“Mi Ultimo Adios”
(Jose Rizal)
Selamat tinggal, Tanah tercinta,
kesayangan mentari,
Mutiara lautan Timur, Kahyangan
yang hilang!
Demi kau jiwa-raga kupasrahkan,
dengan rela hati;
Andai ‘ku lebih indah, lebih
segar, lebih utuh dari ini,
Kan kuserahkan jua, padamu tuk
kebahagiaanmu.......
Bila kau lupakan aku, apalah
artinya jika
Ku bisa susuri tiap jengkal
tercinta relungmu?
Jadilah seutas nada, berdenyut
dan murni, sesudahnya
Jadilah aroma, cahya, senandung;
lagi jadilah tembang atau tanda
Dan melalui semua, lagukan
kembali keyakinanku
Tanah pujaan, dengarkan selamat
tinggalku!
Filipina Cintaku, dukamu sangat
laraku jua,
Kutinggalkan kalian semua, yang
sangat kucintai;
Ku pergi ke sana, di mana tiada
hamba tiada tiran berada,
Di mana Keyakinan tiada merengut
nyawa,
Dan Tuhan mahakuasa beradu.
Selamat tinggal segala yang
dimengerti jiwaku
Ya sanak-saudara tanah airku yang
dirampasi;
Syukurilah berakhir hari-hari
tertindasku;
Selamat tinggal, engkau yang
asing nan manis, sukacita dan sahabatku;
Selamat tinggal, orang-orang yang
kucintai. Mati hanyalah tetirah ini.
Diambil dari Otobiografi Tan Malaka
Perkara antara alat kerja dan
kesehatan semuanya menjadi sebab, maka kesehatan yang sedikit kembali
disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama sekali, dan saya jatuh kembali
tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya sendiri maupun buat
organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah saya bereskan
pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka saya berusaha
masuk Filipina untuk beristirahat.
Memasuki Selatan, dengan tiada
mempunyai syarat yang cukup, buat seseorang sudah amat susah, berhubung dengan
pembatasan pemasukan orang Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan
Emigration Law American-nya adalah perkara yang lebih susah lagi. Perlu
penyelidikan yang seksama terlebih dahulu. Teristimewa buat saya perlu sekali
suntik extra seolah-olah bola yang sudah kempis, harus dipompa lebih dahulu.
Suntikan extra, penyelidikan
seksama untuk mempelajari caranya masuk Filipina, saya peroleh di Hongkong pada
satu asrama Filipina. Nona Carmen, puteri seorang bekas pemberontak di
Filipina, yang dengan ibunya menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi
petunjuk yang berharga dalam hal lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan
pula memberi pelajaran bahasa “Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa
saya pelajari dalam dua tiga bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku
Indonesia, akan ingkar!
Pengetahuan saya tentang jalan ke
Filipina dan caranya menyesuaikan diri dengan orang Filipina setibanya disana
dapat pula saya sempurnakan, selain dengan perkenalan dengan para tamu di
asrama tadi, juga dengan perkenalan luar biasa dengan seorang musafir terpelajar.
Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya
peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja
keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas.
Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut
kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di
Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia
perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam
buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr.
Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang
pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya
berada, sampai perang dunia II meletus, Dr.
Mariano Santos namanya keluaran universitas Filipina, sudah meneruskan
pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari perjalanan keliling Eropa, bakal
menjadi wakil presiden Manila University.
Akhirnya buat berpendek kalau,
pada suatu hari permulaan bulan Juni 1925, saya meninggalkan pelabuhan
Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah satu kapal Presiden, bersama-sama
dengan para penumpang lain dari semua bangsa di dunia, terutama bangsa Amerika
dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa sebagai pengalaman, pengetahuan dalam
dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris dan pengetahuan sekedarnya bahasa
Tagalog dan last but not least bentuk warna badang dan muka yang 100% Filipina,
bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina campuran, maka bersenjatakan semua alat
tersebut dalam percakapan “conversation” menjual lelucon “telling a joke” ala
Amerika, bahkan pula dalam ikut serta berdansa, maka rupanya tak tampak
kesangsian bahwa penulis ini benar seorang Filipina pulang ke negerinya.
Semua pemeriksaan surat cacar
“pemeriksaan pasport” (yang tiada pada saya) pemeriksaan barang di duane,
biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh pegawai Filipina, bisa dibereskan
dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina pulang dari “United States” atau
dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak sambalnya boxer Filipino dalam
bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan. Kunci rahasia buat semuanya ini
ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu, dan kedua tingkah laku jangan
dibuat-buat.
Semuanya beres, lancar, memasuki
beberapa lobang yang biasanya tak mudah diselundupi, apalagi tak dengan
beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah orang tuanya Nona Carmen di Santa
Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah beristirahat seorang Filipina kembali
dari “Negeri Asing” yang sudah lama ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi
tiadalah pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan
Amerika itu.
Bagaimanakah rupanya Filipina,
sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya
pertanyaan yang timbul dalam hatinya seseorang yang mengenai sejarahnya
Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar sejarah.
Dalam salah satu buku sekolah di
Filipina tergambar “the first Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang
mendayung perahu. Perhubungan politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di
sejarah Filipina.
Bukanlah maksud tulisan ini
hendak memberi jawaban yang sempurna terhadap pertanyaan diatas dalam arti
politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang
pandang atas Negara yang sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk
lebih kurang 10 juta itu, dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya
kira-kira 400 tahun di bawah Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan
republik dalam artian modern di seluruh Asia, ialah pada masa revolusi
1898-1901.
Bumi iklim Filipina, kalau ada
mengalami perubahan semenjak 450 tahun tentulah tiada seberapa, kecuali hutan
rimba sudah dijadikan sawah ladang. Tetapi alat bekerja, perekonomian dan
kebudayaan sudah mengalami perubahan yang dalam dan luas sekali. Manusia
Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya, dalam arti perubahan alam-alat
perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga mengalami perubahan.
Sama sekali tak ada beda rupanya
tani desa Filipina daripada tani di Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak,
Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan
bangsa: bentuk badan dan muka, perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata
dan rambut. Dalam hal ini tani Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke
kota Bato di Mindano, sama dengan penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo,
Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.
Tetapi di kota-kota seperti
Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang
Filipina yang sudah menerima darah Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya,
sebagai hasilnya campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda.
Tetapi itu cuma terdapat pada
kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan Pedro yang bekerja pada pelabuhan,
kereta api dan bengkel di kota Manila sebagai kaum buruh, tak ada bedanya
sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan atau Surbaya.
Bolehlah dikatakan lebih tinggi
kita naik dalam tangga politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata
warna kuning sampai putih. Lebih rendah turun tangga tersebut, lebih nyata
warna coklat, ialah warna terbanyak diantara Indonesia asli. Lebih tinggi kita
naiki tangga politik dari anggota Indonesia asli. Lebih tingi kita naiki tangga
politik dari anggota Haminte sampai Majelis Rendah dan Tinggi, dari Walikota
sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan campuran tiga bangsa, kaum Mestiza
itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti perkebunan, pabrik dan perkapalan,
kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi kalau saya tidak salah, maka dalam
kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak kurang banyaknya dengan warna kuning
atau putih.
Kedudukan tinggi yang didapat
oleh kaum Mestiza itu adalah akibat
revolusi politik di Filipina, yang dipandang dari penjuru politik
sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut ekonomi.
Hampir 100% dari “Veterano” ialah
bekas prajurit revolusi tahun 1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol,
kemudian melawan Amerika, terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu
sendiri ialah Andres Bonifacio, yang menurut keterangan seorang veteran
revolusi yang kenal sama Bonifacio kepada saya, adalah orang Indonesia asli
dari kampung Tondo, di sekitar Manila. Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo,
Menteri Luar Negeri yang termashur ialah Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina”
Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan kalau ada campuran darahnya, maka
bolehlah dikatakan amat tipis sekali. Revolusi Filipina adalah revolusi buruh
tani dibawah pimpinan sebahagian inteligensia yang benar-benar revolusioner.
Tetapi dengan tertangkapnya
Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka pimpinan revolusi menjadi pecah belah,
dan perang gerilya tak dapat diteruskan. Aguinaldo mengangkat sumpah di depan
kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari politik, selama Filipina berada di
pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi
cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam dan mati di sana bersama banyak
kawannya yang tak mau damai dengan Amerika. Jenderal gerilya seperti Ricarte
bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana sampai Filipina menyerah kepada
Jepang. Andres Bonifacio yang pertama mengibarkan bendera kemerdekaan dan
menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh, katanya diserang oleh prajurit
Aguinaldo, di masa revolusi.
Demikianlah, mereka yang paling
terkemuka dalam revolusi, tak mengambil bahagian dalam pemerintahan Amerika di
belakang hari. Dan yang paling terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa,
sebahagian besar terdiri dari Indonesia asli.
Karena di masa Spanyol, anak hartawan Spanyol
dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah menengah dan
tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang didapat oleh
imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir semua sektor
administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi warga negara
dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping itu, kebun,
pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli oleh Mestiza
ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap genap
ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani,
sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang
terjual atau tergadai. Kata orang
Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang mendapat getahnya.
Tetapi tiadalah sempurna gambaran
diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum Mestiza memakai rakyat asli untuk
merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian membelokkan mereka ke bawah
imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti tersebut di atas adalah menurut proses
alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan, ialah rakyat asli, karena merekalah
yang paling tertindas sebagai buruh dan tani. Buruh dan tani memili para
pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum inteligensia asli, karena
merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah mereka, dan sama merasakan
getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas dan tertindas di Filipina,
walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak persamaan. Persamaan itu
terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan berdasarkan agama Kristen itu
yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam agama dan kebudayaan itulah pula yang mengaburkan atau melenyapkan
perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan Mestiza, dan menarik Mestiza
golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah, maka kita bisa menyaksikan,
bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti: Jenderal Luna, juga seorang
Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di masa revolusi baru berumur 24
tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat merebut pangkat mayor dan amat
dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza sejati, campuran darah
Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis masih di sana (tahun
1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai atau dibenci oleh
rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan Mestiza bukanlah
satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi derajatnya di
masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest, pada
tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan. Indo
Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya, lebih
suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri. Semuanya
berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan Mestiza
dalam ekonomi, sosial dan politik.
Rasanya tiada berapa jauh dari
kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa
imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal dan lebih bercampur dengan rakyat asli
daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas,
banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.
Berhubung dengan persamaan
bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu, maka tiadalah pula mengherankan
kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika memasuki kantor administrasi
pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan tiada mendapat gangguan dari
rakyat jelata.
Kalau ada pertentangan dengan
kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di belakang ini, maka pertentangan itu
lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi
dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan buruh Indonesia (Filipina asli)
dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang terbanyak memiliki tanah
(harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain) perkapalan dan
lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan anti-Mestiza, karena
golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari proses proletarisasi.
Dalam revolusi sedang memuncakpun
kaum revolusioner Filipina tiada memusatkan serangannya atau memekikkan
semboyannya terhadap warna asing. Cerita yang lazim didengar di Filipina, dan
penyaksian yang dituliskan oleh peninjau Amerika sendiri, mengatakan bahwa
hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan oleh prajurit Filipina dengan
baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya, sesudah dilucuti senapannya.
Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena prajurit Filipina cuma memerlukan
dan gemar bertempur dengan bolo,
ialah parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh
pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya,
takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak
dikembalikan ke daerah Spanyol. Tetapi
kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta
Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para
pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari
harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan
maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang
berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.
Jika di masa sebelum Perang Dunia
II buruh tanah terutama di daerah Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan
Sakdalista, dan sesudah perang dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan
Hukbalahap terus menerus mengadakan serangan terhadap tuan tanah (hazienderos),
maka ini cuma memberi bukti, bahwa revolusi agraria di Filipina pada tahun
1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya itu masih saja belum selesai.
Sekianlah tinjauan secepat kilat
atas revolusi di Filipina yang paling besar dan paling belakang. Rasanya
disamping tinjauan kilat ini perlu pula diperpenuh gambarannya dengan beberapa
bukti terkhusus (detail).
Pemuda Filipina di masa sekarang
berhak bangga atas 300 revolusi yang besar kecil, diantaranya 150 yang agak
besar, yang dilakukan oleh rakyat Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari
imperialis Spanyol yang kolot kejam itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya
bilang “berhak bangga”, karena revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu,
adalah lukisan yang paling sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau
dijajah itu. Tetapi tiadalah kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi.
Marilah kita ambil beberapa bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir
yang wujudnya merobohkan imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).
Dengan revolusi terakhir ini
tiada bisa dipisahkan nama “La Liga Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak
persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal (baca Hose Rizal).
Untuk berpendek kalam dan memberi
penerangan yang sekedarnya tepat, baiklah saya mulai dari sejarah episode
Filipina ini dengan perbandingan La Liga Filipina kita bandingkan dengan
“Studieclub” yang di belakangnya ditukar dengan P.B.I (Persatuan Bangsa
Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter Rizal kita bandingkan saja
dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.
Perbandingan itu harus dianggap
cuma sebagai daya upaya memberikan penjelasan dengan pendek dan tepat saja.
Sekali-kali bukan buat menyamakan gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau
Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr. Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi,
iklim, kebangsaan dan pertanian Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali
persamaannya. Tetapi dalam hal luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan
kebudayaan, pada permulaan abad ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan
dengan Filipina pada abad ke 19 itu.
Bermula, maka La Liga Filipina
yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina pada penghabisan abad ke 19 itu
(1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu “Party of reforms” partai kaum
Koperator, kaum reformis.
Maksudnya ialah memajukan
Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan dalam perekonomian, pertanian dan
perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga Filipina tiadalah menolak kerja
bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli sejarah barangkali ada faedahnya
membandingkan program dan sepak terjangnya La Liga Filipina dengan Studie Club,
Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang dikantongi oleh kasta pendeta tuan
tanah Spanyol di Filipina, maka dari semulanya berdiri La Liga Filipina
dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di Filipina itu...sampai waktu
pembubarannya.
Pendiri La Liga Filipina ialah
Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak
saja sama bertitel Dr. tetapi juga sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom
kita dalam hal kedokteran. Tetapi tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr.
Rizal dalam hal itu. Sesudah mendapatkan titel Dr. di Madrid, dia juga
mengunjungi Universitas di Paris dan Berlin dan mendapat pujian pada ketiga tiga perguruan tinggi tadi.
Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang putri Jerman yang oleh
Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati lagi, dilebih-lebihkan
(saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya), tetapi di Filipina Dr.
Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok. Tatkala ia berada di
pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul Perancis dari
Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit mata, yang tak
bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa melihat, dan
mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat kembali matanya
(terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi pengagum dan
pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya, menjadi
teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina bertempur,
setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.
Perkara intelek! Dalam buangannya
di Dapitan, setelah menyaksikan kurang banyak dan kurang bersihnya air, maka
sesudah sebentar mempelajari pengairan, Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan
alat sederhana. Pekerjaan ini sangat dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri.
Selain membasmi buta huruf di antara kanak-kanak yang dicintainya sampai ke
tulang sumsumnya di tempat yang suci itu, Dr. Rizal mulai mengadakan
pemeriksaan secara ilmu, tentang tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di
laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang belum dikenal oleh para ahli di masa itu,
dikirimkannya kepada sahabat karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?).
Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping
Rizalia. Sebagai ahli gambar dan ahli arca, Dr. Rizal mendapat hadiah dalam pertunjukan di Paris.
Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya dan bisa dipakainya buat
bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli Me Tangore” dan “Filibus
Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh bangsanya, tetapi musuh
mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang dikarangnya beberapa jam
sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap sebagai warisan yang tak
ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.
Dengan Pak Tom kejujuran Rizal terhadap
prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak persamaan.
Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan
perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama
dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri,
dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang
dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati
pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.
Pak Tom tak mendapat ujian
langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal lulus dalam ujian itu, dan
mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan ketenangan dan ketabahan yang
tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun dan di abad manapun juga. Kalau
ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu cuma bisa didasarkan atas
terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur berhadapan dengan lawan
yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular menjalar di bawah rumput.
Anaknya tani tengahan di desa
Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah masyarakat dan keluarga yang beragama
Katolik, agama yang rakyat jelata di Filipina memang dijunjung tinggi sekali
dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal thabib pembentuk Filipina ini, yang
dari pihak para pendeta ada terdengar tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata
menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.
Tetapi diukur dengan jangka
kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx, Lenin, ataupun colleganya di tepi
sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan Dr. Rizal adalah seorang intelek
yang besar dalam semua lapangan ilmu yang ditempuhnya, dia bisa juga menyelami
jiwa rakyat jelata sebagai pengarang. Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya
kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat dalam pergerakan revolusioner. Buat
Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung kepada banyaknya para intelek dan melek
huruf di Filipina, kuatnya perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina
dan terutama pula pada persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa
dinamiknya revolusi bisa menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa
menentang senjata yang lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat
membangun dalam segala lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu
diduga, ditaksir, dibangunkan dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur,
mengerti dan terdisiplin. Semua ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr.
Rizal oleh karena kurang perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula
sebab Dr. Rizal selalu diawasi oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka
pengalaman tak sampai membuka matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut.
Dr.Rizal tetap tinggal seorang intelek yang agak terpencil dari Murba.
Hal ini terbukti di masa
pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal dengan La Liga Filipinanya
dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan, maka pemimpin yang
ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi terang-terangan, walaupun dengan
jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina rupanya insyaf akan keadaan dan
mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari
satu kumpulan yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya mengikat kaum
revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga buruh di
Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru tulis kecil
dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk membantu
adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari pengetahuan
tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan pengetahuan tentang
masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan membaca buku-buku
revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan rumahnya digeledah,
maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi Perancis.
Sepeninggal Rizal rupanya ia giat
bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia merasa cukup kuat, dan mengirimkan
beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.
Demikianlah pada suatu hari tiba
di Dapitan beberapa orang, mengantar seorang “sakit mata”, seorang buta minta
obat kepada thabib Rizal. Si “Buta” dan satu dua orang pembimbing diizinkan
oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr.
Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah membuka matanya dan mengajak sang thabib
berunding tentang revolusi di kamar pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan
usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La Liga Filipina! Sekarang Andres
menganggap waktunya sudah sampai untuk mengibarkan bendera kemerdekaan dengan
Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi. Andres sudah siap buat menyerbu dan siap
pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan dengan pasukannya secara diam-diam asal
saja Dr. Rizal mengizinkan lebih dahulu.
Dr. Rizal intelek kaliber
internasional universal, tercengang dan menolak usulan Andres Bonifacio, dengan
mentah-mentah. Keberatan yang terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat
Filipina dalam hal persenjataan.
Sebenarnya “kekurangan” itu adalah kekurangan dari bangsa dan semua
golongan tertindas dan pemberontak dari jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai
sekarang, melalui revolusi Perancis sendiri, revolusi Rusia
dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum pernah bangsa atau kasta
terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai persenjataannya bangsa atau
katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu intelek kaliber internasional
menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau bangsa atau kasta tertindas itu
bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya dalam hal persenjataan, bukanlah
dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia yang tertindas. Persamaan atau
kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau sesudahnya itu, tak pernah
sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya bersifat sosial ekonomi atau
kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.
Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan
oleh si “Buta” yang sekarang lebih “Melek” daripda “Melek” dan heran
tercengang-cengang mendengar putusan Dr. Rizal tadi. Setelah jawab tadi
disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo, keluaran sekolah rendah,
dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah
Dr. Rizal membaca semacam itu? Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres
Bonifacio hilang kehormatan dan hilang kecintaan kepada seorang yang
dianggapnya guru dalam beberapa hal! Keterangan tulisan ini kelak akan
membuktikan!
Setelah perang Amerika-Spanyol
meletus, maka Dr. Rizal menawarkan dirinya menjadi palang merah di Cuba.
Tawaran itu diterima oleh pemerintah Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba.
Tetapi para pendeta di Filipina segera menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil
kembali. Di Hongkong dia disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di
pelabuhan Manila polisi rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta
memasukkan surat palsu ke dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk
menjerat Dr. Rizal ke dalam urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata
komplotan tadi ada hubungannya dengan Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki
disiksa sampai pingsan dua kali berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi
terhadap saudaranya. Tetapi adiknya tetap menyangkal.
Rizal ditawan dan dibawa ke
hadapan pengadilan, dituduh sebagai pendurhaka yang bermaksud merobohkan
pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang dilakukan sama sekali tidak memenuhi syaratnya pengadilan
modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap buat dihukum dan dalam
hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal dihukum tembak!
Pada malam penghabisan Rizal
mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”,
warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah
lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”,
dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah
Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina,
meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui
pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.
Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan
dan digiring ke lapangan Bagumbayan buat ditembak mati dan ditontonkan kepada
khalayak yang terdiri dari bangsa Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan
penuh sesak wanita dan para pembesar Spanyol, ingin dan gembira melihat
robohnya seorang putra bumi yang berani menentang kekuasaan Spanyol.
Jose Rizal berjalan dengan
langkah yang tegap, di waktu udara masih sejuk dan embun membasah mukanya untuk
penghabisan. “Alangkah indahnya pagi hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut
seorang pendeta dikanannya, lebih indah lagi kalau sekiranya.......kalimat
pendeta yang baik budi ini tak bisa dilangsungkan, karena dia dipisahkan
daripada Rizal oleh pengiring berpakaian dinas.
Rombongan yang akan menembak
sudah siap, barisan depan yang akan melepaskan tembakan terdiri dari bangsa
Filipina. Barisan belakang dari serdadu Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau
serdadu putra bumi ingkar menembak seorang pemimpin bangsanya!
Dr. Rizal memprotes kepada
komandan rombongan penembak, ketika mau diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata
Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah
saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu janganlah kepala saya ditembak”, kata
Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh
Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya
kesatria Filipina berdiri di tengah lapang seolah-olah dia menentang kekuasaan
Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan,
kerobohan badanku itu akan membawa kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.
Seorang thabib Spanyol tercengang
melihat ketenangan colleganya. Ia meminta izinnya komandan untuk memerilksa
pols (pergelangan) thabib Filipina dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya tatkala merasai pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus
serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh kelihatan berusaha berputar beberapa
kali, mendapatkan cara berbaring yang dikehendakinya berlaku. Dia berbaring
dengan muka yang tiadar rusak, menghadap ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria
Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya itu oleh bangsa Filipina yang
takjub dan berterima kasih didirikan tugu peringatan. Tempat tragedi ini
sekarang dinamai lapangan Luneta.
Adalah diantara penonton yang
tidak dikenal oleh ramai, tetapi diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang:
Andres Bonifacio, bekas sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin
Katipunan, menantikan saat buat menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman
seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi rombongan yang disampingnya sudah lama
siap buat membatalkan maksud yang dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang
lebih baik buat menyerbu, sekali jalan, serentak. Dengan air mata
berlinang-linang, serta gigi yang menggertak, sedangkan bolo terpaksa bernaung
tinggal disarungnya saja, maka Andres menurutkan nasihat para pengikutnya, dan
melihatkan guru dan teman seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin
pertolongan.
Tetapi tiadalah lama bolo itu
bersemayam dalam sarungnya. Apabila saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres
Bonifacio pertama kali menghunus bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan
kecil tetapi nekad menyerang benteng Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun
1898 (?)
Saat ini nyata tepat dipilihnya
di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi oleh pulau-pulau lain di Filipina,
berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti pekik Andres Bonifacio,
pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga, pengharapan yang akhirn buat kita
telah tiba saatnya”!
Di mana-mana timbulah barisan
gerilnya. Hampir di semua medan pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol
mengundurkan diri atau menyerah. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir
Filipina adalah bermacam-macam, dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan
bacalah surat kabar di Eropa ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan
kagum menyaksikan kecerdasan, ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di
Lautan Teduh yang selama ini tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan
dirinya ke dunia luar dengan suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan
besar. Nama barisan dan pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal
Luna, Malvat, Ricarte dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di
kepulauan Filipina. Di atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo,
bekas guru desa cakap, tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat
gerilya yang paling ulung.
Akhirnya tentara Spanyol terusir
dari semua pelosok, kecuali dari Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika
Serikat tiba dengan armadanya di pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan.
Setelah maks ud imperialis itu nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan
laskarnya menghadapi tentara Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun
lamanya perjuangan yang sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan
kemerdekaan menghadapi dua negara besar yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup
pengalaman di lapangan kemiliteran, banyaklah yang terjadi di kalangan kaum
pemberontak sendiri. Dalam kalangan yang tersebut belakangan ini timbulah
perbedaan paham yang kian lama kian menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi
permusuhan. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Bonifacio berakhir pada
pembunuhan atas dirinya Bonifacio. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Mabini,
menyebabkan yang di belakang ini meninggalkan Aguinaldo.
Menurut terjemahan biasa di
Filipina, maka pertentangan dan permusuhan itu semata-mata disebabkan oleh
perbedaan perseorangan. Pada hemat saya pertentangan itu timbulnya dari
perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan kemauan dari berbagai golongan
yang berjuang, yang diwakili oleh Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.
Ini cuma persangkaan saya saja!
Memangnya ahli sejarah Filipina tiada yakin, atau belum mengerahkan
perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa yang paling giat membantu
masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat mendapatkannya. Tetapi
ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau tiada pada permulaan
mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan borjuis Filipina yang
agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang radikal demokrasi serta
sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat murba di kota dan di
desa.
Pada pertengahan revolusi,
bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan dan pembuka revolusi agak
terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak mendapat kemenangan gemilang di
pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio kurang pertempuran atau kurang
keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang rupanya lebih dimiliki oleh
Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik revolusioner memangnya berada di
tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum pemberontak bisa bersatu dengan
menyerahkan urusan partai politik kepada Bonifacio, urusan kemiliteran kepada
Aguinaldo dalam satu koordinasi yang meliputi seluruhnya gerakan revolusioner!
Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat Filipina di masa itu rupanya belum pula
mengizinkan timbulnya semangat dan pengalaman yang perlu buat koordinasi dalam
organisasi, politik dan militer. Keadaan kerja rahasia di bawah imperialisme
Spanyol yang mashur kejam itu, tak pula mengizinkan organisasi kuat dalam aksi
di bawah tanah itu. Kaum Revolusioner terpaksa kerja dengan rombongan
kecil-kecil terutama di kota-kota dan tak bisa banyak tahu menahu satu sama
lainnya.
Pada satu permusyawaratan maka
Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan Mabini sebagai Menteri Luar Negeri.
Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama sekali tidak membayangkan
perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan Aguinaldo dengan golongan
Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili oleh dirinya Bonifacio
sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke dalam “permusyawaratan”,
bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder persiapan itu, selainnya dihadiahkan satu pangkat
“direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga diperdengarkan perkataan
penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai pengetahuan.
Tidak saja Bonifacio merasa
tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo itu, tetapi juga merasa dihina,
Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung, dan pulang meninggalkan
“pemilihan” tadi dengan gusar hati.
Di tengah jalan dia disusul oleh
pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari
mengadakan perlawanan yang teratur, maka kemenangannya, seandainya bisa
diperoleh tidak akan begitu mudah seperti pada permusyawaratan yang diaturnya
sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti dicederai, ditikam dari belakang
sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap kebanyakan pemimpin rakyat yang
mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi didalam hal kecerdasan dan budi
pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!
Dalam pertempuran di tengah
perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya
sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun
buku resmi tiada menerangkan seperti diatas, tetapi bisikan umum memandang
peristiwa Bonifacio itu tertera seperti diatas.
Demikianlah matinya guru dan
murid, ketua dan sekretaris La Liga Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama
tragis, sama-sama mati muda. Tetapi ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh
penindas bangsa asing terang-terangan di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio
mati dibunuh oleh sewarga seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose
Rizal mewakili kaum tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili
rakyat murba.
Nyata pula perbedaan itu dimasa
peringatan ulang tahun meninggalnya kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang
tahun Rizal (31 Desember) kita
menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato
dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.
Pada peringatan ulang tahun Kematian Andres Bonifacio (30 November)
terutama di pojok-pojok kota Manila, disekitarnya rakyat melarat, orang
berpidato berapi-api, mengepalkan tinju, seolah-olah berjanji meneruskan
pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai, karena pembunuhan politik atas
dirinya.
Memangnya suatu revolusi tiada
memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada yang bisa dibunuh dengan tiada
menimbulkan akibat yang penting atas sang revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa
membunuh golonga serta pemimpinnya, yang selama itu menjadi pendorong revolusi
sendiri. Teristimewa pula pada masa hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak
bisa membunuh itu harus dipandang dari dua sudut; pertama dipandang dari sudut
lahir, kedua dari sudut batin. Dipandang dari sudut batin, karena hasrat
golongan dan pemimpinnya yang mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah
perjuangan itu kelak, lekas atau lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan
dan pemimpin yang terdepan dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama
sekali atau sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak
saja revolusi akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu
juga akan melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau
seimbang kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan
gagal dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan
awak lawan awak itu, maka revolusi
seluruhnya tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah
sekali ditaklukkan oleh kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang
sebenarnya, tak akan berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada
golongan radikal atau pada yang paling reaksioner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar