Setelah saya
sampai di Madiun pada pertengahan bulan Maret 1946, dengan maksud hendak
mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan ke empat, maka terdengarlah kabar,
bahwa Laskar Pesindo dengan kekuatan lebih kurang 800 (delapan ratus) orang,
yang sengaja didatangkan dari daerah-daerah lain, sudah berada di kota Madiun.
Kabarnya pula, pada malam hari yang lalu, mereka mengadakan “machtsvertoon”,
mempertunjukkan kekuatan. Dengan membawa bermacam-macam senjata, mereka berbaris
berkeliling kota dan melakukan tembak-tembakan. Di jalan-jalan masih terdapat
banyak sekali sarang pelor.
Dari semulannya
Kongres berniat hendak mengadakan pertunjukkan keprajuritan, setelah Kongres
selesai. Tetapi kami sengaja tiada mengizinkan para laskar membawa senjata api.
Pada tanggal 17 Maret, sehabisnya Kongres, pada pagi hari, maka semua laskar,
yang berada di dalam kota sudah hadir di alun-alun. Juga semua Laskar Pesindo
meminta pula kepada Kongres, supaya dapat pula hadir di alun-alun katanya untuk
ikut menjaga keamanan. Permintaan itu dikabulkan. Pada kira-kira jam 8 pagi,
ketika rapat akan dimulai, kelihatanlah di alun-alun Madiun Laskar Rakyat,
Laskar Hizbullah, Laskar Buruh, Pesindo dan lain-lain. Mungkin juga ada hadir
polisi dan tentara, tetapi tiada bersenjata. Cuma Laskar Pesindo saja yang
bersenjata lengkap dengan karabin, tommygun, mitraliur.
Meskipun
gerak-gerik Pesindo pada satu dua hari yang lampau sudah agak menarik perhatian
saya, tetapi tiada sekejap pun saya berniat hendak membatalkan janji saya akan
berbicara pada Rapat Besar di alun-alun itu. hampir pukul 12 selesailah rapat
di alun-alun dan selesailah Kongres di Madiun.
Apabila
kira-kira pukul empat petang, saya bersiap-siap hendak berangkat ke Magetan
sebentar beristirahat, maka datanglah seorang pemuda tergopoh-gopoh melaporkan
bahwa jalan menuju ke Magetan dijaga oleh segerombolan prajurit.
Apabila
ditanyakan, apakah maksudnya penjagaan semacam itu, maka dijawab, bahwa
penjagaan itu dimaksudkan untuk menangkap Tan Malaka, apabila kelak dia akan
meninggalkan kota Madiun. Saya belum mengerti, oleh siapa, sebab apa, atas nama
Badan Resmi apa, dan menurut undang-undang pasal berapa, saya harus ditangkap.
Kepada beberapa pemuda saya minta supaya jalan-jalan yang lain ke luar Madiun diperiksa,
apakah juga diawasi. Benarlah begitu! Semuanya rapi dijaga oleh gerombolan
Laskar Pesindo.
Kemungkinan buat
pertempuran di kota Madiun memangnya ada. Tetapi kami memangnya pula sama
sekali tiada memikirkan hendak mengadakan perang saudara pada waktu musuh masih
berada di tanah air Indonesia. Persiapan hendak mengadakan perang saudara
dengan Laskar manapun juga sama sekali tidak ada. Sebelumnya saya berangkat ke
Madiun, Laskar Pesindo masih anggota Persatuan Perjuangan. Pesindo memisahkan
diri dari Persatuan Perjuangan ialah pada Kongres di Madiun, yang diadakan pada
waktu Persatuan Perjuangan berkongres pula. Kongres Pesindo dihadiri oleh Amir
Syarifuddin. Pada ketika itu dia memangku jabatan Menteri Pertahanan. Rupanya
Amir sedang berusaha keras menjalankan penangkapan atas diri saya, yang kini
sudah nyata perhubungannya dengan permintaan dalam Surat Delegasi Indonesia
kepada Pemerintah, cocok dengan keterangan Amir sendiri, di depan MTA tanggal
22 Maret tahun 1948 ini. Pada ketika itu saya sama sekali tiada tahu, bahwa
Amir Menteri Pertahanan ada di belakang Pesindo dengan maksud menangkap saya,
atas permintaan Delegasi Indonesia dan dengan persetujuan Pemerintah Republik
itu. Hanya saya mendapat kabar, bahwa Laskar Hizbullah dalam kota Madiun sudah
dikepung oleh Pesindo dan semua Laskar yang di luar kota, yang tadi hadir dalam
rapat besar di alun-alun sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Kemungkinan bagi
saya untuk meloloskan diri juga ada, walaupun amat tipis, karena bulan terang
benderang dan penjagaan amat rapi. Tetapi kalau di luar negeri saya dapat
meloloskan diri berkali-kali, di Indonesia pun mungkin dapat pula, kalau
memangnya saya betul-betul bermaksud begitu. Tetapi dengan demikian, maka saya
akan terpaksa melepaskan perhubungan terang-terangan dengan Persatuan
Perjuangan. Sedangkan pada waktu itu sudah ramai dibisik-bisikkan, bahwa saya
cuma “Berani mengkritik Pemerintah saja, tetapi tiada berani memikul tanggung
jawab pemerintah” sedikitnya, ternyata pada Rapat KNI Pusat di Solo pada
tanggal 28 Pebruari sampai Maret 1946, bilamana Syahrir meletakkan jabatannya.
Dan di samping itu dibisikkan lagi, bahwa karena saya sering lari lolos di luar
negeri, kelak kalau perjuangan menjadi hangat, maka, katanya saya akan mencoba
meloloskan diri pula”. Demikianlah mulai dibisikkan, bahwa “saya tak sanggup
bertanggung jawab, baikpun terhadap pimpinan negara ataupun pimpinan pergerakan
rakyat”. Sekarang sesudah diketahui oleh adanya Lima Serangkai (Abdul Madjit
cs) seperti tuduhan Surat Kabar Murba, maka bisikan ular semacam itu, lebih
mudah dimengerti.
Sedangkan saya
memikirkan, sikap apa yang baik diambil, maka datanglah Wali Al-Fatah, Wakil
Masyumi, yang mengambil bagian terkemuka dalam Persatuan Perjuangan mengunjungi
saya membawa usul. Bersama-sama dengan Wali Al Fatah, datang juga saudara Haji
Mukti, Masyumi dan anggota staf MBT sdr. Ngabdu dari Hizbullah, anggota
Persatuan Perjuangan Daerah Ngawi, dan sdr. Bustami dari Laskar Rakyat, juga
anggota Persatuan Perjuangan. Menurut Wali Al Fatah, maka dengan persetujuan
pihak yang berkuasa di Madiun saya akan diantar ke presiden untuk mengadakan
perundingan. Di rumahnya Tn. Susanto Tirtoprojo, yang pada masa itu menjabat
pangkat Residen di Madiun, dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada
saya di alun-alun, maka wakil P.T berkata kepada saya: tuan akan diantarkan ke
Yogya dengan wujud hendak berunding dengan Presiden.
Wali Al Fatah
memajukan di muka Residen, supaya keamanan diri Tan Malaka dijamin. Demikianlah
kami ketika sudah jauh tengah malam dengan enam auto berangkat menuju ke Yogya.
Diantara enam auto itu, maka satu auto dikendarai oleh sdr. Hadji Mukti, dari
Masyumi dan MBT serta sdr. Ngabdu dari Masyumi dan Hizbullah; satu auto lagi
dari sdr. Bustami dari Laskar Rakyat dan satu lagi oleh Sukarni, saya sendiri
beserta tiga orang prajarit Laskar Rakyat Jawa Barat, ialah Legimin, Nurdin dan
Rusli. Tiga auto lainnya dikendarai oleh P.T (Polisi Tentara) dan Joko Suyono,
kepala MBT bagian organisasi.
Di
pinggir-pinggir jalan menuju ke Ngawi, banyak sekali pemuda (penyelidik?) yang
menaruh perhatian kepada iringan auto kami. Pada sebuah jembatan di luar kota,
sudah siap satu stelling, lengkap dengan tommya-gun dan mitraliur yang dikuasai
oleh Pesindo.
Di kiri-kanan
jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula
mengadakan stelling
Di kiri-kanan
jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula
mengadakan stelling pula ke arah jalan raya. Setelah pemeriksaan oleh mereka
atas penumpang auto dilakukan, maka kami berangkat terus.
Sesampainya di
Kadi Polo, Solo, maka saya lihat auto yang ada, cuma ada 2 buah saja, ialah
autonya P.T. pengantar dan auto saya sendiri. Di belakang hari saya tahu, bahwa
auto yang lain-lain ketinggalan di Jalan, karena sering mengalami kerusakan.
Pemimpin P.T.
mempersilahkan kami masuk ke sebuah rumah P.T. di tepi jalan. Dalam rumah itu
terletak bermacam-macam senjata api. Oleh pemimpin P.T.dalam rumah itu
dipersilahkan sdr.Sukarni masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah senjatanya
diminta, maka pintu kamar itu dikunci. Saya memprotes kepada kepala pengantar
P.T.Madiun dan memperingatkan, bahwa perlakuan ini adalah melanggar perjanjian
kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar P.T. Madiun menjawab,
bahwa dia cuma melakukan perintah saja dari P.T.Solo itu, dibenarkan dan saya
dipersilahkan menunggu dalam sebuah kamar pula. Sebentar saja saya duduk dalam
kamar itu, maka sekonyong-konyong kamar itu dikunci dari luar. Tiada berapa
lama antaranya, maka dari kamar sebelah, saya dengar suara dari Mr.Yamin. Dia
mengatakan,
bahwa pada kamar sebelah lagi berada sdr.Abikusno yang juga ikut berbicara
dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun. Pada masa itu saya belum tahu,
apa sebab, oleh siapa, dan atas nama Instansi apa, kami berempat ditahan begitu
saja.
Pada bulan Juli,
tahun itu juga ketika di Mojokerto, saya dengar dari sdr.Moh.Saleh, Pemimpin
Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, dan di Ponorogo pada bulan Agustus tahun 1947
dan sdr.Haji Mukti, bahwa mereka berdua, beserta mengunjungi Presiden, untuk
menanyakan hal kami dan miminta supaya kami semua dibebaskan. Tetapi teranglah
sudah, bahwa mereka tiada mendapatkan hasil dan jawab yang memuaskan.
Tiba-tiba pada
senja hari tanggal 22 Maret, kami dipindahkan oleh P.T. ke sebuah rumah di
tengah sawah di Jetis, beberapa kilometer jauhnya dari Solo. Di sini kami
dijaga dengan
rapi oleh dua belas orang P.T.dari Yogya dan pada malam harinya juga oleh
Laskar Rakyat, Solo. Mereka anggota Laskar Rakyat kelihatan amat serem! Dengan
bambu
runcing mereka
berkawal di depan pintu kami. Mulanya saya tiada mengerti tentang penjagaan
yang begitu serem dan menunjukkan semangat permusuhan terhadap kami. Setelah
kebetulan saya
di belakang dan melihat satu tulisan dengan huruf besar di dinding belakang
rumah, barulah saya mengerti. Tulisan itu menyebutkan "NICA YANG HARUS
DIBERANTAS".
Kebetulan saja
diantara satu dua orang anggota Laskar mengenal pula satu dua orang diantara
kami. Sukarni dikenal oleh salah seorang, yang pernah sama ikut bertempur dengan
dia di Jakarta dan saya dikenal oleh salah seorang pengikut Almarhum Haji
Misbach. Hilang lenyaplah persangkaan diantara Laskar Rakyat di kampung-kampung
sekitar kami, bahwa adalah kaki Nica, seperti yang ditujukan oleh tulisan
tersebut dan mungkin juga dibisikkan lebih dahulu, sebelum kami ditempatkan di
sana.
Sekarang timbul
perseteruan antara Laskar yang sekonyong-konyong insyaf akan kedudukan kami
dengan para pengawa kami, ialah 12 orang anggota P.T. tetapi perseteruan ini
dapat kami selesaikan, dan suasana menjadi baik sama sekali.
Pada suatu hari
saya dikunjungi oleh Dj.Maj.Joko Suyono, yang katanya, menyampaikan "salam
penghargaan" Amir, Menteri Pertahanan kepada saya. Dimajukannya pula,
apakah saya mau dijumpakan dengan Amir Syarifuddin. Saya menjawab, seperti
sudah saya tuliskan dahulu, bahwa saya cuma mau berunding dengan Amir sebagai
orang merdeka dan setelah kami berempat dibebaskan.
Pada tanggal 22
April, kami dijemput oleh polisi Solo buat dipindahkan ke Tawang Mangu. Di sana
kami berempat mulanya ditempatkan dalam satu rumah. Kemudian dipisah-pisah
Sdr.Abikusno yang dibelakang hari diikuti oleh keluarga keduanya tinggal agak
jauh dari rumah di mana saya diam. Saya tinggal bersama-sama sdr. Sukarni, yang
dibelakang hari juga diikuti oleh isteri dan anak-anaknya. Di Tawang-Mangu kami
berada di bawah pengawasan tentara di sana, dan diikuti ke mana saja kami
pergi.
Setelah seminggu
atau lebih saya berada di Tawang Mangu, maka mulailah saya menderita akibat
makanan yang kurang teratur, selama sebulan saya tinggal di Jetis, Solo tadi. Penyakit perut yang sering saya alami
di Tiongkok dan lain negeri ialah, apabila makanan kurang teratur (lantaran
kemiskinan), bangkitlah kembali di Tawang Mangu dengan
kekuatan
mendadak. Karena kekurangan dokter dan obat di Tawang Mangu, maka saya terpaksa
memakai obat kampung saja. Sesudah lebih daripada seminggu menderita demikian
dengan sangat, maka barulah didatangkan seorang dokter dari Solo. Besoknya saya
diangkat ke Solo, ke rumah sakit Jebres. Dikatakan, bahwa saya menderita
"entsteking" (tusukan) di usus dan buah pinggang.
Para tukang,
kalau berkumpul-kumpul, biasalah menyangkut-nyangkut perkara pertukangan.
Demikialahlah kami orang pergerakan, apalagi karena sudah senasib, setempat dan
serumah sepenanggungan, banyak menyangkut-nyangkut perkara pergerakan politik
Indonesia. Hal semacam itu tak bisa dan tiadalah pula perlu disingkirkan. Baik
di rumah di Jetis, sunyi daripada masyarakat dan keluarga ataupun di Tawang
Mangu, di mana kami berada dalam pengawasan, maka pembicaraan tentang
pergerakan itu adalah sambal yang paling disukai.
Pembicaraan yang semacam itu
membangunkan semua perhatian dan pengharapan yang kami taruhkan pada pergerakan
Rakyat Indonesia: It is stimulating, menghidupkan, kata pepatah asing.
Buat saya
sendiri percakapan dengan VETERAN pergerakan seperti Abikusno dan Yamin, serta
dengan pemuda seperti Sukarni, adalah pelajaran, yang sangat berguna.
Keterangan yang saya peroleh tentang pergerakan dan "Who's who",
tentang sifat dan sejarahnya mereka yang terkemuka dalam pergerakan Indonesia,
selama lebih kurang seperempat abad saya tinggalkan, adalah jembatan buat
menyambungkan sejarah terpotong, ialah bagian sejarah antara saya meninggalkan
pergerakan Indonesia pada bulan Maret 1942 dengan Januari 1946, ketika saya
kembali berada di tengah-tengah rakyat jelata.
Terutama pula
oleh banyak bukti yang dikemukakan oleh Yamin, yang masih ingat akan tanggal,
tempat, orang dan kejadian, yang sukar buat dibantah; oleh Abikusno, yang
berbahagia mengalami pergerakan Yang Lama dan Yang Baru, gerakan Sarekat Islam
sampai ke Proklamasi; oleh Sukarni salah seorang pemuda Jakarta yang terkemuka
dalam gerakan Proklamasi 17 Agustus oleh semuanya itulah banyak patung dewa,
yang selamanya ini dipuja oleh umum dan saya hormati pula, jatuh pecah-belah,
di depan kaki saya. Sebaliknya pula adalah "unknown greatheness",
orang besar yang tak terkenal, yang
naik melambung
di depan mata saya.
Seperti lebih
sedikit dan seperempat abad lampau, bilamana saya, siang atau malam, saya
menerobos ke kamarnya Subarjo, demikianlah pula di Tawang Mangu, apabila saya
merasa perlu, diantarkan oleh para pengawas, saya menerobos ke rumahnya
Subarjo. Pun dari orang yang sudah mengelilingi dunia ini banyak saya peroleh
pengetahuan tentang "Who is who" yang berfaedah buat saya untuk
menyeberangi banjir revolusi ini.
Tiadalah dapat
saya lupakan percakapan dengan Iwa Kusumasumantri, seorang yang sangat
menderita tindasan hidup dan kesunyian jiwa di zaman "Hindia Belanda"
tiada kurang dari penderitaan para pemimpin nasionalis yang manapun juga.
Tetapi lebih
daripada percakapan antara seorang dengan seorang tiadalah bisa dan tiadalah
boleh saya lakukan dengan mereka tersebut di atas. Seperti masing-masingnya
mereka tadi, mempunyai Program dan Ikatan Organisasi sendiri, saya pun merasa
terikat kepada program saya sendiri, cara berjuang saya sendiri dan masih
merasa terikat kepada semua keputusan yang sudah diambil oleh Persatuan
Perjuangan. Saya merasa, tiadalah
boleh begitu
saja memutuskan sendiri sesuatu hal, serta bertindak sendiri sebelumnya saya
berjumpa kembali dengan teman seperjuangan, yang sudah dipaksa berpisah:
semenjak
penangkapan 17
Maret di Madiun itu.
Ketika
berlakunya peristiwa 3 Juli itu, maka saya berada bersama Sdr.Abikusno dan
Sukarni di Tawang Mangu, lebih kurang 100 km jauhnya dari Yogyakarta. Apa yang
sesungguhnya berlaku dan siapa yang melakukannya, sebenarnya barulah sesudah
pemeriksaan M.T.A, yang dimulai pada 19 Pebruari 1948 ini saya ketahui. Tentang
apa yang dinamakan "penculikan" itu, barulah saya dengan dari radio
di Tawang Mangu, lebih kurang 5 Juli sore. Sampai pemeriksaan resmi dalam
pengadilan M.T.A jadi selama lebih daripada satu setengah tahun di belakangnya
masih tebal sekali kegelapan di depan mata saya terhadap
peristiwa
tersebut.
Apalagi ketika
peristiwa itu, semuanya adalah teka-teki belaka buat saya. Dalam keadaan
begitu, maka pada pagi hari tanggal 6
Juli kami didatangi oleh seorang opsir
T.R.I dari Solo,
katanya buat "berunding" dengan Panglima Besar. Kami (Abikusno,
Sukarni dan saya sendiri) tidak mau percaya begitu saja diundang tak dengan
surat. Lagipula kami tiada begitu saja mau meninggalkan Tawang Mangu dengan
tiada izinnya pemimpin tentara di sana, seperti sudah ditetapkan atas kami sebagai
orang tahanan.
Kami meminta
opsir T.R.I tadi kembali ke Solo mengambil surat undangan dari Panglima Besar.
Sorenya datanglah dari Solo seorang opsir T.R.I juga bernama Fajar,
yang mengunjungi
kami ke Solo pula untuk berunding dengan Panglima Besar Sudirman. Katanya pula,
nanti malam hari ini juga kami boleh kembali ke Tawang Mangu.
Oleh karena kami
sudah kenal sama opsir Fajar di Tawang Mangu dan Kepala Pasukan Tawang Mangu
Sastro, berada di Solo pula, maka kami berangkat dengan auto menuju ke Solo.
Oleh karena sedikit
sekali kami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar Tawang Mangu dan
percaya kepada perkataan Fajar, bahwa kami akan segera dikembalikan ke Tawang
Mangu, maka tak ada diantara kami yang mengadakan persiapan buat
bermalam di lain
tempat. Saya sendiri cuma berangkat dengan sepotong pakaian saja. Berhubung
dengan mudahnya terganggu kesehatan maka hal itu tak pernah saya lakukan.
Tetapi sebab percaya kepada perkataan opsir Fajar tadi, maka saya seperti juga
Abikusno dan Sukarni tidalah memikirkan kemungkinan bermalam di tempat itu.
Sampai di Solo
kami dibawa ke rumahnya Komandan Divisi VI dekat rumah sakit di Jebres. Di sana
kami menunggu kabar, bila kami akan dijumpakan dengan Panglima Besar. Setelah
lebih dari pada satu jam kami menunggu, maka datanglah kabar, bahwa katanya,
Panglima Besar tadi siang hari berangkat ke Yogya oleh Mayor Mursito.
Kami tak mau
begitu saja percaya atas undangan “berunding” dengan Presiden itu. Tiga
setengah bulan lampau, saya juga diantarkan ke Yogya buat "berunding"
dengan
Presiden, tetapi
tersangkut di rumah tahanan di Kadipolo, Solo. Kami meminta diperjumpakan lebih
dahulu dengan Komandan Tawang Mangu, yang berada di Solo, supaya kami dapat
mengetahui hal ikhwal yang perlu kami ketahui. Kami mengancam akan pergi
sendiri mencari Sastro, komandan pasukan Tawang Mangu. Beberapa kali saya
ucapkan, "Apakah kami akan diserahkan begitu saja, entah kepada siapa
pula".
Dalam pada itu
suara radio sedang memperdengungkan sekali lagi "pengumuman resmi"
tentang "coup d'etat Tan Malaka yang gagal, katanya itu. Dari opsir Fajar,
datang pula sepucuk surat, yang mengatakan, bahwa "sejarahlah kelak yang
akan
menentukan,
apakah dia pengkhianat atau tidak terhadap kami" yang dialamatkannya
sebagai bapak. Baru saya agak insyaf akan keadaan saya, walaupun sama sekali
belum mengerti duduknya perkara yang sebenarnya.
Apabila komandan
batalyon Tawang Mangu Sastro, datang dengan celana pendek dan baju kemeja saja,
diapit pula kiri kanan dan di belakang oleh beberapa prajurit yang kelihatan
mengawasi gerak-geriknya komandan Sastro itu, maka saya sudah insyaf benar,
bahwa kami ditipu lagi oleh bujukan "berunding" mulanya dengan
Panglima Besar, kemudian dengan Presiden.
Komandan Sastro mengucapkan
beberapa perkataan yang menunjukkan, bahwa dia tiada berdaya lagi, dan minta
dengan suara yang amat menyedihkan supaya kami berangkat saja ke Yogya.
Satu auto buat
kami bertiga dan Mayor Mursito dan satu lagi, ditambah pula dengan satu truk
penuh dengan para prajurit bersenjata lengkap sudah siap di luar rumah untuk
mengiringkan kami ke Yogya. Seperti dugaan saya, sesudah berjumpa dengan
Sastro, komandan batalyon, maka benarlah kami bukan dibawa ke istana Presiden
buat "berunding", melainkan buat dimasukkan ke penjara Sentul. Di
sinilah akhirnya saya berada di atas tempat tidur batu dengan sehelai tikar
tipis dan pakaian sepotong,kira-kira jam empat pagi.
Saya rasa benar
akibatnya "Pengumuman Resmi", tentang "coup d'etat" Tan
Malaka", yang didengung-dengungkan oleh semuanya radio pemerintah dan
Badan, selama lebih kurang seminggu, dan disiarkan oleh semua surat kabar, oleh
rapat terbuka dan tertutup, apalagi oleh bisikan berbisa di mana-mana tempat di
masa itu oleh golongan lawan. Pelayanan yang saya alami dalam penjara dan di
perjalanan dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, di masa itu
tiadalah bedanya dengan pelayanan yang seharusnya ditimpakan kepada
"Public Enemy No.1" (Musuh Umum No.1).
Di tengah-tengah
rakyat yang sudah diracuni oleh "Pengumuman Resmi", yang dalam
hakekatnya di luar penuduh dan penghukum, serta memutuskan saya sebagai kepala
penjahat, sebelumnya sesuatu tuduhan yang berdasarkan sesuatu pelanggaran
aturan yang sudah ada, terhadap diri saya, diperiksa serta diputuskan oleh satu
pengadilan yang sah dan tidak berpihak sebelah di tengah-tengah dengungan
radio, siaran surat kabar dan bisikan ular itulah paa tanggal 13 Juli, pagi
hari kami bertiga (Abikusno, Sukarni dan saya), dikeluarkan dari penjara
Wirogunan (Sentul) diiringi dengan bayonet terhunus ke suatu mobil, yang
mengangkut kami ke sebelahnya stasiun Tugu. Sebelumnya naik gerobak
"istimewa" yang penuh dengan pengawal, kami di "potret"
oleh Tuan Sumarsono, inspektur Polisi, Yogya. Sebelumnya itu, di dalam penjara
pun, di belakang tirai besi saya sudah mendapat kehormatan, seperti seorang
penjahat mendapat kehormatan "dipotret" seperti itu juga. Di dalam
kereta, kelihatan Mr.Yamin, dan Mr. Subarjo.
Oleh kepala
pengawas, Tuan Mukojo saya diminta duduk tersendiri di tengah-tengah para
prajurit pengawas.
Demikianlah
akhirnya kereta berangkat, bagi saya, di masa itu, entah ke mana......
Pada petang
harinya tanggal 13 Juli kami berangkat itu, kami tiba di Mojokerto. Barulah
saya tahu, bahwa inilah tempat yang dituju. Di luar stasiun Mojokerto, ketika
saya berada di luar mobil, maka diantara khalayak ramai di pinggir jalan ada
yang berteriak mengenal dan memanggil menyebut nama saya. Oleh pengawas di
pinggir mobil, suaranya segera diperhentikan dengan acungan bayonet dan
perkataan: "mau apa?"
Akhirnya mobil
berhenti dan kami dimasukkan ke dalam sebuah kamar di kantor P.A.M. (Penyelidik
Aliran Masyarakat) di samping kantor polisi di jalan Kabupaten. Di sana sudah
ada beberapa orang tahanan yang lain ialah Domo Pranoto, Mr. Daljono, Ismangun
Winoto, dan Jamaludin Tamin. Malam hari itu juga kami dipisah-pisah. Yang
tinggal di Mojokerto di kamar P.A.M. tersebut cuma Mr.Yamin, Domo Pranoto, Mr.
Daljono dan saya sendiri. Yang lain-lain, ialah Sukarni, Jamaludin, Mr.
Subarjo, Abikusno dan lain-lain disebarkan pada beberapa tempat entah dimana.
Saya tiada
mempunyai apa-apa, di luar sepotong, pakaian. Alat mandi sama sekali saya tiada
punya. Selimut yang amat saya butuhkan, baru lebih kurang lima bulan di
kemudian hari saya peroleh dari Yogya. Kutu-busuk dan nyamuk mengamuk
semau-maunya,
sedangkan kami tak mempunyai kelambu. Pada beberapa hari permulaan, kami tiada
diperbolehkan keluar kamar buat sedikit gerak badan. Keluar kamar mandi pun
haruslah dengan izin penjaga lebih dahulu. Ke kamar mandi itu, pun kami diikuti
oleh prajurit dengan sangkur terhunus.
Pada tanggal 19
Juli malam, kami sekonyong-konyong disuruh bersiap untuk diberangkatkan.
"Kemana", atas perintah "siapa" tiadalah perlu ditanyakan,
karena tak akan mendapat jawaban. Dalam keadaan begitu, maka filsafat saya
biasanya cuma satu: "Saya dianggap musuh dan saya berada dalam keadaan tak
berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran!!!
Sebab itu
senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri saya
dengan hati tetap tabah". Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah
berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana
semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap,
laksana kabut disinari matahari.
Bahkan ada saat yang pernah saya rasa,
bilamana saya anggap pelorpun akan melantun kembali mengenai jantung yang
menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai
akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang
menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata.
Saya sungguh
harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan semacam
itu tadi,yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung orang yang
tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.
Apabila auto
kami sampai dekat garis pertahanan, maka memangnya ada timbul sedikit
kecurigaan di hati saya. Kalau-kalau auto ini menuju ke Surabaya, ke tempat
Belanda. Kenapa tidak? Pelayanan yang saya terima dari pemerintah Republik,
semenjak 6 Juli, malam juga semenjak 17 Maret 1946, tiada sedikitpun memberi
kepercayaan kepada saya,bahwa saya masih dianggap "lawan politik"
saja dan masih mempunyai hak sebagai manusia, dan hak sebagai warga negara
Republik.
Apalagi kini, setelah
keterangan Amir di depan M.T.A tentang adanya permintaan Delegasi di bawah
pimpinan Syahrir, untuk menangkap saya itu, maka kecurigaan saya itu lebih
mendapat alasan lagi.
Setelah auto
mulai naik gunung dan akhirnya berhenti di Pacet, maka barulah saya tahu, bahwa
kami berempat dipindahkan ke sana. Di sini kami berempat dikunci dalam
sebuah kamar.
Kasur tak ada. Dinginnya bukan kepalang. Apalagi karena kamar kecil itu berada
di samping kamar mandi. Tikarlah yang dibuat menjadi kasur di atas ubin, dan
tikarlah pula yang dijadikan selimut di Pacet, yang terletak di pinggang gunung
itu.
Dari celah
dinding, esoknya kami dapat melihat beberapa tahanan yang lain-lain, ialah
Mr.Iwa, Abikusno, Karto Pandojo dan Surono.
Pada tanggal 24
sekonyong-konyong pula diperintahkan kepada kami, pada malam hari, bahwa kami
harus pula bersiap-siap. Pada malam harinya itu kami dibawa kembali ke kamar
P.A.M, Mojokerto, di jalan Kabupaten di tempat dahulu.
Apakah yang
terjadi sepeninggal kami dalam empat lima hari itu? Baru berbulan-bulan di
kemudian hari hal ini agak terang bagi saya.
Surat kabar
BAKTI no.81, yang dikuasai oleh Pesindo, membuka tabir di depan apa yang
terjadi pada tanggal 22 Juli 1946 ketika kami masih berada di Pacet itu.
Demikianlah
dalam Induk Karangan sk BAKTI itu, dengan berkepala "TAN MALAKA dan
KONCO-KONCONYA" tertulis antara lain"
"Kemarin
(jadi tgl. 2 Desember 1946! Pen!)
tersiar berita dalam surat kabar, yang menerangkan: bahwa Tan Malaka cs.
telah diperiksa dan berjalan lancar. Konon atas permintaan Tan Malaka sendiri,
maka pemeriksaan akan dilakukan di dalam sidang pengadilan terbuka".
"Dengan
tidak mendahului kebijasanaan Pemerintah, di sini kami kemukakan pendapat
sekadarnya berpaut dengan soal besar tersebut".
"Kalau kita
perhatikan pengumuman Pemerintah yang disiarkan oleh "Antara" tanggal
6 Juli 1946, tegaslah sudah, bahwa penculikan Perdana Menteri di Solo pada
tanggal 27 masuk 28 Juni 1946 malam, adalah suatu pendahuluan daripada aksi Tan
Malaka untuk merebut kekuasaan negara dengan perkosa".
"Pemerintah
sendiri mengatakan, bahwa perbuatan Tan Malaka cs. adalah "coup
d'etat" atau serobotan kekuasaan. Jadi nyatalah, aksi Tan Malaka itu
betul-betul akan merobohkan Pemerintah".
"Seratus
lima puluh ribu rakyat dari segala lapisan pada tanggal 22 Juli telah berkumpul
di alun-alun Mojokerto perlu mendengarkan kelakuan Tan Malaka cs. Kemudian
diambil putusan, yang antara lain memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah
hendaknya mengambil sikap yang tegas dan nyata terhadap mereka yang sudah
merobohkan Pemerintah, juga rakyat memutuskan: Menentang segenap usahaha
"kompromi" terhadap mereka (Tan Malaka cs)".
"Mengingat
suara rakyat yang menggelora itu kiranya tidak ada salahnya, manakala
pemerintah dalam menghukum Tan Malaka cs.menerima pula suara rakyat itu yang
lazim dikatakan oleh pujangga "Suara Tuhan"
Sekianlah sk.
BAKTI.
Baru setelah
lima enam bulan dalam keadaan terpisah dan tak tahu apa-apa, saya mendapatkan
penjelasan yang agak lebih lengkap tentang rapat seratus lima puluh ribu Rakyat
Mojokerto, yang dijalankan ketika saya berada di Pacet itu.
Rapat raksasa di Mojokerto
pada tanggal 22 Juli 1946 itu rupanya ada hubungannya dengan pemindahan kami
pada malam hari ke Pacet pada tanggal 19 Juli itu, yang dilakukan dengan gugup
dan tergopoh-gopoh itu.
Ada lagi
keterangan yang saya peroleh, selainnya daripada laporan bahwa 150.000 orang
yang "mendesak Pemerintah"...."mengambil sikap yang tegas dan
nyata" terhadap
Tan Malaka cs.
yang melakukan perbuatan "coup d'etat" atau merobohkan kekuasaan itu.
Sumarsono,
Pesindo, kabarnya mengemukakan dalam rapat, yang dikunjungi oleh 150.000 orang
itu, bahwa dia mempunyai "bukti yang nyata", bahwa Tan Malaka hendak
merobohkan Pemerintah.
Kusnandar,
Pesindo, juga berbicara: di depan 150.000 orang mengatakan, bahwa dia sudah
memerintahkan laskarnya pergi ke Yogya membantu pemerintah dan memerintahkan
pula supaya jangan kembali, selama golongan penyerobot kekuasaan
itu masih ada.
Muntalib,
Pesindo, mendesak supaya Tan Malaka cs. dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Yang tiada
menyinggung-nyinggung "coup d'etat" pada Rapat Besar di Mojokerto
itu, ialah pembicara Sutomo B.P.R.I., lebih terkenal lagi dengan nama Bung
Tomo. Malah ada orang lain yang mendengarkan pidato radio Bung Tomo di belakang
hari, bilamana dia menyerukan kepada para pendengar, supaya disampaikan salah
pahamnya semula terhadap saya dan memintakan maaf. Saya sendiri ragu-ragu
apakah sendiri mendengar pidato
radio itu atau
tidak. Tetapi pesan Bung Tomo itu saya mendengar bukan sekali dua saja, mungkin
pula Bung Tomo, bekas anggota Persatuan Perjuangan itu, belum lagi lupa, bahwa
dia pernah membela MINIMUM PROGRAM.
Tetapi ada lagi
yang terpenting di sekitarnya. Rapat Raksasa di alun-alun Mojokerto itu.
Sebelumnya Rapat itu dilakukan, maka di kampung-kampung sudah
"ditanyakan" kepada
penduduk
"hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepada Tan Malaka".
"Walaupun
ini cuma berupa pertanyaan saja, tetapi bagi Rakyat Mojokerto, yang di masa
Jepang dan Republik pernah menyaksikan "hukuman pancung" di alun-alun
di depan ribuan khalayak, maka pertanyaan semacam itu banyak mengandung
sugesti, petunjuk. Pertanyaan semacam itu mudah membangunkan hawa nafsu jahat
yang tak dapat dikendali. Seperti dalam surat kabar BERDJOANG di Malang, maka
di Mojokerto gambar Tan Malaka
juga dibalikkan,
sebagai simbol orang jatuh terbalik. Gambaran itu dibesarkan dan dipanggul
untuk dipertontonkan, ketika menuju ke alun-alun Mojokerto.
Takut akan
diserobot, sebagai akibatnya "pidato" para pemimpin seperti
Sumarsono, Kusnandar dan Muntalib diataslah, rupanya para polisi yang menjaga
kami di P.A.M tergopoh-gopoh melarikan kami ke Pacet di waktu malam, dua tiga
hari sebelumnya Rapat Raksasa diadakan di alun-alun itu.
Suasana yang
hangat, karena sudah sangat dihangatkan pada rapat-raksasa di Mojokerto itu
diperhangat oleh pidato-pidato dan rapat-besaran yang dilakukan oleh Presiden
dan Wakil
Presiden di Malang dan oleh Amir sebagai Menteri Pertahanan di Sidoarjo.
Suasana semacam itu sudah menimbulkan aksi-ramai ala "penyembelihan
September" di masa revolusi Perancis! Inikah yang dikehendaki oleh lawan
politik kami di
masa itu?
Di Pacet pun
saya tiada berada dalam keadaan aman! Adapula di antara anggota Pesindo, yang
tiada mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, yang mendesak supaya saya
diserahkan kebawah penjagaannya. Tetapi ini rupanya mendapat sangkalan keras
dari temannya sendiri. Kabarnya konon si "teman" menyuruh salah satu
diantara dua pistol buat tembak menembak di antara mereka sendiri sebelumnya
Tan Malaka diambil.
Pada bulan
Agustus kami dipindahkan ke Dagusan, Mojokerto. Di sini kami berada dalam
pengawasan P.I (Polisi Istimewa) dan memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik
daripada semenjak permulaan bulan Juli. Di Bagusan saya berjumpa dengan sdr.
Sudijono, P.B.Merdeka sekarang, dan dibelakang hari juga dengan Mr.Subarjo dan
Sukarni.
Polisi Istimewa
Mojokerto, dibawah pimpinan tegap Tuan Sucipto adalah polisi, yang terus
menerus ikut bertempur di front Surabaya. Bukan ikut-ikutan saja. Polisi
Istimewa Mojokerto di masa itu ikut berjuang sebagai pasukan, yang diakui
patriotisme dan keprawiraannya. Mereka ikut bertempur semenjak perang Surabaya.
Ikut mengundurkan diri sebagai siasat umum dan mereka mengandung semangat anti
penjajahan sampai-sampai ke benak dan tulang sumsumnya.Dan pihak prajurit
semacam ini, di mana saja, dan bilamana saja, kami senantiasa menerima
pelayanan yang adil dan penuh prikemanusiaan. Kami
pun merasa aman,
bahkan gembira, apabila di tengah-tengah pemuda perwira, pencinta serta pembela
Republik dan Rakyat Murba serta bertindak membela kemerdekaan 100%. Terhadap
anak buahnya sendiri Tuan Sucipto, selain menaruh perhatian penuh, seolah-olah
bapak terhadap anaknya. Terhadap kami Tuan Sucipto beserta para pembantunya
berlaku seperti anak terhadap bapaknya. Tetapi malangnya bagi kami, tiadalah
selamanya kami dibolehkan tinggal di sana. Sekonyong-konyong kami dipisah-pisah
pula. Saya dikembalikan ke kamar P.A.M. di jalan Kabupaten.
Di sini sudah
berkumpul pula beberapa orang tahanan, di antaranya Sdr. Moh.Saleh, Mr. Yamin,
Mr. Subarjo, Sukarni, Suryodininggrat, Jamaludin Tamim. Pada malamnya 30-31
Oktober 1946 itu tiba-tiba Sumarsono, Pesindo, ialah teman seperjuangannya di
masa lampau. Apa yang dibicarakan oleh mereka tiadalah kami dengar. Tetapi
besok pagi harinya, kami menyaksikan peristiwa yang agak ganjil.
Mulai pagi hari
sekali kami melihat segerombolan Laskar Pesindo memanggul bedil dan mitraliur,
yang ditaruh di belakang tembok, di depan rumah Kabupaten. Anehnya pula, mulut
mitraliur itu ditujukan ke rumah tempat tinggal kami tinggal. Jarak rumah kami
dengan mulut mitraliur Pesindo itu cuma kurang lebih 20 meter saja. Saya ingat
lagi kepada mulut
mitraliur
Pesindo, yang pada tanggal 17 Maret tahun tersebut juga, di alun-alun Madiun
ditujukan ke mimbar saya berpidato.
Cuma pada waktu itu di
alun-alun Madiun ada ribuan bambu runcing dan pelbagai laskar di samping lebih
kurang seratus orang anggota Pesindo yang bersenjata lengkap itu. Tetapi ini
kali di Mojokerto saya beserta para tahanan lainnya dalam keadaan tak berdaya.
Umumnya para pemuda, yang sungguh perwira, tak akan mengacungkan Tommy-gun dan
mitraliur kepada mereka orang tua yang tidak berdaya dan cuma dianggap musuh,
karena perbedaan
paham politik saja dengan para pemimpin itu sendiri. Teristimewa pula, kalau
para pemuda itu sendiri.
Teristimewa pula, kalau para
pemuda tadi belum lagi mendapatkan penerangan dan kedua belah pihak dan cuma
dari satu pihak yang berkepentingan saja.
Tetapi untunglah
tiada semuanya pemuda Indonesia, bahkan tiada semua pemuda Mojokerto-pun,
walaupun Mojokerto dibawah kekuasaan Pesindo, memandang kami orang tua sebagai
musuh, yang zonder pengadilan teratur, harus dihadapi dengan mulut tommy-gun
dan mitraliur begitu saja. Mungkin juga ada terpendam pada sanubari pemuda yang
sabar perwira, bahwa sedikitnya kami orang-tua ini sudah lebih banyak memakan
garam
politik daripada
mereka sendiri.
Sedangkan
Pesindo asyik membikin "stelling" 20 meter jauhnya di depan rumah
kami itu, maka satu dua orang prajurit menyampaikan salamnya kepada saya atas
nama para prajurit bersenjata lengkap pula yang berstelling pula di belakang
rumah kami. Di sekitar rumah Kabupaten saya menyaksikan sedikit gerakan pula.
Entah gerakan siapa dan dengan maksud apa, belum saya ketahui pada masa itu.
Cuma setelah beberapa lama, maka Pesindo meninggalkan "steling"-nya
dan memanggul tommy-gun dan mitraliurnya kembali ke Mojokerto.
Dari dua tiga
pihak, yang boleh saya percaya, maka di belakang hari saya mendapat kabar,
bahwa setelah Pesindo mengadakan "stelling" itu, maka segeralah
timbul beberapa "steling-stelling lain, yang maksudnya bukan membantu,
melainkan mengawasi "stelling" Pesindo tadi. Kabarnya konon di
belakang rumah kami dan di jembatan kali Brantas, jadinya di depan dan di
sebelah kanannya "stelling" Pesindo, maka P.I (Polisi Istimewa)
mengadakan stelling pula. Seterusnya di belakang Kabupaten, jadi dibelakangnya
"stelling" Pesindo,
maka oleh P.I.
(Polisi) diadakan pula satu "stelling". Tiada begitu saja. Di sebelah
kanan kami, jadi di sebelah kirinya "stelling" Pesindo, anggota
B.P.R.I (Pemberontak) (bahkan
katanya di
samping oleh beberapa anggota Pesindo sendiri) mengadakan stelling juga.
Semua stelling
di depan dan di belakang, serta di kiri dan di kanannya "stelling"
Pesindo ini depan kabarnya konon cuma menunggu satu letusan yang mungkin keluar
dari mulut mitraliur kepada kami orang tua tahanan, yang berada dalam keadaan
tak berdaya itu. Satu saja letusan keluar dari pihak Pesindo ke arah kami, maka
akan dijawab oleh puluhan kalau perlu 1001 letusan dari kiri kanan serta muka
dan belakang yang akan ditujukan ke arah "stelling" Pesindo itu.
`Memangnya pula,
maka menurut dugaan saya sendiri, walaupun kami berada dalam tahanan, bilamana
radio, surat kabar dan bisikan fluister kompagne, dengan leluasa menyemburkan
racun fitnahan, tetapi ada kodrat kebenaran terpendam, yang dipegang teguh oleh
segerombolan "unknownfriendly powers". Tentara-teman-terpendam inilah
yang
memberikan
perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam, karena dalam keadaan
handicapped. Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf
benar akan adanya .
Tentara-teman-terpendam itu.
Saya pun insyaf, akan berlakunya dalam sesuatu masyrakat manusia pepatah
"teeth for teeth, eyes for eyes". Apa saja tindakan yang akan
dijalankan kepada kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut
undang-undang balas-membalas, bayar-membayar, mungkin dengan rente yang tinggi
sekali. Seolah-olah darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent),
sanggup memanggil satu tentara
pembalasan.
Banyak orang yang tiada gentar, bahkan sebaiknya dengan penuh semangat
keprawiraan menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan,
sesudah jiwanya melayang.
Saya sendiri
yakin, bahwa di masa itu pun, tiadalah semua anggota Pesindo, menentang Minimum
Program dan yang memandang saya sebagai seorang
musuh, yang harus dilenyapkan begitu saja, dengan tiada pemeriksaan
lebih dahulu. Apalagi mestinya sekarang dan setelah ternyata bahwa pada
penangkapan di Madiun Pesindo diperalatkan buat memenuhi permintaan
Delegasi, yang
sedang berunding dengan Belanda-Inggris, ialah wakil imperialisme, yang telah
melakukan penangkapan dan pembuangan atas diri saya. Begitu juga anggota
B.P.R.I. Mojekerto, yang akhirnya mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya,
sampai mereka ikut ber-"stelling" menghadapi Pesindo, seperti
tersebut di atas, mengambil sikap dan
tindakan yang
bertentangan dengan sikap dan tindakan ahli pidato radio pemberontak cabang
Solo, bernama Purwanto yang dua malam berturut-turut membuka "kedok Tan
Malaka" dan
bersertu-seru di
depan radionya dengan semangat bernafsu, menganjurkan, supaya Tan Malaka
"dipelori" saja.
Di belakang hari
saya dengar kabar, bahwa stelling Pesindo tadi dimaksudkan untuk mengambil kami
dan P.A.M supaya Pesindo sendiri, yang akan memberi "perlindungan".
Dan satu pihak saya dengar kabar, karena kami dirasa terlampau leluasa dalam
kamar P.A.M. itu. Dan pihak lain saya dengar, oleh karena beberapa orang
Pesindo hendak memberikan perlindungan kepada kami. Entah mana yang benarnya!
Cuma kami sendiri tak pernah memita "perlindungan" itu kepada Pesindo
kata laporan lain pula, penyerahan kami kepada Pesindo itu sudah dibenarkan oleh
Mr.Mulyanto, wakil Kejaksaan. Jika kabar itu benar, maka
Mr. Mulyanto
sudah memberikan izin kepada Pesindo buat memberikan "perlindungan"
kepada kami mudah-mudahan saja laporan ini tiada benar.
Tetapi
"perlindungan" itu, kalau terjadi mungkin tidak akan memberikan
"perlindungan" kepada persatuan buat perjuangan, melainkan
sebaliknya, mungkin sekali akan memberikan "perlindungan" kepada
sengketa dendam kesumat antara golongan Pesindo dengan golongan yang rupanya
terlampau diabaikan oleh sebagian pemuda Pesindo, ialah golongan kami sendiri.
Di Trawas,
setelah Suryodininggrat, Jamaludin dan lain-lain dipindahkan ke sana, tiada
lama sesudah peristiwa main "stelling" di depan kami di Mojokerto
tadi, maka pada
waktu jauh
malam, segerombolan Pesindo datang pula dengan senjata lengkap, mulut ditutup
dan sikap yang galak, bertanyakan kepada mereka tahanan tersebut di atas,
apakah di sana ada Tan Malaka.
Tak ada diantara
orang tawanan yang ada pada malam itu ragu-ragu akan maksud anggota Pesindo di
Trawas itu. Rupanya PAM dan Polisi Istimewa Mojokerto insaf benar akan
akibatnya penyerahan diri saya oleh Mr.Mulyatno itu, kepada Pesindo dan
menolak keras
penyerahan itu.
Pada tanggal 1
Nopember 1946 itu, tiba-tiba saya disuruh bersiap buat menemui beberapa wakil
dan Kejaksaan.
Saya ingat adalah tujuh
orang yang hadir dan Kejaksaan, dibawah pimpinan Mr. Mulyatno. Tanya jawab pada
masa itu tiadalah perlu saya ulang di sini.
Kebanyakan
pertanyaan itu adalah baru bagi saya. Demikian pula, beberapa pertanyaan, yang
dimajukan oleh Tuan Suparto sendirian, beberapa hari kemudian di Bagusan, di
gedung P.I. kepada saya. Pada tanya jawab itu saya tiada pernah menaruh
perhatian. Pertama karena saya sedang menderita penyakit kaki, yang pernah
menyerang saya, ketika di Bayah (Banten), penyakit mana menyebabkan susah
berjalan dan sakit
di kepala,
karena bergerak sedikit saja. Kedua saya tiada diberitahukan lebih dahulu,
apakah maksudnya soal jawab itu, dan tiada pula "confronted with the
accusation" dihadapkan
dengan tuduhan,
seperti lazim dilakukan oleh Negara Hukum dan Negara Demokratis. Tiadalah pula
saya ingin, berdebat tentang hak seseorang tertuduh. Saya merasa, bahwa
terhadap diri saya sudah satu kebiasaan saja orang tiada perlu menghiraukan
sesuatu tuduhan tentang pelanggaran undang-undang yang sudah diterapkan oleh
Badan yang sah, menurut aturan demokrasi. Begitu oleh "Hindia
Belanda" pada tahun 1922; begitu pula oleh Pemerintah Amerika di Manila
pada tahun 1927 dan begitu pula oleh Pemerintah Inggris di Hongkong pada tahun
1932. Kalau Republik Indonesia, yang berunding dengan ketiga wakil
imperialisme di
massa itu tiada pula maju ke depan dengan tuduhan pelanggaran yang nyata
tertulis, hitam di atas putih, sama sekali tiada mengherankan saya lagi.
Bertanyakan tentang
hal itu seperti
saya lakukan di Manila dan Hongkong tiadalah saya rasa perlu. Protes tak akan
ada gunanya. Sudahlah terang bagi saya duduknya perkara, apabila Tuan Suparto
dengan suara tinggi pada suatu ketika, bertanyakan sesuatu hal kepada saya
dengan mempergunakan bahasa Belanda. Apabila pada ketika itu tanya jawab agak
berlaku sedikit keras, maka saya lihat para pengawal bergerak dengan sangkur
terhunus dari pendopo rumah Kabupaten menuju ke gang dan pintu kamar
pemeriksaan. Cuma prajurit pemegang sangkur terhunus itu sudah saya kenal lebih dahulu. Senyumnya kepada saya
sudah saya maklumi.
Tetapi
pemeriksaan ini ada memberi pengharapan baru, bahkan sedikit kegembiraan kepada
saya, karena saya mendapat kepastian dari Mr. Mulyatno (yang sungguh salah
seorang diantara beberapa pemeriksa lain-lainnya berlaku ramah-tamah dan sopan
santun dalam pemeriksaan tadi) ialah kepastian, bahwa kelak pemeriksaan saya
akan dilakukan di depan umum.
Alangkah
bangganya saya kelak tentang Republik kita ini, kalau Republik ini memberikan
hak kepada saya, ialah membela diri di depan umum, hal mana ditolak oleh
imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris.
Pemeriksaan di
depan umum "Public trial", salah satu daripada "the Rights of
men" the Human Rights, beberapa hak Manusia, yang saya minta dan
dijanjikan oleh Mr. Mulyatno
itulah yang
rupanya dimaksudkan oleh sk.BAKTI, seperti yang
sudah saya catat di atas.
Sekembalinya
saya di P.A.M maka saya ditempatkan tersendiri dalam sebuah kamar. Karena
rupanya makanan ada sedikit lebih teratur daripada yang sudah-sudah di PAM ini
dan
saya dipinjami
selimut, maka dengan obat yang terpaksa saya bikin sendiri, penyakit kaki tadi
dapat saya sembuhkan.
Bagaimanapun
juga banyaknya perubahan pelayanan di kamar PAM tadi, saya merasa gembira
ketika pada penghabisan bulan Desember tahun 1946, saya dipindahkan kedua
kalinya ke Bagusan, di gedung P.I. Disinilah saya tinggal sampai 29 Januari, di
mana lantaran pendudukan Krian oleh Tentara Belanda, maka sekonyong-konyong
saya diantarkan ke stasiun Kertosono, buat diberangkatkan ke Yogya. Di dalam
kereta saya berjumpa dengan Mr. Subarjo, Mr. Yamin dan Sukarni.
Pada malam
harinya kami sampai di Yogya, bukan buat ditempatkan di luar penjara, seperti
perjanjian di Mojokerto, melainkan buat dikembalikan ke sel di penjara
Wirogunan.
Jauh tengah
malam hampir jam tiga pagi pada tanggal 11 bulan Maret 1947, tiba-tiba pula
kami tujuh orang, ialah
Mr.Yamin, Mr.
Subarjo, Mr. Budhiarto, Mr.Iwa, Abikusno, Sukarni dan saya sendiri, dibangunkan
dalam pejara Wirogunan, dengan maksud hendak diberangkatkan ke Magelang. Di
sini kami ditempatkan dalam penjara biasa. Buat gerak badan, maka kami
diizinkan ke
luar sel dan berjalan-jalan dalam pekarangan penjara, setengah jam pagi dan
setengah jam petang. Tetapi saya merasa lebih merdeka sedikit di Mojokerto
daripada di
Magelang. Di
Mojokerto walaupun harus bergerak di tempat yang terbatas, tetapi mata bisa
merdeka melayang ke jalan raya dan lain tempat. Di Magelang cuma tembok tinggi
rumah penjara saja yang kelihatan, empat bulan setengah lamanya. Di penjara
Magelang, seperti di lain-lain penjara acap kali saya teringat kepada pantun,
yang kami murid klas II di salah satu desa di Sumatera Barat gemari sangat yang
bunyinya:
Seranti teluknya dalam
Batang kapas lubuk tempurung
Kami ini umpama balam
Mata lepas, badan terkurung
Tak perlulah
rasanya saya peringatkan di sini, bahwa menggemari sebuah pantun di masa
kanak-kanak di atas bangku sekolah adalah berlainan dengan peringatan pantun di
penjara Magelang, walaupun keduanya adalah pusakanya "Hindia
Belanda".
Setelah pada
tanggal 21 Juli, bilamana sudah ada Perjanjian Linggarjati dan tanda tangan Belanda di atasnya, maka Belanda
tiba-tiba menyerang, hal mana buat saya sendiri
sama sekali
perkara yang sudah saya ramalkan dalam hati saya lebih dahulu, maka kami pada
tanggal 23 Juli, hampir jam dua malam dibangunkan pula buat diberangkatkan ke
Yogya. Di bawah pimpinan kepala P.I. sdr. Tahir yang memberi perhatian penuh
kepada penghidupan kami sehari-hari selama di Magelang, maka kami pada pagi
harinya tiba di Yogya. Mulanya sdr.Tahir dan kami mengharapkan, bahwa kami akan
ditempatkan di luar penjara, tetapi akhirnya kami sampai di penjara Wirogunan
juga.
Pagi harinya
juga tanggal 23 Juli kami disuruh bersiap pula untuk diangkut entah ke mana
pula lagi. Baru apabila sampai pada waktu jauh tengah malam, di rumah tahanan
Ponorogo,
diantara empat dinding batu yang tinggi, dalam tempat orang tahanan, yang jauh
lebih sempit dan kotor daripada di Magelang, barulah kami tahu, bahwa
pengharapan
kami akan
ditempatkan di luar penjara terbang melayang untuk
kesekian
kalinya.
Pernah kami di
Ponorogo dikumpulkan dengan para tahanan lain dari Yogya, sampai menjadi 46
orang. Makanan, tempat tidur dan kebersihan dipukul rata jauh kurang teratur
daripada di
tempat yang lain-lain yang sudah saya alami. Di Ponorogo kami berdiam empat
bulan lamanya. Pada tanggal 26 Nopember, kami yang tinggal 17 orang lagi
dipindahkan ke rumah tahanan di Madiun. Saya sendiri merasa di sini lebih
merdeka daripada di lain-lain tempat, kecuali di Bagusan, di tempat P.I.
Mojokerto. Makanan pun ada cukup teratur.
Di sini saya
ingin memberikan sedikit perbandingan di antara beberapa pengalaman saya dalam
beberapa penangkapan yang saya rasa penting berkenaan dengan hukum.
Oleh Pemerintah
"Hindia Belanda" saya ditangkap menurut perintah yang tertulis pada
tanggal 13 Pebruari 1922. Dalam tempo yang singkat saja pemeriksaan bermula
dilakukan oleh Residen dan bukan berdasarkan sesuatu pelanggaran Undang-Undang,
walaupun misalnya Undang-Undang "Hindia Belanda" saja, melainkan
berdasarkan "vraagpunten", yang disusun oleh P.I.D (Badan Penyelidik
Belanda) dengan maksud
membuang saya,
menurut "Hak Istimewa Gubernur. Jenderal Hindia Belanda", dengan
tiada memberi kesempatan untuk membela diri di depan pengadilan umum (Public
Trial) maka semua pertanyaan yang mengenai "activiteit" (aksi)
politik, saya tolak memberi
jawaban. Saya
dibuang ke luar negeri, menurut Hak Istimewa (exhorbitanten rechten) Gubernur
Jenderal "Hindia Belanda" itu, atas tuduhan menulis beberapa risalah;
mendirikan perguruan Rakyat Murba; mempersatukan perpecahan kaum Komunis dan
Kaum Islam (Sarekat Islam); dan membantu pemogokan kaum pekerja pegadaian di
masa itu. Katanya semuanya ini saya lakukan dengan "maksud" menjalankan
"Program Moscow". Pada
tanggal 22 Maret
1922 saya berangkat ke luar negeri.
Pada permulaan
Agustus 1927, di Manila, kira-kira jam sebelas malam, saya disergap oleh dua
orang anggota Constabulary berpakaian preman, ketika saya meninggalkan
kantor sebuah
surat kabar. Mulanya saya akan dinaikkan ke dalam sebuah kapal Belanda, yang
berada di pelabuhan Manila dan hendak dikeluarkan dengan diam-diam sebagai
seorang
pemasuk
(immigrant) yang tidak sah (unlawful) dan tidak dikehendaki (undesirable).
Perbuatan itu terhambat oleh karena beberapa hal di luar kemauan polisi
Amerika. Sesudah dua hari saya ditahan, maka para teman-terpendam, maju ke
depan menuntut pembebasan saya atas dasar "habeas corpus", dan
menuduh polisi yang menangkap saya melakukan sesuatu pelanggaran, karena
menangkap saya zonder "warrant" tak dengan perintah yang tertulis.
Oleh para sahabat saya, perkara tangkapan ini diluaskan menjadi persoalan
nasional yakni: "Apakah Pilipina, Protectorate Amerika itu, berhak
memberikan "the right of Asylum" (Hak mendapat perlindungan) kepada
seorang pelarian politik (political refugee)? Acting (wakil) Gubernur Jendral
Gilmore sendiri, sebagai ahli hukum mulanya ingin hendak mengetahui pemecahan
soal baru ini. Senate dan House of Representative, atau Majelis Tinggi dan
Majelis Rendah Pilipina, dibawah pimpinan Manuel Quezon dan Manuel Roxas,
membenarkan saya tinggal di Pilipina, bahkan mengumpulkan 3.000 (tiga ribu)
Peso, dan para anggota kedua Majelis tadi, buat membantu saya.
Yuan Fernandez,
hartawan-patriot Pilipina, malah menarohkan "bail" (uang jaminan)
10.000 Peso buat memberi kebebasan (semacam stads-arrest) kepada saya, selama
perkara
saya diurus.
Empat Universities di kota Manila, mengambil putusan dalam rapatnya "untuk
memberikan bantuan kepada saya, sebagai wakil dan "sister nation",
ialah Indonesia, Negara
Saudara.
Demikianlah pula semua persurat kabaran dalam semua bahasa (Tagalog, Spanyol,
dan Inggris) di ibukota ataupun di propinsi memberi perhatian dan sokongan
penuh. Perkara "right of Asylum" itu akan diteruskan ke Mahkamah
Tinggi Pilipina.
Kalau di sana tiada mendapat
kemenangan, maka akan diadakan appeal ke Kongres dan Presiden Amerika. Tetapi
setelah Sang Murba kota Manila mulai bergerak pesat dan apabila Rapat Raksasa
yang dijanjikan akan diadakan dengan maksud mengumpulkan "uang
sokongan" buat saya dan di mana saya akan dipersilahkan membentangkan
perkara saya di depan Murba Filipina, apabila Rapat Raksasa ini, sudah
mendekati waktunya, maka wakil Gubernur: Gilmore yang mulanya bersikap
simpatik, mulai terkejut. Didesak oleh Publik dan Pers Amerika di Pilipina,
maka pada malam hari, pemimpin para pembela saya, Dr.Jose Abad Santos, yang
pada masa itu menjabat pangkat Ketua Supreme Court diberitahukan oleh waki
Gubernur Jendral Gilmore, bahwa besok pagi, saya harus meninggalkan Manila
dengan kapal Filipina, bernama Suzana II, yang akan berangkat menuju ke Amoy.
Sesampainya saya
di Amoy, maka saya sudah ditunggui oleh pers imperialis-asing
Kulangsu-Minicipal, Haminte Kulangsu, yang dipimpin oleh
imperialis-internasional (Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda dll)
sudah mengambil keputusan tadi malamnya buat menangkap saya kembali. Dan sebuah
kapal Belanda Cisalak, sudah siap sedia pula menunggu saya.
Berturut-turut
para polisi Kulangsu, Kepala Duane Amoy dan Konsul Amerika sendiri datang ke
kapal dengan maksud ikut menangkap saya. Tetapi kemujuran adalah dipihak saya.
Oleh perjumpaan berbagai-bagai kesempatan baik, maka saya dapat meloloskan diri
dari jaring, yang rupanya sengaja dipasang dari Manila. Mulanya saya menyingkir
ke dalam sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan saja berada di
pelabuhan Amoy. Kemudian saya pindah ke kota Amoy bagian Tiongkok dan akhirnya
ke satu desa di pedalaman Tiongkok.
Pada tanggal 10
Oktober 1932, maka saya sekonyong-konyong dalam percobaan meloloskan diri dan
buruan beberapa I.S.(PID) Inggris, di Kowloon, seberangnya Hongkong,
akhirnya
disergap oleh dua orang bersenjata, tetapi berpakaian preman, ialah seorang
Benggali dan seorang Tionghoa. Dalam pergulatan yang terjadi pada waktu jauh
malam hari itu, di jalan yang sepi pula, diberhentikan oleh seorang polisi
Islam yang berasal dari Pakistan sekarang, yang kebetulan "meronda"
di sana. Saya digiring ke kantor polisi, di mana pada
permulaannya,
saya menderita berbagai-bagai penghinaan dan seorang anggota I.S.Inggris yang
sengaja didatangkan dari Singapura. Hampir pagi harinya saya dibawa menyeberang
ke
Hongkong, ke
penjara di sana. Saya memprotes atas tak adanya surat tuduhan. Saya minta diadakan
seorang pembela, seorang ahli hukum Tionghoa buat membela perkara saya.
Permintaan ini dibenarkan, tetapi tiada pernah dijalankan. Saya mendesak supaya
diperiksa di depan pengadilan terbuka. Ini tiada dibenarkan! Selama ditahan
dalam penjara, saya dihujani dengan pertanyaan yang datang dari semua pihak
imperialis, seperti dari pihak Amerika, Perancis dan Inggris sendiri, berhubung
dengan gerakan kemerdekaan di jajahan mereka masing-masing. Suatu ancaman
kepada saya, bahwa saya akan diserahkan kepada Belanda, atas desakan
"Hindia Belanda" dengan perantaraan Viesbeen yang dikirim ke Hongkong
buat menuntut diri saya, saya jawab ancaman mogok makan habis-habisan. Saya
peringatkan, bahwa saya tak akan hidup sampai di Indonesia.
Pada suatu hari,
maka saya disuruh pergi saja dari Hongkong, sambil dilarang menginjak salah
satu tempat di daerah Inggris. Baru kemudian hari saya dapat mengira, bahwa
tindakan Inggris ini mungkin ada hubungannya dengan interpelasi anggota
Mackston dalam Parlemen Inggris di London, yang menanyakan apakah alasan
pemerintah Hongkong, maka Tan Malaka ditahan begitu lama dalam penjara Inggris.
Mulanya Inggris, memangnya atas permintaan saya sendiri, katanya, sudah
"mencoba" mendapatkan "tempat perlindungan" untuk saya di
Pilipina, tetapi katanya pula ditolak oleh pemerintah Amerika. Saya minta izin
kalau saja di Perancis buat pergi ke Eropa Tengah. Inipun tak dibenarkan,
katanya, ditolak oleh Perancis. Inggris sendiri menolak permintaan saya
berlindung di negeri Inggris, ataupun melalui Inggris, di mana katanya ada
demokrasi yang luas. Pendeknya saya harus segera berangkat meninggalkan
Hongkong. Soal kemananya bukanlah soal Inggris.
Dalam keadaan
demikian, maka saya bilang saja, bahwa saya mau pergi ke Shanghai. Inggris
tahu, bahwa kelak kapal saya akan berlabuh di Shanghai di bagian jajajahan
Perancis.
Kalau sampai ke
situ tentulah Perancis tak akan segan-segan menangkap saya dan tak akan
segan-segan pula menyerahkan saya kepada Belanda. Tetapi dalam perjalanan
menuju ke Shanghai itu saya dapat meloloskan diri di Amoy. Dari sini saya
berangkat ke pedalaman Tiongkok buat bersembunyi. Juga saya mendapatkan
kesempatan buat beristirahat dan berobat mempergunakan jamu Tionghoa,
tiga-empat tahun lamanya.
Jadi ringkasnya
demokrasi Inggris pun tak membenarkan Hak Demokrasi itu kepada saya. Inggris
menangkap zonder surat tuduhan! Dia menahan saya hampir tiga bulan lamanya
dalam penjara dengan tiada memberi kesempatan kepada saya buat membela diri di
depan pengadilan umum. Dia mengusir saya dengan tiada menentukan lebih dahulu
Negara yang mau menerima saya dan tiada memberi jaminan keamanan diri saya
dalam perjalanan menuju ke tempat yang harus dipastikan lebih dahulu itu.
Pendeknya Inggris cuma menangkap saya sebagai seorang "native" sebagai
seorang "inlander" yang tak perlu diakui haknya sebagai warga negara
sesuatu negara ataupun atas hak manusia, yang sudah lazim diakui bagi seseorang
anggota bangsa berkulit putih.
Republik
Indonesia tiada menangkap saya dengan surat perintah, yang beralasan pelanggaran
atas sesuatu undang-undang yang pasti dan yang sudah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat yang sah pula dan dilakukan oleh instansi yang sah pula. Saya
diajak berunding dengan Presiden oleh anggota P.I dan tiba-tiba dimasukkan ke
dalam tahanan dengan cara tipuan. Setelah kira-kira tujuh setengah bulan
lamanya sesudah dipindahkan dari tempat dan dari penjara ke penjara, maka
barulah dimasukkan beberapa pertanyaan kepada saya yang bagi saya tiada
diarahkan kepada tuduhan yang nyata, karena tak ada tuduhan yang nyata
tersusun, yang dibacakan kepada saya lebih dahulu. Dalam masa saya tiada
berdaya membela diri itu, maka pihak pemeritah sendiri mengadakan tuduhan dan
kesimpulan yang amat memberatkan kepada saya (Pengumuman Resmi) diri Pemerintah
Republik membiarkan saja berjalannya tulisan, pidato dan bisikan yang
mengandung racun membahayakan diri saya selama berada dalam tahanan.
Tetapi semua
penderitaan, penghinaan dan tuduhan pengkhianat, serta bahaya sebagai akibatnya
pengumuman resmi, pidato radio, hasutan surat kabar dan bisikan beracun selama
kami dalam tahanan itu buat saya tiada sebanding dengan kegembiraan yang saya
peroleh lantaran sekali lagi menyaksikan kebenaran pepatah: Berapapun cepatnya
kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.
Yang tak kurang
pula pentingnya dan berhubungan rapat pula dengan pepatah tadi juga, ialah
bahwasanya sesuatu dasar, sesuatu prinsip, yang cukup mengandung kebenaran itu
tak dapat ditindas dengan pengumuman resmis atau 1001 kebohongan
Fluister-campagne. Pun tiada dapat ditindas dengan tangkapan atau penjara.
Bahkan pelorpun tak berkuasa ....."
Demikianlah maka
pada tanggal 17 Desember 1946, suara yang tertindas dalam Minimum Program
Persatuan Perjuangan semenjak 17 Maret 1946, jadi dalam waktu sembilan bulan
saja meletus keluar kembali, walaupun sebagian saja. Pada tanggal 17 Desember
tersebut, maka Benteng Republik yang menggabungkan Partai Masyumi, PNI, Partai
Rakyat, Akoma, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat, Muhammadiyah, GPPI,
Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Bukit Tinggi), Dewan Partai PPI (Bukit Tinggi),
Panitia Kemerdekaan Bulat, Angkasa Muda Guru, Barisan Banteng, KRIS, BPRI
(pemberontak) dan Laskar Rakyat Jakarta Raya, memutuskan mengambil sebagai
dasar ikatan: Mempertahankan Kemerdekaan 100% Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam program
perjuangan ditetapkan antara lain 1)menginsafkan seluruh Rakyat untuk menolak
Naskah Persetujuan Indonesia Belanda dengan mengadakan penerangan
seluas-luasnya. 2) Menuntut adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mencerminkan
kehendak seluruh Rakyat 3) Menuntut selekasnya pemeriksaan tahanan politik
supaya yang ternyata tidak salah segera dimerdekakan. (lihat sk. Merdeka 18
Desember 1946!)
Aksi Benteng
Republik yang pada permulaannya sangat menggembirakan itu berakibat
menggerakkan pikiran, urat syaraf dan
tangannya pihak lawan dan mengakibatkan mereka ini mengeluarkan
siaran-gelap, yang kebetulan jatuh di tangan kami, di masa itu. Siaran gelap
itu, diantara lain-lainnya menyerukan kepada teman-temannya seperti berikuta:
"Ketahuilah!!!
Ketahuilah, saudara-saudara Pecinta Perjuangan,
bahwa tidak lain lagi, tidak sah lagi": Persatuan
Perjuangan Berganti Corak Bulunya".
Jadinya para
lawan kami memandang Benteng Republik itu seperti penjelmaan Persatuan
Perjuangan. Baik juga hal ini kami peringati.
Sebenarnya jiwa
Persatuan Perjuangan, ialah Minimum Program tak pernah bertukar corak. Apabila
namanya ditukar menjadi Consentrasi Nasional, maka semua Partai yang
mempertahankan kemerdekaan 100% segera bersekutu dalam Gabungan Revolusioner
dalam Consentrasi Nasional itu sendiri. Dengan begitu, maksud ketuanya Saryono
(Sibar) hendak membawa semuanya Partai,Laskar dan Badan, yang dahulunya
tergabung dalam Persatuan Perjuangan kembali "kerja sama" dengan
Belanda, cocok dengan dasarnya Sibar, gagal dan bermula. Saryono tak sanggup
mengadakan Kongres, sekalipun tidak.
Diseluruhnya
Sumatera Minimum Program itu, bukanlah suatu teori atau dalil mati ataupun satu
dalil buat dipertengkarkan, melainkan sampai sekarang buat Rakyat, yang
berjuang di sana, adalah batu ujian dalam praktek perjuangan. Namanya Persatuan
Perjuangan-pun lama terus dipakai setelah di Jawa diganti. Pertukaran nama
Persatuan Perjuangan di sana, rupanya berlaku atas desakan dari luar. Tetapi
sampai sekarang Minimum Program masih disetujui oleh mereka, yang masih membela
kemerdekaan 100% dan yang bermaksud mengusir tentara Belanda sampai serdadunya
dari bumi, laut dan udara Indonesia kita ini.
Tetapi yang
lebih tegas suara, sikap dan tindakan mereka, yang setuju dengan Minimum
Program ialah dibuktikan oleh Laskar Rakyat Jawa Barat umumnya dan Laskar
Rakyat Jakarta khususnya... and what is after all but a name!
Demikianlah
dibawah ini saya kutip beberapa kalimat dari sk. MERDEKA Jakarta, tanggal 28
Nopember 1946, jadi ketika kami masih berada dalam tahanan di Mojokerto.
"Pada
tanggal 23 Nopember (1946) dimulailah Konperensi Laskar Rakyat Jawa Barat, yang
dikunjungi oleh wakil-wakil dari Markas Besar Laskar Rakyat Cirebon,
Pekalongan, Purwokerto, Priangan, Bogor, Banten, dan Jakarta Raya".
"Setelah
konperensi tersebut selesai, maka pada tanggal 24 Nopember diteruskan dengan
Konperensi Laskar Rakyat Jakarta Raya. Pada paginya pukul 8 telah diadakan
parade besar di alun-alun Krawang, kemudian berziarah ke makam pahlawan untuk
melakukan janji perjuangan di tengah-tengah kuburan pahlawan".
Sorenya pukul 5
sebagai penutup ulang tahun Laskar Rakyat Jakarta Raya, diadakan rapat besar
dialun-alun yang dihadiri oleh wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, Kol.
Anwar Cokroaminoto, para utusan dan rakyat Murba. Rapat besar itu telah
berlangsung dalam suasana hangat dan bernyala-nyala mengerahkan semangat 17
Agustus 1945, dimana pembicara tepat dengan kata-kata yang berapi-api menentang
persetujuan 17 pasal perundingan Indonesia-Belanda, karena bertentangan dengan
undang-undang dasar negeri dan tuntutan Rakyat Murba".
"Udara
rapat sangat panas, tepuk tangan, teriakan, yang tajam serta tempik-sorak
Rakyat gemuruh membelah bumi. Lebih-lebih ketika wakil Jenderal Sudirman
berpidato, di mana diterangkannya, diterima atau tidak diterima oleh Pemerintah
rencana persetujuan 17 pasal, tentara terus menjalankan kewajibannya".
"Amarah
Rakyat kelihatan dengan jelas atas adanya rencana persetujuan 17 pasal, yang
sudah melanggar tuntutan Rakyat 100% merdeka. Demikianlah rapat besar itu
ditutup dengan udara yang sangat panas.
Laskar Rakyat
Jawa Barat pada konperensi tersebut memutuskan diantara lain-lainnya:
1."Menuntut
batalnya naskah rencana persetujuan 17 Pasal dengan mengirimkan surat-surat
(kawat) kepada badan-badan Pemerintah, Presiden, Panglima Besar, Kabinet, KNIP,
Konsentrasi Nasional Pusat, Partai-Partai, Badan Kongres Pemuda Indonesia dan
Pers.
2."Menuntut
dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang memperjuangkan kemerdekaan
100%"
3."Menuntut
dimerdekakanya kawan-kawan laskar rakyat yang ditawan di Sukabumi dan lain-lain
tempat serta menyatakan, bahwa kita tidak bertanggung jawab atas
akibat-akibatnya jika tuntutan ini tidak terkabul".
4."Menuntut
kembalinya senjata laskar rakyat di daerah yang dilucuti (dirampas) oleh pihak
resmi atau tidak bertanggung jawab akan akibat-akibatnya jika tidak dipenuhi
tuntutan tersebut".
5."Menuntut
kepada pemerintah, supaya mencabut tuduhan-tuduhan terhadap dirinya pemimpin
rakyat yang dianggap mengacau dengan jaminan, bahwa kejadian itu tak akan
berulang lagi".
Seterusnya rapat
umum tanggal 24 November di Krawang memutuskan:
1."Menentang
dan menuntut batalnya rencanan persetujuan antara kedua Delegasi Indonesia
Belanda serta menuntut memutuskan perundingan dengan Belanda".
2."Menyatakan
tidak percaya keadaan Kabinet Syahrir dan menuntut bubarnya kabinet
tersebut".
3."Menuntut
terbentuknya pemerintahan revolusioner yang radikal untuk mempertahankan dan
memperteguh kemerdekaan 100% serta memperkuat kebahagiaan hidup Rakyat
Murba"
4."Menuntut
dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang ditahan oleh kepolisian republik
yang sudah memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia 100%.
Sekianlah
catatan saya tentang rapat raksasa Laskar Rakyat Jawa Barat di Krawang pada
bulan November 1946 itu, yang sekarang nyata sekali, banyak mengandung anasir
yang bersejarah itu (historical elements)
Rasanya saya
sedikit tahu akan pemerasan dan penindasan kapitalisme dan imperialisme di Jawa
Barat, teristimewa pula di daerah tanah partikulir, seperti di daerah Jakarta
Raya dan Cirebon. Saya pun sedikit kenal akan tegapnya sikap rakyat Jawa Barat,
terutama di daerah Banten, Krawang, Indramayu dan Tasikmalaya terhadap
pemerasan dan tindakan asing. Berhubung dengan itu, maka rasanya cukuplah
mengerti saya akan merespnya tuntutan kemerdekaan 100% dan tuntutan menyita
harta benda musuh, seperti termaktub dalam Minimum Program itu. Memangnya di
daerah tersebutlah pertama sekali dan terutama sekali terbukti kekuatannya
pemerintahan rakyat dan tentara rakyat seperti yang dikehendaki oleh Persatuan
Perjuangan.
Biarpun kehendak
dan tuntutan rakyat Jawa Barat itu dan sikap mereka, yang perwira terhadap
tentara Jepang, Inggris dan Belanda dalam masa lebih setahun lamanya, akhirnya
diganggu dan dipersukar oleh perang saudara, antara Tentara Resmi dan Laskar
Rakyat, dari tanggal 13-17 April 1947 di Krawang; walaupun laskar Rakyat Jawa
Barat berhubung dengan persetujuan Renville ditinggalkan oleh 35.000 Tentara
Republik, namun perjuangan melawan penjajahan Belanda terus dilakukan oleh
rakyat dan Laskar Rakyat Jawa Barat dari beberapa pusat yang strategis, sampai
pada saat ini (Maret 1948)
Apalah musuh
Persatuan Perjuangan, di dalam dan di luar Indonesia sudah pasti, bahwa jika
persatuan perjuangan ialah Minimum Program, di lain-lain tempat di luar Jawa
Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera, sudah lenyap dengan
pergantian nama Persatuan Perjuangan.
Apakah tidak
lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh mengandung dasar yang
cukup kokoh tak dapat begitu saja di tindas dengan penjara ataupun pelor??
Apakah tidak
akan berlaku juga di Indonesia ini hukum masyarakat, ialah bahwa darah dan
jiwanya korban perjuangan kemerdekaan dari pemerasan dan tindasan itu kelak
akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi negara dan masyarakat baru.
Bagaimanapun
juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama Persatuan Perjuangan dan
menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan teristimewa pula di bawah tanah
sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah sekejappun juga saya
sangsi mengucapkan:
Patah
tumbuh hilang berganti!!
Le
Roi est mort, Vive le Roi!!
(Maret 1948)
PENGUMUMAN RESMI
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Perihal: Komplotan untuk merebut kekusaan
Negara.
Sekarang telah nyata seterang-terangnya bahwa
penculikan Perdana Menteri cs di Solo tanggal 27 masuk 28 Juli adalah satu
permulaan dari aksi Tan Malaka, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sukarni,
Mr. Moh. Yamin dan lain-lain untuk merebut kekuasaan negara dengan paksa.
Komplotan mereka
sudah lama diketahui oleh Pemerintah, dan inilah sebabnya mereka beberapa bulan
yang lalu pemerintah menangkap Tan Malaka, Moh. Yamin, Abikusno, Sukarni,
Chaerul Saleh, dan Sayuti Melik. Berdasar atas pengetahuan itu, dan untuk
mengetahui lebih lanjut gerak-gerik mereka selanjutnya, maka Pemerintah tidak
mengumumkan alasan penangkapan tersebut.
Dalam pada itu
mereka dalam tahanannya di Tawang Mangu memperoleh kemerdekaan bergerak,
sehingga mereka dapat juga berhubungan dengan komplotan mereka seperti Mr.
Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan lain-lainnya yang merancang coup d’etat
mereka.
Menarik
partai-partai lain masuk komplotannya
Mr. Subarjo dan
Mr. Iwa Kusumasumantri mengerjakan perhubungan dengan lain-lain tempat. Mereka
juga mencoba menarik partai-partai lain masuk komplotan mereka dan mencoba
mempengaruhi tentara dan pasukan-pasukan rakyat dengan menggambarkan yang
bukan-bukan tentang kabinet Syahrir. Dengan mempergunakan berita-berita
penghasut dalam surat kabar “Het Dagblad” surat kabar yang diterbitkan oleh
Nica di Jakarta, ditanamnya racun di dalam kalbu beberapa pemimpin pasukan
supaya percaya, bahwa kabinet Syahrir telah menjual Indonesia kepada Belanda
telah menerima penjajahan Belanda, katanya. Kekacauan-kekacauan di daerah Solo
adalah juga usaha mereka dari belakang layar.
Di antara opsir
tentara yang dibujuknya ialah bekas kepala divisi Yogya Sudarsono, yang
sekarang telah diskors. Sesungguhnya Sudarsono ini telah lama dicurigai, maupun
dari pihak tentara, ataupun dari pihak rakyat.
Penangkapan besar-besaran,
dokumen-dokumen dibeslag.
Coup d’etat,
yaitu serobotan kekuasaan oleh mereka yang dapat didahului oleh Pemerintah,
dengan mengadakan penangkapan besar-besaran.
Surat-surat dan
dokumen-dokumen yang dapat dibeslag menyatakan bahwa mereka telah siap susunan
pemerintahannya. Tanggal 7 Juli Presiden Republik Indonesia akan dipaksa
memberhentikan apa yang disebut mereka: Kementrian Negara Sutan Syahrir, dan
Amir Syarifuddin dan serentak dengan itu dipaksa Presiden menanda-tangani
daftar susunan “Dewan Pimpinan Politik” dan susunan “Kemerdekaan Negara Baru”.
Rol kepada
Divisi Sudarsono
Rupanya bekas
kepala divisi Yogya, Sudarsono diserahi dengan melakukan tindakan itu. Dengan
mencatut nama Panglima Besar, dia pada tanggal 3 Juli itu, datang di Presiden dengan membawa gerombolannya yang
akan mempersaksikan Coup d’etat-nya. Kebanyakan mereka yang dibawa itu ialah
orang-orang yang telah ditangkap oleh Pemerintah, yang pagi itu dilepaskannya
dari tahanan. Diantara mereka yang terdapat beberapa calon “Menteri Baru”. Dan
pagi itu ada percobaan untuk menculik Menteri Pertahanan Amir Syariffudin.
Syukurlah Mr. Amir Syarifuddin dapat meloloskan diri.
Presiden tidak dapat digertak
Presiden tidak
dapat digertak. Tuan Sudarsono dilucuti senjatanya dan dia dengan
pengikut-pengikutnya terus ditahan.
Komplotan Tan
Malaka cs ini akan melakukan perampasan kekuasaan Negara dengan
sebulat-bulatnya dalam dua tingkat. Tujuannya yang terakhir ialah menyingkirkan
Bung Karno. Dalam tindakan pertama akan menyingkirkan pemimpin-pemimpin Negara
dari mulai Wakil Presiden ke bawah Presiden dan Panglima Besar akan mereka
pergunakan pada waktu itu. Kalau mereka merasa sudah cukup kuat, lalu
disingkirkan pula Bung Karno dan Panglima Besar. Maka dengan itu bulatlah
segala kekuasaan di tangan Tan Malaka, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Moh. Yamin,
Sukarni dan kawan-kawannya.
Rencana Komplotan
Daftar “Dewan
Pimpinan Politik” dan “Kementrian Negara Baru” yang akan dipaksakan kepada
Presiden menanda tangani adalah seperti berikut:
I.
Dewan Pimpinan Politik.
1.
Buntaran Martoatmojo
2.
Budhiarto Martoatmojo
3.
Chaerul Saleh
4.
Gatot
5.
Iwa Kusumasumantri
6.
Moh. Yamin
7.
Subarjo
8.
Sunarjo
9.
Tan Malaka
10. Wahid
Hasyim
II.
Kementrian Negara:
1.
Menteri Dalam Negeri : Budhiarto Martoatmojo
2.
Menteri Luar Negeri : Subarjo
3.
Menteri Pertahanan : akan disiarkan
4.
Menteri Kehakiman : Supomo
5.
Menteri Kemakmuran : Tan Malaka
6.
Menteri Agama :
Wahid Hasyim
7.
Menteri Sosial :
Iwa Kusumasumantri
8.
Menteri Bangunan Umum : Abikusno Cokrosuyono
9.
Menteri Keuangan :
A.A. Maramis
10. Menteri
Pengajaran : Ki
Hajar Dewantara
11. Menteri
Penerangan dan Penyiaran : Moh. Yamin
12. Menteri
Perhubungan :
Rooseno
Menteri Negara
1.
Chaerul
2.
Faturrachman
3.
Gatot
4.
Kartono
5.
Patty
6.
Sukiman
7.
Sunarjo
8.
Sartono
9.
Samsu H. Udaya
10. Sukarni
Kartowiryo
11. Jodi
12. Moh.
Saleh
Pemerintah yakin
bahwa beberapa orang yang ditaruh namanya dalam daftar Kementrian diatas, belum
tahu menahu bahwa nama mereka dipakai untuk keperluan suatu komplotan
meremehkan Pemerintah. Tetapi daftar itu cukup memberi gambaran, betapa luasnya
komplotan mereka. Pemerintah tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah,
tetapi jika perlu pemerintah akan meminta keterangan kepada mereka yang namanya
tersebut dalam daftar Kementrian tersebut.
Dimulai sejak
31-10-1945
Komplotan untuk
mendudukkan “Presiden Tan Malaka” menjadi Kepala Negara Republik Indonesia
telah sejak tanggal 31 Oktober 1945, sejak Sukarni datang kepada wakil
Presiden, mengusulkan supaya Bung Karno diganti saja dengan Tan Malaka, sebab
menurut anggapannya jiwa Tan Malaka lebih cocok dengan revolusi Indonesia
sekarang.
“Persatuan Perjuangan” didirikan
Karena maksudnya
itu tidak berhasil, maka didirikan “Persatuan Perjuangan” dengan ujud
memobiliser segala partai-partai dan badan-badan perjuangan rakyat terhadap Pemerintah.
Partai-partai yang tergabung diikat dengan disiplin “Minimum Program” yang
tujuh pasal. Sejak lahirnya “Persatuan Perjuangan” ini pada tanggal 4 Januari
1946 di Purwokerto, maka timbullah perpecahan. Persatuan yang bulat antara
Pemerintah dan Rakyat jadi pecah rupanya. Hal ini menguntungkan kepada Nica,
merugikan kepada Republik Indonesia. Partai-partai besar dihasut dengan untuk
mengroyok Pemerintah.
Pada sidang
K.N.I Pusat di Solo pada penghabisan bulan Pebruari, dalang-dalang Persatuan
Perjuangan ini telah bersedia untuk mengadakan “staatgreep”. Usaha ini gagal
karena keawasan Pemerintah, dan juga karena di antara Partai-Partai “Persatuan
Perjuangan” itu sendiri tidak dapat kesesuaian.
Kebiasaan Internasional
Sudah menurut
kebiasaan internasional, bahwa tiap-tiap perunding yang dilakukan antara negara
dengan negara tidak diumumkan, sebelum tercapai hasilnya.
Hasil itu
menjadi “verdrag”, yakni perjanjian atau kosong sama sekali; yaitu tidak
mendapat rancangan “verdrag”, maka “verdrag” itu diumumkan oleh kedua belah
pihak, supaya diketahui oleh rakyat kedua belah negara, supaya mereka itu dapat
membanding dan menimbang.
Sebelum
“verdrag” itu diterima oleh “Dewan Perwakilan Rakyat” pada kita sekarang K.N.I
Pusat dan sebelum ditanda tangani oleh Kepala Negara, “verdrag” itu belum lagi
menjadi perjanjian yang mengikat negara.
Jika sebaliknya
permusyawaratan tidak berhasil, maka kedua belah pihak biasanya mengeluarkan
suatu buku keterangan Pemerintah untuk diumumkan, yang didalamnya diterangkan
jalan permusyawaratan yang menyatakan apa sebab gagalnya.
Digunakan sebagai alat agitasi
Perundingan
tentang Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah kita di Jakarta
tak lain sifatnya.
Semuanya ini
diketahui oleh Tan Malaka cs. Tetapi cara dan adat perundingan internasional
itulah yang dipergunakan mereka sebagai alat agitasi untuk menjatuhkan
Pemerintah. Dengan secara hasutan dalam surat kabar dan dari mulut ke mulut
dikatakan, bahwa perundingan dirahasiakan karena Perdana Menteri Sutan Syahrir
mau “menjual rakyat Indonesia” kepada Belanda, mau menerima kembali penjajahan
katanya.
Seorang yang
berani menebus cita-cita kemerdekaan Indonesia sampai di bui dibuang ke Digul,
dituduh pengkhianat oleh gerombolan orang sebagai Subarjo, Mr. Budhiarto, Dr.
Buntaran, Mr. Gatot yang sampai sekarang hanya ternyata sebagai “salon
politicus” belaka.
Bersedia menerima “Trusteeship”
Malahan sebagai
Menteri Luar Negeri Mr. Subarjo dalam bulan Oktober 1945 telah bersedia
menerima “trusteeship” internasional, tetapi dapat dicegah oleh Wakil Presiden
dan Haji Agus Salim.
Juga Tan Malaka
sendiri pada satu pertemuan di rumah Mr. Subarjo dalam bulan September 1945
telah menyatakan kerelaannya dengan “Trusteeship” itu.
Belanda menghasut
Surat kabar dan
radio Belanda melantingkan kabar untuk menghasut kita dan memecah kita.
Dikatakan bahwa Pemerintah dalam kontra usulnya hanya meminta pengakuan tentang
kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatera.
Kabar bohong ini
dipergunakan mereka sebagai alat penghasut rakyat terhadap Pemerintah.
Buku keterangan Pemerintah
Pemerintah
nanati akan mengeluarkan buku keterangan pemerintah tentang jalannya
perundingan dengan Belanda.
Untuk sementara
waktu cukuplah jika diterangkan sebagai berikut:
Kita mengusulkan
supaya Belanda menyetujui Negara Indonesia yang merdeka, yang batasnya meliputi
seluruh batas Hindia Belanda dahulu.
Kalau itu
disetujui, maka dimulai dengan mengakui kekuasaan yang nyata, daripada Republik
Indonesia atas Jawa dan Sumatra. Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah Belanda bekerja bersama-sama memasukkan daerah yang lainnya
itu ke dalam Republik Indonesia. Antara Negara Republik Indonesia yang merdeka
dan Nederland yang merdeka akan diadakan suatu perjanjian bersahabat.
Kontra usul itu tetap
didasarkan atas Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 dan tetap
menuntut kemerdekaan Indonsia yang sepenuh-penuhnya.
Demikianlah
supaya rakyat dapat mengetahui tipu-muslihat Tan Malaka cs untuk merebut
kekuasaan negara. Rakyat insaflah!
Pemerintah akan
bertindak terus, mempergunakan segala kekuasaan yang ada padanya, untuk
membasmi aliran perusak dan kontra revolusioner ini dengan akar-akarnya.
Dengan mengingat
seruan Presiden kita dalam pidato radionya tanggal 30 Juli 1946, berhubung dengan
penculikan Perdana Menteri, maka kepada seluruh rakyat diharapkan membantu
pemerintah dalam hal ini. Kalau ada nanti seruan Pemerintah untuk menunjukkan
tempat orang yang dicari haraplah menolong mencari itu dan menunjukkan.
Sepatah dua
patah tentangan “Pengumuman Resmi”.
“Pengumuman
Resmi” Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 6 Juli 1946 itu menurut hemat
saya saya sekali tidak bersifat kehukuman (juridis). Teranglah dia tidak
bersandar kepada undang-undang yang sudah dibentuk dan disahkan oleh sesuatu
Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh, dari dan untuk rakyat, yang sedang
berevolusi ini. Tidaklah pula dia berdasarkan perbuatan yang dapat dibuktikan
oleh sesuatu pemeriksaan “proper, reguler dan estabilished court” (sesuatu
Pengadilan yang sah, teratur dan sudah terbentuk). Akhirnya sedikitpun dia
tidak berpegangan kepada perhubungan yang logis (causality) antara
undang-undang yang ada dan sah dengan perbuatan yang disangka pelanggaran.
“Pengumuman
Resmi” boleh dianggap mengandung, sifat, menuduh, menangkap dan menghukum
sekaligus. Dengan demikian, maka dia melanggar dasar yang lazim disebut TRIAS
POLITICA, dimana si Penangkap (polisi) dipisahkan dari si Pemeriksa (Kejaksaan)
dan dari si Penghukum (Hakim). “Pengumuman Resmi” ini sudah cukup jelas dikupas
secara juridis oleh Mr. Moh. Yamin dalam pemeriksaan Peristiwa 3 Juli pada
permulaan tahun ini. Dalam pemeriksaan itu sudah terbukti, bahwa Tan Malaka
tidak bersangkut paut dengan “penculikan” Sutan Syahrir atau Amir Syarifuddin
dan tidak tahu-menahu dengan peristiwa di istana Presiden. Para pembaca yang
ingin mendapatkan kritik yang luas dalam sempurna atas “Pengumuman Resmi” itu
saya persilahkan saja membaca Sapta Dharma, pembelaan Mr. Moh. Yamin yang sudah
terkenal dan mendapat sambutan baik sekali dalam masyarakat yang sedang
ber-revolusi ini, Sapta Dharma yang tetap akan menjadi suluh atas beberapa
halaman sedih dalam sejarah-revolusi Indonesia ini.
Di sini saya
cuma merasa perlu menambah dua tiga keterangan saja, yang bukan dimaksudkan
sebagai sesuatu kupasan (analyse), yang sudah lebih daripada cukup dilakukan
oleh teman-teman sepenjara yang tersebut di atas.
Pertama:
Kunjungan sdr.
Sukarni kepada Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 31 Oktober 1945, yang
disebut dalam “Pengumuman Resmi” sebagai pelaksanaan bermula dari maksud
mendudukkan Tan Malaka menjadi Kepala Negara Republik Indonesia” itu baru saya
ketahui sesudah membaca “Pengumuman Resmi” pada akhir tahun 1946 itu.
Sebelumnya waktu tersebut mungkin Moh. Hatta cs dan Sukarni sajalah yang
mengetahui hal itu.
Sampai sekarang
(Maret 1948) saya masih berkeyakinan bahwa bukanlah kedudukan (status) Presiden
itu saja, yang akan memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan kewajiban
saya sebagai warga negara Indonesia buat menyokong revolusi ini. Bahkan
disamping itu saya mempunyai pandangan, bahwa status Presiden, seperti yang
dikenal di Indonesia sekarang ini, bukanlah satu sine qua non, satu jaminan
mutlak bagi kejayaan sesuatu revolusi. Sebagai contoh boleh dimajukan, bahwa
revolusi demokratis di Perancis pada tahun 1789 sebenarnya dipimpin oleh Club
dan Komite saja. Revolusi melawan penjajahan di Amerika Utara (1776-1782)
sesungguhnya berada dibawah pimpinan Kongres Baru setelah lebih kurang tujuh
tahun revolusi Amerika Serikat selesai (ialah tahun 1789) jadi tiga belas tahun
setelah revolusi meletus, barulah Presiden dipilih. Yang terpilih ialah seorang
pemimpin pertempuran dalam revolusi itu sendiri (George Washington). Dalam
hakekatnya, maka revolusi Bolsjewik di Rusia (7 November 1917) berada di bawah
pimpinan Partai Bolsjewik dan Soviet (Rapat) Buruh, Tani, Tentara, walaupun
Diktator Proletar Rusia juga mengenal Presiden.
Kedua:
Persatuan
Perjuangan bukannya dibentuk karena kunjungan pemuda (1945), sekarang (1948)
dewasa Sukarni kepada Drs. Moh. Hatta tidak berhasil. Persatuan Perjuangan
dibentuk atas dasar yang lebih penting dan dasar yang lebih kuat-kokoh.
Persatuan
Perjuangan dibentuk sesudah nasehat saya kepada Sutan Syahrir di Serang pada
satu pertemuan pada permulaan Oktober 1945, yang dihadiri ± 20 orang pemimpin tidak
berhasil. Saya memperingatkan kepada para pengunjung antara lain, bahwa kalau
satu partai didirikan niscaya kelak akan timbul “partyen en partytjes” sebagai
jamur di musim hujan. Dengan demikian maka akan sukar sekali mempersatukan
perbagai partai itu dikemudian hari. Saya usulkan saja memperkuat pemerintahan
dan alatnya yang ada dengan para pemimpin yang revolusioner, yang belum masuk
pemerintahan.
Setelah
memangnya “partyen en partyen” muncul seperti jamur itu, disamping berbagai
badan da kelaskaran; setelah pengalaman saya sendiri dimasa pertempuran di
Surabaya, memperingatkan betapa besarnya bahaya perpecahan diantara dan dalam
partai, badan dan kelaskaran dan perlunya persatuan; setelah mendengar kabar
datangnya Van Mook dengan usul “Rijksverband-nya” yang terkenal itu, maka timbullah dalam pikiran saya maksud
mendirikan dan mempelopori Persatuan Perjuangan dengan Program yang
nyata-tegas, yang terkenal dengan MINIMUM PROGRAM.
Sesudah menjalankan segala usaha persiapan di Malang,
Cirebon dan Yogya (Desember 1945), maka akhirnya dapatlah dibentuk Persatuan
Perjuangan itu pada tanggal 4-5 Januari 1946 di Purwokerto. Minimum Program,
yang pada tanggal 5 Februari saya usulkan di Purwokerto itu buat dipelajari masak-masak
dapatlah dirundingkan disahkan dalam Kongres Solo pada tanggal 15-16 Januari
1946.
Jadinya Minimum
Program bukanlah satu Program yang “didektekan” oleh Tan Malaka, seperti,
seperti yang dibisik-bisikkan kian kemari dan sama sekali tiada ditujukan kepada
“kedaulatan Presiden”. Persatuan Perjuangan ditujukan terhadap usaha imperialis
dan kaki tangannya, yang bermaksud melanggar ISI dan tujuan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta “merebut kekuasaan Negara
(Indonesia) dengan perkosa” dan “mendudukkan” Belanda sebagai “kepala” penjajah
atas Indonesia.
Ketiga:
Terpisah dari
sikap setuju atau tidak setuju saja dengan aksi beberapa pemimpin seperti bekas
Jenderal Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, dan lain-lain pada
tanggal 3 Juli 1946, maka seandainya (saya ulang lagi seandainya) saya
bermaksud hendak “merebut kekuasaan Negara dengan perkosa” maka tentulah dan
logisnya pula saya harus bertindak menurut “Aksi-Murba-Teratur” (Massa Aksi).
PARI didirikan
pada bulan Juli 1927 sesudah PKI hancur, dengan maksud menegakkan cara “MASSA
AKSI”. Sekarangpun saya masih 100%
percaya kepada sistem Aksi Murba Teratur buat merobohkan sesuatu pemerintahan
yang ANTI KEMURBAAN dan untuk mendirikan sesuatu kekuasaan dari, oleh dan untuk
Kaum Murba. Tak logis dan mustahillah saya akan menjalankan ataupun menyetujui
sesuatu aksi yang oleh pihak resmi dinamakan “penculikan” dan “penyerobotan”,
yang dikalangan kami sendiri biasa dinamakan “individual terror” (terror
perseorangan).
Keempat:
Seperti sudah
saya terangkan terlebih dahulu, maka sebagai akibat usul saya sendiri, ialah
usul mengadakan Aksi Murba Teratur, pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta,
sebagai suatu “krachtpoef” (ujian
kekuatan), maka diluar kemauan dan dugaan saya sendiri Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Moh. Hatta “meletakkan jabatannya” (demissioner), sebab tidak
menyetujui MASSA AKSI yang juga tiada disetujui Kempetai Jepang, tetapi
disetujui oleh MURBA JAKARATA RAYA, walaupun dilarang.
Kabinet Syahrir
pun, terpaksa meletakkan jabatannya pada penghabisan bulan Februari di Solo,
setelah Sidang BPKNIP di Jakarta dan Sidang KNIP Pleno di Solo pada bulan
Februari juga menyatakan persetujuannya dengan Persatuan Perjuangan serta
MINIMUM PROGRAM-nya. Sedangkan Sutan Sjahrir tiada menyetujui keduanya itu.
Sudah
sewajarlah, bahwa kedua corak pemeberontakan, baik presidentiil ataupun
ministeriil yang tiada sanggup menjalankan massa-aksi, dan yang jatuh
sendirinya dengan tiada disengajai itu, setelah berlangsungnya massa-aksi atas
kemauan rakyat/pemuda itu...pemerintah semacam itu tak perlu pula sengaja
dijatuhkan lagi.
Dan sesungguhnya
pula, berhubung dengan masih berlakunya “SURAT WARISAN”, yang ditanda tangani
oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas inisiatif Presiden
Sukarno sendiri, tertanggal 1 Oktober 1945, dimana ditegaskan bahwa kalau
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiada berdaya lagi meneruskan
Perjuangan Rakyat Indonesia ini, maka
pimpinan Revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dll, maka sangatlah
tidak cocok dengan pikiran sehat, kalau disangka, bahwa Persatuan Perjuangan
itu didirikan dengan maksud hendak menjatuhkan Presiden Sukarno ataupun wakil
Presiden Moh. Hatta yang dengan ikhlas membubuh tanda-tangannya di bawah
Sura-Warisan tersebut, dan sampai waktu ini belum mencabut “SURAT WARISAN” itu.
Saya yakin,
bahwa jika sekali saja Presiden Sukarno menerima undangan Persatuan Perjuangan
yang berkali-kali dimajukan itu dan mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan
dan dengan sepatah dua patah kata saja Presiden Sukarno mengucapkan
persetujuannya, maka dengan sekejap mata saja akan terbentuklah persatuan yang
erat antara rakyat, Persatuan Perjuangan (dengan 141 organisasinya) dan
Pemerintahan. Dalam hal ini pastilah hasil sejarah-revolusi Indonesia akan
berlainan dengan apa yang terdapat sampai sekarang (1948)
Persatuan
Perjuangan yang dibisik-bisikkan kian kemari tak pernah mengucapkan “berdiri di
belakang Pemerintah Sukarno-Hatta” itu boleh mengembalikan bisikan semacam itu
dengan pertanyaan: “Apakah Bung Karno dan Bung Hatta mau berdiri di depan
Persatuan Perjuangan di atas “MINIMUM PROGRAM”?
Kelima:
Setelah
pemeriksaan perkara “peristiwa 3 Juli” oleh Mahkamah Tentara Agung, maka
ternyata sudah, bahwa tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946 itu dilakukan oleh
Tiga Serangkai, teman separtai Sjahrir-Amir-Sudarsono (tentulah) dengan
persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, kabarnya pula atas
desakan Delegasi Inggris/Belanda, untuk melancarkan perundingan
Indonesia-Belanda, dengan maksud mencapai “kerjasama” antara Belanda (tetap)
Penjajah dengan rakyat Indonesia, yang sudah memproklamirkan kemerdekaan 100%
pada tanggal 17 Agustus 1945. Perundingan itu menukar sifatnya perjuangan, yang
dilakukan oleh Persatuan Perjuangan dengan perjuangan yang dilakukan oleh Tiga
Serangkai Separtai tadi yang disetujui oleh Sukarno-Hatta. Perundingan itu
menukar dasar tujuan 7 pasal Minimum Program dengan 5 Program Pemerintah;
menukar diplomasi bambu runcing dengan diplomasi berunding.
Hasil penukaran
dasar Tujuan dan siasat Berjuang itu sudah menelorkan Perjanjian Linggarjati
dan Renville, serta mendesak Republik Indonesia ke tepi jurang penjajahan.
Demikianlah,
diukur dengan hasil diplomasi-berunding, maka Fitanah- Beracun, yang dikirimkan
kepada kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun
berbalik kepada para pengirimnya sambil merusak binasakan Badan dan Jiwa
Perjuangan Rakyat/Pemuda Indonesia.
Selesai ditulis
di bulan Maret 1948 dalam Rumah Penjara Madiun
Ttd
Tan Malaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar