DAFTAR ISI
Pengantar Penulis
Daftar Isi
Perjuangan Dua Kodrat
Human Right (Hak Manusia)
Hak Perlindungan diri
Kepastian Undang-Undang
Pulang ke Indonesia
Di Deli
Semarang Kota Merah
Tangkap Buang I
Menjelang Filipina dan Canton
Bagaimana Halnya Alat Cetak
Filipina
Tangkap Buang II
Kemana
Pengantar Penulis
Banyak sudah teman seperjuangan di
luar dan di dalam penjara yang mengusulkan, supaya saya menuliskan sejarah
hidup saya. Katanya, agar pengalaman-pengalaman yang sudah saya dapatkan boleh
dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan.
Baru sebulan-dua yang lampau saya
putuskan menerima usul itu. Sebelumnya itu saya tiada memandang perlunya yang
diusulkan tadi. Alasan pertama ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh
lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang
lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan penuh perhatian. Alasan kedua ialah
karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun
naik, ialah penuh dengan “up and down”,
yang mengandung lebih banyak “down”
dari pada “up”, bukanlah suatu
pekerjaan yang dapat disambilkan begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak
kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri saya sendiri. Kehilangan
kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti disertai
oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah tempat kian-kemari tak
tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya
berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan “disita”,
dijadikan alasan ini dan itu sebagai bahan fluister-campagne
lawan yang tidak fair. Karena pertimbangan-pertimbangan yang demikian ini, maka
mulanya sejarah saya hendak saya serahkan kepada sang sejarah sendiri.
Tetapi setelah di penjara Magelang
saya mendapat sel yang sunyi senyap tak bercampur dengan para tawanan lain, dan
mendapat kertas, potlot dan meja buat menulis, maka timbullah pikiran untuk
menulis, meskipun buat “mengisi waktu” saja.
Mulanya saya hendak meneruskan
tulisan saya tentang ASLIA, yang sudah mulai ditulis pada tahun 1942 di
Jakarta. Tetapi karena kopynya tidak saya pegang sendiri dan bahan statistik
yang amat penting berhubung dengan ekonomi dan lain-lain entah dimana pula
tersangkutnya bersama kopy ASLIA itu, maka saya terpaksa menunda terus
pekerjaan yang lima tahun lampau telah saya mulai. Demikian sendirinya sasya
terpaksa menuliskan beberapa peringatan ini.
Jadinya yang saya tuliskan disini
bukanlah sejarah hidup dalam arti kata yang sebenarnya. Bukanlah sejarah hidup
yang biasa ditulis menurut tarikh dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa,
dari masa pendidikan sampai masa bekerja buat masyarakat, yang biasanya tepat
digambarkan oleh nama buku “Life and Work”,
atau “Hidup dan Pekerjaan”. Tetapi tiada pula saya menuliskan sesuatu yang
tiada mengandung sejarah, ialah yang bukan sejarah hidup saya.
Apa yang saya tuliskan kelak boleh
dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya, tak lebih dan tak kurang, oleh
ahli sejarah. Beberapa orang yang namanya saya ajukan di sini, kelak boleh
dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan. Kalau tidak cocok benar,
bukanlah terletak pada kemuauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau
sifatnya memory, ialah peringatan.
Cuma apa yang dituliskan itu hanya sebagian
saja daripada sejarah hidup saya. Bagian itu saya anggap bukan bagian yang
kurang penting, karena rapat perhubungannya dengan usaha saya melakukan hasrat
kemerdekaan dalam arti politik dan ekonomi. Bagian hidup itu saya pusatkan pada
beberapa penjara. Berhubung dengan itu sepatutnya pulalah sekitar tiap-tiap
penjara itu diberi penerangan. Begitulah, maka tiap-tiap penjara itu diterangi
oleh keadaan sebelum, sedang dan sesudahnya saya masuk penjara.
Demikianlah berturut-turut saya riwayatkan
sebelum, sedang dan sesudahnya saya dipenjarakan di Hindia Belanda, Filipina,
Hongkong dan di Republik Indonesia. Mungkin bukunya terbagi menjadi dua jilid.
Kalau begitu maka jilid pertama hanya meriwayatkan sekitar penjara Hindia
Belanda dan Filipina.
Usaha saya menjalankan kewajiban
menuntut kemerdekaan rakyat Indonesia dan diri saya sendiri nyata mendapat
halangan keras dari Imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris. Bagi saya hal
itu tak mengherankan dan tak mengecilkan hati. Sebaliknya saya merasa gembira
menyaksikan hebatnya perjuangan rakyat Indonesia di mata Imperialisme
Internasional. Saya percaya pula, jika kelak semua halangan itu sekali
terpelanting dan kemerdekaan 100% tercapai, maka pada saat itu akan terjaminlah
kesentosaan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat Indonesia yang merdeka itu.
Semua kodrat lahir dan bathin yang dibangunkan dan diperoleh guna melemparkan
semua halangan itu, kelak akan menjelma menjadi kodrat pembangun dan pelindung
dalam segala-galanya. Semakin banyak kodrat itu diperlukan dan diperoleh,
semakin teguh jaminan buat hari depannya rakyat Indonesia.
Buku ini saya beri nama “Dari Penjar
ke Penjara”. Memang saya rasa ada perhubungan antara Penjara dengan Kemerdekaan
sejati. Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu
ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita “Kehilangan Kemerdekaan diri
sendiri”.
Siapa ingin Merdeka harus bersedia
dipenjara.
Penjara Ponorogo, September
1947 TAN
MALAKA
PERJUANGAN DUA KODRAT
Tak seberapa salahnya, kalau
dikatakan bahwa alam raya kita ini, laksana satu gelanggang perjuangan yang tak
putus-putusnya, antara dua kodrat yang dalam hakikatnya berderajat sama, ialah
kodrat negatif dan kodrat positif. Dipandang dari sudut lain dan bergerak di
lapangan lain, kedua kodrat yang sederajat ini menjelma berupa kodrat penolak
dan kodra penarik (repulsion and attraction).
Rupanya Ilmu modern sedang
memusatkan semua cabang pengetahuan dalam golongan ilmu alam dan ilmu
kimia. Pada ilmu listrik, ilmu alam dan
ilmu pisah keduanya mempunyai sari yang sama, ialah ilmu listrik. Memangnya
dalam ilmu listrik inilah perjuangan terus menerus antara dua kodrat di atas
tadi, nyata sekali. Mulai dari badan terkecil yang dinamai atom, maka kodrat negatif
dan positif tadi menjelmakan pertentangan terus menerus. Adapun dua kodrat
tersebut berbadan pada dua bahagian atom itu, ialah elektron dan proton. Badan
atom yang oleh ilmu modern dianggap terkecil itu, adalah hasil perjuangan dua
kodrat positif dan negatif tadi, atau dipandang dari sudut lain adalah hasil
perjuangan kodrat menolak dan kodrat menarik. Pun adanya Badan Terbesar di
seluruhnya Alam Terkembang ini,
seperti Bumi, Bintang, Komet dan Matahari, adalah hasil kodrat negatif-positif,
serta tolak-tarik dalam juta-milyunan tahun.
Kalau sekarang kita beralih
memandang dengan kecepatan kilat arah sejarah filsafat, ialah bayangan gerakan
sejarah Masyarakat, dari Heraklit – Demokrit sampai ke Hegel......dan dari
Hegel sampai ke Marx – Engels, maka perjuangan dua kodrat tersebut di atas,
dalam lapangan alam raya tadi, dalam gelanggang filsafat ini, bolehlah kita
ibaratkan dengan perjuangan thesis dan antithesis yang menghasilkan
synthesis......terus menerus tak putu-putusnya.
Tetapi dengan perlompatan dari
lapangan ilmu pasti ke lapangan filsafat janganlah kita lupakan perbedaan dasar
antara dua golongan ahli filsafat ialah golongan idealis dan golongan
materialis. Dialektikanya Hegel adalah berdasarkan Absolute Idee (Rohani
Mutlak). Sedangkan buat Heraklit – Demokrit, Marx – Engels, dialektika adalah
berdasarkan benda (matter).
Syahdan buat Hegel, Rohani – Mutlak
inilah yang menggerakkan thesis dan antithesis serta menghasilkan synthesis
terus menerus. Laksana thesis – sayap kanan dengan anti thesis – sayap kiri
dari synthesis seekor burung yang terbang melambung tinggi di angkasa terus
menerus, dan tak pernah turun ke tanah......Posistion,
Ignoration, Ignoration der Ignoration.
Dalam ilmu alam Heraklit dan
Demokrit tak pernah meninggalkan daratan. Hasil pikiran kedua ahli ini
diantaranya ialah hypothesis
(persangkaan) adanya benda molekule dan atom yang di zaman mereka hidup tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi yang sekarang dibenarkan oleh ilmu
modern, disaksikan dengan teropong, yakni sesudah kurang lebih 2500 tahun hypothesis itu didapatkan.
Hasil dari dialektika berdasarkan
benda ialah pendapatan Marx dalam ilmu ekonomi tentang theori surplus value (nilai lebih), dan pendapat Marx – Engels
dalam filsafat yang dikenal sebagai historis – materialisme dan dialektis –
materialisme, dialektika berdasarkan benda.
Bukan maksud kami hendak menguraikan
pemandangan hidup ( Weltanschauung)
dalam buku kecil ini. Pandangan hidup sedemikian sudah diuraikan dalam Madilog.
Pemandangan diatas dikemukakan sedikit hanya sekedar untuk mengembangkan
suasana tempat bergeraknya apa yang penulis namakan perjuangan antara negatif
dan positif, antara kodrat penolak dan kodrat penarik, antara thesis dan
anti-thesis dalam dunia hukum. Bukan hukum dalam pengertian umum luas melainkan
dalam beberapa perkara yang bersangkutan dengan hukum. Bukan hukum yang
mengenai seluruh masyarakat, bahkan bukan pula hukum yang mengenai segolongan
manusia, melainkan hukum yang mengenai diri penulis sendiri saja.
Tegasnya perjuangan Adil dan Zhalim
yang memakai diri dan hidup penulis ini sendiri sebagai medan perjuangan itu;
perjuangan antara Adil dan Zhalim yang bersangkutan dengan hukum yang dilakukan
atas diri dan hidup Sahibul hikayat ini sendiri oleh Imperialisme Belanda,
Amerika dan Inggris. Akhirnya oleh Republik Indonesia yang berdasarkan
KeTuhanan, Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Persatuan dan Kedaulatan Rakyat
ini....... dan ke apa lagian itu.
Perlakuan atas diri dan hidup kami
itu tidak dipandang dengan mata dan perasaan perseorangan semata-mata,
melainkan dengan jiwa yang mengakui adanya perjuangan dan kodrat, juga yang
mengakui Alam Raya kita. Menurut paham kami maka masyarakat golongan dalam
masyarakat itu, bahkan seorang anggotapun dalam cabang penghidupan yang
mananapun juga, tak dapat luput dari kekuasaan dua kodrat itu......thesis dan
anti thesis.
Buku kecil ini meriwayatkan dan anti
thesis di atas kulit kami.
HUMAN RIGHT
(HAK MANUSIA)
Hukum yang mengenai Hak Manusia ini
daerahnya amat luas. Tiadalah tempatnya, dan tiadalah pula maksud kami hendak
menguraikan Hak-Manusia itu seluruhnya dan satu-persatunya. Yang akan
disinggung di sini, hanyalah bagian yang terutama mengenai kepastian tentang
perlindungan diri seseorang anggata masyarakat.
Buat menginsyafi tempat Perlindungan
Diri dalam daerah hukum, baiklah kalau diadakan tinjauan kilat atas seluruhnya
Hukum yang mengenai Hak Manusia itu.
Tinjauan itu tidak susah dilakukan kalau kita memandang dengan cara
meninjau Alam Raya seperti di atas, yakni memisahkan yang positif dan negatif
serta yang menarik dan yang menolak.
Syahdan adalah dua kodrat terbesar
yang menggerakkan jiwa semua yang hidup, jadi juga jiwa manusia. Pertama:
kehendak mau hidup, dan kedua: kehendak jangan mati. Kalau kehendak yang
pertama kita sebutkan positif maka yang kedua ialah negatif. Kalau umumnya
hasrat manusia itu merengkuh-menarik yang pertama, maka ini berarti pula bahwa
dia berhasrat menolak yang kedua.
Dalam arti yang konkreet, yang nyata
berlaku sehari-hari, yang pertama itu merupakan mencari alat hidup seperti
makanan, minuman, pakaian, perumahan dan lain-lain, sedang yang kedua merupakan
menolak bahaya dari penyakit dan kelaparan.
Perjuangan hak artinya perjuangan
merebut hak yang positif dan yang negatif tadi, yakni sebagai yang telah
berhasil berupa Magna Charta dan The Rights of Men, seperti termaktub dalam
hukum di Inggris dan Amerika, berupa Les Droits des Hommes, seperti Dasar
Undang-Undang di Perancis dan akhirnya berupa Hak-Bekerja di Soviet Rusia.
Perjuangan di Inggris, Amerika,
Perancis dan Rusia itu bukanlah perjuangan seseorang (individu) melawan seorang
lain, melainkan perjuangan satu golongan melawan golongan lain, buat
mendapatkan kebahagiaan hidup dan menolak mara bahaya bagi kepentingan golongan
itu sendiri. Yang demikian ini tiadalah merubah hasrat perjuangan tadi ialah
mendapat yang positif dan menolak yang negatif.
Kita akan lupa melihat hutan dan
cuma akan tersesat perhatian melihat pohon-pohon saja kalau kita pelajari semua
hak yang diperoleh golongan yang memang dalam perjuangan borjuis melawan
ningrat di Perancis dan Inggris, nasionalis Amerika melawan Inggris di sana,
dan proletariat melawan ningrat-borjuis di Rusia. Sebenarnya cukuplah sudah
kalau kita kupas saja semboyan dalam revolusi Perancis, ialah Kemerdekaan,
Persamaan dan Persaudaraan, semboyan yang masih bisa menggerakkan jiwa manusia
yang tertekan.
Dalam hakekatnya maka makna positif
dari semboyan Kemerdekaan itu ialah merdeka melakukan pencarian hidup seperti
bertani, berdagang, membangun perusahaan dan merdeka menjalankan pekerjaan
tersebut serta merdeka memiliki, menjual atau membeli hasil pencarian itu, dan
akhirnya memilih wakil buat Badan Politik, daerah atau pusat, merdeka pula
menganut sesuatu faham atu membela faham itu dengan tulisan dan tulisan.
Sebaliknya makna yang negatif, ialah
lepas-bebas dari ikatan feodalisme yang berhubungan dengan pencarian hidup itu,
dan lepas bebas pula daripada tindakan sewenang-wenang dari pihak polisi dan
Mahkamahnya Raja bersama bangsawannya.
Persamaan ialah derajat yang
dituntut oleh kaum borjuis Perancis, supaya hak itu, baik positif atau negatif,
sama rata boleh dimiliki semua warga negara Perancis, Ningrat, Pendeta, Borjuis
ataupun Proletariat Perusahaan dan Pertanian.
Persaudaraan, dalam hakekatnya ialah
persamaan pelayanan satu daerah Perancis dengan daerah lainnya terhadap
pengeluaran dan pemasukan barang, yakni yang mengenai bea cukai. Janganlah satu
daerah menghambat daerah lain dalam Negara Perancis sendiri oleh politik bea
cukai itu. Janganlah satu daerah menghambat daerah lain dalam Negara Perancis
sendiri oleh politik bea-cukai. Cukuplah satu kali membayar cukai di satu
daerah saja sebagai bagian dari Perancis yang bersatu-bersaudara. Satu kali
dibayar pada satu daerah, tak perlu daerah-daerah lain yang dilalui barang itu
mencukai lagi. Ini artinya bersatu-bersaudara.
Barangkali karena sangat dipengaruhi
oleh momok Facisme dan Nazi-isme atau karena juga negatifnya sikap kapitalisme
terhadap kaum proletar, maka almarhum Presiden Roosevelt membentuk dua syarat diantara empat tuntutan
kemerdekaannya, ialah: pertama lepas-bebas dari ketakutan (freedom of fear) dan kedua lepas-bebas dari kelaparan. Sebenarnya
bisa dibentuk secara negatif dan positif, yakni satu negatif; lepas bebas dari
ketakutan (tangkapan), kedua positif; berhak diberi pekerjaan oleh Negara.
Tetapi kaum kapitalis memang tak mau
positif, ialah menjamin pencaharian hidup tiap-tiap warga negaranya.
Lebih tangkas, lebih pendek, dan
lebih meresap adalah semboyan yang berhubungan dengan syarat hidup di atas itu
saja, sudah nyatalah perbedaan posisi dua kaum yang bertentangan. Semboyan
borjuis, dengan Roosevelt sebagai juru bicaranya, adalah bersifat negatif
(menolak), yakni menolak kelaparan. Sebaliknya semboyan Bolsjewikj dengan Lenin
sebagai juru bicaranya bersifat positif, menuntut alat hidup yang terpenting,
ialah tanah dan roti.
HAK PERLINDUNGAN
DIRI
Bahwa hak negatif berupa hak
perlindungan diri sama artinya dengan hak positif, berupa hak mendapatkan
pencarian hidup, keduanya atas jaminan Negara, tiadalah lama perlu difahamkan.
Tak adalah gunanya makanan lezat dan
melimpah-limpah, pakaian halus atau tebal buat di musim panas dan sejuk
bertimbun-timbun, kasurnya empuk serta selimut dan kelambu tak kekurangan,
kalau perlindungan diri tak terjamin. “Nasi dimakan berasa sekam, air diminum
berasa duri”, tidur gelisah karena hati panas senantiasa dalam ketakutan bahaya
saja.
Si Budak-Belian di zaman Yunani dan
Roma sering mendapat perlayanan lahir yang memuaskan, sering menjadi mandor
perusahaan atau gurunya anak orang kaya. Tetapi dengan keadaan sedemikian
belumlah mereka merasa aman tentram dan menganggap dirinya manusia penuh. Tuan
yang baik budi mungkin besok jatuh melarat ataupun meninggal. Si Budak mungkin
pula bertukar tuan. Si Budak tak berhak apa-apa, tak diperlindungi oleh
Undang-Undang Negara. Dia boleh dijual atau dibeli seperti barang, boleh dikerjakan
terus-menerus atau dipukuli sampai mati. Tak ada orang, golongan atau badan
politik yang melindunginya.
Di zaman Feodal, Serf, (budak-hamba
sahaya) itu tak boleh lagi dijual belikan. Dia terikat pada tanah tuannya,
bekerja buat tuannya. Dari pada hasil pekerjaannya yang dibolehkan untuk diri
dan keluarganya, ialah secukupnya buat keperluan hidup seperti Budak belian
Yunani, yakni seperti hewan pengangkut. Beratlah konon pajak di Perancis yang
mesti dibayar oleh Budak-Feodal! 14% lagi dibayarkan kepada kaum Ninggrat, 14%
lagi dibayarkan kepada kaum Pendeta, dan 53% harus dibayarkan kepada Kerajaan.
Sisanya yang tinggal 19% itulah yang boleh dimiliki buat keperluan hidup diri
sekeluarganya.
Bagaimanakah kalau panen gagal, dan
si budak sudah banyak pula berhutang buat membeli bibit, pupuk atau keperluan
sosial sebagai manusia???
Kalau saya tak salah, di antara
penduduk Perancis yang 25 juta di masa revolusi itu, cuma 200 ribu atau cuma 1%
sajalah kaum berpunya dan berkuasa, ialah kaum Ningrat dan Pendeta. Yang 99%,
ialah kaum dinamakan golongan ketiga (Derde
stand). Dalam Golongan ketiga ini termasuk kaum tani, buruh dan ....borjuis
(bankir, majikan dan saudagar). Pendeta Sieyes yang mengambil bagian besar di
babak pertama dalam Revolusi Perancis 1789, mengadakan tanya jawab yang jitu
dan pendek:
“Apakah Golongan ketiga itu?”
(Djawab): “Semua!”
“Apakah mereka sampai sekarang?”
(Djawab): “Tidak apa-apa.”
“Apakah kemauan mereka?”
(Djawab): “Semua.”
Golongan ketiga mendesak,
memperjuangkan dan dengan sempurna mendapatkan hak perseorangan manusia (Les
Droits de l’Homme) yang masih menjadi batu ujian sampai sekarang.
Pergolakan merebut hak perseorangan
yang berupa positif dan negatif itu yang berupa merebut hak buat pencarian
hidup dan hak mendapat perlindungan pasti oleh undang-undang Negara itu memang
lama berlaku terutama di dunia Barat. Perjuangan proletaria tanah melawan patricia, tuan tanah Roma yang dipimpin
berturut-turut oleh dua saudara Grachus dan oleh Catalina, perjuangan buruh
tanah dan perusahaan di Jerman, semua itu adalah tuntutan buat mendapatkan hak
yang pasti. Tetapi baik di Roma ataupun di Jerman, alat masyarakat lama dalam
produksi dan sosial masih kuat, belum bisa ditumbangkan. Sebaliknya pula
alat-alat masyarakat baru dalam produksi dan sosial masih belum cukup kuat
untuk menggantikan yang lama.
Di Perancis masyarakat feodal memang
bobrok, ke dalam dan keluar, tak sanggup lagi meneruskan hidupnya masyarakat
itu. Cara menghasilkan di atas tanah dan di dalam perusahaan amat mengungkung golongan-baru-kuat
dalam masyarakat, ialah kaum borjuis dengan bantuan kaum proletar. Pertentangan
hidup dalam segala-gala, dalam perekonomian, politik, sosial, kebudayaan dan
akhirnya dalam hal perlindungan, yang tiada berkurang artinya, amat menyolok mata.
Hak luar biasa dari mereka yang memegang kekuasaan dapat dipakai setiap waktu
terhadap sembarang warga.
Dengan “lettre de chachet” dengan tak ada tuduhan pelanggaran undang-undang
yang pasti dan ditetapkan lebih dahulu, orang yang tidak disukai sewaktu-waktu
boleh ditangkap dan ditahan dalam penjara, selama maunya yang berkuasa itu
saja. Sering terjadi mereka yang tiada bersalah sedikitpun seumur hidup
meringkuk dalam penjara yang gelap sempit dan kotor kamarnya.
Dalam pemeriksaan untuk mendapatkan
bukti pelanggaran, seseorang yang dituduh dan ditahan itu boleh disiksa,
dipukul, disepit anggota badannya dengan besi, ditusuk jarinya atau dibakar
mulutnya...........sampai si pesakitan terpaksa mengaku. Sering atau acap kali
terjadi pesakitan terpaksa mengaku. Sering atau acapkali terjadi pesakitan mengakui tuduhan, bukan karena ia
melakukan pekerjaan yang dituduhkan itu, melainkan karena tidak tahan siksaan.
Hukuman dijatuhkan semau-mau hakim
saja. Tidak sedikit hukuman dijatuhkan pada orang yang sebenarnya tiada
bersalah, yang tak kalah beratnya dengan hukuman yang dijatuhkan kempetai
Jepang. Sebelum revolusi Perancis itu orang boleh dianiaya, dikoyak menjadi
empat ditarik dengan kuda, direndam sampai mati atau dibakar hidup-hidup.
Dengan runtuhnya Bastille, maka
berhentilah semua penangkapan, pemeriksaan dan hukuman sewenang-wenang itu.
Bastile adalah penjara di kota Paris, lambang sewenang-wenang feodalisme yang
diratakan dengan tanah oleh rakyat revolusioner.
Lenyaplah marabahaya yang
sewaktu-waktu bisa menimpa diri seseorang warga negara dengan hancur leburnya
masyarakat (feodalisme sampai ke akar-akarnya).
Dengan sempurna lenyapnya system
feodalisme di Perancis, lahirlah dengan selamat hak yang dipastikan oleh
Undang-Undang Negara yang mengenai keselamatan perseorangan.
KEPASTIAN
UNDANG-UNDANG
Setelah Feodalisme Perancis sampai
ke Undang-Undang Dasarnya runtuh dilanggar oleh taufan Revolusi Besar (1789),
maka tercantumlah dalam Buku Undang-Undang Negara semua hak untuk melindungi seseorang
warga negara.
Undang-undang yang memperlindungi
diri seseorang itu dalam satu Negara Demokrasi lazim dinamakan hak demokrasi.
Yang kami maksudkan pada pasal ini ialah khususnya hak seseorang kalau ia
berurusan dengan apa yang dinamai sesuatu pelanggaran. Jika dicocokkan dengan
istilah di atas, itulah rupanya hak negatif, hak menolak bahaya sewenang-wenang
dalam hal penangkapan, pemeriksaan dan pengadilan. Orang yang belum tentu
salah, ataupun sudah dianggap salah itu, tiadalah boleh ditangkap semau-maunya
oleh siapapun saja, untuk diperas keterangannya dengan bermacam-macam siksaan
dan akhirnya dihukum sewenang-wenang melanggar pri kemanusiaan!
Kepastian hak dalam cara menangkap,
memeriksa dan mengadili perkara seseorang yang dianggap pelanggar, tentulah
tiada sama bentuknya pada beberapa negara demokrasi, seperti Inggris, Perancis,
Amerika dan lain-lain. Tetapi kalau boleh saya ikhtisarkan maka kurang lebih
isinya sebagai berikut:
1. Tiadalah boleh seseorang warga
negara, di negara demokrasi, ditangkap begitu saja, kecuali oleh orang yang
diwajibkan menurut undang-undang, atas nama badan pemerintah yang syah, dengan
alasan yang terbukti, dan dibuktikan oleh saksi yang sudah disumpah dan menurut
instruksi (tuduhan) yang benar-benar, berkenaan dengan undang-undang Negara
yang sudah ditetapkan lebih dahulu oleh badan perwakilan rakyat yang syah.
2. Dalam pemeriksaan menjelang
pengadilan terbuka (voor-onderzoek),
si tertuduh dibolehkan mengemukakan saksinya sendiri dan ahli hukum yang sudi
membela perkaranya. Di sini paksaan dan siksaan yang oleh dunia hukum
Anglosaxen biasa dinamakan, “third degree
method”, sama sekali tiada boleh dipakai oleh yang memegang kekuasaan.
Seterusnya kalau hakim menganggap tuduhan pelanggaran itu memang berdasarkan
undang-undang, maka si tertuduh harus dibawa di depan pengadilan negara yang
syah, dan diberi hak sepenuhnya untuk membela diri sendiri, mengemukakan
saksinya dan memakai pembela ahli hukum dalam menghadapi para ahli, pegawai dan
organisasi yang kuat kepunyaan negara di sidang terbuka.
3. Si tertuduh dihukum dengan cara yang ditetapkan oleh
Undang-undang Negara (digantung, dipenjara, didenda atau diturunkan pangkat)
menurut kepastian (lamanya di penjara, banyaknya denda) yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Negara juga. Semua itu harus terjadi setelah diperiksa dan
diadili di muka umum oleh Pengadilan Negara yang sudah disyahkan, dimana si
tertuduh berhak membela diri, kalau perlu dengan pertolongan ahli, terhadap si
penuduh yang dibantu oleh para ahli dan organisasi Negara. (Seperti tersebut
dalam angka 2 di atas).
Di zaman sewenang-wenang, seseorang
warga negara ditangkap, diperiksa dan dihukum oleh satu badan atau satu orang
saja. Sudahlah tentu seseorang yang ditangkap itu dihukum karena kepentingan
pihak si penuduh sendiri (benci, dengki, dan lain-lain). Sebab itulah
penangkapan dan pemeriksaan itu berwujud hendak menghukum yang ditangkapnya
itu. Di zaman demokrasi, keterangan sempurna dari si penuduh dan si tertuduh
dibandingkan oleh hakim menurut Undang-Undang yang syah.
Memang banyaklah kemajuan yang
diperoleh Revolusi Besar di Perancis dalam hal perlindungan diri seseorang
warga. Tetapi puncak kesempurnaan itu dimanapun juga dalam Alam Raya ini atau
dalam semua cabang kehidupan, tiadalah kita kenal. Yang sempurna kita peroleh
sekarang, besok dibatalkan oleh yang lebih sempurna. Inipun bakal dibatalkan
pula oleh yang lebih sempurna........ad infinitum.......tak putus-putusnya. Di
tempat manapun juga dan di tempo apapun berlakulah gerakan thesis dan
pembatalan (anti-thesis) mendapatkan synthesis. Janganlah kita gusar dan kecewa
karena keadaan itu, sebaliknya kita mesti gembira dan puas. Karena buat kita
dan anak cucu kita masih ada hal yang harus kita capai. Inilah namanya hidup,
gerakan perubahan dan perbaikan kekayaan alam, terus menerus tak ada
berhentinya; thesis, synthesis. Perbaikan bukanlah benda kosong, mengejar
perbaikan bukanlah pekerjaan sia-sia (mengejar fatamorgana). Bukankah
masyarakat beradab feodalpun lebih baik daripada masyarakat kayau-mengayau
(buas bunuh-membunuh)?
Adanya thesis feodalisme tentang hak
pribadi, ditentang oleh anti thesis golongan 3e stand (ketiga) dan mendapatkan
synthesis borjuis seperti kita uraikan di atas, ialah hak perlindungan diri
yang demokratis. Synthesis diperoleh kaum borjuis sebagai hasil perjuangannya
melawan kaum feodal itu, sekarang sudah berubah menjadi thesis, karena
berhadapan dengan anti-thesis kaum proletar dan bangsa berwarna yang terjajah,
karena:
1. Apakah artinya cara (oleh siapa,
atas nama siapa, alasan apa dan instruksi mana) menangkap itu. Tiadakah dalam
masyarakat kapitalisme lebih 55% warga negaranya dan dalam masyrakat jajahan
lebih kurang 99% penduduknya senantiasa terancam oleh krisis ekonomi,
pengangguran, peperangan, paceklik, hongeroedeem
dan lain-lain? Bukankah 99,9% dari pelanggaran undang-undang itu berurat pada
kebusukan masyarakat sendiri dan kebodohan serta kemelaratan anggota masyarakat
itu sendiri?
2. Apakah artinya pemeriksaan
pengadilan yang umum, yang dibela ahli dan diawasi oleh hakim, kalau si pesakitan
itu orang miskin tak punya pendidikan dan pengetahuan cukup buat membela diri
sendiri dan tak punya uang buat menyewa pokrol bambu yang licin.....yang bisa
menghitamkan yang putih?
3. Pada satu pihak ahli hukum yang
adilpun mempunyai kepentingan, pendidikan dan pemandangan hidup secara borjuis.
Pada lain pihak dalam masyarakat yang demokratis-kapitalis, penjara modern
lebih memberi perlindungan hidup (makanan,
pakaian dan penginapan) daripada masyarakat di luar penjara, kepada
sebagian anggota masyarakat.
PULANG KE INDONESIA
Hawa mulai sejuk, hujan
rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra
mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan,
mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan
lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam
ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup
dipandang mata....
Kota yang luas, berpenduduk lebih
kurang sejuta orang, tetapi sebenarnya kota kecil. Di sana-sini tersebar pabrik
jam, gula-gula, coklat, roti, biskuit dan lain sebagainya pabrik kecil. Penuh
dengan winkels, toko-toko yang memang bagus rapi, tetapi kecil buat bandar
metropolis. Yang sangat dikagumkan sebagai gedung lambang modernisme dalam
dunia bangunan ialah de “Beurs’. Bukan satu skycraper, kukuh kuat, tegap
melambung ke angkasa...lambang kemauan dan kegiatan satu bangsa muda berkemauan
baja. De “Beurs” ialah sarang tengkulak, sarang rayap, kutu busuk yang ramai
asyik tawar menawar effecten, aandeelen, dan surat jaminan lain-lain, atas
tanah bangsa lain. Seperti Taj Mahal adalah satu perpaduan seni bangun dengan
kekayaan dan kecintaan yang suci murni....., demikianlah pula de “Beurs” adalah
perpaduan atau lebih tepat percampuran architectuur dengan semangat kruideniers
dan kolonialen yang cukup kita kenal.
Perlahan-lahan kapal berlayar di
antara bandar Amsterdam dengan kota ikan Ymuiden di pantai Noordzee, melalui
terusan Canaal Ymuiden, takut pematangnya terusan itu tembus dilondong ombak
dan mengenai tanah di kanan kirinya. Perlahan-lahan, hati-hati,
voorzichtig...dan breekt het lijntje niet. Cocok benar dengan sifat Belanda.
Holland op zijn smaalst. Tidak saja tanahnya di sini amat sempit, tetapi
perusahaan pertanian di kanan kirinyapun adalah perusahaan kecil-kecil,
kepunyaan seseorang kebun kentang, kebun arbes, dan jangan dilupakan kebun
bloem-bollen. Bukan dikerjakan secara besar-besaran dengan mesin kekuatan 1001
kuda, melainkan dengan tangan dan hewan....je kunt het nooit weten: Kerja
besar-besaran menuju ke arah yang jauh belum kelihatan dan mengandung risiko
besar, memangnya bukan sifat Belanda. Benar di penghabisan abad ke XVI Belanda
dan kapal layarnya meninggalkan pantainya, mengarungi Noordzee, melewati Afrika
Selatan, membelok ke utara, berlayar sepanjang pantai Afrika, Arabia,
Hindustan, Burma, dan sampai ke Indonesia. Tetapi bukanlah bangsa Belanda yang
merintis jalan ke Indonesia itu, melainkan
bangsa Portugis. Walaupun New York sekarang dahulu bernama Nieuw
Amsterdam, tetapi bukan Jan atau Piet yang menyabung jiwa mendapatkan Amerika
melainkan Colombus. Dash, avontuur, mendapatkan yang baru atas perhitungan yang
masih mempunyai X, belum pasti terlihat, mengandung resiko, bukanlah sifat
bangsa Belanda. Dulu tidak, sekarang tidak, dan mungkin sekali di hari depan
pun tetap tidak? Tidak mustahil Negara Belanda sedikit demi sedikit di kemudian
hari mengadakan perusahaan berat atau sedang, seperti pabrik membikin mesin
kapal, kereta atau pesawat. Dan seterusnya dengan perubahan dasar perekonomian
itu, sifat jiwanya (psikologinya) jadi berubah pula. Tetapi buat bisa melawan
negeri besar seperti Inggris, Amerika dan Rusia dalam persaingan dagang, Belanda
yang tak mempunyai bahan besi, bauxite, aluminium, timah, nikel dan lain-lain
yang penting buat baja paduan (allay) zaman sekarang, maka haruslah semua bahan-bahan itu
didapatkan dengan tangan besi. Hal ini mustahil bisa dijlankan, kalau bangsa
Indonesia tetap menolak tangan besi Belanda itu, dan terus tetap menentangnya
dengan hati baja, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan granat tangan
saja.
Negara Belanda sudah di belakang,
dan kapal kita sekarang berada di Noordzee menuju ke Indonesia melalui samudra
Atlantika, Selat Gibraltar, Lautan Tengah, lautan Merah, dan akhirnya samudra
Hindia. Lebih kurang 6 tahun lampau melalui tempat ini juga tetapi dengan arah
sebaliknya, ialah dari Timur ke Barat. Alangkah banyaknya perubahan yang
kualami dalam diriku sendiri, teristimewa karena pengaruh bebas dari dunia di
sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I, pecah dan selesainya revolusi
sosial Rusia, berdiri dan berkumandangngnya suara Internasional III. Pada
penghabisan tahun 1913 saya lalui jalan ini juga. Tetapi alangkah berbedanya
warna dan kenang-kenangan yang ditimbulkan oleh sekitarnya jalan ini 6 tahun
dahulu, ialah pada akhir tahun 1913 itu, dan akhir tahun 1919 ini!
Di tengah-tengah samudera Atlantika
ini, di waktu malam yang sunyi, yang cuma diusik-usik oleh deburan air yang
dibelah oleh kemudi kapal, terkembanglah film hidup dalam 6 tahun di negeri
Belanda yang semakin jauh berada di belakang itu.
Lebih banyak pahit dari pada
manisnya. Konflik pertengkaran hebat di dalam diri yang belum selesai diperhebat, didorong oleh konflik
dalam masyarakat Eropa yang ditinggalkan dan pertentangan tajam dalam
masyarakat yang akan ditempuh.
Belum lagi berapa lama berada di
negeri Belanda sudah dirasa konflik pertengkaran jasmani dengan keadaan.
Bayaran 30 rupiah sebulan di Asrama Rijkskweekschool tiadalah bisa mendapatkan
makanan yang cocok selera makan kita orang Indonesia walaupun sudi tidur di
loteng. Saya tahu, bahwa di masa itu tak ada pelajar Indonesia yang membayar
kurang dari 50 rupiah sebulan. Bahkan kebanyakan lebih dari itu. Tetapi 30
rupiah sebulan itu, adalah puncak kesanggupan saya membayar. Karena selain dari
itu saya harus membayar 11 ½ rupiah asuransi. Sisanya ialah 8 ½ rupiah buat
belanja sehari-hari. Lima puluh rupiah sebulan itulah anggaran belanja yang
mesti saya selenggarakan.
Perhubungan rapat dengan guru saya,
Direktur II Kweekschool Bukit Tinggi tuan Horensma, dalam kelas sebagai guru
dengan murid, di luar kelas ialah dalam orkes musik Kweekschool sendiri dan
orkes orang Eropa di Bukit Tinggi sebagai dirijen, dan saya sebagai cellist ke
satu, serta derajat yang saya peroleh dalam ujian Kweekschool yang penghabisan,
dengan spontan menggerakkan guru tadi bersama saya pergi menjumpai kontrolir
Suliki, tempat kelahiran saya. Atas jaminan harta benda keluarga saya, maka
didirikanlah Engkufonds yang disokong oleh para Engku di Suliki, buat
mengumpulkan 50 rupiah setiap bulan, untuk membantu saya di negeri Belanda
selama 2-3 tahun. Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke
Indonesia.
Ternyata di belakangnya, bahwa
dengan bayaran 30 rupiah sebulanpun saya bisa mendapatkan rumah yang sedikit
lebih baik. Ini terdapat sesuatu hampir setahun dengan perantaraan kenalan
baik, dan mendapat teguran dari Direktur Rijkskweekschool di Haarlem, karena
mengambil inisiatif sendiri meninggalkan asrama itu. Saya bertindak, karena
kesehatan saya sudah terlampau mundur, sehingga lebih baik jangan melihat
makanan dari pada menghadapinya. Makanan seperti itu cuma membangkitkan perut
untuk menolaknya. Bahannya cukup baik dan mengandung zat, tetapi caranya
memasak adalah cara asrama yang paling buruk.
Kesehatan saya sudah jatuh turun
dari yang semula. Sebelum berangkat, saya perlu mendapatkan surat dari dokter
di Indonesia untuk kepentingan asuransi. Surat itu lekas didapat, sesudah
dokter mengakhiri pemeriksaan badan saya dengan perkataan tersenyum: “Jati
hout”. Kayu jatipun bisa lapuk dimakan waktu dan hawa. Di samping makan yang
tidak terjaga tadi, di mana nafsu makan terus berkurang, nafsu berolah raga
terus bergelora. Sebagai anggota dari salah satu voetbalclub di kota Haarlem,
saya taat menjalankan pertandingan-pertandingan tiap minggu di kota Haarlem
sendiri dan di beberapa kampung sekitarnya. Penjagaan diri di musim dingin
tidak saya kenal, dan kalau diketahuipun belum tentu diperdulikan.
Beberapa tahun di belakang ketika
nafas masih lemas, kaki dan tangan masih lemah, diajak oleh kanak-kanak teman
olah raga berenang menyeberangi sungai Ombilin, maka tewaslah nafas, kaki dan
tangan itu, dan hilanglah ingatan saya diombang-ambingkan ombak yang deras.
Untunglah ada teman yang besar ada di samping dan segera memberi pertolongan.
Setelah ingatlah kembali, tiba-tiba saya sudah berada di rotannya ibu yang siap
hendak memukul sebagai pelajaran. Ayah yang rupanya tahu benar bahwa pukulan
ibu sungguh jitu pedih mengajak memberi pelajaran yang katanya lebih tepat.
Dengan kekang kuda di mulut, saya ditempatkan di pagar di pinggir jalan, supaya
ditonton oleh anak-anak para Engku yang tidak diperbolehkan bermain dengan anak
kampung, seperti saya, bercampur gaul dengan mereka. Tetapi ibu anggap bahwa
itu hanya diplomasi ayah saya buat menghindarkan saya dari ibu. Sesudah melihat
saya dengan kekang kuda di mulut itu, walaupun ayah berdiri di samping menjaga,
dan banyak anak-anak berkerumun, ibu tidak merasa puas. Sangka ibu ada lagi
otoriteit yang lebih tinggi yakni Guru Gadang (Guru Kepala). Atas aduan ibu,
maka Guru-Gadang itu menjalankan hukuman pada diri saya, hukuman yang dikenal
oleh anak-anak di sana dengan nama pilin pusat (cabut pusar). Sampai sekarang
saya masih heran, kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu
kali lagi dilakukan di belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan
bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang menyeberang sungai Ombilin
itu pula, dan membawa-bawa lagi anak-anak para Engku. Lain kali karena main
sembur-sembur, artinya bertanding menyemburi muka sampai salah satunya kalah.
Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan juga menyembur
lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya pikir perjuangan sudah selesai,
kemenangan akhir ada di pihak saya, dan saya berhak penuh merasakan lezatnya
kemenangan itu. Cuma heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Apabila saya
naik ke tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru Gadang,
buat menjalankan hukuman “pilin-pusat”. Rupanya anak-anak lain sudah melihat
Guru Gadang menunggu di tepi sungai. Rupanya saya asyik berjuang membelakangi
Guru Gadang itu. kalau di belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan
mengangkut anak-anak Engku melihat macan ditangkap di gunung, maka saya saja
yang dikenai “pilin pusat”. Pun kalau “perang jeruk” (barisan yang satu
melempar yang lain dengan jeruk), berakhir dengan “perang batu” dari anak
sekolah di kampung tempat itu, ialah Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung
Tanjung, maka yang harus menjalankan hukuman sebagai “penjahat perang” saya
juga. Sebagai hukuman “perang batu” ini mulanya saya dimasukkan ke dalam
kandang ayam. Yang demikian ini rupanya tidak memuaskan rasa keadilan ibu. Atas
usul beliau sendiri, maka Guru Gadang segera memaku dengan hukuman yang biasa
dijalankan dengan lancar dan jitu, ialah hukuman pilin pusat itu juga.
Di sekitar tanah lapang di Velsen
atau Ymuiden di musim dingin, ada salju, tetapi tak ada jari yang sedia
menerkam perut di sekitar pusar saya. Nasihat teman supaya memakai baju tebal
di waktu pauze (dalam pertandingan) tiada diindahkan. Pengalaman pahitlah yang
mesti memperingatkan. Entah karena kekurangan dalam hal makan, entah lantaran
olah raga yang tidak terpimpin, entah karena keduanya, maka 3 bulan sebelum
ujian guru saya jatuh sakit pleuritus. Baru setelah tak bisa berjalan lagi saya
bilang kepada nyonya rumah. Baru dokter didatangkan.
Bayaran dokter adalah perkara yang
penting. Di luar belanja 8 ½ rupiah sebulan itu, tak ada uang pada saya. Yang
sanggup didatangkan ialah dokter pembantu orang miskin dengan percuma, “bus
dokter” gelarnya di Haarlem, dokter Jansen namanya. Tentulah pemeriksaan tak
begitu teliti seperti di rumah sakit oleh dokter kelas satu, dan obatnya cuma
puyer murah saja. Tempat di loteng, di kamar kecil yang udaranya sesak terkumpul
tiadalah melekaskan sembuhnya penyakit Pleuritus itu. hawa badan terus tinggi,
tetapi saya ingin pulang ke Indonesia, dan sebab itu ingin menempuh ujian guru.
Janji dengan Engku fonds cuma buat 2 tahun saja. Tetapi kalau hawa badan tetap
tinggi begini, dokter kelak tentu tak akan mengizinkan menempuh ujian. Mulailah
saya turunkan derajat hawa badan itu. Untungnya saya sendiri yang mesti
mengambil 3 kali sehari. Beberapa hari sebelum ujian, Direktur Rijkskweekschool
datang melihat dan berkata, bahwa saya amat sakit waktu itu. Lagi pula saya
tidak mengikuti repetisi, sudah tiga bulan tidak bersekolah. Walaupun sudah
tiga bulan absen, tetapi dia percaya akan kecakapan saya, dan akan mengirimkan
saya menempuh ujian resmi asal saja dapat izinnya dokter. Dengan susah payah
saya dapatkan izin dokter, ialah dengan perjanjian saya pergi dan kembali ke
dan dari ujian dengan kereta kuda. Temperatur memang normal.... di atas kertas
yang saya isi sendiri.
Begitulah apabila harinya tiba saya
menempuh ujian resmi, baikpun dengan tulisan ataupun lisan, saya beruntung
lulus! Tetapi sampai di rumah barulah saya menderita akibat pembantingan tenaga
luar biasa itu, dalam waktu saya masih sakit berat.
Sebenarnya tak perlu saya meneruskan
lebih kurang 2 tahun di Rijkskweekschool itu, buat mendapatkan hulp acte. Dua
tiga bulan kursus tambahan saja rasanya sudah cukup. Tetapi perkara mendapatkan
Europeescheacte buat guru dengan politik imprialisme Belanda di waktu itu,
begitu banyak seluk beluknya, sehingga akan terlampau panjang jikalau perkara
itu saya uraikan lebih lanjut. Cukuplah sudah kalau diperingatkan di sini bahwa
Kweekschool di Bukit Tinggi, yang di masa saya ialah perguruan tunggal dan
tertinggi buat seluruh Sumatera, dihapuskan sama sekali sesudah pemberontakan
Silungkang tahun 1927. Jadi Kweekschool pun sudah terlalu tinggi buat 10 juta
rakyat Sumatera umumnya dan buat Minangkabau khususnya.
Bukan tempat, tempo ataupun
maksudnya untuk menceritakan seluruhnya pendidikan saya di sini. Pekerjaan ini,
walaupun berfaedah bagi pemuda-pemuda kita, akan memerlukan tempo dan tenaga
terkhusus. Tetapi untuk menyempurnakan uraian konflik dengan hawa dan makanan
di negeri Belanda itu, terutama pada beberapa tahun permulaan, baiklah saya
singgung sedikit konflik antara hasrat belajar beserta pengetahuan yang ada
pada saya di waktu itu pada satu pihak dan kemungkinan untuk menjalankan hasrat
itu di lain pihak.
Adapun para murid Rijkskweekschool
Haarlem itu mendapat ongkos belajar dari Pemerintah Belanda seperti para murid
Kweekschool Bukit Tinggi juga. Persamaan lain di antara dua Kweekschool itu
jarang sekali dapat dicari. Rijkskweekschool Haarlem mendidik muridnya menjadi
guru untuk anak Belanda, dalam bahasa Belanda, pada hakekatnya buat anak
Belanda. Rijkskweekschool Bukit Tinggi melatih guru buat anak Indonesia,
terutama dalam bahasa Indonesia, untuk Hindia Belanda.
Tidak sedikit di antara murid yang
diterima di Rijkskweekschool itu pemuda keluaran Mulo atau lebih, karena
mengharapkan sokongan pemerintahnya. Berhubungan dengan banyaknya calon maka
ujian masuk juga cukup keras, walaupun tak begitu keras kejam seperti ujian
masuk Kweekschool Bukit Tinggi, teristimewa pula buat murid berasal
Minangkabau-darat, Padang-Darat (di masa saya, di antara 200 sampai 300 calon
cuma kami 3 orang yang diterima).
Pada waktu permulaan di
Rijkskweekschool Haarlem, dengan sedih sekali saya saksikan, bahwa pelajaran
yang sudah saya terima di Kweekschool Bukit Tinggi sama sekali tidak sambung
menyambung dengan apa yang diberikan di Rijkskweekschool itu. Betul, umpamanya
sama-sama diajarkan ilmu tumbuh-tumbuhan, akan tetapi tumbuh-tumbuhan yang
mesti diperiksa dan diajarkan di negeri Belanda tiadalah sama dengan di
Indonesia. Begitu juga kiranya dengan ilmu bumi, ilmu mendidik (paedagogie),
ilmu menggambar, ilmu ukur (meetkunde) dan lain-lain. Ada pula ilmu yang sama
sekali mesti dipelajari dari permulaan seperti sejarah Belanda, sejarah dunia,
Aljabar, ilmu ukur ruang (stereometrie), trigonometric, dan ilmu kodrat
(mechanica). Sebaliknya ada pula pengetahuan yang sudah saya pelajari di Bukit
Tinggi tetapi tiada diajarkan atau cuma sedikit sekali diajarkan di Haarlem,
ialah terpenting buat guru Belanda, tentulah bahasa Belanda. Sepintar-pintar
orang Indonesia dalam mempelajari bahasa asing, maka pemuda Belanda berumur
14-20 tahun, tentulah lebih paham bahasa ibu dan masyarakatnya dari pada orang
Indonesia yang cuma beberapa jam sehari saja menerima pelajaran bahasa Belanda
di kelasnya selama 6 tahun. Tetapi tiada berarti bahwa dalam hal ilmu
tatabahasa (grammer) saya akan kalah saja oleh murid kelas tertinggipun.
Saya tak tahu siasat yang diputuskan
para guru Rijkskweekschool terhadap saya dalam keadaan tersebut. Pengalaman
membuktikan, bahwa di dalam 2 tahun itu, sebenarnya saya tak mempunyai kelas
tetap, melompat-lompat dari kelas ke kelas yang empat itu. buat ilmu bumi, ini
pagi umpamanya di kelas satu, nanti petang di kelas empat.
Hal ini saja, kalau tidak ditambah
dengan hal yang lain-lain, sudah bisa mematahkan hati saya yang belajar dari
permulaan. Memangnyalah semua vak saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti Ilmu mendidik, Ilmu tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain, saya pelajari dengan terpaksa. Pelajaran seperti aljabar,
trigonometri dan lain-lain yang dinamai denkvakken, ilmu yang memerlukan otak,
saya dipaksa mempelajarinya.
Pelajaran berpikir tersebut diluar
rekendekunde (ilmu berhitung), tak perlu dipelajari buat guru, bahkan juga tak
perlu dibuat ujia guru kepala. Tetapi sesudah oleh guru wiskunde saya
dilompatkan dari kelas 1 ke kelas II, ke kelas III, dalam satu hari, buat
aljabar dan lain-lain, maka dia menarik saya pula diwaktu mengaso. Katanya dia
mau habiskan pelajaran ilmu pasti (wiskunde) itu dengan saya. Dibisikkannya
pula, bahwa ia ingin meneruskan mendidik saya, karena dulu dianggap orang
Indonesia itu tak sanggup menerima pelajaran ilmu pasti. “Saya susah sekali
mengajarkan Sutan”, (katanya , “tetapi sekarang, setelah kamu, pemandangan itu
saya tukar”.
Saya tahu, bahwa Sutan Kasanjangan
yang dimaksudkannya itu sekali-kali bukan orang bodoh, walaupun sampai 5 kali
gagal dalam ujian mencapai ijasah Guru
Kepala. Penghargaan kami terhadap anak Batak di Kweekschool Bukit Tinggi yang
diterima setelah ujian di antara berpuluh-puluh calon dari seluruh Tapanuli,
tentulah tidak terkecuali. Tetapi mungkin karena kekurangan dalam pengetahuan
bahasa Belanda, maka susahlah ia memahamkan pelajaran ilmu pasti itu. Dan
berhubung dengan lima kali gagalnya menempuh ujian itu, maka mungkin sekali
politik sekolahnya imprialisme Belanda diam-diam campur tangan pula.
Buat saya ilmu pasti itu sedikitpun
tak pernah jadi keberatan, walaupun diloncatkan dari pasal tiga belas dengan
tiba-tiba. Taktik strategi menerima pelajaran ilmu pasti telah saya pahamkan
dengan istimewa dan saya jalankan dengan hasil yang memuaskan hati serta
meringankan pekerjaan, beberapa tahun sebelum ke negeri Belanda.
Tetapi buat mempelajari
tumbuh-tumbuhan, banyaknya daun dan serbuk bunga (meel-draad), bijinya buah,
giginya kodok Belanda, methode mengajarkan abc kepada anak-anak dan lain-lainnya,
tak apalah taktik strateginya daripada menghapal, menghapal dan menghapal. Buat
ini saya sudah tak dapat dipakai. Kecuali untuk pengetahuan yang memang menarik
hati saya, menghapal itu sudah saya benci habis-habisan.
Kebencian kepada dunia yang berupa
kajia-hapalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada
kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari
di asrama dulu. Kebencian terhadap roti keju ini cuma timbul di waktu
menghadapinya saja. Tetapi kebencian terhadap kaji hapalan yang dipaksakan
adalah terus menerus, sebagai kebencian saya terhadap perbandingan yang tidak
adil antara keadaan masyarakat Indonesia dengan Belanda.
Dalam keadaan demikian itu saya
mendapat kesempatan berjumpa dengan Prof. Snouck Hurgronye (almarhum). “Saya”,
kata mana guru ini, takkan memikirkan menjadi guru mengajar anak-anak Jerman,
walaupun saya lama tinggal di Jerman”. Saya tercengang mendengarkannya.
Kemudian ditanyakan semenjak umur berapa saya belajar bahasa Belanda. Saya
jawab, semenjak kira-kira umur 13 tahun. “Nah”, katanya, “dibawah umur 13
tahun, tuan tak bercampur gaul dengan anak-anak Belanda. Apakah tuan berpikir
dapat menyelami jiwa anak-anak Belanda di bawah umur 13 tahun, di sekolah
rendah itu dengan mempergunakan kata-kata yang lazim dipakai oleh mereka?”
Prof, yang kata orang “ethiesch”,
pecinta inlanders dan ahli agama Islam ini saya tinggalkan dengan pikiran saya
yang terharu. Pertanyaan tadi masih terdengung di telinga saya. Semenjak itu
saya sangsi akan arahnya didikan saya. Saya malu mau mendapatkan hak jadi guru
mengajaar anak Belanda yang tidak sebahasa, sebangsa dengan saya, dan tak akan
bisa saya jumpakan jiwanya dengan bahasa ibunya.
Mulanya saya berpikir akan menukar
haluan didikan saya. Tetapi saya tertumbuk pada perkataan penasehat saya, ialah
tuan guru Horensma di Bukit Tinggi itu sebelum kami berpisah. Beberapa kali
dikatakan kepada saya, bahwa dia tak sanggup memberi nasehat, kecuali dalam
daerah didikan guru itu. saya maklum, karena dia seorang guru dan ingin melihat
orang Indonesia mendapat didikan guru Belanda. Tetapi baru enam tahun sekembali
saya di Bukit Tinggi, sesudah dia sendiri kecewa dengan birokrasi di Batavia,
dikeluarkannya sesalannya dengan perkataan: “Sepantasnya saya mesti menasehatkan
engkau menjadi insinyur”. Memang kalau dari mulanya didikan saya ditujukan
kepada insinyur kimia atau pertanian, keperluan jasmani terjaga, nafsu belajar
tak akan terganggu, mungkin sebaliknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan
dalam 6 tahun itu, banyak perubahan yang berlaku atas diri saya.
Di mana jasmani menderita karena
kekurangan, di mana rohani terpaksa dalam kungkungan lahir dan batin, dimana
akhirnya semua jalan menuju perubahan dan perbaikan sama sekali buntu, maka
disanalah hati terbuka, ditarik oleh kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh
kodrat pertentangan-pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Pergolakan
thesis dan anti-thesis di dalam diriku adalah bayangan dari gelora kedua kodrat
itu, dalam arti sempit dan arti luasnya: dalam keadaan rumah yang kudiami dan
keadaan Eropa di masa itu, yakni dalam rumah orang melarat di masa Eropa dan
dunia seluruhnya berada dalam kancah peperangan dunia pertama (1914-1918).
Hampir setahun sebelum perang saya tiba di Nederland dari hampir setahun pula
sesudah perang saya meninggalkannya.
Dalam rumah sewaan seorang keluarga
buruh, sebuah rumah kecil dijalan kecil, kebetulan pula bernama
Jacobbijnenstraat, saya mendiami kamar loteng yang sempit gelap. Kamar di
sampingnya didiami oleh seorang pengungsi Belgia, Herman, seorang pemuda,
bekerja pada satu pabrik jam di kota Haarlem. Orang muda ini meninggalkan
negerinya sesudah Belgia diserbu Jerman. Nyonya rumah adalah seorang perempuan
buruh, jujur, sederhana dan dalam segala-gala penuh kemanusiaan, di masa
kemanusiaan itu tak ada di dunia bagi dirinya sendiri. Suaminya sudah lama
sakit paru-paru dan dirawat di rumah sakit yang sesungguhnya cuma buat menunggu
ajalnya saja. Dulunya Van Der Mij, begitulah nama si sakit melarat ini, bekerja
sebagai buruh besi di salah satu bengkel di Haarlem. Semenjak sakit tak ada
gaji, pensiun atau sokongan macam apapun yang diterimanya. Seperti kuda beban
yang sudah sakit dia dilemparkan begitu saja. Nyonya Van der Mij hidup dengan
menyewakan kamar kepada kami dan mendapat sedikit bantuan dari anaknya yang
sudah dewasa dan bekerja sebagai juru tulis rendahan di salah satu kantor di
Amsterdam. Untung yang diperoleh dari Herman dan dari saya hampir tak berarti,
sebab makanan yang disajikan untuk kami sudah menghampiri bayaran kami. Dengan
hasil pencarian yang rendah itu dan dengan bantuan anaknya tadi Nyonya Van der
Mij setiap dan harus membayar ongkos suaminya di rumah sakit. Tak perlu
diuraikan lebih lanjut kemelaratan perempuan ini. hanya perlu dinyatakan bahwa
kesabaran wanita buruh sederhana ini bukan kepalang.
“Van der Mij muda bersimpati pada
serikat (Inggris, Perancis, Belgia) dan seorang pembaca yang setia dari “De
Telegraaf”, surat kabar yang merah padam anti Jerman. “De smerige moffen...”
Begitulah ucapan yang sering dimajukan kepada Jerman. Di masa itu buat saya tak
begitu nyata apa bedanya imprialisme Jerman dan Inggris ataupun imprialisme
Belanda, dari itu sering terjadi persilisihan faham dengan Herman. Pada satu
perdebatan yang sedikit lama dan agak bersemangat, tiba-tiba Herman mencampuri
sambil berkata: “Benar Ipie (nama panggilan saya), saya setuju!”. “Buat saya
sendiri”, katanya terus, “manusia itu semuanya bangsat yang tujuannya hanya
merampas-rampas saja (Smeerlappen allemaal, dievan allemaal)! Herman sudah
pegang pisau....memang darah Belgia lebih panas. Saya mencoba membubarkan.
Untunglah Van der Mij muda dengan cerdik mengalah saja. Rupanya Herman, pembaca
“Het Volk” sudah lama menunggu-nunggu Van der Mij pembaca “De Telegraaf”.
Dari Van der Mij saya bisa membaca
De Telegraaf dan dari Herman Het Volk, surat kabar Partai Sosial Demokrat
Nederland. Kalau Herman dengan muka berseri datang dari pekerjaannya dan
memasukkan tangan di kantongnya saya tahu apa yang akan keluar, ialah majalah,
brosure atau karangan pedas anti imprialisme. Herman suka membaca yang pedas
dan kalau perlu berlaku tegas.
Selangkah demi selangkah, didorong
keadaan dalam dan luar diri saya, dipengaruhi dan diobori buku-buku bacaan,
maka cocok dengan undang-undang kwantity bertukar dengan kwality, tiba-tiba
saya sudah berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.
Kekaguman atas persatuan semangat
dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik
saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur
Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada
sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku
tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya
gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang
mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan
kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan
menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang
lebih erat. De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca:
Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang
tak kurang populernya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot
Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh
bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung
aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai. Tetapi terasa bahwa filsafat
Nietsche lebih banyak terpusat pada satu bangsa saja, ialah bangsa Jerman dan
pada satu golongan Jerman yang istimewa, ialah golongan “Junkertum”, ningrat
yang dibantu oleh hartawan. Kemauan
baja, hasrat yang tergambar pada Ubermensch di masa perang dunia kesatu itu
menjelma pada persekutuan Hitler-Goring-Krupp. Ke Jermanannya filsafat Nietsche
itu lekas saya alami, waktu percobaan saya memasuki tentara Jerman dan
mendapatkan latihan Jerman mendapat jawaban, bahwa tentara Jerman tak menerima
bangsa asing dan tak mempunyai Laskar Sukarela Asing.
Sendirinya saya terdorong kepada
“Umwertung aller Werten” yang lebih dalam: “Liberte, Egalite, Fraternite. Satu
buku “De Franche Revolutie” (atau De Groote Frasche Omwenteling) oleh Th.
Carlyle, sudah lama terpendam di antara beberapa buku lain dalam peti saya.
Guru Horensma ketika kami berpisah menyerahkan beberapa buku pelajarannya dulu
yang masih bisa saya pakai. Buku tersebut di atas beberapa kali
dibolak-balikkan antara peti saya dan petinya sendiri. Akhirnya dia masukkan
juga buku Revolusi itu ke dalam peti saya dengan perkataan: “Nou, toe maat”.
Di masa itu politik adalah “terra
incognita” (onbekend land) buat saya. Tidak saya benci dan tidak saya sukai,
karena saya sama sekali tak insyaf akan adanya politik itu. tetapi di masa
Strum und Drang di atas, di masa pikiran melompat, menyelundup, membelok ke
kiri ke kanan dan menerobos laksana air tertahan, maka tiba-tiba buku “De
Fransche Revolutie” menjelma menjadi satu teman bahagia buat pikiran yang lelah
sedang mencari.
Bukti pula yang seolah-olah
menguatkan rasa “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan” bangsa Perancis itu,
ialah sikapnya yang ramah tamah terhadap bangsa berwarna yang ada di sana
(Perancis) di masa itu. bukankah pula bangsa Arab, Senegal dari Amman dengan
taat dan tekad membela “France” di medan perang Eropa? Seperti keberanian dan
kesetiaan Gurkha di samping Inggris mengagumkan dunia di masa itu, demikianlah
pula adanya tekad kesetiaan serdadu dari Algeria-Perancis terhadap Perancis.
Pada masa itu kemajuan pikiran saya
belum sampai ke tingkat dialektika berdasarkan materialisme, dan mengupas
semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite tadi dalam suasana kapitalisme dan
imprialisme. Belum ada dalam pandangan saya klas borjuis dan klas proletar di
samping bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Pandangan ini baru timbul sebagai
sambungan kemajuan mencari paham yang memuaskan, ketika Revolusi Komunis
sebagai bom peledak yang menggemparkan seluruh dunia, pada bulan Oktober 1917
di Rusia. Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan
Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes, “Marische Ekonomie” oleh
Karl Kautscky dan lain-lain sebagainya. Selanjutnya banyak brosure yang
berhubungan dengan Revolusi Sosial di bulan Oktober 1917 itu diterbitkan.
Circlenya “thesis, anti thesis dan
synthesis” mendapat kesempatan pada tingkat pertama. Lingkaran “Ada, Pembatalan
dan Kebatalan Pembatalan” mendapat taman bahagia buat bersemayam.
Demikianlah ombak asyik dalam ribut
taufan Asia, dimana keadaan lahir mendorong pikiran bergerak terus menerus,
akhirnya laksana sungai di gunung, terjun, tergenang, mengalir, dan menerobos
sampai ke kualanya di Samudera.
Thesis, anti thesis dan synthesis!
Dalam lapangan filsafat berupa:
Niestche sebagai thesis, Rousseua sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-Engels
sebagai synthesis. Dalam lapangan politik berupa: Wilhelm-Hidenburg-Stinnes
sebagai permulaan, Danton-Robespiere-Marat sebagai pembatalan, serta kaum
Bolsjewik sebagai Kebatalan Pembatalan.
Proses pertama sudah berlaku dalam
pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk
paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan. Proses kedua:
“Paham berkehendak membentuk masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban
hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.
Kemauan, kecerdasan dan perasaan itu
memang memuncak dalam keadaan jasmani yang sehat: “Men sana in cor poro sano”.
Tetapi sebaliknya, tiadalah jiwa itu rusak remuk begitu dengan merosotnya
kesehatan. Sering pula penyakit itu hampir tak terasa, kalau kemauan berjuang
melakukan paham yang jelas dan kuat memberi pengharapan besar akan kejayaan.
Seolah-olah jiwa yang hidup dalam masyarakat baru itu, meskipun cuma satu
idaman belaka, tak memperdulikan adanya penyakit badan dan penyakit masyarakat
yang ada menghalang-halanginya. Seolah-olah perjuangan itu sendiri yang menjadi
jiwa hidup dan kehidupan jiwa.
Dokter Jansen yang merawat penyakit
pleuritus saya itu sudah sedikit tua, ramah-tamah dan biasa tercampur baur
dengan rakyat rendahan. Tetapi penyakit pleuritus memang sukar dibasmi. Air
yang ada antara punggung dengan paru-paru itu tak sama sekali kering.
Pemeriksaan kurang, alat kurang dan obatpun cuma yang murah saja. Sesudah ujian
guru, temperatur saya terus agak tinggi saja.
Entah apa yang diusahakan oleh Guru
Horensma dari Indonesia, saya tak tahu, tetapi ketika saya masih sakit itu,
kiranya pada tahun 1916-1917, pada suatu hari saya dijemput oleh seorang wakil
dari satu studiefonds di Nederland yang dilindungi oleh bekas G.G. Van Heutz.
Fonds ini memberi pinjaman pada pelajar Indonesia dengan bunga 5%. Pengawas
dari Fonds ini, tuan Fabius, berhubungan langsung dengan saya. Tuan Fabius
adalah seorang terkemuka di Nederland, bekas Jendral-Mayor Pertahanan Amsterdam
bagian Artileri, pengarang buku, yang agak terkenal dahsyat-gemuruh suaranya.
Terbentuklah fahamnya dahsyat juga, sebagai faham temannya bekas G.G. Van
Heutz, yang cukup terkenal dalam penggempuran rakyat Aceh.
Tempat baru di Bussum, kota kecil
penuh dengan villa besar-besar. Rumah yang saya tumpangi, sedang besarnya buat
kelas menengah, keluarga guru. Hawa selalu sangat segar, cahaya matahari masuk
dengan leluasa ke beranda, makanan penuh mengandung zat dan masakan
terpelihara, sayur mayur dan buah-buahan tak kekurangan. Hawa dan makanan itu
saja sudah mengembalikan setengah kekuatan. Perawatan dengan listrik oleh
dokter terkenal, Klinge Doorenbos, dalam satu dua bulan mengeringkan air di
pinggir paru-paru dan mengembalikan kesehatan seperti lebih kurang ketika saya
di Indonesia.
Makan minum dan kediaman saya di
Bussum memang setengah mewah, bisa menidur lenakan, mengikat jasmani serta
rohani ke dunia borjuis. Untunglah pikiran sudah berada dalam perubahan
revolusi yang menghampiri perubahan revolusi. Pengalaman di Haarlem dengan
suasana hidup di rumah satu keluarga proletar yang bernasib malang sudah cukup
memberi peringatan adanya jurang luas dalam antara borjuis dan proletar,
walaupun dalam negara kapitalis-imperialis yang termashur di seluruh dunia
seperti di Nederland. Pecahnya revolusi Bolsyewik di Rusia tahun 1917, ketika
saya sudah berada di Bussum kota borjuis itu. revolusi itu memberi keyakinan
pada jiwa yang masih ribut dalam taufan pergolakan thesis, anti thesis, bahwa
masyarakat seluruhnya sedang beralih ke zaman sosialisme. Lama atau sebentar
sosialisme mungkin bisa terpukul di sana-sini, tetapi sebagai balans
perhitungan masyarakat dunia seluruhnya, mesti menjauhi kapitalisme dan
mendekati sosialisme. Dengan kesehatan yang tak pernah lagi terganggu dan paham
politik serta pandangan hidup yang sudah pasti padu, saya berhadapan dengan
kehidupan borjuis itu.
Pada suatu hari saya dengar kabar
bahwa Van der Mij datang mengunjungi tuan Fabius buat meminta saya pindah
kembali ke Haarlem, ke rumah ibunya. Bukan karena pembayaran makan semata-mata,
karena dia sudah mempunyai tamu lain sementara, karena nyonya Van der Mij,
wanita jujur sederhana itu, sunyi sesudah Van der Mij tua meninggal. Dan Ipie
dianggapnya seperti anaknya sendiri. Van der Mij muda memperingatkan pula
kepada tuan Fabius akan perjanjian sebelum berangkat ke Bussum, bahwa saya akan
dikembalikan ke Haarlem sesudah sembuh sama sekali.
Perkataan apa yang sebenarnya
dipakai oleh tuan Fabius, saya tak tahu. Tetapi permintaan itu ditolak. Apa
alasan tuan Fabius untuk menolaknya tak perlu kita coba menduga-duga, sebab
saya sudah terikat oleh fonds baru itu.
Dengan perantaran tuan Been, seorang
penerbit majalah kanak-kanak, kemauan saya sudah diketahui oleh tuan Fabius.
Kemauan itu tak saya sembunyi-sembunyikan: “Saya mau pulang. Kerja di mana saja
buat membayar hutang yang masih sedikit. Kemudian kembali ke Eropa, buat
mempelajari apa yang cocok dengan hasrat hidup saya, dengan ongkos sendiri.
Dengan pendek dijawab oleh tuan
Fabius: “Tak bisa, karena di masa perang tak ada tempat di kapal”.
Saya terpaksa menunggu habisnya
perang, yang tak bisa ditentukan kapannya itu. tetapi kehendak buat meneruskan
belajar lagi, supaya nanti diperbolehkan menjadi guru-kepala Belanda, tak ada
pada saya sama sekali. Boleh jadi saya bisa jadi guru kepala yang dianggap
penuh sederajat dengan guru kepala Belanda, yakni kalau di mata Belanda saya
sudah bisa meng-European-kan diri saya (walaupun tetap European Inlander)
supaya berhak mengajar anak-anak Belanda. Lagi, sebagai European Inlander tadi
saya sanggup meng-European-kan semua anak-anak “Inlanders”. Yang demikian ini
saya tak sanggup.
Sudah tentu pekerjaan mendidik
anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah satu pekerjaan yang tersuci dan
terpenting di masa itu dan sekarang. Dan soal kemana didikan itu mesti
diarahkan, dasar apa yang mesti dipakai, serta cara apa yang mesti diukur, buat
saya sendiri itu tepat bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda Penjajah.
Bagi saya, bahasa Belanda pasti bukan bahasa pengantar, dan kebudayaan Belanda
bukanlah arah pendidikan kita.
Konflik saya dengan lingkungan baru
di Bussum terlampau banyak buat diuraikan di sini semuanya satu persatu.
Dengan nyonya rumah, nyonya K, yang
di mata saya memakai kedok agama buat mendapatkan kedudukan dalam gereja dan
masyarakat seagamanya saja, saya tak merasa banyak simpati. Nyonya K, sangat
fanatik kepada Madzhabnya, ialah doopsgezind. Kalau cuma fanatik menjalankan
ajarannya saja, tak akan banyak menyinggung perasaan orang lain. Tetapi nyonya
K, juga terlampau pasti, bahwa aliran lain di antara agama Kristen sendiri,
apalagi agama Islam, seakan-akan sama sekali tak beres. Kembali dari khutbah
tiap-tiap Minggu, nyonya K, sedang makanpun terus membicarakan pidato yang
didengarnya, walaupun kami para pendengar bukan doopsgezind. Inipun tak berapa
kalau dibicarakan dengan cara biasa. Tetapi nyonya K selalu merah padam kalau
kembali dari gereja. Yang pokok memerah-padamkan nyonya K, ialah kalau
membicarakan jamaah umumnya, dan perkara pilihan pimpinan jamaah itu khususnya,
karena nyonya K tak terpilih, kalah
suara oleh anggota lain sejamaah dalam pilihan tahun itu. menurut nyonya K,
pemilihan itu dilakukan dengan tidak jujur, sebab dia sendirilah yang mestinya
mendapatkan suara terbanyak. Memang lucu pertengkaran dalam Jamaah doopsgezind
di Bussum itu. Jumlah anggotanya barangkali tak lebih dari 30 orang, dan
“kejujuan” itu adalah semboyan nyonya K sendiri. Untunglah tuan rumah mengiakan
apa yang dibilangkan oleh nyonya. Biasanya tuan rumah pendiam dan sabar. Tetapi
ada juga perkara yang membangkitkan tuan K, dari ketenangannya, yakni kalau
membicarakan sosialisme umumnya dan pimpinan sekolah khususnya. Tuan K, adalah
seorang sosialis, guru sekolah dan fel anti-hoofdschap, anti guru kepala di
sekolah. Buat tuan K, dan para teman sealirannya guru kepala itu adalah satu
mahluk yang tak perlu. Para guru bisa mengatur sekolah itu secara gotong royong
dengan tak perlu diawasi diselidiki dan di school-vos-i oleh guru kepala yang
tak memimpin klas, cuma mondar-mandir atau goyang-goyang kaki saja. Yang kurang
mengerti ialah kalau tuan mulai menyemburkan kutuknya terhadap system “guru
kepala”, maka ada saja alasan nyonya buat pergi ke dapur atau ke loteng.
Seolah-olah ada persetujuan antara tuan dan nyonya. Kalau nyonya menyembur
“kepala Jemaat” di gerejanya, maka tuan main “ya” dan kalau tuan menyembur
“guru kepala” maka nyonya segera berangkat ke dapur atau ke loteng.
Dengan saya, taktik itu rupanya tak
bisa dijalankan. Konflik terjadi di masa waktu Syarikat Islam dan Budi Utomo
datang di Nederland, berhubung dengan soal Indie weerbaar. Soal Indie weerbar
itu juga sampai menyelundup di Bussum dan di lingkungan rumah kami. Pada salah
satu percakapan sekembali saya dari rapat Indie weerbaar di Den Haag, nyonya
mengemukakan perkara ini dan mengambil sikapnya penjajah Belanda mentah-mentah.
Konflik meletus!
Saya pindah ke rumah lain, menumpang
pada seorang exportir di sebuah villa yang kecil. Tuan D, tuan rumah itu,
adalah seorang Jerman, pedagang dan ramah tamah. Sedang nyonya rumah orang
Belanda, muda, sabar dan lemah lembut. Tuan-nyonya menerima dua pelajar Indo,
seorang Tionghoa, lagi seorang Indonesia yang sudah lari dari tempat saya tadi.
Dua pelajar Indo ini bukannya orang jinak, mereka dipindahkan dari Den Haag ke
Bussum buat mendapatkan suasana yang lebih baik (beschaafd) di bawah pengawasan
tuan Fabius. Mereka adalah dua bersaudara. Tak begitu maju di sekolah. Walaupun
sudah berumur 19 dan 18 tahun, dan anak orang berada juga, mereka cuma sanggup
mendapatkan ijazah sekolah rendah. Di Bussum mereka masuk kursus malam buat
boekhouding.....pun dengan susah payah melanjutkannya, di mana kecerdasan
mereka sangat rendah, kenakalanlah sangat memuncak. Mereka dipindahkan dari Den Haag itu lantaran
melemparkan tantenya dari loteng ke bawah.
Di masa ramai-ramai, kalau ada
pemuda apalagi pemudi, kenakalan yang tua (OS) meningkat. Pada malam kedua saja
tiba-tiba O.S sudah belitkan tangannya di leher saya dari belakang: “Ini silat
kepiting Iep” katanya. Tetapi rupanya bukan secara main-main, sebab saya rasa
leher saya tertekan dan susah untuk bernafas. Untunglah saya mendapatkan
sedikit pusaka tentang silat kepiting itu. Yang kena sepit bukannya saya!
Kebetulan ada air segelas di atas meja buat melayani “eerste hulp bij
ongelukken”. O.S. bisa lekas dibangunkan kembali. Semenjak itu dia baik sekali
terhadap saya. Rupanya yang disegani orang semacam itu cuma kekuatan nyata
saja. Tetapi di samping segannya kepada saya, kecerobohannya terhadap yang
lain-lain terutama yang dipandangnya lemah, semakin memuncak. Dengan
saudaranyapun (H.S) saya berurusan juga kemudian. Bukan karena dia (H.S)
agresif, ceroboh atau mengirimkan ultimatum kepada saya, melainkan karena
menghina nyonya rumah. Sedang saya membaca terdengarlah dia mendesakkan
fahamnya sambil menghina: “Nyonya bodoh, nyonya goblok”. Sudah dua kali saya
peringatkan, supaya jangan diteruskan, setelah ketiga kali dipakainya perkataan
lain, tetapi lebih tak pantas dihadapkan pada satu wanita yang tak pernah
memakai perkataan kasar atau sombong. Entah bagaimana jalannya saya meloncat
dan dia terpelanting jatuh ke dinding. Semenjak itu di belakang saya dia
menggelari saya “De tijger”.
Si Tionghoa rajin , pendiam dan
pintar. Mulanya akrab sekali dengan saya. Kemudian sedikit cekcok, tetapi
karena dia sakit saraf, lama tak tidur, menghapal, maka saya sangat menyesal.
Belakangan ia menjadi teman baik kembali. Si Indonesia selalu di rumah sakit
saja, hal mana sangat menyedihkan kami, sampai dalam keadaan sakit ia terpaksa
dipulangkan ke Indonesia.Demikianlah sekiranya keadaan di sekitar lingkungan
baru ini dalam arti sempitnya.
Revolusi Rusia sudah hampir satu
tahun berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia
saya harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu
terpaksa meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada
pemuda, tak mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam
percakapan hari-hari tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R, nyonya teman saya, kalau
berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah
saya insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Pada suatu hari Suwardi
Suryaninggrat yang sekarang kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, tiba-tiba
mengusulkan kepada saya mewakili Partainya di Nederland, karena ia akan
berangkat ke Indonesia. Di mana itu Partai Nasionalisme, Sosialisme dan
Bolsjewisme sudah cukup terang bagi saya. Tetapi aksi dalam satu partai dan
mewakili satu partai yang pernah amat revolusioner itu belum begitu jelas buat
saya. Indische Vereeniging dengan R.M. Noto Surotonya tak banyak memberi
pemandangan kepada saya, apalagi pengalaman. Saya memandang ke mukanya Dewantara,
tetapi tak tahu, apa mesti jawab saya. Dia tersenyum! Saya memandang ke muka
almarhum Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dia pun tersenyum dan katanya “Sudah pada
tempatnya, terima saja”. Tiba-tiba tak lama kemudian saya sudah mewakili
Indische Vereeniging pada kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di
Deventer. Saya dipilih memberi preadvices tentang pergerakan nasional di
Indonesia.
Inilah pekik pertama, yang
seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. “Dat most niet mogge, niet
waar?” Setiba di Bussum saya didebati oleh beberapa Belanda Kolonial, terutama
oleh tuan Fabius sendiri.
Entah 5 kali entah 6 kali pada satu
masa berturut-turut saya dipanggil ke rumahnya tuan Fabius pada malam hari.
Perundingan atau lebih tepat perdebatan mengenai persoalan seluruhnya cabang
masyarakat yang amat bergoyang di masa itu, walaupun tak campur perang, yakni
masyarakat Nederland yang tak luput dari kodrat taufan dari Eropa Barat.
Persoalan politik, sosial..tetapi persoalan pendidikanlah yang tak putus
dibicarakan. Persoalan ini langsung dan tak langsung mengenai diri saya
sendiri.
Tentulah saya setuju dengan aliran,
bahwa pendidikan itu dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi, tidak saja
harus berada di bawah pimpinan dan pengawasan Negara, tetapi buat murid yang
memang cakap juga harus atas ongkos Negara.
Keberatan tuan Fabius yang
sebenarnya, yang perhubungan dengan klas borjuisnya umumnya, dan bangsanya
terhadap bangsa Indonesia khususnya, tidak sukar dipahami. Menurut tuan Fabius,
politik semacam itu akan menambah banyak (Quantity) dan mengurangi nilai
(Quality) kecerdasan (intelect). Sekarang pun, katanya sudah besar jumlah
pengangguran di antara golongan intelect, walaupun didikan universiteit sudah
terbatas bagi anak orang yang mampu saja.
Menurut saya, dalam satu masyarakat,
di mana produksi dijalankan menurut rencana, dibarengi pendidikan menurut
rencana pula maka pengangguran tak mungkin ada, dan kalau ada, tak mungkin
lama, sebab pendidikan itu dicocokkan dengan kebutuhan produksinya masyarakat.
Bukan seperti sekarang, diombang-ambingkan oleh adanya persediaan dan
permintaan (supply and demand) di pasar kaum kapitalis yang masing-masing
menghasilkan semau-maunya saja. Kecerdasan tak akan turun, karena syarat buat
meneruskan pelajaran sampai Universiteitpun tidak ada lagi kemampuan si bapak,
melainkan semata-mata kesanggupan otak dan hati si murid ditetapkan oleh Badan
Pendidikan Negara. Di zaman sekarang banyak otak cerdas dan watak yang bagus
terhambat dan terpendam karena tak mampu. Sebaliknya banyak yang mendapatkan
titel, yang sebenarnya bukan haknya.
Pembicaraan yang belakang ini
sendirinya menyinggung keinginan yang dahulu pernah saya majukan, ialah belajar
di sekolah Opsir di Breda. Kata tuan Fabius, ini tak bisa dilakukan karena
keberatan bahasa Perancis, Jerman dan Inggris. Saya kemukakan ke Kampen pun
mau. Di sana murid keluaran sekolah rendahpun bisa diterima. Inipun tak boleh.
Di jalan menuju ke rumah, malah
sampai jauh malam, kesekian kalinya saya renungkan keadaan saya. Dahulu, ketika
pertama kali saya memikirkan keadaan saya semacam ini, saya memberontak hebat
terhadap segala-gala, termasuk diri saya sendiri.
Tetapi dengan bertambahnya
pengetahuan dan pengalaman, saya sanggup memandang kedudukan saya dengan
semangat filsafat dan menunggu waktu dengan sabar sebagai seorang pelajar dari
bangsa terjajah, anggota keluarga yang hanya mengenal agama dan adat kuno,
walaupun termasuk keluarga yang mampu, tetapi masih berada dalam perekonomian
sederhana (primitive): mempunyai harta benda yang cukup tetapi tak boleh
diperdagangkan, mendapat pangkal pendidikan ibu, pendidikan yang tak
bersambungan dengan didikan di negara ibu, tidak berada di negara Amerika di
masa makmur di mana pelajar miskin siang bisa bekerja dan malam mengunjungi
sekolah, tak sanggup kembali ke Indonesia, karena perang masih
mengamuk....semuanya itulah yang jelas tergambar di dalam pikiran saya. Lebih
jelas pula gambaran hutang yang 1500 rupiah kepada Engku fonds di Indonesia,
dan yang 4000 rupiah kepada fonds di Nederland yang diawasi oleh Tuan Fabius.
Tanggung jawabnya terhadap fonds di
Nederland atas hutang saya, itulah yang rupanya lebih jelas lagi buat tuan
Fabius.
Besok paginya tuan Fabius sendiri
datang ke tempat saya buat meneruskan perundingan. Saya berada di kamar loteng,
di samping tempat tidur nyonya D yang sedikit sakit. Salah seorang anggota
rumah mengabarkan kepada saya, bahwa tuan Fabius mau bicara dengan saya. Nyonya
D, yang rupanya mengerti betul keadaan menasehatkan kepada saya supaya berlaku
hati-hati. Seperti yang sudah-sudah kedua saudara H.S dan O.S pontang-panting
melarikan diri mendengarkan suaranya tuan Fabius yang memang dahsyat, gemuruh
itu.
Pembicaraan agak membosankan saya,
sebab cuma mengulang-ngulang yang dulu saja. Tetapi setelah terbayang perkara
“hutang” dan “terima kasih”, dan dianjurkan oleh tuan Fabius supaya saya
kembali ke Indonesia, maka saya kemukakan kekberatan saya. “Kenapa pada
permulaan perang, sesudah ujian saya mau pulang ditahannya, karena katanya tak
ada kamar di kapal, dan sekarang di waktu kapal silam lebih mengamuk, tuan
Fabius dapat mendapat kamar buat saya?”
Karena perkara terima kasih itu
walaupun tak langsung tidak pertama kali saya dengar-dengar dan mulutnya orang
Belanda, juga dari orang lain dari tuan Fabius, maka saya kemukakan, bahwa saya
berkeberatan meneruskan mendapat pinzaman dari fonds yang diwakili oleh tuan
Fabius itu.
Pembicaraan berhenti, tertegun saja.
Rupanya tuan Fabius sendiri dan tuan rumah tak mengira lebih dahulu jawab saya
semacam itu.
Itu malam juga saya dipanggil oleh
tuan-nyonya D, ke kamar loteng tadi. Kata tuan D, kepada saya “Dalam
perundingan tadi pagi engkau sedikit keras. Tetapi kami mengerti sungguh.
Nyonya dan saya setuju mengizinkan engkau terus tinggal di rumah kami als kind
des huizes (seperti anak sendiri) sampai engkau bisa kembali. Cuma uang saku
kami tak sanggup memberi, karena dagang saya terlantar.
Lebih dari uang saku saya dapat
dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada Belanda yang mau berangkat ke
Indonesia. Tuan dan nyonya di masa itu sangat rukun, dan ketentraman di rumah
memberi suasana yang baik dan sehat sekali kepada kami, sampai tiada berapa
lama saya berangkat ke Indonesia. Dunia banyak berubah selama 2 tahun saya
tinggalkan. Kerukunan suami istri banyak menjadi renggang dengan bergoncangnya
modal sesudah perang Dunia I. sekembalinya saya di Nederland 1 Mei 1922,
sesudah dibuang dari Indonesia, saya dapat tuan-nyonya berpisah, gescheiden van
tafel en bed, talak tiga. Tidak bisa lagi dipersatukan. Nyonya yang mempunyai
pemandangan luhur terhadap perhubungan suami-isteri terlampau tersinggung
oleh pergaulan tuan yang menurut faham
nyonya adalah pengkhianatan terhadap
pergaulan yang dianggapnya monopoli suami-istri. Keuangannya tak
terjamin lagi. Saya gembira mendapat kesempatan membalas budi. Tetapi setelah
berpisah pula, maka dari teman di Nederland saya menerima surat mengatakan
bahwa keadaan nyonya D amat menyedihkan. Tetapi belakangan saya mendapat kabar
lagi bahwa bekas nyonya D, bekerja dalam kapal yang berlayar ke Amerika. Kabar
ini lebih menggembirakan: “Tak mau berpangku tangan mengharapkan pertolongan
laki-laki saja....dan terima saja semua perlakuan suami itu, untuk menolak
semua yang dirasa melanggar cita-cita dan kehormatan kewanitaan.”
Saya sangka saya cukup mengenal diri
buat berkata bahwa saya bukanlah seorang yang mudah melanggar tata kehormatan
dan tertib terhadap orang tua. Apa lagi terhadap orang tua sopan seperti tuan
Fabius, yang sudi memberi pertolongan menurut aliran moral yang dianggapnya
baik. Tetapi sebaliknya saya merasa tersinggung kehormatan saya, oleh desakan
tuan Fabius itu, lagi kalau diingati bahwa perhubungan dengan studiefonds di
Nederland tiadalah dilakukan dengan persetujuan, malahan tiada dengan
pengetahuan saya.
Rupanya tuan Fabius tak bisa meninggalkan
perkara itu sampai di situ saja dan menunggu sampai saya kelak berada dalam
keadaan dapat membayar kembali hutang saya seperti saya janjikan. Ia menuliskan
kepada guru Horensma di Indonesia, menceritakan peristiwa tadi. Entah apa yang
ditulisnya.
Syahdan pada suatu malam didatangi
oleh seorang tuan, ipar dari guru Horensma. Dia datang mengabarkan, bahwa guru
Horensma dengan marah membalas suratnya tuan Fabius. Dalam suratnya sang guru
mengatakan, bahwa dia cukup lama mengenal saya bekas muridnya, masih tetap
percaya akan kejujuran bekas muridnya itu. bersama itu dikirimkan f4000,-
pembayar hutang tambah bunganya kepada Studiefonds yang diwakili oleh tuan
Fabius itu.
Saya merasa lebih terikat hutang
lahir batin. Sekarang saya berhutang kepada
engku kampung saya sendiri, dan kepada bekas guru sendiri sejumlah
kurang lebih f6000,- Pun surat dari ibu-bapak memperingatkan janji saya sebelum
berpisah, yakni mau lekas kembali hanya buat 2-3 tahun saja.
Perang sudah selesai. Tempat di
kapal masih terbatas. Tetapi karena saya mendapat pekerjaan di Senembah Mij,
satu dari onderneming terbesar di Deli, maka perkara ongkos dan tempat di kapal
tiadalah menjadi soal. Pekerjaan itu ialah sebagai pembantu pengawas semua
sekolah buat anak kuli di Senembah Mij tadi. Saya akan kerja sama (samenwerken)
mendapatkan sistem yang pantas buat anak-anak kuli kebun itu dengan seorang
guru Belanda, bekas murid saya dalam bahasa Indonesia di Amsterdam. Saya
menerima uang persediaan (uitrustingsgeld) f 1500,- dijanjikan gaji f350,- sebulan,
mendapat rumah, air, listrik dan kendaraan prei. Di kapal saya akan mengajarkan
bahasa Indonesia kepada beberapa orang termasuk Direktur dari Senembah Mij
sendiri, ialah Dr.Jansen bersama dua ponakannya.
Inilah penyelasaian yang memuaskan
dalam keadaan demikian, baik lahir maupun batin. Dipandang dari sudut keuangan,
maka dalam perjalanan menuju Indonesia itu saja, saya sudah sanggup mendapatkan
uang yang harganya hampir bisa menyelesaikan hutang saya dengan Engkufonds.
Dipandang dari sudut ideologi dan hasrat hidup saya akan dapat kesempatan
mempelajari keadaan di bagian Indonesia, yang terkenal sebagai “Deli-het
Goudland” dan bercampur gaul dengan golongan bangsa Indonesia sendiri yang
paling melarat-malang, terhisap-tertindas, yang kita ingat dengan nama “kuli
kontrak”.
Sekalian tinjauan selayang pandang
tentang kehidupan saya selama 6 tahun di Nederland, yang sekarang sudah jauh di
belakang, ditinggalkan kapal yang tumpangi. Sengaja saya ambil beberapa episode
saja buat menggambarkan asal dan coraknya paham yang saya kandung untuk
menghadapi hari depan yang penuh ranjau kesulitan. Walaupun begitu, tulisan
buat pasal ini sudah melebihi rancangan saya, sehingga saya terpaksa
mengikhtisarkan saja kesan yang saya peroleh tentang bagian bumi dan laut yang
saya tempuh sekarang.
Pintu gerbang ke Laut Tengah sudah
dimasuki! Jilbratar. Jabal Tarik, menuju ke....Terusan Suez....Gunung
Sinai......Laut Merah.
Ber-buku-buku, berpeti-peti, bahkan
bergudang-gudang buku yang tertulis tentang sejarahnya beberapa negara di
sekitar Laut Tengah ini: Egypte (Mesir), Phunisia, Yudea, Syria, Yunani, Turki,
Roma, Arabia, Spanyol, Italia dan Perancis. Dari sekitar laut Tengah inilah
kita warisi sari kebudayaan yang terpenting buat masyarakat yang di masa ini
kita junjung dan kita pakai sebagai anak tangga menaiki jenjang yang tak ada
batasnya, teknik, ilmu pengetahuan dan beberapa tiang dalam kesusilaan.
Kemajuan tenaga manusia dan hewan
yang dikerahkan oleh Raja Fir’aun buat mendirikan pyramid sampai kekuatan
tenaga listrik dan atom di zaman sekarang mengambil tempo lebih kurang 10.000
tahun. Kemajuan itu sebahagian besar berlaku di sekitar Laut Tengah juga.
Meskipun kemajuan teknik dalam ilmu
pasti majunya berbanding naik dengan bertambahnya tahun, tetapi tiadalah begitu
dengan majunya moral, yang dipancarkan oleh 3 agama dunia yang dilahirkan di
sekitar Laut Tengah: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Kalau kemajuan moral,
yang melarang mencuri, membunuh, tetapi menyuruh menyayangi sesama manusia dan
sebagainya, tidak mundur, tidaklah pula boleh dikatakan maju berbanding naik,
karena bermaharajalelanya hisapan dan tindasan kapitalisme-imprialisme, antara
golongan dengan golongan, serta antara bangsa dengan bangsa, di samping
timbulnya perang dunia yang dengan langsung atau tak langsung melenyapkan
jutaan harta-benda dan jiwa manusia dengan cara massal, sekalian, merampok,
memperkosa dan membunuh.
Bagaimanapun juga di sekitar Laut
Tengah inilah kita dapati bayi dan
buaian sebagian besar dari semua teknik, ilmu dan moral. Tetapi di sekitar Laut
Tengah inilah pula berlakon peperangan bangsa melawan bangsa yang lebih jelas
dan rasional (masuk akal) diwariskan kepada kita, di antaranya: Perantauan
Iskandar Zulkarnain sampai ke sungai Gangga di Hindustan, Peperangan Hanibal
melewati pergunungan Alpen, Peperangan Islam di bawah pimpinan Arab dan Turki,
dan kemenangan Napoleon Bonaparte di zaman Revolusi Perancis.
Tetapi dengan warna kaca yang
berlainanlah sekarang saya melihat semua peristiwa perang di zaman lampau.
Memang pada permulaan kegembiraan membaca sejarah dunia itu, yang
sekonyong-konyong terkembang di depan mata sebagai alam baru, adalah perhatian
saya yang terpusat pada muslihat dan kemenangan Iskandar, Hanibal, Caesar,
Jengis Khan. Tetapi dengan Napoleon perhatian terhadap keluhuran akan dan
kodrat perseorangan itu sudah dibatasi oleh pertanyaan apa sebab dan untuk
golongan yang mana semua peperangan, semua pembunuhan itu dilakukan?
Jawaban atas pertanyaan “apa sebab”
dan “untuk golongan yang mana” itu, lazimnya tiada dikemukakan, apalagi
dijawab, oleh hampir semua buku sejarah karangan ahli borjuis berdasarkan
individualisme. Ada juga dimajukan sebab, tetapi sebab yang dikulit saja. Sebab
dari pada sebab atau sebab yang lebih dalam, tak pernah dikupas dalam buku
sejarah yang diajarkan di sekolah borjuis sekarang, secara systematis dan
consistent.
Sebab peperangan yang saya
maksudkan, ialah sebab yang timbul dari kebutuhan produksi, yang dimiliki serta
dikuasai oleh salah satu golongan di dalam satu negara, buat kepentingan
golongan itu. Di zama abad ke 20 ini kita tahu sebabnya Jerman menjadi agresif,
ceroboh, ialah karena kebutuhan bahan dan pasar, buat kaum feodal borjuis
Jerman. Demikian pula sebabnya peperangan di masa depan, akan ditimbulkan oleh
kebutuhan pasar buat menjual belikan bahan dan barang pabrik, atau untuk
menambah modalnya golongan kapitalis. Diplomat yang berdiplomasi, politiknya
yang memimpin dan memajukan “isme” prajurit yang bertempur, hanyalah buat
membela golongan yang berkepentingan itu.
Buat yang mau mengerti nyatalah
umpamanya Egypte atau Syria memerangi negara tetangganya dengan hasrat untuk
merampas tenaga-manusia. Penduduk negara kalah terang-terangan dijadikan budak.
Yang dianggap akan bisa membalas, dibunuh sama sekali bersama perempuan dan
kanak-kanak.
Akan tetapi Iskandar Zulkarnain,
Hanibal, Caesar ataupun Abdurrahman, tak lagi berlaku demikian. Mereka sudah
dianggap penakluk yang mulia, ksatria. Tentu ada sebab lainnya yang lebih dalam
dari pada sebab sanubari para ksatria itu saja. Sebab ini mesti dicari pada
kebutuhan produksi yang sudah berubah sifatnya karena perubahan teknik dan
seterusnya mesti dicari pada susunan golongan masyarakat dalam negeri itu yang
berubah pula karena perubahan teknik. Umpamanya kemajuan produksi sesuatu
negeri membutuhkan tetangga yang cukup makmur buat membeli hasilnya, jadinya
membutuhkan pasar. Negara tetangga yang kalah, yang lantas dikosongkan dengan
pedang, bukanlah pasar yang dikehendaki lagi oleh negara menang. Cukuplah kalau
negara kalah itu dikuasai dan diawasi saja, bahkan lebih baik kalau bisa
dijadikan propinsi yang makmur, yang sanggup membeli hasil dari negara penakluk
terus menerus.
Begitulah agaknya keadaan negara
Yunani di masa Iskandar dan Spanyol di masa Abdurrahman. Tetapi sejarah yang
dikarang oleh borjuis tak bisa meninjau ke sana, ke arah perubahan produksi
itu. Mereka pusatkan peperangan itu pada perseorangan, individu saja. Kepada
kemauan, kecakapan dan kecerdasan individu itu saja. Buat mereka, Iskandar,
Caesar dan Napoleon itulah dasar dan tinjauan yang awal dan akhir. Buat kita,
sesuatu golongan yang berkuasa atas produksi dan akhir dasar dan tujuan, sebab
dan akibat. Iskandar, Caesar ataupun Napoleon, adalah alat dari satu golongan
dalam masyarakatnya saja, dan memang alat yang cerdas, berani dan cakap yang
menjadi pujian golongannya.
Di antara beberapa kota yang didiami
bangsa Yunani, kita mengenal Negara Kota Sparta, sebagai contoh negara
berdasarkan autokrasi, keningratan. Ini kita andaikan: thesis. Negara kota
Athena berdasarkan demokrasi. Anti thesis: Lama sekali kedua negara itu
bertentangan, berlawanan dan berperang-perangan. Walaupun berbangsa satu. Dalam
pertentangan terus menerus itu timbullah kerajaan Macedonia, dipimpin oleh raja
Filip, seorang ningrat. Tetapi anaknya Iskandar mendapat didikan dari pujangga
Athena yang terbesar di zaman Yunani, ialah Aristotheles. Iskandar
mempersatukan Sparta dan Athena, keninggratan dan kerakyatan dalam satu
kerajaan: synthesis. Iskandar Zulkarnain mempunyai hasrat mempersatukan Barat
dan Timur, synthesis yang lebih maju. Peleburan kebangsaan dan kebudayaan Barat
dan Timur baru saja berada pada titik melangkah, waktu Iskandar mati muda.
Caesar menghadapi dua pertentangan
pula. Di dalam negara Republik Romawi berlaku pertentangan dan perlawanan yang
hebat antara golongan Patricia (Ningrat) dan Plebia (Melarat). Keluar berlaku
pertentangan bangsa Romawi dengan bangsa asing bangsa Barbaria.
Iskandar lebih dulu membereskan
pertentangan di dalam daerah Yunani baru keluar membereskan pertentangan Yunani
dengan bangsa asing di sekitar Republik
Romawi, di sekitar Laut Tengah sampai ke Inggris dan Jerman. Baru dia pulang
dengan laskarnya yang berpengalaman, melampaui sungai Rubicon, buat membereskan
pertentangan dalam Republik Romawi itu.
Caesar berlaku sebaliknya. Lebih
dahulu diperlakukannya bangsa asing. Dia seorang berasal Ningrat (thesis),
mengambil faham Democracy dan memimpin kaum Plebia (anti-thesis), menghancurkan
musuhnya Partai Sulla dan Pompeiji, keduanya Nigrat, dengan hasrat mendirikan
kerajaan, Caesar-rijk (Kizer-rijk) ialah rupay synthesisnya.
Caesar mati dibunuh oleh musuhnya,
ketika ia baru saja berada di kaki singgasana Kerajaan. Walaupun jasmaninya
tewas, rohaninya terus hidup. Kerajaan Roma sebagai synthesis.
Seperti Caesar, Napoleon lebih
dahulu juga membereskan pertentangan Perancis dengan negara sekelilingnya,
sesudah mendapat kekuasaan dan populeriteit karena kemenangannya, barulah ia
membereskan pertentangan di dalam negara Perancis. Proletaria Jacobin di pikah
kiri, dan Borjouis Nigrat di pihak kanan. Dengan hancur leburnya kedua pihak
itu, maka Napoleon yang pada masa mudanya pengikut Jacobijnisme, akhirnya mendirikan
Kerajaan Napoleon sebagai synthesis.
Tidak selalu synthesis itu bisa
tercapai atau dicapai dengan mudah! Tidak pula synthesis yang sudah tercapai
dengan kekerasan itu kekal hidupnya. Biasa sekali synthesis yang sudah tercapai
itu hanyalah satu thesis belaka, yang menimbulkan anti thesis.
Iskandar menaklukkan seluruh
bangsanya sendiri dengan menghancurkan kota Rep Thebes, Kerajaan yang
didirikannya dengan pedang itu pasti menimbulkan usaha atau pemberontakan
beberapa harga untuk melepaskan diri dari synthesis yang dipaksakan tadi.
Caesar dan Napoleon melalui lautan
darah buat mendirikan Kerajaannya. Dan kerajaan mereka diakhiri oleh
pemberontakan dari pada beberapa bangsa yang tertindas.
Tetapi Hannibal, walaupun statesman
yang jarang dilahirkan dalam seratus tahun, walaupun Panglima yang boleh jadi
tak ada yang melebihi serta jarang yang menyamai. Panglima berkemauan baja,
berotak cerdas, gilang gemilang di depan waktu bertempur dan di belakang waktu
mundur teratur, tahan panas dan dingin, hidup seperti prajurit, bisa dicintai,
dipuja dan didewakan oleh tentaranya, disokong oleh negara kaya raya....kalah
oleh lawan, oleh Panglima Roma yang jauh kurang dari dia dalam segala-galanya.
Sejarah yang dikarang oleh ahli borjuis tak cukup mengupas keadaan produksi
Carthago, persoalan makanan, perdagangan dan sebagainya, kalau dibandingkan
dengan kota Roma yang lama dikepung oleh Hannibal. Kita tahu, bahwa pada akhir
peperangan, kapal Roma lebih kuat daripada kapal Carthago, dan susunan
masyarakat Roma di masa itu masih dekat kepada sama rata. Sedang susunan
masyarakat Carthago yang termasyhur kaya raya itu kurang jelas teratur.
Seluruh dunia, kawan atau lawan,
mengakui keluhuran dan ketinggian Kerajaan Islam di Spanyol, di abad 13 dan 14.
Granada, Seville, Cordova adalah pusat perhatian dunia Barat di masa itu,
sebagai halnya London, Paris, Berlin di masa ini. Pemikir besar, seperti Ibn
Rosyid terkenal di Eropa dengan nama Everoes, adalah Aristoteles jika
dibandingkan di zaman Yunani, adalah pusat besi berani, yang menarik perhatian
ahli pikir dan para pelajar Eropa Barat. Pertanian, pengairan dan pertukangan
tak ada taranya di masa itu. Tetapi ahli
sejarah menceritakan hal yang belakang ini secara sporadish nyata kemajuan atau
kemundurannya. Dalam menceritakan peperangan dan kekalahan kerajaan Islam
melawan Nasrani di sekitarnya ahli sejarah yang sebenarnya, sepatutnya harus
memperbandingkan kekuatan produksi, di samping kekuatan sosial dan politik di
kedua belah pihak. Apakah sebabnya? Apakah masyarakat Islam sendiri sudah
terbelah oleh satu jurang yang dalam, yang menimbulkan pertentangan, bahkan
perlawanan di antara dua golongan ialah antara kaum hartawan dengan kaum
melarat? Inilah pertanyaan yang tiada dikemukakan dan dijawab oleh ahli sejarah
borjuis. Mereka terlalu berat memusatkan perhatian pada politik militer dan
beberapa orang pemimpin. Atau kepada kebudayaan, dengan tiada disampingi oleh
kodrat pergerakan kebudayaan itu, ialah sistem produksi, sosial dan politik.
Hendaknya, sejarah Yunani, Roma,
Arab dan lain-lain yang paling berharga itu disusun sebagai sejarahnya
masyarakat (golongan atau pemimpinnya) dalam gerakan politik, militer dan
kebudayaan) semua bukti dalam teknik, sosiologi dan kebudayaan) harus disusun
kembali dan ditambah seberapa dapatnya.
Laut Sakutra! Kapal api besarpun
masih bisa diombang-ambingkan oleh gelombang laut itu. kakek kita yang naik
haji, melakukan syarat agama masih mempunyai kenang-kenangan tentang bahaya
laut Sakutra terhadap kapal layar yang membelah gelombang setinggi bukit untuk
menyampaikan hajatnya mengunjungi tanah suci. Entah dagang, entah minat
perantauanlah yang menarik nenek moyang kita ke sini, dengan perahu saja,
dihempaskan gelombang seperti sebutir beras dihempas-hempaskan air
mendidih...sampai ke selatan....ke Madagaskar.
Hindustan.....kasta....percekcokan
agama Hindu dengan agama Islam. Perhatikanlah rumah berhala Hindu! Penuh arca
di dalam dan di luar dinding, di pinggir dan di atas atap. Lambang perasaan,
manusia yang beraneka warna. Ada arca yang menggambarkan keberanian, kepuasan,
kesungguhan, kesedihan kekaguman, sampai ke arca yang menikam diri sendiri.
Umumnya bersemangat pesimistis, putus asa, kacau balau, gambaran perpecahan dan
perpisahan lebih dari 3000 kasta. Dengarlah nyanyian Hindu modern, seolah-olah
merdu buat penyanyinya sendiri saja. Sampai sekarang buat saya hanya teriak
kesombongan, seolah-olah lagu untuk untuk menyatakan tak ada kasta yang lebih
tinggi dari kasta Waisya, kasta saudagar yang sekarang menjelma menjadi kasta
kapitalis borjuis, lebih tinggi kedudukannya dari pada gunung Himalaya. Lebih
sederhana tetapi lebih mencocoki jiwanya tertindas tertekan, nyanyian pendayung
atau buruh Hindu.
Undang-undang saja tak kan bisa
melenyapkan bala penyakit kasta di Hindustan itu. Bisa hilang kalau
undang-undang itu disertai perubahan sistem ekonomi, politik dan sosial....dan
kalau kasta-haram, kasta najis, kasta Sudra serta kasta Paria yang lebih kurang
100 juta itu, benar-benar bangkit di bawah pimpinan kaum buruh-tani dan intelek
yang revolusioner, dan kalau kasta borjuis-pendeta-ninggrat Hindustan
terang-terangan atau dengan diam-diam menentang, maka revolusi Perancis dan
Rusia akan berupa bayi kalau dibandingkan dengan revolusi Hindustan yang akan
meletus karena itu.
Akhirnya Sabang, Indonesia. Di tepi
pantai, dari atas bukit mengagumi matahari terbenam! Aneka warna yang bertukar
setiap menit! Saksikanlah sendiri!
Sampailah sekarang ke ujung
pelayaran! Lautan Hindialah yang penghabisan dilayari dari pantai Afrika-Arabia
sampai ke pantai Sumatera. Inilah samudra yang diarungi oleh moyang bangsa
Indonesia sekarang, di zaman gelap gulita.
Bangsa perantau! Kata setengah ahli.
Syahdan maka perubahan hawa dan bumi, sedikit demi sedikit menukar daerah
diamnya bangsa Indonesia asli menjadi tandus, gurun pasir sedikit demi sedikit
berangsur-angsur sampai daerah itu menjadi tandus Gobi dan menyebabkan bangsa
Indonesia asli senantiasa menukar tempat menjadi perantau. Semangat
pertahananlah yang menjadi sifat yang dilaksanakan dari Madagaskar di pantai
barat Samudra Hindia sampai ke Amerika Tengah di pantai Timur Samudra Teduh.
Semangat perantau itu mendapat
dorongan pula dari susunan masyarakat di masa lebih dari 2000 tahun lampau itu.
Dari sisa sistem sosial, ialah matriakat seperti di Minangkabau dan sistem
patriarkat seperti di tanah Batak yang juga dahulu kala terdapat di tanah Jawa,
maka kita masih bisa saksikan, bahwa para pemuda di tiap-tidap desa seolah-olah
tersusun dalam pasukan penggempur. Mereka mendiami rumah terkhusus buat pemuda
saja, di mana mereka mendapat latihan rohani (adat dan agama) serta latihan
jasmani (silat dan pencak).
Berpedoman bulan dan bintang,
dilayarkan perahu ramping, dijamin oleh alat cerdik bersemangat ramping,
dijamin oleh alat cerdik bersemangat bergotong royong atau menolong di masa
bahagia “hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah” dan bahaya
“teletang sama minum air, terlungkup sama makan tanah”.....samudrapun cuma
danau saja di mata mereka.
DI DELI
Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi
tanah keringat air mata maut, neraka, buat kaum proletar. Deli dimasa saya di
sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarang pun masih menimbulkan
kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam
antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi
iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling
kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Di kutub yang
lain berada berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling
terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak. Mengambil ibarat di alam
sekitarnya, maka yang dinamai oleh Belanda, bangsa yang paling lunak di dunia”
berubah sifatnya seperti sang kerbau menyerang dengan tanduknya dan
menginjak-injak lawannya”, setelah mereka menderita semua perkosaan dan
siksaan. Ketika saya berada di sana tiap-tiap tahun Belanda yang mati atau luka
diserang berjumlah antara 100 dengan 200 orang.
Apa yang tidak ada di Deli?
Beginilah mestinya kita tanyakan. Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat
minyak tanah berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Kalau
saja tak salah di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat besi. Seperti di
Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauxiet di Riau
dan Aluminium terdapat di Asahan, Deli. Jika disambungkan dengan arang di
Sawahlunto atau Air terjun sungai Asahan, yang mempunyai kodrat nomor 2 atau
nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan
perindustrian berat macam apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan
lagi dengan logam besi, timah dan lain-lain dari tanah. Melayu yang berdekatan
serta berhubungan rapat dalam sejarah.
Tetapi mata Belanda tak memandang kesan
dan memang tak mungkin mempunyai pandangan ke sana, bertindak ke arah industri
berat dengan menanggung susah payah serta kesulitan pada permulaannya. Biasanya
Belanda tertarik oleh perusahaan yang gampang, yang kurang resiko, tetapi yang
tetap dan besar untungnya (monopoli), lekas bisa dikerjakan dan mengecap
hasilnya, tetapi lambat atau mustahil timbulnya persaingan.
Semua syarat yang cocok dengan semangat krudenier itu bisa dijumpai
di Deli. Tembakaulah yang pertama sekali memenuhi semua syarat itu. sebagai
“dekblad”, daun pembungkus cerutu Manila, tembakau Deli memang mempunyai
kedudukan istimewa di pasar dunia. Betul juga pada permulaannya banyak
kesusahan untuk mendapatkan tenaga buruh, tetapi sekali terdapat untung, jumlah
buruh yan besar pasti mudah dan cepat didapat. Dalam 3 atau 4 bulan saja
sesudah menanam, daun tembakau sudah boleh dipetik. Di sekitar perkebunan
tembakau inilah di belakang hari timbul perusahaan getah, palm, teh dan rami
dsamping perkebunan tembakau pulalah timbulnya perusahaan minyak tanah di Deli
itu.
Kebun tembakaulah yang melahirkan
milioner Deli yang pertama dan yang ternama kaya serta kejamnya ialah Cremer,
yang di Nederland digelari “kuli Cremer” karena kata kejamnya itu, kuli Cremer
yang mempelopori milioner getah, minyak tanah dan lain-lain itulah yang bermula
mengorbankan ratusan kuli kontrak untuk
mengeringkan rawa dan membuka hutan rimba di Deli kira-kira tiga
perempat abad yang lampau.
Pada saya tidak ada statistik yang
bisa menjelaskan keadaan hawa dan iklim di Deli, bahkan logam yang tersimpan di
pangkuan bumi, kemajuan Deli dalam hal penduduk, perusahaan, perkebunan dan
perdagangan dalam tiga perempat abad yang belakangan ini. Dan bukanlah memaksa
saya akan menguraikan segala-galanya itu disini. Cukuplah rasanya jika beberapa
catatan yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun itu saya kemukakan buat
sekadar menggambarkan suasana Deli ketika saya berada di sana.
Lebih kurang 500 onderneming yang
terdapat di Deli pada masa itu. Pengangkutan dijalankan dengan lancar sekali.
Di darat dilakukan dengan auto dan truck atas jalan yang simpang siur
memperhubungkan ratusan kebun itu, dan dengan Deli-Spoor.
Pelabuhan Belawan termasuk pelabuhan
yang besar di Indonesia, kalau saya tak salah, dalam hal export pada tahun 1927, Deli sudah menyamai atau melebihi
pulau Jawa. Taksiran kasarnya banyaknya kuli kebun, tambang minyak dan
pengangkutan di masa itu sejumlah 400 ribu orang. Kalau ditaksir secara
sederhana jika diandaikan tiap-tiap kuli (kuli kontrak atau bekas kuli kontrak)
mempunyai seorang anak saja, maka diantara jumlah penduduk Deli yang ditaksir 2
juta itu dan terdiri benar-benar dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa,
Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Melayu-Deli dan lain-lain), terdapat lebih
kurang 60% keluarga proletariat tulen. Ringkasnya daerah Deli adalah daerah
bangsa Indonesia dalam arti Nasionalisme modern dan daerah proletaria yang
sesungguhnya pula. Meninjau suasana sosial selayang pandang maka nyatalah bahwa
upper-class, klas atas, terdiri dari borjuis asing, pertama Eropa-Amerika kedua
Tionghoa, pun borjuis Indonesia, walaupun terdiri dari dua-tiga biji. Saya
bukanlah borjuis sembarangan. Sultan Serdang dan Sultan Deli, berhubungan
dengan diadakannya konsesi minyak tanah, adalah Ningrat kapitalis yang masuk
hitungan.
Di pucuk Borjuis Eropa duduklah
tinggi di atas tahta, jauh di Nederland atau negara lain, tuan Maha Besar yang
oleh kuli kontrak digelari tuan Maskapai, directeur dalam bahasa Belandanya. Di
bawahnya sebagai Raja Muda berkedudukan di Deli, ialah tuan kebun (Hoof
administrateur). Barulah kita mendengar perkataan yang buat kita orang
Indonesia sudah cukup mengandung kehormatan, ialah tuan besar adalah bahasa
Belandanya hanya administrateur. Senembah Mij yang terdiri dari beberapa cabang
mempunyai beberapa tuan besar pula, sebagai kelengkapan kaum kapitalis itu,
kita temukan embel-embelnya yang dipanggilkan tuan kecil, asisten. Di sini
perkataan “kecil” tak boleh ditafsirkan dengan arti hina. Kecil artinya muda,
seperti dalam perkataan Raja Muda ialah calon. Semua bekas lanterfranters dan
deugt voor niet dan schlemiels di negeri Belanda, ada harapan buat menjadi tuan
kecil itu, ialah calon kapitalis Deli.
Deli penuh dengan lanterfanters dan
schlemiels Belanda itu. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras, inilah
gambarannya borjuis gembel di Deli itu. mereka bisa lekas kaya, karena gajinya
besar dan mendapat bahagian tetap dari keuntungan, apabila sudah bekerja
sementara tahun saja. Kalau saya tak salah, diluar gaji puluhan ribu setahun
itu, tuan kebun mendapat bahagian untuk f 200.000,- Tuan maskapai lebih-lebih
lagi. Tidak saja mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur dari
beberapa maskapai, mendapat untung dari bunga modal yang ditanamnya, tetapi
juga menerima bahagian yang lebih besar dari untung kebun. Tuan maskapai adalah
pemegang andil yang besar, menjadi direktur dan adviseur tetapi tak bekerja,
dan biasanya berada di tempat yang jauh, plesir mundar mandir di Eropa, yang
kaya lekas bertambah kaya....”inilah pula impian kepala kosong, schlemiels
Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli- di kamar bola di depan gelas bir
dan wiskynya.
Klas yang membanting tulang dari
dini hari sampai malam, klas yang mendapat upaya cuma cukup buat pengisi perut
dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam
kandangnya, yang sewaktu-waktu di godverdom atau dipukul, klas yang
sewaktu-waktu bisa kehilangan istri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh
ndoro tuan” adalah kelasnya bangsa Indonesia, terkenal sebagai kuli kontrak.
Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya mesti bangun pukul 4 pagi,
karena kebun tempat mereka bekerja jauh letaknya, pukul 7 atau 8 malam barulah
mereka tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0.40 sehari. Makanan biasanya
tidak cukup untuk kerja keras mencangkul di tempat panas 8 sampai 12 jam
sehari. Pakaian pun lekas rombeng-rombeng lantaran sering kerja di hutan.
Kekurangan dalam segala-gala itu
menimbulkan nafsu yang tak tertahan buat menguji nasib dengan jalan main judi,
nafsu yang sengaja dibangunkan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah
berjudi dan biasanya lebih banyak yang kalah dari pada yang menang, diijinkan
berhutang. Karena terikat hutang maka 90 diantara 100 kuli yang sudah lepas
kontraknya terpaksa menekan kontrak lagi. Hutang menimbulkan keinginan berjudi,
dan perjudian menambah hutang terus menerus.
90 diantara 100 kuli tak sedikit pun
mempunyai harapan untuk naik pangkat. Hanya satu atau dua diantara 1000 orang
mempunyai sedikit harapan untuk naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor, dan
lama-lama menjadi hopmandor. Ada yang diterima menjadi pekerja atau pengawal
bengkel motor, mesin listrik ataupun di rumah sakit. Tetapi gaji tetap
terlampau rendah f 20- f 30, sebulan buat mandor, dan f 60, buat hopmandor,
ialah sesudah bekerja 15-20 tahun.
Saya ingat beberapa kejadian di
Tanjung Morawa tempat kantor pusat Senembah Mij, tempat saya bekerja. Tuan V.D
insinyur listrik sudah kebingungan, karena mesin listrik tak mau jalan. Semua
kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah buat membetulkan mesin itu sudah
dilakukan. Konon, mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli
kontrak dipanggil. Diam-diam kario menyusup sebentar ke bawah mesinnya, putar
sekrupnya, dan cus....cus....” mesin listrik jalan kembali seperti biasa.
Kario, bekas kuli kontrak lama mendapat gaji f 25,- dan Ir. V.D f 500,- plus
ini dan itu tak putus-putusnya.
Kenalan baik saya, almarhum prof.
Walch, dahulu di Tanjung Morawa bersama nyonya yang juga dokter pada suatu hari
kedatangan tamu di laboratoriumnya, mungkin prof. Schuffer ahli malaria yang
terkenal. Para ahli malaria ini asyik membicarakan satu bangsa nyamuk, yang
baru diketahui disalah satu tempat pada jam sekian, yang mempunyai sifat
demikian rupa. Tetapi mereka kelupaan dalam botol mana bangkai nyamuk tadi
ditaruhnya, di antara ratusan botol itu. Tentulah nama nyamuk itu ditulis dalam
bahasa Latin. Setelah mereka putus asa mencari, maka datang Parman dengan botol
dan bangkai nyamuk yang dicari dan tertulis dalam huruf Latin itu. Parman cuma
keluaran H.I.S saja, dan gajinya cuma f 25,- sebulan. Rumahnya dibangsal
bersama anak dan istrinya. Tetapi menurut kata Dr. Walch kepada saya, dia
diberi pekerjaan yang “Zelfstanding”, memeriksa nyamuk di salah satu tempat
dengan gaji f 50,- zegge vijtig gulden, sebulan. Nyonya dan tuan Dr. Walch
bukanlah termasuk golongan kolot, tetapi ia, ik kan het niet meer krijgen van
de maatschappij” kata Dr. Walch kepada saya.
Cerita ini bisa ditambah dengan
beberapa dan berbagai-bagai contoh yang lain. Tetapi cukuplah di atas itu saja
dijadikan gambaran.
Soal bibit, soal perawatan tanah,
bibit pohon dan hasil, berhubungan dengan perkebunan tembakau getah, palm dan
rami tentulah membutuhkan pengetahuan yang sulit dan luas, serta pengalaman
yang lama.
Tidak dapat diharapkan “de dengt
nieters voor niets” dan “schlemielen” yang baru datang dari negeri Belanda itu
mempunyai pengetahuan tentang semua yang berhubungan dengan perkebunan itu.
Tetapi mereka mempunyai kulit yang putih kulit penjajah, memegang tongkat yang
besar dan mempunyai suara yang keras berhadapan dengan bangsa berwarna
terjajah, “het zachtse volk der aarde” pula. Dengan kulit yang putih, tongkat
yang besar dan dua tiga patah kata Melayu pasar dan 13 “godverdomme” mereka
bisa mendapatkan semua pengetahuan dan pengalaman itu dari hop mandor atau pun
dari manduir biasa “Schlemiel” Deli ini mulai gaji f 350,- sebulan dengan bebas
rumah, bebas ini dan bebas itu.
Ada juga satu dua Belanda diantara
assiten-assisten itu yang mempunyai sedikit pengetahuan umum. Tetapi umumnya
sedikit sekali yang berbau apa yang dianggap sebagai “geleerdheid”.
Pertentangan tajam antara bangsa
putih, goblog, sombong ceroboh, penjajah dengan bangsa berwarna yang
berpengalaman membanting tulang, tetapi tertipu, terhisap, tertindas, dengan
perantaraan dua-tiga bangsa Indonesia sendiri sebagai buruh pandai, skilled
labour inilah yang mengeruhkan suasana Deli dan terus menerus menimbulkan
penyerangan kuli terhadap Belanda-Kebun. Sering satu makian atau satu celaan
saja sudah cukup buat kuli untuk menghunus golok dari pinggangnya dan menyerang
tuan besar atau tuan kecil, pada saat dan di tempat itu juga, karena hati sudah
mengandung kebencian terhadap segala-gala.
Pertentangan Kapitalis imperialis
Belanda dengan kuli Inlander Indonesia itu nyata pula terbayangnya di
pengadilan Deli. Si Belanda yang tak sengaja atau cuma buat mempertahankan diri
terhadap serangan kuli itu, biasanya lepas dengan hukuman 3 bulan atau sedikit
lebih, yang bisa ditebus dengan denda pula. Si Kuli pembunuh biasanya tidak
lepas dari hukuman gantung. Di masa saya berada di sana, keras suara terdengar
dari pihak Belanda yang menuntut supaya si kuli yang berani menyerang kulit
putih itu dikasih hukuman” yang cepat dan seberat-beratnya guna menakutkan yang
lain (opschrikking).
Dalam suasana yang bisa menukar
manusia menjadi hewan, maka tercengang bercampur kagumlah kita, kalau mendengar
kabar, bahwa sesudah membacok Belanda, sebentar itu juga si kuli pergi kepada
polisi untuk menyerahkan diri. Tidak percuma rupanya cerita-cerita ksatria yang
dihadiahkan oleh para dalang dalam lakonnya wayang di desa-desa, semenjak
puluhan ratusan tahun itu.
Adakah tempat buat saya dalam
masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya seorang
Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung
pertentangan maha tajam?
Ketika saya menerima pekerjaan di
Amsterdam dari mulut tuan direktur Dr. Jansen sendiri, saya belum insyaf benar
akan kesulitan yang mesti alami ketika di Deli.
Sesudah 6 tahun lamanya hidup di
antara dan dengan orang Belanda di negeri Belanda sendiri, saya sudah tak
berapa merasa perbedaan penghormatan sesama manusia cuma karena perbedaan kulit
saja. Kalau ada anak atau orang tua yang mengejek kita, orang Indonesia di
negeri Belanda sebab warna kulit kita, kalau ada yang meneriakkan di
jalan...”neger vuile neger”, kepada kita yang demikian ini hanya kita anggap
sebagai keganjilan, kelahiran perasaan dari golongan terbelakang di negeri”
sopan itu saja. Kita tak banyak mengambil pusing! Memang agak menyolok mata
perbedaan publik umum, misalnya di Perancis dengan di Nederland, terhadap
bangsa berwarna.
Tetapi pengalaman meyakinkan kita,
bahwa sebahagian besar orang Belanda di Nederland tiada mengukur kita dengan
ukuran warna kulit itu. pula, oleh karena kepentingan dan paham saja, bahwa di
hari depan walaupun boleh jadi sesudah puluhan tahun kalau kapitalisme dan
imprialisme hilang, sendirinya perbedaan waran kulit itu akan hilang
bersama-sama dengan hilangnya perbedaan klas, maka masyarakat Deli yang saya
masuki itu tidak berupa momok. Akhirnya saya berharap lekas lepas dari hutang
yang terasa berat, sambil mendapatkan pengalaman yang berharga dalam pergaulan
dengan bangsa sendiri yang paling terhisap, tertindas dan terhina sambil menyelam
minum air.
Tetapi tuan direktur Dr. Jansen
isnyaf benar akan kesulitan yang akan saya alami di Deli. Setelah sampai di
Deli, maka saya mendapat kabar, bahwa sebelum saya tiba, oleh Senembah Mij atas
nama direksi di Nederland diperingatkan kepada semua pegawai Belanda “supaya
Tan Malaka mesti diperlakukan seperti orang Eropa”.
Bagaimana prakteknya?
Oleh karena saya di Tanjung Morawa
rapat dengan pengawas sekolah, tuan W, seorang
penganut sosialisme, anti peraturan berguru-kepala dan bekas murid saya
dalam baha Indonesia, maka pergaulan pertama dengan orang Belanda pegawai
Senembah Mij berlaku lancar sekali. Tetapi langkah kelanjutannya yang kedua
tiada banyak memberikan harapan.
Seperti kebiasaan tamu Belanda baru
memperkenalkan diri dengan para pegawai lama. Saya yang harus diterima dalam
golongan Belanda itu, mulai mengirim surat kepada tuan-nyonya boekhouder No.1,
tuan G, bertanyakan sudikah dan kapankah nyonya tuan menerima saya untuk
memperkenalkan diri. Lekas saya dapat jawaban dari nyonya yang mengatakan bahwa
“nyonya-tuan belum mempunyai tempat menerima tamu”.
Nyonya-tuan W sendiri agak terkejut
mendengar isi surat kepada saya itu. mereka juga setuju, bahwa bukan sayalah
kelak yang akan menulis surat lagi. Kalau ada tempo buat menerima saya, maka undangannya
harus datang dari nyonya besar sendiri. Dan undangan itu tiada pernah saya
dapatkan. Sebaliknya tak pernah saya memajukan diri saya, yang saya anggap tak
kurang mempunyai kehormatan dari nyonya-tuan besar boekouder No.1 Senembah Mij
itu dilain hari.
Tentang nyonya-tuan kebun
(hoof-administrateur) saya tak bisa memberi kesimpulan. Kemana saya diundang
oleh direktur Dr. Jansen, oleh tuan Maskapai Dewata Raja sendiri yang menjadi
tuan agungnya nyonya-tuan kebun itu Dr. Jansen segera membelokkan percakapannya
kepada perkara yang membutuhkan pengetahuan umum, yang mungkin tak ada dalam
perhatian ataupun dalam fikirannya nyonya-tuan kebun sendiri. Nyonya-tuan kebun
setuju atau tidak, saya tak bisa tahu! Tetapi seperti biasanya dalam pertemuan
di rumah tuan kebun itu Dr. Janssen mendapatkan titel Dr. nya di salah satu
universiteit di Jerman, atas disertasi tentang “adat istiadat di tanah Batak”.
Diantara yang lain-lain ia masih tertarik oleh apa yang bersangkutan dengan
adat istiadat Batak.
Sekarang sampai giliran kepada tuan
Besar administrateur kebun. Dia adalah seorang Jerman tulen, masih belum bisa
berbicara bahasa Belanda. Jika dibandingkan dengan tuan, nyonya masih amat
muda. Nyonya ini rupanya berasal dari kelas atas dan mendapat didikan Jerman
atas. Sepintas lalu tampaknya oleh saya tiada sepadanlah umur dan kebudayaan
Nyonya dengan tuan besar Herr Graf. Tetapi sesudah perang dunia I itu memang
lazim perempuan muda Jerman yang terpelajar bahkan bangsawan pula, kawin dengan
laki-laki yang lebih tua, kaya, O.W er, schieber karena kehilangan bapak dalam
perang. Setelah sekejap berpikir mengertilah saya, bahwa memang nyonya muda
berada “safe” ditangan satu hartawan tua. Tetapi belum tentu masyarakat Deli
umumnya dan tuan kebun khususnya sanggup memberi jaminan cukup pada pemudi
Jerman, bilamana masyarakat Jerman sendiri memang dalam Gaerung, perubahan
hebat di masa itu. Her Graf sangat anti kemajuan inlander. Dari pihak lain saya
dengan beberapa perkataan penghinaan yang ditunjukkan kepada saya. Tetapi Herr
Graf amat taat kepada Herr Dr. Janssen yang juga berasal Deutsch. Karena Herr
Dokter Janssen sudah memberi contoh bagaimana mestinya saya diperlakukan,
walaupun warna kulit saya bersamaan dengan warna kulit kuli kebun, dan karena
Herr Dokter itu masih di sini, maka rupanya Herr Graff, tuan besar mengambil
sikap yang bijaksana manis di luar pahit di dalam, untunglah perhatian Frau
Graf yang sedikitnya tentu juga mendengar nama seperti Karl. Liebknecht dan
Rossa Luxemburg, tak bisa sama sekali dikungkung oleh percakapan tentang
tembakau, getah, untung, tantieme, perlop dan pensiunan saja. Perpisahan
sesudah sedikit malam juga “disertai dengan “kommen sie uns bald wieder
besuchen sambil memberi tekanan atas “bald itu.
Tidak kurang lantaran kunjungan pada
tuan Ir. V.L Tuan tak begitu simpatik, keluaran universiteit Jerman dan
berpandangan kolot dalam politik, serta berfilsafat “gaji”, untung dan pensiun
dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi nyonya adalah seorang penggemar sport, dari
tenis sampai menunggang kuda dan kurang penting pula penggemar kesusatraan.
Pembicaraan berlaku lancar dari pemogokan di Nederland sampai Revolusi Rusia
dari karangan Gorter, Henriete Roland Holst sampai ke Dostojewsky, Gorky dan
Lenin. Apalagi nyonya meminjam beberapa buku yang belakangan ini ketika kita
berpisah maka tuan agak sedikit tercengang dan memperlihatkan tak setujunya.
Tetapi nyonya segera menyambung “ik zal die boeken maar zelf laten halen”.
Dalam kunjungan lain di rumah tuan
wakil kebun juga ada para tamu lain dari lain cabang. Mereka ini adalah
tuan-tuan besar kebun dan penganut paham tuan besar kebun umumnya. Tuan wakil
banyak diam, karena memang orang pendiam. Tetapi nyonya cukup berpandangan luas
dan ramah tamah. Pembicaraan sampai ke pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Salah seorang tuan besar pulang ke kandang kalau ia berkata: “Serikat Islam
akan lebih keras, kalau tak ada haji diantara anggotanya”. Ini sama juga dengan
“Partai Nasionalis akan lebih beres, kalau tak ada nasionalis sebagai
anggotanya”. Atau Partai Bolsjewik itu memang beres, cuma sayang sekali ada
orang Bolsjewik menjadi anggotanya”. Kita kenal pendiri surat kabar Deli
Courant yang reaksioner itu. Tuan besar kebun yang tersebut adalah seorang
reaksioner sedang, yang menahan perkataannya di depan nyonya rumah. Dari mulut
lain dan tempat lain kita tak akan mendengarkan kritik yang “sesopan” itu.
dengan juara pembaca “Deli Courant” di lapangan kita sendiri tentulah tak
begitu susah memberikan “knocked otu” seperti umpamanya di Kongres Deventer
dimana kita berhadapan dengan para pelajar Belanda bakal B.B ambtenaren itu.
Perkenalan dengan para tetangga
nyonya-tuan, keduanya dokter Walch, memang berlaku atas dasar duduk sama rendah
tegak sama tinggi. Seperti sudah saya sebut lebih dulu, kedua suami isteri tertarik
oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman (experiment) tentang nyamuk malaria
anopheles. Nyonya lancar berbahasa Indonesia, menaruh perhatian besar pada
pergerakan nasional di kota Medan, bahkan rupanya ingin hendak berkenalan
dengan Indonesia terkemuka di Medan itu. Kepada saya diperingatkan bahwa tak
perlulah saya tulis menulis surat kalau ada tempo buat mampir.
Semua perkenalan diatas dilakukan
menurut adat (formeel), tetapi diluar itulah banyak lagi perkenalan yang
dilakukan di sosieteit atau di lapangan tenis dan bola. Selain dari itu ada dua
tiga orang Belanda di Medan yang sudah menjadi teman saya, ialah
sosial-demokrat kiri dan ketua Assistent-Bond.
Umumnya semangat anti inlanders dari
para tuan kebun masih tebal, hanya rupanya ditutup. Tetapi ada juga dua-tiga
sahabat yang jujur. Baik juga dicukupkan gambaran pergaulan ini dengan tiga
“terwelu”, hazen ialah tuan-tuan: Hazevoet, Hazewinkel dan Hazejager. Ketiganya
adalah pegawai Senembah Mij dan ketiganya rapat hubungannya dengan saya.
Hazevoet bekerja di apotik, pemuda Belanda, ramah tamah, sering mampir di rumah
saya dan berpandangan sosialis. Hazewinkel sekapal dengan saya berangkat ke
Indonesia. Dia lama hidup diantara bangsa Kaffier dan lain-lain di Afrika, tak
bisa lagi membedakan warna kulit manusia itu, asal isinya baik. Di Nederland
dijanjikan kepadanya untuk menjadi kepala pabrik palm yang akan didirikan oleh
Senembah Mij, karena dia mempunyai pengalaman hal itu ketika di Afrika sebagai
“skilled labourter”. Tetapi baik berhubungan dengan pangkat maupun dengan gaji
ia amat merasa kecewa dan susah, selain ia memutuskan perhubungan dengan
Senembah Mij dan berangkat ke Jawa, lebih dulu meminta pertimbangan kepada saya
sebagai sahabat kepercayaannya. Hazejager adalah seorang Jerman tulen. Tentulah
pecinta negaranya dan masih sedih karena daerah Jerman Barat masih diduduki.
Dia kawin dengan seorang Indonesia Batak,
yang bukan Islam atau Kristen, melainkan yang tulen di gunung. Bukan
kawin seperti nyai, ialah perkara yang lazim di kebun, melainkan secara Batak
tulen yang tidak gampang. Dua tiga tahun dia mesti berusaha merebut hati dan
kepercayaan gadis Batak yang terkenal tidak mudah diperdayakan itu. Dia harus
kawin secara Batak asli, memakan masakan yang asli pula. Dia mempunyai anak
yang sangat dicintainya seperti istrinya. Hazejager tak banyak filsafatnya
tentang politik kebangsaan dan perdamaian...Kembalikan dulu batas Jerman asli,
bisa damai dengan bangsa Jerman”. Tak perlu saya terangkan kepadanya, bagaimana
paham saya tentang batas Negara dan bangsa Indonesia. Di waktu pertentangan
saya dengan kaum kolot di Senembah Mij. Hazejagerlah yang berkali-kali membuka
rahasia Tuan-tuan Besar Kebun yang berkomplot terhadap saya.
Pertentangan saya dengan tuan besar,
kebun berpusat pada empat perkara:
1. Warna kulit
2. Pendidikan anak kuli
3. Tulis menulis dalam surat kabar
di Deli dan
4. Perhubungan saya dengan kuli
kebun.
Keempat-empat perkara ini sumbernya
tentulah terletak pada pertentangan Belanda – Kapitalis – Penjajah dengan
Indonesia – Kuli – Jajahan.
Warna kulit! Perasaan...lain
daripada Inlanders yang tergambar pada perlainan kulit, tak akan hilang selama
Belanda putih memonopoli kedudukan sebagai kapitalis-penjajah di atas inlanders
– sawo terjajah. Perasaan sombong itu cuma bisa ditutup secara “spontan”.
Tetapi kalau hal itu diserahkan sama sekali kepada “kesopanan” Belanda saja,
maka kita akan terus menerus merasa terhina saja. Kita mesti selalu siap di
Neederland di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di
lapangan sport, ialah jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah
kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan.
Kalau dia di lorong-lorong atau di jalan raya memanggil-manggil “vuile Neger
ataupun water Chinees”, lantas kita hampiri dan tanya “apa kamu bilang,
sebutkan sekali lagi”, sambil bersiap sedia maka 99 dari 100 kejadian dia akan
berkata:....”niets meneer atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda
sedikit tersinggung, lalu memaki kita, janganlah sekali-kali makiannya itu
dijawab dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula
“grote beek opzetten”, Hantamlah saja tetapi secara sportief !!! Pasti dia akan
menjadi sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya: Belanda
jangan sekali-kali dikasih hati.
Perasaan segan ialah perasaan Timur
umumnya dari perasaan bangsa Indonesia khususnya, boleh dikatakan tak ada pada
Belanda. Atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih dan meminta terus
serta menendang terus.
Syahdan lebih dari 3 abad lampau,
maka karena pengalaman pahit, Jepang mengusir semua bangsa kulit putih keluar,
dan melarang bangsanya sendiri meninggalkan pantainya. Yang tinggal di Jepang
di pulau Kecil, pulau Dhasima terikat oleh perjanjian yang oleh bangsa lain
dianggap sangat menghina ialah: “Belanda.
Ketika Maharaja Langit di Kerajaan
Tengah ialah Tiongkok menuntut supaya semua duta asing ber-kow-tow, berjongkok
kepada anak langit itu, seperti dilakukan oleh para wakil negara takluk, maka
setelah lonceng berbunyi, yang memberi tanda bahwa kow-tow akan dijalankan maka
duta Inggris dengan cepat memegang punggung Belanda itu buat melarang. Duta
Inggeris mengerti, bahwa satu saja “blacleg”, penjilat bisalah merusak
kehormatan semua bangsa kulit putih yang berada di Tiongkok di masa itu.
Seperti kruidenier yang “minimum
programnya” pertama adalah untung, maka Belanda sanggup menjalankan taktik
strategi dari gertak sambel sampai ke-kow-tow.
Saya masih ingat di lapangan tenis
di Tanjung Morawa, bilamana kami mendapat kunjungan dari para tamu pemain tenis
dari lain cabang Senembah Mij. Atas permintaan pemimpin tenis, Boekhouder No.2
sudah dua kali saya menyerahkan raket saya kepada tamu-nyonya berturut-turut.
Apabila yang ketiga kalinya saya juga yang diminta mengalah, sedangkan ada lagi
tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan
Belanda yang bisa diminta mengalah, maka terpaksa saya tolak dengan
berterang-terangan. Di belakang collega saya pengurus sekolah, tuan W
memperingatkan bahwa saya terlalu cepat memperlihatkan sikap menjaga kehormatan
itu. Maka saya jawab: malahan sebaliknya. Tidak lama sesudah itu, maka dengan
collega ini sendiripun saya bercekcokan.
Entah karena kekurangan tidur siang
hari, di Nederland tentu dia tak mengenal tidur siang! Entah karena memang “met
het verkeerde been uit het bed gestapt”, entah karena “tropenkoller’s idee-nya
mulai bangkit, maka lupalah dia akan sosialisme dan anti hoogdscharp di
Nederland, yang belum sempat setahun yang lalu.
Pada suatu suatu hari, pertama kali
di waktu petang, ia datang di tempat saya bekerja. Dia mulai mencela cangkokan
murid yang katanya kurang dalam. Atau salinan bakul yang kurang kuat dengan
suara seperti suara tuan besar, sedangkan saya ada di sampingnya. Saya tak mau
biarkan begitu saja. Saya peringatkan kepadanya, bahwa anak-anak sudah lama
bekerja, dan ini cuma pelajaran tersambil, buat mendapatkan uang saku anak
miskin. Pelajaran yang terpenting adalah pelajaran yang biasa diajarkan kepada
bangsa apa saja dalam umur segitu, adalah pelajaran biasa di sekolah rendah.
Lagi kalau datang dimana saya bekerja, saya peringatkan supaya lebih dahulu
memberi tabik dan minta izin masuk. Apalagi mengeritik atau langsung marah pada
murid dibawah penjagaan saya, tak bisa saya benarkan. Lagi pula kalau pekerjaan
mesti dilakukan seperti maunya tuan W
datanglah sendiri memberikan instruksi tetapi bukannya kepada saya. Dengan muka
merah dia bertanya: “Siapa yang Kepala? Saya jawab: “Tak ada kepala, saya
datang di sini cuma untuk bekerja sama dengan kamu”. Kalau ada lain terjemahan,
pasti tak akan saya terima. Cuma saya heran, kenapa orang yang selang belum
berapa lama di negrinya sendiri berusaha menghapuskan “guru kepala” itu
sekarang lupa akan prinsipnya sendiri.”
Dia tak menjawab lagi. Tetapi zonder
ba of bu, dia langsung pergi ke tuan kebun, hoofd-administrateur, tuan T.
Tidak berapa lama antaranya saya
dipanggil ke kantor. Di sana saya berjumpa dengan tuan T, sendiri dan college
W. tadi Tuan T. memperlihatkan kepada saya surat tuan W kepadanya sebagai
tukang kebun. Maksud surat itu ia bertanya siapa yang kepala di semua sekolah
Senembah Mij.
Saya peringatkan kepada tuan kebun
bahwa perjanjian Dr. Jansen kepada saya, ialah supaya saya kerjasama dengan
tuan W untuk mendapatkan sistem yang cocok dengan keperluan anak kuli kebun.
Tuan kebun tak ambil pusing perkara
sistem yang cocok itu. cuma dia ajukan bahwa di kebun ini memang ada “kepala”
dan tuan W sudah lebih tua dan lebih berpengalaman daripada saya.
Saya majukan bahwa perusahaan kebun
sangat boleh jadi membutuhkan kepala, tetapi itu diluar daerah saya. Pada
pekerjaan saya, apalagi dalam mencari sistem yang cocok dalam pendidikan itu,
hal kepala mengepalai itu sama sekali tak ada pada tempatnya. Apalagi yang
menjadi kepala itu saya kenal sendiri di Nederland sebagai orang yang anti
kepala dalam sekolah. Memang saya akui tuan W. lebih tua dan lebih
berpengalaman. Tetapi pengalaman itu ada diantara murid Belanda, tentang jiwa
murid bangsa Indonesia saya tak sanggup mengakui kelebihan pengalaman tuan W dan
pengetahuan tentang jiwa murid itulah bagian yang terpenting dalam pekerjaan
kami di sekolahan.
Barangkali sebab tuan kebun tak
begitu atau tak banyak memusingkan perkara pendidikan, atau karena dia tak lama
lagi akan pergi perlop, atau karena tak lama lagi Dr. Jansen sendiri akan
berada di Tanjung Morawa, maka dia putuskan saja perkara tadi dengan
pertanyaan: “Maukah tuan-tuan maaf
memaafkan dan langsung kerja bersama?”
Saya tak keberatan. Kami pulang
seperti biasa.
Kesukaan tuan W adalah mondar mandir
naik auto dari ke kampung di Senembah Mij. Dan habis bulan mengirim laporan
tentang pekerjaannya kepada Senembah Mij. Buat saya, tujuan dan dasar cara
mengajar kepada anak kuli itu sudah mulai terang. Buat itu saya rasa perlu mengetahui
tabiat, kemauan dan kecondongan hati masing-masing anak. Saya rasa pula
perlunya satu pusat sebagai tokoh contoh (model). Untuk mendapatkan semuanya
itu tiadalah bisa main tuan besar terhadap anak kuli dan main auto dari sekolah
ke sekolah. Pada permulaan memangnya saya ikuti tuan W. mondar mandir itu.
Tetapi sesudah beberapa kali, saya insaf bahwa ini cuma membuang-buang waktu
dan bensin saja.
Saya lebih merasa perlu, selainnya
rapat kepada anak-anak juga mesti rapat kepada para orang tuanya. Keduanya amat
mudah dilakukan dalam masyarakat Indonesia tulen, tetapi amat susah dilakukan
di masyarakat kebun. Saya terapit di antara masyarakat Belanda “Tropenkollers”
dan masyarakat kuli kontrak. Kalau saya terlampau rapat kepada Belanda, maka
saya tidak mendapat kepercayaan penuh dari Bangsa sendiri. Sebaliknya, kalau
saya terlampau rapat dengan bangsa sendiri, maka saya akan sangat dicurigai
oleh bangsa Belanda.
Tetapi dalam hal pilih-memilih
kedudukan, maka keyakinan dan kewajiban yang senantiasa memberi putusan kepada
saya. Berangsur-angsur saya mendapatkan kuli atau pegawai yang saya ajak datang
di rumah saya, buat merundingkan itu.
Tentu bukanlah kehidupan anak kuli
saja, yang menjadi pokok pembicaraan, tetapi seluruhnya cabang penghidupan kuli
kebun. Sebentar saja saya sudah mendapatkan keyakinan betapa beratnya pekerjaan
mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya. Mereka terikat oleh
bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang mereka sendiri tak
bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan
hantu. Mereka terikat oleh kekolotan, kebodohan, kegelapan dan hawa nafsu jahat
itu sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian. Tiadalah ada hak dan
kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki nasibnya sepanjang aksi
Sarekat Buruh yang legal teratur. Memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh
dengan pengkhianatan bangsa atau calon-calonnya, apalagi dalam masyarakat kuli
kontrak.
Para tuan besar “Tropenkollers”
sudah berbisik-bisik dan mendapat tongkat pemukul saya, bukan saya perhubungan
dengan kuli kontrak yang mereka rasa haram, tetapi juga beberapa tulisan dalam
surat kabar, Liberal di Medan, Sumatera Post, dan perhubungan saya dengan para
pemimpin pemogokan Deli Spoor.
Pada satu malam Hazejager datang tergesa-gesa
ke rumah saya, “Zij Hebben het op jouw gemunt” (mereka berkomplot terhadap mu)
katanya: Mereka (para tuan besar kebun)
sangka, bahwa Ponco Drio penulis dalam surat Kabar Sumatera Pos, adalah Tan
Malaka. Mereka sangka, bahwa engkau ada hubungan dengan pemogokan Deli Spoor,
karena engkau pernah bicara dengan pemimpin pemogokan dan pernah didatangi oleh
para pemimpin disini. Mereka juga mendengar perkataan rapat dengan kuli kontrak
di rumahmu sendiri. Sekian laporan Hazejager kepada saya.
Besok harinya saya benar-benar
dipanggil oleh wakil tuan kebun ke kantor karena tuan kebun sendiri sedang
perpol. Tuan wakil kebun mengemukakan perkara tersebut kepada saya dan bertanya
benar tidaknya.
Beberapa bukti yang dimajukan saya
sangka kebenarannya karena memang diputar balikkan. Perkara Ponco Drio saya
minta tanya sendiri kepada Sumatera Post, supaya bisa disaksikan sendiri siapa
yang pembohong. Di samping itu saya memajukan hak saya sebagai orang Indonesia
Merdeka, ialah membantu mengangkat derajatnya bangsa saya dan berhubungan
dengan siapa saja yang saya anggap pantas.
Akhirnya saya memprotes pula
komplotan di belakang saya, yang namanya tak perlu saya sebutkan. Tetapi kepada
tuan wakil kebun saya majukan, jika fitnah itu dilanjutkan kalau perlu saya minta
dihadapkan bermuka dengan ahli fitnah yang bersembunyi itu. dengan wakil saya
berpisah dengan ramah tamah saja.
Saya memang pernah menulis dalam
surat kabar Sumatera Post, tetapi bukan dengan nama samaran Ponco Drio. Perkara
tulis menulis itu tentulah hak mutlak dan tanggung jawab saya sendiri.
Begitulah juga perhubungan saya dengan pemimpin Deli Spoor atau dengan kuli
kebun adalah perkara saya sendiri pula.
Herr Graf, tuan besar adalah
pemimpin komplotan terhadap saya, cukup mempunyai “Ausdauern” dalam semua
pekerjaan juga dalam pekerjaan fitnah-memfitnah. Tetapi Hazejager juga
mempunyai sifat Jerman yang terkenal itu, ialah “Ausdauern” dalam kejujuran kepada
temannya. Selain daripada itu tuan maskapai sendiri Herr Dr. Jansen, tak begitu
percaya saja terhadap segala tuduhan terhadap orang yang dikenal dan mempunyai
“Ausdauren” Jerman pula hendaknya bertemu muka dengan si tertuduh, sebelum ia
mempercayainya.
Hazejager datang lagi
tergopoh-gopoh, Tuan besar Graf terus membisikkan segala tuduhan yang tempo
hari dimajukan. Ditambah lagi dengan pendapatnya sendiri bahwa Tan Malaka itu
adalah seseorang yang tak tahu terima kasih. Coba pikir, katanya, Inlander Tan
Malaka itu dahulu di negeri Belanda diongkosi oleh Dr. Janssen, sekarang dia
berkhianat kepada Herr Dr. Janssen sendiri. Schreklich nich war?”
Besok paginya tergopoh-gopoh dan
gugup sekali Dr. Janssen datang di rumah saya. Saya belum lagi berpakaian, belum
sempat mengundang tuan duduk, tetapi Dr. Janssen sudah duduk sendiri dan mulai
berbicara dengan muka merah serta nafas terputus-putus. Tuduhan perkara “rapat
dengan kuli kebun”, tulis menulis dalam surat kabar dan berhubungan dengan para
pemimpin pemogokan Deli Spoor dibentangkan kembali di depan saya.
Kalau benar, kata Dr. Janssen itu
berarti menusuk dari belakang.
Saya sambut saja dengan satu
pertanyaan. Apakah tuan percaya juga atas fitnah yang lain, yakni saya belajar
di Nederland atas ongkos tuan?”
“Ach ya”, kata Dr. Janssen “Ik
geloof er zelf ook niets van”, saya sendiri tak percaya sedikitpun “Sebab
itulah saya sendiri datang kemari menyaksikan”
“Lekaslah berpakaian”, kata Dr.
Janssen pula” ini pagi ada rapat dari beberapa pegawai Belanda di seluruh
Senembah Mij. Saya minta tuan juga hadir.
Saya tak menyangka sama sekali,
bahwa pagi itu saya akan berada di antara para tuan besar dari semuanya cabang
Senembah Mij.
Yang mengherangkan saya pula, ialah
tak ada tuan-tuan kecil yang hadir. Lebih mengherankan pula, apabila saya tak
melihat Collega saya sendiri yang ingin menjadi “kepala atas saya tempo hari.
Jadi tak heran, kalau benar-benar saya terperanjat mendengarkan pertanyaan Dr.
Janssen kepada saya berhubungan dengan sekolah kebun. Sebetulnya tuan W.
collega sayalah yang mesti hadir dan memberi penerangan tentang pendidikan di
kebun itu.
Pertanyaan itu datangnya tiba-tiba,
apabila saya masih teringat dengan sudut mata memperhatika para tuan tanah yang
hadir, yang saya kenal cuma satu-satunya orang di antaranya ialah tuan besar
Tanjung Morawa, Herr Graf, musuh No.1. apabila sudut mata saya bertemu matanya,
maka dengan cepat ia menoleh ke lain tempat.
Memangnya orang berhati curang itu,
walaupun mempunyai Ausdauern Jerman, tak akan melihat sudut matanya inladerpun,
yang merasa dalam kebenaran.
Dalam suasana seperti itu tak ada
tempatnya buat memberi apa yang dinamai pemandangan lengkap tentang pendidikan
anak kuli. Lagi pula saya sudah mengambil putusan untuk diri saya sendiri,
tentang pekerjaan saya di hari depan. Saya berbicara pendek saja dan tujukan
kepada kesimpulan berikut: “Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah
mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si
murid, seperti dimaksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga,
bahwa disamping pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam
kemauan dan kebiasaan bekerja tangan dan perasaan menganggap pekerjaan tangan
adalah pekerjaan penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya dari pada
pekerjaan otak semata-mata. Bahwa Senembah Mij khususnya dan Deli umumnya tak
dapat akan ganti rugi, kalau disekitarnya banyak didapati buruh halus dan kasar
yang benar-benar cakap, efficient dan mempunyai keinginan hidup (standard of
living) yang tinggi. Mungkin pada
permulaan Senembah Mij harus mengeluarkan ongkos yang seakan-akan percuma,
tetapi lama kelamaan, in the long run, ongkos keluar itu akan kembali berlipat
tambah.
Saya insaf, bahwa saya berbicara
kepada orang-orang tuli, “spreken tegen dove man’s ooren”. Tetapi baiklah juga
diperdengarkan kepada para tuan besar kebun itu, bahwa anak kuli pun adalah
anak manusia juga. Disana sini sudah saya terdengar, bahwa sekolahan buat anak
kuli adalah jalan” membuang-buang uang saja. Apa gunanya anak kuli diajar. Dia
akan lebih brutal!” dari pada bapaknya. Mandor ini tak perlu sekolah rendah 5
tahun. Si Kario juga cuma sekolah desa. Walaupun begitu dia bisa mengurus
listrik. Si Mubal, si Sastro, apa sekolahnya? Toh bisa membikin obat ini atau
itu. 99% kuli kebun ini buta huruf. Toh bisa menanam tembakau. Suruh saja anak
kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang, guru itu
semuanya bikirn gaduh saja di kebun-kebun. Menambah “ontevreden” orang tak
senang saja, dan menambah anggota Sarekat Islam saja.
Inilah logika Belanda kebun, bekas
“leegloopers di Nederland! Saya tahu bahwa Dr. Jansen yang mengusulkan
mendirikan sekolah buat Senembah Mij itu, oleh para tuan besar dianggap sebagai
idealis, “ethis”, sebagai orang goblog dan diejek-ejek dibelakangnya.
Dimasa Ratu Katharina di Rusia,
kalau saya tak salah, hidup seorang Perdana Menteri bernama Potemkin dalam
memberi jawaban atas pertanyaan Sri Ratu, isi pidatonya cuma satu: “Rakyat
senang, padi menjadi, hai Tuanku”. Kalau Sri Ratu ingin mempersaksikan dengan
mata kepala sendiri kesenangan rakyat dari kemajuan perekonomian itu, maka
Potenkim membawa Sri Ratu kepada desa yang bagus, yang disiapkan istimewa lebih
dahulu dibuat kunjungan saja. Desa yang bagus yang diperhias buat kunjungan Sri
Ratu itu dinamai Desa Potenkim”. Sri Ratu Katharian “dikantongi” saja oleh
Potenkim untuk menghindari desa dan kampung yang kotor miskin, dan baru
dikeluarkan dari “kantongnya” untuk mengagumi desa perhiasan, desa Potemkin.
Benar rupanya: “Rakyat senang, padi menjadi”.
Di Senembah Mij ada juga “Desa
Potemkin itu Sri Ratu Katharina juga ada. Cuma Potemkin itu berkarma pada
tubuh-tubuh tuan kebun dan Sri Ratu Katharina berkarma pada Herr Dr. Jansen,
bersemayam di Nederland. Desa Potemkin di Senembah Mij, dibikin atas permintaan
Dr. Jansen sendiri, buat kuli kontrak yang sudah lama bekerja. Mereka mendapat
rumah sendiri dengan kebun sendiri. Disamping desa Potemkin inilah sekarang
diadakan sekolah Potemkin buat menyenangkan hati idealist, ethist Herr Dr. Janssen.
Oleh tuan kebun, Dr. Janssen dikantongi waktu melalui bangsa kuli, dan
dikeluarkan dari kantong baja auto chrysler buat menyaksikan dan mengagumi desa
sekolah Potemkin.
Saya tahu bahwa tak lama lagi Dr.
Jansen akan kembali ke Nederland. Saya “anak angkatnya ini akan tinggal
sendirian di antara tuan besar yang memusuhi warna kulit, paham politik, bahkan
pekerjaan saya. Maksud saya yang terpenting sudah tercapai. Pertama mendapatkan
pengalaman antara kuli kontrak. Kedua mendapatkan uang buat membayar hutang
kepada desa dan bekas guru saya. Sebagian besar dari hutang ini sudah langsai
(terbayar). Dengan reserve yang saya simpan sendiri semuanya kalau perlu, bisa
saya lunaskan. Sudah terlampau lama saya berada dengan menutup mata telinga
dalam masyarakat yang rendah. Satu kali saya rupanya terlanjur menuliskan
tingkah lakunya Belanda kebun, terutama terhadap perempuan kuli kontrak.
Balasan surat kepada saya ditulis oleh tangan wanita, dahulunya saya kenal
sebagai Nona Mathilda Elzas, onderwijzeres, dan sekarang nyonya Horensma guru
saya itu. tulisan itu pendek saja...Als je het daar niet be alt, kom dan maar
bij ons terug”. Heusch, genoeg ander werk. (Kalau tak senang disana kembalilah
kemari. Sungguh cukup pekerjaan lain).
Kebetulan pula sesudahnya rapat tuan
besar kebun tadi saya diajak oleh Dr. Jansen berjalan-jalan. Saya tiada
ragu-ragu lagi mengambil keputusan. Kata saya: “Tuan sudah saksikan sendiri
bagaimana suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya seorang
Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli, maka sekolah anak kuli
itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih baik saya minta berpisah dengan tuan
sendiri”, demikianlah usul saya.
Saya tak ingat apa yang dikatakan
tuan Dr. Janssen, mungkin juga tak apa-apa. Orang yang mempunyai perasaan halus
seperti Dr. Janssen masakan tak mengerti akan haluan saya, perjuangan dan
kesulitan saya. Malam itu juga saya diundang oleh Dr. Janssen ke rumahnya Dr.
Pel. Di sana selain Dr.Pel dan Dr. Janssen sudah berada Prof. Schuffe, ahli
malaria yang terkenal. Inilah malam perpisahan, Dr. Janssen juga sudah menyuruh
kantor membawa gaji saya buat 2 bulan dan membeli karcis kelas I untuk ke Jawa.
Dari teman saya dengan “Dr. Jansen
dengan undangan kepada para tuan tanah dan selamat berpisah untuk menunjukkan
penghargaannya dan mengembalikan kehormatan yang selama ini diinjak-injak oleh
para tuan besar.” Tetapi Boekhouder No.1 yang pertama menolak permintaan saya
buat berkenalan lebih kurang 2 tahun lampau itu, membisikkan ke kiri kanan:
Guna apa kelas 1 buat (Inlander Tan Malaka itu). Mungkin dia tak senang di
kelas 1 itu (masakan “Inlander” senang dengan yang baik?)
Sebelumnya berangkat ke Indonesia
pada suatu hari, maka buat penutup ongkos dan sebagai penghargaan atas lezing
tentang lembaga dan adat istiadat salah satu daerah di Indonesia. Atas
permintaan tuan Boissevain, Handelsvereeniging Amsterdam saya menerima
“enveloppe yang berisi. Perkara biasa! Yang sedikit luar biasa sesudahnya itu,
ialah kebetulan saja dalam kereta dari Bussum ke Amsterdam, disamping saya di
kelas tiga, duduk seorang tuan, berusia tinggi, mata tajam dengan pertanyaan:
Tuan Tan Malaka?” saya syahkan dengan sedikit tercengang sebab tuan itu belum
pernah saya kenal. “Saya Jansen”. Saya menerima laporan tentang sekolah
anak-anak kuli kebun di Deli. Cobalah tuan periksa. “Apabila saya hendak baca,
maka tuan Janssen berkata lagi: “Simpan sajalah dulu, nanti baca kalau kembali
di rumah. Sesudahnya itu saya minta tuan datang di kantor saya di Amsterdam
untuk memberi pemandangan tentang laporan itu.”
Demikianlah, di kantor Amsterdam itu
saya menerima tawaran Dr. Jansen itu buat bekerja dengan tuan W. di Deli untuk
mendapatkan sistem pendidikan yang cocok dengan keadaan disana.
Setelah berpisah dengan Dr. Jansen
dan sesudah beberapa bulan saya di Semarang, maka dari guru Horensma saya
mendapat surat yang mengucapkan salam dari Dr. Jansen. Surat itu mengatakan
pula bahwa Dr. Jansen masih memberi perhatian penuh kepada saya.
Benar pula setelah tiba di Nederland
sesudah dibuang dari Indonesia pada permulaan tahun 1922, maka saya dengar dari
teman, bahwa Dr. Janssen hadir dalam rapat, dimana saya berbicara tentang
pendidikan. Dalam rapat buat pemilihan anggota Majelis Rendah Nederland dimana
saya dicalonkan, saya lihat hadir juga keluarga Dr. Janssen.
Tetapi saya tak bertemu lagi dengan
Dr. Janssen. Anaknya P.W Janssen, terkenal sebagai dermawan di Nederland.
Dr. Janssen walaupun berbudi luhur,
cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam diantara pemandangan
politik kami. Tak sekali ini saja dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya
merasakan lakonnya kesedihan “tragedy” hidup: bisa sehilir semudik, seminum
semakan, tetapi tak bisa seperjuangan
sepasukan.
SEMARANG KOTA MERAH
Waktu itu, Juli 1921, Semarang
terkenal sebagai pusat kaum merah. Revelusi ini, Mei 1947, tiadalah membatalkan
persangkaan itu. Pada masa itu di Semarang terdapat markas V.S.T.P. Vereeniging
van Spoor den Tram Personeel, Sarekat Sekerja Kereta Api, yang paling teratur
buat seluruh Indonesia. V.S.T.P. didirikan dalam tahun 1904. Pernah mempunyai
anggota yang membayar iuran 17.000, mempunyai cabang dimana-mana, percetakan
dan surat kabar yang rapi teratur secara modern. Ketuanya adalah saudara
Semauan. Dia mendapat bantuan dari beberapa personeel Belanda, bekas pemogok di
Nederland, dan yang boleh dianggap sebagai pelopornya gerakan Sarekat Sekerja
di Indonesia. Disamping V.S.T.P. berada PKI, Partai Komunis India, dahulu
bernama I.S.D.P, Indische Social Democratische Partai, yang didirikan oleh kaum
Socialis revolusioner Belanda dalam tahun 1914. Setiba saya di Semarang saudara
Semauan pula yang mengetuai partai ini. para pemimpin Belanda seperti Sneevliet
dan Baars sudah lama dibuang. Dalam tahun 1922, setelah diakui sebagai seksi
oleh Internasional ke-3, I.S.D.P memutar namanya menjadi PKI, mempunyai majalah
Het Vrije Woords dan Suara Rakyat. Yang dibelakang ini dipimpin oleh saudara
Darsono, yang menjadi Wakil Ketua PKI boleh dianggap sebagai Kader, sedang yang
menjadi Partai Rakyat Jelata ialah Sarekat Islam Merah Semarang, yang berhubung
dengan adanya partai disiplin oleh Sentral Sarekat Islam dipisahkan dari pusat.
Buat memenuhi gambaran semarang di waktu itu, perlulah pula disebut Nationale
Indische Partai (N.I.P) yang mengenal para pemimpin seperti Dr. Douwes Dekker
(sekarang Dr. Setyabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat
(sekarang Ki Hajar Dewantoro).
Suasana Indonesia seluruhnya pada
tahun 1921 itu adalah menyamai suasana 1913-1919. Perbaikan Ekonomi-Dunia baru
saja (tahun 1920) memuncak. Pada tahun 1921 perekonomian mulai merosot pula
N.I.P, partai nasional tertua, kecuali cabang Deli, tak berapa lama lagi
memperdengarkan suaranya Sarekat Islam, yang pada Kongresnya ke-3 di Surabaya
mempunyai 87 cabang dan anggota 450.000, dan menurut De Gids, Nederland, dimasa
Perang Dunia I, pernah serentak sanggup memanggil 6.000.000 pengikut dan
penyayang (bersimpati S.I) buat semua kepulangan dan sekalian kita kampung
Indonesia pada rapat umumnya, sedang terbengkalai karena perpecahan dengan
golongan Semarang. Perang Jambi yang disertai oleh pengikut S.I, kerusuhan di
Toli-Toli (Sulawesi), keributan di Garut oleh afdeling B, semuanya itu sudah
lama berada di belakang. Aksi revolusioner Belanda berhubung dengan
Soldaten-Bond, yang dipimpin oleh Sneevliet dan Bransterder, yang juga banyak
menggemparkan imperialisme Belanda, sudah tinggal kenang-kenangan saja, PKI
cuma mempunyai kader yang kecil saja, terutama di Semarang.
Dengan turunnya semangat Sarekat
Islam, Garut affaire, penangkapan Cokroaminoto, perpecahan dalam SI, naiklah
kembali kepercayaan imprialisme Belanda, yang sesungguhnya sudah bingung
menghadapi S.I di masa perang Dunia I. Kepercayaan atas diri sendiri itu
diperkokohnya pula dengan bermacam-macam undang-undang yang mengungkung
kemerdekaan berserikat, bersidang, menulis dan berbicara. Semua undang-undang
tersebut sungguh membatasi hak manusia, hak demokrasi, dan menghambat jalannya
pergerakan nasional serta perserikatan buruh. Tetapi semuanya itu, masih boleh
dianggap ranjau yang kelihatan oleh Pemimpin, yang laksana bom terpendam, entah
dimana, tetapi bisa meletus sewaktu-waktu. Inilah yang kita kenal dengan nama
“exorbitante rechten”, atau hak istimewa yang dipegang oleh Gobnor Jendral Hindia
Belanda untuk membuang seorang pergerakan yang dianggap berbahaya buat
ketentraman umum (baca: berbahaya buat yang oleh penjajah Belanda dianggapnya
ketentraman). Sepanjang hak istimewa di tangan Gobnor Jendral Hindia Belanda
ini, maka siapa saja yang dianggap berbahaya buat jajahan Belanda, bila saja
dikehendaki, boleh ditangkap dan dibuang dengan tiada diberi kesempatan untuk
mempertahankan dirinya pada satu pengadilan yang syah serta umum terbuka.
Dalam suasana demikianlah, maka
Janji Bulan November, janji yang diberikan oleh Penjajahan Belanda waktu
tersesak untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia, entah berapa %, sedikit
demi sedikit ditarik kembali. Yang dikabulkan ialah Gedung Sandiwara di
Pejambon, Batavia, yang dinamai Volksraad, bersama-sama dengan ranjau pers,
berserikat dan berbicara serta hak membuang orang Indonesia keluar tanah tumpah
darah dan masyarakat asalnya atau ke hutan rimba seperti Digul.
“It is a long way to the pray, a
long way to go”. Ketika itu saya bukannya berada dalam iklim politik yang
hangat panas, diantara murba yang bergerak menentang dengan program yang pasti
serta organisasi teratur rapi dan terdisiplin. Suasana murba yang menentang
sudah jauh di belakang, organisasi nasional yang rapi teratur dan terdisiplin,
sanggup merebut dan mempertahankan daerah lebih dari seluas Eropa seluruhnya
dan Rakyat 70 juta banyaknya, belum ada. Sepantasnyalah kalau saya masuk ke
Semarang dari pintu perguruan. Tatkala meninggalkan Deli menuju ke Semarang,
hati saya bulat hendak mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan
jiwa rakyat murba di masa itu. Dasar tujuan sudah saya pastikan, pengalaman
sementara buat memperteguh dasar tujuan sudah saya peroleh di Deli selama 2
tahun. Yang saya butuhkan ialah tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa murid,
material berupa rumah dan serta akhirnya, yang tak kurang juga pentingnya
adalah keliling yang mengandung penghargaan atas pekerjaan perguruan itu.
Ketika mampir di rumah guru
Horensma, yang sudah naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia,
berkedudukan di Jakarta, maka saya ditanya apakah saya mau bekerja di ibu kota
itu dan mau bekerja apa supaya ia dapat diusahakan. Saya jawab, bahwa saya mau
meneruskan melakukan maksud yang sudah dia kenal dan tak pernah dia bantah, malahan
sebaliknya. Dengan pendek dia berkata Ga je gang maar (teruskan saja).
Di Yogya saya menempat kepada
sahabat baru, saudara Sutopo, bekas Pemimpin surat kabar Budi Utomo. Kepada
sahabat baru ini saya diperkenalkan dengan surat oleh sahabat saya di Medan,
ketua Budi Utomo disana. Saudara Sutopo segera mendesak saya pindah dari hotel
ke rumahnya, dimana saya mendapat perlayanan tak ada ubahnya dengan saudara
kandung. Seolah-olah saya saudaranya yang baru pulang merantau. Saya
dikenalkannya kesana-kesini. Dia usahakan mendirikan sebuah sekolah yang hendak
saya pimpin. Tetapi kebetulan pula Serikat Islam membikin rapat besar untuk
membicarakan, perselisihan di dalam badan sarekat Islam, disebabkan oleh apa
yang dimasa itu dinamai “Kritik Darsono”. Oleh saudara Sutopo saya
diperkenalkan pula kepada saudara Cokroaminoto, saudara Darsono dan saudara
Semaun.
Seperti orang yang sudah berkenalan
lama pula saudara Cokroaminoto terhadap saya. Seperti orang yang tak insyaf
akan pengaruhnya di seluruh kepulauan Indonesia, seorang yang dimulut orang
Barat pasti akan disebutkan “the uncrowned king of Indonesia”, (Raja tak
bermahkota) bersikap ramah tamah kepada siapa saja yang menghampiri. “Sekali
menjadi sahabatnya, susah berpisah, apalagi bermusuhan dengan Cokroaminoto”.
Demikianlah kata seorang anggota PKI bekas pengikut Cokroaminoto kepada saya.
“Dengar suara Cokroaminoto merebut hati rakyat Indonesia”, kata teman yang
lain. “Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara”, demikianlah perkataan
perpisahan yang diucapkan oleh saudara Cokroaminoto kepada saya.
Sebelum rapat banyak orang sibuk
berjalan kian kemari. Saya dibawa kepada saudara Darsono, “Rakyat kita”,
demikianlah kata saudara Darsono, “masih terlalu persoonlijk dalam perbedaan
paham. Mereka belum bisa memperbedakan paham atau kecakapan seseorang dengan
orangnya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka amat cintai”.
Saudara Darsono kelihatan sedikit
dipengaruhi oleh apa yang dinamai serangan atas dirinya sendiri, dan memang
dirinya diancam orang. Kalau ia membela dirinya di muka rapat. Mesti diketahui,
bahwa populariteit saudara Cokroaminoto pada waktu itu masih tinggi sekali.
Tetapi panitianya yang menyelidiki “Kritik Darsono” membenarkan haknya saudara
Darsono mengadakan kritik, hanya menyalahkan caranya melakukan.
Saudara Semaun, yang dengan
pakaiannya walaupun sederhana tapi amat menarik hati, seperti juga muka dan
senyumnya, belum lagi bertanya ini atau itu sudah berkata kepada saya:
“Bersiaplah saudara buat pergi ke Semarang bersama-sama kami keesokan hari. Nanti
kami akan berusaha supaya saudara bisa memimpin perguruan. Memang sudah pada
tempatnya.
Cuma saya mesti berpisah dengan
Saudara Sutopo yang dengan keras menahan saya di rumahnya di Yogya, karena dia
sedang berusaha betul mendirikan sekolah buat saya pimpin.
Didorong oleh hasrat yang
terang-teguh, maka sering kita lupakan sifat jasmani yang takluk pada undangnya
alam. Dalam mencocokkan badan saya dengan keadaan alam Eropa dalam iklim serta
keperluan lahir yang dalam serba kekurangan itu, maka satu kali kesehatan saya
sudah mendapat tamparan yang hebat. Kesehatan itu dikembalikan dengan
mencocokkan diri pula pada penghidupan. Kehidupan secara Eropah itu diteruskan
di Deli, bahkan dengan berlebih-lebihan.
Mulanya saya tak insyaf, bahwa saya
sekarang berada di Jawa dalam keadaan lahir yang berbeda dengan keadaan di
Deli, seperti bumi dengan langit. Pada permulaan tak di-insyafi, bahwa rumah di
Jawa tak sama dengan yang di Deli atau Bussum (Nederland), makan di Jawa tak
sama dengan yang di Deli atau Bussum. Tak diketahui, bahwa hawa Semarang
berlainan dengan yang dilain tempat, semuanya lupa karena suasana baru, suasana
meredeka berbicara dengan teman sepaham seperjuangan.
Semenjak hari pertama saya jatuh
berbaring di tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun, demam,
panas sampai akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit.
Saya menderita serangan paru-paru (longonsteking), satu bulan lamanya harus
dirawat.
Tidak ada di alam ini organ, badan,
yang sanggup melayani perubahan besar dengan sekonyong-konyong. Laksana gelas,
kalau tiba-tiba dituangi air mendidih niscaya akan pecah, demikianlah badan
yang kuatpun akan menderita kesakitan, kalau sekonyong-konyong ditaruh dalam
keadaan yang serba berlainan. Ibarat gelas tadi harus dituangi perlahan-lahan
sedikit demi sedikit, dengan air mendidih pun tiada akan rusak, begitu pula
badan manusia yang fana itu harus berangsur-angsur disesuaikan dengan keliling
yang berbeda. Hal ini sering kita lupakan, apalagi kalau rohani berada dalam
suasana yang sejahtera, yang menggembirakan.
Setelah sedikit merasa kuat kembali,
saudara Semaun membuat rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam Semarang,
mengusulkan mendirikan perguruan. Usul ini diterima baik, dan pencatatan murid
dimulai hari itu juga. Perumahan sekolah tiadalah menjadi halangan, karena
Sarekat Islam Semarang mempunyai gedung sendiri buat rapat. Gedung inilah yang
sementara akan dijadikan sekolah. Bangku, papan tulis dan perkakas lain-lain
juga segera diperoleh. Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan
kurang lebih 50 orang murid.
Dalam brousure kecil “S.I. Semarang
dan Onderwijs” saya uraikan dasar dan tujuan perguruan kami caranya mencapai
tujuan itu. bukanlah tujuan kami mendidik murid menjadi jurutulis seperti
tujuannya sekolah gupernemen. Melainkan, selain buat mencari nafkah buat diri
dan keluarga sendiri, juga buat membantu rakyat dalam pergerakannya. Teranglah
kalau begitu, bahwa dasar yang dipakai ialah dasar kerakyatan dalam masa
penjajahan, ialah: Hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata.
Bukanlah buat menjadi satu klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh
pemerintah penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan
sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kecerdasan, perasaan dan kemauan
murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat
sehari-hari, idam-idaman rakyat dan pergerakan serta organisasi rakyat.
Karena hampir semuanya murid ialah
anak petani, buruh dan pegawai atau pedagang kecil, yang langsung atau tidak
langsung bertali erat dengan Sarekat Islam, maka mencocokkan didikan murid
dengan pekerjaan, idam-idaman dan gerakan Rakyat sehari-hari itu, bukanlah
suatu pekerjaan yang sulit. Tiadalah pula mengherankan, kalau sesudah tiada
berada lama, sang Ibu Bapa memandang anaknya sebagai ahli waris mereka dalam
pekerjaan dan cita-citanya.
Saya masih ingat demonstrasi,
pertunjukan yang pertama, yang dilakukan di tengah-tengah Sarekat Islam.
Seorang dua murid yang baru berumur 14 tahun meminta bantuan orang tua dan
mengeritik serta mengajak kerja lebih keras para temannya sendiri untuk
organisasi mereka sendiri. Sesudah itu diadakan defile: para murid bercelana
merah, berbaris-baris, bersaf-saf di depan khalayak dan menyanyikan lagu
“Internasionale” pertama kali di antara rakyat Indonesia. Setelah semuanya
berlaku dengan cepat rapi teratur oleh murid sendiri, maka saya tunggu sambutan
rakyat.... yang tiada juga terdengar. Saya peramati beberapa penonton yang
menyambut dengan air mata berlinang-linang, takjub! Sedih? Gembira?
Keduanya: Sedih, karena insyaf akan
nasif anaknya dan diri sendiri “sekolah dan alat serba kekurangan. Gembira,
karena para murid ini dididik, bukan menjadi golongan perkakas penjajahan,
melainkan buat mengangkat derajat tertindas, terhisap dan terhina, ialah
golongan mereka sendiri. Mereka merasa mendapatkan bakal pahlawan.
Baru sesudah bermenit-menit tepuk
tangan yang sayup kedengaran, yang segera disertai oleh sorak dan tepuk tangan
yang riuh.
Murid terus saja mengalir ke sekolah
kami, sampai susah lebih dari 200 orang. Surat yang meminta menjadi guru di
sekolah kami datang dari mana-mana. Ada yang mau meninggalkan pekerjaan yang
memberi hasil baik dan bekerja pada sekolah kami dengan percuma. Disamping itu
di hari petangnya saya adakan kursus sendiri, mendidik murid di kelas 5 menjadi
guru dan mendidik guru yang ada untuk menjadi guru berhaluan kerakyatan.
Malang dan mujur datang tiba-tiba
dari semua tempat. Begitu pula permintaan mendirikan sekolah itu datang dari
semua pelosok Malan, karena tenaga sedikit, dan pusat, ialah Semarang, belum
lagi teguh. Mujur, karena dengan perhatian Nasional, bisalah kelak diwujudkan
program meliputi seluruh Indonesia dan mengharapkan bantuan seluruh rakyat.
Dengan perhatian dan bantuan Rakyat jelata, seluruhnya atau sebagian besar,
dapatlah kelak diharapkan sekolahan menengah akan mendapat iklim yang baik dan
tanah yang subur. Setelah tamat sekolah pertanian, murid akan bisa memimpin
koperasi rakyat di desa-desa. Tamat sekolah tukang para murid akan bisa menyelenggarakan
koperasi pertukangan. Murid keluaran sekolah dagang akan bisa menyusun dan
memimpin berbagai macam koperasi. Demikianlah kalau sekolah dapat kerja sama
dengan Serikat Sekerja dan kumpulan politik, maka pergerakan kemerdekaan akan
mendapatkan tenaga yang terdidik dalam segala lapangan. Kader yang benar-benar
tergembleng.
Bandung sudah tak bisa ditahan lagi.
Rumah sekolah yang bagus dengan kebun dan
tempat permainan murid yang luas, sudah disediakan oleh seorang
dermawan, anggota Sarikat Islam. Semua
tenaga perguruan yang ada terpaksa dikerahkan buat mendirikan sekolah
rakyat yang kedua, dengan murid antara 200 dengan 300 di Bandung.
Saya sendiri tiada bisa menyaksikan
kemajuannya. Sepeninggal saya dibuang, maka menurut laporan yang saya terima,
sekolah Rakyat tumbuh sebagai jamur di musim hujan. (Dengan bertukarnya Sarikat
Islam Semarang menjadi Sarikat Rakyat, maka nama sekolahpun bertukar). Kemana
saja murid Semarang mengunjungi rapat Rakyat, disana segera didirikan sekolah
model Semarang. Para murid dengan celana merah dan lagu Internasionalnya adalah
laksana ahli suling kota Harmelin, di dalam dongeng, yang menarik segala hewan
mengikuti sulingnya, kemana saja ia pergi. Memangnya ada pula murid yang
tinggal di Surabaya mengikuti temannya sampai di Semarang dengan tak meminta
izin kepada orang tuanya lebih dahulu.
Sebagai sepongang (kumandan) gerakan
perguruan kami di masa itu, dalam ENCYCLOPAEDIE VAN NED.OOST-INDIE VI
SUPLEMENT, muka 534 kita bisa membaca yang terjemahan sbb:
Dimana-mana berdiri Sekolah Rakyat
menurut model Tan Malaka; diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan
barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan
sistem Komintern. Di mana mungkin bisa dibikin kursus kilat untuk membentuk
propagandis yang aktif, yang sebagai warga-rumekso akan menjadi Kader
organisasi, mula-mula dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau
rapat tertutup yang terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan
partikular bumi putera ternyata tak berdaya buat memberantas propaganda
perguruan yang semacam itu. (Lihatlah pemberi tahuan pemerintah tentang
beberapa perkara kepentingan umum, April 1924)
Baru ini, sambil memperingati
perayaan 1 Mei 1947, saudara Alimin yang sudah menyaksikan perguruan revolusioner
di mana-mana negara di dunia ini, dalam satu interpiu, memerlukan juga
memperingati dan mengucapkan penghargaannya atas sekolah Rakyat di masa lampau
itu.
Saya ingat akan percakapan dengan
almarhum saudara Haji Busro, seorang terkemuka dalam gerakan Sarikat Islam
Semarang dan penyokong lahir batin gerakan perguruan. “Saudara”, katanya kepada
saya, saudara jangan bicara-bicara dulu di rapat umum. Biarlah orang lain saja
dulu. Baiklah saudara tumpahkan semua tenaga kepada pendidikan saja. Nanti sesudah
tiga empat tahun tentu sudah cukup pengganti, kalau saudara mencampuri gerakan
politik, dan kalau dibuang-buang” – Seperti kebiasaan dari saudara Haji Busro
ini tiap-tiap kalimat itu disudahi dengan yang “istimewa” Busro: “yo rak?”
Ini berlaku pada permulaan perguruan
itu. memang itu suatu nasehat yang bijaksana. Tetapi karena memang kekurangan
tenaga di semua lapangan maka saya terpaksa juga terjun ke Surabaya,
mengunjungi rapat Serikat Islam disana. Suasana politik masih berada dalam
pertentangan Serikat Islam melawan “ke-Semarangan” (Islamisme melawan
Komunisme), berhubung dengan perpecahan. Tetapi sesudah beberapa waktu saya
berada di tengah-tengah teman seperjuangan, saya mendapat kesan bahwa isinya
pertengkaran tiada banyak mengandung persoalan ekonomi politik yang tegas
nyata, yang kongkrit, dan caranya pertengkaran itu cuma membangunkan nafsu
membenci saja. Akibatnya tentulah melumpuhkan kedua belah pihaknya. Sebelum
saya mendapat kesempatan buat bicara di Surabaya, oleh Ketua sudah diperingatkan,
supaya jangan membikin propaganda tentang komunisme. Walaupun saya cuma
memperingatkan persekutuan Turki dengan Sovyet Rusia dimasa itu buat menentang
imperialisme, tetapi saya sudah dapat teguran lagi dari ketua. Cuma rapat
rupanya benar tak merasa keberatan kalau saya meneruskan pidato yang
berhubungan dengan pentingnya persatuan kaum Komunis dan Islam Indonesia
menghadapi lawan bersama. Saya sendiri hanya dikasih waktu 5 menit, tetapi
dengan hadiah 5 menit dari saudara Semaun, dan 5 menit lagi dari saudara PKI
lain, dapat juga terperas pembicaraan selama 15 menit.
Kunjungan ke Surabaya amat
memuaskan. Beberapa pemimpin Islam berkenan nanti akan mengunjungi Kongres PKI di Semarang, dimana akan kita rundingkan
lagi perkara kerja bersama kaum Semarangan dengan Serikat Islam.
Di sini saya sudah menginjak tanah
lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak, tak mudah ditarik kembali.
Pada satu hari, tak ada pendahuluan ini dan itu, tiba-tiba saudara Semaun
berkata kepada saya: “Saya harap besok Minggu saudara pergi ke Cepu. Baru ini
saya kembali dari sana mendirikan: “Serikat Buruh Pelikan (tambang) Indonesia”.
Sudah saya usulkan dan sudah pula usul itu diterima, yakni saudaralah yang
menjadi wakil ketua”.
Ini langkah pertama memasuki Serikat
Sekerja. Memang disegala lapangan kekurangan tenaga, yang oleh saudara Busro
pun tak dapat disangkalnya. Sesudah berbisik-bisik disekitar saja, maka
tiba-tiba dengan diam-diam rahasia, saudara Darsono berangkat ke “Moskow. Tak
lama sesudah itu, sehabis berbisik-bisik di antara kita pula, saudara Semaun
pun, berangkat menyusul ke....Moskow. Tenaga yang sudah kurang itu makin terasa
lebih kurang lagi!
Dalam keadaan kekurangan tenaga
dalam segala lapangan itu, maka reserve calonpun harus dikerahkan! Tiadalah
mengherankan kalau pada Kongres PKI sekonyong-konyong saya di “bombardeer”
menjadi pemborong semua pembicaraan. Yang sangat mengherankan saya sendiri,
sehabisnya rapat umum dalam rapat anggota tertutup saya “dibombardeer” lagi
menjadi ketua PKI. Saya memajukan keberatan, tetapi saya tak berdaya berhadapan
dengan suara bulat dan disiplin.
Sekarang saya tidak saja berada di
lapangan politik yang lincir, tetapi malah sudah dilapangan politik yang lincir
di tepi jurang.
Yang sekarang masih saya ingat
pidato saya yang terpenting dalam kongres PKI tadi, adalah uraian tentang
akibatnya perpecahan awak sama awak, antara kaum Komunis dengan kaum Islam,
berhubung dengan politiknya “pecah dan adu” imperialisme Belanda. Perpecahan
kita di zaman lampau, yang diperkudakan oleh politik “devide et Impera” itu
sudah menarik kita ke lembah penjajahan. Keadaan kita sekarang, sebagai bangsa
yang terjajah ini berdasarkan perpecahan Raja dan Rakyat disamping perpecahan
Raja dan Raja. Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan,
maka kita memberi kesempatan penuh kepada musuh yang mengintai-intai dan
memakai permusuhan kita sama kita itu untuk melumpuhkan gerakan Indonesia.
Marilah kita majukan persamaan, dan laksanakan persamaan itu persoalan politik
dan ekonomi yang kongkrit nyata terasa. Demikianlah sari pidato saya.
Penerimaan baik dari anggota Serikat
Islam dan PKI sendiri lebih dari yang saya harapkan. Tetapi malangnya, saudara
Abdul Muis, wakil dari Sentral Serikat Islam datang terlambat dan sepatah
katapun tak mendengar pidato saya. Haji Agus Salim yang dulu berjanji akan
datang, tak hadir pula. Saudara Abdul Muis memulai pidatonya dengan mengupas
luka yang lama-lama. Sebentar saja suasana ingin bersatu yang semula bertukar
menjadi suasana yang keruh kembali.
Buat menjawab pidato saudara Abdul
Muis, tampil 3 orang wakil Semarang berturut-turut dari Sarikat Islam Semarang
dan PKI. Suasana meningkat seperti yang sudah-sudah di Yogya dan lain-lain
tempat. Pada saat inilah sebagai wasit yang bijaksana, yang walaupun masuk
golongan Serikat Islam juga, tampil ke muka Kiai Hadikusumo.
Wajah dan suara saudara Kiai
Hadikusumo segera menentramkan suasana yang keruh itu. Saudar Kiai menyetujui
sangat persatuan yang dianjurkan tadi, dan menganggap sesat orang Islam yang
tiada menyetujui persatuan menghadapi musuh bersama itu. Saudara Kiai
menyetujui pula kalau dibelakang hari akan diadakan rapat lagi yang dihadiri
oleh kedua belah pihak, buat melaksanakan persatuan itu. (Rapat itu dibelakang
hari betul diadakan. Tetapi waktu itu saya sudah tak berada di Indonesia lagi.
Pada Kongres C.S.I di Madiun Pebruari 1923, partai disiplin yang wujudnya
mengeluarkan orang-orang komunis dari Serikat Islam, terus dijalankan. Memang
susahlah menghilangkan sentimen dan mendapatkan persamaan berbentuk satu
program yang tegas nyata, dalam bangun organisasi bagaimanapun juga.
Selang beberapa hari setelah
Kongrres PKI di Semarang, Revolusionarie Vackcentrale, yang mengikat VSTP,
Buruh pegadaian. Pada kami diminta
bantuan. Sewajarnyalah bantuan ini diberikan dengan ikhlas dan
sepenuhnya. Sebagai pemimpin maka pada bulan Januari tahun 1922 timbullah
pemogokan buruh buhan (??) dan minyak, maka kami berjanji, apabila pemerintah
sebagai majikan tiada menerima kembali kaum pemogok, buruh yang terikat Vakcentrale
tadi akan dikerahkan mogok memberi bantuan.
Saya sendiri sebagai wakil Vakcentrale itu, mengunjungi rapat kaum
pemogok di Yogyakarta, dan menyampaikan pesannya kaum buruh yang dibawah
pimpinan kami. Dalam rapat yang dikunjungi oleh berjenis-jenis kaum buruh di
kota Semarang, dimana juga saya berbicara, terasa benarlah hangatnya suasana.
Dimana-mana kaum buruh kereta apipun merundingkan nasibnya sendiri, sambil
memberi bantuan kepada teman senasib kaum pegadaian yang sedang membela
kepentingannya.
Memangnya buat saya sendiri cuaca
adalah gelap gulita, yang tergambar pula pada wajah saudara Haji Busro. Para
teman seperjuangan sudah berbisik-bisik akan kemungkinan yang boleh jadi akan
menimpa diri saya. Resisir Inlander yang tiada pernah meninggalkan samping saya
selama berada di Semarang ditambah banyak orangnya dan ditambah rapi
penjagaannya. Tetapi semua kemungkinan memang sudah saya pertimbangkan lebih
dahulu, sebelum saya berangkat ke Semarang. Begitupun semua macam akibat sudah
saya pertanggung jawabkan. Semua kemungkinan itu saya sandarkan kepada logika
dan konsekwensi paham, perkataan dan perbuatan saya. Tak sekejappun saya merasa menyimpang dari
kebenaran dan kejujuran. Dalam hal ihwal demikian maka semboyan saya cuma
terbenam atau terapung. Seperti kata pepatah: “Untung sabut terapung, untung
batu terbenam.”
Sekarang sedikit sebagai
iseng-iseng, perlancongan pikiran!
Dalam perantauan selama itu, sayapun
banyak menjumpai peristiwa mengherankan, karena terjadinya di luar persangkaan
dan perhitungan. Baik juga peristiwa itu saya sebutkan, supaya orang jangan
mengira, bahwa hidup saya tak berdasarkan cukup pengalaman.
Tak sedikit orang yang percaya,
bahwa barang siapa yang mengunjungi Borobodur, maka orang itu akan tertimpa
kemalangan, umpamanya bisa terpaksa meninggalkan pulau Jawa ini. Memangnya,
ketika saya dari logis berangkat kembali ke Semarang, saya singgah ke candi
yang mashur ini. begitu pula tahun yang lalu, sebelum saya ditangkap di Madiun.
Saya juga mampir di Borobudur.
Terserah kepada para ahli tahyul
buat memperhubungkan ke Borobudur itu dengan pembuangan saya pada bulan Maret
1922 dan penangkapan di Madiun pada bulan Maret 1946.
Memang Indonesia penuh dengan
kejadian yang berupa ajaib. Tetapi kepada ahli akal saya majukan pula keadaan
perjuangan saya di kedua waktu tersebut.
TANGKAP – BUANG I
Gembira dan bangga benar saya
melihat Sekolah Rakyat yang kedua di Bandung! Rumah yang besar, bersih,
dikelilingi lapangan yang luas. Terlampau bagus buat anak Proletar. Kalau
dibandingkan dengan Semarang! Tepat pada tanggal 13 Februari, angka ini pun bukannya
sekali dua menghampiri saya dalam waktu kemalangan, hari Ahad, saya
mondar-mandir dari kamar ke kamar di sebelah kami. Memeriksa apa yang kurang,
mengagumi yang bagus, sambil menyedihi anak-anak Semarang yang kurang mujur
itu.
Saya tak tahu, bahwa pada satu kamar
beberapa anggota dari VSTP cabang Bandung, rupanya mempersoalkan. Tiba-tiba
saya tertumbuk pada seorang PID Belanda yang meminta saya keluar. Karena
katanya ada rapat V.S.T.P saya tercengang dan tolak keras saya diusir begitu
saja dari gedung sekolah kami sendiri. Bahkan”, kata saya akhirnya sesudah
beberapa lama bertengkar, sayalah sebenarnya berhak mengusir siapa dari sini,
karena gedung ini adalah kepunyaan kami”. Perdamaian diperoleh atau
persetujuan, bahwa kami bersedia tidak akan memasuki rapat tertutup di salah
satu kamar itu. memang saya sama sekali tak ada maksud akan mengunjungi rapat
yang sesungguhnya malah tak saya ketahui itu.
Kira-kira jam 12, ketika saya
berbicara dengan beberapa teman, datanglah sebuah mobil berhenti di depan sekolah
itu. Belanda PID yang tadi juga keluar dari mobil itu. Dengan hormat dan muka
sedih Belanda ini memperlihatkan surat perintah menangkap saya. Saya
dipersilahkan masuk mobil.
Di dalam mobil berada dua opsir
tinggi. Yang seorang berpangkat kolonel mempersilahkan saya duduk di tengah.
Apabila saya bertanya kenapa saya ditangkap, maka keduanya mengangkat bahu,
menunjukkan bahwa mereka tak tahu apa-apa. Mulanya saya dibawa ke kantor polisi
dan terus masuk penjara Bandung.
Kabar yang pertama saya terima dari
luar adalah dari nyonya tuan Horesma. Baru kemarin malam saya mengunjungi guru
Horensma di rumahnya di Bandung, kemana ia baru saja dipindahkan dari Jakarta.
Masih saya ingat perkataannya: “Als je er op los gaat, denk er ook aan mij
hoor. Ik kan nog ook wat doen” (Kalau kamu mulai, jangan dilupakan saya. Saya
juga bisa ikut serta). Tetapi guru Horensma juga sedikit bingung mendengar
penangkapan yang tiba-tiba itu. Dalam surat itu dikemukakan bahwa saya
menyusahkan diri sendiri! Tetapi nyonya rupanya berpikiran lain. Sudah berapa
kali nyonya minta kepada yang berwajib berjumpa dengan saya di penjara Bandung,
tetapi tetap ditolak. Akhirnya nyonya cuma dapat mengirimkan kartu pos terbuka,
yang penuh sindiran, yang isinya bertentangan
dengan pendapat tuan. Nyonya tidak menyalahkan saya, malahan sebaliknya
menentang yang menangkap saya dengan ucapan: “Wie weet wat een groot mau in jou steekt”. (Siapa tau, mungkin
engkau orang besar).
Pada suatu pagi saya dibawa
ke-stasiun Bandung, buat dipindahkan ke penjara Semarang. Di halaman stasiun
sudah menunggu Belanda PID yang mau mengusir saya tempo hari dan menyampaikan
surat penangkapan kepada saya. Dia berpisah dengan saya dengan perkataan: “Kita
memang bertengkar tempo hari. Tetapi kepergian Tuan saya menyesal sangat,
karena.....Murid-murid yang membutuhkan
Tuan! (Het spijt me zeer voor de kinderen....)
Baik juga saya berikan di sini
salinan dari ENCYCLOPAEDIE yang sudah disebut di atas, supaya pembaca sedikit
mendapat kesan dari penangkapan itu. Dan buat memberikan pertimbangan dan
putusan resmi Pemerintah Hindia-Belanda. Pada halaman 532 tertulis: “Kongres
(PKI) Desember 1921 juga dipergunakan untuk mengatur perhubungan semua cabang
S.I. komunis satu dan lainnya, yang selang beberapa lama, setelah putusan
tentang partai-disiplin diterima (oleh CSI-pen) dikeluarkan dari pusat (CSI)
yang buat sementara waktu menggabungkan dirinya pada komite Daerah Semarang.
Tampak benar aliran untuk berdamai, tetapi buat mempersatukan kedua aliran yang
tertumbuk kepada beberapa keberatan , seperti juga terjadinya dengan perpisahan
kedua aliran itu (komunistis dan Islamistis, pen) di dalam gerakan Serikat
Sekerja. Kerja bersama dalam peristiwa yang akan terjadi (di hari depan).
Sambil masing-masing memegang kemerdekaan, akhirnya oleh kedua belah pihak
diterima dalam prinsip. Cabang S.I. komunis akan memusatkan diri pada persatuan
Serikat Islam, yang ada di bawah pimpinan Cokroaminoto. Kongres tadi memutuskan
pula mengirimkan kawat salam-bahagia Kepada kongres Hindustan yang kebetulan sedang
bersidang pula. Kawat dikirimkan atas nama S.I.C.S.I dan Vakcentrale.”
Pada permulaan tahun 1922 aksi kaum
komunis Semarang bertambah hebat. Sedangkan
pada permulaan mereka cuma memperkuat organisasinya saja dan memperat
hubungannya dengan Komintern (E.K.K.I), ketika pecahnya pemogokan kaum buruh
pegadaian pada bulan Januari 1922, pimpinan Bergsma dan Tan Malaka menganggap
sampailah saatnya buat melaksanakan dasar aksi komunis dengan perbuatan.
Teristimewa oleh mereka disiarkan rencana, bahwa jika pemerintah tidak menerima
kembali kaum pemogokan pegadaian, maka serikat Sekerja yang lain-lain, seperti
buruh kereta api dan buruh pelabuhan juga akan dikerahkan ialah aksi yang oleh
mereka sebagai anggota pucuk pimpinan vakcentrale dikerahkan oleh manifes tanggal
18 Januari 1922, dalam mana didesak memberikan bantuan dengan perbuatan kepada
pemogokan pegadaian. Juga dengan berlaku demikian para pemimpin tersebut
membuktikan, bahwa mereka dengan menanggung segala akibatnya, adalah komunis
dengan perbuatan, yang GRAM MOSKOW (De Tribune, Mei, Juni dan Juli 1921;
bandingkanlah pula pidatonya Bucharin tentang PROGRAM INTERNASIONAL KOMUNIS
dalam De Communistische Gids tahun 1923, halaman 480) dan menerima kewajiban
menarik kaum pekerja dengan cara komunis ke dalam aksi revolusioner, tidak saja
dengan perkataan tetapi juga dengan perbutan sampai berdirinya Diktator
proletar. Dalam masyarakat yang beraneka warna seperti di Indonesia, aksi yang
kekuasaan semacam itu tidaklah dapat dibiarkan saja (mededelingen 1 Januari 1922
di Kol. Verslag tahun 1992 hoofdstuk B. onder Pandhuisstaking, pag. 18).
Menurut putusan pemerintah tanggal 2 Maret 1922, No. 1a dan 2a, maka atas
Bergsma, dan Tan Malaka dijatuhkan tindakan administrasi “externeering dan
interneering”, kepada Tan Malaka yang sudah beberapa tahun teristimewa berusaha
memberikan pengajaran dan pendidikan kepada pemuda menurut dasar komunis
Internasionalnya (Malaka scholew) ditunjukkan Kupang sebagai tempat tinggalnya.
Dia meminta meninggalkan Hindia Belanda, permintaan mana menurut putusan
pemerintah tanggal 10 Maret 1922, no. 2 diperkenankan.”
Seperti tersebut dalam catatan di
atas, maka bersama dengan saya juga ditangkap seorang Belanda komunis, ialah
Bergsma. Sebagai salah satu syarat dari kebenarannya sesuatu bangsa, saya pikir
ialah mengakui jasanya dari bangsa lain, bahkan kalau bangsa lain itupun
dianggap pengisap-penindas bangsa sendiri.
Demikianlah, suku akhir “ma” dari
nama Bergs-ma itu mengingatkan kita pada suku akhir “ma” dari nama yang sudah
sering saya sebutkan disini, ialah guru Horens-ma. Memang keduanya orang
Friesland, terkenal sebagai orang keras kepala: de koppige Fries. Di Nederland
meskipun mereka sudah ratusan tahun tergabung dengan orang Holland. Drente,
Brabant dan lain-lain. Kalau berada diantara sama-sama orang fries masih
mempergunakan bahasa Friesch.
Saya ingat, di Amsterdam mereka
mempunyai club sendiri. Tetapi, selain sifat koppig, keras kepala yang memang
terlihat ada pada dua orang tersebut diatas, mereka juga mempunyai kejujuran.
Piet Bersma bukanlah “intelek besar”, seperti Ir. Baars.
Dia bekas sersan tentara Hindia
Belanda, pastilah berasal dari kelas proletar, dan salah seorang dari anggota
soladaten-Bond dimasa Bransteder dan Sneevliet. Piet Bergsma tidak seperti Ir.
Baars yang dengan....intelek besarnya “bisa main dansa dari komunis meloncat ke
fasis, sebagai diberitakan oleh surat kabar. Sebenarnya saya tak tahu apa yang
terjadi dengan Piet Bergsma sesudah berpisah dengan saya pada tahun 1922 di
Moskow. Memang dalam masa pendudukan Jerman di Nederland dalam perang dunia II
baru-baru ini, banyak orang-orang komunis dan sosialis yang terpaksa atau
dengan maunya sendiri menjadi fasis.
Saya juga tahu, bahwa Piet Bergsma
dengan istrinya Indonesia Ambon beserta 4 atau 5 orang anaknya, banyak menderita
kesusahan hidup di Nederland, negeri dingin itu, sebelum perang. Bagaimana
dimasa pendudukan Jerman saya tidak tahu.
Memang susahlah memberikan nilai
pada sejarahnya watak, paham atau perbuatan seseorang manusia sebelum ia mati.
Begitulah seperti dengan Semaun dan Darsono. Tentang Bergsma saya cuma bisa
berikan perhitungan sampai kami berpisah di tahun 1922 saja. Sampai tahun
sekian, maka saya kira, seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma,
Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan
sosialisme dan Serikat sekerja di Indonesia. Dan apabila satu ketika proletaria
Indonesia mencapai tingkat yang tetap dan luhur, maka para pelopor tadi.
Tersebut diatas, bagaimanapun kecilnya jasa mereka dipandang dari salah satu sudut,
pada satu masa harus dicatat dalam sejarah, buat diperkenalkan kepada turunan
kita.
Kembali kepada tindakan pemerintah
Hindia Belanda terhadap diri saya seperti termaktub dalam ENCYCLOPAEDIE
tersebut diatas.
Administrative maatregelen, tindakan
administrasi yang diajarkan kepada saya, bukanlah tindakan hukum yang lazim
dikenal di masyarakat demokrasi. Tindakan administrasi membuang kita orang
Indonesia ke hutan rimba, ke pulau atau jauh ke luar negeri, terasing dari
keluarga, masyarakat dan pekerjaan sendiri, ialah hak istimewa “exorbitant
recht” dari Gobnor Jenderal Hindia Belanda. Tindakan Administrasi tak berapa
bedanya dengan “Lettre de cachet” dimasa Raja yang boleh menggantung tinggi,
membuang jauh”, ialah sebelum revolusi Perancis 1789. Seperti menurut “lettre
de cachet”, maka menurut hak “istimewanya” Gubernur Hindia Belanda dalam
hakekatnya siapa saya yang oleh P.I.D Belanda dianggap “berbahaya” buat
ketentraman umum, baca buat ketentraman imperialis Belanda maka orang itu boleh
ditangkap, dipenjara, menjelang dibuang di dalam daerah Hindia Belanda atau
diluarnya.
Procedure, tingkatan-tindakan dari
mulanya orang ditangkap sampai ia dihukum, tiadalah sesuai dengan aturan yang
diakui oleh dunia demokrasi. Yang pasti cuma penangkapan itu dijalankan oleh
orang resmi dari badan pemerintah Hindia Belanda, atas nama badan resmi pula,
menurut anggapan mana berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh “resisir
inlander”.
Pertama: “ten laste legging” tuduhan
yang berdasarkan bukti, yang bisa dibuktikan oleh para saksi yang disumpah
dihadapan si tertuduh, bukti yang memang mengandung pelanggaran undang-undang
negara. Yang pasti tertulis dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tiadalah
dibutuhkan oleh tindakan administrasi Hindia Belanda.
Syahdan dalam hakekatnya “hak
istimewanya Gobnor Jenderal” itu berarti, bahwa penangkapan, pemeriksaan dan
hukuman “seseorang yang dianggap bersalah itu adalah di tangan satu orang.
Seseorang yang “dianggap” berbahaya itu ditangkap buat dibuang. Tak perduli apa
ia benar atau tidak melakukan pelanggaran aturan yang ditetapkan. Sebelumnya
dia ditangkap, maka niat buat membuang itu dan hak buat melaksanakan itu sudah
ada: Bar bertje moet hangen (salah atau benar mesti dihukum).
Procedure yang saya alami dari masa
di-resisiri oleh “inlanders”, dibuntuti kesana-kesini, sampai ditangkap dan
dibuang, amat sederhana kalau dibandingkan dengan beratnya hukuman. Saya
diresisiri buat di tangkap, dan ditangkap buat dibuang. Guna apa vooronder
zoek, pengadilan terbuka dan pembelaan yang sempurna?
Setelah beberapa hari saya ditahan
di penjara Semarang, maka satu hari saya dibawa ke kantor residen buat ditanya.
Kalau saya betul masih ingat, maka
hampir lima puluh pertanyaan yang hendak dimajukan kepada saya di depan residen
Semarang itu. Pertanyaan itu boleh diperhubungkan denga 4 perkara. Pertama:
aksi saya yang berhubung dengan perguruan. Kedua: yang berhubungan dengan PKI
dan brosure yang saya tulis di Deli ialah: “Parlemen atau Soviet”. Ketiga:
bersangkutan dengan percobaan saya mempersatukan kembali cabang-cabang S.I yang
dipisahkan oleh partai disiplin dengan CSI, mencabut partai disiplin serta
mengadakan kerja bersama antara kaum komunis dan kaum Islam menentang
Imperialisme Belanda. Keempat: Usaha saya itu oleh pemerintah Hindia Belanda
diperhubungkan dengan PROGRAM MOSKOW. Yang tertulis dalam majalah “De Tribune”,
Juni dan Juli di Nederland. Semua “percobaan” saya itu diartikan sebagai
pelaksanaan PROGRAM MOSKOW. Maka akhirnya “pelaksanaan PROGRAM MOSKOW dalam
masyrakat Hindia Belanda yang “beraneka warna” itu dianggap sebagai aksi yang
akan merobohkan kekuasaan Belanda” bahwa saya berbahaya buat kentraman umum dan
harus dibuang didalam atau keluar Hindia Belanda.
Sebermula, sekali peristiwa, seekor
anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya sekonyong-konyongnya
berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang Harimau:......Nah”,
sekarang sykurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan
hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum!
Sahut anak kambing: “Ampun tuanku
masakah patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik
minum di hilir ini, sedangkan tuanku minum di hulu sungai”.
Kata sang harimau: “Mungkin tidak
sekarang kau keruhkan tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang
mengeruhkannya.
Sahut anak kambing pula: “Ampun
tuanku beribu kali ampun masakan dapat patik, yang hina ini, mengeruhkan air
minum tuanku pada tahun yang lalu, karena di masa itu patik belum lahir”.
Kata sang harimau: “Kalau bukan
engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentu ibumulah yang
mengeruhkannya. Dan kalau bukan Ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.
Demikianlah kata sang harimau yang
penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu,
untuk dimakannya.
Apakah gunanya saya mempertahankan
diri membuang-buang perkataan dan waktu untuk menjawab pertanyaan satu
kekuasaan yang bersandarkan atas kekuatan polisi, kehakiman dan tentara yang
sudah terang maksudnya terhadap diri saya?
Pertanyaan “satu-dua” yang saya
jawab di depan Residen Semarang itu hanya yang berhubungan dengan nama
kelahiran dan paham saya saja.
Apalagi tuan Residen mulai
membacakan pertanyaan: apakah saya pernah “berkata” begini atau begitu, di
salah satu tempat (bukan di rapat terbuka!!) maka saya potong saja puluhan
pertanyaan yang lain-lain dengan jawaban: “Saya tak ingin pertanyaan semacam
ini, bagaimanapun juga jawabnya sudah pasti saya akan dibuang.
Tak sampai lima menit lamanya, maka
pemeriksaan perkara saya sudah selesai. Dengan demikian saya memperhemat tenaga
dan tempo kanjeng Residen Hindia Belanda untuk menjatuhkan satu macam hukuman
yang oleh negara sopan semenjak dahulu kala di samping hukuman mati, dianggap
satu hukuman yang paling berat bagi manusia: meninggalkan tempat kelahiran,
masyarakat, pekerjaan dan para teman yang dicintai dan mengembara tak
berketentuan di negeri asing.
Bukankah lapangan buat bergeraknya
seseorang penganjur rakyat Indonesia sudah terlampau sempit di masa itu?
Bermacam-macam aturan dan Undang-undang diadakan untuk membatasi tulisan di
dalam pers dan pembicaraan di dalam rapat umum “spreek dan schrif delicten”,
pelanggaran dalam berbicara dan menulis itu nyata tertulis dalam kitab hukum
Hindia Belanda dan bisa dibela oleh ahli hukum keluaran sekolah hakim tinggi.
Seandainya kalau betul ada pelanggaran yang saya lakukan baik dalam tulis
menulis ataupun dalam berpidato, bukankah sudah cukup kalau atas diri
dijatuhkan tindakan biasa, ialah menuduh memeriksa perkara saya, di pengadilan
umum, dan menjatuhkan hukuman yang sudah dipastikan lebih dahulu oleh aturan?
Tidak saja tindakan semacam itu akan mempertinggi “prestige” pemerintah Hindia
Belanda di mata dunia, tetapi juga akan memberi rasa kepuasan walaupun sangat
terbatas kepada rakyat Indonesia. Terutama pula akan menimbulkan rasa kepastian
kepada para pemimpin rakyat. Karena walaupun banyak ranjau dihadapan geraknya
memimpin rakyat, tetapi ranjau itu diketahui letaknya dan diketahui pula
akibatnya melanggar ranjau semacam “undang-undang pemerintah Hindia Belanda”
itu.
Tetapi “exorbitante rechten” hak
istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda adalah laksana satu golok yang dipegang
di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang “dianggap
musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka “hak Istimewa” itu
adalah aturan sewenang-wenang, despotis, dan dipandang dari sudut kesusilaan,
moral adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut!
Cuma, kalau ditinjau dengan
pandangan filsafat, keadaan tersebut bisa dimengerti, walaupun tak bisa diakui
kemuliannya dan keadilannya buat kedua belah pihak.
Adapaun “hak istimewa” itu tiadalah
bisa dipandang sebagai hasil perhubungan hukum (legal relation) saja antara
manusia dengan manusia umumnya, dan diantara Belanda dengan Indonesia tegasnya.
Hak Istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda itu berseluk beluk pula perhubungan
ekonomi, sosial dan politik antara kapitalis-imperialis-Belanda dengan buruh
rakyat terjajah Indonesia.
Segerombolan kecil bangsa Belanda,
tetapi mempunyai kapital besar, polisi, tentara, dan kejaksaan tak akan bisa
secara demokrasi membentuk Undang-undang bersama 70 juta rakyat dan buruh
Indonesia yang terhisap itu. Segerombolan Belanda itu terpaksa memegang “hak
istimewa” yang tidak didasarkan atas perundingan masak-masak, persetujuan semua
yang berkepentingan, atau yang diperoleh dari wakil rakyat yang sesungguhnya
“hak istimewa” itu mesti berdasarkan kemauan segerombolan kecil tidak
berdasarkan keadilan: melainkan berdasarkan sewenang-wenang.
Segerombolan kecil yang hidup atas
keringatnya rakyat buruh yang banyak itu, tak bisa melayani wakilnya rakyat
buruh yang 70 juta secara terbuka, bersoal jawab mencari kebenaran menurut
aturan yang pasti, melainkan terpaksa mengambil jalan “menikam dari belakang”
menangkap, memenjara, dan membuang dengan tidak banyak memusingkan perkara
pemeriksaan keadilan dan kebenaran. Inilah cara pengecut.
Sebagai renungan dibelakang, maka
peristiwa pembuangan saya itu saya majukan disini, bahwa saya berada di
Semarang baru 6 bulan lamanya. 99% dari waktu dimakan oleh pekerjaan yang
berhubungan dengan perguruan. Paling banyak berbicara di muka umum 6 jam. Tiga
jam di waktu Kongres PKI, satu jam di depan anggota VSTP, satu jam di depan
buruh tambang minyak di Cepu, dan sisanya yang satu jam lagi terbagi-bagi di
beberapa tempat. Enam jam itu adalah taksiran yang paling tinggi! Teranglah
sudah, bahwa “ranjau pembicaraan dan tulisan” tak bisa makan! Kalau bisa
pastilah imperialisme Belanda bersuka cita membuktikan “rechtsordenya”
kepastian hukumnya: kerahkan kepolisian dengan semua saksi dan keterangan yang
diperolehnya, menaklukkan saya, si tertuduh, dengan keterangan yang
diperolehnya taklukakan saya, si tertuduh, dengan keterangan syah yang
dimajukan oleh para ahli hukum Hindia Belanda, buat menghukum saya cocok dengan
undang-undang yang ada dan pasti tertulis. Tetapi karena keterangan yang syah
dan cukup itu rupanya tak bisa didapat, dan pemerintah Hindia Belanda tak
mempunyai alasan hukum cukup buat menarik saya ke depan pengadilan yang syah
maka ia main kasar; main kayu. Semua keterangan resisir inlandernya yang
membututi saya kemana pergi, dipakainya bukti yang syah buat mengasingkan saya
dari masyrakat Indonesia. Laksana si pemain yang tidak bisa melawan musuhnya
dengan “playing the game”, mempermainkan bola menurut aturan, maka ia main
kayu, menendang kaki atau menyikut lawannya: lemparkan hukum dan pakai
kekerasan!
Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini
bumi serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini
bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu,
tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf
pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan
yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat
dan ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita
tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita
bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga
atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu
pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di
negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang
kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas
dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan
hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat
kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula kalau kita berada dalam
kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal
ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam atau bunuh diri
atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham
bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan bumi iklim
Indonesia dengan masyarakat Indonesia dan keluarga, bukanlah yang pertama kali
saya rasakan. Tetapi perpisahan dengan teman seperjuangan dan pekerjaan hidup
saya memangnya yang pertama kalinya.
Perpisahan dengan teman seperjuangan
tergesa-gesa diadakan di Semarang dua tiga hari sebelum saya berangkat pada
penghabisan bulan Maret 1922. Saya diijinkan keluar penjara satu hari lamanya
untuk mengurus semua kepentingan saya. Walaupun belum lama saya berada di
Semarang, sungguh-sungguh dalamlah ikatan batin yang berada di antara kami
seperjuangan.
Dini hari, jam 4 pagi, sebelum
berpisah (saya masuk penjara kembali sebelum diberangkatkan) rupanya buat
selamanya almarhum Partondo, bekas pemimpin suara rakyat, datang ke tempat saya
dan membangunkan saya.
Lebih dahulu saya dengar, bahwa
sudah satu dua hari dia berpuasa. Mukanya kelihatan tenang. Tetapi lebih
sungguh daripada yang sudah-sudah dan suaranya lebih keras “Saudara”, katanya
“besok sesudah saudara berangkat, saudara Marco dan saya, dan satu saudara lain
lagi akan berangkat mengunjungi gunung Lawu. Kami sudah berjanji satu sama
lainnya.
Saya heran, akan bertanyakan
maksudnya, tetapi rupanya dia sudah mengerti dan akan memberi kesempatan saya
untuk bertanya.
“Memang” katanya pula “ini bukan
aksi yang selalu kita kemukakan dan ini cuma pikiran semata-mata: kejawen. Kami
perlu membersihkan diri dan perlu mencari kekuatan batin. Saudara Marco yang
mengusulkankan! Selamat jalan! Selamat jalan!
Saya tidak melihat mukanya lagi buat
selama-lamanya. Ketika di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa saudara Partondo
meninggal di Semarang. Saudara Marco terkenal pendiam, berhati jujur dan keras
seperti baja, dan meninggal di Digul.
Banyak lagi peristiwa yang lain-lain
membuktikan eratnya ikatan batin kami. Tetapi cukuplah disebut disini bahwa
dengan teman seperjuangan semacam itu, kita ingin bertemu muka sekali lagi,
dimasa masih hidup. Tetapi keinginan ini tiada tersampai. Inilah yang kita
namakan kesedihan di dalam hidup kita di dalam dunia yang fana ini, tragedi.
Meninggalkan penjara Semarang menuju
ke kapal di pelabuhan, saya dibawa dengan auto yang diputar belokkan untuk
menyingkiri ramai yang berniat mengucap “selamat jalan” seorang pengamat pun
tak saya jumpai. Baru dalam penjara di Jakarta saya sedikit bisa tahu apa yang
terjadi ketika saya meninggalkan Semarang.
Tetapi kabar tentang pengantaran
saya itupun diputar balikkan oleh surat kabar Belanda di Jakarta. Sedang
bermain dan dengan opsir hukumana dalam satu kamar di penjara, dia perlihatkan
surat kabar Belanda itu kepada saya. Bunyinya lebih kurang: “Tan malaka
diantarkan menentang AGEN oleh koki-babu dan anak-anak murid sekolah rakyat
yang menentang agen Polisi, karena mereka kecewa tidak bisa bertemu dengan Tan
Malaka....”
Kita sudah mendengarkan caci maki
dan penghinaan yang menganggap bangsa Indonesia cuma terdiri dari koki dan babu
saya. Itulah pula yang mendorong mendidik dan menukar koki babu buat melayani
tuan-nyonya bangsa asing itu menjadi koki babu Negara Republik Indonesia.
Cuma, karena mengenai akan sifatnya
anak murid saya, maka timbullah kekuatiran di hati saya. Kalau-kalau perguruan
sekolah rakyat nanti tak bisa menolak provakasi. Saya kuatir, kalau-kalau nanti
dasar didikan sama sekali ditunjuk kepada propaganda dan agitasi politik
semata-mata. Menurut rencana saya, maka didikan kecerdasan dan latihan
kepandaian yang berguna buat pencarian hidup, seperti kepandaian tekhnik,
pertanian dan administrasi, bukanlah maksud yang tersambil. Saya berharap
membangunkan pemuda Indonesia baru yang berideologi suci terang, beriman baja,
disamping yang perlu buat kepandaian kehidupan sendiri dan keluarganya. Perkara
ijazah resmi tiadalah dipandang satu perkara yang penting. Pengalaman
dibelakang hari memperkuat paham itu. bukan sekali saja sudah saya alami, bahwa
ijazah (resmi) itu bukanlah jaminan efficiency, melainkan satu kemungkinan buat
kesanggupan. Bermula sebagai tukang atur alat tambang, alat pembangunan, dan
kendaraan beraneka warna, seperti boor, onderdeel, ini-itu, pahat, palu,
gergaji dan membagi dan mengangkat mengusungnya sendiri seperti romusha setiap
hari dan membagikan kesemua cabang kongsi arang Bayah-Kozan, mengatur
pengiriman ratusan romusha ke rumahnya, mengurus makanan, minyak tanah dan
lain-lain kehidupan sehari-hari buat ribuan romusha di kota Bayah dan orang
kampung di sekitarnya, mengurus orang sakit, mayat, dan lain-lain sendiri
mengepalai kantor dikelilingi oleh Tuan Nippon. Akhirnya saya menjadi kepala
statistik di kantor pusat. Ijazah? Saya Ilyas Husein cuma keluaran sekolah Mulo
Kelas I di Medan......saja! contohnya pengalaman saya di luar negeri diantara
bangsa asing, ialah mulai dari guru S.M.T dengan nama lain pula, tetapi bukan
dengan ijazah!
Lagipula menurut pikiran saya: kerja
membikin propaganda saja dalam keadaan ilegal lekas menimbulakan kecurigaan PID
atau Kempetai akan bertanya dalam hatinya sendiri: bagaimana hidupnya orang
dengan gaji F.8,- sebulan, 2 tahun lamanya, sampai guru itu? Sebaliknya seorang buruh yang bekerja rajin tak mudah
menimbulkan kecurigaan. Dan kalau si buruh itu efisien pula, si direktur,
majikan akan terikat oleh penghargaan. Dengan begitu si buruh akan terlindung
dari mata si penyelidik. Sebaliknya pula terhadap teman seperburuan dia mudah
mendapat pekerjaan, penghargaan dan bantuan. Si buruh dan teman sekerja mudah
dihampiri, lahir dan batin. Sambil bekerja dapat berbicara dari hati ke hati,
berpropaganda dan berkomplot “Sambil menyelam minum air”, kata pepatah.
Akhirnya yang tidak kurang
pentingnya, bukankah makanan yang seenak-enaknya dan pakaian yang
sebagus-bagusnya adalah apa yang diperoleh dengan tenaga sendiri? Ringkasnya,
walaupun perguruan sekolah rakyat yang tidak dipusatkan kepada usaha pengejar
ijazah yang resmi, tetapi tiadalah saya lupakan kepentingan didirikan
kecerdasan otak yang sesungguhnya dan latihan buat kepandaian yang berguna bagi
pencarian hidup. Tetapi benih kebencian anak murid yang terbukti ada perpisahan
kami di Semarang itu rupanya sangat mempengaruhi pendidikan dan latihan di
perguruan sekolah rakyat di belakang hari. Didikan akan condong kepada
propaganda.
Dalam kapal di pelabuhan Jakarta
ketika bertolak ke Nederland, saya berpisah dengan guru Horensma, yang
tergesa-gesa datang dari Bandung. Apabila saya mulai pembicaraan dengan soal
hutang-piutang, maka percakapan ini segera dipotongnya. Dari Semarang terus
saya kirimkan angsuran hutang saya ke Engku found Suliki. Bahkan dengan
tambahan pula. Pada guru Horensma masih ada sisa utang saya, teapi bisa
ditutupi dengan asuransi dan simpanan saya di Java-Bank dan di Twensche Bank
(Nederland)
Akhirnya, ketika hampir berpisah
buat penghabisan pula pada Guru Horensma, yang di masa berpisah sudah
berpangkat inspektur, saya peringatkan adanya dua-tiga orang Belanda yang
memperhatikan percakapan kami ialah Belanda PID yang menjaga saya di kapal.
Tetapi oleh guru Horensma peringatan dijawab: “Ach ze kunnen het mij doen. Het
is mij ook al toto zoover I” (Boleh dia bikin terhadap saya apapun maunya
sendiri. Saya pun sudah jemu melihat semua ini).
Mengertilah semua pembaca, bahwa
guru yang jujur takkan mau kalah sama muridnya, walaupun dalam hal menentang
yang dianggapnya zhalim terhadap si murid itu adalah bangsa sendiri.
Saya kenal di Tiongkok kolot, di
Hindustan kolot dan di Indonesia kolot, letaknya guru itu di hati murid di
samping Ibu-Bapa. Umumnya si ibu-bapak dianggap sebagai sumber jasmani dan
sedikit sebagai sumber rohani. Dan pada gurulah Timur kolot sumber rohani:
semangat pengetahuan, perasaan sering juga kemauan. Burukkah “kekolotan” Asia
semacam itu?
Entahlah. Tetapi yang memberi
sebagian pengetahuan di bangku sekolah, masa kanak-kanak dan pemuda, dan
dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya,
memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah
Gerardus Hendrikus Horensma. Seorang berkulit putih, sebangsa dengan menganut
sistem kapitalisme-imperialisme yang saya bantah dan tentang sudah lebih dari
seperempat abad lamanya, dan ketika menulis dalam penjara Republik di Magelang
ini (Mei 1947) terus saya bantah.
Seorang murid yang ingin belajar,
ingin tahu, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang
memberikan apa yang diingini si murid yakin pengetahuan. Guru yang tulen ingin
pula haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang
bisa menghilangkan prejudice, vooroordeeld terhadap seseorang, ialah rasa benci
sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat
istiadat dan sebaliknya bisa menimbulkan
rasa penghargaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” adalah perguruan. Pertukaran
guru dan murid antara Negara dan Negara dan dalam suatu Negara sekolah buat
semua bangsa menurut paham saya, adalah satu jalan yang sebaik-baiknya buat
menanamkan demokrasi internasionalisme yang baik dan kekal, di hari depan.
Sedikit tentang keluarga.
Di waktu kapal menjelang Padang,
saya sedikit takut kalau-kalau ayah bunda datang “memberi selamat jalan”.
Benar, adik saya di Semarang lekas saya suruh pulang ke kampung sebelum saya
berangkat. Saya pesankan supaya ayah bunda jangan dibiarkan pergi ke pelabuhan
Padang.
Betul, keduanya adalah orang yang
taat beribadat dan mempunyai iman yang teguh dalam menghadapi bermacam-macam
kesusahan. Tetapi apakah teristimewa Ibu akan sabar melihat kapal berangkat
membawa anaknya ke tempat pembuangan, entah dimana dan entah untuk berapa
lamanya?
Ibu Minangkabau biasanya merasa
ditimpa kemalangan, kalau tidak mempunyai anak perempuan. Di Minangkabau, adat
asli yang mewarisi rumah, sawah, ladang, ternak dan harta pusaka yang lainnya
adalah anak perempuan. Sunyilah rumah di Minangkabau, kalau tak ada anak gadis,
calon ratu di rumah pekarangan serta sawah ladangnya.
Kesedihan ibu yang terpendam dalam
sanubarinya ialah tak mempunyai anak perempuan itu. kami berdua laki-laki tak
memenuhi peraturan “matriarchaat”. Peraturan berpusat pada kewanitaan. Ibu
selalu merasa lebih sunyi daripada perempuan lain di Minangkabau kalau
ditinggalkan anak laki-laki pun yang sebenarnya perkara biasa buat orang di
Minangkabau yang terkenal sebagai orang perantau.....apalagi ditinggalkan, mungkin
buat selama-lamanya, karena disampingnya tak ada teman perempuan yang paling
dekat ialah anak kandung.
Disebabkan desakan batin pada diri
saya, tahun 1925 di Canton, tiba-tiba dengan perantaraan teman separtai saya
tanyakan bagaimana halnya orang tua saya. Tentulah saya tak dapat langsung
berhubungan. Jawabnya pula, bahwa ayah baru saja meninggal.
Pula kebetulan saja, sesudah
penangkapan di Hongkong, saya di jalan mendapat tahu, bahwa ibu meninggal di
bulan Februari 1933.
Saya cuma bisa menghibur diri saya,
bahwa ketika kembali dari Eropa (tahun 1919) setibanya di Deli saya segera
berangkat ke kampung menemui ayah bunda. Tak kurang pula hal yang
menggembirakan saya ialah kabar yang saya terima, bahwa keduanya mengerti,
menerima dan setuju dengan tingkah laku saya bahkan bangga pula ikut berkorban
buat Negara dan Rakyat Indonesia. Buat Ibu-Bapa yang bukan modern ini memangnya
sudah satu kemajuan. Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap
ayah-bunda, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup
memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai
sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa
kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti “duri dalam daging”.
Teristimewa pula karena saya insyaf dan saya selalu merasa sayang, sebab
gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak menyusahkan
mereka.
Kembali ke pelabuhan Teluk Bayur,
Padang. Untunglah Ibu-Bapa tidak datang. Kalau datang pun tak akan bisa
berjumpa dengan saya, sebab di Padang disiarkan kabar, bahwa orang tak boleh
berjumpa dengan saya. Cuma beberapa orang yang pintar “menerobos” dapat juga
mengucapkan selamat jalan.
KEMANA?
Yang kedua kalinya saya bertolak
dari Padang menuju Eropa. Yang pertama pada tahun 1913, yang kedua ini pada tahun 1922. Alangkah besarnya perbedaan
alasan dan tujuan pertolakan, dan jiwa pada dua saat bertolak itu.
Pelayaran ke Nederland pun tak luput
dari akibat pertentangan dalam pemandangan hidup, politik dan pekerjaan saya di
Indonesia dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun...
Beberapa orang Indonesia, Pegawai
Gubernemen Hindia Belanda di klas satu, saya cuma naik klas tiga, mulanya
mencobakan perhubungan dengan saya. Tetapi usahanya segera diperhentikan,
karena mendapat gangguan dari penumpang Belanda yang kebanyakan terdiri dari
Tuan-Tuan besar.
Sekali peristiwa, di waktu bulan
terang, ombak sayup Magrib, lautan sekedar tenang, salah seorang pelajar yang
bersama ke Nederland, sedang menerangkan maksudnya kepada saya, kami didatangi
oleh seorang sersan “van het Koniklijk Nederlandsh Indische Leger”. Ia
menyerobot berbicara, mencari-cari perkara, dan berteriak keras-keras rupanya
menurut “rencana” kami tak ingin menjawab apalagi berdebat menyambut
“tantangannya”. Teristimewa pula karena semua alasannya yang basi berbau
“jenever”. Tiba-tiba entah dari sudut mana datangnya majulah seorang kelasi
Belanda muda tinggi besar, mengetok bahunya Tuan dari “karzene” tadi. “Jangan
dengan Tan Malaka. Baiklah dengan saya saja berdebat. Tetapi dilupakan bahwa
itu di bawah adalah air laut.”
Akibatnya yang nyata dari teguran
ini ialah beberapa hari lamanya tuan sersan dari kazerne van het Koninklijk
Nederlandsch Indische Leger ini tak muncul-munculnya ke atas dek. Kepada
temannya dikatakan bahwa seorang “Bolsjewiek” Belanda hendak melemparkan dia ke
laut, ketika dia berbicara dengan Tan Malaka.
Kawan yang muda, tinggi besar tadi,
adalah anggota N.I.S. Serikat Sekerja Syndikalis di Nederland. Di belakang
harinya seorang kelasi pula yang agak lanjut usianya, tetapi berperawakan besar
tegap, berkata kepada saya: “Kami cuma empat orang disini yang bersamaan paham.
Kebanyakan pelaut yang lain penganut sosial demokrat. Tetapi walaupun kami
berempat saja, saudara jangan kuatir”.
Pada suatu malam lewat jam dua
belas, saya dibangunkan si pelajar untuk naik ke atas dek. Di sana saya jumpai
beberapa pelaut Tionghoa, sebagai tukang api (stokers). Ketuanya menawarkan
baju tukang api kepada saya. Katanya: “Besok pagi kapal sampai di pelabuhan
Colombo. Pakailah pakaian pelaut ini, dan naiklah ke darat. Nanti saya
pertaruhkan saudara kepada teman-teman saya di Colombo. Kami sering menolong
Sun Man (Dr. Sun Yat Sen) di masa sudah”. Sebentar saya takjub menyaksikan
ketegasan, ikatan jiwa dan pertolongan, cepat-cepat, dari para teman Tionghoa
ini. Mereka rupanya memperhatikan benar-benar ketika saya di pelabuhan Jakarta
dan Padang diawasi saja oleh agen Polisi Belanda dan Indonesia. Dan pelaut
Tionghoa umumnya adalah anak tulennya Sun Man (nama samaran Dr. Sun Yat Sen di
antara pelaut). Lekas mereka mengerti apa yang telah terjadi dan lekas siap
sedia memberi pertolongan yang tepat kepada teman seperjuangan. Di belakang
hari memangnya bukan sekali dua kali saya mendapat pertolongan anaknya Sun Man,
ketika mondar-mandir antara Tiongkok dan Indonesia.
Kata saya kepada ketua Tiongkok tadi
“Saudara jangan sangka saya akan dimasukkan penjara di Nederland. Saya cuma
dibuang saja ke sana. Dari Nederland, nanti saya akan berusaha mencari salah seorang
yang sudah lama ingin menjumpai di dunia ini, ialah Sun Man. Terima kasih”.
Tepat 1 Mei saya tiba di Rotterdam. Oleh Dr. Van Ravenstijn (C.P.H. Partai
Komunis Holland) saya dinasihatkan mengunjungi perayaan 1 Mei di Amsterdam yang
diselenggarakan oleh rapat bersama komunis syndikalis. Wijnkoop (ketua C.P.H)
memberikan temponya berbicara kepada saya. Sambutan rapat atas uraian saya amat
memuaskan. Sesudah rapat itu juga beberapa anggota C.P.H mengusulkan kepada
saya menjadi calon anggota parlemen dari C.P.H pada pemilihan depan. Pertama
kali buat bangsa Indonesia.
Pemilihan di Nederland berlaku
menurut sistem proportional representation. Perwakilan seimbang dengan
banyaknya pemilih. Kalau tiap-tiap 100.000 warga negara pemilih berhak memilih
satu orang wakil, dan Partai A mendapat 500.000 orang pemilih, parta B 1.000.000
orang, maka partai A berhak mengirim 5
wakil ke parlemen dan partai B. 10 orang si pemilih bukanlah menjatuhkan
suaranya pada orang partai seluruhnya yang dasarnya disetujui. Demikianlah si
pemilih memberikan suaranya pada daftar suatu partai. Partai itulah yang
menentukan siapa calon yang pertama
dalam lijst (daftar) akan menjadi wakil, kalau pemilih cuma 100.000 siapa yang
kedua kalau pemilih 200.000 yang ketiga 300.000 dan sebagainya. Boleh juga si
pemilih memberikan suaranya kepada salah seorang di dalam daftar yang istimewa
disukainya (bij voorkeur stemment). Tetapi kalau si calon itu ditaruh di nomor
4 atau 5, dan jumlah pemilih tak sampai kepadanya, maka suara pemilih itu
kembali kepada daftar seluruhnya buat mengisi yang kurang, Jadi buat nomor 1,
nomor 2 dan akhirnya nomor 3.
Walaupun buat nomor 2 dalam lijst
(daftar) C.P.H pada tahun 1992 itu sudah susah buat mendapatkan cukup suara,
tetapi saya buat mewakili 60.000.000 orang Indonesia dimasa itu, ditaruh oleh
partai C.P.H pada tempat No.3. Tak ada harapan buat saya seperti juga sudah
diketahui dari semula. Saya pun tak berniat hendak tinggal di Nederland. Saya
terima usul menjadi calon tadi cuma untuk mengambil kesempatan buat Hindia
Belanda dan mendorong C.P.H membantu Indonesia dalam perjuangan melawan
Imperilisme Belanda.
Hasil pemilihan sebagai cermin bagi
perhatian proletaria dan rakyat progresif Belanda terhadap rakyat Indonesia,
amat memuaskan. Perhatian itu ditegaskan pula, karena si pemilih banyak yang
memberikan suaranya langsung kepada Tan Malaka. Maka menurut bijvoorkeur
stemmen” (memilih orang yang disetujui tadi) Tan Malaka mendapat suara
terbanyak, kalau dibandingkan dengan “voorkeur stemmen” nya semua partai yang
lain-lain. Inipun diperoleh walaupun saya terutama berbicara di Amsterdam dan
Roterdam saja. Tetapi jumlah suara buat daftar seluruhnya tak sanggup
memasukkan saya, kedalam parlemen Belanda. Jadi saya ditaruh di tempat nomor 2
dalam lisjt C.P.H pada tahun 1922 itu, maka tentulah pada tahun 1922 orang
Indonesia yang pertama sekali memasuki Parlemen Belanda.
Perantauan saya diteruskan ke
Jerman! Tak cukup tempat disini buat melukiskan apa yang saya saksikan dengan
mata kepala sendiri dalam ‘Deutschland uber a les’ itu. Banyak humbuk, banyak
kesombongan dan layak dalam semboyan itu! Tetapi banyak pula benarnya! Walaupun
Jerman cuma berpenduduk 70.000.000 lebih kuran 3% seluruh dunia, tapi sudah dua
kali dia mengancam seluruh dunia, dan cuma bisa dikalahkan oleh seluruhnya
dunia saja. Kalau nilai kemanusiaan terletak pada quality dari otak dan hati,
seperti kecerdasan, kemauan, keuletan yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan,
disiplin dan organisasi saja, maka dalam lebih kurang tiga perempat abad
belakangan ini, memangnya bangsa Jermanlah yang berhak diberi piala, terutama dalam
pergolakan pengetahuan, kemiliteran dan organisasi. Tetapi manusia memerlukan
sifat lain dari pada sifat yang perlu buat menaklukkan semua bangsa yang bukan
bangsa sendiri: terutama perlua akan sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada pertengahan tahun 1922 ketika
saya berada di Berlin, maka Jerman sedang hebat menderita akibat politik
militerisme Jermania. Jerman kalah perang, hutang dikumpulkan oleh Serikat
kepadanya bertimbun-timbun, ekonominya turun merosot daerahnya masih diduduki
musuh, keuangannya runtuh dan valutanya turun dari hari ke hari, sampai hampir
tak ada harganya lagi. Dengan merosotnya kekuasaan dan perekonomiaan Jermania
merosotlah pula moral bangsa Jerman dipandang dari beberapa sudut pun juga
moral wanitanya yang selalu di gembor-gemborkannya itu. Tetapi hawa Jerman yang
sehat itu, bangsa yang kuat dan cerdas, solidair, dan tak mengenal putus asa
itu, dengan dasar yang sudah ada dalam teknik dan ilmu di Jerman ia tidaklah
begitu saja diombang-ambingkan oleh bangsa lain. Jerman menyelundupi semua
tekanan yang dilakukan oleh bekas musuhnya dan dengan sabar menunggu waktunya
untuk bangun kembali.
Dengan pelajaran penuh di kiri kanan
buat seseorang pelajar, dengan buku beraneka warna murah harganya dan tersedia
dimana-mana saja dalam kota seperti Berlin, tak heran kalau seseorang yang
ingin tahu dan belajar seperti Darsono, masih pemuda waktu itu, terikat dan
terpikat hatinya oleh Berlin. Tetapi karena kekurangan tenaga di Indonesia maka
terpaksalah dia berpisah dengan buku, majalah, surat kabar dan rapat raksasa di
kota Berlin. Dua bulan saya bercampur dengan Darsono di Berlin. Kemudian kami
berpisah lagi sampai sekarang. Dia menuju ke Indonesia, saya ke Moskow.
Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun
1927 berada dalam pertikaian hebat antara golongan Stalin dan golongan oposisi,
Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu
pecahnya perang melawan Nazi Jermania Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali
rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan
sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukankah pula Rusia sekarang setelah
mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang
sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa.
Berjilid-jilid buku tertulis tentang
Rusia dalam hampir semua bahasa sopan di dunia sekarang, yang bisa kita baca,
dipandang dari sudut sejarah, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Tidaklah sanggup dan tiada maksud
saya diatas kertas setelapak tangan ini mengulangi apa yang sudah dituliskan
baik oleh para ahli ataupun oleh para plagiat, peniru seperti burung beo.
Pada dalam masa revolusi, baik dalam
suasana anti-imperialisme ataupun anti kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup
menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia,
konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya
mewakili PKI. Dalam revolusinya memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang
hanya bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan
sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.
Demikian cuma sambil lalu raba,
salah satu kesan yang saya peroleh selama berdiam lebih kurang setahun di
Moskow.
Syahdan dalam hakekatnya, maka
kejayaan Lenin dalam revolusi 1917 adalah seimbang dengan kejadian dalam ilmu
ekonomi ataupun Charles Darwin dalam ilmu tentang yang hidup (biology). Darwin
mujur sekali mencari dan mendapatkan tumbuhan dan hewan yang dan dengan cara
berpikir berdasarkan logika dan dialektika, jaya menarik kesimpulan yang
mengenai asal keadaan, kemajuan dan kemungkinan buat hidup. Kupasan Karl Marx
yang bersandar atas dialetika materialistis atas semua dari faktor dalam
ekonomi yang dikumpulkan oleh para ahli dari masa Aristoteles sampai David
Ricardo, jaya pula menetapkan asal, keadaan kemajuan dan kemungkinan sistem
kapitalisme dihari depan. Demikian pula Lenin dengan cara berpikir dialektika
materialistis dilaksanakan atas semua kodrat sosial di Rusia (sosial forces),
jaya mengenal sifat dan kodrat semua golongan revolusioner menumbangkan
feodalisme dan kapitalisme satu demi satu, hampir sekaligus saja, ketiga
pemikir ini mendekati persoalannya masing-masing dengan memperhatikan segala
bukti dalam suasana “pertentangan”, seluk beluk, kena mengena, timbul dan
tumbang” dengan semangat yang tenang berani maju.
Itu artinya ilmu, scientific, tetapi
cara yang mengakui gerakan, pergolakan, perputaran revolusi atas barang yang
nyata, kebenaran.
Tiadalah mereka menyingkirkan
caranya science (ilmu) mengumpulkan semua bukti yang bersangkutan ataupun
menyingkirkan sama sekali cara berpikir, menurut logika yakni membanding,
menyimpulkan (induction), melaksanakan
(deduction) ataupun memastikan (verification). Cara logika memang
sepenuhnya dipakai tetapi semuanya dalam suasana pertengkaran (dialektik) dan
kebendaan yang nyata.
Darwin adalah ahli yang revolusioner
tentang yang hidup dan Marx ahli ekonomi (dan filsafat) yang revolusioner pula.
Keduanya menumbangkan yang lama dan membangunkan yang baru. Mereka berpikir
secara revolusioner. Tetapi Lenin adalah ahli siasat tentang revolusioner itu
sendiri. Boleh juga disebutkan ahli revolusi yang revolusioner.
Seperti pekerjaannya tiap-tiap ahli
yang pertama sekali adalah mengumpulkan dan menyelidiki semua bukti yang
berhubungan, maka demikianlah pula hendaknya seorang ahli revolusi terlebih
dahulu mengumpulkan semua kodrat (bukti) sosial yang akan diperiksa sipat dan
tujuannya masing-masing (kodrat) serta dikoordiner buat dikerahkan terhadap
golongan yang mau disingkirkan (feodal atau borjuis) dengan cara dialektika-materialistis
disertai dengan pengetahuan dari naluri (instinct) tentang jiwanya (psychology)
murba bergerak.
Karena bukti (sosial faktor) di
Indonesia atau Hindustan berada sifat dan sejarahnya umpamanya dengan di Rusia
maka kesimpulan yang akan diperoleh ahli revolusi di Indonesia ataupun
Hindustan tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang
bersamaan cuma cara berpikir, ialah dialektika materialistis, semangat
memeriksa, ialah revolusioner salah satu syarat bagi pemimpin murba, ialah tahu
akan gerak jiwanya Murba; dan akhirnya sebagai komunikasi ialah beberapa tiang
besar dalam ilmu komunisme (keproletaran, mekanisasi, kolektivisme dan
lain-lain).
Menyangka atau menerima saja
mentah-mentah perkataan feodal borjuis ataupun proletar dalam arti sama sipat,
hasrat dan sejarahnya dengan feodal borjuis ataupun proletar di Indonesia atau
Hindustan, artinya itu tiada kritis dan tiada dialektis. Menelan saja semua
putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh
Karl Marx pada pertengahan abad ke 19 dan melaksanakan keputusan Marx dan Lenin
di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas,
menguji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek membeo
meniru-niru “Marxisme bukannya kaji apalan (dogma) melainkan satu petunjuk
untuk aksi revolusioner.
Semua bukti revolusi Indonesia dan
kesimpulan yang menentukan siasat revolusi di Indonesia mesti ditimban
sendirinya satu persatu menurut nilainya masing-masing “Should be considered on
its own merit apart op zich zelf beschouwd worden”.
Tiadalah bisa dilupakan kelemahan
dalam ilmu revolusi itu kelemahan semua ilmu sosial, ialah ilmu yang melayani
manusia sebagai bukti (fact). Yang menjadi “uncertain factor” factor yang tak
pasti, yang masih merupakan merupakan “X” dalam ilmu sosial itu ialah tingkah
lakunya manusia itu. Ilmu ekonomi (borjuis) mengandaikan (supposting) bahwa
tiap-tiap manusia itu (tani, buruh, juru tulis, saudagar, profesor dan
lain-lain) membeli atau menjual, adalah menurut undang-undang ekonomi, tak
pernah salah. Kalau umpamanya uangnya sedikit dia belikan makanan ialah yang
terpenting, kalau berlebih barulah pakaian, seterusnya sepeda, oto gramofon
bioskop dan lain-lain. Tidak ada diantara manusia itu (anggapan teori) yang
salah berbelanja. Tak ada yang lebih memerlukan bioskop atau candu, dari pada
keperluan beras, atau lebih memerlukan bioskop atau candu daripada uang sekolah
anaknya atau sewa rumah. Demikianlah pula ahli revolusi dalam garis besarnya
terpaksa meratakan semua tingkah laku semua anggota dari satu-satu golongan.
Sikap tindakan buruh terhisap-tertindas terhadap kapitalisme-imperialisme
(teoritis) diandaikan lebih hebat dari pada sikap tindakan borjuis tengah,
terhadap tindakan kapitalis-imperialis itu. Tiap-tiap anggota dalam proletar
terhisap-tertindas itu diandaikan sama sikap tindakannya satu dengan lainnya.
Tak ada yang mengkhianati klasnya sendiri. Beginilah dalam teorinya! Memang
begitu mestinya dan memangnya begitu dalam garis-besar prakteknya dan kecuali
itu memangnya pula lazim di dalam ilmu manapun juga. Tetapi janganlah dilupakan
perbedaan teori dengan praktek.
Semua kelemahan teori itu bisa
disingkirkan dikurangi dengan memasuki praktek. Ahli ekonomi yang ulung juga
harus pernah berurusan dengan salah satu cabang perekonomian atau menaruh
perhatian besar terhadap bukti ekonomi (ekonomi Fact) sehari-hari. Demikianlah
pula ahli revolusi itu bisa menyingkirkan atau mengurangi kesalahannya dalam
taksirannya tentang semangat revolusionernya murba, kalau selain daripada
mempelajari ilmu revolusi itu juga cukup bercampur gaul dengan rakyat murba atau sedikitnya sanggup menyelami jiwa
murba yang sedang bergelora itu. Jadi harus diketahui benar suasana masyarakat
yang dipelajari, yakni hawa iklim; sistem teknik yang lazim dipakai, peraturan
ekonomi, sosial dan politik yang berlaku, sejarah kecerdasan, kemauan,
perangai, perasaan pemandangan hidup, idaman serta organisasi anggota
masyarakat itu sebaik-baiknya kalau perlu disertai pengalaman sendiri.
Seorang ahli revolusi yang
sebenarnya sesuatu negara mestinya juga seperti ahli dalam ilmu apapun juga mempunyai “mata
terbuka” opend mind, terhadap persoalan revolusi di negeri lain. Demikianlah
pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya di
sana (1922). Mereka tidak mendiktekan pemandangannya sendiri tentang sipatnya
gerakan revolusi di Asia (Indonesia, Hindustan, Tiongkok) dan sikap tindakan
yang mesti diambil di negeri asing buat mereka itu kepada para pemimpin Asia. Mereka
juga insyaf benar akan adanya “X” faktor yang belum diketahui di tempat-tempat
tersebut. Karena manusia disana melayani suasana berlainan dengan di Rusia
tempat mereka lahir, mendapat didikan dan berjuang. Berhubung dengan itu, maka
perundingan (discussion) dan soal jawab (perdebatan) dalam kongres dan Panitia
Komintern dilakukan seluas-luasnya. Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka
Yang Besar” ini atau itu. Kritik dirasa penting sebagai karbol pembersih yang
kotor dan yang obor penyuluh yang gelap. Semua hak demokrasi secara parlementer
boleh dijalankan diantara para teman seperjuangan itu. yang menadi batas buat
berbicara saja. Sebab itulah pula semua putusan sesuatu perundingan atau
perdebatan umumnya dirasa memuaskan. Dan ditaati, karena semua keberatan sudah
dimajukan, dan seseorang revolusioner komunis seharusnya mengerti, bahwa
putusan yang didapat secara demokratis sah itu, mesti dijalankan dengan
sejujur-jujurnya, walaupun tidak cocok dengan pendirian sendiri. Diktator
Proletar, bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar apalagi
mendiktaturi Partai Proletar.
Saya sekarangpun masih merasa untung
dapat berkenalan dengan para pemimpin Rusia (dan lain-lain negara) di masa itu;
yang namanya selalu tercantum surat kabar di luar negeri. Lenin, sebagai nyata
terakhir dalam penyakit yang akan membawa maut, masih bisa berbicara pada
kongres keempat itu. Stalin sering juga mengunjungi kongres, tetapi terkenal
sebagai dan terikat kepada urusan dalam Negara dan Partai Urusan Dalam.
Trotsky masih memegang tentara Merah
dan sering berbicara dalam rapat. Sinovief adalah ketua kongres yang dalam
pembicaraan tetap dibantu oleh Bucharin dan Radek. Diluar kongres orang
menyebutkan nama seperti Kalinin, Rykolf, Kamenen, dan lain-lain. Banyak pemimpin tentara, Serikat Sekerja Pemuda dan
lain-lain besar, sedang, kecil (yang kurang penting) yang saya kenal, dan
merasa berbahagia mengenal para pembikin sejarah yang belum ada taranya di
dunia sampai sekarang. Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar maka hampir
semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi.
Cuma Lenin saja yang mati “di tempat tidur”. Yang lain-lain mati terbunuh dalam
pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti fraksi opposisi dalam Partai
Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia
“Sang revolusi memakan anak”.
Sang sejarah tak mengenal penjelasan
tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa
dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya adil atau
zalimnya buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dijalankan oleh revolusi
itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian.
Dan apa yang dikira benar itu mesti
dibenarkan dahulu sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran
dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap dan memakai yang
betul, tepat, baik.
Di masa kita berada di Moskow,
memang sudah ada oposisi Politik Ekonomi Baru (N.E.P). Tetapi demokrasi di
dalam Partai Komunis Rusia, ataupun lebih nyata buat saya dalam Komintern
sendiri tak terasa terganggu.
ENCYCLOPAEDIE VI SUPPLEMENT ada
sedikit memperingatkan pekerjaan saya dalam kongres ke empat itu. Di kaca 531
kita bisa baca:
Het kongres werd bijgewoond door Tan
Malaka. Die uit naam der Indische Com. Partai en met de belangen van duizenden
millioenen der onderdrukte volkeren in het oosten voor oogen, op 12 November
een belang wekkende rede hield over het standpunt der Communisten tegenover de
nationale boycot beweging en tegenover de nationale boycot beweging en
tegenover het zoogenaamde Pan Islamisme; m.n. over de vraag of in hoeverre zij
die bewegingen hebben te steunen. De moeilijk heden die de PKI met de Serikat
Islam had ondervonden worden door hem op pakkende wijze uiteengezet. Toen de S.I
ers den communisten in openbare vergaderingen vroegen of zij aan God geloofden,
heeft hij geantwoord: “Wenn ich voor Got stehe, dan bin ich ein Moslem, wenn
ich aber vor menschen stehe, dan bin ich kein Moslem weil got gezagt hat, dasz
as unter den menschen viele Satane gebt”.
Volgens Malaka beteekent Pan
Islamisme practisch niet anders dan strijd om de nationale vrijheid. Hoe moest
nu het communistische standpunt zijn tegenover deze Islamistische strooming?
Opeen volgende zitting kreg hij dan den afgevaardigde uit Tunis te hooren dat
dezelfde moeilijkheid zich ook daar voordeed. In elk geval beteekende: Pan
Islamisme” iet anders dan aansluiting van alle Moeslem tegenover hun
onderdrukkers, zoodat de beweging gesteund moet worden. Een commissie werd
ingesteld om de oosterscher kwestie in beschouwing te nemen en een program
terzake te ontwerpen en aan het Congres voor te leggen. Tan Malaka werd in die
dommissie benoeemd”.
Sekianlah catatan ENCYCLOPAEDIE itu.
Kecuali catatan yang tertulis dalam
bahasa itu. Catatan diatas adalah dari pidato saya dalam rapat Komintern yang
saya ucapkan dalam bahasa Jerman. Tetapi bukanlah karena pidato itu saya
dimasukkan dalam komisi tersebut, bahkan sebaliknya berhubung dengan
pembicaraan dalam komisi Urusan Timur (dimana saya ikut campur) itulah maka
saya berpidato di rapat Komintern sebagai tingkat (instansi) yang tertinggi.
Orang lain tak pernah tahu jalan
seluruhnya pembicaraan dalam komisi urusan Timur ini. Saya juga tak akan
menguraikannya disini. Tetapi pokok perkara yang dimajukan oleh ENCYCLOPAEDIE
memang benar, karena dia ambil dari pidato saya yang disiarkan oleh salah satu
majalah Komintern di luar Rusia.
Pokok perkara itu, ialah bagaimana
seharusnya sikap komunis terhadap gerakan nasionalisme di jajahan, yang di Hindustan
dan Tiongkok umpamanya berupa pemboikotan dan di Hindustan negeri-negeri Arab
ataupun Indonesia berupa Pan Islam.
Pihak Komintern (jawatan ketimuran,
Oriental Section) memajukan satu “thesis” yang memutuskan supaya partai Komunis
di negara-negara jajahan membantu dan kerja sama dengan partai nasionalis
menentang imperialisme. THESIS itu dimajukan dan dibela para komunis Rusia dan
Hindu.
Tentulah semuanya mufakat memberikan
bantuan kepada kaum nasionalis menyetujui pula kerja sama itu, ialah dalam arti
abstraknya dalam teori. Tetapi dalam prakteknya, dalam konkritnya mengadakan
kerja sama dan memberi bantuan itu, sampai saya berangkat ke Indonesia belum
bisa dipastikan. Oleh para pemimpin berangkat itu, ketika saya meninggalkan
Moskow diserahkan kepada keadaan di satu-satu tempat dan kebijaksanaan saja.
Sebenarnya saya terlibat dalam
perdebatan yang sudah lama berlangsung antara pembela THESIS dan pendebatnya.
Pada suatu malam, sedikit sudah larut, ketika saya baru kembali dari kunjungan
salah satu pabrik di sekitar Moskow oleh seorang komunis Jepang Almarhum Sen
Katayama katanya yang mendebat salah satu pasal dalam THESIS tadi, diserahkan
kepada saya untuk meneruskan mendebat pasal tersebut. Ini saudara Tan Malaka
datang “katanya saya serahkan pembelaan pendebatan saya kepadanya. Dia masih
segar bugar baru saja datang dari pergerakan anti imperialisme di Asia”.
“Tunggu dulu dong” saya jawab. Mana
pasalnya yang diperdebatkan dan bagaimana pendirian masing-masing.
Perdebatan paham yang rupanya
sedikit saja pada permulaan nyata besarnya sesudah dari kayangan abstrak
melang-lang dalam teori, kita turun ke tanah konkrit, yang nyata. Apabila
perdebatan saya belokkan kepada bukti yang nyata pemboikotan atau non koperasi
dan Pan Islamisme itu, maka tampaklah jurang yang dalam dalam antara abstract
dan yang konkrit, antara teori dan praktek. Umpamanya komunis Inggris
mengajukan keberatan terhadap pemboikotan barang Inggris oleh rakyat Hindustan,
karena menimbulkan pengangguran di Inggris. Jadi bagaimana meminta bantuannya
kaum buruh Inggris kerja sama dengan kaum pemboikot di Hindustan dan lain-lain
sebagainya. Rupanya kongres Komintern yang sudah-sudah menganggap Pan Islamisme
sebagai imperialisme corak lama.
Perdebatan yang mulanya berjalan
tenang, lama-lama menjadi hangat kalau saya tak lupa sampai tiga hari
berturut-turut. Akhirnya saudara Wakil Komintern, pemegang THESIS melarang saya
berbicara. Ini saya jawab dengan protes yang keras atas caranya mengurus
persoalan Asia yang sulit dan asing itu bagi para komunis Barat.
Setelah buntu dalam komisi barulah
saya bertanya kepada ketua Komintern Sonovief, dan pemimpin Komintern Jawatan
Ketimuran ialah Radek dalam Rapat Kongres yang tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE
itu. Apakah akan dibantu gerakan nasionalisme berupa pemboikotan dan Pan
Islamisme tadi, dan kalau “ya” bagaimana membantunya? Artinya yang dibelakang
ini bagaimana melaksanakan bantuan dan kerja sama itu dalam program taktik dan
strategi dan organisasi.
Di kongres pun saya tak mendapat
jawaban apa-apa, walaupun pidato saya mendapat sambutan yang memuaskan juga
dari seluruhnya kongres tadi. Saya mulai gelisah dan curiga akan kesanggupan
diri-sendiri. Saya minta disekolahkan tetapi dicemoohkan dengan jawab salah
seorang teman: “Belum terbuka kursi profesor buat saudara”.
Setelah kongres selesai dan para
wakil dari semua pelosok dunia mulai berkemas hendak pulang ke tempatnya
masing-masing barulah timbul pertanyaan dalam diri sendiri “Pergi ke mana aku
ini?” Tetapi teman-teman yang pulang selalu mengucapkan perpisahannya dengan
saya “Selamat Bekerja”.
Tak lama saya dalam keragu-raguan.
Pemimpin baru di Komintern Jawatan Ketimuran menghampiri saya dan berkata “Saya
setuju dengan saudara. Thesis yang tempo hari saudara bantah, memang terlampau
abstrak, teoritis. Sekarang saya yang dibawah saudara Radek memimpin Jawatan
Ketimuran itu. Pemegang Thesis telah meletakkan Jabatannya, saya harap kita
kelak bisa kerja sama atas dasar yang lebih nyata buat Asia”.
Inilah yang hendak saya majukan
disini kepada pembaca! Jadi seperti dasar demokrasi dan parlementerisme apabila
politiknya satu kabinet gagal dan tiada lagi mendapat kepercayaan dari Parlemen
maka Perdana Menteri secara demokrasi mesti ikhlas meletakkan jabatannya.
Jangan seperti Chamberlain pegang terus kedudukannya, sampai rakyat diluar
Parlementer berteriak memaksa pergi. “Chamberlian must go”.
Pemegang Thesis tadi tidaklah pula
marah atau tak mau bicara lagi dengan saya, atau pula menyuruh tangkap saya
oleh Cheka sebagai “pengacau” atau “merobohkan” jabatannya melainkan terus
seperti biasa seperti teman seperjuangan. Masih banyak pekerjaan lain yang tak
kurang pentingnya bagi dia dan memangnya
dia juga seorang muda yang sudah banyak berjasa kepada Partai dan Proletaria
Rusia diwaktu lampau.
Komintern tentulah pula dengan
setujunya Sonovief dan Radek, menyuruh saya membikin buku, tentang Indonesia.
Corak dan isinya diserahkan kepada saya dan bahan membuat buku sudah dipesan di
Nederland. Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan
statistik tentang daerah, cacah jiwa perindustrian, pertanian, pemerintahan
Indonesia. Biarlah para teman di negeri dingin itu membikin teori atau
kesimpulan atas segala bukti yang berhubungan dengan persoalan Indonesia
sekehendak hatinya. Demikian sikap saya.
Akan terlampau panjang kalau saya
paparkan disini tentang manusianya Rusia, apabila tentang yang lain-lain. Dalam
waktu setahun tinggal disana, saya cukup bercampur dengan beberapa golongan.
Tidak saja dengan pemimpin Komintern, tetapi juga dengan pemuda-pemudinya Rusia.
Di masa itu oleh pemuda di sana saya masih dianggap termasuk golongan mereka
sendiri.
Dengan mereka sering saya kunjungi
pabrik dan desa, sandiwara dan “selamatan” berkenalan dengan orang tentara,
buruh, tani dan pelajar. Kamar saya di salah satu bekas hotel, terbuka siang
malam buat para teman dan pelajar. Malah pada waktu malam saya sedang tidur
terbuka biasanya buat dua tiga mahasiswa pemudi yang harus menempuh ujian,
karena kamar saya cukup lapang dan cukup sepi hening buat belajar. Memang kamar
saya sepi hening itu diberikan kepada saya buat menulis buku.
Saya tiada menggambarkan manusia di
Rusia masa sekarang ialah generasi, turunan baru dalam suasana politik ekonomi
yang berbeda dengan dimasa seperempat abad lampau seperti siang dengan malam.
Saya akan catatkan sedikit tentang manusia, ketika Rusia dalam ekonomi sosial
berada di simpangan feodalisme dan kapitalisme dan dihela oleh revolusi
proletaria ke arah sosialisme.
Pekerjaan buruh Rusia pada masa itu
berbanding dengan pekerjaan Eropa-Barat dalam ke efficiency, kesanggupan,
barangkali tak seberapa jauhnya dengan perbandingan pabrik baja di kota Nisjhi
Novgorod dengan pabrik mesin Spadu di Berlin. Pemusatan tenaga (concentration)
barangkali memberi imbangan karena eficiency buruh di Nisjhi Novgorod dengan
lebih kurang 10 (sepuluh ribunya) itu kalau dibandingkan dengan di perusahaan
Spandu dengan lebih kurang 30.000 buruhnya baru perbandingan 1 dengan 3. Tak
kuatir mengatakan bahwa efisiensi buruh Rusia dipukul ratanya termasuk juga
450.000 buruh industri kota Petersburg sebelum perang berbanding eficiensinya
buruh Jerman di masa itu, seperti 1 dengan 8. Kemajuan ilmu dan teknik Rusia
organisasi perusahaan, serta cara dan kepintaran buruh Rusia, masih jauh
terbelakang dan bangsa yang atas uang kertasnya yang walaupun dimasa itu terus
menerus merosot dari hari ke hari dituliskan “Arbeiten kuennen wir besser als
andre Volkere” (kerja kita lebih cakap dari semua bangsa lain!)
Dalam organisasi partai politik
ataupun serikat Sekerja di masa itu Jerman mengatasi Rusia. Ini tidak berarti,
bahwa manusia Rusia semuanya ditinggalkan terbelakang oleh Barat. Nama orang
seperti Pavlov dalam ilmu jiwa, Minkovsky dalam matematika, Mendelief dalam
kimia, Tolstoy, Dostojesky, Gorky, Pusjkin dan lain-lain dalam kesusastraan
adalah manusia ukuran raksasa buat seluruh manusia dalam zamannya dan vaknya
masing-masing, sebelumnya revolusi tahun 1917. Teristimewa dalam ketangkasan
mengukur semangat revolusioner dari kaum murba, memimpin murba kepada aksi
terbuka atau tertutup, mengadakan
tuntutan dan semboyan yang biasa mengikat dan menggerakkan jiwa murba, sampai
sekarang bangsa Jerman masih perlu belajar dari pelopor Revolusi November tahun
1917 dari “Bolsjewik Tua”.
Tak ada bedanya Lenin, Stalin,
Bucharin, Kalinin atau Trotsky denga Petroff, si buruh, si pabrik besi,. Si
pemimpin merasa sama atau menyamakan diri dengan yang dipimpin dalam pergaulan
hidup. Begitu pula si buruh tiada merasa segan atau takut berhadapan dengan
pemimpinnya, walaupun Stalin atau Lenin. Singkatan paduka tuan, yang mulia atau
P.J.M. ataupun yang mirip ke situ belum terdengar di masa itu. semuanya
dipanggil “Saudara” : towarich. Sudahlah tentu suara si buruh menyebutkan
towarich Lenin berlainan menyebutkan towarich Petroff menggembleng baja di pabrik.
Sebab towarich Petroff menggembleng baja dan towarich Lenin menggembleng satu
partai revolusi, Partai Bolsjewik. Kehormatan sesama manusia pun tak akan
hilang selama ada pergaulan manusia. Tetapi kehormatan yang sebenarnya itu
lahir dan seimbang dengan jasa seseorang terhadap pergaulan hidup itu pula,
Terutama pula kehormatan yang sesungguhnya itu tiadalah terletak pada sembah
jongkok ataupun pada perkataan yang diucapkan melainkan di dalam hati sanubari.
Terhadap kita orang Asia dari
jajahanpun tak bisa kita membedakan sikap Petroff, buruh besi daripada Lenin,
buruh revolusi. Mungkin juga terbawa oleh percampuran darah dengan bangsa Asia,
atau karena hidup dalam suasana setengah feodal setengah kapitalis seperti
Asia, maka gerak getar kata, suara dan air mukanya orang Rusia umumnya lebih
meresap jiwa kita dari pada orang Eropa Barat. Mereka (manusia Rusia) masih
mempunyai perasaan persamaan dan persaudaraan dalam tingkah lakunya seperti
kita. Belum sama sekali kehilangan “uit de hoogte”, hati tinggi “strijdheit”,
mengasingkan diri “zakelijk” perkara (yang menguntungkan diri) saja. Ketawanya
masih lepas tak ditahan, salamnya hangat seperti terlihat di cahaya mukanya.
Kegembiraan dan kesedihannya nyata, tak dibungkus-bungkus atau dibuat-buat.
Inilah perkara yang menyedihkan
berpisahan dengan manusia Rusia di masa itu. Saya sebutkan di masa itu, sebab
lantaran perubahan teknik politik ekonomi sosial dalam seperempat abad di
belakangnya ini, saya tak dapat pastikan apakah tingkah laku manusia Rusia
tidak berubah pula. Generasi sekarang bukan lagi manusia sebelum 1917 yang
mengalami takut, tongkat besarnya Tsar. Generasi sekarang hidup dalam suasana
sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan banyak kekurangan dan
masih dikepung oleh sistem kapitalisme. Tetapi bukan lagi berada dalam suasana
tindasan politik seperti dialami Bolsjewik Tua. Kaum Bolsjewik Tua bisa
memendam luka di kulit mereka sendiri. Karena merekapun menderita pukulan
penindasan. Kaum Bolsjewik Tua bisa merasakan pengharapan kita untuk di hari
depan, karena merekapun pernah berharap akan terbitnya fajar di masa gelap
gulita.
Akhirnya pada pertengahan tahun 1923
oleh Komintern saya diserahi atau pengawasan atas partai komunis yang ada atau akan diadakan di
beberapa negara yang di masa Jepang kita kenal “Selatan” dan saya sendiri
menamakan “ASLIA” yakni Burma, Siam, Annam, Filipina dan Indonesia. Demikianlah
sudah lebih kurang satu setengah tahun meninggalkan Indonesia, saya berputar
melalui Nederland, Jerman, Rusia, Tiongkok dan kembali ke pangkalan.
Tetapi lama sesudah saya di Asia
masih terang gambaran yang saya simpan tentang hawa iklim dan daerahnya Rusia,
rakyat, buruh tani pelajar dan last but not least “Old Bolsjewik”: ialah
Bolsjewik Tuanya Rusia!
MENJELANG FILIPINA
DAN CANTON
Di bulan Desember 1923 saya tiba di
Canton. Perjalanan Moscow – Canton menimbulkan bermacam-macam kesan, dan
mengalami berbagai-bagai avontuur, terlampau banyak buat dituliskan apalagi
dimasa kekurangan kertas ini. Tiada pula kurang avontuur, pelayaran dan kesan
yang saya peroleh entah dalam berapa
kali bolak-balik antara Canton dan Nanyang, Aslia saja. Saya sebutkan Aslia
saja, buat meliputi Annam, Siam, Birma, Malaya, Indonesia dan Filipina.
Beberapa kali, jika salah selangkah saja atau terlambat semenit saja, ataupun
sesat sepatah kata jawaban saja, saya sudah akan terjerumus ke dalam penjaranya
imperialisme. Pula, karena kekurangan kertas avontuur inipun terpaksa tiada
dituliskan. Ada pula alasan yang tak kurang penting. Semua Imperialisme Barat
yang saya dapatkan dari suaranya Dr. Sun, bahwa Dr. Sun berniat memberikan
nasihat yang dengan perhitungannya kepada saya. Akhirnya bukankah Dr. Sun
sendiri berhaluan persatuan Asia, lama tinggal di Jepang banyak mempunyai
sahabat di sana, dan pernah memakai orang Jepang dalam perjuangannya merebut
kekuasaan pusat di Tiongkok?
Pendeknya nasehat itu keluar dari
sanubari orang bersimpati kepada pergerakan Indonesia. Saya juga tidak memasuki
pintu gelanggang perdebatan yang mungkin terbuka, ialah: Apakah revolusioner
Indonesia bisa kerja sama dengan kerajaan (Imperialisme) Jepang?
Mungkin karena Dr. Sun sendiri
merasa bahwa pintu kesana tidak terbuka, dan mungkin juga Dr. Sun teramat tahu
akan prakteknya kerja dengan Jepang, atau karena Dr. Sun cuma ingin tahu
bagaimana paham saya terhadap soal demikian maka percakapan dibelokkan ke
lampat tempat.
Nyatalah pengetahuan Dr. Sun dalam
details, khusus tentang “Nanyang” pun luar biasa tempatnya. Nyatalah Dr. Sun
seorang pelarian yang mempunyai banyak siasat dan mempunyai teman di mana-mana.
Adanya orang Tionghoa di seluruh pelosok dunia, ialah yang amat memudahkan
gerakan Dr. Sun.
Pasport dari pemerintah saya buat
tuan akan lebih membahayakan dari pada tiada punya pasport sama sekali, kata
Dr. Sun Yat Sen. Sebab pasport itu akan diperiksa kembali oleh Inggris di
Hongkong ialah pintu gerbang masuk ke daerah Kwantung dan pemeriksaan itu
teliti sekali. Tetapi baik tuan saya perkenalkan kepada para pemimpin Seamen
Union, Serikat Pelaut yang berkedudukan di Hongkong.
Lama saya pikirkan kerjasama dengan
Jepang tadi. Dari Revolusioner besar seperti Dr. Sun petunjuk semacam itu tak
boleh diabaikan begitu saja. Mungkin karena antara Jepang dan Indonenesia masih
ada imperialisme Inggris, Perancis dan Amerika yang kuat, maka Dr. Sun merasa
Jepang tidak (atau belum) bisa langsung menerkam Indonesia. Dr. Sun juga
memulai dengan “in this case” ialah “dalam hal ini”, memang pula bersitumpu
sekarang pada negara ini dan esoknya pada negara itu, adalah salah satu dari
pada muslihat Dr. Sun yang terpenting.
Sayang, saya tak mencoba menyelami
alasan Dr. Sun yang sebenarnya. Dr. Sun adalah seorang revolusioner yang
opportunis,pengambil kesempatan Intuition, gerak batin Dr. Sun sering benar.
Bukankah sudah kira-kira 20 tahun
perkataan tadi banyak diucapkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia
terkemuka yang menyambut tangan saudara tua “buat kerjasama” mendirikan Asia
Timur Raya? Lupakah kita pada sehidup semati Dai Nippon sebelum dan sesudah
kemenangan terakhir, seperti tercantum dalam Panca Dharma itu? Bukankah
pemimpin Indonesia pernah mengemukakan bahwa kita membantu Nippon bukanlah
karena perhitungan kalah menang, melainkan karena Nippon dalam kebenaran,
keadilan dan kesucian? Buat saya hal ini adalah penetapan nujuman pemimpin
Tionghoa ditepi sungai Mutiara itu.
Saya sudah baca buku Dr. Sun “San
Min Chu I” dan “China’s International Development” banyak yang praktis, bisa
dijalankan, tetapi ada pula kiranya yang tidak praktis, bertentangan degan
kenyataan, mengusulkan kepada kapital Internasional buat mengindustrialisir
Tiongkok untuk kemakmuran Tiongkok dan perdamaian dunia. Memangnya mesti diakui
banyak kebaikannya sebagai wujud, sebagai teori. Tetapi saya pikir kurang
diperhatikan tentang konkurensi, bahkan pertentangan antara Negara Kapitalis
dengan Negara Kapitalis sendiri, yang mesti kerja sama buat memajukan Tiongkok
dan akhirnya, tetapi tak kurang penting konkurensi dan pertentangan antara
Tiongkok berindustri dengan Negara Kapitalis Barat dan Amerika. Walaupun
begitu, semangat dan caranya Dr. Sun Yat Sen berpikir, jika dibandingkan orang
berkeramat dari Hindustan, Mahatma Gandhi adalah seperti siang dengan malam.
Buat saya, lebih menambah pengetahuan membaca tulisan Dr. Sun daripada membaca
karangan Mahatma, kalau sang Mahatma memasuki gelanggang politik ekonomi atau
aksi.
Dr. Sun bukanlah Marxis, dan cara
berpikirnya bukan dialektik, tetapi logis, dalam “San Min Chu I”, kalau Dr. Sun
mengeritik Marxisme maka dipakainya alasan murah dari profesor borjuis biasa,
yakni “Class Struggle”, perjuangan klas itu, hanya suatu “accident” kebetulan
saja. Caranya Dr. Sun mengupas sesuatu persoalan, ialah menurut ilmu scientific
dan caranya menuliskan dan mengatakan pahamnya sangat jelas, tepat dan menarik.
Dr. Sun bukan saja seorang ahli menulis, tetapi juga seorang effektive speaker
ahli pidato, berpangkal-berujung, terang dan bisa memberi paham kepada ramai
dan menarik hati ramai.
Tetapi bukankah pada kecerdasan
intelek,d an kemahiran berbicara ataupun pada kelengkapan terori Nasionalisme,
“Demokrasi dan Sosialisme-nya saja terletak kekuatan Dr. Sun, ialah menurut
pikiran saya. Saya sudah menyaksikan pidatonya Dr. Sun. Memang bagus dan
menurut teknik. Tetapi Wang Ching Wei tiadalah kurang, kalau malah tidak
melebihi. Saya sudah baca tulisan dan teori Dr. Sun, tetapi pujangga Tiongkok
seperti profesor Dr. Hu Shih, saya fikir sanggup pula membentuk teori seperti
itu. Yang tidak bisa disamai atau dilebihi baik oleh Wang Ching Wei atau pun
Profesor Dr. Hu Shih – saya sebut dua ini saja diantara puluhan ahli pidato dan
ahli pikir Tionghoa modern ialah:
Pertama: sincerity kejujuran Dr.
Sun. Orang Tionghoa ternama, walaupun bukan pengikut Dr. Sun dimasa hidupnya,
dan semua orang Asia lain yang pernah berkenalan dengan thabib sungai Mutiara
ini, mengemukakan sincerity, kejujuran Dr. Sun, Bapak Republik Tingkok berbuat
cocok dengan perkataannya, dan berkata cocok dengan paham sucinya, Dr. Sun bukanlah seorang ahli politik “Tammany” atau
“revolusioner” dengan perkataan atau pengorek kantongnya Rakyat Murba. Teori,
pidato dan aksi Dr. Sun ialah untuk yang dianggapnya penting buat Negara dan
Bangsanya. Manusia bersifat khilaf, dan kalau Dr. Sun khilaf, maka
kekhilafannya itu tiada bersumber pada kecurangan.
Kedua: Keuletan, imannya dan
unselfish, tidak termahaknya Dr. Sun. beberapa teman pelaut Tionghoa dengan
bangga menceritakan kepada saya enam belas kegagalan Sun Man merebut
kemerdekaan Tiongkok dari kerajaan Manchu. Baru yang ketujuh belas jaya.
Kegagalan itu selalu dikemukakan dengan
bangga, saya pikir pada tempatnya pula. Karena dimuka enam belas kegagalan itu
terselip perkatan “walaupun”, mestinya diceritakan: Ingatlah, walaupun Sun Man
enam belas kali gagal, dia tak putus asa, dalam hal “keuletan” (Thorougness)
itu Dr. Sun memang boleh dianggap sebagai wakil dan lambang kebesaran sifat
bangsa Tionghoa seluruhnya. Tetapi menurut pikiran saya, kepercayaan kepada Dr.
Sun itu bisa terus dipegang, ialah karena kejujurannya, karena tiada
termahaknya Dr. Sun bahkan dia selalu siap sedia mengorbankan apa yang ada padanya,
termasuk jiwanya sendiri, buat menjalankan apa yang dimajukannya.
Ketiga: rapat dengan murba. Titelnya
Dr. mudahnya Dr. Sun bergaul dengan bangsa sendiri dan bangsa lain, maupun juga
yang termasuk kelas atas, tiadalah memisahkan Sun Man dari kelas gembel,
proletaria. Hati rakyat rendahan Tiongkok tak akan bisa terikat dalam
perjuangannya, kalau dia tiada mempunyai sifat yang bisa menimbulkan
kepercayaan murba.
Tiadalah pula satu kebetulan saja,
apabila gerakan Kuomintang pada tahun 1911 itu disokong oleh gerakan murba
rahasia seperti Kola Hui, yang rapat berhubungan dengan Dr. Sun. Rupanya,
terdorong oleh beberapa kegagalan merebut kekuasaan dengan cara “Putsch” oleh
segerombolan pahlawan kaum cerdas, maka Dr. Sun akhirnya merasa penting
bantuannya rakyat murba yang tersusun dalam bermacam-macam kongsi rahasia, yang
dimasa kerajaan Manchu berpolitik revolusioner. Dr. Sun turunan tani kecil,
jiwanya masih belum dihancurkan oleh intelektualisme Barat dan masih bisa
menyelami Rakyat Murba.
Tiadalah pula satu kebetulan saja,
apabila gerakan Kuomintang pada tahun 1911 itu disokong oleh gerakan murba
rahasia seperti Kola Hui, yang rapat berhubungan dengan Dr. Sun. Rupanya,
terdorong oleh beberapa kegagalan merebut kekuasaan dengan cara “Putsch” oleh
segerombolan pahlawan kaum cerdas, maka Dr. Sun akhirnya merasa penting
bantuannya rakyat murba yang tersusun dalam bermacam-macam kongsir rahasia,
yang dimasa kerajaan Manchu berpolitik revolusioner. Dr. Sun turunan tani
kecil, jiwanya masih belum dihancurkan oleh intelektualisme Barat dan masih
bisa menyelami jiwanya Rakyat Murba.
Tetapi janganlah pula pembaca pikir,
bahwa dimasa hidupnya Dr. Sun mendapat pujian saja dari semua golongan atau
teman seperjuangannya sendiri. Bahkan baru sebentar saja dia dipilih jadi Presiden
tahun 1911, jiwanya terancam oleh seorang jenderal “pemberontak” yang
dibelakangnya menjadi Presiden ialah Yuan Shi Kai. Di masa saya masih di
Tiongkok, belum lama sebelum dia meninggal, maka bekas jenderalnya sendiri,
ialah Chen Kwing Ming hampir saja dapat menangkap Dr. Sun. Dari pihak intelek
Tiongkok dan kaum borjuisnya, dimasa hidupnya sering saya dengan paling baik
dikatakannya, bahwa Dr. Sun itu memang kasar, tetapi cuma seorang “idealis”
dalam arti pemimpi saja. Saudagar Canton, kata Dr. Sun sendiri, ketika dibawah
perintah Dr. Sun sendiri, mencemoohkan Dr. Sun dengan gelaran “meriam besar”.
Artinya “kaleng kosong” yakni suara besar tapi tak berisi.
Memang kehormatan dan pujaan
terhadap Dr. Sun saya lihat baru sesudah dia meninggal. Ingat kita kepada
banyak orang besar lain, yang sekarang dipuji, dikoploki dan dipuja, tetapi
besoknya dikutuki. Tetapi ada juga sebaliknya, baru dipuji sesudah ia mati. Dr.
Sun melayani semua pasang surut naiknya penghargaan manusia itu.
Dr.Sun sendiri bukanlah Dr. Sun,
kalau dia bergerak dan berkorban, cuma buat mencari pujian ramai pada ketika
itu saja. Dr. Sun juga insyaf sungguh akan turun naiknya penghargaan itu, dan
ia pusatkan semua tenaga, kecerdasan, kemauan dan perasaannya kepada
kemerdekaan dan kebesaran bangsa yang dicintainya sampai ke hati sanubarinya
ialah bangsa Tionghoa. Lawan dan kawan tak bisa membantah kecintaannya itu,
begitu pula kejujuran dan keteguhan imannya.
Pada satu hari, ketika saya berada
disalah satu tempat di Selatan melakukan kewajiban saya sebagai wakil dan
intern (hal mana tak perlu saya rahasiakan lagi, karena pihak luar sudah lama
mengumumkan), maka saya dapat perintah dari Pusat buat mencari wakil dari
Indonesia guna mengunjungi Konferensi Buruh Lalu Lintas Seluruh Asia, yang akan
diadakan di Canton. Hasil konferensi itu sudah lama disiarkan dimana-mana dan
yang berhubungan dengan diri saya sudah diumumkan di Filipina, berhubung dengan
penangkapan atas diri saya disana. Agustus 1927 Imperalisme Barat sungguh cukup
cerdas, berpengalaman dan kaya buat mengetahu apa yang terjadi dalam semua
organisasi lawannya.
Pemandangan resmi tertulis dalam
ENCYCLOPAEDIE, di jilid tersebut di atas, mika 535, tentang konferensi Canton
itu adalah berikut: Aksi Serikat Sekerja Komunis dalam hubungan Internasional”,
untuk melakukan propaganda aktif buat kemerdekaan nasional dari segala bangsa
di Pasifik, sudah diputuskan pada bulan November/Desember 1922 pada Kongres
Komintern ke-4.
Serikat Sekerja Internasional Merah
(Provinter) sekali lagi mengemukakan perkara ini pada Kongresnya ke-2, yang
dibuka bersamaan waktu dengan Kongres Komintern yang kemudian memutuskan
mengadakan konferensi besar pada wakil buruh lalu lintas (transport) dan semua
negara disekitarnya Lautan Teduh.
Konferensi Pan Pasific diadakan di
Canton pada penghabisan bulan Juni 1924, ialah yang dikatakan hanya satu tempat
dimana orang tak terganggu kerja dengan maksud mengambil tindakan yang
berhubungan dengan organisasi buat membantu satu Serikat Sekerja Internasional
Merah yang meliputi kaum pelaut dan buruh pada semua pelabuhan penting di
sekeliling Lautan Teduh yang akan menjadi gelang penyambung (schakel) dalam
rantai yang akan memperhubungkan pergerakan kemerdekaan nasional revolusioner
diperjuangkan klas proletaria di Barat. Soal, bagaimana caranya mengadakan
perhubungan itu harus diadakan, dengan tiada banyak menyinggung-nyinggung
dalil-dalil teori, sudah lama mendapatkan perhatian E.K.K.I (Eksekutif Komite
Komunis Internasional). Pentingnya Konferensi
pertama ini dari buruh lalu lintas ternyata dari “Manifest” yang diucapkan
kepada pekerja di Timur dan kepada kaum proletar di Eropa dan Amerika
(disiarkan dalam Internationale Press Korrespondenz 5 September 1924 No. 36).
Dalam manifest itu disebutkan, bahwa di daerah Tiongkok Selatan yang
revolusioner di Canton, datanglah berkumpul para wakil dari buruh lalu lintas
dari Tiongkok Utara dan Selatan dari Jawa (Alimin, Budisutjiro) dan dari
Filipina pada konferensi yang diselenggarakan oleh Serikat Sekerja
Internasional Merah mengadakan perhubungan internasional diantara lain ternyata
datang seruan. Kami serukan, supaya semua organisasi buruh lalu lintas di
jajahan dan di setengah jajahan mempersatukan diri dan menggabungkan diri
dengan buruh lalu lintas internasional yang revolusioner)
Konferensi yang lamanya 6 hari itu
memutuskan mendirikan satu Buro di Canton, ialah untuk Serikat Sekerja Timur
Merah “Red Eastern Labour Union”, yang mengikat buruh lalu lintas di semua
negara Timur. Pada Buro mana akan berhubungan segala Sekretariat buat Tiongkok,
Indonesia, Filipina, Jepang dan Hindustan.
Pada muka 537 encyclopaedies”: Kita
kira paad waktu itu juga (21 Desember 1924) rupanya PKI mulai mendirikan
Sekretariat Serikat Sekerja Indonesia Merah, bilamana Pusat Pimpinan PKI di
Jakarta mengambil inisiatif mengirimkan rencana statuten buat Sekretariat itu
kepada Pucuk Pimpinan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) SPPL (Serikat Pelaut) SBG
(Serikat Buruh Gula) dan Serikat Pelikan (Tambang) Indonesia, dalam
rencana-rencana statuten tadi disebutkan maksud, bahwa sekretariat ini akan
menjadi cabangya Buro Canton, dan anggota Serikat Sekerja Internasional Merah
(Provintern) di Moskow. Pucuk Pimpinan PKI mempermalukan lebih kurang, bahwa
untuk perjuangan klas di Indonesia yang revolusioner perlulah Persatuan di Asia
antara buruh industri dan buruh lalu lintas.
Pada daerah lama, tempat kaum
komunis bekerja ialah Semarang, udara lebih banyak berisi keinginan mogok.
Mulanya dalam kalangan PKI dimasukkan rencana, mengadakan pemogokan pada 8 Mei
1925, untuk memperingati 2 tahun lampau Semaun ditangkap. Karena mengambil
pelajaran dari pemogokan 1923, VSTP menolak pemogkokan itu. Pimpinan PKI
menunda harinya pemogokan sampai SPPL (di Nederland). Lelah menunggu, maka
dimajukan mengadakan pemogokan umum sebagai protes terhadap penolak pemerintah
(Hindia Belanda) memperkenankan Tan Malaka kembali ke Indonesia. (Keterangan
lebih lanjut akan menyusul! Pen.). Rupanya orang tak berani memulai, kalau
tiada mendapat sokongan yang sungguh dari Serikat Sekerja yang besar seperti VSTP.
Ditunggu dulu datangnya suasana pemogokan yang pantas, bilamana wujud yang
berdasarkan ekonomi bisa dibarengkan dan dikedoki dengan wujud yang bersandar
kepada politik”.
Di Semarang rupanya orang mulai
kehilangan kesabaran, 21 Juli 1925 pecahlah pemogokan yang sudah lama
ditunggu-tunggu mula-mula diantara buruh cetak sebuah kongsi Tionghoa yang
mengeluarkan satu surat kabar Indonesia, disebabkan oleh penolakan tuntutan
Serikat Buruh Cetak, yang menuntut diterimanya pencetak yang sudah mogok dan
tuntutan lain-lain berhubungan dengan jaminan kerja umumnya. Pemogokan ini
menjalar kepada beberapa perusahaan percetakan yang lain-lain. Pada tanggal 1
Agustus pemogokan pecah pada Centrale Burgelijke Zienkeninrichting di Semarang.
Pada waktu itu juga timbul pula pada Semarangsche Stooboor en Prauwenveer,
dimana dalam beberapa hari saja seribu orang kapten dan kelasi Indonesia
berhenti kerja atas desakan Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL) yang
memajukan tuntutan jaminan kerja kepada Pimpinan Prauwenveer. Pemogokan
berangsur-angsur susut dan berhenti pada pertengahan bulan September. Menurut
G.B 17 Desember 1925 No.2, maka tiga orang pemimpin, para propagandis PKI ialah
Darsono, Aliarcham dan Marjohan, dibuang.
Garis yang tampak dalam catatan
diatas, ialah:
1. Biro Canton yang mengikat seluruh
buruh lalu lintas Asia dan cabang dari Provintenk, didirikan pada bulan Juni
1924 dalam satu konferensi dimana juga hadir wakil dari Indonesia (PKI).
2. Sebagai pengaruh langsung dari
Konferensi itu, di Indonesia pada penghabisan Desember 1924 juga didirikan
Serikat Sekerja Indonesia Merah, dibawah PKI
3. Pemogokan dari beberapa perusahaan
yang timbul pada pertengahan 1925 langsung berada di bawah pimpinan Sekretariat
Serikat Sekerja Indonesia Merah dan PKI
4. Pemogokan itu ternyata kurang
bernafsu dan kecuali sedikit menjalar ke Surabaya tiadalah menjalar ke selruh
pulau Jawa, apalagi ke seluruh Indonesia.
Menurut pikiran saya, maka
kekurangan semangat dalam aksi ekonomi, yang dalam hakekatnya ditujulkan kepada
perebutan hak politik ekonomi, terletak pada keadaan ekonomi di masa itu. Turun
naiknya garis ekonomi (Economic Curve) dengan nyata menunjukkan bahwa garis
turun yang paling rendah pada tahun 1922 pada pertengahan 1925 sudah mulai naik
kembali dan pasti menuju ke puncak
(hochkonjunktur) yang tercapai pada tahun 1927-1928. Tak akan bisa
dimungkiri, bahwa organisasi tentu mempunyai beberapa kelemahan, memangnya
sampai sekarangpun (1947) kita sebagai bangsa di negeri berhawa panas ini masih
memiliki banyak kelemahan tersebut. Akan tetapi sebab pokok dari melesetnya
pemogokan politik pada pertengahan 1925 itu terletak pada lemah lesunya suasana
revolusioner bagi seluruh rakyat Indonesia, karena sudah berada dalam
kesembuhan krisis ekonomi.
Sekian pemandangan timbul-tumbuh-tumbangnya
pemogokan politik ekonomi pada tahun 1925 yang berakhir pada pembuangan
beberapa pimpinan PKI yang sangat dibutuhkan, justru di depan kejadian tahun
1926.
Kembali kita kepada Buro Canton!
ENCYCLOPAEDIE sudah memberikan pemandangan yang tiada berjauhan dari
kebenaran karena memang dikutipnya dari sumber yang syah, seperti
“Internationale Press Korrespondenz”, tersebut ialah organnya Komintern.
Walaupun demikian ENCYCLOPAEDIE selain daripada memajukan beberapa kesimpulan
sendiri, cuma melihat yang diatas muka air laut saja. Dia tiada melihat apa
yang di bawahnya muka air laut itu.
Sebenarnya siapa bisa bergirang hati, kalau pihak resmi Hindia Belanda
dengan ENCYCLOPAEDIE tak melihat apa yang berada di sana itu adalah penulis
sendiri. Ada lagi satu dua perkara lain yang semacam itu pula, tetapi belumlah
masanya buat disebutkan. Tetapi bahwa sayalah yang memimpin Buro Canto tersebut
di Filipina sudah terbuka, dan amat memberatkan perkara saya. Tegasnya hal itu
bukanlah rahasia lagi. Lagi pula adanya Provintern, seperti juga saudara tuanya
Komintern sudah menjadi barang sejarah.
Baru saja saya tiba di Canton bersama dua wakil Indonesia dari pelajaran
yang melelahkan, dan belum lagi sempat menyusun nafas, maka saya pergi
menjumpai dua orang wakil dari Pusat. Yang seorang ialah dari Komintern, yang
berhubungan dengan saya sampai di masa itu. Yang lainnya adalah wakil dari
Provintern yang akan berhubungan dengan saya di hari depan, dan kenal baik
ketika di Moskow! (saya sebutkan wakil karena memang tanggung jawabnya kepada
dua badan Internasional itu). Tulisan Alimin dalam “ANALISIS” nya yang
mengatakan bahwa saya diangkat sebagai wakil Komintern dan Provintern oleh dua
“pegawai” saja, pada hakekatnya adalah suatu penghinaan besar terhadap dua
organisasi Internasional itu, dan membuktikan pula sifatnya yang lama, ialah
tak peduli dan tak mau tanggung jawab,
walaupun terhadap teman seperjuangannya, kalau dirinya sendiri terlibat.
Ingatlah sifat Alimin terhadap bekas ketuanya almarhum Cokroaminoto dalam
proses Afeeling B Serikat Islam, pada tahun 1918).
Pertemuan berlaku seperti biasanya orang berjumpa kembali sahabat karib.
Belum lagi tepat saya duduk di atas kursi, wakil Provintern sudah memulai.
“Nah Saudara” katanya, “Pucuk Pimpinan Provintern” sudah memutuskan
mendirikan Buro Buruh Lalu-Lintas, bertempat di Canton ini. Saudaralah yang
akan memimpin Buro itu dan menyelenggarakan apa yang perlu. Lagi pula akan
dikeluarkan satu surat kabar atau majalah. Saudara pulalah yang akan menjadi
pemimpinnya dan menyelenggarakan semua yang perlu. Selain dari pada itu sudah
mesti bersiap pula buat berbicara dalam konferensi buruh lalu lintas ini malam
juga. Kedudukan saudara kelak sebagai pemimpin Buro disini, adalah tersendiri
(independent) dan berhubungan langsung dengan kami di Moskow”.
Saya sedikit terganga! Setelah nafas dan pikiran kembali, saya susun
beberapa kalimat dan pertanyaan.
Apa tak ada yang lain buat memimpin Buro itu? Bukankah sudah cukup
kewajiban saya yang berhubugnan dengan Komintern? Manakah saya bisa memimpin
majalah dalam bahasa Inggris sedangkan bahasa Inggris saya baru cukup buat
menanyakan jalan dan restoran saja!
“Kami sudah mempertimbangkan semua itu, dan kami sudah tetapkan dengan
kebulatan suara”, demikianlah saudara Provintern.
“Kita toch tak kekurangan orang? Di Tiongkok saja, bahkan ada beberapa
Profesor di antara teman kita sahut saya pula.
Jawab saudara Provintern amat pendek, dan tertutup semua keberatan saya!
“Sebagai seorang komunis yang berdisiplin, tentulah saudara akan terima saja”.
Konferensi Buruh Lalu Lintas berlangsung dengan lancar sekali. Dr. Sun
mulanya akan hadir berbicara. Tetapi belakangan berhubungan dengan
kebijaksanaan, dianggap kurang tepat Dr. Sun diwakili oleh Mr. Liao Chung Kay.
Pada hari pertama wakil Provintenlah yang memegang pimpinan rapat, pada hari
kedua penulis ini, pada hari ketiga wakil Tionghoa dan sebagainya. Dalam
pemilihan buat pemimpinan Buro, penulislah yang terpilih!
Sehabisnya konferensi masing-masing pulang ke negerinya. Para wakil
Indonesiapun berangkat meninggalkan Canton. Tinggallah penulis ini dengan
sebeban pidato dan putusan yang mesti dicetak dan disebarkan ke semua pelosok
di Asia!
BAGAIMANA HALNYA ALAT CETAK
Canton dimasa itu (tahun 1924) mempunyai penduduk lebih kurang dua juta
orang. Menurut ukuran Eropa-Barat atau Amerika, memangnya termasuk kota besar
dalam arti modern dalam segala-gala, pabrik raksasa dijalankan mesin up to
date, lalu lintas dengan tram, kereta dibawah dan diatas tanah, serta
percetakan uap atau listrik.
Sia-sia semuanya dicari di Canton pada pada masa itu. Yang ada, yang
cocok sebagai namanya kota cuma kantor pos, cahaya lisrik dan tiga jalan besar.
Sebahagian besar lalu lintas di darat dilakukan dengan ratusan, mungkin ribuan
becak. Di jalan-jalan gelap, kecil yang membengkok meliku diantara puluh ribuan
rumah besar kecil, dari tokoh intan, mas berlian sampai kedai bakmi. Jalan
sempit gelap, dilalui oleh hartawan sampai ke pengemis, maha guru sampai si
buta huruf, pemikul tandu gadis kawin sampai pemikul sayur dan barang yang
sekotor-kotornya yang dipisahkan setiap hari oleh 2 juta manusia, di jalan
kecil silang siur. Di jalan Tiongkok ini tak bisa masuk bus atau becak. Di
pinggir jalan besar sepanjang sungai yang membelah kota Canton terdapat
pelabuhan buat kapal yang menghubungkan Canton dengan Hongkong dan Macao. Di
atas sungai itu sendiri siang dan malam
terdapat puluh ribuan sampan kecil-kecil gandengannya becak di darat. Kabarnya,
konon 800.000 orang yang hidup berumah dalam semua sampan di sungai itu. Kalau
kota Canton seluruhnya kita tinjau dri atap Hotel Asia yang tertinggi itu, maka
kelihatannya satu cerobong asap pabrik buat semen, kalau saya tidak salah, di
seberang Sungai Canton atau Sungai Mutiara. Cuma satu cerobong asap pabrik
kecil, buat satu kota yang berpenduduk dua juta! Demikianlah keadaan Canton,
ketika saya mencari satu percetakan buat majalah dalam bahasa Inggris, yang
saya namai: THE DAWN (Fajar). Kota raksasa penuh dengan toko dan perusahaan
secara zaman feodal, penuh dengan jalan sempit gelapnya, penuh pula dengan
becak dan sampannya.
Memang benar juga, “Everything new comes from Canton”, semua yang baru
datang dari Canton. Bukankah revolusi dalam politik dan sosial berasal dari
Canton? Kota Canton pun tiada berapa tahun di belakangnya menjadi kota modern
dalam segala-galanya. Tetapi baru di belakang hari dan THE DAWN memang lahirnya
beberapa tahun terdahulu.
Akhirnya, sedang termenung memikirkan bagaimana melakukan Putusan
Konferensi Canton, datanglah seorang saudara Tionghoa yang pandai berbicara
Inggris buat menemani saya mengunjungi veteran revolusioner Tan Ping Shan. Tan
Ping Shan cuma sedikit bisa mengerti bahasa Inggris, tetapi dianggap seorang
terpelajar corak lama.
Tiap-tiap ucapan saya tentang kesulitan yang berhubungan dengan
pekerjaan dan kehidupan saya sebagai orang asing yang sama sekali belum bisa
bicara Tionghoa, apalagi kesulitan yang berhubungan dengan cetak-mencetak dalam
bahasa Inggris dan huruf latin, buat huruf Tionghoa memangnya banyak sekali,
semuanya itu dibalasnya dengan senyum yang cuma dimilikinya itu, semuanya itu
benar, tetapi jangan putus asa! Lihatlah kesulitan kami dalam segala lapangan!”
Tan Ping Shan membantukan kepada saya seorang maha guru yang memimpin
sekolah tinggi sendiri. Dulunya dia seorang guru dalam bahasa Inggris pada
salah satu sekolah tinggi Zending dan memogoki serta meninggalkan Sekolah
Zending itu bersama-sama beberapa muridnya. Sambil mengandung penghargaan besar
saya dengan Prof. Huang, ialah pembantu tadi, memasuki kota Canton dengan jalan
besar dan kecilnya. Akhirnya kami berada di muka satu percetakan,
berbisik-bisik, menggeleng-gelengkan kepala dan senyum Prof. Huang menoleh
kepada saya, Pencetak ini memang kawan kita! Percetakan raksasa bisa kita
percayakan kepadanya: THE DAWN pun bisa dicetak disini. Tetapi hurufnya tak
cukup, “Anyhow” kata Prof. Huang “This is the only one to be found in whole
Canton”. Bagaimana juga cuma ini percetakan yang boleh kita pakai diseluruhnya.
Canton. Ketawanya Prof Huang istimewa diantara kaum cerdas Tionghoa seolah-olah
mau mengatakan buat Canton ini sudah luar biasa apa boleh buat. Di sini sajalah
kita suruh kerjakan.
Saya merasa lega! Sedikitnya satu pekerjaan penting sudah bisa dijalankan.
Majalah itu saya anggap satu alat yang bisa memperhubungkan batinnya sebahagian
buruh Asia yang dimaksudkan. Sebelumnya majalah itu keluar, susahlah pekerjaan
yang lain-lain bisa dijalankan! Majalah adalah langkah pertama!!
Alat yang lain buat meneruskan perhubungan adalah bahasa pengantar.
Walaupun ada paham yang hendak kita maksudkan, tetapi kalau bahasa pengantar
paham itu tidak cukup dikuasai, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita.
Bahasa pengantar itu adalah bahasa Inggris! Saya pikir, kalau sesudah dua tiga
bulan berusaha benar-benar buat mempelajari bahasa Jerman, saya sudah bisa
menulis dan berpidato dalam bahasa Jerman sederhana, dalam Kongres
Internasional, masakan saya tak bisa mendapat hasil sedemikian dengan bahasa
Inggris! Demikianlah saya pengaruhi diri saya sendiri!
Rencana saya sudah siap! Usaha belajar saya pusatkan kepada Grammar ilmu
sarap. Disamping itu saya coba mengikuti kejadian sehari-hari di Tiongkok,
tetapi pula mempelajari bahasa Inggris disamping oleh keinginan yang keras
mengetahui kabar Tiongkok tadi.
Tetapi ada beberapa faktor yang kurang saya perhatikan. Pertama bahasa
Jerman, saya pelajari di tengah-tengah masyarakat Jerman, sedangkan bahasa
Inggris terpaksa saya pelajari ditengah-tengah masyarakat Tionghoa. Kedua dan
lebih penting lagi, iklim Jerman, walaupun di musim panas, sungguh segar bugar
buat diri saya, menimbulkan nafsu makan terus-menerus, serta nafsu kerja dan
kegembiraan. Sedangkan Canton yang takluk kepada Continental elimate iklim
benua mengherankan sekali. Buat saya seolah-olah dapur roti di musim panas, dan
kamar es di musim sejuk. Pula saya belum meleburkan diri dengan masyrakat
Tionghoa, belum mengetahui “filsafat” makannya orang Tionghoa yang mencocokkan
makannya dengan musim negerinya. Saya kenal cuma restoran Boston yang dikuasai
oleh orang Canton yang kembali dari Amerika barat. Penuh gemuk, tak baik buat
kita di musim panas. Walaupun kepala saya mulai pusing-pusing nafsu makan
kurang demi kurang tidur larut demi larut demi larut malam, saya “bunuh”. Waktu
yang memang ditengah-tengah masyarakat serba asing, “dengan menguasai bahasa
Inggris”, dengan membaca sebanyak-banyaknya.
Nafsu makan makin kurang, tidur semakin larut malam, kepala semakin
pusing, dan batuk mulai timbul. Semua menandakan bahwa kesehatan saya mulai
merosot. Waktu sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Tetapi THE DAWN belum juga
siap, Prof. Huang makin susah dijumpai. Dia terpaksa berpergian mengumpulkan
uang buat sekolahnya yang dalam 1001 kesulitan pula.
Zoonder Prof. Huang, saya tak dapat berbicara dengan tauke cetak.
Satu kemajuan, tetapi cuma satu. Saya coba mengarang dalam bahasa
Inggeris, tentang pemogokan di Shamsen, tempat istimewa buat orang Eropa di
tengah-tengah kota Canton. Karangan itu saya perlihatkan kepada seorang yang
lama tinggal di Amerika, dan paham benar dalam bahasa Inggris. Beginilah
baiknya buat kaum buruh, yang tentulah Inggrisnya tak begitu dalam, katanya
saudara memakai kalimat pendek-pendek dan perkataan mudah dimengerti. Saya
minta buat saya sendiri, saudara menuliskan pemandangan buat seluruh Asia, kata
dia pula.
Yang penting buat saya, ialah saya sudah sampai ketika dimana saya
dengan “basic English” ialah Inggris sederhana sanggup berhubungan batin dengan
para pemimpin buruh di Asia. “Basic English” banyak dipropagandakan di
Tiongkok. Dengan mengetahui lebih kurang 800 kata pokok dalam bahasa Inggris
kita sanggup menguraikan apa saja pikiran kita dalam bahasa itu asal kita
pegang teguh hukum bahasanya. Tetapi saya belum puas dan tak bisa puas dengan basic
English saja. Buku, majalah dan surat kabar Inggris tiadalah tertulis dalam
basic English akan tetapi setelah saya sampai ke tingkat sedemikian dalam
bahasa Inggris dan sudah siap pula beberapa artikel dalam bahasa Inggris buat
THE DAWN, percetakan masih lenggang lenggok saja seperti gerobak rusak. Jilid
pertama belum lagi habis setengah hurufnya tiada cukup. Perkataan “pacific”
umpamanya, ditulis PacifiC, karena kekurangan huruf c kecil. Begitulah satu
kata pernah ditulis dua tiga huruf besarnya. Janggal dipandang mata tetapi yang
lebih buruk ialah sesudah tiga bulan belum juga selesai satu jilid. Saya merasa
susah menanggung jawabkan ke Moskow yang tentu tak bisa tahu keadaan yang
sebenarnya!
Pembantu baru Tionghoa, bekas murid sekolah Amerika di Tiongkok yang
bagus Inggrisnya dan istimewa buat THE DAWN saja, akhirnya saya dapat dengan
susah payah. Tetapi belum lagi dua hari disamping saya, dia sudah hilang,
menghilang saja ditarik oleh berbagai organisasi di Canton untuk bahagian
Inggris. Memang kekurangan tenaga di segala lapangan. Kurang huruf, kurang
tenaga, kurang segala-galanya.
Sering kalau tak ada pembantu dengan kepala pusing di panas terik saya
pergi mengunjungi tauke percetakan buat menemukan senyum menandakan pekerjaan
belum selesai. Tidur saya semakin kurang dan bangun semakin pagi, terus
menerurs berhari-hari. Baru pada suatu pagi sesudah mandi semua badan merasa
beku. Mungkin juga sebentar saya tak sadar diri. Membaca sebarispun saya tak
sanggup lagi!
Saya pergi ke seorang Dr. Tionghoa, Dr. Lee. Dr. Lee sering mengobati
Dr. Sun, keluaran universitas di Jerman. Dia dibantu oleh dua orang temannya
memberikan suntikan kepada saya. Mulanya satu suntikan, tetapi sesudahnya itu
berturut-turut tiga, empat suntikan dilakukannya di beberapa tempat di badan
saya.
Saya memang merasa lain daripada biasa! Dr. Lee berkata: “Saya tadi kasi
Gold injection, suntikan emas. Tetapi pols tuan berhenti beberapa detik
lamanya. Kemudian berturut-turut kami lakukan suntikan anti racun!
Saya jawab: Ya, mulanya tuan suntikan disini, kemudian disana, dan lain
sebagainya.
Kata Dr. Lee pula, tetapi kami sangka tuan sudah meninggal. Polsnya
(pergelangan) tak berjalan lagi. Tidak lekas rupanya tuan kehilangan akal.
Dr. Lee rupa hilap, dia sangka saya diserang penyakit tubercolose (sakit
tering). Pada masa itu baru pula dia membaca teori baru tentang suntikan emas, pendapatnya
seorang Dr. Swedia. Memang, kalau benar saya diserang tubercolose, tak ada
keberatan saya menjadi “proefkonin”. Tetapi persangkaan itu salah!
Besoknya saya minta nasihatnya Dr. Rummel, dokter Jerman yang sudah lama
bekerja di Canton. “Apakah yang menyusahkan hati tuan?” demikianlah pertanyaan
Dr. Rummel itu. Saya dinasihatkan berhenti sama bekerja sama sekali. Walaupun
membaca. Sebaiknyalah tuan pergi tinggal di tropic, di negeri panas,
beristirahat”, dinasihatkan Dr. Rummel. Istilah yang dipakai buat penyakit itu
ialah “physical breakdown”, kelumpuhan tenaga.
Pergi beristirahat itu juga sudah dinasihatkan oleh Dr. Lee. Demikianlah
saya pergi kepada Dr. Lee buat meminta keterangan dengan surat, bahwa saya
memerlukan beristirahat. Keterangan Dr. Lee, bersama surat saya kepada
pemerintahan Hindia Belanda, itulah yang dimaksudkan oleh ENCYCLOPAEDIE dalam
catatan diatas. Surat itu saya kirimkan kepada PKI sambil meminta pertimbangan
partai, apakah surat itu akan diteruskan atau tidak sebagai siasat maka surat
itu diteruskan. Jawaban pemerintah Hindia Belanda kepada saya dengan
perantaraan PKI sama sekali tiada memuaskan. Jawaban pemerintah itu saya jawab
pula. Jawaban inilah yang menimbulkan topan di dalam cangkir. Salah satu surat
kabar Belanda yang berani mengumumkan balasan saya itu kabarnya mendapat
rintangan dari pemerintah HIndia Belanda! Surat itu bukan berwujud minta ampun,
seperti cemohan salah satu pihak, yang dibantah almarhum Subakat dalam surat
kabar API. Baik juga hal tersebut dijelaskan disini buat kebenaran, walaupun
sesudah terpaksa didiamkan saja selama lebih dari dua puluh tahun.
Negeri tropic itu bukannya Hindia Belanda saja, Siam, Birma, Annam,
Filipina dan Malaya, semuanya negeri di bawah khatulistiwa. Semuanya itu
tertutup buat saya oleh pemerintahnya, tetapi kuncinya ada di tangan sendiri,
pada kesanggupan menerobos. Yang pentingnya buat korespondensi dengan
pemerintah Hindia Belanda itu bukannya tempat, melainkan “fair play” yang
terpaksa dinyatakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, bahwa dia tidak memiliki
sifat semacam itu. tulisan almarhum Subakat berhubung dengan korespondensi itu
juga berpusat pada sifat unfair “tak satria” itu. Itulah asalnya usul mogok
sebagai protes yang dikemukakan oleh PKI dan Serikat Sekerja, seperti tersebut
dalam ENCYCLOPAEDIE diatas.
Tiada penyakit itu saja yang mendorong saya pergi ke khatulistiwa.
Berturut-turut saya mendapat kawat dari selatan meminta saya datang. Tak pula
diterangkan dan tentulah tak pula bisa diterangkan apa maksudnya. Saya cuma
tahu, bahwa pada tahun 1925 itu PKI menghadapi suatu krisis yang hebat. Kawat
memang tak memperdulikan antara 2500 km, ataupun lebih. Tetapi buat orang lemah
yang tak sanggup berjalan 2500 km, yang tak mempunyai negara dan paspor 2.500
km yang digenangi air laut, bukanlah perkara kecil.
Segala macam suntikan dari Dr. Filipina, Dr. Inggris dan Dr. Portugis di
Hongkong saya coba. Pun obat dukun Tionghoa dan nasihat pelaut Tionghoa di
Hongkong pertama kali saya alamkan. Maksud saya ialah buat mendapatkan kekuatan
untuk mengarungi lautan.
“Stow a way” penumpang sembunyi di dalam kapal,
adalah seorang yang melakukan pelanggaran yang oleh hukum internasional dianggap
berat sekali. Buat saya bahayanya kalau ketahuan tiada saja kemungkinan buat di
penjara, tetapi juga dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda. Pelajaran
seperti “Stow a way” yang dekat
sekali saja, kalau saya mau meriwayatkannya akan memerlukan satu buku.
Buat orang yang sehat saja, orang Eropa pula dan dalam kapal Eropa pun,
berlayar sebagai “Stow a way”itu jika
sampai ke tempat yang dituju, sudah mesti mengalami 13 macam kesukaran, yang
berhubungan dengan tempat, makanan, pemeriksaan dan sebagainya. Apalagi
penderitaan yang mesti dialami oleh seorang Indonesia yang lemah, diantara
ribuan penumpang Tionghoa Totok, rapat seperti ikatan sardencis, pada tempat
yang teralih-alih tak keruan jalan dalam kapal buat menyingkiri pemeriksaan
surat cacar, surat pos, surat keterangan lain-lain di semua pelabuhan yang
dikuasai oleh Inggris. Pendek kata orang mesti bergembira kalau sampai dengan
selamat, tiada mati kelaparan. Di dalam tempat bersembunyi dalam kapal.
Saya sampai ke salah satu tempat di Selatan, buat berjumpa dengan para
teman. Tetapi belum lagi saya mengecap hawa chatulistiwa, datang pula kawat
melalui 2500 km lagi. Saya diminta datang dengan segera, berhubung dengan
kedatangan wakil Provintern dari Moskow, yang mau berjumpa dengan saya di
Tiongkok Canton. “Dengan segera” itu buat orang yang tak tahu keadaan yang
sebenarnya, tentulah berarti cuma dua-tiga hari saja. Tetapi buat orang yang lengkap mempunyai syarat saja, pelajaran
itu lebih kurang membutuhkan satu minggu. Buat saya waktu itu tak bisa lebih
cepat dari pada dua minggu. Itupun sudah dengan segala tenaga yang ada pada
saya dan memakai semua kemungkinan.
“Beck of” kata bahasa asing, kehabisan nafas sesudah dua minggu, maka
saya tiba di Canton. Tetapi orang yang
memanggil saya sendiri rupanya sudah dipanggil pula buat kembali, yang dikejar
tiada dapat yang dikandung berceceran.
Perkara antara alat kerja dan kesehatan semuanya menjadi sebab, maka
kesehatan yang sedikit kembali disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama
sekali, dan saya jatuh kembali tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya
sendiri maupun buat organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah
saya bereskan pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka
saya berusaha masuk Filipina untuk beristirahat.
Memasuki Selatan, dengan tiada mempunyai syarat yang cukup, buat
seseorang sudah amat susah, berhubung dengan pembatasan pemasukan orang
Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan Emigration Law American-nya adalah
perkara yang lebih susah lagi. Perlu penyelidikan yang seksama terlebih dahulu.
Teristimewa buat saya perlu sekali suntik extra seolah-olah bola yang sudah
kempis, harus dipompa lebih dahulu.
Suntikan extra, penyelidikan seksama untuk mempelajari caranya masuk
Filipina, saya peroleh di Hongkong pada satu asrama Filipina. Nona Carmen,
puteri seorang bekas pemberontak di Filipina, yang dengan ibunya
menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi petunjuk yang berharga dalam hal
lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan pula memberi pelajaran bahasa
“Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa saya pelajari dalam dua tiga
bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku Indonesia, akan ingkar!
Pengetahuan saya tentang jalan ke Filipina dan caranya menyesuaikan diri
dengan orang Filipina setibanya disana dapat pula saya sempurnakan, selain
dengan perkenalan dengan para tamu di asrama tadi, juga dengan perkenalan luar biasa dengan seorang musafir terpelajar.
Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya
peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja
keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas.
Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut
kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di
Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia
perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam
buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr.
Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang
pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya
berada, sampai perang dunia II meletus, Dr. Mariano Santos namanya keluaran universitas
Filipina, sudah meneruskan pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari
perjalanan keliling Eropa, bakal menjadi wakil presiden Manila University.
Akhirnya buat berpendek kalau, pada suatu hari permulaan bulan Juni
1925, saya meninggalkan pelabuhan Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah
satu kapal Presiden, bersama-sama dengan para penumpang lain dari semua bangsa
di dunia, terutama bangsa Amerika dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa
sebagai pengalaman, pengetahuan dalam dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris
dan pengetahuan sekedarnya bahasa Tagalog dan last but not least bentuk warna
badang dan muka yang 100% Filipina, bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina
campuran, maka bersenjatakan semua alat tersebut dalam percakapan “conversation”
menjual lelucon “telling a joke” ala Amerika, bahkan pula dalam ikut serta
berdansa, maka rupanya tak tampak kesangsian bahwa penulis ini benar seorang
Filipina pulang ke negerinya.
Semua pemeriksaan surat cacar “pemeriksaan pasport” (yang tiada pada
saya) pemeriksaan barang di duane, biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh
pegawai Filipina, bisa dibereskan dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina
pulang dari “United States” atau dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak
sambalnya boxer Filipino dalam bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan.
Kunci rahasia buat semuanya ini ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu,
dan kedua tingkah laku jangan dibuat-buat.
Semuanya beres, lancar, memasuki beberapa lobang yang biasanya tak mudah
diselundupi, apalagi tak dengan beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah
orang tuanya Nona Carmen di Santa Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah
beristirahat seorang Filipina kembali dari “Negeri Asing” yang sudah lama
ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi tiadalah
pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan Amerika
itu.
F I L I P I N A
Bagaimanakah rupanya Filipina, sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah
dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya pertanyaan yang timbul dalam hatinya
seseorang yang mengenai sejarahnya Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar
sejarah.
Dalam salah satu buku sekolah di Filipina tergambar “the first
Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang mendayung perahu. Perhubungan
politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di sejarah Filipina.
Bukanlah maksud tulisan ini hendak memberi jawaban yang sempurna
terhadap pertanyaan diatas dalam arti politik, ekonomi, kebudayaan dan
lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang pandang atas Negara yang
sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk lebih kurang 10 juta itu,
dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya kira-kira 400 tahun di bawah
Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan republik dalam artian modern di seluruh
Asia, ialah pada masa revolusi 1898-1901.
Bumi iklim Filipina, kalau ada mengalami perubahan semenjak 450 tahun
tentulah tiada seberapa, kecuali hutan rimba sudah dijadikan sawah ladang.
Tetapi alat bekerja, perekonomian dan kebudayaan sudah mengalami perubahan yang
dalam dan luas sekali. Manusia Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya,
dalam arti perubahan alam-alat perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga
mengalami perubahan.
Sama sekali tak ada beda rupanya tani desa Filipina daripada tani di
Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak, Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami
maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan bangsa: bentuk badan dan muka,
perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata dan rambut. Dalam hal ini tani
Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke kota Bato di Mindano, sama dengan
penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.
Tetapi di kota-kota seperti Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak
perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang Filipina yang sudah menerima darah
Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya, sebagai hasilnya campuran
Indonesia-Tionghoa-Belanda.
Tetapi itu cuma terdapat pada kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan
Pedro yang bekerja pada pelabuhan, kereta api dan bengkel di kota Manila
sebagai kaum buruh, tak ada bedanya sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan
atau Surbaya.
Bolehlah dikatakan lebih tinggi kita naik dalam tangga politik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata warna kuning sampai putih. Lebih rendah
turun tangga tersebut, lebih nyata warna coklat, ialah warna terbanyak diantara
Indonesia asli. Lebih tinggi kita naiki tangga politik dari anggota Indonesia
asli. Lebih tingi kita naiki tangga politik dari anggota Haminte sampai Majelis
Rendah dan Tinggi, dari Walikota sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan
campuran tiga bangsa, kaum Mestiza itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti
perkebunan, pabrik dan perkapalan, kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi
kalau saya tidak salah, maka dalam kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak
kurang banyaknya dengan warna kuning atau putih.
Kedudukan tinggi yang didapat oleh kaum Mestiza itu adalah akibat revolusi politik di Filipina, yang dipandang
dari penjuru politik sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut
ekonomi.
Hampir 100% dari “Veterano” ialah bekas prajurit revolusi tahun
1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol, kemudian melawan Amerika,
terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu sendiri ialah Andres Bonifacio,
yang menurut keterangan seorang veteran revolusi yang kenal sama Bonifacio
kepada saya, adalah orang Indonesia asli dari kampung Tondo, di sekitar Manila.
Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo, Menteri Luar Negeri yang termashur ialah
Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina” Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan
kalau ada campuran darahnya, maka bolehlah dikatakan amat tipis sekali.
Revolusi Filipina adalah revolusi buruh tani dibawah pimpinan sebahagian
inteligensia yang benar-benar revolusioner.
Tetapi dengan tertangkapnya Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka
pimpinan revolusi menjadi pecah belah, dan perang gerilya tak dapat diteruskan.
Aguinaldo mengangkat sumpah di depan kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari
politik, selama Filipina berada di pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini
yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam
dan mati di sana bersama banyak kawannya yang tak mau damai dengan Amerika.
Jenderal gerilya seperti Ricarte bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana
sampai Filipina menyerah kepada Jepang. Andres Bonifacio yang pertama
mengibarkan bendera kemerdekaan dan menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh,
katanya diserang oleh prajurit Aguinaldo, di masa revolusi.
Demikianlah, mereka yang paling terkemuka dalam revolusi, tak mengambil
bahagian dalam pemerintahan Amerika di belakang hari. Dan yang paling
terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa, sebahagian besar terdiri dari
Indonesia asli.
Karena di masa Spanyol, anak
hartawan Spanyol dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah
menengah dan tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang
didapat oleh imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir
semua sektor administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi
warga negara dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping
itu, kebun, pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli
oleh Mestiza ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap
genap ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani,
sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang
terjual atau tergadai. Kata orang Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang
mendapat getahnya.
Tetapi tiadalah sempurna gambaran diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum
Mestiza memakai rakyat asli untuk merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian
membelokkan mereka ke bawah imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti
tersebut di atas adalah menurut proses alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan,
ialah rakyat asli, karena merekalah yang paling tertindas sebagai buruh dan
tani. Buruh dan tani memili para pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum
inteligensia asli, karena merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah
mereka, dan sama merasakan getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas
dan tertindas di Filipina, walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak
persamaan. Persamaan itu terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan
berdasarkan agama Kristen itu yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam
agama dan kebudayaan itulah pula yang
mengaburkan atau melenyapkan perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan
Mestiza, dan menarik Mestiza golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah,
maka kita bisa menyaksikan, bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti:
Jenderal Luna, juga seorang Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di
masa revolusi baru berumur 24 tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat
merebut pangkat mayor dan amat dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza
sejati, campuran darah Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis
masih di sana (tahun 1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai
atau dibenci oleh rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan
Mestiza bukanlah satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi
derajatnya di masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest,
pada tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan.
Indo Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya,
lebih suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri.
Semuanya berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan
Mestiza dalam ekonomi, sosial dan politik.
Rasanya tiada berapa jauh dari kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa
atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal
dan lebih bercampur dengan rakyat asli
daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas,
banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.
Berhubung dengan persamaan bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu,
maka tiadalah pula mengherankan kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika
memasuki kantor administrasi pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan
tiada mendapat gangguan dari rakyat jelata.
Kalau ada pertentangan dengan kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di
belakang ini, maka pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi
dan sosial. Pertentangan itu lahirnya
dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan
buruh Indonesia (Filipina asli) dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang
terbanyak memiliki tanah (harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain)
perkapalan dan lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan
anti-Mestiza, karena golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari
proses proletarisasi.
Dalam revolusi sedang memuncakpun kaum revolusioner Filipina tiada
memusatkan serangannya atau memekikkan semboyannya terhadap warna asing. Cerita
yang lazim didengar di Filipina, dan penyaksian yang dituliskan oleh peninjau
Amerika sendiri, mengatakan bahwa hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan
oleh prajurit Filipina dengan baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya,
sesudah dilucuti senapannya. Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena
prajurit Filipina cuma memerlukan dan gemar bertempur dengan bolo, ialah
parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh
pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya,
takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak
dikembalikan ke daerah Spanyol. Tetapi
kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta
Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para
pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari
harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan
maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang
berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.
Jika di masa sebelum Perang Dunia II buruh tanah terutama di daerah
Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan Sakdalista, dan sesudah perang
dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan Hukbalahap terus menerus mengadakan
serangan terhadap tuan tanah (hazienderos), maka ini cuma memberi bukti, bahwa
revolusi agraria di Filipina pada tahun 1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya
itu masih saja belum selesai.
Sekianlah tinjauan secepat kilat atas revolusi di Filipina yang paling
besar dan paling belakang. Rasanya disamping tinjauan kilat ini perlu pula
diperpenuh gambarannya dengan beberapa bukti terkhusus (detail).
Pemuda Filipina di masa sekarang berhak bangga atas 300 revolusi yang
besar kecil, diantaranya 150 yang agak besar, yang dilakukan oleh rakyat
Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari imperialis Spanyol yang kolot kejam
itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya bilang “berhak bangga”, karena
revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu, adalah lukisan yang paling
sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau dijajah itu. Tetapi tiadalah
kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi. Marilah kita ambil beberapa
bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir yang wujudnya merobohkan
imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).
Dengan revolusi terakhir ini tiada bisa dipisahkan nama “La Liga
Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal
(baca Hose Rizal).
Untuk berpendek kalam dan memberi penerangan yang sekedarnya tepat,
baiklah saya mulai dari sejarah episode Filipina ini dengan perbandingan La
Liga Filipina kita bandingkan dengan “Studieclub” yang di belakangnya ditukar
dengan P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter
Rizal kita bandingkan saja dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.
Perbandingan itu harus dianggap cuma sebagai daya upaya memberikan
penjelasan dengan pendek dan tepat saja. Sekali-kali bukan buat menyamakan
gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr.
Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi, iklim, kebangsaan dan pertanian
Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali persamaannya. Tetapi dalam hal
luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan kebudayaan, pada permulaan abad
ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan dengan Filipina pada abad ke 19
itu.
Bermula, maka La Liga Filipina yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina
pada penghabisan abad ke 19 itu (1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu
“Party of reforms” partai kaum Koperator, kaum reformis.
Maksudnya ialah memajukan Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan
dalam perekonomian, pertanian dan perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga
Filipina tiadalah menolak kerja bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli
sejarah barangkali ada faedahnya membandingkan program dan sepak terjangnya La
Liga Filipina dengan Studie Club, Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang
dikantongi oleh kasta pendeta tuan tanah Spanyol di Filipina, maka dari
semulanya berdiri La Liga Filipina dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di
Filipina itu...sampai waktu pembubarannya.
Pendiri La Liga Filipina ialah Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan
Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak saja sama bertitel Dr. tetapi juga
sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom kita dalam hal kedokteran. Tetapi
tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr. Rizal dalam hal itu. Sesudah mendapatkan
titel Dr. di Madrid, dia juga mengunjungi Universitas di Paris dan Berlin dan
mendapat pujian pada ketiga tiga
perguruan tinggi tadi. Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang
putri Jerman yang oleh Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati
lagi, dilebih-lebihkan (saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya),
tetapi di Filipina Dr. Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok.
Tatkala ia berada di pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul
Perancis dari Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit
mata, yang tak bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa
melihat, dan mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat
kembali matanya (terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi
pengagum dan pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya,
menjadi teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina
bertempur, setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.
Perkara intelek! Dalam buangannya di Dapitan, setelah menyaksikan kurang
banyak dan kurang bersihnya air, maka sesudah sebentar mempelajari pengairan,
Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan alat sederhana. Pekerjaan ini sangat
dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri. Selain membasmi buta huruf di antara
kanak-kanak yang dicintainya sampai ke tulang sumsumnya di tempat yang suci
itu, Dr. Rizal mulai mengadakan pemeriksaan secara ilmu, tentang
tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
belum dikenal oleh para ahli di masa itu, dikirimkannya kepada sahabat
karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?). Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru
itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping Rizalia. Sebagai ahli gambar
dan ahli arca, Dr. Rizal mendapat hadiah
dalam pertunjukan di Paris. Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya
dan bisa dipakainya buat bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli
Me Tangore” dan “Filibus Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh
bangsanya, tetapi musuh mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang
dikarangnya beberapa jam sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap
sebagai warisan yang tak ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.
Dengan Pak Tom kejujuran Rizal
terhadap prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak
persamaan. Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan
perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama
dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri,
dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang
dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati
pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.
Pak Tom tak mendapat ujian langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal
lulus dalam ujian itu, dan mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan
ketenangan dan ketabahan yang tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun
dan di abad manapun juga. Kalau ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu
cuma bisa didasarkan atas terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur
berhadapan dengan lawan yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular
menjalar di bawah rumput.
Anaknya tani tengahan di desa Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah
masyarakat dan keluarga yang beragama Katolik, agama yang rakyat jelata di
Filipina memang dijunjung tinggi sekali dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal
thabib pembentuk Filipina ini, yang dari pihak para pendeta ada terdengar
tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata
menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.
Tetapi diukur dengan jangka kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx,
Lenin, ataupun colleganya di tepi sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan
Dr. Rizal adalah seorang intelek yang besar dalam semua lapangan ilmu yang
ditempuhnya, dia bisa juga menyelami jiwa rakyat jelata sebagai pengarang.
Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat
dalam pergerakan revolusioner. Buat Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung
kepada banyaknya para intelek dan melek huruf di Filipina, kuatnya
perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina dan terutama pula pada
persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa dinamiknya revolusi bisa
menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa menentang senjata yang
lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat membangun dalam segala
lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu diduga, ditaksir, dibangunkan
dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur, mengerti dan terdisiplin. Semua
ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr. Rizal oleh karena kurang
perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula sebab Dr. Rizal selalu
diawasi oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka pengalaman tak sampai
membuka matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut. Dr.Rizal tetap tinggal
seorang intelek yang agak terpencil dari Murba.
Hal ini terbukti di masa pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal
dengan La Liga Filipinanya dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan,
maka pemimpin yang ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi
terang-terangan, walaupun dengan jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina
rupanya insyaf akan keadaan dan mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini
namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri
Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari satu kumpulan
yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya
mengikat kaum revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga
buruh di Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru
tulis kecil dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk
membantu adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari
pengetahuan tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan
pengetahuan tentang masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan
membaca buku-buku revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan
rumahnya digeledah, maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi
Perancis.
Sepeninggal Rizal rupanya ia giat bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia
merasa cukup kuat, dan mengirimkan beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai
pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.
Demikianlah pada suatu hari tiba di Dapitan beberapa orang, mengantar
seorang “sakit mata”, seorang buta minta obat kepada thabib Rizal. Si “Buta”
dan satu dua orang pembimbing diizinkan oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal
yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr. Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah
membuka matanya dan mengajak sang thabib berunding tentang revolusi di kamar
pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La
Liga Filipina! Sekarang Andres menganggap waktunya sudah sampai untuk
mengibarkan bendera kemerdekaan dengan Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi.
Andres sudah siap buat menyerbu dan siap pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan
dengan pasukannya secara diam-diam asal saja Dr. Rizal mengizinkan lebih
dahulu.
Dr. Rizal intelek kaliber internasional universal, tercengang dan
menolak usulan Andres Bonifacio, dengan mentah-mentah. Keberatan yang
terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat Filipina dalam hal
persenjataan.
Sebenarnya “kekurangan” itu
adalah kekurangan dari bangsa dan semua golongan tertindas dan pemberontak dari
jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai sekarang, melalui revolusi Perancis
sendiri, revolusi Rusia dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum
pernah bangsa atau kasta terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai
persenjataannya bangsa atau katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu
intelek kaliber internasional menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau
bangsa atau kasta tertindas itu bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya
dalam hal persenjataan, bukanlah dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia yang
tertindas. Persamaan atau kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau
sesudahnya itu, tak pernah sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya
bersifat sosial ekonomi atau kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.
Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan oleh si “Buta” yang sekarang lebih
“Melek” daripda “Melek” dan heran tercengang-cengang mendengar putusan Dr.
Rizal tadi. Setelah jawab tadi disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo,
keluaran sekolah rendah, dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah Dr. Rizal membaca semacam itu?
Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres Bonifacio hilang kehormatan dan
hilang kecintaan kepada seorang yang dianggapnya guru dalam beberapa hal!
Keterangan tulisan ini kelak akan membuktikan!
Setelah perang Amerika-Spanyol meletus, maka Dr. Rizal menawarkan
dirinya menjadi palang merah di Cuba. Tawaran itu diterima oleh pemerintah
Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba. Tetapi para pendeta di Filipina segera
menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil kembali. Di Hongkong dia
disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di pelabuhan Manila polisi
rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta memasukkan surat palsu ke
dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk menjerat Dr. Rizal ke dalam
urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata komplotan tadi ada hubungannya
dengan Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki disiksa sampai pingsan dua kali
berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi terhadap saudaranya. Tetapi adiknya
tetap menyangkal.
Rizal ditawan dan dibawa ke hadapan pengadilan, dituduh sebagai
pendurhaka yang bermaksud merobohkan pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang
dilakukan sama sekali tidak memenuhi
syaratnya pengadilan modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap buat
dihukum dan dalam hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal dihukum
tembak!
Pada malam penghabisan Rizal mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan
adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”,
warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah
lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”,
dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah
Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina,
meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui
pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.
Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan dan digiring ke lapangan Bagumbayan
buat ditembak mati dan ditontonkan kepada khalayak yang terdiri dari bangsa
Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan penuh sesak wanita dan para pembesar
Spanyol, ingin dan gembira melihat robohnya seorang putra bumi yang berani
menentang kekuasaan Spanyol.
Jose Rizal berjalan dengan langkah yang tegap, di waktu udara masih
sejuk dan embun membasah mukanya untuk penghabisan. “Alangkah indahnya pagi
hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut seorang pendeta dikanannya, lebih indah
lagi kalau sekiranya.......kalimat pendeta yang baik budi ini tak bisa dilangsungkan,
karena dia dipisahkan daripada Rizal oleh pengiring berpakaian dinas.
Rombongan yang akan menembak sudah siap, barisan depan yang akan
melepaskan tembakan terdiri dari bangsa Filipina. Barisan belakang dari serdadu
Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau serdadu putra bumi ingkar menembak
seorang pemimpin bangsanya!
Dr. Rizal memprotes kepada komandan rombongan penembak, ketika mau
diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu
janganlah kepala saya ditembak”, kata Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya kesatria Filipina berdiri di tengah lapang
seolah-olah dia menentang kekuasaan Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh
tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan, kerobohan badanku itu akan membawa
kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.
Seorang thabib Spanyol tercengang melihat ketenangan colleganya. Ia
meminta izinnya komandan untuk memerilksa pols (pergelangan) thabib Filipina
dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala merasai
pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh
kelihatan berusaha berputar beberapa kali, mendapatkan cara berbaring yang
dikehendakinya berlaku. Dia berbaring dengan muka yang tiadar rusak, menghadap
ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya
itu oleh bangsa Filipina yang takjub dan berterima kasih didirikan tugu
peringatan. Tempat tragedi ini sekarang dinamai lapangan Luneta.
Adalah diantara penonton yang tidak dikenal oleh ramai, tetapi
diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang: Andres Bonifacio, bekas
sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin Katipunan, menantikan saat buat
menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi
rombongan yang disampingnya sudah lama siap buat membatalkan maksud yang
dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang lebih baik buat menyerbu, sekali
jalan, serentak. Dengan air mata berlinang-linang, serta gigi yang menggertak,
sedangkan bolo terpaksa bernaung tinggal disarungnya saja, maka Andres
menurutkan nasihat para pengikutnya, dan melihatkan guru dan teman
seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin pertolongan.
Tetapi tiadalah lama bolo itu bersemayam dalam sarungnya. Apabila
saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres Bonifacio pertama kali menghunus
bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan kecil tetapi nekad menyerang benteng
Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun 1898 (?)
Saat ini nyata tepat dipilihnya di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi
oleh pulau-pulau lain di Filipina, berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti
pekik Andres Bonifacio, pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga,
pengharapan yang akhirn buat kita telah tiba saatnya”!
Di mana-mana timbulah barisan gerilnya. Hampir di semua medan
pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol mengundurkan diri atau menyerah.
Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir Filipina adalah bermacam-macam,
dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan bacalah surat kabar di Eropa
ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan kagum menyaksikan kecerdasan,
ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di Lautan Teduh yang selama ini
tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan dirinya ke dunia luar dengan
suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan besar. Nama barisan dan
pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal Luna, Malvat, Ricarte
dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di kepulauan Filipina. Di
atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo, bekas guru desa cakap,
tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat gerilya yang paling ulung.
Akhirnya tentara Spanyol terusir dari semua pelosok, kecuali dari
Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika Serikat tiba dengan armadanya di
pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan. Setelah maks ud imperialis itu
nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan laskarnya menghadapi tentara
Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun lamanya perjuangan yang
sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan kemerdekaan menghadapi dua negara besar
yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup pengalaman di lapangan kemiliteran,
banyaklah yang terjadi di kalangan kaum pemberontak sendiri. Dalam kalangan
yang tersebut belakangan ini timbulah perbedaan paham yang kian lama kian
menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi permusuhan. Perbedaan paham antara Aguinaldo
dan Bonifacio berakhir pada pembunuhan atas dirinya Bonifacio. Perbedaan paham
antara Aguinaldo dan Mabini, menyebabkan yang di belakang ini meninggalkan
Aguinaldo.
Menurut terjemahan biasa di Filipina, maka pertentangan dan permusuhan
itu semata-mata disebabkan oleh perbedaan perseorangan. Pada hemat saya
pertentangan itu timbulnya dari perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari
perbedaan kemauan dari berbagai golongan yang berjuang, yang diwakili oleh
Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.
Ini cuma persangkaan saya saja! Memangnya ahli sejarah Filipina tiada
yakin, atau belum mengerahkan perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa
yang paling giat membantu masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat
mendapatkannya. Tetapi ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau
tiada pada permulaan mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan
borjuis Filipina yang agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang
radikal demokrasi serta sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat
murba di kota dan di desa.
Pada pertengahan revolusi, bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan
dan pembuka revolusi agak terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak
mendapat kemenangan gemilang di pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio
kurang pertempuran atau kurang keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang
rupanya lebih dimiliki oleh Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik
revolusioner memangnya berada di tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum pemberontak
bisa bersatu dengan menyerahkan urusan partai politik kepada Bonifacio, urusan
kemiliteran kepada Aguinaldo dalam satu koordinasi yang meliputi seluruhnya
gerakan revolusioner! Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat Filipina di masa itu
rupanya belum pula mengizinkan timbulnya semangat dan pengalaman yang perlu
buat koordinasi dalam organisasi, politik dan militer. Keadaan kerja rahasia di
bawah imperialisme Spanyol yang mashur kejam itu, tak pula mengizinkan
organisasi kuat dalam aksi di bawah tanah itu. Kaum Revolusioner terpaksa kerja
dengan rombongan kecil-kecil terutama di kota-kota dan tak bisa banyak tahu
menahu satu sama lainnya.
Pada satu permusyawaratan maka Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan
Mabini sebagai Menteri Luar Negeri. Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama
sekali tidak membayangkan perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan
Aguinaldo dengan golongan Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili
oleh dirinya Bonifacio sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke
dalam “permusyawaratan”, bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder
persiapan itu, selainnya dihadiahkan
satu pangkat “direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga
diperdengarkan perkataan penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai
pengetahuan.
Tidak saja Bonifacio merasa tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo
itu, tetapi juga merasa dihina, Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung,
dan pulang meninggalkan “pemilihan” tadi dengan gusar hati.
Di tengah jalan dia disusul oleh pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo
mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari mengadakan perlawanan yang teratur,
maka kemenangannya, seandainya bisa diperoleh tidak akan begitu mudah seperti
pada permusyawaratan yang diaturnya sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti
dicederai, ditikam dari belakang sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap
kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi
didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!
Dalam pertempuran di tengah perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu
oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun buku resmi tiada menerangkan seperti
diatas, tetapi bisikan umum memandang peristiwa Bonifacio itu tertera seperti
diatas.
Demikianlah matinya guru dan murid, ketua dan sekretaris La Liga
Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama tragis, sama-sama mati muda. Tetapi
ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh penindas bangsa asing terang-terangan
di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio mati dibunuh oleh sewarga
seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose Rizal mewakili kaum
tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili rakyat murba.
Nyata pula perbedaan itu dimasa peringatan ulang tahun meninggalnya
kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang tahun Rizal (31 Desember) kita
menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato
dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.
Pada peringatan ulang tahun
Kematian Andres Bonifacio (30 November) terutama di pojok-pojok kota Manila,
disekitarnya rakyat melarat, orang berpidato berapi-api, mengepalkan tinju,
seolah-olah berjanji meneruskan pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai, karena
pembunuhan politik atas dirinya.
Memangnya suatu revolusi tiada memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada
yang bisa dibunuh dengan tiada menimbulkan akibat yang penting atas sang
revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa membunuh golonga serta pemimpinnya, yang
selama itu menjadi pendorong revolusi sendiri. Teristimewa pula pada masa
hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak bisa membunuh itu harus dipandang dari
dua sudut; pertama dipandang dari sudut lahir, kedua dari sudut batin.
Dipandang dari sudut batin, karena hasrat golongan dan pemimpinnya yang
mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah perjuangan itu kelak, lekas atau
lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan dan pemimpin yang terdepan
dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama sekali atau
sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak saja revolusi
akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu juga akan
melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau seimbang
kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan gagal
dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan awak
lawan awak itu, maka revolusi seluruhnya
tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah sekali ditaklukkan oleh
kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang sebenarnya, tak akan
berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada golongan radikal atau pada
yang paling reaksioner.
Hal yang terakhir ini kelihatan benar dalam jalannya revolusi Filipina,
dibelakangnya peristiwa Bonaficio. Entah karena ia sudah merasa lemah di
lapangan militer melawan Amerika, entah karena keduanya kaum borjuis Filipina
yang ingin damai, entah karena keduanya, maka Presiden Aguinaldo sudah lama
mengadakan perhubungan (rahasia) dengan Amerika. Aquinaldo sudah siap sedia
menerima kemerdekaan Filipina yang kurang dari 100%.
Mabini sudah lama gelisah tentang ini. Mabini adalah seorang ahli Yuris,
yang banyak memusingkan kepala laksamana Amerika dalam perdebatan tentang
kemerdekaan dan undang-undang internasional, dan tetap berpendirian merebut
kemerdekaan 100%. Tetapi karena sebenarnya Mabini baru memasuki gelanggang
revolusi dan mungkin juga berhubung dengan terganggunya kesehatannya “subleme
paralytic” orang lumpuh yang luhur, menteri luar negeri Filipina ini, belum
bisa mendalamkan paham serta pengaruhnya di kalangan rakyat. Setelah pecah
kabar, bahwa Aguinaldo hendak mengadakan perdamaian atas perjanjian yang
merugikan atas Filipina merdeka, maka ia sebagai Menteri Luar Negeri, mengucapkan,
bahwa perdamaian semacam itu adalah tanggungan Aguinaldo sendiri. Jadi bukannya
dengan persetujuan Menteri Luar Negeri, ataupun dengan persetujuan rakyat.
Sekian Mabini!
Apabila terdengar kabar, bahwa Aguinaldo, terpedaya dan ditangkap oleh
salah satu rombongan militer Amerika, maka orang Lumpuh Luhur kian kemari
menjumpai dan mengobarkan semangat pasukan dan pemimpin gerilya, untuk
meneruskan perjuangan.
Terkepung pada satu rumah tani
bersama-sama kaum gerilya berpakaian tani, maka opsir pemimpin rombongan
Amerika berteriak memerintahkan “Semua orang dalam rumah mesti berdiri”. Yang
tiada bisa berdiri, ialah orang Lumpuh Luhur, Menteri Luar Negeri Republik
Filipina yang pertama, Mabini segera dikenal dan ditangkap.
Aguinaldo, Presiden Revolusi Filipina, pada masa itu (1901) baru berumur
lebih kurang 30 tahun, bersumpah kepada pemerintah Amerika tiada akan
mencampuri politik, selama bendera Amerika berkibar di Filipina. Dengan subsidi
yang besar setiap tahun, presiden pertama di Republik, yang pertama pula timbul
di Asia, sampai sekarang hidup dengan damai di tengah ribuan Veteran Revolusi,
yang oleh pemerintah Amerika diizinkan melakukan ulang tahunnya.
Mabini dengan ratusan teman seperjuangan yang tak mau bersumpah setia
kepada bendera Amerika dibuang ke pulau Guam, yang diamasa itu penuh wabah
penyakit dan meninggal di sana.
Dalam perundingan perdamaian di Paris antara wakil Filipina dengan
Amerika, Filipina terbelit oleh ular diplomasi dan terjual oleh Spanyol kepada
Amerika, Filipina dijadikan “American Protectorate” nama lain untuk status
penjajahan.
Demikianlah akhiran sedih tragis Republik pertama di seluruh Asia,
Afrika, yang didirikan oleh satu suku bangsa Indonesia di Pacific, yang
mengagumkan dan menggemparkan dunia pada akhir abad ke 19.
Rupanya masyarakat dan sejarah Filipina dimasa itu belum membenarkan
pembagian pekerjaan serta koordinasi seperti berikut: urusan organisasi
revolusioner di bawah pimpinan Bonifacio, urusan negara dan kemiliteran di
bawah pimpinan Presiden Aguinaldo, dan urusan luar negeri di bawah pimpinan
yuris revolusioner Mabini.
Revolusi nasional dan sosial Filipina berhasil kepalang tanggung,
Amerika menjadi “pelindung” dan tuan tanah terus merajalela.
Imperialis Amerika segera mengadakan perubahan di segala lapangan. Jose
Rizal ikut diperingati, dan programnya dijalankan. Bukan terutama karana baik
hati. Tetapi karena sesuai dengan kepentingan kapitalisme modern di Amerika,
dan juta karena Uncle Sam mengakui hebatnya tikaman bolo gerilya Filipina di
medan pertempuran.
Bermula Uncle Sam memerangi nyamuk anopheles yang bermaharajalela di
mana-mana. Kesehatan rakyat nyata menjadi bertambah maju. Kelahiran bayi
bertambah-tambah naik dari 6 juta di penghabisan abad yang lalu, sampai 16 (?)
juga dimasa ini. Pemerintah Spanyol memperhatikan perguruan lebih darpada
pemerintah Belanda. Ketika Spanyol meninggalkan Filipina, Santa Thomas,
Universitas Filipina sudah lama berdiri, sedangkan di seluruhnya Nederlandsch
Indie di masa itu buat “inlanders” cuma Inlandsche Kweekschool dan School tot
Opleideng voor Inlandsche Bestuurs ambtenaren-lah yang dianggap sebagai
perguruan tinggi. Walaupun begitu, ketika Uncle Sam melangkah masuk, buta huruf
di Filipina masih luas sekali. Amerika membasmi buta huruf itu dengan teratur
menurut rencana. Universitas bertambah menjadi lima, sekolah menengah tinggi
dan rendah serta sekolah teknik dan dagang, tak terhitung lagi banyaknya.
Standard hidup dipertinggi dengan menambah gaji kaum buruh. Buruh pikul di kota
Manila (Pelabuhan) bisa mendapatkan +- 3 peso (1 peso F. 0.85) sehari. Kaum
buruh dalam pabrik cerutu di kota Manila bisa mendapat 3 P sampai 6 Peso
sehari. Hampir di semua kota besar, sedang dan kecil, bahkan kebanyakan desa
kelihatan rumah sekolah, rumah sakit dan pabrik listrik yang modern. Banyak
sekali perusahaan gula, cerutu, abaka (rami) dan pelayaran antara pulau dengan
pulau yang berada di tangan bangsa Filipina sendiri. Keretapun kepunyaan bangsa
Filipina.
Pada tahun 1915 (?) Filipina
mendapat Majelis Perwakilan Rakyat Rendah dan tinggi. Tak ada seorang Amerika
di dalamnya. Hampir semua jabatan administrasi (departemen) dipegang oleh
bangsa Filipina. Seperti juga dalam perguruan, beginilah pula dalam badan
administrasi para pemimpin dan penasehat Amerika kian tahun dikurangi menurut rencana,
sedangkan pemimpin bangsa Filipina kian tahun kian bertambah. Boleh dikatakan,
rakyat Filipinalah yang memegang kekuasaan ke dalam. Menurut John’s Law,
Undang-Undangnya John, maka jika kelak di kemudian hari Rakyat Filipina sudah
sanggup mengadakan “stable government” pemerintah yang tetap teratur, maka
kemerdekaan penuh akan diberikan Amerika kepadanya.
Kemajuan yang memang nyata di dunia perguruan sosial pengadilan,
standard of living (keperluan hidup) serta politik, ekonomi dan kebudayaan
tiada boleh kita pandang indahnya saja. Revolusi 1898-1901 yang berakhir dengan
setengah kemenangan tak bisa melenyapkan semua penyakit. Sisa penyakit dibawah
Spanyol itu tetap merusakkan masyarakat Filipina sampai sekarang.
Kekuasaan tuan tanah yang besar
pada masa revolusi itu tiada menjadi kurang di bawah pimpinan Amerika. Di
beberapa daerah di pulau Luzon dan daerah Visaya, keadaan proletaria tanah
sangat menyedihkan. Pertentangan antara tuan-tuan tanah dan tani melarat di
daerah tersebut tiada hilang. Tambahan gaji di masa imperialisme Amerika
dibarengi oleh melambungnya harga barang keperluan sehari-hari. Majelis Tinggi
dan Rendah Filipina yang sebagian besar terdiri dari wakil tuan tanah dan kaum
borjuis tiadalah ingin dan atau tiadalah berdaya untuk menjernihkan kekeruhan
disana. Buruh dan tani belum sanggup merebut kursi yang cukup dalam ke dua
Badan Perwakilan itu, seperti di Amerika sendiri, demokrasi Filipina hanya
berlaku buat kaum hartawan.
Sedangkan ke dalam rakyat Filipina memang ada berkuasa, keluar mereka
tiada berkuasa. Terusan keluar negeri, seperti perdagangan, diplomasi,
pertahanan, imigrasi dan keuangan, sama sekali di bawah kekuasaan Amerika,
dengan pimpinan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Manila. Sistem
kapitalisme yang diluarnya berupa liberal itu mengakibatkan mengalirnya hasil
perusahaan di Filipina ke pasar Amerika yang memang terbuka untuknya, baik yang
ditangan bangsa Filipina sendiri, bangsa Tionghoa atau Amerika, seperti:
tembakau, gula dan abaka. Barang dagangan tersebut memang bisa bersaing dengan
barang hasil perusahaan Amerika sendiri, sebab buruh Filipina lebih murah dari
buruh Amerika, baik yang di Amerika sendiri maupun yang di Cuba atau Hawai.
Tetapi barang-barang dagangan Filipina akan bersaing dengan barang yang berasal
dari Indonesia, umpamanya di pasar Tiongkok. Gaji buruh Filipina dipukul rata
lebih tinggi dari gaji buruh Indonesia, sehingga harga pokok (ongkos) gula,
tembakau, dan rami Filipina lebih besar daripada ongkos barang tersebut yang
datang dari Indonesia. Sebab itulah barang hasil Filipina terikat kepada pasar
Amerika yang duanenya terbuka buat barang hasil dari daerah perlindungannya,
Filipina dan menimpakan bea cukai yang tinggi atas barang dagangan dari negeri
yang bukan di bawah perlindungan Amerika. Sebagai akibat terikatnya barang
hasil Filipina kepada pasar Amerika, maka buat perimbangan dagang (balance of
trade) pasar Filipina terikat pula menerima hasil pabri Amerika buat keperluan
Filipina, seperti: mesin, auto, barang obat-obatan dan listrik. Sebagai akibat
dari ikat mengikat tadi, maka pertama kali bank dan transport Amerika
memonopoli atas hasil Filipina yang dikirim ke pasar Amerika. Dan sebaliknya
bank dan perkapalan, Amerika mendapat monopoli pula atas asuransi dan pengangkutan barang pabrik dari Amerika ke
Filipina. Demikianlah perdagangan (export dan import) bangsa Filipina
dimonopoli oleh saudagar dan bankir Amerika. Kedua, sebagai akibat perimbangan
dagang yang mengikat Filipina membeli mesin, obat-obatan dan mesin listrik
Amerika, maka perindustrian mesin, kimia dan listrik tersebut tak bisa timbul
atau tumbuh di Filipina. Walaupun kabarnya bahan besi di Filipina lebih banyak
daripada yang terdapat di Tiongkok atau Hindustan, dan kualitasnya serta logam
campurannya (nickel, gronium, bauxite, aluminium dan lain-lain) banyak yang
baik pula, tetapi perindustrian berat di Filipina belum juga muncul.
Peridustrian besar Filipina mati pucuk, tak sampai jadi perindustrian baja dan
mesin. Universitas Filipina cuma sanggup mencetak ribuan lawyers, abocado, yang
sampai terpaksa menjadi kucero alias kusir andong, karena melimpah banyaknya
abocado itu. ketiga, ikatan ekonomi yang dikenakan oleh Uncle Sam dalam tempo
yang kurang dari setengah abad itu akhirnya menyebabkan “kemerdekaan politik”
yang diperolehnya sebagai “goodwill”
dari Amerika itu adalah kemerdekaan hampa, yang oleh Amerika diisi dengan uang
pinjaman dan benteng buat bom atom, katanya buat menjamin kemerdekaan Filipina
itu.
Tangan besi imperialis Spanyol membentuk watak waja seperti terdapat
pada Rizal, Mabini, yang sanggup menghancur leburkan imperialis Spanyol itu
lahir batin.
Tangan karet imperialisme Amerika membentuk pemimpin yang berwatak
sedemikian rupa, sehingga walaupun seandainya dilemparkan oleh pembentuknya,
segera akan terbang kembali melekat ke tangan Amerika itu. Filipina yang pada
tahun 1946 itu diproklamirkan kemerdekaannya oleh Amerika, terpaksa pula
menerima bantuan uang dan bom atom Amerika, sekejap saja setelah ia merdeka.
Gambaran di atas adalah bayangan kabar dari kesan pengalaman lebih
kurang 20 tahun yang lampau. Ketika itu saya beruntung mendapatkan keterangan
dari semua golongan tua dan muda. Tetapi tentulah gambaran itu belum mendapat
“finishing touch”. Masih banyak kekurangan, dan masih perlu diperbaiki disana-sini.
Terserah kepada ahli sejarah di belakang hari yang lebih banyak mempunyai
kesempatan dan paham yang pertama.
Lupa saja menyebutkan dorongan yang pertama kali menyuruh saja pergi ke
Filipina, ialah hawa Filipina untuk mengembalikan kekuatan saja yang sangat
terganggu. Akibatnya, pertolongan dokter dan hawa yang cocok, maka lambat laun
sebagian kesehatan itu dapat kembali. Tetapi panggilan pergerakan di Indonesia
Selatan menyebabkan saya terpaksa juga memotong usaha mengembalikan kesehatan
itu semua.
Mulanya saya berniat hendak menuliskan hitam diatas putih, apa yang
sesungguhnya memaksa saya pergi ke Singapore, walaupun sebenarnya kesehatan
saya masih terganggu. Tetapi karena adanya fitnah di kiri kanan yang dibisikan
di sana sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantaranya
saudara Alimin, maka saya terpaksa pula menambah sedikit (?) keterangan yang
sudah-sudah. Sepertinya selama ini saya cuma akan membela diri saja. Tiap-tiap
orang, walaupun dari dalam penjarapun, saya anggap berhak dan harus membantah
fitnah. Kata dijawab, gayung disambut, kata pepatah. Berhubung dengan sikap
ini, saya harap tiada akan melampaui maksud saya diatas, ialah sekedarnya
menambah keterangan buat semata-mata membela diri dan menangkis fitnah serta kebohongan
dibelakang saya.
Setelah beberapa bulan berada di Manila, saya menerima surat dari
saudara Alimin. Dia meminta pertolongan buat menjalankan keinginan hidup
bersama saya di Filipina dan menambah pengetahuannya. Dia merasa akan ditangkap
oleh pemerintah Belanda. Sayapun senang hidup bersama-sama saudara Alimin.
Sudah dua kali dia berjumpa dengan saya semenjak saya dibuang ke luar negeri.
Saya senang menjumpai dia ketiga kalinya, karena saya tahu, bahwa saudara
Alimin pandai bergaul, penggembira dan banyak mempunyai pengalaman dalam
pergerakan (Serikat Islam). Dengan para teman di Filipina hal ini saya
bicarakan, supaya bisa mendapatkan tempat dan kesempatan secara rahasia.
Maklumlah, saya sendiri hidup di Filipina secara ilegal, dan sewaktu-waktu mungkin
pula ditangkap.
Pendeknya, akhirnya dia sampai ke Filipina dengan selamat, dan bisa
menumpang pada teman-teman saya. Sesudah beberapa waktu datanglah surat yang
pertama dari Singapore yang bermaksud memanggil saya kembali untuk membantu
mencari alat berhubung dengan putusan Prambanan.
Putusan itu saya anggap salah:
1. Diambil tergesa-gesa, kurang
dipertimbangkan
2. Cuma akibat provokasi lawan dan
tidak seimbang dengan kekuatan sendiri.
3. Tak bisa dipertanggungjawabkan
kepada rakyat dan komintern.
4. Tidak cocok dengan taktik strategy
komunis, ialah massa aksi.
5. Akibatnya akan sangat banyak
merugikan pergerakan di Indonesia dan lain-lain sebagainya.
Surat itu saya perlihatkan kepada saudara Alimin dengan pertanyaan:
benarkan rakyat sudah siap sedia? Dijawabnya: paling banyak cuma rakyat Bekasi
yang akan keluar (menyerbu). Memangnya begitu! Saudara Alimin sendiri baru saja
menyaksikan kemelesetan pemogokan Semarang yang cuma terbatas kepada buruh
percetakan, prauwenveer Semarang dan para juru rawat Semarang, sebentar menjalar
kepada perusahaan besi di Surabaya, tetapi cuma sebentar! Buruh dan tani gula
(lebih kurang ½ juta), perkebunan teh, kopi, kina, getah, serat dan sebagainya,
tambang arang, cement, timah, minyak tanah dan sebagainya, kereta api, kapal,
tram, auto dan lain-lain.......Semuanya masih belum tersusun, masih dingin
sunyi senyap.....dipandang dari sudut organisasi, disiplin dan politik belum
berarti apa-apa!
Dari Manila saya usulkan supaya putusan Prambanan dirundingkan kembali
di Singapore dengan para wakil yang lebih lengkap. Ini hal saya rasa perlu juga
berhubung dengan tanggung jawab saya sendiri terhadap Komintern. Kalau putusan
itu kelak memang dibenarkan juga, saya sudah melakukan kewajiban saya. Sebagai
seksi komintern, sebenarnya PKI tak bisa mengabaikan usul saya begitu saja.
Singapore rupanya kurang mengerti
dan sekali dua kali surat dikirimkan kepada saya meminta datang. Akhirnya,
dalam gedungnya buruh percetakan di Manila, saudara Alimin mengusulkan kepada
saya, supaya dia sendiri diizinkan pergi ke Singapore buat mengadakan persiapan
untuk perundingan yang dimaksud diatas. Dia percaya akan sanggup memanggil para
teman yang berkewajiban, sementara saya meneruskan berobat. Kalau para teman
sudah siap sedia, dia akan memberi kabar dari Singapore meminta saya datang.
Kami aturlah code bersama-sama! Kalau setuju dengan usul saya apa
codenya, kalau tidak apa, dan kalau setengah apa pula. Dan lagi dengan pendek
saya tuliskan tinjauan saya atas keadaan Indonesia, dan saya usulkan taktik
strategi yang harus dijalankan. Semuanya code tinjauan dan usul, ditik oleh
Saudara Alimin sendiri.
Tinjauan itu adalah cocok dengan apa yang sudah saya tuliskan dalam
thesis, ringkasnya:
1. Partai belum terdisiplin
2. Buruh tani belum cukup tersusun
3. Rakyat dan partai yang lain-lain
(Budi Utomo, NIP, Serikat Islam, Perserikatan Minahasa dan lain-lain) belum
terikat oleh PKI.
4. Dunia imperialisme disekitar
Indonesia (Inggris, Perancis dan Amerika) masih kuat dan bersatu...dan
lain-lain.
Usul saya cocok pula dengan yang dua tahun yang lebih dahulu (1923) saya
tulis dalam “Naar de Republik Indonesia”, cocok dengan “Semangat Muda” yang
baru ditulis dengan “Massa Aksi” yang tergopoh-gopoh ditulis dan dicetak di
Singapore.
Ringkasnya usul itu dengan massa aksi menulis Indonesia Merdeka.
Jalannya massa aksi, jika semua syarat sudah ada, kira-kiranya seperti berikut:
1. Mogok umum dengan tuntutan ekonomi
2. Mogok demonstrasi dengan tuntutan
ekonomi dan politik
3. Mogok umum dan demonstrasi
bersenjata untuk kemungkinan melawan provokasi
4. Mogok umum dan demonstrasi menuntut
pemindahan kekusaan
5. Mengadakan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (National Assembly)
6. Memproklamirkan kemerdekaan dan
membentuk pemerintahan sementara.
7. Membentuk Undang-Undang Dasar.
8. Mengesahkan pemerintah, mengesahkan
atau merubah Undang-Undang Dasar tadi dan menentukan garis-garis besarnya dalam
politik.
9. Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
untuk membuat undang-undang (jalannya dalam praktek tentu saja bisa sedikit
berlainan)
Dari tingkat mogok umum sampai ke Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
bermacam-macam tuntutan dan aksi yang harus dijalankan. Baru setelah nyata
bahwa tiap-tiap tuntutan rakyat diatasi oleh massa (murba), barulah pukulan
terakhir dijalankan.
Bukankah semuanya ini membutuhkan partai yang ulung, berdisiplin, mempunyai
cukup banyak dan sifat (quantity dan quality) anggotanya buat memberikan
pimpinan kepada 70 juta rakyat yang tersebar di ratusan pulau yang akan
ditentang oleh tiga imperialisme terbesar di sekitarnya?
Bukankah buat mogok umum saja buruh tani Indonesia pada tahun 1926 belum
lagi siap? Berapakah para pemimpin PKI pada tahun 1926 yang menginsyafi
betul-betul arti tuntutan dan program pada tiap-tiap perjuangan sesuatu partai
proletar itu?
Tentulah pada tahun 1926 pun, bahkan pada tahun 1917 saya sudah siap
menyambut revolusi Indonesia! Tetapi apakah rakyat dan proletar Indonesia sudah
pula siap? Yang dibelakang inilah perkara yang penting. Kalau belum siap, tak
ada lain jalan buat seseorang pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada
rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi.
Kalau tiada bisa dengan jalan terbuka, maka harus dijalankan dengan jalan
tertutup. Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara massa aksilah yang harus
dilakukan oleh sesuatu PARTAI KOMUNIS.
Kalau ada partai lain dan anggota partai lain yang mempunyai jalan lain
tentulah saya tiada keberatan. Tetapi buat saya, yang merasa bertanggung jawab
kepada PKI. Rakyat Indonesia, dan Organisasi Internasional, tak bisa menyetujui
putusan Prambanan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947,
tidak! Sekarangpun saya tidak akan menyimpang daripada apa yang sudah saya
uraikan dalam semua, sebelum buku tersebut diatas, yang buat sementara
berunding di Singapore, saya memasukkan sarinya ke dalam tinjauan, dan usul
yang disetujui, ditik dan dibawa oleh saudara Alimin pada permulaan tahun 1926
dari Manila ke Singapore.
Sampai lebih sebulan lamanya saya menunggu di Manila, menunggu kawat
yang akan dikirimkan oleh Alimin sebagai hasil usahanya tadi. Jangankan kawat,
suratpun tak datang! Baru saya sangsi, apakah usul saya disampaikan. Barulah
saya kirimkan laporan ke Komintern tentang putusan Prambanan beserta sikap saya
tantangan itu. Dari pihak yang dipercaya saya dibelakangnya mendapat kabar,
bahwa sikap saya dibenarkan seluruhnya. Program yang diusulkan dibelakang oleh
Komintern kepada PKI berhubungan dengan putusan Prambanan itu, tiadalah bedanya
dengan paham saya.
Baru setelah hampir dua bulan saya berpisah dengan saudara Alimin, saya
mendapat surat yang pertama. Di dalamnya dikabarkan, bahwa perundingan tiada
dapat dijalankan di Singapore. Dia berangkat akan ikut pergi ke
Moskow.........Kalau ada uang. Dia tidak bisa menulis lebih lanjut, karena ada
teman (belum perlu saya sebut), yang selalu ada di sampingnya. Saudara Alimin
rupanya tak percaya kepada teman itu. Baru saya insyaf akan kejujuran saudara
Alimin terhadap saya sendiri, selama ini. Teman yang selama ini saya anggap
jujur terhadap saya, dan amat saya hargai selama ini, hilang di hati saya
sebagai teman seperjuangan. Kalau dia bersikap tiada percaya mempercayai
terhadap teman hidupnya di Singapore seperti tersebut diatas, teritimewa pula
terhadap diri saya yang baru setahun dia kenal. Apalagi kalau saya ingat
sikapnya Alimin terhadap bekas pemimpinnya Cokroaminoto dalam proses Afdeeling
B.
Semenjak peristiwa tersebut, maka sebagai teman untuk bergembira, pun
sebagai teman pergaulan saudara Alimin masih saya hargai, tetapi sebagai teman
seperjuangan sudah saya sangsikan kejujurannya. Benar pula di Singapore di
belakang hari sesampai saya di sana, saudara Subakat mendapat surat tertutup
yang tak pernah dibuka. Didalamnya tinggal tersimpan tinjauan dan usul saya.
Almarhum Subakat dan almarhum Sugono tak mendengar tinjauan dan usul saya yang
dibawa oleh Alimin itu. Alimin sudah pergi meninggalkan Singapore! Kata
almarhum Sugono, ketua Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) dimasa itu kepada
almarhum Subakat, VSTP sendiri buat mogok umum saja belum siap. Apalagi dua
tiga juta buruh pabrik, tambang dan kebun yang sama sekali belum diorganisir
itu! jadi kalau almarhum Subakat dan Sugono, keduanya bersama Semauan, Darsono
termasuk golongan pemimpin komunis lama (Alimin baru masuk PKI) membaca
pemandangan dan usul saya, pasti mereka akan menyetujui!
Sekianlah sementara uraian sikap saudara Alimin terhadap saya dalam masa
partai terancam. Kepada saudara Alimin yang dalam ANALYSIS-nya tentang diri
saya menyebut-nyebut perkara “mengakui kelemahan” saya bertanya: Bisakah
sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur
satu sama lainnya?
Seperti saya sebut lebih dahulu, kepentingan pergerakan di Indonesia,
berhubung dengan sikap Alimin terhadap sayalah, maka saya terpaksa menuju ke
Singapore tergopoh-gopoh....!
Saya terpaksa berangkat dengan setengah kesehatan, dan juga berhubung
dengan kesehatan pula memerlukan satu barang yang bukan sekali dua kali saya
perlukan dimasa perantauan. Hal ini dahulu adalah satu rahasia. Tetapi dengan
hilangnya kantor Gubernur Jenderal Amerika di Filipina, dan jatuhnya kantor itu
ditangan Filipina, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Tegasnya saya
sangat membutuhkan pasport, tetapi “a good false passport”, pasport palsu yang
baik “Good”, karena kertasnya memang baik dan capnya tulen “False” karena
pemegangnya bukan orang Filipina. Apa boleh buat! Berlawanan dengan
imperialisme yang tiada berdasarkan kejujuran, tiada bisa selalu dijalankan
kejujuran, terutama pula pada masa hendak meruntuhkan imperialisme itu.
Tiada mudah mendapatkan pasport dikantor Gubernur Jenderal itu sendiri.
Memerlukan banyak saksi, banyak jaminan banyak ujian dan banyak muslihat.
Tetapi dapat juga sesudah pegawai tinggi Filipina sendiri mesti memberikan
jaminan.
Demikianlah akhirnya satu kapal Jerman berlabuh di Singapore, pada
permulaan tahun 1926, membawa penumpang bernama Hasan Gozali, berasal dari
Mindano di Filipina. Malangnya, atau lucunya pula, orang Inggris penyelidik
pemegang pasport dengan pembantunya seorang Melayu ialah orang Inggris dan
pembantunya itu pula yang belum selang beberapa lama menyelidiki pemegang surat
diploma bernama Estahislau Rivera. Hasan Gozali dan Estahislau Rivera, adalah
satu orang itu juga. Bersamaan orangnya tetapi perbedaan namanya, rupanya tidak
membangkitkan perhatian penyelidik Inggris dan pembantunya Melayu tadi. Bukan
dua kali itu saja hal itu melewati perhatian pemeriksaan pasport itu.
Memangnya, peraturan “pasport pasporten” itu mengandung banyak kelemahan. Buat
orang yang sabar, tak lepas putus asa atau terkejut, peraturan pasport itu
bukanlah halangan yang mustahil bisa diterpbos.
Bagaimana juga, Hasan Gozali ialah penulis ini, selamat sampai ditempat
yang dituju.
TANGKAP BUANG II
Satu gambaran dari seniman yang
terulung sekalipun, kalau dekat tempat kita sendiri, maka adalah tiadalah nyata
rupa dan maksudnya. Yang kelihatan cuma garis silang siur bersama kelompokan
aneka warna. Setelah agak jauh kita berdiri barulah perang rupa, jarak serta
maksud gambaran itu.
Pun sejarah yang dilakonkan oleh
manusia itu rupanya banyak mengandung perasaan dengan gambaran buah tangan
seorang seniman tadi. Tatkala berada dalam
lakon sejarah itu sendiri kita terombang-ambing oleh pelbagai tujuan bermacam-macam
golongan partai dan pemimpinnya. Susah memandang garis besar yang akan memberi
kata akhir dalam perjuangan itu. Setelah agak maju kita ke depan, dan cukup
jauhnya, kita bisa memandang ke belakang, barulah kita bisa mengenal badan dan
jiwanya sejarah yang kita lampaui tadi.
Beberapa catatan yang akan
memperbandingkan suasana tahun 1926-1927 dengan tahun 1946-1947 ini
mudah-mudahan akan memberi penjelasan kepada mereka yang ingin memandang
sesuatu kejadian dari semua penjuru. Dua puluh tahun diwaktu damai tidaklah
beberapa banyak menimbulkan perbedaan pada masyarakat kita. Tetapi dua puluh
tahun waktu memperkenalkan perang dunia kedua dan revolusi kepada masyarakat
Indonesia nyatalah sudah sanggup memperlihatkan perbedaan dua suasana tersebut.
Sedangkan pada tahun 1926-1927
dengan tahun 1946-1947 kita berada di tengah-tengah Hochkonjunktur, maka pada
tahun 1946-1947 ini kita berada dalam belitan blokade Belanda, di tengah-tengah
krisis ekonomi dunia yang sehebat-hebatnya semenjak dunia berkembang.
Sedangkan pabrik, bengkel, kebun,
alat pengangkutan serta mesin-mesinnya, genap pada tahun 1926-1927, maka pada
tahun 1946-1947 ini sebagian besar pabrik gula lenyap atau rusak, banyak sekali
ladang dijadikan kebun atau binasa, dan boleh dikatakan hampir semuanya mesin
yang baik sudah rusak, luntur atau habis diangkat oleh Jepang ke negerinya.
Sedangkan tenaga tehnik ahli yang
kuat, kasar sedang melimpah pada tahun 1926-1927, maka pada pendudukan Jepang
1942-1945, semua tenaga tersebut sangat menderita kemusnahan atau kerusakan.
Mungkin tak salah taksiran, bahwa di masa pendudukan Jepang 4 atau 5 juta
tenaga buruh dan tani juga lenyap atau binasa.
Syahdan maka tiap-tiap suasana
pertentangan, dimana ada kebaikan buat satu golongan itu sendiri, dipandang
dari sudut penjuru disanalah adalah keburukan buat golongan itu sendiri,
dipandang dari penjuru lain. Dan sebaliknya.
Di masa Hochkonjuktur (1926-1927)
rakyat agak mudah mencari rezeki, buruh agak mudah mencari pekerjaan, sebagian
pemuda mendapat kesempatan untuk mempelajari “Holandsch spreken” dan menduduki
kursi empuk sebagai juru tulis. Di samping itu banyak pula diadakan pelengah
hidup seperti bioskop, sepak bola dansa dan hula-hula.
Di masa “saudara tua” dari “Asia
Timur Raya” rakyat dirampoki padi dan ternaknya. Buruh tani diculik dan
dipekerjakan dalam panas dan hujan, membikin jalan, lapangan terbang dan
benteng buat Jepang, dikasih makan jagung atau nasi 200 gram seorang sehari,
diberi bangsal buat tempat tidur, goni (kalau ada) buat pakaian, dipukul, dijemur
dan dibenamkan di dalam air, kalau katanya malas. Pemuda diajarkan “Nippon go”
membungkuk ke Tokyo dan masuk barisan Keibodan, Seinedan, Suisintai, Heiho dan
Peta. Pemudi dilatih menjadi pelajar. Seluruhnya bangsa Indonesia dianggap
sebagai genjumin bagero.
Sedangkan di masa Hochkonjunktur
(1926-1927), Rakyat Indonesia umumnya berada dalam keadaan lesu, kurang
bersemangat, memandang bangsa kulit putih sebagai mahluk yang lebih tinggi,
dari diri sendiri; sebagai mahluk yang rendah, di masa “genjumin” bagero
(1942-1945) Rakyat Indonesia isyaf benar akan rampokan terang-terangan atas
tanah, tenaga harta benda serta gadisnya, insyaf akan harga kebangsaan dan
warna kulitnya, insyaf akan hak mutlak dan kekuatannya yang tersembunyi.
Disampin keinsyafan bahwa mereka mesti melenyapkan imperialisme Jepang untuk
menimbulkan suatu negara yang merdeka. Rakyat pemuda Indonesia, berbeda dengan
dimasa imperialisme Belanda, mendapat latih militer sehebat-hebatnya yang
membangunkan, keberanian dan kecakapan berjuang sekonyong-konyong meluap.
Zonder latihan militer latihan pada
tahun 1942-1945 itu, maka seperti di masa Belanda, satu biji pompa air saja
mungkin pula bisa membubarkan demonstrasi, atau letusan bedil saja bisa
mengacau-balaukan gerombolan yang tadinya berniat atau bersumpah sakti mau
berjuang mati-matian.
Hasil akhir dari penderitaan yang
luar biasa selama pendudukan Jepang, keinsyafan akan perlunya satu negara
sendiri yang merdeka, buat mengatur kehidupan sendiri serta disamping latihan
militer yang memang paling ulung, maka rakyat Jakarta dibawah pimpinan Menteng
31, pada 19 September 1945, dengan golok dan bambu runcing saja menentang
pemerintahan Jepang yang melarang berdemonstrasi dan mengancam dengan mitraliur
serta tanknya yang berjejer....pada bulan September 1945, seluruh rakyat
Surabaya dibawah pimpinan pemudanya, dengan bambu runcing menentang kekuatan
Belanda Jepang dan land air force and all modern weapon of war” dari
kerajaan Inggris....Rakyat Pemuda Jawa Tengah merebut senjata Jepang di
Yogyakarta Solo, serta menghalaukan tentara Inggris, tentara menang dari
Magelang ke Semarang.....Rakyat Pemuda Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan
lain-lain mengikuti jejak saudaranya di Jawa dengan tak kurang
hebatnya.....bahkan di Deli, buruh dan tani mengambil tindakan cepat, tepat,
dahsyat menghancurkan kapitalisme-imperialisme serta kaki tangannya yakni
feodalisme.
Dorongan merebut kemerdekaan ini
bukan ditiup dari luar melainkan timbul dari masyarakat Indonesia sendiri.
Rakyat pemuda Indonesia menentang tentara Jepang, Inggris, Belanda, bukan
berarti tamat kursus ini atau itu, bukan karena ingin meniru-niru pemberontakan
di luar negeri ini atau itu, melainkan sebagai hasil faktor-faktor dari
bermacam-macam faktor yang ada dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, dasar
tujuan hidup sendiri, kepercayaan atas diri sendiri dan senjata sendiri (bambu
runcing) dalam suasana hidup sendiri. Mengharapkan pertolongan luar negeri
boleh dikata tidak ada pada Rakyat Pemuda ketika menghadapi mitralyur, meriam
tank dan kapal terbang di Jakarta, Surabaya, Magelang, Padang, Medan dan
lain-lain tempat itu. Pun belum pernah revolusi yang sebenarnya tergantung pada
tiupan janji atau pertolongan dari luar! Juga tidak sebagai hasilnya
diperhitungkan kakek-nenek yang hemat-cermat, yang takut mengandung resiko,
meskipun sekecil-kecilnya!
Proklamasi Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, adalah hasil dari beberapa faktor yang terdapat, terutama suasana
pada tahun 1942-1945 sendiri, yang seperti bumi dengan langit jika dibandingkan
pada tahun 1926-1927......Salah satu dari beberapa faktor itu tentulah pula hasil (tak langsung) dari
pendidikan selama 40 tahun lampau!
Lebih setahun saya berada di
sekitarnya kejadian 1926-1927, menunggu arah ke mana dan sampai ke mana
perginya gerakan rakyat dengan persediaan saya untuk memasuki gelanggang, kalau
memang beberapa syarat revolusi yang sebenarnya sudah nyata. Salah satu dari
syarat yang sebenarnya itu tentulah tuntutan politik dan ekonomi yang nyata
daripada rakyat dengan tak mengenal mundur, seperti tak kurangnya pada tahun
1945 sampai sekarang (1947) ini. Baru sesudah saya usulkan dan perjuangan
beberapa tindakan yang saya rasa wajib saya tanggung jawabkan kepada rakyat
Indonesia, Partai dan organisasi Internasional (yang tentulah menghendaki
tanggung jawab pada tiap-tiap anggota) baru sesudah gerakan 1926-1927 hancur,
dan hubungan terputus baru sesudah anjing dan pemburu imperialisme sudah
teramat dekat saya berangkat menuju kembali ke Filipina, pula buat kesehatan.
Sekaranglah, sesudah dua puluh
tahun, nyata hasilnya tindakan kami bertiga di Bangkok, pada pertengahan tahun
1927! Yang ingin melihat kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh Indonesia dalam
keadaan serba sulit. Kami merasa, bahwa kelanjutan gerakan rakyat dan Buruh
Indonesia sebaiknyalah didasarkan pertama atas kepercayaan kekuatan diri
sendiri; kedua dengan cara berpisah tapi sejajar dengan gerakan proletaria di
seluruh dunia, getrennt marchieren. Vereint schlsgen. (Berpisah mengerahkan dan
serempak menggempur). Menurut penglihatan kami, maka sifat dan bentuk keadaan
serta pejuangan 1945-1947 banyak sekali membenarkan sikap tersebut. Cuma belum
lagi sampai saatnya buat memberi keterangan yang lebih jelas tentang bagiannya
PARI semenjak berdirinya (Juli 1927) sampai sekarang (Juli 1947).
Hidup setahun sebagai orang buruan,
sama dengan hidup damai entah berapa tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah
menjadi koresponden di Selatan. Bahannya seorang wartawan berita yang baru
hangat. Tetapi setelah warta berita menjadi sepi dingin, dan keluarga
seperjuangan disampingnya bertambah besar, maka terpaksa pula saya mencari
pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan hasil untuk hidup bersama. Belum
lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma import Jerman, terpaksa pula
melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh 1001 macam sebab dan soal.
Dalam semua keadaan tersebut,
alangkah pentingnya suatu pasport yang palsu baik, alangkah pentingnya suatu
pasport yang palsu baik. Akhirnya yang bukan Filipino mempunyai hak American
Citizen, dan mempunyai pasport tulen, bersama-sama seorang Filipino tulen,
tetapi tak mempunyai pasport, berangkat meninggalkan Siam menuju Manila. Kami
satu sama lainnya butuh membutuhkan. Menyelundupi daun membutuhkan pelbagai
akal dan ragam. Setelah lebih kurang tiga minggu di perjalanan, bilamana
sebagian besar waktu berada diatas dek, tersempit diantara ratusan penumpang
Tionghoa yang pulang, sampailah kami di Manila pada permulaan Agustus 1927.
Syukurlah para pegawai duane tak memperhatikan persamaan orangnya tetapi perbedaan
namanya orang itu juga, ialah lampau bernama Elias Fuentes, sekarang dengan
Hassan Gozali.
Saya terus menuju ke Manila
University. Kebetulan sahabat saya Dr. Mariano Santos sedang bercakap-cakap
dengan kakaknya Direktur, ialah Apollinario de Los Santos. Orang Filipina biasa
juga tegas, cepat, tepat. “Tuan” kata Dr. Apollinario “deserves our support”
patut mendapat bantuan kami. Inilah kamar dalam asrama sekolah Tinggi buat
tuan. Makanan dan lain-lain kamilah yang menanggung selama tuan ingin berada di
Filipina.
Kaum muda Filipina tahu artinya
berjuang buat kemerdekaan. Perkataan lelah atau lemah tiadalah cukup untuk
menggambarkan keadaan diri saya dimasa itu. Baru sesudah bangun tidur, esoknya
jauh tengah hari, saya insyaf bahwa selekas mungkin harus mencari dokter lagi.
Tetapi tiadalah dibenarkan oleh apa yang sering kita sebut nasib istilah yang
saya pakai disini sebab kekurangan kata lain.
Pada suatu malam, maka kedua kalinya
saya pergi menjumpai pemimpin surat kabar El Debate, Francisco Varona. Banyak juga tulisan saya dimuat dalam surat
kabar tersebut. Pada malam pertama Francisco Varona mengantarkan saya ke
asrama. Tetapi pada malam kedua saya tolak diantarkan oleh wakil pemimpin,
bilamana Varona tak ada.
Setelah saya turun dari rumah dan
sampai keluar, maka seorang berpakaian preman bertanya kepada saya: “Apakah
tuan bernama Fuentes?” Saya jawab: “Ya, betul”. Sekonyong-konyong dari
kiri-kanan saya diserbu dan digeledah kalau-kalau saya bersenjata. Segera saya
disuruh masuk auto yang berdekatan, disuruh duduk diantara dua orang, rupanya
orang Konstabulari (pel polisi).
Baru saya insyaf akan apa yang
terjadi. Dengan tak bertangguh lagi saya berkata: “Tuan ini salah tangkap!
Kemerdekaan buat negeri saya itu, juga akan mengandung bahagia buat negeri tuan
sendiri....”
Dia gugup dan tutup telinga sambil
berkata: “Janganlah tuan berbicara terus”.
Sebentar saja berjalan lalu auto
berhenti di depan kantor polisi. Di sini sudah menunggu P.I.D Nevins, orang
Amerika dan kolonel Ramos, seorang Mestiza, Indo Spanyol.
Penangkap saya tadi kapten Quimbo,
Filipino, memperkenalkan saya dengan perkataan: “Inilah tuan Tan Malaka”. Dia
seorang gentelman. Saya harap tuan-tuan akan melayani dia sebagai gentelman.
Kapten Quimbo pergi! Kami tinggal
bertiga, jam 12. Saya sungguh dimitraliyuri dari kiri-kanan dengan pertanyaan.
Belum lagi selesai yang satu bertanya, yang kedua sudah mulai bertanya pula.
Tiap-tiap pertanyaan mereka bermaksud mencari lobang buat digali untuk
mendapatkan keterangan yang mereka kehendaki. Itulah satu pemeriksaan yang
dinamakan “cross examination”. Detective Nevins tadi kabarnya ulung sekali
dalam menjalankan pemeriksaan ala Amerika itu. saya ambil sikap defensief,
sikap pembelaan. Alasan pertama ialah karena kepada saya tak dimajukan lebih
dahulu pelanggaran apa yang sudah saya lakukan. Kedua, karena saya tidak tahu,
apakah mereka kira saya tinggal di Manila terus menerus dari pertengahan tahun
1925 sampai Agustus 1927 itu, ataukah mereka tahu, bahwa saya keluar setahun
lebih dan baru kembali dari Indonesia Selatan. Ketiga, apakah mereka
mencium-cium adanya pasport atas nama Hasan Gozali yang diperoleh pada kantor
Gubernur Jenderal Amerika itu.
Berhubungan dengan alasan kedua,
maka jika mereka tahu bahwa saya keluar Filipina, maka perkara masuk yang kedua
kalinya akan menimbulkan pertanyaan banyak pula. Tetapi kalau sebaliknya mereka
sangka, bahwa saya terus menerus tinggal di Manila, maka saya harus memberikan
keterangan lengkap tentang sejarah selama dua tahun saja tinggal di Manila
(rumah-rumah, dan lain-lain). Dan menghadapi seribu satu persoalan lain-lain
lagi.
Berhubung dengan alasan ketiga maka kalau
diketahu bahwa saya memakai “a good false American Passport”, maka beratlah
hukuman penjara yang bukan saya saja harus menghadapi, tetapi juga beberapa
orang terkemuka yang memberi bantuan kepada saya. Tanggung jawab terhadap pada
teman bersimpati-pun menurut pikiran saya harus dipelihara kalau diri kita
sendiri terlibat dalam sesuatu perkara!!
Syahdan dan cara “offensief”
(menyerang) mereka berganti-ganti menjatuhkan “pukulan” atas diri saya sambil
mencari bagian yang lemah. Maka sebaliknya dengan cara “defensief”,
mempertahankan, saya mengelakkan “pukulan” mereka sambil mencari lobang yang
lemah di kalangan mereka sendiri.
Akhirnya saya mendapat tahu bahwa
mereka sangka saya tinggal terus-menerus dua tahun di Filipina. Itulah pula
maka tadinya sebelum ditangkap ditanyai apakah saya bernama Fuentes, orang
melarat dan tak banyak mempunyai teman, hidup luntang-lantung, sering tidur di
kantornya surat kabar El Debate. Sikap ini diperkokoh pula oleh hasil
pemeriksaan dalam dompet saya yang terdapat cuma beberapa sen saja.
Tanya jawab diteruskan sampai pagi.
Yang sering tergelincir dalam pertempuran soal jawab itu bukannya saya.
Acapkali muka mereka yang mulanya berseri-seri, karena sudah merasa mendapat
“jejak”, tetapi setelah pertanyaan dilanjutkan nyatalah pula bahwa “jejak” itu
menyesatkan dan menggelincirkan. Sering mereka kecewa, tetapi sering pula
tertawa. Memang seorang detective yang mencinta pekerjaannya, meski juga
gembira menjumpakan lawan yang sedikit bisa memberi perlawanan atau memukul
kembali. Sikap “sportief” itu seharusnya jangan berlaku di lapangan olah raga
saja.
Nyatalah bagi saya, bahwa dari
“Batavia” ada “signal” dikirim dan “Batavia” tentulah menghendaki supaya
dikembalikan. Tetapi yang pula amat menarik perhatian para detective, ialah
mengetahui apakah ada atau berapakah besarnya bagian yang saya ambil dalam
keributan di Visapaya pada waktu itu. Disana timbul pemogokan kaum buruh gula
yang disertai oleh peletusan bom. Kebetulan pula Senator (wakil Majelis Tinggi)
yang juga salah seorang pemimpin El Debate, adalah sahabat saya. Menginjaki
soal-jawab dalam hal yang dibelakang ini, para detective tiada mendapatkan apa
yang dicari.
Pauze cuma sebentar setelah hampir
pagi. Saya dijamu dengan baik, ditanya lagi apa mau tambahan. Memangnya saya
baru kembali dari serba kekurangan, dan walaupun berada dalam perjuangan soal
jawab di kantor polisi nafsu makan adalah agak besar juga. Bukannya para
detective memperlihatkan simpati terhadap lawannya!
Soal jawab diteruskan. Detective
Mestiza, kolonel Ramoz, mengemukakan tulisan saya dalam El Debate. Katanya satu
golongan sudah disimpan, dan kalau saya memungkiri, golongan itu akan
diperlihatkannya “in order to refresh
your memory” (untuk memperingatkan tuan kembali). Tetapi saya tak ingin
menyangkal apa yang sudah terbukti. Tetapi mau tahu, apakah pelanggaran yang
terselip dalam tulisan tadi “Round” inipun adalah buat saya: para detective tak
bisa memberi jawaban.
Akhirnya sesudah menjalani turun
naiknya perdebatan dan suara, mula tinggallah pertanyaan yang kongkrit, tegas,
nyata, yang harus dijawab, ialah: kapan dan nama apakah tuan masuk di Filipina.
Toh tidak bisa dipungkiri bahwa saya mesti masuk di salah satu nama.
Saya rasa: ini mestinya climax,
ujung semua pemeriksaan. Saya jawab: saya masuk pada tanggal 6 Juli 1925 dengan
nama Fuentes, di pelabuhan Manila.
Jawab ini tentulah menunggu pemeriksaan
di kantor duane. Saya seterusnya disuruh menuliskan sejarah saya.
“6 Juli 1925 Elias Fuentes masuk di
pelabuhan Manila”. Memang benar! Di Duane ada catatan. “Tetapi bagaimana tuan
bisa masuk tak dengan pasport?”
Ya inilah rahasianya pandai besi, kata
suatu pepatah.
Entah siapa yang dimarahi, entah
siapa yang dikagumi oleh dua detective ternama tadi terserah kepada pembaca
buat menerka! Tetapi rupanya sumprit puput (fluit) wasiat sudah berbunyi, ialah
tanda pertandingan soal-jawab harus diberhentikan.
Tempat tidur saya di gedung
kepolisian ialah dalam kamar, berpagarkan besi, di samping beberapa kamar buat
orang tahanan yang lain-lain. Pada malam yang kedua, setelah saya “nginap” di
kamar besi tadi, maka saya dihampiri oleh kolonel Ramoz. Dia berbisik-bisik
menanyakan, apakah saya mempunyai “istri” di luar. Sebentar saya berpikir.
Kemudian saya jawab: tidak. Kolonel Ramoz tentunya cukup pintar buat tiada
menyebutkan namanya “istri” itu. Dan dari pihak saya, kalau seandainya memang
mempunyai istri, masakan pada tempatnya menanyakan siapa namanya. Kalau kolonel
Ramoz menyebutkan namanya, tentulah saya bisa tahu, bagaimana keadaan di luar.
Tetapi dengan pertanyaan tadi saya sudah maklum dan gembira, bahwa para teman
di luar sudah tahu bahwa saya ditangkap. Di belakangnya saya tahu pula, bahwa
memangnya pihak kaum buruh mengirimkan nona buat menyampaikan pesan. Memberi
bukti pula, bahwa rakyat Filipina sudah mempunyai banyak pengalaman dalam
pekerjaan di bawah tanah.
Tiada berapa lama kemudian, maka
datanglah pula kolonel Ramoz buat bertanyakan apakah saya mau menerima seorang abocado (pembela hukum). Namanya ada
disebutkan, tetapi saya sendiri belum pernah berkenalan dengan dia. Sebab atas
pertanyaan kemarin apakah saya ingin memakai advokat, saya lebih dahulu usulkan
supaya Fracisco Varona saja mencarikan seorang pembela hukum yang pantas
menurut keadaan; lagi pula diketahui oleh beberapa teman di luar, maka saya tak
merasa perlu lagi mengambil sendiri seorang pembela.
Benar pula! Pada ketika paginya saya
ditangkap, maka oleh kolonel Ramoz saya dibawa ke depan kantor buat dijumpakan
dengan serombongan teman Dr. Apollinario de Los Santos, direktur Manila
University yang memimpin rombongan itu berkata: “Lima puluh ahli hukum Filipina
(kalau perlu) akan membela perkataan tuan, di bawah pimpinan Jose Abad Santos.
“Tuan ditangkap tidak dengan surat tuduhan. Maka kami menuntut tuan dilepaskan,
menurut hak “habcas corpus” (have the body)”.
Nyata kepada saya kolonel Ramoz
pucat mukanya. Tangkapan atas diri saya “without
a warrant” (tak dengan surat tuduhan) itu, adalah langsung mengenai
dirinya, kolonel Ramoz, yang dituduh bertindak sebagai seorang penyerobot.
Sebentar lagi oleh kolonel Ramoz saya diajak masuk auto pergi ke kantor duane.
Dalam auto sepatahpun kolonel Ramoz tak mengeluarkan perkataan. Dia isnyaf akan
kekuatan yang ada di belakang perkataan Dr. Apollinario de Los Santos! Ramah
tamah yang selama ini diperlihatkan kepada saya bertukar menjadi muram-murka.
Kepada saya oleh kepala pegawai
duane dimajukan beberapa pertanyaan. Yang pertama dan terutama pula ialah:
“Apakah yang dimaksudkan dengan bolsjewisme? (What does it mean by
boljsjevism?)”
Dijawab: “The emancipation of the working class” (Kemerdekaan kaum buruh).
Salah seorang Profesor pembela
menunjukkan persetujuannya dengan semua jawab saya, ialah: pendek. Katanya
pula: “Kalau begitu maksudnya bolsjewisme, siapakah orang sopan yang tidak akan
setuju. Momok bolsjewisme memang dipakai buat membingungkan mereka yang tak
tahu dan tak mau tahu. Tahu apakah sebenarnya kita di Filipina tentang dasar
tujuan bolsjewisme yang sebenarnya”. Sekian profesor tadi!
Sepulangnya dari duane saya
dibolehkan tinggal di asrama Manila University. Tetapi saban hari saya harus
melaporkan diri ke kantor polisi. Belakangan saya dapat kabar, bahwa saya
dijamin Rp. 10.000,- oleh Juan Fernandez, menurut hak seorang tahanan disana (bail). Juan Fernandez, ialah majikan
dari surat-surat kabar El Debate dan La Commercio. Pula ia dengan saudaranya memiliki
kongsi perkapalan di kepulauan Filipina. Dengan Dr. Santos dia juga ada
berkarib (sekeluarga). Di masa itu ia terkenal sebagai patriot di Filipina dan
kepada saya dia selalu menunjukkan perhatian yang luar biasa tentang sejarah
dan kebudayaan Indonesia.
Apakah yang sebenarnya yang terjadi
ketika tiga hari saya berada di tahanan i tu, di luar penjara?
Setelah semalam saya ditangkap,
paginya Manila Buletin, surat kabar Amerika, dengan huruf besar-besar ala
Amerika menulis lebih kurang: “Tan Malaka, seorang Bolsjewiek Jawa ditangkap.
Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis,
Tagalog, Tionghoa dan Melayu........”
Buat memperhangat sensasi dan
hasutan, maka oleh Manila Buletin tadi tiadalah pula dilupakan menyebut
setengah lusin nama palsu yang sudah saya pakai dimana-mana.
Surat kabar Filipina yang belum tahu
apa-apa mulanya menyalin saja apa yang dituliskan oleh surat kabar Amerika
dengan cara menghasut yang sensasionil.
Francisco Varona dalam El Debate
memberi perlawanan dengan berita: “Tan Malaka, wakil dari Jawa buat mengunjungi
Pan Malaya Conference yang akan diadakan di Manila, tertangkap........dan
lain-lain. (Chajal Pan Malayan itu timbulnya bukanlah pada tahun 1946 di dalam
otaknya wartawan Romulos yang terkenal itu!)
Bermulah aksi dari pihak
imperialisme Amerika yang dilawan oleh contra aksi dari pihak Rakyat Filipina.
Semua surat-surat kabar di kota-kota dan propinsi, dalam bahasa Tagalog,
Spanyol dan Inggris nasionalistis mengikuti jejaknya El Debate.
Pergolakan menjalar ke gedung
Parlemen, ke University dan ke kalangan kaum buruh dengan cepat sekali. Isinya,
perkaranya bertukar corak dan si Penuduh berobah menjadi si Tertuduh.
Kolonel Ramosz cs mau menjadikan
perkara saya sebagai perkara pelanggaran duane biasa saja. Tan Malaka masuk
dengan tiada memakai pasport. Jadinya melanggar peraturan imigrasi Filipina.
Sebab itu ia mesti disuruh pergi dari Filipina.......logika imperialisme
Amerika dan kaki tangannya.
Parlemen Filipina di bawah pimpinan
Manuel Quezon sendiri, menganggap Tan Malaka cuma musuh Belanda dalam hal
politik, bukannya musuh Rakyat dan Pemerintah Filipina. Menurut pengakuan
Parlemen dan Quezon, Tan Malaka sebagai political-refugee, pelarian politik,
berhak tinggal di Filipina. Dalam beberapa tulisannya, almarhum Manuel Quezon
memberi contoh yang bersamaan, seperti yang sudah dialami oleh para pemimpin
revolusioner Filipina sendiri di masa lampau, oleh Dr. Sun Yat Sen, De Valera
dan sebagainya....mungkin juga disebutkan olehnya Karl Marx sendiri, ialah bapa
dari scientific sosialisme sendiri, ketika ia berada di Inggris setelah
meninggalkan Jerman. Dikemukakan, bahwa....the right of asylum” (mendapat
perlindungan buat pelarian politik) itu termasuk pada dasar demokrasi dari peri
kemanusiaan, yang sudah berabad-abad dijalankan oleh satu negara sopan.
Senate (Dewan Perwakilan Tinggi)
Filipina sendiri memutuskan pengumpulan P. 3.000 dari anggotanya buat diberikan
kepada Tan Malaka sebagai bekal.
Para pembela di bawah pimpinan Dr.
Jose Abad Santos menunjukkan serangannya terhadap kolonel Ramoz, yang sekarang
dituduh menjalankan penangkapan yang tidak sah, ialah “without warrant”.
Demikianlah diluar persangkaan saya
sendiri, penangkapan atas diri saya di Manila itu berlaku sebagai satu anasir
pemisah, diantara penduduk Filipina. Satu bagian memihak kepada Ramoz Nevins,
sebagai lambang kekuasaan Amerika di Filipina. Sebagian lagi memihak kepada
mereka yang memperjuangkan The right of asylum, sebagai jaminan bagi kedaulatan
Filipina dikemudian hari.
Masyarakat Amerika dengan surat
kabar Manila Buletin sebagai trompetnya, berusaha keras mencarikan dan mengemukakan
yang mereka sangka merugikan saya.
Majalah Philippine Free Press,
dengan cara sensasionil mengemukakan, bahwa Tan Malaka itu tak lain daripada
Hasan yang ikut memimpin Canton-Conference buat kaum buruh lalu lintas di
seluruh Asia, yang dilangsungkan di Canton selang berapa lama. Tulisan saya
dalam THE DAWN, terutama yang berkenan dengan imperialisme Amerika dihidangkan
kepada pembacanya yang banyak itu seolah-olah dengan sikap menepuk dada: Zie je wel? Dipertakuti dan diasuti pula
rakyat Filipina dengan setengah lusin nama palsu yang saya pakai.
Kolonel Ramoz mencela rakyat
Filipina, karena tiada menghargai jasanya. “Tan Malaka disanjung setinggi
langit”, kata kolonel Ramoz “sedangkan dia, penjaga ketentraman mendapat umpat
(blame) dari rakyat”.
Nevins menusuk dengan halus, kalau
dalam interview dia berkata, bahwa dalam “cross examination”, yang sudah
dilakukan berkali-kali itu belum pernah dia berhadapan dengan orang seperti Tan
Malaka.
Kolonel Sweat, wakil Gubernur
Jenderal, pernah menyampaikan pesan kepada saya, bahwa saya tiada akan
diserahkan kepada musuh saya, karena mungkin akan menganiaya saya, “They may cau you bodly harma”. Tetapi
setelah suasana menjadi hangat dan masyarakat mulai berpisah dua, maka kolonel
Sweat dalam salah satu interview pula memberikan “judas kiss”, taji berlemang: “Tan Malaka adalah seorang yang besar
tetapi ia menjalankan instruksi Moskow”.
Bolehlah dikatakan semua harian dan
majalah Filipina, dalam tiga bahasa, di kota dan provinsi, mengikuti sikap
Parlemen dan Presidennya Manuel Quezon. Pembela Jose Abad Santos cs bermaksud
akan meneruskan perkara saya kepada Mahkamah Tinggi di Filipina, buat menuntut
hak membolehkan saya tinggal di Filipina, sebagai pelarian politik, kalau usaha
itu gagal di Filipina, maka mereka akan apel ke Kongres di Amerika.
Membalas tuduhan dari pihak Amerika,
bahwa Tan Malaka adalah agen Moskow, maka El Debate mengemukakan bukti yang
sangat mencolok mata atas demokrasinya Uncle Sam. Kenapa seorang profesor
Amerika dalam ekonomi pada Columbia University di New York, seorang komunis
ternama, ahli ekonomi yang jempol dan university yang masyhur, yang baru saja
kembali dari Moskow dengan pasport Amerika dan sekarang membagi-bagikan
brosure-merah di tiap-tiap pelosok kota Manila, dibiarkan begitu saja oleh
detective Amerika? Sedangkan seorang pelarian politik diuber-uber? Warna
kulitkah??? Para Mahasiswa Manila University mulai berapat dan mengambil
resolusi, ikut berusaha mempertahankan “the
right of asylum” tadi. Segera Filipine University mengikuti menuntut hak perlindungan itu sebagai usaha membantu
pergerakan kemerdekaannya “our sister
nation”, negara saudara kita.
Dua University yang lain-lain dan
beberapa Colleges segera pula menyusuli.
Manuel Quezon memperingatkan kepada
saya supaya bersiap-siap buat memberi penjelasan kepada lebih kurang 20 orang
terkemuka tentang maksud dan tujuan serta keadaan pergerakan kemerdekaan
Indonesia. “We are ready to give our
support”, kami siap memberi bantuan, kata presiden Quezon almarhum.
Bantuan yang berupa benda dan uang
dari mereka yang tak dikenal namanya mengalir dengan deras. Dalam sikap mereka
memberi bantuan itu kita mendapat keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai
sejarah revolusi dan tahu akan kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau.
Kaya miskin, tukang warung nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya.
Seolah-olah mereka mengingat kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak
boleh saya lupakan sikapnya kaum Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk
Manila. Pada satu hari andong saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam
Hindustan: “Sir, we hear you are a moslem
from Java. We have already collected some money for you”. (Kami dengar tuan
adalah seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan). Kelak
di Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu
kepada bangsa Indonesia.
Akhirnya kaum buruh kota Manila, di
bawah pimpinan Legihairo del Trabaho (gabungan Serikat Sekerja) memutuskan akan
mengadakan rapat raksasa, buat membela politik parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan
uang buat bekal saya.
This should not happen! Dit most not magge! Ini tak boleh, ya!!! Peristiwa
sekonyong-konyong, seolah-olah pertolongan yang jatuh dari langit, di masa
lampau, sekali dua saja terjadi, apabila saya menghadapi marabahaya. Namakanlah
itu: nasib, takdir, toeval, atau apa saja. Datanglah tak disangka lebih dahulu,
tetapi tak ternilai harganya!
Tentang orang yang sudah meninggal
cuma kita kemukakan yang baiknya saja kata suatu nasihat. Demikianlah pula
sebenarnya! Bersamaan dengan harinya saya ditangkap. Gubernur Jenderal Wood,
yang kebetulan perlop beristirahat di Amerika, meninggal dunia. Entah karena
kebetulan hari besar pula, maka kantor tak ditutup pula, pasti saya akan
dinaikkan begitu saja ke dalam kapal Belanda, yang kebetulan pula berlabuh di
Manila, dan siap berangkat ke Jawa. Pemerintah memulangkan saya ke Jawa,
katanya pula, pasti akan diberikan ke Manila dari Amerika, karena Wood adalah
sahabat karib dari bekas Gubernur Jenderal Fock di Hindia Belanda, Fock dan
Wood sudah kunjung mengunjungi.
Wood sebagai militer tak banyak
memusingkan formaliteit, katanya pula. Tetapi karena Wood meninggal dan duane
ditutup, maka pemulangan saya (uitllevering) ditangguhkan sehari lagi.
Dan...para teman pembela, ahli yuris, mencium-cium serta mengambil tindakan
dengan cepat-cepat.
Mulanya para pembela mendapat
simpati juga dari Wakil Gubernur Jenderal Gilmore, teristimewa pula karena
Gilmore sendiri adalah seorang ahli yuris. Pun dia mulanya setuju akan hak saya
untuk diperbolehkan tinggal di Filipina dan sebagai yuris ingin tahu pula,
apakah Washington akan membenarkan Filipina memakai hak yang sudah lama diakui
oleh seluruh negara modern itu. tetapi setelah suara gemuruh dari surat-surat
kabar dan majalah-majalah di ibu kota dan propinsi dalam tiga bahasa, serta
sikap parlemen dan universiteit seperti kata pepatah “membangunkan anjing yang
tidur”, maka ahli yuris “acting governoor
general” menjadi terkejut. Dan apabila harinya rapat raksasa kaum buruh
kota Manila sudah dekat, maka pembela Dr. Jose Abad Santos dipanggilnya pada
hampir tengah malam. Kepada yang dibelakang ini diusulkan, “lebih baik saya
pergi saja dari Filipina dengan diam-diam”. Katanya besok pagi kapal Suzana
kepunyaan bangsa Filipina akan berangkat ke Amoy, Tiongkok. Tidak ada lagi
kesempatan yang lebih baik, sebab akan melalui Hongkong ada bahaya ditangkap
oleh Inggris. Dr. Jose Abad Santos tercengang, tak mau menerima begitu saja.
Dia memperingatkan perjanjian yang dulu, ia membela “the right of asylum”. Ahli
yuris Amerika, acting governor general, membujuk dengan janji, bahwa nanti Tan
Malaka boleh kembali “kalau suasana yang hangat ini sudah reda”:. Apabila yuris
nasionalis memegang teguh pendiriannya semula, maka yuris imperialis menjawab
dengan perkataan yang mengandung ancaman: “Bahwa kalau Tan Malaka tak pergi
diam-diam, maka ada lagi perkara yang akan dimajukan, yang tidak saja mengenai
dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyeret beberapa orang paling terkemuka di
Filipina.
Pembela Dr. Jose Abad Santos
terpaksa mengalah. Dia mengerti bahwa yang dimaksudkan itu dalam urusan
pasport, yang bisa dianggap suatu pelanggaran, sebagai falsification of public
document, memalsukan dokumen negara.
Lebih kurang jam 1 malam peri hal
tersebut oleh Dr. Jose Abad Santos diberitahukan kepada saya untuk meminta
pertimbangan. Oleh sebab memang buka membela perkara yang hak dan pula akan
membawa-bawa beberapa orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud
baik, maka terpaksalah saya menerima perintah halus buat meninggalkan Filipina.
Akhirul kalam saya kalah. Tetapi
lawan saya juga tak mendapat kemenangan dengan mudah. Setelah sampai di
Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa kolonel Ramoz, kepala rombongan yang
menangkap saya oleh pemerintah Filipina diturunkan gajinya. Ini adalah suatu
cara yang menunjukkan, bahwa pekerjaannya tiada mendapat penghargaan dari
pemerintah Filipina, bahkan sebaliknya. Tindakakn itu adalah sebagai perintah
halus pula, menyuruh minta berhenti saja: “Your
service is no longer needed”,
tenagamu tak dibutuhkan lagi. Kolonel Ramoz mengerti perintah halus itu,
minta berhenti dan pulang ke....Spanyol. Yang seorang lagi, yang menjadi sebab
pertama atas penangkapan saya pada malam hari tersebut di atas,, kabarnya pula
ialah salah seorang....editor, redaktur surat kabar El Debate sendiri. Dia
selang berapa lama sengaja dikirimkan ke sana oleh kolonel Ramoz tadi buat
mengawasi perhubungan saya dengan surat kabar itu, setelah P.I.D Amerika
mencium-cium bau beradanya saya di Filipina. Mulanya bekerja sebagai pembantu
biasa saja. Oleh karena dia menunjukkan kecakapan, maka ia mendapat kepercayaan
dari Varona dan diangkat menjadi salah seorang
editor. Dialah yang menelpon kolonel Ramoz ketika saya mengunjungi El
Debate malam hari tersebut sampai saya ditangkap. Sesudah pekerjaan yang
“berjasa” itu dilakukannya, dan setelah ia menerima pujian serta upah yang
sepantasnya dari majikannya, maka pada suatu hari sepeda motornya tertumbuk
pada tiang jembatan dekat kantor El Debate. Kabarnya, motornya hancur dan
jiwanya melayang seketika itu juga. Rakyat Filipina yang percaya kepada
kodratnya kebenaran dan kesucian menganggap peristiwa ini sebagai hukuman yang
adil dan tegas.
Pagi benar saya dengan para sahabat
sudah berada di kapal Suzana, para wakil buruh menyampaikan salam organisasinya
masing-masing dan sumbangan yang dikumpulkan dengan sangat tergesa-gesa.
Maklumlah keberangkatan saya tidak dapat diundur lagi. Dan maksud Pembesar
Amerika juga supaya umum jangan mengetahui saya berangkat. Sebab itulah pula
maka perintah halus buat mengeluarkan saya dari Filipina dilakukan setelah
larut malam. Walaupun demikian tiadalah sedikit para pengantar. Seorang
wartawan Tionghoa memberikan surat kepada saya buat memperkenalkan saya kepada
salah seorang mahaguru di Universiteit Amoy. Menurut wartawan ini di Amoy saya
“tak akan” mendapat gangguan, karena Amoy berada di bawah pemerintahan
“nasionalis” Tiongkok. Majikan kapal Suzana, tuan Madrigal yang juga majikan
surat kabar Philippine Herald, sahabat pula dari Juan Fernandez, penjamin saya
di masa di luar penjara, apabila kapal hendak berangkat memperkenalkan saya
kepada kapten kapal dengan perkataan: “Beri perlindungan sama Tan Malaka, kalau
perlu dengan jiwamu”.
“Yes Sir....” jawab yang pendek.
Bahasanya orang tua Filipina yang
mengalami masa revolusi Filipina yang terakhir.
KEMANA?
Jarak Manila – Amoy hampir sama dengan jarak Singapore – Jakarta.
Masinis No.1 memperkenalkan saya mendiami biliknya. Bilik itu, terletak paling
ujung di barisan bilik para opsir kapal Suzana. Opsir, kelasi dan stoker
semuanya terdiri dari bangsa Filipina. Lautan teduh tenang, memberi kesempatan
kepada saya buat sedikit beristirahat, sesudah berhari-hari mendapat gangguan.
Saya tiada berjumpa dengan para penumpang. Kejadian nanti akan
menunjukkan baiknya hal ini. di waktu makan saya mendapat kesempatan berkenalan
dengan para opsir. Boleh dikatakan mereka semuanya mengandung simpati terhadap
kemerdekaan Filipina dan Indonesia. Semboyan yang lazim terdengar di Filipina
di waktu itu ialah: “immediate, absolute,
and complete independence” (Kemerdekaan sempurna dan sekarang juga).
Kapten Roco sudah berumur lebih kurang 60 tahun, tetapi masih tegap dan
segar bugar, terlalu tegap buat umur sekian lanjut. Jadinya dia termasuk
golongan tua dan banyak mempunyai pengalaman semasa hidupnya, baik tentang
pelayaran maupun tentang pergerakan kemerdekaan di Filipina. Perhubungannya
dengan para pelaut, yang semuanya kelihatan orang tegap, adalah rapat sekali
dan dalam suasana ramah tamah.
Pada hari pagi yang ke-3 semenjak meninggalkan pelabuhan Manila,
sampailah kapal di teluk Amoy. Teluk ini amat panjang, cukup dalam, dilingkungi
bukit kiri-kanan; jadinya banyak mendapat perlindungan di masa ribut taufan
yang tersohor jahat-dahsyat di lautan Tiongkok itu. Salah satu dari natural
harbour, teluk pemberian alam yang bagus sekali!
Yang di Indonesia kita dengan sebagai kota Amoy itu, sebenarnya terdiri
dari dua kota yang berlainan status dan tempatnya, ialah kota Kulangsu dan kota
Amoy sendiri. Yang pertama terletak pada satu pulau kecil yang indah, di
sebelah kiri kalau kita memasuki teluk Amoy. Yang kedua terletak di pulau Amoy
di sebelah kanan kalau kita memasuki teluk Kulangsu berada di bawah kekuasaan
internasional (internasional settlement) dan mempunyai Balai Kota (Haminte) dan
polisi di bawah pimpinan Inggris, Amerika, Jepang, Perancis dan Belanda. Amoy berada
di bawah kekuasaan pemerintah nasional, walaupun terpengaruh benar oleh Jepang
dengan perantaraan orang Taiwan yang banyak berada di kota Amoy. Kulangsu
adalah salah satu kota yang bersih dan permai. Kebanyakan rumah didiami oleh
orang Barat, Jepang dan Over sea Chinese, Tiongkok hartawan dari seberang.
Sedangkan Amoy di masa itu (tahun 1927) oleh seorang penulis pendeta Kristen
dinamai kota yang paling kotor dan “paling gelap di seluruh dunia”. Memangnya
sekali kita memasuki jalan kecil menuju ke dalam kota Amoy yang berpenduduk
antara 300 dan 400 ribu di masa itu tak mungkin kita sendiri mendapatkan jalan
keluar, karena banyaknya serta gelapnya jalan-jalan kecil itu. tetapi apalah
Tionghoa Amoy gelap dipandang dari kebatinan, keagamaan, seperti dipandang dari
sudut mata seorang zending Kristen, buat saya adalah satu pernyataan besar!
Kebetulan pula pada waktu saya memasuki Amoy itu, empat pemuda yang oleh
pemerintah Chiang Kai Shek dicap komunis diserobot dari tempat tidur atau
sekolahnya, ditembak seperti hewan zonder pemeriksaan pengadilan, dan
dilemparkan di jalan. Sikap pemerintah Chiang Kai Shek di Amoy, Canton, Wuhan,
Shanghai dan kota lain-lainnya terhadap puluhan ribu pemuda-pemudi serta buruh
Tionghoa pada tahun 1927 itu, tentu tak bisa dinamakan sikap yang liberal,
demokratis cocok dengan peri-kemanusiaan. Bahkan juga tidak cocok dengan
kebudayaan Tionghoa yang tinggi serta halus itu. Penyembelihan buruh, pemuda
dan gadis di tempat umum, atau asutan atau fitnahan oleh seorang yang dengki
atau orang pencari pangkat itu, dengan senyum simpul dibiarkan saja oleh para
wakil negara sopan dari Eropa dan Amerika yang berkedudukan di Tiongkok.
Memangnya jarum pemecah belah masuk dalam pertikaian dan permusuhan
nasionalis-komunis mulai pada tahun 1927 itu.
Kalau di masa asutan imperialisme itu makan benar-benar dalam politik
pemerintah Chiang Kai Shek, saya (seperti anggapan jurnalis Tiongkok di Manila)
tak akan mendapat gangguan dari pemerintah “nasionalis” Tiongkok, maka anggapan
sedemikian tiadalah bisa diterima begitu saja. Seperti saya sebutkan di atas,
pengaruh Jepang amat besar di kota Amoy di masa itu.
Bagaimanapun juga, setelah kapal berlayar dalam teluk, menghampiri
pelabuhan Amoy yang terletak di antara pulau Kulangsu dan pulau Amoy, maka saya
seolah-olah mendapat peringatan batin. Saya merasa “ada apa-apa” terus keluar
dari bilik menuju ke tempat kapten dikemudi. Kapten melihat saya, dengan
keringat di muka dan suara tegas berkata: “Go to your room, dont come out,
Quick, quick.....” (Pergilah ke bilik, jangan keluar. Lekas-lekas).
Oleh kapten Roco kapal dilayarkan dengan cepat menuju ke ujung teluk. Di
sebelah kiri dekat Kulangsu saya lihat kapal Cisalak dari Java-Cina-Japan-Lijn
(J.C.J.L). Nyata kelihatan di atas dek beberapa opsir, tetapi anehnya tak ada
penumpang. Di antara para opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Diantara
para opsir ada yang memegang keker yang ditujukan ke kapal Suzana. Saya sudah
mengerti maksudnya. Tentulah kapten Roco tak kurang maklum. Sebab itulah
tergesa-gesa saya disuruh masuk ke bilik dan kapal Suzana dijalankan
sejauh-jauhnya ke ujung teluk.
Saya segera masuk, dan bilik saya kunci. Apalah kejadian setelah kapal
Suzana berhenti, tidak saya lihat. Tetapi saya mendengar sibuk huru-hara di
luar kamar saya. Mula-mula kesibukan itu agak jauh, kemudian makin dekat ke
kamar saya.
Apa yang terjadi?
Sebelum saya tiba di Amoy, Balai Kota Internasional sudah rapat dan
memutuskan buat menangkap saya. Kapal Cisalak tiadalah percuma menunggu-nunggu.
Maksudnya, ialah membawa saya ke Jawa. Kapten Roco, setelah melihat kapal
Belanda itu dan melihat pula sebuah sekoci Balai Kota Kulangsu yang mengejar
kapal Suzana, maka ia layarkan kapalnya secepat dan sejauh mungkin. Suzana
dapat renggang dengan sekoci tadi dan dapat berlabuh di dekat pulau Amoy
sedikiti jauh dari pulau Kulangsu.
Baru sesudah kebanyakan penumpang Tionghoa turun, sampailah sekoci
mendekati kapal Suzana. Tiga orang polisi yang dikepalai oleh seorang Inggris
naik ke kapal Suzana dan menemui kapten Roco.
Polisi Inggris “Balai Kota Kulangsu sudah memutuskan hendak menangkap
Tan Malaka. Ini surat perintahnya. Dimana Tan Malaka?”
Kapten Roco: “Saya tidak tahu”
Inggris: “Mana bisa tuan tak tahu”
Kapten: “Apakah saya mesti ketahui semua penumpang yang puluhan
banyaknya itu? semua penumpang sudah turun.
Inggris: “Kalau begitu saya mau geledah kapal ini.”
Kapten: “Kapal ini memakai bendera Amerika. Apakah tuan sudah dapat izin
dari konsul-jenderal Amerika?”
Para polisi mulai menjalankan penggeledehan di kamar penumpang klas II
dan klas I. kapten Roco memprotes keras dan bersemangat. Penggeledahan di klas
I dan II tidak memberi hasil. Lalu diteruskan ke bilik opsir, dimulai dari
kamar kapten sendiri menuju ke bilik saya. Protes kapten bertambah kera. Para
opsir dan kelasi mulai berkumpul di sekeliling kaptennya memandang polisi
Kulangsu. Semakin dekat ke kamar saya, semakin keras protes dan semakin desakan
dari para opsir dan para pelaut. Tiap-tiap kali pintu bilik dibuka, tiap kali
pula para penggeledah menjadi kecewa....Tapi kali pula kapten berkata:
“Bukankah saya sudah bilang. Tan Malaka sudah keluar bersama-sama penumpang
yang lain?”
Demikianlah mereka berdesak-desakan sampai ke kamar yang paling akhir,
tempat saya berdiam. Entah karena sudah selalu kecewa, entah karena desakan para
opsir dan pelaut, entah karena mau lekas-lekas mencari saya di darat, entah
karena apa....Cuma satu kamar yang saya diami itu saja yang tiada dibuka.
Para polisi turun kapal! Tetapi bahaya buat saya belum terlepas! Setelah
kapal berhenti, kapten Roco perintahkan pada dua pelaut yang tangkas mencari
seorang Tionghoa bernama P.E.L., kenalan baiknya. Biasanya tak cukup dua-tiga
jam mendapat P.E.L ini. Tetapi ini kali P.E.L kebetulan berada di atas sebuah
kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan pula datang dari Foochow, dan berlabuh
tiada berapa meter jaraknya dari kapal Suzana. Kebetulan pula kepala dari kapal
inspeksi itu tadi adalah keponakan dari P.E.L. Pelaut Filipina sebagai
mendapatkan “durian runtuh” dan berteriak memanggil P.E.L turun ke dalam sampan
mereka naik ke kapal Suzana.
P.E.L tiba di depan kapten cuma dua-tiga menit saja sesudah para polisi
Kulangsu berangkat. Kapten, P.E.L dan para opsir membuka pintu kamar saya. Saya
disuruh bersiap buat berangkat.
Masinis mau mengenakan dasi saya. Kapten cabut kembali dasi itu dan
lemparkan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat memakai dasi”. Jurumudi
memberikan roti kepada saya buat dimakan. Kapten mengambil roti dari tangan
jurumudi dan lemparkan roti dengan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat makan
roti”.
Kepada P.E.L akhirnya kapten Roco berkata: “Safe my friend. Explanation
afterwards”. (Selamatkan sahabat saya. Keterangan di belakang!). “Cepat,
cepat!”, kata kapten Roco yang terakhir!
Segera kami turun, naik sampan dan.........naik lagi ke kapal inspeksi
Tionghoa tadi, di bawah pimpinan seorang keluarga P. pula, ialah keponakan
P.E.L sahabat kapten.
Tiadalah sampai lima menit saya meninggalkan kapal Suzana, maka naiklah
pula konsul-jenderal Amerika menemui Roco.
American: “Dimana Tan Malaka?”
Kapten: “Saya tak tahu”.
American: “A nice and intelligent young man, but sorry he is
bolsjewiek”. (Seorang pemuda yang cerdas, tetapi sayang dia seorang
bolsjewiek.)
Kapten: “I don’t know, may be”. (Saya tidak tahu, barangkali).
Kapten Roco diajak oleh konsul-jenderal melihat-lihat di ruang kapal.
Pada ruangan tempat orang di bawah, di lantai kapal tak ketinggalan. Pikiran
kapten Roco: “Ya tetapi burungnya sudah terbang”. Setelah yakin tak akan
mendapat apa-apa, maka konsul-jenderal meninggalkan kapal Suzana.
Pun tiada sampai lima menit sepeniniggal konsul jenderal Amerika, datang
pula kepala duane Amoy, ialah seorang Inggris.
Kapten Roco yang kenal sama Inggris ini semenjak ia, yang disebut di
belakangan ini, masih menjadi wakil kepala duane, mengajak sobat lama ini minum
dengan ramah tamah. Kepala Duane: “Saya dengar, Tan Malaka adalah seorang
pemuda yang baik budi. Tetapi ia seorang bolsjewiek”.
Kapten: “Tetapi engkau dulu juga seorang bolsjewiek”.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Ketika engkau masih kepala no.2, kamu selalu saja mencela sepmu
yang katamu tiada efficient dan tiada adil. Nah, itu bolsjewisme kecil-kecilan.
Kalau orang memberontak terhadap penjajahan itu bolsjewisme besar-besaran.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Lho!”
Selama itu saya berada di dalam kamar kapal inspeksi Tionghoa yang
dikirim sebagai penolong jatuh dari langit. Dua hari dua malam saya berada di
dalam kapal penyelidik yang terhindar dari penyelidikan itu!
Kapal inspeksi Tiongkok ini cuma satu saja diantara beberapa Sang
Penolong yang jatuh dari langit. Penolong yang jatuh dari langit yang lain: air
pasang, yang memberi kesempatan kepada Sang Kapten melanjutkan kapal Suzana
yang sampai ke pantai pulau Amoy yang lebih kurang dikuasai Tiongkok. Kalau
sebaliknya laut mengalami pasang-surut, maka kapal kami terpaksa akan berlabuh
dekat pulau Kulangsu yang berada di bawah kekuasaan internasional. Dalam hal
ini sekocinya para polisi internasional akan sanggup mendampingi kapal Suzana
dan melarang keluar semua penumpangnya, buat menggeledah semua pelosok kapal
sampai saya terdapat. Para polisi tak akan ragu-ragu lagi, bahwa saya masih
berada di dalam kapal. Yang juga termasuk para golongan pembantu langit, ialah
kamarnya saudara masinis yang terletak di paling ujung dan tiada
disangka-sangka menyimpan orang yang dicari dan kebetulan pula sisa kamar yang
tidak dibuka. Tetapi tentulah tiada boleh dilupakan pula Sang Kapten dengan
para opsir dan pelautnya yang sungguh-sungguh menjalankan “siasat” yang jitu
dan memberi pertolongan yang cepat. Akhirnya apalah artinya semua pertolongan
langit tersebut, kalau P.E.L tak begitu mudah bisa didapat. Demikianlah
beberapa penolong langit berkomplot untuk melepaskan diri saya dari komplotan
imperialisme internasional yang bermaksud hendak mengembalikan saya ke tangan
Belanda.
Dalam dua hari dua malam saya berada dalam kapal inspeksi Tiongkok kecil
itu, saya mendapat kesempatan penuh untuk membawa tulisan di atas kulit saya
tentang “demokrasi” dalam bahasa Amerika.
Beberapa lusin pelarian politik dan lebih kurang satu lusin Republik
Amerika Tengah dan Selatan yang terpaksa meninggalkan negerinya karena urusan
politik dan menerobos tapal batas atas duane Amerika Serikat. Beberapa “siasat
dan pemalsuan” yang harus dilakukan oleh pelarian politik, karena semestinyalah
seorang pelarian politik biasanya tak mempunyai kemungkinan buat mengurus
pasport dan visa. Pelarian politik apakah namanya itu, kalau ia masih bisa
mengurus pasport dan visanya secara legal, menurut aturan biasa? Memangnya apa
yang syah dan hak buat kulit putih di “country
of the free”, di negara (Amerika) yang merdeka itu tidak selalu syah dan
hak buat kulit berwarna. Apa yang bisa dimaafkan “door de vingers zien”, buat
kulit putih, tak selalu bisa dimaafkan buat kulit berwarna. Rupanya yang tak
bisa disangkal berhubung dengan bujukan halus wakil G.G. Gilmore kepada Dr.
Jose Abad Santos, bahwa Tan Malaka dengan “diam-diam meninggalkan Filipina”,
ialah dengan diam-diam pula konsul Belanda dan G.G. Gilmore di Filipina
memberitahukan bertolaknya Tan Malaka dari Manila kepada para imperialis
internasional di Kulangsu, Amoy. Dengan kulit berwarna bangsa terjajah rupanya
wakil “contry of the free” boleh
berbuat semau-maunya saja. Tak ada negara atau bangsanya seorang berwarna itu
yang sanggup membela, bahkan memprotespun tidak! Cobalah pula satu negara
bangsa berwarna menyerobot kapal yang mengibarkan bendera Amerika dan tak
mempedulikan protes kaptennya! Akhirnya tak pula kurang pentingnya atas hukum
internasional apakah polisi imperialis boleh menyerobot ke kapal Suzana yang
berlabuh pada Chinese territorial water, pada daerah lautnya Tiongkok? Dunia
sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu
saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit
berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta, merebut dan kalau perlu
memaksakan persamaan hak, lahir dan batin “formal and essential” atas 40% kulit
putih di dunia ini.
Ketika saya berada di dalam kapal inspeksi Tiongkok tadi P.E.L sering
datang menjumpai saya. Menurut kabarnya
pada hari pertama semuanya hotel di Amoy “disikat” oleh polisi gelap dan resmi
mencari saya, dengan bersenjatakan bermacam-macam gambar saya. Tentulah semua
usaha itu sia-sia belaka. Dari keadaan inilah rupanya timbul “teori” yang juga banyak terdengar di Indonesia di masa
itu, bahwa Tan Malaka dekat Tiongkok meloncat ke laut dan tenggelam, ketika
hendak ditangkap oleh polisi internasional.
Habis kisahnya..........Buat sementara waktu!
Setelah taufan, “penyikatan di sekitar jalan dan hotel Amoy selesai,
maka P.E.L dengan kawannya membawa saya ke sebuah rumah naik ke tingkat ketiga,
pada malam hari. Saya diberi kamar yang sedang besarnya, di samping biliknya
tuan rumah. Tetapi tiada seizin tuan rumah itu. Saya tiada diperkenalkan pada
tuan rumah, yang ternyata benar memperlihatkan kecurigaannya terhadap saya.
Sedikit keterangan.
Buat mengertikan kedudukan saya di waktu itu, perlulah sedikit
keterangan P.E.L.
P.E.L. adalah bekas seorang hartawan Tionghoa di Filipina. Seorang yang
didikan baik, berbicara Tionghoa (Mandarin), Inggris dan Spanyol. Dia menerima
pusaka dari almarhum bapaknya. Seperti biasanya anak hartawan, dia tiada banyak
menghargai harta-pusaka, yang oleh sang ayah diperoleh dengan keringat susah
payah. Sang anak, ahli waris, yang mendapatkan pusaka tiada mencurahkan
keringat setetespun, ingin menambah harta pusaka itu dengan usaha yang paling
sedikit mengeluarkan keringat pula, tetapi tahu-tahu dengan banyak resiko.
Demikianlah dia belikan P. 5.000.000 (lima juta) kepada candu buat dimasukkan
ke Fililipina secara gelap. Menurut undang-undang Amerika di Filipina,
pekerjaan semacam itu dinamakan “smuggling” (smokkel, menyelundup). Hukuman
buat pelanggaran ini sangat keras dan P.E.L. dihukum berat 6 tahun di Filipina dan
barang dagangannya “disita”. Sesudah satu dua tahun menjalani hukumannya itu,
ia meminta supaya dipulangkan ke Tiongkok dengan perjanjian tiada akan kembali
ke Filipina lagi. Walaupun pembungan ini berlaku di tamsoa, di tanah air ibu
bapanya, tetapi P.E.L. merasa amat berat dan ingin sekali mendapat ampun dari
pemerintah Amerika untuk kembali ke Filipina.
Temannya P.E.L. adalah Mestiza, campuran Spanyol-Filipina seorang
terpelajar, berbicara Tagalog, Spanyol, Inggris dan Tionghoa, dahulunya bekerja
pada sebuah bank Amerika. Seperti sepnya Amerika Serikat pun ingin lekas
menjadi kaya, juga dengan keringat paling sedikit, tetapi resiko paling besar.
Entah benar atau tidak (perkaranya belum lagi diperiksa), bersama sepnya, S
mengeluarkan cheque-palsu (surat pembayaran dalam bank). Setelah pekerjaan itu
diketahui, maka sep-Amerika membunuh diri buat menghindarkan pemeriksaan
pengadilan S. melarikan diri ke Amoy meninggalkan keluarga dan negaranya.
Demikianlah keadaan kami bertiga. Sama-sama terpaksa meninggalkan negara
yang dicintai atas tiga alasan yang satu sama lainnya berlainan.
Saya tidak ingin bersikap sebagai moralist, menentukan buruk baiknya
mereka seperti P.E.L, S. Saya tahu, bahwa masyarakat sekarang menganggap mereka
sebagai orang bersalah, bukan termasuk golongan orang baik-baik. Tetapi
terhadap diri saya, dalam keadaan serba sulit, mereka bersikap lebih banyak
baik daripada buruk.
Benar mereka tahu akan sokongan uang pemimpin dan Rakyat Filipina
terhadap saya dan berhubungan dengan itu pernah beberapa ratus rupiah yang
mestinya buat saya tersangkut di tangan mereka
tak disampaikan. Teman P.E.L. ditangkap polisi karena berjudi. P.E.L.
menjamin teman itu, supaya jangan dimasukkan ke penjara. Tetapi teman itu lari
dan P.E.L. si penjamin tadi mesti masuk penjara. Kebetulan uang saya dari
Manila ada di tangan dia untuk disampaikannya kepada saya di desa Sionghing.
(Tetapi uang itu dipakainya buat melarikan diri ke Shanghai). Dalam keadaan
begini, buat saya, uang berlipat dua tiga kalipun tak ada artinya di masa itu,
apalagi kalau dibandingkan dengan jasanya mereka kepada saya. Cuma satu dua
teman baru disamping saya menganggap sikap mereka lebih daripada terkutuk.
Kalau mereka memang berniat jahat terhadap diri saya, dengan adanya para konsul
beberapa negara imperialis di Amoy, mereka bisa berkhianat dan mendapatkan uang
panas. Tetapi mereka pasti tak akan berbuat begitu. S. bisa berbuat demikian di
Shanghai, dan P.E.L. di Singapore, ialah seandainya kalau mereka mau berbuat
demikian. Tetapi sebaliknya, S sampai di Shanghai dan P.E.L. di Singapore
ketika saya berada dalam kemiskinan dan kesulitan, menunjukkan sikap
persahabatan yang tulen. Demikianlah relatifnya (hubungan-berhubungannya) buruk
baik seorang manusia, walaupun masyarakat menganggapnya sebagai orang tak baik.
Bagaimanapun juga, baiklah saya akui bahwa pada permulaan gerak-gerik
P.E.L. dan S. tak banyak memberi kepastian kepada saya. Saya ragu, bahwa kapten
Roco tak akan melemparkan saya ke sarang komplotan. Tetapi saya berada sendiri
di tengah-tengah masyarakat Tionghoa Hokkian yang bahasanya sepatahpun belum
saya mengerti dan di rumah orang yang tak diperkenalkannya kepada saya,
sedangkan kapten Roco sesudah dua-tiga hari sudah kembali ke Filipina dan
akhirnya saya tentu tak bisa keluar rumah. Sebentar saja berada di jalan
kecilnya Amoy, tentulah segera dikenal sebagai orang asing.
Dalam keadaan beginipun saya tak ditinggalkan akal dan kesempatan. Di
tingkat kedua dalam rumah, tadi diam seorang pemuda Tionghoa, baba Surabaya.
Dia dibawa ke Amoy buat dimasukkan ke sekolah Tionghoa. Setelah kebetulan saya
ketahui, bahwa dia bisa bicara Indonesia dengan lancar, maka mulailah saya
bertanyakan ini-itu buat menyelidiki keadaan di sekitar saya. Dari bapa pemuda
ini saya ketahui sejarahnya P.E.L. dan S. seperti yang saya uraikan di atas.
Tentang tuan rumah diceritakannya berikut:
Nama tuan rumah itu yang sebenarnya adalah Tan Ching Hua, nama
panggilannya adalah Ka-it. Dahulunya dia menjabat pekerjaan opsir berpangkat
mayor di salah satu distrik di daerah Chuang-Chu. Tetapi setelah para
serdadunya melakukan penghisapan dan penindasan atas Rakyat Jelata pada distrik
tersebut, maka dia merasa amat kecewa dan menarik diri dari ketentaraan.
Kekecewaannya dalam kemiliteran itu ditambah pula dengan kekecewaan politik.
Dahulu dia anggota Kuomintang. Tetapi setelah timbul perpecahan antara
nasionalis dan komunis, dan antara sayap kanan dan sayap kiri, dalam Kuomintang
sendiri, maka dia menarik diri pula dari Kuomintang. Di waktu saya berjumpa
dengan dia sudah dua tahun Dr. Sun meninggal dunia. Ka-it mulanya percaya
kepada pengikut Wang Ching Wei. Akhirnya Wang Ching Wei pun tiada lagi memberi
kepuasan. Demikianlah hatinya bertambah terpusat pada almarhum Sun Yat Sen.
Dengan saudaranya di Amoy dia mengurus rumah penginapan. Di distriknya Ka-it
dihormati sebagai ho-lang, orang
baik.
Cerita pemuda tadi saya dengar dengan penuh perhatian. Saya merasa lega
kebetulan berada di samping Ka-it, orang baik ini. mulailah saya ceritakan
sedikit demi sedikit keadaan saya kepada pemuda tadi, dengan maksud supaya
disampaikan kepada Ka-it. Tiada lama diantaranya maka Ka-it memanggil saya
makan bersama-sama. Kecurigaan dan kesangsian rupanya hilang lenyap, bertukar
simpati yang kian hari bertambah erat. Inilah salah seorang Tionghoa di
Tiongkok yang diluar ikatan kepartaian amat rapat sekali ikatannya dengan saya
sebagai sahabat karib dengan sahabat karib, bertahun-tahun
lamanya...........sampai kami dipisahkan oleh Jepang pada tahun 1937.
Setelah lebih kurang seminggu lamanya saya sampai di Amoy maka kapal
Suzana kembali ke pelabuhan Amoy. Diantara penumpangnya, adalah seorang yang
akan menjadi sahabat karib saya. Pada ketika datanglah seorang berumur setengah
tua, tinggi tegap berperawakan Indonesia, menerobos ke kamar saya dengan suara
amat keras: “Saya sudah baca perkara tuan di Filipina, saya sudah lihat gambar
tuan di semua surat kabar. Marilah kita pergi lekas ke desa saya. Kalau Belanda
datang ke sana, I shall touch him,
saya mempunyai pasukan serdadu dan senapan baru”.
Bahasa Inggrisnya tak begitu baik. Maksud yang sebenarnya ialah: I shall shoot them, “saya akan tembak
mati mereka itu”. Berkali-berkali dikatakannya kepada saya: “I shall protect
you” (saya akan perlindungi saudara).
Orang yang tinggi tegap berwarna coklat ini, adalah turunan Filipina
tulen, berasal dari Began, di sebelah utara pulau Luzon. Di masa revolusi
Filipina dia bersama orang tuanya berada di Manila. Dia kehilangan orang tuanya
dan diambil sebagai anak angkat oleh seorang Tionghoa, dan diberi nama Francisco
Tan Quan di Manila, dan Tan Bian Ku di desanya di Hokkian. Di Manila dia lazim
dipaggil Ki-Koq dan di Hokkian lazim dipanggil Ku-ja. Kita namakan saja dia
Ki-Koq. Ketika masih muda oleh bapa angkatnya dikirim ke desanya buat
mempelajari bahasa serta adat istiadat
Tionghoa. Lama benar saya tinggal di desanya. Gambar saya dengan dia
bersama para prajuritnya dirampas oleh Raja Siam dari tangannya almarhum
Subakat, waktu dia ditangkap di Bangkok pada tahun 1930. Inilah satu gambar
yang menjadi “puzzle”, teka-teki buat
pemerintah Hindia Belanda, yang rupanya menerima gambar tadi dari Prachatipok,
bekas raja Siam.
Usul Ki-Koq amat saya setujui, ialah berhubung dengan beberapa perkara.
Pertama saya perlu menyingkiri Amoy dimana saya belum leluasa bergerak. Kedua saya
amat membutuhkan suasana desa, buat benar-benar istirahat. Ketiga dan tak
kurang pentingnya sudah lama saya menginginkan mempelajari keadaan desa
Tiongkok yang sebenarnya.
Demikianlah dengan pengetahuannya P.E.L. dan S dan persetujuan penuh
Ka-it, maka dengan kapal sekoci kepunyaan rumah penginapan. Tiong-Huat yang
dibawah pengawasannya Ka-it sendiri, pagi-pagi sekali saya meninggalkan Amoy
menuju ke desanya Ki-Koq. Pelayaran dilakukan lebih kurang 12 jam lamanya.
Pelabuhan yang dituju ialah desa Witau, berpenduduk kira-kira 2.000
orang. Dari Witau ke desanya Ki-Koq adalah pula beberapa jam berjalan kaki.
Orang belum berhak berkata mengenal Tiongkok, kalau belum tahu hidup di
desanya. Karena sebagian besar, barangkali antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok
yang 400 juta itu berdiam di ratusan
ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan sistem pemerintahan kekeluargaan yang
dipisahkan ole h Guru Kung (Kong Tze), maka desa Tiongkok semenjak zaman
purbakala terdiri dari satu atau beberapa suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq,
terdiri cuma dari satu suku saja, ialah suku Tan.
Di beberapa desa lainnya yang saya kenal, pula terutama terdiri dari
suku Tan dan Go. Kedua suku ini tak selalu berada dalam suasana perdamaian.
Beberapa orang tua menceritakan kepada saya betapa hebatnya “peperangan” di
antara kedua suku tersebut, selang beberapa tahun di belakang. Lebih dari 50
desa terlihat dalam sengketa (feud) yang dilakukan bertahun-tahun lamanya
dengan sangat kejam sekali.
Saya sendiri sudah dua kali menyaksikan peperangan antara dua pelabuhan
Witau dan Tentang yang letaknya masing-masing cuma dipisahkan oleh satu jalan
saja, dan cuma beberapa jam perjalanan saja antara dari desa Siongching. Dari
sebuah bukit dari desa kami “peperangan” nyata sekali terlihat. Yang menjadi
sebab permusuhan itu ialah kepentingan penghidupan juga. Masing-masing desa
tadi mau memonopoli mengangkut barang dan penumpangnya dari sekoci kecil (20 -
30 ton) dari tengah laut ke pantai. Paling banyak penumpangnya adalah 40 orang,
dan datangnya kapal cuma 2 kali seminggu. Inilah sebenarnya yang diperebutkan
dan yang menjadi pangkal sengketa. Sering diadakan perundingan dan didapatkan
persetujuan antara dua desa itu dengan atau tak dengan perantaraan wasit.
Tetapi begitu persetujuan di dapat, begitu pula dilanggar.
Akhirnya desa kami Sionching mendapat kehormatan buat menerima tamu
seorang mayor yang istimewa, didatangkan dari ibukota distrik Chuang Chu, buat
menyelesaikan sengketa Witau-Tentang. Saya hadir dalam sambutan mayor tadi
dalam gedung bekas temple (rumah berhala). Banyak juga para pembesar dan
khalayak dari sekitarnya desa Sionching yang hadir beserta mereka yang
bersenjata. Pengharapan, bahwa mayor dari Chuang-Chu akan dapat menyelesaikan
perkara yang sudah merayap bertahun-tahun itu amat besar sekali. Akhirnya
sesudah matahari tinggi, terdengarlah suara khalayak yang gembira mengabarkan,
bahwa mayor dari Chuang-Chu, ibu kota distrik sudah hampir tiba. Beliau berada
dalam tandu yang dipikul oleh beberapa kuli pemikul berpakaian upacara dan di-flankeer-i
(disayapi kiri-kanan) serta diiring oleh lebih kurang 100 orang serdadu lengkap
bersenjata. Setelah tandu berhenti di depan temple, maka keluarlah hakim kita
dari tandu tadi dengan langkah yang mengingatkan kita kepada Harun Alrasjid dan
Nabi Sulaiman yang keduanya termasyur adil itu. Segera mayor Chuang-Chu
disambut, disayap kiri kanan oleh para serdadu bersenjata lengkap, memasuki
bekas temple di desa Sionching. Pemeriksaan yang saya sangka akan segera
dilakukan rupanya perlu ditunda, sebab santapan yang sudah serba lengkap sudah
menunggu. Santapan ini tiadalah satu pekerjaan yang dijalankan dengan
cepat-kilat, secara militer, melainkan pekerjaan yang menghabiskan tempo dua
atau tiga jam, karena banyak ragamnya makanan yang dihidangkan, disertai pula
dengan minuman arak dengan cangkir berturut,
ialah cocok dengan “filsafat” makan minum. Supaya dapat lama mengecap
lezatnya.
Khalayak berusaha keras memberi penghiburan dan kesenangan kepada
“hakim” yang sudah lama diidam-idamkan. Maklumlah desa Siongching dan
sekitarnya terutama pula Witau dan Tentang, memusatkan semua pengharapannya
akan segera selesainya sengketa itu kepada kebijaksanaan dan kekuasaan mayor
dari Chuang-Chu. Tetapi kelihatan pula dan bisa dimengerti, bahwa sesudah
santapan besar dan minuman araknya itu dilakukan, orang tidak lagi mempunyai
pikiran yang terang-tenang dan nafsu yang keras buat memeriksa dan
menyelesaikan perkara, yang begitu ruwet-sulit dan sudah merayap bertahun-tahun
itu. Lagi pula para penyambut harus
menghormati “kebiasaan” mayor kita, ialah sedikit mengisap madat sebelum
tidur siang. “Sedikit” itu mesti dilakukan di desa lain, dimana ada “yoorraad”
(persiapan) di rumahnya seorang hartawan Tionghoa yang baru pula dari Manila,
dimana terdapat kasur yang empuk. Berarak-arak pula kami para penyambut
mengiringi mayor Chuang-Chu ke desa itu. barulah hampir sore selesai pemadatan
dan akibatnya ialah tidur siang. Tetapi waktu hari sore dan malam tentulah
bukan lagi waktu buat menyelesaikan sengketa Witau Tentang. Mayor Chuang-Chu
menganggap perkara sudah selesai begitu saja! Dan.........Mayor Chuang-Chu
sudah membuang waktu pula buat pulang-pergi ke Siongching satu minggu lamanya.
Ongkosnya bukan sedikit! Maklumlah, tak kurang dari satu batalyon (Lebih kurang
1000 serdadu) yang mengiringi, yang empat hari lamanya ditempatkan di
Tentang. $ 4.000 (empat ribu dollar di
Tiongkok) yang mesti dibayar oleh kedua desa tersebut buat pengganti ongkosnya
mayor Chuang-Chu. Tawar menawat tentulah tak bisa dilakukan oleh rakyat desa
Witau dan Tentang, terhadap mayor dari Chuang-Chu yang datang dengan satu
batalyon bersenjata lengkap. Tetapi meskipun Witau dan Tentang sendiri
menganggap perkara “belum” selesai. Witau dan Tentang dan desa sekitarnya
terpaksa bisa merasa puas, karena sudah mengadakan penyambutan, walaupun
sedikit mahal, terhadap pelindung rakyat.........!!!
Tamu di atas adalah tamu yang resmi. Tiongkok dimasa itu “diperlindungi”
oleh ratusan kalau tidak ribuan militeris semacam itu. Di samping itu adalah
berkeliaran tamu yang tidak resmi, ialah bermacam-macam rombongan to-hui,
bandit, perampok. Saya dua kali mengalami kedatangan tamu semacam ini. Yang
pertama sekali ialah di Sionching sendiri dan yang kedua kali di desanya Ka-it
yang jauhnya cuma satu jam perjalanan dari Siongching. Biasanya tamu tak resmi
ini datangnya tiba-tiba di malam hari lengkap dengan pasukan bersenjata sesudah
mereka mendapat kabar, bahwa ada “orang kaya” yang baru pulang dari “Nanyang”
(Selatan).
Belum lagi kami berada satu minggu di Sionching, Ki-Koq sudah mendapat
surat kaleng dari satu rombongan to-hui, bahwa dia mesti mengirimkan sekian
ribu rupiah ke rombongan to-hui itu sebagai jaminan atas keselamatannya Ki-Koq
dan keluarganya. Kabarnya, konon Ki-Koq lah yang mendapat kemenangan. Mereka
To-hui kembali dengan maksud hendak membalas dendam.
Tetapi Ki-Koq tak akan mengalah begitu saja, walaupun jiwanya sendiri
diancam. Dia kumpulkan semua senjata dan orang kuat dalam desa Sionching.
Pengawalan yang teliti diadakan terutama di malam hari. Benar kekuatan desa
Sionching tak lebih dari 20 orang, tetapi senjatanya adalah modern, dibeli di
Manila. Sedangkan musuh, meskipun terdiri dari lebih kurang 100 orang, tetapi
cuma beberapa orang saja yang bersenjata api dan lagi cuma bedil kuno. Bedil mesiu dan pelornya
semuanya “made in China”, dibikin oleh para tukang Tionghoa menurut resep asli.
Sekali pasang cuma bisa diletuskan satu kali saja. Sesudah meletus mesti diisi
dulu dengan mesiu dan dibikin dengan sabut dan tongkat, baru bisa ditembakkan
pula.
Hampir satu bulan lamanya kami dikepung oleh to-hui dalam desa Sionching
di musim dingin pula. Pertolongan dari pemerintah pusat, distrik ataupun dari
desa yang lain-lain sama sekali tak bisa diharapkan. Masing-masing melayani
urusannya sendiri-sendiri. Untunglah pula juga berhubung dengan sistem
kekeluargaan yang dipusakakan oleh Guru Kung kepada anak cucunya, praktis tiap-tiap desa sanggup berdiri atas
tenaga dan kebijaksanaan sendiri. Kalau tiada begitu, lamalah sudah runtuh
binasa masyarakat, bahkan bangsa Tionghoa,
yang berkali-kali berhadapan dengan mara bahaya yang timbul di dalam dan datang
dari luar itu.
Amat beratlah kekuatan lahir dan batin yang diperas dari Ki-Koq.
Berjaga-jaga siang dan malam hampir satu bulan lamanya, melemahkan tenaganya
dan mengurangkan nafsu makannya. Tetapi sebaliknya menegangkan urat
sarafnya. Kekurangan makan tidur itu
ditebusnya pula dengan minuman keras, chiakchiu. Minuman keras itulah pula yang
menjadi obat penolak dingin dan kegentaran, serta sebaliknya menimbulkan
kekuatan. Demikianlah akhirnya ketika pagi hari kami semuanya bangun, karena
letusan senapan berkali-kali. Letusan itu rupanya keluar dari senapan Ki-Koq
yang ditujukan ke ladang ubi-jalar (rambat). Entah karena memangnya suasana
udara kabur-kabut, entah karena akibat “chiak-chiu”, entah karena akibat ketiga
perkara itu, maka Ki-Koq menjadi mata gelap, dalam arti kita bangsa Indonesia.
Memangnya pula tingkah lakunya Ki-Koq, walaupun dibesarkan di Tiongkok, tak
lupus dari sifatnya Indonesia. Cuma neneklah yang bisa menyabarkan Ki-Koq.
Selainnya dari mengasuh, sebagai nenek yang berjasa membesarkan anak kehilangan
ibu-bapa yang amat nakal, nenek mempunyai senjata yang amat tajam menawan
Ki-Koq, kalau ia sudah sampai ke tingkat mata gelap, ialah air mata. Nenek merebut
senapan Ki-Koq dari tangannya dengan tangis. Kalau tiada begitu, maka
penembakan liar tadi, mungkin menimbulkan marabahaya, sebab yang disangka
to-hui oleh Ki-Koq tadi tak lain tak bukan daripada beberapa petani. Mereka
tentulah lari tunggang langgang ke desanya, setelah mendengar tembakan
berkali-kali itu.
Untunglah pula dengan kejadian begitu para to-hui yang mempunyai markas
pada satu gunung batu, dekat desa Sionching mengundurkan diri. Mereka insaf,
bahwa mereka berhadapan dengan satu rombongan bersenjata senapan yang
benar-benar berbahaya tembakannya dan dipegang oleh beberapa orang yang memang
bermaksud mempertahankan diri. Senekat-nekatnya to-hui, tiadalah mereka
mempunyai moral yang berani memberikan lebih banyak daripada kemungkinan hasil
yang didapat. Umumnya para to-hui lebih banyak mempergunakan tipuan-bujukan dan
gertak dari para pengorbanan jiwa melawan musuh yang mempunyai tekad membela
diri.
Demikianlah persangkaan yang dibelakang ini dibuktikan oleh sahabat saya
yang di Tang-Ua, satu kota berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, beberapa
Kilometer jaraknya dari Amoy. Sahabat tadi, yang sudah pernah saya kunjungi di
tempatnya, baru saja kembali dari Jawa dengan ibu, isteri dan dua orang saudara
laki-laki. Belum lama dia tinggal di rumah, maka datanglah serombongan to-hui,
mengepung dan akhirnya menerobos ke dalam rumahnya.
Percakapan dilakukan dengan yang empunya rumah kira-kira berbunyi:
To-hui: “Kami datang meminta bagian kami”
Tuan rumah: “Ya, tetapi kami bukannya orang kaya”
To-hui: “Kami tahu tuan mempunyai emas dan uang. Cobalah perlihatkan
kepada kami”.
Tuan rumah: “Kami sungguh tak mempunyai emas, cuma sedikit uang.
To-hui: “Baiklah kita selesaikan perkara ini secara damai saja; ham-ham.
Kalau tidak begitu, kecelakaan di pihak tuan tidak sedikit. Lihatlah berapa
banyak orang, kami yang bersenjata, menunggu di luar”.
Nyonya rumah: “Ini seribu dollar (Tiongkok). Terimalah saja. Inilah
semuanya harta kami”.
To-hui (tertawa): “Masakan ini semua harta nyonya. Kami tahu berapa uang
dan emas yang nyonya bawa kemari, tak perlu disembunyikan kepada kami”.
Tuan rumah: “Ini 3.000 dollar adalah ujungnya kesanggupan kami.”
To-hui: “Ini tak cukup buat hidupnya orang saya yang ratusan banyaknya,
selama sebulan. Maklumlah tuan, sebagian besar dari uang itu harus saya
bayarkan kepada “penyelidik” saja, yang
berada di Jawa, Amoy dan lain-lain tempat. Kami tahu benar-benar berapa harta
benda tuan ketika meningglakan Jawa, $ 10.000, buat keselamatan tuan sekalian.
Kalau tidak begitu, dan tak lekas dikerjakan tuan sekalian tahu
sendiri..........”
Itulah malam “perundingan” berakhir dengan kemenangan para to-hui,
berupa emas dan uang seharga $ 10.000, dengan tak ada korban apapun juga dari
pihak para to-hui, kecuali pengorbanan berupa beberapa perkataan yang diucapkan
dalam “perundingan” tadi.
Keluarga yang baru pulang ke tam-soa tadi, belum lagi selang berapa lama
lepas terkejut, maka pada satu malam diserang pula oleh rombongan yang kedua.
Dengan begitu maka kesabaran para sahabat kita dari Jawa tadi hilang lenyap,
bertukar kenekatan. Mereka insyaf, bahwa sikap damai itu tak membawa
perdamaian, karena oleh to-hui sikap suka damai itu dianggap satu kelemahan.
Mereka beranggapan, bahwa sikap damai itu akan membawa mereka ke kemelaratan,
dari itu lebih baik mati dalam pembelaan diri.
Ketiga laki-laki kita tadi lekas menjalankan siasat. Ada yang keluar
kamar dan ada pula yang memanjat ke loteng dan bersembunyi di sana di dalam
kamar masing-masing. Para to-hui naik tembok dan terus menerobos ke dalam
rumah, masuk ke kamar memaksa para wanita membuka peti. Apabila para to-hui
sedang asyik menghitung uang dan emas, maka tuan rumah melepaskan tembakannya
yang mengenai kepala dan membunuh dua orang to-hui yang menyerbu. Satu tembakan
lagi dilepaskan kepada to-hui yang muncul di atas tembok yang mengelilingi
rumah. To-hui inipun gugur.
Menyaksikan tembakan yang sedemikian jitu, yang dilepaskan oleh tangan
yang tegap dan hati yang nekat, maka para to-hui lainnya lari kocar-kacir.
Mereka bukannya datang untuk membuktikan kekesatriaan, melainkan untuk uang dan
emas, kalau dapat dengan bujuk tipu dan gertak saja, seperti yang sudah
dilakukan oleh rombongan yang pertama.
Besok harinya peristiwa tersebut dilaporkan kepada walikota. Sesudah
dipastikan, bahwa penyerang yang tewas tadi memangnya to-hui, maka sebelumnya
mayat mereka dikuburkan, mayat itu dibiarkan saja terlantar bebarapa hari
lamanya, buat dipertontonkan. “Pertontonan mayat itu menakuti to-hui yang
lain-lain dan dirasa dahsyat oleh khalayak Tiongkok umumnya. Dengan badan cacat
melayani penguburan yang tidak dilakukan menurut syarat Tionghoa adalah hina
dipandang dari sudut keduniaan dan dosa dipandang dari sudut keakhiratan
Tionghoa”.
Walikotapun tunduk pada lembaga dan agama Tionghoa itu. Betul walikota
Tung Ua adalah bekas “pemimpin to-hui yang ulung”, seperti banyak walikota yang
lain-lain di Hokkian, tetapi wali kota Tung-Ua, yang berpenduduk lebih kurang
300.000 orang itu sudah menjadi “orang baik” (ho-lang) dan sudah membaca buku “Guru Kung” (tak-thek). Bukan saja
dia sekarang menjadi hartawan besar, tetapi juga seorang dermawan. Langsai
(lunas) lah sudah hutang piutangnya di masa lamapau, ialah di masa khalayak
ramai umumnya dan mungkin juga menurut ukuran moral walikota sendiri.
Kebersihan dan kesehatan di kota-kota asli Tiongkok (bukan di kota-kota
modern seperti Shanghai, Wuhan, Hongkong dan lain-lain) sudah saya coba
gambarkan secara sederhana. Keadaan sedemikian di desa-desa menurut perasaan
saya, tak begitu menyedihkan. Perbedaan yang terutama sekali saya rasa adalah
berhubung dengan lapang dan hawa. Di kota-kota rapat padatnya rumah kiri-kanan
sepanjang jalan kecil, adalah cocok dengan rapat-padatnya orang. Angin hampir
tak bisa masuk. Rumah di desa mempunyai jarak satu sama lain, walaupun tak
seperti Indonesia. Kebanyakan rumah desa, yang umumnya rumah batu mempunyai
lapang cukup dalam rumah itu sendiri.
Rumah desa di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus
menerus, sering berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama
empat-lima bulan di musim sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding
batu, dinding belakang rumah, yang menghadap ke Selatan, dimana matahari
berada, cahaya matahari dapat memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya
matahari yang masuk dari Selatan dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh
angin Selantan yang mahsyur itu (lam-hong);
masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan badan yang
sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang saya kenal
benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas matahari dan
di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Tetapi tiadalah berarti, bahwa “orang Indonesia akan merasa biasa” saja,
kalau memasuki desa Tiongkok. Pertama kalai kita akan berkecil hati, melihat
banyaknya kakus yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini, di sepanjang jalan,
dimilikii oleh satu rumah, atau beberapa rumah sekeluarga. Masing-masing
membikin kakus atau rombongan kakus itu menurut kemauannya sendiri. “Town-planning”, membangunkan sesuatu
menurut rencana, tak ada sama sekali. Ada rombongan kakus yang dibikin di pintu
ke desa, ada yang di depan pintu gerbang tetangga dan ada pula di depan
dapurnya tetangga. Kita mesti berusaha mencocokkan diri dengan hawa yang
menyambut kita kalau kita memasuki desa kecil-besar, apalagi besar, di
Tiongkok. Orang Tionghoa di desa, kecuali orang kaya, biasa berurusan dengan
kotoran manusia itu, cair atau beku. Mereka sekali-kali tak merasa jijik
mengurusnya. Ini sekali-kali tidak diucapkan atau menghinakan orang Tionghoa.
Dalam keadaan sedemikian saya sendiripun akan mengerjakan semuanya yang
dikerjakan oleh pak tani Tionghoa itu, karena perlu dan praktis.
Bolehlah saya katakan, bahwa sebagian besar pesisir Hokkian, yang saya
kenal baik itu, terbilang makmur, karena banyak sekali orang yang mempunyai
keluarga yang berada di Filipina. Tioghoa di Filipina itu tak semuanya
memutuskan perhubungannya dengan tanah airnya. Kemakmuran mereka di Filipina
(juga di Selatan) mengakibatkan kemakmuran di bagian Hokkian yang berhubungan.
Tetapi semakmur-makmurnya desa Hokkian, jaranglah yang mempunyai kuda atau
sapi. Maka berhubung dengan kekurangan atau ketiadaan kuda dan sapi itu
menyebabkan hampir tak ada pupuk (rebuk) keluaran hewan, kecuali sedikit dari
babi.
Pertukaran antara alam dan manusia harus diteruskan buat keterusan
kemakmuran alam dan manusia itu. Tida saja tumbuhan menapas-kedalamkan
napas-keluarnya manusia yang berupa koolzuur
(CO2) tetapi juga sebaliknya menapas-keluarkan yang dinapas-kedalamkan oleh
manusia (O2 zuurstrof). Tumbuhan dan
manusia dalam hal napas adalah isi-mengisi dan tukar menukar. Selanjutnya tanah
menukarkan barang hasil berupa makanan (gandum dan sayur) dengan ampas manusia
berupa benda yang dilemparkan ke dalam kakus itu. Boleh juga dikatakan manusia
(dan hewan) memberikan ampasnya ke tanah buat menerima hasil tanah itu buat
hidupnya. Dengan demikian, tanah dan manusia tak bertambah kurus, melainkan
sebaliknya keduanya tetap sanggup tukar-menukar.
Kedua kotoran dalam kakus itu dilayani benar oleh para petani Tionghoa.
Mengolah dan mempergunakan dari macam benda itu, seperti mencampur dengan
jerami dan kotoran bagi, mengetahui waktunya boleh dipakai serta bagaimana cara
memakai, adalah termasuk keahlian para petani Tionghoa. Keahlian itu saya
anggap jauh lebih tinggi daripada keahlian petani Indonesia atau Hindustan.
Kalau dilebihi oleh petani Eropa, saya rasa cukup dalam hal teknik dan kimia
saja, dan baru pada abad paling belakangan ini saja.
Tanah dan kakus itu tak bisa dipisahkan dari tangan petani Tionghoa,
seperti tanah liat dan pasir tak bisa dipisahkan dari tangannya tukang batu
tembok. Hasil petani Tiongkok juga amat tinggi, jika dibandingkan dengan
keadaan tanahnya yang lebih kurus dari tanah Indonesia. Banyak saya bicarakan
dengan Tionghoa modern adanya kakus di desa-desa Tiongkok, yang mengganggu
kebagusan dan mungkin juga kesehatan desa. Biasanya kami mendapatkan kesimpulan
yang sama. Kalau tiada mau dipakai kotoran manusia, pemerintah pusat, daerah
atau desa, harus mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah.
Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat,
daerah atau desa harus pula mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat
tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah
pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan rioleering (jembatan tertutup)
dan pabrik kotoran manusia itu. Bagaimanapun juga, kotoran manusiapun harus
terus dikembalikan kepada alam. Cuma semuanya itu membutuhkan ongkos, teknik
dan ahli. Dalam keadaan politik, ekonomi, sosial dan kecerdasan Tiongkok pada
tingkatan sekarang, rencana semacam itu terpaksa jadi tinggal rencana saja.
Persatuan haruslah lebih erat, pemerintah lebih teratur, kemakmuran dan
pendidikan harus lebih tinggi dan umum, barulah rencana tersebut dapat
dijalankan dengan kemungkinan mendapat hasil yang bagus.
Perasaan kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya
sudah menjadi perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan
dari kecil sudah bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang
desa Tionghoa, apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara
menderu-deru seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin,
bahwa perasaan sunyi terpencil itu oleh seorang buangan di Digul yang paling
penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya di Digul masih banyak teman
seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan berpengharapan dan berbahasa
sama. Semuanya ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai
“sosial animal” (hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya
di desa Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat
dalam “broken English”nya, Inggris
salah. Pernah saya saksikan dua tiga orang pemuda (baba) Filipina, yang
menganut di-kokeu-i paham cinta pada
Tioghoa Raya, setelah satu-dua hari saja berada dalam rumah keluarganya di
desa, lari pulang ke Filipina dengan 1001 macam alasan.
Merekapun sudah bertukar adat dan tingkah lakunya dan tak tahan lagi
tinggal di desa leluhurnya. Apalagi kalau berada dalam segala kesederhanaan
belaka.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya! Pada satu hari Ki-Koq membawa
saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini dia mengajak saya mengangkat
tangan dan berjanji satu sama lainnya akan menganggap saudara kandung dan
tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti dan Ki-Koq pun terus memegang
teguh sampai perhubungan kami terputus. Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi
yang sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap
sayang, karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik.
Kakak, toa-chi, karena dia seorang
wanita yang lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam
rumah. Saya tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi mengeluarkan anak-baju, baju dan
mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara kami tak bisa, kecuali sepatah
dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi
pernah di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan
sekurangnya totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya
guna menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya dalam rumah
yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada suatu hari
petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak kelihatan suatu
apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita
kesakitan yang hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya
tak berobah, tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
Pada kira-kira jam 1 malam
datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”,
salah satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa
mundar-mandir dan dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang
dikenal oleh bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang
jahat dan meminta pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah
melihat mukanya Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya
tertidur, dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi sudah meninggalkan kami. Hampir
pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi rumah menuju ke bukit tempat
kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan digali untuk menguburkan
mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang diserang penyakit pesat
itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di desa-desa Hokkian untuk
menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain ialah meninggalkan desa
yang sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk desa laki-laki dan
perempuan tua muda buat sekian lama.
Demikianlah pada pagi harinya toa-chi
meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan seluruh desa sionching
berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq mengucapkan maksud sekeluarganya
kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang dituju, melainkan mengikuti saja
para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya sendiri dan para laki-laki lainnya
belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke Amoy baru dua tiga hari lagi
akan siap.
Dengan cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita
dan anak-anak, dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri
saya.
Ki-Koq berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam
kayu cendana buat dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras
untuk dimasak.
Kamar yang saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang
sudah tua dan rusak itu apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan,
menambah seramnya suasana kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya
pernah menderita sakit demam berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam
berturut-turut, sesudah toa-chi meninggal,
dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas. Apabila
sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah
suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari
terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang
masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang
mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan
terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.........
Sesudah dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani
dikirimkan oleh Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana
sekoci sudah menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan
baru, penuh riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat
sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
Saya menandai webster dengan nama saya seorang petugas polisi dan saya tinggal di tenggara kentucky di A.S., Beberapa hari yang lalu saya sedang mencari pinjaman online dan saya hanya menemukan orang-orang menipu saya dengan uang saya. Saya benar-benar membutuhkan pinjaman ini untuk sebuah proyek di Kolombia dan saya telah ditipu beberapa kali suatu hari ketika saya tidak bertugas, saya memutuskan untuk melihat lagi kali ini untuk perusahaan sejati yang memberikan pinjaman. Saya menemukan perusahaan ini bernama KARINA ROLAND LOAN COMPANY dan banyak lagi orang-orang telah bersaksi tentang perusahaan ini pada awalnya saya tidak percaya tetapi saya memutuskan untuk mengajukan pinjaman yang saya cari adalah sejumlah $ 6.000.000,00 yang saya ajukan dari perusahaan ini dan mereka memberi tahu saya semua yang perlu dilakukan saya mempercayai mereka dan saya melakukan apa mereka menyuruh saya melakukannya dan mereka meyakinkan saya bahwa dalam waktu 7 jam saya akan mendapatkan pinjaman saya dengan aman, saya tidak pernah mempercayai mereka tetapi saya menunggu pinjaman saya tepat waktu 7 jam saya mendapat telepon dari perusahaan bahwa jika saya telah menerimanya pinjaman saya belum dan saya berkata Tidak. Mereka mengatakan kepada saya untuk pergi ke bank saya dan memeriksa rekening saya bahwa bank saya mungkin tidak mengirimi saya peringatan, saya patuhi dan saya pergi ke bank saya dan memeriksa rekening saya dengan terkejut ketika sampai di sana saya melihat pinjaman $ 6,000,000.00 di akun saya uang yang saya miliki di akun saya sebelumnya ore adalah $ 1,000,000.00 dan sekarang saya menemukan $ 7,000,000.00 dari uang saya dan pinjaman saya adalah $ 7,000,000.00 saya sangat senang dan saya berterima kasih kepada perusahaan ini karena mereka hebat. Saya ingin menggunakan sedikit waktu saya untuk menulis kepada orang-orang di Amerika Serikat dan orang-orang di seluruh dunia bahwa jika Anda membutuhkan pinjaman nyata, karina roland adalah perusahaan yang tepat untuk melamar dari perusahaan ini tidak tahu saya melakukan ini jadi jika ada yang membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi saya melalui mail markwebster023@gmail.com atau menghubungi perusahaan melalui alamat surat karinarolandloancompany@gmail.com, salam +1585 708-3478 salam.
BalasHapusCUKUP CUKUP UNTUK KEBIJAKSANAAN.
BalasHapusPERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA ELENA ADALAH SATU-SATUNYA JALAN KELUAR DARI KESULITAN KEUANGAN (karinarolandloancompany@gmail.com)
whatsapp .... + 1585 708-3478
facebook ..... elena karina roland
instagram ..... karina roland
Salam, pikiran yang hebat, Ini akan menjadi kesenangan terbesar saya menyelamatkan Individu dan perusahaan dari pemerasan, saya tahu tidak semua orang akan mau mengungkapkan kebenaran pahit tentang Pinjaman online karena ketidakamanan, Waktu melakukannya dan sebagainya. i ”m AFIZAH NAZERI, seorang pebisnis wanita terkemuka yang tinggal di TERENGGANU CITY OF MALAYSIA telah memutuskan untuk membagikan artikel ini kepada siapa saja yang berkepentingan sehingga mereka dapat belajar dan mendidik diri sendiri darinya. Ini buruk sampai Anda melihat kesaksian online tentang mendapatkan pinjaman dan ternyata itu palsu. Sungguh saya telah jatuh untuk trik itu berkali-kali sampai memperpanjang saya kehilangan hampir Rm14.000 total semua atas nama mendapatkan pinjaman untuk diinvestasikan dalam bisnis yang sangat menguntungkan. Setelah begitu banyak upaya yang gagal untuk mendapatkan pinjaman, saya dan Manajer saya online untuk melakukan pencarian menyeluruh dan menemukan perusahaan ini KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY tetapi sebelum mencobanya, kami juga memastikan bahwa semuanya asli, periksa ulasan mereka dan juga pergi ke keberadaan dan kemampuan mereka. Kami sangat berhati-hati karena kami tidak ingin kehilangan sepeser pun lagi dan harapan terbesar kami, mereka memberikan sesuai dengan ulasan mereka dan memberi kami jumlah pinjaman yang diinginkan sebesar Rm80.000. Sebuah kata untuk semua orang di luar sana ketika datang ke Pemberi Pinjaman Online hanya hubungi KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY melalui email: {karinarolandloancompany@gmail.com} atau whatsapp +1585 708-3478, dan pertimbangkan semua masalah keuangan Anda ditangani dan diselesaikan. # SHARE, Anda dapat menyelamatkan seseorang dari korban hari ini, Terima kasih.
negara ...... Malaysia
nama ......... Afizah Nazeri
Jumlah yang disetujui ..... Rm80.000
bank ....... BSN (Malaysia)
email ....... afizahnazeri@gmail.com
Sungguh menakjubkan ketika saya berpikir bahwa semuanya sudah selesai dengan saya, nama saya susan garcia, dari phillipine, Bu KARINA ROLAND datang untuk menyelamatkan hidup saya. Saya sangat berhutang budi sampai orang-orang yang saya pinjam dari geng itu melawan saya dan kemudian menangkap saya karena hutang saya. ditahan selama berbulan-bulan periode lomba diberikan kepada saya ketika saya dipulangkan dan dibebaskan untuk pergi dan menghasilkan uang untuk melunasi semua hutang yang saya terima jadi saya diberitahu bahwa ada pemberi pinjaman online yang sah jadi saya harus mencari melalui blog saya ditipu sebelumnya tetapi ketika saya menemukan KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY, Tuhan mengarahkan saya ke iklannya di sebuah blog karena ketertarikan saya pada iklan itu benar-benar sebuah keajaiban mungkin karena Tuhan telah melihat bahwa saya memiliki banyak penderitaan, itulah mengapa dia mengarahkan saya kepadanya. Jadi saya mengajukan dengan antusias setelah beberapa jam pinjaman saya disetujui oleh Dewan dan dalam 24 jam saya dikreditkan dengan jumlah yang tepat yang saya maksudkan untuk semua ini tanpa jaminan tambahan Pinjaman Pribadi karena saya berbicara dengan Anda sekarang saya bisa melunasi semua hutang Saya dan sekarang saya memiliki supermarket sendiri, saya tidak membutuhkan bantuan orang lain sebelum saya memberi makan atau mengambil keuangan, apapun keputusan saya tidak ada urusan dengan Polisi, saya sekarang seorang wanita mandiri. Anda ingin merasakan kemandirian finansial seperti saya, silakan hubungi Ibu melalui email perusahaan: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp +15857083478 Anda tidak dapat memperdebatkan fakta bahwa di dunia yang sulit ini Anda membutuhkan seseorang untuk membantu Anda mengatasi perputaran keuangan di hidup dalam satu atau lain cara, maka saya memberikan amanat untuk mencoba dan menghubungi Ibu KARINA ROLAND di alamat di atas agar Anda dapat mengatasi kemerosotan finansial dalam hidup Anda. Anda dapat menghubungi saya melalui email berikut: (garciasusan113@gmail.com)) Selalu bersikap positif dengan Ibu KARINA ROLAND dia akan membantu Anda melalui semua tantangan keuangan Anda dan kemudian memberi Anda tampilan keuangan baru dan kebebasan untuk mengatasi semua kekhawatiran Anda.
BalasHapusSungguh menakjubkan ketika saya berpikir bahwa semuanya telah selesai dengan saya, nama saya susan garcia, dari phillipine, Bu KARINA ROLAND datang untuk menyelamatkan hidup saya. Saya sangat berhutang budi sampai orang-orang yang saya pinjam dari geng itu melawan saya dan kemudian menangkap saya karena hutang saya. ditahan selama berbulan-bulan periode lomba diberikan kepada saya ketika saya dipulangkan dan dibebaskan untuk pergi dan menghasilkan uang untuk melunasi semua hutang yang saya terima jadi saya diberitahu bahwa ada pemberi pinjaman online yang sah jadi saya harus mencari melalui blog saya ditipu sebelumnya tetapi ketika saya menemukan KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY, Tuhan mengarahkan saya ke iklannya di sebuah blog karena ketertarikan saya pada iklan itu benar-benar sebuah keajaiban mungkin karena Tuhan telah melihat bahwa saya memiliki banyak penderitaan, itulah mengapa dia mengarahkan saya kepadanya. Jadi saya mengajukan dengan antusias setelah beberapa jam pinjaman saya disetujui oleh Dewan dan dalam 24 jam saya dikreditkan dengan jumlah yang tepat yang saya maksudkan untuk semua ini tanpa jaminan tambahan Pinjaman Pribadi karena saya berbicara dengan Anda sekarang saya bisa melunasi semua hutang Saya dan sekarang saya memiliki supermarket sendiri, saya tidak membutuhkan bantuan orang lain sebelum saya memberi makan atau mengambil keuangan, apapun keputusan saya tidak ada urusan dengan Polisi, saya sekarang seorang wanita mandiri. Anda ingin merasakan kemandirian finansial seperti saya, silakan hubungi Ibu melalui email perusahaan: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp +15857083478 Anda tidak dapat memperdebatkan fakta bahwa di dunia yang sulit ini Anda membutuhkan seseorang untuk membantu Anda mengatasi perputaran keuangan di hidup dalam satu atau lain cara, maka saya memberikan amanat untuk mencoba dan menghubungi Ibu KARINA ROLAND di alamat di atas agar Anda dapat mengatasi kemerosotan finansial dalam hidup Anda. Anda dapat menghubungi saya melalui email berikut: (garciasusan113@gmail.com)) Selalu bersikap positif dengan Ibu KARINA ROLAND dia akan membantu Anda melalui semua tantangan keuangan Anda dan kemudian memberi Anda tampilan keuangan baru dan kebebasan untuk mengatasi semua kekhawatiran Anda.
BalasHapus