Dari tanggal 15 Agustus, sampai 1
Oktober 1945 selama saya tinggal di Jakarta, saya rasa sudah cukup mendapat
bukti, untuk menaksir hasrat dan kesanggupan Sukarno Hatta, sebagai pemimpin
revolusi 17 Agustus.
Dari tanggal 15 Agustus sampai
Desember 1945, sesudah sedikit mempelajari gerakan rakyat/pemuda di Anyer
sampai ke Surabaya, maka saya merasa cukup mendapatkan alasan untuk mengambil
inisiatif, mendirikan Persatuan Perjuangan. Maksud tulisan ini, ialah
sekadarnya menguraikan pengalaman saya tentang hasrat dan tindakan Sukarno
Hatta pada satu pihak dan hasrat/tindakan rakyat/pemuda di lain pihak dalam
waktu tersebut diatas.
Setelah berpisah dengan Sukarni pada
tanggal 15-16 Agustus dan dengan Chaerul Saleh pada tanggal 16 Agustus itu
pula, sedangkan belum lagi saya mendapat kesempatan memperkenalkan nama saya
kepada kedua pemuda tersebut, maka berpisahlah saya dengan pemuda Jakarta. Saya
tidak lagi memperoleh kesempatan berjumpa dengan para pemuda lain yang
dibelakang hari berpusat pada Markasnya Komite van Aksi di Menteng 31.
Berkali-kali saya pergi mencari Sukarni dan Chaerul Saleh selama seminggu
sesudahnya Proklamasi tetapi tidak dapat bertemu. Saya dapat berhubungan dengan
sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto terkenal sebagai Bang Bejat, seorang
Jurnalis yang berani menulis apa yang tidak enak di telinga Jepang dan yang
amat populer diantara kami di Bayah. Beberapa kali saya mengunjungi sdr.
Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto di kantor Asia-Raya dan rumahnya sendiri,
tetapi pergabungan dengan para pemuda yang berpusat pada Menteng 31 dimana juga
duduk Sukarni dan Chaerul Saleh, tiadalah saya peroleh. Malah baru di luar
Jakarta dan jauh dibelakang harinya, saya mendengar tentang Markas Menteng 31.
Demikianlah maksud saya bermula hendak memperkenalkan nama kepada para pemuda
Jakarta dengan perantaraan Sukarni dan Chaerul Saleh tidaklah dapat saya
lakukan selama berada di Jakarta tadi.
Apalagi niat itu tidak dapat saya
lakukan, maka barulah saya mencoba memperhubungkan diri dengan seorang yang jarang
sekali saya dengar namanya di masa Jepang, tetapi saya kenal baik di negeri
Belanda (tahun 1919 dan 1922) ialah Mr. Subardjo yang menjabat Menteri Luar
Negeri dalam Kabinet Presidentil Pertama. Demikianlah pada tanggal 25 Agustus,
yakni seminggu sesudahnya Proklamasi saya pergi menjumpai Mr. Subardjo di
Cikini. Mulanya Mr. Subardjo kelihatan lupa kepada saya. Tetapi sesudah saya
tanyakan, apakah dia sudah lupa kepada saya, maka oleh Mr. Subardjo, sambil
berdiri kembali dijawab dengan “O, Tan Malaka, saya sangka sudah mati”.
Mr. Subardjolah yang pertama sekali
mengucapkan nama saya yang sebenarnya, semenjak saya mendarat di Sumatera
Timur, pada tanggal 10 Juni 1942. Ganjil benar bunyinya nama itu di telinga
saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi
nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari. Nama itu malah
memperingatkan kepada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para
pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang
bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1972
dan dalam penjara Inggris di Hongkong pada tahun 1932.
Segera Mr. Subardjo memanggil Mr.
Iwa Kusuma Sumantri buat diperkenalkan kepada saya. Pada permulaan September
saya oleh Sdr. Sayuti Melik diperkenalkan kepada Presiden Sukarno. Dan dengan
wakil Presiden Moh. Hatta saya dijumpakan (Drs. Moh. Hatta saya kenal di
Netherland pada tahun 1922) oleh Mr. Subardjo di rumahnya sendiri pada bulan
September juga. Begitu pula dengan Sutan Syahrir, Mr. Gatot dan Dr. Buntaran.
Pada permulaan bulan September,
setelah beberapa hari saja kami berjumpa kembali, maka Mr. Subardjo bertanya
kepada saya, apakah pekerjaan yang sekiranya baik dilakukan di masa itu. Maka
berhubungan dengan itu saya bentuklah bermacam-macam semboyan, seperti “The
Government of the People, for the People and by the People”. Indonesia for
Indonesians, “Hands off Indonesia” dan beberapa semboyan yang lain-lain.
Semuanya semboyan itu, beberapa hari saja dibelakangnya, ditambah pula dengan
beberapa semboyan lain oleh para pemuda sendiri sudah dicantumkan pada
tembok-tembok, bangunan resmi, tram dan kereta di Jakarta. Segera kota-kota
besar lainnya mengikuti. Kereta lambat dan cepat melarikan dan memperlihatkan
semboyan itu ke seluruh pulau Jawa dari ujung ke ujung. Semboyan semacam itu
sangat menimbulkan perhatian, serta membangkitkan semangat rakyat/pemuda dan
bangsa asing yang bersimpati, tetapi sangat menerbitkan amarah, kebencian dan
ketakutan mereka, yang tidak setuju dengan adanya Republik Indonesia, terutama
Belanda Indo dan dibelakang hari bangsa Belanda Kolonial. Dengan maksud
membelah dua yang pro dan yang anti Republik, memisahkan beras dan antah, maka
tercapailah wujudnya semboyan tadi. Apabila Belanda kolonial mulai
mencengkeramkan kembali kuku kekuasaannya di mana saja di Indonesia ini, maka
semboyan itulah yang pertama kali dihapuskannya.
Pada tanggal 15 September saya rasa
tibalah waktunya untuk mengusulkan apa yang saya sebutkan satu ujian kekuatan
(kracht-proef). Saya maksudkan, ialah mengadakan satu demonstrasi, yang dapat
memisahkan yang kawan daripada yang lawan, dan dapat menentukan berapa kuatnya
kawan dan berapa pula kuatnya lawan pada ketika itu. sungguhpun pada masa itu
Pemerintahan Republik sudah diadakan, tetapi kekuasaan administrasi, kepolisian
dan ketentaraan masih berada di tangannya Jepang. Rupanya Jepang masih belum
melepaskan maksudnya hendak menyerahkan Indonesia kepada Sekutu sebagai harta
pindahan (inventaris kepada pihak yang menang oleh pihak yang kalah.)
Mr. Gatot segera setuju dengan
demonstrasi semacam itu.
Demikianlah pula Mr. Subardjo, Mr.
Iwa Kusuma Sumantri dan lain-lain, demonstrasi itu dijadikan usul dalam Sidang
Kementrian.
Mulanya usul berdemonstrasi itu
diterima oleh Kementrian Presidentil. Tetapi setelah dilarang oleh Jepang, maka
Sukarno Hatta setuju pula dengan larangan Jepang kepada Indonesia merdeka itu
dan tidak setuju lagi dengan persetujuan semula.
Mr. Gatot mendesak memegang
persetujuan semula dan mendesak meneruskan demonstrasi, walaupun tidak
disetujui oleh Jepang.
Mr. Gatot dengan amat bersemangat
mendesak Presiden meneruskan! Tetapi seperti pada rapat Gerakan Baru (6Juli)
Gitjo Sukarno tunduk kepada surat “Kalengnya” Jepang Saito, maka ini kalipun
Presiden Sukarno (18/19 September) tunduk kepada “perintah” Jepang yang sudah
sebulan lebih menyerah kalah itu. Sebagaimana Adam Malik meninggalkan rapat,
sebagai protes terhadap pertukaran sikapnya Gitjo Sukarno dalam rapat Gerakan
Baru, demikianlah pula Mr. Gatot meninggalkan Sidang Presidium Kementrian,
sebagai protes terhadap pertukaran sikap Presiden Sukarno itu.
Sidang Kementrian kabarnya amat
kacau. Kemudian nyata, bahwa Mr. Gatot, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Subardjo,
Abikusno (Menteri Perhubungan), Dewantara dan lain-lain setuju meneruskan
demonstrasi. Sukarno Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo dan lain-lain tidak
setuju menentang kehendak Jepang dan setuju membatalkan
persetujuan semula.
Maka berhubung dengan persoalan
demonstrasi inilah, maka terjadilah suatu peristiwa, yang sedikit sekali hampir
sama sekali tidak diketahui umum: rakyat/pemuda.
Sukarno Hatta yang tidak sanggup
meneruskan demonstrasi yang tidak mendapat cap dari Jepang, walaupun capnya
tentara yang menyerah kalah, Sukarno Hatta MELETAKKAN JABATANNYA. Jadinya
Kabinet Presidentiel Sukarno Hatta yang pertama sudah DEMISIONER (berhenti).
Cuma Jepang meminta Sukarno Hatta meneruskan pekerjaannya sebelum ada gantinya.
Benar Pengurus K.N.I besok harinya
memutuskan mengangkut kembali Presidentil Kabinet itu, tetapi nyatalah sudah,
bagaimana sikap Sukarno Hatta terhadap sesuatu pelaksanaan dari pada MASSA
AKSI, ialah berdemonstrasi. Mereka meletakkan jabatan tak mau menanggung
jawabkan dan Hatta mengakui di Gedung Hokokai (19 September bahwa mereka
bukanlah “strijders” (orang berjuang). Di masa inilah pula keluarnya perkataan
dari mulutnya Presiden Sukarno, bahwa dia akan menyerahkan pimpinan revolusi
kepada salah seorang yang sudah mahir dalam gerakan revolusioner. (Perkataan
tersebut diucapkan di depan para Menteri setelah dua kali berjumpaan dengan
saya.
Sukarno sebagai Sorenggo Taitjo,
Ketua Tertinggi seluruhnya PELOPOR memerintahkan, supaya demonstrasi jangan
diteruskan. Tetapi pemuda Adam Malik (Wakil Ketua KNI Pusat) dan Menteri
Abikusno dan lain-lain, setuju meneruskan. Pemuda Jakarta dengan giat
membatalkan larangan demonstrasi dari Presiden Sukarno dan giat bekerja
dimana-mana buat meneruskan.
Demonstrasi 19 September, di Jakarta
yang dilakukan oleh kurang lebih 200.000 (dua ratus ribu) orang, terdiri dari
rakyat/pemuda dari Jakarta, Pasar Minggu, Krawang dan Tangerang, disambut oleh
Jepang di simpang jalan dan pintu jalan masuk ke Jakarta Kota dengan tank,
mitraliur dan pedang terhunus. Tetapi di bawah pimpinan Pemuda Menteng 31,
rakyat dengan BAMBU RUNCING saja, menentang Jepang pada beberapa tempat.
Melihat rakyat bersiap dan MENGEPUNG, maka Jepang kelihatan gugup, ngeri dan
membiarkan rakyat berduyun-duyun masuk ke lapangan Ikada.
Barulah Sukarno Hatta masuk
mengikuti. Tetapi bukan dengan memperhebat demonstrasi dan mempergunakan sampai
Jepang menyerahkan semua alat kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia melainkan
untuk berpidato. Bukan pula berpidato memajukan tuntutan dan menggemborkan
semangat berjuang dengan janji akan melakukan dan meneruskan “MASSA AKSI”, dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi untuk meminta rakyat “percaya” dan
“taat” kepadanya dan menyuruh rakyat pulang. Dalam kurang lebih 5 (lima) menit
pidato Bung Karno, ini kali sudah selesai. Rakyat dan Pemuda kecewa dan pulang.
Sedangkan baru saja, ialah pada
tanggal 29 Agustus dalam upacara pelantikan pertama Komite Nasional Pusat di
Gedung Komidi Jakarta Presiden Sukarno berkata:....Kewajiban kita sekarang
ialah mempersiapkan segala tenaga penyusunan Negara yang akan menghadapi dunia internasional
tadi. Menyusun Negara dengan menjelmakan kebulatan kemauan dan cita-cita bangsa
Indonesia seluruhnya. Keluar dan ke dalam maka kebulatan kemauan
ini---algemeene volkswill ini---harus kita hidupkan, kita nyalakan, kita
kobarkan sehingga orang Indonesia, dan buat kita sendiri hanyalah ada satu
kenyataan saja: Bangsa Indonesia mau tetap merdeka...”
Perkataan yang terkenal pula, yang
diucapkan oleh Presiden Sukarno di masa itu, ialah:
“Memproklamirkan kemerdekaan adalah
gampang. Menyusun Undang-undang Dasar Negara adalh pekerjaan yang tidak sukar.
Memilih Presiden adalah pekerjaan yang lebih gampang lagi. Tetapi menyusun
administrasi negara, memberi isi kepada kemerdekaan itu, tegasnya: “Menguasai
“politieke macht” itulah yang sukar.
Sumbangan saya dari jauh di masa
lampau kepada Ir. Sukarno ialah brosur MASSA AKSI, yang dipakai oleh PNI dalam
kursus dan propaganda umum. Sumbangan dari tempat tersembunyi, tetapi dari
dekat, ialah pelaksanaan MASSA AKSI di masa DUALISME (19 September 1945), yakni
bilamana administrasi dan senjata berada di tangan Jepang, tetapi ALGEMENE
VOLKSWIL nyata pada saat itu diserahkan oleh rakyat/pemuda ketangannya Sukarno
Hatta. Filsafat dan semangat revolusioner, perbuatan revolusioner yang kalau
dilakukan dengan keberanian, ketabahan dan kebijaksanaan pada saat “die de
seuwen beheerst” itu bisa memindahkan semua polietieke macht, ke tangan
Republik, untuk meng-“ISI”-kan kemerdekaan itu. Dengan tabah dan ikhlas
meleburkan diri dalam MASSA AKSI “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”
sesungguhnya Sukarno Hatta semenitpun tak perlu menghiraukan ancaman Sekutu
buat menuduh mereka sebagai
war-criminals. Karena sebagai akibatnya MASSA AKSI semacam itu rakyat akan
bulat membela Presiden dan Wakil Presiden dan 70 juta rakyat Indonesia lebih
dahulu harus ditangkap dan dihukum sebagai “war-criminal” sebelumnya Sekutu
dapat menangkap dan menghukum Sukarno Hatta.
Tetapi sungguh besar pula perkataan
Wakil Presiden Moh. Hatta, yang mengakui bahwa mereka bukannya “strijders”. Akan tetapi akan lebih nyata
pula kebenaran perkataan semacam itu dalam waktu, yang menentukan timbul atau
tenggelamnya Republik itu, kalau mereka bukan “striders” itu dengan ikhlas
menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada mereka yang revolusioner dan
“strijders”, walaupun selama perjuangan (kasar) saja.
Pertentangan antara perkataan
“menyalakan dan mengobarkan ALGEMENE VOLKSWIL yang mau tetap merdeka itu” dan
meng-ISI kemerdekaan sambil menguasai “politike macht” itulah berulang-ulang
terjadi sebelumnya dan sesudahnya PERSATUAN PERJUANGAN.
Justru dalam beberapa hari pada
permulaan PROKLAMASI kehendak rakyat/pemuda Jakarta, yang bermarkas pada
Menteng 31 buat merebut senjata dari tangan Jepang, untuk meng-ISI kemerdekaan
yang PROKLAMASI-nya dibacakan oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
menguasai “POLITIEKE MACHT” dipatahkan oleh Ir. Sukarno sendiri dengan perintah
pembatalan (contra order), ialah pada saat perebutan itu akan dilakukan oleh
rakyat dan pemuda.
Sebagian daripada Pemuda, yang
dilarang melakukan perebutan senjata itu (di batalyon 12 di Matraman dan
batalyon 13 di Manggarai), taat kepada Presiden, yang memangnya sebagai Kepala
Negara harus ditaati.
Tetapi sebagian lainnya mau
meneruskan perebutan itu, karena memangnya pula sudah dijanjikan putusan oleh
mereka sendiri. Demikianlah perintah pembatalan itu pada ketika itu dan
dibelakang hari selalu saja menimbulkan pertentangan dalam badan diri
rakyat/pemuda sendiri, sehingga menyebabkan organisasi yang militant (bersifat
penyerang) menjadi lumpuh, passive, kacau balau. Hasilnya tiap-tiap putusan
hendak merebut senjata yang diketahui lebih dulu oleh Presiden Sukarno atau
Wakil Presiden Moh. Hatta bolehlah dikatakan nihil, kosong. Itulah sebabnya
kalau rakyat/pemuda yang bertempat jauh dari Presiden dan Wakil Presiden jauh
lebih banyak dapat merebut senjata dari tangannya Jepang (Surabaya, Solo,
Malang, Purwokerto dll) daripada rakyat/pemuda yang malangnya bertempat tinggal
di dekat Presiden dan Wakil Presiden, karena pada saat perebutan itu akan
dilaksanakan bersama-sama oleh pada saat perebutan itu akan dilaksanakan
bersama-sama oleh sesuatu organisasi rakyat/pemuda, yang mungkin
sekonyong-konyong datang satu perintah pembatalan, dari “Presiden Revolusi”
kita, yang melumpuhkan perebutan senjata itu. Senjata pemuda Jakarta biasanya
mereka peroleh dengan perkelahian seorang lawan seorang dari tangannya Gurka
dan Inggris.
Saya sendiri sudah menyaksikan
keragu-raguan Presiden Sukarno dalam keadaan genting. Dalam salah satu sidang
yang kami namai “shadow cabinet” (Kabinet Bayangan), yang terdiri dari Sukarno,
Hatta, Subardjo, Syahrir dan saya sendiri dan dibentuk atas persetujuan bersama
atas usulnya Mr. Subardjo, di mana juga hadir Mr. Kasman Singodimejo, datanglah
telpon dari Bandung yang meminta pertimbangan kepada pemerintah Republik,
apakah interneeringskamp akan diserbu, untuk merebut senjata, yang kabarnya
banyak disimpan di sana.
Presiden Sukarno segera melarang
dengan muka pucat dan suara gugup. Saya sendiri sebenarnya sangat kecewa
melihat muka yang begitu pucat dan mendengar suara yang begitu gugup dari
seorang Presiden Revolusi menghadapi satu persoalan yang sebenarnya harus
menggembirakan seorang revolusioner. Saya terperanjat menyaksikan sikap semacam
itu dan memajukan dengan amat menyesal supaya perebutan senjata itu justru
diteruskan. Jawab yang diberikan Sutan Syahrir atas pertanyaan Presiden
Sukarno, tentang perebutan itu, adalah begitu “diplomatis” begitu terbungkus,
sampai sama sekali saya tidak bisa menangkap isinya. Wakil Presiden yang kelihatannya
tenang, akhirnya bertanya kepada saya: “jadi beiarkan saja?” jawab saya: “ya,
biarkan saja mereka merebut”.
Saya kira urusan itu sudah selesai.
Cuma saya heran melihat seorang bekas Chu-Dantjo pada ketika itu datang kepada
Presiden dan dengan suara terharu serta air mata berlinang menjanjikan
ketaatannya kepada Presiden. Saya tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan
perintah apa yang ditaati itu. Tak pula saya tahu, bahwa Mr. Kasman
Singodimejo, bekas Daidantjo sudah pergi ke belakang rumah Mr. Subardjo, ke
tempat telpon. Baru besok harinya dari bekas Chudantjo tadi saya dengar kabar,
bahwa penyerbuan ke interneeringskamp tak jadi dijalankan atas perintah bekas
Chudantjo Mr. Kasman Singodimejo dengan telpon tadi malam.
Banyak saya memikirkan peristiwa itu
di masa itu. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah gerangan nasibnya
revolusi ini jika Presiden, sebagai Panglima Tertinggi melarang perebutan
senjata ialah watak dan syaratnya tiap-tiap revolusi pada tiap-tiap Negeri atau
tiap-tiap waktu di dunia ini. Alamat buruklah buat revolusi seluruhnya,
bilamana permulaan revolusi itu, Panglima Tertinggi sudah memperlihatkan
ketakutan memakai kekerasan: taku merebut “politieke macht” buat meng-ISI
Kemerdekaan.
Terbukti di belakang hari, bahwa
bukanlah kebetulan saja Panglima Tertinggi bertindak seperti diatas, yakni melarang perebutan
senjata dan melarang pertempuran. Setelah saya meninggalkan Jakarta (1 Oktober
1945), maka berulang-ulang Sukarno sebagai Panglima Tertinggi dan Moh. Hatta,
yang disokong pula oleh Amir Syarifuddin melarang pertempuran di Surabaya dan
Magelang. Rakyat yang melakukan MASSA AKSI, menyambut tindakan tentara Inggris
yang ceroboh dan kejam di Surabaya, di ujungnya Solo Vallei (lihat: Naar de
Republiek Indonesia, Januari 1924); rakyat tua muda, laki-perempuan dari semua
golongan melawan “land, sea and air forces, with all the modern weapons of war”
(senjata darat, laut dan udara dan semua senjata modern) yang dipergunakan oleh
tentara Inggris, yang baru saja menang di medan perang dunia kedua;
rakyat/pemuda Surabaya yang sudah berhasil mengepung ribuan serdadu Inggris
yang bersenjata lengkap dan cuma tinggal menunggu ajalnya saja, dilarang oleh
Panglima Tertinggi memusnahkan musuh yang ceroboh dan terang bersalah itu.
Besok harinya tentara Inggris yang kemarinnya terkepung dan menunggu ajalnya
saja itu (buat ditawan dan dilucuti senjatanya) kembali dengan kekuatan yang
lebih besar dan akhirnya berhasil merebut seluruhnya kota Surabaya dan
sekitarnya dalam waktu tiga minggu dan menimbulkan berupa harta benda dan mayat
bertimbun-timbun.
Begitulah pula yang terjadi di
Magelang, dan kemudian di Sukabumi karena tindakannya Sutan Syahrir, sebagai
Perdana Menteri.
Sikap Sukarno Hatta terhadap agresi
tentara asing di bumi Indonesia itu menyangsikan saya terhadap hasrat dan
kesanggupan mereka. Demikianlah pula sikapnya Moh. Hatta terhadap perkara yang
tak kurang pentingnya dari pada kemiliteran, ialah terhadap MILIK ASING.
Dalam salah satu pertemuan dengan
para utusan dari Amerika, di mana saya diundang pula oleh Mr. Subardjo, sebagai
Menteri Luar Negeri, maka terjadilah soal jawab yang penting.
Ketika Moh Hatta rupanya sebagai
Ahli Ekonomi dalam Pemerintah Republik, berkata seolah-olah hendak mengakui dan
mengembalikan semua milik dan perusahaan asing dengan tak ada syarat dan
jaminan (umpamanya menuntut supaya tentara asing tidak boleh menempuh darat,
laut dan udara Indonesia) maka saya sendiri merasa terpaksa tampil ke muka.
Karena pada masa itu (sebelum
tentara Inggris mendarat, ialah sebelumnya tanggal 29 September) belum terbukti
adanya agresi, walaupun sudah terdengar kabar, bahwa sekutu akan mengirimkan
tentaranya ke Indonesia, maka saya cuma membayangkan, bahwa HAK MILIK ASING tak
akan dikembalikan begitu saja.
Saya bayangkan pula, bahwa
perusahaan penting akan dimiliki, diurus dan dikerjakan (owned, managed and
operated) oleh Negara.
Sampai para utusan Amerika bertanya,
dengan apakah kerugian akan diganti. Apabila saya sebut, bahwa Indonesia
mempunyai karet, kina, kapas, minyak, emas dan lain-lain, maka mereka sambil
tersenyum maklum, bahwa milik negara Asing, tetapi negara sahabat, yang akan
kita ambil-kembali itu bisa kita ganti dengan hasilnya negara kita. Kalau
agresi terhadap Republik, yang merdeka
100% pada pertempuran tersebut sudah terbukti, tentulah saya akan mengemukakan,
bahwa milik Negara Ceroboh, menurut kelaziman internasional akan di SITA oleh
Republik dengan tidak ragu-ragu.
Sudah terbayang pada waktu itu,
tetapi belum nyata bagi saya maksudnya Moh. Hatta hendak mengembalikan milik
asing (musuh atau sahabat) seperti di kemudian hari ternyata dalam maklumat, yang dikeluarkannya pada 1
Nopember 1945 yang sampai sekarang belum disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
yang syah, karena sampai sekarangpun belum ada Dewan Perwakilan Rakyat yang
syah itu (dipilih oleh, dari dan untuk rakyat menurut cara pemilihan yang syah
dan mempunyai hak-penuh, sebagai wakil rakyat).
Berhubung dengan tuduhan dalam
pengumuman resmi pada tanggal 6 Juli 1947, yang mengatakan, bahwa pada sidang
itu saya menyetujui “Trusteeship” maka disini saya terpaksa menerangkan, bahwa
hampir akhir pertemuan saya memajukan empat pasal dan cuma empat pasal saja,
yang dicatat penuh oleh para utusan Amerika tadi, dan saya anggap sebagai
hasrat Republik yang terpenting:
1. Speedy Negotiation (berunding
selekas-lekasnya)
2. Forming of a National
Defence-Forces. (Membentuk Pertahanan Nasional)
3. Withdrawal of all foreign forces
(Penarikan kembali semua tentara Asing)
4. International exhange of goods.
(Penukaran barang dagang antara Republik dan Negara Asing)
Perkara lain tak ada yang saya
majukan. “TRUSTEESHIP” tak mungkin saya pikirkan, jangan saya sebut, karena
adanya “TRUSTEESHIP” itu belum saya ketahui dan perkara syaratnya “TRUSTEESHIP”
pastilah tidak seorangpun diantara yang
hadir rapat mengetahui. Buat saya sendiri UNO-pun belum terbayang-bayang pada
bulan September itu.
Lagi pula status “TRUSTEESHIP”
tentulah berlawanan tepat dengan pasal 3 tersebut di atas, ialah penarikan
kembali tentara asing, yakni penarikan kembali tentara Jepang ataupun tentara
Sekutu yang terdengar-dengar hendak mendarat. Akhirnya “TRUSTEESHIP” pastilah
berlawanan tepat dengan semua perkataan, tulisan dan perbuatan saya selama ini,
dan berlawanan tepat dengan tindakan Belanda, tahun 1922, Amerika (1927) dan
Inggris (1932) terhadap kemerdekaan diri saya selama saya berada di gelanggang
gerakan revolusioner.
Keamanan dalam Republik akan dijamin
oleh Pertahanan Nasional (menurut pasal 2). Bahwa UNO dengan DEWAN EKONOMINYA
belum lagi saya ketahui di masa itu (maklumlah saya di waktu pendudukan Jepang
lama terasing diam di Banten Selatan) ternyata pula oleh pasal 4, yang
mengemukakan “pertukaran (barang) internasional”. Seandainya UNO dan peraturan
UNO sudah saya ketahui, mungkin sekali pasal 4 di atas saya gandengkan ke UNO.
Empat pasal yang saya majukan itu
oleh Sutan Syahrir disebutkan “a clear cut policy” (politik yang tegas). Karena
sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak terlampau banyak bicara
pertemuan tersebut, sedangkan bukannya MENTERI, maka utusan Amerika itu
bertanya kepada saya: “In what capacity are you speaking” (sebagai apakah tuan
berbicara).
Untunglah Mr. Subardjo, yang sudah
dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab dengan cepat: “He is one of
ourstaff members” (dia adalah salah seorang anggota kementerian Luar Negeri).
Untunglah pula tak ada diantara
anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat pasal yang
saya majukan itu.
Pada penghabisan bulan September,
mulailah tentara Inggris, dengan ragu-ragu mendarat sedikit demi sedikit dan
mengantongi Belanda. Para Wartawan Inggris yang ikut mendarat dan menyaksikan
dengan mata sendiri demonstrasi rakyat pada tanggal 19 September menunjukkan
kekagumannya yang amat sangat. Dari mulutnya para Wartawan itu, setelah melihat
rakyat/pemuda berbaris bersaf-saf dengan rapi teratur, tabah tegap dengan dada
membusung maju bergelombang dari semua penjuru menuju ke Jakarta kota,
keluarlah perkataan : “Revolution-revolution-revolution”.
Tetapi dari mulut dan sikap Presiden
dan Wakil Presiden Revolusi yang dapat saya baca cuma kecemasan dan ketakutan,
kalau-kalau kelak oleh Sekutu akan dituduh sebagai “war-criminals”.
Inggris katanya cuma datang
menjalankan Perintah Sekutu ialah untuk 1) Melucuti dan mengembalikan tentara
Jepang. 2) Melepaskan dan mengembalikan tawanan Jepang. 3) Melepaskan APWI.
Katanya pula Inggris tak akan mencampuri politik Indonesia.
Saya cukup mengenal janji Inggris di
India Inggris, di Mesir dan di Tiongkok. Tak sekejappun di masa silam saya
percaya kepada sesuatu janji Inggris, terhadap bangsa jajahan, atau bangsa yang
dianggap inferior, rendah derajatnya, bilamana dia mempunyai kepentingan buat
dirinya sendiri.
Takut kalau tak lama lagi tentara
Inggris akan menduduki Jakarta dengan tak ada perlawanan dari pihak Pemerintah
Republik, pada masa saya tak berhasil mengadakan perhubungan dengan pimpinan
rakyat/pemuda, bahkan belum mendengar-dengar adanya MARKAS MENTENG 31, maka
dengan SURAT WARISAN, yang dibuat atas inisiatif Presiden Sukarno dan diberikan
serta ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta di
mana diterangkan, bahwa kalau mereka tidak berdaya lagi memimpin revolusi ini,
maka pimpinan revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dan lain-lain maka
pada tanggal 1 (satu Oktober 1945 saya meninggalkan kota Jakarta dengan maksud
hendak mengorganisir rakyat di luar Ibu Kota Jakarta).
Barulah di Bogor saya dapat bertemu
kembali dengan Sukarni dan bertemu pertama kali dengan Adam Malik. Keduanya
mereka mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap diri saya.
Dikemudian hari, barulah saya mengerti mengapa pemeriksaan itu harus mereka
lakukan ialah karena sudah berkali-kali di masa Jepang mereka tertipu dan
dibahayakan oleh beberapa Tan Malaka Palsu. Tidak berapa lama sesudah pertemuan
di Bogor itu, maka sekonyong-konyong datanglah pula Sukarni, Adam Malik dengan
beberapa orang pemuda lain di waktu malam hari beserta orang berumur tinggi
bekas teman sekolah saya di Bukit Tinggi, yakni Guru Halim. Maksud para pemuda ini ialah, supaya bekas teman
sekolah itu dapat memastikan bahwa saya memangnya Tan Malaka yang sesungguhnya.
Besok harinya Sutan Syahrir datang pula menjumpai saya.
Karena saya hendak berangkat ke
Banten, maka kami berjanji akan bertemu kembali di Banten, ialah pada permulaan
bulan Oktober juga.
Demikianlah pada suatu hari, saya
mendapat kunjungan pula di Banten (Serang) dari beberapa pemuda terkemuka dari
berbagai golongan. Diantaranya ialah Sutan Syahrir, Kusniani, Djohan Sjahruzah,
Dr. Sudarsono (bekas Menteri), Sukarni, Maruto, Adam Malik, Pandu Wiguna,
Djalil, Sugra, Karta Muhari dan lain-lain.
Pertanyaan yang dimajukan kepada
saya, ialah, betapakah pandangan saya atas keadaan sekarang, dan apakah saya
berkeberatan mengetuai Partai Sosiallah, yang akan didirikan di Jogya tidak
lama lagi.
Bermula sekali saya kemukakan,
teranglah sudah maksudnya Inggris, ialah cocok dengan perkataan, yang baru
diucapkan oleh Perdana Menteri Inggris, Clement Attle, bahwa Inggris mempunyai
“moral obligation” (berhutang budi) terhadap Belanda dan dia setuju dengan
sikap Pemerintah Belanda, yang bermaksud mengadakan “KERJA SAMA” dengan “kaum
moderat” Indonesia untuk menindas “Kaum Extremis”.
Terhadap maksud tamu hendak
mendirikan Partai, maka saya kemukakan penganggapan saya, bahwa saatnya belum
sampai, karena keadaan yang akan kita hadapi belum lagi terang! (Entah perang
entah damai. Dalam masa perang tidaklah baik kalau mendirikan pelbagai Partai).
Tetapi yang sudah terang bagi saya, ialah apabila satu Partai diizinkan berdiri,
maka besok harinya pastilah berbagai-bagai Partai akan timbul, seperti jamur di
musim hujan. Segala Partai dari pelbagai golongan dan corak itu akan amat susah
dikendalikan menghadapi musuh seandainya Republik diserang musuh. Sementara
suasana politik itu belum lagi terang, maka baiklah diperkuat saja Pemerintah
yang ada dengan para pemimpin revolusioner yang masih ada di luar Pemerintahan!
Terhadap usul supaya saya mengetuai
Partai Sosialis yang akan didirikan di Yogya itu, saya kemukakan, bahwa sikap saya
terhadap sesuatu Partai Sosialis masih seperti dahulu saja; dan sesudah lebih
daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman
se-partainya kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan
kapitalis-imperialis itu.
Jadi permintaan mengetuai Partai
Sosialis itu bermula sudah saya tolak di Serang. Apabila salah seorang pemuda
yang hadir menanyakan kepada Sutan Syahrir, apakah dia akan pergi juga ke Yogya
buat mendirikan Partai Sosialis, maka dia tiada memberi jawaban apa-apa.
Sepatah kata pun Sutan Syahrir tiada berbicara pada malam hari itu.
Sesampainya saya di Yogya, pada
permulaan bulan Nopember, maka saya dikunjungi oleh beberapa para pemimpin
lama, ialah Wijono, Marlan dan Marjohan dan diminta pula mengetuai Partai
Sosialis yang akan didirikan itu. sikap dan jawaban saya adalah seperti di
Serang juga. Usul yang bersifat juga dari pihak ketiga dan keempat tetap saya
tolak saja. Saya menganggap belum sampai waktunya saya untuk keluar
berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.
Di Yogya pada permulaan bulan
Nopember itulah saya mendengarkan radio pemberontak Surabaya, yang mengatakan
bahwa, “Tan Malaka berada di Surabaya sedang memimpin pemberontakan”.
Pada masa itu saya belum mengetahui
adanya Tan Malaka Palsu, dan amat gembira mendengar, bahwa saya mempunyai
banyak “anak yang sedang bertempur di
Surabaya, segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya.
Di hotel Mojokerto, pada suatu hari
malam, sekonyong-konyong saya dikunjungi oleh sepasukan polisi tentara,
bersenjata lengkap dan dengan sangkur terhunus menggeledah semua barang dan
badan saya; menggiring saya ke kantor polisi buat dimasukkan ke sebuah kamar
yang sempit, kotor, tak bertikar, penuh kutu busuk. Disinilah saya meringkuk
sehari-semalam dengan tidak mengetahui atas alasan apakah sebenarnya saya
ditangkap.
Baru di kemudian harinya saya
mengetahui, bahwa pada suatu hari sdr. Sabarudin,
kepala P.T. Surabaya di masa itu, kabarnya didatangi oleh beberapa
Pemuda/Pemudi bersenjata lengkap yang mengancam dengan senjata, mendesak supaya
saya dilepaskan dengan segera. Ancam-mengancam serta tembak-menembak memangnya
amat lazim di waktu itu.
Tahu-tahu sudah datang beberapa
pemuda menjemput saya ke Mojokerto dan membawa saya ke Surabaya, Gedung Tarokan. Di sinilah saya oleh para
pemuda dijumpakan dan dibandingkan
dengan salah seorang Tan Malaka palsu, yang mendiami rumah istimewa, yang
dipersiapkan oleh para pemuda baginya, untuk memberi “kursus” dan “memimpin” (katanya)
ribuan pemuda yang berjuang. Disinilah saya tinggal berhari-hari di tengah
–tengah dentuman meriam, mortir dan bom, sambil menulis beberapa brosur di
tempat MARKASNYA P.R.I (Pemuda Republik Indonesia), yang memimpin perjuangan
mati-matian. Satu jam saja setelah kami meninggalkan gedung Tarokan, maka
serdadu Gurka masuk menduduki.
Mulanya saya coba tinggal di luar
kota Surabaya. Tetapi karena gelagat sudah jelas, bahwa para pemuda akan
meninggalkan Kota Surabaya, maka saya teruskan saja perjalanan ke Malang, buat memikirkan sikap dan tindakan
apa yang harus dilakukan dengan cepat.
Bukti yang jelas terlihat oleh mata
dan terdengar oleh telinga saya sendiri sesudah perjalanan saya dari Anyer ke
Surabaya dan perhubungan dengan penangkapan atas diri saya di Mojokerto, kesan
yang terang tertulis di kulit saya, ialah: .
1. Kemauan Sukarno Hatta tak cocok
dengan kemauan rakyat/pemuda seperti terbukti selama perjuangan rakyat/pemuda
di Jakarta, Surabaya, Magelang dan lain-lain tempat.
2. Partai Barisan dan Badan, yang
timbul seperti jamur, setelah Partai diizinkan berdiri, satu sama lainnya
curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, tangkap-menangkap, bahkan tembak-menembak.
3. Penangkapan atas diri saya sendiri,
dengan tidak sesuatu alasanpun dan dilepaskan oleh ancaman dari pihak golongan
saja, adalah salah satu bukti bermerajalelanya kesalahan faham, kecurigaan dan
kekacauan di antara awak sama awak.
4. Propaganda saya di tempat
bersembunyi, seperti saya lakukan selama ini, akan terus banyak terhalang oleh
adanya Tan Malaka palsu, alat propaganda yang dipusakakan oleh imperialisme
Belanda-Jepang untuk mengacau-balaukan gerakan revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar