Jumat, 08 April 2016

Semesta Tan Malaka










SEMESTA
TAN MALAKA
RUDOLF MRAZEK





































Tan Malaka
A Political Personality’s Structure of Experience
Karya Rudolf Mrazek
Penerjemah: Endi Haryono dan Bhanu Setyanto
Penyunting: Perry Umar Farouk
Cetakan Pertama, Desember 1994
Diterbitkan oleh BIGRAF Publishing



































Dari Penerbit


Buku “Semesta Tan Malaka” ini, sebagai terjemahan  karya Rudolf Mrazek* “Tan Malaka A Political Personality’s Strukture of Experience”, mencoba menjelaskan sisi khusus seorang tokoh politik Indonesia di jaman perjuangan sampai paruh pertama dekade awal kemerdekaan. Tokoh tersebut bernama Tan Malaka, seorang pemikir serius yang memiliki gagasan-gagasan radikal, sekaligus aktivis politik yang revolusioner.
Rudolf Mrazek cukup jeli menampilkan sosok Tan Malaka dengan merunut pemahaman tentang struktur dasar yang membentuk sikap pribadi Sang Tokoh. Struktur dasar yang melahirkan sosok pribadi yang kokoh serta berani mengarungi sebuah pergulatan panjang, yang bukan semata dalam arti fisik, namun juga sebuah pergulatan antara intelektualitas dan lingkungan yang melingkupinya. Kejeliannya dalam merangkai “hal-hal kecil” inilah yang menjadikan penulis buku ini berhasil mendapatkan pemahaman mengenai struktur pengalaman tokoh politik Tan Malaka: Bagaimana ia memandang dunia; Bagaimana konflik batinnya yang menggelora ketika kecintaannya pada Alam (Minangkabau) harus berhadapan dengan faktisitas-faktisitas nasionalisme Indonesia yang aktual menjadi mainstream pergerakan kemerdekaan dan transformasi sosial saat itu, sedangkan pada saat yang sama ia telah memikirkan tentang “letak berdiri” dari sebuah negara baru yang ia cita-citakan di tengah aruh mondial Barat.
Dengan menggunakan teori Hegel, Tan Malaka berhasil merumuskan sebuah format dialektis. Yakni Indonesia Asli sebagai tesis, Hindu-Belanda sebagai antitesis dan Indonesia merdeka dan sosialis sebagai sintesis. Raison d’etre dari dialektika tersebut adalah masalah rasionalitas dan dinamisme sejarah.
Inilah sebenarnya sebagai satu hal penting penerbitan buku ini yang dapat diambil relevansinya untuk jaman kita. Disamping sedikit memperkenalkan pelaku sejarah negeri ini, yang pada kenyataannya terpinggirkan oleh diskursus kesejarahan resmi yang hegemonik, kerangka berpikir buku ini memperlihatkan kepada kita rasionalitas historis Indonesia pra dan post-kolonial yang sudah pasti ikut pula membentuk perkembangannya kemudian, sampai saat ini. Terdapat sisi-sisi yang berbenturan untuk mendapatkan tempatnya dalam kerangka nation building keindonesiaan. Pertama, sisi yang digambarkan mirip dengan gerak dan cita-cita Tan Malaka, sebagai potensi dan dinamika yang idealis dan rasional. Kedua, sisi yang memanfaatkan segi-segi pragmatis dan mistis, yang digambarkan mirip Soekarno dengan sikap kooperatifnya terhadap pemerintahan kolonial Jepang serta irrasionalitas massa yang memunculkan Soekarno dalam kancah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Penggambaran dua sisi tersebut, kemudian benturan-benturan sampai “kemenangan” salah satu sisi di antaranya, menyiratkan bahwa faktor personal tokoh-tokoh politik terikat erat dengan pengaruh faktor-faktor lain kontekstual yang terlibat. Di antara faktor-faktor lain tersebut adalah yang bersangkutan dengan massa; sebuah posisi yang selama ini selalu tersudut menjadi sekedar object, apalagi dalam wacana sejarah Indonesia. Perspektif yang sengaja membantah keterlibatan faktor-faktor lain tersebut dan secara ketat hanya mempertimbangkan faktor personal tokoh-tokoh politik, akan mendapatkan refrensi yang potensial menyesatkan. Rudolf Mrazek dengan tulisan sederhananya ini mampu memperbesar kepentingan akan hal tersebut.
Semoga dengan penerbitan buku ini khalayak pembaca mendapat banyak segi positif dan konstruktif demi memperkaya wawasan intersubyektifnya, terkhusus menyangkut pengetahuan tentang sejarah tokoh-tokoh politik Indonesia. Tentu saja dengan harapan dapat terpenuhinya penumbuh-kembangan sikap kritis dan kearifan dalam memandang realitas. Semoga.
Wassalam

                                                                        BIGRAF Publishing












































 Pengantar *

1
Apakah seseorang itu pada dasarnya dapat melepaskan dirinya dari endapan pengalaman masa lalunya? Ambil contoh kehidupan tokoh politik revolusioner Tan Malaka. Apakah ia dapat melepaskan dirinya dari berbagai endapan pengalaman masa lalunya pada saat menghadapi berbagai tantangan yang datang ke hadapannya?
Tulisan Rudolf Mrazek berjudul: Tan Malaka A Political Personality’s Structure Of Experience, yang diterjemahkan dalam buku ini, sebenarnya mencoba memahami pergulatan makna kehidupan Tan Malaka dalam konteks budaya Minangkabau. Memahami hal ini pada konteks “rantau” dan “alam”, pada dasarnya adalah memahami konflik sebagai sarana penting bagi terciptanya sebuah integritas masyrakat pendukung kebudayaan bersangkutan. Itu artinya sebagai anak manusia seseorang sejak dilahirkan ke dunia telah terjerat ke dalam sebuah jaring-jaring kebudayaan yang entah bagaimana secara bergenerasi mengalami proses yang dialektis, bersikap menerima, bersedia menumbuhkembangkan dan menolak untuk digantikan dengan yang lainnya bagi kehidupannya.
Di dalam buku ini “rantau” sebagai sebuah konsep adalah sebuah upaya yang baik untuk dikenakan pada “alam” agar adat dapat dipertahankan berbagai bentuknya, serta secara bertahap diperluas cakupan isinya. Pada konteks seperti ini, peran seorang individu dalam budaya Minangkabau adalah sebagai seorang “guru” untuk mengambil sesuatu dari “rantau” bagi kepentingan “alam” Minangkabau. Minangkabau dengan demikian, sebagai “alam” dan “rantau” sebagai dunia luarnya merupakan sebuah garis lurus yang sejajar dan paralel. Pada konteks ini Tan Malaka diperbincangkan sebagai salah seorang tokoh politik yang revolusioner beserta struktur pengalamannya. Dalam kalimat lain berarti membedah kehidupan Tan Malaka yang kaya pengalaman serta kuat kepribadiannya melalui sejumlah karyanya dalam konteks pemikiran politik Indonesia modern. Pembedahan ini dilakukan melalui pendekatan antropologi dalam sebuah studi politik dan tentu saja memperlihatkan sebuah alur pemikiran yang bermula dari tradisi menuju modern.
 Penulis buku ini menyadari bahwa sebagai upaya menyingkap sebuah tingkah laku politik pribadi Tan Malaka, merupakan sebuah kerangka modernitas memahami pemikiran salah seorang politisi nasionalis Indonesia. Hal itu dapat digambarkan melalui uraian “rantau”nya, baik yang pertama maupun yang kedua.
Melalui penggambaran kisah Tan Malaka pada “rantau” pertama, yakni tahun 1908-1919 dan penggambaran kisah pada “rantau” kedua, yakni tahun 1922-1942, penulis buku ini mempertanyakan manakah yang dapat dianggap sebagai puncak “rantau” bagi Tan Malaka? Jawabnya tegas. Yakni pada awal tahun 1930-an, saat Tan Malaka berdiam di pelosok desa Fukian, Cina Selatan? Mengapa? Karena pada masa itu Tan Malaka benar-benar merupakan “pejuang yang kesepian” serta terisolasi total secara politik.

2
“Pejuang yang kesepian” adalah sebuah sebutan untuk memperlihatkan betapa kesepiannya itu berlangsung lama. Sebuah kesepian yang bermuara pada konsepsi “rantau” yang ingin diterjemahkan kepada konsepsi “alam”. Pada masa inilah proses kreativitasnya mengalami pergulatan makna. Bagaimana proses pemikirannya itu dari lokal menjadi nasional bahkan internasional, atau sebaliknya, justru memperlihatkan sebagai sebuah kajian yang menarik. Hal ini karena terlihat dinamika pemikirannya justru saling meniadakan antara “rantau” dan “alam” dalam pemahaman modern.
 
Pada satu fase tertentu, mengapa proses pemikiran ketika bergerak dari lokal ke nasional penilaian terhadapnya akan selalu baik, akan tetapi apabila gerak internasional datang menghampiri batas-batas identitas nasional justru akan selalu dianggap sebagai sebuah ancaman? Simaklah juga apa yang dihasilkan pada masa “rantau” kedua Tan Malaka itu, yang justru tidak dilihat oleh penulis sebagai nilai yang berharga – oleh karena justru pada tahun 1924, jauh dari Tanah airnya, di Bangkok, Tan Malaka bersama dua temannya, Subakat dan Djamaludin Tamin, mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Memang partai ini dilarang masuk ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi melalui jaringan “bawah tanah” pengikut PARI muncul di Sumatra. Mengapa? Tak ada jawaban pasti, kecuali melihat pada sebuah realitas dirovernya Tan Malaka oleh Komintern dari segala fungsinya.
Simaklah karya Tan Malaka berjudul “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) dan “Madilog” (Materialisme-Dialektika-Logika) –yang keduanya ditulis pada masa “rantau” kedua, dilihat sebagai teks, mempersoalkan suatu kekuatan sejarah besar “kritisisme” manusia Indonesia yang masih harus dikembangkan untuk mempengaruhi dunia pada saat berbagai kondisi eksternal masyarakat Indonesia sedang terpengaruh perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karenanya menurut Tan Malaka, motor penggerak sejarah adalah pikiran rasional -- akal lebih utama daripada perjuangan klas. Sejarah harus baik, berjalan dengan baik dengan tujuan penyempurnaan masyrakat. Harapan Tan Malaka ini jelas menggambarkan harapannya sebagai orang Minangkabau atau sebagai seorang revolusioner. Sebuah pernyataan yang tidak menolak realitas kesejarahan.
Akan tetapi dari apa yang diharapkannya itu sebenarnya Tan Malaka terlampau menekankan sebuah realitas yang sangat spesifik. Dan pada kenyataan yang sebenarnya justru menggambarkan provinsialisme intelektual, yang justru akan menumpulkan sebuah analisis terhadap sejumlah karya Tan Malaka sendiri. Inilah dilema “membaca”, pada gilirannya berbagai teks dari tingkah laku Tan Malaka saat membicarakan Indonesia asli, Periode Kegelapan dan Federasi Asia. Kesemuanya terakumulasi pada “alam” saat Tan Malaka kembali dalam kehidupan politik Indonesia. Antara konsep dan realitas justru tidak menuju pada sebuah titik temu karena jalannya sejarah Indonesia ditentukan oleh cara berpikir yang juga ditentukan oleh tiga faktor penting di kancah politik Indonesia. Yakni: tentara Jepang, Sukarno dan pemuda.
Penekanan yang dilakukan oleh golongan pemuda terhadap golongan tua untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan dianggap Tan Malaka sebagai revolusi, sehingga ia  masuk sebagai pemain dalam percaturan kehidupan politik Indonesia. Apa makna kesemua ini? Batas-batas antara “rantau” dan “alam” telah dihancurkannya sendiri saat dirinya berpihak pada para pemuda. Dalam konteks ini, terhadap pribadi Tan Malaka terbaurlah apa yang disebut sebagai “peristiwa sebagaimana ia terjadi sesungguhnya” dengan “peristiwa sebagaimana ia dimengerti”. Memang benar “rantau” telah mengangkat diri Tan Malaka melebihi realitas perjuangan politik Indonesia, meski saat benar-benar ingin masuk realitas itu justru kekuatan pada diri Tan Malaka juga menghilang.
Anehnya, justru tingkah laku politik Tan Malaka lebih merupakan “peristiwa sebagaimana ia dimengerti”, ia justru terlempar dari kehidupan percaturan politik Indonesia. Rudolf Mrazek memang telah melakukan sebuah pemahaman perilaku serta pemikiran politik Tan Malaka sebagaimana yang telah dikatakan di bawah label struktur pengalaman – masalahnya, perkiraan ataupun anggapan, tetap relevan dengan masalah yang dihadapi bahwa suatu kejadian dapat juga dengan begitu saja menjadi sebuah peristiwa historis.

3
Di dalam diri Tan Malaka, “rantau” dan “alam” saling berlomba dan pada saatnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa “rantau” tertelan oleh “alam”. Mengapa hal itu terjadi?
Tampaknya dalam semangat revolusi atau dinamika sebuah revolusi, “alam” yang terkembang bagi Indonesia merupakan keberagaman – tidak tunggal, sebagaimana diyakini Tan Malaka sendiri. Pada dataran pemikiran semacam ini, ada benarnya pernyataan penulis buku ini bahwa pribadi politik yang muncul bukanlah “sesuatu yang dibuat”, tetapi menggambarkan sebuah jati diri sebagai resultante dari pergulatan makna sebagai manusia.
Akhirnya sebagaimana terlihat pada konteks di atas, keharusan memperluas imajinasi adalah merupakan sebuah upaya yang akan dapat bermakna luas. Bukankah imajinasi kesejarahan itu pada dasarnya adalah kemungkinan juga memasuki kelampauan untuk dimengerti dan memunculkannya lagi?
Itu berarti bahwa untuk melihat berbagai teks dari pribadi Tan Malaka, yang diperlukan adalah sebuah pemahaman. Imajinasi historis harus dapat membuka berbagai prinsip penyeleksian atas fakta. Akibatnya pemahaman (verstehen) akan lebih dapat diharapkan untuk memberikan pandangan tentang hidup serta seleksi itu sendiri. Jadi pemahaman adalah sebuah kemampuan untuk memasuki “alam” pikiran aktor sejarah di kelampauan itu dalam buku ini, Rudolf Mrazek telah melakukannya terhadap diri seorang pejuang revolusioner yang selalu kesepian: Tan Malaka!
Tulisan Rudolf Mrazek dalam buku ini menjadi penting dibaca karena tidak menjanjikan sebuah sebuah pemahaman yang harus terjadi, serta harus dilakukan, sebagaimana pada studi politik yang bernarasi besar. Melalui kerincian fakta-fakta yang ditemukannya, dibangun sebuah pemahaman ideologi dari seorang aktor sejarah. Tan Malaka telah tiada akan tetapi semua buah karyanya menarik dijadikan kajian dalam kerangka interpretasi teks politik; sebuah idiom budaya dalam lingkup budaya politik Indonesia.


Yogyakarta, Oktober 1994
Ryadi Gunawan



























Kepustakaan:


Tan Malaka, Madilog, Widjaya, Djakarta, 1951.
__________, Naar De Republik Indonesia, diterbitkan Yayasan Murba, Cetakan
              Kedua.
__________, Situasi Politik Luar dan Dalam Negeri
            (Pidato dalam Kongres Persatuan  Perdjuangan), karya tahun 1946.
Wilhem Dilthey, Pattern and Meaning in History:
Thoughts on History and  Society,
Harper Torchbook, New York, 1962.
Jonathan Arac, ed., Postmodernism and Politics,
            Manchester University Press, Manchester, 1986.
E. Laclau and C. Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical 
            Democratic Politics, Verso, London, 1985.
David Harvey, The Coalition of Postmodernity, Blackwell, London, 1989.






































Isi Buku
------------------------






Dari Penerbit
Pengantar
Isi Buku
Prakata
Pendahuluan
Tan Malaka Memandang Kehidupannya Dalam Konteks Rantau
Oleh-oleh dari Rantau: Pandangan Tan Malaka Tentang Dunia
Konsep dan Realitas: Kembalinya Tan Malaka Dalam Kehidupan Politik Indonesia
Penutup
































Prakata

Penulis berterimakasih kepada Ruth McVey atas kritik dan komentarnya yang sangat berharga atas tulisan ini. Sementara itu kesalahan interpretasi fakta tentu saja menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Tulisan ini secara keseluruhan bersifat coba-coba dan terbuka untuk diperdebatkan. Karena penulis berharap menuliskan studi yang lebih mendalam tentang Tan Malaka di kemudian hari, kritik dan materi pelengkap yang disampaikan pembaca akan sangat berarti. Posisi yang dijalani penulis mungkin sedikit ganjil. Yakni menuliskan karya otobiografi tokoh asing dalam bahasa asing pula. Dalam sebuah artikel yang melibatkan emosi, perasaan, perspektif dan pemikiran mendalam, nuansa-nuansa bahasa-- seringkali struktur bahasa yang digunakan-- akan sangat mempengaruhi bentuk dan substansi tulisan. Oleh karenanya penulis mengharap pengertian dan maaf pembaca atas ketidaktepatan yang tak beralasan dan atas kekaburan yang tak berhati-hati.



































Pendahuluan

Pandangan umum kolonial yang menyatakan bahwa pemikiran politik Indonesia modern adalah suatu aliran ideologi yang tidak berakar pada tradisi budaya asli kepulauan Indonesia, tetapi lebih merupakan elemen yang tumbuh karena pengaruh Barat dewasa ini mulai kehilangan dukungan. Kesinambungan “tradisional” dan “modern” -- pentingnya tradisi sebagai pendorong pembangunan politik modern-- mulai mendapat pengakuan. Kendati demikian masih terdapat bahaya permanen dalam studi tentang Indonesia yang tak terelakkan lagi terlalu menyoroti sedemikian banyak sikap “feodal” pada masyrakat pedesaan dan sedemikian banyak pengaruh “Barat” pada kalangan elit politik, sehingga disiplin-disiplin seperti ilmu politik dan antropologi, bila satu sama lain dipisahkan, akan secara berulang menciptakan sebuah gambaran keliru tentang kebudayaan yang “tradisional” dan politik yang “modern”. [1]
Bagaimanapun hubungan timbal-balik yang terus menerus antara tradisi dan modernitas bisa diperjelas jika seseorang menitikberatkan pada topik yang terutama ditelantarkan oleh ilmu politik karena “terlalu antropologis” dan oleh antropologi karena “terlalu politis”. Topik semacam ini selanjutnya hendak saya sebut struktur pengalaman tokoh  politik.
Struktur pengalaman yang dimaksudkan di sini serupa dengan defenisi “kebudayaan” yang dirumuskan oleh Clifford Geertzs. Yakni kebudayaan sebagai “akumulasi totalitas” dari pola-pola budaya, kumpulkan simbol-simbol bermakna yang teratur yang memungkinkan seseorang memahami peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupannya sebagai “struktur konseptual yang dimasukkan dalam bentuk-bentuk simbolis untuk memahami seseorang”. [2] 
Tokoh politik ditentukan oleh cara seorang tokoh membentuk konsepsi dan menjalani konflik antara pribadi, pandangan individu, sikap mementingkan diri sendiri, bayangan pribadi tentang dunia yang tersimpan pada satu sisi dan pada sisi lain homogenisasi politik, standarisasi kemauan umum, bayangan pribadi tentang dunia yang dinyatakan, semangat yang tumbuh karena permainan lembaga-lembaga politik. [3] Seorang tokoh biasa harus berjuang agar tidak kehilangan dirinya, kemanusiaannya, di bawah tekanan politik (apakah berbentuk ketakutan politik, ketidakpedulian yang mendarahdaging atau arogansi kekuasaan). Bagaimanapun lingkungan yang dipersepsi dan dipahami oleh tokoh politik secara keseluruhan merupakan dunia politik. Hampir tak terdapat kemungkinan bagi seorang tokoh politik untuk mundur meski untuk sementara waktu atau untuk hal-hal tertentu dari ajang pertarungan antara pribadi dan umum; bayangan pribadi tentang dunia yang tersimpan dan yang dinyatakan hampir tak bisa dipisahkan dalam kesadaran pribadi tokoh semacam itu.[4] Tokoh politik memahami dirinya sendiri dan umum, segala sesuatu mengenai manusia dan kelembagaan politik ataupun juga hubungan antara keduanya di dalam sebuah sistem konseptual dan menurut nilai-nilai kultural yang sama.
Analisis tokoh semacam ini mungkin hanya mendapatkan tempat pinggiran dalam ilmu politik dan antropologi. Barang kali dalam banyak hal berada di pinggiran disiplin ilmu secara umum: bagaimana mungkin para ilmuwan akan menyetujui Norman Mailer bahwa “perjalanan sejati ilmu pengetahuan adalah dari dasar hati seseorang ke dasar hati orang lain...?[5] Tentu saja ini mengandung ancaman serius bagi tumbuhnya ketidakmakmuran metodologi. Di sisi lain, saya harap, pendekatan semacam ini akan memudahkan penggunaan perangkat antropologi di kalangan studi politik – dan dalam contoh terbaru, dalam upaya menyingkap perspektif-perspektif “modernitas” elit nasionalis Indonesia.
Untuk melakukan uji coba dengan pendekatan ini pilihan saya jatuh pada tokoh revolusioner Minangkabau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (1897-1949)[6] dan struktur pengalamannya. Tan Malaka memahami dirinya sendiri, kehidupan pribadinya, masalah-masalah kemanusiaan yang terdalam, sebagai sesuatu yang hanya ada pada realitas politik, bukan sesuatu yang bebas atau ada di luarnya. Pada waktu yang bersamaan ia tak melepaskan jati dirinya –ia melihat konsep keberadaan jati diri sebagai nilai penting (mungkin yang terpenting) dari struktur pengalamannya. Hidup Tan Malaka panjang dan kaya pengalaman. Ia berkepribadian kuat dan cukup mampu menyelami pengalaman hidup serta memahami konflik antara tradisi lokal tanah kelahirannya[7] dan tuntutan-tuntutan nasionalisme modern Indonesia secara mendalam.
Memasuki akhir abad XIX masyarakat Minangkabau mulai berpikir mengenai ciri-ciri utama kemasyarakatan mereka sebagai sesuatu yang dinamis dan antiparokhialisme, yang pada kenyataannya apakah ciri-ciri tersebut merupakan inti tradisi masyarakat Minangkabau sebelum kolonialisme atau apakah masyarakat Minangkabau tanpa sadar telah mengadopsi pandangan umum masyarakat Belanda tentang lingkungannya, yang diambil dari reaksi masyarakat Belanda tentang lingkungannya, yang diambil dari reaksi masyarakat Minangkabau terhadap kekuasaan kolonial. Menurut perspektif ini, yang tetap populer hingga kini, adat tradisional Minangkabau[8] dan falsafah tradisional Minangkabau pada umumnya, memandang konflik sebagai sarana penting untuk mencapai integrasi masyarakat. Masyarakat Minangkabau sendiri –Alam Minangkabau—selalu bertalian dengan gagasan “dialektika” tentang  harmoni dari beragam kontradiksi. Sebagaimana bisa dilihat dalam tambo (cerita tentang sejarah tradisional Minangkabau), “melalui pencarian yang terus-menerus potensi alam berkembang dan elemen-elemen asing diserap”.[9] Dalam pandangan seperti ini, pemikiran masyarakat Minangkabau tentang dinamisme dan antiparokhialisme bukan merupakan jawaban sederhana terhadap kondisi tertentu yang tak terelakkan, tetapi suatu yang penting pada adat sendiri. Kemampuan adat bertahan tergantung pada kemampuannya mempertahankan bentuk sambil secara bertahap meluaskan cakupan isinya. [10]
 Manifestasi tertinggi penyerapan elemen-elemen dari luar terdapat pada simbol budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Pergi ke rantau (ke luar Alam Minangkabau), yang dinamakan merantau menurut falsafah adat Minangkabau merupakan suatu cara untuk melengkapi prinsip hidup yang mengharuskan tiap individu “menyelami” dunia luas. [11] Pada waktu yang sama prinsip ini merupakan suatu cara yang memungkinkan para pemuda Minangkabau belajar tentang kedudukan mereka di Alam. Konsep ini mengandung konsekuensi bahwa Alam adalah pewaris utama pengalaman di rantau, bahwa seorang perantau[12] harus kembali untuk memperkaya Alam, bahwa ia harus berperan “sebagai seorang informan atau seorang guru untuk memungkinkan masyarakatnya mengambil yang baik (dari rantau) dan mencampakkan yang buruk (dari Alam)”.[13]
Intelektual Minangkabau “modern” berpendidikan Barat di penghujung abad ini menerima pandangan ini dengan senang hati dan menjadikan pemikiran tradisi Minangkabau yang dinamis dan antiparokhialisme sebagai simbol-simbol budaya terpenting perjuangan mencapai emansipasi.[14] Hal-hal ini tampaknya menjamin Alam untuk menjalani perubahan dengan mulus tanpa merubah sifat dasarnya. Transformasi drastis yang diakibatkan oleh pengaruh Barat hanya berlangsung sesaat. Pandangan budaya semacam ini membantu masyarakat Minangkabau, khususnya dalam menghadapi masalah internal mereka. Namun sebaliknya memberi kejutan atas pengalaman modern berada di sekolah-sekolah yang jauh seperti di Jawa, Timur Tengah atau Belanda; pandangan itu membantu mereka melihat pengalaman bukan sebagai sesuatu yang merusakkan, melainkan hanya sebagai manifestasi dari apa yang sangat mereka kenal –rantau yang tradisional. [15]
Di tengah masyarakat Minangkabau yang seperti inilah Tan Malaka dilahirkan. Ia meninggalkan tanah kelahiran pada usia enambelas tahun dan karena alasan-alasan praktis ia tak pernah kembali untuk menetap.[16]  Namun ia tak pernah kehilangan rasa kepemilikan yang kuat terhadap tanah kelahirannya dan ia memandang semua yang dilakukannya di rantau sebagai perjalanan pulang ke tanah kelahirannya. Setelah kontak dengan kebudayaan Barat, yang akan dicoba ditelaah dalam tulisan ini, Tan Malaka tak pernah melepaskan budaya Alam Minangkabau untuk memasuki budaya Barat. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik “dinamisme” Barat maupun “dinamisme” Alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang tak terpisahkan. Oleh karena itu dalam pandangan ini, tanah kelahiran Minangkabau (Alam) dan dunia di luarnya (rantau) terkondisikan secara bersama-sama; Alam merupakan pusat, jantung, sementara keberadaan rantau adalah untuk memperkaya Alam.


































Tan Malaka
Memandang Kehidupannya
Dalam Konteks Rantau
































Rantau Pertama (1908-1919)


Tan Malaka dilahirkan di lingkungan inti masyarakat Alam Minangkabau, dari sebuah keluarga yang sangat berakar pada kebudayaan lokal dan terkenal karena secara tradisional melahirkan para pejuang yang membela keluhuran masyarakat Minangkabau.[17] Antara usia duabelas dan enambelas tahun (1908-1913) ia matang di Kweekschool (Sekolah Guru) Fort de Kock, yang terkenal sebagai pusat pergerakan intelektual Minangkabau, dalam atmosfir yang didominasi oleh mereka yang berpandangan dinamis terhadap tradisi Minangkabau.[18] Tan Malaka dikirim ke sekolah ini berdasarkan keputusan rapat tetua nagarinya, Nagari Pandan Gadang di Suliki. Dalam keputusan rapat dinyatakan secara jelas suatu kepercayaan tradisional bahwa perantau muda ini akirnya akan kembali untuk memperkaya Alam. Pengalaman di Fort de Kock tampaknya menanamkan konsep rantau semakin dalam di benak Tan Malaka dan menjadikannya memandang kehidupannya sendiri pada tahun-tahun selanjutnya dalam konteks ini.
Tahun 1913 Tan Malaka kembali dari Fort de Kock. Peristiwa ini oleh masyarakatnya dipandang sebagai kepulangan dari rantau. Kemunculannya di Alam ditandai dengan upacara penganugerahan suatu gelar adat yang tinggi kepadanya yang menunjukkan statusnya yang baru dalam struktur tradisional nagari. [19] Meskipun menerima gelar tersebut, Tan Malaka sendiri melihat perjalanan rantaunya yang baru berakhir hanya sebagai suatu permulaan. Tak berapa lama kemudian ia berhasil mendapatkan uang dari dana pengiriman pemuda Minangkabau untuk belajar ke luar negeri dan bertolak ke Rotterdam pada tahun yang sama. Tujuan jangka pendeknya adalah mendapatkan diploma untuk menjadi guru Bahasa Belanda.[20]
Ia menetap di Belanda selama enam tahun dan Alam Minangkabau tampaknya jauh dari pikirannya. Pada masa-masa ini ayahnya menyatakan tetap berkomunikasi dengan Tan Malaka secara mistis (tarekat), yang barangkali pada saat yang sama Tan Malaka sedang bermain sepakbola, memainkan biola atau dram, membaca buku-buku dan koran-koran sosialis atau nasionalis. Atau sedang bersenang-senang ala Barat yang berbeda dengan cara Minangkabau.[21] Bagaimanapun di benaknya yang lebih dalam, kualitas-kualitas khas perantau Minangkabau menjadi matang. Bersamaan dengan sifat ke Baratannya tumbuhlah perasaan anti-Belanda dalam dirinya; sehingga sebagai konsekuensinya ia tak akan terpengaruh pemikiran Barat sepanjang hal itu bisa membahayakan keseimbangan Alam rantau dalam benaknya.
Pada tahun-tahun masa tinggalnya di Belanda ia terserang penyakit TBC dan menjadi semakin parah dari hari ke hari. Di kemudian hari ia mencatat bahwa penyakit ini telah menyadarkannya sejak awal mengenai makna kematian (physical exctinction)[22] Kesulitan-kesulitan hebat yang ia alami selama menjalani pendidikan sekolah guru, yang dilihatnya sebagai akibat diskriminasi kolonial sistem pendidikan Belanda,[23] memberikannya pengalaman tentang kesepian, frustasi dan keputus-asa-an.[24] Seperti yang digambarkannya dalam otobiografinya, penyebab dari segala penderitaannya adalah keberadaannya di luar negeri, jauh dari tanah kelahirannya (penting sekali dicatat bahwa dalam pemikiran tradisional Minangkabau pergi merantau memang berarti menjalani penderitaan).[25]
Bagaimanapun keterpisahan (isolation) dari tanah kelahirannya (the motherland) bukan merupakan perangkat yang paling berguna dalam menggambarkan pengalaman Tan Malaka dengan Belanda. Pengalaman-pengalaman ini harus dilihat sebagai penyerahan diri kepada dunia yang secara alami berada dalam konflik dengan apa yang oleh intelektual modern Minangkabau dipandang sebagai nilai-nilai budaya Alam. Memang dalam tradisi Minangkabau, tak mungkin terdapat manifestasi konflik yang lebih drastis daripada “penyerahan diri ke rantau” yang juga dialami oleh Tan Malaka. Meskipun demikian konflik yang termanifestasikan oleh perantauannya di Belanda –seperti konflik di Minangkabau pada umumnya memiliki suatu fungsi integratif dan kreatif yang besar. Rantau sebagai konflik atau dalam perbendaharaan Tan Malaka dinamakan sebagai “antitesis”, dalam tulisan-tulisannya dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi pengertian sejati tentang nilai-nilai Alam bagi reintegrasi pribadi dengan nilai-nilai tersebut. Sintesis akan tumbuh kemudian  ketika pengetahuan yang terakumulasi di rantau mulai bercampur, memperkaya dan mengubah Alam.
Tan Malaka melihat kematangan pandangan dunianya diukur oleh “antitesis” rantaunya. Bahkan sakit yang dideritanya dilihatnya juga dalam konteks pematangan ini. Karenanya ia menulis bahwa seperti masyarakat yang krisis melahirkan revolusi, demikian pula badannya yang sakit melahirkan pemikiran-pemikiran baru.[26] Demikianlah dalam pandangannya, tepatnya himpitan fisik dan spiritual yang ia alamilah yang merangsang munculnya sensitivitas tinggi dan pengertian yang lebih mendalam, serta empati terhadap dunia yang dinamis.

Ketika tubuh menderita kerusakan fisik, ketika semangat terpenjara tidak bisa keluar dan ke dalam, ketika pada akhirnya semua jalan menuju perubahan dan perbaikan tertutup, pada saat itulah hati terbuka, digerakkan oleh kekuatan konflik, kekuatan positif dan kekuatan negatif. Gerakan tesis dan antitesis di dalam tubuhku merupakan pencerminan tolak-menolak antara kedua kekuatan ini.[27]

Selanjutnya selama masa tinggalnya di Belanda tubuhnya yang sakit-sakitan dan jiwanya yang selalu resah bercampur dengan apresiasi yang dalam mengenai dinamisme, vitalitas dan kekuatan. “Macan” nama julukan yang diberikan oleh kawan-kawannya, tampaknya mencerminkan sikap dan cara berpikir Tan Malaka (yang bertolak belakang dengan keadaan hidupnya). Pada tahun-tahun ini kekuatan (power) merupakan kriteria yang ia gunakan untuk mengukur nilai segala hal. Ia mengembangkan suatu penghinaan terhadap kebudayaan Belanda dengan merendahkannya di bawah keunggulan budaya Jerman dan Amerika Serikat. Nietzsche, Junkertum, Uebermensch, Jerman yang unggul dalam Perang Besar (the Great War) –semuanya itu merupakan idola-idola politik Tan Malaka yang mula-mula. Sebagaimana yang dituliskannya dengan sentuhan ironis di waktu kemudian, ia bahkan pernah mendaftar masuk tentara kerajaan imperialis Jerman, namun tidak diterima karena Jerman tidak memiliki legiun asing. [28] Aspek kekuatan dalam profesi kemiliteran tampaknya sangat berarti bagi Tan Malaka pada waktu itu daripada konflik antara Jerman dan Belanda. Karenanya dia juga mencatat bahwa ia pernah menginginkan diterima pada akademi militer Belanda di Breda.[29] Keinginannya untuk menjadi seorang tentara tentu sangat serius. Tiga puluh tahun kemudian bacaan mengenai kemiliteran yang ia tekuni di Belanda untuk keperluan tersebut memberikan dasar bagi bukunya yang terkenal dan berpengaruh mengenai perang gerilya di Indonesia.[30]
Antusiasme Tan Malaka yang segera muncul atas Revolusi Bolshevik di Rusia, [31] yang menurutnya sendiri merupakan pengalaman paling kreatif di rantau, sesungguhnyalah pengalaman yang paling kreatif selama hidupnya, yang secara khusus tidak membuatnya kehilangan penghargaan terhadap kebudayaan Jerman dan secara umum terhadap “kriteria kekuatan”.[32] Sebaliknya logika yang sama menjadikannya mengagumi baik nilai-nilai budaya Bolshevik maupun Jerman. Pada tahun 1947 ia masih menulis bahwa kebesaran revolusi Bolshevik terletak pada kemampuan revolusi ini menciptakan suatu “sintesis” dari kualitas-kualitas Revolusi Perancis yang progresif dann humanitarian pada satu sisi dan kualitas-kualitas kekuatan yang ditunjukkan oleh Jerman pada sisi lain. Ia melukiskan gerakan dialektika sejarah modern, seperti dituliskannya:

Dalam bidang filsafat dalam bentuk: Nietzsche sebagai tesis, Rousseau sebagai antitesis dan akhirnya Marx-Engels sebagai sintesis. Dalam bidang politik dalam bentuk: Wilhem-Hindenburg-Stinnes sebagai pembentukan, Danton-Robespiere-Marat sebagai negasi dan Bolshevik sebagai negasi dari negasi. [33]














Kepulangan Pertama (1919-1922)


Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1919 dan pada bulan Desember tahun yang sama ia mulai bekerja untuk pertama kalinya pada Sanembah Corporation di Sumatera Timur. Orang dengan pandangan seperti dia telah mendapatkan tempat yang mempesona. Di tempat tersebut, di sebuah pusat perkebunan terbesar di Indonesia, “kapitalis-imperialis Belanda” di satu sisi dan “buruh kuli kontrak pribumi” di sisi lain berada dalam kontak sangat dekat yang bisa disaksikannya; di tempat ini konflik kepentingan mereka sangat menyolok, tajam dan drastis.[34] Pandangan revolusioner Tan Malaka mengenai masyarakat Indonesia berkembang lebih lanjut setelah ia meninggalkan Sumatera bulan Juni 1921 dan pindah ke Semarang Jawa Tengah. [35] Di kota Semarang, “Kota Merah” “pusat aktivitas sosialis kiri di Hindia Belanda waktu itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) baru saja dibentuk setahun sebelum kedatangannya. [36]
Partai yang baru lahir ini sangat kekurangan pimpinan yang cakap. [37] Dalam kondisi politik sulit yang sedang melanda koloni Hindia Belanda, banyak pimpinan komunis ditahan, diasingkan atau kehilangan antusiasme. Kekosongan kepemimpinan tersebut perlu segera diatasi. Dan Tan Malaka mencul sebagai calon yang dibutuhkan. Ini terjadi karena dorongan situasi khusus pergerakan saat itu. Dalam pikiran Semaun, pimpinan partai, Partai Komunis yang baru ini sedang mengalami periode istirahat dan diharapkan untuk sementara waktu menahan diri, “berkonsentrasi pada studi internal”.[38] “Hanya secara kebetulan aku memasuki Semarang lewat pintu gerbang pendidikan,” tulis Tan Malaka di kemudian hari.[39] Semaun menempatkan Tan Malaka pada sekolah partai bagi anak-anak simpatisan dan anggota. Dalam beberapa bulan sekolah ini memperlihatkan keberhasilan yang hebat –sangat kontras dengan kemandegan umum pergerakan.[40] Keberhasilan sekolah ini, yang menjadi terkenal dengan sebutan Sekolah Tan Malaka, tak diragukan lagi menjadi alasan utama perkembangan prestise dan peningkatan posisi Tan Malaka di partai. Dalam periode yang sangat singkat antara Juni sampai Desember 1921, ia mendapati dirinya naik tahap demi tahap sampai ke posisi pimpinan partai, posisi yang dijabatnya sampai Maret 1922, saat ia diasingkan ke luar negeri oleh pemerintah kolonial.[41]
Menurut penilaian partai, kepemimpinan Tan Malaka yang singkat ini tidaklah begitu berhasil.[42] Dari penilaian Tan Malaka sendiri, kepemimpinannya merupakan sebuah manisfestasi kebangkitan dari rantau kembali ke Alam yang berhasil. Secara jelas ia melihat perkembangan partai dan keberadaannya di Semarang sangat berkaitan erat. Dalam pandangannya, tepatnya, kekuatan yang diperolehnya di rantaulah (Belanda) yang memberikan keberhasilan di Alam. Penampilan Tan Malaka yang mempesona disebabkan karena pengetahuannya yang rumit tentang bagaimana politik dipraktekkan di Eropa yang lebih maju; Pengetahuannya yang mendalam mengenai kondisi buruh kontrak perkebunan, salah satu unsur terpenting pertumbuhan klas buruh Indonesia baru; dan barangkali yang terpenting saat partai berorientasi pada “konsentarasi studi internal”.
Pengalamannya di rantau pada tahun 1921 dan 1922 menyakinkan Tan Malaka bahwa Belanda adalah rintangan pokok bagi kemajuan masyarakat Indonesia dalam mencapai kesempurnaan.[43] Pengalaman ini memperlihatkan pula kepada Tan Malaka bahwa Indonesia merupakan tanah yang subur untuk menerima “oleh-oleh bermanfaat dari rantau” –apa yang dinamakannya “filsafat proletarian Barat”. Yang lebih penting lagi ia telah belajar bahwa pengetahuan yang terakumulasi di rantau dapat diubah menjadi kekuatan politik. Pengalaman dramatis kepulangannya dari rantau (rantau pertama) tak diragukan lagi menjadi renungan selama tahun-tahun suit yang dialaminya pada perantauan kedua antara tahun 1922 sampai 1942. Keberhasilan rantaunya yang pertama ini memperkuat pentingnya konsep rantau dalam kesadaran Tan Malaka. Tahun 1912 dan 1922 terus terpatri dalam benak Tan Malaka dan menjadi model dalam mengkonseptualisasi perantauannya yang kedua, khususnya bagian paling penting dari kehidupannya –kepulangannya ke Indonesia yang kedua pada pertengahan tahun 1940-an.
























Rantau Kedua (1922-1942)

Gema keberhasilan kepulangannya yang pertama masih terdengar di awal cerita tentang pengasingan Tan Malaka, seperti yang ditulis dalam otobiografinya. Dari Indonesia Tan Malaka berlayar langung ke Belanda. Sesampainya di sana ia segera menjadi orang yang diinginkan oleh Partai Komunis Belanda pada pemilihan parlemen mendatang. Tan Malaka menjadi orang Indonesia pertama yang dicalonkan pada pemilihan anggota Parlemen Belanda. Keberhasilannya ini mengejutkan banyak orang, tak kurang Tan Malaka sendiri. [44] Ia bahkan tak menanti kepulangannya dan bertolak ke Berlin menjumpai Darsono, pimpinan PKI yang menggantikannya.[45] Ia hanya tinggal sebentar di Jerman sebelum bertolak ke Moskwa yang segera memulai penyelenggaraan Kongres Keempat Komintern November 1922.
Sebagai anggota delegasi Hindia Belanda Tan Malaka mendapat kesempatan berbicara. Dalam pidatonya ia menyerukan agar gerakan komunis bekerjasama dengan gerakan Pan-Islam. Menurut catatannya di kemudian hari, pidato ini “diterima Kongres secara menyenangkan”.[46] Kongres memintanya juga menulis buku untuk Komintern mengenai Indonesia.[47] Ia lalu ditempatkan pada komisi yang menyiapkan resolusi-resolusi mengenai masalah-masalah Timur.[48] Sewaktu keputusan akhir Kongres disusun, bagaimanapun tampak bahwa hampir semua sukses awal yang dicapai Tan Malaka hanya di permukaan. Bagi kebanyakan anggota Kongres, ia jelas secara sempit terpaku pada situasi di Indonesia dan tak memperhitungkan masalah-masalah revolusi secara global; sehingga pandangan dan usul-usul yang dikemukakannya ditolak oleh keputusan mayoritas delegasi. Selain itu tampaknya Tan Malaka juga menciptakan musuh-musuh pada Kongres itu akibat kecendrungannya untuk menggurui setiap orang. Ia mengakui hal ini dalam memoarnya dan menyatakan bahwa ketika mengajukan untuk mengajar di Rusia, orang-orang secara sarkastis menjawab: “Kami tak memiliki kursi untukmu!”[49] Pada waktu bersamaan banyak anggota PKI secara pribadi mengungkapkan keprihatinan bernada iri terhadap Tan Malaka yang tiba-tiba mendapatkan tempat terkemuka pada pergerakan internasional.[50]
Setelah lima bulan di Moskow, untuk beberapa waktu di tahun 1923, Tan Malaka kembali ke Asia sebagai supervisor Komintern.[51] Sejak itu gema keberhasilan rantaunya yang pertama mulai memudar hingga beberapa bulan kemudian kualitas-kualitas “antitesis” rantau menggantikannya –dan tetap mempengaruhinya sampai masa tinggalnya di Belanda berakhir. Satu-satunya dinamika yang bisa dilihat selama 20 tahun perantauan Tan Malaka yang kedua adalah kesepian Tan Malaka yang secara bertahap menjadi semakin dalam.
Kesehatan Tan Malaka kembali ikut berperan. Di dalam otobiografinya, kondisi kesehatannya dilukiskannya sebagai dorongan yang menentukan dalam kehidupannya.[52] Karena kerusakan otak yang dideritanya antara tahun 1925 sampai tahun 1935, membuatnya tak sanggup membaca lebih satu jam perhari.[53] Selama rantau kedua ini ia juga merasakan selalu diburu polisi Inggris, Belanda, lalu Jepang. Ia menuliskan bahwa di sebuah kesempatan, bahkan ketika ia bebas dari penjara, ia merasa para polisi negara-negara itu bermain “kucing dan tikus” dengannya.[54] Ia mendapati kawan-kawan lamanya takut memberikan perlindungan dan menerimanya dengan dingin.[55] Di lain pihak tiap penjara tampaknya seperti melambai memanggilnya, “Masuklah!”[56]  Satu-satunya tempat yang masih menyambutnya dengan salam kemerdekaan “Hidup Indonesia Merdeka!” adalah halaman penjara.[57] Penjara merupakan tempat orang-orang saling memberi pertolongan dengan rela dan tempat yang menurutnya paling aman. [58]
Tan Malaka melukiskan rantaunya yang kedua sebagai masa isolasi politik total sesungguhnya. Bahkan di bagian awal rantau kedua, sampai tahun 1926 ketika ia masih aktif, ia tak menyebutkan kontak yang berarti dengan kaum pergerakan Indonesia kecuali beberapa kali pertemuan dengan dua kawan separtai, Alimin dan Dawud, serta beberapa surat-menyurat dengan kawan lain, Subakat.[59] Akhirnya ia menulis, “setelah aku ditahan di Hongkong memasuki akhir tahun 1932 (untuk ketiga kalinya) dan semua kawan seperjuangan di Singapura ditahan dan dikirim ke Digul, kontak dengan kawan-kawan di mana-mana sepenuhnya berakhir. Beberapa kali aku mencoba mengontak orang Indonesia di Singapura namun semuanya gagal”.[60] Tan Malaka tak sering menyebut Pari, partai politik yang didirikannya tahun 1927, setelah meletus pemberontakan PKI tak terencana tahun 1926-1927, kecuali mencatat bahwa ia menerima berita penangkapan para pemimpin partai lainnya dan tentang hancurnya komunikasi antar partai.[61]
Sebuah pertanyaan wajar timbul: periode manakah yang dianggap oleh tokoh militan- radikal ini sebagai puncak rantaunya? Jawabannya akan mengejutkan: masa ketika kesepian dan keterpisahan (isolasi) politiknya benar-benar total. Yakni tahun-tahun yang ia habiskan di awal 1930-an di pelosok desa Fukien, Cina Selatan. Dalam melukiskan masa ini Tan Malaka tak menyebut politik sama sekali. Kebetulan juga pada tahun-tahun ini penyakit Tan Malaka berada dalam keadaan paling parah. “Aku sepenuhnya terputus dari dunia luar, beristirahat dan berobat hingga sembuh sepenuhnya”.[62]  Kenangan selama masa ini dilukiskannya dengan bersemangat sekali dalam tulisan-tulisannya, seperti kemanjuran obat pribumi setempat yang dibuat dari bebek berbulu hitam untuk menyembuhkan penyakit paru-paru yang dideritanya.[63]  Kesunyian desa tempat tinggalnya kadang-kadang diselingi keramaian – tahun baru Cina, pesta perkawinan dan upacara pemakaman – dan di tempat tersebut ia mengalami sedikit kehangatan sentuhan kemanusiaan yang lama tak dirasakannya sejak meninggalkan Alam Minangkabau.[64] Diungkapkannya pula bahwa ia baru meninggalkan desa yang nyaman ini setelah sebagian besar anggota keluarga yang ditempatinya berimigrasi ke Filipina.[65]
Bagaimanakah kita akan menerangkan alasan Tan Malaka mempublikasikan fakta-fakta tentang isolasi dan ketidaktifannya yang lama dari politik secara terus terang, hampir drastis ketika pada saat bersamaan ia dengan jelas mengemukakan bahwa konsep kehidupannya merupakan senjata ampuh untuk perjuangan di masa datang? Tidakkah pengungkapan fakta-fakta semacam ini akan melemahkan posisinya setelah pulang? Sebuah penjelasan yang mungkin adalah bahwa ia memahami pengasingannya – seperti waktu memahami hidupnya di Belanda – sebagai “antitesis” dan sebagai rantau yang sangat kreatif dan integratif. Kesengsaraan, kesepian dan keterpisahan yang dialaminya membuatnya berpikir serius tentang kekurangan dan kebutuhan Alam. Disamping itu ia juga berusaha memilah yang baik dari rantau. Selama masa ketidakaktifan semacam ini ia mempunyai banyak waktu untuk dihabiskan di perpustakaan tanpa terganggu aktivitas politik sehari-hari. Pada kenyataannya, seperti akan saya coba perlihatkan, sejak saat inilah pemikiran dan tulisannya menjadi terogarnisir dalam sebuah sistem filsafat yang utuh.
Dengan sistem filsafat ini Tan Malaka memandang pengalaman hidupnya di luar negeri yang kedua sebagai kondisi penting mencapai “sintesis”. Perspektif ini tak hanya memberi alasan wajar (raison d’etre) bagi kehidupan pengasingannya. Lebih dari itu pengalaman di pengasingannya. Lebih dari itu pengalaman di pengasingan menjadikannya mampu menulis halaman-halaman memoarnya sebagai pernyataan yang jelas tentang rantau sebagai konflik dan sebagai kesempatan untuk memahami baik kualitas Alam maupun kualitas rantau, serta memanfaatkan rantau sebagai sarana memahami Alam. Dengan jelas sekali Tan Malaka membangun konsep semacam ini dengan harapan pada masa “sintesis”, yakni saat pengasingannya berakhir dan ia kembali ke kehidupan politik Indonesia, nilai-nilai agung yang diperolehnya dari rantau akan menciptakan suatu kekuatan.



































Oleh-oleh Dari Rantau:
Pandangan Tan Malaka
Tentang Dunia

































Misi Seorang Guru


Telah diperlihatkan pada bagian awal tulisan ini, konsep rantau berkaitan erat dengan peran yang dimainkan oleh murid (atau pemuda pada mumnya) dan guru dalam budaya Minangkabau. Setelah perjalanan dagang, kepergian untuk meneruskan sekolah merupakan bentuk rantau paling penting dan paling banyak dipraktekkan di awal abad XX. Bertempat di surau, sekolah tradisional Minangkabau adalah juga bentuk rantau yang terkenal. Ini mirip yang ada di Aceh, yang mensyaratkan bahwa seseorang tak bisa menjadi ulama (ahli agama) atau guru tanpa meudagang, istilah yang kini berarti “belajar di pesantren”. Namun aslinya istilah ini berarti “menjadi orang asing yang merantau dari satu tempat ke tempat lain.” [66] Selama masa belajar, murid harus menyatu dengan tradisi lingkungan setempat. Di tempat ini murid mengembangkan hubungan erat dengan bapak spiritual surau – guru. Hubungan semacam ini tak hanya kurang dikenal dalam tradisi kekuasaan Alam, tetapi bahkan dipandang sebagai sesuatu yang kontras, bertolak belakang dan bertentangan. Sepanjang sejarah Minangkabau, surau berfungsi sebagai rantau, sebagai tempat untuk mengartikulasikan ketidaksetujuan dan mengartikulasikan gagasan-gagasan baru. Sering terjadi, surau menjadi pusat gerakan militan bagi penyempurnaan masyarakat Minangkabau.[67]
Sebagai orang Minangkabau, Tan Malaka terlalu sering melihat nilai-nilai kebudayaan pemudaan dan rantau sebagai dua hal yang erat sekali berhubungan. Sebagian karena pengalaman inilah yang menumbuhkan cinta kasih bersifat spiritual, intelektual dan politik yang selalu ditunjukkannya terhadap pemuda. Hal ini memberikan dasar keyakinan yang dalam bahwa ditangan pemudalah terletak harapan terbaik bagi revolusi. Sebagai bentuk ideal suatu masyarakat pemuda, Tan Malaka mengetengahkan gambaran sebuah lembaga tradisional dari masa 2.000 tahun yang lalu, yang nampaknya merupakan gabungan surau dan rantau, sebuah rumah khusus, hanya untuk pemuda, yang memungkinkan mereka mendapatkan baik latihan spiritual (adat dan agama) maupun latihan fisik (silat dan pencak).[68] Dari lembaga ini, menurut Tan Malaka, akan muncul “semangat perantau”:

Di bawah bimbingan bulan dan bintang, berlayar dengan kapal kecil, dibekali alat-alat penemuan mereka yang hebat, dengan semangat kebersamaan dan saling tolong-menolong – pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama dilepah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya telentang sama minum air, telungkup sama makan tanah – lautan hanyalah sebuah danau di mata mereka. (Ini adalah ungkapan Minangkabau untuk menyatakan persahabatan yang sempurna). [69]

Berkaitan dengan ini, penting pula dicatat bagaimana Tan Malaka melihat apa yang dikatakannya sebagai pengaruh paling penting yang pernah diterima selama masa sekolahnya di Fort de Kock. Yang dimaksud Tan Malaka adalah bimbingan gurunya yang berkebangsaan Belanda, GH. Horensma, yang memberinya semangat untuk tetap menjalani rantau pertamanya dan pergi ke Belanda tahun 1913. Kasih sayang Tan Malaka terhadap Horensma masih membekas kuat hingga tiga dekade kemudian. Dalam otobiografinya, Tan Malaka membandingkan hubungan ini sebagaimana hubungan murid-guru dalam pendidikan tradisionla Indonesia di mana “orang tua adalah pembentuk tubuh, sementara guru menjadi pembentuk jiwa”.[70]
Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila Tan Malaka berusaha mendapatkan cara paling baik untuk membawa “yang baik dari rantau” ke Alam. Ia memutuskan untuk memenuhi misi ini dengan menjadi guru. Memang peran sebagai guru inilah yang menjadi sifat dasar paling berpengaruh terhadap semangat hidup Tan Malaka sejak periode Fort de Kock sampai kematiannya.
Tan Malaka lulus pendidikan guru dan bekerja sebagai guru merupakan karir pertamanya. Kepergiannya dari Sanembah Corporation sebian juga karena pandangannya tentang pendidikan bagi anak-anak kuli perkebunan berbenturan degnan pandangan rasis rekan-rekan sekerjanya yang berkebangsaan Belanda.[71] Memang seperti telah kita ketahui, terutama sekali karena kualifikasinya sebagai guru dan karirnya sebagai pelopor “Sekolah Tan Malaka” yang menjadikan namanya terkenal dalam  kehidupan politik Indonesia dan menyebabkan kepulangannya pertama dari rantau 1919-1922 berhasil.

Kamarku selalu terbuka siang dan malam untuk kawan-kawan dan murid-murid. Karena cukup besar dan cukup tenang untuk belajar, pada malam hari sementara aku tidur, kamar ini bisa digunakan oleh satu atau dua murid yang hendak menempuh ujian. Sesungguhnya, kamar ini disediakan untukku untuk menulis sebuah buku.[72]

Dari otobiografinya nampak jelas bahwa Tan Malaka melihat hubungan guru-murid sebagai landasan bagi hampir semua kontak dengan dunia luar yang dialaminya baik sebagai seorang revolusioner profesional pada tahun 1920-an maupun sebagai seorang guru sekolah menengah di Amoi dan di Singapura tahun 1930-an. Menurut kutipan yang saya cantumkan di bawah ini, kemunculannya pada tahun 1940-an, ketika kembali ke Indonesia, sangat mirip dengan ulama atau guru:

Ia kelihatan tua sekali. Tetapi dari perilakunya saya bisa mengatakan bahwa ia seorang yang hebat. Ia berbicara tentang situasi internasional seperti seorang intelektual. Dalam lingkungan ini ia menonjol segalanya. Kami semua hanya berbicara tentang Jepang dan mengeluh dengan getir. Ia kadang memberitahu kami bahwa Jepang bukan musuh yang sesungguhnya – musuh sebenarnya adalah Amerika dan Inggris serta bagaimana mereka harus dihadapi setelah Jepang kalah...Kami tahu bahw ia telah lama tinggal di luar negeri dari fakta bahwa ia hampir tak pernah mandi kecuali cuci muka dan tangan, kebiasaan Eropa, tidak seperti kami yang harus mandi penuh dua kali sehari. Ia tak bisa berbicara Bahasa Jawa sepatah pun dan Bahasa Indonesianya seperti bahasa buku, intelektual. Bicaranya seperti seorang tutor. Para pekerja lokal tak mengerti gagasan-gagasannya sama sekali. Ia suka berjalan kaki seorang diri dan kami bisa melihat bahwa ia seorang yang banyak bicara dan banyak berpikir, tak seperti kami orang Indonesia pada umumnya. Untuk hiburan saya menulis drama dan lakon yang dramatis. Ia biasa diberi peran sebagai pendeta. Yang paling saya ingat ia kebagian peran sebagai Kyai Madja dalam drama Diponegoro versi saya. Ia tak pernah berhubungan seks dan saya pikir ia telah melupakannya. Ia senang para pemuda mengelilinginya dan menyimak kata-katanya. Ia biasa sekali mempunyai kelompok pemuda semacam itu di manapun ia pergi.[73]

Segala aktivitas Tan Malaka setelah kemunculannya ke Alam pada tahun 1940-an, sedikit banyak, sebagaimana diperlihatkan di bawah ini, tak lebih dari ungkapan kesetiannya kepada pemuda dan ekspresi keyakinannya memberikan pengaruh, semacam pengaruh surau, terhadap pemuda Indonesia.










Madilog

Madilog, sebuah karya filsafat panjang yang ditulis Tan Malaka tahun 1942-1943 adalah – dalam pandangan Tan Malaka sendiri – karya puncaknya, harta yang paling lengkap dan paling menyeluruh membahas filsafatnya. [74]  Menurutnya Madilog adalah cara berpikir baru, sebuah pusaka[75] warisan dari Barat (Marxis-Leninis dalam pandangannya yang rasional dan logis) yang diharapkan menarik para pembaca Indonesia untuk mempelajarinya “dengan kerendahan hati dan kejujuran”.[76] Cara berpikir Madilog diajukan oleh Tan Malaka sebagai senjata untuk melawan apa yang ia kategorikan, dalam Madilog dan tulisannya sebelumnya,[77] sebagai cara berpikir ketimuran yang kuno, penuh mistik dan idealistik[78] yang masih dominan, tak hanya di Indonesia tetapi di Asia. Tan Malaka menciptakan Madilog untuk masyarakat bangsanya, rakyat Asia, yang seperti rakyat Eropa zaman pertengahan, dilahirkan dalam dunia mistik dan tak dapat membebaskan diri dari masalah-masalah filsafat yang tak relevan yang menyebabkan tidak lahirnya pengetahuan....hingga kehadiran bangsa Barat.[79]
Berhenti pada kutipan di atas hanya akan memberik gambaran yang sangat meleset tentang makna Madilog. Yang penting adalah bahwa Madilog “disebarluaskan atas permintaan para pemuda” guna dipakai dalam revolusi yang mereka pelopori.[80] Memang seperti akan kita ketahui, Tan Malaka berharap Madilog akan menjadi oleh-oleh rantaunya, sebuah pemusatan akumulasi pengetahuan untuk ditransformasi menjadi kekuatan Alam.
Keistimewaan Madilog yang paling mencolok adalah kegunaannya yang luar biasa--dibarengi fakta bahwa buku ini disajikan sebagai karya Marxis-- yang menggabungkan di dalamnya kekuatan gagasan dan konsep akal. Dalam keseluruhan tulisan Tan Malaka, disamping ditandai pemakaian terminologi Marxis-Leninis, kekuatan gagasan sebagai pendorong kemajuan sosial adalah juga terminologi yang ditekankan berulang-ulang lebih dari kekuatan perjuangan klas yang dinamis. Secara umum Tan Malaka sedikit sekali membahas perjuangan klas. Ia tampaknya lebih suka membicarakan upaya menolong rakyat dan seperti ia kemukakan di muka, sarana untuk itu adalah pendidikan yang juga menjadi misi hidupnya.
Penghargaan terhadap aspek pendidikan dalam Madilog ini jelas sangat dipengaruhi oleh peran guru dalam budaya Minangkabau dan dalam struktur pengalaman Tan Malaka. Kecuali itu kita harus mempertimbangkan penghargaan filsafat Minangkabau (atau paling sedikit filsafat Minangkabau seperti dipahami Tan Malaka muda) terhadap akal –kemampuan untuk berpikir. Dalam pandangan filsafat Minangkabau ini, pelaksanaan eksplorasi yang terus-menerus terhadap dunia, realisasi pengumpulan elemen rantau yang dinamis dan penyempurnaan Alam, dapat diwujudkan karena akal.[81] Keyakinan Minangkabau yang sangat penting bahwa akal bisa memanipulasi Alam secara sangat ekstrim terlihat pada kepercayaan yang dianut meluas atas ilmu kekebalan (the science of invulnerability).[82]
Dasar Madilog yang pertama adalah materialisme. Materialisme yang digunakan dalam Madilog hampir samasekali berbeda dengan arti istilah yang sama di Barat. Menurut Tan Malaka dasar aksioma materialisme Barat tak cocok diterapkan. Perhatian utama Tan Malaka selain terhadap Alam adalah terhadap jiwa, semangat, energi dan vitalitas. Ia menilai animisme, yang menurutnya adalah landasan kepercayaan terhadap jiwa, sebagai landasan historis cara berpikir Madilog. Bahkan ketika ia menulis bahwa “energi bisa berubah bentuk” sesungguhnya ia menekankan bahwa semangat (jiwa) adalah abadi:

Menurut Madilog tak ada tubuh tak ada vitalitas. Jiwa hanya kekuatan khusus dari badan yang khusus, tetapi seperti kekuatan-kekuatan lainnya, ia berhenti dengan kematian jasmani. Ia bertukar menjadi kodrat kimia setelah jasmani kembali ke tanah, air dan udara. Ia berubah menjadi kodrat hidup tumbuhan jika jasmani itu dimakan tumbuhan. Bertukar menjadi kodrat hidup hewan, bila jasmani langsung atau tak langsung dimakan hewan. Akhirnya ia bertukar kembali menjadi jiwa manusia jika, secara langsung sebagai air, garam dan oksigen atau secara tak langsung sebagai makanan, sayuran dan daging, masuk ke mulut petani atau profesor, buruh atau kapitalis, bangsat atau pendeta, maling atau guru agama.[83]

Tan Malaka juga memperlihatkan penghargaan yang tinggi terhadap pawang Minangkabau. Pendapatnya yang menempatkan kekuatan pawang sebagai satu dari nilai Madilog juga memperlihatkan konsep khusus materialisme:

Kita lihat pawang memerlukan kuku, rambut atau tengkorak untuk menyampaikan niatnya....Dilihat dari sudut pandang ilmu, pawang tak hanya mendasarkan kodratnya pada kodrat dirinya. Ia membutuhkan benda-benda itu karena, seperti yang saya terangkan, ia tak bisa membuang kepercayaannya begitu saja.[84]
 
Berbeda dengan materialisme Barat, materialisme Madilog muncul sebagai citra kosmosentrisme dan idealisme negatif. Mirip tetapi berkebalikan, percaya pada hantu, singkatnya tentang “segala sesuatu yang berhubungan dengan mistisisme dan magis”.[85] Dengan demikian materialisme Tan Malaka adalah semacam realisme dan pragmatisme antroposentris, istilah sama yang digunakan di Barat. Fokus materialisme Tan Malaka bukan dunia hantu atau dunia materi, tetapi manusia, yang secara rasional menggunakan lingkungannya. Di atas segalanya materialisme dalam pandangan Tan Malaka adalah sebuah cara berpikir realistis, pragmatis dan fleksibel. Manusia yang berpikir sesuai materialisme-Madilog terutama memperhatikan yang dekat –apa yang dekat dengannya, apa yang paling cepat dan langsung mempengaruhinya.[86] Cara materialistis artinya “mencari jawaban berdasarkan sejumlah bukti yang telah diuji dan diketahui”.[87]
Serupa dengan materialisme, dialektika dalam Madilog adalah konsep yang disusun untuk melawan kelambanan intelektual cara berpikir Alam. Tan Malaka menyamakan cara berpikir Alam yang kuno ini dengan “dogmatisme” yang didefenisikannya sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural yang mengakibatkan pengingkaran terhadap pencarian intelektual dan kemampuan manusia mengubah dunia materi. Kerusakan cara berpikir kuno yang paling dasar adalah, dalam pandangan Tan Malaka, meyakini keterbatasan ilmu pengetahuan:

Ia (mistik) akan berpangku tangan, berkonsentrasi pada hidungnya dan berkata, aum...aum.... Ia tidak akan melontarkan lagi kritik atas pengetahuan yang telah diperolehnya dan tak akan lagi mencari pengetahuan yang lebih sempurna. Ia akan mati bersama pengetahuannya karena pengetahuannya mati.[88]

Konsekuensi langsung pemikiran non-dialektika adalah penipuan diri, kelambanan, mental budak dan penjajahan dunia Timur oleh kekuatan-kekuatan kolonial Barat.[89] Sebaliknya dialektika seni berpikir maju meyakini pertumbuhan pemikiran manusia yang tak berhenti dan mempercayai kekuatan permanen seperti berpikir untuk mengubah dunia materi. Jika kita hendak mencoba menemukan istilah yang tepat untuk dialektika, kita mungkin akan memilih kata dinamisme. Penting diingat Tan Malaka sendiri menggunakan istilah ini dalam banyak bahasan dalam Madilog, sehingga “dialektika” yang digunakan akan sulit dimengerti tanpa penjelasan tambahan.
Secara singkat keinginan Tan Malaka membawa pulang “pusaka dari Barat” bukan sebuah pernyataan rendah diri atau sebuah upaya mencangkokkan modernisme Barat ke dalam cara berpikir tradisional ketimuran. Sebaliknya Tan Malaka menyusun sistem Madilognya dengan rasa kewajiban yang besar terhadap Alam. Ia yakin waktunya belum tepat untuk menerapkan sistem filsafat Barat ke dalam sistem masyarakat Timur, usaha semacam itu tidak akan berhasil baik, karena filsafat Barat timbul di masyarakat yang berbeda iklim, sejarah, kondisi spritual dan cita-cita dengan masyarakat Timur.[90] Ia tak pernah melepaskan anggapan bahwa Barat hanyalah rantau yang keberadaannya hanya untuk memperkaya Alam. Penciptaan Madilog sangat didorong oleh obsesi Tan Malaka terhadap Alam dan keyakinan bahwa pemuda akan mampu menyerap “yang baik dari rantau”. Keyakinannya terhadap kemampuan Indonesia juga berakar pada konsep budaya Minangkabau. Karenanya bisa dimengerti apabila tak ada persamaan langsung dari materialisme dan dialektika yang digunakan dalam Madilog dengan arti terminologi ini di Barat. Tan Malaka mengambil dasar pematangan filsafatnya pada kualitas-kualitas yang telah ada di Alam. Dalam kenyataannya baik ketimuran maupun cara berpikir Madilog merupakan ekspresi kualitas ini. Ia melihat yang pertama (ketimuran) sangat dibutuhkan untuk mencapai yang kedua (Madilog); kedua kualitas ini akan menentukan “apa yang baik dari rantau”.






















Konsep Sejarah Indonesia

Dalam pandangan tradisional Minangkabau, “sejarah berjalan menuju tujuannya, tetapi dasar Alam dan irama perkembangannya harus tak berubah. Konsepsi semacam ini bukan sekedar landasan guna melihat masa lalu....., namun yang lebih penting, merupakan sebuah pesan untuk masa yang akan datang”.[91]
Bagi Tan Malaka motor penggerak sejarah adalah pikiran rasional. Jadi untuk menggerakkan sejarah lebih banyak dibutuhkan akal daripada perjuangan klas. Sejarah harus berjalan naik dengan tujuan penyempurnaan masyrakat. Inilah harapan tertinggi Tan Malaka, baik harapannya sebagai orang Minangkabau maupun sebagai seorang revolusioner. Keyakinan Tan Malaka terhadap tujuan mulia dan perjalanan naik sejarah Indonesia dengan jelas dikemukakan di bagian akhir Madilog. Ini akan merupakan era Indonesia merdeka dan sosialis, suatu era ketika cara berpikir Madilog dipraktekkan secara luas dan memberikan surga bagi manusia. Namun karena era ini hanya bisa dilukiskan dalam istilah-istilah yang utopis. Meski demikian gambaran masa depan seperti inilah yang menjadi inti Madilog dan pada tingkat dasar, merupakan raison d’etre-nya. Di atas semuanya gambaran ini memberikan konotasi yang kuat mengenai “pesan untuk masa yang akan datang” dalam pandangan Tan Malaka mengenai sejarah.
Nilai-nilai budaya cara berpikir Madilog tak akan mendapatkan kemenangan sampai dimulainya era Indonesia merdeka dan sosialis. Namun sejak awal sejarah Indonesia, nilai-nilai ini sebenarnya sudah ada. Nilai-nilai ini sudah sejak dahulu kala memberikan landasan penting, mewakili sumbu tertentu perkembangan sejarah. Pada periode tertentu kemunculannya memberi sifat baru setiap peristiwa. Keberadaan permanen nilai-nilai ini ditekankan berulang-ulang dalam Madilog, khususnya pada bagian yang membahas konsep Tan Malaka tentang periode pertama sejarah Indonesia, apa yang disebutnya sebagai Indonesia Asli. Melalu gambaran periode ini, yang menyebut keberadaan nilai-nilai kultural yang sama dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercipta landasan permanen bagi Alam dan perkembangannya.
Sesuai pandangan hidup Minangkabau, konsep Tan Malaka tentang sejarah selalu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik merupakan bagian terpenting bagi segala bentuk integrasi atau kemajuan. Hal ini bisa dilihat secara jelas sekali ketika Tan Malaka melukiskan masa pertengahan dalam sejarah Indonesia. Di bawah Periode Hindu-Belanda, masa ini meliputi periode sejak akhir periode Indonesia Asli sampai sekarang (pada saat Madilog ditulis). Selama masa ini, setelah kehancuran cara hidup Indonesia Asli, perjalanan sejarah Indonesia bergerak jauh dari sumbunya. Sejarah Indonesia bergerak ke luar. Pada saat seperti inilah cara berpikir ketimuran muncul dan berbenturan dengan cara berpikir Indonesia Asli. Oleh karenanya dengan caranya sendiri sejarah Indonesia mendorong perkembangan Alam dan meratakan jalan bagi integrasi penuh masa depan yang merdeka dan Indonesia yang sosialis. Dalam bahasa yang digunakan Tan Malaka, periode Hindu-Belanda adalah antitesis, konflik dengan tesis (Indonesia Asli), namun konflik ini penting untuk memperbaiki tesis dan meningkatkannya ke taraf lebih tinggi serta mengubahnya menjadi sintesis “Indonesia merdeka dan sosialis”.






Indonesia Asli

Dalam pandangan Tan Malaka, rakyat Indonesia Asli percaya pada kekuatan yang melekat pada b arang-barang material dan spiritual.[92] Mereka belajar menilai secara realistis baik kekuatan Alam maupun kekuatan mereka sendiri. Mereka juga belajar bagaimana mempergunakan kekuatan mereka secara efektif; dan mereka “lebih praktis, lebih nyata, lebih memperhatikan bukti nyata.....daripada rakyat di tempat lain pada zaman yang sama dan daripada bangsa Indonesia sendiri sejak bercampur dengan orang asing (Barat)”.[93] Secara umum cara berpikir orang Indonesia Asli sangat dekat dengan materialisme-Madilog. Dinamisme Indonesia Asli, seperti digambarkan Tan Malaka, sangat dekat dengan apa yang ia sebut dialektika-Madilog, karena rakyat Indonesia Asli “lebih energik, lebih berani dalam memulai upaya-upaya baru yang penuh bahaya daripada keturunan-keturunan mereka”[94].
Yang penting cara berpikir rakyat Indonesia Asli tergantung secara langsung pada pengaruh rantau yang menguntungkan. Tan Malaka menulis bahwa perantaulah yang membawa kualitas-kualitas tersebut ke Alam Indonesia Asli. Pada masa menjelang zaman sejarah (historic era) mereka mencapai kepulauan Indonesia dari Asia Tengah melalui perjalanan panjang yang menentukan. Perjuangan panjang menaklukkan hutan-hutan dan gunung-gunung yang sulit dilalui telah mengajar mereka satu cikal bakal cara berpikir Madilog, mereka lalu membawanya ke Indonesia bersama dengan pengetahuan mereka yang telah maju tentang perkakas hidup, perkapalan, pertanian dari perbintangan.[95] Sebagai orang Minangkabau, Tan Malaka menganggap “yang baik dari rantau” ini sebagai kondisi yang mutlak ada bagi perkembangan Alam.

Seandainya orang Indonesia yang datang dari Asia Tengah ke kepulauan ini tak membawa serta seni membuat peralatan dari tembaga dan besi, mereka mungkin hanya akan mengenal alat-alat yang tak lebih dari yang digunakan oleh saudara kita di Irian atau di Ulu Pahang, Malaya atau di pegunungan Pulau Luzon hingga sekarang.[96]

Rangsangan dari rantau yang sama telah menghidupkan model organisasi politik yang sangat dipuji oleh Tan Malaka dalam Madilog. Kualitas pokok organisasi politik ini yang disebutnya kerakyatan, sebuah istilah yang sering diterjemahkan demokrasi adalah fenomena pengambilan keputusan di dalam masyarakat Minangkabau. Menurut Madilog, karena bantuan rantau, orang Indonesia Asli berhasil mengembangkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang khusus di bawah pimpinan datuk, yang merupakan pimpinan yang dicintai rakyat karena dipilih dari antara rakyat. Hukum dan adat yang tumbuh dalam masyarakat hanya berfungsi untuk “menjamin kesejahteraan masyarakat”.[97] Gambaran ini sesuai sekali dengan konsepsi Minangkabau tentang tatanan politik ideal.
Dalam keseluruhan konsepsi Madilog, yang paling penting adalah bahwa Indonesia Asli terbukti kuat sekali menjaga identitas keasliannya untuk periode yang panjang, yang juga berarti menjaga keseimbangan antara Alam dan rantau. Kemampuan inilah yang telah memberi nama Indonesia Asli: di bagian manapun dalam Madilog disebut dengan Indonesia sebelum “bercampur dengan orang asing” atau sebagai zaman “ketika rakyat Indonesia masih memiliki perasaan harga diri yang tinggi”.[98] Tan Malaka memberikan ilustrasi yang luar  biasa dan menyolok mengenai kualitas ini. Yakni dengan fenomena amuk. Seperti dikemukakannya, amuk bukan gejala sakit jiwa sebagaimana anggapan umum ilmuwan Barat, juga bukan jenis kemarahan khas orang Asia. Menurut Tan Malaka amuk merupakan bentuk pertahanan manusia yang paling efektif dalam menghadapi tekanan besar atau penghinaan dari luar, serta untuk menghadapi kelemahan akal. 

Seseorang yang dihina secara semena-mena atau dengan sengaja dieksploitasi, dijajah dan disiksa harus marah. Sesungguhnya ia harus marah jika kemanusiannya belum hancur sama sekali. Singkatnya ada kemarahan yang tidak pada tempatnya dan ada yang wajar pada tempatnya. Yang terakhir saya sebut murni (egois), karena jika dorongan (nafsu) untuk marah telah mati, mati pula bersamanya dorongan untuk balas dendam, dorongan untuk melenyapkan segala keburukan dan kebusukan dalam masyarakat.....Jika kemarahan murni di satu sisi menyebabkan kutukan dan di sisi lain kesombongan menyebabkan kegagalan, kesusahan atau penyesalan, maka kutukan seorang pawang bisa dianggap sebagai keberhasilan.[99]































Periode Kegelapan


Periode pertengahan dalam sejarah Indonesia menurut konsep Tan Malaka dimulai sejak abad pertama sebelum Masehi dan masih ada hingga tahun-tahun ditulisnya Madilog. Jelaslah bahwa “kesezamanan” memberikan apa yang dipandang oleh Tan Malaka sebagai sifat-sifat terpenting pada periode ini; karena Tan Malaka sendiri mengalami periode ini, periode yang memberinya penderitaan, periode yang diperanginya. Tan Malaka menganggap misi hidupnya adalah menyalakan revolusi dan rintangan terbesar terhadap misi ini adalah cara berpikir periode pertengahan. Oleh karena itu periode kegelapan menjadi fokus konflik tidak hanya dalam mengembangkan Alam, namun juga dalam kehidupan pribadi Tan Malaka.
Orang Indonesia periode ini berpandangan non-materialis; hanya berlandaskan pikiran, bukan pada kenyataan dan pengalaman.[100] “Hilang fakta. Hilang bukti. Hilang ketenangan. Hilang kebebasan menilai,” tulis Tan Malaka. [101] Sebagai konsekuensi pandangan idealis ini, perjalanan sejarah menuju kesempurnaan masyarakat terganggu. Historiografi periode ini tak membawa misi untuk masa mendatang dan tak mendorong gerak maju sejarah.[102] Karena dominasi cara berpikir yang anti-Madilog, tak ada semangat dan inisiatif.[103] Sebagai akibatnya cara hidup dalam periode ini berubah. Masyarakat Indonesia mengalami transformasi dari era perantau Indonesia Asli menuju “masyarakat yang terpaku dalam lumpur”[104] Kerajaan hadir menggantikan kerakyatan. Jiwa Indonesia Asli relatif tak mengenal konsep penguasa penguasa seperti periode pertengahan; para penguasa periode pertengahan adalah pembawa kebudayaan Hindu atau Belanda. Disamping itu meskipun mereka berhasil menaklukkan Indonesia, mereka tak mencoba menyebarkan kebudayaan mereka secara sungguh-sungguh dan langsung di antara suku bangsa Batak, Kubu, Dayak, Toraja dan rakyat Indonesia lain di luar Jawa. Terhadap orang Jawa sendiri mereka “menanamkan dan memperkokoh perasaan rendah diri (inferiority complex) rakyat Jawa”.[105]
Sebagai landasan bersama semua keburukan ini, Tan Malaka merujuk pada fakta bahwa pada periode pertengahan warga Indonesia kehilangan identitas, keaslian mereka, keyakinan mereka pada pembentukan permanen Alam; keseimbangan antara Alam dan rantau terganggu dan konflik yang dibawa dari rantau menyebar di Alam. Sebagai satu manifestasi dari kondisi yang menyedihkan ini Tan Malaka menulis, “Sampai sekarang rakyat Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan dari luar dirinya; orang Indonesia tak mau lagi menyingsingkan lengan baju mereka”.[106] Pengaruh India dan Belanda adalah, demikian Tan Malaka, penyebab utama kebobrokan zaman kegelapan.
Pengaruh kebudayaan “para tuan” India telah mengakhiri era Indonesia Asli dan melahirkan era kegelapan.[107] Ekspresi tertinggi pengaruh yang merusakkan ini adalah seni Yoga dalam kebudayaan Indonesia. Sementara amuk oleh Tan Malaka dinilai sebagai manifestasi identitas, kepercayaan diri dan dinamisme Indonesia Asli, sebaliknya yoga dinilainya “membunuh segala aktivitas pikiran”.[108] Manifestasi pengaruh kebudayaan India terhadap kebudayaan Indonesia lainnya yang sangat dilawan Tan Malaka adalah konsep ahimsa dan “kodrat jiwa” dari Mahatma Gandhi. Kedua konsep Gandhi ini, menurut Tan Malaka, bertentangan dengan akal; “sangat gelap maknanya bagi orang berakal”.[109] Jika kedua konsep ini diterapkan sungguh-sungguh, tak akan ada dokter, pabrik, ilmu pengetahuan. Singkatnya tak akan ada kemajuan sama sekali.[110] Sistem kasta di India yang bertentangan dengan kerakyatan tak akan memberikan harapan dan kemungkinan perkembangan kemanusiaan.[111]
Sejak akhir abad delapanbelas pengaruh Belanda telah berulang-ulang oleh intelektual Minangkabau sebagai penyebab ketidakseimbangan di Alam. Sebagai contoh, keruntuhan sistem tradisional penghulu akibat adanya organisasi nagari dan diberlakukannya hukum kriminal Barat, oleh kalangan intelektual Minangkabau dipandang sebagai “refleksi melemahnya ikatan-ikatan sosial dan penyimpangan paradigma Minangkabau dari Alam”. [112] Ketika Belanda menerapkan pemusnahan dan monopoli kopi di Minangkabau, kaum intelektual setempat memandang bahwa tindakan tersebut sebagai kondisi yang tak bisa dibiarkan. “Minangkabau mengalami kejayaan kerja paksa, bukan lagi adat”.[113] Keseluruhan gerakan emansipasi Minangkabau di penghujung abad ini dalam banyak hal dilihat sebagai upaya memulihkan keseimbangan budaya adat yang hancur karena pengaruh Belanda. Bahkan anggota pergerakan yang radikal cenderung melihat kapitalisme Belanda terutama sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan Alam Minangkabau tradisional prakolonial.[114]
Tan Malaka adalah seorang pengagum berat dinamisme dan rasionalisme serta memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap kemajuan yang ia lihat dan saksikan di Barat pada abad duapuluh ini. Di balik kemajuan yang disaksikannya, ia juga melihat kemunduran pengaruh Belanda di Indonesia. Hanya setelah membandingkan ekonomi Amerika dan Belanda selama Perang Dunia Pertama, Tan Malaka menyadari keterbelakangan Belanda dan kondisi koloninya.[115] Selain itu ia juga mendapati jiwa ketimuran yang dibencinya dalam pemikiran Belanda . Yakni mendewakan kenangan masa lalu, tak logis, membesarkan hal yang kecil dan mengabaikan masalah-masalah yang mendasar.[116] Imperialisme Belanda hanya menambah rasa rendah diri bangsa Indonesia.[117] Imperialisme Belanda juga telah memperkokoh cara berpikir kuno, menjungkirbalikkan perkembangan kesadaran bangsa Indonesia dan  menghancurkan kebahagiaan rakyat Indonesia:

Persahabatan dan kepercayaan antara manusia hilang dalam era kapitalisme... Di masa lalu, misalnya di masa pemerintahan kekerabatan, kepala keluarga memiliki kekuasaan kecuali itikad baik dan ketulusan......Kekuatan hukum, polisi dan penjara dalam era kapitalisme adalah lembaga yang tak dikenal dalam sistem kekerabatan Minangkabau seratus tahun lalu. Di Minangkabau seratus tahun lalu negara kekerabatan sudah demokratis, tiap orang memahami hukum dan mentaatinya....Hukum adat sudah terpatri di benak seluruh rakyat Minangkabau. Setelah aturan hukum rakyat diganti aturan hukum pemerintah yang berkuasa....pengetahuan tentang hukum dan kemampuan rakyat berargumentasi lenyap. Sisa-sisa tradisi lama kini hanya bisa ditemukan di kalangan sejumlah orang tua Minangkabau, baik pria maupun wanita. Mereka masih menyimpan hukum adat di hati masing-masing.[118]

Sesuai konsep dinamisme kebudayaan Minangkabau tradisional, Tan Malaka melihat hambatan-hambatan bagi kemajuan yang terdapat di Alam Minangkabau sebagai penyebab utama frustasi di kalangan rakyat. Ia menyalahkan penindasan atas identitas Minangkabau. Revolusi –pemecahan bagi frustasi ini—karenanya sangat dibutuhkan guna memerangi “sisa feodalisme dalam skala kecil dan dalam skala besar imperialisme Barat yang menindas......”[119]
Sejalan sikap anti-Belanda, anti Kejawen dan anti-Indianismenya, Tan Malaka harus dimengerti sebagai bagian dari konsepsinya tentang Madilog. Tan  Malaka cenderung menyamakan cara berpikir ketimuran kuno dengan Pulau Jawa dan budaya Jawa, dengan demikian, ia merasakan kuatnya pengaruh Belanda dan terutama pengaruh kebudayaan India. Tan Malaka melancarkan serangan sistematis terhadap pengaruh dan nilai budaya Hindu-Jawa, yang disebutnya sebagai elemen masa kegelapan.[120] Tan Malaka menyatakan bahwa wayang memiliki unsur-unsur yang merusak, khususnya terhadap pemuda. Ia melihat wayang sebagai “cerita kekanak-kanakan, tak masuk akal, ajaran yang tak bisa dipercaya”. Cerita wayang “tak merangsang pemikiran kritis”. Sebaliknya, “tak satupun dari jawaban yang diberikan masuk akal”.[121] Namun –mungkin karena kecintaannya pada musik—terhadap gamelan (musik tradisional Jawa yang merupakan satu unsur penting kebudayaan Hindu-Jawa) kritik Tan Malaka terasa ambivalen:

Bagi penulis, gamelan dan suasana yang ditimbulkannya tak ada persamaannya di dunia ini. Gerakan tubuh dalam tarian serimpi membuat kita melambung tinggi di atas dunia yang hina ini. Lima nada dari gamelan Jawa bisa membangkitkan perasaan sedih, tenang, teduh dan misterius.

Jiwa Minangkabau dalam jiwa Tan Malaka bagaimanapun membuatnya menulis: “Penolakan terhadap gamelan barangkali terjadi karena gamelan terlalu halus untuk perjuangan”.[122]
Ramalan Jayabaya yang menyebutkan kebebasan rakyat Jawa setelah periode tertentu kekuasaan asing adalah sebuah pendorong kuat pergerakan nasionalis Jawa pada abad duapuluh.[123] Pengaruh tersebut mencapai klimaks tepat pada waktu Tan Malaka menulis Madilog –selama pendudukan Jepang (1942-1945). Bagi Tan Malaka, ramalan raja Jawa ini merupakan pengungkapan yang ekstrim jiwa budak, karena seperti dituliskannya, “Jayabaya sedang menantikan seorang raja dari India (diartikan mengharap bantuan luar) untuk memerdekakan Jawa”.[124] Penguasa Majapahit terbesar, Hayam Wuruk, dalam penilaian Tan Malaka juga dipandang sebagai “seorang pemimpin yang berasal dari kasta di luar kasta Jawa” dan simbol kerajaan yang anti-kerakyatan.[125] Organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo, yang hari kelahirannya dirayakan secara luas sebagai awal kebangkitan nasionalis Indonesia modern, tak luput dari kecaman Tan Malaka. Menurut Tan Malaka, organisasi ini tak lebih “satu dari kelompok borjuis Indonesia paling malas. Karena kelambanannya, mirip seekor binatang malas, organisasi ini membanggakan kejayaan masa lampau...kemegahan Borobudur, keagungan wayang dan gamelan, semua produk budaya perbudakan diambil dan dipropagandakan siang malam”.[126]
Kita juga bisa menemukan beberapa penjelasan mengenai sikap anti-Kejawen Tan Malaka dalam pengalamannya sebagai seorang pemimpin politik. Satu-satunya pengalaman Tan Malaka dalam kerja politik massa adalah di Jawa dan dengan para kuli kontrak asal Jawa di Sanembah Corporation. Kesulitan-kesulitan yang dihadapinya kemungkinan besar mendorongnya menghubungkan “keterbelakangan” dengan kejawaan. Bagaimanapun sangat mungkin bahwa sikap Tan Malaka terhadap kebudayaan Hindu-Jawa semata sebagai cerminan anti Kejawen, yang dinilainya mencemari pergerakan emansipasi Minangkabau setelah peralihan abad duapuluh. Di masa remaja Tan Malaka, yakni selama separuh awal abad dua puluh, kaum intelektual Minangkabau cenderung berpikir dalam konteks penentangan dan konflik yang masih berlangsung antara budaya Minangkabau yang mereka anggap dinamis dan rasional melawan peradaban Jawa lembut dan idealis. Wajar bila dari sudut pandang semacam ini, pertentangan ini menjadi salah satu penghambat pembangunan nasionalisme yang mencakup seluruh Indonesia. Para pemimpin Minangkabau berulang-ulang menyerang bagian-bagian dari gerakan emansipasi rakyat Jawa menuju apa yang mereka duga sebagai “pergerakan kembali ke Hinduisme”.[127] Mereka memandang wakil-wakil mereka dalam pergerakan sebagai “orang-orang bersahaja yang berorientasi ekonomi dan politik”, menghadapi idealis Jawa yang berorientasi “pada seni, filsafat dan agama”.[128] Mereka menolak “budaya Hindu-Jawa” –dalam ungkapan yang nyaris senada dengan digunakan Tan Malaka—sebagai kebudayaan yang dibawa oleh orang asing, para tuan India dan menumbuhkan mentalitas budak di kalangan penduduk Indonesia. [129]
Barangkali penting pula dicatat bahwa Tan Malaka menulis Madilog tepat saat kemunculan politisi “Hindu-Jawa” Sukarno sebagai simbol nasionalisme seluruh Indonesia dan berkemungkinan menjadi pimpinan negara Indonesia kelak di kemudian hari. Sebagaimana hendak kita ketahui pada bagian akhir tulisan ini, Tan Malaka mendudukkan diri sebagai pesaing utama Sukarno. Dengan cara ini barangkali “pertarungan antara kebudayan Hindu-Jawa lawan Minangkabau dalam memperebutkan tempat utama dalam pergerakan Indonesia” lebur ke dalam “persaingan pribadi Tan Malaka-Sukarno memperebutkan kepemimpinan revolusi yang segera tiba”.
Dalam pandangan Tan Malaka, keseluruhan wilayah Indonesia (bahkan wilayah sekitarnya) pada mulanya terintegrasi secara kultural dalam cara berpikir Asli.[130] Cara berpikir Asli kontras sekali dengan cara berpikir ketimuran, yang mendominasi masa kegelapan, yang menumbuhkan konflik di dalam Alam dan selanjutnya memecah belah kebudayaan, masyarakat dan wilayah Indonesia. Walaupun pernah dominan di zaman kegelapan, cara berpikir ketimuran akan menjadi tak lebih dari satu bagian kebudayaan Indonesia. Selama periode kegelapan ini muncul arus pemikiran lain, yang bagaimanapun keras upaya untuk menindasnya, arus pemikiran baru ini berjasa menjembatani kualitas Indonesia Asli dan masyarakat Sosialis yang akan tiba. Arus pemikiran baru ini, yang tetap hidup sepanjang sejarah Indonesia, mengkristal dalam prinsip Alam yang permanen. Dalam periode kegelapan tradisi Asli ini dteruskan oleh Islam, yang menjadi pusat dan daya dinamis itni Alam yang permanen. Periode kegelapan benar-benar gelap, karena perjalanan naik sejarah Indonesia menuju kesempurnaan masyarakat menyimpang ke luar, menjauh dari sumbu dan cahaya intinya memudar. Dengna perspektif seperti ini wajar sekali bila Islam sangat berarti bagi Tan Malaka:

Walaupun peristiwa-peristiwa di tahun 1917 mengaduk-aduk keluar jiwa pemuda dalam hatiku, membawaku menjauh dan menyeretku untuk mengikuti kekinian, minatku terhadap Islam terus hidup.[131]

Meskipun sering mendasarkan teorinya pada buruh terorganisir, Tan Malaka hampir tak pernah menyebutkan solidaritas buruh langsung mempengaruhi kehidupan pribadinya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan ketika ia melukiskan solidaritas Muslim dalam beberapa bagian terpisan dari tulisannya dan mungkin setengah tanpa disadarinya sebagai bantuan sangat berharga dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya di tahun terakhir perantauannya.[132] Mungkin terlalu mengejutkan apabila rekan-rekan sebayanya dari Minangkabau merasa wajar melihatnya sebagai pemimpin Islam.[133]
Tan Malaka mengakui Alam Minangkabau sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhinya untuk menempatkan Islam pada tempat yang penting dalam sistem konseptualnya:

Sumberku belajar Islam adalah sumber yang hidup. Sebagaimana telah aku sebutkan sekilas, aku dilahirkan di lingkungan keluarga yang memeluk Islam. Pada waktu sejarah Islam Indonesia sedang merosot, seorang alim ulama lahir di lingkungan keluarga kami, yang hingga sekarang masih dianggap sebagai orang suci....Sewaktu aku masih kanak-kanak aku sudah mampu menafsirkan Al-Qur’an dan dipercaya sebagai guru bantu.[134]

Menurut CC. Berg, “Hinduisme di Sumatra berpengaruh kecil sekali atas Islam dibandingkan di Jawa. Oleh karenanya Islam di Sumatera lebih murni”.[135] Aliran pembaruan Islam, yang mencapai kepulauan Indonesia dari pantai Barat Arab pada peralihan abad duapuluh “disaring masuk Indonesia, pertama secara prinsip melalui anggota masyarakat Minangkabau yang berorientasi komunalis....”[136] Islamlah yang menjadi ekspresi ideologis kelenturan ekonomi dan keberanian berusaha pedagang Minangkabau yang luar biasa.[137] Gagasan dasar pembaruan Islam adalah menguasai pengetahuan dan metode-metode Barat dan memurnikan Islam agar menjadi “senjata bagi pembaruan sosial dan politik”.[138] Oleh karena itu tak diragukan lagi bahwa para intelektual Minangkabau pada waktu itu sangat dipengaruhi pembaruan Islam. Mereka menggunakan pembaruan itu secara efektif sebagai senjata dalam perjuangan menuntut persamaan dan mereka juga melihat kedekatan dasar antara Islam dan nilai-nilai dasar masyarakat Minangkabau. Tak diragukan bahwa semakin Islam dikenal sebagai kekuatan pendorong pergerakan nasionalis Indonesia,[139] intelektual Minangkabau cenderung melihat Islam sebagai simbol superioritas budaya mereka dalam pergerakan seluruh Indonesia dan simbol peran menentukan yang telah digariskan bagi Minangkabau pada masa depan Indonesia.
Kebijakan-kebijakan Belanda yang menindas tak berhasil menghapus Islam sebagai unsur penting budaya dan kehidupan politik Minangkabau.[140] Sebaliknya bagi banyak orang Minangkabau, tindakan Belanda terhadap Islam dipandang sebagai tindakan yang merusak atau mengakibatkan ketidakseimbangan di Alam dan Madilog adalah contoh nyata dari pandangan ini. Perlawanan Islam menentang kaum kafir Belanda dipahami oleh orang Minangkabau sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan mengembalikan keseimbangan Alam Minangkabau yang terganggu.[141] Bahkan gerakan komunis di Sumatra Barat, dalam tingkat tertentu, dipengaruhi oleh simbol Islam yang menyatukan. Cabang-cabang partai yang masih muda dan belum berpengalaman sepanjang tahun 1920-an memegang teguh orientasi keagamaan.[142] Kecendrungan ini dilukiskan dengan bagus sekali oleh pengikut Tan Malaka paling dekat, Djamalludin Tamin. Tamin memulai karir sebagai guru sekolah thawalib, mengajarkan modernisasi Islam. Menurut sumber terbaru di Belanda, Tamin “berhasil menggabungkan pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi kepentingan rakyat yang sengsara dan miskin” dengan “kehendak dan tuntutan Islam yang sesungguhnya”.[143]
Dalam konsepsi Tan Malaka tentang Islam kita bisa menemukan nilai-nilai budaya yang kita dapati dari penggambarannya mengenai Indonesia Asli dan cara berpikir Madilog. Menurut Tan Malaka, berpikir realistis adalah prinsip Islam:

Dan bangsa Arab bukanlah Hindu. Pikiran mereka yang menjulang tinggi selalu kembali membumi. Sesungguhnya, berloncatan di antara awan dan bumi akan besar sekali gunanya. Tidakkah ilmuwan seperti Newton dan penemu seperti Edison harus mampu “terbang” dalam berpikir? Namun mereka “terbang” membawa hal-hal yang material dan menurut hukum-hukum tertentu.[144]


Rasionalitas menjadi kualitas penting dalam cara berpikir Islam:

Dalam peperangan yang dilakukan oleh Mohammad kita tidak akan mendapati satu pun tipuan gaib seperti dilakukan oleh Arjuna dan Rama....Dalam keseluruhan perang Mohammad tak ada sesuatu yang mengingkari akal.[145]

Islam juga memberikan sumbangan terhadap apa yang dipahami sebagai kebaikan yang diperoleh dari rantau sampai ke budaya Barat modern:

Di kalangan sejarawan (Kristen, Barat) yang ilmiah terdapat pengakuan bahwa kebudayaan Islam di zaman kegelapan Eropa telah menjembatani kebudayaan Yunani dan Romawi di satu pihak dengan kebudayaan Eropa modern di pihak lain.[146]

Islam membawa filsafat Yunani sampai Kristen yang tetap berdasarkan dogma dan keyakinan. Seorang ahli fisika dan filsuf bernama Ibnu Rushdi, yang di dunia Barat dikenal sebagai Averoes, seorang murid Aristoteles yang besar.....oleh masyarakat Kristen Barat di zaman kegelapan dipandang dengan kekaguman dan kecemasan, sebagaimana Barat kini memandang Marxisme. Murid-murid Kristen yang kembali ke Eropa Barat dan Eropa Utara dari pendidikan filsafat mereka di Spanyol dengan diploma yang mereka peroleh dari guru-guru Arab mereka, oleh para pendeta Kristen dianggap sebagai kelompok revolusioner. Tiga Universitas Averoes di Italia mengembangkan “rasionalisme” sebagai sayap kiri Islam di Eropa.[147]

Tan Malaka juga mencatat bahwa Mohammad membawa ajaran-ajaran kepada rakyat bangsanya dari rantau. Ia berusia duapuluhlima tahun ketika memulai perjalanan besar.

Pada saat inilah ia menemukan tempat dan saat yang tepat untuk membersihkan pikiran, merenung, mencari kebenaran, mengoreksi segala sesuatu dan memperdalam pikirannya tentang segala macam pertanyaan.......[148]

Di berbagai tempat yang sunyi dan sendirian di bukit di luar Mekah, banyak pertanyaan muncul. Langit di atas wilayah Arab bersih dari awan di malam hari. Diterangi bulan dan bintang-bintang suasana menarik bagi orang yang sungguh-sungguh. Tak diragukan lagi, pemuda Mohammad dirisaukan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang menyusun bulan dan jutaan bintang itu dalam keteraturan pasti? Siapa menurunkan hujan yang membawa kehidupan bagi tumbuhan, binatang dan manusia? Tak ada tulisan atau sekolah yang mengajarnya tentang bahan-bahan yang hidup semacam itu. sebaliknya bahan-bahan hidup yang dimilikinya menjadikan Mohammad bin Abdullah menciptakan tulisan dan keilmuan baru.[149]

Dalam pandangan Tan Malaka, ajaran Islam sadar sekali tentang perjalanan sejarah menuju kesempurnaan masyarakat, sehingga histografi Islam jauh lebih maju dibandingkan histografi Hindu yang idealis.[150] Dari kesadaran ini muncul dinamisme Islam dalam perjuangan mencapai kesempurnaan masyarakat. Dalam “Pantheon” di bagian akhir Madilog, untuk memperingati peristiwa besar dalam sejarah Indonesia dan dunia, Tan Malaka memberikan tempat paling penting kepada para pahlawan Islam.[151] Para pahlawan Islam ini telah berperang demi “surga Islam”, “sebuah surga yang sama sekali tak dingin dan beku seperti nirvana Budha atau sepi seperti sorga Yesus”.[152] Peran Islam dalam sejarah Indonesia sangat besar karena kekuatan pemersatu yang dikandungnya. Prestasi terbesar Mohammad, dalam pandangan Tan Malaka, adalah keberhasilannya membangun “persatuan di bawah satu kepemimpinan berdasar atas inspirasi Tuhan yang satu”.[153]
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap Islam membuatnya pada tahun 1920-an mendukung gagasan kerjasama antara PKI dan Komintern di satu pihak dengan gerakan Pan Islam dan Sarekat Islam di pihak lain.[154] Bagaimanapun ia mengagumi Islam sebagai ekspresi nilai-nilai Madilog. Kapan saja ia menyaksikan pemimpin-pemimpin politik Islam Indonesia keluar dari nilai-nilai ini, akan terlontar komentarnya yang kasar bagi mereka: anti-Cina, mengeksploitasi keyakinan mistisme dan kegaiban, tak jujur, demagogik dan “samasekali tak memahami konflik klas, taktik dan kepemimpinan”.[155]










Federasi Aslia

Menurut Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia akan berakhir dengan munculnya Indonesia merdeka dan sosialis. Negara yang diimpikan Tan Malaka ini dinamai Aslia. Nama ini adalah singkatan dari “Federasi Asia dan Australia”.[156] Namun dari bunyi kata ini para pembaca mungkin akan berpikir bahwa Aslia adalah akronim Asia Asli. Hendak saya tunjukkan nanti bahwa asumsi ini tak sepenuhnya salah.
Kemajuan teknologi adalah salah satu elemen cara berpikir dan cara hidup menurut Madilog, sesuai pandangan Tan Malaka. Simbol dunia modern paling mengesankan bagi intelektual Minangkabau di peralihan abad dua puluh adalah lokomotif. Simbol ini juga diambil oleh Tan Malaka untuk simbol Aslia yang diimpikannya. Suasana di negeri Aslia yang dimaksud Tan Malaka bakal kita ketahui dengan mendengarkan suara kereta api yang sedang berjalan di atasnya:

Perhatikanlah mesin itu! betapa besar tugasnya! Asap nafasnya sampai keluar! Aku bahkan merasakan panas keringatnya. Dengarkan peluitnya yang memperingatkan: Minggir! Minggir! Saya lewat! Jangan ada di jalanku! Beratus kilo barang kubawa ketika berjalan di jalurku! Berapa banyak nyawa penumpang di punggungku! Laki-laki, wanita, pemudi, pemuda, anak-anak dan bayi-bayi! Minggir! Minggir, seruku lagi. Bahaya untuk kalian adalah memalukanku! Aku bertanggung jawab atas keselamatan kalian, aku harus memenuhi janji ini. Satu menit terlambat akan menghancurkan reputasiku. Saudaraku, sang masinis yang bertanggung jawab langsung. James Watt adalah nama moyangku. Cepat, pasti dan selamat adalah mottoku. Kesempurnaan adalah tujuan akhirku![157]

Aslia pasca kapitalis dalam Madilog digambarkan memiliki tingkat kemajuan teknologi jauh lebih tinggi daripada Indonesia Asli di zaman besi. Apakah ini berarti bahwa tahap Aslia, sejarah Indonesia akhirnya bakal melintasi pemisah antara “tradisional” dan “modern”? Apakah hal ini menunjukkan bahwa utopia ini akan meniadakan arti dan fungsi paradigma Minangkabau? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus lebih memahami impian Tan Malaka tentang Aslia.
Dalam konsep tradisional Minangkabau, dunia ini timbul, berkembang dan terus dengan bergabungnya tanah-tanah baru rantau ke dalam garis lingkar yang terus meluas berpusat pada Gunung Merapi tempat nenek moyang bangsa Minangkabau pertama turun dari surga. Tiga kawasan luhak dekat Gunung Merapi yang pertama dihuni oleh orang Minangkabau dipandang sebagai “jantungnya wilayah Minangkabau (the static heartland)” –tanah induk yang melahirkan Alam Minangkabau. Keberadaan Alam Minangkabau tak bisa dibayangkan tanpa luhak di sekitar Gunung Merapi itu. [158]
Aslia dalam pandangan Tan Malaka juga memiliki jantung wilayah. Posisi dan sifat geografis jantung wilayah ini menjadi kunci keberadaan konsep Aslia, karena jantung wilayah ini memiliki sifat federasi yang terpenting. Oleh Tan Malaka, jantung wilayah ini dilukiskan memiliki sumbu-sumbu yang “dekat Ekuator dan secara kasar dibatasi oleh garis lurus yang ditarik dari Bonjol ke Malaka”.[159] Daerah yang dimaksud mudah ditebak. Jantung Aslia masa depan dalam impian Tan Malaka tak lain dari jantung tanah kelahirannya tercinta, Alam Minangkabau. Di wilayah ini Tan Malaka meramalkan kebangkintan “pusat industri penting Aslia dan bahkan untuk seluruh dunia”.[160] Nasib federasi ini selanjutnya akan ditentukan oleh pusatnya. Karenanya dalam perjalanan sejarah Indonesia, kapan saja penguasa menghendaki penyatuan wilayah Indonesia, ia harus memperhatikan sumbu Bonjol-Malaka karena nilai-nilai strategis yang dikandungnya.[161]
Mengenai konsep sumbu Bonjol-Malaka, Tan Malaka dengan sangat jelas mengemukakan keyakinannya terhadap misi budaya Minangkabau dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Keyakinan ini kadang-kadang dinyatakan dalam terminologi yang lebih kuat oleh Tan Malaka daripada oleh mereka yang berpredikat sebagai kaum nasionalis Minangkabau tradisional.[162] Tan Malaka bermaksud merumuskan kembali slogan kebanggaan kaum nasionalis konvensional “Malaka adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini dan Sumatra adalah masa depan” menjadi “Sumatra adalah pelopor, Jawa adalah  masa kini dan masa depan Indonesia sekali lagi akan kembali ke Sumatra”.[163] Ia merasa bahwa penduduk Indonesia pada akhirnya akan terkonsentrasi di garis wilayah Sumatra-Malaka.[164] Wilayah ini kelak muncul sebagai pusat perekonomian Indonesia dan, karena kegiatan ekonomi merupakan sarana pembentukan dan keberadaan kebudayaan, sumbu Bonjol-Malaka pada akhirnya juga menjadi pusat kebudayaan.[165]
Salah satu alasan mengapa Tan Malaka memberi predikat yang demikian luar biasa kepada sumbu Bonjol-Malaka adalah karena wilayah ini sepanjang sejarahnya telah menunjukkan kualitas-kualitas kebudayaan yang mewarnai peranan Indonesia Asli dan Islam dalam sejarah Indonesia.

Sumatra telah menjadi pelopor ketika membawa Islam ke Jawa...Duduk sama rendah berdiri sama tinggi adalah sebuah prinsip yang tak ditemukan dalam masyarakat Hindu-Jawa. Jika dasar semacam ini –dasar kerakyatan—dijadikan ukuran, kita seharusnya menengok masyarakat Minangkabau di masa kejayaannya.....bahkan seandainya Minangkabau ketinggalan di belakang Jawa di bidang sastra dan seni seperti tarian dan musik, teknologi dan perekonomian Minangkabau tidak ketinggilan dari Jawa sama sekali.....Sesungguhnya sepanjang menyangkut teknik irigasi, Minangkabau ada di depan Jawa dan wilayah lain di Asia..[166]

Memang dalam pandangan Tan Malaka, sepanjang menyangkut perdagangan dan industri, “ramalan ‘Sumatra adalah masa depan’ benar telah menjadi kenyataan”.[167]
Wilayah Bonjol-Malaka tak hanya menjadi pusat Aslia, juga Tan Malaka tak menyebutkan kota-kota penting lainnya dalam deskripsinya tentang federasi ini. Lagi pula menurut menurut Tan Malaka Aslia terbentuk karena pengaruh radiasi kebudayaan Minangkabau. Di sekitar inti kebudayaan Minangkabau terdapat lingkaran yang semakin ke luar semakin melebar mencakup wilayah luas yang semakin ke luar derajat pengaruhnya terhadap perkembangan Aslia semakin berkurang. Yakni mencakup urutan sumbu Bonjol-Malaka, Sumatra, Indonesia dan akhirnya Indonesia Raya.
Menurut Taufik Abdullah selama masa pergerakan:

Pengalaman di luar negeri dan kesadaran terhadap gagasan-gagasan yang tumbuh di sana membantu perantau merumuskan makna konsep tradisional Alam Minangkabau yang baru dan lebih luas. Perantau memperkenalkan gagasan persatuan, keyakinan dan persamaan nasib dengan orang lain di luar Minangkabau......Dengan konsepsi persatuan yang lebih luas ini, perantau mengancam untuk menghilangkan gagasan adat yang terus-menerus dan pada waktu yang sama untuk memperlemah ciri Alam Minangkabau yang secara tradisional sentripetal. [168]


Namun saya menduga bahwa pengalaman di atas tidak berlaku untuk Tan Malaka. Tan Malaka juga memperkenalkan gagasan tentang kesatuan ide dan keyakinan, serta kesatuan nasib dengan masyarakat di luar Minangkabau. Namun semua ini tak mengurangi penekanan terhadap keseimbangan Alam-rantau dalam pandangan hidup Tan Malaka. Sebaliknya lebih dari semuanya, pengalaman rantaulah (dan barangkali keterasingan dari Alam Minangkabau yang berubah cepat di permulaan abad dua puluh ini) yang menumbuhkan aspek “tradisional” semacam ini dalam jiwa Tan Malaka. Seperti yang telah kita lihat konsep Tan Malaka tentang Aslia tetap Minangkabau sentris dan pandangannya tentang dunia (Alam bersama rantau) yang sentripetal tak juga berubah. Sesuai pandangan tradisional Minangkabau tentang rantau, Tan Malaka menganggap keberadaan dunia di luar Minangkabau penting untuk menyempurnakan Alam. Dalam Madilog, Aslia sesungguhnya hanya merupakan satu dari delapan komponen dunia sosialis yang akan datang.[169] Bahkan komponen paling akhir dari delapan komponen dunia sosialis ini, Hindustan, diharapkannya akan mencapai tahap pembangunan sosialis. Yakni berhasil mengatasi beban budaya Hindu yang menindihnya. [170] Simpati Tan Malaka yang besar terhadap Cina, komponen dunia sosialis masa depan terpenting, merupakan ungkapan keyakinan bahwa nilai-nilai budaya dunia tertentu ada dan akhirnya menjadikan rantau sebagai sumber abadi bagi penyempurnaan Alam. [171]
Demikianlah pandangan Tan Malaka tentang sejarah Indonesia. Di bagian ini saya mencoba berargumentasi bahwa Tan Malaka mengkonseptualisasi sejarah dari sudut pandang seorang perantau Minangkabau; sehingga ia melihat sejarah sebagai proses yang berakar di Alam dan mempunyai tujuan bagi penyempurnaan Alam. Saya juga telah mencoba memperlihatkan bahwa dalam pemikiran Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia yang mirip dengan perjalanan hidupnya, secara berkala berhubungan dengan nilai-nilai budaya Alam dan rantau. Dalam perspektif ini sejarah Indonesia dan kehidupan Tan Malaka digerakkan oleh hubungan keduanya dengan nilai-nilai kultural Alam Minangkabau; gerak maju sejarah Indonesia serta kehidupan Tan Malaka terhalang dan terkacaukan maknanya ketika identifikasi diri keduanya dengan Alam melemah.
























Konsep dan Realitas












































Kembalinya Tan Malaka dalam
Kehidupan Politik Indonesia


Pribadi dan akal merupakan kekuatan paling penting yang menggerakkan Alam Minangkabau. Menurut Tan Malaka seperti telah dijelaskan di muka, jalannya sejarah Indonesia ditentukan oleh cara berpikir. Tan Malaka dengan jelas mengakui pandangan ini melalui fakta bahwa ia menempatkan konsep kehidupannya sendiri pada urutan kedua sesudah sistem kesadarannya yang merupakan bagian lebih penting.[172]  Hal ini tak harus berarti bahwa filosofi Tan Malaka adalah pemujaan diri. Ia mengukur kekuatan dan peran pribadi dan atau/atau pemikirannya terutama dari kemampuan pribadi menggerakkan dunia materi dan mengembangkan kesejahteraan kolektif. Dengan demikian titik perpotongan antara kehidupan perantauannya di satu pihak dengan perkembangan Alam di pihak lain –dengan kata lain kepulangannya dari rantau kembali ke Alam, oleh Tan Malaka dilihat sebagai periode menentukan dalam karir pribadinya. Hanya setelah itu ia dapat melangkah dari dunia pikiran ke dunia sesungguhnya dalam politik Indonesia. [173] Hanya setelah ini, pengetahuan; kekuatan yang diakumulasi selama rantau, diterapkan. Hanya dengan cara demikian buah rantaunya menjadi masak.
Tiap nilai dalam sebuah pribadi Minang beserta akalnya harus diarahkan pada kolektivitas dan kenyataan. Lebih dari itu kehadiran Alam dan rantau secara permanen, nyata dan dinamis harus ada dalam akal antroposentrik perantau Minangkabau. Alam dan rantau harus terus-menerus bertentangan dalam sebuah pribadi, tak pernah terpisah sepenuhnya. Akal perantau akan menghubungkan keduanya. Oleh karenanya keduanya tak bisa berubah secara bebas dari kesadaran seorang perantau. Sehingga dalam model kasus, kepulangan seorang perantau akan mampu memadukan ke dalam sistem konseptualnya benturan antara konsep yang tumbuh di rantau dengan realitas di Alam. Kini mari kita lihat apakah hal ini terjadi pada kasus khusus kembalinya Tan Malaka –untuk kedua kali sekaligus terakhir—ke kehidupan politik nyata Indonesia.
Baik pandangan hidup Tan Malaka sendiri mapun cara pandangnya terhadap sejarah Indonesia merupakan bagian dari satu sistem konseptual. Keduanya dibentuk dari nilai-nilai budaya umum dan periodesasinya disesuaikan dengan irama umum. Dua waktu kepulangan Tan Malaka dikonseptualisasi sebagai hal yang identik dengan tonggak penting dalam gerakan sejarah Indonesia menuju kesempurnaan masyarakat. Yakni kebangkitan revolusioner di awal tahun 1920-an dan revolusi tahun 1940-an. Batas biologis terhadap kehidupan telah memperkuat konsep musiman (climate concept) Tan Malaka tentang waktu yang masih panjang. Seorang revolusioner yang berumur dan sakit-sakitan perlu memandang kepulangannya kembali yang kedua sebagai kepulangan yang terakhir. Sebagai konsekuensinya ia harus memahami kepulangan ini sebagai tujuan akhir untuk memasukkan kekuatan rantaunya ke Alam. Perkembangan politik di Indonesia yang berbarengan dengan saat kepulangannya harus menjadi revolusi yang berhasil dan menentukan. Oleh karena itu kepulangannya yang kedua kali dalam pandangannya menjadi titik di mana lintasan sejarah Indonesia dan jalan kehidupannya sendiri akan berpotongan dan menyatu dalam tujuan akhir nilai-nilai Madilog ke dalam Alam –tujuan yang akan membawa perjuangan bersejarah untuk Indonesia merdeka dan sosialis ke suatu hasil akhir yang penuh kemenangan gilang-gemilang.
Bulan Juni 1942 Tan Malaka kembali ke tanah air setelah tinggal beberapa tahun di Cina dan Singapura.[174] Rantaunya yang kedua, yang hampir 20 tahun lamanya, telah berlalu. Selanjutnya daya kekuatan yang telah dikumpulkannya selama tahun-tahun perantauan itu akan tergantung pada apa yang dipandangnya sebagai tiga fator penting dalam kancah politik Indonesia saat kepulangannya: tentara Jepang, Sukarno dan pemuda. Dua yang pertama dilihatnya sebagai kekuatan yang mewakili cara berpikir lama, sedangkan faktor ketiga mewakili ekspresi tertinggi kualitas Madilog.
Seperti telah dijelaskan di muka Tan Malaka memiliki rasa sayang yang mendalam terhadap pemuda. Hal ini berpengaruh besar terhadap kesadarannya selama rantau kedua. Ia sangat memperhatikan pemuda selama dua tahun terakhir pendudukan Jepang. Sambil bekerja dengan nama samaran sebagai pegawai tata usaha sebuah perusahaan Jepang di pedalaman Jawa Barat, Tan Malaka mengorganisir para pemuda di sekitarnya. Ia menyadarkan mereka tentang kekeliruan propaganda Jepang dan mendorong mereka mengembangkan “semangat gotong royong” di antara rakyat Indonesia sekitarnya. Ia menyadarkan mereka tentang kekeliruan propaganda Jepang dan mendorong mereka mengembangkan “semangat gotong royong” di antara rakyat Indonesia sekitarnya. Bersama para pemuda ini, Tan Malaka mengorganisir pertunjukan-pertunjukan teater yang secara tertutup anti-Jepang dan secara terbuka anti-imperialisme.[175] Sejak berkobarnya revolusi Agustus 1945 Tan Malaka menafsirkan politik Indonesia sebagai suatu perjuangan antara golongan tua, yakni diwakili Sukarno-Hatta di satu pihak dengan rakyat dan pemuda pelopor revolusi di pihak lain. [176] Sebagaimana dituliskannya, Tan Malaka akhirnya berhasil mendapati kelompok yang lama dicarinya –kelompok pemuda—setelah menempuh perjalanan berliku. Ia segera mengidentitikasi diri dengan pemuda, “bercampur dengan mereka seperti minyak dengan minyak, air dengan air”.[177]
Dalam pandangan Tan Malaka, Sukarno merupakan perwujudan semua unsur budaya Hindu-Jawa yang buruk. Yang terburuk, demikian Tan Malaka, adalah cara berpikir Sukarno yang bertentangan dengan dialektika dan materialisme Madilog. Menurutnya Sukarno tak “menerapkan cara berpikir revolusioner dan filsafat revolusi yang benar”.[178] Secara oportunis Sukarno mengubah filsafat politiknya beberapa kali selama hidup.[179] Ia “banteng besar Indonesia.”[180] Gayanya “grande eloquence” yang dikombinasi dengan “grande eloquence ala Sukarno”. [181] Sukarno mengeksploitasi gaya ini tidak untuk membangkitkan keyakinan yang didasarkan pada pemahaman realitas dan perhitungan rasional yang jelas, sebaliknya: “dengan suara menggelegar, menggema dan persuasif, Bung Karno mampu merasuki atau menghipnotis segala macam pertemuannya dengan rakyat jelata”. Kerja politik semacam ini dapat “membangkitkan harapan rakyat dan memberi mereka mimpi”, tetapi pada saat yang sama dapat “menyembunyikan tindakan-tindakan yang memiliki sifat-sifat kompromis dan kamuflase, yakni tindakan yang anti-massa (misalnya anti revolusi)”. [182]
Tan Malaka juga menyalahkan Sukarno karena sikapnya yang elitis dan keningratan menghadapi rakyat jelata. Sejak awal pemikiran Tan Malaka tentang kerakyatan digambarkan dalam otobiografinya sedemikian rupa guna menciptakan perbedaan menyolok dengan Sukarno. Ketika Tan Malaka berhasil kembali ke Indonesia dengan perahu sangat sederhana, bahkan tanpa tempat duduk, dalam kepekatan malam sunyi; Sukarno, yang pulang dari pengasingan pada saat hampir bersamaan, berlayar ke Jakarta dengan kapal uap dikawal prajurit Kenpetai.[183] Ketika Sukarno menikmati kehidupan yang baik di kalangan elit politik di Jakarta, ia sibuk bekerja bersama korban-korban politik kooperasi Sukarno dengan Jepang yang sangat menderita –romusha, para petani yang dikerahkan untuk kerja paksa. Sementara Sukarno menghipnotis massa dengan pidato-pidatonya, Tan Malaka sebaliknya menderita bersama massa, mengorganisasi dapur umu, rumah sakit darurat dan bergotong-royong mengatur pemakaman atau hiburan bagi rakyat, serta menyiapkan mereka untuk menyongsong kemerdekaan.[184]
Sebagaimana sistem koseptual Tan Malaka secara umum, pandangan Tan Malaka tentang Sukarno merupakan bagian dari pemikiran Minangkabau saat itu. Pada awal karir politiknya, Sukarno menjadi sasaran kritik tajam para pemikir Minangkabau seusia. Menurut sebuah pendapat, misalnya dalam sebuah artikel “Tjaja Sumatra” pada tahun 1931, para pemikir Minangkabau sangat tidak suka dengan fakta bahwa massa dalam pertemuan-pertemuan politik di Jawa, khususnya yang terjadi di Sukabumi, berjuang dengan susah payah sekedar untuk bersalaman dengan Ir. Sukarno, yang bagi mereka merupakan kehormatan dan kebanggaan serta mendorong anak-anak mereka untuk berbuat sama seolah-olah ia seorang Syeikh. “Di Sumatra,” lanjut tulisan itu, “yang terdapat banyak orator yang mampu mengguncangkan pendengarnya, tak pernah terjadi hal semacam itu”.[185]
Dari pandangannya terhadap Sukarno konsepsi Tan Malaka mengenai pendudukan pemerintah Jepang lahir. Menurut Tan Malaka, dosa paling besar bagi Sukarno adalah bahwa dengan kebijakan kolaborasi dengan Jepang, ia mencoba mengupayakan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaaan asing dengan bantuan asing. Hal ini merupakan ekspresi paling rumit dari cara berpikir ketimuran dan mentalitas budak yang mendasarinya. Tak satu pun pemikiran yang melebihi kontras pemikiran antara Sukarno dan Tan Malaka. Tan Malaka melihat kemerdekaan Indonesia sebagai puncak kebangkitan kembali Indonesia asli. Sikap non-kolaborasi yang diambil Tan Malaka menjadi nilai paling penting dari kepulangannya kedua. [186] Bagian akhir rantaunya digambarkannya sebagai pelarian permanen mendahului gerak maju tentara Jepang yang terus menang, pertama di Cina kemudian di Asia Tenggara dan akhirnya di Indonesia.[187] Dalam pandangan Tan Malaka, keberadaan Jepang di Indonesia mendorong rakyat Indonesia meyakini fanatisme non-akal dan sangat mengagumi ketimuran.[188]
  Tiga tahun pertama kepulangannya (1942-1945), mirip sekali dengan awal kepulangan pertamanya yang berhasil. Yakni pada waktu ia bekerja di Sanembah Corporation di Sumatra Timur. Kemiripan ini tampaknya berpengaruh sekali terhadap struktur pengalaman Tan Malaka di awal tahun 1940-an. Sebagaimana terjadi pada saat kepulangan pertamanya tahun 1919, ia menjalani masa transisi antara rantau dan kepulangan yang sesungguhnya. Ia tidak dengan segera memasuki kehidupan politik Indonesia. Ia juga tak segera mengunjungi teman-teman yang dikenalnya waktu di Belanda, meskipun beberapa di antaranya telah menjadi tokoh penting dalam politik Indonesia. Seperti dituliskannya, ia sebenarnya dapat dengan mudah memasuki kalangan elit politik Indonesia lewat kontak-kontak pribadi ini.[189] Kendati demikian dalam banyak kesempatan ia mengungkapkan perjalanannya mengunjungi Sukarno selalu gagal karena “pagar Dai Nippon”: yang mengitari para pemimpin yang berkolaborasi.[190]
Sebagaimana saat di rantau, Tan Malaka mengungkapkan bahwa ia “tinggal kesepian di tengah orang-orang sendiri, yang sering memanggil dan menyebut namaku tanpa mengetahui bagaimana wajahku yang sebenarnya”.[191] Kendati secara fisik ia telah kembali ke Alam, ia masih harus “menggunakan segala kecakapan dan kewaspadaan yang telah dipertajam selama lebih dua puluh tahun pelariannya”.[192] Memang tak seorang pun yang dapat menanggung pengalaman kesepian lebih dalam dan perantau yang negatif lebih daripada Tan Malaka yang kesepian dan terpisah dari Alamnya. Pada saat seperti inilah nilai-nilai kunci dari rantau Tan Malaka mendapatkan kegunaan dan daya tarik sepenuhnya.
Sebagaimana terjadi semasa tinggalnya di Sumatera Timur dua puluh tahun sebelumnya, ia juga mengamati dan mempelajari situasi nyata langsung dari tempat-tempat yang dianggapnya sebagai cerminan krisis yang paling tipikal dalam masyarakat Indonesia. Pertama kali ia tinggal di kampung Rawajati di pinggiran Jakarta, dalam sebuah pondok bambu yang beratap rumbia, dengan para tetangga yang bekerja sebagai buruh pabrik sepatu, petani, pedagang kaki lima dan djago –sebua predikat setara dengan pawang di Minangkabau.[193] Dari tempat berpijak yang menguntungkan ini, ia “dengan hati-hati mempelajari perilaku dan tindakan tentara Jepang, serta tingkah laku para pemimpin Indonesia yang berkolaborasi”.[194]
Sewaktu ia pindah pekerjaan pada tahun 1943. Yakni ke “sekolah sosialis yang baru”[195] –sebagaimana terjadi tahun 1919—yakni sebuah tempat di mana eksploitasi imperialis terhadap rakyat Indonesia sangat menyolok. Sebagai pegawai rendahan pada sebuah perusahaan tambang Jepang di Banten, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri kesengsaraan para pekerja paksa di perusahaan yang mengerikan. [196]
Siang hari tanggal 15 Agustus 1945, pengumuman menyerahnya Kaisar Jepang kepada Sekutu sampai di Jakarta. Dua hari kemudian, di bawah tekanan pemuda, wakil golongan tua—Sukarno dan Hatta—memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka melihat revolusi yang segera menyusul sebagai manifestasi kebangkitan Indonesia asli “yang yakin pada kekuatan sendiri, yakin pada senjata sendiri” dan tak tergantung pada “janji-janji bantuan dari luar”.[197] Bagi Tan Malaka, revolusi ini merupakan saat penuh keagungan yang mendorongnya memasuki kehidupan politik Indonesia. Dengan demikian secara tegas ia menyeberangi garis pemisah antara rantau dan Alam.
Dilihat dari kaca mata sistem konseptual Tan Malaka, kepulangannya yang kedua merupakan suatu dorongan dari kekuasaan rantau. Dinamika rantau keduanya ditandai dengan meningkatnya pengasingan dan isolasi politik, sehingga dinamika kepulangan kedua bercirikan pertumbuhan pengaruh politik yang kuat, popularitas dan kekuasaan.
Sejak Kongres Pemuda di Bandung Mei 1945, Tan Malaka memusatkan perhatiannya pada kelompok pemuda yang berada di sana yang kemudian menjadi pemimpin pemuda terpenting pada revolusi sesudahnya. [198] Ia menemui lagi mereka beberapa jam sebelum proklamasi kemerdekaan dan memaksa mereka melakukan aktivitas revolusioner. Sewaktu para pemuda menculik Sukarno dan Hatta guna memaksa mereka berdua memberikan tanda dimulainya revolusi, Tan Malaka kebetulan tak berada di sana, sesuatu yang sangat disesalinya kemudian.[199] Pada saat itu ia sebenarnya sudah “memasuki” politik, tetapi tak membuka identitasnya kepada para pemuda dan menyamar sebagai pemuda bernama Ilyas Hussein asal Jawa Barat. Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, ia menemui Sukarno, yang dipilih oleh elite/PPKI sebagai presiden Republik Indonesia pertama. Seperti dituliskannya dalam pertemuan itu Sukarno terkesan dengan cerita rantaunya. Sukarno lalu meyakinkan Tan Malaka: “Jika saya tak berdaya, akan saya serahkan kepemimpinan revolusi kepadamu”. Mereka lalu berpisah. Sejak itu Tan Malaka menerima bantuan keuangan dari Presiden Sukarno.[200] Dalam memoir Tan Malaka orang dapat membaca bagaimana ia beberapa pekan setelah revolusi memprakarsai demonstrasi rakyat terbesar pertama untuk mendukung Republik Indonesia pada tanggal 19 September 1945, yang menurut penilaiannya “uji kekuatan” bagi negara baru. Ia menciptakan slogan-slogan membakar semangat revolusi selama pekan-pekan ini.[201] Peran Tan Malaka sangat besar, sehingga ia diundang turut serta sebagai anggota lingkaran inti (inner circle) dalam pembicaraan pendahuluan dengan “wakil-wakil Amerika”.[202]
Tujuan kegiatannya selama tiga bulan pertama setelah Indonesia merdeka adalah mengobarkan revolusi dari belakang, karena ia sendiri belum memasuki puncak politik secara penuh. Pada saat bersamaan ia menghendaki negara mengetahui bawa “Tan Malaka bakal muncul bersamaan dengan situasi dan kekuatan rakyat”.[203] Akhirnya saat yang dinantikan tiba juga. Para pemuda menolak keras upaya Inggris dan Belanda mengembalikan Indonesia ke situasi sebelum perang. Ketika pertempuran meluas, Tan Malaka merasa harus turut serta memikul tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan secara terbuka dan jelas.[204] Pada akhir Desember 1945 ia menampakkan diri untuk pertama kali dan sebelum awal Januari ia telah mendirikan Persatuan Perjuangan, yang dalam pandangannya menyatukan kekuatan rakyat dan pemuda revolusioner serta mewakili kekuatan Madilog dalam revolusi. Tanggal 17 Maret 1946 para pemimpin Persatuan Perjuangan, termasuk Tan Malaka ditahan oleh penguasa pemerintah “golongan tua”. Namun karena keyakinan Tan Malaka tentang kemenangan mendatang tak dapat lagi digoyahkan, ia melihat penahanannya akan bersifat sementara sebagai peralihan menuju “periode perjuangan penuh kemenangan”. Periode “diplomasi” mengalah tak akan berlangsung terlalu lama. Ia masih tetap yakin bahwa dalam beberapa bulan perjuangan penuh kemenangan akan kembali dan pemuda akan bangkit kembali. Sewaktu di penjara, demi perjuangan selanjutnya ia memutuskan menulis otobiografi perjuangannya.
Dalam konsep Tan Malaka waktu itu, kepulangannya yang kedua merupakan suatu langkah yang berhasil menghadapi pengadilan dari konfrontasi perjuangan. Dari perhitungan lain yang tak sepenuhnya subyektif, kita memperoleh gambaran yang berbeda antara adanya perbedaan konsep Tan Malaka dengan realitas Alamnya yang sesungguhnya. Tingkat dan derajat perbedaan ini mengharuskan  kita membuat deskripsi panjang lebar mengenai dua gambaran paralel dan berbeda pada periode sejarah yang sama. Karenanya kita perlu bertanya lebih lanjut, yang saya yakin adalah pertanyaan yang lebih berarti: sejauh manakah dan dengan cara bagaimana konsepsi Tan Malaka mempengaruhi perilakunya selama periode ini dan mempengaruhi revolusi Indonesia pada umumnya?
Sasaran kekuatan rantau Tan Malaka yang terbukti paling efektif adalah “revolusi pemuda” Jawa. Semangat revolusi dan dinamisme pemuda Jawa secara umum dilukiskannya dalam pengertian luas sejalan dengan gagasan masyarakat Jawa tradisional tentang tentang rantau.[205]  Rantau Jawa lebih diarahkan ke dalam pada jiwa daripada keluar dan menciptakan “suatu perasaan tanpa beban, keadaan kebebasan yang mengambang lepas”. Hanya pada saat-saat krisis pemikiran dalamnya “mengambil alih peran aspek eksternal dalam menjawab disentegrasi sosial dan bencana alam yang secara tradisional dilihat sebagai isyarat nyata.....ancaman bagi tatanan kosmologi”.
Kejatuhan ras superior kulit putih yang tak terbayangkan hingga 1942 dan kejatuhan ras superior kulit kuning hanya tiga tahun kemudian, propaganda Jepang dan nasionalis yang membakar, mobilitas sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, penderitaan hebat bercampur keadaan nyaris tanpa harapan........semuanya merangsang semangat dan pengagungan mesianis tahun 1945, bukan saja terhadap para pemuda Jawa tetapi seluruh Indonesia, termasuk Minangkabau.
Terdapat banyak kesamaan antara pikiran tersebut dan pengalaman rantau Tan Malaka sendiri. Rantau Jawa dan Tan Malaka, semuanya, serta semangat revolusi Indonesia menimbulkan kepekaan yang meningkat terhadap krisis masyarakatnya. Seperti pada rantau Jawa, bagi Tan Malaka berada “di luar masyarakat” mendorong orientasi ke dalam “non-akal” tertentu; dalam kasus Tan Malaka, rasa rindu pada kampung halaman yang alami jika bawah sadar tampil, memperkuat perasaan hati daripada pandangan rasional tentang Alam Indonesia. Ia bahkan bisa menuliskan “perasaan sedih, ketentraman, kedalaman dan misteri” serta “perasaan terbebas dari dunia yang sia-sia” yang ditimbulkan oleh gamelan dan tarian Jawa pada dirinya. Kata-kata yang sama ini, bagaimanapun, bisa secara mudah dianggap sebagai ungkapan sebagian besar semangat harmoni yang muncul antara perantau Minangkabau ini, pemuda Jawa dan Revolusi Indonesia.  
Namun perasaan-perasaan ini sebenarnya hanya bersifat pinggiran bagi semangat rantau Tan Malaka. Merantau bagi orang Minang dilihat sebagai suatu fungsi sosial yang normal, penting dan sehat. Kedua pemikiran dasar –preubahan Alam melalui pengaruh rantau dan menjaga Alam berupa penghormatan terhadap fondasi Alam—tetap dilaksanakan, tidak seperti rantau Jawa (dan mungkin pengangungan Proklamasi Kemerdekaan 1945) terhadap kosmos, bukan terhadap dunia nyata. Setelah perantau Minangkabau kembali ke Alamnya, pengalaman rantaunya meskipun sering nampak “tak masuk akal” hanya memiliki satu arti. Yakni pemanfaatan intelektual dan dunia luar yang diyakini sebagai sumber kemajuan Alam. Singkatnya berbeda dengan budaya Jawa, dimana Alam tak ber-kembang atau meluas dan di mana kehidupan biasa dan rantau secara simetris berlawanan, dalam konsep Minangkabau Alam dan rantau secara dinamis saling bergantung.
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap pemuda Indonesia berkembang jauh sebelum 1945 dan suku Minangkabau menurutnya tetap kuat setelah ini. Tan Malaka mengagumi pemuda sebagai pelopor terdepan revolusi rakyat dan ambisi pribadinya adalah memimpin revolusi pemuda. Dengan semua hal ini berarti ia menganggap tata hirarkhi dan organisasi sebagai aspek penting semangat pemuda. Seperti dituliskannya sejak tahun 1926:

Massa aksi (misalnya: revolusi) tak berhubungan dengan fantasi kosong seorang pelaku kudeta atau anarkis atau dengan tindakan berani seorang pahlawan.[206]

Tak mungkin ada semangat revolusi bila tak ada akal dan demikianlah, “sementara kekuatan yang tak diperhitungkan (seperti di zaman feodalisme) dapat menggerakkan kudeta, pemimpin pergerakan massa modern haruslah seorang yang cakap dan bijak”.[207]  Dalam pandangan Tan Malaka, keberadaan partai revolusioner yang kuat dengan “hukum-hukum besi” adalah syarat mutlak bagi suksesnya revolusi.[208] Sekali lagi menyangkut struktur organisasional, kini organisasi angkatan bersenjata Indonesia, mendapatkan perhatian besar dari Tan Malaka.[209]
Hal ini tak diragukan lagi merupakan cerminan dari pandangan Tan Malaka tentang bagaimana seharusnya melihat aksi pemuda yang berhasil. Tetapi bagaimana penerapan pandangan ini? Bagaimanakah Tan Malaka mampu merealisasi konsep khusus ini?
Kekuatan yang dibawa kembali oleh Tan Malaka dari rantau terbukti tak lebih dari legenda. Hal ini sangat penting bagi sejarah Indonesia sesudah perang, namun merupakan sebuah tragedi pribadi bagi kehidupan Tan Malaka. Lebih dari itu dasar-dasar pendirian aliansi “revolusioner” yang dibangun Tan Malaka ternyata hanya kualitas yang dinilainya sebagai penyimpangan dari cara pandang Madilogi yang sesungguhnya. Penggunaan non-akal, kosmosentris dan mistis pada tahun 1945 terbukti merupakan satu-satunya penghubung yang kuat antara Tan Malaka yang rasionalis dengan Revolusi Indonesia. Legenda perantauan Tan Malaka dan bukan Tan Malaka sendiri yang banyak menarik para pemuda. Bukan aliansi revolusi, melainkan “Kesalahpahaman kosmis”-lah istilah yang mungkin paling cocok untuk menggambarkan pertemuan bersejarah antara Tan Malaka dan pemuda Indonesia pada masa revolusi tahun 1945. Sesuatu yang mirip tergambar dalam penelitian terbaru tentang Aceh modern; seperti Tan Malaka dalam satu hal, ulama Aceh “menarik pengalaman mereka dengan melewati batas kelembagaan, bergerak di atas dasar ini dan selanjutnya, sehingga mampu memobilisasi rakyat”.[210] Namun seperti Tan Malaka, ketika mereka mencoba menggunakan kekuatan untuk tujuan nyata timbullah salah paham: “Sementara para ulama ingin membangun masyarakat baru, yang menarik bagi rakyat desa hanya kehidupan akherat”.[211] Sementara Tan Malaka ingin menyempurnakan masyarakat Alamnya, justru hanya legenda yang memiliki pengaruh bagi pemuda Jawa. Tan Malaka lebih rasionalis daripada para pemuda, sehingga membuat konsepsi masing-masing tentang kondisi Indonesia tidak bertemu.
Tan Malaka, setelah hadir kembali di tengah “pertempuran penuh kemenangan”, melesat menjadi tokoh penting dalam politik Indonesia. Legenda tentang Tan Malaka, bagaimanapun, jauh lebih cepat diterima. Menurut salah satu kawannya yang turut menyebarkan legenda itu, Tan Malaka “menulis bagian akhir cerita ribuan halaman cerita tentang kehidupannya dua puluh tahun terakhir, sebuah cerita roman politik seperti cerita baru Seribu Satu Malam di pantai Pasifik Barat dari Shanghai, Manila, Bangkok, Singapura, Medan dan Bukkittinggi hingga Jakarta”.[212] Tan Malaka akan ditempatkan di lingkungan surga teratas tempat para tokoh sejarah kemanusiaan sejajar dengan Rosseau, Voltaire, Sun Yat Sen dan Quezon, dan lebih tinggi daripada Plato “yang hanya dapat menuliskan Republik di atas kertas”. Tan Malaka merupakan bapak republik “berdampingan dengan bapak-bapak republik; Masaryk dan Washington”.[213]
Kehadiran Tan Malaka tampaknya telah menambahkan kemasyhurannya sebelum dan sesudah perang sebagai seorang pahlawan dalam novel-novel spionase. Ia juga ditokohkan sebagai Patjar Merah, “seorang yang licin seperti belut”.[214] Cerita-cerita ini menyatakan bahwa Tan Malaka bisa menghilang, berubah bentuk menjadi apa saja dan mempunyai segala kekuatan gaib.[215] Singkatnya kekuatan rantau Tan Malaka menjadi subyek kekaguman mistis dan cita-cita utopian:

Aku menunggu tahun, aku menunggu waktu
Saat kau, Tuan, akan kembali lagi;
Aku sebut, aku panggil namamu
Dan kata itu bergema menyejukkan hatiku...[216]

Kau, Tuan, bukanlah seorang pemimpin untuk satu atau dua tahun. Kau bukanlah seorang pemimpin yang bekerjasama dengan penjajah....Karena ini, Tuan, karena ini, kau menjadi bintang.....[217]

Sekali telinga kami mendengar namamu, sekali merdeka, sekali berkibar bendera merah dan putih, kami semua berseru:
Ibrahim pemimpin kita
Tan Malaka bapak republik
Tan Malaka pembela bangsa
Tan Malaka pemimpin Asia.[218]

Meskipun pemimpin Persatuan Perdjuangan, Tan Malaka hanya salah seorang anggota Dewan Eksekutif tanpa memegang organisasi.[219] Seperti diakuinya sendiri, dukungan politiknya hanya dari “lima atau enam pemuda yang saya kenal”.[220] Kekuatan rantau mengangkatnya jauh di atas realitas perjuangan politik Indonesia. Setiap kali ia ingin turun dari panggung dan memasuki realitas, kekuatannya menghilang.
Kemasyhuran Tan Malaka mencapai puncak selama bulan-bulan pertama tahun 1946. Namun pada bulan Maret ia ditahan bersama para pemuda pendukungnya dan para pemimpin lain. Dan seusai peristiwa 3 Juli yang simpang siur, ia oleh pemerintah dituduh mendalangi kudeta yang disebut “kudeta Tan Malaka”.[221] Kesaksian bahwa “Tan Malaka yang malang.......sesungguhnya tak tahu apa yang terjadi” mungkin benar.[222]
Seperti dituliskannya kemudia; baru ketika di penjara ia mempelajari “siapa-siapa pelaku pergerakan sebelum perang, kontradiksi dalam sikap dan sejarah orang-orang terkemuka dalam politik Indonesia selama seperempat abad sejak kepergiannya”. Baru setelah berbicara dengan sesamanya di penjara, Tan Malaka mendapatkan “jembatan untuk menghubung-hubungkan serpihan-serpihan sejarah periode antara waktu kepergiannya meninggalkan pergerakan Indonesia bulan Maret 1922 dan Januari 1946, ketika ia kembali ke tengah rakyat Indonesia’.[223] Bagaimanapun semuanya terlambat. Tan Malaka telah terdepak keluar dari dunia politik Indonesia, kembali keluar dari kontak langsung dengan Alamnya.







































Penutup






Kesimpulan

Menyimpulkan argumen tulisan ini, saya telah mencoba, menggunakan kasus khusus pelaku politik Minangkabau, untuk menunjukkan bahwa pengalaman pribadi secara tetap diorganisir selama hidup ke dalam sebuah struktur dengan hukum perkembangannya sendiri. Hukum-hukum ini pada dasarnya mempengaruhi bagaimana masing-masing aspek baru dunia nyata dikonseptualisasi dan dibangun ke dalam struktur. Pada setiap pribadi politik struktur pengalaman semacam ini bisa dilacak. Untuk analisis ini penelitian tentang semua aspek pribadi –tidak hanya politik, tetapi bahkan yang paling pribadi sangat penting. Seringkali seperti dalam kasus Tan Malaka, kerangka dasar struktur dibentuk pada masa kanak-kanak dan awal kedewasaan. Jadi tidak hanya sebelum pribadi ini mengenal ide-ide “politik”, namun bahkan sebelum ia mengembangkan kesadaran dalam melihat dunia.
Pemahaman akan struktur pengalaman mungkin sangat berguna bagi penelitian Barat mengenai elit politik Asia. Banyak pemimpin Asia tampaknya mengkoseptualisasi pengaruh Barat datau “modern” dalam struktur pengalaman yang mapan, yang terbentuk pada tahun-tahun awal di bawah pengaruh lingkungan tradisional yang kuat. Di sini tersembunyi bahaya yang mengancam pada peneliti Barat. Apa yang dipertahankan oleh pribad-pribadi politik ini dari kebudayaan tradisional mereka seringkali jauh dari pandangan “modern” keilmuan; seringkali terlalu menyimpang bahkan untuk dicatat secara serius oleh yang bersangkutan. Menambah kesulitan adalah bahasa yang digunakan oleh para pemimpin Asia dalam mengungkapkan gagasan-gagasan mereka, termasuk komponen-komponen tradisional mereka. Demikian “modern” dan demikian “ke-Barat-an” sehingga tak bisa diabaikan; memang pernyataan formal semacam ini seringkali menjadi perhatian untuk para peneliti Barat.
Pendekatan ini akan memberikan kesimpulan yang dangkal dibandingkan dengan model ilmu pendekatan yang sudah mapan. Namun hanya pemahaman akan perilaku dan pemikiran pribadi politik seperti ditentukan oleh struktur pengalaman yang bakal mampu memberikan evaluasi kritis. Hanya setelah itu pribadi politik muncul, bukan sebagai “orang pinggiran” atau “karbitan”. Tetapi sebuah identitas yang lahir dari pertarungan antara intelektual manusia dan lingkungan hidupnya.



* Rudolf Mrazek, pengajar pada Departement of History, University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai pakar Indonesia dan banyak menulis tentang Indonesia, termasuk biografi politik Sutan Sjahrir, Sjahrir.

* Diberikan oleh Riyadi Gunawan, sejarawan dan staf peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


[1] Penting sekali dicatat dalam konteks ini bahwa sebagian besar ketertarikan pada “tradisi” Indonesia muncul karena pelanggaran terhadap batas-batas disiplin tertentu yang kabur. Bagi para ilmuwan pasca Perang Dunia II, ketertarikan tersebut tumbuh terutama karena pandangan mendalam terhadap jiwa artistik intelektual Indonesia “modern” dan terhadap kehidupan politik desa dan kota kecil yang bisa ditemukan secara jelas pada tulisan-tulisan Claire Holt dan Clifford Geertz. Lihat Claire Holt, Art in Indonesia: Continuity and Change (Ithaca: Cornel University Press, 1967), h. 414. Sama dalam karakter dan asal-usul adalah pendekatan terbaru dalam studi mengenai Indonesia di Amerika Serikat yang menekankan “budayaisme” sebuah pendekatan yang sangat menempatkan otonomi budaya-budaya non-Barat sebagai dasar interpretasi otentik dari pengalaman unik. Budaya isme yang ditekankan dalam studi tentang Indonesia mengembalikan tradisi dan membuka kemungkinan menerobos nasionalisme “politik” murni menuju akar sosial dan historis lebih mendalam. Lihat Benedict RO’G Anderson, “American Values and Research on Indonesia” (makalah yang disampaikan pada pertemuan Asosiasi Studi tentang Asia, Washington DC, Maret 1971), h. 19.

[2] Clifford Geertz, Person, Time and Conduct in Bali: An Eassy in Cultural Analysis (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, Cultural Report Series No. 14, 1966), h. 5 dan 7.
[3] Tentang bayangan pribadi atas dunia yang tersimpan dan yang dinyatakan, homogenisasi dan standarisasi politik, lihat Masao Maruyama, Thought and Behaviour in Modern Japanese Politics, enl.ed. (London: Oxford University Press, 1969), khususnya h. 333 dan 340.
[4] Pemisahan semacam ini sebagai sarana pertahanan individu terhadap tekanan lembaga-lembaga politik adalah umum terdapat pada kebanyakan masyarakat. Kasus ekstrim tipe pemisahan semacam ini adalah isolasi diri, eksistensi paralel innerlichkeit dan gleichschaltung pada budaya politik Nazi Jerman, lihat ibid, h. 326-333.
[5] Norman Mailer, An American Dream (New York: Dell, 1970), hal. 18.
[6] Menurut Djamaluddin Tamin, Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1986. Lihat dalam karyanya Kematian Tan Malaka (tanpa penerbit, 1965), hal.3. Tanggal kelahiran yang berbeda lihat Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornel University Press, 1965), h. 117, n.35.
[7] Minangkabau sebuah masyarakat di Sumatera Barat. Sederetan karya tentang Minangkabau yang penting bisa didapati pada Umar Junus, “Some Remark on Minangkabau Social Studies” Bijdragen tot de taal, land en Volkenkunde (B.K.I), 120 (1964), h. 293-297; dan P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri Sembilan: Social-political Structure in Indonesia (Djakarta: Bharata, 1960).
[8] Adat “adalah sebuah konsep yang sulit dipahami yang menyangkut pola-pola tingkah laku ideal sampai praktek sosial nyata dari gagasan pencapaian kemegahan pribadi dan keluarga” Taufik Abdullah dalam BKI, 126 (1970), h. 244.
[9] Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (Ithaca: Cornel Modern Indonesia Project, Monograph Series, 1971), h. 4.
[10] Ibid., h. 15
[11] Ibid., h. 20
[12] Seseorang yang hidup di rantau.
[13] Abdullah, Schools and Politics, h.21
[14] Mengenai analisis pergerakan ini, lihat tulisan-tulisan Taufik Abdullah berikut ini: “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau,” Indonesia 2 (October, 1966), h. 1-24; “Some Notes on The Kaba Tjindua Mato: An Example of  Minangkabau Traditional Literature,” Indonesia 9 (April, 1970), h. 1-22; dan “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of Twentieth Century” dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), h.179-245. Saya mendapatkan masukan yang banyak sekali dari tesis PhD Taufik Abdullah (yang  kemudian diterbitkan dengan judul School and Politics...) dan dari pembicaraan dengannya. Ia mengemukakan argumentasi yang sangat persuasif mengenai dinamisme dan antiparokhialisme sebagai basis pemikiran tradisional Minangkabau. Argumentasi tersebut, bagaimanapun, mungkin juga menjadi ekspresi yang dalam dari konsep falsafah Minangkabau pada peralihan abad ini. Dalam beberapa kasus, Taufik memberikan deskripsi yang terbaik tentang apa yang dipikirkan oleh seorang intelektual Minangkabau pada waktu itu mengenai tradisinya. Karena alasan ini, karyanya digunakan secara luas dalam keseluruhan tulisan ini.
[15] Tentang pendirian secara besar-besaran sekolah model Barat di Sumatra Barat pada waktu itu, lihat ‘XY’ “Het Inlandsche Onderwijs ter Sumatra’s Weskust,” dalam Kolonial Tijdschrift (1913), h. 390-408. Tentang pemahaman sekolah-sekolah kolonial modern ini sebagai bentuk rantau yang tradisional, lihat Abdullah, School and Politics, h. 21.
[16] Sepanjang pengetahuan saya, Tan Malaka hanya dua kali berkunjung untuk waktu yang singkat, beberapa hari pada setiap kunjungannya, pada tahun 1919 dan 1942. Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara I (Djakarta: Widjaja, n.d), h. 47 (volume kedua dan ketiga dari otobiografi ini terbit di Yogyakarta (Pustaka Murba, n.d.) dan (Widjaja, n.d.). Selanjutnya, judul otobiografi ini akan disingkat DPkP). Lihat juga karya Tan Malaka yang berjudul Madilog (Djakarta: Widjaja, 1951), h. 7 dan 14.
[17] Tamin, Kematian Tan Malaka, h.3.
[18] Tentang sekolah guru ini, lihat KA Jones, “De Opleiding der Inlandsche op de Buitenbezittingen,” Indische Gids I (1908), h. 16-22. Tentang peranan 
[19] Kata gelar pada gelar “gelar Datuk Tan Malaka” menyatakan bahwa penyandang gelar tersebut adalah seorang penghulu andiko atau pimpinan formal sebuah parui (suatu komunitas yang terdiri dari keturunan nenek moyang pihak ibu dalam suatu hubungan rumah tangga maternal khusus –salah satu komponen terpenting struktur masyrakat Minangkabau). Lihat Harjsa W Bachtiar, “Negeri Taram: A. Minangkabau Village Community,” dalam Koentjaraningrat, ed., Villages, hal. 369-370.
[20] Tamin, Kematian Tan Malaka, h.6
[21] Ibid., h. 7
[22] DPkP, I, hal. 31
[23] Tan Malaka akhirnya lulus dengan diploma Hulpacte dan bukan diploma Hoofdacte yang lebih tinggi yang seharusnya ia dapatkan. Tamar Djaja, Trio Komoenis: Tan Malaka, Alimin dan Semaoen (Bukittinggi: Penjiaran Ilmu, 1946), h.8
[24] DPkP I, h. 24 dan 34.
[25] Abdullah, Schools and Politics, h. 21.
[26] DPkP I, h. 31
[27] Ibid., h. 27.
[28] Ibid., hal. 29.
[29] Ibid., hal. 36
[30] Tan Malaka, Sang Gerilya dan Gerpolek: gerilya-politik-ekonomi (Jogjakarta: Pustaka Murba, n.d) h. 1-2
[31] “Baru waktu itulah,” tulisnya di kemudian hari, “buku-buku tua seperti Marx-Engels” Das Kapital......Marxist Economics oleh Karl Kautsky, dll, tampak hidup dalam pandanganku” (DPkP I, h. 30). Tan Malaka mengemukakan bahwa pertama kali ia dikenalkan oleh ide-ide sosialis-demokrasi oleh teman sekamarnya, Herman, seorang pengungsi muda dari Belgia, di bulan pertama Perang Dunia Pertama (DPkP I, h.28). Pada waktu yang sama ia sangat terkesan oleh wanita pemilik tempat pemondokannya, yang suaminya meninggal karena sakit paru-paru. Kesederhanaan proletariatnya, kemanusiaan dan keberaniannya sangat menarik hati Tan Malaka. Ia kemudian menetap untuk sementara waktu dengan seorang guru sosialis sayap-kiri.
[32] Terdapat nada mengejek diri sendiri dalam tulisan Tan Malaka tentang pemujaan terhadap Jerman di masa mudanya, tetapi ia menekankan bahwa Jerman memperlihatkan kepadanya banyak kualitas yang sangat dibutuhkan di tanah airnya. Lagi pula, ketika tinggal di Jerman sebagai bekas pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), Tan Malaka sangat mengagumi apa yang ia lihat sebagai efisiensi bangsa Jerman yang menolong mengatasi krisis Jerman sendiri. Ia meramalkan terjadinya kebangkitan kembali “masyarakat yang logis” tersebut (DPkP I, h. 93-94, 103).
[33] DPkP I, h. 30.
[34] “....pada tahun 1902 (di Belanda) sebuah pamflet Millioenen uit Deli mengungkapkan situasi ini secara rinci dan jelas. Sebagaimana dengan publikasi Max Havelaar sebelumnya, negara Belanda kembali diguncang kemarahan.” Menteri urusan wilayah jajahan mengakuti fakta ini sebagai “sebuah kejatuhan moralitas yang sangat dahsyat.” Lihat J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (London: Cambridge University Press, 1939), h. 353 dan 459.
[35] DPkP I, h. 66. Perlu dicatat disini bahwa salah satu konsekuensi penting dari pengalaman Tan Malaka dengan Belanda adalah bahwa ia terdorong untuk berpikir dalam skala kepulauan secara luas dan perlahan-lahan menjadi seorang nasionalis Indonesia. Bagaimanapun akan dikemukakan pada uraian selanjutnya bahwa peralihan dari seorang warga Sumatra Barat menjadi warga keseluruhan Indonesia tak melemahkan atau mengubah secara mendasar sifat dasar Minangkabau dalam struktur pengalaman Tan Malaka. Untuk sementara, perkenankanlah saya tetap menggunakan inkonsistensi dan ambiguitas yang kentara dengan memakai istilah “Minangkabau” dan “Indonesia”, karena sesungguhnya dalam pikiran Tan Malaka pada saat itu juga terdapat sejumlah ambiguitas dan inkonsistensi.
[36] Tentang pergerakan komunis masa ini, lihat McVey, The Rise, bab. II-IV.
[37] DPkP I, h. 74.
[38] Semaun, “Indiiskoe dvizhenie v Niderlandskoi Indii (The Indies Movement in the Netherlands Indies),” laporan pada Kongres Pertama Kaum Buruh Timur Jauh, sebagaimana dikutip dalam McVey, The Rise, h. 399, n.45.
[39] DPkP I, h. 68
[40] Keterangan lebih rinci tentang sekolah ini, lihat McVey, The Rise, h. 398, n.42; h.433, n.111; dan h. 435, n.127.
[41] Lihat Mc.Vey, The Rise, h.124
[42] Lihat McVey, The Rise, h.124
[43] Kenangan Tan Malaka tentang kehidupannya di Senembah Corporation penuh dengan serangan-serangan yang pahit terhadap kebodohan dan arogansi rekan-rekan sekerjanya bangsa Belanda.
[44] Bau setelah pemilihan umum berlalu disadari bahwa Tan Malaka sebenarnya terlalu muda untuk dicalonkan. McVey, The Rise, h.236-237.
[45] DPkP I, h.93-94.
[46] DPkP I, hal. 101 Tentang pidato Tan Malaka dan penerimaan Kongres atas pidato ini, lihat Berichte uber den IV. Kongresses der Kommunistischen Internationale (Hamburg: Verlag der K.I., 1923), h. 49-50; Bulletin des IV. Kongresses der Kommunistischen Internationale, 1922, No. 7, Nov. 12, seventh meeting, h. 6-9 (Feltrinelli Reprint, 1967).
[47] DPkP I, h.102. Buku yang dimaksud telah diterbitkan, Indoneziia i ee Mesto na probuzhdaemsia Vostoke (Moskow: Krasnaia, 1924). Ulasan tentang Uni Soviet mutakhir, lihat Ruth T McVey, “Soviet Sources for Indonesian History,” dalam Soedjatmoko, et.al., eds., An Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965), h. 274.

[48] Bulletin des IV Kongresses, 1922, No. 20, Nov. 23, twentieth meeting, h. 20. Anggota-anggota lain komisi ini adalah: Roy (India), Radek (Rusia), Safarov (Rusia), Van Ravesteyn (Belanda), Webb (Inggris), Saleh (Turki), Sen Katayama (Jepang), Ch’en Tu-hsiu (Cina), Isakov (Bulgaria) dan Cachin (Perancis).
[49] DPkP I, h. 101
[50] Lihat surat menyurat yang menarik antara dua pimpinan puncak PKI menyoroti sepak terjang Tan Malaka di Moskow, dikutip dalam McVey, The Rise, h. 205.
[51] Lihat Tan Malaka, Thesis (Djakarta: Murba, 1946), h. 39. Dalam buku ini ia mengakui bahwa ia mendapatkan otoritas untuk memonitor aktivitas-aktivitas gerakan komunis di seluruh Asia Selatan, yang mencakup Indonesia, Filipina, Burma, Siam, Malaka dan Indocina (tetapi cf. juga pada h.59-60, untuk pernyataannya yang sedikit berbeda). Tentang pandangan pimpinan PKI yang menentang pengakuan tersebut, lihat McVey, The Rise, h. 439, n. 37.
[52] Penyakit TBC yang dideritanya menjadi alasan utama mengapa ia tak bisa ambil bagian dalam banyak keputusan penting PKI saat itu. Atas saran dokter ia pindah ke Manila dari Canton, tepat pada saat wakil Komintern yang lain datang untuk menjumpainya (DPkP I, h. 121). Sakit kembali melumpuhkannya di tahun 1926, tepat pada saat keputusan kunci partai disusun di Singapura. Untuk perincian lebih lanjut, lihat Thesis, h. 38.
[53] Madilog, h.12 dan 15. Tan Malaka melukiskan keadaan cacat ini sebagai kelumpuhan otak.
[54] Ibid., h.15
[55] DPkP II, h. 102-103
[56] Ibid., h.55
[57] Ibid., h. 45
[58] Ibid., h. 62
[59] Alimin Prawirodirdjo, Dawud dan Subakat semuanya adalah pimpinan penting PKI di awal dan di pertengahan tahun 1920-an. Tentang penilaian tokoh-tokoh ini, lihat DPkP I, h. 146-147; II, h. 41, 45, 72-73.
[60] Madilog, h. 12
[61] DPkP II, h. 41. Tentang Pari, lihat George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), h. 85-86; dan J.M. Pluvier, Overzicht van de ontwikkeling der nationalische beweging in Indonesie in de jaren 1930 tot 1942 (The Hague: Van Hoeve, 1953), h. 162.
[62] Madilog, h. 15.
[63] DPkP II, h. 64-66
[64] Ibid., h.66
[65] Ibid., h. 71
[66] C. Snock Horgronje, The Acehnese, trans. A.W.S. O’Sullivan (Leiden: Brill, 1906), II, h. 26.
[67] Tentang peran guru agama dalam pergerakan sosial dan politik Minangkabau modern, lihat B Schrieke, “The Causes dan Effects of Communism on the West Coast of Sumatra,” dalam bukunya Indonesian Sociological Studies (The Hague: Van Hoeve, 1955), I, h. 131 n. 59; W.M.F. Mansvelt, “Onderwijs en Communisme,” Koloniale Studien (1928), h. 203-225; dan ‘XY’, “Het Inlandsche Onderwijs.”
[68] DPkP I, h. 46. Silat permainan tradisional bersenjata; pencak seni bela diri tradisional.

[69] Ibid. Ini adalah ungkapan Minangkabau untuk menyatakan persahabatan yang sempurna.
[70] DPkP I, h. 89.
[71] Ibid., h. 56, 59, 62-63.
[72] Ibid., h. 102
[73] Wawancara dengan Soeharto, September 1963, dikutip sebagian dari Benedict R. O’G. Anderson, Java in Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (Ithaca: Cornel University Press, 1972), h. 275-276
[74] Madilog adalah akronim: Materialisme-Dialektika-Logika
[75] Pusaka adalah benda bersifat magis dan suci yang seringkali diwariskan. Pemakaian tulisasan ini dalam karya Tan Malaka mungkin hanya kebetulan. Tetapi benar, dalam satu segi, buah pencarian intelektual Tan Malaka dari dunia luar adalah sebuah pusaka yang tak seorang pun tahu pasti apa yang terkandung di dalamnya. Kendati demikian, atau karenanya, tulisan itu memberi sumber kekuatan kepada Tan Malaka selama revolusi tahun 1940-an. Tentang pengetahuan rahasia sebagai sumber kekuatan dalam tradisi Jawa, lihat Benedict R. O’G. Anderson, “The Languages of Indonesian Politics,” Indonesia 1 (April 1966), h. 92-93.

[76] Madilog, h. 22 dan 206.
[77] Tan Malaka, Massa Actie (Djakarta: Pustaka Murba, 1947); terbitan kembali edisi Asli Singapura tahun 1927: “Kalian 55.000.000 rakyat Indonesia, kalian tak mungkin mendapatkan kemerdekaan sebelum berhasil membuang ‘kotoran’ magis keluar dari otak kalian, sebelum kalian mengakhiri perhargaan terhadap kebudayaan lama, penuh kekeliruan, pasif dan gagasan-gagasan yang sudah memfosil, serta sebelum kalian membuang mental budak. Kalian harus menyatukan semua kekuatan ekonomi dan politik untuk melawan imperialisme Barat yang terorganisir baik tetapi terpecah belah di dalam dengan bersenjatakan semangat revolusioner proletar.
[78] Madilog, h. 206
[79] Ibid., h. 24, 35, 49.
[80] Ibid., h.8
[81] Terdapat persamaan antara konsep akal Minangkabau dengan apa yang dikenal luas sebagai konsep ‘aql yang lebih suka digunakan oleh Islam modernis dalam situasi ketaatan yang buta terhadap mujtahid-mujtahid dan ajaran lama mereka. Lihat C.C. Berg, “Indonesia,” dalam HAR. Gibb, ed., Wither Islam? A Survey of Modern Movements in the Moslem World (London: Gollancz, 1932), h. 271.
[82] Abdullah, “Some Notes on the Kaba Tjindua Mato,” h. 15, n.29.
[83] Madilog, h. 281-282.
[84] Ibid., h. 282.
[85] Ibid., h. 206
[86] Ibid., h. 370.
[87] Ibid., h. 206.
[88] Ibid., h. 207
[89] Massa Actie, h. 69-70
[90] Madilog, h. 13
[91] Abullah, “Modernization”, h. 189
[92] Madilog, h. 281
[93] Ibid., h. 135. Kedua contoh materialisme tradisional yang dikutip pada h. 15 dan 19 di atas diambil dari deskripsi Tan Malaka tentang Indonesia Asli.
[94] Ibid., h. 135. Kedua contoh materialisme tradisional yang dikutip pada h. 15 dan 19 di atas diambil dari deskripsi Tan Malaka tentang Indonesia Asli.
[95] Ibid., h. 139
[96] Ibid
[97] Ibid., hal. 285. Datuk adalah suatu gelar yang tinggi di Minangkabau, Tan Malaka sendiri menyandang gelar ini.
[98] Ibid., h. 284
[99] Ibid
[100] Ibid., h. 290
[101] Ibid., h. 137
[102] Ibid., h. 290-292
[103] Ibid., h. 137.
[104] Ibid., h. 122
[105] Ibid., h. 403.
[106] Ibid., h. 137
[107] Ibid., h. 135-137
[108] Ibid., hal. 138
[109] Ibid., h.201
[110] Ibid., h. 66
[111] Ibid., h. 130.
[112] Abdullah, School and Politics, h.7. Penghulu adalah kepala unit politik yang bersifat matrilineal dalam masyarakat Minangkabau.
[113] Ibid.
[114] Tentang fenomena di kalangan kelompok-kelompok pergerakan komunis Minangkabau ini selama tahun 1920-an, lihat, misalnya, Schrieke, “Causes and Effects,” h. 155; “De Gang der Kommunistische Beweging ter Sumatra’s Weskust, Deel I (Politiek gedeelte),” dalam Harry J Benda dan Ruth McVey, eds., The Communist Uprisings in Indonesia: Key documents (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, translation series, 1969), h. 109
[115] DPkP I, h. 19-20.
[116] Madilog, h. 21
[117]  I
[118] Tan Malaka, Parlemen atau Sovyet? (Semarang: 1921), h. 49 dan 59. Pada halaman 59 ia menulis: “Pengelolaan keadilan di Rusia hampir serupa dengan penerapan keadilan di Minangkabau.”
[119] Massa Actie, h. 45.
[120] Menarik sekali untuk dicatat bahwa pandangan Tan Malaka sangat dipengaruhi sikap ortodoks pakar Belanda terbaru, yang lebih banyak menghubungkan peradaban Jawa kuno dengan kolonialis dan penguasa India. Hanya setelah melewati tahun 1930-an para pendukung ortodoksi mulai menekankan sifat Jawa asli dalam peradaban ini.
[121] Madilog, h. 373-136
[122] Ibid., h. 137
[123] Joyoboyo adalah penguasa Kediri abad XII yang sangat terkenal. Mengenai pembicaraan tentang ramalan-ramalan ini dan pengaruh politiknya selama paruh pertama abad XX, lihat Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence (Ithaca: Cornel University Press, 1969), hal. 3-10.
[124] Madilog, h. 137.
[125] Ibid., h. 403
[126] Massa Actie, h. 57.
[127] Pandangan intelektual Minangkabau terhadap tradisi mereka didorong konsep standar Belanda tentang masyarakat Minangkabau. Sebagai misal, Penasihat Belanda tentang Urusan Penduduk Asli menyatakan di tahun 1918: “Jong Sumatra (perkumpulan yang didominasi oleh organisasi pemuda Minangkabau Jong Sumatranen Bond)......adalah memiliki perspektif kritis, kontras dengan Jong Java (organisasi pemuda Jawa terkemuka saat itu) secara umum dilukiskan cukup sederhana dan praktis....wajar”. Lihat Hendrik Bouman, Enige Beschouwingen over de ontwikkeling van het Indonesissch nationalisme op Sumatra’s Weskust (Groningen: Wolters, 1994), h. 60-61. Memang dalam kebudayaan Jawa terdapat sejumlah kelambanan, kehalusan dan penghindaran konflik terbuka yang bertolak belakang dengan dinamisme Minangkabau. Konsep nrimo (menerima apa adanya) lawan dialektika Tan Malaka jelas menegaskan pengekangan lawan pencarian. Namun terdapat pula sejumlah nilai yang sama; dan tradisi Jawa memiliki unsur militer dan kekerajaan yang kuat secara umum diabaikan oleh Tan Malaka. Intinya, yang dilukiskan dalam tulisan ini bukan realitas tradisi Jawa melainkan konsepsi Tan Malak tentang tradisi.
[128] Amir, ketua Jong Sumatranen Bond, sebagaimana dikutip dari Ibid., h. 60.
[129] Lihat, misalnya ungkapan berikut yang dinyatakan pembaru Minangkabau terkemuka, HAMK. Amrullah (Hamka): “......Budhismelah yang menjadikan Jawa mudah dikuasai”. Amir juga beragumentasi bahwa “mereka (orang Jawa) membanggakan Borobudur tanpa menyadari bahwa bangunan itu adalah buatan para penguasa Hindu yang menerapkan kerja paksa atas rakyat Jawa”. Mengenai kedua kutipan ini, lihat ibid., h. 49-50.
[130] Ia yakin bahwa di  masa pra-Hindu karakteristik Asli menyebar ke segenap pelosok meliputi seluruh Asia Tenggara dan secara kasar sesuai dengan wilayah yang selanjutnya dikenal sebagai wilayah Federasi Sosialis Aslia di masa datang.
[131] Madilog, h. 343
[132] Lihat, misalnya DPkP I, h. 160; II, h. 32 dan 34.
[133] Lihat, sebagai misal, kata pengantar yang ditulis Hamka bagi buku Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, edisi keempat, (Djakarta: Widjaja, 1951), h. 3-4.
[134] Madilog, h. 342.
[135] CC. Berg, sebagaimana dikutip dalam Bouman, Enige Beschouwingen, h.43.
[136] Kahin, Nationalism and Revolution, h.46
[137] HAR. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1947), h. 42.
[138] HAR. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University Chicago Press, 1947), h. 42.
[139] Menurut Bouman, Islam melalui penekanan solidaritas seluruh Muslim berfungsi sebagai “faktor yang aktif untuk menghilangkan nasionalisme regional,” Enige Beschouwingen, h. 42.
[140] Abdullah, “Adat dan Islam,” h. 18ff.
[141] Lihat ibid., h. 23-24, dimana pandangan jelas Minangkabau tentang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari pola budaya Minangkabau.

[142] Tentang pergerakan “Islam-Komunis” di Minangkabau, lihat Bouman, Enige Beschouwingen, h. 68-71; Schrieke, “Causes and Effects,’ ; McVey, The Rise, h. 175-176; Ju.V. Maretin, “Adat,” etnografiia, No. 6 (1964), h. 63.
[143] Lihat Benda dan McVey, eds., The Communist Uprising, h. 103
[144] Madilog, h. 346.
[145] Ibid., h. 326-327
[146] Ibid., h. 324
[147] Ibid., h. 325
[148] Ibid., h. 345
[149] Ibid., h. 346-347
[150] Ibid., h. 343
[151] Ibid., h. 403-404.
[152] Ibid., h. 349.
[153] Ibid., h. 347
[154] Tentang pidato Tan Malaka yang mendesak dipertahankannya kerjasama Islam-Komunis pada Kongres Sarekat Islam kedelapan, Desember 1921, lihat DPkP I, h. 74. Tentang penghargaannya yang tinggi kepada pemimpin Islam HOS. Tjokroaminoto, lihat ibid., h. 68-69. Tentang pidato dukungannya terhadap Pan-Islam pada Kongres Komintern keempat.
[155] Massa Actie, h. 60.
[156] Lihat Thesis, h. 62. Tan Malaka menganggap buku yang direncanakannya ini, Gabungan Aslia (Federasi Aslia), bersama otobiografinya dan Madilog sebagai wasiat politiknya. Bagaimanapun ia tak bisa menyelesaikan buku ini sampai akhir Perang Dunia II (Madilog, h. 7; DPkP II, h. 137). Menurut artikel Tan Malaka Ensiklopedia Indonesia (Bandung: Van Hoeve, 1954-1956), h. 1318, Pari adalah nama partai yang pernah didirikannya di Bangkok tahun 1927. Nama partai ini berubah pada tahun 1946, dari Partai Republik Indonesia menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional. Artikel ini menyebutkan bukti dua buku kecil yang ditulis Tan Malaka: Manifesto Djakarta (1945) dan Pari (1946) hanya dua buku ini yang berhasil saya temukan. Dalam Pari: Partai Republik Indonesia (Bukittinggi: Nusantara, 1946), h. 12. Dalam buku ini Tan Malaka hanya mengatakan bahwa Proletaris Aslia Republik Internasional adalah “makna yang lebih dalam” dari Pari. Berikut ini adalah sumber-sumber yang mungkin tentang lahirnya konsep Aslia: pertama, Tan Malaka adalah satu dari sedikit pemimpin Indonesia generasi yang sama yang telah mengadakan perjalanan di kawasan Asia Tenggara (rekan sebaya Tan Malaka kalau toh melakukan perjalanan biasanya pergi ke Eropa Barat atau Timur Dekat, sementara ia tinggal dan singgah di Rangoon, Bangkok, Singapura dan Manila); kedua, hubungannya yang dekat dengan nasionalis terkemuka Filipina, termasuk Manuel Quezon dan Jose Abas Santos, boleh jadi membuat Tan Malaka berpikir dalam kerangka Aslia sebagaimana gagasannya tentang Pan-Malay; ketiga Tan Malaka mengenang saat ia “mendapatkan otoritas sebagai supervisor gerakan komunis di Seluruh Asia Tenggara dan Australia” tahun 1923, sehingga semua negara ini harus disatukan dalam sebuah federasi...Kesatuan geografi, iklim, ras, ekonomi dan psikologi semakin diperkuat dengan adanya musuh imperialis yang satu di bawah pemerintahan imperialisme Inggris (Tesis, h. 59-60). Dalam Madilog (h. 395), elemen-elemen Aslia yang dimaksudkan Tan Malaka adalah Burma, Siam, Annam, Malaka, Indonesia, Filipina dan Australia.
[157] Madilog., h. 396
[158] Abdullah, Schools and Politics, h. 3
[159] Adalah tipikal cara pandang Minangkabau pada Tan Malaka yang menyatakan bahwa titik Aslia yang menentukan, Bonjol, akan sulit ditemukan di atas peta Indonesia modern; tempat ini, di Alam Minangkabau, merujuk pada benteng dari Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang terkenal. Imam Bonjol adalah seorang pahlawan nasional, pemimpin Islam dan pejuang penentang Belanda yang keras kepala.
[160] Madilog, h. 395
[161] Ibid.
[162] Bouman, dengan mengutip Hamka, membandingkan peran Minangkabau dalam sejarah Indonesia sebagaimana peran Prusia dalam sejarah Jerman, Enige Beschouwingen, h. 90.

[163] Madilog, h. 398
[164] Ibid., h. 398-399
[165] Ibid., h. 400
[166] Ibid., h. 399
[167] Ibid.
[168] Abdullah, School and Politics, h. 21-22
[169] Bagian lainnya: Amerika Utara, Amerika Selatan, Cina, Indo-Iran, Afrika, Eropa Barat dan Uni Soviet (Lihat Pari, h. 47) Dalam kesempatan yang lain ia memasukkan “Hindustan” untuk menggantikan “Indo-Iran”.
[170] Dengan penuh harap Tan Malaka menyatakan bahwa penciptaan tokoh Hanoman, kera putih dalam cerita Ramayana, adalah penyamaran yang bersifat ejekan oleh “penduduk asli India” terhadap bangsa Arya berkulit putih yang menaklukkan mereka.
[171] Tan Malaka memuji Cina karena kualitas-kualitas Madilog yang berlaku di sana. Ia menulis “ilmuwan Cina membangun pengetahuan berdasarkan bukti dan kenyataan,” artinya “mereka berpijak di bumi” (Madilog, h. 82. Nilai-nilai animisme dan dinamisme dalam pandangan Tan Malaka merupakan “landasan dasar kesamaan rakyat Indonesia dan Cina” (Ibid., h. 355). Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap bangsa Cina ini ditulis dalam beberapa  halaman otobiografinya. Bisa dipastikan bahwa sumber utama penghargaan yang besar ini adalah simpati dan kehangatan kemanusiaan yang pernah ia terima sewaktu tinggal di Cina.
[172] Dalam penekanan yang diberikan pada konsep tentang kehidupannya sendiri, Tan Malaka membuat perbedaan menyolok dengan kebanyakan pemimpin revolusi Asia. Seseorang  akan mengetahui, misalnya, dalam beberapa bagian otobiografi Luis Taruc atau dari tulisan Edgar Snow tentang ketidakmampuan Mao Tse Tung menceritakan kehidupan pribadinya, para pemimpin ini, dengan mengaitkan diri mereka dengan gerakan yang mereka pimpin dalam cara yang nyaris kosmosentris, telah menyamarkan gambaran kehidupan mereka yang tak diragukan lagi sangat menggairahkan. Lihat Edgar Snow, Red Star Over China (New York: Grove Press, 1961), h. 121; dan Luis Taruc, “Born of People: The Life of Luis Taruc and Hukbalahap,” (typescript, Juni 1949, milik penulis), terutama h. 138.
[173] DPkP III, h. 39
[174] Madilog, h. 7 dan 17
[175] DPkP II, h. 160-162
[176] DPkP III, h. 58 dan 60
[177] Madilog, h. 8
[178] DPkP III, h. 78
[179] Ibid., h. 46-48.
[180] DPkP II, h. 164
[181] DPkP III, h. 48
[182] Ibid
[183] DPkP II, h. 129; dan Madilog, h. 9
[184] DPkP II, h. 167-169.
[185] Dikutip dari Bouman, Enige Beschouwingen, h. 61.
[186] Ada banyak pernyataan dikutip Anderson, Java (h. 276-277), yang mengemukakan sejumlah kontak Tan Malaka saat akhir perang dengan beberapa perwira Jepang. Namun berpegang pada fakta bahwa perwira Jepang itu terutama dari kantor penghubung AL di Jakarta jelas berbeda pandangan dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang resmi, kontak-kontak yang diakui ini tak mempengaruhi kegiatan perang Jepang (Surat Benedict Anderson kepada penulis).
[187] Menurut otobiografinya, agresi Jepang mendorongnya meninggalkan Shanghai tahun 1932, Amoy tahun 1937 dan Singapura tahun 1942 (DPkP II, h. 133)
[188] Di sini Tan Malaka memakai istilah “ketimuran” tak hanya dalam pengertian pasif, tahyul, pemikiran anti-Madilog, melainkan juga menunjuk pada garis proganda Jepang mengenai superioritas Timur lawan Barat.
[189] Tan Malaka menyebut sejumlah nama: Hatta, Subarjo (ketua penghubung antara elit nasional dan kantor Penghubung AL Jepang) dan H Dachlan Abdullah, yang menjabat walikota Jakarta (DPkP III, h. 61, h. 11)
[190] DPkP III, h. 51; Madilog, h. 11.
[191] Madilog, h. 11
[192] Ibid., h. 10
[193] DPkP II, h. 136-137, 150. Sebuah pondok adalah tempat semacam asrama pesantren, sebuah rumah yang sederhana.
[194] Madilog, h. 10
[195] DPkP, II, hal. 156
[196] Ibid., h. 160-170.
[197] DPkP I, h. 151
[198] DPkP II, h. 177 dan 181. Tentang Kongres Pemuda ini, lihat Anderson, Java, h. 50-54
[199] DPkP III, h. 55.
[200] Ibid., h. 51. Lihat pula Anderson, Java, h. 279-280
[201] DPkP III, h. 63
[202] DPkP III, h. 65-66
[203] Dikutip dari Pembentukan Manifesto Djakarta, sebuah pamflet tulisan Tan Malaka, diambil dari Sudijono Djojoprajitno, PKI Sibar Contra Tan Malaka: Pemberontakan 1926 dan Kambing Hitam Tan Malaka: Pemberontakan 1926 dan Kambing Hitam Tan Malaka (Djakarta: Jajasan Massa, 1962), h. 5.
[204] DPkP III, h. 70.
[205] Tentang gambaran rantau Jawa saya memakai Anderson, Java terutama h. 2-10, juga surat-menyurat dan wawancara dengannya. Perlu dicatat dalam konteks ini, dalam rantau mereka di Jawa
[206] Massa Actie, h. 48
[207] Ibid., h. 50
[208] Ibid. h. 51
[209] Sang Gerilya dan Gerpolek, passim.
[210] James T Siegel, The Rope of God. (Berkeley: University of California Press, 1969), h. 77

[211] Ibid.
[212] Muhammad Yamin, Tan Malaka Bapak Pendiri Republik Indonesia (Djawa Timur: Murba Berjuang, 1946), h. 2
[213] Ibid., h. 6-9
[214] Tamar Djaja, Trio Komoenis, h. 14-15. Tamar Djaja menyebut Tan Malaka dengan nama perjuangan (non de guerre) Patjar Merah (mirip Scarlet Pimperne). Dalam Sakti Arga, Tan Malaka...Datang (Bukittinggi: Tjerdas, 1946), disebutkan tentang satu serial novel spionase populer yang menokohkan Tan Malaka sebagai Patjar Merah ditulis oleh Matu Mona (nama samaran Hasbullah Parinduri), termasuk Spionage-dienst, Rol Patjar Merah Indonesia dan Panggilan Tanah Air.
[215] Benedict RO’G Anderson, “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics, 1945-1946” (Tesis PhD Cornell University, 1967), h. 460.
[216] Ratu Sukma, Tan Malaka.....! (Bukittinggi: Pustaka Rakjat, 1948), h. 30
[217] Ibid., h. 16-17
[218] Ibid., h. 21
[219] Anderson, Java, h. 293
[220] DPkP III, h. 70
[221] Setelah dipenjara tiga bulan tanpa proses pengadilan, Tan Malaka dilepas di tengah periode Revolusi yang demikian membingungkan (September-Desember 1948) yang ditandai baik oleh Peristiwa Madiun maupun agresi Belanda II terhadap republik. Malaka melangkah dengan mendirikan partai politik baru Partai Murba berdasar pada prinsip-prinsipnya yang lama. Menyusul serangan Belanda serta penangkapan dan penahanan Sukarno dan pemimpin Republik lainnya, ia turut memimpin perlawanan gerilya. Ia terbunuh oleh tentara republik pada 19 Februari 1949, dekat Kediri. Peristiwa  terbunuhnya Tan Malaka ini tetap misterius hingga kini. Lihat Tamin, Kematian Tan Malaka, h. 32-35.
[222] Anderson, The Pemuda,” h...600
[223] DPkP III, h. 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar