Gembira dan bangga benar saya
melihat Sekolah Rakyat yang kedua di Bandung! Rumah yang besar, bersih,
dikelilingi lapangan yang luas. Terlampau bagus buat anak Proletar. Kalau
dibandingkan dengan Semarang! Tepat pada tanggal 13 Februari, angka ini pun
bukannya sekali dua menghampiri saya dalam waktu kemalangan, hari Ahad, saya
mondar-mandir dari kamar ke kamar di sebelah kami. Memeriksa apa yang kurang,
mengagumi yang bagus, sambil menyedihi anak-anak Semarang yang kurang mujur
itu.
Saya tak tahu, bahwa pada satu kamar
beberapa anggota dari VSTP cabang Bandung, rupanya mempersoalkan. Tiba-tiba
saya tertumbuk pada seorang PID Belanda yang meminta saya keluar. Karena
katanya ada rapat V.S.T.P saya tercengang dan tolak keras saya diusir begitu
saja dari gedung sekolah kami sendiri. Bahkan”, kata saya akhirnya sesudah
beberapa lama bertengkar, sayalah sebenarnya berhak mengusir siapa dari sini,
karena gedung ini adalah kepunyaan kami”. Perdamaian diperoleh atau
persetujuan, bahwa kami bersedia tidak akan memasuki rapat tertutup di salah
satu kamar itu. memang saya sama sekali tak ada maksud akan mengunjungi rapat
yang sesungguhnya malah tak saya ketahui itu.
Kira-kira jam 12, ketika saya
berbicara dengan beberapa teman, datanglah sebuah mobil berhenti di depan
sekolah itu. Belanda PID yang tadi juga keluar dari mobil itu. Dengan hormat
dan muka sedih Belanda ini memperlihatkan surat perintah menangkap saya. Saya
dipersilahkan masuk mobil.
Di dalam mobil berada dua opsir
tinggi. Yang seorang berpangkat kolonel mempersilahkan saya duduk di tengah.
Apabila saya bertanya kenapa saya ditangkap, maka keduanya mengangkat bahu,
menunjukkan bahwa mereka tak tahu apa-apa. Mulanya saya dibawa ke kantor polisi
dan terus masuk penjara Bandung.
Kabar yang pertama saya terima dari
luar adalah dari nyonya tuan Horesma. Baru kemarin malam saya mengunjungi guru
Horensma di rumahnya di Bandung, kemana ia baru saja dipindahkan dari Jakarta.
Masih saya ingat perkataannya: “Als je er op los gaat, denk er ook aan mij
hoor. Ik kan nog ook wat doen” (Kalau kamu mulai, jangan dilupakan saya. Saya
juga bisa ikut serta). Tetapi guru Horensma juga sedikit bingung mendengar
penangkapan yang tiba-tiba itu. Dalam surat itu dikemukakan bahwa saya
menyusahkan diri sendiri! Tetapi nyonya rupanya berpikiran lain. Sudah berapa
kali nyonya minta kepada yang berwajib berjumpa dengan saya di penjara Bandung,
tetapi tetap ditolak. Akhirnya nyonya cuma dapat mengirimkan kartu pos terbuka,
yang penuh sindiran, yang isinya bertentangan
dengan pendapat tuan. Nyonya tidak menyalahkan saya, malahan sebaliknya
menentang yang menangkap saya dengan ucapan: “Wie weet wat een groot mau in jou steekt”. (Siapa tau, mungkin
engkau orang besar).
Pada suatu pagi saya dibawa
ke-stasiun Bandung, buat dipindahkan ke penjara Semarang. Di halaman stasiun
sudah menunggu Belanda PID yang mau mengusir saya tempo hari dan menyampaikan
surat penangkapan kepada saya. Dia berpisah dengan saya dengan perkataan: “Kita
memang bertengkar tempo hari. Tetapi kepergian Tuan saya menyesal sangat,
karena.....Murid-murid yang membutuhkan
Tuan! (Het spijt me zeer voor de kinderen....)
Baik juga saya berikan di sini
salinan dari ENCYCLOPAEDIE yang sudah disebut di atas, supaya pembaca sedikit
mendapat kesan dari penangkapan itu. Dan buat memberikan pertimbangan dan
putusan resmi Pemerintah Hindia-Belanda. Pada halaman 532 tertulis: “Kongres
(PKI) Desember 1921 juga dipergunakan untuk mengatur perhubungan semua cabang
S.I. komunis satu dan lainnya, yang selang beberapa lama, setelah putusan
tentang partai-disiplin diterima (oleh CSI-pen) dikeluarkan dari pusat (CSI) yang
buat sementara waktu menggabungkan dirinya pada komite Daerah Semarang. Tampak
benar aliran untuk berdamai, tetapi buat mempersatukan kedua aliran yang
tertumbuk kepada beberapa keberatan , seperti juga terjadinya dengan perpisahan
kedua aliran itu (komunistis dan Islamistis, pen) di dalam gerakan Serikat
Sekerja. Kerja bersama dalam peristiwa yang akan terjadi (di hari depan).
Sambil masing-masing memegang kemerdekaan, akhirnya oleh kedua belah pihak
diterima dalam prinsip. Cabang S.I. komunis akan memusatkan diri pada persatuan
Serikat Islam, yang ada di bawah pimpinan Cokroaminoto. Kongres tadi memutuskan
pula mengirimkan kawat salam-bahagia Kepada kongres Hindustan yang kebetulan
sedang bersidang pula. Kawat dikirimkan atas nama S.I.C.S.I dan Vakcentrale.”
Pada permulaan tahun 1922 aksi kaum
komunis Semarang bertambah hebat. Sedangkan
pada permulaan mereka cuma memperkuat organisasinya saja dan memperat
hubungannya dengan Komintern (E.K.K.I), ketika pecahnya pemogokan kaum buruh
pegadaian pada bulan Januari 1922, pimpinan Bergsma dan Tan Malaka menganggap
sampailah saatnya buat melaksanakan dasar aksi komunis dengan perbuatan.
Teristimewa oleh mereka disiarkan rencana, bahwa jika pemerintah tidak menerima
kembali kaum pemogokan pegadaian, maka serikat Sekerja yang lain-lain, seperti
buruh kereta api dan buruh pelabuhan juga akan dikerahkan ialah aksi yang oleh
mereka sebagai anggota pucuk pimpinan vakcentrale dikerahkan oleh manifes
tanggal 18 Januari 1922, dalam mana didesak memberikan bantuan dengan perbuatan
kepada pemogokan pegadaian. Juga dengan berlaku demikian para pemimpin tersebut
membuktikan, bahwa mereka dengan menanggung segala akibatnya, adalah komunis
dengan perbuatan, yang GRAM MOSKOW (De Tribune, Mei, Juni dan Juli 1921;
bandingkanlah pula pidatonya Bucharin tentang PROGRAM INTERNASIONAL KOMUNIS
dalam De Communistische Gids tahun 1923, halaman 480) dan menerima kewajiban
menarik kaum pekerja dengan cara komunis ke dalam aksi revolusioner, tidak saja
dengan perkataan tetapi juga dengan perbutan sampai berdirinya Diktator
proletar. Dalam masyarakat yang beraneka warna seperti di Indonesia, aksi yang
kekuasaan semacam itu tidaklah dapat dibiarkan saja (mededelingen 1 Januari
1922 di Kol. Verslag tahun 1992 hoofdstuk B. onder Pandhuisstaking, pag. 18).
Menurut putusan pemerintah tanggal 2 Maret 1922, No. 1a dan 2a, maka atas
Bergsma, dan Tan Malaka dijatuhkan tindakan administrasi “externeering dan
interneering”, kepada Tan Malaka yang sudah beberapa tahun teristimewa berusaha
memberikan pengajaran dan pendidikan kepada pemuda menurut dasar komunis
Internasionalnya (Malaka scholew) ditunjukkan Kupang sebagai tempat tinggalnya.
Dia meminta meninggalkan Hindia Belanda, permintaan mana menurut putusan
pemerintah tanggal 10 Maret 1922, no. 2 diperkenankan.”
Seperti tersebut dalam catatan di
atas, maka bersama dengan saya juga ditangkap seorang Belanda komunis, ialah
Bergsma. Sebagai salah satu syarat dari kebenarannya sesuatu bangsa, saya pikir
ialah mengakui jasanya dari bangsa lain, bahkan kalau bangsa lain itupun
dianggap pengisap-penindas bangsa sendiri.
Demikianlah, suku akhir “ma” dari
nama Bergs-ma itu mengingatkan kita pada suku akhir “ma” dari nama yang sudah
sering saya sebutkan disini, ialah guru Horens-ma. Memang keduanya orang
Friesland, terkenal sebagai orang keras kepala: de koppige Fries. Di Nederland
meskipun mereka sudah ratusan tahun tergabung dengan orang Holland. Drente,
Brabant dan lain-lain. Kalau berada diantara sama-sama orang fries masih
mempergunakan bahasa Friesch.
Saya ingat, di Amsterdam mereka
mempunyai club sendiri. Tetapi, selain sifat koppig, keras kepala yang memang
terlihat ada pada dua orang tersebut diatas, mereka juga mempunyai kejujuran.
Piet Bersma bukanlah “intelek besar”, seperti Ir. Baars.
Dia bekas sersan tentara Hindia
Belanda, pastilah berasal dari kelas proletar, dan salah seorang dari anggota
soladaten-Bond dimasa Bransteder dan Sneevliet. Piet Bergsma tidak seperti Ir.
Baars yang dengan....intelek besarnya “bisa main dansa dari komunis meloncat ke
fasis, sebagai diberitakan oleh surat kabar. Sebenarnya saya tak tahu apa yang
terjadi dengan Piet Bergsma sesudah berpisah dengan saya pada tahun 1922 di
Moskow. Memang dalam masa pendudukan Jerman di Nederland dalam perang dunia II
baru-baru ini, banyak orang-orang komunis dan sosialis yang terpaksa atau
dengan maunya sendiri menjadi fasis.
Saya juga tahu, bahwa Piet Bergsma
dengan istrinya Indonesia Ambon beserta 4 atau 5 orang anaknya, banyak
menderita kesusahan hidup di Nederland, negeri dingin itu, sebelum perang.
Bagaimana dimasa pendudukan Jerman saya tidak tahu.
Memang susahlah memberikan nilai
pada sejarahnya watak, paham atau perbuatan seseorang manusia sebelum ia mati.
Begitulah seperti dengan Semaun dan Darsono. Tentang Bergsma saya cuma bisa
berikan perhitungan sampai kami berpisah di tahun 1922 saja. Sampai tahun
sekian, maka saya kira, seperti Semaun dan Darsono, juga Piet Bergsma,
Sneevliet dan lain-lain Belanda banyak meninggalkan jejak dalam gerakan
sosialisme dan Serikat sekerja di Indonesia. Dan apabila satu ketika proletaria
Indonesia mencapai tingkat yang tetap dan luhur, maka para pelopor tadi.
Tersebut diatas, bagaimanapun kecilnya jasa mereka dipandang dari salah satu
sudut, pada satu masa harus dicatat dalam sejarah, buat diperkenalkan kepada
turunan kita.
Kembali kepada tindakan pemerintah
Hindia Belanda terhadap diri saya seperti termaktub dalam ENCYCLOPAEDIE
tersebut diatas.
Administrative maatregelen, tindakan
administrasi yang diajarkan kepada saya, bukanlah tindakan hukum yang lazim
dikenal di masyarakat demokrasi. Tindakan administrasi membuang kita orang
Indonesia ke hutan rimba, ke pulau atau jauh ke luar negeri, terasing dari
keluarga, masyarakat dan pekerjaan sendiri, ialah hak istimewa “exorbitant
recht” dari Gobnor Jenderal Hindia Belanda. Tindakan Administrasi tak berapa
bedanya dengan “Lettre de cachet” dimasa Raja yang boleh menggantung tinggi,
membuang jauh”, ialah sebelum revolusi Perancis 1789. Seperti menurut “lettre
de cachet”, maka menurut hak “istimewanya” Gubernur Hindia Belanda dalam
hakekatnya siapa saya yang oleh P.I.D Belanda dianggap “berbahaya” buat
ketentraman umum, baca buat ketentraman imperialis Belanda maka orang itu boleh
ditangkap, dipenjara, menjelang dibuang di dalam daerah Hindia Belanda atau
diluarnya.
Procedure, tingkatan-tindakan dari
mulanya orang ditangkap sampai ia dihukum, tiadalah sesuai dengan aturan yang
diakui oleh dunia demokrasi. Yang pasti cuma penangkapan itu dijalankan oleh
orang resmi dari badan pemerintah Hindia Belanda, atas nama badan resmi pula,
menurut anggapan mana berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh “resisir
inlander”.
Pertama: “ten laste legging” tuduhan
yang berdasarkan bukti, yang bisa dibuktikan oleh para saksi yang disumpah
dihadapan si tertuduh, bukti yang memang mengandung pelanggaran undang-undang
negara. Yang pasti tertulis dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tiadalah
dibutuhkan oleh tindakan administrasi Hindia Belanda.
Syahdan dalam hakekatnya “hak
istimewanya Gobnor Jenderal” itu berarti, bahwa penangkapan, pemeriksaan dan
hukuman “seseorang yang dianggap bersalah itu adalah di tangan satu orang.
Seseorang yang “dianggap” berbahaya itu ditangkap buat dibuang. Tak perduli apa
ia benar atau tidak melakukan pelanggaran aturan yang ditetapkan. Sebelumnya
dia ditangkap, maka niat buat membuang itu dan hak buat melaksanakan itu sudah
ada: Bar bertje moet hangen (salah atau benar mesti dihukum).
Procedure yang saya alami dari masa
di-resisiri oleh “inlanders”, dibuntuti kesana-kesini, sampai ditangkap dan
dibuang, amat sederhana kalau dibandingkan dengan beratnya hukuman. Saya
diresisiri buat di tangkap, dan ditangkap buat dibuang. Guna apa vooronder
zoek, pengadilan terbuka dan pembelaan yang sempurna?
Setelah beberapa hari saya ditahan
di penjara Semarang, maka satu hari saya dibawa ke kantor residen buat ditanya.
Kalau saya betul masih ingat, maka
hampir lima puluh pertanyaan yang hendak dimajukan kepada saya di depan residen
Semarang itu. Pertanyaan itu boleh diperhubungkan denga 4 perkara. Pertama:
aksi saya yang berhubung dengan perguruan. Kedua: yang berhubungan dengan PKI
dan brosure yang saya tulis di Deli ialah: “Parlemen atau Soviet”. Ketiga:
bersangkutan dengan percobaan saya mempersatukan kembali cabang-cabang S.I yang
dipisahkan oleh partai disiplin dengan CSI, mencabut partai disiplin serta
mengadakan kerja bersama antara kaum komunis dan kaum Islam menentang
Imperialisme Belanda. Keempat: Usaha saya itu oleh pemerintah Hindia Belanda
diperhubungkan dengan PROGRAM MOSKOW. Yang tertulis dalam majalah “De Tribune”,
Juni dan Juli di Nederland. Semua “percobaan” saya itu diartikan sebagai
pelaksanaan PROGRAM MOSKOW. Maka akhirnya “pelaksanaan PROGRAM MOSKOW dalam
masyrakat Hindia Belanda yang “beraneka warna” itu dianggap sebagai aksi yang
akan merobohkan kekuasaan Belanda” bahwa saya berbahaya buat kentraman umum dan
harus dibuang didalam atau keluar Hindia Belanda.
Sebermula, sekali peristiwa, seekor
anak kambing, satu hewan kecil dungu tak berdaya sekonyong-konyongnya
berhadapan dengan raja hutan sang harimau, di tepi satu sungai kecil.
Kata sang Harimau:......Nah”,
sekarang sykurlah aku berjumpa dengan engkau dan aku akan dapat menjatuhkan
hukuman. Bukankah engkau yang selalu mengeruhkan air yang hendak kuminum!
Sahut anak kambing: “Ampun tuanku
masakah patik bisa mengeruhkan air yang hendak tuanku minum itu, karena patik
minum di hilir ini, sedangkan tuanku minum di hulu sungai”.
Kata sang harimau: “Mungkin tidak
sekarang kau keruhkan tetapi tahun yang lampau pastilah engkau yang
mengeruhkannya.
Sahut anak kambing pula: “Ampun
tuanku beribu kali ampun masakan dapat patik, yang hina ini, mengeruhkan air
minum tuanku pada tahun yang lalu, karena di masa itu patik belum lahir”.
Kata sang harimau: “Kalau bukan
engkau yang mengeruhkan air minumku itu, maka tentu ibumulah yang
mengeruhkannya. Dan kalau bukan Ibumu niscaya nenekmulah yang mengeruhkannya.
Demikianlah kata sang harimau yang
penghabisan sambil menerkam anak kambing yang tak bersalah dan tak berdaya itu,
untuk dimakannya.
Apakah gunanya saya mempertahankan
diri membuang-buang perkataan dan waktu untuk menjawab pertanyaan satu
kekuasaan yang bersandarkan atas kekuatan polisi, kehakiman dan tentara yang
sudah terang maksudnya terhadap diri saya?
Pertanyaan “satu-dua” yang saya
jawab di depan Residen Semarang itu hanya yang berhubungan dengan nama
kelahiran dan paham saya saja.
Apalagi tuan Residen mulai
membacakan pertanyaan: apakah saya pernah “berkata” begini atau begitu, di
salah satu tempat (bukan di rapat terbuka!!) maka saya potong saja puluhan
pertanyaan yang lain-lain dengan jawaban: “Saya tak ingin pertanyaan semacam
ini, bagaimanapun juga jawabnya sudah pasti saya akan dibuang.
Tak sampai lima menit lamanya, maka
pemeriksaan perkara saya sudah selesai. Dengan demikian saya memperhemat tenaga
dan tempo kanjeng Residen Hindia Belanda untuk menjatuhkan satu macam hukuman
yang oleh negara sopan semenjak dahulu kala di samping hukuman mati, dianggap
satu hukuman yang paling berat bagi manusia: meninggalkan tempat kelahiran,
masyarakat, pekerjaan dan para teman yang dicintai dan mengembara tak
berketentuan di negeri asing.
Bukankah lapangan buat bergeraknya
seseorang penganjur rakyat Indonesia sudah terlampau sempit di masa itu?
Bermacam-macam aturan dan Undang-undang diadakan untuk membatasi tulisan di dalam
pers dan pembicaraan di dalam rapat umum “spreek dan schrif delicten”,
pelanggaran dalam berbicara dan menulis itu nyata tertulis dalam kitab hukum
Hindia Belanda dan bisa dibela oleh ahli hukum keluaran sekolah hakim tinggi.
Seandainya kalau betul ada pelanggaran yang saya lakukan baik dalam tulis
menulis ataupun dalam berpidato, bukankah sudah cukup kalau atas diri
dijatuhkan tindakan biasa, ialah menuduh memeriksa perkara saya, di pengadilan
umum, dan menjatuhkan hukuman yang sudah dipastikan lebih dahulu oleh aturan?
Tidak saja tindakan semacam itu akan mempertinggi “prestige” pemerintah Hindia
Belanda di mata dunia, tetapi juga akan memberi rasa kepuasan walaupun sangat
terbatas kepada rakyat Indonesia. Terutama pula akan menimbulkan rasa kepastian
kepada para pemimpin rakyat. Karena walaupun banyak ranjau dihadapan geraknya
memimpin rakyat, tetapi ranjau itu diketahui letaknya dan diketahui pula
akibatnya melanggar ranjau semacam “undang-undang pemerintah Hindia Belanda”
itu.
Tetapi “exorbitante rechten” hak
istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda adalah laksana satu golok yang dipegang
di dalam gelap buat ditusukkan sewaktu-waktu kepada seorang yang “dianggap
musuh bagi diri sendiri. Dipandang dari sudut hukum, maka “hak Istimewa” itu
adalah aturan sewenang-wenang, despotis, dan dipandang dari sudut kesusilaan,
moral adalah sikap yang tak ksatria, bahkan pengecut!
Cuma, kalau ditinjau dengan
pandangan filsafat, keadaan tersebut bisa dimengerti, walaupun tak bisa diakui
kemuliannya dan keadilannya buat kedua belah pihak.
Adapaun “hak istimewa” itu tiadalah
bisa dipandang sebagai hasil perhubungan hukum (legal relation) saja antara
manusia dengan manusia umumnya, dan diantara Belanda dengan Indonesia tegasnya.
Hak Istimewa Gobnor Jenderal Hindia Belanda itu berseluk beluk pula perhubungan
ekonomi, sosial dan politik antara kapitalis-imperialis-Belanda dengan buruh
rakyat terjajah Indonesia.
Segerombolan kecil bangsa Belanda,
tetapi mempunyai kapital besar, polisi, tentara, dan kejaksaan tak akan bisa secara
demokrasi membentuk Undang-undang bersama 70 juta rakyat dan buruh Indonesia
yang terhisap itu. Segerombolan Belanda itu terpaksa memegang “hak istimewa”
yang tidak didasarkan atas perundingan masak-masak, persetujuan semua yang
berkepentingan, atau yang diperoleh dari wakil rakyat yang sesungguhnya “hak
istimewa” itu mesti berdasarkan kemauan segerombolan kecil tidak berdasarkan
keadilan: melainkan berdasarkan sewenang-wenang.
Segerombolan kecil yang hidup atas
keringatnya rakyat buruh yang banyak itu, tak bisa melayani wakilnya rakyat
buruh yang 70 juta secara terbuka, bersoal jawab mencari kebenaran menurut
aturan yang pasti, melainkan terpaksa mengambil jalan “menikam dari belakang”
menangkap, memenjara, dan membuang dengan tidak banyak memusingkan perkara
pemeriksaan keadilan dan kebenaran. Inilah cara pengecut.
Sebagai renungan dibelakang, maka
peristiwa pembuangan saya itu saya majukan disini, bahwa saya berada di
Semarang baru 6 bulan lamanya. 99% dari waktu dimakan oleh pekerjaan yang
berhubungan dengan perguruan. Paling banyak berbicara di muka umum 6 jam. Tiga
jam di waktu Kongres PKI, satu jam di depan anggota VSTP, satu jam di depan
buruh tambang minyak di Cepu, dan sisanya yang satu jam lagi terbagi-bagi di
beberapa tempat. Enam jam itu adalah taksiran yang paling tinggi! Teranglah
sudah, bahwa “ranjau pembicaraan dan tulisan” tak bisa makan! Kalau bisa
pastilah imperialisme Belanda bersuka cita membuktikan “rechtsordenya”
kepastian hukumnya: kerahkan kepolisian dengan semua saksi dan keterangan yang
diperolehnya, menaklukkan saya, si tertuduh, dengan keterangan yang
diperolehnya taklukakan saya, si tertuduh, dengan keterangan syah yang
dimajukan oleh para ahli hukum Hindia Belanda, buat menghukum saya cocok dengan
undang-undang yang ada dan pasti tertulis. Tetapi karena keterangan yang syah
dan cukup itu rupanya tak bisa didapat, dan pemerintah Hindia Belanda tak
mempunyai alasan hukum cukup buat menarik saya ke depan pengadilan yang syah
maka ia main kasar; main kayu. Semua keterangan resisir inlandernya yang
membututi saya kemana pergi, dipakainya bukti yang syah buat mengasingkan saya
dari masyrakat Indonesia. Laksana si pemain yang tidak bisa melawan musuhnya
dengan “playing the game”, mempermainkan bola menurut aturan, maka ia main kayu,
menendang kaki atau menyikut lawannya: lemparkan hukum dan pakai kekerasan!
Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini
bumi serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini
bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu,
tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf
pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan
yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat
dan ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita
tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita
bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga
atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu
pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di
negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh
gelombang kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan
lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan
hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat
kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula kalau kita berada dalam
kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal
ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam atau bunuh diri
atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham
bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan bumi iklim
Indonesia dengan masyarakat Indonesia dan keluarga, bukanlah yang pertama kali
saya rasakan. Tetapi perpisahan dengan teman seperjuangan dan pekerjaan hidup
saya memangnya yang pertama kalinya.
Perpisahan dengan teman seperjuangan
tergesa-gesa diadakan di Semarang dua tiga hari sebelum saya berangkat pada
penghabisan bulan Maret 1922. Saya diijinkan keluar penjara satu hari lamanya
untuk mengurus semua kepentingan saya. Walaupun belum lama saya berada di Semarang,
sungguh-sungguh dalamlah ikatan batin yang berada di antara kami seperjuangan.
Dini hari, jam 4 pagi, sebelum
berpisah (saya masuk penjara kembali sebelum diberangkatkan) rupanya buat
selamanya almarhum Partondo, bekas pemimpin suara rakyat, datang ke tempat saya
dan membangunkan saya.
Lebih dahulu saya dengar, bahwa
sudah satu dua hari dia berpuasa. Mukanya kelihatan tenang. Tetapi lebih
sungguh daripada yang sudah-sudah dan suaranya lebih keras “Saudara”, katanya
“besok sesudah saudara berangkat, saudara Marco dan saya, dan satu saudara lain
lagi akan berangkat mengunjungi gunung Lawu. Kami sudah berjanji satu sama
lainnya.
Saya heran, akan bertanyakan
maksudnya, tetapi rupanya dia sudah mengerti dan akan memberi kesempatan saya
untuk bertanya.
“Memang” katanya pula “ini bukan
aksi yang selalu kita kemukakan dan ini cuma pikiran semata-mata: kejawen. Kami
perlu membersihkan diri dan perlu mencari kekuatan batin. Saudara Marco yang
mengusulkankan! Selamat jalan! Selamat jalan!
Saya tidak melihat mukanya lagi buat
selama-lamanya. Ketika di Tiongkok saya mendapat kabar, bahwa saudara Partondo
meninggal di Semarang. Saudara Marco terkenal pendiam, berhati jujur dan keras
seperti baja, dan meninggal di Digul.
Banyak lagi peristiwa yang lain-lain
membuktikan eratnya ikatan batin kami. Tetapi cukuplah disebut disini bahwa
dengan teman seperjuangan semacam itu, kita ingin bertemu muka sekali lagi,
dimasa masih hidup. Tetapi keinginan ini tiada tersampai. Inilah yang kita
namakan kesedihan di dalam hidup kita di dalam dunia yang fana ini, tragedi.
Meninggalkan penjara Semarang menuju
ke kapal di pelabuhan, saya dibawa dengan auto yang diputar belokkan untuk
menyingkiri ramai yang berniat mengucap “selamat jalan” seorang pengamat pun
tak saya jumpai. Baru dalam penjara di Jakarta saya sedikit bisa tahu apa yang
terjadi ketika saya meninggalkan Semarang.
Tetapi kabar tentang pengantaran
saya itupun diputar balikkan oleh surat kabar Belanda di Jakarta. Sedang
bermain dan dengan opsir hukumana dalam satu kamar di penjara, dia perlihatkan
surat kabar Belanda itu kepada saya. Bunyinya lebih kurang: “Tan malaka
diantarkan menentang AGEN oleh koki-babu dan anak-anak murid sekolah rakyat
yang menentang agen Polisi, karena mereka kecewa tidak bisa bertemu dengan Tan
Malaka....”
Kita sudah mendengarkan caci maki
dan penghinaan yang menganggap bangsa Indonesia cuma terdiri dari koki dan babu
saya. Itulah pula yang mendorong mendidik dan menukar koki babu buat melayani
tuan-nyonya bangsa asing itu menjadi koki babu Negara Republik Indonesia.
Cuma, karena mengenai akan sifatnya
anak murid saya, maka timbullah kekuatiran di hati saya. Kalau-kalau perguruan
sekolah rakyat nanti tak bisa menolak provakasi. Saya kuatir, kalau-kalau nanti
dasar didikan sama sekali ditunjuk kepada propaganda dan agitasi politik
semata-mata. Menurut rencana saya, maka didikan kecerdasan dan latihan
kepandaian yang berguna buat pencarian hidup, seperti kepandaian tekhnik,
pertanian dan administrasi, bukanlah maksud yang tersambil. Saya berharap
membangunkan pemuda Indonesia baru yang berideologi suci terang, beriman baja,
disamping yang perlu buat kepandaian kehidupan sendiri dan keluarganya. Perkara
ijazah resmi tiadalah dipandang satu perkara yang penting. Pengalaman
dibelakang hari memperkuat paham itu. bukan sekali saja sudah saya alami, bahwa
ijazah (resmi) itu bukanlah jaminan efficiency, melainkan satu kemungkinan buat
kesanggupan. Bermula sebagai tukang atur alat tambang, alat pembangunan, dan
kendaraan beraneka warna, seperti boor, onderdeel, ini-itu, pahat, palu,
gergaji dan membagi dan mengangkat mengusungnya sendiri seperti romusha setiap
hari dan membagikan kesemua cabang kongsi arang Bayah-Kozan, mengatur
pengiriman ratusan romusha ke rumahnya, mengurus makanan, minyak tanah dan
lain-lain kehidupan sehari-hari buat ribuan romusha di kota Bayah dan orang
kampung di sekitarnya, mengurus orang sakit, mayat, dan lain-lain sendiri
mengepalai kantor dikelilingi oleh Tuan Nippon. Akhirnya saya menjadi kepala
statistik di kantor pusat. Ijazah? Saya Ilyas Husein cuma keluaran sekolah Mulo
Kelas I di Medan......saja! contohnya pengalaman saya di luar negeri diantara
bangsa asing, ialah mulai dari guru S.M.T dengan nama lain pula, tetapi bukan
dengan ijazah!
Lagipula menurut pikiran saya: kerja
membikin propaganda saja dalam keadaan ilegal lekas menimbulakan kecurigaan PID
atau Kempetai akan bertanya dalam hatinya sendiri: bagaimana hidupnya orang
dengan gaji F.8,- sebulan, 2 tahun lamanya, sampai guru itu? Sebaliknya seorang buruh yang bekerja rajin tak mudah
menimbulkan kecurigaan. Dan kalau si buruh itu efisien pula, si direktur,
majikan akan terikat oleh penghargaan. Dengan begitu si buruh akan terlindung
dari mata si penyelidik. Sebaliknya pula terhadap teman seperburuan dia mudah
mendapat pekerjaan, penghargaan dan bantuan. Si buruh dan teman sekerja mudah
dihampiri, lahir dan batin. Sambil bekerja dapat berbicara dari hati ke hati,
berpropaganda dan berkomplot “Sambil menyelam minum air”, kata pepatah.
Akhirnya yang tidak kurang
pentingnya, bukankah makanan yang seenak-enaknya dan pakaian yang
sebagus-bagusnya adalah apa yang diperoleh dengan tenaga sendiri? Ringkasnya,
walaupun perguruan sekolah rakyat yang tidak dipusatkan kepada usaha pengejar
ijazah yang resmi, tetapi tiadalah saya lupakan kepentingan didirikan
kecerdasan otak yang sesungguhnya dan latihan buat kepandaian yang berguna bagi
pencarian hidup. Tetapi benih kebencian anak murid yang terbukti ada perpisahan
kami di Semarang itu rupanya sangat mempengaruhi pendidikan dan latihan di
perguruan sekolah rakyat di belakang hari. Didikan akan condong kepada
propaganda.
Dalam kapal di pelabuhan Jakarta
ketika bertolak ke Nederland, saya berpisah dengan guru Horensma, yang
tergesa-gesa datang dari Bandung. Apabila saya mulai pembicaraan dengan soal
hutang-piutang, maka percakapan ini segera dipotongnya. Dari Semarang terus
saya kirimkan angsuran hutang saya ke Engku found Suliki. Bahkan dengan
tambahan pula. Pada guru Horensma masih ada sisa utang saya, teapi bisa
ditutupi dengan asuransi dan simpanan saya di Java-Bank dan di Twensche Bank
(Nederland)
Akhirnya, ketika hampir berpisah
buat penghabisan pula pada Guru Horensma, yang di masa berpisah sudah
berpangkat inspektur, saya peringatkan adanya dua-tiga orang Belanda yang
memperhatikan percakapan kami ialah Belanda PID yang menjaga saya di kapal.
Tetapi oleh guru Horensma peringatan dijawab: “Ach ze kunnen het mij doen. Het
is mij ook al toto zoover I” (Boleh dia bikin terhadap saya apapun maunya
sendiri. Saya pun sudah jemu melihat semua ini).
Mengertilah semua pembaca, bahwa
guru yang jujur takkan mau kalah sama muridnya, walaupun dalam hal menentang
yang dianggapnya zhalim terhadap si murid itu adalah bangsa sendiri.
Saya kenal di Tiongkok kolot, di
Hindustan kolot dan di Indonesia kolot, letaknya guru itu di hati murid di
samping Ibu-Bapa. Umumnya si ibu-bapak dianggap sebagai sumber jasmani dan
sedikit sebagai sumber rohani. Dan pada gurulah Timur kolot sumber rohani:
semangat pengetahuan, perasaan sering juga kemauan. Burukkah “kekolotan” Asia
semacam itu?
Entahlah. Tetapi yang memberi
sebagian pengetahuan di bangku sekolah, masa kanak-kanak dan pemuda, dan
dibelakangnya yang membuka mata serta memberi kesempatan kepada saya,
memadamkan dahaga atas pengetahuan di Eropa, sumbernya pengetahuan itu adalah
Gerardus Hendrikus Horensma. Seorang berkulit putih, sebangsa dengan menganut
sistem kapitalisme-imperialisme yang saya bantah dan tentang sudah lebih dari
seperempat abad lamanya, dan ketika menulis dalam penjara Republik di Magelang
ini (Mei 1947) terus saya bantah.
Seorang murid yang ingin belajar,
ingin tahu, tak akan memandang warna kulit atau bentuk muka guru yang
memberikan apa yang diingini si murid yakin pengetahuan. Guru yang tulen ingin
pula haus menerima pengetahuan.
Salah satu jabatan atau tempat yang
bisa menghilangkan prejudice, vooroordeeld terhadap seseorang, ialah rasa benci
sebelum dikenal dan diketahui betul, disebabkan warna kulit, bahasa atau adat
istiadat dan sebaliknya bisa menimbulkan
rasa penghargaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” adalah perguruan.
Pertukaran guru dan murid antara Negara dan Negara dan dalam suatu Negara
sekolah buat semua bangsa menurut paham saya, adalah satu jalan yang
sebaik-baiknya buat menanamkan demokrasi internasionalisme yang baik dan kekal,
di hari depan.
Sedikit tentang keluarga.
Di waktu kapal menjelang Padang,
saya sedikit takut kalau-kalau ayah bunda datang “memberi selamat jalan”.
Benar, adik saya di Semarang lekas saya suruh pulang ke kampung sebelum saya
berangkat. Saya pesankan supaya ayah bunda jangan dibiarkan pergi ke pelabuhan
Padang.
Betul, keduanya adalah orang yang
taat beribadat dan mempunyai iman yang teguh dalam menghadapi bermacam-macam
kesusahan. Tetapi apakah teristimewa Ibu akan sabar melihat kapal berangkat
membawa anaknya ke tempat pembuangan, entah dimana dan entah untuk berapa
lamanya?
Ibu Minangkabau biasanya merasa
ditimpa kemalangan, kalau tidak mempunyai anak perempuan. Di Minangkabau, adat
asli yang mewarisi rumah, sawah, ladang, ternak dan harta pusaka yang lainnya
adalah anak perempuan. Sunyilah rumah di Minangkabau, kalau tak ada anak gadis,
calon ratu di rumah pekarangan serta sawah ladangnya.
Kesedihan ibu yang terpendam dalam
sanubarinya ialah tak mempunyai anak perempuan itu. kami berdua laki-laki tak
memenuhi peraturan “matriarchaat”. Peraturan berpusat pada kewanitaan. Ibu
selalu merasa lebih sunyi daripada perempuan lain di Minangkabau kalau
ditinggalkan anak laki-laki pun yang sebenarnya perkara biasa buat orang di
Minangkabau yang terkenal sebagai orang perantau.....apalagi ditinggalkan,
mungkin buat selama-lamanya, karena disampingnya tak ada teman perempuan yang
paling dekat ialah anak kandung.
Disebabkan desakan batin pada diri
saya, tahun 1925 di Canton, tiba-tiba dengan perantaraan teman separtai saya
tanyakan bagaimana halnya orang tua saya. Tentulah saya tak dapat langsung
berhubungan. Jawabnya pula, bahwa ayah baru saja meninggal.
Pula kebetulan saja, sesudah
penangkapan di Hongkong, saya di jalan mendapat tahu, bahwa ibu meninggal di
bulan Februari 1933.
Saya cuma bisa menghibur diri saya,
bahwa ketika kembali dari Eropa (tahun 1919) setibanya di Deli saya segera
berangkat ke kampung menemui ayah bunda. Tak kurang pula hal yang
menggembirakan saya ialah kabar yang saya terima, bahwa keduanya mengerti,
menerima dan setuju dengan tingkah laku saya bahkan bangga pula ikut berkorban
buat Negara dan Rakyat Indonesia. Buat Ibu-Bapa yang bukan modern ini memangnya
sudah satu kemajuan. Tetapi kewajiban terakhir dari anak Indonesia terhadap
ayah-bunda, mengunjungi kubur mereka dan melakukan keinginannya selagi hidup
memperingatkan arwah mereka, berhubung dengan bermacam-macam rintangan sampai
sekarang (Mei 1947) memang belum juga sanggup saya jalankan. Saya akui bahwa
kewajiban yang masih ditangguhkan ini sering dirasa seperti “duri dalam
daging”. Teristimewa pula karena saya insyaf dan saya selalu merasa sayang,
sebab gerak-gerik saya dari kecil sampai mereka meninggal, memang banyak
menyusahkan mereka.
Kembali ke pelabuhan Teluk Bayur,
Padang. Untunglah Ibu-Bapa tidak datang. Kalau datang pun tak akan bisa
berjumpa dengan saya, sebab di Padang disiarkan kabar, bahwa orang tak boleh
berjumpa dengan saya. Cuma beberapa orang yang pintar “menerobos” dapat juga
mengucapkan selamat jalan.
KEMANA?
Yang kedua kalinya saya bertolak
dari Padang menuju Eropa. Yang pertama pada tahun 1913, yang kedua ini pada tahun 1922. Alangkah besarnya perbedaan
alasan dan tujuan pertolakan, dan jiwa pada dua saat bertolak itu.
Pelayaran ke Nederland pun tak luput
dari akibat pertentangan dalam pemandangan hidup, politik dan pekerjaan saya di
Indonesia dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun...
Beberapa orang Indonesia, Pegawai
Gubernemen Hindia Belanda di klas satu, saya cuma naik klas tiga, mulanya
mencobakan perhubungan dengan saya. Tetapi usahanya segera diperhentikan,
karena mendapat gangguan dari penumpang Belanda yang kebanyakan terdiri dari
Tuan-Tuan besar.
Sekali peristiwa, di waktu bulan
terang, ombak sayup Magrib, lautan sekedar tenang, salah seorang pelajar yang bersama
ke Nederland, sedang menerangkan maksudnya kepada saya, kami didatangi oleh
seorang sersan “van het Koniklijk Nederlandsh Indische Leger”. Ia menyerobot
berbicara, mencari-cari perkara, dan berteriak keras-keras rupanya menurut
“rencana” kami tak ingin menjawab apalagi berdebat menyambut “tantangannya”.
Teristimewa pula karena semua alasannya yang basi berbau “jenever”. Tiba-tiba
entah dari sudut mana datangnya majulah seorang kelasi Belanda muda tinggi
besar, mengetok bahunya Tuan dari “karzene” tadi. “Jangan dengan Tan Malaka.
Baiklah dengan saya saja berdebat. Tetapi dilupakan bahwa itu di bawah adalah
air laut.”
Akibatnya yang nyata dari teguran
ini ialah beberapa hari lamanya tuan sersan dari kazerne van het Koninklijk
Nederlandsch Indische Leger ini tak muncul-munculnya ke atas dek. Kepada
temannya dikatakan bahwa seorang “Bolsjewiek” Belanda hendak melemparkan dia ke
laut, ketika dia berbicara dengan Tan Malaka.
Kawan yang muda, tinggi besar tadi,
adalah anggota N.I.S. Serikat Sekerja Syndikalis di Nederland. Di belakang
harinya seorang kelasi pula yang agak lanjut usianya, tetapi berperawakan besar
tegap, berkata kepada saya: “Kami cuma empat orang disini yang bersamaan paham.
Kebanyakan pelaut yang lain penganut sosial demokrat. Tetapi walaupun kami
berempat saja, saudara jangan kuatir”.
Pada suatu malam lewat jam dua
belas, saya dibangunkan si pelajar untuk naik ke atas dek. Di sana saya jumpai
beberapa pelaut Tionghoa, sebagai tukang api (stokers). Ketuanya menawarkan
baju tukang api kepada saya. Katanya: “Besok pagi kapal sampai di pelabuhan
Colombo. Pakailah pakaian pelaut ini, dan naiklah ke darat. Nanti saya
pertaruhkan saudara kepada teman-teman saya di Colombo. Kami sering menolong
Sun Man (Dr. Sun Yat Sen) di masa sudah”. Sebentar saya takjub menyaksikan
ketegasan, ikatan jiwa dan pertolongan, cepat-cepat, dari para teman Tionghoa
ini. Mereka rupanya memperhatikan benar-benar ketika saya di pelabuhan Jakarta
dan Padang diawasi saja oleh agen Polisi Belanda dan Indonesia. Dan pelaut Tionghoa
umumnya adalah anak tulennya Sun Man (nama samaran Dr. Sun Yat Sen di antara
pelaut). Lekas mereka mengerti apa yang telah terjadi dan lekas siap sedia
memberi pertolongan yang tepat kepada teman seperjuangan. Di belakang hari
memangnya bukan sekali dua kali saya mendapat pertolongan anaknya Sun Man,
ketika mondar-mandir antara Tiongkok dan Indonesia.
Kata saya kepada ketua Tiongkok tadi
“Saudara jangan sangka saya akan dimasukkan penjara di Nederland. Saya cuma
dibuang saja ke sana. Dari Nederland, nanti saya akan berusaha mencari salah
seorang yang sudah lama ingin menjumpai di dunia ini, ialah Sun Man. Terima
kasih”. Tepat 1 Mei saya tiba di Rotterdam. Oleh Dr. Van Ravenstijn (C.P.H.
Partai Komunis Holland) saya dinasihatkan mengunjungi perayaan 1 Mei di
Amsterdam yang diselenggarakan oleh rapat bersama komunis syndikalis. Wijnkoop
(ketua C.P.H) memberikan temponya berbicara kepada saya. Sambutan rapat atas
uraian saya amat memuaskan. Sesudah rapat itu juga beberapa anggota C.P.H
mengusulkan kepada saya menjadi calon anggota parlemen dari C.P.H pada
pemilihan depan. Pertama kali buat bangsa Indonesia.
Pemilihan di Nederland berlaku
menurut sistem proportional representation. Perwakilan seimbang dengan
banyaknya pemilih. Kalau tiap-tiap 100.000 warga negara pemilih berhak memilih
satu orang wakil, dan Partai A mendapat 500.000 orang pemilih, parta B 1.000.000
orang, maka partai A berhak mengirim 5
wakil ke parlemen dan partai B. 10 orang si pemilih bukanlah menjatuhkan
suaranya pada orang partai seluruhnya yang dasarnya disetujui. Demikianlah si
pemilih memberikan suaranya pada daftar suatu partai. Partai itulah yang
menentukan siapa calon yang pertama
dalam lijst (daftar) akan menjadi wakil, kalau pemilih cuma 100.000 siapa yang
kedua kalau pemilih 200.000 yang ketiga 300.000 dan sebagainya. Boleh juga si
pemilih memberikan suaranya kepada salah seorang di dalam daftar yang istimewa
disukainya (bij voorkeur stemment). Tetapi kalau si calon itu ditaruh di nomor
4 atau 5, dan jumlah pemilih tak sampai kepadanya, maka suara pemilih itu
kembali kepada daftar seluruhnya buat mengisi yang kurang, Jadi buat nomor 1,
nomor 2 dan akhirnya nomor 3.
Walaupun buat nomor 2 dalam lijst
(daftar) C.P.H pada tahun 1992 itu sudah susah buat mendapatkan cukup suara,
tetapi saya buat mewakili 60.000.000 orang Indonesia dimasa itu, ditaruh oleh
partai C.P.H pada tempat No.3. Tak ada harapan buat saya seperti juga sudah
diketahui dari semula. Saya pun tak berniat hendak tinggal di Nederland. Saya
terima usul menjadi calon tadi cuma untuk mengambil kesempatan buat Hindia
Belanda dan mendorong C.P.H membantu Indonesia dalam perjuangan melawan
Imperilisme Belanda.
Hasil pemilihan sebagai cermin bagi
perhatian proletaria dan rakyat progresif Belanda terhadap rakyat Indonesia,
amat memuaskan. Perhatian itu ditegaskan pula, karena si pemilih banyak yang
memberikan suaranya langsung kepada Tan Malaka. Maka menurut bijvoorkeur
stemmen” (memilih orang yang disetujui tadi) Tan Malaka mendapat suara
terbanyak, kalau dibandingkan dengan “voorkeur stemmen” nya semua partai yang
lain-lain. Inipun diperoleh walaupun saya terutama berbicara di Amsterdam dan
Roterdam saja. Tetapi jumlah suara buat daftar seluruhnya tak sanggup
memasukkan saya, kedalam parlemen Belanda. Jadi saya ditaruh di tempat nomor 2
dalam lisjt C.P.H pada tahun 1922 itu, maka tentulah pada tahun 1922 orang
Indonesia yang pertama sekali memasuki Parlemen Belanda.
Perantauan saya diteruskan ke
Jerman! Tak cukup tempat disini buat melukiskan apa yang saya saksikan dengan
mata kepala sendiri dalam ‘Deutschland uber a les’ itu. Banyak humbuk, banyak
kesombongan dan layak dalam semboyan itu! Tetapi banyak pula benarnya! Walaupun
Jerman cuma berpenduduk 70.000.000 lebih kuran 3% seluruh dunia, tapi sudah dua
kali dia mengancam seluruh dunia, dan cuma bisa dikalahkan oleh seluruhnya
dunia saja. Kalau nilai kemanusiaan terletak pada quality dari otak dan hati,
seperti kecerdasan, kemauan, keuletan yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan,
disiplin dan organisasi saja, maka dalam lebih kurang tiga perempat abad
belakangan ini, memangnya bangsa Jermanlah yang berhak diberi piala, terutama dalam
pergolakan pengetahuan, kemiliteran dan organisasi. Tetapi manusia memerlukan
sifat lain dari pada sifat yang perlu buat menaklukkan semua bangsa yang bukan
bangsa sendiri: terutama perlua akan sifat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada pertengahan tahun 1922 ketika
saya berada di Berlin, maka Jerman sedang hebat menderita akibat politik
militerisme Jermania. Jerman kalah perang, hutang dikumpulkan oleh Serikat
kepadanya bertimbun-timbun, ekonominya turun merosot daerahnya masih diduduki
musuh, keuangannya runtuh dan valutanya turun dari hari ke hari, sampai hampir
tak ada harganya lagi. Dengan merosotnya kekuasaan dan perekonomiaan Jermania
merosotlah pula moral bangsa Jerman dipandang dari beberapa sudut pun juga
moral wanitanya yang selalu di gembor-gemborkannya itu. Tetapi hawa Jerman yang
sehat itu, bangsa yang kuat dan cerdas, solidair, dan tak mengenal putus asa
itu, dengan dasar yang sudah ada dalam teknik dan ilmu di Jerman ia tidaklah
begitu saja diombang-ambingkan oleh bangsa lain. Jerman menyelundupi semua
tekanan yang dilakukan oleh bekas musuhnya dan dengan sabar menunggu waktunya
untuk bangun kembali.
Dengan pelajaran penuh di kiri kanan
buat seseorang pelajar, dengan buku beraneka warna murah harganya dan tersedia
dimana-mana saja dalam kota seperti Berlin, tak heran kalau seseorang yang
ingin tahu dan belajar seperti Darsono, masih pemuda waktu itu, terikat dan
terpikat hatinya oleh Berlin. Tetapi karena kekurangan tenaga di Indonesia maka
terpaksalah dia berpisah dengan buku, majalah, surat kabar dan rapat raksasa di
kota Berlin. Dua bulan saya bercampur dengan Darsono di Berlin. Kemudian kami
berpisah lagi sampai sekarang. Dia menuju ke Indonesia, saya ke Moskow.
Rusia tahun 1922! Bukan Rusia tahun
1927 berada dalam pertikaian hebat antara golongan Stalin dan golongan oposisi,
Rusia yang berada di pintu gerbang Rencana 5 tahun. Bukan pula Rusia di waktu
pecahnya perang melawan Nazi Jermania Juli 1941, sesudah mengalami tiga kali
rencana ekonomi yang jaya mengagumkan seluruh dunia dan mentertawakan kemajuan
sejarah yang sudah-sudah. Akhirnya bukankah pula Rusia sekarang setelah
mengalami peperangan dunia kedua, yang memusnahkan sebagian besar apa yang
sudah didirikan bertahun-tahun dengan keringat, air mata, serta jiwa.
Berjilid-jilid buku tertulis tentang
Rusia dalam hampir semua bahasa sopan di dunia sekarang, yang bisa kita baca,
dipandang dari sudut sejarah, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Tidaklah sanggup dan tiada maksud
saya diatas kertas setelapak tangan ini mengulangi apa yang sudah dituliskan
baik oleh para ahli ataupun oleh para plagiat, peniru seperti burung beo.
Pada dalam masa revolusi, baik dalam
suasana anti-imperialisme ataupun anti kapitalisme ini, tiadalah saya sanggup
menceritakan semua pengalaman saya, yang diperoleh dalam beberapa panitia,
konperensi ataupun dalam kongres ke-empat bulan November 1922, bilamana saya
mewakili PKI. Dalam revolusinya memang ada yang perlu diumumkan dan ada yang
hanya bisa dibisikkan antara awak sama awak, dan ada pula yang baik disimpan
sama sekali di dalam benak, sampai revolusi selesai.
Demikian cuma sambil lalu raba,
salah satu kesan yang saya peroleh selama berdiam lebih kurang setahun di
Moskow.
Syahdan dalam hakekatnya, maka
kejayaan Lenin dalam revolusi 1917 adalah seimbang dengan kejadian dalam ilmu
ekonomi ataupun Charles Darwin dalam ilmu tentang yang hidup (biology). Darwin
mujur sekali mencari dan mendapatkan tumbuhan dan hewan yang dan dengan cara
berpikir berdasarkan logika dan dialektika, jaya menarik kesimpulan yang
mengenai asal keadaan, kemajuan dan kemungkinan buat hidup. Kupasan Karl Marx
yang bersandar atas dialetika materialistis atas semua dari faktor dalam
ekonomi yang dikumpulkan oleh para ahli dari masa Aristoteles sampai David
Ricardo, jaya pula menetapkan asal, keadaan kemajuan dan kemungkinan sistem
kapitalisme dihari depan. Demikian pula Lenin dengan cara berpikir dialektika
materialistis dilaksanakan atas semua kodrat sosial di Rusia (sosial forces),
jaya mengenal sifat dan kodrat semua golongan revolusioner menumbangkan
feodalisme dan kapitalisme satu demi satu, hampir sekaligus saja, ketiga
pemikir ini mendekati persoalannya masing-masing dengan memperhatikan segala
bukti dalam suasana “pertentangan”, seluk beluk, kena mengena, timbul dan
tumbang” dengan semangat yang tenang berani maju.
Itu artinya ilmu, scientific, tetapi
cara yang mengakui gerakan, pergolakan, perputaran revolusi atas barang yang
nyata, kebenaran.
Tiadalah mereka menyingkirkan
caranya science (ilmu) mengumpulkan semua bukti yang bersangkutan ataupun
menyingkirkan sama sekali cara berpikir, menurut logika yakni membanding,
menyimpulkan (induction), melaksanakan
(deduction) ataupun memastikan (verification). Cara logika memang
sepenuhnya dipakai tetapi semuanya dalam suasana pertengkaran (dialektik) dan
kebendaan yang nyata.
Darwin adalah ahli yang revolusioner
tentang yang hidup dan Marx ahli ekonomi (dan filsafat) yang revolusioner pula.
Keduanya menumbangkan yang lama dan membangunkan yang baru. Mereka berpikir
secara revolusioner. Tetapi Lenin adalah ahli siasat tentang revolusioner itu
sendiri. Boleh juga disebutkan ahli revolusi yang revolusioner.
Seperti pekerjaannya tiap-tiap ahli
yang pertama sekali adalah mengumpulkan dan menyelidiki semua bukti yang
berhubungan, maka demikianlah pula hendaknya seorang ahli revolusi terlebih
dahulu mengumpulkan semua kodrat (bukti) sosial yang akan diperiksa sipat dan
tujuannya masing-masing (kodrat) serta dikoordiner buat dikerahkan terhadap
golongan yang mau disingkirkan (feodal atau borjuis) dengan cara dialektika-materialistis
disertai dengan pengetahuan dari naluri (instinct) tentang jiwanya (psychology)
murba bergerak.
Karena bukti (sosial faktor) di
Indonesia atau Hindustan berada sifat dan sejarahnya umpamanya dengan di Rusia
maka kesimpulan yang akan diperoleh ahli revolusi di Indonesia ataupun
Hindustan tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang
bersamaan cuma cara berpikir, ialah dialektika materialistis, semangat
memeriksa, ialah revolusioner salah satu syarat bagi pemimpin murba, ialah tahu
akan gerak jiwanya Murba; dan akhirnya sebagai komunikasi ialah beberapa tiang
besar dalam ilmu komunisme (keproletaran, mekanisasi, kolektivisme dan
lain-lain).
Menyangka atau menerima saja
mentah-mentah perkataan feodal borjuis ataupun proletar dalam arti sama sipat,
hasrat dan sejarahnya dengan feodal borjuis ataupun proletar di Indonesia atau
Hindustan, artinya itu tiada kritis dan tiada dialektis. Menelan saja semua
putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh
Karl Marx pada pertengahan abad ke 19 dan melaksanakan keputusan Marx dan Lenin
di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas,
menguji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek membeo
meniru-niru “Marxisme bukannya kaji apalan (dogma) melainkan satu petunjuk
untuk aksi revolusioner.
Semua bukti revolusi Indonesia dan
kesimpulan yang menentukan siasat revolusi di Indonesia mesti ditimban
sendirinya satu persatu menurut nilainya masing-masing “Should be considered on
its own merit apart op zich zelf beschouwd worden”.
Tiadalah bisa dilupakan kelemahan
dalam ilmu revolusi itu kelemahan semua ilmu sosial, ialah ilmu yang melayani
manusia sebagai bukti (fact). Yang menjadi “uncertain factor” factor yang tak
pasti, yang masih merupakan merupakan “X” dalam ilmu sosial itu ialah tingkah
lakunya manusia itu. Ilmu ekonomi (borjuis) mengandaikan (supposting) bahwa
tiap-tiap manusia itu (tani, buruh, juru tulis, saudagar, profesor dan
lain-lain) membeli atau menjual, adalah menurut undang-undang ekonomi, tak
pernah salah. Kalau umpamanya uangnya sedikit dia belikan makanan ialah yang
terpenting, kalau berlebih barulah pakaian, seterusnya sepeda, oto gramofon
bioskop dan lain-lain. Tidak ada diantara manusia itu (anggapan teori) yang
salah berbelanja. Tak ada yang lebih memerlukan bioskop atau candu, dari pada
keperluan beras, atau lebih memerlukan bioskop atau candu daripada uang sekolah
anaknya atau sewa rumah. Demikianlah pula ahli revolusi dalam garis besarnya
terpaksa meratakan semua tingkah laku semua anggota dari satu-satu golongan.
Sikap tindakan buruh terhisap-tertindas terhadap kapitalisme-imperialisme
(teoritis) diandaikan lebih hebat dari pada sikap tindakan borjuis tengah,
terhadap tindakan kapitalis-imperialis itu. Tiap-tiap anggota dalam proletar
terhisap-tertindas itu diandaikan sama sikap tindakannya satu dengan lainnya.
Tak ada yang mengkhianati klasnya sendiri. Beginilah dalam teorinya! Memang
begitu mestinya dan memangnya begitu dalam garis-besar prakteknya dan kecuali
itu memangnya pula lazim di dalam ilmu manapun juga. Tetapi janganlah dilupakan
perbedaan teori dengan praktek.
Semua kelemahan teori itu bisa
disingkirkan dikurangi dengan memasuki praktek. Ahli ekonomi yang ulung juga
harus pernah berurusan dengan salah satu cabang perekonomian atau menaruh
perhatian besar terhadap bukti ekonomi (ekonomi Fact) sehari-hari. Demikianlah
pula ahli revolusi itu bisa menyingkirkan atau mengurangi kesalahannya dalam
taksirannya tentang semangat revolusionernya murba, kalau selain daripada
mempelajari ilmu revolusi itu juga cukup bercampur gaul dengan rakyat murba atau sedikitnya sanggup menyelami jiwa
murba yang sedang bergelora itu. Jadi harus diketahui benar suasana masyarakat
yang dipelajari, yakni hawa iklim; sistem teknik yang lazim dipakai, peraturan
ekonomi, sosial dan politik yang berlaku, sejarah kecerdasan, kemauan,
perangai, perasaan pemandangan hidup, idaman serta organisasi anggota
masyarakat itu sebaik-baiknya kalau perlu disertai pengalaman sendiri.
Seorang ahli revolusi yang
sebenarnya sesuatu negara mestinya juga seperti ahli dalam ilmu apapun juga mempunyai “mata
terbuka” opend mind, terhadap persoalan revolusi di negeri lain. Demikianlah
pula umumnya sikap para pemimpin yang paling terkemuka di Rusia di masa saya di
sana (1922). Mereka tidak mendiktekan pemandangannya sendiri tentang sipatnya
gerakan revolusi di Asia (Indonesia, Hindustan, Tiongkok) dan sikap tindakan
yang mesti diambil di negeri asing buat mereka itu kepada para pemimpin Asia. Mereka
juga insyaf benar akan adanya “X” faktor yang belum diketahui di tempat-tempat
tersebut. Karena manusia disana melayani suasana berlainan dengan di Rusia
tempat mereka lahir, mendapat didikan dan berjuang. Berhubung dengan itu, maka
perundingan (discussion) dan soal jawab (perdebatan) dalam kongres dan Panitia
Komintern dilakukan seluas-luasnya. Kita tak perlu kuatir kalau kelak “Paduka
Yang Besar” ini atau itu. Kritik dirasa penting sebagai karbol pembersih yang
kotor dan yang obor penyuluh yang gelap. Semua hak demokrasi secara parlementer
boleh dijalankan diantara para teman seperjuangan itu. yang menadi batas buat
berbicara saja. Sebab itulah pula semua putusan sesuatu perundingan atau
perdebatan umumnya dirasa memuaskan. Dan ditaati, karena semua keberatan sudah
dimajukan, dan seseorang revolusioner komunis seharusnya mengerti, bahwa
putusan yang didapat secara demokratis sah itu, mesti dijalankan dengan
sejujur-jujurnya, walaupun tidak cocok dengan pendirian sendiri. Diktator
Proletar, bukanlah diktator yang mendiktaturi kaum proletar apalagi
mendiktaturi Partai Proletar.
Saya sekarangpun masih merasa untung
dapat berkenalan dengan para pemimpin Rusia (dan lain-lain negara) di masa itu;
yang namanya selalu tercantum surat kabar di luar negeri. Lenin, sebagai nyata
terakhir dalam penyakit yang akan membawa maut, masih bisa berbicara pada
kongres keempat itu. Stalin sering juga mengunjungi kongres, tetapi terkenal
sebagai dan terikat kepada urusan dalam Negara dan Partai Urusan Dalam.
Trotsky masih memegang tentara Merah
dan sering berbicara dalam rapat. Sinovief adalah ketua kongres yang dalam
pembicaraan tetap dibantu oleh Bucharin dan Radek. Diluar kongres orang
menyebutkan nama seperti Kalinin, Rykolf, Kamenen, dan lain-lain. Banyak pemimpin tentara, Serikat Sekerja Pemuda dan
lain-lain besar, sedang, kecil (yang kurang penting) yang saya kenal, dan
merasa berbahagia mengenal para pembikin sejarah yang belum ada taranya di
dunia sampai sekarang. Menurut apa yang saya baca dalam surat kabar maka hampir
semuanya pemimpin tersebut, kecuali Stalin, tidak ada kini yang hidup lagi.
Cuma Lenin saja yang mati “di tempat tidur”. Yang lain-lain mati terbunuh dalam
pergolakan antara fraksi Stalin dan seperti fraksi opposisi dalam Partai
Komunis sendiri. Demikianlah seperti dalam revolusi Perancis juga di Rusia
“Sang revolusi memakan anak”.
Sang sejarah tak mengenal penjelasan
tak mengenal perkataan kalau. Apa yang sudah dijalankan oleh sejarah tidak bisa
dicabut kembali. Tak bisa diperiksa kembali, baik atau buruknya adil atau
zalimnya buat mengulangi kembali perbuatan yang sudah dijalankan oleh revolusi
itu adalah benar, sebagai bukti, sebagai satu kejadian.
Dan apa yang dikira benar itu mesti
dibenarkan dahulu sejarah, oleh kejadian. Cuma kita harus mengambil pelajaran
dari yang lampau, supaya dapat menyingkirkan yang salah silap dan memakai yang
betul, tepat, baik.
Di masa kita berada di Moskow,
memang sudah ada oposisi Politik Ekonomi Baru (N.E.P). Tetapi demokrasi di
dalam Partai Komunis Rusia, ataupun lebih nyata buat saya dalam Komintern
sendiri tak terasa terganggu.
ENCYCLOPAEDIE VI SUPPLEMENT ada
sedikit memperingatkan pekerjaan saya dalam kongres ke empat itu. Di kaca 531
kita bisa baca:
Het kongres werd bijgewoond door Tan
Malaka. Die uit naam der Indische Com. Partai en met de belangen van duizenden
millioenen der onderdrukte volkeren in het oosten voor oogen, op 12 November
een belang wekkende rede hield over het standpunt der Communisten tegenover de
nationale boycot beweging en tegenover de nationale boycot beweging en
tegenover het zoogenaamde Pan Islamisme; m.n. over de vraag of in hoeverre zij
die bewegingen hebben te steunen. De moeilijk heden die de PKI met de Serikat
Islam had ondervonden worden door hem op pakkende wijze uiteengezet. Toen de S.I
ers den communisten in openbare vergaderingen vroegen of zij aan God geloofden,
heeft hij geantwoord: “Wenn ich voor Got stehe, dan bin ich ein Moslem, wenn
ich aber vor menschen stehe, dan bin ich kein Moslem weil got gezagt hat, dasz
as unter den menschen viele Satane gebt”.
Volgens Malaka beteekent Pan
Islamisme practisch niet anders dan strijd om de nationale vrijheid. Hoe moest
nu het communistische standpunt zijn tegenover deze Islamistische strooming?
Opeen volgende zitting kreg hij dan den afgevaardigde uit Tunis te hooren dat
dezelfde moeilijkheid zich ook daar voordeed. In elk geval beteekende: Pan
Islamisme” iet anders dan aansluiting van alle Moeslem tegenover hun
onderdrukkers, zoodat de beweging gesteund moet worden. Een commissie werd ingesteld
om de oosterscher kwestie in beschouwing te nemen en een program terzake te
ontwerpen en aan het Congres voor te leggen. Tan Malaka werd in die dommissie
benoeemd”.
Sekianlah catatan ENCYCLOPAEDIE itu.
Kecuali catatan yang tertulis dalam
bahasa itu. Catatan diatas adalah dari pidato saya dalam rapat Komintern yang
saya ucapkan dalam bahasa Jerman. Tetapi bukanlah karena pidato itu saya
dimasukkan dalam komisi tersebut, bahkan sebaliknya berhubung dengan
pembicaraan dalam komisi Urusan Timur (dimana saya ikut campur) itulah maka
saya berpidato di rapat Komintern sebagai tingkat (instansi) yang tertinggi.
Orang lain tak pernah tahu jalan
seluruhnya pembicaraan dalam komisi urusan Timur ini. Saya juga tak akan
menguraikannya disini. Tetapi pokok perkara yang dimajukan oleh ENCYCLOPAEDIE
memang benar, karena dia ambil dari pidato saya yang disiarkan oleh salah satu
majalah Komintern di luar Rusia.
Pokok perkara itu, ialah bagaimana
seharusnya sikap komunis terhadap gerakan nasionalisme di jajahan, yang di Hindustan
dan Tiongkok umpamanya berupa pemboikotan dan di Hindustan negeri-negeri Arab
ataupun Indonesia berupa Pan Islam.
Pihak Komintern (jawatan ketimuran,
Oriental Section) memajukan satu “thesis” yang memutuskan supaya partai Komunis
di negara-negara jajahan membantu dan kerja sama dengan partai nasionalis
menentang imperialisme. THESIS itu dimajukan dan dibela para komunis Rusia dan
Hindu.
Tentulah semuanya mufakat memberikan
bantuan kepada kaum nasionalis menyetujui pula kerja sama itu, ialah dalam arti
abstraknya dalam teori. Tetapi dalam prakteknya, dalam konkritnya mengadakan
kerja sama dan memberi bantuan itu, sampai saya berangkat ke Indonesia belum
bisa dipastikan. Oleh para pemimpin berangkat itu, ketika saya meninggalkan
Moskow diserahkan kepada keadaan di satu-satu tempat dan kebijaksanaan saja.
Sebenarnya saya terlibat dalam
perdebatan yang sudah lama berlangsung antara pembela THESIS dan pendebatnya.
Pada suatu malam, sedikit sudah larut, ketika saya baru kembali dari kunjungan
salah satu pabrik di sekitar Moskow oleh seorang komunis Jepang Almarhum Sen
Katayama katanya yang mendebat salah satu pasal dalam THESIS tadi, diserahkan
kepada saya untuk meneruskan mendebat pasal tersebut. Ini saudara Tan Malaka
datang “katanya saya serahkan pembelaan pendebatan saya kepadanya. Dia masih
segar bugar baru saja datang dari pergerakan anti imperialisme di Asia”.
“Tunggu dulu dong” saya jawab. Mana
pasalnya yang diperdebatkan dan bagaimana pendirian masing-masing.
Perdebatan paham yang rupanya
sedikit saja pada permulaan nyata besarnya sesudah dari kayangan abstrak
melang-lang dalam teori, kita turun ke tanah konkrit, yang nyata. Apabila
perdebatan saya belokkan kepada bukti yang nyata pemboikotan atau non koperasi
dan Pan Islamisme itu, maka tampaklah jurang yang dalam dalam antara abstract
dan yang konkrit, antara teori dan praktek. Umpamanya komunis Inggris
mengajukan keberatan terhadap pemboikotan barang Inggris oleh rakyat Hindustan,
karena menimbulkan pengangguran di Inggris. Jadi bagaimana meminta bantuannya
kaum buruh Inggris kerja sama dengan kaum pemboikot di Hindustan dan lain-lain
sebagainya. Rupanya kongres Komintern yang sudah-sudah menganggap Pan Islamisme
sebagai imperialisme corak lama.
Perdebatan yang mulanya berjalan
tenang, lama-lama menjadi hangat kalau saya tak lupa sampai tiga hari
berturut-turut. Akhirnya saudara Wakil Komintern, pemegang THESIS melarang saya
berbicara. Ini saya jawab dengan protes yang keras atas caranya mengurus
persoalan Asia yang sulit dan asing itu bagi para komunis Barat.
Setelah buntu dalam komisi barulah
saya bertanya kepada ketua Komintern Sonovief, dan pemimpin Komintern Jawatan
Ketimuran ialah Radek dalam Rapat Kongres yang tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE
itu. Apakah akan dibantu gerakan nasionalisme berupa pemboikotan dan Pan
Islamisme tadi, dan kalau “ya” bagaimana membantunya? Artinya yang dibelakang
ini bagaimana melaksanakan bantuan dan kerja sama itu dalam program taktik dan
strategi dan organisasi.
Di kongres pun saya tak mendapat
jawaban apa-apa, walaupun pidato saya mendapat sambutan yang memuaskan juga
dari seluruhnya kongres tadi. Saya mulai gelisah dan curiga akan kesanggupan
diri-sendiri. Saya minta disekolahkan tetapi dicemoohkan dengan jawab salah
seorang teman: “Belum terbuka kursi profesor buat saudara”.
Setelah kongres selesai dan para
wakil dari semua pelosok dunia mulai berkemas hendak pulang ke tempatnya
masing-masing barulah timbul pertanyaan dalam diri sendiri “Pergi ke mana aku
ini?” Tetapi teman-teman yang pulang selalu mengucapkan perpisahannya dengan
saya “Selamat Bekerja”.
Tak lama saya dalam keragu-raguan.
Pemimpin baru di Komintern Jawatan Ketimuran menghampiri saya dan berkata “Saya
setuju dengan saudara. Thesis yang tempo hari saudara bantah, memang terlampau
abstrak, teoritis. Sekarang saya yang dibawah saudara Radek memimpin Jawatan
Ketimuran itu. Pemegang Thesis telah meletakkan Jabatannya, saya harap kita
kelak bisa kerja sama atas dasar yang lebih nyata buat Asia”.
Inilah yang hendak saya majukan
disini kepada pembaca! Jadi seperti dasar demokrasi dan parlementerisme apabila
politiknya satu kabinet gagal dan tiada lagi mendapat kepercayaan dari Parlemen
maka Perdana Menteri secara demokrasi mesti ikhlas meletakkan jabatannya.
Jangan seperti Chamberlain pegang terus kedudukannya, sampai rakyat diluar
Parlementer berteriak memaksa pergi. “Chamberlian must go”.
Pemegang Thesis tadi tidaklah pula
marah atau tak mau bicara lagi dengan saya, atau pula menyuruh tangkap saya
oleh Cheka sebagai “pengacau” atau “merobohkan” jabatannya melainkan terus
seperti biasa seperti teman seperjuangan. Masih banyak pekerjaan lain yang tak
kurang pentingnya bagi dia dan memangnya
dia juga seorang muda yang sudah banyak berjasa kepada Partai dan Proletaria
Rusia diwaktu lampau.
Komintern tentulah pula dengan
setujunya Sonovief dan Radek, menyuruh saya membikin buku, tentang Indonesia.
Corak dan isinya diserahkan kepada saya dan bahan membuat buku sudah dipesan di
Nederland. Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan
statistik tentang daerah, cacah jiwa perindustrian, pertanian, pemerintahan
Indonesia. Biarlah para teman di negeri dingin itu membikin teori atau
kesimpulan atas segala bukti yang berhubungan dengan persoalan Indonesia
sekehendak hatinya. Demikian sikap saya.
Akan terlampau panjang kalau saya
paparkan disini tentang manusianya Rusia, apabila tentang yang lain-lain. Dalam
waktu setahun tinggal disana, saya cukup bercampur dengan beberapa golongan.
Tidak saja dengan pemimpin Komintern, tetapi juga dengan pemuda-pemudinya Rusia.
Di masa itu oleh pemuda di sana saya masih dianggap termasuk golongan mereka
sendiri.
Dengan mereka sering saya kunjungi
pabrik dan desa, sandiwara dan “selamatan” berkenalan dengan orang tentara,
buruh, tani dan pelajar. Kamar saya di salah satu bekas hotel, terbuka siang
malam buat para teman dan pelajar. Malah pada waktu malam saya sedang tidur
terbuka biasanya buat dua tiga mahasiswa pemudi yang harus menempuh ujian,
karena kamar saya cukup lapang dan cukup sepi hening buat belajar. Memang kamar
saya sepi hening itu diberikan kepada saya buat menulis buku.
Saya tiada menggambarkan manusia di
Rusia masa sekarang ialah generasi, turunan baru dalam suasana politik ekonomi
yang berbeda dengan dimasa seperempat abad lampau seperti siang dengan malam.
Saya akan catatkan sedikit tentang manusia, ketika Rusia dalam ekonomi sosial
berada di simpangan feodalisme dan kapitalisme dan dihela oleh revolusi
proletaria ke arah sosialisme.
Pekerjaan buruh Rusia pada masa itu
berbanding dengan pekerjaan Eropa-Barat dalam ke efficiency, kesanggupan,
barangkali tak seberapa jauhnya dengan perbandingan pabrik baja di kota Nisjhi
Novgorod dengan pabrik mesin Spadu di Berlin. Pemusatan tenaga (concentration)
barangkali memberi imbangan karena eficiency buruh di Nisjhi Novgorod dengan
lebih kurang 10 (sepuluh ribunya) itu kalau dibandingkan dengan di perusahaan
Spandu dengan lebih kurang 30.000 buruhnya baru perbandingan 1 dengan 3. Tak
kuatir mengatakan bahwa efisiensi buruh Rusia dipukul ratanya termasuk juga
450.000 buruh industri kota Petersburg sebelum perang berbanding eficiensinya
buruh Jerman di masa itu, seperti 1 dengan 8. Kemajuan ilmu dan teknik Rusia
organisasi perusahaan, serta cara dan kepintaran buruh Rusia, masih jauh
terbelakang dan bangsa yang atas uang kertasnya yang walaupun dimasa itu terus
menerus merosot dari hari ke hari dituliskan “Arbeiten kuennen wir besser als
andre Volkere” (kerja kita lebih cakap dari semua bangsa lain!)
Dalam organisasi partai politik
ataupun serikat Sekerja di masa itu Jerman mengatasi Rusia. Ini tidak berarti,
bahwa manusia Rusia semuanya ditinggalkan terbelakang oleh Barat. Nama orang
seperti Pavlov dalam ilmu jiwa, Minkovsky dalam matematika, Mendelief dalam
kimia, Tolstoy, Dostojesky, Gorky, Pusjkin dan lain-lain dalam kesusastraan
adalah manusia ukuran raksasa buat seluruh manusia dalam zamannya dan vaknya
masing-masing, sebelumnya revolusi tahun 1917. Teristimewa dalam ketangkasan
mengukur semangat revolusioner dari kaum murba, memimpin murba kepada aksi
terbuka atau tertutup, mengadakan tuntutan
dan semboyan yang biasa mengikat dan menggerakkan jiwa murba, sampai sekarang
bangsa Jerman masih perlu belajar dari pelopor Revolusi November tahun 1917
dari “Bolsjewik Tua”.
Tak ada bedanya Lenin, Stalin,
Bucharin, Kalinin atau Trotsky denga Petroff, si buruh, si pabrik besi,. Si
pemimpin merasa sama atau menyamakan diri dengan yang dipimpin dalam pergaulan
hidup. Begitu pula si buruh tiada merasa segan atau takut berhadapan dengan
pemimpinnya, walaupun Stalin atau Lenin. Singkatan paduka tuan, yang mulia atau
P.J.M. ataupun yang mirip ke situ belum terdengar di masa itu. semuanya
dipanggil “Saudara” : towarich. Sudahlah tentu suara si buruh menyebutkan
towarich Lenin berlainan menyebutkan towarich Petroff menggembleng baja di
pabrik. Sebab towarich Petroff menggembleng baja dan towarich Lenin
menggembleng satu partai revolusi, Partai Bolsjewik. Kehormatan sesama manusia
pun tak akan hilang selama ada pergaulan manusia. Tetapi kehormatan yang
sebenarnya itu lahir dan seimbang dengan jasa seseorang terhadap pergaulan
hidup itu pula, Terutama pula kehormatan yang sesungguhnya itu tiadalah
terletak pada sembah jongkok ataupun pada perkataan yang diucapkan melainkan di
dalam hati sanubari.
Terhadap kita orang Asia dari
jajahanpun tak bisa kita membedakan sikap Petroff, buruh besi daripada Lenin,
buruh revolusi. Mungkin juga terbawa oleh percampuran darah dengan bangsa Asia,
atau karena hidup dalam suasana setengah feodal setengah kapitalis seperti
Asia, maka gerak getar kata, suara dan air mukanya orang Rusia umumnya lebih
meresap jiwa kita dari pada orang Eropa Barat. Mereka (manusia Rusia) masih
mempunyai perasaan persamaan dan persaudaraan dalam tingkah lakunya seperti
kita. Belum sama sekali kehilangan “uit de hoogte”, hati tinggi “strijdheit”,
mengasingkan diri “zakelijk” perkara (yang menguntungkan diri) saja. Ketawanya
masih lepas tak ditahan, salamnya hangat seperti terlihat di cahaya mukanya.
Kegembiraan dan kesedihannya nyata, tak dibungkus-bungkus atau dibuat-buat.
Inilah perkara yang menyedihkan
berpisahan dengan manusia Rusia di masa itu. Saya sebutkan di masa itu, sebab
lantaran perubahan teknik politik ekonomi sosial dalam seperempat abad di
belakangnya ini, saya tak dapat pastikan apakah tingkah laku manusia Rusia
tidak berubah pula. Generasi sekarang bukan lagi manusia sebelum 1917 yang
mengalami takut, tongkat besarnya Tsar. Generasi sekarang hidup dalam suasana
sosialisme, walaupun masih dalam tingkat pertama dan banyak kekurangan dan
masih dikepung oleh sistem kapitalisme. Tetapi bukan lagi berada dalam suasana
tindasan politik seperti dialami Bolsjewik Tua. Kaum Bolsjewik Tua bisa
memendam luka di kulit mereka sendiri. Karena merekapun menderita pukulan
penindasan. Kaum Bolsjewik Tua bisa merasakan pengharapan kita untuk di hari
depan, karena merekapun pernah berharap akan terbitnya fajar di masa gelap
gulita.
Akhirnya pada pertengahan tahun 1923
oleh Komintern saya diserahi atau pengawasan atas partai komunis yang ada atau akan diadakan di
beberapa negara yang di masa Jepang kita kenal “Selatan” dan saya sendiri
menamakan “ASLIA” yakni Burma, Siam, Annam, Filipina dan Indonesia. Demikianlah
sudah lebih kurang satu setengah tahun meninggalkan Indonesia, saya berputar
melalui Nederland, Jerman, Rusia, Tiongkok dan kembali ke pangkalan.
Tetapi lama sesudah saya di Asia
masih terang gambaran yang saya simpan tentang hawa iklim dan daerahnya Rusia,
rakyat, buruh tani pelajar dan last but not least “Old Bolsjewik”: ialah
Bolsjewik Tuanya Rusia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar