Pidato Tan Malaka
Tan Malaka di
Kediri pada tanggal 19 Desember dan mendapatkan kebebasan bergerak selayaknya. Ia,
berkat hubungan baiknya dengan Soengkono, bahkan mendapat kesempatan untuk
mengucapkan pidato radio. Pada tanggal 20 Desember pidato ini diumumkan, juga melalui
Radio Republik Djawa Timur. Ia berpidato untuk ‘saloeroeh rajat Indonesia dan
djoega ontoek loear negeri.[1]
Terdengarlah pidato itu disiarkan pada petang hari berikut, tanggal 21 Desember
pukul 19.45.
‘Rakyat Indonesia,
kaum tani, para pemuda, kawan-kawan senasib dan seperjuangan, merdeka.
Sekarang, 75 hari sesudah saya dibebaskan,
barulah saya berkesempatan untuk berbicara dengan Saudara-saudara.
Dengan hati sedih saya mendengar desas-desus
dari Yogya tentang kekecewaan rakyat, karena saya ditunggu oleh rakyat.
Saudara-saudara, para pelopor perjuangan;
ketahuilah, bahwa tujuan saya ingin menjelaskan apa yang sehubungan dengan
berbagai macam kejadian di sekitar kemerdekaan, yang membuat saudara-saudara
sekalian kecewa dan jengkel.
Sekarang, rakyat terlibat dalam perjuangan
mati-matian melawan musuh, kepada suadara-saudara sekalian saya ingin bicara.
Seperti pada permulaan revolusi juga
sekarang rakyat murba dan para pemuda yang di medan perang di Jawa Timur dan
Jawa Tengah memperlihatkan, bahwa mereka mencintai kemerdekaan.
Marilah kita sejurus mengenang kepada para
pejuang kita yang telah gugur di medan perang itu.
Dengan meletusnya pertempuran pada tanggal
18 Desember, yang dimulai dengan tujuan untuk menghancurkan Republik dan
menguasai kita, lagi-lagi gagal usaha-usaha untuk mencapai kemerdekaan 100%
dengan perundingan.
Soetan Sjahrir, si Boeng kecil yang masih
ingin lebih cerdik dari Van Mook, Beel, Schermerhorn,...(?) telah
menanda-tangani perjanjian Linggadjati.’
Pembicara kemudian menjelaskan, bagaimana
Belanda, sesudah merasa dirinya cukup kuat dan semangat rakyat serta para
pemuda menjadi lemah dan dari itu dunia menjadi terlena tidur, maka terjadilah
pelanggaran terhadap perjanjian Linggadjati, dan aksi militer pertama dimulai.
Jawa Barat dan sebagian besar Jawa Timur
jatuh di tangan mereka. Diplomasi si Boeng kecil Sjahrir mengalami kegagalan.
Selanjutnya pembicara memasuki masalah
pelaksanaan perjanjian Renville dan andil Sjarifoeddin di dalamnya, sebagaimana
juga perkembangan lebih lanjut di bawah Mohammad Hatta.
Dikatakan selanjutnya, antara lain, bahwa
berkat adanya perjanjian baru, Belanda tanpa gangguan meneruskan politik
blokade dan pengepungan, pembentukan negara-negara boneka dan politik
infiltrasi serta intimidasi, dan bahwa Mohammad Hatta ‘seharusnya’ menyadari
bahwa tujuannya ialah...tidak untuk bemain-main dengan merdeka 100% yang sudah
dipropklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan yang sudah dipertahankan oleh
rakyat dan pemuda dengan pengorbanan yang besar’.
Ditunjukkan olehnya, bahwa Belanda telah
memanfaatkan dua perjanjian itu. Dua perjanjian itu digunakannya sebagai
jaminan mendapatkan pinjaman dari Amerika.
‘Maka Belanda itulah yang
berjingkrak-jingkrak dan ......melompat dari Belanda ke Batavia, dari Batavia
ke Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Banjarmasin, Makasar, dan hampir ke
seluruh wilayah Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus.
Maka Belanda itulah yang
berjingkrak-jingkrak dan .......melompat dari Belanda ke Batavia, dari Batavia
ke Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Banjarmasin, Makasar, dan hampir ke
seluruh wilayah Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus.
Maka Belanda itulah yang...sesudah menjadi
habis-habisan, karena selama hampir lima tahun diinjak-injak oleh fasis Jerman.
Maka Belanda itulah yang seperti Jepang hendak memiliki minyak, karet, hasil
bumi Indonesia.....
Semuanya itu adalah hasil dari diplomasi
perundingan, dan untuk melaksanakan diplomasi yang serupa itu....Persatoean
Perdjoengan Amir Sjarifoeddin sebagai menteri pertahanan....pada tanggal 17
Maret 1946....’
Pembicara menyatakan bahwa tanggal 16
September ia dibebaskan, tanpa tuduhan kepadanya tentang keterlibatannya dalam
Peristiwa 3 Juli. ‘Tapi bagi saya adalah jelas, bahwa pembebasan ini dimaksud
untuk menahan saya kembali’...Sesudah itu ia mulai bekerja untuk pembangunan
kekuatan revolusioner, yang sudah dalam
keadaan terpecah-belah.
Sejak penandatanganan perjanjian Linggadjati
dan persetujuan Renville kemerdekaan 100% berangsur-angsur menjadi musnah oleh
politik Soetan Sjahrir.
‘Sudah tiga tahun perjuangan berjalan. Tapi politik
diplomasi telah mengembalikan perjuangan kita pada taraf awal revolusi kita. Apakah
kita akan berjuang dengan semua yang ada pada kita, ataukah akan kita biarkan
Belanda mengatur nasib kita?
Jika kita masih tetap percaya pada
Proklamasi, dan tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap para pahlawan, yang
telah mempertahankannya dengan memberikan hidup mereka, maka seharusnyalah kita
kembali pada semangat Proklamasi, pada bambu runcing.
Sekarang kita sudah mempunyai pengalaman
pahit dengan politik diplomasi; mari kita beralih pada perjuangan dengan bambu
runcing. Tiga tahun lamanya perjuangan kita berlangsung, pengalaman yang
sepanjang masa itu telah kita peroleh di bidang politik, ekonomi, militer bagi
kita merupakan basis yang penting untuk meneruskan perjuangan.
Lasjkar Jawa Barat, pada saudara-saudara
terletak tugas untuk menghancurkan penjajah dan kakitangan mereka.
Lasjkar Jawa Timur, jangan kalah dengan
saudara-saudaramu di Jawa Barat dan rebutlah kembali setiap jengkal tanah dari
tangan musuh.’
Anjuran-anjuran semacam itu juga ditujukan
pembicara ke seluruh penjuru Indonesia selebihnya.
‘Semua daerah harus dibikin menjadi
tempat-tempat strategis, tempat-tempat yang dari sudut militer dipandang mudah
dipertahankan dan diperluas, tempat-tempat yang mempunyai ikatan seerat-eratnya
dengan proletariat [dalam Bahasa Indonesia sangat mungkin Murba] yang terdapat
di sekitar, sehingga penciptaan itu bisa memberikan jaminan untuk keamanan,
perekonomian dan kemenangan rakyat dan tentara rakyat.
Kita percaya, bahwa tidak lama lagi saatnya
akan datang ketika semua daerah gerilya yang tersebar itu akan bisa
dipersatukan menjadi satu Indonesia yang merdeka 100%.
Selanjutnya Tan Malaka menganjurkan pada
rakyat Indonesia untuk mengganyang pemerintah negara-negara boneka dan
antek-antek imperialis.
Ia menyebutkan, bahwa Belanda sendiri pernah
melakukan perang kemerdekaan selama delapan puluh tahun, ketika itu melawan
Spanyol yang jauh lebih unggul. Ia mengatakan, bahwa rakyat Indonesia yang
berpenduduk sepuluh kali lipat lebih banyak dari Belanda, pasti juga sanggup
berjuang selama sepuluh, delapan belas, atau jika perlu delapan puluh tahun.
‘Dari sini saya menyerukan pada seluruh
rakyat di Indonesia, khususnya yang ada di daerah-daerah pendudukan, untuk
melancarkan perlawanan gerilya, bebas dari perintah dan pengaruh kolonial,
serta terlepas dari diplomasi perundingan.
Jadikanlah setiap wilayah suatu satuan yang
strategis, yang mudah dipertahankan. Sehingga dengan demikian, saya yakin,
kemerdekaan 100% akan tercapai’.
Akhirnya pembicara memberikan
nasihat-nasihatnya sebagai berikut:
1.
Bersihkanlah sebersih-bersihnya,
seperti orang membersihkan kotoran, semua racun dari semangat Linggadjati,
Renville dan Aide-Memoire, dan singkirkanlah semua pelaksana perundingan dari
setiap ranah perjuangan kita.
2.
Cabut sampai seakar-akarnya
semua negara boneka, yang didirikan oleh Belanda semasa dan setelah
perundingan, hancurkan semua kakitangan mereka sebagai pengkhianat-pengkhianat
Proklamasi.
3.
Rebut kembali setiap jengkal
tanah, yang telah diduduki musuh, dan usirlah ia sampai laut dan kembalikan ke
negeri asalnya.
4.
Beslah semua harta milik musuh,
uruslah perekonomian dengan jelas, dan hancurkan ekonomi musuh, yang akan
dipergunakan untuk membelenggu kita kembali.
5.
Bangkitkanlah semangat percaya
diri, seperti semangat 17 Agustus 1945 kembali, untuk menumpas semua infiltran
musuh, koruptor, dan kolone ke-5 musuh.
6.
Tolak semua perintah gencatan
senjata.....dari siapa pun datangnya, sebelum Belanda meninggalkan Indonesia.
7.
Berilah seluruh gerakan pemuda
pengertian tentang kemerdekaan 100% sebagai landasan.
8.
Gabungkanlah sikap semua
partai, badan, organisasi militer dan tentara rakyat yang dengan paham islam,
nasional dan proletar ke dalam semua kesatuan perjuangan.
Saya akhiri sampai
di sini.
Bahkan satu menit
pun kedaulatan rakyat Indonesia tidak boleh ditunda-tunda, dan kebulatan
(keutuhan) kemerdekaan kita tidak boleh dikurangi. Sekali merdeka, tetap
merdeka.[2]
[1] Tan Malaka pimpin perlawanan rakjat’, Sin Po, 21-12,1948. Surat kabar
ini menambahkan, bahwa Tan Malaka dari Yogya dibawa lari ke arah timur dan akan
tinggal di Kediri atau Madiun. Juga ia menyatakan akan memimpin perjuangan
rakyat melawan Belanda sampai selesai. Sumber dari pernyataannya yang terakhir
ini tidak diberikan oleh surat kabar itu. Brackman 1963: 109 tentang ini
menyebut Radio Kediri, yang menyambut kedatangannya dengan kata-kata “Bapak
Republik yang akan memimpin rakyat menuju kemenangan penuh’.
[2] Penuturan kembali, sebagian dalam terjemahan lengkap dan sebagian
lagi diringkas dalam Paleisrapport, 22-12-1948, dalam NA, PG 581. Penuturan
ulang yang tidak lengkap disebabkan oleh adanya gangguan, sebagai lampiran 1
untuk ‘Rapport over de Gabungan (Gerilja) Pembela Proklamasi’, disusun atas
perintah dari Hoge Vetegenwoordiger van de Kroon (HVK) oleh wakil-wakil Kabinet
HVK, Centrale Militaire Inlichtingendienst dan Dienst der Algemene Recherche
bij het Hoofdparket, 22-10-1949, dalam NA, PG 986, juga dalam NA, Kabinet
Legercommandant Indonesie, berkas 29. Di sini dicantumkan tentang waktu. Yang dikutip
di sini versi yang pertama, dengan penyesuaian dan tambahan atas
penerjemahannya tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan. Ikhtisar seperti yang
dikutip oleh ‘Republican delegation’ di Jakarta dalam Press Review dikirim oleh
Konsul Jenderal Amerika ke Washington pada 23-12-1948 (National Archives
856D.00/12-2348 (RG 59, Box 6440). Brackman 1963: 110 menyebut pukul 19.30
sebagai mulainya siaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar