Untuk menaksir sifat, tujuan
akibatnya Perjanjian Linggarjati, yang ditanda tangani pada tanggal 25 Maret
1947 dan Perjanjian Renville, yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari
1948, maka perlulah lebih dahulu kita perhatikan suasana, bilamana kedua
perjanjian antara Pemerintah Belanda denga Pemerintah Republik diadakan.
Seandainya kedua perjanjian itu
diadakan dalam suasana damai, umpamanya dalam waktu antara Perang Dunia Pertama
dengan Perang Dunia Kedua, sebagai sesuatu penyesalan dari pihak imperialisme
Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas pemerasan penindasan rakyat Indonesia
selama lebih 300 tahun, sebagai sikap baru yang ikhlas hendak membetulkan
kesalahan lama, sebagai pembayar “Ere-schuld” (hutang kehormatan), maka kedua
perjanjian tadi dapat dianggap sebagai suatu kemajuan bagi perjuangan politik
Rakyat Indonesia. Tetapi kalau diperhatikan kedua perjanjian itu dibentuk dalam
suatu suasana, bilamana Rakyat Indonesia sudah mempergunakan hak mutlaknya,
ialah memproklamirkan kemerdekaannya dan dengan sungguh banyak kejayaan, hak
mutlaknya pula, ialah membela kehormatan negaranya dengan senjata yang ada
padanya, maka kedua perjanjian itu berarti satu kekalahan besar dan bahaya yang
tak terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia.
Jika di samping itu diperhatikan
lagi, bahwa peristiwa pada masa mengadakan perjanjian itu imperialisme Belanda,
adalah imperialisme yang gagal sebagai imperialis yang sudah miskin melarat,
diinjak-injak facis Jerman selama lebih kurang lima tahun di negaranya sendiri
serta dihalaukan ke dalam interneeeringskamp oleh sekepal dua kepal serdadu
Jepang dan di hina, ditampar dan diperkosa oleh Jepang di depan mata rakyat
Indonesia sendiri, selama tiga setengah tahun, maka perjanjian Linggarjati dan
Renville itu adalah satu kemenangan Belanda yang tiada disangka-sangka, boleh
jadi juga oleh Bangsa Belanda sendiri.
Tak boleh disangkal, bahwa Belanda
dalam perundingan di Linggarjati, sambil mempertahankan “onderwerp
overeenkomst-nya” (rencana perjanjiannya), yang terdiri atas 17 pasal (18 pasal
dengan 1 pasal penutup) dengan diplomasi mulut manis, gertak dan janji kosong;
dengan 100% bantuan “wasit” Clark Kerr dan Killearn, yang mempunyai kepentingan
sendiri di Indonesia ini tak kurang pula dari 100%, maka Belanda dengan
perubahan sedikit saja bagi “onderwerp overeenkomst-nya” itu melondong
hanyutkan “usul Indonesia” yang terdiri dari 9 pasal (sepuluh pasal dengan
pasal penutup). Ringkasnya Belanda dengan Linggarjatinya saja sudah jaya
mengembalikan jajahannya di bumi Indonesia ini dalam bentuk bungkusan baru, yang
mudah sekali meragukan hati rakyat Indonesia dan menyilaukan mata dunia
internasional.
Walaupun perjanjian tadi di
pandang dari sudut kemerdekaan, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus itu
adalah satu kemunduran, bahwa satu pengkhianatan diplomasi, tetapi tiadalah
pula dapat disangkal keberaniannya pihak para diplomat Indonesia, terutama
dalam waktu penandatanganan, yang menganggap Perjanjian Linggarjati itu,
sebagai satu kemenangan diplomasi, satu kemenangan yang dapat dipakai sebagai
“batu loncatan”, sebagai “adem pauze” untuk “menukar banyak dengan traktor” dan
untuk “menukar bambu runcing dengan tommy-gun dan pesawat terbang”.
Memang pula, kalau pengsulapan 9
pasal usul Indonesia bisa menjadi 17 pasal usul Belanda itu bisa di anggap satu
kemenangan diplomasi, maka benarlah pula diplomasi Indonesia itu adalah satu
keunggulan diplomasi dalam arti diplomasi unggul-unggulan.
Bermula dalam hakekatnya maka
menurut Linggarjati Daerah dan rakyat Indonesia sudah dibagi-bagi antara
de-facto Jawa-Sumatera dan daerah sisa Indonesia, antara 50 juta penduduk
Jawa-Sumatra dengan 20 juta penduduk sisa Indonesia. Yang tak kurang pula
pentingnya, ialah dengan pengakuan Mahkota Belanda, maka kekuasaan tertinggi,
kedaulatan atau Sovereinity Republik (yang semestinya undivisible and
unalionable, tak boleh dibagi-bagi dan dipindahkan) sudah dibagi-bagi dan
dipindahkan ke Bangsa Asing, walaupun, dan “katanya” pula cuma buat sementara
waktu saja. Akhirnya, tetapi tak punya kurang pentingnya ialah dengan pengakuan
dan pengembalian hak milik Belanda, yakni musuh Republik 100%, menurut pasal 14
Linggarjati, maka kekuasaan politik rakyat Indonesia kelak akan menjadi fata
morgana, bayangan lamunan semata.
Seolah-olah mode, kehabisanlah
bagi orang cerdik pandai di masa sekarang, termasuk juga orang dalam kehakiman
dan kejaksaan dan berpendapat, bahwa “di dunia” ini tak ada negara yang merdeka
100%.
Dalam arti filsafat dan arti
absolut, mutlak, maka paham yang cocok dengan paham Belanda, Profesor Romme
ini, memangnya tak ada! Orang tidak perlu mempelajari Teori Relativiteitnya
Einstein atau Teori Dialektis Materialisme buat memahamkan, bahwa semua benda
yang berjiwa atau tidak, tetapi yang bergerak di dunia ini (dan memang semua
yang ada di dunia ini bergerak) semuanya itu berseluk beluk, berhubung dengan
benda lain dan gerakan lain menurut tempat dan waktu. Atau menurut Frederich
Engels, semuanya itu harus ditinjau dalam “Verkettung und Zusammunhang, werden
und vergeven...”
Tetapi dalam arti relative (dalam
perbandingan barang, benda atau gerakan satu dengan yang lainnya, menurut
tempat dan waktu) memangnya ada kemerdekaan 100% itu!
Demikianlah dalam arti relative,
tak ada orang yang berpikir sehat, yang bisa menyangkal, bahwa umpamanya negara
raksasa seperti Russia dengan penduduknya kurang lebih 200 juta itu, dan
Amerika Serikat dengan penduduknya 140 juta itu, adalah dua negara yang merdeka
100%. Pun negara kecil, negara nyamuk seperti negara Swiss, pada masa ini
dengan penduduk cuma 5 juta saja, tak pernah orang katakan suatu Negara Jajahan
ataupun Setengah Jajahan.
Benar sesuatu perjanjian militer,
perjanjian diplomasi atau perjanjian dagang dapat mengikat sesuatu negara besar
atau kecil tersebut di atas kepala sesuatu negara lain, jadi dalam arti
relative memangnya terikat, jadi mengurangi kemerdekaan yang 100% tadi dengan
x%, tetapi negara lain yang berjanji itupun harus mengurangi kemerdekaannya
dengan x% pula. Ringkasnya kedua-duanya harus masing-masing mengurangi
kemerdekaan 100% dengan x%. tetapi dapatkah Rusia, Amerika Serikat ataupun
Swiss, negara nyamuk ini dikurangi kemerdekaan militer, diplomasi atau
dagangnya begitu saja dengan tiada persetujuan rakyatnya, yang bisa melahirkan
suaranya dengan perantaraan Dewan Perwakilan yang disahkan pada masa itu?
Ataukah salah satu dari negara tersebut menerima sesuatu perjanjian yang cuma
menguntungkan pihak lain saja, seperti kejadian dengan Tiongkok di masa dia
terikat oleh equal-treaty (perjanjian pincang) seperti digelari oleh Almarhum
Dr. Sun Yat Sen?
Tampaklah sudah, bahwa merdeka
100% itu tidak berarti absolute, mutlak, melainkan relative, ialah menurut
perhubungan, seluk-beluk, perbandingan dan gerakan timbul, tumbuh dan
tumbangnya. Bagaimanapun juga negara besar atau kecil tersebut diatas adalah
merdeka 100% buat mengadakan perjanjian militer, diplomasi atau dagang dengan
negara lain menurut kehendak dan persetujuan rakyatnya, walupun dalam
masyarakat demokratis kapitalistis kehendak dan persetujuan rakyat itu tebatas.
Dan dengan kemerdekaan 100% pula negara besar atau kecil itu mengurangi
kemerdekaannya dengan x% dan menabungkan (pooling together!) yang x% itu ke
dalam tabung bersama, celengan bersama yakni perjanjian bersama atas keikhlasan
bersama. Maka menurut perhitungan masing-masing perjanjian itu memberikan
keuntungan y% kepada masing-masingnya. Lagipula perjanjian itu tiada pula
mengikat kedua belah pihak buat selama-lamanya, melainkan cuma buat selama
waktu yang sudah ditetapkan bersama lebih dahulu dan biasanya salah satu pihak
merdeka membatalkannya kalau kelak ternyata merugikan salah satu atau kedua
belah pihak. Syahdan, dalam keadaan seperti di ataslah, di mana tiap-tiap
negara yang merdeka 100% dengan sukarela mengurangi dan menabungkan x%
kemerdekaannya untuk sama-sama memperoleh keuntungan y%, jika yang satu dibandingkan
dengan yang lain (relative) masih merdeka 100%
Memangnya pula, kalau Indonesia
dengan Belanda jika seandainya “Belandalah” pula, yang disukai oleh Rakyat
Indonesia diantara semua bangsa dan Negara di seluruh dunia ini!!! Jadi kalau
Indonesia sebagai negara Merdeka 100%, menghendaki perjanjian ikhlas merdeka
dengan Belanda sebagai Negara Merdeka pula, atas dasar sama rata, perjanjian
mana yang menguntungkan pula bagi kedua belah pihak, maka perjanjian semacam
itu boleh diminta pertimbangannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang sah itu
tidak menyetujui perjanjian itu, atau menghendaki perjanjian yang semacam itu
dengan negara lain daripada negara Belanda, maka perjanjian dengan negara
Belanda itu tidak boleh diteruskan.
Tetapi perjanjian Linggarjati
(apalagi perjanjian Renville) yang keduanya mengurangai kemerdekaan Indonesia
dalam hal urusan luar negeri, kemiliteran, keuangan, perekonomian dan
kebudayaan, entah sampai berapa % dan menguntungkan kepada Belanda, sedangkan
sebaliknya Bangsa Indonesia tiada boleh mengurangi kemerdekaan perekonomian,
keuangan, kemiliteran, diplomasi dan kebudayaan Belanda di Nederland...! Maka
perjanjian yang tersebut di atas itu, adalah melanggar arti Proklamasi 17
Agustus dan terang-terangan membawa Indonesia kembali ke status penjajahan,
cuma dalam bentuk bungkusan baru saja.
Apakah sebenarnya yang menentukan
sifatnya, essencenya, patinya sesuatu perhubungan antara negara dengan negara
atau antara satu masyarakat dengan masyarakat lain?
Buat saya bukanlah bentuk politiknya
saja!
Memang bentuk politik bisa
memberikan Schijnmacht, satu kekuasaan khayal. Tetapi perbandingan kekuasaan
yang sebenarnya adalah terletak pada perbandingan kekuasaan ekonomi, yang
dipegang oleh masing-masing pihak, dalam perhubungan ke duan negara atau
masyarakat itu.
Walaupun hampir semua Negara
Amerika Tengah dan Selatan dalam bentuk politiknya adalah Negara Merdeka,
tetapi dengan merajalelanya kekuasaan ekonomi dan terutama keuangan Amerika
Serikat (finance-capital) maka kemerdekaan politiknya hampir negara Amerika
Tengah dan Selatan itu adalah satu khayal belaka.
Meskipun Canada, namanya Dominion
Inggris, tetapi karena Amerikalah yang mempunyai kepentingan ekonomi yang
terbesar di Canada itu, maka sesungguhnya kekuasaan tertinggi atas Dominion Canada
sudah lama terpendam di Wall-Street, New York, dalam kas-nya Bank di sana.
Dengan pandangan seperti di atas,
maka sekarang (Maret 1948) kalau kita memperhatikan Perjanjian Linggarjati, dan
Renville, maka haruslah kita lebih dahulu menanyakan, dari sudut manakah yang
harus kita pandang kedua perjanjian tersebut: dari sudut politik sajakah? Atau
dari sudut ekonomi sajakah? Ataukah dari kedua sudut ialah politik dan ekonomi
tetapi tercerai-berai satu sama lainnya? Ataukah dari kedua sudut politik dan ekonomi
yang harus dianggap berseluk beluk dan kena mengenai?
Dengan pertanyaan lain, dengan
cara berpikir logis, yuridis, staatsrechtelijk sajalah atau dengan cara
berpikir dialektis yang berdasarkan pandangan materialisme?
Bagi saya terutama sekali dan pertama
sekali, ialah dari sudut ekonomi dan dengan cara berpikir dialektis yang
bersandar pada pandangan materialisme.
Ini berarti, bahwa perkara politik
itu tiada penting! Bahkan tak kurang pentingnya, kalau ditafsirkan, bahwa
politik itu adalah pemusatan ekonomi (consentration of economy)!
Jadi dari sudut perekonomianlah
kita harus memandang lebih dahulu, karena perhubungan ekonomilah kelak pada
titik terakhirnya yang akan menentukan perhubungan politik antara rakyat
Indonesia dengan Belanda. Dari sudut perekonomianlah saya akan menghampiri dan
mempersoalkan Perjanjian Linggarjati dan Renville itu.
Bahwasanya jika kelak Kapital
Asing akan terus merajalela di Indonesia, seperti sebelum tahun 1942, maka
politik imperialisme pula yang akan merajalela di Republik Indonesia di
kemudian hari. Dalam hal itu, maka kelak kemerdekaan Republik adalah kata yang
tidak isi, kata kosong atau omong kosong! Kemerdekaan 100% yang diproklamirkan
oleh Rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka oleh pengembalian
semua Milik Asing (Negara Sahabat ataupun Negara Musuh!) segera kelak akan
merosot entah sampai berapa persen.
Jika sebaliknya semenjak permulaan
berdirinya Republik, sebagian besar dari perekonomian Indonesia (perindustrian,
perkebunan, pertambangan, keuangan, export-import dll)! dimiliki dikuasai dan
dikerjakan (owned managed and operation) oleh Rakyat Indonesia sendiri, untuk
Rakyat Indonesia sendiri, maka adalah pengharapan bahwa kelak kekuasaan
tertinggi, Kedaulatan Rakyat Indonesia ke dalam dan ke luar negeri akan
terancam.
Berada dan bekerja di
tengah-tengah masyarakat kapitalis-imperialis par exelence, ialah di Deli, maka
tiga puluh tahun lampau saya sudah menuliskan tinjauan saya atas masyarakat
Indonesia dan menggambarkan hasil tinjauan itu dalam satu buku dengan nama,
yang mengandung pertanyaan (dan jawab!) yakni: Parlemen atau Soviet?
Lebih dari seperempat abad lampau,
di tengah-tengah perjuangan Rakyat Indonesia menghadapi Belanda dan berapa
dalam persembunyian untuk menghindari buruan imperialisme Belanda, Inggris dan
Amerika..saya ulangi lagi!....dalam persembunyian untuk menghindari Belanda,
Inggris dan Amerika, maka dalam Brosure: “Naar
de Republiek Indonesia” saya wujudkan bentuk Pemerintah Indonesia,
sepatutnyalah Bentuk Republik dan Taktik
Strategy, yang harus dijalankan untuk melaksanakan, ialah Massa Aksi.
Lain daripada dua puluh tahun
lampau saya keraskan pula cara Massa Aksi buat mencapai kemerdekaan dan
Republik tadi dan menolak dengan sekeras-kerasnya jalan yang saya namai Parlementarisme semata-mata, ataupun
jalan Putch!
Dalam waktu lebih dari tigapuluh
tahun itu belumlah sedikit berubah pandangan saya tentang sifatnya kapitalisme
dan imperialisme Belanda; tiadalah berubah pula tujuan saya dalam politik dan
ekonomi: serta akhirnya tiadalah sedikitpun berubah paham saya tentang caranya
Rakyat Indonesia harus mencapai tujuannya.
Sampai sekarang saya tidak
percaya, bahwa akan bisa ada perdamaian kekal, atau dengan istilah baru, akan
mungkin, akan terdapat “kerjasama” yang kekal antara kapitalis imperialis
Belanda dengan rakyat Indonesia selama asing umumnya dan Belanda khususnya
masih memegang kekuasaan kapitalnya seperti dahulu.
Saya masih yakin, bahwa kekuasaan
Kapital Asing umumnya dan kekuasaan Kapital Belanda khususnya, ditengah-tengah
rakyat dan di atas bumi Indonesia harus dilenyapkan terlebih dahulu sampai ke
akar-akarnya, barulah Rakyat Indonesia dapat bernafas dengan lega dan mulai
menginjak jalan kemajuan dalam semua lapangan. (Tentulah Modal Asing yang tiada
memegang kekuasaan politik dan tidak mempengaruhi jalannya politik Dalam dan
Luar Negeri akan dipertimbangkan.
Tetapi ini cuma bisa berlaku,
kalau Negara Indonesia sudah mendapatkan jaminan cukup buat kemerdekaannya!)
Sayapun dari dahulu insyaf, bahwa
Kapital Asing dari Negara Sahabat tiada begitu saja dapat dilenyapkan! Tetapi
kecerobohan Belanda terhadap Republik Indonesia ini, bagi saya adalah satu
“golden oppurtunity”, satu saat baik, buat bertindak dan menempatkan Belanda
pada tempat yang cocok dengan lakonnya sebagai Negara Penjajah yang sudah
terbanting dan terpelanting pada 8 Maret 1942.
Dengan lenyapnya kapitalisme
Belanda dari Bumi Indonesia ini, dengan senjata ekonomi yang akan pindah ke
tangan Rakyat Indonesia dari tangan kapitalisme Belanda itu, maka rakyat
Indonesia akan mendapatkan “modal bermula” (initial capital) untuk membela dan
memperdalam kemerdekaan serta mempertinggi kemakmurannya. Dengan demikian dan
secara jual-beli, maka Rakyat Indonesia kelak akan sanggup membeli kembali sisa
perusahaan asing sekaligus atas berangsur-angsur dan mengadakan perhubungan dan
dagang dengan bangsa Belanda atas dasar kemerdekaan dan persetujuan ikhlas dari
kedua belah pihak.
Tetapi dengan membiarkan bulat
kembalinya Kapital Belanda, maka rakyat Indonesia, walaupun “digelari” merdeka,
nasibnya akan sama saja dengan para pedagang kelontong yang mau bersaing dengan
pedagang besar-besaran. Dalam teori bisa dipikirkan persaingan semacam itu akan
dapat memberikan hasil! Mungkin satu dua orang tukang kelontong bisa jaya,
tetapi sebagai golongan, maka golongan tukang kelontong akan tetap berada di
bawah haribaan golongan saudagar besar-besaran. Demikianlah pula, jika semuanya
kebun, tambang, pabrik, pengangkutan dan Bank Asing, yang menurut dasar ekonomi
sudah mengambil tempat yang strategis dalam perekonomian di Indonesia akan
diduduki kembali oleh bangsa Asing, maka semua percobaan saudagar kecil dan
perusahaan kecil Indonesia dengan cara apapun juga untuk persaingan dengan
Kapital Asing yang bekerja besar-besaran dan modern itu, akan sia-sia belaka.
Atau dengan perkataan asing akan berarti Don Quixottory! Satu Don
Quixottory-lah pula pahamnya beberapa ekono borjuis kecil Indonesia, atau paham
mereka yang menamai dirinya “sosialis”, bahwa dengan mengadakan 13 macam
undang-undang, maka kelak Kapital Asing akan bisa ditundukkan atau
dikendalikan.
Saya terlampau banyak menyaksikan
contoh yang hidup di negeri lain; tak bisa lagi percaya kepada omongan borjuis
kecil dan sosialis Indonesia seperti itu. Pertentangan kapitalis imperialis
Belanda dengan Rakyat Terjajah Indonesia saya anggap “irrecencileable”, tak
bisa diperdamaikan. Salah satunya harus menang atau lenyap dalam perjuangan
yang tidak kenal damai.
Maka berhubungan denga
pertentangan antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat terjajah Indonesia,
antara pemeras penindas Belanda dengan terperas-tertindas Indoneisa inilah,
maka satu Pemerintahan yang berdasarkan Parlementarisme Tulen, satu,
Pemerintahan yang berdasarkan suara terbanyak (mayority), satu Pemerintahan
Demokratis dalam Masyarakat Indonesia, dimana Kapital Belanda dan Asing lain
kembali rekenkunding, ataupun dengan perhitungan jari saja, boleh dikatakan,
bahwa sekepal dua kepal Belanda kapitalis-imperialis itu tak akan mau
diperintahi, diatur kepentingan ekonominya oleh 70 juta Bangsa Indonesia, yang
99 % terdiri dari burger-kecil, dan
Rakyat Murba, ialah golongan rakyat yang tak berpunya apa-apa lagi,
kecuali tenaganya. Belanda mustahil akan percaya kepada Pemerintah Demokratis
semacam itu dan Belanda akan mendapatkan 1001 macam akal bulus buat memperkosa
dan memalsukan demokrasi dan Parlementariasme dengan maksud hendak melaksanakan
kekuasaan ekonomi mereka, sesungguhnya, yakni: Melaksanakan paksaan golongan
Yang Terkecil, tetapi Berpunya atas Golongan Terbanyak, tetapi Tidak Berpunya.
Dengan adanya benteng perekonomian
Indonesia di tangan Asing, maka kelak bentuk Pemerintahan Demokratis, yang bisa
dibolehkan Belanda, adalah salah satu “Volksraad” dengan sedikit perubahan, di
mana perbandingan kekuasaan Ekonomi Asing Modern dengan kekuatan Ekonomi
Indonesia terbayang dengan jelas.
Menghendaki satu Parlementarisme
Tulen di Indonesia, di mana 70 juta bangsa Indonesia dengan Suara Terbanyaknya,
akan dapat memberantas atau mengendali Kapitalisme Asing, yang akan tetap terus
diakui segala haknya, samalah adanya dengan sikap seorang fakir-pertapa, yang
dalam otaknya menciptakan seekor ular-tedung yang tiada berbisa. Biarlah fakir
pertapa itu mencoba bermain-main dengan ular-tedung itu ataupun membiarkan
anak-anaknya bermain-main dengan ular tedung itu. Tetapi oleh kami, ular tedung
itu tak akan dipercaya atau akan diberi ampun. Kalau perlu, maka fakir pertama
yang mencoba memasukkan ular tedung ke dalam rumah kami itupun akan kami
singkirkan bersama-sama ular tedung itu.
Biarlah borjuis-kecil atau mereka
yang menamai dirinya sosialis itu menciptakan “Pemerintah-Bersama” antara
Kapitalis-Imperialis Belanda dengan Rakyat-Terperas Tertindas Indonesia!!!
Selama tinggal ciptaan saja, kami
akan membalas ciptaan itu dengan anti propaganda saja. Tetapi kalau mereka
terus menerus membela “Pemerintahan-Bersama” semacam itu dengan bentuk manapun
atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu,
dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah
Bersama” semacam itu, kami berasa berkewajiban pula menolak dan membatalka
semuanya itu, dengan segala ikhtiar dan
tenaga yang ada pada kami. Kami anggap Hak mereka tadi untuk memasukkan
“Pemerintah-Bersama” semacam itu ke masyarakat dan Bumi Indonesia, yang sudah
merdeka 100% semenjak 17 Agustus 1945, tiadalah lebih daripada Hak kami membela
terus kemerdekaan 100% dan kami akan tetap menganggap sesuatu
“Pemerintahan-Bersama” itu sesuatu penghianatan terhadap Proklamasi.
“Nuchtere Realiteit” akhirnya.
Ketiga: Bahwa Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Renville adalah satu bukti, bahwa
kapitalis-imperialis Belanda 100% berdiri atas “nurchtere realiteit”, ialah
atas perbandingan tepat antara kekusaan ekonomi Belanda” di masa “Hindia
Belanda” dengan perekonomian Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Renville
menggambarkan dengan tepat perbandingan Kekuasaan Ekonomi di masa jajahan.
Syahdan, dengan pandangan yang
terpaksa agak panjang ini, terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville, maka
baiklah juga saya selidiki beberapa pasal dalam perjanjian itu.
Karena dalam Perundingan, yang
mendapatkan Renvile Principles Perjanjian Linggarjati jugalah yang dijadikan
sandaran, walaupun kedua-belah pihak sudah pernah membatalkan Perjanjian
Linggarjati itu, maka baiklah kupasan yang berikut ini saya pusatkan kepada
Perjanjian Linggarjati saja. Oleh karena Perjanjian Linggarjati itu sudah cukup
dikenal timbul, tumbuh dan kembangnya, maka sudahlah cukup pula, kalau
penyelidikan ini saya tujukan kepada beberapa pasal saja.
Tentulah karena berada di dalam
penjara selama lebih dari dua tahun ini (Maret 1948) maka saya tidak sanggup
mendapat laporan yang dilakukan atas nama Republik, baik dengan terbuka ataupun
dengan rahasia oleh Syahrir dengan Kerr-Killearn dan Van Mook ataupun Amir
dengan Van Hoogsraten, Idenburg dan Van Mook. Saya juga tidak mengetahui,
“Notulen Rahasia”, korespondensi antara Delegasi Indonesia dengan Delegasi
Belanda; isi pidato Mi’raj Nabi oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain
pun akhirnya tidak saya ketahui.
Tetapi walaupun demikian, tidaklah
berarti, bahwa saya akan terserah begitu saja, tak berdaya menaksir nilainya
Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Saya sudah dapat membaca
Perjanjian Linggarjati dan Renville pasal demi pasal. Saya juga dapat membaca
pidato Yonkman, Prof. Romme dan Belanda terkemuka dll, di negeri Belanda.
Teristimewa pula saya sudah dapat menyaksikan “tafsiran” Belanda dan Indonesia
terhadap Perjanjian itu dan sampai sekarang (Maret 1948) sudah dapat pula saya
satu tahun mengikuti sikap dan tindakan Belanda, sesudahnya penandatanganan
Linggarjati setahun lampau.
Seandainya saya cuma dapat membaca
pasal 14 saja dari Perjanjian Linggarjati dan tidak mengetahui perkara yang
lain-lain, yang saya sebut di atas, maka saya akan sudah merasa sanggup
menggambarkan Bingkai Politik, Militer dan Urusan Luar Negeri Indonesia di hari
depan.
Cuvier, sebagai naturalist di abad
ke 18 bisa berkata “Berikanlah saya satu gigi saja dari satu hewan. Saya akan
berikan rancangan bentuk seluruhnnya badan hewan itu. demikianlah pula sebagai
Materialis, sambil menghampiri sesuatu persoalan masyarakat dengan cara
dialektis kami seharusnya dapat berkata: beritahukanlah kepada kami, bagaimana
perhubungan ekonomi antara kedua bangsa dan kedua klas itu. kami akan dapa pula
membentuk Bingkai politik antara kedua bangsa atau kedua golongan itu.
Economy relation enqendor
political and legal atau....act” perhubungan ekonomi menciptakan perhubungan
Politik dan Hukum dan sebagainya.” Kata Marx dalam salah satu tempat.
Demikianlah perhubungan ekonomi
antara Indonesia Belanda yang digambarkan oleh pasal 14 dalam perjanjian
Linggarjati akan menciptakan perhubungan politik, kemiliteran, keuangan, urusan
Luar Negeri dan Kebudayaan antara Indonesia dan Nederland. Saya mulailah dengan
pasal 14 Linggarjati, karena pasal inilah, yang saya anggap menjadi urat
Perjanjian Linggarjati itu. Dengan pasal 14, ialah Perjanjian Ekonomi, sebagai
urat, keuangan, urusan Luar Negeri dan kebudayaan sebagai kulit, daun, dan
lain-lain, maka akan bangkitlah kembali pohon Penjajahan Belanda seluruhnya,
seperti yang dikehendaki oleh zaman baru.
Dengan mendapatkan Linggarjati
sebagai satu haidah yang jatuh dari langit, maka Belanda dengan Instinct
(naluri) dan Logika seorang Kruidenier, seorang warung, meneropong ke semua
kemungkinan buat keuntungan dan kerugian.
Filsafat hidupnya Belanda
Kruidenier, ialah “hutang harus dibayar dan piutan harus diterima”. Filsafat
hidupnya inilah yang dijadikannya dasar buat Linggarjati dan dasar buat
“Hervormde Nederlands Indische Regeering”. Demikianlah harus dipastikan lebih
dahulu, bahwa N.I.S (Negara Indonesia Serikat, bunyinya di telinga Delegasi
Indonesia, tetapi Nederlands Indische Staat artinya buat Belanda Kruidenier)
akan membayar hutang “Hindia Belanda” dahulu, serta semua Perjanjian. Ekonomi
yang lama dan yang akan diadakakan harus dijamin pula. Dengan begitu, maka
semua Hak dan Milik Belanda atas tanah, pabrik, tambang, kereta, rumah dan
gedung yang ada di Indonesia haruslah diakui. Lebih kurang f.4000 juta uang
lama, yakni lebih kurang $ USA 1.600 jut hutangnya “Hindia Belanda” mesti
dibayar oleh N.I.S dan Hak Milik Asing seharga lebih kurang f.4000,-juta uang
lama atau lebih kurang $1600 juta pula harus dikembalikan. Seolah-olah tak ada
penyerahan Belanda 8 Maret kepada Jepang dan tak ada pula interneeringskamp
bagi Belanda yang tinggal di Indonesia, karen tak bisa lagi lari
tunggang-langgang ke Australia mencari tempat yang aman bagi dirinya sambil
meninggalkan 70 juta bangsa Indonesia, yang katanya harus diperlindunginya.
Tidak saja begitu N.I.S mesti
menjamin, supaya kelak produksi perdagangan, pengangkutan dan keuangan buat
mencari untung yang cocok dengan perhitungan seorang Belanda, Tukang Warung
jangan terganggu.
Dalam perkara mendapatkan tanah
buat disewa, air buat perkebunannya, kaum buruh dan kuli untuk diperkulikan
dalam hal mendapatkan alat pengangkutan serta kuli buat angkut-mengangkut dari
pedalaman sampai ke pesisir, dari pantai ke pantai di ratusan kepulauan
Indonesia, dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di dunia, maka
tukang-warung Belanda yang sudah terperanjat dan pingsan melihat semangat baru,
yang melayang ke dalam jiwanya Rakyat Indonesia, menghendaki jaminan “rechts en
bedrijfszekerheid”, Kepastian Hukum dan Pencaharian.
Dalam perekonomian keamanan buat
pulang pergi dari rumah ke kebun, ke tambang dan pabriknya, dan dalam
kesenangan hidup! (memangnya tukang warung Belanda pandai mempergunakan segala
kenikmatan hidup di dunia ini!) dalam hal keamanan untuk pulang pergi dari
kebun ke kota buat mengunjungi restoran, rumah bola, concert, bioskop, rumah
dansa, cabaret dan bermacam-macam alat penggembira dirinya sendiri beserta
keluarganya, maka tukang warung Belanda yang sudah menyaksikan dahsyatnya bambu
runcing tiada begitu saja mempercayakan dirinya kepada “kaum extremis” atau
mereka yang dicap seperti itu. demikianlah mereka menuntut “persoonlijke
zekerheid”, kepastian keamanan diri.
Menurut maksud bermula, ialah
setelah semua kepastian dalam keuangan dan ekonomi, kepastian dalam hukum dan
pencaharian, serta kepastian buat keamanan dan kesenangan dirinya itu terjamin,
seperti termaktub dalam perjanjian Linggarjati, maka dia akan segera pergi ke
Amerika, buat meninjau modal yang akan ditanamkannya di Indonesia.
Dengan kepastian, bahwa kelak, dia
akan mendapatkan uang pinzaman sebagai yang dibutuhkannya, maka dia percaya,
bahwa pastilah dia kelak akan mendapatkan tanah, air, kuli, bahan dan hasil
serta mendapatkan alat pengangkutan serta kuli, mandor dan jurutulis buat
mengangkut semua hasil Indonesia itu ke semua pasar kepulauan Indonesia dan di
dunia lain.
Si kapitalist mestinya percaya,
bahwa kalau ketentraman sudah terjamin, maka dengan tipu, gertak dan sogok,
seperti di zaman “Hindia Belanda” dia akan mendapatkan tanah subur yang diperlukannya.
Petani yang buta huruf yang kini merasai kekurangan belanja untuk selamatan ini
dan itu, lebih daripada di masa sebelum Jepang tentulah dijerat dengan tipu
muslihat dan yang uang sogok mandor air dan “B.B. Amtenaar” rendah atau tinggi
“niewe stijl” (macam baru) yang selalu pula terikat oleh hutang, tentulah
seperti di zaman “Hindia Belanda” akan dapat diikat dengan “rantai emas”.
Terutama pula di pulau Jawa, di mana penduduk sudah amat rapat dan setiap tahun
bertambah rapatnya dengan tiga perempat juta manusia, sedangkan sebagian besar
daripada Rakyat terdiri dari Yang Tak Berpunya apa-apa atau dari Yang Berpunya
Tak Cukup, dimana persaingan mencari sesuap nasi dan sepertegak pakaian amat
sengit, maka mudah sekali buat kaum kapitalis mendapatkan kaum buruh dengan
bayaran rendah. Berapapun juga dimajukan industrialisasi secara kolonial,
tiadalah akan mengisap semua proletar atau setengah proletar Indonesia,
terutama Jawa. Keadaan “suply and
demand”, vraag en aanbond” atau persediaan dan permintaan, tentang tenaga
Indonesia, menurut ukuran hidup (standard
of living) Rakyat Indonesia dimasa sekarang, memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada Kapital Asing 1) untuk mengadu dombakan buruh dengan
buruh yang ada dalam sesuatu perusahaan; 2) untuk mengadu dombakan buruh yang
sudah ada dalam perusahaan dengan yang masih dalam reserve (cadangan buruh
diluar perusahaan); 3) untuk mengadu dombakan Pemerintah Nasional dengan kaum
buruhnya sendiri.
Dengan begitu, maka Kapital Asing
dengan mudah sekali dapat menekan ke bawah upah pekerja sampai ke tingkat
hidupnya seorang kuli, mengerjakan kuli selama dikehendaki oleh kaum kapitalis;
menggagalkan sesuatu pemogokan dengan mengadakan sistem kaum penjilat (Yellow
Union) dan akhirnya menyelundupi dengan jalan sogok atau sistem kaum penjilat
segala undang-undang yang mungkin bisa diadakan oleh N.I.S yang sekiranya
diatas kertas bisa merupakan jaminan bagi pekerja Indonesia.
Sedangkan di Amerika Serikat,
Negara Menang, yang terkaya di dunia; dimana jutaan buruh mempunyai Serikat
Sekerja Raksasa seperti A.F.L.dan C.I.O. ; dimana buruh mempunyai hak
demokrasi, yang ditetapkan oleh Undang-Undang Negara; di mana persediaan dan
permintaan (supply and demand) tentang kaum pekerja lebih banyak menguntungkan
kaum buruh di Amerika daripada di Indonesia, di sana pun kaum buruh terpaksa
saja berulang-ulang mengadakan pemogokan untuk mengerjar gaji yang terus
menerus ketinggalan, disebabkan oleh terus-menerus naiknya harga barang untuk
kehidupan sehari-hari. Malangnya pula dengan organisasi buruh di Amerika
sebagian kuat; hak demokrasi rakyat begitu besar; dan produksi masyarakat
begitu tinggi, tiadalah sanggup kau pekerja Amerika menolak krisis dan
pengangguran hebat dan lama. Dan tiada pula kaum pekerja dalam negara, yang
katanya paling demokratis itu, bisa menolak larangan pemerintah atas pemogokan
umum, ialah hak mutlaknya serta senjata terakhirnya dan terpentingnya buat kaum
buruh dalam dunia kapitalisme untuk mendapatkan upah yang lebih cukup, waktu
kerja yang lebih singkat, serta pelayanan hidup yang lebih baik.
Seolah-olah golongan “orang kuat”,
“Marxist”, “Lenist” dan “Stalinist” Indonesia percaya, bahwa kelak
“undang-undang kerja dan sosial” yang akan dibikin (sebelum dan diwaktu N.I.S
??) akan bisa membendung kekuasaan kapital
internasional di Indonesia.
Dalam dunia roman, dunia khayal,
tiadalah mengapa, kalau Servantos, pengarang bangsa Spanyol, mengejek Don
Quizott, yang ingin mengembalikan keadaan feodal, yang sudah lampau itu ke
zaman baru, ke zaman permulaan kapitalisme dalam masyarakat Spanyol. Servantos
menggambarkan Don Quizott, sebagai seorang ksatria, yang hendak berkelahi
dengan kincir berputar, karena dalam ciptaan kincir berputar itu adalah kaum
penyamun, yang sedang menawan seorang gadis remaja yang paling cantik molek.
Dalam keadaan begitu muka Pedro, sebagai pengikut yang taat setia mengikut
saja, walaupun pikirannya tetap “nuchter” praktis.
Kita dalam dunia “besar hendak
melindih” ini tidak bisa mengejek para “Don Quizott” kita saja atau hanya
menonton mereka berkelahi menghadapi kincir berputar, ialah Kapital
Internasional saja.
Kita harus melarang sama sekali
Pedro Murba yang walaupun dengan pikiran nuchter mengikuti tuannya Don Quizott
menghadapi kincir berputar itu, ialah Kapital Internasional di Indodnesia supaya
mereka, Kaum Murba, jangan terbawa-bawa tergiling oleh perputaran-nya kincir
kapital internasional itu.
Yang terang “nucter” dalam dunia
diplomasi Indonesia Belanda ini, ialah para tukang warung Belanda. Sambil di
pelopori oleh maklumat Wakil Presiden, yang menjanjikan pengembalian Hak Milik
Asing pada tanggal 1 November 1945, mereka kruidernies Belanda dalam perjanjian
Linggarjati berpegang teguh pada pasal 14 dan memagari pasal ini dengan
beberapa pasal lain yang mengenai urusan politik, sosial dan kemiliteran.
Bunyinya pasal 14 dalam bahasa Indonesia yang agak kurang lancar di telinga
kita orang Indonesia, seakan-akan tulisan itu adalah terjemahan kata demi kata
dari bahasa Belanda saja ialah:
Pasal 14:
“Pemerintah Republik Indonesia
mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan
hak-hak mereka, yang dilakukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka yang
lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan
dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.”
Berhubung dengan pasal 14 itu,
maka pasal 10 yang erat pula pertaliannya dengan pasal 14 yang berbunyi:
“Anggar-anggar Persekutuan Belanda
Indonesia itu antara lain akan mengandung juga ketentuan-ketentuan tentang:
a) Pertentangan hak-hak kedua belah
pihak, yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah
pihak menepati kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain.
b) Hal kewarganegaraan untuk warga
negara Belanda dan warga negara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya.
c) Aturan bagaimana cara
menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan persekutuan itu tidak
dapat dicapai secara mufakat.
d) Aturan bagaimana dan dengan
syarat-syarat apa alat-alat kelengkapan kerajaan Belanda memberi bantuan kepada
Negara Indonesia Serikat untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak
atau kurang cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
e) Bertanggungan dalam kedua bagian
persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan
kebebasan-kebebesan yang dimaksudkan juga oleh Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Tukang warung Belanda, yang mau
menghitung laba rugi lebih dahulu memberikan tafsiran sendiri kepada pasal 14
dan 10 itu. Menteri Yonkman menerangkan sikapnya terhadap kedua pasal tersebut
dalam pidatonya di Parlemen Nederlanda; yang dikawatkan oleh ANETA kepada
DAGBLAT tanggal 11 Desember 1946, seperti berikut:
“Het zal noodzakelijk zijn, op den
grondslag van het hestand en politik accord, ten spoedigste mede
overeenstomming te verkrijgen over financieele en economische waar orgen, welke
het beginsel van artikel 14 over een breeder terrein uitstrekken, rechts en
bedrijfszekerheid onder art, 10a beheerend, nader te omschrijven en bijden
opbouw der Federatie en der Unie ook de financieele en economische eischen
volledig in acht te nemen”.
Indonesianya:
“Perlu sekali atas dasar
pemberhentian tembak-menembak dan persetujuan politik, selekas-lekasnya
diperoleh persetujuan keuangan dan ekonomi, yang dimaksud dengan dasarnya pasal
14 dalam arti yang lebih luas, (dan) kepastian hukum dan pencarian (perusahaan)
yang termaksud dalam pasal 10a, dijelaskan lebih lanjut dan pada pembentukan
Federasi dan Uni juga diperhatikan sepenuh-penuhnya tuntutan keuangan dan
ekonomi”
Sekianlah pasal 14 Linggarjati!
Sekian pula tafsiran Menteri Yonkman!
Adapun pengakuan pasal 14 yang
mengenai hak milik dan pencarian Belanda itu tiadalah tergantung sendirinya di
awang-awang saja. Dengan penerimaan pasal 14 itu, itu sebagai akibatnya,
haruslah diterima sesuatu yang berkenaan dengan urusan Luar Negeri, urusan
Keuangan, urusan Kemiliteran dan urusan Kebudayaan.
Berhubung dengan itu, maka dipandang dari sudut perekonomian
pasal 8, yang termashur buruk karena membatalkan kedaulatan Indonesia,
sebenarnya akibat dari pengakuan atas pasal 14, ialah pengembalian hak milik
Belanda. Dalam hakekatnya, maka pengembalian ratusan kebun Belanda,
bermacam-macam tambang dan pabrik, hampir semuanya alat pengangkutan dan
keuangan di Indonesia, berarti memerlukan dan mempermudah pula pengembalian Kedaulatan
Belanda ke Indonesia.
Pengembalian Kedaulatan Ekonomi
Belanda di Indonesia, esok atau lusa, langsung atau tidak, mengembalikan
Kedaulatan Politik Belanda di Indonesia pula.
Sesungguhnya pula diplomat Belanda
Inggris dengan pengluasan panggung diplomat “ulung” Indonesia, dan mendapatkan
semua hak milik kembali, sendirinya sudah mengembalikan Mahkota Belanda ke
Indonesia Merdeka, sama dengan kecepatan Aladdin memperoleh sebuah mahligai
emas, setelah mengelus-elus lampu ajaibnya.
Begitulah sebenarnya dengan
pengakuan kembalinya economy supremacy Belanda, Kekuasaan Tertinggi Ekonomi
Belanda di Indonesia Merdeka, maka urusan Luar Negeri, keuangan, kemiliteran
dan kebudayaan nolens volens mau tak mau, akan jatuh ke tangan Belanda. Kalau
sudah sampai ke tingkat pengakuan, atas kerja sama dalam urusan luar negeri,
kemiliteran dan keuangan itu, maka kedaulatan Belanda atas Indonesia “Merdeka”
sudah termasuk walaupun tak disebutkan begitu. Dengan demikian maka Pemerintah
Indonesia, apapun juga namanya, sebenarnya sudah menjadi Pemerintah Boneka
Belanda.
TENTANG URUSAN EXPORT DAN IMPORT
Dengan adanya lebih dari 90%
exportable goods barang yang dapat di perdagangkan ke Luar Negeri di tangan
bangsa Asing dengan beradanya 100% alat perkapalan ke Luar Negeri di tangan
Belanda atau Asing lain. Dengan beradanya Bank dan Asuransi 100% pula di tangan
Belanda atau Asing lain; dengan akhirnya beradanya agencies, tengkulak atau
makelar dan kantor dagangnya di pasar asing (Amerika, Eropa, dll) 100% pula di
tangan Belanda, maka gila atau edanlah Belanda dan sombong tak tahu dirilah
orang Indonesia, yang berani mengatakan, bahwa Belanda dan asing lain akan
begitu saja menyerahkan urusan export-import kepada orang Indonesia. Sebanding
dengan Share, bagian pedagang Indonesia dalam dagang keluar masuk
(export-import) itulah pula, Belanda akan membiarkan Indonesia mengambil bagian
kekuasaan dalam hal urusan kedutaan serta Duane.
Kalau bagian Indonesia dalam
export-import cuma 10% atau 1%, karena onderneming, tambang dan pabrik berada
di tangan asing, maka janganlah “diplomat” Indonesia tercengang, kalau Belanda,
sesudah hak miliknya diakui penuh akan menuntut kekuasaan penuh pula. Dengan
begitu, maka urusan kedutaan dan kekonsulan, dengan negara asing di mana
kepentingan pasar dagang seperti di Amerika dan Eropa, terletak di tangannya
Kapital Asing, yang ada di Indonesia, akan sendirinya di kuasai oleh Belanda.
Di mana rakyat Indonesia ada sedikit mempunyai kepentingan dagang, seperti dari
Siam ke Indonesia, seperti dahulunya; dengan beberapa negara Arab, lantaran
urusan agama dan import kain, kurma dan minyak samin dari sana ke sini, maka
boleh jadi sekali Belanda kelak, dikemudian hari tak akan berkeberatan
membiarkan N.I.S menanam duta atau konsul bangsa Indonesia di tempat tersebut.
Tetapi yang terang, ialah Belanda cuma akan mengerjakan segelintir dua
Inlanders-alat, sebagai kerani dan opas pada Kedutaan Belanda, di sesuatu
negeri luar itu, dimana kepentingan dagan Belandalah yang terbesar.
Itulah akibatnya pengakuan atas
Haknya Belanda atas urusan Luar Negeri. Tetapi pengakuan itu membawa akibat
buruk pula pada kemajuan perindustrian bangsa Indonesia. Dengan tergantungnya
pedagan asing di Indonesia kepada pasar Amerika dan Eropa, maka pasar Indonesia
sebaliknya tergantung pula kepada hasil pabrik Amerika, Eropa. Dengan
terikatnya Amerika-Eropa kepada getah, minyak, timah, teh, kopi, kina dan
lain-lain dari Indonesia, maka Indonesia pun akan diikat pula oleh auto,
barang, mesin, barang kimia atau barang listrik Amerika Eropa. “Export pays for
import” begitulah bunyinya pepatah dagang kapitalistis, artinya: barang dagang
yang di jualkan di luar negeri akan membayar harga barang dagang, yang di beli
dari luar negeri. Akibatnya perdagangan semacam ini, bagi Indonesia, walaupun
penuh dengan bahan logam dan tumbuhan, walaupun mempunyai kaum pekerja yang
pintar, rajin, dan melimpah, yang pertama sekali adalah, Indonesia tak akan
berdaya mendirikan kebun, tambang atau pabrik baru, yang jenis hasilnya sudah
di miliki, diusahakan dan dimonopoli oleh kapital-internasional yang sangat
kuat dan berpengalaman banyak itu. rakyat Indonesia akan terus kalah dalam
persaingan mati-matian (“cut throat competition”). Kedua, Bangsa Indonesia tak
akan mendapat kesempatan mendirikan sendiri pabrik auto, lokomotif, mesin
lain-lain, pabrik kimia, listrik dan atom, pabrik mesin kapal, pesawat terbang,
kapal selam, tank dan meriam, dan lain-lain, “pabrik machine making machine”
atau pabrik mesin pembikin mesin, yang semuanya perlu untuk kemakmuran dan
pembelaan republik Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tak akan sampai
menjadi negara berindustri induk, berindustri berat N.I.S cocok dengan watak
dan kemauan Belanda pedagang dan kruidenier, akan tetap tinggal negara
pertanian dengan selingan industri enteng di sana-sini. Dengan demikian, maka
walaupun N.I.S itu akan disebut-sebut berdaulat, maka akan tetap tinggal negara
boneka, yang terpaksa mempercayakan pembelian kemerdekaannya kepada “beleidnya”
(kebijaksanaan) Belanda, yang lari tunggang-langgang dikejar oleh dua tiga
gelintir Jepang pada bulan Maret 1942.
Keuangan I
Akibatnya pengakuan atas semuanya
Kapital Asing pada keuangan bangsa Indonesia, tiadalah kurang buruknya daripada
yang tersebut di atas.
N.I.S tiadalah akan membenarkan
wakil bangsa Indonesia itu mengambil bea yang agak berat atas pengeluaran hasil
kebun, tambang dan pabrik Asing, yang berada di Indonesia. Alasan yang
sebenarnya, adalah “selv evident” nyata sendirinya. Tak ada sesuatu perusahaan
atau seorang manusia yang akan memberatkan dirinya sendiri ataupun mengurangi
keuntungan yang diperolehnya. Nafsu kaum saudagar tulen hendak menjadi kaya
raya yang tak terbatas itu sudah terkenal di seluruh abad dan di seluruh tempat
di dunia ini. dalam mempertahankan kepentingannya sendiri, ama haruslah barang
Indonesia itu ditawarkan dengan harga yang semurah-murahnya”. Dengan besarnya
bea, atas pengeluaran barang itu, maka naiklah harga barang Indonesia di luar
negeri. Dengan demikian, katanya pula, maka barang Indonesia kelak, tak akan
bisa bersaing dengan barang asing yang dijual
lebih murah di pasar asing. Lagi pula menurut filsafat dagang tadi juga,
maka kaum buruh haruslah dikasih upah serendah-rendahnya, supaya kapitalis
Belanda dan Asing lain di Indonesia bisa mendapatkan ongkos yang murah, dan bisa
menjual barang dengan harga murah di pasar dunia. Demikianlah pula, katanya,
Duane Indonesia janganlah memungut bea yang tinggi atas barang export.
Akibatnya yang pertama dari keadaan sedemikian, ialah bahwa dari upah rendah
kaum buruh Indonesia, tak bisa dipungut pajak yang besar buat kas negara.
Kedua, dari bea barang export yang rendah itupun tak bisa didapatkan uang yang
cukup untuk mengisi Kas Negara.
Bukan saja bea atas barang keluar,
yaang harus direndahkan, tetapi sendirinya barang masukpun tak bisa dijatuhi
cukai yang tinggi. Alasan pertama, ialah diambil dari filsafat dagang,
pandangan kruidenier, tukang warung juga, yakni “kalau cukai barang masuk itu
terlalu tinggi, maka, katanya, barang itu susah lakunya dalam pasar Indonesia,
dan katanya pula, rakyat jugalah, yang akan menderita, karena terpaksa membayar
mahal”. Adapula maxim lain, satu pepatah dagang lain, yang mengatakan bahwa,
“kalau barang masuk ke Indonesia, yang datang dari luar negeri (Amerika atau
Eropa!) dicukai terlampau tinggi, maka negara luar itu kelak akan mengadakan
tindakan pembalasan (retaliation-measure) ialah mempertinggi cukai atas barang
Indonesia, yang masuk ke negerinya dengan akibat bahwa barang Indonesia itu,
katanya, akan susah lakunya di luar negeri”.
Dan ini menurut filsafat
Kruidenier akan merugikan rakyat Indonesia pula.
Demikianlah ringkasnya, terbawa
akibat buruk atas keuangan negara Indonesia, setelah hak milik Belanda Agresor
itu dikembalikan, ialah: Pertama, upah buruh tetap rendah, seperti di zaman
“Hindia Belanda”, Kedua, bea atas barang export tetap rendah dan Ketiga, cukai
atas barang import tak bisa dipertinggi cukup. Ketiganya mengakibatkan
sedikitnya uang yang dapat masuk ke dalam Kas Negara Republik. Sebagian besar
daripada nilai lebih (surplus value, Morwert) yang diperas dari keringat
pekerja Indonesia akan tetap mengalir keluar negeri, berupa bunga modal,
keuntungan, asuransi, pensiun dan lain-lain, yang jatuh ke kantong rentenir
(peminjam uang). Kapitalis industri, perkebunan, tambang, pabrik, perkapalan,
Bank, asuransi dan perdagangan Asing. Semuanya mereka ini bebas dari tangannya
pemungut pajak N.I.S
Keuangan Republik, yang daerahnya
entah akan meliputi seluruh Jawa-Sumatera, entah tujuh daerah minus di Jawa
Tengah saja, di tambah dengan Minangkabau dan daerah Aceh, yang keduanya, jauh
terpencil dari Jawa Tengah dan bahkan pula daerah perindustrian atau perkebunan
keuangan Republik, setelah pengakuan pengembalian Hak Milik Asing itu akan
menjadi susut kecil, kalau tidak kocar-kacir, ialah hidup tidak, matipun tidak.
Kalau daerah Republik kelak tiada
mau rapat dengan daerah lain seperti N.T.T, Borneo, Negara Jawa Barat dan
lain-lain itu tak mau pula berdiri sendiri sederajat dengan beberapa Negara
Boneka tersebut, melainkan bertentara merdeka, dan berkeuangan merdeka, maka
keuangan Republik Merdeka semacam itu akan lebih dalam keadaan melarat lagi
dari pada keuangan Tiongkok pedalaman, di mana semua pelabuhan Export-Import
dan keuangan dikuasai asing. Akan lebih melarat pula dari keuangan Mexico, dimana
tanahnya dimiliki oleh “Hasienderos” Indo Spanyol; tambah dan pengangkutan
dimiliki oleh Amerika-Inggris; serta perdagangannya dikuasai oleh Jerman,
Perancis dan lain sebagainya.
Dengan melaratnya keuangan, maka
akan merosotlah pula pembayaran gaji kepada pegawai administrasi, kepada
anggota polisi dan tentara Republik. Dengan merosotnya pegawai, polisi dan
tentara itu, maka kelak janganlah “Pemerintah” Indonesia heran, kalau
pemogokan, keributan dan coup d’etat dalam negara adalah kejadian sehari-hari,
atau menurut pepatah Belanda, adalah “Schering en inslag”. Keadaan semacam
itulah yang sudah diteropong lebih dahulu oleh kruidenier Belanda. Keadaan
semacam itu, yang dapat merugikan, perusahaan dan perdagangannya di daerah
Republik mau dihindarkan oleh Belanda dengan perjanjian “kerjasama” anara
Tentara-Polisi Indonesia dengan Tentara-Polisi Belanda.
Tuntutan ini ada tuntutan yang
cocok dengan “nuchter realiteit” ialah “nuchter realitiet”-nya kruidenier
Belanda.
“Kerjasama” dalam perekonomian,
urusan luar negeri, keuangan dan kemiliteran yang rapat antara tujuh (?) Negara
Boneka, dalam N.I.S dan kerja sama antara N.I.S dan Nederland-Indonesia,
dibawah Mahkota Belanda itu tentulah akan memerlukan kerja sama pula dalam
kebudayaan.
Bangsa Belanda yang sudah rusak
diinjak-injak selama 3 ½ tahun, di bawah telapak Jepang akan diangkat kembali
dan diperjuangkan pula dengan Bahasa Indonesia, yang maju dibawah pemerintahan
Jepang dan tumbuh dengan suburnya di masa Republik. Bahasa Belanda yang cuma
dikenal oleh beberapa juta manusia yang berdiam lebih kurang 10.000 km jauhnya
dari Indonesia itu, kalau tidak akan
menjadi bahasa voortaal, bahasa pengantar lagi, pasti akan mengambil bagian
terpenting diantara beberapa bahasa asing, yang harus diajarkan di sekolah
Indonesia. Sendirinya kebudayaan Indonesia kelak akan dipengaruhi kembali oleh
semangat kruidenier, semangat jual-beli, semangat bercakaran perkara
tetek-bengek dalam 1001 macam Partai politik dan semangat tunggang langgang,
lari menyelematkan diri, kalau diserang oleh Negara Ceroboh:
Ikhtisar atas pandangan di atas
ialah:
1. Pengakuan atas pengembalian
Hak-Milik dan Perusahaan Belanda Ceroboh, akan sendirinya membawa kepada
pengakuan atas campur tangannya Belanda dalam urusan luar Negeri, keuangan,
kemiliteran dan kebudayaan Negara Boneka atau setengah Boneka, yang dibentuk
oleh imperialis Belanda dan disyahkan oleh Pemerintah Republik.
2. Bentuk “Federasi” atau bentuk
manapun juga bagi Indonesia, bentuk “Unie” atau bentuk apapun juga
terlaksananya perhubungan Indonesia dengan Nederland, selama perekonomian
masyarakat Indonesia, sebagian besarnya dan yang terpenting dikuasai oleh
Belanda dan Asing-Lain, maka semua bentuk Pemerintahan Indonesia dan
Perhubungan Indonesia itu, adalah pelaksanaan perhambaan politik Rakyat Indonesia
kepada Kapitalis-Imperialis Belanda dan Asing lain (Amerika-Inggris).
3. “Nuchtere Realiteit” buat Belanda
dan kaki tangannya di Indonesia yang sebaik-baiknya, dan “Rencana Linggarjati
dan Renville”.
Demikianlah pasal 7 dan 8 dari
Perjanjian Linggarjati adalah akibat daripada pengakuan pasal 14, ialah
pengembalian hak-milik dan Perusahaan Asing, seperti maksudnya Maklumat Wakil
Presiden pada tanggal 1 Nopember 1945.
Pasal 7 Ayat (3) Linggarjati
berbunyi:
“Adapun yang akan dianggap
kepentingan-kepentingan bersama itu, ialah kerja sama dalam hal perhubungan
luar negeri, pertahanan, seberapa perlunya keuangan, serta juga hal-hal ekonomi
dan kebudayaan”.
Pasal 8 berbunyi pula:
“Dipucuk Persekutuan Belanda
Indonesia itu duduklah Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan
Kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh alat-alat kelengkapan
persekutuan itu atas nama Baginda Raja!
Menurut sk. “Bakti”, 20 Nopember
1946, maka Presiden Sukarno, ketika memberi penjelasan tentang persetujuan
Linggarjati di Kabupaten Garut tanggal 19 Nopember, menerangkan, bahwa, “Raja
Belanda sama sekali tidak menyinggung kedaulatan pemerintah Republik
Indonesia”, dan menegaskan pula, bahwa tidak ada satu artikel pun yang akan
merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”.
Ada pula orang yang menafsirkan,
bahwa Raja Belanda itu berlainan dengan Mahkota (Kroon). Menurut filsafat ini,
maka istilah Raja itu mengenai dirinya sendiri saja, sedangkan istilah Mahkota
itu berarti Raja dalam Sidang Menteri.
Tetapi menteri Yonkman dalam
pidato di Parlemen seperti tersebut di atas tiadalah ragu-ragu tentang
Kekuasaan Tertinggi, tentang kedaulatan Raja Belanda dalam persekutuan
Nederland-Indonesia itu.
Kata Yonkman:
“Aan het hoofd van de unise staat
volgens artikel 8 de koning der Nederlanden, aan wien volgens den toelichting
van de commissie generaal Oppergezag werd opgedragen”.
Indonesianya:
“Menurut pasal 8 duduklah dipucuk
pimpinan persekutuan (UNI) itu Raja Belanda, di tangan siapa, menurut komisi
jenderal diletakkan kekuasaan tertinggi.
Belumlah cukup bagi “nuchtere
realiteit” –nya kruidenier Belanda, kalau “rech dan bedrijfszekerheid-nya cuma
dijamin oleh kekuasaan terpendam, yang terletak pada tiap-tiap “economy
supremacy”, pada permarajalelaan Ekonomi saja! Mereka merasa perlu kembali
mempergunakan politik manjur, terhadap sesuatu bangsa yang dikuasai. Politik
devide et impera, politik mengadu dombakan golongan dengan golongan yang
dikuasai, yang dengan berhasi dijalankan oleh bangsa Romawi, bangsa penakluk,
terhadap beberap bangsa takluk, dalam beberapa abad lamanya diambil opper oleh
Deuplex, seorang pemimpin penjajah Perancis di Hindustan, sebelumnya Inggris.
Politik Deuplex inilah pula yang diambil oper oleh Inggris di “India Inggris”
dan dengan jaya dipergunakannya sampai sekarang (Maret 1948). Belanda semenjak
Jan Pieter Koen menjalankan politik semacam itu di kepulauan Indonesia selama
lebih kurang 450 tahun.
Politik yang sudah terang
kemanjurannya selama ratusan tahun itu, politik yang dapat dijalankan dengan
halus dengan tiada memperlihatkan dalangnya itu, tiadalah begitu saja
dilemparkan oleh Belanda, apabila dia mau memasuki masyarakat yang dikehendaki
oleh Linggarjati dan Renville di Indonesia ini. Tendangan Jepang di perut
disertai tinjunya di kepala Belanda, tiadalah dapat mengeluarkan akal bulus
Belanda itu dari usus benaknya.
Dari pasal 1 sampai 7 sudah
terselundup biji perpecahan Negara Republik Indonesia, yang merdeka 100%
semenjak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu. Dengan
pengakuan Republik yang merdeka 100% semenjak 17 Agustus itu, atas pembagian
‘de facto’ Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, Madura dan
Indonesia sisa menurut pasal 1 Linggarjati ; dengan pengakuan
‘bersama-sama menyelenggarakan’ segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan
demokrasi, yang berdasarkan perserikatan dan dinamai Negara Indonesia Serikat
(pasal 2), oleh Republik, yang merdeka 100% dengan Negara Ceroboh dan bekas
penjajah ; dengan pengakuan, bahwa bagian manapun juga dari Indonesia,
yang merdeka 100% itu, menurut Linggarjati boleh bersama-sama dengan Belanda
menentukan Kedudukan istimewa, terhadap negara Indonesia Serikat dan terhadap
kerajaan Belanda (lihat pasal 3) ; dengan mengakui pula ‘haknya kaum
penduduk daripada sesuatu bagian daerah ‘ mengatur kedudukannya dalam
Indonesia Serikat itu dengan cara lain, yang tentulah lain daripada dasar
kemerdekaan 100% dan cocok dengan caranya Belanda penjajah (pelajarilah pasal
4) dengan campur tangannya Belanda mengatur Undang-Undang Negara Indonesia Serikat
(menurut pasal 5)....dsb....maka nyatalah benar maksudnya dan nyatalah pula
terlaksananya maksud Belanda hendak memecah belah lebih kurang 4 ½ juta (empat
setengah juta) mil persegi daerah tanah dan lautan Indonesia itu, antara satu
daerah dengan daerah lain dan antara satu suku golongan dengan suku/golongan
lainnya.
Sebermula, maka untuk menginsafi
kelicikan politik memecah-belah dan kejayaan Belanda dalam perundingan
diplomasi yang tergambar pada perjanjian Linggarjati itu perlulah kita lebih
dahulu, mengadakan uraian yang agak lengkap, terutama tentang beberapa
syaratnya sesuatu negara merdeka.
Ilmu Kenegaraan yang resmi, dalam
mendefenisikan negara itu, cuma memajukan tiga syarat negara saja, ialah 1)
Tentang daerah. 2) Tentang penduduk dan 3) Tentang pemerintah. Saya rasa disini
perlu diadakan koreksi dan tambahan ! negara modern tak bisa hidup dengan
aman, kalau cuma mempunyai tiga syarat itu saja. Saya rasa perlu dikemukakan
sekurangnya tiga syarat yang lain : 1) Perindustrian. 2) Bahan logam yang
mentah. 3) Geografis strategis, ialah tempat duduk yang penting untuk siasat
perang dalam hal membela diri.
Tiongkok yang mempunyai penduduk
yang terbesar di dunia, sebagai negara yang mempunyai daerah yang hampir sama
luasnya dengan Amerika Serikat, yakni yang terkaya dan terkuat di dunia
sekarang, Tiongkok yang mempunyai nasionalisme yang hidup dan persatuan yang
kukuh kuat terhadap keluar, serta mempunyai rakyat yang rajin, berani, pintar
dan berkebudayaan tua berumur 4.000 tahun. Tiongkok walaupun memiliki syarat
seperti tersebut itu, teristimewa, semenjak 100 tahun di belakang ini cuma
menjadi sasaran politik Imprialisme Asing saja. Perbedaan yang nyata antara
Tiongkok dan Eropa ialah Tiongkok tiada mempunyai industri modern, untuk
menggalang kemakmuran rakyatnya dan menggalang pembelaan kemerdekaannya.
Jerman yang melebihi tiap-tiap
negara di Eropa dan Amerika dalam hal organisasi, ilmu teknik, perindustrian,
persatuan, semangat perang, serta ilmu strategi, sudah dua kali menyerah dalam
perang dunia, terutama disebabkan oleh kekurangan bahan mentah, ialah besi,
minyak tanah, getah, timah dan lain-lain.
Tetapi negara Swiss walaupun cuma
berpenduduk lima juta dan terdiri dari tiga bangsa dan tiga bahasa, tiada bisa
ditarik ke dalam medan peperangan ketika dua perang dunia yang lalu, terutama
pula lantaran letaknya yang baik buat siasat perang dan Swiss bermaksud hendak
mempertahankan dirinya terhadap sembarang negara ceroboh disekitarnya.
Syahdan jikalau enam syarat diatas
kita pakai untuk memeriksa keadaan Republik Indonesia, setelah Linggarjati dan
Renville, maka kita akan tercengang melihat sudah sampai berapa persenkah
merosotnya kemerdekaan 100% dengan penerimaan kedua perjanjian yang tiada
berapa bedanya satu dengan lainnya itu.
Pertama tentang daerah
Dengan menerima “de facto”
Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati, maka Republik akan menerima kasarnya
lebih kurang 210.000 mil persegi tanah daratan. Kalau dibandingkan dengan
luasnya tanah daerah “Hindia Belanda” dahulu, yang kasarnya lebih dari 700.000
mil persegi itu, maka daratan yang diterima oleh Pemerintah Republik menurut
Linggarjati adalah lebih kurang 30%. Tetapi kalau diambil perbandingan tanah
dan air, maka perlindungan itu menjadi kurang 225.000 mil persegi dengan
4.500.000 mil atau 1 (satu) dengan 20 (dua puluh). Jadi tanah air Republik
merosot menjadi 5%. Saya mau sedikit optimis dalam hal ini dan andaikan saja
Pemerintah pro Linggarjati mendapatkan 20% Tanah Air dengan diplomasinya.
Tetapi dengan Perjanjian Renville hasil diplomasi berunding tadi sudah merosot
lebih rendah lagi. Seoptimis-optimisnya orang, Tanah Air, yang dipegang oleh
perjanjian Renville (menurut “de factonya”) tak bisa ditaksir lebih dari pada
2% (dua persen).
Kedua tentang penduduk
Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra,
menurut Linggarjati Republik akan menerima kasarnya 50 juta penduduk. Ini akan
berarti sedikit lebih daripada 70% penduduk. Tetapi dengan penandatanganan
Renville dan langsung berdirinya atau akan berdirinya Empat (?) Negara Baru
dalam Daerah Jawa-Madura-Sumatera sendiri, (ialah negara Sumatra Timur, Negara
Sumatra Selatan, Negara Jawa Barat, dan Negara Jawa Timur!) maka Republik akan
meliputi paling mujurnya cuma 33% dari seluruhnya penduduk Indonesia. Saya mau
menghitung secara mewah dan naikkan angka itu sampai 35%.
Ketiga, keempat, dan kelima,
tentang perindustrian, bahan mentah dan strategi:
Tak ada salahnya kalau ketiga
syarat itu diambil sekaligus saja! Syahdan, dalam perindustrian modern, maka
dengan kebun, pabrik, tambang, pengangkutan, Bank asuransi berada di tangan
asing; dengan bahan logam seperti minyak tanah, besi di Sulawesi dan
Kalimantan, timah, bauksit, dan aluminium berada di luar kekuasaan dan milik
bangsa Indonesia menurut Linggarjati dan di luar mata dan tangan bangsa Indonesia
sama sekali menurut Renville, dengan semua tempat strategis buat perang di
darat, di laut, dan udara, sama sekali berada di tangan asing, maka tiadalah
saya merasa terlampau pesimistis, mengatakan, bahwa Republik cuma mendapat 1%
(satu persen) buat masing-masing perindustrian, bahan logam mentah dan untuk
pangkalan strategi, baik menurut Linggarjati ataupun Renville, selama
berdasarkan pengakuan atas pengembalian hak milik Asing.
Jadi kalau kita menghitung menurut
aritmatika (ilmu hitung) dalam lima perkara tersebut di atas sesudah memukul
rata, menurtu Linggarjati kita akan memperoleh:
20+70+1+1+1 = 93 = 18 3 %
5 5 5
5 5 5
Saya mau sedikit optimis dan naikkan angka itu menjadi 20%. Tetapi
menurut persetujuan Renville maka angka itu akan turun menjadi:
1+35+1+1+1 = 39 = 7 4
%
5 5 5
5 5 5
Atau kasarnya adalah 8%.
Dengan memperoleh 20% kekuatan
lahir, (material), ialah dalam hal daerah, penduduk dan perindustrian, bahan
logam mentah dan kedudukan strategis, menurut Linggarjati dan cuma mendapatkan
kekuatan lahir (material) itu, lebih kurang 8% menurut Renville, saya bertanya
apakah kelak nasibnya “Republik” dalam N.I.S. dan UNI???
Sebenarnya pula perhitungan
menurut aritmatika di atas masih terlalu optimis. Dialektiknya persaingan
ekonomi dalam masyarakat Linggarjati yang berdasarkan kedaulatan kapital asing
itu, dimana perekonomian Rakyat Indonesia akan segera merosot kepada keadaan di
zaman “Hindia Belanda”; kekuasaan Belanda atas bahan logam mentah di daerah
Negara Bonekanya, sedangkan Republik berada di dalam daerah minus, dalam hal
makanan dan miskin dalam hal logam mentah; masuknya Belanda dalam Benelux dan
ke dalam Blok Eropa Barat itu, serta besarnya kemungkinan, bahwa modal Amerika
kelak akan dipakai untuk memajukan perkebunan dan tambang di negara Boneka
dan menarik Indonesia ke dalam lingkaran
pertahanan Amerika di Pacific; kemudian berlangsungnya politik devide et impera
Belanda berhubung dengan berdirinya enam negara Boneka melawan Republik dan
campur tangan Belanda dalam segala hal, sehingga dalam hal ekonomi, politik,
militer, sosial dan kebudayaan, Belanda akan bisa mengadakan perbedaan, bahkan
pertentangan antara satu negara dengan negara lainnya....maka berhubung dengan
semua itu, tiadalah sukar bagi kita meneropong ke depan, bila mana kelak
sesudahnya waktu yang singkat, seluruhnya Rakyat Indonesia akan kembali kepada
keadaan lama, ialah seperti kuda beban yang dikendalikan oleh Kapitalisme
Asing.
Dengan semua kunci perekonomian,
bahan mentah dan pangkalan strategi berada di tangan asing, serta dengan adanya
berjenis-jenis Negara Boneka di dalam N.I.S. maka kelak akan mudahlah Belanda
menjalankan politik devide et impera-nya terhadap salah satu negara, yang
berlainan paham dengan kapitalist Belanda. Pertentangan dan percekcokan yang
mudah sekali bisa ditimbulkan oleh imperialis Belanda, antara negara dan negara
dalam N.I.S itu, kelak akan membutuhkan satu negara sebagai “wasit” yang
lahirnya berupa pemisah dan berupa berdiri di atas semua negara bagian dalam
lingkungan Kerajaan Belanda, tetapi dalam hakekatnya membela kepentingan pihak
yang tertentu. Raja Belanda, yang tentulah dalam semua perkara penting akan
memihak kepada kapitalis Belanda itulah yang menjadi “wasit”, yang memegang “Kekuasaan
Tertinggi” di atas Nusa dan Bangsa Indonesia seluruhnya.
Persetujuan
Linggarjati dan Renville mengembalikan kedudukan Asing di Indonesia dalam
lapangan ekonomi dan memungkinkan kembali berlakunya politik devide et impera
diantara daerah dan daerah Indonesia, suku dan suku, serta golongan dan golongan diantara Rakyat
Indonesia sendiri.
Seakan-akan tak
ada 8 Maret 1942 dan Interneeringskamp buat Belanda dan tak ada pula 17 Agustus
dan Proklamasi bagi rakyat Indonesia, maka Yonkman, di Parlemen, seperti
disebutkan di atas tadi juga mengucapkan perkataan sebagai berikut:
“Het Koningkrijk
der Nederlanden is onder gods zegen en dank zij Oranje, een schepping van het
Nederlansche volk, En Nederland had daarin tot den Japansche occupatie, ook in
Indonesia de leiding”.
“Thans bieden
wij, den Indonesischen volkeren aan, het Koninkrijk samen te herbouwen, en aan
het vernieuwde staatsverband Nederland, Suriname en de Nederlandsche Autillen
en Indonesia, in een Unie vereeenigd,
door gemeenschapapelijke organen,
waaring deze allen vertegenwoordigd zijn, leiding te geven".
"In
dit aanbod is de richtlijn gevolgd overeenkomstig de Koningklijke rede van 7
December 1942..."
Indonesianya:
"Kerajaan
Belanda di bawah rahmatnya Tuhan, dan atas jasanya Oranye, adalah satu bikinan
bangsa Belanda. Dan diatasnya (kerajaan) itu sampai pendudukan Jepang Nederland
memegang pimpinan: juga di
Indonesia"
"Sekarang
kami anjurkan kepada segala bangsa di Indonesia membangun kembali Kerajaan
Belanda itu, dan memberikan pimpinan kepada Staatsverband (ikatan kenegaraan)
Baru, yakni Nederland, Suriname,
Antillen Belanda dan Indonesia, yang terikat dalam satu Unie dengan perantaraan
Alat Kelengkapan Bersama, yang mewakii semua bagian itu" Dalam anjuran ini
diikutilah garis tujuan (richtlijn) menurut pidato Ratu pada tanggal 7 Desember
1942..."
Belumlah
kapitalis imperialis Belanda merasa sentosa di Indonesia, walaupun dia dengan
perantaraan Linggarjati sudah memperoleh Kekuasaan Tertinggi dalam ekonomi,
kedaulatan dalam urusan politik, serta mendapat kesempatan yang leluasa sekali
kelak menjalankan politik memecah belah antara beberapa Negara Boneka dalam
Negara Indonesia Serikat.
Pemeras
penindas Belanda masih memerlukan jaminan yang lebih nyata lagi. Buat menantang
kehendak dan tindakan MURBA di Indonesia, karena kelak akan diperas dan
ditindas lebih kejam daripada yang sudah-sudah, maka Belanda merasa memerlukan
satu tentara sendiri. Tentara ini pulalah yang dimaksudkan untuk menyambut
Tentara Sekutunya di Indonesia, kalau sekali lagi Belanda terseret ke dalam
kancah perang dunia. Dengan berdirinya Blok Eropa Barat antara 16 negara (Maret
1948) dimana termasuk juga Nederland dengan Beneluxnya, serta dengan
bersekutunya pula Blok Eropa Barat ini dengan Amerika Serikat menentang Soviet
Rusia, maka tentara Belanda di Indonesia ini akan menjadi alat senjata
menentang musuh di dalam dan di luar negeri. Bukankah tentara Belanda itu buat
sementara waktu saja seperti
impiannya kaum borjuis kecil di Indonesia ini.
Kata
Jonkman:
"De
toelichting, door de commissie-generaal op de artikelen 1 en 16 versterkt, wat
betreft de positie der bezette gebieeden, bevestigd, dat de voorbereiding van
de rechtsorde in Nederlandsch-Indie, gelijk overal ter wereld, op voldoende
machtsmiddelen zal moeten steunen en dat niet tot verzwakking of vermindering
daarvan zal mogen worden overgegaan, voordat de waar orgen eener rechtsorde
aanwezig zijn. Dit is ook het stellige standpunt der Regeering.
Indonesianya:
"Keterangan
Komisi Jenderal atas pasal 1 dan 16 tentang posisinya Daerah Pendudukan,
mengesahkan pula, bahwa persiapan untuk Rechtsorde (Keterlibatan Hukum) baru di
"Hindia Belanda", seperti di mana-mana di dunia ini, haruslah
bersandarkan kepada Alat Kekuasaan, yang cukup, dan tiadalah boleh alat kekuasaan
itu diperlemah atau dikurangi, sebelumnya ada jaminan bagi ketertiban umum baru
itu. Inilah pulah sikap
pemerintah (Belanda) yang
tegas".
Dengan
jaminan yang sudah terlalu pasti itu untuk sesuatu Penjajah modern dalam hal
perekonomian, politik dan kemiliteran, Belanda belum lagi merasa puas. Pasal 13
Linggarjati menetapkan pula, bahwa pemerintahan Nederlandlah kelak yang akan
mengambil semua tindakan, setelah persekutuan Belanda Indonesia kelak berdiri,
"supaya dapatlah negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggota
UNO".
Dalam
prakteknya ini akan berarti, bahwa kalau kelak Belanda sendiri tak sanggup
mempertahankan pemerasan dan penindasannya terhadap Rakyat/Murba Indonesia,
maka Belanda akan meminta bantuan kepada konco-konconya, ialah semua wakil
Negara Kapitalis Imperialis di dunia, yang merajalela di dalam UNO dan yang
dengan mati-matian mempertahankan pemerasan dan penindasan dijajahannya masing-masing!
Demikianlah
kedua Delegasi Indonesia dan Belanda "oleh karena" menurut
mukadimahnya persetujuan Linggarjati keinginan yang ikhlas hendak menetapkan
perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia; dengan
mengadakan cara dan bentuk bangun yang baru, bagi kerjasama dengan sukarela,
yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus dan sebagaimana
dengan ketentuan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh
kebenaran, daripada
majelis-majelis perwakilan rakyat
masing-masing..."..
Semua perkataan yang molek-molek
ini dalam hakekatnya adalah satu pertolongan kepada Nederland, yang sedang
terombang-ambing di atas gelombang kekalahan dan kemelaratan
untuk menaikkan Belanda kembali
ke atas bumi Indonesia, sebagai "basung kemakmuran Belanda"...."
op de kurk, waarop Nederlands welvaart drijft".
Tentang
Turunan Raja Loderwijk XVI, yang kembali ke atas tahta Kerajaan Perancis,
sesudahnya Revolusi Perancis dan Kerajaan Napoleon berlaku, De Tallyrand
mengatakan: "Zij leren niets en vergeten niets". Demikianlah pula
Belanda, tiada mempelajari dan tiada pula melupakan sesuatupun dari
pengalamannya yang pahit selama lebih dari empat tahun.
Kecongkakan dan kekerasan kepala Belanda itu ternyata sekali
dalam perdebatan di parlemennya, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati
pada pertengahan bulan Desember 1946 dan ternyata pula dari suara Belanda
terkemuka di luar Gedung Parlemen.
Prof.
Romme, pemimpin Katholieke Volksparty, mengemukakan, dalam Gedung Parlemen
Nederland, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati tersebut diantara
lain-lainnya, seperti berikut:
"Allerlei
gevoelige argumenten speelden hierbij een rol, maar na overleg aan alle zijden,
na uitgebreide correspondentie, en na uran van eenzame over-peinzing, ben ik
tot de overtuiging gekomen, dat
overeenkomst van Linggarjati in overeenstemmin is met de belangen van het
Koninkrijk".
"----dat Nederland en Indie
niet gescheiden kunnen worden"."Het gezag in indonesie in weer aan
overgedragen. Wij beschikken in Indie over zooved macht, dat wij ons gezag
zouden kunnen herstellen".
"---mar wij moeten dan ook
begrijpen, dat de 100% merdeka een utopie is en dat geen enkel volk 100%
merdeka. Deze eisch van 100% merdeka is voortgekomen uit overspannen
nationalisme".
Indonesianya:
"Dalam
hal ini, maka bermacam-macam alasan yang berupa perasaan, mempermainkan
lakonnya, tetapi setelah meninjau dari semua sudut, setelah mengadakan
korespondensi yang luas, dan sesudahnya berjam-jam merenungkan dalam kesunyian,
maka saya sampai kepada keyakinan, bahwa Persetujuan Linggarjati adalah cocok
dengan kepentingan Kerajaan".
"----bahwa
Nederland dan Hindia tidak bisa dipisahkan".
"Kekuasaan
di Indonesia sudah dikembalikan (oleh Linggarjati! Penulis) kepada kita. Di
Hindia kita memegang kekuasaan (Militer! Pen.) sehingga kita akan dapat
mengembalikan kekuasaan kita ini".
"Tetapi
kita juga haru mengerti, bahwa kemerdekaan 100% adalah suatu impian dan tak ada
sesuatu bangsapun yang mengenal kemerdekaan 100%. Tuntutan kemerdekaan 100% itu
lahirnya dari nasionalisme yang terlalu meluap".
Ketika diundang
oleh Komisi Mahasiswa untuk Daerah Seberang di Groningen, maka menurut ANETA,
bekas anggota Volksraad, Feuilleteau de Bruvn mengucapkan sebuah pidato yang
berkepala: "Doodsklek klopt over ons Koninkrijk (Genderang kematian
berbunyi di atas kerajaan)".
Di
sini de Bruyn mengulangi perkataan Komisi Jenderal Van Poll, yang berbunyi:
"Indien
het spaak loopt en de Republiek haat verplichtingen niet nakomt, zullen wij
erop slaan" (Kalau gagal, dan Republik tiada menepati kewajibannya, maka
kita lihat akan menggempur!) Menurut ANETA juga dari Den Haag (lihat DAGBLAD 17
Desember 1946), maka bekas Perdana Menteri Mr. P.M.Gerbrandy bersama-sama
dengan bekas Menteri C.I.M. Welter, seorang Belanda yang bermodal besar di
"Hindia Belanda" serta Jenderal Bajetto, sudah membentuk satu Komite
Nasional bernama "Ter Handhaving van de Rijkseenheid" yang bermaksud
menentang Persetujuan Linggarjati. Salah satu daripada 6 dasar yang dimajukan
oleh Komite itu berbunyi: 2. "De handhaving van de Rijkseenheid, in de
eerste plaats uitgedrukt in het reeele gezag van de Kroon, is een noodzakelijke
voorwaarde in de regeling van de Indische kwestie".
Indonesianya:
2.
"Kesatuan Kerajaan, yang pertama sekali ditegaskan oleh Kekuasaan Mahkota
yang nyata, adalah jaminan yang mutlak dalam penyelesaian soal
Hindia".Sampai pula "Pahlawan" Belanda bekas komandan Tentara
Mobil Letnan Jenderal Jonkeheer W. Roell, melompat ke depan radio dan berkata,
bahwa dia dengan sengaja memakai perkataan
"Nederlans Indie" buat
menentang perkataan "Indonesia". Dia berpendapat, bahwa jika
Persekutuan Belanda Indonesia terlaksana, maka "Nederland akan jatuh
melarat", serta
"Zending dan missie akan tak
berarti lagi, kalau tidak akan rusak binasa" dan Bangsa Indonesia akan
pecah-belah. Dia menutup pidato radionya dengan pandangan dan anjuran kepada
bangsa dan golongan di Nederland seperti berikut:
"De
politiek van de commissie generaal leidt Nederland naar den afgrond en
Nederlandsch Indie tot de chaos" "Houdt tct het uiterste stan tegen
deze plannen: thans bovengronds, doch Indien de gevaren van het vaderland die
van 1940 tot 1945 evenwaren of overtreffen, "als het moet" ook
ondergronds".
Indonesianya"
"Politiknya
Komisi Jenderal membawa Nederland ke dalam jurang dan membawa "Hindia
Belanda" kepada kekacauan".
"Lawanlah
Rencana (Linggarjati) itu sampai nafas penghabisan: Kini di atas tanah, tetapi
kalau bahaya yang mengancam Vaderland (Negeri Belanda) menyamai atau melebihi
tahun 1940 sampai 1945" kalau perlu juga "di bawah tanah".
Yang
sedikit ada mengikat dan mengambil pelajaran dari Sejarah Belanda dalam empat
tahun belakang ini, dan rupanya sedikit insyaf akan kesalahan dan kelemahan
diri sendiri, serta sedikit mengerti akan idaman, sikap dan tindakan Rakyat
Indonesia, ialah Prof. Logemann,bekas Menteri Seberang Lautan.
Walaupun
penulis ini sendiri tentulah dan semestinyalah sama sekali tiada setuju dengan
Perjanjian Linggarjati itu, tetapi untuk memberikan pandangan Belanda dari
beberapa penjuru, yang sangat mempengaruhi masyarakat Belanda, maka baiklah
juga saya hidangkan di sini pendirian seorang Belanda, yang membela Persetujuan
Linggarjati.
Tentang
pidatonya Prof.Logemann di Riviera Hall Rotterdam, maka sk. Dagblad, 16
Desember 1946, antara lain melaporkan:
"Wij
hebben niet het recht om onze maatstaven aan te leggen voor het bepalen van
deze rijpheid".
"Sommigen
zijn van meening, dat reeds voor den oolog de koloniale mentaliteit aan het
uitsterven zou zijn geweest. Dit is "onwaar" aldus Prof. Logemann die
zeide, dat de koloniale mentalitiet zich juist ini Nederland heef uitgegraven
en niet over het doode punt heen wenscht to stappen.
"Tijdens
den oorlog is de bevrijdende geste van de regeering uitgebleven".
"In
de overeenkomst van Linggarjati is zeker veel afkeuringswaardigs en
onrustwekkends, doch een gewelddadig optreden zou "de" fout van het
oogenblik zijn".
"Nederland
is niet machtig genoeg om de Republiek te verslaan".
Spreker
(Prof. Logemann) wilde niet ontkennen, dat er een zekere gezagswakte aanwezig
is in de republiek, maar hij acht desniettemin het accoord de eenige
oplossing".
Indonesianya:
"Kita
tiada berhak untuk meletakkan ukuran kita tentang masaknya (Rakyat Indonesia
untuk Kemerdekaan!)".
"Beberapa
orang berpendapat, bahwa sebelumnya perang, maka semangat kolonial itu sudah
lenyap. Ini tidak benar" kata Longemann, yang mengemukakan, bahwa justru
di Nederland, semangat kolonial itu sudah mendalam dan tak mau keluar dari
pendamannya itu.
"Selama
perang, maka semangat Pemerintah untuk memerdekakan itu tiadalah ada".
"Dalam
Persetujuan Linggarjati memangnya banyak yang harus dicela dan menggelisahkan,
tetapi dengan kekerasan adalah "kesalahan" besar pada saat ini".
"Nederland
tiadalah cukup kuat untuk mengalahkan Republik".
"Prof.
Logemann tak mau menyangkal, bahwa ada kelemahan-kekuasaan pada Republik,
tetapi walaupun demikian, dia menganggap persetujuan itu sebagai satu
penyelesaian yang harus diterima".
Ketika
mengupas revolusi Indonesia, dalam Parlemen maka Prof. Logemann menjelaskan
sebagai berikut:
"Dat
het wezenlijke probleem niet word gevormd door het herstel van recht en
veiligheid; het wezenlijke problem is dieper en ernstiger, netgeen ook blijk
uit het feit, dat de
toestand in de Malino-gebieden
zoo labiel blihjft. Het werkelijjke probleem is: het vinden van een heel nieuwe
gezags legitimatie, dit in sociaal psychologischen zin bedoeld".
"Linggarjati
moet worden gezien als een act van pacificatie, welke de kloof van wantrouwen
over brugt. Dat is het grondprobleem dat eerst moet worden opgelost en daartoe
leant zich dit ontwerp accoord".
"Voorts
wordt de internationale langstelling eeningszins terzijde geschoven en krijgt
ons beleid van vaste richting". (DAGBLAD 18 Desember 1946).
Indonesianya:
"Bahwa
yang sesungguhnya bukanlah perkara pengembalian Hukum dan Keamanan: soal yang sesungguhnya
lebih dalam dan ebih sukar, yang juga ternyata dari bukti, bahwa keadaan di
daerah Malino, tiadalah tetap. Soal yang sesungguhnya ialah: mendapatkan
"gezags-legitimatie (Kekuasaan yang syah) yang baru sama sekali, yang
mengenai kejiwaan dan pergaulan".
"Linggarjati
mesti dipandang sebagai Acte van Pacificatie (Aturan Perdamaian) yang
melintangi jurang kecurigaan.
Inilah
yang soal pokok, yang harus diselesaikan lebih dahulu, dan buat ini naskah
persetujuan adalah baik sekali".
"Seterusnya
maka "Internationale belangstelling" (perhatian dunia) akan
tersingkir dan beleid kita mendapat tujuan yang pasti. (DAGBLAT 18 Desember
1946)
Sekianlah
Prof. Logemann
Pertama,
Prof. Logemann, rupanya insaf benar, bahwa "veroveringsrecht" Belanda
(hak merampas negara lain), pada 8 Maret 1942 sudah dibatalkan oleh "Hak
merampasnya" Jepang. Dan hak merampas dari kedua imperialis tersebut pada
tanggal 17 Agustus 1945 sudah dibatalkan pula oleh hak mutlak bangsa Indonesia
atas kemerdekaannya 100%. Sebab itulah, maka oleh Prof. Logemann, Linggarjati
itu dianggap sebagai penerusan "Gezags-Legitimatie" Belanda, yang
sudah terputus di Indonesia selama 3 1/2 tahun. Dengan demikian, maka menurut Prof. Logemann, selesailah sudah
soal continuiteit pemerintah
"Hindia Belanda yang sudah
berumur 350 tahun itu. Dan kembalilah dengan segala kemegahannya
"Historisch recht" Belanda, yang sudah dibatalkan oleh Jepang selama
3 1/2tahun dan oleh bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Jepang semenjak 17
Agustus 1945.
Kedua,
Prof. Logemann. Juga insaf benar, bahwa selama di sekitar kebun, tambang,
pabrik dan pengangkutan masih saja berkeliaran "kaum extremis" dengan
"bambu runcing"-nya maka saat berbahayalah bagi "tuan
besar" Belanda masuk dan pulang pergi ke tempat pekerjaannya. Linggarjati-lah
pula yang dimaksudkan sebagai sesuatu perjanjian yang sebaik-baiknya buat
menjelmakan kembali "kaum extremis" itu menjadi kaum opas, kuli dan
jongos.
Itulah
yang dimaksudkan dengan perkataan "acte van pacificatie", ialah satu
aturan untuk perdamaian dan ketertiban seperti di zaman "Hindia
Belanda" dahulu.
Ketiga,
Prof. Logemann mungkin sekali berpendapat, bahwa selama dunia luar memandang
perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu usaha membela hak mutlaknya, ialah
kemerdekaan 100%, maka selama itulah pula dunia luar, sekurangnya dalam hati
kecilnya memandang Belanda sebagai negara ceroboh, Negara Agresor. Selama
itulah pula, simpati dunia yang adil tertumpah pada bangsa Indonesia. Buat
menghindarkan "internationale belangstellig" (perhatian dunia luar)
yang menurut Belanda amat berlebihan itu, haruslah perjuangan di Indonesia, dibawa kepada suasana kerjasama
antara Belanda dengan Indonesia,kepada perkara urusan rumah tangga saja, kepada
soal "internal-affairs" atau "interneaangelegenheid" semata-mata.
Menurut Prof. Logemann, maka persetujuan Linggarjati tepat sekali menggambarkan suasana yang
dikehendakinya itu.
Tetapi
"heethoofden", kepala batu diantara militeris dan Kapitalis Belanda,
seperti terbukti oleh catatan yang kita lakukan di atas tadi, sama sekali tiada
setuju dengan perjanjian semacam Linggarjati itu. Mereka mau mengembalikan
"Nederlansch Indie" dengan sedikit perubahan, yang cocok dengan
kepentingan dan paham mereka sendiri.
Desakan
militarist dalam kapitalist Belanda atas lunak-moderate seperti Prof. Logemann,
yang setuju dengan Linggarjati di Nederland itu, terlaksana di Indonesia lebih
kurang sejajar dengan desakan Van
Mook dan Spoor atas Prof. Logemann, pencipta Linggarjati.
Didorong
oleh kepentingan kapitalis-militarist di Nederland, maka oleh Van Mook Spoor
Perjanjian Linggarjati itu cuma dipakai sebagai "batu loncatan" ke
atas "Rijkseenheid-nya" Berbrandy-Welter, Bajetto. Buat para
"diplomat" Indonesia, maka sesuatu perjanjian itu harus dianggap
sebagai satu persetujuan, yang harus dijalankan dengan penuh perasaan khidmat,
"goodwill", "good faith" dan "pri-kemanusiaan".
Buat Van Mook-Spoor perjanjian dengan "inlanders" itu adalah secarik
kertas buat dirobek-robek, apabila masanya sudah datang.
Belum
lagi reda sorak-sorainya para pengikut "diplomat ulung" setelah
mendapatkan secarik kertas bernama Perjanjian Linggarjati. (en een kindderband
is gauw gevuld) maka datanglah berita, yang agak mendinginkan kegembiraan
golongan diplomasi tadi, ialah berita tentang "interpretasi"
(tafsiran) Jonkman.
Seakan-akan
ada perbedaan antara kepentingan kapitalis, militaris Belanda dengan tafsiran
terhadap kepentingan itu sendiri!!
Mulanya
para "diplomat" menolak berunding menurut tafsiran Jonkman. Tetapi
dan disinilah pula terletaknya keulungan diplomasi Indonesia itu!! menolak
bukannya berarti
membatalkan! Menolak cuma berarti
menunda. Apabila umum sudah agak lupa, maka diplomasi berunding dengan musuh
bersenjata di dalam rumah kita dan sudah berkali-kali terbukti tiada boleh
dipercaya perkataan dan perjanjiannya itu, diteruskan kembali. Pun sebelumnya
perundingan itu dilakukan dengan resmi, perundingan yang "tidak
resmi" dijalankan juga.
Van
Mook bekerja terus dengan "overwerk". Dengan keuletan Belanda, dia
terus melakukan usaha apa yang cocok dengan pengembalian "Nederlands
Indie" dan yang bertentangan dengan tulisan dan lisan Linggarjati.
Konperensi Malino dan Denpasar berjalan dengan tak ada gangguan atau hambatan
yang
berarti dari pihak Republik.
N.I.T DIBENTUK! RAKYAT GELISAH!
Pemerintah
Republik memprotes! tetapi percaya terus kepada Linggarjati! Masih tetap taat
kepada semangat "goodwill" sendiri dan "pri-kemanusiaan"
yang tidak dibalas dengan "pri-kemanusiaan" oleh pihak lain.
40.000
(empat puluh ribu) penduduk di Sulawesi Selatan, laki-perempuan, tua-muda,
kanak-kanak, dan bayi disembelih dengan mata terbuka oleh serdadu Belanda ialah
untuk mempertegakkan N.I.T, yang dibentuk oleh Belanda menurut kemauan
kapitalis militaris Belanda!
Walaupun
begitu, para diplomat Indonesia, masih saja patuh taat kepada Linggarjati,
kepada "goodwill" dan "pri-kemanusiaannya"! Perundingan
terus saja dilakukan dengan maksud melaksanakan Linggarjati.
Bogor
diambil Belanda, pegawai Republik ditangkap, disiksa, Wakil Wali kota ditembak,
seperti menembak celeng di hutan! Mojokerto dengan gulanya ribuan ton dirampas!
Semuanya itu tiada membelokkan "diplomat" Indonesia dari jalan
menurun menuju ke lembah penjajahan menurut tafsiran kapitalis militaris
Belanda.
Infiltrasi,
yang berlaku dalam semua badan pemerintahan, kemiliteran dan dalam kabinet
sendiri, dijalankan oleh pemerintah Belanda dengan hasil yang gemilang. Semua
akibatnya infiltrasi terasa benar dimana-mana, walaupun mereka yang
diselundupkan oleh Belanda itu tidak selalu dikenal rakyat (lima serangkainya
s.k. Murba)
Dalam
urusan ekonomi, maka blokade terus dilakukan oleh Belanda terhadap perdagangan
Republik dengan negara luar. Kecuali beras yang "dimaksudkan" oleh
"diplomat" ulung, sebagai "pelor" yang menerobos blokade
Belanda kecuali beras yang dengan macam tipu muslihat, dapat dibelokkan oleh
Belanda ke semua kota yang didudukinya yang
menderita kekurangan makanan dimasa itu, maka semua barang-barang lain
dilarang keluarnya oleh Belanda.
Di
samping itu Belanda merampas barang bikinan rakyat, selama pendudukan Jepang,
seperti gula, karet, kopra dan lain-lain dan menjual barang tersebut di pasar
dunia untuk
mendapatkan deviezen. Dengan
deviezen itu, maka Belanda dapat memperkuat tentaranya yang terus berusaha
memperbaiki kedudukannya dan menunggu saat, yang baik buat melanjutkan rencana
agresinya yang pasti itu.
Uang
Republik O.R.I kalau dibandingkan dengan harga beras, maka pada permulaan
keluarnya 15 sen O.R.I dapat membeli 1 L beras. Sekarang (Maret 1948), baru
enam rupiah ORI dapat membeli beras sebanyak 1 L juga. Dengan ukuran praktis
seperti itu, maka dalam waktu setahun lebih saja, nilai ORI di pedalaman saja
sudah merosot 40 kali atau 400% dari nilai semula.
Di
daerah pendudukan Belanda, maka ORI yang mulanya jauh lebih tinggi harganya
daripada uang Nica (Rp. 1 (ORI) = f. 33 1/3 (NICA). Sekarang menurut kedaulatan
rakyat tanggal 13 maret 1948, Rp 100,- (ORI) = f.6 (NICA). Jadi merosot 528
kali atau 52.800 %. Merosotnya itu tidak saja disebabkan oleh semata-mata hukum
ekonomi, yakni terutama karena barang dagang semakin kurang, di samping uang
kertas semakin banyak, tetapi juga lantaran anasir psichologis, kejiwaan,
karena kurang percayanya para saudagar atas keteguhan jaminan ORI; karena
anasir politik, ialah merosotnya derajat Republik di mata dunia dagang; sebab
berlakunya "pemalsuan" uang di daerah pendudukan serta akhirnya
lantaran tipu muslihat yang lain, yang dijalankan oleh musuh dari daerah yang
didudukinya
(melenyapkan uang kecil yang
banyak diperedarkan oleh rakyat dan pedagang kecil di pasar-pasar) dan karena
tipu muslihatnya kaum penukar uang (money changers!) di kota pendudukan.
Di
samping pemalsuan perjanjian Linggarjati; pemalsuan, politik, blokade, dan
infiltrasi, yang dilakukan oleh Belanda dari daerah pendudukannya, sambil terus
membentuk negara Boneka, maka Belanda terus menerus mengirimkan tentaranya dari
Nederland ke Indonesia.
Ketika
"cease fire" yang pertama dilakukan, dalam bulan Oktober 1946, maka
sebenarnya Inggris sudah didesak ke pinggir oleh perasaan umum di luar; di
desak oleh keadaan yang membahayakan bagi dirinya "India-Inggris",
Birma dan lain-lain; didesak dari dalam oleh rakyat Indonesia yang dengan bambu
runcing-nya merebut senjata Gurka dan menyebabkan serdadu Gurka menyerah besar-besaran
(Medan, Jawa Barat dll). Sebagian Rakyat Amerika, Rakyat
Hindustan-Pakistan,serta sebagian rakyat Inggris sendiri sudah menuntut
ditariknya kembali tentara Inggris dari Indonesia, dimana rakyat sudah
mempergunakan hak mutlaknya menurut Atlantic Charter dan lain-lain itu. Tetapi
pada masa itu Belanda sama sekali belum siap dengan tentara kolonialnya. Maka
berhubung dengan saat
Inggris harus pergi, tetapi
Belanda belum siap, maka Perjanjian Linggarjati, yang didahului oleh
"cease fire" itu adalah satu saat buat "adem pauze"nya
Belanda, tetapi sesuatu obat bius buat melalaikan dan menidurkan rakyat atau
pemuda serta Tentara/Laskar Indonesia.
Dalam
keadaan demikian, bilamana Belanda, sehari demi sehari bertambah kuat dan kaum
diplomasi sehari demi sehari pula semakin ditinggalkan oleh para pengikutnya
dan ditentang oleh kaum oposisi, maka Belanda makin mendesak, makin mendorong
perjanjian Linggarjati kepada tafsirannya kapitalis imperialis Belanda.
Akhirnya
hampir tercapailah olehnya lima persetujuan! Menurut tafsiran saya sendiri,
maka lima persetujuan itu haruslah disusun seperti berikut: 1) Pengakuan atas
pasal 14 Linggarjati, ialah pengembalian hak milik asing dan pengakuan atas
hutang "Hindia Belanda". Ini mengakibatkan pengakuan 2)ialah kerja sama
dalam urusan duane, onderneming, deviezen, dan makanan. Kedua pengakuan
tersebut berakibat pula pada
pengakuan 3) Ialah pengakuan atas
Mahkota Belanda. Sendirinya harus diakui pula perkara 4) Ialah penyesuaian
status Indonesia itu dengan urusan Luar Negeri, berhubung dengan pengakuan atas
Mahkota Belanda itu. Dalam hakekatnya maka pengakuan 5) Ialah gendarmeri
bersama, adalah sendirinya pula akibatnya daripada pengakuan atas kedaulatan
yang diletakkan pada Raja Belanda menurut 4) di atas, dan cocok dengan pasal 8.
Persetujuan Linggarjati.
Baik
juga dikatakan disini, maka pengumuman resmi menyusun 5 titik pengakuan sebagai
berikut:
1.
Pengakuan atas Mahkota Belanda; 2.Penyesuaian pengakuan Mahkota Belanda;
3.Kerja sama salam urusan Duane, Ondevneming, Deviezen dan makanan; 4.Pengakuan
atas Pasal 14 Linggarjati; 5.Gendarmerie bersama. Sebenarnya dengan pengakuan
empat perkara penting saja itu, Kedaulatan Republik sudah hilang sama sekali.
Sesungguhnya pula dengan pengakuan seperti itu Belanda sudah dapat meminjam uang
ke Wall-Street, New York. Tetapi karena Belanda, seperti biasa terlampau
serakah, maka ia hendak mewujudkan kepastian "formeel". Berhubung
dengan keserakahan-nya itulah, maka ia mendesak supaya juga
"gendarmery-bersama"-pun harus lebih dahulu diakui hitam di atas
putih.
Diplomat
"ulung" pun tidak berani membenarkan "gendarmery-bersama"
itu terang-terangan terhadap Rakyat/Pemuda dan kaum oposisi, yang terasa
pengaruhnya dimana-mana.
Demikianlah,
maka diplomasi berunding menjadi gagal, dan Belanda mendapat alasan, untuk
memakai saat, yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu. Dengan tentara, yang jauh
lebih kuat daripada masa "cease fire", Oktober 1946, maka pada
tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba menyerbu ke daerah Republik,
Rakyat/Pemuda, tentara/laskar, yang sudah dinina bobokan oleh diplomasi
berunding selama satu tahun setengah, sudah
banyak kehilangan keawasan, ketangkasan dan kegembiraan berjuang serta semangat
berorganisasi.
Sebagian
dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dahulu berbulan-bulan dapat
dipertahankan oleh rakyat/pemuda terhadap serangan Inggris yang dibantu oleh
Jepang dan Belanda, hilang dalam waktu dua minggu saja.
Pada
saat inilah, datang UNO dan berhasil menyodorkan KTN ialah wakil dari tiga
negara Imperialis, yang berusaha keras bagi kepentingan Negara Imperialis atas
dasar Kapitalisme-Imperialisme pula.
Mereka
berhasil mendapatkan perjanjian "Renville" dari P.M. Amir Syariffudi
dan dalam segala-galanya jauh lebih merosot daripada perjanjian Linggarjati
lebih jauh pula mendekat kepada status "Rijkseenheid" ciptaan
Gerbrandy, Welter, Bajetto, dan lain-lain.
Belum
lagi kering tintanya penanda tanganan "Renville" ini maka Van
Mook-Spoor, di depan algojo daripada suatu badan perantara, mulai pula
menjalankan rencana yang sudah siap dan tetap itu.
Konferensi
demi konferensi terus dilakukan Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat dan
Negara Jawa Timur sudah hampir selesai. Negara Sumatera Selatan sedang
dibentuknya.
"Kantong"
di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang diduduki oleh 35.000 tentara Republik, jadi
yang sebenarnya adalah tempat yang paling baik buat taktik dan strategi
gerilya, dan sudah berbulan-bulan tak dapat direbut oleh Belanda, tetapi dengan
"badan perantara" bernama KTN begitu saja dikosongkan oleh Republik.
Demikian
empat negara Boneka Baru di Jawa dan Sumatra begitu saja "zonder slag of
stroot", dengan tiada perjuangan apa-apa ditinggalkan oleh 35.000 Pahlawan
Republik, yang "taat" pada perintah! Dengan begitu, maka kurang lebih
30 juta rakyat di Jawa dan Sumatra, semenjak pengosongan "kantong"
itu, terserah pada PID serdadu dan algojo Belanda.
Terserah
pula pada pemuda, wanita dan gadis Indonesia ke bawah penjagaan PID, serdadu
dan algojo Belanda itu.
Akan
kembalilah kelak pasal 135 bis en ter, pasal 161, exorbintante rechten dan
lain-lain aturan Belanda, yang akan mengekang persurat-kabaran bangsa
Indonesia, rapat inlanders dan kumpulan politik "bumi putera" (Maret
1948).
Setelah
kelak semua persurat-kabaran, organisasi politik, dan semua penyiaran paham dengan
tulisan dan lisan sudah dikekang kembali oleh PID Belanda, maka akan sampailah
kelak Belanda kepada saat,
bilamana dia sendiri akan mengizinkan mengadakan "plebisit" atau buat
menetapkan sendiri, bahwa tak perlu diadakan "plebisit" itu sama
sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar