DAFTAR ISI
Pengantar Penulis
Daftar Isi
Pandangan Hidup (Weltanschauuung)
Negara (State)
Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia
Timbul – Tumbuhnya Republik
Indonesia
Dari Ir. Sukarno ke Presiden Sukarno
Di Sekitar Peristiwa Proklamasi
Ke Arah Persatuan Perjuangan
Persatuan Perjuangan
Putusan Kongres Pembentukan
“Persatuan Perjuangan”
Pertentangan Antara: Diplomasi
dengan Massa Aksi
Samakah Program Pemerintah dengan
Program Persatuan Perjuangan?
Linggarjati dan Renville
Penangkapan di Madiun
Pengantar Penulis
Dasar dan tujuan bagian terakhir ini
berlainan dengan dasar tujuan bagian yang sudah-sudah.
Bagian ini berdasarkan tahanan dalam
penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubung dengan itu, maka
isinya tulisan ini agak abstract (melayang) teoritis dan agak banyak mengandung
sifat polemik (menantang). Sedikit banyak dikemukakan di sini soal pemandangan
hidup (filsafat), soal Kenegaraan (State), soal Persatuan Perjuangan, soal
Perundingan Indonesia Beland dan lain-lain. Semuanya itu diarahkan kepada
pembelaan atas “tuduhan” yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi
Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada “tuduhan” yang
masih kami tunggu-tunggu dari kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila bagian
ini sudah selesai kami tulis. Jadi bagian mengenai keadaan sampai Maret 1948
ini. Lowong waktu, semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang
tanggal 16 September tahun ini juga, yang belum tertulis dalam bagian inilah,
yang kami tambahkan pada “Kata Pengantar” ini. Tetapi beberapa peristiwa,
seperti “penanaman” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpanan” bom di dalam
penjara Madiun, dan “penyimpana” trek bom di belakang sel kami di Magelang
serta lain “persiapan” lawan politik kami, yang mungkin akan banyak juga
menarik perhatian para pembaca terpaksa kami lampaui saja.
Tulisan dalam bagian ini tiada bisa
berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti ter-formulir oleh
pihak “yang berhak” ialah dari Kejaksaan rupanya tidak dapat dimajukan.
Pembelaan yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk
atas tuduhan yang masih ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami
ini juga tidak dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan persediaan
buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah dilakukan.
Berhadapan dengan “tuduhan” dari
“Pengumuman Resmi” tanggal 6 Juli 1946, yang dalam surat kabar di mana-mana
sering dikepalai dengan “COUPT D’ETAT TAN MALAKA KANDAS”, maka pada pertemuan
pertama dengan para Wakil Kejaksaan, yakni tanggal 1 November 1946 di
Mojokerto, sudah saya majukan: Supaya saya dihadapkan ke depan Pengadilan Umum.
Baru pada permulaan bulan Pebruari
1948, jadi hampir dua tahun lamanya di tahanan, barulah saya berhadapan kembali
dengan soal tahanan atas diri saya dengan perantaraan Wakil Kejaksaan. Tetapi
anehnya pula, pada pertemuan ini, di mana tuduhan tertulis dimajukan, saya
sendiri, yang selama ini terkenal sebagai pemimpin “COUP D’ETAT” (dan saudara
Sukarni) tidaklah termasuk ke dalam daftar tertuduh, ialahP: bekas Jendral
Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr.
Budhiarto, Dr. Buntaran, Dr. Buntaran, Moh. Saleh Djojoranoto dan lain-lain.
Semenjak permulaan Pebruari 1948
ini, maka Tan Malaka tidak lagi disangkutkan kepada “COUP D’ETAT TAN MALAKA”
itu. Tetapi anehnya dia tidak pula dibebaskan dari tuduhan dari penjara. Sebagai alasan buat terus menahan
saya dituliskan saja secara tersambil sebagai tuduhan diri saya, ialah karena
melakukan “opposisi yang illegal”.
Seolah-olah mudah ditentukan
“oposisi yang legal” (yang sah menurut undang-undang) dalam satu masyarakat,
yang sedang bergelora, memberontak, memperjuangkan kemerdekaannya. Seolah-olah
gampang saja menetapkan pengertian “opposisi yang legal dan illegal”, sah atau
tidak sah dalam satu masyarakat yang sedang memberontak, menghancurkan yang
lama dan sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang membentuk yang
baru, di mana pemerintah dan pengadilannya belum pernah dipilih dari, oleh dan
untuk rakyat, bilamana sedang diadakan ujian untuk menentukan golongan manakah
kelak dalam masyarakat Indonesia kita ini (feodal, borjuis, atau Murba?) orang
tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa sesuatu revolusi itu, suatu pemberontakan
itu, ialah suatu tindakan seluruhnya atau sebagian masyrakat, yang akan
menentukan apa yang legal dan apa ilegal: De revolutie zelf is rechtsbroen
schep pende rechtsbron, kata Crabe, salah seorang dari Maha Gurunya para jurist
kita di Indonesia ini. (Revolusi itu sendiri adalah sebuah sumber hukum yang
sedang membentuk sumber hukum!). Dan akhirnya seolah-olah Kejaksaan yang
berpendidikan, berpengalaman dan masih bersemangat hukum kolonial itulah yang
berhak menetapkan “legal atau tidaknya” sesuatu “opposisi”-nya Pimpinan Rakyat
yang sedang memperjuangkan 100% merdeka dari status kolonial itu.
Dengan kandasnya tuduhan yang
berdasarkan “Pengumuman Resmi”, sebenarnya menurut peraturan yang lazim
dipakai, maka perkara saya sudah tidak bisa lagi dimajukan ke depan hakim. Pada
saat itu juga, ialah pada permulaan Pebruari 1948 ini, sesudah hampir dua tahun
saya ditahan zonder tuduhan dari kejaksaan sesungguhnya saya harus dibebaskan.
Tidak lagi pada tempatnya, kalau Kejaksaan memajukan tuduhan kedua, ialah tuduhan
“menjalankan illegal opposisi” tadi. Dengan mengadakan tuduhan yang kedua itu,
maka kejaksaan sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Filsafat Hukum, yang
terkenal dengan perkataan nobis in idem. Dilarang pula oleh Hukum Adat yang
“tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas” yang mengucapkan kalimat tersebut
dengan: Kata dahulu ditepati, kata kemudian dicari-cari. Artinya itu, “kata
dahulu” atau “tuduhan yang bermulalah” yang boleh dianggap sah. Sedangkan “kata
kemudian” atau tuduhan yang kemudian itu adalah tuduhan yang dicari-cari saja:
tidak sah. Dalam hal ini, maka menurut Hukum Adat si-Tertuduh harus segera
dibebaskan.
Bahwa sesungguhnya, maka dengan
menukar “Pengumuman Resmi” itu dengan “illegal opposisi” perkara kami belum
kami anggap selesai begitu saja. Karena, kalau tuduhan sepanjang “Pengumuman
Resmi” memangnya mengandung sesuatu pelanggaran, maka saya harus lekas dituntut
dan diadili atas tuduhan itu juga. Tetapi kalau “Pengumuman Resmi” tidak benar,
maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin
“Pengumuman Resmi” harus dituduh sebagai pembikin hasut-fitnah (slander) dan
harus diadili. Dengan membiarkan terus adanya “Pengumuman Resmi” dengan segala
akibatnya itu, atau berlaku pura-pura tidak tahu akan ada dan akibatnya
“Pengumuman Resmi” itu, maka Badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang, atau
Dewan Perwakilan) dan bebas dari Badan Eksekutif (Pengadilan Undang, ialah
Pemerintah) Badan Pengadilan (Judical atau Pengawas Undang), yang katanya
objektif (tak memihak) dan dipimpin oleh “para ahli” itu sudah menjadi alat
dari golongan atau orang, yang memegang kekuasaan. Hukum Adat pun sudah
melintasi hal semacam itu dengan pepatah: “Tiba di perut dikempiskan, tiba di
mata dipicingkan” (Artinya: “Yang dekat diperut, ialah keluarga dan tiba di
mata ialah sahabat tidak diadili). Sesuatu Undang menurut Hukum Adat, mestinya
tidak pula memandang tinggi rendahnya kedudukan orang yang harus diadili:
“Tinggi kayu arau dilangkahi, rendah ilang-bilang diseluduki”. Artinya : Undang
berada lebih tinggi dari pada yang tinggi daripada yang tinggi dan lebih rendah
daripada yang rendah (Murba). Seorang Raja di Minangkabau pernah diadili dan
dipersalahkan oleh Pengadilan Rakyat. Bukan pula pernah seorang Presiden di
Amerika Serikat diadili?
Sesungguhnya kalau satu tuduhan bisa
ditukar dengan tuduhan lain ( dan memangnya pula tuduhan menjalankan “illegale
opposisi” itu selama lebih kurang delapan bulan tak bisa dilaksanakan oleh
kejaksaan!) maka dengan tukar menukar tuduhan terus-menerus ad infinitum, maka
saya boleh mempersiapkan diri buat hidup terus (belum tentu hidup terus!) dalam
penjara. Dan ini memangnya kehendak beberapa orang yang berada di dalam dan di
luar Pemerintahan, karena politik saya bertentangan dengan politik mereka itu.
Tetapi adalah beberapa faktor di luar kehendak lawan politik, yang kebetulan
memegang kekuasaan itu!
Syahdan dari semula tangkapan Madiun
tanggal 17 Maret 1946, maka hampir semua kumpulan besar kecil, kecuali “Sayap
Kiri” (kemudian bernama F.D.R) menuntut, supaya perkara kami lekas diperiksa.
Kami tahu bahwa massa dalam Masyumi umumnya dan para pemuda G.P.I khususnya
P.N.I umumnya (kecuali beberapa pemimpinnya!) dan Pemuda Demokrat khususnya
cukup memberikan perhatian kepada perkara kami B.P.K.N.I.P dan Dewan Pertimbangan
Agung pun di belakang hari mendesak supaya tahanan politik dibebaskan.
Salah satu Organisasi Pemuda,
walaupun dalam keadaan terancam, tampil ke muka dan dengan tegas prawira
menuntut pembebasan kami sambil membela bunyi ISI Minimum Program. Di mana-mana
kami berada, Pemuda kami itu berada pula mengelilingi tembok penjara, sebagai
anak harimau mencari ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan di dalam
penjara atau dari penjara ke penjara, kami lakukan dengan keinsyafan, bahkan
ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami. Veteran-Revolusi mana, yang tak
akan merasa tetap tenang detak jantungnya serta tetap tegap langkahnya, kalau
dia insyaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun langkah derap tegap dari pemuda
yang penuh dengan keikhlasan dan kesatriaan? Yang memegang kekuasaan pun tentu
tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa pemuda kami itu
.Partai Rakyat (kemudian bernama
Partai Murba) dari suara sayup sampai ke suara tenang tegas menuntut pembebasan
kami, baik dalam konferensi atau kongresnya.
Akhirnya Partai Rakyat pada
kongresnya ke-1 di Yogya tanggal 10-11-12 Agustus 1948 ini mendesak Pemerintah
supaya selekasnya TAN MALAKA Cs dibebaskan, sebab (1) alasan penangkapan
(tuduhan) tidak cukup, karena penangkapan dilakukan atas permintaan Delegasi untuk
dapat melangsungkan perundingan dengan musuh, (2) penahanan sudah cukup lama
dan nyata, bahwa sesudah penangkapan Tan Malaka cs (17-3-1946) nyata-nyata
perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah merosot dan sangat merugikan
jalannya revolusi kita.
Partai Rakyat dan Akoma,
bersama-sama dengan Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita
Rakyat yang dibantu oleh pelbagai kelaskaran (Laskar Rakyat Jawa Barat),
Barisan Banteng, Tamtomo, Anak Pelaut dan lain-lain) menggabungkan diri dalam Gerakan
Revolusi Rakyat (G.R.R). Suara G.R.R berkumandang di mana-mana dan terus
terang, zonder tedeng aling-aling mengatakan, bahwa dia meneruskan Minimum
Program Persatuan Perjuangan dan menuntut pelaksanaan demokrasi dengan
membebaskan tahanan politik. Di samping organisasi politik itu tidak pula boleh
dilupakan suatu dan tuntutan pers, seperti s.k. Murba, Pasifik, almarhum
Genderang (Cirebon) dan Majalah Godam Jelata (Krawang), Obor Rakyat, Kedaulatan
Rakyat dan sebagainya.
Seluruh Sumatera umumnya dan Sumatera
Barat khususnya pada permulaan penangkapan bersikap bimbang, ragu-ragu
mendengarkan hasut fitnah dari “Pengumuman Resmi” dan dari beberapa “Pemimpin
Besar”. Tetapi akhirnya kebenaran dapat juga menerobos kabut hasut-fitnah yang
jahanam terkutuk itu. Dari suara sayup yang dipelopori Pepari dan di belakang
hari diperkuat pula oleh Partai Rakyat, maka rakyat Sumatera akhirnya menuntut
pembebasan kami. Seorang wakil Rakyat Sumatera, yang dikirim oleh rakyat di
sana dapat menerobos “tirai besi” Pemerintah dan Kejaksaan di Yogya, akhirnya
dapat berjumpa dengan saya dalam penjara Magelang pada penghabisan bulan Juni
tahun 1948 ini. Wakil Sumatera inilah saja yang diizinkan berbicara dengan saya
dihadapan empat mata, sampai pada waktu itu, oleh yang memegang kekuasaan. Dari
isinya dada dan kepala wakil Sumatera inilah saya dapat membaca isinya dada
kepala Rakyat Sumatera. Isi dada-kepla wakil Sumatera (teman sekolah pula di
masa muda) inilah pula, yang menambah kekuatan diri saya dan batin. Suara dari
Sumatera itulah yang sangat memperkuat tuntutan pembebasan kami yang sudah
berkumandang di sekitar penjara di Jawa.
Telah kami cantumkan lebih dahulu
tuntutan dan aksi Laskar Rakyat Jawa Barat yang sudah mengalami sejarah turun
naik sampai ke tragedi 13-17 April 1947, bilamana Laskar Rakyat Jawa Barat
dilucuti di Krawang dan digempur oleh Tentara Resmi dari semua penjuru. Tetapi
menurut kata musuh sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat tetap memperjuangkan
Minimum Program. Baik juga di sini kita biarkan musuh itu sendiri berbicara
tentang Laskar Rakyat dan dasar perjuangannya. Para pembaca yang budiman kelak
dapat menguji beberapa kebenaran di dalamnya.
NIEUWSGIER,
S.K. Belanda, 3 September 1948, jadi ketika kami masih berada dalam penjara
Magelang, NIEUWSGIER dengan kepala:
“REPUBLIK STAAKT RATIONALITATIE VAN
HAAR LEGER. TAN MALAKA ZET AKTIE GEVANGENIS UIT VOORT” antara lain-lain menulis
salinan Indonesia, seperti berikut:
“Republik menghentikan rasionalisasi
tentaranya. Tan Malaka meneruskan aksinya dari penjara”.
“Meskipung Tan Malaka sekarang
berada dalam tahanan dan dijaga dengan rapi sekali, bisa juga dia meneruskan
aksinya dari penjara. Tan Malaka adalah seorang yang dapat mempengaruhi orang
lain dengan sangat. Juga para penjaganya tidak sanggup melepaskan diri dari pengaruhnya.
Dengan demikianlah dia bisa terus mendapatkan perhubungan dengan dunia luar.
Buat ini Republik mempunyai tanda bukti yang jelas, kata SIN PO”.
“Buat melakukan aksinya Tan Malaka
dapat perhubungan dengan Laskar Rakyat Jawa Barat, yang sekarang mengundurkan
diri dari Jawa Barat dan di bawah para pemimpinnya yang lama, menyusun dirinya
kembali di Yogya. Laskar Rakyat Jawa Barat dahulu sudah dibersihkan oleh TNI;
sebagiannya di bawah Pak Panji menggabungka diri dengan Belanda. Setelah
dicerai-beraikan oleh “politionele actie”, maka Laskar Rakyat menyusun dirinya
kembali, sehingga dia semakin bertambah kuat, sampai sekarang dia berani
menuntut berhentinya “rasionalisasi politik”-nya Moh. Hatta.
“Pendirian Tan Malaka tak pernah
berubah dan apa yang sekarang dipropagandakan oleh Muso adalah sama saja, yakni
memperhatikan perundingan dengan Belanda”.
“Sekarang Tan Malaka sedang bekerja
melaksanakan rencana ini. Kedatangan Muso buat Tan Malaka adalah satu
keuntungan. Terbukti, bahwa usahanya membentuk Folksfront tiadalah berhenti
karena penangkapannya, bahkan sebaliknya mendapat kemajuan yang tetap. Banyak
para ahli politik, yang berpendapat, bahwa saat ini dia memperoleh kemenangan.
Tan Malaka juga tak pernah setuju dengan rasionalisasi badang perjuangan. Dia
menganjurkan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk membentuk
pertahanan total dengan mempersenjatai rakyat”.
“Di belakang keadaan genting
sekarang (3 September) Pemerintah Hatta menerima tuntutan pelbagai organisai,
ialah memperhatikan rasionalisasi. Dia malah bertindak lebih lanjut. Pelbagai
organisasi tersebut mendapatkan izin buat mengembang”.
Desakan Partai, Dewan Perwakilan,
Dewan Pertimbangan Agung dan desakan rakyat sudah sangat kuat pada permulaan
September 1948 ini. Menurut kabar yang boleh dipercaya, desakan itu akan sampai
atau hampir sampai ke puncaknya pada tanggal 19 September. Pada tanggal ini,
maka G.R.R. di Jawa dan rakyat di Sumatera berniat hendak mengadakan satu Aksi
Murba Teratur untuk memperkeras tuntutan Partai, Dewan dan Rakyat, yang tidak
dihiraukan selama 2½ tahun ini.
Kebetulan pula tanggal 19 September
itu adalah tanggal yang sangat penting buat saya sendiri. Pada tanggal ini saya
dengan mata kepala sendiri menyaksikan ketabahan hati lebih kurang 200.000
Rakyat Jakarta menghadapi meriam, tank, dan pedang samurai Jepang yang
terhunus. Tanggal 19 September ini bagi saya adalah satu pelaksanaan MASSA
AKSI, yang bersifat ujian kekuatan (krachtproef) yang saya usulkan dan diterima
oleh beberapa para menteri, tetapi ditolak oleh Sukarno-Hatta dengan peletakan
jabatan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. MASSA AKSI 19 September-lah yang
menunjukkan bukti kepada saya, berapa kuatnya Jepang, berapa kuat dan tabahnya
Rakyat, di samping berapa sanggupnya Sukarno-Hatta melayani kemauan rakyat yang
memberontak! Tanggal 19 September (tahun 1948!), yang saya tunggu-tunggu dalam penjara itu
banyak mengandung kemungkinan.
Tetapi entah karena desakan rakyat
itu, semata-mata, entah ditambah pula oleh hal yang lain-lain, maka pada
tanggal 16 September, tahun ini, wakil kejaksaan menyampaikan putusan
Pengadilan Negeri Surakarta, di mana diterangkan, bahwa “tiadalah cukup alasan
buat memajukan saya ke depan Pengadilan”.
Seperti sudah tiada rahasia lagi,
maka Mahkamah Tentara Agung serta Jaksa Agungnya sendiri tidak mau dan tidak
sanggup, memajukan perkara saya ke depan Mahkamah Tentara Agung dan perkara
saya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Surakarta.
Badan inipun tidak mau atau tidak
sanggup meformulirkan tuduhan kepada saya. Sebab itu Pengadilan Negeri
Surakarta memulangkan kembali perkara itu kepada Jaksa Agung. Dari sini rupanya
perkara itu ditendang kembali ke Surakarta. Akhirnya Surakarta mengambil
putusan seperti tersebut di atas tadi, 3 hari sebelumnya tanggal 19 September.
Pengalaman saya dari penjara ke
penjara di pelbagai tempat di dunia, selama lebih seperempat abad tidak pernah
berakhir dengan kepuasan rasa keadilan Pengadilan “Hindia-Belanda” pada bulan
Maret 1922, tidak “mengizinkan” saya berhadapan dengan “Gerecht, Recht en
Rechtvaardigheid” ala Belanda. Amerika Serikat yang menjunjung “democracy and
justice” pun tak sudi “mengizinkan” saya berhadapan muka dengan mukanya para
ahli hukumnya dalam “court of justice”-nya (pengadilannya) di Manila, pada
permulaan tangkapan. Inggris yang berlagak-lagak “demokratis” dan
membangga-banggakan “British Justice”-nya itu cuma sanggup menahan dan
mengisolasir saya berbulan-bulan lamanya dalam penjara di Hongkong pada
penghabisan tahun 1932. Republik “Negara Hukum” kita pun yang katanya mempunyai
“alasan” menangkap kami di Madiun, harus “berpikir” dua setengah tahun buat
menyusun “tuduhan” terhadap kami. Sampai saya (dan Sukarni) dikeluarkan pada
tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka “tuduhan” itu belum
lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.
Bisikan gelap, yang tidak
bosan-bosannya menyemburkan racunnya semenjak Persatuan Perjuangan, bahkan
sudah semenjak lahirnya Tan Malaka Palsu (tahun 1936) karena pembebasan kami
dari tahanan, maka selama 2½ (yang sudah nyata tak beralasan sesuatu
pelanggaran hukum itu!), meniup-niup racun baru di sekitar kami dengan
bisikan-bisikan bahwa kami dibebaskan buat mengimbangi PKI Muso.
Seolah-olah kami tidak tahu akan
kekuatan dan kelemahannya Musso semenjak tahun 1926! Dari mula berdirinya
“Pemerintah P.K.I Muso” di Madiun sampai bubarnya setelah 12 hari berdirinya,
kami sudah melihat beberapa kelemahan PKI Muso dalam pelbagai syarat: (1)
syarat untuk teman politik (Amir, Setiajid, Maruto cs!). (2) Syarat Ekonomi
(Madiun adalah daerah Minus!). (3) Syarat Sosial (Madiun adalah 99% kota
Borjuis tengah dan kecil) (4) Syarat Strategis (Madiun terbuka terhadap semua
penjuru). (5) Syarat kepartaian (Peleburan PKI, PBI dan Partai Sosialis belum
lagi dijalankan), apalagi dikonsolidasi! (6) Syarat psykologis moment (7) dan
lain-lain syarat....”Putch” Madiun adalah ulangan “Putch” Prambanan yang pada
tahun 1926 untunglah tak dapat dilakukan menurut rencana bermula. Cuma kekuatan
yang tersedia dan tersembunyi pada waktu PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun
pada tanggal 18 September 1948 di Madiun pada tanggal 18 September 1948 ini
adalah 1001 kali lebih besar dari pada yang tersedia pada tahun 1926.
Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu
adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukkan kekuatan kepada Belanda, maka
segala daya upaya akan kami bantu, walaupun bantuan itu tidak diminta kepada
kami, bahkan meskipun seandainya ditolak. Dalam hal ini tak perlulah rasanya
kami dikeluarkan dari penjara untuk membantunya. Sendirinya kami akan mendapat jalan.
Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan kepada Pemerintah Republik yang ada
sekarang pertama sekali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela
kekuasaannya. Tak bisa dua kekuasaan tertinggi (authority) dalam satu negara.
Rakyat harus tahu, mana pemerintah yang harus diikutinya. Berhubung dengan
inilah, maka pemerintah yang adalah, yang pertama berkewajiban membela
kekuasaannya, walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.
Memangnya mereka yang mendesak
kepada kami, supaya menentukan sikap terhadap “Pemerintah FDR-PKI pada hari
pertama, (sudah tentu dengan maksud yang baik). Tetapi dengan tegas kami tolak.
Kami dikeluarkan, karena Pengadilan Negeri Surakarta, “tidak mendapatkan alasan untuk memajukan kami ke
depan pengadilan”.
Kami merasa tidak pada tempatnya dan
waktunya, apabila kami ketika masih berada di dalam penjara diserang
berturut-turut oleh Alimin dan Muso. Kami merasa tidak jujur-konsekuen, kalau
Muso yang sedang terlibat dalam “Pemerintah FDR-PKI-nya” akan kami serang pula.
Apakah pula lagi, kalau kami membiarkan diri kami (yang tentulah pula
akan-nyeret teman dan anak seperjuangan kami!) dipakai sebagai Alat
Pemukul PKI Muso oleh Pemerintah ini,
yang 2½ tahun lamanya menyebabkan dan
membiarkan kami meringkuk dalam bermacam-macam penjara.
Garis politik kami cukup jelas buat
kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir tiga tahun ini.
apabila kami dalam keadaan sunyi terasing serta sering dalam bahaya dan dilingkungi oleh beberapa kawan
seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula, masakan kami sesudah
mendapatkan persetujuan dan kawan dari pelbagai pihak akan meninggalkan garis
politik, yang sudah mengalami ujian itu. untuk melanjutkan perjuangan kami di
atas garis itu tidaklah perlu kami berjual beli dalam hal politik dan moral.
Yogyakarta, Oktober 1948
TAN MALAKA
PANDANGAN HIDUP
(Weltanschauung)
1. MANUSIA
MONYET
Puluhan ribu tahun lampau, dikala yang sudah gelap
gulita bagi peringatan kita sekarang, di masa mungkin Kepulauan Indonesia masih
bersatu antara yang sebuah dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia,
bahkan mungkin juga dengan Australia, terjelmalah di sini, menurut ahli, dekat
desa Trinil, suatu mahluk setengah hewan, setengah manusia, yang oleh ilmu
dinamai Pithecantropus erectus, manusia monyet.
Lain tempat pun di muka bumi ini, seperti di Tiongkok
Utara, di Afrika Selatan serta di Eropa Selatan dan Tengah, terdapatlah mahluk
yang semacam itu pula.
Semenjak Charles Darwin, maka banyak sekali para ahli
ilmu biologi mendapatkan pemandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan
dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selamanya ini tentang asal-usul dan
hari akhirnya manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti,
kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara juta-jutaan
bintang di alam raya kita ini, di Universos kita ini.
2. INDONESIA
SEDERHANA
Kembali kita kepada alam kita ke Indonesia tadi serta
kembali kita memperamati mahluk penduduknya! Maka kinipun Indonesia masih dapat
mempersaksikan manusia pada tingkat yang sederhana-rendahnya, yang berada di
antara hewan yang paling tinggi derajatny, seperti orang hutan, dengan pelbagai
penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yng masih berkeliaran di hutan rimba
Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan
Kalimantan seperti banyak orang Papua di hutan dan gunung Pulau Papua masih
bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya dari alam sekitarnya. Mereka belum
lagi terpaksa mengerahkan otak dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau
berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau
memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau manusia buas
yang lainnya. Buah kayu berlainan tempat dan berlainan musim, binatang liar dan
ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidupnya mereka. Kulit dan
daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan,
ranting dan daun kayu dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula
untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran yang diatas yang memangnya lebih kurang masih
terdapat beberapa bagian di Kepulauan Indonesia ini, saya majukan, untuk
memberi penjelasan, betapa rapat dan tempatnya perhubungan alam dengan manusia.
Alam Indonesia yang kaya raya ini tiadalah mendorong manusianya membanting
tulang serta memutar otak terus menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian
serta memperoleh senjata dan perlindungan buat membela diri terhadap mahluk
yang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan memang belum lagi memaksa, maka
tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya.
Tetapi di mana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, maka di sana
tenaga dan otak penduduk Indonesia pula menunjukkan kesanggupan penuh terhadap
segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan
masyrakat yang berubah itu.
Sungguh besar perbedaan alam-jiwanya seorang Indonesia
asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak dan Papua seperti tergambar di atas
tadi dengan alam – jiwanya seorang Indonesia desa atau kota seperti: tani,
buruh, dokter, insinyur atau jurist. Tetapi dengan tiada sangsi, dan bukan pula
dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan, bahwa seorang Dayak
atau Papua pun, jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai
mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan
kota. Perbedaan orang Indonesia beradab dengan sederhana (primitive) bukanlah
disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan
disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan perkataan lain,
disebabkan oleh kodrat pendorong.
3. ANIMISME
Rupanya perbedaan alam sekitar itulah yang menjadi
alat adanya perbedaan pandang hidup, Weltanschauung Indonesia beradab dengan
Indonesia sederhana itu. Buat menginsafkan hal ini, maka baiklah kita sekejap
mengandaikan kita sendiri berada ditengah-tengah hutan rimba Sumatera,
Kalimantan atau Papua. Buat penduduk kota, ataupun buat hampir semuanya
penduduk Pulau Jawa, agak susah menginsafkan betapakah dahsyatnya suasana hutan
rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon kayu yang besar tinggi menyolok ke angkasa;
cuaca yang selalu gelap gulia karena sang matahari tak sanggup menembus dinding
daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan
kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan binatang buas
atau berbisa, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya,
semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, sebagai manusia,
menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam itu.
Bagi manusia yang bermula berpikir, yang bermula
sekali mencerminkan alam luar yaitu kepada alam dalamnya, kepada jiwanya, cocok
benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya itu disebabkan oleh jiwa
yang berada di alam luar, yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran
orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa ditekan
oleh jiwa pula, seperti pohon kecil cuma bisa dipatahkan
karena ditimpa oleh pohon besar.
Demikianlah dimatanya orang sederhana itu semua benda
yang dahsyat disekitarnya mengandung jiwa
seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang – dahsyat; air mancur yang
bergemuruh; binantang buas yang berbahaya bahkan batu dan kayupun dianggapnya
berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti thesis antara buruk dan baik, yang
terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum begitu terpisah dalam
pandangannya. Orang sederhana memuja bukan yng baik saja, tetapi juga yang jahat.
Mereka memberikan korban kepada keduanya yang baik dan buruk. Hantu yang jahat
tiada kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang
baik, ialah hantu kawanannya manusia. Tentulah di mana alam sangat dahsyat
disanalah hantu jahat, harimau, raja hutan, atau sang Buaya lebih mendapat
perhatian daripada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu,
pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan
paham, yang oleh para ahli dinamai kepercayaan Animisme. Semuanya yang ada di
alam ini dianggap berjiwa, bernyawa.
Dalam perkenaan manusia sederhana, bangsa kita tadi
dengan alamnya di mana manusia itu berlaku semata-mata passive, menerima,
bahkan menderita ketakutan saja, di masa ini pun berlakulah hukum Dialektika,
yakni perubahan bilangan, sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quality into quality). Dalam pencaharian
hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan
menderita bermacam-macam penyakit, maka lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah
segala korban dan pujaan kepada salah satu yang paling ditakuti diantara banyak
yang ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air atau hantu
pemburu, akhirnya jatuhlah maha pujaan kepada maha hantu,yang paling
dipentingkan cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Di mana
pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang
sangat dipuja. Disinilah hantu pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai
maha hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam sekitar
sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih daripada
yang jahat. Kabarnya konon, adalah satu suku bangsa Papua yang menganggap pohon
aren (enau), sebagai Tuhan dalam arti Maha Dewa. Bukanlah pula pohon aren,
diantara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang tersebut
di atas memberikan segala-gala yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu aren
adalah makanan yang sehat dan mengandung kekuatan. Ijuknya (aren) boleh dipakai
buat atap rumah. Rujungnya aren boleh pula dipakai sebagai tombak menangkap
ikan dan pembela diri terhadap musuh.
Seorang Papua asli Cuma membutuhkan tujuh pohon aren
yang berumur berturutan dari 1 sampai 7 tahun. Tebanglah pohon yang ketujuh,
yang berumur 7 tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya.
Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seseorang anggota, ialah memotong sepohon
sagu sekali setahun dan menanam sepohon sagu sekali setahun. Selain itu dia
boleh memancing atau berburu, berkelahi atau suka ria. Dalam pergaulan semacam
itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pembikin segala-galanya dan berkuasa dalam
segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Papua. Sederhana, Dewi Sagu
disanjung dengan segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada
mahluk manusia disekelilingnya.
4.
KEPERCAYAAN INDIA
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini
juga, dan kemasyarakatan lain pula, ke India! Salah satu kesimpulan, yang kita
peroleh setelah membaca buku suci Mahabarata, Ramayana dan Upanishad, dan
tulisan tentang hidupnya Gautama Budha dan agama Budha, ialah bahwa pertama
sekali India mempunyai penduduk asli dan penduduk yang terdiri dari
bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari
Timur atau Selatan.
Kedua, bahwa masyarakat India di masa semua buku
tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas penghasilan yang dibuat dari
logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari
Komunis Asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa Raja dan Maharaja,
sedangkan aturan desanya berdasarkan Komunisme Asli.
Keempat, dan inilah yang perlu diperhatikan di sini,
bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan
masyarakat di masa itu, buat mereka yang berpedoman Dialektisme Idealistis.
Memangnya dalam kitab suci itu sukar diperoleh Historicals Facts (kejadian sejarah) dan
sukar pula didapat consistency, ialah persamaan dasar antara bagian dengan
bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sence. Malah tarich-pun
ialah salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil
akan didapat.
Maksud kita disini tiada pula akan mengambil sesuatu
kesimpulan secara pasti dari buku suci yang tiada berdasarkan Historical Facts itu. Cuma sekedar
menimbulkan bayangan sebagai sesuatu petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubung dengan dongeng Ramayana, maka sendirinya
timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet-putih Hanoman itu benar
sesuatu penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tidak lebih tepat
Hanoman, Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, ialah bangsa Kaukasia
juga, yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula, bahwa perkataan monyet itu cuma suatu ejekan dari bangsa India Asli, yang berwarna
hitam, seperti bangsa Keling? Kitapun di Indonesia ini mengenal ejekan itu
terhadap orang Asing Putih penjajah ialah Kebo
Bule-Siwer Matane.
Bagaimanapun juga, bagi saya dongeng moyet putih itu
adalah suatu pentunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi
pegangan yang sedikit tegap, yang kita peroleh dari dongengan monyet itu, ialah
bahwa India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli ataupun yang
masuk menyerbu.
Mungkin sekali pula perbedaan kasta, yang belum pasti
berbentuk dalam Kitab Suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi lebih kurang
3.000 kasta pokok, cabang dan ranting di masa imperialisme Inggris, perbedaan
kasta itu pada permukaannya bersandar kepada perbedaan bangsa.
Yang tidak kurang pula memberi suggesti kepada saya,
ialah adanya Trimurti, adanya Tiga Maha Dewa Hindu, ialah Whisnu, Shiwa dan
Brahma, Pembangun, Perusak dan Pemelihara. Banyak orang yang melihat
pelaksanaan Dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memangnya pula banyak
ahli Dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas Dialektika, walaupun
Dialektika Idealisme, bukan Dialektika Materialisme, meskipun Hegel menganggap
Dialektika Hindu itu kekurangan perkenaan antara satu faktor dengan faktor yang
lain, ialah antara thesis dan anti thesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari Maha Dewa Pembangun, Perusak
dan Pemelihara, itu adalah cocok sekali dengan pemandangan hidup yang menyelami
proses dalam segala yang ada baik lahir maupun batin. Tiada sukar membelokkan
proses tersebut kepada Trimurti-nya Hegel, ialah thesis, anti-thesis dan
synthesis. Cuma buat Hegel, seorang profesor dalam ilmu filsafat, proses itu
berlaku di dalam otak manusia. Sedangkan buat orang Hindu Trimurti itu adalah
Maha Dewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita ini termasuk juga hidup dan
matinya manusia.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang
mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur
satu sama lainnya akhirnya mendapatkan Tiga Maharaja ataupun satu Maharaja yang
terutama.
Terhadap Tiga Mahadewa itupun ada tingkat kekuasaan
dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya, yang berbeda
dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Demikianlah di Hindustanlah sendiri
pada satu waktu atau satu tempatlah Whisnulah yang dipuja. Pada lain waktu dan
lain tempat Shiwa atau Brahma-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai Dewa dan Maha Dewanya Hindu di
dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai Raja dan Maharaja di dunia
lahir, ialah dunia politik, tetapi pula mendapatkan penyesuaian penuh pada
dunia sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarakat Hindu itu berpuncak pula
pada Tiga Kasta Pokok, ialah Kasta Brahma, Kasta Satria dan Kasta Waisa, atau
Kasta Pendeta, Kasta Ningrat dan Kasta Saudagar. Semua kasta berpuncak pada
Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan
kemajuan, maka menurut hukum Karma dan Reincarnatie,
seseorang harus melalui Kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat.
Dalam hal itu seorang anggota Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam
Surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria mendengarkan bacaan Kitab Suci-pun
didunia fana inipun tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme
Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan kasta yang tidak
boleh bercampur gaul dengan satu dan lainnya. Lama sebelum Nabi Isa-pun rupanya
perpisahan masyarakat Hindia dalam beberapa Kasta itu sesudah menggelisahkan
para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung peri kemanusiaan. Reaksi
terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari Raja Kapilawastu. Gautama
Budha membantah keras pembagian manusia didalam beberapa kasta itu dan
mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahma sajalah yang dapat memasuki Nirwana
sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan
sungguh-sungguh.
Proses mendemokratisirkan masyarakat Hindu yang mulai
pada lebih kurang 500 tahun sebelum Nabi Isa itu berakhir dengan kemenangan
agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, ialah dibawah
pemerintahannya Adji Soko.
Tetapi aksi yang dilakukan oleh Gautama Budha beserta
para pengikutnya, yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya tahun 500 itu
diikuti oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh
dan sampai sekarang Hinduisme masih bermerajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke 14 maka masuklah dari jurusan Utara,
agama baru, yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat
Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik
dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelumnya
imperialisme Eropa memasuki India, maka orang Islamlah yang menjadi Maharaja di
Hindustan.
5. INDONESIA
– INDIA
Gerakan pandangan hidup di India seperti ditinjau
selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini.
Disinipun kita mengenal beradanya diberlainan tempat
dan diberlainan waktu Trimurti, Mahadewa Brahma, Whisnu dan Shiwa. Kita pun
mengenal perkembangan dan penguasaan Agama Budha. Akhirnya Indonesiapun
mengalami pengembangan dan penguasaan agama Islam.
Dengan mengembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di
Indonesia setahun demi setahun, maka mengembang dan berkuasalah pula bangsa
Hindu (di belakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa
Indonesia asli. Dengan begitu mengembang dan berkuasalah pula agama Hindu dan
Arab itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu, pada puncak kekuatan masing-masing
agama Hindu atau Arab-pun maka kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang
timbul dari alam Indonesia sendiri, ialah animisme, tak pernah dapat
dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarangpun
para hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air mancur yang
terus menerus menuangkan airnya itu, masih menekan jiwa seseorang Indonesia
yang menghampirinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu
itu adalah sesuai dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian
bangsa Indonesia di zaman tersebu. Perdagangan dan Perusahaan Asing walaupun
mengembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia belumlah pernah bangsa
Indonesia dari tangannya. Tegasnya, sawah ladang serta hutan, sungai dan
lautan, ringkasnya tanah air dan udara masih tetap berada di dalam genggaman
bangsa Indonesia asli.
Dengan demikian maka masih terjamin bagi bangsa Indonesia
asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah
lampau.
Mata pencaharian yang masih erat dalam genggamannya,
tanah, air dan udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga
hebatnya pemerasan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu,
masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhanan sekali. Demikianlah pula
cocok dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya
berebut-rebutan dan bunuh-membunuh untuk mendapatkan nafkah, maka para arca
dari bermacam-macam Maha Dewa pun bisa duduk berdampingan dalam satu gedung
berhala. Berbeda dengan keadaan di negeri asalnya sendiri maka di
Jawa-Surga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan
Arca Pembangun, Whisnu, sambil bersenyum-senyum.
6. DISEKITAR
NABI MUSA
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah
Sungai Nil di Mesir, ketika di bawah perintahnya Maharaja Firaun. Di sekitar
bagian bumi disanalah kita mendapatkan bukti. Sejarah yang banyak sekali dan
paling tua sekali diantara sekalian bukti sejarah yang sudah diperoleh di
bagian bumi manapun juga.
Egypte Mesir, di zaman ribuan tahun lampau itu mengenal
bermacam-macam Dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, ialah Dewa
Mataharilah yang mendapatkan kehormatan dan pujian sebagai Maha Dewa. Maka
menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rahlah yang memfirmankan,
bumi, langit, sungai Nil, dan gurun pasir, beserta hewan dan manusia. Semuanya itu berbentuk sekaligus
dengan mengucapkan sepatah kata saja, yaitu “Ptah”. Jadi berlainan dengan
pemandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu
kala itu dunia dengan isinya ini menjelma kurang sekejap mata lamanya dari
dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikianlah pengertian Maha Kuasa yang sanggup
menciptakan yang ada, atau benda dari yang tak ada atau kosong, sudah tersebar
pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Maha Kuasa inipun sudah termasuk ke dalam
kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Firaun itu berada sebagai bangsa
budak yang terhina, berhijrah di Kerajaan Firaun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan,
penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing ditengah-tengah bangsa Mesir
asli itu, maka pada suatu waktu bangsa Yahudi memutuskan hendak pindah ke
“tanah susu dan madu”,yang menurut kepercayaan Yahudi sudah dijanjikan oleh
Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang
dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah rebutan
antara Yahudi dan Arab itu.
Buat suatu bangsa budak, yang hidupnya bergembala
dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, makna satu daerah bumi,
di mana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan
kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang
sangat besar.
Seseorang yang memimpin pemindahan ke Palestina itu
yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang
dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar
oleh tentara Maharaja Firaun yang bersenjata lengkap patutlah dinamai seorang
pemimpin dalam arti kata yang sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan
terpaksa kembali ke bawah penindasan Firaun, kalau pemimpinnya bukan seorang
pemimpin, seperti Nabi Musa. Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi
pelbagai bahaya yang oleh orang biasa akan dianggap sesuatu yang mustahil akan
dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang
tua, muda, bayi, laki-perempuan, sehat dan senang yang sering bercekcok satu
sama lainnnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang
sebagiannya terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah
kepada Maharaja Firaun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar dibelakang,
dalam keadaan sedemikian Cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001
tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifat manusia
serta keadaan alam disekitarnya, yang dikandung oleh Nabi Musa; pandangan tepat
tentang kejadian yang mungkin berlaku di hari depan; kebijaksanaan, kesabaran
dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai
umur, pelbagai pengalaman dan idaman; serta akhirnya, tetapi tiada kurang
artinya kepercayaan yang tiada dapat dilunturkan oleh bahaya maut pun atas
pertolongan yang sudah “dijanjikan oleh Jehovah, Yang Maha Kuasa kepada
leluhurnya bangsa Yahudi” dalam waktu menuju ke “Tanah susu dan madu’ yang
dijanjikan itu, yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi semua kesulitan,
dan membawa bangsanya ke tempat dan zaman bahagia, dengan tiada berkompromis
sedikitpun dengan musuhnya yang 1001 kali pula lebih kuat.
Pemimpin yang Maha Ulung dari satu orang yang
mempunyai cuma satu tujuan dan satu tekad, bilamana
menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesukaran dan bahaya sering
sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha Esa itu, pimpinan satu orang, yang
berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke
zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan
kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di
zaman itu benar-benar “the proof of the
pudding is in the eating” (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti
setelah dimakan!)
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atas
beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala guna mengenal beberapa Dewa, menurut
Sukunya, maka sempurna jayalah kepercayaan MONOTHEISME, percaya kepada ke-Esaan
Tuhan diantara semua Suku Bangsa Yahudi.
7. DISEKITAR
NABI ISA
Inconsistency, keputusan – logika, pertentangan bagian dengan
bagian, pertentangan dalam hal tarich, pertentangan kejadian dengan hukum alam
dan common sense, yang didapati oleh
para ahli dan saya sendiri dalam kedua Kitab Suci, ialah Kitab Injil Tua dan
Kitab Injil Baru, tiadalah menjadikan pusat perhatian saya disini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan dalam
teknik dan ilmu bukti di masa Nabi Isa itu, maka semua kegaiban alam dan
kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab Suci sudah pada tempat dan
waktunya.
Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah Moral
(kesusilaan) dan Ketuhanan yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
Pertentangan arti dalam hal Susila dan Ketuhanan; yang
say rasa terdapat dalam Kitab Suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran
kita, kalau kita berpendirian seperti beberapa para ahli, bahwa Kitab Suci
tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah
diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelumnya Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari Agama
Kristen, yang bunyinya: “Kalau pipi kirimu dipukul orang, kasihkan pipi kananmu
kepadanya biar dipukul pula”, dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi: “Saya tidak
datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”. Itu dalam hal kesusilaan.
Dalam hal ke-Tuhanan bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha Esa, yang
diutamakan dalam Injil Lama dan oleh Nabi seperti kita bentangkan di atas
dengan Trinitynya, dengan Trimurtinya, karena
Katolik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh
Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau
diseluk-belukkan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, maka kuranglah pula
penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak
Tuhan. Buat saya sudah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh Agama Kristen
dan Ideal Keluhuran Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa.
Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli penyelidik, yang mendapatkan
kesimpulan, bahwa di masa bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka
bangkitlah seorang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan
berterang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum Pendeta (Rabbi) Yahudi,
yang menjadi Kaki-Tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin Pemberontak
dari Galilea itu menamai dirinya Raja Yahudi, Mahdi; Yesus Nazarethnus Rex Jodeum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah
semua pertentangan didalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih
sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat
hidupnya di masa itu dan memang bersemangat memberontak, terutama di daerah
Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan, menganjurkan sikap “pipi
kiri dipukul, berikanlah pipi kanan”, maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi
sesama Murba. Terhadap kaum Pendeta, dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap
menentang, ialah kalau perlu dengan senjata ditangan menghancur leburkan kaum
Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki-tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasionil tentang dua
susila yang berupa pertentangan itu. Salah satunya dikatakan, bahwa kaum Murba
Yahudi di masa itu tiada berdaya menghadapi serdadu Romawi dan tiada berdaya
pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan
Murba Yahudi. Jadi menurut tafsiran itu sikap passive, sikap menerima yang
dianjurkan oleh Nabi Isa itu berasal dari perasaan tiada berdaya menghadapi
kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki tangannya, “inlander-alatnya” kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang dibelakang ini memang mengandung alasan tetapi kurang
sempurna. Bangsa Yahudi terutama kaum Murbanya, di beberapa kota seperti di
Yerusalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asalnya Nabi Isa
sendiri, jauh daripada passive, menerima, pemberontakan, besar dan kecil untuk
melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki-tangannya acap
kali terjadi. Jadi cocok pula dengan sikap Nabi Isa sendiri ketika berhadapan
dengan para Rabbi, para inlanders alat itu, seperti tersebut di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak
perbedaan Tuhannya Nabi Isa dengan Tuhannya Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa
itu tetap Maha Esa. Filsafat Ketuhanan, bahwa 1 + 1 + 1 = 1 itu timbul dan
tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan
duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3 = 1 itu. Dibelakang harinya di
masa revolusi Perancis banyak pula anasir masyrakat ini yang menumbangkan
filsafat 3 = 1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tiadalah menjadi soal
pokok.
8. DI
SEKITAR NABI MUHAMMAD
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun
lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1 = 1 itu. Bersamaan dengan itu
kembalilah pula sosial yang bisa, yang praktis bagi masyarakat manusia, yakni
yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya. Dan dimaafkan seseorang
bersalah yang mengakui kesalahanny dan mengubah tingkah lakunya di hari depan
dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah
seorang Arab dari suku Quraish. Karena bangsa Arab dan bangsa Yahudi tiada
berapa bedanya menurut Ilmu Kebangsaan, dan keduanya bangsa itu disebutkan
bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga Nabi besar itu yakni Nabi Musa, Nabi Isa
dan Nabi Muhammad itu sebangsa dan seturunan pula. Dalam Kitab Injil sendiri
disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun-temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan mata kita ke seluruh muka bumi
yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita
Cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi , malaise, mandegnya,
tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan
Utara, di Afrika Utara dan di Asia Barat sedang menderita keruntuhan sebagai
akibatnya desakan dan serangan pelbagai bangsa Germania dari Utara. Romawi
Timur hanya dapat melayani bangsa muda perkasa (Bulgaria dll), yang menyerbu
kedalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan
anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan Romawi Timur hanya sanggup
memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi Almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain. Negara
bekas-berkuasa disekitarnya Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan
tumbuh-tidak, mati tidak.
Sedangkan Semenanjung Arabia, yang mungkin sudah
mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah
mencapai kemakmuran karena perdagangan dengan negara luar; dengan perantaraan
para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada Kafilah yang kuat
bersenjata tersusun sebagai laskar! Teristimewa pula, belum pernah Semenanjung
Arabia menderita penindasan dari bangsa Asing! Dengan demikian, maka bangsa
Arab masih bersemangat tegak, gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri
sendiri.
Cuma suku dan suku masih bertentangan dan perang
memerangi. Sejajar dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan
pun belumlah lagi bersatu, melainkan pecah belah dalam pelbagai kepercayaan,
yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliah yang
tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai synthesis
dari pertentangan pelbagai ideologi sebagai synthesis dari pertentangan
pelbagai ideologi yang ada di masa itu; inilah usaha yang pertama sekali dan
terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa,
Politik, Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan.
Persatuan tidak terdapat pada satu Maha-Patung,
diantara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu,
melainkan pada ke-Esa-an Tuhan dan Ke-Mahakuasaa-an Tuhan itu, yang tiada lagi
takluk pada tempat dan waktu, seperti patung manapun juga, yang dibikin oleh
tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf tidaklah berarti buta kecerdasan, buta
keberanian, ataupun buta kejujuran.
Sebaliknya pula, University pun tidaklah menjamin
keberania, keuletan, kejujuran.
Kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari
depan dan mengambil sesuatu keputusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness). Sungguh banyak
kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia: “Jauh berjalan dilihat. Lama
hidup banyak yang dirasakan.”
Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah
ke negara di sekitar Arabia, bersama-sama dengan Kafilah memberikan semua
pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga
dan nabi di hari depan, bilamana Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan
membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otaknya pemuda
Muhamad bin Abdullah itu dapat dipenuhi oleh masyarakat disekitar Arabia, yang
sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat
memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab
semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya. Bumi
dan langit Semenanjung Arabia, yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh
seseorang yang memperamatinya dan menyempurnakan pengetahuan yang diproleh
dengan percakapan dalam pulang pergi ke Mekah ke luar Negeri itu. Pengalaman
yang diperoleh ketika mengikuti Kafilah, yang acapkali menghadapi pelbagai
musuh, mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa pemuda
Muhammad bin Abdullah.
Terlatih dan tergembleng dalam “University of Life” itu, maka apabila Semenanjung Arabia
membutuhkan persatuan dalam segala-gala, maka tampillah Muhammad bin Abdullah
ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandist, korban
propaganda, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Waktu dan tempat amat sesuai dengan ke-Esa-an dan
ke-Mahakuasa-an pada permulaan abad ketujuh itu!
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan
kesatuan dalam Pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas
pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku, ialah kaum Muslimin, yang berdiri di
atas segala bangsa di dunia. Semuanya keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Maha Kuasa, yang menguasai
sekalian alam dengan manusia, bidadari dan malaikatny.
Semangat Islam yakni semangat menyerah kepada Kodrat
Tuhan, sangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai
Pusat, Jiwa dan Filsafat serta prakteknya sesuatu kepercayaan, memangnya belum lagi dikenal
dalam sejarahnya manusia. Agama baru, yang bertentangan dengan kepercayaan
pelbagai suku di Arabia itu, tidaklah akan dibatalkan atau disembunyikan oleh
Nabi Muhammad. Apabila pada suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam
suatu rapat, supaya propaganda Islam itu diperhentikan saja, karena sangat
menimbulkan persengketaan, dan sangat mengancam jiwanya Nabi Muhammad sendiri,
maka Nabi Muhammad menjawab: bahwa, “walaupun matahari di kiri dan bulan di
kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tidak akan diindahkan.”
Syahdan, maka dengan semangat bersatu padu diantara
kaum Muslimin, yang kian hari kian bertambah banyak anggotanya; dengan semangat
bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa; dengan kepercayaan
Kafir Jahiliah, maka di bawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya, setelah lebih
kurang duapuluh tahun berlakunya propaganda, persiapan dan pertempuran sengit
berulang-ulang maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kokoh-kuat diantara semua suku
Arab, dengan semangat menyerah, Islam, zonder
perjanjian kepada takdirnya Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder
mengenal damai terhadap Negara dan Rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh
keuntungan lahir dan batin, maka dalam lebih kurang 100 tahun bangsa Arab dapat
menguasai hampir seluruh kelilingnya Lautan Tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang
diberikan oleh Dunia Kristen kepada Arab Islam, di zaman Tengah, dan
sekarangpun, maka jasa Arab Islam tentang filsafat dan Ilmu Bukti, sesungguhnya
belum mendapat nilai yang patut!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle, edaran Dialektika! Dengan Nabi
Musa majulah ke depan, filsafat ketuhanan 1 = 1 sebagai thesis. Setelah Nabi
Isa maka timbullah tentang 3 = 1, sebagai antithesis. Dengan Nabi Muhammad
terbentuklah kembali filsafat 1 = 1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya
daripada yang semula.
Sedikit saja, filsafat ketuhanan Islam, yang tercantum
dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu, menoleh ke dunia
Lama, ialah masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapat bahan serta
petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali Filsafat Yunani
yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan Kerajaan Romawi, Filsafat Islam
dapat memisahkan padi yang berisi daripada hampa, menanam yang berisi sampai
tumbuh dengan suburnya di zaman Tengah.
Dengan demikian, sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakangan masyarakat Islam
yang jaya-mulya-makmur di Spanyol, Mesir dan Baghdad dan kembali sebentar
menoleh ke masyarakat Yunani Asli.
9. YUNANI
ASLI
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan
Yunani asli, masih dianggap kebudayaan ibu. Plato, sebagai ahli filsafat masih
menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafatnya Heraclit masih dianggap
uratnya Materialisme dan Dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang oleh
pelbagai ahli bukti (scientist)
modern. Demikianlah, bermacam cabang kebudayaan modern dapat mencari uratnya
pada kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli
itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada para mahasiswa yang harus
menyelami segala ilmu modern itu lebih dalam, sampai ke uratnya.
10. AGAMA,
FILSAFAT DAN ILMU BUKTI
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kita kepada
dunia Barat ialah Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis
pokok kebudayaan yang terbentang semenjak lebih kung 2.500 tahun sejarahnya.
Dunia Barat itu, ialah dari lebih kurang tahun 500 sebelum Nabi Isa sampai
sekarang; tiga garis pokok itu, ialah garis Agama, garis filsafat dan garis
ilmu (bukti). Semua cabang kebudayaan yang lain-lain termasuk ke dalam atau
bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia Barat
yang 2.500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan kemunduran dan
pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 sebelum Isa
sampai tahun 1.500 sesudah Isa, keagamaanlah yang memperoleh nilai dan
kedudukan yang tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat Cuma mengabdi kepada
keagamaan serta ilmu bukti boleh dianggap pelengah otak dan pikiran belaka.
Waktu yang selama itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan zaman Tengah, yang
dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarakat Nasrani. Pada zaman Yunani dan
Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam pimpinan masyrakat
dan politik. Tetapi pada zaman tengah, terutama di bagian permulaannya, maka
kaum alim ulama dan pendetalah yang terutama memegang pimpinan masyarakat dan
negara.
Boleh dikatakan pula, bahwa dalam garis besarnya maka
dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan
kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah
keagamaan terdesak ke belakang. Bahkan pada masa revolusi Perancis keagamaan
itu mendapat tantangan sekeras-kerasnya seperti belum pernah dialaminya.
Sedangkan ilmu bukti makin mendesak ke muka dan sudah
menjadi sandaran yang terutama bagi ilmu filsafat. Pada waktu ini, maka
bukanlah lagi kaum Pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara,
melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu bukti, ilmu
nyata.
Akhirnya dari lebih kurang tahun 1.850 sampai sekarang,
jadi semenjak lebih kurang 100 tahun ini, maka ilmu bukti (science) lah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi di
dalam masyarakat dan negara Eropa dan Amerika modern itu. Ke-agamaan yang di
masa revolusi Perancis itu mendapat tantangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun
kembali, tetapi sekali-kali tidak mendapatkan nilai dan kedudukan seperti
sebelumnya revolusi Perancis itu. Pada pertengahan abad ke-19 itu ilmu filsafat
dalam arti aslinya sudah mulai turun dari Singgasananya seperti terdapat di
zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, ialah filsafat Materialisme
Dialektika, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan: hari akhirnya filsafat. Semenjak itu ilmu
masyarakatpun sudah didasarkan atas hukumnya ilmu bukti. Dan ilmu bukti dari
pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai dan kedudukan yang
tertinggi sampai sekarang. Benar juga kaum ahli bukti itu sendiri masih memakai
perkataan filsafat, tetapi artinya sudah berlainan daripada yang semula.
Artinya sekarang, yang terutama ialah “weaving
up general principles” (penyusunan dasar besar), seperti salah seorang ahli
ilmu bukti yang besar, mengatakannya.
Jelaslah rasanya, bahwa dalam tiga zaman, yang kita
kemukakan buat Dunia Barat, seperti tersebut di atas saling beralihan nilai dan
kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayaan itu: keagamaan,
filsfafat dan ilmu bukti.
Adapun perselisihan ketiga garis pokok yang sebaring
pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para pemimpin masyarakat dan
negara (sosial-political-regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang
berdasarkan teknik yang ada.
11.
PERALIHAN SISTEM PRODUKSI
Di masa Pendeta dan Ningrat memegang tampuk pimpinan
masyarakat dan negara, baik di Yunani, Romawi ataupun di Eropa Barat di masa
zaman Tengah, yakni dari tahun lebih kurang 500 sebelum Isa sampai tahun 1500
setelah Isa, maka produksi itu dijalankan oleh tenaga budak belian (seperti di
Yunani dan Romawi) serta oleh budak serf seperti di zaman Tengah di Eropa
Barat. Pesawat (teknik) nya di zaman Tengah ialah kincir angin atau air.
Di masa Ningrat dan ahli filsafat memegang tampuk
pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat, yakni kasarnya dari tahun 1.500
sampai tahun 1.850 itu, maka produksi sudah lebih dipusatkan pada manufakturen
dan pada permulaan pemakaian pabrik yang dijalankan oleh uap.
Akhirnya di masa Borjuis (yang dibantu atau ditentang
oleh kaum sosialis); di masa Borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan
negara di Eropa Barat dan Amerika, yakni kasarnya dari tahun 1.850 sampai
sekarang (1948), maka produksi sudah dikuasai oleh Finance Capital (Modal Bank) dan monopoli. Dasar teknik maju dari
kodrat uap, sampai ke kodrat listrik, minyak dan sekarang kodrat atom.
12. SOAL
AGAMA
Adapun soal agama, kita semuanya lebih kurang sudah
mengetahuinya.soal itu berpusat kepada: Dari mana asalnya dan bagaimana
akhirnya bumi, bintang, langit pendeknya alam raya ini? Dari mana asal dan
bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ke-Tuhanan ialah agama Yahudi, Nasrani,
dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada Kodrat Tuhan. Alam raya
itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia adalah
ciptaan Tuhan.nasibnya manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan.
Nasibnya itu dipertimbangkan pula bersama amal dan ibadatnya. Amal dan
ibadatnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah upah
atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadat dan bernasib akan
diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan
dimasukkan ke dalam neraka. Ringkas ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal
dan akhir manusia itu, tetapi menetapkan pula jalan buat mendapatkan surga dan
menghindarkan neraka. Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang
awal dan akhir manusia itu. Gautama Budha mengemukakan lima jalan buat
mendapatkan surga. Dan lebih dari tiga agama tersebut di atas, maka agama Budha
lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab sendiri dan
perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah
terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut
yang satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “Eine Privatsache”, dalam arti
kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika dan
matematika, maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan beberapa
sendi agama itu. Tetapi yang jelas bagi satu penganut agama belum tentu jelas
bagi penganut agama yang lain. Agama tinggal tetap kepercayaan bagi
masing-masing orang.
13. SOAL
FILSAFAT
Seperti soal keagamaan, maka soal filsafat juga banyak
tergantung kepada sudut memandang. Tetapi bagi kami sudut memandang yang bisa
berhasil memuaskan dan soal yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah
soal yang sudah dimajukan oleh Friedrich Engels pada abad yang lampau. Menurut
Engels, maka kaum ahli filsafat itu bisa dibagi atas dua golongan, yakni
golongan Materialist dan golongan Idealist. Di antara dua golongan besar itu
sebagai dua kutub bertentangan terdapatlah pelbagai golongan yang kalau dikupas
lebih mendalam sebenarnya termasuk ke dalam dua golongan Materialist dan
Idealist tadi juga. Kaum ahli filsafat
itu berpecah dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh
mereka atas filsafat, yang berbunyi: “Manakah yang asal (primus) dan manakah
yang turunan (derivative) diantara
benda (matter) dan idee (paham)? Di
alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang mengerakkan benda itu. Di dalam
jenis hewan soal itu berubah bertukar menjadi soal badan dan Nyawa –naluri. Di dala jenis
manusia, soal itu menjadi berubah bertukar menjadi soal jasmani dan rohani
pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan
atau nyawa, dan jasmani atau rohani?
14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIST
Kaum materialis menjawab, bahwa
benda dan jasmani itu yang asal, yang pokok: “tak ada kodrat zonder benda”!
“Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. “Syahdan sebelum manusia
itu ada di bumi, maka bumi dan bintang itu sudah ada...”...kata kaum filsafat
materialist.
Menurut kaum idealist, maka idee,
kodrat dan rohani itulah yang asal (primus)
dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative).
Kata idealist extrimist, maka yang ada di alam raya ini cuma idee saja, ialah
idee, yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada
hubungannya dengan kekuasaan maha dewa rah, yang mengisi dunia kosong pada awal
dunia ini dengan bintang, bumi, langit, sungai, tumbuhan, hewan dan manusia
sekejap mata setelah kata ‘ptah’ difirmankan. Lihat Madilog.
Bagaimanapun juga perbedaan faham
itu, tetapi teranglah sudah, bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealist
kepada kaum materialist itu, bahwa kau materialist itu cuma memikirkan makan
minum serta keplesiran hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.
15. AHLI FILSAFAT YUNANI.
Bahwasanya setelah para ahli pikir
yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan berdasarkan ‘dogma’
semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, maka timbullah
pertanyaan di dalam pikirannya, yang kira-kira berbunyi: apakah yang pokok,
yang asal dari alam raya ini?
Kita mengenal juga jawab yang
diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, ialah tanah,
air, udara dan api. Terkurung di dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik
alam raya ini, serta terganggu oleh benda dan gerakan di luar pikirannya
sendiri, maka zeno, idialist yunani, mengambil kesimpulan: bahwa ‘gerakan benda
itu cuma impian panca indra manusia saja (ilusion
of the senses). Pemikir ulung Masyhur diantara bangsa yunani juga, ialah
plato, setelah memakai cara berpikir, yang memisahkan benda dengan kodrat,
serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan, bahwa yang asal
itu ialah ide mutlak/absolut idea. Dengan cara berpikir yang abstract,
pisah-memisahkan itu, dia sampai kepada dunia logos, dunia roh. Banyak
persamaannya logos Plato itu dengan Atmannya Hindu.
Sebaliknya pula seorang pemikir
tentangannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta
gerakannya benda itu, kita maksudkan ialah Heraclitus, mengucapkan kesimpulan
yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kami yaitu: sesuatu itu ada dan
tidak ada karena semuanya itu cair, luntur senantiasa berubah, selalu timbul
dan lenyap. Heraclit mengakui adanya benda, bahkan memajukan hypothesis molecule, yang lebih dua ribu
tahun di belakangnya baru dibenarkan oleh ilmu bukti. Lagi pula bertentangan
dengan Zeno maka heractlit mengemukakan
gerakan sebagai sifatnya benda dan menyebabkan benda itu senantiasa mengalami
perubahan/’nict ist, alles wird’
menurut hukum gerakan ialah hukum dialektika.
Diantara atau disamping kedua
golongan ahli filsafat tersebut berada raksasa pemikir yunani, ialah
Aristoteles. Sebagai seorang tabib, yang senantiasa mengenal adanya benda dan
jiwa, sebagai bapa daripada ilmu, terutama ilmu yang hidup/biology, maka
Aristoteles memusatkan perhatiannya pada sesuatu susunan, sesuatu sistem.
Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato memperhatikan benda. Tetapi hukum
berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika. Dan hukum dialektika yang
dikemukakannya tidaklah sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraclit
dan Demokrit.
16. AHLI FILSAFAT ZAMAN TENGAH
Besar sekali pengaruhnya para ahli
filsafat Yunani umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya atas
masyarakat di zaman tengah, yakni masyarakat islam dan nasrani. Dunia filsafat
barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rosj, terkenal sebagai Averoes, dibaharui
dan diserahkannya sebagai warisan ke masyarakat Nasrani. Plato pun banyak mendapa penghargaan di masyarakat Islam dan
Nasrani di zaman tengah.
Pada kedua masyarakat itu kita
kurang mendengarkan nama Heraclit atau Democrit. Tetapi mungkin pengaruhnya
juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan
kepada kita. Masyrakat Islam di zaman tengah mengenal satu golongan pemikir,
yang dinamai Muthazalit. Mereka terdapat di kota-kota besar di Kerajaan Islam
dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan atheis. Keterangan
yang lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka, tidaklah disampaikan
kepada kita, selainnya daripada mereka dianggap kaum murtad oleh agama resmi.
Ibnu Rosj sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Muthazalied kebebesan
pahamnya itu amat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid
Eropa/Nasrani yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi
gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan, kalau mereka kaum Muthazalied itu
adalah Murba kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme
dialektis walaupun masih serba sederhana/rudimentary.
Tidaklah pula akan sangat mengherankan, kalau di Eropa Barat di zaman tengah
itu, kita sedikit sekali mendengar namanya Plato dan Aristoteles. Hidup amat
sukar sekali bagi budak serf di zaman Tengah Eropa Barta itu, hawa yang dingin,
kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup
lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak serf, oleh kaum ningrat
dan pendeta, tidaklah mengizinkan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini
terserah kepada para pendeta yang tinggal dipekarangan Gereja yang besar,
dikelilingi oleh kebon dan dilayani oleh rakyat. Budak sekitarnya, terpisah
dari masyarakat pekerja, seperti logosnya Plato terpisah dari benda yang kasar
fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji
filsafatnya Plato dan Aristoteles. Logos dan rohani mutlaknya Plato cocok benar
dengan sifat God yang berada, lepas dari segala-galanya dan berada di atas
segala-galanya itu. Dan paham mereka, para rahib dan pendeta inilah,
pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini. Classificasi, penjenisan
Aristoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah daripada
tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya, sangat digemari oleh Schoolmen,
scholasticus, ahli buku, di zaman tengah. Karena ahli buku, yang memangnya
hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari tumbuhan dan hewan
yang sesungghuhnya. Demikianlah pengetahuan bukunya ahli filsafat di zaman
tengah itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah
dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup
para ahli filsafat di zaman tengah itu.
Dari tahun 500 sebelum Isa sampai
tahun 1.500 setelah Isa, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu
bukti yang sederhana. Kaum idealist masih memakai kepercayaan keagamaan sebagai
premis/bukti lantai dalam pembentukan sistem/karangannya. Tetapi kaum
materialist tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis/bukti
lantai. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis. Keduanya
idealist dan materialist mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hidupnya
yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dan dengan semakin majunya ilmu
bukti itu, maka kita terdorong ke belakanglah penjelasan yang berdasarkan
kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio
principil).
17. AHLI FILSAFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS
Di sekitar zaman Revolusi Perancis,
maka ilmu bukti sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan
zaman Plato-Heraclit dan Aristoteles. Di Perancis saja kita mengenal raksasa
matematika dan ilmu alam (physic)
serta ilmu kodrat (mechanic) seperti
Mauportuis, Clairut, D’Alembert, Langrange, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal
dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematik ilmu alam dan ilmu
kodrat, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu pisah bangunlah seorang Perancis
bernama Lavoiser yang menyusun mensistematiskan ilmu pisah yang mulai mengatasi
Ibnu Sina, ilmu pisah Arab. Sedangkan Cuvier mengatasi Aristoteles.
Perbandingan Pythagoras dengan Newton, Archimedes dengan Pascal dan sebagainya
adalah perbandingan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan, kalau
kemajuan ilmu bukti, yang membelakangkan zaman kuno dan zaman tengah
seolah-olah puluh ribuan tahun lamanya itu, memberikan bahan yang tidak
ternilai pula pada para ahli filsafat. Tetapi para ahli filsafat tetap terpecah
dua dalam golongan Idealist dan Materialist. Bahkan masing-masing golongan itu
mempergunakan kemajuan ilmu bukti itu sebagai penjelasan/proof kebenarannya
masing-masing teori mereka.
Demikianlah bangkit di Inggris dua
orang ahli filsafat yang terkemuka, ialah Pendeta Berkeley dan David Hume.
Berdasarkan atas kerohaniannya manusia si Pemandang, maka David Hume dengan
tekad consequensi seorang ahli filsafat berkata, bahwa pada final analysis,
pada kupasan terakhir, maka segala yang ada dalam raya ini, tidak lain hanyalah
“a bundle of conceptions” (gabungan
paham) tentang alam raya itu. Sampai Hume mengatakan, bahwa “kamu pun “ buat
dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otaknya Hume semata-mata.
Sesungguhnya dengan begitu maka Hume membatalkan dirinya sendiri. Karena kalau
Hume mengatakan, bahwa seseorang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otaknya
Hume saja, maka orang lain itupun bisa berkata, bahwa Hume sendiri tidak ada
bagi orang lain itu, selain daripada satu “gambaran” dalam otaknya orang lain
itu saja. Yang kamu buat Hume itu adalah saya buat orang lain itu. Dan
sebaliknya, yang “saya” buat Hume adalah kamu buat orang lain itu. Kant ahli
filsafat Jerman, yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik
kesimpulan nekad seperti David Hume itu. Kant berdiri di tengah-tengah. Dia
tidak bisa membatalkan yang ada di alam raya ini. Tetapi selainnya daripada
mengakui yang ada itu dia lain pula kepada “Ding
An Sich”, benda sendirinya, yang belum diketahuinya. Dengan bangunanya
Emanuel Kant di Jerman, maka timbullah pula filsafat Idealisme yang diteruskan
oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel. Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat
Idealist Inggris disekitar revolusi Borjuis itu mendapat tantangan tepat pesat
dari ahli filsafat Materialist Perancis, yang termahsyur pula seperti Diderot
dan Lamartine. Berdasarkan matematika, ilmu alam, dan ilmu kodrat yang maju
pesat di masa itu, maka mereka membatalkan kemahakuasaan kerohaniaan ini di
alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui
kemahakuasaan matter in move, benda
bergerak. Seolah-olah tak ada dayanya manusia berhadapan dengan benda dan hukum
gerakan benda di alam raya ini. manusia itu adalah mesin yang passive, menerima saja. Kalau ada kodrat
penggerak, bergeraklah dia, kalau tiada berhentilah dia. Jadi seperti mesin
yang passive, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk dengan tiada
perjanjian apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme semacam ini kami
namai Mechanical Materialisme, ialah Materialisme yang menganggap manusia itu
seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja.
Seolah-olah manusia itu tidak berdaya buat mengubah suasana dan keadaan lama
disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat yang alam yang melekat pada
semangatnya kaum Materialis Mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tidak
berdaya terhadap lama disekitarnya, seperti manusia di zaman tengah tidak
berdaya terhadap takdirnya Tuhan, demikianlah pula kaum Materialist di masa
revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan dan gerakan kebendaan
itu (Mechanism of matter).
18. MATERIALISME DIALEKTIS
Suara ahli filsafat Materialisme
itu, seperti pula suaranya ahli filsafat Idealisme mendapat penerimaan yang
baik pula di antara para pemikir Jermania. Ludwig Feuerbach seorang Prof.
Jerman, mengambil oper Filsafat Materialisme di Perancis tadi, tetapi
tersangkut pada apa yang dinamakan “Menschliche
Taetigkeit” (Perbuatan Manusia). Menurut Marx, dalam 11 thesis tentang Feuerbach, maka Feuerbach menyangkutkan
“perbuatan manusia” itu pada idealisme, sedangkan bagi Marx, “perbuatan
manusia” masuk kepada golongan kebendaan. Setelah Feuerbach diperhentikan oleh
kaum borjuis dari pekerjaannya sebagai Mahaguru, sebab dianggap terlampau
radikal, maka Feuerbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari
kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam caranya berpikir menurut
cara Dialektika Materialisme, yang bersandar kepada Dialektika dilanjutkan oleh
Marx dan teman sepembangunannya ialah Friedrich Engels. Selainnya daripada
keduanya pujangga ini adalah ahli dan penggemar Matematika, mereka pula
mempergunakan Utopis Sosialisme Perancis dan Inggris, dan teori Evolusinya
Charles Darwin serta teori Ekonominya Adam Smith dan David Ricardo, dalam
pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan “cause” atau lebih tepat “
condition” (keadaan) ialah sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme
yang berdasarkan impian (Utopi) seperti yang dicetak oleh Thomas More, Saint
Simon, Fourier dan Robert Owen, berubah menjadi Scientific Sosialisme, ialah
Sosialisme berdasarkan Ilmu. Adapun yang dianggap menjadi “cause” (sebab) perubahan dan pertukaran masyarakat dari tingkat ke
tingkat itu, ialah perubahan dan pertukaran sistem produksi. Ilmu sejarah yang
disandarkan kepada sejarahnya perubahan sistem produksi, yang disandarkan
kepada benda yang nyata itu, dinamai Historical Materialisme, Materialisme
Sejarah!, yakni teori Materialisme tentang sejarah. Pandangan hidup yang
berkenaan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme
Dialektis. Disebutkan pula Dialektis, karena cara menghampiri soal benda serta
kejadian di alam raya, ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni
dalam keadaan timbul, tumbuh, atau tumbang!
Setelah Marx dan Engels mendapatkan
“cause” atau “condition”, sebabnya, dari perubahan dan pertukaran sesuatu
masyarakat manusia itu, maka bertukar-bertukar pula sejarah manusia itu, dari
satu kebetulan dari satu nasib, yang tiada bersebab dan tiada pula
mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal ,
berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu
sejarah itu dari dunia gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta
lakonnya sesuatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal.
Setelah segala kebendaan dan semua
gerakannya dalam alam raya ini semenjak ahli Filsafat Yunani dipecah-pecah,
dikupas, diselidiki dan dipastikan hukumnya, maka berubahlah, bertukarlah pula
soal filsafat, yang berbunyi “what does
this all mean” (apakah artinya semua ini), menjadi soal kaum ahli bukti
yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu bukti.
19. ILMU BUKTI
Tepat pula kesimpulan Engels, yang
mengatakan, bahwa dalam perulangannya ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat
sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu bukti, wissengschaff, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dengan
pelbagai ilmu tentang alam raya (nature).
Sisa dari filsfat itu menurut Engels, ialah Logika dan Dialektika.
Kembali kita dahulu kepada ilmu
bukti, ke zaman Yunani, dan dari sini secepat kilat kita melangkah ke zaman
modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada Logika dan Dialektika,
ialah oleh Engels dinamai sisanya filsafat itu!
Syahdan, dalam lebih kurang 2.500
tahun perantauannya itu, maka Science, ilmu bukti, yang boleh dianggap anak
dari filsafat dan cucu dari agama, ilmu bukti, yang sampai sekarang sebagian
besarnya belum juga lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya itu
dari alam raya, yakni dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya
itu, sudah sampai ke dunia terkecil, yang tidak lagi tampak oleh mata, karena
kecilnya itu. Satu Universe (alam)
yang tak dapat dipandang oleh mata telanjang 2.500 tahun lampau itu sekarang
dengan mata bersenjatakan teropong pembesar dan pendekatan sudah bertambah
menjadi beberapa Universe. Molekul dan atom yang tercipta dalam hypothesis,
persangkaan kedua Materilist Dialektis Heraclit dan Democrit itu sekarang sudah
dibuktikan oleh mata dan teropong. Bahkan ilmu bukti sekarang sudah sampai
kepada benda yang lebih kecil. Atom yang disangka tak dapat dibagi-bagi lagi itu
sudah dibagi dua pula, ialah atom proton dan elektron. Seperti bumi dan
matahari; seperti satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya;
seperti satu Universe dengan Universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat
tolak dan tarik (repulsion dan attraction),
yang boleh dikatakan pula masuk jenisnya kodrat thesis dan anti thesis dalam
Dialektika, maka demikianlah pula dua dunia terkecil tadi, ialah proton dan
elektron tadi, diikat oleh kodrat tolak dan tarik menjadi satu atom, satu
synthesis atom. Ringkasnya synthesis dari proton dan elektron ialah atom;
synthesis atom dan atom ialah molecule; synthesis
molecule dan molecule ialah badan; synthesis dari bumi dan matahari ialah
keluarga matahari; synthesis dari satu keluarga matahari dengan keluarga matahari
lainnya serta akhirnya satu Universe lainnya, adalah alam raya kita ini.
Dalam 2.500 tahun ini menurut
Dialektika dan hukumnya thesis, anti thesis dan synthesis, maka otak manusia
sudah mengenal alam terbesar, ialah alam raya kita dan alam terkecil ialah
elektron dan proton tadi.
20. PECAH BELAHAN ILMU BUKTI
Entah sampai ke mana ilmu bukti akan
memecah-mecah lagi.
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atau
ilmu bukti, maka kita peroleh dua klas ilmu bukti, ialah yang masuk klas
sejarah dan yang masuk klas alam. Maka ilmu bukti yang mengenal sejarah manusia
itu sudah berpecah-pecah menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan
sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusastraan dan
lain-lain. Ilmu bukti yang mengenai alam raya ini sudah berpecah belah pula
menjadi ilmu bintang, ilmu bumi, ilmu alam (physic), ilmu kimia, ilmu listrik
dan lain-lain. Di sampingnya itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti
lantainya berdasarkan barang ciptaan seperti angka (number) dalam huruf (letter).
Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu algebra,
trichonometri dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang
besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah
berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita
mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang
besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah
berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli
hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah pula contoh dari ilmu hukum, cabang
ilmu hukum itu sudah terbagi pula atas beberapa ranting seperti ilmu hukum
undang-undang dasar (contituional laws)
dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya, kalau
seorang yang ahli dalam sesuatu cabang ilmu bukti, tidak lagi mengenal
perhubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain, sehingga dia hidup
terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya, kalau-kalau seorang
Dokter ahli rambut hilang lenyap dalam “haarkloverij-nya”
dan melupakan perhubungan rambut itu dengan seluruhnya tubuh dan seluruhnya
kesehatan manusia. Tak kurang pula besar bahayanya, kalau seorang ahli
kejahatan, criminal expert itu
memandang tingkah laku seseorang dari sudut kejahatan, seolah-olah dia lupa,
bahwa perbuatan seseorang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan di luar
dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk beluk dan
berkenaan pula dengan keadaan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan dalam
masyarakat diri sendiri.
Berhubung dengan bahaya pecah-belah,
terpisah terasing itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu
bukti untuk mengkoordinir, memperhubungkan kembali pelbagai ilmu yang
pecah-belah disebabkan oleh kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu
saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientist ternama dengan
“weaving up general principles”,
sebagian tafsiran dari filsafat modern.
21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU BUKTI
Tidaklah mungkin, tetapi tidaklah
pula perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semuanya atau
sebagianpun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. sudah cukup bagi urusan kita
di sini, mencoba menafsirkan maksudnya ilmu bukti, caranya ilmu bukti
memperoleh maksudnya itu, serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat
yang dikandungnya buat mencapai maksudnya tadi.
Salah satu kalimat yang dipakai buat
mendefenisikan (menetapkan) maksudnya ilmu bukti ialah: “simplication by generalization” atau mempermudah dengan memasukkan
sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal; atau
memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah dikenal.
Kalimat yang lain, juga untuk
menetapkan maksudnya ilmu bukti berbunyi: “the
organization of facts” (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat
praktis. Berhubung dengan inilah pula,
maka Science itu saya terjemahkan dengan ilmu bukti.
Tetapi tidak kurang praktisnya
formula yang lain, yang biasa diperdengarkan dalam dunia ilmu, sebagai
maksudnya Science, ialah “to establish
laws and systems”, untuk membentuk hukum dan karangan.
Sekian tentang maksudnya ilmu bukti.
Tentang caranya mendapatkan maksud
itu, ialah dengan logika, klassifikasi, statistika dan ukur-mengukur serta
timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara Dialektis. Dalam logika kita
berurusan dengan apa yang dinamai induksi; deduksi dan verifikasi, dan dalam
matematika dengan apa yang dinamai methode
synthetic, analytic dan ad absurdum.
Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tidak berapa bedanya.
Di tempat lain saya sudah uraikan, ialah dalam buku Madilog. Di sini hanya
hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum Scientist itu mendapatkan
maksudnya ialah mendapatkan hukum dan karangan itu (laws and systems).
Bahan dan bukti yang dipergunakan
oleh ahli bukti itu diperoleh dengan jalan observation
(peramatan) atau experiment
(peralaman). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena: sedangkan
dengan jalan peramatan si penyelidik cuma passive,
berdiam diri dan memperamati saja, maka dengan jalan peralaman si penyelidik
boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda
menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma dapat memperamati hidup
dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya,
tetapi si Pengalam dapat mengawinkan tumbuhan atau hewan itu untuk mendapatkan
jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu
bukti semenjak Galilei, pada permulaan abad ke-17 mengadakan experimentnya di
Menara kota Pisa. Boleh dikatakan, bahwa jalan experiment itu membuka pintu
untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari
empat anasir yang dikenal oleh Yunani Asli yakni; tanah, air, udara dan api,
maka ilmu pisah sekarang saja sudah mengenal 92 (sembilan puluh dua) elements,
(anasir).
Akhirnya, dan tidak pula kurang
pentingnya, maka semangat objectivity,
(tenang di depan bukti) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup
melompat dari dunia bukti, ke dunia hypothesis
dan teori adalah satu sino qua num
bagi seorang scientist. Seorang ahli
yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti
itu supaya bisa melayang ke dunia hypothesis dan teori, tidaklah akan sanggup
membentuk “laws and systems” seperti
maksudnya Science itu. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.
22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU BUKTI
Kurang tepat kalau dikatakan, bahwa
masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu bukti. Kurang benar, kalau
disebutkan, bahwa India, Tiongkok dan lain-lain cuma mengenal agama dan
filsafat saja dan tidak mengenal Science, ilmu bukti. Kabarnya konon, maka Bapa
ilmu ukur (Geometry) adalah seorang
Hindu di Birma dan katanya pula India sudah mengenal Algebra juga. Juga
Tiongkok sudah tahu bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memakai formula
F/R yang kita kenal. Tidak ada yang tak akan kagum dan dipengaruhi oleh
logikanya Mahaguru Kung Confusius, kalau membaca sistem kekeluargaan dalam
empat bukunya. Tak pula ada orang yang tak akan kagum mengikuti cara dialektis
yang dipergunakan oleh mysticus Mahaguru Lao (Lao Tze), apabila dia menjelaskan
pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemanjuran obat orang Tionghoa.
Bahkan dalam meramalkan hari depan, berhubung dengan hujan panas, ribut dan
topan seringkali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para
rahib) di atas ilmu bukti Barat dengan weather
firecast, weerbericht atau ramalan harinya. Dan bukanlah pengetahuan
mencetak, obat-bedil dan pedoman diwariskan oleh Tiongkok kepada Barat, melalui
Arabia?
Tetapi semuanya tersebut itu tidak
mengatakan, bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat Science,
seperti masyarakat Yunani 500 tahun sebelum Isa. Mahaguru Kung, walaupun logis
berpikir, belum sampai kepada tingkat membentuk ilmu logika sendiri, ialah
memisahkan hukum berpikir itu dari proses (lakonnya) berpikir itu sendiri.
Mahaguru Lao belum pula bisa menarik
hukum Dialektika dari prosesnya berpikir, yang memang dialektis. Demikianlah
pula tukang ukur, ahli Kethabiban dan ahli hari di Tiongkok belum sampai lagi
ke tingkat memisahkan hukum ilmu ukur, hukum kethabiban dan kimia dari proses
ukur mengukur obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara dari pada
prosesnya yang berlaku di udara itu. Kung-tze memakai logika itu cuma menurut
nalurinya (instinct) saja.
Begitu pula Lao-tze mempergunakan dialektiknya. Dan secara
catatan, peringatan dan analogy saja pula, tukang ukur, ahli obat dan ahli
keadaan hari di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tidak pernah lepas dari
dunia bukti dan melompat dan melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan
pengetahuan Yunani daripada dunia India dan Tiongkok, berupa sistem produksi,
cara menghasilkan dan membagikan hasil, tidak berapa majunya semenjak lebih
kurang empat ribu tahun. India terpaku pada sistem Kastanya. Tiongkok terpaku
pada Dunia Feodal yang bersandar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada
teknik sosial ekonomi politik serta kebudayaan yang berlainan corak dengan
sistem di Eropa Barat. Seperti huruf alphabet (a,b,c) belum lagi lepas dari
gambarannya sesuatu pengertian, menurut sistem menulis di Tiongkok (han-dji) begitu pula hukumnya ilmu bukti
belum lepas terpisah, melompat melambung ke luar dari bukti itu sendiri.
23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU BUKTI
Dengan demikian, maka patutlah kita
memberikan piala kehormatan tentang ilmu bukti itu ke tangannya bangsa Yunani
sebagai pelopor dari ilmu bukti modern.
Dalam arti tulisan dan lisan
memangnya Archimedes melompat melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum
atas bukti yang nyata.
Sekian lamanya Archimedes bertanya
kepada dirinya sendiri tentang kenapa dan
bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia menyemplungkan dirinya ke
dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan
ilham dan pertama sekali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu
Archimedes mendapatkan hukum, tentang benda yang terbenam, melayang atau
merapung di dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam
kegirangannya tidak saja Archimedes melompat ke luar air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana ke
mari dengan melupakan pakaian, tetapi dia sudah melompat melambung dari dunia
benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkannya itu kian tahun
kian mengembang dan melambung.
Hukum tadi dilakukan pada semua
tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikut tertumbuk kepada air rasa
(?). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air melainkan terapung.
Nyatalah dibelakang hari, bahwa bukan hukum Archimedes yang salah melainkan
formulanya masih kurang luas. Hukum Archimedes bahkan mendapatkan Verification (pengesahan), lantaran
bukti baru tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak air rasa
dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula
daerahnya menjadi sembarang benda. Hukum
Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Guy Lusac dan lain-lain. Sampai
dilanjutkan ke udara, ke strasphere,
ke mana Prof. Piccard ke dunia yang belum dialami, ke dunia yang cuma dianggap
benar menurut hypothesis saja. Merantau beraventure dari alam terkenal ke alam
belum dikenal, seperti Colombus, Roald Amunsen dan lain-lain para ahli Satrya.
Dengan begitu sempurnalah cara
induksi, deduksi, verificasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu bukti itu.
Dan lebih sempurnalah pula mencari cause, sebab ialah dengan lima jalan yang sudah
dikenal: 1. Method of Agreement (cara
persamaan), 2. Method of Difference
(cara perbedaan), 3. Joint Method
(cara paduan), 4. Concomitant Variation
(cara perubahan serempak) 5. Method of
Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita,
bahwa Pythagoras tidak tinggal menguji (to
prove) teori sudut-siku yang kita kenal saja. Selainnya daripada pertama
sekali menegakkan teori dan cara menguji teori itu, pun Pythagoras cocok dengan
suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka
yang dianggap sakti oleh Mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras
mempengaruhi dunia ke-Agamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian
kita di sini, ialah dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras kita setelah
hampir 2.500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit
seperti teori Relativitatnya Einstein, melalaui para ahli matematika raksasa,
seperti Format, Laplace, Gauss, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran
dan jasanya para ahli matematika itu sekali-kali tidak dapat kita lupakan
kebesaran dan jasanya para ahli Islam, yang melakukan pemisahan (abstraction)
yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai symbol (lambang)nya benda sudah
dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga
prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Algebra naik setingkat
lagi mengangkat huruf menjadi lambang.
Huruf X umpamanya boleh mewakili
angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Zonder Aljabar tidaklah kita mungkin sampai
kepada Trigonometri dan Relativitatnya Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan
atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Perlambungan benda ke
angka dan perlambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Newton dan
Einstein supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit itu dan mengukur
segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi,
matahari sampai ke gerakan atom dan Sinar matahari yang laju 300.000 km dalam
sedetik itu.
Dikatakan oleh beberapa para ahli,
bahwa classificasi yang dilakukan Aristoteles amat dibekukan pengetahuan di
zaman tengah. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah
pula diperiksa berapakah keadaan produksi dan masyarakat di zaman tengah itu
membekukan classificasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah classificasi,
yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hidup (biology) itu
menjadi perkakas yang penting, di samping Dialektika, bagi pelopor biology
modern, ialah Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beaglenya
mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan
udara, Darwin tak lepas dari cara classificasi, induksi, deduksi, dan cara
menetapkan sebab, yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya
pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang
hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula
permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup,
yang sudah dipelopori oleh Aristoteles, raksasa pemikir Yunani itu, yang
terhenti di zaman tengah dan dibelakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu
umumnya belum lagi mengizinkan bangkitnya kembali dan maju dengan pesat cepat,
seperti setelah sampai ketangannya Charles Darwin dalam kandungan masyarakat
Kapitalisme modern.
Demikianlah pula lebih daripada
2.000 tahun teori Molekul dan atom serta tafsiran Materialisme dan cara
berpikir dialektis oleh Heraclit, democrit dan epicur harus beku terpendam
menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas,
seperti Marx, Engels dan Lenin, yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan
cara yang beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.
24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA
Sekianlah di sini tentang ilmu
bukti.
Serba sedikit pula akhirnya akan
kami uraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, dan
daerah serta batasnya logika, seperti isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan
jenisnya Dialektika, sudah kami uraikan pula dengan panjang lebar dalam buku
Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari
kedua cara berpikir itu dalam garis besarnya saja. Lagipula akan kami singgung
pula dua jenis Dialektika, ialah Dialektika idealistis dan Dialektika
Materialistis.
Dunia biasanya mengakui Aristoteles
sebagai bapaknya logika. Dialah yang pertama sekali membentuk logika, yakni
cara berpikir sebagai ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu
sempurna, sehingga bolehlah dikatakan, bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke
zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak berapa lagi mengalami
perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam cabangnya ilmu pengetahuan, maka
logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita
kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika ditangan Heraclit dan
Democrit sudah sanggup melayani dunia benda sampai ke molekule dan atom yang
tidak kelihatan di mata dan baru bisa dilihat dengan teropong di zaman modern.
Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dengan gerakannya benda,
maka Dialektik sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya
mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya, di dunia static, berhenti dan
passive tadi.
Ditangannya Hegel, pemimpin aliran
borjuis demokratis Germania, yang menentang feodal-autokratis, maka Dialektika
Idealis melambung setinggi-tingginya seperti belum pernah dialaminya.
Ditangannya Marx dan Engels, sebagai
pemimpin aliran proletariat komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis
demokratis maka Dialektika Materialistis menjadi perkakas berpikir kaum
revolusioner proletariat bagi seluruhnya dunia.
Ditangannya kaum Bolsjewik di Rusia
cara berpikir Dialektika Materialist dapat membentuk satu partai Murba dan
sanggup menghancur-leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya
kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga
ditafsirkan sebagai hukum berpikir atau cara berpikir. Tetapi Dialektikapun
boleh ditafsirkan seperti itu.
Adakah perbedaan dan apakah
perbedaan kedua hukum berpikir itu?
Menurut pandangan sepintas lalu
saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali
terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki itu oleh si penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu
yang diperiksa itu, dalam keadaan berhenti (static),
terpisah (distinc) tak berubah (unchangeable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu-persatu,
terpisah-pisah dan dianggap tidak ada seluk-beluk dan perkenaan satu dengan
lainnya menurut tempo dan tempat.
Pemakai Dialektika menempatkan
sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berseluk-beluk (connection),
berubah-bertukar (change) dan
bertentangan. Semua itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan,
timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam sesuatunya dalam sesuatu waktu pula.
Bagi seseorang pemakai logika dalam
menghadapi sesuatu soal dalam keadaan tersebut, maka dalam jawabnya, ia itu
adalah ia dan tidak itu tidak. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa
liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg: “Pertanyaan yang pasti dalam arti yang
pasti pula, yakni, apakah sesuatu sifat yang tertentu dimiliki oleh sesuatu
barang, harus dijawab dengan ia atau tidak. Tidak boleh dijawab denan ia dan
tidak”. Tiga premis pokok bagi logika, ialah 1). A itu = A. 2). A itu bukannya
non-A. 3). Tak ada jembatan antara A, dan Non-A. Berhubung dengan tiga premis
pokok itu, maka sesuatu (barang) itu atau masuk jenis A atau masuk jenis Non-A
dan sesuatu kesimpulan, yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa
benar kedua-duanya.
Contoh:
Apakah sapi itu dipandangn dari
sebelah kiri ini hitam atau putih?
Memangnya pada warna yang tunggal,
terbatas yang dimiliki oleh benda yang berhenti, pertanyaan semacam itu dapat
dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu, dipandang
dari sebelah kiri adalah putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari
sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya hitam, bukannya putih. Jadi jawabanya
boleh cocok dengan A=A dan A itu bukannya Non-A.
Apakah sapi itu seluruhnya hitam
atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi
dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi di sini dialektik bisa
melangkah masuk dan campur memberi jawaban seperti berikut:
Seluruhnya sapi itu putih ia dan hitam ia. Atau dengan perkataan lain:
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu digerakkan
sepanjang umurnya, ialah dari masa bayi sampai ke masa dewasa, bilamana
warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum pula sapi itu digerakkan dengan
kecepatan sinar, ialah 300.000 km dalam sedetik. Dalam hal ini, maka belum
tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia ke-2
penipuan warna (abberation aberratie)
itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan
antara), dipakai oleh Armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah maka berhubungan dengan
sesuatu yang sulit (komplex) tetapi
masih dalam keadaan yang berhenti saja, logika, sudah terpaksa meminta bantuan
kepada Dialektika. Apalagi dalam gerakan.
Memangnya sesuatu pertanyaan
seperti: Apakah bola yang berguling cepat ini pada detik ini berada di titik
ini atau tidak lagi? Tidak dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Kalau
dijawab tidak, maka jawab itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada
pada titik, yang dimaksudkan itu. kalau dijawab ia, maka jawab ini pun salah,
karena belum lagi si penjawab habis mengucapkan ia itu, maka bola itu sudah
melewati titik itu. Jadi logika tidak berdaya apa-apa dalam hal ini. Logika
harus meminta pertolongan kepada Dialektika untuk memberi jawaban ia dan tidak
sekaligus.
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak
abad yang lalu ilmu bukti sudah mengakui
bahwa:
1. Semua kodrat di alam raya ini (force, energie), yang terlaksana pada
cahaya, panas dan sinar (light, heat and
rays) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetism, listrik dan
kodrat kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih
dari bentuk ke bentuk. Dengan demikian, maka dengan timbulnya satu bentuk
kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya
berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tidak berhenti-hentinya.
Laplace menjelaskan Peralihan Molten Mass (benda cair) di alam raya pada
permulaan dunia ini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan
konetnya.
2. Adanya Cell, sebagai satuan, dalam
badan tumbuhan dan hewan. Karena pengembangan (multiplication) dan perbedaan (variation),
ketika turun-temurun Cell itu, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang
dikenal di masa ini. oleh Charles Darwin dijelaskan, bahwa semua tumbuhan,
hewan dan manusia yang ada sekarang di atas bumi kita ini, adalah hasil
kemajuan dari ratus-ribuan tahun, dari beberapa cell-tunggal dalam suasana “struggle for existence” (perjuangan
hidup) suasana “survival of the fittest”
(kejayaan yang kuat) dan “adaptability”
(kecakapan menyesuaikan diri). Dan beberapa cell tunggal ini maju dari putih
telur dan protoplasma, menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Meyer menunjukkan, bahwa
panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis
panas atau listrik, kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, dan
ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa
ekor kudakah kuatnya listrik. Pun bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah
ini panas atau listri, dengan ia atau tidak. Tetapi apabila panas bukannya lagi
panas, tetapi belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat
dijawab dengan ia atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ia dan
tidak sekaligus.
Demikianlah pula dalam keadaan, di
mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan; seperti air sedang berubah
menjadi uap; kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik dan
sebagainya atau satu zat sedang mengalami peralihan pula, atom beralih menjadi
molekul, putih telur menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan
1001 contoh lainnya maka logika, statika dan ukur mengukur secara matematika
itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka Dialektikalah yang sanggup memberi
jawaban.
Tetapi apabila kepastian dalam
peralihan itu sudah terdapat (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi
listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam
hal itu dapatlah pula dipergunakan logika, statistika, matematika, dan ukur
mengukur serta timbang menimbang.
Dibelakang hari Ueberweg juga
mengambil kesimpulan seperti berikut: dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi
bilamana kita berurusan dengan pelbagai sifat yang bertentangan, maka haruslah
kita mengakui “coincidence of opposites”
(perjumpaan beberapa pertentangan).
Jadinya dalam hal ini boleh
dipergunakan ia dan tidak sekaligus.
Dalam salah satu halaman buku
karangannya bernama “logika”, maka Hegel seorang ahli filsafat Jerman yang
besar berkata, lebih kurang: “dialektik
nennen wir solche geistiche bewegung bei denen das getrennt scheinenden durch
sichselbst, d.h. durch das, was sie sind in einander uebergehen, und so das
getrennt scheinenden aufgehoben”.
(Saya terpaksa mencatat diluar
kepala pula).
Indonesia lebih kurang: “yang kita
nama dialektik, ialah gerakan pikiran (rohani), bilamana, yang berupa saling
berpisah itu, olehnya sendiri, artinya itu terbawa oleh sifatnya sendiri,
saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berupa perpisahan itu
dibatalkan/artinya bersatu kembali)”.
Banyak persamaan antara Hegel dan
bekas muridnya Marx itu. tetapi besar pula perbedaan diantara guru dan murid,
setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan 1 : keduanya sama-sama
menolak perpisahan kekal antara ya dan tidak itu. dalam gerakan thesis, anti
thesis dan synthesis, maka akhirnya ia itu bisa menjadi tidak dan sebalikya.
Dalam gerakan itu, maka perubahan quantity (jumlah) lambat-laun bertukar
menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian maka tercapailah Negation
der Negation (pembatalan kebatalan).
Syahdan, menurut ilmu logika dan
matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang
ketiga, kedua barang itu bersamaan pula dengan satu barang lainnya. Tetapi dua
barang yang masing-masingnya berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu
bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa
dua pemikir besar, ialah Hegel dan Marx keduanya sama berbeda sikapnya terhadap
logika. Mereka sama-sama tidak setuju dengan perpisahan tetap dan pertentangan
tetap antara ia dan tidak itu. Mereka sama-sama pula menyelediki sesuatu itu
dalam suasana Dialektika (gerakan dan pertentangan). Tetapi ada pula perbedaan
besar antara kedua penganut Dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektik
itu kepada tafsiran dan teori Idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan Dialektik
itu atas teori dan tafsiran Materialisme. Hegel adalah pengganti Dialektika
Idealisme. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut Dialektika
Materialisme.
Dalam dialektik dan logika maka Plekhanov
mengikhtiarkan perbedaan dialektik Idealist dengan dialektik Materialist,
sebagai berikut:
Dalam system Hegel, maka dialektik
sama diri dengan metaphysika (ilmu gaib). Buat kami maka dialektik bersendi
atas ilmu kealaman (hukum alam).
Dalam system hegel, maka Demiurge,
crea atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau paham
mutlak). Buat kami, maka paham mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction)
dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terbikinlah semua perpaduan dan keadaan semua
benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju,
disebabkan oleh keinsafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di
dalam pikiran (konsep). Menurut teori Materilist kami, maka semua pertentangan
yang ada dalam pikiran itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu
tafsiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada pada dunia
nyata (phenomena), sebagai akibat dari pertentangan sifat yang terdapat pada
lantainya bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan
yang nyata itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (ideas). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu, dapat
dijelaskan oleh kemajuan yang nyata; kemajuan paham oleh kemajuan hidup
(manusia).
Demikianlah Marx dan Engels
membalikkan kembali kaki yang di udara itu ke tanah dan kepala yang oleh Hegel
itu ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang
dikenakan oleh Hegel kepada dialektik itu. Dengan begitu, maka ditangannya Marx
dan Engels dialektik menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh Kudung Gaib, maka
dialektik menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan
Engels, sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektik yang bersandar pada
Materialismelah senjata yang tepat, tetap dan sempurna, terhadap keduanya kaum
feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang, kalau kita
lebih dalam mengupas dan perbedaan. Cara dan teori berpikir antara Hegel dan
Marx, dalam karangan ini, yang dimaksudkan cuma sebagai satu tinjauan yang
lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. Cuma sebagai
pengunci, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu,
serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan Materialisme Mekanis dengan
Materialisme Dialektis.
Janganlah hendaknya kita menyangka,
bahwa Engels terus melayang-layang di dunia pikiran saja, dengan tak pernah
menginjakkan kakinya ke tanah bukti (reality). Sebaliknya pula, janganlah
dikira, bahwa Marx dan Engels, tidak pernah melepaskan kakinya dari tanah bukti
dan tidak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, idea itu.
Keduanya jenis pemikir tadi maju
berpikir dengan berpandangan kepada keduanya dunia pikiran dan bumi bukti.
Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikirarn dan Marx-Engels berpangkalan
kepada bumi bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh oleh Marx dan
Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikianlah Hegel pernah
mengucapkannya, bahwa rohani (spirit), itu adalah dasar pendorong (motive-principle)-nya sejarah. Tetapi
disampingnya itu diucapkan pula, bahwa keadaan ekonomi pada satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan
perantaraan (instrumentality) rohani.
Dan Marx, walaupun pada titik
terakhir berpangkalan pada kebendaan ada pula mengucapkan, bahwa pada suatu
tingkat, maka rohani itu bisa menjadi kodrat, yang arahnya ditentukan oleh
keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya
dijelaskan pula bagi kita persamaan dan perbedaan antara Materialisme mekanis
dengan Materialisme dialektis. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan.
Tetapi bagi pengikut Materialisme mekanis, maka manusia dengan pikiran, perasan
dan kemauannya, ringkasnya manusia dengan jiwanya itu seolah-olah tidak berdaya
menghadapi alam raya dan hukumnya itu.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels
serta para pengikutnya, maka dalam daerah yang terbatas oleh keadaan masyarakat
sendiri, manusia dengan jiwanya itu bukanlah benda passive, penerima, seperti
mesin saja.
Beberapa ayat dari tulisan Marx yang
memperlihatkan perlantunan (interaction), wiselwerking antara manusia dan alam
di sekitarnya itu berbunyi lebih kurang:
“Bumi dikelilingi (geographical environment) mempengaruhi
manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi pada salah satu daerah, atas salah
satu kodrat produksi (forces of
production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom
dll) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini
membentuk perhubungan baru antara manusia dan alam sekitarnya.”
“Manusia sambil bertindak terhadap
alam sekitarnya itu, menukar sekitarnya itu dan dengan begitu menukar diri
(jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum
ahli filsafat, dalam 11 thesisnya Marx mengucapkan:
“Die
filosophen haben die well nur verschieden interpretiert. Es kommt aber
daraufan, die welt zu aendern”. (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam
menafsirkan dunia ini. Yang penting ialah mengubah dunia, yakni alam dan
masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan di atas ini
nyatalah sudah, bahwa salah benar mereka, yang mengatakan, bahwa kaum
Materialist itu cuma orang fatalis, penerima kodrat-alam saja, dan cuma
memikirkan maka-minum dan keplesiran hidup semata-mata.
Tetapi sebaliknya bukanlah pula
hasilnya pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas. Melainkan dibatasi oleh
alat lahir dan batin yang telah dicapai oleh sesuatu masyarakat itu sendiri.
(Ilmu, teknis, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dll).
Terbatas oleh alam dan masyarakat,
yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, tafsirkan Materialisme dialektik
itu, dipandang dari salah satu sudut ialah:
1. Alam dan masyarakat Indonesia,
dengan perantaraan bangsa Barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelumnya
proklamasi sudah membentuk satu sistem masyarakat, produksi distribusi, sosial
politik yang ringkasnya boleh disebutkan masyarakat kapitalisme-jajahan-Belanda
(Thesis).
2. Dalam kandungan Imperialisme Belanda
itu, diantara lain-lain, timbul dan timbullah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat kapitalisme jajahan tersebut di atas, yang dalam hakekatnya
bermaksud mendirikan satu masyarakat baru, yang memakai semua alat teknik dan
ilmu Barat itu dalam sesuatu produksi berdasarkan tolong-menolong dan
distribusi berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia
serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-thesis).
3. Dengan Proklamasi 17 Agustus, maka
rakyat/pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan
masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.
NEGARA (STATE)
Sebagai hasilnya cara berpikir yang
berlandaskan logika, yang menyembunyikan
pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe
(Nederland), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefenisikan negara itu,
lebih kurang sebagai berikut: “Negara adalah daerah yang tertentu, didiami oleh
rakyat (bangsa) asli dan warga baru yang dibawah kekuasaan (authority) yang
syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim
dikemukakan di Amerika ialah: daerah yang tertentu, didiami oleh rakyat yang
tertentu, untuk menyusun sesuatu pemerintah (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir
dialektika, yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme maka
Hegel mendefenisikan “Negara” itu sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral)
atau “gambaran dan kenyataan akal”, atau pelaksanaan paham mutlak (absolute
idee)”, atau “Kerajaan Tuhan di dunia di mana hakekat dan keadilan yang abadi
dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir
dialektis, yakni logika pertentangan, yang diselenggarakan atas paham (teori)
materialisme, maka Marx mendefenisikan Negara itu dengan kalimat yang terkenal:
“Negara itu adalah hasil dari peryataan perjuangan klas yang tiada bisa
diperdamaikan” (the state is the product
and the manifestation of irreconcilability of
class-antagonism).
Dalam buku karangan Engels bernama “Der
Ursprung der Familier, der Privateigentums und der States” (1894)
tertulis diantara lain-lainnya (Negara) adalah hasilnya masyarakat pada suatu
tingkat kemajuannya, dia (Negara) adalah suatu pengakuan, bahwa masyarakat ini
sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tidak dapat
diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam
kesumat, yang tidak dapat disingkirkannya lagi. Tetapi supaya pertentangan ini
(ialah pertentangan) dua klas yang berdasarkan pertentangan kepentingan
ekonominya ini, jangan melenyapkan dirinya dan masyarakat itu sendiri oleh
perjuangan sia-sia, maka perlulah ada sesuatu kekuasaan, yang rupanya
seolah-olah berdiri di atas masyarakat; untuk menjabarkan perjuangan dan
membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentaraan: dan kekuasaan ini, yang
timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan
makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu ialah Negara”.
Kekuasaan umum itu ada pada
tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata,
tetapi juga disertai oleh badan seperti penjara dan bermacam rupa alat pemaksa,
yang semuanya tidak dikenal dalam sesuatu masyarakat kekeluargaan”.
Lenin dalam brosure “Negara dan
Revolusi” (State and Revolution)
berkata:
“Dua badan yang teristimewa, yang
menjadi syarat mutlaknya mesin negara, ialah: birokrasi dan tentara”.
“Tentara dan Polisi adalah alat,
yang terutama bagi kekuasaan negara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah
darat yang melekat pada masyarakat borjuis lintah darat yang timbul dari
pertentangan yang membelah dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang
menghisap semua lubang hidupnya masyarakat itu”.
Sekianlah dulu catatan saya tentang
negara itu, yang saya rasa perlu saya lakukan, sebelumnya saya memulai dengan
uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir,
berlainan paham berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga
jenis ahli pikir tersebut di atas, mendapatkan hasil pikiran yang berbeda
bentuk dan isinya pula.
Dengan cara berpikir logika, maka
seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan. Tetapi dia
mempergunakan dialektika itu atas pengertian, tafsiran dan teori idealisme.
Marx, Engels dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektis, tetapi mereka
memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh
ahli borjuis ialah daerah (territory), rakyat (people) dan kekuasaan
(authority). Dalam defenisi tersebut di atas Hegel tiada mengacuhkan daerah dan
rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (rede) atau paham
(idee). Pun Engels dan Lenin tidak memasukkan daerah ke dalam defenisinya.
Tetapi mereka mengutamakan perpecahan klas di antara rakyat itu dan
mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu klas dalam rakyat itu untuk
menindas klas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri
persoalan ke negaraan, pun ketiga jenis
ahli di atas tadi, berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat
menjabarkan dan membatasi perjuangan.
Marx, Engels dan Lenin sebaliknya
mempertajam dan memperluas perjuangan klas dari daerah Nasional ke daerah
Internasional. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara
Feodal, tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletariat.
Meskipun Marx-Engels dan Lenin tidak
memasukkan daerah dan rakyat ke dalam defenisi negara itu dan walaupun ketiga pemikir proletaria ini lahir dan batin
adalah internasionalist, tetapi hal ini
tidak berarti, bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (national
question), jauh daripada itu.
Semua persoalan yang berhubungan
dengan kenegaraan dan kebangsaan (national question), seperti soal bentuk
negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation) atau
republik; soal yang berhubungan dengan bumi-iklim, bahasa, kebudayaan dan
sejarah, yang semuanya itu mengenai masing-masing negara, tidaklah luput dari
perhatian, penyelidikan dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin dan Stalin. Dalam
pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka sampai sekarang
diantara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak sekali mendapatkan
hasil dari segala usahanya (tahun 1947).
Internasionalisme adalah wujud yang
terakhir dan semboyan “kaum buruh seluruh dunia bersatulah” adalah pekik
proletaria, kepada klas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan
internasionalisme itu.
Internasionalisme bukanlah menyuruh
kaum buruh pada masing-masing negara di dunia, sambil berpangku tangan saja,
mengharap-harap datangnya internasionalisme itu sebagai satu hadiah yang jatuh
dari langit. Tiap-tiap Negara masih mempunyai daerah sendir, rakyat sendiri,
kekuasaan sendiri, dan kebudayaan sendiri, sebagai hasil perjuangan klas lawan
klas dalam negara itu sendiri, dan hasil peperangan negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletari masing-masing
negara, masih harus berjuang memperluas daerahnya, atau harus menerobos
batas-batas yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat tangan dengan
proletaria dunia menghancurkan kapitalisme dunia.
Negara sosialis terbesar seperti
Rusia, yang berdiri semenjak perang dunia pertama (1914-1918) bersama dengan
beberapa negara sosialis lain disekitarnya, ialah Polandia, Tsjecho-Slowakia,
Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, dan lain-lain, yang berdiri semenjak
penghabisan perang dunia kedua (1935-1945). Soviet Rusia dan sekitarnya itu,
sekarang (tahun 1947), ialah tepat 100 tahun semenjak Manifest Komunis
dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas daerah negaranya, dan
membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.
Bukanlah sekarang (Desember 1947)
soal daerah dan rakyat, yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan utama
adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itulah pula soal yang kita rasa penting
dan hangat, soal mana bisa menggagalkan atau menjagakan, dengan langsung atau
tidak, semua daya-upaya kita menegakkan kemerdekaan 100%.
TIMBUL – TUMBANGNYA NEGARA
Dimana dan bilamana dalam sesuatu
masyarakat timbul dua klas yang pertentangan ekonominya tidak dapat didamaikan,
maka di sana dan pada waktu itulah pula dalam masyarakat itu timbul satu
kekuasaan untuk membatasi dan
menempatkan pertentangan itu dalam sesuatu ketentraman umum. Kekuasaan
ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin tajamnya
pertentangan, semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas
masyarakat itu sendiri, kekuasaan inilah yang oleh Marx dan Engels dinamai
negara. Kekuasaan yang dalam telanjang-bulatnya berupa birokrasi, tentara,
mahkamah, polisi dan penjara dalam lahirnya berupa berdiri ditengah-tengah
sebagai wasit, tetapi dalam batinnya dia adalah alatnya kaum berpunya untuk
menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasannya klas berpunya atas klas
tak berpunya, maka semakin tajamlah pertentangan diantara kedua klas itu.
Dengan bertambah tajamnya pertentangan itu, maka bertambah teranglah pula
sifatnya negara itu, sebagai satu alat penindas kaum berpunya atas klas tak
berpunya.
Dimana dan bilamana tak ada
pertentangan klas dalam masyarakat itu, karena tak ada pula pertentangan
ekonomi dalam masyarakat itu, maka di sana dan pada waktu itu masyarakat itu
tidaklah pula memerlukan satu kekuasaan yang teristimewa yang terpisah dari
masyarakat itu, dan yang berdiri di atas masyrakat itu sendiri. Dengan
perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state),
yakni: tidak memerlukan alat penindas seperti birokrasi, tentara, mahkamah,
polisi, rumah penjara, dan algojo. Selama pertentangan ekonomi diantara klas
dan klas manusia dalam masyarakat itu belum ada, maka selama itulah pula
masyarakat itu bisa berdamai dalam dirinya sendiri dengan mudah sekali.
Semua urusan perekonomian, sosial
dan kebudayaan di dalam masyarakat itu, dan semua urusan pembelian terhadap
keluar masyarakat, itu dapat diurus dengan dasar kemerdekaan, persamaan,
persaudaraan dan pemufakatan. Paksaan dari salah satu alat penindasnya oleh
satu klas yang lain tidaklah diperlukan dan tidaklah pula timbul. Dalam
menghadapi semua persoalan, maka semua anggota masyarakat itu berunding atas
dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya
untuk bertindak bersama, keadaan masyarakat yang semacam itulah pula rupanya,
yang oleh Engels, dinamai “masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (self
acting armed organisation of the Population).
Masyarakat yang begini, ialah
“masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” ini terdapat pada masyarakat
yang berdasarkan komunisme asli (oerkomunisme).
Banyak sekali pelajaran, yang kita
peroleh dari buku kecil, karangan Engels yang tersebut di atas. Semakin dalam
kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat dahalu kala di Amerika (masyarakat
Indian), yang diterima oleh Engels, sebagai hasil pemeriksaan seorang pengarang
Amerika, bernama Lewis H. Morgan dalam bukunya “Ancient Society”, semakin mengerti pula kita seluk beluknya
masyrakat kita sendiri.
Saya sendiri ketika membaca buku
Engels yang tersebut tadi acapkali merasa adanya beberapa persamaan di antara
masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat pada beberapa daerah di
Indonesia ini. Sebagai salah satu contoh tersambil saja, saya majukan, bahwa
rasanya tidak berapa bedanya keadaan masyrakat Minangkabau di waktu lampau, di
waktu luhurnya, dengan keadaan “masyrakat bersenjata yang bertindak sendiri
itu”.
Dasar seiya-sekata menurut pepatah
Minangkabau bukanlah satu perhiasan kata saja. Seiya sekata itu adalah suatu
dasar yang dipegang teguh dalam sesuatu rapat umum. Rapat umum ini tidaklah
pula satu kata yang kosong isinya. Laki perempuan, tua-muda boleh hadir dan berhak penuh untuk berbicara dalam
sesuatu rapat-umum, yang acapkali disebut: bersuluhkan bulan dan matahari,
bergelanggangkan mata orang banyak, artinya berterang-terangan. Adapun
permusyawaratan itu adalah cara yang wajib dilakukan untuk mendapatkan
seiya-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah: bulat air dek (oleh)
pembuluh bulat kata dek mufakat. Asasnya sesuatu permusyawaratan itu adalah
kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda.
Sesuatu permusyawaratan harus asing daripada kekerasan dan paksaan yang menjadi
dasar perundingan itu ialah alur
(penjelasan yang logis menurut adat dan undang-undang), dan yang
ditujukan kepada yang patut (adil). Bunyinya pepatah: “mufakat beraja kepada
alur dan patut”. Setelah seiya-sekata atau kebulatan kata itu diperoleh, dengan
cara permusyawaratan yang bebas daripada segala macam kekerasan dan paksaan,
maka barulah masyrakat itu boleh bertindak bersama, cocok dengan dasarnya
“masyarakat bersenjat, yang bertindak sendiri”, terhadap ke dalam dan ke luar.
Satu misal saja. Perkara
bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum, di mana si tertuduh dan si
penuduh di depan para hakim dan khalayak , berhak membela perkaranya
sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan saksi
selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan seorang
cerdik-pandai sebagai pembela. Sesuatu hukum atas pelanggaran sepanjang adat,
haruslah lebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelumnya hukuman itu
dijalankan. Kata mufakatlah pula yang menetapkan beratnya pihak yang bersalah
membayar denda (bangun) ialah hukuman seberat-beratnya menurut sistem Datuk
Perpatih, walaupun dalam perkara bunuh-membunuh.
Dalam hal ini, oleh permufakatan,
pihak yang salah diwajibkan memotong sekian banyaknya kerbau, untuk satu
selamatan, di mana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga,
bermaaf-maafan itu lari ke negeri Asing, membuang diri sendiri, atau membunuh
diri karena malu).
Demikianlah pula dalam hal
menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata itu diperoleh dengan
jalan permufakatan. Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat
Minangkabau bertindak cocok dengan dasar “rakyat bersenjata yang bertindak
sendiri”.
Kata pepatah: tegak (tinggal) di
kampung pagar kampung. Tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam”. Dan :
“melompat sama patah, menyuruk (sembunyi) sama hilang”.
Keadaan di atas terdapat selama
perekonomian di Minangkabau masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang.
Harta benda, sebagian besarnya masih berada di tangannya suku (keluarga).
Harta pusaka, seperti sawah dan
rumah sekali-kali tak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam
permusyawaratan keluarga itu ternyata, bahwa ada seseorang saja anggota, laki
atau perempuan (biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata
di semua suku. Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat
apalagi balai masih berdasarkan pertobohan ialah tolong-menolong.
Dengan sambil lalu saja saya hendak
mengemukakan di sini, bahwa menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat
Arab; di masa Nabi Muhammad dan tiga Kafilah berikutnya, ialah Abu Bakar, Umar dan Utsman, juga berada dalam tingkat
dasar “masyrakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan
beberapa negara yang kaya raya. Seperti Syria dan lain-lain, maka barulah
masyarakat Muslimin belah dua, yang berpunya dan yang tak berpunya kian hari
kian tajam dan kan tak dapat diperdamaikan. Sejajar dengan lanjutnya dan kian
tajamnya pertentangan itu, maka kian berpusatlah kekuasaan pada Chalif yang
mengikuti, lama-kelamaan bertukar menjadi satu negara, atau kerajaan
(monarchy). Negara (kerajaan) dalam itu sering mengenal kemakmuran umum dan
keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah Pemerintah Abdul Rachaman;
Kerajaan Baghdad di bawah Chalif Harun Al Rasjid dan Kerajaan Hindustan Islam
di bawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita
kemelaratan dan kezaliman, bilamana Chalif, tentara, polisi, hakim dan algojo
bertindak sewenang-wenang.
Syahdan benua Eropa sampai sekarang
sudah mengenal lima tingkat kemajuan masyarakat: 1) Masyarakat Komunisme Asli.
2) Masyrakat budak/slave. 3) Masyarakat feodal (budak-serf). 4) Masyarakat
Kapitalis dan 5). Masyrakat Sosialis (Rusia, Polandia, Cekoslowakia, Hongaria,
Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria). Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme
asli) maka State, negara, sebagai alat penindasnya satu klas atas klas lain
belum lagi dikenal. Setelah masyrakat di sana pecah menjadi klas berpunya dan
klas budak (tingkat ke 2) seperti di Yunani Kuno dan Romawi, maka barulah
diperlukan satu state, satu negara, sebagai alatnya kaum berpunya untuk
menindas kaum budak, yang boleh dijual-belikan dan dibunuh. Kabarnya konon
lebih kurang 25.000 anggota keluarga yang berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri
sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas lebih kurang 500.000
(setengah juta) kaum budak.
Semakin keras pemerasan, semakin
kejamlah pula penindasan jadi semakin kejamlah pula tindakannya alat negara
itu, ialah militer, polisi, penjara dan algojo.
Pada tingkat ke-3 (masyarakat
feodal), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh keluarga dan ninggrat
untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada tanahnya, yang
boleh dijual-belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya, oleh yang punya.
Pada tingkat ke-4 (masyarakat
kapitalis), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan
tuan tanah untuk menindas dan memeras proletaria mesin dan tanah. Di samping
birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo, maka kaum borjuis
mempunyai pula alat bathin untuk menindas rohaninya kaum proletariat, ialah
surat kabar, gambar hidup, sekolah dan gereja.
Akhirnya pada tingkat ke-5
(masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat penindas belum juga hilang.
Negara itu pada tingkat ini berupa diktator proletaria, ialah kaum Proletaria.
Sebagai klas yang berkuasa. Diktator Proletaria mendiktekan kemauannya atas
masyarakat baru (sosialis); membangun dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas
sisa kapitalisme dan feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara
proletar itu terhadap serangan kapitalisme imperialisme dari luar.
TUMPANG TIMBULNYA NEGARA
Sesuatu negara itu bisa tumbuh,
selama yang lama, ialah kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup
mengadakan kemajuan (tehnik, sosial, politik dan kebudayaan). Negara lama itu
tak sanggup lagi memberi kemajuan dan klas baru dalam masyrakat, ialah yang
selamanya ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang
lama serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.
Demikianlah di benua Eropa, negara
budak bertukar menjadi negara feodal, seterusnya negara feodal di Perancis
bertukar menjadi negara kapitalis (revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara
feodal-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (revolusi proletaria
tahun 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara
itu didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi. Perubahan ekonomi, ialah
perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran
barang serta pengangkutan dan keuangan, sedikit demi sedikit dari tahun ke
tahun berubah sampai pada suatu ketika, perubahan bilangan (quantity) berubah
menjadi pertukaran sifat (quality), cocok dengan undangnya dialektika.
Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme-asli, sedikit demi
sedikit berganti menjadi pertukaran besar dan cepat, melompat atau meletus,
menjadi pertukaran ekonomi perbudakan. Begitulah pula dalam puluhan tahun,
bahkan ratusan tahun sejarahnya
masyarakat Eropa, perubahan sedikit demi sedikit dalam perekonomian budak
terutama di Eropa-Selatan (Yunani-Romawi) lambat laun sampai kepada tingkat
melompat meletusnya menjadi perekonomian
feodal. Selanjutnya sepanjang undang dialektika itu juga, perekonomian feodal
bertukar menjadi perekonomian kapitalis. Kini (akhir tahun 1947) perekonomian
kapitalis sudah bertukar pula menjadi perekonomian sosialis diantara lebih dari
tiga ratus juta (300.000.000) manusia, yang mendiami Soviet Rusia dan beberapa
negara disekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan pertukaran ekonomi
dari sistem ekonomi komunis-asli, menjadi perekonomian budak itu mendorong
perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan
dan pertukaran ekonomi yang berlaku berturut-turut dari perekonomian feodal ke
perekonomian kapitalis dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosial.
Mendorong pula kepada pertukaran bentuk negara dari negara budak berturut-turut
kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis dan negara sosialis (diktator
proletar).
Ringkasnya gerakan bentuk negara,
daris sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang
sesuai.
Apakah pula yang menjadi
kodrat-pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu?
Marx dan Engels menjelaskan dengan
segala bukti, yang dikemukakan oleh para ahli sejarah, dimasa mereka hidup,
bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lain-lain) itu digerakkan oleh
kodrat penghasil (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat dan
Mesin. Dengan berubah bertukarnya kodrat-penghasil ini, maka berubah
bertukarlah pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun
berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali
cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan
tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup dan
membela diri terhadap musuh, yang berupa manusia biadab dan binatang buas.
Makan yang terutama, ialah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan yang
terpenting ialah mencari buah-buahan, berburu dan berperang. Pekerjaan
sedemikian cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan
gotong royong. Orang tidak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman
manusia dan hewan serba liar dan ganas itu. Kerja bersama untuk mencari makan
dan membela diri itu sendirinya mendorong kepada milik bersama atas alat dan
senjata (kecuali dalam satu dua hal) dan milik bersama pula atas produksi ialah
hasil pekerjaan bersama itu. Di sini dan di zaman ini tidak ada pemerasan
manusia atas manusia lain ataupun pemerasan satu klas atas klas lainnya.
Semuanya anggota masyarakat itu berpunya, yakni mempunyai alat dan hasil. Tidak
ada yang tidak berpunya, tidak ada pula pertentangan antara klas yang berpunya
dengan klas yang tidak berpunya. Jadinya masyarakat semacam itu tidak
memerlukan satu negara sebagai alat penindas, yang teristimewa, “yang
menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan
dirinya dari masyarakat itu”. masyarakat yang semacam ini ialah masyarakat
komunis asli.
Pada tingkat ke-2 pada masyarakat
budak alat (produksi) itu bukan lagi batu, melainkan logam ialah tembaga, besi
dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat (produksi).
Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat
manusia bukan lagi masyarakat pemburu, yang belum lagi mengenal pertanian,
seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam itu sudah mengenal
peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan serba bersahaja) dan sudah mengenal pertukaran
barang. Pula sudah timbul pembagian pekerjaan (divition of labour) antara
golongan peternak, petani dan tukang. Seseorang anggota masyarakat di zaman
itu, tidak lagi seperti sebelumnya itu, yaitu (misalnya) pagi berburu, petang gembala,
sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan
yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat tersebut sudah
terpisah-pisah dalam golongan gembala, pemburu petani dan tukang. Masing-masing
golongan melakukan pekerjaannya saja. Dengan begitu, maka kepandaian dan
kelancaran bekerja kian hari kian bertambah.
Demikian pula hasil terus
bertambah-tambah. Dalam keadaan begini lahirlah pertukaran barang, antara orang
dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyrakat itu sendiri serta
akhirnya antara satu masyrakat dengan masyrakat lainnya. Yang membutuhkan
pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (gandum)
dengan yang mempunyai pakaian yang berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum
saudagar, dan timbullah pula kemungkinan, bahwa sesuatu kodrat penghasil, ialah
kaum budak serta alat jatuh terkumpul ditangannya beberapa yang berpunya. Kerja
bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja
paksa oleh klas yang berpunya atas klas budak, yang kebanyakan ialah orang
tawanan dalam sesuatu peperangan atau turunannya orang tawanan itu atau orang
yang berhutang, tetapi tidak sanggup membayar hutangnya lagi. Milik bersama
atas alat dan hasil, seperti pada zaman
komunis asli bertukar menjadi milik perseorangan (private ownership)
atas alat, tenaga dan hasil. Klas yang kecil, ialah klas yang berpunya memeras
dan menindas klas yang besar, tetapi tidak mempunyai apa-apa. Pertentangan yang
sering bertukar menjadi perjuangan semakin menghebat dan bertambah tajamnya
pertentangan dalam penghidupan. Di sinilah timbul satu alat penindas yang
istimewa “yang menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin
mengasingkan dirinya dari masyrakat itu”.
Di sinilah timbul dan tumbuh tentara
dan polisi, ialah “alat yang terutama bagi kekuasaan negara”. Di sinilah
bertukarnya masyarakat komunis asli, satu “masyarakat bersenjata yang bertindak
sendiri”, menjadi negara budak, dengan serdadu, resisir, polisi, jaksa, penjara
dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, ialah pada
masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah lazim dan bertambah baik.
Bajak besi dan jentera, buat temu menemuan sedang mengembang peternakan,
pertanian dan perusahaan susu, buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang
maju. Mulailah timbul manufature (pabrik atas dasar kerja tangan) di samping
pertukangan. Keluarga raja dan kaum ningrat memiliki alat produksi (tanah dan
perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan dijual-belikan, tidak
lagi boleh dibunuh, tetapi masih boleh dijual belikan. Budak slave bertukar
menjadi budak serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit
perhatian serta inisiatip dalam pekerjaannya. Budak-slave tidak mempunyai kedua
sifat itu sama sekali, karena memangnya badan dan jiwanya sendiri, bukanlah
mereka yang punya, apalagi alat dan hasil. Budak serf diizinkan sedikit
mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (imploments). Dengan demikian, maka
mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggp memegang
sisa pajak itu buat hidup dia sendiri beserta keluarganya. Sebab itulah pula,
maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan inisiatif
dalam pekerjaanya. Di samping milik feodal berada milik perseorangan oleh tani
dan tukang atas alat dan hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik
perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di
zaman budak serf hampir tidak berapa bedanya dengan di zaman budak slave.
Demikianlah pula pertentangan dan perjuangan antara klas ningrat dan klas budak
serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dan knecht
(majikan dan bujang) pada sesuatu manufacture tiada pula kurang daripada di
zaman budak-slave. Di zaman feodal ini, maka negara itu, dengan syaratnya
seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara dan algojo, di samping penekan batin,
ialah gereja, terang sekali sifat dan coraknya, sebagai alat penindasnya satu
klas atas klas yang lain.
Tingkat ke-4 ialah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita
kenal. Perkakas yang digerakkan dengan tangan, di masa manufacture dahulu,
sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kilogram di
zaman manufacture, yang sudah sukar diayunkan oleh seorang pekerja, sekarang bertukar
menjadi godam, yang beratnya sampai 50. 000 kg, yang dengan mudah diayunkan
oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik di zaman manufakture cuma bisa
memusatkan 1.000 orang atau lebih kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang
sanggup memusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik, dan ratusan-ribu dalam
satu perusahaan (tambang atau kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin
memerlukan latihan dan kepintaran. Budak slave dan serf yang bodoh itu tidak
dapat dipakai lagi oleh kapitalis zaman sekarang. Proletar masih harus
disekolahkan lebih dahulu. Disinilah berasalnya undang-undang yang mewajibkan
belajar setiap-tiap warganya negara demokratis (compulsory education).
Seandainya jika tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau
pertukangan, maka tak akan bisalah atau susah sekali buat seseorang kapitalist
mendapatkan buruh buat dipekerjakannya.
Untunglah bagi kaum kapitalist,
bahwa sesuat perusahaan besar di zaman kapitalist ini menindas dan melenyapkan
perusahaan kecil. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka
pabrik mesin melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, kebon-besar
melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang.
Sebagian besar penduduk jauh melarat
atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu.
Mereka proletar terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalist. Mereka “merdeka”
karena “dimerdekakan” oleh revolusi burdjuis dari tanahnya Ningrat dan kaum
tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya, karena disaingi dan dilenyapkan
oleh mesin pabriknya kaum kapitalist. Mereka “merdeka” pula menjual tenaganya
kepada kapitalis. Tetapi karena mereka
terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada
kapitalis itu dengan semurah-murahnya, lantaran saingan yang tajam antara
seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil
oleh perusahaan besar, maka harta-benda Negara terpusat pada yang berpunya.
Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin
bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya. Syahdan
didunia kapitalisme tulen, maka selusin dua orang memiliki hampir semua mata
pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan
lain-lain. Dengan begitu, maka produksi jatuh ke tangan yang memiliki alat
produksi itu pula. Sebagian besar rakyatnya tak mempunyai apa-apa, tetapi
merekalah yang mengadukan hasi dengan cara kerja bersama-sama. Pertentangan
selusin-dua lusin orang yang tiada bekerja. Tetapi memiliki alat produksi dan produksi
dengan sebagian besar rakyat yang kerja membanting tulang, tetapi tiada
memiliki alat produksi dan Produksi itu, pertentangan antar hak milik yang
berdasarkan perseorangan dengan cara bekerja yang dilakukan bersama-sama, amat
nyata dan amat bersahaja dimasa krisis ekonomi. Di masa inilah Negara
Kapitalist beserta Birokrasi, Militer, Polisi, Kerajaan, Penjara, Algojo,
Pendeta dan Profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi
proletar. Di masa krisis inilah Negara Borjuis bertelanjang bulat menontonkan
dirinya sebagai alat penindas oleh kaum Borjuis atas kaum Proletar dan
melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri ditengah-tengah, yang “adil”
tidak berpihak kesana atau kesini.
Revolusi Proletaria, yang
melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyrakat ke
tingkat ke-5, yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871
dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia diantara 150 juta manusia, semenjak
perang dunia pertama dan di Rusia serta sekitarnya , diantara lebih daripada
300 juta manusia semenjak perang dunia kedua, tak ada lagi pertentangan antara
hak milik atau alat produksi penting, yang berdasarkan perseorangan (prive)
dengan cara bekerja yang berdasarkan bersama-sama (sosial). Alat produksi
penting dimiliki bersama-sama oleh kaum pekerja dan hasil (produksi) dimiliki
bersama-sama pula dan dibagi-bagi menurut aturan: “Siapa yang tiada bekerja
tiadalah pula akan dapat makan”. Dengan Revolusi di Rusia maka timbullah
kekuasaan baru, negara baru, ialah diktatornya proletar, yakni kaum proletar sebagai klas yang menumbangkan
Negara Feodal Kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan
Penjara Proletar, buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi,
tentara, polisi dan penjara Tsar, dan Kapitalist Rusia disertai semua bantuan
konco-konconya kaum Kapitalist-Imperalist di luar Rusia.
THESIS, ANTI-THESIS dan SYNTHESIS
Sudah hampir nyata berlakuknya hukum
dialektika, yang thesis, anti-thesis dan synthesis dalam ribuan tahun majunya
masyarakat seluruh manusia di dunia dalam garis besarnya.
Sebagai thesis (awal) maka
masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan miliki bersama atas alat dan
hasil. Keadaan semacam ini didapat hampir seluruhnya dunia pada zaman komunisme
asli.
Sebagai anti-thesis (pembatalan)
maka masyarakat komunisme-asli tersebut terbelah dua dan menimbulkan
pertentangan antara dasar kerja bersama terhadap milik perseorangan, pokok
antara klas tak berpunya, tetapi bekerja melawan klas berpunya, tetapi tiada bekerja.
Keadaan begini terdapat pada tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1) tingkat
masyarakat budak-slave 2) masyarakat feodal dan 3) masyarakat kapitalisme.
Sebagai synthesis (kebatalan
pembatalan), maka masyarakat manusia diseluruh dunia sekarang sedang menuju
kepada masyarakat komunisme modern. Di sini pertentangan di dalam masyarakat
kapitalisme, ialah pertentangan diantara kerja bersama oleh yang tak berpunya
melawan miliki perseorangan yang berpunya, tetapi tiada bekerja, akan hilang
lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern yang (seperti
masyrakat sosialisme) berdasarkan kerja bersama dan milik bersama atas alat dan
hasil (produksi).
Dipandang dari sudut pemerintah,
sejajar dengan cara menghasil dan memiliki hasil itu tadi, maka pada zaman
komunisme asli, “rakyat bersenjata itu bertindak (pada awal komunisme masih
perlu bertindak dengan keras) menjaga keberesan jalannya semua urusan
masyarakat.
Pada tingkat komunisme yang terakhir
(phase tertinggi), maka negara (state), sebagai alat penindas oleh satu klas
atas klas yang lain hilang lenyap (withering-way), karena tak ada lagi
pertentangan dalam masyarakat; tak ada lagi pertentangan dalam masyrakat; tak
ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah sudah bertukar menjadi sifat
mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyrakat
itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan persaudaraan yang sesungguhnya;
semua kebiasaan yang diperlukan oleh komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan
tumbuh dalam phase komunisme yang pertama, ialah phase sosialisme yang di
diktatori oleh kaum pekerja.
Proses (lakon) yang berupa:
komunisme asli, masyrakat ber-klas, komunisme modern, itu bukanlah peredaran
dalam sesuatu lingkaran (circle), melainkan satu peredaran dalam suat lingkaran
yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme-modern, sebagai ujungnya proses
(synthesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan Dialektika pula dalam
badannya sendiri!, komunisme-modern itu, akan mempunyai sifat yang lebih banyak
dan lebih baik daripada segala sifat yang terdapat dalam komunisme-asli, (pada
thesis).
Kerja bersama pada komunisme modern,
adalah kerja bersama yang lebih rational (teratur) dengan alat (mesin, listrik
dan kodrat kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan
tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik bersama atas hasil (produksi)
adalah milik bersama atas haisl yang beribu-juta kali lipat ganda banyak, sifat
serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu
di zaman komunisme asli. Perhubungan antara manusia dengan manusia di zaman
komunisme modern, adalah perhubungan yang tidak memandang warna, kulit, darah
dan kekeluargaan (suku) lagi, seperti pada zaman komunisme asli, melainkan
perhubungan yang luas, berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan
mempunyai pengetahuan, pengalaman dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya
manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruhnya manusia dalam
puluhan, bahkan ratus ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas,
maka zaman diktator proletar itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah
diktator proletar itu dikatakan zaman peralihan itu, maka masyrakat yang di
diktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan
menginjak masyarakat komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah
terletaknya masyarakat komunisme modern, tingkat yang tertinggi.
Adapun diktator proletar itu masih
mengandung sifat kenegaraan, ialah alat penindas, yang dibangunkan oleh kaum
proletar untuk kaum proletar sebagai alat penumbangkan alat penindasnya kaum
borjuis. Tetapi pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas
borjuis itu, sedang menanam bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme.
Setelah semua alat produksi, yang penting dijadikan miliknya masyrakat pekerja,
maka semua sistem perekonomian, sosial dan kebudayaan didasarkan atas maksud
menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunisme, phase
tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum
pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja sendiri,
untuk seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi ada zaman peralihan, yakni
zaman sosialisme atau zaman diktator proletar itu distribusi (pembagian hasil)
masih dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: “siapa yang tidak
bekerja tidak akan makan” dan kedua: “seseorang mengeluarkan tenaga yang sama
untuk mendapatkan hasil yang sama”.
Keduanya hukum tersebut masih
bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh Marx, orang itu memangnya
tidak sama satu dengan lainnya; yang satu kuat dan yang lain lemah; yang satu
kawin dan yang satu tidak; yang satu beranak banyak, yang lain tidak beranak.
Maka oleh sebab itu tidaklah adil sama sekali, kalau yang lemah harus
mengeluarkan sama banyak tenaga dengan yang kuat dan kalau sebaliknya yang kuat
yang menghasilkan lebih banyak daripada yang lemah (dalam waktu yang sama)
menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang tidak beristri harus
mendapat sama banyak dengan yang tidak, atau yang beranak banyak mendapat sama
pula dengan yang tidak beranak.
Persamaan semacam itu, adalah
persamaan untuk semua orang yang tidak sama dengan lainnya, satu persamaan yang
palsu.
Tetapi Marx, Engels, Lenin dan
Soviet Rusi merasa terpaksa mempergunakan dasar tersebut sebagai titik
melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia kapitalisme
itu haruslah mempunyai sesuatu pegangan buat melangkah. Masyarakat baru itu
masih terpaksa tersambung dengan masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir
masih disambung oleh ari-ari dengan ibunya, kelak setelah klas dan ideologi
borjuis lenyap dari kebiasaan dan kemauan bekerja sudah merata diseluruhnya
masyarakat, disamping produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian semua
tehnik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat-ganda. Dengan produksi
yang melimpah-limpah itu, maka sendirinya berlaku dasar komunisme, yakni:
“seseorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut
keperluannya”.
Sebanding dengan majunya kebiasaan
bekerja dan naiknya produksi, maka lenyaplah klas dan ideology borjuis dan akan
lenyaplah pula akhirnya diktator proletar tadi (withering away) sebagai alat
penindas oleh kaum pekerja atas kaum borjuis. Bersama dengan lenyapnya diktator
proletar, maka timbullah komunisme, phase tertinggi. Zaman itu dibelakang ini
tidak lagi mengenal negara beserta alat penindasnya, melainkan merupakan satu
masyarakat yang makmur, rational, serta adil penuh prikemanusiaan.
Kaum anarkis berbuat (bukan yang
berlagak-lagak anarkis), yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah
memikirkan, apakah selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis sudah
diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya,bahwa apabila semua orang yang memegang
kekuasaan itu (Raja, Menteri, Jendral dan lain-lain) dibunuh saja, dimana
dijumpai, maka keadaan seperti salam zaman komunisme, phase tertinggi akan
timbul sendirinya saja. Mereka melupakan, bahwa semua sifat borjuis dari klas
borjuis yang juga meresap ke dalam klas proletaria itu tidak akan lenyap begitu
saja, dengan terbunuhnya semua orang pemegang kekuasaan negara.
Kaum Sosialis berkeyakinan bahwa
kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen
saja. Dengan jalan membikin undang-undang oleh para wakilnya kaum terbesar
dalam parlemen, ialah oleh para wakilnya kaum pekerja, maka mereka percaya,
bahwa alat produksi bisa dijadikan miliki bersama oleh negara. Mereka lupa
bahwa negara itu, ialah satu negara, sebagai alat penindas oleh yang berpunya
atas yang tidak berpunya. Mereka lupa, bahwa dalam pemerintahan, seperti dalam
tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan lain-lain, kaum intelek borjuislah
yang menjadi pemimpin. Mereka ini bisa dan dalam prakteknya selain melakukan
sabotage terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan
kaum borjuis, yang sudah diterima oleh parlemen dan yang sesudahnya itu harus
dijalankan oleh alat negara. Pengalaman kaum Sosialis di Jerman yang memegang
kekuasaan sesudah perang dunia pertama (pemerintah Ebert, Nosko, Sheidemann)
dan pemerintah Sosialis di Inggris yang sudah tiga kali dipraktekkan, semuanya
itu membuktikan, bahwa kaum buruh tidak boleh dengan bulat begitu saja mewarisi
alat Pemerintah Negara Borjuis. Baik Pemerintah Sosialis Jerman maupun Pemerintah
Sosialis Inggris tidak berdaya menjalankan Undang-Undang Sosialis, yang tidak
memotong akar-akar kapitalisme yang terpenting.
Mengambil pelajaran dari revolusi
proletar di Perancis, yang mendirikan Comune kota Paris (pemerintah kota Paris)
pada tahun 1870, maka Marx dalam bukunya “peperangan saudara di Perancis”
memajukan bahwa “Kaum Proletar tidak boleh begitu saja mewarisi bulat-bulat
alat perlengkapannya negara itu (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah dan
lain-lain) dan menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar”.
Dari sinilah berasalnya pengertian
diktator proletar, yang oleh kaum Bolsjewiki di Rusia, dibawah pimpinan Lenin
dilaksanakan dann oleh Internasional kedua di bawah pimpinan Kautzsky selalu
dilupakan atau pura-pura dilupakan.
Lenin (State and Revolution, halaman
30-31) setuju dengan Marx yang berpendapat, bahwa pada tahun 1871, bilamana
Inggris masih satu contoh sebagai satu negara yang kapitalis tulen, tetapi
tidak mempunyai militerisme dan hampir tidak pula mengenal birokrasi, bahwa
pada masa itu “satu revolusi, malah satu revolusi rakyat bisa dimengerti dan
boleh jadi berlaku, dan tidak memerlukan satu jaminan, yakni lebih dahulu alat
negara yang sudah siap itu haruslah dihancurkan”. Tetapi” kata Lenin
seterusnya, sekarang dalam tahun 1917, dalam masa perang besar imperialis, maka
pahamnya Marx tadi tidak tepat lagi; keduanya, Inggris dan Amerika, sebagai
ciptaan kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir dalam
arti, di mana militerisme dan birokrasi tidak terdapat sekarang (kedua negara
itu) sudah terjun ke dalam berlumuran darah itu, yang menguasai dan
menginjak-injak segala-galanya.
Sekarang baik di Inggris, ataupun di
Amerika, yang terpenting, sebagai syaratnya setiap revolusi rakyat yang
sesungguhnya, ialah memecahkan menghancurkan alat negara yang sudah siap itu
(ready made state machine, yang dimasukkan ke dalam kedua negara itu antara
tahun 1914 dan 1917).
Kata Lenin selanjutnya “yang kedua
(ialah) perhatian istimewa harus ditujukan kepada peringatan Marxd yang penting
itu, bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu
adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya”.
Sistem diktator proletar bukanlah
satu impian atau ciptaan Marx. Sebagai seorang Scinetist (ahli ilmu bukti) maka
Marx tak pernah memimpikan atau
menciptakan sesuatunya seperti kaum Utopis: Thomas More, Saint Simon,
Touvier dan Robert Owen. Sebagai Scientist maka Marx membentuk sesuatu thesis atas
sesuatu pengalaman, yakni sesuatu bukti. Perbuatan kaum proletar para Comune di
Paris pada tahun 1871 itu, mewarisi alat negara secara bulat begitu saja.
Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam semua alat negara dan
melakukan perlawanan diam-diam, terhadap kaum proletar yang memegang kekuasaan
di masa itu. para pemimpin proletar tidak menukar alat negara borjuis dengan
alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.
Kealpaan kaum proletar Paris itulah
yang oleh Marx dianggap menjadi sebab yang terutama, maka “Comune Paris” dapat
dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu yang pendek.
Proletar Rusia di bawah pimpinan
partai komunis tidak mewarisi bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh
Tsar, yang berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan
Profesor Miljukoff dan oleh Partai Sosialis Revolusioner yang mewakili kaum
borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky cs. Kaum komunis menghancurkan
alat-alat negara Tsar dan Ningratnya, yang diwarisi bulat-bulat oleh Borjuis
besar dan kecil itu, sambil menukar dengan alat negara proletar. Pemerintah
lama bertukar dengan Soviet, tentara feodal-borjuis dengan tentara merah,
polisi-feodal-borjuis dengan polisi proletar, mahkamah-feodal-borjuis dengan
mahkamah proletar, didikan feodal-borjuis dengan didikan proletar dan
sebagainya.
Dengan Diktator Proletarnya, maka
Soviet Rusia sudah berdiri lebih daripada 30 tahun, dan sudah sanggup menukar
negara setengah kapitalis menjadi negara industri klas satu; sudah berperang
dan sudah memusatkan tenaga lebih daripada lebih kurang 300 juta manusia, atau
lebih kurang 1/7 dari jumlah seluruhnya manusia, serta menduduki lebih kurang
1/7 dari seluruhnya daratan di dunia.
Tetapi komunisme sejati yang
meliputi seluruhnya dunia, haruslah lebih dahulu melewati zaman peralihan,
ialah zaman Diktator Proletar yang menguasai seluruhnya dunia pula. Sekarang
manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk berwarna bermacam-macam
itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam bumi iklim serta
kebudayaan pada lima benua itu, memangnya sedang mengorganisir dan mengerahkan
kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum Ningrat Borjuis beserta
kaki tangannya di seluruh dunia pula.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN
REPUBLIK INDONESIA
Pada tanggal 17 Agustus 1945, maka
Sukarno Hatta atas paksaan rakyat Jakarta, yang dipimpin oleh Pemuda, yang
bermarkas di Menteng 31, memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Bentuk
pemerintahan yang dipilih ialah republik. Buat penulis ini sendiri, maka
peristiwa yang sangat penting buat rakyat Indonesia itu, berarti melangkah dari
dunia pikiran ke dunia sesungguhnya, dalam waktu sedikit lebih dari 20 tahun.
Ke arah Republik Indonesia saya tulis pada bulan Januari tahun 1924 Singapore.
Republik Indonesia, yang
diproklamirkan pada 17 Agustus, yang 100% lepas dari negara asing manapun juga,
disambut oleh 70 juta rakyat di seluruh kepulauan Indonesia dengan persetujuan
bulat. Dimana-mana terjadi pertengkaran dan pertumpahan darah antara tentara
Jepang dengan rakyat Indonesia yang berhasrat keras seperti baja melaksanakan
kemerdekaan itu.
Proklamasi 17 Agustus itu tidak lain
daripada pelaksanaan hak mutlat rakyat Indonesia sendiri. Hak mutlak semacam
itu sudah lama diakui oleh ilmu politik modern dan sudah dikeraskan pula oleh beberapa
pernyataan, seperti oleh Presiden Wilson, oleh Atlantic Charter dan oleh UNO
(Serekat Bangsa).
Sudah lama filsafat politik, yang
resmi di dunia ini mengakui hak bangsa, diantaranya ialah seperti yang tersebut
di bawah ini: 1) Hak atas kemerdekaan (freedom).
2) Hak hidup dan membela diri (self-defence). 3) Hak bergaul dengan bangsa lain
(right of intercourse). 4) Hak atas kehormatan (honcur??) sebagai bangsa. 5).
Dan lain-lain hak.
Pada penghabisan perang dunia
pertama, maka di lapangan politik dan diplomasi diseluruhnya dunia
berkumandanglah dasar yang diformulir oleh Woodrow Wilson, Presiden Amerika
Serikat, yang mengemukakan bahwa “tiap-tiap bangsa berhak menentukan nasibnya
sendiri” (right of self determination). Jadinya tiap-tiap bangsa, berhak menentukan
sendiri, apakah bangsa itu mau merdeka atau tidak; apakah dia akan membentuk
sesuatu negara merdeka menurut bentuk yang disukainya sendiri, ataukah dia mau
memperlindungkan atau memperhambakan dirinya pada sesuatu negara asing.
“The right of selfdetermination” itu
diteruskan pula dalam bentuk lain, dalam satu persetujuan yang terkenal sebagai
“Atlantic Charter” (Piagam Atlantik), yang dibentuk bersama-sama oleh Roosevelt
kepala Negara Amerika Serikat dan Churcil, Perdana Menteri Inggris, yang dibelakang
hari disetujui pula oleh Stalin Perdana Mentri Soviet Rusia.
Dalam suatu buku yang bernama
“Pacific Charter” oleh Hallit Abend, tertulis (halaman 171), diantaranya:
“Inilah pengumuman bersama yang
resmi tentang penanda tanganan Atlantic Charter, sebagai disiarkan di
Washington dan London pada tanggal 14 Agustus 1941”.
Presiden Amerka (USA) dan Perdana
Menteri Mr.Churchill yang mewakili Pemerintah Kesatuan Kerajaan Inggris
berjumpa di laut”.
“Mereka diiringi oleh para pegawai
dari kedua Pemerintah, termasuk juga pegawai tinggi dalam Tentara, Armada dan
Angkatan Udara”.
“Mereka setuju tentang pernyataan
bersama diantaranya seperti berikut”:
“Presiden Amerika dan Perdana
Menteri Churchil, yang mewakili Pemerintah Kesatuan Kerajaan sesudah
bermusyawarah, merasa perlu membikin dasar bersama tentang politik nasional
kedua negara itu, atas nama mereka menyandarkan pengharapan mereka untuk hari
depan yang lebih baik bagi dunia”.
“Pertama: Negara mereka tidaklah
akan berusaha menambah kebesaran, tentang daerah atau lain-lainnya”.
“Kedua: Mereka tidak berkehendak
melihat perubahan daerah yang tidak sesuai dengan kemauan, yang diucapkan
dengan merdeka oleh rakyat, yang berkepentingan.”
“Ketiga: Mereka menghormati hak
sesuatu bangsa memilih bentuk pemerintah, dibawahnya mana bangsa itu hendak
bernaung; mereka ingin melihat hak-hak kedaulatan (sovereign rights),
pemerintah sendiri (Self government) dikembalikan kepada bangsa yang sudah
dirampasi (hak kedaulatan dan pemerintah sendiri) itu”.
“Keenam: sesudah hancurnya kekuasaan
NAZI, mereka berharap melihat terbentuknya perdamaian, yang akan memberikan
kepada semua bangsa (nations) segala alat penjamin keamanan dalam daerahnya
sendiri dan yang akan menjamin, bahwa semua orang dalam negara bisa hidup dalam
kehidupan yang terlepas daripada ketakutan dan kekurangan”.
“Kedelapan: mereka percaya bahwa
semua negara di dunia, baik atas dasar kenyataan ataupun atas dasar kerohanian,
haruslah melenyapkan pemakaian kekerasan. Karena tidak ada perdamaian di hari
depan dapat dipertahankan apabila tentara, armada dan angkatan udara diteruskan
dipakai oleh beberapa negara, yang mengancam atau bisa mengancam mengadakan
agresi ke luar daerahnya, maka mereka percaya sambil menunggu terbentuknya satu
peraturan menjamin yang lebih luas dan lebih kekal, bahwa perlucutan senjata
beberapa negara tersebut adalah penting sekali”.
Tanda tangan
Franklin D.Roosevelt
Winston S.Churchil
Dalam buku tersebut juga (halaman
170) dituliskan perkataan Stalin (yang diucapkan) dalam perayaan 25 tahun berdirinya
Soviet-Rusia, seperti berikut:
“Urgensi Programnya Sekutu Inggris,
Soviet, Amerika ialah: penghapusan perbedaan segala bangsa, persamaan semua
bangsa dan kebulatan daerahnya; kemerdekaan semua bangsa yang diperbudak dan
pengambilan hak kedaulatannya; hak tiap-tiap bangsa untuk mengatur urusannya
menurut kehendaknya; bantuan ekonomi kepada semua bangsa yang menderita; dan
bantuan kepada mereka untuk mendapatkan kemakmurannya; pengembalian hak-hak
demokrasi (dan) menghapuskan regiemnya (peraturan) Hitler”.
Akhirnya dalam Mukadimahnya Charter
for Peace of the United Nations (Piagam Perdamaian UNO), yang ditanda tangani
oleh para wakil beberapa negara di San Fransisco pada tanggal 20 Juni tahun
1945, maka diakui “Hak tiap-tiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri” dan
dilarang sesuatu negara memaksakan kemauannya dengan senjata pada bangsa lain
dipastikan pula.”
Dalam mukadimahnya Piagam UNO itu
diantaranya tertulis: “dan menetapkan sekali lagi kepercayaan pada hak-hak
manusia yang terpenting (fundamental human rights) pada kehormatan dan nilainya
diri manusia, pada persamaan haknya, lelaki, perempuan dan negara besar atau
kecil”.
Dan buat maksud tersebut di atas,
untuk melaksanakan maaf-memaafkan dan hidup bersama satu sama lainnya dalam
perdamaian sebagai tetangga yang baik, dan mempersatukan tenaga untuk memegang
perdamaian, dan kepastian internasional, serta menjamin bahwa kesatuan senjata
tidak akan dipakai lagi (that armed force shall not be used).
Dengan demikian, maka pemerintah
kami dengan perantaraan para wakilnya yang berkumpul di San Fransisco setuju
dengan Piagam Pergabungan Negara (UNO) dan dengan ini mendirikan Organisasi
Internasional yang akan dikenal dengan nama Pergabungan Negara (United
Nations).
Menurut Bab I, yang berkepala
“MAKSUD dan DASAR”, dalam artikel 1, dituliskan pula sebagai maksudnya UNO,
diantara lain-lain:
1. Untuk menjaga keamanan dan kepastian
Internasional dan berhubungan dengan maksud itu mengadakan tindakan bersama
yang efetif (tegas) untuk menghindarkan dan menyingkirkan segala ancaman
terhadap perdamaian dan buat membasmi semua tindakan agresi atau tindakan
lain-lain yang mengancam perdamaian.
2. Untuk memajukan persahabatan
diantara semua negara yang didasarkan atas kehormatan terhadap dasar hak sama
dan hak menentukan sendiri oleh semua bangsa dan mengambil tindakan lain yang layak buat memperkuat perdamaian
internasional.
Sekianlah catatan yang terpenting
untuk sekadar penjelasan.
Teranglah sudah, bahwa
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus itu adalah hak mutlaknya
bangsa Indonesia dan cocok dengan tulisan dan lisan yang terkandung dalam dasar
kenegaraan serta perhubungan Internasional sebagai termaktub pada anak-kalimat:
“Haknya tiap-tiap bangsa menentukan nasibnya sendiri”.
Teranglah pula, bahwa Organisasi
Dunia, dimana Belanda sendiri menjadi anggotanya, pertama sekali bersandar atas
pengakuan “hak sesuatu bangsa menentukan nasibnya sendiri itu, dan sendirinya
pula mengakui hak sesuatu bangsa, membela kemerdekaan terhadap sesuatu bangsa,
membela kemerdekaan terhadap sesuatu agresi dari negara lain”. Program yang
terutama bagi UNO itu, ialah membasmi semua agresi, yakni membasmi pemakaian
kekerasan terhadap sesuatu negara yang
merdeka atas dasar hak mutlaknya untuk menentukan nasibnya sendiri itu.
TIMBUL-TUMBUHNYA
REPUBLIK INDONESIA
Revolusi Indonesia berbeda dengan
Revolusi Perancis (1789, 1848, atau 1871) dan berbeda pula dengan revolusi
Rusia pada tahun 1917. Sifat kelas, yang memegang kekuasaan di Indonesia,
susunan dan sifat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat
kemajuan perekonomian serta akhirnya sifat dan keadaan bumi iklim serta tehnik
yang menjadi pendorong semua perubahan dan dasarnya ekonomi sosial, politik dan
kebudayaan berlainan sekali dipelbagai tempat yang tersebut di atas.
Berperang untuk Indonesia ini,
kepada kesimpulan (conclusion) yang ditetapkan oleh Marx dan Engels ketika 100
tahun lampau, kesimpulan mana dipertimbangkan menurut teknik ekonomi, sosial
politik serta kebudayaan jiwa manusia di Eropa Barat di masa itu, ataupun
berpegangan kepada semua kesimpulan Lenin yang dipertimbangkan menurut kupasan
(analyse) masyrakat Rusia pada tahun 1917 serta menghafalkan semua kesimpulan
tersebut buat dilaksanakan di Indonesia sekarang, bukanlah menjalankan hasilnya
cara berpikir yang dialektis bersandar pada teori materialisme. Seorang Marxist
yang mau dijadikan obor dalam menentukan sikap dan tindakan di Indonesia
sekarang haruslah mempertimbangkan kesimpulan itu atas bahan berpikir (premise)
yang diperoleh di Indonesia sekarang pula. Bahan berpikir itu adalah bayangan
(reflection) dari semua faktornya
masyarakat Indonesia kini sendiri: teknik ekonomi Indonesia sendiri,
sosial politik serta kebudayaan jiwa (psychology) rakyat Indonesia sendiri.
Dengan berbedanya hampir semua
faktor ini di Indonesia dengan Perancis dan Rusia pada waktu yang berlainan
pula, maka kesimpulan (conclusion) yang diperoleh seorang Marxist di Indonesia
sekarang tentulah berbeda pula dengan kesimpulan Marx dan Lenin, seperti tersebut
di atas, mungkin ada terdapat persamaan nama tetapi belum tentu sekali
bersamaan isi.
Yang bersamaan dan tetap bersamaan
bagi sekalian Marxist pada semua tempat dan semua waktu ialah:
Pertama: Cara (methode)
menyelesaikan dan memahamkan soal masyarakat (sosial
problem) ialah dengan cara
Dialektika (hukum pertentangan).
Kedua: Tafsiran, paham dan teori
tentang kejadian (phenomena) dalam masyarakat itu
didasarkan atas teori materialisme
(kebendaan).
Ketiga: Semangat pemeriksaan dan
penjelasan soal masyarakat dan tindakan yang
disandarkan kepada
kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan revolusioner.
Belum tentu sekali seorang yang
menepuk-nepuk dada dan mengakui dirinya seorang Marxist, Leninist dan
Stalinist, karena sudah menghafalkan semua kesimpulan Marx dan Lenin dalam
keadaan masyarakat di lain tempat dan di lain waktu belum tentu sekali
kesimpulan yang diperoleh atas masyarakat Indonesia dengan cara, tafsiran dan
semangat yang Marxistis. Ingat kita kepada kalimat yang dijunjung tinggi oleh
kaum Bolsjewik tua di Rusia yang berbunyi: “Marxisme itu bukanlah suatu Dogma
(hapalan), melainkan suatu pedoman untuk bertindak (Marxism is not a dogma but
a guide to action).
Yang boleh jadi memberi jaminan
kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxist, terutama dalam sesuatu
revolusi, ialah 1). Cara penjelasan yang dialektis (cocok dengan hukum
pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin) 2). Tafsiran yang materialistis
(berdasarkan kebendaan), bukannya yang idealistis (khayal) dan 3). Semangat
yang revolusioner, bukannya contra revolusioner, maju ke depan bukannya mundur
kembali kepada keadaan yang lama.
Maka ujian yang terakhir tentangan
salah-benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan pula oleh golongan
yang berkepentingan sendiri, yakni:
I. Dalam soal revolusi nasioanal,
apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu
sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan hidupnya
terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.
II. Dalam hal revolusi borjuis,
apakah kelas borjuis yang tertekan oleh kelas feodal dalam masyarakat feodal
tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjuis sesungguhnya mendapatkan
kekuasaan bagi menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kelas borjuis.
III. Dalam hal revolusioner
proletar, apakah kelas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan
tindakan borjuis (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang
menuju ke arah komunisme.
Demikianlah pentingnya tafsiran
(interpretation) tentan revolusi, yang harus kita utarakan kepada Revolusi
Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada
tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan taktik strategi serta sikap dan
tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.
Memperhatikan semua revolusi baik
revolusi kelas melawan kelas (kelas borjuis melawan feodal, seperti di Perancis
tahun 1789; proletar melawan feodal borjuis, seperti di Rusia tahun 1917);
ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun
1776-1782), maka selayang pandang tampaklah:
Bahwa timbulnya revolusi itu adalah
pada suatu krisis, di mana pertentangan dua pihak (yang pada tingkat akhirnya
berdasarkan pertentangan ekonomi), sedikit bertukar menjadi pertempuran.
Revolusi itu jaya, apabila di mana krisis tadi nyata, bahwa yang lama tak
sanggup lagi mengatur, dan yang baru sudah insyaf dan sanggup menyusun dan
mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban
sebesar-besarnya.
Saya tegaskan lagi: defenisi di atas
ialah sekedarnya untuk meliputi semua jenis revolusi. Kalau dilaksanakan pada
masyarakat Indonesia maka kita akan memperoleh seperti berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang
tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada
krisis, 17 Agustus sanggup menyusun dan menggerakkan Murba dan membangun
Republik dengan tidak memandang korban.
Proses pertentangan dalam
kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat
komunis asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi,
lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal
berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Majapahit. Kedua
Negara Feodal tersebut tentulah tidak berapa beda susunan sosial dan politiknya
dengan Negara Feodal yang lain-lain di atas bumi ini. dalam masyarakat
komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar
kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong menolong. Di masa masyarakat feodal,
maka negara itu sudah tidak luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu
golongan atas golongan yang lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut
tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman
Sriwijaya dan Majapahit ialah bangsa Indonesia, sedangkan di kelas atasnya,
ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama
terdapat bangsa Hindu Asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa runtuhnya
Majapahit, maka pada kelas atas itu terdapat pula Bangsa Arab, asli dan
campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arab
mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan
Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta
kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan
Indo-Arab-lah pula yang berturut-turut mengendalikan atau mempengaruhi
perekonomian, terutama perdagangan Indonesia dengan negara luar.
Pada permulaan abad ke-17
imperialisme dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu
dan Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tidak ada
bandingnya di dunia ini. produksi tingkat manufacture yang terdapat di
Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme awal (pre-capitalism) di Eropa
yang agak lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di
Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula.
Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli
Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda
kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan
dari Indonesia ke Eropa dimonopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda
kepada Jepang, maka semua kebon modern, semua tambang, semua pabrik, semua alat
pengangkutan, semua Bank dan Insuransi, dan semua perdagangan export dan import
boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa dan Arab,
Amerika, Inggris, Belgia, dll.
Dengan timbulnya pemerasan oleh
bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem Deandels, maka timbulah satu
negara jajahan, yang tidak mengenal prikemanusiaan sama sekali. Pekerjaan
membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas
Belanda, ialah tentara penjajahannya, dipaksakan dengan kejam dan zonder
bayaran oleh Belanda atas Bangsa Indonesia. Perampokan tenaga dan jiwa ribuan
Bangsa Indonesia di masa itu memerlukan satu Negara Kolonial, dengan alat
penindas yang amat kejam serta keji.
Alat penindas negara jajahan itu
tidak berkurang keji kejamnya dengan pertukaran sistem rodi ala Daendels tadi
dengan sistem rodicultuur stetsel ala Van den Bosch. Memang ada aturan yang
tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel, itu (berapa tanahnya
yang harus ditanami kopi dan lain-lain; dan berapa yang harus ditanami padi
dll), tetapi dalam prakteknya petani Indonesia terpaksa menanami semua tanahnya
buat barang dagangan Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat mengisi
kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah
perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, maka
petani Indonesia (Jawa) bertukar menjadi kaum kuli dan kaum sunan, sultan, raja dan ningrat di seluruh
Indonesia bertukar menjadi mandor kebun pabrik, pengairan dan juru tulis dalam
kantornya semua alat penindas Belanda.
Sistem Cultuur Stelsel, yang lambat
laun didorong oleh perubahan tehnik di Eropa, terpaksa pula dirubah menjadi
sistem Vrije-Arbeid (kerja merdeka) ala Malefeit.
Seperti sudah kita sebut lebih
dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak berhak atas
apa-apa bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri. Tidak memperdulikan
alat, pekerjaan serta hasil pekerjaannya. Sedikitpun mereka tidak
memperlihatkan inisiatif. Bersama dengan sistem kerja merdeka, ala borjuis,
maka kaum proletaris lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menundukkan
inisiatif, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan
sistem Vrije-Arbeid itu membawa perubahan semangat kerjanya kuli Indonesia.
Seperti pula proletaria industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat
proletaria, yang harus melayani mesin itu, begitu pula Rakyat Indonesia harus
sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.
Bersama dengan tumbangnya kekuasaan
feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara
feodal.
Dengan demikian (bahasa Indonesia
sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana
dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima yang sisa yang
dilemparkan oleh kaum kapitalis itu kepadanya itu, demikianlah pula para
ningrat penganggur menerima sembarangan “pekerjaan” yang dilemparkan oleh
penjajah Belanda kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B Ambtenaren (pangreh
projo).
Dari Bupati sampai ke lurah, dari
sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara, dan algojo semuanya itu
adalah inlanders alat untuk menindas bangsanya sendiri. Dimana pada semua badan
alat pemerintah diperlukan satu reverse (cadangan), demikianlah pula alat
penindas di Indonesia memerlukan reserve rendah, menengah dan tinggi. Cadangan
ini setiap tahun dicetak oleh borjuis jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi
pula buat inlanders alat dalam produksi, perdagangan, administrasi,
ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.
Syahdan dalam garis besarnya kita
melihat pertentangan yang ada dalam masyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942)
seperti berikut:
Kaum berpunya yang terdiri dari
bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan
telunjuk, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya,
ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi
hidup dengan sisa yang dilemparkan kepadanya.
Gambaran yang lebih kongkrit tentang
perbandingan bangsa Indonesia dan Belanda dalam masyarakat Indonesia, dalam
waktu sebelum jatuhnya itu dapat ditegaskan dengan dua, tiga kalimat di bawah
ini:
Dalam perekonomian: sedangkan si
Inlander menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (heusch de
inlanders kunnen wel met een benggol per dag leven) maka tiap-tiap tahun
mengalir F.1.500,- juta rupiah ke negeri Belanda, sedangkan seorang pengemis di
negeri Belanda bisa dengan mudah menjadi “Tuan Besar” di kebun atau di tambang
Indonesia.
Dalam kesosialan: Diantara kaum tani
di Jawa, yang berpenduduk 50 juta itu, sudah murah taksiran kita, kalau
dikatakan, bahwa hanya lebih kurang 3% Tani, yang mempunyai sawah yang cukup
buat penghidupannya (ialah lebih kurang 3 bahu). Yang mempunyai cuma 1/3 bahu
mungkin sekali lebih daripada 50%. Tani Proletar yang tak berpunya apa-apa,
yang luntang-lantung mencari pekerjaan kian kemari, sedikitnya ada 25%.
Diantara sisa penduduk asli di Jawa, ialah sedikit saudagar tengahan, sebagian
besar saudagar kecil, pangeh-praja, juru tulis dan intelek-gembel.
Dalam Politik: 70 juta Rakyat
Indonesia cuma mempunyai dua tiga orang saja dalam Gedung Sandiwara (Volksraad)
di Jakarta, sedangkan semua “key-position” (kekuasaan penting) dalam
Pemerintahan, ketentaraan, kepolisian dan Urusan Luar Negeri berada di tangan
Belanda.
Dalam Perguruan: Kata Belanda, bahwa
untuk membasmi buta huruf dan mengadakan Undang-Undang wajib belajar (compulsory
education) Indonesia memerlukan usaha lebih kurang 150 tahun. Sedangkan
Nederland dengan penduduknya yang 7 juta mempunyai 5 University dan Sekolah
Tinggi lainnya, maka Indonesia dengan 70 juta penduduknya belum lagi mempunyai
satu University dan cuma 4 sekolah tinggi. (menurut ukuran perguruan di negara
Belanda, maka Indonesia mestinya mempunyai 50 University dan 50 sekolah tinggi)
Pertentangan tajam antara rakyat
Indonesia dengan imperialisme Belanda dalam segala-gala itu tidak dapat
didamaikan, cuma dapat sementara waktu dininabobokkan oleh gerakan seperti
P.E.B dan Legioen v.d. Geest (Gerakan Belanda) dengan inlanders-alatnya. Juga
oleh gerakan intelektual dengan Parindra gerakan intelektuil dengan Parindra,
Partai Pendidikan Nasional, Gerindo gerakan reformisme nasional.
Maka apabila topan kemiliteran dari
satu bangsa berkulit kuning yang kecil itu, bertiup dari utara, maka Pemerintah
“Hindia Belanda” ditiup oleh bangsa Jepang, sama mudahnya dengan angin meniup
pasir dari alat batu. Tak ada seorangpun diantara pecinta Nusa dan Bangsa
Indonesia yang merasa sedih melihat lenyapnya imperialisme Belanda dengan alat
penindasnya pada tanggal 8 Maret tahun 1942.
Lebih kurang 30. 000 serdadu Jepang
yang menyeberangi lautan sejarak 5.000 km yang lelah letih dapat menghalaukan
dan mempertekuk-lututkan 95.000 serdadu yang bersenjata lebih lengkap dalam 8
hari saja. Mungkin sekali 3.000 buah jibakutai sanggup melakukan pekerjaan yang
tersebut. Imperialisme Belanda tidak mempunyai urat sosial dan politik yang dalam
dan sehat pada masyrakat Indonesia. Seandainya urat-sosial-politik itu ada,
sebab adanya kerja sama dan derajat sama dalam perekonomian, dan seandainya
dalam 350 tahun itu Belanda berusaha membangunkan semua kekuatan yang ada dalam
tanah, air dan rohani jasmani 70 juta rakyat Indonesia, tentulah Jepang tak
mempunyai harapan sama sekali buat menghampiri tanah, air dan udara Indonesia,
jangankan pula hendak merampas tenaga, harta benda serta garis Indonesia.
Dalam 3 ½ tahun Jepang merampas sisa
kekayaan, yang dipusatkan Belanda dan memeras tenaga, sedemikian rupa, sehingga
yang tinggal pada rakyat jelata cuma rombongan celana karung dan tulang kering
romusha, sebagai sisa daripada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam dan di luar Indonesia.
Jepang mewarisi dan memperkokoh alat
penindas yang dipusakakan oleh Belanda yang ditukar dengan alat penindas
Jepang, yakni pemerintah Kempei, di bawah Saiko-Sikikan dengan alat
peninabobokan seperti Chua-Sa-Ngi-In, 3 A, PUTERA, HOKOKAI dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi ada pula organisasi, yang dibangunkan
oleh Jepang untuk Jepang yang masih bisa membalik melawan Jepang seperti
Organisasi Kaibodan, Seinendang, PETA, HEIHO dan JIBAKUTAI yang mendapat
latihan kemiliteran yang cepat hebat imperialisme Jepang pun menggali kuburnya
sendiri!
Setelah Jepang di atomi dan menyerah
kepada Sekutu, maka yang baru di Indonesia, yakni pemuda yang insaf dan sanggup
menyusun, dan menggerakkan rakyat Murba mengambil kesempatan baik untuk
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dari Ir.Soekarno
sampai ke Presiden Soekarno
Karena amat banyak menyinggung Pimpinan
Negara Republik Indonesia dalam masa revolusi ini. Maka saya perlu sekali
mengemukakan sedikit pandangan mengenai dirinya Presiden Soekarno. Barangkali
ada baiknya juga saya ceritakan tentang perhubungan saya dengan Presiden
Soekarno.
Sah dan perubahan jiwa manusia itu
umumnya, sebagai cerminan perubahan masyarakat manusia umumnya pula, juga
mengalami undang dialektika, yakni perubahan sedikit demi sedikit, dari abad ke
abad pada suatu ketika menjadi pertukaran sifat. Dengan maju berubahnya
masyarakat sedunia, dari zaman komunisme-asli ke zaman sosialisme modern
melalui zaman perbudakan, zaman ningrat dan zaman kapitalisme, maka maju dan
berubahnya kebudayaan kejiwaan (psychology) manusia itu dalam ratusan tahun.
Tetapi dalam dirinya seseorang
(manusia) pada suatu masyarakat dalam hidupnya seseorang itu bisa berlaku
gerakan kemajuan atau gerakan kemunduran. Seseorang dalam seumur hidupnya bisa
bertukar dari revolusioner menjadi konservatif atau anti-revolusioner atau
sebaliknya dari konservatif bertukar menjadi revolusioner. Yang menjadi
pendorong dalam pertukaran paham itu biasanya perjuangan kelas dalam masyarakat
itu. Filsafat atau pandangan hidup dan juga kemauan atau wataknya orang itu
sendiri. Seseorang juga berwatak waja dan konsekwen dan mempunyai pandangan
yang tepat tentang gerakan kelas dalam masyarakat itu, biasanya patah atau
tegak dengan pahamnya semula. Tetapi orang yang tiada mempunyai filsafat atau
pandangan hidup yang tepat dan masak tetapi mempunyai watak dan kemauan yang
mudah diombang-ambing oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu diri sendiri
atau pengaruh dari luar, biasanya kalau bertemu dengan rintangan mudah sekali
bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya
sendiri.
Satu dua di antara pelbagai ukuran yang
biasanya kita pakai terhadap seseorang yang terjun terhadap seseorang, sebagai
pemimpin, apakah pertama sekali ia dapat melihat ke depan dan yang kedua
pakah dia cukup mempunyai watak yang konsekwen untuk memegang pandangan ke
depan itu. Dalam prakteknya kita bertanya, apakah yang dijanjikan pemimpin itu
kepada pengikut dan rakyatnya. Kedua, apakah dia jujur dan konsekwen melaksanakan
apa yang sudah dijanjikannya itu sambil juga memperhatikan cara dan moral yang
dijungjungnya untuk menepati janjinya itu.
Kita pertama bertanya; apa yang
dijanjikan oleh Ir.Soekarno kepada rakyat Indonesia ketika dia memimpin
PNI di masa “Hindia Belanda”? kedua, apakah Ir.Soekarno jujur memegang
janjinya itu?
Kita semua mengetahui bahwa Ir.Soekarno
menuju kepada Indonesia merdeka atas dasar “Sosio-Nasionalisme” dan
“Sosio-Demokrasi” dengan cara MASSA AKSI serta dengan semangat yang “tak kenal
damai” (bukan serupa almarhum Dr Sutomo).
Ir Soekarno sudah menderita banyak
kesengsaraan lantaran pahamnya itu dari pihak imperialisme Belanda, dan
sebaliknya pula mendapat kehormatan, simpat dan pujian yang luar biasa dari
seluruh golongan rakyat di Indonesia.
Tetapi bagaimanakah Ir Soekarno
menepati janjinya?
Dengan Jepang yang imperialistis,
militeristis dan teocratis Ir.Soekarno dari mulanya Jepang masuk sampai
jatuhnya dari tahun 1942 sampai tahun 1945 dia bisa kerjasama bahkan bisa
“sehidup semati” untuk mendirikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari
dalam lingkungan “Asia Timur Raya” yang pastilah cocok dengan filsafat hidup
Tenno Heika dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan dan penghargaanTenno
Heika oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Perang Jepang
di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di Saigon.
Presiden Soekrano (yang walaupun atas
desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memmproklamasikam
kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan “Amerika kita setrika,
Inggris kita linggis” serta dengan secara sandiwara membakar potret van der
Plas (Roosevelt dan Churchill)—dengan “Naskah Linggarjati” dan “Renville
principles” menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing
baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik.
Di masa Jepang sebetulnya banyak jalan
lain bagi Gico Soekarno untuk menyingkiri ikatan halus maupun kasar yang dicoba
dikenakan oleh kaki tangan Tenno Heika kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang
menganjurkan atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan berlian
rakyat Indonesia serta para gadis (untuk dilatih) untuk dikirim ke Tokyo.
Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus
menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan
pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui
beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT,
Borneo,dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda “mengosongkan
kantong” dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan
seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan UNI Nederland-Indonesia,
jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus.
Seandainya Ir Sokerano tetap memegang
pendiriannya semula dan bersandar atas kepercayaan kepada kekuatan 70 juta
rakyat dan dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang dasar Indonesia Merdeka
dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya” tetap pula memegang cara
Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai (juga terhadap sembarangan
imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa jepang kemerdekaan 100 %
boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada yang disangka-sangka.
Tetapi kalau kita pelajari perbuatannya
Ir Sokerno, maka kita terpaksa mengambil kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan
analisanya masyarakat Indonesia. tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya
perhatian yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia. Tiada tampak
bagi saya dalam semua pidatonya perhatian terhadap pertentangan yang antara
kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada
kelihatan pula dalam semua pidatonya itu perhatian terhadap pokok- pendorongnya
gerakan rakyat di Indonesia, ialah gerakan murba yang tak kenal damai. Semua
dipusatkan kepada grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat
perhatian dan perasaan para pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan
keyakinan juga berdasarkan pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata,
dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan
keyakinan itu, karena kepintaran menggunakan Bahasa Indonesia, maka dengan
suara yang bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para pendengar, dapatlah
Bung Karno memukau, menghipnotis sesuatu rapat rakyat murba.
Grande-eloquence
beserta grande-elegance a’la Soekarno yang banyak kecocokan pada irama
jiwa Murba Indonesia, yang tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu
imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang
dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan
di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grand-
elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori
gerakan dan revolusi di Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri
sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati
kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang
abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian
kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau maksudnya
murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil
tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi,
menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan
semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande
elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang
anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande elegance
a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan
melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya
anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”.
Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para
pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional
Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan
imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di awang-awang.
Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba
Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang
membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan ber-“Kinro Hoozi di zaman
Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di
zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu”
atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme
dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war
criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme
Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.
Berhubung dengan amat longgarnya cara
Ir.Soekarno menafsirkan suatu paham itu, maka tak pastilah saya ini dalam
menentukan apakah sikap Ir Soekarno yang sebenarnya terhadao paham dan
diri saya sendiri, walaupun di masa lampau kelihatan masih serba baik.
Buat sekadarnya membuktikan kerja itu
di zaman lampau, ialah sebelumnya tangkapan saya pada tanggal 17 Maret 1946 di
Madiun, maka tak ada salahnya kalau di sini saya mengemukakan beberapa
peristiwa yang barangkali tidak begitu atau samasekali tidak diketahui oleh
umum.
Sebermula, maka kebetulan saja, saya
dalam tahanan di Mojokerto (13 Juli 1946 sampai 29 Januari 1947) saya
terpandang satu buku yang berjudul “Indisch Schrift v/h Recht”. Dalam buku itu
tercantum Ir Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember 1931.
Hampir setengahnya laporan proses itu
yang menutupi lebih kurang 60 muka, mengambil bagian yang memperhubungkan aksi
Ir Soekarno di masa PNI dengan saya sendiri, ialah dengan perantara buku Masa
Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di Singapura pada pertengahan 1926.
Buku Masa Aksi itu sekarang sudah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke
dalam Bahasa Indonesia dan sudah disiarkan pada tahun lampau. Karena buku itu
di masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada beberapa pemimpin yang berpengaruh
besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali dan karena isi buku itu pula yang
pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno kepada saya pada pertemuan
bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan dari beberapa pemeriksaan
itu.
Beberapa kalimat disalin ke Bahasa
Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:
‘Landraad di Bandung ketua
Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22 Desember 1931. Raad van justitie di Jakarta
Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis 17 April 1931
Perkara terhadap para pemimpin PNI
menurut artikel 153 bis dan 169 dari Weboek v.strafrecht. pada halaman 609
tertulis: Dalam Indische Tijdschrift v/h Recht Ir Soekarno, R.Gatot
Mangkuprajo, Mas Kun, Supriadinata
Semenjak berdirinya PNI sampai tanggal
29 Desember 1929, yakni selama tahun tersebut teristimewa pada petengahan kedua
tahun itu, di Bandung dan tempat lain-lain, ialah di Jawa dengan memimpin atau
berbicara pada rapat umum kursus dan propaganda tertutup. Demikian pula dengan
jalan memberikan pimpinan kepada dan memajukan massa aksinya partai mereka
mengambil bagian dalam PNI dengan pengetahuan tentang tujuan partai. Maksud
terakhir dari PNI dengan tegas dituliskan dalam statute..keterangan azas
sebagai syarat yang pertama disebutkan’ kemerdekaan poitik, yakni berhentinya
pemerintahanan Belanda di atas Indonesia itu.
“Sebagai alat yang paling baik Massa
Aksi yang teraturlah yang dikemukakan.”
“Landraad menganggap penting sekali
brosur Massa Aksi in Indonesie, terdapat pada produk FN ditulis oleh Tan
Malaka, pemimpin komunis yang pada waktu itu berada di Singapura.” Pada halaman
639 Tidjs. v/h Rehct tertulis a.l:
“Menimbang bahwa produk AX juga
menunjukan, memperbaiki, masyarakat oleh Murba (massa) dari Murba, untuk Murba
perkataan mana satu persatu terdapat brosur Tan Malaka halaman 73..”
Menimbang bahwa thesis tentang
pembagian imperialism atas corak dalam produk O (yang menurut saksi Kamaruddin
dalam pemeriksaan adalah diktat pada kursus kepada calon anggota partai) yang
juga terdapat dalam produk Bu; satu tulisan dari Inu Perbatasari, pemimpin
kursus, disalin Woordelijk (kata demi kata) dari brosur Tan Malaka tersebut
halaman 32 pada halaman 656 TIJDS. v/h RECHT:
“…………..Bahwa (menurut terdakwa Pen!)
nasionale daad (perbuatan nasional) disebutkan akan berakhir tahun 1930.”
“………….sedangkan dengan sedikit
perubahan istilah (sedikit perubahan itu adalah atas tanggungannya jaksa
Belanda semata-mata,Pen!) Tan Malaka dalam produk FN mengemukakan bahwa salah
satu syarat untuk menimbulkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan
Hindia Belanda ialah bahwa pimpinan dari Massa Aksi harus senantiasa sanggup
membentuk tuntutan dan semboyan yang baru dan bersemangat sehingga
kemauan Murba suatu saat bertukar menjadi perbuatan Murba.
Pada halaman 659 TIJDS v/h RECHT:
“………….Menimbang penolakan yang
menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pemberontakan yang kecil-kecil dan
tidak teratur tiadalah member jaminan bagi jayanya revolusi, sudah terdapat
pada surat kode Tan Malaka dan Subakat dalam produk V, kepada para pemimpin
komunis di negeri ini dari sudut mana berhubungan dengan produk LL, sama sekali
tidak terbukti, seperti yang hendak dikemukakan oleh Pembelaan, bahwa PNI yakni
para pemimpinnya tidak menghendaki pemberontakan bersenjata terhadap
pemerintah, tetapi lebih tepat bahwa (PNI) menolak Putsch, revolusi yang tiada
teratur sebagai siasat untuk mencapai maksudnya pengesahan yang pasti tantangan
kesimpulan itu terdapat dalam uraian Tan Malaka sendiri dalam Brosur Produk FN,
dimana penolakan yang pasti terhadap Putsch, sebagai siasat untuk mencapai
tujuan nasional, ialah kemerdekaan juga diberi alas an penuh oleh PNI menurut
produk FO dan OO dengan mempertentangkan Putsch yang tiada sempurna itu dengan
Massa Aksi yang teratur sebagai alat efissient (sempurna) untuk mencapai maksud
terakhir ialah kemerdekaan Indonesia sepanjang revolusi bersenjata.”
Pada halaman 660 tertulis:
“Putsch ialah hasil pekerjaan dua orang
berputus asa, sedangkan revolusi adalah hasilnya suatu gerakan masyarakat. Satu
revolusi seperti di Prancis dan Rusia timbul, setelah rakyat Murba disebabkan
oleh suatu kejadian menunjukkan kemarahan serta kemurkaannya dengan protes pada
rapat umum dan demostrasi yang disetujui oleh seluruh rakyat yang tak
lain melainkan Murba yang diorganisir.”
Catatan di atas bukan dimaksud untuk
membenarkan tuduhan jaksa Hindia Belanda terhadap Ir Soekarno. Juga bukan
membenarkan tafsiran jaksa dan PID Hindia Belanda tentang massa aksi tetapi
atas catatan di atas oleh pihak ke tiga dapat diambil sekedarnya kesimpulan
bahwa PNI dan Soekarno setuju dengan Massa Aksi sebagai alat yang paling baik
untuk mencapai kemerdekaan politik. Dikatakan pula baik dalam rapat umum maupun
dalam rapat terbuka dan dalam kursus partai, maka buku massa aksi banyak
dipergunakan.
Rupanya tuduhan pengadilan di masa
Hindia Belanda yang berkenaan dengan Massa Aksi itu tak seberapa jauhnya
daripada kebenaran. Sesudahnya saya membaca laporan tentang proses Ir Soekarno
cs dalam TIJDS v/h RECHT tersebut di Mojokerto, maka hal ini saja contohnya
pula dengan keterangan beberapa pemimpin yang rapat perhubungannya dengan Ir
Soekarno di masa lampau. Keterangan Hindia Belanda itu tentang perhubungan Ir
Soekarno dengan buku Massa Aksi itu sama sekali dibenarkan. Malah ditambahi
pula dengan keterangan bahwa bukan PNI dan Ir.Soekarno saja, tetapi ada lagi
partai-partai lain dan para pemimpin lain yang mempergunakan brosur massa aksi
dalam gerakan kemerdekaan sebagai petunjuk.
Perkataan yang pertama kali diucapkan
oleh Presiden Soekarno pada permulaan 1945 di rumah DR.Soeharto di mana saya
pertama kali berkenalan dengan Presiden Soekarno dengan perantara Saudara
Sajuti Melik atas nama yang sebenarnya setelah 3 ½ saya bersembunyi di
Indonesia. Kempei perkataan itu ialah “…dalam buku Massa Aksi rupanya Saudara
(Tan Malaka) anggap sifatnya imperialism Inggris berada di antara imperialisme
Belanda dan Amerika!”
Inilah perkataan yang pertama yang
diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam pertemuan yang sangat kami rahasiakan
itu, karena Jepang masih bersenjata lengkap di Indonesia, yang sudah 20 minggu
lebih memproklamirkan kemerdekaannya.
Baik juga saya ulangi di sini, bahwa
pada permulaan September 1945 itulah Ir.Soekarno dan saya berkenalan nama
dengan nama. Muka dengan muka seperti yang sudah saya ceritakan di lain tempat,
sudah bertemu di Bayah satu tahun sebelumnya ketika saya menghidangkan minum kepada
Gitjo Soekarno. Meskipun saya di Bajah itu belum puas dengan jawaban Soekarno
atas pertanyaan saya (Husein) tentang kemerdekaan Indonesia dan amat kecewa
denga PUTERA dan HOKOKAI yang berturut-turut dibangunkan dan dibubarkan, kecewa
dengan panitia Penyeliidik dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada Soekarno
saya masih memusatkan perhatian. Di masa Jepang berapa kali saya berniat
melangkahkan kaki ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No.56, tetapi terhambat
karena adanya Jepang itu! Saya yakin akan diterima oleh Ir.Soekarno, tetapi
sebaliknya yakin pula tidak akan lepas dari cengkraman kenpei Jepang. Pada
akhir percakapan yang tiada disaksikan oleh DR.Soeharto, tuan rumah sendiri,
tetapi disaksikan oleh saudara Sajuti Melik, Presiden Soekarno sambil menunjuk
berkata kepada saya lebih kurang sebagai berikut:
“Kalau saya tiada berdaya lagi, maka
kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan kepada saudara.”
Kami berpisah dengan sedikit sokongan
uang dari Presiden Soekarno kepada saya.
Yang kedua kalinya tiada lama sesudah
itu dengan perantara Sdr. Sajuti Melik juga. Saya berjumpa dengan Presiden
Soekarno di rumah Dr.Muwardi (Banteng) juga dalam keadaan rahasia.
Sekali Presiden Soekarno menganjurkan
bahwa nanti pimpinan revolusi akan diserahkan kepada saya, sambil memberi
sokongan uang pula.
Bagi saya di masa itu, perkara saya
menerima hak pimpinan revolusi, atau haknya Presiden Soekarno menyerahkan
pimpinan revolusi itu kepada saya, sebenarnya sekejap pun tidak mempengaruhi
perasaan, paham dan sikap memberikan sambutan terhadap usul Presiden Soekarno.
Saya sudah amat gembira bertemu muka dengan Presiden Republik Indonesia:
Republik yang sudah lama saya idamkan yang presidennya adalah putra Indonesia
sejati pula. Usul pemimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu kehormatan
saja dan sebagai tanda suatu kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya
belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda yang nyata, bahwa di masa lampau
benar ada satu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya, walaupun kami
hidup berjauhan.
Di belakang harinya sesudah demonstrasi
19 September 1945 di Jakarta yang saya dengar pula kabar dari pihak para
menteri, bahwa dalam satu sidang presidentil cabinet , Presiden Soekarno
berkata bahwa “…kelak dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah
seorang yang mahir dalam gerakan revolusioner.” Namanya itu belum disebutkan
tetapi akan diumumkan dalam satu rapat tertutup.
Peristiwa penyerahan pimpinan revolusi
itu saya bicarakan dengan Mr.Soebarjo yang pada saat itu menjabat Menteri Luar
Negeri. Mr.Soebarjo saya kenal baik ketika di Nederland pada tahun 1922 dan
saya jumpai di Jakarta pada 25 Agustus 1945 ialah seminggu lamanya setelah
proklamasi kemerdekaa dan setelah seminggu lamanya saya sia-sia menjumpai
kembali Soekarni cs dan Chaerul Shaleh cs. Mr.Soebarjo menganggap usul
penyerahan pimpinan revolusi kepada saya sebagai usul yang penting juga.
Desas-desus sudah terdengar di kiri-kanan bahwa Presiden Soekarno akan
ditangkap oleh Inggris dan akan dituduh sebagai “war criminal” (penjahat
perang) karena dianggap oleh sekutu sebagai membantu Jepang ialah musuhnya
sekutu dalam perang dunia ke dua. Berhubung dengan kemungkinan penangkapan itu
diperkuat pula oleh aksinya murba Jakarta pada tanggal 19 September yang tiada
disetujui oleh Presiden Soekarno rupanya bertambah merasa perlu mengadakan
payung sebelum hujan ialah mempersiapkan surat warisan mengenai pimpinan
revolusi.
Kelihatan benar pada saya bahwa
Mr.Soebarjo, Menteri Urusan Luar Negeri amat setuju dengan usul tadi.
Setelah keadaan di Jakarta mendesak
karena Inggris hendak mendarat dan saya terpaksa meninggalkan Jakarta
(keterangan lebih lanjut akan menyusul di belakang) maka Mr.Soebarjo berusaha
dan berhasil mendapatkan surat warisan.
Yang terpenting dari surat warisan itu
ialah bahwa kalau tiada berdaya lagi, maka mereka, Soekarno-Hatta akan
menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada Tan Malaka, Sjahrir, Iwa
Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Surat warisan itu ditandatangani oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta pada tanggal 1 Oktober 1945.
Mulanya yang mau menandatangani cuma
Presiden Soekarno dan surat warisan itu akan diberikan kepada saya sendiri
saja. Tetapi karena desakan Moh.Hatta (menurut Soebarjo), maka Wakil Presiden
Moh.Hatta ikut menandatangani dan menambah tiga orang lainnya untuk
mewarisi.
Karena saya anggap perlu mengorganisir
murba di luar kota Jakarta, sebab saya pandang Jakarta sudah terancam dan saya
belum dapat berhubungan dengan para pemuda Jakarta dan sama sekali belum tahu
adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat warisan yang ditandatangani oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta di dalam tas pada tanggal 1
Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai sekarang (17 Februari 1946).
Demikian perhubungan paham diri dengan
Ir.Soekarno dengan saya semenjak berdirinya PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sampai
satu setengah bulan berdirinya Republik Indonesia ialah 1 Oktober 1945.
Baik juga saya sebutkan di sini bahwa
pada saat meninggalkan Jakarta dan membawa surat warisan yang ditandatangi oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta itu, tercamtuhlah di hati saya:
kalau kelak Massa Aksi terhadap Inggris dan Belanda berhasil, maka gugurlah
tuduhan “war criminals” tuduhan penjahat perang itu kepada Soekarno Hatta. Dan
kalau Massa Aksi gagal, maka seluruh rakyatlah yang akan menanggung jawaban
tuduhan “war criminals” ditambah “revolutionary –criminals”, tuduhan penjahat
perang ditambah tuduhan penjahat revolusi. Tegasnya saya mengharapkan
Soekarno-Hatta sehidup semati dengan rakyat/pemuda Indonesia.
Ringkasnya, pada nasib seluruhnya murba
beraksi dan aksi murba lah saya anggap tergantungnya nasib para pemimpin
Soekarno-Hatta.
DI SEKITAR PERISTIWA
PROKLAMASI
Dunia menganggap bahwa Proklamasi 17
Agustus 1945 dilakukan oleh atas dasar inisiatif Sukarno Hatta. Cuma beberapa
orang saja mengetahui, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dilakukan oleh Sukarno Hatta, tetapi atas inisiatif, bahkan tidak dengan
persetujuan Sukarno Hatta, Proklamasi 17 Agustus bukanlah oleh kemauan Sukarno
Hatta. Proklamasi itu berlaku, walaupun tidak menurut kemauan Sukarno Hatta.
Kalau ada PROKLAMASI yang mendapat persetujuan penuh dari Sukarno Hatta, maka
Proklamasi semacam itu oleh Sekutu akan sudah dituduhkan sebagai PROKLAMASI
JEPANG. Banyak orang yang akan tersinggung hatinya mendengarkan keterangan
tersebut di atas itu. tetapi sesuatu sejarah bukanlah suatu impian, pengharapan
atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar atau para pemegang kekuasaan
belaka; melainkan suatu kejadian yang
memang sudah terbukti. Inilah maksudnya sedikit tulisan ini, ialah memberi
sekedarnya penerangan tentang peristiwa sebelum sedang dan sedikit waktu
setelah Proklamasi, menurut penyaksian
saya sendiri dan penyaksian beberapa orang lain, yang saya kenal.
Rupanya sudah ada usaha untuk
menghitam-putihkan Sejarah Proklamasi. Untuk mengimbangi usaha semacam itu dan
membela kebenaran dan mewariskan yang kami anggap kebenaran Sejarah Proklamasi
yang benar itu kepada turunan kitalah, maksud saya memberikan sedikit
keterangan tentangan sejarah proklamasi itu disini, yakni menurut pandangan dan
pendengaran saya sendiri.
Pada bulan Juni 1945, saya sebagai
Ketua Anak Ranting B.P.P Bajah diundang oleh Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga
Peta) di Rangkas Bitung buat menghadiri satu rapat yang bermaksud menentukan
sikap dan memilih wakil yang akan dikirim ke Jakarta. Di Jakarta akan diadakan
pula konferensi para pemuda yang dibelakang hari menamai organisasinya Angkatan
Baru Indonesia yang menuntut kemerdekaan Indonesia pada ketika itu juga dan
menentang keras sikapnya Para Pemimpin Tua (resmi).
Di antara beberapa wakil dan
seluruhnya daerah Banten yang hadir di Rangkas Bitung tadi, saya terpilih
sebagai utusan ke Jakarta. Di Jakarta saya dengan nama HUSSEIN cuma baru dapat
berjumpa dengan pemuda Anwar dan Harsono Tjokroaminoto, Chairul Saleh, Sukarni
dan B.M. Diah. Saya belum dapat menjumpai para pemuda Pandu K. Wiguna dan
Wikana yang namanya juga diperkenalkan kepada saya di Banten. Saya tidak dapat
mengunjungi konferensi yang dimaksudkan itu, karena memangnya konferensi itu
tidak jadi berlangsung, sebab Jepang tidak mengizinkan. Saya terpaksa lekas
kembali ke Bajah, menjalankan pekerjaan saya sebagai pegawai ditambang arang.
Pada tanggal 15 Juni 1945 berdirilah
Angkatan Baru Indonesia, yang “mempunyai Konsepnya sendiri” yang diurus oleh
para pemuda Harsono, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Supeno, Wikana dan
lain-lain.
Rakyat dan pemuda yang sudah amat
bosan pula dengan HOKOKAI rupanya mendorong Jepang mendirikan gerakan yang
bernama baru, tetapi berisi usang. Gerakan itu dinamai Gerakan Baru, sebagai
calon pengganti HOKOKAI. Dalam sidang pertama pada tanggal 6 bulan Juli
dipersoalkan nama, tujuan dan organisasi. Rapat ini diketuai oleh Gitjo
Sukarno. Yang hadir juga para anggota Panitia kecil, yakni Mr. Subardjo,
Mr.Moh.Yamin, Drs. Moh. Hatta, Abikusno dan lain-lain beserta para pemuda,
yakni Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Supeno, Trimurti, Dr.
Muwardi, Sudiro (mBah), Harsono, Sutomo (Bung Tomo) dan lain-lain.
Perdebatan terpusat pada istilah
Republik. Usul Panitia Kecil supaya nama Republik dikurung saja, ditolak oleh
Rapat. Rapat memutuskan supaya nama Republik dipakai terus terang saja.
Jepang Gunseikanbu, bernama Saito,
tak setuju dengan nama itu dan melayangkan sepucuk surat, secara main belakang,
kepada Ketua Rapat Sukarno. Menurut Jepang Saito ini soal bentuk Republik atau
lain bentuk itu adalah soalnya Tenno Haika. Saito meminta kepada Sukarno
membacakan surat yang ditulis oleh Jepang Saito kepada sidang. Rapat menjadi
gaduh, kabarnya sangat gaduh, setelah mendengarkan isi surat kecil yang ditulis
oleh Jepang Saito begitu saja, dengan menentang putusan para wakil rakyat dan
pemuda Indonesia. Keterlibatan rapat kabarnya lepas dari tangannya Gitjo
Sukarno. Akhirnya Adam Malik berdiri sambil mengucapkan perkataan kira-kira
sebagai berikut: “Kami pemuda semuanya datang sebagai utusan rakyat. Kalau kami
harus membatalkan putusan yang telah kami ambil bersama dengan rakyat, maka
kami tak dapat bertanggung jawab kepada rakyat. Kami tak ada gunanya lagi buat
berapat di sini dan saya terpaksa meninggalkan rapat”.
Perkataan Adam Malik membelah rapat
menjadi yang ikut ke luar dan setuju dengan Republik dan yang tinggal duduk dan
tak setuju lagi dengan nama Republik atau setuju, tetapi dengan Republik yang
“dikurung” = tanda () = lantaran takut atau segan kepada Saito atau Simizu,
Ular Jepang yang terkenal.
Perlu disebutkan nama mereka, yang
mau “melompat sama patah” mengikuti sdr. Adam Malik keluar, ialah Chaerul
Saleh, Sukarni, Pandu Wiguna, B.M.Diah, Trimurti, Wikana, Sudiro (mBah), Chalid
Rasjidi, Supeno dan yang lain-lainnya tinggal duduk.
Banyak persamaan akibatnya perkataan
Adam Malik dengan akibat Merabeau dan Siyes, pada salah satu saat yang
mengandung bahaya di masa revolusi Perancis. Pemuda yang keluar rapat mengikuti
Adam Malik itu terus diawasi, bahkan dikejar-kejar oleh Kempei Jepang buat
ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Tetapi Jerman sudah menyerah. Rusia
menyerang Jepang pada 9 Agustus 1945. Tidaklah lama sesudah sidang tersebut
Bom-Atom akan dijatuhkan di Horosima.
Walaupun di Bajah saya tidak
mendengar segala peristiwa tersebut, tetapi dalam surat kabar resmi yang
terlampau banyak menyembunyikan kabar pahit buat Jepang dan cahaya mukanya
orang Jepang yang tampak, saya sudah dapat membaca, bahwa Jepang sudah terdesak
ke pinggir jurang. Jepang harus menyelesaikan peperangan dengan tentara merah
dan bom-atom Amerika lebih dahulu, sebelumnya rakyat dan Pemuda Indonesia yang
sudah benci kepada Jepang dan kaki tanganya di Indonesia sampai kerongkongan
(tenggorokan).
Pada masa itu perhubungan saya
dengan para pekerja tambang arang di Bajah, dengan rakyat Jelata di sekitar
Bajah dan dengan satu Daidan Peta di Banten Selatan sudah agak rapat juga. Pada
masa itu ancaman dari Sidokang Jepang dan ancaman Kempei-Ho terhadap jiwa saya,
berhubung dengan pidato saya di gedung bioskop Bajah, bilamana saya mengusulkan
½ liter beras sehari untuk seorang
pekerja, saya rasa sudah tak begitu perlu saya hiraukan lagi.
Kesempatan yang kabarnya hendak
diberikan oleh Gitjo Sukarno kepada para Pemuda (Angkatan Baru) untuk
mengadakan pertemuan dengan para Pemuda itu, pada pertengahan bulan Agustus,
menyebabkan pekerja pemuda Bajah mengirimkan saya (Hussein) sekali lagi ke
Jakarta sebagai wakil untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Tibalah saya pada petang hari pukul
4 di jalan Padang No.3, di rumahnya
pemuda Sukarni. Yang kedua kalinyalah saya berjumpa dengan pemuda ini.
Berhubung dengan beberapa tulisan
para pemuda dalam s.k. Aria Raja dan berhubung pula dengan berdirinya Angkatan
Muda (Bandung) dan Angkatan Baru (Jakarta), maka saya mulai insaf, bahwa jiwa
baru dan semangat baru sudah mulai menjelma dalam dadanya para pemuda Indonesia
dengan cepat pesat. Dari percakapan dengan para pemuda Sukarni dan Chaerul
Saleh pada bulan Juni yang lampau, sudah sedikit saya mendapat kesan bahwa
semenjak zaman Belanda sampai sekarang adalah juga perhubungan dengan pemuda
ini, langsung atau tidak, dengan usaha kami di luar negeri (buku MASA AKSI
dll). Tetapi saya masih memakai nama Hussein dan belum membicarakan perkara
perhubungan tersebut lebih lanjut. Saya masih menunggu kesempatan dan saat yang
lebih tepat.
Malangnya pula pemuda Sukarni
kelihatan sangat sibuk pada tanggal 15 Agustus itu. banyak orang yang keluar
masuk rumahnya dan banyak rupanya hal yang disembunyikannya. Setelah sekedarnya
saya menguraikan pendapat saya tentang waktu itu, (saya belum tahu bahwa Jepang
sudah menyerah) dan mengusulkan sikap dan persiapan yang harus dijalankan
(pergerakan Murba), maka saya ditinggalkan oleh pemuda Sukarni. Saya diminta
menunggu di asrama belakang rumahnya bersama satu dua orang lain yang belum
pernah saya kenal. Tempat saya tidur sudah ditunjukkan pula.
Waktu jauh malam Sdr. Sukarni pulang
sebentar. Tetapi sesudah itu saya tidak melihat mukanya lagi kurang lebih satu
setengah bulan sesudah Proklamasi. Dengan putusnya perhubungan dengan Sdr.
Sukarni dan Chaerul Saleh, justru satu
hari sebelum Proklamasi, sampai satu setengah bulan sesudah Proklamasi, maka
putuslah hubungan saya dengan para pemuda yang kiranya sepaham dengan saya.
Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan;
hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan. Tetapi sejarah
tidak memperdulikan penyesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia.
Apakah yang terjadi pada malam 15/16
Agustus itu?
Dari Sdr. Sukarni, Pandu Wiguna dan
lain-lain baru dibelakang hari saya mendapat keterangan seperti berikut:
Atas nama Pemuda Jakarta, maka
Sjahrir mendesak Sukarno Hatta, supaya menentukan “sikap yang tegas” terhadap
Jepang sesudah Pemerintah Jepang menyerah (14Agustus 1945). Tetapi Sukarno
Hatta tak setuju dengan maksud mengadakan MASSA AKSI terhadap Jepang. Maka oleh
rapat antara Sjahrir dan Para Pemuda diputuskan (pada tanggal 15 Agustus 1945
jam 22.00) : (“Menyingkirkan Sukarno-Hatta sebagai penghalang Aksi Rakyat dan
Pemuda. Sukarni ditunjuk untuk menyelenggarakan penyingkiran itu dan para
pemuda yang lain-lain diharuskan mempersiapkan PROKLAMASI”.
Dikawali oleh para prajurit yang
bersenjata, setelah beberapa pemuda lainnya gagal, maka akhirnya Sukarni
berhasil menjumpai berturut-turut Hatta dan Sukarno yang dikawal pula oleh para
prajurit. Sukarni terpaksa menjalankan
desakan tegas kepada Sukarno Hatta, supaya dapat berangkat ke Rengas Dengklok
(jam 4 pagi tanggal 17 Agustus 1945).
Di Rengas Dengklok Sukarno Hatta
disembunyikan dalam sebuah rumah peta. Setelah mengadakan persiapan yang cepat,
maka pasukan (Daidah) Peta, dibawah pimpinan Tjuandantjo Subeno, menawan semua
orang Jepang dan kaki-tangannya orang Indonesia (Wedanan dan lain-lain
pengikut); menduduki semua tempat yang penting; menurunkan bendera Jepang
(Hinomaru) serta menaikkan bendera Indonesia (merah putih); dan akhirnya
mempersiapkan rakyat untuk membela kemerdekaan Indonesia. Syahdan di Rengas
Dengklok dengan bendera merah putih pertama sekali di seluruh Indonesia naik ke
angkasa.
Atas pertanyaan Sukarno Hatta kepada
Sukarni, mengapa mereka dibawa ke Rengas Dengklok dan berhubung dengan itu,
maka dalam soal jawab antara Sukarno Hatta pemuda percaya, bahwa Jepang sudah
menyerah. Bahwa menurut mereka, maka kabar penyerahan Jepang adalah “bohong”;
bahwa pemuda banyak “terpengaruh oleh berita mata-mata musuh” dan kabar yang
benar, ialah kabar yang didengar oleh Sukarno Hatta sendiri dari “hoogstand
persoon” (seorang Jepang yang luhur, tak mungkin bohong), tetapi tidak disebut
namanya.
(Bukankah menurut si Jepang,
Profesor Bekki, bahwa Jepang itu selama sejarahnya dikenal, belum pernah
dijajah? Bukankah pula nyata di sini, bahwa kabar yang diterima oleh para
pemuda dengan pesawat rahasianya lebih benar daripada kabar yang diterima oleh
Sukarno Hatta dari “hoogstand persoon” seperti Mijoshi atau “penasehat” Jepang
yang lain-lain?
Dimajukan pula oleh Sukarno Hatta,
bahwa Jepang masih bersenjata lengkap, serta “Sekutu akan datang pula ke
Indonesia dengan senjata lengkap” dan bahwa Sukarno Hatta sendiri “tidak
percaya kekuatan rakyat dan Pemuda”. Berhubung dengan semacam itu, maka
perjuangan itu akan berakhir dengan “pengorbanan besar-besaran dan sia-sia
saja”. Ditanyakan pula oleh Moh. Hatta kepada Sukarni : “Wat hebben wij?”
(Senjata apa yang ada pada kita?)
Demikianlah rupanya paham MASSA
AKSI, yang sekian tahun lamanya digembar-gemborkan oleh Ir.Sukarno di masa
“Hindia Belanda” sudah beterbangan kian kemari oleh lambaian bendera Hinomaru.
Setelah beberapa lamanya perdebatan
berlaku, pertanyaan Sukarni kepada Sukarno Hatta tentang maksud kedua pemimpin
besar ini, diberi jawaban kira-kira sebagai berikut:
“Sebetulnya hari ini sudah saya
putuskan, bahwa kami (para pemimpin besar) akan mengadakan voor vergadering
(rapat semula). Besok tanggal 17 sampai tanggal 22, selambat-lambatnya tanggal
23, sudah selesai rapat di Gedung Tjuo Sangi-in, Pedjambon. Tanggal 24 semua
putusan akan dikirimkan ke Tokyo. Tanggal 24 kita akan menerima balasan
telegram (dari Markas Tentara Pendudukan Amerika? Pen.) dari Tokyo. Tanggal 25
Agustus 1945 selambat-lambatnya kita sudah merdeka”.
Komentar! Beruntunglah Indonesia
yang tidak jadi menerima kemerdekaan dari tangannya Jepang itu. bahwasanya
dengan tidak diketahui oleh Sukarno Hatta, maka pada tanggal 25 Agustus yang
dijanjikan itu akan sudah 11 harilah Jepang menyerah zonder perjanjian apa-apa.
Seandainya usul Sukarno Hatta itu dijalankan, dan seandainya pula Tenno Haika
masih leluasa memutuskan, maka kemerdekaan Indonesia yang akan diterima dari
Tokyo itu, 100% akan cocok dengan ciptaan Jepang. Dalam hal ini, maka Sekutu
akan dapat pula berkata, bahwa Republik Indonesia adalah ciptaan Jepang dan
Sekutu 100% berhak mewarisi Republik ciptaan Jepang itu, yakni mewarisi hak
miliknya negara kalah perang. Tetapi lebih besar sekali kemungkinan, telegram
Sukarno Hatta akan jatuh ke Markas Besar Tentara Amerika. Perkara dibalas atau
tidaknya telegram itu, soal bagaimana cara membalasnya dan perkara bila akan
dibalasnya semua itu akan terletak di tangan Mac Arthur! Kalau Rakyat/Pemuda
sementara itu tidak mendesak Sukarno Hatta, mungkin Proklamasi tidak akan berlaku
sama sekali. Sebagai inventarislah Indonesia dan rakyatnya bulat-bulat akan
dikembalikan ke bawah Mahkota Belanda, zonder Linggarjati, Renville dan
lain-lain.
Setelah Sukarni mengemukakan bahwa
kemerdekaan Indonesia ala Sukarno Hatta itu adalah kemerdekaan ala Jepang dan
apabila sekali lagi Sukarno Hatta mengemukakan tidak percayanya akan kekuatan
rakyat/pemuda, untuk menghadapi Jepang bersenjata lengkap yang nanti bertambah
pula dengan tentara Sekutu bersenjata lengkap, maka Sukarni akhirnya mengemukakan
putusan rakyat/pemuda Jakarta yakni:
“Bahwa rakyat/pemuda sudah
menentukan sikapnya yaitu tidak mau diserahkan oleh Jepang sebagai rakyat
jajahan kepada sekutu dan Belanda”.
Bahwa rakyat/pemuda hendak
menunjukkan sikapnya kepada dunia luar, berapapun juga besar korbannya”.
“Bahwa sekaranglah saat yang
sebaik-baiknya buat bertindak, karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”.
“Bahwa, walaupun korban di Jakarta
akan besar, kelak lain-lain tempat akan mengikuti, membela kemerdekaan”.
“Bahwa di Rengas Dengklok sendiri
Jepang dan kaki tangannya sudah ditangkap; Hinomaru sudah diturunkan; bendera
merah-putih sudah dinaikkan serta rakyat dan peta sudah dipersiapkan”.
“Bahwa Sukarno Hatta jangan
menghalang-halangi kehendak rakyat/pemuda itulah, maka mereka disingkirkan ke
Rengas Dengklok”.
Hatta menjawab: “Baiklah sejarah
akan membuktikan”.
Di Rengas Dengklok penawanan dan
penangkapan Jepang dan kaki tangannya diteruskan! Empat orang Sidokang dan
Syotjokan Sutardjo dengan para pengikutnya yang tiba di Rengas Dengklok,
katanya untuk mengadakan rapat, ditawan pula.
Pada tanggal 16 Agustus itu
tiba-tiba Jusuf Kunto sampai di Rengas Dengklok (entah dari siapa di dapat
mengetahui!) membawa Mr. Subardjo dan Sudiro (mbah). Atas pertanyaan
Sukarni-Subeno dengan maksud apakah mereka datang di Rengas Dengklok, oleh Mr.
Subardjo dijawab: “bahwa mereka setuju dengan aksi pemuda; bahwa mereka
berjanji akan memberi bantuan kepada para pemuda dan memberikan kesanggupan
mereka meyakinkan Sukarno-Hatta, supaya jangan menghalang-halangi aksi
rakyat/pemuda yang sudah bersiap-siap untuk memproklamirkan kemerdekaan”.
Oleh Mr. Subardjo seterusnya
dijanjikan pula, bahwa Sukarno-Hatta akan ikut memproklamirkan kemerdekaan!
“Leher sayalah yang akan menjadi jaminan, kalau sekiranya Sukarno-Hatta tidak
ikut memproklamirkan kemerdekaan”, jawab Mr. Subardjo atas pernyataan
Sukarni-Subeno, yang menanyakan “jaminan apakah yang dapat diberikan oleh Mr.
Subardjo”.
Barulah Mr. Subardjo dijumpakan oleh
Sukarni-Subeno dengan Sukarno-Hatta pada suatu kamar di rumah Peta di Rengas
Dengklok itu. Dalam perundingan yang berlaku, akhirnya ketiga pemimpin ialah
Sukarno-Hatta dan Subardjo, mengatakan sanggup melaksanakan proklamasi, sebelum
jam 10 malam tanggal 16 Agustus 1945. Mereka berjanji pula akan mengumpulkan
semuanya pemimpin yang ada di Jakarta untuk mengadakan Proklamasi. Kalau mereka
kelak tiada menepati janji, maka mereka akan ikhlas dijatuhi hukuman apapun
juga oleh rakyat dan pemuda.
Sukarni-Subeno tiada keberatan lagi
terhadap usul Mr. Subardjo, asal saja mendapat persetujuan dari pihak para
pemuda Jakarta. Sebelum berangkat, maka Sukarno berjanji kepada Sukarni-Subeno
akan melakukan Proklamasi. Kira-kira jam enam pagi dan paling lambatnya jam dua
belas tengah hari tanggal 17 Agustus, kabar Proklamasi pastilah akan disiarkan
di radio dan surat kabar. Sukarno meminta pula, supaya sebelumnya waktu yang
dijanjikan itu, jangan mengadakan tindakan apapun juga.
“Tetapi kalau kelak Sukarni dikenai
bahaya, awaslah pula akan jiwanya Sukarno-Hatta dan Subardjo”, demikianlah kata
perpisahan daripada Subeno, pemimpin pasukan PETA di Rengas Dengklok itu.
Peringatan itu diterima oleh Sukarno
sendiri dengan persetujuan! Dengan satu auto yang membawa Jusuf Kunto, Sudiro
(mbah) dan Rachman, berjalan di depan, dan auto yang membawa Sutardjo di
belakang, maka auto berisi Sukarno, laki-isteri dan putera, Moh. Hatta,
Subardjo dan Sukarni berjalan di tengah-tengah dan tiba di Jakarta di depan
rumahnya Hatta, lebih kurang jam 22.00. disinilah isteri dan puteranya Sukarno
diturunkan.
Sekonyong-konyong Sukarno-Hatta dan
Subardjo dijemput seorang Jepang, bernama Forada, untuk dibawa ke rumahnya
Maeda (Kaigun). Sukarni diharuskan mengikutinya. Di tangga naik rumah Maeda,
maka Sukarni diancam dengan pistol oleh seorang Jepang. Sukarno-Hatta dan
Subardjo tampil melarang, dan mengemukakan. Bahwa kalau Sukarni dibunuh, maka
mereka (Sukarno-Hatta-Subardjo) sendiri dan beberapa orang Jepang tawanan akan
ikut dibunuh oleh para pemuda kawannya Sukarni.
Di rumah Maeda sudah ada B.M. Diah,
yang baru dilepaskan Kempei dari tahanan. B.M. Diah ditawan sebagai Ketua
Angkatan Baru Indonesia. Kelihatan juga Sayuti Melik. Jepang yang hadir,
selainnya dari Maeda ialah Nishi Shima, Saito dan Mijoshi. Apabila pada jam
23.00 Jamamoto (Gunseikan) yang ditunggu-tunggu kedatangannya tidak juga
kelihatan mukanya, maka Maeda mulai membuka perundingan. Dia mengemukakan bahwa
dia mengerti dan setuju dengan hasrat pemuda, yakni Indonesia Merdeka. Malah
dia sudah siap akan membantunya. Cuma dia menyesali perpecahan antara golongan
tua dengan golongan muda Indonesia.
Hatta mengemukakan, bahwa pernyataan
kemerdekaan pada malam hari itu tak bisa dihindarkan dan dihalang-halangi lagi.
Hanya dia mengharap supaya bahaya pertempuran secara besar-besaran (antara Jepang
dan rakyat/Pemuda Indonesia) dapat dihindarkan. Dan dikemukakan pula, kalau
golongan tua tidak mengakui kehendak pemuda, maka merekapun (golongan tua) akan
terancam oleh bahaya maut. Hatta menganjurkan mencari jalan yang baik.
Sukarno-Subardjo memperkuat
pandangan Hatta dan mengatakan lebih kurang: kalau sampai lewat jam dua belas
malam ini belum ada keputusan, maka gerakan pertama barangkali akan dilakukan
oleh pemuda. Jepang dan lain-lain juga sudah banyak yang sudah ditawan. Kamipun
(yang dimaksudkan ialah Sukarno Hatta Subardjo) adalah dalam bahaya.
Setelah perundingan selesai, maka
Sukarno berangkat katanya hendak menjumpai Jamamoto (Gunseikan) yang ingin
berbicara dan Sukarno berjanji akan menyelenggarakan Proklamasi dan
mengumpulkan para pemimpin.
Sukarni dan Chaerul Saleh berangkat
ke Manggarai menjumpai Sjahrir, Maruto, Pandu, Adam Malik, Kusnian, Djawoto dan
lain-lain. Setelah Sukarni memberikan laporan perjalanannya ke Rengas Dengklok
kepada mereka tersebut di atas ini, maka diputuskanlah, bahwa yang akan menanda
tangani proklamasi ialah enam orang pemuda (bukan para pemimpin besar) dan
Sukarni beserta Chaerul Saleh diwajibkan menghadiri rapat yang akan diadakan.
Yang hadir dalam rapat (lk. Jam 3.00
tanggal 1 Agustus 1945) ialah 1) Mr. Subardjo. 2) M. Sutardjo. 3) Tengku Moh.
Hassan. 4) Mr. Latuharhary. 5) Dr. Radjiman Widyodininggrat. 6) Dr. Moh. Amir.
7) Mr. Dr. Supomo 8) G.S.S.J. Ratulangi 9) I.Gusti Ketut Pudja. 10) R. Oto
Iskandar Dinata. 11) Ande Sultan Daeng Radja. 12) Mr. A. Abbas 13) Andi
Pangeran. 14) Supeno. 15) Gunadi. 16). Semaun Bakri 17)Sajuti Melik 18)
B.M.Diah. 19) Jusuf Kunto. 20) Chaerul Saleh 21) Sukarni. 22) Dr.Samsi 23) Dr.
Buntaran. 24) Mr. Iwa Kusumasumantri 25). Kamidhan. 26). A.R.Rivai.
Baru hampir jam 4 pagi 17 Agustus Sukarno
Hatta datang sesudah tulisan PROKLAMASI diselesaikan bersama-sama oleh Sajuti
Melik, Chaerul Saleh dan Sukarni, yang disetuji rapat dan berbunyi:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan
KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dengan
cara saksama dan
dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno Hatta
Berhubung dengan soal penanda
tanganan Proklamasi, maka Chaerul Saleh, wakil pemuda memajukan enam nama yang
sudah diputuskan dalam rapat di Manggarai. Tetapi rapat Proklamasi menghendaki
supaya semuanya nama mereka yang hadir dicantumkan dalam Proklamasi, Sukarni
berkeberatan mencampurkan nama enam pemuda tadi dengan nama mereka yang
disetujui dan dimajukan oleh Kempei Jepang, dia mengemukakan, supaya nama enam
pemuda tiada diumumkan sama sekali dan memajukan supaya Sukarno Hatta saja yang
menanda tangani.
Usul ini disetujui dan Proklamasi
dibacakan oleh Sukarno jam 4.00 pagi 17 Agustus 1945.
Sesudah Proklamasi, maka Chaerul
Saleh dan Sukarni diajak oleh Nishima ke rumah no.70 Kebon Sirih, katanya untuk mengaso. Tetapi nyata, bahwa
mereka dipancing ke sana buat ditahan. Sukarni yang selamanya ini berlaku
sebagai pertindak atas nama pemuda Jakarta, oleh Jepang tadi diancam dengan
pistol ketika hendak keluar. Tetapi usaha Chaerul Saleh hendak keluar sudah
berhasil. Dia bisa mendapatkan auto menjemput Sukarni dan bersama-sama mereka
berangkat ke tempat persembunyian.
Di Kepuh Selatan Jakarta para pemuda
bermaksud mengadakan pertemuan. Tetapi Sjahrir tidak datang lagi dan cuma
mengirimkan salah seorang pengikutnya saja. Di sini sudah kelihatan retak
antara Sjahrir cs. Pada satu pihak, yang dibelakang hari tercemplung ke dalam
diplomasi Linggarjati dan para pemuda di lain pihak yang dibelakang hari
bersandar pada Minimum Program Persatuan Perjuangan serta membela kemerdekaan
100%, ialah para pemuda Maruto, Armunanto, Sukarni, Pandu, Chaerul Saleh, Adam
Malik dan lain-lain.
Pada tanggal 18 Agustus Chaerul
Saleh bersama Jusuf Kunto mengajak Sukarni berkumpul dengan para pemuda lain di
Kramat, Asrama Ikadaigaku
(Ketabiban). Di sini dibicarakan tentangan sesuatu rapat yang bermaksud hendak
membentuk Undang-Undang Dasar, di Pejompongan, di mana juga nama Chaerul Saleh,
Sukarni, Adam Malik dan Wikana diputuskan, supaya empat pemuda tersebut pergi
menghadiri rapat pembentukan UUD itu. Diputuskan pula, bahwa mereka Pemuda akan
membentuk Panitia Kebangsaan Indonesia (Komite Nasional Indonesia), yang akan
merancang segala urusan negara dan akan diserahkan kepada Sukarno Hatta untuk
dijalankan. Kemudian ditetapkan pula akan membentuk KOMITE v. AKSI yang
berkewajiban mengatur dan memimpin gerakan militer serta rakyat/pemuda.
Setelah di Pejambon terbukti bahwa
masih ada orang Jepang (ialah Mijoshi, Saito dan Nishishima) dalam rapat
pembentukan UUD tadi, maka empat pemuda tadi cocok dengan putusan rapat pemuda
di asrama ketabiban seperti tersebut di atas MEMBOIKOT pembentukan UUD itu.
Di rapat Penjambon, yang dihadiri
oleh lk.40 orang itulah atas usulnya Oto Iskandar Dinata, usul mana cocok
dengan kehendak Jenderal Terauchi di Saigon (9 Agustus), yang menetapkan
Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Moh. Hatta
sebagai wakil ketua, jadi dengan tidak mengadakan tegen-candidaat (calon
saingan) menurut cara demokrasi, maka Sukarno dipilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden ialah buat sementara waktu.
Beralaskan sekadarnya bukti yang
saya kemukakan di atas cukuplah sudah keterangan buat menjelaskan, bahwa
Proklamasi 17 Agustus bukanlah berlaku atas inisiatif dan persetujuan hati
kecilnya Sukarno Hatta. Mereka melakukan
itu karena desakan pemuda Jakarta yang dibantu oleh rakyat.
Kalau soal Kemerdekaan Indonesia itu
diserahkan begitu saja kepada Sukarno Hatta, maka menurut perhitungan mereka,
kemerdekaan itu paling cepat akan diproklamirkan pada tanggal 24 Agustus 1945,
dan kemerdeakaan Indonesia itu sudahlah tentu akan mempunyai bentuk dan isi
menurut kehendak Kempei Jepang. Ada pula kemungkinan, bahwa dan akan diserahkan
oleh Tenno Haika kepada Sekutu, sebagai milik (inventaris) negara kalah kepada
negara menang.
Nyatalah sudah dari sejarah di
sekitar Proklamasi seperti tersebut di atas:
1. Bahwa Sukarno Hatta tidak percaya akan kekuatan yang hebat tersembunyi
dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa dinamis dan merdeka.
2. Bahwa Sukarno Hatta cuma
memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda
semata-mata.
3. Bahwa Sukarno Hatta seperti
dibuktikan oleh 3,5 tahun sejarah di bawah Jepang sudi menerima janji dan
status di bawah Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan
oleh Jepang kepada rakyat Indonesia.
Tetapi rakyat/pemuda Indonesia
dengan gembira menyambut dan dengan ketabahan, tekad dan pengorbanan tenaga,
harta benda dan jiwa yang besarnya di luar semua dugaan membela kemerdekaan
yang diproklamirkan ke seluruh Indonesia itu.
Pertentangan antar paham, sikap dan tindakan
Sukarno Hatta dengan paham sikap dan tindakan rakyat/pemuda terhadap hak
kemerdekaan dan hak membela kemerdekaan itulah yang sampai sekarang (Maret
1948) menjadi kesedihan sejarah dan sejarah kesedihan Republik Indonesia.
KE ARAH PERSATUAN
PERJUANGAN
Dari tanggal 15 Agustus, sampai 1
Oktober 1945 selama saya tinggal di Jakarta, saya rasa sudah cukup mendapat
bukti, untuk menaksir hasrat dan kesanggupan Sukarno Hatta, sebagai pemimpin
revolusi 17 Agustus.
Dari tanggal 15 Agustus sampai
Desember 1945, sesudah sedikit mempelajari gerakan rakyat/pemuda di Anyer
sampai ke Surabaya, maka saya merasa cukup mendapatkan alasan untuk mengambil
inisiatif, mendirikan Persatuan Perjuangan. Maksud tulisan ini, ialah
sekadarnya menguraikan pengalaman saya tentang hasrat dan tindakan Sukarno
Hatta pada satu pihak dan hasrat/tindakan rakyat/pemuda di lain pihak dalam
waktu tersebut diatas.
Setelah berpisah dengan Sukarni pada
tanggal 15-16 Agustus dan dengan Chaerul Saleh pada tanggal 16 Agustus itu
pula, sedangkan belum lagi saya mendapat kesempatan memperkenalkan nama saya
kepada kedua pemuda tersebut, maka berpisahlah saya dengan pemuda Jakarta. Saya
tidak lagi memperoleh kesempatan berjumpa dengan para pemuda lain yang
dibelakang hari berpusat pada Markasnya Komite van Aksi di Menteng 31.
Berkali-kali saya pergi mencari Sukarni dan Chaerul Saleh selama seminggu
sesudahnya Proklamasi tetapi tidak dapat bertemu. Saya dapat berhubungan dengan
sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto terkenal sebagai Bang Bejat, seorang
Jurnalis yang berani menulis apa yang tidak enak di telinga Jepang dan yang
amat populer diantara kami di Bayah. Beberapa kali saya mengunjungi sdr.
Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto di kantor Asia-Raya dan rumahnya sendiri,
tetapi pergabungan dengan para pemuda yang berpusat pada Menteng 31 dimana juga
duduk Sukarni dan Chaerul Saleh, tiadalah saya peroleh. Malah baru di luar
Jakarta dan jauh dibelakang harinya, saya mendengar tentang Markas Menteng 31.
Demikianlah maksud saya bermula hendak memperkenalkan nama kepada para pemuda
Jakarta dengan perantaraan Sukarni dan Chaerul Saleh tidaklah dapat saya
lakukan selama berada di Jakarta tadi.
Apalagi niat itu tidak dapat saya
lakukan, maka barulah saya mencoba memperhubungkan diri dengan seorang yang jarang
sekali saya dengar namanya di masa Jepang, tetapi saya kenal baik di negeri
Belanda (tahun 1919 dan 1922) ialah Mr. Subardjo yang menjabat Menteri Luar
Negeri dalam Kabinet Presidentil Pertama. Demikianlah pada tanggal 25 Agustus,
yakni seminggu sesudahnya Proklamasi saya pergi menjumpai Mr. Subardjo di
Cikini. Mulanya Mr. Subardjo kelihatan lupa kepada saya. Tetapi sesudah saya
tanyakan, apakah dia sudah lupa kepada saya, maka oleh Mr. Subardjo, sambil
berdiri kembali dijawab dengan “O, Tan Malaka, saya sangka sudah mati”.
Mr. Subardjolah yang pertama sekali
mengucapkan nama saya yang sebenarnya, semenjak saya mendarat di Sumatera
Timur, pada tanggal 10 Juni 1942. Ganjil benar bunyinya nama itu di telinga
saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi
nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari. Nama itu malah
memperingatkan kepada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para
pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang
bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1972
dan dalam penjara Inggris di Hongkong pada tahun 1932.
Segera Mr. Subardjo memanggil Mr.
Iwa Kusuma Sumantri buat diperkenalkan kepada saya. Pada permulaan September
saya oleh Sdr. Sayuti Melik diperkenalkan kepada Presiden Sukarno. Dan dengan
wakil Presiden Moh. Hatta saya dijumpakan (Drs. Moh. Hatta saya kenal di
Netherland pada tahun 1922) oleh Mr. Subardjo di rumahnya sendiri pada bulan
September juga. Begitu pula dengan Sutan Syahrir, Mr. Gatot dan Dr. Buntaran.
Pada permulaan bulan September,
setelah beberapa hari saja kami berjumpa kembali, maka Mr. Subardjo bertanya
kepada saya, apakah pekerjaan yang sekiranya baik dilakukan di masa itu. Maka
berhubungan dengan itu saya bentuklah bermacam-macam semboyan, seperti “The
Government of the People, for the People and by the People”. Indonesia for
Indonesians, “Hands off Indonesia” dan beberapa semboyan yang lain-lain.
Semuanya semboyan itu, beberapa hari saja dibelakangnya, ditambah pula dengan
beberapa semboyan lain oleh para pemuda sendiri sudah dicantumkan pada
tembok-tembok, bangunan resmi, tram dan kereta di Jakarta. Segera kota-kota
besar lainnya mengikuti. Kereta lambat dan cepat melarikan dan memperlihatkan
semboyan itu ke seluruh pulau Jawa dari ujung ke ujung. Semboyan semacam itu
sangat menimbulkan perhatian, serta membangkitkan semangat rakyat/pemuda dan
bangsa asing yang bersimpati, tetapi sangat menerbitkan amarah, kebencian dan
ketakutan mereka, yang tidak setuju dengan adanya Republik Indonesia, terutama
Belanda Indo dan dibelakang hari bangsa Belanda Kolonial. Dengan maksud
membelah dua yang pro dan yang anti Republik, memisahkan beras dan antah, maka
tercapailah wujudnya semboyan tadi. Apabila Belanda kolonial mulai
mencengkeramkan kembali kuku kekuasaannya di mana saja di Indonesia ini, maka
semboyan itulah yang pertama kali dihapuskannya.
Pada tanggal 15 September saya rasa
tibalah waktunya untuk mengusulkan apa yang saya sebutkan satu ujian kekuatan
(kracht-proef). Saya maksudkan, ialah mengadakan satu demonstrasi, yang dapat
memisahkan yang kawan daripada yang lawan, dan dapat menentukan berapa kuatnya
kawan dan berapa pula kuatnya lawan pada ketika itu. sungguhpun pada masa itu
Pemerintahan Republik sudah diadakan, tetapi kekuasaan administrasi, kepolisian
dan ketentaraan masih berada di tangannya Jepang. Rupanya Jepang masih belum
melepaskan maksudnya hendak menyerahkan Indonesia kepada Sekutu sebagai harta
pindahan (inventaris kepada pihak yang menang oleh pihak yang kalah.)
Mr. Gatot segera setuju dengan
demonstrasi semacam itu.
Demikianlah pula Mr. Subardjo, Mr.
Iwa Kusuma Sumantri dan lain-lain, demonstrasi itu dijadikan usul dalam Sidang
Kementrian.
Mulanya usul berdemonstrasi itu
diterima oleh Kementrian Presidentil. Tetapi setelah dilarang oleh Jepang, maka
Sukarno Hatta setuju pula dengan larangan Jepang kepada Indonesia merdeka itu
dan tidak setuju lagi dengan persetujuan semula.
Mr. Gatot mendesak memegang
persetujuan semula dan mendesak meneruskan demonstrasi, walaupun tidak
disetujui oleh Jepang.
Mr. Gatot dengan amat bersemangat
mendesak Presiden meneruskan! Tetapi seperti pada rapat Gerakan Baru (6Juli)
Gitjo Sukarno tunduk kepada surat “Kalengnya” Jepang Saito, maka ini kalipun
Presiden Sukarno (18/19 September) tunduk kepada “perintah” Jepang yang sudah
sebulan lebih menyerah kalah itu. Sebagaimana Adam Malik meninggalkan rapat,
sebagai protes terhadap pertukaran sikapnya Gitjo Sukarno dalam rapat Gerakan
Baru, demikianlah pula Mr. Gatot meninggalkan Sidang Presidium Kementrian,
sebagai protes terhadap pertukaran sikap Presiden Sukarno itu.
Sidang Kementrian kabarnya amat
kacau. Kemudian nyata, bahwa Mr. Gatot, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Subardjo,
Abikusno (Menteri Perhubungan), Dewantara dan lain-lain setuju meneruskan
demonstrasi. Sukarno Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo dan lain-lain tidak
setuju menentang kehendak Jepang dan setuju membatalkan
persetujuan semula.
Maka berhubung dengan persoalan
demonstrasi inilah, maka terjadilah suatu peristiwa, yang sedikit sekali hampir
sama sekali tidak diketahui umum: rakyat/pemuda.
Sukarno Hatta yang tidak sanggup
meneruskan demonstrasi yang tidak mendapat cap dari Jepang, walaupun capnya
tentara yang menyerah kalah, Sukarno Hatta MELETAKKAN JABATANNYA. Jadinya
Kabinet Presidentiel Sukarno Hatta yang pertama sudah DEMISIONER (berhenti).
Cuma Jepang meminta Sukarno Hatta meneruskan pekerjaannya sebelum ada gantinya.
Benar Pengurus K.N.I besok harinya
memutuskan mengangkut kembali Presidentil Kabinet itu, tetapi nyatalah sudah,
bagaimana sikap Sukarno Hatta terhadap sesuatu pelaksanaan dari pada MASSA
AKSI, ialah berdemonstrasi. Mereka meletakkan jabatan tak mau menanggung
jawabkan dan Hatta mengakui di Gedung Hokokai (19 September bahwa mereka
bukanlah “strijders” (orang berjuang). Di masa inilah pula keluarnya perkataan
dari mulutnya Presiden Sukarno, bahwa dia akan menyerahkan pimpinan revolusi
kepada salah seorang yang sudah mahir dalam gerakan revolusioner. (Perkataan
tersebut diucapkan di depan para Menteri setelah dua kali berjumpaan dengan
saya.
Sukarno sebagai Sorenggo Taitjo,
Ketua Tertinggi seluruhnya PELOPOR memerintahkan, supaya demonstrasi jangan
diteruskan. Tetapi pemuda Adam Malik (Wakil Ketua KNI Pusat) dan Menteri
Abikusno dan lain-lain, setuju meneruskan. Pemuda Jakarta dengan giat
membatalkan larangan demonstrasi dari Presiden Sukarno dan giat bekerja
dimana-mana buat meneruskan.
Demonstrasi 19 September, di Jakarta
yang dilakukan oleh kurang lebih 200.000 (dua ratus ribu) orang, terdiri dari
rakyat/pemuda dari Jakarta, Pasar Minggu, Krawang dan Tangerang, disambut oleh
Jepang di simpang jalan dan pintu jalan masuk ke Jakarta Kota dengan tank,
mitraliur dan pedang terhunus. Tetapi di bawah pimpinan Pemuda Menteng 31,
rakyat dengan BAMBU RUNCING saja, menentang Jepang pada beberapa tempat.
Melihat rakyat bersiap dan MENGEPUNG, maka Jepang kelihatan gugup, ngeri dan
membiarkan rakyat berduyun-duyun masuk ke lapangan Ikada.
Barulah Sukarno Hatta masuk
mengikuti. Tetapi bukan dengan memperhebat demonstrasi dan mempergunakan sampai
Jepang menyerahkan semua alat kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia melainkan
untuk berpidato. Bukan pula berpidato memajukan tuntutan dan menggemborkan
semangat berjuang dengan janji akan melakukan dan meneruskan “MASSA AKSI”, dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi untuk meminta rakyat “percaya” dan
“taat” kepadanya dan menyuruh rakyat pulang. Dalam kurang lebih 5 (lima) menit
pidato Bung Karno, ini kali sudah selesai. Rakyat dan Pemuda kecewa dan pulang.
Sedangkan baru saja, ialah pada
tanggal 29 Agustus dalam upacara pelantikan pertama Komite Nasional Pusat di
Gedung Komidi Jakarta Presiden Sukarno berkata:....Kewajiban kita sekarang
ialah mempersiapkan segala tenaga penyusunan Negara yang akan menghadapi dunia internasional
tadi. Menyusun Negara dengan menjelmakan kebulatan kemauan dan cita-cita bangsa
Indonesia seluruhnya. Keluar dan ke dalam maka kebulatan kemauan
ini---algemeene volkswill ini---harus kita hidupkan, kita nyalakan, kita
kobarkan sehingga orang Indonesia, dan buat kita sendiri hanyalah ada satu
kenyataan saja: Bangsa Indonesia mau tetap merdeka...”
Perkataan yang terkenal pula, yang
diucapkan oleh Presiden Sukarno di masa itu, ialah:
“Memproklamirkan kemerdekaan adalah
gampang. Menyusun Undang-undang Dasar Negara adalh pekerjaan yang tidak sukar.
Memilih Presiden adalah pekerjaan yang lebih gampang lagi. Tetapi menyusun
administrasi negara, memberi isi kepada kemerdekaan itu, tegasnya: “Menguasai
“politieke macht” itulah yang sukar.
Sumbangan saya dari jauh di masa
lampau kepada Ir. Sukarno ialah brosur MASSA AKSI, yang dipakai oleh PNI dalam
kursus dan propaganda umum. Sumbangan dari tempat tersembunyi, tetapi dari
dekat, ialah pelaksanaan MASSA AKSI di masa DUALISME (19 September 1945), yakni
bilamana administrasi dan senjata berada di tangan Jepang, tetapi ALGEMENE
VOLKSWIL nyata pada saat itu diserahkan oleh rakyat/pemuda ketangannya Sukarno
Hatta. Filsafat dan semangat revolusioner, perbuatan revolusioner yang kalau
dilakukan dengan keberanian, ketabahan dan kebijaksanaan pada saat “die de
seuwen beheerst” itu bisa memindahkan semua polietieke macht, ke tangan
Republik, untuk meng-“ISI”-kan kemerdekaan itu. Dengan tabah dan ikhlas
meleburkan diri dalam MASSA AKSI “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”
sesungguhnya Sukarno Hatta semenitpun tak perlu menghiraukan ancaman Sekutu
buat menuduh mereka sebagai
war-criminals. Karena sebagai akibatnya MASSA AKSI semacam itu rakyat akan
bulat membela Presiden dan Wakil Presiden dan 70 juta rakyat Indonesia lebih
dahulu harus ditangkap dan dihukum sebagai “war-criminal” sebelumnya Sekutu
dapat menangkap dan menghukum Sukarno Hatta.
Tetapi sungguh besar pula perkataan
Wakil Presiden Moh. Hatta, yang mengakui bahwa mereka bukannya “strijders”. Akan tetapi akan lebih nyata
pula kebenaran perkataan semacam itu dalam waktu, yang menentukan timbul atau
tenggelamnya Republik itu, kalau mereka bukan “striders” itu dengan ikhlas
menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada mereka yang revolusioner dan
“strijders”, walaupun selama perjuangan (kasar) saja.
Pertentangan antara perkataan
“menyalakan dan mengobarkan ALGEMENE VOLKSWIL yang mau tetap merdeka itu” dan
meng-ISI kemerdekaan sambil menguasai “politike macht” itulah berulang-ulang
terjadi sebelumnya dan sesudahnya PERSATUAN PERJUANGAN.
Justru dalam beberapa hari pada
permulaan PROKLAMASI kehendak rakyat/pemuda Jakarta, yang bermarkas pada
Menteng 31 buat merebut senjata dari tangan Jepang, untuk meng-ISI kemerdekaan
yang PROKLAMASI-nya dibacakan oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
menguasai “POLITIEKE MACHT” dipatahkan oleh Ir. Sukarno sendiri dengan perintah
pembatalan (contra order), ialah pada saat perebutan itu akan dilakukan oleh
rakyat dan pemuda.
Sebagian daripada Pemuda, yang
dilarang melakukan perebutan senjata itu (di batalyon 12 di Matraman dan
batalyon 13 di Manggarai), taat kepada Presiden, yang memangnya sebagai Kepala
Negara harus ditaati.
Tetapi sebagian lainnya mau
meneruskan perebutan itu, karena memangnya pula sudah dijanjikan putusan oleh
mereka sendiri. Demikianlah perintah pembatalan itu pada ketika itu dan
dibelakang hari selalu saja menimbulkan pertentangan dalam badan diri
rakyat/pemuda sendiri, sehingga menyebabkan organisasi yang militant (bersifat
penyerang) menjadi lumpuh, passive, kacau balau. Hasilnya tiap-tiap putusan
hendak merebut senjata yang diketahui lebih dulu oleh Presiden Sukarno atau
Wakil Presiden Moh. Hatta bolehlah dikatakan nihil, kosong. Itulah sebabnya
kalau rakyat/pemuda yang bertempat jauh dari Presiden dan Wakil Presiden jauh
lebih banyak dapat merebut senjata dari tangannya Jepang (Surabaya, Solo,
Malang, Purwokerto dll) daripada rakyat/pemuda yang malangnya bertempat tinggal
di dekat Presiden dan Wakil Presiden, karena pada saat perebutan itu akan
dilaksanakan bersama-sama oleh pada saat perebutan itu akan dilaksanakan
bersama-sama oleh sesuatu organisasi rakyat/pemuda, yang mungkin
sekonyong-konyong datang satu perintah pembatalan, dari “Presiden Revolusi”
kita, yang melumpuhkan perebutan senjata itu. Senjata pemuda Jakarta biasanya
mereka peroleh dengan perkelahian seorang lawan seorang dari tangannya Gurka
dan Inggris.
Saya sendiri sudah menyaksikan
keragu-raguan Presiden Sukarno dalam keadaan genting. Dalam salah satu sidang
yang kami namai “shadow cabinet” (Kabinet Bayangan), yang terdiri dari Sukarno,
Hatta, Subardjo, Syahrir dan saya sendiri dan dibentuk atas persetujuan bersama
atas usulnya Mr. Subardjo, di mana juga hadir Mr. Kasman Singodimejo, datanglah
telpon dari Bandung yang meminta pertimbangan kepada pemerintah Republik,
apakah interneeringskamp akan diserbu, untuk merebut senjata, yang kabarnya
banyak disimpan di sana.
Presiden Sukarno segera melarang
dengan muka pucat dan suara gugup. Saya sendiri sebenarnya sangat kecewa
melihat muka yang begitu pucat dan mendengar suara yang begitu gugup dari
seorang Presiden Revolusi menghadapi satu persoalan yang sebenarnya harus
menggembirakan seorang revolusioner. Saya terperanjat menyaksikan sikap semacam
itu dan memajukan dengan amat menyesal supaya perebutan senjata itu justru
diteruskan. Jawab yang diberikan Sutan Syahrir atas pertanyaan Presiden
Sukarno, tentang perebutan itu, adalah begitu “diplomatis” begitu terbungkus,
sampai sama sekali saya tidak bisa menangkap isinya. Wakil Presiden yang kelihatannya
tenang, akhirnya bertanya kepada saya: “jadi beiarkan saja?” jawab saya: “ya,
biarkan saja mereka merebut”.
Saya kira urusan itu sudah selesai.
Cuma saya heran melihat seorang bekas Chu-Dantjo pada ketika itu datang kepada
Presiden dan dengan suara terharu serta air mata berlinang menjanjikan
ketaatannya kepada Presiden. Saya tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan
perintah apa yang ditaati itu. Tak pula saya tahu, bahwa Mr. Kasman
Singodimejo, bekas Daidantjo sudah pergi ke belakang rumah Mr. Subardjo, ke
tempat telpon. Baru besok harinya dari bekas Chudantjo tadi saya dengar kabar,
bahwa penyerbuan ke interneeringskamp tak jadi dijalankan atas perintah bekas
Chudantjo Mr. Kasman Singodimejo dengan telpon tadi malam.
Banyak saya memikirkan peristiwa itu
di masa itu. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah gerangan nasibnya
revolusi ini jika Presiden, sebagai Panglima Tertinggi melarang perebutan
senjata ialah watak dan syaratnya tiap-tiap revolusi pada tiap-tiap Negeri atau
tiap-tiap waktu di dunia ini. Alamat buruklah buat revolusi seluruhnya,
bilamana permulaan revolusi itu, Panglima Tertinggi sudah memperlihatkan
ketakutan memakai kekerasan: taku merebut “politieke macht” buat meng-ISI
Kemerdekaan.
Terbukti di belakang hari, bahwa
bukanlah kebetulan saja Panglima Tertinggi bertindak seperti diatas, yakni melarang perebutan
senjata dan melarang pertempuran. Setelah saya meninggalkan Jakarta (1 Oktober
1945), maka berulang-ulang Sukarno sebagai Panglima Tertinggi dan Moh. Hatta,
yang disokong pula oleh Amir Syarifuddin melarang pertempuran di Surabaya dan
Magelang. Rakyat yang melakukan MASSA AKSI, menyambut tindakan tentara Inggris
yang ceroboh dan kejam di Surabaya, di ujungnya Solo Vallei (lihat: Naar de
Republiek Indonesia, Januari 1924); rakyat tua muda, laki-perempuan dari semua
golongan melawan “land, sea and air forces, with all the modern weapons of war”
(senjata darat, laut dan udara dan semua senjata modern) yang dipergunakan oleh
tentara Inggris, yang baru saja menang di medan perang dunia kedua;
rakyat/pemuda Surabaya yang sudah berhasil mengepung ribuan serdadu Inggris
yang bersenjata lengkap dan cuma tinggal menunggu ajalnya saja, dilarang oleh
Panglima Tertinggi memusnahkan musuh yang ceroboh dan terang bersalah itu.
Besok harinya tentara Inggris yang kemarinnya terkepung dan menunggu ajalnya
saja itu (buat ditawan dan dilucuti senjatanya) kembali dengan kekuatan yang
lebih besar dan akhirnya berhasil merebut seluruhnya kota Surabaya dan
sekitarnya dalam waktu tiga minggu dan menimbulkan berupa harta benda dan mayat
bertimbun-timbun.
Begitulah pula yang terjadi di
Magelang, dan kemudian di Sukabumi karena tindakannya Sutan Syahrir, sebagai
Perdana Menteri.
Sikap Sukarno Hatta terhadap agresi
tentara asing di bumi Indonesia itu menyangsikan saya terhadap hasrat dan
kesanggupan mereka. Demikianlah pula sikapnya Moh. Hatta terhadap perkara yang
tak kurang pentingnya dari pada kemiliteran, ialah terhadap MILIK ASING.
Dalam salah satu pertemuan dengan
para utusan dari Amerika, di mana saya diundang pula oleh Mr. Subardjo, sebagai
Menteri Luar Negeri, maka terjadilah soal jawab yang penting.
Ketika Moh Hatta rupanya sebagai
Ahli Ekonomi dalam Pemerintah Republik, berkata seolah-olah hendak mengakui dan
mengembalikan semua milik dan perusahaan asing dengan tak ada syarat dan
jaminan (umpamanya menuntut supaya tentara asing tidak boleh menempuh darat,
laut dan udara Indonesia) maka saya sendiri merasa terpaksa tampil ke muka.
Karena pada masa itu (sebelum
tentara Inggris mendarat, ialah sebelumnya tanggal 29 September) belum terbukti
adanya agresi, walaupun sudah terdengar kabar, bahwa sekutu akan mengirimkan
tentaranya ke Indonesia, maka saya cuma membayangkan, bahwa HAK MILIK ASING tak
akan dikembalikan begitu saja.
Saya bayangkan pula, bahwa
perusahaan penting akan dimiliki, diurus dan dikerjakan (owned, managed and
operated) oleh Negara.
Sampai para utusan Amerika bertanya,
dengan apakah kerugian akan diganti. Apabila saya sebut, bahwa Indonesia
mempunyai karet, kina, kapas, minyak, emas dan lain-lain, maka mereka sambil
tersenyum maklum, bahwa milik negara Asing, tetapi negara sahabat, yang akan
kita ambil-kembali itu bisa kita ganti dengan hasilnya negara kita. Kalau
agresi terhadap Republik, yang merdeka
100% pada pertempuran tersebut sudah terbukti, tentulah saya akan mengemukakan,
bahwa milik Negara Ceroboh, menurut kelaziman internasional akan di SITA oleh
Republik dengan tidak ragu-ragu.
Sudah terbayang pada waktu itu,
tetapi belum nyata bagi saya maksudnya Moh. Hatta hendak mengembalikan milik
asing (musuh atau sahabat) seperti di kemudian hari ternyata dalam maklumat, yang dikeluarkannya pada 1
Nopember 1945 yang sampai sekarang belum disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
yang syah, karena sampai sekarangpun belum ada Dewan Perwakilan Rakyat yang
syah itu (dipilih oleh, dari dan untuk rakyat menurut cara pemilihan yang syah
dan mempunyai hak-penuh, sebagai wakil rakyat).
Berhubung dengan tuduhan dalam
pengumuman resmi pada tanggal 6 Juli 1947, yang mengatakan, bahwa pada sidang
itu saya menyetujui “Trusteeship” maka disini saya terpaksa menerangkan, bahwa
hampir akhir pertemuan saya memajukan empat pasal dan cuma empat pasal saja,
yang dicatat penuh oleh para utusan Amerika tadi, dan saya anggap sebagai
hasrat Republik yang terpenting:
1. Speedy Negotiation (berunding
selekas-lekasnya)
2. Forming of a National
Defence-Forces. (Membentuk Pertahanan Nasional)
3. Withdrawal of all foreign forces
(Penarikan kembali semua tentara Asing)
4. International exhange of goods.
(Penukaran barang dagang antara Republik dan Negara Asing)
Perkara lain tak ada yang saya
majukan. “TRUSTEESHIP” tak mungkin saya pikirkan, jangan saya sebut, karena
adanya “TRUSTEESHIP” itu belum saya ketahui dan perkara syaratnya “TRUSTEESHIP”
pastilah tidak seorangpun diantara yang
hadir rapat mengetahui. Buat saya sendiri UNO-pun belum terbayang-bayang pada
bulan September itu.
Lagi pula status “TRUSTEESHIP”
tentulah berlawanan tepat dengan pasal 3 tersebut di atas, ialah penarikan
kembali tentara asing, yakni penarikan kembali tentara Jepang ataupun tentara
Sekutu yang terdengar-dengar hendak mendarat. Akhirnya “TRUSTEESHIP” pastilah
berlawanan tepat dengan semua perkataan, tulisan dan perbuatan saya selama ini,
dan berlawanan tepat dengan tindakan Belanda, tahun 1922, Amerika (1927) dan
Inggris (1932) terhadap kemerdekaan diri saya selama saya berada di gelanggang
gerakan revolusioner.
Keamanan dalam Republik akan dijamin
oleh Pertahanan Nasional (menurut pasal 2). Bahwa UNO dengan DEWAN EKONOMINYA
belum lagi saya ketahui di masa itu (maklumlah saya di waktu pendudukan Jepang
lama terasing diam di Banten Selatan) ternyata pula oleh pasal 4, yang
mengemukakan “pertukaran (barang) internasional”. Seandainya UNO dan peraturan
UNO sudah saya ketahui, mungkin sekali pasal 4 di atas saya gandengkan ke UNO.
Empat pasal yang saya majukan itu
oleh Sutan Syahrir disebutkan “a clear cut policy” (politik yang tegas). Karena
sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak terlampau banyak bicara
pertemuan tersebut, sedangkan bukannya MENTERI, maka utusan Amerika itu
bertanya kepada saya: “In what capacity are you speaking” (sebagai apakah tuan
berbicara).
Untunglah Mr. Subardjo, yang sudah
dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab dengan cepat: “He is one of
ourstaff members” (dia adalah salah seorang anggota kementerian Luar Negeri).
Untunglah pula tak ada diantara
anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat pasal yang
saya majukan itu.
Pada penghabisan bulan September,
mulailah tentara Inggris, dengan ragu-ragu mendarat sedikit demi sedikit dan
mengantongi Belanda. Para Wartawan Inggris yang ikut mendarat dan menyaksikan
dengan mata sendiri demonstrasi rakyat pada tanggal 19 September menunjukkan
kekagumannya yang amat sangat. Dari mulutnya para Wartawan itu, setelah melihat
rakyat/pemuda berbaris bersaf-saf dengan rapi teratur, tabah tegap dengan dada
membusung maju bergelombang dari semua penjuru menuju ke Jakarta kota,
keluarlah perkataan : “Revolution-revolution-revolution”.
Tetapi dari mulut dan sikap Presiden
dan Wakil Presiden Revolusi yang dapat saya baca cuma kecemasan dan ketakutan,
kalau-kalau kelak oleh Sekutu akan dituduh sebagai “war-criminals”.
Inggris katanya cuma datang
menjalankan Perintah Sekutu ialah untuk 1) Melucuti dan mengembalikan tentara
Jepang. 2) Melepaskan dan mengembalikan tawanan Jepang. 3) Melepaskan APWI.
Katanya pula Inggris tak akan mencampuri politik Indonesia.
Saya cukup mengenal janji Inggris di
India Inggris, di Mesir dan di Tiongkok. Tak sekejappun di masa silam saya
percaya kepada sesuatu janji Inggris, terhadap bangsa jajahan, atau bangsa yang
dianggap inferior, rendah derajatnya, bilamana dia mempunyai kepentingan buat
dirinya sendiri.
Takut kalau tak lama lagi tentara
Inggris akan menduduki Jakarta dengan tak ada perlawanan dari pihak Pemerintah
Republik, pada masa saya tak berhasil mengadakan perhubungan dengan pimpinan
rakyat/pemuda, bahkan belum mendengar-dengar adanya MARKAS MENTENG 31, maka
dengan SURAT WARISAN, yang dibuat atas inisiatif Presiden Sukarno dan diberikan
serta ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta di
mana diterangkan, bahwa kalau mereka tidak berdaya lagi memimpin revolusi ini,
maka pimpinan revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dan lain-lain maka
pada tanggal 1 (satu Oktober 1945 saya meninggalkan kota Jakarta dengan maksud
hendak mengorganisir rakyat di luar Ibu Kota Jakarta).
Barulah di Bogor saya dapat bertemu
kembali dengan Sukarni dan bertemu pertama kali dengan Adam Malik. Keduanya
mereka mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap diri saya.
Dikemudian hari, barulah saya mengerti mengapa pemeriksaan itu harus mereka
lakukan ialah karena sudah berkali-kali di masa Jepang mereka tertipu dan
dibahayakan oleh beberapa Tan Malaka Palsu. Tidak berapa lama sesudah pertemuan
di Bogor itu, maka sekonyong-konyong datanglah pula Sukarni, Adam Malik dengan
beberapa orang pemuda lain di waktu malam hari beserta orang berumur tinggi
bekas teman sekolah saya di Bukit Tinggi, yakni Guru Halim. Maksud para pemuda ini ialah, supaya bekas teman
sekolah itu dapat memastikan bahwa saya memangnya Tan Malaka yang sesungguhnya.
Besok harinya Sutan Syahrir datang pula menjumpai saya.
Karena saya hendak berangkat ke
Banten, maka kami berjanji akan bertemu kembali di Banten, ialah pada permulaan
bulan Oktober juga.
Demikianlah pada suatu hari, saya
mendapat kunjungan pula di Banten (Serang) dari beberapa pemuda terkemuka dari
berbagai golongan. Diantaranya ialah Sutan Syahrir, Kusniani, Djohan Sjahruzah,
Dr. Sudarsono (bekas Menteri), Sukarni, Maruto, Adam Malik, Pandu Wiguna,
Djalil, Sugra, Karta Muhari dan lain-lain.
Pertanyaan yang dimajukan kepada
saya, ialah, betapakah pandangan saya atas keadaan sekarang, dan apakah saya
berkeberatan mengetuai Partai Sosiallah, yang akan didirikan di Jogya tidak
lama lagi.
Bermula sekali saya kemukakan,
teranglah sudah maksudnya Inggris, ialah cocok dengan perkataan, yang baru
diucapkan oleh Perdana Menteri Inggris, Clement Attle, bahwa Inggris mempunyai
“moral obligation” (berhutang budi) terhadap Belanda dan dia setuju dengan
sikap Pemerintah Belanda, yang bermaksud mengadakan “KERJA SAMA” dengan “kaum
moderat” Indonesia untuk menindas “Kaum Extremis”.
Terhadap maksud tamu hendak
mendirikan Partai, maka saya kemukakan penganggapan saya, bahwa saatnya belum
sampai, karena keadaan yang akan kita hadapi belum lagi terang! (Entah perang
entah damai. Dalam masa perang tidaklah baik kalau mendirikan pelbagai Partai).
Tetapi yang sudah terang bagi saya, ialah apabila satu Partai diizinkan berdiri,
maka besok harinya pastilah berbagai-bagai Partai akan timbul, seperti jamur di
musim hujan. Segala Partai dari pelbagai golongan dan corak itu akan amat susah
dikendalikan menghadapi musuh seandainya Republik diserang musuh. Sementara
suasana politik itu belum lagi terang, maka baiklah diperkuat saja Pemerintah
yang ada dengan para pemimpin revolusioner yang masih ada di luar Pemerintahan!
Terhadap usul supaya saya mengetuai
Partai Sosialis yang akan didirikan di Yogya itu, saya kemukakan, bahwa sikap saya
terhadap sesuatu Partai Sosialis masih seperti dahulu saja; dan sesudah lebih
daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman
se-partainya kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan
kapitalis-imperialis itu.
Jadi permintaan mengetuai Partai
Sosialis itu bermula sudah saya tolak di Serang. Apabila salah seorang pemuda
yang hadir menanyakan kepada Sutan Syahrir, apakah dia akan pergi juga ke Yogya
buat mendirikan Partai Sosialis, maka dia tiada memberi jawaban apa-apa.
Sepatah kata pun Sutan Syahrir tiada berbicara pada malam hari itu.
Sesampainya saya di Yogya, pada
permulaan bulan Nopember, maka saya dikunjungi oleh beberapa para pemimpin
lama, ialah Wijono, Marlan dan Marjohan dan diminta pula mengetuai Partai
Sosialis yang akan didirikan itu. sikap dan jawaban saya adalah seperti di
Serang juga. Usul yang bersifat juga dari pihak ketiga dan keempat tetap saya
tolak saja. Saya menganggap belum sampai waktunya saya untuk keluar
berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.
Di Yogya pada permulaan bulan
Nopember itulah saya mendengarkan radio pemberontak Surabaya, yang mengatakan
bahwa, “Tan Malaka berada di Surabaya sedang memimpin pemberontakan”.
Pada masa itu saya belum mengetahui
adanya Tan Malaka Palsu, dan amat gembira mendengar, bahwa saya mempunyai
banyak “anak yang sedang bertempur di
Surabaya, segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya.
Di hotel Mojokerto, pada suatu hari
malam, sekonyong-konyong saya dikunjungi oleh sepasukan polisi tentara,
bersenjata lengkap dan dengan sangkur terhunus menggeledah semua barang dan
badan saya; menggiring saya ke kantor polisi buat dimasukkan ke sebuah kamar
yang sempit, kotor, tak bertikar, penuh kutu busuk. Disinilah saya meringkuk
sehari-semalam dengan tidak mengetahui atas alasan apakah sebenarnya saya
ditangkap.
Baru di kemudian harinya saya
mengetahui, bahwa pada suatu hari sdr. Sabarudin,
kepala P.T. Surabaya di masa itu, kabarnya didatangi oleh beberapa
Pemuda/Pemudi bersenjata lengkap yang mengancam dengan senjata, mendesak supaya
saya dilepaskan dengan segera. Ancam-mengancam serta tembak-menembak memangnya
amat lazim di waktu itu.
Tahu-tahu sudah datang beberapa
pemuda menjemput saya ke Mojokerto dan membawa saya ke Surabaya, Gedung Tarokan. Di sinilah saya oleh para
pemuda dijumpakan dan dibandingkan
dengan salah seorang Tan Malaka palsu, yang mendiami rumah istimewa, yang
dipersiapkan oleh para pemuda baginya, untuk memberi “kursus” dan “memimpin” (katanya)
ribuan pemuda yang berjuang. Disinilah saya tinggal berhari-hari di tengah
–tengah dentuman meriam, mortir dan bom, sambil menulis beberapa brosur di
tempat MARKASNYA P.R.I (Pemuda Republik Indonesia), yang memimpin perjuangan
mati-matian. Satu jam saja setelah kami meninggalkan gedung Tarokan, maka
serdadu Gurka masuk menduduki.
Mulanya saya coba tinggal di luar
kota Surabaya. Tetapi karena gelagat sudah jelas, bahwa para pemuda akan
meninggalkan Kota Surabaya, maka saya teruskan saja perjalanan ke Malang, buat memikirkan sikap dan tindakan
apa yang harus dilakukan dengan cepat.
Bukti yang jelas terlihat oleh mata
dan terdengar oleh telinga saya sendiri sesudah perjalanan saya dari Anyer ke
Surabaya dan perhubungan dengan penangkapan atas diri saya di Mojokerto, kesan
yang terang tertulis di kulit saya, ialah: .
1. Kemauan Sukarno Hatta tak cocok
dengan kemauan rakyat/pemuda seperti terbukti selama perjuangan rakyat/pemuda
di Jakarta, Surabaya, Magelang dan lain-lain tempat.
2. Partai Barisan dan Badan, yang
timbul seperti jamur, setelah Partai diizinkan berdiri, satu sama lainnya
curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, tangkap-menangkap, bahkan tembak-menembak.
3. Penangkapan atas diri saya sendiri,
dengan tidak sesuatu alasanpun dan dilepaskan oleh ancaman dari pihak golongan
saja, adalah salah satu bukti bermerajalelanya kesalahan faham, kecurigaan dan
kekacauan di antara awak sama awak.
4. Propaganda saya di tempat
bersembunyi, seperti saya lakukan selama ini, akan terus banyak terhalang oleh
adanya Tan Malaka palsu, alat propaganda yang dipusakakan oleh imperialisme
Belanda-Jepang untuk mengacau-balaukan gerakan revolusi.
PERSATUAN
PERJUANGAN
Mengingat 1) Pertentangan antara
kemauan dan tindakan kepala negara dengan kemauan dan tindakan rakyat/pemuda di
mana-mana; mengingat 2). Pertentangan dan permusuhan antara partai dengan
partai (Islam contra Sosialis di Pekalongan, Cirebon dan Priangan); mengingat
3). Permusuhan antara pasukan dan pasukan seperti sudah terbukti di Surabaya
(tembak-menembak dari belakang); mengingat 4). Sikap dan tindakan Inggris yang
mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan dengan senjata memaksakan
kedaulatan Belanda atas bangsa Indonesia, yang sudah memproklamirkan
kemerdekaan itu; mengingat 5). Akhirnya kedatangan Van Mook dengan Usul
Gemeene-best dan Rijksverband-nya, cocok dengan pidato Wilhelmina pada bulan
Desember 1942.
Menghubungkan semuanya itu 1).
Dengan terlaksananya kecemasan saya, yang saya ucapkan pada pertemuan di
Serang, ialah akan timbulnya berbagai Partai, setelah satu Partai diizinkan berdiri,
menghubungkan semuanya itu 2). Dengan pengalaman saya di Surabaya dan beberapa
Negara di Luar Indonesia tentang sikap si penjajah terhadap si Terjajah,
memperhubungkan semuanya itu 3). Dengan Tan Malaka Palsu yang berpropaganda di
mana-mana.
Maka sendirinya saya sampai kepada
kesimpulan perlunya mengkoordinir semua Partai, Laskar dan Badan yang
pecah-belah untuk menantang diplomasinya Belanda, yang dibantu oleh Tentara
Inggris yang bersenjata lengkap.
Sikap saya semula, ialah terus
bekerja diam-diam, tersembunyi dan membantu dari belakang saja sambil meninjau
dan mempelajari gerakan rakyat, yang sudah saya tinggalkan lebih daripada dua
puluh tahun lalu lebih lanjut. Saya ingin lebih dahulu berkenalan dengan para
pemimpin yang belum ada ketika saya meninggalkan Indonesia pada tahun 1922.
Beberapa dengan keberatan yang mudah saya majukan di atas terhadap dirinya
sesuatu partai, maka keinginan hendak mempelajari gerakan rakyat lebih
lanjutlah yang menyebabkan saya menolak mengetuai sesuatu partai. Tetapi setelah
mendapat pengalaman seperti di Surabaya tadi, maka mau tidak mau, saya merasa
wajib ikut bertanggung jawab terhadap pembelaan Kemerdekaan Indonesia dengan
cara terang-terangan.
Dalam keadaan begitu, maka saya
insaf benar, bahwa bersama dengan lima/enam orang pemuda, yang baru saja saya
kenal di masa itu, saya belum sanggup menggabungkan partai sendiri, yang kalau
perlu, bisa memikul seluruhnya tanggung jawab terhadap pimpinan revolusi di
masa itu. kedatangan Van Mook dengan usulnya itu, saya anggap sebagai bahaya
yang mengancam persatuan, karena bisa memecah pemuda. Partai dan ketentaraan,
sekurangnya dalam dua golongan, ialah: antara golongan yang mau berkompromi
dengan golongan yang mau menegakkan kemerdekaan 100%; antara golongan
lunak-moderat dengan golongan yang mau terus berjuang sampai Belanda terpaksa
menarik diri.
Mempersatukan semua partai,
ketentaraan dan badan itu, yang para pemimpinnya belum lagi dapat saya kenal
baik atas dasar fusi, saya rasa adalah di luar kesanggupan saya pula dan tak
pernah mempengaruhi pikiran saya.
Dalam saat tergesa-gesa menghadapi
usul Van Mook, yang dibantu oleh Tentara Inggris itu, di samping Pemerintah
Revolusi, yang tidak percaya akan kekuatan rakyat dan dialektiknya sesuatu
gerakan revolusi dan takut akan tuduhan “war criminal” serta alat kekerasan
kaum imperialis; dengan bantuan lima/enam orang pemuda, yang walaupun
berpengalaman banyak, maka lain tidak, yang bisa saya lakukan, hanyalah
mengundang semua Partai, Laskar dan Badan yang ada dengan maksud kerja sama
dalam satu FEDERASI, yang sebebas mungkin dan selekas mungkin.
Kelak setelah terikat oleh satu
PROGRAM, sebagai MAKSUD BERSAMA, terikat oleh KEPENTINGAN BERSAMA dan KERJA
SAMA, terikat pula akhirnya oleh akibatnya saling kenal-mengenal dalam
kandungan SANG WAKTU, maka barulah kelak dapat dipikirkan dan diusahakan
federasi yang lebih rapat; bahkan perkara ber-FUSI-pun kelak akan dapat
dipertimbangkan.
Mendesakkan satu organisasi yang
rapat, bersifat FUSI, di masa itu, bilamana masing-masing organisasi sudah
mempunyai ideologi yang kuat dan bersejarah (kebangsaan, keagamaan dan
kemurbaan), tetapi baru saja keluar dari tindasan “Kempei” Jepang, bilamana
party-life (hidup berpartai) dimustahilkan; “mendik-tekan sesuatu bentuk dan
ISI Organisasi dengan tidak memperhatikan keadaan dan orang yang akan
melaksanakan maksud organisasi itu, semuanya ini cuma akan memperkacau
kekacauan belaka.
Karena saya anggap, sampai sekarang
(Maret 1948), dasarnya persatuan dalam menyelesaikan revolusi ini ialah
perjuangan untuk menghadapi MUSUH bersama, sampai tercapai kemerdekaan 100%,
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, jadi bukannya persatuan
untuk berkompromis, yang berarti berkhianat kepada kemerdekaan 100% menurut
Proklamasi 17 Agustus 1945, maka Persatuan
Perjuangan itulah nama yang saya anggap paling tepat.
Mulanya konferensi mendirikan
Persatuan Perjuangan dimaksudkan diadakan di Malang pada bulan Desember 1945,
setelah Surabaya ditinggalkan oleh kelaskaran dan ketentaraan. Tetapi karena
para wakil banyak yang berada di Jawa Barat dan pada waktu yang kami tentukan
tak bisa sampai di Malang, maka kami terpaksa mengundurkan konferensi yang
direncanakan di Malang itu. Saya berangkat ke Cirebon menjumpai para wakil dari
beberapa organisasi yang ada di masa itu.
pertemuan yang pertama untuk beramah-tamah dengan para wakil organisasi dari
pelbagai daerah di Jawa dapat diadakan di Demak Idjo, dekat Yogya, pada tanggal
1 Januari 1946. Baru pada 3-4-5 Januari dapat diadakan KONGRES PERSATUAN
PERJUANGAN PERTAMA DI PURWOKERTO, yang dihadiri oleh 132 organisasi (Partai,
tentara, Laskar, dan Badan). Di sinilah saya memajukan MINIMUM-PROGRAM yang 7
pasal buat dipahamkan dan dipelajari, selama sepuluh hari.
Baru pada KONGRES ke-DUA, di Solo
pada tanggal 15-16 Januari 1946, yang dihadiri oleh 141 organisasi, oleh
KONGRES ditetapkan nama PERSATUAN PERJUANGAN tadi dengan sedikit saja
perubahan. Sebelumnya kedua KONGRES tersebut berlangsung, maka kepada Presiden,
Wakil Presiden dan para Menteri dikirimkan surat undangan. Tetapi yang datang
cuma bekas Menteri Luar Negeri Mr. Subardjo, bekas Jaksa Agung, Mr.Gatot dan
Panglima Besar Sudirman, kepada dua KONGRES di Solo, S.P.Sultan Jogja dan S.P.
Susuhunan Solo mengirimkan wakil.
Baik juga dicatat di sini dari
pidato wakil Tentara Republik (T.K.R.) yakni Panglima Besar Sudirman sendiri,
di Kongres Purwokerto, pidato mana sangat menggembirakan dan menggemparkan para
hadirin yang berbunyi: “Lebih baik kita diatom daripada merdeka kurang dari
100%”.
PUTUSAN KONGRES
PEMBENTUKAN
PERSATUAN PERJUANGAN
Pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946
di Solo.
Dengan dihadiri oleh wakil-wakil 141
organisasi politik, ekonomi dan ketentaraan. Kongres pembentukan “Persatuan
Perjuangan” di Solo pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 telah mengambil
keputusan sebagai berikut:
I.
NAMA:
Badan
ini dinamai “PERSATUAN PERJUANGAN”
II.
MINIMUM
PROGRAM:
1. Berunding atas pengakuan Kemerdekaan
100%
2. Pemerintah rakyat (dalam arti
sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat).
3. Tentara rakyat (dalam arti sesuainya
haluan tentara dengan kemauan rakyat.)
4. Melucuti Tentara Jepang.
5. Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6. Menyita (membeslag), confiscate dan
menyelenggarakan pertanian musuh (Kebun).
7. Menyita (membeslag) dan
menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll)
III.
ORGANISASI:
Organisasi
terdiri atas 3 bagian:
1. Kongres
2. Sekretariat:
a. Penyelesaian Perselisihan
b. Politik
3. Badan Pekerja:
c. Ekonomi
d. Pertahanan.
KEWAJIBAN BADAN PEKERJA:
a. Badan Pekerja MENYELESAIKAN
PERSELISIHAN diwajibkan mengurus perselisihan antara kita sama kita. Jika Badan
ini tak dapat menyelesaikan perselisihan, maka pertikaian itu dimajukan ke muka
Sekretariat, yang terdiri atas pemimpin-pemimpin Badan-badan Pekerja tersebut.
Jika sekretariat tidak dapat menyelesaikan soalnya, maka perselisihan itu
dimajukan kepada Kongres, sebagai Dewan yang Tertinggi dalam Organisasi. Yang
berselisih harus tunduk kepada putusan Kongres.
b. Badan Pekerja POLITIK berkewajiban:
1. Memberi garis besar program
organisasi (Minimum Program)
2. Menyelidiki apakah anggota-anggota
organisasi melakukan kewajiban menurut pedoman organisasi.
3. Menyelenggarakan Propaganda.
4. Menyelenggarakan Organisasi
c. Badan Pekerja EKONOMI berkewajiban
mengurus dan memajukan:
1. Tiap-tiap anggota “Persatuan
Perjuangan” berkewajiban menjalankan putusan Kongres.
2. Perselisihan antara anggota-anggota
diserahkan pada Badan Pekerja Penyelesaian Perselisihan.
RESOLUSI KONGRES PEMBENTUKAN
“PERSATUAN PERJUANGAN”
Rakyat Indonesia bersidang pada
tanggal 15 dan 16 Januari 1946 di kota Surakarta dalam permusyawaratan
pembentukan “Persatuan Perjuangan”, dihadiri oleh wakil-wakil susunan-susunan
politik, ekonomi, sosial dan ketentaraan, terdiri dari 141 perhimpunan,
mendessak pemerintah Republik Indonesia untuk bekerja bersama-sama melaksanakan
dengan segera Program yang telah diputuskan oleh “Persatuan Perjuangan”, yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Berunding atas pengakuan Kemerdekaan
100%
2. Pemerintah rakyat (dalam arti
sesuainya haluan pemerintah dengan kemuan rakyat).
3. Tentara rakyat (dalam arti sesuainya
haluan tentara dengan kemauan rakyat).
4. Melucuti Tentara Jepang.
5. Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6. Menyita dan menyelenggarakan
Pertanian Musuh (kebun)
7. Menyita dan menyelenggarakan
Perindustrian Musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain).
PANITIA “PERSATUAN PERJUANGAN”
Sebagai anggota Panitia “Persatuan
Perjuangan”
1. Perindustrian
2. Pertanian
3. Pasar
4. Koperasi
Badan pekerja PERTAHANAN
berkewajiban mengurus:
1. Tentara
2. Polisi
3. Pemuda
4. Latihan (jasmani dan rohani)
Latihan jasmani artinya: latihan
militer, latihan rohani artinya: memberi pelajaran politik, hingga
anggota-anggotanya mempunyai pendidikan politik yang teguh yang tidak mudah
digoncangkan.
ANGGOTA
1. Anggota “Persatuan Perjuangan”
terdiri atas Organisasi Politik, Sosial dan Ketentaraan.
2. Anggota Kongres terdiri atas
wakil-wakil dari anggota-anggota “Persatuan Perjuangan”.
3. Anggota Sekretariat terdiri atas
anggota-anggota Badan Pekerja “Persatuan Perjuangan”.
4. Anggota Badan Pekerja ialah mereka
yang dipilih oleh anggota-anggota “Persatuan Perjuangan” ditambah dengan para
ahli (dalam hal teknik, ekonomi administrasi dsb) yang disetujui oleh kongres
buat menjalankan putusan Kongres.
DISCIPLINE
Ditetapkan anggota-anggota Panitia
Penyelenggaraan Rapat Pembentukan “Persatuan Perjuangan” yang lama ditambah
dengan wakil-wakil Partai Sosialis, Masyumi, Pesindo, PRD, Perwari, PKI, Pemuda
Puteri Indonesia dan Pusat Pemberontakan Rakyat Indonesia yang akan bekerja
sampai tanggal 27 Januari 1946.
VI. RAPAT LENGKAP
Pada tanggal 27 Januari 1946 untuk
melanjutkan pembicaran tentang
organisasi seluruhnya akan dilangsungkan rapat lengkap yang dihadiri
oleh wakil-wakil organisasi masing-masing dengan mengirimkan sebanyak-banyaknya
2 (dua) orang utusan.
Yogyakarta, 22 Januari 1946
Panitia “Persatuan Perjuangan”
Ttd
(Penulis Sukarni)
Minimum Program “Persatuan Perjuangan” (United Action)
1. Berunding atas pengakuan kemerdekaan
100%
2. Pemerintahan rakyat (dalam arti
sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat)
3. Tentara Rakyat (dalam arti sesuainya
haluan tentara dengan kemauan rakyat)
4. Melucuti tentara Jepang
5. Mengurus tawanan Bangsa Eropa
6. Menyita (Membeslag) dan
menyelenggarakan pertanian musuh (kebun)
7. Menyita (Membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik,
bengkel, tambang, dll)
Keterangan Singkat
Nama Badan ini sudah diputuskan
dalam Permusyawaratan di Solo pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946. Tetapi
maksudnya badan itu ialah persatuan yang berdasarkan perjuangan atas
minimum-program ini. Seboleh-bolehnya tuntutan itu jangan kurang dari yang
tercantum di atas. Yang nyata tak boleh dikurangi ialah tuntutan kemerdekaan
100%. Tuntutan 1e itu berseluk-beluk pula terutama dengan tuntutan 6e dan 7e.
Permusyawaratan di Purwokerto tanggal 4-5 Januari 1946 memutuskan bulat pada
tuntutan kemerdekaan 100% itu.
Tuntutan 1e itu cocok dengan makna
dan akibat Republik Indonesia Merdeka yang didirikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Kalau tuntutan itu kurang dari yang tercantum dalam 1e itu, maka sikap
semacam itu melanggar kemerdekaan dan kehormatan Rakyat Indonesia. Sikap
semacam itu tidak akan sepadan dengan korban rakyat yang sudah diberikan dengan
ikhlas semenjak tentara Inggris-Nica mendarat. Lagi pula sikap semacam itu akan
bertentangan dengan kemauan rakyat Indonesia dan pasti akan memisahkan dan
mungkin mempertentangkan rakyat dan pimpinan pemerintah.
2e-3e supaya kemauan dan tindakan
rakyat jangan bertentangan dengan pimpinan atau pemerintah, seperti terjadi di
Surabaya, Semarang, Magelang, Bandung, jakarta dan sebagainya, maka
sepatutnyalah kemauan rakyat yang revolusioner itu tergambar pada satu
pemerintah rakyat dan satu tentara rakyat.
Yang dimaksudkan dengan pemerintah
rakyat ialah satu pemetah yang menjalangkan kemauan rakyat. Di masa sekarang di
indonesia ini tentulah satu pemerintah yang revolusioner yang melawan
imperialisme inggris belanda. Karena pengesehan yang berdasarkan pemilihan umum
resmi atas pemerintah Republik yang sekarang dari pihak rakyat belum pernah
dilakukan, maka tuntuntan percuma. Berhubung dengan kemungkinan dalam sehari,
seminggu, paling lamanya sebulan di hari depan ini maka perlulah Rakyat
Indonesia yang sedang berjuang sekarang mendapat pimpinan dari pemerintah yang
berdasarkan perjuangan. Berhubung dengan itu patutlah pula tentara itu
berhaluan dan bersemangat revolusioner. Dalam negara berdasarkan Kedaulatan
Rakyat dan Demokrasi, seperti maksudnya Republik Indonesia, nomor 2-3 tidaklah
melanggar Undang-Undang Dasar Negara.
4e-5e berhubung dengan kemerdekaan
Rakyat Indonesia yang terbentuk pada satu Republik dan pengalaman kita di
Semarang, Bandung dan lain-lain tempat, di mana Tentara Jepang oleh Inggris
dipersenjatai buat memerang Rakyat Indonesia, maka buat mempertahankan diri,
wajiblah Rakyat Indonesia sendiri melucuti Tentara Jepang.
Bagaimana Tentara Jepang yang
senjatanya sudah dilucuti itu mesti diperlakukan supaya jangan menambah korban
rakyat yang sudah luar biasa besarnya itu patutlah diserahkan kepada rakyat
sendiri pendirian yang cocok dengan kemerdekaan dan kehormatan Rakyat Indonesia
yang berlaku juga terhadap tawanan Eropa atas pengalaman di Surabaya.
(6e-7e) seandainya Inggris Nica
datang kembali dengan mengakui Republik Indonesia, dan bertindak atas dasar
kata mufakat, maka persoalan harta benda itu tentu akan bisa diselesaikan
dengan jalan damai. Tetapi karena Inggris Belanda masuk ke Indonesia dengan
maksud dan tindakan melenyapkan Republik Indonesia dan menegakkan kembali
penjajahan Belanda, walaupun berupa autonomi, Dominion, Commonwoulth,
Gemeenebest atau lain-lain Status, maka rakyat Indonesia terpaksa
mempertahankan dirinya. Perang yang tidak dinyatakan Inggris-Belanda itu
terpaksa dijawab dengan perang yang tidak dinyatakan pula.
Sikap menyita kebun musuh
(pertanian) dan pabrik, bengkel, tambang musuh (perindustrian) tidaklaha
berlawanan dengan undang perang. Harta benda warga negara yang tentaranya
membunuh puluhan ribu Rakyat Indonesia yang tidak bersalah dan
menghancur-leburkan beberapa kota terbesar di Indonesia, dan masih terus
berusaha menaklukkan dan menjajah Indonesia, wajib disita (dibeslag) dan
diselenggarakan buat keperluan Rakyat Indonesia yang sedang berperang ini. lagi
pula tidak bertentangan dengan sikap proletar revolusioner di dunia terhadap
hak-milik si Kapitalis. Hak milik si Kapitalis seperti pabrik dan mesin, ialah
hasil tenaga proletar yang tidak dibayar, dicuri oleh Kapitalis. Mengembalikan
hak milik semacam itu kepada kapitalis, apalagi Kapitalis yang ceroboh, seperti
di Indonesia, artinya mengakui “hisapan” Kapitalisme. Perbuatan itu berarti
berkhianat terhadap proletar Indonesia yang suda mengorbankan jiwanya, membela
Republik Indonesia. Perkataan “menyita” itu mesti digembor-gemborkan ke luar
negara, supaya proletar dunia mendengarnya.
Penyitaan dilakukan terhadap hak
milik musuh bukan hak miliknya bangsa Asing seperti Amerika, Tiongkok dan
lain-lain. Hak milik Amerika dan Tiongkok itu, sebagai negara Sahabat sampai
sekarang akan diatur dengan kata-mufakat, sesudah Indonesia mendapatkan
kemerdekaan 100%.
Persatuan Perjuangan dengan minimum
programnya telah mewujudkan kekuatan dan suara yang bulat dari semua partai dan
rakyat revolusioner anti-imperialisme, kapitalisme. “Minimum Program” ini tidak
dapat dikurangi atau ditawar-tawar lagi.
Yang terutama harus dicapai ialah
Persatuan atas dasar bersama berjuang melawan imperialisme. Berhubung dengan
desakan waktu, maka moga-moga persatuan itu akan lepas tercapai. Tidak saja
diharapkan persatuan antara Partai dan Partai, tetapi juga diantara Persatuan
Perjuangan dengan Pemerintah. Semakin pendek dan semakin tepat Minimum Program
itu semakin lekas dipahamkan dan semakin dalam pula diresapkan oleh rakyat
murba hingga dapat lekas dilaksanakan!!
Mudah-mudahan Minimum-Program
semacam ini bisa menjadi coment antara organisasi dan pimpinan revolusioner
dengan rakyat Indonesia yang dengan tidak menghitung laba rugi sudah berjuang
melawan imperialisme Inggeris Belanda.
Dengan Terlaksananya “Minimum
Program” Kita, Hidup Republik Indonesia.
PERTENTANGAN
ANTARA:
DIPLOMASI
Dengan MASSA AKSI
Tiap-tiap
revolusi mengenai partai kanan, partai tengah (lunak-moderate) dan partai kiri
serta extremisnya. Begitu revolusi Borjuis dan kemudian proletar di Rusia.
Sifat Kanan, lunak dan Kiri itu, sebenarnya cuma dapat
dipastikan oleh sejarah belaka, ialah setelah revolusi berlaku. Dalam revolusi
itu sendiri boleh jadi sekali si kanan menamai dirinya moderat-progressif dan
si lunak menamai dirinya “sayap-kiri” yang revolusioner progressif. Susahlah
bagi seseorang bersikap tenang obyektif dalam waktu penggeloraan revolusi itu
sendiri.
Demikialah dalam
revolusi borjuis di Perancis (tahun 1789) Partai Gironde, ialah Club (kumpulan)
borjuis tulen, yang dipimpin oleh Verginiaud, Brissort, Madame Roland dan
lain-lain merasa dirinya Partai yang paling berhak memimpin revolusi itu.
Berhubung dengan itu, maka mereka menganggap Club Jacobin, ialah Kumpulan Murba
di bawah pimpinan Marat, Danten, Roberspiere dan lain-lain sebagai Kumpulan
penghasut, pengacau dan perusak. Mereka yang dibelakang ini digelari “Ultras”
atau “Yang lebih Kiri dan Kiri”. Begitulah pula di Russia (tahun 1917) Borjuis
Kecil, ialah Partai Sosial Revolusioner, yang dipimpin oleh Kerensky,
Isorotelli dan lain-lain menganggap dirinya sebagai pemimpin tulen
(constructive) pada masa itu dan menganggap Partai Murba, ialah Partai Komunis
Komunis (bolsjewik) sebagai penghasut, pengacau dan perusak (destructive). Tidak
saja begitu! Mereka giat pula menyiarkan dan membisikkan di tengah-tengah
rakyat, bahwa Lenin adalah spionnya Jerman. Baru setelah Gerakan Revolusi itu
berhenti dan salah satu daripada kelas yang ber-revolusi itu berhasil merebut
dan mempertahankan kekuasaan Negara serta memberikan kemerdekaan, kemakmuran
dan kemajuan kepada masyarakat baru, dalam semua lapangan, barulah Ahli Sejarah
dan Umum dapat menentukan, kaum mana dan Partai mana, yang sesungguhnya berhak
memimpin revolusi itu.
Revolusi
Indonesia tiadalah yang menjadi satu kekecualiaan! Kita pun sekarang (Maret
1948) mengenal gelaran “Sayap Kanan”, “Sayap Kiri” dan “Aliran Lebih Kiri dari
Kiri” atau aliran “Trotskyst”, pengacau dan perusak. Tetapi kalau gelaran itu
misalnya harus ditentukan oleh “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” sendiri maka boleh
jadi sekali, mereka yang menamai dirinya itu “Sayap Kiri” akan diberi gelaran
Curah (moderate). Dalam hal ini, maka menurut pandangan mereka yang “Lebih Kiri
dari Kiri” itu juga mereka sendirilah Partai yang revolusioner. Mereka
sendirilah pula yang berhak melanjutkan revolusi Titik-Berat (centre of
Gravity) dalam gerakan revolusi ini tercapai dan gerakan revolusi itu terhenti
di sekitar Titik-Berat itu dengan tenang. Dengan istilah tehnis, maka akan
tercapailah keadaan equilibrium-sosial atau keseimbangan-kekuatan-sosial dalam
masyarakat Indonesia.
Sang Sejarah
sajalah kelak yang dapat memastikannya! Manusia yang berada dalam
taufan-revolusi itu sendiri, terpaksalah diombang-ambingkan oleh kepentingan,
paham dan perasaan diri disertai pula oleh Purbasangka (prejudico), kebencian
serta ketakutan kepada lawan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala
perkataan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan, nista,
karena perasaan dalam segala-galanya dalam sesuatu revolusi itu, memangnya
sedang memuncak penggeloraannya dan mudah sekali terlepas dari sekitar titik
beratnya, dan dari equilibriumnya. Tetapi memangnya pula pengendalian diri
terhadap lawan politik itu sukar sekali dipraktekkan, mungkin bagi saya
sendiripun tiada terkecuali.
Berhubung dengan
itu pula, maka tinjauan saya terhadap pertikaian antara kaum yang menganut
diplomasi dengan kaum yang menganut Massa Aksi pada permulaan tahun 1946,
bilamana bentuk, sikap dan sifatnya beberapa golongan dalam masyarakat kita di
revolusi ini sudah mulai nyata, bukanlah dimaksudkan sebagai putusannya Sang
Sejarah.
Tinjauan saya itu adalah tinjauan
seorang manusia, yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada dalam keadaan terikat (handicapped), yang
membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat kekuasaan Negara dan
Keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai “blacklist” palsu,
fluistercampagne dan fitnah resmi besar-besaran terhadap diri saya.
Semenjak lebih
dari seperempat abad saya memajukan pertentangan tajam, pertentangan yang tiada
dapat diperdamaikan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan
pemerasan-penindasan Rakyat Indonesia. Berhubung dengan pertentangan tajam
itulah, maka Demarkasi Revolusi Indonesia ini dapatlah ditarik dengan
sejelas-jelasnya.
Dari bermula sekali saya anggap
Demarkasi Revolusi Indonesia itu bukanlah satu amban (girdle, band) melainkan
satu garis. Artinya bukanlah satu garis yang mempunyai panjang dan mempunyai
lebar, melainkan satu garis yang mempunyai panjang, tetapi tiada mempunyai
lebar. Bukanlah satu amban, di mana borjuis-imperialis bisa berjabat tangan
dengan borjuis-jajahan, buat kerja sama, memeras dan menindas murba di
Indonesia. Melainkan satu garis, di mana Borjuis-Imperialis Belanda dengan
memperkudakan Inlanders-Alat, memeras dan menindas Murba Indonesia.
Di Hindustan,
Tiongkok dan Pilipina dan amban-sosial yang bisa dijadikan Demkarkasi antara
kaum penjajah dengan Murba-terjajah. Di sana kepentingan bersama dalam ekonomi
antara borjuis-imperialis dengan borjuis-jajahan dapat dijadikan dasar untuk
mengadakan kerjasama dalam Politik. Di sana pertentangan antara
borjuis-imperialis dengan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan (Tiongkok) boleh
diperdamaikan. Dengan demikian, maka pergerakan revolusioner dapat
dihalang-halangi atau dibelokkan kepada reformisme dan ke dalam status, di mana
borjuis-imperialis menyerahkan sebagian besar kekuasaan politiknya kepada
borjuis-jajahan (Hindustan dan Pilipina). Bahkan pada lahirnya semua kekuasaan
politik adalah borjuis-imperialis boleh diserahkan kepada borjuis-jajahan,
sambil tetap mengendali “Negara Merdeka” itu dengan “Perjanjian” Keuangan,
“Perjanjian” Kemiliteran, “Perjanjian” Ekonomi dan “Perjanjian” Urusan Luar
Negeri. Keadaan semacam itu terdapat lebih kurang pada perhubungan Amerika
Serikat dengan Mexico dan beberapa Negara di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, dengan Canada, Pilipina, Tiongkok, Turki dan lain-lain.
Karena tak
adanya borjuis-besar dan borjuis-menengah yang kuat di Indonesia, dalam arti
ekonomi, maka borjuis-imperialis tak bisa mengadakan ambas sebagai demarkasi di
Indonesia. Borjuis-imperialis cuma bisa “kerja sama” dengan bangsa Indonesia,
yang bisa diperalat semata-mata, dengan Inlanders-Alat untuk memeras dan
menindas Murba Indonesia. Inlanders-Alat ini di zaman “Hindia Belanda”
sebelumnya Belanda menyerah kalah kepada Jepang berpusat pada “Binnenlands
Bestuur Amtenaaren”, Pangreh-Praja namanya di masa Jepang. B.B. Ambtenar itu
adalah turunan dari Ningrat-Takluk, yang akan menjadi penganjur (MURBA), kalau
sekiranya tiada diperalatkan oleh Belanda. Dengan didikan sekolah Ambteenar,
serta dipersenjatai dengan “Undang-Undang Bumiputra” (Inlandsche Reglement) dan
dengan bantuan politie, maka B.B. Ambtenaar inilah intinya, Kern-nya,
Borjuis-Indonesia. Merekalah yang sudi “Kerja sama” dengan borjuis-imperialis,
laksana sebuah centera (gilingan) yang “Kerja Sama” dengan pelayannya untuk
memeras manisan tebu.
Ringkasnya di
Indonesia tak dapat diadakan Amban-Demarkasi, ialah garis yang mempunyai lebar,
yang dapat memperdamaikan borjuis-imperialis dengan borjuis-nasional. Di
Indonesia cuma ada Garis-Demarkasi, ialah garis yang tiada mempunyai lebar,
garis yang tajam, yang menghimpit, ialah Borjuis-Alat, bernama B.B. Ambtenaar,
garis yang dengan terang-tajam memisahkan borjuis-imperialis Belanda dengan
Murba Terjajah Indonesia.
Barang siapa
yang berada di sebelah Sananya Garis Demarkasi itu adalah kelas
pemeras-penindas. Barang siapa yang berada di sebelah sininya Garis Demarkasi
itu adalah kelas Murba terperas-tertindas. Ketika gerakan kemerdekaan itu
berlaku dalam waktu damai, maka garis demarkasi itu cuma dapat diketahui dengan
filsafat revolusioner. Tetapi dalam masa revolusi, maka garis demarkasi itu
menjadi Demarkasi Revolusi, yakni: Revolusi yang berdemarkasi, revolusi yang
bertapal batas, yang jelas. Berhubung dengan itu, maka musuhilah dan gempurlah
semuanya yang berada di seberangnya dan gempurlah pula mereka yang dulu berada
di sebelah sini, tetapi oleh kesengitan perjuangan lari dari sini dan kini
berada di sebelah sana.
Masih sulit
kiranya bagi khalayak umumnya di masa “Hindia Belanda” untuk menentukan
disebelah manakah Sukarno-Hatta Syahrir dan Amir akan berada pada permulaan
revolusi, pada pertengahan revolusi dan pada penghabisan revolusi. Bagi
manusia, sebagai kelas atau golongan, maka soal yang semacam itu lebih mudah
diselesaikan daripada oleh manusia sebagai individu, sebagai seseorang.
Filsafat
revolusi saja tak dapat memastikan lebih dahulu. Cuma prakteklah yang dapat
memastikan. Bukan sedikit anak-Murba, yang meninggalkan Front-Murba. Bukan satu
dua orang pula anggota Yang Bukan Murba, yang sampai pada napas terakhir berada
di kalangan Murba. Bukankah Para Bapak dan Para Pemimpin Murba, seperti Marat,
Marx, Engel, Lenin, Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg dan lain-lain semuanya
berasal dari golongan Yang Bukan Murba? Ada yang mendapatkan paham kemurbaan
dengan melalui otak pikiran serta jantung perasaan saja. Tetapi sampai pada
napas terakhir, mereka setia kepada klas yang dibelanya dan paham-klas yang
dianutnya itu. Ada pula yang memangnya lebih banyak lagi mereka yang berasal
dari klas Murba sendiri, yang sampai titik darah penghabisan membela klasnya
dan kepentingan serta paham klasnya sendiri.
Bahwasanya maka
empat pemimpin terkemuka dalam revolusi ini, seperti tersebut di atas tadi,
satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting,
daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petitio-burgeois,
borjuis Kecil Indonesia; sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda yang
tertinggi dan sama-sama bercita-cita “kerja sama” dengan Imperialis Belanda,
menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbedaan tentang quality, sifat,
sebagai orang (person) saja.
Sukarno mempunyai sifat terbuka, mudah
percaya dan mudah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Tahu akan jiwanya rakyat
Indonesia, mahir memakai perkataan, maka seandainya Sukarno mempunyai Filsafat
Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas, di samping hati yang teguh memegang
filsafat dan tujuan itu, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya
dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret 1948) menjadi Liberator, Pembebas
Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi Sukarno tiada
mempunyai tujuan yang nyata karena dia tiada mempergunakan cara berpikir
revolusioner dan Filsafat Revolusi yang tepat. Dia tiada pula mempunyai hati
yang teguh memegang tujuan bermula. Dengan menerima dan mengalamkan semua
kemewahan hidup, yang dengan rencanan teratur sengaja diberikan oleh
imperialisme Jepang kepadanya, Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat
kemurbaan seperti bermula. Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme
Inggris-Belanda, di samping tiada percaya kepada kekuatan Murba dan
Dialektiknya Revolusi, maka Sukarno cocok dengan sifat borjuis-kecil dalam
tiap-tiap revolusi, jatuh kembali kepada asalnya: reverting totype. Dia
mengambil jalan yang paling sedikit membahayakan jalan “of the least
resistance”.
Moh. Hatta bukanlah seorang
revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih
senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya
menghadiri pidato di lapangan Gambir Jakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa
memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan
kesanggupan Murba. Di kalangan intelekt-borjuis-kecil dia bisa juga mendapatkan
pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan
keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal
padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambition, lebih besar daripada kecakapannya
yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber
akalnya itu! Sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan memangnya pula (dia)
mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang mencocok idaman
klasnya, ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (bukewurm),
bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat cermat, serta teliti yang
ada padanya, di waktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi
bisa melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan
sifatnya itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling
sedikit membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat
golongan keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berbeda.
Saya tiada kenal
dengan dirinya Amir Sjarifuddin.
Usul dari salah seorang pemuda, yang dulunya rapat sekali bekerja dengan Amir,
yang ingin menjumpakan saya dengan Amir, yang katanya disetujui oleh Amir
sendiri, selalu saja saya tolak. Lebih dahulu saya mau mendengar penerangan
resmi tentang tindakannya di Jawa Barat, ialah melarang Rakyat/Pemuda menyerang
Inggris, seperti isinya sepucuk surat, yang dibacakan oleh Armunanto dalam
Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto, pada tanggal 4-5 Januari 1946.
Rupanya Amir menganggap semua tindakannya terhadap Rakyat/Pemuda di Jawa Barat
itu sudah semestinya. Sekali lagi dia dengan perantaraan Dj.Maj. Djokosujono
meminta berbicara dengan saya, ketika saya di tahan di Jetis Solo, ialah
seperti dibelakang hari ternyata atas Surat Delegasi Indonesia kepada
Pemerintah dari Yogya dan ata usahanya Amir sendiri. Saya hanya mau berbicara
setelah kami ber-empat dimerdekakan. Pada masa itu (April 1946) saya belum mendapat
keterangan, sebab apa saya ditangkap. Dari mereka yang paling dekat padanya,
saya mendapat keterangan, bahwa di masa “Hindia Belanda” Amir tiada dibuang,
meskipun aksinya oleh Belanda mulanya dianggap “berbahaya”. Bahkan sebaliknya,
Amir “ditendang ke atas”, dijadikan “pegawai tinggi” dari Ekonomise Zaknn di
bawah Van Mook, Idenburg dan Van Hoogsratraten. Dihukum buat seumur hidup oleh
Jepang, bukan dia anti sembarang imperialisme, melainkan dia anti imperialisme
Jepang, tetapi pro Belanda. Tiadalah mengherankan kalau Asal, didikan dan
Pandangan Hidupnya dia berhasil mendapatkan “Perjanjian Renville”! Tetapi di
samping mendapatkan “Renville” itu Amir, sebagai Menteri Pertahanan kehilangan
Jawa Barat, kehilangan
Pekalongan, kehilangan Banyumas dan kehilangan Malang, yang semuanya itu
direbut oleh Belanda hampir dengan tak ada perlawanan.
Keuletan Amir mempertahankan,
sebagai Menteri Pertahanan, cuma ternyata dalam perjuangan mempertahankan
kedudukannya terhadap kaum opposisi dan terhadap Laskar Rakyat Jakarta-Raya,
yang bersikap teguh mempertahankan kemerdekaan 100% dan sudah sanggup
mempertahankan Krawang dan Cirebon terhadap Tentara Inggris dan Belanda lebih
daripada satu tahun lamanya, sebelum dicerai-beraikan oleh T.R.I pada tanggal
13 sampai 17 April 1947, ialah di masa Amir memegang Kementrian Pertahanan.
Sampai pada waktu Jepang menyerah,
maka Sutan Syahrir adalah paling
dekat kepada para pemuda, karena dia paling jauh kepada Jepang, kalau
dibandingkan dengan para pemimpin lain. Tetapi dalam sikap tindakan merebut
senjata dari Jepang pada tanggal 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara
Syahrir cs dengan para Pemuda, yang kemudian memusatkan aksinya pada Comite van
Aksi di Menteng 31, Jakarta. Walaupun dibelakang hari Syahrir dalam Brosure
“Perjuangan Kita” masih memakai para pemimpin cooleborator Jepang sebagai
“anjing dan kaki tangan Jepang” dan “penghianat perjuangan”, tetapi sebenarnya
Syahrir sudah bertindak sepadan dengan Sukarno-Hatta. Dia dengan golongan
pemudanya sudah melayang-layang diantara Massa Aksi dan Diplomasi. Dia kelak
dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih Salah Satunya, ialah pekerjaan
yang sangat sukar bagi borjuis kecil. Dalam kebimbangan begitulah rupanya, maka
dia tiada sanggup memberi komentar sepatahpun, ketika di Serang, saya dimajukan
kemungkinan kaum-lunak (moderate) akan muncul kaum-extremis, yang sudah
disetujui Inggris-Belanda itu. Dalam keragu-raguan begitulah pula rupanya,
Sutan Syahrir membatalkan sendiri janjinya, berjumpa dengan saya atas
permintaannya sendiri dengan perantaraan Sukarni. Saya, yang pada tanggal 26
Februari (1946) tergopoh-gopoh datang dipanggil dari Kongres Semua Laskar di
Magelang untuk menemui Syahrir di Yogya, tiada berhasil berjumpa. Begitupun di
Solo, pula menurut janji Syahrir sendiri. Rupanya Syahrir sudah mengandung
putusan tentang mana yang akan dipilihnya: Massa Aksi ataukah Diplomasi, yakni
berjuang dengan Persatuan Perjuangan atau berunding dengan maling di dalam
rumah. Tetapi Syahrir merasa perlu merahasiakan pilihannya itu.
Tiadalah saya ketahui di masa itu,
bahwa:
1. Badan Pekerja K.N.I Pusat sudah
menunjukkan persetujuan dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
2. Berhubung dengan itulah, maka Sutan
Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena programnya tiada
cocok dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan tadi.
Baik juga di sini saya catat
tulisannya Dr. A. Halim, seorang
anggota Badan Pekerja K.N.I. Pusat, dalam Revue Indonesia, Peringatan satu
tahun Merdeka, Menuju ke Parlemen Sempurna, 1946, a.l seperti berikut:
“Pendek kata Pemerintahan pada waktu
itu adalah Pemerintahan dari seorang, yaitu Presiden, yang kekuasaannya
meliputi hampir seluruh kekuasaan Negara”.
“Bahwa kurang representatipnya Badan
Pekerja dan K.N.I Pusat dibuktikan oleh berdirinya satu Badan yang bernama
Persatuan Perjuangan, dipimpin oleh Tan Malaka cs. yang dengan mudah dapat
memikat beberapa Partai-Politik, sosial dan bahan-bahan perjuangan, sehingga
dengan demikian memperhebat pemusatan kehidupan politik di luar K.N.I. Pusat”!
“...Bahwasanya kedudukan Badan
Pekerja lemah pada waktu itu, terbukti oleh pengumuman No.21, yang menyatakan
kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya Persatuan Perjuangan dan
menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk memperkuat usaha itu” (tekanan dari
saya).
“...Jatuhnya Kabinet Syahrir ke-I,
buat sebagian besar disebabkan oleh “aksi exstra Parlementer” tadi, yang aneh sekali disokong oleh Badan
Pekerja K.N.I. Pusat”
“...Dalam Sidang K.N.I Pusat Pleno
di Solo pada tanggal 28 Februari sampai tanggal 3 Maret 1946 dipersoalkannyalah
badan manakah yang lebih representatif, Persatuan Perjuangan atau K.N.I Pusat”.
Sekianlah Dr.A.Halim
Peletakan jabatan Syahrir sebagai
Perdana Menteri yang berlaku pada tanggal 23 Februari itu baru diketahui
setelah Rapat K.N.I Pusat dibuka di Solo, pada tanggal 27/28 Februari.
Pada Rapat ini, yang dibuka oleh
Mr.Asaat, Presiden Sukarno dengan menggemparkan mengumumkan, peletakan Syahrir
rapat atas meletakkan jabatannya. Presiden juga meminta pengesahan permintaan
peletakan jabatan itu. syahrir tampil di muka untuk memberikan tanggung jawab
tentang kebijaksanaan Politik Kabinet dalam pidato lebih kurang satu jam
lamanya.
Kesimpulan tanggung jawabnya Syahrir ialah: bahwa dia
merasa “yang kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menempuh jalan damai dan
perundingan”.
Paham Syahrir yang nyata
bertentangan dengan Minimum Program Persatuan Persatuan Perjuangan, yang sudah
disetujui oleh Badan Pekerja K.N.I Pusat di Jakarta dan oleh Sidang K.N.I Pusat
di Solo, diselingi pula dengan demonstrasi Tentara dan Laskar dan pemakaman
para korban pahlawan kita.
Panglima Besar yang memberikan
sambutan, mengharapkan, supaya rapat dengan cepat mendapatkan putusan yang
segera dijalankan.
Pada tempatnyalah pula Chaerul
Saleh, Ketua bagian Politik dari Persatuan Perjuangan tampil ke muka dengan
perkataan: “Kita tak usah mempersoalkan pertanggungjawaban seseorang yang sudah
meletakkan jabatannya. Kita tidak ada pimpinan Pemerintahan semenjak 23
Februari, jadi selama lebih dari empat hari. Maka sebab itulah saya mengharap,
supaya pimpinan Pemerintah Negara dibentuk. Dan saya harap, supaya Presiden,
segera membentuknya. Saya tunggu jawaban di mimbar ini sekarang juga”.
Rapat kelihatan terharu dan gelisah!
Akhirnya Ketua Mr. Asaat menerangkan, bahwa atas pidato Chaerul Saleh itu, maka
rapat ditunda sementara, sampai kelak ada pemberitahuan. Dikatakan pula, bahwa
pimpinan Pemerintah kelak akan dibentuk oleh Presiden, ialah jam 16.00.
Pada Rapat tanggal 28 Februari di
rumahnya Tn. Suroso, Komisaris Tinggi Surakarta, di mana hadir Presiden, Amir
Syarifuddin, Abd. Madjid, Trimurti, Ny. Mangunsarkoro, Wali Al Fatah, Chaerul
Saleh, Sukarni dan lain-lain. Presiden mencoba merancangkan nama mereka, yang
akan duduk dalam Kabinet. Presiden meminta pula bantuannya para hadirin menyusun
nama bagi Kabinet itu.
Setelah terbentuk susunan nama,
dengan Syahrir sebagai Menteri Luar Negeri, Amir sebagai Menteri Pertahanan,
Wikana sebagai..., maka Chaerul Saleh tampil bertanya: Bagaimana halnya Minimum
Program Persatuan Perjuangan?
Menurut Chaerul Saleh, bahwa yang
terpenting ialaha Programnya Pemerintah. Kalau Minimum Programnya Persatuan
Perjuangan diterima, maka soal susunan mereka dalam Kabinet adalah perkara
“sekunder”, perkara kedua.
Mr. Abdul Madjid “anggota
Perhimpunan Indonesia di Nederland, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100%
dan hanya menyetujui pembentukan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan
Belanda”, salah seorang dari “rombongan lima orang (Mr. Abdul Madjit,
Setiadjit, Mr.Tamsil, Mr. Muwaladi, Drs. Maruto Darusman) yang dikirim Belanda
ke Indonesia untuk menjamin terlaksananya maksud Belanda atas Tanah Air kita,
yang telah merdeka”; Abd. Madjit yang dengan secepat kilat “mendapatkan tempat
di Pemerintahan Agung kita” (bacalah harian Murba No.9, yang mengumumkan Rahasia
Lima Serangkai Pembantu Belanda oleh Gerakan Revolusi Rakyat); Mr. Abd. Madjid
yang pada bulan Desember 1945, setibanya dia dari Nederland dengan kapal
Belanda dicurigai, diperiksa dan sementara ditahan oleh Pemuda Jakarta, yang
bermarkas pada Menteng 31; Abd. Madjid yang ikut merundingkan dan ikut
melakukan suara memutus dalam sidang pengesahan Minimum Program di Solo, pada
tanggal 15-16 Pebruari; Mr. Abd. Madjid penghalang kerajaan Belanda itu,
berkata bahwa tidak semua Partai terikat oleh Minimum Program.
Cukuplah sudah sikap Mr. Abd. Madjid
buat ditafsirkan oleh mereka yang berdiri atas kemerdekaan 100% yang sekarang
sudah bisa memeriksa sendiri siapa sebenarnya Mr. Abdul Madjid itu. Cukuplah
pula buat kami sendiri pengetahuan, bahwa kalau pada masa itu diadakan undian
(pemungutan suara) yang syah dalam Partai Sosialis, maka Mr. Abdul Madjid
sendiri akan tercengang, berapa persen cabang atau anggota Partai Sosialis,
yang setuju dengan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda dan berapa
persen pula yang setuju dengan kemerdekaan 100%.
Kembalilah pada rapat tadi
Mr. Amir Syariffudin mengemukakan
“pemeliharaan continuiteit” (kelanjutan) da Kabinet dan juga dari pemerintahan,
karena (menurut Amir yang pada masa Proklamasi berada dalam penjara Jepang
dihukum seumur hidup atas tuduhan melakukan spionage buat Belanda)......karena
Republik diproklamirkan oleh Sukarno Hatta. Merekalah, beserta mereka, yang
pernah duduk dalam Kabinet-lah menurut Amir Syariffudin yang berhak meneruskan
Pemerintahan.
Sukarni, salah seorang yang paling
dekat dengan Sukarno-Hatta disekitar Proklamasi itu, segera menyambut usul Amir
itu lebih kurang dengan perkataan: “bahwa bung Amir tidak tahu menahu dengan
jalannya Proklamasi itu, maka tak usahlah dia banyak memberi komentar”.
Lantaran tak tampak arah yang pasti
maka Rapat menjadi agak gaduh pula.
Atas permintaan Presiden supaya
Persatuan Perjuangan memajukan putusan penghabisan dan Daftar-Nama-Calon, maka
pengurus Persatuan Perjuangan berjanji menyampaikan putusan-terakhir dan daftar
nama itu pada jam 10 malam, setelah nanti mengadakan Putusan Rapat Anggota
lebih dahulu.
Dalam Rapat Anggota Persatuan
Perjuangan di gedung KNIP Solo, pada tanggal 28-29 Pebruari 1946, jam 21.00,
yang dihadiri oleh para wakil dari Masyumi, PBI, PNI, PPI, Dewan Perjuangan
Jawa Timur, Dewan Perjuangan Jawa Tengah, Pesindo, BPRI (pemberontak), Koperasi
Rakyat Cirebon dan Gas Listrik, maka dibicarakanlah laporan Rapat Presiden dan
sikap yang harus diambil oleh Persatuan Perjuangan.
Dengan tegas semuanya organisasi-gabungan
menghendaki terlaksananya Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Bahkan BPRI (pemberontak) yang
diwakili oleh Bung Tomo dan Indartono mengancam dengan perkataan: “bahwa kalau
Persatuan Perjuangan tidak sanggup mempertahankan Minimum Programnya, maka BPRI
akan mengobrak-abrik Persatuan Perjuangan dan jika Pemerintah yang tidak
sanggup menjalankan Minimum Program itu, maka dia (Bung Tomo) akan mengadakan
“coup” terhadap Pemerintah sendiri”.
Dibicarakanlah pula Daftar Nama
mereka, yang akan memikul tanggung jawab Pemerintahan, kalau Pemerintah tak
sanggup menjalankan Minimum Program Persatuan Perjuangan. Dalam hal ini
Pemerintah akan dibentuk oleh para wakil dari beberapa organisasi yang
tergabung pada Persatuan Perjuangan.
Begitu pula beberapa tindakan yang
akan dilakukan jika Pengurus Persatuan Perjuangan tak cakap memperjuangkan Minimum Program itu.
Putusan yang diambil oleh Rapat
Persatuan Perjuangan pada malam itu lebih kurang berbunyi.
1. Menghendaki supaya Minimum Program
Persatuan Perjuangan pada menjadi Programnya Pemerintah.
2. Kalau Pemerintah tak sanggup
menjalankan Programnya Persatuan Perjuangan, maka Persatuan Perjuangan sendiri
mempertanggung jawabkan Pemerintahan.
3. Kalau dua putusan itu ditolak, maka
para pemimpin Persatuan Perjuangan akan menentukan satu sikap pula.
Malamnya 28-29 Pebruari ketika
Persatuan Perjuangan sedang bermusyawarah itu, maka Sukarni sebentar datang
menjumpai saya, bertanyakan, apakah saya sudi duduk dalam Pemerintahan. Jawab
saya, ialah, perkara duduk atau tidak dalam Pemerintahan itu adalah soal yang
kedua. Yang menjadi soal pertama, ialah diterima atau tidaknya Minimum Program
oleh Pemerintah.
Pagi harinya pada tanggal 29
Pebruari, apabila Sukarni dapat berjumpa dengan Presiden Sukarno, maka Sukarni
mengemukakan soal Minimum Program. “Soal Program itu gampang tanggung beres.
Hanya menunggu kedatangan Wakil Presiden nanti siang hari dari Yogya”.
Demikianlah jawabnya Presiden.
“Bagaimanakah halnya kalau nanti Wakil Presiden menolak Minimum
Program?”, tanya Sukarni pula.
“Ach, itu soal gampang. Saya tanggung, bahwa Program itu akan
disetujui”, jawab Presiden.
Sekianlah soal jawab antara Presiden
dengan Sukarni, sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan!
Tetapi memangnya cocok dengan dugaan
saya sebelumnya itu tentang sikap Wakil Presiden tiadalah akan menyerah saja
kepada kemauan 141 Organisasi Rakyat, yang menggabungkan diri pada Persatuan
Perjuangan yang pada Kongresnya di Solo, tanggal 15-16 Januari sudah memutuskan
akan menyita Miliknya musuh. Wakil Presiden dengan tiada mendapatkan
persetujuan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia lebih dahulu dengan tiada
memperbedakan sahabat dengan musuh, Pendamai dengan Ceroboh (agresor) diantara
Asing itu, dalam maklumat pada tanggal 1 Nopember 1945 sudah menganjurkan kepada
Belanda, bahwa “segala hutang Hindia Belanda” sebelum penyerahan Jepang dan
patut menjadi tanggungan kita dan segala Milik Bangsa Asing selain daripada
yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh Negara sendiri,
dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh Negara akan kerugiannya
dengan seadil-adilnya.
Demikianlah selaras dengan isi
Maklumat Presiden (apakah dengan pengetahuan dan persetujuan Presiden lebih
dahulu?) dalam pertemuan di rumah Tn. Suroso yang dihadiri oleh Presiden, Moh.
Hatta, Syariffudin, Abd. Madjid, Wali Alfatah, Sukiman, Tuan dan Ny.
Mangunsarkoro, Trimurti, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain, pertemuan yang
mulanya diketuai oleh Presiden, kemudian oleh Wakil Presiden, terjadi
perdebatan antara Pelupessy (Sunda Kecil), Kasimo (Katolik) dan Abd. Madjid
pada satu pihak dan Chaerul Saleh serta Wali Al Fatah (keduanya dan Persatuan
Perjuangan) di lain pihak.
Akhirnya Moh. Hatta bertanya: “Apakah saudara-saudara dari Persatuan
Perjuangan tidak tahu, bahwa dengan penyitaan seperti “dimaksudkan dalam pasal
6 dan 7 Minimum Program semua imperialis di dunia bersatu untuk menghantam
Republik?”
Chaerul Saleh dengan segera menjawab pertanyaan Moh. Hatta itu dengan
pertanyaan pula, ialah seperti berikut: “Apakah sdr. Hatta tidak insaf, bahwa
dengan Proklamasi Kemerdekaan kita, kita sudah tentu akan berhadapan dengan
semua imperialis dunia, terutama imperialis Belanda?”
Hatta tiada memberi jawaban apa-apa!
Karena memangnya sukar dijawab tentang itu.
Perdebatan menjadi hebat dan kalut,
tetapi walaupun sudah sampai jauh malam, keputusan tiada di dapat.
Pada tanggal 1 Maret pada Rapat KNIP
yang dibuka oleh Mr. Asaat, dimana Wakil Presiden hadir, tetapi Presiden tidak
hadir, maka diumumkanlah, bahwa Sutan Syahrir ditunjuk lagi sebagai Perdana
Menteri. Pada siang harinya disiarkan Program Pemerintah Yang Lima Pasal.
Berhubung dengan peristiwa itu dan
cocok dengan putusan Rapat Persatuan Perjuangan, seperti tersebut di atas, maka
Wikana, tampil ke muka untuk mengumumkan, “Bahwa
semua anggota Persatuan Perjuangan dilarang duduk dalam Kabinet, yang tidak
menjalankan Minimum Program itu”.
Rapat amat gaduh! Program Pemerintah
yang Lima Pasal itu tiada dibicarakan, jangankan lagi disyahkan oleh Rapat KNIP
itu! Soal Kabinet-pun dipelantingkan begitu saja. Rapat KNIP selanjutnya
(sampai 3 Maret) hanyalah menyatakan bubarnya KNIP dan menyerahkan pembentukan
kepada Presiden.
Demikianlah kemauan Persatuan
Perjuangan terhadap Badan mana, Badan Pekerja KNIP dengan Maklumat No. 21
“menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya dan menganjurkan kepada
seluruh Rakyat untuk memperkuat usaha itu” diabaikan oleh Sukarno-Hatta, Amir
dan Syahrir dengan bantuan Mr. Abdul Madjid, yang tidak setuju dengan
kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui Kemerdekaan dalam Lingkaran Kerajaan
Belanda”.
Demikianlah pula Minimum Program,
yang sudah dipelajari selama sepuluh hari, diperundingkan, dan diputuskan oleh
141 organisasi Rakyat Pemuda, Tentara (Panglima Besar pun ikut memutuskan),
Laskar dan Badan itu, begitu saja dibatalkan oleh Program Pemerintah yang
dibentuk oleh Sutan Syahrir, Moh. Hatta, dan Abd. Madjid, zonder perundingan
dengan – dan zonder pengesahan dari Pemerintah seluruhnya dan BPKNIP ataupun
sidang Pleno KN Pusat.
Demikianlah pula, Kabinet Syahrir
yang menurut Dr. Halim seluruhnya ialah, “Disebabkan oleh aksi extra
parlementer” itu yang pentingnya pula disokong oleh Badan Pekerja KNIP tidak
diganti dengan kaum yang beroposisi, ialah kaum yang menjatuhkan untuk
menjalankan Politik-nya mereka yang beroposisi itu, seperti yang lazim berlaku
di dunia demokrasi, melainkan (aneh sekali!) oleh gerombolan Yang Kalah untuk
menjalankan Politik yang sudah disalahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat sendiri
yang pada masa itu berbentuk K.N. Pusat.
Demikianlah pula akhirnya Rapat K.N.
Pusat di Solo itu, menarik garis pemisahan waktu, diantara Phase Bermula dengan
Phase Kedua, yakni antara Phase Massa Aksi dengan Phase Diplomasi, dalam
Revolusi Indonesia ini.
Pada Phase Massa Aksi, kasarnya
antara 17 Agustus dengan 3-17 Maret 1946, maka hampirlah seluruhnya Rakyat
menentang sembarang Penjajah (Jepang, Inggris dan Belanda) dengan senjata Bambu
Runcing sebagai modal yang pertama. Phase Massa Aksi ini berhasil mendapatkan
kemenangan luar biasa, lahir dan batin, senjata dan moril, nasional da
internasional.
Pada Phase Diplomasi Berunding,
kasarnya antara 3-17 Maret itu sampai sekarang 17 Maret 1948, maka gerombolan
borjuis kecil Indonesia berusaha keras berkompromi dengan Inggris-Belanda dan
berhasil mendapatkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Perjuangan
ini berarti keruntuhan Repulik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran,
perekonomian, sosial dan moril.
SAMAKAH PROGRAM PEMERINTAH
DENGAN PROGRAM
PERSATUAN PERJUANGAN?
Pertanyaan di atas saya tulis (dan jawab) buat
memenuhi permintaan beberapa anggota Persatuan Perjuangan, beberapa hari saja
sebelum tangkapan Madiun. Tanya jawab yang berkepala “Samakah....?” Itu
disiarkan oleh Sekretariat Persatuan Perjuangan di Yogya pada tanggal 14 Mei 1946.
Siaran dirasa perlu untuk menghadapi bisikan di
kiri-kanan, bahwa Program pemerintah, yang dibentuk oleh Syahrir, Hatta-Madjid,
ketika Rapat K.N. Pusat di Solo itu sama dengan Minimum Program Persatuan
Perjuangan.
Dalam hakekatnya kedua Program itu malah menunjukkan
pertentangan yang dalam. Kedua Program itu sebenarnya sudah menggambarkan
pertentangan, di antara yang saya sebut di atas Phase Massa Aksi, selama enam
bulan permulaan Revolusi dengan Phase Berdiplomasi semenjak penangkapan para
pemimpin Persatuan Perjuangan di Madiun (17 Maret 1946).
Minimum Program tiada membuka pintu untuk berunding
dengan maling di dalam rumah atau dengan musuh yang mengajukan pistolnya dengan
kita. Minimum Program menuntut lebih dahulu pengakuan kemerdekaan 100% dan berhubung
dengan itu pula menuntut lebih dahulu si Ceroboh (Agressor) menarik tentaranya
dari pantai, laut dan udara Indonesia. Semua tuntutan ini dirasa cocok dengan
kemerdekaan dan kehormatan Republik Indonesia dan dirasa perlua buat menjamin
keamanan Rakyat Indonesia selain dan sesudah perundingan berlaku. Sifatnya
perundingan itu kelak cuma untuk menentukan perhubungan diplomasi dan hubungan
dagang antara Dua Negara Merdeka, (Indonesia terhadap Nederland) ialah menurut
hukum internasional yang sudah lazim dipakai. Apabila tentara Asing masih ada
di pantai, laut dan udara Indonesia. Semuanya tuntutan ini dirasa cocok dengan
kemerdekaan dan kehormatan Republik Indonesia dan dirasa perlu buat menjamin
keamanan keamanan Rakyat Indonesia selain dan sesudah perundingan berlaku.
Sifatnya perundingan itu kelak cuma
untuk menentukan perhubungan diplomasi dan hubungan dagang antara Dua Negara
Merdeka, (Indonesia terhadap Nederland) ialah menurut hukum internasional yang
sudah lazim dipakai. Apabila tentara Asing masih ada di pantai, laut dan udara
Indonesia, maka akan diteruskanlah perjuangan buat menghalaukan musuh dengan
semua Alat Perang kemerdekaan (yang berlainan sifat dan bilangannya dengan alat
perang untuk rebut-merebut Pasar dan Negara Asing). Berhubung dengan itu maka
cocok dengan Hukum Perang, semua Harta-Benda dan Hak Milik Musuh akan di-sita
(pasal 6 dan 7 Minimum Program). Jaminan buat kemenangan k ita yang terakhir
diletakkan pada Pemerintah Rakyat (pasal 2 Minimum Program) dan Tentara Rakyat
(pasal 3 Minimum Program).
Program Pemerintah membuka pintu seluas-luasnya untuk
berunding, dengan pistol musuh diajukan lebih dahulu semua syarat untuk
menjamin Kemerdekaan, Keamanan dan Kehormatan Rakyat Indonesia, sebagai Rakyat
yang sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945. Dengan perkataan lain Program
Pemerintah membuka pintu kepada Belanda untuk memperkuat serta mengumpulkan
tenaga militer, ekonomi dan keuangan di masa berunding; memasukkan colonne
kelimanya (bukan ke lima colonenya!!) ke dalam Daerah Republik, dengan maksud
kelak menyerang Republik apabila kekuatannya sudah dirasa cukup. Dengan
pengakuan atas kembalinya semua Hak Milik dan Harta Benda Belanda, yang dengan
Milik Asing lainnya meliputi 99,99 % perindustrian, perkebunan, pertambangan,
pengangkutan dan keuangan Indonesia, secara modern kapitalistis, maka
IPSO-FACTO, seandainya kelak kekuasaan politik imperialisme Belanda dan Asing
lainnya akan kembali meliputi seluruhnya daerah Indonesia ini.
Pertentangan yang tergambar dalam kedua Program itu,
berasal dari pertentangan paham beberapa hal:
1e. Pertikaian-penaksiran tentang dalamnya
pertentangan antara Pemeras-Penindas-Belanda yang kapitalis-imperialis dengan
Rakyat Indonesia yang terperas tertindas.
2e. Pertikaian-penaksiran tentang kekuatan imperialis
Belanda yang sebenarnya pada satu pihak, dan kekuatan yang ada dan tersembunyi
yang sesungguhnya pada 70 juta Rakyat Indonesia di lain pihak.
3e. Pertikaian tafsiran tentang keadaan Internasional
dan berhubung dengan itu pertikaian penaksiran tentang keuntungan dan kerugian
yang akan kita peroleh dari keadaan dan kemungkinan Internasional itu.
4e. Pertikaian-penaksiran terhadap diplomasi-berunding
atas “goodwill” dan “perikemanusiaan” bekas penjajah pemeras, penindas di satu
pihak, dan diplomasi bambu runcing, yang disokong oleh pemboikotan da gerilya
di semua lapangan di lain pihak.
Persatuan Perjuangan dengan Minimum Programnya
mendasarkan kepercayaan kepada kemenangan terakhir terhadap Tentara Belanda
yang didatangkan dan tempat, yang sepuluh ribu Km jauhnya itu, atas Massa Aksi,
sebagai Alat dan Muslihat untuk Massa, ialah Massa-Rakyat atau Rakyat-Ramai
umumnya dan Masa-Murba atau Murba Ramai khususnya.
Pemerintah Republik dengan Program Lima Pasalnya tiada
bersandar kepada Massa Aksi, tetapi mempercayakan nasibnya Republik dan 70 juta
Rakyat Indonesia kepada Diplomasi Berunding dan “Kerja Sama” dengan Belanda
yang sudah 350 tahun menunjukkan kecakapannya sebagai Penjajah.
Apakah kemungkinan cara penyelesaian pertikaian yang
sudah tergambar dalam Program Pemerintah dan Minimum Program itu?
Pertama:
Dengan benar-benar Pemerintah mengakui Hak Warga
Negara Indonesia untuk “berkumpul dan bersidang” serta “Hak melahirkan pikiran
dan lisan dan tulisan” seperti yang tercantum dalam UUD Indonesia itu. Dalam hal ini, maka menurut
aturan Demokrasi haruslah Pemerintah mengerjakan semua usaha untuk menentukan
mana suara terbanyak berada: Di pihak 5 pasal Program Pemerintah-kah atau di
pihak 7 pasal Minimum Program. Maka Program yang menang dalam undian itulah kelak
yang harus dijadikan Program-nya Pemerintah Republik. Biasanya pula, maka
menurut keadaan (fatsoen) politik demokratis, mereka yang menganut Program yang
ternyata disetujui oleh Mayority (suara terbanyak) itulah pulah yang diserahi
menjalankan Pemerintah.
Kedua:
Atau karena Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah disakan
oleh Rakyat memangnya belum ada, maka Pemerintah mengakui suara Persatuan
Perjuangan setidak-tidaknya sebagai suara Rakyat yang ingin membela kemerdekaan
dan Republik dan cocok dengan isi Maklumat Badan Pekerja KNI Pusat No. 21, yang
“menyetujui” dan memperkuat Persatuan Perjuangan. Berhubung dengan itu
Pemerintah menyerahi Persatuan Perjuangan membentuk Pemerintahan, menurut dasar
persatuannya, yakni Minimum Program, dengan tak tawar-menawar lagi.
Ketiga:
Atau Pemerintah dengan 1001 alasan menginjak-injak Hak
Demokrasi Rakyat dan memegang terus semua Alat Perlengkapan Negara (Polisi,
Tentara, Mahkamah, 13 macam Badan Penyelidikan serta keuangan Negara!) dengan
maksud hendak membatalkan terlaksananya semua paham opposisi sambil
mempergunakan fitnahan, blacklist, pengumuman resmi, tangkapan secara resmi
atau secara “lettre de cachet”, oleh Badan Resmi atau Body Guard dan lain-lain,
jalan yang bukan demokratis dan melanggar Hak Warga Negara.
Kelanjutan Perjuangan Rakyat Indonesia membela
kemerdekaannya itu, semenjak Penangkapan Madiun telah memberi kepastian kepada
tiga kemungkinan diatas.
Pertikaian antara Program Pemerintah dengan Minimum
Program, seperti sudah saya jelaskan, tiga hari sebelum Tangkapan Madiun itu,
memangnya sudah membayangkan kemungkinan yang akan dipilih oleh Pemerintah
Republik.
Tulisan tersebut, sekarangpun (Maret 1948) belum lagi
menjadi sejarah, yang tiada lagi mengikat politik Negara kita sekarang!
Keduanya Program itu kinipun belum lagi lepas dari Kepentingan Kemerdekaan,
Kemakmuran dan hari depannya 70 juta Rakyat Indonesia. Sebab itulah pula, maka
kedua Program itu, belum lagi bisa dilepaskan dari pertanyaan setiap Warga
Negara Republik Indonesia.
“Manakah yang benar, Program Pemerintah Sukarno Hatta
atau Minimum Program Persatuan Perjuangan?”
Berhubung dengan yang tersebut di ataslah, maka
dibawah ini saya catat sepenuhnya pertikaian kedua Program itu, seperti
berikut:
Samakah Program Pemerintah Dengan Program Persatuan
Perjuangan?
Oleh Anggota P.P.
Disiarkan – oleh Sekretariat Persatuan Perjuangan
bagian Penyiaran.
Yogya, tanggal 14 Maret 1946
Baru sesudah Kabinet Syahrir meletakkan jabatannya dan
pada penghabisan Rapat K.N.I. di Solo pada tanggal 28 Pebruari 1946 sampai 3
Maret 1946, Pemerintah mengeluarkan Programnya. Jadi sesudah lebih dari enam
bulan berdirinya Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan Persatuan Perjuangan
lebih kurang 2 bulan lampau dari Kongres Purwokerto sudah memproklamirkan
Minimum Programnya.
Tak ada diantara para pembangun Persatuan Persatuan
yang mengira, bahwa dalam tempo 2 bulan berdirinya Persatuan Perjuangan saja
akan sampai kepada tingkat politik Negara Republik Indonesia di mana rakyat
berhadapan dengan pernyataan memilih Pemerintah Sukarno Hatta atau Pemerintah
Persatuan Perjuangan.
Hilanglah sekarang semua tuduhan yang tidak-tidak
selama ini terhadap Persatuan Perjuangan, bahwa Persatuan Perjuangan mau
merobohkan Pemerintah. Bukankah Pemerintah sendiri sesudah Kabinet Syahrir
mengakui gagal politiknya ke dalam danke luar Negara, meminta bekerjasama
dengan Persatuan Perjuangan?
Hilanglah tuduhan, bahwa Persatuan Perjuangan satu
Staat di dalam Staat. Bukankah ada lagi Staat yang ganas kejam yang bukan
terdiri atas bangsa Indonesia sudah berada di tengah-tengah Staat Indonesia dan
mengancam jiwanya Negara dan Masyarakat Indonesia itu?
Bagaimanapun juga, haruslah dipuji Sikap Pemerintah
yang mencoba menyesuaikan dirinya dengan satu gerakan Rakyat Indonesia yang
cuma memakai haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Mudah-mudahan Pemerintah
kita yang muda ini akan lebih insaf lagi
akan kegentingan keadaan sekarang dan mengakui kebenaran: “Kemauan Rakyat
itulah kemauan Tuha”.
Pemerintah Sukarno-Hatta atau mereka yang di
sekitarnya, mangatakan bahwa Program Pemerintah sama dengan Minimum Program
Persatuan Perjuangan. Kalau benar demikian, apakah gunanya membikin pula
Program baru? Bukankah sepatutnya Pemerintah Sukarno-Hatta mengakui Minimum
Program saja? Dengan begitu Pemerintah Sukarno-Hatta mengakui “yang pertama
itulah yang semestinya dapat pengesahan dan penghargaan yang pertama”.
Lebih-lebih pula Pemerintah Sukarno-Hatta sepatutnya bisa bergembira karena
boleh membuktikan keluar Negara, bahwa Rakyat Indonesia sudah sanggup mengusul
dan memilih haluan politik yang tepat jitu menurut keadaan: Ergo sudah masak
dalam politik, karena “public opinion” sudah cukup kuat dalam Negara Republik
Indonesia.
Sebaliknya pula dan pihak Persatuan Perjuangan
walaupun sekarang ikhlas “mengalah” tetapi ia “tiada bisa” mengalah. Dalam hal
“bentuk dan isinya”, maka program Pemerintah berbeda degan Program Persatuan
Perjuangan, seperti perbedaan putih dengan merah. Dalam hal “bangun”, maka
Program Pemerintah Sukarno-Hatta seolah-olah tak ada musuh yang ganas kejam yang
sedang mengancam jiwanya Republik Indonesia. Sedangkan Minimum Program
berdasarkan perjuangan di tengah-tengah Laskar musuh yang ceroboh. Selanjutnya
dalam hal “isi” maka Program Pemerintah tiada membicarakan perkara tawanan
Jepang dan interniran Eropa dan perkara “Menyita”. Sedangkan Minimum Program
menganggap tawanan Jepang, ialah Pasal 4 dan perkara tawanan Eropa itu (pasal
5) dan perkara menyita (pasal 6,7) adalah perkara yang langsung mengenai
perjuangan sekarang dan kelak akan langsung menguasai kalah-menangnya Republik
Indonesia mempertahankan kemerdekaan 70 juta Rakyat Indonesia. Bukankah Jepang
yang sudah dikasihkan kepada Inggris itu sekarang di mana-mana dipakai oleh
Inggris buat membunuh Rakyat Indonesia, laki-perempuan, tua-muda? Bukankah Belanda
interniran yang jatuh ke tangannya Inggris itu yang sekarang merampok,
menculik, memperkosa, menyiksa dan membunuh rakyat dan terutama pemuda
Indonesia, serta mendirikan Pemerintahan Nica di mana saja Inggris berduduk?
(Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Sumatra, Bangka, Borneo, Menado
dan lain-lain?) rupa-rupanya, akhirnya, “perkara menyita” hak milik musuh itu
didiamkan saja oleh Pemerintah. Sedangkan proletar perindustrian dan pertanian
harus diberi kepastian tentang sikap Pemerintah terhadap hak milik musuh itu.
menyita hak milik musuh dalam perjuangan yang dahsyat dan mungkin lama ini buat
proletar perindustrian dan pertanian Indonesia pertama sekali ialah satu
“jaminan” yang pasti bahwa mereka tiada akan dipakai sebagai keledai penarik saja
selama perjuangan ada dan kelak sesudah perjuangan akan dilemparkan kembali ke
bawah telapak kaki-kapitalis-nasional, atau kapital asing. Tak satu hurufpun
bisa dikurangi dan perkataan menyita itu. Ini bukannya perkara “taktis atau
tidak” melainkan perkara sikap kapital umumnya dan Pemerintah Sukarno-Hatta
khususnya terhadap kaum buruh dan perkara timbul tenggelamnya Kaum Buruh
Indonesia sebagai kaum. Kaum Buruh Indonesia yang sedang mencurahkan tenaga dan
darahnya dalam perjuangan ini, dan sudah mencurahkan keringat dan darahnya
selama 350 tahun di bawah Belanda dan 3 ½ tahun di bawah Jepang, pada ketika
karangan ini ditulis sebenarnya sudah menjalankan program menyita itu di
mana-mana.
Jika Pemerintah Sukarno-Hatta atau kapital asing kelak
mau mengambil kembali pabrik, tambang, kebun musuh itu dan tangannya kaum
buruh, maka dia akan berhadapan dengan kaum buruh Indonesia yang sudah
mengambil sebagian besar sekali dalam perjuangan kemerdekaan ini. Kaum buruh
tidak mau mengembalikan harta musuh itu. Inilah artinya menyita hak milik
musuh.
Pasal 1 dalam Minimum Program, ialah berunding atas
pengakuan Kemerdekaan 100% adalah rapat sekali hubungannya dengan pasal 6 dan
7, yakni perkara menyita perindustrian dan pertanian. Kalau Pasal itu diterima
tetapi pasal 6 dan 7 ditolak oleh Pemerintah Sukarno-Hatta, maka ini berarti
Pemerintah setuju menuntut kemerdekaan 100% tetapi memberi kemungkinan
membenarkan kapital-asing kembali bermaharajalela di Indonesia. Persatuan
Perjuangan berpendapat, bahwa dalam hal tersebut, di atas kemerdekaan politik
nasional yang 100% itu akan segera pula 100% dibatalkan oleh kapital-asing
Inggris-Belanda, walaupun umpamanya oleh Anglo-Dutch Shell saja; apalagi oleh
Internasional kapital kalau semuanya dikembalikan seperti semula.
Inilah kupasan kita dalam garis besarnya tentang
Program Pemerintah itu.
Marilah sekarang kita adakan kritik dengan ringkas
saja terhadap Pasal itu, satu-persatu, Program Pemerintah berbunyi:
1.
Berunding atas
pengakuan Negara Republik Indonesia (100%) Minimum Program Persatuan Perjuangan
berbunyi:
Berunding atas
pengakuan Kemerdekaan 100%.
Dilihat sepintas lalu
makna kedua tuntutan itu sama. Tetapi sebenarnya lebih penting buat soal
perundingan ini ialah perkara dasar atau syarat atau kapan perundingan itu bisa
dijalankan.
Program Persatuan
Perjuangan Purwokerto lebih sempurna dalam hal itu. bunyinya: “Berunding atas
Kemerdekaan 100%, sesudah tentara asing
meninggalkan pantai dan lautan Indonesia”. (Di belakang ini ditambah lagi syarat
perundingan itu dengan tuntutan lebih dahulu “melepaskan semua tawanan (pemuda)
yang ditangan Nica dan melenyapkan Pemerintahan Nica di semua tempat yang
diduduki Sekutu”).
Menurut isi formule
Purwokerto itu, sebelumnya musuh meninggalkan pantai dan lautan Indonesia, maka
Pemerintah Indonesia tak disetujui berunding.
Kebenaran tuntutan
Purwokerto dua bulan lampau itu sekarang dikuatkan pula oleh tuntutan Rakyat
Mesir dan 100 juta bangsa Arab ialah menuntut “diusirnya” tentara Inggris dan
Mesir lebih dahulu sebelumnya. Pemerintah Mesir diizinkan oleh Rakyat Berunding
dengan “Kancil” Inggris. Pun Independent Labour Party di Inggris menuntut
supaya tentara Inggris diusir dari Hindustan. Demikianlah pula sesudahnya
tuntutan Purwokerto dinyatakan, maka 9 Perkumpulan Besar di Amerika menuntut
supaya tentara Inggris ditarik kembali dari Indonesia.
Sayang Persatuan Perjuangan tak dapat pengakuan umum
tentang kebenaran tuntutan kebenaran tuntutan Purwokerto tadi. Banyak diantara
anggota Persatuan Perjuangan yang merasa bahwa tuntutan Purwokerto itu terlalu
berat. Sebab itulah maka dipendekkan seperti tuntutan sekarang. Tetapi tiadalah
boleh disangkal bahwa tuntutan sekarang kurang jelas (explecit). Lantaran
kurang jelasnya inilah maka bermacam-macam kawat yang dikirimkan oleh berbagai
bagai Cabang Persatuan Perjuangan di Jawa dan di Sumatra kepada Pemerintah yang
bersifat ragu-ragu dan setengah-setengah.
Apalagi pula kalau dasar, syarat atau kapannya
perundingan itu mesti disusun seperti formulenya Pemerintah.
Pasal 2 Program Pemerintah rupanya sepadan dengan
Pasal 3 Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Program Pemerintah berbunyi
Mempersiapkan Rakyat dan Negara di segala lapangan
politik, ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia.
Minimum Program Persatuan Perjuangan berbunyi:
Tentara Rakyat (dalam arti sesuainya haluan Tentara
dengan kemauan Rakyat)
Perbedaan Pemerintah dan Persatuan Perjuangan di sini
amat jelas dan amat besar. Persatuan Perjuangan tidak lagi “mempersiapkan”
tetapi “sudah” mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, seperti niat di
atas.
Pada Kongres Solo 27 Pebruari tahun ini semua Wakil
Persatuan Perjuangan sudah mufakat sebulat-bulatnya “menggempur” Pemerintah
Inggris-Nica di Jawa Barat, yang dianggap sebagai penyakit menular yang hingga
pada sebagian Negara Indonesia. Bagian yang dihinggapi penyakit menular itu
pasti dipotong dan dilenyapkan sebelum membawa runtuh seluruh Republik
Indonesia.
Meskipun putusan Solo itu baru berusia satu bulan
saja, tetapi rencana yang berhubungan dengan “politik”, ketentaraan, ekonomi
dan sosial” seperti diniatkan oleh Pemerintah itu bagi Persatuan Perjuangan
tidak lagi tinggal niat belaka, melainkan sudah menjadi tindakan yang sudah
dijalankan.
Bagian politik, ekonomi dan pertahanan Persatuan
Perjuangan sudah bekerja ke jurusan itu. cuma Persatuan Perjuangan tak bisa,
tak boleh dan tak perlu mengumumkan semua tindakannya itu berhubung dengan
telinga Nica di mana-mana tempat. Pula berhubungan dengan gerak-geriknya
Inggris-Nica, yang memerangi Rakyat Indonesi zonder pengumuman perang.
Pasal 3 Program Pemerintah sepadan pula dengan Pasal 2
Persatuan Perjuangan.
Program Pemerintah berbunyi : 3. Mencapai susunan
Pemerintah Pusat dan Daerah yang demokratis.
Minimum Program Persatuan Perjuangan berbunyi:
Pemerintah Rakyat (dalam arti sesuainya haluan
Pemerintah dengan haluan rakyat)
Sampai ke mana “demokratisnya Pemerintah Pusat dan
Daerah yang dimaksudkan oleh Pemerintah itu tiadalah jelas buat kami.
Dalam arti umumnya Pemerintah yang demokratis itu
ialah Pemerintah yang dibikin “oleh” Rakyat, “buat” Rakyat dan “dari” Rakyat.
Dalam Negara yang mempunyai kurang lebih 93% Rakyat
buta huruf di masa perang pula, apalagi bilamana musuh sudah di tengah-tengah
kita, sudahlah tentu dasar pemilihan semacam itu, tak bisa dan tak perlu
dijalankan. Mungkin Pemerintah juga tiada bersikap atas dasar demokratis
semacam itu.
Tetapi bagaimanapun juga yang tiada dapat disingkirkan
dalam satu pemilihan demokratis ialah: mempertimbangkan “merit”, verdienste
yang menguntungkan dan “demerit” yang merugikan (Negara), semuanya mereka
dengan tak ada kecualinya, para calon yang ingin menduduki kursi Pemerintahan
Pusat dan Daerah itu, semenjak mereka melakukan kewajibannya terhadap Negara.
Supaya lebih tegas dan agaknya lebih actueel, ialah
tepat-bukti baiklah kami kutip dengan penuh apa yang dituliskan oleh Perdana
Menteri Syahrir dalam “Perjuangan Kita”
sebelum beliau mendapat pekerjaan sebagai Perdana Menteri sekarang.
Dalam Perjuangan Kita, halaman 24, Revolusi dan
Pembersihan, termaktub: Bahwa revolusi kita ini harus dipimpin oleh golongan
demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernaha
membudak pada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis Militer
Jepang.
Perjuangan demokrasi revolusioner itu memulai dengan
membersihkan diri dari noda-noda fasis Jepang, mengungkung penglihatan
orang-orang yang jiwanya masih terpengaruh oleh propaganda Jepang dan
pendidikan Jepang.
Orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatan
kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita (orang-orang yang
pernah bekerja di dalam proganda polisi rahasia Jepang, umumnya dalam usaha
kolonne ke 5 Jepang). Orang-orang itu harus dianggap sebagai pengkhianat
perjuangan dan harus diperbedakan dari kaum buruh biasa dan bekerja hanya untuk
sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi sekalian polietike collaboraten
dengan fasis Jepang, seperti yang disebutkan di atas harus dipandang sebagai
fasis sendiri atau anjing dan kaki
tangan Jepang dan tentu sudah berdosa dan berkhianat kepada perjuangan revolusi
Rakyat.
Negara Republik Indonesia yang kita jadikan alat dalam
revolusi rakyat kita, harus kita jadikan perjuangan demokratis, dibersihkan
dari sisa-sisa Jepang dan fasisme.
Undang-Undang Dasar yang belum sempurna demokratis itu
ditukar dengan Undang-Undang Dasar demokrasi tulen, yang menerakan sebagai
pokok segala susunan negara adalah hak-hak pokok rakyat, yaitu hal-hal
kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan mendapat
pendidikan, turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan Negara dan hak
memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus Negara.
Tajam sekali penanya Perdanan Menteri yang ditujukan
kepada satu “golongan Nasionalistis” yang tertentu itu, kita semuanya maklum,
golongan mana yang dimaksudkan.
Tetapi apakah “perjuangan demokrasi revolusioner” yang
dimaksudkan Perdana Menteri itu mesti “membersihkan” dari semuanya “yang sudah
menjual” “jiwa kehormatannya” kepada fasis Jepang itu atau sebagian saja.
Persatuan Perjuangan berpendapat “belum” waktunya
dalam perang ini mempertimbangkan “merit” dan “demerit” semua para calon dalam
sesuatu pemilihan yang demokratis. Pemilihan yang semacam itu terpaksa akan
membawa perdebatan habis-habisan dalam semua penyurat-kabaran dan permusyawaratan
kalau tidak ala Amerika, sekurangnya ala Perancis atau Belanda.
Mungkin pemilihan demokratis semacam itu akan menambah
kekacauan semata-mata dan memberi keuntungan sebesar-besarnya kepada musuh,
pemilihan perlu dan perlu sekarang juga. Tetapi bukanlah seperti pemilihan di
waktu damai, melainkan secara saringan yang revolusioner. Susunan Pemerintah
Pusat dan Daerah yang demokratis itupun perlu diadakan sekarang juga.
Tetapi sekarang tiada bisa diadakan susunan yang
“damai” demokratis, karena pemilihan “damai” demokratis tak bisa di adakan.
Tiada dengan pemilihan damai-demokratis yang mempertimbangkan merit dan demerit
itu dengan leluasa bagaimanakah kita memperoleh Pemerintah Pusat dan Daerah
yang damai demokratis?
Persatuan Perjuangan pertama sekali menganggap masa
sekarang sebagai masa berjuang. Rakyat mesti menolak serangan musuh terhadap
kemerdekaan Rakyat Indonesia.
Minimum Program maksudnya pertama sekali mempersatukan
puluhan organisasi yang ada. Persatuan itu bukan atas dasar mencari kedudukan
di waktu damai, melainkan atas dasar berjuang di masa perang-kemerdekaan.
Organisasi Persatuan Perjuangan, bukanlah susunan dalam waktu damai buat
melakukan politik damai, melainkan susunan revolusioner buat mempertahankan
kemerdekaan. Pemilihan ke dalam Organisasi Persatuan Perjuangan, bukanlah
pemilihan dalam waktu damai buat melakukan politik damai, melainkan pemilihan
revolusioner buat mempertahankan kemerdekaan Pemilihan ke dalam organisasi
Persatuan Perjuangan ialah, pemilihan Rakyat yang revolusioner diantara para
pemimpin yang revolusioner yang ikhlas dan berani menghadapi semua kemungkinan
kekuatan musuh. Susunan Pemerintah (Pusat dan Daerah) yang kelak dipilih atas
dasar revolusioner oleh Rakyat Revolusioner dari golongan revolusioner buat
tindakan revolusionerlah yang dikehendaki oleh Persatuan Perjuangan. Inilah
yang dimaksudkan dengan Pemerintahan Rakyat, ialah Rakyat Indonesia yang sedang
berjuang.
Menilik Hukum “Logical-division”, pembagian dalam
hukum berpikir, maka susahlah mencari pemisahan yang pasti antara pasal 4 dan
5. Satu sama lainnya banyak bersamaan, sehingga kita akan terpaksa
berulang-ulang menguraikan dua perkara yang sebenarnya satu. Barangkali
semangat “Panca Dharma” masih terbayang-bayang
di depan author, atau pembikinnya. Bagaimanapun juga baiklah pasal 4 dan
5 itu dituliskan di bawah ini sekaligus, berturut-turut.
Dua pasal itu akan kita bandingkan pula dengan pasal 6
dan 7 ialah bagian Minimum Program Persatuan Perjuangan yang amat penting.
Program Pemerintah berbunyi:
3.Berusaha segiat-giatnya
untuk menyempurnakan produksi dan pembagian makanan dan pakaian.
4. Tentang perusahaan
dan perkebunan yang penting hendaknya oleh Pemerintah diambil tindakan-tindakan
seperlunya, hingga memenuhi maksud sebagai termaktub dalam undang-undang dasar
pasal 33 (hal kesejahteraan sosial).
Pasal 33 tersebut
berbunyi:
1.
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas Kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
3.
Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negaa dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Program Persatuan Perjuangan:
6. Menyita (confiscate, membeslag) dan
menyelenggarakan pertanian musuh (kebun)
7. Menyita (membeslag)
dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik,
bengkel,
tambang, dll)
Tiga perkara yang bisa menimbulkan perbedaan besar
antara Program Pemerintah dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan (dan
dalam organisasi Persatuan Perjuangan) ialah:
1.
Macamnya barang
yang akan dihasilkan (produksi) dan pembagian hasil itu (distribusi).
2.
Caranya
menjalankan produksi dan distribusi
3.
Hak milik dan
kapital asing.
Berhubung dengan perkara 1, maka kami ingin sekali
hendak mengetahui, apakah usaha Pemerintah yang “segiat-giatnya” untuk
menyempurnakan produksi dan distribusi (Program Pemerintah pasal 4 itu terbatas
pada “pakaian dan makanan” saja). Kita ingin tahu, apakah tiada perlu
diberitahukan kepada rakyat, bahwa juga Pemerintah sudah berusaha, atau
sedikitnya Inggris-Nica yang terus terang hendak menjajah Indonesia itu?
Selamanya Rakyat memasuki medan pertempuran dengan bambu runcing dan sudah
merebut bermacam-macam senjata darat, laut dan udara. Tetapi perebutan itu
diperoleh dengan banyak korban. Lagi pula belum mencukupi keperluan
ratus-ribuan pemuda yang ingin dan siap sedia untuk bertempur. Kita juga tahu,
bahwa perkara di mana senjata itu didapat atau dibeli dan berapa atau dibeli
tak boleh diumumkan. Tetapi semestinyalah rakyatnya sendiri saja mencari
senjata modern dengan bambu runcing, sebagai modal permulaan. Kepercayaan
Rakyat terhadap politik dan, diplomasi Pemerintah akan bertambah tinggil serta
iman, keprawiraan dan tekad ketabahan rakyat akan bertambah tebal, kalau
Pemerintah juga membayangkan perkara penambahan senjata itu. Sebaliknya kalau
Pemerintah terus menyembunyikan saja perkara itu; dan di sana-sini dicoba
melucuti rakyat yang bersenjata, maka janganlah heran kalau Pemerintah ini
tidak saja tak mau mengusir Inggris-Nica, bahkan sebaliknya memberikan
kesempatan kepada Inggris-Nica untuk masuk ke tengah-tengah Negara dan
Masyarakat Indonesia.
Lagi pula “kegiatan Pemerintah buat menyempurnakan
produksi dan pembagian makanan dan pakaian itu” sama sekali belum dirasa oleh
Rakyat Murba. Banyak barang dan alat yang dibutuhkan oleh petani, alat
pertanian, kain dan lain-lain yang bisa dibikin selama 6 bulan ini, tetapi
tiada dibikin. Selama 6 bulan ini, tetapi tiada dibuat. Banyak barang (mobil,
ban mobil, senjata, uang dll) yang bisa dilarikan dari tempat yang terancam ke
tempat yang aman tetapi tiada dilarikan, sampai akhirnya jatuh ke tangan musuh.
Bertimbun-timbun barang (pakaian, gula,
minyak tanah dll) yang sekarang juga bisa dibagi-bagikan kepada Rakyat yang
butuh, tetapi dibiarkan begitu saja. Buat siapa?
Sekretariat Persatuan Perjuangan, sudah membuat
rencana perkara produksi dan distribusi itu. Kalau kelak dibenarkan oleh Kongres yang
akan datang, tanggal 15, 16 dan 17 bulan ini, maka Persatuan Perjuangan akan
sampai ke tingkat tindakan yang perlu dan bisa diambil.
Berhubung dengan 2,
ialah caranya menjalankan produksi dan distribusi, maka azas “kekeluargaan”
itu, yakni Program Pemerintah yang berdasarkan Undang-Undang Dasar pasal 33
itu, amat keras berbau-bau kempei Jepang yang diwariskan oleh Panca Dharma itu
kepada pembentuknya. Komentar kami tunda. Merdeka!!!
Bersama kaum buruh,
maka Persatuan Perjuangan akan terus terang
menuntut bagian penuh dalam hal mengatur produksi dan distribusi atas
azas kekeluargaan, melainkan atas dasar “tenaga dan kemasyarakatan”. Distribusi
buat keperluan kota dan desa, sudah acap kali dilakukan oleh kaum buruh dan
kaum tani sendiri dengan cara pertukaran barang dan barang. Buruh tani dan
rakyat lainnya tak bisa lagi menunggu sampai Pemerintah mengedarkan uang yang
kabarnya sedang dicetak tetapi sebagai (proses) percetakannya sudah jatuh ke
tangan Nica. Kaum Buruh dan Tani akan membasmi habis-habisan catutan-nasional
dan inflasi Nica, dengan cara pertukaran langsung barang dan barang dan dengan memboikot
serapat-rapatnya semua tempat yang diduduki oleh Inggris dan Bonekanya ialah
Nica.
Berhubung dengan 3
“hak milik dan kapital-Asing” maka selainnya daripada yang sudah disebutkan di
atas dan yang tersebut dalam keterangan singkat tentang Minimum Program, maka
cuma sedikit lagi yang perlu dikemukakan di sini. Perbedaan paham Pemerintah
dengan Persatuan Perjuangan boleh dicari pada Program Pemerintah. Undang-Undang
Dasar pasal 33 ayat 2 dan 3 di atas. Menurut program Pemerintah itu; maka
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara...2), serta bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 3) dikuasai oleh Negara.
Persatuan
Perjuangan pertama sekali bertanya, apakah yang dimaksudkan dengan “dikuasai”
itu ialah “beheeerd, managed” oleh Negara? Kalau begitu, apakah Negara itu
kelak akan menerima kapital-asing memasuki perusahaan yang “dikuasai, beheeerd,
managed” oleh Negara Republik Indonesia itu? Kalau “ya”, bagaimanakah kelak
kedudukan Kapital Asing itu terhadap Negara?
Lebih penting lagi
Persatuan Perjuangan mau tahu, apakah Pemerintah Sukarno-Hatta, kelak akan
mengakui “Hak-Milik-Inggris-Nica” (Musuh Republik Indonesia itu) atas
“perindustrian dan pertanian Inggris-Nica” yang sekarang sebagian besar sudah
“dikuasai”, beheeerd, manages” oleh Negara Republik Indonesia itu?
Pokok kata
perkataan “dikuasai” itu tidak menentukan sikap Pemerintah Sukarno-Hatta
terhadap Hak-Milik musuh. Perkataan “menyita” yang termaktub dalam pasal 6 dan
7 itu dengan nyata memberi kepastian kepada kaum buruh yang sudah menyita
pabrik, tambang dan kebun musuh itu. taktis atau tidak, kaum buruh Indonesia
akan mempertahankan hasil tenaga, serta tebusan darah dan jiwanya turun temurun
di Indonesia ini. Buat kaum buruh musuh yang kongkrit, nyata, tentang bertanah-air
yang berseluk-beluk Hak Milik, Kapitalis dan Imperialis Asing yang ingin
mendapatkan kaki-tangan diantara borjuis kecil dan Tengah Indonesia, haruslah
tahu akan sikapnya proletar mesin dan tanah Indonesia terhadap Hak Milik Musuh
itu!!
Kesimpulan
1.
Umumnya : Tak sama bentuk dan isi Program Pemerintah itu
dengan Minimum Program Perjuangan.
Khususnya:
a.
Ke dalam.
Program Pemerintah tak memberi jaminan kekuasaan kepada
proletar mesin dan tanah dalam hal memasyarakatkan hak-milik; produksi,
distribusi, gaji dan kehidupan sosial. Dengan begitu, maka seandainya
kemerdekaan 100% itu tercapai, kaum buruh mungkin kembali ke bawah telapak
kakinya Kapitalisme Nasional atau Asing. Dalam suasana Program Pemerintah maka
hari depannya kaum proletar mesin dan tanah tetap tinggal gelap, seperti di
jaman jajahan.
Minimum Program Persatuan Perjuangan, atas pasal 6 dan 7-nya
dengan segala kesadaran memberikan jaminan kekuasaan yang disebut di atas.
Dengan kekuasaan atas hak-milik, produksi, distribusi dan
sebagainya itu proletar mesin dan tanah mendapat halaman tempat berdiri untuk
menjaga supaya mereka kelak jangan dilemparkan kembali ke bawah telapak
kapitalisme-nasional, atau internasional. Cuma terserah kepada proletar
Indonesia, apakah mereka kelak akan sanggup mempergunakan kekuasaan tersebut
terus-menerus.
b.
Keluar:
Program Pemerintah menutup (walaupun takut-takut) pintu depan
terhadap Imperialisme Asing, tetapi membuka pintu belakang seluas-luasnya buat
kapital asing. Dengan begitu maka “Negara Republik Indonesia (Merdeka 100%)
yang dikehendaki Pemerintah segera akan dirubuhkan 100%.
Minimum Program Persatuan Perjuangan menutup pintu depan dan
belakang terhadap Imperialisme Asing. Dengan rencana ekonomi untuk membuat
mesin induk (industri berat) yang dilakukan dengan pertukaran bahwa Indonesia
dengan mesin Amerika dan Eropa, maka Negara Republik Indonesia betul kelak akan
menjadi Negara Merdeka dan terus terjaga kemerdekaanya (yang 100%) itu.
c.
Ke dalam dan keluar
Sikapnya yang penuh kesangsian, kalau terlampau
menaksir-lebih (overschatten) kekuatan musuh itu dan terlalu menaksir-rendah
(onders-chatten) (undermating) kekuatan Rakyat Murba itu, maka rupanya menurut
Program-Pemerintah itu tak ada tindakan pasti yang yang akan diambil dihari
depan seperti juga memang tak ada tindakan pasti yang diambil di masa lampau.
Dalam Program Pemerintah tak ada disebutkan malah dibayangkan tidak, tindakan
yang akan diambil Pemerintah terhadap perlindungan rakyat umumnya, terhadap
ribuan pemuda yang diculik, disiksa, dibunuh, terhadap polisi dan Pengadilan
Nica di semua bandar dan Kota besar di Jawa dan Seberang. Pun Pemerintah
berdiam diri tentang sikap TRI di Banten, Bogor, Sukabumi, dan Bandung yang
menahan Rakyat bertindak terhadap Inggris-Nica, tetapi melucuti dan menangkap
Rakyat yang mempertahankan Republik Indonesia.
Minimum Program
Persatuan Perjuangan tegas terus terang menunjukkan sikap terhadap kecerobohan
Inggris Nica, terhadap tawanan Jepang dan Interniran Belanda yang dipakai
Inggris membakar kota dan membunuh Rakyat Indonesia. Terus terang pula Minimum
Program menyusun semua kekuatan revolusioner di dalam Negara yang berupa
politik, ekonomi, sosial dan kemiliteran, dengan maksud yang nyata mendirikan
Republik yang betul merdeka, dan terus merdeka.
Akhirulkalam,
kepada Pemerintah kita harus berterima kasih, karena ia sudah memaklumkan
Programnya. Tetapi kepada semua anggota Persatuan Perjuangan kita wajib
memperingatkan, bahwa Program Pemerintah itu tidak sama dengan Minimum Program
Persatuan Perjuangan.
Proses yang hebat
sedang terjadi baik di kalangan Rakyat, atau pun dalam kalangan Persatuan
Perjuangan. Banyak yang dulu musuh, tetapi lantaran jujur, sekarang berada
dalam Persatuan Perjuangan. Ada yang dulu masuk ke Persatuan Perjuangan karena
tertarik-tarik saja atau mengharapkan pangkat, tetapi sesudahnya krisis Kabinet
ini mulai sangsi. Proses memisah dan memilih antara yang opportunist,
avontuurlijk dengan yang benar revolusioner sedang bergelora. Persatuan
Perjuangan tak perlu cemas. Keadaan
revolusioner akan mendapatkan kawan yang sungguh-sungguh revolusioner di mulut
dan di hati. Bahkan sebaliknya kita harus lebih cemas kalau majunya Persatuan
Perjuangan terlampau cepat seperti
sekarang. Besar bahaya Persatuan Perjuangan akan lupa daratan.
Dengan memegang
teguh disiplin, marilah kita teruskan pekerjaan yang sudah kita mulai sampai
pasal 7 Minimum Program yang sudah mulai
menarik mata umum seluruhnya, nasional dan internasional itu betul-betul
meresap ke dalam pikiran dan hati sanubari Rakyat Indonesia. Apabila maksud ini
tercapai, maka tak ada kekuatan jahiliah yang bisa membendung aliran paham dan
akhirnya perbuatan Rakyat itu. Terbujur lalu, terbelintang patah!
Merdeka!!!
LINGGARJATI DAN
RENVILE
Untuk menaksir sifat, tujuan
akibatnya Perjanjian Linggarjati, yang ditanda tangani pada tanggal 25 Maret
1947 dan Perjanjian Renville, yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari
1948, maka perlulah lebih dahulu kita perhatikan suasana, bilamana kedua
perjanjian antara Pemerintah Belanda denga Pemerintah Republik diadakan.
Seandainya kedua perjanjian itu
diadakan dalam suasana damai, umpamanya dalam waktu antara Perang Dunia Pertama
dengan Perang Dunia Kedua, sebagai sesuatu penyesalan dari pihak imperialisme
Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas pemerasan penindasan rakyat Indonesia
selama lebih 300 tahun, sebagai sikap baru yang ikhlas hendak membetulkan
kesalahan lama, sebagai pembayar “Ere-schuld” (hutang kehormatan), maka kedua
perjanjian tadi dapat dianggap sebagai suatu kemajuan bagi perjuangan politik
Rakyat Indonesia. Tetapi kalau diperhatikan kedua perjanjian itu dibentuk dalam
suatu suasana, bilamana Rakyat Indonesia sudah mempergunakan hak mutlaknya,
ialah memproklamirkan kemerdekaannya dan dengan sungguh banyak kejayaan, hak
mutlaknya pula, ialah membela kehormatan negaranya dengan senjata yang ada
padanya, maka kedua perjanjian itu berarti satu kekalahan besar dan bahaya yang
tak terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia.
Jika di samping itu diperhatikan
lagi, bahwa peristiwa pada masa mengadakan perjanjian itu imperialisme Belanda,
adalah imperialisme yang gagal sebagai imperialis yang sudah miskin melarat,
diinjak-injak facis Jerman selama lebih kurang lima tahun di negaranya sendiri
serta dihalaukan ke dalam interneeeringskamp oleh sekepal dua kepal serdadu
Jepang dan di hina, ditampar dan diperkosa oleh Jepang di depan mata rakyat
Indonesia sendiri, selama tiga setengah tahun, maka perjanjian Linggarjati dan
Renville itu adalah satu kemenangan Belanda yang tiada disangka-sangka, boleh
jadi juga oleh Bangsa Belanda sendiri.
Tak boleh disangkal, bahwa Belanda
dalam perundingan di Linggarjati, sambil mempertahankan “onderwerp
overeenkomst-nya” (rencana perjanjiannya), yang terdiri atas 17 pasal (18 pasal
dengan 1 pasal penutup) dengan diplomasi mulut manis, gertak dan janji kosong;
dengan 100% bantuan “wasit” Clark Kerr dan Killearn, yang mempunyai kepentingan
sendiri di Indonesia ini tak kurang pula dari 100%, maka Belanda dengan
perubahan sedikit saja bagi “onderwerp overeenkomst-nya” itu melondong
hanyutkan “usul Indonesia” yang terdiri dari 9 pasal (sepuluh pasal dengan
pasal penutup). Ringkasnya Belanda dengan Linggarjatinya saja sudah jaya
mengembalikan jajahannya di bumi Indonesia ini dalam bentuk bungkusan baru, yang
mudah sekali meragukan hati rakyat Indonesia dan menyilaukan mata dunia
internasional.
Walaupun perjanjian tadi di
pandang dari sudut kemerdekaan, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus itu
adalah satu kemunduran, bahwa satu pengkhianatan diplomasi, tetapi tiadalah
pula dapat disangkal keberaniannya pihak para diplomat Indonesia, terutama
dalam waktu penandatanganan, yang menganggap Perjanjian Linggarjati itu,
sebagai satu kemenangan diplomasi, satu kemenangan yang dapat dipakai sebagai
“batu loncatan”, sebagai “adem pauze” untuk “menukar banyak dengan traktor” dan
untuk “menukar bambu runcing dengan tommy-gun dan pesawat terbang”.
Memang pula, kalau pengsulapan 9
pasal usul Indonesia bisa menjadi 17 pasal usul Belanda itu bisa di anggap satu
kemenangan diplomasi, maka benarlah pula diplomasi Indonesia itu adalah satu
keunggulan diplomasi dalam arti diplomasi unggul-unggulan.
Bermula dalam hakekatnya maka
menurut Linggarjati Daerah dan rakyat Indonesia sudah dibagi-bagi antara
de-facto Jawa-Sumatera dan daerah sisa Indonesia, antara 50 juta penduduk
Jawa-Sumatra dengan 20 juta penduduk sisa Indonesia. Yang tak kurang pula
pentingnya, ialah dengan pengakuan Mahkota Belanda, maka kekuasaan tertinggi,
kedaulatan atau Sovereinity Republik (yang semestinya undivisible and
unalionable, tak boleh dibagi-bagi dan dipindahkan) sudah dibagi-bagi dan
dipindahkan ke Bangsa Asing, walaupun, dan “katanya” pula cuma buat sementara
waktu saja. Akhirnya, tetapi tak punya kurang pentingnya ialah dengan pengakuan
dan pengembalian hak milik Belanda, yakni musuh Republik 100%, menurut pasal 14
Linggarjati, maka kekuasaan politik rakyat Indonesia kelak akan menjadi fata
morgana, bayangan lamunan semata.
Seolah-olah mode, kehabisanlah
bagi orang cerdik pandai di masa sekarang, termasuk juga orang dalam kehakiman
dan kejaksaan dan berpendapat, bahwa “di dunia” ini tak ada negara yang merdeka
100%.
Dalam arti filsafat dan arti
absolut, mutlak, maka paham yang cocok dengan paham Belanda, Profesor Romme
ini, memangnya tak ada! Orang tidak perlu mempelajari Teori Relativiteitnya
Einstein atau Teori Dialektis Materialisme buat memahamkan, bahwa semua benda
yang berjiwa atau tidak, tetapi yang bergerak di dunia ini (dan memang semua
yang ada di dunia ini bergerak) semuanya itu berseluk beluk, berhubung dengan
benda lain dan gerakan lain menurut tempat dan waktu. Atau menurut Frederich
Engels, semuanya itu harus ditinjau dalam “Verkettung und Zusammunhang, werden
und vergeven...”
Tetapi dalam arti relative (dalam
perbandingan barang, benda atau gerakan satu dengan yang lainnya, menurut
tempat dan waktu) memangnya ada kemerdekaan 100% itu!
Demikianlah dalam arti relative,
tak ada orang yang berpikir sehat, yang bisa menyangkal, bahwa umpamanya negara
raksasa seperti Russia dengan penduduknya kurang lebih 200 juta itu, dan
Amerika Serikat dengan penduduknya 140 juta itu, adalah dua negara yang merdeka
100%. Pun negara kecil, negara nyamuk seperti negara Swiss, pada masa ini
dengan penduduk cuma 5 juta saja, tak pernah orang katakan suatu Negara Jajahan
ataupun Setengah Jajahan.
Benar sesuatu perjanjian militer,
perjanjian diplomasi atau perjanjian dagang dapat mengikat sesuatu negara besar
atau kecil tersebut di atas kepala sesuatu negara lain, jadi dalam arti
relative memangnya terikat, jadi mengurangi kemerdekaan yang 100% tadi dengan
x%, tetapi negara lain yang berjanji itupun harus mengurangi kemerdekaannya
dengan x% pula. Ringkasnya kedua-duanya harus masing-masing mengurangi
kemerdekaan 100% dengan x%. tetapi dapatkah Rusia, Amerika Serikat ataupun
Swiss, negara nyamuk ini dikurangi kemerdekaan militer, diplomasi atau
dagangnya begitu saja dengan tiada persetujuan rakyatnya, yang bisa melahirkan
suaranya dengan perantaraan Dewan Perwakilan yang disahkan pada masa itu?
Ataukah salah satu dari negara tersebut menerima sesuatu perjanjian yang cuma
menguntungkan pihak lain saja, seperti kejadian dengan Tiongkok di masa dia
terikat oleh equal-treaty (perjanjian pincang) seperti digelari oleh Almarhum
Dr. Sun Yat Sen?
Tampaklah sudah, bahwa merdeka
100% itu tidak berarti absolute, mutlak, melainkan relative, ialah menurut
perhubungan, seluk-beluk, perbandingan dan gerakan timbul, tumbuh dan
tumbangnya. Bagaimanapun juga negara besar atau kecil tersebut diatas adalah
merdeka 100% buat mengadakan perjanjian militer, diplomasi atau dagang dengan
negara lain menurut kehendak dan persetujuan rakyatnya, walupun dalam
masyarakat demokratis kapitalistis kehendak dan persetujuan rakyat itu tebatas.
Dan dengan kemerdekaan 100% pula negara besar atau kecil itu mengurangi
kemerdekaannya dengan x% dan menabungkan (pooling together!) yang x% itu ke
dalam tabung bersama, celengan bersama yakni perjanjian bersama atas keikhlasan
bersama. Maka menurut perhitungan masing-masing perjanjian itu memberikan
keuntungan y% kepada masing-masingnya. Lagipula perjanjian itu tiada pula
mengikat kedua belah pihak buat selama-lamanya, melainkan cuma buat selama
waktu yang sudah ditetapkan bersama lebih dahulu dan biasanya salah satu pihak
merdeka membatalkannya kalau kelak ternyata merugikan salah satu atau kedua
belah pihak. Syahdan, dalam keadaan seperti di ataslah, di mana tiap-tiap
negara yang merdeka 100% dengan sukarela mengurangi dan menabungkan x%
kemerdekaannya untuk sama-sama memperoleh keuntungan y%, jika yang satu dibandingkan
dengan yang lain (relative) masih merdeka 100%
Memangnya pula, kalau Indonesia
dengan Belanda jika seandainya “Belandalah” pula, yang disukai oleh Rakyat
Indonesia diantara semua bangsa dan Negara di seluruh dunia ini!!! Jadi kalau
Indonesia sebagai negara Merdeka 100%, menghendaki perjanjian ikhlas merdeka
dengan Belanda sebagai Negara Merdeka pula, atas dasar sama rata, perjanjian
mana yang menguntungkan pula bagi kedua belah pihak, maka perjanjian semacam
itu boleh diminta pertimbangannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang sah itu
tidak menyetujui perjanjian itu, atau menghendaki perjanjian yang semacam itu
dengan negara lain daripada negara Belanda, maka perjanjian dengan negara
Belanda itu tidak boleh diteruskan.
Tetapi perjanjian Linggarjati
(apalagi perjanjian Renville) yang keduanya mengurangai kemerdekaan Indonesia
dalam hal urusan luar negeri, kemiliteran, keuangan, perekonomian dan
kebudayaan, entah sampai berapa % dan menguntungkan kepada Belanda, sedangkan
sebaliknya Bangsa Indonesia tiada boleh mengurangi kemerdekaan perekonomian,
keuangan, kemiliteran, diplomasi dan kebudayaan Belanda di Nederland...! Maka
perjanjian yang tersebut di atas itu, adalah melanggar arti Proklamasi 17
Agustus dan terang-terangan membawa Indonesia kembali ke status penjajahan,
cuma dalam bentuk bungkusan baru saja.
Apakah sebenarnya yang menentukan
sifatnya, essencenya, patinya sesuatu perhubungan antara negara dengan negara
atau antara satu masyarakat dengan masyarakat lain?
Buat saya bukanlah bentuk politiknya
saja!
Memang bentuk politik bisa
memberikan Schijnmacht, satu kekuasaan khayal. Tetapi perbandingan kekuasaan
yang sebenarnya adalah terletak pada perbandingan kekuasaan ekonomi, yang
dipegang oleh masing-masing pihak, dalam perhubungan ke duan negara atau
masyarakat itu.
Walaupun hampir semua Negara
Amerika Tengah dan Selatan dalam bentuk politiknya adalah Negara Merdeka,
tetapi dengan merajalelanya kekuasaan ekonomi dan terutama keuangan Amerika
Serikat (finance-capital) maka kemerdekaan politiknya hampir negara Amerika
Tengah dan Selatan itu adalah satu khayal belaka.
Meskipun Canada, namanya Dominion
Inggris, tetapi karena Amerikalah yang mempunyai kepentingan ekonomi yang
terbesar di Canada itu, maka sesungguhnya kekuasaan tertinggi atas Dominion Canada
sudah lama terpendam di Wall-Street, New York, dalam kas-nya Bank di sana.
Dengan pandangan seperti di atas,
maka sekarang (Maret 1948) kalau kita memperhatikan Perjanjian Linggarjati, dan
Renville, maka haruslah kita lebih dahulu menanyakan, dari sudut manakah yang
harus kita pandang kedua perjanjian tersebut: dari sudut politik sajakah? Atau
dari sudut ekonomi sajakah? Ataukah dari kedua sudut ialah politik dan ekonomi
tetapi tercerai-berai satu sama lainnya? Ataukah dari kedua sudut politik dan ekonomi
yang harus dianggap berseluk beluk dan kena mengenai?
Dengan pertanyaan lain, dengan
cara berpikir logis, yuridis, staatsrechtelijk sajalah atau dengan cara
berpikir dialektis yang berdasarkan pandangan materialisme?
Bagi saya terutama sekali dan pertama
sekali, ialah dari sudut ekonomi dan dengan cara berpikir dialektis yang
bersandar pada pandangan materialisme.
Ini berarti, bahwa perkara politik
itu tiada penting! Bahkan tak kurang pentingnya, kalau ditafsirkan, bahwa
politik itu adalah pemusatan ekonomi (consentration of economy)!
Jadi dari sudut perekonomianlah
kita harus memandang lebih dahulu, karena perhubungan ekonomilah kelak pada
titik terakhirnya yang akan menentukan perhubungan politik antara rakyat
Indonesia dengan Belanda. Dari sudut perekonomianlah saya akan menghampiri dan
mempersoalkan Perjanjian Linggarjati dan Renville itu.
Bahwasanya jika kelak Kapital
Asing akan terus merajalela di Indonesia, seperti sebelum tahun 1942, maka
politik imperialisme pula yang akan merajalela di Republik Indonesia di
kemudian hari. Dalam hal itu, maka kelak kemerdekaan Republik adalah kata yang
tidak isi, kata kosong atau omong kosong! Kemerdekaan 100% yang diproklamirkan
oleh Rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka oleh pengembalian
semua Milik Asing (Negara Sahabat ataupun Negara Musuh!) segera kelak akan
merosot entah sampai berapa persen.
Jika sebaliknya semenjak permulaan
berdirinya Republik, sebagian besar dari perekonomian Indonesia (perindustrian,
perkebunan, pertambangan, keuangan, export-import dll)! dimiliki dikuasai dan
dikerjakan (owned managed and operation) oleh Rakyat Indonesia sendiri, untuk
Rakyat Indonesia sendiri, maka adalah pengharapan bahwa kelak kekuasaan
tertinggi, Kedaulatan Rakyat Indonesia ke dalam dan ke luar negeri akan
terancam.
Berada dan bekerja di
tengah-tengah masyarakat kapitalis-imperialis par exelence, ialah di Deli, maka
tiga puluh tahun lampau saya sudah menuliskan tinjauan saya atas masyarakat
Indonesia dan menggambarkan hasil tinjauan itu dalam satu buku dengan nama,
yang mengandung pertanyaan (dan jawab!) yakni: Parlemen atau Soviet?
Lebih dari seperempat abad lampau,
di tengah-tengah perjuangan Rakyat Indonesia menghadapi Belanda dan berapa
dalam persembunyian untuk menghindari buruan imperialisme Belanda, Inggris dan
Amerika..saya ulangi lagi!....dalam persembunyian untuk menghindari Belanda,
Inggris dan Amerika, maka dalam Brosure: “Naar
de Republiek Indonesia” saya wujudkan bentuk Pemerintah Indonesia,
sepatutnyalah Bentuk Republik dan Taktik
Strategy, yang harus dijalankan untuk melaksanakan, ialah Massa Aksi.
Lain daripada dua puluh tahun
lampau saya keraskan pula cara Massa Aksi buat mencapai kemerdekaan dan
Republik tadi dan menolak dengan sekeras-kerasnya jalan yang saya namai Parlementarisme semata-mata, ataupun
jalan Putch!
Dalam waktu lebih dari tigapuluh
tahun itu belumlah sedikit berubah pandangan saya tentang sifatnya kapitalisme
dan imperialisme Belanda; tiadalah berubah pula tujuan saya dalam politik dan
ekonomi: serta akhirnya tiadalah sedikitpun berubah paham saya tentang caranya
Rakyat Indonesia harus mencapai tujuannya.
Sampai sekarang saya tidak
percaya, bahwa akan bisa ada perdamaian kekal, atau dengan istilah baru, akan
mungkin, akan terdapat “kerjasama” yang kekal antara kapitalis imperialis
Belanda dengan rakyat Indonesia selama asing umumnya dan Belanda khususnya
masih memegang kekuasaan kapitalnya seperti dahulu.
Saya masih yakin, bahwa kekuasaan
Kapital Asing umumnya dan kekuasaan Kapital Belanda khususnya, ditengah-tengah
rakyat dan di atas bumi Indonesia harus dilenyapkan terlebih dahulu sampai ke
akar-akarnya, barulah Rakyat Indonesia dapat bernafas dengan lega dan mulai
menginjak jalan kemajuan dalam semua lapangan. (Tentulah Modal Asing yang tiada
memegang kekuasaan politik dan tidak mempengaruhi jalannya politik Dalam dan
Luar Negeri akan dipertimbangkan.
Tetapi ini cuma bisa berlaku,
kalau Negara Indonesia sudah mendapatkan jaminan cukup buat kemerdekaannya!)
Sayapun dari dahulu insyaf, bahwa
Kapital Asing dari Negara Sahabat tiada begitu saja dapat dilenyapkan! Tetapi
kecerobohan Belanda terhadap Republik Indonesia ini, bagi saya adalah satu
“golden oppurtunity”, satu saat baik, buat bertindak dan menempatkan Belanda
pada tempat yang cocok dengan lakonnya sebagai Negara Penjajah yang sudah
terbanting dan terpelanting pada 8 Maret 1942.
Dengan lenyapnya kapitalisme
Belanda dari Bumi Indonesia ini, dengan senjata ekonomi yang akan pindah ke
tangan Rakyat Indonesia dari tangan kapitalisme Belanda itu, maka rakyat
Indonesia akan mendapatkan “modal bermula” (initial capital) untuk membela dan
memperdalam kemerdekaan serta mempertinggi kemakmurannya. Dengan demikian dan
secara jual-beli, maka Rakyat Indonesia kelak akan sanggup membeli kembali sisa
perusahaan asing sekaligus atas berangsur-angsur dan mengadakan perhubungan dan
dagang dengan bangsa Belanda atas dasar kemerdekaan dan persetujuan ikhlas dari
kedua belah pihak.
Tetapi dengan membiarkan bulat
kembalinya Kapital Belanda, maka rakyat Indonesia, walaupun “digelari” merdeka,
nasibnya akan sama saja dengan para pedagang kelontong yang mau bersaing dengan
pedagang besar-besaran. Dalam teori bisa dipikirkan persaingan semacam itu akan
dapat memberikan hasil! Mungkin satu dua orang tukang kelontong bisa jaya,
tetapi sebagai golongan, maka golongan tukang kelontong akan tetap berada di
bawah haribaan golongan saudagar besar-besaran. Demikianlah pula, jika semuanya
kebun, tambang, pabrik, pengangkutan dan Bank Asing, yang menurut dasar ekonomi
sudah mengambil tempat yang strategis dalam perekonomian di Indonesia akan
diduduki kembali oleh bangsa Asing, maka semua percobaan saudagar kecil dan
perusahaan kecil Indonesia dengan cara apapun juga untuk persaingan dengan
Kapital Asing yang bekerja besar-besaran dan modern itu, akan sia-sia belaka.
Atau dengan perkataan asing akan berarti Don Quixottory! Satu Don
Quixottory-lah pula pahamnya beberapa ekono borjuis kecil Indonesia, atau paham
mereka yang menamai dirinya “sosialis”, bahwa dengan mengadakan 13 macam
undang-undang, maka kelak Kapital Asing akan bisa ditundukkan atau
dikendalikan.
Saya terlampau banyak menyaksikan
contoh yang hidup di negeri lain; tak bisa lagi percaya kepada omongan borjuis
kecil dan sosialis Indonesia seperti itu. Pertentangan kapitalis imperialis
Belanda dengan Rakyat Terjajah Indonesia saya anggap “irrecencileable”, tak
bisa diperdamaikan. Salah satunya harus menang atau lenyap dalam perjuangan
yang tidak kenal damai.
Maka berhubungan denga
pertentangan antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat terjajah Indonesia,
antara pemeras penindas Belanda dengan terperas-tertindas Indoneisa inilah,
maka satu Pemerintahan yang berdasarkan Parlementarisme Tulen, satu,
Pemerintahan yang berdasarkan suara terbanyak (mayority), satu Pemerintahan
Demokratis dalam Masyarakat Indonesia, dimana Kapital Belanda dan Asing lain
kembali rekenkunding, ataupun dengan perhitungan jari saja, boleh dikatakan,
bahwa sekepal dua kepal Belanda kapitalis-imperialis itu tak akan mau
diperintahi, diatur kepentingan ekonominya oleh 70 juta Bangsa Indonesia, yang
99 % terdiri dari burger-kecil, dan
Rakyat Murba, ialah golongan rakyat yang tak berpunya apa-apa lagi,
kecuali tenaganya. Belanda mustahil akan percaya kepada Pemerintah Demokratis
semacam itu dan Belanda akan mendapatkan 1001 macam akal bulus buat memperkosa
dan memalsukan demokrasi dan Parlementariasme dengan maksud hendak melaksanakan
kekuasaan ekonomi mereka, sesungguhnya, yakni: Melaksanakan paksaan golongan
Yang Terkecil, tetapi Berpunya atas Golongan Terbanyak, tetapi Tidak Berpunya.
Dengan adanya benteng perekonomian
Indonesia di tangan Asing, maka kelak bentuk Pemerintahan Demokratis, yang bisa
dibolehkan Belanda, adalah salah satu “Volksraad” dengan sedikit perubahan, di
mana perbandingan kekuasaan Ekonomi Asing Modern dengan kekuatan Ekonomi
Indonesia terbayang dengan jelas.
Menghendaki satu Parlementarisme
Tulen di Indonesia, di mana 70 juta bangsa Indonesia dengan Suara Terbanyaknya,
akan dapat memberantas atau mengendali Kapitalisme Asing, yang akan tetap terus
diakui segala haknya, samalah adanya dengan sikap seorang fakir-pertapa, yang
dalam otaknya menciptakan seekor ular-tedung yang tiada berbisa. Biarlah fakir
pertapa itu mencoba bermain-main dengan ular-tedung itu ataupun membiarkan
anak-anaknya bermain-main dengan ular tedung itu. Tetapi oleh kami, ular tedung
itu tak akan dipercaya atau akan diberi ampun. Kalau perlu, maka fakir pertama
yang mencoba memasukkan ular tedung ke dalam rumah kami itupun akan kami
singkirkan bersama-sama ular tedung itu.
Biarlah borjuis-kecil atau mereka
yang menamai dirinya sosialis itu menciptakan “Pemerintah-Bersama” antara
Kapitalis-Imperialis Belanda dengan Rakyat-Terperas Tertindas Indonesia!!!
Selama tinggal ciptaan saja, kami
akan membalas ciptaan itu dengan anti propaganda saja. Tetapi kalau mereka
terus menerus membela “Pemerintahan-Bersama” semacam itu dengan bentuk manapun
atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu,
dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah
Bersama” semacam itu, kami berasa berkewajiban pula menolak dan membatalka
semuanya itu, dengan segala ikhtiar dan
tenaga yang ada pada kami. Kami anggap Hak mereka tadi untuk memasukkan
“Pemerintah-Bersama” semacam itu ke masyarakat dan Bumi Indonesia, yang sudah
merdeka 100% semenjak 17 Agustus 1945, tiadalah lebih daripada Hak kami membela
terus kemerdekaan 100% dan kami akan tetap menganggap sesuatu
“Pemerintahan-Bersama” itu sesuatu penghianatan terhadap Proklamasi.
“Nuchtere Realiteit” akhirnya.
Ketiga: Bahwa Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Renville adalah satu bukti, bahwa
kapitalis-imperialis Belanda 100% berdiri atas “nurchtere realiteit”, ialah
atas perbandingan tepat antara kekusaan ekonomi Belanda” di masa “Hindia
Belanda” dengan perekonomian Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Renville
menggambarkan dengan tepat perbandingan Kekuasaan Ekonomi di masa jajahan.
Syahdan, dengan pandangan yang
terpaksa agak panjang ini, terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville, maka
baiklah juga saya selidiki beberapa pasal dalam perjanjian itu.
Karena dalam Perundingan, yang
mendapatkan Renvile Principles Perjanjian Linggarjati jugalah yang dijadikan
sandaran, walaupun kedua-belah pihak sudah pernah membatalkan Perjanjian
Linggarjati itu, maka baiklah kupasan yang berikut ini saya pusatkan kepada
Perjanjian Linggarjati saja. Oleh karena Perjanjian Linggarjati itu sudah cukup
dikenal timbul, tumbuh dan kembangnya, maka sudahlah cukup pula, kalau
penyelidikan ini saya tujukan kepada beberapa pasal saja.
Tentulah karena berada di dalam
penjara selama lebih dari dua tahun ini (Maret 1948) maka saya tidak sanggup
mendapat laporan yang dilakukan atas nama Republik, baik dengan terbuka ataupun
dengan rahasia oleh Syahrir dengan Kerr-Killearn dan Van Mook ataupun Amir
dengan Van Hoogsraten, Idenburg dan Van Mook. Saya juga tidak mengetahui,
“Notulen Rahasia”, korespondensi antara Delegasi Indonesia dengan Delegasi
Belanda; isi pidato Mi’raj Nabi oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain
pun akhirnya tidak saya ketahui.
Tetapi walaupun demikian, tidaklah
berarti, bahwa saya akan terserah begitu saja, tak berdaya menaksir nilainya
Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Saya sudah dapat membaca
Perjanjian Linggarjati dan Renville pasal demi pasal. Saya juga dapat membaca
pidato Yonkman, Prof. Romme dan Belanda terkemuka dll, di negeri Belanda.
Teristimewa pula saya sudah dapat menyaksikan “tafsiran” Belanda dan Indonesia
terhadap Perjanjian itu dan sampai sekarang (Maret 1948) sudah dapat pula saya
satu tahun mengikuti sikap dan tindakan Belanda, sesudahnya penandatanganan
Linggarjati setahun lampau.
Seandainya saya cuma dapat membaca
pasal 14 saja dari Perjanjian Linggarjati dan tidak mengetahui perkara yang
lain-lain, yang saya sebut di atas, maka saya akan sudah merasa sanggup
menggambarkan Bingkai Politik, Militer dan Urusan Luar Negeri Indonesia di hari
depan.
Cuvier, sebagai naturalist di abad
ke 18 bisa berkata “Berikanlah saya satu gigi saja dari satu hewan. Saya akan
berikan rancangan bentuk seluruhnnya badan hewan itu. demikianlah pula sebagai
Materialis, sambil menghampiri sesuatu persoalan masyarakat dengan cara
dialektis kami seharusnya dapat berkata: beritahukanlah kepada kami, bagaimana
perhubungan ekonomi antara kedua bangsa dan kedua klas itu. kami akan dapa pula
membentuk Bingkai politik antara kedua bangsa atau kedua golongan itu.
Economy relation enqendor
political and legal atau....act” perhubungan ekonomi menciptakan perhubungan
Politik dan Hukum dan sebagainya.” Kata Marx dalam salah satu tempat.
Demikianlah perhubungan ekonomi
antara Indonesia Belanda yang digambarkan oleh pasal 14 dalam perjanjian
Linggarjati akan menciptakan perhubungan politik, kemiliteran, keuangan, urusan
Luar Negeri dan Kebudayaan antara Indonesia dan Nederland. Saya mulailah dengan
pasal 14 Linggarjati, karena pasal inilah, yang saya anggap menjadi urat
Perjanjian Linggarjati itu. Dengan pasal 14, ialah Perjanjian Ekonomi, sebagai
urat, keuangan, urusan Luar Negeri dan kebudayaan sebagai kulit, daun, dan
lain-lain, maka akan bangkitlah kembali pohon Penjajahan Belanda seluruhnya,
seperti yang dikehendaki oleh zaman baru.
Dengan mendapatkan Linggarjati
sebagai satu haidah yang jatuh dari langit, maka Belanda dengan Instinct
(naluri) dan Logika seorang Kruidenier, seorang warung, meneropong ke semua
kemungkinan buat keuntungan dan kerugian.
Filsafat hidupnya Belanda
Kruidenier, ialah “hutang harus dibayar dan piutan harus diterima”. Filsafat
hidupnya inilah yang dijadikannya dasar buat Linggarjati dan dasar buat
“Hervormde Nederlands Indische Regeering”. Demikianlah harus dipastikan lebih
dahulu, bahwa N.I.S (Negara Indonesia Serikat, bunyinya di telinga Delegasi
Indonesia, tetapi Nederlands Indische Staat artinya buat Belanda Kruidenier)
akan membayar hutang “Hindia Belanda” dahulu, serta semua Perjanjian. Ekonomi
yang lama dan yang akan diadakakan harus dijamin pula. Dengan begitu, maka
semua Hak dan Milik Belanda atas tanah, pabrik, tambang, kereta, rumah dan
gedung yang ada di Indonesia haruslah diakui. Lebih kurang f.4000 juta uang
lama, yakni lebih kurang $ USA 1.600 jut hutangnya “Hindia Belanda” mesti
dibayar oleh N.I.S dan Hak Milik Asing seharga lebih kurang f.4000,-juta uang
lama atau lebih kurang $1600 juta pula harus dikembalikan. Seolah-olah tak ada
penyerahan Belanda 8 Maret kepada Jepang dan tak ada pula interneeringskamp
bagi Belanda yang tinggal di Indonesia, karen tak bisa lagi lari
tunggang-langgang ke Australia mencari tempat yang aman bagi dirinya sambil
meninggalkan 70 juta bangsa Indonesia, yang katanya harus diperlindunginya.
Tidak saja begitu N.I.S mesti
menjamin, supaya kelak produksi perdagangan, pengangkutan dan keuangan buat
mencari untung yang cocok dengan perhitungan seorang Belanda, Tukang Warung
jangan terganggu.
Dalam perkara mendapatkan tanah
buat disewa, air buat perkebunannya, kaum buruh dan kuli untuk diperkulikan
dalam hal mendapatkan alat pengangkutan serta kuli buat angkut-mengangkut dari
pedalaman sampai ke pesisir, dari pantai ke pantai di ratusan kepulauan
Indonesia, dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di dunia, maka
tukang-warung Belanda yang sudah terperanjat dan pingsan melihat semangat baru,
yang melayang ke dalam jiwanya Rakyat Indonesia, menghendaki jaminan “rechts en
bedrijfszekerheid”, Kepastian Hukum dan Pencaharian.
Dalam perekonomian keamanan buat
pulang pergi dari rumah ke kebun, ke tambang dan pabriknya, dan dalam
kesenangan hidup! (memangnya tukang warung Belanda pandai mempergunakan segala
kenikmatan hidup di dunia ini!) dalam hal keamanan untuk pulang pergi dari
kebun ke kota buat mengunjungi restoran, rumah bola, concert, bioskop, rumah
dansa, cabaret dan bermacam-macam alat penggembira dirinya sendiri beserta
keluarganya, maka tukang warung Belanda yang sudah menyaksikan dahsyatnya bambu
runcing tiada begitu saja mempercayakan dirinya kepada “kaum extremis” atau
mereka yang dicap seperti itu. demikianlah mereka menuntut “persoonlijke
zekerheid”, kepastian keamanan diri.
Menurut maksud bermula, ialah
setelah semua kepastian dalam keuangan dan ekonomi, kepastian dalam hukum dan
pencaharian, serta kepastian buat keamanan dan kesenangan dirinya itu terjamin,
seperti termaktub dalam perjanjian Linggarjati, maka dia akan segera pergi ke
Amerika, buat meninjau modal yang akan ditanamkannya di Indonesia.
Dengan kepastian, bahwa kelak, dia
akan mendapatkan uang pinzaman sebagai yang dibutuhkannya, maka dia percaya,
bahwa pastilah dia kelak akan mendapatkan tanah, air, kuli, bahan dan hasil
serta mendapatkan alat pengangkutan serta kuli, mandor dan jurutulis buat
mengangkut semua hasil Indonesia itu ke semua pasar kepulauan Indonesia dan di
dunia lain.
Si kapitalist mestinya percaya,
bahwa kalau ketentraman sudah terjamin, maka dengan tipu, gertak dan sogok,
seperti di zaman “Hindia Belanda” dia akan mendapatkan tanah subur yang diperlukannya.
Petani yang buta huruf yang kini merasai kekurangan belanja untuk selamatan ini
dan itu, lebih daripada di masa sebelum Jepang tentulah dijerat dengan tipu
muslihat dan yang uang sogok mandor air dan “B.B. Amtenaar” rendah atau tinggi
“niewe stijl” (macam baru) yang selalu pula terikat oleh hutang, tentulah
seperti di zaman “Hindia Belanda” akan dapat diikat dengan “rantai emas”.
Terutama pula di pulau Jawa, di mana penduduk sudah amat rapat dan setiap tahun
bertambah rapatnya dengan tiga perempat juta manusia, sedangkan sebagian besar
daripada Rakyat terdiri dari Yang Tak Berpunya apa-apa atau dari Yang Berpunya
Tak Cukup, dimana persaingan mencari sesuap nasi dan sepertegak pakaian amat
sengit, maka mudah sekali buat kaum kapitalis mendapatkan kaum buruh dengan
bayaran rendah. Berapapun juga dimajukan industrialisasi secara kolonial,
tiadalah akan mengisap semua proletar atau setengah proletar Indonesia,
terutama Jawa. Keadaan “suply and
demand”, vraag en aanbond” atau persediaan dan permintaan, tentang tenaga
Indonesia, menurut ukuran hidup (standard
of living) Rakyat Indonesia dimasa sekarang, memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada Kapital Asing 1) untuk mengadu dombakan buruh dengan
buruh yang ada dalam sesuatu perusahaan; 2) untuk mengadu dombakan buruh yang
sudah ada dalam perusahaan dengan yang masih dalam reserve (cadangan buruh
diluar perusahaan); 3) untuk mengadu dombakan Pemerintah Nasional dengan kaum
buruhnya sendiri.
Dengan begitu, maka Kapital Asing
dengan mudah sekali dapat menekan ke bawah upah pekerja sampai ke tingkat
hidupnya seorang kuli, mengerjakan kuli selama dikehendaki oleh kaum kapitalis;
menggagalkan sesuatu pemogokan dengan mengadakan sistem kaum penjilat (Yellow
Union) dan akhirnya menyelundupi dengan jalan sogok atau sistem kaum penjilat
segala undang-undang yang mungkin bisa diadakan oleh N.I.S yang sekiranya
diatas kertas bisa merupakan jaminan bagi pekerja Indonesia.
Sedangkan di Amerika Serikat,
Negara Menang, yang terkaya di dunia; dimana jutaan buruh mempunyai Serikat
Sekerja Raksasa seperti A.F.L.dan C.I.O. ; dimana buruh mempunyai hak
demokrasi, yang ditetapkan oleh Undang-Undang Negara; di mana persediaan dan
permintaan (supply and demand) tentang kaum pekerja lebih banyak menguntungkan
kaum buruh di Amerika daripada di Indonesia, di sana pun kaum buruh terpaksa
saja berulang-ulang mengadakan pemogokan untuk mengerjar gaji yang terus
menerus ketinggalan, disebabkan oleh terus-menerus naiknya harga barang untuk
kehidupan sehari-hari. Malangnya pula dengan organisasi buruh di Amerika
sebagian kuat; hak demokrasi rakyat begitu besar; dan produksi masyarakat
begitu tinggi, tiadalah sanggup kau pekerja Amerika menolak krisis dan
pengangguran hebat dan lama. Dan tiada pula kaum pekerja dalam negara, yang
katanya paling demokratis itu, bisa menolak larangan pemerintah atas pemogokan
umum, ialah hak mutlaknya serta senjata terakhirnya dan terpentingnya buat kaum
buruh dalam dunia kapitalisme untuk mendapatkan upah yang lebih cukup, waktu
kerja yang lebih singkat, serta pelayanan hidup yang lebih baik.
Seolah-olah golongan “orang kuat”,
“Marxist”, “Lenist” dan “Stalinist” Indonesia percaya, bahwa kelak
“undang-undang kerja dan sosial” yang akan dibikin (sebelum dan diwaktu N.I.S
??) akan bisa membendung kekuasaan kapital
internasional di Indonesia.
Dalam dunia roman, dunia khayal,
tiadalah mengapa, kalau Servantos, pengarang bangsa Spanyol, mengejek Don
Quizott, yang ingin mengembalikan keadaan feodal, yang sudah lampau itu ke
zaman baru, ke zaman permulaan kapitalisme dalam masyarakat Spanyol. Servantos
menggambarkan Don Quizott, sebagai seorang ksatria, yang hendak berkelahi
dengan kincir berputar, karena dalam ciptaan kincir berputar itu adalah kaum
penyamun, yang sedang menawan seorang gadis remaja yang paling cantik molek.
Dalam keadaan begitu muka Pedro, sebagai pengikut yang taat setia mengikut
saja, walaupun pikirannya tetap “nuchter” praktis.
Kita dalam dunia “besar hendak
melindih” ini tidak bisa mengejek para “Don Quizott” kita saja atau hanya
menonton mereka berkelahi menghadapi kincir berputar, ialah Kapital
Internasional saja.
Kita harus melarang sama sekali
Pedro Murba yang walaupun dengan pikiran nuchter mengikuti tuannya Don Quizott
menghadapi kincir berputar itu, ialah Kapital Internasional di Indodnesia supaya
mereka, Kaum Murba, jangan terbawa-bawa tergiling oleh perputaran-nya kincir
kapital internasional itu.
Yang terang “nucter” dalam dunia
diplomasi Indonesia Belanda ini, ialah para tukang warung Belanda. Sambil di
pelopori oleh maklumat Wakil Presiden, yang menjanjikan pengembalian Hak Milik
Asing pada tanggal 1 November 1945, mereka kruidernies Belanda dalam perjanjian
Linggarjati berpegang teguh pada pasal 14 dan memagari pasal ini dengan
beberapa pasal lain yang mengenai urusan politik, sosial dan kemiliteran.
Bunyinya pasal 14 dalam bahasa Indonesia yang agak kurang lancar di telinga
kita orang Indonesia, seakan-akan tulisan itu adalah terjemahan kata demi kata
dari bahasa Belanda saja ialah:
Pasal 14:
“Pemerintah Republik Indonesia
mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan
hak-hak mereka, yang dilakukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka yang
lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan
dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.”
Berhubung dengan pasal 14 itu,
maka pasal 10 yang erat pula pertaliannya dengan pasal 14 yang berbunyi:
“Anggar-anggar Persekutuan Belanda
Indonesia itu antara lain akan mengandung juga ketentuan-ketentuan tentang:
a) Pertentangan hak-hak kedua belah
pihak, yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah
pihak menepati kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain.
b) Hal kewarganegaraan untuk warga
negara Belanda dan warga negara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya.
c) Aturan bagaimana cara
menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan persekutuan itu tidak
dapat dicapai secara mufakat.
d) Aturan bagaimana dan dengan
syarat-syarat apa alat-alat kelengkapan kerajaan Belanda memberi bantuan kepada
Negara Indonesia Serikat untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak
atau kurang cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
e) Bertanggungan dalam kedua bagian
persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan
kebebasan-kebebesan yang dimaksudkan juga oleh Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Tukang warung Belanda, yang mau
menghitung laba rugi lebih dahulu memberikan tafsiran sendiri kepada pasal 14
dan 10 itu. Menteri Yonkman menerangkan sikapnya terhadap kedua pasal tersebut
dalam pidatonya di Parlemen Nederlanda; yang dikawatkan oleh ANETA kepada
DAGBLAT tanggal 11 Desember 1946, seperti berikut:
“Het zal noodzakelijk zijn, op den
grondslag van het hestand en politik accord, ten spoedigste mede
overeenstomming te verkrijgen over financieele en economische waar orgen, welke
het beginsel van artikel 14 over een breeder terrein uitstrekken, rechts en
bedrijfszekerheid onder art, 10a beheerend, nader te omschrijven en bijden
opbouw der Federatie en der Unie ook de financieele en economische eischen
volledig in acht te nemen”.
Indonesianya:
“Perlu sekali atas dasar
pemberhentian tembak-menembak dan persetujuan politik, selekas-lekasnya
diperoleh persetujuan keuangan dan ekonomi, yang dimaksud dengan dasarnya pasal
14 dalam arti yang lebih luas, (dan) kepastian hukum dan pencarian (perusahaan)
yang termaksud dalam pasal 10a, dijelaskan lebih lanjut dan pada pembentukan
Federasi dan Uni juga diperhatikan sepenuh-penuhnya tuntutan keuangan dan
ekonomi”
Sekianlah pasal 14 Linggarjati!
Sekian pula tafsiran Menteri Yonkman!
Adapun pengakuan pasal 14 yang
mengenai hak milik dan pencarian Belanda itu tiadalah tergantung sendirinya di
awang-awang saja. Dengan penerimaan pasal 14 itu, itu sebagai akibatnya,
haruslah diterima sesuatu yang berkenaan dengan urusan Luar Negeri, urusan
Keuangan, urusan Kemiliteran dan urusan Kebudayaan.
Berhubung dengan itu, maka dipandang dari sudut perekonomian
pasal 8, yang termashur buruk karena membatalkan kedaulatan Indonesia,
sebenarnya akibat dari pengakuan atas pasal 14, ialah pengembalian hak milik
Belanda. Dalam hakekatnya, maka pengembalian ratusan kebun Belanda,
bermacam-macam tambang dan pabrik, hampir semuanya alat pengangkutan dan
keuangan di Indonesia, berarti memerlukan dan mempermudah pula pengembalian Kedaulatan
Belanda ke Indonesia.
Pengembalian Kedaulatan Ekonomi
Belanda di Indonesia, esok atau lusa, langsung atau tidak, mengembalikan
Kedaulatan Politik Belanda di Indonesia pula.
Sesungguhnya pula diplomat Belanda
Inggris dengan pengluasan panggung diplomat “ulung” Indonesia, dan mendapatkan
semua hak milik kembali, sendirinya sudah mengembalikan Mahkota Belanda ke
Indonesia Merdeka, sama dengan kecepatan Aladdin memperoleh sebuah mahligai
emas, setelah mengelus-elus lampu ajaibnya.
Begitulah sebenarnya dengan
pengakuan kembalinya economy supremacy Belanda, Kekuasaan Tertinggi Ekonomi
Belanda di Indonesia Merdeka, maka urusan Luar Negeri, keuangan, kemiliteran
dan kebudayaan nolens volens mau tak mau, akan jatuh ke tangan Belanda. Kalau
sudah sampai ke tingkat pengakuan, atas kerja sama dalam urusan luar negeri,
kemiliteran dan keuangan itu, maka kedaulatan Belanda atas Indonesia “Merdeka”
sudah termasuk walaupun tak disebutkan begitu. Dengan demikian maka Pemerintah
Indonesia, apapun juga namanya, sebenarnya sudah menjadi Pemerintah Boneka
Belanda.
TENTANG URUSAN EXPORT DAN IMPORT
Dengan adanya lebih dari 90%
exportable goods barang yang dapat di perdagangkan ke Luar Negeri di tangan
bangsa Asing dengan beradanya 100% alat perkapalan ke Luar Negeri di tangan
Belanda atau Asing lain. Dengan beradanya Bank dan Asuransi 100% pula di tangan
Belanda atau Asing lain; dengan akhirnya beradanya agencies, tengkulak atau
makelar dan kantor dagangnya di pasar asing (Amerika, Eropa, dll) 100% pula di
tangan Belanda, maka gila atau edanlah Belanda dan sombong tak tahu dirilah
orang Indonesia, yang berani mengatakan, bahwa Belanda dan asing lain akan
begitu saja menyerahkan urusan export-import kepada orang Indonesia. Sebanding
dengan Share, bagian pedagang Indonesia dalam dagang keluar masuk
(export-import) itulah pula, Belanda akan membiarkan Indonesia mengambil bagian
kekuasaan dalam hal urusan kedutaan serta Duane.
Kalau bagian Indonesia dalam
export-import cuma 10% atau 1%, karena onderneming, tambang dan pabrik berada
di tangan asing, maka janganlah “diplomat” Indonesia tercengang, kalau Belanda,
sesudah hak miliknya diakui penuh akan menuntut kekuasaan penuh pula. Dengan
begitu, maka urusan kedutaan dan kekonsulan, dengan negara asing di mana
kepentingan pasar dagang seperti di Amerika dan Eropa, terletak di tangannya
Kapital Asing, yang ada di Indonesia, akan sendirinya di kuasai oleh Belanda.
Di mana rakyat Indonesia ada sedikit mempunyai kepentingan dagang, seperti dari
Siam ke Indonesia, seperti dahulunya; dengan beberapa negara Arab, lantaran
urusan agama dan import kain, kurma dan minyak samin dari sana ke sini, maka
boleh jadi sekali Belanda kelak, dikemudian hari tak akan berkeberatan
membiarkan N.I.S menanam duta atau konsul bangsa Indonesia di tempat tersebut.
Tetapi yang terang, ialah Belanda cuma akan mengerjakan segelintir dua
Inlanders-alat, sebagai kerani dan opas pada Kedutaan Belanda, di sesuatu
negeri luar itu, dimana kepentingan dagan Belandalah yang terbesar.
Itulah akibatnya pengakuan atas
Haknya Belanda atas urusan Luar Negeri. Tetapi pengakuan itu membawa akibat
buruk pula pada kemajuan perindustrian bangsa Indonesia. Dengan tergantungnya
pedagan asing di Indonesia kepada pasar Amerika dan Eropa, maka pasar Indonesia
sebaliknya tergantung pula kepada hasil pabrik Amerika, Eropa. Dengan
terikatnya Amerika-Eropa kepada getah, minyak, timah, teh, kopi, kina dan
lain-lain dari Indonesia, maka Indonesia pun akan diikat pula oleh auto,
barang, mesin, barang kimia atau barang listrik Amerika Eropa. “Export pays for
import” begitulah bunyinya pepatah dagang kapitalistis, artinya: barang dagang
yang di jualkan di luar negeri akan membayar harga barang dagang, yang di beli
dari luar negeri. Akibatnya perdagangan semacam ini, bagi Indonesia, walaupun
penuh dengan bahan logam dan tumbuhan, walaupun mempunyai kaum pekerja yang
pintar, rajin, dan melimpah, yang pertama sekali adalah, Indonesia tak akan
berdaya mendirikan kebun, tambang atau pabrik baru, yang jenis hasilnya sudah
di miliki, diusahakan dan dimonopoli oleh kapital-internasional yang sangat
kuat dan berpengalaman banyak itu. rakyat Indonesia akan terus kalah dalam
persaingan mati-matian (“cut throat competition”). Kedua, Bangsa Indonesia tak
akan mendapat kesempatan mendirikan sendiri pabrik auto, lokomotif, mesin
lain-lain, pabrik kimia, listrik dan atom, pabrik mesin kapal, pesawat terbang,
kapal selam, tank dan meriam, dan lain-lain, “pabrik machine making machine”
atau pabrik mesin pembikin mesin, yang semuanya perlu untuk kemakmuran dan
pembelaan republik Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tak akan sampai
menjadi negara berindustri induk, berindustri berat N.I.S cocok dengan watak
dan kemauan Belanda pedagang dan kruidenier, akan tetap tinggal negara
pertanian dengan selingan industri enteng di sana-sini. Dengan demikian, maka
walaupun N.I.S itu akan disebut-sebut berdaulat, maka akan tetap tinggal negara
boneka, yang terpaksa mempercayakan pembelian kemerdekaannya kepada “beleidnya”
(kebijaksanaan) Belanda, yang lari tunggang-langgang dikejar oleh dua tiga
gelintir Jepang pada bulan Maret 1942.
Keuangan I
Akibatnya pengakuan atas semuanya
Kapital Asing pada keuangan bangsa Indonesia, tiadalah kurang buruknya daripada
yang tersebut di atas.
N.I.S tiadalah akan membenarkan
wakil bangsa Indonesia itu mengambil bea yang agak berat atas pengeluaran hasil
kebun, tambang dan pabrik Asing, yang berada di Indonesia. Alasan yang
sebenarnya, adalah “selv evident” nyata sendirinya. Tak ada sesuatu perusahaan
atau seorang manusia yang akan memberatkan dirinya sendiri ataupun mengurangi
keuntungan yang diperolehnya. Nafsu kaum saudagar tulen hendak menjadi kaya
raya yang tak terbatas itu sudah terkenal di seluruh abad dan di seluruh tempat
di dunia ini. dalam mempertahankan kepentingannya sendiri, ama haruslah barang
Indonesia itu ditawarkan dengan harga yang semurah-murahnya”. Dengan besarnya
bea, atas pengeluaran barang itu, maka naiklah harga barang Indonesia di luar
negeri. Dengan demikian, katanya pula, maka barang Indonesia kelak, tak akan
bisa bersaing dengan barang asing yang dijual
lebih murah di pasar asing. Lagi pula menurut filsafat dagang tadi juga,
maka kaum buruh haruslah dikasih upah serendah-rendahnya, supaya kapitalis
Belanda dan Asing lain di Indonesia bisa mendapatkan ongkos yang murah, dan bisa
menjual barang dengan harga murah di pasar dunia. Demikianlah pula, katanya,
Duane Indonesia janganlah memungut bea yang tinggi atas barang export.
Akibatnya yang pertama dari keadaan sedemikian, ialah bahwa dari upah rendah
kaum buruh Indonesia, tak bisa dipungut pajak yang besar buat kas negara.
Kedua, dari bea barang export yang rendah itupun tak bisa didapatkan uang yang
cukup untuk mengisi Kas Negara.
Bukan saja bea atas barang keluar,
yaang harus direndahkan, tetapi sendirinya barang masukpun tak bisa dijatuhi
cukai yang tinggi. Alasan pertama, ialah diambil dari filsafat dagang,
pandangan kruidenier, tukang warung juga, yakni “kalau cukai barang masuk itu
terlalu tinggi, maka, katanya, barang itu susah lakunya dalam pasar Indonesia,
dan katanya pula, rakyat jugalah, yang akan menderita, karena terpaksa membayar
mahal”. Adapula maxim lain, satu pepatah dagang lain, yang mengatakan bahwa,
“kalau barang masuk ke Indonesia, yang datang dari luar negeri (Amerika atau
Eropa!) dicukai terlampau tinggi, maka negara luar itu kelak akan mengadakan
tindakan pembalasan (retaliation-measure) ialah mempertinggi cukai atas barang
Indonesia, yang masuk ke negerinya dengan akibat bahwa barang Indonesia itu,
katanya, akan susah lakunya di luar negeri”.
Dan ini menurut filsafat
Kruidenier akan merugikan rakyat Indonesia pula.
Demikianlah ringkasnya, terbawa
akibat buruk atas keuangan negara Indonesia, setelah hak milik Belanda Agresor
itu dikembalikan, ialah: Pertama, upah buruh tetap rendah, seperti di zaman
“Hindia Belanda”, Kedua, bea atas barang export tetap rendah dan Ketiga, cukai
atas barang import tak bisa dipertinggi cukup. Ketiganya mengakibatkan
sedikitnya uang yang dapat masuk ke dalam Kas Negara Republik. Sebagian besar
daripada nilai lebih (surplus value, Morwert) yang diperas dari keringat
pekerja Indonesia akan tetap mengalir keluar negeri, berupa bunga modal,
keuntungan, asuransi, pensiun dan lain-lain, yang jatuh ke kantong rentenir
(peminjam uang). Kapitalis industri, perkebunan, tambang, pabrik, perkapalan,
Bank, asuransi dan perdagangan Asing. Semuanya mereka ini bebas dari tangannya
pemungut pajak N.I.S
Keuangan Republik, yang daerahnya
entah akan meliputi seluruh Jawa-Sumatera, entah tujuh daerah minus di Jawa
Tengah saja, di tambah dengan Minangkabau dan daerah Aceh, yang keduanya, jauh
terpencil dari Jawa Tengah dan bahkan pula daerah perindustrian atau perkebunan
keuangan Republik, setelah pengakuan pengembalian Hak Milik Asing itu akan
menjadi susut kecil, kalau tidak kocar-kacir, ialah hidup tidak, matipun tidak.
Kalau daerah Republik kelak tiada
mau rapat dengan daerah lain seperti N.T.T, Borneo, Negara Jawa Barat dan
lain-lain itu tak mau pula berdiri sendiri sederajat dengan beberapa Negara
Boneka tersebut, melainkan bertentara merdeka, dan berkeuangan merdeka, maka
keuangan Republik Merdeka semacam itu akan lebih dalam keadaan melarat lagi
dari pada keuangan Tiongkok pedalaman, di mana semua pelabuhan Export-Import
dan keuangan dikuasai asing. Akan lebih melarat pula dari keuangan Mexico, dimana
tanahnya dimiliki oleh “Hasienderos” Indo Spanyol; tambah dan pengangkutan
dimiliki oleh Amerika-Inggris; serta perdagangannya dikuasai oleh Jerman,
Perancis dan lain sebagainya.
Dengan melaratnya keuangan, maka
akan merosotlah pula pembayaran gaji kepada pegawai administrasi, kepada
anggota polisi dan tentara Republik. Dengan merosotnya pegawai, polisi dan
tentara itu, maka kelak janganlah “Pemerintah” Indonesia heran, kalau
pemogokan, keributan dan coup d’etat dalam negara adalah kejadian sehari-hari,
atau menurut pepatah Belanda, adalah “Schering en inslag”. Keadaan semacam
itulah yang sudah diteropong lebih dahulu oleh kruidenier Belanda. Keadaan
semacam itu, yang dapat merugikan, perusahaan dan perdagangannya di daerah
Republik mau dihindarkan oleh Belanda dengan perjanjian “kerjasama” anara
Tentara-Polisi Indonesia dengan Tentara-Polisi Belanda.
Tuntutan ini ada tuntutan yang
cocok dengan “nuchter realiteit” ialah “nuchter realitiet”-nya kruidenier
Belanda.
“Kerjasama” dalam perekonomian,
urusan luar negeri, keuangan dan kemiliteran yang rapat antara tujuh (?) Negara
Boneka, dalam N.I.S dan kerja sama antara N.I.S dan Nederland-Indonesia,
dibawah Mahkota Belanda itu tentulah akan memerlukan kerja sama pula dalam
kebudayaan.
Bangsa Belanda yang sudah rusak
diinjak-injak selama 3 ½ tahun, di bawah telapak Jepang akan diangkat kembali
dan diperjuangkan pula dengan Bahasa Indonesia, yang maju dibawah pemerintahan
Jepang dan tumbuh dengan suburnya di masa Republik. Bahasa Belanda yang cuma
dikenal oleh beberapa juta manusia yang berdiam lebih kurang 10.000 km jauhnya
dari Indonesia itu, kalau tidak akan
menjadi bahasa voortaal, bahasa pengantar lagi, pasti akan mengambil bagian
terpenting diantara beberapa bahasa asing, yang harus diajarkan di sekolah
Indonesia. Sendirinya kebudayaan Indonesia kelak akan dipengaruhi kembali oleh
semangat kruidenier, semangat jual-beli, semangat bercakaran perkara
tetek-bengek dalam 1001 macam Partai politik dan semangat tunggang langgang,
lari menyelematkan diri, kalau diserang oleh Negara Ceroboh:
Ikhtisar atas pandangan di atas
ialah:
1. Pengakuan atas pengembalian
Hak-Milik dan Perusahaan Belanda Ceroboh, akan sendirinya membawa kepada
pengakuan atas campur tangannya Belanda dalam urusan luar Negeri, keuangan,
kemiliteran dan kebudayaan Negara Boneka atau setengah Boneka, yang dibentuk
oleh imperialis Belanda dan disyahkan oleh Pemerintah Republik.
2. Bentuk “Federasi” atau bentuk
manapun juga bagi Indonesia, bentuk “Unie” atau bentuk apapun juga
terlaksananya perhubungan Indonesia dengan Nederland, selama perekonomian
masyarakat Indonesia, sebagian besarnya dan yang terpenting dikuasai oleh
Belanda dan Asing-Lain, maka semua bentuk Pemerintahan Indonesia dan
Perhubungan Indonesia itu, adalah pelaksanaan perhambaan politik Rakyat Indonesia
kepada Kapitalis-Imperialis Belanda dan Asing lain (Amerika-Inggris).
3. “Nuchtere Realiteit” buat Belanda
dan kaki tangannya di Indonesia yang sebaik-baiknya, dan “Rencana Linggarjati
dan Renville”.
Demikianlah pasal 7 dan 8 dari
Perjanjian Linggarjati adalah akibat daripada pengakuan pasal 14, ialah
pengembalian hak-milik dan Perusahaan Asing, seperti maksudnya Maklumat Wakil
Presiden pada tanggal 1 Nopember 1945.
Pasal 7 Ayat (3) Linggarjati
berbunyi:
“Adapun yang akan dianggap
kepentingan-kepentingan bersama itu, ialah kerja sama dalam hal perhubungan
luar negeri, pertahanan, seberapa perlunya keuangan, serta juga hal-hal ekonomi
dan kebudayaan”.
Pasal 8 berbunyi pula:
“Dipucuk Persekutuan Belanda
Indonesia itu duduklah Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan
Kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh alat-alat kelengkapan
persekutuan itu atas nama Baginda Raja!
Menurut sk. “Bakti”, 20 Nopember
1946, maka Presiden Sukarno, ketika memberi penjelasan tentang persetujuan
Linggarjati di Kabupaten Garut tanggal 19 Nopember, menerangkan, bahwa, “Raja
Belanda sama sekali tidak menyinggung kedaulatan pemerintah Republik
Indonesia”, dan menegaskan pula, bahwa tidak ada satu artikel pun yang akan
merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”.
Ada pula orang yang menafsirkan,
bahwa Raja Belanda itu berlainan dengan Mahkota (Kroon). Menurut filsafat ini,
maka istilah Raja itu mengenai dirinya sendiri saja, sedangkan istilah Mahkota
itu berarti Raja dalam Sidang Menteri.
Tetapi menteri Yonkman dalam
pidato di Parlemen seperti tersebut di atas tiadalah ragu-ragu tentang
Kekuasaan Tertinggi, tentang kedaulatan Raja Belanda dalam persekutuan
Nederland-Indonesia itu.
Kata Yonkman:
“Aan het hoofd van de unise staat
volgens artikel 8 de koning der Nederlanden, aan wien volgens den toelichting
van de commissie generaal Oppergezag werd opgedragen”.
Indonesianya:
“Menurut pasal 8 duduklah dipucuk
pimpinan persekutuan (UNI) itu Raja Belanda, di tangan siapa, menurut komisi
jenderal diletakkan kekuasaan tertinggi.
Belumlah cukup bagi “nuchtere
realiteit” –nya kruidenier Belanda, kalau “rech dan bedrijfszekerheid-nya cuma
dijamin oleh kekuasaan terpendam, yang terletak pada tiap-tiap “economy
supremacy”, pada permarajalelaan Ekonomi saja! Mereka merasa perlu kembali
mempergunakan politik manjur, terhadap sesuatu bangsa yang dikuasai. Politik
devide et impera, politik mengadu dombakan golongan dengan golongan yang
dikuasai, yang dengan berhasi dijalankan oleh bangsa Romawi, bangsa penakluk,
terhadap beberap bangsa takluk, dalam beberapa abad lamanya diambil opper oleh
Deuplex, seorang pemimpin penjajah Perancis di Hindustan, sebelumnya Inggris.
Politik Deuplex inilah pula yang diambil oper oleh Inggris di “India Inggris”
dan dengan jaya dipergunakannya sampai sekarang (Maret 1948). Belanda semenjak
Jan Pieter Koen menjalankan politik semacam itu di kepulauan Indonesia selama
lebih kurang 450 tahun.
Politik yang sudah terang
kemanjurannya selama ratusan tahun itu, politik yang dapat dijalankan dengan
halus dengan tiada memperlihatkan dalangnya itu, tiadalah begitu saja
dilemparkan oleh Belanda, apabila dia mau memasuki masyarakat yang dikehendaki
oleh Linggarjati dan Renville di Indonesia ini. Tendangan Jepang di perut
disertai tinjunya di kepala Belanda, tiadalah dapat mengeluarkan akal bulus
Belanda itu dari usus benaknya.
Dari pasal 1 sampai 7 sudah
terselundup biji perpecahan Negara Republik Indonesia, yang merdeka 100%
semenjak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu. Dengan
pengakuan Republik yang merdeka 100% semenjak 17 Agustus itu, atas pembagian
‘de facto’ Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, Madura dan
Indonesia sisa menurut pasal 1 Linggarjati ; dengan pengakuan
‘bersama-sama menyelenggarakan’ segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan
demokrasi, yang berdasarkan perserikatan dan dinamai Negara Indonesia Serikat
(pasal 2), oleh Republik, yang merdeka 100% dengan Negara Ceroboh dan bekas
penjajah ; dengan pengakuan, bahwa bagian manapun juga dari Indonesia,
yang merdeka 100% itu, menurut Linggarjati boleh bersama-sama dengan Belanda
menentukan Kedudukan istimewa, terhadap negara Indonesia Serikat dan terhadap
kerajaan Belanda (lihat pasal 3) ; dengan mengakui pula ‘haknya kaum
penduduk daripada sesuatu bagian daerah ‘ mengatur kedudukannya dalam
Indonesia Serikat itu dengan cara lain, yang tentulah lain daripada dasar
kemerdekaan 100% dan cocok dengan caranya Belanda penjajah (pelajarilah pasal
4) dengan campur tangannya Belanda mengatur Undang-Undang Negara Indonesia Serikat
(menurut pasal 5)....dsb....maka nyatalah benar maksudnya dan nyatalah pula
terlaksananya maksud Belanda hendak memecah belah lebih kurang 4 ½ juta (empat
setengah juta) mil persegi daerah tanah dan lautan Indonesia itu, antara satu
daerah dengan daerah lain dan antara satu suku golongan dengan suku/golongan
lainnya.
Sebermula, maka untuk menginsafi
kelicikan politik memecah-belah dan kejayaan Belanda dalam perundingan
diplomasi yang tergambar pada perjanjian Linggarjati itu perlulah kita lebih
dahulu, mengadakan uraian yang agak lengkap, terutama tentang beberapa
syaratnya sesuatu negara merdeka.
Ilmu Kenegaraan yang resmi, dalam
mendefenisikan negara itu, cuma memajukan tiga syarat negara saja, ialah 1)
Tentang daerah. 2) Tentang penduduk dan 3) Tentang pemerintah. Saya rasa disini
perlu diadakan koreksi dan tambahan ! negara modern tak bisa hidup dengan
aman, kalau cuma mempunyai tiga syarat itu saja. Saya rasa perlu dikemukakan
sekurangnya tiga syarat yang lain : 1) Perindustrian. 2) Bahan logam yang
mentah. 3) Geografis strategis, ialah tempat duduk yang penting untuk siasat
perang dalam hal membela diri.
Tiongkok yang mempunyai penduduk
yang terbesar di dunia, sebagai negara yang mempunyai daerah yang hampir sama
luasnya dengan Amerika Serikat, yakni yang terkaya dan terkuat di dunia
sekarang, Tiongkok yang mempunyai nasionalisme yang hidup dan persatuan yang
kukuh kuat terhadap keluar, serta mempunyai rakyat yang rajin, berani, pintar
dan berkebudayaan tua berumur 4.000 tahun. Tiongkok walaupun memiliki syarat
seperti tersebut itu, teristimewa, semenjak 100 tahun di belakang ini cuma
menjadi sasaran politik Imprialisme Asing saja. Perbedaan yang nyata antara
Tiongkok dan Eropa ialah Tiongkok tiada mempunyai industri modern, untuk
menggalang kemakmuran rakyatnya dan menggalang pembelaan kemerdekaannya.
Jerman yang melebihi tiap-tiap
negara di Eropa dan Amerika dalam hal organisasi, ilmu teknik, perindustrian,
persatuan, semangat perang, serta ilmu strategi, sudah dua kali menyerah dalam
perang dunia, terutama disebabkan oleh kekurangan bahan mentah, ialah besi,
minyak tanah, getah, timah dan lain-lain.
Tetapi negara Swiss walaupun cuma
berpenduduk lima juta dan terdiri dari tiga bangsa dan tiga bahasa, tiada bisa
ditarik ke dalam medan peperangan ketika dua perang dunia yang lalu, terutama
pula lantaran letaknya yang baik buat siasat perang dan Swiss bermaksud hendak
mempertahankan dirinya terhadap sembarang negara ceroboh disekitarnya.
Syahdan jikalau enam syarat diatas
kita pakai untuk memeriksa keadaan Republik Indonesia, setelah Linggarjati dan
Renville, maka kita akan tercengang melihat sudah sampai berapa persenkah
merosotnya kemerdekaan 100% dengan penerimaan kedua perjanjian yang tiada
berapa bedanya satu dengan lainnya itu.
Pertama tentang daerah
Dengan menerima “de facto”
Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati, maka Republik akan menerima kasarnya
lebih kurang 210.000 mil persegi tanah daratan. Kalau dibandingkan dengan
luasnya tanah daerah “Hindia Belanda” dahulu, yang kasarnya lebih dari 700.000
mil persegi itu, maka daratan yang diterima oleh Pemerintah Republik menurut
Linggarjati adalah lebih kurang 30%. Tetapi kalau diambil perbandingan tanah
dan air, maka perlindungan itu menjadi kurang 225.000 mil persegi dengan
4.500.000 mil atau 1 (satu) dengan 20 (dua puluh). Jadi tanah air Republik
merosot menjadi 5%. Saya mau sedikit optimis dalam hal ini dan andaikan saja
Pemerintah pro Linggarjati mendapatkan 20% Tanah Air dengan diplomasinya.
Tetapi dengan Perjanjian Renville hasil diplomasi berunding tadi sudah merosot
lebih rendah lagi. Seoptimis-optimisnya orang, Tanah Air, yang dipegang oleh
perjanjian Renville (menurut “de factonya”) tak bisa ditaksir lebih dari pada
2% (dua persen).
Kedua tentang penduduk
Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra,
menurut Linggarjati Republik akan menerima kasarnya 50 juta penduduk. Ini akan
berarti sedikit lebih daripada 70% penduduk. Tetapi dengan penandatanganan
Renville dan langsung berdirinya atau akan berdirinya Empat (?) Negara Baru
dalam Daerah Jawa-Madura-Sumatera sendiri, (ialah negara Sumatra Timur, Negara
Sumatra Selatan, Negara Jawa Barat, dan Negara Jawa Timur!) maka Republik akan
meliputi paling mujurnya cuma 33% dari seluruhnya penduduk Indonesia. Saya mau
menghitung secara mewah dan naikkan angka itu sampai 35%.
Ketiga, keempat, dan kelima,
tentang perindustrian, bahan mentah dan strategi:
Tak ada salahnya kalau ketiga
syarat itu diambil sekaligus saja! Syahdan, dalam perindustrian modern, maka
dengan kebun, pabrik, tambang, pengangkutan, Bank asuransi berada di tangan
asing; dengan bahan logam seperti minyak tanah, besi di Sulawesi dan
Kalimantan, timah, bauksit, dan aluminium berada di luar kekuasaan dan milik
bangsa Indonesia menurut Linggarjati dan di luar mata dan tangan bangsa Indonesia
sama sekali menurut Renville, dengan semua tempat strategis buat perang di
darat, di laut, dan udara, sama sekali berada di tangan asing, maka tiadalah
saya merasa terlampau pesimistis, mengatakan, bahwa Republik cuma mendapat 1%
(satu persen) buat masing-masing perindustrian, bahan logam mentah dan untuk
pangkalan strategi, baik menurut Linggarjati ataupun Renville, selama
berdasarkan pengakuan atas pengembalian hak milik Asing.
Jadi kalau kita menghitung menurut
aritmatika (ilmu hitung) dalam lima perkara tersebut di atas sesudah memukul
rata, menurtu Linggarjati kita akan memperoleh:
20+70+1+1+1 = 93 = 18 3 %
5 5 5
5 5 5
Saya mau sedikit optimis dan naikkan angka itu menjadi 20%. Tetapi
menurut persetujuan Renville maka angka itu akan turun menjadi:
1+35+1+1+1 = 39 = 7 4
%
5 5 5
5 5 5
Atau kasarnya adalah 8%.
Dengan memperoleh 20% kekuatan
lahir, (material), ialah dalam hal daerah, penduduk dan perindustrian, bahan
logam mentah dan kedudukan strategis, menurut Linggarjati dan cuma mendapatkan
kekuatan lahir (material) itu, lebih kurang 8% menurut Renville, saya bertanya
apakah kelak nasibnya “Republik” dalam N.I.S. dan UNI???
Sebenarnya pula perhitungan
menurut aritmatika di atas masih terlalu optimis. Dialektiknya persaingan
ekonomi dalam masyarakat Linggarjati yang berdasarkan kedaulatan kapital asing
itu, dimana perekonomian Rakyat Indonesia akan segera merosot kepada keadaan di
zaman “Hindia Belanda”; kekuasaan Belanda atas bahan logam mentah di daerah
Negara Bonekanya, sedangkan Republik berada di dalam daerah minus, dalam hal
makanan dan miskin dalam hal logam mentah; masuknya Belanda dalam Benelux dan
ke dalam Blok Eropa Barat itu, serta besarnya kemungkinan, bahwa modal Amerika
kelak akan dipakai untuk memajukan perkebunan dan tambang di negara Boneka
dan menarik Indonesia ke dalam lingkaran
pertahanan Amerika di Pacific; kemudian berlangsungnya politik devide et impera
Belanda berhubung dengan berdirinya enam negara Boneka melawan Republik dan
campur tangan Belanda dalam segala hal, sehingga dalam hal ekonomi, politik,
militer, sosial dan kebudayaan, Belanda akan bisa mengadakan perbedaan, bahkan
pertentangan antara satu negara dengan negara lainnya....maka berhubung dengan
semua itu, tiadalah sukar bagi kita meneropong ke depan, bila mana kelak
sesudahnya waktu yang singkat, seluruhnya Rakyat Indonesia akan kembali kepada
keadaan lama, ialah seperti kuda beban yang dikendalikan oleh Kapitalisme
Asing.
Dengan semua kunci perekonomian,
bahan mentah dan pangkalan strategi berada di tangan asing, serta dengan adanya
berjenis-jenis Negara Boneka di dalam N.I.S. maka kelak akan mudahlah Belanda
menjalankan politik devide et impera-nya terhadap salah satu negara, yang
berlainan paham dengan kapitalist Belanda. Pertentangan dan percekcokan yang
mudah sekali bisa ditimbulkan oleh imperialis Belanda, antara negara dan negara
dalam N.I.S itu, kelak akan membutuhkan satu negara sebagai “wasit” yang
lahirnya berupa pemisah dan berupa berdiri di atas semua negara bagian dalam
lingkungan Kerajaan Belanda, tetapi dalam hakekatnya membela kepentingan pihak
yang tertentu. Raja Belanda, yang tentulah dalam semua perkara penting akan
memihak kepada kapitalis Belanda itulah yang menjadi “wasit”, yang memegang “Kekuasaan
Tertinggi” di atas Nusa dan Bangsa Indonesia seluruhnya.
Persetujuan
Linggarjati dan Renville mengembalikan kedudukan Asing di Indonesia dalam
lapangan ekonomi dan memungkinkan kembali berlakunya politik devide et impera
diantara daerah dan daerah Indonesia, suku dan suku, serta golongan dan golongan diantara Rakyat
Indonesia sendiri.
Seakan-akan tak
ada 8 Maret 1942 dan Interneeringskamp buat Belanda dan tak ada pula 17 Agustus
dan Proklamasi bagi rakyat Indonesia, maka Yonkman, di Parlemen, seperti
disebutkan di atas tadi juga mengucapkan perkataan sebagai berikut:
“Het Koningkrijk
der Nederlanden is onder gods zegen en dank zij Oranje, een schepping van het
Nederlansche volk, En Nederland had daarin tot den Japansche occupatie, ook in
Indonesia de leiding”.
“Thans bieden
wij, den Indonesischen volkeren aan, het Koninkrijk samen te herbouwen, en aan
het vernieuwde staatsverband Nederland, Suriname en de Nederlandsche Autillen
en Indonesia, in een Unie vereeenigd,
door gemeenschapapelijke organen,
waaring deze allen vertegenwoordigd zijn, leiding te geven".
"In
dit aanbod is de richtlijn gevolgd overeenkomstig de Koningklijke rede van 7
December 1942..."
Indonesianya:
"Kerajaan
Belanda di bawah rahmatnya Tuhan, dan atas jasanya Oranye, adalah satu bikinan
bangsa Belanda. Dan diatasnya (kerajaan) itu sampai pendudukan Jepang Nederland
memegang pimpinan: juga di
Indonesia"
"Sekarang
kami anjurkan kepada segala bangsa di Indonesia membangun kembali Kerajaan
Belanda itu, dan memberikan pimpinan kepada Staatsverband (ikatan kenegaraan)
Baru, yakni Nederland, Suriname,
Antillen Belanda dan Indonesia, yang terikat dalam satu Unie dengan perantaraan
Alat Kelengkapan Bersama, yang mewakii semua bagian itu" Dalam anjuran ini
diikutilah garis tujuan (richtlijn) menurut pidato Ratu pada tanggal 7 Desember
1942..."
Belumlah
kapitalis imperialis Belanda merasa sentosa di Indonesia, walaupun dia dengan
perantaraan Linggarjati sudah memperoleh Kekuasaan Tertinggi dalam ekonomi,
kedaulatan dalam urusan politik, serta mendapat kesempatan yang leluasa sekali
kelak menjalankan politik memecah belah antara beberapa Negara Boneka dalam
Negara Indonesia Serikat.
Pemeras
penindas Belanda masih memerlukan jaminan yang lebih nyata lagi. Buat menantang
kehendak dan tindakan MURBA di Indonesia, karena kelak akan diperas dan
ditindas lebih kejam daripada yang sudah-sudah, maka Belanda merasa memerlukan
satu tentara sendiri. Tentara ini pulalah yang dimaksudkan untuk menyambut
Tentara Sekutunya di Indonesia, kalau sekali lagi Belanda terseret ke dalam
kancah perang dunia. Dengan berdirinya Blok Eropa Barat antara 16 negara (Maret
1948) dimana termasuk juga Nederland dengan Beneluxnya, serta dengan
bersekutunya pula Blok Eropa Barat ini dengan Amerika Serikat menentang Soviet
Rusia, maka tentara Belanda di Indonesia ini akan menjadi alat senjata
menentang musuh di dalam dan di luar negeri. Bukankah tentara Belanda itu buat
sementara waktu saja seperti
impiannya kaum borjuis kecil di Indonesia ini.
Kata
Jonkman:
"De
toelichting, door de commissie-generaal op de artikelen 1 en 16 versterkt, wat
betreft de positie der bezette gebieeden, bevestigd, dat de voorbereiding van
de rechtsorde in Nederlandsch-Indie, gelijk overal ter wereld, op voldoende
machtsmiddelen zal moeten steunen en dat niet tot verzwakking of vermindering
daarvan zal mogen worden overgegaan, voordat de waar orgen eener rechtsorde
aanwezig zijn. Dit is ook het stellige standpunt der Regeering.
Indonesianya:
"Keterangan
Komisi Jenderal atas pasal 1 dan 16 tentang posisinya Daerah Pendudukan,
mengesahkan pula, bahwa persiapan untuk Rechtsorde (Keterlibatan Hukum) baru di
"Hindia Belanda", seperti di mana-mana di dunia ini, haruslah
bersandarkan kepada Alat Kekuasaan, yang cukup, dan tiadalah boleh alat kekuasaan
itu diperlemah atau dikurangi, sebelumnya ada jaminan bagi ketertiban umum baru
itu. Inilah pulah sikap
pemerintah (Belanda) yang
tegas".
Dengan
jaminan yang sudah terlalu pasti itu untuk sesuatu Penjajah modern dalam hal
perekonomian, politik dan kemiliteran, Belanda belum lagi merasa puas. Pasal 13
Linggarjati menetapkan pula, bahwa pemerintahan Nederlandlah kelak yang akan
mengambil semua tindakan, setelah persekutuan Belanda Indonesia kelak berdiri,
"supaya dapatlah negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggota
UNO".
Dalam
prakteknya ini akan berarti, bahwa kalau kelak Belanda sendiri tak sanggup
mempertahankan pemerasan dan penindasannya terhadap Rakyat/Murba Indonesia,
maka Belanda akan meminta bantuan kepada konco-konconya, ialah semua wakil
Negara Kapitalis Imperialis di dunia, yang merajalela di dalam UNO dan yang
dengan mati-matian mempertahankan pemerasan dan penindasan dijajahannya masing-masing!
Demikianlah
kedua Delegasi Indonesia dan Belanda "oleh karena" menurut
mukadimahnya persetujuan Linggarjati keinginan yang ikhlas hendak menetapkan
perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia; dengan
mengadakan cara dan bentuk bangun yang baru, bagi kerjasama dengan sukarela,
yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus dan sebagaimana
dengan ketentuan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh
kebenaran, daripada
majelis-majelis perwakilan rakyat
masing-masing..."..
Semua perkataan yang molek-molek
ini dalam hakekatnya adalah satu pertolongan kepada Nederland, yang sedang
terombang-ambing di atas gelombang kekalahan dan kemelaratan
untuk menaikkan Belanda kembali
ke atas bumi Indonesia, sebagai "basung kemakmuran Belanda"...."
op de kurk, waarop Nederlands welvaart drijft".
Tentang
Turunan Raja Loderwijk XVI, yang kembali ke atas tahta Kerajaan Perancis,
sesudahnya Revolusi Perancis dan Kerajaan Napoleon berlaku, De Tallyrand
mengatakan: "Zij leren niets en vergeten niets". Demikianlah pula
Belanda, tiada mempelajari dan tiada pula melupakan sesuatupun dari
pengalamannya yang pahit selama lebih dari empat tahun.
Kecongkakan dan kekerasan kepala Belanda itu ternyata sekali
dalam perdebatan di parlemennya, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati
pada pertengahan bulan Desember 1946 dan ternyata pula dari suara Belanda
terkemuka di luar Gedung Parlemen.
Prof.
Romme, pemimpin Katholieke Volksparty, mengemukakan, dalam Gedung Parlemen
Nederland, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati tersebut diantara
lain-lainnya, seperti berikut:
"Allerlei
gevoelige argumenten speelden hierbij een rol, maar na overleg aan alle zijden,
na uitgebreide correspondentie, en na uran van eenzame over-peinzing, ben ik
tot de overtuiging gekomen, dat
overeenkomst van Linggarjati in overeenstemmin is met de belangen van het
Koninkrijk".
"----dat Nederland en Indie
niet gescheiden kunnen worden"."Het gezag in indonesie in weer aan
overgedragen. Wij beschikken in Indie over zooved macht, dat wij ons gezag
zouden kunnen herstellen".
"---mar wij moeten dan ook
begrijpen, dat de 100% merdeka een utopie is en dat geen enkel volk 100%
merdeka. Deze eisch van 100% merdeka is voortgekomen uit overspannen
nationalisme".
Indonesianya:
"Dalam
hal ini, maka bermacam-macam alasan yang berupa perasaan, mempermainkan
lakonnya, tetapi setelah meninjau dari semua sudut, setelah mengadakan
korespondensi yang luas, dan sesudahnya berjam-jam merenungkan dalam kesunyian,
maka saya sampai kepada keyakinan, bahwa Persetujuan Linggarjati adalah cocok
dengan kepentingan Kerajaan".
"----bahwa
Nederland dan Hindia tidak bisa dipisahkan".
"Kekuasaan
di Indonesia sudah dikembalikan (oleh Linggarjati! Penulis) kepada kita. Di
Hindia kita memegang kekuasaan (Militer! Pen.) sehingga kita akan dapat
mengembalikan kekuasaan kita ini".
"Tetapi
kita juga haru mengerti, bahwa kemerdekaan 100% adalah suatu impian dan tak ada
sesuatu bangsapun yang mengenal kemerdekaan 100%. Tuntutan kemerdekaan 100% itu
lahirnya dari nasionalisme yang terlalu meluap".
Ketika diundang
oleh Komisi Mahasiswa untuk Daerah Seberang di Groningen, maka menurut ANETA,
bekas anggota Volksraad, Feuilleteau de Bruvn mengucapkan sebuah pidato yang
berkepala: "Doodsklek klopt over ons Koninkrijk (Genderang kematian
berbunyi di atas kerajaan)".
Di
sini de Bruyn mengulangi perkataan Komisi Jenderal Van Poll, yang berbunyi:
"Indien
het spaak loopt en de Republiek haat verplichtingen niet nakomt, zullen wij
erop slaan" (Kalau gagal, dan Republik tiada menepati kewajibannya, maka
kita lihat akan menggempur!) Menurut ANETA juga dari Den Haag (lihat DAGBLAD 17
Desember 1946), maka bekas Perdana Menteri Mr. P.M.Gerbrandy bersama-sama
dengan bekas Menteri C.I.M. Welter, seorang Belanda yang bermodal besar di
"Hindia Belanda" serta Jenderal Bajetto, sudah membentuk satu Komite
Nasional bernama "Ter Handhaving van de Rijkseenheid" yang bermaksud
menentang Persetujuan Linggarjati. Salah satu daripada 6 dasar yang dimajukan
oleh Komite itu berbunyi: 2. "De handhaving van de Rijkseenheid, in de
eerste plaats uitgedrukt in het reeele gezag van de Kroon, is een noodzakelijke
voorwaarde in de regeling van de Indische kwestie".
Indonesianya:
2.
"Kesatuan Kerajaan, yang pertama sekali ditegaskan oleh Kekuasaan Mahkota
yang nyata, adalah jaminan yang mutlak dalam penyelesaian soal
Hindia".Sampai pula "Pahlawan" Belanda bekas komandan Tentara
Mobil Letnan Jenderal Jonkeheer W. Roell, melompat ke depan radio dan berkata,
bahwa dia dengan sengaja memakai perkataan
"Nederlans Indie" buat
menentang perkataan "Indonesia". Dia berpendapat, bahwa jika
Persekutuan Belanda Indonesia terlaksana, maka "Nederland akan jatuh
melarat", serta
"Zending dan missie akan tak
berarti lagi, kalau tidak akan rusak binasa" dan Bangsa Indonesia akan
pecah-belah. Dia menutup pidato radionya dengan pandangan dan anjuran kepada
bangsa dan golongan di Nederland seperti berikut:
"De
politiek van de commissie generaal leidt Nederland naar den afgrond en
Nederlandsch Indie tot de chaos" "Houdt tct het uiterste stan tegen
deze plannen: thans bovengronds, doch Indien de gevaren van het vaderland die
van 1940 tot 1945 evenwaren of overtreffen, "als het moet" ook
ondergronds".
Indonesianya"
"Politiknya
Komisi Jenderal membawa Nederland ke dalam jurang dan membawa "Hindia
Belanda" kepada kekacauan".
"Lawanlah
Rencana (Linggarjati) itu sampai nafas penghabisan: Kini di atas tanah, tetapi
kalau bahaya yang mengancam Vaderland (Negeri Belanda) menyamai atau melebihi
tahun 1940 sampai 1945" kalau perlu juga "di bawah tanah".
Yang
sedikit ada mengikat dan mengambil pelajaran dari Sejarah Belanda dalam empat
tahun belakang ini, dan rupanya sedikit insyaf akan kesalahan dan kelemahan
diri sendiri, serta sedikit mengerti akan idaman, sikap dan tindakan Rakyat
Indonesia, ialah Prof. Logemann,bekas Menteri Seberang Lautan.
Walaupun
penulis ini sendiri tentulah dan semestinyalah sama sekali tiada setuju dengan
Perjanjian Linggarjati itu, tetapi untuk memberikan pandangan Belanda dari
beberapa penjuru, yang sangat mempengaruhi masyarakat Belanda, maka baiklah
juga saya hidangkan di sini pendirian seorang Belanda, yang membela Persetujuan
Linggarjati.
Tentang
pidatonya Prof.Logemann di Riviera Hall Rotterdam, maka sk. Dagblad, 16
Desember 1946, antara lain melaporkan:
"Wij
hebben niet het recht om onze maatstaven aan te leggen voor het bepalen van
deze rijpheid".
"Sommigen
zijn van meening, dat reeds voor den oolog de koloniale mentaliteit aan het
uitsterven zou zijn geweest. Dit is "onwaar" aldus Prof. Logemann die
zeide, dat de koloniale mentalitiet zich juist ini Nederland heef uitgegraven
en niet over het doode punt heen wenscht to stappen.
"Tijdens
den oorlog is de bevrijdende geste van de regeering uitgebleven".
"In
de overeenkomst van Linggarjati is zeker veel afkeuringswaardigs en
onrustwekkends, doch een gewelddadig optreden zou "de" fout van het
oogenblik zijn".
"Nederland
is niet machtig genoeg om de Republiek te verslaan".
Spreker
(Prof. Logemann) wilde niet ontkennen, dat er een zekere gezagswakte aanwezig
is in de republiek, maar hij acht desniettemin het accoord de eenige
oplossing".
Indonesianya:
"Kita
tiada berhak untuk meletakkan ukuran kita tentang masaknya (Rakyat Indonesia
untuk Kemerdekaan!)".
"Beberapa
orang berpendapat, bahwa sebelumnya perang, maka semangat kolonial itu sudah
lenyap. Ini tidak benar" kata Longemann, yang mengemukakan, bahwa justru
di Nederland, semangat kolonial itu sudah mendalam dan tak mau keluar dari
pendamannya itu.
"Selama
perang, maka semangat Pemerintah untuk memerdekakan itu tiadalah ada".
"Dalam
Persetujuan Linggarjati memangnya banyak yang harus dicela dan menggelisahkan,
tetapi dengan kekerasan adalah "kesalahan" besar pada saat ini".
"Nederland
tiadalah cukup kuat untuk mengalahkan Republik".
"Prof.
Logemann tak mau menyangkal, bahwa ada kelemahan-kekuasaan pada Republik,
tetapi walaupun demikian, dia menganggap persetujuan itu sebagai satu
penyelesaian yang harus diterima".
Ketika
mengupas revolusi Indonesia, dalam Parlemen maka Prof. Logemann menjelaskan
sebagai berikut:
"Dat
het wezenlijke probleem niet word gevormd door het herstel van recht en
veiligheid; het wezenlijke problem is dieper en ernstiger, netgeen ook blijk
uit het feit, dat de
toestand in de Malino-gebieden
zoo labiel blihjft. Het werkelijjke probleem is: het vinden van een heel nieuwe
gezags legitimatie, dit in sociaal psychologischen zin bedoeld".
"Linggarjati
moet worden gezien als een act van pacificatie, welke de kloof van wantrouwen
over brugt. Dat is het grondprobleem dat eerst moet worden opgelost en daartoe
leant zich dit ontwerp accoord".
"Voorts
wordt de internationale langstelling eeningszins terzijde geschoven en krijgt
ons beleid van vaste richting". (DAGBLAD 18 Desember 1946).
Indonesianya:
"Bahwa
yang sesungguhnya bukanlah perkara pengembalian Hukum dan Keamanan: soal yang sesungguhnya
lebih dalam dan ebih sukar, yang juga ternyata dari bukti, bahwa keadaan di
daerah Malino, tiadalah tetap. Soal yang sesungguhnya ialah: mendapatkan
"gezags-legitimatie (Kekuasaan yang syah) yang baru sama sekali, yang
mengenai kejiwaan dan pergaulan".
"Linggarjati
mesti dipandang sebagai Acte van Pacificatie (Aturan Perdamaian) yang
melintangi jurang kecurigaan.
Inilah
yang soal pokok, yang harus diselesaikan lebih dahulu, dan buat ini naskah
persetujuan adalah baik sekali".
"Seterusnya
maka "Internationale belangstelling" (perhatian dunia) akan
tersingkir dan beleid kita mendapat tujuan yang pasti. (DAGBLAT 18 Desember
1946)
Sekianlah
Prof. Logemann
Pertama,
Prof. Logemann, rupanya insaf benar, bahwa "veroveringsrecht" Belanda
(hak merampas negara lain), pada 8 Maret 1942 sudah dibatalkan oleh "Hak
merampasnya" Jepang. Dan hak merampas dari kedua imperialis tersebut pada
tanggal 17 Agustus 1945 sudah dibatalkan pula oleh hak mutlak bangsa Indonesia
atas kemerdekaannya 100%. Sebab itulah, maka oleh Prof. Logemann, Linggarjati
itu dianggap sebagai penerusan "Gezags-Legitimatie" Belanda, yang
sudah terputus di Indonesia selama 3 1/2 tahun. Dengan demikian, maka menurut Prof. Logemann, selesailah sudah
soal continuiteit pemerintah
"Hindia Belanda yang sudah
berumur 350 tahun itu. Dan kembalilah dengan segala kemegahannya
"Historisch recht" Belanda, yang sudah dibatalkan oleh Jepang selama
3 1/2tahun dan oleh bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Jepang semenjak 17
Agustus 1945.
Kedua,
Prof. Logemann. Juga insaf benar, bahwa selama di sekitar kebun, tambang,
pabrik dan pengangkutan masih saja berkeliaran "kaum extremis" dengan
"bambu runcing"-nya maka saat berbahayalah bagi "tuan
besar" Belanda masuk dan pulang pergi ke tempat pekerjaannya. Linggarjati-lah
pula yang dimaksudkan sebagai sesuatu perjanjian yang sebaik-baiknya buat
menjelmakan kembali "kaum extremis" itu menjadi kaum opas, kuli dan
jongos.
Itulah
yang dimaksudkan dengan perkataan "acte van pacificatie", ialah satu
aturan untuk perdamaian dan ketertiban seperti di zaman "Hindia
Belanda" dahulu.
Ketiga,
Prof. Logemann mungkin sekali berpendapat, bahwa selama dunia luar memandang
perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu usaha membela hak mutlaknya, ialah
kemerdekaan 100%, maka selama itulah pula dunia luar, sekurangnya dalam hati
kecilnya memandang Belanda sebagai negara ceroboh, Negara Agresor. Selama
itulah pula, simpati dunia yang adil tertumpah pada bangsa Indonesia. Buat
menghindarkan "internationale belangstellig" (perhatian dunia luar)
yang menurut Belanda amat berlebihan itu, haruslah perjuangan di Indonesia, dibawa kepada suasana kerjasama
antara Belanda dengan Indonesia,kepada perkara urusan rumah tangga saja, kepada
soal "internal-affairs" atau "interneaangelegenheid" semata-mata.
Menurut Prof. Logemann, maka persetujuan Linggarjati tepat sekali menggambarkan suasana yang
dikehendakinya itu.
Tetapi
"heethoofden", kepala batu diantara militeris dan Kapitalis Belanda,
seperti terbukti oleh catatan yang kita lakukan di atas tadi, sama sekali tiada
setuju dengan perjanjian semacam Linggarjati itu. Mereka mau mengembalikan
"Nederlansch Indie" dengan sedikit perubahan, yang cocok dengan
kepentingan dan paham mereka sendiri.
Desakan
militarist dalam kapitalist Belanda atas lunak-moderate seperti Prof. Logemann,
yang setuju dengan Linggarjati di Nederland itu, terlaksana di Indonesia lebih
kurang sejajar dengan desakan Van
Mook dan Spoor atas Prof. Logemann, pencipta Linggarjati.
Didorong
oleh kepentingan kapitalis-militarist di Nederland, maka oleh Van Mook Spoor
Perjanjian Linggarjati itu cuma dipakai sebagai "batu loncatan" ke
atas "Rijkseenheid-nya" Berbrandy-Welter, Bajetto. Buat para
"diplomat" Indonesia, maka sesuatu perjanjian itu harus dianggap
sebagai satu persetujuan, yang harus dijalankan dengan penuh perasaan khidmat,
"goodwill", "good faith" dan "pri-kemanusiaan".
Buat Van Mook-Spoor perjanjian dengan "inlanders" itu adalah secarik
kertas buat dirobek-robek, apabila masanya sudah datang.
Belum
lagi reda sorak-sorainya para pengikut "diplomat ulung" setelah
mendapatkan secarik kertas bernama Perjanjian Linggarjati. (en een kindderband
is gauw gevuld) maka datanglah berita, yang agak mendinginkan kegembiraan
golongan diplomasi tadi, ialah berita tentang "interpretasi"
(tafsiran) Jonkman.
Seakan-akan
ada perbedaan antara kepentingan kapitalis, militaris Belanda dengan tafsiran
terhadap kepentingan itu sendiri!!
Mulanya
para "diplomat" menolak berunding menurut tafsiran Jonkman. Tetapi
dan disinilah pula terletaknya keulungan diplomasi Indonesia itu!! menolak
bukannya berarti
membatalkan! Menolak cuma berarti
menunda. Apabila umum sudah agak lupa, maka diplomasi berunding dengan musuh
bersenjata di dalam rumah kita dan sudah berkali-kali terbukti tiada boleh
dipercaya perkataan dan perjanjiannya itu, diteruskan kembali. Pun sebelumnya
perundingan itu dilakukan dengan resmi, perundingan yang "tidak
resmi" dijalankan juga.
Van
Mook bekerja terus dengan "overwerk". Dengan keuletan Belanda, dia
terus melakukan usaha apa yang cocok dengan pengembalian "Nederlands
Indie" dan yang bertentangan dengan tulisan dan lisan Linggarjati.
Konperensi Malino dan Denpasar berjalan dengan tak ada gangguan atau hambatan
yang
berarti dari pihak Republik.
N.I.T DIBENTUK! RAKYAT GELISAH!
Pemerintah
Republik memprotes! tetapi percaya terus kepada Linggarjati! Masih tetap taat
kepada semangat "goodwill" sendiri dan "pri-kemanusiaan"
yang tidak dibalas dengan "pri-kemanusiaan" oleh pihak lain.
40.000
(empat puluh ribu) penduduk di Sulawesi Selatan, laki-perempuan, tua-muda,
kanak-kanak, dan bayi disembelih dengan mata terbuka oleh serdadu Belanda ialah
untuk mempertegakkan N.I.T, yang dibentuk oleh Belanda menurut kemauan
kapitalis militaris Belanda!
Walaupun
begitu, para diplomat Indonesia, masih saja patuh taat kepada Linggarjati,
kepada "goodwill" dan "pri-kemanusiaannya"! Perundingan
terus saja dilakukan dengan maksud melaksanakan Linggarjati.
Bogor
diambil Belanda, pegawai Republik ditangkap, disiksa, Wakil Wali kota ditembak,
seperti menembak celeng di hutan! Mojokerto dengan gulanya ribuan ton dirampas!
Semuanya itu tiada membelokkan "diplomat" Indonesia dari jalan
menurun menuju ke lembah penjajahan menurut tafsiran kapitalis militaris
Belanda.
Infiltrasi,
yang berlaku dalam semua badan pemerintahan, kemiliteran dan dalam kabinet
sendiri, dijalankan oleh pemerintah Belanda dengan hasil yang gemilang. Semua
akibatnya infiltrasi terasa benar dimana-mana, walaupun mereka yang
diselundupkan oleh Belanda itu tidak selalu dikenal rakyat (lima serangkainya
s.k. Murba)
Dalam
urusan ekonomi, maka blokade terus dilakukan oleh Belanda terhadap perdagangan
Republik dengan negara luar. Kecuali beras yang "dimaksudkan" oleh
"diplomat" ulung, sebagai "pelor" yang menerobos blokade
Belanda kecuali beras yang dengan macam tipu muslihat, dapat dibelokkan oleh
Belanda ke semua kota yang didudukinya yang
menderita kekurangan makanan dimasa itu, maka semua barang-barang lain
dilarang keluarnya oleh Belanda.
Di
samping itu Belanda merampas barang bikinan rakyat, selama pendudukan Jepang,
seperti gula, karet, kopra dan lain-lain dan menjual barang tersebut di pasar
dunia untuk
mendapatkan deviezen. Dengan
deviezen itu, maka Belanda dapat memperkuat tentaranya yang terus berusaha
memperbaiki kedudukannya dan menunggu saat, yang baik buat melanjutkan rencana
agresinya yang pasti itu.
Uang
Republik O.R.I kalau dibandingkan dengan harga beras, maka pada permulaan
keluarnya 15 sen O.R.I dapat membeli 1 L beras. Sekarang (Maret 1948), baru
enam rupiah ORI dapat membeli beras sebanyak 1 L juga. Dengan ukuran praktis
seperti itu, maka dalam waktu setahun lebih saja, nilai ORI di pedalaman saja
sudah merosot 40 kali atau 400% dari nilai semula.
Di
daerah pendudukan Belanda, maka ORI yang mulanya jauh lebih tinggi harganya
daripada uang Nica (Rp. 1 (ORI) = f. 33 1/3 (NICA). Sekarang menurut kedaulatan
rakyat tanggal 13 maret 1948, Rp 100,- (ORI) = f.6 (NICA). Jadi merosot 528
kali atau 52.800 %. Merosotnya itu tidak saja disebabkan oleh semata-mata hukum
ekonomi, yakni terutama karena barang dagang semakin kurang, di samping uang
kertas semakin banyak, tetapi juga lantaran anasir psichologis, kejiwaan,
karena kurang percayanya para saudagar atas keteguhan jaminan ORI; karena
anasir politik, ialah merosotnya derajat Republik di mata dunia dagang; sebab
berlakunya "pemalsuan" uang di daerah pendudukan serta akhirnya
lantaran tipu muslihat yang lain, yang dijalankan oleh musuh dari daerah yang
didudukinya
(melenyapkan uang kecil yang
banyak diperedarkan oleh rakyat dan pedagang kecil di pasar-pasar) dan karena
tipu muslihatnya kaum penukar uang (money changers!) di kota pendudukan.
Di
samping pemalsuan perjanjian Linggarjati; pemalsuan, politik, blokade, dan
infiltrasi, yang dilakukan oleh Belanda dari daerah pendudukannya, sambil terus
membentuk negara Boneka, maka Belanda terus menerus mengirimkan tentaranya dari
Nederland ke Indonesia.
Ketika
"cease fire" yang pertama dilakukan, dalam bulan Oktober 1946, maka
sebenarnya Inggris sudah didesak ke pinggir oleh perasaan umum di luar; di
desak oleh keadaan yang membahayakan bagi dirinya "India-Inggris",
Birma dan lain-lain; didesak dari dalam oleh rakyat Indonesia yang dengan bambu
runcing-nya merebut senjata Gurka dan menyebabkan serdadu Gurka menyerah besar-besaran
(Medan, Jawa Barat dll). Sebagian Rakyat Amerika, Rakyat
Hindustan-Pakistan,serta sebagian rakyat Inggris sendiri sudah menuntut
ditariknya kembali tentara Inggris dari Indonesia, dimana rakyat sudah
mempergunakan hak mutlaknya menurut Atlantic Charter dan lain-lain itu. Tetapi
pada masa itu Belanda sama sekali belum siap dengan tentara kolonialnya. Maka
berhubung dengan saat
Inggris harus pergi, tetapi
Belanda belum siap, maka Perjanjian Linggarjati, yang didahului oleh
"cease fire" itu adalah satu saat buat "adem pauze"nya
Belanda, tetapi sesuatu obat bius buat melalaikan dan menidurkan rakyat atau
pemuda serta Tentara/Laskar Indonesia.
Dalam
keadaan demikian, bilamana Belanda, sehari demi sehari bertambah kuat dan kaum
diplomasi sehari demi sehari pula semakin ditinggalkan oleh para pengikutnya
dan ditentang oleh kaum oposisi, maka Belanda makin mendesak, makin mendorong
perjanjian Linggarjati kepada tafsirannya kapitalis imperialis Belanda.
Akhirnya
hampir tercapailah olehnya lima persetujuan! Menurut tafsiran saya sendiri,
maka lima persetujuan itu haruslah disusun seperti berikut: 1) Pengakuan atas
pasal 14 Linggarjati, ialah pengembalian hak milik asing dan pengakuan atas
hutang "Hindia Belanda". Ini mengakibatkan pengakuan 2)ialah kerja sama
dalam urusan duane, onderneming, deviezen, dan makanan. Kedua pengakuan
tersebut berakibat pula pada
pengakuan 3) Ialah pengakuan atas
Mahkota Belanda. Sendirinya harus diakui pula perkara 4) Ialah penyesuaian
status Indonesia itu dengan urusan Luar Negeri, berhubung dengan pengakuan atas
Mahkota Belanda itu. Dalam hakekatnya maka pengakuan 5) Ialah gendarmeri
bersama, adalah sendirinya pula akibatnya daripada pengakuan atas kedaulatan
yang diletakkan pada Raja Belanda menurut 4) di atas, dan cocok dengan pasal 8.
Persetujuan Linggarjati.
Baik
juga dikatakan disini, maka pengumuman resmi menyusun 5 titik pengakuan sebagai
berikut:
1.
Pengakuan atas Mahkota Belanda; 2.Penyesuaian pengakuan Mahkota Belanda;
3.Kerja sama salam urusan Duane, Ondevneming, Deviezen dan makanan; 4.Pengakuan
atas Pasal 14 Linggarjati; 5.Gendarmerie bersama. Sebenarnya dengan pengakuan
empat perkara penting saja itu, Kedaulatan Republik sudah hilang sama sekali.
Sesungguhnya pula dengan pengakuan seperti itu Belanda sudah dapat meminjam uang
ke Wall-Street, New York. Tetapi karena Belanda, seperti biasa terlampau
serakah, maka ia hendak mewujudkan kepastian "formeel". Berhubung
dengan keserakahan-nya itulah, maka ia mendesak supaya juga
"gendarmery-bersama"-pun harus lebih dahulu diakui hitam di atas
putih.
Diplomat
"ulung" pun tidak berani membenarkan "gendarmery-bersama"
itu terang-terangan terhadap Rakyat/Pemuda dan kaum oposisi, yang terasa
pengaruhnya dimana-mana.
Demikianlah,
maka diplomasi berunding menjadi gagal, dan Belanda mendapat alasan, untuk
memakai saat, yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu. Dengan tentara, yang jauh
lebih kuat daripada masa "cease fire", Oktober 1946, maka pada
tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba menyerbu ke daerah Republik,
Rakyat/Pemuda, tentara/laskar, yang sudah dinina bobokan oleh diplomasi
berunding selama satu tahun setengah, sudah
banyak kehilangan keawasan, ketangkasan dan kegembiraan berjuang serta semangat
berorganisasi.
Sebagian
dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dahulu berbulan-bulan dapat
dipertahankan oleh rakyat/pemuda terhadap serangan Inggris yang dibantu oleh
Jepang dan Belanda, hilang dalam waktu dua minggu saja.
Pada
saat inilah, datang UNO dan berhasil menyodorkan KTN ialah wakil dari tiga
negara Imperialis, yang berusaha keras bagi kepentingan Negara Imperialis atas
dasar Kapitalisme-Imperialisme pula.
Mereka
berhasil mendapatkan perjanjian "Renville" dari P.M. Amir Syariffudi
dan dalam segala-galanya jauh lebih merosot daripada perjanjian Linggarjati
lebih jauh pula mendekat kepada status "Rijkseenheid" ciptaan
Gerbrandy, Welter, Bajetto, dan lain-lain.
Belum
lagi kering tintanya penanda tanganan "Renville" ini maka Van
Mook-Spoor, di depan algojo daripada suatu badan perantara, mulai pula
menjalankan rencana yang sudah siap dan tetap itu.
Konferensi
demi konferensi terus dilakukan Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat dan
Negara Jawa Timur sudah hampir selesai. Negara Sumatera Selatan sedang
dibentuknya.
"Kantong"
di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang diduduki oleh 35.000 tentara Republik, jadi
yang sebenarnya adalah tempat yang paling baik buat taktik dan strategi
gerilya, dan sudah berbulan-bulan tak dapat direbut oleh Belanda, tetapi dengan
"badan perantara" bernama KTN begitu saja dikosongkan oleh Republik.
Demikian
empat negara Boneka Baru di Jawa dan Sumatra begitu saja "zonder slag of
stroot", dengan tiada perjuangan apa-apa ditinggalkan oleh 35.000 Pahlawan
Republik, yang "taat" pada perintah! Dengan begitu, maka kurang lebih
30 juta rakyat di Jawa dan Sumatra, semenjak pengosongan "kantong"
itu, terserah pada PID serdadu dan algojo Belanda.
Terserah
pula pada pemuda, wanita dan gadis Indonesia ke bawah penjagaan PID, serdadu
dan algojo Belanda itu.
Akan
kembalilah kelak pasal 135 bis en ter, pasal 161, exorbintante rechten dan
lain-lain aturan Belanda, yang akan mengekang persurat-kabaran bangsa
Indonesia, rapat inlanders dan kumpulan politik "bumi putera" (Maret
1948).
Setelah
kelak semua persurat-kabaran, organisasi politik, dan semua penyiaran paham dengan
tulisan dan lisan sudah dikekang kembali oleh PID Belanda, maka akan sampailah
kelak Belanda kepada saat,
bilamana dia sendiri akan mengizinkan mengadakan "plebisit" atau buat
menetapkan sendiri, bahwa tak perlu diadakan "plebisit" itu sama
sekali.
PENANGKAPAN MADIUN
Setelah saya
sampai di Madiun pada pertengahan bulan Maret 1946, dengan maksud hendak
mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan ke empat, maka terdengarlah kabar,
bahwa Laskar Pesindo dengan kekuatan lebih kurang 800 (delapan ratus) orang,
yang sengaja didatangkan dari daerah-daerah lain, sudah berada di kota Madiun.
Kabarnya pula, pada malam hari yang lalu, mereka mengadakan “machtsvertoon”,
mempertunjukkan kekuatan. Dengan membawa bermacam-macam senjata, mereka berbaris
berkeliling kota dan melakukan tembak-tembakan. Di jalan-jalan masih terdapat
banyak sekali sarang pelor.
Dari semulannya
Kongres berniat hendak mengadakan pertunjukkan keprajuritan, setelah Kongres
selesai. Tetapi kami sengaja tiada mengizinkan para laskar membawa senjata api.
Pada tanggal 17 Maret, sehabisnya Kongres, pada pagi hari, maka semua laskar,
yang berada di dalam kota sudah hadir di alun-alun. Juga semua Laskar Pesindo
meminta pula kepada Kongres, supaya dapat pula hadir di alun-alun katanya untuk
ikut menjaga keamanan. Permintaan itu dikabulkan. Pada kira-kira jam 8 pagi,
ketika rapat akan dimulai, kelihatanlah di alun-alun Madiun Laskar Rakyat,
Laskar Hizbullah, Laskar Buruh, Pesindo dan lain-lain. Mungkin juga ada hadir
polisi dan tentara, tetapi tiada bersenjata. Cuma Laskar Pesindo saja yang
bersenjata lengkap dengan karabin, tommygun, mitraliur.
Meskipun
gerak-gerik Pesindo pada satu dua hari yang lampau sudah agak menarik perhatian
saya, tetapi tiada sekejap pun saya berniat hendak membatalkan janji saya akan
berbicara pada Rapat Besar di alun-alun itu. hampir pukul 12 selesailah rapat
di alun-alun dan selesailah Kongres di Madiun.
Apabila
kira-kira pukul empat petang, saya bersiap-siap hendak berangkat ke Magetan
sebentar beristirahat, maka datanglah seorang pemuda tergopoh-gopoh melaporkan
bahwa jalan menuju ke Magetan dijaga oleh segerombolan prajurit.
Apabila
ditanyakan, apakah maksudnya penjagaan semacam itu, maka dijawab, bahwa
penjagaan itu dimaksudkan untuk menangkap Tan Malaka, apabila kelak dia akan
meninggalkan kota Madiun. Saya belum mengerti, oleh siapa, sebab apa, atas nama
Badan Resmi apa, dan menurut undang-undang pasal berapa, saya harus ditangkap.
Kepada beberapa pemuda saya minta supaya jalan-jalan yang lain ke luar Madiun diperiksa,
apakah juga diawasi. Benarlah begitu! Semuanya rapi dijaga oleh gerombolan
Laskar Pesindo.
Kemungkinan buat
pertempuran di kota Madiun memangnya ada. Tetapi kami memangnya pula sama
sekali tiada memikirkan hendak mengadakan perang saudara pada waktu musuh masih
berada di tanah air Indonesia. Persiapan hendak mengadakan perang saudara
dengan Laskar manapun juga sama sekali tidak ada. Sebelumnya saya berangkat ke
Madiun, Laskar Pesindo masih anggota Persatuan Perjuangan. Pesindo memisahkan
diri dari Persatuan Perjuangan ialah pada Kongres di Madiun, yang diadakan pada
waktu Persatuan Perjuangan berkongres pula. Kongres Pesindo dihadiri oleh Amir
Syarifuddin. Pada ketika itu dia memangku jabatan Menteri Pertahanan. Rupanya
Amir sedang berusaha keras menjalankan penangkapan atas diri saya, yang kini
sudah nyata perhubungannya dengan permintaan dalam Surat Delegasi Indonesia
kepada Pemerintah, cocok dengan keterangan Amir sendiri, di depan MTA tanggal
22 Maret tahun 1948 ini. Pada ketika itu saya sama sekali tiada tahu, bahwa
Amir Menteri Pertahanan ada di belakang Pesindo dengan maksud menangkap saya,
atas permintaan Delegasi Indonesia dan dengan persetujuan Pemerintah Republik
itu. Hanya saya mendapat kabar, bahwa Laskar Hizbullah dalam kota Madiun sudah
dikepung oleh Pesindo dan semua Laskar yang di luar kota, yang tadi hadir dalam
rapat besar di alun-alun sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Kemungkinan bagi
saya untuk meloloskan diri juga ada, walaupun amat tipis, karena bulan terang
benderang dan penjagaan amat rapi. Tetapi kalau di luar negeri saya dapat
meloloskan diri berkali-kali, di Indonesia pun mungkin dapat pula, kalau
memangnya saya betul-betul bermaksud begitu. Tetapi dengan demikian, maka saya
akan terpaksa melepaskan perhubungan terang-terangan dengan Persatuan
Perjuangan. Sedangkan pada waktu itu sudah ramai dibisik-bisikkan, bahwa saya
cuma “Berani mengkritik Pemerintah saja, tetapi tiada berani memikul tanggung
jawab pemerintah” sedikitnya, ternyata pada Rapat KNI Pusat di Solo pada
tanggal 28 Pebruari sampai Maret 1946, bilamana Syahrir meletakkan jabatannya.
Dan di samping itu dibisikkan lagi, bahwa karena saya sering lari lolos di luar
negeri, kelak kalau perjuangan menjadi hangat, maka, katanya saya akan mencoba
meloloskan diri pula”. Demikianlah mulai dibisikkan, bahwa “saya tak sanggup
bertanggung jawab, baikpun terhadap pimpinan negara ataupun pimpinan pergerakan
rakyat”. Sekarang sesudah diketahui oleh adanya Lima Serangkai (Abdul Madjit
cs) seperti tuduhan Surat Kabar Murba, maka bisikan ular semacam itu, lebih
mudah dimengerti.
Sedangkan saya
memikirkan, sikap apa yang baik diambil, maka datanglah Wali Al-Fatah, Wakil
Masyumi, yang mengambil bagian terkemuka dalam Persatuan Perjuangan mengunjungi
saya membawa usul. Bersama-sama dengan Wali Al Fatah, datang juga saudara Haji
Mukti, Masyumi dan anggota staf MBT sdr. Ngabdu dari Hizbullah, anggota
Persatuan Perjuangan Daerah Ngawi, dan sdr. Bustami dari Laskar Rakyat, juga
anggota Persatuan Perjuangan. Menurut Wali Al Fatah, maka dengan persetujuan
pihak yang berkuasa di Madiun saya akan diantar ke presiden untuk mengadakan
perundingan. Di rumahnya Tn. Susanto Tirtoprojo, yang pada masa itu menjabat
pangkat Residen di Madiun, dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada
saya di alun-alun, maka wakil P.T berkata kepada saya: tuan akan diantarkan ke
Yogya dengan wujud hendak berunding dengan Presiden.
Wali Al Fatah
memajukan di muka Residen, supaya keamanan diri Tan Malaka dijamin. Demikianlah
kami ketika sudah jauh tengah malam dengan enam auto berangkat menuju ke Yogya.
Diantara enam auto itu, maka satu auto dikendarai oleh sdr. Hadji Mukti, dari
Masyumi dan MBT serta sdr. Ngabdu dari Masyumi dan Hizbullah; satu auto lagi
dari sdr. Bustami dari Laskar Rakyat dan satu lagi oleh Sukarni, saya sendiri
beserta tiga orang prajarit Laskar Rakyat Jawa Barat, ialah Legimin, Nurdin dan
Rusli. Tiga auto lainnya dikendarai oleh P.T (Polisi Tentara) dan Joko Suyono,
kepala MBT bagian organisasi.
Di
pinggir-pinggir jalan menuju ke Ngawi, banyak sekali pemuda (penyelidik?) yang
menaruh perhatian kepada iringan auto kami. Pada sebuah jembatan di luar kota,
sudah siap satu stelling, lengkap dengan tommya-gun dan mitraliur yang dikuasai
oleh Pesindo.
Di kiri-kanan
jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula
mengadakan stelling
Di kiri-kanan
jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula
mengadakan stelling pula ke arah jalan raya. Setelah pemeriksaan oleh mereka
atas penumpang auto dilakukan, maka kami berangkat terus.
Sesampainya di
Kadi Polo, Solo, maka saya lihat auto yang ada, cuma ada 2 buah saja, ialah
autonya P.T. pengantar dan auto saya sendiri. Di belakang hari saya tahu, bahwa
auto yang lain-lain ketinggalan di Jalan, karena sering mengalami kerusakan.
Pemimpin P.T.
mempersilahkan kami masuk ke sebuah rumah P.T. di tepi jalan. Dalam rumah itu
terletak bermacam-macam senjata api. Oleh pemimpin P.T.dalam rumah itu
dipersilahkan sdr.Sukarni masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah senjatanya
diminta, maka pintu kamar itu dikunci. Saya memprotes kepada kepala pengantar
P.T.Madiun dan memperingatkan, bahwa perlakuan ini adalah melanggar perjanjian
kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar P.T. Madiun menjawab,
bahwa dia cuma melakukan perintah saja dari P.T.Solo itu, dibenarkan dan saya
dipersilahkan menunggu dalam sebuah kamar pula. Sebentar saja saya duduk dalam
kamar itu, maka sekonyong-konyong kamar itu dikunci dari luar. Tiada berapa
lama antaranya, maka dari kamar sebelah, saya dengar suara dari Mr.Yamin. Dia
mengatakan,
bahwa pada kamar sebelah lagi berada sdr.Abikusno yang juga ikut berbicara
dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun. Pada masa itu saya belum tahu,
apa sebab, oleh siapa, dan atas nama Instansi apa, kami berempat ditahan begitu
saja.
Pada bulan Juli,
tahun itu juga ketika di Mojokerto, saya dengar dari sdr.Moh.Saleh, Pemimpin
Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, dan di Ponorogo pada bulan Agustus tahun 1947
dan sdr.Haji Mukti, bahwa mereka berdua, beserta mengunjungi Presiden, untuk
menanyakan hal kami dan miminta supaya kami semua dibebaskan. Tetapi teranglah
sudah, bahwa mereka tiada mendapatkan hasil dan jawab yang memuaskan.
Tiba-tiba pada
senja hari tanggal 22 Maret, kami dipindahkan oleh P.T. ke sebuah rumah di
tengah sawah di Jetis, beberapa kilometer jauhnya dari Solo. Di sini kami
dijaga dengan
rapi oleh dua belas orang P.T.dari Yogya dan pada malam harinya juga oleh
Laskar Rakyat, Solo. Mereka anggota Laskar Rakyat kelihatan amat serem! Dengan
bambu
runcing mereka
berkawal di depan pintu kami. Mulanya saya tiada mengerti tentang penjagaan
yang begitu serem dan menunjukkan semangat permusuhan terhadap kami. Setelah
kebetulan saya
di belakang dan melihat satu tulisan dengan huruf besar di dinding belakang
rumah, barulah saya mengerti. Tulisan itu menyebutkan "NICA YANG HARUS
DIBERANTAS".
Kebetulan saja
diantara satu dua orang anggota Laskar mengenal pula satu dua orang diantara
kami. Sukarni dikenal oleh salah seorang, yang pernah sama ikut bertempur dengan
dia di Jakarta dan saya dikenal oleh salah seorang pengikut Almarhum Haji
Misbach. Hilang lenyaplah persangkaan diantara Laskar Rakyat di kampung-kampung
sekitar kami, bahwa adalah kaki Nica, seperti yang ditujukan oleh tulisan
tersebut dan mungkin juga dibisikkan lebih dahulu, sebelum kami ditempatkan di
sana.
Sekarang timbul
perseteruan antara Laskar yang sekonyong-konyong insyaf akan kedudukan kami
dengan para pengawa kami, ialah 12 orang anggota P.T. tetapi perseteruan ini
dapat kami selesaikan, dan suasana menjadi baik sama sekali.
Pada suatu hari
saya dikunjungi oleh Dj.Maj.Joko Suyono, yang katanya, menyampaikan "salam
penghargaan" Amir, Menteri Pertahanan kepada saya. Dimajukannya pula,
apakah saya mau dijumpakan dengan Amir Syarifuddin. Saya menjawab, seperti
sudah saya tuliskan dahulu, bahwa saya cuma mau berunding dengan Amir sebagai
orang merdeka dan setelah kami berempat dibebaskan.
Pada tanggal 22
April, kami dijemput oleh polisi Solo buat dipindahkan ke Tawang Mangu. Di sana
kami berempat mulanya ditempatkan dalam satu rumah. Kemudian dipisah-pisah
Sdr.Abikusno yang dibelakang hari diikuti oleh keluarga keduanya tinggal agak
jauh dari rumah di mana saya diam. Saya tinggal bersama-sama sdr. Sukarni, yang
dibelakang hari juga diikuti oleh isteri dan anak-anaknya. Di Tawang-Mangu kami
berada di bawah pengawasan tentara di sana, dan diikuti ke mana saja kami
pergi.
Setelah seminggu
atau lebih saya berada di Tawang Mangu, maka mulailah saya menderita akibat
makanan yang kurang teratur, selama sebulan saya tinggal di Jetis, Solo tadi. Penyakit perut yang sering saya alami
di Tiongkok dan lain negeri ialah, apabila makanan kurang teratur (lantaran
kemiskinan), bangkitlah kembali di Tawang Mangu dengan
kekuatan
mendadak. Karena kekurangan dokter dan obat di Tawang Mangu, maka saya terpaksa
memakai obat kampung saja. Sesudah lebih daripada seminggu menderita demikian
dengan sangat, maka barulah didatangkan seorang dokter dari Solo. Besoknya saya
diangkat ke Solo, ke rumah sakit Jebres. Dikatakan, bahwa saya menderita
"entsteking" (tusukan) di usus dan buah pinggang.
Para tukang,
kalau berkumpul-kumpul, biasalah menyangkut-nyangkut perkara pertukangan.
Demikialahlah kami orang pergerakan, apalagi karena sudah senasib, setempat dan
serumah sepenanggungan, banyak menyangkut-nyangkut perkara pergerakan politik
Indonesia. Hal semacam itu tak bisa dan tiadalah pula perlu disingkirkan. Baik
di rumah di Jetis, sunyi daripada masyarakat dan keluarga ataupun di Tawang
Mangu, di mana kami berada dalam pengawasan, maka pembicaraan tentang
pergerakan itu adalah sambal yang paling disukai.
Pembicaraan yang semacam itu
membangunkan semua perhatian dan pengharapan yang kami taruhkan pada pergerakan
Rakyat Indonesia: It is stimulating, menghidupkan, kata pepatah asing.
Buat saya
sendiri percakapan dengan VETERAN pergerakan seperti Abikusno dan Yamin, serta
dengan pemuda seperti Sukarni, adalah pelajaran, yang sangat berguna.
Keterangan yang saya peroleh tentang pergerakan dan "Who's who",
tentang sifat dan sejarahnya mereka yang terkemuka dalam pergerakan Indonesia,
selama lebih kurang seperempat abad saya tinggalkan, adalah jembatan buat
menyambungkan sejarah terpotong, ialah bagian sejarah antara saya meninggalkan
pergerakan Indonesia pada bulan Maret 1942 dengan Januari 1946, ketika saya
kembali berada di tengah-tengah rakyat jelata.
Terutama pula
oleh banyak bukti yang dikemukakan oleh Yamin, yang masih ingat akan tanggal,
tempat, orang dan kejadian, yang sukar buat dibantah; oleh Abikusno, yang
berbahagia mengalami pergerakan Yang Lama dan Yang Baru, gerakan Sarekat Islam
sampai ke Proklamasi; oleh Sukarni salah seorang pemuda Jakarta yang terkemuka
dalam gerakan Proklamasi 17 Agustus oleh semuanya itulah banyak patung dewa,
yang selamanya ini dipuja oleh umum dan saya hormati pula, jatuh pecah-belah,
di depan kaki saya. Sebaliknya pula adalah "unknown greatheness",
orang besar yang tak terkenal, yang
naik melambung
di depan mata saya.
Seperti lebih
sedikit dan seperempat abad lampau, bilamana saya, siang atau malam, saya
menerobos ke kamarnya Subarjo, demikianlah pula di Tawang Mangu, apabila saya
merasa perlu, diantarkan oleh para pengawas, saya menerobos ke rumahnya
Subarjo. Pun dari orang yang sudah mengelilingi dunia ini banyak saya peroleh
pengetahuan tentang "Who is who" yang berfaedah buat saya untuk
menyeberangi banjir revolusi ini.
Tiadalah dapat
saya lupakan percakapan dengan Iwa Kusumasumantri, seorang yang sangat
menderita tindasan hidup dan kesunyian jiwa di zaman "Hindia Belanda"
tiada kurang dari penderitaan para pemimpin nasionalis yang manapun juga.
Tetapi lebih
daripada percakapan antara seorang dengan seorang tiadalah bisa dan tiadalah
boleh saya lakukan dengan mereka tersebut di atas. Seperti masing-masingnya
mereka tadi, mempunyai Program dan Ikatan Organisasi sendiri, saya pun merasa
terikat kepada program saya sendiri, cara berjuang saya sendiri dan masih
merasa terikat kepada semua keputusan yang sudah diambil oleh Persatuan
Perjuangan. Saya merasa, tiadalah
boleh begitu
saja memutuskan sendiri sesuatu hal, serta bertindak sendiri sebelumnya saya
berjumpa kembali dengan teman seperjuangan, yang sudah dipaksa berpisah:
semenjak
penangkapan 17
Maret di Madiun itu.
Ketika
berlakunya peristiwa 3 Juli itu, maka saya berada bersama Sdr.Abikusno dan
Sukarni di Tawang Mangu, lebih kurang 100 km jauhnya dari Yogyakarta. Apa yang
sesungguhnya berlaku dan siapa yang melakukannya, sebenarnya barulah sesudah
pemeriksaan M.T.A, yang dimulai pada 19 Pebruari 1948 ini saya ketahui. Tentang
apa yang dinamakan "penculikan" itu, barulah saya dengan dari radio
di Tawang Mangu, lebih kurang 5 Juli sore. Sampai pemeriksaan resmi dalam
pengadilan M.T.A jadi selama lebih daripada satu setengah tahun di belakangnya
masih tebal sekali kegelapan di depan mata saya terhadap
peristiwa
tersebut.
Apalagi ketika
peristiwa itu, semuanya adalah teka-teki belaka buat saya. Dalam keadaan
begitu, maka pada pagi hari tanggal 6
Juli kami didatangi oleh seorang opsir
T.R.I dari Solo,
katanya buat "berunding" dengan Panglima Besar. Kami (Abikusno,
Sukarni dan saya sendiri) tidak mau percaya begitu saja diundang tak dengan
surat. Lagipula kami tiada begitu saja mau meninggalkan Tawang Mangu dengan
tiada izinnya pemimpin tentara di sana, seperti sudah ditetapkan atas kami sebagai
orang tahanan.
Kami meminta
opsir T.R.I tadi kembali ke Solo mengambil surat undangan dari Panglima Besar.
Sorenya datanglah dari Solo seorang opsir T.R.I juga bernama Fajar,
yang mengunjungi
kami ke Solo pula untuk berunding dengan Panglima Besar Sudirman. Katanya pula,
nanti malam hari ini juga kami boleh kembali ke Tawang Mangu.
Oleh karena kami
sudah kenal sama opsir Fajar di Tawang Mangu dan Kepala Pasukan Tawang Mangu
Sastro, berada di Solo pula, maka kami berangkat dengan auto menuju ke Solo.
Oleh karena sedikit
sekali kami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar Tawang Mangu dan
percaya kepada perkataan Fajar, bahwa kami akan segera dikembalikan ke Tawang
Mangu, maka tak ada diantara kami yang mengadakan persiapan buat
bermalam di lain
tempat. Saya sendiri cuma berangkat dengan sepotong pakaian saja. Berhubung
dengan mudahnya terganggu kesehatan maka hal itu tak pernah saya lakukan.
Tetapi sebab percaya kepada perkataan opsir Fajar tadi, maka saya seperti juga
Abikusno dan Sukarni tidalah memikirkan kemungkinan bermalam di tempat itu.
Sampai di Solo
kami dibawa ke rumahnya Komandan Divisi VI dekat rumah sakit di Jebres. Di sana
kami menunggu kabar, bila kami akan dijumpakan dengan Panglima Besar. Setelah
lebih dari pada satu jam kami menunggu, maka datanglah kabar, bahwa katanya,
Panglima Besar tadi siang hari berangkat ke Yogya oleh Mayor Mursito.
Kami tak mau
begitu saja percaya atas undangan “berunding” dengan Presiden itu. Tiga
setengah bulan lampau, saya juga diantarkan ke Yogya buat "berunding"
dengan
Presiden, tetapi
tersangkut di rumah tahanan di Kadipolo, Solo. Kami meminta diperjumpakan lebih
dahulu dengan Komandan Tawang Mangu, yang berada di Solo, supaya kami dapat
mengetahui hal ikhwal yang perlu kami ketahui. Kami mengancam akan pergi
sendiri mencari Sastro, komandan pasukan Tawang Mangu. Beberapa kali saya
ucapkan, "Apakah kami akan diserahkan begitu saja, entah kepada siapa
pula".
Dalam pada itu
suara radio sedang memperdengungkan sekali lagi "pengumuman resmi"
tentang "coup d'etat Tan Malaka yang gagal, katanya itu. Dari opsir Fajar,
datang pula sepucuk surat, yang mengatakan, bahwa "sejarahlah kelak yang
akan
menentukan,
apakah dia pengkhianat atau tidak terhadap kami" yang dialamatkannya
sebagai bapak. Baru saya agak insyaf akan keadaan saya, walaupun sama sekali
belum mengerti duduknya perkara yang sebenarnya.
Apabila komandan
batalyon Tawang Mangu Sastro, datang dengan celana pendek dan baju kemeja saja,
diapit pula kiri kanan dan di belakang oleh beberapa prajurit yang kelihatan
mengawasi gerak-geriknya komandan Sastro itu, maka saya sudah insyaf benar,
bahwa kami ditipu lagi oleh bujukan "berunding" mulanya dengan
Panglima Besar, kemudian dengan Presiden.
Komandan Sastro mengucapkan
beberapa perkataan yang menunjukkan, bahwa dia tiada berdaya lagi, dan minta
dengan suara yang amat menyedihkan supaya kami berangkat saja ke Yogya.
Satu auto buat
kami bertiga dan Mayor Mursito dan satu lagi, ditambah pula dengan satu truk
penuh dengan para prajurit bersenjata lengkap sudah siap di luar rumah untuk
mengiringkan kami ke Yogya. Seperti dugaan saya, sesudah berjumpa dengan
Sastro, komandan batalyon, maka benarlah kami bukan dibawa ke istana Presiden
buat "berunding", melainkan buat dimasukkan ke penjara Sentul. Di
sinilah akhirnya saya berada di atas tempat tidur batu dengan sehelai tikar
tipis dan pakaian sepotong,kira-kira jam empat pagi.
Saya rasa benar
akibatnya "Pengumuman Resmi", tentang "coup d'etat" Tan
Malaka", yang didengung-dengungkan oleh semuanya radio pemerintah dan
Badan, selama lebih kurang seminggu, dan disiarkan oleh semua surat kabar, oleh
rapat terbuka dan tertutup, apalagi oleh bisikan berbisa di mana-mana tempat di
masa itu oleh golongan lawan. Pelayanan yang saya alami dalam penjara dan di
perjalanan dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, di masa itu
tiadalah bedanya dengan pelayanan yang seharusnya ditimpakan kepada
"Public Enemy No.1" (Musuh Umum No.1).
Di tengah-tengah
rakyat yang sudah diracuni oleh "Pengumuman Resmi", yang dalam
hakekatnya di luar penuduh dan penghukum, serta memutuskan saya sebagai kepala
penjahat, sebelumnya sesuatu tuduhan yang berdasarkan sesuatu pelanggaran
aturan yang sudah ada, terhadap diri saya, diperiksa serta diputuskan oleh satu
pengadilan yang sah dan tidak berpihak sebelah di tengah-tengah dengungan
radio, siaran surat kabar dan bisikan ular itulah paa tanggal 13 Juli, pagi
hari kami bertiga (Abikusno, Sukarni dan saya), dikeluarkan dari penjara
Wirogunan (Sentul) diiringi dengan bayonet terhunus ke suatu mobil, yang
mengangkut kami ke sebelahnya stasiun Tugu. Sebelumnya naik gerobak
"istimewa" yang penuh dengan pengawal, kami di "potret"
oleh Tuan Sumarsono, inspektur Polisi, Yogya. Sebelumnya itu, di dalam penjara
pun, di belakang tirai besi saya sudah mendapat kehormatan, seperti seorang
penjahat mendapat kehormatan "dipotret" seperti itu juga. Di dalam
kereta, kelihatan Mr.Yamin, dan Mr. Subarjo.
Oleh kepala
pengawas, Tuan Mukojo saya diminta duduk tersendiri di tengah-tengah para
prajurit pengawas.
Demikianlah
akhirnya kereta berangkat, bagi saya, di masa itu, entah ke mana......
Pada petang
harinya tanggal 13 Juli kami berangkat itu, kami tiba di Mojokerto. Barulah
saya tahu, bahwa inilah tempat yang dituju. Di luar stasiun Mojokerto, ketika
saya berada di luar mobil, maka diantara khalayak ramai di pinggir jalan ada
yang berteriak mengenal dan memanggil menyebut nama saya. Oleh pengawas di
pinggir mobil, suaranya segera diperhentikan dengan acungan bayonet dan
perkataan: "mau apa?"
Akhirnya mobil
berhenti dan kami dimasukkan ke dalam sebuah kamar di kantor P.A.M. (Penyelidik
Aliran Masyarakat) di samping kantor polisi di jalan Kabupaten. Di sana sudah
ada beberapa orang tahanan yang lain ialah Domo Pranoto, Mr. Daljono, Ismangun
Winoto, dan Jamaludin Tamin. Malam hari itu juga kami dipisah-pisah. Yang
tinggal di Mojokerto di kamar P.A.M. tersebut cuma Mr.Yamin, Domo Pranoto, Mr.
Daljono dan saya sendiri. Yang lain-lain, ialah Sukarni, Jamaludin, Mr.
Subarjo, Abikusno dan lain-lain disebarkan pada beberapa tempat entah dimana.
Saya tiada
mempunyai apa-apa, di luar sepotong, pakaian. Alat mandi sama sekali saya tiada
punya. Selimut yang amat saya butuhkan, baru lebih kurang lima bulan di
kemudian hari saya peroleh dari Yogya. Kutu-busuk dan nyamuk mengamuk
semau-maunya,
sedangkan kami tak mempunyai kelambu. Pada beberapa hari permulaan, kami tiada
diperbolehkan keluar kamar buat sedikit gerak badan. Keluar kamar mandi pun
haruslah dengan izin penjaga lebih dahulu. Ke kamar mandi itu, pun kami diikuti
oleh prajurit dengan sangkur terhunus.
Pada tanggal 19
Juli malam, kami sekonyong-konyong disuruh bersiap untuk diberangkatkan.
"Kemana", atas perintah "siapa" tiadalah perlu ditanyakan,
karena tak akan mendapat jawaban. Dalam keadaan begitu, maka filsafat saya
biasanya cuma satu: "Saya dianggap musuh dan saya berada dalam keadaan tak
berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran!!!
Sebab itu
senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri saya
dengan hati tetap tabah". Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah
berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana
semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap,
laksana kabut disinari matahari.
Bahkan ada saat yang pernah saya rasa,
bilamana saya anggap pelorpun akan melantun kembali mengenai jantung yang
menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai
akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang
menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata.
Saya sungguh
harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan semacam
itu tadi,yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung orang yang
tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.
Apabila auto
kami sampai dekat garis pertahanan, maka memangnya ada timbul sedikit
kecurigaan di hati saya. Kalau-kalau auto ini menuju ke Surabaya, ke tempat
Belanda. Kenapa tidak? Pelayanan yang saya terima dari pemerintah Republik,
semenjak 6 Juli, malam juga semenjak 17 Maret 1946, tiada sedikitpun memberi
kepercayaan kepada saya,bahwa saya masih dianggap "lawan politik"
saja dan masih mempunyai hak sebagai manusia, dan hak sebagai warga negara
Republik.
Apalagi kini, setelah
keterangan Amir di depan M.T.A tentang adanya permintaan Delegasi di bawah
pimpinan Syahrir, untuk menangkap saya itu, maka kecurigaan saya itu lebih
mendapat alasan lagi.
Setelah auto
mulai naik gunung dan akhirnya berhenti di Pacet, maka barulah saya tahu, bahwa
kami berempat dipindahkan ke sana. Di sini kami berempat dikunci dalam
sebuah kamar.
Kasur tak ada. Dinginnya bukan kepalang. Apalagi karena kamar kecil itu berada
di samping kamar mandi. Tikarlah yang dibuat menjadi kasur di atas ubin, dan
tikarlah pula yang dijadikan selimut di Pacet, yang terletak di pinggang gunung
itu.
Dari celah
dinding, esoknya kami dapat melihat beberapa tahanan yang lain-lain, ialah
Mr.Iwa, Abikusno, Karto Pandojo dan Surono.
Pada tanggal 24
sekonyong-konyong pula diperintahkan kepada kami, pada malam hari, bahwa kami
harus pula bersiap-siap. Pada malam harinya itu kami dibawa kembali ke kamar
P.A.M, Mojokerto, di jalan Kabupaten di tempat dahulu.
Apakah yang
terjadi sepeninggal kami dalam empat lima hari itu? Baru berbulan-bulan di
kemudian hari hal ini agak terang bagi saya.
Surat kabar
BAKTI no.81, yang dikuasai oleh Pesindo, membuka tabir di depan apa yang
terjadi pada tanggal 22 Juli 1946 ketika kami masih berada di Pacet itu.
Demikianlah
dalam Induk Karangan sk BAKTI itu, dengan berkepala "TAN MALAKA dan
KONCO-KONCONYA" tertulis antara lain"
"Kemarin
(jadi tgl. 2 Desember 1946! Pen!)
tersiar berita dalam surat kabar, yang menerangkan: bahwa Tan Malaka cs.
telah diperiksa dan berjalan lancar. Konon atas permintaan Tan Malaka sendiri,
maka pemeriksaan akan dilakukan di dalam sidang pengadilan terbuka".
"Dengan
tidak mendahului kebijasanaan Pemerintah, di sini kami kemukakan pendapat
sekadarnya berpaut dengan soal besar tersebut".
"Kalau kita
perhatikan pengumuman Pemerintah yang disiarkan oleh "Antara" tanggal
6 Juli 1946, tegaslah sudah, bahwa penculikan Perdana Menteri di Solo pada
tanggal 27 masuk 28 Juni 1946 malam, adalah suatu pendahuluan daripada aksi Tan
Malaka untuk merebut kekuasaan negara dengan perkosa".
"Pemerintah
sendiri mengatakan, bahwa perbuatan Tan Malaka cs. adalah "coup
d'etat" atau serobotan kekuasaan. Jadi nyatalah, aksi Tan Malaka itu
betul-betul akan merobohkan Pemerintah".
"Seratus
lima puluh ribu rakyat dari segala lapisan pada tanggal 22 Juli telah berkumpul
di alun-alun Mojokerto perlu mendengarkan kelakuan Tan Malaka cs. Kemudian
diambil putusan, yang antara lain memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah
hendaknya mengambil sikap yang tegas dan nyata terhadap mereka yang sudah
merobohkan Pemerintah, juga rakyat memutuskan: Menentang segenap usahaha
"kompromi" terhadap mereka (Tan Malaka cs)".
"Mengingat
suara rakyat yang menggelora itu kiranya tidak ada salahnya, manakala
pemerintah dalam menghukum Tan Malaka cs.menerima pula suara rakyat itu yang
lazim dikatakan oleh pujangga "Suara Tuhan"
Sekianlah sk.
BAKTI.
Baru setelah
lima enam bulan dalam keadaan terpisah dan tak tahu apa-apa, saya mendapatkan
penjelasan yang agak lebih lengkap tentang rapat seratus lima puluh ribu Rakyat
Mojokerto, yang dijalankan ketika saya berada di Pacet itu.
Rapat raksasa di Mojokerto
pada tanggal 22 Juli 1946 itu rupanya ada hubungannya dengan pemindahan kami
pada malam hari ke Pacet pada tanggal 19 Juli itu, yang dilakukan dengan gugup
dan tergopoh-gopoh itu.
Ada lagi
keterangan yang saya peroleh, selainnya daripada laporan bahwa 150.000 orang
yang "mendesak Pemerintah"...."mengambil sikap yang tegas dan
nyata" terhadap
Tan Malaka cs.
yang melakukan perbuatan "coup d'etat" atau merobohkan kekuasaan itu.
Sumarsono,
Pesindo, kabarnya mengemukakan dalam rapat, yang dikunjungi oleh 150.000 orang
itu, bahwa dia mempunyai "bukti yang nyata", bahwa Tan Malaka hendak
merobohkan Pemerintah.
Kusnandar,
Pesindo, juga berbicara: di depan 150.000 orang mengatakan, bahwa dia sudah
memerintahkan laskarnya pergi ke Yogya membantu pemerintah dan memerintahkan
pula supaya jangan kembali, selama golongan penyerobot kekuasaan
itu masih ada.
Muntalib,
Pesindo, mendesak supaya Tan Malaka cs. dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Yang tiada
menyinggung-nyinggung "coup d'etat" pada Rapat Besar di Mojokerto
itu, ialah pembicara Sutomo B.P.R.I., lebih terkenal lagi dengan nama Bung
Tomo. Malah ada orang lain yang mendengarkan pidato radio Bung Tomo di belakang
hari, bilamana dia menyerukan kepada para pendengar, supaya disampaikan salah
pahamnya semula terhadap saya dan memintakan maaf. Saya sendiri ragu-ragu
apakah sendiri mendengar pidato
radio itu atau
tidak. Tetapi pesan Bung Tomo itu saya mendengar bukan sekali dua saja, mungkin
pula Bung Tomo, bekas anggota Persatuan Perjuangan itu, belum lagi lupa, bahwa
dia pernah membela MINIMUM PROGRAM.
Tetapi ada lagi
yang terpenting di sekitarnya. Rapat Raksasa di alun-alun Mojokerto itu.
Sebelumnya Rapat itu dilakukan, maka di kampung-kampung sudah
"ditanyakan" kepada
penduduk
"hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepada Tan Malaka".
"Walaupun
ini cuma berupa pertanyaan saja, tetapi bagi Rakyat Mojokerto, yang di masa
Jepang dan Republik pernah menyaksikan "hukuman pancung" di alun-alun
di depan ribuan khalayak, maka pertanyaan semacam itu banyak mengandung
sugesti, petunjuk. Pertanyaan semacam itu mudah membangunkan hawa nafsu jahat
yang tak dapat dikendali. Seperti dalam surat kabar BERDJOANG di Malang, maka
di Mojokerto gambar Tan Malaka
juga dibalikkan,
sebagai simbol orang jatuh terbalik. Gambaran itu dibesarkan dan dipanggul
untuk dipertontonkan, ketika menuju ke alun-alun Mojokerto.
Takut akan
diserobot, sebagai akibatnya "pidato" para pemimpin seperti
Sumarsono, Kusnandar dan Muntalib diataslah, rupanya para polisi yang menjaga
kami di P.A.M tergopoh-gopoh melarikan kami ke Pacet di waktu malam, dua tiga
hari sebelumnya Rapat Raksasa diadakan di alun-alun itu.
Suasana yang
hangat, karena sudah sangat dihangatkan pada rapat-raksasa di Mojokerto itu
diperhangat oleh pidato-pidato dan rapat-besaran yang dilakukan oleh Presiden
dan Wakil
Presiden di Malang dan oleh Amir sebagai Menteri Pertahanan di Sidoarjo.
Suasana semacam itu sudah menimbulkan aksi-ramai ala "penyembelihan
September" di masa revolusi Perancis! Inikah yang dikehendaki oleh lawan
politik kami di
masa itu?
Di Pacet pun
saya tiada berada dalam keadaan aman! Adapula di antara anggota Pesindo, yang
tiada mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, yang mendesak supaya saya
diserahkan kebawah penjagaannya. Tetapi ini rupanya mendapat sangkalan keras
dari temannya sendiri. Kabarnya konon si "teman" menyuruh salah satu
diantara dua pistol buat tembak menembak di antara mereka sendiri sebelumnya
Tan Malaka diambil.
Pada bulan
Agustus kami dipindahkan ke Dagusan, Mojokerto. Di sini kami berada dalam
pengawasan P.I (Polisi Istimewa) dan memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik
daripada semenjak permulaan bulan Juli. Di Bagusan saya berjumpa dengan sdr.
Sudijono, P.B.Merdeka sekarang, dan dibelakang hari juga dengan Mr.Subarjo dan
Sukarni.
Polisi Istimewa
Mojokerto, dibawah pimpinan tegap Tuan Sucipto adalah polisi, yang terus
menerus ikut bertempur di front Surabaya. Bukan ikut-ikutan saja. Polisi
Istimewa Mojokerto di masa itu ikut berjuang sebagai pasukan, yang diakui
patriotisme dan keprawiraannya. Mereka ikut bertempur semenjak perang Surabaya.
Ikut mengundurkan diri sebagai siasat umum dan mereka mengandung semangat anti
penjajahan sampai-sampai ke benak dan tulang sumsumnya.Dan pihak prajurit
semacam ini, di mana saja, dan bilamana saja, kami senantiasa menerima
pelayanan yang adil dan penuh prikemanusiaan. Kami
pun merasa aman,
bahkan gembira, apabila di tengah-tengah pemuda perwira, pencinta serta pembela
Republik dan Rakyat Murba serta bertindak membela kemerdekaan 100%. Terhadap
anak buahnya sendiri Tuan Sucipto, selain menaruh perhatian penuh, seolah-olah
bapak terhadap anaknya. Terhadap kami Tuan Sucipto beserta para pembantunya
berlaku seperti anak terhadap bapaknya. Tetapi malangnya bagi kami, tiadalah
selamanya kami dibolehkan tinggal di sana. Sekonyong-konyong kami dipisah-pisah
pula. Saya dikembalikan ke kamar P.A.M. di jalan Kabupaten.
Di sini sudah
berkumpul pula beberapa orang tahanan, di antaranya Sdr. Moh.Saleh, Mr. Yamin,
Mr. Subarjo, Sukarni, Suryodininggrat, Jamaludin Tamim. Pada malamnya 30-31
Oktober 1946 itu tiba-tiba Sumarsono, Pesindo, ialah teman seperjuangannya di
masa lampau. Apa yang dibicarakan oleh mereka tiadalah kami dengar. Tetapi
besok pagi harinya, kami menyaksikan peristiwa yang agak ganjil.
Mulai pagi hari
sekali kami melihat segerombolan Laskar Pesindo memanggul bedil dan mitraliur,
yang ditaruh di belakang tembok, di depan rumah Kabupaten. Anehnya pula, mulut
mitraliur itu ditujukan ke rumah tempat tinggal kami tinggal. Jarak rumah kami
dengan mulut mitraliur Pesindo itu cuma kurang lebih 20 meter saja. Saya ingat
lagi kepada mulut
mitraliur
Pesindo, yang pada tanggal 17 Maret tahun tersebut juga, di alun-alun Madiun
ditujukan ke mimbar saya berpidato.
Cuma pada waktu itu di
alun-alun Madiun ada ribuan bambu runcing dan pelbagai laskar di samping lebih
kurang seratus orang anggota Pesindo yang bersenjata lengkap itu. Tetapi ini
kali di Mojokerto saya beserta para tahanan lainnya dalam keadaan tak berdaya.
Umumnya para pemuda, yang sungguh perwira, tak akan mengacungkan Tommy-gun dan
mitraliur kepada mereka orang tua yang tidak berdaya dan cuma dianggap musuh,
karena perbedaan
paham politik saja dengan para pemimpin itu sendiri. Teristimewa pula, kalau
para pemuda itu sendiri.
Teristimewa pula, kalau para
pemuda tadi belum lagi mendapatkan penerangan dan kedua belah pihak dan cuma
dari satu pihak yang berkepentingan saja.
Tetapi untunglah
tiada semuanya pemuda Indonesia, bahkan tiada semua pemuda Mojokerto-pun,
walaupun Mojokerto dibawah kekuasaan Pesindo, memandang kami orang tua sebagai
musuh, yang zonder pengadilan teratur, harus dihadapi dengan mulut tommy-gun
dan mitraliur begitu saja. Mungkin juga ada terpendam pada sanubari pemuda yang
sabar perwira, bahwa sedikitnya kami orang-tua ini sudah lebih banyak memakan
garam
politik daripada
mereka sendiri.
Sedangkan
Pesindo asyik membikin "stelling" 20 meter jauhnya di depan rumah
kami itu, maka satu dua orang prajurit menyampaikan salamnya kepada saya atas
nama para prajurit bersenjata lengkap pula yang berstelling pula di belakang
rumah kami. Di sekitar rumah Kabupaten saya menyaksikan sedikit gerakan pula.
Entah gerakan siapa dan dengan maksud apa, belum saya ketahui pada masa itu.
Cuma setelah beberapa lama, maka Pesindo meninggalkan "steling"-nya
dan memanggul tommy-gun dan mitraliurnya kembali ke Mojokerto.
Dari dua tiga
pihak, yang boleh saya percaya, maka di belakang hari saya mendapat kabar,
bahwa setelah Pesindo mengadakan "stelling" itu, maka segeralah
timbul beberapa "steling-stelling lain, yang maksudnya bukan membantu,
melainkan mengawasi "stelling" Pesindo tadi. Kabarnya konon di
belakang rumah kami dan di jembatan kali Brantas, jadinya di depan dan di
sebelah kanannya "stelling" Pesindo, maka P.I (Polisi Istimewa)
mengadakan stelling pula. Seterusnya di belakang Kabupaten, jadi dibelakangnya
"stelling" Pesindo,
maka oleh P.I.
(Polisi) diadakan pula satu "stelling". Tiada begitu saja. Di sebelah
kanan kami, jadi di sebelah kirinya "stelling" Pesindo, anggota
B.P.R.I (Pemberontak) (bahkan
katanya di
samping oleh beberapa anggota Pesindo sendiri) mengadakan stelling juga.
Semua stelling
di depan dan di belakang, serta di kiri dan di kanannya "stelling"
Pesindo ini depan kabarnya konon cuma menunggu satu letusan yang mungkin keluar
dari mulut mitraliur kepada kami orang tua tahanan, yang berada dalam keadaan
tak berdaya itu. Satu saja letusan keluar dari pihak Pesindo ke arah kami, maka
akan dijawab oleh puluhan kalau perlu 1001 letusan dari kiri kanan serta muka
dan belakang yang akan ditujukan ke arah "stelling" Pesindo itu.
`Memangnya pula,
maka menurut dugaan saya sendiri, walaupun kami berada dalam tahanan, bilamana
radio, surat kabar dan bisikan fluister kompagne, dengan leluasa menyemburkan
racun fitnahan, tetapi ada kodrat kebenaran terpendam, yang dipegang teguh oleh
segerombolan "unknownfriendly powers". Tentara-teman-terpendam inilah
yang
memberikan
perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam, karena dalam keadaan
handicapped. Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf
benar akan adanya .
Tentara-teman-terpendam itu.
Saya pun insyaf, akan berlakunya dalam sesuatu masyrakat manusia pepatah
"teeth for teeth, eyes for eyes". Apa saja tindakan yang akan
dijalankan kepada kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut
undang-undang balas-membalas, bayar-membayar, mungkin dengan rente yang tinggi
sekali. Seolah-olah darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent),
sanggup memanggil satu tentara
pembalasan.
Banyak orang yang tiada gentar, bahkan sebaiknya dengan penuh semangat
keprawiraan menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan,
sesudah jiwanya melayang.
Saya sendiri
yakin, bahwa di masa itu pun, tiadalah semua anggota Pesindo, menentang Minimum
Program dan yang memandang saya sebagai seorang
musuh, yang harus dilenyapkan begitu saja, dengan tiada pemeriksaan
lebih dahulu. Apalagi mestinya sekarang dan setelah ternyata bahwa pada
penangkapan di Madiun Pesindo diperalatkan buat memenuhi permintaan
Delegasi, yang
sedang berunding dengan Belanda-Inggris, ialah wakil imperialisme, yang telah
melakukan penangkapan dan pembuangan atas diri saya. Begitu juga anggota
B.P.R.I. Mojekerto, yang akhirnya mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya,
sampai mereka ikut ber-"stelling" menghadapi Pesindo, seperti
tersebut di atas, mengambil sikap dan
tindakan yang
bertentangan dengan sikap dan tindakan ahli pidato radio pemberontak cabang
Solo, bernama Purwanto yang dua malam berturut-turut membuka "kedok Tan
Malaka" dan
bersertu-seru di
depan radionya dengan semangat bernafsu, menganjurkan, supaya Tan Malaka
"dipelori" saja.
Di belakang hari
saya dengar kabar, bahwa stelling Pesindo tadi dimaksudkan untuk mengambil kami
dan P.A.M supaya Pesindo sendiri, yang akan memberi "perlindungan".
Dan satu pihak saya dengar kabar, karena kami dirasa terlampau leluasa dalam
kamar P.A.M. itu. Dan pihak lain saya dengar, oleh karena beberapa orang
Pesindo hendak memberikan perlindungan kepada kami. Entah mana yang benarnya!
Cuma kami sendiri tak pernah memita "perlindungan" itu kepada Pesindo
kata laporan lain pula, penyerahan kami kepada Pesindo itu sudah dibenarkan oleh
Mr.Mulyanto, wakil Kejaksaan. Jika kabar itu benar, maka
Mr. Mulyanto
sudah memberikan izin kepada Pesindo buat memberikan "perlindungan"
kepada kami mudah-mudahan saja laporan ini tiada benar.
Tetapi
"perlindungan" itu, kalau terjadi mungkin tidak akan memberikan
"perlindungan" kepada persatuan buat perjuangan, melainkan
sebaliknya, mungkin sekali akan memberikan "perlindungan" kepada
sengketa dendam kesumat antara golongan Pesindo dengan golongan yang rupanya
terlampau diabaikan oleh sebagian pemuda Pesindo, ialah golongan kami sendiri.
Di Trawas,
setelah Suryodininggrat, Jamaludin dan lain-lain dipindahkan ke sana, tiada
lama sesudah peristiwa main "stelling" di depan kami di Mojokerto
tadi, maka pada
waktu jauh
malam, segerombolan Pesindo datang pula dengan senjata lengkap, mulut ditutup
dan sikap yang galak, bertanyakan kepada mereka tahanan tersebut di atas,
apakah di sana ada Tan Malaka.
Tak ada diantara
orang tawanan yang ada pada malam itu ragu-ragu akan maksud anggota Pesindo di
Trawas itu. Rupanya PAM dan Polisi Istimewa Mojokerto insaf benar akan
akibatnya penyerahan diri saya oleh Mr.Mulyatno itu, kepada Pesindo dan
menolak keras
penyerahan itu.
Pada tanggal 1
Nopember 1946 itu, tiba-tiba saya disuruh bersiap buat menemui beberapa wakil
dan Kejaksaan.
Saya ingat adalah tujuh
orang yang hadir dan Kejaksaan, dibawah pimpinan Mr. Mulyatno. Tanya jawab pada
masa itu tiadalah perlu saya ulang di sini.
Kebanyakan
pertanyaan itu adalah baru bagi saya. Demikian pula, beberapa pertanyaan, yang
dimajukan oleh Tuan Suparto sendirian, beberapa hari kemudian di Bagusan, di
gedung P.I. kepada saya. Pada tanya jawab itu saya tiada pernah menaruh
perhatian. Pertama karena saya sedang menderita penyakit kaki, yang pernah
menyerang saya, ketika di Bayah (Banten), penyakit mana menyebabkan susah
berjalan dan sakit
di kepala,
karena bergerak sedikit saja. Kedua saya tiada diberitahukan lebih dahulu,
apakah maksudnya soal jawab itu, dan tiada pula "confronted with the
accusation" dihadapkan
dengan tuduhan,
seperti lazim dilakukan oleh Negara Hukum dan Negara Demokratis. Tiadalah pula
saya ingin, berdebat tentang hak seseorang tertuduh. Saya merasa, bahwa
terhadap diri saya sudah satu kebiasaan saja orang tiada perlu menghiraukan
sesuatu tuduhan tentang pelanggaran undang-undang yang sudah diterapkan oleh
Badan yang sah, menurut aturan demokrasi. Begitu oleh "Hindia
Belanda" pada tahun 1922; begitu pula oleh Pemerintah Amerika di Manila
pada tahun 1927 dan begitu pula oleh Pemerintah Inggris di Hongkong pada tahun
1932. Kalau Republik Indonesia, yang berunding dengan ketiga wakil
imperialisme di
massa itu tiada pula maju ke depan dengan tuduhan pelanggaran yang nyata
tertulis, hitam di atas putih, sama sekali tiada mengherankan saya lagi.
Bertanyakan tentang
hal itu seperti
saya lakukan di Manila dan Hongkong tiadalah saya rasa perlu. Protes tak akan
ada gunanya. Sudahlah terang bagi saya duduknya perkara, apabila Tuan Suparto
dengan suara tinggi pada suatu ketika, bertanyakan sesuatu hal kepada saya
dengan mempergunakan bahasa Belanda. Apabila pada ketika itu tanya jawab agak
berlaku sedikit keras, maka saya lihat para pengawal bergerak dengan sangkur
terhunus dari pendopo rumah Kabupaten menuju ke gang dan pintu kamar
pemeriksaan. Cuma prajurit pemegang sangkur terhunus itu sudah saya kenal lebih dahulu. Senyumnya kepada saya
sudah saya maklumi.
Tetapi
pemeriksaan ini ada memberi pengharapan baru, bahkan sedikit kegembiraan kepada
saya, karena saya mendapat kepastian dari Mr. Mulyatno (yang sungguh salah
seorang diantara beberapa pemeriksa lain-lainnya berlaku ramah-tamah dan sopan
santun dalam pemeriksaan tadi) ialah kepastian, bahwa kelak pemeriksaan saya
akan dilakukan di depan umum.
Alangkah
bangganya saya kelak tentang Republik kita ini, kalau Republik ini memberikan
hak kepada saya, ialah membela diri di depan umum, hal mana ditolak oleh
imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris.
Pemeriksaan di
depan umum "Public trial", salah satu daripada "the Rights of
men" the Human Rights, beberapa hak Manusia, yang saya minta dan
dijanjikan oleh Mr. Mulyatno
itulah yang
rupanya dimaksudkan oleh sk.BAKTI, seperti yang
sudah saya catat di atas.
Sekembalinya
saya di P.A.M maka saya ditempatkan tersendiri dalam sebuah kamar. Karena
rupanya makanan ada sedikit lebih teratur daripada yang sudah-sudah di PAM ini
dan
saya dipinjami
selimut, maka dengan obat yang terpaksa saya bikin sendiri, penyakit kaki tadi
dapat saya sembuhkan.
Bagaimanapun
juga banyaknya perubahan pelayanan di kamar PAM tadi, saya merasa gembira
ketika pada penghabisan bulan Desember tahun 1946, saya dipindahkan kedua
kalinya ke Bagusan, di gedung P.I. Disinilah saya tinggal sampai 29 Januari, di
mana lantaran pendudukan Krian oleh Tentara Belanda, maka sekonyong-konyong
saya diantarkan ke stasiun Kertosono, buat diberangkatkan ke Yogya. Di dalam
kereta saya berjumpa dengan Mr. Subarjo, Mr. Yamin dan Sukarni.
Pada malam
harinya kami sampai di Yogya, bukan buat ditempatkan di luar penjara, seperti
perjanjian di Mojokerto, melainkan buat dikembalikan ke sel di penjara
Wirogunan.
Jauh tengah
malam hampir jam tiga pagi pada tanggal 11 bulan Maret 1947, tiba-tiba pula
kami tujuh orang, ialah
Mr.Yamin, Mr.
Subarjo, Mr. Budhiarto, Mr.Iwa, Abikusno, Sukarni dan saya sendiri, dibangunkan
dalam pejara Wirogunan, dengan maksud hendak diberangkatkan ke Magelang. Di
sini kami ditempatkan dalam penjara biasa. Buat gerak badan, maka kami
diizinkan ke
luar sel dan berjalan-jalan dalam pekarangan penjara, setengah jam pagi dan
setengah jam petang. Tetapi saya merasa lebih merdeka sedikit di Mojokerto
daripada di
Magelang. Di
Mojokerto walaupun harus bergerak di tempat yang terbatas, tetapi mata bisa
merdeka melayang ke jalan raya dan lain tempat. Di Magelang cuma tembok tinggi
rumah penjara saja yang kelihatan, empat bulan setengah lamanya. Di penjara
Magelang, seperti di lain-lain penjara acap kali saya teringat kepada pantun,
yang kami murid klas II di salah satu desa di Sumatera Barat gemari sangat yang
bunyinya:
Seranti teluknya dalam
Batang kapas lubuk tempurung
Kami ini umpama balam
Mata lepas, badan terkurung
Tak perlulah
rasanya saya peringatkan di sini, bahwa menggemari sebuah pantun di masa
kanak-kanak di atas bangku sekolah adalah berlainan dengan peringatan pantun di
penjara Magelang, walaupun keduanya adalah pusakanya "Hindia
Belanda".
Setelah pada
tanggal 21 Juli, bilamana sudah ada Perjanjian Linggarjati dan tanda tangan Belanda di atasnya, maka Belanda
tiba-tiba menyerang, hal mana buat saya sendiri
sama sekali
perkara yang sudah saya ramalkan dalam hati saya lebih dahulu, maka kami pada
tanggal 23 Juli, hampir jam dua malam dibangunkan pula buat diberangkatkan ke
Yogya. Di bawah pimpinan kepala P.I. sdr. Tahir yang memberi perhatian penuh
kepada penghidupan kami sehari-hari selama di Magelang, maka kami pada pagi
harinya tiba di Yogya. Mulanya sdr.Tahir dan kami mengharapkan, bahwa kami akan
ditempatkan di luar penjara, tetapi akhirnya kami sampai di penjara Wirogunan
juga.
Pagi harinya
juga tanggal 23 Juli kami disuruh bersiap pula untuk diangkut entah ke mana
pula lagi. Baru apabila sampai pada waktu jauh tengah malam, di rumah tahanan
Ponorogo,
diantara empat dinding batu yang tinggi, dalam tempat orang tahanan, yang jauh
lebih sempit dan kotor daripada di Magelang, barulah kami tahu, bahwa
pengharapan
kami akan
ditempatkan di luar penjara terbang melayang untuk
kesekian
kalinya.
Pernah kami di
Ponorogo dikumpulkan dengan para tahanan lain dari Yogya, sampai menjadi 46
orang. Makanan, tempat tidur dan kebersihan dipukul rata jauh kurang teratur
daripada di
tempat yang lain-lain yang sudah saya alami. Di Ponorogo kami berdiam empat
bulan lamanya. Pada tanggal 26 Nopember, kami yang tinggal 17 orang lagi
dipindahkan ke rumah tahanan di Madiun. Saya sendiri merasa di sini lebih
merdeka daripada di lain-lain tempat, kecuali di Bagusan, di tempat P.I.
Mojokerto. Makanan pun ada cukup teratur.
Di sini saya
ingin memberikan sedikit perbandingan di antara beberapa pengalaman saya dalam
beberapa penangkapan yang saya rasa penting berkenaan dengan hukum.
Oleh Pemerintah
"Hindia Belanda" saya ditangkap menurut perintah yang tertulis pada
tanggal 13 Pebruari 1922. Dalam tempo yang singkat saja pemeriksaan bermula
dilakukan oleh Residen dan bukan berdasarkan sesuatu pelanggaran Undang-Undang,
walaupun misalnya Undang-Undang "Hindia Belanda" saja, melainkan
berdasarkan "vraagpunten", yang disusun oleh P.I.D (Badan Penyelidik
Belanda) dengan maksud
membuang saya,
menurut "Hak Istimewa Gubernur. Jenderal Hindia Belanda", dengan
tiada memberi kesempatan untuk membela diri di depan pengadilan umum (Public
Trial) maka semua pertanyaan yang mengenai "activiteit" (aksi)
politik, saya tolak memberi
jawaban. Saya
dibuang ke luar negeri, menurut Hak Istimewa (exhorbitanten rechten) Gubernur
Jenderal "Hindia Belanda" itu, atas tuduhan menulis beberapa risalah;
mendirikan perguruan Rakyat Murba; mempersatukan perpecahan kaum Komunis dan
Kaum Islam (Sarekat Islam); dan membantu pemogokan kaum pekerja pegadaian di
masa itu. Katanya semuanya ini saya lakukan dengan "maksud" menjalankan
"Program Moscow". Pada
tanggal 22 Maret
1922 saya berangkat ke luar negeri.
Pada permulaan
Agustus 1927, di Manila, kira-kira jam sebelas malam, saya disergap oleh dua
orang anggota Constabulary berpakaian preman, ketika saya meninggalkan
kantor sebuah
surat kabar. Mulanya saya akan dinaikkan ke dalam sebuah kapal Belanda, yang
berada di pelabuhan Manila dan hendak dikeluarkan dengan diam-diam sebagai
seorang
pemasuk
(immigrant) yang tidak sah (unlawful) dan tidak dikehendaki (undesirable).
Perbuatan itu terhambat oleh karena beberapa hal di luar kemauan polisi
Amerika. Sesudah dua hari saya ditahan, maka para teman-terpendam, maju ke
depan menuntut pembebasan saya atas dasar "habeas corpus", dan
menuduh polisi yang menangkap saya melakukan sesuatu pelanggaran, karena
menangkap saya zonder "warrant" tak dengan perintah yang tertulis.
Oleh para sahabat saya, perkara tangkapan ini diluaskan menjadi persoalan
nasional yakni: "Apakah Pilipina, Protectorate Amerika itu, berhak
memberikan "the right of Asylum" (Hak mendapat perlindungan) kepada
seorang pelarian politik (political refugee)? Acting (wakil) Gubernur Jendral
Gilmore sendiri, sebagai ahli hukum mulanya ingin hendak mengetahui pemecahan
soal baru ini. Senate dan House of Representative, atau Majelis Tinggi dan
Majelis Rendah Pilipina, dibawah pimpinan Manuel Quezon dan Manuel Roxas,
membenarkan saya tinggal di Pilipina, bahkan mengumpulkan 3.000 (tiga ribu)
Peso, dan para anggota kedua Majelis tadi, buat membantu saya.
Yuan Fernandez,
hartawan-patriot Pilipina, malah menarohkan "bail" (uang jaminan)
10.000 Peso buat memberi kebebasan (semacam stads-arrest) kepada saya, selama
perkara
saya diurus.
Empat Universities di kota Manila, mengambil putusan dalam rapatnya "untuk
memberikan bantuan kepada saya, sebagai wakil dan "sister nation",
ialah Indonesia, Negara
Saudara.
Demikianlah pula semua persurat kabaran dalam semua bahasa (Tagalog, Spanyol,
dan Inggris) di ibukota ataupun di propinsi memberi perhatian dan sokongan
penuh. Perkara "right of Asylum" itu akan diteruskan ke Mahkamah
Tinggi Pilipina.
Kalau di sana tiada mendapat
kemenangan, maka akan diadakan appeal ke Kongres dan Presiden Amerika. Tetapi
setelah Sang Murba kota Manila mulai bergerak pesat dan apabila Rapat Raksasa
yang dijanjikan akan diadakan dengan maksud mengumpulkan "uang
sokongan" buat saya dan di mana saya akan dipersilahkan membentangkan
perkara saya di depan Murba Filipina, apabila Rapat Raksasa ini, sudah
mendekati waktunya, maka wakil Gubernur: Gilmore yang mulanya bersikap
simpatik, mulai terkejut. Didesak oleh Publik dan Pers Amerika di Pilipina,
maka pada malam hari, pemimpin para pembela saya, Dr.Jose Abad Santos, yang
pada masa itu menjabat pangkat Ketua Supreme Court diberitahukan oleh waki
Gubernur Jendral Gilmore, bahwa besok pagi, saya harus meninggalkan Manila
dengan kapal Filipina, bernama Suzana II, yang akan berangkat menuju ke Amoy.
Sesampainya saya
di Amoy, maka saya sudah ditunggui oleh pers imperialis-asing
Kulangsu-Minicipal, Haminte Kulangsu, yang dipimpin oleh
imperialis-internasional (Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda dll)
sudah mengambil keputusan tadi malamnya buat menangkap saya kembali. Dan sebuah
kapal Belanda Cisalak, sudah siap sedia pula menunggu saya.
Berturut-turut
para polisi Kulangsu, Kepala Duane Amoy dan Konsul Amerika sendiri datang ke
kapal dengan maksud ikut menangkap saya. Tetapi kemujuran adalah dipihak saya.
Oleh perjumpaan berbagai-bagai kesempatan baik, maka saya dapat meloloskan diri
dari jaring, yang rupanya sengaja dipasang dari Manila. Mulanya saya menyingkir
ke dalam sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan saja berada di
pelabuhan Amoy. Kemudian saya pindah ke kota Amoy bagian Tiongkok dan akhirnya
ke satu desa di pedalaman Tiongkok.
Pada tanggal 10
Oktober 1932, maka saya sekonyong-konyong dalam percobaan meloloskan diri dan
buruan beberapa I.S.(PID) Inggris, di Kowloon, seberangnya Hongkong,
akhirnya
disergap oleh dua orang bersenjata, tetapi berpakaian preman, ialah seorang
Benggali dan seorang Tionghoa. Dalam pergulatan yang terjadi pada waktu jauh
malam hari itu, di jalan yang sepi pula, diberhentikan oleh seorang polisi
Islam yang berasal dari Pakistan sekarang, yang kebetulan "meronda"
di sana. Saya digiring ke kantor polisi, di mana pada
permulaannya,
saya menderita berbagai-bagai penghinaan dan seorang anggota I.S.Inggris yang
sengaja didatangkan dari Singapura. Hampir pagi harinya saya dibawa menyeberang
ke
Hongkong, ke
penjara di sana. Saya memprotes atas tak adanya surat tuduhan. Saya minta diadakan
seorang pembela, seorang ahli hukum Tionghoa buat membela perkara saya.
Permintaan ini dibenarkan, tetapi tiada pernah dijalankan. Saya mendesak supaya
diperiksa di depan pengadilan terbuka. Ini tiada dibenarkan! Selama ditahan
dalam penjara, saya dihujani dengan pertanyaan yang datang dari semua pihak
imperialis, seperti dari pihak Amerika, Perancis dan Inggris sendiri, berhubung
dengan gerakan kemerdekaan di jajahan mereka masing-masing. Suatu ancaman
kepada saya, bahwa saya akan diserahkan kepada Belanda, atas desakan
"Hindia Belanda" dengan perantaraan Viesbeen yang dikirim ke Hongkong
buat menuntut diri saya, saya jawab ancaman mogok makan habis-habisan. Saya
peringatkan, bahwa saya tak akan hidup sampai di Indonesia.
Pada suatu hari,
maka saya disuruh pergi saja dari Hongkong, sambil dilarang menginjak salah
satu tempat di daerah Inggris. Baru kemudian hari saya dapat mengira, bahwa
tindakan Inggris ini mungkin ada hubungannya dengan interpelasi anggota
Mackston dalam Parlemen Inggris di London, yang menanyakan apakah alasan
pemerintah Hongkong, maka Tan Malaka ditahan begitu lama dalam penjara Inggris.
Mulanya Inggris, memangnya atas permintaan saya sendiri, katanya, sudah
"mencoba" mendapatkan "tempat perlindungan" untuk saya di
Pilipina, tetapi katanya pula ditolak oleh pemerintah Amerika. Saya minta izin
kalau saja di Perancis buat pergi ke Eropa Tengah. Inipun tak dibenarkan,
katanya, ditolak oleh Perancis. Inggris sendiri menolak permintaan saya
berlindung di negeri Inggris, ataupun melalui Inggris, di mana katanya ada
demokrasi yang luas. Pendeknya saya harus segera berangkat meninggalkan
Hongkong. Soal kemananya bukanlah soal Inggris.
Dalam keadaan
demikian, maka saya bilang saja, bahwa saya mau pergi ke Shanghai. Inggris
tahu, bahwa kelak kapal saya akan berlabuh di Shanghai di bagian jajajahan
Perancis.
Kalau sampai ke
situ tentulah Perancis tak akan segan-segan menangkap saya dan tak akan
segan-segan pula menyerahkan saya kepada Belanda. Tetapi dalam perjalanan
menuju ke Shanghai itu saya dapat meloloskan diri di Amoy. Dari sini saya
berangkat ke pedalaman Tiongkok buat bersembunyi. Juga saya mendapatkan
kesempatan buat beristirahat dan berobat mempergunakan jamu Tionghoa,
tiga-empat tahun lamanya.
Jadi ringkasnya
demokrasi Inggris pun tak membenarkan Hak Demokrasi itu kepada saya. Inggris
menangkap zonder surat tuduhan! Dia menahan saya hampir tiga bulan lamanya
dalam penjara dengan tiada memberi kesempatan kepada saya buat membela diri di
depan pengadilan umum. Dia mengusir saya dengan tiada menentukan lebih dahulu
Negara yang mau menerima saya dan tiada memberi jaminan keamanan diri saya
dalam perjalanan menuju ke tempat yang harus dipastikan lebih dahulu itu.
Pendeknya Inggris cuma menangkap saya sebagai seorang "native" sebagai
seorang "inlander" yang tak perlu diakui haknya sebagai warga negara
sesuatu negara ataupun atas hak manusia, yang sudah lazim diakui bagi seseorang
anggota bangsa berkulit putih.
Republik
Indonesia tiada menangkap saya dengan surat perintah, yang beralasan pelanggaran
atas sesuatu undang-undang yang pasti dan yang sudah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat yang sah pula dan dilakukan oleh instansi yang sah pula. Saya
diajak berunding dengan Presiden oleh anggota P.I dan tiba-tiba dimasukkan ke
dalam tahanan dengan cara tipuan. Setelah kira-kira tujuh setengah bulan
lamanya sesudah dipindahkan dari tempat dan dari penjara ke penjara, maka
barulah dimasukkan beberapa pertanyaan kepada saya yang bagi saya tiada
diarahkan kepada tuduhan yang nyata, karena tak ada tuduhan yang nyata
tersusun, yang dibacakan kepada saya lebih dahulu. Dalam masa saya tiada
berdaya membela diri itu, maka pihak pemeritah sendiri mengadakan tuduhan dan
kesimpulan yang amat memberatkan kepada saya (Pengumuman Resmi) diri Pemerintah
Republik membiarkan saja berjalannya tulisan, pidato dan bisikan yang
mengandung racun membahayakan diri saya selama berada dalam tahanan.
Tetapi semua
penderitaan, penghinaan dan tuduhan pengkhianat, serta bahaya sebagai akibatnya
pengumuman resmi, pidato radio, hasutan surat kabar dan bisikan beracun selama
kami dalam tahanan itu buat saya tiada sebanding dengan kegembiraan yang saya
peroleh lantaran sekali lagi menyaksikan kebenaran pepatah: Berapapun cepatnya
kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.
Yang tak kurang
pula pentingnya dan berhubungan rapat pula dengan pepatah tadi juga, ialah
bahwasanya sesuatu dasar, sesuatu prinsip, yang cukup mengandung kebenaran itu
tak dapat ditindas dengan pengumuman resmis atau 1001 kebohongan
Fluister-campagne. Pun tiada dapat ditindas dengan tangkapan atau penjara.
Bahkan pelorpun tak berkuasa ....."
Demikianlah maka
pada tanggal 17 Desember 1946, suara yang tertindas dalam Minimum Program
Persatuan Perjuangan semenjak 17 Maret 1946, jadi dalam waktu sembilan bulan
saja meletus keluar kembali, walaupun sebagian saja. Pada tanggal 17 Desember
tersebut, maka Benteng Republik yang menggabungkan Partai Masyumi, PNI, Partai
Rakyat, Akoma, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat, Muhammadiyah, GPPI,
Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Bukit Tinggi), Dewan Partai PPI (Bukit Tinggi),
Panitia Kemerdekaan Bulat, Angkasa Muda Guru, Barisan Banteng, KRIS, BPRI
(pemberontak) dan Laskar Rakyat Jakarta Raya, memutuskan mengambil sebagai
dasar ikatan: Mempertahankan Kemerdekaan 100% Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam program
perjuangan ditetapkan antara lain 1)menginsafkan seluruh Rakyat untuk menolak
Naskah Persetujuan Indonesia Belanda dengan mengadakan penerangan
seluas-luasnya. 2) Menuntut adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mencerminkan
kehendak seluruh Rakyat 3) Menuntut selekasnya pemeriksaan tahanan politik
supaya yang ternyata tidak salah segera dimerdekakan. (lihat sk. Merdeka 18
Desember 1946!)
Aksi Benteng
Republik yang pada permulaannya sangat menggembirakan itu berakibat
menggerakkan pikiran, urat syaraf dan
tangannya pihak lawan dan mengakibatkan mereka ini mengeluarkan
siaran-gelap, yang kebetulan jatuh di tangan kami, di masa itu. Siaran gelap
itu, diantara lain-lainnya menyerukan kepada teman-temannya seperti berikuta:
"Ketahuilah!!!
Ketahuilah, saudara-saudara Pecinta Perjuangan,
bahwa tidak lain lagi, tidak sah lagi": Persatuan
Perjuangan Berganti Corak Bulunya".
Jadinya para
lawan kami memandang Benteng Republik itu seperti penjelmaan Persatuan
Perjuangan. Baik juga hal ini kami peringati.
Sebenarnya jiwa
Persatuan Perjuangan, ialah Minimum Program tak pernah bertukar corak. Apabila
namanya ditukar menjadi Consentrasi Nasional, maka semua Partai yang
mempertahankan kemerdekaan 100% segera bersekutu dalam Gabungan Revolusioner
dalam Consentrasi Nasional itu sendiri. Dengan begitu, maksud ketuanya Saryono
(Sibar) hendak membawa semuanya Partai,Laskar dan Badan, yang dahulunya
tergabung dalam Persatuan Perjuangan kembali "kerja sama" dengan
Belanda, cocok dengan dasarnya Sibar, gagal dan bermula. Saryono tak sanggup
mengadakan Kongres, sekalipun tidak.
Diseluruhnya
Sumatera Minimum Program itu, bukanlah suatu teori atau dalil mati ataupun satu
dalil buat dipertengkarkan, melainkan sampai sekarang buat Rakyat, yang
berjuang di sana, adalah batu ujian dalam praktek perjuangan. Namanya Persatuan
Perjuangan-pun lama terus dipakai setelah di Jawa diganti. Pertukaran nama
Persatuan Perjuangan di sana, rupanya berlaku atas desakan dari luar. Tetapi
sampai sekarang Minimum Program masih disetujui oleh mereka, yang masih membela
kemerdekaan 100% dan yang bermaksud mengusir tentara Belanda sampai serdadunya
dari bumi, laut dan udara Indonesia kita ini.
Tetapi yang
lebih tegas suara, sikap dan tindakan mereka, yang setuju dengan Minimum
Program ialah dibuktikan oleh Laskar Rakyat Jawa Barat umumnya dan Laskar
Rakyat Jakarta khususnya... and what is after all but a name!
Demikianlah
dibawah ini saya kutip beberapa kalimat dari sk. MERDEKA Jakarta, tanggal 28
Nopember 1946, jadi ketika kami masih berada dalam tahanan di Mojokerto.
"Pada
tanggal 23 Nopember (1946) dimulailah Konperensi Laskar Rakyat Jawa Barat, yang
dikunjungi oleh wakil-wakil dari Markas Besar Laskar Rakyat Cirebon,
Pekalongan, Purwokerto, Priangan, Bogor, Banten, dan Jakarta Raya".
"Setelah
konperensi tersebut selesai, maka pada tanggal 24 Nopember diteruskan dengan
Konperensi Laskar Rakyat Jakarta Raya. Pada paginya pukul 8 telah diadakan
parade besar di alun-alun Krawang, kemudian berziarah ke makam pahlawan untuk
melakukan janji perjuangan di tengah-tengah kuburan pahlawan".
Sorenya pukul 5
sebagai penutup ulang tahun Laskar Rakyat Jakarta Raya, diadakan rapat besar
dialun-alun yang dihadiri oleh wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, Kol.
Anwar Cokroaminoto, para utusan dan rakyat Murba. Rapat besar itu telah
berlangsung dalam suasana hangat dan bernyala-nyala mengerahkan semangat 17
Agustus 1945, dimana pembicara tepat dengan kata-kata yang berapi-api menentang
persetujuan 17 pasal perundingan Indonesia-Belanda, karena bertentangan dengan
undang-undang dasar negeri dan tuntutan Rakyat Murba".
"Udara
rapat sangat panas, tepuk tangan, teriakan, yang tajam serta tempik-sorak
Rakyat gemuruh membelah bumi. Lebih-lebih ketika wakil Jenderal Sudirman
berpidato, di mana diterangkannya, diterima atau tidak diterima oleh Pemerintah
rencana persetujuan 17 pasal, tentara terus menjalankan kewajibannya".
"Amarah
Rakyat kelihatan dengan jelas atas adanya rencana persetujuan 17 pasal, yang
sudah melanggar tuntutan Rakyat 100% merdeka. Demikianlah rapat besar itu
ditutup dengan udara yang sangat panas.
Laskar Rakyat
Jawa Barat pada konperensi tersebut memutuskan diantara lain-lainnya:
1."Menuntut
batalnya naskah rencana persetujuan 17 Pasal dengan mengirimkan surat-surat
(kawat) kepada badan-badan Pemerintah, Presiden, Panglima Besar, Kabinet, KNIP,
Konsentrasi Nasional Pusat, Partai-Partai, Badan Kongres Pemuda Indonesia dan
Pers.
2."Menuntut
dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang memperjuangkan kemerdekaan
100%"
3."Menuntut
dimerdekakanya kawan-kawan laskar rakyat yang ditawan di Sukabumi dan lain-lain
tempat serta menyatakan, bahwa kita tidak bertanggung jawab atas
akibat-akibatnya jika tuntutan ini tidak terkabul".
4."Menuntut
kembalinya senjata laskar rakyat di daerah yang dilucuti (dirampas) oleh pihak
resmi atau tidak bertanggung jawab akan akibat-akibatnya jika tidak dipenuhi
tuntutan tersebut".
5."Menuntut
kepada pemerintah, supaya mencabut tuduhan-tuduhan terhadap dirinya pemimpin
rakyat yang dianggap mengacau dengan jaminan, bahwa kejadian itu tak akan
berulang lagi".
Seterusnya rapat
umum tanggal 24 November di Krawang memutuskan:
1."Menentang
dan menuntut batalnya rencanan persetujuan antara kedua Delegasi Indonesia
Belanda serta menuntut memutuskan perundingan dengan Belanda".
2."Menyatakan
tidak percaya keadaan Kabinet Syahrir dan menuntut bubarnya kabinet
tersebut".
3."Menuntut
terbentuknya pemerintahan revolusioner yang radikal untuk mempertahankan dan
memperteguh kemerdekaan 100% serta memperkuat kebahagiaan hidup Rakyat
Murba"
4."Menuntut
dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang ditahan oleh kepolisian republik
yang sudah memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia 100%.
Sekianlah
catatan saya tentang rapat raksasa Laskar Rakyat Jawa Barat di Krawang pada
bulan November 1946 itu, yang sekarang nyata sekali, banyak mengandung anasir
yang bersejarah itu (historical elements)
Rasanya saya
sedikit tahu akan pemerasan dan penindasan kapitalisme dan imperialisme di Jawa
Barat, teristimewa pula di daerah tanah partikulir, seperti di daerah Jakarta
Raya dan Cirebon. Saya pun sedikit kenal akan tegapnya sikap rakyat Jawa Barat,
terutama di daerah Banten, Krawang, Indramayu dan Tasikmalaya terhadap
pemerasan dan tindakan asing. Berhubung dengan itu, maka rasanya cukuplah
mengerti saya akan merespnya tuntutan kemerdekaan 100% dan tuntutan menyita
harta benda musuh, seperti termaktub dalam Minimum Program itu. Memangnya di
daerah tersebutlah pertama sekali dan terutama sekali terbukti kekuatannya
pemerintahan rakyat dan tentara rakyat seperti yang dikehendaki oleh Persatuan
Perjuangan.
Biarpun kehendak
dan tuntutan rakyat Jawa Barat itu dan sikap mereka, yang perwira terhadap
tentara Jepang, Inggris dan Belanda dalam masa lebih setahun lamanya, akhirnya
diganggu dan dipersukar oleh perang saudara, antara Tentara Resmi dan Laskar
Rakyat, dari tanggal 13-17 April 1947 di Krawang; walaupun laskar Rakyat Jawa
Barat berhubung dengan persetujuan Renville ditinggalkan oleh 35.000 Tentara
Republik, namun perjuangan melawan penjajahan Belanda terus dilakukan oleh
rakyat dan Laskar Rakyat Jawa Barat dari beberapa pusat yang strategis, sampai
pada saat ini (Maret 1948)
Apalah musuh
Persatuan Perjuangan, di dalam dan di luar Indonesia sudah pasti, bahwa jika
persatuan perjuangan ialah Minimum Program, di lain-lain tempat di luar Jawa
Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera, sudah lenyap dengan
pergantian nama Persatuan Perjuangan.
Apakah tidak
lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh mengandung dasar yang
cukup kokoh tak dapat begitu saja di tindas dengan penjara ataupun pelor??
Apakah tidak
akan berlaku juga di Indonesia ini hukum masyarakat, ialah bahwa darah dan
jiwanya korban perjuangan kemerdekaan dari pemerasan dan tindasan itu kelak
akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi negara dan masyarakat baru.
Bagaimanapun
juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama Persatuan Perjuangan dan
menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan teristimewa pula di bawah tanah
sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah sekejappun juga saya
sangsi mengucapkan:
Patah
tumbuh hilang berganti!!
Le
Roi est mort, Vive le Roi!!
(Maret 1948)
PENGUMUMAN RESMI
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Perihal: Komplotan untuk merebut kekusaan
Negara.
Sekarang telah nyata seterang-terangnya bahwa
penculikan Perdana Menteri cs di Solo tanggal 27 masuk 28 Juli adalah satu
permulaan dari aksi Tan Malaka, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sukarni,
Mr. Moh. Yamin dan lain-lain untuk merebut kekuasaan negara dengan paksa.
Komplotan mereka
sudah lama diketahui oleh Pemerintah, dan inilah sebabnya mereka beberapa bulan
yang lalu pemerintah menangkap Tan Malaka, Moh. Yamin, Abikusno, Sukarni,
Chaerul Saleh, dan Sayuti Melik. Berdasar atas pengetahuan itu, dan untuk
mengetahui lebih lanjut gerak-gerik mereka selanjutnya, maka Pemerintah tidak
mengumumkan alasan penangkapan tersebut.
Dalam pada itu
mereka dalam tahanannya di Tawang Mangu memperoleh kemerdekaan bergerak,
sehingga mereka dapat juga berhubungan dengan komplotan mereka seperti Mr.
Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan lain-lainnya yang merancang coup d’etat
mereka.
Menarik
partai-partai lain masuk komplotannya
Mr. Subarjo dan
Mr. Iwa Kusumasumantri mengerjakan perhubungan dengan lain-lain tempat. Mereka
juga mencoba menarik partai-partai lain masuk komplotan mereka dan mencoba
mempengaruhi tentara dan pasukan-pasukan rakyat dengan menggambarkan yang
bukan-bukan tentang kabinet Syahrir. Dengan mempergunakan berita-berita
penghasut dalam surat kabar “Het Dagblad” surat kabar yang diterbitkan oleh
Nica di Jakarta, ditanamnya racun di dalam kalbu beberapa pemimpin pasukan
supaya percaya, bahwa kabinet Syahrir telah menjual Indonesia kepada Belanda
telah menerima penjajahan Belanda, katanya. Kekacauan-kekacauan di daerah Solo
adalah juga usaha mereka dari belakang layar.
Di antara opsir
tentara yang dibujuknya ialah bekas kepala divisi Yogya Sudarsono, yang
sekarang telah diskors. Sesungguhnya Sudarsono ini telah lama dicurigai, maupun
dari pihak tentara, ataupun dari pihak rakyat.
Penangkapan besar-besaran,
dokumen-dokumen dibeslag.
Coup d’etat,
yaitu serobotan kekuasaan oleh mereka yang dapat didahului oleh Pemerintah,
dengan mengadakan penangkapan besar-besaran.
Surat-surat dan
dokumen-dokumen yang dapat dibeslag menyatakan bahwa mereka telah siap susunan
pemerintahannya. Tanggal 7 Juli Presiden Republik Indonesia akan dipaksa
memberhentikan apa yang disebut mereka: Kementrian Negara Sutan Syahrir, dan
Amir Syarifuddin dan serentak dengan itu dipaksa Presiden menanda-tangani
daftar susunan “Dewan Pimpinan Politik” dan susunan “Kemerdekaan Negara Baru”.
Rol kepada
Divisi Sudarsono
Rupanya bekas
kepala divisi Yogya, Sudarsono diserahi dengan melakukan tindakan itu. Dengan
mencatut nama Panglima Besar, dia pada tanggal 3 Juli itu, datang di Presiden dengan membawa gerombolannya yang
akan mempersaksikan Coup d’etat-nya. Kebanyakan mereka yang dibawa itu ialah
orang-orang yang telah ditangkap oleh Pemerintah, yang pagi itu dilepaskannya
dari tahanan. Diantara mereka yang terdapat beberapa calon “Menteri Baru”. Dan
pagi itu ada percobaan untuk menculik Menteri Pertahanan Amir Syariffudin.
Syukurlah Mr. Amir Syarifuddin dapat meloloskan diri.
Presiden tidak dapat digertak
Presiden tidak
dapat digertak. Tuan Sudarsono dilucuti senjatanya dan dia dengan
pengikut-pengikutnya terus ditahan.
Komplotan Tan
Malaka cs ini akan melakukan perampasan kekuasaan Negara dengan
sebulat-bulatnya dalam dua tingkat. Tujuannya yang terakhir ialah menyingkirkan
Bung Karno. Dalam tindakan pertama akan menyingkirkan pemimpin-pemimpin Negara
dari mulai Wakil Presiden ke bawah Presiden dan Panglima Besar akan mereka
pergunakan pada waktu itu. Kalau mereka merasa sudah cukup kuat, lalu
disingkirkan pula Bung Karno dan Panglima Besar. Maka dengan itu bulatlah
segala kekuasaan di tangan Tan Malaka, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Moh. Yamin,
Sukarni dan kawan-kawannya.
Rencana Komplotan
Daftar “Dewan
Pimpinan Politik” dan “Kementrian Negara Baru” yang akan dipaksakan kepada
Presiden menanda tangani adalah seperti berikut:
I.
Dewan Pimpinan Politik.
1.
Buntaran Martoatmojo
2.
Budhiarto Martoatmojo
3.
Chaerul Saleh
4.
Gatot
5.
Iwa Kusumasumantri
6.
Moh. Yamin
7.
Subarjo
8.
Sunarjo
9.
Tan Malaka
10. Wahid
Hasyim
II.
Kementrian Negara:
1.
Menteri Dalam Negeri : Budhiarto Martoatmojo
2.
Menteri Luar Negeri : Subarjo
3.
Menteri Pertahanan : akan disiarkan
4.
Menteri Kehakiman : Supomo
5.
Menteri Kemakmuran : Tan Malaka
6.
Menteri Agama :
Wahid Hasyim
7.
Menteri Sosial :
Iwa Kusumasumantri
8.
Menteri Bangunan Umum : Abikusno Cokrosuyono
9.
Menteri Keuangan :
A.A. Maramis
10. Menteri
Pengajaran : Ki
Hajar Dewantara
11. Menteri
Penerangan dan Penyiaran : Moh. Yamin
12. Menteri
Perhubungan :
Rooseno
Menteri Negara
1.
Chaerul
2.
Faturrachman
3.
Gatot
4.
Kartono
5.
Patty
6.
Sukiman
7.
Sunarjo
8.
Sartono
9.
Samsu H. Udaya
10. Sukarni
Kartowiryo
11. Jodi
12. Moh.
Saleh
Pemerintah yakin
bahwa beberapa orang yang ditaruh namanya dalam daftar Kementrian diatas, belum
tahu menahu bahwa nama mereka dipakai untuk keperluan suatu komplotan
meremehkan Pemerintah. Tetapi daftar itu cukup memberi gambaran, betapa luasnya
komplotan mereka. Pemerintah tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah,
tetapi jika perlu pemerintah akan meminta keterangan kepada mereka yang namanya
tersebut dalam daftar Kementrian tersebut.
Dimulai sejak
31-10-1945
Komplotan untuk
mendudukkan “Presiden Tan Malaka” menjadi Kepala Negara Republik Indonesia
telah sejak tanggal 31 Oktober 1945, sejak Sukarni datang kepada wakil
Presiden, mengusulkan supaya Bung Karno diganti saja dengan Tan Malaka, sebab
menurut anggapannya jiwa Tan Malaka lebih cocok dengan revolusi Indonesia
sekarang.
“Persatuan Perjuangan” didirikan
Karena maksudnya
itu tidak berhasil, maka didirikan “Persatuan Perjuangan” dengan ujud
memobiliser segala partai-partai dan badan-badan perjuangan rakyat terhadap Pemerintah.
Partai-partai yang tergabung diikat dengan disiplin “Minimum Program” yang
tujuh pasal. Sejak lahirnya “Persatuan Perjuangan” ini pada tanggal 4 Januari
1946 di Purwokerto, maka timbullah perpecahan. Persatuan yang bulat antara
Pemerintah dan Rakyat jadi pecah rupanya. Hal ini menguntungkan kepada Nica,
merugikan kepada Republik Indonesia. Partai-partai besar dihasut dengan untuk
mengroyok Pemerintah.
Pada sidang
K.N.I Pusat di Solo pada penghabisan bulan Pebruari, dalang-dalang Persatuan
Perjuangan ini telah bersedia untuk mengadakan “staatgreep”. Usaha ini gagal
karena keawasan Pemerintah, dan juga karena di antara Partai-Partai “Persatuan
Perjuangan” itu sendiri tidak dapat kesesuaian.
Kebiasaan Internasional
Sudah menurut
kebiasaan internasional, bahwa tiap-tiap perunding yang dilakukan antara negara
dengan negara tidak diumumkan, sebelum tercapai hasilnya.
Hasil itu
menjadi “verdrag”, yakni perjanjian atau kosong sama sekali; yaitu tidak
mendapat rancangan “verdrag”, maka “verdrag” itu diumumkan oleh kedua belah
pihak, supaya diketahui oleh rakyat kedua belah negara, supaya mereka itu dapat
membanding dan menimbang.
Sebelum
“verdrag” itu diterima oleh “Dewan Perwakilan Rakyat” pada kita sekarang K.N.I
Pusat dan sebelum ditanda tangani oleh Kepala Negara, “verdrag” itu belum lagi
menjadi perjanjian yang mengikat negara.
Jika sebaliknya
permusyawaratan tidak berhasil, maka kedua belah pihak biasanya mengeluarkan
suatu buku keterangan Pemerintah untuk diumumkan, yang didalamnya diterangkan
jalan permusyawaratan yang menyatakan apa sebab gagalnya.
Digunakan sebagai alat agitasi
Perundingan
tentang Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah kita di Jakarta
tak lain sifatnya.
Semuanya ini
diketahui oleh Tan Malaka cs. Tetapi cara dan adat perundingan internasional
itulah yang dipergunakan mereka sebagai alat agitasi untuk menjatuhkan
Pemerintah. Dengan secara hasutan dalam surat kabar dan dari mulut ke mulut
dikatakan, bahwa perundingan dirahasiakan karena Perdana Menteri Sutan Syahrir
mau “menjual rakyat Indonesia” kepada Belanda, mau menerima kembali penjajahan
katanya.
Seorang yang
berani menebus cita-cita kemerdekaan Indonesia sampai di bui dibuang ke Digul,
dituduh pengkhianat oleh gerombolan orang sebagai Subarjo, Mr. Budhiarto, Dr.
Buntaran, Mr. Gatot yang sampai sekarang hanya ternyata sebagai “salon
politicus” belaka.
Bersedia menerima “Trusteeship”
Malahan sebagai
Menteri Luar Negeri Mr. Subarjo dalam bulan Oktober 1945 telah bersedia
menerima “trusteeship” internasional, tetapi dapat dicegah oleh Wakil Presiden
dan Haji Agus Salim.
Juga Tan Malaka
sendiri pada satu pertemuan di rumah Mr. Subarjo dalam bulan September 1945
telah menyatakan kerelaannya dengan “Trusteeship” itu.
Belanda menghasut
Surat kabar dan
radio Belanda melantingkan kabar untuk menghasut kita dan memecah kita.
Dikatakan bahwa Pemerintah dalam kontra usulnya hanya meminta pengakuan tentang
kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatera.
Kabar bohong ini
dipergunakan mereka sebagai alat penghasut rakyat terhadap Pemerintah.
Buku keterangan Pemerintah
Pemerintah
nanati akan mengeluarkan buku keterangan pemerintah tentang jalannya
perundingan dengan Belanda.
Untuk sementara
waktu cukuplah jika diterangkan sebagai berikut:
Kita mengusulkan
supaya Belanda menyetujui Negara Indonesia yang merdeka, yang batasnya meliputi
seluruh batas Hindia Belanda dahulu.
Kalau itu
disetujui, maka dimulai dengan mengakui kekuasaan yang nyata, daripada Republik
Indonesia atas Jawa dan Sumatra. Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah Belanda bekerja bersama-sama memasukkan daerah yang lainnya
itu ke dalam Republik Indonesia. Antara Negara Republik Indonesia yang merdeka
dan Nederland yang merdeka akan diadakan suatu perjanjian bersahabat.
Kontra usul itu tetap
didasarkan atas Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 dan tetap
menuntut kemerdekaan Indonsia yang sepenuh-penuhnya.
Demikianlah
supaya rakyat dapat mengetahui tipu-muslihat Tan Malaka cs untuk merebut
kekuasaan negara. Rakyat insaflah!
Pemerintah akan
bertindak terus, mempergunakan segala kekuasaan yang ada padanya, untuk
membasmi aliran perusak dan kontra revolusioner ini dengan akar-akarnya.
Dengan mengingat
seruan Presiden kita dalam pidato radionya tanggal 30 Juli 1946, berhubung dengan
penculikan Perdana Menteri, maka kepada seluruh rakyat diharapkan membantu
pemerintah dalam hal ini. Kalau ada nanti seruan Pemerintah untuk menunjukkan
tempat orang yang dicari haraplah menolong mencari itu dan menunjukkan.
Sepatah dua
patah tentangan “Pengumuman Resmi”.
“Pengumuman
Resmi” Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 6 Juli 1946 itu menurut hemat
saya saya sekali tidak bersifat kehukuman (juridis). Teranglah dia tidak
bersandar kepada undang-undang yang sudah dibentuk dan disahkan oleh sesuatu
Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh, dari dan untuk rakyat, yang sedang
berevolusi ini. Tidaklah pula dia berdasarkan perbuatan yang dapat dibuktikan
oleh sesuatu pemeriksaan “proper, reguler dan estabilished court” (sesuatu
Pengadilan yang sah, teratur dan sudah terbentuk). Akhirnya sedikitpun dia
tidak berpegangan kepada perhubungan yang logis (causality) antara
undang-undang yang ada dan sah dengan perbuatan yang disangka pelanggaran.
“Pengumuman
Resmi” boleh dianggap mengandung, sifat, menuduh, menangkap dan menghukum
sekaligus. Dengan demikian, maka dia melanggar dasar yang lazim disebut TRIAS
POLITICA, dimana si Penangkap (polisi) dipisahkan dari si Pemeriksa (Kejaksaan)
dan dari si Penghukum (Hakim). “Pengumuman Resmi” ini sudah cukup jelas dikupas
secara juridis oleh Mr. Moh. Yamin dalam pemeriksaan Peristiwa 3 Juli pada
permulaan tahun ini. Dalam pemeriksaan itu sudah terbukti, bahwa Tan Malaka
tidak bersangkut paut dengan “penculikan” Sutan Syahrir atau Amir Syarifuddin
dan tidak tahu-menahu dengan peristiwa di istana Presiden. Para pembaca yang
ingin mendapatkan kritik yang luas dalam sempurna atas “Pengumuman Resmi” itu
saya persilahkan saja membaca Sapta Dharma, pembelaan Mr. Moh. Yamin yang sudah
terkenal dan mendapat sambutan baik sekali dalam masyarakat yang sedang
ber-revolusi ini, Sapta Dharma yang tetap akan menjadi suluh atas beberapa
halaman sedih dalam sejarah-revolusi Indonesia ini.
Di sini saya
cuma merasa perlu menambah dua tiga keterangan saja, yang bukan dimaksudkan
sebagai sesuatu kupasan (analyse), yang sudah lebih daripada cukup dilakukan
oleh teman-teman sepenjara yang tersebut di atas.
Pertama:
Kunjungan sdr.
Sukarni kepada Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 31 Oktober 1945, yang
disebut dalam “Pengumuman Resmi” sebagai pelaksanaan bermula dari maksud
mendudukkan Tan Malaka menjadi Kepala Negara Republik Indonesia” itu baru saya
ketahui sesudah membaca “Pengumuman Resmi” pada akhir tahun 1946 itu.
Sebelumnya waktu tersebut mungkin Moh. Hatta cs dan Sukarni sajalah yang
mengetahui hal itu.
Sampai sekarang
(Maret 1948) saya masih berkeyakinan bahwa bukanlah kedudukan (status) Presiden
itu saja, yang akan memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan kewajiban
saya sebagai warga negara Indonesia buat menyokong revolusi ini. Bahkan
disamping itu saya mempunyai pandangan, bahwa status Presiden, seperti yang
dikenal di Indonesia sekarang ini, bukanlah satu sine qua non, satu jaminan
mutlak bagi kejayaan sesuatu revolusi. Sebagai contoh boleh dimajukan, bahwa
revolusi demokratis di Perancis pada tahun 1789 sebenarnya dipimpin oleh Club
dan Komite saja. Revolusi melawan penjajahan di Amerika Utara (1776-1782)
sesungguhnya berada dibawah pimpinan Kongres Baru setelah lebih kurang tujuh
tahun revolusi Amerika Serikat selesai (ialah tahun 1789) jadi tiga belas tahun
setelah revolusi meletus, barulah Presiden dipilih. Yang terpilih ialah seorang
pemimpin pertempuran dalam revolusi itu sendiri (George Washington). Dalam
hakekatnya, maka revolusi Bolsjewik di Rusia (7 November 1917) berada di bawah
pimpinan Partai Bolsjewik dan Soviet (Rapat) Buruh, Tani, Tentara, walaupun
Diktator Proletar Rusia juga mengenal Presiden.
Kedua:
Persatuan
Perjuangan bukannya dibentuk karena kunjungan pemuda (1945), sekarang (1948)
dewasa Sukarni kepada Drs. Moh. Hatta tidak berhasil. Persatuan Perjuangan
dibentuk atas dasar yang lebih penting dan dasar yang lebih kuat-kokoh.
Persatuan
Perjuangan dibentuk sesudah nasehat saya kepada Sutan Syahrir di Serang pada
satu pertemuan pada permulaan Oktober 1945, yang dihadiri ± 20 orang pemimpin tidak
berhasil. Saya memperingatkan kepada para pengunjung antara lain, bahwa kalau
satu partai didirikan niscaya kelak akan timbul “partyen en partytjes” sebagai
jamur di musim hujan. Dengan demikian maka akan sukar sekali mempersatukan
perbagai partai itu dikemudian hari. Saya usulkan saja memperkuat pemerintahan
dan alatnya yang ada dengan para pemimpin yang revolusioner, yang belum masuk
pemerintahan.
Setelah
memangnya “partyen en partyen” muncul seperti jamur itu, disamping berbagai
badan da kelaskaran; setelah pengalaman saya sendiri dimasa pertempuran di
Surabaya, memperingatkan betapa besarnya bahaya perpecahan diantara dan dalam
partai, badan dan kelaskaran dan perlunya persatuan; setelah mendengar kabar
datangnya Van Mook dengan usul “Rijksverband-nya” yang terkenal itu, maka timbullah dalam pikiran saya maksud
mendirikan dan mempelopori Persatuan Perjuangan dengan Program yang
nyata-tegas, yang terkenal dengan MINIMUM PROGRAM.
Sesudah menjalankan segala usaha persiapan di Malang,
Cirebon dan Yogya (Desember 1945), maka akhirnya dapatlah dibentuk Persatuan
Perjuangan itu pada tanggal 4-5 Januari 1946 di Purwokerto. Minimum Program,
yang pada tanggal 5 Februari saya usulkan di Purwokerto itu buat dipelajari masak-masak
dapatlah dirundingkan disahkan dalam Kongres Solo pada tanggal 15-16 Januari
1946.
Jadinya Minimum
Program bukanlah satu Program yang “didektekan” oleh Tan Malaka, seperti,
seperti yang dibisik-bisikkan kian kemari dan sama sekali tiada ditujukan kepada
“kedaulatan Presiden”. Persatuan Perjuangan ditujukan terhadap usaha imperialis
dan kaki tangannya, yang bermaksud melanggar ISI dan tujuan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta “merebut kekuasaan Negara
(Indonesia) dengan perkosa” dan “mendudukkan” Belanda sebagai “kepala” penjajah
atas Indonesia.
Ketiga:
Terpisah dari
sikap setuju atau tidak setuju saja dengan aksi beberapa pemimpin seperti bekas
Jenderal Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, dan lain-lain pada
tanggal 3 Juli 1946, maka seandainya (saya ulang lagi seandainya) saya
bermaksud hendak “merebut kekuasaan Negara dengan perkosa” maka tentulah dan
logisnya pula saya harus bertindak menurut “Aksi-Murba-Teratur” (Massa Aksi).
PARI didirikan
pada bulan Juli 1927 sesudah PKI hancur, dengan maksud menegakkan cara “MASSA
AKSI”. Sekarangpun saya masih 100%
percaya kepada sistem Aksi Murba Teratur buat merobohkan sesuatu pemerintahan
yang ANTI KEMURBAAN dan untuk mendirikan sesuatu kekuasaan dari, oleh dan untuk
Kaum Murba. Tak logis dan mustahillah saya akan menjalankan ataupun menyetujui
sesuatu aksi yang oleh pihak resmi dinamakan “penculikan” dan “penyerobotan”,
yang dikalangan kami sendiri biasa dinamakan “individual terror” (terror
perseorangan).
Keempat:
Seperti sudah
saya terangkan terlebih dahulu, maka sebagai akibat usul saya sendiri, ialah
usul mengadakan Aksi Murba Teratur, pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta,
sebagai suatu “krachtpoef” (ujian
kekuatan), maka diluar kemauan dan dugaan saya sendiri Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Moh. Hatta “meletakkan jabatannya” (demissioner), sebab tidak
menyetujui MASSA AKSI yang juga tiada disetujui Kempetai Jepang, tetapi
disetujui oleh MURBA JAKARATA RAYA, walaupun dilarang.
Kabinet Syahrir
pun, terpaksa meletakkan jabatannya pada penghabisan bulan Februari di Solo,
setelah Sidang BPKNIP di Jakarta dan Sidang KNIP Pleno di Solo pada bulan
Februari juga menyatakan persetujuannya dengan Persatuan Perjuangan serta
MINIMUM PROGRAM-nya. Sedangkan Sutan Sjahrir tiada menyetujui keduanya itu.
Sudah
sewajarlah, bahwa kedua corak pemeberontakan, baik presidentiil ataupun
ministeriil yang tiada sanggup menjalankan massa-aksi, dan yang jatuh
sendirinya dengan tiada disengajai itu, setelah berlangsungnya massa-aksi atas
kemauan rakyat/pemuda itu...pemerintah semacam itu tak perlu pula sengaja
dijatuhkan lagi.
Dan sesungguhnya
pula, berhubung dengan masih berlakunya “SURAT WARISAN”, yang ditanda tangani
oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas inisiatif Presiden
Sukarno sendiri, tertanggal 1 Oktober 1945, dimana ditegaskan bahwa kalau
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiada berdaya lagi meneruskan
Perjuangan Rakyat Indonesia ini, maka
pimpinan Revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dll, maka sangatlah
tidak cocok dengan pikiran sehat, kalau disangka, bahwa Persatuan Perjuangan
itu didirikan dengan maksud hendak menjatuhkan Presiden Sukarno ataupun wakil
Presiden Moh. Hatta yang dengan ikhlas membubuh tanda-tangannya di bawah
Sura-Warisan tersebut, dan sampai waktu ini belum mencabut “SURAT WARISAN” itu.
Saya yakin,
bahwa jika sekali saja Presiden Sukarno menerima undangan Persatuan Perjuangan
yang berkali-kali dimajukan itu dan mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan
dan dengan sepatah dua patah kata saja Presiden Sukarno mengucapkan
persetujuannya, maka dengan sekejap mata saja akan terbentuklah persatuan yang
erat antara rakyat, Persatuan Perjuangan (dengan 141 organisasinya) dan
Pemerintahan. Dalam hal ini pastilah hasil sejarah-revolusi Indonesia akan
berlainan dengan apa yang terdapat sampai sekarang (1948)
Persatuan
Perjuangan yang dibisik-bisikkan kian kemari tak pernah mengucapkan “berdiri di
belakang Pemerintah Sukarno-Hatta” itu boleh mengembalikan bisikan semacam itu
dengan pertanyaan: “Apakah Bung Karno dan Bung Hatta mau berdiri di depan
Persatuan Perjuangan di atas “MINIMUM PROGRAM”?
Kelima:
Setelah
pemeriksaan perkara “peristiwa 3 Juli” oleh Mahkamah Tentara Agung, maka
ternyata sudah, bahwa tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946 itu dilakukan oleh
Tiga Serangkai, teman separtai Sjahrir-Amir-Sudarsono (tentulah) dengan
persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, kabarnya pula atas
desakan Delegasi Inggris/Belanda, untuk melancarkan perundingan
Indonesia-Belanda, dengan maksud mencapai “kerjasama” antara Belanda (tetap)
Penjajah dengan rakyat Indonesia, yang sudah memproklamirkan kemerdekaan 100%
pada tanggal 17 Agustus 1945. Perundingan itu menukar sifatnya perjuangan, yang
dilakukan oleh Persatuan Perjuangan dengan perjuangan yang dilakukan oleh Tiga
Serangkai Separtai tadi yang disetujui oleh Sukarno-Hatta. Perundingan itu
menukar dasar tujuan 7 pasal Minimum Program dengan 5 Program Pemerintah;
menukar diplomasi bambu runcing dengan diplomasi berunding.
Hasil penukaran
dasar Tujuan dan siasat Berjuang itu sudah menelorkan Perjanjian Linggarjati
dan Renville, serta mendesak Republik Indonesia ke tepi jurang penjajahan.
Demikianlah,
diukur dengan hasil diplomasi-berunding, maka Fitanah- Beracun, yang dikirimkan
kepada kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun
berbalik kepada para pengirimnya sambil merusak binasakan Badan dan Jiwa
Perjuangan Rakyat/Pemuda Indonesia.
Selesai ditulis
di bulan Maret 1948 dalam Rumah Penjara Madiun
Ttd
Tan Malaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar