Kamis, 07 April 2016

Di Deli

DI  DELI


Goudland,  tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka, buat kaum proletar. Deli dimasa saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarang pun masih menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Di kutub yang lain berada berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak. Mengambil ibarat di alam sekitarnya, maka yang dinamai oleh Belanda, bangsa yang paling lunak di dunia” berubah sifatnya seperti sang kerbau menyerang dengan tanduknya dan menginjak-injak lawannya”, setelah mereka menderita semua perkosaan dan siksaan. Ketika saya berada di sana tiap-tiap tahun Belanda yang mati atau luka diserang berjumlah antara 100 dengan 200 orang.
Apa yang tidak ada di Deli? Beginilah mestinya kita tanyakan. Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat minyak tanah berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Kalau saja tak salah di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauxiet di Riau dan Aluminium terdapat di Asahan, Deli. Jika disambungkan dengan arang di Sawahlunto atau Air terjun sungai Asahan, yang mempunyai kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan perindustrian berat macam apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah dan lain-lain dari tanah. Melayu yang berdekatan serta berhubungan rapat dalam sejarah.
Tetapi mata Belanda tak memandang kesan dan memang tak mungkin mempunyai pandangan ke sana, bertindak ke arah industri berat dengan menanggung susah payah serta kesulitan pada permulaannya. Biasanya Belanda tertarik oleh perusahaan yang gampang, yang kurang resiko, tetapi yang tetap dan besar untungnya (monopoli), lekas bisa dikerjakan dan mengecap hasilnya, tetapi lambat atau mustahil timbulnya persaingan.
Semua syarat yang cocok  dengan semangat krudenier itu bisa dijumpai di Deli. Tembakaulah yang pertama sekali memenuhi semua syarat itu. sebagai “dekblad”, daun pembungkus cerutu Manila, tembakau Deli memang mempunyai kedudukan istimewa di pasar dunia. Betul juga pada permulaannya banyak kesusahan untuk mendapatkan tenaga buruh, tetapi sekali terdapat untung, jumlah buruh yan besar pasti mudah dan cepat didapat. Dalam 3 atau 4 bulan saja sesudah menanam, daun tembakau sudah boleh dipetik. Di sekitar perkebunan tembakau inilah di belakang hari timbul perusahaan getah, palm, teh dan rami dsamping perkebunan tembakau pulalah timbulnya perusahaan minyak tanah di Deli itu.
Kebun tembakaulah yang melahirkan milioner Deli yang pertama dan yang ternama kaya serta kejamnya ialah Cremer, yang di Nederland digelari “kuli Cremer” karena kata kejamnya itu, kuli Cremer yang mempelopori milioner getah, minyak tanah dan lain-lain itulah yang bermula mengorbankan ratusan kuli kontrak untuk  mengeringkan rawa dan membuka hutan rimba di Deli kira-kira tiga perempat abad yang lampau.
Pada saya tidak ada statistik yang bisa menjelaskan keadaan hawa dan iklim di Deli, bahkan logam yang tersimpan di pangkuan bumi, kemajuan Deli dalam hal penduduk, perusahaan, perkebunan dan perdagangan dalam tiga perempat abad yang belakangan ini. Dan bukanlah memaksa saya akan menguraikan segala-galanya itu disini. Cukuplah rasanya jika beberapa catatan yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun itu saya kemukakan buat sekadar menggambarkan suasana Deli ketika saya berada di sana.
Lebih kurang 500 onderneming yang terdapat di Deli pada masa itu. Pengangkutan dijalankan dengan lancar sekali. Di darat dilakukan dengan auto dan truck atas jalan yang simpang siur memperhubungkan ratusan kebun itu, dan dengan Deli-Spoor.
Pelabuhan Belawan termasuk pelabuhan yang besar di Indonesia, kalau saya tak salah, dalam hal export pada  tahun 1927, Deli sudah menyamai atau melebihi pulau Jawa. Taksiran kasarnya banyaknya kuli kebun, tambang minyak dan pengangkutan di masa itu sejumlah 400 ribu orang. Kalau ditaksir secara sederhana jika diandaikan tiap-tiap kuli (kuli kontrak atau bekas kuli kontrak) mempunyai seorang anak saja, maka diantara jumlah penduduk Deli yang ditaksir 2 juta itu dan terdiri benar-benar dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa, Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Melayu-Deli dan lain-lain), terdapat lebih kurang 60% keluarga proletariat tulen. Ringkasnya daerah Deli adalah daerah bangsa Indonesia dalam arti Nasionalisme modern dan daerah proletaria yang sesungguhnya pula. Meninjau suasana sosial selayang pandang maka nyatalah bahwa upper-class, klas atas, terdiri dari borjuis asing, pertama Eropa-Amerika kedua Tionghoa, pun borjuis Indonesia, walaupun terdiri dari dua-tiga biji. Saya bukanlah borjuis sembarangan. Sultan Serdang dan Sultan Deli, berhubungan dengan diadakannya konsesi minyak tanah, adalah Ningrat kapitalis yang masuk hitungan.
Di pucuk Borjuis Eropa duduklah tinggi di atas tahta, jauh di Nederland atau negara lain, tuan Maha Besar yang oleh kuli kontrak digelari tuan Maskapai, directeur dalam bahasa Belandanya. Di bawahnya sebagai Raja Muda berkedudukan di Deli, ialah tuan kebun (Hoof administrateur). Barulah kita mendengar perkataan yang buat kita orang Indonesia sudah cukup mengandung kehormatan, ialah tuan besar adalah bahasa Belandanya hanya administrateur. Senembah Mij yang terdiri dari beberapa cabang mempunyai beberapa tuan besar pula, sebagai kelengkapan kaum kapitalis itu, kita temukan embel-embelnya yang dipanggilkan tuan kecil, asisten. Di sini perkataan “kecil” tak boleh ditafsirkan dengan arti hina. Kecil artinya muda, seperti dalam perkataan Raja Muda ialah calon. Semua bekas lanterfranters dan deugt voor niet dan schlemiels di negeri Belanda, ada harapan buat menjadi tuan kecil itu, ialah calon kapitalis Deli.
Deli penuh dengan lanterfanters dan schlemiels Belanda itu. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras, inilah gambarannya borjuis gembel di Deli itu. mereka bisa lekas kaya, karena gajinya besar dan mendapat bahagian tetap dari keuntungan, apabila sudah bekerja sementara tahun saja. Kalau saya tak salah, diluar gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bahagian untuk f 200.000,- Tuan maskapai lebih-lebih lagi. Tidak saja mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur dari beberapa maskapai, mendapat untung dari bunga modal yang ditanamnya, tetapi juga menerima bahagian yang lebih besar dari untung kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang besar, menjadi direktur dan adviseur tetapi tak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, plesir mundar mandir di Eropa, yang kaya lekas bertambah kaya....”inilah pula impian kepala kosong, schlemiels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli- di kamar bola di depan gelas bir dan wiskynya.
Klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas yang mendapat upaya cuma cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di godverdom atau dipukul, klas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro tuan” adalah kelasnya bangsa Indonesia, terkenal sebagai kuli kontrak. Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya mesti bangun pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja jauh letaknya, pukul 7 atau 8 malam barulah mereka tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0.40 sehari. Makanan biasanya tidak cukup untuk kerja keras mencangkul di tempat panas 8 sampai 12 jam sehari. Pakaian pun lekas rombeng-rombeng lantaran sering kerja di hutan.
Kekurangan dalam segala-gala itu menimbulkan nafsu yang tak tertahan buat menguji nasib dengan jalan main judi, nafsu yang sengaja dibangunkan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah berjudi dan biasanya lebih banyak yang kalah dari pada yang menang, diijinkan berhutang. Karena terikat hutang maka 90 diantara 100 kuli yang sudah lepas kontraknya terpaksa menekan kontrak lagi. Hutang menimbulkan keinginan berjudi, dan perjudian menambah hutang terus menerus.
90 diantara 100 kuli tak sedikit pun mempunyai harapan untuk naik pangkat. Hanya satu atau dua diantara 1000 orang mempunyai sedikit harapan untuk naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor, dan lama-lama menjadi hopmandor. Ada yang diterima menjadi pekerja atau pengawal bengkel motor, mesin listrik ataupun di rumah sakit. Tetapi gaji tetap terlampau rendah f 20- f 30, sebulan buat mandor, dan f 60, buat hopmandor, ialah sesudah bekerja 15-20 tahun.
Saya ingat beberapa kejadian di Tanjung Morawa tempat kantor pusat Senembah Mij, tempat saya bekerja. Tuan V.D insinyur listrik sudah kebingungan, karena mesin listrik tak mau jalan. Semua kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah buat membetulkan mesin itu sudah dilakukan. Konon, mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli kontrak dipanggil. Diam-diam kario menyusup sebentar ke bawah mesinnya, putar sekrupnya, dan cus....cus....” mesin listrik jalan kembali seperti biasa. Kario, bekas kuli kontrak lama mendapat gaji f 25,- dan Ir. V.D f 500,- plus ini dan itu tak putus-putusnya.
Kenalan baik saya, almarhum prof. Walch, dahulu di Tanjung Morawa bersama nyonya yang juga dokter pada suatu hari kedatangan tamu di laboratoriumnya, mungkin prof. Schuffer ahli malaria yang terkenal. Para ahli malaria ini asyik membicarakan satu bangsa nyamuk, yang baru diketahui disalah satu tempat pada jam sekian, yang mempunyai sifat demikian rupa. Tetapi mereka kelupaan dalam botol mana bangkai nyamuk tadi ditaruhnya, di antara ratusan botol itu. Tentulah nama nyamuk itu ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mereka putus asa mencari, maka datang Parman dengan botol dan bangkai nyamuk yang dicari dan tertulis dalam huruf Latin itu. Parman cuma keluaran H.I.S saja, dan gajinya cuma f 25,- sebulan. Rumahnya dibangsal bersama anak dan istrinya. Tetapi menurut kata Dr. Walch kepada saya, dia diberi pekerjaan yang “Zelfstanding”, memeriksa nyamuk di salah satu tempat dengan gaji f 50,- zegge vijtig gulden, sebulan. Nyonya dan tuan Dr. Walch bukanlah termasuk golongan kolot, tetapi ia, ik kan het niet meer krijgen van de maatschappij” kata Dr. Walch kepada saya.
Cerita ini bisa ditambah dengan beberapa dan berbagai-bagai contoh yang lain. Tetapi cukuplah di atas itu saja dijadikan gambaran.
Soal bibit, soal perawatan tanah, bibit pohon dan hasil, berhubungan dengan perkebunan tembakau getah, palm dan rami tentulah membutuhkan pengetahuan yang sulit dan luas, serta pengalaman yang lama.
Tidak dapat diharapkan “de dengt nieters voor niets” dan “schlemielen” yang baru datang dari negeri Belanda itu mempunyai pengetahuan tentang semua yang berhubungan dengan perkebunan itu. Tetapi mereka mempunyai kulit yang putih kulit penjajah, memegang tongkat yang besar dan mempunyai suara yang keras berhadapan dengan bangsa berwarna terjajah, “het zachtse volk der aarde” pula. Dengan kulit yang putih, tongkat yang besar dan dua tiga patah kata Melayu pasar dan 13 “godverdomme” mereka bisa mendapatkan semua pengetahuan dan pengalaman itu dari hop mandor atau pun dari manduir biasa “Schlemiel” Deli ini mulai gaji f 350,- sebulan dengan bebas rumah, bebas ini dan bebas itu.
Ada juga satu dua Belanda diantara assiten-assisten itu yang mempunyai sedikit pengetahuan umum. Tetapi umumnya sedikit sekali yang berbau apa yang dianggap sebagai “geleerdheid”.
Pertentangan tajam antara bangsa putih, goblog, sombong ceroboh, penjajah dengan bangsa berwarna yang berpengalaman membanting tulang, tetapi tertipu, terhisap, tertindas, dengan perantaraan dua-tiga bangsa Indonesia sendiri sebagai buruh pandai, skilled labour inilah yang mengeruhkan suasana Deli dan terus menerus menimbulkan penyerangan kuli terhadap Belanda-Kebun. Sering satu makian atau satu celaan saja sudah cukup buat kuli untuk menghunus golok dari pinggangnya dan menyerang tuan besar atau tuan kecil, pada saat dan di tempat itu juga, karena hati sudah mengandung kebencian terhadap segala-gala.
Pertentangan Kapitalis imperialis Belanda dengan kuli Inlander Indonesia itu nyata pula terbayangnya di pengadilan Deli. Si Belanda yang tak sengaja atau cuma buat mempertahankan diri terhadap serangan kuli itu, biasanya lepas dengan hukuman 3 bulan atau sedikit lebih, yang bisa ditebus dengan denda pula. Si Kuli pembunuh biasanya tidak lepas dari hukuman gantung. Di masa saya berada di sana, keras suara terdengar dari pihak Belanda yang menuntut supaya si kuli yang berani menyerang kulit putih itu dikasih hukuman” yang cepat dan seberat-beratnya guna menakutkan yang lain (opschrikking).
Dalam suasana yang bisa menukar manusia menjadi hewan, maka tercengang bercampur kagumlah kita, kalau mendengar kabar, bahwa sesudah membacok Belanda, sebentar itu juga si kuli pergi kepada polisi untuk menyerahkan diri. Tidak percuma rupanya cerita-cerita ksatria yang dihadiahkan oleh para dalang dalam lakonnya wayang di desa-desa, semenjak puluhan ratusan tahun itu.
Adakah tempat buat saya dalam masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya seorang Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung pertentangan maha tajam?
Ketika saya menerima pekerjaan di Amsterdam dari mulut tuan direktur Dr. Jansen sendiri, saya belum insyaf benar akan kesulitan yang mesti alami ketika di Deli.
Sesudah 6 tahun lamanya hidup di antara dan dengan orang Belanda di negeri Belanda sendiri, saya sudah tak berapa merasa perbedaan penghormatan sesama manusia cuma karena perbedaan kulit saja. Kalau ada anak atau orang tua yang mengejek kita, orang Indonesia di negeri Belanda sebab warna kulit kita, kalau ada yang meneriakkan di jalan...”neger vuile neger”, kepada kita yang demikian ini hanya kita anggap sebagai keganjilan, kelahiran perasaan dari golongan terbelakang di negeri” sopan itu saja. Kita tak banyak mengambil pusing! Memang agak menyolok mata perbedaan publik umum, misalnya di Perancis dengan di Nederland, terhadap bangsa berwarna.
Tetapi pengalaman meyakinkan kita, bahwa sebahagian besar orang Belanda di Nederland tiada mengukur kita dengan ukuran warna kulit itu. pula, oleh karena kepentingan dan paham saja, bahwa di hari depan walaupun boleh jadi sesudah puluhan tahun kalau kapitalisme dan imprialisme hilang, sendirinya perbedaan waran kulit itu akan hilang bersama-sama dengan hilangnya perbedaan klas, maka masyarakat Deli yang saya masuki itu tidak berupa momok. Akhirnya saya berharap lekas lepas dari hutang yang terasa berat, sambil mendapatkan pengalaman yang berharga dalam pergaulan dengan bangsa sendiri yang paling terhisap, tertindas dan terhina sambil menyelam minum air.
Tetapi tuan direktur Dr. Jansen isnyaf benar akan kesulitan yang akan saya alami di Deli. Setelah sampai di Deli, maka saya mendapat kabar, bahwa sebelum saya tiba, oleh Senembah Mij atas nama direksi di Nederland diperingatkan kepada semua pegawai Belanda “supaya Tan Malaka mesti diperlakukan seperti orang Eropa”.
Bagaimana prakteknya?
Oleh karena saya di Tanjung Morawa rapat dengan pengawas sekolah, tuan W, seorang  penganut sosialisme, anti peraturan berguru-kepala dan bekas murid saya dalam baha Indonesia, maka pergaulan pertama dengan orang Belanda pegawai Senembah Mij berlaku lancar sekali. Tetapi langkah kelanjutannya yang kedua tiada banyak memberikan harapan.
Seperti kebiasaan tamu Belanda baru memperkenalkan diri dengan para pegawai lama. Saya yang harus diterima dalam golongan Belanda itu, mulai mengirim surat kepada tuan-nyonya boekhouder No.1, tuan G, bertanyakan sudikah dan kapankah nyonya tuan menerima saya untuk memperkenalkan diri. Lekas saya dapat jawaban dari nyonya yang mengatakan bahwa “nyonya-tuan belum mempunyai tempat menerima tamu”.
Nyonya-tuan W sendiri agak terkejut mendengar isi surat kepada saya itu. mereka juga setuju, bahwa bukan sayalah kelak yang akan menulis surat lagi. Kalau ada tempo buat menerima saya, maka undangannya harus datang dari nyonya besar sendiri. Dan undangan itu tiada pernah saya dapatkan. Sebaliknya tak pernah saya memajukan diri saya, yang saya anggap tak kurang mempunyai kehormatan dari nyonya-tuan besar boekouder No.1 Senembah Mij itu dilain hari.
Tentang nyonya-tuan kebun (hoof-administrateur) saya tak bisa memberi kesimpulan. Kemana saya diundang oleh direktur Dr. Jansen, oleh tuan Maskapai Dewata Raja sendiri yang menjadi tuan agungnya nyonya-tuan kebun itu Dr. Jansen segera membelokkan percakapannya kepada perkara yang membutuhkan pengetahuan umum, yang mungkin tak ada dalam perhatian ataupun dalam fikirannya nyonya-tuan kebun sendiri. Nyonya-tuan kebun setuju atau tidak, saya tak bisa tahu! Tetapi seperti biasanya dalam pertemuan di rumah tuan kebun itu Dr. Janssen mendapatkan titel Dr. nya di salah satu universiteit di Jerman, atas disertasi tentang “adat istiadat di tanah Batak”. Diantara yang lain-lain ia masih tertarik oleh apa yang bersangkutan dengan adat istiadat Batak.
Sekarang sampai giliran kepada tuan Besar administrateur kebun. Dia adalah seorang Jerman tulen, masih belum bisa berbicara bahasa Belanda. Jika dibandingkan dengan tuan, nyonya masih amat muda. Nyonya ini rupanya berasal dari kelas atas dan mendapat didikan Jerman atas. Sepintas lalu tampaknya oleh saya tiada sepadanlah umur dan kebudayaan Nyonya dengan tuan besar Herr Graf. Tetapi sesudah perang dunia I itu memang lazim perempuan muda Jerman yang terpelajar bahkan bangsawan pula, kawin dengan laki-laki yang lebih tua, kaya, O.W er, schieber karena kehilangan bapak dalam perang. Setelah sekejap berpikir mengertilah saya, bahwa memang nyonya muda berada “safe” ditangan satu hartawan tua. Tetapi belum tentu masyarakat Deli umumnya dan tuan kebun khususnya sanggup memberi jaminan cukup pada pemudi Jerman, bilamana masyarakat Jerman sendiri memang dalam Gaerung, perubahan hebat di masa itu. Her Graf sangat anti kemajuan inlander. Dari pihak lain saya dengan beberapa perkataan penghinaan yang ditunjukkan kepada saya. Tetapi Herr Graf amat taat kepada Herr Dr. Janssen yang juga berasal Deutsch. Karena Herr Dokter Janssen sudah memberi contoh bagaimana mestinya saya diperlakukan, walaupun warna kulit saya bersamaan dengan warna kulit kuli kebun, dan karena Herr Dokter itu masih di sini, maka rupanya Herr Graff, tuan besar mengambil sikap yang bijaksana manis di luar pahit di dalam, untunglah perhatian Frau Graf yang sedikitnya tentu juga mendengar nama seperti Karl. Liebknecht dan Rossa Luxemburg, tak bisa sama sekali dikungkung oleh percakapan tentang tembakau, getah, untung, tantieme, perlop dan pensiunan saja. Perpisahan sesudah sedikit malam juga “disertai dengan “kommen sie uns bald wieder besuchen sambil memberi tekanan atas “bald itu.
Tidak kurang lantaran kunjungan pada tuan Ir. V.L Tuan tak begitu simpatik, keluaran universiteit Jerman dan berpandangan kolot dalam politik, serta berfilsafat “gaji”, untung dan pensiun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi nyonya adalah seorang penggemar sport, dari tenis sampai menunggang kuda dan kurang penting pula penggemar kesusatraan. Pembicaraan berlaku lancar dari pemogokan di Nederland sampai Revolusi Rusia dari karangan Gorter, Henriete Roland Holst sampai ke Dostojewsky, Gorky dan Lenin. Apalagi nyonya meminjam beberapa buku yang belakangan ini ketika kita berpisah maka tuan agak sedikit tercengang dan memperlihatkan tak setujunya. Tetapi nyonya segera menyambung “ik zal die boeken maar zelf laten halen”.
Dalam kunjungan lain di rumah tuan wakil kebun juga ada para tamu lain dari lain cabang. Mereka ini adalah tuan-tuan besar kebun dan penganut paham tuan besar kebun umumnya. Tuan wakil banyak diam, karena memang orang pendiam. Tetapi nyonya cukup berpandangan luas dan ramah tamah. Pembicaraan sampai ke pergerakan nasional bangsa Indonesia. Salah seorang tuan besar pulang ke kandang kalau ia berkata: “Serikat Islam akan lebih keras, kalau tak ada haji diantara anggotanya”. Ini sama juga dengan “Partai Nasionalis akan lebih beres, kalau tak ada nasionalis sebagai anggotanya”. Atau Partai Bolsjewik itu memang beres, cuma sayang sekali ada orang Bolsjewik menjadi anggotanya”. Kita kenal pendiri surat kabar Deli Courant yang reaksioner itu. Tuan besar kebun yang tersebut adalah seorang reaksioner sedang, yang menahan perkataannya di depan nyonya rumah. Dari mulut lain dan tempat lain kita tak akan mendengarkan kritik yang “sesopan” itu. dengan juara pembaca “Deli Courant” di lapangan kita sendiri tentulah tak begitu susah memberikan “knocked otu” seperti umpamanya di Kongres Deventer dimana kita berhadapan dengan para pelajar Belanda bakal B.B ambtenaren itu.
Perkenalan dengan para tetangga nyonya-tuan, keduanya dokter Walch, memang berlaku atas dasar duduk sama rendah tegak sama tinggi. Seperti sudah saya sebut lebih dulu, kedua suami isteri tertarik oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman (experiment) tentang nyamuk malaria anopheles. Nyonya lancar berbahasa Indonesia, menaruh perhatian besar pada pergerakan nasional di kota Medan, bahkan rupanya ingin hendak berkenalan dengan Indonesia terkemuka di Medan itu. Kepada saya diperingatkan bahwa tak perlulah saya tulis menulis surat kalau ada tempo buat mampir.
Semua perkenalan diatas dilakukan menurut adat (formeel), tetapi diluar itulah banyak lagi perkenalan yang dilakukan di sosieteit atau di lapangan tenis dan bola. Selain dari itu ada dua tiga orang Belanda di Medan yang sudah menjadi teman saya, ialah sosial-demokrat kiri dan ketua Assistent-Bond.
Umumnya semangat anti inlanders dari para tuan kebun masih tebal, hanya rupanya ditutup. Tetapi ada juga dua-tiga sahabat yang jujur. Baik juga dicukupkan gambaran pergaulan ini dengan tiga “terwelu”, hazen ialah tuan-tuan: Hazevoet, Hazewinkel dan Hazejager. Ketiganya adalah pegawai Senembah Mij dan ketiganya rapat hubungannya dengan saya. Hazevoet bekerja di apotik, pemuda Belanda, ramah tamah, sering mampir di rumah saya dan berpandangan sosialis. Hazewinkel sekapal dengan saya berangkat ke Indonesia. Dia lama hidup diantara bangsa Kaffier dan lain-lain di Afrika, tak bisa lagi membedakan warna kulit manusia itu, asal isinya baik. Di Nederland dijanjikan kepadanya untuk menjadi kepala pabrik palm yang akan didirikan oleh Senembah Mij, karena dia mempunyai pengalaman hal itu ketika di Afrika sebagai “skilled labourter”. Tetapi baik berhubungan dengan pangkat maupun dengan gaji ia amat merasa kecewa dan susah, selain ia memutuskan perhubungan dengan Senembah Mij dan berangkat ke Jawa, lebih dulu meminta pertimbangan kepada saya sebagai sahabat kepercayaannya. Hazejager adalah seorang Jerman tulen. Tentulah pecinta negaranya dan masih sedih karena daerah Jerman Barat masih diduduki. Dia kawin dengan seorang Indonesia Batak,  yang bukan Islam atau Kristen, melainkan yang tulen di gunung. Bukan kawin seperti nyai, ialah perkara yang lazim di kebun, melainkan secara Batak tulen yang tidak gampang. Dua tiga tahun dia mesti berusaha merebut hati dan kepercayaan gadis Batak yang terkenal tidak mudah diperdayakan itu. Dia harus kawin secara Batak asli, memakan masakan yang asli pula. Dia mempunyai anak yang sangat dicintainya seperti istrinya. Hazejager tak banyak filsafatnya tentang politik kebangsaan dan perdamaian...Kembalikan dulu batas Jerman asli, bisa damai dengan bangsa Jerman”. Tak perlu saya terangkan kepadanya, bagaimana paham saya tentang batas Negara dan bangsa Indonesia. Di waktu pertentangan saya dengan kaum kolot di Senembah Mij. Hazejagerlah yang berkali-kali membuka rahasia Tuan-tuan Besar Kebun yang berkomplot terhadap saya.
Pertentangan saya dengan tuan besar, kebun berpusat pada empat perkara:
1. Warna kulit
2. Pendidikan anak kuli
3. Tulis menulis dalam surat kabar di Deli dan
4. Perhubungan saya dengan kuli kebun.
Keempat-empat perkara ini sumbernya tentulah terletak pada pertentangan Belanda – Kapitalis – Penjajah dengan Indonesia – Kuli – Jajahan.
Warna kulit! Perasaan...lain daripada Inlanders yang tergambar pada perlainan kulit, tak akan hilang selama Belanda putih memonopoli kedudukan sebagai kapitalis-penjajah di atas inlanders – sawo terjajah. Perasaan sombong itu cuma bisa ditutup secara “spontan”. Tetapi kalau hal itu diserahkan sama sekali kepada “kesopanan” Belanda saja, maka kita akan terus menerus merasa terhina saja. Kita mesti selalu siap di Neederland di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan sport, ialah jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan. Kalau dia di lorong-lorong atau di jalan raya memanggil-manggil “vuile Neger ataupun water Chinees”, lantas kita hampiri dan tanya “apa kamu bilang, sebutkan sekali lagi”, sambil bersiap sedia maka 99 dari 100 kejadian dia akan berkata:....”niets meneer atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda sedikit tersinggung, lalu memaki kita, janganlah sekali-kali makiannya itu dijawab dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “grote beek opzetten”, Hantamlah saja tetapi secara sportief !!! Pasti dia akan menjadi sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya: Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.
Perasaan segan ialah perasaan Timur umumnya dari perasaan bangsa Indonesia khususnya, boleh dikatakan tak ada pada Belanda. Atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih dan meminta terus serta menendang terus.
Syahdan lebih dari 3 abad lampau, maka karena pengalaman pahit, Jepang mengusir semua bangsa kulit putih keluar, dan melarang bangsanya sendiri meninggalkan pantainya. Yang tinggal di Jepang di pulau Kecil, pulau Dhasima terikat oleh perjanjian yang oleh bangsa lain dianggap sangat menghina ialah: “Belanda.
Ketika Maharaja Langit di Kerajaan Tengah ialah Tiongkok menuntut supaya semua duta asing ber-kow-tow, berjongkok kepada anak langit itu, seperti dilakukan oleh para wakil negara takluk, maka setelah lonceng berbunyi, yang memberi tanda bahwa kow-tow akan dijalankan maka duta Inggris dengan cepat memegang punggung Belanda itu buat melarang. Duta Inggeris mengerti, bahwa satu saja “blacleg”, penjilat bisalah merusak kehormatan semua bangsa kulit putih yang berada di Tiongkok di masa itu.
Seperti kruidenier yang “minimum programnya” pertama adalah untung, maka Belanda sanggup menjalankan taktik strategi dari gertak sambel sampai ke-kow-tow.
Saya masih ingat di lapangan tenis di Tanjung Morawa, bilamana kami mendapat kunjungan dari para tamu pemain tenis dari lain cabang Senembah Mij. Atas permintaan pemimpin tenis, Boekhouder No.2 sudah dua kali saya menyerahkan raket saya kepada tamu-nyonya berturut-turut. Apabila yang ketiga kalinya saya juga yang diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, maka terpaksa saya tolak dengan berterang-terangan. Di belakang collega saya pengurus sekolah, tuan W memperingatkan bahwa saya terlalu cepat memperlihatkan sikap menjaga kehormatan itu. Maka saya jawab: malahan sebaliknya. Tidak lama sesudah itu, maka dengan collega ini sendiripun saya bercekcokan.
Entah karena kekurangan tidur siang hari, di Nederland tentu dia tak mengenal tidur siang! Entah karena memang “met het verkeerde been uit het bed gestapt”, entah karena “tropenkoller’s idee-nya mulai bangkit, maka lupalah dia akan sosialisme dan anti hoogdscharp di Nederland, yang belum sempat setahun yang lalu.
Pada suatu suatu hari, pertama kali di waktu petang, ia datang di tempat saya bekerja. Dia mulai mencela cangkokan murid yang katanya kurang dalam. Atau salinan bakul yang kurang kuat dengan suara seperti suara tuan besar, sedangkan saya ada di sampingnya. Saya tak mau biarkan begitu saja. Saya peringatkan kepadanya, bahwa anak-anak sudah lama bekerja, dan ini cuma pelajaran tersambil, buat mendapatkan uang saku anak miskin. Pelajaran yang terpenting adalah pelajaran yang biasa diajarkan kepada bangsa apa saja dalam umur segitu, adalah pelajaran biasa di sekolah rendah. Lagi kalau datang dimana saya bekerja, saya peringatkan supaya lebih dahulu memberi tabik dan minta izin masuk. Apalagi mengeritik atau langsung marah pada murid dibawah penjagaan saya, tak bisa saya benarkan. Lagi pula kalau pekerjaan mesti dilakukan  seperti maunya tuan W datanglah sendiri memberikan instruksi tetapi bukannya kepada saya. Dengan muka merah dia bertanya: “Siapa yang Kepala? Saya jawab: “Tak ada kepala, saya datang di sini cuma untuk bekerja sama dengan kamu”. Kalau ada lain terjemahan, pasti tak akan saya terima. Cuma saya heran, kenapa orang yang selang belum berapa lama di negrinya sendiri berusaha menghapuskan “guru kepala” itu sekarang lupa akan prinsipnya sendiri.”
Dia tak menjawab lagi. Tetapi zonder ba of bu, dia langsung pergi ke tuan kebun, hoofd-administrateur, tuan T.
Tidak berapa lama antaranya saya dipanggil ke kantor. Di sana saya berjumpa dengan tuan T, sendiri dan college W. tadi Tuan T. memperlihatkan kepada saya surat tuan W kepadanya sebagai tukang kebun. Maksud surat itu ia bertanya siapa yang kepala di semua sekolah Senembah Mij.
Saya peringatkan kepada tuan kebun bahwa perjanjian Dr. Jansen kepada saya, ialah supaya saya kerjasama dengan tuan W untuk mendapatkan sistem yang cocok dengan keperluan anak kuli kebun.
Tuan kebun tak ambil pusing perkara sistem yang cocok itu. cuma dia ajukan bahwa di kebun ini memang ada “kepala” dan tuan W sudah lebih tua dan lebih berpengalaman daripada saya.
Saya majukan bahwa perusahaan kebun sangat boleh jadi membutuhkan kepala, tetapi itu diluar daerah saya. Pada pekerjaan saya, apalagi dalam mencari sistem yang cocok dalam pendidikan itu, hal kepala mengepalai itu sama sekali tak ada pada tempatnya. Apalagi yang menjadi kepala itu saya kenal sendiri di Nederland sebagai orang yang anti kepala dalam sekolah. Memang saya akui tuan W. lebih tua dan lebih berpengalaman. Tetapi pengalaman itu ada diantara murid Belanda, tentang jiwa murid bangsa Indonesia saya tak sanggup mengakui kelebihan pengalaman tuan W dan pengetahuan tentang jiwa murid itulah bagian yang terpenting dalam pekerjaan kami di sekolahan.
Barangkali sebab tuan kebun tak begitu atau tak banyak memusingkan perkara pendidikan, atau karena dia tak lama lagi akan pergi perlop, atau karena tak lama lagi Dr. Jansen sendiri akan berada di Tanjung Morawa, maka dia putuskan saja perkara tadi dengan pertanyaan: “Maukah  tuan-tuan maaf memaafkan dan langsung kerja bersama?”
Saya tak keberatan. Kami pulang seperti biasa.
Kesukaan tuan W adalah mondar mandir naik auto dari ke kampung di Senembah Mij. Dan habis bulan mengirim laporan tentang pekerjaannya kepada Senembah Mij. Buat saya, tujuan dan dasar cara mengajar kepada anak kuli itu sudah mulai terang. Buat itu saya rasa perlu mengetahui tabiat, kemauan dan kecondongan hati masing-masing anak. Saya rasa pula perlunya satu pusat sebagai tokoh contoh (model). Untuk mendapatkan semuanya itu tiadalah bisa main tuan besar terhadap anak kuli dan main auto dari sekolah ke sekolah. Pada permulaan memangnya saya ikuti tuan W. mondar mandir itu. Tetapi sesudah beberapa kali, saya insaf bahwa ini cuma membuang-buang waktu dan bensin saja.
Saya lebih merasa perlu, selainnya rapat kepada anak-anak juga mesti rapat kepada para orang tuanya. Keduanya amat mudah dilakukan dalam masyarakat Indonesia tulen, tetapi amat susah dilakukan di masyarakat kebun. Saya terapit di antara masyarakat Belanda “Tropenkollers” dan masyarakat kuli kontrak. Kalau saya terlampau rapat kepada Belanda, maka saya tidak mendapat kepercayaan penuh dari Bangsa sendiri. Sebaliknya, kalau saya terlampau rapat dengan bangsa sendiri, maka saya akan sangat dicurigai oleh bangsa Belanda.
Tetapi dalam hal pilih-memilih kedudukan, maka keyakinan dan kewajiban yang senantiasa memberi putusan kepada saya. Berangsur-angsur saya mendapatkan kuli atau pegawai yang saya ajak datang di rumah saya, buat merundingkan itu.
Tentu bukanlah kehidupan anak kuli saja, yang menjadi pokok pembicaraan, tetapi seluruhnya cabang penghidupan kuli kebun. Sebentar saja saya sudah mendapatkan keyakinan betapa beratnya pekerjaan mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya. Mereka terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan hantu. Mereka terikat oleh kekolotan, kebodohan, kegelapan dan hawa nafsu jahat itu sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian. Tiadalah ada hak dan kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki nasibnya sepanjang aksi Sarekat Buruh yang legal teratur. Memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh dengan pengkhianatan bangsa atau calon-calonnya, apalagi dalam masyarakat kuli kontrak.
Para tuan besar “Tropenkollers” sudah berbisik-bisik dan mendapat tongkat pemukul saya, bukan saya perhubungan dengan kuli kontrak yang mereka rasa haram, tetapi juga beberapa tulisan dalam surat kabar, Liberal di Medan, Sumatera Post, dan perhubungan saya dengan para pemimpin pemogokan Deli Spoor.
Pada satu malam Hazejager datang tergesa-gesa ke rumah saya, “Zij Hebben het op jouw gemunt” (mereka berkomplot terhadap mu) katanya: Mereka  (para tuan besar kebun) sangka, bahwa Ponco Drio penulis dalam surat Kabar Sumatera Pos, adalah Tan Malaka. Mereka sangka, bahwa engkau ada hubungan dengan pemogokan Deli Spoor, karena engkau pernah bicara dengan pemimpin pemogokan dan pernah didatangi oleh para pemimpin disini. Mereka juga mendengar perkataan rapat dengan kuli kontrak di rumahmu sendiri. Sekian laporan Hazejager kepada saya.
Besok harinya saya benar-benar dipanggil oleh wakil tuan kebun ke kantor karena tuan kebun sendiri sedang perpol. Tuan wakil kebun mengemukakan perkara tersebut kepada saya dan bertanya benar tidaknya.
Beberapa bukti yang dimajukan saya sangka kebenarannya karena memang diputar balikkan. Perkara Ponco Drio saya minta tanya sendiri kepada Sumatera Post, supaya bisa disaksikan sendiri siapa yang pembohong. Di samping itu saya memajukan hak saya sebagai orang Indonesia Merdeka, ialah membantu mengangkat derajatnya bangsa saya dan berhubungan dengan siapa saja yang saya anggap pantas.
Akhirnya saya memprotes pula komplotan di belakang saya, yang namanya tak perlu saya sebutkan. Tetapi kepada tuan wakil kebun saya majukan, jika fitnah itu dilanjutkan kalau perlu saya minta dihadapkan bermuka dengan ahli fitnah yang bersembunyi itu. dengan wakil saya berpisah dengan ramah tamah saja.
Saya memang pernah menulis dalam surat kabar Sumatera Post, tetapi bukan dengan nama samaran Ponco Drio. Perkara tulis menulis itu tentulah hak mutlak dan tanggung jawab saya sendiri. Begitulah juga perhubungan saya dengan pemimpin Deli Spoor atau dengan kuli kebun adalah perkara saya sendiri pula.
Herr Graf, tuan besar adalah pemimpin komplotan terhadap saya, cukup mempunyai “Ausdauern” dalam semua pekerjaan juga dalam pekerjaan fitnah-memfitnah. Tetapi Hazejager juga mempunyai sifat Jerman yang terkenal itu, ialah “Ausdauern” dalam kejujuran kepada temannya. Selain daripada itu tuan maskapai sendiri Herr Dr. Jansen, tak begitu percaya saja terhadap segala tuduhan terhadap orang yang dikenal dan mempunyai “Ausdauren” Jerman pula hendaknya bertemu muka dengan si tertuduh, sebelum ia mempercayainya.
Hazejager datang lagi tergopoh-gopoh, Tuan besar Graf terus membisikkan segala tuduhan yang tempo hari dimajukan. Ditambah lagi dengan pendapatnya sendiri bahwa Tan Malaka itu adalah seseorang yang tak tahu terima kasih. Coba pikir, katanya, Inlander Tan Malaka itu dahulu di negeri Belanda diongkosi oleh Dr. Janssen, sekarang dia berkhianat kepada Herr Dr. Janssen sendiri. Schreklich nich war?”
Besok paginya tergopoh-gopoh dan gugup sekali Dr. Janssen datang di rumah saya. Saya belum lagi berpakaian, belum sempat mengundang tuan duduk, tetapi Dr. Janssen sudah duduk sendiri dan mulai berbicara dengan muka merah serta nafas terputus-putus. Tuduhan perkara “rapat dengan kuli kebun”, tulis menulis dalam surat kabar dan berhubungan dengan para pemimpin pemogokan Deli Spoor dibentangkan kembali di depan saya.
Kalau benar, kata Dr. Janssen itu berarti menusuk dari belakang.
Saya sambut saja dengan satu pertanyaan. Apakah tuan percaya juga atas fitnah yang lain, yakni saya belajar di Nederland atas ongkos tuan?”
“Ach ya”, kata Dr. Janssen “Ik geloof er zelf ook niets van”, saya sendiri tak percaya sedikitpun “Sebab itulah saya sendiri datang kemari menyaksikan”
“Lekaslah berpakaian”, kata Dr. Janssen pula” ini pagi ada rapat dari beberapa pegawai Belanda di seluruh Senembah Mij. Saya minta tuan juga hadir.
Saya tak menyangka sama sekali, bahwa pagi itu saya akan berada di antara para tuan besar dari semuanya cabang Senembah Mij.
Yang mengherangkan saya pula, ialah tak ada tuan-tuan kecil yang hadir. Lebih mengherankan pula, apabila saya tak melihat Collega saya sendiri yang ingin menjadi “kepala atas saya tempo hari. Jadi tak heran, kalau benar-benar saya terperanjat mendengarkan pertanyaan Dr. Janssen kepada saya berhubungan dengan sekolah kebun. Sebetulnya tuan W. collega sayalah yang mesti hadir dan memberi penerangan tentang pendidikan di kebun itu.
Pertanyaan itu datangnya tiba-tiba, apabila saya masih teringat dengan sudut mata memperhatika para tuan tanah yang hadir, yang saya kenal cuma satu-satunya orang di antaranya ialah tuan besar Tanjung Morawa, Herr Graf, musuh No.1. apabila sudut mata saya bertemu matanya, maka dengan cepat ia menoleh ke lain tempat.
Memangnya orang berhati curang itu, walaupun mempunyai Ausdauern Jerman, tak akan melihat sudut matanya inladerpun, yang merasa dalam kebenaran.
Dalam suasana seperti itu tak ada tempatnya buat memberi apa yang dinamai pemandangan lengkap tentang pendidikan anak kuli. Lagi pula saya sudah mengambil putusan untuk diri saya sendiri, tentang pekerjaan saya di hari depan. Saya berbicara pendek saja dan tujukan kepada kesimpulan berikut: “Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid, seperti dimaksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga, bahwa disamping pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam kemauan dan kebiasaan bekerja tangan dan perasaan menganggap pekerjaan tangan adalah pekerjaan penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya dari pada pekerjaan otak semata-mata. Bahwa Senembah Mij khususnya dan Deli umumnya tak dapat akan ganti rugi, kalau disekitarnya banyak didapati buruh halus dan kasar yang benar-benar cakap, efficient dan mempunyai keinginan hidup (standard of living) yang  tinggi. Mungkin pada permulaan Senembah Mij harus mengeluarkan ongkos yang seakan-akan percuma, tetapi lama kelamaan, in the long run, ongkos keluar itu akan kembali berlipat tambah.
Saya insaf, bahwa saya berbicara kepada orang-orang tuli, “spreken tegen dove man’s ooren”. Tetapi baiklah juga diperdengarkan kepada para tuan besar kebun itu, bahwa anak kuli pun adalah anak manusia juga. Disana sini sudah saya terdengar, bahwa sekolahan buat anak kuli adalah jalan” membuang-buang uang saja. Apa gunanya anak kuli diajar. Dia akan lebih brutal!” dari pada bapaknya. Mandor ini tak perlu sekolah rendah 5 tahun. Si Kario juga cuma sekolah desa. Walaupun begitu dia bisa mengurus listrik. Si Mubal, si Sastro, apa sekolahnya? Toh bisa membikin obat ini atau itu. 99% kuli kebun ini buta huruf. Toh bisa menanam tembakau. Suruh saja anak kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang, guru itu semuanya bikirn gaduh saja di kebun-kebun. Menambah “ontevreden” orang tak senang saja, dan menambah anggota Sarekat Islam saja.
Inilah logika Belanda kebun, bekas “leegloopers di Nederland! Saya tahu bahwa Dr. Jansen yang mengusulkan mendirikan sekolah buat Senembah Mij itu, oleh para tuan besar dianggap sebagai idealis, “ethis”, sebagai orang goblog dan diejek-ejek dibelakangnya.
Dimasa Ratu Katharina di Rusia, kalau saya tak salah, hidup seorang Perdana Menteri bernama Potemkin dalam memberi jawaban atas pertanyaan Sri Ratu, isi pidatonya cuma satu: “Rakyat senang, padi menjadi, hai Tuanku”. Kalau Sri Ratu ingin mempersaksikan dengan mata kepala sendiri kesenangan rakyat dari kemajuan perekonomian itu, maka Potenkim membawa Sri Ratu kepada desa yang bagus, yang disiapkan istimewa lebih dahulu dibuat kunjungan saja. Desa yang bagus yang diperhias buat kunjungan Sri Ratu itu dinamai Desa Potenkim”. Sri Ratu Katharian “dikantongi” saja oleh Potenkim untuk menghindari desa dan kampung yang kotor miskin, dan baru dikeluarkan dari “kantongnya” untuk mengagumi desa perhiasan, desa Potemkin. Benar rupanya: “Rakyat senang, padi menjadi”.
Di Senembah Mij ada juga “Desa Potemkin itu Sri Ratu Katharina juga ada. Cuma Potemkin itu berkarma pada tubuh-tubuh tuan kebun dan Sri Ratu Katharina berkarma pada Herr Dr. Jansen, bersemayam di Nederland. Desa Potemkin di Senembah Mij, dibikin atas permintaan Dr. Jansen sendiri, buat kuli kontrak yang sudah lama bekerja. Mereka mendapat rumah sendiri dengan kebun sendiri. Disamping desa Potemkin inilah sekarang diadakan sekolah Potemkin buat menyenangkan hati idealist, ethist Herr Dr. Janssen. Oleh tuan kebun, Dr. Janssen dikantongi waktu melalui bangsa kuli, dan dikeluarkan dari kantong baja auto chrysler buat menyaksikan dan mengagumi desa sekolah Potemkin.
Saya tahu bahwa tak lama lagi Dr. Jansen akan kembali ke Nederland. Saya “anak angkatnya ini akan tinggal sendirian di antara tuan besar yang memusuhi warna kulit, paham politik, bahkan pekerjaan saya. Maksud saya yang terpenting sudah tercapai. Pertama mendapatkan pengalaman antara kuli kontrak. Kedua mendapatkan uang buat membayar hutang kepada desa dan bekas guru saya. Sebagian besar dari hutang ini sudah langsai (terbayar). Dengan reserve yang saya simpan sendiri semuanya kalau perlu, bisa saya lunaskan. Sudah terlampau lama saya berada dengan menutup mata telinga dalam masyarakat yang rendah. Satu kali saya rupanya terlanjur menuliskan tingkah lakunya Belanda kebun, terutama terhadap perempuan kuli kontrak. Balasan surat kepada saya ditulis oleh tangan wanita, dahulunya saya kenal sebagai Nona Mathilda Elzas, onderwijzeres, dan sekarang nyonya Horensma guru saya itu. tulisan itu pendek saja...Als je het daar niet be alt, kom dan maar bij ons terug”. Heusch, genoeg ander werk. (Kalau tak senang disana kembalilah kemari. Sungguh cukup pekerjaan lain).
Kebetulan pula sesudahnya rapat tuan besar kebun tadi saya diajak oleh Dr. Jansen berjalan-jalan. Saya tiada ragu-ragu lagi mengambil keputusan. Kata saya: “Tuan sudah saksikan sendiri bagaimana suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya seorang Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli, maka sekolah anak kuli itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih baik saya minta berpisah dengan tuan sendiri”, demikianlah usul saya.
Saya tak ingat apa yang dikatakan tuan Dr. Janssen, mungkin juga tak apa-apa. Orang yang mempunyai perasaan halus seperti Dr. Janssen masakan tak mengerti akan haluan saya, perjuangan dan kesulitan saya. Malam itu juga saya diundang oleh Dr. Janssen ke rumahnya Dr. Pel. Di sana selain Dr.Pel dan Dr. Janssen sudah berada Prof. Schuffe, ahli malaria yang terkenal. Inilah malam perpisahan, Dr. Janssen juga sudah menyuruh kantor membawa gaji saya buat 2 bulan dan membeli karcis kelas I untuk ke Jawa.

Dari teman saya dengan “Dr. Jansen dengan undangan kepada para tuan tanah dan selamat berpisah untuk menunjukkan penghargaannya dan mengembalikan kehormatan yang selama ini diinjak-injak oleh para tuan besar.” Tetapi Boekhouder No.1 yang pertama menolak permintaan saya buat berkenalan lebih kurang 2 tahun lampau itu, membisikkan ke kiri kanan: Guna apa kelas 1 buat (Inlander Tan Malaka itu). Mungkin dia tak senang di kelas 1 itu (masakan “Inlander” senang dengan yang baik?)
Sebelumnya berangkat ke Indonesia pada suatu hari, maka buat penutup ongkos dan sebagai penghargaan atas lezing tentang lembaga dan adat istiadat salah satu daerah di Indonesia. Atas permintaan tuan Boissevain, Handelsvereeniging Amsterdam saya menerima “enveloppe yang berisi. Perkara biasa! Yang sedikit luar biasa sesudahnya itu, ialah kebetulan saja dalam kereta dari Bussum ke Amsterdam, disamping saya di kelas tiga, duduk seorang tuan, berusia tinggi, mata tajam dengan pertanyaan: Tuan Tan Malaka?” saya syahkan dengan sedikit tercengang sebab tuan itu belum pernah saya kenal. “Saya Jansen”. Saya menerima laporan tentang sekolah anak-anak kuli kebun di Deli. Cobalah tuan periksa. “Apabila saya hendak baca, maka tuan Janssen berkata lagi: “Simpan sajalah dulu, nanti baca kalau kembali di rumah. Sesudahnya itu saya minta tuan datang di kantor saya di Amsterdam untuk memberi pemandangan tentang laporan itu.”
Demikianlah, di kantor Amsterdam itu saya menerima tawaran Dr. Jansen itu buat bekerja dengan tuan W. di Deli untuk mendapatkan sistem pendidikan yang cocok dengan keadaan disana.
Setelah berpisah dengan Dr. Jansen dan sesudah beberapa bulan saya di Semarang, maka dari guru Horensma saya mendapat surat yang mengucapkan salam dari Dr. Jansen. Surat itu mengatakan pula bahwa Dr. Jansen masih memberi perhatian penuh kepada saya.
Benar pula setelah tiba di Nederland sesudah dibuang dari Indonesia pada permulaan tahun 1922, maka saya dengar dari teman, bahwa Dr. Janssen hadir dalam rapat, dimana saya berbicara tentang pendidikan. Dalam rapat buat pemilihan anggota Majelis Rendah Nederland dimana saya dicalonkan, saya lihat hadir juga keluarga Dr. Janssen.
Tetapi saya tak bertemu lagi dengan Dr. Janssen. Anaknya P.W Janssen, terkenal sebagai dermawan di Nederland.
Dr. Janssen walaupun berbudi luhur, cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam diantara pemandangan politik kami. Tak sekali ini saja dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya merasakan lakonnya kesedihan “tragedy” hidup: bisa sehilir semudik, seminum semakan, tetapi  tak bisa seperjuangan sepasukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar