Jarak Manila – Amoy hampir sama dengan jarak Singapore – Jakarta.
Masinis No.1 memperkenalkan saya mendiami biliknya. Bilik itu, terletak paling
ujung di barisan bilik para opsir kapal Suzana. Opsir, kelasi dan stoker
semuanya terdiri dari bangsa Filipina. Lautan teduh tenang, memberi kesempatan
kepada saya buat sedikit beristirahat, sesudah berhari-hari mendapat gangguan.
Saya tiada berjumpa dengan para penumpang. Kejadian nanti akan
menunjukkan baiknya hal ini. di waktu makan saya mendapat kesempatan berkenalan
dengan para opsir. Boleh dikatakan mereka semuanya mengandung simpati terhadap
kemerdekaan Filipina dan Indonesia. Semboyan yang lazim terdengar di Filipina
di waktu itu ialah: “immediate, absolute,
and complete independence” (Kemerdekaan sempurna dan sekarang juga).
Kapten Roco sudah berumur lebih kurang 60 tahun, tetapi masih tegap dan
segar bugar, terlalu tegap buat umur sekian lanjut. Jadinya dia termasuk
golongan tua dan banyak mempunyai pengalaman semasa hidupnya, baik tentang
pelayaran maupun tentang pergerakan kemerdekaan di Filipina. Perhubungannya
dengan para pelaut, yang semuanya kelihatan orang tegap, adalah rapat sekali
dan dalam suasana ramah tamah.
Pada hari pagi yang ke-3 semenjak meninggalkan pelabuhan Manila,
sampailah kapal di teluk Amoy. Teluk ini amat panjang, cukup dalam, dilingkungi
bukit kiri-kanan; jadinya banyak mendapat perlindungan di masa ribut taufan
yang tersohor jahat-dahsyat di lautan Tiongkok itu. Salah satu dari natural
harbour, teluk pemberian alam yang bagus sekali!
Yang di Indonesia kita dengan sebagai kota Amoy itu, sebenarnya terdiri
dari dua kota yang berlainan status dan tempatnya, ialah kota Kulangsu dan kota
Amoy sendiri. Yang pertama terletak pada satu pulau kecil yang indah, di
sebelah kiri kalau kita memasuki teluk Amoy. Yang kedua terletak di pulau Amoy
di sebelah kanan kalau kita memasuki teluk Kulangsu berada di bawah kekuasaan
internasional (internasional settlement) dan mempunyai Balai Kota (Haminte) dan
polisi di bawah pimpinan Inggris, Amerika, Jepang, Perancis dan Belanda. Amoy
berada di bawah kekuasaan pemerintah nasional, walaupun terpengaruh benar oleh
Jepang dengan perantaraan orang Taiwan yang banyak berada di kota Amoy.
Kulangsu adalah salah satu kota yang bersih dan permai. Kebanyakan rumah
didiami oleh orang Barat, Jepang dan Over sea Chinese, Tiongkok hartawan dari
seberang. Sedangkan Amoy di masa itu (tahun 1927) oleh seorang penulis pendeta
Kristen dinamai kota yang paling kotor dan “paling gelap di seluruh dunia”.
Memangnya sekali kita memasuki jalan kecil menuju ke dalam kota Amoy yang
berpenduduk antara 300 dan 400 ribu di masa itu tak mungkin kita sendiri mendapatkan
jalan keluar, karena banyaknya serta gelapnya jalan-jalan kecil itu. tetapi
apalah Tionghoa Amoy gelap dipandang dari kebatinan, keagamaan, seperti
dipandang dari sudut mata seorang zending Kristen, buat saya adalah satu
pernyataan besar!
Kebetulan pula pada waktu saya memasuki Amoy itu, empat pemuda yang oleh
pemerintah Chiang Kai Shek dicap komunis diserobot dari tempat tidur atau
sekolahnya, ditembak seperti hewan zonder pemeriksaan pengadilan, dan
dilemparkan di jalan. Sikap pemerintah Chiang Kai Shek di Amoy, Canton, Wuhan,
Shanghai dan kota lain-lainnya terhadap puluhan ribu pemuda-pemudi serta buruh
Tionghoa pada tahun 1927 itu, tentu tak bisa dinamakan sikap yang liberal,
demokratis cocok dengan peri-kemanusiaan. Bahkan juga tidak cocok dengan
kebudayaan Tionghoa yang tinggi serta halus itu. Penyembelihan buruh, pemuda
dan gadis di tempat umum, atau asutan atau fitnahan oleh seorang yang dengki
atau orang pencari pangkat itu, dengan senyum simpul dibiarkan saja oleh para
wakil negara sopan dari Eropa dan Amerika yang berkedudukan di Tiongkok.
Memangnya jarum pemecah belah masuk dalam pertikaian dan permusuhan
nasionalis-komunis mulai pada tahun 1927 itu.
Kalau di masa asutan imperialisme itu makan benar-benar dalam politik
pemerintah Chiang Kai Shek, saya (seperti anggapan jurnalis Tiongkok di Manila)
tak akan mendapat gangguan dari pemerintah “nasionalis” Tiongkok, maka anggapan
sedemikian tiadalah bisa diterima begitu saja. Seperti saya sebutkan di atas,
pengaruh Jepang amat besar di kota Amoy di masa itu.
Bagaimanapun juga, setelah kapal berlayar dalam teluk, menghampiri
pelabuhan Amoy yang terletak di antara pulau Kulangsu dan pulau Amoy, maka saya
seolah-olah mendapat peringatan batin. Saya merasa “ada apa-apa” terus keluar
dari bilik menuju ke tempat kapten dikemudi. Kapten melihat saya, dengan
keringat di muka dan suara tegas berkata: “Go to your room, dont come out,
Quick, quick.....” (Pergilah ke bilik, jangan keluar. Lekas-lekas).
Oleh kapten Roco kapal dilayarkan dengan cepat menuju ke ujung teluk. Di
sebelah kiri dekat Kulangsu saya lihat kapal Cisalak dari Java-Cina-Japan-Lijn
(J.C.J.L). Nyata kelihatan di atas dek beberapa opsir, tetapi anehnya tak ada
penumpang. Di antara para opsir, tetapi anehnya tak ada penumpang. Diantara
para opsir ada yang memegang keker yang ditujukan ke kapal Suzana. Saya sudah
mengerti maksudnya. Tentulah kapten Roco tak kurang maklum. Sebab itulah
tergesa-gesa saya disuruh masuk ke bilik dan kapal Suzana dijalankan
sejauh-jauhnya ke ujung teluk.
Saya segera masuk, dan bilik saya kunci. Apalah kejadian setelah kapal
Suzana berhenti, tidak saya lihat. Tetapi saya mendengar sibuk huru-hara di
luar kamar saya. Mula-mula kesibukan itu agak jauh, kemudian makin dekat ke
kamar saya.
Apa yang terjadi?
Sebelum saya tiba di Amoy, Balai Kota Internasional sudah rapat dan
memutuskan buat menangkap saya. Kapal Cisalak tiadalah percuma menunggu-nunggu.
Maksudnya, ialah membawa saya ke Jawa. Kapten Roco, setelah melihat kapal
Belanda itu dan melihat pula sebuah sekoci Balai Kota Kulangsu yang mengejar
kapal Suzana, maka ia layarkan kapalnya secepat dan sejauh mungkin. Suzana
dapat renggang dengan sekoci tadi dan dapat berlabuh di dekat pulau Amoy
sedikiti jauh dari pulau Kulangsu.
Baru sesudah kebanyakan penumpang Tionghoa turun, sampailah sekoci
mendekati kapal Suzana. Tiga orang polisi yang dikepalai oleh seorang Inggris
naik ke kapal Suzana dan menemui kapten Roco.
Polisi Inggris “Balai Kota Kulangsu sudah memutuskan hendak menangkap
Tan Malaka. Ini surat perintahnya. Dimana Tan Malaka?”
Kapten Roco: “Saya tidak tahu”
Inggris: “Mana bisa tuan tak tahu”
Kapten: “Apakah saya mesti ketahui semua penumpang yang puluhan
banyaknya itu? semua penumpang sudah turun.
Inggris: “Kalau begitu saya mau geledah kapal ini.”
Kapten: “Kapal ini memakai bendera Amerika. Apakah tuan sudah dapat izin
dari konsul-jenderal Amerika?”
Para polisi mulai menjalankan penggeledehan di kamar penumpang klas II
dan klas I. kapten Roco memprotes keras dan bersemangat. Penggeledahan di klas
I dan II tidak memberi hasil. Lalu diteruskan ke bilik opsir, dimulai dari
kamar kapten sendiri menuju ke bilik saya. Protes kapten bertambah kera. Para
opsir dan kelasi mulai berkumpul di sekeliling kaptennya memandang polisi
Kulangsu. Semakin dekat ke kamar saya, semakin keras protes dan semakin desakan
dari para opsir dan para pelaut. Tiap-tiap kali pintu bilik dibuka, tiap kali
pula para penggeledah menjadi kecewa....Tapi kali pula kapten berkata:
“Bukankah saya sudah bilang. Tan Malaka sudah keluar bersama-sama penumpang
yang lain?”
Demikianlah mereka berdesak-desakan sampai ke kamar yang paling akhir,
tempat saya berdiam. Entah karena sudah selalu kecewa, entah karena desakan
para opsir dan pelaut, entah karena mau lekas-lekas mencari saya di darat,
entah karena apa....Cuma satu kamar yang saya diami itu saja yang tiada dibuka.
Para polisi turun kapal! Tetapi bahaya buat saya belum terlepas! Setelah
kapal berhenti, kapten Roco perintahkan pada dua pelaut yang tangkas mencari
seorang Tionghoa bernama P.E.L., kenalan baiknya. Biasanya tak cukup dua-tiga
jam mendapat P.E.L ini. Tetapi ini kali P.E.L kebetulan berada di atas sebuah
kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan pula datang dari Foochow, dan berlabuh
tiada berapa meter jaraknya dari kapal Suzana. Kebetulan pula kepala dari kapal
inspeksi itu tadi adalah keponakan dari P.E.L. Pelaut Filipina sebagai
mendapatkan “durian runtuh” dan berteriak memanggil P.E.L turun ke dalam sampan
mereka naik ke kapal Suzana.
P.E.L tiba di depan kapten cuma dua-tiga menit saja sesudah para polisi
Kulangsu berangkat. Kapten, P.E.L dan para opsir membuka pintu kamar saya. Saya
disuruh bersiap buat berangkat.
Masinis mau mengenakan dasi saya. Kapten cabut kembali dasi itu dan
lemparkan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat memakai dasi”. Jurumudi
memberikan roti kepada saya buat dimakan. Kapten mengambil roti dari tangan
jurumudi dan lemparkan roti dengan perkataan: “Tak waktunya sekarang buat makan
roti”.
Kepada P.E.L akhirnya kapten Roco berkata: “Safe my friend. Explanation
afterwards”. (Selamatkan sahabat saya. Keterangan di belakang!). “Cepat,
cepat!”, kata kapten Roco yang terakhir!
Segera kami turun, naik sampan dan.........naik lagi ke kapal inspeksi
Tionghoa tadi, di bawah pimpinan seorang keluarga P. pula, ialah keponakan
P.E.L sahabat kapten.
Tiadalah sampai lima menit saya meninggalkan kapal Suzana, maka naiklah
pula konsul-jenderal Amerika menemui Roco.
American: “Dimana Tan Malaka?”
Kapten: “Saya tak tahu”.
American: “A nice and intelligent young man, but sorry he is bolsjewiek”.
(Seorang pemuda yang cerdas, tetapi sayang dia seorang bolsjewiek.)
Kapten: “I don’t know, may be”. (Saya tidak tahu, barangkali).
Kapten Roco diajak oleh konsul-jenderal melihat-lihat di ruang kapal.
Pada ruangan tempat orang di bawah, di lantai kapal tak ketinggalan. Pikiran
kapten Roco: “Ya tetapi burungnya sudah terbang”. Setelah yakin tak akan
mendapat apa-apa, maka konsul-jenderal meninggalkan kapal Suzana.
Pun tiada sampai lima menit sepeniniggal konsul jenderal Amerika, datang
pula kepala duane Amoy, ialah seorang Inggris.
Kapten Roco yang kenal sama Inggris ini semenjak ia, yang disebut di
belakangan ini, masih menjadi wakil kepala duane, mengajak sobat lama ini minum
dengan ramah tamah. Kepala Duane: “Saya dengar, Tan Malaka adalah seorang pemuda
yang baik budi. Tetapi ia seorang bolsjewiek”.
Kapten: “Tetapi engkau dulu juga seorang bolsjewiek”.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Ketika engkau masih kepala no.2, kamu selalu saja mencela sepmu
yang katamu tiada efficient dan tiada adil. Nah, itu bolsjewisme kecil-kecilan.
Kalau orang memberontak terhadap penjajahan itu bolsjewisme besar-besaran.
Kepala Duane: “Lho, bagaimana?”
Kapten: “Lho!”
Selama itu saya berada di dalam kamar kapal inspeksi Tionghoa yang
dikirim sebagai penolong jatuh dari langit. Dua hari dua malam saya berada di
dalam kapal penyelidik yang terhindar dari penyelidikan itu!
Kapal inspeksi Tiongkok ini cuma satu saja diantara beberapa Sang
Penolong yang jatuh dari langit. Penolong yang jatuh dari langit yang lain: air
pasang, yang memberi kesempatan kepada Sang Kapten melanjutkan kapal Suzana
yang sampai ke pantai pulau Amoy yang lebih kurang dikuasai Tiongkok. Kalau
sebaliknya laut mengalami pasang-surut, maka kapal kami terpaksa akan berlabuh
dekat pulau Kulangsu yang berada di bawah kekuasaan internasional. Dalam hal
ini sekocinya para polisi internasional akan sanggup mendampingi kapal Suzana
dan melarang keluar semua penumpangnya, buat menggeledah semua pelosok kapal
sampai saya terdapat. Para polisi tak akan ragu-ragu lagi, bahwa saya masih
berada di dalam kapal. Yang juga termasuk para golongan pembantu langit, ialah
kamarnya saudara masinis yang terletak di paling ujung dan tiada
disangka-sangka menyimpan orang yang dicari dan kebetulan pula sisa kamar yang
tidak dibuka. Tetapi tentulah tiada boleh dilupakan pula Sang Kapten dengan
para opsir dan pelautnya yang sungguh-sungguh menjalankan “siasat” yang jitu
dan memberi pertolongan yang cepat. Akhirnya apalah artinya semua pertolongan
langit tersebut, kalau P.E.L tak begitu mudah bisa didapat. Demikianlah
beberapa penolong langit berkomplot untuk melepaskan diri saya dari komplotan
imperialisme internasional yang bermaksud hendak mengembalikan saya ke tangan
Belanda.
Dalam dua hari dua malam saya berada dalam kapal inspeksi Tiongkok kecil
itu, saya mendapat kesempatan penuh untuk membawa tulisan di atas kulit saya
tentang “demokrasi” dalam bahasa Amerika.
Beberapa lusin pelarian politik dan lebih kurang satu lusin Republik
Amerika Tengah dan Selatan yang terpaksa meninggalkan negerinya karena urusan
politik dan menerobos tapal batas atas duane Amerika Serikat. Beberapa “siasat
dan pemalsuan” yang harus dilakukan oleh pelarian politik, karena semestinyalah
seorang pelarian politik biasanya tak mempunyai kemungkinan buat mengurus
pasport dan visa. Pelarian politik apakah namanya itu, kalau ia masih bisa
mengurus pasport dan visanya secara legal, menurut aturan biasa? Memangnya apa
yang syah dan hak buat kulit putih di “country
of the free”, di negara (Amerika) yang merdeka itu tidak selalu syah dan
hak buat kulit berwarna. Apa yang bisa dimaafkan “door de vingers zien”, buat
kulit putih, tak selalu bisa dimaafkan buat kulit berwarna. Rupanya yang tak
bisa disangkal berhubung dengan bujukan halus wakil G.G. Gilmore kepada Dr.
Jose Abad Santos, bahwa Tan Malaka dengan “diam-diam meninggalkan Filipina”,
ialah dengan diam-diam pula konsul Belanda dan G.G. Gilmore di Filipina
memberitahukan bertolaknya Tan Malaka dari Manila kepada para imperialis
internasional di Kulangsu, Amoy. Dengan kulit berwarna bangsa terjajah rupanya
wakil “contry of the free” boleh
berbuat semau-maunya saja. Tak ada negara atau bangsanya seorang berwarna itu
yang sanggup membela, bahkan memprotespun tidak! Cobalah pula satu negara
bangsa berwarna menyerobot kapal yang mengibarkan bendera Amerika dan tak
mempedulikan protes kaptennya! Akhirnya tak pula kurang pentingnya atas hukum
internasional apakah polisi imperialis boleh menyerobot ke kapal Suzana yang
berlabuh pada Chinese territorial water, pada daerah lautnya Tiongkok? Dunia
sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu
saja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit
berwarna di seluruh dunia itu, harus meminta, merebut dan kalau perlu memaksakan
persamaan hak, lahir dan batin “formal and essential” atas 40% kulit putih di
dunia ini.
Ketika saya berada di dalam kapal inspeksi Tiongkok tadi P.E.L sering
datang menjumpai saya. Menurut kabarnya
pada hari pertama semuanya hotel di Amoy “disikat” oleh polisi gelap dan resmi
mencari saya, dengan bersenjatakan bermacam-macam gambar saya. Tentulah semua
usaha itu sia-sia belaka. Dari keadaan inilah rupanya timbul “teori” yang juga banyak terdengar di Indonesia di masa
itu, bahwa Tan Malaka dekat Tiongkok meloncat ke laut dan tenggelam, ketika
hendak ditangkap oleh polisi internasional.
Habis kisahnya..........Buat sementara waktu!
Setelah taufan, “penyikatan di sekitar jalan dan hotel Amoy selesai,
maka P.E.L dengan kawannya membawa saya ke sebuah rumah naik ke tingkat ketiga,
pada malam hari. Saya diberi kamar yang sedang besarnya, di samping biliknya
tuan rumah. Tetapi tiada seizin tuan rumah itu. Saya tiada diperkenalkan pada
tuan rumah, yang ternyata benar memperlihatkan kecurigaannya terhadap saya.
Sedikit keterangan.
Buat mengertikan kedudukan saya di waktu itu, perlulah sedikit
keterangan P.E.L.
P.E.L. adalah bekas seorang hartawan Tionghoa di Filipina. Seorang yang
didikan baik, berbicara Tionghoa (Mandarin), Inggris dan Spanyol. Dia menerima
pusaka dari almarhum bapaknya. Seperti biasanya anak hartawan, dia tiada banyak
menghargai harta-pusaka, yang oleh sang ayah diperoleh dengan keringat susah
payah. Sang anak, ahli waris, yang mendapatkan pusaka tiada mencurahkan
keringat setetespun, ingin menambah harta pusaka itu dengan usaha yang paling
sedikit mengeluarkan keringat pula, tetapi tahu-tahu dengan banyak resiko.
Demikianlah dia belikan P. 5.000.000 (lima juta) kepada candu buat dimasukkan
ke Fililipina secara gelap. Menurut undang-undang Amerika di Filipina,
pekerjaan semacam itu dinamakan “smuggling” (smokkel, menyelundup). Hukuman
buat pelanggaran ini sangat keras dan P.E.L. dihukum berat 6 tahun di Filipina
dan barang dagangannya “disita”. Sesudah satu dua tahun menjalani hukumannya
itu, ia meminta supaya dipulangkan ke Tiongkok dengan perjanjian tiada akan
kembali ke Filipina lagi. Walaupun pembungan ini berlaku di tamsoa, di tanah
air ibu bapanya, tetapi P.E.L. merasa amat berat dan ingin sekali mendapat
ampun dari pemerintah Amerika untuk kembali ke Filipina.
Temannya P.E.L. adalah Mestiza, campuran Spanyol-Filipina seorang
terpelajar, berbicara Tagalog, Spanyol, Inggris dan Tionghoa, dahulunya bekerja
pada sebuah bank Amerika. Seperti sepnya Amerika Serikat pun ingin lekas
menjadi kaya, juga dengan keringat paling sedikit, tetapi resiko paling besar.
Entah benar atau tidak (perkaranya belum lagi diperiksa), bersama sepnya, S
mengeluarkan cheque-palsu (surat pembayaran dalam bank). Setelah pekerjaan itu
diketahui, maka sep-Amerika membunuh diri buat menghindarkan pemeriksaan
pengadilan S. melarikan diri ke Amoy meninggalkan keluarga dan negaranya.
Demikianlah keadaan kami bertiga. Sama-sama terpaksa meninggalkan negara
yang dicintai atas tiga alasan yang satu sama lainnya berlainan.
Saya tidak ingin bersikap sebagai moralist, menentukan buruk baiknya
mereka seperti P.E.L, S. Saya tahu, bahwa masyarakat sekarang menganggap mereka
sebagai orang bersalah, bukan termasuk golongan orang baik-baik. Tetapi
terhadap diri saya, dalam keadaan serba sulit, mereka bersikap lebih banyak
baik daripada buruk.
Benar mereka tahu akan sokongan uang pemimpin dan Rakyat Filipina
terhadap saya dan berhubungan dengan itu pernah beberapa ratus rupiah yang
mestinya buat saya tersangkut di tangan mereka
tak disampaikan. Teman P.E.L. ditangkap polisi karena berjudi. P.E.L.
menjamin teman itu, supaya jangan dimasukkan ke penjara. Tetapi teman itu lari
dan P.E.L. si penjamin tadi mesti masuk penjara. Kebetulan uang saya dari
Manila ada di tangan dia untuk disampaikannya kepada saya di desa Sionghing.
(Tetapi uang itu dipakainya buat melarikan diri ke Shanghai). Dalam keadaan
begini, buat saya, uang berlipat dua tiga kalipun tak ada artinya di masa itu,
apalagi kalau dibandingkan dengan jasanya mereka kepada saya. Cuma satu dua
teman baru disamping saya menganggap sikap mereka lebih daripada terkutuk.
Kalau mereka memang berniat jahat terhadap diri saya, dengan adanya para konsul
beberapa negara imperialis di Amoy, mereka bisa berkhianat dan mendapatkan uang
panas. Tetapi mereka pasti tak akan berbuat begitu. S. bisa berbuat demikian di
Shanghai, dan P.E.L. di Singapore, ialah seandainya kalau mereka mau berbuat
demikian. Tetapi sebaliknya, S sampai di Shanghai dan P.E.L. di Singapore
ketika saya berada dalam kemiskinan dan kesulitan, menunjukkan sikap
persahabatan yang tulen. Demikianlah relatifnya (hubungan-berhubungannya) buruk
baik seorang manusia, walaupun masyarakat menganggapnya sebagai orang tak baik.
Bagaimanapun juga, baiklah saya akui bahwa pada permulaan gerak-gerik P.E.L.
dan S. tak banyak memberi kepastian kepada saya. Saya ragu, bahwa kapten Roco
tak akan melemparkan saya ke sarang komplotan. Tetapi saya berada sendiri di
tengah-tengah masyarakat Tionghoa Hokkian yang bahasanya sepatahpun belum saya
mengerti dan di rumah orang yang tak diperkenalkannya kepada saya, sedangkan
kapten Roco sesudah dua-tiga hari sudah kembali ke Filipina dan akhirnya saya
tentu tak bisa keluar rumah. Sebentar saja berada di jalan kecilnya Amoy,
tentulah segera dikenal sebagai orang asing.
Dalam keadaan beginipun saya tak ditinggalkan akal dan kesempatan. Di
tingkat kedua dalam rumah, tadi diam seorang pemuda Tionghoa, baba Surabaya.
Dia dibawa ke Amoy buat dimasukkan ke sekolah Tionghoa. Setelah kebetulan saya
ketahui, bahwa dia bisa bicara Indonesia dengan lancar, maka mulailah saya
bertanyakan ini-itu buat menyelidiki keadaan di sekitar saya. Dari bapa pemuda
ini saya ketahui sejarahnya P.E.L. dan S. seperti yang saya uraikan di atas.
Tentang tuan rumah diceritakannya berikut:
Nama tuan rumah itu yang sebenarnya adalah Tan Ching Hua, nama
panggilannya adalah Ka-it. Dahulunya dia menjabat pekerjaan opsir berpangkat
mayor di salah satu distrik di daerah Chuang-Chu. Tetapi setelah para
serdadunya melakukan penghisapan dan penindasan atas Rakyat Jelata pada distrik
tersebut, maka dia merasa amat kecewa dan menarik diri dari ketentaraan.
Kekecewaannya dalam kemiliteran itu ditambah pula dengan kekecewaan politik.
Dahulu dia anggota Kuomintang. Tetapi setelah timbul perpecahan antara
nasionalis dan komunis, dan antara sayap kanan dan sayap kiri, dalam Kuomintang
sendiri, maka dia menarik diri pula dari Kuomintang. Di waktu saya berjumpa
dengan dia sudah dua tahun Dr. Sun meninggal dunia. Ka-it mulanya percaya
kepada pengikut Wang Ching Wei. Akhirnya Wang Ching Wei pun tiada lagi memberi
kepuasan. Demikianlah hatinya bertambah terpusat pada almarhum Sun Yat Sen.
Dengan saudaranya di Amoy dia mengurus rumah penginapan. Di distriknya Ka-it
dihormati sebagai ho-lang, orang
baik.
Cerita pemuda tadi saya dengar dengan penuh perhatian. Saya merasa lega
kebetulan berada di samping Ka-it, orang baik ini. mulailah saya ceritakan
sedikit demi sedikit keadaan saya kepada pemuda tadi, dengan maksud supaya
disampaikan kepada Ka-it. Tiada lama diantaranya maka Ka-it memanggil saya
makan bersama-sama. Kecurigaan dan kesangsian rupanya hilang lenyap, bertukar
simpati yang kian hari bertambah erat. Inilah salah seorang Tionghoa di
Tiongkok yang diluar ikatan kepartaian amat rapat sekali ikatannya dengan saya
sebagai sahabat karib dengan sahabat karib, bertahun-tahun
lamanya...........sampai kami dipisahkan oleh Jepang pada tahun 1937.
Setelah lebih kurang seminggu lamanya saya sampai di Amoy maka kapal
Suzana kembali ke pelabuhan Amoy. Diantara penumpangnya, adalah seorang yang
akan menjadi sahabat karib saya. Pada ketika datanglah seorang berumur setengah
tua, tinggi tegap berperawakan Indonesia, menerobos ke kamar saya dengan suara
amat keras: “Saya sudah baca perkara tuan di Filipina, saya sudah lihat gambar
tuan di semua surat kabar. Marilah kita pergi lekas ke desa saya. Kalau Belanda
datang ke sana, I shall touch him,
saya mempunyai pasukan serdadu dan senapan baru”.
Bahasa Inggrisnya tak begitu baik. Maksud yang sebenarnya ialah: I shall shoot them, “saya akan tembak
mati mereka itu”. Berkali-berkali dikatakannya kepada saya: “I shall protect
you” (saya akan perlindungi saudara).
Orang yang tinggi tegap berwarna coklat ini, adalah turunan Filipina
tulen, berasal dari Began, di sebelah utara pulau Luzon. Di masa revolusi
Filipina dia bersama orang tuanya berada di Manila. Dia kehilangan orang tuanya
dan diambil sebagai anak angkat oleh seorang Tionghoa, dan diberi nama
Francisco Tan Quan di Manila, dan Tan Bian Ku di desanya di Hokkian. Di Manila
dia lazim dipaggil Ki-Koq dan di Hokkian lazim dipanggil Ku-ja. Kita namakan
saja dia Ki-Koq. Ketika masih muda oleh bapa angkatnya dikirim ke desanya buat
mempelajari bahasa serta adat istiadat
Tionghoa. Lama benar saya tinggal di desanya. Gambar saya dengan dia
bersama para prajuritnya dirampas oleh Raja Siam dari tangannya almarhum
Subakat, waktu dia ditangkap di Bangkok pada tahun 1930. Inilah satu gambar
yang menjadi “puzzle”, teka-teki buat
pemerintah Hindia Belanda, yang rupanya menerima gambar tadi dari Prachatipok, bekas
raja Siam.
Usul Ki-Koq amat saya setujui, ialah berhubung dengan beberapa perkara.
Pertama saya perlu menyingkiri Amoy dimana saya belum leluasa bergerak. Kedua
saya amat membutuhkan suasana desa, buat benar-benar istirahat. Ketiga dan tak
kurang pentingnya sudah lama saya menginginkan mempelajari keadaan desa
Tiongkok yang sebenarnya.
Demikianlah dengan pengetahuannya P.E.L. dan S dan persetujuan penuh
Ka-it, maka dengan kapal sekoci kepunyaan rumah penginapan. Tiong-Huat yang
dibawah pengawasannya Ka-it sendiri, pagi-pagi sekali saya meninggalkan Amoy
menuju ke desanya Ki-Koq. Pelayaran dilakukan lebih kurang 12 jam lamanya.
Pelabuhan yang dituju ialah desa Witau, berpenduduk kira-kira 2.000
orang. Dari Witau ke desanya Ki-Koq adalah pula beberapa jam berjalan kaki.
Orang belum berhak berkata mengenal Tiongkok, kalau belum tahu hidup di
desanya. Karena sebagian besar, barangkali antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok
yang 400 juta itu berdiam di ratusan
ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan sistem pemerintahan kekeluargaan yang
dipisahkan ole h Guru Kung (Kong Tze), maka desa Tiongkok semenjak zaman
purbakala terdiri dari satu atau beberapa suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq,
terdiri cuma dari satu suku saja, ialah suku Tan.
Di beberapa desa lainnya yang saya kenal, pula terutama terdiri dari
suku Tan dan Go. Kedua suku ini tak selalu berada dalam suasana perdamaian.
Beberapa orang tua menceritakan kepada saya betapa hebatnya “peperangan” di
antara kedua suku tersebut, selang beberapa tahun di belakang. Lebih dari 50
desa terlihat dalam sengketa (feud) yang dilakukan bertahun-tahun lamanya
dengan sangat kejam sekali.
Saya sendiri sudah dua kali menyaksikan peperangan antara dua pelabuhan
Witau dan Tentang yang letaknya masing-masing cuma dipisahkan oleh satu jalan
saja, dan cuma beberapa jam perjalanan saja antara dari desa Siongching. Dari
sebuah bukit dari desa kami “peperangan” nyata sekali terlihat. Yang menjadi
sebab permusuhan itu ialah kepentingan penghidupan juga. Masing-masing desa
tadi mau memonopoli mengangkut barang dan penumpangnya dari sekoci kecil (20 -
30 ton) dari tengah laut ke pantai. Paling banyak penumpangnya adalah 40 orang,
dan datangnya kapal cuma 2 kali seminggu. Inilah sebenarnya yang diperebutkan
dan yang menjadi pangkal sengketa. Sering diadakan perundingan dan didapatkan
persetujuan antara dua desa itu dengan atau tak dengan perantaraan wasit.
Tetapi begitu persetujuan di dapat, begitu pula dilanggar.
Akhirnya desa kami Sionching mendapat kehormatan buat menerima tamu
seorang mayor yang istimewa, didatangkan dari ibukota distrik Chuang Chu, buat
menyelesaikan sengketa Witau-Tentang. Saya hadir dalam sambutan mayor tadi
dalam gedung bekas temple (rumah berhala). Banyak juga para pembesar dan
khalayak dari sekitarnya desa Sionching yang hadir beserta mereka yang
bersenjata. Pengharapan, bahwa mayor dari Chuang-Chu akan dapat menyelesaikan
perkara yang sudah merayap bertahun-tahun itu amat besar sekali. Akhirnya
sesudah matahari tinggi, terdengarlah suara khalayak yang gembira mengabarkan,
bahwa mayor dari Chuang-Chu, ibu kota distrik sudah hampir tiba. Beliau berada
dalam tandu yang dipikul oleh beberapa kuli pemikul berpakaian upacara dan
di-flankeer-i (disayapi kiri-kanan) serta diiring oleh lebih kurang 100 orang
serdadu lengkap bersenjata. Setelah tandu berhenti di depan temple, maka
keluarlah hakim kita dari tandu tadi dengan langkah yang mengingatkan kita
kepada Harun Alrasjid dan Nabi Sulaiman yang keduanya termasyur adil itu.
Segera mayor Chuang-Chu disambut, disayap kiri kanan oleh para serdadu
bersenjata lengkap, memasuki bekas temple di desa Sionching. Pemeriksaan yang
saya sangka akan segera dilakukan rupanya perlu ditunda, sebab santapan yang
sudah serba lengkap sudah menunggu. Santapan ini tiadalah satu pekerjaan yang dijalankan
dengan cepat-kilat, secara militer, melainkan pekerjaan yang menghabiskan tempo
dua atau tiga jam, karena banyak ragamnya makanan yang dihidangkan, disertai
pula dengan minuman arak dengan cangkir berturut, ialah cocok dengan “filsafat” makan minum.
Supaya dapat lama mengecap lezatnya.
Khalayak berusaha keras memberi penghiburan dan kesenangan kepada
“hakim” yang sudah lama diidam-idamkan. Maklumlah desa Siongching dan
sekitarnya terutama pula Witau dan Tentang, memusatkan semua pengharapannya akan
segera selesainya sengketa itu kepada kebijaksanaan dan kekuasaan mayor dari
Chuang-Chu. Tetapi kelihatan pula dan bisa dimengerti, bahwa sesudah santapan
besar dan minuman araknya itu dilakukan, orang tidak lagi mempunyai pikiran
yang terang-tenang dan nafsu yang keras buat memeriksa dan menyelesaikan
perkara, yang begitu ruwet-sulit dan sudah merayap bertahun-tahun itu. Lagi
pula para penyambut harus menghormati
“kebiasaan” mayor kita, ialah sedikit mengisap madat sebelum tidur siang.
“Sedikit” itu mesti dilakukan di desa lain, dimana ada “yoorraad” (persiapan)
di rumahnya seorang hartawan Tionghoa yang baru pula dari Manila, dimana
terdapat kasur yang empuk. Berarak-arak pula kami para penyambut mengiringi
mayor Chuang-Chu ke desa itu. barulah hampir sore selesai pemadatan dan
akibatnya ialah tidur siang. Tetapi waktu hari sore dan malam tentulah bukan
lagi waktu buat menyelesaikan sengketa Witau Tentang. Mayor Chuang-Chu
menganggap perkara sudah selesai begitu saja! Dan.........Mayor Chuang-Chu sudah
membuang waktu pula buat pulang-pergi ke Siongching satu minggu lamanya.
Ongkosnya bukan sedikit! Maklumlah, tak kurang dari satu batalyon (Lebih kurang
1000 serdadu) yang mengiringi, yang empat hari lamanya ditempatkan di Tentang. $ 4.000 (empat ribu dollar di Tiongkok) yang
mesti dibayar oleh kedua desa tersebut buat pengganti ongkosnya mayor
Chuang-Chu. Tawar menawat tentulah tak bisa dilakukan oleh rakyat desa Witau
dan Tentang, terhadap mayor dari Chuang-Chu yang datang dengan satu batalyon
bersenjata lengkap. Tetapi meskipun Witau dan Tentang sendiri menganggap
perkara “belum” selesai. Witau dan Tentang dan desa sekitarnya terpaksa bisa
merasa puas, karena sudah mengadakan penyambutan, walaupun sedikit mahal,
terhadap pelindung rakyat.........!!!
Tamu di atas adalah tamu yang resmi. Tiongkok dimasa itu “diperlindungi”
oleh ratusan kalau tidak ribuan militeris semacam itu. Di samping itu adalah
berkeliaran tamu yang tidak resmi, ialah bermacam-macam rombongan to-hui,
bandit, perampok. Saya dua kali mengalami kedatangan tamu semacam ini. Yang
pertama sekali ialah di Sionching sendiri dan yang kedua kali di desanya Ka-it
yang jauhnya cuma satu jam perjalanan dari Siongching. Biasanya tamu tak resmi
ini datangnya tiba-tiba di malam hari lengkap dengan pasukan bersenjata sesudah
mereka mendapat kabar, bahwa ada “orang kaya” yang baru pulang dari “Nanyang”
(Selatan).
Belum lagi kami berada satu minggu di Sionching, Ki-Koq sudah mendapat
surat kaleng dari satu rombongan to-hui, bahwa dia mesti mengirimkan sekian
ribu rupiah ke rombongan to-hui itu sebagai jaminan atas keselamatannya Ki-Koq
dan keluarganya. Kabarnya, konon Ki-Koq lah yang mendapat kemenangan. Mereka
To-hui kembali dengan maksud hendak membalas dendam.
Tetapi Ki-Koq tak akan mengalah begitu saja, walaupun jiwanya sendiri
diancam. Dia kumpulkan semua senjata dan orang kuat dalam desa Sionching.
Pengawalan yang teliti diadakan terutama di malam hari. Benar kekuatan desa
Sionching tak lebih dari 20 orang, tetapi senjatanya adalah modern, dibeli di Manila.
Sedangkan musuh, meskipun terdiri dari lebih kurang 100 orang, tetapi cuma
beberapa orang saja yang bersenjata api dan
lagi cuma bedil kuno. Bedil mesiu dan pelornya semuanya “made in China”,
dibikin oleh para tukang Tionghoa menurut resep asli. Sekali pasang cuma bisa
diletuskan satu kali saja. Sesudah meletus mesti diisi dulu dengan mesiu dan
dibikin dengan sabut dan tongkat, baru bisa ditembakkan pula.
Hampir satu bulan lamanya kami dikepung oleh to-hui dalam desa Sionching
di musim dingin pula. Pertolongan dari pemerintah pusat, distrik ataupun dari
desa yang lain-lain sama sekali tak bisa diharapkan. Masing-masing melayani
urusannya sendiri-sendiri. Untunglah pula juga berhubung dengan sistem
kekeluargaan yang dipusakakan oleh Guru Kung kepada anak cucunya, praktis tiap-tiap desa sanggup berdiri atas
tenaga dan kebijaksanaan sendiri. Kalau tiada begitu, lamalah sudah runtuh
binasa masyarakat, bahkan bangsa
Tionghoa, yang berkali-kali berhadapan dengan mara bahaya yang timbul di dalam
dan datang dari luar itu.
Amat beratlah kekuatan lahir dan batin yang diperas dari Ki-Koq.
Berjaga-jaga siang dan malam hampir satu bulan lamanya, melemahkan tenaganya
dan mengurangkan nafsu makannya. Tetapi sebaliknya menegangkan urat
sarafnya. Kekurangan makan tidur itu
ditebusnya pula dengan minuman keras, chiakchiu. Minuman keras itulah pula yang
menjadi obat penolak dingin dan kegentaran, serta sebaliknya menimbulkan
kekuatan. Demikianlah akhirnya ketika pagi hari kami semuanya bangun, karena
letusan senapan berkali-kali. Letusan itu rupanya keluar dari senapan Ki-Koq
yang ditujukan ke ladang ubi-jalar (rambat). Entah karena memangnya suasana
udara kabur-kabut, entah karena akibat “chiak-chiu”, entah karena akibat ketiga
perkara itu, maka Ki-Koq menjadi mata gelap, dalam arti kita bangsa Indonesia.
Memangnya pula tingkah lakunya Ki-Koq, walaupun dibesarkan di Tiongkok, tak
lupus dari sifatnya Indonesia. Cuma neneklah yang bisa menyabarkan Ki-Koq.
Selainnya dari mengasuh, sebagai nenek yang berjasa membesarkan anak kehilangan
ibu-bapa yang amat nakal, nenek mempunyai senjata yang amat tajam menawan
Ki-Koq, kalau ia sudah sampai ke tingkat mata gelap, ialah air mata. Nenek
merebut senapan Ki-Koq dari tangannya dengan tangis. Kalau tiada begitu, maka
penembakan liar tadi, mungkin menimbulkan marabahaya, sebab yang disangka
to-hui oleh Ki-Koq tadi tak lain tak bukan daripada beberapa petani. Mereka
tentulah lari tunggang langgang ke desanya, setelah mendengar tembakan
berkali-kali itu.
Untunglah pula dengan kejadian begitu para to-hui yang mempunyai markas
pada satu gunung batu, dekat desa Sionching mengundurkan diri. Mereka insaf,
bahwa mereka berhadapan dengan satu rombongan bersenjata senapan yang
benar-benar berbahaya tembakannya dan dipegang oleh beberapa orang yang memang
bermaksud mempertahankan diri. Senekat-nekatnya to-hui, tiadalah mereka
mempunyai moral yang berani memberikan lebih banyak daripada kemungkinan hasil
yang didapat. Umumnya para to-hui lebih banyak mempergunakan tipuan-bujukan dan
gertak dari para pengorbanan jiwa melawan musuh yang mempunyai tekad membela
diri.
Demikianlah persangkaan yang dibelakang ini dibuktikan oleh sahabat saya
yang di Tang-Ua, satu kota berpenduduk lebih kurang 300.000 orang, beberapa
Kilometer jaraknya dari Amoy. Sahabat tadi, yang sudah pernah saya kunjungi di
tempatnya, baru saja kembali dari Jawa dengan ibu, isteri dan dua orang saudara
laki-laki. Belum lama dia tinggal di rumah, maka datanglah serombongan to-hui,
mengepung dan akhirnya menerobos ke dalam rumahnya.
Percakapan dilakukan dengan yang empunya rumah kira-kira berbunyi:
To-hui: “Kami datang meminta bagian kami”
Tuan rumah: “Ya, tetapi kami bukannya orang kaya”
To-hui: “Kami tahu tuan mempunyai emas dan uang. Cobalah perlihatkan
kepada kami”.
Tuan rumah: “Kami sungguh tak mempunyai emas, cuma sedikit uang.
To-hui: “Baiklah kita selesaikan perkara ini secara damai saja; ham-ham.
Kalau tidak begitu, kecelakaan di pihak tuan tidak sedikit. Lihatlah berapa
banyak orang, kami yang bersenjata, menunggu di luar”.
Nyonya rumah: “Ini seribu dollar (Tiongkok). Terimalah saja. Inilah
semuanya harta kami”.
To-hui (tertawa): “Masakan ini semua harta nyonya. Kami tahu berapa uang
dan emas yang nyonya bawa kemari, tak perlu disembunyikan kepada kami”.
Tuan rumah: “Ini 3.000 dollar adalah ujungnya kesanggupan kami.”
To-hui: “Ini tak cukup buat hidupnya orang saya yang ratusan banyaknya,
selama sebulan. Maklumlah tuan, sebagian besar dari uang itu harus saya
bayarkan kepada “penyelidik” saja, yang
berada di Jawa, Amoy dan lain-lain tempat. Kami tahu benar-benar berapa harta
benda tuan ketika meningglakan Jawa, $ 10.000, buat keselamatan tuan sekalian.
Kalau tidak begitu, dan tak lekas dikerjakan tuan sekalian tahu
sendiri..........”
Itulah malam “perundingan” berakhir dengan kemenangan para to-hui,
berupa emas dan uang seharga $ 10.000, dengan tak ada korban apapun juga dari
pihak para to-hui, kecuali pengorbanan berupa beberapa perkataan yang diucapkan
dalam “perundingan” tadi.
Keluarga yang baru pulang ke tam-soa tadi, belum lagi selang berapa lama
lepas terkejut, maka pada satu malam diserang pula oleh rombongan yang kedua.
Dengan begitu maka kesabaran para sahabat kita dari Jawa tadi hilang lenyap,
bertukar kenekatan. Mereka insyaf, bahwa sikap damai itu tak membawa perdamaian,
karena oleh to-hui sikap suka damai itu dianggap satu kelemahan. Mereka
beranggapan, bahwa sikap damai itu akan membawa mereka ke kemelaratan, dari itu
lebih baik mati dalam pembelaan diri.
Ketiga laki-laki kita tadi lekas menjalankan siasat. Ada yang keluar
kamar dan ada pula yang memanjat ke loteng dan bersembunyi di sana di dalam
kamar masing-masing. Para to-hui naik tembok dan terus menerobos ke dalam
rumah, masuk ke kamar memaksa para wanita membuka peti. Apabila para to-hui
sedang asyik menghitung uang dan emas, maka tuan rumah melepaskan tembakannya
yang mengenai kepala dan membunuh dua orang to-hui yang menyerbu. Satu tembakan
lagi dilepaskan kepada to-hui yang muncul di atas tembok yang mengelilingi
rumah. To-hui inipun gugur.
Menyaksikan tembakan yang sedemikian jitu, yang dilepaskan oleh tangan
yang tegap dan hati yang nekat, maka para to-hui lainnya lari kocar-kacir.
Mereka bukannya datang untuk membuktikan kekesatriaan, melainkan untuk uang dan
emas, kalau dapat dengan bujuk tipu dan gertak saja, seperti yang sudah
dilakukan oleh rombongan yang pertama.
Besok harinya peristiwa tersebut dilaporkan kepada walikota. Sesudah
dipastikan, bahwa penyerang yang tewas tadi memangnya to-hui, maka sebelumnya
mayat mereka dikuburkan, mayat itu dibiarkan saja terlantar bebarapa hari
lamanya, buat dipertontonkan. “Pertontonan mayat itu menakuti to-hui yang
lain-lain dan dirasa dahsyat oleh khalayak Tiongkok umumnya. Dengan badan cacat
melayani penguburan yang tidak dilakukan menurut syarat Tionghoa adalah hina
dipandang dari sudut keduniaan dan dosa dipandang dari sudut keakhiratan
Tionghoa”.
Walikotapun tunduk pada lembaga dan agama Tionghoa itu. Betul walikota
Tung Ua adalah bekas “pemimpin to-hui yang ulung”, seperti banyak walikota yang
lain-lain di Hokkian, tetapi wali kota Tung-Ua, yang berpenduduk lebih kurang
300.000 orang itu sudah menjadi “orang baik” (ho-lang) dan sudah membaca buku “Guru Kung” (tak-thek). Bukan saja
dia sekarang menjadi hartawan besar, tetapi juga seorang dermawan. Langsai
(lunas) lah sudah hutang piutangnya di masa lamapau, ialah di masa khalayak
ramai umumnya dan mungkin juga menurut ukuran moral walikota sendiri.
Kebersihan dan kesehatan di kota-kota asli Tiongkok (bukan di kota-kota
modern seperti Shanghai, Wuhan, Hongkong dan lain-lain) sudah saya coba
gambarkan secara sederhana. Keadaan sedemikian di desa-desa menurut perasaan
saya, tak begitu menyedihkan. Perbedaan yang terutama sekali saya rasa adalah
berhubung dengan lapang dan hawa. Di kota-kota rapat padatnya rumah kiri-kanan
sepanjang jalan kecil, adalah cocok dengan rapat-padatnya orang. Angin hampir
tak bisa masuk. Rumah di desa mempunyai jarak satu sama lain, walaupun tak
seperti Indonesia. Kebanyakan rumah desa, yang umumnya rumah batu mempunyai
lapang cukup dalam rumah itu sendiri.
Rumah desa di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus
menerus, sering berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama
empat-lima bulan di musim sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding
batu, dinding belakang rumah, yang menghadap ke Selatan, dimana matahari
berada, cahaya matahari dapat memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya
matahari yang masuk dari Selatan dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh
angin Selantan yang mahsyur itu (lam-hong);
masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan badan yang
sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang saya kenal
benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas matahari dan
di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Tetapi tiadalah berarti, bahwa “orang Indonesia akan merasa biasa” saja,
kalau memasuki desa Tiongkok. Pertama kalai kita akan berkecil hati, melihat
banyaknya kakus yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini, di sepanjang jalan, dimilikii
oleh satu rumah, atau beberapa rumah sekeluarga. Masing-masing membikin kakus
atau rombongan kakus itu menurut kemauannya sendiri. “Town-planning”, membangunkan sesuatu menurut rencana, tak ada sama
sekali. Ada rombongan kakus yang dibikin di pintu ke desa, ada yang di depan
pintu gerbang tetangga dan ada pula di depan dapurnya tetangga. Kita mesti
berusaha mencocokkan diri dengan hawa yang menyambut kita kalau kita memasuki
desa kecil-besar, apalagi besar, di Tiongkok. Orang Tionghoa di desa, kecuali orang
kaya, biasa berurusan dengan kotoran manusia itu, cair atau beku. Mereka
sekali-kali tak merasa jijik mengurusnya. Ini sekali-kali tidak diucapkan atau
menghinakan orang Tionghoa. Dalam keadaan sedemikian saya sendiripun akan
mengerjakan semuanya yang dikerjakan oleh pak tani Tionghoa itu, karena perlu
dan praktis.
Bolehlah saya katakan, bahwa sebagian besar pesisir Hokkian, yang saya
kenal baik itu, terbilang makmur, karena banyak sekali orang yang mempunyai
keluarga yang berada di Filipina. Tioghoa di Filipina itu tak semuanya
memutuskan perhubungannya dengan tanah airnya. Kemakmuran mereka di Filipina
(juga di Selatan) mengakibatkan kemakmuran di bagian Hokkian yang berhubungan.
Tetapi semakmur-makmurnya desa Hokkian, jaranglah yang mempunyai kuda atau
sapi. Maka berhubung dengan kekurangan atau ketiadaan kuda dan sapi itu
menyebabkan hampir tak ada pupuk (rebuk) keluaran hewan, kecuali sedikit dari
babi.
Pertukaran antara alam dan manusia harus diteruskan buat keterusan
kemakmuran alam dan manusia itu. Tida saja tumbuhan menapas-kedalamkan
napas-keluarnya manusia yang berupa koolzuur
(CO2) tetapi juga sebaliknya menapas-keluarkan yang dinapas-kedalamkan oleh
manusia (O2 zuurstrof). Tumbuhan dan
manusia dalam hal napas adalah isi-mengisi dan tukar menukar. Selanjutnya tanah
menukarkan barang hasil berupa makanan (gandum dan sayur) dengan ampas manusia
berupa benda yang dilemparkan ke dalam kakus itu. Boleh juga dikatakan manusia
(dan hewan) memberikan ampasnya ke tanah buat menerima hasil tanah itu buat
hidupnya. Dengan demikian, tanah dan manusia tak bertambah kurus, melainkan
sebaliknya keduanya tetap sanggup tukar-menukar.
Kedua kotoran dalam kakus itu dilayani benar oleh para petani Tionghoa.
Mengolah dan mempergunakan dari macam benda itu, seperti mencampur dengan
jerami dan kotoran bagi, mengetahui waktunya boleh dipakai serta bagaimana cara
memakai, adalah termasuk keahlian para petani Tionghoa. Keahlian itu saya
anggap jauh lebih tinggi daripada keahlian petani Indonesia atau Hindustan.
Kalau dilebihi oleh petani Eropa, saya rasa cukup dalam hal teknik dan kimia
saja, dan baru pada abad paling belakangan ini saja.
Tanah dan kakus itu tak bisa dipisahkan dari tangan petani Tionghoa,
seperti tanah liat dan pasir tak bisa dipisahkan dari tangannya tukang batu
tembok. Hasil petani Tiongkok juga amat tinggi, jika dibandingkan dengan
keadaan tanahnya yang lebih kurus dari tanah Indonesia. Banyak saya bicarakan
dengan Tionghoa modern adanya kakus di desa-desa Tiongkok, yang mengganggu
kebagusan dan mungkin juga kesehatan desa. Biasanya kami mendapatkan kesimpulan
yang sama. Kalau tiada mau dipakai kotoran manusia, pemerintah pusat, daerah
atau desa, harus mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat tanah.
Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah pusat,
daerah atau desa harus pula mengadakan gantinya yang sama-sama kebaikannya buat
tanah. Kalau mau memakai juga; tetapi dengan pelayanan modern, maka pemerintah
pusat, daerah atau desa harus pula mengadakan rioleering (jembatan tertutup)
dan pabrik kotoran manusia itu. Bagaimanapun juga, kotoran manusiapun harus
terus dikembalikan kepada alam. Cuma semuanya itu membutuhkan ongkos, teknik
dan ahli. Dalam keadaan politik, ekonomi, sosial dan kecerdasan Tiongkok pada
tingkatan sekarang, rencana semacam itu terpaksa jadi tinggal rencana saja.
Persatuan haruslah lebih erat, pemerintah lebih teratur, kemakmuran dan
pendidikan harus lebih tinggi dan umum, barulah rencana tersebut dapat
dijalankan dengan kemungkinan mendapat hasil yang bagus.
Perasaan kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya
sudah menjadi perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan
dari kecil sudah bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang
desa Tionghoa, apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara
menderu-deru seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin,
bahwa perasaan sunyi terpencil itu oleh seorang buangan di Digul yang paling
penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya di Digul masih banyak teman
seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan berpengharapan dan berbahasa
sama. Semuanya ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai
“sosial animal” (hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya
di desa Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat
dalam “broken English”nya, Inggris
salah. Pernah saya saksikan dua tiga orang pemuda (baba) Filipina, yang
menganut di-kokeu-i paham cinta pada
Tioghoa Raya, setelah satu-dua hari saja berada dalam rumah keluarganya di
desa, lari pulang ke Filipina dengan 1001 macam alasan.
Merekapun sudah bertukar adat dan tingkah lakunya dan tak tahan lagi
tinggal di desa leluhurnya. Apalagi kalau berada dalam segala kesederhanaan
belaka.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya! Pada satu hari Ki-Koq membawa
saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini dia mengajak saya mengangkat
tangan dan berjanji satu sama lainnya akan menganggap saudara kandung dan
tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti dan Ki-Koq pun terus memegang
teguh sampai perhubungan kami terputus. Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi
yang sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap
sayang, karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik.
Kakak, toa-chi, karena dia seorang
wanita yang lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam
rumah. Saya tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi mengeluarkan anak-baju, baju dan
mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara kami tak bisa, kecuali sepatah
dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi
pernah di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan
sekurangnya totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya
guna menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya dalam rumah
yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada suatu hari
petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak kelihatan suatu
apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita
kesakitan yang hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya
tak berobah, tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
Pada kira-kira jam 1 malam
datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”,
salah satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa
mundar-mandir dan dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang
dikenal oleh bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang
jahat dan meminta pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah
melihat mukanya Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya
tertidur, dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi sudah meninggalkan kami. Hampir
pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi rumah menuju ke bukit tempat
kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan digali untuk menguburkan
mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang diserang penyakit pesat
itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di desa-desa Hokkian untuk
menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain ialah meninggalkan desa yang
sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk desa laki-laki dan perempuan
tua muda buat sekian lama.
Demikianlah pada pagi harinya toa-chi
meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan seluruh desa sionching
berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq mengucapkan maksud sekeluarganya
kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang dituju, melainkan mengikuti saja
para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya sendiri dan para laki-laki lainnya
belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke Amoy baru dua tiga hari lagi
akan siap.
Dengan cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita
dan anak-anak, dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri
saya.
Ki-Koq berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam
kayu cendana buat dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras
untuk dimasak.
Kamar yang saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang
sudah tua dan rusak itu apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan,
menambah seramnya suasana kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya
pernah menderita sakit demam berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam
berturut-turut, sesudah toa-chi meninggal,
dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas. Apabila
sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah
suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari
terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang
masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang
mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan
terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.........
Sesudah dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani
dikirimkan oleh Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana
sekoci sudah menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan
baru, penuh riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat
sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar