama kita itu untuk melumpuhkan gerakan Indonesia. Marilah kita majukan persamaan, dan laksanakan persamaan itu persoalan politik dan ekonomi yang kongkrit nyata terasa. Demikianlah sari pidato saya.
Penerimaan baik dari anggota Serikat Islam dan PKI sendiri lebih dari yang saya harapkan. Tetapi malangnya, saudara Abdul Muis, wakil dari Sentral Serikat Islam datang terlambat dan sepatah katapun tak mendengar pidato saya. Haji Agus Salim yang dulu berjanji akan datang, tak hadir pula. Saudara Abdul Muis memulai pidatonya dengan mengupas luka yang lama-lama. Sebentar saja suasana ingin bersatu yang semula bertukar menjadi suasana yang keruh kembali.
Buat menjawab pidato saudara Abdul Muis, tampil 3 orang wakil Semarang berturut-turut dari Sarikat Islam Semarang dan PKI. Suasana meningkat seperti yang sudah-sudah di Yogya dan lain-lain tempat. Pada saat inilah sebagai wasit yang bijaksana, yang walaupun masuk golongan Serikat Islam juga, tampil ke muka Kiai Hadikusumo.
Wajah dan suara saudara Kiai Hadikusumo segera menentramkan suasana yang keruh itu. Saudar Kiai menyetujui sangat persatuan yang dianjurkan tadi, dan menganggap sesat orang Islam yang tiada menyetujui persatuan menghadapi musuh bersama itu. Saudara Kiai menyetujui pula kalau dibelakang hari akan diadakan rapat lagi yang dihadiri oleh kedua belah pihak, buat melaksanakan persatuan itu. (Rapat itu dibelakang hari betul diadakan. Tetapi waktu itu saya sudah tak berada di Indonesia lagi. Pada Kongres C.S.I di Madiun Pebruari 1923, partai disiplin yang wujudnya mengeluarkan orang-orang komunis dari Serikat Islam, terus dijalankan. Memang susahlah menghilangkan sentimen dan mendapatkan persamaan berbentuk satu program yang tegas nyata, dalam bangun organisasi bagaimanapun juga.
Selang beberapa hari setelah Kongrres PKI di Semarang, Revolusionarie Vackcentrale, yang mengikat VSTP, Buruh pegadaian. Pada kami diminta  bantuan. Sewajarnyalah bantuan ini diberikan dengan ikhlas dan sepenuhnya. Sebagai pemimpin maka pada bulan Januari tahun 1922 timbullah pemogokan buruh buhan (??) dan minyak, maka kami berjanji, apabila pemerintah sebagai majikan tiada menerima kembali kaum pemogok, buruh yang terikat Vakcentrale tadi akan dikerahkan mogok memberi bantuan.
Saya sendiri sebagai wakil  Vakcentrale itu, mengunjungi rapat kaum pemogok di Yogyakarta, dan menyampaikan pesannya kaum buruh yang dibawah pimpinan kami. Dalam rapat yang dikunjungi oleh berjenis-jenis kaum buruh di kota Semarang, dimana juga saya berbicara, terasa benarlah hangatnya suasana. Dimana-mana kaum buruh kereta apipun merundingkan nasibnya sendiri, sambil memberi bantuan kepada teman senasib kaum pegadaian yang sedang membela kepentingannya.
Memangnya buat saya sendiri cuaca adalah gelap gulita, yang tergambar pula pada wajah saudara Haji Busro. Para teman seperjuangan sudah berbisik-bisik akan kemungkinan yang boleh jadi akan menimpa diri saya. Resisir Inlander yang tiada pernah meninggalkan samping saya selama berada di Semarang ditambah banyak orangnya dan ditambah rapi penjagaannya. Tetapi semua kemungkinan memang sudah saya pertimbangkan lebih dahulu, sebelum saya berangkat ke Semarang. Begitupun semua macam akibat sudah saya pertanggung jawabkan. Semua kemungkinan itu saya sandarkan kepada logika dan konsekwensi paham, perkataan dan perbuatan saya.  Tak sekejappun saya merasa menyimpang dari kebenaran dan kejujuran. Dalam hal ihwal demikian maka semboyan saya cuma terbenam atau terapung. Seperti kata pepatah: “Untung sabut terapung, untung batu terbenam.”
Sekarang sedikit sebagai iseng-iseng, perlancongan pikiran!
Dalam perantauan selama itu, sayapun banyak menjumpai peristiwa mengherankan, karena terjadinya di luar persangkaan dan perhitungan. Baik juga peristiwa itu saya sebutkan, supaya orang jangan mengira, bahwa hidup saya tak berdasarkan cukup pengalaman.
Tak sedikit orang yang percaya, bahwa barang siapa yang mengunjungi Borobodur, maka orang itu akan tertimpa kemalangan, umpamanya bisa terpaksa meninggalkan pulau Jawa ini. Memangnya, ketika saya dari logis berangkat kembali ke Semarang, saya singgah ke candi yang mashur ini. begitu pula tahun yang lalu, sebelum saya ditangkap di Madiun. Saya juga mampir di Borobudur.
Terserah kepada para ahli tahyul buat memperhubungkan ke Borobudur itu dengan pembuangan saya pada bulan Maret 1922 dan penangkapan di Madiun pada bulan Maret 1946.
Memang Indonesia penuh dengan kejadian yang berupa ajaib. Tetapi kepada ahli akal saya majukan pula keadaan perjuangan saya di kedua waktu tersebut.




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar