DI DELI
Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi
tanah keringat air mata maut, neraka, buat kaum proletar. Deli dimasa saya di
sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarang pun masih menimbulkan
kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana berlaku pertentangan yang tajam
antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah. Kekayaan bumi
iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling
kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutub. Di kutub yang
lain berada berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling
terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak. Mengambil ibarat di alam
sekitarnya, maka yang dinamai oleh Belanda, bangsa yang paling lunak di dunia”
berubah sifatnya seperti sang kerbau menyerang dengan tanduknya dan
menginjak-injak lawannya”, setelah mereka menderita semua perkosaan dan
siksaan. Ketika saya berada di sana tiap-tiap tahun Belanda yang mati atau luka
diserang berjumlah antara 100 dengan 200 orang.
Apa yang tidak ada di Deli?
Beginilah mestinya kita tanyakan. Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat
minyak tanah berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Kalau
saja tak salah di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat besi. Seperti di
Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauxiet di Riau
dan Aluminium terdapat di Asahan, Deli. Jika disambungkan dengan arang di
Sawahlunto atau Air terjun sungai Asahan, yang mempunyai kodrat nomor 2 atau
nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan
perindustrian berat macam apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan
lagi dengan logam besi, timah dan lain-lain dari tanah. Melayu yang berdekatan
serta berhubungan rapat dalam sejarah.
Tetapi mata Belanda tak memandang kesan
dan memang tak mungkin mempunyai pandangan ke sana, bertindak ke arah industri
berat dengan menanggung susah payah serta kesulitan pada permulaannya. Biasanya
Belanda tertarik oleh perusahaan yang gampang, yang kurang resiko, tetapi yang
tetap dan besar untungnya (monopoli), lekas bisa dikerjakan dan mengecap
hasilnya, tetapi lambat atau mustahil timbulnya persaingan.
Semua syarat yang cocok dengan semangat krudenier itu bisa dijumpai
di Deli. Tembakaulah yang pertama sekali memenuhi semua syarat itu. sebagai
“dekblad”, daun pembungkus cerutu Manila, tembakau Deli memang mempunyai
kedudukan istimewa di pasar dunia. Betul juga pada permulaannya banyak
kesusahan untuk mendapatkan tenaga buruh, tetapi sekali terdapat untung, jumlah
buruh yan besar pasti mudah dan cepat didapat. Dalam 3 atau 4 bulan saja
sesudah menanam, daun tembakau sudah boleh dipetik. Di sekitar perkebunan
tembakau inilah di belakang hari timbul perusahaan getah, palm, teh dan rami
dsamping perkebunan tembakau pulalah timbulnya perusahaan minyak tanah di Deli
itu.
Kebun tembakaulah yang melahirkan
milioner Deli yang pertama dan yang ternama kaya serta kejamnya ialah Cremer,
yang di Nederland digelari “kuli Cremer” karena kata kejamnya itu, kuli Cremer
yang mempelopori milioner getah, minyak tanah dan lain-lain itulah yang bermula
mengorbankan ratusan kuli kontrak untuk
mengeringkan rawa dan membuka hutan rimba di Deli kira-kira tiga
perempat abad yang lampau.
Pada saya tidak ada statistik yang
bisa menjelaskan keadaan hawa dan iklim di Deli, bahkan logam yang tersimpan di
pangkuan bumi, kemajuan Deli dalam hal penduduk, perusahaan, perkebunan dan
perdagangan dalam tiga perempat abad yang belakangan ini. Dan bukanlah memaksa
saya akan menguraikan segala-galanya itu disini. Cukuplah rasanya jika beberapa
catatan yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun itu saya kemukakan buat
sekadar menggambarkan suasana Deli ketika saya berada di sana.
Lebih kurang 500 onderneming yang
terdapat di Deli pada masa itu. Pengangkutan dijalankan dengan lancar sekali.
Di darat dilakukan dengan auto dan truck atas jalan yang simpang siur
memperhubungkan ratusan kebun itu, dan dengan Deli-Spoor.
Pelabuhan Belawan termasuk pelabuhan
yang besar di Indonesia, kalau saya tak salah, dalam hal export pada tahun 1927, Deli sudah menyamai atau melebihi
pulau Jawa. Taksiran kasarnya banyaknya kuli kebun, tambang minyak dan
pengangkutan di masa itu sejumlah 400 ribu orang. Kalau ditaksir secara
sederhana jika diandaikan tiap-tiap kuli (kuli kontrak atau bekas kuli kontrak)
mempunyai seorang anak saja, maka diantara jumlah penduduk Deli yang ditaksir 2
juta itu dan terdiri benar-benar dari hampir semua suku bangsa Indonesia (Jawa,
Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Melayu-Deli dan lain-lain), terdapat lebih
kurang 60% keluarga proletariat tulen. Ringkasnya daerah Deli adalah daerah
bangsa Indonesia dalam arti Nasionalisme modern dan daerah proletaria yang
sesungguhnya pula. Meninjau suasana sosial selayang pandang maka nyatalah bahwa
upper-class, klas atas, terdiri dari borjuis asing, pertama Eropa-Amerika kedua
Tionghoa, pun borjuis Indonesia, walaupun terdiri dari dua-tiga biji. Saya
bukanlah borjuis sembarangan. Sultan Serdang dan Sultan Deli, berhubungan
dengan diadakannya konsesi minyak tanah, adalah Ningrat kapitalis yang masuk
hitungan.
Di pucuk Borjuis Eropa duduklah
tinggi di atas tahta, jauh di Nederland atau negara lain, tuan Maha Besar yang
oleh kuli kontrak digelari tuan Maskapai, directeur dalam bahasa Belandanya. Di
bawahnya sebagai Raja Muda berkedudukan di Deli, ialah tuan kebun (Hoof
administrateur). Barulah kita mendengar perkataan yang buat kita orang
Indonesia sudah cukup mengandung kehormatan, ialah tuan besar adalah bahasa
Belandanya hanya administrateur. Senembah Mij yang terdiri dari beberapa cabang
mempunyai beberapa tuan besar pula, sebagai kelengkapan kaum kapitalis itu,
kita temukan embel-embelnya yang dipanggilkan tuan kecil, asisten. Di sini
perkataan “kecil” tak boleh ditafsirkan dengan arti hina. Kecil artinya muda,
seperti dalam perkataan Raja Muda ialah calon. Semua bekas lanterfranters dan
deugt voor niet dan schlemiels di negeri Belanda, ada harapan buat menjadi tuan
kecil itu, ialah calon kapitalis Deli.
Deli penuh dengan lanterfanters dan
schlemiels Belanda itu. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras, inilah
gambarannya borjuis gembel di Deli itu. mereka bisa lekas kaya, karena gajinya
besar dan mendapat bahagian tetap dari keuntungan, apabila sudah bekerja
sementara tahun saja. Kalau saya tak salah, diluar gaji puluhan ribu setahun
itu, tuan kebun mendapat bahagian untuk f 200.000,- Tuan maskapai lebih-lebih
lagi. Tidak saja mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur dari
beberapa maskapai, mendapat untung dari bunga modal yang ditanamnya, tetapi
juga menerima bahagian yang lebih besar dari untung kebun. Tuan maskapai adalah
pemegang andil yang besar, menjadi direktur dan adviseur tetapi tak bekerja,
dan biasanya berada di tempat yang jauh, plesir mundar mandir di Eropa, yang
kaya lekas bertambah kaya....”inilah pula impian kepala kosong, schlemiels
Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli- di kamar bola di depan gelas bir
dan wiskynya.
Klas yang membanting tulang dari
dini hari sampai malam, klas yang mendapat upaya cuma cukup buat pengisi perut
dan penutup punggung, klas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam
kandangnya, yang sewaktu-waktu di godverdom atau dipukul, klas yang
sewaktu-waktu bisa kehilangan istri atau anak gadisnya jika dikehendaki oleh
ndoro tuan” adalah kelasnya bangsa Indonesia, terkenal sebagai kuli kontrak.
Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya mesti bangun pukul 4 pagi,
karena kebun tempat mereka bekerja jauh letaknya, pukul 7 atau 8 malam barulah
mereka tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0.40 sehari. Makanan biasanya
tidak cukup untuk kerja keras mencangkul di tempat panas 8 sampai 12 jam
sehari. Pakaian pun lekas rombeng-rombeng lantaran sering kerja di hutan.
Kekurangan dalam segala-gala itu
menimbulkan nafsu yang tak tertahan buat menguji nasib dengan jalan main judi,
nafsu yang sengaja dibangunkan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah
berjudi dan biasanya lebih banyak yang kalah dari pada yang menang, diijinkan
berhutang. Karena terikat hutang maka 90 diantara 100 kuli yang sudah lepas
kontraknya terpaksa menekan kontrak lagi. Hutang menimbulkan keinginan berjudi,
dan perjudian menambah hutang terus menerus.
90 diantara 100 kuli tak sedikit pun
mempunyai harapan untuk naik pangkat. Hanya satu atau dua diantara 1000 orang
mempunyai sedikit harapan untuk naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor, dan
lama-lama menjadi hopmandor. Ada yang diterima menjadi pekerja atau pengawal
bengkel motor, mesin listrik ataupun di rumah sakit. Tetapi gaji tetap
terlampau rendah f 20- f 30, sebulan buat mandor, dan f 60, buat hopmandor,
ialah sesudah bekerja 15-20 tahun.
Saya ingat beberapa kejadian di
Tanjung Morawa tempat kantor pusat Senembah Mij, tempat saya bekerja. Tuan V.D
insinyur listrik sudah kebingungan, karena mesin listrik tak mau jalan. Semua
kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah buat membetulkan mesin itu sudah
dilakukan. Konon, mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli
kontrak dipanggil. Diam-diam kario menyusup sebentar ke bawah mesinnya, putar
sekrupnya, dan cus....cus....” mesin listrik jalan kembali seperti biasa.
Kario, bekas kuli kontrak lama mendapat gaji f 25,- dan Ir. V.D f 500,- plus
ini dan itu tak putus-putusnya.
Kenalan baik saya, almarhum prof.
Walch, dahulu di Tanjung Morawa bersama nyonya yang juga dokter pada suatu hari
kedatangan tamu di laboratoriumnya, mungkin prof. Schuffer ahli malaria yang
terkenal. Para ahli malaria ini asyik membicarakan satu bangsa nyamuk, yang
baru diketahui disalah satu tempat pada jam sekian, yang mempunyai sifat
demikian rupa. Tetapi mereka kelupaan dalam botol mana bangkai nyamuk tadi
ditaruhnya, di antara ratusan botol itu. Tentulah nama nyamuk itu ditulis dalam
bahasa Latin. Setelah mereka putus asa mencari, maka datang Parman dengan botol
dan bangkai nyamuk yang dicari dan tertulis dalam huruf Latin itu. Parman cuma
keluaran H.I.S saja, dan gajinya cuma f 25,- sebulan. Rumahnya dibangsal
bersama anak dan istrinya. Tetapi menurut kata Dr. Walch kepada saya, dia
diberi pekerjaan yang “Zelfstanding”, memeriksa nyamuk di salah satu tempat
dengan gaji f 50,- zegge vijtig gulden, sebulan. Nyonya dan tuan Dr. Walch
bukanlah termasuk golongan kolot, tetapi ia, ik kan het niet meer krijgen van
de maatschappij” kata Dr. Walch kepada saya.
Cerita ini bisa ditambah dengan
beberapa dan berbagai-bagai contoh yang lain. Tetapi cukuplah di atas itu saja
dijadikan gambaran.
Soal bibit, soal perawatan tanah,
bibit pohon dan hasil, berhubungan dengan perkebunan tembakau getah, palm dan
rami tentulah membutuhkan pengetahuan yang sulit dan luas, serta pengalaman
yang lama.
Tidak dapat diharapkan “de dengt
nieters voor niets” dan “schlemielen” yang baru datang dari negeri Belanda itu
mempunyai pengetahuan tentang semua yang berhubungan dengan perkebunan itu.
Tetapi mereka mempunyai kulit yang putih kulit penjajah, memegang tongkat yang
besar dan mempunyai suara yang keras berhadapan dengan bangsa berwarna
terjajah, “het zachtse volk der aarde” pula. Dengan kulit yang putih, tongkat
yang besar dan dua tiga patah kata Melayu pasar dan 13 “godverdomme” mereka
bisa mendapatkan semua pengetahuan dan pengalaman itu dari hop mandor atau pun
dari manduir biasa “Schlemiel” Deli ini mulai gaji f 350,- sebulan dengan bebas
rumah, bebas ini dan bebas itu.
Ada juga satu dua Belanda diantara
assiten-assisten itu yang mempunyai sedikit pengetahuan umum. Tetapi umumnya
sedikit sekali yang berbau apa yang dianggap sebagai “geleerdheid”.
Pertentangan tajam antara bangsa
putih, goblog, sombong ceroboh, penjajah dengan bangsa berwarna yang
berpengalaman membanting tulang, tetapi tertipu, terhisap, tertindas, dengan
perantaraan dua-tiga bangsa Indonesia sendiri sebagai buruh pandai, skilled
labour inilah yang mengeruhkan suasana Deli dan terus menerus menimbulkan
penyerangan kuli terhadap Belanda-Kebun. Sering satu makian atau satu celaan
saja sudah cukup buat kuli untuk menghunus golok dari pinggangnya dan menyerang
tuan besar atau tuan kecil, pada saat dan di tempat itu juga, karena hati sudah
mengandung kebencian terhadap segala-gala.
Pertentangan Kapitalis imperialis
Belanda dengan kuli Inlander Indonesia itu nyata pula terbayangnya di
pengadilan Deli. Si Belanda yang tak sengaja atau cuma buat mempertahankan diri
terhadap serangan kuli itu, biasanya lepas dengan hukuman 3 bulan atau sedikit
lebih, yang bisa ditebus dengan denda pula. Si Kuli pembunuh biasanya tidak
lepas dari hukuman gantung. Di masa saya berada di sana, keras suara terdengar
dari pihak Belanda yang menuntut supaya si kuli yang berani menyerang kulit
putih itu dikasih hukuman” yang cepat dan seberat-beratnya guna menakutkan yang
lain (opschrikking).
Dalam suasana yang bisa menukar
manusia menjadi hewan, maka tercengang bercampur kagumlah kita, kalau mendengar
kabar, bahwa sesudah membacok Belanda, sebentar itu juga si kuli pergi kepada
polisi untuk menyerahkan diri. Tidak percuma rupanya cerita-cerita ksatria yang
dihadiahkan oleh para dalang dalam lakonnya wayang di desa-desa, semenjak
puluhan ratusan tahun itu.
Adakah tempat buat saya dalam
masyarakat Deli seperti yang saya coba gambarkan di atas? Buat saya seorang
Indonesia yang berpaham radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung
pertentangan maha tajam?
Ketika saya menerima pekerjaan di
Amsterdam dari mulut tuan direktur Dr. Jansen sendiri, saya belum insyaf benar
akan kesulitan yang mesti alami ketika di Deli.
Sesudah 6 tahun lamanya hidup di
antara dan dengan orang Belanda di negeri Belanda sendiri, saya sudah tak
berapa merasa perbedaan penghormatan sesama manusia cuma karena perbedaan kulit
saja. Kalau ada anak atau orang tua yang mengejek kita, orang Indonesia di
negeri Belanda sebab warna kulit kita, kalau ada yang meneriakkan di
jalan...”neger vuile neger”, kepada kita yang demikian ini hanya kita anggap
sebagai keganjilan, kelahiran perasaan dari golongan terbelakang di negeri”
sopan itu saja. Kita tak banyak mengambil pusing! Memang agak menyolok mata
perbedaan publik umum, misalnya di Perancis dengan di Nederland, terhadap
bangsa berwarna.
Tetapi pengalaman meyakinkan kita,
bahwa sebahagian besar orang Belanda di Nederland tiada mengukur kita dengan
ukuran warna kulit itu. pula, oleh karena kepentingan dan paham saja, bahwa di
hari depan walaupun boleh jadi sesudah puluhan tahun kalau kapitalisme dan
imprialisme hilang, sendirinya perbedaan waran kulit itu akan hilang
bersama-sama dengan hilangnya perbedaan klas, maka masyarakat Deli yang saya
masuki itu tidak berupa momok. Akhirnya saya berharap lekas lepas dari hutang
yang terasa berat, sambil mendapatkan pengalaman yang berharga dalam pergaulan
dengan bangsa sendiri yang paling terhisap, tertindas dan terhina sambil menyelam
minum air.
Tetapi tuan direktur Dr. Jansen
isnyaf benar akan kesulitan yang akan saya alami di Deli. Setelah sampai di
Deli, maka saya mendapat kabar, bahwa sebelum saya tiba, oleh Senembah Mij atas
nama direksi di Nederland diperingatkan kepada semua pegawai Belanda “supaya
Tan Malaka mesti diperlakukan seperti orang Eropa”.
Bagaimana prakteknya?
Oleh karena saya di Tanjung Morawa
rapat dengan pengawas sekolah, tuan W, seorang
penganut sosialisme, anti peraturan berguru-kepala dan bekas murid saya
dalam baha Indonesia, maka pergaulan pertama dengan orang Belanda pegawai
Senembah Mij berlaku lancar sekali. Tetapi langkah kelanjutannya yang kedua
tiada banyak memberikan harapan.
Seperti kebiasaan tamu Belanda baru
memperkenalkan diri dengan para pegawai lama. Saya yang harus diterima dalam
golongan Belanda itu, mulai mengirim surat kepada tuan-nyonya boekhouder No.1,
tuan G, bertanyakan sudikah dan kapankah nyonya tuan menerima saya untuk
memperkenalkan diri. Lekas saya dapat jawaban dari nyonya yang mengatakan bahwa
“nyonya-tuan belum mempunyai tempat menerima tamu”.
Nyonya-tuan W sendiri agak terkejut
mendengar isi surat kepada saya itu. mereka juga setuju, bahwa bukan sayalah
kelak yang akan menulis surat lagi. Kalau ada tempo buat menerima saya, maka undangannya
harus datang dari nyonya besar sendiri. Dan undangan itu tiada pernah saya
dapatkan. Sebaliknya tak pernah saya memajukan diri saya, yang saya anggap tak
kurang mempunyai kehormatan dari nyonya-tuan besar boekouder No.1 Senembah Mij
itu dilain hari.
Tentang nyonya-tuan kebun
(hoof-administrateur) saya tak bisa memberi kesimpulan. Kemana saya diundang
oleh direktur Dr. Jansen, oleh tuan Maskapai Dewata Raja sendiri yang menjadi
tuan agungnya nyonya-tuan kebun itu Dr. Jansen segera membelokkan percakapannya
kepada perkara yang membutuhkan pengetahuan umum, yang mungkin tak ada dalam
perhatian ataupun dalam fikirannya nyonya-tuan kebun sendiri. Nyonya-tuan kebun
setuju atau tidak, saya tak bisa tahu! Tetapi seperti biasanya dalam pertemuan
di rumah tuan kebun itu Dr. Janssen mendapatkan titel Dr. nya di salah satu
universiteit di Jerman, atas disertasi tentang “adat istiadat di tanah Batak”.
Diantara yang lain-lain ia masih tertarik oleh apa yang bersangkutan dengan
adat istiadat Batak.
Sekarang sampai giliran kepada tuan
Besar administrateur kebun. Dia adalah seorang Jerman tulen, masih belum bisa
berbicara bahasa Belanda. Jika dibandingkan dengan tuan, nyonya masih amat
muda. Nyonya ini rupanya berasal dari kelas atas dan mendapat didikan Jerman
atas. Sepintas lalu tampaknya oleh saya tiada sepadanlah umur dan kebudayaan
Nyonya dengan tuan besar Herr Graf. Tetapi sesudah perang dunia I itu memang
lazim perempuan muda Jerman yang terpelajar bahkan bangsawan pula, kawin dengan
laki-laki yang lebih tua, kaya, O.W er, schieber karena kehilangan bapak dalam
perang. Setelah sekejap berpikir mengertilah saya, bahwa memang nyonya muda
berada “safe” ditangan satu hartawan tua. Tetapi belum tentu masyarakat Deli
umumnya dan tuan kebun khususnya sanggup memberi jaminan cukup pada pemudi
Jerman, bilamana masyarakat Jerman sendiri memang dalam Gaerung, perubahan
hebat di masa itu. Her Graf sangat anti kemajuan inlander. Dari pihak lain saya
dengan beberapa perkataan penghinaan yang ditunjukkan kepada saya. Tetapi Herr
Graf amat taat kepada Herr Dr. Janssen yang juga berasal Deutsch. Karena Herr
Dokter Janssen sudah memberi contoh bagaimana mestinya saya diperlakukan,
walaupun warna kulit saya bersamaan dengan warna kulit kuli kebun, dan karena
Herr Dokter itu masih di sini, maka rupanya Herr Graff, tuan besar mengambil
sikap yang bijaksana manis di luar pahit di dalam, untunglah perhatian Frau
Graf yang sedikitnya tentu juga mendengar nama seperti Karl. Liebknecht dan
Rossa Luxemburg, tak bisa sama sekali dikungkung oleh percakapan tentang
tembakau, getah, untung, tantieme, perlop dan pensiunan saja. Perpisahan
sesudah sedikit malam juga “disertai dengan “kommen sie uns bald wieder
besuchen sambil memberi tekanan atas “bald itu.
Tidak kurang lantaran kunjungan pada
tuan Ir. V.L Tuan tak begitu simpatik, keluaran universiteit Jerman dan
berpandangan kolot dalam politik, serta berfilsafat “gaji”, untung dan pensiun
dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi nyonya adalah seorang penggemar sport, dari
tenis sampai menunggang kuda dan kurang penting pula penggemar kesusatraan.
Pembicaraan berlaku lancar dari pemogokan di Nederland sampai Revolusi Rusia
dari karangan Gorter, Henriete Roland Holst sampai ke Dostojewsky, Gorky dan
Lenin. Apalagi nyonya meminjam beberapa buku yang belakangan ini ketika kita
berpisah maka tuan agak sedikit tercengang dan memperlihatkan tak setujunya.
Tetapi nyonya segera menyambung “ik zal die boeken maar zelf laten halen”.
Dalam kunjungan lain di rumah tuan
wakil kebun juga ada para tamu lain dari lain cabang. Mereka ini adalah
tuan-tuan besar kebun dan penganut paham tuan besar kebun umumnya. Tuan wakil
banyak diam, karena memang orang pendiam. Tetapi nyonya cukup berpandangan luas
dan ramah tamah. Pembicaraan sampai ke pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Salah seorang tuan besar pulang ke kandang kalau ia berkata: “Serikat Islam
akan lebih keras, kalau tak ada haji diantara anggotanya”. Ini sama juga dengan
“Partai Nasionalis akan lebih beres, kalau tak ada nasionalis sebagai
anggotanya”. Atau Partai Bolsjewik itu memang beres, cuma sayang sekali ada
orang Bolsjewik menjadi anggotanya”. Kita kenal pendiri surat kabar Deli
Courant yang reaksioner itu. Tuan besar kebun yang tersebut adalah seorang
reaksioner sedang, yang menahan perkataannya di depan nyonya rumah. Dari mulut
lain dan tempat lain kita tak akan mendengarkan kritik yang “sesopan” itu.
dengan juara pembaca “Deli Courant” di lapangan kita sendiri tentulah tak
begitu susah memberikan “knocked otu” seperti umpamanya di Kongres Deventer
dimana kita berhadapan dengan para pelajar Belanda bakal B.B ambtenaren itu.
Perkenalan dengan para tetangga
nyonya-tuan, keduanya dokter Walch, memang berlaku atas dasar duduk sama rendah
tegak sama tinggi. Seperti sudah saya sebut lebih dulu, kedua suami isteri tertarik
oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman (experiment) tentang nyamuk malaria
anopheles. Nyonya lancar berbahasa Indonesia, menaruh perhatian besar pada
pergerakan nasional di kota Medan, bahkan rupanya ingin hendak berkenalan
dengan Indonesia terkemuka di Medan itu. Kepada saya diperingatkan bahwa tak
perlulah saya tulis menulis surat kalau ada tempo buat mampir.
Semua perkenalan diatas dilakukan
menurut adat (formeel), tetapi diluar itulah banyak lagi perkenalan yang
dilakukan di sosieteit atau di lapangan tenis dan bola. Selain dari itu ada dua
tiga orang Belanda di Medan yang sudah menjadi teman saya, ialah
sosial-demokrat kiri dan ketua Assistent-Bond.
Umumnya semangat anti inlanders dari
para tuan kebun masih tebal, hanya rupanya ditutup. Tetapi ada juga dua-tiga
sahabat yang jujur. Baik juga dicukupkan gambaran pergaulan ini dengan tiga
“terwelu”, hazen ialah tuan-tuan: Hazevoet, Hazewinkel dan Hazejager. Ketiganya
adalah pegawai Senembah Mij dan ketiganya rapat hubungannya dengan saya.
Hazevoet bekerja di apotik, pemuda Belanda, ramah tamah, sering mampir di rumah
saya dan berpandangan sosialis. Hazewinkel sekapal dengan saya berangkat ke
Indonesia. Dia lama hidup diantara bangsa Kaffier dan lain-lain di Afrika, tak
bisa lagi membedakan warna kulit manusia itu, asal isinya baik. Di Nederland
dijanjikan kepadanya untuk menjadi kepala pabrik palm yang akan didirikan oleh
Senembah Mij, karena dia mempunyai pengalaman hal itu ketika di Afrika sebagai
“skilled labourter”. Tetapi baik berhubungan dengan pangkat maupun dengan gaji
ia amat merasa kecewa dan susah, selain ia memutuskan perhubungan dengan
Senembah Mij dan berangkat ke Jawa, lebih dulu meminta pertimbangan kepada saya
sebagai sahabat kepercayaannya. Hazejager adalah seorang Jerman tulen. Tentulah
pecinta negaranya dan masih sedih karena daerah Jerman Barat masih diduduki.
Dia kawin dengan seorang Indonesia Batak,
yang bukan Islam atau Kristen, melainkan yang tulen di gunung. Bukan
kawin seperti nyai, ialah perkara yang lazim di kebun, melainkan secara Batak
tulen yang tidak gampang. Dua tiga tahun dia mesti berusaha merebut hati dan
kepercayaan gadis Batak yang terkenal tidak mudah diperdayakan itu. Dia harus
kawin secara Batak asli, memakan masakan yang asli pula. Dia mempunyai anak
yang sangat dicintainya seperti istrinya. Hazejager tak banyak filsafatnya
tentang politik kebangsaan dan perdamaian...Kembalikan dulu batas Jerman asli,
bisa damai dengan bangsa Jerman”. Tak perlu saya terangkan kepadanya, bagaimana
paham saya tentang batas Negara dan bangsa Indonesia. Di waktu pertentangan
saya dengan kaum kolot di Senembah Mij. Hazejagerlah yang berkali-kali membuka
rahasia Tuan-tuan Besar Kebun yang berkomplot terhadap saya.
Pertentangan saya dengan tuan besar,
kebun berpusat pada empat perkara:
1. Warna kulit
2. Pendidikan anak kuli
3. Tulis menulis dalam surat kabar
di Deli dan
4. Perhubungan saya dengan kuli
kebun.
Keempat-empat perkara ini sumbernya
tentulah terletak pada pertentangan Belanda – Kapitalis – Penjajah dengan
Indonesia – Kuli – Jajahan.
Warna kulit! Perasaan...lain
daripada Inlanders yang tergambar pada perlainan kulit, tak akan hilang selama
Belanda putih memonopoli kedudukan sebagai kapitalis-penjajah di atas inlanders
– sawo terjajah. Perasaan sombong itu cuma bisa ditutup secara “spontan”.
Tetapi kalau hal itu diserahkan sama sekali kepada “kesopanan” Belanda saja,
maka kita akan terus menerus merasa terhina saja. Kita mesti selalu siap di
Neederland di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di
lapangan sport, ialah jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah
kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan.
Kalau dia di lorong-lorong atau di jalan raya memanggil-manggil “vuile Neger
ataupun water Chinees”, lantas kita hampiri dan tanya “apa kamu bilang,
sebutkan sekali lagi”, sambil bersiap sedia maka 99 dari 100 kejadian dia akan
berkata:....”niets meneer atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda
sedikit tersinggung, lalu memaki kita, janganlah sekali-kali makiannya itu
dijawab dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula
“grote beek opzetten”, Hantamlah saja tetapi secara sportief !!! Pasti dia akan
menjadi sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya: Belanda
jangan sekali-kali dikasih hati.
Perasaan segan ialah perasaan Timur
umumnya dari perasaan bangsa Indonesia khususnya, boleh dikatakan tak ada pada
Belanda. Atau dia takut dan menyembah, atau dia merasa lebih dan meminta terus
serta menendang terus.
Syahdan lebih dari 3 abad lampau,
maka karena pengalaman pahit, Jepang mengusir semua bangsa kulit putih keluar,
dan melarang bangsanya sendiri meninggalkan pantainya. Yang tinggal di Jepang
di pulau Kecil, pulau Dhasima terikat oleh perjanjian yang oleh bangsa lain
dianggap sangat menghina ialah: “Belanda.
Ketika Maharaja Langit di Kerajaan
Tengah ialah Tiongkok menuntut supaya semua duta asing ber-kow-tow, berjongkok
kepada anak langit itu, seperti dilakukan oleh para wakil negara takluk, maka
setelah lonceng berbunyi, yang memberi tanda bahwa kow-tow akan dijalankan maka
duta Inggris dengan cepat memegang punggung Belanda itu buat melarang. Duta
Inggeris mengerti, bahwa satu saja “blacleg”, penjilat bisalah merusak
kehormatan semua bangsa kulit putih yang berada di Tiongkok di masa itu.
Seperti kruidenier yang “minimum
programnya” pertama adalah untung, maka Belanda sanggup menjalankan taktik
strategi dari gertak sambel sampai ke-kow-tow.
Saya masih ingat di lapangan tenis
di Tanjung Morawa, bilamana kami mendapat kunjungan dari para tamu pemain tenis
dari lain cabang Senembah Mij. Atas permintaan pemimpin tenis, Boekhouder No.2
sudah dua kali saya menyerahkan raket saya kepada tamu-nyonya berturut-turut.
Apabila yang ketiga kalinya saya juga yang diminta mengalah, sedangkan ada lagi
tuan-tuan Belanda yang bisa diminta mengalah, sedangkan ada lagi tuan-tuan
Belanda yang bisa diminta mengalah, maka terpaksa saya tolak dengan
berterang-terangan. Di belakang collega saya pengurus sekolah, tuan W
memperingatkan bahwa saya terlalu cepat memperlihatkan sikap menjaga kehormatan
itu. Maka saya jawab: malahan sebaliknya. Tidak lama sesudah itu, maka dengan
collega ini sendiripun saya bercekcokan.
Entah karena kekurangan tidur siang
hari, di Nederland tentu dia tak mengenal tidur siang! Entah karena memang “met
het verkeerde been uit het bed gestapt”, entah karena “tropenkoller’s idee-nya
mulai bangkit, maka lupalah dia akan sosialisme dan anti hoogdscharp di
Nederland, yang belum sempat setahun yang lalu.
Pada suatu suatu hari, pertama kali
di waktu petang, ia datang di tempat saya bekerja. Dia mulai mencela cangkokan
murid yang katanya kurang dalam. Atau salinan bakul yang kurang kuat dengan
suara seperti suara tuan besar, sedangkan saya ada di sampingnya. Saya tak mau
biarkan begitu saja. Saya peringatkan kepadanya, bahwa anak-anak sudah lama
bekerja, dan ini cuma pelajaran tersambil, buat mendapatkan uang saku anak
miskin. Pelajaran yang terpenting adalah pelajaran yang biasa diajarkan kepada
bangsa apa saja dalam umur segitu, adalah pelajaran biasa di sekolah rendah.
Lagi kalau datang dimana saya bekerja, saya peringatkan supaya lebih dahulu
memberi tabik dan minta izin masuk. Apalagi mengeritik atau langsung marah pada
murid dibawah penjagaan saya, tak bisa saya benarkan. Lagi pula kalau pekerjaan
mesti dilakukan seperti maunya tuan W
datanglah sendiri memberikan instruksi tetapi bukannya kepada saya. Dengan muka
merah dia bertanya: “Siapa yang Kepala? Saya jawab: “Tak ada kepala, saya
datang di sini cuma untuk bekerja sama dengan kamu”. Kalau ada lain terjemahan,
pasti tak akan saya terima. Cuma saya heran, kenapa orang yang selang belum
berapa lama di negrinya sendiri berusaha menghapuskan “guru kepala” itu
sekarang lupa akan prinsipnya sendiri.”
Dia tak menjawab lagi. Tetapi zonder
ba of bu, dia langsung pergi ke tuan kebun, hoofd-administrateur, tuan T.
Tidak berapa lama antaranya saya
dipanggil ke kantor. Di sana saya berjumpa dengan tuan T, sendiri dan college
W. tadi Tuan T. memperlihatkan kepada saya surat tuan W kepadanya sebagai
tukang kebun. Maksud surat itu ia bertanya siapa yang kepala di semua sekolah
Senembah Mij.
Saya peringatkan kepada tuan kebun
bahwa perjanjian Dr. Jansen kepada saya, ialah supaya saya kerjasama dengan
tuan W untuk mendapatkan sistem yang cocok dengan keperluan anak kuli kebun.
Tuan kebun tak ambil pusing perkara
sistem yang cocok itu. cuma dia ajukan bahwa di kebun ini memang ada “kepala”
dan tuan W sudah lebih tua dan lebih berpengalaman daripada saya.
Saya majukan bahwa perusahaan kebun
sangat boleh jadi membutuhkan kepala, tetapi itu diluar daerah saya. Pada
pekerjaan saya, apalagi dalam mencari sistem yang cocok dalam pendidikan itu,
hal kepala mengepalai itu sama sekali tak ada pada tempatnya. Apalagi yang
menjadi kepala itu saya kenal sendiri di Nederland sebagai orang yang anti
kepala dalam sekolah. Memang saya akui tuan W. lebih tua dan lebih
berpengalaman. Tetapi pengalaman itu ada diantara murid Belanda, tentang jiwa
murid bangsa Indonesia saya tak sanggup mengakui kelebihan pengalaman tuan W dan
pengetahuan tentang jiwa murid itulah bagian yang terpenting dalam pekerjaan
kami di sekolahan.
Barangkali sebab tuan kebun tak
begitu atau tak banyak memusingkan perkara pendidikan, atau karena dia tak lama
lagi akan pergi perlop, atau karena tak lama lagi Dr. Jansen sendiri akan
berada di Tanjung Morawa, maka dia putuskan saja perkara tadi dengan
pertanyaan: “Maukah tuan-tuan maaf
memaafkan dan langsung kerja bersama?”
Saya tak keberatan. Kami pulang
seperti biasa.
Kesukaan tuan W adalah mondar mandir
naik auto dari ke kampung di Senembah Mij. Dan habis bulan mengirim laporan
tentang pekerjaannya kepada Senembah Mij. Buat saya, tujuan dan dasar cara
mengajar kepada anak kuli itu sudah mulai terang. Buat itu saya rasa perlu
mengetahui tabiat, kemauan dan kecondongan hati masing-masing anak. Saya rasa
pula perlunya satu pusat sebagai tokoh contoh (model). Untuk mendapatkan
semuanya itu tiadalah bisa main tuan besar terhadap anak kuli dan main auto
dari sekolah ke sekolah. Pada permulaan memangnya saya ikuti tuan W. mondar
mandir itu. Tetapi sesudah beberapa kali, saya insaf bahwa ini cuma
membuang-buang waktu dan bensin saja.
Saya lebih merasa perlu, selainnya
rapat kepada anak-anak juga mesti rapat kepada para orang tuanya. Keduanya amat
mudah dilakukan dalam masyarakat Indonesia tulen, tetapi amat susah dilakukan
di masyarakat kebun. Saya terapit di antara masyarakat Belanda “Tropenkollers”
dan masyarakat kuli kontrak. Kalau saya terlampau rapat kepada Belanda, maka
saya tidak mendapat kepercayaan penuh dari Bangsa sendiri. Sebaliknya, kalau
saya terlampau rapat dengan bangsa sendiri, maka saya akan sangat dicurigai
oleh bangsa Belanda.
Tetapi dalam hal pilih-memilih
kedudukan, maka keyakinan dan kewajiban yang senantiasa memberi putusan kepada
saya. Berangsur-angsur saya mendapatkan kuli atau pegawai yang saya ajak datang
di rumah saya, buat merundingkan itu.
Tentu bukanlah kehidupan anak kuli
saja, yang menjadi pokok pembicaraan, tetapi seluruhnya cabang penghidupan kuli
kebun. Sebentar saja saya sudah mendapatkan keyakinan betapa beratnya pekerjaan
mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya. Mereka terikat oleh
bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang mereka sendiri tak
bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan
hantu. Mereka terikat oleh kekolotan, kebodohan, kegelapan dan hawa nafsu jahat
itu sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian. Tiadalah ada hak dan
kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki nasibnya sepanjang aksi Sarekat
Buruh yang legal teratur. Memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh dengan
pengkhianatan bangsa atau calon-calonnya, apalagi dalam masyarakat kuli
kontrak.
Para tuan besar “Tropenkollers”
sudah berbisik-bisik dan mendapat tongkat pemukul saya, bukan saya perhubungan
dengan kuli kontrak yang mereka rasa haram, tetapi juga beberapa tulisan dalam
surat kabar, Liberal di Medan, Sumatera Post, dan perhubungan saya dengan para
pemimpin pemogokan Deli Spoor.
Pada satu malam Hazejager datang
tergesa-gesa ke rumah saya, “Zij Hebben het op jouw gemunt” (mereka berkomplot
terhadap mu) katanya: Mereka (para tuan
besar kebun) sangka, bahwa Ponco Drio penulis dalam surat Kabar Sumatera Pos,
adalah Tan Malaka. Mereka sangka, bahwa engkau ada hubungan dengan pemogokan
Deli Spoor, karena engkau pernah bicara dengan pemimpin pemogokan dan pernah
didatangi oleh para pemimpin disini. Mereka juga mendengar perkataan rapat
dengan kuli kontrak di rumahmu sendiri. Sekian laporan Hazejager kepada saya.
Besok harinya saya benar-benar
dipanggil oleh wakil tuan kebun ke kantor karena tuan kebun sendiri sedang
perpol. Tuan wakil kebun mengemukakan perkara tersebut kepada saya dan bertanya
benar tidaknya.
Beberapa bukti yang dimajukan saya
sangka kebenarannya karena memang diputar balikkan. Perkara Ponco Drio saya
minta tanya sendiri kepada Sumatera Post, supaya bisa disaksikan sendiri siapa
yang pembohong. Di samping itu saya memajukan hak saya sebagai orang Indonesia
Merdeka, ialah membantu mengangkat derajatnya bangsa saya dan berhubungan
dengan siapa saja yang saya anggap pantas.
Akhirnya saya memprotes pula
komplotan di belakang saya, yang namanya tak perlu saya sebutkan. Tetapi kepada
tuan wakil kebun saya majukan, jika fitnah itu dilanjutkan kalau perlu saya
minta dihadapkan bermuka dengan ahli fitnah yang bersembunyi itu. dengan wakil
saya berpisah dengan ramah tamah saja.
Saya memang pernah menulis dalam
surat kabar Sumatera Post, tetapi bukan dengan nama samaran Ponco Drio. Perkara
tulis menulis itu tentulah hak mutlak dan tanggung jawab saya sendiri.
Begitulah juga perhubungan saya dengan pemimpin Deli Spoor atau dengan kuli
kebun adalah perkara saya sendiri pula.
Herr Graf, tuan besar adalah
pemimpin komplotan terhadap saya, cukup mempunyai “Ausdauern” dalam semua
pekerjaan juga dalam pekerjaan fitnah-memfitnah. Tetapi Hazejager juga
mempunyai sifat Jerman yang terkenal itu, ialah “Ausdauern” dalam kejujuran
kepada temannya. Selain daripada itu tuan maskapai sendiri Herr Dr. Jansen, tak
begitu percaya saja terhadap segala tuduhan terhadap orang yang dikenal dan
mempunyai “Ausdauren” Jerman pula hendaknya bertemu muka dengan si tertuduh,
sebelum ia mempercayainya.
Hazejager datang lagi
tergopoh-gopoh, Tuan besar Graf terus membisikkan segala tuduhan yang tempo
hari dimajukan. Ditambah lagi dengan pendapatnya sendiri bahwa Tan Malaka itu
adalah seseorang yang tak tahu terima kasih. Coba pikir, katanya, Inlander Tan
Malaka itu dahulu di negeri Belanda diongkosi oleh Dr. Janssen, sekarang dia
berkhianat kepada Herr Dr. Janssen sendiri. Schreklich nich war?”
Besok paginya tergopoh-gopoh dan
gugup sekali Dr. Janssen datang di rumah saya. Saya belum lagi berpakaian,
belum sempat mengundang tuan duduk, tetapi Dr. Janssen sudah duduk sendiri dan
mulai berbicara dengan muka merah serta nafas terputus-putus. Tuduhan perkara
“rapat dengan kuli kebun”, tulis menulis dalam surat kabar dan berhubungan
dengan para pemimpin pemogokan Deli Spoor dibentangkan kembali di depan saya.
Kalau benar, kata Dr. Janssen itu
berarti menusuk dari belakang.
Saya sambut saja dengan satu
pertanyaan. Apakah tuan percaya juga atas fitnah yang lain, yakni saya belajar
di Nederland atas ongkos tuan?”
“Ach ya”, kata Dr. Janssen “Ik
geloof er zelf ook niets van”, saya sendiri tak percaya sedikitpun “Sebab
itulah saya sendiri datang kemari menyaksikan”
“Lekaslah berpakaian”, kata Dr.
Janssen pula” ini pagi ada rapat dari beberapa pegawai Belanda di seluruh
Senembah Mij. Saya minta tuan juga hadir.
Saya tak menyangka sama sekali,
bahwa pagi itu saya akan berada di antara para tuan besar dari semuanya cabang
Senembah Mij.
Yang mengherangkan saya pula, ialah
tak ada tuan-tuan kecil yang hadir. Lebih mengherankan pula, apabila saya tak
melihat Collega saya sendiri yang ingin menjadi “kepala atas saya tempo hari.
Jadi tak heran, kalau benar-benar saya terperanjat mendengarkan pertanyaan Dr.
Janssen kepada saya berhubungan dengan sekolah kebun. Sebetulnya tuan W.
collega sayalah yang mesti hadir dan memberi penerangan tentang pendidikan di
kebun itu.
Pertanyaan itu datangnya tiba-tiba,
apabila saya masih teringat dengan sudut mata memperhatika para tuan tanah yang
hadir, yang saya kenal cuma satu-satunya orang di antaranya ialah tuan besar
Tanjung Morawa, Herr Graf, musuh No.1. apabila sudut mata saya bertemu matanya,
maka dengan cepat ia menoleh ke lain tempat.
Memangnya orang berhati curang itu,
walaupun mempunyai Ausdauern Jerman, tak akan melihat sudut matanya inladerpun,
yang merasa dalam kebenaran.
Dalam suasana seperti itu tak ada
tempatnya buat memberi apa yang dinamai pemandangan lengkap tentang pendidikan
anak kuli. Lagi pula saya sudah mengambil putusan untuk diri saya sendiri,
tentang pekerjaan saya di hari depan. Saya berbicara pendek saja dan tujukan
kepada kesimpulan berikut: “Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah
mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si
murid, seperti dimaksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga,
bahwa disamping pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam
kemauan dan kebiasaan bekerja tangan dan perasaan menganggap pekerjaan tangan
adalah pekerjaan penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya dari pada
pekerjaan otak semata-mata. Bahwa Senembah Mij khususnya dan Deli umumnya tak
dapat akan ganti rugi, kalau disekitarnya banyak didapati buruh halus dan kasar
yang benar-benar cakap, efficient dan mempunyai keinginan hidup (standard of
living) yang tinggi. Mungkin pada
permulaan Senembah Mij harus mengeluarkan ongkos yang seakan-akan percuma,
tetapi lama kelamaan, in the long run, ongkos keluar itu akan kembali berlipat
tambah.
Saya insaf, bahwa saya berbicara
kepada orang-orang tuli, “spreken tegen dove man’s ooren”. Tetapi baiklah juga
diperdengarkan kepada para tuan besar kebun itu, bahwa anak kuli pun adalah
anak manusia juga. Disana sini sudah saya terdengar, bahwa sekolahan buat anak
kuli adalah jalan” membuang-buang uang saja. Apa gunanya anak kuli diajar. Dia
akan lebih brutal!” dari pada bapaknya. Mandor ini tak perlu sekolah rendah 5
tahun. Si Kario juga cuma sekolah desa. Walaupun begitu dia bisa mengurus
listrik. Si Mubal, si Sastro, apa sekolahnya? Toh bisa membikin obat ini atau
itu. 99% kuli kebun ini buta huruf. Toh bisa menanam tembakau. Suruh saja anak
kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang, guru itu
semuanya bikirn gaduh saja di kebun-kebun. Menambah “ontevreden” orang tak
senang saja, dan menambah anggota Sarekat Islam saja.
Inilah logika Belanda kebun, bekas
“leegloopers di Nederland! Saya tahu bahwa Dr. Jansen yang mengusulkan
mendirikan sekolah buat Senembah Mij itu, oleh para tuan besar dianggap sebagai
idealis, “ethis”, sebagai orang goblog dan diejek-ejek dibelakangnya.
Dimasa Ratu Katharina di Rusia,
kalau saya tak salah, hidup seorang Perdana Menteri bernama Potemkin dalam
memberi jawaban atas pertanyaan Sri Ratu, isi pidatonya cuma satu: “Rakyat
senang, padi menjadi, hai Tuanku”. Kalau Sri Ratu ingin mempersaksikan dengan
mata kepala sendiri kesenangan rakyat dari kemajuan perekonomian itu, maka
Potenkim membawa Sri Ratu kepada desa yang bagus, yang disiapkan istimewa lebih
dahulu dibuat kunjungan saja. Desa yang bagus yang diperhias buat kunjungan Sri
Ratu itu dinamai Desa Potenkim”. Sri Ratu Katharian “dikantongi” saja oleh
Potenkim untuk menghindari desa dan kampung yang kotor miskin, dan baru
dikeluarkan dari “kantongnya” untuk mengagumi desa perhiasan, desa Potemkin.
Benar rupanya: “Rakyat senang, padi menjadi”.
Di Senembah Mij ada juga “Desa
Potemkin itu Sri Ratu Katharina juga ada. Cuma Potemkin itu berkarma pada
tubuh-tubuh tuan kebun dan Sri Ratu Katharina berkarma pada Herr Dr. Jansen,
bersemayam di Nederland. Desa Potemkin di Senembah Mij, dibikin atas permintaan
Dr. Jansen sendiri, buat kuli kontrak yang sudah lama bekerja. Mereka mendapat
rumah sendiri dengan kebun sendiri. Disamping desa Potemkin inilah sekarang
diadakan sekolah Potemkin buat menyenangkan hati idealist, ethist Herr Dr.
Janssen. Oleh tuan kebun, Dr. Janssen dikantongi waktu melalui bangsa kuli, dan
dikeluarkan dari kantong baja auto chrysler buat menyaksikan dan mengagumi desa
sekolah Potemkin.
Saya tahu bahwa tak lama lagi Dr.
Jansen akan kembali ke Nederland. Saya “anak angkatnya ini akan tinggal
sendirian di antara tuan besar yang memusuhi warna kulit, paham politik, bahkan
pekerjaan saya. Maksud saya yang terpenting sudah tercapai. Pertama mendapatkan
pengalaman antara kuli kontrak. Kedua mendapatkan uang buat membayar hutang
kepada desa dan bekas guru saya. Sebagian besar dari hutang ini sudah langsai
(terbayar). Dengan reserve yang saya simpan sendiri semuanya kalau perlu, bisa
saya lunaskan. Sudah terlampau lama saya berada dengan menutup mata telinga
dalam masyarakat yang rendah. Satu kali saya rupanya terlanjur menuliskan
tingkah lakunya Belanda kebun, terutama terhadap perempuan kuli kontrak.
Balasan surat kepada saya ditulis oleh tangan wanita, dahulunya saya kenal
sebagai Nona Mathilda Elzas, onderwijzeres, dan sekarang nyonya Horensma guru
saya itu. tulisan itu pendek saja...Als je het daar niet be alt, kom dan maar
bij ons terug”. Heusch, genoeg ander werk. (Kalau tak senang disana kembalilah
kemari. Sungguh cukup pekerjaan lain).
Kebetulan pula sesudahnya rapat tuan
besar kebun tadi saya diajak oleh Dr. Jansen berjalan-jalan. Saya tiada
ragu-ragu lagi mengambil keputusan. Kata saya: “Tuan sudah saksikan sendiri
bagaimana suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya seorang
Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli, maka sekolah anak kuli
itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih baik saya minta berpisah dengan tuan
sendiri”, demikianlah usul saya.
Saya tak ingat apa yang dikatakan
tuan Dr. Janssen, mungkin juga tak apa-apa. Orang yang mempunyai perasaan halus
seperti Dr. Janssen masakan tak mengerti akan haluan saya, perjuangan dan
kesulitan saya. Malam itu juga saya diundang oleh Dr. Janssen ke rumahnya Dr.
Pel. Di sana selain Dr.Pel dan Dr. Janssen sudah berada Prof. Schuffe, ahli
malaria yang terkenal. Inilah malam perpisahan, Dr. Janssen juga sudah menyuruh
kantor membawa gaji saya buat 2 bulan dan membeli karcis kelas I untuk ke Jawa.
Dari teman saya dengan “Dr. Jansen
dengan undangan kepada para tuan tanah dan selamat berpisah untuk menunjukkan
penghargaannya dan mengembalikan kehormatan yang selama ini diinjak-injak oleh
para tuan besar.” Tetapi Boekhouder No.1 yang pertama menolak permintaan saya
buat berkenalan lebih kurang 2 tahun lampau itu, membisikkan ke kiri kanan:
Guna apa kelas 1 buat (Inlander Tan Malaka itu). Mungkin dia tak senang di
kelas 1 itu (masakan “Inlander” senang dengan yang baik?)
Sebelumnya berangkat ke Indonesia
pada suatu hari, maka buat penutup ongkos dan sebagai penghargaan atas lezing
tentang lembaga dan adat istiadat salah satu daerah di Indonesia. Atas
permintaan tuan Boissevain, Handelsvereeniging Amsterdam saya menerima “enveloppe
yang berisi. Perkara biasa! Yang sedikit luar biasa sesudahnya itu, ialah
kebetulan saja dalam kereta dari Bussum ke Amsterdam, disamping saya di kelas
tiga, duduk seorang tuan, berusia tinggi, mata tajam dengan pertanyaan: Tuan
Tan Malaka?” saya syahkan dengan sedikit tercengang sebab tuan itu belum pernah
saya kenal. “Saya Jansen”. Saya menerima laporan tentang sekolah anak-anak kuli
kebun di Deli. Cobalah tuan periksa. “Apabila saya hendak baca, maka tuan
Janssen berkata lagi: “Simpan sajalah dulu, nanti baca kalau kembali di rumah.
Sesudahnya itu saya minta tuan datang di kantor saya di Amsterdam untuk memberi
pemandangan tentang laporan itu.”
Demikianlah, di kantor Amsterdam itu
saya menerima tawaran Dr. Jansen itu buat bekerja dengan tuan W. di Deli untuk
mendapatkan sistem pendidikan yang cocok dengan keadaan disana.
Setelah berpisah dengan Dr. Jansen
dan sesudah beberapa bulan saya di Semarang, maka dari guru Horensma saya
mendapat surat yang mengucapkan salam dari Dr. Jansen. Surat itu mengatakan
pula bahwa Dr. Jansen masih memberi perhatian penuh kepada saya.
Benar pula setelah tiba di Nederland
sesudah dibuang dari Indonesia pada permulaan tahun 1922, maka saya dengar dari
teman, bahwa Dr. Janssen hadir dalam rapat, dimana saya berbicara tentang
pendidikan. Dalam rapat buat pemilihan anggota Majelis Rendah Nederland dimana
saya dicalonkan, saya lihat hadir juga keluarga Dr. Janssen.
Tetapi saya tak bertemu lagi dengan
Dr. Janssen. Anaknya P.W Janssen, terkenal sebagai dermawan di Nederland.
Dr. Janssen walaupun berbudi luhur,
cukup arif bijaksana merasakan jurang yang luas dan dalam diantara pemandangan
politik kami. Tak sekali ini saja dan tidak dengan bangsa kulit putih saja saya
merasakan lakonnya kesedihan “tragedy” hidup: bisa sehilir semudik, seminum
semakan, tetapi tak bisa seperjuangan
sepasukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar