Kamis, 07 April 2016

Ke Arah Persatuan Perjuangan

 
Dari tanggal 15 Agustus, sampai 1 Oktober 1945 selama saya tinggal di Jakarta, saya rasa sudah cukup mendapat bukti, untuk menaksir hasrat dan kesanggupan Sukarno Hatta, sebagai pemimpin revolusi 17 Agustus.
Dari tanggal 15 Agustus sampai Desember 1945, sesudah sedikit mempelajari gerakan rakyat/pemuda di Anyer sampai ke Surabaya, maka saya merasa cukup mendapatkan alasan untuk mengambil inisiatif, mendirikan Persatuan Perjuangan. Maksud tulisan ini, ialah sekadarnya menguraikan pengalaman saya tentang hasrat dan tindakan Sukarno Hatta pada satu pihak dan hasrat/tindakan rakyat/pemuda di lain pihak dalam waktu tersebut diatas.
Setelah berpisah dengan Sukarni pada tanggal 15-16 Agustus dan dengan Chaerul Saleh pada tanggal 16 Agustus itu pula, sedangkan belum lagi saya mendapat kesempatan memperkenalkan nama saya kepada kedua pemuda tersebut, maka berpisahlah saya dengan pemuda Jakarta. Saya tidak lagi memperoleh kesempatan berjumpa dengan para pemuda lain yang dibelakang hari berpusat pada Markasnya Komite van Aksi di Menteng 31. Berkali-kali saya pergi mencari Sukarni dan Chaerul Saleh selama seminggu sesudahnya Proklamasi tetapi tidak dapat bertemu. Saya dapat berhubungan dengan sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto terkenal sebagai Bang Bejat, seorang Jurnalis yang berani menulis apa yang tidak enak di telinga Jepang dan yang amat populer diantara kami di Bayah. Beberapa kali saya mengunjungi sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto di kantor Asia-Raya dan rumahnya sendiri, tetapi pergabungan dengan para pemuda yang berpusat pada Menteng 31 dimana juga duduk Sukarni dan Chaerul Saleh, tiadalah saya peroleh. Malah baru di luar Jakarta dan jauh dibelakang harinya, saya mendengar tentang Markas Menteng 31. Demikianlah maksud saya bermula hendak memperkenalkan nama kepada para pemuda Jakarta dengan perantaraan Sukarni dan Chaerul Saleh tidaklah dapat saya lakukan selama berada di Jakarta tadi.
Apalagi niat itu tidak dapat saya lakukan, maka barulah saya mencoba memperhubungkan diri dengan seorang yang jarang sekali saya dengar namanya di masa Jepang, tetapi saya kenal baik di negeri Belanda (tahun 1919 dan 1922) ialah Mr. Subardjo yang menjabat Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidentil Pertama. Demikianlah pada tanggal 25 Agustus, yakni seminggu sesudahnya Proklamasi saya pergi menjumpai Mr. Subardjo di Cikini. Mulanya Mr. Subardjo kelihatan lupa kepada saya. Tetapi sesudah saya tanyakan, apakah dia sudah lupa kepada saya, maka oleh Mr. Subardjo, sambil berdiri kembali dijawab dengan “O, Tan Malaka, saya sangka sudah mati”.
Mr. Subardjolah yang pertama sekali mengucapkan nama saya yang sebenarnya, semenjak saya mendarat di Sumatera Timur, pada tanggal 10 Juni 1942. Ganjil benar bunyinya nama itu di telinga saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari. Nama itu malah memperingatkan kepada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1972 dan dalam penjara Inggris di Hongkong pada tahun 1932.
Segera Mr. Subardjo memanggil Mr. Iwa Kusuma Sumantri buat diperkenalkan kepada saya. Pada permulaan September saya oleh Sdr. Sayuti Melik diperkenalkan kepada Presiden Sukarno. Dan dengan wakil Presiden Moh. Hatta saya dijumpakan (Drs. Moh. Hatta saya kenal di Netherland pada tahun 1922) oleh Mr. Subardjo di rumahnya sendiri pada bulan September juga. Begitu pula dengan Sutan Syahrir, Mr. Gatot dan Dr. Buntaran.
Pada permulaan bulan September, setelah beberapa hari saja kami berjumpa kembali, maka Mr. Subardjo bertanya kepada saya, apakah pekerjaan yang sekiranya baik dilakukan di masa itu. Maka berhubungan dengan itu saya bentuklah bermacam-macam semboyan, seperti “The Government of the People, for the People and by the People”. Indonesia for Indonesians, “Hands off Indonesia” dan beberapa semboyan yang lain-lain. Semuanya semboyan itu, beberapa hari saja dibelakangnya, ditambah pula dengan beberapa semboyan lain oleh para pemuda sendiri sudah dicantumkan pada tembok-tembok, bangunan resmi, tram dan kereta di Jakarta. Segera kota-kota besar lainnya mengikuti. Kereta lambat dan cepat melarikan dan memperlihatkan semboyan itu ke seluruh pulau Jawa dari ujung ke ujung. Semboyan semacam itu sangat menimbulkan perhatian, serta membangkitkan semangat rakyat/pemuda dan bangsa asing yang bersimpati, tetapi sangat menerbitkan amarah, kebencian dan ketakutan mereka, yang tidak setuju dengan adanya Republik Indonesia, terutama Belanda Indo dan dibelakang hari bangsa Belanda Kolonial. Dengan maksud membelah dua yang pro dan yang anti Republik, memisahkan beras dan antah, maka tercapailah wujudnya semboyan tadi. Apabila Belanda kolonial mulai mencengkeramkan kembali kuku kekuasaannya di mana saja di Indonesia ini, maka semboyan itulah yang pertama kali dihapuskannya.
Pada tanggal 15 September saya rasa tibalah waktunya untuk mengusulkan apa yang saya sebutkan satu ujian kekuatan (kracht-proef). Saya maksudkan, ialah mengadakan satu demonstrasi, yang dapat memisahkan yang kawan daripada yang lawan, dan dapat menentukan berapa kuatnya kawan dan berapa pula kuatnya lawan pada ketika itu. sungguhpun pada masa itu Pemerintahan Republik sudah diadakan, tetapi kekuasaan administrasi, kepolisian dan ketentaraan masih berada di tangannya Jepang. Rupanya Jepang masih belum melepaskan maksudnya hendak menyerahkan Indonesia kepada Sekutu sebagai harta pindahan (inventaris kepada pihak yang menang oleh pihak yang kalah.)
Mr. Gatot segera setuju dengan demonstrasi semacam itu.
Demikianlah pula Mr. Subardjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan lain-lain, demonstrasi itu dijadikan usul dalam Sidang Kementrian.
Mulanya usul berdemonstrasi itu diterima oleh Kementrian Presidentil. Tetapi setelah dilarang oleh Jepang, maka Sukarno Hatta setuju pula dengan larangan Jepang kepada Indonesia merdeka itu dan tidak setuju lagi dengan persetujuan semula.
Mr. Gatot mendesak memegang persetujuan semula dan mendesak meneruskan demonstrasi, walaupun tidak disetujui oleh Jepang.
Mr. Gatot dengan amat bersemangat mendesak Presiden meneruskan! Tetapi seperti pada rapat Gerakan Baru (6Juli) Gitjo Sukarno tunduk kepada surat “Kalengnya” Jepang Saito, maka ini kalipun Presiden Sukarno (18/19 September) tunduk kepada “perintah” Jepang yang sudah sebulan lebih menyerah kalah itu. Sebagaimana Adam Malik meninggalkan rapat, sebagai protes terhadap pertukaran sikapnya Gitjo Sukarno dalam rapat Gerakan Baru, demikianlah pula Mr. Gatot meninggalkan Sidang Presidium Kementrian, sebagai protes terhadap pertukaran sikap Presiden Sukarno itu.
Sidang Kementrian kabarnya amat kacau. Kemudian nyata, bahwa Mr. Gatot, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Subardjo, Abikusno (Menteri Perhubungan), Dewantara dan lain-lain setuju meneruskan demonstrasi. Sukarno Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo dan lain-lain tidak setuju  menentang  kehendak Jepang dan setuju membatalkan persetujuan semula.
Maka berhubung dengan persoalan demonstrasi inilah, maka terjadilah suatu peristiwa, yang sedikit sekali hampir sama sekali tidak diketahui umum: rakyat/pemuda.
Sukarno Hatta yang tidak sanggup meneruskan demonstrasi yang tidak mendapat cap dari Jepang, walaupun capnya tentara yang menyerah kalah, Sukarno Hatta MELETAKKAN JABATANNYA. Jadinya Kabinet Presidentiel Sukarno Hatta yang pertama sudah DEMISIONER (berhenti). Cuma Jepang meminta Sukarno Hatta meneruskan pekerjaannya sebelum ada gantinya.
Benar Pengurus K.N.I besok harinya memutuskan mengangkut kembali Presidentil Kabinet itu, tetapi nyatalah sudah, bagaimana sikap Sukarno Hatta terhadap sesuatu pelaksanaan dari pada MASSA AKSI, ialah berdemonstrasi. Mereka meletakkan jabatan tak mau menanggung jawabkan dan Hatta mengakui di Gedung Hokokai (19 September bahwa mereka bukanlah “strijders” (orang berjuang). Di masa inilah pula keluarnya perkataan dari mulutnya Presiden Sukarno, bahwa dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang sudah mahir dalam gerakan revolusioner. (Perkataan tersebut diucapkan di depan para Menteri setelah dua kali berjumpaan dengan saya.
Sukarno sebagai Sorenggo Taitjo, Ketua Tertinggi seluruhnya PELOPOR memerintahkan, supaya demonstrasi jangan diteruskan. Tetapi pemuda Adam Malik (Wakil Ketua KNI Pusat) dan Menteri Abikusno dan lain-lain, setuju meneruskan. Pemuda Jakarta dengan giat membatalkan larangan demonstrasi dari Presiden Sukarno dan giat bekerja dimana-mana buat meneruskan.
Demonstrasi 19 September, di Jakarta yang dilakukan oleh kurang lebih 200.000 (dua ratus ribu) orang, terdiri dari rakyat/pemuda dari Jakarta, Pasar Minggu, Krawang dan Tangerang, disambut oleh Jepang di simpang jalan dan pintu jalan masuk ke Jakarta Kota dengan tank, mitraliur dan pedang terhunus. Tetapi di bawah pimpinan Pemuda Menteng 31, rakyat dengan BAMBU RUNCING saja, menentang Jepang pada beberapa tempat. Melihat rakyat bersiap dan MENGEPUNG, maka Jepang kelihatan gugup, ngeri dan membiarkan rakyat berduyun-duyun masuk ke lapangan Ikada.
Barulah Sukarno Hatta masuk mengikuti. Tetapi bukan dengan memperhebat demonstrasi dan mempergunakan sampai Jepang menyerahkan semua alat kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia melainkan untuk berpidato. Bukan pula berpidato memajukan tuntutan dan menggemborkan semangat berjuang dengan janji akan melakukan dan meneruskan “MASSA AKSI”, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi untuk meminta rakyat “percaya” dan “taat” kepadanya dan menyuruh rakyat pulang. Dalam kurang lebih 5 (lima) menit pidato Bung Karno, ini kali sudah selesai. Rakyat dan Pemuda kecewa dan pulang.
Sedangkan baru saja, ialah pada tanggal 29 Agustus dalam upacara pelantikan pertama Komite Nasional Pusat di Gedung Komidi Jakarta Presiden Sukarno berkata:....Kewajiban kita sekarang ialah mempersiapkan segala tenaga penyusunan Negara yang akan menghadapi dunia internasional tadi. Menyusun Negara dengan menjelmakan kebulatan kemauan dan cita-cita bangsa Indonesia seluruhnya. Keluar dan ke dalam maka kebulatan kemauan ini---algemeene volkswill ini---harus kita hidupkan, kita nyalakan, kita kobarkan sehingga orang Indonesia, dan buat kita sendiri hanyalah ada satu kenyataan saja: Bangsa Indonesia mau tetap merdeka...”
Perkataan yang terkenal pula, yang diucapkan oleh Presiden Sukarno di masa itu, ialah:
“Memproklamirkan kemerdekaan adalah gampang. Menyusun Undang-undang Dasar Negara adalh pekerjaan yang tidak sukar. Memilih Presiden adalah pekerjaan yang lebih gampang lagi. Tetapi menyusun administrasi negara, memberi isi kepada kemerdekaan itu, tegasnya: “Menguasai “politieke macht” itulah yang sukar.
Sumbangan saya dari jauh di masa lampau kepada Ir. Sukarno ialah brosur MASSA AKSI, yang dipakai oleh PNI dalam kursus dan propaganda umum. Sumbangan dari tempat tersembunyi, tetapi dari dekat, ialah pelaksanaan MASSA AKSI di masa DUALISME (19 September 1945), yakni bilamana administrasi dan senjata berada di tangan Jepang, tetapi ALGEMENE VOLKSWIL nyata pada saat itu diserahkan oleh rakyat/pemuda ketangannya Sukarno Hatta. Filsafat dan semangat revolusioner, perbuatan revolusioner yang kalau dilakukan dengan keberanian, ketabahan dan kebijaksanaan pada saat “die de seuwen beheerst” itu bisa memindahkan semua polietieke macht, ke tangan Republik, untuk meng-“ISI”-kan kemerdekaan itu. Dengan tabah dan ikhlas meleburkan diri dalam MASSA AKSI “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” sesungguhnya Sukarno Hatta semenitpun tak perlu menghiraukan ancaman Sekutu buat menuduh mereka  sebagai war-criminals. Karena sebagai akibatnya MASSA AKSI semacam itu rakyat akan bulat membela Presiden dan Wakil Presiden dan 70 juta rakyat Indonesia lebih dahulu harus ditangkap dan dihukum sebagai “war-criminal” sebelumnya Sekutu dapat menangkap dan menghukum Sukarno Hatta.
Tetapi sungguh besar pula perkataan Wakil Presiden Moh. Hatta, yang mengakui bahwa mereka bukannya “strijders”. Akan tetapi akan lebih nyata pula kebenaran perkataan semacam itu dalam waktu, yang menentukan timbul atau tenggelamnya Republik itu, kalau mereka bukan “striders” itu dengan ikhlas menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada mereka yang revolusioner dan “strijders”, walaupun selama perjuangan (kasar) saja.
Pertentangan antara perkataan “menyalakan dan mengobarkan ALGEMENE VOLKSWIL yang mau tetap merdeka itu” dan meng-ISI kemerdekaan sambil menguasai “politike macht” itulah berulang-ulang terjadi sebelumnya dan sesudahnya PERSATUAN PERJUANGAN.
Justru dalam beberapa hari pada permulaan PROKLAMASI kehendak rakyat/pemuda Jakarta, yang bermarkas pada Menteng 31 buat merebut senjata dari tangan Jepang, untuk meng-ISI kemerdekaan yang PROKLAMASI-nya dibacakan oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 dan menguasai “POLITIEKE MACHT” dipatahkan oleh Ir. Sukarno sendiri dengan perintah pembatalan (contra order), ialah pada saat perebutan itu akan dilakukan oleh rakyat dan pemuda.
Sebagian daripada Pemuda, yang dilarang melakukan perebutan senjata itu (di batalyon 12 di Matraman dan batalyon 13 di Manggarai), taat kepada Presiden, yang memangnya sebagai Kepala Negara harus ditaati.
Tetapi sebagian lainnya mau meneruskan perebutan itu, karena memangnya pula sudah dijanjikan putusan oleh mereka sendiri. Demikianlah perintah pembatalan itu pada ketika itu dan dibelakang hari selalu saja menimbulkan pertentangan dalam badan diri rakyat/pemuda sendiri, sehingga menyebabkan organisasi yang militant (bersifat penyerang) menjadi lumpuh, passive, kacau balau. Hasilnya tiap-tiap putusan hendak merebut senjata yang diketahui lebih dulu oleh Presiden Sukarno atau Wakil Presiden Moh. Hatta bolehlah dikatakan nihil, kosong. Itulah sebabnya kalau rakyat/pemuda yang bertempat jauh dari Presiden dan Wakil Presiden jauh lebih banyak dapat merebut senjata dari tangannya Jepang (Surabaya, Solo, Malang, Purwokerto dll) daripada rakyat/pemuda yang malangnya bertempat tinggal di dekat Presiden dan Wakil Presiden, karena pada saat perebutan itu akan dilaksanakan bersama-sama oleh pada saat perebutan itu akan dilaksanakan bersama-sama oleh sesuatu organisasi rakyat/pemuda, yang mungkin sekonyong-konyong datang satu perintah pembatalan, dari “Presiden Revolusi” kita, yang melumpuhkan perebutan senjata itu. Senjata pemuda Jakarta biasanya mereka peroleh dengan perkelahian seorang lawan seorang dari tangannya Gurka dan Inggris.
Saya sendiri sudah menyaksikan keragu-raguan Presiden Sukarno dalam keadaan genting. Dalam salah satu sidang yang kami namai “shadow cabinet” (Kabinet Bayangan), yang terdiri dari Sukarno, Hatta, Subardjo, Syahrir dan saya sendiri dan dibentuk atas persetujuan bersama atas usulnya Mr. Subardjo, di mana juga hadir Mr. Kasman Singodimejo, datanglah telpon dari Bandung yang meminta pertimbangan kepada pemerintah Republik, apakah interneeringskamp akan diserbu, untuk merebut senjata, yang kabarnya banyak disimpan di sana.
Presiden Sukarno segera melarang dengan muka pucat dan suara gugup. Saya sendiri sebenarnya sangat kecewa melihat muka yang begitu pucat dan mendengar suara yang begitu gugup dari seorang Presiden Revolusi menghadapi satu persoalan yang sebenarnya harus menggembirakan seorang revolusioner. Saya terperanjat menyaksikan sikap semacam itu dan memajukan dengan amat menyesal supaya perebutan senjata itu justru diteruskan. Jawab yang diberikan Sutan Syahrir atas pertanyaan Presiden Sukarno, tentang perebutan itu, adalah begitu “diplomatis” begitu terbungkus, sampai sama sekali saya tidak bisa menangkap isinya. Wakil Presiden yang kelihatannya tenang, akhirnya bertanya kepada saya: “jadi beiarkan saja?” jawab saya: “ya, biarkan saja mereka merebut”.
Saya kira urusan itu sudah selesai. Cuma saya heran melihat seorang bekas Chu-Dantjo pada ketika itu datang kepada Presiden dan dengan suara terharu serta air mata berlinang menjanjikan ketaatannya kepada Presiden. Saya tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan perintah apa yang ditaati itu. Tak pula saya tahu, bahwa Mr. Kasman Singodimejo, bekas Daidantjo sudah pergi ke belakang rumah Mr. Subardjo, ke tempat telpon. Baru besok harinya dari bekas Chudantjo tadi saya dengar kabar, bahwa penyerbuan ke interneeringskamp tak jadi dijalankan atas perintah bekas Chudantjo Mr. Kasman Singodimejo dengan telpon tadi malam.
Banyak saya memikirkan peristiwa itu di masa itu. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah gerangan nasibnya revolusi ini jika Presiden, sebagai Panglima Tertinggi melarang perebutan senjata ialah watak dan syaratnya tiap-tiap revolusi pada tiap-tiap Negeri atau tiap-tiap waktu di dunia ini. Alamat buruklah buat revolusi seluruhnya, bilamana permulaan revolusi itu, Panglima Tertinggi sudah memperlihatkan ketakutan memakai kekerasan: taku merebut “politieke macht” buat meng-ISI Kemerdekaan.
Terbukti di belakang hari, bahwa bukanlah kebetulan saja Panglima Tertinggi bertindak  seperti diatas, yakni melarang perebutan senjata dan melarang pertempuran. Setelah saya meninggalkan Jakarta (1 Oktober 1945), maka berulang-ulang Sukarno sebagai Panglima Tertinggi dan Moh. Hatta, yang disokong pula oleh Amir Syarifuddin melarang pertempuran di Surabaya dan Magelang. Rakyat yang melakukan MASSA AKSI, menyambut tindakan tentara Inggris yang ceroboh dan kejam di Surabaya, di ujungnya Solo Vallei (lihat: Naar de Republiek Indonesia, Januari 1924); rakyat tua muda, laki-perempuan dari semua golongan melawan “land, sea and air forces, with all the modern weapons of war” (senjata darat, laut dan udara dan semua senjata modern) yang dipergunakan oleh tentara Inggris, yang baru saja menang di medan perang dunia kedua; rakyat/pemuda Surabaya yang sudah berhasil mengepung ribuan serdadu Inggris yang bersenjata lengkap dan cuma tinggal menunggu ajalnya saja, dilarang oleh Panglima Tertinggi memusnahkan musuh yang ceroboh dan terang bersalah itu. Besok harinya tentara Inggris yang kemarinnya terkepung dan menunggu ajalnya saja itu (buat ditawan dan dilucuti senjatanya) kembali dengan kekuatan yang lebih besar dan akhirnya berhasil merebut seluruhnya kota Surabaya dan sekitarnya dalam waktu tiga minggu dan menimbulkan berupa harta benda dan mayat bertimbun-timbun.
Begitulah pula yang terjadi di Magelang, dan kemudian di Sukabumi karena tindakannya Sutan Syahrir, sebagai Perdana Menteri.
Sikap Sukarno Hatta terhadap agresi tentara asing di bumi Indonesia itu menyangsikan saya terhadap hasrat dan kesanggupan mereka. Demikianlah pula sikapnya Moh. Hatta terhadap perkara yang tak kurang pentingnya dari pada kemiliteran, ialah terhadap MILIK ASING.
Dalam salah satu pertemuan dengan para utusan dari Amerika, di mana saya diundang pula oleh Mr. Subardjo, sebagai Menteri Luar Negeri, maka terjadilah soal jawab yang penting.
Ketika Moh Hatta rupanya sebagai Ahli Ekonomi dalam Pemerintah Republik, berkata seolah-olah hendak mengakui dan mengembalikan semua milik dan perusahaan asing dengan tak ada syarat dan jaminan (umpamanya menuntut supaya tentara asing tidak boleh menempuh darat, laut dan udara Indonesia) maka saya sendiri merasa terpaksa tampil ke muka.
Karena pada masa itu (sebelum tentara Inggris mendarat, ialah sebelumnya tanggal 29 September) belum terbukti adanya agresi, walaupun sudah terdengar kabar, bahwa sekutu akan mengirimkan tentaranya ke Indonesia, maka saya cuma membayangkan, bahwa HAK MILIK ASING tak akan dikembalikan begitu saja.
Saya bayangkan pula, bahwa perusahaan penting akan dimiliki, diurus dan dikerjakan (owned, managed and operated) oleh Negara.
Sampai para utusan Amerika bertanya, dengan apakah kerugian akan diganti. Apabila saya sebut, bahwa Indonesia mempunyai karet, kina, kapas, minyak, emas dan lain-lain, maka mereka sambil tersenyum maklum, bahwa milik negara Asing, tetapi negara sahabat, yang akan kita ambil-kembali itu bisa kita ganti dengan hasilnya negara kita. Kalau agresi  terhadap Republik, yang merdeka 100% pada pertempuran tersebut sudah terbukti, tentulah saya akan mengemukakan, bahwa milik Negara Ceroboh, menurut kelaziman internasional akan di SITA oleh Republik dengan tidak ragu-ragu.
Sudah terbayang pada waktu itu, tetapi belum nyata bagi saya maksudnya Moh. Hatta hendak mengembalikan milik asing (musuh atau sahabat) seperti di kemudian hari ternyata  dalam maklumat, yang dikeluarkannya pada 1 Nopember 1945 yang sampai sekarang belum disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang syah, karena sampai sekarangpun belum ada Dewan Perwakilan Rakyat yang syah itu (dipilih oleh, dari dan untuk rakyat menurut cara pemilihan yang syah dan mempunyai hak-penuh, sebagai wakil rakyat).
Berhubung dengan tuduhan dalam pengumuman resmi pada tanggal 6 Juli 1947, yang mengatakan, bahwa pada sidang itu saya menyetujui “Trusteeship” maka disini saya terpaksa menerangkan, bahwa hampir akhir pertemuan saya memajukan empat pasal dan cuma empat pasal saja, yang dicatat penuh oleh para utusan Amerika tadi, dan saya anggap sebagai hasrat Republik yang terpenting:
1.      Speedy Negotiation (berunding selekas-lekasnya)
2.      Forming of a National Defence-Forces. (Membentuk Pertahanan Nasional)
3.      Withdrawal of all foreign forces (Penarikan kembali semua tentara Asing)
4.      International exhange of goods. (Penukaran barang dagang antara Republik dan Negara Asing)

Perkara lain tak ada yang saya majukan. “TRUSTEESHIP” tak mungkin saya pikirkan, jangan saya sebut, karena adanya “TRUSTEESHIP” itu belum saya ketahui dan perkara syaratnya “TRUSTEESHIP” pastilah tidak seorangpun  diantara yang hadir rapat mengetahui. Buat saya sendiri UNO-pun belum terbayang-bayang pada bulan September itu.
Lagi pula status “TRUSTEESHIP” tentulah berlawanan tepat dengan pasal 3 tersebut di atas, ialah penarikan kembali tentara asing, yakni penarikan kembali tentara Jepang ataupun tentara Sekutu yang terdengar-dengar hendak mendarat. Akhirnya “TRUSTEESHIP” pastilah berlawanan tepat dengan semua perkataan, tulisan dan perbuatan saya selama ini, dan berlawanan tepat dengan tindakan Belanda, tahun 1922, Amerika (1927) dan Inggris (1932) terhadap kemerdekaan diri saya selama saya berada di gelanggang gerakan revolusioner.
Keamanan dalam Republik akan dijamin oleh Pertahanan Nasional (menurut pasal 2). Bahwa UNO dengan DEWAN EKONOMINYA belum lagi saya ketahui di masa itu (maklumlah saya di waktu pendudukan Jepang lama terasing diam di Banten Selatan) ternyata pula oleh pasal 4, yang mengemukakan “pertukaran (barang) internasional”. Seandainya UNO dan peraturan UNO sudah saya ketahui, mungkin sekali pasal 4 di atas saya gandengkan ke UNO.
Empat pasal yang saya majukan itu oleh Sutan Syahrir disebutkan “a clear cut policy” (politik yang tegas). Karena sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak terlampau banyak bicara pertemuan tersebut, sedangkan bukannya MENTERI, maka utusan Amerika itu bertanya kepada saya: “In what capacity are you speaking” (sebagai apakah tuan berbicara).
Untunglah Mr. Subardjo, yang sudah dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab dengan cepat: “He is one of ourstaff members” (dia adalah salah seorang anggota kementerian Luar Negeri).
Untunglah pula tak ada diantara anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat pasal yang saya majukan itu.
Pada penghabisan bulan September, mulailah tentara Inggris, dengan ragu-ragu mendarat sedikit demi sedikit dan mengantongi Belanda. Para Wartawan Inggris yang ikut mendarat dan menyaksikan dengan mata sendiri demonstrasi rakyat pada tanggal 19 September menunjukkan kekagumannya yang amat sangat. Dari mulutnya para Wartawan itu, setelah melihat rakyat/pemuda berbaris bersaf-saf dengan rapi teratur, tabah tegap dengan dada membusung maju bergelombang dari semua penjuru menuju ke Jakarta kota, keluarlah perkataan : “Revolution-revolution-revolution”.
Tetapi dari mulut dan sikap Presiden dan Wakil Presiden Revolusi yang dapat saya baca cuma kecemasan dan ketakutan, kalau-kalau kelak oleh Sekutu akan dituduh sebagai “war-criminals”.
Inggris katanya cuma datang menjalankan Perintah Sekutu ialah untuk 1) Melucuti dan mengembalikan tentara Jepang. 2) Melepaskan dan mengembalikan tawanan Jepang. 3) Melepaskan APWI. Katanya pula Inggris tak akan mencampuri politik Indonesia.
Saya cukup mengenal janji Inggris di India Inggris, di Mesir dan di Tiongkok. Tak sekejappun di masa silam saya percaya kepada sesuatu janji Inggris, terhadap bangsa jajahan, atau bangsa yang dianggap inferior, rendah derajatnya, bilamana dia mempunyai kepentingan buat dirinya sendiri.
Takut kalau tak lama lagi tentara Inggris akan menduduki Jakarta dengan tak ada perlawanan dari pihak Pemerintah Republik, pada masa saya tak berhasil mengadakan perhubungan dengan pimpinan rakyat/pemuda, bahkan belum mendengar-dengar adanya MARKAS MENTENG 31, maka dengan SURAT WARISAN, yang dibuat atas inisiatif Presiden Sukarno dan diberikan serta ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta di mana diterangkan, bahwa kalau mereka tidak berdaya lagi memimpin revolusi ini, maka pimpinan revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dan lain-lain maka pada tanggal 1 (satu Oktober 1945 saya meninggalkan kota Jakarta dengan maksud hendak mengorganisir rakyat di luar Ibu Kota Jakarta).
Barulah di Bogor saya dapat bertemu kembali dengan Sukarni dan bertemu pertama kali dengan Adam Malik. Keduanya mereka mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap diri saya. Dikemudian hari, barulah saya mengerti mengapa pemeriksaan itu harus mereka lakukan ialah karena sudah berkali-kali di masa Jepang mereka tertipu dan dibahayakan oleh beberapa Tan Malaka Palsu. Tidak berapa lama sesudah pertemuan di Bogor itu, maka sekonyong-konyong datanglah pula Sukarni, Adam Malik dengan beberapa orang pemuda lain di waktu malam hari beserta orang berumur tinggi bekas teman sekolah saya di Bukit Tinggi, yakni Guru Halim. Maksud para pemuda ini ialah, supaya bekas teman sekolah itu dapat memastikan bahwa saya memangnya Tan Malaka yang sesungguhnya. Besok harinya Sutan Syahrir datang pula menjumpai saya.
Karena saya hendak berangkat ke Banten, maka kami berjanji akan bertemu kembali di Banten, ialah pada permulaan bulan Oktober juga.
Demikianlah pada suatu hari, saya mendapat kunjungan pula di Banten (Serang) dari beberapa pemuda terkemuka dari berbagai golongan. Diantaranya ialah Sutan Syahrir, Kusniani, Djohan Sjahruzah, Dr. Sudarsono (bekas Menteri), Sukarni, Maruto, Adam Malik, Pandu Wiguna, Djalil, Sugra, Karta Muhari dan lain-lain.
Pertanyaan yang dimajukan kepada saya, ialah, betapakah pandangan saya atas keadaan sekarang, dan apakah saya berkeberatan mengetuai Partai Sosiallah, yang akan didirikan di Jogya tidak lama lagi.
Bermula sekali saya kemukakan, teranglah sudah maksudnya Inggris, ialah cocok dengan perkataan, yang baru diucapkan oleh Perdana Menteri Inggris, Clement Attle, bahwa Inggris mempunyai “moral obligation” (berhutang budi) terhadap Belanda dan dia setuju dengan sikap Pemerintah Belanda, yang bermaksud mengadakan “KERJA SAMA” dengan “kaum moderat” Indonesia untuk menindas “Kaum Extremis”.
Terhadap maksud tamu hendak mendirikan Partai, maka saya kemukakan penganggapan saya, bahwa saatnya belum sampai, karena keadaan yang akan kita hadapi belum lagi terang! (Entah perang entah damai. Dalam masa perang tidaklah baik kalau mendirikan pelbagai Partai). Tetapi yang sudah terang bagi saya, ialah apabila satu Partai diizinkan berdiri, maka besok harinya pastilah berbagai-bagai Partai akan timbul, seperti jamur di musim hujan. Segala Partai dari pelbagai golongan dan corak itu akan amat susah dikendalikan menghadapi musuh seandainya Republik diserang musuh. Sementara suasana politik itu belum lagi terang, maka baiklah diperkuat saja Pemerintah yang ada dengan para pemimpin revolusioner yang masih ada di luar Pemerintahan!
Terhadap usul supaya saya mengetuai Partai Sosialis yang akan didirikan di Yogya itu, saya kemukakan, bahwa sikap saya terhadap sesuatu Partai Sosialis masih seperti dahulu saja; dan sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman se-partainya kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.
Jadi permintaan mengetuai Partai Sosialis itu bermula sudah saya tolak di Serang. Apabila salah seorang pemuda yang hadir menanyakan kepada Sutan Syahrir, apakah dia akan pergi juga ke Yogya buat mendirikan Partai Sosialis, maka dia tiada memberi jawaban apa-apa. Sepatah kata pun Sutan Syahrir tiada berbicara pada malam hari itu.
Sesampainya saya di Yogya, pada permulaan bulan Nopember, maka saya dikunjungi oleh beberapa para pemimpin lama, ialah Wijono, Marlan dan Marjohan dan diminta pula mengetuai Partai Sosialis yang akan didirikan itu. sikap dan jawaban saya adalah seperti di Serang juga. Usul yang bersifat juga dari pihak ketiga dan keempat tetap saya tolak saja. Saya menganggap belum sampai waktunya saya untuk keluar berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.
Di Yogya pada permulaan bulan Nopember itulah saya mendengarkan radio pemberontak Surabaya, yang mengatakan bahwa, “Tan Malaka berada di Surabaya sedang memimpin pemberontakan”.
Pada masa itu saya belum mengetahui adanya Tan Malaka Palsu, dan amat gembira mendengar, bahwa saya mempunyai banyak “anak  yang sedang bertempur di Surabaya, segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya.
Di hotel Mojokerto, pada suatu hari malam, sekonyong-konyong saya dikunjungi oleh sepasukan polisi tentara, bersenjata lengkap dan dengan sangkur terhunus menggeledah semua barang dan badan saya; menggiring saya ke kantor polisi buat dimasukkan ke sebuah kamar yang sempit, kotor, tak bertikar, penuh kutu busuk. Disinilah saya meringkuk sehari-semalam dengan tidak mengetahui atas alasan apakah sebenarnya saya ditangkap.
Baru di kemudian harinya saya mengetahui, bahwa pada suatu hari sdr. Sabarudin, kepala P.T. Surabaya di masa itu, kabarnya didatangi oleh beberapa Pemuda/Pemudi bersenjata lengkap yang mengancam dengan senjata, mendesak supaya saya dilepaskan dengan segera. Ancam-mengancam serta tembak-menembak memangnya amat lazim di waktu itu.
Tahu-tahu sudah datang beberapa pemuda menjemput saya ke Mojokerto dan membawa saya ke Surabaya, Gedung Tarokan. Di sinilah saya oleh para pemuda dijumpakan  dan dibandingkan dengan salah seorang Tan Malaka palsu, yang mendiami rumah istimewa, yang dipersiapkan oleh para pemuda baginya, untuk memberi “kursus” dan “memimpin” (katanya) ribuan pemuda yang berjuang. Disinilah saya tinggal berhari-hari di tengah –tengah dentuman meriam, mortir dan bom, sambil menulis beberapa brosur di tempat MARKASNYA P.R.I (Pemuda Republik Indonesia), yang memimpin perjuangan mati-matian. Satu jam saja setelah kami meninggalkan gedung Tarokan, maka serdadu Gurka masuk menduduki.
Mulanya saya coba tinggal di luar kota Surabaya. Tetapi karena gelagat sudah jelas, bahwa para pemuda akan meninggalkan Kota Surabaya, maka saya teruskan saja perjalanan ke Malang, buat memikirkan sikap dan tindakan apa yang harus dilakukan dengan cepat.
Bukti yang jelas terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga saya sendiri sesudah perjalanan saya dari Anyer ke Surabaya dan perhubungan dengan penangkapan atas diri saya di Mojokerto, kesan yang terang tertulis di kulit saya, ialah: .
1.      Kemauan Sukarno Hatta tak cocok dengan kemauan rakyat/pemuda seperti terbukti selama perjuangan rakyat/pemuda di Jakarta, Surabaya, Magelang dan lain-lain tempat.
2.      Partai Barisan dan Badan, yang timbul seperti jamur, setelah Partai diizinkan berdiri, satu sama lainnya curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, tangkap-menangkap, bahkan tembak-menembak.
3.      Penangkapan atas diri saya sendiri, dengan tidak sesuatu alasanpun dan dilepaskan oleh ancaman dari pihak golongan saja, adalah salah satu bukti bermerajalelanya kesalahan faham, kecurigaan dan kekacauan di antara awak sama awak.
4.      Propaganda saya di tempat bersembunyi, seperti saya lakukan selama ini, akan terus banyak terhalang oleh adanya Tan Malaka palsu, alat propaganda yang dipusakakan oleh imperialisme Belanda-Jepang untuk mengacau-balaukan gerakan revolusi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar