Berdasarkan
perhitungan atas bahan politik, ekonomi dan sosial di Hindia Belanda maka dalam
massa aksi, yang ditulis pada tahun 1926 di Singapura, dalam Kata Pengantar
saya menulis: “Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan
memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorangpun yang dapat
mengatakan bilamana dan dimana bendera Kemerdekaan yang pertama akan berkibar.
Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan
sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai panjang yang mengikat perbudakan
Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng
imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Kalau keruntuhan
imperialisme Belanda dalam brosure Massa-Aksi memangnya tidak lagi berupakan
sesuatu pengharapan belaka, (karena pula semuanya taktik strategi buat
meruntuhkan imperialisme yang bakal runtuh itu memangnya dipusatkan pada
“Halkah rantai yang lemah”, ialah Hindia Belanda itu), maka perhitungan tentang
keruntuhan itu sudah terbukti pula hitam di atas putih lama sebelumnya tahun
1927 itu (dimajukan disini bukan pula untuk berlagak, melainkan untuk mengu ji
kebenaran): Pada permulaan tahun 1924, saya tulis dengan tergesa-gesa di
Singapura juga “Naar de Republiek
Indonesia” Ke arah Republik Indonesia) tidak saja runtuhnya Hindia Belanda sudah
diperhitungkan, tetapi pula bentuk pemerintahan ialah Republik yang akan
menjadi pengganti pemerintah Hindia Belanda itu. Tidak saja bentuk Republik itu
yang dengan sadar disetujui, tetapi juga taktik strategi yang dipusatkan kepada
rakyat Murba di Solo-Valley, Lembah sungai Bengawan Solo, yang berasal di
daerah Solo dan bermuara di daerah Surabaya itu. Ingatlah pula hari peringatan,
hari pahlawan ialah tanggal pecahnya pembelaan Rakyat terhadap serangan Inggris
dari darat, lautan, udara, pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya,
ujungnya lembah sungai Bengawan Solo itu. Bukannya satu Dominion, satu Gemeene
Best, satu Free State, satu Trusteeship, satu Uni-Nederland-Indonesia ataupun
satu kerajaan yang ditujui, melainkan Satu Republik yang lepas bebas dari
negara manapun juga di bawah kolong langit ini. PARI, Partai Republik
Indonesia, didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok, dengan tegas nyata
memberi kepastian kepada perhitungan, bahwa diatas runtuhan Hindia Belanda akan
berdiri Republik Indonesia, yang akan dibela oleh rakyat, pemuda dan Murba
Indonesia, berdasarkan atas tenaga sendiri dan otak sendiri atas self helf,
menuju ke dunia yang berdasarkan Federasi yang Sosialistis.
Baik juga
diperiksa, apakah sikap taktik dan strategy-nya PARI pada tahun 1927 itu, tidak
100% cocok dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan Republik Indonesia, dimasa
berdirinya ini, ialah dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang 17 November
1947.
Berhubung dengan
pendirian kita diatas, maka baiklah pula sekali lagi diperingatkan kepada yang
tidak fanatik nama dan masih bisa dan mau berpikir dengan memakai bukti dan
akal, bahwa keadaan sudah mendesak Sovyet Rusia membubarkan Komintern dengan
resmi pada tahun 1943. Dan tidaklah pula salahnya memperingatkan perkataan Josef
Stalin berhubungan dengan berdirinya Kominform (Informasi Biro Komunis) baru
ini.
Menurut antara
U.P. London 23/10-47, maka Konni Ziliacus yang mengepalai delegasi 8 wakil
Sayap kiri Partai Buruh di Parlemen Inggris dalam perjalanannya meninjau ke Polania,
Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Rusia, menyatakan setibanya di London begini:
“Pada tanggal
14/10-47, yang lalu, kami mengunjungi Josef Stalin di Villanya di lereng
pegunungan Kaukasus di dekat laut Hitam. Berdirinya Kominform (Information
Bureau) di Belgrado, kata Stalin, bukan dimaksud menghidupkan Komintern dan
sekali-kali tidak mengubah keinginan Rusia untuk memperbaiki perhubungannya
dengan Amerika dan Inggris”.
“Stalin dengan
ikhlas menegaskan: Komintern didirikan sesudah perang dunia ke-I ketika
partai-partai Komunis mulai tumbuh. Di waktu itu Komintern bekerja
menyelenggarakan hubungan antara kaum buruh berbagai negeri tetapi sekarang
keadaan sudah lain. Di berbagai negara partai-partai komunis telah menjadi kuat, penuh tanggung
jawab serta berakar dalam sekali dan dituntun pula oleh orang-orang yang teguh
dan cakap. Karena itu salah sekali kalau Partai-Partai Komunis dikendalikan
langsung dari suatu pusat (pembesaran huruf oleh Pen). Mendirikan lagi Komunis
Internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah” (pembesaran
huruf oleh Pen).
“Kemungkinan
partai-partai komunis dari 9 negara tidak lain daripada pernyataan akan bekerja
sama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat sedunia
serta memperlindungi kemerdekaan dan kedaulatan Negaranya masing-masing.”
Buat penulis ini
mendirikan PARI bukanlah berarti “mengliquidir” komunisme. Apakah tindakan
Stalin membubarkan Komintern yang didirikan oleh partai Bolsjewiki dibawah
pimpinan Lenin bersama-sama Partai Komunis dan pemimpinnya. Di beberapa Negara
itu bersifat “mengliquidir” komunisme, itu terserah pertimbangan pembaca yang
bijaksana. Apakah pula pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dirundingkan
dan disetujui lebih dahulu oleh semua partai komunis di dunia, tidaklah penulis
ini mendapatkan keterangan. Demikianlah pula akhirnya belumlah penulis ini
dapat memastikan apakah Kominform, yang sekarang cuma meliputi 9 negara di
sekitarnya Soviet Rusia itu kelak tidak akan kembali kepada dasar dan bentuk
Kominform, ialah meliputi seluruhnya di dunia. Semuanya yang bukan dimajukan
sebagai kritik, melainkan sebagai kritik, melainkan sebagai penjelasan
semata-mata.
Tetapi bagaimana
juga tindakan Stalin pada tahun 1943 rupanya adalah akibatnya desakan yang
hebat terhadap Soviet Rusia, berhubung dengan serangan tentara Jerman pada satu
pihak dan kebutuhan kerja sama dengan Inggris dan Amerika di lain pihak. Lagi
pula seandainya Komunis Internasional akan berdiri kembali, maka sifatnya pasti
tidak lagi akan seperti yang sudah dibubarkan, ialah sangat terpusat itu.
Dan bagaimana juga
sikap dan tindakan Stalin pada tahun 1943 itu terhadap Komintern, sejarah sudah
membuktikan, bahwa dengan kerja sama antara Soviet Rusia dengan Inggris/Amerika
itu, Soviet Rusia keluar dari medan perang dunia ke-II ini sebagai negara
menang. Sekarang Soviet Rusia terbilang negara yang terkuat di Eropa dan entah
mana yang kuat dengan Amerika untuk seluruhnya dunia. Dasar sosialisme-pun
sudah lebih terjamin pada daerah Soviet Rusia sendiri ditambah dengan Polonia,
Cekoslowakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Albania dan Bulgaria.
Tetapi dengan
mengemukakan manfaatnya bagi Soviet Rusia pembubaran Komintern pada tahun 1943
itu dan dengan mengemukakan lebih kuatnya Soviet Rusia sekeluarnya dari medan
perang dunia ke II itu sebagai akibatnya perserikatan Rusia-Amerika-Inggris
dalam perang dunia ke-II, tidaklah penulis bermaksud mengambil kesimpulan,
bahwa benarlah sikap dan tindakan pembubaran komintern itu dan akan celakalah
proletar internasional, kalau komintern itu diteruskan berdiri dan menolak
tuntutan Amerika dan Inggris membubarkan komintern itu. Sejarah sudah berlaku
atas pembubaran komintern dan sang sejarah itu tidak dapat dipanggil kembali
buat berlaku atau tidak dibubarkannya komintern dengan atau tak dengan kerja
sama antara Soviet Rusia dan Amerika-Inggris. Bagi kami pendiri PARI, pada dua
puluh tahun lampau itu sudah terbayang, bahkan Soviet Rusia akan bersandar pada
diri sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern,
seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.
Atas perhitungan
bahwa Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri itulah pula revolusi
Indonesia dan pembelaan Republik Indonesia kami dasarkan, yakni atas self help,
atas tenaga sendiri dan otak sendiri. Pada keterangan Stalin, ialah menurut
berita dari London tersebut, bahwa “salah sekali kalau partai-partai komunis
dikendalikan langsung dari suatu pusat” –lah kami sekarang merasa mendapat
kecocokan dan pengesahan 100%, cocoklah pendirian kami dengan keterusan
perkataan Stalin pada intervieu tersebut, bahwa “mendirikan lagi
komunis-internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah”.
Memangnya juga PARI (what is but a name! Apakah artinya nama itu!) menghendaki
“bekerja bersama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan
rakyat, sedunia serta memperlindungi kemerdekaan kedaulatan negaranya
masing-masing, seperti wujudnya Kominform itu. Cuma Kominform itu pada tahun
1947 ini sudah dilaksanakan pada daerahnya 9 negara dengan Soviet Rusia sebagai
daerah melangkah. Sedangkan kami pada tahun 1927 dan sekarangpun baru
memperhitungkan Republik Indonesia sebagai daerah tempat melangkah menuju ke
arah ASLIA. Seperti persamaan bumi iklim, kebangsaan, kewargaan, perekonomian,
sosial dan kebudayaan sudah merapatkan beberapa negara yang sekarang tergabung
dalam Kominform, demikianlah (pula menurut perhitungan kami dikemudian hari
persamaan tersebut antara beberapa negara di Asia Tenggara akan merapatkan diri
dalam gabungan ASLIA dengan ASLIA sebagai Satuan (Unit) yang dalam perekonomian
lebih kurang sanggup memenuhi keperluan diri sendiri sebagai negara sosialis,
bersama dengan Amerika-sosialis,
Tiongkok-sosialis, Hindustan-sosialis, Soviet Rusia dll. Negara Raksasa yang
sosialis, kita akan mengatur satu federasi dunia atas dasar sama rata antara
negara-negara. Perlu sekali ditegaskan disini, bahwa dunia itu bukanlah kelak
berdiri dari mereka yang ditunjuk oleh salah satu atau dua tiga gelintir negara
besar, melainkan dipilih oleh rakyatnya tiap-tiap negara anggota gabungan,
secara demokratis: bukan tunjukan dari pusat, melainkan pilihan dari bawah.
Demikianlah pula ciptaan kami tentang Komintern dihari depan.
Dalam tingkat kemajuan dunia, teknik, politik
ekonomi dan kebudayaan seperti sekarang ini, menurut pikiran kami, sesuatu
Komintern atau pemerintah (proletar) dunia di hari depan, mau tak mau, harus
mempertimbangkan dasar, yang dengan pendek kami namakan saja demokrasi
regional, ialah dasar demokrasi yang dilakukan atas daerah yang seluas-luasnya
berhubung dengan persamaan hawa-iklim, kebangsaan, kewargaan, bahkan
perekonomian, sosial kebudayaan dan gerak jiwa (psychologie). Banyak sekali
kecocokan yang terlihat dalam sikap dan tindakan Soviet Rusia dibawah pimpinan
Stalin berhubung dengan politik luar negerinya Soviet Rusia dan adanya
Kominform dengan pemandangan PARI
diwaktu berdirinya. Kecocokan itu tertulis pula hitam diatas putih. Tetapi
belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup bagi kami, bahwa
dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan tindakannya PARI.
Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan adalah sendi
kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan yang baik buat
mengumumkannya.
Seperti pasir baru
atas tersapu oleh angin topan demikianlah pula imperialisme Inggris di Malaya,
dan Imperialisme Belanda di Indonesia disapu oleh tentara Jepang. Malaya jatuh
pada 13 Februari, setelah tentara Inggris bertahan lebih kurang 2 bulan lamanya. Indonesia jatuh
pada 8 Maret 1942, setelah delapan hari lamanya serdadu Hindia Belanda yang
95.000 banyaknya itu terdesak sesudah lari tunggang langgang melihat prajurit
Jepang yang jumlah lk. setengah dari serdadu Belanda, bersenjata jauh kurang
lengkap dan baru datang dari tempat 5000 km jauhnya. Seperti Julius Caesar, +-
2000 tahun lampau, Imamura pada abad ke-20 ini dapat pula meriwayatkan
kemenangan atas tentara Hindia Belanda dengan perkataan: Veni, Vidi, Vici, saya
datang, saya lihat, dan saya taklukkan.
Dengan bertolaknya
pemerintah Inggris dari Malaya dan terbentuknya pemerintah Tentara Jepang, maka
suasana kota Singapura, Sho-nanto bertukar sama sekali; tak mudah digambarkan
disini. Pertukaran yang sangat mencolok mata seperti mestinya juga terasa di
Indonesia ialah “orang putih kalau kelihatan cuma sebagai tawanan yang digiring
kemana-mana oleh prajurit Jepang dan sering dipukuli sebagai sapi kebiri”.
Terasa benar tak ada kantor ini atau itu, Maskapai ini atau itu. Buat saya,
yang selama 20 tahun harus menyelundup dengan segala kelicinan buat membeli
karcis kapal, mendapatkan surat pas atau surat visa di kantor ini atau itu,
kalau mau bertolak dari tempat-tempat terasa benar tak ada kantor dan maskapai
itu.
Tentu saja saya
merasa kelegaan dengan tak adanya semua rintangan itu. Tetapi saya insyaf
benar, bahwa sebentar lagi pemerintah tentara Jepang tentu pula akan mengadakan
pengawasan atas lalu lintas antara Malaya dan kepulauan Indonesia itu. Saya
pikir baiklah lekas-lekas diseberangi Selat Malaka sebelumnya nanti timbul
bermacam-macam peraturan militer Jepang, dan menuju, “ke arah Republik
Indonesia”, bukan lagi dalam teori, seperti 18 tahun lampau.
Perhubungan
Singapura dan Minangkabau belum dapat dipastikan pada masa itu. Yang agak pasti
cuma perhubungan antara Singapura dengan satu dua tempat di pesisir Timur pulau
Sumatera, seperti Tembilahan dan Selat Panjang. Masuknya perahu kecil ke Kuala
Sungai Kuantan buat terus ke Tembilahan belum lagi pasti karena derasnya arus
sungai, kalau angin besar. Dari pesisir Sumatera Timur ke Padang belum tentu
ada keamanan berjalan. Saya putuskan berangkat ke Penang. Dari sana kelak akan
saya pelajari jalan ke Medan.
Seorang guru
kolega, L.Y. dan tiga pelajar Tionghoa ingin ikut bersama saya pergi ke
Sumatera atau Jawa. Kami memangnya sudah benar-benar sehidup semati dalam
beberapa bulan di belakang ini. kolega L.Y. mempunyai keluarga di Malaya dan
seorang pelajar mempunyai keluarga di Borneo Utara. Dua pelajar lainnya
memangnya mempunyai keluarga di Sumatera Timur.
Berlimalah kami
berangkat meninggalkan Shonanto pada pertengahan bulan Mei tahun 1942.
Perjalanan antara Singapura dengan Penang apalagi antara Singapura dengan
Jakarta, melalui Penang, Medan, Padang, Palembang dan Lampung terlampau banyak
memberi pemandangan, yang berarti buat dirawayatkan di sini.
Saya terpaksa
mengambil yang penting dan berkenaan saja. Stasiun Shonanto dijaga oleh
prajurit Jepang dengan senapan dan sangkur terhunus. Kuli pengangkat barang
tidak dibolehkan masuk stasiun. Tiap-tiap penumpang harus mengangkat barangnya
sendiri. Entah darimana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di
depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Entah dari mana datangnya tukang
copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang
sendiri. Dengan berdesak-desakan dan rebut-rebutan akhirnya kami mendapatkan
tempat juga dalam kereta yang luar biasa panjangnya itu.
Banyak sekali
jembatan yang dirusak disebabkan peperangan yang sudah lampau. Jembatan itu
diperbaiki atau diganti dengan jembatan kayu. Kereta berjalan dengan kekuatan,
apalagi kalau melalui jembatan. Seringkali kereta lama mesti menunggu di
stasiun. Perjalanan Singapura Penang, yang biasanya dapat dilakukan dalam
sehari semalam, sekarang mengambil waktu dua-tiga hari.
Di stasiun Prai,
sebelumnya kami menyeberang dengan ferry, kapal, ke pulau Penang, badan dan
barang diperiksa dengan teliti sekali. Kabarnya konon baru saja seorang gadis
Tionghoa dikoyak badannya oleh empat prajurit Jepang, yang masing-masing
menarik kaki dan tangan gadis yang malang itu sampai koyak. Pada pemudi ini
kabarnya terdapat dua granat yang ditaruh di dadanya.
Lama juga kami
terpaksa menunggu perahu buat menyeberang ke Medan. Saban hari kami berpecah
bepergian menanyakan ke sana-sini apakah ada dan dari manakah perahu berlayar.
Sementara itu dapat pula kami menyaksikan, berapa hebatnya kerusakan yang
diderita oleh kota Penang, sebagai akibatnya serangan Udara Jepang.
Akhirnya pada
suatu hari kolega L. Y. datang membawa kabar yang memberi pengharapan buat
berangkat. Katanya, adalah sebuah kongsi kapal Indonesia yang mengurus
pelayaran ke Belawan, Medan. Segera kami bersama-sama pergi mengunjungi kongsi
tersebut.
Baru saja kami
lima orang duduk berjejer-jejer maka dengan tak langsung “tauke” kongsi kapal
menuju dan menunjuk kepada saya dengan perkataan: “Ini tuan tentu berasal dari
Sumatera”.
Orang tak boleh
kehilangan akal, kalau tiba-tiba terdesak seperti saya di waktu itu. Saya
merasa tak perlu membuka rahasia saya dan menyebutkan nama saya yang sebenarnya.
Sama sekali belum datang waktunya buat itu. Saya jawab dengan (seolah-olah)
mengingat masa lampau: “Barangkali saya sudah pernah berjumpa dengan tuan di
Hilir Palembang”. Dia diam serupa berpikir, mengenang masa lampaunya itu.
Sambil dia menggeleng-geleng menandakan, bahwa yang saya katakan itu tidak
cocok dengan peringatannya, maka saya terus bercakap-cakap dalam bahasa
Tionghoa dengan para murid dan bahasa Inggris dengan kolega L.Y.
Berkali-kali saya
pergi ke kongsi kapal Indonesia itu, buat menanyakan kapan kapalnya akan
berangkat. Tetapi dia, tauke, tadi sudah terlalu sibuk dan tak banyak
memperdulikan saya lagi. Tauke itu tak kurang dan tak lebih daripada Mohammad
Samin bekas ketua Sarekat Islam Medan, dan saya kenal baik selama tinggal di Medan,
lebih dari 20 tahun sebelumnya. Kabarnya selang berapa lama dia pindah ke
Penang. Rambutnya sudah putih, tetapi potongan badan dan bentuk mukanya
belumlah lagi saya lupakan. Boleh jadi sekali dia sudah melupakan saya.
Sampai sekarang
saya memegang keyakinan, bahwa perpisahan dua puluh tahun bisa melupakan
kenalan dengan kenalan. Apalagi kalau satu sama lainnya tidak pikir memikirkan
dan berjumpa pada tempat atau waktu yang tidak disangka-sangka. Begitulah di
belakang hari di Pematang Siantar, pada penghabisan bulan Juni (20 Juni?) tepat
ditengah jalan saya berjumpa dengan dokter hewan Ali Musa, lima kelas lebih
tinggi dari saya di Kweekschool Bukit
Tinggi. Malah ketika saya pada tahun 1920 pergi ke Minangkabau mengunjungi ibu
bapak, saya bermalam di rumahnya Dr. Ali Musa di Pematang Siantar itu. Dengan
Drs. Moh. Hatta di Bayah dan di tengah jalan Oranye Boulevard, Jakarta, di masa
Jepang, malah dengan teman sekelas sendiri, Dahlan Abdullah, bekas Sico Jakarta di tengah jalan di Jakarta
saya pernah bertemukan muka sama muka. Tetapi siapakah diantara mereka yang
akan menyangka menjumpai seorang yang sudah lebih 20 tahun dipisahkan.
Banyak benar
cerita Riep van Winkel seorang penduduk salah satu desa di Amerika. Setelah
bertahun-tahun dia meninggalkan desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia
kembali ke desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya.
Tidak saja teman sedesa yang tidak lagi mengenal dia, tetapi mereka tertawa dan
tidak mau kenal, apabila dia memperkenalkan dirinya sebagai Riep van Winkel.
Saya belum setua Riep van Winkel, tetapi tentulah banyak perubahan rupa yang
terjadi selama lebih 20 tahun.
Pada kira-kira
pertengahan bulan Mei 1942, kami akhirnya bertolak dari Malaka dengan sebuah
tongkang kepunyaan dan dikemudikan oleh orang Tionghoa dan disewa oleh kongsi
kapal Indonesia tadi. Sebetulnya tongkang ini hanya sanggup membawa 20 orang
penumpang dengan barang-barangnya. Tetapi jumlah pada masa itu tak kurang
daripada 40 orang. Kami berdesak-desakan mencari tempat di bawah geladak
(dek). Walaupun tempat itu gelap, karena
tak ada jendela dan hawanya banyak mengganggu, lantaran banyaknya manusia, kami
merasa senang, karena dapat menyeberang menuju ke tempat yang baru.
Para penumpang
terdiri dari bermacam-macam bangsa: Indonesia, Tionghoa, dan Hindu. Penumpang
Hindu selalu membuka pikiran saya dimana saja mereka saya jumpai. Pernah saya
bertanyakan kepada seorang Hindu pada sebuah kapal, kenapa dia tidak mau tidur
atau duduk dekat orang senegerinya, maka dia jawab, bahwa orang itu bukan
“bangsanya”. Sesudah saya periksa lebih jauh, maka ternyatalah, bahwa yang
bukan “bangsanya” itu, ialah orang Hindu juga tetapi termasuk kasta lain entah
kasta apa diantara lebih kurang 3000 kasta besar kecil itu. Di tongkang kami,
yang saya sudah lupa namanya, tetapi baik disebut Ho-Kang saja artinya untung besar. Kami sudah melihat bayangan
perpecahan British India di hari depan. Perpecahan itu bukan disebabkan oleh
perbedaan kasta, melainkan oleh perbedaan agama Hindu dan Islam. Di Tongkang
Ho-Kang, ada dua penumpang, yang warna kulit, potongan badan dan bentuk muka,
bahkan pakaianpun sama tetapi berlaku seperti anjing dengan kucing. Mereka
berbaring berjauhan satu sama lainnya dan membiarkan satu lapang yang agak luas
diantara mereka. Sering mereka
kedengaran bertengkar dalam bahasa mereka sendiri. Karena tempat memangnya
sempit, maka salah seorang penumpang Tionghoa, meminta supaya dia mendekat saja
kepada temannya. Tetapi di suruh Tionghoa itu berbaring diantara mereka. Sebab
memangnya berlainan “bau” maka Tionghoa tadi menolak dan bersikeras menyuruh
penumpang Hindu tadi berbaring berdekatan dengan “bangsanya” sendiri. Dengan
tegas orang Hindu tadi memberi jawab: “Itu bukan bangsa saya. Saya Islam punya
orang. Dia Hindu punya orang”.
Memang sudah lama
kita ketahui mendalamnya biji divide et
impera antara Hindu dan Islam masuk di British India sendiri, sampai bunuh
membunuh, adalah kejadian biasa disana. Tetapi kalau permusuhan itu denga
terang-terangan pula, diperlihatkan di negeri asing di antara bangsa asing,
maka sikap semacam itu tidaklah akan menambah kehormatan bangsa Asia lainnya
terhadap penduduk British India, yang mempunyai kebudayaan yang gilang-gemilang
di zaman lampau itu. Apakah perpecahan British India diantara Hindustan dan Pakistan
itu, yang sekarang (November 1947) sudah berlaku, tetapi belum lagi memberi
kepuasan, kelak dikemudian hari akan memberikan kepuasan yang kekal? Ataukah
perpecahan itu akan menimbulkan sengketa terus-menerus antara dua negara,
sebangsa, tetapi berlainan agama, sampai salah satu negara itu dengan paksa
akan menguasai yang lain? Ataukah akhirnya “Mahkota” Inggris (atau negara lain)
akan datang dengan senyum simpul mendekat mereka dan mempertautkan perpecahan
itu kembali? Cuma sejarah saja yang akan dapat memberi jawab. Tongkang Ho-Kang
sudah membayangkan perpecahan yang sekarang sudah menjadi bukti.
Selainnya daripada
pertikaian biasa diantara orang India dan India itu, para penumpang amat rukun
satu sama lainnya. Biasanya dalam masyarakat kecil seperti dalam tongkang kecil
itu, apalagi kalau menghadapi angin topan dan bahaya, manusia itu merapatkan
diri satu dengan lainnya. Cuma Islam India dalam Tongkang Ho-Kang, seperti juga
banyak kelihatan di Malaya merapatkan diri kepada Islam Indonesia.
Selat Malaka tidaklah
selalu berada dalam keadaan tenang, jernih dan datar seperti kaca. “The
Sumatera”, yang dimaksudkan oleh Inggris ialah topan yang bertiup dari Sumatera
terkenal dahsyatnya di Malaya. Di waktu laut tenang, kami bergurau-gurau di
geladak membandingkan cepatnya Tongkang Ho-Kang dengan Kapal Kedah dari
Straits-Steamship Co. Kapal Kedah sebelum Inggris menyerah kepada Jepang,
menyeberangi Selat Malaka dalam 10 jam. Tetapi sesudah berdaya 10 hari Tongkang
Ho-Kang belum lagi menghilangkan pesisir Malaya dari mata penumpang dan belum
juga lagi memperlihatkan garis pesisir Pulau Sumatera. Muka air laut dekat
sekali jaraknya dari geladak, bahkan bisa diraba airnya. Ikan lumba-lumba yang
berlomba-lomba mengikuti Tongkang, dapat diperamati dari dekat, walaupun tidak
boleh ditunjuk! (Maklumlah bukan saja pelaut Indonesia, tetapi pelaut Tionghoa
pun sama bertahyul). Entah karena “menunjuk” ikan lumba-lumba, entah karena
memangnya disebabkan gerakan alam, maka pada suatu malam kami terbangun. “Topan
Sumatera” bertiup dengan semua kodratnya. Tongkang Ho-Kang diombang-ambingkan
seperti sebuah kacang direbus. Semua layar diturunkan. Kajang yang melindungi
kami menumpang dari angin dan hujanpun terpaksa diturunkan. Kajang tadi menjadi
sasaran topan dan mungkin dapat membalikkan Tongkang Ho-Kang, untung besar.
Memangnya satu untung besar kalau sekiranya topan Sumatera itu bertiup di masa
lampau, tatkala Laksaman Hang Tuah mengintai musuhnya dan menunggu saat yang
baik untuk merapatkan kapal perangnya ke kapal perang Portugis dan menyerbu
dengan segala ketangkasan dan keprawiraan pahlawan laut Indonesia. Tetapi buat
tauke Tongkang Ho-Kang topan Sumatera bukan berarti untung besar, bahkan
sebaliknya mungkin menyebabkan rugi besar.
Pada permulaan
bulan Juni, kami penumpang semuanya bergembira ketika memperamati garis kabur
di depan kami. Rupanya pesisir Sumatera sudah samar-samar terlihat di depan
mata. Dengan tidak bertanya-tanya (maklumlah juragan Tionghoa amat bertahyul)
dan dengan telunjuk disembunyikan di dalam kantong celana. (Maklumlah juragan
Tionghoa melarang menunjuk!). Kami berbisik-bisik mengeluarkan pendapat, bahwa
Sumatera sudah dekat. Ada diantara penumpang yang berasal dari Medan, yang tahu
benar bahwa pulau yang tampak di depan itu ialah pulau Berhala namanya. Karena
pengetahuan ini maka kami tidak bertanya kepada juragan Tionghoa yang rupanya
bergembira karena sudah dekat ke tempat yang dituju dan tidak pula kami perlu
“menunjuk”: ke tempat yang tidak boleh “ditunjuk” itu.
Tetapi pada
keesokan harinya kami terlihat pula kepada suatu pulau yang berbentuk lain dan
terlihat bukan lagi di depan melainkan di sebelah kiri. “Pulau apakah gerangan
ini?”, begitulah pertanyaan yang timbul di dalam hati”.
“Ahli kami” yang
berasal dari Medan tadi, dapatlah pula memberi jawab, bahwa pulau itu ialah
pulau Berhala juga, cuma dilihat dari lain tempat. Kita tidak maju selangkahpun
dari kemarin, bahkan lebih mundur lagi. Zonder “menunjuk” dan zonder “menanya”,
maka dari tauke Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin
keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan
bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang belum juga
dapat masuk ke pelabuhan Belawan. Malah angin keras itu, toa-hong itu memukul
tongkang Ho-Kang beberapa km kembali kebelakang. Tiga empat (hari) pagi kami
kecewa, karena terus melihat pulau Berhala saja, cuma dari berlainan jurusan:
kiri dan kanan, depan berganti-ganti. Baru pada tanggal 10 (?) Juni kami bisa
masuk ke pelabuhan Belawan. Setelah
pemeriksaan oleh polisi Indonesia dibawah pengawasan Jepan selesai, maka besok
harinya kami berangkat ke Medan. Di Medan kami berlima diperkenankan oleh tuan
pengurus, ialah tuan Ramli untuk seminggu lamanya tinggal di rumah Kongsi
Pelayaran Indonesia tadi, yakni cabang atau pusat yang terletak tidak jauh dari
pasar yang baru dan sangat indah itu. Dalam seminggu itu saya mempunyai
kesempatan penuh untuk mempelajari keadaan di kota Medan, yang sudah saya
tinggalkan lebih dari 20 tahun lamanya. Pula untuk mempelajari jalan ke Padang
dan seterusnya jalan ke Pulau Jawa, seperti maksud kami semula.
Kota Medan
bolehlah dikatakan kota yang amat teratur buat seluruhnya Indonesia. Rumah baru
tidaklah boleh didirikan disembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah
dtentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tidak menyaksikan
yang baru di samping yang usang, yang bersih indah disampingnya yang kotor
bobrok, seperti di ibu kota Jakarta umpamanya. Lihatlah saja di ibukota
Indonesia ini. Wijk Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan
kebunnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun
Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor gelap yang berhimpitan, di pinggir
selokan tempat mandi, berkumur-kumur, dan buang air besar dan kecil;
rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga
kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah
kota pula.
Pasar di Medan
amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap
indah permai buatannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan
penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan
teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa
menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebersihannya. Pasar ini tidak
saja menarik, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat
penghidupan beberapa teman saya Kolega L.Y. dan pemuda dari Borneo Utara asyik
mencatat harga barang di pasar Medan; harga barang seperti buah-buahan di pasar
dan di tempat asalnya ialah Brastagi; prebedaan harga barang di Medan dengan di
Malaya.
Satu sifat bangsa
Tionghoa yang selalu mengagumkan saya, ialah sifat optimisme dalam masa
marabahaya dan tak malu-malu mengerjakan pekerjaan halal buat mendapatkan
penghidupan. Sifat baik itu nyat buat saya di Tiongkok sendiri dan nyata pula
didalam kegentingan hidup bangsa Tionghoa di Malaya. Ini hari Inggris menyerah
dan besoknya Singapura diduduki oleh Jepang, maka kolega L.Y. walaupun
mempunyai ijazah yang setinggi-tingginya buat perguruan Inggris di Malaya,
membukan perusahaan tao-hu. Dia dengan beberapa murid membeli bahan sendiri,
membuat tao-hu dan sendiri pula menjualnya di pinggir jalan. Banyak intelek
Tionghoa lainnya yang berbuat macam itu pula. “Singsingkan lengan baju”,
demikianlah slogan mereka. Baik juga sifat ini diperhatikan oleh “intelektual”
kita.
Kolega L.Y. sudah
mendapat kepastian, bahwa dia bisa pulang balik dari Medan ke Penang membawa
barang dagang. Barang kelontong amat tinggi harganya di Medan, kalau
dibandingkan dengan harga kelontong di Penang. Sebaliknya harga hasil bumi,
yang agak tahan lama, seperti bawang, dan kentang amat rendah harganya di
Medan, kalau dibandingkan dengan di Penang. “Alangkah baiknya” kata kolega L.Y
pada suatu hari “jika dibeli hasil bumi di Medan dan dijual ke Penang,
seterusnya beli barang kelontong di Penang dan dijual di Medan”. Dia bisa pergi
pulang dari Medan ke Penang, kalau perlu bawa saudara atau bapaknya dari
Malaya, untuk mendapatkan penghidupan diwaktu yang amat sulit itu.
Pemuda dari Borneo
Utara, sudah bertemu dengan salah seorang temannya di pasar Medan. Dia sudah
mengerti, bahwa dengan pulang pergi dari Brastagi ke Medan buat membeli hasil
bumi dia akan bisa hidup sederhana, asal ada saja pokok sedikit. Memangnya dia
anak miskin, tetapi kami sayangi karena amat pintar, amat rajin dan jujur.
Buat dua orang
pelajar Tionghoa lainnya pencarian itu bukanlah suatu soal, karena sudah
disebutkan diatas, mereka mempunyai keluarga di Sumatera Timur. Walaupun kolega
L.Y. dan pelajar Borneo Utara sudah melihat lubang pencarian, mereka belum lagi
mengusulkan apa-apa kepada saya, lantaran di Singapura kami bermaksud akan
terus ke Jawa. Selama dalam kesunyian itu kami sering membuat perjanjian. Kami
selalu pula taat kepada perjanjian kami. Ini kalipun perjanjian itu akan kami
taati asal bisa dan ada kesempatan dan mempunyai cukup uang buat berjalan, maka
maksud itu akan diteruskan juga. Untuk menyelidiki hal ikhwal perjalanan ke
Jawa itulah saya kian kemari bertanya kepada orang Indonesia di Medan.
Perusahaan
Indonesia di kota Medan ada mengambil bagian diantara perusahaan asing. Yang
ternyata benar hasil usaha bangsa Indonesia di Medan ialah dalam hal
percetakan. Banyak percetakan buku dan surat kabar di Medan yang dimiliki,
diurus dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sepintas lalu terlihat
lebih banyak dan lebih besar perbandingannya dari perusahaan percetakan
Indonesia dilain-lain kota. Selainnya daripada toko-toko buku yang teratur
rapi, banyak pula terdapat ditepi-tepi jalan penjualan “secondhand Books” (buku usang). Tempat ini selalu dikerumuni oleh
pemuda yang ingin membaca dan membeli.
Tidak berapa lama
saya membalik-balik lembar buku pada suatu tempat, maka penjualnya meloloskan
satu buku ke tangan saya dengan perkataan: “Ini buku yang baik dan laku”. Buku
itu bertitel “Pacar Merah” dikarang
oleh “Matu Mona”. Baru pertama kali saya mendengar nama dan pengarangnya itu.
Belum lagi lama saya membolak-balikkan lembarannya, penjual buku mendekati saya
dan berbisik-bisik: “Tuan tahu, Tan Malaka sudah berada di Padang. Dia sudah
berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Dia sudah berbicara hari ini di
tanah lapang Padang. Tinggi sekali pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara
Nippon saya tanyakan apakah pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon
itu? Jawab: “Kolonel, kata orang”.
Saya tak ingin
meneruskan pembicaraan semacam itu. Saya sudah maklum, bahwa Jepang memakai
taktik seperti di lain tempat juga di Asia, ialah menipu rakyat Indonesia.
Seolah-olah hendak membuktikan bahwa dia sudah mendapat kepercayaan penuh dari
para pemimpin rakyat itu. Tinggal lagi rakyat, yang patut percaya pula kepada
Jepang. Selainnya daripada itu saya maklum pula, bahwa disamping “kolonel” Tan
Malaka itu Jepang sedang mencari Tan Malaka yang lain.
Buat meneruskan
penyelidikan saya, maka saya memasuki sebuah toko, yang baru dibuka oleh orang
Minangkabau. Toko itu dimaksudkan untuk
menjual hasil bumi dari Minangkabau, terutama kopi dan tembakau. Dari tuan
toko saya mendapat kabar, akan dibuka kongsi kapal Indonesia yang bertempat di
Padang buat pelayaran ke Jawa. Tetapi akan dibuka belum lagi berarti sudah
dibuka. Saya pikir, armada Jepang tidak akan lepas begitu saja memberi izin,
berhubung dengan penjagaan lautnya. Dengan tidak ditanya apa-apa, maka tuan
toko menceritakan pula kepada saya dan kepada teman-teman sendiri, bahwa
“kolonel” Tan Malaka sudah berbicara di tanah lapang Padang, dll, dsb. Semuanya
memperkuat kepercayaan saya, bahwa tidak baik buat saya tinggal di Sumatera.
Setelah saya yakin
bahwa perhubungan dengan Jawa belum bisa dijamin dan pasti perjalanan itu akan
memakan banyak ongkos. Buat kolega L.Y. malah dengan perasaan lega, segera
berkata, bahwa lantaran tak tentunya perhubungan dan besarnya ongkos ke Jawa
itu, maka dia lebih suka mengambil jalan yang pasti saja. Dia ingin berdagang
antara Medan dan Malaya, asal saja dia dapat bantuan seperlunya dari kongsi
Kapal Indonesia. Perkara ini dapat saya atur dengan cepat, sehingga sewaktu-waktu
kolega L.Y. boleh berangkat kembali ke Penang membawa barang dagang. Pelajaran
bahasa Indonesia sudah saya berikan kepadanya, sehingga dia dapat berbicara
langsung dengan pedagang Indonesia. Rumah dan pokok buat pelajar dari Borneo
Utara, sudah pula saya bereskan. Dengan beberapa bekas murid yang tinggal di
Pematang Siantar saya akhirnya bertolak menuju ke Bukit Tinggi, melalui
Sibolga.
Lain benar corak
dan isi kota Bukit Tinggi daripada ketika saya tinggalkan 22 tahun lampau.
Jalan, rumah, gedung dan penerangan jauh lebih besar dan bagus daripada dahulu.
Tetapi saya tidak ingin banyak
berjalan-jalan walaupun Bukit Tinggi banyak memberi kenang-kenangan lama, yang
masih mengharukan pikiran. Kweekschool, yang biasanya disebut Sekolah Raja,
dimana saya 6 tahun lamanya menerima pelajaran dan mengalami penghidupan dalam
asrama yang sudah condong ke Barat. Taman pelajaran ini yang dimasa berdirinya
termasyhur buat seluruhnya Sumatera, lama sudah ditutup. Juga Opleidingschool,
sudah lama mengalami nasib semacam itu pula. Perguruan di Minangkabau sudah
amat merosot atau lebih tepat sangat dimerosotkan. Untuk 2 juta rakyat
Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda cuma mendirikan 2 buah Normaalschool di
Padang Panjang dan 2 MULO, tak ada sekolah Menengah Tinggi, jangankan lagi
University. Memang puluhan pemuda-pemudi Minangkabau bersebaran di Jawa buat
mencari pelajaran. Tetapi karena kekurangan uang bantuan, kekurangan pengawasan
dari pihak keluarga, mereka terombang-ambing diantara ke pelesiran dan
pergerakan politik. Jarang yang jaya usahanya. Ini sama sekali tidak
mengherankan. Pelajar dimana dan dari bangsa manapun juga dalam keadaan yang
sama akan mendapatkan hasil tidak lebih baik daripada itu. Kemerosotan
perguruan itu tidak sebanding dengan kemajuan perekonomian Minangkabau selama
saya tinggalkan itu. Penjualan sekalian hasil bumi di pasar Bukit Tinggi
semuanya masih berada di tangan putera bumi. Semua toko besar menjual kain dan
barang pabrik Eropa berada di tangan bangsa asli juga. Demikianlah pula toko buat
mengexport hasil bumi serta semua hotel adalah di tangan bangsa Indonesia!
Adapula Bank Nasional dan Bank Insuransi Indonesia. Di Minangkabau ada pula onderneming modern yang dimiliki dan
diurus oleh bangsa Indonesia sendiri.. Di kota Bukit Tinggi pada ketika itu
saya tidak melihat tokonya orang Tionghoa. Setelah imperialisme Inggris dan
Belanda menyerah, maka pedagang Minangkabau dengan cepat menuju ke semua
penjuru di Indonesia membawa hasil bumi dan merebut pasar. Sebuah pasar di
dekat pelabuhan perahu yang datang dari Sumatera dan sebagian kota Singapura
yang tokonya sudah ditinggalkan asing sudah sama sekali diduduki oleh pedagang
Minangkabau. Di Medan proses semacam itu berjalan pula. Pedagang Minangkabau
sudah tidak putus-putusnya bergerak menuju ke Jawa, melalui Lampung, membawa
gambar dan lada.
Saya sudah
perhatikan pedagang Minangkabau dan Tionghoa di Sumatera dan Jawa terutama di
Jakarta, Pasar Senen. Dalam hal inisiatif, keberanian pergi merantau entah
kemana, memangnya bangsa Minangkabau tak kalah oleh orang Tionghoa. Tetapai
orang Minangkabau masih kalah dalam hal mengeluarkan uang buat memelihara “appearance”, ialah yang baik dipandang
mata. Umpamanya membelanjakan banyak uang untuk kebagusan rumah, perhiasan dan
lain-lainnya belanja yang langsungnya memang tidak memberi untung. Tetapi
karena menarik dan membeli kepercayaan pembeli memang dengan tidak langsung
memberi keuntungan. Kekurangan ini juga disebabkan oleh kekurangan modal dan
pengetahuan. Tetapi dalam hal kehematan orang Minangkabau tidak kalah oleh
orang Tionghoa. Dan dalam hal pelayaran,
karena kelebihan dalam pemakaian bahasa dan pengetahuan tentang jiwa pembeli (psychology) maka saudagar Minangkabau
yang berurusan dengan bangsanya sendiri itu, agaknya melebihi bangsa manapun
juga.
Hal ini diketahui
benar oleh penganut Hakko Iciu, yang
dimana saja mereka berada seperti di Korea, Tiongkok dan Taiwan dengan kejam
menindas perusahaan putera bumi. Di Bukit Tinggi pada suat hari saya saksikan
sendiri lebih dari 10 truck sudah penuh dengan muatan berisi kopi dan tembakau
siap buat berangkat ke Medan. Itu hari pula “Osamu Serei” keluar buat melarang pengeluaran barang tersebut dari
Minangkabau. Saya saksikan pula di Jakarta dibelakang harinya, bagaimana
pedagang Minangkabau yang dengan 1001 kesukaran di jalan antara Minangkabau
dengan Jakarta dan menjual gambir dan ladanya di Jakarta dengan harga tak
begitu mahal, kalau dipikirkan resikonya ditampari sesudah barangnya disita.
Memangnya banyak mata pencarian yang dibuka dengan inisiatif pedagang
Minangkabau yang disita oleh “saudara tua” sesudah “saudara mudanya” di-bakero-i, ditampar dan diancam. Di mata
Jepang memangnya tak ada pedagang Indonesia yang lebih “jahat” daripada
pedagang Minangkabau. Mungkin sekali dibelakang harinya, semua jalan dari
Minangkabau ke Medan, Singapura dan Jakarta, yang dibuka oleh pedagang dari
Minangkabau ditutup dengan Osamu Serei atau pedang samurainya Kempe-tai, yang
menganggap pedagang Padang sebagai konkurensi
pedagang Jepang dan berbahaya buat kerakusannya.
Niat saya bermula
ketika meninggalkan Padang, ialah dengan diam-diam singgah sebentar ke Suliki,
sekedar mengunjungi kuburan ibu bapak dan cucuk kemenakan yang sudah lama dan
belum lahir ketika saya meninggalkan Indonesia. Dengan cerita “kolonel” Tan Malaka
yang disiarkan dimana-mana itu, teristimewa pula di Bukit Tinggi, maka saya
tidak merasa aman pergi mengunjungi kampung halaman itu. Bahkan saya harus
lekas meninggalkan Bukit Tinggi. Tetapi susahlah mendapatkan truck apalagi
mobil buat berangkat ke Jakarta melalui Palembang atau Lampung. Semua truck
yang ada sudah diborong oleh pedagang.
Orang katakan,
bahwa lebih mudah berangkat dari Padang Panjang. Saya pergi ke Padang Panjang.
Tetapi tidak mudah. Disana saya dengar kabar, bahwa lebih mudah berangkat dari
Padang. Saya pergi pula ke Padang. Tetapi ternyata pula tidak mudah. Disana
dikatakan pula, bahwa tentu lebih mudah dari Bukit Tinggi. Sebelumnya saya
kembali ke Bukit Tinggi, maka saya berjumpa dengan kenalan yang dulu saya
jumpai di jalan antara Medan dengan Bukittinggi. Diapun mempunyai pengalaman
seperti saya. Diapun sudah dipulang balikkan oleh “nasehat” dari Bukit Tinggi
ke Padang. Kenalan di jalan ini berasal dari Palembang. Dia pergi ke Pematang
Siantar mengurus mobilnya yang dahulu “dipinjam” oleh tentara Dai Nippon,
ketika berangkat dari Palembang menuju ke Tapanuli. Tetapi dia tidak
mendapatkan mobilnya itu. Pinjam itu dalam bahasa Jepang, seperti kita alami,
ialah merampas dalam bahasa kita
Kenalan di jalan
ini mengajak saya tinggal saja di Padang, menunggu truck beberapa hari lamanya.
Dia dengan dua tiga teman lainnya sedang memperbaiki truck yang rusak.
Bersama-sama mereka akan membayar ongkonsnya. Sayapun boleh ikut dan membantu
membayar ongkos jalan. Usul itu saya terima.
Dalam tunggu
menunggu dalam perjalanan ke Jawa itu saya mendapat banyak kesempatan buat
mempelajari sikapnya pernduduk terhadap penjajahan lama dari penjajah baru.
Terhadap Belanda sendiri sikap Rakyat Indonesia umumnya sudah bisa diselidiki
dalam dua macam keadaan. Pada 8 Maret 1942 mereka berhadapan dengan Belanda
yang malang, kalah menyerah. Sekarang (November 1947) mereka berhadapan dengan
Belanda sebagai penyerang dan penjajah.
Apakah rakyat
Indonesia tetap tinggal Extremist, terorist dan perampok, ketika menghadapi
Belanda dalam dua keadaan yang berlainan itu? apakah extremist, terrorist dan
perampok yang dipropagandakan oleh imperialist Belanda di dalam dan di luar
Nederland itu tidak hanya terdapat diujung lidah dan penanya imperialist dan
kaki tangannya Belanda saja?
Pedagang Indonesia
yang dengan Tionghoa Ho-Kang bersama saya datang dari Penang, apabila melihat
beberapa orang Belanda yang digiring oleh Jepang di Medan dengan spontan zonder
pikir-pikir mengeluarkan perkataan: “Kasihan juga kita melihat nasibnya
Belanda”. Di Padang tersiar kabar diantara rakyat bahwa seorang dokter Belanda
ditampari oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali oleh
Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali dengan tidak memberi
pembalasan. Tak ada diantara mereka, yang menceritakan itu ataupun pendengarnya
yang bersuka cita, seolah-olah menunjukkan “Schaden
freude”, ialah suka melihat orang lain dalam kesusahan. Seorang bekas
pelarian Silungkang yang saya jumpai di daerah Jambi, seorang yang sudah
melarat bertahun-tahun semenjak pemberontakan di Silungkang pada tahun 1927,
berulang-ulang mengucapkan: “Hiba hati
awak, hiba hati awak melihatnya”. Dia melihat beberapa orang Belanda
berhenti dengan trucknya: Si Jepang membuka bungkus roti dan memanggil orang
Belanda tawanan itu satu persatu dan memberikan sebuah roti dengan ucapan “heh”. Kalau Belanda itu tidak lekas
datang, maka roti itu dilemparkan oleh Jepang itu kepadanya. Belanda itu
bukannya serdadu, melainkan bekas B.B, tuan besar ini atau itu. Dimasa
kekejaman Jepang terhadap Belanda masih merajalela, maka pada stasiun kecil
dekat Jakarta, seorang nyonya Belanda menangis-nangis mendekati kepala stasiun
Indonesia.
Nyonya itu baru
tahu, bahwa anaknya sesat menyimpang dengan kereta lain menuju ke Bandung. Dia
sendiri mengambil jalan lain dan harus segera pindah kereta menyusul anaknya.
Tetapi uang tidak ada buat membeli karcis dan karcis sudah ditentukan lebih
dahulu oleh orang Jepang. Walaupun besar bahayanya buat kepala stasiun
Indonesia buat dirinya sendiri, dia dengan diamd-diam memberikan pertolongan
yang diperlukan. Banyak contoh yang lain-lain yang membuktikan pri-kemanusiaan
yang sebenarnya. Kalau bangsa Indonesia tak mempunyai pri-kemanusiaan itu,
masakan Belanda di masa Jepang itu bisa hidup dengan aman diantara Rakyat
Indonesia.
Yang menggelikan
orang Indonesia pada waktu penyerahan Belanda, ialah melihat “nyonya besar
mengangkat koper dan barangnya sendiri, karena Jepang tak membolehkan “nyonya
besar” memakai jongos dan babu seberti dimasa mewahnya. Yang tak kurang
menggelikan bangsa Indonesia pada waktu penyerahan itu pula, ialah kejanggalan
penglihatan ketika para opsir tinggi Belanda dengan segala pakaian angkatannya
menyerahkan diri pada opsir Jepang yang berpakaian sederhana itu; ketika
ratusan serdadu Belanda yang perawakannya jauh lebih besar itu digiring oleh
satu dua gelintir serdadu Katek dari Nippon. Akhirnya yang menjadikan darah
Indonesia mendidih dan serentak membela dan menyerang, sampai dinamai
extremist, terroris dan perampok, ialah ketika Belanda, yang tak sanggup
melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya itu, sekarang kembali menjajah dan
melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan Rakyat
Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
ialah cocok dengan hak mutlaknya!
Dalam waktu antara
Belanda menyerah dan Jepang masuk, antara 8 Maret dan 17 Maret 1942, maka di
Padang sebenarnya tak ada pemerintahan. Rakyat dan pemuda dengan Laskar Rakyat
sudah mengatur segala-galanya dan menghapuskan peraturan Belanda yang selamanya
dibenci oleh rakyat. Kabarnya cukai pasar dihapuskan. Tanah kosong yang dahulu
kepunyaan bersama untuk memelihara ternak, tetapi kemudian pemakaian bersama
itu dilarang oleh Belanda, sekarang dikembalikan kepada rakyat. Pembagian
klas-klas di dalam kereta api dihapuskan. Keamanan dijaga oleh rakyat dan
pemuda. Memangnya sebelum Belanda menyerah, Rakyat Minangkabau menentang keras
tindakan Belanda yang hendak menghancurkan semua jembatan. Semangat kemerdekaan
itu dalam sekali terselip dalam hati sanubari Rakyat Minangkabau. Jika Ir.
Sukarno yang pada masa peralihan pemerintahan antara 8 Maret dan 17 Maret itu
berada di Padang memajukan diri sebagai “pemimpin gerilya”, maka rakyat dan
pemuda Minangkabau (bersama dengan Rakyat dan Pemuda Aceh yang dengan senjata
di tangan menggempur tentara Belanda) pasti akan menyambutnya dengan segala
kegirangan. Memangnya kesempatan baik buat menjadi “pemimpin gerilnya” itu buat
Ir. Sukarno tidak saja ada sekarang untuk melawan penjajah Belanda, tetapi juga
dahulu untuk melawan penjajah Jepang.
Pada permulaan
Jepang masuk, rakyat Minangkabau masih ragu-ragu tentang kemauan Jepang.
Kemauan kemerdekaan masih kuat bersarang dalam hatinya rakyat dan pemuda
Minangkabau. Tetapi karena propaganda Jepang dengan slogan yang kita kenal
ialah “Nippon Indonesia sama-sama”
maka rakyat menjadi bingung. Kebingungan ini ditambah pula dengan sikapnya para
pemimpin “besar” buat Indonesia umumnya dan beberapa pemimpin Minangkabau
khususnya yang lebih Jepang daripada Jepang sendiri.
Pada suatu hari
ketika saya di Padang berada di tengah-tengah beberapa orang, maka tiba-tiba
keluar lagi “dongeng” umum tentang “kolonel” Tan Malaka, yang “berpidato” di
tanah lapang pada keesokan harinya Jepang masuk, jadinya ketika Tan Malaka yang
lain masih berada di “Singapura”. Satu dua orang pendengar menunjukkan tak
percayanya. Merasa dibantu oleh mereka yang tak percaya, saya mencoba bertanya:
“Mungkin kabar itu tak benar. Dan politiknya Tan Malaka adalah berlainan”.
Tukang dongeng amat marah atau pura-pura marah. Mungkin juga Jepang
mengangkat dan menyewa tukang dongeng
semacam itu, seperti di Jawa ia menyewa Tan Malaka palsu. Tentulah saya tidak
mengingini bertengkar. Setelah mendapat kesempatan, maka saya meloloskan diri
saja dari gerombolan tukang dongeng dengan para pendengarnya itu.
Herannya saya
pula, beberapa kali apabila saya masuk di kamar hotel saya di Padang ialah
Hotel Muslimin dengan memakain nama Ramli Hussein maka tahu-tahu saya mendengar
perkataan seperti: “Kata orang Tan Malaka sudah disini. Saya sendiri belum
pernah berjumpa dengan dia”. Menyindir-nyindir sayakah dia” demikian pertanyaan
dalam hati saya.
Semuanya
menjelaskan kepada saya, bahwa sebaiknyalah selekas-lekasnya saya berangkat ke
Jawa. Untunglah pula dalam empat lima hari, truck yang diperbaiki tadi selesai.
Segera kami berangkat melalui Solok, Sijunjung, daerah Jambi sampai ke kota
Palembang dalam perjalanan yang memakan waktu dan akhirnya (26?) bulan Juni
sampai pada permulaan bulan Juli.
Tidaklah lama saya
tinggal di Palembang. Tidak banyak yang perlu diceritakan tentang hal
Palembang. Sudah diketahui, bahwa penduduk Indonesia, Palembang adalah pedagang
yang ulung yang membuka perusahaan dimana-mana di Jawa dan lain-lain tempat
seperti Singapura. Di Palembang sendiri tidak sedikit orang Palembang yang
bermodal F 1.000.000,- atau lebih. Tetapi keinginan belajar di sekolah masih
amat rendah. Ketinggian nafsu berdagang, kalau dibandingkan dengan penduduk
Jawa, pukul rata, sepadan dengan kerendahan nafsu bersekolah. Memangnya pula
perdagangan itu memberi sumber penghidupan yang boleh dikatakan tinggi juga.
Selainnya daripada penduduk asli Palembang, pedagang Minangkabau juga mengambil
bagian yang berarti dalam perekonomian di Palembang itu.
Kepentingan
Palembang terletak pula pada isi buminya. Batu bara terdapat dekat muka bumi di
bukit Asam. Quality dan Quantity sifat dan bilangannya amat tinggi sekali.
Minyak tanah terdapat dimana-mana. Teristimewa sebagai sumbernya bensin untuk
kapal terbang. Aviation Spirit. Palembang tergolong daerah yang terpenting buat
minyak tanah di seluruhnya dunia. Tentara Jepang dengan terburu-buru menuju ke
Palembang, ialah dengan maksud hendak menduduki sumber minyak yang amat penting
buat pembelaannya itu. sekarangpun Amerika berusaha keras dan rupanya berhasil
menduduki kembali pabrik minyaknya. Plaju dan sungai Gerong adalah dua kota
minyak semata-mata.
Sesudah dua tiga
hari tinggal di Palembang, saya mendapat keterangan, bahwa ada kemungkinan buat
berangkat ke Jawa melalui Lampung dan menyeberangi Selat Sunda.
Banyak juga
kejadian yang ganjil yang saya saksikan di Lampung, Tanjung Karang. Tak ada
salahnya barangkali dicatat disini, dalam sepatah dua patah kata untuk menjadi
peringatan sejarah penjajahan Jepang yang kejam dan dahsyat itu.
Sebentar saja
tentara Jepang merasa aman di tengah-tengah penduduk Indonesia, maka dia segera
memaksakan kemauannya dalam segala-galanya terhadap bangsa Indonesia, yang
katanya dimerdekakannya itu! Tidak saja dalam hal politik kemiliteran dan
perekonomian yang semuanya dimonopolinya, tetapi pula dalam hal kebudayaan,
adat istiadat dan agama. Pada waktu permulaan diperintahkanlah oleh
Shu-cho-kan, residen Jepang, kepada buruh kasar dan halus di bermacam-macam
kantor, supaya sebelumnya masuk kantor semua orang membungkukkan badan
menyembah Maha Dewa di Tokyo, ialah yang dinamai Tenno Heika, Baginda Langit
itu. Dalam surat kabar TENNO HEIKA, nama yang buat mereka sakti itu sudah
dituliskan dengan huruf besar. Disamping itu semua restoran dan rumah makan
diperintahkan mengadakan “pelayan”. Pula pada hari liburan diperintahkan supaya
para “gadis” datang dengan karangan bunga “menghibur” para “pahlawan” Jepang di
rumah sakit. Rakyat Lampung menganggap semua ini sebagai suatu pelanggaran
agama, dan adat istiadat Indonesia. Beberapa penganjur rakyat yang terkemuka
memajukan keberatan terhadap “sembahyang” menuju ke Tokyo itu. Memangnya dasar
agaama Islam, melarang seorang penganutnya menyembah yang lain daripada Tuhan,
seperti menyembah orang, batu dll. Adat istiadat Lampung tidak membolehkan para
gadis berjalan-jalan di luar rumah, apalagi sendiri pergi mempersembahkan
“karangan bunga” kepada lelaki asing yang setengah telanjang itu. Setelah
karena paksa anak gadisnya seorang dokter Manado mempersembahkan karangan bunga
dengan muka masam dan melihat ke tanah, maka dia dipaksa mempersembahkan itu
dengan muka “tersenyum”. Saya dengar anak gadis ini melarikan diri, barangkali
ke Jakarta. Para pemuka Indonesia yang berani memajukan keberatan tentang
“sembahyang yang menghadap TENNO HEIKA” (yang sekarang setelah tentara Jepang
menyerah, menjelma menjadi musuh bernama
Hirohito itu!), para pemuka itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Bersama-sama dengan tangkapan itu Shu-cho-kan berkata, bahwa kalau Rakyat
Lampung tidak suka sama tentara Dai Nippon, mereka boleh berangkat ke lain
tempat.
Mulanya ada perahu yang berangkat dari Lampung ke
pulau Merak, Banten. Tetapi beberapa hari saja sebelum saya datang, maka
turunlah perintah, bahwa pelayaran leluasa itu harus diperhentikan. Semua
perahu yang berlayar harus melalui duane Jepang. Dan orang yang dibolehkan naik
perahu sebagai penumpang cuma orang yang membawa barang dagang sekurangnya
sebesar 300 kg.
Banyak terjemahan
yang diucapkan tentang 300 kg itu. Bukanlah pula harga emas seberat 300 kg
berlainan sekali dengan harga lada atau kelapa, apalagi kelapa dengan kulitnya,
seberat 300 kg? Anehnya pula keterangan yang didapat dari kantor ke kantor itu
juga sangat berlainan. Dengan surat perkenalan dari seorang landbouw-konsultan
di Tanjung Karang dan dengan seorang pegawai pemerintah di Lampung. Dan tuan
Landbouw-konsultan dan pegawai tadi tidak dapat memberi pertolongan selainnya
daripada mendapatkan keterangan yang tidak jelas dari bermacam-macam kantor.
Dalam pada itu
saya sendiri tidak berhentinya mencari jalan. Pada suatu hari di tengah jalan,
saya tepuk bahunya seorang penduduk Tanjung Karang, buat bertanyakan hal ihwal
pelayaran di Selat Sunda. Rupanya tidak sia-sia. Hospitality, gastvrijheid, lekas menerima dan ramah tamah pada tamu
itu, memangnya bukan monopoli di Barat. Saya dipersilahkan begitu saja datang
di rumahnya, dijamu ini dan itu seolah-olah saya sudah lama dikenalnya. Mang
Mamat, (kita namakan saja begitu!) Berasal dari Banten dan sudah lama benar
tinggal di Tanjung Karang. Di kampungnya Mang Mamat, kebanyakan penduduk
berasal dari Banten. Sesudah dua tiga hari berusaha menanyakan perihal
pelayaran ke pulau Merak, maka akhirnya diputuskan: “Kalau memangnya tak bisa
berangkat dengan perahu resmi, maka akan diambil jalan yang tidak resmi”.
Tentulah saya tidak akan bisa naik perahu itu di pelabuhan tempat duane. Saya
harus bangun jam 3 pagi, angkat barang sendiri menyeberangi laut yang dangkal
sampai ke perahu yang berlabuh agak ke tengah. Kalau kelak di pelayaran dapat
tertangkap oleh kempei-tai, maka haruslah saya menunggu resikonya, seperti
dijemur dipanas dan ditampari sedangkan barang-barang “disita”.
Sebenarnya saya
sudah menyetujui berlayar besok pagi, menentang resiko jemuran, tamparan dan
sitaan. Tetapi jalan lain masih saya cari-cari. Kebetulan pula di pelabuhan
Teluk Betung saya berjumpa dengan seorang pedagang besar, berasal dari
Silungkang dan di masa Hindia Belanda mempunyai toko besar di Surabaya. Saya
namakan saja dia tauke Silungkang. Saya jumpai tauke Silungkang tadi di jalan
dekat duane, sedang sibuk memuatkan barang yang ribuan kg beratnya dan puluhan
ribu rupiah harganya. Dia masih muda dan caranya bekerja adalah cepat, teliti
dan jitu. Dengan perantaraan seorang kenalan saya menghampiri dia dengan
pertanyaan apakah saya boleh menumpang perahu yang sebenarnya seluruhnya sudah
disewanya. Dia menjawab, bahwa memang perahu
itu sewaan dia, tetapi dia ingin menolong orang lain, yang mau berangkat
ke Jakarta. Berhubungan dengan itu dia sudah isi daftar penumpang lebih kurang
12 orang banyaknya. Walaupun para penumpang itu kebanyakannya orang biasa saja
(bukannya pedagang) tetapi diatas daftar dia tuliskan, bahwa semua orang tadi
adalah anggota “perseroan”. Dengan begitu maka tiap-tiap orang penumpang
“mempunyai” lebih daripada 300 kg (yakni diatas kertas), ialah syarat yang
dibutuhkan oleh Osemu-serei Jepang
tadi. Kantor duane sudah memberi “cap” Jepang, sebagai pengesahan atas “haknya”
para penumpang buat berlayar. Tauke Silungkang, setelah sekejap dengan cepat
memandang muka saya, berkata pula: “satu jam lagi perahu akan berlayar.
Barangkali seorang penumpang tak akan datang. Dalam hal i ni tuan boleh ikut.
Yang dibayar cuma sewa perahu saja dan tuan sebagai “anggota” perseroan
“berhak” atas 300 kg menurut Osamu-serei. Buat melancarkan pekerjaan lekaslah
tuan kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang tuan. Nanti kita
berjumpa di depan perahu”. Demikianlah usulnya tauke Silungkang.
Dengan cepat saya
kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang dan kembali ke pelabuhan
Teluk Betung. “Beres” kata tauke Silungkang yang sudah siap buat berlayar.
Kebetulan saya
berangkat dari Lampung pada waktu yang sama dengan Ir. Sukarno berangkat dari
Palembang. Di atas selembar surat kabar yang diterbitkan di Palembang terlibat
gambarnya Ir. Sukarno diatas kapal api kecil di samping seorang kempe-tai.
Perahu kami
mempunyai nama yang gilang gemilang, yakni SRI RENJET. Barangkali nama itu tak
cocok dengan keadaan dan rupanya. Perahu itu sudah tua dan amat bocor. Di
pelayaran sering harus ditempel dengan tanah tempelen dan terus menerus ditimba
airnya. Hampir hari sore, maka Sri Renjet membongkar sauhnya dan “berlayar”.
Kalau berangsur sekian meter jauhnya dalam satu jam boleh dinamakan berlayar,
maka memangnya Sri Renjet berhak disebutkan sedang berlayar menuju ke Jakarta,
Pasar Ikan. Tetapi jika kecepatan itu dilakukan di daratan, maka pergerakan
yang secepat itu cuma boleh disebutkan merangkak.
Walaupun penumpang
“pedagang” yang berhak boleh berlayar ialah mereka yang membawa sedikitnya
seberat 300 kg saja, tetapi terhitung para anak istri para pedagang serta juru
mudi dengan para kelasinya, maka jumlah orang isi kapal tidak kurang daripada
20 orang. Ini sudah terlalu banyak, karena barang dagang memangnya berat
sekali. Tetapi bukan karena beratnya maka Sri Renjet terpaksa bergerak secepat
siput. Yang terutama sekali, ialah karena tak ada angin sama sekali dan kalau
ada, maka yang ada hanya angin sak saja. Tanya bertanya tentang angin dan
pelayaran kapal tidak lebih leluasa daripada dalam tongkang Ho-Kang, yang
berlayar dari Penang ke Belawan tempo hari. Berhubung dengan itu, hari
dipetangkan dengan percakapan, nyanyian dan pemandangan ke pesisir Teluk
Semangka, yang pokok kelapanya seolah-olah bisa dihitung karena lambatnya Sri
Renjet berlayar.
Kebosanan di
perahu sering-sering diperhentikan oleh percekcokan seorang mbak dengan
kang-masnya. Kang-mas juga ingin pulang ke Jawa buat menjumpai orang tua yang
memang sudah lama ditinggalkannya. Memangnya ini adalah suatu keinginan anak
yang selayaknya dan patut dipuji! Tetapi ‘mbak’ mempunyai paham lain! ‘Mbak’
tidak lagi mempunyai ibu bapak itu itu di Jawa. Keluarganya yang sudah agak
jauh, tidak lagi menarik kenang-kenangannya penuh, ialah Lubuk Linggau. Di sini
‘mbak’ sudah mempunyai rumah yang cukup besarnya, ladang yang luas dan beberapa
ekor ternak. Semua itu cukup buat dia laki-istri dan buat anaknya dihari depan.
Apakah semuanya itu akan mendapat pemeliharaan baik, dari salah seorang
keluarga selama ditinggalkan? Inilah yang selalu menganggu pikiran ‘mbak’.
Gangguan itu semakin keras dengan semakin lambatnya kapal berlayar dan semakin
bosan hidup di perahu yang panas dan sempit sesak, karena banyaknya penumpang
dan barang, last but not least, terakhir dan tak kurang pentingnya, karena
buruknya keadaan makanan. Kalau ‘mbak’ sudah memuncak kemarahannya, maka dia
putuskan saja dengan perkataan: “Ayo kang-mas, mari kita kembali saja ke Lubuk
Linggau”. Dalam keadaan yang sama dengan ini, saya pikir, semua atau sebagian
besar dari orang pindahan dari Jawa ke Sumatera yang sudah makmur di Deli atau
lain tempat, akan 100% setuju dengan ‘mbak’ kita yang sedang mengeluh dan
menyesali kang-masnya di perahu Sri Renjet yang maju tidak, mundurpun tidak di
teluk Semangka. Buat saya percekcokan ‘mbak dengan kangmasnya itu menimbulkan
kecocokan yang memuaskan dalam penyelesaian persoalan perpindahan (emigration)
dari Jawa padat ke Sumatera kosong, di hari depan dalam suasana merdeka 100%.
Setelah hampir
seminggu lamanya Sri Renjet terkatung-katung, maka sampailah kami ke dekat
sebuah batu besar dekat Ketapang. Di sini kami berhenti, rupanya untuk menanti
angin baik buat menyeberangi Selat Sunda. Sampai jauh malam angin yang
ditunggu-tunggu itu belum juga lagi bertiup. Untuk menghindarkan panas sesak di
dalam perahu, maka saya pergi tidur ke atas bubungan atap kajang dimana
terdapat sedikit tempat yang datar.
Di langit
kelihatan bintang! Hawa terasa segar! Lekas sekali saya tertidur. Sekonyong-konyong
saya bangun, dibangunkan oleh titik hujan, yang menimpa muka saya. Barulah saya
insyaf, bahwa Sri Renjet sudah berada di tengah Selat Sunda, dalam hujan lebat,
ditiup angin deras menuju dengan lajunya ke pulau Merak. Tergesa-gesa saya
menggulung tikar dengan selimut dan alat tidur yang lain-lain. Tergopoh-gopoh
pula saya meniti di pinggir perahu menuju ke dalam perahu. Pada ketika inilah
dua-tiga kelambu baru, yang saya bawa dari asrama di Singapura sebagai
peringatan, tergelincir dari dalam tikar dan meluncur ke laut di Selat Sunda.
Untunglah rasanya sebegitu saja saya kerugian! Angin terlampau keras dan hujan
terlampau lebat dan melangkah amat sukar sekali di pinggir perahu yang
teroleng-oleng seperti buaian. Sedikit saja tergelincir, ombak dan gelombanglah
yang akan menyambut.
Sampai juga saya
ke dekat kemudi di buritan perahu Sri Renjet, tetapi tidak sampai masuk ke
bawah atap! Perahu amat penuh isinya dan tempat saya sudah ditiduri oleh salah
seorang penumpang lain, ketika saya pergi tidur ke bubungan atap. Saya tidak
ingin membangunkan siapapun, apalagi setelah saya mengetahui bahwa beberapa
penumpang menderita mabuk laut. Saya sudah merasa lega, apabila bagian kepala
saya bisa berlindung di bawah atap dan alat tidur dapat saya masukkan ke tempat
yang kering. Bagian badan yang lain saya biarkan saja ditimpa hujan lebat.
Apabila saya
menoleh ke belakang, maka saya merasa masih lebih beruntung daripada saudara
juragan. Seorang tua memegang kemudi, dengan tangan yang tegap mengemudikan
perahu, yang dipermainkan oleh kodrat alam dan dengan mata nyalang menerobos
hujan lebat menentukan arah pelayaran. Dan saudara juragan ini sepanjang hari
malam itu dan sepanjang siang hari besoknya di tengah hujan dan ribut topan
menyelamatkan kami, memakai kodrat pendorong yang turun dari angkasa itu,
sambil menyanyi seolah-olah berterima kasih atas hadiah alam yang sudah lama
ditunggu-tunggunya itu, sedangkan pakaian dan badannya basah kuyup.
Bukan maksud saya
membelokkan pembaca kepada poizie, kalau saya tuliskan, bahwa saudara juragan
Sri Renjet bernyanyi seperti bersukaria ditengah-tengah hujan lebat dan angin
topan itu! Perkataan laut buat kita orang darat tidak menimbulkan rasa, nafsu
dan semangat seperti pada seorang pelaut. Mungkin laut itu buat kita
menggambarkan satu suasana yang ganjil, tak cocok dengan keadaan hidup kita di
daratan. Mungkin pula perkataan laut itu pada seorang pelaut diatas sebuah
kapal api, kapal samudra, yang singgah dari benua ke benua dan dari bandar ke
bandar, menerbitkan perasaan yang lain daripada pelaut asli Indonesia yang
dengan perahu mengarungi lautan Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan
Indonesia dari pulau ke pulau dan selat ke selat. Tetapi barangkali tidaklah
jauh daripada kebenaran kalau dikatakan ribut topan bagi seorang pelaut diatas
kapal api dianggap sebagai suatu gangguan, kalau tidak bahaya, sebanding dengan
kebutuhan, kalau tidak sesuatu bahagia, untuk pelaut asli, yang dapat laju cuma
oleh dorongan ribut topan itu. Bagaimanapun juga, lautan yang sebenarnya, ialah
yang berada dalam suasana tenang dan hening, datar atau kadang-kadang berada
dalam keadaan bergelora dengan dahsyat itu. cinta lautan, ialah cinta kepada
laut, tidak saja diwaktu reda tenang-ratanya tetapi juga diwaktu bergelora
dengan ombak gelombangnya. Baik kapal layar ataupun kapal samudra tidaklah
dapat memisahkan keburukannya lautan daripada keindahannya. Sesuai dengan hidup
dilaut dan cinta kepada suasana lautan, tidaklah dapat diperoleh dalam sekali
dua pelayaran saja. Ribuan pelaut seperti juragan Sri Renjet tidaklah terbentuk
dalam setahun dua. Tempat kediaman di pesisir pencarian hidup yang tidak
berpisah dengan lautan, pengetahuan serta pengalaman yang diwariskan turun
temurun, dari abad ke abad membentuk satu golongan besar diantara penduduk Indonesia
yang paham perasaan dan semangatnya bersangkut paut dengan lautan. Golongan
inilah kelak bahan yang akan dibutuhkan untuk membentuk satu angkatan dagang
dan armada yang kuat untuk kepentingan Indonsia merdeka. Berbahagialah
kepulauan Indonesia yang memiliki bahan armada, yang cuma menantikan latihan
yang tetap dan semata-mata ditujukan kepada kemakmuran dan keselamatan rakyat
Indonesia.
Tidak berapa
lamanya kami menerima hadiah yang tidak disangka-sangka dari langit itu!
Setelah penyeberangan Selat Sunda selesai dan pelayaran pesisir Banten
dilanjutkan, maka angin ribut reda kembali. Sri Renjet terpaksa kembali pula
berlayar dengan kecepatan siput. Saya sudah merasa bosan atas kelambatan ini.
Dengan beberapa
orang lain saya turun di Banjarnegara, Banten. Dari sini kami dengan tiga empat
kali pertukaran sado terus menerus menuju ke Benteng Baru disinilah kami dapat
menaiki kendaraan yang cepat ialah kereta api.
Pada hari senja,
pertengahan bulan Juli, tibalah saya di Jakarta....lelah, lesu, sebagai akibatnya
perjalanan dan pelayaran yang begitu jauh dan lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar