PULANG KE INDONESIA
Hawa mulai sejuk, hujan
rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra
mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan,
mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan
lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam
ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup
dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih
kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik
jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh
dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar
metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam
dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap
melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan
baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai
asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas
tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan
kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah
perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers
dan kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di
antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui
terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak
dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati,
voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda.
Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi
perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil,
kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun
bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001
kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja
besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko
besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda
dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika
Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan,
Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis
jalan ke Indonesia itu, melainkan bangsa
Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi
bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus.
Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X,
belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu
tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak
mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan
perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau
pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya
(psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti
Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai
bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat
baja paduan (allay) zaman sekarang, maka
haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil
bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu,
dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan
bambu runcing dan granat tangan saja.
Negara Belanda sudah di belakang,
dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra
Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra
Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah
sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang
kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di
sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi
sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada
penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya
warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun
dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika
ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang
dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri
Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada
manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum selesai diperhebat, didorong oleh konflik
dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam
masyarakat yang akan ditempuh.
Belum lagi berapa lama berada di
negeri Belanda sudah dirasa konflik pertengkaran jasmani dengan keadaan.
Bayaran 30 rupiah sebulan di Asrama Rijkskweekschool tiadalah bisa mendapatkan
makanan yang cocok selera makan kita orang Indonesia walaupun sudi tidur di
loteng. Saya tahu, bahwa di masa itu tak ada pelajar Indonesia yang membayar
kurang dari 50 rupiah sebulan. Bahkan kebanyakan lebih dari itu. Tetapi 30
rupiah sebulan itu, adalah puncak kesanggupan saya membayar. Karena selain dari
itu saya harus membayar 11 ½ rupiah asuransi. Sisanya ialah 8 ½ rupiah buat
belanja sehari-hari. Lima puluh rupiah sebulan itulah anggaran belanja yang
mesti saya selenggarakan.
Perhubungan rapat dengan guru saya,
Direktur II Kweekschool Bukit Tinggi tuan Horensma, dalam kelas sebagai guru
dengan murid, di luar kelas ialah dalam orkes musik Kweekschool sendiri dan
orkes orang Eropa di Bukit Tinggi sebagai dirijen, dan saya sebagai cellist ke
satu, serta derajat yang saya peroleh dalam ujian Kweekschool yang penghabisan,
dengan spontan menggerakkan guru tadi bersama saya pergi menjumpai kontrolir
Suliki, tempat kelahiran saya. Atas jaminan harta benda keluarga saya, maka
didirikanlah Engkufonds yang disokong oleh para Engku di Suliki, buat
mengumpulkan 50 rupiah setiap bulan, untuk membantu saya di negeri Belanda
selama 2-3 tahun. Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke
Indonesia.
Ternyata di belakangnya, bahwa
dengan bayaran 30 rupiah sebulanpun saya bisa mendapatkan rumah yang sedikit
lebih baik. Ini terdapat sesuatu hampir setahun dengan perantaraan kenalan
baik, dan mendapat teguran dari Direktur Rijkskweekschool di Haarlem, karena
mengambil inisiatif sendiri meninggalkan asrama itu. Saya bertindak, karena
kesehatan saya sudah terlampau mundur, sehingga lebih baik jangan melihat
makanan dari pada menghadapinya. Makanan seperti itu cuma membangkitkan perut
untuk menolaknya. Bahannya cukup baik dan mengandung zat, tetapi caranya
memasak adalah cara asrama yang paling buruk.
Kesehatan saya sudah jatuh turun
dari yang semula. Sebelum berangkat, saya perlu mendapatkan surat dari dokter
di Indonesia untuk kepentingan asuransi. Surat itu lekas didapat, sesudah
dokter mengakhiri pemeriksaan badan saya dengan perkataan tersenyum: “Jati
hout”. Kayu jatipun bisa lapuk dimakan waktu dan hawa. Di samping makan yang
tidak terjaga tadi, di mana nafsu makan terus berkurang, nafsu berolah raga
terus bergelora. Sebagai anggota dari salah satu voetbalclub di kota Haarlem,
saya taat menjalankan pertandingan-pertandingan tiap minggu di kota Haarlem
sendiri dan di beberapa kampung sekitarnya. Penjagaan diri di musim dingin
tidak saya kenal, dan kalau diketahuipun belum tentu diperdulikan.
Beberapa tahun di belakang ketika
nafas masih lemas, kaki dan tangan masih lemah, diajak oleh kanak-kanak teman
olah raga berenang menyeberangi sungai Ombilin, maka tewaslah nafas, kaki dan
tangan itu, dan hilanglah ingatan saya diombang-ambingkan ombak yang deras.
Untunglah ada teman yang besar ada di samping dan segera memberi pertolongan.
Setelah ingatlah kembali, tiba-tiba saya sudah berada di rotannya ibu yang siap
hendak memukul sebagai pelajaran. Ayah yang rupanya tahu benar bahwa pukulan
ibu sungguh jitu pedih mengajak memberi pelajaran yang katanya lebih tepat.
Dengan kekang kuda di mulut, saya ditempatkan di pagar di pinggir jalan, supaya
ditonton oleh anak-anak para Engku yang tidak diperbolehkan bermain dengan anak
kampung, seperti saya, bercampur gaul dengan mereka. Tetapi ibu anggap bahwa
itu hanya diplomasi ayah saya buat menghindarkan saya dari ibu. Sesudah melihat
saya dengan kekang kuda di mulut itu, walaupun ayah berdiri di samping menjaga,
dan banyak anak-anak berkerumun, ibu tidak merasa puas. Sangka ibu ada lagi
otoriteit yang lebih tinggi yakni Guru Gadang (Guru Kepala). Atas aduan ibu,
maka Guru-Gadang itu menjalankan hukuman pada diri saya, hukuman yang dikenal
oleh anak-anak di sana dengan nama pilin pusat (cabut pusar). Sampai sekarang
saya masih heran, kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu
kali lagi dilakukan di belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan
bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang menyeberang sungai Ombilin
itu pula, dan membawa-bawa lagi anak-anak para Engku. Lain kali karena main
sembur-sembur, artinya bertanding menyemburi muka sampai salah satunya kalah.
Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan juga menyembur
lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya pikir perjuangan sudah selesai,
kemenangan akhir ada di pihak saya, dan saya berhak penuh merasakan lezatnya
kemenangan itu. Cuma heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Apabila saya
naik ke tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru Gadang,
buat menjalankan hukuman “pilin-pusat”. Rupanya anak-anak lain sudah melihat
Guru Gadang menunggu di tepi sungai. Rupanya saya asyik berjuang membelakangi
Guru Gadang itu. kalau di belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan
mengangkut anak-anak Engku melihat macan ditangkap di gunung, maka saya saja
yang dikenai “pilin pusat”. Pun kalau “perang jeruk” (barisan yang satu
melempar yang lain dengan jeruk), berakhir dengan “perang batu” dari anak
sekolah di kampung tempat itu, ialah Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung
Tanjung, maka yang harus menjalankan hukuman sebagai “penjahat perang” saya
juga. Sebagai hukuman “perang batu” ini mulanya saya dimasukkan ke dalam
kandang ayam. Yang demikian ini rupanya tidak memuaskan rasa keadilan ibu. Atas
usul beliau sendiri, maka Guru Gadang segera memaku dengan hukuman yang biasa
dijalankan dengan lancar dan jitu, ialah hukuman pilin pusat itu juga.
Di sekitar tanah lapang di Velsen
atau Ymuiden di musim dingin, ada salju, tetapi tak ada jari yang sedia
menerkam perut di sekitar pusar saya. Nasihat teman supaya memakai baju tebal
di waktu pauze (dalam pertandingan) tiada diindahkan. Pengalaman pahitlah yang
mesti memperingatkan. Entah karena kekurangan dalam hal makan, entah lantaran
olah raga yang tidak terpimpin, entah karena keduanya, maka 3 bulan sebelum
ujian guru saya jatuh sakit pleuritus. Baru setelah tak bisa berjalan lagi saya
bilang kepada nyonya rumah. Baru dokter didatangkan.
Bayaran dokter adalah perkara yang
penting. Di luar belanja 8 ½ rupiah sebulan itu, tak ada uang pada saya. Yang
sanggup didatangkan ialah dokter pembantu orang miskin dengan percuma, “bus
dokter” gelarnya di Haarlem, dokter Jansen namanya. Tentulah pemeriksaan tak
begitu teliti seperti di rumah sakit oleh dokter kelas satu, dan obatnya cuma
puyer murah saja. Tempat di loteng, di kamar kecil yang udaranya sesak terkumpul
tiadalah melekaskan sembuhnya penyakit Pleuritus itu. hawa badan terus tinggi,
tetapi saya ingin pulang ke Indonesia, dan sebab itu ingin menempuh ujian guru.
Janji dengan Engku fonds cuma buat 2 tahun saja. Tetapi kalau hawa badan tetap
tinggi begini, dokter kelak tentu tak akan mengizinkan menempuh ujian. Mulailah
saya turunkan derajat hawa badan itu. Untungnya saya sendiri yang mesti
mengambil 3 kali sehari. Beberapa hari sebelum ujian, Direktur Rijkskweekschool
datang melihat dan berkata, bahwa saya amat sakit waktu itu. Lagi pula saya
tidak mengikuti repetisi, sudah tiga bulan tidak bersekolah. Walaupun sudah
tiga bulan absen, tetapi dia percaya akan kecakapan saya, dan akan mengirimkan
saya menempuh ujian resmi asal saja dapat izinnya dokter. Dengan susah payah
saya dapatkan izin dokter, ialah dengan perjanjian saya pergi dan kembali ke
dan dari ujian dengan kereta kuda. Temperatur memang normal.... di atas kertas
yang saya isi sendiri.
Begitulah apabila harinya tiba saya
menempuh ujian resmi, baikpun dengan tulisan ataupun lisan, saya beruntung
lulus! Tetapi sampai di rumah barulah saya menderita akibat pembantingan tenaga
luar biasa itu, dalam waktu saya masih sakit berat.
Sebenarnya tak perlu saya meneruskan
lebih kurang 2 tahun di Rijkskweekschool itu, buat mendapatkan hulp acte. Dua
tiga bulan kursus tambahan saja rasanya sudah cukup. Tetapi perkara mendapatkan
Europeescheacte buat guru dengan politik imprialisme Belanda di waktu itu,
begitu banyak seluk beluknya, sehingga akan terlampau panjang jikalau perkara
itu saya uraikan lebih lanjut. Cukuplah sudah kalau diperingatkan di sini bahwa
Kweekschool di Bukit Tinggi, yang di masa saya ialah perguruan tunggal dan
tertinggi buat seluruh Sumatera, dihapuskan sama sekali sesudah pemberontakan
Silungkang tahun 1927. Jadi Kweekschool pun sudah terlalu tinggi buat 10 juta
rakyat Sumatera umumnya dan buat Minangkabau khususnya.
Bukan tempat, tempo ataupun
maksudnya untuk menceritakan seluruhnya pendidikan saya di sini. Pekerjaan ini,
walaupun berfaedah bagi pemuda-pemuda kita, akan memerlukan tempo dan tenaga
terkhusus. Tetapi untuk menyempurnakan uraian konflik dengan hawa dan makanan
di negeri Belanda itu, terutama pada beberapa tahun permulaan, baiklah saya
singgung sedikit konflik antara hasrat belajar beserta pengetahuan yang ada
pada saya di waktu itu pada satu pihak dan kemungkinan untuk menjalankan hasrat
itu di lain pihak.
Adapun para murid Rijkskweekschool
Haarlem itu mendapat ongkos belajar dari Pemerintah Belanda seperti para murid
Kweekschool Bukit Tinggi juga. Persamaan lain di antara dua Kweekschool itu
jarang sekali dapat dicari. Rijkskweekschool Haarlem mendidik muridnya menjadi
guru untuk anak Belanda, dalam bahasa Belanda, pada hakekatnya buat anak
Belanda. Rijkskweekschool Bukit Tinggi melatih guru buat anak Indonesia,
terutama dalam bahasa Indonesia, untuk Hindia Belanda.
Tidak sedikit di antara murid yang
diterima di Rijkskweekschool itu pemuda keluaran Mulo atau lebih, karena
mengharapkan sokongan pemerintahnya. Berhubungan dengan banyaknya calon maka
ujian masuk juga cukup keras, walaupun tak begitu keras kejam seperti ujian
masuk Kweekschool Bukit Tinggi, teristimewa pula buat murid berasal
Minangkabau-darat, Padang-Darat (di masa saya, di antara 200 sampai 300 calon
cuma kami 3 orang yang diterima).
Pada waktu permulaan di
Rijkskweekschool Haarlem, dengan sedih sekali saya saksikan, bahwa pelajaran
yang sudah saya terima di Kweekschool Bukit Tinggi sama sekali tidak sambung
menyambung dengan apa yang diberikan di Rijkskweekschool itu. Betul, umpamanya
sama-sama diajarkan ilmu tumbuh-tumbuhan, akan tetapi tumbuh-tumbuhan yang
mesti diperiksa dan diajarkan di negeri Belanda tiadalah sama dengan di
Indonesia. Begitu juga kiranya dengan ilmu bumi, ilmu mendidik (paedagogie),
ilmu menggambar, ilmu ukur (meetkunde) dan lain-lain. Ada pula ilmu yang sama
sekali mesti dipelajari dari permulaan seperti sejarah Belanda, sejarah dunia,
Aljabar, ilmu ukur ruang (stereometrie), trigonometric, dan ilmu kodrat
(mechanica). Sebaliknya ada pula pengetahuan yang sudah saya pelajari di Bukit
Tinggi tetapi tiada diajarkan atau cuma sedikit sekali diajarkan di Haarlem,
ialah terpenting buat guru Belanda, tentulah bahasa Belanda. Sepintar-pintar
orang Indonesia dalam mempelajari bahasa asing, maka pemuda Belanda berumur
14-20 tahun, tentulah lebih paham bahasa ibu dan masyarakatnya dari pada orang
Indonesia yang cuma beberapa jam sehari saja menerima pelajaran bahasa Belanda
di kelasnya selama 6 tahun. Tetapi tiada berarti bahwa dalam hal ilmu
tatabahasa (grammer) saya akan kalah saja oleh murid kelas tertinggipun.
Saya tak tahu siasat yang diputuskan
para guru Rijkskweekschool terhadap saya dalam keadaan tersebut. Pengalaman
membuktikan, bahwa di dalam 2 tahun itu, sebenarnya saya tak mempunyai kelas
tetap, melompat-lompat dari kelas ke kelas yang empat itu. buat ilmu bumi, ini
pagi umpamanya di kelas satu, nanti petang di kelas empat.
Hal ini saja, kalau tidak ditambah
dengan hal yang lain-lain, sudah bisa mematahkan hati saya yang belajar dari
permulaan. Memangnyalah semua vak saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti Ilmu mendidik, Ilmu tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain, saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti aljabar,
trigonometri dan lain-lain yang dinamai denkvakken, ilmu yang memerlukan otak,
saya dipaksa mempelajarinya.
Pelajaran berpikir tersebut diluar
rekendekunde (ilmu berhitung), tak perlu dipelajari buat guru, bahkan juga tak
perlu dibuat ujia guru kepala. Tetapi sesudah oleh guru wiskunde saya
dilompatkan dari kelas 1 ke kelas II, ke kelas III, dalam satu hari, buat
aljabar dan lain-lain, maka dia menarik saya pula diwaktu mengaso. Katanya dia
mau habiskan pelajaran ilmu pasti (wiskunde) itu dengan saya. Dibisikkannya
pula, bahwa ia ingin meneruskan mendidik saya, karena dulu dianggap orang
Indonesia itu tak sanggup menerima pelajaran ilmu pasti. “Saya susah sekali
mengajarkan Sutan”, (katanya , “tetapi sekarang, setelah kamu, pemandangan itu
saya tukar”.
Saya tahu, bahwa Sutan Kasanjangan
yang dimaksudkannya itu sekali-kali bukan orang bodoh, walaupun sampai 5 kali
gagal dalam ujian mencapai ijasah Guru
Kepala. Penghargaan kami terhadap anak Batak di Kweekschool Bukit Tinggi yang
diterima setelah ujian di antara berpuluh-puluh calon dari seluruh Tapanuli,
tentulah tidak terkecuali. Tetapi mungkin karena kekurangan dalam pengetahuan
bahasa Belanda, maka susahlah ia memahamkan pelajaran ilmu pasti itu. Dan
berhubung dengan lima kali gagalnya menempuh ujian itu, maka mungkin sekali
politik sekolahnya imprialisme Belanda diam-diam campur tangan pula.
Buat saya ilmu pasti itu sedikitpun
tak pernah jadi keberatan, walaupun diloncatkan dari pasal tiga belas dengan
tiba-tiba. Taktik strategi menerima pelajaran ilmu pasti telah saya pahamkan
dengan istimewa dan saya jalankan dengan hasil yang memuaskan hati serta
meringankan pekerjaan, beberapa tahun sebelum ke negeri Belanda.
Tetapi buat mempelajari
tumbuh-tumbuhan, banyaknya daun dan serbuk bunga (meel-draad), bijinya buah,
giginya kodok Belanda, methode mengajarkan abc kepada anak-anak dan lain-lainnya,
tak apalah taktik strateginya daripada menghapal, menghapal dan menghapal. Buat
ini saya sudah tak dapat dipakai. Kecuali untuk pengetahuan yang memang menarik
hati saya, menghapal itu sudah saya benci habis-habisan.
Kebencian kepada dunia yang berupa
kajia-hapalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada
kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari
di asrama dulu. Kebencian terhadap roti keju ini cuma timbul di waktu
menghadapinya saja. Tetapi kebencian terhadap kaji hapalan yang dipaksakan
adalah terus menerus, sebagai kebencian saya terhadap perbandingan yang tidak
adil antara keadaan masyarakat Indonesia dengan Belanda.
Dalam keadaan demikian itu saya
mendapat kesempatan berjumpa dengan Prof. Snouck Hurgronye (almarhum). “Saya”,
kata mana guru ini, takkan memikirkan menjadi guru mengajar anak-anak Jerman,
walaupun saya lama tinggal di Jerman”. Saya tercengang mendengarkannya.
Kemudian ditanyakan semenjak umur berapa saya belajar bahasa Belanda. Saya
jawab, semenjak kira-kira umur 13 tahun. “Nah”, katanya, “dibawah umur 13
tahun, tuan tak bercampur gaul dengan anak-anak Belanda. Apakah tuan berpikir
dapat menyelami jiwa anak-anak Belanda di bawah umur 13 tahun, di sekolah
rendah itu dengan mempergunakan kata-kata yang lazim dipakai oleh mereka?”
Prof, yang kata orang “ethiesch”,
pecinta inlanders dan ahli agama Islam ini saya tinggalkan dengan pikiran saya
yang terharu. Pertanyaan tadi masih terdengung di telinga saya. Semenjak itu
saya sangsi akan arahnya didikan saya. Saya malu mau mendapatkan hak jadi guru
mengajaar anak Belanda yang tidak sebahasa, sebangsa dengan saya, dan tak akan
bisa saya jumpakan jiwanya dengan bahasa ibunya.
Mulanya saya berpikir akan menukar
haluan didikan saya. Tetapi saya tertumbuk pada perkataan penasehat saya, ialah
tuan guru Horensma di Bukit Tinggi itu sebelum kami berpisah. Beberapa kali
dikatakan kepada saya, bahwa dia tak sanggup memberi nasehat, kecuali dalam
daerah didikan guru itu. saya maklum, karena dia seorang guru dan ingin melihat
orang Indonesia mendapat didikan guru Belanda. Tetapi baru enam tahun sekembali
saya di Bukit Tinggi, sesudah dia sendiri kecewa dengan birokrasi di Batavia,
dikeluarkannya sesalannya dengan perkataan: “Sepantasnya saya mesti menasehatkan
engkau menjadi insinyur”. Memang kalau dari mulanya didikan saya ditujukan
kepada insinyur kimia atau pertanian, keperluan jasmani terjaga, nafsu belajar
tak akan terganggu, mungkin sebaliknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan
dalam 6 tahun itu, banyak perubahan yang berlaku atas diri saya.
Di mana jasmani menderita karena
kekurangan, di mana rohani terpaksa dalam kungkungan lahir dan batin, dimana
akhirnya semua jalan menuju perubahan dan perbaikan sama sekali buntu, maka
disanalah hati terbuka, ditarik oleh kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh
kodrat pertentangan-pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Pergolakan
thesis dan anti-thesis di dalam diriku adalah bayangan dari gelora kedua kodrat
itu, dalam arti sempit dan arti luasnya: dalam keadaan rumah yang kudiami dan
keadaan Eropa di masa itu, yakni dalam rumah orang melarat di masa Eropa dan
dunia seluruhnya berada dalam kancah peperangan dunia pertama (1914-1918).
Hampir setahun sebelum perang saya tiba di Nederland dari hampir setahun pula
sesudah perang saya meninggalkannya.
Dalam rumah sewaan seorang keluarga
buruh, sebuah rumah kecil dijalan kecil, kebetulan pula bernama
Jacobbijnenstraat, saya mendiami kamar loteng yang sempit gelap. Kamar di
sampingnya didiami oleh seorang pengungsi Belgia, Herman, seorang pemuda,
bekerja pada satu pabrik jam di kota Haarlem. Orang muda ini meninggalkan
negerinya sesudah Belgia diserbu Jerman. Nyonya rumah adalah seorang perempuan
buruh, jujur, sederhana dan dalam segala-gala penuh kemanusiaan, di masa
kemanusiaan itu tak ada di dunia bagi dirinya sendiri. Suaminya sudah lama
sakit paru-paru dan dirawat di rumah sakit yang sesungguhnya cuma buat menunggu
ajalnya saja. Dulunya Van Der Mij, begitulah nama si sakit melarat ini, bekerja
sebagai buruh besi di salah satu bengkel di Haarlem. Semenjak sakit tak ada
gaji, pensiun atau sokongan macam apapun yang diterimanya. Seperti kuda beban
yang sudah sakit dia dilemparkan begitu saja. Nyonya Van der Mij hidup dengan
menyewakan kamar kepada kami dan mendapat sedikit bantuan dari anaknya yang
sudah dewasa dan bekerja sebagai juru tulis rendahan di salah satu kantor di
Amsterdam. Untung yang diperoleh dari Herman dan dari saya hampir tak berarti,
sebab makanan yang disajikan untuk kami sudah menghampiri bayaran kami. Dengan
hasil pencarian yang rendah itu dan dengan bantuan anaknya tadi Nyonya Van der
Mij setiap dan harus membayar ongkos suaminya di rumah sakit. Tak perlu
diuraikan lebih lanjut kemelaratan perempuan ini. hanya perlu dinyatakan bahwa
kesabaran wanita buruh sederhana ini bukan kepalang.
“Van der Mij muda bersimpati pada
serikat (Inggris, Perancis, Belgia) dan seorang pembaca yang setia dari “De
Telegraaf”, surat kabar yang merah padam anti Jerman. “De smerige moffen...”
Begitulah ucapan yang sering dimajukan kepada Jerman. Di masa itu buat saya tak
begitu nyata apa bedanya imprialisme Jerman dan Inggris ataupun imprialisme
Belanda, dari itu sering terjadi persilisihan faham dengan Herman. Pada satu
perdebatan yang sedikit lama dan agak bersemangat, tiba-tiba Herman mencampuri
sambil berkata: “Benar Ipie (nama panggilan saya), saya setuju!”. “Buat saya
sendiri”, katanya terus, “manusia itu semuanya bangsat yang tujuannya hanya
merampas-rampas saja (Smeerlappen allemaal, dievan allemaal)! Herman sudah
pegang pisau....memang darah Belgia lebih panas. Saya mencoba membubarkan.
Untunglah Van der Mij muda dengan cerdik mengalah saja. Rupanya Herman, pembaca
“Het Volk” sudah lama menunggu-nunggu Van der Mij pembaca “De Telegraaf”.
Dari Van der Mij saya bisa membaca
De Telegraaf dan dari Herman Het Volk, surat kabar Partai Sosial Demokrat
Nederland. Kalau Herman dengan muka berseri datang dari pekerjaannya dan
memasukkan tangan di kantongnya saya tahu apa yang akan keluar, ialah majalah,
brosure atau karangan pedas anti imprialisme. Herman suka membaca yang pedas
dan kalau perlu berlaku tegas.
Selangkah demi selangkah, didorong
keadaan dalam dan luar diri saya, dipengaruhi dan diobori buku-buku bacaan,
maka cocok dengan undang-undang kwantity bertukar dengan kwality, tiba-tiba
saya sudah berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.
Kekaguman atas persatuan semangat
dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik
saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur
Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada
sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku
tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya
gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang
mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan
kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan
menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih
erat. De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca:
Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang
tak kurang populernya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot
Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh
bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung
aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai. Tetapi terasa bahwa filsafat
Nietsche lebih banyak terpusat pada satu bangsa saja, ialah bangsa Jerman dan
pada satu golongan Jerman yang istimewa, ialah golongan “Junkertum”, ningrat
yang dibantu oleh hartawan. Kemauan
baja, hasrat yang tergambar pada Ubermensch di masa perang dunia kesatu itu
menjelma pada persekutuan Hitler-Goring-Krupp. Ke Jermanannya filsafat Nietsche
itu lekas saya alami, waktu percobaan saya memasuki tentara Jerman dan
mendapatkan latihan Jerman mendapat jawaban, bahwa tentara Jerman tak menerima
bangsa asing dan tak mempunyai Laskar Sukarela Asing.
Sendirinya saya terdorong kepada
“Umwertung aller Werten” yang lebih dalam: “Liberte, Egalite, Fraternite. Satu
buku “De Franche Revolutie” (atau De Groote Frasche Omwenteling) oleh Th.
Carlyle, sudah lama terpendam di antara beberapa buku lain dalam peti saya.
Guru Horensma ketika kami berpisah menyerahkan beberapa buku pelajarannya dulu
yang masih bisa saya pakai. Buku tersebut di atas beberapa kali
dibolak-balikkan antara peti saya dan petinya sendiri. Akhirnya dia masukkan
juga buku Revolusi itu ke dalam peti saya dengan perkataan: “Nou, toe maat”.
Di masa itu politik adalah “terra
incognita” (onbekend land) buat saya. Tidak saya benci dan tidak saya sukai,
karena saya sama sekali tak insyaf akan adanya politik itu. tetapi di masa
Strum und Drang di atas, di masa pikiran melompat, menyelundup, membelok ke
kiri ke kanan dan menerobos laksana air tertahan, maka tiba-tiba buku “De
Fransche Revolutie” menjelma menjadi satu teman bahagia buat pikiran yang lelah
sedang mencari.
Bukti pula yang seolah-olah
menguatkan rasa “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan” bangsa Perancis itu,
ialah sikapnya yang ramah tamah terhadap bangsa berwarna yang ada di sana
(Perancis) di masa itu. bukankah pula bangsa Arab, Senegal dari Amman dengan
taat dan tekad membela “France” di medan perang Eropa? Seperti keberanian dan
kesetiaan Gurkha di samping Inggris mengagumkan dunia di masa itu, demikianlah
pula adanya tekad kesetiaan serdadu dari Algeria-Perancis terhadap Perancis.
Pada masa itu kemajuan pikiran saya
belum sampai ke tingkat dialektika berdasarkan materialisme, dan mengupas
semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite tadi dalam suasana kapitalisme dan
imprialisme. Belum ada dalam pandangan saya klas borjuis dan klas proletar di
samping bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Pandangan ini baru timbul sebagai
sambungan kemajuan mencari paham yang memuaskan, ketika Revolusi Komunis
sebagai bom peledak yang menggemparkan seluruh dunia, pada bulan Oktober 1917
di Rusia. Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan
Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes, “Marische Ekonomie” oleh
Karl Kautscky dan lain-lain sebagainya. Selanjutnya banyak brosure yang
berhubungan dengan Revolusi Sosial di bulan Oktober 1917 itu diterbitkan.
Circlenya “thesis, anti thesis dan
synthesis” mendapat kesempatan pada tingkat pertama. Lingkaran “Ada, Pembatalan
dan Kebatalan Pembatalan” mendapat taman bahagia buat bersemayam.
Demikianlah ombak asyik dalam ribut
taufan Asia, dimana keadaan lahir mendorong pikiran bergerak terus menerus,
akhirnya laksana sungai di gunung, terjun, tergenang, mengalir, dan menerobos
sampai ke kualanya di Samudera.
Thesis, anti thesis dan synthesis!
Dalam lapangan filsafat berupa:
Niestche sebagai thesis, Rousseua sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-Engels
sebagai synthesis. Dalam lapangan politik berupa: Wilhelm-Hidenburg-Stinnes
sebagai permulaan, Danton-Robespiere-Marat sebagai pembatalan, serta kaum
Bolsjewik sebagai Kebatalan Pembatalan.
Proses pertama sudah berlaku dalam
pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk
paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan. Proses kedua:
“Paham berkehendak membentuk masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban
hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.
Kemauan, kecerdasan dan perasaan itu
memang memuncak dalam keadaan jasmani yang sehat: “Men sana in cor poro sano”.
Tetapi sebaliknya, tiadalah jiwa itu rusak remuk begitu dengan merosotnya
kesehatan. Sering pula penyakit itu hampir tak terasa, kalau kemauan berjuang
melakukan paham yang jelas dan kuat memberi pengharapan besar akan kejayaan.
Seolah-olah jiwa yang hidup dalam masyarakat baru itu, meskipun cuma satu
idaman belaka, tak memperdulikan adanya penyakit badan dan penyakit masyarakat
yang ada menghalang-halanginya. Seolah-olah perjuangan itu sendiri yang menjadi
jiwa hidup dan kehidupan jiwa.
Dokter Jansen yang merawat penyakit
pleuritus saya itu sudah sedikit tua, ramah-tamah dan biasa tercampur baur
dengan rakyat rendahan. Tetapi penyakit pleuritus memang sukar dibasmi. Air
yang ada antara punggung dengan paru-paru itu tak sama sekali kering.
Pemeriksaan kurang, alat kurang dan obatpun cuma yang murah saja. Sesudah ujian
guru, temperatur saya terus agak tinggi saja.
Entah apa yang diusahakan oleh Guru
Horensma dari Indonesia, saya tak tahu, tetapi ketika saya masih sakit itu,
kiranya pada tahun 1916-1917, pada suatu hari saya dijemput oleh seorang wakil
dari satu studiefonds di Nederland yang dilindungi oleh bekas G.G. Van Heutz.
Fonds ini memberi pinjaman pada pelajar Indonesia dengan bunga 5%. Pengawas
dari Fonds ini, tuan Fabius, berhubungan langsung dengan saya. Tuan Fabius
adalah seorang terkemuka di Nederland, bekas Jendral-Mayor Pertahanan Amsterdam
bagian Artileri, pengarang buku, yang agak terkenal dahsyat-gemuruh suaranya.
Terbentuklah fahamnya dahsyat juga, sebagai faham temannya bekas G.G. Van
Heutz, yang cukup terkenal dalam penggempuran rakyat Aceh.
Tempat baru di Bussum, kota kecil
penuh dengan villa besar-besar. Rumah yang saya tumpangi, sedang besarnya buat kelas
menengah, keluarga guru. Hawa selalu sangat segar, cahaya matahari masuk dengan
leluasa ke beranda, makanan penuh mengandung zat dan masakan terpelihara, sayur
mayur dan buah-buahan tak kekurangan. Hawa dan makanan itu saja sudah
mengembalikan setengah kekuatan. Perawatan dengan listrik oleh dokter terkenal,
Klinge Doorenbos, dalam satu dua bulan mengeringkan air di pinggir paru-paru
dan mengembalikan kesehatan seperti lebih kurang ketika saya di Indonesia.
Makan minum dan kediaman saya di
Bussum memang setengah mewah, bisa menidur lenakan, mengikat jasmani serta
rohani ke dunia borjuis. Untunglah pikiran sudah berada dalam perubahan
revolusi yang menghampiri perubahan revolusi. Pengalaman di Haarlem dengan
suasana hidup di rumah satu keluarga proletar yang bernasib malang sudah cukup
memberi peringatan adanya jurang luas dalam antara borjuis dan proletar,
walaupun dalam negara kapitalis-imperialis yang termashur di seluruh dunia
seperti di Nederland. Pecahnya revolusi Bolsyewik di Rusia tahun 1917, ketika
saya sudah berada di Bussum kota borjuis itu. revolusi itu memberi keyakinan
pada jiwa yang masih ribut dalam taufan pergolakan thesis, anti thesis, bahwa
masyarakat seluruhnya sedang beralih ke zaman sosialisme. Lama atau sebentar
sosialisme mungkin bisa terpukul di sana-sini, tetapi sebagai balans
perhitungan masyarakat dunia seluruhnya, mesti menjauhi kapitalisme dan
mendekati sosialisme. Dengan kesehatan yang tak pernah lagi terganggu dan paham
politik serta pandangan hidup yang sudah pasti padu, saya berhadapan dengan
kehidupan borjuis itu.
Pada suatu hari saya dengar kabar
bahwa Van der Mij datang mengunjungi tuan Fabius buat meminta saya pindah
kembali ke Haarlem, ke rumah ibunya. Bukan karena pembayaran makan semata-mata,
karena dia sudah mempunyai tamu lain sementara, karena nyonya Van der Mij,
wanita jujur sederhana itu, sunyi sesudah Van der Mij tua meninggal. Dan Ipie
dianggapnya seperti anaknya sendiri. Van der Mij muda memperingatkan pula
kepada tuan Fabius akan perjanjian sebelum berangkat ke Bussum, bahwa saya akan
dikembalikan ke Haarlem sesudah sembuh sama sekali.
Perkataan apa yang sebenarnya
dipakai oleh tuan Fabius, saya tak tahu. Tetapi permintaan itu ditolak. Apa
alasan tuan Fabius untuk menolaknya tak perlu kita coba menduga-duga, sebab
saya sudah terikat oleh fonds baru itu.
Dengan perantaran tuan Been, seorang
penerbit majalah kanak-kanak, kemauan saya sudah diketahui oleh tuan Fabius.
Kemauan itu tak saya sembunyi-sembunyikan: “Saya mau pulang. Kerja di mana saja
buat membayar hutang yang masih sedikit. Kemudian kembali ke Eropa, buat
mempelajari apa yang cocok dengan hasrat hidup saya, dengan ongkos sendiri.
Dengan pendek dijawab oleh tuan
Fabius: “Tak bisa, karena di masa perang tak ada tempat di kapal”.
Saya terpaksa menunggu habisnya
perang, yang tak bisa ditentukan kapannya itu. tetapi kehendak buat meneruskan
belajar lagi, supaya nanti diperbolehkan menjadi guru-kepala Belanda, tak ada
pada saya sama sekali. Boleh jadi saya bisa jadi guru kepala yang dianggap
penuh sederajat dengan guru kepala Belanda, yakni kalau di mata Belanda saya
sudah bisa meng-European-kan diri saya (walaupun tetap European Inlander)
supaya berhak mengajar anak-anak Belanda. Lagi, sebagai European Inlander tadi
saya sanggup meng-European-kan semua anak-anak “Inlanders”. Yang demikian ini
saya tak sanggup.
Sudah tentu pekerjaan mendidik
anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah satu pekerjaan yang tersuci dan
terpenting di masa itu dan sekarang. Dan soal kemana didikan itu mesti
diarahkan, dasar apa yang mesti dipakai, serta cara apa yang mesti diukur, buat
saya sendiri itu tepat bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda Penjajah.
Bagi saya, bahasa Belanda pasti bukan bahasa pengantar, dan kebudayaan Belanda
bukanlah arah pendidikan kita.
Konflik saya dengan lingkungan baru
di Bussum terlampau banyak buat diuraikan di sini semuanya satu persatu.
Dengan nyonya rumah, nyonya K, yang
di mata saya memakai kedok agama buat mendapatkan kedudukan dalam gereja dan
masyarakat seagamanya saja, saya tak merasa banyak simpati. Nyonya K, sangat
fanatik kepada Madzhabnya, ialah doopsgezind. Kalau cuma fanatik menjalankan
ajarannya saja, tak akan banyak menyinggung perasaan orang lain. Tetapi nyonya
K, juga terlampau pasti, bahwa aliran lain di antara agama Kristen sendiri,
apalagi agama Islam, seakan-akan sama sekali tak beres. Kembali dari khutbah
tiap-tiap Minggu, nyonya K, sedang makanpun terus membicarakan pidato yang
didengarnya, walaupun kami para pendengar bukan doopsgezind. Inipun tak berapa
kalau dibicarakan dengan cara biasa. Tetapi nyonya K selalu merah padam kalau
kembali dari gereja. Yang pokok memerah-padamkan nyonya K, ialah kalau
membicarakan jamaah umumnya, dan perkara pilihan pimpinan jamaah itu khususnya,
karena nyonya K tak terpilih, kalah
suara oleh anggota lain sejamaah dalam pilihan tahun itu. menurut nyonya K,
pemilihan itu dilakukan dengan tidak jujur, sebab dia sendirilah yang mestinya
mendapatkan suara terbanyak. Memang lucu pertengkaran dalam Jamaah doopsgezind
di Bussum itu. Jumlah anggotanya barangkali tak lebih dari 30 orang, dan
“kejujuan” itu adalah semboyan nyonya K sendiri. Untunglah tuan rumah mengiakan
apa yang dibilangkan oleh nyonya. Biasanya tuan rumah pendiam dan sabar. Tetapi
ada juga perkara yang membangkitkan tuan K, dari ketenangannya, yakni kalau
membicarakan sosialisme umumnya dan pimpinan sekolah khususnya. Tuan K, adalah
seorang sosialis, guru sekolah dan fel anti-hoofdschap, anti guru kepala di
sekolah. Buat tuan K, dan para teman sealirannya guru kepala itu adalah satu
mahluk yang tak perlu. Para guru bisa mengatur sekolah itu secara gotong royong
dengan tak perlu diawasi diselidiki dan di school-vos-i oleh guru kepala yang
tak memimpin klas, cuma mondar-mandir atau goyang-goyang kaki saja. Yang kurang
mengerti ialah kalau tuan mulai menyemburkan kutuknya terhadap system “guru
kepala”, maka ada saja alasan nyonya buat pergi ke dapur atau ke loteng.
Seolah-olah ada persetujuan antara tuan dan nyonya. Kalau nyonya menyembur
“kepala Jemaat” di gerejanya, maka tuan main “ya” dan kalau tuan menyembur
“guru kepala” maka nyonya segera berangkat ke dapur atau ke loteng.
Dengan saya, taktik itu rupanya tak
bisa dijalankan. Konflik terjadi di masa waktu Syarikat Islam dan Budi Utomo
datang di Nederland, berhubung dengan soal Indie weerbaar. Soal Indie weerbar
itu juga sampai menyelundup di Bussum dan di lingkungan rumah kami. Pada salah
satu percakapan sekembali saya dari rapat Indie weerbaar di Den Haag, nyonya
mengemukakan perkara ini dan mengambil sikapnya penjajah Belanda mentah-mentah.
Konflik meletus!
Saya pindah ke rumah lain, menumpang
pada seorang exportir di sebuah villa yang kecil. Tuan D, tuan rumah itu,
adalah seorang Jerman, pedagang dan ramah tamah. Sedang nyonya rumah orang
Belanda, muda, sabar dan lemah lembut. Tuan-nyonya menerima dua pelajar Indo,
seorang Tionghoa, lagi seorang Indonesia yang sudah lari dari tempat saya tadi.
Dua pelajar Indo ini bukannya orang jinak, mereka dipindahkan dari Den Haag ke
Bussum buat mendapatkan suasana yang lebih baik (beschaafd) di bawah pengawasan
tuan Fabius. Mereka adalah dua bersaudara. Tak begitu maju di sekolah. Walaupun
sudah berumur 19 dan 18 tahun, dan anak orang berada juga, mereka cuma sanggup
mendapatkan ijazah sekolah rendah. Di Bussum mereka masuk kursus malam buat boekhouding.....pun
dengan susah payah melanjutkannya, di mana kecerdasan mereka sangat rendah,
kenakalanlah sangat memuncak. Mereka
dipindahkan dari Den Haag itu lantaran melemparkan tantenya dari loteng ke
bawah.
Di masa ramai-ramai, kalau ada
pemuda apalagi pemudi, kenakalan yang tua (OS) meningkat. Pada malam kedua saja
tiba-tiba O.S sudah belitkan tangannya di leher saya dari belakang: “Ini silat
kepiting Iep” katanya. Tetapi rupanya bukan secara main-main, sebab saya rasa
leher saya tertekan dan susah untuk bernafas. Untunglah saya mendapatkan
sedikit pusaka tentang silat kepiting itu. Yang kena sepit bukannya saya!
Kebetulan ada air segelas di atas meja buat melayani “eerste hulp bij
ongelukken”. O.S. bisa lekas dibangunkan kembali. Semenjak itu dia baik sekali
terhadap saya. Rupanya yang disegani orang semacam itu cuma kekuatan nyata
saja. Tetapi di samping segannya kepada saya, kecerobohannya terhadap yang
lain-lain terutama yang dipandangnya lemah, semakin memuncak. Dengan
saudaranyapun (H.S) saya berurusan juga kemudian. Bukan karena dia (H.S)
agresif, ceroboh atau mengirimkan ultimatum kepada saya, melainkan karena
menghina nyonya rumah. Sedang saya membaca terdengarlah dia mendesakkan
fahamnya sambil menghina: “Nyonya bodoh, nyonya goblok”. Sudah dua kali saya
peringatkan, supaya jangan diteruskan, setelah ketiga kali dipakainya perkataan
lain, tetapi lebih tak pantas dihadapkan pada satu wanita yang tak pernah
memakai perkataan kasar atau sombong. Entah bagaimana jalannya saya meloncat
dan dia terpelanting jatuh ke dinding. Semenjak itu di belakang saya dia
menggelari saya “De tijger”.
Si Tionghoa rajin , pendiam dan
pintar. Mulanya akrab sekali dengan saya. Kemudian sedikit cekcok, tetapi
karena dia sakit saraf, lama tak tidur, menghapal, maka saya sangat menyesal.
Belakangan ia menjadi teman baik kembali. Si Indonesia selalu di rumah sakit
saja, hal mana sangat menyedihkan kami, sampai dalam keadaan sakit ia terpaksa
dipulangkan ke Indonesia.Demikianlah sekiranya keadaan di sekitar lingkungan
baru ini dalam arti sempitnya.
Revolusi Rusia sudah hampir satu
tahun berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia
saya harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu
terpaksa meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada
pemuda, tak mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam
percakapan hari-hari tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R, nyonya teman saya, kalau
berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah
saya insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Pada suatu hari Suwardi
Suryaninggrat yang sekarang kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, tiba-tiba
mengusulkan kepada saya mewakili Partainya di Nederland, karena ia akan
berangkat ke Indonesia. Di mana itu Partai Nasionalisme, Sosialisme dan
Bolsjewisme sudah cukup terang bagi saya. Tetapi aksi dalam satu partai dan
mewakili satu partai yang pernah amat revolusioner itu belum begitu jelas buat
saya. Indische Vereeniging dengan R.M. Noto Surotonya tak banyak memberi
pemandangan kepada saya, apalagi pengalaman. Saya memandang ke mukanya
Dewantara, tetapi tak tahu, apa mesti jawab saya. Dia tersenyum! Saya memandang
ke muka almarhum Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dia pun tersenyum dan katanya “Sudah
pada tempatnya, terima saja”. Tiba-tiba tak lama kemudian saya sudah mewakili
Indische Vereeniging pada kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di
Deventer. Saya dipilih memberi preadvices tentang pergerakan nasional di
Indonesia.
Inilah pekik pertama, yang
seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. “Dat most niet mogge, niet
waar?” Setiba di Bussum saya didebati oleh beberapa Belanda Kolonial, terutama
oleh tuan Fabius sendiri.
Entah 5 kali entah 6 kali pada satu
masa berturut-turut saya dipanggil ke rumahnya tuan Fabius pada malam hari.
Perundingan atau lebih tepat perdebatan mengenai persoalan seluruhnya cabang
masyarakat yang amat bergoyang di masa itu, walaupun tak campur perang, yakni
masyarakat Nederland yang tak luput dari kodrat taufan dari Eropa Barat.
Persoalan politik, sosial..tetapi persoalan pendidikanlah yang tak putus
dibicarakan. Persoalan ini langsung dan tak langsung mengenai diri saya
sendiri.
Tentulah saya setuju dengan aliran,
bahwa pendidikan itu dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi, tidak saja
harus berada di bawah pimpinan dan pengawasan Negara, tetapi buat murid yang
memang cakap juga harus atas ongkos Negara.
Keberatan tuan Fabius yang
sebenarnya, yang perhubungan dengan klas borjuisnya umumnya, dan bangsanya
terhadap bangsa Indonesia khususnya, tidak sukar dipahami. Menurut tuan Fabius,
politik semacam itu akan menambah banyak (Quantity) dan mengurangi nilai
(Quality) kecerdasan (intelect). Sekarang pun, katanya sudah besar jumlah
pengangguran di antara golongan intelect, walaupun didikan universiteit sudah
terbatas bagi anak orang yang mampu saja.
Menurut saya, dalam satu masyarakat,
di mana produksi dijalankan menurut rencana, dibarengi pendidikan menurut
rencana pula maka pengangguran tak mungkin ada, dan kalau ada, tak mungkin
lama, sebab pendidikan itu dicocokkan dengan kebutuhan produksinya masyarakat.
Bukan seperti sekarang, diombang-ambingkan oleh adanya persediaan dan
permintaan (supply and demand) di pasar kaum kapitalis yang masing-masing
menghasilkan semau-maunya saja. Kecerdasan tak akan turun, karena syarat buat
meneruskan pelajaran sampai Universiteitpun tidak ada lagi kemampuan si bapak,
melainkan semata-mata kesanggupan otak dan hati si murid ditetapkan oleh Badan
Pendidikan Negara. Di zaman sekarang banyak otak cerdas dan watak yang bagus
terhambat dan terpendam karena tak mampu. Sebaliknya banyak yang mendapatkan
titel, yang sebenarnya bukan haknya.
Pembicaraan yang belakang ini
sendirinya menyinggung keinginan yang dahulu pernah saya majukan, ialah belajar
di sekolah Opsir di Breda. Kata tuan Fabius, ini tak bisa dilakukan karena
keberatan bahasa Perancis, Jerman dan Inggris. Saya kemukakan ke Kampen pun
mau. Di sana murid keluaran sekolah rendahpun bisa diterima. Inipun tak boleh.
Di jalan menuju ke rumah, malah
sampai jauh malam, kesekian kalinya saya renungkan keadaan saya. Dahulu, ketika
pertama kali saya memikirkan keadaan saya semacam ini, saya memberontak hebat
terhadap segala-gala, termasuk diri saya sendiri.
Tetapi dengan bertambahnya pengetahuan
dan pengalaman, saya sanggup memandang kedudukan saya dengan semangat filsafat
dan menunggu waktu dengan sabar sebagai seorang pelajar dari bangsa terjajah,
anggota keluarga yang hanya mengenal agama dan adat kuno, walaupun termasuk
keluarga yang mampu, tetapi masih berada dalam perekonomian sederhana
(primitive): mempunyai harta benda yang cukup tetapi tak boleh diperdagangkan,
mendapat pangkal pendidikan ibu, pendidikan yang tak bersambungan dengan
didikan di negara ibu, tidak berada di negara Amerika di masa makmur di mana
pelajar miskin siang bisa bekerja dan malam mengunjungi sekolah, tak sanggup
kembali ke Indonesia, karena perang masih mengamuk....semuanya itulah yang
jelas tergambar di dalam pikiran saya. Lebih jelas pula gambaran hutang yang 1500
rupiah kepada Engku fonds di Indonesia, dan yang 4000 rupiah kepada fonds di
Nederland yang diawasi oleh Tuan Fabius.
Tanggung jawabnya terhadap fonds di
Nederland atas hutang saya, itulah yang rupanya lebih jelas lagi buat tuan
Fabius.
Besok paginya tuan Fabius sendiri
datang ke tempat saya buat meneruskan perundingan. Saya berada di kamar loteng,
di samping tempat tidur nyonya D yang sedikit sakit. Salah seorang anggota
rumah mengabarkan kepada saya, bahwa tuan Fabius mau bicara dengan saya. Nyonya
D, yang rupanya mengerti betul keadaan menasehatkan kepada saya supaya berlaku
hati-hati. Seperti yang sudah-sudah kedua saudara H.S dan O.S pontang-panting
melarikan diri mendengarkan suaranya tuan Fabius yang memang dahsyat, gemuruh
itu.
Pembicaraan agak membosankan saya,
sebab cuma mengulang-ngulang yang dulu saja. Tetapi setelah terbayang perkara
“hutang” dan “terima kasih”, dan dianjurkan oleh tuan Fabius supaya saya
kembali ke Indonesia, maka saya kemukakan kekberatan saya. “Kenapa pada
permulaan perang, sesudah ujian saya mau pulang ditahannya, karena katanya tak
ada kamar di kapal, dan sekarang di waktu kapal silam lebih mengamuk, tuan
Fabius dapat mendapat kamar buat saya?”
Karena perkara terima kasih itu
walaupun tak langsung tidak pertama kali saya dengar-dengar dan mulutnya orang
Belanda, juga dari orang lain dari tuan Fabius, maka saya kemukakan, bahwa saya
berkeberatan meneruskan mendapat pinzaman dari fonds yang diwakili oleh tuan
Fabius itu.
Pembicaraan berhenti, tertegun saja.
Rupanya tuan Fabius sendiri dan tuan rumah tak mengira lebih dahulu jawab saya
semacam itu.
Itu malam juga saya dipanggil oleh
tuan-nyonya D, ke kamar loteng tadi. Kata tuan D, kepada saya “Dalam
perundingan tadi pagi engkau sedikit keras. Tetapi kami mengerti sungguh. Nyonya
dan saya setuju mengizinkan engkau terus tinggal di rumah kami als kind des
huizes (seperti anak sendiri) sampai engkau bisa kembali. Cuma uang saku kami
tak sanggup memberi, karena dagang saya terlantar.
Lebih dari uang saku saya dapat
dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada Belanda yang mau berangkat ke
Indonesia. Tuan dan nyonya di masa itu sangat rukun, dan ketentraman di rumah
memberi suasana yang baik dan sehat sekali kepada kami, sampai tiada berapa
lama saya berangkat ke Indonesia. Dunia banyak berubah selama 2 tahun saya
tinggalkan. Kerukunan suami istri banyak menjadi renggang dengan bergoncangnya
modal sesudah perang Dunia I. sekembalinya saya di Nederland 1 Mei 1922,
sesudah dibuang dari Indonesia, saya dapat tuan-nyonya berpisah, gescheiden van
tafel en bed, talak tiga. Tidak bisa lagi dipersatukan. Nyonya yang mempunyai
pemandangan luhur terhadap perhubungan suami-isteri terlampau tersinggung
oleh pergaulan tuan yang menurut faham
nyonya adalah pengkhianatan terhadap
pergaulan yang dianggapnya monopoli suami-istri. Keuangannya tak
terjamin lagi. Saya gembira mendapat kesempatan membalas budi. Tetapi setelah
berpisah pula, maka dari teman di Nederland saya menerima surat mengatakan
bahwa keadaan nyonya D amat menyedihkan. Tetapi belakangan saya mendapat kabar
lagi bahwa bekas nyonya D, bekerja dalam kapal yang berlayar ke Amerika. Kabar
ini lebih menggembirakan: “Tak mau berpangku tangan mengharapkan pertolongan
laki-laki saja....dan terima saja semua perlakuan suami itu, untuk menolak semua
yang dirasa melanggar cita-cita dan kehormatan kewanitaan.”
Saya sangka saya cukup mengenal diri
buat berkata bahwa saya bukanlah seorang yang mudah melanggar tata kehormatan
dan tertib terhadap orang tua. Apa lagi terhadap orang tua sopan seperti tuan
Fabius, yang sudi memberi pertolongan menurut aliran moral yang dianggapnya
baik. Tetapi sebaliknya saya merasa tersinggung kehormatan saya, oleh desakan
tuan Fabius itu, lagi kalau diingati bahwa perhubungan dengan studiefonds di
Nederland tiadalah dilakukan dengan persetujuan, malahan tiada dengan
pengetahuan saya.
Rupanya tuan Fabius tak bisa
meninggalkan perkara itu sampai di situ saja dan menunggu sampai saya kelak
berada dalam keadaan dapat membayar kembali hutang saya seperti saya janjikan.
Ia menuliskan kepada guru Horensma di Indonesia, menceritakan peristiwa tadi.
Entah apa yang ditulisnya.
Syahdan pada suatu malam didatangi
oleh seorang tuan, ipar dari guru Horensma. Dia datang mengabarkan, bahwa guru
Horensma dengan marah membalas suratnya tuan Fabius. Dalam suratnya sang guru
mengatakan, bahwa dia cukup lama mengenal saya bekas muridnya, masih tetap
percaya akan kejujuran bekas muridnya itu. bersama itu dikirimkan f4000,-
pembayar hutang tambah bunganya kepada Studiefonds yang diwakili oleh tuan
Fabius itu.
Saya merasa lebih terikat hutang
lahir batin. Sekarang saya berhutang kepada
engku kampung saya sendiri, dan kepada bekas guru sendiri sejumlah
kurang lebih f6000,- Pun surat dari ibu-bapak memperingatkan janji saya sebelum
berpisah, yakni mau lekas kembali hanya buat 2-3 tahun saja.
Perang sudah selesai. Tempat di
kapal masih terbatas. Tetapi karena saya mendapat pekerjaan di Senembah Mij,
satu dari onderneming terbesar di Deli, maka perkara ongkos dan tempat di kapal
tiadalah menjadi soal. Pekerjaan itu ialah sebagai pembantu pengawas semua
sekolah buat anak kuli di Senembah Mij tadi. Saya akan kerja sama (samenwerken)
mendapatkan sistem yang pantas buat anak-anak kuli kebun itu dengan seorang
guru Belanda, bekas murid saya dalam bahasa Indonesia di Amsterdam. Saya
menerima uang persediaan (uitrustingsgeld) f 1500,- dijanjikan gaji f350,-
sebulan, mendapat rumah, air, listrik dan kendaraan prei. Di kapal saya akan
mengajarkan bahasa Indonesia kepada beberapa orang termasuk Direktur dari Senembah
Mij sendiri, ialah Dr.Jansen bersama dua ponakannya.
Inilah penyelasaian yang memuaskan
dalam keadaan demikian, baik lahir maupun batin. Dipandang dari sudut keuangan,
maka dalam perjalanan menuju Indonesia itu saja, saya sudah sanggup mendapatkan
uang yang harganya hampir bisa menyelesaikan hutang saya dengan Engkufonds.
Dipandang dari sudut ideologi dan hasrat hidup saya akan dapat kesempatan
mempelajari keadaan di bagian Indonesia, yang terkenal sebagai “Deli-het
Goudland” dan bercampur gaul dengan golongan bangsa Indonesia sendiri yang
paling melarat-malang, terhisap-tertindas, yang kita ingat dengan nama “kuli
kontrak”.
Sekalian tinjauan selayang pandang
tentang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh di
belakang, ditinggalkan kapal yang tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode
saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk
menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan
buat pasal ini sudah melebihi rancangan saya, sehingga saya terpaksa
mengikhtisarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang
saya tempuh sekarang.
Pintu gerbang ke Laut Tengah sudah
dimasuki! Jilbratar. Jabal Tarik, menuju ke....Terusan Suez....Gunung
Sinai......Laut Merah.
Ber-buku-buku, berpeti-peti, bahkan
bergudang-gudang buku yang tertulis tentang sejarahnya beberapa negara di
sekitar Laut Tengah ini: Egypte (Mesir), Phunisia, Yudea, Syria, Yunani, Turki,
Roma, Arabia, Spanyol, Italia dan Perancis. Dari sekitar laut Tengah inilah
kita warisi sari kebudayaan yang terpenting buat masyarakat yang di masa ini
kita junjung dan kita pakai sebagai anak tangga menaiki jenjang yang tak ada
batasnya, teknik, ilmu pengetahuan dan beberapa tiang dalam kesusilaan.
Kemajuan tenaga manusia dan hewan
yang dikerahkan oleh Raja Fir’aun buat mendirikan pyramid sampai kekuatan
tenaga listrik dan atom di zaman sekarang mengambil tempo lebih kurang 10.000
tahun. Kemajuan itu sebahagian besar berlaku di sekitar Laut Tengah juga.
Meskipun kemajuan teknik dalam ilmu
pasti majunya berbanding naik dengan bertambahnya tahun, tetapi tiadalah begitu
dengan majunya moral, yang dipancarkan oleh 3 agama dunia yang dilahirkan di
sekitar Laut Tengah: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Kalau kemajuan moral,
yang melarang mencuri, membunuh, tetapi menyuruh menyayangi sesama manusia dan
sebagainya, tidak mundur, tidaklah pula boleh dikatakan maju berbanding naik,
karena bermaharajalelanya hisapan dan tindasan kapitalisme-imprialisme, antara
golongan dengan golongan, serta antara bangsa dengan bangsa, di samping
timbulnya perang dunia yang dengan langsung atau tak langsung melenyapkan
jutaan harta-benda dan jiwa manusia dengan cara massal, sekalian, merampok,
memperkosa dan membunuh.
Bagaimanapun juga di sekitar Laut Tengah
inilah kita dapati bayi dan buaian
sebagian besar dari semua teknik, ilmu dan moral. Tetapi di sekitar Laut Tengah
inilah pula berlakon peperangan bangsa melawan bangsa yang lebih jelas dan
rasional (masuk akal) diwariskan kepada kita, di antaranya: Perantauan Iskandar
Zulkarnain sampai ke sungai Gangga di Hindustan, Peperangan Hanibal melewati
pergunungan Alpen, Peperangan Islam di bawah pimpinan Arab dan Turki, dan
kemenangan Napoleon Bonaparte di zaman Revolusi Perancis.
Tetapi dengan warna kaca yang
berlainanlah sekarang saya melihat semua peristiwa perang di zaman lampau.
Memang pada permulaan kegembiraan membaca sejarah dunia itu, yang
sekonyong-konyong terkembang di depan mata sebagai alam baru, adalah perhatian
saya yang terpusat pada muslihat dan kemenangan Iskandar, Hanibal, Caesar,
Jengis Khan. Tetapi dengan Napoleon perhatian terhadap keluhuran akan dan
kodrat perseorangan itu sudah dibatasi oleh pertanyaan apa sebab dan untuk
golongan yang mana semua peperangan, semua pembunuhan itu dilakukan?
Jawaban atas pertanyaan “apa sebab”
dan “untuk golongan yang mana” itu, lazimnya tiada dikemukakan, apalagi
dijawab, oleh hampir semua buku sejarah karangan ahli borjuis berdasarkan
individualisme. Ada juga dimajukan sebab, tetapi sebab yang dikulit saja. Sebab
dari pada sebab atau sebab yang lebih dalam, tak pernah dikupas dalam buku
sejarah yang diajarkan di sekolah borjuis sekarang, secara systematis dan
consistent.
Sebab peperangan yang saya
maksudkan, ialah sebab yang timbul dari kebutuhan produksi, yang dimiliki serta
dikuasai oleh salah satu golongan di dalam satu negara, buat kepentingan
golongan itu. Di zama abad ke 20 ini kita tahu sebabnya Jerman menjadi agresif,
ceroboh, ialah karena kebutuhan bahan dan pasar, buat kaum feodal borjuis Jerman.
Demikian pula sebabnya peperangan di masa depan, akan ditimbulkan oleh
kebutuhan pasar buat menjual belikan bahan dan barang pabrik, atau untuk
menambah modalnya golongan kapitalis. Diplomat yang berdiplomasi, politiknya
yang memimpin dan memajukan “isme” prajurit yang bertempur, hanyalah buat
membela golongan yang berkepentingan itu.
Buat yang mau mengerti nyatalah
umpamanya Egypte atau Syria memerangi negara tetangganya dengan hasrat untuk
merampas tenaga-manusia. Penduduk negara kalah terang-terangan dijadikan budak.
Yang dianggap akan bisa membalas, dibunuh sama sekali bersama perempuan dan
kanak-kanak.
Akan tetapi Iskandar Zulkarnain,
Hanibal, Caesar ataupun Abdurrahman, tak lagi berlaku demikian. Mereka sudah
dianggap penakluk yang mulia, ksatria. Tentu ada sebab lainnya yang lebih dalam
dari pada sebab sanubari para ksatria itu saja. Sebab ini mesti dicari pada
kebutuhan produksi yang sudah berubah sifatnya karena perubahan teknik dan
seterusnya mesti dicari pada susunan golongan masyarakat dalam negeri itu yang
berubah pula karena perubahan teknik. Umpamanya kemajuan produksi sesuatu
negeri membutuhkan tetangga yang cukup makmur buat membeli hasilnya, jadinya
membutuhkan pasar. Negara tetangga yang kalah, yang lantas dikosongkan dengan
pedang, bukanlah pasar yang dikehendaki lagi oleh negara menang. Cukuplah kalau
negara kalah itu dikuasai dan diawasi saja, bahkan lebih baik kalau bisa
dijadikan propinsi yang makmur, yang sanggup membeli hasil dari negara penakluk
terus menerus.
Begitulah agaknya keadaan negara
Yunani di masa Iskandar dan Spanyol di masa Abdurrahman. Tetapi sejarah yang
dikarang oleh borjuis tak bisa meninjau ke sana, ke arah perubahan produksi
itu. Mereka pusatkan peperangan itu pada perseorangan, individu saja. Kepada
kemauan, kecakapan dan kecerdasan individu itu saja. Buat mereka, Iskandar,
Caesar dan Napoleon itulah dasar dan tinjauan yang awal dan akhir. Buat kita,
sesuatu golongan yang berkuasa atas produksi dan akhir dasar dan tujuan, sebab
dan akibat. Iskandar, Caesar ataupun Napoleon, adalah alat dari satu golongan
dalam masyarakatnya saja, dan memang alat yang cerdas, berani dan cakap yang
menjadi pujian golongannya.
Di antara beberapa kota yang didiami
bangsa Yunani, kita mengenal Negara Kota Sparta, sebagai contoh negara berdasarkan
autokrasi, keningratan. Ini kita andaikan: thesis. Negara kota Athena
berdasarkan demokrasi. Anti thesis: Lama sekali kedua negara itu bertentangan,
berlawanan dan berperang-perangan. Walaupun berbangsa satu. Dalam pertentangan
terus menerus itu timbullah kerajaan Macedonia, dipimpin oleh raja Filip,
seorang ningrat. Tetapi anaknya Iskandar mendapat didikan dari pujangga Athena
yang terbesar di zaman Yunani, ialah Aristotheles. Iskandar mempersatukan
Sparta dan Athena, keninggratan dan kerakyatan dalam satu kerajaan: synthesis.
Iskandar Zulkarnain mempunyai hasrat mempersatukan Barat dan Timur, synthesis
yang lebih maju. Peleburan kebangsaan dan kebudayaan Barat dan Timur baru saja
berada pada titik melangkah, waktu Iskandar mati muda.
Caesar menghadapi dua pertentangan
pula. Di dalam negara Republik Romawi berlaku pertentangan dan perlawanan yang
hebat antara golongan Patricia (Ningrat) dan Plebia (Melarat). Keluar berlaku
pertentangan bangsa Romawi dengan bangsa asing bangsa Barbaria.
Iskandar lebih dulu membereskan
pertentangan di dalam daerah Yunani baru keluar membereskan pertentangan Yunani
dengan bangsa asing di sekitar Republik
Romawi, di sekitar Laut Tengah sampai ke Inggris dan Jerman. Baru dia pulang
dengan laskarnya yang berpengalaman, melampaui sungai Rubicon, buat membereskan
pertentangan dalam Republik Romawi itu.
Caesar berlaku sebaliknya. Lebih
dahulu diperlakukannya bangsa asing. Dia seorang berasal Ningrat (thesis),
mengambil faham Democracy dan memimpin kaum Plebia (anti-thesis), menghancurkan
musuhnya Partai Sulla dan Pompeiji, keduanya Nigrat, dengan hasrat mendirikan
kerajaan, Caesar-rijk (Kizer-rijk) ialah rupay synthesisnya.
Caesar mati dibunuh oleh musuhnya,
ketika ia baru saja berada di kaki singgasana Kerajaan. Walaupun jasmaninya
tewas, rohaninya terus hidup. Kerajaan Roma sebagai synthesis.
Seperti Caesar, Napoleon lebih
dahulu juga membereskan pertentangan Perancis dengan negara sekelilingnya,
sesudah mendapat kekuasaan dan populeriteit karena kemenangannya, barulah ia membereskan
pertentangan di dalam negara Perancis. Proletaria Jacobin di pikah kiri, dan
Borjouis Nigrat di pihak kanan. Dengan hancur leburnya kedua pihak itu, maka
Napoleon yang pada masa mudanya pengikut Jacobijnisme, akhirnya mendirikan
Kerajaan Napoleon sebagai synthesis.
Tidak selalu synthesis itu bisa
tercapai atau dicapai dengan mudah! Tidak pula synthesis yang sudah tercapai
dengan kekerasan itu kekal hidupnya. Biasa sekali synthesis yang sudah tercapai
itu hanyalah satu thesis belaka, yang menimbulkan anti thesis.
Iskandar menaklukkan seluruh
bangsanya sendiri dengan menghancurkan kota Rep Thebes, Kerajaan yang
didirikannya dengan pedang itu pasti menimbulkan usaha atau pemberontakan
beberapa harga untuk melepaskan diri dari synthesis yang dipaksakan tadi.
Caesar dan Napoleon melalui lautan
darah buat mendirikan Kerajaannya. Dan kerajaan mereka diakhiri oleh
pemberontakan dari pada beberapa bangsa yang tertindas.
Tetapi Hannibal, walaupun statesman
yang jarang dilahirkan dalam seratus tahun, walaupun Panglima yang boleh jadi
tak ada yang melebihi serta jarang yang menyamai. Panglima berkemauan baja,
berotak cerdas, gilang gemilang di depan waktu bertempur dan di belakang waktu
mundur teratur, tahan panas dan dingin, hidup seperti prajurit, bisa dicintai,
dipuja dan didewakan oleh tentaranya, disokong oleh negara kaya raya....kalah
oleh lawan, oleh Panglima Roma yang jauh kurang dari dia dalam segala-galanya.
Sejarah yang dikarang oleh ahli borjuis tak cukup mengupas keadaan produksi
Carthago, persoalan makanan, perdagangan dan sebagainya, kalau dibandingkan
dengan kota Roma yang lama dikepung oleh Hannibal. Kita tahu, bahwa pada akhir
peperangan, kapal Roma lebih kuat daripada kapal Carthago, dan susunan
masyarakat Roma di masa itu masih dekat kepada sama rata. Sedang susunan
masyarakat Carthago yang termasyhur kaya raya itu kurang jelas teratur.
Seluruh dunia, kawan atau lawan,
mengakui keluhuran dan ketinggian Kerajaan Islam di Spanyol, di abad 13 dan 14.
Granada, Seville, Cordova adalah pusat perhatian dunia Barat di masa itu,
sebagai halnya London, Paris, Berlin di masa ini. Pemikir besar, seperti Ibn
Rosyid terkenal di Eropa dengan nama Everoes, adalah Aristoteles jika
dibandingkan di zaman Yunani, adalah pusat besi berani, yang menarik perhatian
ahli pikir dan para pelajar Eropa Barat. Pertanian, pengairan dan pertukangan
tak ada taranya di masa itu. Tetapi ahli
sejarah menceritakan hal yang belakang ini secara sporadish nyata kemajuan atau
kemundurannya. Dalam menceritakan peperangan dan kekalahan kerajaan Islam
melawan Nasrani di sekitarnya ahli sejarah yang sebenarnya, sepatutnya harus
memperbandingkan kekuatan produksi, di samping kekuatan sosial dan politik di
kedua belah pihak. Apakah sebabnya? Apakah masyarakat Islam sendiri sudah
terbelah oleh satu jurang yang dalam, yang menimbulkan pertentangan, bahkan
perlawanan di antara dua golongan ialah antara kaum hartawan dengan kaum
melarat? Inilah pertanyaan yang tiada dikemukakan dan dijawab oleh ahli sejarah
borjuis. Mereka terlalu berat memusatkan perhatian pada politik militer dan
beberapa orang pemimpin. Atau kepada kebudayaan, dengan tiada disampingi oleh
kodrat pergerakan kebudayaan itu, ialah sistem produksi, sosial dan politik.
Hendaknya, sejarah Yunani, Roma,
Arab dan lain-lain yang paling berharga itu disusun sebagai sejarahnya
masyarakat (golongan atau pemimpinnya) dalam gerakan politik, militer dan
kebudayaan) semua bukti dalam teknik, sosiologi dan kebudayaan) harus disusun
kembali dan ditambah seberapa dapatnya.
Laut Sakutra! Kapal api besarpun
masih bisa diombang-ambingkan oleh gelombang laut itu. kakek kita yang naik
haji, melakukan syarat agama masih mempunyai kenang-kenangan tentang bahaya
laut Sakutra terhadap kapal layar yang membelah gelombang setinggi bukit untuk
menyampaikan hajatnya mengunjungi tanah suci. Entah dagang, entah minat
perantauanlah yang menarik nenek moyang kita ke sini, dengan perahu saja,
dihempaskan gelombang seperti sebutir beras dihempas-hempaskan air
mendidih...sampai ke selatan....ke Madagaskar.
Hindustan.....kasta....percekcokan
agama Hindu dengan agama Islam. Perhatikanlah rumah berhala Hindu! Penuh arca
di dalam dan di luar dinding, di pinggir dan di atas atap. Lambang perasaan,
manusia yang beraneka warna. Ada arca yang menggambarkan keberanian, kepuasan,
kesungguhan, kesedihan kekaguman, sampai ke arca yang menikam diri sendiri.
Umumnya bersemangat pesimistis, putus asa, kacau balau, gambaran perpecahan dan
perpisahan lebih dari 3000 kasta. Dengarlah nyanyian Hindu modern, seolah-olah
merdu buat penyanyinya sendiri saja. Sampai sekarang buat saya hanya teriak
kesombongan, seolah-olah lagu untuk untuk menyatakan tak ada kasta yang lebih
tinggi dari kasta Waisya, kasta saudagar yang sekarang menjelma menjadi kasta
kapitalis borjuis, lebih tinggi kedudukannya dari pada gunung Himalaya. Lebih
sederhana tetapi lebih mencocoki jiwanya tertindas tertekan, nyanyian pendayung
atau buruh Hindu.
Undang-undang saja tak kan bisa
melenyapkan bala penyakit kasta di Hindustan itu. Bisa hilang kalau
undang-undang itu disertai perubahan sistem ekonomi, politik dan sosial....dan
kalau kasta-haram, kasta najis, kasta Sudra serta kasta Paria yang lebih kurang
100 juta itu, benar-benar bangkit di bawah pimpinan kaum buruh-tani dan intelek
yang revolusioner, dan kalau kasta borjuis-pendeta-ninggrat Hindustan
terang-terangan atau dengan diam-diam menentang, maka revolusi Perancis dan
Rusia akan berupa bayi kalau dibandingkan dengan revolusi Hindustan yang akan
meletus karena itu.
Akhirnya Sabang, Indonesia. Di tepi
pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar
setiap menit! Saksikanlah sendiri!
Sampailah sekarang ke ujung
pelayaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia
sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudra yang diarungi oleh moyang bangsa
Indonesia sekarang, di zaman gelap gulita.
Bangsa perantau! Kata setengah ahli.
Syahdan maka perubahan hawa dan bumi, sedikit demi sedikit menukar daerah
diamnya bangsa Indonesia asli menjadi tandus, gurun pasir sedikit demi sedikit
berangsur-angsur sampai daerah itu menjadi tandus Gobi dan menyebabkan bangsa
Indonesia asli senantiasa menukar tempat menjadi perantau. Semangat
pertahananlah yang menjadi sifat yang dilaksanakan dari Madagaskar di pantai
barat Samudra Hindia sampai ke Amerika Tengah di pantai Timur Samudra Teduh.
Semangat perantau itu mendapat
dorongan pula dari susunan masyarakat di masa lebih dari 2000 tahun lampau itu.
Dari sisa sistem sosial, ialah matriakat seperti di Minangkabau dan sistem
patriarkat seperti di tanah Batak yang juga dahulu kala terdapat di tanah Jawa,
maka kita masih bisa saksikan, bahwa para pemuda di tiap-tidap desa seolah-olah
tersusun dalam pasukan penggempur. Mereka mendiami rumah terkhusus buat pemuda
saja, di mana mereka mendapat latihan rohani (adat dan agama) serta latihan
jasmani (silat dan pencak).
Berpedoman bulan dan bintang,
dilayarkan perahu ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat ramping,
dijamin oleh alat cerdik bersemangat bergotong royong atau menolong di masa
bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya
“teletang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”.....samudrapun cuma
danau saja di mata mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar