Kamis, 07 April 2016

Buku Satu



DAFTAR ISI
       

Pengantar Penulis
Daftar Isi



Perjuangan Dua Kodrat
Human Right (Hak Manusia)
Hak Perlindungan diri
Kepastian Undang-Undang
Pulang ke Indonesia
Di Deli
Semarang Kota Merah
Tangkap Buang I
Menjelang Filipina dan Canton
Bagaimana Halnya Alat Cetak
Filipina
Tangkap Buang II
Kemana



















Pengantar Penulis

Banyak sudah teman seperjuangan di luar dan di dalam penjara yang mengusulkan, supaya saya menuliskan sejarah hidup saya. Katanya, agar pengalaman-pengalaman yang sudah saya dapatkan boleh dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan.
Baru sebulan-dua yang lampau saya putuskan menerima usul itu. Sebelumnya itu saya tiada memandang perlunya yang diusulkan tadi. Alasan pertama ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun naik, ialah penuh dengan “up and down”, yang mengandung lebih banyak “down” dari pada “up”, bukanlah suatu pekerjaan yang dapat disambilkan begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri saya sendiri. Kehilangan kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah tempat kian-kemari tak tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan “disita”, dijadikan alasan ini dan itu sebagai bahan fluister-campagne lawan yang tidak fair. Karena pertimbangan-pertimbangan yang demikian ini, maka mulanya sejarah saya hendak saya serahkan kepada sang sejarah sendiri.
Tetapi setelah di penjara Magelang saya mendapat sel yang sunyi senyap tak bercampur dengan para tawanan lain, dan mendapat kertas, potlot dan meja buat menulis, maka timbullah pikiran untuk menulis, meskipun buat “mengisi waktu” saja.
Mulanya saya hendak meneruskan tulisan saya tentang ASLIA, yang sudah mulai ditulis pada tahun 1942 di Jakarta. Tetapi karena kopynya tidak saya pegang sendiri dan bahan statistik yang amat penting berhubung dengan ekonomi dan lain-lain entah dimana pula tersangkutnya bersama kopy ASLIA itu, maka saya terpaksa menunda terus pekerjaan yang lima tahun lampau telah saya mulai. Demikian sendirinya sasya terpaksa menuliskan beberapa peringatan ini.
Jadinya yang saya tuliskan disini bukanlah sejarah hidup dalam arti kata yang sebenarnya. Bukanlah sejarah hidup yang biasa ditulis menurut tarikh dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa, dari masa pendidikan sampai masa bekerja buat masyarakat, yang biasanya tepat digambarkan oleh nama buku “Life and Work”, atau “Hidup dan Pekerjaan”. Tetapi tiada pula saya menuliskan sesuatu yang tiada mengandung sejarah, ialah yang bukan sejarah hidup saya.
Apa yang saya tuliskan kelak boleh dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya, tak lebih dan tak kurang, oleh ahli sejarah. Beberapa orang yang namanya saya ajukan di sini, kelak boleh dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan. Kalau tidak cocok benar, bukanlah terletak pada kemuauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau sifatnya memory, ialah peringatan.
 Cuma apa yang dituliskan itu hanya sebagian saja daripada sejarah hidup saya. Bagian itu saya anggap bukan bagian yang kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya melakukan hasrat kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bagian hidup itu saya pusatkan pada beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah sekitar tiap-tiap penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap-tiap penjara itu diterangi oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya saya masuk penjara.
Demikianlah berturut-turut saya riwayatkan sebelum, sedang dan sesudahnya saya dipenjarakan di Hindia Belanda, Filipina, Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi dua jilid. Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia Belanda dan Filipina.
Usaha saya menjalankan kewajiban menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan diri saya sendiri nyata mendapat halangan keras dari Imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris. Bagi saya hal itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya saya merasa gembira menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di mata Imperialisme Internasional. Saya percaya pula, jika kelak semua halangan itu sekali terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai, maka pada saat itu akan terjaminlah kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat Indonesia yang merdeka itu. Semua kodrat lahir dan bathin yang dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan semua halangan itu, kelak akan menjelma menjadi kodrat pembangun dan pelindung dalam segala-galanya. Semakin banyak kodrat itu diperlukan dan diperoleh, semakin teguh jaminan buat hari depannya rakyat Indonesia.
Buku ini saya beri nama “Dari Penjar ke Penjara”. Memang saya rasa ada perhubungan antara Penjara dengan Kemerdekaan sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita “Kehilangan Kemerdekaan diri sendiri”.
Siapa ingin Merdeka harus bersedia dipenjara.



Penjara Ponorogo, September 1947    TAN MALAKA





























PERJUANGAN DUA KODRAT

Tak seberapa salahnya, kalau dikatakan bahwa alam raya kita ini, laksana satu gelanggang perjuangan yang tak putus-putusnya, antara dua kodrat yang dalam hakikatnya berderajat sama, ialah kodrat negatif dan kodrat positif. Dipandang dari sudut lain dan bergerak di lapangan lain, kedua kodrat yang sederajat ini menjelma berupa kodrat penolak dan kodra penarik (repulsion and attraction).
Rupanya Ilmu modern sedang memusatkan semua cabang pengetahuan dalam golongan ilmu alam dan ilmu kimia.  Pada ilmu listrik, ilmu alam dan ilmu pisah keduanya mempunyai sari yang sama, ialah ilmu listrik. Memangnya dalam ilmu listrik inilah perjuangan terus menerus antara dua kodrat di atas tadi, nyata sekali. Mulai dari badan terkecil yang dinamai atom, maka kodrat negatif dan positif tadi menjelmakan pertentangan terus menerus. Adapun dua kodrat tersebut berbadan pada dua bahagian atom itu, ialah elektron dan proton. Badan atom yang oleh ilmu modern dianggap terkecil itu, adalah hasil perjuangan dua kodrat positif dan negatif tadi, atau dipandang dari sudut lain adalah hasil perjuangan kodrat menolak dan kodrat menarik. Pun adanya Badan Terbesar di seluruhnya Alam Terkembang ini, seperti Bumi, Bintang, Komet dan Matahari, adalah hasil kodrat negatif-positif, serta tolak-tarik dalam juta-milyunan tahun.
Kalau sekarang kita beralih memandang dengan kecepatan kilat arah sejarah filsafat, ialah bayangan gerakan sejarah Masyarakat, dari Heraklit – Demokrit sampai ke Hegel......dan dari Hegel sampai ke Marx – Engels, maka perjuangan dua kodrat tersebut di atas, dalam lapangan alam raya tadi, dalam gelanggang filsafat ini, bolehlah kita ibaratkan dengan perjuangan thesis dan antithesis yang menghasilkan synthesis......terus menerus tak putu-putusnya.
Tetapi dengan perlompatan dari lapangan ilmu pasti ke lapangan filsafat janganlah kita lupakan perbedaan dasar antara dua golongan ahli filsafat ialah golongan idealis dan golongan materialis. Dialektikanya Hegel adalah berdasarkan Absolute Idee (Rohani Mutlak). Sedangkan buat Heraklit – Demokrit, Marx – Engels, dialektika adalah berdasarkan benda (matter).
Syahdan buat Hegel, Rohani – Mutlak inilah yang menggerakkan thesis dan antithesis serta menghasilkan synthesis terus menerus. Laksana thesis – sayap kanan dengan anti thesis – sayap kiri dari synthesis seekor burung yang terbang melambung tinggi di angkasa terus menerus, dan tak pernah turun ke tanah......Posistion, Ignoration, Ignoration der Ignoration.
Dalam ilmu alam Heraklit dan Demokrit tak pernah meninggalkan daratan. Hasil pikiran kedua ahli ini diantaranya ialah hypothesis (persangkaan) adanya benda molekule dan atom yang di zaman mereka hidup tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi yang sekarang dibenarkan oleh ilmu modern, disaksikan dengan teropong, yakni sesudah  kurang lebih 2500 tahun hypothesis itu didapatkan.
Hasil dari dialektika berdasarkan benda ialah pendapatan Marx dalam ilmu ekonomi tentang theori surplus value (nilai lebih), dan pendapat Marx – Engels dalam filsafat yang dikenal sebagai historis – materialisme dan dialektis – materialisme, dialektika berdasarkan benda.
Bukan maksud kami hendak menguraikan pemandangan hidup ( Weltanschauung) dalam buku kecil ini. Pandangan hidup sedemikian sudah diuraikan dalam Madilog. Pemandangan diatas dikemukakan sedikit hanya sekedar untuk mengembangkan suasana tempat bergeraknya apa yang penulis namakan perjuangan antara negatif dan positif, antara kodrat penolak dan kodrat penarik, antara thesis dan anti-thesis dalam dunia hukum. Bukan hukum dalam pengertian umum luas melainkan dalam beberapa perkara yang bersangkutan dengan hukum. Bukan hukum yang mengenai seluruh masyarakat, bahkan bukan pula hukum yang mengenai segolongan manusia, melainkan hukum yang mengenai diri penulis sendiri saja.
Tegasnya perjuangan Adil dan Zhalim yang memakai diri dan hidup penulis ini sendiri sebagai medan perjuangan itu; perjuangan antara Adil dan Zhalim yang bersangkutan dengan hukum yang dilakukan atas diri dan hidup Sahibul hikayat ini sendiri oleh Imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris. Akhirnya oleh Republik Indonesia yang berdasarkan KeTuhanan, Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Persatuan dan Kedaulatan Rakyat ini....... dan ke apa lagian itu.
Perlakuan atas diri dan hidup kami itu tidak dipandang dengan mata dan perasaan perseorangan semata-mata, melainkan dengan jiwa yang mengakui adanya perjuangan dan kodrat, juga yang mengakui Alam Raya kita. Menurut paham kami maka masyarakat golongan dalam masyarakat itu, bahkan seorang anggotapun dalam cabang penghidupan yang mananapun juga, tak dapat luput dari kekuasaan dua kodrat itu......thesis dan anti thesis.
Buku kecil ini meriwayatkan dan anti thesis di atas kulit kami.




































HUMAN RIGHT
(HAK MANUSIA)

Hukum yang mengenai Hak Manusia ini daerahnya amat luas. Tiadalah tempatnya, dan tiadalah pula maksud kami hendak menguraikan Hak-Manusia itu seluruhnya dan satu-persatunya. Yang akan disinggung di sini, hanyalah bagian yang terutama mengenai kepastian tentang perlindungan diri seseorang anggata masyarakat.
Buat menginsyafi tempat Perlindungan Diri dalam daerah hukum, baiklah kalau diadakan tinjauan kilat atas seluruhnya Hukum yang mengenai Hak Manusia itu.  Tinjauan itu tidak susah dilakukan kalau kita memandang dengan cara meninjau Alam Raya seperti di atas, yakni memisahkan yang positif dan negatif serta yang menarik dan yang menolak.
Syahdan adalah dua kodrat terbesar yang menggerakkan jiwa semua yang hidup, jadi juga jiwa manusia. Pertama: kehendak mau hidup, dan kedua: kehendak jangan mati. Kalau kehendak yang pertama kita sebutkan positif maka yang kedua ialah negatif. Kalau umumnya hasrat manusia itu merengkuh-menarik yang pertama, maka ini berarti pula bahwa dia berhasrat menolak yang kedua.
Dalam arti yang konkreet, yang nyata berlaku sehari-hari, yang pertama itu merupakan mencari alat hidup seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan lain-lain, sedang yang kedua merupakan menolak bahaya dari penyakit dan kelaparan.
Perjuangan hak artinya perjuangan merebut hak yang positif dan yang negatif tadi, yakni sebagai yang telah berhasil berupa Magna Charta dan The Rights of Men, seperti termaktub dalam hukum di Inggris dan Amerika, berupa Les Droits des Hommes, seperti Dasar Undang-Undang di Perancis dan akhirnya berupa Hak-Bekerja di Soviet Rusia.
Perjuangan di Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia itu bukanlah perjuangan seseorang (individu) melawan seorang lain, melainkan perjuangan satu golongan melawan golongan lain, buat mendapatkan kebahagiaan hidup dan menolak mara bahaya bagi kepentingan golongan itu sendiri. Yang demikian ini tiadalah merubah hasrat perjuangan tadi ialah mendapat yang positif dan menolak yang negatif.
Kita akan lupa melihat hutan dan cuma akan tersesat perhatian melihat pohon-pohon saja kalau kita pelajari semua hak yang diperoleh golongan yang memang dalam perjuangan borjuis melawan ningrat di Perancis dan Inggris, nasionalis Amerika melawan Inggris di sana, dan proletariat melawan ningrat-borjuis di Rusia. Sebenarnya cukuplah sudah kalau kita kupas saja semboyan dalam revolusi Perancis, ialah Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan, semboyan yang masih bisa menggerakkan jiwa manusia yang tertekan.
Dalam hakekatnya maka makna positif dari semboyan Kemerdekaan itu ialah merdeka melakukan pencarian hidup seperti bertani, berdagang, membangun perusahaan dan merdeka menjalankan pekerjaan tersebut serta merdeka memiliki, menjual atau membeli hasil pencarian itu, dan akhirnya memilih wakil buat Badan Politik, daerah atau pusat, merdeka pula menganut sesuatu faham atu membela faham itu dengan tulisan dan tulisan.
Sebaliknya makna yang negatif, ialah lepas-bebas dari ikatan feodalisme yang berhubungan dengan pencarian hidup itu, dan lepas bebas pula daripada tindakan sewenang-wenang dari pihak polisi dan Mahkamahnya Raja bersama bangsawannya.
Persamaan ialah derajat yang dituntut oleh kaum borjuis Perancis, supaya hak itu, baik positif atau negatif, sama rata boleh dimiliki semua warga negara Perancis, Ningrat, Pendeta, Borjuis ataupun Proletariat Perusahaan dan Pertanian.
Persaudaraan, dalam hakekatnya ialah persamaan pelayanan satu daerah Perancis dengan daerah lainnya terhadap pengeluaran dan pemasukan barang, yakni yang mengenai bea cukai. Janganlah satu daerah menghambat daerah lain dalam Negara Perancis sendiri oleh politik bea cukai itu. Janganlah satu daerah menghambat daerah lain dalam Negara Perancis sendiri oleh politik bea-cukai. Cukuplah satu kali membayar cukai di satu daerah saja sebagai bagian dari Perancis yang bersatu-bersaudara. Satu kali dibayar pada satu daerah, tak perlu daerah-daerah lain yang dilalui barang itu mencukai lagi. Ini artinya bersatu-bersaudara.
Barangkali karena sangat dipengaruhi oleh momok Facisme dan Nazi-isme atau karena juga negatifnya sikap kapitalisme terhadap kaum proletar, maka almarhum Presiden Roosevelt  membentuk dua syarat diantara empat tuntutan kemerdekaannya, ialah: pertama lepas-bebas dari ketakutan (freedom of fear) dan kedua lepas-bebas dari kelaparan. Sebenarnya bisa dibentuk secara negatif dan positif, yakni satu negatif; lepas bebas dari ketakutan (tangkapan), kedua positif; berhak diberi pekerjaan oleh Negara.
Tetapi kaum kapitalis memang tak mau positif, ialah menjamin pencaharian hidup tiap-tiap warga negaranya.
Lebih tangkas, lebih pendek, dan lebih meresap adalah semboyan yang berhubungan dengan syarat hidup di atas itu saja, sudah nyatalah perbedaan posisi dua kaum yang bertentangan. Semboyan borjuis, dengan Roosevelt sebagai juru bicaranya, adalah bersifat negatif (menolak), yakni menolak kelaparan. Sebaliknya semboyan Bolsjewikj dengan Lenin sebagai juru bicaranya bersifat positif, menuntut alat hidup yang terpenting, ialah tanah dan roti.

































HAK PERLINDUNGAN DIRI

Bahwa hak negatif berupa hak perlindungan diri sama artinya dengan hak positif, berupa hak mendapatkan pencarian hidup, keduanya atas jaminan Negara, tiadalah lama perlu difahamkan. Tak adalah gunanya makanan lezat dan  melimpah-limpah, pakaian halus atau tebal buat di musim panas dan sejuk bertimbun-timbun, kasurnya empuk serta selimut dan kelambu tak kekurangan, kalau perlindungan diri tak terjamin. “Nasi dimakan berasa sekam, air diminum berasa duri”, tidur gelisah karena hati panas senantiasa dalam ketakutan bahaya saja.
Si Budak-Belian di zaman Yunani dan Roma sering mendapat perlayanan lahir yang memuaskan, sering menjadi mandor perusahaan atau gurunya anak orang kaya. Tetapi dengan keadaan sedemikian belumlah mereka merasa aman tentram dan menganggap dirinya manusia penuh. Tuan yang baik budi mungkin besok jatuh melarat ataupun meninggal. Si Budak mungkin pula bertukar tuan. Si Budak tak berhak apa-apa, tak diperlindungi oleh Undang-Undang Negara. Dia boleh dijual atau dibeli seperti barang, boleh dikerjakan terus-menerus atau dipukuli sampai mati. Tak ada orang, golongan atau badan politik yang melindunginya.
Di zaman Feodal, Serf, (budak-hamba sahaya) itu tak boleh lagi dijual belikan. Dia terikat pada tanah tuannya, bekerja buat tuannya. Dari pada hasil pekerjaannya yang dibolehkan untuk diri dan keluarganya, ialah secukupnya buat keperluan hidup seperti Budak belian Yunani, yakni seperti hewan pengangkut. Beratlah konon pajak di Perancis yang mesti dibayar oleh Budak-Feodal! 14% lagi dibayarkan kepada kaum Ninggrat, 14% lagi dibayarkan kepada kaum Pendeta, dan 53% harus dibayarkan kepada Kerajaan. Sisanya yang tinggal 19% itulah yang boleh dimiliki buat keperluan hidup diri sekeluarganya.
Bagaimanakah kalau panen gagal, dan si budak sudah banyak pula berhutang buat membeli bibit, pupuk atau keperluan sosial sebagai manusia???
Kalau saya tak salah, di antara penduduk Perancis yang 25 juta di masa revolusi itu, cuma 200 ribu atau cuma 1% sajalah kaum berpunya dan berkuasa, ialah kaum Ningrat dan Pendeta. Yang 99%, ialah kaum dinamakan golongan ketiga (Derde stand). Dalam Golongan ketiga ini termasuk kaum tani, buruh dan ....borjuis (bankir, majikan dan saudagar). Pendeta Sieyes yang mengambil bagian besar di babak pertama dalam Revolusi Perancis 1789, mengadakan tanya jawab yang jitu dan pendek:
“Apakah Golongan ketiga itu?”
(Djawab): “Semua!”
“Apakah mereka sampai sekarang?”
(Djawab): “Tidak apa-apa.”
“Apakah kemauan mereka?”
(Djawab): “Semua.”

Golongan ketiga mendesak, memperjuangkan dan dengan sempurna mendapatkan hak perseorangan manusia (Les Droits de l’Homme) yang masih menjadi batu ujian sampai sekarang.
Pergolakan merebut hak perseorangan yang berupa positif dan negatif itu yang berupa merebut hak buat pencarian hidup dan hak mendapat perlindungan pasti oleh undang-undang Negara itu memang lama berlaku terutama di dunia Barat. Perjuangan proletaria tanah melawan patricia, tuan tanah Roma yang dipimpin berturut-turut oleh dua saudara Grachus dan oleh Catalina, perjuangan buruh tanah dan perusahaan di Jerman, semua itu adalah tuntutan buat mendapatkan hak yang pasti. Tetapi baik di Roma ataupun di Jerman, alat masyarakat lama dalam produksi dan sosial masih kuat, belum bisa ditumbangkan. Sebaliknya pula alat-alat masyarakat baru dalam produksi dan sosial masih belum cukup kuat untuk menggantikan yang lama.
Di Perancis masyarakat feodal memang bobrok, ke dalam dan keluar, tak sanggup lagi meneruskan hidupnya masyarakat itu. Cara menghasilkan di atas tanah dan di dalam perusahaan amat mengungkung golongan-baru-kuat dalam masyarakat, ialah kaum borjuis dengan bantuan kaum proletar. Pertentangan hidup dalam segala-gala, dalam perekonomian, politik, sosial, kebudayaan dan akhirnya dalam hal perlindungan, yang tiada berkurang artinya, amat menyolok mata. Hak luar biasa dari mereka yang memegang kekuasaan dapat dipakai setiap waktu terhadap sembarang warga.
Dengan “lettre de chachet” dengan tak ada tuduhan pelanggaran undang-undang yang pasti dan ditetapkan lebih dahulu, orang yang tidak disukai sewaktu-waktu boleh ditangkap dan ditahan dalam penjara, selama maunya yang berkuasa itu saja. Sering terjadi mereka yang tiada bersalah sedikitpun seumur hidup meringkuk dalam penjara yang gelap sempit dan kotor kamarnya.
Dalam pemeriksaan untuk mendapatkan bukti pelanggaran, seseorang yang dituduh dan ditahan itu boleh disiksa, dipukul, disepit anggota badannya dengan besi, ditusuk jarinya atau dibakar mulutnya...........sampai si pesakitan terpaksa mengaku. Sering atau acap kali terjadi pesakitan terpaksa mengaku. Sering atau acapkali terjadi  pesakitan mengakui tuduhan, bukan karena ia melakukan pekerjaan yang dituduhkan itu, melainkan karena tidak tahan siksaan.
Hukuman dijatuhkan semau-mau hakim saja. Tidak sedikit hukuman dijatuhkan pada orang yang sebenarnya tiada bersalah, yang tak kalah beratnya dengan hukuman yang dijatuhkan kempetai Jepang. Sebelum revolusi Perancis itu orang boleh dianiaya, dikoyak menjadi empat ditarik dengan kuda, direndam sampai mati atau dibakar hidup-hidup.
Dengan runtuhnya Bastille, maka berhentilah semua penangkapan, pemeriksaan dan hukuman sewenang-wenang itu. Bastile adalah penjara di kota Paris, lambang sewenang-wenang feodalisme yang diratakan dengan tanah oleh rakyat revolusioner.
Lenyaplah marabahaya yang sewaktu-waktu bisa menimpa diri seseorang warga negara dengan hancur leburnya masyarakat (feodalisme sampai ke akar-akarnya).
Dengan sempurna lenyapnya system feodalisme di Perancis, lahirlah dengan selamat hak yang dipastikan oleh Undang-Undang Negara yang mengenai keselamatan perseorangan.



















KEPASTIAN UNDANG-UNDANG

Setelah Feodalisme Perancis sampai ke Undang-Undang Dasarnya runtuh dilanggar oleh taufan Revolusi Besar (1789), maka tercantumlah dalam Buku Undang-Undang Negara semua hak untuk melindungi seseorang warga negara.
Undang-undang yang memperlindungi diri seseorang itu dalam satu Negara Demokrasi lazim dinamakan hak demokrasi. Yang kami maksudkan pada pasal ini ialah khususnya hak seseorang kalau ia berurusan dengan apa yang dinamai sesuatu pelanggaran. Jika dicocokkan dengan istilah di atas, itulah rupanya hak negatif, hak menolak bahaya sewenang-wenang dalam hal penangkapan, pemeriksaan dan pengadilan. Orang yang belum tentu salah, ataupun sudah dianggap salah itu, tiadalah boleh ditangkap semau-maunya oleh siapapun saja, untuk diperas keterangannya dengan bermacam-macam siksaan dan akhirnya dihukum sewenang-wenang melanggar pri kemanusiaan!
Kepastian hak dalam cara menangkap, memeriksa dan mengadili perkara seseorang yang dianggap pelanggar, tentulah tiada sama bentuknya pada beberapa negara demokrasi, seperti Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain. Tetapi kalau boleh saya ikhtisarkan maka kurang lebih isinya sebagai berikut:
1.      Tiadalah boleh seseorang warga negara, di negara demokrasi, ditangkap begitu saja, kecuali oleh orang yang diwajibkan menurut undang-undang, atas nama badan pemerintah yang syah, dengan alasan yang terbukti, dan dibuktikan oleh saksi yang sudah disumpah dan menurut instruksi (tuduhan) yang benar-benar, berkenaan dengan undang-undang Negara yang sudah ditetapkan lebih dahulu oleh badan perwakilan rakyat yang syah.

2.      Dalam pemeriksaan menjelang pengadilan terbuka (voor-onderzoek), si tertuduh dibolehkan mengemukakan saksinya sendiri dan ahli hukum yang sudi membela perkaranya. Di sini paksaan dan siksaan yang oleh dunia hukum Anglosaxen biasa dinamakan, “third degree method”, sama sekali tiada boleh dipakai oleh yang memegang kekuasaan. Seterusnya kalau hakim menganggap tuduhan pelanggaran itu memang berdasarkan undang-undang, maka si tertuduh harus dibawa di depan pengadilan negara yang syah, dan diberi hak sepenuhnya untuk membela diri sendiri, mengemukakan saksinya dan memakai pembela ahli hukum dalam menghadapi para ahli, pegawai dan organisasi yang kuat kepunyaan negara di sidang terbuka.

3.      Si tertuduh  dihukum dengan cara yang ditetapkan oleh Undang-undang Negara (digantung, dipenjara, didenda atau diturunkan pangkat) menurut kepastian (lamanya di penjara, banyaknya denda) yang ditetapkan oleh Undang-Undang Negara juga. Semua itu harus terjadi setelah diperiksa dan diadili di muka umum oleh Pengadilan Negara yang sudah disyahkan, dimana si tertuduh berhak membela diri, kalau perlu dengan pertolongan ahli, terhadap si penuduh yang dibantu oleh para ahli dan organisasi Negara. (Seperti tersebut dalam angka 2 di atas).

Di zaman sewenang-wenang, seseorang warga negara ditangkap, diperiksa dan dihukum oleh satu badan atau satu orang saja. Sudahlah tentu seseorang yang ditangkap itu dihukum karena kepentingan pihak si penuduh sendiri (benci, dengki, dan lain-lain). Sebab itulah penangkapan dan pemeriksaan itu berwujud hendak menghukum yang ditangkapnya itu. Di zaman demokrasi, keterangan sempurna dari si penuduh dan si tertuduh dibandingkan oleh hakim menurut Undang-Undang yang syah.
Memang banyaklah kemajuan yang diperoleh Revolusi Besar di Perancis dalam hal perlindungan diri seseorang warga. Tetapi puncak kesempurnaan itu dimanapun juga dalam Alam Raya ini atau dalam semua cabang kehidupan, tiadalah kita kenal. Yang sempurna kita peroleh sekarang, besok dibatalkan oleh yang lebih sempurna. Inipun bakal dibatalkan pula oleh yang lebih sempurna........ad infinitum.......tak putus-putusnya. Di tempat manapun juga dan di tempo apapun berlakulah gerakan thesis dan pembatalan (anti-thesis) mendapatkan synthesis. Janganlah kita gusar dan kecewa karena keadaan itu, sebaliknya kita mesti gembira dan puas. Karena buat kita dan anak cucu kita masih ada hal yang harus kita capai. Inilah namanya hidup, gerakan perubahan dan perbaikan kekayaan alam, terus menerus tak ada berhentinya; thesis, synthesis. Perbaikan bukanlah benda kosong, mengejar perbaikan bukanlah pekerjaan sia-sia (mengejar fatamorgana). Bukankah masyarakat beradab feodalpun lebih baik daripada masyarakat kayau-mengayau (buas bunuh-membunuh)?
Adanya thesis feodalisme tentang hak pribadi, ditentang oleh anti thesis golongan 3e stand (ketiga) dan mendapatkan synthesis borjuis seperti kita uraikan di atas, ialah hak perlindungan diri yang demokratis. Synthesis diperoleh kaum borjuis sebagai hasil perjuangannya melawan kaum feodal itu, sekarang sudah berubah menjadi thesis, karena berhadapan dengan anti-thesis kaum proletar dan bangsa berwarna yang terjajah, karena:
1.      Apakah artinya cara (oleh siapa, atas nama siapa, alasan apa dan instruksi mana) menangkap itu. Tiadakah dalam masyarakat kapitalisme lebih 55% warga negaranya dan dalam masyrakat jajahan lebih kurang 99% penduduknya senantiasa terancam oleh krisis ekonomi, pengangguran, peperangan, paceklik, hongeroedeem dan lain-lain? Bukankah 99,9% dari pelanggaran undang-undang itu berurat pada kebusukan masyarakat sendiri dan kebodohan serta kemelaratan anggota masyarakat itu sendiri?

2.      Apakah artinya pemeriksaan pengadilan yang umum, yang dibela ahli dan diawasi oleh hakim, kalau si pesakitan itu orang miskin tak punya pendidikan dan pengetahuan cukup buat membela diri sendiri dan tak punya uang buat menyewa pokrol bambu yang licin.....yang bisa menghitamkan yang putih?

3.      Pada satu pihak ahli hukum yang adilpun mempunyai kepentingan, pendidikan dan pemandangan hidup secara borjuis. Pada lain pihak dalam masyarakat yang demokratis-kapitalis, penjara modern lebih memberi perlindungan hidup (makanan,  pakaian dan penginapan) daripada masyarakat di luar penjara, kepada sebagian anggota masyarakat.















PULANG KE INDONESIA


Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers dan kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati, voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda. Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil, kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001 kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia, Hindustan, Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang merintis jalan ke Indonesia itu, melainkan  bangsa Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw Amsterdam, tetapi bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika melainkan Colombus. Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang masih mempunyai X, belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat bangsa Belanda. Dulu tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan pun tetap tidak? Tidak mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian hari mengadakan perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin kapal, kereta atau pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian itu, sifat jiwanya (psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan negeri besar seperti Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda yang tak mempunyai bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain yang penting buat baja paduan (allay) zaman sekarang,  maka haruslah semua bahan-bahan itu didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil bisa dijlankan, kalau bangsa Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu, dan terus tetap menentangnya dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan granat tangan saja.
Negara Belanda sudah di belakang, dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum  selesai diperhebat, didorong oleh konflik dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam masyarakat yang akan ditempuh.
Belum lagi berapa lama berada di negeri Belanda sudah dirasa konflik pertengkaran jasmani dengan keadaan. Bayaran 30 rupiah sebulan di Asrama Rijkskweekschool tiadalah bisa mendapatkan makanan yang cocok selera makan kita orang Indonesia walaupun sudi tidur di loteng. Saya tahu, bahwa di masa itu tak ada pelajar Indonesia yang membayar kurang dari 50 rupiah sebulan. Bahkan kebanyakan lebih dari itu. Tetapi 30 rupiah sebulan itu, adalah puncak kesanggupan saya membayar. Karena selain dari itu saya harus membayar 11 ½ rupiah asuransi. Sisanya ialah 8 ½ rupiah buat belanja sehari-hari. Lima puluh rupiah sebulan itulah anggaran belanja yang mesti saya selenggarakan.
Perhubungan rapat dengan guru saya, Direktur II Kweekschool Bukit Tinggi tuan Horensma, dalam kelas sebagai guru dengan murid, di luar kelas ialah dalam orkes musik Kweekschool sendiri dan orkes orang Eropa di Bukit Tinggi sebagai dirijen, dan saya sebagai cellist ke satu, serta derajat yang saya peroleh dalam ujian Kweekschool yang penghabisan, dengan spontan menggerakkan guru tadi bersama saya pergi menjumpai kontrolir Suliki, tempat kelahiran saya. Atas jaminan harta benda keluarga saya, maka didirikanlah Engkufonds yang disokong oleh para Engku di Suliki, buat mengumpulkan 50 rupiah setiap bulan, untuk membantu saya di negeri Belanda selama 2-3 tahun. Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia.
Ternyata di belakangnya, bahwa dengan bayaran 30 rupiah sebulanpun saya bisa mendapatkan rumah yang sedikit lebih baik. Ini terdapat sesuatu hampir setahun dengan perantaraan kenalan baik, dan mendapat teguran dari Direktur Rijkskweekschool di Haarlem, karena mengambil inisiatif sendiri meninggalkan asrama itu. Saya bertindak, karena kesehatan saya sudah terlampau mundur, sehingga lebih baik jangan melihat makanan dari pada menghadapinya. Makanan seperti itu cuma membangkitkan perut untuk menolaknya. Bahannya cukup baik dan mengandung zat, tetapi caranya memasak adalah cara asrama yang paling buruk.
Kesehatan saya sudah jatuh turun dari yang semula. Sebelum berangkat, saya perlu mendapatkan surat dari dokter di Indonesia untuk kepentingan asuransi. Surat itu lekas didapat, sesudah dokter mengakhiri pemeriksaan badan saya dengan perkataan tersenyum: “Jati hout”. Kayu jatipun bisa lapuk dimakan waktu dan hawa. Di samping makan yang tidak terjaga tadi, di mana nafsu makan terus berkurang, nafsu berolah raga terus bergelora. Sebagai anggota dari salah satu voetbalclub di kota Haarlem, saya taat menjalankan pertandingan-pertandingan tiap minggu di kota Haarlem sendiri dan di beberapa kampung sekitarnya. Penjagaan diri di musim dingin tidak saya kenal, dan kalau diketahuipun belum tentu diperdulikan.
Beberapa tahun di belakang ketika nafas masih lemas, kaki dan tangan masih lemah, diajak oleh kanak-kanak teman olah raga berenang menyeberangi sungai Ombilin, maka tewaslah nafas, kaki dan tangan itu, dan hilanglah ingatan saya diombang-ambingkan ombak yang deras. Untunglah ada teman yang besar ada di samping dan segera memberi pertolongan. Setelah ingatlah kembali, tiba-tiba saya sudah berada di rotannya ibu yang siap hendak memukul sebagai pelajaran. Ayah yang rupanya tahu benar bahwa pukulan ibu sungguh jitu pedih mengajak memberi pelajaran yang katanya lebih tepat. Dengan kekang kuda di mulut, saya ditempatkan di pagar di pinggir jalan, supaya ditonton oleh anak-anak para Engku yang tidak diperbolehkan bermain dengan anak kampung, seperti saya, bercampur gaul dengan mereka. Tetapi ibu anggap bahwa itu hanya diplomasi ayah saya buat menghindarkan saya dari ibu. Sesudah melihat saya dengan kekang kuda di mulut itu, walaupun ayah berdiri di samping menjaga, dan banyak anak-anak berkerumun, ibu tidak merasa puas. Sangka ibu ada lagi otoriteit yang lebih tinggi yakni Guru Gadang (Guru Kepala). Atas aduan ibu, maka Guru-Gadang itu menjalankan hukuman pada diri saya, hukuman yang dikenal oleh anak-anak di sana dengan nama pilin pusat (cabut pusar). Sampai sekarang saya masih heran, kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu kali lagi dilakukan di belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang menyeberang sungai Ombilin itu pula, dan membawa-bawa lagi anak-anak para Engku. Lain kali karena main sembur-sembur, artinya bertanding menyemburi muka sampai salah satunya kalah. Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan juga menyembur lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya pikir perjuangan sudah selesai, kemenangan akhir ada di pihak saya, dan saya berhak penuh merasakan lezatnya kemenangan itu. Cuma heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Apabila saya naik ke tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru Gadang, buat menjalankan hukuman “pilin-pusat”. Rupanya anak-anak lain sudah melihat Guru Gadang menunggu di tepi sungai. Rupanya saya asyik berjuang membelakangi Guru Gadang itu. kalau di belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan mengangkut anak-anak Engku melihat macan ditangkap di gunung, maka saya saja yang dikenai “pilin pusat”. Pun kalau “perang jeruk” (barisan yang satu melempar yang lain dengan jeruk), berakhir dengan “perang batu” dari anak sekolah di kampung tempat itu, ialah Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung Tanjung, maka yang harus menjalankan hukuman sebagai “penjahat perang” saya juga. Sebagai hukuman “perang batu” ini mulanya saya dimasukkan ke dalam kandang ayam. Yang demikian ini rupanya tidak memuaskan rasa keadilan ibu. Atas usul beliau sendiri, maka Guru Gadang segera memaku dengan hukuman yang biasa dijalankan dengan lancar dan jitu, ialah hukuman pilin pusat itu juga.
Di sekitar tanah lapang di Velsen atau Ymuiden di musim dingin, ada salju, tetapi tak ada jari yang sedia menerkam perut di sekitar pusar saya. Nasihat teman supaya memakai baju tebal di waktu pauze (dalam pertandingan) tiada diindahkan. Pengalaman pahitlah yang mesti memperingatkan. Entah karena kekurangan dalam hal makan, entah lantaran olah raga yang tidak terpimpin, entah karena keduanya, maka 3 bulan sebelum ujian guru saya jatuh sakit pleuritus. Baru setelah tak bisa berjalan lagi saya bilang kepada nyonya rumah. Baru dokter didatangkan.
Bayaran dokter adalah perkara yang penting. Di luar belanja 8 ½ rupiah sebulan itu, tak ada uang pada saya. Yang sanggup didatangkan ialah dokter pembantu orang miskin dengan percuma, “bus dokter” gelarnya di Haarlem, dokter Jansen namanya. Tentulah pemeriksaan tak begitu teliti seperti di rumah sakit oleh dokter kelas satu, dan obatnya cuma puyer murah saja. Tempat di loteng, di kamar kecil yang udaranya sesak terkumpul tiadalah melekaskan sembuhnya penyakit Pleuritus itu. hawa badan terus tinggi, tetapi saya ingin pulang ke Indonesia, dan sebab itu ingin menempuh ujian guru. Janji dengan Engku fonds cuma buat 2 tahun saja. Tetapi kalau hawa badan tetap tinggi begini, dokter kelak tentu tak akan mengizinkan menempuh ujian. Mulailah saya turunkan derajat hawa badan itu. Untungnya saya sendiri yang mesti mengambil 3 kali sehari. Beberapa hari sebelum ujian, Direktur Rijkskweekschool datang melihat dan berkata, bahwa saya amat sakit waktu itu. Lagi pula saya tidak mengikuti repetisi, sudah tiga bulan tidak bersekolah. Walaupun sudah tiga bulan absen, tetapi dia percaya akan kecakapan saya, dan akan mengirimkan saya menempuh ujian resmi asal saja dapat izinnya dokter. Dengan susah payah saya dapatkan izin dokter, ialah dengan perjanjian saya pergi dan kembali ke dan dari ujian dengan kereta kuda. Temperatur memang normal.... di atas kertas yang saya isi sendiri.
Begitulah apabila harinya tiba saya menempuh ujian resmi, baikpun dengan tulisan ataupun lisan, saya beruntung lulus! Tetapi sampai di rumah barulah saya menderita akibat pembantingan tenaga luar biasa itu, dalam waktu saya masih sakit berat.
Sebenarnya tak perlu saya meneruskan lebih kurang 2 tahun di Rijkskweekschool itu, buat mendapatkan hulp acte. Dua tiga bulan kursus tambahan saja rasanya sudah cukup. Tetapi perkara mendapatkan Europeescheacte buat guru dengan politik imprialisme Belanda di waktu itu, begitu banyak seluk beluknya, sehingga akan terlampau panjang jikalau perkara itu saya uraikan lebih lanjut. Cukuplah sudah kalau diperingatkan di sini bahwa Kweekschool di Bukit Tinggi, yang di masa saya ialah perguruan tunggal dan tertinggi buat seluruh Sumatera, dihapuskan sama sekali sesudah pemberontakan Silungkang tahun 1927. Jadi Kweekschool pun sudah terlalu tinggi buat 10 juta rakyat Sumatera umumnya dan buat Minangkabau khususnya.
Bukan tempat, tempo ataupun maksudnya untuk menceritakan seluruhnya pendidikan saya di sini. Pekerjaan ini, walaupun berfaedah bagi pemuda-pemuda kita, akan memerlukan tempo dan tenaga terkhusus. Tetapi untuk menyempurnakan uraian konflik dengan hawa dan makanan di negeri Belanda itu, terutama pada beberapa tahun permulaan, baiklah saya singgung sedikit konflik antara hasrat belajar beserta pengetahuan yang ada pada saya di waktu itu pada satu pihak dan kemungkinan untuk menjalankan hasrat itu di lain pihak.
Adapun para murid Rijkskweekschool Haarlem itu mendapat ongkos belajar dari Pemerintah Belanda seperti para murid Kweekschool Bukit Tinggi juga. Persamaan lain di antara dua Kweekschool itu jarang sekali dapat dicari. Rijkskweekschool Haarlem mendidik muridnya menjadi guru untuk anak Belanda, dalam bahasa Belanda, pada hakekatnya buat anak Belanda. Rijkskweekschool Bukit Tinggi melatih guru buat anak Indonesia, terutama dalam bahasa Indonesia, untuk Hindia Belanda.
Tidak sedikit di antara murid yang diterima di Rijkskweekschool itu pemuda keluaran Mulo atau lebih, karena mengharapkan sokongan pemerintahnya. Berhubungan dengan banyaknya calon maka ujian masuk juga cukup keras, walaupun tak begitu keras kejam seperti ujian masuk Kweekschool Bukit Tinggi, teristimewa pula buat murid berasal Minangkabau-darat, Padang-Darat (di masa saya, di antara 200 sampai 300 calon cuma kami 3 orang yang diterima).
Pada waktu permulaan di Rijkskweekschool Haarlem, dengan sedih sekali saya saksikan, bahwa pelajaran yang sudah saya terima di Kweekschool Bukit Tinggi sama sekali tidak sambung menyambung dengan apa yang diberikan di Rijkskweekschool itu. Betul, umpamanya sama-sama diajarkan ilmu tumbuh-tumbuhan, akan tetapi tumbuh-tumbuhan yang mesti diperiksa dan diajarkan di negeri Belanda tiadalah sama dengan di Indonesia. Begitu juga kiranya dengan ilmu bumi, ilmu mendidik (paedagogie), ilmu menggambar, ilmu ukur (meetkunde) dan lain-lain. Ada pula ilmu yang sama sekali mesti dipelajari dari permulaan seperti sejarah Belanda, sejarah dunia, Aljabar, ilmu ukur ruang (stereometrie), trigonometric, dan ilmu kodrat (mechanica). Sebaliknya ada pula pengetahuan yang sudah saya pelajari di Bukit Tinggi tetapi tiada diajarkan atau cuma sedikit sekali diajarkan di Haarlem, ialah terpenting buat guru Belanda, tentulah bahasa Belanda. Sepintar-pintar orang Indonesia dalam mempelajari bahasa asing, maka pemuda Belanda berumur 14-20 tahun, tentulah lebih paham bahasa ibu dan masyarakatnya dari pada orang Indonesia yang cuma beberapa jam sehari saja menerima pelajaran bahasa Belanda di kelasnya selama 6 tahun. Tetapi tiada berarti bahwa dalam hal ilmu tatabahasa (grammer) saya akan kalah saja oleh murid kelas tertinggipun.
Saya tak tahu siasat yang diputuskan para guru Rijkskweekschool terhadap saya dalam keadaan tersebut. Pengalaman membuktikan, bahwa di dalam 2 tahun itu, sebenarnya saya tak mempunyai kelas tetap, melompat-lompat dari kelas ke kelas yang empat itu. buat ilmu bumi, ini pagi umpamanya di kelas satu, nanti petang di kelas empat.
Hal ini saja, kalau tidak ditambah dengan hal yang lain-lain, sudah bisa mematahkan hati saya yang belajar dari permulaan. Memangnyalah semua vak saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran  seperti Ilmu mendidik, Ilmu tumbuh-tumbuhan dan lain-lain, saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti aljabar, trigonometri dan lain-lain yang dinamai denkvakken, ilmu yang memerlukan otak, saya dipaksa mempelajarinya.
Pelajaran berpikir tersebut diluar rekendekunde (ilmu berhitung), tak perlu dipelajari buat guru, bahkan juga tak perlu dibuat ujia guru kepala. Tetapi sesudah oleh guru wiskunde saya dilompatkan dari kelas 1 ke kelas II, ke kelas III, dalam satu hari, buat aljabar dan lain-lain, maka dia menarik saya pula diwaktu mengaso. Katanya dia mau habiskan pelajaran ilmu pasti (wiskunde) itu dengan saya. Dibisikkannya pula, bahwa ia ingin meneruskan mendidik saya, karena dulu dianggap orang Indonesia itu tak sanggup menerima pelajaran ilmu pasti. “Saya susah sekali mengajarkan Sutan”, (katanya , “tetapi sekarang, setelah kamu, pemandangan itu saya tukar”.
Saya tahu, bahwa Sutan Kasanjangan yang dimaksudkannya itu sekali-kali bukan orang bodoh, walaupun sampai 5 kali gagal dalam ujian  mencapai ijasah Guru Kepala. Penghargaan kami terhadap anak Batak di Kweekschool Bukit Tinggi yang diterima setelah ujian di antara berpuluh-puluh calon dari seluruh Tapanuli, tentulah tidak terkecuali. Tetapi mungkin karena kekurangan dalam pengetahuan bahasa Belanda, maka susahlah ia memahamkan pelajaran ilmu pasti itu. Dan berhubung dengan lima kali gagalnya menempuh ujian itu, maka mungkin sekali politik sekolahnya imprialisme Belanda diam-diam campur tangan pula.
Buat saya ilmu pasti itu sedikitpun tak pernah jadi keberatan, walaupun diloncatkan dari pasal tiga belas dengan tiba-tiba. Taktik strategi menerima pelajaran ilmu pasti telah saya pahamkan dengan istimewa dan saya jalankan dengan hasil yang memuaskan hati serta meringankan pekerjaan, beberapa tahun sebelum ke negeri Belanda.
Tetapi buat mempelajari tumbuh-tumbuhan, banyaknya daun dan serbuk bunga (meel-draad), bijinya buah, giginya kodok Belanda, methode mengajarkan abc kepada anak-anak dan lain-lainnya, tak apalah taktik strateginya daripada menghapal, menghapal dan menghapal. Buat ini saya sudah tak dapat dipakai. Kecuali untuk pengetahuan yang memang menarik hati saya, menghapal itu sudah saya benci habis-habisan.
Kebencian kepada dunia yang berupa kajia-hapalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti keju ini cuma timbul di waktu menghadapinya saja. Tetapi kebencian terhadap kaji hapalan yang dipaksakan adalah terus menerus, sebagai kebencian saya terhadap perbandingan yang tidak adil antara keadaan masyarakat Indonesia dengan Belanda.
Dalam keadaan demikian itu saya mendapat kesempatan berjumpa dengan Prof. Snouck Hurgronye (almarhum). “Saya”, kata mana guru ini, takkan memikirkan menjadi guru mengajar anak-anak Jerman, walaupun saya lama tinggal di Jerman”. Saya tercengang mendengarkannya. Kemudian ditanyakan semenjak umur berapa saya belajar bahasa Belanda. Saya jawab, semenjak kira-kira umur 13 tahun. “Nah”, katanya, “dibawah umur 13 tahun, tuan tak bercampur gaul dengan anak-anak Belanda. Apakah tuan berpikir dapat menyelami jiwa anak-anak Belanda di bawah umur 13 tahun, di sekolah rendah itu dengan mempergunakan kata-kata yang lazim dipakai oleh mereka?”
Prof, yang kata orang “ethiesch”, pecinta inlanders dan ahli agama Islam ini saya tinggalkan dengan pikiran saya yang terharu. Pertanyaan tadi masih terdengung di telinga saya. Semenjak itu saya sangsi akan arahnya didikan saya. Saya malu mau mendapatkan hak jadi guru mengajaar anak Belanda yang tidak sebahasa, sebangsa dengan saya, dan tak akan bisa saya jumpakan jiwanya dengan bahasa ibunya.
Mulanya saya berpikir akan menukar haluan didikan saya. Tetapi saya tertumbuk pada perkataan penasehat saya, ialah tuan guru Horensma di Bukit Tinggi itu sebelum kami berpisah. Beberapa kali dikatakan kepada saya, bahwa dia tak sanggup memberi nasehat, kecuali dalam daerah didikan guru itu. saya maklum, karena dia seorang guru dan ingin melihat orang Indonesia mendapat didikan guru Belanda. Tetapi baru enam tahun sekembali saya di Bukit Tinggi, sesudah dia sendiri kecewa dengan birokrasi di Batavia, dikeluarkannya sesalannya dengan perkataan: “Sepantasnya saya mesti menasehatkan engkau menjadi insinyur”. Memang kalau dari mulanya didikan saya ditujukan kepada insinyur kimia atau pertanian, keperluan jasmani terjaga, nafsu belajar tak akan terganggu, mungkin sebaliknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan dalam 6 tahun itu, banyak perubahan yang berlaku atas diri saya.
Di mana jasmani menderita karena kekurangan, di mana rohani terpaksa dalam kungkungan lahir dan batin, dimana akhirnya semua jalan menuju perubahan dan perbaikan sama sekali buntu, maka disanalah hati terbuka, ditarik oleh kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh kodrat pertentangan-pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Pergolakan thesis dan anti-thesis di dalam diriku adalah bayangan dari gelora kedua kodrat itu, dalam arti sempit dan arti luasnya: dalam keadaan rumah yang kudiami dan keadaan Eropa di masa itu, yakni dalam rumah orang melarat di masa Eropa dan dunia seluruhnya berada dalam kancah peperangan dunia pertama (1914-1918). Hampir setahun sebelum perang saya tiba di Nederland dari hampir setahun pula sesudah perang saya meninggalkannya.
Dalam rumah sewaan seorang keluarga buruh, sebuah rumah kecil dijalan kecil, kebetulan pula bernama Jacobbijnenstraat, saya mendiami kamar loteng yang sempit gelap. Kamar di sampingnya didiami oleh seorang pengungsi Belgia, Herman, seorang pemuda, bekerja pada satu pabrik jam di kota Haarlem. Orang muda ini meninggalkan negerinya sesudah Belgia diserbu Jerman. Nyonya rumah adalah seorang perempuan buruh, jujur, sederhana dan dalam segala-gala penuh kemanusiaan, di masa kemanusiaan itu tak ada di dunia bagi dirinya sendiri. Suaminya sudah lama sakit paru-paru dan dirawat di rumah sakit yang sesungguhnya cuma buat menunggu ajalnya saja. Dulunya Van Der Mij, begitulah nama si sakit melarat ini, bekerja sebagai buruh besi di salah satu bengkel di Haarlem. Semenjak sakit tak ada gaji, pensiun atau sokongan macam apapun yang diterimanya. Seperti kuda beban yang sudah sakit dia dilemparkan begitu saja. Nyonya Van der Mij hidup dengan menyewakan kamar kepada kami dan mendapat sedikit bantuan dari anaknya yang sudah dewasa dan bekerja sebagai juru tulis rendahan di salah satu kantor di Amsterdam. Untung yang diperoleh dari Herman dan dari saya hampir tak berarti, sebab makanan yang disajikan untuk kami sudah menghampiri bayaran kami. Dengan hasil pencarian yang rendah itu dan dengan bantuan anaknya tadi Nyonya Van der Mij setiap dan harus membayar ongkos suaminya di rumah sakit. Tak perlu diuraikan lebih lanjut kemelaratan perempuan ini. hanya perlu dinyatakan bahwa kesabaran wanita buruh sederhana ini bukan kepalang.
“Van der Mij muda bersimpati pada serikat (Inggris, Perancis, Belgia) dan seorang pembaca yang setia dari “De Telegraaf”, surat kabar yang merah padam anti Jerman. “De smerige moffen...” Begitulah ucapan yang sering dimajukan kepada Jerman. Di masa itu buat saya tak begitu nyata apa bedanya imprialisme Jerman dan Inggris ataupun imprialisme Belanda, dari itu sering terjadi persilisihan faham dengan Herman. Pada satu perdebatan yang sedikit lama dan agak bersemangat, tiba-tiba Herman mencampuri sambil berkata: “Benar Ipie (nama panggilan saya), saya setuju!”. “Buat saya sendiri”, katanya terus, “manusia itu semuanya bangsat yang tujuannya hanya merampas-rampas saja (Smeerlappen allemaal, dievan allemaal)! Herman sudah pegang pisau....memang darah Belgia lebih panas. Saya mencoba membubarkan. Untunglah Van der Mij muda dengan cerdik mengalah saja. Rupanya Herman, pembaca “Het Volk” sudah lama menunggu-nunggu Van der Mij pembaca “De Telegraaf”.
Dari Van der Mij saya bisa membaca De Telegraaf dan dari Herman Het Volk, surat kabar Partai Sosial Demokrat Nederland. Kalau Herman dengan muka berseri datang dari pekerjaannya dan memasukkan tangan di kantongnya saya tahu apa yang akan keluar, ialah majalah, brosure atau karangan pedas anti imprialisme. Herman suka membaca yang pedas dan kalau perlu berlaku tegas.
Selangkah demi selangkah, didorong keadaan dalam dan luar diri saya, dipengaruhi dan diobori buku-buku bacaan, maka cocok dengan undang-undang kwantity bertukar dengan kwality, tiba-tiba saya sudah berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.
Kekaguman atas persatuan semangat dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih erat. De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca: Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang tak kurang populernya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai. Tetapi terasa bahwa filsafat Nietsche lebih banyak terpusat pada satu bangsa saja, ialah bangsa Jerman dan pada satu golongan Jerman yang istimewa, ialah golongan “Junkertum”, ningrat yang dibantu oleh hartawan.  Kemauan baja, hasrat yang tergambar pada Ubermensch di masa perang dunia kesatu itu menjelma pada persekutuan Hitler-Goring-Krupp. Ke Jermanannya filsafat Nietsche itu lekas saya alami, waktu percobaan saya memasuki tentara Jerman dan mendapatkan latihan Jerman mendapat jawaban, bahwa tentara Jerman tak menerima bangsa asing dan tak mempunyai Laskar Sukarela Asing. 
Sendirinya saya terdorong kepada “Umwertung aller Werten” yang lebih dalam: “Liberte, Egalite, Fraternite. Satu buku “De Franche Revolutie” (atau De Groote Frasche Omwenteling) oleh Th. Carlyle, sudah lama terpendam di antara beberapa buku lain dalam peti saya. Guru Horensma ketika kami berpisah menyerahkan beberapa buku pelajarannya dulu yang masih bisa saya pakai. Buku tersebut di atas beberapa kali dibolak-balikkan antara peti saya dan petinya sendiri. Akhirnya dia masukkan juga buku Revolusi itu ke dalam peti saya dengan perkataan: “Nou, toe maat”.
Di masa itu politik adalah “terra incognita” (onbekend land) buat saya. Tidak saya benci dan tidak saya sukai, karena saya sama sekali tak insyaf akan adanya politik itu. tetapi di masa Strum und Drang di atas, di masa pikiran melompat, menyelundup, membelok ke kiri ke kanan dan menerobos laksana air tertahan, maka tiba-tiba buku “De Fransche Revolutie” menjelma menjadi satu teman bahagia buat pikiran yang lelah sedang mencari.
Bukti pula yang seolah-olah menguatkan rasa “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan” bangsa Perancis itu, ialah sikapnya yang ramah tamah terhadap bangsa berwarna yang ada di sana (Perancis) di masa itu. bukankah pula bangsa Arab, Senegal dari Amman dengan taat dan tekad membela “France” di medan perang Eropa? Seperti keberanian dan kesetiaan Gurkha di samping Inggris mengagumkan dunia di masa itu, demikianlah pula adanya tekad kesetiaan serdadu dari Algeria-Perancis terhadap Perancis.
Pada masa itu kemajuan pikiran saya belum sampai ke tingkat dialektika berdasarkan materialisme, dan mengupas semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite tadi dalam suasana kapitalisme dan imprialisme. Belum ada dalam pandangan saya klas borjuis dan klas proletar di samping bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Pandangan ini baru timbul sebagai sambungan kemajuan mencari paham yang memuaskan, ketika Revolusi Komunis sebagai bom peledak yang menggemparkan seluruh dunia, pada bulan Oktober 1917 di Rusia. Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes, “Marische Ekonomie” oleh Karl Kautscky dan lain-lain sebagainya. Selanjutnya banyak brosure yang berhubungan dengan Revolusi Sosial di bulan Oktober 1917 itu diterbitkan.
Circlenya “thesis, anti thesis dan synthesis” mendapat kesempatan pada tingkat pertama. Lingkaran “Ada, Pembatalan dan Kebatalan Pembatalan” mendapat taman bahagia buat bersemayam.
Demikianlah ombak asyik dalam ribut taufan Asia, dimana keadaan lahir mendorong pikiran bergerak terus menerus, akhirnya laksana sungai di gunung, terjun, tergenang, mengalir, dan menerobos sampai ke kualanya di Samudera.
Thesis, anti thesis dan synthesis!
Dalam lapangan filsafat berupa: Niestche sebagai thesis, Rousseua sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-Engels sebagai synthesis. Dalam lapangan politik berupa: Wilhelm-Hidenburg-Stinnes sebagai permulaan, Danton-Robespiere-Marat sebagai pembatalan, serta kaum Bolsjewik sebagai Kebatalan Pembatalan.
Proses pertama sudah berlaku dalam pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan. Proses kedua: “Paham berkehendak membentuk masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.
Kemauan, kecerdasan dan perasaan itu memang memuncak dalam keadaan jasmani yang sehat: “Men sana in cor poro sano”. Tetapi sebaliknya, tiadalah jiwa itu rusak remuk begitu dengan merosotnya kesehatan. Sering pula penyakit itu hampir tak terasa, kalau kemauan berjuang melakukan paham yang jelas dan kuat memberi pengharapan besar akan kejayaan. Seolah-olah jiwa yang hidup dalam masyarakat baru itu, meskipun cuma satu idaman belaka, tak memperdulikan adanya penyakit badan dan penyakit masyarakat yang ada menghalang-halanginya. Seolah-olah perjuangan itu sendiri yang menjadi jiwa hidup dan kehidupan jiwa.
Dokter Jansen yang merawat penyakit pleuritus saya itu sudah sedikit tua, ramah-tamah dan biasa tercampur baur dengan rakyat rendahan. Tetapi penyakit pleuritus memang sukar dibasmi. Air yang ada antara punggung dengan paru-paru itu tak sama sekali kering. Pemeriksaan kurang, alat kurang dan obatpun cuma yang murah saja. Sesudah ujian guru, temperatur saya terus agak tinggi saja.
Entah apa yang diusahakan oleh Guru Horensma dari Indonesia, saya tak tahu, tetapi ketika saya masih sakit itu, kiranya pada tahun 1916-1917, pada suatu hari saya dijemput oleh seorang wakil dari satu studiefonds di Nederland yang dilindungi oleh bekas G.G. Van Heutz. Fonds ini memberi pinjaman pada pelajar Indonesia dengan bunga 5%. Pengawas dari Fonds ini, tuan Fabius, berhubungan langsung dengan saya. Tuan Fabius adalah seorang terkemuka di Nederland, bekas Jendral-Mayor Pertahanan Amsterdam bagian Artileri, pengarang buku, yang agak terkenal dahsyat-gemuruh suaranya. Terbentuklah fahamnya dahsyat juga, sebagai faham temannya bekas G.G. Van Heutz, yang cukup terkenal dalam penggempuran rakyat Aceh.
Tempat baru di Bussum, kota kecil penuh dengan villa besar-besar. Rumah yang saya tumpangi, sedang besarnya buat kelas menengah, keluarga guru. Hawa selalu sangat segar, cahaya matahari masuk dengan leluasa ke beranda, makanan penuh mengandung zat dan masakan terpelihara, sayur mayur dan buah-buahan tak kekurangan. Hawa dan makanan itu saja sudah mengembalikan setengah kekuatan. Perawatan dengan listrik oleh dokter terkenal, Klinge Doorenbos, dalam satu dua bulan mengeringkan air di pinggir paru-paru dan mengembalikan kesehatan seperti lebih kurang ketika saya di Indonesia.
Makan minum dan kediaman saya di Bussum memang setengah mewah, bisa menidur lenakan, mengikat jasmani serta rohani ke dunia borjuis. Untunglah pikiran sudah berada dalam perubahan revolusi yang menghampiri perubahan revolusi. Pengalaman di Haarlem dengan suasana hidup di rumah satu keluarga proletar yang bernasib malang sudah cukup memberi peringatan adanya jurang luas dalam antara borjuis dan proletar, walaupun dalam negara kapitalis-imperialis yang termashur di seluruh dunia seperti di Nederland. Pecahnya revolusi Bolsyewik di Rusia tahun 1917, ketika saya sudah berada di Bussum kota borjuis itu. revolusi itu memberi keyakinan pada jiwa yang masih ribut dalam taufan pergolakan thesis, anti thesis, bahwa masyarakat seluruhnya sedang beralih ke zaman sosialisme. Lama atau sebentar sosialisme mungkin bisa terpukul di sana-sini, tetapi sebagai balans perhitungan masyarakat dunia seluruhnya, mesti menjauhi kapitalisme dan mendekati sosialisme. Dengan kesehatan yang tak pernah lagi terganggu dan paham politik serta pandangan hidup yang sudah pasti padu, saya berhadapan dengan kehidupan borjuis itu.
Pada suatu hari saya dengar kabar bahwa Van der Mij datang mengunjungi tuan Fabius buat meminta saya pindah kembali ke Haarlem, ke rumah ibunya. Bukan karena pembayaran makan semata-mata, karena dia sudah mempunyai tamu lain sementara, karena nyonya Van der Mij, wanita jujur sederhana itu, sunyi sesudah Van der Mij tua meninggal. Dan Ipie dianggapnya seperti anaknya sendiri. Van der Mij muda memperingatkan pula kepada tuan Fabius akan perjanjian sebelum berangkat ke Bussum, bahwa saya akan dikembalikan ke Haarlem sesudah sembuh sama sekali.
Perkataan apa yang sebenarnya dipakai oleh tuan Fabius, saya tak tahu. Tetapi permintaan itu ditolak. Apa alasan tuan Fabius untuk menolaknya tak perlu kita coba menduga-duga, sebab saya sudah terikat oleh fonds baru itu.
Dengan perantaran tuan Been, seorang penerbit majalah kanak-kanak, kemauan saya sudah diketahui oleh tuan Fabius. Kemauan itu tak saya sembunyi-sembunyikan: “Saya mau pulang. Kerja di mana saja buat membayar hutang yang masih sedikit. Kemudian kembali ke Eropa, buat mempelajari apa yang cocok dengan hasrat hidup saya, dengan ongkos sendiri.
Dengan pendek dijawab oleh tuan Fabius: “Tak bisa, karena di masa perang tak ada tempat di kapal”.
Saya terpaksa menunggu habisnya perang, yang tak bisa ditentukan kapannya itu. tetapi kehendak buat meneruskan belajar lagi, supaya nanti diperbolehkan menjadi guru-kepala Belanda, tak ada pada saya sama sekali. Boleh jadi saya bisa jadi guru kepala yang dianggap penuh sederajat dengan guru kepala Belanda, yakni kalau di mata Belanda saya sudah bisa meng-European-kan diri saya (walaupun tetap European Inlander) supaya berhak mengajar anak-anak Belanda. Lagi, sebagai European Inlander tadi saya sanggup meng-European-kan semua anak-anak “Inlanders”. Yang demikian ini saya tak sanggup.
Sudah tentu pekerjaan mendidik anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah satu pekerjaan yang tersuci dan terpenting di masa itu dan sekarang. Dan soal kemana didikan itu mesti diarahkan, dasar apa yang mesti dipakai, serta cara apa yang mesti diukur, buat saya sendiri itu tepat bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda Penjajah. Bagi saya, bahasa Belanda pasti bukan bahasa pengantar, dan kebudayaan Belanda bukanlah arah pendidikan kita.
Konflik saya dengan lingkungan baru di Bussum terlampau banyak buat diuraikan di sini semuanya satu persatu.
Dengan nyonya rumah, nyonya K, yang di mata saya memakai kedok agama buat mendapatkan kedudukan dalam gereja dan masyarakat seagamanya saja, saya tak merasa banyak simpati. Nyonya K, sangat fanatik kepada Madzhabnya, ialah doopsgezind. Kalau cuma fanatik menjalankan ajarannya saja, tak akan banyak menyinggung perasaan orang lain. Tetapi nyonya K, juga terlampau pasti, bahwa aliran lain di antara agama Kristen sendiri, apalagi agama Islam, seakan-akan sama sekali tak beres. Kembali dari khutbah tiap-tiap Minggu, nyonya K, sedang makanpun terus membicarakan pidato yang didengarnya, walaupun kami para pendengar bukan doopsgezind. Inipun tak berapa kalau dibicarakan dengan cara biasa. Tetapi nyonya K selalu merah padam kalau kembali dari gereja. Yang pokok memerah-padamkan nyonya K, ialah kalau membicarakan jamaah umumnya, dan perkara pilihan pimpinan jamaah itu khususnya, karena nyonya K  tak terpilih, kalah suara oleh anggota lain sejamaah dalam pilihan tahun itu. menurut nyonya K, pemilihan itu dilakukan dengan tidak jujur, sebab dia sendirilah yang mestinya mendapatkan suara terbanyak. Memang lucu pertengkaran dalam Jamaah doopsgezind di Bussum itu. Jumlah anggotanya barangkali tak lebih dari 30 orang, dan “kejujuan” itu adalah semboyan nyonya K sendiri. Untunglah tuan rumah mengiakan apa yang dibilangkan oleh nyonya. Biasanya tuan rumah pendiam dan sabar. Tetapi ada juga perkara yang membangkitkan tuan K, dari ketenangannya, yakni kalau membicarakan sosialisme umumnya dan pimpinan sekolah khususnya. Tuan K, adalah seorang sosialis, guru sekolah dan fel anti-hoofdschap, anti guru kepala di sekolah. Buat tuan K, dan para teman sealirannya guru kepala itu adalah satu mahluk yang tak perlu. Para guru bisa mengatur sekolah itu secara gotong royong dengan tak perlu diawasi diselidiki dan di school-vos-i oleh guru kepala yang tak memimpin klas, cuma mondar-mandir atau goyang-goyang kaki saja. Yang kurang mengerti ialah kalau tuan mulai menyemburkan kutuknya terhadap system “guru kepala”, maka ada saja alasan nyonya buat pergi ke dapur atau ke loteng. Seolah-olah ada persetujuan antara tuan dan nyonya. Kalau nyonya menyembur “kepala Jemaat” di gerejanya, maka tuan main “ya” dan kalau tuan menyembur “guru kepala” maka nyonya segera berangkat ke dapur atau ke loteng.
Dengan saya, taktik itu rupanya tak bisa dijalankan. Konflik terjadi di masa waktu Syarikat Islam dan Budi Utomo datang di Nederland, berhubung dengan soal Indie weerbaar. Soal Indie weerbar itu juga sampai menyelundup di Bussum dan di lingkungan rumah kami. Pada salah satu percakapan sekembali saya dari rapat Indie weerbaar di Den Haag, nyonya mengemukakan perkara ini dan mengambil sikapnya penjajah Belanda mentah-mentah. Konflik meletus!
Saya pindah ke rumah lain, menumpang pada seorang exportir di sebuah villa yang kecil. Tuan D, tuan rumah itu, adalah seorang Jerman, pedagang dan ramah tamah. Sedang nyonya rumah orang Belanda, muda, sabar dan lemah lembut. Tuan-nyonya menerima dua pelajar Indo, seorang Tionghoa, lagi seorang Indonesia yang sudah lari dari tempat saya tadi. Dua pelajar Indo ini bukannya orang jinak, mereka dipindahkan dari Den Haag ke Bussum buat mendapatkan suasana yang lebih baik (beschaafd) di bawah pengawasan tuan Fabius. Mereka adalah dua bersaudara. Tak begitu maju di sekolah. Walaupun sudah berumur 19 dan 18 tahun, dan anak orang berada juga, mereka cuma sanggup mendapatkan ijazah sekolah rendah. Di Bussum mereka masuk kursus malam buat boekhouding.....pun dengan susah payah melanjutkannya, di mana kecerdasan mereka sangat rendah, kenakalanlah sangat memuncak.  Mereka dipindahkan dari Den Haag itu lantaran melemparkan tantenya dari loteng ke bawah.
Di masa ramai-ramai, kalau ada pemuda apalagi pemudi, kenakalan yang tua (OS) meningkat. Pada malam kedua saja tiba-tiba O.S sudah belitkan tangannya di leher saya dari belakang: “Ini silat kepiting Iep” katanya. Tetapi rupanya bukan secara main-main, sebab saya rasa leher saya tertekan dan susah untuk bernafas. Untunglah saya mendapatkan sedikit pusaka tentang silat kepiting itu. Yang kena sepit bukannya saya! Kebetulan ada air segelas di atas meja buat melayani “eerste hulp bij ongelukken”. O.S. bisa lekas dibangunkan kembali. Semenjak itu dia baik sekali terhadap saya. Rupanya yang disegani orang semacam itu cuma kekuatan nyata saja. Tetapi di samping segannya kepada saya, kecerobohannya terhadap yang lain-lain terutama yang dipandangnya lemah, semakin memuncak. Dengan saudaranyapun (H.S) saya berurusan juga kemudian. Bukan karena dia (H.S) agresif, ceroboh atau mengirimkan ultimatum kepada saya, melainkan karena menghina nyonya rumah. Sedang saya membaca terdengarlah dia mendesakkan fahamnya sambil menghina: “Nyonya bodoh, nyonya goblok”. Sudah dua kali saya peringatkan, supaya jangan diteruskan, setelah ketiga kali dipakainya perkataan lain, tetapi lebih tak pantas dihadapkan pada satu wanita yang tak pernah memakai perkataan kasar atau sombong. Entah bagaimana jalannya saya meloncat dan dia terpelanting jatuh ke dinding. Semenjak itu di belakang saya dia menggelari saya “De tijger”.
Si Tionghoa rajin , pendiam dan pintar. Mulanya akrab sekali dengan saya. Kemudian sedikit cekcok, tetapi karena dia sakit saraf, lama tak tidur, menghapal, maka saya sangat menyesal. Belakangan ia menjadi teman baik kembali. Si Indonesia selalu di rumah sakit saja, hal mana sangat menyedihkan kami, sampai dalam keadaan sakit ia terpaksa dipulangkan ke Indonesia.Demikianlah sekiranya keadaan di sekitar lingkungan baru ini dalam arti sempitnya.
Revolusi Rusia sudah hampir satu tahun berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia saya harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu terpaksa meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada pemuda, tak mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam percakapan hari-hari tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R, nyonya teman saya, kalau berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah saya insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Pada suatu hari Suwardi Suryaninggrat yang sekarang kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, tiba-tiba mengusulkan kepada saya mewakili Partainya di Nederland, karena ia akan berangkat ke Indonesia. Di mana itu Partai Nasionalisme, Sosialisme dan Bolsjewisme sudah cukup terang bagi saya. Tetapi aksi dalam satu partai dan mewakili satu partai yang pernah amat revolusioner itu belum begitu jelas buat saya. Indische Vereeniging dengan R.M. Noto Surotonya tak banyak memberi pemandangan kepada saya, apalagi pengalaman. Saya memandang ke mukanya Dewantara, tetapi tak tahu, apa mesti jawab saya. Dia tersenyum! Saya memandang ke muka almarhum Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dia pun tersenyum dan katanya “Sudah pada tempatnya, terima saja”. Tiba-tiba tak lama kemudian saya sudah mewakili Indische Vereeniging pada kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di Deventer. Saya dipilih memberi preadvices tentang pergerakan nasional di Indonesia.
Inilah pekik pertama, yang seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. “Dat most niet mogge, niet waar?” Setiba di Bussum saya didebati oleh beberapa Belanda Kolonial, terutama oleh tuan Fabius sendiri.
Entah 5 kali entah 6 kali pada satu masa berturut-turut saya dipanggil ke rumahnya tuan Fabius pada malam hari. Perundingan atau lebih tepat perdebatan mengenai persoalan seluruhnya cabang masyarakat yang amat bergoyang di masa itu, walaupun tak campur perang, yakni masyarakat Nederland yang tak luput dari kodrat taufan dari Eropa Barat. Persoalan politik, sosial..tetapi persoalan pendidikanlah yang tak putus dibicarakan. Persoalan ini langsung dan tak langsung mengenai diri saya sendiri.
Tentulah saya setuju dengan aliran, bahwa pendidikan itu dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi, tidak saja harus berada di bawah pimpinan dan pengawasan Negara, tetapi buat murid yang memang cakap juga harus atas ongkos Negara.
Keberatan tuan Fabius yang sebenarnya, yang perhubungan dengan klas borjuisnya umumnya, dan bangsanya terhadap bangsa Indonesia khususnya, tidak sukar dipahami. Menurut tuan Fabius, politik semacam itu akan menambah banyak (Quantity) dan mengurangi nilai (Quality) kecerdasan (intelect). Sekarang pun, katanya sudah besar jumlah pengangguran di antara golongan intelect, walaupun didikan universiteit sudah terbatas bagi anak orang yang mampu saja.
Menurut saya, dalam satu masyarakat, di mana produksi dijalankan menurut rencana, dibarengi pendidikan menurut rencana pula maka pengangguran tak mungkin ada, dan kalau ada, tak mungkin lama, sebab pendidikan itu dicocokkan dengan kebutuhan produksinya masyarakat. Bukan seperti sekarang, diombang-ambingkan oleh adanya persediaan dan permintaan (supply and demand) di pasar kaum kapitalis yang masing-masing menghasilkan semau-maunya saja. Kecerdasan tak akan turun, karena syarat buat meneruskan pelajaran sampai Universiteitpun tidak ada lagi kemampuan si bapak, melainkan semata-mata kesanggupan otak dan hati si murid ditetapkan oleh Badan Pendidikan Negara. Di zaman sekarang banyak otak cerdas dan watak yang bagus terhambat dan terpendam karena tak mampu. Sebaliknya banyak yang mendapatkan titel, yang sebenarnya bukan haknya.
Pembicaraan yang belakang ini sendirinya menyinggung keinginan yang dahulu pernah saya majukan, ialah belajar di sekolah Opsir di Breda. Kata tuan Fabius, ini tak bisa dilakukan karena keberatan bahasa Perancis, Jerman dan Inggris. Saya kemukakan ke Kampen pun mau. Di sana murid keluaran sekolah rendahpun bisa diterima. Inipun tak boleh.
Di jalan menuju ke rumah, malah sampai jauh malam, kesekian kalinya saya renungkan keadaan saya. Dahulu, ketika pertama kali saya memikirkan keadaan saya semacam ini, saya memberontak hebat terhadap segala-gala, termasuk diri saya sendiri. 
Tetapi dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, saya sanggup memandang kedudukan saya dengan semangat filsafat dan menunggu waktu dengan sabar sebagai seorang pelajar dari bangsa terjajah, anggota keluarga yang hanya mengenal agama dan adat kuno, walaupun termasuk keluarga yang mampu, tetapi masih berada dalam perekonomian sederhana (primitive): mempunyai harta benda yang cukup tetapi tak boleh diperdagangkan, mendapat pangkal pendidikan ibu, pendidikan yang tak bersambungan dengan didikan di negara ibu, tidak berada di negara Amerika di masa makmur di mana pelajar miskin siang bisa bekerja dan malam mengunjungi sekolah, tak sanggup kembali ke Indonesia, karena perang masih mengamuk....semuanya itulah yang jelas tergambar di dalam pikiran saya. Lebih jelas pula gambaran hutang yang 1500 rupiah kepada Engku fonds di Indonesia, dan yang 4000 rupiah kepada fonds di Nederland yang diawasi oleh Tuan Fabius.
Tanggung jawabnya terhadap fonds di Nederland atas hutang saya, itulah yang rupanya lebih jelas lagi buat tuan Fabius.
Besok paginya tuan Fabius sendiri datang ke tempat saya buat meneruskan perundingan. Saya berada di kamar loteng, di samping tempat tidur nyonya D yang sedikit sakit. Salah seorang anggota rumah mengabarkan kepada saya, bahwa tuan Fabius mau bicara dengan saya. Nyonya D, yang rupanya mengerti betul keadaan menasehatkan kepada saya supaya berlaku hati-hati. Seperti yang sudah-sudah kedua saudara H.S dan O.S pontang-panting melarikan diri mendengarkan suaranya tuan Fabius yang memang dahsyat, gemuruh itu.
Pembicaraan agak membosankan saya, sebab cuma mengulang-ngulang yang dulu saja. Tetapi setelah terbayang perkara “hutang” dan “terima kasih”, dan dianjurkan oleh tuan Fabius supaya saya kembali ke Indonesia, maka saya kemukakan kekberatan saya. “Kenapa pada permulaan perang, sesudah ujian saya mau pulang ditahannya, karena katanya tak ada kamar di kapal, dan sekarang di waktu kapal silam lebih mengamuk, tuan Fabius dapat mendapat kamar buat saya?”
Karena perkara terima kasih itu walaupun tak langsung tidak pertama kali saya dengar-dengar dan mulutnya orang Belanda, juga dari orang lain dari tuan Fabius, maka saya kemukakan, bahwa saya berkeberatan meneruskan mendapat pinzaman dari fonds yang diwakili oleh tuan Fabius itu.
Pembicaraan berhenti, tertegun saja. Rupanya tuan Fabius sendiri dan tuan rumah tak mengira lebih dahulu jawab saya semacam itu.
Itu malam juga saya dipanggil oleh tuan-nyonya D, ke kamar loteng tadi. Kata tuan D, kepada saya “Dalam perundingan tadi pagi engkau sedikit keras. Tetapi kami mengerti sungguh. Nyonya dan saya setuju mengizinkan engkau terus tinggal di rumah kami als kind des huizes (seperti anak sendiri) sampai engkau bisa kembali. Cuma uang saku kami tak sanggup memberi, karena dagang saya terlantar.
Lebih dari uang saku saya dapat dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada Belanda yang mau berangkat ke Indonesia. Tuan dan nyonya di masa itu sangat rukun, dan ketentraman di rumah memberi suasana yang baik dan sehat sekali kepada kami, sampai tiada berapa lama saya berangkat ke Indonesia. Dunia banyak berubah selama 2 tahun saya tinggalkan. Kerukunan suami istri banyak menjadi renggang dengan bergoncangnya modal sesudah perang Dunia I. sekembalinya saya di Nederland 1 Mei 1922, sesudah dibuang dari Indonesia, saya dapat tuan-nyonya berpisah, gescheiden van tafel en bed, talak tiga. Tidak bisa lagi dipersatukan. Nyonya yang mempunyai pemandangan luhur terhadap perhubungan suami-isteri terlampau tersinggung oleh  pergaulan tuan yang menurut faham nyonya adalah pengkhianatan terhadap  pergaulan yang dianggapnya monopoli suami-istri. Keuangannya tak terjamin lagi. Saya gembira mendapat kesempatan membalas budi. Tetapi setelah berpisah pula, maka dari teman di Nederland saya menerima surat mengatakan bahwa keadaan nyonya D amat menyedihkan. Tetapi belakangan saya mendapat kabar lagi bahwa bekas nyonya D, bekerja dalam kapal yang berlayar ke Amerika. Kabar ini lebih menggembirakan: “Tak mau berpangku tangan mengharapkan pertolongan laki-laki saja....dan terima saja semua perlakuan suami itu, untuk menolak semua yang dirasa melanggar cita-cita dan kehormatan kewanitaan.”
Saya sangka saya cukup mengenal diri buat berkata bahwa saya bukanlah seorang yang mudah melanggar tata kehormatan dan tertib terhadap orang tua. Apa lagi terhadap orang tua sopan seperti tuan Fabius, yang sudi memberi pertolongan menurut aliran moral yang dianggapnya baik. Tetapi sebaliknya saya merasa tersinggung kehormatan saya, oleh desakan tuan Fabius itu, lagi kalau diingati bahwa perhubungan dengan studiefonds di Nederland tiadalah dilakukan dengan persetujuan, malahan tiada dengan pengetahuan saya.
Rupanya tuan Fabius tak bisa meninggalkan perkara itu sampai di situ saja dan menunggu sampai saya kelak berada dalam keadaan dapat membayar kembali hutang saya seperti saya janjikan. Ia menuliskan kepada guru Horensma di Indonesia, menceritakan peristiwa tadi. Entah apa yang ditulisnya.
Syahdan pada suatu malam didatangi oleh seorang tuan, ipar dari guru Horensma. Dia datang mengabarkan, bahwa guru Horensma dengan marah membalas suratnya tuan Fabius. Dalam suratnya sang guru mengatakan, bahwa dia cukup lama mengenal saya bekas muridnya, masih tetap percaya akan kejujuran bekas muridnya itu. bersama itu dikirimkan f4000,- pembayar hutang tambah bunganya kepada Studiefonds yang diwakili oleh tuan Fabius itu.
Saya merasa lebih terikat hutang lahir batin. Sekarang saya berhutang kepada  engku kampung saya sendiri, dan kepada bekas guru sendiri sejumlah kurang lebih f6000,- Pun surat dari ibu-bapak memperingatkan janji saya sebelum berpisah, yakni mau lekas kembali hanya buat 2-3 tahun saja.
Perang sudah selesai. Tempat di kapal masih terbatas. Tetapi karena saya mendapat pekerjaan di Senembah Mij, satu dari onderneming terbesar di Deli, maka perkara ongkos dan tempat di kapal tiadalah menjadi soal. Pekerjaan itu ialah sebagai pembantu pengawas semua sekolah buat anak kuli di Senembah Mij tadi. Saya akan kerja sama (samenwerken) mendapatkan sistem yang pantas buat anak-anak kuli kebun itu dengan seorang guru Belanda, bekas murid saya dalam bahasa Indonesia di Amsterdam. Saya menerima uang persediaan (uitrustingsgeld) f 1500,- dijanjikan gaji f350,- sebulan, mendapat rumah, air, listrik dan kendaraan prei. Di kapal saya akan mengajarkan bahasa Indonesia kepada beberapa orang termasuk Direktur dari Senembah Mij sendiri, ialah Dr.Jansen bersama dua ponakannya.
Inilah penyelasaian yang memuaskan dalam keadaan demikian, baik lahir maupun batin. Dipandang dari sudut keuangan, maka dalam perjalanan menuju Indonesia itu saja, saya sudah sanggup mendapatkan uang yang harganya hampir bisa menyelesaikan hutang saya dengan Engkufonds. Dipandang dari sudut ideologi dan hasrat hidup saya akan dapat kesempatan mempelajari keadaan di bagian Indonesia, yang terkenal sebagai “Deli-het Goudland” dan bercampur gaul dengan golongan bangsa Indonesia sendiri yang paling melarat-malang, terhisap-tertindas, yang kita ingat dengan nama “kuli kontrak”.
Sekalian tinjauan selayang pandang tentang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh di belakang, ditinggalkan kapal yang tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan buat pasal ini sudah melebihi rancangan saya, sehingga saya terpaksa mengikhtisarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang saya tempuh sekarang.
Pintu gerbang ke Laut Tengah sudah dimasuki! Jilbratar. Jabal Tarik, menuju ke....Terusan Suez....Gunung Sinai......Laut Merah.
Ber-buku-buku, berpeti-peti, bahkan bergudang-gudang buku yang tertulis tentang sejarahnya beberapa negara di sekitar Laut Tengah ini: Egypte (Mesir), Phunisia, Yudea, Syria, Yunani, Turki, Roma, Arabia, Spanyol, Italia dan Perancis. Dari sekitar laut Tengah inilah kita warisi sari kebudayaan yang terpenting buat masyarakat yang di masa ini kita junjung dan kita pakai sebagai anak tangga menaiki jenjang yang tak ada batasnya, teknik, ilmu pengetahuan dan beberapa tiang dalam kesusilaan.
Kemajuan tenaga manusia dan hewan yang dikerahkan oleh Raja Fir’aun buat mendirikan pyramid sampai kekuatan tenaga listrik dan atom di zaman sekarang mengambil tempo lebih kurang 10.000 tahun. Kemajuan itu sebahagian besar berlaku di sekitar Laut Tengah juga.
Meskipun kemajuan teknik dalam ilmu pasti majunya berbanding naik dengan bertambahnya tahun, tetapi tiadalah begitu dengan majunya moral, yang dipancarkan oleh 3 agama dunia yang dilahirkan di sekitar Laut Tengah: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Kalau kemajuan moral, yang melarang mencuri, membunuh, tetapi menyuruh menyayangi sesama manusia dan sebagainya, tidak mundur, tidaklah pula boleh dikatakan maju berbanding naik, karena bermaharajalelanya hisapan dan tindasan kapitalisme-imprialisme, antara golongan dengan golongan, serta antara bangsa dengan bangsa, di samping timbulnya perang dunia yang dengan langsung atau tak langsung melenyapkan jutaan harta-benda dan jiwa manusia dengan cara massal, sekalian, merampok, memperkosa dan membunuh.
Bagaimanapun juga di sekitar Laut Tengah inilah kita dapati  bayi dan buaian sebagian besar dari semua teknik, ilmu dan moral. Tetapi di sekitar Laut Tengah inilah pula berlakon peperangan bangsa melawan bangsa yang lebih jelas dan rasional (masuk akal) diwariskan kepada kita, di antaranya: Perantauan Iskandar Zulkarnain sampai ke sungai Gangga di Hindustan, Peperangan Hanibal melewati pergunungan Alpen, Peperangan Islam di bawah pimpinan Arab dan Turki, dan kemenangan Napoleon Bonaparte di zaman Revolusi Perancis.
Tetapi dengan warna kaca yang berlainanlah sekarang saya melihat semua peristiwa perang di zaman lampau. Memang pada permulaan kegembiraan membaca sejarah dunia itu, yang sekonyong-konyong terkembang di depan mata sebagai alam baru, adalah perhatian saya yang terpusat pada muslihat dan kemenangan Iskandar, Hanibal, Caesar, Jengis Khan. Tetapi dengan Napoleon perhatian terhadap keluhuran akan dan kodrat perseorangan itu sudah dibatasi oleh pertanyaan apa sebab dan untuk golongan yang mana semua peperangan, semua pembunuhan  itu dilakukan?
Jawaban atas pertanyaan “apa sebab” dan “untuk golongan yang mana” itu, lazimnya tiada dikemukakan, apalagi dijawab, oleh hampir semua buku sejarah karangan ahli borjuis berdasarkan individualisme. Ada juga dimajukan sebab, tetapi sebab yang dikulit saja. Sebab dari pada sebab atau sebab yang lebih dalam, tak pernah dikupas dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah borjuis sekarang, secara systematis dan consistent.
Sebab peperangan yang saya maksudkan, ialah sebab yang timbul dari kebutuhan produksi, yang dimiliki serta dikuasai oleh salah satu golongan di dalam satu negara, buat kepentingan golongan itu. Di zama abad ke 20 ini kita tahu sebabnya Jerman menjadi agresif, ceroboh, ialah karena kebutuhan bahan dan pasar, buat kaum feodal borjuis Jerman. Demikian pula sebabnya peperangan di masa depan, akan ditimbulkan oleh kebutuhan pasar buat menjual belikan bahan dan barang pabrik, atau untuk menambah modalnya golongan kapitalis. Diplomat yang berdiplomasi, politiknya yang memimpin dan memajukan “isme” prajurit yang bertempur, hanyalah buat membela golongan yang berkepentingan itu.
Buat yang mau mengerti nyatalah umpamanya Egypte atau Syria memerangi negara tetangganya dengan hasrat untuk merampas tenaga-manusia. Penduduk negara kalah terang-terangan dijadikan budak. Yang dianggap akan bisa membalas, dibunuh sama sekali bersama perempuan dan kanak-kanak.
Akan tetapi Iskandar Zulkarnain, Hanibal, Caesar ataupun Abdurrahman, tak lagi berlaku demikian. Mereka sudah dianggap penakluk yang mulia, ksatria. Tentu ada sebab lainnya yang lebih dalam dari pada sebab sanubari para ksatria itu saja. Sebab ini mesti dicari pada kebutuhan produksi yang sudah berubah sifatnya karena perubahan teknik dan seterusnya mesti dicari pada susunan golongan masyarakat dalam negeri itu yang berubah pula karena perubahan teknik. Umpamanya kemajuan produksi sesuatu negeri membutuhkan tetangga yang cukup makmur buat membeli hasilnya, jadinya membutuhkan pasar. Negara tetangga yang kalah, yang lantas dikosongkan dengan pedang, bukanlah pasar yang dikehendaki lagi oleh negara menang. Cukuplah kalau negara kalah itu dikuasai dan diawasi saja, bahkan lebih baik kalau bisa dijadikan propinsi yang makmur, yang sanggup membeli hasil dari negara penakluk terus menerus.
Begitulah agaknya keadaan negara Yunani di masa Iskandar dan Spanyol di masa Abdurrahman. Tetapi sejarah yang dikarang oleh borjuis tak bisa meninjau ke sana, ke arah perubahan produksi itu. Mereka pusatkan peperangan itu pada perseorangan, individu saja. Kepada kemauan, kecakapan dan kecerdasan individu itu saja. Buat mereka, Iskandar, Caesar dan Napoleon itulah dasar dan tinjauan yang awal dan akhir. Buat kita, sesuatu golongan yang berkuasa atas produksi dan akhir dasar dan tujuan, sebab dan akibat. Iskandar, Caesar ataupun Napoleon, adalah alat dari satu golongan dalam masyarakatnya saja, dan memang alat yang cerdas, berani dan cakap yang menjadi pujian golongannya.
Di antara beberapa kota yang didiami bangsa Yunani, kita mengenal Negara Kota Sparta, sebagai contoh negara berdasarkan autokrasi, keningratan. Ini kita andaikan: thesis. Negara kota Athena berdasarkan demokrasi. Anti thesis: Lama sekali kedua negara itu bertentangan, berlawanan dan berperang-perangan. Walaupun berbangsa satu. Dalam pertentangan terus menerus itu timbullah kerajaan Macedonia, dipimpin oleh raja Filip, seorang ningrat. Tetapi anaknya Iskandar mendapat didikan dari pujangga Athena yang terbesar di zaman Yunani, ialah Aristotheles. Iskandar mempersatukan Sparta dan Athena, keninggratan dan kerakyatan dalam satu kerajaan: synthesis. Iskandar Zulkarnain mempunyai hasrat mempersatukan Barat dan Timur, synthesis yang lebih maju. Peleburan kebangsaan dan kebudayaan Barat dan Timur baru saja berada pada titik melangkah, waktu Iskandar mati muda.
Caesar menghadapi dua pertentangan pula. Di dalam negara Republik Romawi berlaku pertentangan dan perlawanan yang hebat antara golongan Patricia (Ningrat) dan Plebia (Melarat). Keluar berlaku pertentangan bangsa Romawi dengan bangsa asing bangsa Barbaria.
Iskandar lebih dulu membereskan pertentangan di dalam daerah Yunani baru keluar membereskan pertentangan Yunani dengan  bangsa asing di sekitar Republik Romawi, di sekitar Laut Tengah sampai ke Inggris dan Jerman. Baru dia pulang dengan laskarnya yang berpengalaman, melampaui sungai Rubicon, buat membereskan pertentangan dalam Republik Romawi itu.
Caesar berlaku sebaliknya. Lebih dahulu diperlakukannya bangsa asing. Dia seorang berasal Ningrat (thesis), mengambil faham Democracy dan memimpin kaum Plebia (anti-thesis), menghancurkan musuhnya Partai Sulla dan Pompeiji, keduanya Nigrat, dengan hasrat mendirikan kerajaan, Caesar-rijk (Kizer-rijk) ialah rupay synthesisnya.
Caesar mati dibunuh oleh musuhnya, ketika ia baru saja berada di kaki singgasana Kerajaan. Walaupun jasmaninya tewas, rohaninya terus hidup. Kerajaan Roma sebagai synthesis.
Seperti Caesar, Napoleon lebih dahulu juga membereskan pertentangan Perancis dengan negara sekelilingnya, sesudah mendapat kekuasaan dan populeriteit karena kemenangannya, barulah ia membereskan pertentangan di dalam negara Perancis. Proletaria Jacobin di pikah kiri, dan Borjouis Nigrat di pihak kanan. Dengan hancur leburnya kedua pihak itu, maka Napoleon yang pada masa mudanya pengikut Jacobijnisme, akhirnya mendirikan Kerajaan Napoleon sebagai synthesis.
Tidak selalu synthesis itu bisa tercapai atau dicapai dengan mudah! Tidak pula synthesis yang sudah tercapai dengan kekerasan itu kekal hidupnya. Biasa sekali synthesis yang sudah tercapai itu hanyalah satu thesis belaka, yang menimbulkan anti thesis.
Iskandar menaklukkan seluruh bangsanya sendiri dengan menghancurkan kota Rep Thebes, Kerajaan yang didirikannya dengan pedang itu pasti menimbulkan usaha atau pemberontakan beberapa harga untuk melepaskan diri dari synthesis yang dipaksakan tadi.
Caesar dan Napoleon melalui lautan darah buat mendirikan Kerajaannya. Dan kerajaan mereka diakhiri oleh pemberontakan dari pada beberapa bangsa yang tertindas.
Tetapi Hannibal, walaupun statesman yang jarang dilahirkan dalam seratus tahun, walaupun Panglima yang boleh jadi tak ada yang melebihi serta jarang yang menyamai. Panglima berkemauan baja, berotak cerdas, gilang gemilang di depan waktu bertempur dan di belakang waktu mundur teratur, tahan panas dan dingin, hidup seperti prajurit, bisa dicintai, dipuja dan didewakan oleh tentaranya, disokong oleh negara kaya raya....kalah oleh lawan, oleh Panglima Roma yang jauh kurang dari dia dalam segala-galanya. Sejarah yang dikarang oleh ahli borjuis tak cukup mengupas keadaan produksi Carthago, persoalan makanan, perdagangan dan sebagainya, kalau dibandingkan dengan kota Roma yang lama dikepung oleh Hannibal. Kita tahu, bahwa pada akhir peperangan, kapal Roma lebih kuat daripada kapal Carthago, dan susunan masyarakat Roma di masa itu masih dekat kepada sama rata. Sedang susunan masyarakat Carthago yang termasyhur kaya raya itu kurang jelas teratur.
Seluruh dunia, kawan atau lawan, mengakui keluhuran dan ketinggian Kerajaan Islam di Spanyol, di abad 13 dan 14. Granada, Seville, Cordova adalah pusat perhatian dunia Barat di masa itu, sebagai halnya London, Paris, Berlin di masa ini. Pemikir besar, seperti Ibn Rosyid terkenal di Eropa dengan nama Everoes, adalah Aristoteles jika dibandingkan di zaman Yunani, adalah pusat besi berani, yang menarik perhatian ahli pikir dan para pelajar Eropa Barat. Pertanian, pengairan dan pertukangan tak ada taranya  di masa itu. Tetapi ahli sejarah menceritakan hal yang belakang ini secara sporadish nyata kemajuan atau kemundurannya. Dalam menceritakan peperangan dan kekalahan kerajaan Islam melawan Nasrani di sekitarnya ahli sejarah yang sebenarnya, sepatutnya harus memperbandingkan kekuatan produksi, di samping kekuatan sosial dan politik di kedua belah pihak. Apakah sebabnya? Apakah masyarakat Islam sendiri sudah terbelah oleh satu jurang yang dalam, yang menimbulkan pertentangan, bahkan perlawanan di antara dua golongan ialah antara kaum hartawan dengan kaum melarat? Inilah pertanyaan yang tiada dikemukakan dan dijawab oleh ahli sejarah borjuis. Mereka terlalu berat memusatkan perhatian pada politik militer dan beberapa orang pemimpin. Atau kepada kebudayaan, dengan tiada disampingi oleh kodrat pergerakan kebudayaan itu, ialah sistem produksi, sosial dan politik.
Hendaknya, sejarah Yunani, Roma, Arab dan lain-lain yang paling berharga itu disusun sebagai sejarahnya masyarakat (golongan atau pemimpinnya) dalam gerakan politik, militer dan kebudayaan) semua bukti dalam teknik, sosiologi dan kebudayaan) harus disusun kembali dan ditambah seberapa dapatnya.
Laut Sakutra! Kapal api besarpun masih bisa diombang-ambingkan oleh gelombang laut itu. kakek kita yang naik haji, melakukan syarat agama masih mempunyai kenang-kenangan tentang bahaya laut Sakutra terhadap kapal layar yang membelah gelombang setinggi bukit untuk menyampaikan hajatnya mengunjungi tanah suci. Entah dagang, entah minat perantauanlah yang menarik nenek moyang kita ke sini, dengan perahu saja, dihempaskan gelombang seperti sebutir beras dihempas-hempaskan air mendidih...sampai ke selatan....ke Madagaskar.
Hindustan.....kasta....percekcokan agama Hindu dengan agama Islam. Perhatikanlah rumah berhala Hindu! Penuh arca di dalam dan di luar dinding, di pinggir dan di atas atap. Lambang perasaan, manusia yang beraneka warna. Ada arca yang menggambarkan keberanian, kepuasan, kesungguhan, kesedihan kekaguman, sampai ke arca yang menikam diri sendiri. Umumnya bersemangat pesimistis, putus asa, kacau balau, gambaran perpecahan dan perpisahan lebih dari 3000 kasta. Dengarlah nyanyian Hindu modern, seolah-olah merdu buat penyanyinya sendiri saja. Sampai sekarang buat saya hanya teriak kesombongan, seolah-olah lagu untuk untuk menyatakan tak ada kasta yang lebih tinggi dari kasta Waisya, kasta saudagar yang sekarang menjelma menjadi kasta kapitalis borjuis, lebih tinggi kedudukannya dari pada gunung Himalaya. Lebih sederhana tetapi lebih mencocoki jiwanya tertindas tertekan, nyanyian pendayung atau buruh Hindu.
Undang-undang saja tak kan bisa melenyapkan bala penyakit kasta di Hindustan itu. Bisa hilang kalau undang-undang itu disertai perubahan sistem ekonomi, politik dan sosial....dan kalau kasta-haram, kasta najis, kasta Sudra serta kasta Paria yang lebih kurang 100 juta itu, benar-benar bangkit di bawah pimpinan kaum buruh-tani dan intelek yang revolusioner, dan kalau kasta borjuis-pendeta-ninggrat Hindustan terang-terangan atau dengan diam-diam menentang, maka revolusi Perancis dan Rusia akan berupa bayi kalau dibandingkan dengan revolusi Hindustan yang akan meletus karena itu.
Akhirnya Sabang, Indonesia. Di tepi pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar setiap menit! Saksikanlah sendiri!
Sampailah sekarang ke ujung pelayaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudra yang diarungi oleh moyang bangsa Indonesia sekarang, di zaman gelap gulita.
Bangsa perantau! Kata setengah ahli. Syahdan maka perubahan hawa dan bumi, sedikit demi sedikit menukar daerah diamnya bangsa Indonesia asli menjadi tandus, gurun pasir sedikit demi sedikit berangsur-angsur sampai daerah itu menjadi tandus Gobi dan menyebabkan bangsa Indonesia asli senantiasa menukar tempat menjadi perantau. Semangat pertahananlah yang menjadi sifat yang dilaksanakan dari Madagaskar di pantai barat Samudra Hindia sampai ke Amerika Tengah di pantai Timur Samudra Teduh.
Semangat perantau itu mendapat dorongan pula dari susunan masyarakat di masa lebih dari 2000 tahun lampau itu. Dari sisa sistem sosial, ialah matriakat seperti di Minangkabau dan sistem patriarkat seperti di tanah Batak yang juga dahulu kala terdapat di tanah Jawa, maka kita masih bisa saksikan, bahwa para pemuda di tiap-tidap desa seolah-olah tersusun dalam pasukan penggempur. Mereka mendiami rumah terkhusus buat pemuda saja, di mana mereka mendapat latihan rohani (adat dan agama) serta latihan jasmani (silat dan pencak).
Berpedoman bulan dan bintang, dilayarkan perahu ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat bergotong royong atau menolong di masa bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya “teletang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”.....samudrapun cuma danau saja di mata mereka.

























  










DI  DELI


Goudland,  tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka, buat kaum proletar. Deli dimasa saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarang pun masih menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Di kutub yang lain berada berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak. Mengambil ibarat di alam sekitarnya, maka yang dinamai oleh Belanda, bangsa yang paling lunak di dunia” berubah sifatnya seperti sang kerbau menyerang dengan tanduknya dan menginjak-injak lawannya”, setelah mereka menderita semua perkosaan dan siksaan. Ketika saya berada di sana tiap-tiap tahun Belanda yang mati atau luka diserang berjumlah antara 100 dengan 200 orang.
Apa yang tidak ada di Deli? Beginilah mestinya kita tanyakan. Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat minyak tanah berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Kalau saja tak salah di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauxiet di Riau dan Aluminium terdapat di Asahan, Deli. Jika disambungkan dengan arang di Sawahlunto atau Air terjun sungai Asahan, yang mempunyai kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan perindustrian berat macam apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah dan lain-lain dari tanah. Melayu yang berdekatan serta berhubungan rapat dalam sejarah.
Tetapi mata Belanda tak memandang kesan dan memang tak mungkin mempunyai pandangan ke sana, bertindak ke arah industri berat dengan menanggung susah payah serta kesulitan pada permulaannya. Biasanya Belanda tertarik oleh perusahaan yang gampang, yang kurang resiko, tetapi yang tetap dan besar untungnya (monopoli), lekas bisa dikerjakan dan mengecap hasilnya, tetapi lambat atau mustahil timbulnya persaingan.
Semua syarat yang cocok  dengan semangat krudenier itu bisa dijumpai di Deli. Tembakaulah yang pertama sekali memenuhi semua syarat itu. sebagai “dekblad”, daun pembungkus cerutu Manila, tembakau Deli memang mempunyai kedudukan istimewa di pasar dunia. Betul juga pada permulaannya banyak kesusahan untuk mendapatkan tenaga buruh, tetapi sekali terdapat untung, jumlah buruh yan besar pasti mudah dan cepat didapat. Dalam 3 atau 4 bulan saja sesudah menanam, daun tembakau sudah boleh dipetik. Di sekitar perkebunan tembakau inilah di belakang hari timbul perusahaan getah, palm, teh dan rami dsamping perkebunan tembakau pulalah timbulnya perusahaan minyak tanah di Deli itu.
Kebun tembakaulah yang melahirkan milioner Deli yang pertama dan yang ternama kaya serta kejamnya ialah Cremer, yang di Nederland digelari “kuli Cremer” karena kata kejamnya itu, kuli Cremer yang mempelopori milioner getah, minyak tanah dan lain-lain itulah yang bermula mengorbankan ratusan kuli kontrak untuk  mengeringkan rawa dan membuka hutan rimba di Deli kira-kira tiga perempat abad yang lampau.
Pada saya tidak ada statistik yang bisa menjelaskan keadaan hawa dan iklim di Deli, bahkan logam yang tersimpan di pangkuan bumi, kemajuan Deli dalam hal penduduk, perusahaan, perkebunan dan perdagangan dalam tiga perempat abad yang belakangan ini. Dan bukanlah memaksa saya akan menguraikan segala-galanya itu disini. Cukuplah rasanya jika beberapa catatan yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun itu saya kemukakan buat sekadar menggambarkan suasana Deli ketika saya berada di sana.
Lebih kurang 500 onderneming yang terdapat di Deli pada masa itu. Pengangkutan dijalankan dengan lancar sekali. Di darat dilakukan dengan auto dan truck atas jalan yang simpang siur memperhubungkan ratusan kebun itu, dan dengan Deli-Spoor.
Pelabuhan Belawan termasuk pelabuhan yang besar di Indonesia, kalau saya tak salah, dalam hal export pada  tahun 1927, Deli sudah menyamai atau melebihi pulau Jawa. Taksiran kasarnya banyaknya kuli kebun, tambang minyak dan pengangkutan di masa itu sejumlah 400 ribu orang. Kalau ditaksir secara sederhana jika diandaikan tiap-tiap kuli (kuli kontrak atau bekas kuli kontrak) mempunyai seorang anak saja, maka diantara jumlah penduduk Deli yang ditaksir 2 juta itu dan terdiri benar-benar dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Melayu-Deli dan lain-lain), terdapat lebih kurang 60% keluarga proletariat tulen. Ringkasnya daerah Deli adalah daerah bangsa Indonesia dalam arti Nasionalisme modern dan daerah proletaria yang sesungguhnya pula. Meninjau suasana sosial selayang pandang maka nyatalah bahwa upper-class, klas atas, terdiri dari borjuis asing, pertama Eropa-Amerika kedua Tionghoa, pun borjuis Indonesia, walaupun terdiri dari dua-tiga biji. Saya bukanlah borjuis sembarangan. Sultan Serdang dan Sultan Deli, berhubungan dengan diadakannya konsesi minyak tanah, adalah Ningrat kapitalis yang masuk hitungan.
Di pucuk Borjuis Eropa duduklah tinggi di atas tahta, jauh di Nederland atau negara lain, tuan Maha Besar yang oleh kuli kontrak digelari tuan Maskapai, directeur dalam bahasa Belandanya. Di bawahnya sebagai Raja Muda berkedudukan di Deli, ialah tuan kebun (Hoof administrateur). Barulah kita mendengar perkataan yang buat kita orang Indonesia sudah cukup mengandung kehormatan, ialah tuan besar adalah bahasa Belandanya hanya administrateur. Senembah Mij yang terdiri dari beberapa cabang mempunyai beberapa tuan besar pula, sebagai kelengkapan kaum kapitalis itu, kita temukan embel-embelnya yang dipanggilkan tuan kecil, asisten. Di sini perkataan “kecil” tak boleh ditafsirkan dengan arti hina. Kecil artinya muda, seperti dalam perkataan Raja Muda ialah calon. Semua bekas lanterfranters dan deugt voor niet dan schlemiels di negeri Belanda, ada harapan buat menjadi tuan kecil itu, ialah calon kapitalis Deli.
Deli penuh dengan lanterfanters dan schlemiels Belanda itu. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras, inilah gambarannya borjuis gembel di Deli itu. mereka bisa lekas kaya, karena gajinya besar dan mendapat bahagian tetap dari keuntungan, apabila sudah bekerja sementara tahun saja. Kalau saya tak salah, diluar gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bahagian untuk f 200.000,- Tuan maskapai lebih-lebih lagi. Tidak saja mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur dari beberapa maskapai, mendapat untung dari bunga modal yang ditanamnya, tetapi juga menerima bahagian yang lebih besar dari untung kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang besar, menjadi direktur dan adviseur tetapi tak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, plesir mundar mandir di Eropa, yang kaya lekas bertambah kaya....”inilah pula impian kepala kosong, schlemiels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli- di kamar bola di depan gelas bir dan wiskynya.
Klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas yang mendapat upaya cuma cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di godverdom atau dipukul, klas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro tuan” adalah kelasnya bangsa Indonesia, terkenal sebagai kuli kontrak. Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya mesti bangun pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja jauh letaknya, pukul 7 atau 8 malam barulah mereka tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0.40 sehari. Makanan biasanya tidak cukup untuk kerja keras mencangkul di tempat panas 8 sampai 12 jam sehari. Pakaian pun lekas rombeng-rombeng lantaran sering kerja di hutan.
Kekurangan dalam segala-gala itu menimbulkan nafsu yang tak tertahan buat menguji nasib dengan jalan main judi, nafsu yang sengaja dibangunkan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah berjudi dan biasanya lebih banyak yang kalah dari pada yang menang, diijinkan berhutang. Karena terikat hutang maka 90 diantara 100 kuli yang sudah lepas kontraknya terpaksa menekan kontrak lagi. Hutang menimbulkan keinginan berjudi, dan perjudian menambah hutang terus menerus.
90 diantara 100 kuli tak sedikit pun mempunyai harapan untuk naik pangkat. Hanya satu atau dua diantara 1000 orang mempunyai sedikit harapan untuk naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor, dan lama-lama menjadi hopmandor. Ada yang diterima menjadi pekerja atau pengawal bengkel motor, mesin listrik ataupun di rumah sakit. Tetapi gaji tetap terlampau rendah f 20- f 30, sebulan buat mandor, dan f 60, buat hopmandor, ialah sesudah bekerja 15-20 tahun.
Saya ingat beberapa kejadian di Tanjung Morawa tempat kantor pusat Senembah Mij, tempat saya bekerja. Tuan V.D insinyur listrik sudah kebingungan, karena mesin listrik tak mau jalan. Semua kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah buat membetulkan mesin itu sudah dilakukan. Konon, mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli kontrak dipanggil. Diam-diam kario menyusup sebentar ke bawah mesinnya, putar sekrupnya, dan cus....cus....” mesin listrik jalan kembali seperti biasa. Kario, bekas kuli kontrak lama mendapat gaji f 25,- dan Ir. V.D f 500,- plus ini dan itu tak putus-putusnya.
Kenalan baik saya, almarhum prof. Walch, dahulu di Tanjung Morawa bersama nyonya yang juga dokter pada suatu hari kedatangan tamu di laboratoriumnya, mungkin prof. Schuffer ahli malaria yang terkenal. Para ahli malaria ini asyik membicarakan satu bangsa nyamuk, yang baru diketahui disalah satu tempat pada jam sekian, yang mempunyai sifat demikian rupa. Tetapi mereka kelupaan dalam botol mana bangkai nyamuk tadi ditaruhnya, di antara ratusan botol itu. Tentulah nama nyamuk itu ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mereka putus asa mencari, maka datang Parman dengan botol dan bangkai nyamuk yang dicari dan tertulis dalam huruf Latin itu. Parman cuma keluaran H.I.S saja, dan gajinya cuma f 25,- sebulan. Rumahnya dibangsal bersama anak dan istrinya. Tetapi menurut kata Dr. Walch kepada saya, dia diberi pekerjaan yang “Zelfstanding”, memeriksa nyamuk di salah satu tempat dengan gaji f 50,- zegge vijtig gulden, sebulan. Nyonya dan tuan Dr. Walch bukanlah termasuk golongan kolot, tetapi ia, ik kan het niet meer krijgen van de maatschappij” kata Dr. Walch kepada saya.
Cerita ini bisa ditambah dengan beberapa dan berbagai-bagai contoh yang lain. Tetapi cukuplah di atas itu saja dijadikan gambaran.
Soal bibit, soal perawatan tanah, bibit pohon dan hasil, berhubungan dengan perkebunan tembakau getah, palm dan rami tentulah membutuhkan pengetahuan yang sulit dan luas, serta pengalaman yang lama.
Tidak dapat diharapkan “de dengt nieters voor niets” dan “schlemielen” yang baru datang dari negeri Belanda itu mempunyai pengetahuan tentang semua yang berhubungan dengan perkebunan itu. Tetapi mereka mempunyai kulit yang putih kulit penjajah, memegang tongkat yang besar dan mempunyai suara yang keras berhadapan dengan bangsa berwarna terjajah, “het zachtse volk der aarde” pula. Dengan kulit yang putih, tongkat yang besar dan dua tiga patah kata Melayu pasar dan 13 “godverdomme” mereka bisa mendapatkan semua pengetahuan dan pengalaman itu dari hop mandor atau pun dari manduir biasa “Schlemiel” Deli ini mulai gaji f 350,- sebulan dengan bebas rumah, bebas ini dan bebas itu.
Ada juga satu dua Belanda diantara assiten-assisten itu yang mempunyai sedikit pengetahuan umum. Tetapi umumnya sedikit sekali yang berbau apa yang dianggap sebagai “geleerdheid”.
Pertentangan tajam antara bangsa putih, goblog, sombong ceroboh, penjajah dengan bangsa berwarna yang berpengalaman membanting tulang, tetapi tertipu, terhisap, tertindas, dengan perantaraan dua-tiga bangsa Indonesia sendiri sebagai buruh pandai, skilled labour inilah yang mengeruhkan suasana Deli dan terus menerus menimbulkan penyerangan kuli terhadap Belanda-Kebun. Sering satu makian atau satu celaan saja sudah cukup buat kuli untuk menghunus golok dari pinggangnya dan menyerang tuan besar atau tuan kecil, pada saat dan di tempat itu juga, karena hati sudah mengandung kebencian terhadap segala-gala.
Pertentangan Kapitalis imperialis Belanda dengan kuli Inlander Indonesia itu nyata pula terbayangnya di pengadilan Deli. Si Belanda yang tak sengaja atau cuma buat mempertahankan diri terhadap serangan kuli itu, biasanya lepas dengan hukuman 3 bulan atau sedikit lebih, yang bisa ditebus dengan denda pula. Si Kuli pembunuh biasanya tidak lepas dari hukuman gantung. Di masa saya berada di sana, keras suara terdengar dari pihak Belanda yang menuntut supaya si kuli yang berani menyerang kulit putih itu dikasih hukuman” yang cepat dan seberat-beratnya guna menakutkan yang lain (opschrikking).
Dalam suasana yang bisa menukar manusia menjadi hewan, maka tercengang bercampur kagumlah kita, kalau mendengar kabar, bahwa sesudah membacok Belanda, sebentar itu juga si kuli pergi kepada polisi untuk menyerahkan diri. Tidak percuma rupanya cerita-cerita ksatria yang dihadiahkan oleh para dalang dalam lakonnya wayang di desa-desa, semenjak puluhan ratusan tahun itu.
Adakah tempat buat saya dalam masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya seorang Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung pertentangan maha tajam?
Ketika saya menerima pekerjaan di Amsterdam dari mulut tuan direktur Dr. Jansen sendiri, saya belum insyaf benar akan kesulitan yang mesti alami ketika di Deli.
Sesudah 6 tahun lamanya hidup di antara dan dengan orang Belanda di negeri Belanda sendiri, saya sudah tak berapa merasa perbedaan penghormatan sesama manusia cuma karena perbedaan kulit saja. Kalau ada anak atau orang tua yang mengejek kita, orang Indonesia di negeri Belanda sebab warna kulit kita, kalau ada yang meneriakkan di jalan...”neger vuile neger”, kepada kita yang demikian ini hanya kita anggap sebagai keganjilan, kelahiran perasaan dari golongan terbelakang di negeri” sopan itu saja. Kita tak banyak mengambil pusing! Memang agak menyolok mata perbedaan publik umum, misalnya di Perancis dengan di Nederland, terhadap bangsa berwarna.
Tetapi pengalaman meyakinkan kita, bahwa sebahagian besar orang Belanda di Nederland tiada mengukur kita dengan ukuran warna kulit itu. pula, oleh karena kepentingan dan paham saja, bahwa di hari depan walaupun boleh jadi sesudah puluhan tahun kalau kapitalisme dan imprialisme hilang, sendirinya perbedaan waran kulit itu akan hilang bersama-sama dengan hilangnya perbedaan klas, maka masyarakat Deli yang saya masuki itu tidak berupa momok. Akhirnya saya berharap lekas lepas dari hutang yang terasa berat, sambil mendapatkan pengalaman yang berharga dalam pergaulan dengan bangsa sendiri yang paling terhisap, tertindas dan terhina sambil menyelam minum air.
Tetapi tuan direktur Dr. Jansen isnyaf benar akan kesulitan yang akan saya alami di Deli. Setelah sampai di Deli, maka saya mendapat kabar, bahwa sebelum saya tiba, oleh Senembah Mij atas nama direksi di Nederland diperingatkan kepada semua pegawai Belanda “supaya Tan Malaka mesti diperlakukan seperti orang Eropa”.
Bagaimana prakteknya?
Oleh karena saya di Tanjung Morawa rapat dengan pengawas sekolah, tuan W, seorang  penganut sosialisme, anti peraturan berguru-kepala dan bekas murid saya dalam baha Indonesia, maka pergaulan pertama dengan orang Belanda pegawai Senembah Mij berlaku lancar sekali. Tetapi langkah kelanjutannya yang kedua tiada banyak memberikan harapan.
Seperti kebiasaan tamu Belanda baru memperkenalkan diri dengan para pegawai lama. Saya yang harus diterima dalam golongan Belanda itu, mulai mengirim surat kepada tuan-nyonya boekhouder No.1, tuan G, bertanyakan sudikah dan kapankah nyonya tuan menerima saya untuk memperkenalkan diri. Lekas saya dapat jawaban dari nyonya yang mengatakan bahwa “nyonya-tuan belum mempunyai tempat menerima tamu”.
Nyonya-tuan W sendiri agak terkejut mendengar isi surat kepada saya itu. mereka juga setuju, bahwa bukan sayalah kelak yang akan menulis surat lagi. Kalau ada tempo buat menerima saya, maka undangannya harus datang dari nyonya besar sendiri. Dan undangan itu tiada pernah saya dapatkan. Sebaliknya tak pernah saya memajukan diri saya, yang saya anggap tak kurang mempunyai kehormatan dari nyonya-tuan besar boekouder No.1 Senembah Mij itu dilain hari.
Tentang nyonya-tuan kebun (hoof-administrateur) saya tak bisa memberi kesimpulan. Kemana saya diundang oleh direktur Dr. Jansen, oleh tuan Maskapai Dewata Raja sendiri yang menjadi tuan agungnya nyonya-tuan kebun itu Dr. Jansen segera membelokkan percakapannya kepada perkara yang membutuhkan pengetahuan umum, yang mungkin tak ada dalam perhatian ataupun dalam fikirannya nyonya-tuan kebun sendiri. Nyonya-tuan kebun setuju atau tidak, saya tak bisa tahu! Tetapi seperti biasanya dalam pertemuan di rumah tuan kebun itu Dr. Janssen mendapatkan titel Dr. nya di salah satu universiteit di Jerman, atas disertasi tentang “adat istiadat di tanah Batak”. Diantara yang lain-lain ia masih tertarik oleh apa yang bersangkutan dengan adat istiadat Batak.
Sekarang sampai giliran kepada tuan Besar administrateur kebun. Dia adalah seorang Jerman tulen, masih belum bisa berbicara bahasa Belanda. Jika dibandingkan dengan tuan, nyonya masih amat muda. Nyonya ini rupanya berasal dari kelas atas dan mendapat didikan Jerman atas. Sepintas lalu tampaknya oleh saya tiada sepadanlah umur dan kebudayaan Nyonya dengan tuan besar Herr Graf. Tetapi sesudah perang dunia I itu memang lazim perempuan muda Jerman yang terpelajar bahkan bangsawan pula, kawin dengan laki-laki yang lebih tua, kaya, O.W er, schieber karena kehilangan bapak dalam perang. Setelah sekejap berpikir mengertilah saya, bahwa memang nyonya muda berada “safe” ditangan satu hartawan tua. Tetapi belum tentu masyarakat Deli umumnya dan tuan kebun khususnya sanggup memberi jaminan cukup pada pemudi Jerman, bilamana masyarakat Jerman sendiri memang dalam Gaerung, perubahan hebat di masa itu. Her Graf sangat anti kemajuan inlander. Dari pihak lain saya dengan beberapa perkataan penghinaan yang ditunjukkan kepada saya. Tetapi Herr Graf amat taat kepada Herr Dr. Janssen yang juga berasal Deutsch. Karena Herr Dokter Janssen sudah memberi contoh bagaimana mestinya saya diperlakukan, walaupun warna kulit saya bersamaan dengan warna kulit kuli kebun, dan karena Herr Dokter itu masih di sini, maka rupanya Herr Graff, tuan besar mengambil sikap yang bijaksana manis di luar pahit di dalam, untunglah perhatian Frau Graf yang sedikitnya tentu juga mendengar nama seperti Karl. Liebknecht dan Rossa Luxemburg, tak bisa sama sekali dikungkung oleh percakapan tentang tembakau, getah, untung, tantieme, perlop dan pensiunan saja. Perpisahan sesudah sedikit malam juga “disertai dengan “kommen sie uns bald wieder besuchen sambil memberi tekanan atas “bald itu.
Tidak kurang lantaran kunjungan pada tuan Ir. V.L Tuan tak begitu simpatik, keluaran universiteit Jerman dan berpandangan kolot dalam politik, serta berfilsafat “gaji”, untung dan pensiun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi nyonya adalah seorang penggemar sport, dari tenis sampai menunggang kuda dan kurang penting pula penggemar kesusatraan. Pembicaraan berlaku lancar dari pemogokan di Nederland sampai Revolusi Rusia dari karangan Gorter, Henriete Roland Holst sampai ke Dostojewsky, Gorky dan Lenin. Apalagi nyonya meminjam beberapa buku yang belakangan ini ketika kita berpisah maka tuan agak sedikit tercengang dan memperlihatkan tak setujunya. Tetapi nyonya segera menyambung “ik zal die boeken maar zelf laten halen”.
Dalam kunjungan lain di rumah tuan wakil kebun juga ada para tamu lain dari lain cabang. Mereka ini adalah tuan-tuan besar kebun dan penganut paham tuan besar kebun umumnya. Tuan wakil banyak diam, karena memang orang pendiam. Tetapi nyonya cukup berpandangan luas dan ramah tamah. Pembicaraan sampai ke pergerakan nasional bangsa Indonesia. Salah seorang tuan besar pulang ke kandang kalau ia berkata: “Serikat Islam akan lebih keras, kalau tak ada haji diantara anggotanya”. Ini sama juga dengan “Partai Nasionalis akan lebih beres, kalau tak ada nasionalis sebagai anggotanya”. Atau Partai Bolsjewik itu memang beres, cuma sayang sekali ada orang Bolsjewik menjadi anggotanya”. Kita kenal pendiri surat kabar Deli Courant yang reaksioner itu. Tuan besar kebun yang tersebut adalah seorang reaksioner sedang, yang menahan perkataannya di depan nyonya rumah. Dari mulut lain dan tempat lain kita tak akan mendengarkan kritik yang “sesopan” itu. dengan juara pembaca “Deli Courant” di lapangan kita sendiri tentulah tak begitu susah memberikan “knocked otu” seperti umpamanya di Kongres Deventer dimana kita berhadapan dengan para pelajar Belanda bakal B.B ambtenaren itu.
Perkenalan dengan para tetangga nyonya-tuan, keduanya dokter Walch, memang berlaku atas dasar duduk sama rendah tegak sama tinggi. Seperti sudah saya sebut lebih dulu, kedua suami isteri tertarik oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman (experiment) tentang nyamuk malaria anopheles. Nyonya lancar berbahasa Indonesia, menaruh perhatian besar pada pergerakan nasional di kota Medan, bahkan rupanya ingin hendak berkenalan dengan Indonesia terkemuka di Medan itu. Kepada saya diperingatkan bahwa tak perlulah saya tulis menulis surat kalau ada tempo buat mampir.
Semua perkenalan diatas dilakukan menurut adat (formeel), tetapi diluar itulah banyak lagi perkenalan yang dilakukan di sosieteit atau di lapangan tenis dan bola. Selain dari itu ada dua tiga orang Belanda di Medan yang sudah menjadi teman saya, ialah sosial-demokrat kiri dan ketua Assistent-Bond.
Umumnya semangat anti inlanders dari para tuan kebun masih tebal, hanya rupanya ditutup. Tetapi ada juga dua-tiga sahabat yang jujur. Baik juga dicukupkan gambaran pergaulan ini dengan tiga “terwelu”, hazen ialah tuan-tuan: Hazevoet, Hazewinkel dan Hazejager. Ketiganya adalah pegawai Senembah Mij dan ketiganya rapat hubungannya dengan saya. Hazevoet bekerja di apotik, pemuda Belanda, ramah tamah, sering mampir di rumah saya dan berpandangan sosialis. Hazewinkel sekapal dengan saya berangkat ke Indonesia. Dia lama hidup diantara bangsa Kaffier dan lain-lain di Afrika, tak bisa lagi membedakan warna kulit manusia itu, asal isinya baik. Di Nederland dijanjikan kepadanya untuk menjadi kepala pabrik palm yang akan didirikan oleh Senembah Mij, karena dia mempunyai pengalaman hal itu ketika di Afrika sebagai “skilled labourter”. Tetapi baik berhubungan dengan pangkat maupun dengan gaji ia amat merasa kecewa dan susah, selain ia memutuskan perhubungan dengan Senembah Mij dan berangkat ke Jawa, lebih dulu meminta pertimbangan kepada saya sebagai sahabat kepercayaannya. Hazejager adalah seorang Jerman tulen. Tentulah pecinta negaranya dan masih sedih karena daerah Jerman Barat masih diduduki. Dia kawin dengan seorang Indonesia Batak,  yang bukan Islam atau Kristen, melainkan yang tulen di gunung. Bukan kawin seperti nyai, ialah perkara yang lazim di kebun, melainkan secara Batak tulen yang tidak gampang. Dua tiga tahun dia mesti berusaha merebut hati dan kepercayaan gadis Batak yang terkenal tidak mudah diperdayakan itu. Dia harus kawin secara Batak asli, memakan masakan yang asli pula. Dia mempunyai anak yang sangat dicintainya seperti istrinya. Hazejager tak banyak filsafatnya tentang politik kebangsaan dan perdamaian...Kembalikan dulu batas Jerman asli, bisa damai dengan bangsa Jerman”. Tak perlu saya terangkan kepadanya, bagaimana paham saya tentang batas Negara dan bangsa Indonesia. Di waktu pertentangan saya dengan kaum kolot di Senembah Mij. Hazejagerlah yang berkali-kali membuka rahasia Tuan-tuan Besar Kebun yang berkomplot terhadap saya.
Pertentangan saya dengan tuan besar, kebun berpusat pada empat perkara:
1. Warna kulit
2. Pendidikan anak kuli
3. Tulis menulis dalam surat kabar di Deli dan
4. Perhubungan saya dengan kuli kebun.
Keempat-empat perkara ini sumbernya tentulah terletak pada pertentangan Belanda – Kapitalis – Penjajah dengan Indonesia – Kuli – Jajahan.
Warna kulit! Perasaan...lain daripada Inlanders yang tergambar pada perlainan kulit, tak akan hilang selama Belanda putih memonopoli kedudukan sebagai kapitalis-penjajah di atas inlanders – sawo terjajah. Perasaan sombong itu cuma bisa ditutup secara “spontan”. Tetapi kalau hal itu diserahkan sama sekali kepada “kesopanan” Belanda saja, maka kita akan terus menerus merasa terhina saja. Kita mesti selalu siap di Neederland di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan sport, ialah jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan. Kalau dia di lorong-lorong atau di jalan raya memanggil-manggil “vuile Neger ataupun water Chinees”, lantas kita hampiri dan tanya “apa kamu bilang, sebutkan sekali lagi”, sambil bersiap sedia maka 99 dari 100 kejadian dia akan berkata:....”niets meneer atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda sedikit tersinggung, lalu memaki kita, janganlah sekali-kali makiannya itu dijawab dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “grote beek opzetten”, Hantamlah saja tetapi secara sportief !!! Pasti dia akan menjadi sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya: Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.
Perasaan segan ialah perasaan Timur umumnya dari perasaan bangsa Indonesia khususnya, boleh dikatakan tak ada pada Belanda. Atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih dan meminta terus serta menendang terus.
Syahdan lebih dari 3 abad lampau, maka karena pengalaman pahit, Jepang mengusir semua bangsa kulit putih keluar, dan melarang bangsanya sendiri meninggalkan pantainya. Yang tinggal di Jepang di pulau Kecil, pulau Dhasima terikat oleh perjanjian yang oleh bangsa lain dianggap sangat menghina ialah: “Belanda.
Ketika Maharaja Langit di Kerajaan Tengah ialah Tiongkok menuntut supaya semua duta asing ber-kow-tow, berjongkok kepada anak langit itu, seperti dilakukan oleh para wakil negara takluk, maka setelah lonceng berbunyi, yang memberi tanda bahwa kow-tow akan dijalankan maka duta Inggris dengan cepat memegang punggung Belanda itu buat melarang. Duta Inggeris mengerti, bahwa satu saja “blacleg”, penjilat bisalah merusak kehormatan semua bangsa kulit putih yang berada di Tiongkok di masa itu.
Seperti kruidenier yang “minimum programnya” pertama adalah untung, maka Belanda sanggup menjalankan taktik strategi dari gertak sambel sampai ke-kow-tow.
Saya masih ingat di lapangan tenis di Tanjung Morawa, bilamana kami mendapat kunjungan dari para tamu pemain tenis dari lain cabang Senembah Mij. Atas permintaan pemimpin tenis, Boekhouder No.2 sudah dua kali saya menyerahkan raket saya kepada tamu-nyonya berturut-turut. Apabila yang ketiga kalinya saya juga yang diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, maka terpaksa saya tolak dengan berterang-terangan. Di belakang collega saya pengurus sekolah, tuan W memperingatkan bahwa saya terlalu cepat memperlihatkan sikap menjaga kehormatan itu. Maka saya jawab: malahan sebaliknya. Tidak lama sesudah itu, maka dengan collega ini sendiripun saya bercekcokan.
Entah karena kekurangan tidur siang hari, di Nederland tentu dia tak mengenal tidur siang! Entah karena memang “met het verkeerde been uit het bed gestapt”, entah karena “tropenkoller’s idee-nya mulai bangkit, maka lupalah dia akan sosialisme dan anti hoogdscharp di Nederland, yang belum sempat setahun yang lalu.
Pada suatu suatu hari, pertama kali di waktu petang, ia datang di tempat saya bekerja. Dia mulai mencela cangkokan murid yang katanya kurang dalam. Atau salinan bakul yang kurang kuat dengan suara seperti suara tuan besar, sedangkan saya ada di sampingnya. Saya tak mau biarkan begitu saja. Saya peringatkan kepadanya, bahwa anak-anak sudah lama bekerja, dan ini cuma pelajaran tersambil, buat mendapatkan uang saku anak miskin. Pelajaran yang terpenting adalah pelajaran yang biasa diajarkan kepada bangsa apa saja dalam umur segitu, adalah pelajaran biasa di sekolah rendah. Lagi kalau datang dimana saya bekerja, saya peringatkan supaya lebih dahulu memberi tabik dan minta izin masuk. Apalagi mengeritik atau langsung marah pada murid dibawah penjagaan saya, tak bisa saya benarkan. Lagi pula kalau pekerjaan mesti dilakukan  seperti maunya tuan W datanglah sendiri memberikan instruksi tetapi bukannya kepada saya. Dengan muka merah dia bertanya: “Siapa yang Kepala? Saya jawab: “Tak ada kepala, saya datang di sini cuma untuk bekerja sama dengan kamu”. Kalau ada lain terjemahan, pasti tak akan saya terima. Cuma saya heran, kenapa orang yang selang belum berapa lama di negrinya sendiri berusaha menghapuskan “guru kepala” itu sekarang lupa akan prinsipnya sendiri.”
Dia tak menjawab lagi. Tetapi zonder ba of bu, dia langsung pergi ke tuan kebun, hoofd-administrateur, tuan T.
Tidak berapa lama antaranya saya dipanggil ke kantor. Di sana saya berjumpa dengan tuan T, sendiri dan college W. tadi Tuan T. memperlihatkan kepada saya surat tuan W kepadanya sebagai tukang kebun. Maksud surat itu ia bertanya siapa yang kepala di semua sekolah Senembah Mij.
Saya peringatkan kepada tuan kebun bahwa perjanjian Dr. Jansen kepada saya, ialah supaya saya kerjasama dengan tuan W untuk mendapatkan sistem yang cocok dengan keperluan anak kuli kebun.
Tuan kebun tak ambil pusing perkara sistem yang cocok itu. cuma dia ajukan bahwa di kebun ini memang ada “kepala” dan tuan W sudah lebih tua dan lebih berpengalaman daripada saya.
Saya majukan bahwa perusahaan kebun sangat boleh jadi membutuhkan kepala, tetapi itu diluar daerah saya. Pada pekerjaan saya, apalagi dalam mencari sistem yang cocok dalam pendidikan itu, hal kepala mengepalai itu sama sekali tak ada pada tempatnya. Apalagi yang menjadi kepala itu saya kenal sendiri di Nederland sebagai orang yang anti kepala dalam sekolah. Memang saya akui tuan W. lebih tua dan lebih berpengalaman. Tetapi pengalaman itu ada diantara murid Belanda, tentang jiwa murid bangsa Indonesia saya tak sanggup mengakui kelebihan pengalaman tuan W dan pengetahuan tentang jiwa murid itulah bagian yang terpenting dalam pekerjaan kami di sekolahan.
Barangkali sebab tuan kebun tak begitu atau tak banyak memusingkan perkara pendidikan, atau karena dia tak lama lagi akan pergi perlop, atau karena tak lama lagi Dr. Jansen sendiri akan berada di Tanjung Morawa, maka dia putuskan saja perkara tadi dengan pertanyaan: “Maukah  tuan-tuan maaf memaafkan dan langsung kerja bersama?”
Saya tak keberatan. Kami pulang seperti biasa.
Kesukaan tuan W adalah mondar mandir naik auto dari ke kampung di Senembah Mij. Dan habis bulan mengirim laporan tentang pekerjaannya kepada Senembah Mij. Buat saya, tujuan dan dasar cara mengajar kepada anak kuli itu sudah mulai terang. Buat itu saya rasa perlu mengetahui tabiat, kemauan dan kecondongan hati masing-masing anak. Saya rasa pula perlunya satu pusat sebagai tokoh contoh (model). Untuk mendapatkan semuanya itu tiadalah bisa main tuan besar terhadap anak kuli dan main auto dari sekolah ke sekolah. Pada permulaan memangnya saya ikuti tuan W. mondar mandir itu. Tetapi sesudah beberapa kali, saya insaf bahwa ini cuma membuang-buang waktu dan bensin saja.
Saya lebih merasa perlu, selainnya rapat kepada anak-anak juga mesti rapat kepada para orang tuanya. Keduanya amat mudah dilakukan dalam masyarakat Indonesia tulen, tetapi amat susah dilakukan di masyarakat kebun. Saya terapit di antara masyarakat Belanda “Tropenkollers” dan masyarakat kuli kontrak. Kalau saya terlampau rapat kepada Belanda, maka saya tidak mendapat kepercayaan penuh dari Bangsa sendiri. Sebaliknya, kalau saya terlampau rapat dengan bangsa sendiri, maka saya akan sangat dicurigai oleh bangsa Belanda.
Tetapi dalam hal pilih-memilih kedudukan, maka keyakinan dan kewajiban yang senantiasa memberi putusan kepada saya. Berangsur-angsur saya mendapatkan kuli atau pegawai yang saya ajak datang di rumah saya, buat merundingkan itu.
Tentu bukanlah kehidupan anak kuli saja, yang menjadi pokok pembicaraan, tetapi seluruhnya cabang penghidupan kuli kebun. Sebentar saja saya sudah mendapatkan keyakinan betapa beratnya pekerjaan mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya. Mereka terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan hantu. Mereka terikat oleh kekolotan, kebodohan, kegelapan dan hawa nafsu jahat itu sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian. Tiadalah ada hak dan kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki nasibnya sepanjang aksi Sarekat Buruh yang legal teratur. Memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh dengan pengkhianatan bangsa atau calon-calonnya, apalagi dalam masyarakat kuli kontrak.
Para tuan besar “Tropenkollers” sudah berbisik-bisik dan mendapat tongkat pemukul saya, bukan saya perhubungan dengan kuli kontrak yang mereka rasa haram, tetapi juga beberapa tulisan dalam surat kabar, Liberal di Medan, Sumatera Post, dan perhubungan saya dengan para pemimpin pemogokan Deli Spoor.
Pada satu malam Hazejager datang tergesa-gesa ke rumah saya, “Zij Hebben het op jouw gemunt” (mereka berkomplot terhadap mu) katanya: Mereka  (para tuan besar kebun) sangka, bahwa Ponco Drio penulis dalam surat Kabar Sumatera Pos, adalah Tan Malaka. Mereka sangka, bahwa engkau ada hubungan dengan pemogokan Deli Spoor, karena engkau pernah bicara dengan pemimpin pemogokan dan pernah didatangi oleh para pemimpin disini. Mereka juga mendengar perkataan rapat dengan kuli kontrak di rumahmu sendiri. Sekian laporan Hazejager kepada saya.
Besok harinya saya benar-benar dipanggil oleh wakil tuan kebun ke kantor karena tuan kebun sendiri sedang perpol. Tuan wakil kebun mengemukakan perkara tersebut kepada saya dan bertanya benar tidaknya.
Beberapa bukti yang dimajukan saya sangka kebenarannya karena memang diputar balikkan. Perkara Ponco Drio saya minta tanya sendiri kepada Sumatera Post, supaya bisa disaksikan sendiri siapa yang pembohong. Di samping itu saya memajukan hak saya sebagai orang Indonesia Merdeka, ialah membantu mengangkat derajatnya bangsa saya dan berhubungan dengan siapa saja yang saya anggap pantas.
Akhirnya saya memprotes pula komplotan di belakang saya, yang namanya tak perlu saya sebutkan. Tetapi kepada tuan wakil kebun saya majukan, jika fitnah itu dilanjutkan kalau perlu saya minta dihadapkan bermuka dengan ahli fitnah yang bersembunyi itu. dengan wakil saya berpisah dengan ramah tamah saja.
Saya memang pernah menulis dalam surat kabar Sumatera Post, tetapi bukan dengan nama samaran Ponco Drio. Perkara tulis menulis itu tentulah hak mutlak dan tanggung jawab saya sendiri. Begitulah juga perhubungan saya dengan pemimpin Deli Spoor atau dengan kuli kebun adalah perkara saya sendiri pula.
Herr Graf, tuan besar adalah pemimpin komplotan terhadap saya, cukup mempunyai “Ausdauern” dalam semua pekerjaan juga dalam pekerjaan fitnah-memfitnah. Tetapi Hazejager juga mempunyai sifat Jerman yang terkenal itu, ialah “Ausdauern” dalam kejujuran kepada temannya. Selain daripada itu tuan maskapai sendiri Herr Dr. Jansen, tak begitu percaya saja terhadap segala tuduhan terhadap orang yang dikenal dan mempunyai “Ausdauren” Jerman pula hendaknya bertemu muka dengan si tertuduh, sebelum ia mempercayainya.
Hazejager datang lagi tergopoh-gopoh, Tuan besar Graf terus membisikkan segala tuduhan yang tempo hari dimajukan. Ditambah lagi dengan pendapatnya sendiri bahwa Tan Malaka itu adalah seseorang yang tak tahu terima kasih. Coba pikir, katanya, Inlander Tan Malaka itu dahulu di negeri Belanda diongkosi oleh Dr. Janssen, sekarang dia berkhianat kepada Herr Dr. Janssen sendiri. Schreklich nich war?”
Besok paginya tergopoh-gopoh dan gugup sekali Dr. Janssen datang di rumah saya. Saya belum lagi berpakaian, belum sempat mengundang tuan duduk, tetapi Dr. Janssen sudah duduk sendiri dan mulai berbicara dengan muka merah serta nafas terputus-putus. Tuduhan perkara “rapat dengan kuli kebun”, tulis menulis dalam surat kabar dan berhubungan dengan para pemimpin pemogokan Deli Spoor dibentangkan kembali di depan saya.
Kalau benar, kata Dr. Janssen itu berarti menusuk dari belakang.
Saya sambut saja dengan satu pertanyaan. Apakah tuan percaya juga atas fitnah yang lain, yakni saya belajar di Nederland atas ongkos tuan?”
“Ach ya”, kata Dr. Janssen “Ik geloof er zelf ook niets van”, saya sendiri tak percaya sedikitpun “Sebab itulah saya sendiri datang kemari menyaksikan”
“Lekaslah berpakaian”, kata Dr. Janssen pula” ini pagi ada rapat dari beberapa pegawai Belanda di seluruh Senembah Mij. Saya minta tuan juga hadir.
Saya tak menyangka sama sekali, bahwa pagi itu saya akan berada di antara para tuan besar dari semuanya cabang Senembah Mij.
Yang mengherangkan saya pula, ialah tak ada tuan-tuan kecil yang hadir. Lebih mengherankan pula, apabila saya tak melihat Collega saya sendiri yang ingin menjadi “kepala atas saya tempo hari. Jadi tak heran, kalau benar-benar saya terperanjat mendengarkan pertanyaan Dr. Janssen kepada saya berhubungan dengan sekolah kebun. Sebetulnya tuan W. collega sayalah yang mesti hadir dan memberi penerangan tentang pendidikan di kebun itu.
Pertanyaan itu datangnya tiba-tiba, apabila saya masih teringat dengan sudut mata memperhatika para tuan tanah yang hadir, yang saya kenal cuma satu-satunya orang di antaranya ialah tuan besar Tanjung Morawa, Herr Graf, musuh No.1. apabila sudut mata saya bertemu matanya, maka dengan cepat ia menoleh ke lain tempat.
Memangnya orang berhati curang itu, walaupun mempunyai Ausdauern Jerman, tak akan melihat sudut matanya inladerpun, yang merasa dalam kebenaran.
Dalam suasana seperti itu tak ada tempatnya buat memberi apa yang dinamai pemandangan lengkap tentang pendidikan anak kuli. Lagi pula saya sudah mengambil putusan untuk diri saya sendiri, tentang pekerjaan saya di hari depan. Saya berbicara pendek saja dan tujukan kepada kesimpulan berikut: “Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid, seperti dimaksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga, bahwa disamping pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam kemauan dan kebiasaan bekerja tangan dan perasaan menganggap pekerjaan tangan adalah pekerjaan penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya dari pada pekerjaan otak semata-mata. Bahwa Senembah Mij khususnya dan Deli umumnya tak dapat akan ganti rugi, kalau disekitarnya banyak didapati buruh halus dan kasar yang benar-benar cakap, efficient dan mempunyai keinginan hidup (standard of living) yang  tinggi. Mungkin pada permulaan Senembah Mij harus mengeluarkan ongkos yang seakan-akan percuma, tetapi lama kelamaan, in the long run, ongkos keluar itu akan kembali berlipat tambah.
Saya insaf, bahwa saya berbicara kepada orang-orang tuli, “spreken tegen dove man’s ooren”. Tetapi baiklah juga diperdengarkan kepada para tuan besar kebun itu, bahwa anak kuli pun adalah anak manusia juga. Disana sini sudah saya terdengar, bahwa sekolahan buat anak kuli adalah jalan” membuang-buang uang saja. Apa gunanya anak kuli diajar. Dia akan lebih brutal!” dari pada bapaknya. Mandor ini tak perlu sekolah rendah 5 tahun. Si Kario juga cuma sekolah desa. Walaupun begitu dia bisa mengurus listrik. Si Mubal, si Sastro, apa sekolahnya? Toh bisa membikin obat ini atau itu. 99% kuli kebun ini buta huruf. Toh bisa menanam tembakau. Suruh saja anak kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang, guru itu semuanya bikirn gaduh saja di kebun-kebun. Menambah “ontevreden” orang tak senang saja, dan menambah anggota Sarekat Islam saja.
Inilah logika Belanda kebun, bekas “leegloopers di Nederland! Saya tahu bahwa Dr. Jansen yang mengusulkan mendirikan sekolah buat Senembah Mij itu, oleh para tuan besar dianggap sebagai idealis, “ethis”, sebagai orang goblog dan diejek-ejek dibelakangnya.
Dimasa Ratu Katharina di Rusia, kalau saya tak salah, hidup seorang Perdana Menteri bernama Potemkin dalam memberi jawaban atas pertanyaan Sri Ratu, isi pidatonya cuma satu: “Rakyat senang, padi menjadi, hai Tuanku”. Kalau Sri Ratu ingin mempersaksikan dengan mata kepala sendiri kesenangan rakyat dari kemajuan perekonomian itu, maka Potenkim membawa Sri Ratu kepada desa yang bagus, yang disiapkan istimewa lebih dahulu dibuat kunjungan saja. Desa yang bagus yang diperhias buat kunjungan Sri Ratu itu dinamai Desa Potenkim”. Sri Ratu Katharian “dikantongi” saja oleh Potenkim untuk menghindari desa dan kampung yang kotor miskin, dan baru dikeluarkan dari “kantongnya” untuk mengagumi desa perhiasan, desa Potemkin. Benar rupanya: “Rakyat senang, padi menjadi”.
Di Senembah Mij ada juga “Desa Potemkin itu Sri Ratu Katharina juga ada. Cuma Potemkin itu berkarma pada tubuh-tubuh tuan kebun dan Sri Ratu Katharina berkarma pada Herr Dr. Jansen, bersemayam di Nederland. Desa Potemkin di Senembah Mij, dibikin atas permintaan Dr. Jansen sendiri, buat kuli kontrak yang sudah lama bekerja. Mereka mendapat rumah sendiri dengan kebun sendiri. Disamping desa Potemkin inilah sekarang diadakan sekolah Potemkin buat menyenangkan hati idealist, ethist Herr Dr. Janssen. Oleh tuan kebun, Dr. Janssen dikantongi waktu melalui bangsa kuli, dan dikeluarkan dari kantong baja auto chrysler buat menyaksikan dan mengagumi desa sekolah Potemkin.
Saya tahu bahwa tak lama lagi Dr. Jansen akan kembali ke Nederland. Saya “anak angkatnya ini akan tinggal sendirian di antara tuan besar yang memusuhi warna kulit, paham politik, bahkan pekerjaan saya. Maksud saya yang terpenting sudah tercapai. Pertama mendapatkan pengalaman antara kuli kontrak. Kedua mendapatkan uang buat membayar hutang kepada desa dan bekas guru saya. Sebagian besar dari hutang ini sudah langsai (terbayar). Dengan reserve yang saya simpan sendiri semuanya kalau perlu, bisa saya lunaskan. Sudah terlampau lama saya berada dengan menutup mata telinga dalam masyarakat yang rendah. Satu kali saya rupanya terlanjur menuliskan tingkah lakunya Belanda kebun, terutama terhadap perempuan kuli kontrak. Balasan surat kepada saya ditulis oleh tangan wanita, dahulunya saya kenal sebagai Nona Mathilda Elzas, onderwijzeres, dan sekarang nyonya Horensma guru saya itu. tulisan itu pendek saja...Als je het daar niet be alt, kom dan maar bij ons terug”. Heusch, genoeg ander werk. (Kalau tak senang disana kembalilah kemari. Sungguh cukup pekerjaan lain).
Kebetulan pula sesudahnya rapat tuan besar kebun tadi saya diajak oleh Dr. Jansen berjalan-jalan. Saya tiada ragu-ragu lagi mengambil keputusan. Kata saya: “Tuan sudah saksikan sendiri bagaimana suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya seorang Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli, maka sekolah anak kuli itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih baik saya minta berpisah dengan tuan sendiri”, demikianlah usul saya.
Saya tak ingat apa yang dikatakan tuan Dr. Janssen, mungkin juga tak apa-apa. Orang yang mempunyai perasaan halus seperti Dr. Janssen masakan tak mengerti akan haluan saya, perjuangan dan kesulitan saya. Malam itu juga saya diundang oleh Dr. Janssen ke rumahnya Dr. Pel. Di sana selain Dr.Pel dan Dr. Janssen sudah berada Prof. Schuffe, ahli malaria yang terkenal. Inilah malam perpisahan, Dr. Janssen juga sudah menyuruh kantor membawa gaji saya buat 2 bulan dan membeli karcis kelas I untuk ke Jawa.

Dari teman saya dengan “Dr. Jansen dengan undangan kepada para tuan tanah dan selamat berpisah untuk menunjukkan penghargaannya dan mengembalikan kehormatan yang selama ini diinjak-injak oleh para tuan besar.” Tetapi Boekhouder No.1 yang pertama menolak permintaan saya buat berkenalan lebih kurang 2 tahun lampau itu, membisikkan ke kiri kanan: Guna apa kelas 1 buat (Inlander Tan Malaka itu). Mungkin dia tak senang di kelas 1 itu (masakan “Inlander” senang dengan yang baik?)
Sebelumnya berangkat ke Indonesia pada suatu hari, maka buat penutup ongkos dan sebagai penghargaan atas lezing tentang lembaga dan adat istiadat salah satu daerah di Indonesia. Atas permintaan tuan Boissevain, Handelsvereeniging Amsterdam saya menerima “enveloppe yang berisi. Perkara biasa! Yang sedikit luar biasa sesudahnya itu, ialah kebetulan saja dalam kereta dari Bussum ke Amsterdam, disamping saya di kelas tiga, duduk seorang tuan, berusia tinggi, mata tajam dengan pertanyaan: Tuan Tan Malaka?” saya syahkan dengan sedikit tercengang sebab tuan itu belum pernah saya kenal. “Saya Jansen”. Saya menerima laporan tentang sekolah anak-anak kuli kebun di Deli. Cobalah tuan periksa. “Apabila saya hendak baca, maka tuan Janssen berkata lagi: “Simpan sajalah dulu, nanti baca kalau kembali di rumah. Sesudahnya itu saya minta tuan datang di kantor saya di Amsterdam untuk memberi pemandangan tentang laporan itu.”
Demikianlah, di kantor Amsterdam itu saya menerima tawaran Dr. Jansen itu buat bekerja dengan tuan W. di Deli untuk mendapatkan sistem pendidikan yang cocok dengan keadaan disana.
Setelah berpisah dengan Dr. Jansen dan sesudah beberapa bulan saya di Semarang, maka dari guru Horensma saya mendapat surat yang mengucapkan salam dari Dr. Jansen. Surat itu mengatakan pula bahwa Dr. Jansen masih memberi perhatian penuh kepada saya.
Benar pula setelah tiba di Nederland sesudah dibuang dari Indonesia pada permulaan tahun 1922, maka saya dengar dari teman, bahwa Dr. Janssen hadir dalam rapat, dimana saya berbicara tentang pendidikan. Dalam rapat buat pemilihan anggota Majelis Rendah Nederland dimana saya dicalonkan, saya lihat hadir juga keluarga Dr. Janssen.
Tetapi saya tak bertemu lagi dengan Dr. Janssen. Anaknya P.W Janssen, terkenal sebagai dermawan di Nederland.
Dr. Janssen walaupun berbudi luhur, cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam diantara pemandangan politik kami. Tak sekali ini saja dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya merasakan lakonnya kesedihan “tragedy” hidup: bisa sehilir semudik, seminum semakan, tetapi  tak bisa seperjuangan sepasukan.















SEMARANG KOTA MERAH


Waktu itu, Juli 1921, Semarang terkenal sebagai pusat kaum merah. Revelusi ini, Mei 1947, tiadalah membatalkan persangkaan itu. Pada masa itu di Semarang terdapat markas V.S.T.P. Vereeniging van Spoor den Tram Personeel, Sarekat Sekerja Kereta Api, yang paling teratur buat seluruh Indonesia. V.S.T.P. didirikan dalam tahun 1904. Pernah mempunyai anggota yang membayar iuran 17.000, mempunyai cabang dimana-mana, percetakan dan surat kabar yang rapi teratur secara modern. Ketuanya adalah saudara Semauan. Dia mendapat bantuan dari beberapa personeel Belanda, bekas pemogok di Nederland, dan yang boleh dianggap sebagai pelopornya gerakan Sarekat Sekerja di Indonesia. Disamping V.S.T.P. berada PKI, Partai Komunis India, dahulu bernama I.S.D.P, Indische Social Democratische Partai, yang didirikan oleh kaum Socialis revolusioner Belanda dalam tahun 1914. Setiba saya di Semarang saudara Semauan pula yang mengetuai partai ini. para pemimpin Belanda seperti Sneevliet dan Baars sudah lama dibuang. Dalam tahun 1922, setelah diakui sebagai seksi oleh Internasional ke-3, I.S.D.P memutar namanya menjadi PKI, mempunyai majalah Het Vrije Woords dan Suara Rakyat. Yang dibelakang ini dipimpin oleh saudara Darsono, yang menjadi Wakil Ketua PKI boleh dianggap sebagai Kader, sedang yang menjadi Partai Rakyat Jelata ialah Sarekat Islam Merah Semarang, yang berhubung dengan adanya partai disiplin oleh Sentral Sarekat Islam dipisahkan dari pusat. Buat memenuhi gambaran semarang di waktu itu, perlulah pula disebut Nationale Indische Partai (N.I.P) yang mengenal para pemimpin seperti Dr. Douwes Dekker (sekarang Dr. Setyabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hajar Dewantoro).
Suasana Indonesia seluruhnya pada tahun 1921 itu adalah menyamai suasana 1913-1919. Perbaikan Ekonomi-Dunia baru saja (tahun 1920) memuncak. Pada tahun 1921 perekonomian mulai merosot pula N.I.P, partai nasional tertua, kecuali cabang Deli, tak berapa lama lagi memperdengarkan suaranya Sarekat Islam, yang pada Kongresnya ke-3 di Surabaya mempunyai 87 cabang dan anggota 450.000, dan menurut De Gids, Nederland, dimasa Perang Dunia I, pernah serentak sanggup memanggil 6.000.000 pengikut dan penyayang (bersimpati S.I) buat semua kepulangan dan sekalian kita kampung Indonesia pada rapat umumnya, sedang terbengkalai karena perpecahan dengan golongan Semarang. Perang Jambi yang disertai oleh pengikut S.I, kerusuhan di Toli-Toli (Sulawesi), keributan di Garut oleh afdeling B, semuanya itu sudah lama berada di belakang. Aksi revolusioner Belanda berhubung dengan Soldaten-Bond, yang dipimpin oleh Sneevliet dan Bransterder, yang juga banyak menggemparkan imperialisme Belanda, sudah tinggal kenang-kenangan saja, PKI cuma mempunyai kader yang kecil saja, terutama di Semarang.
Dengan turunnya semangat Sarekat Islam, Garut affaire, penangkapan Cokroaminoto, perpecahan dalam SI, naiklah kembali kepercayaan imprialisme Belanda, yang sesungguhnya sudah bingung menghadapi S.I di masa perang Dunia I. Kepercayaan atas diri sendiri itu diperkokohnya pula dengan bermacam-macam undang-undang yang mengungkung kemerdekaan berserikat, bersidang, menulis dan berbicara. Semua undang-undang tersebut sungguh membatasi hak manusia, hak demokrasi, dan menghambat jalannya pergerakan nasional serta perserikatan buruh. Tetapi semuanya itu, masih boleh dianggap ranjau yang kelihatan oleh Pemimpin, yang laksana bom terpendam, entah dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu. Inilah yang kita kenal dengan nama “exorbitante rechten”, atau hak istimewa yang dipegang oleh Gobnor Jendral Hindia Belanda untuk membuang seorang pergerakan yang dianggap berbahaya buat ketentraman umum (baca: berbahaya buat yang oleh penjajah Belanda dianggapnya ketentraman). Sepanjang hak istimewa di tangan Gobnor Jendral Hindia Belanda ini, maka siapa saja yang dianggap berbahaya buat jajahan Belanda, bila saja dikehendaki, boleh ditangkap dan dibuang dengan tiada diberi kesempatan untuk mempertahankan dirinya pada satu pengadilan yang syah serta umum terbuka.
Dalam suasana demikianlah, maka Janji Bulan November, janji yang diberikan oleh Penjajahan Belanda waktu tersesak untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia, entah berapa %, sedikit demi sedikit ditarik kembali. Yang dikabulkan ialah Gedung Sandiwara di Pejambon, Batavia, yang dinamai Volksraad, bersama-sama dengan ranjau pers, berserikat dan berbicara serta hak membuang orang Indonesia keluar tanah tumpah darah dan masyarakat asalnya atau ke hutan rimba seperti Digul.
“It is a long way to the pray, a long way to go”. Ketika itu saya bukannya berada dalam iklim politik yang hangat panas, diantara murba yang bergerak menentang dengan program yang pasti serta organisasi teratur rapi dan terdisiplin. Suasana murba yang menentang sudah jauh di belakang, organisasi nasional yang rapi teratur dan terdisiplin, sanggup merebut dan mempertahankan daerah lebih dari seluas Eropa seluruhnya dan Rakyat 70 juta banyaknya, belum ada. Sepantasnyalah kalau saya masuk ke Semarang dari pintu perguruan. Tatkala meninggalkan Deli menuju ke Semarang, hati saya bulat hendak mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat murba di masa itu. Dasar tujuan sudah saya pastikan, pengalaman sementara buat memperteguh dasar tujuan sudah saya peroleh di Deli selama 2 tahun. Yang saya butuhkan ialah tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa murid, material berupa rumah dan serta akhirnya, yang tak kurang juga pentingnya adalah keliling yang mengandung penghargaan atas pekerjaan perguruan itu.
Ketika mampir di rumah guru Horensma, yang sudah naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia, berkedudukan di Jakarta, maka saya ditanya apakah saya mau bekerja di ibu kota itu dan mau bekerja apa supaya ia dapat diusahakan. Saya jawab, bahwa saya mau meneruskan melakukan maksud yang sudah dia kenal dan tak pernah dia bantah, malahan sebaliknya. Dengan pendek dia berkata Ga je gang maar (teruskan saja).
Di Yogya saya menempat kepada sahabat baru, saudara Sutopo, bekas Pemimpin surat kabar Budi Utomo. Kepada sahabat baru ini saya diperkenalkan dengan surat oleh sahabat saya di Medan, ketua Budi Utomo disana. Saudara Sutopo segera mendesak saya pindah dari hotel ke rumahnya, dimana saya mendapat perlayanan tak ada ubahnya dengan saudara kandung. Seolah-olah saya saudaranya yang baru pulang merantau. Saya dikenalkannya kesana-kesini. Dia usahakan mendirikan sebuah sekolah yang hendak saya pimpin. Tetapi kebetulan pula Serikat Islam membikin rapat besar untuk membicarakan, perselisihan di dalam badan sarekat Islam, disebabkan oleh apa yang dimasa itu dinamai “Kritik Darsono”. Oleh saudara Sutopo saya diperkenalkan pula kepada saudara Cokroaminoto, saudara Darsono dan saudara Semaun.
Seperti orang yang sudah berkenalan lama pula saudara Cokroaminoto terhadap saya. Seperti orang yang tak insyaf akan pengaruhnya di seluruh kepulauan Indonesia, seorang yang dimulut orang Barat pasti akan disebutkan “the uncrowned king of Indonesia”, (Raja tak bermahkota) bersikap ramah tamah kepada siapa saja yang menghampiri. “Sekali menjadi sahabatnya, susah berpisah, apalagi bermusuhan dengan Cokroaminoto”. Demikianlah kata seorang anggota PKI bekas pengikut Cokroaminoto kepada saya. “Dengar suara Cokroaminoto merebut hati rakyat Indonesia”, kata teman yang lain. “Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara”, demikianlah perkataan perpisahan yang diucapkan oleh saudara Cokroaminoto kepada saya.
Sebelum rapat banyak orang sibuk berjalan kian kemari. Saya dibawa kepada saudara Darsono, “Rakyat kita”, demikianlah kata saudara Darsono, “masih terlalu persoonlijk dalam perbedaan paham. Mereka belum bisa memperbedakan paham atau kecakapan seseorang dengan orangnya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka amat cintai”.
Saudara Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi oleh apa yang dinamai serangan atas dirinya sendiri, dan memang dirinya diancam orang. Kalau ia membela dirinya di muka rapat. Mesti diketahui, bahwa populariteit saudara Cokroaminoto pada waktu itu masih tinggi sekali. Tetapi panitianya yang menyelidiki “Kritik Darsono” membenarkan haknya saudara Darsono mengadakan kritik, hanya menyalahkan caranya melakukan.
Saudara Semaun, yang dengan pakaiannya walaupun sederhana tapi amat menarik hati, seperti juga muka dan senyumnya, belum lagi bertanya ini atau itu sudah berkata kepada saya: “Bersiaplah saudara buat pergi ke Semarang bersama-sama kami keesokan hari. Nanti kami akan berusaha supaya saudara bisa memimpin perguruan. Memang sudah pada tempatnya.
Cuma saya mesti berpisah dengan Saudara Sutopo yang dengan keras menahan saya di rumahnya di Yogya, karena dia sedang berusaha betul mendirikan sekolah buat saya pimpin.
Didorong oleh hasrat yang terang-teguh, maka sering kita lupakan sifat jasmani yang takluk pada undangnya alam. Dalam mencocokkan badan saya dengan keadaan alam Eropa dalam iklim serta keperluan lahir yang dalam serba kekurangan itu, maka satu kali kesehatan saya sudah mendapat tamparan yang hebat. Kesehatan itu dikembalikan dengan mencocokkan diri pula pada penghidupan. Kehidupan secara Eropah itu diteruskan di Deli, bahkan dengan berlebih-lebihan.
Mulanya saya tak insyaf, bahwa saya sekarang berada di Jawa dalam keadaan lahir yang berbeda dengan keadaan di Deli, seperti bumi dengan langit. Pada permulaan tak di-insyafi, bahwa rumah di Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum (Nederland), makan di Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum. Tak diketahui, bahwa hawa Semarang berlainan dengan yang dilain tempat, semuanya lupa karena suasana baru, suasana meredeka berbicara dengan teman sepaham seperjuangan.
Semenjak hari pertama saya jatuh berbaring di tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun, demam, panas sampai akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit. Saya menderita serangan paru-paru (longonsteking), satu bulan lamanya harus dirawat.
Tidak ada di alam ini organ, badan, yang sanggup melayani perubahan besar dengan sekonyong-konyong. Laksana gelas, kalau tiba-tiba dituangi air mendidih niscaya akan pecah, demikianlah badan yang kuatpun akan menderita kesakitan, kalau sekonyong-konyong ditaruh dalam keadaan yang serba berlainan. Ibarat gelas tadi harus dituangi perlahan-lahan sedikit demi sedikit, dengan air mendidih pun tiada akan rusak, begitu pula badan manusia yang fana itu harus berangsur-angsur disesuaikan dengan keliling yang berbeda. Hal ini sering kita lupakan, apalagi kalau rohani berada dalam suasana yang sejahtera, yang menggembirakan.
Setelah sedikit merasa kuat kembali, saudara Semaun membuat rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam Semarang, mengusulkan mendirikan perguruan. Usul ini diterima baik, dan pencatatan murid dimulai hari itu juga. Perumahan sekolah tiadalah menjadi halangan, karena Sarekat Islam Semarang mempunyai gedung sendiri buat rapat. Gedung inilah yang sementara akan dijadikan sekolah. Bangku, papan tulis dan perkakas lain-lain juga segera diperoleh. Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid.
Dalam brousure kecil “S.I. Semarang dan Onderwijs” saya uraikan dasar dan tujuan perguruan kami caranya mencapai tujuan itu. bukanlah tujuan kami mendidik murid menjadi jurutulis seperti tujuannya sekolah gupernemen. Melainkan, selain buat mencari nafkah buat diri dan keluarga sendiri, juga buat membantu rakyat dalam pergerakannya. Teranglah kalau begitu, bahwa dasar yang dipakai ialah dasar kerakyatan dalam masa penjajahan, ialah: Hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata. Bukanlah buat menjadi satu klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kecerdasan, perasaan dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idam-idaman rakyat dan pergerakan serta organisasi rakyat.
Karena hampir semuanya murid ialah anak petani, buruh dan pegawai atau pedagang kecil, yang langsung atau tidak langsung bertali erat dengan Sarekat Islam, maka mencocokkan didikan murid dengan pekerjaan, idam-idaman dan gerakan Rakyat sehari-hari itu, bukanlah suatu pekerjaan yang sulit. Tiadalah pula mengherankan, kalau sesudah tiada berada lama, sang Ibu Bapa memandang anaknya sebagai ahli waris mereka dalam pekerjaan dan cita-citanya.
Saya masih ingat demonstrasi, pertunjukan yang pertama, yang dilakukan di tengah-tengah Sarekat Islam. Seorang dua murid yang baru berumur 14 tahun meminta bantuan orang tua dan mengeritik serta mengajak kerja lebih keras para temannya sendiri untuk organisasi mereka sendiri. Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana merah, berbaris-baris, bersaf-saf di depan khalayak dan menyanyikan lagu “Internasionale” pertama kali di antara rakyat Indonesia. Setelah semuanya berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan rakyat.... yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insyaf akan nasif anaknya dan diri sendiri “sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira, karena para murid ini dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan, melainkan buat mengangkat derajat tertindas, terhisap dan terhina, ialah golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan.
Baru sesudah bermenit-menit tepuk tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan tepuk tangan yang riuh.
Murid terus saja mengalir ke sekolah kami, sampai susah lebih dari 200 orang. Surat yang meminta menjadi guru di sekolah kami datang dari mana-mana. Ada yang mau meninggalkan pekerjaan yang memberi hasil baik dan bekerja pada sekolah kami dengan percuma. Disamping itu di hari petangnya saya adakan kursus sendiri, mendidik murid di kelas 5 menjadi guru dan mendidik guru yang ada untuk menjadi guru berhaluan kerakyatan.
Malang dan mujur datang tiba-tiba dari semua tempat. Begitu pula permintaan mendirikan sekolah itu datang dari semua pelosok Malan, karena tenaga sedikit, dan pusat, ialah Semarang, belum lagi teguh. Mujur, karena dengan perhatian Nasional, bisalah kelak diwujudkan program meliputi seluruh Indonesia dan mengharapkan bantuan seluruh rakyat. Dengan perhatian dan bantuan Rakyat jelata, seluruhnya atau sebagian besar, dapatlah kelak diharapkan sekolahan menengah akan mendapat iklim yang baik dan tanah yang subur. Setelah tamat sekolah pertanian, murid akan bisa memimpin koperasi rakyat di desa-desa. Tamat sekolah tukang para murid akan bisa menyelenggarakan koperasi pertukangan. Murid keluaran sekolah dagang akan bisa menyusun dan memimpin berbagai macam koperasi. Demikianlah kalau sekolah dapat kerja sama dengan Serikat Sekerja dan kumpulan politik, maka pergerakan kemerdekaan akan mendapatkan tenaga yang terdidik dalam segala lapangan. Kader yang benar-benar tergembleng.
Bandung sudah tak bisa ditahan lagi. Rumah sekolah yang bagus dengan kebun dan  tempat permainan murid yang luas, sudah disediakan oleh seorang dermawan, anggota Sarikat Islam. Semua  tenaga perguruan yang ada terpaksa dikerahkan buat mendirikan sekolah rakyat yang kedua, dengan murid antara 200 dengan 300 di Bandung.
Saya sendiri tiada bisa menyaksikan kemajuannya. Sepeninggal saya dibuang, maka menurut laporan yang saya terima, sekolah Rakyat tumbuh sebagai jamur di musim hujan. (Dengan bertukarnya Sarikat Islam Semarang menjadi Sarikat Rakyat, maka nama sekolahpun bertukar). Kemana saja murid Semarang mengunjungi rapat Rakyat, disana segera didirikan sekolah model Semarang. Para murid dengan celana merah dan lagu Internasionalnya adalah laksana ahli suling kota Harmelin, di dalam dongeng, yang menarik segala hewan mengikuti sulingnya, kemana saja ia pergi. Memangnya ada pula murid yang tinggal di Surabaya mengikuti temannya sampai di Semarang dengan tak meminta izin kepada orang tuanya lebih dahulu.
Sebagai sepongang (kumandan) gerakan perguruan kami di masa itu, dalam ENCYCLOPAEDIE VAN NED.OOST-INDIE VI SUPLEMENT, muka 534 kita bisa membaca yang terjemahan sbb:
Dimana-mana berdiri Sekolah Rakyat menurut model Tan Malaka; diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern. Di mana mungkin bisa dibikin kursus kilat untuk membentuk propagandis yang aktif, yang sebagai warga-rumekso akan menjadi Kader organisasi, mula-mula dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau rapat tertutup yang terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan partikular bumi putera ternyata tak berdaya buat memberantas propaganda perguruan yang semacam itu. (Lihatlah pemberi tahuan pemerintah tentang beberapa perkara kepentingan umum, April 1924)
Baru ini, sambil memperingati perayaan 1 Mei 1947, saudara Alimin yang sudah menyaksikan perguruan revolusioner di mana-mana negara di dunia ini, dalam satu interpiu, memerlukan juga memperingati dan mengucapkan penghargaannya atas sekolah Rakyat di masa lampau itu.
Saya ingat akan percakapan dengan almarhum saudara Haji Busro, seorang terkemuka dalam gerakan Sarikat Islam Semarang dan penyokong lahir batin gerakan perguruan. “Saudara”, katanya kepada saya, saudara jangan bicara-bicara dulu di rapat umum. Biarlah orang lain saja dulu. Baiklah saudara tumpahkan semua tenaga kepada pendidikan saja. Nanti sesudah tiga empat tahun tentu sudah cukup pengganti, kalau saudara mencampuri gerakan politik, dan kalau dibuang-buang” – Seperti kebiasaan dari saudara Haji Busro ini tiap-tiap kalimat itu disudahi dengan yang “istimewa” Busro: “yo rak?”
Ini berlaku pada permulaan perguruan itu. memang itu suatu nasehat yang bijaksana. Tetapi karena memang kekurangan tenaga di semua lapangan maka saya terpaksa juga terjun ke Surabaya, mengunjungi rapat Serikat Islam disana. Suasana politik masih berada dalam pertentangan Serikat Islam melawan “ke-Semarangan” (Islamisme melawan Komunisme), berhubung dengan perpecahan. Tetapi sesudah beberapa waktu saya berada di tengah-tengah teman seperjuangan, saya mendapat kesan bahwa isinya pertengkaran tiada banyak mengandung persoalan ekonomi politik yang tegas nyata, yang kongkrit, dan caranya pertengkaran itu cuma membangunkan nafsu membenci saja. Akibatnya tentulah melumpuhkan kedua belah pihaknya. Sebelum saya mendapat kesempatan buat bicara di Surabaya, oleh Ketua sudah diperingatkan, supaya jangan membikin propaganda tentang komunisme. Walaupun saya cuma memperingatkan persekutuan Turki dengan Sovyet Rusia dimasa itu buat menentang imperialisme, tetapi saya sudah dapat teguran lagi dari ketua. Cuma rapat rupanya benar tak merasa keberatan kalau saya meneruskan pidato yang berhubungan dengan pentingnya persatuan kaum Komunis dan Islam Indonesia menghadapi lawan bersama. Saya sendiri hanya dikasih waktu 5 menit, tetapi dengan hadiah 5 menit dari saudara Semaun, dan 5 menit lagi dari saudara PKI lain, dapat juga terperas pembicaraan selama 15 menit.
Kunjungan ke Surabaya amat memuaskan. Beberapa pemimpin Islam berkenan nanti akan mengunjungi Kongres  PKI di Semarang, dimana akan kita rundingkan lagi perkara kerja bersama kaum Semarangan dengan Serikat Islam.
Di sini saya sudah menginjak tanah lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali. Pada satu hari, tak ada pendahuluan ini dan itu, tiba-tiba saudara Semaun berkata kepada saya: “Saya harap besok Minggu saudara pergi ke Cepu. Baru ini saya kembali dari sana mendirikan: “Serikat Buruh Pelikan (tambang) Indonesia”. Sudah saya usulkan dan sudah pula usul itu diterima, yakni saudaralah yang menjadi wakil ketua”.
Ini langkah pertama memasuki Serikat Sekerja. Memang disegala lapangan kekurangan tenaga, yang oleh saudara Busro pun tak dapat disangkalnya. Sesudah berbisik-bisik disekitar saja, maka tiba-tiba dengan diam-diam rahasia, saudara Darsono berangkat ke “Moskow. Tak lama sesudah itu, sehabis berbisik-bisik di antara kita pula, saudara Semaun pun, berangkat menyusul ke....Moskow. Tenaga yang sudah kurang itu makin terasa lebih kurang lagi!
Dalam keadaan kekurangan tenaga dalam segala lapangan itu, maka reserve calonpun harus dikerahkan! Tiadalah mengherankan kalau pada Kongres PKI sekonyong-konyong saya di “bombardeer” menjadi pemborong semua pembicaraan. Yang sangat mengherankan saya sendiri, sehabisnya rapat umum dalam rapat anggota tertutup saya “dibombardeer” lagi menjadi ketua PKI. Saya memajukan keberatan, tetapi saya tak berdaya berhadapan dengan suara bulat dan disiplin.
Sekarang saya tidak saja berada di lapangan politik yang lincir, tetapi malah sudah dilapangan politik yang lincir di tepi jurang.
Yang sekarang masih saya ingat pidato saya yang terpenting dalam kongres PKI tadi, adalah uraian tentang akibatnya perpecahan awak sama awak, antara kaum Komunis dengan kaum Islam, berhubung dengan politiknya “pecah dan adu” imperialisme Belanda. Perpecahan kita di zaman lampau, yang diperkudakan oleh politik “devide et Impera” itu sudah menarik kita ke lembah penjajahan. Keadaan kita sekarang, sebagai bangsa yang terjajah ini berdasarkan perpecahan Raja dan Rakyat disamping perpecahan Raja dan Raja. Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, maka kita memberi kesempatan penuh kepada musuh yang mengintai-intai dan memakai permusuhan kita sama kita itu untuk melumpuhkan gerakan Indonesia. Marilah kita majukan persamaan, dan laksanakan persamaan itu persoalan politik dan ekonomi yang kongkrit nyata terasa. Demikianlah sari pidato saya.
Penerimaan baik dari anggota Serikat Islam dan PKI sendiri lebih dari yang saya harapkan. Tetapi malangnya, saudara Abdul Muis, wakil dari Sentral Serikat Islam datang terlambat dan sepatah katapun tak mendengar pidato saya. Haji Agus Salim yang dulu berjanji akan datang, tak hadir pula. Saudara Abdul Muis memulai pidatonya dengan mengupas luka yang lama-lama. Sebentar saja suasana ingin bersatu yang semula bertukar menjadi suasana yang keruh kembali.
Buat menjawab pidato saudara Abdul Muis, tampil 3 orang wakil Semarang berturut-turut dari Sarikat Islam Semarang dan PKI. Suasana meningkat seperti yang sudah-sudah di Yogya dan lain-lain tempat. Pada saat inilah sebagai wasit yang bijaksana, yang walaupun masuk golongan Serikat Islam juga, tampil ke muka Kiai Hadikusumo.
Wajah dan suara saudara Kiai Hadikusumo segera menentramkan suasana yang keruh itu. Saudar Kiai menyetujui sangat persatuan yang dianjurkan tadi, dan menganggap sesat orang Islam yang tiada menyetujui persatuan menghadapi musuh bersama itu. Saudara Kiai menyetujui pula kalau dibelakang hari akan diadakan rapat lagi yang dihadiri oleh kedua belah pihak, buat melaksanakan persatuan itu. (Rapat itu dibelakang hari betul diadakan. Tetapi waktu itu saya sudah tak berada di Indonesia lagi. Pada Kongres C.S.I di Madiun Pebruari 1923, partai disiplin yang wujudnya mengeluarkan orang-orang komunis dari Serikat Islam, terus dijalankan. Memang susahlah menghilangkan sentimen dan mendapatkan persamaan berbentuk satu program yang tegas nyata, dalam bangun organisasi bagaimanapun juga.
Selang beberapa hari setelah Kongrres PKI di Semarang, Revolusionarie Vackcentrale, yang mengikat VSTP, Buruh pegadaian. Pada kami diminta  bantuan. Sewajarnyalah bantuan ini diberikan dengan ikhlas dan sepenuhnya. Sebagai pemimpin maka pada bulan Januari tahun 1922 timbullah pemogokan buruh buhan (??) dan minyak, maka kami berjanji, apabila pemerintah sebagai majikan tiada menerima kembali kaum pemogok, buruh yang terikat Vakcentrale tadi akan dikerahkan mogok memberi bantuan.
Saya sendiri sebagai wakil  Vakcentrale itu, mengunjungi rapat kaum pemogok di Yogyakarta, dan menyampaikan pesannya kaum buruh yang dibawah pimpinan kami. Dalam rapat yang dikunjungi oleh berjenis-jenis kaum buruh di kota Semarang, dimana juga saya berbicara, terasa benarlah hangatnya suasana. Dimana-mana kaum buruh kereta apipun merundingkan nasibnya sendiri, sambil memberi bantuan kepada teman senasib kaum pegadaian yang sedang membela kepentingannya.
Memangnya buat saya sendiri cuaca adalah gelap gulita, yang tergambar pula pada wajah saudara Haji Busro. Para teman seperjuangan sudah berbisik-bisik akan kemungkinan yang boleh jadi akan menimpa diri saya. Resisir Inlander yang tiada pernah meninggalkan samping saya selama berada di Semarang ditambah banyak orangnya dan ditambah rapi penjagaannya. Tetapi semua kemungkinan memang sudah saya pertimbangkan lebih dahulu, sebelum saya berangkat ke Semarang. Begitupun semua macam akibat sudah saya pertanggung jawabkan. Semua kemungkinan itu saya sandarkan kepada logika dan konsekwensi paham, perkataan dan perbuatan saya.  Tak sekejappun saya merasa menyimpang dari kebenaran dan kejujuran. Dalam hal ihwal demikian maka semboyan saya cuma terbenam atau terapung. Seperti kata pepatah: “Untung sabut terapung, untung batu terbenam.”
Sekarang sedikit sebagai iseng-iseng, perlancongan pikiran!
Dalam perantauan selama itu, sayapun banyak menjumpai peristiwa mengherankan, karena terjadinya di luar persangkaan dan perhitungan. Baik juga peristiwa itu saya sebutkan, supaya orang jangan mengira, bahwa hidup saya tak berdasarkan cukup pengalaman.
Tak sedikit orang yang percaya, bahwa barang siapa yang mengunjungi Borobodur, maka orang itu akan tertimpa kemalangan, umpamanya bisa terpaksa meninggalkan pulau Jawa ini. Memangnya, ketika saya dari logis berangkat kembali ke Semarang, saya singgah ke candi yang mashur ini. begitu pula tahun yang lalu, sebelum saya ditangkap di Madiun. Saya juga mampir di Borobudur.
Terserah kepada para ahli tahyul buat memperhubungkan ke Borobudur itu dengan pembuangan saya pada bulan Maret 1922 dan penangkapan di Madiun pada bulan Maret 1946.
Memang Indonesia penuh dengan kejadian yang berupa ajaib. Tetapi kepada ahli akal saya majukan pula keadaan perjuangan saya di kedua waktu tersebut.















TANGKAP – BUANG I



Gembira dan bangga benar saya melihat Sekolah Rakyat yang kedua di Bandung! Rumah yang besar, bersih, dikelilingi lapangan yang luas. Terlampau bagus buat anak Proletar. Kalau dibandingkan dengan Semarang! Tepat pada tanggal 13 Februari, angka ini pun bukannya sekali dua menghampiri saya dalam waktu kemalangan, hari Ahad, saya mondar-mandir dari kamar ke kamar di sebelah kami. Memeriksa apa yang kurang, mengagumi yang bagus, sambil menyedihi anak-anak Semarang yang kurang mujur itu.
Saya tak tahu, bahwa pada satu kamar beberapa anggota dari VSTP cabang Bandung, rupanya mempersoalkan. Tiba-tiba saya tertumbuk pada seorang PID Belanda yang meminta saya keluar. Karena katanya ada rapat V.S.T.P saya tercengang dan tolak keras saya diusir begitu saja dari gedung sekolah kami sendiri. Bahkan”, kata saya akhirnya sesudah beberapa lama bertengkar, sayalah sebenarnya berhak mengusir siapa dari sini, karena gedung ini adalah kepunyaan kami”. Perdamaian diperoleh atau persetujuan, bahwa kami bersedia tidak akan memasuki rapat tertutup di salah satu kamar itu. memang saya sama sekali tak ada maksud akan mengunjungi rapat yang sesungguhnya malah tak saya ketahui itu.
Kira-kira jam 12, ketika saya berbicara dengan beberapa teman, datanglah sebuah mobil berhenti di depan sekolah itu. Belanda PID yang tadi juga keluar dari mobil itu. Dengan hormat dan muka sedih Belanda ini memperlihatkan surat perintah menangkap saya. Saya dipersilahkan masuk mobil.
Di dalam mobil berada dua opsir tinggi. Yang seorang berpangkat kolonel mempersilahkan saya duduk di tengah. Apabila saya bertanya kenapa saya ditangkap, maka keduanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa mereka tak tahu apa-apa. Mulanya saya dibawa ke kantor polisi dan terus masuk penjara Bandung.
Kabar yang pertama saya terima dari luar adalah dari nyonya tuan Horesma. Baru kemarin malam saya mengunjungi guru Horensma di rumahnya di Bandung, kemana ia baru saja dipindahkan dari Jakarta. Masih saya ingat perkataannya: “Als je er op los gaat, denk er ook aan mij hoor. Ik kan nog ook wat doen” (Kalau kamu mulai, jangan dilupakan saya. Saya juga bisa ikut serta). Tetapi guru Horensma juga sedikit bingung mendengar penangkapan yang tiba-tiba itu. Dalam surat itu dikemukakan bahwa saya menyusahkan diri sendiri! Tetapi nyonya rupanya berpikiran lain. Sudah berapa kali nyonya minta kepada yang berwajib berjumpa dengan saya di penjara Bandung, tetapi tetap ditolak. Akhirnya nyonya cuma dapat mengirimkan kartu pos terbuka, yang penuh sindiran, yang isinya bertentangan  dengan pendapat tuan. Nyonya tidak menyalahkan saya, malahan sebaliknya menentang yang menangkap saya dengan ucapan: “Wie weet wat een groot mau in jou steekt”. (Siapa tau, mungkin engkau orang besar).
Pada suatu pagi saya dibawa ke-stasiun Bandung, buat dipindahkan ke penjara Semarang. Di halaman stasiun sudah menunggu Belanda PID yang mau mengusir saya tempo hari dan menyampaikan surat penangkapan kepada saya. Dia berpisah dengan saya dengan perkataan: “Kita memang bertengkar tempo hari. Tetapi kepergian Tuan saya menyesal sangat, karena.....Murid-murid yang membutuhkan  Tuan! (Het spijt me zeer voor de kinderen....)
Baik juga saya berikan di sini salinan dari ENCYCLOPAEDIE yang sudah disebut di atas, supaya pembaca sedikit mendapat kesan dari penangkapan itu. Dan buat memberikan pertimbangan dan putusan resmi Pemerintah Hindia-Belanda. Pada halaman 532 tertulis: “Kongres (PKI) Desember 1921 juga dipergunakan untuk mengatur perhubungan semua cabang S.I. komunis satu dan lainnya, yang selang beberapa lama, setelah putusan tentang partai-disiplin diterima (oleh CSI-pen) dikeluarkan dari pusat (CSI) yang buat sementara waktu menggabungkan dirinya pada komite Daerah Semarang. Tampak benar aliran untuk berdamai, tetapi buat mempersatukan kedua aliran yang tertumbuk kepada beberapa keberatan , seperti juga terjadinya dengan perpisahan kedua aliran itu (komunistis dan Islamistis, pen) di dalam gerakan Serikat Sekerja. Kerja bersama dalam peristiwa yang akan terjadi (di hari depan). Sambil masing-masing memegang kemerdekaan, akhirnya oleh kedua belah pihak diterima dalam prinsip. Cabang S.I. komunis akan memusatkan diri pada persatuan Serikat Islam, yang ada di bawah pimpinan Cokroaminoto. Kongres tadi memutuskan pula mengirimkan kawat salam-bahagia Kepada kongres Hindustan yang kebetulan sedang bersidang pula. Kawat dikirimkan atas nama S.I.C.S.I dan Vakcentrale.”
Pada permulaan tahun 1922 aksi kaum komunis Semarang bertambah hebat. Sedangkan  pada permulaan mereka cuma memperkuat organisasinya saja dan memperat hubungannya dengan Komintern (E.K.K.I), ketika pecahnya pemogokan kaum buruh pegadaian pada bulan Januari 1922, pimpinan Bergsma dan Tan Malaka menganggap sampailah saatnya buat melaksanakan dasar aksi komunis dengan perbuatan. Teristimewa oleh mereka disiarkan rencana, bahwa jika pemerintah tidak menerima kembali kaum pemogokan pegadaian, maka serikat Sekerja yang lain-lain, seperti buruh kereta api dan buruh pelabuhan juga akan dikerahkan ialah aksi yang oleh mereka sebagai anggota pucuk pimpinan vakcentrale dikerahkan oleh manifes tanggal 18 Januari 1922, dalam mana didesak memberikan bantuan dengan perbuatan kepada pemogokan pegadaian. Juga dengan berlaku demikian para pemimpin tersebut membuktikan, bahwa mereka dengan menanggung segala akibatnya, adalah komunis dengan perbuatan, yang GRAM MOSKOW (De Tribune, Mei, Juni dan Juli 1921; bandingkanlah pula pidatonya Bucharin tentang PROGRAM INTERNASIONAL KOMUNIS dalam De Communistische Gids tahun 1923, halaman 480) dan menerima kewajiban menarik kaum pekerja dengan cara komunis ke dalam aksi revolusioner, tidak saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbutan sampai berdirinya Diktator proletar. Dalam masyarakat yang beraneka warna seperti di Indonesia, aksi yang kekuasaan semacam itu tidaklah dapat dibiarkan saja (mededelingen 1 Januari 1922 di Kol. Verslag tahun 1992 hoofdstuk B. onder Pandhuisstaking, pag. 18). Menurut putusan pemerintah tanggal 2 Maret 1922, No. 1a dan 2a, maka atas Bergsma, dan Tan Malaka dijatuhkan tindakan administrasi “externeering dan interneering”, kepada Tan Malaka yang sudah beberapa tahun teristimewa berusaha memberikan pengajaran dan pendidikan kepada pemuda menurut dasar komunis Internasionalnya (Malaka scholew) ditunjukkan Kupang sebagai tempat tinggalnya. Dia meminta meninggalkan Hindia Belanda, permintaan mana menurut putusan pemerintah tanggal 10 Maret 1922, no. 2 diperkenankan.”
Seperti tersebut dalam catatan di atas, maka bersama dengan saya juga ditangkap seorang Belanda komunis, ialah Bergsma. Sebagai salah satu syarat dari kebenarannya sesuatu bangsa, saya pikir ialah mengakui jasanya dari bangsa lain, bahkan kalau bangsa lain itupun dianggap pengisap-penindas bangsa sendiri.
Demikianlah, suku akhir “ma” dari nama Bergs-ma itu mengingatkan kita pada suku akhir “ma” dari nama yang sudah sering saya sebutkan disini, ialah guru Horens-ma. Memang keduanya orang Friesland, terkenal sebagai orang keras kepala: de koppige Fries. Di Nederland meskipun mereka sudah ratusan tahun tergabung dengan orang Holland. Drente, Brabant dan lain-lain. Kalau berada diantara sama-sama orang fries masih mempergunakan bahasa Friesch.
Saya ingat, di Amsterdam mereka mempunyai club sendiri. Tetapi, selain sifat koppig, keras kepala yang memang terlihat ada pada dua orang tersebut diatas, mereka juga mempunyai kejujuran. Piet Bersma bukanlah “intelek besar”, seperti Ir. Baars.
Dia bekas sersan tentara Hindia Belanda, pastilah berasal dari kelas proletar, dan salah seorang dari anggota soladaten-Bond dimasa Bransteder dan Sneevliet. Piet Bergsma tidak seperti Ir. Baars yang dengan....intelek besarnya “bisa main dansa dari komunis meloncat ke fasis, sebagai diberitakan oleh surat kabar. Sebenarnya saya tak tahu apa yang terjadi dengan Piet Bergsma sesudah berpisah dengan saya pada tahun 1922 di Moskow. Memang dalam masa pendudukan Jerman di Nederland dalam perang dunia II baru-baru ini, banyak orang-orang komunis dan sosialis yang terpaksa atau dengan maunya sendiri menjadi fasis.
Saya juga tahu, bahwa Piet Bergsma dengan istrinya Indonesia Ambon beserta 4 atau 5 orang anaknya, banyak menderita kesusahan hidup di Nederland, negeri dingin itu, sebelum perang. Bagaimana dimasa pendudukan Jerman saya tidak tahu. 
Memang susahlah memberikan nilai pada sejarahnya watak, paham atau perbuatan seseorang manusia sebelum ia mati. Begitulah seperti dengan Semaun dan Darsono. Tentang Bergsma saya cuma bisa berikan perhitungan sampai kami berpisah di tahun 1922 saja. Sampai tahun sekian, maka saya kira, seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma, Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan sosialisme dan Serikat sekerja di Indonesia. Dan apabila satu ketika proletaria Indonesia mencapai tingkat yang tetap dan luhur, maka para pelopor tadi. Tersebut diatas, bagaimanapun kecilnya jasa mereka dipandang dari salah satu sudut, pada satu masa harus dicatat dalam sejarah, buat diperkenalkan kepada turunan kita.
Kembali kepada tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap diri saya seperti termaktub dalam ENCYCLOPAEDIE tersebut diatas.
Administrative maatregelen, tindakan administrasi yang diajarkan kepada saya, bukanlah tindakan hukum yang lazim dikenal di masyarakat demokrasi. Tindakan administrasi membuang kita orang Indonesia ke hutan rimba, ke pulau atau jauh ke luar negeri, terasing dari keluarga, masyarakat dan pekerjaan sendiri, ialah hak istimewa “exorbitant recht” dari Gobnor Jenderal Hindia Belanda. Tindakan Administrasi tak berapa bedanya dengan “Lettre de cachet” dimasa Raja yang boleh menggantung tinggi, membuang jauh”, ialah sebelum revolusi Perancis 1789. Seperti menurut “lettre de cachet”, maka menurut hak “istimewanya” Gubernur Hindia Belanda dalam hakekatnya siapa saya yang oleh P.I.D Belanda dianggap “berbahaya” buat ketentraman umum, baca buat ketentraman imperialis Belanda maka orang itu boleh ditangkap, dipenjara, menjelang dibuang di dalam daerah Hindia Belanda atau diluarnya.
Procedure, tingkatan-tindakan dari mulanya orang ditangkap sampai ia dihukum, tiadalah sesuai dengan aturan yang diakui oleh dunia demokrasi. Yang pasti cuma penangkapan itu dijalankan oleh orang resmi dari badan pemerintah Hindia Belanda, atas nama badan resmi pula, menurut anggapan mana berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh “resisir inlander”.
Pertama: “ten laste legging” tuduhan yang berdasarkan bukti, yang bisa dibuktikan oleh para saksi yang disumpah dihadapan si tertuduh, bukti yang memang mengandung pelanggaran undang-undang negara. Yang pasti tertulis dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tiadalah dibutuhkan oleh tindakan administrasi Hindia Belanda.
Syahdan dalam hakekatnya “hak istimewanya Gobnor Jenderal” itu berarti, bahwa penangkapan, pemeriksaan dan hukuman “seseorang yang dianggap bersalah itu adalah di tangan satu orang. Seseorang yang “dianggap” berbahaya itu ditangkap buat dibuang. Tak perduli apa ia benar atau tidak melakukan pelanggaran aturan yang ditetapkan. Sebelumnya dia ditangkap, maka niat buat membuang itu dan hak buat melaksanakan itu sudah ada: Bar bertje moet hangen (salah atau benar mesti dihukum).
Procedure yang saya alami dari masa di-resisiri oleh “inlanders”, dibuntuti kesana-kesini, sampai ditangkap dan dibuang, amat sederhana kalau dibandingkan dengan beratnya hukuman. Saya diresisiri buat di tangkap, dan ditangkap buat dibuang. Guna apa vooronder zoek, pengadilan terbuka dan pembelaan yang sempurna?
Setelah beberapa hari saya ditahan di penjara Semarang, maka satu hari saya dibawa ke kantor residen buat ditanya.
Kalau saya betul masih ingat, maka hampir lima puluh pertanyaan yang hendak dimajukan kepada saya di depan residen Semarang itu. Pertanyaan itu boleh diperhubungkan denga 4 perkara. Pertama: aksi saya yang berhubung dengan perguruan. Kedua: yang berhubungan dengan PKI dan brosure yang saya tulis di Deli ialah: “Parlemen atau Soviet”. Ketiga: bersangkutan dengan percobaan saya mempersatukan kembali cabang-cabang S.I yang dipisahkan oleh partai disiplin dengan CSI, mencabut partai disiplin serta mengadakan kerja bersama antara kaum komunis dan kaum Islam menentang Imperialisme Belanda. Keempat: Usaha saya itu oleh pemerintah Hindia Belanda diperhubungkan dengan PROGRAM MOSKOW. Yang tertulis dalam majalah “De Tribune”, Juni dan Juli di Nederland. Semua “percobaan” saya itu diartikan sebagai pelaksanaan PROGRAM MOSKOW. Maka akhirnya “pelaksanaan PROGRAM MOSKOW dalam masyrakat Hindia Belanda yang “beraneka warna” itu dianggap sebagai aksi yang akan merobohkan kekuasaan Belanda” bahwa saya berbahaya buat kentraman umum dan harus dibuang didalam atau keluar Hindia Belanda.
Sebermula, sekali peristiwa, seekor anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya sekonyong-konyongnya berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang Harimau:......Nah”, sekarang sykurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum!
Sahut anak kambing: “Ampun tuanku masakah patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik minum di hilir ini, sedangkan tuanku minum di hulu sungai”.
Kata sang harimau: “Mungkin tidak sekarang kau keruhkan tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang mengeruhkannya.
Sahut anak kambing pula: “Ampun tuanku beribu kali ampun masakan dapat patik, yang hina ini, mengeruhkan air minum tuanku pada tahun yang lalu, karena di masa itu patik belum lahir”.
Kata sang harimau: “Kalau bukan engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentu ibumulah yang mengeruhkannya. Dan kalau bukan Ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.
Demikianlah kata sang harimau yang penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu, untuk dimakannya.
Apakah gunanya saya mempertahankan diri membuang-buang perkataan dan waktu untuk menjawab pertanyaan satu kekuasaan yang bersandarkan atas kekuatan polisi, kehakiman dan tentara yang sudah terang maksudnya terhadap diri saya?
Pertanyaan “satu-dua” yang saya jawab di depan Residen Semarang itu hanya yang berhubungan dengan nama kelahiran dan paham saya saja.
Apalagi tuan Residen mulai membacakan pertanyaan: apakah saya pernah “berkata” begini atau begitu, di salah satu tempat (bukan di rapat terbuka!!) maka saya potong saja puluhan pertanyaan yang lain-lain dengan jawaban: “Saya tak ingin pertanyaan semacam ini, bagaimanapun juga jawabnya sudah pasti saya akan dibuang.
Tak sampai lima menit lamanya, maka pemeriksaan perkara saya sudah selesai. Dengan demikian saya memperhemat tenaga dan tempo kanjeng Residen Hindia Belanda untuk menjatuhkan satu macam hukuman yang oleh negara sopan semenjak dahulu kala di samping hukuman mati, dianggap satu hukuman yang paling berat bagi manusia: meninggalkan tempat kelahiran, masyarakat, pekerjaan dan para teman yang dicintai dan mengembara tak berketentuan di negeri asing.
Bukankah lapangan buat bergeraknya seseorang penganjur rakyat Indonesia sudah terlampau sempit di masa itu? Bermacam-macam aturan dan Undang-undang diadakan untuk membatasi tulisan di dalam pers dan pembicaraan di dalam rapat umum “spreek dan schrif delicten”, pelanggaran dalam berbicara dan menulis itu nyata tertulis dalam kitab hukum Hindia Belanda dan bisa dibela oleh ahli hukum keluaran sekolah hakim tinggi. Seandainya kalau betul ada pelanggaran yang saya lakukan baik dalam tulis menulis ataupun dalam berpidato, bukankah sudah cukup kalau atas diri dijatuhkan tindakan biasa, ialah menuduh memeriksa perkara saya, di pengadilan umum, dan menjatuhkan hukuman yang sudah dipastikan lebih dahulu oleh aturan? Tidak saja tindakan semacam itu akan mempertinggi “prestige” pemerintah Hindia Belanda di mata dunia, tetapi juga akan memberi rasa kepuasan walaupun sangat terbatas kepada rakyat Indonesia. Terutama pula akan menimbulkan rasa kepastian kepada para pemimpin rakyat. Karena walaupun banyak ranjau dihadapan geraknya memimpin rakyat, tetapi ranjau itu diketahui letaknya dan diketahui pula akibatnya melanggar ranjau semacam “undang-undang pemerintah Hindia Belanda” itu.
Tetapi “exorbitante rechten” hak istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda adalah laksana satu golok yang dipegang di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang “dianggap musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka “hak Istimewa” itu adalah aturan sewenang-wenang, despotis, dan dipandang dari sudut kesusilaan, moral adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut!
Cuma, kalau ditinjau dengan pandangan filsafat, keadaan tersebut bisa dimengerti, walaupun tak bisa diakui kemuliannya dan keadilannya buat kedua belah pihak.
Adapaun “hak istimewa” itu tiadalah bisa dipandang sebagai hasil perhubungan hukum (legal relation) saja antara manusia dengan manusia umumnya, dan diantara Belanda dengan Indonesia tegasnya. Hak Istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda itu berseluk beluk pula perhubungan ekonomi, sosial dan politik antara kapitalis-imperialis-Belanda dengan buruh rakyat terjajah Indonesia.
Segerombolan kecil bangsa Belanda, tetapi mempunyai kapital besar, polisi, tentara, dan kejaksaan tak akan bisa secara demokrasi membentuk Undang-undang bersama 70 juta rakyat dan buruh Indonesia yang terhisap itu. Segerombolan Belanda itu terpaksa memegang “hak istimewa” yang tidak didasarkan atas perundingan masak-masak, persetujuan semua yang berkepentingan, atau yang diperoleh dari wakil rakyat yang sesungguhnya “hak istimewa” itu mesti berdasarkan kemauan segerombolan kecil tidak berdasarkan keadilan: melainkan berdasarkan sewenang-wenang.
Segerombolan kecil yang hidup atas keringatnya rakyat buruh yang banyak itu, tak bisa melayani wakilnya rakyat buruh yang 70 juta secara terbuka, bersoal jawab mencari kebenaran menurut aturan yang pasti, melainkan terpaksa mengambil jalan “menikam dari belakang” menangkap, memenjara, dan membuang dengan tidak banyak memusingkan perkara pemeriksaan keadilan dan kebenaran. Inilah cara pengecut.
Sebagai renungan dibelakang, maka peristiwa pembuangan saya itu saya majukan disini, bahwa saya berada di Semarang baru 6 bulan lamanya. 99% dari waktu dimakan oleh pekerjaan yang berhubungan dengan perguruan. Paling banyak berbicara di muka umum 6 jam. Tiga jam di waktu Kongres PKI, satu jam di depan anggota VSTP, satu jam di depan buruh tambang minyak di Cepu, dan sisanya yang satu jam lagi terbagi-bagi di beberapa tempat. Enam jam itu adalah taksiran yang paling tinggi! Teranglah sudah, bahwa “ranjau pembicaraan dan tulisan” tak bisa makan! Kalau bisa pastilah imperialisme Belanda bersuka cita membuktikan “rechtsordenya” kepastian hukumnya: kerahkan kepolisian dengan semua saksi dan keterangan yang diperolehnya, menaklukkan saya, si tertuduh, dengan keterangan yang diperolehnya taklukakan saya, si tertuduh, dengan keterangan syah yang dimajukan oleh para ahli hukum Hindia Belanda, buat menghukum saya cocok dengan undang-undang yang ada dan pasti tertulis. Tetapi karena keterangan yang syah dan cukup itu rupanya tak bisa didapat, dan pemerintah Hindia Belanda tak mempunyai alasan hukum cukup buat menarik saya ke depan pengadilan yang syah maka ia main kasar; main kayu. Semua keterangan resisir inlandernya yang membututi saya kemana pergi, dipakainya bukti yang syah buat mengasingkan saya dari masyrakat Indonesia. Laksana si pemain yang tidak bisa melawan musuhnya dengan “playing the game”, mempermainkan bola menurut aturan, maka ia main kayu, menendang kaki atau menyikut lawannya: lemparkan hukum dan pakai kekerasan!

Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini bumi serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat dan ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam atau bunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan bumi iklim Indonesia dengan masyarakat Indonesia dan keluarga, bukanlah yang pertama kali saya rasakan. Tetapi perpisahan dengan teman seperjuangan dan pekerjaan hidup saya memangnya yang pertama kalinya.
Perpisahan dengan teman seperjuangan tergesa-gesa diadakan di Semarang dua tiga hari sebelum saya berangkat pada penghabisan bulan Maret 1922. Saya diijinkan keluar penjara satu hari lamanya untuk mengurus semua kepentingan saya. Walaupun belum lama saya berada di Semarang, sungguh-sungguh dalamlah ikatan batin yang berada di antara kami seperjuangan.
Dini hari, jam 4 pagi, sebelum berpisah (saya masuk penjara kembali sebelum diberangkatkan) rupanya buat selamanya almarhum Partondo, bekas pemimpin suara rakyat, datang ke tempat saya dan membangunkan saya.
Lebih dahulu saya dengar, bahwa sudah satu dua hari dia berpuasa. Mukanya kelihatan tenang. Tetapi lebih sungguh daripada yang sudah-sudah dan suaranya lebih keras “Saudara”, katanya “besok sesudah saudara berangkat, saudara Marco dan saya, dan satu saudara lain lagi akan berangkat mengunjungi gunung Lawu. Kami sudah berjanji satu sama lainnya.
Saya heran, akan bertanyakan maksudnya, tetapi rupanya dia sudah mengerti dan akan memberi kesempatan saya untuk bertanya.
“Memang” katanya pula “ini bukan aksi yang selalu kita kemukakan dan ini cuma pikiran semata-mata: kejawen. Kami perlu membersihkan diri dan perlu mencari kekuatan batin. Saudara Marco yang mengusulkankan! Selamat jalan! Selamat jalan!
Saya tidak melihat mukanya lagi buat selama-lamanya. Ketika di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa saudara Partondo meninggal di Semarang. Saudara Marco terkenal pendiam, berhati jujur dan keras seperti baja, dan meninggal di Digul.
Banyak lagi peristiwa yang lain-lain membuktikan eratnya ikatan batin kami. Tetapi cukuplah disebut disini bahwa dengan teman seperjuangan semacam itu, kita ingin bertemu muka sekali lagi, dimasa masih hidup. Tetapi keinginan ini tiada tersampai. Inilah yang kita namakan kesedihan di dalam hidup kita di dalam dunia yang fana ini, tragedi.

Meninggalkan penjara Semarang menuju ke kapal di pelabuhan, saya dibawa dengan auto yang diputar belokkan untuk menyingkiri ramai yang berniat mengucap “selamat jalan” seorang pengamat pun tak saya jumpai. Baru dalam penjara di Jakarta saya sedikit bisa tahu apa yang terjadi ketika saya meninggalkan Semarang.
Tetapi kabar tentang pengantaran saya itupun diputar balikkan oleh surat kabar Belanda di Jakarta. Sedang bermain dan dengan opsir hukumana dalam satu kamar di penjara, dia perlihatkan surat kabar Belanda itu kepada saya. Bunyinya lebih kurang: “Tan malaka diantarkan menentang AGEN oleh koki-babu dan anak-anak murid sekolah rakyat yang menentang agen Polisi, karena mereka kecewa tidak bisa bertemu dengan Tan Malaka....”
Kita sudah mendengarkan caci maki dan penghinaan yang menganggap bangsa Indonesia cuma terdiri dari koki dan babu saya. Itulah pula yang mendorong mendidik dan menukar koki babu buat melayani tuan-nyonya bangsa asing itu menjadi koki babu Negara Republik Indonesia.
Cuma, karena mengenai akan sifatnya anak murid saya, maka timbullah kekuatiran di hati saya. Kalau-kalau perguruan sekolah rakyat nanti tak bisa menolak provakasi. Saya kuatir, kalau-kalau nanti dasar didikan sama sekali ditunjuk kepada propaganda dan agitasi politik semata-mata. Menurut rencana saya, maka didikan kecerdasan dan latihan kepandaian yang berguna buat pencarian hidup, seperti kepandaian tekhnik, pertanian dan administrasi, bukanlah maksud yang tersambil. Saya berharap membangunkan pemuda Indonesia baru yang berideologi suci terang, beriman baja, disamping yang perlu buat kepandaian kehidupan sendiri dan keluarganya. Perkara ijazah resmi tiadalah dipandang satu perkara yang penting. Pengalaman dibelakang hari memperkuat paham itu. bukan sekali saja sudah saya alami, bahwa ijazah (resmi) itu bukanlah jaminan efficiency, melainkan satu kemungkinan buat kesanggupan. Bermula sebagai tukang atur alat tambang, alat pembangunan, dan kendaraan beraneka warna, seperti boor, onderdeel, ini-itu, pahat, palu, gergaji dan membagi dan mengangkat mengusungnya sendiri seperti romusha setiap hari dan membagikan kesemua cabang kongsi arang Bayah-Kozan, mengatur pengiriman ratusan romusha ke rumahnya, mengurus makanan, minyak tanah dan lain-lain kehidupan sehari-hari buat ribuan romusha di kota Bayah dan orang kampung di sekitarnya, mengurus orang sakit, mayat, dan lain-lain sendiri mengepalai kantor dikelilingi oleh Tuan Nippon. Akhirnya saya menjadi kepala statistik di kantor pusat. Ijazah? Saya Ilyas Husein cuma keluaran sekolah Mulo Kelas I di Medan......saja! contohnya pengalaman saya di luar negeri diantara bangsa asing, ialah mulai dari guru S.M.T dengan nama lain pula, tetapi bukan dengan ijazah!
Lagipula menurut pikiran saya: kerja membikin propaganda saja dalam keadaan ilegal lekas menimbulakan kecurigaan PID atau Kempetai akan bertanya dalam hatinya sendiri: bagaimana hidupnya orang dengan gaji F.8,- sebulan, 2 tahun lamanya, sampai guru itu? Sebaliknya  seorang buruh yang bekerja rajin tak mudah menimbulkan kecurigaan. Dan kalau si buruh itu efisien pula, si direktur, majikan akan terikat oleh penghargaan. Dengan begitu si buruh akan terlindung dari mata si penyelidik. Sebaliknya pula terhadap teman seperburuan dia mudah mendapat pekerjaan, penghargaan dan bantuan. Si buruh dan teman sekerja mudah dihampiri, lahir dan batin. Sambil bekerja dapat berbicara dari hati ke hati, berpropaganda dan berkomplot “Sambil menyelam minum air”, kata pepatah.
Akhirnya yang tidak kurang pentingnya, bukankah makanan yang seenak-enaknya dan pakaian yang sebagus-bagusnya adalah apa yang diperoleh dengan tenaga sendiri? Ringkasnya, walaupun perguruan sekolah rakyat yang tidak dipusatkan kepada usaha pengejar ijazah yang resmi, tetapi tiadalah saya lupakan kepentingan didirikan kecerdasan otak yang sesungguhnya dan latihan buat kepandaian yang berguna bagi pencarian hidup. Tetapi benih kebencian anak murid yang terbukti ada perpisahan kami di Semarang itu rupanya sangat mempengaruhi pendidikan dan latihan di perguruan sekolah rakyat di belakang hari. Didikan akan condong kepada propaganda.

Dalam kapal di pelabuhan Jakarta ketika bertolak ke Nederland, saya berpisah dengan guru Horensma, yang tergesa-gesa datang dari Bandung. Apabila saya mulai pembicaraan dengan soal hutang-piutang, maka percakapan ini segera dipotongnya. Dari Semarang terus saya kirimkan angsuran hutang saya ke Engku found Suliki. Bahkan dengan tambahan pula. Pada guru Horensma masih ada sisa utang saya, teapi bisa ditutupi dengan asuransi dan simpanan saya di Java-Bank dan di Twensche Bank (Nederland)
Akhirnya, ketika hampir berpisah buat penghabisan pula pada Guru Horensma, yang di masa berpisah sudah berpangkat inspektur, saya peringatkan adanya dua-tiga orang Belanda yang memperhatikan percakapan kami ialah Belanda PID yang menjaga saya di kapal. Tetapi oleh guru Horensma peringatan dijawab: “Ach ze kunnen het mij doen. Het is mij ook al toto zoover I” (Boleh dia bikin terhadap saya apapun maunya sendiri. Saya pun sudah jemu melihat semua ini).
Mengertilah semua pembaca, bahwa guru yang jujur takkan mau kalah sama muridnya, walaupun dalam hal menentang yang dianggapnya zhalim terhadap si murid itu adalah bangsa sendiri.
Saya kenal di Tiongkok kolot, di Hindustan kolot dan di Indonesia kolot, letaknya guru itu di hati murid di samping Ibu-Bapa. Umumnya si ibu-bapak dianggap sebagai sumber jasmani dan sedikit sebagai sumber rohani. Dan pada gurulah Timur kolot sumber rohani: semangat pengetahuan, perasaan sering juga kemauan. Burukkah “kekolotan” Asia semacam itu?
Entahlah. Tetapi yang memberi sebagian pengetahuan di bangku sekolah, masa kanak-kanak dan pemuda, dan dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya, memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah Gerardus Hendrikus Horensma. Seorang berkulit putih, sebangsa dengan menganut sistem kapitalisme-imperialisme yang saya bantah dan tentang sudah lebih dari seperempat abad lamanya, dan ketika menulis dalam penjara Republik di Magelang ini (Mei 1947) terus saya bantah.
Seorang murid yang ingin belajar, ingin tahu, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang memberikan apa yang diingini si murid yakin pengetahuan. Guru yang tulen ingin pula haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang bisa menghilangkan prejudice, vooroordeeld terhadap seseorang, ialah rasa benci sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat istiadat dan sebaliknya bisa  menimbulkan rasa penghargaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” adalah perguruan. Pertukaran guru dan murid antara Negara dan Negara dan dalam suatu Negara sekolah buat semua bangsa menurut paham saya, adalah satu jalan yang sebaik-baiknya buat menanamkan demokrasi internasionalisme yang baik dan kekal, di hari depan.

Sedikit tentang keluarga.
Di waktu kapal menjelang Padang, saya sedikit takut kalau-kalau ayah bunda datang “memberi selamat jalan”. Benar, adik saya di Semarang lekas saya suruh pulang ke kampung sebelum saya berangkat. Saya pesankan supaya ayah bunda jangan dibiarkan pergi ke pelabuhan Padang.
Betul, keduanya adalah orang yang taat beribadat dan mempunyai iman yang teguh dalam menghadapi bermacam-macam kesusahan. Tetapi apakah teristimewa Ibu akan sabar melihat kapal berangkat membawa anaknya ke tempat pembuangan, entah dimana dan entah untuk berapa lamanya?
Ibu Minangkabau biasanya merasa ditimpa kemalangan, kalau tidak mempunyai anak perempuan. Di Minangkabau, adat asli yang mewarisi rumah, sawah, ladang, ternak dan harta pusaka yang lainnya adalah anak perempuan. Sunyilah rumah di Minangkabau, kalau tak ada anak gadis, calon ratu di rumah pekarangan serta sawah ladangnya.
Kesedihan ibu yang terpendam dalam sanubarinya ialah tak mempunyai anak perempuan itu. kami berdua laki-laki tak memenuhi peraturan “matriarchaat”. Peraturan berpusat pada kewanitaan. Ibu selalu merasa lebih sunyi daripada perempuan lain di Minangkabau kalau ditinggalkan anak laki-laki pun yang sebenarnya perkara biasa buat orang di Minangkabau yang terkenal sebagai orang perantau.....apalagi ditinggalkan, mungkin buat selama-lamanya, karena disampingnya tak ada teman perempuan yang paling dekat ialah anak kandung.
Disebabkan desakan batin pada diri saya, tahun 1925 di Canton, tiba-tiba dengan perantaraan teman separtai saya tanyakan bagaimana halnya orang tua saya. Tentulah saya tak dapat langsung berhubungan. Jawabnya pula, bahwa ayah baru saja meninggal.
Pula kebetulan saja, sesudah penangkapan di Hongkong, saya di jalan mendapat tahu, bahwa ibu meninggal di bulan Februari 1933.
Saya cuma bisa menghibur diri saya, bahwa ketika kembali dari Eropa (tahun 1919) setibanya di Deli saya segera berangkat ke kampung menemui ayah bunda. Tak kurang pula hal yang menggembirakan saya ialah kabar yang saya terima, bahwa keduanya mengerti, menerima dan setuju dengan tingkah laku saya bahkan bangga pula ikut berkorban buat Negara dan Rakyat Indonesia. Buat Ibu-Bapa yang bukan modern ini memangnya sudah satu kemajuan. Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap ayah-bunda, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti “duri dalam daging”. Teristimewa pula karena saya insyaf dan saya selalu merasa sayang, sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak menyusahkan mereka.
Kembali ke pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Untunglah Ibu-Bapa tidak datang. Kalau datang pun tak akan bisa berjumpa dengan saya, sebab di Padang disiarkan kabar, bahwa orang tak boleh berjumpa dengan saya. Cuma beberapa orang yang pintar “menerobos” dapat juga mengucapkan selamat jalan.

KEMANA?

Yang kedua kalinya saya bertolak dari Padang menuju Eropa. Yang pertama pada tahun 1913, yang kedua ini  pada tahun 1922. Alangkah besarnya perbedaan alasan dan tujuan pertolakan, dan jiwa pada dua saat bertolak itu.
Pelayaran ke Nederland pun tak luput dari akibat pertentangan dalam pemandangan hidup, politik dan pekerjaan saya di Indonesia dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun...
Beberapa orang Indonesia, Pegawai Gubernemen Hindia Belanda di klas satu, saya cuma naik klas tiga, mulanya mencobakan perhubungan dengan saya. Tetapi usahanya segera diperhentikan, karena mendapat gangguan dari penumpang Belanda yang kebanyakan terdiri dari Tuan-Tuan besar.
Sekali peristiwa, di waktu bulan terang, ombak sayup Magrib, lautan sekedar tenang, salah seorang pelajar yang bersama ke Nederland, sedang menerangkan maksudnya kepada saya, kami didatangi oleh seorang sersan “van het Koniklijk Nederlandsh Indische Leger”. Ia menyerobot berbicara, mencari-cari perkara, dan berteriak keras-keras rupanya menurut “rencana” kami tak ingin menjawab apalagi berdebat menyambut “tantangannya”. Teristimewa pula karena semua alasannya yang basi berbau “jenever”. Tiba-tiba entah dari sudut mana datangnya majulah seorang kelasi Belanda muda tinggi besar, mengetok bahunya Tuan dari “karzene” tadi. “Jangan dengan Tan Malaka. Baiklah dengan saya saja berdebat. Tetapi dilupakan bahwa itu di bawah adalah air laut.”
Akibatnya yang nyata dari teguran ini ialah beberapa hari lamanya tuan sersan dari kazerne van het Koninklijk Nederlandsch Indische Leger ini tak muncul-munculnya ke atas dek. Kepada temannya dikatakan bahwa seorang “Bolsjewiek” Belanda hendak melemparkan dia ke laut, ketika dia berbicara dengan Tan Malaka.
Kawan yang muda, tinggi besar tadi, adalah anggota N.I.S. Serikat Sekerja Syndikalis di Nederland. Di belakang harinya seorang kelasi pula yang agak lanjut usianya, tetapi berperawakan besar tegap, berkata kepada saya: “Kami cuma empat orang disini yang bersamaan paham. Kebanyakan pelaut yang lain penganut sosial demokrat. Tetapi walaupun kami berempat saja, saudara jangan kuatir”.
Pada suatu malam lewat jam dua belas, saya dibangunkan si pelajar untuk naik ke atas dek. Di sana saya jumpai beberapa pelaut Tionghoa, sebagai tukang api (stokers). Ketuanya menawarkan baju tukang api kepada saya. Katanya: “Besok pagi kapal sampai di pelabuhan Colombo. Pakailah pakaian pelaut ini, dan naiklah ke darat. Nanti saya pertaruhkan saudara kepada teman-teman saya di Colombo. Kami sering menolong Sun Man (Dr. Sun Yat Sen) di masa sudah”. Sebentar saya takjub menyaksikan ketegasan, ikatan jiwa dan pertolongan, cepat-cepat, dari para teman Tionghoa ini. Mereka rupanya memperhatikan benar-benar ketika saya di pelabuhan Jakarta dan Padang diawasi saja oleh agen Polisi Belanda dan Indonesia. Dan pelaut Tionghoa umumnya adalah anak tulennya Sun Man (nama samaran Dr. Sun Yat Sen di antara pelaut). Lekas mereka mengerti apa yang telah terjadi dan lekas siap sedia memberi pertolongan yang tepat kepada teman seperjuangan. Di belakang hari memangnya bukan sekali dua kali saya mendapat pertolongan anaknya Sun Man, ketika mondar-mandir antara Tiongkok dan Indonesia.
Kata saya kepada ketua Tiongkok tadi “Saudara jangan sangka saya akan dimasukkan penjara di Nederland. Saya cuma dibuang saja ke sana. Dari Nederland, nanti saya akan berusaha mencari salah seorang yang sudah lama ingin menjumpai di dunia ini, ialah Sun Man. Terima kasih”. Tepat 1 Mei saya tiba di Rotterdam. Oleh Dr. Van Ravenstijn (C.P.H. Partai Komunis Holland) saya dinasihatkan mengunjungi perayaan 1 Mei di Amsterdam yang diselenggarakan oleh rapat bersama komunis syndikalis. Wijnkoop (ketua C.P.H) memberikan temponya berbicara kepada saya. Sambutan rapat atas uraian saya amat memuaskan. Sesudah rapat itu juga beberapa anggota C.P.H mengusulkan kepada saya menjadi calon anggota parlemen dari C.P.H pada pemilihan depan. Pertama kali buat bangsa Indonesia.
Pemilihan di Nederland berlaku menurut sistem proportional representation. Perwakilan seimbang dengan banyaknya pemilih. Kalau tiap-tiap 100.000 warga negara pemilih berhak memilih satu orang wakil, dan Partai A mendapat 500.000 orang pemilih, parta B 1.000.000 orang, maka partai A berhak mengirim  5 wakil ke parlemen dan partai B. 10 orang si pemilih bukanlah menjatuhkan suaranya pada orang partai seluruhnya yang dasarnya disetujui. Demikianlah si pemilih memberikan suaranya pada daftar suatu partai. Partai itulah yang menentukan siapa calon  yang pertama dalam lijst (daftar) akan menjadi wakil, kalau pemilih cuma 100.000 siapa yang kedua kalau pemilih 200.000 yang ketiga 300.000 dan sebagainya. Boleh juga si pemilih memberikan suaranya kepada salah seorang di dalam daftar yang istimewa disukainya (bij voorkeur stemment). Tetapi kalau si calon itu ditaruh di nomor 4 atau 5, dan jumlah pemilih tak sampai kepadanya, maka suara pemilih itu kembali kepada daftar seluruhnya buat mengisi yang kurang, Jadi buat nomor 1, nomor 2 dan akhirnya nomor 3.
Walaupun buat nomor 2 dalam lijst (daftar) C.P.H pada tahun 1992 itu sudah susah buat mendapatkan cukup suara, tetapi saya buat mewakili 60.000.000 orang Indonesia dimasa itu, ditaruh oleh partai C.P.H pada tempat No.3. Tak ada harapan buat saya seperti juga sudah diketahui dari semula. Saya pun tak berniat hendak tinggal di Nederland. Saya terima usul menjadi calon tadi cuma untuk mengambil kesempatan buat Hindia Belanda dan mendorong C.P.H membantu Indonesia dalam perjuangan melawan Imperilisme Belanda.
Hasil pemilihan sebagai cermin bagi perhatian proletaria dan rakyat progresif Belanda terhadap rakyat Indonesia, amat memuaskan. Perhatian itu ditegaskan pula, karena si pemilih banyak yang memberikan suaranya langsung kepada Tan Malaka. Maka menurut bijvoorkeur stemmen” (memilih orang yang disetujui tadi) Tan Malaka mendapat suara terbanyak, kalau dibandingkan dengan “voorkeur stemmen” nya semua partai yang lain-lain. Inipun diperoleh walaupun saya terutama berbicara di Amsterdam dan Roterdam saja. Tetapi jumlah suara buat daftar seluruhnya tak sanggup memasukkan saya, kedalam parlemen Belanda. Jadi saya ditaruh di tempat nomor 2 dalam lisjt C.P.H pada tahun 1922 itu, maka tentulah pada tahun 1922 orang Indonesia yang pertama sekali memasuki Parlemen Belanda.
Perantauan saya diteruskan ke Jerman! Tak cukup tempat disini buat melukiskan apa yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri dalam ‘Deutschland uber a les’ itu. Banyak humbuk, banyak kesombongan dan layak dalam semboyan itu! Tetapi banyak pula benarnya! Walaupun Jerman cuma berpenduduk 70.000.000 lebih kuran 3% seluruh dunia, tapi sudah dua kali dia mengancam seluruh dunia, dan cuma bisa dikalahkan oleh seluruhnya dunia saja. Kalau nilai kemanusiaan terletak pada quality dari otak dan hati, seperti kecerdasan, kemauan, keuletan yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan, disiplin dan organisasi saja, maka dalam lebih kurang tiga perempat abad belakangan ini, memangnya bangsa Jermanlah yang berhak diberi piala, terutama dalam pergolakan pengetahuan, kemiliteran dan organisasi. Tetapi manusia memerlukan sifat lain dari pada sifat yang perlu buat menaklukkan semua bangsa yang bukan bangsa sendiri: terutama perlua akan sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada pertengahan tahun 1922 ketika saya berada di Berlin, maka Jerman sedang hebat menderita akibat politik militerisme Jermania. Jerman kalah perang, hutang dikumpulkan oleh Serikat kepadanya bertimbun-timbun, ekonominya turun merosot daerahnya masih diduduki musuh, keuangannya runtuh dan valutanya turun dari hari ke hari, sampai hampir tak ada harganya lagi. Dengan merosotnya kekuasaan dan perekonomiaan Jermania merosotlah pula moral bangsa Jerman dipandang dari beberapa sudut pun juga moral wanitanya yang selalu di gembor-gemborkannya itu. Tetapi hawa Jerman yang sehat itu, bangsa yang kuat dan cerdas, solidair, dan tak mengenal putus asa itu, dengan dasar yang sudah ada dalam teknik dan ilmu di Jerman ia tidaklah begitu saja diombang-ambingkan oleh bangsa lain. Jerman menyelundupi semua tekanan yang dilakukan oleh bekas musuhnya dan dengan sabar menunggu waktunya untuk bangun kembali.
Dengan pelajaran penuh di kiri kanan buat seseorang pelajar, dengan buku beraneka warna murah harganya dan tersedia dimana-mana saja dalam kota seperti Berlin, tak heran kalau seseorang yang ingin tahu dan belajar seperti Darsono, masih pemuda waktu itu, terikat dan terpikat hatinya oleh Berlin. Tetapi karena kekurangan tenaga di Indonesia maka terpaksalah dia berpisah dengan buku, majalah, surat kabar dan rapat raksasa di kota Berlin. Dua bulan saya bercampur dengan Darsono di Berlin. Kemudian kami berpisah lagi sampai sekarang. Dia menuju ke Indonesia, saya ke Moskow.
Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun 1927 berada dalam pertikaian hebat antara golongan Stalin dan golongan oposisi, Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu pecahnya perang melawan Nazi Jermania Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukankah pula Rusia sekarang setelah mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa.
Berjilid-jilid buku tertulis tentang Rusia dalam hampir semua bahasa sopan di dunia sekarang, yang bisa kita baca, dipandang dari sudut sejarah, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Tidaklah sanggup dan tiada maksud saya diatas kertas setelapak tangan ini mengulangi apa yang sudah dituliskan baik oleh para ahli ataupun oleh para plagiat, peniru seperti burung beo.
Pada dalam masa revolusi, baik dalam suasana anti-imperialisme ataupun anti kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia, konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya mewakili PKI. Dalam revolusinya memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang hanya bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.
Demikian cuma sambil lalu raba, salah satu kesan yang saya peroleh selama berdiam lebih kurang setahun di Moskow.
Syahdan dalam hakekatnya, maka kejayaan Lenin dalam revolusi 1917 adalah seimbang dengan kejadian dalam ilmu ekonomi ataupun Charles Darwin dalam ilmu tentang yang hidup (biology). Darwin mujur sekali mencari dan mendapatkan tumbuhan dan hewan yang dan dengan cara berpikir berdasarkan logika dan dialektika, jaya menarik kesimpulan yang mengenai asal keadaan, kemajuan dan kemungkinan buat hidup. Kupasan Karl Marx yang bersandar atas dialetika materialistis atas semua dari faktor dalam ekonomi yang dikumpulkan oleh para ahli dari masa Aristoteles sampai David Ricardo, jaya pula menetapkan asal, keadaan kemajuan dan kemungkinan sistem kapitalisme dihari depan. Demikian pula Lenin dengan cara berpikir dialektika materialistis dilaksanakan atas semua kodrat sosial di Rusia (sosial forces), jaya mengenal sifat dan kodrat semua golongan revolusioner menumbangkan feodalisme dan kapitalisme satu demi satu, hampir sekaligus saja, ketiga pemikir ini mendekati persoalannya masing-masing dengan memperhatikan segala bukti dalam suasana “pertentangan”, seluk beluk, kena mengena, timbul dan tumbang” dengan semangat yang tenang berani maju.
Itu artinya ilmu, scientific, tetapi cara yang mengakui gerakan, pergolakan, perputaran revolusi atas barang yang nyata, kebenaran.
Tiadalah mereka menyingkirkan caranya science (ilmu) mengumpulkan semua bukti yang bersangkutan ataupun menyingkirkan sama sekali cara berpikir, menurut logika yakni membanding, menyimpulkan (induction), melaksanakan  (deduction) ataupun memastikan (verification). Cara logika memang sepenuhnya dipakai tetapi semuanya dalam suasana pertengkaran (dialektik) dan kebendaan yang nyata.
Darwin adalah ahli yang revolusioner tentang yang hidup dan Marx ahli ekonomi (dan filsafat) yang revolusioner pula. Keduanya menumbangkan yang lama dan membangunkan yang baru. Mereka berpikir secara revolusioner. Tetapi Lenin adalah ahli siasat tentang revolusioner itu sendiri. Boleh juga disebutkan ahli revolusi yang revolusioner.
Seperti pekerjaannya tiap-tiap ahli yang pertama sekali adalah mengumpulkan dan menyelidiki semua bukti yang berhubungan, maka demikianlah pula hendaknya seorang ahli revolusi terlebih dahulu mengumpulkan semua kodrat (bukti) sosial yang akan diperiksa sipat dan tujuannya masing-masing (kodrat) serta dikoordiner buat dikerahkan terhadap golongan yang mau disingkirkan (feodal atau borjuis) dengan cara dialektika-materialistis disertai dengan pengetahuan dari naluri (instinct) tentang jiwanya (psychology) murba bergerak.
Karena bukti (sosial faktor) di Indonesia atau Hindustan berada sifat dan sejarahnya umpamanya dengan di Rusia maka kesimpulan yang akan diperoleh ahli revolusi di Indonesia ataupun Hindustan tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang bersamaan cuma cara berpikir, ialah dialektika materialistis, semangat memeriksa, ialah revolusioner salah satu syarat bagi pemimpin murba, ialah tahu akan gerak jiwanya Murba; dan akhirnya sebagai komunikasi ialah beberapa tiang besar dalam ilmu komunisme (keproletaran, mekanisasi, kolektivisme dan lain-lain).
Menyangka atau menerima saja mentah-mentah perkataan feodal borjuis ataupun proletar dalam arti sama sipat, hasrat dan sejarahnya dengan feodal borjuis ataupun proletar di Indonesia atau Hindustan, artinya itu tiada kritis dan tiada dialektis. Menelan saja semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh Karl Marx pada pertengahan abad ke 19 dan melaksanakan keputusan Marx dan Lenin di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas, menguji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek membeo meniru-niru “Marxisme bukannya kaji apalan (dogma) melainkan satu petunjuk untuk aksi revolusioner.
Semua bukti revolusi Indonesia dan kesimpulan yang menentukan siasat revolusi di Indonesia mesti ditimban sendirinya satu persatu menurut nilainya masing-masing “Should be considered on its own merit apart op zich zelf beschouwd worden”.
Tiadalah bisa dilupakan kelemahan dalam ilmu revolusi itu kelemahan semua ilmu sosial, ialah ilmu yang melayani manusia sebagai bukti (fact). Yang menjadi “uncertain factor” factor yang tak pasti, yang masih merupakan merupakan “X” dalam ilmu sosial itu ialah tingkah lakunya manusia itu. Ilmu ekonomi (borjuis) mengandaikan (supposting) bahwa tiap-tiap manusia itu (tani, buruh, juru tulis, saudagar, profesor dan lain-lain) membeli atau menjual, adalah menurut undang-undang ekonomi, tak pernah salah. Kalau umpamanya uangnya sedikit dia belikan makanan ialah yang terpenting, kalau berlebih barulah pakaian, seterusnya sepeda, oto gramofon bioskop dan lain-lain. Tidak ada diantara manusia itu (anggapan teori) yang salah berbelanja. Tak ada yang lebih memerlukan bioskop atau candu, dari pada keperluan beras, atau lebih memerlukan bioskop atau candu daripada uang sekolah anaknya atau sewa rumah. Demikianlah pula ahli revolusi dalam garis besarnya terpaksa meratakan semua tingkah laku semua anggota dari satu-satu golongan. Sikap tindakan buruh terhisap-tertindas terhadap kapitalisme-imperialisme (teoritis) diandaikan lebih hebat dari pada sikap tindakan borjuis tengah, terhadap tindakan kapitalis-imperialis itu. Tiap-tiap anggota dalam proletar terhisap-tertindas itu diandaikan sama sikap tindakannya satu dengan lainnya. Tak ada yang mengkhianati klasnya sendiri. Beginilah dalam teorinya! Memang begitu mestinya dan memangnya begitu dalam garis-besar prakteknya dan kecuali itu memangnya pula lazim di dalam ilmu manapun juga. Tetapi janganlah dilupakan perbedaan teori dengan praktek.
Semua kelemahan teori itu bisa disingkirkan dikurangi dengan memasuki praktek. Ahli ekonomi yang ulung juga harus pernah berurusan dengan salah satu cabang perekonomian atau menaruh perhatian besar terhadap bukti ekonomi (ekonomi Fact) sehari-hari. Demikianlah pula ahli revolusi itu bisa menyingkirkan atau mengurangi kesalahannya dalam taksirannya tentang semangat revolusionernya murba, kalau selain daripada mempelajari ilmu revolusi itu juga cukup bercampur gaul dengan rakyat  murba atau sedikitnya sanggup menyelami jiwa murba yang sedang bergelora itu. Jadi harus diketahui benar suasana masyarakat yang dipelajari, yakni hawa iklim; sistem teknik yang lazim dipakai, peraturan ekonomi, sosial dan politik yang berlaku, sejarah kecerdasan, kemauan, perangai, perasaan pemandangan hidup, idaman serta organisasi anggota masyarakat itu sebaik-baiknya kalau perlu disertai pengalaman sendiri.
Seorang ahli revolusi yang sebenarnya sesuatu negara mestinya juga seperti ahli  dalam ilmu apapun juga mempunyai “mata terbuka” opend mind, terhadap persoalan revolusi di negeri lain. Demikianlah pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya di sana (1922). Mereka tidak mendiktekan pemandangannya sendiri tentang sipatnya gerakan revolusi di Asia (Indonesia, Hindustan, Tiongkok) dan sikap tindakan yang mesti diambil di negeri asing buat mereka itu kepada para pemimpin Asia. Mereka juga insyaf benar akan adanya “X” faktor yang belum diketahui di tempat-tempat tersebut. Karena manusia disana melayani suasana berlainan dengan di Rusia tempat mereka lahir, mendapat didikan dan berjuang. Berhubung dengan itu, maka perundingan (discussion) dan soal jawab (perdebatan) dalam kongres dan Panitia Komintern dilakukan seluas-luasnya. Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka Yang Besar” ini atau itu. Kritik dirasa penting sebagai karbol pembersih yang kotor dan yang obor penyuluh yang gelap. Semua hak demokrasi secara parlementer boleh dijalankan diantara para teman seperjuangan itu. yang menadi batas buat berbicara saja. Sebab itulah pula semua putusan sesuatu perundingan atau perdebatan umumnya dirasa memuaskan. Dan ditaati, karena semua keberatan sudah dimajukan, dan seseorang revolusioner komunis seharusnya mengerti, bahwa putusan yang didapat secara demokratis sah itu, mesti dijalankan dengan sejujur-jujurnya, walaupun tidak cocok dengan pendirian sendiri. Diktator Proletar, bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar apalagi mendiktaturi Partai Proletar.
Saya sekarangpun masih merasa untung dapat berkenalan dengan para pemimpin Rusia (dan lain-lain negara) di masa itu; yang namanya selalu tercantum surat kabar di luar negeri. Lenin, sebagai nyata terakhir dalam penyakit yang akan membawa maut, masih bisa berbicara pada kongres keempat itu. Stalin sering juga mengunjungi kongres, tetapi terkenal sebagai dan terikat kepada urusan dalam Negara dan Partai Urusan Dalam.
Trotsky masih memegang tentara Merah dan sering berbicara dalam rapat. Sinovief adalah ketua kongres yang dalam pembicaraan tetap dibantu oleh Bucharin dan Radek. Diluar kongres orang menyebutkan nama seperti Kalinin, Rykolf, Kamenen, dan lain-lain. Banyak  pemimpin tentara, Serikat Sekerja Pemuda dan lain-lain besar, sedang, kecil (yang kurang penting) yang saya kenal, dan merasa berbahagia mengenal para pembikin sejarah yang belum ada taranya di dunia sampai sekarang. Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar maka hampir semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi. Cuma Lenin saja yang mati “di tempat tidur”. Yang lain-lain mati terbunuh dalam pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti fraksi opposisi dalam Partai Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia “Sang revolusi memakan anak”.
Sang sejarah tak mengenal penjelasan tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya adil atau zalimnya buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dijalankan oleh revolusi itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian.
Dan apa yang dikira benar itu mesti dibenarkan dahulu sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap dan memakai yang betul, tepat, baik.
Di masa kita berada di Moskow, memang sudah ada oposisi Politik Ekonomi Baru (N.E.P). Tetapi demokrasi di dalam Partai Komunis Rusia, ataupun lebih nyata buat saya dalam Komintern sendiri tak terasa terganggu.
ENCYCLOPAEDIE VI SUPPLEMENT ada sedikit memperingatkan pekerjaan saya dalam kongres ke empat itu. Di kaca 531 kita bisa baca:
Het kongres werd bijgewoond door Tan Malaka. Die uit naam der Indische Com. Partai en met de belangen van duizenden millioenen der onderdrukte volkeren in het oosten voor oogen, op 12 November een belang wekkende rede hield over het standpunt der Communisten tegenover de nationale boycot beweging en tegenover de nationale boycot beweging en tegenover het zoogenaamde Pan Islamisme; m.n. over de vraag of in hoeverre zij die bewegingen hebben te steunen. De moeilijk heden die de PKI met de Serikat Islam had ondervonden worden door hem op pakkende wijze uiteengezet. Toen de S.I ers den communisten in openbare vergaderingen vroegen of zij aan God geloofden, heeft hij geantwoord: “Wenn ich voor Got stehe, dan bin ich ein Moslem, wenn ich aber vor menschen stehe, dan bin ich kein Moslem weil got gezagt hat, dasz as unter den menschen viele Satane gebt”.
Volgens Malaka beteekent Pan Islamisme practisch niet anders dan strijd om de nationale vrijheid. Hoe moest nu het communistische standpunt zijn tegenover deze Islamistische strooming? Opeen volgende zitting kreg hij dan den afgevaardigde uit Tunis te hooren dat dezelfde moeilijkheid zich ook daar voordeed. In elk geval beteekende: Pan Islamisme” iet anders dan aansluiting van alle Moeslem tegenover hun onderdrukkers, zoodat de beweging gesteund moet worden. Een commissie werd ingesteld om de oosterscher kwestie in beschouwing te nemen en een program terzake te ontwerpen en aan het Congres voor te leggen. Tan Malaka werd in die dommissie benoeemd”.
Sekianlah catatan ENCYCLOPAEDIE itu.
Kecuali catatan yang tertulis dalam bahasa itu. Catatan diatas adalah dari pidato saya dalam rapat Komintern yang saya ucapkan dalam bahasa Jerman. Tetapi bukanlah karena pidato itu saya dimasukkan dalam komisi tersebut, bahkan sebaliknya berhubung dengan pembicaraan dalam komisi Urusan Timur (dimana saya ikut campur) itulah maka saya berpidato di rapat Komintern sebagai tingkat (instansi) yang tertinggi.
Orang lain tak pernah tahu jalan seluruhnya pembicaraan dalam komisi urusan Timur ini. Saya juga tak akan menguraikannya disini. Tetapi pokok perkara yang dimajukan oleh ENCYCLOPAEDIE memang benar, karena dia ambil dari pidato saya yang disiarkan oleh salah satu majalah Komintern di luar Rusia.
Pokok perkara itu, ialah bagaimana seharusnya sikap komunis terhadap gerakan nasionalisme di jajahan, yang di Hindustan dan Tiongkok umpamanya berupa pemboikotan dan di Hindustan negeri-negeri Arab ataupun Indonesia berupa Pan Islam.
Pihak Komintern (jawatan ketimuran, Oriental Section) memajukan satu “thesis” yang memutuskan supaya partai Komunis di negara-negara jajahan membantu dan kerja sama dengan partai nasionalis menentang imperialisme. THESIS itu dimajukan dan dibela para komunis Rusia dan Hindu.
Tentulah semuanya mufakat memberikan bantuan kepada kaum nasionalis menyetujui pula kerja sama itu, ialah dalam arti abstraknya dalam teori. Tetapi dalam prakteknya, dalam konkritnya mengadakan kerja sama dan memberi bantuan itu, sampai saya berangkat ke Indonesia belum bisa dipastikan. Oleh para pemimpin berangkat itu, ketika saya meninggalkan Moskow diserahkan kepada keadaan di satu-satu tempat dan kebijaksanaan saja.
Sebenarnya saya terlibat dalam perdebatan yang sudah lama berlangsung antara pembela THESIS dan pendebatnya. Pada suatu malam, sedikit sudah larut, ketika saya baru kembali dari kunjungan salah satu pabrik di sekitar Moskow oleh seorang komunis Jepang Almarhum Sen Katayama katanya yang mendebat salah satu pasal dalam THESIS tadi, diserahkan kepada saya untuk meneruskan mendebat pasal tersebut. Ini saudara Tan Malaka datang “katanya saya serahkan pembelaan pendebatan saya kepadanya. Dia masih segar bugar baru saja datang dari pergerakan anti imperialisme di Asia”.
“Tunggu dulu dong” saya jawab. Mana pasalnya yang diperdebatkan dan bagaimana pendirian masing-masing.
Perdebatan paham yang rupanya sedikit saja pada permulaan nyata besarnya sesudah dari kayangan abstrak melang-lang dalam teori, kita turun ke tanah konkrit, yang nyata. Apabila perdebatan saya belokkan kepada bukti yang nyata pemboikotan atau non koperasi dan Pan Islamisme itu, maka tampaklah jurang yang dalam dalam antara abstract dan yang konkrit, antara teori dan praktek. Umpamanya komunis Inggris mengajukan keberatan terhadap pemboikotan barang Inggris oleh rakyat Hindustan, karena menimbulkan pengangguran di Inggris. Jadi bagaimana meminta bantuannya kaum buruh Inggris kerja sama dengan kaum pemboikot di Hindustan dan lain-lain sebagainya. Rupanya kongres Komintern yang sudah-sudah menganggap Pan Islamisme sebagai imperialisme corak lama.
Perdebatan yang mulanya berjalan tenang, lama-lama menjadi hangat kalau saya tak lupa sampai tiga hari berturut-turut. Akhirnya saudara Wakil Komintern, pemegang THESIS melarang saya berbicara. Ini saya jawab dengan protes yang keras atas caranya mengurus persoalan Asia yang sulit dan asing itu bagi para komunis Barat.
Setelah buntu dalam komisi barulah saya bertanya kepada ketua Komintern Sonovief, dan pemimpin Komintern Jawatan Ketimuran ialah Radek dalam Rapat Kongres yang tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE itu. Apakah akan dibantu gerakan nasionalisme berupa pemboikotan dan Pan Islamisme tadi, dan kalau “ya” bagaimana membantunya? Artinya yang dibelakang ini bagaimana melaksanakan bantuan dan kerja sama itu dalam program taktik dan strategi dan organisasi.
Di kongres pun saya tak mendapat jawaban apa-apa, walaupun pidato saya mendapat sambutan yang memuaskan juga dari seluruhnya kongres tadi. Saya mulai gelisah dan curiga akan kesanggupan diri-sendiri. Saya minta disekolahkan tetapi dicemoohkan dengan jawab salah seorang teman: “Belum terbuka kursi profesor buat saudara”.
Setelah kongres selesai dan para wakil dari semua pelosok dunia mulai berkemas hendak pulang ke tempatnya masing-masing barulah timbul pertanyaan dalam diri sendiri “Pergi ke mana aku ini?” Tetapi teman-teman yang pulang selalu mengucapkan perpisahannya dengan saya “Selamat Bekerja”.
Tak lama saya dalam keragu-raguan. Pemimpin baru di Komintern Jawatan Ketimuran menghampiri saya dan berkata “Saya setuju dengan saudara. Thesis yang tempo hari saudara bantah, memang terlampau abstrak, teoritis. Sekarang saya yang dibawah saudara Radek memimpin Jawatan Ketimuran itu. Pemegang Thesis telah meletakkan Jabatannya, saya harap kita kelak bisa kerja sama atas dasar yang lebih nyata buat Asia”.
Inilah yang hendak saya majukan disini kepada pembaca! Jadi seperti dasar demokrasi dan parlementerisme apabila politiknya satu kabinet gagal dan tiada lagi mendapat kepercayaan dari Parlemen maka Perdana Menteri secara demokrasi mesti ikhlas meletakkan jabatannya. Jangan seperti Chamberlain pegang terus kedudukannya, sampai rakyat diluar Parlementer berteriak memaksa pergi. “Chamberlian must go”.
Pemegang Thesis tadi tidaklah pula marah atau tak mau bicara lagi dengan saya, atau pula menyuruh tangkap saya oleh Cheka sebagai “pengacau” atau “merobohkan” jabatannya melainkan terus seperti biasa seperti teman seperjuangan. Masih banyak pekerjaan lain yang tak kurang pentingnya  bagi dia dan memangnya dia juga seorang muda yang sudah banyak berjasa kepada Partai dan Proletaria Rusia diwaktu lampau.
Komintern tentulah pula dengan setujunya Sonovief dan Radek, menyuruh saya membikin buku, tentang Indonesia. Corak dan isinya diserahkan kepada saya dan bahan membuat buku sudah dipesan di Nederland. Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik tentang daerah, cacah jiwa perindustrian, pertanian, pemerintahan Indonesia. Biarlah para teman di negeri dingin itu membikin teori atau kesimpulan atas segala bukti yang berhubungan dengan persoalan Indonesia sekehendak hatinya. Demikian sikap saya.
Akan terlampau panjang kalau saya paparkan disini tentang manusianya Rusia, apabila tentang yang lain-lain. Dalam waktu setahun tinggal disana, saya cukup bercampur dengan beberapa golongan. Tidak saja dengan pemimpin Komintern, tetapi juga dengan pemuda-pemudinya Rusia. Di masa itu oleh pemuda di sana saya masih dianggap termasuk golongan mereka sendiri.
Dengan mereka sering saya kunjungi pabrik dan desa, sandiwara dan “selamatan” berkenalan dengan orang tentara, buruh, tani dan pelajar. Kamar saya di salah satu bekas hotel, terbuka siang malam buat para teman dan pelajar. Malah pada waktu malam saya sedang tidur terbuka biasanya buat dua tiga mahasiswa pemudi yang harus menempuh ujian, karena kamar saya cukup lapang dan cukup sepi hening buat belajar. Memang kamar saya sepi hening itu diberikan kepada saya buat menulis buku.
Saya tiada menggambarkan manusia di Rusia masa sekarang ialah generasi, turunan baru dalam suasana politik ekonomi yang berbeda dengan dimasa seperempat abad lampau seperti siang dengan malam. Saya akan catatkan sedikit tentang manusia, ketika Rusia dalam ekonomi sosial berada di simpangan feodalisme dan kapitalisme dan dihela oleh revolusi proletaria ke arah sosialisme.
Pekerjaan buruh Rusia pada masa itu berbanding dengan pekerjaan Eropa-Barat dalam ke efficiency, kesanggupan, barangkali tak seberapa jauhnya dengan perbandingan pabrik baja di kota Nisjhi Novgorod dengan pabrik mesin Spadu di Berlin. Pemusatan tenaga (concentration) barangkali memberi imbangan karena eficiency buruh di Nisjhi Novgorod dengan lebih kurang 10 (sepuluh ribunya) itu kalau dibandingkan dengan di perusahaan Spandu dengan lebih kurang 30.000 buruhnya baru perbandingan 1 dengan 3. Tak kuatir mengatakan bahwa efisiensi buruh Rusia dipukul ratanya termasuk juga 450.000 buruh industri kota Petersburg sebelum perang berbanding eficiensinya buruh Jerman di masa itu, seperti 1 dengan 8. Kemajuan ilmu dan teknik Rusia organisasi perusahaan, serta cara dan kepintaran buruh Rusia, masih jauh terbelakang dan bangsa yang atas uang kertasnya yang walaupun dimasa itu terus menerus merosot dari hari ke hari dituliskan “Arbeiten kuennen wir besser als andre Volkere” (kerja kita lebih cakap dari semua bangsa lain!)
Dalam organisasi partai politik ataupun serikat Sekerja di masa itu Jerman mengatasi Rusia. Ini tidak berarti, bahwa manusia Rusia semuanya ditinggalkan terbelakang oleh Barat. Nama orang seperti Pavlov dalam ilmu jiwa, Minkovsky dalam matematika, Mendelief dalam kimia, Tolstoy, Dostojesky, Gorky, Pusjkin dan lain-lain dalam kesusastraan adalah manusia ukuran raksasa buat seluruh manusia dalam zamannya dan vaknya masing-masing, sebelumnya revolusi tahun 1917. Teristimewa dalam ketangkasan mengukur semangat revolusioner dari kaum murba, memimpin murba kepada aksi terbuka atau tertutup,  mengadakan tuntutan dan semboyan yang biasa mengikat dan menggerakkan jiwa murba, sampai sekarang bangsa Jerman masih perlu belajar dari pelopor Revolusi November tahun 1917 dari “Bolsjewik Tua”.
Tak ada bedanya Lenin, Stalin, Bucharin, Kalinin atau Trotsky denga Petroff, si buruh, si pabrik besi,. Si pemimpin merasa sama atau menyamakan diri dengan yang dipimpin dalam pergaulan hidup. Begitu pula si buruh tiada merasa segan atau takut berhadapan dengan pemimpinnya, walaupun Stalin atau Lenin. Singkatan paduka tuan, yang mulia atau P.J.M. ataupun yang mirip ke situ belum terdengar di masa itu. semuanya dipanggil “Saudara” : towarich. Sudahlah tentu suara si buruh menyebutkan towarich Lenin berlainan menyebutkan towarich Petroff menggembleng baja di pabrik. Sebab towarich Petroff menggembleng baja dan towarich Lenin menggembleng satu partai revolusi, Partai Bolsjewik. Kehormatan sesama manusia pun tak akan hilang selama ada pergaulan manusia. Tetapi kehormatan yang sebenarnya itu lahir dan seimbang dengan jasa seseorang terhadap pergaulan hidup itu pula, Terutama pula kehormatan yang sesungguhnya itu tiadalah terletak pada sembah jongkok ataupun pada perkataan yang diucapkan melainkan di dalam hati sanubari.
Terhadap kita orang Asia dari jajahanpun tak bisa kita membedakan sikap Petroff, buruh besi daripada Lenin, buruh revolusi. Mungkin juga terbawa oleh percampuran darah dengan bangsa Asia, atau karena hidup dalam suasana setengah feodal setengah kapitalis seperti Asia, maka gerak getar kata, suara dan air mukanya orang Rusia umumnya lebih meresap jiwa kita dari pada orang Eropa Barat. Mereka (manusia Rusia) masih mempunyai perasaan persamaan dan persaudaraan dalam tingkah lakunya seperti kita. Belum sama sekali kehilangan “uit de hoogte”, hati tinggi “strijdheit”, mengasingkan diri “zakelijk” perkara (yang menguntungkan diri) saja. Ketawanya masih lepas tak ditahan, salamnya hangat seperti terlihat di cahaya mukanya. Kegembiraan dan kesedihannya nyata, tak dibungkus-bungkus atau dibuat-buat.
Inilah perkara yang menyedihkan berpisahan dengan manusia Rusia di masa itu. Saya sebutkan di masa itu, sebab lantaran perubahan teknik politik ekonomi sosial dalam seperempat abad di belakangnya ini, saya tak dapat pastikan apakah tingkah laku manusia Rusia tidak berubah pula. Generasi sekarang bukan lagi manusia sebelum 1917 yang mengalami takut, tongkat besarnya Tsar. Generasi sekarang hidup dalam suasana sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan banyak kekurangan dan masih dikepung oleh sistem kapitalisme. Tetapi bukan lagi berada dalam suasana tindasan politik seperti dialami Bolsjewik Tua. Kaum Bolsjewik Tua bisa memendam luka di kulit mereka sendiri. Karena merekapun menderita pukulan penindasan. Kaum Bolsjewik Tua bisa merasakan pengharapan kita untuk di hari depan, karena merekapun pernah berharap akan terbitnya fajar di masa gelap gulita.
Akhirnya pada pertengahan tahun 1923 oleh Komintern saya diserahi atau pengawasan atas  partai komunis yang ada atau akan diadakan di beberapa negara yang di masa Jepang kita kenal “Selatan” dan saya sendiri menamakan “ASLIA” yakni Burma, Siam, Annam, Filipina dan Indonesia. Demikianlah sudah lebih kurang satu setengah tahun meninggalkan Indonesia, saya berputar melalui Nederland, Jerman, Rusia, Tiongkok dan kembali ke pangkalan.
Tetapi lama sesudah saya di Asia masih terang gambaran yang saya simpan tentang hawa iklim dan daerahnya Rusia, rakyat, buruh tani pelajar dan last but not least “Old Bolsjewik”: ialah Bolsjewik Tuanya Rusia!


















MENJELANG FILIPINA DAN CANTON


Di bulan Desember 1923 saya tiba di Canton. Perjalanan Moscow – Canton menimbulkan bermacam-macam kesan, dan mengalami berbagai-bagai avontuur, terlampau banyak buat dituliskan apalagi dimasa kekurangan kertas ini. Tiada pula kurang avontuur, pelayaran dan kesan yang saya peroleh  entah dalam berapa kali bolak-balik antara Canton dan Nanyang, Aslia saja. Saya sebutkan Aslia saja, buat meliputi Annam, Siam, Birma, Malaya, Indonesia dan Filipina. Beberapa kali, jika salah selangkah saja atau terlambat semenit saja, ataupun sesat sepatah kata jawaban saja, saya sudah akan terjerumus ke dalam penjaranya imperialisme. Pula, karena kekurangan kertas avontuur inipun terpaksa tiada dituliskan. Ada pula alasan yang tak kurang penting. Semua Imperialisme Barat yang saya dapatkan dari suaranya Dr. Sun, bahwa Dr. Sun berniat memberikan nasihat yang dengan perhitungannya kepada saya. Akhirnya bukankah Dr. Sun sendiri berhaluan persatuan Asia, lama tinggal di Jepang banyak mempunyai sahabat di sana, dan pernah memakai orang Jepang dalam perjuangannya merebut kekuasaan pusat di Tiongkok?
Pendeknya nasehat itu keluar dari sanubari orang bersimpati kepada pergerakan Indonesia. Saya juga tidak memasuki pintu gelanggang perdebatan yang mungkin terbuka, ialah: Apakah revolusioner Indonesia bisa kerja sama dengan kerajaan (Imperialisme) Jepang?
Mungkin karena Dr. Sun sendiri merasa bahwa pintu kesana tidak terbuka, dan mungkin juga Dr. Sun teramat tahu akan prakteknya kerja dengan Jepang, atau karena Dr. Sun cuma ingin tahu bagaimana paham saya terhadap soal demikian maka percakapan dibelokkan ke lampat tempat.
Nyatalah pengetahuan Dr. Sun dalam details, khusus tentang “Nanyang” pun luar biasa tempatnya. Nyatalah Dr. Sun seorang pelarian yang mempunyai banyak siasat dan mempunyai teman di mana-mana. Adanya orang Tionghoa di seluruh pelosok dunia, ialah yang amat memudahkan gerakan Dr. Sun.
Pasport dari pemerintah saya buat tuan akan lebih membahayakan dari pada tiada punya pasport sama sekali, kata Dr. Sun Yat Sen. Sebab pasport itu akan diperiksa kembali oleh Inggris di Hongkong ialah pintu gerbang masuk ke daerah Kwantung dan pemeriksaan itu teliti sekali. Tetapi baik tuan saya perkenalkan kepada para pemimpin Seamen Union, Serikat Pelaut yang berkedudukan di Hongkong.
Lama saya pikirkan kerjasama dengan Jepang tadi. Dari Revolusioner besar seperti Dr. Sun petunjuk semacam itu tak boleh diabaikan begitu saja. Mungkin karena antara Jepang dan Indonenesia masih ada imperialisme Inggris, Perancis dan Amerika yang kuat, maka Dr. Sun merasa Jepang tidak (atau belum) bisa langsung menerkam Indonesia. Dr. Sun juga memulai dengan “in this case” ialah “dalam hal ini”, memang pula bersitumpu sekarang pada negara ini dan esoknya pada negara itu, adalah salah satu dari pada muslihat Dr. Sun yang terpenting.
Sayang, saya tak mencoba menyelami alasan Dr. Sun yang sebenarnya. Dr. Sun adalah seorang revolusioner yang opportunis,pengambil kesempatan Intuition, gerak batin Dr. Sun sering benar.
Bukankah sudah kira-kira 20 tahun perkataan tadi banyak diucapkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia terkemuka yang menyambut tangan saudara tua “buat kerjasama” mendirikan Asia Timur Raya? Lupakah kita pada sehidup semati Dai Nippon sebelum dan sesudah kemenangan terakhir, seperti tercantum dalam Panca Dharma itu? Bukankah pemimpin Indonesia pernah mengemukakan bahwa kita membantu Nippon bukanlah karena perhitungan kalah menang, melainkan karena Nippon dalam kebenaran, keadilan dan kesucian? Buat saya hal ini adalah penetapan nujuman pemimpin Tionghoa ditepi sungai Mutiara itu.
Saya sudah baca buku Dr. Sun “San Min Chu I” dan “China’s International Development” banyak yang praktis, bisa dijalankan, tetapi ada pula kiranya yang tidak praktis, bertentangan degan kenyataan, mengusulkan kepada kapital Internasional buat mengindustrialisir Tiongkok untuk kemakmuran Tiongkok dan perdamaian dunia. Memangnya mesti diakui banyak kebaikannya sebagai wujud, sebagai teori. Tetapi saya pikir kurang diperhatikan tentang konkurensi, bahkan pertentangan antara Negara Kapitalis dengan Negara Kapitalis sendiri, yang mesti kerja sama buat memajukan Tiongkok dan akhirnya, tetapi tak kurang penting konkurensi dan pertentangan antara Tiongkok berindustri dengan Negara Kapitalis Barat dan Amerika. Walaupun begitu, semangat dan caranya Dr. Sun Yat Sen berpikir, jika dibandingkan orang berkeramat dari Hindustan, Mahatma Gandhi adalah seperti siang dengan malam. Buat saya, lebih menambah pengetahuan membaca tulisan Dr. Sun daripada membaca karangan Mahatma, kalau sang Mahatma memasuki gelanggang politik ekonomi atau aksi.
Dr. Sun bukanlah Marxis, dan cara berpikirnya bukan dialektik, tetapi logis, dalam “San Min Chu I”, kalau Dr. Sun mengeritik Marxisme maka dipakainya alasan murah dari profesor borjuis biasa, yakni “Class Struggle”, perjuangan klas itu, hanya suatu “accident” kebetulan saja. Caranya Dr. Sun mengupas sesuatu persoalan, ialah menurut ilmu scientific dan caranya menuliskan dan mengatakan pahamnya sangat jelas, tepat dan menarik. Dr. Sun bukan saja seorang ahli menulis, tetapi juga seorang effektive speaker ahli pidato, berpangkal-berujung, terang dan bisa memberi paham kepada ramai dan menarik hati ramai.
Tetapi bukankah pada kecerdasan intelek,d an kemahiran berbicara ataupun pada kelengkapan terori Nasionalisme, “Demokrasi dan Sosialisme-nya saja terletak kekuatan Dr. Sun, ialah menurut pikiran saya. Saya sudah menyaksikan pidatonya Dr. Sun. Memang bagus dan menurut teknik. Tetapi Wang Ching Wei tiadalah kurang, kalau malah tidak melebihi. Saya sudah baca tulisan dan teori Dr. Sun, tetapi pujangga Tiongkok seperti profesor Dr. Hu Shih, saya fikir sanggup pula membentuk teori seperti itu. Yang tidak bisa disamai atau dilebihi baik oleh Wang Ching Wei atau pun Profesor Dr. Hu Shih – saya sebut dua ini saja diantara puluhan ahli pidato dan ahli pikir Tionghoa modern ialah:
Pertama: sincerity kejujuran Dr. Sun. Orang Tionghoa ternama, walaupun bukan pengikut Dr. Sun dimasa hidupnya, dan semua orang Asia lain yang pernah berkenalan dengan thabib sungai Mutiara ini, mengemukakan sincerity, kejujuran Dr. Sun, Bapak Republik Tingkok berbuat cocok dengan perkataannya, dan berkata cocok dengan paham sucinya, Dr. Sun  bukanlah seorang ahli politik “Tammany” atau “revolusioner” dengan perkataan atau pengorek kantongnya Rakyat Murba. Teori, pidato dan aksi Dr. Sun ialah untuk yang dianggapnya penting buat Negara dan Bangsanya. Manusia bersifat khilaf, dan kalau Dr. Sun khilaf, maka kekhilafannya itu tiada bersumber pada kecurangan.

Kedua: Keuletan, imannya dan unselfish, tidak termahaknya Dr. Sun. beberapa teman pelaut Tionghoa dengan bangga menceritakan kepada saya enam belas kegagalan Sun Man merebut kemerdekaan Tiongkok dari kerajaan Manchu. Baru yang ketujuh belas jaya. Kegagalan  itu selalu dikemukakan dengan bangga, saya pikir pada tempatnya pula. Karena dimuka enam belas kegagalan itu terselip perkatan “walaupun”, mestinya diceritakan: Ingatlah, walaupun Sun Man enam belas kali gagal, dia tak putus asa, dalam hal “keuletan” (Thorougness) itu Dr. Sun memang boleh dianggap sebagai wakil dan lambang kebesaran sifat bangsa Tionghoa seluruhnya. Tetapi menurut pikiran saya, kepercayaan kepada Dr. Sun itu bisa terus dipegang, ialah karena kejujurannya, karena tiada termahaknya Dr. Sun bahkan dia selalu siap sedia mengorbankan apa yang ada padanya, termasuk jiwanya sendiri, buat menjalankan apa yang dimajukannya.

Ketiga: rapat dengan murba. Titelnya Dr. mudahnya Dr. Sun bergaul dengan bangsa sendiri dan bangsa lain, maupun juga yang termasuk kelas atas, tiadalah memisahkan Sun Man dari kelas gembel, proletaria. Hati rakyat rendahan Tiongkok tak akan bisa terikat dalam perjuangannya, kalau dia tiada mempunyai sifat yang bisa menimbulkan kepercayaan murba.
Tiadalah pula satu kebetulan saja, apabila gerakan Kuomintang pada tahun 1911 itu disokong oleh gerakan murba rahasia seperti Kola Hui, yang rapat berhubungan dengan Dr. Sun. Rupanya, terdorong oleh beberapa kegagalan merebut kekuasaan dengan cara “Putsch” oleh segerombolan pahlawan kaum cerdas, maka Dr. Sun akhirnya merasa penting bantuannya rakyat murba yang tersusun dalam bermacam-macam kongsi rahasia, yang dimasa kerajaan Manchu berpolitik revolusioner. Dr. Sun turunan tani kecil, jiwanya masih belum dihancurkan oleh intelektualisme Barat dan masih bisa menyelami Rakyat Murba.
Tiadalah pula satu kebetulan saja, apabila gerakan Kuomintang pada tahun 1911 itu disokong oleh gerakan murba rahasia seperti Kola Hui, yang rapat berhubungan dengan Dr. Sun. Rupanya, terdorong oleh beberapa kegagalan merebut kekuasaan dengan cara “Putsch” oleh segerombolan pahlawan kaum cerdas, maka Dr. Sun akhirnya merasa penting bantuannya rakyat murba yang tersusun dalam bermacam-macam kongsir rahasia, yang dimasa kerajaan Manchu berpolitik revolusioner. Dr. Sun turunan tani kecil, jiwanya masih belum dihancurkan oleh intelektualisme Barat dan masih bisa menyelami jiwanya Rakyat Murba.
Tetapi janganlah pula pembaca pikir, bahwa dimasa hidupnya Dr. Sun mendapat pujian saja dari semua golongan atau teman seperjuangannya sendiri. Bahkan baru sebentar saja dia dipilih jadi Presiden tahun 1911, jiwanya terancam oleh seorang jenderal “pemberontak” yang dibelakangnya menjadi Presiden ialah Yuan Shi Kai. Di masa saya masih di Tiongkok, belum lama sebelum dia meninggal, maka bekas jenderalnya sendiri, ialah Chen Kwing Ming hampir saja dapat menangkap Dr. Sun. Dari pihak intelek Tiongkok dan kaum borjuisnya, dimasa hidupnya sering saya dengan paling baik dikatakannya, bahwa Dr. Sun itu memang kasar, tetapi cuma seorang “idealis” dalam arti pemimpi saja. Saudagar Canton, kata Dr. Sun sendiri, ketika dibawah perintah Dr. Sun sendiri, mencemoohkan Dr. Sun dengan gelaran “meriam besar”. Artinya “kaleng kosong” yakni suara besar tapi tak berisi.
Memang kehormatan dan pujaan terhadap Dr. Sun saya lihat baru sesudah dia meninggal. Ingat kita kepada banyak orang besar lain, yang sekarang dipuji, dikoploki dan dipuja, tetapi besoknya dikutuki. Tetapi ada juga sebaliknya, baru dipuji sesudah ia mati. Dr. Sun melayani semua pasang surut naiknya penghargaan manusia itu.
Dr.Sun sendiri bukanlah Dr. Sun, kalau dia bergerak dan berkorban, cuma buat mencari pujian ramai pada ketika itu saja. Dr. Sun juga insyaf sungguh akan turun naiknya penghargaan itu, dan ia pusatkan semua tenaga, kecerdasan, kemauan dan perasaannya kepada kemerdekaan dan kebesaran bangsa yang dicintainya sampai ke hati sanubarinya ialah bangsa Tionghoa. Lawan dan kawan tak bisa membantah kecintaannya itu, begitu pula kejujuran dan keteguhan imannya.
Pada satu hari, ketika saya berada disalah satu tempat di Selatan melakukan kewajiban saya sebagai wakil dan intern (hal mana tak perlu saya rahasiakan lagi, karena pihak luar sudah lama mengumumkan), maka saya dapat perintah dari Pusat buat mencari wakil dari Indonesia guna mengunjungi Konferensi Buruh Lalu Lintas Seluruh Asia, yang akan diadakan di Canton. Hasil konferensi itu sudah lama disiarkan dimana-mana dan yang berhubungan dengan diri saya sudah diumumkan di Filipina, berhubung dengan penangkapan atas diri saya disana. Agustus 1927 Imperalisme Barat sungguh cukup cerdas, berpengalaman dan kaya buat mengetahu apa yang terjadi dalam semua organisasi lawannya.
Pemandangan resmi tertulis dalam ENCYCLOPAEDIE, di jilid tersebut di atas, mika 535, tentang konferensi Canton itu adalah berikut: Aksi Serikat Sekerja Komunis dalam hubungan Internasional”, untuk melakukan propaganda aktif buat kemerdekaan nasional dari segala bangsa di Pasifik, sudah diputuskan pada bulan November/Desember 1922 pada Kongres Komintern ke-4.
Serikat Sekerja Internasional Merah (Provinter) sekali lagi mengemukakan perkara ini pada Kongresnya ke-2, yang dibuka bersamaan waktu dengan Kongres Komintern yang kemudian memutuskan mengadakan konferensi besar pada wakil buruh lalu lintas (transport) dan semua negara disekitarnya Lautan Teduh.
Konferensi Pan Pasific diadakan di Canton pada penghabisan bulan Juni 1924, ialah yang dikatakan hanya satu tempat dimana orang tak terganggu kerja dengan maksud mengambil tindakan yang berhubungan dengan organisasi buat membantu satu Serikat Sekerja Internasional Merah yang meliputi kaum pelaut dan buruh pada semua pelabuhan penting di sekeliling Lautan Teduh yang akan menjadi gelang penyambung (schakel) dalam rantai yang akan memperhubungkan pergerakan kemerdekaan nasional revolusioner diperjuangkan klas proletaria di Barat. Soal, bagaimana caranya mengadakan perhubungan itu harus diadakan, dengan tiada banyak menyinggung-nyinggung dalil-dalil teori, sudah lama mendapatkan perhatian E.K.K.I (Eksekutif Komite Komunis Internasional). Pentingnya  Konferensi pertama ini dari buruh lalu lintas ternyata dari “Manifest” yang diucapkan kepada pekerja di Timur dan kepada kaum proletar di Eropa dan Amerika (disiarkan dalam Internationale Press Korrespondenz 5 September 1924 No. 36). Dalam manifest itu disebutkan, bahwa di daerah Tiongkok Selatan yang revolusioner di Canton, datanglah berkumpul para wakil dari buruh lalu lintas dari Tiongkok Utara dan Selatan dari Jawa (Alimin, Budisutjiro) dan dari Filipina pada konferensi yang diselenggarakan oleh Serikat Sekerja Internasional Merah mengadakan perhubungan internasional diantara lain ternyata datang seruan. Kami serukan, supaya semua organisasi buruh lalu lintas di jajahan dan di setengah jajahan mempersatukan diri dan menggabungkan diri dengan buruh lalu lintas internasional yang revolusioner)
Konferensi yang lamanya 6 hari itu memutuskan mendirikan satu Buro di Canton, ialah untuk Serikat Sekerja Timur Merah “Red Eastern Labour Union”, yang mengikat buruh lalu lintas di semua negara Timur. Pada Buro mana akan berhubungan segala Sekretariat buat Tiongkok, Indonesia, Filipina, Jepang dan Hindustan.
Pada muka 537 encyclopaedies”: Kita kira paad waktu itu juga (21 Desember 1924) rupanya PKI mulai mendirikan Sekretariat Serikat Sekerja Indonesia Merah, bilamana Pusat Pimpinan PKI di Jakarta mengambil inisiatif mengirimkan rencana statuten buat Sekretariat itu kepada Pucuk Pimpinan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) SPPL (Serikat Pelaut) SBG (Serikat Buruh Gula) dan Serikat Pelikan (Tambang) Indonesia, dalam rencana-rencana statuten tadi disebutkan maksud, bahwa sekretariat ini akan menjadi cabangya Buro Canton, dan anggota Serikat Sekerja Internasional Merah (Provintern) di Moskow. Pucuk Pimpinan PKI mempermalukan lebih kurang, bahwa untuk perjuangan klas di Indonesia yang revolusioner perlulah Persatuan di Asia antara buruh industri dan buruh lalu lintas.
Pada daerah lama, tempat kaum komunis bekerja ialah Semarang, udara lebih banyak berisi keinginan mogok. Mulanya dalam kalangan PKI dimasukkan rencana, mengadakan pemogokan pada 8 Mei 1925, untuk memperingati 2 tahun lampau Semaun ditangkap. Karena mengambil pelajaran dari pemogokan 1923, VSTP menolak pemogkokan itu. Pimpinan PKI menunda harinya pemogokan sampai SPPL (di Nederland). Lelah menunggu, maka dimajukan mengadakan pemogokan umum sebagai protes terhadap penolak pemerintah (Hindia Belanda) memperkenankan Tan Malaka kembali ke Indonesia. (Keterangan lebih lanjut akan menyusul! Pen.). Rupanya orang tak berani memulai, kalau tiada mendapat sokongan yang sungguh dari Serikat Sekerja yang besar seperti VSTP. Ditunggu dulu datangnya suasana pemogokan yang pantas, bilamana wujud yang berdasarkan ekonomi bisa dibarengkan dan dikedoki dengan wujud yang bersandar kepada politik”.
Di Semarang rupanya orang mulai kehilangan kesabaran, 21 Juli 1925 pecahlah pemogokan yang sudah lama ditunggu-tunggu mula-mula diantara buruh cetak sebuah kongsi Tionghoa yang mengeluarkan satu surat kabar Indonesia, disebabkan oleh penolakan tuntutan Serikat Buruh Cetak, yang menuntut diterimanya pencetak yang sudah mogok dan tuntutan lain-lain berhubungan dengan jaminan kerja umumnya. Pemogokan ini menjalar kepada beberapa perusahaan percetakan yang lain-lain. Pada tanggal 1 Agustus pemogokan pecah pada Centrale Burgelijke Zienkeninrichting di Semarang. Pada waktu itu juga timbul pula pada Semarangsche Stooboor en Prauwenveer, dimana dalam beberapa hari saja seribu orang kapten dan kelasi Indonesia berhenti kerja atas desakan Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL) yang memajukan tuntutan jaminan kerja kepada Pimpinan Prauwenveer. Pemogokan berangsur-angsur susut dan berhenti pada pertengahan bulan September. Menurut G.B 17 Desember 1925 No.2, maka tiga orang pemimpin, para propagandis PKI ialah Darsono, Aliarcham dan Marjohan, dibuang.
Garis yang tampak dalam catatan diatas, ialah:
1.      Biro Canton yang mengikat seluruh buruh lalu lintas Asia dan cabang dari Provintenk, didirikan pada bulan Juni 1924 dalam satu konferensi dimana juga hadir wakil dari Indonesia (PKI).
2.      Sebagai pengaruh langsung dari Konferensi itu, di Indonesia pada penghabisan Desember 1924 juga didirikan Serikat Sekerja Indonesia Merah, dibawah PKI
3.      Pemogokan dari beberapa perusahaan yang timbul pada pertengahan 1925 langsung berada di bawah pimpinan Sekretariat Serikat Sekerja Indonesia Merah dan PKI
4.      Pemogokan itu ternyata kurang bernafsu dan kecuali sedikit menjalar ke Surabaya tiadalah menjalar ke selruh pulau Jawa, apalagi ke seluruh Indonesia.

Menurut pikiran saya, maka kekurangan semangat dalam aksi ekonomi, yang dalam hakekatnya ditujulkan kepada perebutan hak politik ekonomi, terletak pada keadaan ekonomi di masa itu. Turun naiknya garis ekonomi (Economic Curve) dengan nyata menunjukkan bahwa garis turun yang paling rendah pada tahun 1922 pada pertengahan 1925 sudah mulai naik kembali dan pasti menuju ke puncak  (hochkonjunktur) yang tercapai pada tahun 1927-1928. Tak akan bisa dimungkiri, bahwa organisasi tentu mempunyai beberapa kelemahan, memangnya sampai sekarangpun (1947) kita sebagai bangsa di negeri berhawa panas ini masih memiliki banyak kelemahan tersebut. Akan tetapi sebab pokok dari melesetnya pemogokan politik pada pertengahan 1925 itu terletak pada lemah lesunya suasana revolusioner bagi seluruh rakyat Indonesia, karena sudah berada dalam kesembuhan krisis ekonomi.
Sekian pemandangan timbul-tumbuh-tumbangnya pemogokan politik ekonomi pada tahun 1925 yang berakhir pada pembuangan beberapa pimpinan PKI yang sangat dibutuhkan, justru di depan kejadian tahun 1926.
Kembali kita kepada Buro Canton!
ENCYCLOPAEDIE sudah memberikan pemandangan yang tiada berjauhan dari kebenaran karena memang dikutipnya dari sumber yang syah, seperti “Internationale Press Korrespondenz”, tersebut ialah organnya Komintern. Walaupun demikian ENCYCLOPAEDIE selain daripada memajukan beberapa kesimpulan sendiri, cuma melihat yang diatas muka air laut saja. Dia tiada melihat apa yang di bawahnya muka air laut itu.
Sebenarnya siapa bisa bergirang hati, kalau pihak resmi Hindia Belanda dengan ENCYCLOPAEDIE tak melihat apa yang berada di sana itu adalah penulis sendiri. Ada lagi satu dua perkara lain yang semacam itu pula, tetapi belumlah masanya buat disebutkan. Tetapi bahwa sayalah yang memimpin Buro Canto tersebut di Filipina sudah terbuka, dan amat memberatkan perkara saya. Tegasnya hal itu bukanlah rahasia lagi. Lagi pula adanya Provintern, seperti juga saudara tuanya Komintern sudah menjadi barang sejarah.
Baru saja saya tiba di Canton bersama dua wakil Indonesia dari pelajaran yang melelahkan, dan belum lagi sempat menyusun nafas, maka saya pergi menjumpai dua orang wakil dari Pusat. Yang seorang ialah dari Komintern, yang berhubungan dengan saya sampai di masa itu. Yang lainnya adalah wakil dari Provintern yang akan berhubungan dengan saya di hari depan, dan kenal baik ketika di Moskow! (saya sebutkan wakil karena memang tanggung jawabnya kepada dua badan Internasional itu). Tulisan Alimin dalam “ANALISIS” nya yang mengatakan bahwa saya diangkat sebagai wakil Komintern dan Provintern oleh dua “pegawai” saja, pada hakekatnya adalah suatu penghinaan besar terhadap dua organisasi Internasional itu, dan membuktikan pula sifatnya yang lama, ialah tak peduli  dan tak mau tanggung jawab, walaupun terhadap teman seperjuangannya, kalau dirinya sendiri terlibat. Ingatlah sifat Alimin terhadap bekas ketuanya almarhum Cokroaminoto dalam proses Afeeling B Serikat Islam, pada tahun 1918).
Pertemuan berlaku seperti biasanya orang berjumpa kembali sahabat karib. Belum lagi tepat saya duduk di atas kursi, wakil Provintern sudah memulai.
“Nah Saudara” katanya, “Pucuk Pimpinan Provintern” sudah memutuskan mendirikan Buro Buruh Lalu-Lintas, bertempat di Canton ini. Saudaralah yang akan memimpin Buro itu dan menyelenggarakan apa yang perlu. Lagi pula akan dikeluarkan satu surat kabar atau majalah. Saudara pulalah yang akan menjadi pemimpinnya dan menyelenggarakan semua yang perlu. Selain dari pada itu sudah mesti bersiap pula buat berbicara dalam konferensi buruh lalu lintas ini malam juga. Kedudukan saudara kelak sebagai pemimpin Buro disini, adalah tersendiri (independent) dan berhubungan langsung dengan kami di Moskow”.
Saya sedikit terganga! Setelah nafas dan pikiran kembali, saya susun beberapa kalimat dan pertanyaan.
Apa tak ada yang lain buat memimpin Buro itu? Bukankah sudah cukup kewajiban saya yang berhubugnan dengan Komintern? Manakah saya bisa memimpin majalah dalam bahasa Inggris sedangkan bahasa Inggris saya baru cukup buat menanyakan jalan dan restoran saja!
“Kami sudah mempertimbangkan semua itu, dan kami sudah tetapkan dengan kebulatan suara”, demikianlah saudara Provintern.
“Kita toch tak kekurangan orang? Di Tiongkok saja, bahkan ada beberapa Profesor di antara teman kita sahut saya pula.
Jawab saudara Provintern amat pendek, dan tertutup semua keberatan saya! “Sebagai seorang komunis yang berdisiplin, tentulah saudara akan terima saja”.
Konferensi Buruh Lalu Lintas berlangsung dengan lancar sekali. Dr. Sun mulanya akan hadir berbicara. Tetapi belakangan berhubungan dengan kebijaksanaan, dianggap kurang tepat Dr. Sun diwakili oleh Mr. Liao Chung Kay. Pada hari pertama wakil Provintenlah yang memegang pimpinan rapat, pada hari kedua penulis ini, pada hari ketiga wakil Tionghoa dan sebagainya. Dalam pemilihan buat pemimpinan Buro, penulislah yang terpilih!
Sehabisnya konferensi masing-masing pulang ke negerinya. Para wakil Indonesiapun berangkat meninggalkan Canton. Tinggallah penulis ini dengan sebeban pidato dan putusan yang mesti dicetak dan disebarkan ke semua pelosok di Asia!





BAGAIMANA HALNYA ALAT CETAK


Canton dimasa itu (tahun 1924) mempunyai penduduk lebih kurang dua juta orang. Menurut ukuran Eropa-Barat atau Amerika, memangnya termasuk kota besar dalam arti modern dalam segala-gala, pabrik raksasa dijalankan mesin up to date, lalu lintas dengan tram, kereta dibawah dan diatas tanah, serta percetakan uap atau listrik.
Sia-sia semuanya dicari di Canton pada pada masa itu. Yang ada, yang cocok sebagai namanya kota cuma kantor pos, cahaya lisrik dan tiga jalan besar. Sebahagian besar lalu lintas di darat dilakukan dengan ratusan, mungkin ribuan becak. Di jalan-jalan gelap, kecil yang membengkok meliku diantara puluh ribuan rumah besar kecil, dari tokoh intan, mas berlian sampai kedai bakmi. Jalan sempit gelap, dilalui oleh hartawan sampai ke pengemis, maha guru sampai si buta huruf, pemikul tandu gadis kawin sampai pemikul sayur dan barang yang sekotor-kotornya yang dipisahkan setiap hari oleh 2 juta manusia, di jalan kecil silang siur. Di jalan Tiongkok ini tak bisa masuk bus atau becak. Di pinggir jalan besar sepanjang sungai yang membelah kota Canton terdapat pelabuhan buat kapal yang menghubungkan Canton dengan Hongkong dan Macao. Di atas sungai itu sendiri siang dan  malam terdapat puluh ribuan sampan kecil-kecil gandengannya becak di darat. Kabarnya, konon 800.000 orang yang hidup berumah dalam semua sampan di sungai itu. Kalau kota Canton seluruhnya kita tinjau dri atap Hotel Asia yang tertinggi itu, maka kelihatannya satu cerobong asap pabrik buat semen, kalau saya tidak salah, di seberang Sungai Canton atau Sungai Mutiara. Cuma satu cerobong asap pabrik kecil, buat satu kota yang berpenduduk dua juta! Demikianlah keadaan Canton, ketika saya mencari satu percetakan buat majalah dalam bahasa Inggris, yang saya namai: THE DAWN (Fajar). Kota raksasa penuh dengan toko dan perusahaan secara zaman feodal, penuh dengan jalan sempit gelapnya, penuh pula dengan becak dan sampannya.
Memang benar juga, “Everything new comes from Canton”, semua yang baru datang dari Canton. Bukankah revolusi dalam politik dan sosial berasal dari Canton? Kota Canton pun tiada berapa tahun di belakangnya menjadi kota modern dalam segala-galanya. Tetapi baru di belakang hari dan THE DAWN memang lahirnya beberapa tahun terdahulu.
Akhirnya, sedang termenung memikirkan bagaimana melakukan Putusan Konferensi Canton, datanglah seorang saudara Tionghoa yang pandai berbicara Inggris buat menemani saya mengunjungi veteran revolusioner Tan Ping Shan. Tan Ping Shan cuma sedikit bisa mengerti bahasa Inggris, tetapi dianggap seorang terpelajar corak lama.
Tiap-tiap ucapan saya tentang kesulitan yang berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan saya sebagai orang asing yang sama sekali belum bisa bicara Tionghoa, apalagi kesulitan yang berhubungan dengan cetak-mencetak dalam bahasa Inggris dan huruf latin, buat huruf Tionghoa memangnya banyak sekali, semuanya itu dibalasnya dengan senyum yang cuma dimilikinya itu, semuanya itu benar, tetapi jangan putus asa! Lihatlah kesulitan kami dalam segala lapangan!”
Tan Ping Shan membantukan kepada saya seorang maha guru yang memimpin sekolah tinggi sendiri. Dulunya dia seorang guru dalam bahasa Inggris pada salah satu sekolah tinggi Zending dan memogoki serta meninggalkan Sekolah Zending itu bersama-sama beberapa muridnya. Sambil mengandung penghargaan besar saya dengan Prof. Huang, ialah pembantu tadi, memasuki kota Canton dengan jalan besar dan kecilnya. Akhirnya kami berada di muka satu percetakan, berbisik-bisik, menggeleng-gelengkan kepala dan senyum Prof. Huang menoleh kepada saya, Pencetak ini memang kawan kita! Percetakan raksasa bisa kita percayakan kepadanya: THE DAWN pun bisa dicetak disini. Tetapi hurufnya tak cukup, “Anyhow” kata Prof. Huang “This is the only one to be found in whole Canton”. Bagaimana juga cuma ini percetakan yang boleh kita pakai diseluruhnya. Canton. Ketawanya Prof Huang istimewa diantara kaum cerdas Tionghoa seolah-olah mau mengatakan buat Canton ini sudah luar biasa apa boleh buat. Di sini sajalah kita suruh kerjakan.
Saya merasa lega! Sedikitnya satu pekerjaan penting sudah bisa dijalankan. Majalah itu saya anggap satu alat yang bisa memperhubungkan batinnya sebahagian buruh Asia yang dimaksudkan. Sebelumnya majalah itu keluar, susahlah pekerjaan yang lain-lain bisa dijalankan! Majalah adalah langkah pertama!!
Alat yang lain buat meneruskan perhubungan adalah bahasa pengantar. Walaupun ada paham yang hendak kita maksudkan, tetapi kalau bahasa pengantar paham itu tidak cukup dikuasai, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita. Bahasa pengantar itu adalah bahasa Inggris! Saya pikir, kalau sesudah dua tiga bulan berusaha benar-benar buat mempelajari bahasa Jerman, saya sudah bisa menulis dan berpidato dalam bahasa Jerman sederhana, dalam Kongres Internasional, masakan saya tak bisa mendapat hasil sedemikian dengan bahasa Inggris! Demikianlah saya pengaruhi diri saya sendiri!
Rencana saya sudah siap! Usaha belajar saya pusatkan kepada Grammar ilmu sarap. Disamping itu saya coba mengikuti kejadian sehari-hari di Tiongkok, tetapi pula mempelajari bahasa Inggris disamping oleh keinginan yang keras mengetahui kabar Tiongkok tadi.
Tetapi ada beberapa faktor yang kurang saya perhatikan. Pertama bahasa Jerman, saya pelajari di tengah-tengah masyarakat Jerman, sedangkan bahasa Inggris terpaksa saya pelajari ditengah-tengah masyarakat Tionghoa. Kedua dan lebih penting lagi, iklim Jerman, walaupun di musim panas, sungguh segar bugar buat diri saya, menimbulkan nafsu makan terus-menerus, serta nafsu kerja dan kegembiraan. Sedangkan Canton yang takluk kepada Continental elimate iklim benua mengherankan sekali. Buat saya seolah-olah dapur roti di musim panas, dan kamar es di musim sejuk. Pula saya belum meleburkan diri dengan masyrakat Tionghoa, belum mengetahui “filsafat” makannya orang Tionghoa yang mencocokkan makannya dengan musim negerinya. Saya kenal cuma restoran Boston yang dikuasai oleh orang Canton yang kembali dari Amerika barat. Penuh gemuk, tak baik buat kita di musim panas. Walaupun kepala saya mulai pusing-pusing nafsu makan kurang demi kurang tidur larut demi larut demi larut malam, saya “bunuh”. Waktu yang memang ditengah-tengah masyarakat serba asing, “dengan menguasai bahasa Inggris”, dengan membaca sebanyak-banyaknya.
Nafsu makan makin kurang, tidur semakin larut malam, kepala semakin pusing, dan batuk mulai timbul. Semua menandakan bahwa kesehatan saya mulai merosot. Waktu sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Tetapi THE DAWN belum juga siap, Prof. Huang makin susah dijumpai. Dia terpaksa berpergian mengumpulkan uang buat sekolahnya yang dalam 1001 kesulitan pula.
Zoonder Prof. Huang, saya tak dapat berbicara dengan tauke cetak.
Satu kemajuan, tetapi cuma satu. Saya coba mengarang dalam bahasa Inggeris, tentang pemogokan di Shamsen, tempat istimewa buat orang Eropa di tengah-tengah kota Canton. Karangan itu saya perlihatkan kepada seorang yang lama tinggal di Amerika, dan paham benar dalam bahasa Inggris. Beginilah baiknya buat kaum buruh, yang tentulah Inggrisnya tak begitu dalam, katanya saudara memakai kalimat pendek-pendek dan perkataan mudah dimengerti. Saya minta buat saya sendiri, saudara menuliskan pemandangan buat seluruh Asia, kata dia pula.
Yang penting buat saya, ialah saya sudah sampai ketika dimana saya dengan “basic English” ialah Inggris sederhana sanggup berhubungan batin dengan para pemimpin buruh di Asia. “Basic English” banyak dipropagandakan di Tiongkok. Dengan mengetahui lebih kurang 800 kata pokok dalam bahasa Inggris kita sanggup menguraikan apa saja pikiran kita dalam bahasa itu asal kita pegang teguh hukum bahasanya. Tetapi saya belum puas dan tak bisa puas dengan basic English saja. Buku, majalah dan surat kabar Inggris tiadalah tertulis dalam basic English akan tetapi setelah saya sampai ke tingkat sedemikian dalam bahasa Inggris dan sudah siap pula beberapa artikel dalam bahasa Inggris buat THE DAWN, percetakan masih lenggang lenggok saja seperti gerobak rusak. Jilid pertama belum lagi habis setengah hurufnya tiada cukup. Perkataan “pacific” umpamanya, ditulis PacifiC, karena kekurangan huruf c kecil. Begitulah satu kata pernah ditulis dua tiga huruf besarnya. Janggal dipandang mata tetapi yang lebih buruk ialah sesudah tiga bulan belum juga selesai satu jilid. Saya merasa susah menanggung jawabkan ke Moskow yang tentu tak bisa tahu keadaan yang sebenarnya!
Pembantu baru Tionghoa, bekas murid sekolah Amerika di Tiongkok yang bagus Inggrisnya dan istimewa buat THE DAWN saja, akhirnya saya dapat dengan susah payah. Tetapi belum lagi dua hari disamping saya, dia sudah hilang, menghilang saja ditarik oleh berbagai organisasi di Canton untuk bahagian Inggris. Memang kekurangan tenaga di segala lapangan. Kurang huruf, kurang tenaga, kurang segala-galanya.
Sering kalau tak ada pembantu dengan kepala pusing di panas terik saya pergi mengunjungi tauke percetakan buat menemukan senyum menandakan pekerjaan belum selesai. Tidur saya semakin kurang dan bangun semakin pagi, terus menerurs berhari-hari. Baru pada suatu pagi sesudah mandi semua badan merasa beku. Mungkin juga sebentar saya tak sadar diri. Membaca sebarispun saya tak sanggup lagi!
Saya pergi ke seorang Dr. Tionghoa, Dr. Lee. Dr. Lee sering mengobati Dr. Sun, keluaran universitas di Jerman. Dia dibantu oleh dua orang temannya memberikan suntikan kepada saya. Mulanya satu suntikan, tetapi sesudahnya itu berturut-turut tiga, empat suntikan dilakukannya di beberapa tempat di badan saya.
Saya memang merasa lain daripada biasa! Dr. Lee berkata: “Saya tadi kasi Gold injection, suntikan emas. Tetapi pols tuan berhenti beberapa detik lamanya. Kemudian berturut-turut kami lakukan suntikan anti racun!
Saya jawab: Ya, mulanya tuan suntikan disini, kemudian disana, dan lain sebagainya.
Kata Dr. Lee pula, tetapi kami sangka tuan sudah meninggal. Polsnya (pergelangan) tak berjalan lagi. Tidak lekas rupanya tuan kehilangan akal.
Dr. Lee rupa hilap, dia sangka saya diserang penyakit tubercolose (sakit tering). Pada masa itu baru pula dia membaca teori  baru tentang suntikan emas, pendapatnya seorang Dr. Swedia. Memang, kalau benar saya diserang tubercolose, tak ada keberatan saya menjadi “proefkonin”. Tetapi persangkaan  itu salah!
Besoknya saya minta nasihatnya Dr. Rummel, dokter Jerman yang sudah lama bekerja di Canton. “Apakah yang menyusahkan hati tuan?” demikianlah pertanyaan Dr. Rummel itu. Saya dinasihatkan berhenti sama bekerja sama sekali. Walaupun membaca. Sebaiknyalah tuan pergi tinggal di tropic, di negeri panas, beristirahat”, dinasihatkan Dr. Rummel. Istilah yang dipakai buat penyakit itu ialah “physical breakdown”, kelumpuhan tenaga. 
Pergi beristirahat itu juga sudah dinasihatkan oleh Dr. Lee. Demikianlah saya pergi kepada Dr. Lee buat meminta keterangan dengan surat, bahwa saya memerlukan beristirahat. Keterangan Dr. Lee, bersama surat saya kepada pemerintahan Hindia Belanda, itulah yang dimaksudkan oleh ENCYCLOPAEDIE dalam catatan diatas. Surat itu saya kirimkan kepada PKI sambil meminta pertimbangan partai, apakah surat itu akan diteruskan atau tidak sebagai siasat maka surat itu diteruskan. Jawaban pemerintah Hindia Belanda kepada saya dengan perantaraan PKI sama sekali tiada memuaskan. Jawaban pemerintah itu saya jawab pula. Jawaban inilah yang menimbulkan topan di dalam cangkir. Salah satu surat kabar Belanda yang berani mengumumkan balasan saya itu kabarnya mendapat rintangan dari pemerintah HIndia Belanda! Surat itu bukan berwujud minta ampun, seperti cemohan salah satu pihak, yang dibantah almarhum Subakat dalam surat kabar API. Baik juga hal tersebut dijelaskan disini buat kebenaran, walaupun sesudah terpaksa didiamkan saja selama lebih dari dua puluh tahun.
Negeri tropic itu bukannya Hindia Belanda saja, Siam, Birma, Annam, Filipina dan Malaya, semuanya negeri di bawah khatulistiwa. Semuanya itu tertutup buat saya oleh pemerintahnya, tetapi kuncinya ada di tangan sendiri, pada kesanggupan menerobos. Yang pentingnya buat korespondensi dengan pemerintah Hindia Belanda itu bukannya tempat, melainkan “fair play” yang terpaksa dinyatakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, bahwa dia tidak memiliki sifat semacam itu. tulisan almarhum Subakat berhubung dengan korespondensi itu juga berpusat pada sifat unfair “tak satria” itu. Itulah asalnya usul mogok sebagai protes yang dikemukakan oleh PKI dan Serikat Sekerja, seperti tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE diatas.
Tiada penyakit itu saja yang mendorong saya pergi ke khatulistiwa. Berturut-turut saya mendapat kawat dari selatan meminta saya datang. Tak pula diterangkan dan tentulah tak pula bisa diterangkan apa maksudnya. Saya cuma tahu, bahwa pada tahun 1925 itu PKI menghadapi suatu krisis yang hebat. Kawat memang tak memperdulikan antara 2500 km, ataupun lebih. Tetapi buat orang lemah yang tak sanggup berjalan 2500 km, yang tak mempunyai negara dan paspor 2.500 km yang digenangi air laut, bukanlah perkara kecil.
Segala macam suntikan dari Dr. Filipina, Dr. Inggris dan Dr. Portugis di Hongkong saya coba. Pun obat dukun Tionghoa dan nasihat pelaut Tionghoa di Hongkong pertama kali saya alamkan. Maksud saya ialah buat mendapatkan kekuatan untuk mengarungi lautan.
“Stow a way” penumpang sembunyi di dalam kapal, adalah seorang yang melakukan pelanggaran yang oleh hukum internasional dianggap berat sekali. Buat saya bahayanya kalau ketahuan tiada saja kemungkinan buat di penjara, tetapi juga dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda. Pelajaran seperti “Stow a way” yang dekat sekali saja, kalau saya mau meriwayatkannya akan memerlukan satu buku.
Buat orang yang sehat saja, orang Eropa pula dan dalam kapal Eropa pun, berlayar sebagai “Stow a way”itu jika sampai ke tempat yang dituju, sudah mesti mengalami 13 macam kesukaran, yang berhubungan dengan tempat, makanan, pemeriksaan dan sebagainya. Apalagi penderitaan yang mesti dialami oleh seorang Indonesia yang lemah, diantara ribuan penumpang Tionghoa Totok, rapat seperti ikatan sardencis, pada tempat yang teralih-alih tak keruan jalan dalam kapal buat menyingkiri pemeriksaan surat cacar, surat pos, surat keterangan lain-lain di semua pelabuhan yang dikuasai oleh Inggris. Pendek kata orang mesti bergembira kalau sampai dengan selamat, tiada mati kelaparan. Di dalam tempat bersembunyi dalam kapal.
Saya sampai ke salah satu tempat di Selatan, buat berjumpa dengan para teman. Tetapi belum lagi saya mengecap hawa chatulistiwa, datang pula kawat melalui 2500 km lagi. Saya diminta datang dengan segera, berhubung dengan kedatangan wakil Provintern dari Moskow, yang mau berjumpa dengan saya di Tiongkok Canton. “Dengan segera” itu buat orang yang tak tahu keadaan yang sebenarnya, tentulah berarti cuma dua-tiga hari saja. Tetapi buat orang  yang lengkap mempunyai syarat saja, pelajaran itu lebih kurang membutuhkan satu minggu. Buat saya waktu itu tak bisa lebih cepat dari pada dua minggu. Itupun sudah dengan segala tenaga yang ada pada saya dan memakai semua kemungkinan.
“Beck of” kata bahasa asing, kehabisan nafas sesudah dua minggu, maka saya tiba  di Canton. Tetapi orang yang memanggil saya sendiri rupanya sudah dipanggil pula buat kembali, yang dikejar tiada dapat yang dikandung berceceran.
Perkara antara alat kerja dan kesehatan semuanya menjadi sebab, maka kesehatan yang sedikit kembali disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama sekali, dan saya jatuh kembali tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya sendiri maupun buat organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah saya bereskan pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka saya berusaha masuk Filipina untuk beristirahat.
Memasuki Selatan, dengan tiada mempunyai syarat yang cukup, buat seseorang sudah amat susah, berhubung dengan pembatasan pemasukan orang Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan Emigration Law American-nya adalah perkara yang lebih susah lagi. Perlu penyelidikan yang seksama terlebih dahulu. Teristimewa buat saya perlu sekali suntik extra seolah-olah bola yang sudah kempis, harus dipompa lebih dahulu.
Suntikan extra, penyelidikan seksama untuk mempelajari caranya masuk Filipina, saya peroleh di Hongkong pada satu asrama Filipina. Nona Carmen, puteri seorang bekas pemberontak di Filipina, yang dengan ibunya menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi petunjuk yang berharga dalam hal lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan pula memberi pelajaran bahasa “Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa saya pelajari dalam dua tiga bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku Indonesia, akan ingkar!
Pengetahuan saya tentang jalan ke Filipina dan caranya menyesuaikan diri dengan orang Filipina setibanya disana dapat pula saya sempurnakan, selain dengan perkenalan dengan para tamu di asrama tadi, juga dengan perkenalan  luar biasa dengan seorang musafir terpelajar. Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas. Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr. Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya berada, sampai perang dunia II meletus, Dr. Mariano Santos namanya keluaran universitas Filipina, sudah meneruskan pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari perjalanan keliling Eropa, bakal menjadi wakil presiden Manila University.
Akhirnya buat berpendek kalau, pada suatu hari permulaan bulan Juni 1925, saya meninggalkan pelabuhan Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah satu kapal Presiden, bersama-sama dengan para penumpang lain dari semua bangsa di dunia, terutama bangsa Amerika dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa sebagai pengalaman, pengetahuan dalam dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris dan pengetahuan sekedarnya bahasa Tagalog dan last but not least bentuk warna badang dan muka yang 100% Filipina, bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina campuran, maka bersenjatakan semua alat tersebut dalam percakapan “conversation” menjual lelucon “telling a joke” ala Amerika, bahkan pula dalam ikut serta berdansa, maka rupanya tak tampak kesangsian bahwa penulis ini benar seorang Filipina pulang ke negerinya.
Semua pemeriksaan surat cacar “pemeriksaan pasport” (yang tiada pada saya) pemeriksaan barang di duane, biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh pegawai Filipina, bisa dibereskan dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina pulang dari “United States” atau dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak sambalnya boxer Filipino dalam bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan. Kunci rahasia buat semuanya ini ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu, dan kedua tingkah laku jangan dibuat-buat.
Semuanya beres, lancar, memasuki beberapa lobang yang biasanya tak mudah diselundupi, apalagi tak dengan beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah orang tuanya Nona Carmen di Santa Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah beristirahat seorang Filipina kembali dari “Negeri Asing” yang sudah lama ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi tiadalah pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan Amerika itu.




F I L I P I N A

Bagaimanakah rupanya Filipina, sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya pertanyaan yang timbul dalam hatinya seseorang yang mengenai sejarahnya Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar sejarah.
Dalam salah satu buku sekolah di Filipina tergambar “the first Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang mendayung perahu. Perhubungan politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di sejarah Filipina.
Bukanlah maksud tulisan ini hendak memberi jawaban yang sempurna terhadap pertanyaan diatas dalam arti politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang pandang atas Negara yang sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk lebih kurang 10 juta itu, dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya kira-kira 400 tahun di bawah Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan republik dalam artian modern di seluruh Asia, ialah pada masa revolusi 1898-1901.
Bumi iklim Filipina, kalau ada mengalami perubahan semenjak 450 tahun tentulah tiada seberapa, kecuali hutan rimba sudah dijadikan sawah ladang. Tetapi alat bekerja, perekonomian dan kebudayaan sudah mengalami perubahan yang dalam dan luas sekali. Manusia Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya, dalam arti perubahan alam-alat perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga mengalami perubahan.
Sama sekali tak ada beda rupanya tani desa Filipina daripada tani di Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak, Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan bangsa: bentuk badan dan muka, perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata dan rambut. Dalam hal ini tani Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke kota Bato di Mindano, sama dengan penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.
Tetapi di kota-kota seperti Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang Filipina yang sudah menerima darah Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya, sebagai hasilnya campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda.
Tetapi itu cuma terdapat pada kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan Pedro yang bekerja pada pelabuhan, kereta api dan bengkel di kota Manila sebagai kaum buruh, tak ada bedanya sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan atau Surbaya.
Bolehlah dikatakan lebih tinggi kita naik dalam tangga politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata warna kuning sampai putih. Lebih rendah turun tangga tersebut, lebih nyata warna coklat, ialah warna terbanyak diantara Indonesia asli. Lebih tinggi kita naiki tangga politik dari anggota Indonesia asli. Lebih tingi kita naiki tangga politik dari anggota Haminte sampai Majelis Rendah dan Tinggi, dari Walikota sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan campuran tiga bangsa, kaum Mestiza itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti perkebunan, pabrik dan perkapalan, kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi kalau saya tidak salah, maka dalam kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak kurang banyaknya dengan warna kuning atau putih.
Kedudukan tinggi yang didapat oleh kaum Mestiza itu adalah akibat  revolusi politik di Filipina, yang dipandang dari penjuru politik sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut ekonomi.
Hampir 100% dari “Veterano” ialah bekas prajurit revolusi tahun 1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol, kemudian melawan Amerika, terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu sendiri ialah Andres Bonifacio, yang menurut keterangan seorang veteran revolusi yang kenal sama Bonifacio kepada saya, adalah orang Indonesia asli dari kampung Tondo, di sekitar Manila. Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo, Menteri Luar Negeri yang termashur ialah Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina” Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan kalau ada campuran darahnya, maka bolehlah dikatakan amat tipis sekali. Revolusi Filipina adalah revolusi buruh tani dibawah pimpinan sebahagian inteligensia yang benar-benar revolusioner.
Tetapi dengan tertangkapnya Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka pimpinan revolusi menjadi pecah belah, dan perang gerilya tak dapat diteruskan. Aguinaldo mengangkat sumpah di depan kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari politik, selama Filipina berada di pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam dan mati di sana bersama banyak kawannya yang tak mau damai dengan Amerika. Jenderal gerilya seperti Ricarte bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana sampai Filipina menyerah kepada Jepang. Andres Bonifacio yang pertama mengibarkan bendera kemerdekaan dan menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh, katanya diserang oleh prajurit Aguinaldo, di masa revolusi.
Demikianlah, mereka yang paling terkemuka dalam revolusi, tak mengambil bahagian dalam pemerintahan Amerika di belakang hari. Dan yang paling terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa, sebahagian besar terdiri dari Indonesia asli.
 Karena di masa Spanyol, anak hartawan Spanyol dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah menengah dan tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang didapat oleh imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir semua sektor administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi warga negara dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping itu, kebun, pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli oleh Mestiza ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap genap ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani, sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang terjual atau tergadai. Kata orang Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang mendapat getahnya.
Tetapi tiadalah sempurna gambaran diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum Mestiza memakai rakyat asli untuk merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian membelokkan mereka ke bawah imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti tersebut di atas adalah menurut proses alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan, ialah rakyat asli, karena merekalah yang paling tertindas sebagai buruh dan tani. Buruh dan tani memili para pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum inteligensia asli, karena merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah mereka, dan sama merasakan getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas dan tertindas di Filipina, walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak persamaan. Persamaan itu terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan berdasarkan agama Kristen itu yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam agama dan kebudayaan  itulah pula yang mengaburkan atau melenyapkan perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan Mestiza, dan menarik Mestiza golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah, maka kita bisa menyaksikan, bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti: Jenderal Luna, juga seorang Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di masa revolusi baru berumur 24 tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat merebut pangkat mayor dan amat dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza sejati, campuran darah Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis masih di sana (tahun 1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai atau dibenci oleh rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan Mestiza bukanlah satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi derajatnya di masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest, pada tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan. Indo Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya, lebih suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri. Semuanya berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan Mestiza dalam ekonomi, sosial dan politik.
Rasanya tiada berapa jauh dari kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal dan lebih bercampur dengan  rakyat asli daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas, banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.
Berhubung dengan persamaan bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu, maka tiadalah pula mengherankan kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika memasuki kantor administrasi pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan tiada mendapat gangguan dari rakyat jelata.
Kalau ada pertentangan dengan kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di belakang ini, maka pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan  itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan buruh Indonesia (Filipina asli) dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang terbanyak memiliki tanah (harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain) perkapalan dan lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan anti-Mestiza, karena golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari proses proletarisasi.
Dalam revolusi sedang memuncakpun kaum revolusioner Filipina tiada memusatkan serangannya atau memekikkan semboyannya terhadap warna asing. Cerita yang lazim didengar di Filipina, dan penyaksian yang dituliskan oleh peninjau Amerika sendiri, mengatakan bahwa hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan oleh prajurit Filipina dengan baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya, sesudah dilucuti senapannya. Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena prajurit Filipina cuma memerlukan dan gemar bertempur dengan bolo, ialah parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya, takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak dikembalikan ke  daerah Spanyol. Tetapi kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.
Jika di masa sebelum Perang Dunia II buruh tanah terutama di daerah Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan Sakdalista, dan sesudah perang dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan Hukbalahap terus menerus mengadakan serangan terhadap tuan tanah (hazienderos), maka ini cuma memberi bukti, bahwa revolusi agraria di Filipina pada tahun 1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya itu masih saja belum selesai.
Sekianlah tinjauan secepat kilat atas revolusi di Filipina yang paling besar dan paling belakang. Rasanya disamping tinjauan kilat ini perlu pula diperpenuh gambarannya dengan beberapa bukti terkhusus (detail).
Pemuda Filipina di masa sekarang berhak bangga atas 300 revolusi yang besar kecil, diantaranya 150 yang agak besar, yang dilakukan oleh rakyat Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari imperialis Spanyol yang kolot kejam itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya bilang “berhak bangga”, karena revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu, adalah lukisan yang paling sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau dijajah itu. Tetapi tiadalah kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi. Marilah kita ambil beberapa bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir yang wujudnya merobohkan imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).
Dengan revolusi terakhir ini tiada bisa dipisahkan nama “La Liga Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal (baca Hose Rizal).
Untuk berpendek kalam dan memberi penerangan yang sekedarnya tepat, baiklah saya mulai dari sejarah episode Filipina ini dengan perbandingan La Liga Filipina kita bandingkan dengan “Studieclub” yang di belakangnya ditukar dengan P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter Rizal kita bandingkan saja dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.
Perbandingan itu harus dianggap cuma sebagai daya upaya memberikan penjelasan dengan pendek dan tepat saja. Sekali-kali bukan buat menyamakan gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr. Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi, iklim, kebangsaan dan pertanian Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali persamaannya. Tetapi dalam hal luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan kebudayaan, pada permulaan abad ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan dengan Filipina pada abad ke 19 itu.
Bermula, maka La Liga Filipina yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina pada penghabisan abad ke 19 itu (1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu “Party of reforms” partai kaum Koperator, kaum reformis.
Maksudnya ialah memajukan Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan dalam perekonomian, pertanian dan perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga Filipina tiadalah menolak kerja bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli sejarah barangkali ada faedahnya membandingkan program dan sepak terjangnya La Liga Filipina dengan Studie Club, Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang dikantongi oleh kasta pendeta tuan tanah Spanyol di Filipina, maka dari semulanya berdiri La Liga Filipina dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di Filipina itu...sampai waktu pembubarannya.
Pendiri La Liga Filipina ialah Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak saja sama bertitel Dr. tetapi juga sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom kita dalam hal kedokteran. Tetapi tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr. Rizal dalam hal itu. Sesudah mendapatkan titel Dr. di Madrid, dia juga mengunjungi Universitas di Paris dan Berlin dan mendapat pujian  pada ketiga tiga perguruan tinggi tadi. Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang putri Jerman yang oleh Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati lagi, dilebih-lebihkan (saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya), tetapi di Filipina Dr. Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok. Tatkala ia berada di pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul Perancis dari Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit mata, yang tak bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa melihat, dan mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat kembali matanya (terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi pengagum dan pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya, menjadi teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina bertempur, setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.
Perkara intelek! Dalam buangannya di Dapitan, setelah menyaksikan kurang banyak dan kurang bersihnya air, maka sesudah sebentar mempelajari pengairan, Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan alat sederhana. Pekerjaan ini sangat dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri. Selain membasmi buta huruf di antara kanak-kanak yang dicintainya sampai ke tulang sumsumnya di tempat yang suci itu, Dr. Rizal mulai mengadakan pemeriksaan secara ilmu, tentang tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang belum dikenal oleh para ahli di masa itu, dikirimkannya kepada sahabat karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?). Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping Rizalia. Sebagai ahli gambar dan ahli arca, Dr. Rizal  mendapat hadiah dalam pertunjukan di Paris. Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya dan bisa dipakainya buat bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli Me Tangore” dan “Filibus Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh bangsanya, tetapi musuh mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang dikarangnya beberapa jam sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap sebagai warisan yang tak ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.
 Dengan Pak Tom kejujuran Rizal terhadap prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak persamaan. Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri, dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.
Pak Tom tak mendapat ujian langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal lulus dalam ujian itu, dan mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan ketenangan dan ketabahan yang tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun dan di abad manapun juga. Kalau ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu cuma bisa didasarkan atas terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur berhadapan dengan lawan yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular menjalar di bawah rumput.
Anaknya tani tengahan di desa Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah masyarakat dan keluarga yang beragama Katolik, agama yang rakyat jelata di Filipina memang dijunjung tinggi sekali dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal thabib pembentuk Filipina ini, yang dari pihak para pendeta ada terdengar tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.
Tetapi diukur dengan jangka kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx, Lenin, ataupun colleganya di tepi sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan Dr. Rizal adalah seorang intelek yang besar dalam semua lapangan ilmu yang ditempuhnya, dia bisa juga menyelami jiwa rakyat jelata sebagai pengarang. Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat dalam pergerakan revolusioner. Buat Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung kepada banyaknya para intelek dan melek huruf di Filipina, kuatnya perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina dan terutama pula pada persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa dinamiknya revolusi bisa menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa menentang senjata yang lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat membangun dalam segala lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu diduga, ditaksir, dibangunkan dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur, mengerti dan terdisiplin. Semua ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr. Rizal oleh karena kurang perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula sebab Dr. Rizal selalu diawasi oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka pengalaman tak sampai membuka matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut. Dr.Rizal tetap tinggal seorang intelek yang agak terpencil dari Murba.
Hal ini terbukti di masa pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal dengan La Liga Filipinanya dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan, maka pemimpin yang ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi terang-terangan, walaupun dengan jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina rupanya insyaf akan keadaan dan mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari satu kumpulan yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya mengikat kaum revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga buruh di Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru tulis kecil dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk membantu adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari pengetahuan tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan pengetahuan tentang masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan membaca buku-buku revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan rumahnya digeledah, maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi Perancis.
Sepeninggal Rizal rupanya ia giat bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia merasa cukup kuat, dan mengirimkan beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.
Demikianlah pada suatu hari tiba di Dapitan beberapa orang, mengantar seorang “sakit mata”, seorang buta minta obat kepada thabib Rizal. Si “Buta” dan satu dua orang pembimbing diizinkan oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr. Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah membuka matanya dan mengajak sang thabib berunding tentang revolusi di kamar pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La Liga Filipina! Sekarang Andres menganggap waktunya sudah sampai untuk mengibarkan bendera kemerdekaan dengan Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi. Andres sudah siap buat menyerbu dan siap pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan dengan pasukannya secara diam-diam asal saja Dr. Rizal mengizinkan lebih dahulu.
Dr. Rizal intelek kaliber internasional universal, tercengang dan menolak usulan Andres Bonifacio, dengan mentah-mentah. Keberatan yang terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat Filipina dalam hal persenjataan.
Sebenarnya “kekurangan”  itu adalah kekurangan dari bangsa dan semua golongan tertindas dan pemberontak dari jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai sekarang, melalui revolusi Perancis sendiri, revolusi Rusia dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum pernah bangsa atau kasta terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai persenjataannya bangsa atau katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu intelek kaliber internasional menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau bangsa atau kasta tertindas itu bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya dalam hal persenjataan, bukanlah dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia yang tertindas. Persamaan atau kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau sesudahnya itu, tak pernah sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya bersifat sosial ekonomi atau kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.
Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan oleh si “Buta” yang sekarang lebih “Melek” daripda “Melek” dan heran tercengang-cengang mendengar putusan Dr. Rizal tadi. Setelah jawab tadi disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo, keluaran sekolah rendah, dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah Dr. Rizal membaca semacam itu? Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres Bonifacio hilang kehormatan dan hilang kecintaan kepada seorang yang dianggapnya guru dalam beberapa hal! Keterangan tulisan ini kelak akan membuktikan!
Setelah perang Amerika-Spanyol meletus, maka Dr. Rizal menawarkan dirinya menjadi palang merah di Cuba. Tawaran itu diterima oleh pemerintah Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba. Tetapi para pendeta di Filipina segera menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil kembali. Di Hongkong dia disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di pelabuhan Manila polisi rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta memasukkan surat palsu ke dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk menjerat Dr. Rizal ke dalam urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata komplotan tadi ada hubungannya dengan Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki disiksa sampai pingsan dua kali berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi terhadap saudaranya. Tetapi adiknya tetap menyangkal.
Rizal ditawan dan dibawa ke hadapan pengadilan, dituduh sebagai pendurhaka yang bermaksud merobohkan pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang dilakukan sama  sekali tidak memenuhi syaratnya pengadilan modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap buat dihukum dan dalam hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal dihukum tembak!
Pada malam penghabisan Rizal mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”, warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”, dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina, meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.
Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan dan digiring ke lapangan Bagumbayan buat ditembak mati dan ditontonkan kepada khalayak yang terdiri dari bangsa Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan penuh sesak wanita dan para pembesar Spanyol, ingin dan gembira melihat robohnya seorang putra bumi yang berani menentang kekuasaan Spanyol.
Jose Rizal berjalan dengan langkah yang tegap, di waktu udara masih sejuk dan embun membasah mukanya untuk penghabisan. “Alangkah indahnya pagi hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut seorang pendeta dikanannya, lebih indah lagi kalau sekiranya.......kalimat pendeta yang baik budi ini tak bisa dilangsungkan, karena dia dipisahkan daripada Rizal oleh pengiring berpakaian dinas.
Rombongan yang akan menembak sudah siap, barisan depan yang akan melepaskan tembakan terdiri dari bangsa Filipina. Barisan belakang dari serdadu Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau serdadu putra bumi ingkar menembak seorang pemimpin bangsanya!
Dr. Rizal memprotes kepada komandan rombongan penembak, ketika mau diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu janganlah kepala saya ditembak”, kata Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya kesatria Filipina berdiri di tengah lapang seolah-olah dia menentang kekuasaan Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan, kerobohan badanku itu akan membawa kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.
Seorang thabib Spanyol tercengang melihat ketenangan colleganya. Ia meminta izinnya komandan untuk memerilksa pols (pergelangan) thabib Filipina dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala merasai pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh kelihatan berusaha berputar beberapa kali, mendapatkan cara berbaring yang dikehendakinya berlaku. Dia berbaring dengan muka yang tiadar rusak, menghadap ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya itu oleh bangsa Filipina yang takjub dan berterima kasih didirikan tugu peringatan. Tempat tragedi ini sekarang dinamai lapangan Luneta.
Adalah diantara penonton yang tidak dikenal oleh ramai, tetapi diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang: Andres Bonifacio, bekas sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin Katipunan, menantikan saat buat menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi rombongan yang disampingnya sudah lama siap buat membatalkan maksud yang dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang lebih baik buat menyerbu, sekali jalan, serentak. Dengan air mata berlinang-linang, serta gigi yang menggertak, sedangkan bolo terpaksa bernaung tinggal disarungnya saja, maka Andres menurutkan nasihat para pengikutnya, dan melihatkan guru dan teman seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin pertolongan.
Tetapi tiadalah lama bolo itu bersemayam dalam sarungnya. Apabila saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres Bonifacio pertama kali menghunus bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan kecil tetapi nekad menyerang benteng Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun 1898 (?)
Saat ini nyata tepat dipilihnya di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi oleh pulau-pulau lain di Filipina, berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti pekik Andres Bonifacio, pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga, pengharapan yang akhirn buat kita telah tiba saatnya”!
Di mana-mana timbulah barisan gerilnya. Hampir di semua medan pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol mengundurkan diri atau menyerah. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir Filipina adalah bermacam-macam, dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan bacalah surat kabar di Eropa ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan kagum menyaksikan kecerdasan, ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di Lautan Teduh yang selama ini tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan dirinya ke dunia luar dengan suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan besar. Nama barisan dan pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal Luna, Malvat, Ricarte dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di kepulauan Filipina. Di atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo, bekas guru desa cakap, tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat gerilya yang paling ulung.
Akhirnya tentara Spanyol terusir dari semua pelosok, kecuali dari Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika Serikat tiba dengan armadanya di pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan. Setelah maks ud imperialis itu nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan laskarnya menghadapi tentara Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun lamanya perjuangan yang sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan kemerdekaan menghadapi dua negara besar yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup pengalaman di lapangan kemiliteran, banyaklah yang terjadi di kalangan kaum pemberontak sendiri. Dalam kalangan yang tersebut belakangan ini timbulah perbedaan paham yang kian lama kian menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi permusuhan. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Bonifacio berakhir pada pembunuhan atas dirinya Bonifacio. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Mabini, menyebabkan yang di belakang ini meninggalkan Aguinaldo.
Menurut terjemahan biasa di Filipina, maka pertentangan dan permusuhan itu semata-mata disebabkan oleh perbedaan perseorangan. Pada hemat saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan kemauan dari berbagai golongan yang berjuang, yang diwakili oleh Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.
Ini cuma persangkaan saya saja! Memangnya ahli sejarah Filipina tiada yakin, atau belum mengerahkan perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa yang paling giat membantu masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat mendapatkannya. Tetapi ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau tiada pada permulaan mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan borjuis Filipina yang agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang radikal demokrasi serta sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat murba di kota dan di desa.
Pada pertengahan revolusi, bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan dan pembuka revolusi agak terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak mendapat kemenangan gemilang di pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio kurang pertempuran atau kurang keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang rupanya lebih dimiliki oleh Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik revolusioner memangnya berada di tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum pemberontak bisa bersatu dengan menyerahkan urusan partai politik kepada Bonifacio, urusan kemiliteran kepada Aguinaldo dalam satu koordinasi yang meliputi seluruhnya gerakan revolusioner! Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat Filipina di masa itu rupanya belum pula mengizinkan timbulnya semangat dan pengalaman yang perlu buat koordinasi dalam organisasi, politik dan militer. Keadaan kerja rahasia di bawah imperialisme Spanyol yang mashur kejam itu, tak pula mengizinkan organisasi kuat dalam aksi di bawah tanah itu. Kaum Revolusioner terpaksa kerja dengan rombongan kecil-kecil terutama di kota-kota dan tak bisa banyak tahu menahu satu sama lainnya.
Pada satu permusyawaratan maka Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan Mabini sebagai Menteri Luar Negeri. Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama sekali tidak membayangkan perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan Aguinaldo dengan golongan Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili oleh dirinya Bonifacio sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke dalam “permusyawaratan”, bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder persiapan  itu, selainnya dihadiahkan satu pangkat “direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga diperdengarkan perkataan penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai pengetahuan.
Tidak saja Bonifacio merasa tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo itu, tetapi juga merasa dihina, Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung, dan pulang meninggalkan “pemilihan” tadi dengan gusar hati.
Di tengah jalan dia disusul oleh pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari mengadakan perlawanan yang teratur, maka kemenangannya, seandainya bisa diperoleh tidak akan begitu mudah seperti pada permusyawaratan yang diaturnya sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti dicederai, ditikam dari belakang sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!
Dalam pertempuran di tengah perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun buku resmi tiada menerangkan seperti diatas, tetapi bisikan umum memandang peristiwa Bonifacio itu tertera seperti diatas.
Demikianlah matinya guru dan murid, ketua dan sekretaris La Liga Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama tragis, sama-sama mati muda. Tetapi ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh penindas bangsa asing terang-terangan di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio mati dibunuh oleh sewarga seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose Rizal mewakili kaum tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili rakyat murba.
Nyata pula perbedaan itu dimasa peringatan ulang tahun meninggalnya kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang tahun Rizal (31 Desember) kita menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.
  Pada peringatan ulang tahun Kematian Andres Bonifacio (30 November) terutama di pojok-pojok kota Manila, disekitarnya rakyat melarat, orang berpidato berapi-api, mengepalkan tinju, seolah-olah berjanji meneruskan pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai, karena pembunuhan politik atas dirinya.
Memangnya suatu revolusi tiada memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada yang bisa dibunuh dengan tiada menimbulkan akibat yang penting atas sang revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa membunuh golonga serta pemimpinnya, yang selama itu menjadi pendorong revolusi sendiri. Teristimewa pula pada masa hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak bisa membunuh itu harus dipandang dari dua sudut; pertama dipandang dari sudut lahir, kedua dari sudut batin. Dipandang dari sudut batin, karena hasrat golongan dan pemimpinnya yang mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah perjuangan itu kelak, lekas atau lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan dan pemimpin yang terdepan dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama sekali atau sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak saja revolusi akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu juga akan melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau seimbang kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan gagal dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan awak lawan awak itu, maka revolusi  seluruhnya tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah sekali ditaklukkan oleh kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang sebenarnya, tak akan berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada golongan radikal atau pada yang paling reaksioner.
Hal yang terakhir ini kelihatan benar dalam jalannya revolusi Filipina, dibelakangnya peristiwa Bonaficio. Entah karena ia sudah merasa lemah di lapangan militer melawan Amerika, entah karena keduanya kaum borjuis Filipina yang ingin damai, entah karena keduanya, maka Presiden Aguinaldo sudah lama mengadakan perhubungan (rahasia) dengan Amerika. Aquinaldo sudah siap sedia menerima kemerdekaan Filipina yang kurang dari 100%. 
Mabini sudah lama gelisah tentang ini. Mabini adalah seorang ahli Yuris, yang banyak memusingkan kepala laksamana Amerika dalam perdebatan tentang kemerdekaan dan undang-undang internasional, dan tetap berpendirian merebut kemerdekaan 100%. Tetapi karena sebenarnya Mabini baru memasuki gelanggang revolusi dan mungkin juga berhubung dengan terganggunya kesehatannya “subleme paralytic” orang lumpuh yang luhur, menteri luar negeri Filipina ini, belum bisa mendalamkan paham serta pengaruhnya di kalangan rakyat. Setelah pecah kabar, bahwa Aguinaldo hendak mengadakan perdamaian atas perjanjian yang merugikan atas Filipina merdeka, maka ia sebagai Menteri Luar Negeri, mengucapkan, bahwa perdamaian semacam itu adalah tanggungan Aguinaldo sendiri. Jadi bukannya dengan persetujuan Menteri Luar Negeri, ataupun dengan persetujuan rakyat. Sekian Mabini!
Apabila terdengar kabar, bahwa Aguinaldo, terpedaya dan ditangkap oleh salah satu rombongan militer Amerika, maka orang Lumpuh Luhur kian kemari menjumpai dan mengobarkan semangat pasukan dan pemimpin gerilya, untuk meneruskan perjuangan.
 Terkepung pada satu rumah tani bersama-sama kaum gerilya berpakaian tani, maka opsir pemimpin rombongan Amerika berteriak memerintahkan “Semua orang dalam rumah mesti berdiri”. Yang tiada bisa berdiri, ialah orang Lumpuh Luhur, Menteri Luar Negeri Republik Filipina yang pertama, Mabini segera dikenal dan ditangkap.
Aguinaldo, Presiden Revolusi Filipina, pada masa itu (1901) baru berumur lebih kurang 30 tahun, bersumpah kepada pemerintah Amerika tiada akan mencampuri politik, selama bendera Amerika berkibar di Filipina. Dengan subsidi yang besar setiap tahun, presiden pertama di Republik, yang pertama pula timbul di Asia, sampai sekarang hidup dengan damai di tengah ribuan Veteran Revolusi, yang oleh pemerintah Amerika diizinkan melakukan ulang tahunnya.
Mabini dengan ratusan teman seperjuangan yang tak mau bersumpah setia kepada bendera Amerika dibuang ke pulau Guam, yang diamasa itu penuh wabah penyakit dan meninggal di sana.
Dalam perundingan perdamaian di Paris antara wakil Filipina dengan Amerika, Filipina terbelit oleh ular diplomasi dan terjual oleh Spanyol kepada Amerika, Filipina dijadikan “American Protectorate” nama lain untuk status penjajahan.
Demikianlah akhiran sedih tragis Republik pertama di seluruh Asia, Afrika, yang didirikan oleh satu suku bangsa Indonesia di Pacific, yang mengagumkan dan menggemparkan dunia pada akhir abad ke 19.
Rupanya masyarakat dan sejarah Filipina dimasa itu belum membenarkan pembagian pekerjaan serta koordinasi seperti berikut: urusan organisasi revolusioner di bawah pimpinan Bonifacio, urusan negara dan kemiliteran di bawah pimpinan Presiden Aguinaldo, dan urusan luar negeri di bawah pimpinan yuris revolusioner Mabini.
Revolusi nasional dan sosial Filipina berhasil kepalang tanggung, Amerika menjadi “pelindung” dan tuan tanah terus merajalela.
Imperialis Amerika segera mengadakan perubahan di segala lapangan. Jose Rizal ikut diperingati, dan programnya dijalankan. Bukan terutama karana baik hati. Tetapi karena sesuai dengan kepentingan kapitalisme modern di Amerika, dan juta karena Uncle Sam mengakui hebatnya tikaman bolo gerilya Filipina di medan pertempuran.
Bermula Uncle Sam memerangi nyamuk anopheles yang bermaharajalela di mana-mana. Kesehatan rakyat nyata menjadi bertambah maju. Kelahiran bayi bertambah-tambah naik dari 6 juta di penghabisan abad yang lalu, sampai 16 (?) juga dimasa ini. Pemerintah Spanyol memperhatikan perguruan lebih darpada pemerintah Belanda. Ketika Spanyol meninggalkan Filipina, Santa Thomas, Universitas Filipina sudah lama berdiri, sedangkan di seluruhnya Nederlandsch Indie di masa itu buat “inlanders” cuma Inlandsche Kweekschool dan School tot Opleideng voor Inlandsche Bestuurs ambtenaren-lah yang dianggap sebagai perguruan tinggi. Walaupun begitu, ketika Uncle Sam melangkah masuk, buta huruf di Filipina masih luas sekali. Amerika membasmi buta huruf itu dengan teratur menurut rencana. Universitas bertambah menjadi lima, sekolah menengah tinggi dan rendah serta sekolah teknik dan dagang, tak terhitung lagi banyaknya. Standard hidup dipertinggi dengan menambah gaji kaum buruh. Buruh pikul di kota Manila (Pelabuhan) bisa mendapatkan +- 3 peso (1 peso F. 0.85) sehari. Kaum buruh dalam pabrik cerutu di kota Manila bisa mendapat 3 P sampai 6 Peso sehari. Hampir di semua kota besar, sedang dan kecil, bahkan kebanyakan desa kelihatan rumah sekolah, rumah sakit dan pabrik listrik yang modern. Banyak sekali perusahaan gula, cerutu, abaka (rami) dan pelayaran antara pulau dengan pulau yang berada di tangan bangsa Filipina sendiri. Keretapun kepunyaan bangsa Filipina.
 Pada tahun 1915 (?) Filipina mendapat Majelis Perwakilan Rakyat Rendah dan tinggi. Tak ada seorang Amerika di dalamnya. Hampir semua jabatan administrasi (departemen) dipegang oleh bangsa Filipina. Seperti juga dalam perguruan, beginilah pula dalam badan administrasi para pemimpin dan penasehat Amerika kian tahun dikurangi menurut rencana, sedangkan pemimpin bangsa Filipina kian tahun kian bertambah. Boleh dikatakan, rakyat Filipinalah yang memegang kekuasaan ke dalam. Menurut John’s Law, Undang-Undangnya John, maka jika kelak di kemudian hari Rakyat Filipina sudah sanggup mengadakan “stable government” pemerintah yang tetap teratur, maka kemerdekaan penuh akan diberikan Amerika kepadanya.
Kemajuan yang memang nyata di dunia perguruan sosial pengadilan, standard of living (keperluan hidup) serta politik, ekonomi dan kebudayaan tiada boleh kita pandang indahnya saja. Revolusi 1898-1901 yang berakhir dengan setengah kemenangan tak bisa melenyapkan semua penyakit. Sisa penyakit dibawah Spanyol itu tetap merusakkan masyarakat Filipina sampai sekarang.
 Kekuasaan tuan tanah yang besar pada masa revolusi itu tiada menjadi kurang di bawah pimpinan Amerika. Di beberapa daerah di pulau Luzon dan daerah Visaya, keadaan proletaria tanah sangat menyedihkan. Pertentangan antara tuan-tuan tanah dan tani melarat di daerah tersebut tiada hilang. Tambahan gaji di masa imperialisme Amerika dibarengi oleh melambungnya harga barang keperluan sehari-hari. Majelis Tinggi dan Rendah Filipina yang sebagian besar terdiri dari wakil tuan tanah dan kaum borjuis tiadalah ingin dan atau tiadalah berdaya untuk menjernihkan kekeruhan disana. Buruh dan tani belum sanggup merebut kursi yang cukup dalam ke dua Badan Perwakilan itu, seperti di Amerika sendiri, demokrasi Filipina hanya berlaku buat kaum hartawan.
Sedangkan ke dalam rakyat Filipina memang ada berkuasa, keluar mereka tiada berkuasa. Terusan keluar negeri, seperti perdagangan, diplomasi, pertahanan, imigrasi dan keuangan, sama sekali di bawah kekuasaan Amerika, dengan pimpinan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Manila. Sistem kapitalisme yang diluarnya berupa liberal itu mengakibatkan mengalirnya hasil perusahaan di Filipina ke pasar Amerika yang memang terbuka untuknya, baik yang ditangan bangsa Filipina sendiri, bangsa Tionghoa atau Amerika, seperti: tembakau, gula dan abaka. Barang dagangan tersebut memang bisa bersaing dengan barang hasil perusahaan Amerika sendiri, sebab buruh Filipina lebih murah dari buruh Amerika, baik yang di Amerika sendiri maupun yang di Cuba atau Hawai. Tetapi barang-barang dagangan Filipina akan bersaing dengan barang yang berasal dari Indonesia, umpamanya di pasar Tiongkok. Gaji buruh Filipina dipukul rata lebih tinggi dari gaji buruh Indonesia, sehingga harga pokok (ongkos) gula, tembakau, dan rami Filipina lebih besar daripada ongkos barang tersebut yang datang dari Indonesia. Sebab itulah barang hasil Filipina terikat kepada pasar Amerika yang duanenya terbuka buat barang hasil dari daerah perlindungannya, Filipina dan menimpakan bea cukai yang tinggi atas barang dagangan dari negeri yang bukan di bawah perlindungan Amerika. Sebagai akibat terikatnya barang hasil Filipina kepada pasar Amerika, maka buat perimbangan dagang (balance of trade) pasar Filipina terikat pula menerima hasil pabri Amerika buat keperluan Filipina, seperti: mesin, auto, barang obat-obatan dan listrik. Sebagai akibat dari ikat mengikat tadi, maka pertama kali bank dan transport Amerika memonopoli atas hasil Filipina yang dikirim ke pasar Amerika. Dan sebaliknya bank dan perkapalan, Amerika mendapat monopoli pula atas asuransi dan  pengangkutan barang pabrik dari Amerika ke Filipina. Demikianlah perdagangan (export dan import) bangsa Filipina dimonopoli oleh saudagar dan bankir Amerika. Kedua, sebagai akibat perimbangan dagang yang mengikat Filipina membeli mesin, obat-obatan dan mesin listrik Amerika, maka perindustrian mesin, kimia dan listrik tersebut tak bisa timbul atau tumbuh di Filipina. Walaupun kabarnya bahan besi di Filipina lebih banyak daripada yang terdapat di Tiongkok atau Hindustan, dan kualitasnya serta logam campurannya (nickel, gronium, bauxite, aluminium dan lain-lain) banyak yang baik pula, tetapi perindustrian berat di Filipina belum juga muncul. Peridustrian besar Filipina mati pucuk, tak sampai jadi perindustrian baja dan mesin. Universitas Filipina cuma sanggup mencetak ribuan lawyers, abocado, yang sampai terpaksa menjadi kucero alias kusir andong, karena melimpah banyaknya abocado itu. ketiga, ikatan ekonomi yang dikenakan oleh Uncle Sam dalam tempo yang kurang dari setengah abad itu akhirnya menyebabkan “kemerdekaan politik” yang diperolehnya  sebagai “goodwill” dari Amerika itu adalah kemerdekaan hampa, yang oleh Amerika diisi dengan uang pinjaman dan benteng buat bom atom, katanya buat menjamin kemerdekaan Filipina itu.
Tangan besi imperialis Spanyol membentuk watak waja seperti terdapat pada Rizal, Mabini, yang sanggup menghancur leburkan imperialis Spanyol itu lahir batin.
Tangan karet imperialisme Amerika membentuk pemimpin yang berwatak sedemikian rupa, sehingga walaupun seandainya dilemparkan oleh pembentuknya, segera akan terbang kembali melekat ke tangan Amerika itu. Filipina yang pada tahun 1946 itu diproklamirkan kemerdekaannya oleh Amerika, terpaksa pula menerima bantuan uang dan bom atom Amerika, sekejap saja setelah ia merdeka.
Gambaran di atas adalah bayangan kabar dari kesan pengalaman lebih kurang 20 tahun yang lampau. Ketika itu saya beruntung mendapatkan keterangan dari semua golongan tua dan muda. Tetapi tentulah gambaran itu belum mendapat “finishing touch”. Masih banyak kekurangan, dan masih perlu diperbaiki disana-sini. Terserah kepada ahli sejarah di belakang hari yang lebih banyak mempunyai kesempatan dan paham yang pertama.
Lupa saja menyebutkan dorongan yang pertama kali menyuruh saja pergi ke Filipina, ialah hawa Filipina untuk mengembalikan kekuatan saja yang sangat terganggu. Akibatnya, pertolongan dokter dan hawa yang cocok, maka lambat laun sebagian kesehatan itu dapat kembali. Tetapi panggilan pergerakan di Indonesia Selatan menyebabkan saya terpaksa juga memotong usaha mengembalikan kesehatan itu semua.
Mulanya saya berniat hendak menuliskan hitam diatas putih, apa yang sesungguhnya memaksa saya pergi ke Singapore, walaupun sebenarnya kesehatan saya masih terganggu. Tetapi karena adanya fitnah di kiri kanan yang dibisikan di sana sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantaranya saudara Alimin, maka saya terpaksa pula menambah sedikit (?) keterangan yang sudah-sudah. Sepertinya selama ini saya cuma akan membela diri saja. Tiap-tiap orang, walaupun dari dalam penjarapun, saya anggap berhak dan harus membantah fitnah. Kata dijawab, gayung disambut, kata pepatah. Berhubung dengan sikap ini, saya harap tiada akan melampaui maksud saya diatas, ialah sekedarnya menambah keterangan buat semata-mata membela diri dan menangkis fitnah serta kebohongan dibelakang saya.
Setelah beberapa bulan berada di Manila, saya menerima surat dari saudara Alimin. Dia meminta pertolongan buat menjalankan keinginan hidup bersama saya di Filipina dan menambah pengetahuannya. Dia merasa akan ditangkap oleh pemerintah Belanda. Sayapun senang hidup bersama-sama saudara Alimin. Sudah dua kali dia berjumpa dengan saya semenjak saya dibuang ke luar negeri. Saya senang menjumpai dia ketiga kalinya, karena saya tahu, bahwa saudara Alimin pandai bergaul, penggembira dan banyak mempunyai pengalaman dalam pergerakan (Serikat Islam). Dengan para teman di Filipina hal ini saya bicarakan, supaya bisa mendapatkan tempat dan kesempatan secara rahasia. Maklumlah, saya sendiri hidup di Filipina secara ilegal, dan sewaktu-waktu mungkin pula ditangkap.
Pendeknya, akhirnya dia sampai ke Filipina dengan selamat, dan bisa menumpang pada teman-teman saya. Sesudah beberapa waktu datanglah surat yang pertama dari Singapore yang bermaksud memanggil saya kembali untuk membantu mencari alat berhubung dengan putusan Prambanan.
Putusan itu saya anggap salah:
1.      Diambil tergesa-gesa, kurang dipertimbangkan
2.      Cuma akibat provokasi lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan sendiri.
3.      Tak bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan komintern.
4.      Tidak cocok dengan taktik strategy komunis, ialah massa aksi.
5.      Akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan di Indonesia dan lain-lain sebagainya.

Surat itu saya perlihatkan kepada saudara Alimin dengan pertanyaan: benarkan rakyat sudah siap sedia? Dijawabnya: paling banyak cuma rakyat Bekasi yang akan keluar (menyerbu). Memangnya begitu! Saudara Alimin sendiri baru saja menyaksikan kemelesetan pemogokan Semarang yang cuma terbatas kepada buruh percetakan, prauwenveer Semarang dan para juru rawat Semarang, sebentar menjalar kepada perusahaan besi di Surabaya, tetapi cuma sebentar! Buruh dan tani gula (lebih kurang ½ juta), perkebunan teh, kopi, kina, getah, serat dan sebagainya, tambang arang, cement, timah, minyak tanah dan sebagainya, kereta api, kapal, tram, auto dan lain-lain.......Semuanya masih belum tersusun, masih dingin sunyi senyap.....dipandang dari sudut organisasi, disiplin dan politik belum berarti apa-apa!
Dari Manila saya usulkan supaya putusan Prambanan dirundingkan kembali di Singapore dengan para wakil yang lebih lengkap. Ini hal saya rasa perlu juga berhubung dengan tanggung jawab saya sendiri terhadap Komintern. Kalau putusan itu kelak memang dibenarkan juga, saya sudah melakukan kewajiban saya. Sebagai seksi komintern, sebenarnya PKI tak bisa mengabaikan usul saya begitu saja.
 Singapore rupanya kurang mengerti dan sekali dua kali surat dikirimkan kepada saya meminta datang. Akhirnya, dalam gedungnya buruh percetakan di Manila, saudara Alimin mengusulkan kepada saya, supaya dia sendiri diizinkan pergi ke Singapore buat mengadakan persiapan untuk perundingan yang dimaksud diatas. Dia percaya akan sanggup memanggil para teman yang berkewajiban, sementara saya meneruskan berobat. Kalau para teman sudah siap sedia, dia akan memberi kabar dari Singapore meminta saya datang.
Kami aturlah code bersama-sama! Kalau setuju dengan usul saya apa codenya, kalau tidak apa, dan kalau setengah apa pula. Dan lagi dengan pendek saya tuliskan tinjauan saya atas keadaan Indonesia, dan saya usulkan taktik strategi yang harus dijalankan. Semuanya code tinjauan dan usul, ditik oleh Saudara Alimin sendiri.
Tinjauan itu adalah cocok dengan apa yang sudah saya tuliskan dalam thesis, ringkasnya:
1.      Partai belum terdisiplin
2.      Buruh tani belum cukup tersusun
3.      Rakyat dan partai yang lain-lain (Budi Utomo, NIP, Serikat Islam, Perserikatan Minahasa dan lain-lain) belum terikat oleh PKI.
4.      Dunia imperialisme disekitar Indonesia (Inggris, Perancis dan Amerika) masih kuat dan bersatu...dan lain-lain.

Usul saya cocok pula dengan yang dua tahun yang lebih dahulu (1923) saya tulis dalam “Naar de Republik Indonesia”, cocok dengan “Semangat Muda” yang baru ditulis dengan “Massa Aksi” yang tergopoh-gopoh ditulis dan dicetak di Singapore.
Ringkasnya usul itu dengan massa aksi menulis Indonesia Merdeka. Jalannya massa aksi, jika semua syarat sudah ada, kira-kiranya seperti berikut:
1.      Mogok umum dengan tuntutan ekonomi
2.      Mogok demonstrasi dengan tuntutan ekonomi dan politik
3.      Mogok umum dan demonstrasi bersenjata untuk kemungkinan melawan provokasi
4.      Mogok umum dan demonstrasi menuntut pemindahan kekusaan
5.      Mengadakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (National Assembly)
6.      Memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan sementara.
7.      Membentuk Undang-Undang Dasar.
8.      Mengesahkan pemerintah, mengesahkan atau merubah Undang-Undang Dasar tadi dan menentukan garis-garis besarnya dalam politik.
9.      Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat undang-undang (jalannya dalam praktek tentu saja bisa sedikit berlainan)

Dari tingkat mogok umum sampai ke Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah bermacam-macam tuntutan dan aksi yang harus dijalankan. Baru setelah nyata bahwa tiap-tiap tuntutan rakyat diatasi oleh massa (murba), barulah pukulan terakhir dijalankan.
Bukankah semuanya ini membutuhkan partai yang ulung, berdisiplin, mempunyai cukup banyak dan sifat (quantity dan quality) anggotanya buat memberikan pimpinan kepada 70 juta rakyat yang tersebar di ratusan pulau yang akan ditentang oleh tiga imperialisme terbesar di sekitarnya?
Bukankah buat mogok umum saja buruh tani Indonesia pada tahun 1926 belum lagi siap? Berapakah para pemimpin PKI pada tahun 1926 yang menginsyafi betul-betul arti tuntutan dan program pada tiap-tiap perjuangan sesuatu partai proletar itu?
Tentulah pada tahun 1926 pun, bahkan pada tahun 1917 saya sudah siap menyambut revolusi Indonesia! Tetapi apakah rakyat dan proletar Indonesia sudah pula siap? Yang dibelakang inilah perkara yang penting. Kalau belum siap, tak ada lain jalan buat seseorang pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi. Kalau tiada bisa dengan jalan terbuka, maka harus dijalankan dengan jalan tertutup. Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara massa aksilah yang harus dilakukan oleh sesuatu PARTAI KOMUNIS.
Kalau ada partai lain dan anggota partai lain yang mempunyai jalan lain tentulah saya tiada keberatan. Tetapi buat saya, yang merasa bertanggung jawab kepada PKI. Rakyat Indonesia, dan Organisasi Internasional, tak bisa menyetujui putusan Prambanan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947, tidak! Sekarangpun saya tidak akan menyimpang daripada apa yang sudah saya uraikan dalam semua, sebelum buku tersebut diatas, yang buat sementara berunding di Singapore, saya memasukkan sarinya ke dalam tinjauan, dan usul yang disetujui, ditik dan dibawa oleh saudara Alimin pada permulaan tahun 1926 dari Manila ke Singapore.
Sampai lebih sebulan lamanya saya menunggu di Manila, menunggu kawat yang akan dikirimkan oleh Alimin sebagai hasil usahanya tadi. Jangankan kawat, suratpun tak datang! Baru saya sangsi, apakah usul saya disampaikan. Barulah saya kirimkan laporan ke Komintern tentang putusan Prambanan beserta sikap saya tantangan itu. Dari pihak yang dipercaya saya dibelakangnya mendapat kabar, bahwa sikap saya dibenarkan seluruhnya. Program yang diusulkan dibelakang oleh Komintern kepada PKI berhubungan dengan putusan Prambanan itu, tiadalah bedanya dengan paham saya.
Baru setelah hampir dua bulan saya berpisah dengan saudara Alimin, saya mendapat surat yang pertama. Di dalamnya dikabarkan, bahwa perundingan tiada dapat dijalankan di Singapore. Dia berangkat akan ikut pergi ke Moskow.........Kalau ada uang. Dia tidak bisa menulis lebih lanjut, karena ada teman (belum perlu saya sebut), yang selalu ada di sampingnya. Saudara Alimin rupanya tak percaya kepada teman itu. Baru saya insyaf akan kejujuran saudara Alimin terhadap saya sendiri, selama ini. Teman yang selama ini saya anggap jujur terhadap saya, dan amat saya hargai selama ini, hilang di hati saya sebagai teman seperjuangan. Kalau dia bersikap tiada percaya mempercayai terhadap teman hidupnya di Singapore seperti tersebut diatas, teritimewa pula terhadap diri saya yang baru setahun dia kenal. Apalagi kalau saya ingat sikapnya Alimin terhadap bekas pemimpinnya Cokroaminoto dalam proses Afdeeling B.
Semenjak peristiwa tersebut, maka sebagai teman untuk bergembira, pun sebagai teman pergaulan saudara Alimin masih saya hargai, tetapi sebagai teman seperjuangan sudah saya sangsikan kejujurannya. Benar pula di Singapore di belakang hari sesampai saya di sana, saudara Subakat mendapat surat tertutup yang tak pernah dibuka. Didalamnya tinggal tersimpan tinjauan dan usul saya. Almarhum Subakat dan almarhum Sugono tak mendengar tinjauan dan usul saya yang dibawa oleh Alimin itu. Alimin sudah pergi meninggalkan Singapore! Kata almarhum Sugono, ketua Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) dimasa itu kepada almarhum Subakat, VSTP sendiri buat mogok umum saja belum siap. Apalagi dua tiga juta buruh pabrik, tambang dan kebun yang sama sekali belum diorganisir itu! jadi kalau almarhum Subakat dan Sugono, keduanya bersama Semauan, Darsono termasuk golongan pemimpin komunis lama (Alimin baru masuk PKI) membaca pemandangan dan usul saya, pasti mereka akan menyetujui!
Sekianlah sementara uraian sikap saudara Alimin terhadap saya dalam masa partai terancam. Kepada saudara Alimin yang dalam ANALYSIS-nya tentang diri saya menyebut-nyebut perkara “mengakui kelemahan” saya bertanya: Bisakah sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur satu sama lainnya?
Seperti saya sebut lebih dahulu, kepentingan pergerakan di Indonesia, berhubung dengan sikap Alimin terhadap sayalah, maka saya terpaksa menuju ke Singapore tergopoh-gopoh....!
Saya terpaksa berangkat dengan setengah kesehatan, dan juga berhubung dengan kesehatan pula memerlukan satu barang yang bukan sekali dua kali saya perlukan dimasa perantauan. Hal ini dahulu adalah satu rahasia. Tetapi dengan hilangnya kantor Gubernur Jenderal Amerika di Filipina, dan jatuhnya kantor itu ditangan Filipina, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Tegasnya saya sangat membutuhkan pasport, tetapi “a good false passport”, pasport palsu yang baik “Good”, karena kertasnya memang baik dan capnya tulen “False” karena pemegangnya bukan orang Filipina. Apa boleh buat! Berlawanan dengan imperialisme yang tiada berdasarkan kejujuran, tiada bisa selalu dijalankan kejujuran, terutama pula pada masa hendak meruntuhkan imperialisme itu.
Tiada mudah mendapatkan pasport dikantor Gubernur Jenderal itu sendiri. Memerlukan banyak saksi, banyak jaminan banyak ujian dan banyak muslihat. Tetapi dapat juga sesudah pegawai tinggi Filipina sendiri mesti memberikan jaminan.
Demikianlah akhirnya satu kapal Jerman berlabuh di Singapore, pada permulaan tahun 1926, membawa penumpang bernama Hasan Gozali, berasal dari Mindano di Filipina. Malangnya, atau lucunya pula, orang Inggris penyelidik pemegang pasport dengan pembantunya seorang Melayu ialah orang Inggris dan pembantunya itu pula yang belum selang beberapa lama menyelidiki pemegang surat diploma bernama Estahislau Rivera. Hasan Gozali dan Estahislau Rivera, adalah satu orang itu juga. Bersamaan orangnya tetapi perbedaan namanya, rupanya tidak membangkitkan perhatian penyelidik Inggris dan pembantunya Melayu tadi. Bukan dua kali itu saja hal itu melewati perhatian pemeriksaan pasport itu. Memangnya, peraturan “pasport pasporten” itu mengandung banyak kelemahan. Buat orang yang sabar, tak lepas putus asa atau terkejut, peraturan pasport itu bukanlah halangan yang mustahil bisa diterpbos.
Bagaimana juga, Hasan Gozali ialah penulis ini, selamat sampai ditempat yang dituju.






























TANGKAP BUANG II

Satu gambaran dari seniman yang terulung sekalipun, kalau dekat tempat kita sendiri, maka adalah tiadalah nyata rupa dan maksudnya. Yang kelihatan cuma garis silang siur bersama kelompokan aneka warna. Setelah agak jauh kita berdiri barulah perang rupa, jarak serta maksud gambaran itu.
Pun sejarah yang dilakonkan oleh manusia itu rupanya banyak mengandung perasaan dengan gambaran buah tangan seorang seniman tadi. Tatkala berada dalam  lakon sejarah itu sendiri kita terombang-ambing oleh pelbagai tujuan bermacam-macam golongan partai dan pemimpinnya. Susah memandang garis besar yang akan memberi kata akhir dalam perjuangan itu. Setelah agak maju kita ke depan, dan cukup jauhnya, kita bisa memandang ke belakang, barulah kita bisa mengenal badan dan jiwanya sejarah yang kita lampaui tadi.
Beberapa catatan yang akan memperbandingkan suasana tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 ini mudah-mudahan akan memberi penjelasan kepada mereka yang ingin memandang sesuatu kejadian dari semua penjuru. Dua puluh tahun diwaktu damai tidaklah beberapa banyak menimbulkan perbedaan pada masyarakat kita. Tetapi dua puluh tahun waktu memperkenalkan perang dunia kedua dan revolusi kepada masyarakat Indonesia nyatalah sudah sanggup memperlihatkan perbedaan dua suasana tersebut.
Sedangkan pada tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 kita berada di tengah-tengah Hochkonjunktur, maka pada tahun 1946-1947 ini kita berada dalam belitan blokade Belanda, di tengah-tengah krisis ekonomi dunia yang sehebat-hebatnya semenjak dunia berkembang.
Sedangkan pabrik, bengkel, kebun, alat pengangkutan serta mesin-mesinnya, genap pada tahun 1926-1927, maka pada tahun 1946-1947 ini sebagian besar pabrik gula lenyap atau rusak, banyak sekali ladang dijadikan kebun atau binasa, dan boleh dikatakan hampir semuanya mesin yang baik sudah rusak, luntur atau habis diangkat oleh Jepang ke negerinya.
Sedangkan tenaga tehnik ahli yang kuat, kasar sedang melimpah pada tahun 1926-1927, maka pada pendudukan Jepang 1942-1945, semua tenaga tersebut sangat menderita kemusnahan atau kerusakan. Mungkin tak salah taksiran, bahwa di masa pendudukan Jepang 4 atau 5 juta tenaga buruh dan tani juga lenyap atau binasa.
Syahdan maka tiap-tiap suasana pertentangan, dimana ada kebaikan buat satu golongan itu sendiri, dipandang dari sudut penjuru disanalah adalah keburukan buat golongan itu sendiri, dipandang dari penjuru lain. Dan sebaliknya.
Di masa Hochkonjuktur (1926-1927) rakyat agak mudah mencari rezeki, buruh agak mudah mencari pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan untuk mempelajari “Holandsch spreken” dan menduduki kursi empuk sebagai juru tulis. Di samping itu banyak pula diadakan pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola dansa dan hula-hula.
Di masa “saudara tua” dari “Asia Timur Raya” rakyat dirampoki padi dan ternaknya. Buruh tani diculik dan dipekerjakan dalam panas dan hujan, membikin jalan, lapangan terbang dan benteng buat Jepang, dikasih makan jagung atau nasi 200 gram seorang sehari, diberi bangsal buat tempat tidur, goni (kalau ada) buat pakaian, dipukul, dijemur dan dibenamkan di dalam air, kalau katanya malas. Pemuda diajarkan “Nippon go” membungkuk ke Tokyo dan masuk barisan Keibodan, Seinedan, Suisintai, Heiho dan Peta. Pemudi dilatih menjadi pelajar. Seluruhnya bangsa Indonesia dianggap sebagai genjumin bagero.
Sedangkan di masa Hochkonjunktur (1926-1927), Rakyat Indonesia umumnya berada dalam keadaan lesu, kurang bersemangat, memandang bangsa kulit putih sebagai mahluk yang lebih tinggi, dari diri sendiri; sebagai mahluk yang rendah, di masa “genjumin” bagero (1942-1945) Rakyat Indonesia isyaf benar akan rampokan terang-terangan atas tanah, tenaga harta benda serta gadisnya, insyaf akan harga kebangsaan dan warna kulitnya, insyaf akan hak mutlak dan kekuatannya yang tersembunyi. Disampin keinsyafan bahwa mereka mesti melenyapkan imperialisme Jepang untuk menimbulkan suatu negara yang merdeka. Rakyat pemuda Indonesia, berbeda dengan dimasa imperialisme Belanda, mendapat latih militer sehebat-hebatnya yang membangunkan, keberanian dan kecakapan berjuang sekonyong-konyong meluap.
Zonder latihan militer latihan pada tahun 1942-1945 itu, maka seperti di masa Belanda, satu biji pompa air saja mungkin pula bisa membubarkan demonstrasi, atau letusan bedil saja bisa mengacau-balaukan gerombolan yang tadinya berniat atau bersumpah sakti mau berjuang mati-matian.
Hasil akhir dari penderitaan yang luar biasa selama pendudukan Jepang, keinsyafan akan perlunya satu negara sendiri yang merdeka, buat mengatur kehidupan sendiri serta disamping latihan militer yang memang paling ulung, maka rakyat Jakarta dibawah pimpinan Menteng 31, pada 19 September 1945, dengan golok dan bambu runcing saja menentang pemerintahan Jepang yang melarang berdemonstrasi dan mengancam dengan mitraliur serta tanknya yang berjejer....pada bulan September 1945, seluruh rakyat Surabaya dibawah pimpinan pemudanya, dengan bambu runcing menentang kekuatan Belanda Jepang dan land air force and all modern weapon of war” dari kerajaan Inggris....Rakyat Pemuda Jawa Tengah merebut senjata Jepang di Yogyakarta Solo, serta menghalaukan tentara Inggris, tentara menang dari Magelang ke Semarang.....Rakyat Pemuda Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan lain-lain mengikuti jejak saudaranya di Jawa dengan tak kurang hebatnya.....bahkan di Deli, buruh dan tani mengambil tindakan cepat, tepat, dahsyat menghancurkan kapitalisme-imperialisme serta kaki tangannya yakni feodalisme.
Dorongan merebut kemerdekaan ini bukan ditiup dari luar melainkan timbul dari masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang, Inggris, Belanda, bukan berarti tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin meniru-niru pemberontakan di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil faktor-faktor dari bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, dasar tujuan hidup sendiri, kepercayaan atas diri sendiri dan senjata sendiri (bambu runcing) dalam suasana hidup sendiri. Mengharapkan pertolongan luar negeri boleh dikata tidak ada pada Rakyat Pemuda ketika menghadapi mitralyur, meriam tank dan kapal terbang di Jakarta, Surabaya, Magelang, Padang, Medan dan lain-lain tempat itu. Pun belum pernah revolusi yang sebenarnya tergantung pada tiupan janji atau pertolongan dari luar! Juga tidak sebagai hasilnya diperhitungkan kakek-nenek yang hemat-cermat, yang takut mengandung resiko, meskipun sekecil-kecilnya!
Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah hasil dari beberapa faktor yang terdapat, terutama suasana pada tahun 1942-1945 sendiri, yang seperti bumi dengan langit jika dibandingkan pada tahun 1926-1927......Salah satu dari beberapa faktor  itu tentulah pula hasil (tak langsung) dari pendidikan selama 40 tahun lampau!
Lebih setahun saya berada di sekitarnya kejadian 1926-1927, menunggu arah ke mana dan sampai ke mana perginya gerakan rakyat dengan persediaan saya untuk memasuki gelanggang, kalau memang beberapa syarat revolusi yang sebenarnya sudah nyata. Salah satu dari syarat yang sebenarnya itu tentulah tuntutan politik dan ekonomi yang nyata daripada rakyat dengan tak mengenal mundur, seperti tak kurangnya pada tahun 1945 sampai sekarang (1947) ini. Baru sesudah saya usulkan dan perjuangan beberapa tindakan yang saya rasa wajib saya tanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia, Partai dan organisasi Internasional (yang tentulah menghendaki tanggung jawab pada tiap-tiap anggota) baru sesudah gerakan 1926-1927 hancur, dan hubungan terputus baru sesudah anjing dan pemburu imperialisme sudah teramat dekat saya berangkat menuju kembali ke Filipina, pula buat kesehatan.
Sekaranglah, sesudah dua puluh tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun 1927! Yang ingin melihat kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia dalam keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atas kepercayaan kekuatan diri sendiri; kedua dengan cara berpisah tapi sejajar dengan gerakan proletaria di seluruh dunia, getrennt marchieren. Vereint schlsgen. (Berpisah mengerahkan dan serempak menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan serta pejuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum lagi sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya PARI semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).
Hidup setahun sebagai orang buruan, sama dengan hidup damai entah berapa tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah menjadi koresponden di Selatan. Bahannya seorang wartawan berita yang baru hangat. Tetapi setelah warta berita menjadi sepi dingin, dan keluarga seperjuangan disampingnya bertambah besar, maka terpaksa pula saya mencari pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan hasil untuk hidup bersama. Belum lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma import Jerman, terpaksa pula melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh 1001 macam sebab dan soal.
Dalam semua keadaan tersebut, alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik, alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik. Akhirnya yang bukan Filipino mempunyai hak American Citizen, dan mempunyai pasport tulen, bersama-sama seorang Filipino tulen, tetapi tak mempunyai pasport, berangkat meninggalkan Siam menuju Manila. Kami satu sama lainnya butuh membutuhkan. Menyelundupi daun membutuhkan pelbagai akal dan ragam. Setelah lebih kurang tiga minggu di perjalanan, bilamana sebagian besar waktu berada diatas dek, tersempit diantara ratusan penumpang Tionghoa yang pulang, sampailah kami di Manila pada permulaan Agustus 1927. Syukurlah para pegawai duane tak memperhatikan persamaan orangnya tetapi perbedaan namanya orang itu juga, ialah lampau bernama Elias Fuentes, sekarang dengan Hassan Gozali.
Saya terus menuju ke Manila University. Kebetulan sahabat saya Dr. Mariano Santos sedang bercakap-cakap dengan kakaknya Direktur, ialah Apollinario de Los Santos. Orang Filipina biasa juga tegas, cepat, tepat. “Tuan” kata Dr. Apollinario “deserves our support” patut mendapat bantuan kami. Inilah kamar dalam asrama sekolah Tinggi buat tuan. Makanan dan lain-lain kamilah yang menanggung selama tuan ingin berada di Filipina.
Kaum muda Filipina tahu artinya berjuang buat kemerdekaan. Perkataan lelah atau lemah tiadalah cukup untuk menggambarkan keadaan diri saya dimasa itu. Baru sesudah bangun tidur, esoknya jauh tengah hari, saya insyaf bahwa selekas mungkin harus mencari dokter lagi. Tetapi tiadalah dibenarkan oleh apa yang sering kita sebut nasib istilah yang saya pakai disini sebab kekurangan kata lain.
Pada suatu malam, maka kedua kalinya saya pergi menjumpai pemimpin surat kabar El Debate, Francisco Varona.   Banyak juga tulisan saya dimuat dalam surat kabar tersebut. Pada malam pertama Francisco Varona mengantarkan saya ke asrama. Tetapi pada malam kedua saya tolak diantarkan oleh wakil pemimpin, bilamana Varona tak ada.
Setelah saya turun dari rumah dan sampai keluar, maka seorang berpakaian preman bertanya kepada saya: “Apakah tuan bernama Fuentes?” Saya jawab: “Ya, betul”. Sekonyong-konyong dari kiri-kanan saya diserbu dan digeledah kalau-kalau saya bersenjata. Segera saya disuruh masuk auto yang berdekatan, disuruh duduk diantara dua orang, rupanya orang Konstabulari (pel polisi).
Baru saya insyaf akan apa yang terjadi. Dengan tak bertangguh lagi saya berkata: “Tuan ini salah tangkap! Kemerdekaan buat negeri saya itu, juga akan mengandung bahagia buat negeri tuan sendiri....”
Dia gugup dan tutup telinga sambil berkata: “Janganlah tuan berbicara terus”.
Sebentar saja berjalan lalu auto berhenti di depan kantor polisi. Di sini sudah menunggu P.I.D Nevins, orang Amerika dan kolonel Ramos, seorang Mestiza, Indo Spanyol.
Penangkap saya tadi kapten Quimbo, Filipino, memperkenalkan saya dengan perkataan: “Inilah tuan Tan Malaka”. Dia seorang gentelman. Saya harap tuan-tuan akan melayani dia sebagai gentelman.
Kapten Quimbo pergi! Kami tinggal bertiga, jam 12. Saya sungguh dimitraliyuri dari kiri-kanan dengan pertanyaan. Belum lagi selesai yang satu bertanya, yang kedua sudah mulai bertanya pula. Tiap-tiap pertanyaan mereka bermaksud mencari lobang buat digali untuk mendapatkan keterangan yang mereka kehendaki. Itulah satu pemeriksaan yang dinamakan “cross examination”. Detective Nevins tadi kabarnya ulung sekali dalam menjalankan pemeriksaan ala Amerika itu. saya ambil sikap defensief, sikap pembelaan. Alasan pertama ialah karena kepada saya tak dimajukan lebih dahulu pelanggaran apa yang sudah saya lakukan. Kedua, karena saya tidak tahu, apakah mereka kira saya tinggal di Manila terus menerus dari pertengahan tahun 1925 sampai Agustus 1927 itu, ataukah mereka tahu, bahwa saya keluar setahun lebih dan baru kembali dari Indonesia Selatan. Ketiga, apakah mereka mencium-cium adanya pasport atas nama Hasan Gozali yang diperoleh pada kantor Gubernur Jenderal Amerika itu.
Berhubungan dengan alasan kedua, maka jika mereka tahu bahwa saya keluar Filipina, maka perkara masuk yang kedua kalinya akan menimbulkan pertanyaan banyak pula. Tetapi kalau sebaliknya mereka sangka, bahwa saya terus menerus tinggal di Manila, maka saya harus memberikan keterangan lengkap tentang sejarah selama dua tahun saja tinggal di Manila (rumah-rumah, dan lain-lain). Dan menghadapi seribu satu persoalan lain-lain lagi.
 Berhubung dengan alasan ketiga maka kalau diketahu bahwa saya memakai “a good false American Passport”, maka beratlah hukuman penjara yang bukan saya saja harus menghadapi, tetapi juga beberapa orang terkemuka yang memberi bantuan kepada saya. Tanggung jawab terhadap pada teman bersimpati-pun menurut pikiran saya harus dipelihara kalau diri kita sendiri terlibat dalam sesuatu perkara!!
Syahdan dan cara “offensief” (menyerang) mereka berganti-ganti menjatuhkan “pukulan” atas diri saya sambil mencari bagian yang lemah. Maka sebaliknya dengan cara “defensief”, mempertahankan, saya mengelakkan “pukulan” mereka sambil mencari lobang yang lemah di kalangan mereka sendiri.
Akhirnya saya mendapat tahu bahwa mereka sangka saya tinggal terus-menerus dua tahun di Filipina. Itulah pula maka tadinya sebelum ditangkap ditanyai apakah saya bernama Fuentes, orang melarat dan tak banyak mempunyai teman, hidup luntang-lantung, sering tidur di kantornya surat kabar El Debate. Sikap ini diperkokoh pula oleh hasil pemeriksaan dalam dompet saya yang terdapat cuma beberapa sen saja.
Tanya jawab diteruskan sampai pagi. Yang sering tergelincir dalam pertempuran soal jawab itu bukannya saya. Acapkali muka mereka yang mulanya berseri-seri, karena sudah merasa mendapat “jejak”, tetapi setelah pertanyaan dilanjutkan nyatalah pula bahwa “jejak” itu menyesatkan dan menggelincirkan. Sering mereka kecewa, tetapi sering pula tertawa. Memang seorang detective yang mencinta pekerjaannya, meski juga gembira menjumpakan lawan yang sedikit bisa memberi perlawanan atau memukul kembali. Sikap “sportief” itu seharusnya jangan berlaku di lapangan olah raga saja.
Nyatalah bagi saya, bahwa dari “Batavia” ada “signal” dikirim dan “Batavia” tentulah menghendaki supaya dikembalikan. Tetapi yang pula amat menarik perhatian para detective, ialah mengetahui apakah ada atau berapakah besarnya bagian yang saya ambil dalam keributan di Visapaya pada waktu itu. Disana timbul pemogokan kaum buruh gula yang disertai oleh peletusan bom. Kebetulan pula Senator (wakil Majelis Tinggi) yang juga salah seorang pemimpin El Debate, adalah sahabat saya. Menginjaki soal-jawab dalam hal yang dibelakang ini, para detective tiada mendapatkan apa yang dicari.
Pauze cuma sebentar setelah hampir pagi. Saya dijamu dengan baik, ditanya lagi apa mau tambahan. Memangnya saya baru kembali dari serba kekurangan, dan walaupun berada dalam perjuangan soal jawab di kantor polisi nafsu makan adalah agak besar juga. Bukannya para detective memperlihatkan simpati terhadap lawannya!
Soal jawab diteruskan. Detective Mestiza, kolonel Ramoz, mengemukakan tulisan saya dalam El Debate. Katanya satu golongan sudah disimpan, dan kalau saya memungkiri, golongan itu akan diperlihatkannya “in order to refresh your memory” (untuk memperingatkan tuan kembali). Tetapi saya tak ingin menyangkal apa yang sudah terbukti. Tetapi mau tahu, apakah pelanggaran yang terselip dalam tulisan tadi “Round” inipun adalah buat saya: para detective tak bisa memberi jawaban.
Akhirnya sesudah menjalani turun naiknya perdebatan dan suara, mula tinggallah pertanyaan yang kongkrit, tegas, nyata, yang harus dijawab, ialah: kapan dan nama apakah tuan masuk di Filipina. Toh tidak bisa dipungkiri bahwa saya mesti masuk di salah satu nama.
Saya rasa: ini mestinya climax, ujung semua pemeriksaan. Saya jawab: saya masuk pada tanggal 6 Juli 1925 dengan nama Fuentes, di pelabuhan Manila.
Jawab ini tentulah menunggu pemeriksaan di kantor duane. Saya seterusnya disuruh menuliskan sejarah saya.
“6 Juli 1925 Elias Fuentes masuk di pelabuhan Manila”. Memang benar! Di Duane ada catatan. “Tetapi bagaimana tuan bisa masuk tak dengan pasport?”
Ya inilah rahasianya pandai besi, kata suatu pepatah.
Entah siapa yang dimarahi, entah siapa yang dikagumi oleh dua detective ternama tadi terserah kepada pembaca buat menerka! Tetapi rupanya sumprit puput (fluit) wasiat sudah berbunyi, ialah tanda pertandingan soal-jawab harus diberhentikan.
Tempat tidur saya di gedung kepolisian ialah dalam kamar, berpagarkan besi, di samping beberapa kamar buat orang tahanan yang lain-lain. Pada malam yang kedua, setelah saya “nginap” di kamar besi tadi, maka saya dihampiri oleh kolonel Ramoz. Dia berbisik-bisik menanyakan, apakah saya mempunyai “istri” di luar. Sebentar saya berpikir. Kemudian saya jawab: tidak. Kolonel Ramoz tentunya cukup pintar buat tiada menyebutkan namanya “istri” itu. Dan dari pihak saya, kalau seandainya memang mempunyai istri, masakan pada tempatnya menanyakan siapa namanya. Kalau kolonel Ramoz menyebutkan namanya, tentulah saya bisa tahu, bagaimana keadaan di luar. Tetapi dengan pertanyaan tadi saya sudah maklum dan gembira, bahwa para teman di luar sudah tahu bahwa saya ditangkap. Di belakangnya saya tahu pula, bahwa memangnya pihak kaum buruh mengirimkan nona buat menyampaikan pesan. Memberi bukti pula, bahwa rakyat Filipina sudah mempunyai banyak pengalaman dalam pekerjaan di bawah tanah.
Tiada berapa lama kemudian, maka datanglah pula kolonel Ramoz buat bertanyakan apakah saya mau menerima seorang abocado (pembela hukum). Namanya ada disebutkan, tetapi saya sendiri belum pernah berkenalan dengan dia. Sebab atas pertanyaan kemarin apakah saya ingin memakai advokat, saya lebih dahulu usulkan supaya Fracisco Varona saja mencarikan seorang pembela hukum yang pantas menurut keadaan; lagi pula diketahui oleh beberapa teman di luar, maka saya tak merasa perlu lagi mengambil sendiri seorang pembela.
Benar pula! Pada ketika paginya saya ditangkap, maka oleh kolonel Ramoz saya dibawa ke depan kantor buat dijumpakan dengan serombongan teman Dr. Apollinario de Los Santos, direktur Manila University yang memimpin rombongan itu berkata: “Lima puluh ahli hukum Filipina (kalau perlu) akan membela perkataan tuan, di bawah pimpinan Jose Abad Santos. “Tuan ditangkap tidak dengan surat tuduhan. Maka kami menuntut tuan dilepaskan, menurut hak “habcas corpus” (have the body)”.
Nyata kepada saya kolonel Ramoz pucat mukanya. Tangkapan atas diri saya “without a warrant” (tak dengan surat tuduhan) itu, adalah langsung mengenai dirinya, kolonel Ramoz, yang dituduh bertindak sebagai seorang penyerobot. Sebentar lagi oleh kolonel Ramoz saya diajak masuk auto pergi ke kantor duane. Dalam auto sepatahpun kolonel Ramoz tak mengeluarkan perkataan. Dia isnyaf akan kekuatan yang ada di belakang perkataan Dr. Apollinario de Los Santos! Ramah tamah yang selama ini diperlihatkan kepada saya bertukar menjadi muram-murka.
Kepada saya oleh kepala pegawai duane dimajukan beberapa pertanyaan. Yang pertama dan terutama pula ialah: “Apakah yang dimaksudkan dengan bolsjewisme? (What does it mean by boljsjevism?)”
Dijawab: “The emancipation of the working class” (Kemerdekaan kaum buruh).
Salah seorang Profesor pembela menunjukkan persetujuannya dengan semua jawab saya, ialah: pendek. Katanya pula: “Kalau begitu maksudnya bolsjewisme, siapakah orang sopan yang tidak akan setuju. Momok bolsjewisme memang dipakai buat membingungkan mereka yang tak tahu dan tak mau tahu. Tahu apakah sebenarnya kita di Filipina tentang dasar tujuan bolsjewisme yang sebenarnya”. Sekian profesor tadi!
Sepulangnya dari duane saya dibolehkan tinggal di asrama Manila University. Tetapi saban hari saya harus melaporkan diri ke kantor polisi. Belakangan saya dapat kabar, bahwa saya dijamin Rp. 10.000,- oleh Juan Fernandez, menurut hak seorang tahanan  disana (bail). Juan Fernandez, ialah majikan dari surat-surat kabar El Debate dan La Commercio. Pula ia dengan saudaranya memiliki kongsi perkapalan di kepulauan Filipina. Dengan Dr. Santos dia juga ada berkarib (sekeluarga). Di masa itu ia terkenal sebagai patriot di Filipina dan kepada saya dia selalu menunjukkan perhatian yang luar biasa tentang sejarah dan  kebudayaan Indonesia.
Apakah yang sebenarnya yang terjadi ketika tiga hari saya berada di tahanan i tu, di luar penjara?
Setelah semalam saya ditangkap, paginya Manila Buletin, surat kabar Amerika, dengan huruf besar-besar ala Amerika menulis lebih kurang: “Tan Malaka, seorang Bolsjewiek Jawa ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog, Tionghoa dan Melayu........”
Buat memperhangat sensasi dan hasutan, maka oleh Manila Buletin tadi tiadalah pula dilupakan menyebut setengah lusin nama palsu yang sudah saya pakai dimana-mana.
Surat kabar Filipina yang belum tahu apa-apa mulanya menyalin saja apa yang dituliskan oleh surat kabar Amerika dengan cara menghasut yang sensasionil.
Francisco Varona dalam El Debate memberi perlawanan dengan berita: “Tan Malaka, wakil dari Jawa buat mengunjungi Pan Malaya Conference yang akan diadakan di Manila, tertangkap........dan lain-lain. (Chajal Pan Malayan itu timbulnya bukanlah pada tahun 1946 di dalam otaknya wartawan Romulos yang terkenal itu!)
Bermulah aksi dari pihak imperialisme Amerika yang dilawan oleh contra aksi dari pihak Rakyat Filipina. Semua surat-surat kabar di kota-kota dan propinsi, dalam bahasa Tagalog, Spanyol dan Inggris nasionalistis mengikuti jejaknya El Debate.
Pergolakan menjalar ke gedung Parlemen, ke University dan ke kalangan kaum buruh dengan cepat sekali. Isinya, perkaranya bertukar corak dan si Penuduh berobah menjadi si Tertuduh.
Kolonel Ramosz cs mau menjadikan perkara saya sebagai perkara pelanggaran duane biasa saja. Tan Malaka masuk dengan tiada memakai pasport. Jadinya melanggar peraturan imigrasi Filipina. Sebab itu ia mesti disuruh pergi dari Filipina.......logika imperialisme Amerika dan kaki tangannya.
Parlemen Filipina di bawah pimpinan Manuel Quezon sendiri, menganggap Tan Malaka cuma musuh Belanda dalam hal politik, bukannya musuh Rakyat dan Pemerintah Filipina. Menurut pengakuan Parlemen dan Quezon, Tan Malaka sebagai political-refugee, pelarian politik, berhak tinggal di Filipina. Dalam beberapa tulisannya, almarhum Manuel Quezon memberi contoh yang bersamaan, seperti yang sudah dialami oleh para pemimpin revolusioner Filipina sendiri di masa lampau, oleh Dr. Sun Yat Sen, De Valera dan sebagainya....mungkin juga disebutkan olehnya Karl Marx sendiri, ialah bapa dari scientific sosialisme sendiri, ketika ia berada di Inggris setelah meninggalkan Jerman. Dikemukakan, bahwa....the right of asylum” (mendapat perlindungan buat pelarian politik) itu termasuk pada dasar demokrasi dari peri kemanusiaan, yang sudah berabad-abad dijalankan oleh satu negara sopan.
Senate (Dewan Perwakilan Tinggi) Filipina sendiri memutuskan pengumpulan P. 3.000 dari anggotanya buat diberikan kepada Tan Malaka sebagai bekal.
Para pembela di bawah pimpinan Dr. Jose Abad Santos menunjukkan serangannya terhadap kolonel Ramoz, yang sekarang dituduh menjalankan penangkapan yang tidak sah, ialah “without warrant”.
Demikianlah diluar persangkaan saya sendiri, penangkapan atas diri saya di Manila itu berlaku sebagai satu anasir pemisah, diantara penduduk Filipina. Satu bagian memihak kepada Ramoz Nevins, sebagai lambang kekuasaan Amerika di Filipina. Sebagian lagi memihak kepada mereka yang memperjuangkan The right of asylum, sebagai jaminan bagi kedaulatan Filipina dikemudian hari.
Masyarakat Amerika dengan surat kabar Manila Buletin sebagai trompetnya, berusaha keras mencarikan dan mengemukakan yang mereka sangka merugikan saya.
Majalah Philippine Free Press, dengan cara sensasionil mengemukakan, bahwa Tan Malaka itu tak lain daripada Hasan yang ikut memimpin Canton-Conference buat kaum buruh lalu lintas di seluruh Asia, yang dilangsungkan di Canton selang berapa lama. Tulisan saya dalam THE DAWN, terutama yang berkenan dengan imperialisme Amerika dihidangkan kepada pembacanya yang banyak itu seolah-olah dengan sikap menepuk dada: Zie je wel? Dipertakuti dan diasuti pula rakyat Filipina dengan setengah lusin nama palsu yang saya pakai.
Kolonel Ramoz mencela rakyat Filipina, karena tiada menghargai jasanya. “Tan Malaka disanjung setinggi langit”, kata kolonel Ramoz “sedangkan dia, penjaga ketentraman mendapat umpat (blame) dari rakyat”.
Nevins menusuk dengan halus, kalau dalam interview dia berkata, bahwa dalam “cross examination”, yang sudah dilakukan berkali-kali itu belum pernah dia berhadapan dengan orang seperti Tan Malaka.
Kolonel Sweat, wakil Gubernur Jenderal, pernah menyampaikan pesan kepada saya, bahwa saya tiada akan diserahkan kepada musuh saya, karena mungkin akan menganiaya saya, “They may cau you bodly harma”. Tetapi setelah suasana menjadi hangat dan masyarakat mulai berpisah dua, maka kolonel Sweat dalam salah satu interview pula memberikan “judas kiss”, taji berlemang: “Tan Malaka adalah seorang yang besar tetapi ia menjalankan instruksi Moskow”.
Bolehlah dikatakan semua harian dan majalah Filipina, dalam tiga bahasa, di kota dan provinsi, mengikuti sikap Parlemen dan Presidennya Manuel Quezon. Pembela Jose Abad Santos cs bermaksud akan meneruskan perkara saya kepada Mahkamah Tinggi di Filipina, buat menuntut hak membolehkan saya tinggal di Filipina, sebagai pelarian politik, kalau usaha itu gagal di Filipina, maka mereka akan apel ke Kongres di Amerika.
Membalas tuduhan dari pihak Amerika, bahwa Tan Malaka adalah agen Moskow, maka El Debate mengemukakan bukti yang sangat mencolok mata atas demokrasinya Uncle Sam. Kenapa seorang profesor Amerika dalam ekonomi pada Columbia University di New York, seorang komunis ternama, ahli ekonomi yang jempol dan university yang masyhur, yang baru saja kembali dari Moskow dengan pasport Amerika dan sekarang membagi-bagikan brosure-merah di tiap-tiap pelosok kota Manila, dibiarkan begitu saja oleh detective Amerika? Sedangkan seorang pelarian politik diuber-uber? Warna kulitkah??? Para Mahasiswa Manila University mulai berapat dan mengambil resolusi, ikut berusaha mempertahankan “the right of asylum” tadi. Segera Filipine University mengikuti menuntut  hak perlindungan itu sebagai usaha membantu pergerakan kemerdekaannya “our sister nation”, negara saudara kita.
Dua University yang lain-lain dan beberapa Colleges segera pula menyusuli.
Manuel Quezon memperingatkan kepada saya supaya bersiap-siap buat memberi penjelasan kepada lebih kurang 20 orang terkemuka tentang maksud dan tujuan serta keadaan pergerakan kemerdekaan Indonesia. “We are ready to give our support”, kami siap memberi bantuan, kata presiden Quezon almarhum.
Bantuan yang berupa benda dan uang dari mereka yang tak dikenal namanya mengalir dengan deras. Dalam sikap mereka memberi bantuan itu kita mendapat keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai sejarah revolusi dan tahu akan kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau. Kaya miskin, tukang warung nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya. Seolah-olah mereka mengingat kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak boleh saya lupakan sikapnya kaum Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk Manila. Pada satu hari andong saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam Hindustan: “Sir, we hear you are a moslem from Java. We have already collected some money for you”. (Kami dengar tuan adalah seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan). Kelak di Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu kepada bangsa Indonesia.
Akhirnya kaum buruh kota Manila, di bawah pimpinan Legihairo del Trabaho (gabungan Serikat Sekerja) memutuskan akan mengadakan rapat raksasa, buat membela politik parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan uang buat bekal saya.
This should not happen! Dit most not magge! Ini tak boleh, ya!!! Peristiwa sekonyong-konyong, seolah-olah pertolongan yang jatuh dari langit, di masa lampau, sekali dua saja terjadi, apabila saya menghadapi marabahaya. Namakanlah itu: nasib, takdir, toeval, atau apa saja. Datanglah tak disangka lebih dahulu, tetapi tak ternilai harganya!
Tentang orang yang sudah meninggal cuma kita kemukakan yang baiknya saja kata suatu nasihat. Demikianlah pula sebenarnya! Bersamaan dengan harinya saya ditangkap. Gubernur Jenderal Wood, yang kebetulan perlop beristirahat di Amerika, meninggal dunia. Entah karena kebetulan hari besar pula, maka kantor tak ditutup pula, pasti saya akan dinaikkan begitu saja ke dalam kapal Belanda, yang kebetulan pula berlabuh di Manila, dan siap berangkat ke Jawa. Pemerintah memulangkan saya ke Jawa, katanya pula, pasti akan diberikan ke Manila dari Amerika, karena Wood adalah sahabat karib dari bekas Gubernur Jenderal Fock di Hindia Belanda, Fock dan Wood sudah kunjung mengunjungi.
Wood sebagai militer tak banyak memusingkan formaliteit, katanya pula. Tetapi karena Wood meninggal dan duane ditutup, maka pemulangan saya (uitllevering) ditangguhkan sehari lagi. Dan...para teman pembela, ahli yuris, mencium-cium serta mengambil tindakan dengan cepat-cepat.
Mulanya para pembela mendapat simpati juga dari Wakil Gubernur Jenderal Gilmore, teristimewa pula karena Gilmore sendiri adalah seorang ahli yuris. Pun dia mulanya setuju akan hak saya untuk diperbolehkan tinggal di Filipina dan sebagai yuris ingin tahu pula, apakah Washington akan membenarkan Filipina memakai hak yang sudah lama diakui oleh seluruh negara modern itu. tetapi setelah suara gemuruh dari surat-surat kabar dan majalah-majalah di ibu kota dan propinsi dalam tiga bahasa, serta sikap parlemen dan universiteit seperti kata pepatah “membangunkan anjing yang tidur”, maka ahli yuris “acting governoor general” menjadi terkejut. Dan apabila harinya rapat raksasa kaum buruh kota Manila sudah dekat, maka pembela Dr. Jose Abad Santos dipanggilnya pada hampir tengah malam. Kepada yang dibelakang ini diusulkan, “lebih baik saya pergi saja dari Filipina dengan diam-diam”. Katanya besok pagi kapal Suzana kepunyaan bangsa Filipina akan berangkat ke Amoy, Tiongkok. Tidak ada lagi kesempatan yang lebih baik, sebab akan melalui Hongkong ada bahaya ditangkap oleh Inggris. Dr. Jose Abad Santos tercengang, tak mau menerima begitu saja. Dia memperingatkan perjanjian yang dulu, ia membela “the right of asylum”. Ahli yuris Amerika, acting governor general, membujuk dengan janji, bahwa nanti Tan Malaka boleh kembali “kalau suasana yang hangat ini sudah reda”:. Apabila yuris nasionalis memegang teguh pendiriannya semula, maka yuris imperialis menjawab dengan perkataan yang mengandung ancaman: “Bahwa kalau Tan Malaka tak pergi diam-diam, maka ada lagi perkara yang akan dimajukan, yang tidak saja mengenai dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyeret beberapa orang paling terkemuka di Filipina.
Pembela Dr. Jose Abad Santos terpaksa mengalah. Dia mengerti bahwa yang dimaksudkan itu dalam urusan pasport, yang bisa dianggap suatu pelanggaran, sebagai falsification of public document, memalsukan dokumen negara.
Lebih kurang jam 1 malam peri hal tersebut oleh Dr. Jose Abad Santos diberitahukan kepada saya untuk meminta pertimbangan. Oleh sebab memang buka membela perkara yang hak dan pula akan membawa-bawa beberapa orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, maka terpaksalah saya menerima perintah halus buat meninggalkan Filipina.
Akhirul kalam saya kalah. Tetapi lawan saya juga tak mendapat kemenangan dengan mudah. Setelah sampai di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa kolonel Ramoz, kepala rombongan yang menangkap saya oleh pemerintah Filipina diturunkan gajinya. Ini adalah suatu cara yang menunjukkan, bahwa pekerjaannya tiada mendapat penghargaan dari pemerintah Filipina, bahkan sebaliknya. Tindakakn itu adalah sebagai perintah halus pula, menyuruh minta berhenti saja: “Your service is no longer needed”,  tenagamu tak dibutuhkan lagi. Kolonel Ramoz mengerti perintah halus itu, minta berhenti dan pulang ke....Spanyol. Yang seorang lagi, yang menjadi sebab pertama atas penangkapan saya pada malam hari tersebut di atas,, kabarnya pula ialah salah seorang....editor, redaktur surat kabar El Debate sendiri. Dia selang berapa lama sengaja dikirimkan ke sana oleh kolonel Ramoz tadi buat mengawasi perhubungan saya dengan surat kabar itu, setelah P.I.D Amerika mencium-cium bau beradanya saya di Filipina. Mulanya bekerja sebagai pembantu biasa saja. Oleh karena dia menunjukkan kecakapan, maka ia mendapat kepercayaan dari Varona dan diangkat menjadi salah seorang  editor. Dialah yang menelpon kolonel Ramoz ketika saya mengunjungi El Debate malam hari tersebut sampai saya ditangkap. Sesudah pekerjaan yang “berjasa” itu dilakukannya, dan setelah ia menerima pujian serta upah yang sepantasnya dari majikannya, maka pada suatu hari sepeda motornya tertumbuk pada tiang jembatan dekat kantor El Debate. Kabarnya, motornya hancur dan jiwanya melayang seketika itu juga. Rakyat Filipina yang percaya kepada kodratnya kebenaran dan kesucian menganggap peristiwa ini sebagai hukuman yang adil dan tegas.
Pagi benar saya dengan para sahabat sudah berada di kapal Suzana, para wakil buruh menyampaikan salam organisasinya masing-masing dan sumbangan yang dikumpulkan dengan sangat tergesa-gesa. Maklumlah keberangkatan saya tidak dapat diundur lagi. Dan maksud Pembesar Amerika juga supaya umum jangan mengetahui saya berangkat. Sebab itulah pula maka perintah halus buat mengeluarkan saya dari Filipina dilakukan setelah larut malam. Walaupun demikian tiadalah sedikit para pengantar. Seorang wartawan Tionghoa memberikan surat kepada saya buat memperkenalkan saya kepada salah seorang mahaguru di Universiteit Amoy. Menurut wartawan ini di Amoy saya “tak akan” mendapat gangguan, karena Amoy berada di bawah pemerintahan “nasionalis” Tiongkok. Majikan kapal Suzana, tuan Madrigal yang juga majikan surat kabar Philippine Herald, sahabat pula dari Juan Fernandez, penjamin saya di masa di luar penjara, apabila kapal hendak berangkat memperkenalkan saya kepada kapten kapal dengan perkataan: “Beri perlindungan sama Tan Malaka, kalau perlu dengan jiwamu”.
“Yes Sir....” jawab yang pendek.
Bahasanya orang tua Filipina yang mengalami masa revolusi Filipina yang terakhir.














































KEMANA?

Jarak Manila – Amoy hampir sama dengan jarak Singapore – Jakarta. Masinis No.1 memperkenalkan saya mendiami biliknya. Bilik itu, terletak paling ujung di barisan bilik para opsir kapal Suzana. Opsir, kelasi dan stoker semuanya terdiri dari bangsa Filipina. Lautan teduh tenang, memberi kesempatan kepada saya buat sedikit beristirahat, sesudah berhari-hari mendapat gangguan.
Saya tiada berjumpa dengan para penumpang. Kejadian nanti akan menunjukkan baiknya hal ini. di waktu makan saya mendapat kesempatan berkenalan dengan para opsir. Boleh dikatakan mereka semuanya mengandung simpati terhadap kemerdekaan Filipina dan Indonesia. Semboyan yang lazim terdengar di Filipina di waktu itu ialah: “immediate, absolute, and complete independence” (Kemerdekaan sempurna dan sekarang juga).
Kapten Roco sudah berumur lebih kurang 60 tahun, tetapi masih tegap dan segar bugar, terlalu tegap buat umur sekian lanjut. Jadinya dia termasuk golongan tua dan banyak mempunyai pengalaman semasa hidupnya, baik tentang pelayaran maupun tentang pergerakan kemerdekaan di Filipina. Perhubungannya dengan para pelaut, yang semuanya kelihatan orang tegap, adalah rapat sekali dan dalam suasana ramah tamah.
Pada hari pagi yang ke-3 semenjak meninggalkan pelabuhan Manila, sampailah kapal di teluk Amoy. Teluk ini amat panjang, cukup dalam, dilingkungi bukit kiri-kanan; jadinya banyak mendapat perlindungan di masa ribut taufan yang tersohor jahat-dahsyat di lautan Tiongkok itu. Salah satu dari natural harbour, teluk pemberian alam yang bagus sekali!
Yang di Indonesia kita dengan sebagai kota Amoy itu, sebenarnya terdiri dari dua kota yang berlainan status dan tempatnya, ialah kota Kulangsu dan kota Amoy sendiri. Yang pertama terletak pada satu pulau kecil yang indah, di sebelah kiri kalau kita memasuki teluk Amoy. Yang kedua terletak di pulau Amoy di sebelah kanan kalau kita memasuki teluk Kulangsu berada di bawah kekuasaan internasional (internasional settlement) dan mempunyai Balai Kota (Haminte) dan polisi di bawah pimpinan Inggris, Amerika, Jepang, Perancis dan Belanda. Amoy berada di bawah kekuasaan pemerintah nasional, walaupun terpengaruh benar oleh Jepang dengan perantaraan orang Taiwan yang banyak berada di kota Amoy. Kulangsu adalah salah satu kota yang bersih dan permai. Kebanyakan rumah didiami oleh orang Barat, Jepang dan Over sea Chinese, Tiongkok hartawan dari seberang. Sedangkan Amoy di masa itu (tahun 1927) oleh seorang penulis pendeta Kristen dinamai kota yang paling kotor dan “paling gelap di seluruh dunia”. Memangnya sekali kita memasuki jalan kecil menuju ke dalam kota Amoy yang berpenduduk antara 300 dan 400 ribu di masa itu tak mungkin kita sendiri mendapatkan jalan keluar, karena banyaknya serta gelapnya jalan-jalan kecil itu. tetapi apalah Tionghoa Amoy gelap dipandang dari kebatinan, keagamaan, seperti dipandang dari sudut mata seorang zending Kristen, buat saya adalah satu pernyataan besar!
Kebetulan pula pada waktu saya memasuki Amoy itu, empat pemuda yang oleh pemerintah Chiang Kai Shek dicap komunis diserobot dari tempat tidur atau sekolahnya, ditembak seperti hewan zonder pemeriksaan pengadilan, dan dilemparkan di jalan. Sikap pemerintah Chiang Kai Shek di Amoy, Canton, Wuhan, Shanghai dan kota lain-lainnya terhadap puluhan ribu pemuda-pemudi serta buruh Tionghoa pada tahun 1927 itu, tentu tak bisa dinamakan sikap yang liberal, demokratis cocok dengan peri-kemanusiaan. Bahkan juga tidak cocok dengan kebudayaan Tionghoa yang tinggi serta halus itu. Penyembelihan buruh, pemuda dan gadis di tempat umum, atau asutan atau fitnahan oleh seorang yang dengki atau orang pencari pangkat itu, dengan senyum simpul dibiarkan saja oleh para wakil negara sopan dari Eropa dan Amerika yang berkedudukan di Tiongkok.
Memangnya jarum pemecah belah masuk dalam pertikaian dan permusuhan nasionalis-komunis mulai pada tahun 1927 itu.
Kalau di masa asutan imperialisme itu makan benar-benar dalam politik pemerintah Chiang Kai Shek, saya (seperti anggapan jurnalis Tiongkok di Manila) tak akan mendapat gangguan dari pemerintah “nasionalis” Tiongkok, maka anggapan sedemikian tiadalah bisa diterima begitu saja. Seperti saya sebutkan di atas, pengaruh Jepang amat besar di kota Amoy di masa itu.
Bagaimanapun juga, setelah kapal berlayar dalam teluk, menghampiri pelabuhan Amoy yang terletak di antara pulau Kulangsu dan pulau Amoy, maka saya seolah-olah mendapat peringatan batin. Saya merasa “ada apa-apa” terus keluar dari bilik menuju ke tempat kapten dikemudi. Kapten melihat saya, dengan keringat di muka dan suara tegas berkata: “Go to your room, dont come out, Quick, quick.....” (Pergilah ke bilik, jangan keluar. Lekas-lekas).
Oleh kapten Roco kapal dilayarkan dengan cepat menuju ke ujung teluk. Di sebelah kiri dekat Kulangsu saya lihat kapal Cisalak dari Java-Cina-Japan-Lijn (J.C.J.L). Nyata kelihatan di atas dek beberapa opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Di antara para opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Diantara para opsir ada yang memegang keker yang ditujukan ke kapal Suzana. Saya sudah mengerti maksudnya. Tentulah kapten Roco tak kurang maklum. Sebab itulah tergesa-gesa saya disuruh masuk ke bilik dan kapal Suzana dijalankan sejauh-jauhnya ke ujung teluk.
Saya segera masuk, dan bilik saya kunci. Apalah kejadian setelah kapal Suzana berhenti, tidak saya lihat. Tetapi saya mendengar sibuk huru-hara di luar kamar saya. Mula-mula kesibukan itu agak jauh, kemudian makin dekat ke kamar saya.
Apa yang terjadi?
Sebelum saya tiba di Amoy, Balai Kota Internasional sudah rapat dan memutuskan buat menangkap saya. Kapal Cisalak tiadalah percuma menunggu-nunggu. Maksudnya, ialah membawa saya ke Jawa. Kapten Roco, setelah melihat kapal Belanda itu dan melihat pula sebuah sekoci Balai Kota Kulangsu yang mengejar kapal Suzana, maka ia layarkan kapalnya secepat dan sejauh mungkin. Suzana dapat renggang dengan sekoci tadi dan dapat berlabuh di dekat pulau Amoy sedikiti jauh dari pulau Kulangsu.
Baru sesudah kebanyakan penumpang Tionghoa turun, sampailah sekoci mendekati kapal Suzana. Tiga orang polisi yang dikepalai oleh seorang Inggris naik ke kapal Suzana dan menemui kapten Roco.
Polisi Inggris “Balai Kota Kulangsu sudah memutuskan hendak menangkap Tan Malaka. Ini surat perintahnya. Dimana Tan Malaka?”
Kapten Roco: “Saya tidak tahu”
Inggris: “Mana bisa tuan tak tahu”
Kapten: “Apakah saya mesti ketahui semua penumpang yang puluhan banyaknya itu? semua penumpang sudah turun.
Inggris: “Kalau begitu saya mau geledah kapal ini.”
Kapten: “Kapal ini memakai bendera Amerika. Apakah tuan sudah dapat izin dari konsul-jenderal Amerika?”
Para polisi mulai menjalankan penggeledehan di kamar penumpang klas II dan klas I. kapten Roco memprotes keras dan bersemangat. Penggeledahan di klas I dan II tidak memberi hasil. Lalu diteruskan ke bilik opsir, dimulai dari kamar kapten sendiri menuju ke bilik saya. Protes kapten bertambah kera. Para opsir dan kelasi mulai berkumpul di sekeliling kaptennya memandang polisi Kulangsu. Semakin dekat ke kamar saya, semakin keras protes dan semakin desakan dari para opsir dan para pelaut. Tiap-tiap kali pintu bilik dibuka, tiap kali pula para penggeledah menjadi kecewa....Tapi kali pula kapten berkata: “Bukankah saya sudah bilang. Tan Malaka sudah keluar bersama-sama penumpang yang lain?”
Demikianlah mereka berdesak-desakan sampai ke kamar yang paling akhir, tempat saya berdiam. Entah karena sudah selalu kecewa, entah karena desakan para opsir dan pelaut, entah karena mau lekas-lekas mencari saya di darat, entah karena apa....Cuma satu kamar yang saya diami itu saja yang tiada dibuka.
Para polisi turun kapal! Tetapi bahaya buat saya belum terlepas! Setelah kapal berhenti, kapten Roco perintahkan pada dua pelaut yang tangkas mencari seorang Tionghoa bernama P.E.L., kenalan baiknya. Biasanya tak cukup dua-tiga jam mendapat P.E.L ini. Tetapi ini kali P.E.L kebetulan berada di atas sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan pula datang dari Foochow, dan berlabuh tiada berapa meter jaraknya dari kapal Suzana. Kebetulan pula kepala dari kapal inspeksi itu tadi adalah keponakan dari P.E.L. Pelaut Filipina sebagai mendapatkan “durian runtuh” dan berteriak memanggil P.E.L turun ke dalam sampan mereka naik ke kapal Suzana.
P.E.L tiba di depan kapten cuma dua-tiga menit saja sesudah para polisi Kulangsu berangkat. Kapten, P.E.L dan para opsir membuka pintu kamar saya. Saya disuruh bersiap buat berangkat.
Masinis mau mengenakan dasi saya. Kapten cabut kembali dasi itu dan lemparkan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat memakai dasi”. Jurumudi memberikan roti kepada saya buat dimakan. Kapten mengambil roti dari tangan jurumudi dan lemparkan roti dengan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat makan roti”.
Kepada P.E.L akhirnya kapten Roco berkata: “Safe my friend. Explanation afterwards”. (Selamatkan sahabat saya. Keterangan di belakang!). “Cepat, cepat!”, kata kapten Roco yang terakhir!
Segera kami turun, naik sampan dan.........naik lagi ke kapal inspeksi Tionghoa tadi, di bawah pimpinan seorang keluarga P. pula, ialah keponakan P.E.L sahabat kapten.
Tiadalah sampai lima menit saya meninggalkan kapal Suzana, maka naiklah pula konsul-jenderal Amerika menemui Roco.
American: “Dimana Tan Malaka?”
 Kapten: “Saya tak tahu”.
American: “A nice and intelligent young man, but sorry he is bolsjewiek”. (Seorang pemuda yang cerdas, tetapi sayang dia seorang bolsjewiek.)
Kapten: “I don’t know, may be”. (Saya tidak tahu, barangkali).
Kapten Roco diajak oleh konsul-jenderal melihat-lihat di ruang kapal. Pada ruangan tempat orang di bawah, di lantai kapal tak ketinggalan. Pikiran kapten Roco: “Ya tetapi burungnya sudah terbang”. Setelah yakin tak akan mendapat apa-apa, maka konsul-jenderal meninggalkan kapal Suzana.
Pun tiada sampai lima menit sepeniniggal konsul jenderal Amerika, datang pula kepala duane Amoy, ialah seorang Inggris.
Kapten Roco yang kenal sama Inggris ini semenjak ia, yang disebut di belakangan ini, masih menjadi wakil kepala duane, mengajak sobat lama ini minum dengan ramah tamah. Kepala Duane: “Saya dengar, Tan Malaka adalah seorang pemuda yang baik budi. Tetapi ia seorang bolsjewiek”.
Kapten: “Tetapi engkau dulu juga seorang bolsjewiek”.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Ketika engkau masih kepala no.2, kamu selalu saja mencela sepmu yang katamu tiada efficient dan tiada adil. Nah, itu bolsjewisme kecil-kecilan. Kalau orang memberontak terhadap penjajahan itu bolsjewisme besar-besaran.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Lho!”
Selama itu saya berada di dalam kamar kapal inspeksi Tionghoa yang dikirim sebagai penolong jatuh dari langit. Dua hari dua malam saya berada di dalam kapal penyelidik yang terhindar dari penyelidikan itu!
Kapal inspeksi Tiongkok ini cuma satu saja diantara beberapa Sang Penolong yang jatuh dari langit. Penolong yang jatuh dari langit yang lain: air pasang, yang memberi kesempatan kepada Sang Kapten melanjutkan kapal Suzana yang sampai ke pantai pulau Amoy yang lebih kurang dikuasai Tiongkok. Kalau sebaliknya laut mengalami pasang-surut, maka kapal kami terpaksa akan berlabuh dekat pulau Kulangsu yang berada di bawah kekuasaan internasional. Dalam hal ini sekocinya para polisi internasional akan sanggup mendampingi kapal Suzana dan melarang keluar semua penumpangnya, buat menggeledah semua pelosok kapal sampai saya terdapat. Para polisi tak akan ragu-ragu lagi, bahwa saya masih berada di dalam kapal. Yang juga termasuk para golongan pembantu langit, ialah kamarnya saudara masinis yang terletak di paling ujung dan tiada disangka-sangka menyimpan orang yang dicari dan kebetulan pula sisa kamar yang tidak dibuka. Tetapi tentulah tiada boleh dilupakan pula Sang Kapten dengan para opsir dan pelautnya yang sungguh-sungguh menjalankan “siasat” yang jitu dan memberi pertolongan yang cepat. Akhirnya apalah artinya semua pertolongan langit tersebut, kalau P.E.L tak begitu mudah bisa didapat. Demikianlah beberapa penolong langit berkomplot untuk melepaskan diri saya dari komplotan imperialisme internasional yang bermaksud hendak mengembalikan saya ke tangan Belanda.
Dalam dua hari dua malam saya berada dalam kapal inspeksi Tiongkok kecil itu, saya mendapat kesempatan penuh untuk membawa tulisan di atas kulit saya tentang “demokrasi” dalam bahasa Amerika.
Beberapa lusin pelarian politik dan lebih kurang satu lusin Republik Amerika Tengah dan Selatan yang terpaksa meninggalkan negerinya karena urusan politik dan menerobos tapal batas atas duane Amerika Serikat. Beberapa “siasat dan pemalsuan” yang harus dilakukan oleh pelarian politik, karena semestinyalah seorang pelarian politik biasanya tak mempunyai kemungkinan buat mengurus pasport dan visa. Pelarian politik apakah namanya itu, kalau ia masih bisa mengurus pasport dan visanya secara legal, menurut aturan biasa? Memangnya apa yang syah dan hak buat kulit putih di “country of the free”, di negara (Amerika) yang merdeka itu tidak selalu syah dan hak buat kulit berwarna. Apa yang bisa dimaafkan “door de vingers zien”, buat kulit putih, tak selalu bisa dimaafkan buat kulit berwarna. Rupanya yang tak bisa disangkal berhubung dengan bujukan halus wakil G.G. Gilmore kepada Dr. Jose Abad Santos, bahwa Tan Malaka dengan “diam-diam meninggalkan Filipina”, ialah dengan diam-diam pula konsul Belanda dan G.G. Gilmore di Filipina memberitahukan bertolaknya Tan Malaka dari Manila kepada para imperialis internasional di Kulangsu, Amoy. Dengan kulit berwarna bangsa terjajah rupanya wakil “contry of the free” boleh berbuat semau-maunya saja. Tak ada negara atau bangsanya seorang berwarna itu yang sanggup membela, bahkan memprotespun tidak! Cobalah pula satu negara bangsa berwarna menyerobot kapal yang mengibarkan bendera Amerika dan tak mempedulikan protes kaptennya! Akhirnya tak pula kurang pentingnya atas hukum internasional apakah polisi imperialis boleh menyerobot ke kapal Suzana yang berlabuh pada Chinese territorial water, pada daerah lautnya Tiongkok? Dunia sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta, merebut dan kalau perlu memaksakan persamaan hak, lahir dan batin “formal and essential” atas 40% kulit putih di dunia ini.
Ketika saya berada di dalam kapal inspeksi Tiongkok tadi P.E.L sering datang menjumpai saya.  Menurut kabarnya pada hari pertama semuanya hotel di Amoy “disikat” oleh polisi gelap dan resmi mencari saya, dengan bersenjatakan bermacam-macam gambar saya. Tentulah semua usaha itu sia-sia belaka. Dari keadaan inilah rupanya timbul “teori” yang  juga banyak terdengar di Indonesia di masa itu, bahwa Tan Malaka dekat Tiongkok meloncat ke laut dan tenggelam, ketika hendak ditangkap oleh polisi internasional.
Habis kisahnya..........Buat sementara waktu!
Setelah taufan, “penyikatan di sekitar jalan dan hotel Amoy selesai, maka P.E.L dengan kawannya membawa saya ke sebuah rumah naik ke tingkat ketiga, pada malam hari. Saya diberi kamar yang sedang besarnya, di samping biliknya tuan rumah. Tetapi tiada seizin tuan rumah itu. Saya tiada diperkenalkan pada tuan rumah, yang ternyata benar memperlihatkan kecurigaannya terhadap saya.
Sedikit keterangan.
Buat mengertikan kedudukan saya di waktu itu, perlulah sedikit keterangan P.E.L.
P.E.L. adalah bekas seorang hartawan Tionghoa di Filipina. Seorang yang didikan baik, berbicara Tionghoa (Mandarin), Inggris dan Spanyol. Dia menerima pusaka dari almarhum bapaknya. Seperti biasanya anak hartawan, dia tiada banyak menghargai harta-pusaka, yang oleh sang ayah diperoleh dengan keringat susah payah. Sang anak, ahli waris, yang mendapatkan pusaka tiada mencurahkan keringat setetespun, ingin menambah harta pusaka itu dengan usaha yang paling sedikit mengeluarkan keringat pula, tetapi tahu-tahu dengan banyak resiko. Demikianlah dia belikan P. 5.000.000 (lima juta) kepada candu buat dimasukkan ke Fililipina secara gelap. Menurut undang-undang Amerika di Filipina, pekerjaan semacam itu dinamakan “smuggling” (smokkel, menyelundup). Hukuman buat pelanggaran ini sangat keras dan P.E.L. dihukum berat 6 tahun di Filipina dan barang dagangannya “disita”. Sesudah satu dua tahun menjalani hukumannya itu, ia meminta supaya dipulangkan ke Tiongkok dengan perjanjian tiada akan kembali ke Filipina lagi. Walaupun pembungan ini berlaku di tamsoa, di tanah air ibu bapanya, tetapi P.E.L. merasa amat berat dan ingin sekali mendapat ampun dari pemerintah Amerika untuk kembali ke Filipina.
Temannya P.E.L. adalah Mestiza, campuran Spanyol-Filipina seorang terpelajar, berbicara Tagalog, Spanyol, Inggris dan Tionghoa, dahulunya bekerja pada sebuah bank Amerika. Seperti sepnya Amerika Serikat pun ingin lekas menjadi kaya, juga dengan keringat paling sedikit, tetapi resiko paling besar. Entah benar atau tidak (perkaranya belum lagi diperiksa), bersama sepnya, S mengeluarkan cheque-palsu (surat pembayaran dalam bank). Setelah pekerjaan itu diketahui, maka sep-Amerika membunuh diri buat menghindarkan pemeriksaan pengadilan S. melarikan diri ke Amoy meninggalkan keluarga dan negaranya.
Demikianlah keadaan kami bertiga. Sama-sama terpaksa meninggalkan negara yang dicintai atas tiga alasan yang satu sama lainnya berlainan.
Saya tidak ingin bersikap sebagai moralist, menentukan buruk baiknya mereka seperti P.E.L, S. Saya tahu, bahwa masyarakat sekarang menganggap mereka sebagai orang bersalah, bukan termasuk golongan orang baik-baik. Tetapi terhadap diri saya, dalam keadaan serba sulit, mereka bersikap lebih banyak baik daripada buruk.
Benar mereka tahu akan sokongan uang pemimpin dan Rakyat Filipina terhadap saya dan berhubungan dengan itu pernah beberapa ratus rupiah yang mestinya buat saya tersangkut di tangan mereka  tak disampaikan. Teman P.E.L. ditangkap polisi karena berjudi. P.E.L. menjamin teman itu, supaya jangan dimasukkan ke penjara. Tetapi teman itu lari dan P.E.L. si penjamin tadi mesti masuk penjara. Kebetulan uang saya dari Manila ada di tangan dia untuk disampaikannya kepada saya di desa Sionghing. (Tetapi uang itu dipakainya buat melarikan diri ke Shanghai). Dalam keadaan begini, buat saya, uang berlipat dua tiga kalipun tak ada artinya di masa itu, apalagi kalau dibandingkan dengan jasanya mereka kepada saya. Cuma satu dua teman baru disamping saya menganggap sikap mereka lebih daripada terkutuk. Kalau mereka memang berniat jahat terhadap diri saya, dengan adanya para konsul beberapa negara imperialis di Amoy, mereka bisa berkhianat dan mendapatkan uang panas. Tetapi mereka pasti tak akan berbuat begitu. S. bisa berbuat demikian di Shanghai, dan P.E.L. di Singapore, ialah seandainya kalau mereka mau berbuat demikian. Tetapi sebaliknya, S sampai di Shanghai dan P.E.L. di Singapore ketika saya berada dalam kemiskinan dan kesulitan, menunjukkan sikap persahabatan yang tulen. Demikianlah relatifnya (hubungan-berhubungannya) buruk baik seorang manusia, walaupun masyarakat menganggapnya sebagai orang tak baik.
Bagaimanapun juga, baiklah saya akui bahwa pada permulaan gerak-gerik P.E.L. dan S. tak banyak memberi kepastian kepada saya. Saya ragu, bahwa kapten Roco tak akan melemparkan saya ke sarang komplotan. Tetapi saya berada sendiri di tengah-tengah masyarakat Tionghoa Hokkian yang bahasanya sepatahpun belum saya mengerti dan di rumah orang yang tak diperkenalkannya kepada saya, sedangkan kapten Roco sesudah dua-tiga hari sudah kembali ke Filipina dan akhirnya saya tentu tak bisa keluar rumah. Sebentar saja berada di jalan kecilnya Amoy, tentulah segera dikenal sebagai orang asing.
Dalam keadaan beginipun saya tak ditinggalkan akal dan kesempatan. Di tingkat kedua dalam rumah, tadi diam seorang pemuda Tionghoa, baba Surabaya. Dia dibawa ke Amoy buat dimasukkan ke sekolah Tionghoa. Setelah kebetulan saya ketahui, bahwa dia bisa bicara Indonesia dengan lancar, maka mulailah saya bertanyakan ini-itu buat menyelidiki keadaan di sekitar saya. Dari bapa pemuda ini saya ketahui sejarahnya P.E.L. dan S. seperti yang saya uraikan di atas. Tentang tuan rumah diceritakannya berikut:
Nama tuan rumah itu yang sebenarnya adalah Tan Ching Hua, nama panggilannya adalah Ka-it. Dahulunya dia menjabat pekerjaan opsir berpangkat mayor di salah satu distrik di daerah Chuang-Chu. Tetapi setelah para serdadunya melakukan penghisapan dan penindasan atas Rakyat Jelata pada distrik tersebut, maka dia merasa amat kecewa dan menarik diri dari ketentaraan. Kekecewaannya dalam kemiliteran itu ditambah pula dengan kekecewaan politik. Dahulu dia anggota Kuomintang. Tetapi setelah timbul perpecahan antara nasionalis dan komunis, dan antara sayap kanan dan sayap kiri, dalam Kuomintang sendiri, maka dia menarik diri pula dari Kuomintang. Di waktu saya berjumpa dengan dia sudah dua tahun Dr. Sun meninggal dunia. Ka-it mulanya percaya kepada pengikut Wang Ching Wei. Akhirnya Wang Ching Wei pun tiada lagi memberi kepuasan. Demikianlah hatinya bertambah terpusat pada almarhum Sun Yat Sen. Dengan saudaranya di Amoy dia mengurus rumah penginapan. Di distriknya Ka-it dihormati sebagai ho-lang, orang baik.
Cerita pemuda tadi saya dengar dengan penuh perhatian. Saya merasa lega kebetulan berada di samping Ka-it, orang baik ini. mulailah saya ceritakan sedikit demi sedikit keadaan saya kepada pemuda tadi, dengan maksud supaya disampaikan kepada Ka-it. Tiada lama diantaranya maka Ka-it memanggil saya makan bersama-sama. Kecurigaan dan kesangsian rupanya hilang lenyap, bertukar simpati yang kian hari bertambah erat. Inilah salah seorang Tionghoa di Tiongkok yang diluar ikatan kepartaian amat rapat sekali ikatannya dengan saya sebagai sahabat karib dengan sahabat karib, bertahun-tahun lamanya...........sampai kami dipisahkan oleh Jepang pada tahun 1937.
Setelah lebih kurang seminggu lamanya saya sampai di Amoy maka kapal Suzana kembali ke pelabuhan Amoy. Diantara penumpangnya, adalah seorang yang akan menjadi sahabat karib saya. Pada ketika datanglah seorang berumur setengah tua, tinggi tegap berperawakan Indonesia, menerobos ke kamar saya dengan suara amat keras: “Saya sudah baca perkara tuan di Filipina, saya sudah lihat gambar tuan di semua surat kabar. Marilah kita pergi lekas ke desa saya. Kalau Belanda datang ke sana, I shall touch him, saya mempunyai pasukan serdadu dan senapan baru”.
Bahasa Inggrisnya tak begitu baik. Maksud yang sebenarnya ialah: I shall shoot them, “saya akan tembak mati mereka itu”. Berkali-berkali dikatakannya kepada saya: “I shall protect you” (saya akan perlindungi saudara).
Orang yang tinggi tegap berwarna coklat ini, adalah turunan Filipina tulen, berasal dari Began, di sebelah utara pulau Luzon. Di masa revolusi Filipina dia bersama orang tuanya berada di Manila. Dia kehilangan orang tuanya dan diambil sebagai anak angkat oleh seorang Tionghoa, dan diberi nama Francisco Tan Quan di Manila, dan Tan Bian Ku di desanya di Hokkian. Di Manila dia lazim dipaggil Ki-Koq dan di Hokkian lazim dipanggil Ku-ja. Kita namakan saja dia Ki-Koq. Ketika masih muda oleh bapa angkatnya dikirim ke desanya buat mempelajari bahasa serta adat istiadat  Tionghoa. Lama benar saya tinggal di desanya. Gambar saya dengan dia bersama para prajuritnya dirampas oleh Raja Siam dari tangannya almarhum Subakat, waktu dia ditangkap di Bangkok pada tahun 1930. Inilah satu gambar yang menjadi “puzzle”, teka-teki buat pemerintah Hindia Belanda, yang rupanya menerima gambar tadi dari Prachatipok, bekas raja Siam.
Usul Ki-Koq amat saya setujui, ialah berhubung dengan beberapa perkara. Pertama saya perlu menyingkiri Amoy dimana saya belum leluasa bergerak. Kedua saya amat membutuhkan suasana desa, buat benar-benar istirahat. Ketiga dan tak kurang pentingnya sudah lama saya menginginkan mempelajari keadaan desa Tiongkok yang sebenarnya.
Demikianlah dengan pengetahuannya P.E.L. dan S dan persetujuan penuh Ka-it, maka dengan kapal sekoci kepunyaan rumah penginapan. Tiong-Huat yang dibawah pengawasannya Ka-it sendiri, pagi-pagi sekali saya meninggalkan Amoy menuju ke desanya Ki-Koq. Pelayaran dilakukan lebih kurang 12 jam lamanya.
Pelabuhan yang dituju ialah desa Witau, berpenduduk kira-kira 2.000 orang. Dari Witau ke desanya Ki-Koq adalah pula beberapa jam berjalan kaki.
Orang belum berhak berkata mengenal Tiongkok, kalau belum tahu hidup di desanya. Karena sebagian besar, barangkali antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok yang 400  juta itu berdiam di ratusan ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan sistem pemerintahan kekeluargaan yang dipisahkan ole h Guru Kung (Kong Tze), maka desa Tiongkok semenjak zaman purbakala terdiri dari satu atau beberapa suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq, terdiri cuma dari satu suku saja, ialah suku Tan.
Di beberapa desa lainnya yang saya kenal, pula terutama terdiri dari suku Tan dan Go. Kedua suku ini tak selalu berada dalam suasana perdamaian. Beberapa orang tua menceritakan kepada saya betapa hebatnya “peperangan” di antara kedua suku tersebut, selang beberapa tahun di belakang. Lebih dari 50 desa terlihat dalam sengketa (feud) yang dilakukan bertahun-tahun lamanya dengan sangat kejam sekali.
Saya sendiri sudah dua kali menyaksikan peperangan antara dua pelabuhan Witau dan Tentang yang letaknya masing-masing cuma dipisahkan oleh satu jalan saja, dan cuma beberapa jam perjalanan saja antara dari desa Siongching. Dari sebuah bukit dari desa kami “peperangan” nyata sekali terlihat. Yang menjadi sebab permusuhan itu ialah kepentingan penghidupan juga. Masing-masing desa tadi mau memonopoli mengangkut barang dan penumpangnya dari sekoci kecil (20 - 30 ton) dari tengah laut ke pantai. Paling banyak penumpangnya adalah 40 orang, dan datangnya kapal cuma 2 kali seminggu. Inilah sebenarnya yang diperebutkan dan yang menjadi pangkal sengketa. Sering diadakan perundingan dan didapatkan persetujuan antara dua desa itu dengan atau tak dengan perantaraan wasit. Tetapi begitu persetujuan di dapat, begitu pula dilanggar.
Akhirnya desa kami Sionching mendapat kehormatan buat menerima tamu seorang mayor yang istimewa, didatangkan dari ibukota distrik Chuang Chu, buat menyelesaikan sengketa Witau-Tentang. Saya hadir dalam sambutan mayor tadi dalam gedung bekas temple (rumah berhala). Banyak juga para pembesar dan khalayak dari sekitarnya desa Sionching yang hadir beserta mereka yang bersenjata. Pengharapan, bahwa mayor dari Chuang-Chu akan dapat menyelesaikan perkara yang sudah merayap bertahun-tahun itu amat besar sekali. Akhirnya sesudah matahari tinggi, terdengarlah suara khalayak yang gembira mengabarkan, bahwa mayor dari Chuang-Chu, ibu kota distrik sudah hampir tiba. Beliau berada dalam tandu yang dipikul oleh beberapa kuli pemikul berpakaian upacara dan di-flankeer-i (disayapi kiri-kanan) serta diiring oleh lebih kurang 100 orang serdadu lengkap bersenjata. Setelah tandu berhenti di depan temple, maka keluarlah hakim kita dari tandu tadi dengan langkah yang mengingatkan kita kepada Harun Alrasjid dan Nabi Sulaiman yang keduanya termasyur adil itu. Segera mayor Chuang-Chu disambut, disayap kiri kanan oleh para serdadu bersenjata lengkap, memasuki bekas temple di desa Sionching. Pemeriksaan yang saya sangka akan segera dilakukan rupanya perlu ditunda, sebab santapan yang sudah serba lengkap sudah menunggu. Santapan ini tiadalah satu pekerjaan yang dijalankan dengan cepat-kilat, secara militer, melainkan pekerjaan yang menghabiskan tempo dua atau tiga jam, karena banyak ragamnya makanan yang dihidangkan, disertai pula dengan minuman arak dengan cangkir berturut,  ialah cocok dengan “filsafat” makan minum. Supaya dapat lama mengecap lezatnya.
Khalayak berusaha keras memberi penghiburan dan kesenangan kepada “hakim” yang sudah lama diidam-idamkan. Maklumlah desa Siongching dan sekitarnya terutama pula Witau dan Tentang, memusatkan semua pengharapannya akan segera selesainya sengketa itu kepada kebijaksanaan dan kekuasaan mayor dari Chuang-Chu. Tetapi kelihatan pula dan bisa dimengerti, bahwa sesudah santapan besar dan minuman araknya itu dilakukan, orang tidak lagi mempunyai pikiran yang terang-tenang dan nafsu yang keras buat memeriksa dan menyelesaikan perkara, yang begitu ruwet-sulit dan sudah merayap bertahun-tahun itu. Lagi pula para penyambut harus  menghormati “kebiasaan” mayor kita, ialah sedikit mengisap madat sebelum tidur siang. “Sedikit” itu mesti dilakukan di desa lain, dimana ada “yoorraad” (persiapan) di rumahnya seorang hartawan Tionghoa yang baru pula dari Manila, dimana terdapat kasur yang empuk. Berarak-arak pula kami para penyambut mengiringi mayor Chuang-Chu ke desa itu. barulah hampir sore selesai pemadatan dan akibatnya ialah tidur siang. Tetapi waktu hari sore dan malam tentulah bukan lagi waktu buat menyelesaikan sengketa Witau Tentang. Mayor Chuang-Chu menganggap perkara sudah selesai begitu saja! Dan.........Mayor Chuang-Chu sudah membuang waktu pula buat pulang-pergi ke Siongching satu minggu lamanya. Ongkosnya bukan sedikit! Maklumlah, tak kurang dari satu batalyon (Lebih kurang 1000 serdadu) yang mengiringi, yang empat hari lamanya ditempatkan di Tentang.  $ 4.000 (empat ribu dollar di Tiongkok) yang mesti dibayar oleh kedua desa tersebut buat pengganti ongkosnya mayor Chuang-Chu. Tawar menawat tentulah tak bisa dilakukan oleh rakyat desa Witau dan Tentang, terhadap mayor dari Chuang-Chu yang datang dengan satu batalyon bersenjata lengkap. Tetapi meskipun Witau dan Tentang sendiri menganggap perkara “belum” selesai. Witau dan Tentang dan desa sekitarnya terpaksa bisa merasa puas, karena sudah mengadakan penyambutan, walaupun sedikit mahal, terhadap pelindung rakyat.........!!!
Tamu di atas adalah tamu yang resmi. Tiongkok dimasa itu “diperlindungi” oleh ratusan kalau tidak ribuan militeris semacam itu. Di samping itu adalah berkeliaran tamu yang tidak resmi, ialah bermacam-macam rombongan to-hui, bandit, perampok. Saya dua kali mengalami kedatangan tamu semacam ini. Yang pertama sekali ialah di Sionching sendiri dan yang kedua kali di desanya Ka-it yang jauhnya cuma satu jam perjalanan dari Siongching. Biasanya tamu tak resmi ini datangnya tiba-tiba di malam hari lengkap dengan pasukan bersenjata sesudah mereka mendapat kabar, bahwa ada “orang kaya” yang baru pulang dari “Nanyang” (Selatan).
Belum lagi kami berada satu minggu di Sionching, Ki-Koq sudah mendapat surat kaleng dari satu rombongan to-hui, bahwa dia mesti mengirimkan sekian ribu rupiah ke rombongan to-hui itu sebagai jaminan atas keselamatannya Ki-Koq dan keluarganya. Kabarnya, konon Ki-Koq lah yang mendapat kemenangan. Mereka To-hui kembali dengan maksud hendak membalas dendam.
Tetapi Ki-Koq tak akan mengalah begitu saja, walaupun jiwanya sendiri diancam. Dia kumpulkan semua senjata dan orang kuat dalam desa Sionching. Pengawalan yang teliti diadakan terutama di malam hari. Benar kekuatan desa Sionching tak lebih dari 20 orang, tetapi senjatanya adalah modern, dibeli di Manila. Sedangkan musuh, meskipun terdiri dari lebih kurang 100 orang, tetapi cuma beberapa orang saja yang bersenjata api dan  lagi cuma bedil kuno. Bedil mesiu dan pelornya semuanya “made in China”, dibikin oleh para tukang Tionghoa menurut resep asli. Sekali pasang cuma bisa diletuskan satu kali saja. Sesudah meletus mesti diisi dulu dengan mesiu dan dibikin dengan sabut dan tongkat, baru bisa ditembakkan pula.
Hampir satu bulan lamanya kami dikepung oleh to-hui dalam desa Sionching di musim dingin pula. Pertolongan dari pemerintah pusat, distrik ataupun dari desa yang lain-lain sama sekali tak bisa diharapkan. Masing-masing melayani urusannya sendiri-sendiri. Untunglah pula juga berhubung dengan sistem kekeluargaan yang dipusakakan oleh Guru Kung kepada anak cucunya,  praktis tiap-tiap desa sanggup berdiri atas tenaga dan kebijaksanaan sendiri. Kalau tiada begitu, lamalah sudah runtuh binasa  masyarakat, bahkan bangsa Tionghoa, yang berkali-kali berhadapan dengan mara bahaya yang timbul di dalam dan datang dari luar itu.
Amat beratlah kekuatan lahir dan batin yang diperas dari Ki-Koq. Berjaga-jaga siang dan malam hampir satu bulan lamanya, melemahkan tenaganya dan mengurangkan nafsu makannya. Tetapi sebaliknya menegangkan urat sarafnya.  Kekurangan makan tidur itu ditebusnya pula dengan minuman keras, chiakchiu. Minuman keras itulah pula yang menjadi obat penolak dingin dan kegentaran, serta sebaliknya menimbulkan kekuatan. Demikianlah akhirnya ketika pagi hari kami semuanya bangun, karena letusan senapan berkali-kali. Letusan itu rupanya keluar dari senapan Ki-Koq yang ditujukan ke ladang ubi-jalar (rambat). Entah karena memangnya suasana udara kabur-kabut, entah karena akibat “chiak-chiu”, entah karena akibat ketiga perkara itu, maka Ki-Koq menjadi mata gelap, dalam arti kita bangsa Indonesia. Memangnya pula tingkah lakunya Ki-Koq, walaupun dibesarkan di Tiongkok, tak lupus dari sifatnya Indonesia. Cuma neneklah yang bisa menyabarkan Ki-Koq. Selainnya dari mengasuh, sebagai nenek yang berjasa membesarkan anak kehilangan ibu-bapa yang amat nakal, nenek mempunyai senjata yang amat tajam menawan Ki-Koq, kalau ia sudah sampai ke tingkat mata gelap, ialah air mata. Nenek merebut senapan Ki-Koq dari tangannya dengan tangis. Kalau tiada begitu, maka penembakan liar tadi, mungkin menimbulkan marabahaya, sebab yang disangka to-hui oleh Ki-Koq tadi tak lain tak bukan daripada beberapa petani. Mereka tentulah lari tunggang langgang ke desanya, setelah mendengar tembakan berkali-kali itu.
Untunglah pula dengan kejadian begitu para to-hui yang mempunyai markas pada satu gunung batu, dekat desa Sionching mengundurkan diri. Mereka insaf, bahwa mereka berhadapan dengan satu rombongan bersenjata senapan yang benar-benar berbahaya tembakannya dan dipegang oleh beberapa orang yang memang bermaksud mempertahankan diri. Senekat-nekatnya to-hui, tiadalah mereka mempunyai moral yang berani memberikan lebih banyak daripada kemungkinan hasil yang didapat. Umumnya para to-hui lebih banyak mempergunakan tipuan-bujukan dan gertak dari para pengorbanan jiwa melawan musuh yang mempunyai tekad membela diri.
Demikianlah persangkaan yang dibelakang ini dibuktikan oleh sahabat saya yang di Tang-Ua, satu kota berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, beberapa Kilometer jaraknya dari Amoy. Sahabat tadi, yang sudah pernah saya kunjungi di tempatnya, baru saja kembali dari Jawa dengan ibu, isteri dan dua orang saudara laki-laki. Belum lama dia tinggal di rumah, maka datanglah serombongan to-hui, mengepung dan akhirnya menerobos ke dalam rumahnya.
Percakapan dilakukan dengan yang empunya rumah kira-kira berbunyi:
To-hui: “Kami datang meminta bagian kami”
Tuan rumah: “Ya, tetapi kami bukannya orang kaya”
To-hui: “Kami tahu tuan mempunyai emas dan uang. Cobalah perlihatkan kepada kami”.
Tuan rumah: “Kami sungguh tak mempunyai emas, cuma sedikit uang.
To-hui: “Baiklah kita selesaikan perkara ini secara damai saja; ham-ham. Kalau tidak begitu, kecelakaan di pihak tuan tidak sedikit. Lihatlah berapa banyak orang, kami yang bersenjata, menunggu di luar”.
Nyonya rumah: “Ini seribu dollar (Tiongkok). Terimalah saja. Inilah semuanya harta kami”.
To-hui (tertawa): “Masakan ini semua harta nyonya. Kami tahu berapa uang dan emas yang nyonya bawa kemari, tak perlu disembunyikan kepada kami”.
Tuan rumah: “Ini 3.000 dollar adalah ujungnya kesanggupan kami.”
To-hui: “Ini tak cukup buat hidupnya orang saya yang ratusan banyaknya, selama sebulan. Maklumlah tuan, sebagian besar dari uang itu harus saya bayarkan kepada “penyelidik” saja,  yang berada di Jawa, Amoy dan lain-lain tempat. Kami tahu benar-benar berapa harta benda tuan ketika meningglakan Jawa, $ 10.000, buat keselamatan tuan sekalian. Kalau tidak begitu, dan tak lekas dikerjakan tuan sekalian tahu sendiri..........”
Itulah malam “perundingan” berakhir dengan kemenangan para to-hui, berupa emas dan uang seharga $ 10.000, dengan tak ada korban apapun juga dari pihak para to-hui, kecuali pengorbanan berupa beberapa perkataan yang diucapkan dalam “perundingan” tadi.
Keluarga yang baru pulang ke tam-soa tadi, belum lagi selang berapa lama lepas terkejut, maka pada satu malam diserang pula oleh rombongan yang kedua. Dengan begitu maka kesabaran para sahabat kita dari Jawa tadi hilang lenyap, bertukar kenekatan. Mereka insyaf, bahwa sikap damai itu tak membawa perdamaian, karena oleh to-hui sikap suka damai itu dianggap satu kelemahan. Mereka beranggapan, bahwa sikap damai itu akan membawa mereka ke kemelaratan, dari itu lebih baik mati dalam pembelaan diri.
Ketiga laki-laki kita tadi lekas menjalankan siasat. Ada yang keluar kamar dan ada pula yang memanjat ke loteng dan bersembunyi di sana di dalam kamar masing-masing. Para to-hui naik tembok dan terus menerobos ke dalam rumah, masuk ke kamar memaksa para wanita membuka peti. Apabila para to-hui sedang asyik menghitung uang dan emas, maka tuan rumah melepaskan tembakannya yang mengenai kepala dan membunuh dua orang to-hui yang menyerbu. Satu tembakan lagi dilepaskan kepada to-hui yang muncul di atas tembok yang mengelilingi rumah. To-hui inipun gugur.
Menyaksikan tembakan yang sedemikian jitu, yang dilepaskan oleh tangan yang tegap dan hati yang nekat, maka para to-hui lainnya lari kocar-kacir. Mereka bukannya datang untuk membuktikan kekesatriaan, melainkan untuk uang dan emas, kalau dapat dengan bujuk tipu dan gertak saja, seperti yang sudah dilakukan oleh rombongan yang pertama.
Besok harinya peristiwa tersebut dilaporkan kepada walikota. Sesudah dipastikan, bahwa penyerang yang tewas tadi memangnya to-hui, maka sebelumnya mayat mereka dikuburkan, mayat itu dibiarkan saja terlantar bebarapa hari lamanya, buat dipertontonkan. “Pertontonan mayat itu menakuti to-hui yang lain-lain dan dirasa dahsyat oleh khalayak Tiongkok umumnya. Dengan badan cacat melayani penguburan yang tidak dilakukan menurut syarat Tionghoa adalah hina dipandang dari sudut keduniaan dan dosa dipandang dari sudut keakhiratan Tionghoa”.
Walikotapun tunduk pada lembaga dan agama Tionghoa itu. Betul walikota Tung Ua adalah bekas “pemimpin to-hui yang ulung”, seperti banyak walikota yang lain-lain di Hokkian, tetapi wali kota Tung-Ua, yang berpenduduk lebih kurang 300.000 orang itu sudah menjadi “orang baik” (ho-lang) dan sudah membaca buku “Guru Kung” (tak-thek). Bukan saja dia sekarang menjadi hartawan besar, tetapi juga seorang dermawan. Langsai (lunas) lah sudah hutang piutangnya di masa lamapau, ialah di masa khalayak ramai umumnya dan mungkin juga menurut ukuran moral walikota sendiri.
Kebersihan dan kesehatan di kota-kota asli Tiongkok (bukan di kota-kota modern seperti Shanghai, Wuhan, Hongkong dan lain-lain) sudah saya coba gambarkan secara sederhana. Keadaan sedemikian di desa-desa menurut perasaan saya, tak begitu menyedihkan. Perbedaan yang terutama sekali saya rasa adalah berhubung dengan lapang dan hawa. Di kota-kota rapat padatnya rumah kiri-kanan sepanjang jalan kecil, adalah cocok dengan rapat-padatnya orang. Angin hampir tak bisa masuk. Rumah di desa mempunyai jarak satu sama lain, walaupun tak seperti Indonesia. Kebanyakan rumah desa, yang umumnya rumah batu mempunyai lapang cukup dalam rumah itu sendiri.
Rumah desa di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus menerus, sering berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama empat-lima bulan di musim sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding batu, dinding belakang rumah, yang menghadap ke Selatan, dimana matahari berada, cahaya matahari dapat memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya matahari yang masuk dari Selatan dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh angin Selantan yang mahsyur itu (lam-hong); masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan badan yang sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang saya kenal benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas matahari dan di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Tetapi tiadalah berarti, bahwa “orang Indonesia akan merasa biasa” saja, kalau memasuki desa Tiongkok. Pertama kalai kita akan berkecil hati, melihat banyaknya kakus yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini, di sepanjang jalan, dimilikii oleh satu rumah, atau beberapa rumah sekeluarga. Masing-masing membikin kakus atau rombongan kakus itu menurut kemauannya sendiri. “Town-planning”, membangunkan sesuatu menurut rencana, tak ada sama sekali. Ada rombongan kakus yang dibikin di pintu ke desa, ada yang di depan pintu gerbang tetangga dan ada pula di depan dapurnya tetangga. Kita mesti berusaha mencocokkan diri dengan hawa yang menyambut kita kalau kita memasuki desa kecil-besar, apalagi besar, di Tiongkok. Orang Tionghoa di desa, kecuali orang kaya, biasa berurusan dengan kotoran manusia itu, cair atau beku. Mereka sekali-kali tak merasa jijik mengurusnya. Ini sekali-kali tidak diucapkan atau menghinakan orang Tionghoa. Dalam keadaan sedemikian saya sendiripun akan mengerjakan semuanya yang dikerjakan oleh pak tani Tionghoa itu, karena perlu dan praktis.
Bolehlah saya katakan, bahwa sebagian besar pesisir Hokkian, yang saya kenal baik itu, terbilang makmur, karena banyak sekali orang yang mempunyai keluarga yang berada di Filipina. Tioghoa di Filipina itu tak semuanya memutuskan perhubungannya dengan tanah airnya. Kemakmuran mereka di Filipina (juga di Selatan) mengakibatkan kemakmuran di bagian Hokkian yang berhubungan. Tetapi semakmur-makmurnya desa Hokkian, jaranglah yang mempunyai kuda atau sapi. Maka berhubung dengan kekurangan atau ketiadaan kuda dan sapi itu menyebabkan hampir tak ada pupuk (rebuk) keluaran hewan, kecuali sedikit dari babi.
Pertukaran antara alam dan manusia harus diteruskan buat keterusan kemakmuran alam dan manusia itu. Tida saja tumbuhan menapas-kedalamkan napas-keluarnya manusia yang berupa koolzuur (CO2) tetapi juga sebaliknya menapas-keluarkan yang dinapas-kedalamkan oleh manusia (O2 zuurstrof). Tumbuhan dan manusia dalam hal napas adalah isi-mengisi dan tukar menukar. Selanjutnya tanah menukarkan barang hasil berupa makanan (gandum dan sayur) dengan ampas manusia berupa benda yang dilemparkan ke dalam kakus itu. Boleh juga dikatakan manusia (dan hewan) memberikan ampasnya ke tanah buat menerima hasil tanah itu buat hidupnya. Dengan demikian, tanah dan manusia tak bertambah kurus, melainkan sebaliknya keduanya tetap sanggup tukar-menukar.
Kedua kotoran dalam kakus itu dilayani benar oleh para petani Tionghoa. Mengolah dan mempergunakan dari macam benda itu, seperti mencampur dengan jerami dan kotoran bagi, mengetahui waktunya boleh dipakai serta bagaimana cara memakai, adalah termasuk keahlian para petani Tionghoa. Keahlian itu saya anggap jauh lebih tinggi daripada keahlian petani Indonesia atau Hindustan. Kalau dilebihi oleh petani Eropa, saya rasa cukup dalam hal teknik dan kimia saja, dan baru pada abad paling belakangan ini saja.
Tanah dan kakus itu tak bisa dipisahkan dari tangan petani Tionghoa, seperti tanah liat dan pasir tak bisa dipisahkan dari tangannya tukang batu tembok. Hasil petani Tiongkok juga amat tinggi, jika dibandingkan dengan keadaan tanahnya yang lebih kurus dari tanah Indonesia. Banyak saya bicarakan dengan Tionghoa modern adanya kakus di desa-desa Tiongkok, yang mengganggu kebagusan dan mungkin juga kesehatan desa. Biasanya kami mendapatkan kesimpulan yang sama. Kalau tiada mau dipakai kotoran manusia, pemerintah pusat, daerah atau desa, harus mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan rioleering (jembatan tertutup) dan pabrik kotoran manusia itu. Bagaimanapun juga, kotoran manusiapun harus terus dikembalikan kepada alam. Cuma semuanya itu membutuhkan ongkos, teknik dan ahli. Dalam keadaan politik, ekonomi, sosial dan kecerdasan Tiongkok pada tingkatan sekarang, rencana semacam itu terpaksa jadi tinggal rencana saja. Persatuan haruslah lebih erat, pemerintah lebih teratur, kemakmuran dan pendidikan harus lebih tinggi dan umum, barulah rencana tersebut dapat dijalankan dengan kemungkinan mendapat hasil yang bagus.
Perasaan kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya sudah menjadi perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan dari kecil sudah bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang desa Tionghoa, apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara menderu-deru seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin, bahwa perasaan sunyi terpencil itu oleh seorang buangan di Digul yang paling penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya di Digul masih banyak teman seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan berpengharapan dan berbahasa sama. Semuanya ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai “sosial animal” (hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya di desa Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat dalam “broken English”nya, Inggris salah. Pernah saya saksikan dua tiga orang pemuda (baba) Filipina, yang menganut di-kokeu-i paham cinta pada Tioghoa Raya, setelah satu-dua hari saja berada dalam rumah keluarganya di desa, lari pulang ke Filipina dengan 1001 macam alasan.
Merekapun sudah bertukar adat dan tingkah lakunya dan tak tahan lagi tinggal di desa leluhurnya. Apalagi kalau berada dalam segala kesederhanaan belaka.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya! Pada satu hari Ki-Koq membawa saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini dia mengajak saya mengangkat tangan dan berjanji satu sama lainnya akan menganggap saudara kandung dan tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti dan Ki-Koq pun terus memegang teguh sampai perhubungan kami terputus. Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi yang sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap sayang, karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik. Kakak, toa-chi, karena dia seorang wanita yang lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam rumah. Saya tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi mengeluarkan anak-baju, baju dan mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara kami tak bisa, kecuali sepatah dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi pernah di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan sekurangnya totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya guna menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya dalam rumah yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada suatu hari petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak kelihatan suatu apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita kesakitan yang hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya tak berobah, tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
   Pada kira-kira jam 1 malam datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”, salah satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa mundar-mandir dan dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang dikenal oleh bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang jahat dan meminta pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah melihat mukanya Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya tertidur, dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi sudah meninggalkan kami. Hampir pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi rumah menuju ke bukit tempat kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan digali untuk menguburkan mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang diserang penyakit pesat itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di desa-desa Hokkian untuk menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain ialah meninggalkan desa yang sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk desa laki-laki dan perempuan tua muda buat sekian lama.
Demikianlah pada pagi harinya toa-chi meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan seluruh desa sionching berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq mengucapkan maksud sekeluarganya kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang dituju, melainkan mengikuti saja para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya sendiri dan para laki-laki lainnya belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke Amoy baru dua tiga hari lagi akan siap.
Dengan cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita dan anak-anak, dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri saya.
Ki-Koq berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam kayu cendana buat dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras untuk dimasak.
Kamar yang saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang sudah tua dan rusak itu apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan, menambah seramnya suasana kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya pernah menderita sakit demam berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam berturut-turut, sesudah toa-chi meninggal, dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas. Apabila sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.........
Sesudah dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani dikirimkan oleh Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana sekoci sudah menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan baru, penuh riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
 
















           
           



4 komentar:

  1. Saya menandai webster dengan nama saya seorang petugas polisi dan saya tinggal di tenggara kentucky di A.S., Beberapa hari yang lalu saya sedang mencari pinjaman online dan saya hanya menemukan orang-orang menipu saya dengan uang saya. Saya benar-benar membutuhkan pinjaman ini untuk sebuah proyek di Kolombia dan saya telah ditipu beberapa kali suatu hari ketika saya tidak bertugas, saya memutuskan untuk melihat lagi kali ini untuk perusahaan sejati yang memberikan pinjaman. Saya menemukan perusahaan ini bernama KARINA ROLAND LOAN COMPANY dan banyak lagi orang-orang telah bersaksi tentang perusahaan ini pada awalnya saya tidak percaya tetapi saya memutuskan untuk mengajukan pinjaman yang saya cari adalah sejumlah $ 6.000.000,00 yang saya ajukan dari perusahaan ini dan mereka memberi tahu saya semua yang perlu dilakukan saya mempercayai mereka dan saya melakukan apa mereka menyuruh saya melakukannya dan mereka meyakinkan saya bahwa dalam waktu 7 jam saya akan mendapatkan pinjaman saya dengan aman, saya tidak pernah mempercayai mereka tetapi saya menunggu pinjaman saya tepat waktu 7 jam saya mendapat telepon dari perusahaan bahwa jika saya telah menerimanya pinjaman saya belum dan saya berkata Tidak. Mereka mengatakan kepada saya untuk pergi ke bank saya dan memeriksa rekening saya bahwa bank saya mungkin tidak mengirimi saya peringatan, saya patuhi dan saya pergi ke bank saya dan memeriksa rekening saya dengan terkejut ketika sampai di sana saya melihat pinjaman $ 6,000,000.00 di akun saya uang yang saya miliki di akun saya sebelumnya ore adalah $ 1,000,000.00 dan sekarang saya menemukan $ 7,000,000.00 dari uang saya dan pinjaman saya adalah $ 7,000,000.00 saya sangat senang dan saya berterima kasih kepada perusahaan ini karena mereka hebat. Saya ingin menggunakan sedikit waktu saya untuk menulis kepada orang-orang di Amerika Serikat dan orang-orang di seluruh dunia bahwa jika Anda membutuhkan pinjaman nyata, karina roland adalah perusahaan yang tepat untuk melamar dari perusahaan ini tidak tahu saya melakukan ini jadi jika ada yang membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi saya melalui mail markwebster023@gmail.com atau menghubungi perusahaan melalui alamat surat karinarolandloancompany@gmail.com, salam +1585 708-3478 salam.

    BalasHapus
  2. CUKUP CUKUP UNTUK KEBIJAKSANAAN.
    PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA ELENA ADALAH SATU-SATUNYA JALAN KELUAR DARI KESULITAN KEUANGAN (karinarolandloancompany@gmail.com)
    whatsapp .... + 1585 708-3478
    facebook ..... elena karina roland
    instagram ..... karina roland

    Salam, pikiran yang hebat, Ini akan menjadi kesenangan terbesar saya menyelamatkan Individu dan perusahaan dari pemerasan, saya tahu tidak semua orang akan mau mengungkapkan kebenaran pahit tentang Pinjaman online karena ketidakamanan, Waktu melakukannya dan sebagainya. i ”m AFIZAH NAZERI, seorang pebisnis wanita terkemuka yang tinggal di TERENGGANU CITY OF MALAYSIA telah memutuskan untuk membagikan artikel ini kepada siapa saja yang berkepentingan sehingga mereka dapat belajar dan mendidik diri sendiri darinya. Ini buruk sampai Anda melihat kesaksian online tentang mendapatkan pinjaman dan ternyata itu palsu. Sungguh saya telah jatuh untuk trik itu berkali-kali sampai memperpanjang saya kehilangan hampir Rm14.000 total semua atas nama mendapatkan pinjaman untuk diinvestasikan dalam bisnis yang sangat menguntungkan. Setelah begitu banyak upaya yang gagal untuk mendapatkan pinjaman, saya dan Manajer saya online untuk melakukan pencarian menyeluruh dan menemukan perusahaan ini KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY tetapi sebelum mencobanya, kami juga memastikan bahwa semuanya asli, periksa ulasan mereka dan juga pergi ke keberadaan dan kemampuan mereka. Kami sangat berhati-hati karena kami tidak ingin kehilangan sepeser pun lagi dan harapan terbesar kami, mereka memberikan sesuai dengan ulasan mereka dan memberi kami jumlah pinjaman yang diinginkan sebesar Rm80.000. Sebuah kata untuk semua orang di luar sana ketika datang ke Pemberi Pinjaman Online hanya hubungi KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY melalui email: {karinarolandloancompany@gmail.com} atau whatsapp +1585 708-3478, dan pertimbangkan semua masalah keuangan Anda ditangani dan diselesaikan. # SHARE, Anda dapat menyelamatkan seseorang dari korban hari ini, Terima kasih.
    negara ...... Malaysia
    nama ......... Afizah Nazeri
    Jumlah yang disetujui ..... Rm80.000
    bank ....... BSN (Malaysia)
    email ....... afizahnazeri@gmail.com

    BalasHapus
  3. Sungguh menakjubkan ketika saya berpikir bahwa semuanya sudah selesai dengan saya, nama saya susan garcia, dari phillipine, Bu KARINA ROLAND datang untuk menyelamatkan hidup saya. Saya sangat berhutang budi sampai orang-orang yang saya pinjam dari geng itu melawan saya dan kemudian menangkap saya karena hutang saya. ditahan selama berbulan-bulan periode lomba diberikan kepada saya ketika saya dipulangkan dan dibebaskan untuk pergi dan menghasilkan uang untuk melunasi semua hutang yang saya terima jadi saya diberitahu bahwa ada pemberi pinjaman online yang sah jadi saya harus mencari melalui blog saya ditipu sebelumnya tetapi ketika saya menemukan KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY, Tuhan mengarahkan saya ke iklannya di sebuah blog karena ketertarikan saya pada iklan itu benar-benar sebuah keajaiban mungkin karena Tuhan telah melihat bahwa saya memiliki banyak penderitaan, itulah mengapa dia mengarahkan saya kepadanya. Jadi saya mengajukan dengan antusias setelah beberapa jam pinjaman saya disetujui oleh Dewan dan dalam 24 jam saya dikreditkan dengan jumlah yang tepat yang saya maksudkan untuk semua ini tanpa jaminan tambahan Pinjaman Pribadi karena saya berbicara dengan Anda sekarang saya bisa melunasi semua hutang Saya dan sekarang saya memiliki supermarket sendiri, saya tidak membutuhkan bantuan orang lain sebelum saya memberi makan atau mengambil keuangan, apapun keputusan saya tidak ada urusan dengan Polisi, saya sekarang seorang wanita mandiri. Anda ingin merasakan kemandirian finansial seperti saya, silakan hubungi Ibu melalui email perusahaan: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp +15857083478 Anda tidak dapat memperdebatkan fakta bahwa di dunia yang sulit ini Anda membutuhkan seseorang untuk membantu Anda mengatasi perputaran keuangan di hidup dalam satu atau lain cara, maka saya memberikan amanat untuk mencoba dan menghubungi Ibu KARINA ROLAND di alamat di atas agar Anda dapat mengatasi kemerosotan finansial dalam hidup Anda. Anda dapat menghubungi saya melalui email berikut: (garciasusan113@gmail.com)) Selalu bersikap positif dengan Ibu KARINA ROLAND dia akan membantu Anda melalui semua tantangan keuangan Anda dan kemudian memberi Anda tampilan keuangan baru dan kebebasan untuk mengatasi semua kekhawatiran Anda.

    BalasHapus
  4. Sungguh menakjubkan ketika saya berpikir bahwa semuanya telah selesai dengan saya, nama saya susan garcia, dari phillipine, Bu KARINA ROLAND datang untuk menyelamatkan hidup saya. Saya sangat berhutang budi sampai orang-orang yang saya pinjam dari geng itu melawan saya dan kemudian menangkap saya karena hutang saya. ditahan selama berbulan-bulan periode lomba diberikan kepada saya ketika saya dipulangkan dan dibebaskan untuk pergi dan menghasilkan uang untuk melunasi semua hutang yang saya terima jadi saya diberitahu bahwa ada pemberi pinjaman online yang sah jadi saya harus mencari melalui blog saya ditipu sebelumnya tetapi ketika saya menemukan KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY, Tuhan mengarahkan saya ke iklannya di sebuah blog karena ketertarikan saya pada iklan itu benar-benar sebuah keajaiban mungkin karena Tuhan telah melihat bahwa saya memiliki banyak penderitaan, itulah mengapa dia mengarahkan saya kepadanya. Jadi saya mengajukan dengan antusias setelah beberapa jam pinjaman saya disetujui oleh Dewan dan dalam 24 jam saya dikreditkan dengan jumlah yang tepat yang saya maksudkan untuk semua ini tanpa jaminan tambahan Pinjaman Pribadi karena saya berbicara dengan Anda sekarang saya bisa melunasi semua hutang Saya dan sekarang saya memiliki supermarket sendiri, saya tidak membutuhkan bantuan orang lain sebelum saya memberi makan atau mengambil keuangan, apapun keputusan saya tidak ada urusan dengan Polisi, saya sekarang seorang wanita mandiri. Anda ingin merasakan kemandirian finansial seperti saya, silakan hubungi Ibu melalui email perusahaan: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp +15857083478 Anda tidak dapat memperdebatkan fakta bahwa di dunia yang sulit ini Anda membutuhkan seseorang untuk membantu Anda mengatasi perputaran keuangan di hidup dalam satu atau lain cara, maka saya memberikan amanat untuk mencoba dan menghubungi Ibu KARINA ROLAND di alamat di atas agar Anda dapat mengatasi kemerosotan finansial dalam hidup Anda. Anda dapat menghubungi saya melalui email berikut: (garciasusan113@gmail.com)) Selalu bersikap positif dengan Ibu KARINA ROLAND dia akan membantu Anda melalui semua tantangan keuangan Anda dan kemudian memberi Anda tampilan keuangan baru dan kebebasan untuk mengatasi semua kekhawatiran Anda.

    BalasHapus