Kamis, 07 April 2016

Pulang Ke Indonesia

PULANG KE INDONESIA


Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers dan kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati, voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda. Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil, kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001 kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan, Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis jalan ke Indonesia itu, melainkan  bangsa Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus. Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X, belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya (psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat baja paduan (allay) zaman sekarang,  maka haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu, dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan granat tangan saja.
Negara Belanda sudah di belakang, dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum  selesai diperhebat, didorong oleh konflik dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam masyarakat yang akan ditempuh.
Belum lagi berapa lama berada di negeri Belanda sudah dirasa konflik pertengkaran jasmani dengan keadaan. Bayaran 30 rupiah sebulan di Asrama Rijkskweekschool tiadalah bisa mendapatkan makanan yang cocok selera makan kita orang Indonesia walaupun sudi tidur di loteng. Saya tahu, bahwa di masa itu tak ada pelajar Indonesia yang membayar kurang dari 50 rupiah sebulan. Bahkan kebanyakan lebih dari itu. Tetapi 30 rupiah sebulan itu, adalah puncak kesanggupan saya membayar. Karena selain dari itu saya harus membayar 11 ½ rupiah asuransi. Sisanya ialah 8 ½ rupiah buat belanja sehari-hari. Lima puluh rupiah sebulan itulah anggaran belanja yang mesti saya selenggarakan.
Perhubungan rapat dengan guru saya, Direktur II Kweekschool Bukit Tinggi tuan Horensma, dalam kelas sebagai guru dengan murid, di luar kelas ialah dalam orkes musik Kweekschool sendiri dan orkes orang Eropa di Bukit Tinggi sebagai dirijen, dan saya sebagai cellist ke satu, serta derajat yang saya peroleh dalam ujian Kweekschool yang penghabisan, dengan spontan menggerakkan guru tadi bersama saya pergi menjumpai kontrolir Suliki, tempat kelahiran saya. Atas jaminan harta benda keluarga saya, maka didirikanlah Engkufonds yang disokong oleh para Engku di Suliki, buat mengumpulkan 50 rupiah setiap bulan, untuk membantu saya di negeri Belanda selama 2-3 tahun. Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia.
Ternyata di belakangnya, bahwa dengan bayaran 30 rupiah sebulanpun saya bisa mendapatkan rumah yang sedikit lebih baik. Ini terdapat sesuatu hampir setahun dengan perantaraan kenalan baik, dan mendapat teguran dari Direktur Rijkskweekschool di Haarlem, karena mengambil inisiatif sendiri meninggalkan asrama itu. Saya bertindak, karena kesehatan saya sudah terlampau mundur, sehingga lebih baik jangan melihat makanan dari pada menghadapinya. Makanan seperti itu cuma membangkitkan perut untuk menolaknya. Bahannya cukup baik dan mengandung zat, tetapi caranya memasak adalah cara asrama yang paling buruk.
Kesehatan saya sudah jatuh turun dari yang semula. Sebelum berangkat, saya perlu mendapatkan surat dari dokter di Indonesia untuk kepentingan asuransi. Surat itu lekas didapat, sesudah dokter mengakhiri pemeriksaan badan saya dengan perkataan tersenyum: “Jati hout”. Kayu jatipun bisa lapuk dimakan waktu dan hawa. Di samping makan yang tidak terjaga tadi, di mana nafsu makan terus berkurang, nafsu berolah raga terus bergelora. Sebagai anggota dari salah satu voetbalclub di kota Haarlem, saya taat menjalankan pertandingan-pertandingan tiap minggu di kota Haarlem sendiri dan di beberapa kampung sekitarnya. Penjagaan diri di musim dingin tidak saya kenal, dan kalau diketahuipun belum tentu diperdulikan.
Beberapa tahun di belakang ketika nafas masih lemas, kaki dan tangan masih lemah, diajak oleh kanak-kanak teman olah raga berenang menyeberangi sungai Ombilin, maka tewaslah nafas, kaki dan tangan itu, dan hilanglah ingatan saya diombang-ambingkan ombak yang deras. Untunglah ada teman yang besar ada di samping dan segera memberi pertolongan. Setelah ingatlah kembali, tiba-tiba saya sudah berada di rotannya ibu yang siap hendak memukul sebagai pelajaran. Ayah yang rupanya tahu benar bahwa pukulan ibu sungguh jitu pedih mengajak memberi pelajaran yang katanya lebih tepat. Dengan kekang kuda di mulut, saya ditempatkan di pagar di pinggir jalan, supaya ditonton oleh anak-anak para Engku yang tidak diperbolehkan bermain dengan anak kampung, seperti saya, bercampur gaul dengan mereka. Tetapi ibu anggap bahwa itu hanya diplomasi ayah saya buat menghindarkan saya dari ibu. Sesudah melihat saya dengan kekang kuda di mulut itu, walaupun ayah berdiri di samping menjaga, dan banyak anak-anak berkerumun, ibu tidak merasa puas. Sangka ibu ada lagi otoriteit yang lebih tinggi yakni Guru Gadang (Guru Kepala). Atas aduan ibu, maka Guru-Gadang itu menjalankan hukuman pada diri saya, hukuman yang dikenal oleh anak-anak di sana dengan nama pilin pusat (cabut pusar). Sampai sekarang saya masih heran, kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu kali lagi dilakukan di belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang menyeberang sungai Ombilin itu pula, dan membawa-bawa lagi anak-anak para Engku. Lain kali karena main sembur-sembur, artinya bertanding menyemburi muka sampai salah satunya kalah. Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan juga menyembur lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya pikir perjuangan sudah selesai, kemenangan akhir ada di pihak saya, dan saya berhak penuh merasakan lezatnya kemenangan itu. Cuma heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Apabila saya naik ke tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru Gadang, buat menjalankan hukuman “pilin-pusat”. Rupanya anak-anak lain sudah melihat Guru Gadang menunggu di tepi sungai. Rupanya saya asyik berjuang membelakangi Guru Gadang itu. kalau di belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan mengangkut anak-anak Engku melihat macan ditangkap di gunung, maka saya saja yang dikenai “pilin pusat”. Pun kalau “perang jeruk” (barisan yang satu melempar yang lain dengan jeruk), berakhir dengan “perang batu” dari anak sekolah di kampung tempat itu, ialah Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung Tanjung, maka yang harus menjalankan hukuman sebagai “penjahat perang” saya juga. Sebagai hukuman “perang batu” ini mulanya saya dimasukkan ke dalam kandang ayam. Yang demikian ini rupanya tidak memuaskan rasa keadilan ibu. Atas usul beliau sendiri, maka Guru Gadang segera memaku dengan hukuman yang biasa dijalankan dengan lancar dan jitu, ialah hukuman pilin pusat itu juga.
Di sekitar tanah lapang di Velsen atau Ymuiden di musim dingin, ada salju, tetapi tak ada jari yang sedia menerkam perut di sekitar pusar saya. Nasihat teman supaya memakai baju tebal di waktu pauze (dalam pertandingan) tiada diindahkan. Pengalaman pahitlah yang mesti memperingatkan. Entah karena kekurangan dalam hal makan, entah lantaran olah raga yang tidak terpimpin, entah karena keduanya, maka 3 bulan sebelum ujian guru saya jatuh sakit pleuritus. Baru setelah tak bisa berjalan lagi saya bilang kepada nyonya rumah. Baru dokter didatangkan.
Bayaran dokter adalah perkara yang penting. Di luar belanja 8 ½ rupiah sebulan itu, tak ada uang pada saya. Yang sanggup didatangkan ialah dokter pembantu orang miskin dengan percuma, “bus dokter” gelarnya di Haarlem, dokter Jansen namanya. Tentulah pemeriksaan tak begitu teliti seperti di rumah sakit oleh dokter kelas satu, dan obatnya cuma puyer murah saja. Tempat di loteng, di kamar kecil yang udaranya sesak terkumpul tiadalah melekaskan sembuhnya penyakit Pleuritus itu. hawa badan terus tinggi, tetapi saya ingin pulang ke Indonesia, dan sebab itu ingin menempuh ujian guru. Janji dengan Engku fonds cuma buat 2 tahun saja. Tetapi kalau hawa badan tetap tinggi begini, dokter kelak tentu tak akan mengizinkan menempuh ujian. Mulailah saya turunkan derajat hawa badan itu. Untungnya saya sendiri yang mesti mengambil 3 kali sehari. Beberapa hari sebelum ujian, Direktur Rijkskweekschool datang melihat dan berkata, bahwa saya amat sakit waktu itu. Lagi pula saya tidak mengikuti repetisi, sudah tiga bulan tidak bersekolah. Walaupun sudah tiga bulan absen, tetapi dia percaya akan kecakapan saya, dan akan mengirimkan saya menempuh ujian resmi asal saja dapat izinnya dokter. Dengan susah payah saya dapatkan izin dokter, ialah dengan perjanjian saya pergi dan kembali ke dan dari ujian dengan kereta kuda. Temperatur memang normal.... di atas kertas yang saya isi sendiri.
Begitulah apabila harinya tiba saya menempuh ujian resmi, baikpun dengan tulisan ataupun lisan, saya beruntung lulus! Tetapi sampai di rumah barulah saya menderita akibat pembantingan tenaga luar biasa itu, dalam waktu saya masih sakit berat.
Sebenarnya tak perlu saya meneruskan lebih kurang 2 tahun di Rijkskweekschool itu, buat mendapatkan hulp acte. Dua tiga bulan kursus tambahan saja rasanya sudah cukup. Tetapi perkara mendapatkan Europeescheacte buat guru dengan politik imprialisme Belanda di waktu itu, begitu banyak seluk beluknya, sehingga akan terlampau panjang jikalau perkara itu saya uraikan lebih lanjut. Cukuplah sudah kalau diperingatkan di sini bahwa Kweekschool di Bukit Tinggi, yang di masa saya ialah perguruan tunggal dan tertinggi buat seluruh Sumatera, dihapuskan sama sekali sesudah pemberontakan Silungkang tahun 1927. Jadi Kweekschool pun sudah terlalu tinggi buat 10 juta rakyat Sumatera umumnya dan buat Minangkabau khususnya.
Bukan tempat, tempo ataupun maksudnya untuk menceritakan seluruhnya pendidikan saya di sini. Pekerjaan ini, walaupun berfaedah bagi pemuda-pemuda kita, akan memerlukan tempo dan tenaga terkhusus. Tetapi untuk menyempurnakan uraian konflik dengan hawa dan makanan di negeri Belanda itu, terutama pada beberapa tahun permulaan, baiklah saya singgung sedikit konflik antara hasrat belajar beserta pengetahuan yang ada pada saya di waktu itu pada satu pihak dan kemungkinan untuk menjalankan hasrat itu di lain pihak.
Adapun para murid Rijkskweekschool Haarlem itu mendapat ongkos belajar dari Pemerintah Belanda seperti para murid Kweekschool Bukit Tinggi juga. Persamaan lain di antara dua Kweekschool itu jarang sekali dapat dicari. Rijkskweekschool Haarlem mendidik muridnya menjadi guru untuk anak Belanda, dalam bahasa Belanda, pada hakekatnya buat anak Belanda. Rijkskweekschool Bukit Tinggi melatih guru buat anak Indonesia, terutama dalam bahasa Indonesia, untuk Hindia Belanda.
Tidak sedikit di antara murid yang diterima di Rijkskweekschool itu pemuda keluaran Mulo atau lebih, karena mengharapkan sokongan pemerintahnya. Berhubungan dengan banyaknya calon maka ujian masuk juga cukup keras, walaupun tak begitu keras kejam seperti ujian masuk Kweekschool Bukit Tinggi, teristimewa pula buat murid berasal Minangkabau-darat, Padang-Darat (di masa saya, di antara 200 sampai 300 calon cuma kami 3 orang yang diterima).
Pada waktu permulaan di Rijkskweekschool Haarlem, dengan sedih sekali saya saksikan, bahwa pelajaran yang sudah saya terima di Kweekschool Bukit Tinggi sama sekali tidak sambung menyambung dengan apa yang diberikan di Rijkskweekschool itu. Betul, umpamanya sama-sama diajarkan ilmu tumbuh-tumbuhan, akan tetapi tumbuh-tumbuhan yang mesti diperiksa dan diajarkan di negeri Belanda tiadalah sama dengan di Indonesia. Begitu juga kiranya dengan ilmu bumi, ilmu mendidik (paedagogie), ilmu menggambar, ilmu ukur (meetkunde) dan lain-lain. Ada pula ilmu yang sama sekali mesti dipelajari dari permulaan seperti sejarah Belanda, sejarah dunia, Aljabar, ilmu ukur ruang (stereometrie), trigonometric, dan ilmu kodrat (mechanica). Sebaliknya ada pula pengetahuan yang sudah saya pelajari di Bukit Tinggi tetapi tiada diajarkan atau cuma sedikit sekali diajarkan di Haarlem, ialah terpenting buat guru Belanda, tentulah bahasa Belanda. Sepintar-pintar orang Indonesia dalam mempelajari bahasa asing, maka pemuda Belanda berumur 14-20 tahun, tentulah lebih paham bahasa ibu dan masyarakatnya dari pada orang Indonesia yang cuma beberapa jam sehari saja menerima pelajaran bahasa Belanda di kelasnya selama 6 tahun. Tetapi tiada berarti bahwa dalam hal ilmu tatabahasa (grammer) saya akan kalah saja oleh murid kelas tertinggipun.
Saya tak tahu siasat yang diputuskan para guru Rijkskweekschool terhadap saya dalam keadaan tersebut. Pengalaman membuktikan, bahwa di dalam 2 tahun itu, sebenarnya saya tak mempunyai kelas tetap, melompat-lompat dari kelas ke kelas yang empat itu. buat ilmu bumi, ini pagi umpamanya di kelas satu, nanti petang di kelas empat.
Hal ini saja, kalau tidak ditambah dengan hal yang lain-lain, sudah bisa mematahkan hati saya yang belajar dari permulaan. Memangnyalah semua vak saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran  seperti Ilmu mendidik, Ilmu tumbuh-tumbuhan dan lain-lain, saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti aljabar, trigonometri dan lain-lain yang dinamai denkvakken, ilmu yang memerlukan otak, saya dipaksa mempelajarinya.
Pelajaran berpikir tersebut diluar rekendekunde (ilmu berhitung), tak perlu dipelajari buat guru, bahkan juga tak perlu dibuat ujia guru kepala. Tetapi sesudah oleh guru wiskunde saya dilompatkan dari kelas 1 ke kelas II, ke kelas III, dalam satu hari, buat aljabar dan lain-lain, maka dia menarik saya pula diwaktu mengaso. Katanya dia mau habiskan pelajaran ilmu pasti (wiskunde) itu dengan saya. Dibisikkannya pula, bahwa ia ingin meneruskan mendidik saya, karena dulu dianggap orang Indonesia itu tak sanggup menerima pelajaran ilmu pasti. “Saya susah sekali mengajarkan Sutan”, (katanya , “tetapi sekarang, setelah kamu, pemandangan itu saya tukar”.
Saya tahu, bahwa Sutan Kasanjangan yang dimaksudkannya itu sekali-kali bukan orang bodoh, walaupun sampai 5 kali gagal dalam ujian  mencapai ijasah Guru Kepala. Penghargaan kami terhadap anak Batak di Kweekschool Bukit Tinggi yang diterima setelah ujian di antara berpuluh-puluh calon dari seluruh Tapanuli, tentulah tidak terkecuali. Tetapi mungkin karena kekurangan dalam pengetahuan bahasa Belanda, maka susahlah ia memahamkan pelajaran ilmu pasti itu. Dan berhubung dengan lima kali gagalnya menempuh ujian itu, maka mungkin sekali politik sekolahnya imprialisme Belanda diam-diam campur tangan pula.
Buat saya ilmu pasti itu sedikitpun tak pernah jadi keberatan, walaupun diloncatkan dari pasal tiga belas dengan tiba-tiba. Taktik strategi menerima pelajaran ilmu pasti telah saya pahamkan dengan istimewa dan saya jalankan dengan hasil yang memuaskan hati serta meringankan pekerjaan, beberapa tahun sebelum ke negeri Belanda.
Tetapi buat mempelajari tumbuh-tumbuhan, banyaknya daun dan serbuk bunga (meel-draad), bijinya buah, giginya kodok Belanda, methode mengajarkan abc kepada anak-anak dan lain-lainnya, tak apalah taktik strateginya daripada menghapal, menghapal dan menghapal. Buat ini saya sudah tak dapat dipakai. Kecuali untuk pengetahuan yang memang menarik hati saya, menghapal itu sudah saya benci habis-habisan.
Kebencian kepada dunia yang berupa kajia-hapalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti keju ini cuma timbul di waktu menghadapinya saja. Tetapi kebencian terhadap kaji hapalan yang dipaksakan adalah terus menerus, sebagai kebencian saya terhadap perbandingan yang tidak adil antara keadaan masyarakat Indonesia dengan Belanda.
Dalam keadaan demikian itu saya mendapat kesempatan berjumpa dengan Prof. Snouck Hurgronye (almarhum). “Saya”, kata mana guru ini, takkan memikirkan menjadi guru mengajar anak-anak Jerman, walaupun saya lama tinggal di Jerman”. Saya tercengang mendengarkannya. Kemudian ditanyakan semenjak umur berapa saya belajar bahasa Belanda. Saya jawab, semenjak kira-kira umur 13 tahun. “Nah”, katanya, “dibawah umur 13 tahun, tuan tak bercampur gaul dengan anak-anak Belanda. Apakah tuan berpikir dapat menyelami jiwa anak-anak Belanda di bawah umur 13 tahun, di sekolah rendah itu dengan mempergunakan kata-kata yang lazim dipakai oleh mereka?”
Prof, yang kata orang “ethiesch”, pecinta inlanders dan ahli agama Islam ini saya tinggalkan dengan pikiran saya yang terharu. Pertanyaan tadi masih terdengung di telinga saya. Semenjak itu saya sangsi akan arahnya didikan saya. Saya malu mau mendapatkan hak jadi guru mengajaar anak Belanda yang tidak sebahasa, sebangsa dengan saya, dan tak akan bisa saya jumpakan jiwanya dengan bahasa ibunya.
Mulanya saya berpikir akan menukar haluan didikan saya. Tetapi saya tertumbuk pada perkataan penasehat saya, ialah tuan guru Horensma di Bukit Tinggi itu sebelum kami berpisah. Beberapa kali dikatakan kepada saya, bahwa dia tak sanggup memberi nasehat, kecuali dalam daerah didikan guru itu. saya maklum, karena dia seorang guru dan ingin melihat orang Indonesia mendapat didikan guru Belanda. Tetapi baru enam tahun sekembali saya di Bukit Tinggi, sesudah dia sendiri kecewa dengan birokrasi di Batavia, dikeluarkannya sesalannya dengan perkataan: “Sepantasnya saya mesti menasehatkan engkau menjadi insinyur”. Memang kalau dari mulanya didikan saya ditujukan kepada insinyur kimia atau pertanian, keperluan jasmani terjaga, nafsu belajar tak akan terganggu, mungkin sebaliknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan dalam 6 tahun itu, banyak perubahan yang berlaku atas diri saya.
Di mana jasmani menderita karena kekurangan, di mana rohani terpaksa dalam kungkungan lahir dan batin, dimana akhirnya semua jalan menuju perubahan dan perbaikan sama sekali buntu, maka disanalah hati terbuka, ditarik oleh kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh kodrat pertentangan-pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Pergolakan thesis dan anti-thesis di dalam diriku adalah bayangan dari gelora kedua kodrat itu, dalam arti sempit dan arti luasnya: dalam keadaan rumah yang kudiami dan keadaan Eropa di masa itu, yakni dalam rumah orang melarat di masa Eropa dan dunia seluruhnya berada dalam kancah peperangan dunia pertama (1914-1918). Hampir setahun sebelum perang saya tiba di Nederland dari hampir setahun pula sesudah perang saya meninggalkannya.
Dalam rumah sewaan seorang keluarga buruh, sebuah rumah kecil dijalan kecil, kebetulan pula bernama Jacobbijnenstraat, saya mendiami kamar loteng yang sempit gelap. Kamar di sampingnya didiami oleh seorang pengungsi Belgia, Herman, seorang pemuda, bekerja pada satu pabrik jam di kota Haarlem. Orang muda ini meninggalkan negerinya sesudah Belgia diserbu Jerman. Nyonya rumah adalah seorang perempuan buruh, jujur, sederhana dan dalam segala-gala penuh kemanusiaan, di masa kemanusiaan itu tak ada di dunia bagi dirinya sendiri. Suaminya sudah lama sakit paru-paru dan dirawat di rumah sakit yang sesungguhnya cuma buat menunggu ajalnya saja. Dulunya Van Der Mij, begitulah nama si sakit melarat ini, bekerja sebagai buruh besi di salah satu bengkel di Haarlem. Semenjak sakit tak ada gaji, pensiun atau sokongan macam apapun yang diterimanya. Seperti kuda beban yang sudah sakit dia dilemparkan begitu saja. Nyonya Van der Mij hidup dengan menyewakan kamar kepada kami dan mendapat sedikit bantuan dari anaknya yang sudah dewasa dan bekerja sebagai juru tulis rendahan di salah satu kantor di Amsterdam. Untung yang diperoleh dari Herman dan dari saya hampir tak berarti, sebab makanan yang disajikan untuk kami sudah menghampiri bayaran kami. Dengan hasil pencarian yang rendah itu dan dengan bantuan anaknya tadi Nyonya Van der Mij setiap dan harus membayar ongkos suaminya di rumah sakit. Tak perlu diuraikan lebih lanjut kemelaratan perempuan ini. hanya perlu dinyatakan bahwa kesabaran wanita buruh sederhana ini bukan kepalang.
“Van der Mij muda bersimpati pada serikat (Inggris, Perancis, Belgia) dan seorang pembaca yang setia dari “De Telegraaf”, surat kabar yang merah padam anti Jerman. “De smerige moffen...” Begitulah ucapan yang sering dimajukan kepada Jerman. Di masa itu buat saya tak begitu nyata apa bedanya imprialisme Jerman dan Inggris ataupun imprialisme Belanda, dari itu sering terjadi persilisihan faham dengan Herman. Pada satu perdebatan yang sedikit lama dan agak bersemangat, tiba-tiba Herman mencampuri sambil berkata: “Benar Ipie (nama panggilan saya), saya setuju!”. “Buat saya sendiri”, katanya terus, “manusia itu semuanya bangsat yang tujuannya hanya merampas-rampas saja (Smeerlappen allemaal, dievan allemaal)! Herman sudah pegang pisau....memang darah Belgia lebih panas. Saya mencoba membubarkan. Untunglah Van der Mij muda dengan cerdik mengalah saja. Rupanya Herman, pembaca “Het Volk” sudah lama menunggu-nunggu Van der Mij pembaca “De Telegraaf”.
Dari Van der Mij saya bisa membaca De Telegraaf dan dari Herman Het Volk, surat kabar Partai Sosial Demokrat Nederland. Kalau Herman dengan muka berseri datang dari pekerjaannya dan memasukkan tangan di kantongnya saya tahu apa yang akan keluar, ialah majalah, brosure atau karangan pedas anti imprialisme. Herman suka membaca yang pedas dan kalau perlu berlaku tegas.
Selangkah demi selangkah, didorong keadaan dalam dan luar diri saya, dipengaruhi dan diobori buku-buku bacaan, maka cocok dengan undang-undang kwantity bertukar dengan kwality, tiba-tiba saya sudah berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.
Kekaguman atas persatuan semangat dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih erat. De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca: Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang tak kurang populernya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai. Tetapi terasa bahwa filsafat Nietsche lebih banyak terpusat pada satu bangsa saja, ialah bangsa Jerman dan pada satu golongan Jerman yang istimewa, ialah golongan “Junkertum”, ningrat yang dibantu oleh hartawan.  Kemauan baja, hasrat yang tergambar pada Ubermensch di masa perang dunia kesatu itu menjelma pada persekutuan Hitler-Goring-Krupp. Ke Jermanannya filsafat Nietsche itu lekas saya alami, waktu percobaan saya memasuki tentara Jerman dan mendapatkan latihan Jerman mendapat jawaban, bahwa tentara Jerman tak menerima bangsa asing dan tak mempunyai Laskar Sukarela Asing. 
Sendirinya saya terdorong kepada “Umwertung aller Werten” yang lebih dalam: “Liberte, Egalite, Fraternite. Satu buku “De Franche Revolutie” (atau De Groote Frasche Omwenteling) oleh Th. Carlyle, sudah lama terpendam di antara beberapa buku lain dalam peti saya. Guru Horensma ketika kami berpisah menyerahkan beberapa buku pelajarannya dulu yang masih bisa saya pakai. Buku tersebut di atas beberapa kali dibolak-balikkan antara peti saya dan petinya sendiri. Akhirnya dia masukkan juga buku Revolusi itu ke dalam peti saya dengan perkataan: “Nou, toe maat”.
Di masa itu politik adalah “terra incognita” (onbekend land) buat saya. Tidak saya benci dan tidak saya sukai, karena saya sama sekali tak insyaf akan adanya politik itu. tetapi di masa Strum und Drang di atas, di masa pikiran melompat, menyelundup, membelok ke kiri ke kanan dan menerobos laksana air tertahan, maka tiba-tiba buku “De Fransche Revolutie” menjelma menjadi satu teman bahagia buat pikiran yang lelah sedang mencari.
Bukti pula yang seolah-olah menguatkan rasa “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan” bangsa Perancis itu, ialah sikapnya yang ramah tamah terhadap bangsa berwarna yang ada di sana (Perancis) di masa itu. bukankah pula bangsa Arab, Senegal dari Amman dengan taat dan tekad membela “France” di medan perang Eropa? Seperti keberanian dan kesetiaan Gurkha di samping Inggris mengagumkan dunia di masa itu, demikianlah pula adanya tekad kesetiaan serdadu dari Algeria-Perancis terhadap Perancis.
Pada masa itu kemajuan pikiran saya belum sampai ke tingkat dialektika berdasarkan materialisme, dan mengupas semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite tadi dalam suasana kapitalisme dan imprialisme. Belum ada dalam pandangan saya klas borjuis dan klas proletar di samping bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Pandangan ini baru timbul sebagai sambungan kemajuan mencari paham yang memuaskan, ketika Revolusi Komunis sebagai bom peledak yang menggemparkan seluruh dunia, pada bulan Oktober 1917 di Rusia. Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes, “Marische Ekonomie” oleh Karl Kautscky dan lain-lain sebagainya. Selanjutnya banyak brosure yang berhubungan dengan Revolusi Sosial di bulan Oktober 1917 itu diterbitkan.
Circlenya “thesis, anti thesis dan synthesis” mendapat kesempatan pada tingkat pertama. Lingkaran “Ada, Pembatalan dan Kebatalan Pembatalan” mendapat taman bahagia buat bersemayam.
Demikianlah ombak asyik dalam ribut taufan Asia, dimana keadaan lahir mendorong pikiran bergerak terus menerus, akhirnya laksana sungai di gunung, terjun, tergenang, mengalir, dan menerobos sampai ke kualanya di Samudera.
Thesis, anti thesis dan synthesis!
Dalam lapangan filsafat berupa: Niestche sebagai thesis, Rousseua sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-Engels sebagai synthesis. Dalam lapangan politik berupa: Wilhelm-Hidenburg-Stinnes sebagai permulaan, Danton-Robespiere-Marat sebagai pembatalan, serta kaum Bolsjewik sebagai Kebatalan Pembatalan.
Proses pertama sudah berlaku dalam pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan. Proses kedua: “Paham berkehendak membentuk masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.
Kemauan, kecerdasan dan perasaan itu memang memuncak dalam keadaan jasmani yang sehat: “Men sana in cor poro sano”. Tetapi sebaliknya, tiadalah jiwa itu rusak remuk begitu dengan merosotnya kesehatan. Sering pula penyakit itu hampir tak terasa, kalau kemauan berjuang melakukan paham yang jelas dan kuat memberi pengharapan besar akan kejayaan. Seolah-olah jiwa yang hidup dalam masyarakat baru itu, meskipun cuma satu idaman belaka, tak memperdulikan adanya penyakit badan dan penyakit masyarakat yang ada menghalang-halanginya. Seolah-olah perjuangan itu sendiri yang menjadi jiwa hidup dan kehidupan jiwa.
Dokter Jansen yang merawat penyakit pleuritus saya itu sudah sedikit tua, ramah-tamah dan biasa tercampur baur dengan rakyat rendahan. Tetapi penyakit pleuritus memang sukar dibasmi. Air yang ada antara punggung dengan paru-paru itu tak sama sekali kering. Pemeriksaan kurang, alat kurang dan obatpun cuma yang murah saja. Sesudah ujian guru, temperatur saya terus agak tinggi saja.
Entah apa yang diusahakan oleh Guru Horensma dari Indonesia, saya tak tahu, tetapi ketika saya masih sakit itu, kiranya pada tahun 1916-1917, pada suatu hari saya dijemput oleh seorang wakil dari satu studiefonds di Nederland yang dilindungi oleh bekas G.G. Van Heutz. Fonds ini memberi pinjaman pada pelajar Indonesia dengan bunga 5%. Pengawas dari Fonds ini, tuan Fabius, berhubungan langsung dengan saya. Tuan Fabius adalah seorang terkemuka di Nederland, bekas Jendral-Mayor Pertahanan Amsterdam bagian Artileri, pengarang buku, yang agak terkenal dahsyat-gemuruh suaranya. Terbentuklah fahamnya dahsyat juga, sebagai faham temannya bekas G.G. Van Heutz, yang cukup terkenal dalam penggempuran rakyat Aceh.
Tempat baru di Bussum, kota kecil penuh dengan villa besar-besar. Rumah yang saya tumpangi, sedang besarnya buat kelas menengah, keluarga guru. Hawa selalu sangat segar, cahaya matahari masuk dengan leluasa ke beranda, makanan penuh mengandung zat dan masakan terpelihara, sayur mayur dan buah-buahan tak kekurangan. Hawa dan makanan itu saja sudah mengembalikan setengah kekuatan. Perawatan dengan listrik oleh dokter terkenal, Klinge Doorenbos, dalam satu dua bulan mengeringkan air di pinggir paru-paru dan mengembalikan kesehatan seperti lebih kurang ketika saya di Indonesia.
Makan minum dan kediaman saya di Bussum memang setengah mewah, bisa menidur lenakan, mengikat jasmani serta rohani ke dunia borjuis. Untunglah pikiran sudah berada dalam perubahan revolusi yang menghampiri perubahan revolusi. Pengalaman di Haarlem dengan suasana hidup di rumah satu keluarga proletar yang bernasib malang sudah cukup memberi peringatan adanya jurang luas dalam antara borjuis dan proletar, walaupun dalam negara kapitalis-imperialis yang termashur di seluruh dunia seperti di Nederland. Pecahnya revolusi Bolsyewik di Rusia tahun 1917, ketika saya sudah berada di Bussum kota borjuis itu. revolusi itu memberi keyakinan pada jiwa yang masih ribut dalam taufan pergolakan thesis, anti thesis, bahwa masyarakat seluruhnya sedang beralih ke zaman sosialisme. Lama atau sebentar sosialisme mungkin bisa terpukul di sana-sini, tetapi sebagai balans perhitungan masyarakat dunia seluruhnya, mesti menjauhi kapitalisme dan mendekati sosialisme. Dengan kesehatan yang tak pernah lagi terganggu dan paham politik serta pandangan hidup yang sudah pasti padu, saya berhadapan dengan kehidupan borjuis itu.
Pada suatu hari saya dengar kabar bahwa Van der Mij datang mengunjungi tuan Fabius buat meminta saya pindah kembali ke Haarlem, ke rumah ibunya. Bukan karena pembayaran makan semata-mata, karena dia sudah mempunyai tamu lain sementara, karena nyonya Van der Mij, wanita jujur sederhana itu, sunyi sesudah Van der Mij tua meninggal. Dan Ipie dianggapnya seperti anaknya sendiri. Van der Mij muda memperingatkan pula kepada tuan Fabius akan perjanjian sebelum berangkat ke Bussum, bahwa saya akan dikembalikan ke Haarlem sesudah sembuh sama sekali.
Perkataan apa yang sebenarnya dipakai oleh tuan Fabius, saya tak tahu. Tetapi permintaan itu ditolak. Apa alasan tuan Fabius untuk menolaknya tak perlu kita coba menduga-duga, sebab saya sudah terikat oleh fonds baru itu.
Dengan perantaran tuan Been, seorang penerbit majalah kanak-kanak, kemauan saya sudah diketahui oleh tuan Fabius. Kemauan itu tak saya sembunyi-sembunyikan: “Saya mau pulang. Kerja di mana saja buat membayar hutang yang masih sedikit. Kemudian kembali ke Eropa, buat mempelajari apa yang cocok dengan hasrat hidup saya, dengan ongkos sendiri.
Dengan pendek dijawab oleh tuan Fabius: “Tak bisa, karena di masa perang tak ada tempat di kapal”.
Saya terpaksa menunggu habisnya perang, yang tak bisa ditentukan kapannya itu. tetapi kehendak buat meneruskan belajar lagi, supaya nanti diperbolehkan menjadi guru-kepala Belanda, tak ada pada saya sama sekali. Boleh jadi saya bisa jadi guru kepala yang dianggap penuh sederajat dengan guru kepala Belanda, yakni kalau di mata Belanda saya sudah bisa meng-European-kan diri saya (walaupun tetap European Inlander) supaya berhak mengajar anak-anak Belanda. Lagi, sebagai European Inlander tadi saya sanggup meng-European-kan semua anak-anak “Inlanders”. Yang demikian ini saya tak sanggup.
Sudah tentu pekerjaan mendidik anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah satu pekerjaan yang tersuci dan terpenting di masa itu dan sekarang. Dan soal kemana didikan itu mesti diarahkan, dasar apa yang mesti dipakai, serta cara apa yang mesti diukur, buat saya sendiri itu tepat bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda Penjajah. Bagi saya, bahasa Belanda pasti bukan bahasa pengantar, dan kebudayaan Belanda bukanlah arah pendidikan kita.
Konflik saya dengan lingkungan baru di Bussum terlampau banyak buat diuraikan di sini semuanya satu persatu.
Dengan nyonya rumah, nyonya K, yang di mata saya memakai kedok agama buat mendapatkan kedudukan dalam gereja dan masyarakat seagamanya saja, saya tak merasa banyak simpati. Nyonya K, sangat fanatik kepada Madzhabnya, ialah doopsgezind. Kalau cuma fanatik menjalankan ajarannya saja, tak akan banyak menyinggung perasaan orang lain. Tetapi nyonya K, juga terlampau pasti, bahwa aliran lain di antara agama Kristen sendiri, apalagi agama Islam, seakan-akan sama sekali tak beres. Kembali dari khutbah tiap-tiap Minggu, nyonya K, sedang makanpun terus membicarakan pidato yang didengarnya, walaupun kami para pendengar bukan doopsgezind. Inipun tak berapa kalau dibicarakan dengan cara biasa. Tetapi nyonya K selalu merah padam kalau kembali dari gereja. Yang pokok memerah-padamkan nyonya K, ialah kalau membicarakan jamaah umumnya, dan perkara pilihan pimpinan jamaah itu khususnya, karena nyonya K  tak terpilih, kalah suara oleh anggota lain sejamaah dalam pilihan tahun itu. menurut nyonya K, pemilihan itu dilakukan dengan tidak jujur, sebab dia sendirilah yang mestinya mendapatkan suara terbanyak. Memang lucu pertengkaran dalam Jamaah doopsgezind di Bussum itu. Jumlah anggotanya barangkali tak lebih dari 30 orang, dan “kejujuan” itu adalah semboyan nyonya K sendiri. Untunglah tuan rumah mengiakan apa yang dibilangkan oleh nyonya. Biasanya tuan rumah pendiam dan sabar. Tetapi ada juga perkara yang membangkitkan tuan K, dari ketenangannya, yakni kalau membicarakan sosialisme umumnya dan pimpinan sekolah khususnya. Tuan K, adalah seorang sosialis, guru sekolah dan fel anti-hoofdschap, anti guru kepala di sekolah. Buat tuan K, dan para teman sealirannya guru kepala itu adalah satu mahluk yang tak perlu. Para guru bisa mengatur sekolah itu secara gotong royong dengan tak perlu diawasi diselidiki dan di school-vos-i oleh guru kepala yang tak memimpin klas, cuma mondar-mandir atau goyang-goyang kaki saja. Yang kurang mengerti ialah kalau tuan mulai menyemburkan kutuknya terhadap system “guru kepala”, maka ada saja alasan nyonya buat pergi ke dapur atau ke loteng. Seolah-olah ada persetujuan antara tuan dan nyonya. Kalau nyonya menyembur “kepala Jemaat” di gerejanya, maka tuan main “ya” dan kalau tuan menyembur “guru kepala” maka nyonya segera berangkat ke dapur atau ke loteng.
Dengan saya, taktik itu rupanya tak bisa dijalankan. Konflik terjadi di masa waktu Syarikat Islam dan Budi Utomo datang di Nederland, berhubung dengan soal Indie weerbaar. Soal Indie weerbar itu juga sampai menyelundup di Bussum dan di lingkungan rumah kami. Pada salah satu percakapan sekembali saya dari rapat Indie weerbaar di Den Haag, nyonya mengemukakan perkara ini dan mengambil sikapnya penjajah Belanda mentah-mentah. Konflik meletus!
Saya pindah ke rumah lain, menumpang pada seorang exportir di sebuah villa yang kecil. Tuan D, tuan rumah itu, adalah seorang Jerman, pedagang dan ramah tamah. Sedang nyonya rumah orang Belanda, muda, sabar dan lemah lembut. Tuan-nyonya menerima dua pelajar Indo, seorang Tionghoa, lagi seorang Indonesia yang sudah lari dari tempat saya tadi. Dua pelajar Indo ini bukannya orang jinak, mereka dipindahkan dari Den Haag ke Bussum buat mendapatkan suasana yang lebih baik (beschaafd) di bawah pengawasan tuan Fabius. Mereka adalah dua bersaudara. Tak begitu maju di sekolah. Walaupun sudah berumur 19 dan 18 tahun, dan anak orang berada juga, mereka cuma sanggup mendapatkan ijazah sekolah rendah. Di Bussum mereka masuk kursus malam buat boekhouding.....pun dengan susah payah melanjutkannya, di mana kecerdasan mereka sangat rendah, kenakalanlah sangat memuncak.  Mereka dipindahkan dari Den Haag itu lantaran melemparkan tantenya dari loteng ke bawah.
Di masa ramai-ramai, kalau ada pemuda apalagi pemudi, kenakalan yang tua (OS) meningkat. Pada malam kedua saja tiba-tiba O.S sudah belitkan tangannya di leher saya dari belakang: “Ini silat kepiting Iep” katanya. Tetapi rupanya bukan secara main-main, sebab saya rasa leher saya tertekan dan susah untuk bernafas. Untunglah saya mendapatkan sedikit pusaka tentang silat kepiting itu. Yang kena sepit bukannya saya! Kebetulan ada air segelas di atas meja buat melayani “eerste hulp bij ongelukken”. O.S. bisa lekas dibangunkan kembali. Semenjak itu dia baik sekali terhadap saya. Rupanya yang disegani orang semacam itu cuma kekuatan nyata saja. Tetapi di samping segannya kepada saya, kecerobohannya terhadap yang lain-lain terutama yang dipandangnya lemah, semakin memuncak. Dengan saudaranyapun (H.S) saya berurusan juga kemudian. Bukan karena dia (H.S) agresif, ceroboh atau mengirimkan ultimatum kepada saya, melainkan karena menghina nyonya rumah. Sedang saya membaca terdengarlah dia mendesakkan fahamnya sambil menghina: “Nyonya bodoh, nyonya goblok”. Sudah dua kali saya peringatkan, supaya jangan diteruskan, setelah ketiga kali dipakainya perkataan lain, tetapi lebih tak pantas dihadapkan pada satu wanita yang tak pernah memakai perkataan kasar atau sombong. Entah bagaimana jalannya saya meloncat dan dia terpelanting jatuh ke dinding. Semenjak itu di belakang saya dia menggelari saya “De tijger”.
Si Tionghoa rajin , pendiam dan pintar. Mulanya akrab sekali dengan saya. Kemudian sedikit cekcok, tetapi karena dia sakit saraf, lama tak tidur, menghapal, maka saya sangat menyesal. Belakangan ia menjadi teman baik kembali. Si Indonesia selalu di rumah sakit saja, hal mana sangat menyedihkan kami, sampai dalam keadaan sakit ia terpaksa dipulangkan ke Indonesia.Demikianlah sekiranya keadaan di sekitar lingkungan baru ini dalam arti sempitnya.
Revolusi Rusia sudah hampir satu tahun berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia saya harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu terpaksa meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada pemuda, tak mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam percakapan hari-hari tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R, nyonya teman saya, kalau berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah saya insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Pada suatu hari Suwardi Suryaninggrat yang sekarang kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, tiba-tiba mengusulkan kepada saya mewakili Partainya di Nederland, karena ia akan berangkat ke Indonesia. Di mana itu Partai Nasionalisme, Sosialisme dan Bolsjewisme sudah cukup terang bagi saya. Tetapi aksi dalam satu partai dan mewakili satu partai yang pernah amat revolusioner itu belum begitu jelas buat saya. Indische Vereeniging dengan R.M. Noto Surotonya tak banyak memberi pemandangan kepada saya, apalagi pengalaman. Saya memandang ke mukanya Dewantara, tetapi tak tahu, apa mesti jawab saya. Dia tersenyum! Saya memandang ke muka almarhum Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dia pun tersenyum dan katanya “Sudah pada tempatnya, terima saja”. Tiba-tiba tak lama kemudian saya sudah mewakili Indische Vereeniging pada kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di Deventer. Saya dipilih memberi preadvices tentang pergerakan nasional di Indonesia.
Inilah pekik pertama, yang seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. “Dat most niet mogge, niet waar?” Setiba di Bussum saya didebati oleh beberapa Belanda Kolonial, terutama oleh tuan Fabius sendiri.
Entah 5 kali entah 6 kali pada satu masa berturut-turut saya dipanggil ke rumahnya tuan Fabius pada malam hari. Perundingan atau lebih tepat perdebatan mengenai persoalan seluruhnya cabang masyarakat yang amat bergoyang di masa itu, walaupun tak campur perang, yakni masyarakat Nederland yang tak luput dari kodrat taufan dari Eropa Barat. Persoalan politik, sosial..tetapi persoalan pendidikanlah yang tak putus dibicarakan. Persoalan ini langsung dan tak langsung mengenai diri saya sendiri.
Tentulah saya setuju dengan aliran, bahwa pendidikan itu dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi, tidak saja harus berada di bawah pimpinan dan pengawasan Negara, tetapi buat murid yang memang cakap juga harus atas ongkos Negara.
Keberatan tuan Fabius yang sebenarnya, yang perhubungan dengan klas borjuisnya umumnya, dan bangsanya terhadap bangsa Indonesia khususnya, tidak sukar dipahami. Menurut tuan Fabius, politik semacam itu akan menambah banyak (Quantity) dan mengurangi nilai (Quality) kecerdasan (intelect). Sekarang pun, katanya sudah besar jumlah pengangguran di antara golongan intelect, walaupun didikan universiteit sudah terbatas bagi anak orang yang mampu saja.
Menurut saya, dalam satu masyarakat, di mana produksi dijalankan menurut rencana, dibarengi pendidikan menurut rencana pula maka pengangguran tak mungkin ada, dan kalau ada, tak mungkin lama, sebab pendidikan itu dicocokkan dengan kebutuhan produksinya masyarakat. Bukan seperti sekarang, diombang-ambingkan oleh adanya persediaan dan permintaan (supply and demand) di pasar kaum kapitalis yang masing-masing menghasilkan semau-maunya saja. Kecerdasan tak akan turun, karena syarat buat meneruskan pelajaran sampai Universiteitpun tidak ada lagi kemampuan si bapak, melainkan semata-mata kesanggupan otak dan hati si murid ditetapkan oleh Badan Pendidikan Negara. Di zaman sekarang banyak otak cerdas dan watak yang bagus terhambat dan terpendam karena tak mampu. Sebaliknya banyak yang mendapatkan titel, yang sebenarnya bukan haknya.
Pembicaraan yang belakang ini sendirinya menyinggung keinginan yang dahulu pernah saya majukan, ialah belajar di sekolah Opsir di Breda. Kata tuan Fabius, ini tak bisa dilakukan karena keberatan bahasa Perancis, Jerman dan Inggris. Saya kemukakan ke Kampen pun mau. Di sana murid keluaran sekolah rendahpun bisa diterima. Inipun tak boleh.
Di jalan menuju ke rumah, malah sampai jauh malam, kesekian kalinya saya renungkan keadaan saya. Dahulu, ketika pertama kali saya memikirkan keadaan saya semacam ini, saya memberontak hebat terhadap segala-gala, termasuk diri saya sendiri. 
Tetapi dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, saya sanggup memandang kedudukan saya dengan semangat filsafat dan menunggu waktu dengan sabar sebagai seorang pelajar dari bangsa terjajah, anggota keluarga yang hanya mengenal agama dan adat kuno, walaupun termasuk keluarga yang mampu, tetapi masih berada dalam perekonomian sederhana (primitive): mempunyai harta benda yang cukup tetapi tak boleh diperdagangkan, mendapat pangkal pendidikan ibu, pendidikan yang tak bersambungan dengan didikan di negara ibu, tidak berada di negara Amerika di masa makmur di mana pelajar miskin siang bisa bekerja dan malam mengunjungi sekolah, tak sanggup kembali ke Indonesia, karena perang masih mengamuk....semuanya itulah yang jelas tergambar di dalam pikiran saya. Lebih jelas pula gambaran hutang yang 1500 rupiah kepada Engku fonds di Indonesia, dan yang 4000 rupiah kepada fonds di Nederland yang diawasi oleh Tuan Fabius.
Tanggung jawabnya terhadap fonds di Nederland atas hutang saya, itulah yang rupanya lebih jelas lagi buat tuan Fabius.
Besok paginya tuan Fabius sendiri datang ke tempat saya buat meneruskan perundingan. Saya berada di kamar loteng, di samping tempat tidur nyonya D yang sedikit sakit. Salah seorang anggota rumah mengabarkan kepada saya, bahwa tuan Fabius mau bicara dengan saya. Nyonya D, yang rupanya mengerti betul keadaan menasehatkan kepada saya supaya berlaku hati-hati. Seperti yang sudah-sudah kedua saudara H.S dan O.S pontang-panting melarikan diri mendengarkan suaranya tuan Fabius yang memang dahsyat, gemuruh itu.
Pembicaraan agak membosankan saya, sebab cuma mengulang-ngulang yang dulu saja. Tetapi setelah terbayang perkara “hutang” dan “terima kasih”, dan dianjurkan oleh tuan Fabius supaya saya kembali ke Indonesia, maka saya kemukakan kekberatan saya. “Kenapa pada permulaan perang, sesudah ujian saya mau pulang ditahannya, karena katanya tak ada kamar di kapal, dan sekarang di waktu kapal silam lebih mengamuk, tuan Fabius dapat mendapat kamar buat saya?”
Karena perkara terima kasih itu walaupun tak langsung tidak pertama kali saya dengar-dengar dan mulutnya orang Belanda, juga dari orang lain dari tuan Fabius, maka saya kemukakan, bahwa saya berkeberatan meneruskan mendapat pinzaman dari fonds yang diwakili oleh tuan Fabius itu.
Pembicaraan berhenti, tertegun saja. Rupanya tuan Fabius sendiri dan tuan rumah tak mengira lebih dahulu jawab saya semacam itu.
Itu malam juga saya dipanggil oleh tuan-nyonya D, ke kamar loteng tadi. Kata tuan D, kepada saya “Dalam perundingan tadi pagi engkau sedikit keras. Tetapi kami mengerti sungguh. Nyonya dan saya setuju mengizinkan engkau terus tinggal di rumah kami als kind des huizes (seperti anak sendiri) sampai engkau bisa kembali. Cuma uang saku kami tak sanggup memberi, karena dagang saya terlantar.
Lebih dari uang saku saya dapat dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada Belanda yang mau berangkat ke Indonesia. Tuan dan nyonya di masa itu sangat rukun, dan ketentraman di rumah memberi suasana yang baik dan sehat sekali kepada kami, sampai tiada berapa lama saya berangkat ke Indonesia. Dunia banyak berubah selama 2 tahun saya tinggalkan. Kerukunan suami istri banyak menjadi renggang dengan bergoncangnya modal sesudah perang Dunia I. sekembalinya saya di Nederland 1 Mei 1922, sesudah dibuang dari Indonesia, saya dapat tuan-nyonya berpisah, gescheiden van tafel en bed, talak tiga. Tidak bisa lagi dipersatukan. Nyonya yang mempunyai pemandangan luhur terhadap perhubungan suami-isteri terlampau tersinggung oleh  pergaulan tuan yang menurut faham nyonya adalah pengkhianatan terhadap  pergaulan yang dianggapnya monopoli suami-istri. Keuangannya tak terjamin lagi. Saya gembira mendapat kesempatan membalas budi. Tetapi setelah berpisah pula, maka dari teman di Nederland saya menerima surat mengatakan bahwa keadaan nyonya D amat menyedihkan. Tetapi belakangan saya mendapat kabar lagi bahwa bekas nyonya D, bekerja dalam kapal yang berlayar ke Amerika. Kabar ini lebih menggembirakan: “Tak mau berpangku tangan mengharapkan pertolongan laki-laki saja....dan terima saja semua perlakuan suami itu, untuk menolak semua yang dirasa melanggar cita-cita dan kehormatan kewanitaan.”
Saya sangka saya cukup mengenal diri buat berkata bahwa saya bukanlah seorang yang mudah melanggar tata kehormatan dan tertib terhadap orang tua. Apa lagi terhadap orang tua sopan seperti tuan Fabius, yang sudi memberi pertolongan menurut aliran moral yang dianggapnya baik. Tetapi sebaliknya saya merasa tersinggung kehormatan saya, oleh desakan tuan Fabius itu, lagi kalau diingati bahwa perhubungan dengan studiefonds di Nederland tiadalah dilakukan dengan persetujuan, malahan tiada dengan pengetahuan saya.
Rupanya tuan Fabius tak bisa meninggalkan perkara itu sampai di situ saja dan menunggu sampai saya kelak berada dalam keadaan dapat membayar kembali hutang saya seperti saya janjikan. Ia menuliskan kepada guru Horensma di Indonesia, menceritakan peristiwa tadi. Entah apa yang ditulisnya.
Syahdan pada suatu malam didatangi oleh seorang tuan, ipar dari guru Horensma. Dia datang mengabarkan, bahwa guru Horensma dengan marah membalas suratnya tuan Fabius. Dalam suratnya sang guru mengatakan, bahwa dia cukup lama mengenal saya bekas muridnya, masih tetap percaya akan kejujuran bekas muridnya itu. bersama itu dikirimkan f4000,- pembayar hutang tambah bunganya kepada Studiefonds yang diwakili oleh tuan Fabius itu.
Saya merasa lebih terikat hutang lahir batin. Sekarang saya berhutang kepada  engku kampung saya sendiri, dan kepada bekas guru sendiri sejumlah kurang lebih f6000,- Pun surat dari ibu-bapak memperingatkan janji saya sebelum berpisah, yakni mau lekas kembali hanya buat 2-3 tahun saja.
Perang sudah selesai. Tempat di kapal masih terbatas. Tetapi karena saya mendapat pekerjaan di Senembah Mij, satu dari onderneming terbesar di Deli, maka perkara ongkos dan tempat di kapal tiadalah menjadi soal. Pekerjaan itu ialah sebagai pembantu pengawas semua sekolah buat anak kuli di Senembah Mij tadi. Saya akan kerja sama (samenwerken) mendapatkan sistem yang pantas buat anak-anak kuli kebun itu dengan seorang guru Belanda, bekas murid saya dalam bahasa Indonesia di Amsterdam. Saya menerima uang persediaan (uitrustingsgeld) f 1500,- dijanjikan gaji f350,- sebulan, mendapat rumah, air, listrik dan kendaraan prei. Di kapal saya akan mengajarkan bahasa Indonesia kepada beberapa orang termasuk Direktur dari Senembah Mij sendiri, ialah Dr.Jansen bersama dua ponakannya.
Inilah penyelasaian yang memuaskan dalam keadaan demikian, baik lahir maupun batin. Dipandang dari sudut keuangan, maka dalam perjalanan menuju Indonesia itu saja, saya sudah sanggup mendapatkan uang yang harganya hampir bisa menyelesaikan hutang saya dengan Engkufonds. Dipandang dari sudut ideologi dan hasrat hidup saya akan dapat kesempatan mempelajari keadaan di bagian Indonesia, yang terkenal sebagai “Deli-het Goudland” dan bercampur gaul dengan golongan bangsa Indonesia sendiri yang paling melarat-malang, terhisap-tertindas, yang kita ingat dengan nama “kuli kontrak”.
Sekalian tinjauan selayang pandang tentang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh di belakang, ditinggalkan kapal yang tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan buat pasal ini sudah melebihi rancangan saya, sehingga saya terpaksa mengikhtisarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang saya tempuh sekarang.
Pintu gerbang ke Laut Tengah sudah dimasuki! Jilbratar. Jabal Tarik, menuju ke....Terusan Suez....Gunung Sinai......Laut Merah.
Ber-buku-buku, berpeti-peti, bahkan bergudang-gudang buku yang tertulis tentang sejarahnya beberapa negara di sekitar Laut Tengah ini: Egypte (Mesir), Phunisia, Yudea, Syria, Yunani, Turki, Roma, Arabia, Spanyol, Italia dan Perancis. Dari sekitar laut Tengah inilah kita warisi sari kebudayaan yang terpenting buat masyarakat yang di masa ini kita junjung dan kita pakai sebagai anak tangga menaiki jenjang yang tak ada batasnya, teknik, ilmu pengetahuan dan beberapa tiang dalam kesusilaan.
Kemajuan tenaga manusia dan hewan yang dikerahkan oleh Raja Fir’aun buat mendirikan pyramid sampai kekuatan tenaga listrik dan atom di zaman sekarang mengambil tempo lebih kurang 10.000 tahun. Kemajuan itu sebahagian besar berlaku di sekitar Laut Tengah juga.
Meskipun kemajuan teknik dalam ilmu pasti majunya berbanding naik dengan bertambahnya tahun, tetapi tiadalah begitu dengan majunya moral, yang dipancarkan oleh 3 agama dunia yang dilahirkan di sekitar Laut Tengah: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Kalau kemajuan moral, yang melarang mencuri, membunuh, tetapi menyuruh menyayangi sesama manusia dan sebagainya, tidak mundur, tidaklah pula boleh dikatakan maju berbanding naik, karena bermaharajalelanya hisapan dan tindasan kapitalisme-imprialisme, antara golongan dengan golongan, serta antara bangsa dengan bangsa, di samping timbulnya perang dunia yang dengan langsung atau tak langsung melenyapkan jutaan harta-benda dan jiwa manusia dengan cara massal, sekalian, merampok, memperkosa dan membunuh.
Bagaimanapun juga di sekitar Laut Tengah inilah kita dapati  bayi dan buaian sebagian besar dari semua teknik, ilmu dan moral. Tetapi di sekitar Laut Tengah inilah pula berlakon peperangan bangsa melawan bangsa yang lebih jelas dan rasional (masuk akal) diwariskan kepada kita, di antaranya: Perantauan Iskandar Zulkarnain sampai ke sungai Gangga di Hindustan, Peperangan Hanibal melewati pergunungan Alpen, Peperangan Islam di bawah pimpinan Arab dan Turki, dan kemenangan Napoleon Bonaparte di zaman Revolusi Perancis.
Tetapi dengan warna kaca yang berlainanlah sekarang saya melihat semua peristiwa perang di zaman lampau. Memang pada permulaan kegembiraan membaca sejarah dunia itu, yang sekonyong-konyong terkembang di depan mata sebagai alam baru, adalah perhatian saya yang terpusat pada muslihat dan kemenangan Iskandar, Hanibal, Caesar, Jengis Khan. Tetapi dengan Napoleon perhatian terhadap keluhuran akan dan kodrat perseorangan itu sudah dibatasi oleh pertanyaan apa sebab dan untuk golongan yang mana semua peperangan, semua pembunuhan  itu dilakukan?
Jawaban atas pertanyaan “apa sebab” dan “untuk golongan yang mana” itu, lazimnya tiada dikemukakan, apalagi dijawab, oleh hampir semua buku sejarah karangan ahli borjuis berdasarkan individualisme. Ada juga dimajukan sebab, tetapi sebab yang dikulit saja. Sebab dari pada sebab atau sebab yang lebih dalam, tak pernah dikupas dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah borjuis sekarang, secara systematis dan consistent.
Sebab peperangan yang saya maksudkan, ialah sebab yang timbul dari kebutuhan produksi, yang dimiliki serta dikuasai oleh salah satu golongan di dalam satu negara, buat kepentingan golongan itu. Di zama abad ke 20 ini kita tahu sebabnya Jerman menjadi agresif, ceroboh, ialah karena kebutuhan bahan dan pasar, buat kaum feodal borjuis Jerman. Demikian pula sebabnya peperangan di masa depan, akan ditimbulkan oleh kebutuhan pasar buat menjual belikan bahan dan barang pabrik, atau untuk menambah modalnya golongan kapitalis. Diplomat yang berdiplomasi, politiknya yang memimpin dan memajukan “isme” prajurit yang bertempur, hanyalah buat membela golongan yang berkepentingan itu.
Buat yang mau mengerti nyatalah umpamanya Egypte atau Syria memerangi negara tetangganya dengan hasrat untuk merampas tenaga-manusia. Penduduk negara kalah terang-terangan dijadikan budak. Yang dianggap akan bisa membalas, dibunuh sama sekali bersama perempuan dan kanak-kanak.
Akan tetapi Iskandar Zulkarnain, Hanibal, Caesar ataupun Abdurrahman, tak lagi berlaku demikian. Mereka sudah dianggap penakluk yang mulia, ksatria. Tentu ada sebab lainnya yang lebih dalam dari pada sebab sanubari para ksatria itu saja. Sebab ini mesti dicari pada kebutuhan produksi yang sudah berubah sifatnya karena perubahan teknik dan seterusnya mesti dicari pada susunan golongan masyarakat dalam negeri itu yang berubah pula karena perubahan teknik. Umpamanya kemajuan produksi sesuatu negeri membutuhkan tetangga yang cukup makmur buat membeli hasilnya, jadinya membutuhkan pasar. Negara tetangga yang kalah, yang lantas dikosongkan dengan pedang, bukanlah pasar yang dikehendaki lagi oleh negara menang. Cukuplah kalau negara kalah itu dikuasai dan diawasi saja, bahkan lebih baik kalau bisa dijadikan propinsi yang makmur, yang sanggup membeli hasil dari negara penakluk terus menerus.
Begitulah agaknya keadaan negara Yunani di masa Iskandar dan Spanyol di masa Abdurrahman. Tetapi sejarah yang dikarang oleh borjuis tak bisa meninjau ke sana, ke arah perubahan produksi itu. Mereka pusatkan peperangan itu pada perseorangan, individu saja. Kepada kemauan, kecakapan dan kecerdasan individu itu saja. Buat mereka, Iskandar, Caesar dan Napoleon itulah dasar dan tinjauan yang awal dan akhir. Buat kita, sesuatu golongan yang berkuasa atas produksi dan akhir dasar dan tujuan, sebab dan akibat. Iskandar, Caesar ataupun Napoleon, adalah alat dari satu golongan dalam masyarakatnya saja, dan memang alat yang cerdas, berani dan cakap yang menjadi pujian golongannya.
Di antara beberapa kota yang didiami bangsa Yunani, kita mengenal Negara Kota Sparta, sebagai contoh negara berdasarkan autokrasi, keningratan. Ini kita andaikan: thesis. Negara kota Athena berdasarkan demokrasi. Anti thesis: Lama sekali kedua negara itu bertentangan, berlawanan dan berperang-perangan. Walaupun berbangsa satu. Dalam pertentangan terus menerus itu timbullah kerajaan Macedonia, dipimpin oleh raja Filip, seorang ningrat. Tetapi anaknya Iskandar mendapat didikan dari pujangga Athena yang terbesar di zaman Yunani, ialah Aristotheles. Iskandar mempersatukan Sparta dan Athena, keninggratan dan kerakyatan dalam satu kerajaan: synthesis. Iskandar Zulkarnain mempunyai hasrat mempersatukan Barat dan Timur, synthesis yang lebih maju. Peleburan kebangsaan dan kebudayaan Barat dan Timur baru saja berada pada titik melangkah, waktu Iskandar mati muda.
Caesar menghadapi dua pertentangan pula. Di dalam negara Republik Romawi berlaku pertentangan dan perlawanan yang hebat antara golongan Patricia (Ningrat) dan Plebia (Melarat). Keluar berlaku pertentangan bangsa Romawi dengan bangsa asing bangsa Barbaria.
Iskandar lebih dulu membereskan pertentangan di dalam daerah Yunani baru keluar membereskan pertentangan Yunani dengan  bangsa asing di sekitar Republik Romawi, di sekitar Laut Tengah sampai ke Inggris dan Jerman. Baru dia pulang dengan laskarnya yang berpengalaman, melampaui sungai Rubicon, buat membereskan pertentangan dalam Republik Romawi itu.
Caesar berlaku sebaliknya. Lebih dahulu diperlakukannya bangsa asing. Dia seorang berasal Ningrat (thesis), mengambil faham Democracy dan memimpin kaum Plebia (anti-thesis), menghancurkan musuhnya Partai Sulla dan Pompeiji, keduanya Nigrat, dengan hasrat mendirikan kerajaan, Caesar-rijk (Kizer-rijk) ialah rupay synthesisnya.
Caesar mati dibunuh oleh musuhnya, ketika ia baru saja berada di kaki singgasana Kerajaan. Walaupun jasmaninya tewas, rohaninya terus hidup. Kerajaan Roma sebagai synthesis.
Seperti Caesar, Napoleon lebih dahulu juga membereskan pertentangan Perancis dengan negara sekelilingnya, sesudah mendapat kekuasaan dan populeriteit karena kemenangannya, barulah ia membereskan pertentangan di dalam negara Perancis. Proletaria Jacobin di pikah kiri, dan Borjouis Nigrat di pihak kanan. Dengan hancur leburnya kedua pihak itu, maka Napoleon yang pada masa mudanya pengikut Jacobijnisme, akhirnya mendirikan Kerajaan Napoleon sebagai synthesis.
Tidak selalu synthesis itu bisa tercapai atau dicapai dengan mudah! Tidak pula synthesis yang sudah tercapai dengan kekerasan itu kekal hidupnya. Biasa sekali synthesis yang sudah tercapai itu hanyalah satu thesis belaka, yang menimbulkan anti thesis.
Iskandar menaklukkan seluruh bangsanya sendiri dengan menghancurkan kota Rep Thebes, Kerajaan yang didirikannya dengan pedang itu pasti menimbulkan usaha atau pemberontakan beberapa harga untuk melepaskan diri dari synthesis yang dipaksakan tadi.
Caesar dan Napoleon melalui lautan darah buat mendirikan Kerajaannya. Dan kerajaan mereka diakhiri oleh pemberontakan dari pada beberapa bangsa yang tertindas.
Tetapi Hannibal, walaupun statesman yang jarang dilahirkan dalam seratus tahun, walaupun Panglima yang boleh jadi tak ada yang melebihi serta jarang yang menyamai. Panglima berkemauan baja, berotak cerdas, gilang gemilang di depan waktu bertempur dan di belakang waktu mundur teratur, tahan panas dan dingin, hidup seperti prajurit, bisa dicintai, dipuja dan didewakan oleh tentaranya, disokong oleh negara kaya raya....kalah oleh lawan, oleh Panglima Roma yang jauh kurang dari dia dalam segala-galanya. Sejarah yang dikarang oleh ahli borjuis tak cukup mengupas keadaan produksi Carthago, persoalan makanan, perdagangan dan sebagainya, kalau dibandingkan dengan kota Roma yang lama dikepung oleh Hannibal. Kita tahu, bahwa pada akhir peperangan, kapal Roma lebih kuat daripada kapal Carthago, dan susunan masyarakat Roma di masa itu masih dekat kepada sama rata. Sedang susunan masyarakat Carthago yang termasyhur kaya raya itu kurang jelas teratur.
Seluruh dunia, kawan atau lawan, mengakui keluhuran dan ketinggian Kerajaan Islam di Spanyol, di abad 13 dan 14. Granada, Seville, Cordova adalah pusat perhatian dunia Barat di masa itu, sebagai halnya London, Paris, Berlin di masa ini. Pemikir besar, seperti Ibn Rosyid terkenal di Eropa dengan nama Everoes, adalah Aristoteles jika dibandingkan di zaman Yunani, adalah pusat besi berani, yang menarik perhatian ahli pikir dan para pelajar Eropa Barat. Pertanian, pengairan dan pertukangan tak ada taranya  di masa itu. Tetapi ahli sejarah menceritakan hal yang belakang ini secara sporadish nyata kemajuan atau kemundurannya. Dalam menceritakan peperangan dan kekalahan kerajaan Islam melawan Nasrani di sekitarnya ahli sejarah yang sebenarnya, sepatutnya harus memperbandingkan kekuatan produksi, di samping kekuatan sosial dan politik di kedua belah pihak. Apakah sebabnya? Apakah masyarakat Islam sendiri sudah terbelah oleh satu jurang yang dalam, yang menimbulkan pertentangan, bahkan perlawanan di antara dua golongan ialah antara kaum hartawan dengan kaum melarat? Inilah pertanyaan yang tiada dikemukakan dan dijawab oleh ahli sejarah borjuis. Mereka terlalu berat memusatkan perhatian pada politik militer dan beberapa orang pemimpin. Atau kepada kebudayaan, dengan tiada disampingi oleh kodrat pergerakan kebudayaan itu, ialah sistem produksi, sosial dan politik.
Hendaknya, sejarah Yunani, Roma, Arab dan lain-lain yang paling berharga itu disusun sebagai sejarahnya masyarakat (golongan atau pemimpinnya) dalam gerakan politik, militer dan kebudayaan) semua bukti dalam teknik, sosiologi dan kebudayaan) harus disusun kembali dan ditambah seberapa dapatnya.
Laut Sakutra! Kapal api besarpun masih bisa diombang-ambingkan oleh gelombang laut itu. kakek kita yang naik haji, melakukan syarat agama masih mempunyai kenang-kenangan tentang bahaya laut Sakutra terhadap kapal layar yang membelah gelombang setinggi bukit untuk menyampaikan hajatnya mengunjungi tanah suci. Entah dagang, entah minat perantauanlah yang menarik nenek moyang kita ke sini, dengan perahu saja, dihempaskan gelombang seperti sebutir beras dihempas-hempaskan air mendidih...sampai ke selatan....ke Madagaskar.
Hindustan.....kasta....percekcokan agama Hindu dengan agama Islam. Perhatikanlah rumah berhala Hindu! Penuh arca di dalam dan di luar dinding, di pinggir dan di atas atap. Lambang perasaan, manusia yang beraneka warna. Ada arca yang menggambarkan keberanian, kepuasan, kesungguhan, kesedihan kekaguman, sampai ke arca yang menikam diri sendiri. Umumnya bersemangat pesimistis, putus asa, kacau balau, gambaran perpecahan dan perpisahan lebih dari 3000 kasta. Dengarlah nyanyian Hindu modern, seolah-olah merdu buat penyanyinya sendiri saja. Sampai sekarang buat saya hanya teriak kesombongan, seolah-olah lagu untuk untuk menyatakan tak ada kasta yang lebih tinggi dari kasta Waisya, kasta saudagar yang sekarang menjelma menjadi kasta kapitalis borjuis, lebih tinggi kedudukannya dari pada gunung Himalaya. Lebih sederhana tetapi lebih mencocoki jiwanya tertindas tertekan, nyanyian pendayung atau buruh Hindu.
Undang-undang saja tak kan bisa melenyapkan bala penyakit kasta di Hindustan itu. Bisa hilang kalau undang-undang itu disertai perubahan sistem ekonomi, politik dan sosial....dan kalau kasta-haram, kasta najis, kasta Sudra serta kasta Paria yang lebih kurang 100 juta itu, benar-benar bangkit di bawah pimpinan kaum buruh-tani dan intelek yang revolusioner, dan kalau kasta borjuis-pendeta-ninggrat Hindustan terang-terangan atau dengan diam-diam menentang, maka revolusi Perancis dan Rusia akan berupa bayi kalau dibandingkan dengan revolusi Hindustan yang akan meletus karena itu.
Akhirnya Sabang, Indonesia. Di tepi pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar setiap menit! Saksikanlah sendiri!
Sampailah sekarang ke ujung pelayaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudra yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di zaman gelap gulita.
Bangsa perantau! Kata setengah ahli. Syahdan maka perubahan hawa dan bumi, sedikit demi sedikit menukar daerah diamnya bangsa Indonesia asli menjadi tandus, gurun pasir sedikit demi sedikit berangsur-angsur sampai daerah itu menjadi tandus Gobi dan menyebabkan bangsa Indonesia asli senantiasa menukar tempat menjadi perantau. Semangat pertahananlah yang menjadi sifat yang dilaksanakan dari Madagaskar di pantai barat Samudra Hindia sampai ke Amerika Tengah di pantai Timur Samudra Teduh.
Semangat perantau itu mendapat dorongan pula dari susunan masyarakat di masa lebih dari 2000 tahun lampau itu. Dari sisa sistem sosial, ialah matriakat seperti di Minangkabau dan sistem patriarkat seperti di tanah Batak yang juga dahulu kala terdapat di tanah Jawa, maka kita masih bisa saksikan, bahwa para pemuda di tiap-tidap desa seolah-olah tersusun dalam pasukan penggempur. Mereka mendiami rumah terkhusus buat pemuda saja, di mana mereka mendapat latihan rohani (adat dan agama) serta latihan jasmani (silat dan pencak).
Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat bergotong royong atau menolong di masa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya “teletang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”.....samudrapun cuma danau saja di mata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar