SEMESTA
TAN MALAKA
RUDOLF MRAZEK
Tan
Malaka
A
Political Personality’s Structure of Experience
Karya
Rudolf Mrazek
Penerjemah:
Endi Haryono dan Bhanu Setyanto
Penyunting:
Perry Umar Farouk
Cetakan
Pertama, Desember 1994
Diterbitkan
oleh BIGRAF Publishing
Dari Penerbit
Buku “Semesta Tan Malaka” ini, sebagai terjemahan karya Rudolf Mrazek* “Tan Malaka A Political Personality’s Strukture of Experience”,
mencoba menjelaskan sisi khusus seorang tokoh politik Indonesia di jaman
perjuangan sampai paruh pertama dekade awal kemerdekaan. Tokoh tersebut bernama
Tan Malaka, seorang pemikir serius yang memiliki gagasan-gagasan radikal,
sekaligus aktivis politik yang revolusioner.
Rudolf Mrazek cukup jeli menampilkan sosok Tan Malaka dengan merunut
pemahaman tentang struktur dasar yang membentuk sikap pribadi Sang Tokoh.
Struktur dasar yang melahirkan sosok pribadi yang kokoh serta berani mengarungi
sebuah pergulatan panjang, yang bukan semata dalam arti fisik, namun juga
sebuah pergulatan antara intelektualitas dan lingkungan yang melingkupinya.
Kejeliannya dalam merangkai “hal-hal kecil” inilah yang menjadikan penulis buku
ini berhasil mendapatkan pemahaman mengenai struktur pengalaman tokoh politik
Tan Malaka: Bagaimana ia memandang dunia; Bagaimana konflik batinnya yang
menggelora ketika kecintaannya pada Alam (Minangkabau) harus berhadapan dengan
faktisitas-faktisitas nasionalisme Indonesia yang aktual menjadi mainstream pergerakan kemerdekaan dan
transformasi sosial saat itu, sedangkan pada saat yang sama ia telah memikirkan
tentang “letak berdiri” dari sebuah negara baru yang ia cita-citakan di tengah
aruh mondial Barat.
Dengan menggunakan teori Hegel, Tan Malaka berhasil merumuskan
sebuah format dialektis. Yakni Indonesia Asli sebagai tesis, Hindu-Belanda
sebagai antitesis dan Indonesia merdeka dan sosialis sebagai sintesis. Raison
d’etre dari dialektika tersebut adalah masalah rasionalitas dan dinamisme
sejarah.
Inilah sebenarnya sebagai satu hal penting penerbitan buku ini yang
dapat diambil relevansinya untuk jaman kita. Disamping sedikit memperkenalkan
pelaku sejarah negeri ini, yang pada kenyataannya terpinggirkan oleh diskursus
kesejarahan resmi yang hegemonik, kerangka berpikir buku ini memperlihatkan
kepada kita rasionalitas historis Indonesia pra dan post-kolonial yang sudah
pasti ikut pula membentuk perkembangannya kemudian, sampai saat ini. Terdapat
sisi-sisi yang berbenturan untuk mendapatkan tempatnya dalam kerangka nation building keindonesiaan. Pertama,
sisi yang digambarkan mirip dengan gerak dan cita-cita Tan Malaka, sebagai
potensi dan dinamika yang idealis dan rasional. Kedua, sisi yang memanfaatkan
segi-segi pragmatis dan mistis, yang digambarkan mirip Soekarno dengan sikap
kooperatifnya terhadap pemerintahan kolonial Jepang serta irrasionalitas massa
yang memunculkan Soekarno dalam kancah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Penggambaran dua sisi tersebut, kemudian benturan-benturan sampai
“kemenangan” salah satu sisi di antaranya, menyiratkan bahwa faktor personal
tokoh-tokoh politik terikat erat dengan pengaruh faktor-faktor lain kontekstual
yang terlibat. Di antara faktor-faktor lain tersebut adalah yang bersangkutan
dengan massa; sebuah posisi yang selama ini selalu tersudut menjadi sekedar object, apalagi dalam wacana sejarah
Indonesia. Perspektif yang sengaja membantah keterlibatan faktor-faktor lain
tersebut dan secara ketat hanya mempertimbangkan faktor personal tokoh-tokoh
politik, akan mendapatkan refrensi yang potensial menyesatkan. Rudolf Mrazek
dengan tulisan sederhananya ini mampu memperbesar kepentingan akan hal
tersebut.
Semoga dengan penerbitan buku ini khalayak pembaca mendapat banyak
segi positif dan konstruktif demi memperkaya wawasan intersubyektifnya,
terkhusus menyangkut pengetahuan tentang sejarah tokoh-tokoh politik Indonesia.
Tentu saja dengan harapan dapat terpenuhinya penumbuh-kembangan sikap kritis
dan kearifan dalam memandang realitas. Semoga.
Wassalam
BIGRAF
Publishing
Pengantar *
1
Apakah seseorang itu pada dasarnya dapat melepaskan dirinya dari
endapan pengalaman masa lalunya? Ambil contoh kehidupan tokoh politik
revolusioner Tan Malaka. Apakah ia dapat melepaskan dirinya dari berbagai
endapan pengalaman masa lalunya pada saat menghadapi berbagai tantangan yang
datang ke hadapannya?
Tulisan Rudolf Mrazek berjudul: Tan Malaka A Political Personality’s
Structure Of Experience, yang diterjemahkan dalam buku ini, sebenarnya mencoba
memahami pergulatan makna kehidupan Tan Malaka dalam konteks budaya
Minangkabau. Memahami hal ini pada konteks “rantau” dan “alam”, pada dasarnya
adalah memahami konflik sebagai sarana penting bagi terciptanya sebuah
integritas masyrakat pendukung kebudayaan bersangkutan. Itu artinya sebagai
anak manusia seseorang sejak dilahirkan ke dunia telah terjerat ke dalam sebuah
jaring-jaring kebudayaan yang entah bagaimana secara bergenerasi mengalami
proses yang dialektis, bersikap menerima, bersedia menumbuhkembangkan dan
menolak untuk digantikan dengan yang lainnya bagi kehidupannya.
Di dalam buku ini “rantau” sebagai sebuah konsep adalah sebuah upaya
yang baik untuk dikenakan pada “alam” agar adat dapat dipertahankan berbagai
bentuknya, serta secara bertahap diperluas cakupan isinya. Pada konteks seperti
ini, peran seorang individu dalam budaya Minangkabau adalah sebagai seorang
“guru” untuk mengambil sesuatu dari “rantau” bagi kepentingan “alam”
Minangkabau. Minangkabau dengan demikian, sebagai “alam” dan “rantau” sebagai
dunia luarnya merupakan sebuah garis lurus yang sejajar dan paralel. Pada
konteks ini Tan Malaka diperbincangkan sebagai salah seorang tokoh politik yang
revolusioner beserta struktur pengalamannya. Dalam kalimat lain berarti
membedah kehidupan Tan Malaka yang kaya pengalaman serta kuat kepribadiannya
melalui sejumlah karyanya dalam konteks pemikiran politik Indonesia modern.
Pembedahan ini dilakukan melalui pendekatan antropologi dalam sebuah studi
politik dan tentu saja memperlihatkan sebuah alur pemikiran yang bermula dari
tradisi menuju modern.
Penulis buku ini menyadari
bahwa sebagai upaya menyingkap sebuah tingkah laku politik pribadi Tan Malaka,
merupakan sebuah kerangka modernitas memahami pemikiran salah seorang politisi
nasionalis Indonesia. Hal itu dapat digambarkan melalui uraian “rantau”nya,
baik yang pertama maupun yang kedua.
Melalui penggambaran kisah Tan Malaka pada “rantau” pertama, yakni
tahun 1908-1919 dan penggambaran kisah pada “rantau” kedua, yakni tahun
1922-1942, penulis buku ini mempertanyakan manakah yang dapat dianggap sebagai
puncak “rantau” bagi Tan Malaka? Jawabnya tegas. Yakni pada awal tahun 1930-an,
saat Tan Malaka berdiam di pelosok desa Fukian, Cina Selatan? Mengapa? Karena
pada masa itu Tan Malaka benar-benar merupakan “pejuang yang kesepian” serta
terisolasi total secara politik.
2
“Pejuang yang kesepian” adalah sebuah sebutan untuk memperlihatkan
betapa kesepiannya itu berlangsung lama. Sebuah kesepian yang bermuara pada
konsepsi “rantau” yang ingin diterjemahkan kepada konsepsi “alam”. Pada masa
inilah proses kreativitasnya mengalami pergulatan makna. Bagaimana proses
pemikirannya itu dari lokal menjadi nasional bahkan internasional, atau
sebaliknya, justru memperlihatkan sebagai sebuah kajian yang menarik. Hal ini
karena terlihat dinamika pemikirannya justru saling meniadakan antara “rantau”
dan “alam” dalam pemahaman modern.
Pada satu fase tertentu, mengapa proses pemikiran ketika bergerak
dari lokal ke nasional penilaian terhadapnya akan selalu baik, akan tetapi
apabila gerak internasional datang menghampiri batas-batas identitas nasional
justru akan selalu dianggap sebagai sebuah ancaman? Simaklah juga apa yang
dihasilkan pada masa “rantau” kedua Tan Malaka itu, yang justru tidak dilihat
oleh penulis sebagai nilai yang berharga – oleh karena justru pada tahun 1924,
jauh dari Tanah airnya, di Bangkok, Tan Malaka bersama dua temannya, Subakat
dan Djamaludin Tamin, mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Memang
partai ini dilarang masuk ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda, akan
tetapi melalui jaringan “bawah tanah” pengikut PARI muncul di Sumatra. Mengapa?
Tak ada jawaban pasti, kecuali melihat pada sebuah realitas dirovernya Tan Malaka oleh Komintern
dari segala fungsinya.
Simaklah karya Tan Malaka berjudul “Naar de Republik Indonesia”
(Menuju Republik Indonesia) dan “Madilog” (Materialisme-Dialektika-Logika)
–yang keduanya ditulis pada masa “rantau” kedua, dilihat sebagai teks,
mempersoalkan suatu kekuatan sejarah besar “kritisisme” manusia Indonesia yang
masih harus dikembangkan untuk mempengaruhi dunia pada saat berbagai kondisi
eksternal masyarakat Indonesia sedang terpengaruh perkembangan kapitalisme
dunia. Oleh karenanya menurut Tan Malaka, motor penggerak sejarah adalah
pikiran rasional -- akal lebih utama daripada perjuangan klas. Sejarah harus
baik, berjalan dengan baik dengan tujuan penyempurnaan masyrakat. Harapan Tan
Malaka ini jelas menggambarkan harapannya sebagai orang Minangkabau atau
sebagai seorang revolusioner. Sebuah pernyataan yang tidak menolak realitas
kesejarahan.
Akan tetapi dari apa yang diharapkannya itu sebenarnya Tan Malaka
terlampau menekankan sebuah realitas yang sangat spesifik. Dan pada kenyataan
yang sebenarnya justru menggambarkan provinsialisme intelektual, yang justru
akan menumpulkan sebuah analisis terhadap sejumlah karya Tan Malaka sendiri.
Inilah dilema “membaca”, pada gilirannya berbagai teks dari tingkah laku Tan
Malaka saat membicarakan Indonesia asli, Periode Kegelapan dan Federasi Asia.
Kesemuanya terakumulasi pada “alam” saat Tan Malaka kembali dalam kehidupan
politik Indonesia. Antara konsep dan realitas justru tidak menuju pada sebuah
titik temu karena jalannya sejarah Indonesia ditentukan oleh cara berpikir yang
juga ditentukan oleh tiga faktor penting di kancah politik Indonesia. Yakni:
tentara Jepang, Sukarno dan pemuda.
Penekanan yang dilakukan oleh golongan pemuda terhadap golongan tua
untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan dianggap Tan Malaka sebagai revolusi,
sehingga ia masuk sebagai pemain dalam
percaturan kehidupan politik Indonesia. Apa makna kesemua ini? Batas-batas antara
“rantau” dan “alam” telah dihancurkannya sendiri saat dirinya berpihak pada
para pemuda. Dalam konteks ini, terhadap pribadi Tan Malaka terbaurlah apa yang
disebut sebagai “peristiwa sebagaimana ia terjadi sesungguhnya” dengan
“peristiwa sebagaimana ia dimengerti”. Memang benar “rantau” telah mengangkat
diri Tan Malaka melebihi realitas perjuangan politik Indonesia, meski saat
benar-benar ingin masuk realitas itu justru kekuatan pada diri Tan Malaka juga
menghilang.
Anehnya, justru tingkah laku politik Tan Malaka lebih merupakan
“peristiwa sebagaimana ia dimengerti”, ia justru terlempar dari kehidupan
percaturan politik Indonesia. Rudolf Mrazek memang telah melakukan sebuah
pemahaman perilaku serta pemikiran politik Tan Malaka sebagaimana yang telah
dikatakan di bawah label struktur pengalaman – masalahnya, perkiraan ataupun
anggapan, tetap relevan dengan masalah yang dihadapi bahwa suatu kejadian dapat
juga dengan begitu saja menjadi sebuah peristiwa historis.
3
Di dalam diri Tan Malaka, “rantau” dan “alam” saling berlomba dan
pada saatnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa “rantau” tertelan oleh “alam”.
Mengapa hal itu terjadi?
Tampaknya dalam semangat revolusi atau dinamika sebuah revolusi,
“alam” yang terkembang bagi Indonesia merupakan keberagaman – tidak tunggal,
sebagaimana diyakini Tan Malaka sendiri. Pada dataran pemikiran semacam ini,
ada benarnya pernyataan penulis buku ini bahwa pribadi politik yang muncul
bukanlah “sesuatu yang dibuat”, tetapi menggambarkan sebuah jati diri sebagai
resultante dari pergulatan makna sebagai manusia.
Akhirnya sebagaimana terlihat pada konteks di atas, keharusan
memperluas imajinasi adalah merupakan sebuah upaya yang akan dapat bermakna
luas. Bukankah imajinasi kesejarahan itu pada dasarnya adalah kemungkinan juga
memasuki kelampauan untuk dimengerti dan memunculkannya lagi?
Itu berarti bahwa untuk melihat berbagai teks dari pribadi Tan
Malaka, yang diperlukan adalah sebuah pemahaman. Imajinasi historis harus dapat
membuka berbagai prinsip penyeleksian atas fakta. Akibatnya pemahaman (verstehen) akan lebih dapat diharapkan
untuk memberikan pandangan tentang hidup serta seleksi itu sendiri. Jadi
pemahaman adalah sebuah kemampuan untuk memasuki “alam” pikiran aktor sejarah
di kelampauan itu dalam buku ini, Rudolf Mrazek telah melakukannya terhadap
diri seorang pejuang revolusioner yang selalu kesepian: Tan Malaka!
Tulisan Rudolf Mrazek dalam buku ini menjadi penting dibaca karena
tidak menjanjikan sebuah sebuah pemahaman yang harus terjadi, serta harus
dilakukan, sebagaimana pada studi politik yang bernarasi besar. Melalui
kerincian fakta-fakta yang ditemukannya, dibangun sebuah pemahaman ideologi
dari seorang aktor sejarah. Tan Malaka telah tiada akan tetapi semua buah
karyanya menarik dijadikan kajian dalam kerangka interpretasi teks politik;
sebuah idiom budaya dalam lingkup budaya politik Indonesia.
Yogyakarta, Oktober 1994
Ryadi Gunawan
Kepustakaan:
Tan Malaka,
Madilog, Widjaya, Djakarta, 1951.
__________, Naar
De Republik Indonesia, diterbitkan Yayasan Murba, Cetakan
Kedua.
__________,
Situasi Politik Luar dan Dalam Negeri
(Pidato dalam Kongres
Persatuan Perdjuangan), karya tahun
1946.
Wilhem Dilthey,
Pattern and Meaning in History:
Thoughts
on History and Society,
Harper
Torchbook, New York, 1962.
Jonathan Arac,
ed., Postmodernism and Politics,
Manchester University Press,
Manchester, 1986.
E. Laclau and C.
Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical
Democratic Politics, Verso, London,
1985.
David Harvey, The
Coalition of Postmodernity, Blackwell, London, 1989.
Isi Buku
------------------------
Dari Penerbit
Pengantar
Isi Buku
Prakata
Pendahuluan
Tan Malaka
Memandang Kehidupannya Dalam Konteks Rantau
Oleh-oleh dari Rantau:
Pandangan Tan Malaka Tentang Dunia
Konsep dan
Realitas: Kembalinya Tan Malaka Dalam Kehidupan Politik Indonesia
Penutup
Prakata
Penulis berterimakasih kepada Ruth McVey atas kritik dan komentarnya
yang sangat berharga atas tulisan ini. Sementara itu kesalahan interpretasi
fakta tentu saja menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Tulisan ini secara keseluruhan bersifat coba-coba dan terbuka untuk
diperdebatkan. Karena penulis berharap menuliskan studi yang lebih mendalam
tentang Tan Malaka di kemudian hari, kritik dan materi pelengkap yang
disampaikan pembaca akan sangat berarti. Posisi yang dijalani penulis mungkin
sedikit ganjil. Yakni menuliskan karya otobiografi tokoh asing dalam bahasa
asing pula. Dalam sebuah artikel yang melibatkan emosi, perasaan, perspektif
dan pemikiran mendalam, nuansa-nuansa bahasa-- seringkali struktur bahasa yang
digunakan-- akan sangat mempengaruhi bentuk dan substansi tulisan. Oleh
karenanya penulis mengharap pengertian dan maaf pembaca atas ketidaktepatan
yang tak beralasan dan atas kekaburan yang tak berhati-hati.
Pendahuluan
Pandangan umum kolonial yang menyatakan bahwa pemikiran politik
Indonesia modern adalah suatu aliran ideologi yang tidak berakar pada tradisi
budaya asli kepulauan Indonesia, tetapi lebih merupakan elemen yang tumbuh
karena pengaruh Barat dewasa ini mulai kehilangan dukungan. Kesinambungan
“tradisional” dan “modern” -- pentingnya tradisi sebagai pendorong pembangunan
politik modern-- mulai mendapat pengakuan. Kendati demikian masih terdapat
bahaya permanen dalam studi tentang Indonesia yang tak terelakkan lagi terlalu
menyoroti sedemikian banyak sikap “feodal” pada masyrakat pedesaan dan
sedemikian banyak pengaruh “Barat” pada kalangan elit politik, sehingga
disiplin-disiplin seperti ilmu politik dan antropologi, bila satu sama lain
dipisahkan, akan secara berulang menciptakan sebuah gambaran keliru tentang
kebudayaan yang “tradisional” dan politik yang “modern”. [1]
Bagaimanapun hubungan timbal-balik yang terus menerus antara tradisi
dan modernitas bisa diperjelas jika seseorang menitikberatkan pada topik yang
terutama ditelantarkan oleh ilmu politik karena “terlalu antropologis” dan oleh
antropologi karena “terlalu politis”. Topik semacam ini selanjutnya hendak saya
sebut struktur pengalaman tokoh politik.
Struktur pengalaman yang dimaksudkan di sini serupa dengan defenisi
“kebudayaan” yang dirumuskan oleh Clifford Geertzs. Yakni kebudayaan sebagai
“akumulasi totalitas” dari pola-pola budaya, kumpulkan simbol-simbol bermakna
yang teratur yang memungkinkan seseorang memahami peristiwa-peristiwa yang
dialami dalam kehidupannya sebagai “struktur konseptual yang dimasukkan dalam
bentuk-bentuk simbolis untuk memahami seseorang”. [2]
Tokoh politik ditentukan oleh cara seorang tokoh membentuk konsepsi
dan menjalani konflik antara pribadi, pandangan individu, sikap mementingkan
diri sendiri, bayangan pribadi tentang dunia yang tersimpan pada satu sisi dan
pada sisi lain homogenisasi politik, standarisasi kemauan umum, bayangan
pribadi tentang dunia yang dinyatakan, semangat yang tumbuh karena permainan
lembaga-lembaga politik. [3]
Seorang tokoh biasa harus berjuang agar tidak kehilangan dirinya,
kemanusiaannya, di bawah tekanan politik (apakah berbentuk ketakutan politik,
ketidakpedulian yang mendarahdaging atau arogansi kekuasaan). Bagaimanapun
lingkungan yang dipersepsi dan dipahami oleh tokoh politik secara keseluruhan
merupakan dunia politik. Hampir tak terdapat kemungkinan bagi seorang tokoh
politik untuk mundur meski untuk sementara waktu atau untuk hal-hal tertentu
dari ajang pertarungan antara pribadi dan umum; bayangan pribadi tentang dunia
yang tersimpan dan yang dinyatakan hampir tak bisa dipisahkan dalam kesadaran
pribadi tokoh semacam itu.[4]
Tokoh politik memahami dirinya sendiri dan umum, segala sesuatu mengenai
manusia dan kelembagaan politik ataupun juga hubungan antara keduanya di dalam
sebuah sistem konseptual dan menurut nilai-nilai kultural yang sama.
Analisis tokoh semacam ini mungkin hanya mendapatkan tempat
pinggiran dalam ilmu politik dan antropologi. Barang kali dalam banyak hal
berada di pinggiran disiplin ilmu secara umum: bagaimana mungkin para ilmuwan
akan menyetujui Norman Mailer bahwa “perjalanan sejati ilmu pengetahuan adalah
dari dasar hati seseorang ke dasar hati orang lain...?[5]
Tentu saja ini mengandung ancaman serius bagi tumbuhnya ketidakmakmuran metodologi.
Di sisi lain, saya harap, pendekatan semacam ini akan memudahkan penggunaan
perangkat antropologi di kalangan studi politik – dan dalam contoh terbaru,
dalam upaya menyingkap perspektif-perspektif “modernitas” elit nasionalis
Indonesia.
Untuk melakukan uji coba dengan pendekatan ini pilihan saya jatuh
pada tokoh revolusioner Minangkabau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka
(1897-1949)[6]
dan struktur pengalamannya. Tan Malaka memahami dirinya sendiri, kehidupan
pribadinya, masalah-masalah kemanusiaan yang terdalam, sebagai sesuatu yang
hanya ada pada realitas politik, bukan sesuatu yang bebas atau ada di luarnya.
Pada waktu yang bersamaan ia tak melepaskan jati dirinya –ia melihat konsep
keberadaan jati diri sebagai nilai penting (mungkin yang terpenting) dari
struktur pengalamannya. Hidup Tan Malaka panjang dan kaya pengalaman. Ia
berkepribadian kuat dan cukup mampu menyelami pengalaman hidup serta memahami
konflik antara tradisi lokal tanah kelahirannya[7]
dan tuntutan-tuntutan nasionalisme modern Indonesia secara mendalam.
Memasuki akhir abad XIX masyarakat Minangkabau mulai berpikir
mengenai ciri-ciri utama kemasyarakatan mereka sebagai sesuatu yang dinamis dan
antiparokhialisme, yang pada kenyataannya apakah ciri-ciri tersebut merupakan
inti tradisi masyarakat Minangkabau sebelum kolonialisme atau apakah masyarakat
Minangkabau tanpa sadar telah mengadopsi pandangan umum masyarakat Belanda
tentang lingkungannya, yang diambil dari reaksi masyarakat Belanda tentang
lingkungannya, yang diambil dari reaksi masyarakat Minangkabau terhadap
kekuasaan kolonial. Menurut perspektif ini, yang tetap populer hingga kini,
adat tradisional Minangkabau[8]
dan falsafah tradisional Minangkabau pada umumnya, memandang konflik sebagai
sarana penting untuk mencapai integrasi masyarakat. Masyarakat Minangkabau
sendiri –Alam Minangkabau—selalu bertalian dengan gagasan “dialektika”
tentang harmoni dari beragam
kontradiksi. Sebagaimana bisa dilihat dalam tambo (cerita tentang sejarah
tradisional Minangkabau), “melalui pencarian yang terus-menerus potensi alam
berkembang dan elemen-elemen asing diserap”.[9]
Dalam pandangan seperti ini, pemikiran masyarakat Minangkabau tentang dinamisme
dan antiparokhialisme bukan merupakan jawaban sederhana terhadap kondisi
tertentu yang tak terelakkan, tetapi suatu yang penting pada adat sendiri.
Kemampuan adat bertahan tergantung pada kemampuannya mempertahankan bentuk
sambil secara bertahap meluaskan cakupan isinya. [10]
Manifestasi tertinggi
penyerapan elemen-elemen dari luar terdapat pada simbol budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.
Pergi ke rantau (ke luar Alam Minangkabau), yang dinamakan merantau menurut
falsafah adat Minangkabau merupakan suatu cara untuk melengkapi prinsip hidup
yang mengharuskan tiap individu “menyelami” dunia luas. [11]
Pada waktu yang sama prinsip ini merupakan suatu cara yang memungkinkan para
pemuda Minangkabau belajar tentang kedudukan mereka di Alam. Konsep ini
mengandung konsekuensi bahwa Alam adalah pewaris utama pengalaman di rantau,
bahwa seorang perantau[12]
harus kembali untuk memperkaya Alam, bahwa ia harus berperan “sebagai seorang
informan atau seorang guru untuk memungkinkan masyarakatnya mengambil yang baik
(dari rantau) dan mencampakkan yang buruk (dari Alam)”.[13]
Intelektual Minangkabau “modern” berpendidikan Barat di penghujung
abad ini menerima pandangan ini dengan senang hati dan menjadikan pemikiran
tradisi Minangkabau yang dinamis dan antiparokhialisme sebagai simbol-simbol
budaya terpenting perjuangan mencapai emansipasi.[14]
Hal-hal ini tampaknya menjamin Alam untuk menjalani perubahan dengan mulus
tanpa merubah sifat dasarnya. Transformasi drastis yang diakibatkan oleh
pengaruh Barat hanya berlangsung sesaat. Pandangan budaya semacam ini membantu
masyarakat Minangkabau, khususnya dalam menghadapi masalah internal mereka.
Namun sebaliknya memberi kejutan atas pengalaman modern berada di
sekolah-sekolah yang jauh seperti di Jawa, Timur Tengah atau Belanda; pandangan
itu membantu mereka melihat pengalaman bukan sebagai sesuatu yang merusakkan,
melainkan hanya sebagai manifestasi dari apa yang sangat mereka kenal –rantau
yang tradisional. [15]
Di tengah masyarakat Minangkabau yang seperti inilah Tan Malaka
dilahirkan. Ia meninggalkan tanah kelahiran pada usia enambelas tahun dan
karena alasan-alasan praktis ia tak pernah kembali untuk menetap.[16] Namun ia tak pernah kehilangan rasa
kepemilikan yang kuat terhadap tanah kelahirannya dan ia memandang semua yang
dilakukannya di rantau sebagai perjalanan pulang ke tanah kelahirannya. Setelah
kontak dengan kebudayaan Barat, yang akan dicoba ditelaah dalam tulisan ini,
Tan Malaka tak pernah melepaskan budaya Alam Minangkabau untuk memasuki budaya
Barat. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya
membuatnya memahami baik “dinamisme” Barat maupun “dinamisme” Alam Minangkabau
di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang tak terpisahkan. Oleh karena
itu dalam pandangan ini, tanah kelahiran Minangkabau (Alam) dan dunia di
luarnya (rantau) terkondisikan secara bersama-sama; Alam merupakan pusat,
jantung, sementara keberadaan rantau adalah untuk memperkaya Alam.
Tan Malaka
Memandang Kehidupannya
Dalam Konteks Rantau
Rantau Pertama (1908-1919)
Tan Malaka dilahirkan di lingkungan inti masyarakat Alam
Minangkabau, dari sebuah keluarga yang sangat berakar pada kebudayaan lokal dan
terkenal karena secara tradisional melahirkan para pejuang yang membela
keluhuran masyarakat Minangkabau.[17]
Antara usia duabelas dan enambelas tahun (1908-1913) ia matang di Kweekschool
(Sekolah Guru) Fort de Kock, yang terkenal sebagai pusat pergerakan intelektual
Minangkabau, dalam atmosfir yang didominasi oleh mereka yang berpandangan
dinamis terhadap tradisi Minangkabau.[18]
Tan Malaka dikirim ke sekolah ini berdasarkan keputusan rapat tetua nagarinya,
Nagari Pandan Gadang di Suliki. Dalam keputusan rapat dinyatakan secara jelas
suatu kepercayaan tradisional bahwa perantau muda ini akirnya akan kembali
untuk memperkaya Alam. Pengalaman di Fort de Kock tampaknya menanamkan konsep
rantau semakin dalam di benak Tan Malaka dan menjadikannya memandang
kehidupannya sendiri pada tahun-tahun selanjutnya dalam konteks ini.
Tahun 1913 Tan Malaka kembali dari Fort de Kock. Peristiwa ini oleh
masyarakatnya dipandang sebagai kepulangan dari rantau. Kemunculannya di Alam
ditandai dengan upacara penganugerahan suatu gelar adat yang tinggi kepadanya
yang menunjukkan statusnya yang baru dalam struktur tradisional nagari. [19]
Meskipun menerima gelar tersebut, Tan Malaka sendiri melihat perjalanan
rantaunya yang baru berakhir hanya sebagai suatu permulaan. Tak berapa lama
kemudian ia berhasil mendapatkan uang dari dana pengiriman pemuda Minangkabau
untuk belajar ke luar negeri dan bertolak ke Rotterdam pada tahun yang sama.
Tujuan jangka pendeknya adalah mendapatkan diploma untuk menjadi guru Bahasa
Belanda.[20]
Ia menetap di Belanda selama enam tahun dan Alam Minangkabau
tampaknya jauh dari pikirannya. Pada masa-masa ini ayahnya menyatakan tetap
berkomunikasi dengan Tan Malaka secara mistis (tarekat), yang barangkali pada
saat yang sama Tan Malaka sedang bermain sepakbola, memainkan biola atau dram,
membaca buku-buku dan koran-koran sosialis atau nasionalis. Atau sedang
bersenang-senang ala Barat yang berbeda dengan cara Minangkabau.[21]
Bagaimanapun di benaknya yang lebih dalam, kualitas-kualitas khas perantau
Minangkabau menjadi matang. Bersamaan dengan sifat ke Baratannya tumbuhlah
perasaan anti-Belanda dalam dirinya; sehingga sebagai konsekuensinya ia tak
akan terpengaruh pemikiran Barat sepanjang hal itu bisa membahayakan
keseimbangan Alam rantau dalam benaknya.
Pada tahun-tahun masa tinggalnya di Belanda ia terserang penyakit
TBC dan menjadi semakin parah dari hari ke hari. Di kemudian hari ia mencatat
bahwa penyakit ini telah menyadarkannya sejak awal mengenai makna kematian (physical exctinction)[22]
Kesulitan-kesulitan hebat yang ia alami selama menjalani pendidikan sekolah
guru, yang dilihatnya sebagai akibat diskriminasi kolonial sistem pendidikan
Belanda,[23]
memberikannya pengalaman tentang kesepian, frustasi dan keputus-asa-an.[24]
Seperti yang digambarkannya dalam otobiografinya, penyebab dari segala
penderitaannya adalah keberadaannya di luar negeri, jauh dari tanah
kelahirannya (penting sekali dicatat bahwa dalam pemikiran tradisional Minangkabau
pergi merantau memang berarti menjalani penderitaan).[25]
Bagaimanapun keterpisahan (isolation)
dari tanah kelahirannya (the motherland)
bukan merupakan perangkat yang paling berguna dalam menggambarkan pengalaman
Tan Malaka dengan Belanda. Pengalaman-pengalaman ini harus dilihat sebagai
penyerahan diri kepada dunia yang secara alami berada dalam konflik dengan apa
yang oleh intelektual modern Minangkabau dipandang sebagai nilai-nilai budaya
Alam. Memang dalam tradisi Minangkabau, tak mungkin terdapat manifestasi
konflik yang lebih drastis daripada “penyerahan diri ke rantau” yang juga
dialami oleh Tan Malaka. Meskipun demikian konflik yang termanifestasikan oleh
perantauannya di Belanda –seperti konflik di Minangkabau pada umumnya memiliki
suatu fungsi integratif dan kreatif yang besar. Rantau sebagai konflik atau
dalam perbendaharaan Tan Malaka dinamakan sebagai “antitesis”, dalam
tulisan-tulisannya dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi pengertian
sejati tentang nilai-nilai Alam bagi reintegrasi pribadi dengan nilai-nilai
tersebut. Sintesis akan tumbuh kemudian
ketika pengetahuan yang terakumulasi di rantau mulai bercampur,
memperkaya dan mengubah Alam.
Tan Malaka melihat kematangan pandangan dunianya diukur oleh
“antitesis” rantaunya. Bahkan sakit yang dideritanya dilihatnya juga dalam
konteks pematangan ini. Karenanya ia menulis bahwa seperti masyarakat yang
krisis melahirkan revolusi, demikian pula badannya yang sakit melahirkan
pemikiran-pemikiran baru.[26]
Demikianlah dalam pandangannya, tepatnya himpitan fisik dan spiritual yang ia
alamilah yang merangsang munculnya sensitivitas tinggi dan pengertian yang
lebih mendalam, serta empati terhadap dunia yang dinamis.
Ketika tubuh menderita kerusakan fisik,
ketika semangat terpenjara tidak bisa keluar dan ke dalam, ketika pada akhirnya
semua jalan menuju perubahan dan perbaikan tertutup, pada saat itulah hati
terbuka, digerakkan oleh kekuatan konflik, kekuatan positif dan kekuatan
negatif. Gerakan tesis dan antitesis di dalam tubuhku merupakan pencerminan
tolak-menolak antara kedua kekuatan ini.[27]
Selanjutnya selama masa tinggalnya di Belanda tubuhnya yang
sakit-sakitan dan jiwanya yang selalu resah bercampur dengan apresiasi yang
dalam mengenai dinamisme, vitalitas dan kekuatan. “Macan” nama julukan yang
diberikan oleh kawan-kawannya, tampaknya mencerminkan sikap dan cara berpikir
Tan Malaka (yang bertolak belakang dengan keadaan hidupnya). Pada tahun-tahun
ini kekuatan (power) merupakan
kriteria yang ia gunakan untuk mengukur nilai segala hal. Ia mengembangkan
suatu penghinaan terhadap kebudayaan Belanda dengan merendahkannya di bawah
keunggulan budaya Jerman dan Amerika Serikat. Nietzsche, Junkertum,
Uebermensch, Jerman yang unggul dalam Perang Besar (the Great War) –semuanya itu merupakan idola-idola politik Tan
Malaka yang mula-mula. Sebagaimana yang dituliskannya dengan sentuhan ironis di
waktu kemudian, ia bahkan pernah mendaftar masuk tentara kerajaan imperialis
Jerman, namun tidak diterima karena Jerman tidak memiliki legiun asing. [28]
Aspek kekuatan dalam profesi kemiliteran tampaknya sangat berarti bagi Tan
Malaka pada waktu itu daripada konflik antara Jerman dan Belanda. Karenanya dia
juga mencatat bahwa ia pernah menginginkan diterima pada akademi militer
Belanda di Breda.[29]
Keinginannya untuk menjadi seorang tentara tentu sangat serius. Tiga puluh
tahun kemudian bacaan mengenai kemiliteran yang ia tekuni di Belanda untuk
keperluan tersebut memberikan dasar bagi bukunya yang terkenal dan berpengaruh
mengenai perang gerilya di Indonesia.[30]
Antusiasme Tan Malaka yang segera muncul atas Revolusi Bolshevik di
Rusia, [31]
yang menurutnya sendiri merupakan pengalaman paling kreatif di rantau,
sesungguhnyalah pengalaman yang paling kreatif selama hidupnya, yang secara
khusus tidak membuatnya kehilangan penghargaan terhadap kebudayaan Jerman dan
secara umum terhadap “kriteria kekuatan”.[32]
Sebaliknya logika yang sama menjadikannya mengagumi baik nilai-nilai budaya
Bolshevik maupun Jerman. Pada tahun 1947 ia masih menulis bahwa kebesaran
revolusi Bolshevik terletak pada kemampuan revolusi ini menciptakan suatu
“sintesis” dari kualitas-kualitas Revolusi Perancis yang progresif dann
humanitarian pada satu sisi dan kualitas-kualitas kekuatan yang ditunjukkan
oleh Jerman pada sisi lain. Ia melukiskan gerakan dialektika sejarah modern,
seperti dituliskannya:
Dalam bidang filsafat dalam bentuk:
Nietzsche sebagai tesis, Rousseau sebagai antitesis dan akhirnya Marx-Engels
sebagai sintesis. Dalam bidang politik dalam bentuk: Wilhem-Hindenburg-Stinnes
sebagai pembentukan, Danton-Robespiere-Marat sebagai negasi dan Bolshevik
sebagai negasi dari negasi. [33]
Kepulangan Pertama (1919-1922)
Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1919 dan pada bulan Desember
tahun yang sama ia mulai bekerja untuk pertama kalinya pada Sanembah
Corporation di Sumatera Timur. Orang dengan pandangan seperti dia telah
mendapatkan tempat yang mempesona. Di tempat tersebut, di sebuah pusat
perkebunan terbesar di Indonesia, “kapitalis-imperialis Belanda” di satu sisi
dan “buruh kuli kontrak pribumi” di sisi lain berada dalam kontak sangat dekat
yang bisa disaksikannya; di tempat ini konflik kepentingan mereka sangat
menyolok, tajam dan drastis.[34]
Pandangan revolusioner Tan Malaka mengenai masyarakat Indonesia berkembang
lebih lanjut setelah ia meninggalkan Sumatera bulan Juni 1921 dan pindah ke
Semarang Jawa Tengah. [35]
Di kota Semarang, “Kota Merah” “pusat aktivitas sosialis kiri di Hindia Belanda
waktu itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) baru saja dibentuk setahun sebelum
kedatangannya. [36]
Partai yang baru lahir ini sangat kekurangan pimpinan yang cakap. [37]
Dalam kondisi politik sulit yang sedang melanda koloni Hindia Belanda, banyak
pimpinan komunis ditahan, diasingkan atau kehilangan antusiasme. Kekosongan
kepemimpinan tersebut perlu segera diatasi. Dan Tan Malaka mencul sebagai calon
yang dibutuhkan. Ini terjadi karena dorongan situasi khusus pergerakan saat
itu. Dalam pikiran Semaun, pimpinan partai, Partai Komunis yang baru ini sedang
mengalami periode istirahat dan diharapkan untuk sementara waktu menahan diri,
“berkonsentrasi pada studi internal”.[38]
“Hanya secara kebetulan aku memasuki Semarang lewat pintu gerbang pendidikan,”
tulis Tan Malaka di kemudian hari.[39]
Semaun menempatkan Tan Malaka pada sekolah partai bagi anak-anak simpatisan dan
anggota. Dalam beberapa bulan sekolah ini memperlihatkan keberhasilan yang
hebat –sangat kontras dengan kemandegan umum pergerakan.[40]
Keberhasilan sekolah ini, yang menjadi terkenal dengan sebutan Sekolah Tan
Malaka, tak diragukan lagi menjadi alasan utama perkembangan prestise dan
peningkatan posisi Tan Malaka di partai. Dalam periode yang sangat singkat
antara Juni sampai Desember 1921, ia mendapati dirinya naik tahap demi tahap
sampai ke posisi pimpinan partai, posisi yang dijabatnya sampai Maret 1922, saat
ia diasingkan ke luar negeri oleh pemerintah kolonial.[41]
Menurut penilaian partai, kepemimpinan Tan Malaka yang singkat ini
tidaklah begitu berhasil.[42]
Dari penilaian Tan Malaka sendiri, kepemimpinannya merupakan sebuah
manisfestasi kebangkitan dari rantau kembali ke Alam yang berhasil. Secara
jelas ia melihat perkembangan partai dan keberadaannya di Semarang sangat
berkaitan erat. Dalam pandangannya, tepatnya, kekuatan yang diperolehnya di
rantaulah (Belanda) yang memberikan keberhasilan di Alam. Penampilan Tan Malaka
yang mempesona disebabkan karena pengetahuannya yang rumit tentang bagaimana
politik dipraktekkan di Eropa yang lebih maju; Pengetahuannya yang mendalam
mengenai kondisi buruh kontrak perkebunan, salah satu unsur terpenting
pertumbuhan klas buruh Indonesia baru; dan barangkali yang terpenting saat
partai berorientasi pada “konsentarasi studi internal”.
Pengalamannya di rantau pada tahun 1921 dan 1922 menyakinkan Tan
Malaka bahwa Belanda adalah rintangan pokok bagi kemajuan masyarakat Indonesia
dalam mencapai kesempurnaan.[43]
Pengalaman ini memperlihatkan pula kepada Tan Malaka bahwa Indonesia merupakan
tanah yang subur untuk menerima “oleh-oleh bermanfaat dari rantau” –apa yang
dinamakannya “filsafat proletarian Barat”. Yang lebih penting lagi ia telah
belajar bahwa pengetahuan yang terakumulasi di rantau dapat diubah menjadi
kekuatan politik. Pengalaman dramatis kepulangannya dari rantau (rantau
pertama) tak diragukan lagi menjadi renungan selama tahun-tahun suit yang
dialaminya pada perantauan kedua antara tahun 1922 sampai 1942. Keberhasilan
rantaunya yang pertama ini memperkuat pentingnya konsep rantau dalam kesadaran
Tan Malaka. Tahun 1912 dan 1922 terus terpatri dalam benak Tan Malaka dan
menjadi model dalam mengkonseptualisasi perantauannya yang kedua, khususnya
bagian paling penting dari kehidupannya –kepulangannya ke Indonesia yang kedua
pada pertengahan tahun 1940-an.
Rantau Kedua (1922-1942)
Gema keberhasilan kepulangannya yang pertama masih terdengar di awal
cerita tentang pengasingan Tan Malaka, seperti yang ditulis dalam
otobiografinya. Dari Indonesia Tan Malaka berlayar langung ke Belanda.
Sesampainya di sana ia segera menjadi orang yang diinginkan oleh Partai Komunis
Belanda pada pemilihan parlemen mendatang. Tan Malaka menjadi orang Indonesia
pertama yang dicalonkan pada pemilihan anggota Parlemen Belanda.
Keberhasilannya ini mengejutkan banyak orang, tak kurang Tan Malaka sendiri. [44]
Ia bahkan tak menanti kepulangannya dan bertolak ke Berlin menjumpai Darsono,
pimpinan PKI yang menggantikannya.[45]
Ia hanya tinggal sebentar di Jerman sebelum bertolak ke Moskwa yang segera
memulai penyelenggaraan Kongres Keempat Komintern November 1922.
Sebagai anggota delegasi Hindia Belanda Tan Malaka mendapat
kesempatan berbicara. Dalam pidatonya ia menyerukan agar gerakan komunis
bekerjasama dengan gerakan Pan-Islam. Menurut catatannya di kemudian hari,
pidato ini “diterima Kongres secara menyenangkan”.[46]
Kongres memintanya juga menulis buku untuk Komintern mengenai Indonesia.[47]
Ia lalu ditempatkan pada komisi yang menyiapkan resolusi-resolusi mengenai
masalah-masalah Timur.[48]
Sewaktu keputusan akhir Kongres disusun, bagaimanapun tampak bahwa hampir semua
sukses awal yang dicapai Tan Malaka hanya di permukaan. Bagi kebanyakan anggota
Kongres, ia jelas secara sempit terpaku pada situasi di Indonesia dan tak
memperhitungkan masalah-masalah revolusi secara global; sehingga pandangan dan
usul-usul yang dikemukakannya ditolak oleh keputusan mayoritas delegasi. Selain
itu tampaknya Tan Malaka juga menciptakan musuh-musuh pada Kongres itu akibat
kecendrungannya untuk menggurui setiap orang. Ia mengakui hal ini dalam
memoarnya dan menyatakan bahwa ketika mengajukan untuk mengajar di Rusia,
orang-orang secara sarkastis menjawab: “Kami tak memiliki kursi untukmu!”[49]
Pada waktu bersamaan banyak anggota PKI secara pribadi mengungkapkan
keprihatinan bernada iri terhadap Tan Malaka yang tiba-tiba mendapatkan tempat
terkemuka pada pergerakan internasional.[50]
Setelah lima bulan di Moskow, untuk beberapa waktu di tahun 1923,
Tan Malaka kembali ke Asia sebagai supervisor Komintern.[51]
Sejak itu gema keberhasilan rantaunya yang pertama mulai memudar hingga
beberapa bulan kemudian kualitas-kualitas “antitesis” rantau menggantikannya
–dan tetap mempengaruhinya sampai masa tinggalnya di Belanda berakhir.
Satu-satunya dinamika yang bisa dilihat selama 20 tahun perantauan Tan Malaka
yang kedua adalah kesepian Tan Malaka yang secara bertahap menjadi semakin
dalam.
Kesehatan Tan Malaka kembali ikut berperan. Di dalam otobiografinya,
kondisi kesehatannya dilukiskannya sebagai dorongan yang menentukan dalam
kehidupannya.[52]
Karena kerusakan otak yang dideritanya antara tahun 1925 sampai tahun 1935, membuatnya
tak sanggup membaca lebih satu jam perhari.[53]
Selama rantau kedua ini ia juga merasakan selalu diburu polisi Inggris,
Belanda, lalu Jepang. Ia menuliskan bahwa di sebuah kesempatan, bahkan ketika
ia bebas dari penjara, ia merasa para polisi negara-negara itu bermain “kucing
dan tikus” dengannya.[54]
Ia mendapati kawan-kawan lamanya takut memberikan perlindungan dan menerimanya
dengan dingin.[55]
Di lain pihak tiap penjara tampaknya seperti melambai memanggilnya, “Masuklah!”[56] Satu-satunya tempat yang masih menyambutnya
dengan salam kemerdekaan “Hidup Indonesia Merdeka!” adalah halaman penjara.[57]
Penjara merupakan tempat orang-orang saling memberi pertolongan dengan rela dan
tempat yang menurutnya paling aman. [58]
Tan Malaka melukiskan rantaunya yang kedua sebagai masa isolasi
politik total sesungguhnya. Bahkan di bagian awal rantau kedua, sampai tahun
1926 ketika ia masih aktif, ia tak menyebutkan kontak yang berarti dengan kaum
pergerakan Indonesia kecuali beberapa kali pertemuan dengan dua kawan separtai,
Alimin dan Dawud, serta beberapa surat-menyurat dengan kawan lain, Subakat.[59]
Akhirnya ia menulis, “setelah aku ditahan di Hongkong memasuki akhir tahun 1932
(untuk ketiga kalinya) dan semua kawan seperjuangan di Singapura ditahan dan
dikirim ke Digul, kontak dengan kawan-kawan di mana-mana sepenuhnya berakhir.
Beberapa kali aku mencoba mengontak orang Indonesia di Singapura namun semuanya
gagal”.[60]
Tan Malaka tak sering menyebut Pari, partai politik yang didirikannya tahun
1927, setelah meletus pemberontakan PKI tak terencana tahun 1926-1927, kecuali
mencatat bahwa ia menerima berita penangkapan para pemimpin partai lainnya dan
tentang hancurnya komunikasi antar partai.[61]
Sebuah pertanyaan wajar timbul: periode manakah yang dianggap oleh
tokoh militan- radikal ini sebagai puncak rantaunya? Jawabannya akan
mengejutkan: masa ketika kesepian dan keterpisahan (isolasi) politiknya
benar-benar total. Yakni tahun-tahun yang ia habiskan di awal 1930-an di
pelosok desa Fukien, Cina Selatan. Dalam melukiskan masa ini Tan Malaka tak
menyebut politik sama sekali. Kebetulan juga pada tahun-tahun ini penyakit Tan
Malaka berada dalam keadaan paling parah. “Aku sepenuhnya terputus dari dunia
luar, beristirahat dan berobat hingga sembuh sepenuhnya”.[62] Kenangan selama masa ini dilukiskannya dengan
bersemangat sekali dalam tulisan-tulisannya, seperti kemanjuran obat pribumi
setempat yang dibuat dari bebek berbulu hitam untuk menyembuhkan penyakit
paru-paru yang dideritanya.[63] Kesunyian desa tempat tinggalnya
kadang-kadang diselingi keramaian – tahun baru Cina, pesta perkawinan dan
upacara pemakaman – dan di tempat tersebut ia mengalami sedikit kehangatan
sentuhan kemanusiaan yang lama tak dirasakannya sejak meninggalkan Alam
Minangkabau.[64]
Diungkapkannya pula bahwa ia baru meninggalkan desa yang nyaman ini setelah
sebagian besar anggota keluarga yang ditempatinya berimigrasi ke Filipina.[65]
Bagaimanakah kita akan menerangkan alasan Tan Malaka mempublikasikan
fakta-fakta tentang isolasi dan ketidaktifannya yang lama dari politik secara
terus terang, hampir drastis ketika pada saat bersamaan ia dengan jelas
mengemukakan bahwa konsep kehidupannya merupakan senjata ampuh untuk perjuangan
di masa datang? Tidakkah pengungkapan fakta-fakta semacam ini akan melemahkan
posisinya setelah pulang? Sebuah penjelasan yang mungkin adalah bahwa ia
memahami pengasingannya – seperti waktu memahami hidupnya di Belanda – sebagai
“antitesis” dan sebagai rantau yang sangat kreatif dan integratif.
Kesengsaraan, kesepian dan keterpisahan yang dialaminya membuatnya berpikir
serius tentang kekurangan dan kebutuhan Alam. Disamping itu ia juga berusaha
memilah yang baik dari rantau. Selama masa ketidakaktifan semacam ini ia
mempunyai banyak waktu untuk dihabiskan di perpustakaan tanpa terganggu
aktivitas politik sehari-hari. Pada kenyataannya, seperti akan saya coba
perlihatkan, sejak saat inilah pemikiran dan tulisannya menjadi terogarnisir
dalam sebuah sistem filsafat yang utuh.
Dengan sistem filsafat ini Tan Malaka memandang pengalaman hidupnya
di luar negeri yang kedua sebagai kondisi penting mencapai “sintesis”.
Perspektif ini tak hanya memberi alasan wajar (raison d’etre) bagi kehidupan pengasingannya. Lebih dari itu
pengalaman di pengasingannya. Lebih dari itu pengalaman di pengasingan
menjadikannya mampu menulis halaman-halaman memoarnya sebagai pernyataan yang
jelas tentang rantau sebagai konflik dan sebagai kesempatan untuk memahami baik
kualitas Alam maupun kualitas rantau, serta memanfaatkan rantau sebagai sarana
memahami Alam. Dengan jelas sekali Tan Malaka membangun konsep semacam ini
dengan harapan pada masa “sintesis”, yakni saat pengasingannya berakhir dan ia
kembali ke kehidupan politik Indonesia, nilai-nilai agung yang diperolehnya
dari rantau akan menciptakan suatu kekuatan.
Oleh-oleh Dari Rantau:
Pandangan Tan Malaka
Tentang Dunia
Misi Seorang Guru
Telah diperlihatkan pada bagian awal tulisan ini, konsep rantau
berkaitan erat dengan peran yang dimainkan oleh murid (atau pemuda pada mumnya)
dan guru dalam budaya Minangkabau. Setelah perjalanan dagang, kepergian untuk
meneruskan sekolah merupakan bentuk rantau paling penting dan paling banyak
dipraktekkan di awal abad XX. Bertempat di surau, sekolah tradisional
Minangkabau adalah juga bentuk rantau yang terkenal. Ini mirip yang ada di
Aceh, yang mensyaratkan bahwa seseorang tak bisa menjadi ulama (ahli agama)
atau guru tanpa meudagang, istilah
yang kini berarti “belajar di pesantren”. Namun aslinya istilah ini berarti
“menjadi orang asing yang merantau dari satu tempat ke tempat lain.” [66]
Selama masa belajar, murid harus menyatu dengan tradisi lingkungan setempat. Di
tempat ini murid mengembangkan hubungan erat dengan bapak spiritual surau –
guru. Hubungan semacam ini tak hanya kurang dikenal dalam tradisi kekuasaan
Alam, tetapi bahkan dipandang sebagai sesuatu yang kontras, bertolak belakang
dan bertentangan. Sepanjang sejarah Minangkabau, surau berfungsi sebagai
rantau, sebagai tempat untuk mengartikulasikan ketidaksetujuan dan
mengartikulasikan gagasan-gagasan baru. Sering terjadi, surau menjadi pusat
gerakan militan bagi penyempurnaan masyarakat Minangkabau.[67]
Sebagai orang Minangkabau, Tan Malaka terlalu sering melihat
nilai-nilai kebudayaan pemudaan dan rantau sebagai dua hal yang erat sekali
berhubungan. Sebagian karena pengalaman inilah yang menumbuhkan cinta kasih
bersifat spiritual, intelektual dan politik yang selalu ditunjukkannya terhadap
pemuda. Hal ini memberikan dasar keyakinan yang dalam bahwa ditangan pemudalah
terletak harapan terbaik bagi revolusi. Sebagai bentuk ideal suatu masyarakat
pemuda, Tan Malaka mengetengahkan gambaran sebuah lembaga tradisional dari masa
2.000 tahun yang lalu, yang nampaknya merupakan gabungan surau dan rantau,
sebuah rumah khusus, hanya untuk pemuda, yang memungkinkan mereka mendapatkan
baik latihan spiritual (adat dan agama) maupun latihan fisik (silat dan pencak).[68]
Dari lembaga ini, menurut Tan Malaka, akan muncul “semangat perantau”:
Di bawah bimbingan bulan dan bintang,
berlayar dengan kapal kecil, dibekali alat-alat penemuan mereka yang hebat,
dengan semangat kebersamaan dan saling tolong-menolong – pada waktu yang
memberikan keuntungan hati gajah sama dilepah, hati tungau sama dicacah dan di
waktu bahaya telentang sama minum air, telungkup sama makan tanah – lautan
hanyalah sebuah danau di mata mereka. (Ini adalah ungkapan Minangkabau untuk
menyatakan persahabatan yang sempurna). [69]
Berkaitan dengan ini, penting pula dicatat bagaimana Tan Malaka
melihat apa yang dikatakannya sebagai pengaruh paling penting yang pernah
diterima selama masa sekolahnya di Fort de Kock. Yang dimaksud Tan Malaka
adalah bimbingan gurunya yang berkebangsaan Belanda, GH. Horensma, yang
memberinya semangat untuk tetap menjalani rantau pertamanya dan pergi ke
Belanda tahun 1913. Kasih sayang Tan Malaka terhadap Horensma masih membekas
kuat hingga tiga dekade kemudian. Dalam otobiografinya, Tan Malaka
membandingkan hubungan ini sebagaimana hubungan murid-guru dalam pendidikan
tradisionla Indonesia di mana “orang tua adalah pembentuk tubuh, sementara guru
menjadi pembentuk jiwa”.[70]
Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila Tan Malaka berusaha
mendapatkan cara paling baik untuk membawa “yang baik dari rantau” ke Alam. Ia
memutuskan untuk memenuhi misi ini dengan menjadi guru. Memang peran sebagai
guru inilah yang menjadi sifat dasar paling berpengaruh terhadap semangat hidup
Tan Malaka sejak periode Fort de Kock sampai kematiannya.
Tan Malaka lulus pendidikan guru dan bekerja sebagai guru merupakan
karir pertamanya. Kepergiannya dari Sanembah Corporation sebian juga karena
pandangannya tentang pendidikan bagi anak-anak kuli perkebunan berbenturan
degnan pandangan rasis rekan-rekan sekerjanya yang berkebangsaan Belanda.[71]
Memang seperti telah kita ketahui, terutama sekali karena kualifikasinya
sebagai guru dan karirnya sebagai pelopor “Sekolah Tan Malaka” yang menjadikan
namanya terkenal dalam kehidupan politik
Indonesia dan menyebabkan kepulangannya pertama dari rantau 1919-1922 berhasil.
Kamarku selalu terbuka siang dan malam
untuk kawan-kawan dan murid-murid. Karena cukup besar dan cukup tenang untuk
belajar, pada malam hari sementara aku tidur, kamar ini bisa digunakan oleh
satu atau dua murid yang hendak menempuh ujian. Sesungguhnya, kamar ini
disediakan untukku untuk menulis sebuah buku.[72]
Dari otobiografinya nampak jelas bahwa Tan Malaka melihat hubungan
guru-murid sebagai landasan bagi hampir semua kontak dengan dunia luar yang
dialaminya baik sebagai seorang revolusioner profesional pada tahun 1920-an
maupun sebagai seorang guru sekolah menengah di Amoi dan di Singapura tahun
1930-an. Menurut kutipan yang saya cantumkan di bawah ini, kemunculannya pada
tahun 1940-an, ketika kembali ke Indonesia, sangat mirip dengan ulama atau
guru:
Ia kelihatan tua sekali. Tetapi dari
perilakunya saya bisa mengatakan bahwa ia seorang yang hebat. Ia berbicara
tentang situasi internasional seperti seorang intelektual. Dalam lingkungan ini
ia menonjol segalanya. Kami semua hanya berbicara tentang Jepang dan mengeluh
dengan getir. Ia kadang memberitahu kami bahwa Jepang bukan musuh yang
sesungguhnya – musuh sebenarnya adalah Amerika dan Inggris serta bagaimana
mereka harus dihadapi setelah Jepang kalah...Kami tahu bahw ia telah lama tinggal
di luar negeri dari fakta bahwa ia hampir tak pernah mandi kecuali cuci muka
dan tangan, kebiasaan Eropa, tidak seperti kami yang harus mandi penuh dua kali
sehari. Ia tak bisa berbicara Bahasa Jawa sepatah pun dan Bahasa Indonesianya
seperti bahasa buku, intelektual. Bicaranya seperti seorang tutor. Para pekerja
lokal tak mengerti gagasan-gagasannya sama sekali. Ia suka berjalan kaki
seorang diri dan kami bisa melihat bahwa ia seorang yang banyak bicara dan
banyak berpikir, tak seperti kami orang Indonesia pada umumnya. Untuk hiburan
saya menulis drama dan lakon yang dramatis. Ia biasa diberi peran sebagai
pendeta. Yang paling saya ingat ia kebagian peran sebagai Kyai Madja dalam
drama Diponegoro versi saya. Ia tak pernah berhubungan seks dan saya pikir ia
telah melupakannya. Ia senang para pemuda mengelilinginya dan menyimak
kata-katanya. Ia biasa sekali mempunyai kelompok pemuda semacam itu di manapun
ia pergi.[73]
Segala aktivitas Tan Malaka setelah kemunculannya ke Alam pada tahun
1940-an, sedikit banyak, sebagaimana diperlihatkan di bawah ini, tak lebih dari
ungkapan kesetiannya kepada pemuda dan ekspresi keyakinannya memberikan
pengaruh, semacam pengaruh surau, terhadap pemuda Indonesia.
Madilog
Madilog, sebuah karya filsafat panjang yang ditulis Tan Malaka tahun
1942-1943 adalah – dalam pandangan Tan Malaka sendiri – karya puncaknya, harta
yang paling lengkap dan paling menyeluruh membahas filsafatnya. [74] Menurutnya Madilog adalah cara berpikir baru,
sebuah pusaka[75]
warisan dari Barat (Marxis-Leninis dalam pandangannya yang rasional dan logis)
yang diharapkan menarik para pembaca Indonesia untuk mempelajarinya “dengan
kerendahan hati dan kejujuran”.[76]
Cara berpikir Madilog diajukan oleh Tan Malaka sebagai senjata untuk melawan
apa yang ia kategorikan, dalam Madilog dan tulisannya sebelumnya,[77]
sebagai cara berpikir ketimuran yang kuno, penuh mistik dan idealistik[78]
yang masih dominan, tak hanya di Indonesia tetapi di Asia. Tan Malaka
menciptakan Madilog untuk masyarakat bangsanya, rakyat Asia, yang seperti
rakyat Eropa zaman pertengahan, dilahirkan dalam dunia mistik dan tak dapat
membebaskan diri dari masalah-masalah filsafat yang tak relevan yang
menyebabkan tidak lahirnya pengetahuan....hingga kehadiran bangsa Barat.[79]
Berhenti pada kutipan di atas hanya akan memberik gambaran yang
sangat meleset tentang makna Madilog. Yang penting adalah bahwa Madilog
“disebarluaskan atas permintaan para pemuda” guna dipakai dalam revolusi yang
mereka pelopori.[80]
Memang seperti akan kita ketahui, Tan Malaka berharap Madilog akan menjadi
oleh-oleh rantaunya, sebuah pemusatan akumulasi pengetahuan untuk
ditransformasi menjadi kekuatan Alam.
Keistimewaan Madilog yang paling mencolok adalah kegunaannya yang
luar biasa--dibarengi fakta bahwa buku ini disajikan sebagai karya Marxis--
yang menggabungkan di dalamnya kekuatan gagasan dan konsep akal. Dalam
keseluruhan tulisan Tan Malaka, disamping ditandai pemakaian terminologi
Marxis-Leninis, kekuatan gagasan sebagai pendorong kemajuan sosial adalah juga
terminologi yang ditekankan berulang-ulang lebih dari kekuatan perjuangan klas
yang dinamis. Secara umum Tan Malaka sedikit sekali membahas perjuangan klas.
Ia tampaknya lebih suka membicarakan upaya menolong rakyat dan seperti ia
kemukakan di muka, sarana untuk itu adalah pendidikan yang juga menjadi misi
hidupnya.
Penghargaan terhadap aspek pendidikan dalam Madilog ini jelas sangat
dipengaruhi oleh peran guru dalam budaya Minangkabau dan dalam struktur
pengalaman Tan Malaka. Kecuali itu kita harus mempertimbangkan penghargaan
filsafat Minangkabau (atau paling sedikit filsafat Minangkabau seperti dipahami
Tan Malaka muda) terhadap akal –kemampuan untuk berpikir. Dalam pandangan
filsafat Minangkabau ini, pelaksanaan eksplorasi yang terus-menerus terhadap
dunia, realisasi pengumpulan elemen rantau yang dinamis dan penyempurnaan Alam,
dapat diwujudkan karena akal.[81]
Keyakinan Minangkabau yang sangat penting bahwa akal bisa memanipulasi Alam
secara sangat ekstrim terlihat pada kepercayaan yang dianut meluas atas ilmu
kekebalan (the science of
invulnerability).[82]
Dasar Madilog yang pertama adalah materialisme. Materialisme yang
digunakan dalam Madilog hampir samasekali berbeda dengan arti istilah yang sama
di Barat. Menurut Tan Malaka dasar aksioma materialisme Barat tak cocok
diterapkan. Perhatian utama Tan Malaka selain terhadap Alam adalah terhadap
jiwa, semangat, energi dan vitalitas. Ia menilai animisme, yang menurutnya
adalah landasan kepercayaan terhadap jiwa, sebagai landasan historis cara
berpikir Madilog. Bahkan ketika ia menulis bahwa “energi bisa berubah bentuk”
sesungguhnya ia menekankan bahwa semangat (jiwa) adalah abadi:
Menurut Madilog tak ada tubuh tak ada
vitalitas. Jiwa hanya kekuatan khusus dari badan yang khusus, tetapi seperti
kekuatan-kekuatan lainnya, ia berhenti dengan kematian jasmani. Ia bertukar
menjadi kodrat kimia setelah jasmani kembali ke tanah, air dan udara. Ia
berubah menjadi kodrat hidup tumbuhan jika jasmani itu dimakan tumbuhan.
Bertukar menjadi kodrat hidup hewan, bila jasmani langsung atau tak langsung
dimakan hewan. Akhirnya ia bertukar kembali menjadi jiwa manusia jika, secara
langsung sebagai air, garam dan oksigen atau secara tak langsung sebagai
makanan, sayuran dan daging, masuk ke mulut petani atau profesor, buruh atau
kapitalis, bangsat atau pendeta, maling atau guru agama.[83]
Tan Malaka juga memperlihatkan penghargaan yang tinggi terhadap
pawang Minangkabau. Pendapatnya yang menempatkan kekuatan pawang sebagai satu
dari nilai Madilog juga memperlihatkan konsep khusus materialisme:
Kita lihat pawang memerlukan kuku, rambut
atau tengkorak untuk menyampaikan niatnya....Dilihat dari sudut pandang ilmu,
pawang tak hanya mendasarkan kodratnya pada kodrat dirinya. Ia membutuhkan
benda-benda itu karena, seperti yang saya terangkan, ia tak bisa membuang
kepercayaannya begitu saja.[84]
Berbeda dengan materialisme Barat, materialisme Madilog muncul
sebagai citra kosmosentrisme dan idealisme negatif. Mirip tetapi berkebalikan,
percaya pada hantu, singkatnya tentang “segala sesuatu yang berhubungan dengan
mistisisme dan magis”.[85]
Dengan demikian materialisme Tan Malaka adalah semacam realisme dan pragmatisme
antroposentris, istilah sama yang digunakan di Barat. Fokus materialisme Tan
Malaka bukan dunia hantu atau dunia materi, tetapi manusia, yang secara
rasional menggunakan lingkungannya. Di atas segalanya materialisme dalam
pandangan Tan Malaka adalah sebuah cara berpikir realistis, pragmatis dan
fleksibel. Manusia yang berpikir sesuai materialisme-Madilog terutama
memperhatikan yang dekat –apa yang dekat dengannya, apa yang paling cepat dan
langsung mempengaruhinya.[86]
Cara materialistis artinya “mencari jawaban berdasarkan sejumlah bukti yang
telah diuji dan diketahui”.[87]
Serupa dengan materialisme, dialektika dalam Madilog adalah konsep
yang disusun untuk melawan kelambanan intelektual cara berpikir Alam. Tan
Malaka menyamakan cara berpikir Alam yang kuno ini dengan “dogmatisme” yang
didefenisikannya sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural yang
mengakibatkan pengingkaran terhadap pencarian intelektual dan kemampuan manusia
mengubah dunia materi. Kerusakan cara berpikir kuno yang paling dasar adalah,
dalam pandangan Tan Malaka, meyakini keterbatasan ilmu pengetahuan:
Ia (mistik) akan berpangku tangan,
berkonsentrasi pada hidungnya dan berkata, aum...aum.... Ia tidak akan melontarkan
lagi kritik atas pengetahuan yang telah diperolehnya dan tak akan lagi mencari
pengetahuan yang lebih sempurna. Ia akan mati bersama pengetahuannya karena
pengetahuannya mati.[88]
Konsekuensi langsung pemikiran non-dialektika adalah penipuan diri,
kelambanan, mental budak dan penjajahan dunia Timur oleh kekuatan-kekuatan
kolonial Barat.[89]
Sebaliknya dialektika seni berpikir maju meyakini pertumbuhan pemikiran manusia
yang tak berhenti dan mempercayai kekuatan permanen seperti berpikir untuk
mengubah dunia materi. Jika kita hendak mencoba menemukan istilah yang tepat
untuk dialektika, kita mungkin akan memilih kata dinamisme. Penting diingat Tan
Malaka sendiri menggunakan istilah ini dalam banyak bahasan dalam Madilog,
sehingga “dialektika” yang digunakan akan sulit dimengerti tanpa penjelasan
tambahan.
Secara singkat keinginan Tan Malaka membawa pulang “pusaka dari
Barat” bukan sebuah pernyataan rendah diri atau sebuah upaya mencangkokkan
modernisme Barat ke dalam cara berpikir tradisional ketimuran. Sebaliknya Tan
Malaka menyusun sistem Madilognya dengan rasa kewajiban yang besar terhadap
Alam. Ia yakin waktunya belum tepat untuk menerapkan sistem filsafat Barat ke
dalam sistem masyarakat Timur, usaha semacam itu tidak akan berhasil baik,
karena filsafat Barat timbul di masyarakat yang berbeda iklim, sejarah, kondisi
spritual dan cita-cita dengan masyarakat Timur.[90]
Ia tak pernah melepaskan anggapan bahwa Barat hanyalah rantau yang
keberadaannya hanya untuk memperkaya Alam. Penciptaan Madilog sangat didorong
oleh obsesi Tan Malaka terhadap Alam dan keyakinan bahwa pemuda akan mampu
menyerap “yang baik dari rantau”. Keyakinannya terhadap kemampuan Indonesia
juga berakar pada konsep budaya Minangkabau. Karenanya bisa dimengerti apabila
tak ada persamaan langsung dari materialisme dan dialektika yang digunakan
dalam Madilog dengan arti terminologi ini di Barat. Tan Malaka mengambil dasar
pematangan filsafatnya pada kualitas-kualitas yang telah ada di Alam. Dalam
kenyataannya baik ketimuran maupun cara berpikir Madilog merupakan ekspresi
kualitas ini. Ia melihat yang pertama (ketimuran) sangat dibutuhkan untuk
mencapai yang kedua (Madilog); kedua kualitas ini akan menentukan “apa yang
baik dari rantau”.
Konsep Sejarah Indonesia
Dalam pandangan tradisional Minangkabau, “sejarah berjalan menuju
tujuannya, tetapi dasar Alam dan irama perkembangannya harus tak berubah.
Konsepsi semacam ini bukan sekedar landasan guna melihat masa lalu....., namun
yang lebih penting, merupakan sebuah pesan untuk masa yang akan datang”.[91]
Bagi Tan Malaka motor penggerak sejarah adalah pikiran rasional.
Jadi untuk menggerakkan sejarah lebih banyak dibutuhkan akal daripada
perjuangan klas. Sejarah harus berjalan naik dengan tujuan penyempurnaan
masyrakat. Inilah harapan tertinggi Tan Malaka, baik harapannya sebagai orang
Minangkabau maupun sebagai seorang revolusioner. Keyakinan Tan Malaka terhadap
tujuan mulia dan perjalanan naik sejarah Indonesia dengan jelas dikemukakan di
bagian akhir Madilog. Ini akan merupakan era Indonesia merdeka dan sosialis,
suatu era ketika cara berpikir Madilog dipraktekkan secara luas dan memberikan
surga bagi manusia. Namun karena era ini hanya bisa dilukiskan dalam
istilah-istilah yang utopis. Meski demikian gambaran masa depan seperti inilah
yang menjadi inti Madilog dan pada tingkat dasar, merupakan raison d’etre-nya. Di atas semuanya
gambaran ini memberikan konotasi yang kuat mengenai “pesan untuk masa yang akan
datang” dalam pandangan Tan Malaka mengenai sejarah.
Nilai-nilai budaya cara berpikir Madilog tak akan mendapatkan
kemenangan sampai dimulainya era Indonesia merdeka dan sosialis. Namun sejak
awal sejarah Indonesia, nilai-nilai ini sebenarnya sudah ada. Nilai-nilai ini
sudah sejak dahulu kala memberikan landasan penting, mewakili sumbu tertentu
perkembangan sejarah. Pada periode tertentu kemunculannya memberi sifat baru
setiap peristiwa. Keberadaan permanen nilai-nilai ini ditekankan berulang-ulang
dalam Madilog, khususnya pada bagian yang membahas konsep Tan Malaka tentang periode
pertama sejarah Indonesia, apa yang disebutnya sebagai Indonesia Asli. Melalu
gambaran periode ini, yang menyebut keberadaan nilai-nilai kultural yang sama
dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercipta landasan permanen bagi Alam dan
perkembangannya.
Sesuai pandangan hidup Minangkabau, konsep Tan Malaka tentang
sejarah selalu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik merupakan bagian
terpenting bagi segala bentuk integrasi atau kemajuan. Hal ini bisa dilihat
secara jelas sekali ketika Tan Malaka melukiskan masa pertengahan dalam sejarah
Indonesia. Di bawah Periode Hindu-Belanda, masa ini meliputi periode sejak
akhir periode Indonesia Asli sampai sekarang (pada saat Madilog ditulis).
Selama masa ini, setelah kehancuran cara hidup Indonesia Asli, perjalanan
sejarah Indonesia bergerak jauh dari sumbunya. Sejarah Indonesia bergerak ke
luar. Pada saat seperti inilah cara berpikir ketimuran muncul dan berbenturan
dengan cara berpikir Indonesia Asli. Oleh karenanya dengan caranya sendiri
sejarah Indonesia mendorong perkembangan Alam dan meratakan jalan bagi
integrasi penuh masa depan yang merdeka dan Indonesia yang sosialis. Dalam
bahasa yang digunakan Tan Malaka, periode Hindu-Belanda adalah antitesis,
konflik dengan tesis (Indonesia Asli), namun konflik ini penting untuk
memperbaiki tesis dan meningkatkannya ke taraf lebih tinggi serta mengubahnya
menjadi sintesis “Indonesia merdeka
dan sosialis”.
Indonesia Asli
Dalam pandangan Tan Malaka, rakyat Indonesia Asli percaya pada
kekuatan yang melekat pada b arang-barang material dan spiritual.[92]
Mereka belajar menilai secara realistis baik kekuatan Alam maupun kekuatan
mereka sendiri. Mereka juga belajar bagaimana mempergunakan kekuatan mereka
secara efektif; dan mereka “lebih praktis, lebih nyata, lebih memperhatikan
bukti nyata.....daripada rakyat di tempat lain pada zaman yang sama dan
daripada bangsa Indonesia sendiri sejak bercampur dengan orang asing (Barat)”.[93]
Secara umum cara berpikir orang Indonesia Asli sangat dekat dengan
materialisme-Madilog. Dinamisme Indonesia Asli, seperti digambarkan Tan Malaka,
sangat dekat dengan apa yang ia sebut dialektika-Madilog, karena rakyat
Indonesia Asli “lebih energik, lebih berani dalam memulai upaya-upaya baru yang
penuh bahaya daripada keturunan-keturunan mereka”[94].
Yang penting cara berpikir rakyat Indonesia Asli tergantung secara
langsung pada pengaruh rantau yang menguntungkan. Tan Malaka menulis bahwa
perantaulah yang membawa kualitas-kualitas tersebut ke Alam Indonesia Asli.
Pada masa menjelang zaman sejarah (historic
era) mereka mencapai kepulauan Indonesia dari Asia Tengah melalui
perjalanan panjang yang menentukan. Perjuangan panjang menaklukkan hutan-hutan
dan gunung-gunung yang sulit dilalui telah mengajar mereka satu cikal bakal
cara berpikir Madilog, mereka lalu membawanya ke Indonesia bersama dengan
pengetahuan mereka yang telah maju tentang perkakas hidup, perkapalan,
pertanian dari perbintangan.[95]
Sebagai orang Minangkabau, Tan Malaka menganggap “yang baik dari rantau” ini
sebagai kondisi yang mutlak ada bagi perkembangan Alam.
Seandainya orang Indonesia yang datang dari
Asia Tengah ke kepulauan ini tak membawa serta seni membuat peralatan dari
tembaga dan besi, mereka mungkin hanya akan mengenal alat-alat yang tak lebih
dari yang digunakan oleh saudara kita di Irian atau di Ulu Pahang, Malaya atau
di pegunungan Pulau Luzon hingga sekarang.[96]
Rangsangan dari rantau yang sama telah menghidupkan model organisasi
politik yang sangat dipuji oleh Tan Malaka dalam Madilog. Kualitas pokok
organisasi politik ini yang disebutnya kerakyatan, sebuah istilah yang sering
diterjemahkan demokrasi adalah fenomena pengambilan keputusan di dalam
masyarakat Minangkabau. Menurut Madilog, karena bantuan rantau, orang Indonesia
Asli berhasil mengembangkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang khusus di
bawah pimpinan datuk, yang merupakan pimpinan yang dicintai rakyat karena
dipilih dari antara rakyat. Hukum dan adat yang tumbuh dalam masyarakat hanya
berfungsi untuk “menjamin kesejahteraan masyarakat”.[97]
Gambaran ini sesuai sekali dengan konsepsi Minangkabau tentang tatanan politik
ideal.
Dalam keseluruhan konsepsi Madilog, yang paling penting adalah bahwa
Indonesia Asli terbukti kuat sekali menjaga identitas keasliannya untuk periode
yang panjang, yang juga berarti menjaga keseimbangan antara Alam dan rantau.
Kemampuan inilah yang telah memberi nama Indonesia Asli: di bagian manapun
dalam Madilog disebut dengan Indonesia sebelum “bercampur dengan orang asing”
atau sebagai zaman “ketika rakyat Indonesia masih memiliki perasaan harga diri
yang tinggi”.[98]
Tan Malaka memberikan ilustrasi yang luar
biasa dan menyolok mengenai kualitas ini. Yakni dengan fenomena amuk. Seperti dikemukakannya, amuk
bukan gejala sakit jiwa sebagaimana anggapan umum ilmuwan Barat, juga bukan
jenis kemarahan khas orang Asia. Menurut Tan Malaka amuk merupakan bentuk
pertahanan manusia yang paling efektif dalam menghadapi tekanan besar atau
penghinaan dari luar, serta untuk menghadapi kelemahan akal.
Seseorang yang dihina secara semena-mena atau dengan sengaja
dieksploitasi, dijajah dan disiksa harus marah. Sesungguhnya ia harus marah
jika kemanusiannya belum hancur sama sekali. Singkatnya ada kemarahan yang
tidak pada tempatnya dan ada yang wajar pada tempatnya. Yang terakhir saya
sebut murni (egois), karena jika dorongan (nafsu) untuk marah telah mati, mati
pula bersamanya dorongan untuk balas dendam, dorongan untuk melenyapkan segala
keburukan dan kebusukan dalam masyarakat.....Jika kemarahan murni di satu sisi
menyebabkan kutukan dan di sisi lain kesombongan menyebabkan kegagalan,
kesusahan atau penyesalan, maka kutukan seorang pawang bisa dianggap sebagai
keberhasilan.[99]
Periode Kegelapan
Periode pertengahan dalam sejarah Indonesia menurut konsep Tan
Malaka dimulai sejak abad pertama sebelum Masehi dan masih ada hingga
tahun-tahun ditulisnya Madilog. Jelaslah bahwa “kesezamanan” memberikan apa
yang dipandang oleh Tan Malaka sebagai sifat-sifat terpenting pada periode ini;
karena Tan Malaka sendiri mengalami periode ini, periode yang memberinya
penderitaan, periode yang diperanginya. Tan Malaka menganggap misi hidupnya
adalah menyalakan revolusi dan rintangan terbesar terhadap misi ini adalah cara
berpikir periode pertengahan. Oleh karena itu periode kegelapan menjadi fokus
konflik tidak hanya dalam mengembangkan Alam, namun juga dalam kehidupan
pribadi Tan Malaka.
Orang Indonesia periode ini berpandangan non-materialis; hanya
berlandaskan pikiran, bukan pada kenyataan dan pengalaman.[100]
“Hilang fakta. Hilang bukti. Hilang ketenangan. Hilang kebebasan menilai,”
tulis Tan Malaka. [101]
Sebagai konsekuensi pandangan idealis ini, perjalanan sejarah menuju
kesempurnaan masyarakat terganggu. Historiografi periode ini tak membawa misi
untuk masa mendatang dan tak mendorong gerak maju sejarah.[102]
Karena dominasi cara berpikir yang anti-Madilog, tak ada semangat dan
inisiatif.[103]
Sebagai akibatnya cara hidup dalam periode ini berubah. Masyarakat Indonesia
mengalami transformasi dari era perantau Indonesia Asli menuju “masyarakat yang
terpaku dalam lumpur”[104]
Kerajaan hadir menggantikan kerakyatan. Jiwa Indonesia Asli relatif tak
mengenal konsep penguasa penguasa seperti periode pertengahan; para penguasa
periode pertengahan adalah pembawa kebudayaan Hindu atau Belanda. Disamping itu
meskipun mereka berhasil menaklukkan Indonesia, mereka tak mencoba menyebarkan
kebudayaan mereka secara sungguh-sungguh dan langsung di antara suku bangsa
Batak, Kubu, Dayak, Toraja dan rakyat Indonesia lain di luar Jawa. Terhadap
orang Jawa sendiri mereka “menanamkan dan memperkokoh perasaan rendah diri (inferiority complex) rakyat Jawa”.[105]
Sebagai landasan bersama semua keburukan ini, Tan Malaka merujuk
pada fakta bahwa pada periode pertengahan warga Indonesia kehilangan identitas,
keaslian mereka, keyakinan mereka pada pembentukan permanen Alam; keseimbangan
antara Alam dan rantau terganggu dan konflik yang dibawa dari rantau menyebar
di Alam. Sebagai satu manifestasi dari kondisi yang menyedihkan ini Tan Malaka
menulis, “Sampai sekarang rakyat Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan
dari luar dirinya; orang Indonesia tak mau lagi menyingsingkan lengan baju
mereka”.[106]
Pengaruh India dan Belanda adalah, demikian Tan Malaka, penyebab utama
kebobrokan zaman kegelapan.
Pengaruh kebudayaan “para tuan” India telah mengakhiri era Indonesia
Asli dan melahirkan era kegelapan.[107]
Ekspresi tertinggi pengaruh yang merusakkan ini adalah seni Yoga dalam
kebudayaan Indonesia. Sementara amuk oleh Tan Malaka dinilai sebagai
manifestasi identitas, kepercayaan diri dan dinamisme Indonesia Asli,
sebaliknya yoga dinilainya “membunuh segala aktivitas pikiran”.[108]
Manifestasi pengaruh kebudayaan India terhadap kebudayaan Indonesia lainnya
yang sangat dilawan Tan Malaka adalah konsep ahimsa dan “kodrat jiwa” dari Mahatma Gandhi. Kedua konsep Gandhi ini,
menurut Tan Malaka, bertentangan dengan akal; “sangat gelap maknanya bagi orang
berakal”.[109]
Jika kedua konsep ini diterapkan sungguh-sungguh, tak akan ada dokter, pabrik,
ilmu pengetahuan. Singkatnya tak akan ada kemajuan sama sekali.[110]
Sistem kasta di India yang bertentangan dengan kerakyatan tak akan memberikan
harapan dan kemungkinan perkembangan kemanusiaan.[111]
Sejak akhir abad delapanbelas pengaruh Belanda telah berulang-ulang
oleh intelektual Minangkabau sebagai penyebab ketidakseimbangan di Alam. Sebagai
contoh, keruntuhan sistem tradisional penghulu
akibat adanya organisasi nagari dan
diberlakukannya hukum kriminal Barat, oleh kalangan intelektual Minangkabau
dipandang sebagai “refleksi melemahnya ikatan-ikatan sosial dan penyimpangan
paradigma Minangkabau dari Alam”. [112]
Ketika Belanda menerapkan pemusnahan dan monopoli kopi di Minangkabau, kaum
intelektual setempat memandang bahwa tindakan tersebut sebagai kondisi yang tak
bisa dibiarkan. “Minangkabau mengalami kejayaan kerja paksa, bukan lagi adat”.[113]
Keseluruhan gerakan emansipasi Minangkabau di penghujung abad ini dalam banyak
hal dilihat sebagai upaya memulihkan keseimbangan budaya adat yang hancur
karena pengaruh Belanda. Bahkan anggota pergerakan yang radikal cenderung
melihat kapitalisme Belanda terutama sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan
Alam Minangkabau tradisional prakolonial.[114]
Tan Malaka adalah seorang pengagum berat dinamisme dan rasionalisme
serta memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap kemajuan yang ia lihat
dan saksikan di Barat pada abad duapuluh ini. Di balik kemajuan yang
disaksikannya, ia juga melihat kemunduran pengaruh Belanda di Indonesia. Hanya
setelah membandingkan ekonomi Amerika dan Belanda selama Perang Dunia Pertama,
Tan Malaka menyadari keterbelakangan Belanda dan kondisi koloninya.[115]
Selain itu ia juga mendapati jiwa ketimuran yang dibencinya dalam pemikiran
Belanda . Yakni mendewakan kenangan masa lalu, tak logis, membesarkan hal yang
kecil dan mengabaikan masalah-masalah yang mendasar.[116]
Imperialisme Belanda hanya menambah rasa rendah diri bangsa Indonesia.[117]
Imperialisme Belanda juga telah memperkokoh cara berpikir kuno,
menjungkirbalikkan perkembangan kesadaran bangsa Indonesia dan menghancurkan kebahagiaan rakyat Indonesia:
Persahabatan dan kepercayaan antara manusia
hilang dalam era kapitalisme... Di masa lalu, misalnya di masa pemerintahan
kekerabatan, kepala keluarga memiliki kekuasaan kecuali itikad baik dan
ketulusan......Kekuatan hukum, polisi dan penjara dalam era kapitalisme adalah
lembaga yang tak dikenal dalam sistem kekerabatan Minangkabau seratus tahun
lalu. Di Minangkabau seratus tahun lalu negara kekerabatan sudah demokratis,
tiap orang memahami hukum dan mentaatinya....Hukum adat sudah terpatri di benak
seluruh rakyat Minangkabau. Setelah aturan hukum rakyat diganti aturan hukum
pemerintah yang berkuasa....pengetahuan tentang hukum dan kemampuan rakyat
berargumentasi lenyap. Sisa-sisa tradisi lama kini hanya bisa ditemukan di
kalangan sejumlah orang tua Minangkabau, baik pria maupun wanita. Mereka masih
menyimpan hukum adat di hati masing-masing.[118]
Sesuai konsep dinamisme kebudayaan Minangkabau tradisional, Tan
Malaka melihat hambatan-hambatan bagi kemajuan yang terdapat di Alam
Minangkabau sebagai penyebab utama frustasi di kalangan rakyat. Ia menyalahkan
penindasan atas identitas Minangkabau. Revolusi –pemecahan bagi frustasi
ini—karenanya sangat dibutuhkan guna memerangi “sisa feodalisme dalam skala
kecil dan dalam skala besar imperialisme Barat yang menindas......”[119]
Sejalan sikap anti-Belanda, anti Kejawen dan anti-Indianismenya, Tan
Malaka harus dimengerti sebagai bagian dari konsepsinya tentang Madilog.
Tan Malaka cenderung menyamakan cara
berpikir ketimuran kuno dengan Pulau Jawa dan budaya Jawa, dengan demikian, ia
merasakan kuatnya pengaruh Belanda dan terutama pengaruh kebudayaan India. Tan
Malaka melancarkan serangan sistematis terhadap pengaruh dan nilai budaya
Hindu-Jawa, yang disebutnya sebagai elemen masa kegelapan.[120]
Tan Malaka menyatakan bahwa wayang memiliki unsur-unsur yang merusak, khususnya
terhadap pemuda. Ia melihat wayang sebagai “cerita kekanak-kanakan, tak masuk
akal, ajaran yang tak bisa dipercaya”. Cerita wayang “tak merangsang pemikiran
kritis”. Sebaliknya, “tak satupun dari jawaban yang diberikan masuk akal”.[121]
Namun –mungkin karena kecintaannya pada musik—terhadap gamelan (musik
tradisional Jawa yang merupakan satu unsur penting kebudayaan Hindu-Jawa)
kritik Tan Malaka terasa ambivalen:
Bagi penulis, gamelan dan suasana yang
ditimbulkannya tak ada persamaannya di dunia ini. Gerakan tubuh dalam tarian
serimpi membuat kita melambung tinggi di atas dunia yang hina ini. Lima nada
dari gamelan Jawa bisa membangkitkan perasaan sedih, tenang, teduh dan
misterius.
Jiwa Minangkabau dalam jiwa Tan Malaka bagaimanapun membuatnya
menulis: “Penolakan terhadap gamelan barangkali terjadi karena gamelan terlalu
halus untuk perjuangan”.[122]
Ramalan Jayabaya yang menyebutkan kebebasan rakyat Jawa setelah
periode tertentu kekuasaan asing adalah sebuah pendorong kuat pergerakan
nasionalis Jawa pada abad duapuluh.[123]
Pengaruh tersebut mencapai klimaks tepat pada waktu Tan Malaka menulis Madilog
–selama pendudukan Jepang (1942-1945). Bagi Tan Malaka, ramalan raja Jawa ini
merupakan pengungkapan yang ekstrim jiwa budak, karena seperti dituliskannya,
“Jayabaya sedang menantikan seorang raja dari India (diartikan mengharap
bantuan luar) untuk memerdekakan Jawa”.[124]
Penguasa Majapahit terbesar, Hayam Wuruk, dalam penilaian Tan Malaka juga
dipandang sebagai “seorang pemimpin yang berasal dari kasta di luar kasta Jawa”
dan simbol kerajaan yang anti-kerakyatan.[125]
Organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo, yang hari kelahirannya dirayakan secara
luas sebagai awal kebangkitan nasionalis Indonesia modern, tak luput dari
kecaman Tan Malaka. Menurut Tan Malaka, organisasi ini tak lebih “satu dari
kelompok borjuis Indonesia paling malas. Karena kelambanannya, mirip seekor
binatang malas, organisasi ini membanggakan kejayaan masa lampau...kemegahan
Borobudur, keagungan wayang dan gamelan, semua produk budaya perbudakan diambil
dan dipropagandakan siang malam”.[126]
Kita juga bisa menemukan beberapa penjelasan mengenai sikap
anti-Kejawen Tan Malaka dalam pengalamannya sebagai seorang pemimpin politik.
Satu-satunya pengalaman Tan Malaka dalam kerja politik massa adalah di Jawa dan
dengan para kuli kontrak asal Jawa di Sanembah Corporation. Kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya kemungkinan besar mendorongnya menghubungkan “keterbelakangan”
dengan kejawaan. Bagaimanapun sangat mungkin bahwa sikap Tan Malaka terhadap
kebudayaan Hindu-Jawa semata sebagai cerminan anti Kejawen, yang dinilainya
mencemari pergerakan emansipasi Minangkabau setelah peralihan abad duapuluh. Di
masa remaja Tan Malaka, yakni selama separuh awal abad dua puluh, kaum
intelektual Minangkabau cenderung berpikir dalam konteks penentangan dan
konflik yang masih berlangsung antara budaya Minangkabau yang mereka anggap
dinamis dan rasional melawan peradaban Jawa lembut dan idealis. Wajar bila dari
sudut pandang semacam ini, pertentangan ini menjadi salah satu penghambat
pembangunan nasionalisme yang mencakup seluruh Indonesia. Para pemimpin
Minangkabau berulang-ulang menyerang bagian-bagian dari gerakan emansipasi
rakyat Jawa menuju apa yang mereka duga sebagai “pergerakan kembali ke
Hinduisme”.[127]
Mereka memandang wakil-wakil mereka dalam pergerakan sebagai “orang-orang
bersahaja yang berorientasi ekonomi dan politik”, menghadapi idealis Jawa yang
berorientasi “pada seni, filsafat dan agama”.[128]
Mereka menolak “budaya Hindu-Jawa” –dalam ungkapan yang nyaris senada dengan
digunakan Tan Malaka—sebagai kebudayaan yang dibawa oleh orang asing, para tuan
India dan menumbuhkan mentalitas budak di kalangan penduduk Indonesia. [129]
Barangkali penting pula dicatat bahwa Tan Malaka menulis Madilog
tepat saat kemunculan politisi “Hindu-Jawa” Sukarno sebagai simbol nasionalisme
seluruh Indonesia dan berkemungkinan menjadi pimpinan negara Indonesia kelak di
kemudian hari. Sebagaimana hendak kita ketahui pada bagian akhir tulisan ini,
Tan Malaka mendudukkan diri sebagai pesaing utama Sukarno. Dengan cara ini
barangkali “pertarungan antara kebudayan Hindu-Jawa lawan Minangkabau dalam
memperebutkan tempat utama dalam pergerakan Indonesia” lebur ke dalam
“persaingan pribadi Tan Malaka-Sukarno memperebutkan kepemimpinan revolusi yang
segera tiba”.
Dalam pandangan Tan Malaka, keseluruhan wilayah Indonesia (bahkan
wilayah sekitarnya) pada mulanya terintegrasi secara kultural dalam cara
berpikir Asli.[130]
Cara berpikir Asli kontras sekali dengan cara berpikir ketimuran, yang
mendominasi masa kegelapan, yang menumbuhkan konflik di dalam Alam dan
selanjutnya memecah belah kebudayaan, masyarakat dan wilayah Indonesia.
Walaupun pernah dominan di zaman kegelapan, cara berpikir ketimuran akan
menjadi tak lebih dari satu bagian kebudayaan Indonesia. Selama periode
kegelapan ini muncul arus pemikiran lain, yang bagaimanapun keras upaya untuk
menindasnya, arus pemikiran baru ini berjasa menjembatani kualitas Indonesia
Asli dan masyarakat Sosialis yang akan tiba. Arus pemikiran baru ini, yang
tetap hidup sepanjang sejarah Indonesia, mengkristal dalam prinsip Alam yang
permanen. Dalam periode kegelapan tradisi Asli ini dteruskan oleh Islam, yang
menjadi pusat dan daya dinamis itni Alam yang permanen. Periode kegelapan
benar-benar gelap, karena perjalanan naik sejarah Indonesia menuju kesempurnaan
masyarakat menyimpang ke luar, menjauh dari sumbu dan cahaya intinya memudar.
Dengna perspektif seperti ini wajar sekali bila Islam sangat berarti bagi Tan
Malaka:
Walaupun peristiwa-peristiwa di tahun 1917
mengaduk-aduk keluar jiwa pemuda dalam hatiku, membawaku menjauh dan menyeretku
untuk mengikuti kekinian, minatku terhadap Islam terus hidup.[131]
Meskipun sering mendasarkan teorinya pada buruh terorganisir, Tan
Malaka hampir tak pernah menyebutkan solidaritas buruh langsung mempengaruhi
kehidupan pribadinya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan ketika
ia melukiskan solidaritas Muslim dalam beberapa bagian terpisan dari tulisannya
dan mungkin setengah tanpa disadarinya sebagai bantuan sangat berharga dalam
mengatasi kesulitan-kesulitannya di tahun terakhir perantauannya.[132]
Mungkin terlalu mengejutkan apabila rekan-rekan sebayanya dari Minangkabau
merasa wajar melihatnya sebagai pemimpin Islam.[133]
Tan Malaka mengakui Alam Minangkabau sebagai sesuatu yang sangat
mempengaruhinya untuk menempatkan Islam pada tempat yang penting dalam sistem
konseptualnya:
Sumberku belajar Islam adalah sumber yang
hidup. Sebagaimana telah aku sebutkan sekilas, aku dilahirkan di lingkungan
keluarga yang memeluk Islam. Pada waktu sejarah Islam Indonesia sedang merosot,
seorang alim ulama lahir di lingkungan keluarga kami, yang hingga sekarang
masih dianggap sebagai orang suci....Sewaktu aku masih kanak-kanak aku sudah
mampu menafsirkan Al-Qur’an dan dipercaya sebagai guru bantu.[134]
Menurut CC. Berg, “Hinduisme di Sumatra berpengaruh kecil sekali
atas Islam dibandingkan di Jawa. Oleh karenanya Islam di Sumatera lebih murni”.[135]
Aliran pembaruan Islam, yang mencapai kepulauan Indonesia dari pantai Barat
Arab pada peralihan abad duapuluh “disaring masuk Indonesia, pertama secara
prinsip melalui anggota masyarakat Minangkabau yang berorientasi komunalis....”[136]
Islamlah yang menjadi ekspresi ideologis kelenturan ekonomi dan keberanian
berusaha pedagang Minangkabau yang luar biasa.[137]
Gagasan dasar pembaruan Islam adalah menguasai pengetahuan dan metode-metode
Barat dan memurnikan Islam agar menjadi “senjata bagi pembaruan sosial dan
politik”.[138]
Oleh karena itu tak diragukan lagi bahwa para intelektual Minangkabau pada
waktu itu sangat dipengaruhi pembaruan Islam. Mereka menggunakan pembaruan itu
secara efektif sebagai senjata dalam perjuangan menuntut persamaan dan mereka
juga melihat kedekatan dasar antara Islam dan nilai-nilai dasar masyarakat
Minangkabau. Tak diragukan bahwa semakin Islam dikenal sebagai kekuatan
pendorong pergerakan nasionalis Indonesia,[139]
intelektual Minangkabau cenderung melihat Islam sebagai simbol superioritas
budaya mereka dalam pergerakan seluruh Indonesia dan simbol peran menentukan
yang telah digariskan bagi Minangkabau pada masa depan Indonesia.
Kebijakan-kebijakan Belanda yang menindas tak berhasil menghapus
Islam sebagai unsur penting budaya dan kehidupan politik Minangkabau.[140]
Sebaliknya bagi banyak orang Minangkabau, tindakan Belanda terhadap Islam
dipandang sebagai tindakan yang merusak atau mengakibatkan ketidakseimbangan di
Alam dan Madilog adalah contoh nyata dari pandangan ini. Perlawanan Islam
menentang kaum kafir Belanda dipahami oleh orang Minangkabau sebagai bagian tak
terpisahkan dari perjuangan mengembalikan keseimbangan Alam Minangkabau yang
terganggu.[141]
Bahkan gerakan komunis di Sumatra Barat, dalam tingkat tertentu, dipengaruhi
oleh simbol Islam yang menyatukan. Cabang-cabang partai yang masih muda dan
belum berpengalaman sepanjang tahun 1920-an memegang teguh orientasi keagamaan.[142]
Kecendrungan ini dilukiskan dengan bagus sekali oleh pengikut Tan Malaka paling
dekat, Djamalludin Tamin. Tamin memulai karir sebagai guru sekolah thawalib,
mengajarkan modernisasi Islam. Menurut sumber terbaru di Belanda, Tamin
“berhasil menggabungkan pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi
kepentingan rakyat yang sengsara dan miskin” dengan “kehendak dan tuntutan
Islam yang sesungguhnya”.[143]
Dalam konsepsi Tan Malaka tentang Islam kita bisa menemukan
nilai-nilai budaya yang kita dapati dari penggambarannya mengenai Indonesia
Asli dan cara berpikir Madilog. Menurut Tan Malaka, berpikir realistis adalah
prinsip Islam:
Dan bangsa Arab bukanlah Hindu. Pikiran
mereka yang menjulang tinggi selalu kembali membumi. Sesungguhnya, berloncatan
di antara awan dan bumi akan besar sekali gunanya. Tidakkah ilmuwan seperti
Newton dan penemu seperti Edison harus mampu “terbang” dalam berpikir? Namun
mereka “terbang” membawa hal-hal yang material dan menurut hukum-hukum
tertentu.[144]
Rasionalitas menjadi kualitas penting dalam cara berpikir Islam:
Dalam peperangan yang dilakukan oleh Mohammad
kita tidak akan mendapati satu pun tipuan gaib seperti dilakukan oleh Arjuna
dan Rama....Dalam keseluruhan perang Mohammad tak ada sesuatu yang mengingkari
akal.[145]
Islam juga memberikan sumbangan terhadap apa yang dipahami sebagai
kebaikan yang diperoleh dari rantau sampai ke budaya Barat modern:
Di kalangan sejarawan (Kristen, Barat) yang ilmiah terdapat
pengakuan bahwa kebudayaan Islam di zaman kegelapan Eropa telah menjembatani
kebudayaan Yunani dan Romawi di satu pihak dengan kebudayaan Eropa modern di
pihak lain.[146]
Islam membawa filsafat Yunani sampai
Kristen yang tetap berdasarkan dogma dan keyakinan. Seorang ahli fisika dan
filsuf bernama Ibnu Rushdi, yang di dunia Barat dikenal sebagai Averoes,
seorang murid Aristoteles yang besar.....oleh masyarakat Kristen Barat di zaman
kegelapan dipandang dengan kekaguman dan kecemasan, sebagaimana Barat kini
memandang Marxisme. Murid-murid Kristen yang kembali ke Eropa Barat dan Eropa
Utara dari pendidikan filsafat mereka di Spanyol dengan diploma yang mereka
peroleh dari guru-guru Arab mereka, oleh para pendeta Kristen dianggap sebagai
kelompok revolusioner. Tiga Universitas Averoes di Italia mengembangkan
“rasionalisme” sebagai sayap kiri Islam di Eropa.[147]
Tan Malaka juga mencatat bahwa Mohammad membawa ajaran-ajaran kepada
rakyat bangsanya dari rantau. Ia berusia duapuluhlima tahun ketika memulai
perjalanan besar.
Pada saat inilah ia menemukan tempat dan
saat yang tepat untuk membersihkan pikiran, merenung, mencari kebenaran,
mengoreksi segala sesuatu dan memperdalam pikirannya tentang segala macam
pertanyaan.......[148]
Di berbagai tempat yang sunyi dan sendirian
di bukit di luar Mekah, banyak pertanyaan muncul. Langit di atas wilayah Arab
bersih dari awan di malam hari. Diterangi bulan dan bintang-bintang suasana
menarik bagi orang yang sungguh-sungguh. Tak diragukan lagi, pemuda Mohammad
dirisaukan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang menyusun bulan dan
jutaan bintang itu dalam keteraturan pasti? Siapa menurunkan hujan yang membawa
kehidupan bagi tumbuhan, binatang dan manusia? Tak ada tulisan atau sekolah
yang mengajarnya tentang bahan-bahan yang hidup semacam itu. sebaliknya
bahan-bahan hidup yang dimilikinya menjadikan Mohammad bin Abdullah menciptakan
tulisan dan keilmuan baru.[149]
Dalam pandangan Tan Malaka, ajaran Islam sadar sekali tentang
perjalanan sejarah menuju kesempurnaan masyarakat, sehingga histografi Islam
jauh lebih maju dibandingkan histografi Hindu yang idealis.[150]
Dari kesadaran ini muncul dinamisme Islam dalam perjuangan mencapai kesempurnaan
masyarakat. Dalam “Pantheon” di
bagian akhir Madilog, untuk memperingati peristiwa besar dalam sejarah
Indonesia dan dunia, Tan Malaka memberikan tempat paling penting kepada para
pahlawan Islam.[151]
Para pahlawan Islam ini telah berperang demi “surga Islam”, “sebuah surga yang
sama sekali tak dingin dan beku seperti nirvana
Budha atau sepi seperti sorga Yesus”.[152]
Peran Islam dalam sejarah Indonesia sangat besar karena kekuatan pemersatu yang
dikandungnya. Prestasi terbesar Mohammad, dalam pandangan Tan Malaka, adalah
keberhasilannya membangun “persatuan di bawah satu kepemimpinan berdasar atas
inspirasi Tuhan yang satu”.[153]
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap Islam membuatnya pada
tahun 1920-an mendukung gagasan kerjasama antara PKI dan Komintern di satu
pihak dengan gerakan Pan Islam dan Sarekat Islam di pihak lain.[154]
Bagaimanapun ia mengagumi Islam sebagai ekspresi nilai-nilai Madilog. Kapan
saja ia menyaksikan pemimpin-pemimpin politik Islam Indonesia keluar dari
nilai-nilai ini, akan terlontar komentarnya yang kasar bagi mereka: anti-Cina,
mengeksploitasi keyakinan mistisme dan kegaiban, tak jujur, demagogik dan
“samasekali tak memahami konflik klas, taktik dan kepemimpinan”.[155]
Federasi Aslia
Menurut Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia akan berakhir dengan
munculnya Indonesia merdeka dan sosialis. Negara yang diimpikan Tan Malaka ini
dinamai Aslia. Nama ini adalah singkatan dari “Federasi Asia dan Australia”.[156]
Namun dari bunyi kata ini para pembaca mungkin akan berpikir bahwa Aslia adalah
akronim Asia Asli. Hendak saya tunjukkan nanti bahwa asumsi ini tak sepenuhnya
salah.
Kemajuan teknologi adalah salah satu elemen cara berpikir dan cara
hidup menurut Madilog, sesuai pandangan Tan Malaka. Simbol dunia modern paling
mengesankan bagi intelektual Minangkabau di peralihan abad dua puluh adalah
lokomotif. Simbol ini juga diambil oleh Tan Malaka untuk simbol Aslia yang
diimpikannya. Suasana di negeri Aslia yang dimaksud Tan Malaka bakal kita
ketahui dengan mendengarkan suara kereta api yang sedang berjalan di atasnya:
Perhatikanlah mesin itu! betapa besar tugasnya! Asap nafasnya sampai
keluar! Aku bahkan merasakan panas keringatnya. Dengarkan peluitnya yang
memperingatkan: Minggir! Minggir! Saya lewat! Jangan ada di jalanku! Beratus kilo
barang kubawa ketika berjalan di jalurku! Berapa banyak nyawa penumpang di
punggungku! Laki-laki, wanita, pemudi, pemuda, anak-anak dan bayi-bayi!
Minggir! Minggir, seruku lagi. Bahaya untuk kalian adalah memalukanku! Aku
bertanggung jawab atas keselamatan kalian, aku harus memenuhi janji ini. Satu
menit terlambat akan menghancurkan reputasiku. Saudaraku, sang masinis yang
bertanggung jawab langsung. James Watt adalah nama moyangku. Cepat, pasti dan
selamat adalah mottoku. Kesempurnaan adalah tujuan akhirku![157]
Aslia pasca kapitalis dalam Madilog digambarkan memiliki tingkat
kemajuan teknologi jauh lebih tinggi daripada Indonesia Asli di zaman besi.
Apakah ini berarti bahwa tahap Aslia, sejarah Indonesia akhirnya bakal
melintasi pemisah antara “tradisional” dan “modern”? Apakah hal ini menunjukkan
bahwa utopia ini akan meniadakan arti dan fungsi paradigma Minangkabau? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus lebih memahami impian Tan Malaka
tentang Aslia.
Dalam konsep tradisional Minangkabau, dunia ini timbul, berkembang
dan terus dengan bergabungnya tanah-tanah baru rantau ke dalam garis lingkar
yang terus meluas berpusat pada Gunung Merapi tempat nenek moyang bangsa
Minangkabau pertama turun dari surga. Tiga kawasan luhak dekat Gunung Merapi yang
pertama dihuni oleh orang Minangkabau dipandang sebagai “jantungnya wilayah
Minangkabau (the static heartland)”
–tanah induk yang melahirkan Alam Minangkabau. Keberadaan Alam Minangkabau tak
bisa dibayangkan tanpa luhak di sekitar Gunung Merapi itu. [158]
Aslia dalam pandangan Tan Malaka juga memiliki jantung wilayah.
Posisi dan sifat geografis jantung wilayah ini menjadi kunci keberadaan konsep
Aslia, karena jantung wilayah ini memiliki sifat federasi yang terpenting. Oleh
Tan Malaka, jantung wilayah ini dilukiskan memiliki sumbu-sumbu yang “dekat
Ekuator dan secara kasar dibatasi oleh garis lurus yang ditarik dari Bonjol ke
Malaka”.[159]
Daerah yang dimaksud mudah ditebak. Jantung Aslia masa depan dalam impian Tan
Malaka tak lain dari jantung tanah kelahirannya tercinta, Alam Minangkabau. Di
wilayah ini Tan Malaka meramalkan kebangkintan “pusat industri penting Aslia
dan bahkan untuk seluruh dunia”.[160]
Nasib federasi ini selanjutnya akan ditentukan oleh pusatnya. Karenanya dalam
perjalanan sejarah Indonesia, kapan saja penguasa menghendaki penyatuan wilayah
Indonesia, ia harus memperhatikan sumbu Bonjol-Malaka karena nilai-nilai
strategis yang dikandungnya.[161]
Mengenai konsep sumbu Bonjol-Malaka, Tan Malaka dengan sangat jelas
mengemukakan keyakinannya terhadap misi budaya Minangkabau dalam sejarah
Indonesia dan Asia Tenggara. Keyakinan ini kadang-kadang dinyatakan dalam
terminologi yang lebih kuat oleh Tan Malaka daripada oleh mereka yang
berpredikat sebagai kaum nasionalis Minangkabau tradisional.[162]
Tan Malaka bermaksud merumuskan kembali slogan kebanggaan kaum nasionalis
konvensional “Malaka adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini dan Sumatra
adalah masa depan” menjadi “Sumatra adalah pelopor, Jawa adalah masa kini dan masa depan Indonesia sekali
lagi akan kembali ke Sumatra”.[163]
Ia merasa bahwa penduduk Indonesia pada akhirnya akan terkonsentrasi di garis
wilayah Sumatra-Malaka.[164]
Wilayah ini kelak muncul sebagai pusat perekonomian Indonesia dan, karena
kegiatan ekonomi merupakan sarana pembentukan dan keberadaan kebudayaan, sumbu
Bonjol-Malaka pada akhirnya juga menjadi pusat kebudayaan.[165]
Salah satu alasan mengapa Tan Malaka memberi predikat yang demikian
luar biasa kepada sumbu Bonjol-Malaka adalah karena wilayah ini sepanjang
sejarahnya telah menunjukkan kualitas-kualitas kebudayaan yang mewarnai peranan
Indonesia Asli dan Islam dalam sejarah Indonesia.
Sumatra telah menjadi pelopor ketika
membawa Islam ke Jawa...Duduk sama rendah berdiri sama tinggi adalah sebuah
prinsip yang tak ditemukan dalam masyarakat Hindu-Jawa. Jika dasar semacam ini
–dasar kerakyatan—dijadikan ukuran, kita seharusnya menengok masyarakat
Minangkabau di masa kejayaannya.....bahkan seandainya Minangkabau ketinggalan
di belakang Jawa di bidang sastra dan seni seperti tarian dan musik, teknologi
dan perekonomian Minangkabau tidak ketinggilan dari Jawa sama
sekali.....Sesungguhnya sepanjang menyangkut teknik irigasi, Minangkabau ada di
depan Jawa dan wilayah lain di Asia..[166]
Memang dalam pandangan Tan Malaka, sepanjang menyangkut perdagangan
dan industri, “ramalan ‘Sumatra adalah masa depan’ benar telah menjadi
kenyataan”.[167]
Wilayah Bonjol-Malaka tak hanya menjadi pusat Aslia, juga Tan Malaka
tak menyebutkan kota-kota penting lainnya dalam deskripsinya tentang federasi
ini. Lagi pula menurut menurut Tan Malaka Aslia terbentuk karena pengaruh
radiasi kebudayaan Minangkabau. Di sekitar inti kebudayaan Minangkabau terdapat
lingkaran yang semakin ke luar semakin melebar mencakup wilayah luas yang
semakin ke luar derajat pengaruhnya terhadap perkembangan Aslia semakin
berkurang. Yakni mencakup urutan sumbu Bonjol-Malaka, Sumatra, Indonesia dan
akhirnya Indonesia Raya.
Menurut Taufik Abdullah selama masa pergerakan:
Pengalaman di luar negeri dan kesadaran
terhadap gagasan-gagasan yang tumbuh di sana membantu perantau merumuskan makna
konsep tradisional Alam Minangkabau yang baru dan lebih luas. Perantau
memperkenalkan gagasan persatuan, keyakinan dan persamaan nasib dengan orang
lain di luar Minangkabau......Dengan konsepsi persatuan yang lebih luas ini, perantau
mengancam untuk menghilangkan gagasan adat yang terus-menerus dan pada waktu
yang sama untuk memperlemah ciri Alam Minangkabau yang secara tradisional
sentripetal. [168]
Namun saya menduga bahwa pengalaman di atas tidak berlaku untuk Tan
Malaka. Tan Malaka juga memperkenalkan gagasan tentang kesatuan ide dan
keyakinan, serta kesatuan nasib dengan masyarakat di luar Minangkabau. Namun
semua ini tak mengurangi penekanan terhadap keseimbangan Alam-rantau dalam
pandangan hidup Tan Malaka. Sebaliknya lebih dari semuanya, pengalaman
rantaulah (dan barangkali keterasingan dari Alam Minangkabau yang berubah cepat
di permulaan abad dua puluh ini) yang menumbuhkan aspek “tradisional” semacam
ini dalam jiwa Tan Malaka. Seperti yang telah kita lihat konsep Tan Malaka
tentang Aslia tetap Minangkabau sentris dan pandangannya tentang dunia (Alam
bersama rantau) yang sentripetal tak juga berubah. Sesuai pandangan tradisional
Minangkabau tentang rantau, Tan Malaka menganggap keberadaan dunia di luar
Minangkabau penting untuk menyempurnakan Alam. Dalam Madilog, Aslia
sesungguhnya hanya merupakan satu dari delapan komponen dunia sosialis yang
akan datang.[169]
Bahkan komponen paling akhir dari delapan komponen dunia sosialis ini,
Hindustan, diharapkannya akan mencapai tahap pembangunan sosialis. Yakni
berhasil mengatasi beban budaya Hindu yang menindihnya. [170]
Simpati Tan Malaka yang besar terhadap Cina, komponen dunia sosialis masa depan
terpenting, merupakan ungkapan keyakinan bahwa nilai-nilai budaya dunia
tertentu ada dan akhirnya menjadikan rantau sebagai sumber abadi bagi
penyempurnaan Alam. [171]
Demikianlah pandangan Tan Malaka tentang sejarah Indonesia. Di
bagian ini saya mencoba berargumentasi bahwa Tan Malaka mengkonseptualisasi
sejarah dari sudut pandang seorang perantau Minangkabau; sehingga ia melihat
sejarah sebagai proses yang berakar di Alam dan mempunyai tujuan bagi
penyempurnaan Alam. Saya juga telah mencoba memperlihatkan bahwa dalam
pemikiran Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia yang mirip dengan perjalanan
hidupnya, secara berkala berhubungan dengan nilai-nilai budaya Alam dan rantau.
Dalam perspektif ini sejarah Indonesia dan kehidupan Tan Malaka digerakkan oleh
hubungan keduanya dengan nilai-nilai kultural Alam Minangkabau; gerak maju
sejarah Indonesia serta kehidupan Tan Malaka terhalang dan terkacaukan maknanya
ketika identifikasi diri keduanya dengan Alam melemah.
Konsep dan Realitas
Kembalinya Tan Malaka dalam
Kehidupan Politik Indonesia
Pribadi dan akal merupakan kekuatan paling penting yang menggerakkan
Alam Minangkabau. Menurut Tan Malaka seperti telah dijelaskan di muka, jalannya
sejarah Indonesia ditentukan oleh cara berpikir. Tan Malaka dengan jelas
mengakui pandangan ini melalui fakta bahwa ia menempatkan konsep kehidupannya
sendiri pada urutan kedua sesudah sistem kesadarannya yang merupakan bagian
lebih penting.[172] Hal ini tak harus berarti bahwa filosofi Tan
Malaka adalah pemujaan diri. Ia mengukur kekuatan dan peran pribadi dan atau/atau
pemikirannya terutama dari kemampuan pribadi menggerakkan dunia materi dan
mengembangkan kesejahteraan kolektif. Dengan demikian titik perpotongan antara
kehidupan perantauannya di satu pihak dengan perkembangan Alam di pihak lain
–dengan kata lain kepulangannya dari rantau kembali ke Alam, oleh Tan Malaka
dilihat sebagai periode menentukan dalam karir pribadinya. Hanya setelah itu ia
dapat melangkah dari dunia pikiran ke dunia sesungguhnya dalam politik
Indonesia. [173]
Hanya setelah ini, pengetahuan; kekuatan yang diakumulasi selama rantau,
diterapkan. Hanya dengan cara demikian buah rantaunya menjadi masak.
Tiap nilai dalam sebuah pribadi Minang beserta akalnya harus
diarahkan pada kolektivitas dan kenyataan. Lebih dari itu kehadiran Alam dan
rantau secara permanen, nyata dan dinamis harus ada dalam akal antroposentrik
perantau Minangkabau. Alam dan rantau harus terus-menerus bertentangan dalam
sebuah pribadi, tak pernah terpisah sepenuhnya. Akal perantau akan
menghubungkan keduanya. Oleh karenanya keduanya tak bisa berubah secara bebas
dari kesadaran seorang perantau. Sehingga dalam model kasus, kepulangan seorang
perantau akan mampu memadukan ke dalam sistem konseptualnya benturan antara
konsep yang tumbuh di rantau dengan realitas di Alam. Kini mari kita lihat
apakah hal ini terjadi pada kasus khusus kembalinya Tan Malaka –untuk kedua
kali sekaligus terakhir—ke kehidupan politik nyata Indonesia.
Baik pandangan hidup Tan Malaka sendiri mapun cara pandangnya
terhadap sejarah Indonesia merupakan bagian dari satu sistem konseptual.
Keduanya dibentuk dari nilai-nilai budaya umum dan periodesasinya disesuaikan
dengan irama umum. Dua waktu kepulangan Tan Malaka dikonseptualisasi sebagai
hal yang identik dengan tonggak penting dalam gerakan sejarah Indonesia menuju
kesempurnaan masyarakat. Yakni kebangkitan revolusioner di awal tahun 1920-an
dan revolusi tahun 1940-an. Batas biologis terhadap kehidupan telah memperkuat
konsep musiman (climate concept) Tan
Malaka tentang waktu yang masih panjang. Seorang revolusioner yang berumur dan
sakit-sakitan perlu memandang kepulangannya kembali yang kedua sebagai
kepulangan yang terakhir. Sebagai konsekuensinya ia harus memahami kepulangan
ini sebagai tujuan akhir untuk memasukkan kekuatan rantaunya ke Alam.
Perkembangan politik di Indonesia yang berbarengan dengan saat kepulangannya
harus menjadi revolusi yang berhasil dan menentukan. Oleh karena itu
kepulangannya yang kedua kali dalam pandangannya menjadi titik di mana lintasan
sejarah Indonesia dan jalan kehidupannya sendiri akan berpotongan dan menyatu
dalam tujuan akhir nilai-nilai Madilog ke dalam Alam –tujuan yang akan membawa
perjuangan bersejarah untuk Indonesia merdeka dan sosialis ke suatu hasil akhir
yang penuh kemenangan gilang-gemilang.
Bulan Juni 1942 Tan Malaka kembali ke tanah air setelah tinggal
beberapa tahun di Cina dan Singapura.[174]
Rantaunya yang kedua, yang hampir 20 tahun lamanya, telah berlalu. Selanjutnya
daya kekuatan yang telah dikumpulkannya selama tahun-tahun perantauan itu akan
tergantung pada apa yang dipandangnya sebagai tiga fator penting dalam kancah
politik Indonesia saat kepulangannya: tentara
Jepang, Sukarno dan pemuda. Dua yang pertama dilihatnya sebagai kekuatan
yang mewakili cara berpikir lama, sedangkan faktor ketiga mewakili ekspresi tertinggi
kualitas Madilog.
Seperti telah dijelaskan di muka Tan Malaka memiliki rasa sayang
yang mendalam terhadap pemuda. Hal ini berpengaruh besar terhadap kesadarannya
selama rantau kedua. Ia sangat memperhatikan pemuda selama dua tahun terakhir
pendudukan Jepang. Sambil bekerja dengan nama samaran sebagai pegawai tata
usaha sebuah perusahaan Jepang di pedalaman Jawa Barat, Tan Malaka
mengorganisir para pemuda di sekitarnya. Ia menyadarkan mereka tentang
kekeliruan propaganda Jepang dan mendorong mereka mengembangkan “semangat
gotong royong” di antara rakyat Indonesia sekitarnya. Ia menyadarkan mereka
tentang kekeliruan propaganda Jepang dan mendorong mereka mengembangkan
“semangat gotong royong” di antara rakyat Indonesia sekitarnya. Bersama para
pemuda ini, Tan Malaka mengorganisir pertunjukan-pertunjukan teater yang secara
tertutup anti-Jepang dan secara terbuka anti-imperialisme.[175]
Sejak berkobarnya revolusi Agustus 1945 Tan Malaka menafsirkan politik
Indonesia sebagai suatu perjuangan antara golongan tua, yakni diwakili
Sukarno-Hatta di satu pihak dengan rakyat dan pemuda pelopor revolusi di pihak
lain. [176]
Sebagaimana dituliskannya, Tan Malaka akhirnya berhasil mendapati kelompok yang
lama dicarinya –kelompok pemuda—setelah menempuh perjalanan berliku. Ia segera
mengidentitikasi diri dengan pemuda, “bercampur dengan mereka seperti minyak
dengan minyak, air dengan air”.[177]
Dalam pandangan Tan Malaka, Sukarno merupakan perwujudan semua unsur
budaya Hindu-Jawa yang buruk. Yang terburuk, demikian Tan Malaka, adalah cara
berpikir Sukarno yang bertentangan dengan dialektika dan materialisme Madilog.
Menurutnya Sukarno tak “menerapkan cara berpikir revolusioner dan filsafat
revolusi yang benar”.[178]
Secara oportunis Sukarno mengubah filsafat politiknya beberapa kali selama
hidup.[179]
Ia “banteng besar Indonesia.”[180]
Gayanya “grande eloquence” yang
dikombinasi dengan “grande eloquence ala Sukarno”. [181]
Sukarno mengeksploitasi gaya ini tidak untuk membangkitkan keyakinan yang
didasarkan pada pemahaman realitas dan perhitungan rasional yang jelas,
sebaliknya: “dengan suara menggelegar, menggema dan persuasif, Bung Karno mampu
merasuki atau menghipnotis segala macam pertemuannya dengan rakyat jelata”.
Kerja politik semacam ini dapat “membangkitkan harapan rakyat dan memberi mereka
mimpi”, tetapi pada saat yang sama dapat “menyembunyikan tindakan-tindakan yang
memiliki sifat-sifat kompromis dan kamuflase, yakni tindakan yang anti-massa
(misalnya anti revolusi)”. [182]
Tan Malaka juga menyalahkan Sukarno karena sikapnya yang elitis dan
keningratan menghadapi rakyat jelata. Sejak awal pemikiran Tan Malaka tentang
kerakyatan digambarkan dalam otobiografinya sedemikian rupa guna menciptakan
perbedaan menyolok dengan Sukarno. Ketika Tan Malaka berhasil kembali ke
Indonesia dengan perahu sangat sederhana, bahkan tanpa tempat duduk, dalam
kepekatan malam sunyi; Sukarno, yang pulang dari pengasingan pada saat hampir
bersamaan, berlayar ke Jakarta dengan kapal uap dikawal prajurit Kenpetai.[183]
Ketika Sukarno menikmati kehidupan yang baik di kalangan elit politik di
Jakarta, ia sibuk bekerja bersama korban-korban politik kooperasi Sukarno
dengan Jepang yang sangat menderita –romusha, para petani yang dikerahkan untuk
kerja paksa. Sementara Sukarno menghipnotis massa dengan pidato-pidatonya, Tan
Malaka sebaliknya menderita bersama massa, mengorganisasi dapur umu, rumah
sakit darurat dan bergotong-royong mengatur pemakaman atau hiburan bagi rakyat,
serta menyiapkan mereka untuk menyongsong kemerdekaan.[184]
Sebagaimana sistem koseptual Tan Malaka secara umum, pandangan Tan
Malaka tentang Sukarno merupakan bagian dari pemikiran Minangkabau saat itu.
Pada awal karir politiknya, Sukarno menjadi sasaran kritik tajam para pemikir
Minangkabau seusia. Menurut sebuah pendapat, misalnya dalam sebuah artikel
“Tjaja Sumatra” pada tahun 1931, para pemikir Minangkabau sangat tidak suka
dengan fakta bahwa massa dalam pertemuan-pertemuan politik di Jawa, khususnya
yang terjadi di Sukabumi, berjuang dengan susah payah sekedar untuk bersalaman
dengan Ir. Sukarno, yang bagi mereka merupakan kehormatan dan kebanggaan serta
mendorong anak-anak mereka untuk berbuat sama seolah-olah ia seorang Syeikh.
“Di Sumatra,” lanjut tulisan itu, “yang terdapat banyak orator yang mampu
mengguncangkan pendengarnya, tak pernah terjadi hal semacam itu”.[185]
Dari pandangannya terhadap Sukarno konsepsi Tan Malaka mengenai
pendudukan pemerintah Jepang lahir. Menurut Tan Malaka, dosa paling besar bagi
Sukarno adalah bahwa dengan kebijakan kolaborasi dengan Jepang, ia mencoba
mengupayakan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaaan asing dengan bantuan asing.
Hal ini merupakan ekspresi paling rumit dari cara berpikir ketimuran dan
mentalitas budak yang mendasarinya. Tak satu pun pemikiran yang melebihi
kontras pemikiran antara Sukarno dan Tan Malaka. Tan Malaka melihat kemerdekaan
Indonesia sebagai puncak kebangkitan kembali Indonesia asli. Sikap
non-kolaborasi yang diambil Tan Malaka menjadi nilai paling penting dari
kepulangannya kedua. [186]
Bagian akhir rantaunya digambarkannya sebagai pelarian permanen mendahului
gerak maju tentara Jepang yang terus menang, pertama di Cina kemudian di Asia
Tenggara dan akhirnya di Indonesia.[187]
Dalam pandangan Tan Malaka, keberadaan Jepang di Indonesia mendorong rakyat
Indonesia meyakini fanatisme non-akal dan sangat mengagumi ketimuran.[188]
Tiga tahun pertama
kepulangannya (1942-1945), mirip sekali dengan awal kepulangan pertamanya yang
berhasil. Yakni pada waktu ia bekerja di Sanembah Corporation di Sumatra Timur.
Kemiripan ini tampaknya berpengaruh sekali terhadap struktur pengalaman Tan
Malaka di awal tahun 1940-an. Sebagaimana terjadi pada saat kepulangan
pertamanya tahun 1919, ia menjalani masa transisi antara rantau dan kepulangan
yang sesungguhnya. Ia tidak dengan segera memasuki kehidupan politik Indonesia.
Ia juga tak segera mengunjungi teman-teman yang dikenalnya waktu di Belanda,
meskipun beberapa di antaranya telah menjadi tokoh penting dalam politik
Indonesia. Seperti dituliskannya, ia sebenarnya dapat dengan mudah memasuki
kalangan elit politik Indonesia lewat kontak-kontak pribadi ini.[189]
Kendati demikian dalam banyak kesempatan ia mengungkapkan perjalanannya
mengunjungi Sukarno selalu gagal karena “pagar Dai Nippon”: yang mengitari para
pemimpin yang berkolaborasi.[190]
Sebagaimana saat di rantau, Tan Malaka mengungkapkan bahwa ia
“tinggal kesepian di tengah orang-orang sendiri, yang sering memanggil dan
menyebut namaku tanpa mengetahui bagaimana wajahku yang sebenarnya”.[191]
Kendati secara fisik ia telah kembali ke Alam, ia masih harus “menggunakan
segala kecakapan dan kewaspadaan yang telah dipertajam selama lebih dua puluh
tahun pelariannya”.[192]
Memang tak seorang pun yang dapat menanggung pengalaman kesepian lebih dalam
dan perantau yang negatif lebih daripada Tan Malaka yang kesepian dan terpisah
dari Alamnya. Pada saat seperti inilah nilai-nilai kunci dari rantau Tan Malaka
mendapatkan kegunaan dan daya tarik sepenuhnya.
Sebagaimana terjadi semasa tinggalnya di Sumatera Timur dua puluh
tahun sebelumnya, ia juga mengamati dan mempelajari situasi nyata langsung dari
tempat-tempat yang dianggapnya sebagai cerminan krisis yang paling tipikal
dalam masyarakat Indonesia. Pertama kali ia tinggal di kampung Rawajati di
pinggiran Jakarta, dalam sebuah pondok bambu yang beratap rumbia, dengan para
tetangga yang bekerja sebagai buruh pabrik sepatu, petani, pedagang kaki lima
dan djago –sebua predikat setara
dengan pawang di Minangkabau.[193]
Dari tempat berpijak yang menguntungkan ini, ia “dengan hati-hati mempelajari
perilaku dan tindakan tentara Jepang, serta tingkah laku para pemimpin Indonesia
yang berkolaborasi”.[194]
Sewaktu ia pindah pekerjaan pada tahun 1943. Yakni ke “sekolah
sosialis yang baru”[195]
–sebagaimana terjadi tahun 1919—yakni sebuah tempat di mana eksploitasi
imperialis terhadap rakyat Indonesia sangat menyolok. Sebagai pegawai rendahan
pada sebuah perusahaan tambang Jepang di Banten, ia menyaksikan dengan mata
kepala sendiri kesengsaraan para pekerja paksa di perusahaan yang mengerikan. [196]
Siang hari tanggal 15 Agustus 1945, pengumuman menyerahnya Kaisar
Jepang kepada Sekutu sampai di Jakarta. Dua hari kemudian, di bawah tekanan
pemuda, wakil golongan tua—Sukarno dan Hatta—memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Tan Malaka melihat revolusi yang segera menyusul sebagai manifestasi
kebangkitan Indonesia asli “yang yakin pada kekuatan sendiri, yakin pada
senjata sendiri” dan tak tergantung pada “janji-janji bantuan dari luar”.[197]
Bagi Tan Malaka, revolusi ini merupakan saat penuh keagungan yang mendorongnya
memasuki kehidupan politik Indonesia. Dengan demikian secara tegas ia
menyeberangi garis pemisah antara rantau dan Alam.
Dilihat dari kaca mata sistem konseptual Tan Malaka, kepulangannya
yang kedua merupakan suatu dorongan dari kekuasaan rantau. Dinamika rantau
keduanya ditandai dengan meningkatnya pengasingan dan isolasi politik, sehingga
dinamika kepulangan kedua bercirikan pertumbuhan pengaruh politik yang kuat,
popularitas dan kekuasaan.
Sejak Kongres Pemuda di Bandung Mei 1945, Tan Malaka memusatkan
perhatiannya pada kelompok pemuda yang berada di sana yang kemudian menjadi
pemimpin pemuda terpenting pada revolusi sesudahnya. [198]
Ia menemui lagi mereka beberapa jam sebelum proklamasi kemerdekaan dan memaksa
mereka melakukan aktivitas revolusioner. Sewaktu para pemuda menculik Sukarno
dan Hatta guna memaksa mereka berdua memberikan tanda dimulainya revolusi, Tan
Malaka kebetulan tak berada di sana, sesuatu yang sangat disesalinya kemudian.[199]
Pada saat itu ia sebenarnya sudah “memasuki” politik, tetapi tak membuka
identitasnya kepada para pemuda dan menyamar sebagai pemuda bernama Ilyas Hussein
asal Jawa Barat. Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, ia menemui Sukarno,
yang dipilih oleh elite/PPKI sebagai
presiden Republik Indonesia pertama. Seperti dituliskannya dalam pertemuan itu
Sukarno terkesan dengan cerita rantaunya. Sukarno lalu meyakinkan Tan Malaka:
“Jika saya tak berdaya, akan saya serahkan kepemimpinan revolusi kepadamu”.
Mereka lalu berpisah. Sejak itu Tan Malaka menerima bantuan keuangan dari
Presiden Sukarno.[200]
Dalam memoir Tan Malaka orang dapat membaca bagaimana ia beberapa pekan setelah
revolusi memprakarsai demonstrasi rakyat terbesar pertama untuk mendukung
Republik Indonesia pada tanggal 19 September 1945, yang menurut penilaiannya
“uji kekuatan” bagi negara baru. Ia menciptakan slogan-slogan membakar semangat
revolusi selama pekan-pekan ini.[201]
Peran Tan Malaka sangat besar, sehingga ia diundang turut serta sebagai anggota
lingkaran inti (inner circle) dalam pembicaraan pendahuluan dengan “wakil-wakil
Amerika”.[202]
Tujuan kegiatannya selama tiga bulan pertama setelah Indonesia
merdeka adalah mengobarkan revolusi dari belakang, karena ia sendiri belum
memasuki puncak politik secara penuh. Pada saat bersamaan ia menghendaki negara
mengetahui bawa “Tan Malaka bakal muncul bersamaan dengan situasi dan kekuatan
rakyat”.[203]
Akhirnya saat yang dinantikan tiba juga. Para pemuda menolak keras upaya
Inggris dan Belanda mengembalikan Indonesia ke situasi sebelum perang. Ketika
pertempuran meluas, Tan Malaka merasa harus turut serta memikul tanggung jawab
mempertahankan kemerdekaan secara terbuka dan jelas.[204]
Pada akhir Desember 1945 ia menampakkan diri untuk pertama kali dan sebelum
awal Januari ia telah mendirikan Persatuan Perjuangan, yang dalam pandangannya
menyatukan kekuatan rakyat dan pemuda revolusioner serta mewakili kekuatan
Madilog dalam revolusi. Tanggal 17 Maret 1946 para pemimpin Persatuan
Perjuangan, termasuk Tan Malaka ditahan oleh penguasa pemerintah “golongan
tua”. Namun karena keyakinan Tan Malaka tentang kemenangan mendatang tak dapat
lagi digoyahkan, ia melihat penahanannya akan bersifat sementara sebagai
peralihan menuju “periode perjuangan penuh kemenangan”. Periode “diplomasi”
mengalah tak akan berlangsung terlalu lama. Ia masih tetap yakin bahwa dalam
beberapa bulan perjuangan penuh kemenangan akan kembali dan pemuda akan bangkit
kembali. Sewaktu di penjara, demi perjuangan selanjutnya ia memutuskan menulis
otobiografi perjuangannya.
Dalam konsep Tan Malaka waktu itu, kepulangannya yang kedua
merupakan suatu langkah yang berhasil menghadapi pengadilan dari konfrontasi
perjuangan. Dari perhitungan lain yang tak sepenuhnya subyektif, kita
memperoleh gambaran yang berbeda antara adanya perbedaan konsep Tan Malaka
dengan realitas Alamnya yang sesungguhnya. Tingkat dan derajat perbedaan ini
mengharuskan kita membuat deskripsi
panjang lebar mengenai dua gambaran paralel dan berbeda pada periode sejarah
yang sama. Karenanya kita perlu bertanya lebih lanjut, yang saya yakin adalah
pertanyaan yang lebih berarti: sejauh
manakah dan dengan cara bagaimana konsepsi Tan Malaka mempengaruhi perilakunya
selama periode ini dan mempengaruhi revolusi Indonesia pada umumnya?
Sasaran kekuatan rantau Tan Malaka yang terbukti paling efektif
adalah “revolusi pemuda” Jawa. Semangat revolusi dan dinamisme pemuda Jawa
secara umum dilukiskannya dalam pengertian luas sejalan dengan gagasan
masyarakat Jawa tradisional tentang tentang rantau.[205] Rantau Jawa lebih diarahkan ke dalam pada
jiwa daripada keluar dan menciptakan “suatu perasaan tanpa beban, keadaan
kebebasan yang mengambang lepas”. Hanya pada saat-saat krisis pemikiran
dalamnya “mengambil alih peran aspek eksternal dalam menjawab disentegrasi
sosial dan bencana alam yang secara tradisional dilihat sebagai isyarat
nyata.....ancaman bagi tatanan kosmologi”.
Kejatuhan ras superior kulit putih yang tak terbayangkan hingga 1942
dan kejatuhan ras superior kulit kuning hanya tiga tahun kemudian, propaganda
Jepang dan nasionalis yang membakar, mobilitas sosial yang belum pernah terjadi
sebelumnya, penderitaan hebat bercampur keadaan nyaris tanpa
harapan........semuanya merangsang semangat dan pengagungan mesianis tahun 1945, bukan saja terhadap
para pemuda Jawa tetapi seluruh Indonesia, termasuk Minangkabau.
Terdapat banyak kesamaan antara pikiran tersebut dan pengalaman
rantau Tan Malaka sendiri. Rantau Jawa dan Tan Malaka, semuanya, serta semangat
revolusi Indonesia menimbulkan kepekaan yang meningkat terhadap krisis
masyarakatnya. Seperti pada rantau Jawa, bagi Tan Malaka berada “di luar
masyarakat” mendorong orientasi ke dalam “non-akal” tertentu; dalam kasus Tan
Malaka, rasa rindu pada kampung halaman yang alami jika bawah sadar tampil,
memperkuat perasaan hati daripada pandangan rasional tentang Alam Indonesia. Ia
bahkan bisa menuliskan “perasaan sedih, ketentraman, kedalaman dan misteri”
serta “perasaan terbebas dari dunia yang sia-sia” yang ditimbulkan oleh gamelan
dan tarian Jawa pada dirinya. Kata-kata yang sama ini, bagaimanapun, bisa
secara mudah dianggap sebagai ungkapan sebagian besar semangat harmoni yang
muncul antara perantau Minangkabau ini, pemuda Jawa dan Revolusi
Indonesia.
Namun perasaan-perasaan ini sebenarnya hanya bersifat pinggiran bagi
semangat rantau Tan Malaka. Merantau bagi orang Minang dilihat sebagai suatu
fungsi sosial yang normal, penting dan sehat. Kedua pemikiran dasar –preubahan
Alam melalui pengaruh rantau dan menjaga Alam berupa penghormatan terhadap
fondasi Alam—tetap dilaksanakan, tidak seperti rantau Jawa (dan mungkin
pengangungan Proklamasi Kemerdekaan 1945) terhadap kosmos, bukan terhadap dunia
nyata. Setelah perantau Minangkabau kembali ke Alamnya, pengalaman rantaunya
meskipun sering nampak “tak masuk akal” hanya memiliki satu arti. Yakni
pemanfaatan intelektual dan dunia luar yang diyakini sebagai sumber kemajuan
Alam. Singkatnya berbeda dengan budaya Jawa, dimana Alam tak ber-kembang atau
meluas dan di mana kehidupan biasa dan rantau secara simetris berlawanan, dalam
konsep Minangkabau Alam dan rantau secara dinamis saling bergantung.
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap pemuda Indonesia
berkembang jauh sebelum 1945 dan suku Minangkabau menurutnya tetap kuat setelah
ini. Tan Malaka mengagumi pemuda sebagai pelopor terdepan revolusi rakyat dan
ambisi pribadinya adalah memimpin revolusi pemuda. Dengan semua hal ini berarti
ia menganggap tata hirarkhi dan organisasi sebagai aspek penting semangat
pemuda. Seperti dituliskannya sejak tahun 1926:
Massa aksi (misalnya: revolusi) tak
berhubungan dengan fantasi kosong seorang pelaku kudeta atau anarkis atau
dengan tindakan berani seorang pahlawan.[206]
Tak mungkin ada semangat revolusi bila tak ada akal dan demikianlah,
“sementara kekuatan yang tak diperhitungkan (seperti di zaman feodalisme) dapat
menggerakkan kudeta, pemimpin pergerakan massa modern haruslah seorang yang
cakap dan bijak”.[207] Dalam pandangan Tan Malaka, keberadaan partai
revolusioner yang kuat dengan “hukum-hukum besi” adalah syarat mutlak bagi
suksesnya revolusi.[208]
Sekali lagi menyangkut struktur organisasional, kini organisasi angkatan
bersenjata Indonesia, mendapatkan perhatian besar dari Tan Malaka.[209]
Hal ini tak diragukan lagi merupakan cerminan dari pandangan Tan
Malaka tentang bagaimana seharusnya melihat aksi pemuda yang berhasil. Tetapi
bagaimana penerapan pandangan ini? Bagaimanakah Tan Malaka mampu merealisasi
konsep khusus ini?
Kekuatan yang dibawa kembali oleh Tan Malaka dari rantau terbukti
tak lebih dari legenda. Hal ini sangat penting bagi sejarah Indonesia sesudah
perang, namun merupakan sebuah tragedi pribadi bagi kehidupan Tan Malaka. Lebih
dari itu dasar-dasar pendirian aliansi “revolusioner” yang dibangun Tan Malaka
ternyata hanya kualitas yang dinilainya sebagai penyimpangan dari cara pandang
Madilogi yang sesungguhnya. Penggunaan non-akal, kosmosentris dan mistis pada
tahun 1945 terbukti merupakan satu-satunya penghubung yang kuat antara Tan
Malaka yang rasionalis dengan Revolusi Indonesia. Legenda perantauan Tan Malaka
dan bukan Tan Malaka sendiri yang banyak menarik para pemuda. Bukan aliansi
revolusi, melainkan “Kesalahpahaman kosmis”-lah istilah yang mungkin paling
cocok untuk menggambarkan pertemuan bersejarah antara Tan Malaka dan pemuda
Indonesia pada masa revolusi tahun 1945. Sesuatu yang mirip tergambar dalam
penelitian terbaru tentang Aceh modern; seperti Tan Malaka dalam satu hal,
ulama Aceh “menarik pengalaman mereka dengan melewati batas kelembagaan,
bergerak di atas dasar ini dan selanjutnya, sehingga mampu memobilisasi
rakyat”.[210]
Namun seperti Tan Malaka, ketika mereka mencoba menggunakan kekuatan untuk
tujuan nyata timbullah salah paham: “Sementara para ulama ingin membangun
masyarakat baru, yang menarik bagi rakyat desa hanya kehidupan akherat”.[211]
Sementara Tan Malaka ingin menyempurnakan masyarakat Alamnya, justru hanya
legenda yang memiliki pengaruh bagi pemuda Jawa. Tan Malaka lebih rasionalis
daripada para pemuda, sehingga membuat konsepsi masing-masing tentang kondisi
Indonesia tidak bertemu.
Tan Malaka, setelah hadir kembali di tengah “pertempuran penuh
kemenangan”, melesat menjadi tokoh penting dalam politik Indonesia. Legenda
tentang Tan Malaka, bagaimanapun, jauh lebih cepat diterima. Menurut salah satu
kawannya yang turut menyebarkan legenda itu, Tan Malaka “menulis bagian akhir
cerita ribuan halaman cerita tentang kehidupannya dua puluh tahun terakhir,
sebuah cerita roman politik seperti cerita baru Seribu Satu Malam di pantai
Pasifik Barat dari Shanghai, Manila, Bangkok, Singapura, Medan dan Bukkittinggi
hingga Jakarta”.[212]
Tan Malaka akan ditempatkan di lingkungan surga teratas tempat para tokoh
sejarah kemanusiaan sejajar dengan Rosseau, Voltaire, Sun Yat Sen dan Quezon,
dan lebih tinggi daripada Plato “yang hanya dapat menuliskan Republik di atas
kertas”. Tan Malaka merupakan bapak republik “berdampingan dengan bapak-bapak
republik; Masaryk dan Washington”.[213]
Kehadiran Tan Malaka tampaknya telah menambahkan kemasyhurannya
sebelum dan sesudah perang sebagai seorang pahlawan dalam novel-novel spionase.
Ia juga ditokohkan sebagai Patjar Merah,
“seorang yang licin seperti belut”.[214]
Cerita-cerita ini menyatakan bahwa Tan Malaka bisa menghilang, berubah bentuk
menjadi apa saja dan mempunyai segala kekuatan gaib.[215]
Singkatnya kekuatan rantau Tan Malaka menjadi subyek kekaguman mistis dan
cita-cita utopian:
Aku menunggu tahun, aku menunggu waktu
Saat kau, Tuan, akan kembali lagi;
Aku sebut, aku panggil namamu
Dan kata itu bergema menyejukkan hatiku...[216]
Kau, Tuan, bukanlah seorang pemimpin untuk
satu atau dua tahun. Kau bukanlah seorang pemimpin yang bekerjasama dengan
penjajah....Karena ini, Tuan, karena ini, kau menjadi bintang.....[217]
Sekali telinga kami mendengar namamu,
sekali merdeka, sekali berkibar bendera merah dan putih, kami semua berseru:
Ibrahim pemimpin kita
Tan Malaka bapak republik
Tan Malaka pembela bangsa
Tan Malaka pemimpin Asia.[218]
Meskipun pemimpin Persatuan Perdjuangan, Tan Malaka hanya salah
seorang anggota Dewan Eksekutif tanpa memegang organisasi.[219]
Seperti diakuinya sendiri, dukungan politiknya hanya dari “lima atau enam
pemuda yang saya kenal”.[220]
Kekuatan rantau mengangkatnya jauh di atas realitas perjuangan politik
Indonesia. Setiap kali ia ingin turun dari panggung dan memasuki realitas,
kekuatannya menghilang.
Kemasyhuran Tan Malaka mencapai puncak selama bulan-bulan pertama
tahun 1946. Namun pada bulan Maret ia ditahan bersama para pemuda pendukungnya
dan para pemimpin lain. Dan seusai peristiwa 3 Juli yang simpang siur, ia oleh
pemerintah dituduh mendalangi kudeta yang disebut “kudeta Tan Malaka”.[221]
Kesaksian bahwa “Tan Malaka yang malang.......sesungguhnya tak tahu apa yang
terjadi” mungkin benar.[222]
Seperti dituliskannya kemudia; baru ketika di penjara ia mempelajari
“siapa-siapa pelaku pergerakan sebelum perang, kontradiksi dalam sikap dan
sejarah orang-orang terkemuka dalam politik Indonesia selama seperempat abad
sejak kepergiannya”. Baru setelah berbicara dengan sesamanya di penjara, Tan
Malaka mendapatkan “jembatan untuk menghubung-hubungkan serpihan-serpihan
sejarah periode antara waktu kepergiannya meninggalkan pergerakan Indonesia
bulan Maret 1922 dan Januari 1946, ketika ia kembali ke tengah rakyat
Indonesia’.[223]
Bagaimanapun semuanya terlambat. Tan Malaka telah terdepak keluar dari dunia
politik Indonesia, kembali keluar dari kontak langsung dengan Alamnya.
Penutup
Kesimpulan
Menyimpulkan argumen tulisan ini, saya telah mencoba, menggunakan
kasus khusus pelaku politik Minangkabau, untuk menunjukkan bahwa pengalaman
pribadi secara tetap diorganisir selama hidup ke dalam sebuah struktur dengan
hukum perkembangannya sendiri. Hukum-hukum ini pada dasarnya mempengaruhi
bagaimana masing-masing aspek baru dunia nyata dikonseptualisasi dan dibangun
ke dalam struktur. Pada setiap pribadi politik struktur pengalaman semacam ini
bisa dilacak. Untuk analisis ini penelitian tentang semua aspek pribadi –tidak
hanya politik, tetapi bahkan yang paling pribadi sangat penting. Seringkali
seperti dalam kasus Tan Malaka, kerangka dasar struktur dibentuk pada masa
kanak-kanak dan awal kedewasaan. Jadi tidak hanya sebelum pribadi ini mengenal
ide-ide “politik”, namun bahkan sebelum ia mengembangkan kesadaran dalam
melihat dunia.
Pemahaman akan struktur pengalaman mungkin sangat berguna bagi
penelitian Barat mengenai elit politik Asia. Banyak pemimpin Asia tampaknya
mengkoseptualisasi pengaruh Barat datau “modern” dalam struktur pengalaman yang
mapan, yang terbentuk pada tahun-tahun awal di bawah pengaruh lingkungan
tradisional yang kuat. Di sini tersembunyi bahaya yang mengancam pada peneliti
Barat. Apa yang dipertahankan oleh pribad-pribadi politik ini dari kebudayaan
tradisional mereka seringkali jauh dari pandangan “modern” keilmuan; seringkali
terlalu menyimpang bahkan untuk dicatat secara serius oleh yang bersangkutan.
Menambah kesulitan adalah bahasa yang digunakan oleh para pemimpin Asia dalam mengungkapkan
gagasan-gagasan mereka, termasuk komponen-komponen tradisional mereka. Demikian
“modern” dan demikian “ke-Barat-an” sehingga tak bisa diabaikan; memang
pernyataan formal semacam ini seringkali menjadi perhatian untuk para peneliti
Barat.
Pendekatan ini akan memberikan kesimpulan yang dangkal dibandingkan
dengan model ilmu pendekatan yang sudah mapan. Namun hanya pemahaman akan
perilaku dan pemikiran pribadi politik seperti ditentukan oleh struktur
pengalaman yang bakal mampu memberikan evaluasi kritis. Hanya setelah itu
pribadi politik muncul, bukan sebagai “orang pinggiran” atau “karbitan”. Tetapi
sebuah identitas yang lahir dari pertarungan antara intelektual manusia dan
lingkungan hidupnya.
* Rudolf Mrazek, pengajar pada Departement of History, University of
Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai pakar Indonesia dan
banyak menulis tentang Indonesia, termasuk biografi politik Sutan Sjahrir, Sjahrir.
* Diberikan oleh Riyadi Gunawan, sejarawan dan staf peneliti Pusat
Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[1] Penting sekali dicatat dalam konteks ini bahwa sebagian besar
ketertarikan pada “tradisi” Indonesia muncul karena pelanggaran terhadap
batas-batas disiplin tertentu yang kabur. Bagi para ilmuwan pasca Perang Dunia
II, ketertarikan tersebut tumbuh terutama karena pandangan mendalam terhadap
jiwa artistik intelektual Indonesia “modern” dan terhadap kehidupan politik
desa dan kota kecil yang bisa ditemukan secara jelas pada tulisan-tulisan
Claire Holt dan Clifford Geertz. Lihat Claire Holt, Art in Indonesia: Continuity and Change (Ithaca: Cornel University
Press, 1967), h. 414. Sama dalam karakter dan asal-usul adalah pendekatan
terbaru dalam studi mengenai Indonesia di Amerika Serikat yang menekankan
“budayaisme” sebuah pendekatan yang sangat menempatkan otonomi budaya-budaya
non-Barat sebagai dasar interpretasi otentik dari pengalaman unik. Budaya isme
yang ditekankan dalam studi tentang Indonesia mengembalikan tradisi dan membuka
kemungkinan menerobos nasionalisme “politik” murni menuju akar sosial dan
historis lebih mendalam. Lihat Benedict RO’G Anderson, “American Values and
Research on Indonesia” (makalah yang disampaikan pada pertemuan Asosiasi Studi
tentang Asia, Washington DC, Maret 1971), h. 19.
[2] Clifford Geertz, Person, Time
and Conduct in Bali: An Eassy in Cultural Analysis (New Haven: Yale
University Southeast Asia Studies, Cultural Report Series No. 14, 1966), h. 5
dan 7.
[3] Tentang bayangan pribadi atas dunia yang tersimpan dan yang
dinyatakan, homogenisasi dan standarisasi politik, lihat Masao Maruyama,
Thought and Behaviour in Modern Japanese Politics, enl.ed. (London: Oxford
University Press, 1969), khususnya h. 333 dan 340.
[4] Pemisahan semacam ini sebagai sarana pertahanan individu terhadap
tekanan lembaga-lembaga politik adalah umum terdapat pada kebanyakan
masyarakat. Kasus ekstrim tipe pemisahan semacam ini adalah isolasi diri,
eksistensi paralel innerlichkeit dan gleichschaltung pada budaya politik Nazi
Jerman, lihat ibid, h. 326-333.
[5] Norman Mailer, An American Dream (New York: Dell, 1970), hal. 18.
[6] Menurut Djamaluddin Tamin, Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni
1986. Lihat dalam karyanya Kematian Tan Malaka (tanpa penerbit, 1965), hal.3.
Tanggal kelahiran yang berbeda lihat Ruth McVey, The Rise of Indonesian
Communism (Ithaca: Cornel University Press, 1965), h. 117, n.35.
[7] Minangkabau sebuah masyarakat di Sumatera Barat. Sederetan karya
tentang Minangkabau yang penting bisa didapati pada Umar Junus, “Some Remark on
Minangkabau Social Studies” Bijdragen tot de taal, land en Volkenkunde (B.K.I),
120 (1964), h. 293-297; dan P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri
Sembilan: Social-political Structure in Indonesia (Djakarta: Bharata, 1960).
[8] Adat “adalah sebuah konsep yang sulit dipahami yang menyangkut
pola-pola tingkah laku ideal sampai praktek sosial nyata dari gagasan
pencapaian kemegahan pribadi dan keluarga” Taufik Abdullah dalam BKI, 126
(1970), h. 244.
[9] Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in
West Sumatra (Ithaca: Cornel Modern Indonesia Project, Monograph Series, 1971),
h. 4.
[10] Ibid., h. 15
[11] Ibid., h. 20
[12] Seseorang yang hidup di rantau.
[13] Abdullah, Schools and Politics, h.21
[14] Mengenai analisis pergerakan ini, lihat tulisan-tulisan Taufik
Abdullah berikut ini: “Adat and Islam: An Examination of Conflict in
Minangkabau,” Indonesia 2 (October, 1966), h. 1-24; “Some Notes on The Kaba
Tjindua Mato: An Example of Minangkabau
Traditional Literature,” Indonesia 9 (April, 1970), h. 1-22; dan “Modernization
in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of Twentieth
Century” dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1972), h.179-245. Saya mendapatkan masukan yang
banyak sekali dari tesis PhD Taufik Abdullah (yang kemudian diterbitkan dengan judul School and
Politics...) dan dari pembicaraan dengannya. Ia mengemukakan argumentasi yang
sangat persuasif mengenai dinamisme dan antiparokhialisme sebagai basis
pemikiran tradisional Minangkabau. Argumentasi tersebut, bagaimanapun, mungkin
juga menjadi ekspresi yang dalam dari konsep falsafah Minangkabau pada
peralihan abad ini. Dalam beberapa kasus, Taufik memberikan deskripsi yang terbaik
tentang apa yang dipikirkan oleh seorang intelektual Minangkabau pada waktu itu
mengenai tradisinya. Karena alasan ini, karyanya digunakan secara luas dalam
keseluruhan tulisan ini.
[15] Tentang pendirian secara besar-besaran sekolah model Barat di Sumatra
Barat pada waktu itu, lihat ‘XY’ “Het Inlandsche Onderwijs ter Sumatra’s
Weskust,” dalam Kolonial Tijdschrift (1913), h. 390-408. Tentang pemahaman
sekolah-sekolah kolonial modern ini sebagai bentuk rantau yang tradisional,
lihat Abdullah, School and Politics, h. 21.
[16] Sepanjang pengetahuan saya, Tan Malaka hanya dua kali berkunjung
untuk waktu yang singkat, beberapa hari pada setiap kunjungannya, pada tahun
1919 dan 1942. Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara I (Djakarta: Widjaja, n.d),
h. 47 (volume kedua dan ketiga dari otobiografi ini terbit di Yogyakarta
(Pustaka Murba, n.d.) dan (Widjaja, n.d.). Selanjutnya, judul otobiografi ini
akan disingkat DPkP). Lihat juga karya Tan Malaka yang berjudul Madilog
(Djakarta: Widjaja, 1951), h. 7 dan 14.
[17] Tamin, Kematian Tan Malaka, h.3.
[18] Tentang sekolah guru ini, lihat KA Jones, “De Opleiding der
Inlandsche op de Buitenbezittingen,” Indische Gids I (1908), h. 16-22. Tentang
peranan
[19] Kata gelar pada gelar “gelar Datuk Tan Malaka” menyatakan bahwa
penyandang gelar tersebut adalah seorang penghulu andiko atau pimpinan formal
sebuah parui (suatu komunitas yang terdiri dari keturunan nenek moyang pihak
ibu dalam suatu hubungan rumah tangga maternal khusus –salah satu komponen
terpenting struktur masyrakat Minangkabau). Lihat Harjsa W Bachtiar, “Negeri
Taram: A. Minangkabau Village Community,” dalam Koentjaraningrat, ed.,
Villages, hal. 369-370.
[20] Tamin, Kematian Tan Malaka, h.6
[21] Ibid., h. 7
[22] DPkP, I, hal. 31
[23] Tan Malaka akhirnya lulus dengan diploma Hulpacte dan bukan diploma
Hoofdacte yang lebih tinggi yang seharusnya ia dapatkan. Tamar Djaja, Trio
Komoenis: Tan Malaka, Alimin dan Semaoen (Bukittinggi: Penjiaran Ilmu, 1946),
h.8
[24] DPkP I, h. 24 dan 34.
[25] Abdullah, Schools and Politics, h. 21.
[26] DPkP I, h. 31
[27] Ibid., h. 27.
[28] Ibid., hal. 29.
[29] Ibid., hal. 36
[30] Tan Malaka, Sang Gerilya dan Gerpolek: gerilya-politik-ekonomi
(Jogjakarta: Pustaka Murba, n.d) h. 1-2
[31] “Baru waktu itulah,” tulisnya di kemudian hari, “buku-buku tua
seperti Marx-Engels” Das Kapital......Marxist Economics oleh Karl Kautsky, dll,
tampak hidup dalam pandanganku” (DPkP I, h. 30). Tan Malaka mengemukakan bahwa
pertama kali ia dikenalkan oleh ide-ide sosialis-demokrasi oleh teman
sekamarnya, Herman, seorang pengungsi muda dari Belgia, di bulan pertama Perang
Dunia Pertama (DPkP I, h.28). Pada waktu yang sama ia sangat terkesan oleh
wanita pemilik tempat pemondokannya, yang suaminya meninggal karena sakit paru-paru.
Kesederhanaan proletariatnya, kemanusiaan dan keberaniannya sangat menarik hati
Tan Malaka. Ia kemudian menetap untuk sementara waktu dengan seorang guru
sosialis sayap-kiri.
[32] Terdapat nada mengejek diri sendiri dalam tulisan Tan Malaka
tentang pemujaan terhadap Jerman di masa mudanya, tetapi ia menekankan bahwa
Jerman memperlihatkan kepadanya banyak kualitas yang sangat dibutuhkan di tanah
airnya. Lagi pula, ketika tinggal di Jerman sebagai bekas pimpinan Partai
Komunis Indonesia (PKI), Tan Malaka sangat mengagumi apa yang ia lihat sebagai
efisiensi bangsa Jerman yang menolong mengatasi krisis Jerman sendiri. Ia
meramalkan terjadinya kebangkitan kembali “masyarakat yang logis” tersebut
(DPkP I, h. 93-94, 103).
[33] DPkP I, h. 30.
[34] “....pada tahun 1902 (di Belanda) sebuah pamflet Millioenen uit
Deli mengungkapkan situasi ini secara rinci dan jelas. Sebagaimana dengan
publikasi Max Havelaar sebelumnya, negara Belanda kembali diguncang kemarahan.”
Menteri urusan wilayah jajahan mengakuti fakta ini sebagai “sebuah kejatuhan
moralitas yang sangat dahsyat.” Lihat J.S. Furnivall, Netherlands India: A
Study of Plural Economy (London: Cambridge University Press, 1939), h. 353 dan
459.
[35] DPkP I, h. 66. Perlu dicatat disini bahwa salah satu konsekuensi
penting dari pengalaman Tan Malaka dengan Belanda adalah bahwa ia terdorong
untuk berpikir dalam skala kepulauan secara luas dan perlahan-lahan menjadi
seorang nasionalis Indonesia. Bagaimanapun akan dikemukakan pada uraian
selanjutnya bahwa peralihan dari seorang warga Sumatra Barat menjadi warga
keseluruhan Indonesia tak melemahkan atau mengubah secara mendasar sifat dasar
Minangkabau dalam struktur pengalaman Tan Malaka. Untuk sementara,
perkenankanlah saya tetap menggunakan inkonsistensi dan ambiguitas yang kentara
dengan memakai istilah “Minangkabau” dan “Indonesia”, karena sesungguhnya dalam
pikiran Tan Malaka pada saat itu juga terdapat sejumlah ambiguitas dan
inkonsistensi.
[36] Tentang pergerakan komunis masa ini, lihat McVey, The Rise, bab.
II-IV.
[37] DPkP I, h. 74.
[38] Semaun, “Indiiskoe dvizhenie v Niderlandskoi Indii (The Indies
Movement in the Netherlands Indies),” laporan pada Kongres Pertama Kaum Buruh
Timur Jauh, sebagaimana dikutip dalam McVey, The Rise, h. 399, n.45.
[39] DPkP I, h. 68
[40] Keterangan lebih rinci tentang sekolah ini, lihat McVey, The Rise,
h. 398, n.42; h.433, n.111; dan h. 435, n.127.
[41] Lihat Mc.Vey, The Rise, h.124
[42] Lihat McVey, The Rise, h.124
[43] Kenangan Tan Malaka tentang kehidupannya di Senembah Corporation
penuh dengan serangan-serangan yang pahit terhadap kebodohan dan arogansi
rekan-rekan sekerjanya bangsa Belanda.
[44] Bau setelah pemilihan umum berlalu disadari bahwa Tan Malaka
sebenarnya terlalu muda untuk dicalonkan. McVey, The Rise, h.236-237.
[45] DPkP I, h.93-94.
[46] DPkP I, hal. 101 Tentang pidato Tan Malaka dan penerimaan Kongres
atas pidato ini, lihat Berichte uber den IV. Kongresses der Kommunistischen
Internationale (Hamburg: Verlag der K.I., 1923), h. 49-50; Bulletin des IV.
Kongresses der Kommunistischen Internationale, 1922, No. 7, Nov. 12, seventh
meeting, h. 6-9 (Feltrinelli Reprint, 1967).
[47] DPkP I, h.102. Buku yang dimaksud telah diterbitkan, Indoneziia i
ee Mesto na probuzhdaemsia Vostoke (Moskow: Krasnaia, 1924). Ulasan tentang Uni
Soviet mutakhir, lihat Ruth T McVey, “Soviet Sources for Indonesian History,”
dalam Soedjatmoko, et.al., eds., An Introduction to Indonesian Historiography
(Ithaca: Cornell University Press, 1965), h. 274.
[48] Bulletin des IV Kongresses, 1922, No. 20, Nov. 23, twentieth
meeting, h. 20. Anggota-anggota lain komisi ini adalah: Roy (India), Radek
(Rusia), Safarov (Rusia), Van Ravesteyn (Belanda), Webb (Inggris), Saleh
(Turki), Sen Katayama (Jepang), Ch’en Tu-hsiu (Cina), Isakov (Bulgaria) dan
Cachin (Perancis).
[49] DPkP I, h. 101
[50] Lihat surat menyurat yang menarik antara dua pimpinan puncak PKI
menyoroti sepak terjang Tan Malaka di Moskow, dikutip dalam McVey, The Rise, h.
205.
[51] Lihat Tan Malaka, Thesis (Djakarta: Murba, 1946), h. 39. Dalam buku
ini ia mengakui bahwa ia mendapatkan otoritas untuk memonitor
aktivitas-aktivitas gerakan komunis di seluruh Asia Selatan, yang mencakup
Indonesia, Filipina, Burma, Siam, Malaka dan Indocina (tetapi cf. juga pada
h.59-60, untuk pernyataannya yang sedikit berbeda). Tentang pandangan pimpinan PKI
yang menentang pengakuan tersebut, lihat McVey, The Rise, h. 439, n. 37.
[52] Penyakit TBC yang dideritanya menjadi alasan utama mengapa ia tak
bisa ambil bagian dalam banyak keputusan penting PKI saat itu. Atas saran
dokter ia pindah ke Manila dari Canton, tepat pada saat wakil Komintern yang
lain datang untuk menjumpainya (DPkP I, h. 121). Sakit kembali melumpuhkannya
di tahun 1926, tepat pada saat keputusan kunci partai disusun di Singapura.
Untuk perincian lebih lanjut, lihat Thesis, h. 38.
[53] Madilog, h.12 dan 15. Tan Malaka melukiskan keadaan cacat ini
sebagai kelumpuhan otak.
[54] Ibid., h.15
[55] DPkP II, h. 102-103
[56] Ibid., h.55
[57] Ibid., h. 45
[58] Ibid., h. 62
[59] Alimin Prawirodirdjo, Dawud dan Subakat semuanya adalah pimpinan
penting PKI di awal dan di pertengahan tahun 1920-an. Tentang penilaian
tokoh-tokoh ini, lihat DPkP I, h. 146-147; II, h. 41, 45, 72-73.
[60] Madilog, h. 12
[61] DPkP II, h. 41. Tentang Pari, lihat George McTurnan Kahin,
Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
1952), h. 85-86; dan J.M. Pluvier, Overzicht van de ontwikkeling der
nationalische beweging in Indonesie in de jaren 1930 tot 1942 (The Hague: Van
Hoeve, 1953), h. 162.
[62] Madilog, h. 15.
[63] DPkP II, h. 64-66
[64] Ibid., h.66
[65] Ibid., h. 71
[66] C. Snock Horgronje, The Acehnese, trans. A.W.S. O’Sullivan (Leiden:
Brill, 1906), II, h. 26.
[67] Tentang peran guru agama dalam pergerakan sosial dan politik
Minangkabau modern, lihat B Schrieke, “The Causes dan Effects of Communism on
the West Coast of Sumatra,” dalam bukunya Indonesian Sociological Studies (The
Hague: Van Hoeve, 1955), I, h. 131 n. 59; W.M.F. Mansvelt, “Onderwijs en
Communisme,” Koloniale Studien (1928), h. 203-225; dan ‘XY’, “Het Inlandsche
Onderwijs.”
[68] DPkP I, h. 46. Silat permainan tradisional bersenjata; pencak seni
bela diri tradisional.
[69] Ibid. Ini adalah ungkapan Minangkabau untuk menyatakan persahabatan
yang sempurna.
[70] DPkP I, h. 89.
[71] Ibid., h. 56, 59, 62-63.
[72] Ibid., h. 102
[73] Wawancara dengan Soeharto, September 1963, dikutip sebagian dari
Benedict R. O’G. Anderson, Java in Time of Revolution: Occupation and
Resistance 1944-1946 (Ithaca: Cornel University Press, 1972), h. 275-276
[74] Madilog adalah akronim: Materialisme-Dialektika-Logika
[75] Pusaka adalah benda bersifat magis dan suci yang seringkali
diwariskan. Pemakaian tulisasan ini dalam karya Tan Malaka mungkin hanya
kebetulan. Tetapi benar, dalam satu segi, buah pencarian intelektual Tan Malaka
dari dunia luar adalah sebuah pusaka yang tak seorang pun tahu pasti apa yang
terkandung di dalamnya. Kendati demikian, atau karenanya, tulisan itu memberi
sumber kekuatan kepada Tan Malaka selama revolusi tahun 1940-an. Tentang
pengetahuan rahasia sebagai sumber kekuatan dalam tradisi Jawa, lihat Benedict
R. O’G. Anderson, “The Languages of Indonesian Politics,” Indonesia 1 (April
1966), h. 92-93.
[76] Madilog, h. 22 dan 206.
[77] Tan Malaka, Massa Actie (Djakarta: Pustaka Murba, 1947); terbitan
kembali edisi Asli Singapura tahun 1927: “Kalian 55.000.000 rakyat Indonesia,
kalian tak mungkin mendapatkan kemerdekaan sebelum berhasil membuang ‘kotoran’
magis keluar dari otak kalian, sebelum kalian mengakhiri perhargaan terhadap
kebudayaan lama, penuh kekeliruan, pasif dan gagasan-gagasan yang sudah
memfosil, serta sebelum kalian membuang mental budak. Kalian harus menyatukan
semua kekuatan ekonomi dan politik untuk melawan imperialisme Barat yang
terorganisir baik tetapi terpecah belah di dalam dengan bersenjatakan semangat
revolusioner proletar.
[78] Madilog, h. 206
[79] Ibid., h. 24, 35, 49.
[80] Ibid., h.8
[81] Terdapat persamaan antara konsep akal Minangkabau dengan apa yang
dikenal luas sebagai konsep ‘aql yang lebih suka digunakan oleh Islam modernis
dalam situasi ketaatan yang buta terhadap mujtahid-mujtahid dan ajaran lama
mereka. Lihat C.C. Berg, “Indonesia,” dalam HAR. Gibb, ed., Wither Islam? A
Survey of Modern Movements in the Moslem World (London: Gollancz, 1932), h.
271.
[82] Abdullah, “Some Notes on the Kaba Tjindua Mato,” h. 15, n.29.
[83] Madilog, h. 281-282.
[84] Ibid., h. 282.
[85] Ibid., h. 206
[86] Ibid., h. 370.
[87] Ibid., h. 206.
[88] Ibid., h. 207
[89] Massa Actie, h. 69-70
[90] Madilog, h. 13
[91] Abullah, “Modernization”, h. 189
[92] Madilog, h. 281
[93] Ibid., h. 135. Kedua contoh materialisme tradisional yang dikutip pada
h. 15 dan 19 di atas diambil dari deskripsi Tan Malaka tentang Indonesia Asli.
[94] Ibid., h. 135. Kedua contoh materialisme tradisional yang dikutip
pada h. 15 dan 19 di atas diambil dari deskripsi Tan Malaka tentang Indonesia
Asli.
[95] Ibid., h. 139
[96] Ibid
[97] Ibid., hal. 285. Datuk
adalah suatu gelar yang tinggi di Minangkabau, Tan Malaka sendiri menyandang
gelar ini.
[98] Ibid., h. 284
[99] Ibid
[100] Ibid., h. 290
[101] Ibid., h. 137
[102] Ibid., h. 290-292
[103] Ibid., h. 137.
[104] Ibid., h. 122
[105] Ibid., h. 403.
[106] Ibid., h. 137
[107] Ibid., h. 135-137
[108] Ibid., hal. 138
[109] Ibid., h.201
[110] Ibid., h. 66
[111] Ibid., h. 130.
[112] Abdullah, School and Politics, h.7. Penghulu adalah kepala unit
politik yang bersifat matrilineal dalam masyarakat Minangkabau.
[113] Ibid.
[114] Tentang fenomena di kalangan kelompok-kelompok pergerakan komunis
Minangkabau ini selama tahun 1920-an, lihat, misalnya, Schrieke, “Causes and
Effects,” h. 155; “De Gang der Kommunistische Beweging ter Sumatra’s Weskust,
Deel I (Politiek gedeelte),” dalam Harry J Benda dan Ruth McVey, eds., The
Communist Uprisings in Indonesia: Key documents (Ithaca: Cornell Modern
Indonesia Project, translation series, 1969), h. 109
[115] DPkP I, h. 19-20.
[116] Madilog, h. 21
[117] I
[118] Tan Malaka, Parlemen atau Sovyet? (Semarang: 1921), h. 49 dan 59.
Pada halaman 59 ia menulis: “Pengelolaan keadilan di Rusia hampir serupa dengan
penerapan keadilan di Minangkabau.”
[119] Massa Actie, h. 45.
[120] Menarik sekali untuk dicatat bahwa pandangan Tan Malaka sangat
dipengaruhi sikap ortodoks pakar Belanda terbaru, yang lebih banyak
menghubungkan peradaban Jawa kuno dengan kolonialis dan penguasa India. Hanya
setelah melewati tahun 1930-an para pendukung ortodoksi mulai menekankan sifat
Jawa asli dalam peradaban ini.
[121] Madilog, h. 373-136
[122] Ibid., h. 137
[123] Joyoboyo adalah penguasa Kediri abad XII yang sangat terkenal.
Mengenai pembicaraan tentang ramalan-ramalan ini dan pengaruh politiknya selama
paruh pertama abad XX, lihat Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle for
Indonesian Independence (Ithaca: Cornel University Press, 1969), hal. 3-10.
[124] Madilog, h. 137.
[125] Ibid., h. 403
[126] Massa Actie, h. 57.
[127] Pandangan intelektual Minangkabau terhadap tradisi mereka didorong
konsep standar Belanda tentang masyarakat Minangkabau. Sebagai misal, Penasihat
Belanda tentang Urusan Penduduk Asli menyatakan di tahun 1918: “Jong Sumatra
(perkumpulan yang didominasi oleh organisasi pemuda Minangkabau Jong Sumatranen
Bond)......adalah memiliki perspektif kritis, kontras dengan Jong Java
(organisasi pemuda Jawa terkemuka saat itu) secara umum dilukiskan cukup
sederhana dan praktis....wajar”. Lihat Hendrik Bouman, Enige Beschouwingen over
de ontwikkeling van het Indonesissch nationalisme op Sumatra’s Weskust
(Groningen: Wolters, 1994), h. 60-61. Memang dalam kebudayaan Jawa terdapat
sejumlah kelambanan, kehalusan dan penghindaran konflik terbuka yang bertolak
belakang dengan dinamisme Minangkabau. Konsep nrimo (menerima apa adanya) lawan dialektika Tan Malaka jelas menegaskan pengekangan lawan pencarian.
Namun terdapat pula sejumlah nilai yang sama; dan tradisi Jawa memiliki unsur
militer dan kekerajaan yang kuat secara umum diabaikan oleh Tan Malaka.
Intinya, yang dilukiskan dalam tulisan ini bukan realitas tradisi Jawa
melainkan konsepsi Tan Malak tentang tradisi.
[128] Amir, ketua Jong Sumatranen Bond, sebagaimana dikutip dari Ibid.,
h. 60.
[129] Lihat, misalnya ungkapan berikut yang dinyatakan pembaru
Minangkabau terkemuka, HAMK. Amrullah (Hamka): “......Budhismelah yang
menjadikan Jawa mudah dikuasai”. Amir juga beragumentasi bahwa “mereka (orang
Jawa) membanggakan Borobudur tanpa menyadari bahwa bangunan itu adalah buatan
para penguasa Hindu yang menerapkan kerja paksa atas rakyat Jawa”. Mengenai
kedua kutipan ini, lihat ibid., h. 49-50.
[130] Ia yakin bahwa di masa
pra-Hindu karakteristik Asli menyebar ke segenap pelosok meliputi seluruh Asia
Tenggara dan secara kasar sesuai dengan wilayah yang selanjutnya dikenal
sebagai wilayah Federasi Sosialis Aslia di masa datang.
[131] Madilog, h. 343
[132] Lihat, misalnya DPkP I, h. 160; II, h. 32 dan 34.
[133] Lihat, sebagai misal, kata pengantar yang ditulis Hamka bagi buku
Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, edisi keempat, (Djakarta: Widjaja,
1951), h. 3-4.
[134] Madilog, h. 342.
[135] CC. Berg, sebagaimana dikutip dalam Bouman, Enige Beschouwingen,
h.43.
[136] Kahin, Nationalism and Revolution, h.46
[137] HAR. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago
Press, 1947), h. 42.
[138] HAR. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University Chicago
Press, 1947), h. 42.
[139] Menurut Bouman, Islam melalui penekanan solidaritas seluruh Muslim
berfungsi sebagai “faktor yang aktif untuk menghilangkan nasionalisme
regional,” Enige Beschouwingen, h. 42.
[140] Abdullah, “Adat dan Islam,” h. 18ff.
[141] Lihat ibid., h. 23-24, dimana pandangan jelas Minangkabau tentang
Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari pola budaya Minangkabau.
[142] Tentang pergerakan “Islam-Komunis” di Minangkabau, lihat Bouman,
Enige Beschouwingen, h. 68-71; Schrieke, “Causes and Effects,’ ; McVey, The
Rise, h. 175-176; Ju.V. Maretin, “Adat,” etnografiia, No. 6 (1964), h. 63.
[143] Lihat Benda dan McVey, eds., The Communist Uprising, h. 103
[144] Madilog, h. 346.
[145] Ibid., h. 326-327
[146] Ibid., h. 324
[147] Ibid., h. 325
[148] Ibid., h. 345
[149] Ibid., h. 346-347
[150] Ibid., h. 343
[151] Ibid., h. 403-404.
[152] Ibid., h. 349.
[153] Ibid., h. 347
[154] Tentang pidato Tan Malaka yang mendesak dipertahankannya kerjasama
Islam-Komunis pada Kongres Sarekat Islam kedelapan, Desember 1921, lihat DPkP
I, h. 74. Tentang penghargaannya yang tinggi kepada pemimpin Islam HOS.
Tjokroaminoto, lihat ibid., h. 68-69. Tentang pidato dukungannya terhadap
Pan-Islam pada Kongres Komintern keempat.
[155] Massa Actie, h. 60.
[156] Lihat Thesis, h. 62. Tan Malaka menganggap buku yang
direncanakannya ini, Gabungan Aslia (Federasi Aslia), bersama otobiografinya
dan Madilog sebagai wasiat politiknya. Bagaimanapun ia tak bisa menyelesaikan
buku ini sampai akhir Perang Dunia II (Madilog, h. 7; DPkP II, h. 137). Menurut
artikel Tan Malaka Ensiklopedia Indonesia (Bandung: Van Hoeve, 1954-1956), h.
1318, Pari adalah nama partai yang pernah didirikannya di Bangkok tahun 1927.
Nama partai ini berubah pada tahun 1946, dari Partai Republik Indonesia menjadi
Proletaris Aslia Republik Internasional. Artikel ini menyebutkan bukti dua buku
kecil yang ditulis Tan Malaka: Manifesto Djakarta (1945) dan Pari (1946) hanya
dua buku ini yang berhasil saya temukan. Dalam Pari: Partai Republik Indonesia
(Bukittinggi: Nusantara, 1946), h. 12. Dalam buku ini Tan Malaka hanya
mengatakan bahwa Proletaris Aslia Republik Internasional adalah “makna yang
lebih dalam” dari Pari. Berikut ini adalah sumber-sumber yang mungkin tentang
lahirnya konsep Aslia: pertama, Tan Malaka adalah satu dari sedikit pemimpin
Indonesia generasi yang sama yang telah mengadakan perjalanan di kawasan Asia
Tenggara (rekan sebaya Tan Malaka kalau toh melakukan perjalanan biasanya pergi
ke Eropa Barat atau Timur Dekat, sementara ia tinggal dan singgah di Rangoon,
Bangkok, Singapura dan Manila); kedua, hubungannya yang dekat dengan nasionalis
terkemuka Filipina, termasuk Manuel Quezon dan Jose Abas Santos, boleh jadi
membuat Tan Malaka berpikir dalam kerangka Aslia sebagaimana gagasannya tentang
Pan-Malay; ketiga Tan Malaka mengenang saat ia “mendapatkan otoritas sebagai
supervisor gerakan komunis di Seluruh Asia Tenggara dan Australia” tahun 1923,
sehingga semua negara ini harus disatukan dalam sebuah federasi...Kesatuan
geografi, iklim, ras, ekonomi dan psikologi semakin diperkuat dengan adanya
musuh imperialis yang satu di bawah pemerintahan imperialisme Inggris (Tesis,
h. 59-60). Dalam Madilog (h. 395), elemen-elemen Aslia yang dimaksudkan Tan
Malaka adalah Burma, Siam, Annam, Malaka, Indonesia, Filipina dan Australia.
[157] Madilog., h. 396
[158] Abdullah, Schools and Politics, h. 3
[159] Adalah tipikal cara pandang Minangkabau pada Tan Malaka yang
menyatakan bahwa titik Aslia yang menentukan, Bonjol, akan sulit ditemukan di
atas peta Indonesia modern; tempat ini, di Alam Minangkabau, merujuk pada
benteng dari Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang terkenal. Imam Bonjol adalah
seorang pahlawan nasional, pemimpin Islam dan pejuang penentang Belanda yang
keras kepala.
[160] Madilog, h. 395
[161] Ibid.
[162] Bouman, dengan mengutip Hamka, membandingkan peran Minangkabau
dalam sejarah Indonesia sebagaimana peran Prusia dalam sejarah Jerman, Enige
Beschouwingen, h. 90.
[163] Madilog, h. 398
[164] Ibid., h. 398-399
[165] Ibid., h. 400
[166] Ibid., h. 399
[167] Ibid.
[168] Abdullah, School and Politics, h. 21-22
[169] Bagian lainnya: Amerika Utara, Amerika Selatan, Cina, Indo-Iran,
Afrika, Eropa Barat dan Uni Soviet (Lihat Pari, h. 47) Dalam kesempatan yang
lain ia memasukkan “Hindustan” untuk menggantikan “Indo-Iran”.
[170] Dengan penuh harap Tan Malaka menyatakan bahwa penciptaan tokoh Hanoman, kera putih dalam cerita
Ramayana, adalah penyamaran yang bersifat ejekan oleh “penduduk asli India”
terhadap bangsa Arya berkulit putih yang menaklukkan mereka.
[171] Tan Malaka memuji Cina karena kualitas-kualitas Madilog yang
berlaku di sana. Ia menulis “ilmuwan Cina membangun pengetahuan berdasarkan
bukti dan kenyataan,” artinya “mereka berpijak di bumi” (Madilog, h. 82.
Nilai-nilai animisme dan dinamisme dalam pandangan Tan Malaka merupakan
“landasan dasar kesamaan rakyat Indonesia dan Cina” (Ibid., h. 355).
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap bangsa Cina ini ditulis dalam
beberapa halaman otobiografinya. Bisa
dipastikan bahwa sumber utama penghargaan yang besar ini adalah simpati dan
kehangatan kemanusiaan yang pernah ia terima sewaktu tinggal di Cina.
[172] Dalam penekanan yang diberikan pada konsep tentang kehidupannya
sendiri, Tan Malaka membuat perbedaan menyolok dengan kebanyakan pemimpin
revolusi Asia. Seseorang akan
mengetahui, misalnya, dalam beberapa bagian otobiografi Luis Taruc atau dari
tulisan Edgar Snow tentang ketidakmampuan Mao Tse Tung menceritakan kehidupan
pribadinya, para pemimpin ini, dengan mengaitkan diri mereka dengan gerakan
yang mereka pimpin dalam cara yang nyaris kosmosentris, telah menyamarkan
gambaran kehidupan mereka yang tak diragukan lagi sangat menggairahkan. Lihat
Edgar Snow, Red Star Over China (New York: Grove Press, 1961), h. 121; dan Luis
Taruc, “Born of People: The Life of Luis Taruc and Hukbalahap,” (typescript,
Juni 1949, milik penulis), terutama h. 138.
[173] DPkP III, h. 39
[174] Madilog, h. 7 dan 17
[175] DPkP II, h. 160-162
[176] DPkP III, h. 58 dan 60
[177] Madilog, h. 8
[178] DPkP III, h. 78
[179] Ibid., h. 46-48.
[180] DPkP II, h. 164
[181] DPkP III, h. 48
[182] Ibid
[183] DPkP II, h. 129; dan Madilog, h. 9
[184] DPkP II, h. 167-169.
[185] Dikutip dari Bouman, Enige Beschouwingen, h. 61.
[186] Ada banyak pernyataan dikutip Anderson, Java (h. 276-277), yang
mengemukakan sejumlah kontak Tan Malaka saat akhir perang dengan beberapa
perwira Jepang. Namun berpegang pada fakta bahwa perwira Jepang itu terutama
dari kantor penghubung AL di Jakarta jelas berbeda pandangan dengan kebijakan
pemerintah pendudukan Jepang yang resmi, kontak-kontak yang diakui ini tak
mempengaruhi kegiatan perang Jepang (Surat Benedict Anderson kepada penulis).
[187] Menurut otobiografinya, agresi Jepang mendorongnya meninggalkan
Shanghai tahun 1932, Amoy tahun 1937 dan Singapura tahun 1942 (DPkP II, h. 133)
[188] Di sini Tan Malaka memakai istilah “ketimuran” tak hanya dalam
pengertian pasif, tahyul, pemikiran anti-Madilog, melainkan juga menunjuk pada
garis proganda Jepang mengenai superioritas Timur lawan Barat.
[189] Tan Malaka menyebut sejumlah nama: Hatta, Subarjo (ketua penghubung
antara elit nasional dan kantor Penghubung AL Jepang) dan H Dachlan Abdullah,
yang menjabat walikota Jakarta (DPkP III, h. 61, h. 11)
[190] DPkP III, h. 51; Madilog, h. 11.
[191] Madilog, h. 11
[192] Ibid., h. 10
[193] DPkP II, h. 136-137, 150. Sebuah pondok adalah tempat semacam
asrama pesantren, sebuah rumah yang sederhana.
[194] Madilog, h. 10
[195] DPkP, II, hal. 156
[196] Ibid., h. 160-170.
[197] DPkP I, h. 151
[198] DPkP II, h. 177 dan 181. Tentang Kongres Pemuda ini, lihat
Anderson, Java, h. 50-54
[199] DPkP III, h. 55.
[200] Ibid., h. 51. Lihat pula Anderson, Java, h. 279-280
[201] DPkP III, h. 63
[202] DPkP III, h. 65-66
[203] Dikutip dari Pembentukan Manifesto Djakarta, sebuah pamflet tulisan
Tan Malaka, diambil dari Sudijono Djojoprajitno, PKI Sibar Contra Tan Malaka:
Pemberontakan 1926 dan Kambing Hitam Tan Malaka: Pemberontakan 1926 dan Kambing
Hitam Tan Malaka (Djakarta: Jajasan Massa, 1962), h. 5.
[204] DPkP III, h. 70.
[205] Tentang gambaran rantau Jawa saya memakai Anderson, Java terutama
h. 2-10, juga surat-menyurat dan wawancara dengannya. Perlu dicatat dalam
konteks ini, dalam rantau mereka di Jawa
[206] Massa Actie, h. 48
[207] Ibid., h. 50
[208] Ibid. h. 51
[209] Sang Gerilya dan Gerpolek, passim.
[210] James T Siegel, The Rope of God. (Berkeley: University of
California Press, 1969), h. 77
[211] Ibid.
[212] Muhammad Yamin, Tan Malaka Bapak Pendiri Republik Indonesia (Djawa
Timur: Murba Berjuang, 1946), h. 2
[213] Ibid., h. 6-9
[214] Tamar Djaja, Trio Komoenis, h. 14-15. Tamar Djaja menyebut Tan
Malaka dengan nama perjuangan (non de
guerre) Patjar Merah (mirip Scarlet Pimperne). Dalam Sakti Arga, Tan
Malaka...Datang (Bukittinggi: Tjerdas, 1946), disebutkan tentang satu serial
novel spionase populer yang menokohkan Tan Malaka sebagai Patjar Merah ditulis
oleh Matu Mona (nama samaran Hasbullah Parinduri), termasuk Spionage-dienst,
Rol Patjar Merah Indonesia dan Panggilan Tanah Air.
[215] Benedict RO’G Anderson, “The Pemuda Revolution: Indonesian
Politics, 1945-1946” (Tesis PhD Cornell University, 1967), h. 460.
[216] Ratu Sukma, Tan Malaka.....! (Bukittinggi: Pustaka Rakjat, 1948),
h. 30
[217] Ibid., h. 16-17
[218] Ibid., h. 21
[219] Anderson, Java, h. 293
[220] DPkP III, h. 70
[221] Setelah dipenjara tiga bulan tanpa proses pengadilan, Tan Malaka
dilepas di tengah periode Revolusi yang demikian membingungkan
(September-Desember 1948) yang ditandai baik oleh Peristiwa Madiun maupun
agresi Belanda II terhadap republik. Malaka melangkah dengan mendirikan partai
politik baru Partai Murba berdasar pada prinsip-prinsipnya yang lama. Menyusul
serangan Belanda serta penangkapan dan penahanan Sukarno dan pemimpin Republik
lainnya, ia turut memimpin perlawanan gerilya. Ia terbunuh oleh tentara
republik pada 19 Februari 1949, dekat Kediri. Peristiwa terbunuhnya Tan Malaka ini tetap misterius
hingga kini. Lihat Tamin, Kematian Tan Malaka, h. 32-35.
[222] Anderson, The Pemuda,” h...600
[223] DPkP III, h. 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar