Jumat, 08 April 2016

Surat Tan Malaka kepada "China League for Civil Rights"



Surat ini dikirimkan kepada PG di Batavia. Surat ini ada di lap. 14-9-1933 lt. E 22.
Surat Tan Malaka kepada “China League for Civil Rights”, tertanggal Februari 1933. Surat ini diterima Konsul Jendral Belanda di Syanghai setelah Sekretaris Liga itu dibunuh pada bulan Juni 1933.

Amerika Selatan, Februari 1933.
Kepada China League for Civil Rights.
c/o Mrs.Sun Yat-Sen,
Dr. Tsai Yuan-pei & Mr.Chen Ping-ho

Nyonya dan Tuan-Tuan yang terhormat,
Sekalipun persoalan saya ini tidak secara langsung berkaitan dengan  program yang dilaksanakan Liga, mungkin bukan pada tempatnya untuk menyampaikannya kepada program tersebut.
Pertama-tama, nama Liga itu memberi kesan kepada saya bahwa ia lebih memberi tekanan kepada “hak-hak sipil”. Persoalannya akan berlainan apabila Liga itu misalnya dinamakan Liga Hak-Hak Sipil untuk Orang-Orang Cina. Namanya yang sekarang menurut pendapat saya mempunyai arti dan pandangan yang luas. Sesungguhnya semua rakyat tertindas di dunia dapat mendukung atau bersimpati dengan tujuan Liga tersebut.
Kedua, saya pun seorang wartawan yang sedang dikejar-kejar. Saya hanya berbangsa Indonesia karena kelahiran. Sudah selama 11 tahun saya diusir dari negeri saya, dan kehilangan kewarganegaraan dan  perlindungan Belanda, berada di luar hukum dan dikejar terus. Sebagai seorang tanpa kewarganegaraan, yang hampir mempergunakan 1/3 dari kehidupan saya dengan mengembara di seluruh Negeri Cina, saya kira ada satu alasan lebih bagi saya untuk berseru kepada Liga.
Yang terakhir, tetapi bukan yang paling penting, masalah saya ini, menurut saya, mempunyai hubungan langsung dengan hak kedaulatan Negeri Cina. Tetapi bagi saya rupanya tidak ada bangsa yang dapat memakai hak-hak kedaulatannya dengan baik dan efektif apabila sedikitnya sebagian besar rakyatnya tidak menikmati hak-hak sipil sepenuhnya, secara legal dan dengan nyata, apabila bangsa itu tidak mau atau tidak mampu atau keduanya, menjalankan hak-hak kedaulatannya itu.
Salah satu hak kedaulatannya itu, yang dinikmati oleh setiap bangsa yang merdeka dan menghormati diri sendiri selama ratusan tahun, ialah memberi hak suara kepada seorang pelarian politik dan hak menolak mengembalikannya kepada musuh politiknya.
Saya akan mengupas masalah ini. karena saya sama sekali asing bagi Nyonya dan bagi Liga, kiranya perlu saya memberi keterangan tentang sebab atau sebab-sebab pengusiran saya...dan sudah tiga kali saya diusir oleh Liga Pemerintah imperialis yang berlainan di Asia. Supaya tidak mengambil waktu terlalu banyak, saya akan mencoba memberi keterangan sesingkat-singkatnya.
Saya akan menghindarkan segala sesuatu yang akan menyimpulkan terlalu banyak pertanyaan dan penjelasan, tanpa mengurangi inti masalah yang saya kupas ini. saya merasa yakin bahwa tidak satu pun dari prinsip-prinsip dan aksi-aksi politik saya dapat diusut dalam suatu negeri yang benar-benar demokratis. Saya pernah dan masih bersedia menghadapi suatu pengadilan yang baik, kalau saya diberi kesempatan membela pandangan dan aksi politik saya. Jadi, bukan dengan maksud untuk menyembunyikan pandangan-pandangan saya yang sebenarnya, tetapi demi praktisnya dan singkatnya, saya akan menghindarkan segala sesuatu yang mungkin akan menimbulkan terlalu banyak pertanyaan.
Keadaan yang saya dapati di Eropa, tempat saya menghabiskan 6 tahun untuk belajar, tidak sedemikian rupa sehingga memberikan kepada saya jawaban-jawaban yang memuaskan atas mengapa dan untuk apa begitu banyak hal yang saya temui di sana itu. Eropa telah mengalami perang yang terbesar dan revolusi yang terbesar. Saya mengikuti pikiran-pikiran yang mengalir ke arah kiri, sampai pada suatu hari pendukung saya mengecap pandangan-pandangan saya berbahaya. Ia seorang bekas jenderal, wali banyak mahasiswa Indonesia, yang mendapat pinjaman dari yayasan tempat ia menjadi  salah seorang promotor dan direktur yang utama. Ia mengajak saya menginap di rumahnya 7 malam berturut-turut, dari luar seolah-olah untuk mengadakan pembicaraan persahabatan tetapi kenyataannya dengan maksud untuk mengembalikan saya kepada apa yang dengan senang disebutnya pkiran-pikiran “evolusioner”, bagaimanapun juga pikiran-pikiran yang sesuai dengan pandangannya sendiri sebagai seorang bekas jenderal, dan kreditor, yang memiliki suatu imperium yang nomor 2 paling besar di dunia, setelah Inggris. Pembicaraan kami makin lama makin merupakan perdebatan antara dua orang yang mewakili dua pandangan yang tidak mungkin dapat dipertemukan. Dan berakhir dengan perpecahan antara kami berdua, dan mendorong saya untuk tidak mau lagi menerima pinjaman dari yayasannya. Itu terjadi pada tahun 1918!
Ketika bekas jendral itu melaporkan perpecahan itu kepada bekas guru Belanda saya di Indonesia, yang tersebut belakangan ini dengan segera mengirimkan lebih kurang US$ 10.000 dalam mata uang Cina yang berlaku kepada yayasan, dengan penjelasan bahwa dia sejak dulu tidak pernah meragukan kejujuran saya (mudahlah dapat dibayangkan apa yang telah dilaporkan bekas Jendral itu). Guru ini karena sangat menaruh perhatian pada kemajuan intelektual saya, langsung mendirikan sebuah yayasan di desa saya, membawa saya ke Negeri Belanda untuk pendidikan selanjutnya dan memperkenalkan saya kepada yayasan bekas Jenderal itu, yang karena Perang Dunia II terpaksa hidup lebih lama di Negeri Belanda.
Seorang, direktur salah satu perkebunan terbesar di Deli, Sumatra, mendekati saya pada masa itu. Ia menawarkan pekerjaan sebagai pengawas sekolah-sekolah untuk anak-anak kuli di perkebunan-perkebunannya di Deli kepada saya. Ia tentu sudah diberi tahu tentang “pikiran-pikiran berbahaya” saya. Di dalam hati ia percaya bahwa satu-satunya cara untuk menyembuhkan penyakit semacam ini adalah memberi pekerjaan yang “konstruktif” dan dengan bayaran “yang baik”. Ayahnya – juga seorang dermawan yang terkenal- selalu berhasil setiap kali ia memakai kebijaksanaan semacam ini terhadap orang-orang demokrat sosial yang “berbahaya” – dan ia tentu akan mencoba kebijaksanaannya itu kepada diri saya. Saya menolak diikat kontrak apa pun dan menyampaikan syarat-syarat lainnya, yang diterimanya. Tetapi selanjutnya bukanlah menjadi urusan saya untuk mengganggu kepercayaannya terhadap kemujaraban penyembuh yang telah diwarisnya.
Sekalipun tidak lama sebelum saya tiba di Deli, pada akhir tahun 1919, ada perintah rahasia kepada manajer-manajer dan pegawai-pegawai perkebunan-perkebunan orang Belanda dari pimpinan mereka di Negeri Belanda, yang berseru supaya saya diperlakukan sebagai seorang yang sederajat dengan mereka, sebagai “orang Eropa”, saya mengalami banyak perlawanan rahasia dan akhirnya berbagai intrik. Sekalipun soal keuangan saya baik – setiap bulan saya menerima sejumlah uang, yang dapat memberi kehidupan sampai sekarang di Negeri Cina sedikitnya untuk dua tahun – tidak mungkin bagi saya untuk mempertemukan pandangan-pandangan saya dengan keadaan yang meliputi para kuli di sana – orang-orang Indonesia dari Cina. Banyak yang telah ditulis dan dibicarakan tentang kuli-kuli kontrak di Deli. Saya tidak mau dan bisa mengulanginya di sini. Cukup kalau saya katakan bahwa beberapa tahun yang lalu Amerika telah melarang barang-barang yang dihasilkan oleh “kerja paksa”. Tentunya larangan itu merupaka salah satu alasan orang-orang kapitalis Amerika yang berkepentingan, untuk menghalangi masuknya barang-barang tertentu dari Deli supaya bisa memajukan penjualan barang itu di negeri sendiri, atas kerugian para pembeli. Tetapi suatu alasan pun tidak bisa sama sekali tanpa dasar. Mungkin tidak ada hubungan sebab-musabab antara tertutupnya pasaran Amerika untuk barang-barang Deli dan apa yang dikatakan “kerja paksa”, tetapi adanya “kerja paksa” itu sendiri tidak bisa disasngkal seluruhnya. Kalau tidak, maka pembuat undang-undang Amerika sendiri sedikitnya akan kehilangan muka.
Karena hubungan antara buruh dan kapital seperti itu, sebagaimana terdapat di Deli – dan masih ada sampai kini – dan kapital didukung sepenuhnya dan secara terang-terangan oleh hukum dan pemerintah, dan buruh sama sekali tidak berdaya dan terisolasi dari masyarakat pribumi, maka boleh dikatakan tidak mungkin untuk mengadakan perbaikan apa pun terhadap keadaan buruk yang dialami para kuli itu, oleh serikat-serikat buruh dan aksi-aksi. Para kuli biasanya menempuh jalan membunuh “orang-orang Eropa”. Dan ada 60 pembunuhan setiap tahun di sana dianggap “normal”.
Saya dicurigai membuat propaganda di kalangan kuli dan mencoba mengorganisasikan mereka. Saya “dicurigai” mengadakan campur tangan dalam pemogokan umum yang dilakukan buruh kereta api di Deli pada tahun 1921. Gerak-gerik saya diamat-amati dan dimata-matai. Setelah itu saya diberi tahu bahwa pemerintah sudah mencatat apa yang saya lakukakan setiap hari ketika tinggal di Deli.
Beberapa kali saya dituduh oleh pimpinan perkebunan bahwa saya telah melakukan apa yang disebut oleh orang-orang Eropa Deli – ada suatu masa potensial di Deli – sebagai “propaganda”. Tidak satu pun dari tuduhan-tuduhan  itu yang dapat dibuktikan. Saya mencoba menghentikan tuduhan-tuduhan itu dengan mengeluarkan “tuduhan kontra” bahwa ada orang yang sengaja menyebarkan fitnah tentang diri saya. Saya menuntut bahwa orang itu tampil ke depan. Saya mengancam akan “membuka kedoknya” apabila ia tidak segera menghentikan fitnahnya itu.
Akhirnya saya keluar dari perkebunan itu dan memutuskan untuk pergi ke Jawa. Sekalipun tidak saya minta, saya diberi uang pesangon sebanyak satu bulan gaji ditambah dengan karcis untuk naik kapal di kelas satu ke Jawa. Pada waktu itu saya sering bertanya pada diri sendiri: siapakah yang merasa lebih lega karena sikap royal perkebunan itu, sayakah, dengan uang pesangon sebulan ditambah dengan karcis kelas satu, atau perkebunan dengan keberangkatan saya “secara sukarela”.
Di Semarang, Jawa Tengah, saya menghabiskan waktu saya dengan mendidik anak-anak buruh miskin yang tidak bisa masuk sekolah atau tidak mampu meneruskan pendidikannya setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah rendah.
Kalaupun ada yang dapat membenarkan pemerintah Belanda di Indonesia, maka itu adalah kenyataan bahwa pemerintah itu memberi sekolah-sekolah kepada anak-anak Indonesia yang sekarang atau nanti akan memungkinkan Indonesia “untuk berdiri sendiri”, sedikitnya di bidang intelektual dan moral. Tetapi pendidikan Belanda menghilangkan sifat-sifat nasional dan merusak serta tidak memadai. Pendidikannya dengan sadar diarahkan pada terciptanya pegawai-pegawai yang patuh pada hukum dan ahli-ahli teknik yang membungkuk-bungkuk. Persis seperti monopoli dagang Belanda diperoleh dari tiran-tiran Jawa yang bodoh dan jahat, pada akhirnya menghancurkan industri dan perdagangan Jawayang ada, tanpa membangun yang baru, begitu pula sekolah-sekolah Belanda menghancurkan kebudayaan Jawa kuno tanpa membangun yang baru sebagai penggantinya. Sekarang pendidikan itu sedang mencoba menghapuskan bahasa Melayu dari sekolah-sekolah rendah karena bahasa Melayu itu ternyata merupakan alat yang ampuh untuk menyebarkan pikiran-pikiran nasional di antara begitu banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai logat sendiri di Kepulauan Indonesia – yang terbentang sama jauhnya seperti dari Irlandia ke Moskow atau dari perbatasan Tibet ke Syanghai. Imprialisme Belanda sampai kini bisa berdiri terutama karena politiknya yang berhasil untuk memecah belah suku-suku bangsa di Indonesia. Sekolah-sekolah Belanda sekarang tujuannya adalah untuk menghapuskan alat yang kuat ini – sesuatu yang mustahil! – dan untuk menciptakan orang-orang pemburu kedudukan di kantor, yang pandai membeo dan taat pada hukum. Setelah 300 tahun pemerintahan Belanda, sekarang ini tidak lebih dari 3% dari 60 juta orang Indonesia yang bisa membaca dan menulis. Kira-kira 5 tahun yang lalu saya perhitungkan pemerintah Belanda mengeluarkan untuk setiap anak Indonesia 1/7 dari apa yang dikeluarkan pemerintah Amerika untuk setiap anak Filipina. Sedangkan anggaran belanja Indonesia 8 kali lebih besar dan rakyat Indonesia jumlahnya kurang lebih 5 kali lebih besar dari rakyat Filipina. Ingatan saya mungkin kurang tepat – saya di sini tanpa bantuan angka-angka statistik – tetapi kenyataan yang sebenarnya tidaklah akan jauh dari itu. Mungkin keadaannya sekarang lebih buruk lagi karena pemerintah Belanda akibat krisis ekonomi memotong pengeluaran untuk pendidikan dengan 50%.
Partai-partai revolusioner yang ada, dengan bantuan serikat-serikat buruh yang ada, pada tahun 1921 memberi saya kesempatan untuk mengadakan eksperimen pendidikan. Dari semula saya menonal bantuan dari pemerintah Belanda, karena akan berarti pengawasan pemerintah atas sekolah-sekolah yang saya pimpin itu. pendidikan yang saya anggap cocok untuk anak-anak Indonesia bukanlah yang ditujukan untuk menciptakan orang-orang yang gila kedudukan dan terlalu intelektual, dan membenci pekerjaan tangan. Di samping membangun kecerdasan saya menekankan pada pembangunan akhlak dan inisiatif. Kesenangan akan pekerjaan kolektif dan pekerjaan tangan dilaksanakan dengan mengadakan segala macam pekerjaan tangan dan himpunan-himpunan di sekolah-sekolah yang diurus, dibiayai, dan dipimpin oleh para murid sendiri. Pendidikan itu bertujuan akan membentuk segala macam koperasi dengan bantuan partai-partai politik dan serikat-serikat buruh yang ada, sedangkan dana, bahan, dan guru yang diperlukan untuk segala macam konsumen dan koperasi produktif dapat ditemukan. Dalam waktu singkat murid-murid di Semarang mencapai jumlah 300 orang. Karena saya anggap landasan-landasan pertama harus cukup dalam dan kuat, sebelum memperluasnya secara horisontal, saya menolak permintaan banyak kota untuk mendirikan sekolah-sekolah yang sama di kota-kota itu. Saya mencoba melatih guru-guru baru di Semarang, yang direkrut dari anak laki-laki dan perempuan yang lebih tua. Semarang akan menjadi pusat asal guru-guru dan instruktur-instruktur yang kemudian dapat dikirimkan ke setiap pelosok Indonesia. Dalam waktu pendek saya dapat memenuhi permintaan Kota Bandung (Jawa Barat) dan membangun di sana sebuah sekolah yang besar dengan lebih kurang 300 murid, yang mendapat dukungan seluruh penduduk di situ, kebanyakan kaum tani dan buruh.
Kemudian saya harus menghentikan usaha itu! ketika saya sedang berdiri di depan kelas sekolah Bandung, membicarakan banyak masalah sekolah, kepala Dinas Intel Belanda bersama seorang petugas polisi Belanda memasuki kelas itu dan menyampaikan kepada saya surat perintah penahanan hari itu, tanggal 13 Februari 1922.
47 pertanyaan disodorkan kepada saya dalam rapat rahasia petugas-petugas Belanda. Pertanyaan-pertanyaan itu menunjuk pada apa yang dianggap telah saya ucapkan dan apa yang dianggap makna pidato-pidato itu kecuali yang mengenai indentitas pribadi saya. Rapat itu merupakan suatu pengadilan rahasia yang hasilnya sudah ditentukan sebelumnya. Tidak ada jawaban, betapa meyakinkannya pun dan betapa jelasnya pun, dapat mengubah keputusan yang telah diambil sebelumnya. Ini dapat memindahkan setiap orang setiap waktu ke tempat mana pun di Indonesia. Menjadi hak prerogatif Gubernur Jenderal untuk menyingkirkan orang yang dianggapnya berbahaya bagi Koloninya.
Ke-47 pasal itu menunjuk pada apa yang dianggap sebagai ucapan-ucapan dan alasan-alasan saya, yang dikumpulkan oleh mata-mata Belanda, yang sebagian besar merupakan bekas tahanan yang tidak bisa menulis dan membaca nama sendiri. Tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada saya dapat dibagi menjadi hal-hal politik, serikat buruh, dan pendidikan. Saya dituduh telah mencoba mempersatukan partai-partai revolusioner yang ketika itu terpecah-belah karena bentrokan-bentrokan. Saya disangka mencoba menghasut buruh kereta api untuk mengadakan pemogokan guna mendukung pegawai-pegawai pemerintah yang sedang mogok. Saya dituduh telah mendidik anak-anak Indonesia menjadi musuh pemerintah Belanda. Ke-47 pasal yang dikumpulkan oleh orang-orang bekas tahanan yang tidak tahu apa-apa yang kemampuannya untuk menafsirkan dan mengingat ucapan-ucapan tentang prinsip-prinsip politik tidak pernah diragukan oleh gubernur jenderal Belanda, - dianggap merupakan percobaan dari pihak saya untuk menggulingkan pemerintah Belanda. Saya dicap sebagai orang berbahaya bagi “negara” dan harus dibuang ke Pulau Timor.
Apakah ada kebenaran dalam tuduhan-tuduhan itu? bagaimanakah pembelaan saya di depan pengadilan? Dalam perkara saya,  meragukan kebenaran bukti yang dikemukakan oleh gubernur jenderal Belanda, termasuk larangan. Ada satu hak prerogatif lagi dari Gubernur Jenderal, yaitu kekuasaan untuk mengganti pembuangan atas diri saya itu ke suatu pulau di Indonesia menjadi pengusiran ke negara asing hanya dengan satu coretan pena Paduka Yang Mulia. Saya memilih yang terbaik di antara yang buruk, dan setelah meringkuk dua bulan di penjara, saya berada di sebuah kapal Belanda menuju Negeri Belanda.
Kalau membaca tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat-surat kabar Belanda, maka tampak bahwa saya termasuk orang yang tidak mereka kenal. Apa yang terjadi pada diri saya sungguh mengejutkan kawan-kawan saya. Rakyat Kota Semarang tidak boleh mengantar saya. Bahkan guru saya, seorang Belanda, yang berhasil menemui saya di pelabuhan Batavia, terus diperiksa oleh polisi. Kalau dijumlahkan, lamanya saya tinggal di Semarang adalah lebih kurang 8 bulan. Karena secara tiba-tiba saya harus mengubah kehidupan saya dan harus hidup sederhana, saya terserang radang paru yang parah dan harus dirawat selama dua bulan di rumah sakit. Tinggallah 6 (enam) bulan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang nyata. Tetapi sedikitnya 90% daripadanya saya gunakan untuk mengurus sekolah-sekolah bagi anak-anak miskin itu. dalam waktu senggang saya menulis artikel-artikel dan dua brosur. Karena didesak, saya berbicara beberapa kali di depan rapat, seluruhnya lebih kurang 7 jam. Pasti tidak lebih dari itu. Andai kata ada yang kurang baik dalam tulisan dan pidato saya, saya kira pemerintah akan dengan gembira sekali menggunakan peraturan-peraturannya terhadap diri saya. Saya bisa dimasukkan penjara dan dengan demikian tidak bisa lagi mengeluarkan pikiran-pikiran “yang berbahaya”. Di samping itu, pemerintah bisa pura-pura berlaku menurut hukum, sekalipun hukum itu bersifat khusus. Tidak pernah pemerintah Belanda memperingatkan saya seperti halnya dengan orang-orang revolusioner lainnya.
Dengan sengaja saya juga berbicara tentang kondisi politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia, karena akan membuat tulisan ini terlalu panjang. Saya memilih masalah pendidikan di sini karena bidang itu menjadi “hobby” khas setiap emansipator imperialis atas bangsa-bangsa kulit berwarna. Di samping itu, pendidikan merupakan pekerjaan saya. Sedikitnya 90% dari waktu saya, saya pakai untuk pekerjaaan pendidikan. Sekalipun kemudian dengan enggan saya menerima pengangkatan Kongres sebagai ketua partai revolusioner yang berpengaruh ketika itu, sebagai kepala redaksi Organ Serekat Buruh se-Indonesia – yang tidak pernah menjadi kenyataan – dan sebagai anggota Komite Eksekutif Sentral dari suatu serikat buruh, kegiatan saya yang terutama ada di lapangan pendidikan, paling tidak sebelum pembuangan saya dari Indonesia.
Bahwa tidak semua orang Belanda merupakan penghisap dan penindas diperlihatkan oleh kenyataan bahwa saya hampir dipilih sebagai anggota Parlemen Belanda tidak lama setiba saya di Negeri Belanda pada tahun 1922. Karena sistem pemilihanlah saya tidak berhasil mencapai jumlah suara yang diperlukan. Saya ditempatkan sebagai nomor tiga dalam daftar, sedangkan yang dipilih hanya dua orang yang tercantum dalam daftar. Saya tidak bisa dipilih sekalipun menerima dua kali dari suara yang diterima oleh nomor 2. Sekalipun saya dipilih, masih ada masalah usia. Saya empat tahun dibawah 30 tahun yang diperlukan. Bukanlah masalah berhasil tidaknya saya menerima pencalonan itu, tetapi supaya mendapat kesempatan untuk menyampaikan masalah saya kepada rakyat Belanda dan dapat mendemonstrasikan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak semua orang Belanda setuju dengan gubernur Jendral Indonesia, yang hanya merupakan “Henry Pu Yi” – nya Tiga Besar di “Indokuo”, yaitu Tuan-Tuan Gula, Minyak dan Karet.
Supaya dapat mengelakkan para petugas dinas rahasia Belanda, yang selalu membututi saya di Negeri Belanda, dan supaya berpenghasilan saya memutuskan akan pergi ke Negeri Cina. Satu-satunya jalan yang terbuka adalah melalui Jerman dan Rusia.
Di Rusia, tempat saya tinggal selama dua bulan, saya menyaksikan revolusi yang terbesar dan terhebat dalam sejarah manusia. Di Negeri Cina pada bulan Desember tahun 1923 saya bertemu muka dengan pemimpin bangsa yang terbesar di dunia, Dr.Sun Yat-Sen. Dengan senang hati saya menyebutkannya di sini, karena golongan-golongan tertentu selalu menaruh banyak perhatian pada kedua faktor itu.
Di Kanton, tempat saya tinggal sebagai wartawan pada tahun 1925, saya jatuh sakit parah. Pada waktu yang sama ayah saya meninggal di Indonesia. Seorang dokter Cina yang kembali dari Jerman berkata kepada saya bahwa satu-satunya jalan agar sembuh kembali adalah pulang ke negeri saya sendiri. Melalui partai saya di Indonesia dan dengan persetujuannya, saya mengirimkan surat kepada gubernur jenderal Belanda di Batavia, memohon kepadanya supaya diizinkan tinggal di mana saja yang ditunjuknya bagi saya di Pulau Jawa, dan saya bersedia menerima pembatasan yang dikenakan bagi kegiatan politik saya. (Sudah tentu saya tidak akan menanggalkan keyakinan saya!). Jawaban dari Gubernur Jenderal, yang dikirimkan melalui partai saya, tidak jelas dan saya tidak mau jatuh ke dalam jebakan.
Tidak adilnya keputusan Gubernur Jendral itu telah menimbulkan amarah surat kabar Belanda liberal, dan karena itu redakturnya dihukum. Saya tidak akan berbicara tentang perasaan masyarakat Indonesia dan Cina di Indonesia.
Untuk keperluan kesehatan saya, pada tahun 1925 secara diam-diam saja masuk ke daerah Filipina, sebuah negara yang serupa dengan Indonesia dan pernah dalam semua hal merupakan bagian dari Indonesia.
Ketika saya sedang hendak menjadi pulih kembali, saya dipanggil partai untuk secara diam-diam pulang kembali. Partai saya, yang masih muda dan dipimpin oleh orang-orang muda yang kehilangan akal sehatnya dan karena provokasi melakukan aksi dan petualangan yang tidak matang. Secara spiritual, politik, atau organisatoris, partai itu belum siap melakukan pekerjaan yang ingin dilakukannya yang begitu berat. Saya baru separuh sembuh ketika secara diam-diam dan cepat-cepat meninggalkan Filipina untuk bertemu dengan anggota-anggota partai saya yang bertanggung jawab, mengoreksi kesalahan-kesalahan yang parah, dan menyalurkan kembali gerakannya ke arah revolusioner yang tepat. “Pemberontakan-pemberontakan”, atau lebih tepat “cetusan-cetusan”, yang terjadi pada tahun 1926 dan 1927 berakhir dengan kegagalan total. Ini sudah saya beritahukan sebelumnya kepada anggota-anggota partai saya dengan surat. Kebingungan besar menghinggapi partai saya dan saya hanya sebagian berhasil. Saya belum benar-benar bebas dari pengejaran mata-mata yang tidak terhingga itu, ketika saya tiba kembali ke Filipina setelah mengalami penderitaan dan kesulitan selama beberapa bulan. Kawan-kawan saya di Filipina, orang-orang yang berkedudukan dan berpendidikan tinggi yang benar-benar tahu tentang riwayat hidup saya, memberi saya perlindungan dan membantu keperluan-keperluan sehari-hari saya. Saya tidak bisa lama menikmati kebaikan mereka itu, karena hanya dua hari setelah tiba di Manila, pada malam hari tanggal 12 Agustus 1927 saya ditangkap.
Saya ditangkap tanpa surat perintah karena dicurigai mempunyai hubungan dengan pemogokan-pemogokan di Provinsi Visagan tempat para pemogok menggunakan teror. Pada malam itu juga saya diinterogasi secara tajam sampai keesokan paginya. Kalau tidak karena adanya Gubernur Jenderal Wood almarhum dan meninggalnya secara mendadak di Amerika hanya beberapa hari sebelum saya tertangkap, menurut keterangan kawan-kawan, maka saya akan cepat-cepat dinaikkan ke kapal Belanda (?) yang siap untuk berangkat ke Jawa. Dan juga karena keesokan harinya merupakan hari libur sehingga prosedur rresmi yang diperlukan tidak bisa dipersiapkan – sekalipun seorang bandit yang hidup di luar hukum tidak dapat dilemparkan begitu saja ke dalam tangan musuhnya tanpa prosedur resmi – saya mendapat “kesempatan untuk bernapas” yang saya perlukan.
Tuan Francisco Varona, sekarang anggota “Komite Pelaksana Dewan Legislatif” di Filipina dan editor El Debate, serta Tuan Santos, presiden Universitas Manila, tidak lama kemudian tahu tentang penangkapan saya dan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencegah “pengusiran” saya dan agar saya memperoleh izin untuk tinggal di Filipina sebagai seorang “pelarian politik”.
Dalam waktu yang singkat saya dikeluarkan dari penjara setelah Tuan Ramon Fernandez, bekas senator dan bekas wali kota Manila, yang  pernah menjadi seorang nonkooperator terhadap imperialisme Amerika, membayar uang jamuannya. Pengacara-pengacara yang terbaik di Filipina di bawah pimpinan menteri kehakiman sekarang. Tuan Jose Abad Santos, memberi bantuan hukum secara gratis kepada saya. Tidak lama sesudah itu semua surat kabar di ibu kota dan provinsi-provinsi melakukan kampanye yang luas untuk mendapatkan hak suaka bagi saya.
Presiden Senat Manuel Quezon menyatakan bahwa saya berhak tinggal di Filipina, menurut suatu kebiasaan internasional yang berlaku. Tak lama kemudian Tuan Manuel Roxas, presiden Dewan Pembuat Undang-Undang Filipina, membenarkan pernyataan ini. bekas presiden Republik Filipina yang tidak panjang umurnya itu, Jenderal Emilio Aquinaldo, memberi pernyataan yang sama. Para senator bahkan memutuskan untuk mengumpulkan uang bagi kepentingan saya. Para pengacara bertekad bulat memperjuangkan perkara saya sampai pada titik terakhir, yang berarti akan naik banding ke mahkamah tertinggi Filipina dan Amerika, dan Kongres Amerika bila perlu.
Pendirian rakyat Filipina ini, seperti dinyatakan oleh pemimpin-pemimpin dan surat-surat kabar mereka yang paling bertanggung jawab, ditentang oleh para usahawan Amerika, yang didukung oleh tentara dan angkatan laut Amerika di Filipina. Di tengah-tengah kedua pendirian yang bertentangan ini menurut kawan-kawan saya, terdapat Pejabat Gubernur Jenderal Gilmore, yang terombang-ambing antara hati nuraninya sebagai seorang bekas pengacara dan para usahawan, tentara dan angkatan laut Amerika.
Kemudian para mahasiswa dan buruh Filipina mengikuti langkah pemimpin-pemimpin mereka dengan mengeluarkan pernyataan simpati mereka dengan berbagai cara. Ketika rakyat Manila memutuskan untuk mengadakan rapat raksasa guna mengumpulkan dana dan mengundang saya ke rapat itu, penjabat gubernur jenderal yang bekas pengacara itu tidak lagi terganggu oleh hati nuraninya sebagai seorang bekas pengacara. Ia  mendadak berpihak pada para usahawan, tentara, dan angkatan laut Amerika. Pengacara saya tiba-tiba dipanggil dan pada tengah malam saya diberi tahu untuk berangkat keesokan paginya. Saya juga mendapat keterangan bahwa kalau saya pergi dengan diam-diam ke Amoy (Negeri Cina) maka pengembalian saya dapat dipertimbangkan kemudian. Tetapi kalau saya menolak, saya akan dibuang dengan kekerasan.
Rakyat Filipina, yang tidak mempunyai kedaulatan, harus tunduk. Saya tidak berhak, pun tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa gubernur Jenderal Filipina memberikan izin kepada saya. Satu-satunya jalan yang dapat saya tempuh ialah berangkat saja. Tetapi saya tidak berani berprasangka bahwa saya akan dijebak oleh pemerintah suatu negara yang beradab seperti Amerika, ketika meninggalkan pelabuhan Manila, sekalipun sebagaimana biasa saya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ketika tiba di pelabuhan Amoy saya lihat sebuah kapal Belanda sudah siap untuk berangkat – kapal Tjisalak – yang di atas deknya tidak biasanya petugas-petugasnya tampak sedang sibuk melakukan sesuatu. Seorang petugas polisi lalu naik ke kapal yang saya tumpangi setelah kapal tersebut berhenti lalu memperlihatkan surat perintah untuk menangkap saya, yang dikeluarkan oleh “Internatonal Settlement” di Kulungsu, Amoy. Karena tidak berhasil menemukan saya, datanglah konsul Amerika di Amoy ke kapal. Terakhir datang pula inspektur kepala Bea Cukai, seorang Inggris, pada malam itu dan malam-malam selanjutnya semua hotel diperiksa oleh petugas-petugas yang diberi foto-foto saya yang berlainan, yang mereka terima dari pemerintah Belanda. Bukanlah pada tempatnya di sini untuk menerangkan cara saya meloloskan diri. Banyak hal, yang secara kebetulan terjadi, telah menolong saya. Kalau tidak, saya telah masuk “jebakan”.
Saya pergi ke mana-mana dengan samaran sebagai wartawan. Pada suatu ketika karena sakit saya harus berhenti di koloni Inggris, Hongkong. Di sinilah di Double Tens Cina, pada tanggal 10 Oktober tahun yang lalu, saya tertangkap.
Seperti di Manila saya ditangkap tanpa surat perintah. Tidak seperti di Manila, selama ditahan saya mendapat perlakuan yang kasar dan dihina. Dan semuanya itu dilakukan dengan disaksikan seorang petugas polisi Inggris. Keberatan-keberatan dan protes-protes saya akhirnya meredakan orang yang khusus dikirim dari Singapura, yang bertanggung jawab atas penghinaan-penghinaan yang saya alami dengan berbagai cara. Memang benar ia kemudian berulang-ulang menyatakan penyesalannya – dengan berkata bahwa ia tidak tahu siapa saya – tetapi penghinaan itu sudah terjadi. Sidik jari dan foto saya dibuat seolah-olah saya seorang penjahat biasa. Protes tidak berguna, karena dikeluarkan di dalam penjara. Dua kali saya dipindahkan ke penjara, dari kantor polisi untuk ditahan. Selama 5 hari saya harus tidur di ubin yang keras. Saya tidak boleh mendapat bantuan seorang pengacara, sekalipun sering saya minta. Selama 40 hari ditahan saya terisolasi sama sekali dari dunia luar. Karena itu, sulit sekali bagi saya untuk mengambil keputusan. Pemeriksaan atas diri saya memakan waktu kira-kira 25 hari. Tetapi selama 20 hari lainnya, untuk mempersiapkan keberangkatan saya, setelah saya menerima perintah pembuangan, saya tidak boleh tinggal di luar. Saya diawasi secara ketat terus menerus. Dalam kamar tahanan, tempat saya harus tinggal selama sebagian besar waktu itu, saya tidur dengan lampu terus menyala. Siang dan malam saya dijaga petugas-petugas bersenjata. Ketika saya diizinkan untuk bergerak badan sebentar, empat orang penjaga bersenjata berjalan di samping saya dan lebih dari 10 lainnya berdiri di pojok-pojok halaman penjara. Semua pembicaraan dilarang.
Pada hari-hari pertama pemeriksaan, saya dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh wakil-wakil pemerintah Inggris di Hong Kong, wakil Amerika, dan jangan dilupakan juga oleh wakil-wakil Prancis dan Belanda. Setiap wakil “mencurigai” saya mempunyai hubungan dengan gerakan revolusioner di koloninya sendiri. Sepuluh hari setelah ditangkap, saya dibawa ke pengadilan polisi yang rahasia. Saya dipertemukan dengan wakil-wakil Inggris di Syanghai, Hongkong, dan Singapura. Saya diperiksa dengan cara yang paling dahsyat yang pernah saya alami. Seolah-olah saya ditembak tanpa henti-hentinya dari segala sudut. Saya percaya bahwa saya tetap bertahan tanpa mengalami cedera selama penembakan yang dahsyat itu. Menyangkal semua tuduhan yang tidak mempunyai dasar, misalnya bahwa saya mengadakan propaganda di Birma dan Singapura dan sekarang mempunyai rencana untuk pergi ke “India Inggris” untuk melakukan propaganda melawan pemerintah Inggris, mengiakan pertanyaan bahwa saya mau bergabung dengan rakyat Indonesia kalau mereka memutuskan untuk berbari melawan imprialisme Belanda, saya akhirnya secara tidak langsung diancam dengan “ekstradisi”. Ini dengan segera saya tangkis dengan juga mengeluarkan ancaman akan mengadakan “mogok makan”.
Tetapi saya tidak berniat untuk menyembunyikan kebenaran. Dari 45 hari, 36 hari saya tinggal di apartemen polisi sebagai tahanan. Di sini saya menempati sebuah kamar untuk orang-orang Eropa. Saya dapat meminta makanan apa saja yang saya sukai, bagi orang Asia atau orang Eropa. Petugas-petugas polisi dan pegawai-pegawai Inggris sikapnya sangat ramah. Mereka tentu saja sering harus melaksanakan perintah kekuatan “yang tidak tampak” yang bertentangan dengan hati nuraninya seperti apa yang terdapat di setiap negara yang dikuasai imperialis.
Pada tanggal 27 Oktober wakil Belanda dari Batavia, Tuan Viesbeen, tiba di Hongkong. Wakil pemerintah Hongkong kemudian memberi tahu saya bahwa wakil Belanda itu tidak dapat mengemukakan satu pun perkara ekstradisi. Karena itu, saya tidak bisa dikembalikan ke Hindia Belanda. Andai kata saya akan diekstradisi sudah tentu saya akan melakukan mogok makan, seperti sudah saya nyatakan sebelumnya pada polisi.
Tidak lama kemudian saya diberi tahu untuk segera meninggalkan Hongkong. Karena itu, secara otomatis saya tidak boleh menginjak daerah Inggris di mana pun,  termasuk Inggris, yang sampai kini menjadi nirwana bagi orang-orang pelarian politik. Karena saya tidak boleh meninggalkan penjara, polisi akan membantu saya mengurus keberangkatan saya. Saya ditanya, sesuai dengan formalitas, ke mana saya hendak pergi, kecuali tentunya ke daerah Inggris. Saya sebutkan berturut-turut “Kepulauan Filipina, Prancis, Amerika Selatan, dan Jepang.”  Ongkosnya dapat saya bayar sendiri. Setelah itu saya ditanya apakah mau pergi ke Prancis dengan kapal Prancis. Ini saya tolak, karena kapal itu pernah menyimpang dari tujuannya dan tiba-tiba singgah di Bangkok, Siam, untuk mengambil Subakat, yang oleh raja Siam dikembalikan kepada pemerintah Belanda dan kemudian meninggal di penjara Batavia pada tahun 1930.
Kemudian saya diberi tahu bahwa “tidak satu pun” dari negara-negara tersebut di atas mau menerima saya.
Karena saya diasingkan ke Negeri Belanda dari Indonesia, dan tidak pernah dibuang dari Belanda, saya minta supaya boleh kembali ke Negeri Belanda. Bagaimanapun juga setiap tuduhan terhadap diri saya akan disiarkan dan saya akan diizinkan membela diri diri karena Negeri Belanda merupakan negara demokrasi. Seminggu kemudian saya diberi tahu bahwa saya tidak bisa pergi ke Negeri Belanda karena sudah kehilangan “kewarganegaraan Belanda saya” (catatan: saya merasa heran, punya hak apa pemerintah Belanda melalui wakilnya Tuan Viesbeen, yang cepat-cepat pergi ke di Hongkong dan mewawancarai saya pada tanggal 29 Oktober, menurut ekstradisi saya). Di samping itu, saya juga diberi tahu bahwa saya tidak boleh mencoba meminta kepada pemerintah lainnya di mana pun di dunia. Saya harus meninggalkan Hongkong. Kalau tidak, saya akan dihukum oleh pengadilan Hongkong dengan satu tahun kerja paksa karena perbuatan tidak baik, yang berarti tidak mau menaati perintah pengusiran. Setelah menjalani hukum itu, saya akan diperintahkan lagi meninggalkan Hong Kong, kalau tidak, saya akan dihukum dengan 5 tahun kerja paksa, kemudian diperintah lagi, dan seterusnya tanpa habis.
Perkara tidak akan begitu sulit: kalau pada suatu hari saya tidak berulang-ulang diberi tahu oleh wakil Hong Kong dari Syanghai bahwa kalau saya tertangkap oleh pemerintah Cina, saya hanya akan diberi waktu lima menit untuk hidup, suatu pernyataan yang karena hidup saya terisolasi dapat saya periksa kebenarannya.
Pilihan yang paling sulit yang harus saya lakukan selama kegiatan saya sebagai seorang revolusioner. Pernah pintu kamar saya dibuka oleh polisi dan diperiksa, ketika saya sedang berada di kamar sebelah. Pada kesempatan lain saya diperiksa oleh seorang petugas dinas rahasia. Tetapi ketika itu tidak ada pilihan lain bagi saya selain dari menunggu nasib atau apa saja orang akan menyebutnya. Di Hongkong pada tanggal 25 November pukul 11.00 setelah saya diberi tahu tentang keputusan pemerintah Belanda, saya melihat ada kesempatan, kesempatan yang kecil sekali, yang harus saya putuskan dalam waktu satu jam apakah akan saya pakai atau tidak. Seolah-olah saya berdiri di depan jembatan yang tipisnya seperti sehelai rambut yang harus dilalui seorang Muslim pada hari kiamatnya, untuk sampai di seberang, surga, tempat gadis-gadis yang disebut huri dengan mata besar bundar bagaikan burung dara tinggal....di neraka di bawahnya berdirilah saya di suatu penjara Inggris. Di ujung jembatan setipis rambut itu: Syanghai, tidak berisi mata besar huri bagaikan burung dara, tetapi mata tajam bagaikan elang polisi Perkampungan (Settlement). Ujung sana itu mungkin lebih buruk dari penjara Inggris.
Sekali lagi saya harus berhenti. Kesempatan atau kesempatan-kesempatan untuk melarikan diri masih belum tampak.
Ringkasnya masalah saya adalah sebagai berikut:
Tiga kali saya masuk penjara dan dibuang oleh tiga pemerintah imperialis yang berlainan di Asia, apa pun pandangan pihak penyiksa saya baik secara pribadi atau bersama, tidak satu pun di antara mereka dapat menemukan alasan yang sah yang cukup kuat untuk menghadapkan saya ke depan pengadilan dan memeriksa perkara saya dengan cara yang tepat, wajar, dan biasa. Saya disiksa hanya karena “pandangan” saya, karena “apa yang mereka sangka ada dalam pikiran saya”.
Pemerintah-pemerintah Amerika dan Inggris telah melanggar tradisi mereka sendiri dalam menghadapi perkara saya. Sekalipun mereka tidak mengembalikan saya kepada musuh politik saya, mereka menolak memberi suaka politik kepada saya. Amerika merupakan surga bagi pelarian politik. Dokter Sun Yat-sen pernah tinggal baik di Amerika maupun Inggris. Bahkan Hong Kong pernah membuka pintunya bagi seorang revolusioner dengan kaliber Dokter Sun. Inggris baru-baru ini tidak menolak masuknya Don Alfonso, seorang kontra revolusioner yang potensial melawan Spanyol. Lenin pernah diterima di Inggris. Karl Marx masih tetap di sana dengan jiwa raganya.
Dari penolakan semua perwakilan pemerintah semua negara di Hongkong untuk mengizinkan saya memasuki negeri mereka saya memberanikan diri untuk menarik kesimpulan bahwa perwakilan-perwakilan itu bertindak atas perintah kementerian luar negeri Inggris di London, atau sesuai dengan persetujuan rahasia pemerintah negara-negara itu mengenai orang-orang revolusioner tertentu.
Kalau saya ditemukan lagi oleh suatu pemerintah, maka tidak ada jalan keluar lain yang terbuka bagi saya kecuali melakukan pelanggaran hukum agar mendapatkan suaka di penjara negara tersebut. Saya tidak mempunyai negara, kewarganegaraan, paspor, atau visa...
Saya sudah berbicara dengan panjang lebar kepada Anda, sekalipun saya mencoba menerangkannya sesingkat-singkatnya.
Dengan meningkatnya gerakan kemerdekaan di Asia dan Afrika, perkara saya merupakan salah satu dari banyak persoalan pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang.
Baru-baru ini saja Soviet Rusia mengizinkan masuknya Jenderal Cina Su yang patriotik itu dan lain-lainnya, tanpa bertanya apakah ia seorang komunis atau kontrarevolusioner yang potensial, dan menolak pengembaliannya kepada negara tetangganya yang kuat sekali dan senang bercekcok. Apa pun anggapan orang tentang pemerintah Soviet dengan tindakan itu, sikapnya itu benar-benar memperlihatkan rasa harga diri, kekuatan, dan kecerdasan. Begitulah juga tadinya tindakan negara-negara lain yang sampai sekarang masih menyebut dirinya demokratis.
Tidak mungkin bagi seorang pelarian untuk misalnya datang dengan terang-terangan ke Negeri Cina dan menyebabkan dirinya untuk “diperiksa” prinsip politiknya. Sebab, andai kata ia tidak lulus ujian itu, maka akan terbukalah indentitasnya dan ia akan dikutuk. Justru inilah yang ingin dihindarkan oleh setiap orang pelarian. Tidak seorang pelarian pun yang mau mengambil risiko untuk diperiksa.
Tidak ada seorang pun pelarian politik, yang berakal sehat, yang percaya bahwa ia dapat berbuat semaunya di negeri tempat ia boleh hidup. Bahwa ia mengatasi hukum. Tetapi kalau ia disiksa, baiklah itu dilakukan setelah ia melakukan suatu pelanggaran yang nyata di negaranya yang baru itu dan sesuai dengan hukum yang berlaku dan prosedur pengadilan yang biasa.
Bagi seorang pelarian tidak cukup hanya dapat membebaskan diri dari para penuntutnya dan menemukan suatu negara baru. Ia harus mempunyai pekerjaan supaya bisa menghidupi dirinya berikut keluarganya. Tetapi besar risikonya untuk menerima suatu pekerjaan kalau ia selalu dihadapkan dengan kemungkinan akan diusir atau dikembalikan ke negerinya sendiri – saya mengatakannya karena mempunyai pengalaman-pengalaman pahit sendiri. Maka dari itu, suatu pernyataan yang tidak bisa ditarik dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sama diperlukan seperti dukungan dari rakyat banyak.
Sudah pasti bahwa ratusan atau ribuan teman saya yang mengalami nasib buruk dewasa ini bersembunyi di berbagai negara Asia dan Afrika dan rakyat yang mereka wakili dengan meriah akan menyambut pernyataan tegas rakyat Cina, melalui organ-organ politik mereka yang bertanggung jawab, bahwa mereka akan berjuang untuk memberi hak suaka kepada pelarian politik yang mana pun yang tinggal di Negeri Cina dan bahwa mereka akan berjuang untuk menolak tindakan yang akan mengembalikan orang pelarian itu ke negara asalnya.
Dengan seluruh pers Cina tersedia bagi Liga di Negeri Cina dan Asia Selatan – Annam Birma, Malaya, dan Indonesia – saya kira tidak sulit untuk mendapatkan dukungan rakyat. Rakyat di Negeri Cina dalam perjuangannya melawan imperialisme bukan saja tidak akan menolak masuknya orang-orang yang dikejar dan yang dinyatakan berada di luar hukum dari negara-negara lain yang terjajah, tetapi juga memberikan kepada pelarian itu dukungan yang diperlukan, sedikitnya dari segi moral – saya kira dalam hal ini saya pun berbicara karena pengalaman saya sendiri. Banyak di antara orang pelarian itu berasal seperti saya dari suatu iklim yang tidak begitu dingin seperti yang sekarang terdapat di Negeri Cina. Kalau mereka mendapatkan di Negeri Cina pekerjaan dan simpatisan-simpatisan, maka kerugian mereka akibat kehilangan negara, pekerjaan, rumah, kawan-kawan, dan keluarga akan terbayar kembali, sebagian dan mungkin seluruhnya.
Andai kata Dokter Sun masih hidup, mungkin tidak perlu saya menulis surat ini. Saya merupakan merupakan saksi hidup sikap Dokter Sun yang tepat dan revolusioner terhadap segala macam pelarian politik. Saya ulangi: segala macam......
Saya pernah membaca di suatu tempat: Ketika orang-orang Portugal datang di Asia, mereka temukan kerajaan-kerajaan kecil di Asia Selatan. Kerajaan-kerajaan itu tidak ditundukkan oleh pihak Cina, sekalipun hal itu mudah dapat dilakukan. Ciri khas yang tampak bagi para pengunjung Negeri Cina digambarkan oleh penulis-penulis Melayu yang pertama sebagai “suasana penuh damai”. Rakyat Cina ketika itu paham benar makna kata “kemerdekaan” dengan menghormati “kemerdekaan orang lain”.
Ketika rakyat Negeri Cina sekarang melalui organ-organ politik mereka menyatakan pantai Cina terbuka bagi semua orang yang dikejar karena alasan politik, maka mereka hanya menafsirkan pikiran-pikiran tradisional dengan cara yang revolusioner. Mereka hanya mempraktekkan program kerja sama dengan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Mereka mungkin akan mendapat kemarahan dari pemerintah beberapa negara “demokrasi” tertentu, tetapi akan mendapatkan simpati dari semua rakyat terjajah di Asia dan Afrika.
Kalau perkara saya ini akan menjadi alasan atau salah satu alasan bagi Liga untuk bertindak ke arah yang digambarkan di atas, maka tidak ada yang harus saya sesalkan dan hanya merasa terima kasih saja.
Semoga Liga mendapat sukses sepenuhnya dalam waktu singkat,
Hormat saya,
(tt) Tan Malaka




Tambahan:
Nyonya dan Tuan-Tuan yang terhormat,
Untuk menerangkan identitas saya foto saya dilampirkan bersama ini. Andai kata Anda masih meragukan keaslian surat ini saya mohon foto saya ini dibandingkan dengan foto-foto yang disiarkan semua surat kabar Filipina yang terkemuka, seperti Philippine Herald dan Tribune (keduanya dalam bahasa Inggris) edisi bulan Agustus tahun 1927.
Jika anda menganggap perkara dan surat saya dapat dipakai sebagai bahan untuk melakukan kampanye dalam koran-koran dan rapat-rapat untuk menarik perhatian rakyat, maka tidak ada keberatan dari pihak saya. Saya merasa yakin bahwa kampanye itu juga akan sampai pada rakyat di Indonesia dan dengan demikian memberi keterangan kepadanya tentang saya yang sebenarnya.
Karena pengangguran yang sekarang terdapat di Amerika Selatan dan mahalnya ongkos hidup, saya ingin kembali ke Negeri Cina secepat-cepatnya. Di sini, saya mempunyai banyak kawan dan ongkos hidup jauh lebih rendah. Terutama apabila saya diizinkan tinggal di sini secara resmi, maka cepat atau lambat saya akan menemukan mata pencaharian yang sangat saya perlukan.
Karena itu, keputusan Anda sangat penting bagi saya di Amerika Selatan, saya ingin mengusulkan agar mau menarik ke dalam kampanye yang mungkin akan Anda adakan sebuah surat kabar Cina, yang disiarkan dalam bahasa Inggris dengan China Press. Saya sudah minta kepada kawan aya di Syanghai untuk mengamati surat kabar tersebut dan mengirimkan kopi-kopi kepada saya apabila perkara saya dimuatnya, sehingga saya dapat mengetahui keputusan Anda.
Seperti telah saya katakan, perkara saya ini mungkin merupakan salah satu dari banyak perkara. Sering dikembalikannya orang-orang revolusioner Korea oleh pemerintah kota Perancis di Syanghai kepada pemerintah Jepang merupakan bukti terbaik dalam hal ini. apabila beberapa orang revolusioner “tertentu” akan diekstradisikan dan beberapa “orang lain” –nya lagi tidak, maka terangkanlah hal itu dengan jelas. Tetapi bawakanlah perkaranya itu terlebih dulu ke depan pengadilan biasa. Bagaimanapun, untuk nama baik Cina yang revolusioner itu – karena tindakan-tindakan itu dilakukan di atas bumi Cina – dan untuk memenuhi kewajiban moralnya terhadap sesama orang Asia dan sesama orang revolusioner, maka rakyat Cina harus menolak “ekstradisi” orang-orang pelarian politik” sebagaimana ia harus berdiri dengan tegak di atas hak-hak sipilnya, yang untuk itu Andalah contohnya.



Hormat saya,
(t.t) Tan Malacca





Tidak ada komentar:

Posting Komentar