Kamis, 07 April 2016

Kemana?


Jarak Manila – Amoy hampir sama dengan jarak Singapore – Jakarta. Masinis No.1 memperkenalkan saya mendiami biliknya. Bilik itu, terletak paling ujung di barisan bilik para opsir kapal Suzana. Opsir, kelasi dan stoker semuanya terdiri dari bangsa Filipina. Lautan teduh tenang, memberi kesempatan kepada saya buat sedikit beristirahat, sesudah berhari-hari mendapat gangguan.
Saya tiada berjumpa dengan para penumpang. Kejadian nanti akan menunjukkan baiknya hal ini. di waktu makan saya mendapat kesempatan berkenalan dengan para opsir. Boleh dikatakan mereka semuanya mengandung simpati terhadap kemerdekaan Filipina dan Indonesia. Semboyan yang lazim terdengar di Filipina di waktu itu ialah: “immediate, absolute, and complete independence” (Kemerdekaan sempurna dan sekarang juga).
Kapten Roco sudah berumur lebih kurang 60 tahun, tetapi masih tegap dan segar bugar, terlalu tegap buat umur sekian lanjut. Jadinya dia termasuk golongan tua dan banyak mempunyai pengalaman semasa hidupnya, baik tentang pelayaran maupun tentang pergerakan kemerdekaan di Filipina. Perhubungannya dengan para pelaut, yang semuanya kelihatan orang tegap, adalah rapat sekali dan dalam suasana ramah tamah.
Pada hari pagi yang ke-3 semenjak meninggalkan pelabuhan Manila, sampailah kapal di teluk Amoy. Teluk ini amat panjang, cukup dalam, dilingkungi bukit kiri-kanan; jadinya banyak mendapat perlindungan di masa ribut taufan yang tersohor jahat-dahsyat di lautan Tiongkok itu. Salah satu dari natural harbour, teluk pemberian alam yang bagus sekali!
Yang di Indonesia kita dengan sebagai kota Amoy itu, sebenarnya terdiri dari dua kota yang berlainan status dan tempatnya, ialah kota Kulangsu dan kota Amoy sendiri. Yang pertama terletak pada satu pulau kecil yang indah, di sebelah kiri kalau kita memasuki teluk Amoy. Yang kedua terletak di pulau Amoy di sebelah kanan kalau kita memasuki teluk Kulangsu berada di bawah kekuasaan internasional (internasional settlement) dan mempunyai Balai Kota (Haminte) dan polisi di bawah pimpinan Inggris, Amerika, Jepang, Perancis dan Belanda. Amoy berada di bawah kekuasaan pemerintah nasional, walaupun terpengaruh benar oleh Jepang dengan perantaraan orang Taiwan yang banyak berada di kota Amoy. Kulangsu adalah salah satu kota yang bersih dan permai. Kebanyakan rumah didiami oleh orang Barat, Jepang dan Over sea Chinese, Tiongkok hartawan dari seberang. Sedangkan Amoy di masa itu (tahun 1927) oleh seorang penulis pendeta Kristen dinamai kota yang paling kotor dan “paling gelap di seluruh dunia”. Memangnya sekali kita memasuki jalan kecil menuju ke dalam kota Amoy yang berpenduduk antara 300 dan 400 ribu di masa itu tak mungkin kita sendiri mendapatkan jalan keluar, karena banyaknya serta gelapnya jalan-jalan kecil itu. tetapi apalah Tionghoa Amoy gelap dipandang dari kebatinan, keagamaan, seperti dipandang dari sudut mata seorang zending Kristen, buat saya adalah satu pernyataan besar!
Kebetulan pula pada waktu saya memasuki Amoy itu, empat pemuda yang oleh pemerintah Chiang Kai Shek dicap komunis diserobot dari tempat tidur atau sekolahnya, ditembak seperti hewan zonder pemeriksaan pengadilan, dan dilemparkan di jalan. Sikap pemerintah Chiang Kai Shek di Amoy, Canton, Wuhan, Shanghai dan kota lain-lainnya terhadap puluhan ribu pemuda-pemudi serta buruh Tionghoa pada tahun 1927 itu, tentu tak bisa dinamakan sikap yang liberal, demokratis cocok dengan peri-kemanusiaan. Bahkan juga tidak cocok dengan kebudayaan Tionghoa yang tinggi serta halus itu. Penyembelihan buruh, pemuda dan gadis di tempat umum, atau asutan atau fitnahan oleh seorang yang dengki atau orang pencari pangkat itu, dengan senyum simpul dibiarkan saja oleh para wakil negara sopan dari Eropa dan Amerika yang berkedudukan di Tiongkok.
Memangnya jarum pemecah belah masuk dalam pertikaian dan permusuhan nasionalis-komunis mulai pada tahun 1927 itu.
Kalau di masa asutan imperialisme itu makan benar-benar dalam politik pemerintah Chiang Kai Shek, saya (seperti anggapan jurnalis Tiongkok di Manila) tak akan mendapat gangguan dari pemerintah “nasionalis” Tiongkok, maka anggapan sedemikian tiadalah bisa diterima begitu saja. Seperti saya sebutkan di atas, pengaruh Jepang amat besar di kota Amoy di masa itu.
Bagaimanapun juga, setelah kapal berlayar dalam teluk, menghampiri pelabuhan Amoy yang terletak di antara pulau Kulangsu dan pulau Amoy, maka saya seolah-olah mendapat peringatan batin. Saya merasa “ada apa-apa” terus keluar dari bilik menuju ke tempat kapten dikemudi. Kapten melihat saya, dengan keringat di muka dan suara tegas berkata: “Go to your room, dont come out, Quick, quick.....” (Pergilah ke bilik, jangan keluar. Lekas-lekas).
Oleh kapten Roco kapal dilayarkan dengan cepat menuju ke ujung teluk. Di sebelah kiri dekat Kulangsu saya lihat kapal Cisalak dari Java-Cina-Japan-Lijn (J.C.J.L). Nyata kelihatan di atas dek beberapa opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Di antara para opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Diantara para opsir ada yang memegang keker yang ditujukan ke kapal Suzana. Saya sudah mengerti maksudnya. Tentulah kapten Roco tak kurang maklum. Sebab itulah tergesa-gesa saya disuruh masuk ke bilik dan kapal Suzana dijalankan sejauh-jauhnya ke ujung teluk.
Saya segera masuk, dan bilik saya kunci. Apalah kejadian setelah kapal Suzana berhenti, tidak saya lihat. Tetapi saya mendengar sibuk huru-hara di luar kamar saya. Mula-mula kesibukan itu agak jauh, kemudian makin dekat ke kamar saya.
Apa yang terjadi?
Sebelum saya tiba di Amoy, Balai Kota Internasional sudah rapat dan memutuskan buat menangkap saya. Kapal Cisalak tiadalah percuma menunggu-nunggu. Maksudnya, ialah membawa saya ke Jawa. Kapten Roco, setelah melihat kapal Belanda itu dan melihat pula sebuah sekoci Balai Kota Kulangsu yang mengejar kapal Suzana, maka ia layarkan kapalnya secepat dan sejauh mungkin. Suzana dapat renggang dengan sekoci tadi dan dapat berlabuh di dekat pulau Amoy sedikiti jauh dari pulau Kulangsu.
Baru sesudah kebanyakan penumpang Tionghoa turun, sampailah sekoci mendekati kapal Suzana. Tiga orang polisi yang dikepalai oleh seorang Inggris naik ke kapal Suzana dan menemui kapten Roco.
Polisi Inggris “Balai Kota Kulangsu sudah memutuskan hendak menangkap Tan Malaka. Ini surat perintahnya. Dimana Tan Malaka?”
Kapten Roco: “Saya tidak tahu”
Inggris: “Mana bisa tuan tak tahu”
Kapten: “Apakah saya mesti ketahui semua penumpang yang puluhan banyaknya itu? semua penumpang sudah turun.
Inggris: “Kalau begitu saya mau geledah kapal ini.”
Kapten: “Kapal ini memakai bendera Amerika. Apakah tuan sudah dapat izin dari konsul-jenderal Amerika?”
Para polisi mulai menjalankan penggeledehan di kamar penumpang klas II dan klas I. kapten Roco memprotes keras dan bersemangat. Penggeledahan di klas I dan II tidak memberi hasil. Lalu diteruskan ke bilik opsir, dimulai dari kamar kapten sendiri menuju ke bilik saya. Protes kapten bertambah kera. Para opsir dan kelasi mulai berkumpul di sekeliling kaptennya memandang polisi Kulangsu. Semakin dekat ke kamar saya, semakin keras protes dan semakin desakan dari para opsir dan para pelaut. Tiap-tiap kali pintu bilik dibuka, tiap kali pula para penggeledah menjadi kecewa....Tapi kali pula kapten berkata: “Bukankah saya sudah bilang. Tan Malaka sudah keluar bersama-sama penumpang yang lain?”
Demikianlah mereka berdesak-desakan sampai ke kamar yang paling akhir, tempat saya berdiam. Entah karena sudah selalu kecewa, entah karena desakan para opsir dan pelaut, entah karena mau lekas-lekas mencari saya di darat, entah karena apa....Cuma satu kamar yang saya diami itu saja yang tiada dibuka.
Para polisi turun kapal! Tetapi bahaya buat saya belum terlepas! Setelah kapal berhenti, kapten Roco perintahkan pada dua pelaut yang tangkas mencari seorang Tionghoa bernama P.E.L., kenalan baiknya. Biasanya tak cukup dua-tiga jam mendapat P.E.L ini. Tetapi ini kali P.E.L kebetulan berada di atas sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan pula datang dari Foochow, dan berlabuh tiada berapa meter jaraknya dari kapal Suzana. Kebetulan pula kepala dari kapal inspeksi itu tadi adalah keponakan dari P.E.L. Pelaut Filipina sebagai mendapatkan “durian runtuh” dan berteriak memanggil P.E.L turun ke dalam sampan mereka naik ke kapal Suzana.
P.E.L tiba di depan kapten cuma dua-tiga menit saja sesudah para polisi Kulangsu berangkat. Kapten, P.E.L dan para opsir membuka pintu kamar saya. Saya disuruh bersiap buat berangkat.
Masinis mau mengenakan dasi saya. Kapten cabut kembali dasi itu dan lemparkan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat memakai dasi”. Jurumudi memberikan roti kepada saya buat dimakan. Kapten mengambil roti dari tangan jurumudi dan lemparkan roti dengan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat makan roti”.
Kepada P.E.L akhirnya kapten Roco berkata: “Safe my friend. Explanation afterwards”. (Selamatkan sahabat saya. Keterangan di belakang!). “Cepat, cepat!”, kata kapten Roco yang terakhir!
Segera kami turun, naik sampan dan.........naik lagi ke kapal inspeksi Tionghoa tadi, di bawah pimpinan seorang keluarga P. pula, ialah keponakan P.E.L sahabat kapten.
Tiadalah sampai lima menit saya meninggalkan kapal Suzana, maka naiklah pula konsul-jenderal Amerika menemui Roco.
American: “Dimana Tan Malaka?”
 Kapten: “Saya tak tahu”.
American: “A nice and intelligent young man, but sorry he is bolsjewiek”. (Seorang pemuda yang cerdas, tetapi sayang dia seorang bolsjewiek.)
Kapten: “I don’t know, may be”. (Saya tidak tahu, barangkali).
Kapten Roco diajak oleh konsul-jenderal melihat-lihat di ruang kapal. Pada ruangan tempat orang di bawah, di lantai kapal tak ketinggalan. Pikiran kapten Roco: “Ya tetapi burungnya sudah terbang”. Setelah yakin tak akan mendapat apa-apa, maka konsul-jenderal meninggalkan kapal Suzana.
Pun tiada sampai lima menit sepeniniggal konsul jenderal Amerika, datang pula kepala duane Amoy, ialah seorang Inggris.
Kapten Roco yang kenal sama Inggris ini semenjak ia, yang disebut di belakangan ini, masih menjadi wakil kepala duane, mengajak sobat lama ini minum dengan ramah tamah. Kepala Duane: “Saya dengar, Tan Malaka adalah seorang pemuda yang baik budi. Tetapi ia seorang bolsjewiek”.
Kapten: “Tetapi engkau dulu juga seorang bolsjewiek”.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Ketika engkau masih kepala no.2, kamu selalu saja mencela sepmu yang katamu tiada efficient dan tiada adil. Nah, itu bolsjewisme kecil-kecilan. Kalau orang memberontak terhadap penjajahan itu bolsjewisme besar-besaran.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Lho!”
Selama itu saya berada di dalam kamar kapal inspeksi Tionghoa yang dikirim sebagai penolong jatuh dari langit. Dua hari dua malam saya berada di dalam kapal penyelidik yang terhindar dari penyelidikan itu!
Kapal inspeksi Tiongkok ini cuma satu saja diantara beberapa Sang Penolong yang jatuh dari langit. Penolong yang jatuh dari langit yang lain: air pasang, yang memberi kesempatan kepada Sang Kapten melanjutkan kapal Suzana yang sampai ke pantai pulau Amoy yang lebih kurang dikuasai Tiongkok. Kalau sebaliknya laut mengalami pasang-surut, maka kapal kami terpaksa akan berlabuh dekat pulau Kulangsu yang berada di bawah kekuasaan internasional. Dalam hal ini sekocinya para polisi internasional akan sanggup mendampingi kapal Suzana dan melarang keluar semua penumpangnya, buat menggeledah semua pelosok kapal sampai saya terdapat. Para polisi tak akan ragu-ragu lagi, bahwa saya masih berada di dalam kapal. Yang juga termasuk para golongan pembantu langit, ialah kamarnya saudara masinis yang terletak di paling ujung dan tiada disangka-sangka menyimpan orang yang dicari dan kebetulan pula sisa kamar yang tidak dibuka. Tetapi tentulah tiada boleh dilupakan pula Sang Kapten dengan para opsir dan pelautnya yang sungguh-sungguh menjalankan “siasat” yang jitu dan memberi pertolongan yang cepat. Akhirnya apalah artinya semua pertolongan langit tersebut, kalau P.E.L tak begitu mudah bisa didapat. Demikianlah beberapa penolong langit berkomplot untuk melepaskan diri saya dari komplotan imperialisme internasional yang bermaksud hendak mengembalikan saya ke tangan Belanda.
Dalam dua hari dua malam saya berada dalam kapal inspeksi Tiongkok kecil itu, saya mendapat kesempatan penuh untuk membawa tulisan di atas kulit saya tentang “demokrasi” dalam bahasa Amerika.
Beberapa lusin pelarian politik dan lebih kurang satu lusin Republik Amerika Tengah dan Selatan yang terpaksa meninggalkan negerinya karena urusan politik dan menerobos tapal batas atas duane Amerika Serikat. Beberapa “siasat dan pemalsuan” yang harus dilakukan oleh pelarian politik, karena semestinyalah seorang pelarian politik biasanya tak mempunyai kemungkinan buat mengurus pasport dan visa. Pelarian politik apakah namanya itu, kalau ia masih bisa mengurus pasport dan visanya secara legal, menurut aturan biasa? Memangnya apa yang syah dan hak buat kulit putih di “country of the free”, di negara (Amerika) yang merdeka itu tidak selalu syah dan hak buat kulit berwarna. Apa yang bisa dimaafkan “door de vingers zien”, buat kulit putih, tak selalu bisa dimaafkan buat kulit berwarna. Rupanya yang tak bisa disangkal berhubung dengan bujukan halus wakil G.G. Gilmore kepada Dr. Jose Abad Santos, bahwa Tan Malaka dengan “diam-diam meninggalkan Filipina”, ialah dengan diam-diam pula konsul Belanda dan G.G. Gilmore di Filipina memberitahukan bertolaknya Tan Malaka dari Manila kepada para imperialis internasional di Kulangsu, Amoy. Dengan kulit berwarna bangsa terjajah rupanya wakil “contry of the free” boleh berbuat semau-maunya saja. Tak ada negara atau bangsanya seorang berwarna itu yang sanggup membela, bahkan memprotespun tidak! Cobalah pula satu negara bangsa berwarna menyerobot kapal yang mengibarkan bendera Amerika dan tak mempedulikan protes kaptennya! Akhirnya tak pula kurang pentingnya atas hukum internasional apakah polisi imperialis boleh menyerobot ke kapal Suzana yang berlabuh pada Chinese territorial water, pada daerah lautnya Tiongkok? Dunia sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta, merebut dan kalau perlu memaksakan persamaan hak, lahir dan batin “formal and essential” atas 40% kulit putih di dunia ini.
Ketika saya berada di dalam kapal inspeksi Tiongkok tadi P.E.L sering datang menjumpai saya.  Menurut kabarnya pada hari pertama semuanya hotel di Amoy “disikat” oleh polisi gelap dan resmi mencari saya, dengan bersenjatakan bermacam-macam gambar saya. Tentulah semua usaha itu sia-sia belaka. Dari keadaan inilah rupanya timbul “teori” yang  juga banyak terdengar di Indonesia di masa itu, bahwa Tan Malaka dekat Tiongkok meloncat ke laut dan tenggelam, ketika hendak ditangkap oleh polisi internasional.
Habis kisahnya..........Buat sementara waktu!
Setelah taufan, “penyikatan di sekitar jalan dan hotel Amoy selesai, maka P.E.L dengan kawannya membawa saya ke sebuah rumah naik ke tingkat ketiga, pada malam hari. Saya diberi kamar yang sedang besarnya, di samping biliknya tuan rumah. Tetapi tiada seizin tuan rumah itu. Saya tiada diperkenalkan pada tuan rumah, yang ternyata benar memperlihatkan kecurigaannya terhadap saya.
Sedikit keterangan.
Buat mengertikan kedudukan saya di waktu itu, perlulah sedikit keterangan P.E.L.
P.E.L. adalah bekas seorang hartawan Tionghoa di Filipina. Seorang yang didikan baik, berbicara Tionghoa (Mandarin), Inggris dan Spanyol. Dia menerima pusaka dari almarhum bapaknya. Seperti biasanya anak hartawan, dia tiada banyak menghargai harta-pusaka, yang oleh sang ayah diperoleh dengan keringat susah payah. Sang anak, ahli waris, yang mendapatkan pusaka tiada mencurahkan keringat setetespun, ingin menambah harta pusaka itu dengan usaha yang paling sedikit mengeluarkan keringat pula, tetapi tahu-tahu dengan banyak resiko. Demikianlah dia belikan P. 5.000.000 (lima juta) kepada candu buat dimasukkan ke Fililipina secara gelap. Menurut undang-undang Amerika di Filipina, pekerjaan semacam itu dinamakan “smuggling” (smokkel, menyelundup). Hukuman buat pelanggaran ini sangat keras dan P.E.L. dihukum berat 6 tahun di Filipina dan barang dagangannya “disita”. Sesudah satu dua tahun menjalani hukumannya itu, ia meminta supaya dipulangkan ke Tiongkok dengan perjanjian tiada akan kembali ke Filipina lagi. Walaupun pembungan ini berlaku di tamsoa, di tanah air ibu bapanya, tetapi P.E.L. merasa amat berat dan ingin sekali mendapat ampun dari pemerintah Amerika untuk kembali ke Filipina.
Temannya P.E.L. adalah Mestiza, campuran Spanyol-Filipina seorang terpelajar, berbicara Tagalog, Spanyol, Inggris dan Tionghoa, dahulunya bekerja pada sebuah bank Amerika. Seperti sepnya Amerika Serikat pun ingin lekas menjadi kaya, juga dengan keringat paling sedikit, tetapi resiko paling besar. Entah benar atau tidak (perkaranya belum lagi diperiksa), bersama sepnya, S mengeluarkan cheque-palsu (surat pembayaran dalam bank). Setelah pekerjaan itu diketahui, maka sep-Amerika membunuh diri buat menghindarkan pemeriksaan pengadilan S. melarikan diri ke Amoy meninggalkan keluarga dan negaranya.
Demikianlah keadaan kami bertiga. Sama-sama terpaksa meninggalkan negara yang dicintai atas tiga alasan yang satu sama lainnya berlainan.
Saya tidak ingin bersikap sebagai moralist, menentukan buruk baiknya mereka seperti P.E.L, S. Saya tahu, bahwa masyarakat sekarang menganggap mereka sebagai orang bersalah, bukan termasuk golongan orang baik-baik. Tetapi terhadap diri saya, dalam keadaan serba sulit, mereka bersikap lebih banyak baik daripada buruk.
Benar mereka tahu akan sokongan uang pemimpin dan Rakyat Filipina terhadap saya dan berhubungan dengan itu pernah beberapa ratus rupiah yang mestinya buat saya tersangkut di tangan mereka  tak disampaikan. Teman P.E.L. ditangkap polisi karena berjudi. P.E.L. menjamin teman itu, supaya jangan dimasukkan ke penjara. Tetapi teman itu lari dan P.E.L. si penjamin tadi mesti masuk penjara. Kebetulan uang saya dari Manila ada di tangan dia untuk disampaikannya kepada saya di desa Sionghing. (Tetapi uang itu dipakainya buat melarikan diri ke Shanghai). Dalam keadaan begini, buat saya, uang berlipat dua tiga kalipun tak ada artinya di masa itu, apalagi kalau dibandingkan dengan jasanya mereka kepada saya. Cuma satu dua teman baru disamping saya menganggap sikap mereka lebih daripada terkutuk. Kalau mereka memang berniat jahat terhadap diri saya, dengan adanya para konsul beberapa negara imperialis di Amoy, mereka bisa berkhianat dan mendapatkan uang panas. Tetapi mereka pasti tak akan berbuat begitu. S. bisa berbuat demikian di Shanghai, dan P.E.L. di Singapore, ialah seandainya kalau mereka mau berbuat demikian. Tetapi sebaliknya, S sampai di Shanghai dan P.E.L. di Singapore ketika saya berada dalam kemiskinan dan kesulitan, menunjukkan sikap persahabatan yang tulen. Demikianlah relatifnya (hubungan-berhubungannya) buruk baik seorang manusia, walaupun masyarakat menganggapnya sebagai orang tak baik.
Bagaimanapun juga, baiklah saya akui bahwa pada permulaan gerak-gerik P.E.L. dan S. tak banyak memberi kepastian kepada saya. Saya ragu, bahwa kapten Roco tak akan melemparkan saya ke sarang komplotan. Tetapi saya berada sendiri di tengah-tengah masyarakat Tionghoa Hokkian yang bahasanya sepatahpun belum saya mengerti dan di rumah orang yang tak diperkenalkannya kepada saya, sedangkan kapten Roco sesudah dua-tiga hari sudah kembali ke Filipina dan akhirnya saya tentu tak bisa keluar rumah. Sebentar saja berada di jalan kecilnya Amoy, tentulah segera dikenal sebagai orang asing.
Dalam keadaan beginipun saya tak ditinggalkan akal dan kesempatan. Di tingkat kedua dalam rumah, tadi diam seorang pemuda Tionghoa, baba Surabaya. Dia dibawa ke Amoy buat dimasukkan ke sekolah Tionghoa. Setelah kebetulan saya ketahui, bahwa dia bisa bicara Indonesia dengan lancar, maka mulailah saya bertanyakan ini-itu buat menyelidiki keadaan di sekitar saya. Dari bapa pemuda ini saya ketahui sejarahnya P.E.L. dan S. seperti yang saya uraikan di atas. Tentang tuan rumah diceritakannya berikut:
Nama tuan rumah itu yang sebenarnya adalah Tan Ching Hua, nama panggilannya adalah Ka-it. Dahulunya dia menjabat pekerjaan opsir berpangkat mayor di salah satu distrik di daerah Chuang-Chu. Tetapi setelah para serdadunya melakukan penghisapan dan penindasan atas Rakyat Jelata pada distrik tersebut, maka dia merasa amat kecewa dan menarik diri dari ketentaraan. Kekecewaannya dalam kemiliteran itu ditambah pula dengan kekecewaan politik. Dahulu dia anggota Kuomintang. Tetapi setelah timbul perpecahan antara nasionalis dan komunis, dan antara sayap kanan dan sayap kiri, dalam Kuomintang sendiri, maka dia menarik diri pula dari Kuomintang. Di waktu saya berjumpa dengan dia sudah dua tahun Dr. Sun meninggal dunia. Ka-it mulanya percaya kepada pengikut Wang Ching Wei. Akhirnya Wang Ching Wei pun tiada lagi memberi kepuasan. Demikianlah hatinya bertambah terpusat pada almarhum Sun Yat Sen. Dengan saudaranya di Amoy dia mengurus rumah penginapan. Di distriknya Ka-it dihormati sebagai ho-lang, orang baik.
Cerita pemuda tadi saya dengar dengan penuh perhatian. Saya merasa lega kebetulan berada di samping Ka-it, orang baik ini. mulailah saya ceritakan sedikit demi sedikit keadaan saya kepada pemuda tadi, dengan maksud supaya disampaikan kepada Ka-it. Tiada lama diantaranya maka Ka-it memanggil saya makan bersama-sama. Kecurigaan dan kesangsian rupanya hilang lenyap, bertukar simpati yang kian hari bertambah erat. Inilah salah seorang Tionghoa di Tiongkok yang diluar ikatan kepartaian amat rapat sekali ikatannya dengan saya sebagai sahabat karib dengan sahabat karib, bertahun-tahun lamanya...........sampai kami dipisahkan oleh Jepang pada tahun 1937.
Setelah lebih kurang seminggu lamanya saya sampai di Amoy maka kapal Suzana kembali ke pelabuhan Amoy. Diantara penumpangnya, adalah seorang yang akan menjadi sahabat karib saya. Pada ketika datanglah seorang berumur setengah tua, tinggi tegap berperawakan Indonesia, menerobos ke kamar saya dengan suara amat keras: “Saya sudah baca perkara tuan di Filipina, saya sudah lihat gambar tuan di semua surat kabar. Marilah kita pergi lekas ke desa saya. Kalau Belanda datang ke sana, I shall touch him, saya mempunyai pasukan serdadu dan senapan baru”.
Bahasa Inggrisnya tak begitu baik. Maksud yang sebenarnya ialah: I shall shoot them, “saya akan tembak mati mereka itu”. Berkali-berkali dikatakannya kepada saya: “I shall protect you” (saya akan perlindungi saudara).
Orang yang tinggi tegap berwarna coklat ini, adalah turunan Filipina tulen, berasal dari Began, di sebelah utara pulau Luzon. Di masa revolusi Filipina dia bersama orang tuanya berada di Manila. Dia kehilangan orang tuanya dan diambil sebagai anak angkat oleh seorang Tionghoa, dan diberi nama Francisco Tan Quan di Manila, dan Tan Bian Ku di desanya di Hokkian. Di Manila dia lazim dipaggil Ki-Koq dan di Hokkian lazim dipanggil Ku-ja. Kita namakan saja dia Ki-Koq. Ketika masih muda oleh bapa angkatnya dikirim ke desanya buat mempelajari bahasa serta adat istiadat  Tionghoa. Lama benar saya tinggal di desanya. Gambar saya dengan dia bersama para prajuritnya dirampas oleh Raja Siam dari tangannya almarhum Subakat, waktu dia ditangkap di Bangkok pada tahun 1930. Inilah satu gambar yang menjadi “puzzle”, teka-teki buat pemerintah Hindia Belanda, yang rupanya menerima gambar tadi dari Prachatipok, bekas raja Siam.
Usul Ki-Koq amat saya setujui, ialah berhubung dengan beberapa perkara. Pertama saya perlu menyingkiri Amoy dimana saya belum leluasa bergerak. Kedua saya amat membutuhkan suasana desa, buat benar-benar istirahat. Ketiga dan tak kurang pentingnya sudah lama saya menginginkan mempelajari keadaan desa Tiongkok yang sebenarnya.
Demikianlah dengan pengetahuannya P.E.L. dan S dan persetujuan penuh Ka-it, maka dengan kapal sekoci kepunyaan rumah penginapan. Tiong-Huat yang dibawah pengawasannya Ka-it sendiri, pagi-pagi sekali saya meninggalkan Amoy menuju ke desanya Ki-Koq. Pelayaran dilakukan lebih kurang 12 jam lamanya.
Pelabuhan yang dituju ialah desa Witau, berpenduduk kira-kira 2.000 orang. Dari Witau ke desanya Ki-Koq adalah pula beberapa jam berjalan kaki.
Orang belum berhak berkata mengenal Tiongkok, kalau belum tahu hidup di desanya. Karena sebagian besar, barangkali antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok yang 400  juta itu berdiam di ratusan ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan sistem pemerintahan kekeluargaan yang dipisahkan ole h Guru Kung (Kong Tze), maka desa Tiongkok semenjak zaman purbakala terdiri dari satu atau beberapa suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq, terdiri cuma dari satu suku saja, ialah suku Tan.
Di beberapa desa lainnya yang saya kenal, pula terutama terdiri dari suku Tan dan Go. Kedua suku ini tak selalu berada dalam suasana perdamaian. Beberapa orang tua menceritakan kepada saya betapa hebatnya “peperangan” di antara kedua suku tersebut, selang beberapa tahun di belakang. Lebih dari 50 desa terlihat dalam sengketa (feud) yang dilakukan bertahun-tahun lamanya dengan sangat kejam sekali.
Saya sendiri sudah dua kali menyaksikan peperangan antara dua pelabuhan Witau dan Tentang yang letaknya masing-masing cuma dipisahkan oleh satu jalan saja, dan cuma beberapa jam perjalanan saja antara dari desa Siongching. Dari sebuah bukit dari desa kami “peperangan” nyata sekali terlihat. Yang menjadi sebab permusuhan itu ialah kepentingan penghidupan juga. Masing-masing desa tadi mau memonopoli mengangkut barang dan penumpangnya dari sekoci kecil (20 - 30 ton) dari tengah laut ke pantai. Paling banyak penumpangnya adalah 40 orang, dan datangnya kapal cuma 2 kali seminggu. Inilah sebenarnya yang diperebutkan dan yang menjadi pangkal sengketa. Sering diadakan perundingan dan didapatkan persetujuan antara dua desa itu dengan atau tak dengan perantaraan wasit. Tetapi begitu persetujuan di dapat, begitu pula dilanggar.
Akhirnya desa kami Sionching mendapat kehormatan buat menerima tamu seorang mayor yang istimewa, didatangkan dari ibukota distrik Chuang Chu, buat menyelesaikan sengketa Witau-Tentang. Saya hadir dalam sambutan mayor tadi dalam gedung bekas temple (rumah berhala). Banyak juga para pembesar dan khalayak dari sekitarnya desa Sionching yang hadir beserta mereka yang bersenjata. Pengharapan, bahwa mayor dari Chuang-Chu akan dapat menyelesaikan perkara yang sudah merayap bertahun-tahun itu amat besar sekali. Akhirnya sesudah matahari tinggi, terdengarlah suara khalayak yang gembira mengabarkan, bahwa mayor dari Chuang-Chu, ibu kota distrik sudah hampir tiba. Beliau berada dalam tandu yang dipikul oleh beberapa kuli pemikul berpakaian upacara dan di-flankeer-i (disayapi kiri-kanan) serta diiring oleh lebih kurang 100 orang serdadu lengkap bersenjata. Setelah tandu berhenti di depan temple, maka keluarlah hakim kita dari tandu tadi dengan langkah yang mengingatkan kita kepada Harun Alrasjid dan Nabi Sulaiman yang keduanya termasyur adil itu. Segera mayor Chuang-Chu disambut, disayap kiri kanan oleh para serdadu bersenjata lengkap, memasuki bekas temple di desa Sionching. Pemeriksaan yang saya sangka akan segera dilakukan rupanya perlu ditunda, sebab santapan yang sudah serba lengkap sudah menunggu. Santapan ini tiadalah satu pekerjaan yang dijalankan dengan cepat-kilat, secara militer, melainkan pekerjaan yang menghabiskan tempo dua atau tiga jam, karena banyak ragamnya makanan yang dihidangkan, disertai pula dengan minuman arak dengan cangkir berturut,  ialah cocok dengan “filsafat” makan minum. Supaya dapat lama mengecap lezatnya.
Khalayak berusaha keras memberi penghiburan dan kesenangan kepada “hakim” yang sudah lama diidam-idamkan. Maklumlah desa Siongching dan sekitarnya terutama pula Witau dan Tentang, memusatkan semua pengharapannya akan segera selesainya sengketa itu kepada kebijaksanaan dan kekuasaan mayor dari Chuang-Chu. Tetapi kelihatan pula dan bisa dimengerti, bahwa sesudah santapan besar dan minuman araknya itu dilakukan, orang tidak lagi mempunyai pikiran yang terang-tenang dan nafsu yang keras buat memeriksa dan menyelesaikan perkara, yang begitu ruwet-sulit dan sudah merayap bertahun-tahun itu. Lagi pula para penyambut harus  menghormati “kebiasaan” mayor kita, ialah sedikit mengisap madat sebelum tidur siang. “Sedikit” itu mesti dilakukan di desa lain, dimana ada “yoorraad” (persiapan) di rumahnya seorang hartawan Tionghoa yang baru pula dari Manila, dimana terdapat kasur yang empuk. Berarak-arak pula kami para penyambut mengiringi mayor Chuang-Chu ke desa itu. barulah hampir sore selesai pemadatan dan akibatnya ialah tidur siang. Tetapi waktu hari sore dan malam tentulah bukan lagi waktu buat menyelesaikan sengketa Witau Tentang. Mayor Chuang-Chu menganggap perkara sudah selesai begitu saja! Dan.........Mayor Chuang-Chu sudah membuang waktu pula buat pulang-pergi ke Siongching satu minggu lamanya. Ongkosnya bukan sedikit! Maklumlah, tak kurang dari satu batalyon (Lebih kurang 1000 serdadu) yang mengiringi, yang empat hari lamanya ditempatkan di Tentang.  $ 4.000 (empat ribu dollar di Tiongkok) yang mesti dibayar oleh kedua desa tersebut buat pengganti ongkosnya mayor Chuang-Chu. Tawar menawat tentulah tak bisa dilakukan oleh rakyat desa Witau dan Tentang, terhadap mayor dari Chuang-Chu yang datang dengan satu batalyon bersenjata lengkap. Tetapi meskipun Witau dan Tentang sendiri menganggap perkara “belum” selesai. Witau dan Tentang dan desa sekitarnya terpaksa bisa merasa puas, karena sudah mengadakan penyambutan, walaupun sedikit mahal, terhadap pelindung rakyat.........!!!
Tamu di atas adalah tamu yang resmi. Tiongkok dimasa itu “diperlindungi” oleh ratusan kalau tidak ribuan militeris semacam itu. Di samping itu adalah berkeliaran tamu yang tidak resmi, ialah bermacam-macam rombongan to-hui, bandit, perampok. Saya dua kali mengalami kedatangan tamu semacam ini. Yang pertama sekali ialah di Sionching sendiri dan yang kedua kali di desanya Ka-it yang jauhnya cuma satu jam perjalanan dari Siongching. Biasanya tamu tak resmi ini datangnya tiba-tiba di malam hari lengkap dengan pasukan bersenjata sesudah mereka mendapat kabar, bahwa ada “orang kaya” yang baru pulang dari “Nanyang” (Selatan).
Belum lagi kami berada satu minggu di Sionching, Ki-Koq sudah mendapat surat kaleng dari satu rombongan to-hui, bahwa dia mesti mengirimkan sekian ribu rupiah ke rombongan to-hui itu sebagai jaminan atas keselamatannya Ki-Koq dan keluarganya. Kabarnya, konon Ki-Koq lah yang mendapat kemenangan. Mereka To-hui kembali dengan maksud hendak membalas dendam.
Tetapi Ki-Koq tak akan mengalah begitu saja, walaupun jiwanya sendiri diancam. Dia kumpulkan semua senjata dan orang kuat dalam desa Sionching. Pengawalan yang teliti diadakan terutama di malam hari. Benar kekuatan desa Sionching tak lebih dari 20 orang, tetapi senjatanya adalah modern, dibeli di Manila. Sedangkan musuh, meskipun terdiri dari lebih kurang 100 orang, tetapi cuma beberapa orang saja yang bersenjata api dan  lagi cuma bedil kuno. Bedil mesiu dan pelornya semuanya “made in China”, dibikin oleh para tukang Tionghoa menurut resep asli. Sekali pasang cuma bisa diletuskan satu kali saja. Sesudah meletus mesti diisi dulu dengan mesiu dan dibikin dengan sabut dan tongkat, baru bisa ditembakkan pula.
Hampir satu bulan lamanya kami dikepung oleh to-hui dalam desa Sionching di musim dingin pula. Pertolongan dari pemerintah pusat, distrik ataupun dari desa yang lain-lain sama sekali tak bisa diharapkan. Masing-masing melayani urusannya sendiri-sendiri. Untunglah pula juga berhubung dengan sistem kekeluargaan yang dipusakakan oleh Guru Kung kepada anak cucunya,  praktis tiap-tiap desa sanggup berdiri atas tenaga dan kebijaksanaan sendiri. Kalau tiada begitu, lamalah sudah runtuh binasa  masyarakat, bahkan bangsa Tionghoa, yang berkali-kali berhadapan dengan mara bahaya yang timbul di dalam dan datang dari luar itu.
Amat beratlah kekuatan lahir dan batin yang diperas dari Ki-Koq. Berjaga-jaga siang dan malam hampir satu bulan lamanya, melemahkan tenaganya dan mengurangkan nafsu makannya. Tetapi sebaliknya menegangkan urat sarafnya.  Kekurangan makan tidur itu ditebusnya pula dengan minuman keras, chiakchiu. Minuman keras itulah pula yang menjadi obat penolak dingin dan kegentaran, serta sebaliknya menimbulkan kekuatan. Demikianlah akhirnya ketika pagi hari kami semuanya bangun, karena letusan senapan berkali-kali. Letusan itu rupanya keluar dari senapan Ki-Koq yang ditujukan ke ladang ubi-jalar (rambat). Entah karena memangnya suasana udara kabur-kabut, entah karena akibat “chiak-chiu”, entah karena akibat ketiga perkara itu, maka Ki-Koq menjadi mata gelap, dalam arti kita bangsa Indonesia. Memangnya pula tingkah lakunya Ki-Koq, walaupun dibesarkan di Tiongkok, tak lupus dari sifatnya Indonesia. Cuma neneklah yang bisa menyabarkan Ki-Koq. Selainnya dari mengasuh, sebagai nenek yang berjasa membesarkan anak kehilangan ibu-bapa yang amat nakal, nenek mempunyai senjata yang amat tajam menawan Ki-Koq, kalau ia sudah sampai ke tingkat mata gelap, ialah air mata. Nenek merebut senapan Ki-Koq dari tangannya dengan tangis. Kalau tiada begitu, maka penembakan liar tadi, mungkin menimbulkan marabahaya, sebab yang disangka to-hui oleh Ki-Koq tadi tak lain tak bukan daripada beberapa petani. Mereka tentulah lari tunggang langgang ke desanya, setelah mendengar tembakan berkali-kali itu.
Untunglah pula dengan kejadian begitu para to-hui yang mempunyai markas pada satu gunung batu, dekat desa Sionching mengundurkan diri. Mereka insaf, bahwa mereka berhadapan dengan satu rombongan bersenjata senapan yang benar-benar berbahaya tembakannya dan dipegang oleh beberapa orang yang memang bermaksud mempertahankan diri. Senekat-nekatnya to-hui, tiadalah mereka mempunyai moral yang berani memberikan lebih banyak daripada kemungkinan hasil yang didapat. Umumnya para to-hui lebih banyak mempergunakan tipuan-bujukan dan gertak dari para pengorbanan jiwa melawan musuh yang mempunyai tekad membela diri.
Demikianlah persangkaan yang dibelakang ini dibuktikan oleh sahabat saya yang di Tang-Ua, satu kota berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, beberapa Kilometer jaraknya dari Amoy. Sahabat tadi, yang sudah pernah saya kunjungi di tempatnya, baru saja kembali dari Jawa dengan ibu, isteri dan dua orang saudara laki-laki. Belum lama dia tinggal di rumah, maka datanglah serombongan to-hui, mengepung dan akhirnya menerobos ke dalam rumahnya.
Percakapan dilakukan dengan yang empunya rumah kira-kira berbunyi:
To-hui: “Kami datang meminta bagian kami”
Tuan rumah: “Ya, tetapi kami bukannya orang kaya”
To-hui: “Kami tahu tuan mempunyai emas dan uang. Cobalah perlihatkan kepada kami”.
Tuan rumah: “Kami sungguh tak mempunyai emas, cuma sedikit uang.
To-hui: “Baiklah kita selesaikan perkara ini secara damai saja; ham-ham. Kalau tidak begitu, kecelakaan di pihak tuan tidak sedikit. Lihatlah berapa banyak orang, kami yang bersenjata, menunggu di luar”.
Nyonya rumah: “Ini seribu dollar (Tiongkok). Terimalah saja. Inilah semuanya harta kami”.
To-hui (tertawa): “Masakan ini semua harta nyonya. Kami tahu berapa uang dan emas yang nyonya bawa kemari, tak perlu disembunyikan kepada kami”.
Tuan rumah: “Ini 3.000 dollar adalah ujungnya kesanggupan kami.”
To-hui: “Ini tak cukup buat hidupnya orang saya yang ratusan banyaknya, selama sebulan. Maklumlah tuan, sebagian besar dari uang itu harus saya bayarkan kepada “penyelidik” saja,  yang berada di Jawa, Amoy dan lain-lain tempat. Kami tahu benar-benar berapa harta benda tuan ketika meningglakan Jawa, $ 10.000, buat keselamatan tuan sekalian. Kalau tidak begitu, dan tak lekas dikerjakan tuan sekalian tahu sendiri..........”
Itulah malam “perundingan” berakhir dengan kemenangan para to-hui, berupa emas dan uang seharga $ 10.000, dengan tak ada korban apapun juga dari pihak para to-hui, kecuali pengorbanan berupa beberapa perkataan yang diucapkan dalam “perundingan” tadi.
Keluarga yang baru pulang ke tam-soa tadi, belum lagi selang berapa lama lepas terkejut, maka pada satu malam diserang pula oleh rombongan yang kedua. Dengan begitu maka kesabaran para sahabat kita dari Jawa tadi hilang lenyap, bertukar kenekatan. Mereka insyaf, bahwa sikap damai itu tak membawa perdamaian, karena oleh to-hui sikap suka damai itu dianggap satu kelemahan. Mereka beranggapan, bahwa sikap damai itu akan membawa mereka ke kemelaratan, dari itu lebih baik mati dalam pembelaan diri.
Ketiga laki-laki kita tadi lekas menjalankan siasat. Ada yang keluar kamar dan ada pula yang memanjat ke loteng dan bersembunyi di sana di dalam kamar masing-masing. Para to-hui naik tembok dan terus menerobos ke dalam rumah, masuk ke kamar memaksa para wanita membuka peti. Apabila para to-hui sedang asyik menghitung uang dan emas, maka tuan rumah melepaskan tembakannya yang mengenai kepala dan membunuh dua orang to-hui yang menyerbu. Satu tembakan lagi dilepaskan kepada to-hui yang muncul di atas tembok yang mengelilingi rumah. To-hui inipun gugur.
Menyaksikan tembakan yang sedemikian jitu, yang dilepaskan oleh tangan yang tegap dan hati yang nekat, maka para to-hui lainnya lari kocar-kacir. Mereka bukannya datang untuk membuktikan kekesatriaan, melainkan untuk uang dan emas, kalau dapat dengan bujuk tipu dan gertak saja, seperti yang sudah dilakukan oleh rombongan yang pertama.
Besok harinya peristiwa tersebut dilaporkan kepada walikota. Sesudah dipastikan, bahwa penyerang yang tewas tadi memangnya to-hui, maka sebelumnya mayat mereka dikuburkan, mayat itu dibiarkan saja terlantar bebarapa hari lamanya, buat dipertontonkan. “Pertontonan mayat itu menakuti to-hui yang lain-lain dan dirasa dahsyat oleh khalayak Tiongkok umumnya. Dengan badan cacat melayani penguburan yang tidak dilakukan menurut syarat Tionghoa adalah hina dipandang dari sudut keduniaan dan dosa dipandang dari sudut keakhiratan Tionghoa”.
Walikotapun tunduk pada lembaga dan agama Tionghoa itu. Betul walikota Tung Ua adalah bekas “pemimpin to-hui yang ulung”, seperti banyak walikota yang lain-lain di Hokkian, tetapi wali kota Tung-Ua, yang berpenduduk lebih kurang 300.000 orang itu sudah menjadi “orang baik” (ho-lang) dan sudah membaca buku “Guru Kung” (tak-thek). Bukan saja dia sekarang menjadi hartawan besar, tetapi juga seorang dermawan. Langsai (lunas) lah sudah hutang piutangnya di masa lamapau, ialah di masa khalayak ramai umumnya dan mungkin juga menurut ukuran moral walikota sendiri.
Kebersihan dan kesehatan di kota-kota asli Tiongkok (bukan di kota-kota modern seperti Shanghai, Wuhan, Hongkong dan lain-lain) sudah saya coba gambarkan secara sederhana. Keadaan sedemikian di desa-desa menurut perasaan saya, tak begitu menyedihkan. Perbedaan yang terutama sekali saya rasa adalah berhubung dengan lapang dan hawa. Di kota-kota rapat padatnya rumah kiri-kanan sepanjang jalan kecil, adalah cocok dengan rapat-padatnya orang. Angin hampir tak bisa masuk. Rumah di desa mempunyai jarak satu sama lain, walaupun tak seperti Indonesia. Kebanyakan rumah desa, yang umumnya rumah batu mempunyai lapang cukup dalam rumah itu sendiri.
Rumah desa di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus menerus, sering berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama empat-lima bulan di musim sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding batu, dinding belakang rumah, yang menghadap ke Selatan, dimana matahari berada, cahaya matahari dapat memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya matahari yang masuk dari Selatan dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh angin Selantan yang mahsyur itu (lam-hong); masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan badan yang sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang saya kenal benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas matahari dan di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Tetapi tiadalah berarti, bahwa “orang Indonesia akan merasa biasa” saja, kalau memasuki desa Tiongkok. Pertama kalai kita akan berkecil hati, melihat banyaknya kakus yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini, di sepanjang jalan, dimilikii oleh satu rumah, atau beberapa rumah sekeluarga. Masing-masing membikin kakus atau rombongan kakus itu menurut kemauannya sendiri. “Town-planning”, membangunkan sesuatu menurut rencana, tak ada sama sekali. Ada rombongan kakus yang dibikin di pintu ke desa, ada yang di depan pintu gerbang tetangga dan ada pula di depan dapurnya tetangga. Kita mesti berusaha mencocokkan diri dengan hawa yang menyambut kita kalau kita memasuki desa kecil-besar, apalagi besar, di Tiongkok. Orang Tionghoa di desa, kecuali orang kaya, biasa berurusan dengan kotoran manusia itu, cair atau beku. Mereka sekali-kali tak merasa jijik mengurusnya. Ini sekali-kali tidak diucapkan atau menghinakan orang Tionghoa. Dalam keadaan sedemikian saya sendiripun akan mengerjakan semuanya yang dikerjakan oleh pak tani Tionghoa itu, karena perlu dan praktis.
Bolehlah saya katakan, bahwa sebagian besar pesisir Hokkian, yang saya kenal baik itu, terbilang makmur, karena banyak sekali orang yang mempunyai keluarga yang berada di Filipina. Tioghoa di Filipina itu tak semuanya memutuskan perhubungannya dengan tanah airnya. Kemakmuran mereka di Filipina (juga di Selatan) mengakibatkan kemakmuran di bagian Hokkian yang berhubungan. Tetapi semakmur-makmurnya desa Hokkian, jaranglah yang mempunyai kuda atau sapi. Maka berhubung dengan kekurangan atau ketiadaan kuda dan sapi itu menyebabkan hampir tak ada pupuk (rebuk) keluaran hewan, kecuali sedikit dari babi.
Pertukaran antara alam dan manusia harus diteruskan buat keterusan kemakmuran alam dan manusia itu. Tida saja tumbuhan menapas-kedalamkan napas-keluarnya manusia yang berupa koolzuur (CO2) tetapi juga sebaliknya menapas-keluarkan yang dinapas-kedalamkan oleh manusia (O2 zuurstrof). Tumbuhan dan manusia dalam hal napas adalah isi-mengisi dan tukar menukar. Selanjutnya tanah menukarkan barang hasil berupa makanan (gandum dan sayur) dengan ampas manusia berupa benda yang dilemparkan ke dalam kakus itu. Boleh juga dikatakan manusia (dan hewan) memberikan ampasnya ke tanah buat menerima hasil tanah itu buat hidupnya. Dengan demikian, tanah dan manusia tak bertambah kurus, melainkan sebaliknya keduanya tetap sanggup tukar-menukar.
Kedua kotoran dalam kakus itu dilayani benar oleh para petani Tionghoa. Mengolah dan mempergunakan dari macam benda itu, seperti mencampur dengan jerami dan kotoran bagi, mengetahui waktunya boleh dipakai serta bagaimana cara memakai, adalah termasuk keahlian para petani Tionghoa. Keahlian itu saya anggap jauh lebih tinggi daripada keahlian petani Indonesia atau Hindustan. Kalau dilebihi oleh petani Eropa, saya rasa cukup dalam hal teknik dan kimia saja, dan baru pada abad paling belakangan ini saja.
Tanah dan kakus itu tak bisa dipisahkan dari tangan petani Tionghoa, seperti tanah liat dan pasir tak bisa dipisahkan dari tangannya tukang batu tembok. Hasil petani Tiongkok juga amat tinggi, jika dibandingkan dengan keadaan tanahnya yang lebih kurus dari tanah Indonesia. Banyak saya bicarakan dengan Tionghoa modern adanya kakus di desa-desa Tiongkok, yang mengganggu kebagusan dan mungkin juga kesehatan desa. Biasanya kami mendapatkan kesimpulan yang sama. Kalau tiada mau dipakai kotoran manusia, pemerintah pusat, daerah atau desa, harus mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan rioleering (jembatan tertutup) dan pabrik kotoran manusia itu. Bagaimanapun juga, kotoran manusiapun harus terus dikembalikan kepada alam. Cuma semuanya itu membutuhkan ongkos, teknik dan ahli. Dalam keadaan politik, ekonomi, sosial dan kecerdasan Tiongkok pada tingkatan sekarang, rencana semacam itu terpaksa jadi tinggal rencana saja. Persatuan haruslah lebih erat, pemerintah lebih teratur, kemakmuran dan pendidikan harus lebih tinggi dan umum, barulah rencana tersebut dapat dijalankan dengan kemungkinan mendapat hasil yang bagus.
Perasaan kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya sudah menjadi perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan dari kecil sudah bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang desa Tionghoa, apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara menderu-deru seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin, bahwa perasaan sunyi terpencil itu oleh seorang buangan di Digul yang paling penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya di Digul masih banyak teman seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan berpengharapan dan berbahasa sama. Semuanya ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai “sosial animal” (hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya di desa Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat dalam “broken English”nya, Inggris salah. Pernah saya saksikan dua tiga orang pemuda (baba) Filipina, yang menganut di-kokeu-i paham cinta pada Tioghoa Raya, setelah satu-dua hari saja berada dalam rumah keluarganya di desa, lari pulang ke Filipina dengan 1001 macam alasan.
Merekapun sudah bertukar adat dan tingkah lakunya dan tak tahan lagi tinggal di desa leluhurnya. Apalagi kalau berada dalam segala kesederhanaan belaka.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya! Pada satu hari Ki-Koq membawa saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini dia mengajak saya mengangkat tangan dan berjanji satu sama lainnya akan menganggap saudara kandung dan tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti dan Ki-Koq pun terus memegang teguh sampai perhubungan kami terputus. Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi yang sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap sayang, karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik. Kakak, toa-chi, karena dia seorang wanita yang lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam rumah. Saya tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi mengeluarkan anak-baju, baju dan mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara kami tak bisa, kecuali sepatah dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi pernah di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan sekurangnya totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya guna menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya dalam rumah yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada suatu hari petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak kelihatan suatu apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita kesakitan yang hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya tak berobah, tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
   Pada kira-kira jam 1 malam datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”, salah satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa mundar-mandir dan dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang dikenal oleh bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang jahat dan meminta pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah melihat mukanya Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya tertidur, dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi sudah meninggalkan kami. Hampir pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi rumah menuju ke bukit tempat kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan digali untuk menguburkan mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang diserang penyakit pesat itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di desa-desa Hokkian untuk menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain ialah meninggalkan desa yang sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk desa laki-laki dan perempuan tua muda buat sekian lama.
Demikianlah pada pagi harinya toa-chi meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan seluruh desa sionching berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq mengucapkan maksud sekeluarganya kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang dituju, melainkan mengikuti saja para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya sendiri dan para laki-laki lainnya belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke Amoy baru dua tiga hari lagi akan siap.
Dengan cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita dan anak-anak, dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri saya.
Ki-Koq berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam kayu cendana buat dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras untuk dimasak.
Kamar yang saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang sudah tua dan rusak itu apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan, menambah seramnya suasana kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya pernah menderita sakit demam berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam berturut-turut, sesudah toa-chi meninggal, dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas. Apabila sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.........
Sesudah dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani dikirimkan oleh Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana sekoci sudah menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan baru, penuh riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar