Kamis, 07 April 2016

Penangkapan Madiun

           Setelah saya sampai di Madiun pada pertengahan bulan Maret 1946, dengan maksud hendak mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan ke empat, maka terdengarlah kabar, bahwa Laskar Pesindo dengan kekuatan lebih kurang 800 (delapan ratus) orang, yang sengaja didatangkan dari daerah-daerah lain, sudah berada di kota Madiun. Kabarnya pula, pada malam hari yang lalu, mereka mengadakan “machtsvertoon”, mempertunjukkan kekuatan. Dengan membawa bermacam-macam senjata, mereka berbaris berkeliling kota dan melakukan tembak-tembakan. Di jalan-jalan masih terdapat banyak sekali sarang pelor.
Dari semulannya Kongres berniat hendak mengadakan pertunjukkan keprajuritan, setelah Kongres selesai. Tetapi kami sengaja tiada mengizinkan para laskar membawa senjata api. Pada tanggal 17 Maret, sehabisnya Kongres, pada pagi hari, maka semua laskar, yang berada di dalam kota sudah hadir di alun-alun. Juga semua Laskar Pesindo meminta pula kepada Kongres, supaya dapat pula hadir di alun-alun katanya untuk ikut menjaga keamanan. Permintaan itu dikabulkan. Pada kira-kira jam 8 pagi, ketika rapat akan dimulai, kelihatanlah di alun-alun Madiun Laskar Rakyat, Laskar Hizbullah, Laskar Buruh, Pesindo dan lain-lain. Mungkin juga ada hadir polisi dan tentara, tetapi tiada bersenjata. Cuma Laskar Pesindo saja yang bersenjata lengkap dengan karabin, tommygun, mitraliur.
Meskipun gerak-gerik Pesindo pada satu dua hari yang lampau sudah agak menarik perhatian saya, tetapi tiada sekejap pun saya berniat hendak membatalkan janji saya akan berbicara pada Rapat Besar di alun-alun itu. hampir pukul 12 selesailah rapat di alun-alun dan selesailah Kongres di Madiun.
Apabila kira-kira pukul empat petang, saya bersiap-siap hendak berangkat ke Magetan sebentar beristirahat, maka datanglah seorang pemuda tergopoh-gopoh melaporkan bahwa jalan menuju ke Magetan dijaga oleh segerombolan prajurit.
Apabila ditanyakan, apakah maksudnya penjagaan semacam itu, maka dijawab, bahwa penjagaan itu dimaksudkan untuk menangkap Tan Malaka, apabila kelak dia akan meninggalkan kota Madiun. Saya belum mengerti, oleh siapa, sebab apa, atas nama Badan Resmi apa, dan menurut undang-undang pasal berapa, saya harus ditangkap. Kepada beberapa pemuda saya minta supaya jalan-jalan yang lain ke luar Madiun diperiksa, apakah juga diawasi. Benarlah begitu! Semuanya rapi dijaga oleh gerombolan Laskar Pesindo.
Kemungkinan buat pertempuran di kota Madiun memangnya ada. Tetapi kami memangnya pula sama sekali tiada memikirkan hendak mengadakan perang saudara pada waktu musuh masih berada di tanah air Indonesia. Persiapan hendak mengadakan perang saudara dengan Laskar manapun juga sama sekali tidak ada. Sebelumnya saya berangkat ke Madiun, Laskar Pesindo masih anggota Persatuan Perjuangan. Pesindo memisahkan diri dari Persatuan Perjuangan ialah pada Kongres di Madiun, yang diadakan pada waktu Persatuan Perjuangan berkongres pula. Kongres Pesindo dihadiri oleh Amir Syarifuddin. Pada ketika itu dia memangku jabatan Menteri Pertahanan. Rupanya Amir sedang berusaha keras menjalankan penangkapan atas diri saya, yang kini sudah nyata perhubungannya dengan permintaan dalam Surat Delegasi Indonesia kepada Pemerintah, cocok dengan keterangan Amir sendiri, di depan MTA tanggal 22 Maret tahun 1948 ini. Pada ketika itu saya sama sekali tiada tahu, bahwa Amir Menteri Pertahanan ada di belakang Pesindo dengan maksud menangkap saya, atas permintaan Delegasi Indonesia dan dengan persetujuan Pemerintah Republik itu. Hanya saya mendapat kabar, bahwa Laskar Hizbullah dalam kota Madiun sudah dikepung oleh Pesindo dan semua Laskar yang di luar kota, yang tadi hadir dalam rapat besar di alun-alun sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Kemungkinan bagi saya untuk meloloskan diri juga ada, walaupun amat tipis, karena bulan terang benderang dan penjagaan amat rapi. Tetapi kalau di luar negeri saya dapat meloloskan diri berkali-kali, di Indonesia pun mungkin dapat pula, kalau memangnya saya betul-betul bermaksud begitu. Tetapi dengan demikian, maka saya akan terpaksa melepaskan perhubungan terang-terangan dengan Persatuan Perjuangan. Sedangkan pada waktu itu sudah ramai dibisik-bisikkan, bahwa saya cuma “Berani mengkritik Pemerintah saja, tetapi tiada berani memikul tanggung jawab pemerintah” sedikitnya, ternyata pada Rapat KNI Pusat di Solo pada tanggal 28 Pebruari sampai Maret 1946, bilamana Syahrir meletakkan jabatannya. Dan di samping itu dibisikkan lagi, bahwa karena saya sering lari lolos di luar negeri, kelak kalau perjuangan menjadi hangat, maka, katanya saya akan mencoba meloloskan diri pula”. Demikianlah mulai dibisikkan, bahwa “saya tak sanggup bertanggung jawab, baikpun terhadap pimpinan negara ataupun pimpinan pergerakan rakyat”. Sekarang sesudah diketahui oleh adanya Lima Serangkai (Abdul Madjit cs) seperti tuduhan Surat Kabar Murba, maka bisikan ular semacam itu, lebih mudah dimengerti.
Sedangkan saya memikirkan, sikap apa yang baik diambil, maka datanglah Wali Al-Fatah, Wakil Masyumi, yang mengambil bagian terkemuka dalam Persatuan Perjuangan mengunjungi saya membawa usul. Bersama-sama dengan Wali Al Fatah, datang juga saudara Haji Mukti, Masyumi dan anggota staf MBT sdr. Ngabdu dari Hizbullah, anggota Persatuan Perjuangan Daerah Ngawi, dan sdr. Bustami dari Laskar Rakyat, juga anggota Persatuan Perjuangan. Menurut Wali Al Fatah, maka dengan persetujuan pihak yang berkuasa di Madiun saya akan diantar ke presiden untuk mengadakan perundingan. Di rumahnya Tn. Susanto Tirtoprojo, yang pada masa itu menjabat pangkat Residen di Madiun, dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada saya di alun-alun, maka wakil P.T berkata kepada saya: tuan akan diantarkan ke Yogya dengan wujud hendak berunding dengan Presiden.
Wali Al Fatah memajukan di muka Residen, supaya keamanan diri Tan Malaka dijamin. Demikianlah kami ketika sudah jauh tengah malam dengan enam auto berangkat menuju ke Yogya. Diantara enam auto itu, maka satu auto dikendarai oleh sdr. Hadji Mukti, dari Masyumi dan MBT serta sdr. Ngabdu dari Masyumi dan Hizbullah; satu auto lagi dari sdr. Bustami dari Laskar Rakyat dan satu lagi oleh Sukarni, saya sendiri beserta tiga orang prajarit Laskar Rakyat Jawa Barat, ialah Legimin, Nurdin dan Rusli. Tiga auto lainnya dikendarai oleh P.T (Polisi Tentara) dan Joko Suyono, kepala MBT bagian organisasi.
Di pinggir-pinggir jalan menuju ke Ngawi, banyak sekali pemuda (penyelidik?) yang menaruh perhatian kepada iringan auto kami. Pada sebuah jembatan di luar kota, sudah siap satu stelling, lengkap dengan tommya-gun dan mitraliur yang dikuasai oleh Pesindo.
Di kiri-kanan jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula mengadakan stelling
Di kiri-kanan jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula mengadakan stelling pula ke arah jalan raya. Setelah pemeriksaan oleh mereka atas penumpang auto dilakukan, maka kami berangkat terus.
Sesampainya di Kadi Polo, Solo, maka saya lihat auto yang ada, cuma ada 2 buah saja, ialah autonya P.T. pengantar dan auto saya sendiri. Di belakang hari saya tahu, bahwa auto yang lain-lain ketinggalan di Jalan, karena sering mengalami kerusakan.
Pemimpin P.T. mempersilahkan kami masuk ke sebuah rumah P.T. di tepi jalan. Dalam rumah itu terletak bermacam-macam senjata api. Oleh pemimpin P.T.dalam rumah itu dipersilahkan sdr.Sukarni masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah senjatanya diminta, maka pintu kamar itu dikunci. Saya memprotes kepada kepala pengantar P.T.Madiun dan memperingatkan, bahwa perlakuan ini adalah melanggar perjanjian kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar P.T. Madiun menjawab, bahwa dia cuma melakukan perintah saja dari P.T.Solo itu, dibenarkan dan saya dipersilahkan menunggu dalam sebuah kamar pula. Sebentar saja saya duduk dalam kamar itu, maka sekonyong-konyong kamar itu dikunci dari luar. Tiada berapa lama antaranya, maka dari kamar sebelah, saya dengar suara dari Mr.Yamin. Dia
mengatakan, bahwa pada kamar sebelah lagi berada sdr.Abikusno yang juga ikut berbicara dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun. Pada masa itu saya belum tahu, apa sebab, oleh siapa, dan atas nama Instansi apa, kami berempat ditahan begitu saja.
Pada bulan Juli, tahun itu juga ketika di Mojokerto, saya dengar dari sdr.Moh.Saleh, Pemimpin Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, dan di Ponorogo pada bulan Agustus tahun 1947 dan sdr.Haji Mukti, bahwa mereka berdua, beserta mengunjungi Presiden, untuk menanyakan hal kami dan miminta supaya kami semua dibebaskan. Tetapi teranglah sudah, bahwa mereka tiada mendapatkan hasil dan jawab yang memuaskan.
Tiba-tiba pada senja hari tanggal 22 Maret, kami dipindahkan oleh P.T. ke sebuah rumah di tengah sawah di Jetis, beberapa kilometer jauhnya dari Solo. Di sini kami
dijaga dengan rapi oleh dua belas orang P.T.dari Yogya dan pada malam harinya juga oleh Laskar Rakyat, Solo. Mereka anggota Laskar Rakyat kelihatan amat serem! Dengan bambu
runcing mereka berkawal di depan pintu kami. Mulanya saya tiada mengerti tentang penjagaan yang begitu serem dan menunjukkan semangat permusuhan terhadap kami. Setelah
kebetulan saya di belakang dan melihat satu tulisan dengan huruf besar di dinding belakang rumah, barulah saya mengerti. Tulisan itu menyebutkan "NICA YANG HARUS DIBERANTAS".
Kebetulan saja diantara satu dua orang anggota Laskar mengenal pula satu dua orang diantara kami. Sukarni dikenal oleh salah seorang, yang pernah sama ikut bertempur dengan dia di Jakarta dan saya dikenal oleh salah seorang pengikut Almarhum Haji Misbach. Hilang lenyaplah persangkaan diantara Laskar Rakyat di kampung-kampung sekitar kami, bahwa adalah kaki Nica, seperti yang ditujukan oleh tulisan tersebut dan mungkin juga dibisikkan lebih dahulu, sebelum kami ditempatkan di sana.
Sekarang timbul perseteruan antara Laskar yang sekonyong-konyong insyaf akan kedudukan kami dengan para pengawa kami, ialah 12 orang anggota P.T. tetapi perseteruan ini dapat kami selesaikan, dan suasana menjadi baik sama sekali.
Pada suatu hari saya dikunjungi oleh Dj.Maj.Joko Suyono, yang katanya, menyampaikan "salam penghargaan" Amir, Menteri Pertahanan kepada saya. Dimajukannya pula, apakah saya mau dijumpakan dengan Amir Syarifuddin. Saya menjawab, seperti sudah saya tuliskan dahulu, bahwa saya cuma mau berunding dengan Amir sebagai orang merdeka dan setelah kami berempat dibebaskan.
Pada tanggal 22 April, kami dijemput oleh polisi Solo buat dipindahkan ke Tawang Mangu. Di sana kami berempat mulanya ditempatkan dalam satu rumah. Kemudian dipisah-pisah Sdr.Abikusno yang dibelakang hari diikuti oleh keluarga keduanya tinggal agak jauh dari rumah di mana saya diam. Saya tinggal bersama-sama sdr. Sukarni, yang dibelakang hari juga diikuti oleh isteri dan anak-anaknya. Di Tawang-Mangu kami berada di bawah pengawasan tentara di sana, dan diikuti ke mana saja kami pergi.
Setelah seminggu atau lebih saya berada di Tawang Mangu, maka mulailah saya menderita akibat makanan yang kurang teratur, selama sebulan saya tinggal di Jetis, Solo tadi. Penyakit perut yang sering saya alami di Tiongkok dan lain negeri ialah, apabila makanan kurang teratur (lantaran kemiskinan), bangkitlah kembali di Tawang Mangu dengan
kekuatan mendadak. Karena kekurangan dokter dan obat di Tawang Mangu, maka saya terpaksa memakai obat kampung saja. Sesudah lebih daripada seminggu menderita demikian dengan sangat, maka barulah didatangkan seorang dokter dari Solo. Besoknya saya diangkat ke Solo, ke rumah sakit Jebres. Dikatakan, bahwa saya menderita "entsteking" (tusukan) di usus dan buah pinggang.
Para tukang, kalau berkumpul-kumpul, biasalah menyangkut-nyangkut perkara pertukangan. Demikialahlah kami orang pergerakan, apalagi karena sudah senasib, setempat dan serumah sepenanggungan, banyak menyangkut-nyangkut perkara pergerakan politik Indonesia. Hal semacam itu tak bisa dan tiadalah pula perlu disingkirkan. Baik di rumah di Jetis, sunyi daripada masyarakat dan keluarga ataupun di Tawang Mangu, di mana kami berada dalam pengawasan, maka pembicaraan tentang pergerakan itu adalah sambal yang paling disukai.
          Pembicaraan yang semacam itu membangunkan semua perhatian dan pengharapan yang kami taruhkan pada pergerakan Rakyat Indonesia: It is stimulating, menghidupkan, kata pepatah asing.
Buat saya sendiri percakapan dengan VETERAN pergerakan seperti Abikusno dan Yamin, serta dengan pemuda seperti Sukarni, adalah pelajaran, yang sangat berguna. Keterangan yang saya peroleh tentang pergerakan dan "Who's who", tentang sifat dan sejarahnya mereka yang terkemuka dalam pergerakan Indonesia, selama lebih kurang seperempat abad saya tinggalkan, adalah jembatan buat menyambungkan sejarah terpotong, ialah bagian sejarah antara saya meninggalkan pergerakan Indonesia pada bulan Maret 1942 dengan Januari 1946, ketika saya kembali berada di tengah-tengah rakyat jelata.
Terutama pula oleh banyak bukti yang dikemukakan oleh Yamin, yang masih ingat akan tanggal, tempat, orang dan kejadian, yang sukar buat dibantah; oleh Abikusno, yang berbahagia mengalami pergerakan Yang Lama dan Yang Baru, gerakan Sarekat Islam sampai ke Proklamasi; oleh Sukarni salah seorang pemuda Jakarta yang terkemuka dalam gerakan Proklamasi 17 Agustus oleh semuanya itulah banyak patung dewa, yang selamanya ini dipuja oleh umum dan saya hormati pula, jatuh pecah-belah, di depan kaki saya. Sebaliknya pula adalah "unknown greatheness", orang besar yang tak terkenal, yang
naik melambung di depan mata saya.
Seperti lebih sedikit dan seperempat abad lampau, bilamana saya, siang atau malam, saya menerobos ke kamarnya Subarjo, demikianlah pula di Tawang Mangu, apabila saya merasa perlu, diantarkan oleh para pengawas, saya menerobos ke rumahnya Subarjo. Pun dari orang yang sudah mengelilingi dunia ini banyak saya peroleh pengetahuan tentang "Who is who" yang berfaedah buat saya untuk menyeberangi banjir revolusi ini.
Tiadalah dapat saya lupakan percakapan dengan Iwa Kusumasumantri, seorang yang sangat menderita tindasan hidup dan kesunyian jiwa di zaman "Hindia Belanda" tiada kurang dari penderitaan para pemimpin nasionalis yang manapun juga.
Tetapi lebih daripada percakapan antara seorang dengan seorang tiadalah bisa dan tiadalah boleh saya lakukan dengan mereka tersebut di atas. Seperti masing-masingnya mereka tadi, mempunyai Program dan Ikatan Organisasi sendiri, saya pun merasa terikat kepada program saya sendiri, cara berjuang saya sendiri dan masih merasa terikat kepada semua keputusan yang sudah diambil oleh Persatuan Perjuangan. Saya merasa, tiadalah
boleh begitu saja memutuskan sendiri sesuatu hal, serta bertindak sendiri sebelumnya saya berjumpa kembali dengan teman seperjuangan, yang sudah dipaksa berpisah: semenjak
penangkapan 17 Maret di Madiun itu.
Ketika berlakunya peristiwa 3 Juli itu, maka saya berada bersama Sdr.Abikusno dan Sukarni di Tawang Mangu, lebih kurang 100 km jauhnya dari Yogyakarta. Apa yang sesungguhnya berlaku dan siapa yang melakukannya, sebenarnya barulah sesudah pemeriksaan M.T.A, yang dimulai pada 19 Pebruari 1948 ini saya ketahui. Tentang apa yang dinamakan "penculikan" itu, barulah saya dengan dari radio di Tawang Mangu, lebih kurang 5 Juli sore. Sampai pemeriksaan resmi dalam pengadilan M.T.A jadi selama lebih daripada satu setengah tahun di belakangnya masih tebal sekali kegelapan di depan mata saya terhadap
peristiwa tersebut.
Apalagi ketika peristiwa itu, semuanya adalah teka-teki belaka buat saya. Dalam keadaan begitu,  maka pada pagi hari tanggal 6 Juli kami didatangi oleh seorang opsir
T.R.I dari Solo, katanya buat "berunding" dengan Panglima Besar. Kami (Abikusno, Sukarni dan saya sendiri) tidak mau percaya begitu saja diundang tak dengan surat. Lagipula kami tiada begitu saja mau meninggalkan Tawang Mangu dengan tiada izinnya pemimpin tentara di sana, seperti sudah ditetapkan atas kami sebagai orang tahanan.
Kami meminta opsir T.R.I tadi kembali ke Solo mengambil surat undangan dari Panglima Besar. Sorenya datanglah dari Solo seorang opsir T.R.I juga bernama Fajar,
yang mengunjungi kami ke Solo pula untuk berunding dengan Panglima Besar Sudirman. Katanya pula, nanti malam hari ini juga kami boleh kembali ke Tawang Mangu.
Oleh karena kami sudah kenal sama opsir Fajar di Tawang Mangu dan Kepala Pasukan Tawang Mangu Sastro, berada di Solo pula, maka kami berangkat dengan auto menuju ke Solo.
           Oleh karena sedikit sekali kami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar Tawang Mangu dan percaya kepada perkataan Fajar, bahwa kami akan segera dikembalikan ke Tawang Mangu, maka tak ada diantara kami yang mengadakan persiapan buat
bermalam di lain tempat. Saya sendiri cuma berangkat dengan sepotong pakaian saja. Berhubung dengan mudahnya terganggu kesehatan maka hal itu tak pernah saya lakukan. Tetapi sebab percaya kepada perkataan opsir Fajar tadi, maka saya seperti juga Abikusno dan Sukarni tidalah memikirkan kemungkinan bermalam di tempat itu.
Sampai di Solo kami dibawa ke rumahnya Komandan Divisi VI dekat rumah sakit di Jebres. Di sana kami menunggu kabar, bila kami akan dijumpakan dengan Panglima Besar. Setelah lebih dari pada satu jam kami menunggu, maka datanglah kabar, bahwa katanya, Panglima Besar tadi siang hari berangkat ke Yogya oleh Mayor Mursito.
Kami tak mau begitu saja percaya atas undangan “berunding” dengan Presiden itu. Tiga setengah bulan lampau, saya juga diantarkan ke Yogya buat "berunding" dengan
Presiden, tetapi tersangkut di rumah tahanan di Kadipolo, Solo. Kami meminta diperjumpakan lebih dahulu dengan Komandan Tawang Mangu, yang berada di Solo, supaya kami dapat mengetahui hal ikhwal yang perlu kami ketahui. Kami mengancam akan pergi sendiri mencari Sastro, komandan pasukan Tawang Mangu. Beberapa kali saya ucapkan, "Apakah kami akan diserahkan begitu saja, entah kepada siapa pula".
Dalam pada itu suara radio sedang memperdengungkan sekali lagi "pengumuman resmi" tentang "coup d'etat Tan Malaka yang gagal, katanya itu. Dari opsir Fajar, datang pula sepucuk surat, yang mengatakan, bahwa "sejarahlah kelak yang akan
menentukan, apakah dia pengkhianat atau tidak terhadap kami" yang dialamatkannya sebagai bapak. Baru saya agak insyaf akan keadaan saya, walaupun sama sekali belum mengerti duduknya perkara yang sebenarnya.
Apabila komandan batalyon Tawang Mangu Sastro, datang dengan celana pendek dan baju kemeja saja, diapit pula kiri kanan dan di belakang oleh beberapa prajurit yang kelihatan mengawasi gerak-geriknya komandan Sastro itu, maka saya sudah insyaf benar, bahwa kami ditipu lagi oleh bujukan "berunding" mulanya dengan Panglima Besar, kemudian dengan Presiden.
           Komandan Sastro mengucapkan beberapa perkataan yang menunjukkan, bahwa dia tiada berdaya lagi, dan minta dengan suara yang amat menyedihkan supaya kami berangkat saja ke Yogya.
Satu auto buat kami bertiga dan Mayor Mursito dan satu lagi, ditambah pula dengan satu truk penuh dengan para prajurit bersenjata lengkap sudah siap di luar rumah untuk mengiringkan kami ke Yogya. Seperti dugaan saya, sesudah berjumpa dengan Sastro, komandan batalyon, maka benarlah kami bukan dibawa ke istana Presiden buat "berunding", melainkan buat dimasukkan ke penjara Sentul. Di sinilah akhirnya saya berada di atas tempat tidur batu dengan sehelai tikar tipis dan pakaian sepotong,kira-kira jam empat pagi.
Saya rasa benar akibatnya "Pengumuman Resmi", tentang "coup d'etat" Tan Malaka", yang didengung-dengungkan oleh semuanya radio pemerintah dan Badan, selama lebih kurang seminggu, dan disiarkan oleh semua surat kabar, oleh rapat terbuka dan tertutup, apalagi oleh bisikan berbisa di mana-mana tempat di masa itu oleh golongan lawan. Pelayanan yang saya alami dalam penjara dan di perjalanan dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, di masa itu tiadalah bedanya dengan pelayanan yang seharusnya ditimpakan kepada "Public Enemy No.1" (Musuh Umum No.1).
Di tengah-tengah rakyat yang sudah diracuni oleh "Pengumuman Resmi", yang dalam hakekatnya di luar penuduh dan penghukum, serta memutuskan saya sebagai kepala penjahat, sebelumnya sesuatu tuduhan yang berdasarkan sesuatu pelanggaran aturan yang sudah ada, terhadap diri saya, diperiksa serta diputuskan oleh satu pengadilan yang sah dan tidak berpihak sebelah di tengah-tengah dengungan radio, siaran surat kabar dan bisikan ular itulah paa tanggal 13 Juli, pagi hari kami bertiga (Abikusno, Sukarni dan saya), dikeluarkan dari penjara Wirogunan (Sentul) diiringi dengan bayonet terhunus ke suatu mobil, yang mengangkut kami ke sebelahnya stasiun Tugu. Sebelumnya naik gerobak "istimewa" yang penuh dengan pengawal, kami di "potret" oleh Tuan Sumarsono, inspektur Polisi, Yogya. Sebelumnya itu, di dalam penjara pun, di belakang tirai besi saya sudah mendapat kehormatan, seperti seorang penjahat mendapat kehormatan "dipotret" seperti itu juga. Di dalam kereta, kelihatan Mr.Yamin, dan Mr. Subarjo.
Oleh kepala pengawas, Tuan Mukojo saya diminta duduk tersendiri di tengah-tengah para prajurit pengawas.
            Demikianlah akhirnya kereta berangkat, bagi saya, di masa itu, entah ke mana......
Pada petang harinya tanggal 13 Juli kami berangkat itu, kami tiba di Mojokerto. Barulah saya tahu, bahwa inilah tempat yang dituju. Di luar stasiun Mojokerto, ketika saya berada di luar mobil, maka diantara khalayak ramai di pinggir jalan ada yang berteriak mengenal dan memanggil menyebut nama saya. Oleh pengawas di pinggir mobil, suaranya segera diperhentikan dengan acungan bayonet dan perkataan: "mau apa?"
Akhirnya mobil berhenti dan kami dimasukkan ke dalam sebuah kamar di kantor P.A.M. (Penyelidik Aliran Masyarakat) di samping kantor polisi di jalan Kabupaten. Di sana sudah ada beberapa orang tahanan yang lain ialah Domo Pranoto, Mr. Daljono, Ismangun Winoto, dan Jamaludin Tamin. Malam hari itu juga kami dipisah-pisah. Yang tinggal di Mojokerto di kamar P.A.M. tersebut cuma Mr.Yamin, Domo Pranoto, Mr. Daljono dan saya sendiri. Yang lain-lain, ialah Sukarni, Jamaludin, Mr. Subarjo, Abikusno dan lain-lain disebarkan pada beberapa tempat entah dimana.
Saya tiada mempunyai apa-apa, di luar sepotong, pakaian. Alat mandi sama sekali saya tiada punya. Selimut yang amat saya butuhkan, baru lebih kurang lima bulan di kemudian hari saya peroleh dari Yogya. Kutu-busuk dan nyamuk mengamuk
semau-maunya, sedangkan kami tak mempunyai kelambu. Pada beberapa hari permulaan, kami tiada diperbolehkan keluar kamar buat sedikit gerak badan. Keluar kamar mandi pun haruslah dengan izin penjaga lebih dahulu. Ke kamar mandi itu, pun kami diikuti oleh prajurit dengan sangkur terhunus.
Pada tanggal 19 Juli malam, kami sekonyong-konyong disuruh bersiap untuk diberangkatkan. "Kemana", atas perintah "siapa" tiadalah perlu ditanyakan, karena tak akan mendapat jawaban. Dalam keadaan begitu, maka filsafat saya biasanya cuma satu: "Saya dianggap musuh dan saya berada dalam keadaan tak berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran!!!
Sebab itu senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri saya dengan hati tetap tabah". Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap, laksana kabut disinari matahari.
            Bahkan ada saat yang pernah saya rasa, bilamana saya anggap pelorpun akan melantun kembali mengenai jantung yang menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata.
Saya sungguh harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan semacam itu tadi,yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung orang yang tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.
Apabila auto kami sampai dekat garis pertahanan, maka memangnya ada timbul sedikit kecurigaan di hati saya. Kalau-kalau auto ini menuju ke Surabaya, ke tempat Belanda. Kenapa tidak? Pelayanan yang saya terima dari pemerintah Republik, semenjak 6 Juli, malam juga semenjak 17 Maret 1946, tiada sedikitpun memberi kepercayaan kepada saya,bahwa saya masih dianggap "lawan politik" saja dan masih mempunyai hak sebagai manusia, dan hak sebagai warga negara Republik.
           Apalagi kini, setelah keterangan Amir di depan M.T.A tentang adanya permintaan Delegasi di bawah pimpinan Syahrir, untuk menangkap saya itu, maka kecurigaan saya itu lebih mendapat alasan lagi.
Setelah auto mulai naik gunung dan akhirnya berhenti di Pacet, maka barulah saya tahu, bahwa kami berempat dipindahkan ke sana. Di sini kami berempat dikunci dalam
sebuah kamar. Kasur tak ada. Dinginnya bukan kepalang. Apalagi karena kamar kecil itu berada di samping kamar mandi. Tikarlah yang dibuat menjadi kasur di atas ubin, dan tikarlah pula yang dijadikan selimut di Pacet, yang terletak di pinggang gunung itu.
Dari celah dinding, esoknya kami dapat melihat beberapa tahanan yang lain-lain, ialah Mr.Iwa, Abikusno, Karto Pandojo dan Surono.
Pada tanggal 24 sekonyong-konyong pula diperintahkan kepada kami, pada malam hari, bahwa kami harus pula bersiap-siap. Pada malam harinya itu kami dibawa kembali ke kamar P.A.M, Mojokerto, di jalan Kabupaten di tempat dahulu.
Apakah yang terjadi sepeninggal kami dalam empat lima hari itu? Baru berbulan-bulan di kemudian hari hal ini agak terang bagi saya.
Surat kabar BAKTI no.81, yang dikuasai oleh Pesindo, membuka tabir di depan apa yang terjadi pada tanggal 22 Juli 1946 ketika kami masih berada di Pacet itu.
Demikianlah dalam Induk Karangan sk BAKTI itu, dengan berkepala "TAN MALAKA dan KONCO-KONCONYA" tertulis antara lain"
"Kemarin (jadi tgl. 2 Desember 1946! Pen!)  tersiar berita dalam surat kabar, yang menerangkan: bahwa Tan Malaka cs. telah diperiksa dan berjalan lancar. Konon atas permintaan Tan Malaka sendiri, maka pemeriksaan akan dilakukan di dalam sidang pengadilan terbuka".
"Dengan tidak mendahului kebijasanaan Pemerintah, di sini kami kemukakan pendapat sekadarnya berpaut dengan soal besar tersebut".
"Kalau kita perhatikan pengumuman Pemerintah yang disiarkan oleh "Antara" tanggal 6 Juli 1946, tegaslah sudah, bahwa penculikan Perdana Menteri di Solo pada tanggal 27 masuk 28 Juni 1946 malam, adalah suatu pendahuluan daripada aksi Tan Malaka untuk merebut kekuasaan negara dengan perkosa".
"Pemerintah sendiri mengatakan, bahwa perbuatan Tan Malaka cs. adalah "coup d'etat" atau serobotan kekuasaan. Jadi nyatalah, aksi Tan Malaka itu betul-betul akan merobohkan Pemerintah".
"Seratus lima puluh ribu rakyat dari segala lapisan pada tanggal 22 Juli telah berkumpul di alun-alun Mojokerto perlu mendengarkan kelakuan Tan Malaka cs. Kemudian diambil putusan, yang antara lain memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah hendaknya mengambil sikap yang tegas dan nyata terhadap mereka yang sudah merobohkan Pemerintah, juga rakyat memutuskan: Menentang segenap usahaha "kompromi" terhadap mereka (Tan Malaka cs)".
"Mengingat suara rakyat yang menggelora itu kiranya tidak ada salahnya, manakala pemerintah dalam menghukum Tan Malaka cs.menerima pula suara rakyat itu yang lazim dikatakan oleh pujangga "Suara Tuhan"
Sekianlah sk. BAKTI.
Baru setelah lima enam bulan dalam keadaan terpisah dan tak tahu apa-apa, saya mendapatkan penjelasan yang agak lebih lengkap tentang rapat seratus lima puluh ribu Rakyat Mojokerto, yang dijalankan ketika saya berada di Pacet itu.
            Rapat raksasa di Mojokerto pada tanggal 22 Juli 1946 itu rupanya ada hubungannya dengan pemindahan kami pada malam hari ke Pacet pada tanggal 19 Juli itu, yang dilakukan dengan gugup dan tergopoh-gopoh itu.
Ada lagi keterangan yang saya peroleh, selainnya daripada laporan bahwa 150.000 orang yang "mendesak Pemerintah"...."mengambil sikap yang tegas dan nyata" terhadap
Tan Malaka cs. yang melakukan perbuatan "coup d'etat" atau merobohkan kekuasaan itu.
Sumarsono, Pesindo, kabarnya mengemukakan dalam rapat, yang dikunjungi oleh 150.000 orang itu, bahwa dia mempunyai "bukti yang nyata", bahwa Tan Malaka hendak merobohkan Pemerintah.
Kusnandar, Pesindo, juga berbicara: di depan 150.000 orang mengatakan, bahwa dia sudah memerintahkan laskarnya pergi ke Yogya membantu pemerintah dan memerintahkan pula supaya jangan kembali, selama golongan penyerobot kekuasaan
itu masih ada.
Muntalib, Pesindo, mendesak supaya Tan Malaka cs. dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Yang tiada menyinggung-nyinggung "coup d'etat" pada Rapat Besar di Mojokerto itu, ialah pembicara Sutomo B.P.R.I., lebih terkenal lagi dengan nama Bung Tomo. Malah ada orang lain yang mendengarkan pidato radio Bung Tomo di belakang hari, bilamana dia menyerukan kepada para pendengar, supaya disampaikan salah pahamnya semula terhadap saya dan memintakan maaf. Saya sendiri ragu-ragu apakah sendiri mendengar pidato
radio itu atau tidak. Tetapi pesan Bung Tomo itu saya mendengar bukan sekali dua saja, mungkin pula Bung Tomo, bekas anggota Persatuan Perjuangan itu, belum lagi lupa, bahwa dia pernah membela MINIMUM PROGRAM.
Tetapi ada lagi yang terpenting di sekitarnya. Rapat Raksasa di alun-alun Mojokerto itu. Sebelumnya Rapat itu dilakukan, maka di kampung-kampung sudah "ditanyakan" kepada
penduduk "hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepada Tan Malaka".
"Walaupun ini cuma berupa pertanyaan saja, tetapi bagi Rakyat Mojokerto, yang di masa Jepang dan Republik pernah menyaksikan "hukuman pancung" di alun-alun di depan ribuan khalayak, maka pertanyaan semacam itu banyak mengandung sugesti, petunjuk. Pertanyaan semacam itu mudah membangunkan hawa nafsu jahat yang tak dapat dikendali. Seperti dalam surat kabar BERDJOANG di Malang, maka di Mojokerto gambar Tan Malaka
juga dibalikkan, sebagai simbol orang jatuh terbalik. Gambaran itu dibesarkan dan dipanggul untuk dipertontonkan, ketika menuju ke alun-alun Mojokerto.
Takut akan diserobot, sebagai akibatnya "pidato" para pemimpin seperti Sumarsono, Kusnandar dan Muntalib diataslah, rupanya para polisi yang menjaga kami di P.A.M tergopoh-gopoh melarikan kami ke Pacet di waktu malam, dua tiga hari sebelumnya Rapat Raksasa diadakan di alun-alun itu.
Suasana yang hangat, karena sudah sangat dihangatkan pada rapat-raksasa di Mojokerto itu diperhangat oleh pidato-pidato dan rapat-besaran yang dilakukan oleh Presiden
dan Wakil Presiden di Malang dan oleh Amir sebagai Menteri Pertahanan di Sidoarjo. Suasana semacam itu sudah menimbulkan aksi-ramai ala "penyembelihan September" di masa revolusi Perancis! Inikah yang dikehendaki oleh lawan politik kami di
masa itu?
Di Pacet pun saya tiada berada dalam keadaan aman! Adapula di antara anggota Pesindo, yang tiada mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, yang mendesak supaya saya diserahkan kebawah penjagaannya. Tetapi ini rupanya mendapat sangkalan keras dari temannya sendiri. Kabarnya konon si "teman" menyuruh salah satu diantara dua pistol buat tembak menembak di antara mereka sendiri sebelumnya Tan Malaka diambil.
Pada bulan Agustus kami dipindahkan ke Dagusan, Mojokerto. Di sini kami berada dalam pengawasan P.I (Polisi Istimewa) dan memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik daripada semenjak permulaan bulan Juli. Di Bagusan saya berjumpa dengan sdr. Sudijono, P.B.Merdeka sekarang, dan dibelakang hari juga dengan Mr.Subarjo dan Sukarni.
Polisi Istimewa Mojokerto, dibawah pimpinan tegap Tuan Sucipto adalah polisi, yang terus menerus ikut bertempur di front Surabaya. Bukan ikut-ikutan saja. Polisi Istimewa Mojokerto di masa itu ikut berjuang sebagai pasukan, yang diakui patriotisme dan keprawiraannya. Mereka ikut bertempur semenjak perang Surabaya. Ikut mengundurkan diri sebagai siasat umum dan mereka mengandung semangat anti penjajahan sampai-sampai ke benak dan tulang sumsumnya.Dan pihak prajurit semacam ini, di mana saja, dan bilamana saja, kami senantiasa menerima pelayanan yang adil dan penuh prikemanusiaan. Kami
pun merasa aman, bahkan gembira, apabila di tengah-tengah pemuda perwira, pencinta serta pembela Republik dan Rakyat Murba serta bertindak membela kemerdekaan 100%. Terhadap anak buahnya sendiri Tuan Sucipto, selain menaruh perhatian penuh, seolah-olah bapak terhadap anaknya. Terhadap kami Tuan Sucipto beserta para pembantunya berlaku seperti anak terhadap bapaknya. Tetapi malangnya bagi kami, tiadalah selamanya kami dibolehkan tinggal di sana. Sekonyong-konyong kami dipisah-pisah pula. Saya dikembalikan ke kamar P.A.M. di jalan Kabupaten.
Di sini sudah berkumpul pula beberapa orang tahanan, di antaranya Sdr. Moh.Saleh, Mr. Yamin, Mr. Subarjo, Sukarni, Suryodininggrat, Jamaludin Tamim. Pada malamnya 30-31 Oktober 1946 itu tiba-tiba Sumarsono, Pesindo, ialah teman seperjuangannya di masa lampau. Apa yang dibicarakan oleh mereka tiadalah kami dengar. Tetapi besok pagi harinya, kami menyaksikan peristiwa yang agak ganjil.
Mulai pagi hari sekali kami melihat segerombolan Laskar Pesindo memanggul bedil dan mitraliur, yang ditaruh di belakang tembok, di depan rumah Kabupaten. Anehnya pula, mulut mitraliur itu ditujukan ke rumah tempat tinggal kami tinggal. Jarak rumah kami dengan mulut mitraliur Pesindo itu cuma kurang lebih 20 meter saja. Saya ingat lagi kepada mulut
mitraliur Pesindo, yang pada tanggal 17 Maret tahun tersebut juga, di alun-alun Madiun ditujukan ke mimbar saya berpidato.
            Cuma pada waktu itu di alun-alun Madiun ada ribuan bambu runcing dan pelbagai laskar di samping lebih kurang seratus orang anggota Pesindo yang bersenjata lengkap itu. Tetapi ini kali di Mojokerto saya beserta para tahanan lainnya dalam keadaan tak berdaya. Umumnya para pemuda, yang sungguh perwira, tak akan mengacungkan Tommy-gun dan mitraliur kepada mereka orang tua yang tidak berdaya dan cuma dianggap musuh,
karena perbedaan paham politik saja dengan para pemimpin itu sendiri. Teristimewa pula, kalau para pemuda itu sendiri.
            Teristimewa pula, kalau para pemuda tadi belum lagi mendapatkan penerangan dan kedua belah pihak dan cuma dari satu pihak yang berkepentingan saja.
Tetapi untunglah tiada semuanya pemuda Indonesia, bahkan tiada semua pemuda Mojokerto-pun, walaupun Mojokerto dibawah kekuasaan Pesindo, memandang kami orang tua sebagai musuh, yang zonder pengadilan teratur, harus dihadapi dengan mulut tommy-gun dan mitraliur begitu saja. Mungkin juga ada terpendam pada sanubari pemuda yang sabar perwira, bahwa sedikitnya kami orang-tua ini sudah lebih banyak memakan garam
politik daripada mereka sendiri.
Sedangkan Pesindo asyik membikin "stelling" 20 meter jauhnya di depan rumah kami itu, maka satu dua orang prajurit menyampaikan salamnya kepada saya atas nama para prajurit bersenjata lengkap pula yang berstelling pula di belakang rumah kami. Di sekitar rumah Kabupaten saya menyaksikan sedikit gerakan pula. Entah gerakan siapa dan dengan maksud apa, belum saya ketahui pada masa itu. Cuma setelah beberapa lama, maka Pesindo meninggalkan "steling"-nya dan memanggul tommy-gun dan mitraliurnya kembali ke Mojokerto.
Dari dua tiga pihak, yang boleh saya percaya, maka di belakang hari saya mendapat kabar, bahwa setelah Pesindo mengadakan "stelling" itu, maka segeralah timbul beberapa "steling-stelling lain, yang maksudnya bukan membantu, melainkan mengawasi "stelling" Pesindo tadi. Kabarnya konon di belakang rumah kami dan di jembatan kali Brantas, jadinya di depan dan di sebelah kanannya "stelling" Pesindo, maka P.I (Polisi Istimewa) mengadakan stelling pula. Seterusnya di belakang Kabupaten, jadi dibelakangnya "stelling" Pesindo,
maka oleh P.I. (Polisi) diadakan pula satu "stelling". Tiada begitu saja. Di sebelah kanan kami, jadi di sebelah kirinya "stelling" Pesindo, anggota B.P.R.I (Pemberontak) (bahkan
katanya di samping oleh beberapa anggota Pesindo sendiri) mengadakan stelling juga.
Semua stelling di depan dan di belakang, serta di kiri dan di kanannya "stelling" Pesindo ini depan kabarnya konon cuma menunggu satu letusan yang mungkin keluar dari mulut mitraliur kepada kami orang tua tahanan, yang berada dalam keadaan tak berdaya itu. Satu saja letusan keluar dari pihak Pesindo ke arah kami, maka akan dijawab oleh puluhan kalau perlu 1001 letusan dari kiri kanan serta muka dan belakang yang akan ditujukan ke arah "stelling" Pesindo itu.
`Memangnya pula, maka menurut dugaan saya sendiri, walaupun kami berada dalam tahanan, bilamana radio, surat kabar dan bisikan fluister kompagne, dengan leluasa menyemburkan racun fitnahan, tetapi ada kodrat kebenaran terpendam, yang dipegang teguh oleh segerombolan "unknownfriendly powers". Tentara-teman-terpendam inilah yang
memberikan perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam, karena dalam keadaan handicapped. Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf benar akan adanya .
            Tentara-teman-terpendam itu. Saya pun insyaf, akan berlakunya dalam sesuatu masyrakat manusia pepatah "teeth for teeth, eyes for eyes". Apa saja tindakan yang akan dijalankan kepada kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut undang-undang balas-membalas, bayar-membayar, mungkin dengan rente yang tinggi sekali. Seolah-olah darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent), sanggup memanggil satu tentara
pembalasan. Banyak orang yang tiada gentar, bahkan sebaiknya dengan penuh semangat keprawiraan menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan, sesudah jiwanya melayang.
Saya sendiri yakin, bahwa di masa itu pun, tiadalah semua anggota Pesindo, menentang Minimum Program dan yang memandang saya sebagai seorang  musuh, yang harus dilenyapkan begitu saja, dengan tiada pemeriksaan lebih dahulu. Apalagi mestinya sekarang dan setelah ternyata bahwa pada penangkapan di Madiun Pesindo diperalatkan buat memenuhi permintaan
Delegasi, yang sedang berunding dengan Belanda-Inggris, ialah wakil imperialisme, yang telah melakukan penangkapan dan pembuangan atas diri saya. Begitu juga anggota B.P.R.I. Mojekerto, yang akhirnya mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, sampai mereka ikut ber-"stelling" menghadapi Pesindo, seperti tersebut di atas, mengambil sikap dan
tindakan yang bertentangan dengan sikap dan tindakan ahli pidato radio pemberontak cabang Solo, bernama Purwanto yang dua malam berturut-turut membuka "kedok Tan Malaka" dan
bersertu-seru di depan radionya dengan semangat bernafsu, menganjurkan, supaya Tan Malaka "dipelori" saja.
Di belakang hari saya dengar kabar, bahwa stelling Pesindo tadi dimaksudkan untuk mengambil kami dan P.A.M supaya Pesindo sendiri, yang akan memberi "perlindungan". Dan satu pihak saya dengar kabar, karena kami dirasa terlampau leluasa dalam kamar P.A.M. itu. Dan pihak lain saya dengar, oleh karena beberapa orang Pesindo hendak memberikan perlindungan kepada kami. Entah mana yang benarnya! Cuma kami sendiri tak pernah memita "perlindungan" itu kepada Pesindo kata laporan lain pula, penyerahan kami kepada Pesindo itu sudah dibenarkan oleh Mr.Mulyanto, wakil Kejaksaan. Jika kabar itu benar, maka
Mr. Mulyanto sudah memberikan izin kepada Pesindo buat memberikan "perlindungan" kepada kami mudah-mudahan saja laporan ini tiada benar.
Tetapi "perlindungan" itu, kalau terjadi mungkin tidak akan memberikan "perlindungan" kepada persatuan buat perjuangan, melainkan sebaliknya, mungkin sekali akan memberikan "perlindungan" kepada sengketa dendam kesumat antara golongan Pesindo dengan golongan yang rupanya terlampau diabaikan oleh sebagian pemuda Pesindo, ialah golongan kami sendiri.
Di Trawas, setelah Suryodininggrat, Jamaludin dan lain-lain dipindahkan ke sana, tiada lama sesudah peristiwa main "stelling" di depan kami di Mojokerto tadi, maka pada
waktu jauh malam, segerombolan Pesindo datang pula dengan senjata lengkap, mulut ditutup dan sikap yang galak, bertanyakan kepada mereka tahanan tersebut di atas, apakah di sana ada Tan Malaka.
Tak ada diantara orang tawanan yang ada pada malam itu ragu-ragu akan maksud anggota Pesindo di Trawas itu. Rupanya PAM dan Polisi Istimewa Mojokerto insaf benar akan akibatnya penyerahan diri saya oleh Mr.Mulyatno itu, kepada Pesindo dan
menolak keras penyerahan itu.
Pada tanggal 1 Nopember 1946 itu, tiba-tiba saya disuruh bersiap buat menemui beberapa wakil dan Kejaksaan.
            Saya ingat adalah tujuh orang yang hadir dan Kejaksaan, dibawah pimpinan Mr. Mulyatno. Tanya jawab pada masa itu tiadalah perlu saya ulang di sini.
Kebanyakan pertanyaan itu adalah baru bagi saya. Demikian pula, beberapa pertanyaan, yang dimajukan oleh Tuan Suparto sendirian, beberapa hari kemudian di Bagusan, di gedung P.I. kepada saya. Pada tanya jawab itu saya tiada pernah menaruh perhatian. Pertama karena saya sedang menderita penyakit kaki, yang pernah menyerang saya, ketika di Bayah (Banten), penyakit mana menyebabkan susah berjalan dan sakit
di kepala, karena bergerak sedikit saja. Kedua saya tiada diberitahukan lebih dahulu, apakah maksudnya soal jawab itu, dan tiada pula "confronted with the accusation" dihadapkan
dengan tuduhan, seperti lazim dilakukan oleh Negara Hukum dan Negara Demokratis. Tiadalah pula saya ingin, berdebat tentang hak seseorang tertuduh. Saya merasa, bahwa terhadap diri saya sudah satu kebiasaan saja orang tiada perlu menghiraukan sesuatu tuduhan tentang pelanggaran undang-undang yang sudah diterapkan oleh Badan yang sah, menurut aturan demokrasi. Begitu oleh "Hindia Belanda" pada tahun 1922; begitu pula oleh Pemerintah Amerika di Manila pada tahun 1927 dan begitu pula oleh Pemerintah Inggris di Hongkong pada tahun 1932. Kalau Republik Indonesia, yang berunding dengan ketiga wakil
imperialisme di massa itu tiada pula maju ke depan dengan tuduhan pelanggaran yang nyata tertulis, hitam di atas putih, sama sekali tiada mengherankan saya lagi. Bertanyakan tentang
hal itu seperti saya lakukan di Manila dan Hongkong tiadalah saya rasa perlu. Protes tak akan ada gunanya. Sudahlah terang bagi saya duduknya perkara, apabila Tuan Suparto dengan suara tinggi pada suatu ketika, bertanyakan sesuatu hal kepada saya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Apabila pada ketika itu tanya jawab agak berlaku sedikit keras, maka saya lihat para pengawal bergerak dengan sangkur terhunus dari pendopo rumah Kabupaten menuju ke gang dan pintu kamar pemeriksaan. Cuma prajurit pemegang sangkur terhunus itu sudah saya  kenal lebih dahulu. Senyumnya kepada saya sudah saya maklumi.
Tetapi pemeriksaan ini ada memberi pengharapan baru, bahkan sedikit kegembiraan kepada saya, karena saya mendapat kepastian dari Mr. Mulyatno (yang sungguh salah seorang diantara beberapa pemeriksa lain-lainnya berlaku ramah-tamah dan sopan santun dalam pemeriksaan tadi) ialah kepastian, bahwa kelak pemeriksaan saya akan dilakukan di depan umum.
Alangkah bangganya saya kelak tentang Republik kita ini, kalau Republik ini memberikan hak kepada saya, ialah membela diri di depan umum, hal mana ditolak oleh imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris.
Pemeriksaan di depan umum "Public trial", salah satu daripada "the Rights of men" the Human Rights, beberapa hak Manusia, yang saya minta dan dijanjikan oleh Mr. Mulyatno
itulah yang rupanya dimaksudkan oleh sk.BAKTI, seperti yang  sudah saya catat di atas.
Sekembalinya saya di P.A.M maka saya ditempatkan tersendiri dalam sebuah kamar. Karena rupanya makanan ada sedikit lebih teratur daripada yang sudah-sudah di PAM ini dan
saya dipinjami selimut, maka dengan obat yang terpaksa saya bikin sendiri, penyakit kaki tadi dapat saya sembuhkan.
Bagaimanapun juga banyaknya perubahan pelayanan di kamar PAM tadi, saya merasa gembira ketika pada penghabisan bulan Desember tahun 1946, saya dipindahkan kedua kalinya ke Bagusan, di gedung P.I. Disinilah saya tinggal sampai 29 Januari, di mana lantaran pendudukan Krian oleh Tentara Belanda, maka sekonyong-konyong saya diantarkan ke stasiun Kertosono, buat diberangkatkan ke Yogya. Di dalam kereta saya berjumpa dengan Mr. Subarjo, Mr. Yamin dan Sukarni.
Pada malam harinya kami sampai di Yogya, bukan buat ditempatkan di luar penjara, seperti perjanjian di Mojokerto, melainkan buat dikembalikan ke sel di penjara Wirogunan.
Jauh tengah malam hampir jam tiga pagi pada tanggal 11 bulan Maret 1947, tiba-tiba pula kami tujuh orang, ialah
Mr.Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Budhiarto, Mr.Iwa, Abikusno, Sukarni dan saya sendiri, dibangunkan dalam pejara Wirogunan, dengan maksud hendak diberangkatkan ke Magelang. Di sini kami ditempatkan dalam penjara biasa. Buat gerak badan, maka kami
diizinkan ke luar sel dan berjalan-jalan dalam pekarangan penjara, setengah jam pagi dan setengah jam petang. Tetapi saya merasa lebih merdeka sedikit di Mojokerto daripada di
Magelang. Di Mojokerto walaupun harus bergerak di tempat yang terbatas, tetapi mata bisa merdeka melayang ke jalan raya dan lain tempat. Di Magelang cuma tembok tinggi rumah penjara saja yang kelihatan, empat bulan setengah lamanya. Di penjara Magelang, seperti di lain-lain penjara acap kali saya teringat kepada pantun, yang kami murid klas II di salah satu desa di Sumatera Barat gemari sangat yang bunyinya:
            Seranti teluknya dalam
            Batang kapas lubuk tempurung
            Kami ini umpama balam
            Mata lepas, badan terkurung

Tak perlulah rasanya saya peringatkan di sini, bahwa menggemari sebuah pantun di masa kanak-kanak di atas bangku sekolah adalah berlainan dengan peringatan pantun di penjara Magelang, walaupun keduanya adalah pusakanya "Hindia Belanda".
Setelah pada tanggal 21 Juli, bilamana sudah ada Perjanjian Linggarjati dan  tanda tangan Belanda di atasnya, maka Belanda tiba-tiba menyerang, hal mana buat saya sendiri
sama sekali perkara yang sudah saya ramalkan dalam hati saya lebih dahulu, maka kami pada tanggal 23 Juli, hampir jam dua malam dibangunkan pula buat diberangkatkan ke Yogya. Di bawah pimpinan kepala P.I. sdr. Tahir yang memberi perhatian penuh kepada penghidupan kami sehari-hari selama di Magelang, maka kami pada pagi harinya tiba di Yogya. Mulanya sdr.Tahir dan kami mengharapkan, bahwa kami akan ditempatkan di luar penjara, tetapi akhirnya kami sampai di penjara Wirogunan juga.
Pagi harinya juga tanggal 23 Juli kami disuruh bersiap pula untuk diangkut entah ke mana pula lagi. Baru apabila sampai pada waktu jauh tengah malam, di rumah tahanan
Ponorogo, diantara empat dinding batu yang tinggi, dalam tempat orang tahanan, yang jauh lebih sempit dan kotor daripada di Magelang, barulah kami tahu, bahwa pengharapan
kami akan ditempatkan di luar penjara terbang melayang untuk
kesekian kalinya.
Pernah kami di Ponorogo dikumpulkan dengan para tahanan lain dari Yogya, sampai menjadi 46 orang. Makanan, tempat tidur dan kebersihan dipukul rata jauh kurang teratur
daripada di tempat yang lain-lain yang sudah saya alami. Di Ponorogo kami berdiam empat bulan lamanya. Pada tanggal 26 Nopember, kami yang tinggal 17 orang lagi dipindahkan ke rumah tahanan di Madiun. Saya sendiri merasa di sini lebih merdeka daripada di lain-lain tempat, kecuali di Bagusan, di tempat P.I. Mojokerto. Makanan pun ada cukup teratur.
Di sini saya ingin memberikan sedikit perbandingan di antara beberapa pengalaman saya dalam beberapa penangkapan yang saya rasa penting berkenaan dengan hukum.
Oleh Pemerintah "Hindia Belanda" saya ditangkap menurut perintah yang tertulis pada tanggal 13 Pebruari 1922. Dalam tempo yang singkat saja pemeriksaan bermula dilakukan oleh Residen dan bukan berdasarkan sesuatu pelanggaran Undang-Undang, walaupun misalnya Undang-Undang "Hindia Belanda" saja, melainkan berdasarkan "vraagpunten", yang disusun oleh P.I.D (Badan Penyelidik Belanda) dengan maksud
membuang saya, menurut "Hak Istimewa Gubernur. Jenderal Hindia Belanda", dengan tiada memberi kesempatan untuk membela diri di depan pengadilan umum (Public Trial) maka semua pertanyaan yang mengenai "activiteit" (aksi) politik, saya tolak memberi
jawaban. Saya dibuang ke luar negeri, menurut Hak Istimewa (exhorbitanten rechten) Gubernur Jenderal "Hindia Belanda" itu, atas tuduhan menulis beberapa risalah; mendirikan perguruan Rakyat Murba; mempersatukan perpecahan kaum Komunis dan Kaum Islam (Sarekat Islam); dan membantu pemogokan kaum pekerja pegadaian di masa itu. Katanya semuanya ini saya lakukan dengan "maksud" menjalankan "Program Moscow". Pada
tanggal 22 Maret 1922 saya berangkat ke luar negeri.
Pada permulaan Agustus 1927, di Manila, kira-kira jam sebelas malam, saya disergap oleh dua orang anggota Constabulary berpakaian preman, ketika saya meninggalkan
kantor sebuah surat kabar. Mulanya saya akan dinaikkan ke dalam sebuah kapal Belanda, yang berada di pelabuhan Manila dan hendak dikeluarkan dengan diam-diam sebagai seorang
pemasuk (immigrant) yang tidak sah (unlawful) dan tidak dikehendaki (undesirable). Perbuatan itu terhambat oleh karena beberapa hal di luar kemauan polisi Amerika. Sesudah dua hari saya ditahan, maka para teman-terpendam, maju ke depan menuntut pembebasan saya atas dasar "habeas corpus", dan menuduh polisi yang menangkap saya melakukan sesuatu pelanggaran, karena menangkap saya zonder "warrant" tak dengan perintah yang tertulis. Oleh para sahabat saya, perkara tangkapan ini diluaskan menjadi persoalan nasional yakni: "Apakah Pilipina, Protectorate Amerika itu, berhak memberikan "the right of Asylum" (Hak mendapat perlindungan) kepada seorang pelarian politik (political refugee)? Acting (wakil) Gubernur Jendral Gilmore sendiri, sebagai ahli hukum mulanya ingin hendak mengetahui pemecahan soal baru ini. Senate dan House of Representative, atau Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Pilipina, dibawah pimpinan Manuel Quezon dan Manuel Roxas, membenarkan saya tinggal di Pilipina, bahkan mengumpulkan 3.000 (tiga ribu) Peso, dan para anggota kedua Majelis tadi, buat membantu saya.
Yuan Fernandez, hartawan-patriot Pilipina, malah menarohkan "bail" (uang jaminan) 10.000 Peso buat memberi kebebasan (semacam stads-arrest) kepada saya, selama perkara
saya diurus. Empat Universities di kota Manila, mengambil putusan dalam rapatnya "untuk memberikan bantuan kepada saya, sebagai wakil dan "sister nation", ialah Indonesia, Negara
Saudara. Demikianlah pula semua persurat kabaran dalam semua bahasa (Tagalog, Spanyol, dan Inggris) di ibukota ataupun di propinsi memberi perhatian dan sokongan penuh. Perkara "right of Asylum" itu akan diteruskan ke Mahkamah Tinggi Pilipina.
            Kalau di sana tiada mendapat kemenangan, maka akan diadakan appeal ke Kongres dan Presiden Amerika. Tetapi setelah Sang Murba kota Manila mulai bergerak pesat dan apabila Rapat Raksasa yang dijanjikan akan diadakan dengan maksud mengumpulkan "uang sokongan" buat saya dan di mana saya akan dipersilahkan membentangkan perkara saya di depan Murba Filipina, apabila Rapat Raksasa ini, sudah mendekati waktunya, maka wakil Gubernur: Gilmore yang mulanya bersikap simpatik, mulai terkejut. Didesak oleh Publik dan Pers Amerika di Pilipina, maka pada malam hari, pemimpin para pembela saya, Dr.Jose Abad Santos, yang pada masa itu menjabat pangkat Ketua Supreme Court diberitahukan oleh waki Gubernur Jendral Gilmore, bahwa besok pagi, saya harus meninggalkan Manila dengan kapal Filipina, bernama Suzana II, yang akan berangkat menuju ke Amoy.
Sesampainya saya di Amoy, maka saya sudah ditunggui oleh pers imperialis-asing Kulangsu-Minicipal, Haminte Kulangsu, yang dipimpin oleh imperialis-internasional (Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda dll) sudah mengambil keputusan tadi malamnya buat menangkap saya kembali. Dan sebuah kapal Belanda Cisalak, sudah siap sedia pula menunggu saya.
Berturut-turut para polisi Kulangsu, Kepala Duane Amoy dan Konsul Amerika sendiri datang ke kapal dengan maksud ikut menangkap saya. Tetapi kemujuran adalah dipihak saya. Oleh perjumpaan berbagai-bagai kesempatan baik, maka saya dapat meloloskan diri dari jaring, yang rupanya sengaja dipasang dari Manila. Mulanya saya menyingkir ke dalam sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan saja berada di pelabuhan Amoy. Kemudian saya pindah ke kota Amoy bagian Tiongkok dan akhirnya ke satu desa di pedalaman Tiongkok.
Pada tanggal 10 Oktober 1932, maka saya sekonyong-konyong dalam percobaan meloloskan diri dan buruan beberapa I.S.(PID) Inggris, di Kowloon, seberangnya Hongkong,
akhirnya disergap oleh dua orang bersenjata, tetapi berpakaian preman, ialah seorang Benggali dan seorang Tionghoa. Dalam pergulatan yang terjadi pada waktu jauh malam hari itu, di jalan yang sepi pula, diberhentikan oleh seorang polisi Islam yang berasal dari Pakistan sekarang, yang kebetulan "meronda" di sana. Saya digiring ke kantor polisi, di mana pada
permulaannya, saya menderita berbagai-bagai penghinaan dan seorang anggota I.S.Inggris yang sengaja didatangkan dari Singapura. Hampir pagi harinya saya dibawa menyeberang ke
Hongkong, ke penjara di sana. Saya memprotes atas tak adanya surat tuduhan. Saya minta diadakan seorang pembela, seorang ahli hukum Tionghoa buat membela perkara saya. Permintaan ini dibenarkan, tetapi tiada pernah dijalankan. Saya mendesak supaya diperiksa di depan pengadilan terbuka. Ini tiada dibenarkan! Selama ditahan dalam penjara, saya dihujani dengan pertanyaan yang datang dari semua pihak imperialis, seperti dari pihak Amerika, Perancis dan Inggris sendiri, berhubung dengan gerakan kemerdekaan di jajahan mereka masing-masing. Suatu ancaman kepada saya, bahwa saya akan diserahkan kepada Belanda, atas desakan "Hindia Belanda" dengan perantaraan Viesbeen yang dikirim ke Hongkong buat menuntut diri saya, saya jawab ancaman mogok makan habis-habisan. Saya peringatkan, bahwa saya tak akan hidup sampai di Indonesia.
Pada suatu hari, maka saya disuruh pergi saja dari Hongkong, sambil dilarang menginjak salah satu tempat di daerah Inggris. Baru kemudian hari saya dapat mengira, bahwa tindakan Inggris ini mungkin ada hubungannya dengan interpelasi anggota Mackston dalam Parlemen Inggris di London, yang menanyakan apakah alasan pemerintah Hongkong, maka Tan Malaka ditahan begitu lama dalam penjara Inggris. Mulanya Inggris, memangnya atas permintaan saya sendiri, katanya, sudah "mencoba" mendapatkan "tempat perlindungan" untuk saya di Pilipina, tetapi katanya pula ditolak oleh pemerintah Amerika. Saya minta izin kalau saja di Perancis buat pergi ke Eropa Tengah. Inipun tak dibenarkan, katanya, ditolak oleh Perancis. Inggris sendiri menolak permintaan saya berlindung di negeri Inggris, ataupun melalui Inggris, di mana katanya ada demokrasi yang luas. Pendeknya saya harus segera berangkat meninggalkan Hongkong. Soal kemananya bukanlah soal Inggris.
Dalam keadaan demikian, maka saya bilang saja, bahwa saya mau pergi ke Shanghai. Inggris tahu, bahwa kelak kapal saya akan berlabuh di Shanghai di bagian jajajahan Perancis.
Kalau sampai ke situ tentulah Perancis tak akan segan-segan menangkap saya dan tak akan segan-segan pula menyerahkan saya kepada Belanda. Tetapi dalam perjalanan menuju ke Shanghai itu saya dapat meloloskan diri di Amoy. Dari sini saya berangkat ke pedalaman Tiongkok buat bersembunyi. Juga saya mendapatkan kesempatan buat beristirahat dan berobat mempergunakan jamu Tionghoa, tiga-empat tahun lamanya.
Jadi ringkasnya demokrasi Inggris pun tak membenarkan Hak Demokrasi itu kepada saya. Inggris menangkap zonder surat tuduhan! Dia menahan saya hampir tiga bulan lamanya dalam penjara dengan tiada memberi kesempatan kepada saya buat membela diri di depan pengadilan umum. Dia mengusir saya dengan tiada menentukan lebih dahulu Negara yang mau menerima saya dan tiada memberi jaminan keamanan diri saya dalam perjalanan menuju ke tempat yang harus dipastikan lebih dahulu itu. Pendeknya Inggris cuma menangkap saya sebagai seorang "native" sebagai seorang "inlander" yang tak perlu diakui haknya sebagai warga negara sesuatu negara ataupun atas hak manusia, yang sudah lazim diakui bagi seseorang anggota bangsa berkulit putih.
Republik Indonesia tiada menangkap saya dengan surat perintah, yang beralasan pelanggaran atas sesuatu undang-undang yang pasti dan yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang sah pula dan dilakukan oleh instansi yang sah pula. Saya diajak berunding dengan Presiden oleh anggota P.I dan tiba-tiba dimasukkan ke dalam tahanan dengan cara tipuan. Setelah kira-kira tujuh setengah bulan lamanya sesudah dipindahkan dari tempat dan dari penjara ke penjara, maka barulah dimasukkan beberapa pertanyaan kepada saya yang bagi saya tiada diarahkan kepada tuduhan yang nyata, karena tak ada tuduhan yang nyata tersusun, yang dibacakan kepada saya lebih dahulu. Dalam masa saya tiada berdaya membela diri itu, maka pihak pemeritah sendiri mengadakan tuduhan dan kesimpulan yang amat memberatkan kepada saya (Pengumuman Resmi) diri Pemerintah Republik membiarkan saja berjalannya tulisan, pidato dan bisikan yang mengandung racun membahayakan diri saya selama berada dalam tahanan.
Tetapi semua penderitaan, penghinaan dan tuduhan pengkhianat, serta bahaya sebagai akibatnya pengumuman resmi, pidato radio, hasutan surat kabar dan bisikan beracun selama kami dalam tahanan itu buat saya tiada sebanding dengan kegembiraan yang saya peroleh lantaran sekali lagi menyaksikan kebenaran pepatah: Berapapun cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.
Yang tak kurang pula pentingnya dan berhubungan rapat pula dengan pepatah tadi juga, ialah bahwasanya sesuatu dasar, sesuatu prinsip, yang cukup mengandung kebenaran itu tak dapat ditindas dengan pengumuman resmis atau 1001 kebohongan Fluister-campagne. Pun tiada dapat ditindas dengan tangkapan atau penjara. Bahkan pelorpun tak berkuasa ....."
Demikianlah maka pada tanggal 17 Desember 1946, suara yang tertindas dalam Minimum Program Persatuan Perjuangan semenjak 17 Maret 1946, jadi dalam waktu sembilan bulan saja meletus keluar kembali, walaupun sebagian saja. Pada tanggal 17 Desember tersebut, maka Benteng Republik yang menggabungkan Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat, Akoma, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat, Muhammadiyah, GPPI, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Bukit Tinggi), Dewan Partai PPI (Bukit Tinggi), Panitia Kemerdekaan Bulat, Angkasa Muda Guru, Barisan Banteng, KRIS, BPRI (pemberontak) dan Laskar Rakyat Jakarta Raya, memutuskan mengambil sebagai dasar ikatan: Mempertahankan Kemerdekaan 100% Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam program perjuangan ditetapkan antara lain 1)menginsafkan seluruh Rakyat untuk menolak Naskah Persetujuan Indonesia Belanda dengan mengadakan penerangan seluas-luasnya. 2) Menuntut adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mencerminkan kehendak seluruh Rakyat 3) Menuntut selekasnya pemeriksaan tahanan politik supaya yang ternyata tidak salah segera dimerdekakan. (lihat sk. Merdeka 18 Desember 1946!)
Aksi Benteng Republik yang pada permulaannya sangat menggembirakan itu berakibat menggerakkan pikiran, urat syaraf dan  tangannya pihak lawan dan mengakibatkan mereka ini mengeluarkan siaran-gelap, yang kebetulan jatuh di tangan kami, di masa itu. Siaran gelap itu, diantara lain-lainnya menyerukan kepada teman-temannya seperti berikuta:
"Ketahuilah!!! Ketahuilah, saudara-saudara Pecinta       Perjuangan, bahwa tidak lain lagi, tidak sah lagi":             Persatuan Perjuangan Berganti Corak Bulunya".
Jadinya para lawan kami memandang Benteng Republik itu seperti penjelmaan Persatuan Perjuangan. Baik juga hal ini kami peringati.
Sebenarnya jiwa Persatuan Perjuangan, ialah Minimum Program tak pernah bertukar corak. Apabila namanya ditukar menjadi Consentrasi Nasional, maka semua Partai yang mempertahankan kemerdekaan 100% segera bersekutu dalam Gabungan Revolusioner dalam Consentrasi Nasional itu sendiri. Dengan begitu, maksud ketuanya Saryono (Sibar) hendak membawa semuanya Partai,Laskar dan Badan, yang dahulunya tergabung dalam Persatuan Perjuangan kembali "kerja sama" dengan Belanda, cocok dengan dasarnya Sibar, gagal dan bermula. Saryono tak sanggup mengadakan Kongres, sekalipun tidak.
Diseluruhnya Sumatera Minimum Program itu, bukanlah suatu teori atau dalil mati ataupun satu dalil buat dipertengkarkan, melainkan sampai sekarang buat Rakyat, yang berjuang di sana, adalah batu ujian dalam praktek perjuangan. Namanya Persatuan Perjuangan-pun lama terus dipakai setelah di Jawa diganti. Pertukaran nama Persatuan Perjuangan di sana, rupanya berlaku atas desakan dari luar. Tetapi sampai sekarang Minimum Program masih disetujui oleh mereka, yang masih membela kemerdekaan 100% dan yang bermaksud mengusir tentara Belanda sampai serdadunya dari bumi, laut dan udara Indonesia kita ini.
Tetapi yang lebih tegas suara, sikap dan tindakan mereka, yang setuju dengan Minimum Program ialah dibuktikan oleh Laskar Rakyat Jawa Barat umumnya dan Laskar Rakyat Jakarta khususnya... and what is after all but a name!
Demikianlah dibawah ini saya kutip beberapa kalimat dari sk. MERDEKA Jakarta, tanggal 28 Nopember 1946, jadi ketika kami masih berada dalam tahanan di Mojokerto.
"Pada tanggal 23 Nopember (1946) dimulailah Konperensi Laskar Rakyat Jawa Barat, yang dikunjungi oleh wakil-wakil dari Markas Besar Laskar Rakyat Cirebon, Pekalongan, Purwokerto, Priangan, Bogor, Banten, dan Jakarta Raya".
"Setelah konperensi tersebut selesai, maka pada tanggal 24 Nopember diteruskan dengan Konperensi Laskar Rakyat Jakarta Raya. Pada paginya pukul 8 telah diadakan parade besar di alun-alun Krawang, kemudian berziarah ke makam pahlawan untuk melakukan janji perjuangan di tengah-tengah kuburan pahlawan".
Sorenya pukul 5 sebagai penutup ulang tahun Laskar Rakyat Jakarta Raya, diadakan rapat besar dialun-alun yang dihadiri oleh wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, Kol. Anwar Cokroaminoto, para utusan dan rakyat Murba. Rapat besar itu telah berlangsung dalam suasana hangat dan bernyala-nyala mengerahkan semangat 17 Agustus 1945, dimana pembicara tepat dengan kata-kata yang berapi-api menentang persetujuan 17 pasal perundingan Indonesia-Belanda, karena bertentangan dengan undang-undang dasar negeri dan tuntutan Rakyat Murba".
"Udara rapat sangat panas, tepuk tangan, teriakan, yang tajam serta tempik-sorak Rakyat gemuruh membelah bumi. Lebih-lebih ketika wakil Jenderal Sudirman berpidato, di mana diterangkannya, diterima atau tidak diterima oleh Pemerintah rencana persetujuan 17 pasal, tentara terus menjalankan kewajibannya".
"Amarah Rakyat kelihatan dengan jelas atas adanya rencana persetujuan 17 pasal, yang sudah melanggar tuntutan Rakyat 100% merdeka. Demikianlah rapat besar itu ditutup dengan udara yang sangat panas.
Laskar Rakyat Jawa Barat pada konperensi tersebut memutuskan diantara lain-lainnya:
1."Menuntut batalnya naskah rencana persetujuan 17 Pasal dengan mengirimkan surat-surat (kawat) kepada badan-badan Pemerintah, Presiden, Panglima Besar, Kabinet, KNIP, Konsentrasi Nasional Pusat, Partai-Partai, Badan Kongres Pemuda Indonesia dan Pers.
2."Menuntut dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang memperjuangkan kemerdekaan 100%"
3."Menuntut dimerdekakanya kawan-kawan laskar rakyat yang ditawan di Sukabumi dan lain-lain tempat serta menyatakan, bahwa kita tidak bertanggung jawab atas akibat-akibatnya jika tuntutan ini tidak terkabul".
4."Menuntut kembalinya senjata laskar rakyat di daerah yang dilucuti (dirampas) oleh pihak resmi atau tidak bertanggung jawab akan akibat-akibatnya jika tidak dipenuhi tuntutan tersebut".
5."Menuntut kepada pemerintah, supaya mencabut tuduhan-tuduhan terhadap dirinya pemimpin rakyat yang dianggap mengacau dengan jaminan, bahwa kejadian itu tak akan berulang lagi".
Seterusnya rapat umum tanggal 24 November di Krawang memutuskan:
1."Menentang dan menuntut batalnya rencanan persetujuan antara kedua Delegasi Indonesia Belanda serta menuntut memutuskan perundingan dengan Belanda".
2."Menyatakan tidak percaya keadaan Kabinet Syahrir dan menuntut bubarnya kabinet tersebut".
3."Menuntut terbentuknya pemerintahan revolusioner yang radikal untuk mempertahankan dan memperteguh kemerdekaan 100% serta memperkuat kebahagiaan hidup Rakyat Murba"
4."Menuntut dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang ditahan oleh kepolisian republik yang sudah memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia 100%.
Sekianlah catatan saya tentang rapat raksasa Laskar Rakyat Jawa Barat di Krawang pada bulan November 1946 itu, yang sekarang nyata sekali, banyak mengandung anasir yang bersejarah itu (historical elements)
Rasanya saya sedikit tahu akan pemerasan dan penindasan kapitalisme dan imperialisme di Jawa Barat, teristimewa pula di daerah tanah partikulir, seperti di daerah Jakarta Raya dan Cirebon. Saya pun sedikit kenal akan tegapnya sikap rakyat Jawa Barat, terutama di daerah Banten, Krawang, Indramayu dan Tasikmalaya terhadap pemerasan dan tindakan asing. Berhubung dengan itu, maka rasanya cukuplah mengerti saya akan merespnya tuntutan kemerdekaan 100% dan tuntutan menyita harta benda musuh, seperti termaktub dalam Minimum Program itu. Memangnya di daerah tersebutlah pertama sekali dan terutama sekali terbukti kekuatannya pemerintahan rakyat dan tentara rakyat seperti yang dikehendaki oleh Persatuan Perjuangan.
Biarpun kehendak dan tuntutan rakyat Jawa Barat itu dan sikap mereka, yang perwira terhadap tentara Jepang, Inggris dan Belanda dalam masa lebih setahun lamanya, akhirnya diganggu dan dipersukar oleh perang saudara, antara Tentara Resmi dan Laskar Rakyat, dari tanggal 13-17 April 1947 di Krawang; walaupun laskar Rakyat Jawa Barat berhubung dengan persetujuan Renville ditinggalkan oleh 35.000 Tentara Republik, namun perjuangan melawan penjajahan Belanda terus dilakukan oleh rakyat dan Laskar Rakyat Jawa Barat dari beberapa pusat yang strategis, sampai pada saat ini (Maret 1948)
Apalah musuh Persatuan Perjuangan, di dalam dan di luar Indonesia sudah pasti, bahwa jika persatuan perjuangan ialah Minimum Program, di lain-lain tempat di luar Jawa Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera, sudah lenyap dengan pergantian nama Persatuan Perjuangan.
Apakah tidak lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh mengandung dasar yang cukup kokoh tak dapat begitu saja di tindas dengan penjara ataupun pelor??
Apakah tidak akan berlaku juga di Indonesia ini hukum masyarakat, ialah bahwa darah dan jiwanya korban perjuangan kemerdekaan dari pemerasan dan tindasan itu kelak akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi negara dan masyarakat baru.
Bagaimanapun juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama Persatuan Perjuangan dan menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan teristimewa pula di bawah tanah sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah sekejappun juga saya sangsi mengucapkan:

Patah tumbuh hilang berganti!!
Le Roi est mort, Vive le Roi!!


                        (Maret 1948)






PENGUMUMAN RESMI
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Perihal: Komplotan untuk merebut kekusaan Negara.
 Sekarang telah nyata seterang-terangnya bahwa penculikan Perdana Menteri cs di Solo tanggal 27 masuk 28 Juli adalah satu permulaan dari aksi Tan Malaka, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Mr. Moh. Yamin dan lain-lain untuk merebut kekuasaan negara dengan paksa.
Komplotan mereka sudah lama diketahui oleh Pemerintah, dan inilah sebabnya mereka beberapa bulan yang lalu pemerintah menangkap Tan Malaka, Moh. Yamin, Abikusno, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Sayuti Melik. Berdasar atas pengetahuan itu, dan untuk mengetahui lebih lanjut gerak-gerik mereka selanjutnya, maka Pemerintah tidak mengumumkan alasan penangkapan tersebut.
Dalam pada itu mereka dalam tahanannya di Tawang Mangu memperoleh kemerdekaan bergerak, sehingga mereka dapat juga berhubungan dengan komplotan mereka seperti Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan lain-lainnya yang merancang coup d’etat mereka.
Menarik partai-partai lain masuk komplotannya
Mr. Subarjo dan Mr. Iwa Kusumasumantri mengerjakan perhubungan dengan lain-lain tempat. Mereka juga mencoba menarik partai-partai lain masuk komplotan mereka dan mencoba mempengaruhi tentara dan pasukan-pasukan rakyat dengan menggambarkan yang bukan-bukan tentang kabinet Syahrir. Dengan mempergunakan berita-berita penghasut dalam surat kabar “Het Dagblad” surat kabar yang diterbitkan oleh Nica di Jakarta, ditanamnya racun di dalam kalbu beberapa pemimpin pasukan supaya percaya, bahwa kabinet Syahrir telah menjual Indonesia kepada Belanda telah menerima penjajahan Belanda, katanya. Kekacauan-kekacauan di daerah Solo adalah juga usaha mereka dari belakang layar.
Di antara opsir tentara yang dibujuknya ialah bekas kepala divisi Yogya Sudarsono, yang sekarang telah diskors. Sesungguhnya Sudarsono ini telah lama dicurigai, maupun dari pihak tentara, ataupun dari pihak rakyat.
        Penangkapan besar-besaran, dokumen-dokumen dibeslag.
Coup d’etat, yaitu serobotan kekuasaan oleh mereka yang dapat didahului oleh Pemerintah, dengan mengadakan penangkapan besar-besaran.
Surat-surat dan dokumen-dokumen yang dapat dibeslag menyatakan bahwa mereka telah siap susunan pemerintahannya. Tanggal 7 Juli Presiden Republik Indonesia akan dipaksa memberhentikan apa yang disebut mereka: Kementrian Negara Sutan Syahrir, dan Amir Syarifuddin dan serentak dengan itu dipaksa Presiden menanda-tangani daftar susunan “Dewan Pimpinan Politik” dan susunan “Kemerdekaan Negara Baru”.
Rol kepada Divisi Sudarsono
Rupanya bekas kepala divisi Yogya, Sudarsono diserahi dengan melakukan tindakan itu. Dengan mencatut nama Panglima Besar, dia pada tanggal 3 Juli itu, datang  di Presiden dengan membawa gerombolannya yang akan mempersaksikan Coup d’etat-nya. Kebanyakan mereka yang dibawa itu ialah orang-orang yang telah ditangkap oleh Pemerintah, yang pagi itu dilepaskannya dari tahanan. Diantara mereka yang terdapat beberapa calon “Menteri Baru”. Dan pagi itu ada percobaan untuk menculik Menteri Pertahanan Amir Syariffudin. Syukurlah Mr. Amir Syarifuddin dapat meloloskan diri.


Presiden tidak dapat digertak
Presiden tidak dapat digertak. Tuan Sudarsono dilucuti senjatanya dan dia dengan pengikut-pengikutnya terus ditahan.
Komplotan Tan Malaka cs ini akan melakukan perampasan kekuasaan Negara dengan sebulat-bulatnya dalam dua tingkat. Tujuannya yang terakhir ialah menyingkirkan Bung Karno. Dalam tindakan pertama akan menyingkirkan pemimpin-pemimpin Negara dari mulai Wakil Presiden ke bawah Presiden dan Panglima Besar akan mereka pergunakan pada waktu itu. Kalau mereka merasa sudah cukup kuat, lalu disingkirkan pula Bung Karno dan Panglima Besar. Maka dengan itu bulatlah segala kekuasaan di tangan Tan Malaka, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Moh. Yamin, Sukarni dan kawan-kawannya.
Rencana Komplotan
Daftar “Dewan Pimpinan Politik” dan “Kementrian Negara Baru” yang akan dipaksakan kepada Presiden menanda tangani adalah seperti berikut:

I.                    Dewan Pimpinan Politik.
1.      Buntaran Martoatmojo
2.      Budhiarto Martoatmojo
3.      Chaerul Saleh
4.      Gatot
5.      Iwa Kusumasumantri
6.      Moh. Yamin
7.      Subarjo
8.      Sunarjo
9.      Tan Malaka
10.  Wahid Hasyim

II.                 Kementrian Negara:
1.      Menteri Dalam Negeri                                : Budhiarto Martoatmojo
2.      Menteri Luar Negeri                                   : Subarjo
3.      Menteri Pertahanan                         : akan disiarkan
4.      Menteri Kehakiman                                    : Supomo
5.      Menteri Kemakmuran                                 : Tan Malaka
6.      Menteri Agama                                           : Wahid Hasyim
7.      Menteri Sosial                                            : Iwa Kusumasumantri
8.      Menteri Bangunan Umum                            : Abikusno Cokrosuyono
9.      Menteri Keuangan                                      : A.A. Maramis
10.  Menteri Pengajaran                         : Ki Hajar Dewantara
11.  Menteri Penerangan dan Penyiaran  : Moh. Yamin
12.  Menteri Perhubungan                                  : Rooseno

Menteri Negara
1.      Chaerul
2.      Faturrachman
3.      Gatot
4.      Kartono
5.      Patty
6.      Sukiman
7.      Sunarjo
8.      Sartono
9.      Samsu H. Udaya
10.  Sukarni Kartowiryo
11.  Jodi
12.  Moh. Saleh

Pemerintah yakin bahwa beberapa orang yang ditaruh namanya dalam daftar Kementrian diatas, belum tahu menahu bahwa nama mereka dipakai untuk keperluan suatu komplotan meremehkan Pemerintah. Tetapi daftar itu cukup memberi gambaran, betapa luasnya komplotan mereka. Pemerintah tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi jika perlu pemerintah akan meminta keterangan kepada mereka yang namanya tersebut dalam daftar Kementrian tersebut.
Dimulai sejak 31-10-1945

Komplotan untuk mendudukkan “Presiden Tan Malaka” menjadi Kepala Negara Republik Indonesia telah sejak tanggal 31 Oktober 1945, sejak Sukarni datang kepada wakil Presiden, mengusulkan supaya Bung Karno diganti saja dengan Tan Malaka, sebab menurut anggapannya jiwa Tan Malaka lebih cocok dengan revolusi Indonesia sekarang.

“Persatuan Perjuangan” didirikan
Karena maksudnya itu tidak berhasil, maka didirikan “Persatuan Perjuangan” dengan ujud memobiliser segala partai-partai dan badan-badan perjuangan rakyat terhadap Pemerintah. Partai-partai yang tergabung diikat dengan disiplin “Minimum Program” yang tujuh pasal. Sejak lahirnya “Persatuan Perjuangan” ini pada tanggal 4 Januari 1946 di Purwokerto, maka timbullah perpecahan. Persatuan yang bulat antara Pemerintah dan Rakyat jadi pecah rupanya. Hal ini menguntungkan kepada Nica, merugikan kepada Republik Indonesia. Partai-partai besar dihasut dengan untuk mengroyok Pemerintah.
Pada sidang K.N.I Pusat di Solo pada penghabisan bulan Pebruari, dalang-dalang Persatuan Perjuangan ini telah bersedia untuk mengadakan “staatgreep”. Usaha ini gagal karena keawasan Pemerintah, dan juga karena di antara Partai-Partai “Persatuan Perjuangan” itu sendiri tidak dapat kesesuaian.

Kebiasaan Internasional
Sudah menurut kebiasaan internasional, bahwa tiap-tiap perunding yang dilakukan antara negara dengan negara tidak diumumkan, sebelum tercapai hasilnya.
Hasil itu menjadi “verdrag”, yakni perjanjian atau kosong sama sekali; yaitu tidak mendapat rancangan “verdrag”, maka “verdrag” itu diumumkan oleh kedua belah pihak, supaya diketahui oleh rakyat kedua belah negara, supaya mereka itu dapat membanding dan menimbang.
Sebelum “verdrag” itu diterima oleh “Dewan Perwakilan Rakyat” pada kita sekarang K.N.I Pusat dan sebelum ditanda tangani oleh Kepala Negara, “verdrag” itu belum lagi menjadi perjanjian yang mengikat negara.
Jika sebaliknya permusyawaratan tidak berhasil, maka kedua belah pihak biasanya mengeluarkan suatu buku keterangan Pemerintah untuk diumumkan, yang didalamnya diterangkan jalan permusyawaratan yang menyatakan apa sebab gagalnya.

Digunakan sebagai alat agitasi
Perundingan tentang Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah kita di Jakarta tak lain sifatnya.
Semuanya ini diketahui oleh Tan Malaka cs. Tetapi cara dan adat perundingan internasional itulah yang dipergunakan mereka sebagai alat agitasi untuk menjatuhkan Pemerintah. Dengan secara hasutan dalam surat kabar dan dari mulut ke mulut dikatakan, bahwa perundingan dirahasiakan karena Perdana Menteri Sutan Syahrir mau “menjual rakyat Indonesia” kepada Belanda, mau menerima kembali penjajahan katanya.
Seorang yang berani menebus cita-cita kemerdekaan Indonesia sampai di bui dibuang ke Digul, dituduh pengkhianat oleh gerombolan orang sebagai Subarjo, Mr. Budhiarto, Dr. Buntaran, Mr. Gatot yang sampai sekarang hanya ternyata sebagai “salon politicus” belaka.

Bersedia menerima “Trusteeship”
Malahan sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Subarjo dalam bulan Oktober 1945 telah bersedia menerima “trusteeship” internasional, tetapi dapat dicegah oleh Wakil Presiden dan Haji Agus Salim.
Juga Tan Malaka sendiri pada satu pertemuan di rumah Mr. Subarjo dalam bulan September 1945 telah menyatakan kerelaannya dengan “Trusteeship” itu.




Belanda menghasut
Surat kabar dan radio Belanda melantingkan kabar untuk menghasut kita dan memecah kita. Dikatakan bahwa Pemerintah dalam kontra usulnya hanya meminta pengakuan tentang kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatera.
Kabar bohong ini dipergunakan mereka sebagai alat penghasut rakyat terhadap Pemerintah.

Buku keterangan Pemerintah
Pemerintah nanati akan mengeluarkan buku keterangan pemerintah tentang jalannya perundingan dengan Belanda.
Untuk sementara waktu cukuplah jika diterangkan sebagai berikut:
Kita mengusulkan supaya Belanda menyetujui Negara Indonesia yang merdeka, yang batasnya meliputi seluruh batas Hindia Belanda dahulu.
Kalau itu disetujui, maka dimulai dengan mengakui kekuasaan yang nyata, daripada Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra. Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda bekerja bersama-sama memasukkan daerah yang lainnya itu ke dalam Republik Indonesia. Antara Negara Republik Indonesia yang merdeka dan Nederland yang merdeka akan diadakan suatu perjanjian bersahabat.
Kontra usul itu tetap didasarkan atas Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 dan tetap menuntut kemerdekaan Indonsia yang sepenuh-penuhnya.
Demikianlah supaya rakyat dapat mengetahui tipu-muslihat Tan Malaka cs untuk merebut kekuasaan negara. Rakyat insaflah!
Pemerintah akan bertindak terus, mempergunakan segala kekuasaan yang ada padanya, untuk membasmi aliran perusak dan kontra revolusioner ini dengan akar-akarnya.
Dengan mengingat seruan Presiden kita dalam pidato radionya tanggal 30 Juli 1946, berhubung dengan penculikan Perdana Menteri, maka kepada seluruh rakyat diharapkan membantu pemerintah dalam hal ini. Kalau ada nanti seruan Pemerintah untuk menunjukkan tempat orang yang dicari haraplah menolong mencari itu dan menunjukkan.
Sepatah dua patah tentangan “Pengumuman Resmi”.
“Pengumuman Resmi” Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 6 Juli 1946 itu menurut hemat saya saya sekali tidak bersifat kehukuman (juridis). Teranglah dia tidak bersandar kepada undang-undang yang sudah dibentuk dan disahkan oleh sesuatu Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh, dari dan untuk rakyat, yang sedang berevolusi ini. Tidaklah pula dia berdasarkan perbuatan yang dapat dibuktikan oleh sesuatu pemeriksaan “proper, reguler dan estabilished court” (sesuatu Pengadilan yang sah, teratur dan sudah terbentuk). Akhirnya sedikitpun dia tidak berpegangan kepada perhubungan yang logis (causality) antara undang-undang yang ada dan sah dengan perbuatan yang disangka pelanggaran.
“Pengumuman Resmi” boleh dianggap mengandung, sifat, menuduh, menangkap dan menghukum sekaligus. Dengan demikian, maka dia melanggar dasar yang lazim disebut TRIAS POLITICA, dimana si Penangkap (polisi) dipisahkan dari si Pemeriksa (Kejaksaan) dan dari si Penghukum (Hakim). “Pengumuman Resmi” ini sudah cukup jelas dikupas secara juridis oleh Mr. Moh. Yamin dalam pemeriksaan Peristiwa 3 Juli pada permulaan tahun ini. Dalam pemeriksaan itu sudah terbukti, bahwa Tan Malaka tidak bersangkut paut dengan “penculikan” Sutan Syahrir atau Amir Syarifuddin dan tidak tahu-menahu dengan peristiwa di istana Presiden. Para pembaca yang ingin mendapatkan kritik yang luas dalam sempurna atas “Pengumuman Resmi” itu saya persilahkan saja membaca Sapta Dharma, pembelaan Mr. Moh. Yamin yang sudah terkenal dan mendapat sambutan baik sekali dalam masyarakat yang sedang ber-revolusi ini, Sapta Dharma yang tetap akan menjadi suluh atas beberapa halaman sedih dalam sejarah-revolusi Indonesia ini.
Di sini saya cuma merasa perlu menambah dua tiga keterangan saja, yang bukan dimaksudkan sebagai sesuatu kupasan (analyse), yang sudah lebih daripada cukup dilakukan oleh teman-teman sepenjara yang tersebut di atas.

Pertama:
Kunjungan sdr. Sukarni kepada Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 31 Oktober 1945, yang disebut dalam “Pengumuman Resmi” sebagai pelaksanaan bermula dari maksud mendudukkan Tan Malaka menjadi Kepala Negara Republik Indonesia” itu baru saya ketahui sesudah membaca “Pengumuman Resmi” pada akhir tahun 1946 itu. Sebelumnya waktu tersebut mungkin Moh. Hatta cs dan Sukarni sajalah yang mengetahui hal itu.
Sampai sekarang (Maret 1948) saya masih berkeyakinan bahwa bukanlah kedudukan (status) Presiden itu saja, yang akan memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan kewajiban saya sebagai warga negara Indonesia buat menyokong revolusi ini. Bahkan disamping itu saya mempunyai pandangan, bahwa status Presiden, seperti yang dikenal di Indonesia sekarang ini, bukanlah satu sine qua non, satu jaminan mutlak bagi kejayaan sesuatu revolusi. Sebagai contoh boleh dimajukan, bahwa revolusi demokratis di Perancis pada tahun 1789 sebenarnya dipimpin oleh Club dan Komite saja. Revolusi melawan penjajahan di Amerika Utara (1776-1782) sesungguhnya berada dibawah pimpinan Kongres Baru setelah lebih kurang tujuh tahun revolusi Amerika Serikat selesai (ialah tahun 1789) jadi tiga belas tahun setelah revolusi meletus, barulah Presiden dipilih. Yang terpilih ialah seorang pemimpin pertempuran dalam revolusi itu sendiri (George Washington). Dalam hakekatnya, maka revolusi Bolsjewik di Rusia (7 November 1917) berada di bawah pimpinan Partai Bolsjewik dan Soviet (Rapat) Buruh, Tani, Tentara, walaupun Diktator Proletar Rusia juga mengenal Presiden.

Kedua:
Persatuan Perjuangan bukannya dibentuk karena kunjungan pemuda (1945), sekarang (1948) dewasa Sukarni kepada Drs. Moh. Hatta tidak berhasil. Persatuan Perjuangan dibentuk atas dasar yang lebih penting dan dasar yang lebih kuat-kokoh.
Persatuan Perjuangan dibentuk sesudah nasehat saya kepada Sutan Syahrir di Serang pada satu pertemuan pada permulaan Oktober 1945, yang dihadiri ± 20 orang pemimpin tidak berhasil. Saya memperingatkan kepada para pengunjung antara lain, bahwa kalau satu partai didirikan niscaya kelak akan timbul “partyen en partytjes” sebagai jamur di musim hujan. Dengan demikian maka akan sukar sekali mempersatukan perbagai partai itu dikemudian hari. Saya usulkan saja memperkuat pemerintahan dan alatnya yang ada dengan para pemimpin yang revolusioner, yang belum masuk pemerintahan.
Setelah memangnya “partyen en partyen” muncul seperti jamur itu, disamping berbagai badan da kelaskaran; setelah pengalaman saya sendiri dimasa pertempuran di Surabaya, memperingatkan betapa besarnya bahaya perpecahan diantara dan dalam partai, badan dan kelaskaran dan perlunya persatuan; setelah mendengar kabar datangnya Van Mook dengan usul “Rijksverband-nya” yang terkenal itu,  maka timbullah dalam pikiran saya maksud mendirikan dan mempelopori Persatuan Perjuangan dengan Program yang nyata-tegas, yang terkenal dengan MINIMUM PROGRAM.
Sesudah  menjalankan segala usaha persiapan di Malang, Cirebon dan Yogya (Desember 1945), maka akhirnya dapatlah dibentuk Persatuan Perjuangan itu pada tanggal 4-5 Januari 1946 di Purwokerto. Minimum Program, yang pada tanggal 5 Februari saya usulkan di Purwokerto itu buat dipelajari masak-masak dapatlah dirundingkan disahkan dalam Kongres Solo pada tanggal 15-16 Januari 1946.
Jadinya Minimum Program bukanlah satu Program yang “didektekan” oleh Tan Malaka, seperti, seperti yang dibisik-bisikkan kian kemari dan sama sekali tiada ditujukan kepada “kedaulatan Presiden”. Persatuan Perjuangan ditujukan terhadap usaha imperialis dan kaki tangannya, yang bermaksud melanggar ISI dan tujuan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta “merebut kekuasaan Negara (Indonesia) dengan perkosa” dan “mendudukkan” Belanda sebagai “kepala” penjajah atas Indonesia.

Ketiga:
Terpisah dari sikap setuju atau tidak setuju saja dengan aksi beberapa pemimpin seperti bekas Jenderal Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, dan lain-lain pada tanggal 3 Juli 1946, maka seandainya (saya ulang lagi seandainya) saya bermaksud hendak “merebut kekuasaan Negara dengan perkosa” maka tentulah dan logisnya pula saya harus bertindak menurut “Aksi-Murba-Teratur” (Massa Aksi).
PARI didirikan pada bulan Juli 1927 sesudah PKI hancur, dengan maksud menegakkan cara “MASSA AKSI”. Sekarangpun  saya masih 100% percaya kepada sistem Aksi Murba Teratur buat merobohkan sesuatu pemerintahan yang ANTI KEMURBAAN dan untuk mendirikan sesuatu kekuasaan dari, oleh dan untuk Kaum Murba. Tak logis dan mustahillah saya akan menjalankan ataupun menyetujui sesuatu aksi yang oleh pihak resmi dinamakan “penculikan” dan “penyerobotan”, yang dikalangan kami sendiri biasa dinamakan “individual terror” (terror perseorangan).

Keempat:
Seperti sudah saya terangkan terlebih dahulu, maka sebagai akibat usul saya sendiri, ialah usul mengadakan Aksi Murba Teratur, pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta, sebagai suatu “krachtpoef”   (ujian kekuatan), maka diluar kemauan dan dugaan saya sendiri Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta “meletakkan jabatannya” (demissioner), sebab tidak menyetujui MASSA AKSI yang juga tiada disetujui Kempetai Jepang, tetapi disetujui oleh MURBA JAKARATA RAYA, walaupun dilarang.
Kabinet Syahrir pun, terpaksa meletakkan jabatannya pada penghabisan bulan Februari di Solo, setelah Sidang BPKNIP di Jakarta dan Sidang KNIP Pleno di Solo pada bulan Februari juga menyatakan persetujuannya dengan Persatuan Perjuangan serta MINIMUM PROGRAM-nya. Sedangkan Sutan Sjahrir tiada menyetujui keduanya itu.
Sudah sewajarlah, bahwa kedua corak pemeberontakan, baik presidentiil ataupun ministeriil yang tiada sanggup menjalankan massa-aksi, dan yang jatuh sendirinya dengan tiada disengajai itu, setelah berlangsungnya massa-aksi atas kemauan rakyat/pemuda itu...pemerintah semacam itu tak perlu pula sengaja dijatuhkan lagi.
Dan sesungguhnya pula, berhubung dengan masih berlakunya “SURAT WARISAN”, yang ditanda tangani oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas inisiatif Presiden Sukarno sendiri, tertanggal 1 Oktober 1945, dimana ditegaskan bahwa kalau Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiada berdaya lagi meneruskan Perjuangan Rakyat Indonesia ini,  maka pimpinan Revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dll, maka sangatlah tidak cocok dengan pikiran sehat, kalau disangka, bahwa Persatuan Perjuangan itu didirikan dengan maksud hendak menjatuhkan Presiden Sukarno ataupun wakil Presiden Moh. Hatta yang dengan ikhlas membubuh tanda-tangannya di bawah Sura-Warisan tersebut, dan sampai waktu ini belum mencabut “SURAT WARISAN” itu.
Saya yakin, bahwa jika sekali saja Presiden Sukarno menerima undangan Persatuan Perjuangan yang berkali-kali dimajukan itu dan mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan dan dengan sepatah dua patah kata saja Presiden Sukarno mengucapkan persetujuannya, maka dengan sekejap mata saja akan terbentuklah persatuan yang erat antara rakyat, Persatuan Perjuangan (dengan 141 organisasinya) dan Pemerintahan. Dalam hal ini pastilah hasil sejarah-revolusi Indonesia akan berlainan dengan apa yang terdapat sampai sekarang (1948)
Persatuan Perjuangan yang dibisik-bisikkan kian kemari tak pernah mengucapkan “berdiri di belakang Pemerintah Sukarno-Hatta” itu boleh mengembalikan bisikan semacam itu dengan pertanyaan: “Apakah Bung Karno dan Bung Hatta mau berdiri di depan Persatuan Perjuangan di atas “MINIMUM PROGRAM”?

Kelima:
Setelah pemeriksaan perkara “peristiwa 3 Juli” oleh Mahkamah Tentara Agung, maka ternyata sudah, bahwa tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946 itu dilakukan oleh Tiga Serangkai, teman separtai Sjahrir-Amir-Sudarsono (tentulah) dengan persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, kabarnya pula atas desakan Delegasi Inggris/Belanda, untuk melancarkan perundingan Indonesia-Belanda, dengan maksud mencapai “kerjasama” antara Belanda (tetap) Penjajah dengan rakyat Indonesia, yang sudah memproklamirkan kemerdekaan 100% pada tanggal 17 Agustus 1945. Perundingan itu menukar sifatnya perjuangan, yang dilakukan oleh Persatuan Perjuangan dengan perjuangan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai Separtai tadi yang disetujui oleh Sukarno-Hatta. Perundingan itu menukar dasar tujuan 7 pasal Minimum Program dengan 5 Program Pemerintah; menukar diplomasi bambu runcing dengan diplomasi berunding.
Hasil penukaran dasar Tujuan dan siasat Berjuang itu sudah menelorkan Perjanjian Linggarjati dan Renville, serta mendesak Republik Indonesia ke tepi jurang penjajahan.
Demikianlah, diukur dengan hasil diplomasi-berunding, maka Fitanah- Beracun, yang dikirimkan kepada kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun berbalik kepada para pengirimnya sambil merusak binasakan Badan dan Jiwa Perjuangan Rakyat/Pemuda Indonesia.

Selesai ditulis di bulan Maret 1948 dalam Rumah Penjara Madiun

Ttd

Tan Malaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar