Kamis, 07 April 2016

Tangkap - Buang I

Gembira dan bangga benar saya melihat Sekolah Rakyat yang kedua di Bandung! Rumah yang besar, bersih, dikelilingi lapangan yang luas. Terlampau bagus buat anak Proletar. Kalau dibandingkan dengan Semarang! Tepat pada tanggal 13 Februari, angka ini pun bukannya sekali dua menghampiri saya dalam waktu kemalangan, hari Ahad, saya mondar-mandir dari kamar ke kamar di sebelah kami. Memeriksa apa yang kurang, mengagumi yang bagus, sambil menyedihi anak-anak Semarang yang kurang mujur itu.
Saya tak tahu, bahwa pada satu kamar beberapa anggota dari VSTP cabang Bandung, rupanya mempersoalkan. Tiba-tiba saya tertumbuk pada seorang PID Belanda yang meminta saya keluar. Karena katanya ada rapat V.S.T.P saya tercengang dan tolak keras saya diusir begitu saja dari gedung sekolah kami sendiri. Bahkan”, kata saya akhirnya sesudah beberapa lama bertengkar, sayalah sebenarnya berhak mengusir siapa dari sini, karena gedung ini adalah kepunyaan kami”. Perdamaian diperoleh atau persetujuan, bahwa kami bersedia tidak akan memasuki rapat tertutup di salah satu kamar itu. memang saya sama sekali tak ada maksud akan mengunjungi rapat yang sesungguhnya malah tak saya ketahui itu.
Kira-kira jam 12, ketika saya berbicara dengan beberapa teman, datanglah sebuah mobil berhenti di depan sekolah itu. Belanda PID yang tadi juga keluar dari mobil itu. Dengan hormat dan muka sedih Belanda ini memperlihatkan surat perintah menangkap saya. Saya dipersilahkan masuk mobil.
Di dalam mobil berada dua opsir tinggi. Yang seorang berpangkat kolonel mempersilahkan saya duduk di tengah. Apabila saya bertanya kenapa saya ditangkap, maka keduanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa mereka tak tahu apa-apa. Mulanya saya dibawa ke kantor polisi dan terus masuk penjara Bandung.
Kabar yang pertama saya terima dari luar adalah dari nyonya tuan Horesma. Baru kemarin malam saya mengunjungi guru Horensma di rumahnya di Bandung, kemana ia baru saja dipindahkan dari Jakarta. Masih saya ingat perkataannya: “Als je er op los gaat, denk er ook aan mij hoor. Ik kan nog ook wat doen” (Kalau kamu mulai, jangan dilupakan saya. Saya juga bisa ikut serta). Tetapi guru Horensma juga sedikit bingung mendengar penangkapan yang tiba-tiba itu. Dalam surat itu dikemukakan bahwa saya menyusahkan diri sendiri! Tetapi nyonya rupanya berpikiran lain. Sudah berapa kali nyonya minta kepada yang berwajib berjumpa dengan saya di penjara Bandung, tetapi tetap ditolak. Akhirnya nyonya cuma dapat mengirimkan kartu pos terbuka, yang penuh sindiran, yang isinya bertentangan  dengan pendapat tuan. Nyonya tidak menyalahkan saya, malahan sebaliknya menentang yang menangkap saya dengan ucapan: “Wie weet wat een groot mau in jou steekt”. (Siapa tau, mungkin engkau orang besar).
Pada suatu pagi saya dibawa ke-stasiun Bandung, buat dipindahkan ke penjara Semarang. Di halaman stasiun sudah menunggu Belanda PID yang mau mengusir saya tempo hari dan menyampaikan surat penangkapan kepada saya. Dia berpisah dengan saya dengan perkataan: “Kita memang bertengkar tempo hari. Tetapi kepergian Tuan saya menyesal sangat, karena.....Murid-murid yang membutuhkan  Tuan! (Het spijt me zeer voor de kinderen....)
Baik juga saya berikan di sini salinan dari ENCYCLOPAEDIE yang sudah disebut di atas, supaya pembaca sedikit mendapat kesan dari penangkapan itu. Dan buat memberikan pertimbangan dan putusan resmi Pemerintah Hindia-Belanda. Pada halaman 532 tertulis: “Kongres (PKI) Desember 1921 juga dipergunakan untuk mengatur perhubungan semua cabang S.I. komunis satu dan lainnya, yang selang beberapa lama, setelah putusan tentang partai-disiplin diterima (oleh CSI-pen) dikeluarkan dari pusat (CSI) yang buat sementara waktu menggabungkan dirinya pada komite Daerah Semarang. Tampak benar aliran untuk berdamai, tetapi buat mempersatukan kedua aliran yang tertumbuk kepada beberapa keberatan , seperti juga terjadinya dengan perpisahan kedua aliran itu (komunistis dan Islamistis, pen) di dalam gerakan Serikat Sekerja. Kerja bersama dalam peristiwa yang akan terjadi (di hari depan). Sambil masing-masing memegang kemerdekaan, akhirnya oleh kedua belah pihak diterima dalam prinsip. Cabang S.I. komunis akan memusatkan diri pada persatuan Serikat Islam, yang ada di bawah pimpinan Cokroaminoto. Kongres tadi memutuskan pula mengirimkan kawat salam-bahagia Kepada kongres Hindustan yang kebetulan sedang bersidang pula. Kawat dikirimkan atas nama S.I.C.S.I dan Vakcentrale.”
Pada permulaan tahun 1922 aksi kaum komunis Semarang bertambah hebat. Sedangkan  pada permulaan mereka cuma memperkuat organisasinya saja dan memperat hubungannya dengan Komintern (E.K.K.I), ketika pecahnya pemogokan kaum buruh pegadaian pada bulan Januari 1922, pimpinan Bergsma dan Tan Malaka menganggap sampailah saatnya buat melaksanakan dasar aksi komunis dengan perbuatan. Teristimewa oleh mereka disiarkan rencana, bahwa jika pemerintah tidak menerima kembali kaum pemogokan pegadaian, maka serikat Sekerja yang lain-lain, seperti buruh kereta api dan buruh pelabuhan juga akan dikerahkan ialah aksi yang oleh mereka sebagai anggota pucuk pimpinan vakcentrale dikerahkan oleh manifes tanggal 18 Januari 1922, dalam mana didesak memberikan bantuan dengan perbuatan kepada pemogokan pegadaian. Juga dengan berlaku demikian para pemimpin tersebut membuktikan, bahwa mereka dengan menanggung segala akibatnya, adalah komunis dengan perbuatan, yang GRAM MOSKOW (De Tribune, Mei, Juni dan Juli 1921; bandingkanlah pula pidatonya Bucharin tentang PROGRAM INTERNASIONAL KOMUNIS dalam De Communistische Gids tahun 1923, halaman 480) dan menerima kewajiban menarik kaum pekerja dengan cara komunis ke dalam aksi revolusioner, tidak saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbutan sampai berdirinya Diktator proletar. Dalam masyarakat yang beraneka warna seperti di Indonesia, aksi yang kekuasaan semacam itu tidaklah dapat dibiarkan saja (mededelingen 1 Januari 1922 di Kol. Verslag tahun 1992 hoofdstuk B. onder Pandhuisstaking, pag. 18). Menurut putusan pemerintah tanggal 2 Maret 1922, No. 1a dan 2a, maka atas Bergsma, dan Tan Malaka dijatuhkan tindakan administrasi “externeering dan interneering”, kepada Tan Malaka yang sudah beberapa tahun teristimewa berusaha memberikan pengajaran dan pendidikan kepada pemuda menurut dasar komunis Internasionalnya (Malaka scholew) ditunjukkan Kupang sebagai tempat tinggalnya. Dia meminta meninggalkan Hindia Belanda, permintaan mana menurut putusan pemerintah tanggal 10 Maret 1922, no. 2 diperkenankan.”
Seperti tersebut dalam catatan di atas, maka bersama dengan saya juga ditangkap seorang Belanda komunis, ialah Bergsma. Sebagai salah satu syarat dari kebenarannya sesuatu bangsa, saya pikir ialah mengakui jasanya dari bangsa lain, bahkan kalau bangsa lain itupun dianggap pengisap-penindas bangsa sendiri.
Demikianlah, suku akhir “ma” dari nama Bergs-ma itu mengingatkan kita pada suku akhir “ma” dari nama yang sudah sering saya sebutkan disini, ialah guru Horens-ma. Memang keduanya orang Friesland, terkenal sebagai orang keras kepala: de koppige Fries. Di Nederland meskipun mereka sudah ratusan tahun tergabung dengan orang Holland. Drente, Brabant dan lain-lain. Kalau berada diantara sama-sama orang fries masih mempergunakan bahasa Friesch.
Saya ingat, di Amsterdam mereka mempunyai club sendiri. Tetapi, selain sifat koppig, keras kepala yang memang terlihat ada pada dua orang tersebut diatas, mereka juga mempunyai kejujuran. Piet Bersma bukanlah “intelek besar”, seperti Ir. Baars.
Dia bekas sersan tentara Hindia Belanda, pastilah berasal dari kelas proletar, dan salah seorang dari anggota soladaten-Bond dimasa Bransteder dan Sneevliet. Piet Bergsma tidak seperti Ir. Baars yang dengan....intelek besarnya “bisa main dansa dari komunis meloncat ke fasis, sebagai diberitakan oleh surat kabar. Sebenarnya saya tak tahu apa yang terjadi dengan Piet Bergsma sesudah berpisah dengan saya pada tahun 1922 di Moskow. Memang dalam masa pendudukan Jerman di Nederland dalam perang dunia II baru-baru ini, banyak orang-orang komunis dan sosialis yang terpaksa atau dengan maunya sendiri menjadi fasis.
Saya juga tahu, bahwa Piet Bergsma dengan istrinya Indonesia Ambon beserta 4 atau 5 orang anaknya, banyak menderita kesusahan hidup di Nederland, negeri dingin itu, sebelum perang. Bagaimana dimasa pendudukan Jerman saya tidak tahu. 
Memang susahlah memberikan nilai pada sejarahnya watak, paham atau perbuatan seseorang manusia sebelum ia mati. Begitulah seperti dengan Semaun dan Darsono. Tentang Bergsma saya cuma bisa berikan perhitungan sampai kami berpisah di tahun 1922 saja. Sampai tahun sekian, maka saya kira, seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma, Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan sosialisme dan Serikat sekerja di Indonesia. Dan apabila satu ketika proletaria Indonesia mencapai tingkat yang tetap dan luhur, maka para pelopor tadi. Tersebut diatas, bagaimanapun kecilnya jasa mereka dipandang dari salah satu sudut, pada satu masa harus dicatat dalam sejarah, buat diperkenalkan kepada turunan kita.
Kembali kepada tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap diri saya seperti termaktub dalam ENCYCLOPAEDIE tersebut diatas.
Administrative maatregelen, tindakan administrasi yang diajarkan kepada saya, bukanlah tindakan hukum yang lazim dikenal di masyarakat demokrasi. Tindakan administrasi membuang kita orang Indonesia ke hutan rimba, ke pulau atau jauh ke luar negeri, terasing dari keluarga, masyarakat dan pekerjaan sendiri, ialah hak istimewa “exorbitant recht” dari Gobnor Jenderal Hindia Belanda. Tindakan Administrasi tak berapa bedanya dengan “Lettre de cachet” dimasa Raja yang boleh menggantung tinggi, membuang jauh”, ialah sebelum revolusi Perancis 1789. Seperti menurut “lettre de cachet”, maka menurut hak “istimewanya” Gubernur Hindia Belanda dalam hakekatnya siapa saya yang oleh P.I.D Belanda dianggap “berbahaya” buat ketentraman umum, baca buat ketentraman imperialis Belanda maka orang itu boleh ditangkap, dipenjara, menjelang dibuang di dalam daerah Hindia Belanda atau diluarnya.
Procedure, tingkatan-tindakan dari mulanya orang ditangkap sampai ia dihukum, tiadalah sesuai dengan aturan yang diakui oleh dunia demokrasi. Yang pasti cuma penangkapan itu dijalankan oleh orang resmi dari badan pemerintah Hindia Belanda, atas nama badan resmi pula, menurut anggapan mana berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh “resisir inlander”.
Pertama: “ten laste legging” tuduhan yang berdasarkan bukti, yang bisa dibuktikan oleh para saksi yang disumpah dihadapan si tertuduh, bukti yang memang mengandung pelanggaran undang-undang negara. Yang pasti tertulis dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tiadalah dibutuhkan oleh tindakan administrasi Hindia Belanda.
Syahdan dalam hakekatnya “hak istimewanya Gobnor Jenderal” itu berarti, bahwa penangkapan, pemeriksaan dan hukuman “seseorang yang dianggap bersalah itu adalah di tangan satu orang. Seseorang yang “dianggap” berbahaya itu ditangkap buat dibuang. Tak perduli apa ia benar atau tidak melakukan pelanggaran aturan yang ditetapkan. Sebelumnya dia ditangkap, maka niat buat membuang itu dan hak buat melaksanakan itu sudah ada: Bar bertje moet hangen (salah atau benar mesti dihukum).
Procedure yang saya alami dari masa di-resisiri oleh “inlanders”, dibuntuti kesana-kesini, sampai ditangkap dan dibuang, amat sederhana kalau dibandingkan dengan beratnya hukuman. Saya diresisiri buat di tangkap, dan ditangkap buat dibuang. Guna apa vooronder zoek, pengadilan terbuka dan pembelaan yang sempurna?
Setelah beberapa hari saya ditahan di penjara Semarang, maka satu hari saya dibawa ke kantor residen buat ditanya.
Kalau saya betul masih ingat, maka hampir lima puluh pertanyaan yang hendak dimajukan kepada saya di depan residen Semarang itu. Pertanyaan itu boleh diperhubungkan denga 4 perkara. Pertama: aksi saya yang berhubung dengan perguruan. Kedua: yang berhubungan dengan PKI dan brosure yang saya tulis di Deli ialah: “Parlemen atau Soviet”. Ketiga: bersangkutan dengan percobaan saya mempersatukan kembali cabang-cabang S.I yang dipisahkan oleh partai disiplin dengan CSI, mencabut partai disiplin serta mengadakan kerja bersama antara kaum komunis dan kaum Islam menentang Imperialisme Belanda. Keempat: Usaha saya itu oleh pemerintah Hindia Belanda diperhubungkan dengan PROGRAM MOSKOW. Yang tertulis dalam majalah “De Tribune”, Juni dan Juli di Nederland. Semua “percobaan” saya itu diartikan sebagai pelaksanaan PROGRAM MOSKOW. Maka akhirnya “pelaksanaan PROGRAM MOSKOW dalam masyrakat Hindia Belanda yang “beraneka warna” itu dianggap sebagai aksi yang akan merobohkan kekuasaan Belanda” bahwa saya berbahaya buat kentraman umum dan harus dibuang didalam atau keluar Hindia Belanda.
Sebermula, sekali peristiwa, seekor anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya sekonyong-konyongnya berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang Harimau:......Nah”, sekarang sykurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum!
Sahut anak kambing: “Ampun tuanku masakah patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik minum di hilir ini, sedangkan tuanku minum di hulu sungai”.
Kata sang harimau: “Mungkin tidak sekarang kau keruhkan tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang mengeruhkannya.
Sahut anak kambing pula: “Ampun tuanku beribu kali ampun masakan dapat patik, yang hina ini, mengeruhkan air minum tuanku pada tahun yang lalu, karena di masa itu patik belum lahir”.
Kata sang harimau: “Kalau bukan engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentu ibumulah yang mengeruhkannya. Dan kalau bukan Ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.
Demikianlah kata sang harimau yang penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu, untuk dimakannya.
Apakah gunanya saya mempertahankan diri membuang-buang perkataan dan waktu untuk menjawab pertanyaan satu kekuasaan yang bersandarkan atas kekuatan polisi, kehakiman dan tentara yang sudah terang maksudnya terhadap diri saya?
Pertanyaan “satu-dua” yang saya jawab di depan Residen Semarang itu hanya yang berhubungan dengan nama kelahiran dan paham saya saja.
Apalagi tuan Residen mulai membacakan pertanyaan: apakah saya pernah “berkata” begini atau begitu, di salah satu tempat (bukan di rapat terbuka!!) maka saya potong saja puluhan pertanyaan yang lain-lain dengan jawaban: “Saya tak ingin pertanyaan semacam ini, bagaimanapun juga jawabnya sudah pasti saya akan dibuang.
Tak sampai lima menit lamanya, maka pemeriksaan perkara saya sudah selesai. Dengan demikian saya memperhemat tenaga dan tempo kanjeng Residen Hindia Belanda untuk menjatuhkan satu macam hukuman yang oleh negara sopan semenjak dahulu kala di samping hukuman mati, dianggap satu hukuman yang paling berat bagi manusia: meninggalkan tempat kelahiran, masyarakat, pekerjaan dan para teman yang dicintai dan mengembara tak berketentuan di negeri asing.
Bukankah lapangan buat bergeraknya seseorang penganjur rakyat Indonesia sudah terlampau sempit di masa itu? Bermacam-macam aturan dan Undang-undang diadakan untuk membatasi tulisan di dalam pers dan pembicaraan di dalam rapat umum “spreek dan schrif delicten”, pelanggaran dalam berbicara dan menulis itu nyata tertulis dalam kitab hukum Hindia Belanda dan bisa dibela oleh ahli hukum keluaran sekolah hakim tinggi. Seandainya kalau betul ada pelanggaran yang saya lakukan baik dalam tulis menulis ataupun dalam berpidato, bukankah sudah cukup kalau atas diri dijatuhkan tindakan biasa, ialah menuduh memeriksa perkara saya, di pengadilan umum, dan menjatuhkan hukuman yang sudah dipastikan lebih dahulu oleh aturan? Tidak saja tindakan semacam itu akan mempertinggi “prestige” pemerintah Hindia Belanda di mata dunia, tetapi juga akan memberi rasa kepuasan walaupun sangat terbatas kepada rakyat Indonesia. Terutama pula akan menimbulkan rasa kepastian kepada para pemimpin rakyat. Karena walaupun banyak ranjau dihadapan geraknya memimpin rakyat, tetapi ranjau itu diketahui letaknya dan diketahui pula akibatnya melanggar ranjau semacam “undang-undang pemerintah Hindia Belanda” itu.
Tetapi “exorbitante rechten” hak istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda adalah laksana satu golok yang dipegang di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang “dianggap musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka “hak Istimewa” itu adalah aturan sewenang-wenang, despotis, dan dipandang dari sudut kesusilaan, moral adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut!
Cuma, kalau ditinjau dengan pandangan filsafat, keadaan tersebut bisa dimengerti, walaupun tak bisa diakui kemuliannya dan keadilannya buat kedua belah pihak.
Adapaun “hak istimewa” itu tiadalah bisa dipandang sebagai hasil perhubungan hukum (legal relation) saja antara manusia dengan manusia umumnya, dan diantara Belanda dengan Indonesia tegasnya. Hak Istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda itu berseluk beluk pula perhubungan ekonomi, sosial dan politik antara kapitalis-imperialis-Belanda dengan buruh rakyat terjajah Indonesia.
Segerombolan kecil bangsa Belanda, tetapi mempunyai kapital besar, polisi, tentara, dan kejaksaan tak akan bisa secara demokrasi membentuk Undang-undang bersama 70 juta rakyat dan buruh Indonesia yang terhisap itu. Segerombolan Belanda itu terpaksa memegang “hak istimewa” yang tidak didasarkan atas perundingan masak-masak, persetujuan semua yang berkepentingan, atau yang diperoleh dari wakil rakyat yang sesungguhnya “hak istimewa” itu mesti berdasarkan kemauan segerombolan kecil tidak berdasarkan keadilan: melainkan berdasarkan sewenang-wenang.
Segerombolan kecil yang hidup atas keringatnya rakyat buruh yang banyak itu, tak bisa melayani wakilnya rakyat buruh yang 70 juta secara terbuka, bersoal jawab mencari kebenaran menurut aturan yang pasti, melainkan terpaksa mengambil jalan “menikam dari belakang” menangkap, memenjara, dan membuang dengan tidak banyak memusingkan perkara pemeriksaan keadilan dan kebenaran. Inilah cara pengecut.
Sebagai renungan dibelakang, maka peristiwa pembuangan saya itu saya majukan disini, bahwa saya berada di Semarang baru 6 bulan lamanya. 99% dari waktu dimakan oleh pekerjaan yang berhubungan dengan perguruan. Paling banyak berbicara di muka umum 6 jam. Tiga jam di waktu Kongres PKI, satu jam di depan anggota VSTP, satu jam di depan buruh tambang minyak di Cepu, dan sisanya yang satu jam lagi terbagi-bagi di beberapa tempat. Enam jam itu adalah taksiran yang paling tinggi! Teranglah sudah, bahwa “ranjau pembicaraan dan tulisan” tak bisa makan! Kalau bisa pastilah imperialisme Belanda bersuka cita membuktikan “rechtsordenya” kepastian hukumnya: kerahkan kepolisian dengan semua saksi dan keterangan yang diperolehnya, menaklukkan saya, si tertuduh, dengan keterangan yang diperolehnya taklukakan saya, si tertuduh, dengan keterangan syah yang dimajukan oleh para ahli hukum Hindia Belanda, buat menghukum saya cocok dengan undang-undang yang ada dan pasti tertulis. Tetapi karena keterangan yang syah dan cukup itu rupanya tak bisa didapat, dan pemerintah Hindia Belanda tak mempunyai alasan hukum cukup buat menarik saya ke depan pengadilan yang syah maka ia main kasar; main kayu. Semua keterangan resisir inlandernya yang membututi saya kemana pergi, dipakainya bukti yang syah buat mengasingkan saya dari masyrakat Indonesia. Laksana si pemain yang tidak bisa melawan musuhnya dengan “playing the game”, mempermainkan bola menurut aturan, maka ia main kayu, menendang kaki atau menyikut lawannya: lemparkan hukum dan pakai kekerasan!

Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini bumi serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat dan ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam atau bunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan bumi iklim Indonesia dengan masyarakat Indonesia dan keluarga, bukanlah yang pertama kali saya rasakan. Tetapi perpisahan dengan teman seperjuangan dan pekerjaan hidup saya memangnya yang pertama kalinya.
Perpisahan dengan teman seperjuangan tergesa-gesa diadakan di Semarang dua tiga hari sebelum saya berangkat pada penghabisan bulan Maret 1922. Saya diijinkan keluar penjara satu hari lamanya untuk mengurus semua kepentingan saya. Walaupun belum lama saya berada di Semarang, sungguh-sungguh dalamlah ikatan batin yang berada di antara kami seperjuangan.
Dini hari, jam 4 pagi, sebelum berpisah (saya masuk penjara kembali sebelum diberangkatkan) rupanya buat selamanya almarhum Partondo, bekas pemimpin suara rakyat, datang ke tempat saya dan membangunkan saya.
Lebih dahulu saya dengar, bahwa sudah satu dua hari dia berpuasa. Mukanya kelihatan tenang. Tetapi lebih sungguh daripada yang sudah-sudah dan suaranya lebih keras “Saudara”, katanya “besok sesudah saudara berangkat, saudara Marco dan saya, dan satu saudara lain lagi akan berangkat mengunjungi gunung Lawu. Kami sudah berjanji satu sama lainnya.
Saya heran, akan bertanyakan maksudnya, tetapi rupanya dia sudah mengerti dan akan memberi kesempatan saya untuk bertanya.
“Memang” katanya pula “ini bukan aksi yang selalu kita kemukakan dan ini cuma pikiran semata-mata: kejawen. Kami perlu membersihkan diri dan perlu mencari kekuatan batin. Saudara Marco yang mengusulkankan! Selamat jalan! Selamat jalan!
Saya tidak melihat mukanya lagi buat selama-lamanya. Ketika di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa saudara Partondo meninggal di Semarang. Saudara Marco terkenal pendiam, berhati jujur dan keras seperti baja, dan meninggal di Digul.
Banyak lagi peristiwa yang lain-lain membuktikan eratnya ikatan batin kami. Tetapi cukuplah disebut disini bahwa dengan teman seperjuangan semacam itu, kita ingin bertemu muka sekali lagi, dimasa masih hidup. Tetapi keinginan ini tiada tersampai. Inilah yang kita namakan kesedihan di dalam hidup kita di dalam dunia yang fana ini, tragedi.

Meninggalkan penjara Semarang menuju ke kapal di pelabuhan, saya dibawa dengan auto yang diputar belokkan untuk menyingkiri ramai yang berniat mengucap “selamat jalan” seorang pengamat pun tak saya jumpai. Baru dalam penjara di Jakarta saya sedikit bisa tahu apa yang terjadi ketika saya meninggalkan Semarang.
Tetapi kabar tentang pengantaran saya itupun diputar balikkan oleh surat kabar Belanda di Jakarta. Sedang bermain dan dengan opsir hukumana dalam satu kamar di penjara, dia perlihatkan surat kabar Belanda itu kepada saya. Bunyinya lebih kurang: “Tan malaka diantarkan menentang AGEN oleh koki-babu dan anak-anak murid sekolah rakyat yang menentang agen Polisi, karena mereka kecewa tidak bisa bertemu dengan Tan Malaka....”
Kita sudah mendengarkan caci maki dan penghinaan yang menganggap bangsa Indonesia cuma terdiri dari koki dan babu saya. Itulah pula yang mendorong mendidik dan menukar koki babu buat melayani tuan-nyonya bangsa asing itu menjadi koki babu Negara Republik Indonesia.
Cuma, karena mengenai akan sifatnya anak murid saya, maka timbullah kekuatiran di hati saya. Kalau-kalau perguruan sekolah rakyat nanti tak bisa menolak provakasi. Saya kuatir, kalau-kalau nanti dasar didikan sama sekali ditunjuk kepada propaganda dan agitasi politik semata-mata. Menurut rencana saya, maka didikan kecerdasan dan latihan kepandaian yang berguna buat pencarian hidup, seperti kepandaian tekhnik, pertanian dan administrasi, bukanlah maksud yang tersambil. Saya berharap membangunkan pemuda Indonesia baru yang berideologi suci terang, beriman baja, disamping yang perlu buat kepandaian kehidupan sendiri dan keluarganya. Perkara ijazah resmi tiadalah dipandang satu perkara yang penting. Pengalaman dibelakang hari memperkuat paham itu. bukan sekali saja sudah saya alami, bahwa ijazah (resmi) itu bukanlah jaminan efficiency, melainkan satu kemungkinan buat kesanggupan. Bermula sebagai tukang atur alat tambang, alat pembangunan, dan kendaraan beraneka warna, seperti boor, onderdeel, ini-itu, pahat, palu, gergaji dan membagi dan mengangkat mengusungnya sendiri seperti romusha setiap hari dan membagikan kesemua cabang kongsi arang Bayah-Kozan, mengatur pengiriman ratusan romusha ke rumahnya, mengurus makanan, minyak tanah dan lain-lain kehidupan sehari-hari buat ribuan romusha di kota Bayah dan orang kampung di sekitarnya, mengurus orang sakit, mayat, dan lain-lain sendiri mengepalai kantor dikelilingi oleh Tuan Nippon. Akhirnya saya menjadi kepala statistik di kantor pusat. Ijazah? Saya Ilyas Husein cuma keluaran sekolah Mulo Kelas I di Medan......saja! contohnya pengalaman saya di luar negeri diantara bangsa asing, ialah mulai dari guru S.M.T dengan nama lain pula, tetapi bukan dengan ijazah!
Lagipula menurut pikiran saya: kerja membikin propaganda saja dalam keadaan ilegal lekas menimbulakan kecurigaan PID atau Kempetai akan bertanya dalam hatinya sendiri: bagaimana hidupnya orang dengan gaji F.8,- sebulan, 2 tahun lamanya, sampai guru itu? Sebaliknya  seorang buruh yang bekerja rajin tak mudah menimbulkan kecurigaan. Dan kalau si buruh itu efisien pula, si direktur, majikan akan terikat oleh penghargaan. Dengan begitu si buruh akan terlindung dari mata si penyelidik. Sebaliknya pula terhadap teman seperburuan dia mudah mendapat pekerjaan, penghargaan dan bantuan. Si buruh dan teman sekerja mudah dihampiri, lahir dan batin. Sambil bekerja dapat berbicara dari hati ke hati, berpropaganda dan berkomplot “Sambil menyelam minum air”, kata pepatah.
Akhirnya yang tidak kurang pentingnya, bukankah makanan yang seenak-enaknya dan pakaian yang sebagus-bagusnya adalah apa yang diperoleh dengan tenaga sendiri? Ringkasnya, walaupun perguruan sekolah rakyat yang tidak dipusatkan kepada usaha pengejar ijazah yang resmi, tetapi tiadalah saya lupakan kepentingan didirikan kecerdasan otak yang sesungguhnya dan latihan buat kepandaian yang berguna bagi pencarian hidup. Tetapi benih kebencian anak murid yang terbukti ada perpisahan kami di Semarang itu rupanya sangat mempengaruhi pendidikan dan latihan di perguruan sekolah rakyat di belakang hari. Didikan akan condong kepada propaganda.

Dalam kapal di pelabuhan Jakarta ketika bertolak ke Nederland, saya berpisah dengan guru Horensma, yang tergesa-gesa datang dari Bandung. Apabila saya mulai pembicaraan dengan soal hutang-piutang, maka percakapan ini segera dipotongnya. Dari Semarang terus saya kirimkan angsuran hutang saya ke Engku found Suliki. Bahkan dengan tambahan pula. Pada guru Horensma masih ada sisa utang saya, teapi bisa ditutupi dengan asuransi dan simpanan saya di Java-Bank dan di Twensche Bank (Nederland)
Akhirnya, ketika hampir berpisah buat penghabisan pula pada Guru Horensma, yang di masa berpisah sudah berpangkat inspektur, saya peringatkan adanya dua-tiga orang Belanda yang memperhatikan percakapan kami ialah Belanda PID yang menjaga saya di kapal. Tetapi oleh guru Horensma peringatan dijawab: “Ach ze kunnen het mij doen. Het is mij ook al toto zoover I” (Boleh dia bikin terhadap saya apapun maunya sendiri. Saya pun sudah jemu melihat semua ini).
Mengertilah semua pembaca, bahwa guru yang jujur takkan mau kalah sama muridnya, walaupun dalam hal menentang yang dianggapnya zhalim terhadap si murid itu adalah bangsa sendiri.
Saya kenal di Tiongkok kolot, di Hindustan kolot dan di Indonesia kolot, letaknya guru itu di hati murid di samping Ibu-Bapa. Umumnya si ibu-bapak dianggap sebagai sumber jasmani dan sedikit sebagai sumber rohani. Dan pada gurulah Timur kolot sumber rohani: semangat pengetahuan, perasaan sering juga kemauan. Burukkah “kekolotan” Asia semacam itu?
Entahlah. Tetapi yang memberi sebagian pengetahuan di bangku sekolah, masa kanak-kanak dan pemuda, dan dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya, memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah Gerardus Hendrikus Horensma. Seorang berkulit putih, sebangsa dengan menganut sistem kapitalisme-imperialisme yang saya bantah dan tentang sudah lebih dari seperempat abad lamanya, dan ketika menulis dalam penjara Republik di Magelang ini (Mei 1947) terus saya bantah.
Seorang murid yang ingin belajar, ingin tahu, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang memberikan apa yang diingini si murid yakin pengetahuan. Guru yang tulen ingin pula haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang bisa menghilangkan prejudice, vooroordeeld terhadap seseorang, ialah rasa benci sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat istiadat dan sebaliknya bisa  menimbulkan rasa penghargaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” adalah perguruan. Pertukaran guru dan murid antara Negara dan Negara dan dalam suatu Negara sekolah buat semua bangsa menurut paham saya, adalah satu jalan yang sebaik-baiknya buat menanamkan demokrasi internasionalisme yang baik dan kekal, di hari depan.

Sedikit tentang keluarga.
Di waktu kapal menjelang Padang, saya sedikit takut kalau-kalau ayah bunda datang “memberi selamat jalan”. Benar, adik saya di Semarang lekas saya suruh pulang ke kampung sebelum saya berangkat. Saya pesankan supaya ayah bunda jangan dibiarkan pergi ke pelabuhan Padang.
Betul, keduanya adalah orang yang taat beribadat dan mempunyai iman yang teguh dalam menghadapi bermacam-macam kesusahan. Tetapi apakah teristimewa Ibu akan sabar melihat kapal berangkat membawa anaknya ke tempat pembuangan, entah dimana dan entah untuk berapa lamanya?
Ibu Minangkabau biasanya merasa ditimpa kemalangan, kalau tidak mempunyai anak perempuan. Di Minangkabau, adat asli yang mewarisi rumah, sawah, ladang, ternak dan harta pusaka yang lainnya adalah anak perempuan. Sunyilah rumah di Minangkabau, kalau tak ada anak gadis, calon ratu di rumah pekarangan serta sawah ladangnya.
Kesedihan ibu yang terpendam dalam sanubarinya ialah tak mempunyai anak perempuan itu. kami berdua laki-laki tak memenuhi peraturan “matriarchaat”. Peraturan berpusat pada kewanitaan. Ibu selalu merasa lebih sunyi daripada perempuan lain di Minangkabau kalau ditinggalkan anak laki-laki pun yang sebenarnya perkara biasa buat orang di Minangkabau yang terkenal sebagai orang perantau.....apalagi ditinggalkan, mungkin buat selama-lamanya, karena disampingnya tak ada teman perempuan yang paling dekat ialah anak kandung.
Disebabkan desakan batin pada diri saya, tahun 1925 di Canton, tiba-tiba dengan perantaraan teman separtai saya tanyakan bagaimana halnya orang tua saya. Tentulah saya tak dapat langsung berhubungan. Jawabnya pula, bahwa ayah baru saja meninggal.
Pula kebetulan saja, sesudah penangkapan di Hongkong, saya di jalan mendapat tahu, bahwa ibu meninggal di bulan Februari 1933.
Saya cuma bisa menghibur diri saya, bahwa ketika kembali dari Eropa (tahun 1919) setibanya di Deli saya segera berangkat ke kampung menemui ayah bunda. Tak kurang pula hal yang menggembirakan saya ialah kabar yang saya terima, bahwa keduanya mengerti, menerima dan setuju dengan tingkah laku saya bahkan bangga pula ikut berkorban buat Negara dan Rakyat Indonesia. Buat Ibu-Bapa yang bukan modern ini memangnya sudah satu kemajuan. Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap ayah-bunda, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti “duri dalam daging”. Teristimewa pula karena saya insyaf dan saya selalu merasa sayang, sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak menyusahkan mereka.
Kembali ke pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Untunglah Ibu-Bapa tidak datang. Kalau datang pun tak akan bisa berjumpa dengan saya, sebab di Padang disiarkan kabar, bahwa orang tak boleh berjumpa dengan saya. Cuma beberapa orang yang pintar “menerobos” dapat juga mengucapkan selamat jalan.

KEMANA?

Yang kedua kalinya saya bertolak dari Padang menuju Eropa. Yang pertama pada tahun 1913, yang kedua ini  pada tahun 1922. Alangkah besarnya perbedaan alasan dan tujuan pertolakan, dan jiwa pada dua saat bertolak itu.
Pelayaran ke Nederland pun tak luput dari akibat pertentangan dalam pemandangan hidup, politik dan pekerjaan saya di Indonesia dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun...
Beberapa orang Indonesia, Pegawai Gubernemen Hindia Belanda di klas satu, saya cuma naik klas tiga, mulanya mencobakan perhubungan dengan saya. Tetapi usahanya segera diperhentikan, karena mendapat gangguan dari penumpang Belanda yang kebanyakan terdiri dari Tuan-Tuan besar.
Sekali peristiwa, di waktu bulan terang, ombak sayup Magrib, lautan sekedar tenang, salah seorang pelajar yang bersama ke Nederland, sedang menerangkan maksudnya kepada saya, kami didatangi oleh seorang sersan “van het Koniklijk Nederlandsh Indische Leger”. Ia menyerobot berbicara, mencari-cari perkara, dan berteriak keras-keras rupanya menurut “rencana” kami tak ingin menjawab apalagi berdebat menyambut “tantangannya”. Teristimewa pula karena semua alasannya yang basi berbau “jenever”. Tiba-tiba entah dari sudut mana datangnya majulah seorang kelasi Belanda muda tinggi besar, mengetok bahunya Tuan dari “karzene” tadi. “Jangan dengan Tan Malaka. Baiklah dengan saya saja berdebat. Tetapi dilupakan bahwa itu di bawah adalah air laut.”
Akibatnya yang nyata dari teguran ini ialah beberapa hari lamanya tuan sersan dari kazerne van het Koninklijk Nederlandsch Indische Leger ini tak muncul-munculnya ke atas dek. Kepada temannya dikatakan bahwa seorang “Bolsjewiek” Belanda hendak melemparkan dia ke laut, ketika dia berbicara dengan Tan Malaka.
Kawan yang muda, tinggi besar tadi, adalah anggota N.I.S. Serikat Sekerja Syndikalis di Nederland. Di belakang harinya seorang kelasi pula yang agak lanjut usianya, tetapi berperawakan besar tegap, berkata kepada saya: “Kami cuma empat orang disini yang bersamaan paham. Kebanyakan pelaut yang lain penganut sosial demokrat. Tetapi walaupun kami berempat saja, saudara jangan kuatir”.
Pada suatu malam lewat jam dua belas, saya dibangunkan si pelajar untuk naik ke atas dek. Di sana saya jumpai beberapa pelaut Tionghoa, sebagai tukang api (stokers). Ketuanya menawarkan baju tukang api kepada saya. Katanya: “Besok pagi kapal sampai di pelabuhan Colombo. Pakailah pakaian pelaut ini, dan naiklah ke darat. Nanti saya pertaruhkan saudara kepada teman-teman saya di Colombo. Kami sering menolong Sun Man (Dr. Sun Yat Sen) di masa sudah”. Sebentar saya takjub menyaksikan ketegasan, ikatan jiwa dan pertolongan, cepat-cepat, dari para teman Tionghoa ini. Mereka rupanya memperhatikan benar-benar ketika saya di pelabuhan Jakarta dan Padang diawasi saja oleh agen Polisi Belanda dan Indonesia. Dan pelaut Tionghoa umumnya adalah anak tulennya Sun Man (nama samaran Dr. Sun Yat Sen di antara pelaut). Lekas mereka mengerti apa yang telah terjadi dan lekas siap sedia memberi pertolongan yang tepat kepada teman seperjuangan. Di belakang hari memangnya bukan sekali dua kali saya mendapat pertolongan anaknya Sun Man, ketika mondar-mandir antara Tiongkok dan Indonesia.
Kata saya kepada ketua Tiongkok tadi “Saudara jangan sangka saya akan dimasukkan penjara di Nederland. Saya cuma dibuang saja ke sana. Dari Nederland, nanti saya akan berusaha mencari salah seorang yang sudah lama ingin menjumpai di dunia ini, ialah Sun Man. Terima kasih”. Tepat 1 Mei saya tiba di Rotterdam. Oleh Dr. Van Ravenstijn (C.P.H. Partai Komunis Holland) saya dinasihatkan mengunjungi perayaan 1 Mei di Amsterdam yang diselenggarakan oleh rapat bersama komunis syndikalis. Wijnkoop (ketua C.P.H) memberikan temponya berbicara kepada saya. Sambutan rapat atas uraian saya amat memuaskan. Sesudah rapat itu juga beberapa anggota C.P.H mengusulkan kepada saya menjadi calon anggota parlemen dari C.P.H pada pemilihan depan. Pertama kali buat bangsa Indonesia.
Pemilihan di Nederland berlaku menurut sistem proportional representation. Perwakilan seimbang dengan banyaknya pemilih. Kalau tiap-tiap 100.000 warga negara pemilih berhak memilih satu orang wakil, dan Partai A mendapat 500.000 orang pemilih, parta B 1.000.000 orang, maka partai A berhak mengirim  5 wakil ke parlemen dan partai B. 10 orang si pemilih bukanlah menjatuhkan suaranya pada orang partai seluruhnya yang dasarnya disetujui. Demikianlah si pemilih memberikan suaranya pada daftar suatu partai. Partai itulah yang menentukan siapa calon  yang pertama dalam lijst (daftar) akan menjadi wakil, kalau pemilih cuma 100.000 siapa yang kedua kalau pemilih 200.000 yang ketiga 300.000 dan sebagainya. Boleh juga si pemilih memberikan suaranya kepada salah seorang di dalam daftar yang istimewa disukainya (bij voorkeur stemment). Tetapi kalau si calon itu ditaruh di nomor 4 atau 5, dan jumlah pemilih tak sampai kepadanya, maka suara pemilih itu kembali kepada daftar seluruhnya buat mengisi yang kurang, Jadi buat nomor 1, nomor 2 dan akhirnya nomor 3.
Walaupun buat nomor 2 dalam lijst (daftar) C.P.H pada tahun 1992 itu sudah susah buat mendapatkan cukup suara, tetapi saya buat mewakili 60.000.000 orang Indonesia dimasa itu, ditaruh oleh partai C.P.H pada tempat No.3. Tak ada harapan buat saya seperti juga sudah diketahui dari semula. Saya pun tak berniat hendak tinggal di Nederland. Saya terima usul menjadi calon tadi cuma untuk mengambil kesempatan buat Hindia Belanda dan mendorong C.P.H membantu Indonesia dalam perjuangan melawan Imperilisme Belanda.
Hasil pemilihan sebagai cermin bagi perhatian proletaria dan rakyat progresif Belanda terhadap rakyat Indonesia, amat memuaskan. Perhatian itu ditegaskan pula, karena si pemilih banyak yang memberikan suaranya langsung kepada Tan Malaka. Maka menurut bijvoorkeur stemmen” (memilih orang yang disetujui tadi) Tan Malaka mendapat suara terbanyak, kalau dibandingkan dengan “voorkeur stemmen” nya semua partai yang lain-lain. Inipun diperoleh walaupun saya terutama berbicara di Amsterdam dan Roterdam saja. Tetapi jumlah suara buat daftar seluruhnya tak sanggup memasukkan saya, kedalam parlemen Belanda. Jadi saya ditaruh di tempat nomor 2 dalam lisjt C.P.H pada tahun 1922 itu, maka tentulah pada tahun 1922 orang Indonesia yang pertama sekali memasuki Parlemen Belanda.
Perantauan saya diteruskan ke Jerman! Tak cukup tempat disini buat melukiskan apa yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri dalam ‘Deutschland uber a les’ itu. Banyak humbuk, banyak kesombongan dan layak dalam semboyan itu! Tetapi banyak pula benarnya! Walaupun Jerman cuma berpenduduk 70.000.000 lebih kuran 3% seluruh dunia, tapi sudah dua kali dia mengancam seluruh dunia, dan cuma bisa dikalahkan oleh seluruhnya dunia saja. Kalau nilai kemanusiaan terletak pada quality dari otak dan hati, seperti kecerdasan, kemauan, keuletan yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan, disiplin dan organisasi saja, maka dalam lebih kurang tiga perempat abad belakangan ini, memangnya bangsa Jermanlah yang berhak diberi piala, terutama dalam pergolakan pengetahuan, kemiliteran dan organisasi. Tetapi manusia memerlukan sifat lain dari pada sifat yang perlu buat menaklukkan semua bangsa yang bukan bangsa sendiri: terutama perlua akan sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada pertengahan tahun 1922 ketika saya berada di Berlin, maka Jerman sedang hebat menderita akibat politik militerisme Jermania. Jerman kalah perang, hutang dikumpulkan oleh Serikat kepadanya bertimbun-timbun, ekonominya turun merosot daerahnya masih diduduki musuh, keuangannya runtuh dan valutanya turun dari hari ke hari, sampai hampir tak ada harganya lagi. Dengan merosotnya kekuasaan dan perekonomiaan Jermania merosotlah pula moral bangsa Jerman dipandang dari beberapa sudut pun juga moral wanitanya yang selalu di gembor-gemborkannya itu. Tetapi hawa Jerman yang sehat itu, bangsa yang kuat dan cerdas, solidair, dan tak mengenal putus asa itu, dengan dasar yang sudah ada dalam teknik dan ilmu di Jerman ia tidaklah begitu saja diombang-ambingkan oleh bangsa lain. Jerman menyelundupi semua tekanan yang dilakukan oleh bekas musuhnya dan dengan sabar menunggu waktunya untuk bangun kembali.
Dengan pelajaran penuh di kiri kanan buat seseorang pelajar, dengan buku beraneka warna murah harganya dan tersedia dimana-mana saja dalam kota seperti Berlin, tak heran kalau seseorang yang ingin tahu dan belajar seperti Darsono, masih pemuda waktu itu, terikat dan terpikat hatinya oleh Berlin. Tetapi karena kekurangan tenaga di Indonesia maka terpaksalah dia berpisah dengan buku, majalah, surat kabar dan rapat raksasa di kota Berlin. Dua bulan saya bercampur dengan Darsono di Berlin. Kemudian kami berpisah lagi sampai sekarang. Dia menuju ke Indonesia, saya ke Moskow.
Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun 1927 berada dalam pertikaian hebat antara golongan Stalin dan golongan oposisi, Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu pecahnya perang melawan Nazi Jermania Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukankah pula Rusia sekarang setelah mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa.
Berjilid-jilid buku tertulis tentang Rusia dalam hampir semua bahasa sopan di dunia sekarang, yang bisa kita baca, dipandang dari sudut sejarah, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Tidaklah sanggup dan tiada maksud saya diatas kertas setelapak tangan ini mengulangi apa yang sudah dituliskan baik oleh para ahli ataupun oleh para plagiat, peniru seperti burung beo.
Pada dalam masa revolusi, baik dalam suasana anti-imperialisme ataupun anti kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia, konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya mewakili PKI. Dalam revolusinya memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang hanya bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.
Demikian cuma sambil lalu raba, salah satu kesan yang saya peroleh selama berdiam lebih kurang setahun di Moskow.
Syahdan dalam hakekatnya, maka kejayaan Lenin dalam revolusi 1917 adalah seimbang dengan kejadian dalam ilmu ekonomi ataupun Charles Darwin dalam ilmu tentang yang hidup (biology). Darwin mujur sekali mencari dan mendapatkan tumbuhan dan hewan yang dan dengan cara berpikir berdasarkan logika dan dialektika, jaya menarik kesimpulan yang mengenai asal keadaan, kemajuan dan kemungkinan buat hidup. Kupasan Karl Marx yang bersandar atas dialetika materialistis atas semua dari faktor dalam ekonomi yang dikumpulkan oleh para ahli dari masa Aristoteles sampai David Ricardo, jaya pula menetapkan asal, keadaan kemajuan dan kemungkinan sistem kapitalisme dihari depan. Demikian pula Lenin dengan cara berpikir dialektika materialistis dilaksanakan atas semua kodrat sosial di Rusia (sosial forces), jaya mengenal sifat dan kodrat semua golongan revolusioner menumbangkan feodalisme dan kapitalisme satu demi satu, hampir sekaligus saja, ketiga pemikir ini mendekati persoalannya masing-masing dengan memperhatikan segala bukti dalam suasana “pertentangan”, seluk beluk, kena mengena, timbul dan tumbang” dengan semangat yang tenang berani maju.
Itu artinya ilmu, scientific, tetapi cara yang mengakui gerakan, pergolakan, perputaran revolusi atas barang yang nyata, kebenaran.
Tiadalah mereka menyingkirkan caranya science (ilmu) mengumpulkan semua bukti yang bersangkutan ataupun menyingkirkan sama sekali cara berpikir, menurut logika yakni membanding, menyimpulkan (induction), melaksanakan  (deduction) ataupun memastikan (verification). Cara logika memang sepenuhnya dipakai tetapi semuanya dalam suasana pertengkaran (dialektik) dan kebendaan yang nyata.
Darwin adalah ahli yang revolusioner tentang yang hidup dan Marx ahli ekonomi (dan filsafat) yang revolusioner pula. Keduanya menumbangkan yang lama dan membangunkan yang baru. Mereka berpikir secara revolusioner. Tetapi Lenin adalah ahli siasat tentang revolusioner itu sendiri. Boleh juga disebutkan ahli revolusi yang revolusioner.
Seperti pekerjaannya tiap-tiap ahli yang pertama sekali adalah mengumpulkan dan menyelidiki semua bukti yang berhubungan, maka demikianlah pula hendaknya seorang ahli revolusi terlebih dahulu mengumpulkan semua kodrat (bukti) sosial yang akan diperiksa sipat dan tujuannya masing-masing (kodrat) serta dikoordiner buat dikerahkan terhadap golongan yang mau disingkirkan (feodal atau borjuis) dengan cara dialektika-materialistis disertai dengan pengetahuan dari naluri (instinct) tentang jiwanya (psychology) murba bergerak.
Karena bukti (sosial faktor) di Indonesia atau Hindustan berada sifat dan sejarahnya umpamanya dengan di Rusia maka kesimpulan yang akan diperoleh ahli revolusi di Indonesia ataupun Hindustan tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang bersamaan cuma cara berpikir, ialah dialektika materialistis, semangat memeriksa, ialah revolusioner salah satu syarat bagi pemimpin murba, ialah tahu akan gerak jiwanya Murba; dan akhirnya sebagai komunikasi ialah beberapa tiang besar dalam ilmu komunisme (keproletaran, mekanisasi, kolektivisme dan lain-lain).
Menyangka atau menerima saja mentah-mentah perkataan feodal borjuis ataupun proletar dalam arti sama sipat, hasrat dan sejarahnya dengan feodal borjuis ataupun proletar di Indonesia atau Hindustan, artinya itu tiada kritis dan tiada dialektis. Menelan saja semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh Karl Marx pada pertengahan abad ke 19 dan melaksanakan keputusan Marx dan Lenin di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas, menguji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek membeo meniru-niru “Marxisme bukannya kaji apalan (dogma) melainkan satu petunjuk untuk aksi revolusioner.
Semua bukti revolusi Indonesia dan kesimpulan yang menentukan siasat revolusi di Indonesia mesti ditimban sendirinya satu persatu menurut nilainya masing-masing “Should be considered on its own merit apart op zich zelf beschouwd worden”.
Tiadalah bisa dilupakan kelemahan dalam ilmu revolusi itu kelemahan semua ilmu sosial, ialah ilmu yang melayani manusia sebagai bukti (fact). Yang menjadi “uncertain factor” factor yang tak pasti, yang masih merupakan merupakan “X” dalam ilmu sosial itu ialah tingkah lakunya manusia itu. Ilmu ekonomi (borjuis) mengandaikan (supposting) bahwa tiap-tiap manusia itu (tani, buruh, juru tulis, saudagar, profesor dan lain-lain) membeli atau menjual, adalah menurut undang-undang ekonomi, tak pernah salah. Kalau umpamanya uangnya sedikit dia belikan makanan ialah yang terpenting, kalau berlebih barulah pakaian, seterusnya sepeda, oto gramofon bioskop dan lain-lain. Tidak ada diantara manusia itu (anggapan teori) yang salah berbelanja. Tak ada yang lebih memerlukan bioskop atau candu, dari pada keperluan beras, atau lebih memerlukan bioskop atau candu daripada uang sekolah anaknya atau sewa rumah. Demikianlah pula ahli revolusi dalam garis besarnya terpaksa meratakan semua tingkah laku semua anggota dari satu-satu golongan. Sikap tindakan buruh terhisap-tertindas terhadap kapitalisme-imperialisme (teoritis) diandaikan lebih hebat dari pada sikap tindakan borjuis tengah, terhadap tindakan kapitalis-imperialis itu. Tiap-tiap anggota dalam proletar terhisap-tertindas itu diandaikan sama sikap tindakannya satu dengan lainnya. Tak ada yang mengkhianati klasnya sendiri. Beginilah dalam teorinya! Memang begitu mestinya dan memangnya begitu dalam garis-besar prakteknya dan kecuali itu memangnya pula lazim di dalam ilmu manapun juga. Tetapi janganlah dilupakan perbedaan teori dengan praktek.
Semua kelemahan teori itu bisa disingkirkan dikurangi dengan memasuki praktek. Ahli ekonomi yang ulung juga harus pernah berurusan dengan salah satu cabang perekonomian atau menaruh perhatian besar terhadap bukti ekonomi (ekonomi Fact) sehari-hari. Demikianlah pula ahli revolusi itu bisa menyingkirkan atau mengurangi kesalahannya dalam taksirannya tentang semangat revolusionernya murba, kalau selain daripada mempelajari ilmu revolusi itu juga cukup bercampur gaul dengan rakyat  murba atau sedikitnya sanggup menyelami jiwa murba yang sedang bergelora itu. Jadi harus diketahui benar suasana masyarakat yang dipelajari, yakni hawa iklim; sistem teknik yang lazim dipakai, peraturan ekonomi, sosial dan politik yang berlaku, sejarah kecerdasan, kemauan, perangai, perasaan pemandangan hidup, idaman serta organisasi anggota masyarakat itu sebaik-baiknya kalau perlu disertai pengalaman sendiri.
Seorang ahli revolusi yang sebenarnya sesuatu negara mestinya juga seperti ahli  dalam ilmu apapun juga mempunyai “mata terbuka” opend mind, terhadap persoalan revolusi di negeri lain. Demikianlah pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya di sana (1922). Mereka tidak mendiktekan pemandangannya sendiri tentang sipatnya gerakan revolusi di Asia (Indonesia, Hindustan, Tiongkok) dan sikap tindakan yang mesti diambil di negeri asing buat mereka itu kepada para pemimpin Asia. Mereka juga insyaf benar akan adanya “X” faktor yang belum diketahui di tempat-tempat tersebut. Karena manusia disana melayani suasana berlainan dengan di Rusia tempat mereka lahir, mendapat didikan dan berjuang. Berhubung dengan itu, maka perundingan (discussion) dan soal jawab (perdebatan) dalam kongres dan Panitia Komintern dilakukan seluas-luasnya. Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka Yang Besar” ini atau itu. Kritik dirasa penting sebagai karbol pembersih yang kotor dan yang obor penyuluh yang gelap. Semua hak demokrasi secara parlementer boleh dijalankan diantara para teman seperjuangan itu. yang menadi batas buat berbicara saja. Sebab itulah pula semua putusan sesuatu perundingan atau perdebatan umumnya dirasa memuaskan. Dan ditaati, karena semua keberatan sudah dimajukan, dan seseorang revolusioner komunis seharusnya mengerti, bahwa putusan yang didapat secara demokratis sah itu, mesti dijalankan dengan sejujur-jujurnya, walaupun tidak cocok dengan pendirian sendiri. Diktator Proletar, bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar apalagi mendiktaturi Partai Proletar.
Saya sekarangpun masih merasa untung dapat berkenalan dengan para pemimpin Rusia (dan lain-lain negara) di masa itu; yang namanya selalu tercantum surat kabar di luar negeri. Lenin, sebagai nyata terakhir dalam penyakit yang akan membawa maut, masih bisa berbicara pada kongres keempat itu. Stalin sering juga mengunjungi kongres, tetapi terkenal sebagai dan terikat kepada urusan dalam Negara dan Partai Urusan Dalam.
Trotsky masih memegang tentara Merah dan sering berbicara dalam rapat. Sinovief adalah ketua kongres yang dalam pembicaraan tetap dibantu oleh Bucharin dan Radek. Diluar kongres orang menyebutkan nama seperti Kalinin, Rykolf, Kamenen, dan lain-lain. Banyak  pemimpin tentara, Serikat Sekerja Pemuda dan lain-lain besar, sedang, kecil (yang kurang penting) yang saya kenal, dan merasa berbahagia mengenal para pembikin sejarah yang belum ada taranya di dunia sampai sekarang. Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar maka hampir semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi. Cuma Lenin saja yang mati “di tempat tidur”. Yang lain-lain mati terbunuh dalam pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti fraksi opposisi dalam Partai Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia “Sang revolusi memakan anak”.
Sang sejarah tak mengenal penjelasan tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya adil atau zalimnya buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dijalankan oleh revolusi itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian.
Dan apa yang dikira benar itu mesti dibenarkan dahulu sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap dan memakai yang betul, tepat, baik.
Di masa kita berada di Moskow, memang sudah ada oposisi Politik Ekonomi Baru (N.E.P). Tetapi demokrasi di dalam Partai Komunis Rusia, ataupun lebih nyata buat saya dalam Komintern sendiri tak terasa terganggu.
ENCYCLOPAEDIE VI SUPPLEMENT ada sedikit memperingatkan pekerjaan saya dalam kongres ke empat itu. Di kaca 531 kita bisa baca:
Het kongres werd bijgewoond door Tan Malaka. Die uit naam der Indische Com. Partai en met de belangen van duizenden millioenen der onderdrukte volkeren in het oosten voor oogen, op 12 November een belang wekkende rede hield over het standpunt der Communisten tegenover de nationale boycot beweging en tegenover de nationale boycot beweging en tegenover het zoogenaamde Pan Islamisme; m.n. over de vraag of in hoeverre zij die bewegingen hebben te steunen. De moeilijk heden die de PKI met de Serikat Islam had ondervonden worden door hem op pakkende wijze uiteengezet. Toen de S.I ers den communisten in openbare vergaderingen vroegen of zij aan God geloofden, heeft hij geantwoord: “Wenn ich voor Got stehe, dan bin ich ein Moslem, wenn ich aber vor menschen stehe, dan bin ich kein Moslem weil got gezagt hat, dasz as unter den menschen viele Satane gebt”.
Volgens Malaka beteekent Pan Islamisme practisch niet anders dan strijd om de nationale vrijheid. Hoe moest nu het communistische standpunt zijn tegenover deze Islamistische strooming? Opeen volgende zitting kreg hij dan den afgevaardigde uit Tunis te hooren dat dezelfde moeilijkheid zich ook daar voordeed. In elk geval beteekende: Pan Islamisme” iet anders dan aansluiting van alle Moeslem tegenover hun onderdrukkers, zoodat de beweging gesteund moet worden. Een commissie werd ingesteld om de oosterscher kwestie in beschouwing te nemen en een program terzake te ontwerpen en aan het Congres voor te leggen. Tan Malaka werd in die dommissie benoeemd”.
Sekianlah catatan ENCYCLOPAEDIE itu.
Kecuali catatan yang tertulis dalam bahasa itu. Catatan diatas adalah dari pidato saya dalam rapat Komintern yang saya ucapkan dalam bahasa Jerman. Tetapi bukanlah karena pidato itu saya dimasukkan dalam komisi tersebut, bahkan sebaliknya berhubung dengan pembicaraan dalam komisi Urusan Timur (dimana saya ikut campur) itulah maka saya berpidato di rapat Komintern sebagai tingkat (instansi) yang tertinggi.
Orang lain tak pernah tahu jalan seluruhnya pembicaraan dalam komisi urusan Timur ini. Saya juga tak akan menguraikannya disini. Tetapi pokok perkara yang dimajukan oleh ENCYCLOPAEDIE memang benar, karena dia ambil dari pidato saya yang disiarkan oleh salah satu majalah Komintern di luar Rusia.
Pokok perkara itu, ialah bagaimana seharusnya sikap komunis terhadap gerakan nasionalisme di jajahan, yang di Hindustan dan Tiongkok umpamanya berupa pemboikotan dan di Hindustan negeri-negeri Arab ataupun Indonesia berupa Pan Islam.
Pihak Komintern (jawatan ketimuran, Oriental Section) memajukan satu “thesis” yang memutuskan supaya partai Komunis di negara-negara jajahan membantu dan kerja sama dengan partai nasionalis menentang imperialisme. THESIS itu dimajukan dan dibela para komunis Rusia dan Hindu.
Tentulah semuanya mufakat memberikan bantuan kepada kaum nasionalis menyetujui pula kerja sama itu, ialah dalam arti abstraknya dalam teori. Tetapi dalam prakteknya, dalam konkritnya mengadakan kerja sama dan memberi bantuan itu, sampai saya berangkat ke Indonesia belum bisa dipastikan. Oleh para pemimpin berangkat itu, ketika saya meninggalkan Moskow diserahkan kepada keadaan di satu-satu tempat dan kebijaksanaan saja.
Sebenarnya saya terlibat dalam perdebatan yang sudah lama berlangsung antara pembela THESIS dan pendebatnya. Pada suatu malam, sedikit sudah larut, ketika saya baru kembali dari kunjungan salah satu pabrik di sekitar Moskow oleh seorang komunis Jepang Almarhum Sen Katayama katanya yang mendebat salah satu pasal dalam THESIS tadi, diserahkan kepada saya untuk meneruskan mendebat pasal tersebut. Ini saudara Tan Malaka datang “katanya saya serahkan pembelaan pendebatan saya kepadanya. Dia masih segar bugar baru saja datang dari pergerakan anti imperialisme di Asia”.
“Tunggu dulu dong” saya jawab. Mana pasalnya yang diperdebatkan dan bagaimana pendirian masing-masing.
Perdebatan paham yang rupanya sedikit saja pada permulaan nyata besarnya sesudah dari kayangan abstrak melang-lang dalam teori, kita turun ke tanah konkrit, yang nyata. Apabila perdebatan saya belokkan kepada bukti yang nyata pemboikotan atau non koperasi dan Pan Islamisme itu, maka tampaklah jurang yang dalam dalam antara abstract dan yang konkrit, antara teori dan praktek. Umpamanya komunis Inggris mengajukan keberatan terhadap pemboikotan barang Inggris oleh rakyat Hindustan, karena menimbulkan pengangguran di Inggris. Jadi bagaimana meminta bantuannya kaum buruh Inggris kerja sama dengan kaum pemboikot di Hindustan dan lain-lain sebagainya. Rupanya kongres Komintern yang sudah-sudah menganggap Pan Islamisme sebagai imperialisme corak lama.
Perdebatan yang mulanya berjalan tenang, lama-lama menjadi hangat kalau saya tak lupa sampai tiga hari berturut-turut. Akhirnya saudara Wakil Komintern, pemegang THESIS melarang saya berbicara. Ini saya jawab dengan protes yang keras atas caranya mengurus persoalan Asia yang sulit dan asing itu bagi para komunis Barat.
Setelah buntu dalam komisi barulah saya bertanya kepada ketua Komintern Sonovief, dan pemimpin Komintern Jawatan Ketimuran ialah Radek dalam Rapat Kongres yang tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE itu. Apakah akan dibantu gerakan nasionalisme berupa pemboikotan dan Pan Islamisme tadi, dan kalau “ya” bagaimana membantunya? Artinya yang dibelakang ini bagaimana melaksanakan bantuan dan kerja sama itu dalam program taktik dan strategi dan organisasi.
Di kongres pun saya tak mendapat jawaban apa-apa, walaupun pidato saya mendapat sambutan yang memuaskan juga dari seluruhnya kongres tadi. Saya mulai gelisah dan curiga akan kesanggupan diri-sendiri. Saya minta disekolahkan tetapi dicemoohkan dengan jawab salah seorang teman: “Belum terbuka kursi profesor buat saudara”.
Setelah kongres selesai dan para wakil dari semua pelosok dunia mulai berkemas hendak pulang ke tempatnya masing-masing barulah timbul pertanyaan dalam diri sendiri “Pergi ke mana aku ini?” Tetapi teman-teman yang pulang selalu mengucapkan perpisahannya dengan saya “Selamat Bekerja”.
Tak lama saya dalam keragu-raguan. Pemimpin baru di Komintern Jawatan Ketimuran menghampiri saya dan berkata “Saya setuju dengan saudara. Thesis yang tempo hari saudara bantah, memang terlampau abstrak, teoritis. Sekarang saya yang dibawah saudara Radek memimpin Jawatan Ketimuran itu. Pemegang Thesis telah meletakkan Jabatannya, saya harap kita kelak bisa kerja sama atas dasar yang lebih nyata buat Asia”.
Inilah yang hendak saya majukan disini kepada pembaca! Jadi seperti dasar demokrasi dan parlementerisme apabila politiknya satu kabinet gagal dan tiada lagi mendapat kepercayaan dari Parlemen maka Perdana Menteri secara demokrasi mesti ikhlas meletakkan jabatannya. Jangan seperti Chamberlain pegang terus kedudukannya, sampai rakyat diluar Parlementer berteriak memaksa pergi. “Chamberlian must go”.
Pemegang Thesis tadi tidaklah pula marah atau tak mau bicara lagi dengan saya, atau pula menyuruh tangkap saya oleh Cheka sebagai “pengacau” atau “merobohkan” jabatannya melainkan terus seperti biasa seperti teman seperjuangan. Masih banyak pekerjaan lain yang tak kurang pentingnya  bagi dia dan memangnya dia juga seorang muda yang sudah banyak berjasa kepada Partai dan Proletaria Rusia diwaktu lampau.
Komintern tentulah pula dengan setujunya Sonovief dan Radek, menyuruh saya membikin buku, tentang Indonesia. Corak dan isinya diserahkan kepada saya dan bahan membuat buku sudah dipesan di Nederland. Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik tentang daerah, cacah jiwa perindustrian, pertanian, pemerintahan Indonesia. Biarlah para teman di negeri dingin itu membikin teori atau kesimpulan atas segala bukti yang berhubungan dengan persoalan Indonesia sekehendak hatinya. Demikian sikap saya.
Akan terlampau panjang kalau saya paparkan disini tentang manusianya Rusia, apabila tentang yang lain-lain. Dalam waktu setahun tinggal disana, saya cukup bercampur dengan beberapa golongan. Tidak saja dengan pemimpin Komintern, tetapi juga dengan pemuda-pemudinya Rusia. Di masa itu oleh pemuda di sana saya masih dianggap termasuk golongan mereka sendiri.
Dengan mereka sering saya kunjungi pabrik dan desa, sandiwara dan “selamatan” berkenalan dengan orang tentara, buruh, tani dan pelajar. Kamar saya di salah satu bekas hotel, terbuka siang malam buat para teman dan pelajar. Malah pada waktu malam saya sedang tidur terbuka biasanya buat dua tiga mahasiswa pemudi yang harus menempuh ujian, karena kamar saya cukup lapang dan cukup sepi hening buat belajar. Memang kamar saya sepi hening itu diberikan kepada saya buat menulis buku.
Saya tiada menggambarkan manusia di Rusia masa sekarang ialah generasi, turunan baru dalam suasana politik ekonomi yang berbeda dengan dimasa seperempat abad lampau seperti siang dengan malam. Saya akan catatkan sedikit tentang manusia, ketika Rusia dalam ekonomi sosial berada di simpangan feodalisme dan kapitalisme dan dihela oleh revolusi proletaria ke arah sosialisme.
Pekerjaan buruh Rusia pada masa itu berbanding dengan pekerjaan Eropa-Barat dalam ke efficiency, kesanggupan, barangkali tak seberapa jauhnya dengan perbandingan pabrik baja di kota Nisjhi Novgorod dengan pabrik mesin Spadu di Berlin. Pemusatan tenaga (concentration) barangkali memberi imbangan karena eficiency buruh di Nisjhi Novgorod dengan lebih kurang 10 (sepuluh ribunya) itu kalau dibandingkan dengan di perusahaan Spandu dengan lebih kurang 30.000 buruhnya baru perbandingan 1 dengan 3. Tak kuatir mengatakan bahwa efisiensi buruh Rusia dipukul ratanya termasuk juga 450.000 buruh industri kota Petersburg sebelum perang berbanding eficiensinya buruh Jerman di masa itu, seperti 1 dengan 8. Kemajuan ilmu dan teknik Rusia organisasi perusahaan, serta cara dan kepintaran buruh Rusia, masih jauh terbelakang dan bangsa yang atas uang kertasnya yang walaupun dimasa itu terus menerus merosot dari hari ke hari dituliskan “Arbeiten kuennen wir besser als andre Volkere” (kerja kita lebih cakap dari semua bangsa lain!)
Dalam organisasi partai politik ataupun serikat Sekerja di masa itu Jerman mengatasi Rusia. Ini tidak berarti, bahwa manusia Rusia semuanya ditinggalkan terbelakang oleh Barat. Nama orang seperti Pavlov dalam ilmu jiwa, Minkovsky dalam matematika, Mendelief dalam kimia, Tolstoy, Dostojesky, Gorky, Pusjkin dan lain-lain dalam kesusastraan adalah manusia ukuran raksasa buat seluruh manusia dalam zamannya dan vaknya masing-masing, sebelumnya revolusi tahun 1917. Teristimewa dalam ketangkasan mengukur semangat revolusioner dari kaum murba, memimpin murba kepada aksi terbuka atau tertutup,  mengadakan tuntutan dan semboyan yang biasa mengikat dan menggerakkan jiwa murba, sampai sekarang bangsa Jerman masih perlu belajar dari pelopor Revolusi November tahun 1917 dari “Bolsjewik Tua”.
Tak ada bedanya Lenin, Stalin, Bucharin, Kalinin atau Trotsky denga Petroff, si buruh, si pabrik besi,. Si pemimpin merasa sama atau menyamakan diri dengan yang dipimpin dalam pergaulan hidup. Begitu pula si buruh tiada merasa segan atau takut berhadapan dengan pemimpinnya, walaupun Stalin atau Lenin. Singkatan paduka tuan, yang mulia atau P.J.M. ataupun yang mirip ke situ belum terdengar di masa itu. semuanya dipanggil “Saudara” : towarich. Sudahlah tentu suara si buruh menyebutkan towarich Lenin berlainan menyebutkan towarich Petroff menggembleng baja di pabrik. Sebab towarich Petroff menggembleng baja dan towarich Lenin menggembleng satu partai revolusi, Partai Bolsjewik. Kehormatan sesama manusia pun tak akan hilang selama ada pergaulan manusia. Tetapi kehormatan yang sebenarnya itu lahir dan seimbang dengan jasa seseorang terhadap pergaulan hidup itu pula, Terutama pula kehormatan yang sesungguhnya itu tiadalah terletak pada sembah jongkok ataupun pada perkataan yang diucapkan melainkan di dalam hati sanubari.
Terhadap kita orang Asia dari jajahanpun tak bisa kita membedakan sikap Petroff, buruh besi daripada Lenin, buruh revolusi. Mungkin juga terbawa oleh percampuran darah dengan bangsa Asia, atau karena hidup dalam suasana setengah feodal setengah kapitalis seperti Asia, maka gerak getar kata, suara dan air mukanya orang Rusia umumnya lebih meresap jiwa kita dari pada orang Eropa Barat. Mereka (manusia Rusia) masih mempunyai perasaan persamaan dan persaudaraan dalam tingkah lakunya seperti kita. Belum sama sekali kehilangan “uit de hoogte”, hati tinggi “strijdheit”, mengasingkan diri “zakelijk” perkara (yang menguntungkan diri) saja. Ketawanya masih lepas tak ditahan, salamnya hangat seperti terlihat di cahaya mukanya. Kegembiraan dan kesedihannya nyata, tak dibungkus-bungkus atau dibuat-buat.
Inilah perkara yang menyedihkan berpisahan dengan manusia Rusia di masa itu. Saya sebutkan di masa itu, sebab lantaran perubahan teknik politik ekonomi sosial dalam seperempat abad di belakangnya ini, saya tak dapat pastikan apakah tingkah laku manusia Rusia tidak berubah pula. Generasi sekarang bukan lagi manusia sebelum 1917 yang mengalami takut, tongkat besarnya Tsar. Generasi sekarang hidup dalam suasana sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan banyak kekurangan dan masih dikepung oleh sistem kapitalisme. Tetapi bukan lagi berada dalam suasana tindasan politik seperti dialami Bolsjewik Tua. Kaum Bolsjewik Tua bisa memendam luka di kulit mereka sendiri. Karena merekapun menderita pukulan penindasan. Kaum Bolsjewik Tua bisa merasakan pengharapan kita untuk di hari depan, karena merekapun pernah berharap akan terbitnya fajar di masa gelap gulita.
Akhirnya pada pertengahan tahun 1923 oleh Komintern saya diserahi atau pengawasan atas  partai komunis yang ada atau akan diadakan di beberapa negara yang di masa Jepang kita kenal “Selatan” dan saya sendiri menamakan “ASLIA” yakni Burma, Siam, Annam, Filipina dan Indonesia. Demikianlah sudah lebih kurang satu setengah tahun meninggalkan Indonesia, saya berputar melalui Nederland, Jerman, Rusia, Tiongkok dan kembali ke pangkalan.
Tetapi lama sesudah saya di Asia masih terang gambaran yang saya simpan tentang hawa iklim dan daerahnya Rusia, rakyat, buruh tani pelajar dan last but not least “Old Bolsjewik”: ialah Bolsjewik Tuanya Rusia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar