Kamis, 07 April 2016

Menyeberang


         Tiap-tiap kita barangkali pernah mengalami sesuatu peristiwa penting atau tidak buat masyarakat atau diri sendiri, bilamana peristiwa itu kita anggap sebagai hasil perhitungan yang jitu yang sudah kita kandung sekian lama atau cuma sebagai buah pengharapan saja. Sukarlah kita memastikan, apakah peristiwa itu benar-benar hasilnya perhitungan kita, ataukah cuma buah pengharapan belaka, yang sudah lama terselip di dalam perbendaharaan hati sanubari kita. Apabila peristiwa itu memangnya cocok dengan akibatnya berpikir, yang kita selenggarakan dengan cara berpikir yang tepat atas semua bahan berpikir, maka tak salah agaknya kita kalau peristiwa semacam itu kita namakan hasil perhitungan kita, seperti 4 adalah pendapatan 2 x 2. Sebaliknya daripada itu ialah yang tidak berdasarkan bahan berpikir, maka kita namai saja pengharapan. Peristiwa berdasarkan pengharapan semata-mata itu kita namai saja sesuatu kebetulan saja.
Berdasarkan perhitungan atas bahan politik, ekonomi dan sosial di Hindia Belanda maka dalam massa aksi, yang ditulis pada tahun 1926 di Singapura, dalam Kata Pengantar saya menulis: “Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan bilamana dan dimana bendera Kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai panjang yang mengikat perbudakan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Kalau keruntuhan imperialisme Belanda dalam brosure Massa-Aksi memangnya tidak lagi berupakan sesuatu pengharapan belaka, (karena pula semuanya taktik strategi buat meruntuhkan imperialisme yang bakal runtuh itu memangnya dipusatkan pada “Halkah rantai yang lemah”, ialah Hindia Belanda itu), maka perhitungan tentang keruntuhan itu sudah terbukti pula hitam di atas putih lama sebelumnya tahun 1927 itu (dimajukan disini bukan pula untuk berlagak, melainkan untuk mengu ji kebenaran): Pada permulaan tahun 1924, saya tulis dengan tergesa-gesa di Singapura juga “Naar de Republiek Indonesia” Ke arah Republik Indonesia) tidak saja runtuhnya Hindia Belanda sudah diperhitungkan, tetapi pula bentuk pemerintahan ialah Republik yang akan menjadi pengganti pemerintah Hindia Belanda itu. Tidak saja bentuk Republik itu yang dengan sadar disetujui, tetapi juga taktik strategi yang dipusatkan kepada rakyat Murba di Solo-Valley, Lembah sungai Bengawan Solo, yang berasal di daerah Solo dan bermuara di daerah Surabaya itu. Ingatlah pula hari peringatan, hari pahlawan ialah tanggal pecahnya pembelaan Rakyat terhadap serangan Inggris dari darat, lautan, udara, pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, ujungnya lembah sungai Bengawan Solo itu. Bukannya satu Dominion, satu Gemeene Best, satu Free State, satu Trusteeship, satu Uni-Nederland-Indonesia ataupun satu kerajaan yang ditujui, melainkan Satu Republik yang lepas bebas dari negara manapun juga di bawah kolong langit ini. PARI, Partai Republik Indonesia, didirikan pada bulan Juni 1927 di Bangkok, dengan tegas nyata memberi kepastian kepada perhitungan, bahwa diatas runtuhan Hindia Belanda akan berdiri Republik Indonesia, yang akan dibela oleh rakyat, pemuda dan Murba Indonesia, berdasarkan atas tenaga sendiri dan otak sendiri atas self helf, menuju ke dunia yang berdasarkan Federasi yang Sosialistis.
Baik juga diperiksa, apakah sikap taktik dan strategy-nya PARI pada tahun 1927 itu, tidak 100% cocok dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan Republik Indonesia, dimasa berdirinya ini, ialah dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang 17 November 1947.
Berhubung dengan pendirian kita diatas, maka baiklah pula sekali lagi diperingatkan kepada yang tidak fanatik nama dan masih bisa dan mau berpikir dengan memakai bukti dan akal, bahwa keadaan sudah mendesak Sovyet Rusia membubarkan Komintern dengan resmi pada tahun 1943. Dan tidaklah pula salahnya memperingatkan perkataan Josef Stalin berhubungan dengan berdirinya Kominform (Informasi Biro Komunis) baru ini.
Menurut antara U.P. London 23/10-47, maka Konni Ziliacus yang mengepalai delegasi 8 wakil Sayap kiri Partai Buruh di Parlemen Inggris dalam perjalanannya meninjau ke Polania, Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Rusia, menyatakan setibanya di London begini:
“Pada tanggal 14/10-47, yang lalu, kami mengunjungi Josef Stalin di Villanya di lereng pegunungan Kaukasus di dekat laut Hitam. Berdirinya Kominform (Information Bureau) di Belgrado, kata Stalin, bukan dimaksud menghidupkan Komintern dan sekali-kali tidak mengubah keinginan Rusia untuk memperbaiki perhubungannya dengan Amerika dan Inggris”.
“Stalin dengan ikhlas menegaskan: Komintern didirikan sesudah perang dunia ke-I ketika partai-partai Komunis mulai tumbuh. Di waktu itu Komintern bekerja menyelenggarakan hubungan antara kaum buruh berbagai negeri tetapi sekarang keadaan sudah lain. Di berbagai negara partai-partai  komunis telah menjadi kuat, penuh tanggung jawab serta berakar dalam sekali dan dituntun pula oleh orang-orang yang teguh dan cakap. Karena itu salah sekali kalau Partai-Partai Komunis dikendalikan langsung dari suatu pusat (pembesaran huruf oleh Pen). Mendirikan lagi Komunis Internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah” (pembesaran huruf oleh Pen).
“Kemungkinan partai-partai komunis dari 9 negara tidak lain daripada pernyataan akan bekerja sama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat sedunia serta memperlindungi kemerdekaan dan kedaulatan Negaranya masing-masing.”
Buat penulis ini mendirikan PARI bukanlah berarti “mengliquidir” komunisme. Apakah tindakan Stalin membubarkan Komintern yang didirikan oleh partai Bolsjewiki dibawah pimpinan Lenin bersama-sama Partai Komunis dan pemimpinnya. Di beberapa Negara itu bersifat “mengliquidir” komunisme, itu terserah pertimbangan pembaca yang bijaksana. Apakah pula pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dirundingkan dan disetujui lebih dahulu oleh semua partai komunis di dunia, tidaklah penulis ini mendapatkan keterangan. Demikianlah pula akhirnya belumlah penulis ini dapat memastikan apakah Kominform, yang sekarang cuma meliputi 9 negara di sekitarnya Soviet Rusia itu kelak tidak akan kembali kepada dasar dan bentuk Kominform, ialah meliputi seluruhnya di dunia. Semuanya yang bukan dimajukan sebagai kritik, melainkan sebagai kritik, melainkan sebagai penjelasan semata-mata.
Tetapi bagaimana juga tindakan Stalin pada tahun 1943 rupanya adalah akibatnya desakan yang hebat terhadap Soviet Rusia, berhubung dengan serangan tentara Jerman pada satu pihak dan kebutuhan kerja sama dengan Inggris dan Amerika di lain pihak. Lagi pula seandainya Komunis Internasional akan berdiri kembali, maka sifatnya pasti tidak lagi akan seperti yang sudah dibubarkan, ialah sangat terpusat itu.
Dan bagaimana juga sikap dan tindakan Stalin pada tahun 1943 itu terhadap Komintern, sejarah sudah membuktikan, bahwa dengan kerja sama antara Soviet Rusia dengan Inggris/Amerika itu, Soviet Rusia keluar dari medan perang dunia ke-II ini sebagai negara menang. Sekarang Soviet Rusia terbilang negara yang terkuat di Eropa dan entah mana yang kuat dengan Amerika untuk seluruhnya dunia. Dasar sosialisme-pun sudah lebih terjamin pada daerah Soviet Rusia sendiri ditambah dengan Polonia, Cekoslowakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Albania dan Bulgaria.
Tetapi dengan mengemukakan manfaatnya bagi Soviet Rusia pembubaran Komintern pada tahun 1943 itu dan dengan mengemukakan lebih kuatnya Soviet Rusia sekeluarnya dari medan perang dunia ke II itu sebagai akibatnya perserikatan Rusia-Amerika-Inggris dalam perang dunia ke-II, tidaklah penulis bermaksud mengambil kesimpulan, bahwa benarlah sikap dan tindakan pembubaran komintern itu dan akan celakalah proletar internasional, kalau komintern itu diteruskan berdiri dan menolak tuntutan Amerika dan Inggris membubarkan komintern itu. Sejarah sudah berlaku atas pembubaran komintern dan sang sejarah itu tidak dapat dipanggil kembali buat berlaku atau tidak dibubarkannya komintern dengan atau tak dengan kerja sama antara Soviet Rusia dan Amerika-Inggris. Bagi kami pendiri PARI, pada dua puluh tahun lampau itu sudah terbayang, bahkan Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri, jadi bukan pada revolusi dunia, yang akan dipelopori oleh Komintern, seperti maksud Komintern pada permulaan berdirinya.
Atas perhitungan bahwa Soviet Rusia akan bersandar pada diri sendiri itulah pula revolusi Indonesia dan pembelaan Republik Indonesia kami dasarkan, yakni atas self help, atas tenaga sendiri dan otak sendiri. Pada keterangan Stalin, ialah menurut berita dari London tersebut, bahwa “salah sekali kalau partai-partai komunis dikendalikan langsung dari suatu pusat” –lah kami sekarang merasa mendapat kecocokan dan pengesahan 100%, cocoklah pendirian kami dengan keterusan perkataan Stalin pada intervieu tersebut, bahwa “mendirikan lagi komunis-internasional sama juga hendak mengundurkan jalannya roda sejarah”. Memangnya juga PARI (what is but a name! Apakah artinya nama itu!) menghendaki “bekerja bersama dalam usaha memperbaiki keadaan penghidupan kaum buruh dan rakyat, sedunia serta memperlindungi kemerdekaan kedaulatan negaranya masing-masing, seperti wujudnya Kominform itu. Cuma Kominform itu pada tahun 1947 ini sudah dilaksanakan pada daerahnya 9 negara dengan Soviet Rusia sebagai daerah melangkah. Sedangkan kami pada tahun 1927 dan sekarangpun baru memperhitungkan Republik Indonesia sebagai daerah tempat melangkah menuju ke arah ASLIA. Seperti persamaan bumi iklim, kebangsaan, kewargaan, perekonomian, sosial dan kebudayaan sudah merapatkan beberapa negara yang sekarang tergabung dalam Kominform, demikianlah (pula menurut perhitungan kami dikemudian hari persamaan tersebut antara beberapa negara di Asia Tenggara akan merapatkan diri dalam gabungan ASLIA dengan ASLIA sebagai Satuan (Unit) yang dalam perekonomian lebih kurang sanggup memenuhi keperluan diri sendiri sebagai negara sosialis, bersama dengan  Amerika-sosialis, Tiongkok-sosialis, Hindustan-sosialis, Soviet Rusia dll. Negara Raksasa yang sosialis, kita akan mengatur satu federasi dunia atas dasar sama rata antara negara-negara. Perlu sekali ditegaskan disini, bahwa dunia itu bukanlah kelak berdiri dari mereka yang ditunjuk oleh salah satu atau dua tiga gelintir negara besar, melainkan dipilih oleh rakyatnya tiap-tiap negara anggota gabungan, secara demokratis: bukan tunjukan dari pusat, melainkan pilihan dari bawah. Demikianlah pula ciptaan kami tentang Komintern dihari depan.
  Dalam tingkat kemajuan dunia, teknik, politik ekonomi dan kebudayaan seperti sekarang ini, menurut pikiran kami, sesuatu Komintern atau pemerintah (proletar) dunia di hari depan, mau tak mau, harus mempertimbangkan dasar, yang dengan pendek kami namakan saja demokrasi regional, ialah dasar demokrasi yang dilakukan atas daerah yang seluas-luasnya berhubung dengan persamaan hawa-iklim, kebangsaan, kewargaan, bahkan perekonomian, sosial kebudayaan dan gerak jiwa (psychologie). Banyak sekali kecocokan yang terlihat dalam sikap dan tindakan Soviet Rusia dibawah pimpinan Stalin berhubung dengan politik luar negerinya Soviet Rusia dan adanya Kominform dengan  pemandangan PARI diwaktu berdirinya. Kecocokan itu tertulis pula hitam diatas putih. Tetapi belumlah lagi saatnya buat mengumumkannya. Sudahlah cukup bagi kami, bahwa dalam keadaan dalam dan luar Indonesia membenarkan sikap dan tindakannya PARI. Hal ini benar-benar memperkuat keyakinan kami. Dan keyakinan adalah sendi kekuatan lahir batin. Mudah-mudahan kelak akan datang kesempatan yang baik buat mengumumkannya.
Seperti pasir baru atas tersapu oleh angin topan demikianlah pula imperialisme Inggris di Malaya, dan Imperialisme Belanda di Indonesia disapu oleh tentara Jepang. Malaya jatuh pada 13 Februari, setelah tentara Inggris bertahan  lebih kurang 2 bulan lamanya. Indonesia jatuh pada 8 Maret 1942, setelah delapan hari lamanya serdadu Hindia Belanda yang 95.000 banyaknya itu terdesak sesudah lari tunggang langgang melihat prajurit Jepang yang jumlah lk. setengah dari serdadu Belanda, bersenjata jauh kurang lengkap dan baru datang dari tempat 5000 km jauhnya. Seperti Julius Caesar, +- 2000 tahun lampau, Imamura pada abad ke-20 ini dapat pula meriwayatkan kemenangan atas tentara Hindia Belanda dengan perkataan: Veni, Vidi, Vici, saya datang, saya lihat, dan saya taklukkan.
Dengan bertolaknya pemerintah Inggris dari Malaya dan terbentuknya pemerintah Tentara Jepang, maka suasana kota Singapura, Sho-nanto bertukar sama sekali; tak mudah digambarkan disini. Pertukaran yang sangat mencolok mata seperti mestinya juga terasa di Indonesia ialah “orang putih kalau kelihatan cuma sebagai tawanan yang digiring kemana-mana oleh prajurit Jepang dan sering dipukuli sebagai sapi kebiri”. Terasa benar tak ada kantor ini atau itu, Maskapai ini atau itu. Buat saya, yang selama 20 tahun harus menyelundup dengan segala kelicinan buat membeli karcis kapal, mendapatkan surat pas atau surat visa di kantor ini atau itu, kalau mau bertolak dari tempat-tempat terasa benar tak ada kantor dan maskapai itu.
Tentu saja saya merasa kelegaan dengan tak adanya semua rintangan itu. Tetapi saya insyaf benar, bahwa sebentar lagi pemerintah tentara Jepang tentu pula akan mengadakan pengawasan atas lalu lintas antara Malaya dan kepulauan Indonesia itu. Saya pikir baiklah lekas-lekas diseberangi Selat Malaka sebelumnya nanti timbul bermacam-macam peraturan militer Jepang, dan menuju, “ke arah Republik Indonesia”, bukan lagi dalam teori, seperti 18 tahun lampau.
Perhubungan Singapura dan Minangkabau belum dapat dipastikan pada masa itu. Yang agak pasti cuma perhubungan antara Singapura dengan satu dua tempat di pesisir Timur pulau Sumatera, seperti Tembilahan dan Selat Panjang. Masuknya perahu kecil ke Kuala Sungai Kuantan buat terus ke Tembilahan belum lagi pasti karena derasnya arus sungai, kalau angin besar. Dari pesisir Sumatera Timur ke Padang belum tentu ada keamanan berjalan. Saya putuskan berangkat ke Penang. Dari sana kelak akan saya pelajari jalan ke Medan.
Seorang guru kolega, L.Y. dan tiga pelajar Tionghoa ingin ikut bersama saya pergi ke Sumatera atau Jawa. Kami memangnya sudah benar-benar sehidup semati dalam beberapa bulan di belakang ini. kolega L.Y. mempunyai keluarga di Malaya dan seorang pelajar mempunyai keluarga di Borneo Utara. Dua pelajar lainnya memangnya mempunyai keluarga di Sumatera Timur.
Berlimalah kami berangkat meninggalkan Shonanto pada pertengahan bulan Mei tahun 1942. Perjalanan antara Singapura dengan Penang apalagi antara Singapura dengan Jakarta, melalui Penang, Medan, Padang, Palembang dan Lampung terlampau banyak memberi pemandangan, yang berarti buat dirawayatkan di sini.
Saya terpaksa mengambil yang penting dan berkenaan saja. Stasiun Shonanto dijaga oleh prajurit Jepang dengan senapan dan sangkur terhunus. Kuli pengangkat barang tidak dibolehkan masuk stasiun. Tiap-tiap penumpang harus mengangkat barangnya sendiri. Entah darimana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Entah dari mana datangnya tukang copet, tetapi pencopetan merajalela di depan sangkurnya prajurit Jepang sendiri. Dengan berdesak-desakan dan rebut-rebutan akhirnya kami mendapatkan tempat juga dalam kereta yang luar biasa panjangnya itu.
Banyak sekali jembatan yang dirusak disebabkan peperangan yang sudah lampau. Jembatan itu diperbaiki atau diganti dengan jembatan kayu. Kereta berjalan dengan kekuatan, apalagi kalau melalui jembatan. Seringkali kereta lama mesti menunggu di stasiun. Perjalanan Singapura Penang, yang biasanya dapat dilakukan dalam sehari semalam, sekarang mengambil waktu dua-tiga hari.
Di stasiun Prai, sebelumnya kami menyeberang dengan ferry, kapal, ke pulau Penang, badan dan barang diperiksa dengan teliti sekali. Kabarnya konon baru saja seorang gadis Tionghoa dikoyak badannya oleh empat prajurit Jepang, yang masing-masing menarik kaki dan tangan gadis yang malang itu sampai koyak. Pada pemudi ini kabarnya terdapat dua granat yang ditaruh di dadanya.
Lama juga kami terpaksa menunggu perahu buat menyeberang ke Medan. Saban hari kami berpecah bepergian menanyakan ke sana-sini apakah ada dan dari manakah perahu berlayar. Sementara itu dapat pula kami menyaksikan, berapa hebatnya kerusakan yang diderita oleh kota Penang, sebagai akibatnya serangan Udara Jepang.
Akhirnya pada suatu hari kolega L. Y. datang membawa kabar yang memberi pengharapan buat berangkat. Katanya, adalah sebuah kongsi kapal Indonesia yang mengurus pelayaran ke Belawan, Medan. Segera kami bersama-sama pergi mengunjungi kongsi tersebut.
Baru saja kami lima orang duduk berjejer-jejer maka dengan tak langsung “tauke” kongsi kapal menuju dan menunjuk kepada saya dengan perkataan: “Ini tuan tentu berasal dari Sumatera”.
Orang tak boleh kehilangan akal, kalau tiba-tiba terdesak seperti saya di waktu itu. Saya merasa tak perlu membuka rahasia saya dan menyebutkan nama saya yang sebenarnya. Sama sekali belum datang waktunya buat itu. Saya jawab dengan (seolah-olah) mengingat masa lampau: “Barangkali saya sudah pernah berjumpa dengan tuan di Hilir Palembang”. Dia diam serupa berpikir, mengenang masa lampaunya itu. Sambil dia menggeleng-geleng menandakan, bahwa yang saya katakan itu tidak cocok dengan peringatannya, maka saya terus bercakap-cakap dalam bahasa Tionghoa dengan para murid dan bahasa Inggris dengan kolega L.Y.
Berkali-kali saya pergi ke kongsi kapal Indonesia itu, buat menanyakan kapan kapalnya akan berangkat. Tetapi dia, tauke, tadi sudah terlalu sibuk dan tak banyak memperdulikan saya lagi. Tauke itu tak kurang dan tak lebih daripada Mohammad Samin bekas ketua Sarekat Islam Medan, dan saya kenal baik selama tinggal di Medan, lebih dari 20 tahun sebelumnya. Kabarnya selang berapa lama dia pindah ke Penang. Rambutnya sudah putih, tetapi potongan badan dan bentuk mukanya belumlah lagi saya lupakan. Boleh jadi sekali dia sudah melupakan saya.
Sampai sekarang saya memegang keyakinan, bahwa perpisahan dua puluh tahun bisa melupakan kenalan dengan kenalan. Apalagi kalau satu sama lainnya tidak pikir memikirkan dan berjumpa pada tempat atau waktu yang tidak disangka-sangka. Begitulah di belakang hari di Pematang Siantar, pada penghabisan bulan Juni (20 Juni?) tepat ditengah jalan saya berjumpa dengan dokter hewan Ali Musa, lima kelas lebih tinggi dari saya di Kweekschool Bukit Tinggi. Malah ketika saya pada tahun 1920 pergi ke Minangkabau mengunjungi ibu bapak, saya bermalam di rumahnya Dr. Ali Musa di Pematang Siantar itu. Dengan Drs. Moh. Hatta di Bayah dan di tengah jalan Oranye Boulevard, Jakarta, di masa Jepang, malah dengan teman sekelas sendiri, Dahlan Abdullah, bekas Sico Jakarta di tengah jalan di Jakarta saya pernah bertemukan muka sama muka. Tetapi siapakah diantara mereka yang akan menyangka menjumpai seorang yang sudah lebih 20 tahun dipisahkan.
Banyak benar cerita Riep van Winkel seorang penduduk salah satu desa di Amerika. Setelah bertahun-tahun dia meninggalkan desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya, maka apabila ia sudah tua sekali dia kembali ke desanya. Tidak saja teman sedesa yang tidak lagi mengenal dia, tetapi mereka tertawa dan tidak mau kenal, apabila dia memperkenalkan dirinya sebagai Riep van Winkel. Saya belum setua Riep van Winkel, tetapi tentulah banyak perubahan rupa yang terjadi selama lebih 20 tahun.
Pada kira-kira pertengahan bulan Mei 1942, kami akhirnya bertolak dari Malaka dengan sebuah tongkang kepunyaan dan dikemudikan oleh orang Tionghoa dan disewa oleh kongsi kapal Indonesia tadi. Sebetulnya tongkang ini hanya sanggup membawa 20 orang penumpang dengan barang-barangnya. Tetapi jumlah pada masa itu tak kurang daripada 40 orang. Kami berdesak-desakan mencari tempat di bawah geladak (dek).  Walaupun tempat itu gelap, karena tak ada jendela dan hawanya banyak mengganggu, lantaran banyaknya manusia, kami merasa senang, karena dapat menyeberang menuju ke tempat yang baru.
Para penumpang terdiri dari bermacam-macam bangsa: Indonesia, Tionghoa, dan Hindu. Penumpang Hindu selalu membuka pikiran saya dimana saja mereka saya jumpai. Pernah saya bertanyakan kepada seorang Hindu pada sebuah kapal, kenapa dia tidak mau tidur atau duduk dekat orang senegerinya, maka dia jawab, bahwa orang itu bukan “bangsanya”. Sesudah saya periksa lebih jauh, maka ternyatalah, bahwa yang bukan “bangsanya” itu, ialah orang Hindu juga tetapi termasuk kasta lain entah kasta apa diantara lebih kurang 3000 kasta besar kecil itu. Di tongkang kami, yang saya sudah lupa namanya, tetapi baik disebut Ho-Kang saja artinya untung besar. Kami sudah melihat bayangan perpecahan British India di hari depan. Perpecahan itu bukan disebabkan oleh perbedaan kasta, melainkan oleh perbedaan agama Hindu dan Islam. Di Tongkang Ho-Kang, ada dua penumpang, yang warna kulit, potongan badan dan bentuk muka, bahkan pakaianpun sama tetapi berlaku seperti anjing dengan kucing. Mereka berbaring berjauhan satu sama lainnya dan membiarkan satu lapang yang agak luas diantara mereka. Sering  mereka kedengaran bertengkar dalam bahasa mereka sendiri. Karena tempat memangnya sempit, maka salah seorang penumpang Tionghoa, meminta supaya dia mendekat saja kepada temannya. Tetapi di suruh Tionghoa itu berbaring diantara mereka. Sebab memangnya berlainan “bau” maka Tionghoa tadi menolak dan bersikeras menyuruh penumpang Hindu tadi berbaring berdekatan dengan “bangsanya” sendiri. Dengan tegas orang Hindu tadi memberi jawab: “Itu bukan bangsa saya. Saya Islam punya orang. Dia Hindu punya orang”.
Memang sudah lama kita ketahui mendalamnya biji divide et impera antara Hindu dan Islam masuk di British India sendiri, sampai bunuh membunuh, adalah kejadian biasa disana. Tetapi kalau permusuhan itu denga terang-terangan pula, diperlihatkan di negeri asing di antara bangsa asing, maka sikap semacam itu tidaklah akan menambah kehormatan bangsa Asia lainnya terhadap penduduk British India, yang mempunyai kebudayaan yang gilang-gemilang di zaman lampau itu. Apakah perpecahan British India diantara Hindustan dan Pakistan itu, yang sekarang (November 1947) sudah berlaku, tetapi belum lagi memberi kepuasan, kelak dikemudian hari akan memberikan kepuasan yang kekal? Ataukah perpecahan itu akan menimbulkan sengketa terus-menerus antara dua negara, sebangsa, tetapi berlainan agama, sampai salah satu negara itu dengan paksa akan menguasai yang lain? Ataukah akhirnya “Mahkota” Inggris (atau negara lain) akan datang dengan senyum simpul mendekat mereka dan mempertautkan perpecahan itu kembali? Cuma sejarah saja yang akan dapat memberi jawab. Tongkang Ho-Kang sudah membayangkan perpecahan yang sekarang sudah menjadi bukti.
Selainnya daripada pertikaian biasa diantara orang India dan India itu, para penumpang amat rukun satu sama lainnya. Biasanya dalam masyarakat kecil seperti dalam tongkang kecil itu, apalagi kalau menghadapi angin topan dan bahaya, manusia itu merapatkan diri satu dengan lainnya. Cuma Islam India dalam Tongkang Ho-Kang, seperti juga banyak kelihatan di Malaya merapatkan diri kepada Islam Indonesia.
Selat Malaka tidaklah selalu berada dalam keadaan tenang, jernih dan datar seperti kaca. “The Sumatera”, yang dimaksudkan oleh Inggris ialah topan yang bertiup dari Sumatera terkenal dahsyatnya di Malaya. Di waktu laut tenang, kami bergurau-gurau di geladak membandingkan cepatnya Tongkang Ho-Kang dengan Kapal Kedah dari Straits-Steamship Co. Kapal Kedah sebelum Inggris menyerah kepada Jepang, menyeberangi Selat Malaka dalam 10 jam. Tetapi sesudah berdaya 10 hari Tongkang Ho-Kang belum lagi menghilangkan pesisir Malaya dari mata penumpang dan belum juga lagi memperlihatkan garis pesisir Pulau Sumatera. Muka air laut dekat sekali jaraknya dari geladak, bahkan bisa diraba airnya. Ikan lumba-lumba yang berlomba-lomba mengikuti Tongkang, dapat diperamati dari dekat, walaupun tidak boleh ditunjuk! (Maklumlah bukan saja pelaut Indonesia, tetapi pelaut Tionghoa pun sama bertahyul). Entah karena “menunjuk” ikan lumba-lumba, entah karena memangnya disebabkan gerakan alam, maka pada suatu malam kami terbangun. “Topan Sumatera” bertiup dengan semua kodratnya. Tongkang Ho-Kang diombang-ambingkan seperti sebuah kacang direbus. Semua layar diturunkan. Kajang yang melindungi kami menumpang dari angin dan hujanpun terpaksa diturunkan. Kajang tadi menjadi sasaran topan dan mungkin dapat membalikkan Tongkang Ho-Kang, untung besar. Memangnya satu untung besar kalau sekiranya topan Sumatera itu bertiup di masa lampau, tatkala Laksaman Hang Tuah mengintai musuhnya dan menunggu saat yang baik untuk merapatkan kapal perangnya ke kapal perang Portugis dan menyerbu dengan segala ketangkasan dan keprawiraan pahlawan laut Indonesia. Tetapi buat tauke Tongkang Ho-Kang topan Sumatera bukan berarti untung besar, bahkan sebaliknya mungkin menyebabkan rugi besar.
Pada permulaan bulan Juni, kami penumpang semuanya bergembira ketika memperamati garis kabur di depan kami. Rupanya pesisir Sumatera sudah samar-samar terlihat di depan mata. Dengan tidak bertanya-tanya (maklumlah juragan Tionghoa amat bertahyul) dan dengan telunjuk disembunyikan di dalam kantong celana. (Maklumlah juragan Tionghoa melarang menunjuk!). Kami berbisik-bisik mengeluarkan pendapat, bahwa Sumatera sudah dekat. Ada diantara penumpang yang berasal dari Medan, yang tahu benar bahwa pulau yang tampak di depan itu ialah pulau Berhala namanya. Karena pengetahuan ini maka kami tidak bertanya kepada juragan Tionghoa yang rupanya bergembira karena sudah dekat ke tempat yang dituju dan tidak pula kami perlu “menunjuk”: ke tempat yang tidak boleh “ditunjuk” itu.
Tetapi pada keesokan harinya kami terlihat pula kepada suatu pulau yang berbentuk lain dan terlihat bukan lagi di depan melainkan di sebelah kiri. “Pulau apakah gerangan ini?”, begitulah pertanyaan yang timbul di dalam hati”.
“Ahli kami” yang berasal dari Medan tadi, dapatlah pula memberi jawab, bahwa pulau itu ialah pulau Berhala juga, cuma dilihat dari lain tempat. Kita tidak maju selangkahpun dari kemarin, bahkan lebih mundur lagi. Zonder “menunjuk” dan zonder “menanya”, maka dari tauke Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang sendiri kami mendapat keterangan bahwa lantaran angin keras kemarin malam, maka Tongkang Ho-Kang belum juga dapat masuk ke pelabuhan Belawan. Malah angin keras itu, toa-hong itu memukul tongkang Ho-Kang beberapa km kembali kebelakang. Tiga empat (hari) pagi kami kecewa, karena terus melihat pulau Berhala saja, cuma dari berlainan jurusan: kiri dan kanan, depan berganti-ganti. Baru pada tanggal 10 (?) Juni kami bisa masuk ke  pelabuhan Belawan. Setelah pemeriksaan oleh polisi Indonesia dibawah pengawasan Jepan selesai, maka besok harinya kami berangkat ke Medan. Di Medan kami berlima diperkenankan oleh tuan pengurus, ialah tuan Ramli untuk seminggu lamanya tinggal di rumah Kongsi Pelayaran Indonesia tadi, yakni cabang atau pusat yang terletak tidak jauh dari pasar yang baru dan sangat indah itu. Dalam seminggu itu saya mempunyai kesempatan penuh untuk mempelajari keadaan di kota Medan, yang sudah saya tinggalkan lebih dari 20 tahun lamanya. Pula untuk mempelajari jalan ke Padang dan seterusnya jalan ke Pulau Jawa, seperti maksud kami semula.
Kota Medan bolehlah dikatakan kota yang amat teratur buat seluruhnya Indonesia. Rumah baru tidaklah boleh didirikan disembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah dtentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tidak menyaksikan yang baru di samping yang usang, yang bersih indah disampingnya yang kotor bobrok, seperti di ibu kota Jakarta umpamanya. Lihatlah saja di ibukota Indonesia ini. Wijk Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan kebunnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor gelap yang berhimpitan, di pinggir selokan tempat mandi, berkumur-kumur, dan buang air besar dan kecil; rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah kota pula.
Pasar di Medan amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap indah permai buatannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebersihannya. Pasar ini tidak saja menarik, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat penghidupan beberapa teman saya Kolega L.Y. dan pemuda dari Borneo Utara asyik mencatat harga barang di pasar Medan; harga barang seperti buah-buahan di pasar dan di tempat asalnya ialah Brastagi; prebedaan harga barang di Medan dengan di Malaya.
Satu sifat bangsa Tionghoa yang selalu mengagumkan saya, ialah sifat optimisme dalam masa marabahaya dan tak malu-malu mengerjakan pekerjaan halal buat mendapatkan penghidupan. Sifat baik itu nyat buat saya di Tiongkok sendiri dan nyata pula didalam kegentingan hidup bangsa Tionghoa di Malaya. Ini hari Inggris menyerah dan besoknya Singapura diduduki oleh Jepang, maka kolega L.Y. walaupun mempunyai ijazah yang setinggi-tingginya buat perguruan Inggris di Malaya, membukan perusahaan tao-hu. Dia dengan beberapa murid membeli bahan sendiri, membuat tao-hu dan sendiri pula menjualnya di pinggir jalan. Banyak intelek Tionghoa lainnya yang berbuat macam itu pula. “Singsingkan lengan baju”, demikianlah slogan mereka. Baik juga sifat ini diperhatikan oleh “intelektual” kita.
Kolega L.Y. sudah mendapat kepastian, bahwa dia bisa pulang balik dari Medan ke Penang membawa barang dagang. Barang kelontong amat tinggi harganya di Medan, kalau dibandingkan dengan harga kelontong di Penang. Sebaliknya harga hasil bumi, yang agak tahan lama, seperti bawang, dan kentang amat rendah harganya di Medan, kalau dibandingkan dengan di Penang. “Alangkah baiknya” kata kolega L.Y pada suatu hari “jika dibeli hasil bumi di Medan dan dijual ke Penang, seterusnya beli barang kelontong di Penang dan dijual di Medan”. Dia bisa pergi pulang dari Medan ke Penang, kalau perlu bawa saudara atau bapaknya dari Malaya, untuk mendapatkan penghidupan diwaktu yang amat sulit itu.
Pemuda dari Borneo Utara, sudah bertemu dengan salah seorang temannya di pasar Medan. Dia sudah mengerti, bahwa dengan pulang pergi dari Brastagi ke Medan buat membeli hasil bumi dia akan bisa hidup sederhana, asal ada saja pokok sedikit. Memangnya dia anak miskin, tetapi kami sayangi karena amat pintar, amat rajin dan jujur.
Buat dua orang pelajar Tionghoa lainnya pencarian itu bukanlah suatu soal, karena sudah disebutkan diatas, mereka mempunyai keluarga di Sumatera Timur. Walaupun kolega L.Y. dan pelajar Borneo Utara sudah melihat lubang pencarian, mereka belum lagi mengusulkan apa-apa kepada saya, lantaran di Singapura kami bermaksud akan terus ke Jawa. Selama dalam kesunyian itu kami sering membuat perjanjian. Kami selalu pula taat kepada perjanjian kami. Ini kalipun perjanjian itu akan kami taati asal bisa dan ada kesempatan dan mempunyai cukup uang buat berjalan, maka maksud itu akan diteruskan juga. Untuk menyelidiki hal ikhwal perjalanan ke Jawa itulah saya kian kemari bertanya kepada orang Indonesia di Medan. 
Perusahaan Indonesia di kota Medan ada mengambil bagian diantara perusahaan asing. Yang ternyata benar hasil usaha bangsa Indonesia di Medan ialah dalam hal percetakan. Banyak percetakan buku dan surat kabar di Medan yang dimiliki, diurus dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sepintas lalu terlihat lebih banyak dan lebih besar perbandingannya dari perusahaan percetakan Indonesia dilain-lain kota. Selainnya daripada toko-toko buku yang teratur rapi, banyak pula terdapat ditepi-tepi jalan penjualan “secondhand Books” (buku usang). Tempat ini selalu dikerumuni oleh pemuda yang ingin membaca dan membeli.
Tidak berapa lama saya membalik-balik lembar buku pada suatu tempat, maka penjualnya meloloskan satu buku ke tangan saya dengan perkataan: “Ini buku yang baik dan laku”. Buku itu bertitel “Pacar Merah” dikarang oleh “Matu Mona”. Baru pertama kali saya mendengar nama dan pengarangnya itu. Belum lagi lama saya membolak-balikkan lembarannya, penjual buku mendekati saya dan berbisik-bisik: “Tuan tahu, Tan Malaka sudah berada di Padang. Dia sudah berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Dia sudah berbicara hari ini di tanah lapang Padang. Tinggi sekali pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon saya tanyakan apakah pangkatnya Tan Malaka dalam bala tentara Nippon itu? Jawab: “Kolonel, kata orang”.
Saya tak ingin meneruskan pembicaraan semacam itu. Saya sudah maklum, bahwa Jepang memakai taktik seperti di lain tempat juga di Asia, ialah menipu rakyat Indonesia. Seolah-olah hendak membuktikan bahwa dia sudah mendapat kepercayaan penuh dari para pemimpin rakyat itu. Tinggal lagi rakyat, yang patut percaya pula kepada Jepang. Selainnya daripada itu saya maklum pula, bahwa disamping “kolonel” Tan Malaka itu Jepang sedang mencari Tan Malaka yang lain.
Buat meneruskan penyelidikan saya, maka saya memasuki sebuah toko, yang baru dibuka oleh orang Minangkabau. Toko itu dimaksudkan untuk  menjual hasil bumi dari Minangkabau, terutama kopi dan tembakau. Dari tuan toko saya mendapat kabar, akan dibuka kongsi kapal Indonesia yang bertempat di Padang buat pelayaran ke Jawa. Tetapi akan dibuka belum lagi berarti sudah dibuka. Saya pikir, armada Jepang tidak akan lepas begitu saja memberi izin, berhubung dengan penjagaan lautnya. Dengan tidak ditanya apa-apa, maka tuan toko menceritakan pula kepada saya dan kepada teman-teman sendiri, bahwa “kolonel” Tan Malaka sudah berbicara di tanah lapang Padang, dll, dsb. Semuanya memperkuat kepercayaan saya, bahwa tidak baik buat saya tinggal di Sumatera.
Setelah saya yakin bahwa perhubungan dengan Jawa belum bisa dijamin dan pasti perjalanan itu akan memakan banyak ongkos. Buat kolega L.Y. malah dengan perasaan lega, segera berkata, bahwa lantaran tak tentunya perhubungan dan besarnya ongkos ke Jawa itu, maka dia lebih suka mengambil jalan yang pasti saja. Dia ingin berdagang antara Medan dan Malaya, asal saja dia dapat bantuan seperlunya dari kongsi Kapal Indonesia. Perkara ini dapat saya atur dengan cepat, sehingga sewaktu-waktu kolega L.Y. boleh berangkat kembali ke Penang membawa barang dagang. Pelajaran bahasa Indonesia sudah saya berikan kepadanya, sehingga dia dapat berbicara langsung dengan pedagang Indonesia. Rumah dan pokok buat pelajar dari Borneo Utara, sudah pula saya bereskan. Dengan beberapa bekas murid yang tinggal di Pematang Siantar saya akhirnya bertolak menuju ke Bukit Tinggi, melalui Sibolga. 
Lain benar corak dan isi kota Bukit Tinggi daripada ketika saya tinggalkan 22 tahun lampau. Jalan, rumah, gedung dan penerangan jauh lebih besar dan bagus daripada dahulu. Tetapi  saya tidak ingin banyak berjalan-jalan walaupun Bukit Tinggi banyak memberi kenang-kenangan lama, yang masih mengharukan pikiran. Kweekschool, yang biasanya disebut Sekolah Raja, dimana saya 6 tahun lamanya menerima pelajaran dan mengalami penghidupan dalam asrama yang sudah condong ke Barat. Taman pelajaran ini yang dimasa berdirinya termasyhur buat seluruhnya Sumatera, lama sudah ditutup. Juga Opleidingschool, sudah lama mengalami nasib semacam itu pula. Perguruan di Minangkabau sudah amat merosot atau lebih tepat sangat dimerosotkan. Untuk 2 juta rakyat Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda cuma mendirikan 2 buah Normaalschool di Padang Panjang dan 2 MULO, tak ada sekolah Menengah Tinggi, jangankan lagi University. Memang puluhan pemuda-pemudi Minangkabau bersebaran di Jawa buat mencari pelajaran. Tetapi karena kekurangan uang bantuan, kekurangan pengawasan dari pihak keluarga, mereka terombang-ambing diantara ke pelesiran dan pergerakan politik. Jarang yang jaya usahanya. Ini sama sekali tidak mengherankan. Pelajar dimana dan dari bangsa manapun juga dalam keadaan yang sama akan mendapatkan hasil tidak lebih baik daripada itu. Kemerosotan perguruan itu tidak sebanding dengan kemajuan perekonomian Minangkabau selama saya tinggalkan itu. Penjualan sekalian hasil bumi di pasar Bukit Tinggi semuanya masih berada di tangan putera bumi. Semua toko besar menjual kain dan barang pabrik Eropa berada di tangan bangsa asli juga. Demikianlah pula toko buat mengexport hasil bumi serta semua hotel adalah di tangan bangsa Indonesia! Adapula Bank Nasional dan Bank Insuransi Indonesia. Di Minangkabau ada pula onderneming modern yang dimiliki dan diurus oleh bangsa Indonesia sendiri.. Di kota Bukit Tinggi pada ketika itu saya tidak melihat tokonya orang Tionghoa. Setelah imperialisme Inggris dan Belanda menyerah, maka pedagang Minangkabau dengan cepat menuju ke semua penjuru di Indonesia membawa hasil bumi dan merebut pasar. Sebuah pasar di dekat pelabuhan perahu yang datang dari Sumatera dan sebagian kota Singapura yang tokonya sudah ditinggalkan asing sudah sama sekali diduduki oleh pedagang Minangkabau. Di Medan proses semacam itu berjalan pula. Pedagang Minangkabau sudah tidak putus-putusnya bergerak menuju ke Jawa, melalui Lampung, membawa gambar dan lada.
Saya sudah perhatikan pedagang Minangkabau dan Tionghoa di Sumatera dan Jawa terutama di Jakarta, Pasar Senen. Dalam hal inisiatif, keberanian pergi merantau entah kemana, memangnya bangsa Minangkabau tak kalah oleh orang Tionghoa. Tetapai orang Minangkabau masih kalah dalam hal mengeluarkan uang buat memelihara “appearance”, ialah yang baik dipandang mata. Umpamanya membelanjakan banyak uang untuk kebagusan rumah, perhiasan dan lain-lainnya belanja yang langsungnya memang tidak memberi untung. Tetapi karena menarik dan membeli kepercayaan pembeli memang dengan tidak langsung memberi keuntungan. Kekurangan ini juga disebabkan oleh kekurangan modal dan pengetahuan. Tetapi dalam hal kehematan orang Minangkabau tidak kalah oleh orang Tionghoa. Dan dalam hal  pelayaran, karena kelebihan dalam pemakaian bahasa dan pengetahuan tentang jiwa pembeli (psychology) maka saudagar Minangkabau yang berurusan dengan bangsanya sendiri itu, agaknya melebihi bangsa manapun juga.
Hal ini diketahui benar oleh penganut Hakko Iciu, yang dimana saja mereka berada seperti di Korea, Tiongkok dan Taiwan dengan kejam menindas perusahaan putera bumi. Di Bukit Tinggi pada suat hari saya saksikan sendiri lebih dari 10 truck sudah penuh dengan muatan berisi kopi dan tembakau siap buat berangkat ke Medan. Itu hari pula “Osamu Serei” keluar buat melarang pengeluaran barang tersebut dari Minangkabau. Saya saksikan pula di Jakarta dibelakang harinya, bagaimana pedagang Minangkabau yang dengan 1001 kesukaran di jalan antara Minangkabau dengan Jakarta dan menjual gambir dan ladanya di Jakarta dengan harga tak begitu mahal, kalau dipikirkan resikonya ditampari sesudah barangnya disita. Memangnya banyak mata pencarian yang dibuka dengan inisiatif pedagang Minangkabau yang disita oleh “saudara tua” sesudah “saudara mudanya” di-bakero-i, ditampar dan diancam. Di mata Jepang memangnya tak ada pedagang Indonesia yang lebih “jahat” daripada pedagang Minangkabau. Mungkin sekali dibelakang harinya, semua jalan dari Minangkabau ke Medan, Singapura dan Jakarta, yang dibuka oleh pedagang dari Minangkabau ditutup dengan Osamu Serei atau pedang samurainya Kempe-tai, yang menganggap pedagang Padang sebagai konkurensi pedagang Jepang dan berbahaya buat kerakusannya.
Niat saya bermula ketika meninggalkan Padang, ialah dengan diam-diam singgah sebentar ke Suliki, sekedar mengunjungi kuburan ibu bapak dan cucuk kemenakan yang sudah lama dan belum lahir ketika saya meninggalkan Indonesia. Dengan cerita “kolonel” Tan Malaka yang disiarkan dimana-mana itu, teristimewa pula di Bukit Tinggi, maka saya tidak merasa aman pergi mengunjungi kampung halaman itu. Bahkan saya harus lekas meninggalkan Bukit Tinggi. Tetapi susahlah mendapatkan truck apalagi mobil buat berangkat ke Jakarta melalui Palembang atau Lampung. Semua truck yang ada sudah diborong oleh pedagang.
Orang katakan, bahwa lebih mudah berangkat dari Padang Panjang. Saya pergi ke Padang Panjang. Tetapi tidak mudah. Disana saya dengar kabar, bahwa lebih mudah berangkat dari Padang. Saya pergi pula ke Padang. Tetapi ternyata pula tidak mudah. Disana dikatakan pula, bahwa tentu lebih mudah dari Bukit Tinggi. Sebelumnya saya kembali ke Bukit Tinggi, maka saya berjumpa dengan kenalan yang dulu saya jumpai di jalan antara Medan dengan Bukittinggi. Diapun mempunyai pengalaman seperti saya. Diapun sudah dipulang balikkan oleh “nasehat” dari Bukit Tinggi ke Padang. Kenalan di jalan ini berasal dari Palembang. Dia pergi ke Pematang Siantar mengurus mobilnya yang dahulu “dipinjam” oleh tentara Dai Nippon, ketika berangkat dari Palembang menuju ke Tapanuli. Tetapi dia tidak mendapatkan mobilnya itu. Pinjam itu dalam bahasa Jepang, seperti kita alami, ialah merampas dalam bahasa kita   
Kenalan di jalan ini mengajak saya tinggal saja di Padang, menunggu truck beberapa hari lamanya. Dia dengan dua tiga teman lainnya sedang memperbaiki truck yang rusak. Bersama-sama mereka akan membayar ongkonsnya. Sayapun boleh ikut dan membantu membayar ongkos jalan. Usul itu saya terima.
Dalam tunggu menunggu dalam perjalanan ke Jawa itu saya mendapat banyak kesempatan buat mempelajari sikapnya pernduduk terhadap penjajahan lama dari penjajah baru. Terhadap Belanda sendiri sikap Rakyat Indonesia umumnya sudah bisa diselidiki dalam dua macam keadaan. Pada 8 Maret 1942 mereka berhadapan dengan Belanda yang malang, kalah menyerah. Sekarang (November 1947) mereka berhadapan dengan Belanda sebagai penyerang dan penjajah.          
Apakah rakyat Indonesia tetap tinggal Extremist, terorist dan perampok, ketika menghadapi Belanda dalam dua keadaan yang berlainan itu? apakah extremist, terrorist dan perampok yang dipropagandakan oleh imperialist Belanda di dalam dan di luar Nederland itu tidak hanya terdapat diujung lidah dan penanya imperialist dan kaki tangannya Belanda saja?
Pedagang Indonesia yang dengan Tionghoa Ho-Kang bersama saya datang dari Penang, apabila melihat beberapa orang Belanda yang digiring oleh Jepang di Medan dengan spontan zonder pikir-pikir mengeluarkan perkataan: “Kasihan juga kita melihat nasibnya Belanda”. Di Padang tersiar kabar diantara rakyat bahwa seorang dokter Belanda ditampari oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali oleh Jepang di dalam penjara, sampai terjatuh berkali-kali dengan tidak memberi pembalasan. Tak ada diantara mereka, yang menceritakan itu ataupun pendengarnya yang bersuka cita, seolah-olah menunjukkan “Schaden freude”, ialah suka melihat orang lain dalam kesusahan. Seorang bekas pelarian Silungkang yang saya jumpai di daerah Jambi, seorang yang sudah melarat bertahun-tahun semenjak pemberontakan di Silungkang pada tahun 1927, berulang-ulang mengucapkan: “Hiba hati awak, hiba hati awak melihatnya”. Dia melihat beberapa orang Belanda berhenti dengan trucknya: Si Jepang membuka bungkus roti dan memanggil orang Belanda tawanan itu satu persatu dan memberikan sebuah roti dengan ucapan “heh”. Kalau Belanda itu tidak lekas datang, maka roti itu dilemparkan oleh Jepang itu kepadanya. Belanda itu bukannya serdadu, melainkan bekas B.B, tuan besar ini atau itu. Dimasa kekejaman Jepang terhadap Belanda masih merajalela, maka pada stasiun kecil dekat Jakarta, seorang nyonya Belanda menangis-nangis mendekati kepala stasiun Indonesia.
Nyonya itu baru tahu, bahwa anaknya sesat menyimpang dengan kereta lain menuju ke Bandung. Dia sendiri mengambil jalan lain dan harus segera pindah kereta menyusul anaknya. Tetapi uang tidak ada buat membeli karcis dan karcis sudah ditentukan lebih dahulu oleh orang Jepang. Walaupun besar bahayanya buat kepala stasiun Indonesia buat dirinya sendiri, dia dengan diamd-diam memberikan pertolongan yang diperlukan. Banyak contoh yang lain-lain yang membuktikan pri-kemanusiaan yang sebenarnya. Kalau bangsa Indonesia tak mempunyai pri-kemanusiaan itu, masakan Belanda di masa Jepang itu bisa hidup dengan aman diantara Rakyat Indonesia.
Yang menggelikan orang Indonesia pada waktu penyerahan Belanda, ialah melihat “nyonya besar mengangkat koper dan barangnya sendiri, karena Jepang tak membolehkan “nyonya besar” memakai jongos dan babu seberti dimasa mewahnya. Yang tak kurang menggelikan bangsa Indonesia pada waktu penyerahan itu pula, ialah kejanggalan penglihatan ketika para opsir tinggi Belanda dengan segala pakaian angkatannya menyerahkan diri pada opsir Jepang yang berpakaian sederhana itu; ketika ratusan serdadu Belanda yang perawakannya jauh lebih besar itu digiring oleh satu dua gelintir serdadu Katek dari Nippon. Akhirnya yang menjadikan darah Indonesia mendidih dan serentak membela dan menyerang, sampai dinamai extremist, terroris dan perampok, ialah ketika Belanda, yang tak sanggup melindungi Rakyat Indonesia dalam bahaya itu, sekarang kembali menjajah dan melakukan penculikan, perampokan, penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan Rakyat Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah cocok dengan hak mutlaknya!
Dalam waktu antara Belanda menyerah dan Jepang masuk, antara 8 Maret dan 17 Maret 1942, maka di Padang sebenarnya tak ada pemerintahan. Rakyat dan pemuda dengan Laskar Rakyat sudah mengatur segala-galanya dan menghapuskan peraturan Belanda yang selamanya dibenci oleh rakyat. Kabarnya cukai pasar dihapuskan. Tanah kosong yang dahulu kepunyaan bersama untuk memelihara ternak, tetapi kemudian pemakaian bersama itu dilarang oleh Belanda, sekarang dikembalikan kepada rakyat. Pembagian klas-klas di dalam kereta api dihapuskan. Keamanan dijaga oleh rakyat dan pemuda. Memangnya sebelum Belanda menyerah, Rakyat Minangkabau menentang keras tindakan Belanda yang hendak menghancurkan semua jembatan. Semangat kemerdekaan itu dalam sekali terselip dalam hati sanubari Rakyat Minangkabau. Jika Ir. Sukarno yang pada masa peralihan pemerintahan antara 8 Maret dan 17 Maret itu berada di Padang memajukan diri sebagai “pemimpin gerilya”, maka rakyat dan pemuda Minangkabau (bersama dengan Rakyat dan Pemuda Aceh yang dengan senjata di tangan menggempur tentara Belanda) pasti akan menyambutnya dengan segala kegirangan. Memangnya kesempatan baik buat menjadi “pemimpin gerilnya” itu buat Ir. Sukarno tidak saja ada sekarang untuk melawan penjajah Belanda, tetapi juga dahulu untuk melawan penjajah Jepang.
Pada permulaan Jepang masuk, rakyat Minangkabau masih ragu-ragu tentang kemauan Jepang. Kemauan kemerdekaan masih kuat bersarang dalam hatinya rakyat dan pemuda Minangkabau. Tetapi karena propaganda Jepang dengan slogan yang kita kenal ialah “Nippon Indonesia sama-sama” maka rakyat menjadi bingung. Kebingungan ini ditambah pula dengan sikapnya para pemimpin “besar” buat Indonesia umumnya dan beberapa pemimpin Minangkabau khususnya yang lebih Jepang daripada Jepang sendiri.
Pada suatu hari ketika saya di Padang berada di tengah-tengah beberapa orang, maka tiba-tiba keluar lagi “dongeng” umum tentang “kolonel” Tan Malaka, yang “berpidato” di tanah lapang pada keesokan harinya Jepang masuk, jadinya ketika Tan Malaka yang lain masih berada di “Singapura”. Satu dua orang pendengar menunjukkan tak percayanya. Merasa dibantu oleh mereka yang tak percaya, saya mencoba bertanya: “Mungkin kabar itu tak benar. Dan politiknya Tan Malaka adalah berlainan”. Tukang dongeng amat marah atau pura-pura marah. Mungkin juga Jepang mengangkat  dan menyewa tukang dongeng semacam itu, seperti di Jawa ia menyewa Tan Malaka palsu. Tentulah saya tidak mengingini bertengkar. Setelah mendapat kesempatan, maka saya meloloskan diri saja dari gerombolan tukang dongeng dengan para pendengarnya itu.
Herannya saya pula, beberapa kali apabila saya masuk di kamar hotel saya di Padang ialah Hotel Muslimin dengan memakain nama Ramli Hussein maka tahu-tahu saya mendengar perkataan seperti: “Kata orang Tan Malaka sudah disini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan dia”. Menyindir-nyindir sayakah dia” demikian pertanyaan dalam hati saya.
Semuanya menjelaskan kepada saya, bahwa sebaiknyalah selekas-lekasnya saya berangkat ke Jawa. Untunglah pula dalam empat lima hari, truck yang diperbaiki tadi selesai. Segera kami berangkat melalui Solok, Sijunjung, daerah Jambi sampai ke kota Palembang dalam perjalanan yang memakan waktu dan akhirnya (26?) bulan Juni sampai pada permulaan bulan Juli.
Tidaklah lama saya tinggal di Palembang. Tidak banyak yang perlu diceritakan tentang hal Palembang. Sudah diketahui, bahwa penduduk Indonesia, Palembang adalah pedagang yang ulung yang membuka perusahaan dimana-mana di Jawa dan lain-lain tempat seperti Singapura. Di Palembang sendiri tidak sedikit orang Palembang yang bermodal F 1.000.000,- atau lebih. Tetapi keinginan belajar di sekolah masih amat rendah. Ketinggian nafsu berdagang, kalau dibandingkan dengan penduduk Jawa, pukul rata, sepadan dengan kerendahan nafsu bersekolah. Memangnya pula perdagangan itu memberi sumber penghidupan yang boleh dikatakan tinggi juga. Selainnya daripada penduduk asli Palembang, pedagang Minangkabau juga mengambil bagian yang berarti dalam perekonomian di Palembang itu.
Kepentingan Palembang terletak pula pada isi buminya. Batu bara terdapat dekat muka bumi di bukit Asam. Quality dan Quantity sifat dan bilangannya amat tinggi sekali. Minyak tanah terdapat dimana-mana. Teristimewa sebagai sumbernya bensin untuk kapal terbang. Aviation Spirit. Palembang tergolong daerah yang terpenting buat minyak tanah di seluruhnya dunia. Tentara Jepang dengan terburu-buru menuju ke Palembang, ialah dengan maksud hendak menduduki sumber minyak yang amat penting buat pembelaannya itu. sekarangpun Amerika berusaha keras dan rupanya berhasil menduduki kembali pabrik minyaknya. Plaju dan sungai Gerong adalah dua kota minyak semata-mata.
Sesudah dua tiga hari tinggal di Palembang, saya mendapat keterangan, bahwa ada kemungkinan buat berangkat ke Jawa melalui Lampung dan menyeberangi Selat Sunda.
Banyak juga kejadian yang ganjil yang saya saksikan di Lampung, Tanjung Karang. Tak ada salahnya barangkali dicatat disini, dalam sepatah dua patah kata untuk menjadi peringatan sejarah penjajahan Jepang yang kejam dan dahsyat itu.  
Sebentar saja tentara Jepang merasa aman di tengah-tengah penduduk Indonesia, maka dia segera memaksakan kemauannya dalam segala-galanya terhadap bangsa Indonesia, yang katanya dimerdekakannya itu! Tidak saja dalam hal politik kemiliteran dan perekonomian yang semuanya dimonopolinya, tetapi pula dalam hal kebudayaan, adat istiadat dan agama. Pada waktu permulaan diperintahkanlah oleh Shu-cho-kan, residen Jepang, kepada buruh kasar dan halus di bermacam-macam kantor, supaya sebelumnya masuk kantor semua orang membungkukkan badan menyembah Maha Dewa di Tokyo, ialah yang dinamai Tenno Heika, Baginda Langit itu. Dalam surat kabar TENNO HEIKA, nama yang buat mereka sakti itu sudah dituliskan dengan huruf besar. Disamping itu semua restoran dan rumah makan diperintahkan mengadakan “pelayan”. Pula pada hari liburan diperintahkan supaya para “gadis” datang dengan karangan bunga “menghibur” para “pahlawan” Jepang di rumah sakit. Rakyat Lampung menganggap semua ini sebagai suatu pelanggaran agama, dan adat istiadat Indonesia. Beberapa penganjur rakyat yang terkemuka memajukan keberatan terhadap “sembahyang” menuju ke Tokyo itu. Memangnya dasar agaama Islam, melarang seorang penganutnya menyembah yang lain daripada Tuhan, seperti menyembah orang, batu dll. Adat istiadat Lampung tidak membolehkan para gadis berjalan-jalan di luar rumah, apalagi sendiri pergi mempersembahkan “karangan bunga” kepada lelaki asing yang setengah telanjang itu. Setelah karena paksa anak gadisnya seorang dokter Manado mempersembahkan karangan bunga dengan muka masam dan melihat ke tanah, maka dia dipaksa mempersembahkan itu dengan muka “tersenyum”. Saya dengar anak gadis ini melarikan diri, barangkali ke Jakarta. Para pemuka Indonesia yang berani memajukan keberatan tentang “sembahyang yang menghadap TENNO HEIKA” (yang sekarang setelah tentara Jepang menyerah, menjelma  menjadi musuh bernama Hirohito itu!), para pemuka itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Bersama-sama dengan tangkapan itu  Shu-cho-kan berkata, bahwa kalau Rakyat Lampung tidak suka sama tentara Dai Nippon, mereka boleh berangkat ke lain tempat.
Mulanya  ada perahu yang berangkat dari Lampung ke pulau Merak, Banten. Tetapi beberapa hari saja sebelum saya datang, maka turunlah perintah, bahwa pelayaran leluasa itu harus diperhentikan. Semua perahu yang berlayar harus melalui duane Jepang. Dan orang yang dibolehkan naik perahu sebagai penumpang cuma orang yang membawa barang dagang sekurangnya sebesar 300 kg.
Banyak terjemahan yang diucapkan tentang 300 kg itu. Bukanlah pula harga emas seberat 300 kg berlainan sekali dengan harga lada atau kelapa, apalagi kelapa dengan kulitnya, seberat 300 kg? Anehnya pula keterangan yang didapat dari kantor ke kantor itu juga sangat berlainan. Dengan surat perkenalan dari seorang landbouw-konsultan di Tanjung Karang dan dengan seorang pegawai pemerintah di Lampung. Dan tuan Landbouw-konsultan dan pegawai tadi tidak dapat memberi pertolongan selainnya daripada mendapatkan keterangan yang tidak jelas dari bermacam-macam kantor.
Dalam pada itu saya sendiri tidak berhentinya mencari jalan. Pada suatu hari di tengah jalan, saya tepuk bahunya seorang penduduk Tanjung Karang, buat bertanyakan hal ihwal pelayaran di Selat Sunda. Rupanya tidak sia-sia. Hospitality, gastvrijheid, lekas menerima dan ramah tamah pada tamu itu, memangnya bukan monopoli di Barat. Saya dipersilahkan begitu saja datang di rumahnya, dijamu ini dan itu seolah-olah saya sudah lama dikenalnya. Mang Mamat, (kita namakan saja begitu!) Berasal dari Banten dan sudah lama benar tinggal di Tanjung Karang. Di kampungnya Mang Mamat, kebanyakan penduduk berasal dari Banten. Sesudah dua tiga hari berusaha menanyakan perihal pelayaran ke pulau Merak, maka akhirnya diputuskan: “Kalau memangnya tak bisa berangkat dengan perahu resmi, maka akan diambil jalan yang tidak resmi”. Tentulah saya tidak akan bisa naik perahu itu di pelabuhan tempat duane. Saya harus bangun jam 3 pagi, angkat barang sendiri menyeberangi laut yang dangkal sampai ke perahu yang berlabuh agak ke tengah. Kalau kelak di pelayaran dapat tertangkap oleh kempei-tai, maka haruslah saya menunggu resikonya, seperti dijemur dipanas dan ditampari sedangkan barang-barang “disita”.
Sebenarnya saya sudah menyetujui berlayar besok pagi, menentang resiko jemuran, tamparan dan sitaan. Tetapi jalan lain masih saya cari-cari. Kebetulan pula di pelabuhan Teluk Betung saya berjumpa dengan seorang pedagang besar, berasal dari Silungkang dan di masa Hindia Belanda mempunyai toko besar di Surabaya. Saya namakan saja dia tauke Silungkang. Saya jumpai tauke Silungkang tadi di jalan dekat duane, sedang sibuk memuatkan barang yang ribuan kg beratnya dan puluhan ribu rupiah harganya. Dia masih muda dan caranya bekerja adalah cepat, teliti dan jitu. Dengan perantaraan seorang kenalan saya menghampiri dia dengan pertanyaan apakah saya boleh menumpang perahu yang sebenarnya seluruhnya sudah disewanya. Dia menjawab, bahwa memang perahu  itu sewaan dia, tetapi dia ingin menolong orang lain, yang mau berangkat ke Jakarta. Berhubungan dengan itu dia sudah isi daftar penumpang lebih kurang 12 orang banyaknya. Walaupun para penumpang itu kebanyakannya orang biasa saja (bukannya pedagang) tetapi diatas daftar dia tuliskan, bahwa semua orang tadi adalah anggota “perseroan”. Dengan begitu maka tiap-tiap orang penumpang “mempunyai” lebih daripada 300 kg (yakni diatas kertas), ialah syarat yang dibutuhkan oleh Osemu-serei Jepang tadi. Kantor duane sudah memberi “cap” Jepang, sebagai pengesahan atas “haknya” para penumpang buat berlayar. Tauke Silungkang, setelah sekejap dengan cepat memandang muka saya, berkata pula: “satu jam lagi perahu akan berlayar. Barangkali seorang penumpang tak akan datang. Dalam hal i ni tuan boleh ikut. Yang dibayar cuma sewa perahu saja dan tuan sebagai “anggota” perseroan “berhak” atas 300 kg menurut Osamu-serei. Buat melancarkan pekerjaan lekaslah tuan kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang tuan. Nanti kita berjumpa di depan perahu”. Demikianlah usulnya tauke Silungkang.
Dengan cepat saya kembali ke Tanjung Karang mengambil barang-barang dan kembali ke pelabuhan Teluk Betung. “Beres” kata tauke Silungkang yang sudah siap buat berlayar.
Kebetulan saya berangkat dari Lampung pada waktu yang sama dengan Ir. Sukarno berangkat dari Palembang. Di atas selembar surat kabar yang diterbitkan di Palembang terlibat gambarnya Ir. Sukarno diatas kapal api kecil di samping seorang kempe-tai.
Perahu kami mempunyai nama yang gilang gemilang, yakni SRI RENJET. Barangkali nama itu tak cocok dengan keadaan dan rupanya. Perahu itu sudah tua dan amat bocor. Di pelayaran sering harus ditempel dengan tanah tempelen dan terus menerus ditimba airnya. Hampir hari sore, maka Sri Renjet membongkar sauhnya dan “berlayar”. Kalau berangsur sekian meter jauhnya dalam satu jam boleh dinamakan berlayar, maka memangnya Sri Renjet berhak disebutkan sedang berlayar menuju ke Jakarta, Pasar Ikan. Tetapi jika kecepatan itu dilakukan di daratan, maka pergerakan yang secepat itu cuma boleh disebutkan merangkak.
Walaupun penumpang “pedagang” yang berhak boleh berlayar ialah mereka yang membawa sedikitnya seberat 300 kg saja, tetapi terhitung para anak istri para pedagang serta juru mudi dengan para kelasinya, maka jumlah orang isi kapal tidak kurang daripada 20 orang. Ini sudah terlalu banyak, karena barang dagang memangnya berat sekali. Tetapi bukan karena beratnya maka Sri Renjet terpaksa bergerak secepat siput. Yang terutama sekali, ialah karena tak ada angin sama sekali dan kalau ada, maka yang ada hanya angin sak saja. Tanya bertanya tentang angin dan pelayaran kapal tidak lebih leluasa daripada dalam tongkang Ho-Kang, yang berlayar dari Penang ke Belawan tempo hari. Berhubung dengan itu, hari dipetangkan dengan percakapan, nyanyian dan pemandangan ke pesisir Teluk Semangka, yang pokok kelapanya seolah-olah bisa dihitung karena lambatnya Sri Renjet berlayar.
Kebosanan di perahu sering-sering diperhentikan oleh percekcokan seorang mbak dengan kang-masnya. Kang-mas juga ingin pulang ke Jawa buat menjumpai orang tua yang memang sudah lama ditinggalkannya. Memangnya ini adalah suatu keinginan anak yang selayaknya dan patut dipuji! Tetapi ‘mbak’ mempunyai paham lain! ‘Mbak’ tidak lagi mempunyai ibu bapak itu itu di Jawa. Keluarganya yang sudah agak jauh, tidak lagi menarik kenang-kenangannya penuh, ialah Lubuk Linggau. Di sini ‘mbak’ sudah mempunyai rumah yang cukup besarnya, ladang yang luas dan beberapa ekor ternak. Semua itu cukup buat dia laki-istri dan buat anaknya dihari depan. Apakah semuanya itu akan mendapat pemeliharaan baik, dari salah seorang keluarga selama ditinggalkan? Inilah yang selalu menganggu pikiran ‘mbak’. Gangguan itu semakin keras dengan semakin lambatnya kapal berlayar dan semakin bosan hidup di perahu yang panas dan sempit sesak, karena banyaknya penumpang dan barang, last but not least, terakhir dan tak kurang pentingnya, karena buruknya keadaan makanan. Kalau ‘mbak’ sudah memuncak kemarahannya, maka dia putuskan saja dengan perkataan: “Ayo kang-mas, mari kita kembali saja ke Lubuk Linggau”. Dalam keadaan yang sama dengan ini, saya pikir, semua atau sebagian besar dari orang pindahan dari Jawa ke Sumatera yang sudah makmur di Deli atau lain tempat, akan 100% setuju dengan ‘mbak’ kita yang sedang mengeluh dan menyesali kang-masnya di perahu Sri Renjet yang maju tidak, mundurpun tidak di teluk Semangka. Buat saya percekcokan ‘mbak dengan kangmasnya itu menimbulkan kecocokan yang memuaskan dalam penyelesaian persoalan perpindahan (emigration) dari Jawa padat ke Sumatera kosong, di hari depan dalam suasana merdeka 100%.
Setelah hampir seminggu lamanya Sri Renjet terkatung-katung, maka sampailah kami ke dekat sebuah batu besar dekat Ketapang. Di sini kami berhenti, rupanya untuk menanti angin baik buat menyeberangi Selat Sunda. Sampai jauh malam angin yang ditunggu-tunggu itu belum juga lagi bertiup. Untuk menghindarkan panas sesak di dalam perahu, maka saya pergi tidur ke atas bubungan atap kajang dimana terdapat sedikit tempat yang datar.
Di langit kelihatan bintang! Hawa terasa segar! Lekas sekali saya tertidur. Sekonyong-konyong saya bangun, dibangunkan oleh titik hujan, yang menimpa muka saya. Barulah saya insyaf, bahwa Sri Renjet sudah berada di tengah Selat Sunda, dalam hujan lebat, ditiup angin deras menuju dengan lajunya ke pulau Merak. Tergesa-gesa saya menggulung tikar dengan selimut dan alat tidur yang lain-lain. Tergopoh-gopoh pula saya meniti di pinggir perahu menuju ke dalam perahu. Pada ketika inilah dua-tiga kelambu baru, yang saya bawa dari asrama di Singapura sebagai peringatan, tergelincir dari dalam tikar dan meluncur ke laut di Selat Sunda. Untunglah rasanya sebegitu saja saya kerugian! Angin terlampau keras dan hujan terlampau lebat dan melangkah amat sukar sekali di pinggir perahu yang teroleng-oleng seperti buaian. Sedikit saja tergelincir, ombak dan gelombanglah yang akan menyambut.
Sampai juga saya ke dekat kemudi di buritan perahu Sri Renjet, tetapi tidak sampai masuk ke bawah atap! Perahu amat penuh isinya dan tempat saya sudah ditiduri oleh salah seorang penumpang lain, ketika saya pergi tidur ke bubungan atap. Saya tidak ingin membangunkan siapapun, apalagi setelah saya mengetahui bahwa beberapa penumpang menderita mabuk laut. Saya sudah merasa lega, apabila bagian kepala saya bisa berlindung di bawah atap dan alat tidur dapat saya masukkan ke tempat yang kering. Bagian badan yang lain saya biarkan saja ditimpa hujan lebat.
Apabila saya menoleh ke belakang, maka saya merasa masih lebih beruntung daripada saudara juragan. Seorang tua memegang kemudi, dengan tangan yang tegap mengemudikan perahu, yang dipermainkan oleh kodrat alam dan dengan mata nyalang menerobos hujan lebat menentukan arah pelayaran. Dan saudara juragan ini sepanjang hari malam itu dan sepanjang siang hari besoknya di tengah hujan dan ribut topan menyelamatkan kami, memakai kodrat pendorong yang turun dari angkasa itu, sambil menyanyi seolah-olah berterima kasih atas hadiah alam yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu, sedangkan pakaian dan badannya basah kuyup.
Bukan maksud saya membelokkan pembaca kepada poizie, kalau saya tuliskan, bahwa saudara juragan Sri Renjet bernyanyi seperti bersukaria ditengah-tengah hujan lebat dan angin topan itu! Perkataan laut buat kita orang darat tidak menimbulkan rasa, nafsu dan semangat seperti pada seorang pelaut. Mungkin laut itu buat kita menggambarkan satu suasana yang ganjil, tak cocok dengan keadaan hidup kita di daratan. Mungkin pula perkataan laut itu pada seorang pelaut diatas sebuah kapal api, kapal samudra, yang singgah dari benua ke benua dan dari bandar ke bandar, menerbitkan perasaan yang lain daripada pelaut asli Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan Indonesia yang dengan perahu mengarungi lautan Indonesia dari pulau ke pulau dan selat ke selat. Tetapi barangkali tidaklah jauh daripada kebenaran kalau dikatakan ribut topan bagi seorang pelaut diatas kapal api dianggap sebagai suatu gangguan, kalau tidak bahaya, sebanding dengan kebutuhan, kalau tidak sesuatu bahagia, untuk pelaut asli, yang dapat laju cuma oleh dorongan ribut topan itu. Bagaimanapun juga, lautan yang sebenarnya, ialah yang berada dalam suasana tenang dan hening, datar atau kadang-kadang berada dalam keadaan bergelora dengan dahsyat itu. cinta lautan, ialah cinta kepada laut, tidak saja diwaktu reda tenang-ratanya tetapi juga diwaktu bergelora dengan ombak gelombangnya. Baik kapal layar ataupun kapal samudra tidaklah dapat memisahkan keburukannya lautan daripada keindahannya. Sesuai dengan hidup dilaut dan cinta kepada suasana lautan, tidaklah dapat diperoleh dalam sekali dua pelayaran saja. Ribuan pelaut seperti juragan Sri Renjet tidaklah terbentuk dalam setahun dua. Tempat kediaman di pesisir pencarian hidup yang tidak berpisah dengan lautan, pengetahuan serta pengalaman yang diwariskan turun temurun, dari abad ke abad membentuk satu golongan besar diantara penduduk Indonesia yang paham perasaan dan semangatnya bersangkut paut dengan lautan. Golongan inilah kelak bahan yang akan dibutuhkan untuk membentuk satu angkatan dagang dan armada yang kuat untuk kepentingan Indonsia merdeka. Berbahagialah kepulauan Indonesia yang memiliki bahan armada, yang cuma menantikan latihan yang tetap dan semata-mata ditujukan kepada kemakmuran dan keselamatan rakyat Indonesia.
Tidak berapa lamanya kami menerima hadiah yang tidak disangka-sangka dari langit itu! Setelah penyeberangan Selat Sunda selesai dan pelayaran pesisir Banten dilanjutkan, maka angin ribut reda kembali. Sri Renjet terpaksa kembali pula berlayar dengan kecepatan siput. Saya sudah merasa bosan atas kelambatan ini.
Dengan beberapa orang lain saya turun di Banjarnegara, Banten. Dari sini kami dengan tiga empat kali pertukaran sado terus menerus menuju ke Benteng Baru disinilah kami dapat menaiki kendaraan yang cepat ialah kereta api.
Pada hari senja, pertengahan bulan Juli, tibalah saya di Jakarta....lelah, lesu, sebagai akibatnya perjalanan dan pelayaran yang begitu jauh dan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar