Kamis, 07 April 2016

Linggarjati dan Renville

                                                                                                                                        
Untuk menaksir sifat, tujuan akibatnya Perjanjian Linggarjati, yang ditanda tangani pada tanggal 25 Maret 1947 dan Perjanjian Renville, yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, maka perlulah lebih dahulu kita perhatikan suasana, bilamana kedua perjanjian antara Pemerintah Belanda denga Pemerintah Republik diadakan.
Seandainya kedua perjanjian itu diadakan dalam suasana damai, umpamanya dalam waktu antara Perang Dunia Pertama dengan Perang Dunia Kedua, sebagai sesuatu penyesalan dari pihak imperialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas pemerasan penindasan rakyat Indonesia selama lebih 300 tahun, sebagai sikap baru yang ikhlas hendak membetulkan kesalahan lama, sebagai pembayar “Ere-schuld” (hutang kehormatan), maka kedua perjanjian tadi dapat dianggap sebagai suatu kemajuan bagi perjuangan politik Rakyat Indonesia. Tetapi kalau diperhatikan kedua perjanjian itu dibentuk dalam suatu suasana, bilamana Rakyat Indonesia sudah mempergunakan hak mutlaknya, ialah memproklamirkan kemerdekaannya dan dengan sungguh banyak kejayaan, hak mutlaknya pula, ialah membela kehormatan negaranya dengan senjata yang ada padanya, maka kedua perjanjian itu berarti satu kekalahan besar dan bahaya yang tak terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia.
Jika di samping itu diperhatikan lagi, bahwa peristiwa pada masa mengadakan perjanjian itu imperialisme Belanda, adalah imperialisme yang gagal sebagai imperialis yang sudah miskin melarat, diinjak-injak facis Jerman selama lebih kurang lima tahun di negaranya sendiri serta dihalaukan ke dalam interneeeringskamp oleh sekepal dua kepal serdadu Jepang dan di hina, ditampar dan diperkosa oleh Jepang di depan mata rakyat Indonesia sendiri, selama tiga setengah tahun, maka perjanjian Linggarjati dan Renville itu adalah satu kemenangan Belanda yang tiada disangka-sangka, boleh jadi juga oleh Bangsa Belanda sendiri.
Tak boleh disangkal, bahwa Belanda dalam perundingan di Linggarjati, sambil mempertahankan “onderwerp overeenkomst-nya” (rencana perjanjiannya), yang terdiri atas 17 pasal (18 pasal dengan 1 pasal penutup) dengan diplomasi mulut manis, gertak dan janji kosong; dengan 100% bantuan “wasit” Clark Kerr dan Killearn, yang mempunyai kepentingan sendiri di Indonesia ini tak kurang pula dari 100%, maka Belanda dengan perubahan sedikit saja bagi “onderwerp overeenkomst-nya” itu melondong hanyutkan “usul Indonesia” yang terdiri dari 9 pasal (sepuluh pasal dengan pasal penutup). Ringkasnya Belanda dengan Linggarjatinya saja sudah jaya mengembalikan jajahannya di bumi Indonesia ini dalam bentuk bungkusan baru, yang mudah sekali meragukan hati rakyat Indonesia dan menyilaukan mata dunia internasional.
Walaupun perjanjian tadi di pandang dari sudut kemerdekaan, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus itu adalah satu kemunduran, bahwa satu pengkhianatan diplomasi, tetapi tiadalah pula dapat disangkal keberaniannya pihak para diplomat Indonesia, terutama dalam waktu penandatanganan, yang menganggap Perjanjian Linggarjati itu, sebagai satu kemenangan diplomasi, satu kemenangan yang dapat dipakai sebagai “batu loncatan”, sebagai “adem pauze” untuk “menukar banyak dengan traktor” dan untuk “menukar bambu runcing dengan tommy-gun dan pesawat terbang”.
Memang pula, kalau pengsulapan 9 pasal usul Indonesia bisa menjadi 17 pasal usul Belanda itu bisa di anggap satu kemenangan diplomasi, maka benarlah pula diplomasi Indonesia itu adalah satu keunggulan diplomasi dalam arti diplomasi unggul-unggulan.
Bermula dalam hakekatnya maka menurut Linggarjati Daerah dan rakyat Indonesia sudah dibagi-bagi antara de-facto Jawa-Sumatera dan daerah sisa Indonesia, antara 50 juta penduduk Jawa-Sumatra dengan 20 juta penduduk sisa Indonesia. Yang tak kurang pula pentingnya, ialah dengan pengakuan Mahkota Belanda, maka kekuasaan tertinggi, kedaulatan atau Sovereinity Republik (yang semestinya undivisible and unalionable, tak boleh dibagi-bagi dan dipindahkan) sudah dibagi-bagi dan dipindahkan ke Bangsa Asing, walaupun, dan “katanya” pula cuma buat sementara waktu saja. Akhirnya, tetapi tak punya kurang pentingnya ialah dengan pengakuan dan pengembalian hak milik Belanda, yakni musuh Republik 100%, menurut pasal 14 Linggarjati, maka kekuasaan politik rakyat Indonesia kelak akan menjadi fata morgana, bayangan lamunan semata.
Seolah-olah mode, kehabisanlah bagi orang cerdik pandai di masa sekarang, termasuk juga orang dalam kehakiman dan kejaksaan dan berpendapat, bahwa “di dunia” ini tak ada negara yang merdeka 100%.
Dalam arti filsafat dan arti absolut, mutlak, maka paham yang cocok dengan paham Belanda, Profesor Romme ini, memangnya tak ada! Orang tidak perlu mempelajari Teori Relativiteitnya Einstein atau Teori Dialektis Materialisme buat memahamkan, bahwa semua benda yang berjiwa atau tidak, tetapi yang bergerak di dunia ini (dan memang semua yang ada di dunia ini bergerak) semuanya itu berseluk beluk, berhubung dengan benda lain dan gerakan lain menurut tempat dan waktu. Atau menurut Frederich Engels, semuanya itu harus ditinjau dalam “Verkettung und Zusammunhang, werden und vergeven...”
Tetapi dalam arti relative (dalam perbandingan barang, benda atau gerakan satu dengan yang lainnya, menurut tempat dan waktu) memangnya ada kemerdekaan 100% itu!
Demikianlah dalam arti relative, tak ada orang yang berpikir sehat, yang bisa menyangkal, bahwa umpamanya negara raksasa seperti Russia dengan penduduknya kurang lebih 200 juta itu, dan Amerika Serikat dengan penduduknya 140 juta itu, adalah dua negara yang merdeka 100%. Pun negara kecil, negara nyamuk seperti negara Swiss, pada masa ini dengan penduduk cuma 5 juta saja, tak pernah orang katakan suatu Negara Jajahan ataupun Setengah Jajahan.
Benar sesuatu perjanjian militer, perjanjian diplomasi atau perjanjian dagang dapat mengikat sesuatu negara besar atau kecil tersebut di atas kepala sesuatu negara lain, jadi dalam arti relative memangnya terikat, jadi mengurangi kemerdekaan yang 100% tadi dengan x%, tetapi negara lain yang berjanji itupun harus mengurangi kemerdekaannya dengan x% pula. Ringkasnya kedua-duanya harus masing-masing mengurangi kemerdekaan 100% dengan x%. tetapi dapatkah Rusia, Amerika Serikat ataupun Swiss, negara nyamuk ini dikurangi kemerdekaan militer, diplomasi atau dagangnya begitu saja dengan tiada persetujuan rakyatnya, yang bisa melahirkan suaranya dengan perantaraan Dewan Perwakilan yang disahkan pada masa itu? Ataukah salah satu dari negara tersebut menerima sesuatu perjanjian yang cuma menguntungkan pihak lain saja, seperti kejadian dengan Tiongkok di masa dia terikat oleh equal-treaty (perjanjian pincang) seperti digelari oleh Almarhum Dr. Sun Yat Sen?
Tampaklah sudah, bahwa merdeka 100% itu tidak berarti absolute, mutlak, melainkan relative, ialah menurut perhubungan, seluk-beluk, perbandingan dan gerakan timbul, tumbuh dan tumbangnya. Bagaimanapun juga negara besar atau kecil tersebut diatas adalah merdeka 100% buat mengadakan perjanjian militer, diplomasi atau dagang dengan negara lain menurut kehendak dan persetujuan rakyatnya, walupun dalam masyarakat demokratis kapitalistis kehendak dan persetujuan rakyat itu tebatas. Dan dengan kemerdekaan 100% pula negara besar atau kecil itu mengurangi kemerdekaannya dengan x% dan menabungkan (pooling together!) yang x% itu ke dalam tabung bersama, celengan bersama yakni perjanjian bersama atas keikhlasan bersama. Maka menurut perhitungan masing-masing perjanjian itu memberikan keuntungan y% kepada masing-masingnya. Lagipula perjanjian itu tiada pula mengikat kedua belah pihak buat selama-lamanya, melainkan cuma buat selama waktu yang sudah ditetapkan bersama lebih dahulu dan biasanya salah satu pihak merdeka membatalkannya kalau kelak ternyata merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Syahdan, dalam keadaan seperti di ataslah, di mana tiap-tiap negara yang merdeka 100% dengan sukarela mengurangi dan menabungkan x% kemerdekaannya untuk sama-sama memperoleh keuntungan y%, jika yang satu dibandingkan dengan yang lain (relative) masih merdeka 100%
Memangnya pula, kalau Indonesia dengan Belanda jika seandainya “Belandalah” pula, yang disukai oleh Rakyat Indonesia diantara semua bangsa dan Negara di seluruh dunia ini!!! Jadi kalau Indonesia sebagai negara Merdeka 100%, menghendaki perjanjian ikhlas merdeka dengan Belanda sebagai Negara Merdeka pula, atas dasar sama rata, perjanjian mana yang menguntungkan pula bagi kedua belah pihak, maka perjanjian semacam itu boleh diminta pertimbangannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang sah itu tidak menyetujui perjanjian itu, atau menghendaki perjanjian yang semacam itu dengan negara lain daripada negara Belanda, maka perjanjian dengan negara Belanda itu tidak boleh diteruskan.
Tetapi perjanjian Linggarjati (apalagi perjanjian Renville) yang keduanya mengurangai kemerdekaan Indonesia dalam hal urusan luar negeri, kemiliteran, keuangan, perekonomian dan kebudayaan, entah sampai berapa % dan menguntungkan kepada Belanda, sedangkan sebaliknya Bangsa Indonesia tiada boleh mengurangi kemerdekaan perekonomian, keuangan, kemiliteran, diplomasi dan kebudayaan Belanda di Nederland...! Maka perjanjian yang tersebut di atas itu, adalah melanggar arti Proklamasi 17 Agustus dan terang-terangan membawa Indonesia kembali ke status penjajahan, cuma dalam bentuk bungkusan baru saja.
Apakah sebenarnya yang menentukan sifatnya, essencenya, patinya sesuatu perhubungan antara negara dengan negara atau antara satu masyarakat dengan masyarakat lain?
Buat saya bukanlah bentuk politiknya saja!
Memang bentuk politik bisa memberikan Schijnmacht, satu kekuasaan khayal. Tetapi perbandingan kekuasaan yang sebenarnya adalah terletak pada perbandingan kekuasaan ekonomi, yang dipegang oleh masing-masing pihak, dalam perhubungan ke duan negara atau masyarakat itu.
Walaupun hampir semua Negara Amerika Tengah dan Selatan dalam bentuk politiknya adalah Negara Merdeka, tetapi dengan merajalelanya kekuasaan ekonomi dan terutama keuangan Amerika Serikat (finance-capital) maka kemerdekaan politiknya hampir negara Amerika Tengah dan Selatan itu adalah satu khayal belaka.
Meskipun Canada, namanya Dominion Inggris, tetapi karena Amerikalah yang mempunyai kepentingan ekonomi yang terbesar di Canada itu, maka sesungguhnya kekuasaan tertinggi atas Dominion Canada sudah lama terpendam di Wall-Street, New York, dalam kas-nya Bank di sana.
Dengan pandangan seperti di atas, maka sekarang (Maret 1948) kalau kita memperhatikan Perjanjian Linggarjati, dan Renville, maka haruslah kita lebih dahulu menanyakan, dari sudut manakah yang harus kita pandang kedua perjanjian tersebut: dari sudut politik sajakah? Atau dari sudut ekonomi sajakah? Ataukah dari kedua sudut ialah politik dan ekonomi tetapi tercerai-berai satu sama lainnya? Ataukah dari kedua sudut politik dan ekonomi yang harus dianggap berseluk beluk dan kena mengenai?
Dengan pertanyaan lain, dengan cara berpikir logis, yuridis, staatsrechtelijk sajalah atau dengan cara berpikir dialektis yang berdasarkan pandangan materialisme?
Bagi saya terutama sekali dan pertama sekali, ialah dari sudut ekonomi dan dengan cara berpikir dialektis yang bersandar pada pandangan materialisme.
Ini berarti, bahwa perkara politik itu tiada penting! Bahkan tak kurang pentingnya, kalau ditafsirkan, bahwa politik itu adalah pemusatan ekonomi (consentration of economy)!
Jadi dari sudut perekonomianlah kita harus memandang lebih dahulu, karena perhubungan ekonomilah kelak pada titik terakhirnya yang akan menentukan perhubungan politik antara rakyat Indonesia dengan Belanda. Dari sudut perekonomianlah saya akan menghampiri dan mempersoalkan Perjanjian Linggarjati dan Renville itu.
Bahwasanya jika kelak Kapital Asing akan terus merajalela di Indonesia, seperti sebelum tahun 1942, maka politik imperialisme pula yang akan merajalela di Republik Indonesia di kemudian hari. Dalam hal itu, maka kelak kemerdekaan Republik adalah kata yang tidak isi, kata kosong atau omong kosong! Kemerdekaan 100% yang diproklamirkan oleh Rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka oleh pengembalian semua Milik Asing (Negara Sahabat ataupun Negara Musuh!) segera kelak akan merosot entah sampai berapa persen.
Jika sebaliknya semenjak permulaan berdirinya Republik, sebagian besar dari perekonomian Indonesia (perindustrian, perkebunan, pertambangan, keuangan, export-import dll)! dimiliki dikuasai dan dikerjakan (owned managed and operation) oleh Rakyat Indonesia sendiri, untuk Rakyat Indonesia sendiri, maka adalah pengharapan bahwa kelak kekuasaan tertinggi, Kedaulatan Rakyat Indonesia ke dalam dan ke luar negeri akan terancam.
Berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat kapitalis-imperialis par exelence, ialah di Deli, maka tiga puluh tahun lampau saya sudah menuliskan tinjauan saya atas masyarakat Indonesia dan menggambarkan hasil tinjauan itu dalam satu buku dengan nama, yang mengandung pertanyaan (dan jawab!) yakni: Parlemen atau Soviet?
Lebih dari seperempat abad lampau, di tengah-tengah perjuangan Rakyat Indonesia menghadapi Belanda dan berapa dalam persembunyian untuk menghindari buruan imperialisme Belanda, Inggris dan Amerika..saya ulangi lagi!....dalam persembunyian untuk menghindari Belanda, Inggris dan Amerika, maka dalam Brosure: “Naar de Republiek Indonesia” saya wujudkan bentuk Pemerintah Indonesia, sepatutnyalah Bentuk Republik  dan Taktik Strategy, yang harus dijalankan untuk melaksanakan, ialah Massa Aksi.
Lain daripada dua puluh tahun lampau saya keraskan pula cara Massa Aksi buat mencapai kemerdekaan dan Republik tadi dan menolak dengan sekeras-kerasnya jalan yang saya namai Parlementarisme semata-mata, ataupun jalan Putch!
Dalam waktu lebih dari tigapuluh tahun itu belumlah sedikit berubah pandangan saya tentang sifatnya kapitalisme dan imperialisme Belanda; tiadalah berubah pula tujuan saya dalam politik dan ekonomi: serta akhirnya tiadalah sedikitpun berubah paham saya tentang caranya Rakyat Indonesia harus mencapai tujuannya.
Sampai sekarang saya tidak percaya, bahwa akan bisa ada perdamaian kekal, atau dengan istilah baru, akan mungkin, akan terdapat “kerjasama” yang kekal antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat Indonesia selama asing umumnya dan Belanda khususnya masih memegang kekuasaan kapitalnya seperti dahulu.
Saya masih yakin, bahwa kekuasaan Kapital Asing umumnya dan kekuasaan Kapital Belanda khususnya, ditengah-tengah rakyat dan di atas bumi Indonesia harus dilenyapkan terlebih dahulu sampai ke akar-akarnya, barulah Rakyat Indonesia dapat bernafas dengan lega dan mulai menginjak jalan kemajuan dalam semua lapangan. (Tentulah Modal Asing yang tiada memegang kekuasaan politik dan tidak mempengaruhi jalannya politik Dalam dan Luar Negeri akan dipertimbangkan.
Tetapi ini cuma bisa berlaku, kalau Negara Indonesia sudah mendapatkan jaminan cukup buat kemerdekaannya!)
Sayapun dari dahulu insyaf, bahwa Kapital Asing dari Negara Sahabat tiada begitu saja dapat dilenyapkan! Tetapi kecerobohan Belanda terhadap Republik Indonesia ini, bagi saya adalah satu “golden oppurtunity”, satu saat baik, buat bertindak dan menempatkan Belanda pada tempat yang cocok dengan lakonnya sebagai Negara Penjajah yang sudah terbanting dan terpelanting pada 8 Maret 1942.
Dengan lenyapnya kapitalisme Belanda dari Bumi Indonesia ini, dengan senjata ekonomi yang akan pindah ke tangan Rakyat Indonesia dari tangan kapitalisme Belanda itu, maka rakyat Indonesia akan mendapatkan “modal bermula” (initial capital) untuk membela dan memperdalam kemerdekaan serta mempertinggi kemakmurannya. Dengan demikian dan secara jual-beli, maka Rakyat Indonesia kelak akan sanggup membeli kembali sisa perusahaan asing sekaligus atas berangsur-angsur dan mengadakan perhubungan dan dagang dengan bangsa Belanda atas dasar kemerdekaan dan persetujuan ikhlas dari kedua belah pihak.
Tetapi dengan membiarkan bulat kembalinya Kapital Belanda, maka rakyat Indonesia, walaupun “digelari” merdeka, nasibnya akan sama saja dengan para pedagang kelontong yang mau bersaing dengan pedagang besar-besaran. Dalam teori bisa dipikirkan persaingan semacam itu akan dapat memberikan hasil! Mungkin satu dua orang tukang kelontong bisa jaya, tetapi sebagai golongan, maka golongan tukang kelontong akan tetap berada di bawah haribaan golongan saudagar besar-besaran. Demikianlah pula, jika semuanya kebun, tambang, pabrik, pengangkutan dan Bank Asing, yang menurut dasar ekonomi sudah mengambil tempat yang strategis dalam perekonomian di Indonesia akan diduduki kembali oleh bangsa Asing, maka semua percobaan saudagar kecil dan perusahaan kecil Indonesia dengan cara apapun juga untuk persaingan dengan Kapital Asing yang bekerja besar-besaran dan modern itu, akan sia-sia belaka. Atau dengan perkataan asing akan berarti Don Quixottory! Satu Don Quixottory-lah pula pahamnya beberapa ekono borjuis kecil Indonesia, atau paham mereka yang menamai dirinya “sosialis”, bahwa dengan mengadakan 13 macam undang-undang, maka kelak Kapital Asing akan bisa ditundukkan atau dikendalikan.
Saya terlampau banyak menyaksikan contoh yang hidup di negeri lain; tak bisa lagi percaya kepada omongan borjuis kecil dan sosialis Indonesia seperti itu. Pertentangan kapitalis imperialis Belanda dengan Rakyat Terjajah Indonesia saya anggap “irrecencileable”, tak bisa diperdamaikan. Salah satunya harus menang atau lenyap dalam perjuangan yang tidak kenal damai.
Maka berhubungan denga pertentangan antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat terjajah Indonesia, antara pemeras penindas Belanda dengan terperas-tertindas Indoneisa inilah, maka satu Pemerintahan yang berdasarkan Parlementarisme Tulen, satu, Pemerintahan yang berdasarkan suara terbanyak (mayority), satu Pemerintahan Demokratis dalam Masyarakat Indonesia, dimana Kapital Belanda dan Asing lain kembali rekenkunding, ataupun dengan perhitungan jari saja, boleh dikatakan, bahwa sekepal dua kepal Belanda kapitalis-imperialis itu tak akan mau diperintahi, diatur kepentingan ekonominya oleh 70 juta Bangsa Indonesia, yang 99 % terdiri dari burger-kecil, dan  Rakyat Murba, ialah golongan rakyat yang tak berpunya apa-apa lagi, kecuali tenaganya. Belanda mustahil akan percaya kepada Pemerintah Demokratis semacam itu dan Belanda akan mendapatkan 1001 macam akal bulus buat memperkosa dan memalsukan demokrasi dan Parlementariasme dengan maksud hendak melaksanakan kekuasaan ekonomi mereka, sesungguhnya, yakni: Melaksanakan paksaan golongan Yang Terkecil, tetapi Berpunya atas Golongan Terbanyak, tetapi Tidak Berpunya.
Dengan adanya benteng perekonomian Indonesia di tangan Asing, maka kelak bentuk Pemerintahan Demokratis, yang bisa dibolehkan Belanda, adalah salah satu “Volksraad” dengan sedikit perubahan, di mana perbandingan kekuasaan Ekonomi Asing Modern dengan kekuatan Ekonomi Indonesia terbayang dengan jelas.
Menghendaki satu Parlementarisme Tulen di Indonesia, di mana 70 juta bangsa Indonesia dengan Suara Terbanyaknya, akan dapat memberantas atau mengendali Kapitalisme Asing, yang akan tetap terus diakui segala haknya, samalah adanya dengan sikap seorang fakir-pertapa, yang dalam otaknya menciptakan seekor ular-tedung yang tiada berbisa. Biarlah fakir pertapa itu mencoba bermain-main dengan ular-tedung itu ataupun membiarkan anak-anaknya bermain-main dengan ular tedung itu. Tetapi oleh kami, ular tedung itu tak akan dipercaya atau akan diberi ampun. Kalau perlu, maka fakir pertama yang mencoba memasukkan ular tedung ke dalam rumah kami itupun akan kami singkirkan bersama-sama ular tedung itu.
Biarlah borjuis-kecil atau mereka yang menamai dirinya sosialis itu menciptakan “Pemerintah-Bersama” antara Kapitalis-Imperialis Belanda dengan Rakyat-Terperas Tertindas Indonesia!!!
Selama tinggal ciptaan saja, kami akan membalas ciptaan itu dengan anti propaganda saja. Tetapi kalau mereka terus menerus membela “Pemerintahan-Bersama” semacam itu dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu, dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu, kami berasa berkewajiban pula menolak dan membatalka semuanya itu, dengan segala ikhtiar dan  tenaga yang ada pada kami. Kami anggap Hak mereka tadi untuk memasukkan “Pemerintah-Bersama” semacam itu ke masyarakat dan Bumi Indonesia, yang sudah merdeka 100% semenjak 17 Agustus 1945, tiadalah lebih daripada Hak kami membela terus kemerdekaan 100% dan kami akan tetap menganggap sesuatu “Pemerintahan-Bersama” itu sesuatu penghianatan terhadap Proklamasi.
“Nuchtere Realiteit” akhirnya.
Ketiga: Bahwa Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville adalah satu bukti, bahwa kapitalis-imperialis Belanda 100% berdiri atas “nurchtere realiteit”, ialah atas perbandingan tepat antara kekusaan ekonomi Belanda” di masa “Hindia Belanda” dengan perekonomian Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Renville menggambarkan dengan tepat perbandingan Kekuasaan Ekonomi di masa jajahan.
Syahdan, dengan pandangan yang terpaksa agak panjang ini, terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville, maka baiklah juga saya selidiki beberapa pasal dalam perjanjian itu.
Karena dalam Perundingan, yang mendapatkan Renvile Principles Perjanjian Linggarjati jugalah yang dijadikan sandaran, walaupun kedua-belah pihak sudah pernah membatalkan Perjanjian Linggarjati itu, maka baiklah kupasan yang berikut ini saya pusatkan kepada Perjanjian Linggarjati saja. Oleh karena Perjanjian Linggarjati itu sudah cukup dikenal timbul, tumbuh dan kembangnya, maka sudahlah cukup pula, kalau penyelidikan ini saya tujukan kepada beberapa pasal saja.
Tentulah karena berada di dalam penjara selama lebih dari dua tahun ini (Maret 1948) maka saya tidak sanggup mendapat laporan yang dilakukan atas nama Republik, baik dengan terbuka ataupun dengan rahasia oleh Syahrir dengan Kerr-Killearn dan Van Mook ataupun Amir dengan Van Hoogsraten, Idenburg dan Van Mook. Saya juga tidak mengetahui, “Notulen Rahasia”, korespondensi antara Delegasi Indonesia dengan Delegasi Belanda; isi pidato Mi’raj Nabi oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain pun akhirnya tidak saya ketahui.
Tetapi walaupun demikian, tidaklah berarti, bahwa saya akan terserah begitu saja, tak berdaya menaksir nilainya Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Saya sudah dapat membaca Perjanjian Linggarjati dan Renville pasal demi pasal. Saya juga dapat membaca pidato Yonkman, Prof. Romme dan Belanda terkemuka dll, di negeri Belanda. Teristimewa pula saya sudah dapat menyaksikan “tafsiran” Belanda dan Indonesia terhadap Perjanjian itu dan sampai sekarang (Maret 1948) sudah dapat pula saya satu tahun mengikuti sikap dan tindakan Belanda, sesudahnya penandatanganan Linggarjati setahun lampau.
Seandainya saya cuma dapat membaca pasal 14 saja dari Perjanjian Linggarjati dan tidak mengetahui perkara yang lain-lain, yang saya sebut di atas, maka saya akan sudah merasa sanggup menggambarkan Bingkai Politik, Militer dan Urusan Luar Negeri Indonesia di hari depan.
Cuvier, sebagai naturalist di abad ke 18 bisa berkata “Berikanlah saya satu gigi saja dari satu hewan. Saya akan berikan rancangan bentuk seluruhnnya badan hewan itu. demikianlah pula sebagai Materialis, sambil menghampiri sesuatu persoalan masyarakat dengan cara dialektis kami seharusnya dapat berkata: beritahukanlah kepada kami, bagaimana perhubungan ekonomi antara kedua bangsa dan kedua klas itu. kami akan dapa pula membentuk Bingkai politik antara kedua bangsa atau kedua golongan itu.
Economy relation enqendor political and legal atau....act” perhubungan ekonomi menciptakan perhubungan Politik dan Hukum dan sebagainya.” Kata Marx dalam salah satu tempat.
Demikianlah perhubungan ekonomi antara Indonesia Belanda yang digambarkan oleh pasal 14 dalam perjanjian Linggarjati akan menciptakan perhubungan politik, kemiliteran, keuangan, urusan Luar Negeri dan Kebudayaan antara Indonesia dan Nederland. Saya mulailah dengan pasal 14 Linggarjati, karena pasal inilah, yang saya anggap menjadi urat Perjanjian Linggarjati itu. Dengan pasal 14, ialah Perjanjian Ekonomi, sebagai urat, keuangan, urusan Luar Negeri dan kebudayaan sebagai kulit, daun, dan lain-lain, maka akan bangkitlah kembali pohon Penjajahan Belanda seluruhnya, seperti yang dikehendaki oleh zaman baru.
Dengan mendapatkan Linggarjati sebagai satu haidah yang jatuh dari langit, maka Belanda dengan Instinct (naluri) dan Logika seorang Kruidenier, seorang warung, meneropong ke semua kemungkinan buat keuntungan dan kerugian.
Filsafat hidupnya Belanda Kruidenier, ialah “hutang harus dibayar dan piutan harus diterima”. Filsafat hidupnya inilah yang dijadikannya dasar buat Linggarjati dan dasar buat “Hervormde Nederlands Indische Regeering”. Demikianlah harus dipastikan lebih dahulu, bahwa N.I.S (Negara Indonesia Serikat, bunyinya di telinga Delegasi Indonesia, tetapi Nederlands Indische Staat artinya buat Belanda Kruidenier) akan membayar hutang “Hindia Belanda” dahulu, serta semua Perjanjian. Ekonomi yang lama dan yang akan diadakakan harus dijamin pula. Dengan begitu, maka semua Hak dan Milik Belanda atas tanah, pabrik, tambang, kereta, rumah dan gedung yang ada di Indonesia haruslah diakui. Lebih kurang f.4000 juta uang lama, yakni lebih kurang $ USA 1.600 jut hutangnya “Hindia Belanda” mesti dibayar oleh N.I.S dan Hak Milik Asing seharga lebih kurang f.4000,-juta uang lama atau lebih kurang $1600 juta pula harus dikembalikan. Seolah-olah tak ada penyerahan Belanda 8 Maret kepada Jepang dan tak ada pula interneeringskamp bagi Belanda yang tinggal di Indonesia, karen tak bisa lagi lari tunggang-langgang ke Australia mencari tempat yang aman bagi dirinya sambil meninggalkan 70 juta bangsa Indonesia, yang katanya harus diperlindunginya.
Tidak saja begitu N.I.S mesti menjamin, supaya kelak produksi perdagangan, pengangkutan dan keuangan buat mencari untung yang cocok dengan perhitungan seorang Belanda, Tukang Warung jangan terganggu.
Dalam perkara mendapatkan tanah buat disewa, air buat perkebunannya, kaum buruh dan kuli untuk diperkulikan dalam hal mendapatkan alat pengangkutan serta kuli buat angkut-mengangkut dari pedalaman sampai ke pesisir, dari pantai ke pantai di ratusan kepulauan Indonesia, dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di dunia, maka tukang-warung Belanda yang sudah terperanjat dan pingsan melihat semangat baru, yang melayang ke dalam jiwanya Rakyat Indonesia, menghendaki jaminan “rechts en bedrijfszekerheid”, Kepastian Hukum dan Pencaharian.
Dalam perekonomian keamanan buat pulang pergi dari rumah ke kebun, ke tambang dan pabriknya, dan dalam kesenangan hidup! (memangnya tukang warung Belanda pandai mempergunakan segala kenikmatan hidup di dunia ini!) dalam hal keamanan untuk pulang pergi dari kebun ke kota buat mengunjungi restoran, rumah bola, concert, bioskop, rumah dansa, cabaret dan bermacam-macam alat penggembira dirinya sendiri beserta keluarganya, maka tukang warung Belanda yang sudah menyaksikan dahsyatnya bambu runcing tiada begitu saja mempercayakan dirinya kepada “kaum extremis” atau mereka yang dicap seperti itu. demikianlah mereka menuntut “persoonlijke zekerheid”, kepastian keamanan diri.
Menurut maksud bermula, ialah setelah semua kepastian dalam keuangan dan ekonomi, kepastian dalam hukum dan pencaharian, serta kepastian buat keamanan dan kesenangan dirinya itu terjamin, seperti termaktub dalam perjanjian Linggarjati, maka dia akan segera pergi ke Amerika, buat meninjau modal yang akan ditanamkannya di Indonesia.
Dengan kepastian, bahwa kelak, dia akan mendapatkan uang pinzaman sebagai yang dibutuhkannya, maka dia percaya, bahwa pastilah dia kelak akan mendapatkan tanah, air, kuli, bahan dan hasil serta mendapatkan alat pengangkutan serta kuli, mandor dan jurutulis buat mengangkut semua hasil Indonesia itu ke semua pasar kepulauan Indonesia dan di dunia lain.
Si kapitalist mestinya percaya, bahwa kalau ketentraman sudah terjamin, maka dengan tipu, gertak dan sogok, seperti di zaman “Hindia Belanda” dia akan mendapatkan tanah subur yang diperlukannya. Petani yang buta huruf yang kini merasai kekurangan belanja untuk selamatan ini dan itu, lebih daripada di masa sebelum Jepang tentulah dijerat dengan tipu muslihat dan yang uang sogok mandor air dan “B.B. Amtenaar” rendah atau tinggi “niewe stijl” (macam baru) yang selalu pula terikat oleh hutang, tentulah seperti di zaman “Hindia Belanda” akan dapat diikat dengan “rantai emas”. Terutama pula di pulau Jawa, di mana penduduk sudah amat rapat dan setiap tahun bertambah rapatnya dengan tiga perempat juta manusia, sedangkan sebagian besar daripada Rakyat terdiri dari Yang Tak Berpunya apa-apa atau dari Yang Berpunya Tak Cukup, dimana persaingan mencari sesuap nasi dan sepertegak pakaian amat sengit, maka mudah sekali buat kaum kapitalis mendapatkan kaum buruh dengan bayaran rendah. Berapapun juga dimajukan industrialisasi secara kolonial, tiadalah akan mengisap semua proletar atau setengah proletar Indonesia, terutama Jawa. Keadaan “suply and demand”, vraag en aanbond” atau persediaan dan permintaan, tentang tenaga Indonesia, menurut ukuran hidup (standard of living) Rakyat Indonesia dimasa sekarang, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Kapital Asing 1) untuk mengadu dombakan buruh dengan buruh yang ada dalam sesuatu perusahaan; 2) untuk mengadu dombakan buruh yang sudah ada dalam perusahaan dengan yang masih dalam reserve (cadangan buruh diluar perusahaan); 3) untuk mengadu dombakan Pemerintah Nasional dengan kaum buruhnya sendiri.
Dengan begitu, maka Kapital Asing dengan mudah sekali dapat menekan ke bawah upah pekerja sampai ke tingkat hidupnya seorang kuli, mengerjakan kuli selama dikehendaki oleh kaum kapitalis; menggagalkan sesuatu pemogokan dengan mengadakan sistem kaum penjilat (Yellow Union) dan akhirnya menyelundupi dengan jalan sogok atau sistem kaum penjilat segala undang-undang yang mungkin bisa diadakan oleh N.I.S yang sekiranya diatas kertas bisa merupakan jaminan bagi pekerja Indonesia.
Sedangkan di Amerika Serikat, Negara Menang, yang terkaya di dunia; dimana jutaan buruh mempunyai Serikat Sekerja Raksasa seperti A.F.L.dan C.I.O. ; dimana buruh mempunyai hak demokrasi, yang ditetapkan oleh Undang-Undang Negara; di mana persediaan dan permintaan (supply and demand) tentang kaum pekerja lebih banyak menguntungkan kaum buruh di Amerika daripada di Indonesia, di sana pun kaum buruh terpaksa saja berulang-ulang mengadakan pemogokan untuk mengerjar gaji yang terus menerus ketinggalan, disebabkan oleh terus-menerus naiknya harga barang untuk kehidupan sehari-hari. Malangnya pula dengan organisasi buruh di Amerika sebagian kuat; hak demokrasi rakyat begitu besar; dan produksi masyarakat begitu tinggi, tiadalah sanggup kau pekerja Amerika menolak krisis dan pengangguran hebat dan lama. Dan tiada pula kaum pekerja dalam negara, yang katanya paling demokratis itu, bisa menolak larangan pemerintah atas pemogokan umum, ialah hak mutlaknya serta senjata terakhirnya dan terpentingnya buat kaum buruh dalam dunia kapitalisme untuk mendapatkan upah yang lebih cukup, waktu kerja yang lebih singkat, serta pelayanan hidup yang lebih baik.
Seolah-olah golongan “orang kuat”, “Marxist”, “Lenist” dan “Stalinist” Indonesia percaya, bahwa kelak “undang-undang kerja dan sosial” yang akan dibikin (sebelum dan diwaktu N.I.S ??)  akan bisa membendung kekuasaan kapital internasional di Indonesia.
Dalam dunia roman, dunia khayal, tiadalah mengapa, kalau Servantos, pengarang bangsa Spanyol, mengejek Don Quizott, yang ingin mengembalikan keadaan feodal, yang sudah lampau itu ke zaman baru, ke zaman permulaan kapitalisme dalam masyarakat Spanyol. Servantos menggambarkan Don Quizott, sebagai seorang ksatria, yang hendak berkelahi dengan kincir berputar, karena dalam ciptaan kincir berputar itu adalah kaum penyamun, yang sedang menawan seorang gadis remaja yang paling cantik molek. Dalam keadaan begitu muka Pedro, sebagai pengikut yang taat setia mengikut saja, walaupun pikirannya tetap “nuchter” praktis.
Kita dalam dunia “besar hendak melindih” ini tidak bisa mengejek para “Don Quizott” kita saja atau hanya menonton mereka berkelahi menghadapi kincir berputar, ialah Kapital Internasional saja.
Kita harus melarang sama sekali Pedro Murba yang walaupun dengan pikiran nuchter mengikuti tuannya Don Quizott menghadapi kincir berputar itu, ialah Kapital Internasional di Indodnesia supaya mereka, Kaum Murba, jangan terbawa-bawa tergiling oleh perputaran-nya kincir kapital internasional itu.
Yang terang “nucter” dalam dunia diplomasi Indonesia Belanda ini, ialah para tukang warung Belanda. Sambil di pelopori oleh maklumat Wakil Presiden, yang menjanjikan pengembalian Hak Milik Asing pada tanggal 1 November 1945, mereka kruidernies Belanda dalam perjanjian Linggarjati berpegang teguh pada pasal 14 dan memagari pasal ini dengan beberapa pasal lain yang mengenai urusan politik, sosial dan kemiliteran. Bunyinya pasal 14 dalam bahasa Indonesia yang agak kurang lancar di telinga kita orang Indonesia, seakan-akan tulisan itu adalah terjemahan kata demi kata dari bahasa Belanda saja ialah:

Pasal 14:
“Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka, yang dilakukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.”  
Berhubung dengan pasal 14 itu, maka pasal 10 yang erat pula pertaliannya dengan pasal 14 yang berbunyi:
“Anggar-anggar Persekutuan Belanda Indonesia itu antara lain akan mengandung juga ketentuan-ketentuan tentang:
a)      Pertentangan hak-hak kedua belah pihak, yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menepati kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain.
b)      Hal kewarganegaraan untuk warga negara Belanda dan warga negara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya.
c)      Aturan bagaimana cara menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan persekutuan itu tidak dapat dicapai secara mufakat.
d)      Aturan bagaimana dan dengan syarat-syarat apa alat-alat kelengkapan kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak atau kurang cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
e)      Bertanggungan dalam kedua bagian persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebesan yang dimaksudkan juga oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tukang warung Belanda, yang mau menghitung laba rugi lebih dahulu memberikan tafsiran sendiri kepada pasal 14 dan 10 itu. Menteri Yonkman menerangkan sikapnya terhadap kedua pasal tersebut dalam pidatonya di Parlemen Nederlanda; yang dikawatkan oleh ANETA kepada DAGBLAT tanggal 11 Desember 1946, seperti berikut:
“Het zal noodzakelijk zijn, op den grondslag van het hestand en politik accord, ten spoedigste mede overeenstomming te verkrijgen over financieele en economische waar orgen, welke het beginsel van artikel 14 over een breeder terrein uitstrekken, rechts en bedrijfszekerheid onder art, 10a beheerend, nader te omschrijven en bijden opbouw der Federatie en der Unie ook de financieele en economische eischen volledig in acht te nemen”.

Indonesianya:
“Perlu sekali atas dasar pemberhentian tembak-menembak dan persetujuan politik, selekas-lekasnya diperoleh persetujuan keuangan dan ekonomi, yang dimaksud dengan dasarnya pasal 14 dalam arti yang lebih luas, (dan) kepastian hukum dan pencarian (perusahaan) yang termaksud dalam pasal 10a, dijelaskan lebih lanjut dan pada pembentukan Federasi dan Uni juga diperhatikan sepenuh-penuhnya tuntutan keuangan dan ekonomi”
Sekianlah pasal 14 Linggarjati! Sekian pula tafsiran Menteri Yonkman!
Adapun pengakuan pasal 14 yang mengenai hak milik dan pencarian Belanda itu tiadalah tergantung sendirinya di awang-awang saja. Dengan penerimaan pasal 14 itu, itu sebagai akibatnya, haruslah diterima sesuatu yang berkenaan dengan urusan Luar Negeri, urusan Keuangan, urusan Kemiliteran dan urusan Kebudayaan.
Berhubung dengan  itu, maka dipandang dari sudut perekonomian pasal 8, yang termashur buruk karena membatalkan kedaulatan Indonesia, sebenarnya akibat dari pengakuan atas pasal 14, ialah pengembalian hak milik Belanda. Dalam hakekatnya, maka pengembalian ratusan kebun Belanda, bermacam-macam tambang dan pabrik, hampir semuanya alat pengangkutan dan keuangan di Indonesia, berarti memerlukan dan mempermudah pula pengembalian Kedaulatan Belanda ke Indonesia.
Pengembalian Kedaulatan Ekonomi Belanda di Indonesia, esok atau lusa, langsung atau tidak, mengembalikan Kedaulatan Politik Belanda di Indonesia pula.
Sesungguhnya pula diplomat Belanda Inggris dengan pengluasan panggung diplomat “ulung” Indonesia, dan mendapatkan semua hak milik kembali, sendirinya sudah mengembalikan Mahkota Belanda ke Indonesia Merdeka, sama dengan kecepatan Aladdin memperoleh sebuah mahligai emas, setelah mengelus-elus lampu ajaibnya.
Begitulah sebenarnya dengan pengakuan kembalinya economy supremacy Belanda, Kekuasaan Tertinggi Ekonomi Belanda di Indonesia Merdeka, maka urusan Luar Negeri, keuangan, kemiliteran dan kebudayaan nolens volens mau tak mau, akan jatuh ke tangan Belanda. Kalau sudah sampai ke tingkat pengakuan, atas kerja sama dalam urusan luar negeri, kemiliteran dan keuangan itu, maka kedaulatan Belanda atas Indonesia “Merdeka” sudah termasuk walaupun tak disebutkan begitu. Dengan demikian maka Pemerintah Indonesia, apapun juga namanya, sebenarnya sudah menjadi Pemerintah Boneka Belanda.

TENTANG URUSAN EXPORT DAN IMPORT

Dengan adanya lebih dari 90% exportable goods barang yang dapat di perdagangkan ke Luar Negeri di tangan bangsa Asing dengan beradanya 100% alat perkapalan ke Luar Negeri di tangan Belanda atau Asing lain. Dengan beradanya Bank dan Asuransi 100% pula di tangan Belanda atau Asing lain; dengan akhirnya beradanya agencies, tengkulak atau makelar dan kantor dagangnya di pasar asing (Amerika, Eropa, dll) 100% pula di tangan Belanda, maka gila atau edanlah Belanda dan sombong tak tahu dirilah orang Indonesia, yang berani mengatakan, bahwa Belanda dan asing lain akan begitu saja menyerahkan urusan export-import kepada orang Indonesia. Sebanding dengan Share, bagian pedagang Indonesia dalam dagang keluar masuk (export-import) itulah pula, Belanda akan membiarkan Indonesia mengambil bagian kekuasaan dalam hal urusan kedutaan serta Duane.
Kalau bagian Indonesia dalam export-import cuma 10% atau 1%, karena onderneming, tambang dan pabrik berada di tangan asing, maka janganlah “diplomat” Indonesia tercengang, kalau Belanda, sesudah hak miliknya diakui penuh akan menuntut kekuasaan penuh pula. Dengan begitu, maka urusan kedutaan dan kekonsulan, dengan negara asing di mana kepentingan pasar dagang seperti di Amerika dan Eropa, terletak di tangannya Kapital Asing, yang ada di Indonesia, akan sendirinya di kuasai oleh Belanda. Di mana rakyat Indonesia ada sedikit mempunyai kepentingan dagang, seperti dari Siam ke Indonesia, seperti dahulunya; dengan beberapa negara Arab, lantaran urusan agama dan import kain, kurma dan minyak samin dari sana ke sini, maka boleh jadi sekali Belanda kelak, dikemudian hari tak akan berkeberatan membiarkan N.I.S menanam duta atau konsul bangsa Indonesia di tempat tersebut. Tetapi yang terang, ialah Belanda cuma akan mengerjakan segelintir dua Inlanders-alat, sebagai kerani dan opas pada Kedutaan Belanda, di sesuatu negeri luar itu, dimana kepentingan dagan Belandalah yang terbesar.
Itulah akibatnya pengakuan atas Haknya Belanda atas urusan Luar Negeri. Tetapi pengakuan itu membawa akibat buruk pula pada kemajuan perindustrian bangsa Indonesia. Dengan tergantungnya pedagan asing di Indonesia kepada pasar Amerika dan Eropa, maka pasar Indonesia sebaliknya tergantung pula kepada hasil pabrik Amerika, Eropa. Dengan terikatnya Amerika-Eropa kepada getah, minyak, timah, teh, kopi, kina dan lain-lain dari Indonesia, maka Indonesia pun akan diikat pula oleh auto, barang, mesin, barang kimia atau barang listrik Amerika Eropa. “Export pays for import” begitulah bunyinya pepatah dagang kapitalistis, artinya: barang dagang yang di jualkan di luar negeri akan membayar harga barang dagang, yang di beli dari luar negeri. Akibatnya perdagangan semacam ini, bagi Indonesia, walaupun penuh dengan bahan logam dan tumbuhan, walaupun mempunyai kaum pekerja yang pintar, rajin, dan melimpah, yang pertama sekali adalah, Indonesia tak akan berdaya mendirikan kebun, tambang atau pabrik baru, yang jenis hasilnya sudah di miliki, diusahakan dan dimonopoli oleh kapital-internasional yang sangat kuat dan berpengalaman banyak itu. rakyat Indonesia akan terus kalah dalam persaingan mati-matian (“cut throat competition”). Kedua, Bangsa Indonesia tak akan mendapat kesempatan mendirikan sendiri pabrik auto, lokomotif, mesin lain-lain, pabrik kimia, listrik dan atom, pabrik mesin kapal, pesawat terbang, kapal selam, tank dan meriam, dan lain-lain, “pabrik machine making machine” atau pabrik mesin pembikin mesin, yang semuanya perlu untuk kemakmuran dan pembelaan republik Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tak akan sampai menjadi negara berindustri induk, berindustri berat N.I.S cocok dengan watak dan kemauan Belanda pedagang dan kruidenier, akan tetap tinggal negara pertanian dengan selingan industri enteng di sana-sini. Dengan demikian, maka walaupun N.I.S itu akan disebut-sebut berdaulat, maka akan tetap tinggal negara boneka, yang terpaksa mempercayakan pembelian kemerdekaannya kepada “beleidnya” (kebijaksanaan) Belanda, yang lari tunggang-langgang dikejar oleh dua tiga gelintir Jepang pada bulan Maret 1942.

Keuangan I

Akibatnya pengakuan atas semuanya Kapital Asing pada keuangan bangsa Indonesia, tiadalah kurang buruknya daripada yang tersebut di atas.
N.I.S tiadalah akan membenarkan wakil bangsa Indonesia itu mengambil bea yang agak berat atas pengeluaran hasil kebun, tambang dan pabrik Asing, yang berada di Indonesia. Alasan yang sebenarnya, adalah “selv evident” nyata sendirinya. Tak ada sesuatu perusahaan atau seorang manusia yang akan memberatkan dirinya sendiri ataupun mengurangi keuntungan yang diperolehnya. Nafsu kaum saudagar tulen hendak menjadi kaya raya yang tak terbatas itu sudah terkenal di seluruh abad dan di seluruh tempat di dunia ini. dalam mempertahankan kepentingannya sendiri, ama haruslah barang Indonesia itu ditawarkan dengan harga yang semurah-murahnya”. Dengan besarnya bea, atas pengeluaran barang itu, maka naiklah harga barang Indonesia di luar negeri. Dengan demikian, katanya pula, maka barang Indonesia kelak, tak akan bisa bersaing dengan barang asing yang dijual  lebih murah di pasar asing. Lagi pula menurut filsafat dagang tadi juga, maka kaum buruh haruslah dikasih upah serendah-rendahnya, supaya kapitalis Belanda dan Asing lain di Indonesia bisa mendapatkan ongkos yang murah, dan bisa menjual barang dengan harga murah di pasar dunia. Demikianlah pula, katanya, Duane Indonesia janganlah memungut bea yang tinggi atas barang export. Akibatnya yang pertama dari keadaan sedemikian, ialah bahwa dari upah rendah kaum buruh Indonesia, tak bisa dipungut pajak yang besar buat kas negara. Kedua, dari bea barang export yang rendah itupun tak bisa didapatkan uang yang cukup untuk mengisi Kas Negara.
Bukan saja bea atas barang keluar, yaang harus direndahkan, tetapi sendirinya barang masukpun tak bisa dijatuhi cukai yang tinggi. Alasan pertama, ialah diambil dari filsafat dagang, pandangan kruidenier, tukang warung juga, yakni “kalau cukai barang masuk itu terlalu tinggi, maka, katanya, barang itu susah lakunya dalam pasar Indonesia, dan katanya pula, rakyat jugalah, yang akan menderita, karena terpaksa membayar mahal”. Adapula maxim lain, satu pepatah dagang lain, yang mengatakan bahwa, “kalau barang masuk ke Indonesia, yang datang dari luar negeri (Amerika atau Eropa!) dicukai terlampau tinggi, maka negara luar itu kelak akan mengadakan tindakan pembalasan (retaliation-measure) ialah mempertinggi cukai atas barang Indonesia, yang masuk ke negerinya dengan akibat bahwa barang Indonesia itu, katanya, akan susah lakunya di luar negeri”.
Dan ini menurut filsafat Kruidenier akan merugikan rakyat Indonesia pula.
Demikianlah ringkasnya, terbawa akibat buruk atas keuangan negara Indonesia, setelah hak milik Belanda Agresor itu dikembalikan, ialah: Pertama, upah buruh tetap rendah, seperti di zaman “Hindia Belanda”, Kedua, bea atas barang export tetap rendah dan Ketiga, cukai atas barang import tak bisa dipertinggi cukup. Ketiganya mengakibatkan sedikitnya uang yang dapat masuk ke dalam Kas Negara Republik. Sebagian besar daripada nilai lebih (surplus value, Morwert) yang diperas dari keringat pekerja Indonesia akan tetap mengalir keluar negeri, berupa bunga modal, keuntungan, asuransi, pensiun dan lain-lain, yang jatuh ke kantong rentenir (peminjam uang). Kapitalis industri, perkebunan, tambang, pabrik, perkapalan, Bank, asuransi dan perdagangan Asing. Semuanya mereka ini bebas dari tangannya pemungut pajak N.I.S
Keuangan Republik, yang daerahnya entah akan meliputi seluruh Jawa-Sumatera, entah tujuh daerah minus di Jawa Tengah saja, di tambah dengan Minangkabau dan daerah Aceh, yang keduanya, jauh terpencil dari Jawa Tengah dan bahkan pula daerah perindustrian atau perkebunan keuangan Republik, setelah pengakuan pengembalian Hak Milik Asing itu akan menjadi susut kecil, kalau tidak kocar-kacir, ialah hidup tidak, matipun tidak.
Kalau daerah Republik kelak tiada mau rapat dengan daerah lain seperti N.T.T, Borneo, Negara Jawa Barat dan lain-lain itu tak mau pula berdiri sendiri sederajat dengan beberapa Negara Boneka tersebut, melainkan bertentara merdeka, dan berkeuangan merdeka, maka keuangan Republik Merdeka semacam itu akan lebih dalam keadaan melarat lagi dari pada keuangan Tiongkok pedalaman, di mana semua pelabuhan Export-Import dan keuangan dikuasai asing. Akan lebih melarat pula dari keuangan Mexico, dimana tanahnya dimiliki oleh “Hasienderos” Indo Spanyol; tambah dan pengangkutan dimiliki oleh Amerika-Inggris; serta perdagangannya dikuasai oleh Jerman, Perancis dan lain sebagainya.
Dengan melaratnya keuangan, maka akan merosotlah pula pembayaran gaji kepada pegawai administrasi, kepada anggota polisi dan tentara Republik. Dengan merosotnya pegawai, polisi dan tentara itu, maka kelak janganlah “Pemerintah” Indonesia heran, kalau pemogokan, keributan dan coup d’etat dalam negara adalah kejadian sehari-hari, atau menurut pepatah Belanda, adalah “Schering en inslag”. Keadaan semacam itulah yang sudah diteropong lebih dahulu oleh kruidenier Belanda. Keadaan semacam itu, yang dapat merugikan, perusahaan dan perdagangannya di daerah Republik mau dihindarkan oleh Belanda dengan perjanjian “kerjasama” anara Tentara-Polisi Indonesia dengan Tentara-Polisi Belanda.
Tuntutan ini ada tuntutan yang cocok dengan “nuchter realiteit” ialah “nuchter realitiet”-nya kruidenier Belanda.
“Kerjasama” dalam perekonomian, urusan luar negeri, keuangan dan kemiliteran yang rapat antara tujuh (?) Negara Boneka, dalam N.I.S dan kerja sama antara N.I.S dan Nederland-Indonesia, dibawah Mahkota Belanda itu tentulah akan memerlukan kerja sama pula dalam kebudayaan.
Bangsa Belanda yang sudah rusak diinjak-injak selama 3 ½ tahun, di bawah telapak Jepang akan diangkat kembali dan diperjuangkan pula dengan Bahasa Indonesia, yang maju dibawah pemerintahan Jepang dan tumbuh dengan suburnya di masa Republik. Bahasa Belanda yang cuma dikenal oleh beberapa juta manusia yang berdiam lebih kurang 10.000 km jauhnya dari Indonesia itu,  kalau tidak akan menjadi bahasa voortaal, bahasa pengantar lagi, pasti akan mengambil bagian terpenting diantara beberapa bahasa asing, yang harus diajarkan di sekolah Indonesia. Sendirinya kebudayaan Indonesia kelak akan dipengaruhi kembali oleh semangat kruidenier, semangat jual-beli, semangat bercakaran perkara tetek-bengek dalam 1001 macam Partai politik dan semangat tunggang langgang, lari menyelematkan diri, kalau diserang oleh Negara Ceroboh:

Ikhtisar atas pandangan di atas ialah:
1.      Pengakuan atas pengembalian Hak-Milik dan Perusahaan Belanda Ceroboh, akan sendirinya membawa kepada pengakuan atas campur tangannya Belanda dalam urusan luar Negeri, keuangan, kemiliteran dan kebudayaan Negara Boneka atau setengah Boneka, yang dibentuk oleh imperialis Belanda dan disyahkan oleh Pemerintah Republik.
2.      Bentuk “Federasi” atau bentuk manapun juga bagi Indonesia, bentuk “Unie” atau bentuk apapun juga terlaksananya perhubungan Indonesia dengan Nederland, selama perekonomian masyarakat Indonesia, sebagian besarnya dan yang terpenting dikuasai oleh Belanda dan Asing-Lain, maka semua bentuk Pemerintahan Indonesia dan Perhubungan Indonesia itu, adalah pelaksanaan perhambaan politik Rakyat Indonesia kepada Kapitalis-Imperialis Belanda dan Asing lain (Amerika-Inggris).
3.      “Nuchtere Realiteit” buat Belanda dan kaki tangannya di Indonesia yang sebaik-baiknya, dan “Rencana Linggarjati dan Renville”.

Demikianlah pasal 7 dan 8 dari Perjanjian Linggarjati adalah akibat daripada pengakuan pasal 14, ialah pengembalian hak-milik dan Perusahaan Asing, seperti maksudnya Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 Nopember 1945.
Pasal 7 Ayat (3) Linggarjati berbunyi:
“Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu, ialah kerja sama dalam hal perhubungan luar negeri, pertahanan, seberapa perlunya keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan”.

Pasal 8 berbunyi pula:
“Dipucuk Persekutuan Belanda Indonesia itu duduklah Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan Kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh alat-alat kelengkapan persekutuan itu atas nama Baginda Raja!
Menurut sk. “Bakti”, 20 Nopember 1946, maka Presiden Sukarno, ketika memberi penjelasan tentang persetujuan Linggarjati di Kabupaten Garut tanggal 19 Nopember, menerangkan, bahwa, “Raja Belanda sama sekali tidak menyinggung kedaulatan pemerintah Republik Indonesia”, dan menegaskan pula, bahwa tidak ada satu artikel pun yang akan merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”.
Ada pula orang yang menafsirkan, bahwa Raja Belanda itu berlainan dengan Mahkota (Kroon). Menurut filsafat ini, maka istilah Raja itu mengenai dirinya sendiri saja, sedangkan istilah Mahkota itu berarti Raja dalam Sidang Menteri.
Tetapi menteri Yonkman dalam pidato di Parlemen seperti tersebut di atas tiadalah ragu-ragu tentang Kekuasaan Tertinggi, tentang kedaulatan Raja Belanda dalam persekutuan Nederland-Indonesia itu.

Kata Yonkman:
“Aan het hoofd van de unise staat volgens artikel 8 de koning der Nederlanden, aan wien volgens den toelichting van de commissie generaal Oppergezag werd opgedragen”.

Indonesianya:
“Menurut pasal 8 duduklah dipucuk pimpinan persekutuan (UNI) itu Raja Belanda, di tangan siapa, menurut komisi jenderal diletakkan kekuasaan tertinggi.

Belumlah cukup bagi “nuchtere realiteit” –nya kruidenier Belanda, kalau “rech dan bedrijfszekerheid-nya cuma dijamin oleh kekuasaan terpendam, yang terletak pada tiap-tiap “economy supremacy”, pada permarajalelaan Ekonomi saja! Mereka merasa perlu kembali mempergunakan politik manjur, terhadap sesuatu bangsa yang dikuasai. Politik devide et impera, politik mengadu dombakan golongan dengan golongan yang dikuasai, yang dengan berhasi dijalankan oleh bangsa Romawi, bangsa penakluk, terhadap beberap bangsa takluk, dalam beberapa abad lamanya diambil opper oleh Deuplex, seorang pemimpin penjajah Perancis di Hindustan, sebelumnya Inggris. Politik Deuplex inilah pula yang diambil oper oleh Inggris di “India Inggris” dan dengan jaya dipergunakannya sampai sekarang (Maret 1948). Belanda semenjak Jan Pieter Koen menjalankan politik semacam itu di kepulauan Indonesia selama lebih kurang 450 tahun.
Politik yang sudah terang kemanjurannya selama ratusan tahun itu, politik yang dapat dijalankan dengan halus dengan tiada memperlihatkan dalangnya itu, tiadalah begitu saja dilemparkan oleh Belanda, apabila dia mau memasuki masyarakat yang dikehendaki oleh Linggarjati dan Renville di Indonesia ini. Tendangan Jepang di perut disertai tinjunya di kepala Belanda, tiadalah dapat mengeluarkan akal bulus Belanda itu dari usus benaknya.
Dari pasal 1 sampai 7 sudah terselundup biji perpecahan Negara Republik Indonesia, yang merdeka 100% semenjak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu. Dengan pengakuan Republik yang merdeka 100% semenjak 17 Agustus itu, atas pembagian ‘de facto’ Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, Madura dan Indonesia sisa menurut pasal 1 Linggarjati ; dengan pengakuan ‘bersama-sama menyelenggarakan’ segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan demokrasi, yang berdasarkan perserikatan dan dinamai Negara Indonesia Serikat (pasal 2), oleh Republik, yang merdeka 100% dengan Negara Ceroboh dan bekas penjajah ; dengan pengakuan, bahwa bagian manapun juga dari Indonesia, yang merdeka 100% itu, menurut Linggarjati boleh bersama-sama dengan Belanda menentukan Kedudukan istimewa, terhadap negara Indonesia Serikat dan terhadap kerajaan Belanda (lihat pasal 3) ; dengan mengakui pula ‘haknya kaum penduduk daripada sesuatu bagian daerah ‘ mengatur kedudukannya dalam Indonesia Serikat itu dengan cara lain, yang tentulah lain daripada dasar kemerdekaan 100% dan cocok dengan caranya Belanda penjajah (pelajarilah pasal 4) dengan campur tangannya Belanda mengatur Undang-Undang Negara Indonesia Serikat (menurut pasal 5)....dsb....maka nyatalah benar maksudnya dan nyatalah pula terlaksananya maksud Belanda hendak memecah belah lebih kurang 4 ½ juta (empat setengah juta) mil persegi daerah tanah dan lautan Indonesia itu, antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu suku golongan dengan suku/golongan lainnya.
Sebermula, maka untuk menginsafi kelicikan politik memecah-belah dan kejayaan Belanda dalam perundingan diplomasi yang tergambar pada perjanjian Linggarjati itu perlulah kita lebih dahulu, mengadakan uraian yang agak lengkap, terutama tentang beberapa syaratnya sesuatu negara merdeka.
Ilmu Kenegaraan yang resmi, dalam mendefenisikan negara itu, cuma memajukan tiga syarat negara saja, ialah 1) Tentang daerah. 2) Tentang penduduk dan 3) Tentang pemerintah. Saya rasa disini perlu diadakan koreksi dan tambahan ! negara modern tak bisa hidup dengan aman, kalau cuma mempunyai tiga syarat itu saja. Saya rasa perlu dikemukakan sekurangnya tiga syarat yang lain : 1) Perindustrian. 2) Bahan logam yang mentah. 3) Geografis strategis, ialah tempat duduk yang penting untuk siasat perang dalam hal membela diri.
Tiongkok yang mempunyai penduduk yang terbesar di dunia, sebagai negara yang mempunyai daerah yang hampir sama luasnya dengan Amerika Serikat, yakni yang terkaya dan terkuat di dunia sekarang, Tiongkok yang mempunyai nasionalisme yang hidup dan persatuan yang kukuh kuat terhadap keluar, serta mempunyai rakyat yang rajin, berani, pintar dan berkebudayaan tua berumur 4.000 tahun. Tiongkok walaupun memiliki syarat seperti tersebut itu, teristimewa, semenjak 100 tahun di belakang ini cuma menjadi sasaran politik Imprialisme Asing saja. Perbedaan yang nyata antara Tiongkok dan Eropa ialah Tiongkok tiada mempunyai industri modern, untuk menggalang kemakmuran rakyatnya dan menggalang pembelaan kemerdekaannya.
Jerman yang melebihi tiap-tiap negara di Eropa dan Amerika dalam hal organisasi, ilmu teknik, perindustrian, persatuan, semangat perang, serta ilmu strategi, sudah dua kali menyerah dalam perang dunia, terutama disebabkan oleh kekurangan bahan mentah, ialah besi, minyak tanah, getah, timah dan lain-lain.
Tetapi negara Swiss walaupun cuma berpenduduk lima juta dan terdiri dari tiga bangsa dan tiga bahasa, tiada bisa ditarik ke dalam medan peperangan ketika dua perang dunia yang lalu, terutama pula lantaran letaknya yang baik buat siasat perang dan Swiss bermaksud hendak mempertahankan dirinya terhadap sembarang negara ceroboh disekitarnya.
Syahdan jikalau enam syarat diatas kita pakai untuk memeriksa keadaan Republik Indonesia, setelah Linggarjati dan Renville, maka kita akan tercengang melihat sudah sampai berapa persenkah merosotnya kemerdekaan 100% dengan penerimaan kedua perjanjian yang tiada berapa bedanya satu dengan lainnya itu.




Pertama tentang daerah

Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati, maka Republik akan menerima kasarnya lebih kurang 210.000 mil persegi tanah daratan. Kalau dibandingkan dengan luasnya tanah daerah “Hindia Belanda” dahulu, yang kasarnya lebih dari 700.000 mil persegi itu, maka daratan yang diterima oleh Pemerintah Republik menurut Linggarjati adalah lebih kurang 30%. Tetapi kalau diambil perbandingan tanah dan air, maka perlindungan itu menjadi kurang 225.000 mil persegi dengan 4.500.000 mil atau 1 (satu) dengan 20 (dua puluh). Jadi tanah air Republik merosot menjadi 5%. Saya mau sedikit optimis dalam hal ini dan andaikan saja Pemerintah pro Linggarjati mendapatkan 20% Tanah Air dengan diplomasinya. Tetapi dengan Perjanjian Renville hasil diplomasi berunding tadi sudah merosot lebih rendah lagi. Seoptimis-optimisnya orang, Tanah Air, yang dipegang oleh perjanjian Renville (menurut “de factonya”) tak bisa ditaksir lebih dari pada 2% (dua persen).

Kedua tentang penduduk

Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati Republik akan menerima kasarnya 50 juta penduduk. Ini akan berarti sedikit lebih daripada 70% penduduk. Tetapi dengan penandatanganan Renville dan langsung berdirinya atau akan berdirinya Empat (?) Negara Baru dalam Daerah Jawa-Madura-Sumatera sendiri, (ialah negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Barat, dan Negara Jawa Timur!) maka Republik akan meliputi paling mujurnya cuma 33% dari seluruhnya penduduk Indonesia. Saya mau menghitung secara mewah dan naikkan angka itu sampai 35%.
Ketiga, keempat, dan kelima, tentang perindustrian, bahan mentah dan strategi:
Tak ada salahnya kalau ketiga syarat itu diambil sekaligus saja! Syahdan, dalam perindustrian modern, maka dengan kebun, pabrik, tambang, pengangkutan, Bank asuransi berada di tangan asing; dengan bahan logam seperti minyak tanah, besi di Sulawesi dan Kalimantan, timah, bauksit, dan aluminium berada di luar kekuasaan dan milik bangsa Indonesia menurut Linggarjati dan di luar mata dan tangan bangsa Indonesia sama sekali menurut Renville, dengan semua tempat strategis buat perang di darat, di laut, dan udara, sama sekali berada di tangan asing, maka tiadalah saya merasa terlampau pesimistis, mengatakan, bahwa Republik cuma mendapat 1% (satu persen) buat masing-masing perindustrian, bahan logam mentah dan untuk pangkalan strategi, baik menurut Linggarjati ataupun Renville, selama berdasarkan pengakuan atas pengembalian hak milik Asing.
Jadi kalau kita menghitung menurut aritmatika (ilmu hitung) dalam lima perkara tersebut di atas sesudah memukul rata, menurtu Linggarjati kita akan memperoleh:
20+70+1+1+1  =  93 =  18 3 % 
           
            5                5            5
  
Saya mau sedikit optimis dan naikkan angka itu menjadi 20%. Tetapi menurut persetujuan Renville maka angka itu akan turun menjadi:
1+35+1+1+1  =  39 =  7  4 % 
                        5     
        5          5

Atau kasarnya adalah 8%.
Dengan memperoleh 20% kekuatan lahir, (material), ialah dalam hal daerah, penduduk dan perindustrian, bahan logam mentah dan kedudukan strategis, menurut Linggarjati dan cuma mendapatkan kekuatan lahir (material) itu, lebih kurang 8% menurut Renville, saya bertanya apakah kelak nasibnya “Republik” dalam N.I.S. dan UNI???
Sebenarnya pula perhitungan menurut aritmatika di atas masih terlalu optimis. Dialektiknya persaingan ekonomi dalam masyarakat Linggarjati yang berdasarkan kedaulatan kapital asing itu, dimana perekonomian Rakyat Indonesia akan segera merosot kepada keadaan di zaman “Hindia Belanda”; kekuasaan Belanda atas bahan logam mentah di daerah Negara Bonekanya, sedangkan Republik berada di dalam daerah minus, dalam hal makanan dan miskin dalam hal logam mentah; masuknya Belanda dalam Benelux dan ke dalam Blok Eropa Barat itu, serta besarnya kemungkinan, bahwa modal Amerika kelak akan dipakai untuk memajukan perkebunan dan tambang di negara Boneka dan  menarik Indonesia ke dalam lingkaran pertahanan Amerika di Pacific; kemudian berlangsungnya politik devide et impera Belanda berhubung dengan berdirinya enam negara Boneka melawan Republik dan campur tangan Belanda dalam segala hal, sehingga dalam hal ekonomi, politik, militer, sosial dan kebudayaan, Belanda akan bisa mengadakan perbedaan, bahkan pertentangan antara satu negara dengan negara lainnya....maka berhubung dengan semua itu, tiadalah sukar bagi kita meneropong ke depan, bila mana kelak sesudahnya waktu yang singkat, seluruhnya Rakyat Indonesia akan kembali kepada keadaan lama, ialah seperti kuda beban yang dikendalikan oleh Kapitalisme Asing.
Dengan semua kunci perekonomian, bahan mentah dan pangkalan strategi berada di tangan asing, serta dengan adanya berjenis-jenis Negara Boneka di dalam N.I.S. maka kelak akan mudahlah Belanda menjalankan politik devide et impera-nya terhadap salah satu negara, yang berlainan paham dengan kapitalist Belanda. Pertentangan dan percekcokan yang mudah sekali bisa ditimbulkan oleh imperialis Belanda, antara negara dan negara dalam N.I.S itu, kelak akan membutuhkan satu negara sebagai “wasit” yang lahirnya berupa pemisah dan berupa berdiri di atas semua negara bagian dalam lingkungan Kerajaan Belanda, tetapi dalam hakekatnya membela kepentingan pihak yang tertentu. Raja Belanda, yang tentulah dalam semua perkara penting akan memihak kepada kapitalis Belanda itulah yang menjadi “wasit”, yang memegang “Kekuasaan Tertinggi” di atas Nusa dan Bangsa Indonesia seluruhnya.
Persetujuan Linggarjati dan Renville mengembalikan kedudukan Asing di Indonesia dalam lapangan ekonomi dan memungkinkan kembali berlakunya politik devide et impera diantara daerah dan daerah Indonesia, suku dan suku,  serta golongan dan golongan diantara Rakyat Indonesia sendiri.
Seakan-akan tak ada 8 Maret 1942 dan Interneeringskamp buat Belanda dan tak ada pula 17 Agustus dan Proklamasi bagi rakyat Indonesia, maka Yonkman, di Parlemen, seperti disebutkan di atas tadi juga mengucapkan perkataan sebagai berikut:
“Het Koningkrijk der Nederlanden is onder gods zegen en dank zij Oranje, een schepping van het Nederlansche volk, En Nederland had daarin tot den Japansche occupatie, ook in Indonesia de leiding”.
“Thans bieden wij, den Indonesischen volkeren aan, het Koninkrijk samen te herbouwen, en aan het vernieuwde staatsverband Nederland, Suriname en de Nederlandsche Autillen en Indonesia, in een Unie vereeenigd,
door gemeenschapapelijke organen, waaring deze allen vertegenwoordigd zijn, leiding te geven".
            "In dit aanbod is de richtlijn gevolgd overeenkomstig de Koningklijke rede van 7 December 1942..."

            Indonesianya:
            "Kerajaan Belanda di bawah rahmatnya Tuhan, dan atas jasanya Oranye, adalah satu bikinan bangsa Belanda. Dan diatasnya (kerajaan) itu sampai pendudukan Jepang Nederland
memegang pimpinan: juga di Indonesia"
            "Sekarang kami anjurkan kepada segala bangsa di Indonesia membangun kembali Kerajaan Belanda itu, dan memberikan pimpinan kepada Staatsverband (ikatan kenegaraan)
Baru, yakni Nederland, Suriname, Antillen Belanda dan Indonesia, yang terikat dalam satu Unie dengan perantaraan Alat Kelengkapan Bersama, yang mewakii semua bagian itu" Dalam anjuran ini diikutilah garis tujuan (richtlijn) menurut pidato Ratu pada tanggal 7 Desember 1942..."
            Belumlah kapitalis imperialis Belanda merasa sentosa di Indonesia, walaupun dia dengan perantaraan Linggarjati sudah memperoleh Kekuasaan Tertinggi dalam ekonomi, kedaulatan dalam urusan politik, serta mendapat kesempatan yang leluasa sekali kelak menjalankan politik memecah belah antara beberapa Negara Boneka dalam Negara Indonesia Serikat.
            Pemeras penindas Belanda masih memerlukan jaminan yang lebih nyata lagi. Buat menantang kehendak dan tindakan MURBA di Indonesia, karena kelak akan diperas dan ditindas lebih kejam daripada yang sudah-sudah, maka Belanda merasa memerlukan satu tentara sendiri. Tentara ini pulalah yang dimaksudkan untuk menyambut Tentara Sekutunya di Indonesia, kalau sekali lagi Belanda terseret ke dalam kancah perang dunia. Dengan berdirinya Blok Eropa Barat antara 16 negara (Maret 1948) dimana termasuk juga Nederland dengan Beneluxnya, serta dengan bersekutunya pula Blok Eropa Barat ini dengan Amerika Serikat menentang Soviet Rusia, maka tentara Belanda di Indonesia ini akan menjadi alat senjata menentang musuh di dalam dan di luar negeri. Bukankah tentara Belanda itu buat
sementara waktu saja seperti impiannya kaum borjuis kecil di Indonesia ini.
            Kata Jonkman:
            "De toelichting, door de commissie-generaal op de artikelen 1 en 16 versterkt, wat betreft de positie der bezette gebieeden, bevestigd, dat de voorbereiding van de rechtsorde in Nederlandsch-Indie, gelijk overal ter wereld, op voldoende machtsmiddelen zal moeten steunen en dat niet tot verzwakking of vermindering daarvan zal mogen worden overgegaan, voordat de waar orgen eener rechtsorde aanwezig zijn. Dit is ook het stellige standpunt der Regeering.

            Indonesianya:
            "Keterangan Komisi Jenderal atas pasal 1 dan 16 tentang posisinya Daerah Pendudukan, mengesahkan pula, bahwa persiapan untuk Rechtsorde (Keterlibatan Hukum) baru di "Hindia Belanda", seperti di mana-mana di dunia ini, haruslah bersandarkan kepada Alat Kekuasaan, yang cukup, dan tiadalah boleh alat kekuasaan itu diperlemah atau dikurangi, sebelumnya ada jaminan bagi ketertiban umum baru itu. Inilah pulah sikap
pemerintah (Belanda) yang tegas".
            Dengan jaminan yang sudah terlalu pasti itu untuk sesuatu Penjajah modern dalam hal perekonomian, politik dan kemiliteran, Belanda belum lagi merasa puas. Pasal 13 Linggarjati menetapkan pula, bahwa pemerintahan Nederlandlah kelak yang akan mengambil semua tindakan, setelah persekutuan Belanda Indonesia kelak berdiri, "supaya dapatlah negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggota UNO".
            Dalam prakteknya ini akan berarti, bahwa kalau kelak Belanda sendiri tak sanggup mempertahankan pemerasan dan penindasannya terhadap Rakyat/Murba Indonesia, maka Belanda akan meminta bantuan kepada konco-konconya, ialah semua wakil Negara Kapitalis Imperialis di dunia, yang merajalela di dalam UNO dan yang dengan mati-matian mempertahankan pemerasan dan penindasan dijajahannya  masing-masing!
            Demikianlah kedua Delegasi Indonesia dan Belanda "oleh karena" menurut mukadimahnya persetujuan Linggarjati keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia; dengan mengadakan cara dan bentuk bangun yang baru, bagi kerjasama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus dan sebagaimana dengan ketentuan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran, daripada
majelis-majelis perwakilan rakyat masing-masing..."..
Semua perkataan yang molek-molek ini dalam hakekatnya adalah satu pertolongan kepada Nederland, yang sedang terombang-ambing di atas gelombang kekalahan dan kemelaratan
untuk menaikkan Belanda kembali ke atas bumi Indonesia, sebagai "basung kemakmuran Belanda"...." op de kurk, waarop Nederlands welvaart drijft".
            Tentang Turunan Raja Loderwijk XVI, yang kembali ke atas tahta Kerajaan Perancis, sesudahnya Revolusi Perancis dan Kerajaan Napoleon berlaku, De Tallyrand mengatakan: "Zij leren niets en vergeten niets". Demikianlah pula Belanda, tiada mempelajari dan tiada pula melupakan sesuatupun dari pengalamannya yang pahit selama lebih dari empat tahun.
            Kecongkakan dan kekerasan kepala Belanda itu ternyata sekali dalam perdebatan di parlemennya, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati pada pertengahan bulan Desember 1946 dan ternyata pula dari suara Belanda terkemuka di luar Gedung Parlemen.
            Prof. Romme, pemimpin Katholieke Volksparty, mengemukakan, dalam Gedung Parlemen Nederland, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati tersebut diantara lain-lainnya, seperti berikut:
            "Allerlei gevoelige argumenten speelden hierbij een rol, maar na overleg aan alle zijden, na uitgebreide correspondentie, en na uran van eenzame over-peinzing, ben ik
tot de overtuiging gekomen, dat overeenkomst van Linggarjati in overeenstemmin is met de belangen van het Koninkrijk".
"----dat Nederland en Indie niet gescheiden kunnen worden"."Het gezag in indonesie in weer aan overgedragen. Wij beschikken in Indie over zooved macht, dat wij ons gezag zouden kunnen herstellen".
"---mar wij moeten dan ook begrijpen, dat de 100% merdeka een utopie is en dat geen enkel volk 100% merdeka. Deze eisch van 100% merdeka is voortgekomen uit overspannen nationalisme".

            Indonesianya:
            "Dalam hal ini, maka bermacam-macam alasan yang berupa perasaan, mempermainkan lakonnya, tetapi setelah meninjau dari semua sudut, setelah mengadakan korespondensi yang luas, dan sesudahnya berjam-jam merenungkan dalam kesunyian, maka saya sampai kepada keyakinan, bahwa Persetujuan Linggarjati adalah cocok dengan kepentingan Kerajaan".
            "----bahwa Nederland dan Hindia tidak bisa dipisahkan".
            "Kekuasaan di Indonesia sudah dikembalikan (oleh Linggarjati! Penulis) kepada kita. Di Hindia kita memegang kekuasaan (Militer! Pen.) sehingga kita akan dapat mengembalikan kekuasaan kita ini".
            "Tetapi kita juga haru mengerti, bahwa kemerdekaan 100% adalah suatu impian dan tak ada sesuatu bangsapun yang mengenal kemerdekaan 100%. Tuntutan kemerdekaan 100% itu lahirnya dari nasionalisme yang terlalu meluap".
Ketika diundang oleh Komisi Mahasiswa untuk Daerah Seberang di Groningen, maka menurut ANETA, bekas anggota Volksraad, Feuilleteau de Bruvn mengucapkan sebuah pidato yang berkepala: "Doodsklek klopt over ons Koninkrijk (Genderang kematian berbunyi di atas kerajaan)".
            Di sini de Bruyn mengulangi perkataan Komisi Jenderal Van Poll, yang berbunyi:
            "Indien het spaak loopt en de Republiek haat verplichtingen niet nakomt, zullen wij erop slaan" (Kalau gagal, dan Republik tiada menepati kewajibannya, maka kita lihat akan menggempur!) Menurut ANETA juga dari Den Haag (lihat DAGBLAD 17 Desember 1946), maka bekas Perdana Menteri Mr. P.M.Gerbrandy bersama-sama dengan bekas Menteri C.I.M. Welter, seorang Belanda yang bermodal besar di "Hindia Belanda" serta Jenderal Bajetto, sudah membentuk satu Komite Nasional bernama "Ter Handhaving van de Rijkseenheid" yang bermaksud menentang Persetujuan Linggarjati. Salah satu daripada 6 dasar yang dimajukan oleh Komite itu berbunyi: 2. "De handhaving van de Rijkseenheid, in de eerste plaats uitgedrukt in het reeele gezag van de Kroon, is een noodzakelijke voorwaarde in de regeling van de Indische kwestie".
           
Indonesianya:
            2. "Kesatuan Kerajaan, yang pertama sekali ditegaskan oleh Kekuasaan Mahkota yang nyata, adalah jaminan yang mutlak dalam penyelesaian soal Hindia".Sampai pula "Pahlawan" Belanda bekas komandan Tentara Mobil Letnan Jenderal Jonkeheer W. Roell, melompat ke depan radio dan berkata, bahwa dia dengan sengaja memakai perkataan
"Nederlans Indie" buat menentang perkataan "Indonesia". Dia berpendapat, bahwa jika Persekutuan Belanda Indonesia terlaksana, maka "Nederland akan jatuh melarat", serta
"Zending dan missie akan tak berarti lagi, kalau tidak akan rusak binasa" dan Bangsa Indonesia akan pecah-belah. Dia menutup pidato radionya dengan pandangan dan anjuran kepada bangsa dan golongan di Nederland seperti berikut:
            "De politiek van de commissie generaal leidt Nederland naar den afgrond en Nederlandsch Indie tot de chaos" "Houdt tct het uiterste stan tegen deze plannen: thans bovengronds, doch Indien de gevaren van het vaderland die van 1940 tot 1945 evenwaren of overtreffen, "als het moet" ook ondergronds".

            Indonesianya"
            "Politiknya Komisi Jenderal membawa Nederland ke dalam jurang dan membawa "Hindia Belanda" kepada kekacauan".
            "Lawanlah Rencana (Linggarjati) itu sampai nafas penghabisan: Kini di atas tanah, tetapi kalau bahaya yang mengancam Vaderland (Negeri Belanda) menyamai atau melebihi tahun 1940 sampai 1945" kalau perlu juga "di bawah tanah".
            Yang sedikit ada mengikat dan mengambil pelajaran dari Sejarah Belanda dalam empat tahun belakang ini, dan rupanya sedikit insyaf akan kesalahan dan kelemahan diri sendiri, serta sedikit mengerti akan idaman, sikap dan tindakan Rakyat Indonesia, ialah Prof. Logemann,bekas Menteri Seberang Lautan.
            Walaupun penulis ini sendiri tentulah dan semestinyalah sama sekali tiada setuju dengan Perjanjian Linggarjati itu, tetapi untuk memberikan pandangan Belanda dari beberapa penjuru, yang sangat mempengaruhi masyarakat Belanda, maka baiklah juga saya hidangkan di sini pendirian seorang Belanda, yang membela Persetujuan Linggarjati.
            Tentang pidatonya Prof.Logemann di Riviera Hall Rotterdam, maka sk. Dagblad, 16 Desember 1946, antara lain melaporkan:
            "Wij hebben niet het recht om onze maatstaven aan te leggen voor het bepalen van deze rijpheid".
            "Sommigen zijn van meening, dat reeds voor den oolog de koloniale mentaliteit aan het uitsterven zou zijn geweest. Dit is "onwaar" aldus Prof. Logemann die zeide, dat de koloniale mentalitiet zich juist ini Nederland heef uitgegraven en niet over het doode punt heen wenscht to stappen.
            "Tijdens den oorlog is de bevrijdende geste van de regeering uitgebleven".
            "In de overeenkomst van Linggarjati is zeker veel afkeuringswaardigs en onrustwekkends, doch een gewelddadig optreden zou "de" fout van het oogenblik zijn".
            "Nederland is niet machtig genoeg om de Republiek te verslaan".
            Spreker (Prof. Logemann) wilde niet ontkennen, dat er een zekere gezagswakte aanwezig is in de republiek, maar hij acht desniettemin het accoord de eenige oplossing".

            Indonesianya:
            "Kita tiada berhak untuk meletakkan ukuran kita tentang masaknya (Rakyat Indonesia untuk Kemerdekaan!)".
            "Beberapa orang berpendapat, bahwa sebelumnya perang, maka semangat kolonial itu sudah lenyap. Ini tidak benar" kata Longemann, yang mengemukakan, bahwa justru di Nederland, semangat kolonial itu sudah mendalam dan tak mau keluar dari pendamannya itu.
            "Selama perang, maka semangat Pemerintah untuk memerdekakan itu tiadalah ada".
            "Dalam Persetujuan Linggarjati memangnya banyak yang harus dicela dan menggelisahkan, tetapi dengan kekerasan adalah "kesalahan" besar pada saat ini".
            "Nederland tiadalah cukup kuat untuk mengalahkan Republik".
            "Prof. Logemann tak mau menyangkal, bahwa ada kelemahan-kekuasaan pada Republik, tetapi walaupun demikian, dia menganggap persetujuan itu sebagai satu penyelesaian yang harus diterima".

            Ketika mengupas revolusi Indonesia, dalam Parlemen maka Prof. Logemann menjelaskan sebagai berikut:
            "Dat het wezenlijke probleem niet word gevormd door het herstel van recht en veiligheid; het wezenlijke problem is dieper en ernstiger, netgeen ook blijk uit het feit, dat de
toestand in de Malino-gebieden zoo labiel blihjft. Het werkelijjke probleem is: het vinden van een heel nieuwe gezags legitimatie, dit in sociaal psychologischen zin bedoeld".
            "Linggarjati moet worden gezien als een act van pacificatie, welke de kloof van wantrouwen over brugt. Dat is het grondprobleem dat eerst moet worden opgelost en daartoe
leant zich dit ontwerp accoord".
            "Voorts wordt de internationale langstelling eeningszins terzijde geschoven en krijgt ons beleid van vaste richting". (DAGBLAD 18 Desember 1946).

            Indonesianya:
            "Bahwa yang sesungguhnya bukanlah perkara pengembalian Hukum dan Keamanan: soal yang sesungguhnya lebih dalam dan ebih sukar, yang juga ternyata dari bukti, bahwa keadaan di daerah Malino, tiadalah tetap. Soal yang sesungguhnya ialah: mendapatkan "gezags-legitimatie (Kekuasaan yang syah) yang baru sama sekali, yang mengenai kejiwaan dan pergaulan".
            "Linggarjati mesti dipandang sebagai Acte van Pacificatie (Aturan Perdamaian) yang melintangi jurang kecurigaan.
            Inilah yang soal pokok, yang harus diselesaikan lebih dahulu, dan buat ini naskah persetujuan adalah baik sekali".
            "Seterusnya maka "Internationale belangstelling" (perhatian dunia) akan tersingkir dan beleid kita mendapat tujuan yang pasti. (DAGBLAT 18 Desember 1946)

            Sekianlah Prof. Logemann

            Pertama, Prof. Logemann, rupanya insaf benar, bahwa "veroveringsrecht" Belanda (hak merampas negara lain), pada 8 Maret 1942 sudah dibatalkan oleh "Hak merampasnya" Jepang. Dan hak merampas dari kedua imperialis tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah dibatalkan pula oleh hak mutlak bangsa Indonesia atas kemerdekaannya 100%. Sebab itulah, maka oleh Prof. Logemann, Linggarjati itu dianggap sebagai penerusan "Gezags-Legitimatie" Belanda, yang sudah terputus di Indonesia selama 3 1/2 tahun. Dengan demikian,  maka menurut Prof. Logemann, selesailah sudah soal continuiteit pemerintah
"Hindia Belanda yang sudah berumur 350 tahun itu. Dan kembalilah dengan segala kemegahannya "Historisch recht" Belanda, yang sudah dibatalkan oleh Jepang selama 3 1/2tahun dan oleh bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Jepang semenjak 17 Agustus 1945.
            Kedua, Prof. Logemann. Juga insaf benar, bahwa selama di sekitar kebun, tambang, pabrik dan pengangkutan masih saja berkeliaran "kaum extremis" dengan "bambu runcing"-nya maka saat berbahayalah bagi "tuan besar" Belanda masuk dan pulang pergi ke tempat pekerjaannya. Linggarjati-lah pula yang dimaksudkan sebagai sesuatu perjanjian yang sebaik-baiknya buat menjelmakan kembali "kaum extremis" itu menjadi kaum opas, kuli dan jongos.
            Itulah yang dimaksudkan dengan perkataan "acte van pacificatie", ialah satu aturan untuk perdamaian dan ketertiban seperti di zaman "Hindia Belanda" dahulu.
            Ketiga, Prof. Logemann mungkin sekali berpendapat, bahwa selama dunia luar memandang perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu usaha membela hak mutlaknya, ialah kemerdekaan 100%, maka selama itulah pula dunia luar, sekurangnya dalam hati kecilnya memandang Belanda sebagai negara ceroboh, Negara Agresor. Selama itulah pula, simpati dunia yang adil tertumpah pada bangsa Indonesia. Buat menghindarkan "internationale belangstellig" (perhatian dunia luar) yang menurut Belanda amat berlebihan itu, haruslah perjuangan  di Indonesia, dibawa kepada suasana kerjasama antara Belanda dengan Indonesia,kepada perkara urusan rumah tangga saja, kepada soal "internal-affairs" atau "interneaangelegenheid" semata-mata. Menurut Prof. Logemann, maka persetujuan Linggarjati  tepat sekali menggambarkan suasana yang dikehendakinya itu.
            Tetapi "heethoofden", kepala batu diantara militeris dan Kapitalis Belanda, seperti terbukti oleh catatan yang kita lakukan di atas tadi, sama sekali tiada setuju dengan perjanjian semacam Linggarjati itu. Mereka mau mengembalikan "Nederlansch Indie" dengan sedikit perubahan, yang cocok dengan kepentingan dan paham mereka sendiri.
            Desakan militarist dalam kapitalist Belanda atas lunak-moderate seperti Prof. Logemann, yang setuju dengan Linggarjati di Nederland itu, terlaksana di Indonesia lebih
kurang sejajar dengan desakan Van Mook dan Spoor atas Prof. Logemann, pencipta Linggarjati.
            Didorong oleh kepentingan kapitalis-militarist di Nederland, maka oleh Van Mook Spoor Perjanjian Linggarjati itu cuma dipakai sebagai "batu loncatan" ke atas "Rijkseenheid-nya" Berbrandy-Welter, Bajetto. Buat para "diplomat" Indonesia, maka sesuatu perjanjian itu harus dianggap sebagai satu persetujuan, yang harus dijalankan dengan penuh perasaan khidmat, "goodwill", "good faith" dan "pri-kemanusiaan". Buat Van Mook-Spoor perjanjian dengan "inlanders" itu adalah secarik kertas buat dirobek-robek, apabila masanya sudah datang.
            Belum lagi reda sorak-sorainya para pengikut "diplomat ulung" setelah mendapatkan secarik kertas bernama Perjanjian Linggarjati. (en een kindderband is gauw gevuld) maka datanglah berita, yang agak mendinginkan kegembiraan golongan diplomasi tadi, ialah berita tentang "interpretasi" (tafsiran) Jonkman.
            Seakan-akan ada perbedaan antara kepentingan kapitalis, militaris Belanda dengan tafsiran terhadap kepentingan itu sendiri!!
            Mulanya para "diplomat" menolak berunding menurut tafsiran Jonkman. Tetapi dan disinilah pula terletaknya keulungan diplomasi Indonesia itu!! menolak bukannya berarti
membatalkan! Menolak cuma berarti menunda. Apabila umum sudah agak lupa, maka diplomasi berunding dengan musuh bersenjata di dalam rumah kita dan sudah berkali-kali terbukti tiada boleh dipercaya perkataan dan perjanjiannya itu, diteruskan kembali. Pun sebelumnya perundingan itu dilakukan dengan resmi, perundingan yang "tidak resmi" dijalankan juga.
            Van Mook bekerja terus dengan "overwerk". Dengan keuletan Belanda, dia terus melakukan usaha apa yang cocok dengan pengembalian "Nederlands Indie" dan yang bertentangan dengan tulisan dan lisan Linggarjati. Konperensi Malino dan Denpasar berjalan dengan tak ada gangguan atau hambatan yang
 berarti dari pihak Republik.

            N.I.T DIBENTUK! RAKYAT GELISAH!

            Pemerintah Republik memprotes! tetapi percaya terus kepada Linggarjati! Masih tetap taat kepada semangat "goodwill" sendiri dan "pri-kemanusiaan" yang tidak dibalas dengan "pri-kemanusiaan" oleh pihak lain.
            40.000 (empat puluh ribu) penduduk di Sulawesi Selatan, laki-perempuan, tua-muda, kanak-kanak, dan bayi disembelih dengan mata terbuka oleh serdadu Belanda ialah untuk mempertegakkan N.I.T, yang dibentuk oleh Belanda menurut kemauan kapitalis militaris Belanda!
            Walaupun begitu, para diplomat Indonesia, masih saja patuh taat kepada Linggarjati, kepada "goodwill" dan "pri-kemanusiaannya"! Perundingan terus saja dilakukan dengan maksud melaksanakan Linggarjati.
            Bogor diambil Belanda, pegawai Republik ditangkap, disiksa, Wakil Wali kota ditembak, seperti menembak celeng di hutan! Mojokerto dengan gulanya ribuan ton dirampas! Semuanya itu tiada membelokkan "diplomat" Indonesia dari jalan menurun menuju ke lembah penjajahan menurut tafsiran kapitalis militaris Belanda.
            Infiltrasi, yang berlaku dalam semua badan pemerintahan, kemiliteran dan dalam kabinet sendiri, dijalankan oleh pemerintah Belanda dengan hasil yang gemilang. Semua akibatnya infiltrasi terasa benar dimana-mana, walaupun mereka yang diselundupkan oleh Belanda itu tidak selalu dikenal rakyat (lima serangkainya s.k. Murba)
            Dalam urusan ekonomi, maka blokade terus dilakukan oleh Belanda terhadap perdagangan Republik dengan negara luar. Kecuali beras yang "dimaksudkan" oleh "diplomat" ulung, sebagai "pelor" yang menerobos blokade Belanda kecuali beras yang dengan macam tipu muslihat, dapat dibelokkan oleh Belanda ke semua kota yang didudukinya yang  menderita kekurangan makanan dimasa itu, maka semua barang-barang lain dilarang keluarnya oleh Belanda.
            Di samping itu Belanda merampas barang bikinan rakyat, selama pendudukan Jepang, seperti gula, karet, kopra dan lain-lain dan menjual barang tersebut di pasar dunia untuk
mendapatkan deviezen. Dengan deviezen itu, maka Belanda dapat memperkuat tentaranya yang terus berusaha memperbaiki kedudukannya dan menunggu saat, yang baik buat melanjutkan rencana agresinya yang pasti itu.
            Uang Republik O.R.I kalau dibandingkan dengan harga beras, maka pada permulaan keluarnya 15 sen O.R.I dapat membeli 1 L beras. Sekarang (Maret 1948), baru enam rupiah ORI dapat membeli beras sebanyak 1 L juga. Dengan ukuran praktis seperti itu, maka dalam waktu setahun lebih saja, nilai ORI di pedalaman saja sudah merosot 40 kali atau 400% dari nilai semula.
            Di daerah pendudukan Belanda, maka ORI yang mulanya jauh lebih tinggi harganya daripada uang Nica (Rp. 1 (ORI) = f. 33 1/3 (NICA). Sekarang menurut kedaulatan rakyat tanggal 13 maret 1948, Rp 100,- (ORI) = f.6 (NICA). Jadi merosot 528 kali atau 52.800 %. Merosotnya itu tidak saja disebabkan oleh semata-mata hukum ekonomi, yakni terutama karena barang dagang semakin kurang, di samping uang kertas semakin banyak, tetapi juga lantaran anasir psichologis, kejiwaan, karena kurang percayanya para saudagar atas keteguhan jaminan ORI; karena anasir politik, ialah merosotnya derajat Republik di mata dunia dagang; sebab berlakunya "pemalsuan" uang di daerah pendudukan serta akhirnya lantaran tipu muslihat yang lain, yang dijalankan oleh musuh dari daerah yang didudukinya
(melenyapkan uang kecil yang banyak diperedarkan oleh rakyat dan pedagang kecil di pasar-pasar) dan karena tipu muslihatnya kaum penukar uang (money changers!) di kota pendudukan.
            Di samping pemalsuan perjanjian Linggarjati; pemalsuan, politik, blokade, dan infiltrasi, yang dilakukan oleh Belanda dari daerah pendudukannya, sambil terus membentuk negara Boneka, maka Belanda terus menerus mengirimkan tentaranya dari Nederland ke Indonesia.
            Ketika "cease fire" yang pertama dilakukan, dalam bulan Oktober 1946, maka sebenarnya Inggris sudah didesak ke pinggir oleh perasaan umum di luar; di desak oleh keadaan yang membahayakan bagi dirinya "India-Inggris", Birma dan lain-lain; didesak dari dalam oleh rakyat Indonesia yang dengan bambu runcing-nya merebut senjata Gurka dan menyebabkan serdadu Gurka menyerah besar-besaran (Medan, Jawa Barat dll). Sebagian Rakyat Amerika, Rakyat Hindustan-Pakistan,serta sebagian rakyat Inggris sendiri sudah menuntut ditariknya kembali tentara Inggris dari Indonesia, dimana rakyat sudah mempergunakan hak mutlaknya menurut Atlantic Charter dan lain-lain itu. Tetapi pada masa itu Belanda sama sekali belum siap dengan tentara kolonialnya. Maka berhubung dengan saat
Inggris harus pergi, tetapi Belanda belum siap, maka Perjanjian Linggarjati, yang didahului oleh "cease fire" itu adalah satu saat buat "adem pauze"nya Belanda, tetapi sesuatu obat bius buat melalaikan dan menidurkan rakyat atau pemuda serta Tentara/Laskar Indonesia.
            Dalam keadaan demikian, bilamana Belanda, sehari demi sehari bertambah kuat dan kaum diplomasi sehari demi sehari pula semakin ditinggalkan oleh para pengikutnya dan ditentang oleh kaum oposisi, maka Belanda makin mendesak, makin mendorong perjanjian Linggarjati kepada tafsirannya kapitalis imperialis Belanda.
            Akhirnya hampir tercapailah olehnya lima persetujuan! Menurut tafsiran saya sendiri, maka lima persetujuan itu haruslah disusun seperti berikut: 1) Pengakuan atas pasal 14 Linggarjati, ialah pengembalian hak milik asing dan pengakuan atas hutang "Hindia Belanda". Ini mengakibatkan pengakuan 2)ialah kerja sama dalam urusan duane, onderneming, deviezen, dan makanan. Kedua pengakuan tersebut berakibat pula pada
pengakuan 3) Ialah pengakuan atas Mahkota Belanda. Sendirinya harus diakui pula perkara 4) Ialah penyesuaian status Indonesia itu dengan urusan Luar Negeri, berhubung dengan pengakuan atas Mahkota Belanda itu. Dalam hakekatnya maka pengakuan 5) Ialah gendarmeri bersama, adalah sendirinya pula akibatnya daripada pengakuan atas kedaulatan yang diletakkan pada Raja Belanda menurut 4) di atas, dan cocok dengan pasal 8. Persetujuan Linggarjati.
            Baik juga dikatakan disini, maka pengumuman resmi menyusun 5 titik pengakuan sebagai berikut:
            1. Pengakuan atas Mahkota Belanda; 2.Penyesuaian pengakuan Mahkota Belanda; 3.Kerja sama salam urusan Duane, Ondevneming, Deviezen dan makanan; 4.Pengakuan atas Pasal 14 Linggarjati; 5.Gendarmerie bersama. Sebenarnya dengan pengakuan empat perkara penting saja itu, Kedaulatan Republik sudah hilang sama sekali. Sesungguhnya pula dengan pengakuan seperti itu Belanda sudah dapat meminjam uang ke Wall-Street, New York. Tetapi karena Belanda, seperti biasa terlampau serakah, maka ia hendak mewujudkan kepastian "formeel". Berhubung dengan keserakahan-nya itulah, maka ia mendesak supaya juga "gendarmery-bersama"-pun harus lebih dahulu diakui hitam di atas putih.
            Diplomat "ulung" pun tidak berani membenarkan "gendarmery-bersama" itu terang-terangan terhadap Rakyat/Pemuda dan kaum oposisi, yang terasa pengaruhnya dimana-mana.
            Demikianlah, maka diplomasi berunding menjadi gagal, dan Belanda mendapat alasan, untuk memakai saat, yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu. Dengan tentara, yang jauh lebih kuat daripada masa "cease fire", Oktober 1946, maka pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba menyerbu ke daerah Republik, Rakyat/Pemuda, tentara/laskar, yang sudah dinina bobokan oleh diplomasi berunding selama satu tahun setengah, sudah banyak kehilangan keawasan, ketangkasan dan kegembiraan berjuang serta semangat berorganisasi.
            Sebagian dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dahulu berbulan-bulan dapat dipertahankan oleh rakyat/pemuda terhadap serangan Inggris yang dibantu oleh Jepang dan Belanda, hilang dalam waktu dua minggu saja.
            Pada saat inilah, datang UNO dan berhasil menyodorkan KTN ialah wakil dari tiga negara Imperialis, yang berusaha keras bagi kepentingan Negara Imperialis atas dasar Kapitalisme-Imperialisme pula.
            Mereka berhasil mendapatkan perjanjian "Renville" dari P.M. Amir Syariffudi dan dalam segala-galanya jauh lebih merosot daripada perjanjian Linggarjati lebih jauh pula mendekat kepada status "Rijkseenheid" ciptaan Gerbrandy, Welter, Bajetto, dan lain-lain.
            Belum lagi kering tintanya penanda tanganan "Renville" ini maka Van Mook-Spoor, di depan algojo daripada suatu badan perantara, mulai pula menjalankan rencana yang sudah siap dan tetap itu.
            Konferensi demi konferensi terus dilakukan Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat dan Negara Jawa Timur sudah hampir selesai. Negara Sumatera Selatan sedang dibentuknya.
            "Kantong" di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang diduduki oleh 35.000 tentara Republik, jadi yang sebenarnya adalah tempat yang paling baik buat taktik dan strategi gerilya, dan sudah berbulan-bulan tak dapat direbut oleh Belanda, tetapi dengan "badan perantara" bernama KTN begitu saja dikosongkan oleh Republik.
            Demikian empat negara Boneka Baru di Jawa dan Sumatra begitu saja "zonder slag of stroot", dengan tiada perjuangan apa-apa ditinggalkan oleh 35.000 Pahlawan Republik, yang "taat" pada perintah! Dengan begitu, maka kurang lebih 30 juta rakyat di Jawa dan Sumatra, semenjak pengosongan "kantong" itu, terserah pada PID serdadu dan algojo Belanda.
            Terserah pula pada pemuda, wanita dan gadis Indonesia ke bawah penjagaan PID, serdadu dan algojo Belanda itu.
            Akan kembalilah kelak pasal 135 bis en ter, pasal 161, exorbintante rechten dan lain-lain aturan Belanda, yang akan mengekang persurat-kabaran bangsa Indonesia, rapat inlanders dan kumpulan politik "bumi putera" (Maret 1948).
            Setelah kelak semua persurat-kabaran, organisasi politik, dan semua penyiaran paham dengan tulisan dan lisan sudah dikekang kembali oleh PID Belanda, maka akan sampailah
kelak Belanda kepada saat, bilamana dia sendiri akan mengizinkan mengadakan "plebisit" atau buat menetapkan sendiri, bahwa tak perlu diadakan "plebisit" itu sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar