Jumat, 08 April 2016

Tan Malaka di Filipina




“Mi Ultimo Adios”
(Jose Rizal)

Selamat tinggal, Tanah tercinta, kesayangan mentari,
Mutiara lautan Timur, Kahyangan yang hilang!
Demi kau jiwa-raga kupasrahkan, dengan rela hati;
Andai ‘ku lebih indah, lebih segar, lebih utuh dari ini,
Kan kuserahkan jua, padamu tuk kebahagiaanmu.......

Bila kau lupakan aku, apalah artinya jika
Ku bisa susuri tiap jengkal tercinta relungmu?
Jadilah seutas nada, berdenyut dan murni, sesudahnya
Jadilah aroma, cahya, senandung;
lagi jadilah tembang atau tanda
Dan melalui semua, lagukan kembali keyakinanku

Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!
Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,
Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;
Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,
Di mana Keyakinan tiada merengut nyawa,
Dan Tuhan mahakuasa beradu.

Selamat tinggal segala yang dimengerti jiwaku
Ya sanak-saudara tanah airku yang dirampasi;
Syukurilah berakhir hari-hari tertindasku;
Selamat tinggal, engkau yang asing nan manis, sukacita dan sahabatku;
Selamat tinggal, orang-orang yang kucintai. Mati hanyalah tetirah ini.


Diambil dari Otobiografi Tan Malaka

Perkara antara alat kerja dan kesehatan semuanya menjadi sebab, maka kesehatan yang sedikit kembali disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama sekali, dan saya jatuh kembali tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya sendiri maupun buat organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah saya bereskan pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka saya berusaha masuk Filipina untuk beristirahat.

Memasuki Selatan, dengan tiada mempunyai syarat yang cukup, buat seseorang sudah amat susah, berhubung dengan pembatasan pemasukan orang Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan Emigration Law American-nya adalah perkara yang lebih susah lagi. Perlu penyelidikan yang seksama terlebih dahulu. Teristimewa buat saya perlu sekali suntik extra seolah-olah bola yang sudah kempis, harus dipompa lebih dahulu.

Suntikan extra, penyelidikan seksama untuk mempelajari caranya masuk Filipina, saya peroleh di Hongkong pada satu asrama Filipina. Nona Carmen, puteri seorang bekas pemberontak di Filipina, yang dengan ibunya menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi petunjuk yang berharga dalam hal lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan pula memberi pelajaran bahasa “Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa saya pelajari dalam dua tiga bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku Indonesia, akan ingkar!

Pengetahuan saya tentang jalan ke Filipina dan caranya menyesuaikan diri dengan orang Filipina setibanya disana dapat pula saya sempurnakan, selain dengan perkenalan dengan para tamu di asrama tadi, juga dengan perkenalan  luar biasa dengan seorang musafir terpelajar. Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas. Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr. Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya berada, sampai perang dunia II meletus, Dr. Mariano Santos namanya keluaran universitas Filipina, sudah meneruskan pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari perjalanan keliling Eropa, bakal menjadi wakil presiden Manila University.

Akhirnya buat berpendek kalau, pada suatu hari permulaan bulan Juni 1925, saya meninggalkan pelabuhan Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah satu kapal Presiden, bersama-sama dengan para penumpang lain dari semua bangsa di dunia, terutama bangsa Amerika dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa sebagai pengalaman, pengetahuan dalam dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris dan pengetahuan sekedarnya bahasa Tagalog dan last but not least bentuk warna badang dan muka yang 100% Filipina, bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina campuran, maka bersenjatakan semua alat tersebut dalam percakapan “conversation” menjual lelucon “telling a joke” ala Amerika, bahkan pula dalam ikut serta berdansa, maka rupanya tak tampak kesangsian bahwa penulis ini benar seorang Filipina pulang ke negerinya.

Semua pemeriksaan surat cacar “pemeriksaan pasport” (yang tiada pada saya) pemeriksaan barang di duane, biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh pegawai Filipina, bisa dibereskan dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina pulang dari “United States” atau dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak sambalnya boxer Filipino dalam bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan. Kunci rahasia buat semuanya ini ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu, dan kedua tingkah laku jangan dibuat-buat.

Semuanya beres, lancar, memasuki beberapa lobang yang biasanya tak mudah diselundupi, apalagi tak dengan beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah orang tuanya Nona Carmen di Santa Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah beristirahat seorang Filipina kembali dari “Negeri Asing” yang sudah lama ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi tiadalah pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan Amerika itu.

Bagaimanakah rupanya Filipina, sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya pertanyaan yang timbul dalam hatinya seseorang yang mengenai sejarahnya Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar sejarah.

Dalam salah satu buku sekolah di Filipina tergambar “the first Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang mendayung perahu. Perhubungan politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di sejarah Filipina.

Bukanlah maksud tulisan ini hendak memberi jawaban yang sempurna terhadap pertanyaan diatas dalam arti politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang pandang atas Negara yang sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk lebih kurang 10 juta itu, dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya kira-kira 400 tahun di bawah Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan republik dalam artian modern di seluruh Asia, ialah pada masa revolusi 1898-1901.

Bumi iklim Filipina, kalau ada mengalami perubahan semenjak 450 tahun tentulah tiada seberapa, kecuali hutan rimba sudah dijadikan sawah ladang. Tetapi alat bekerja, perekonomian dan kebudayaan sudah mengalami perubahan yang dalam dan luas sekali. Manusia Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya, dalam arti perubahan alam-alat perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga mengalami perubahan.

Sama sekali tak ada beda rupanya tani desa Filipina daripada tani di Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak, Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan bangsa: bentuk badan dan muka, perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata dan rambut. Dalam hal ini tani Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke kota Bato di Mindano, sama dengan penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.

Tetapi di kota-kota seperti Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang Filipina yang sudah menerima darah Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya, sebagai hasilnya campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda.

Tetapi itu cuma terdapat pada kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan Pedro yang bekerja pada pelabuhan, kereta api dan bengkel di kota Manila sebagai kaum buruh, tak ada bedanya sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan atau Surbaya.

Bolehlah dikatakan lebih tinggi kita naik dalam tangga politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata warna kuning sampai putih. Lebih rendah turun tangga tersebut, lebih nyata warna coklat, ialah warna terbanyak diantara Indonesia asli. Lebih tinggi kita naiki tangga politik dari anggota Indonesia asli. Lebih tingi kita naiki tangga politik dari anggota Haminte sampai Majelis Rendah dan Tinggi, dari Walikota sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan campuran tiga bangsa, kaum Mestiza itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti perkebunan, pabrik dan perkapalan, kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi kalau saya tidak salah, maka dalam kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak kurang banyaknya dengan warna kuning atau putih.

Kedudukan tinggi yang didapat oleh kaum Mestiza itu adalah akibat  revolusi politik di Filipina, yang dipandang dari penjuru politik sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut ekonomi.

Hampir 100% dari “Veterano” ialah bekas prajurit revolusi tahun 1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol, kemudian melawan Amerika, terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu sendiri ialah Andres Bonifacio, yang menurut keterangan seorang veteran revolusi yang kenal sama Bonifacio kepada saya, adalah orang Indonesia asli dari kampung Tondo, di sekitar Manila. Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo, Menteri Luar Negeri yang termashur ialah Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina” Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan kalau ada campuran darahnya, maka bolehlah dikatakan amat tipis sekali. Revolusi Filipina adalah revolusi buruh tani dibawah pimpinan sebahagian inteligensia yang benar-benar revolusioner.

Tetapi dengan tertangkapnya Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka pimpinan revolusi menjadi pecah belah, dan perang gerilya tak dapat diteruskan. Aguinaldo mengangkat sumpah di depan kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari politik, selama Filipina berada di pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam dan mati di sana bersama banyak kawannya yang tak mau damai dengan Amerika. Jenderal gerilya seperti Ricarte bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana sampai Filipina menyerah kepada Jepang. Andres Bonifacio yang pertama mengibarkan bendera kemerdekaan dan menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh, katanya diserang oleh prajurit Aguinaldo, di masa revolusi.

Demikianlah, mereka yang paling terkemuka dalam revolusi, tak mengambil bahagian dalam pemerintahan Amerika di belakang hari. Dan yang paling terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa, sebahagian besar terdiri dari Indonesia asli.

 Karena di masa Spanyol, anak hartawan Spanyol dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah menengah dan tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang didapat oleh imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir semua sektor administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi warga negara dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping itu, kebun, pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli oleh Mestiza ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap genap ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani, sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang terjual atau tergadai. Kata orang Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang mendapat getahnya.

Tetapi tiadalah sempurna gambaran diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum Mestiza memakai rakyat asli untuk merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian membelokkan mereka ke bawah imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti tersebut di atas adalah menurut proses alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan, ialah rakyat asli, karena merekalah yang paling tertindas sebagai buruh dan tani. Buruh dan tani memili para pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum inteligensia asli, karena merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah mereka, dan sama merasakan getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas dan tertindas di Filipina, walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak persamaan. Persamaan itu terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan berdasarkan agama Kristen itu yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam agama dan kebudayaan  itulah pula yang mengaburkan atau melenyapkan perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan Mestiza, dan menarik Mestiza golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah, maka kita bisa menyaksikan, bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti: Jenderal Luna, juga seorang Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di masa revolusi baru berumur 24 tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat merebut pangkat mayor dan amat dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza sejati, campuran darah Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis masih di sana (tahun 1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai atau dibenci oleh rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan Mestiza bukanlah satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi derajatnya di masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest, pada tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan. Indo Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya, lebih suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri. Semuanya berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan Mestiza dalam ekonomi, sosial dan politik.

Rasanya tiada berapa jauh dari kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal dan lebih bercampur dengan rakyat asli daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas, banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.

Berhubung dengan persamaan bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu, maka tiadalah pula mengherankan kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika memasuki kantor administrasi pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan tiada mendapat gangguan dari rakyat jelata.

Kalau ada pertentangan dengan kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di belakang ini, maka pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan  itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan buruh Indonesia (Filipina asli) dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang terbanyak memiliki tanah (harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain) perkapalan dan lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan anti-Mestiza, karena golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari proses proletarisasi.

Dalam revolusi sedang memuncakpun kaum revolusioner Filipina tiada memusatkan serangannya atau memekikkan semboyannya terhadap warna asing. Cerita yang lazim didengar di Filipina, dan penyaksian yang dituliskan oleh peninjau Amerika sendiri, mengatakan bahwa hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan oleh prajurit Filipina dengan baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya, sesudah dilucuti senapannya. Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena prajurit Filipina cuma memerlukan dan gemar bertempur dengan bolo, ialah parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya, takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak dikembalikan ke  daerah Spanyol. Tetapi kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.

Jika di masa sebelum Perang Dunia II buruh tanah terutama di daerah Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan Sakdalista, dan sesudah perang dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan Hukbalahap terus menerus mengadakan serangan terhadap tuan tanah (hazienderos), maka ini cuma memberi bukti, bahwa revolusi agraria di Filipina pada tahun 1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya itu masih saja belum selesai.

Sekianlah tinjauan secepat kilat atas revolusi di Filipina yang paling besar dan paling belakang. Rasanya disamping tinjauan kilat ini perlu pula diperpenuh gambarannya dengan beberapa bukti terkhusus (detail).

Pemuda Filipina di masa sekarang berhak bangga atas 300 revolusi yang besar kecil, diantaranya 150 yang agak besar, yang dilakukan oleh rakyat Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari imperialis Spanyol yang kolot kejam itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya bilang “berhak bangga”, karena revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu, adalah lukisan yang paling sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau dijajah itu. Tetapi tiadalah kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi. Marilah kita ambil beberapa bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir yang wujudnya merobohkan imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).

Dengan revolusi terakhir ini tiada bisa dipisahkan nama “La Liga Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal (baca Hose Rizal).

Untuk berpendek kalam dan memberi penerangan yang sekedarnya tepat, baiklah saya mulai dari sejarah episode Filipina ini dengan perbandingan La Liga Filipina kita bandingkan dengan “Studieclub” yang di belakangnya ditukar dengan P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter Rizal kita bandingkan saja dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.

Perbandingan itu harus dianggap cuma sebagai daya upaya memberikan penjelasan dengan pendek dan tepat saja. Sekali-kali bukan buat menyamakan gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr. Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi, iklim, kebangsaan dan pertanian Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali persamaannya. Tetapi dalam hal luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan kebudayaan, pada permulaan abad ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan dengan Filipina pada abad ke 19 itu.

Bermula, maka La Liga Filipina yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina pada penghabisan abad ke 19 itu (1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu “Party of reforms” partai kaum Koperator, kaum reformis.

Maksudnya ialah memajukan Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan dalam perekonomian, pertanian dan perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga Filipina tiadalah menolak kerja bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli sejarah barangkali ada faedahnya membandingkan program dan sepak terjangnya La Liga Filipina dengan Studie Club, Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang dikantongi oleh kasta pendeta tuan tanah Spanyol di Filipina, maka dari semulanya berdiri La Liga Filipina dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di Filipina itu...sampai waktu pembubarannya.

Pendiri La Liga Filipina ialah Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak saja sama bertitel Dr. tetapi juga sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom kita dalam hal kedokteran. Tetapi tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr. Rizal dalam hal itu. Sesudah mendapatkan titel Dr. di Madrid, dia juga mengunjungi Universitas di Paris dan Berlin dan mendapat pujian  pada ketiga tiga perguruan tinggi tadi. Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang putri Jerman yang oleh Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati lagi, dilebih-lebihkan (saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya), tetapi di Filipina Dr. Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok. Tatkala ia berada di pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul Perancis dari Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit mata, yang tak bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa melihat, dan mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat kembali matanya (terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi pengagum dan pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya, menjadi teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina bertempur, setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.

Perkara intelek! Dalam buangannya di Dapitan, setelah menyaksikan kurang banyak dan kurang bersihnya air, maka sesudah sebentar mempelajari pengairan, Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan alat sederhana. Pekerjaan ini sangat dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri. Selain membasmi buta huruf di antara kanak-kanak yang dicintainya sampai ke tulang sumsumnya di tempat yang suci itu, Dr. Rizal mulai mengadakan pemeriksaan secara ilmu, tentang tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang belum dikenal oleh para ahli di masa itu, dikirimkannya kepada sahabat karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?). Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping Rizalia. Sebagai ahli gambar dan ahli arca, Dr. Rizal  mendapat hadiah dalam pertunjukan di Paris. Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya dan bisa dipakainya buat bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli Me Tangore” dan “Filibus Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh bangsanya, tetapi musuh mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang dikarangnya beberapa jam sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap sebagai warisan yang tak ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.

 Dengan Pak Tom kejujuran Rizal terhadap prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak persamaan. Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri, dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.

Pak Tom tak mendapat ujian langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal lulus dalam ujian itu, dan mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan ketenangan dan ketabahan yang tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun dan di abad manapun juga. Kalau ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu cuma bisa didasarkan atas terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur berhadapan dengan lawan yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular menjalar di bawah rumput.

Anaknya tani tengahan di desa Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah masyarakat dan keluarga yang beragama Katolik, agama yang rakyat jelata di Filipina memang dijunjung tinggi sekali dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal thabib pembentuk Filipina ini, yang dari pihak para pendeta ada terdengar tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.

Tetapi diukur dengan jangka kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx, Lenin, ataupun colleganya di tepi sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan Dr. Rizal adalah seorang intelek yang besar dalam semua lapangan ilmu yang ditempuhnya, dia bisa juga menyelami jiwa rakyat jelata sebagai pengarang. Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat dalam pergerakan revolusioner. Buat Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung kepada banyaknya para intelek dan melek huruf di Filipina, kuatnya perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina dan terutama pula pada persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa dinamiknya revolusi bisa menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa menentang senjata yang lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat membangun dalam segala lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu diduga, ditaksir, dibangunkan dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur, mengerti dan terdisiplin. Semua ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr. Rizal oleh karena kurang perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula sebab Dr. Rizal selalu diawasi oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka pengalaman tak sampai membuka matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut. Dr.Rizal tetap tinggal seorang intelek yang agak terpencil dari Murba.

Hal ini terbukti di masa pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal dengan La Liga Filipinanya dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan, maka pemimpin yang ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi terang-terangan, walaupun dengan jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina rupanya insyaf akan keadaan dan mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari satu kumpulan yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya mengikat kaum revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga buruh di Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru tulis kecil dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk membantu adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari pengetahuan tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan pengetahuan tentang masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan membaca buku-buku revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan rumahnya digeledah, maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi Perancis.

Sepeninggal Rizal rupanya ia giat bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia merasa cukup kuat, dan mengirimkan beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.

Demikianlah pada suatu hari tiba di Dapitan beberapa orang, mengantar seorang “sakit mata”, seorang buta minta obat kepada thabib Rizal. Si “Buta” dan satu dua orang pembimbing diizinkan oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr. Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah membuka matanya dan mengajak sang thabib berunding tentang revolusi di kamar pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La Liga Filipina! Sekarang Andres menganggap waktunya sudah sampai untuk mengibarkan bendera kemerdekaan dengan Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi. Andres sudah siap buat menyerbu dan siap pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan dengan pasukannya secara diam-diam asal saja Dr. Rizal mengizinkan lebih dahulu.

Dr. Rizal intelek kaliber internasional universal, tercengang dan menolak usulan Andres Bonifacio, dengan mentah-mentah. Keberatan yang terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat Filipina dalam hal persenjataan.

Sebenarnya “kekurangan”  itu adalah kekurangan dari bangsa dan semua golongan tertindas dan pemberontak dari jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai sekarang, melalui revolusi Perancis sendiri, revolusi Rusia dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum pernah bangsa atau kasta terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai persenjataannya bangsa atau katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu intelek kaliber internasional menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau bangsa atau kasta tertindas itu bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya dalam hal persenjataan, bukanlah dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia yang tertindas. Persamaan atau kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau sesudahnya itu, tak pernah sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya bersifat sosial ekonomi atau kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.

Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan oleh si “Buta” yang sekarang lebih “Melek” daripda “Melek” dan heran tercengang-cengang mendengar putusan Dr. Rizal tadi. Setelah jawab tadi disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo, keluaran sekolah rendah, dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah Dr. Rizal membaca semacam itu? Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres Bonifacio hilang kehormatan dan hilang kecintaan kepada seorang yang dianggapnya guru dalam beberapa hal! Keterangan tulisan ini kelak akan membuktikan!

Setelah perang Amerika-Spanyol meletus, maka Dr. Rizal menawarkan dirinya menjadi palang merah di Cuba. Tawaran itu diterima oleh pemerintah Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba. Tetapi para pendeta di Filipina segera menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil kembali. Di Hongkong dia disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di pelabuhan Manila polisi rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta memasukkan surat palsu ke dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk menjerat Dr. Rizal ke dalam urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata komplotan tadi ada hubungannya dengan Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki disiksa sampai pingsan dua kali berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi terhadap saudaranya. Tetapi adiknya tetap menyangkal.

Rizal ditawan dan dibawa ke hadapan pengadilan, dituduh sebagai pendurhaka yang bermaksud merobohkan pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang dilakukan sama  sekali tidak memenuhi syaratnya pengadilan modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap buat dihukum dan dalam hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal dihukum tembak!

Pada malam penghabisan Rizal mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”, warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”, dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina, meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.


Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan dan digiring ke lapangan Bagumbayan buat ditembak mati dan ditontonkan kepada khalayak yang terdiri dari bangsa Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan penuh sesak wanita dan para pembesar Spanyol, ingin dan gembira melihat robohnya seorang putra bumi yang berani menentang kekuasaan Spanyol.

Jose Rizal berjalan dengan langkah yang tegap, di waktu udara masih sejuk dan embun membasah mukanya untuk penghabisan. “Alangkah indahnya pagi hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut seorang pendeta dikanannya, lebih indah lagi kalau sekiranya.......kalimat pendeta yang baik budi ini tak bisa dilangsungkan, karena dia dipisahkan daripada Rizal oleh pengiring berpakaian dinas.

Rombongan yang akan menembak sudah siap, barisan depan yang akan melepaskan tembakan terdiri dari bangsa Filipina. Barisan belakang dari serdadu Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau serdadu putra bumi ingkar menembak seorang pemimpin bangsanya!

Dr. Rizal memprotes kepada komandan rombongan penembak, ketika mau diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu janganlah kepala saya ditembak”, kata Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya kesatria Filipina berdiri di tengah lapang seolah-olah dia menentang kekuasaan Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan, kerobohan badanku itu akan membawa kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.

Seorang thabib Spanyol tercengang melihat ketenangan colleganya. Ia meminta izinnya komandan untuk memerilksa pols (pergelangan) thabib Filipina dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala merasai pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh kelihatan berusaha berputar beberapa kali, mendapatkan cara berbaring yang dikehendakinya berlaku. Dia berbaring dengan muka yang tiadar rusak, menghadap ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya itu oleh bangsa Filipina yang takjub dan berterima kasih didirikan tugu peringatan. Tempat tragedi ini sekarang dinamai lapangan Luneta.

Adalah diantara penonton yang tidak dikenal oleh ramai, tetapi diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang: Andres Bonifacio, bekas sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin Katipunan, menantikan saat buat menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi rombongan yang disampingnya sudah lama siap buat membatalkan maksud yang dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang lebih baik buat menyerbu, sekali jalan, serentak. Dengan air mata berlinang-linang, serta gigi yang menggertak, sedangkan bolo terpaksa bernaung tinggal disarungnya saja, maka Andres menurutkan nasihat para pengikutnya, dan melihatkan guru dan teman seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin pertolongan.

Tetapi tiadalah lama bolo itu bersemayam dalam sarungnya. Apabila saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres Bonifacio pertama kali menghunus bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan kecil tetapi nekad menyerang benteng Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun 1898 (?)

Saat ini nyata tepat dipilihnya di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi oleh pulau-pulau lain di Filipina, berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti pekik Andres Bonifacio, pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga, pengharapan yang akhirn buat kita telah tiba saatnya”!

Di mana-mana timbulah barisan gerilnya. Hampir di semua medan pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol mengundurkan diri atau menyerah. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir Filipina adalah bermacam-macam, dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan bacalah surat kabar di Eropa ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan kagum menyaksikan kecerdasan, ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di Lautan Teduh yang selama ini tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan dirinya ke dunia luar dengan suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan besar. Nama barisan dan pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal Luna, Malvat, Ricarte dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di kepulauan Filipina. Di atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo, bekas guru desa cakap, tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat gerilya yang paling ulung.

Akhirnya tentara Spanyol terusir dari semua pelosok, kecuali dari Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika Serikat tiba dengan armadanya di pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan. Setelah maks ud imperialis itu nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan laskarnya menghadapi tentara Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun lamanya perjuangan yang sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan kemerdekaan menghadapi dua negara besar yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup pengalaman di lapangan kemiliteran, banyaklah yang terjadi di kalangan kaum pemberontak sendiri. Dalam kalangan yang tersebut belakangan ini timbulah perbedaan paham yang kian lama kian menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi permusuhan. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Bonifacio berakhir pada pembunuhan atas dirinya Bonifacio. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Mabini, menyebabkan yang di belakang ini meninggalkan Aguinaldo.

Menurut terjemahan biasa di Filipina, maka pertentangan dan permusuhan itu semata-mata disebabkan oleh perbedaan perseorangan. Pada hemat saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan kemauan dari berbagai golongan yang berjuang, yang diwakili oleh Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.

Ini cuma persangkaan saya saja! Memangnya ahli sejarah Filipina tiada yakin, atau belum mengerahkan perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa yang paling giat membantu masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat mendapatkannya. Tetapi ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau tiada pada permulaan mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan borjuis Filipina yang agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang radikal demokrasi serta sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat murba di kota dan di desa.

Pada pertengahan revolusi, bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan dan pembuka revolusi agak terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak mendapat kemenangan gemilang di pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio kurang pertempuran atau kurang keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang rupanya lebih dimiliki oleh Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik revolusioner memangnya berada di tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum pemberontak bisa bersatu dengan menyerahkan urusan partai politik kepada Bonifacio, urusan kemiliteran kepada Aguinaldo dalam satu koordinasi yang meliputi seluruhnya gerakan revolusioner! Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat Filipina di masa itu rupanya belum pula mengizinkan timbulnya semangat dan pengalaman yang perlu buat koordinasi dalam organisasi, politik dan militer. Keadaan kerja rahasia di bawah imperialisme Spanyol yang mashur kejam itu, tak pula mengizinkan organisasi kuat dalam aksi di bawah tanah itu. Kaum Revolusioner terpaksa kerja dengan rombongan kecil-kecil terutama di kota-kota dan tak bisa banyak tahu menahu satu sama lainnya.

Pada satu permusyawaratan maka Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan Mabini sebagai Menteri Luar Negeri. Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama sekali tidak membayangkan perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan Aguinaldo dengan golongan Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili oleh dirinya Bonifacio sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke dalam “permusyawaratan”, bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder persiapan  itu, selainnya dihadiahkan satu pangkat “direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga diperdengarkan perkataan penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai pengetahuan.

Tidak saja Bonifacio merasa tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo itu, tetapi juga merasa dihina, Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung, dan pulang meninggalkan “pemilihan” tadi dengan gusar hati.

Di tengah jalan dia disusul oleh pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari mengadakan perlawanan yang teratur, maka kemenangannya, seandainya bisa diperoleh tidak akan begitu mudah seperti pada permusyawaratan yang diaturnya sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti dicederai, ditikam dari belakang sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!

Dalam pertempuran di tengah perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun buku resmi tiada menerangkan seperti diatas, tetapi bisikan umum memandang peristiwa Bonifacio itu tertera seperti diatas.

Demikianlah matinya guru dan murid, ketua dan sekretaris La Liga Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama tragis, sama-sama mati muda. Tetapi ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh penindas bangsa asing terang-terangan di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio mati dibunuh oleh sewarga seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose Rizal mewakili kaum tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili rakyat murba.

Nyata pula perbedaan itu dimasa peringatan ulang tahun meninggalnya kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang tahun Rizal (31 Desember) kita menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.

  Pada peringatan ulang tahun Kematian Andres Bonifacio (30 November) terutama di pojok-pojok kota Manila, disekitarnya rakyat melarat, orang berpidato berapi-api, mengepalkan tinju, seolah-olah berjanji meneruskan pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai, karena pembunuhan politik atas dirinya.

Memangnya suatu revolusi tiada memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada yang bisa dibunuh dengan tiada menimbulkan akibat yang penting atas sang revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa membunuh golonga serta pemimpinnya, yang selama itu menjadi pendorong revolusi sendiri. Teristimewa pula pada masa hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak bisa membunuh itu harus dipandang dari dua sudut; pertama dipandang dari sudut lahir, kedua dari sudut batin. Dipandang dari sudut batin, karena hasrat golongan dan pemimpinnya yang mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah perjuangan itu kelak, lekas atau lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan dan pemimpin yang terdepan dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama sekali atau sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak saja revolusi akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu juga akan melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau seimbang kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan gagal dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan awak lawan awak itu, maka revolusi  seluruhnya tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah sekali ditaklukkan oleh kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang sebenarnya, tak akan berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada golongan radikal atau pada yang paling reaksioner.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar