Jumat, 08 April 2016

Sumbu Bonjol - Malaka

   

MENUJU PROLETARIAT ASLIA REPUBLIK INTERNASIONAL (PARI)

Tan Malaka menganggap buku yang direncanakannya ini, Gabungan Aslia (Federasi Aslia), bersama otobiografinya dan Madilog sebagai wasiat politiknya.
Bagaimanapun ia tak bisa menyelesaikan buku ini sampai akhir Perang Dunia II. Menurut Ensiklopedia Indonesia Van Hoe 1954-1956, Pari adalah nama partai yang pernah didirikannya di Bangkok tahun 1927. Nama partai ini berubah pada tahun 1946, dari Partai Republik Indonesia menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.
Bagaimana Tan Malaka melahirkan konsep Aslia?
Pertama, Tan Malaka adalah satu dari sedikit pemimpin Indonesia generasi yang sama yang telah mengadakan perjalanan di kawasan Asia Tenggara. Ia tinggal di dan singgah di Rangoon, Bangkok, Singapura dan Manila.
Kedua hubungannya yang dekat dengan nasionalis terkemuka Filipina, boleh jadi membuat Tan Malaka berpikir dalam kerangka Aslia sebagaimana gagasannya tentang Pan-Malaya.
Ketiga Tan Malaka kembali mengenang saat ia “mendapatkan” otoritas sebagai supervisor gerakan komunis di Seluruh Asia Tenggara dan Australia” tahun 1923, sehingga semua negara ini harus disatukan dalam sebuah federasi.
Kesatuan geografi, iklim, ras, ekonomi dan psikologi semakin diperkuat dengan adanya musuh imperialis yang satu di bawah pemerintahan imperialisme Inggris.
Elemen-elemen Aslia yang dimaksud adalah: Burma, Siam, Annam, Malaka, Indonesia, Filipina dan Australia.
Dalam Madilog, Aslia sesungguhnya hanya merupakan satu dari delapan komponen dunia sosialis yang akan datang. (Amerika Utara, Amerika Selatan, Cina, Hindustan, Afrika, Eropa Barat dan Uni Soviet).
Bahkan komponen paling akhir dari 8 komponen dunia sosialis (bandingkan dengan BIRACS) ini, Hindustan, diharapkannya akan mencapai tahap pembangunan sosialis. Yakni berhasil mengatasi beban budaya Hindu yang menindihnya.
 Tan Malaka memuji Cina karena kualitas-kualitas Madilog yang berlaku di sana. Ia menulis: “Ilmuwan Cina membangun pengetahuan berdasarkan bukti dan kenyataan. Mereka berpijak di bumi”. Nilai-nilai animisme dan dinamisme dalam pandangan Tan Malaka merupakan “landasan dasar kesamaan rakyat Indonesia dan Cina”
Pengharapan Tan Malaka yang tinggi terhadap bangsa Cina ini ditulis dalam otobiografinya. Bisa dipastikan bahwa sumber utama penghargaan yang besar ini didapat sewaktu tinggal di Cina.

Konsep Sejarah Aslia Menurut Tan Malaka

Dalam pandangan tradisional Minangkabau, “Sejarah berjalan menuju tujuannya, tetapi dasar Alam dan irama perkembangannya harus tak berubah.  (??)
Konsepsi semacam ini bukan sekedar landasan guna melihat masa lalu, namun yang lebih penting, merupakan sebuah pesan untuk masa yang akan datang.
Bagi Tan Malaka motor penggerak sejarah adalah pikiran rasional. Untuk menggerakkan  sejarah lebih banyak dibutuhkan akal daripada perjuangan klas.
Sejarah harus berjalan naik dengan tujuan penyempurnaan masyarakat.
Keyakinan Tan Malaka terhadap tujuan mulia dan perjalanan naik sejarah Indonesia dengan jelas dikemukakan di bagian akhir Madilog.
Ini akan merupakan era Indonesia merdeka dan sosialis, suatu era ketika cara berpikir Madilog dipraktekkan secara luas dan memberikan surga bagi manusia. Era Proletar Aslia Republik Internasional.
Namun karena era ini masih jauh dari kenyataan saat ia menulis Madilog, era ini hanya bisa dilukiskan dalam imajinasi. Meski demikian gambaran masa depan seperti inilah yang menjadi inti Madilog.
Di atas semuanya gambaran ini memberikan konotasi yang kuat mengenai “pesan untuk masa yang akan datang” dalam pandangan Tan Malaka mengenai sejarah.
Nilai-nilai budaya cara berpikir Madilog tak akan mendapatkan kemenangan sampai dimulainya era Indonesia merdeka dan sosialis.
Namun sejak awal sejarah Indonesia, nilai-nilai ini sebenarnya sudah ada.
Nilai-nilai ini sudah sejak dahulu kala memberikan memberikan landasan penting perkembangan sejarah.
Pada periode tertentu kemunculannya memberi sifat baru setiap peristiwa.
Keberadaan permanen nilai-nilai ini ditekankan berulang-ulang dalam Madilog, khususnya pada bagian yang membahas konsep Tan Malaka tentang periode pertama sejarah Indonesia, apa yang disebutnya sebagai Indonesia Asli.
Melalui gambaran periode ini, yang menyebut keberadaan nilai-nilai kultural yang sama dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercipta landasan permanen bagi Alam dan perkembangannya.
Konsep Tan Malaka tentang sejarah selalu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik (dialektika: tesis-antitesis) merupakan bagian terpenting bagi segala bentuk integrasi atau kemajuan.
Kalau diurut secara kronologis adalah sebagai:
Indonesia Asli, Budha-Sriwijaya, Hindu-Majapahit, Islam, Belanda, RI, PARI.
   
 Selama masa ini, setelah kehancuran cara hidup Indonesia Asli, perjalanan sejarah Indonesia bergeser jauh dari sumbunya. Sejarah Indonesia bergerak ke  luar, pada saat cara berpikir ketimuran muncul dan berbenturan dengan cara berpikir Indonesia Asli.
Oleh karenanya dengan caranya sendiri sejarah Indonesia mendorong perkembangan Alam dan meratakan jalan bagi integrasi penuh masa depan yang merdeka dan Indonesia yang sosialis.
Dalam bahasa yang digunakan Tan Malaka, periode Hindu-Belanda adalah antitesis, konflik dengan tesis (Indonesia Asli),  konflik ini mengubahnya menjadi sintesis “Indonesia merdeka dan sosialis”.

Periode Indonesia Asli

Dalam pandangan Tan Malaka, rakyat Indonesia Asli percaya pada kekuatan yang melekat pada barang-barang material dan spiritual. Mereka belajar menilai secara realistis baik kekuatan Alam maupun kekuatan mereka sendiri.
Mereka juga belajar bagaimana mempergunakan kekuatan mereka secara efektif; dan mereka “lebih praktis, lebih nyata, lebih memperhatikan bukti nyata daripada rakyat di tempat lain pada zaman yang sama dan daripada bangsa Indonesia sendiri sejak bercampur dengan orang asing (Barat)”.

Bagaimana cara berpikir orang Indonesia Asli?

Sangat dekat dengan materialisme-Madilog.
Dinamisme Indonesia Asli, seperti digambarkan Tan Malaka, sangat dekat dengan apa yang ia sebut dialektika-Madilog, karena rakyat Indonesia Asli “lebih energik, lebih berani dalam memulai upaya-upaya baru yang penuh bahaya daripada keturunan-keturunan mereka.
Yang penting cara berpikir rakyat Indonesia Asli tergantung secara langsung pada pengaruh rantau  (migrasi yang memisahkan Indonesia dengan Semenanjung Malaka dan Australia) yang menguntungkan.
Tan Malaka menulis bahwa perantaulah yang membawa kualitas-kualitas tersebut ke Alam Indonesia Asli.
Pada masa menjelang zaman sejarah mereka mencapai kepulauan Indonesia dari Asia Tengah (bagaimana mereka sampai di sana? Dan bagaimana kembali pulang?) melalui perjalanan panjang yang menentukan. Perjuangan panjang menaklukkan hutan-hutan dan gunung-gunung yang sulit dilalui telah mengajar mereka satu cikal bakal cara berpikir Madilog, mereka lalu membawanya ke Indonesia bersama dengan pengetahuan mereka yang telah maju tentang perkakas hidup, perkapalan, pertanian dan perbintangan.
Tan Malaka menganggap “yang baik dari rantau” ini sebagai kondisi yang mutlak ada bagi perkembangan Alam (Indonesia Asli).
Seandainya orang Indonesia Asli yang datang dari Asia Tengah ke kepulauan ini tak membawa serta seni membuat peralatan dari tembaga dan besi, mereka mungkin hanya akan mengenal alat-alat yang tak lebih dari yang digunakan oleh saudara kita di Irian atau di Ulu Pahang, Malaya atau di pegunungan Pulau Luzon hingga sekarang. (mengapa bisa terjadi perbedaan alat antara yang ada di rantau dengan di alam?)
 Rangsangan dari rantau yang sama telah menghidupkan model organisasi politik yang sangat dipuji oleh Tan Malaka dalam Madilog. Kualitas pokok organisasi politik ini yang disebutnya kerakyatan, sebuah  istilah yang sering diterjemahkan demokrasi adalah fenomena pengambilan keputusan di dalam masyarakat Indonesia Asli, contohnya di Minangkabau.
Menurut Madilog, karena bantuan rantau, orang Indonesia Asli berhasil mengembangkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang khusus di bawah pimpinan datuk, yang merupakan pimpinan yang dicintai rakyat karena dipilih dari antara rakyat.
Hukum dan adat yang tumbuh dalam masyrakat hanya berfungsi untuk “menjamin kesejahteraan masyarakat”. Gambaran ini sesuai sekali dengan konsepsi Minangkabau (Indonesia Asli) tentang tatanan politik ideal.
Dalam keseluruhan konsepsi Madilog, yang paling penting adalah bahwa Indonesia Asli terbukti kuat sekali menjaga identitas keasliannya untuk periode yang panjang, yang juga berarti menjaga keseimbangan masyarakat.
Kemampuan inilah yang telah memberi nama Indonesia  Asli: di bagian manapun dalam Madilog disebut dengan Indonesia sebelum “bercampur dengan orang asing” atau sebagai zaman “ketika rakyat Indonesia masih memiliki perasaan harga diri yang tinggi”.
Tan Malaka memberikan ilustrasi yang luar biasa dan menyolok mengenai kualitas ini. Yakni dengan fenomena amuk.
Seperti dikemukakannya, amuk bukan gejala sakit jiwa sebagaimana anggapan umum ilmuwan Barat, juga bukan jenis kemarahan khas orang Asia.  (Bagaimana kemarahan orang Asia lain?)
Menurut Tan Malaka amuk merupakan bentuk pertahanan manusia yang paling efektif dalam menghadapi tekanan besar atau penghinaan dari luar, serta untuk menghadapi kelemahan akal.
Seorang yang dihina secara semena-mena atau dengan sengaja diekploitasi, dijajah dan disiksa harus marah jika kemanusiaannya belum hancur sama sekali.
Ada kemarahan yang tidak pada tempatnya dan ada yang wajar pada tempatnya. Yang terakhir saya sebut murni (egois), karena jika dorongan (nafsu) untuk marah telah mati, mati pula bersamanya  dorongan untuk balas dendam, dorongan untuk melenyapkan segala keburukan dan kebusukan dalam masyarakat.
Jika kemarahan murni di satu sisi menyebabkan kutukan dan di sisi lain kesombongan menyebabkan kegagalan, kesusahan atau penyesalan, maka kutukan seorang pawang bisa dianggap sebagai keberhasilan.

Periode Kegelapan 

Periode pertengahan dalam sejarah Indonesia menurut konsep Tan Malaka dimulai sejak abad pertama sebelum Masehi dan masih ada hingga tahun-tahun ditulisnya Madilog.
Tan Malaka menganggap misi hidupnya adalah menyalakan revolusi.
Apa rintangan terbesar terhadap misi ini? Adalah cara berpikir periode pertengahan.
Oleh karena itu periode kegelapan menjadi fokus konflik tidak hanya dalam mengembangkan Indonesia Asli (Dari Menuju Indonesia Merdeka ke Menuju Aslia), namun juga dalam kehidupan pribadi Tan Malaka dan siapa saja yang meneruskan cita-cita tersebut. Di sinilah terletak  panggilan buat generasi yang akan datang).
Orang Indonesia periode jaman kegelapan berpandangan non-materialis; hanya berlandaskan pikiran, bukan pada kenyataan dan pengalaman.
“Hilang fakta. Hilang bukti. Hilang ketenangan. Hilang kebebasan menilai,” tulis Tan Malaka. Sebagai konsekuensi pandangan idealis ini, perjalanan sejarah menuju kesempurnaan masyarakat terganggu.
Sejarah periode ini tak membawa misi untuk masa mendatang dan tak mendorong gerak maju sejarah. Karena dominasi cara berpikir yang  anti-Madilog, tak ada semangat dan inisiatif.
Sebagai akibatnya cara hidup dalam periode ini berubah.
Masyarakat Indonesia mengalami transformasi dari era perantau Indonesia Asli menuju “masyarakat yang terpaku dalam lumpur”.
Kerajaan hadir menggantikan kerakyatan. Jiwa Indonesia Asli relatif tak mengenal konsep penguasa seperti periode kegelapan. Para penguasa periode kegelapan adalah pembawa kebudayaan Hindu atau Belanda.
Di samping itu meskipun mereka berhasil menaklukkan Indonesia, mereka tak berhasil menyebarkan kebudayaan mereka di antara suku bangsa Batak, Kubu, Dayak, Toraja dan rakyat Indonesia lain di luar Jawa.
Terhadap orang Jawa sendiri mereka “menanamkan dan memperkokoh perasaan rendah diri (inferiority complex) rakyat Jawa”.
Sebagai landasan bersama semua semua keburukan ini, Tan Malaka merujuk pada fakta bahwa periode kegelapan warga Indonesia kehilangan identitas (Di sini peran Madilog untuk melakukakan revolusi mental), keaslian mereka, keyakinan mereka pada pembentukan permanen Alam. Keseimbangan antara Alam dan rantau terganggu (tidak pernah melakukan penjelajahan Samudra lagi karena penjajahan bangsa asing) dan konflik yang dibawa dari penjajah menyebar di Kepulauan Indonesia.
Sebagai satu manifestasi dari kondisi yang menyedihkan ini Tan Malaka menulis, “Sampai sekarang rakyat Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan dari luar dirinya; orang Indonesia tak mau lagi menyingsingkan lengan baju mereka.

Pengaruh India dan Belanda adalah penyebab utama kebobrokan zaman kegelapan.

Pengaruh kebudayaan “para tuan” India telah mengakhiri era Indonesia Asli dan melahirkan era kegelapan. Ekspresi tertinggi pengaruh yang merusakkan ini adalah seni Yoga dalam kebudayaan Indonesia.
Sementara amuk oleh Tan Malaka dinilai sebagai manifestasi identitas, kepercayaan diri dan dinamisme Indonesia Asli, sebaliknya yoga dinilainya “membunuh segala aktivitas pikiran”.
Manifestasi pengaruh kebudayaan India terhadap kebudayaan Indonesia lainnya yang sangat dilawan Tan Malaka adalah konsep ahimsa dan “kodrat jiwa” dari Mahatma Gandhi.
Kedua konsep Gandhi ini, menurut Tan Malaka, bertentangan dengan akal, sangat gelap maknanya bagi orang berakal”.
Jika kedua konsep ini diterapkan sungguh-sungguh, tak akan ada dokter, pabrik, ilmu pengetahuan. Singkatnya tak akan ada kemajuan sama sekali. Sistem kasta di India yang bertentangan dengan kerakyatan tak akan memberikan harapan dan kemungkinan perkembangan kemanusiaan.

Periode Islam

Tradisi Asli ini diteruskan oleh Islam, yang menjadi pusat dan daya dinamis inti Alam yang permanen.
Periode kegelapan benar-benar gelap, karena perjalanan naik sejarah Indonesia menuju kesempurnaan masyarakat menyimpang ke luar, menjauh dari sumbu dan cahaya intinya memudar. Dengan perspektif seperti ini wajar sekali bila Islam sangat berarti.
Tan Malaka mengakui Alam Minangkabau sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhinya untuk menempatkan Islam pada tempat yang penting dalam sistem konseptualnya:
Sumberku belajar Islam adalah sumber yang hidup. Sebagaimana telah aku sebutkan sekilas, aku dilahirkan di lingkungan keluarga yang memeluk Islam. Pada waktu sejarah Islam Indonesia sedang merosot, seorang alim ulama lahir di lingkungan keluarga kami, yang hingga sekarang masih dianggap sebagai orang suci. Sewaktu aku masih kanak-kanak aku sudah mampu mampu menafsirkan Al-Qur’an dan dipercaya sebagai guru bantu.
Menurut CC. Berg, “Hinduisme di Sumatera berpengaruh kecil sekali atas Islam dibandingkan di Jawa. Oleh karenanya Islam di Sumatera lebih murni”.
Aliran pembaruan Islam, yang mencapai kepulauan Indonesia dari pantai Barat Arab pada peralihan abad duapuluh “disaring masuk Indonesia, pertama secara prinsip melalui anggota masyarakat Minangkabau yang berorientasi komunalis”
Islamlah yang menjadi ekspresi ideologis kelenturan ekonomi dan keberanian berusaha pedagang Minangkabau yang luar biasa. Gagasan dasar pembaruan Islam adalah menguasai pengetahuan dan metode-metode Barat dan memurnikan Islam agar menjadi “senjata bagi pembaruan sosial dan politik.”
Oleh karena itu tak diragukan lagi bahwa para intelektual Minangkabau pada waktu itu sangat dipengaruhi pembaruan Islam.
Mereka menggunakan pembaruan itu secara efektif sebagai senjata dalam perjuangan menuntut persamaan dan mereka juga melihat kedekatan dasar antara Islam dan nilai-nilai dasar masyarakat Minangkabau.
Tak diragukan bahwa semakin Islam dikenal sebagai kekuatan pendorong pergerakan nasionalis Indonesia (Menurut Bouman, Islam melalui penekanan solidaritas seluruh Muslim (sesama Muslim Bersaudara) berfungsi sebagai “faktor yang aktif untuk menghilangkan nasionalisme regional”) , intelektual Minangkabau cenderung melihat Islam sebagai simbol superioritas budaya mereka dalam pergerakan seluruh Indonesia dan simbol peran menentukan yang telah digariskan bagi Minangkabau pada masa depan Indonesia.
(Posisi Islam berada diantara Kerajaan Hindu dengan Imperialisme Barat. Memberi pencerahan pada jaman kegelapan Hindu dan penentang Hegemoni Barat, ketika Barat menaklukkan Hindu/India. Begitu juga dengan persaingan global antara Islam dengan Barat)
Kebijakan-kebijakan Belanda yang menindas tak berhasil menghapus Islam sebagai unsur penting budaya dan kehidupan politik Minangkabau. Sebaliknya bagi banyak orang Minangkabau, tindakan Belanda terhadap Islam dipandang sebagai tindakan yang merusak atau mengakibatkan ketidakseimbangan di Alam dan Madilog adalah contoh nyata dari pandangan ini.
Perlawanan Islam menentang kaum kafir Belanda dipahami oleh orang Minangkabau sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan mengembalikan keseimbangan Alam Minangkabau yang terganggu.
Bahkan gerakan komunis di Sumatera Barat, dalam tingkat tertentu, dipengaruhi oleh simbol Islam yang menyatukan. Cabang-cabang partai yang masih muda dan belum berpengalaman sepanjang tahun 1920-an memegang teguh orientasi keagamaan.
Kecendrungan ini dilukiskan dengan bagus sekali oleh pengikut Tan Malaka paling dekat, Djamalludin Tamin. Tamin memulai karir sebagai guru sekolah thwalib,  mengajarkan modernisasi Islam. Menurut sumber terbaru di Belanda, Tamin “berhasil menggabungkan pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi kepentingan rakyat yang sengsara dan miskin dengan kehendak dan tuntutan Islam yang sesungguhnya”. (Benda & McVey, The Communist Uprisings)
Dalam konsepsi Tan Malaka tentang Islam kita bisa menemukan nilai-nilai budaya yang kita dapati dari penggambarannya mengenai Indonesia Asli dan cara berpikir Madilog (Islam sebagai jembatan bagi Indonesia Asli seperti yang dilakukannya di Eropa sebagai penghubung bagi Yunani dengan Abad Kegelapan Eropa yang melahirkan Renaisance) .
Menurut Tan Malaka, berpikir realistis adalah prinsip Islam:
Dan bangsa Arab bukanlah Hindu. Pikiran mereka yang menjulang tinggi selalu kembali membumi. Sesungguhnya, berloncatan di antara awan dan bumi akan besar sekali gunanya. Tidakkah ilmuwan seperti Newton dan penemu seperti Edison harus mampu “terbang” dalam berpikir? Namun mereka “terbang” membawa hal-hal yang material dan menurut hukum-hukum tertentu.
Rasionalitas menjadi kualitas penting dalam cara berpikir Islam:
Dalam peperangan yang dilakukan oleh Mohammad kita tidak akan mendapati satu pun tipuan gaib seperti dilakukan oleh Arjuna dan Rama...Dalam keseluruhan perang Mohammad tak ada sesuatu yang mengingkari akal.
Islam juga memberikan sumbangan terhadap apa yang dipahami sebagai kebaikan yang diperoleh dari rantau sampai ke budaya Barat modern:
Di kalangan sejarawan (Kristen Barat) yang ilmiah terdapat pengakuan bahwa kebudayaan Islam di zaman kegelapan Eropa telah menjembatani kebudayaan Yunani dan Romawi di satu pihak dengan kebudayaan Eropa modern di pihak lain.
Islam membawa filsafat Yunani sampai Kristen yang tetap berdasarkan dogma dan keyakinan. Seorang ahli fisika dan filsuf bernama Ibnu Rushdi, yang di dunia Barat dikenal sebagai Averoes, seorang murid Aristoteles yang besar...oleh masyarakat Kristen Barat di zaman kegelapan dipandang dengan kekaguman dan kecemasan, sebagaimana Barat kini memandang Marxisme.
Murid-murid Kristen yang kembali ke Eropa Barat dan Eropa Utara dari pendidikan filsafat mereka di Spanyol dengan diploma yang mereka peroleh dari guru-guru Arab mereka, oleh para pendeta Kristen dianggap sebagai kelompok revolusioner.
Tiga Universitas Averoes di Italia mengembangkan “rasionalisme” sebagai sayap kiri Islam di Eropa. 
Tan Malaka juga mencatat bahwa Mohammad membawa ajaran-ajaran kepada rakyat bangsanya dari rantau. Ia berusia 25 tahun ketika memulai perjalanan besar.
Pada saat inilah ia menemukan tempat dan saat yang tepat untuk membersihkan pikiran, merenung, mencari kebenaran, mengoreksi segala sesuatu dan memperdalam pikirannya tentang segala macam pertanyaan.
Di berbagai tempat yang sunyi dan sendirian di bukit di luar Mekkah, banyak pertanyaan muncul. Langit di atas wilayah Arab bersih dari awan di malam hari. Diterangi bulan dan bintang suasana menarik bagi orang yang sungguh-sungguh. Tak diragukan lagi, pemuda Mohammad dirisaukan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang menyusun bulan dan jutaan bintang itu dalam keteraturan pasti? Siapa menurunkan hujan yang membawa kehidupan bagi tumbuhan, binatang dan manusia? Tak ada tulisan atau sekolah yang mengajarnya tentang bahan-bahan yang hidup semacam itu. Sebaliknya bahan-bahan hidup yang dimilikinya menjadikan Mohammad bin Abdullah menciptakan tulisan dan keilmuan baru.
Dalam pandangan Tan Malaka, ajaran Islam sadar sekali tentang perjalanan sejarah menuju ksempurnaan masyarakat, sehingga sejarah Islam jauh lebih maju dibandingkan histografi Hindu yang idealis. Dari kesadaran ini muncul dinamisme Islam dalam perjuangan mencapai kesempurnaan masyarakat.
Dalam “Taman Manusia” di bagian akhir Madilog, untuk memperingati peristiwa besar dalam sejarah Indonesia dan dunia, Tan Malaka memberikan tempat paling penting kepada para pahlawan Islam.
Para pahlawan Islam ini telah berperang demi “surga Islam”, “sebuah surga yang sama sekali tak dingin dan beku seperti nirvana  Budha atau sepi seperti sorga Yesus”. Peran Islam dalam sejarah Indonesia sangat besar karena kekuatan pemersatu yang dikandungnya. Prestasi terbesar Muhammad, dalam pandangan Tan Malaka, adalah keberhasilannya membangun “persatuan di bawah satu kepemimpinan berdasar atas inspirasi Tuhan yang satu”.
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap Islam membuatnya pada tahun 1920-an mendukung gagasan kerjasama antara PKI dan Komintern di satu pihak dengan gerakan Pan Islamisme dan Sarekat Islam di pihak lain.
Tan Malaka mengagumi Islam sebagai ekspresi nilai-nilai Madilog.
Kapan saja ia menyaksikan pemimpin-pemimpin politik Islam Indonesia keluar dari nilai-nilai ini, akan terlontar komentarnya yang kasar bagi mereka: anti-China, mengeksploitasi keyakinan mistisme dan kegaiban, tak jujur, demagogik dan “sama sekali tak memahami konflik klas, taktik dan kepemimpinan”.

Periode Belanda

Sejak akhir abad 18 pengaruh Belanda telah berulang-ulang dikecam oleh intelektual Minangkabau sebagai penyebab ketidakseimbangan di Alam. Sebagai contoh, keruntuhan sistem tradisional penghulu akibat adanya organisasi nagari dan diberlakukakannya kriminal Barat, oleh kalangan intelektual Minangkabau dipandang sebagai “refleksi melemahnya ikatan-ikatan sosial dan penyimpangan paradigma Minangkabau dari Alam.
Ketika Belanda menerapkan pemusnahan dan monopoli di Minangkabau, kaum intelektual setempat memandang bahwa tindakan tersebut sebagai kondisi yang tak bisa dibiarkan. “Minangkabau mengalami kejayaan kerja paksa, bukan lagi adat.”
Keseluruhan gerakan emansipasi Minangkabau di penghujung abad ini dalam banyak hal dilihat sebagai upaya memulihkan keseimbangan adat yang hancur karena pengaruh Belanda. Bahkan anggota pergerakan yang radikal cenderung melihat bahwa kapitalisme Belanda terutama sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan Alam Minangkabau tradisional prakolonial.
Tan Malaka adalah seorang pengagum berat dinamisme dan rasionalisme serta memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap kemajuan yang ia lihat dan saksikan di Barat pada abad 20 ini.
Di balik kemajuan yang ia disaksikannya, ia juga melihat kemunduran pengaruh Belanda di Indonesia. (dari kacamatanya dari kediaman di luar negeri)
Hanya setelah membandingkan ekonomi Amerika dan Belanda selama Perang Dunia Pertama, Tan Malaka menyadari keterbelakangan Belanda dan koloninya.
Selain itu ia juga mendapati jiwa ketimuran yang dibencinya dalam pemikiran Belanda. Yakni mendewakan kenangan masa lalu, tak logis, membesarkan hal yang kecil an mengabaikan masalah-masalah yang mendasar. Imperialisme Belanda hanya menambah rasa rendah diri bangsa Indonesia. Imperialisme Belanda juga telah memperkokoh cara berpikir kuno, menjungkirbalikkan perkembangan kesadaran bangsa Indonesia dan menghancurkan kebahagiaan rakyat Indonesia:
Persahabatan dan kepercayaan  antara manusia hilang dalam era kapitalisme. Di masa lalu, misalnya di masa pemerintahan kekerabatan, kepala keluarga memiliki kekuasaan kecuali itikad baik dan ketulusan.
Kekuatan hukum, polisi dan penjara dalam era kapitalisme adalah lembaga yang tak dikenal dalam sistem kekerabatan Minangkabau seratus tahun lalu.
Di Minangkabau seratus tahun lalu negara kekerabatan sudah demokratis, tiap orang memahami hukum dan mentaatinya. Hukum adat sudah terpatri di benak seluruh rakyat Minangkabau.
Setelah aturan hukum rakyat diganti aturan hukum pemerintah yang berkuasa, pengetahuan tentang hukum dan kemampuan rakyat berargumentasi lenyap. Sisa-sisa tradisi lama kini hanya bisa ditemukan di kalangan sejumlah orang tua Minangkabau, baik pria maupun wanita. Mereka masih menyimpan hukum adat di hati masing-masing.
(Parlemen atau Sovyet?  “Pengelolaan keadilan di Rusia hampir serupa dengan penerapan keadilan di Minangkabau.”)
Sesuai konsep dinamisme kebudayaan Minangkabau tradisional, Tan Malaka melihat hambatan-hambatan bagi kemajuan yang terdapat di Alam Minangkabau sebagai penyebab  utama frustasi di kalangan rakyat.
Ia menyalahkan penindasan atas identitas Minangkabau (kenalilah dirimu/identitasmu).
Revolusi – pemecahan bagi frustasi ini – karenanya sangat dibutuhkan guna memerangi “sisa feodalisme dalam skala kecil dan dalam skala besar imperialisme Barat yang menindas.”
Sejalan sikap anti Belanda, anti Kejawen dan anti Indianismenya, Tan Malaka harus dimengerti sebagai bagian dari konsepsinya tentang Madilog.
Tan Malaka cenderung menyamakan cara berpikir ketimuran kuno dengan Pulau Jawa dan budaya Jawa, dengan demikian, ia merasakan kuatnya pengaruh Belanda dan terutama pengaruh kebudayaan India.
Tan Malaka melancarkan serangan sistematis terhadap pengaruh dan nilai budaya Hindu – Jawa, yang disebutnya sebagai elemen masa kegelapan.
Tan Malaka menyatakan bahwa wayang memiliki unsur-unsur yang merusak, khususnya terhadap pemuda. Ia melihat wayang sebagai “cerita kekanak-kanakan, tak masuk akal, ajaran yang tak bisa dipercaya”. Cerita wayang “tak merangsang pemikiran kritis”. Sebaliknya, “tak satupun dari jawaban yang diberikan masuk akal”. Namun – mungkin karena kecintaannya pada musik – terhadap gamelan (musik tradisional Jawa merupakan satu unsur penting kebudayaan Hindu-Jawa) kritik Tan Malaka terasa ambivalen:
Gamelan dan suasana yang ditimbulkannya tak ada persamaannya di dunia ini. Gerakan tubuh dalam tarian serimpi membuat kita melambung tinggi di atas dunia yang hina ini. Lima nada dari gamelan Jawa bisa membangkitkan perasaan sedih, tenang, teduh dan misterius.
 “Penolakan terhadap gamelan barangkali terjadi karena gamelan terlalu halus untuk perjuangan”.
Ramalan Jayabaya yang menyebutkan kebebasan rakyat Jawa setelah periode tertentu  kekuasaan asing adalah sebuah pendorong kuat pergerakan nasionalis Jawa pada abad 20. Pengaruh tersebut mencapai klimaks tepat pada waktu Tan Malaka menulis Madilog – selama pendudukan Jepang (1942-1945).
Bagi Tan Malaka, ramalan raja Jawa ini merupakan pengungkapan yang ekstrim jiwa budak, karena seperti dituliskannya, “Jayabaya sedang menantikan seorang raja dari India (diartikan mengharap bantuan luar) untuk memerdekakan Jawa”.
Penguasa Majapahit terbesar, Hayam Wuruk, dalam penilaian Tan Malaka juga dipandang sebagai “seorang pemimpin yang berasal dari kasta di luar kasta Jawa” dan simbol kerajaan anti-kerakyatan.
Organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo, yang hari kelahirannya dirayakan secara luas sebagai awal kebangkitan nasionalis Indonesia modern, tak luput dari kecaman Tan Malaka. Menurut Tan Malaka, organisasi ini tak lebih “satu dari kelompok borjuis Indonesia paling malas. Karena kelambanannya, mirip seekor binatang malas, organisasi ini membanggakan kejayaan masa lampau, kemegahan Borobudur, keagungan wayang dan gamelan, semua produk budaya perbudakan diambil dan dipropagandakan siang malam.
Kita juga bisa menemukan beberapa penjelasan mengenai sikap anti-Kejawen Tan Malaka dalam pengalamannya sebagai seorang pemimpin politik. Satu-satunya pengalaman Tan Malaka dalam kerja politik massa adalah di Jawa dan dengan para kuli kontrak asal Jawa di Sanembah Corporation.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapinya kemungkinan besar mendorongnya menghubungkan “keterbelakangan” dengan kejawaan”.
Bagaimanapun sangat mungkin bahwa sikap Tan Malaka terhadap kebudayaan Hindu-Jawa semata sebagai cerminan anti-Kejawen, yang dinilainya mencemari pergerakan emansipasi Minangkabau setelah peralihan abad 20.
Di masa remaja Tan Malaka, yakni selama separuh awal abad 20, kaum intelektual Minangkabau cenderung berpikir dalam konteks penentangan dan konflik yang masih berlangsung antara budaya Minangkabau yang mereka anggap dinamis dan rasional melawan peradaban Jawa lembut dan idealis.
Wajar bila dari sudut pandang semacam ini, pertentangan ini menjadi salah satu penghambat pembangunan nasionalisme yang mencakup seluruh Indonesia. Para pemimpin Minangkabau berulang-ulang menyerang bagian-bagian dari gerakan emansipasi rakyat Jawa menuju apa yang mereka duga sebagai “pergerakan kembali ke Hinduisme”.
Mereka memandang wakil-wakil mereka dalam pergerakan sebagai “orang-orang bersahaja yang berorientasi ekonomi dan politik”, menghadapi idealis Jawa yang berorientasi “pada seni, filsafat dan agama”.
Mereka menolak “budaya Hindu-Jawa” – dalam ungkapan yang nyaris senada dengan yang digunakan Tan Malaka – sebagai kebudayaan yang dibawa oleh orang asing, para tuan India dan menumbuhkan mentalitas budak di kalangan penduduk Indonesia.
Barangkali penting pula dicatat bahwa Tan Malaka menulis Madilog tepat saat kemunculan politisi “Hindu-Jawa” Sukarno sebagai simbol nasionalisme seluruh Indonesia dan berkemungkinan menjadi pimpinan negara Indonesia kelak di kemudian hari.
Sebagaimana hendak kita ketahui pada bagian akhir tulisan ini, Tan Malaka mendudukkan diri sebagai pesaing utama Sukarno. Dengan cara ini barangkali “pertarungan antara kebudayaan Hindu-Jawa lawan Minangkabau dalam memperebutkan tempat utama dalam pergerakan Indonesia” lebur ke dalam “persaingan pribadi Tan Malaka – Sukarno memperebutkan kepemimpinan revolusi yang segera tiba”. (Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dst)
Dalam pandangan Tan Malaka, keseluruhan wilayah Indonesia (bahkan wilayah sekitarnya) pada mulanya terintegrasi secara kultural dalam cara berpikir Asli.
Cara berpikir Asli kontras sekali dengan cara berpikir ketimuran, yang mendominasi masa kegelapan, yang menumbuhkan konflik di dalam Alam dan selanjutnya memecah belah kebudayaan, masyarakat dan wilayah Indonesia.
Walaupun pernah dominan di zaman kegelapan, cara berpikir ketimuran akan menjadi tak lebih dari satu bagian kebudayaan Indonesia.
Selama periode kegelapan ini muncul arus pemikiran lain, yang bagaimanapun keras upaya untuk menindasnya, arus pemikiran baru ini berjasa menjembatani kualitas Indonesia Asli dan masyarakat Sosialis yang akan tiba. Arus pemikiran baru ini, yang tetap hidup sepanjang sejarah Indonesia, mengkristal dalam prinsip Alam yang permanen.


Periode Federasi Aslia pasca RI

Menurut Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia (Hindia Belanda) akan berakhir dengan munculnya Indonesia Merdeka (RI) dan sosialis (PARI).
Negara yang diimpikan Tan Malaka ini dinamai (meliputi) Aslia. Nama ini adalah singkatan dari “Federasi Asia dan Australia”.
 Namun dari bunyi kata ini para pembaca mungkin akan berpikir bahwa Aslia adalah akronim Asia Asli.
Kemajuan teknologi adalah salah satu elemen cara berpikir dan cara hidup menurut Madilog, sesuai dengan pandangan Tan Malaka.
Simbol dunia modern paling mengesankan bagi intelektual Minangkabau di peralihan abad 20 adalah lokomotif. Simbol ini juga diambil oleh Tan Malaka untuk simbol Aslia yang diimpikannya.
Suasana di negeri Aslia yang dimaksud Tan Malaka bakal kita ketahui dengan mendengarkan suara kereta api yang sedang berjalan di atasnya:
Aslia pasca kapitalis dalam Madilog digambarkan memiliki tingkat kemajuan teknologi jauh lebih tinggi daripada Indonesia Asli di zaman besi.
Apakah ini berarti bahwa tahap Aslia, sejarah Indonesia akhirnya bakal melintasi pemisah antara “tradisional dan modern?”
Apakah hal ini menunjukkan bahwa utopia ini akan meniadakan arti dan fungsi paradigma Minangkabau?
Untuk  menjawab pertanyaan  ini kita harus lebih memahami impian Tan Malaka tentang Aslia.
Aslia dalam pandangan Tan Malaka juga memiliki jantung wilayah wilayah.
Posisi dan sifat geografis jantung wilayah ini menjadi kunci keberadaan konsep Aslia, karena jantung wilayah ini memiliki sifat federasi yang terpenting. Oleh Tan Malaka, jantung wilayah ini dilukiskan memiliki sumbu-sumbu yang “dekat Ekuator dan secara kasar dibatasi oleh garis lurus yang ditarik dari Bonjol ke Malaka”.  Daerah yang dimaksud mudah ditebak.
Jantung Aslia masa depan dalam impian Tan Malaka tak lain dari jantung tanah kelahirannya tercinta, Alam Minangkabau. Di wilayah ini Tan Malaka meramalkan kebangkitan “pusat industri penting Aslia dan bahkan untuk seluruh dunia”.
Nasib federasi ini selanjutnya akan ditentukan oleh pusatnya. Karenanya dalam perjalanan sejarah Indonesia, kapan saja penguasa menghendaki penyatuan wilayah  Indonesia, ia harus memperhatikan sumbu Bonjol Malaka karena nilai strategis yang dikandungnya.
Mengenai konsep sumbu Bonjol-Malaka, Tan Malaka dengan sangat jelas mengemukakan keyakinannya terhadap misi budaya Minangkabau dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. 
Keyakinan ini kadang-kadang dinyatakan dalam terminologi yang lebih kuat oleh Tan Malaka daripada oleh mereka yang berpredikat sebagai kaum nasionalis Minangkabau tradisional.
Tan Malaka bermaksud merumuskan kembali slogan kebanggaan kaum nasionalis konvensional “Malaka adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini dan Sumatra adalah masa depan” menjadi Sumatra adalah pelopor, Jawa adalah masa kini dan masa depan Indonesia sekali lagi akan kembali ke Sumatra.
Ia merasa bahwa penduduk Indonesia pada akhirnya akan terkonsentrasi di garis wilayah Sumatra-Malaka. Wilayah ini kelak muncul sebagai pusat perekonomian Indonesia dan karena kegiatan ekonomi merupakan sarana pembentukan dan keberadaan kebudayaan, sumbu Bonjol-Malaka pada akhirnya juga menjadi pusat kebudayaan.
Salah satu alasan mengapa Tan Malaka memberi predikat yang demikian luar biasa kepada sumbu Bonjol-Malaka adalah karena wilayah ini sepanjang sejarahnya telah menunjukkan kualitas-kualitas kebudayaan yang mewarnai peranan Indonesia Asli dan Islam dalam sejarah Indonesia.
Sumatra telah menjadi pelopor ketika membawa Islam ke Jawa. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi adalah sebuah prinsip yang tak ditemukan dalam masyarakat Hindu-Jawa. Jika dasar semacam ini – dasar kerakyatan – dijadikan ukuran, kita seharusnya menengok masyarakat Minangkabau di masa kejayaannya.
Bahkan seandainya Minangkabau ketinggalan di belakang Jawa di bidang sastra dan seni seperti tarian dan musik, teknologi dan perekonomian Minangkabau tidak ketinggalan dari Jawa sama sekali. Sesungguhnya sepanjang menyangkut teknik irigasi, Minangkabau ada di depan Jawa dan wilayah lain di Asia.
Memang dalam pandangan Tan Malaka, sepanjang menyangkut perdagangan dan industri, “ramalan Sumatra adalah masa depan’ benar telah menjadi kenyataan.”
Wilayah Bonjol-Malaka tak hanya menjadi pusat Aslia, juga Tan Malaka tak menyebutkan kota-kota penting lainnya dalam deskripsinya tentang federasi ini.
Lagipula menurut Tan Malaka Aslia terbentuk karena pengaruh radiasi kebudayaan Minangkabau. Di sekitar inti kebudayaan Minangkabau terdapat lingkaran yang semakin ke luar semakin melebar mencakup wilayah luas yang semakin ke luar derajat pengaruhnya terhadap perkembangan Aslia semakin berkurang.
Yakni mencakup urutan sumbu Bonjol-Malaka, Sumatera, Indonesia (RI) dan akhirnya Indonesia Raya (PARI).
 Tan Malaka juga memperkenalkan gagasan tentang kesatuan ide dan keyakinan, serta kesatuan nasib dengan masyarakat di luar Minangkabau.
Namun semua ini tak mengurangi penekanan terhadap keseimbangan Alam-rantau dalam pandangan Tan Malaka.
Sebaliknya lebih dari semuanya, pengalaman rantaulah (dan barangkali keterasingan dari Alam Minangkabau yang berubah cepat di permulaan abad 20 ini) yang menumbuhkan aspek “tradisional” semacam ini dalam jiwa Tan Malaka.
 Seperti yang telah kita lihat konsep Tan Malaka tentang Aslia tetap Minangkabau sentris dan pandangannya tentang dunia (Alam bersama rantau) yang sentripetal tak juga berubah.


        SUMBU BONJOL-MALAKA
          (“Tan Malaka Madilog”)

Negara Indonesia berdasarkan sosialisme yang tiada berdasarkan imperialisme dan kapitalisme lagi sudah berdiri tegap. Asia Tenggara bersatu dengan Australia menjadi Federasi Aslia.

Terdapat  industri berat berdasarkan letak geografis strategis, sumber daya alam dan sumber tenaga kerja. Pusat industri terpenting letaknya adalah segaris dengan garis Katulistiwa, yang ditentukan oleh Garis Bonjol-Malaka. Pusat ini jadinya memenuhi syarat pertama strategi dan diplomasi.

Sumbu ini meguasai dua Benua dan dua Samudera terbesar dihari depan. Dengan artinya teknik dan ekonomi. Besi, alumunium, bauksit, timah, batu bara, minyak bumi, PLTA buat keperluan industri militer, Bahan buat Industri-berat berada dalam keadaan yang luar biasa banyak, baik dan berdekatan

 Karena pentingnya sumbu-Dunia ini, maka sudah lama Federasi Aslia menggali terowongan, yang menyambung Sumatera dengan Semenanjung Malaka (seperti terowongan di Inggris-Perancis). Kota Malaka sendiri sekarang dengan satu kota dihadapannya di Sumatera sudah menjadi pangkalan kapal perang yang terutama, buat menguasai Selat Malaka. Dengan begitu menguasai dua Benua dan Dua Samudera!

Beberapa terusan yang menghubungkan sungai besar Siak dan Kampar, sudah digali. Juga kedua sungai ini sudah diperdalam dan dibentuk tebingnya.

Lalu lintas sepanjang sumbu Bonjol-Malaka baik kendaraan di atas dan di bawah air, serta di udara berjalan tiada berhentinya! Dengan kereta lori dan kapal. Begitu juga tak berhentinya bermacam-macam kendaraan, tak putus-putusnya lalu-lintas siap mengangkut bahan atau barang, serta kaum pekerja yang terutama datang dari pulau Jawa.

Salah satu pemuda, mahasiswa, ketika kami semua masih hening takjub melihat kereta api, panjang, naik bukit.

Di tanah datar di bawah sudah kelihatan rumah berjejer-jejer mengelilingi tanah lapang. Inilah rumah, kaum pekerja, berbentuk baru dan sehat dengan sirkulasi udara dan cahaya matahari.

Terdapat klinik untuk menjaga dan memajukan kesehatan pekerja.  Di tengah-tengah tiap-tiap kompleks rumah terdapat lapangan buat bermacam-macam olahraga buat segala usia. Ada Gedung sekolah yang tinggi, mempunyai alat buat bermain yang cukup, bertani, bertukang dan berteori.

Gedung yang paling , paling tinggi dan paling bagus itu ialah tempat bermusyawarah kaum pekerja, tempat membaca buku dan surat kabar dan dipakai buat pengajaran.

Sampai pada salah satu pabrik besar. Disini kelihatan mesin yang paling baru dan paling kokoh cakap. Hasilnya berlipat ganda dari yang sudah-sudah. Tampak gunting raksasa. Baja keras dan tebal itu diguntingnya seperti menggunting kertas.

Terdengar bunyi martil menggelegar seberat 125 ton (125.000 kg) yang dijatuhkan dari tempat yang 6 meter tingginya itu. Baja sebesar benteng itu ditempa jadi tipis seperti emping. Tampak gergaji listrik melayani papan waja itu, seperti pandai besi pada zaman Majapahit memotong-motong bambu .......... untuk mesin buat pabrik gula, kopi, karet dsb, mesin buat pabrik kain, sepatu, sikat gigi dsb; mesin buat kapal, kertas, mobil, dsb. Pabrik nya adalah pabrik otomatis. “mesin buat bikin mesin”, machine making machine.

Yang terpenting adalah mesin untuk membikin pertahanan Negara seperti senapan mesin, meriam, tank, kapal selam dan pesawat terbang yang selalu dirombak, dibentuk kembali menurut pemeriksaan dan penemuan baru!

Tidak jauh dari pabrik terdapat satu laboratorium Raya yang selalu meneliti susunan mesin yang baru dan mesin yang lebih efficient  dari sebelumnya.
Semboyannya pabrik-raya ini,  more and more efficiency.

Private ownership and individualism! sudah tak dikenal lagi dalam pabrik ini. Semua mesin ini dipunyai masyarakat Aslia.

Klas Kapitalis dan proletar, golongan buruh halus dan kasar sudah lama hilang lenyap. Kaum pekerja otak dan tangan, pekerja menurut bidang masing-masing, dan masing-masing mendapat upah melebihi keperluan masing-masing.

Aslia itu kaya raya! Dengan ilmu dan teknik sebaru-barunya, penghasilan dan pembagian hasil berdasarkan tolong menolong, upah dan kehidupan diatur menurut social-planning, hasil perusahaan senantiasa berlipat ganda, melimpah-limpah laksana danau dimusim hujan







Tidak ada komentar:

Posting Komentar