Kamis, 07 April 2016

Buku Tiga



DAFTAR ISI


Pengantar Penulis
Daftar Isi
Pandangan Hidup (Weltanschauuung)
Negara (State)
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Timbul – Tumbuhnya Republik Indonesia
Dari Ir. Sukarno ke Presiden Sukarno
Di Sekitar Peristiwa Proklamasi
Ke Arah Persatuan Perjuangan
Persatuan Perjuangan
Putusan Kongres Pembentukan “Persatuan Perjuangan”
Pertentangan Antara: Diplomasi dengan Massa Aksi
Samakah Program Pemerintah dengan Program Persatuan Perjuangan?
Linggarjati dan Renville
Penangkapan di Madiun























Pengantar Penulis

Dasar dan tujuan bagian terakhir ini berlainan dengan dasar tujuan bagian yang sudah-sudah.
Bagian ini berdasarkan tahanan dalam penjara Republik dan ditujukan kepada pengadilan. Berhubung dengan itu, maka isinya tulisan ini agak abstract (melayang) teoritis dan agak banyak mengandung sifat polemik (menantang). Sedikit banyak dikemukakan di sini soal pemandangan hidup (filsafat), soal Kenegaraan (State), soal Persatuan Perjuangan, soal Perundingan Indonesia Beland dan lain-lain. Semuanya itu diarahkan kepada pembelaan atas “tuduhan” yang sudah dimajukan kepada kami (Pengumuman Resmi Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1946) dan kepada “tuduhan” yang masih kami tunggu-tunggu dari kejaksaan sampai bulan Maret 1948, bila bagian ini sudah selesai kami tulis. Jadi bagian mengenai keadaan sampai Maret 1948 ini. Lowong waktu, semenjak Maret 1948 ini sampai kami keluar penjara Magelang tanggal 16 September tahun ini juga, yang belum tertulis dalam bagian inilah, yang kami tambahkan pada “Kata Pengantar” ini. Tetapi beberapa peristiwa, seperti “penanaman” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpanan” bom di dalam penjara Madiun, dan “penyimpana” trek bom di belakang sel kami di Magelang serta lain “persiapan” lawan politik kami, yang mungkin akan banyak juga menarik perhatian para pembaca terpaksa kami lampaui saja.
Tulisan dalam bagian ini tiada bisa berupa pembelaan yang sempurna. Karena tuduhan yang pasti ter-formulir oleh pihak “yang berhak” ialah dari Kejaksaan rupanya tidak dapat dimajukan. Pembelaan yang pasti dan sistematis, teratur, tentulah tiada pula bisa dibentuk atas tuduhan yang masih ditunggu-tunggu, bahkan diraba-raba saja. Tulisan kami ini juga tidak dimaksudkan sebagai pembelaan, melainkan sebagai bahan persediaan buat pembelaan yang mungkin akan dilakukan, tetapi tak pernah dilakukan.
Berhadapan dengan “tuduhan” dari “Pengumuman Resmi” tanggal 6 Juli 1946, yang dalam surat kabar di mana-mana sering dikepalai dengan “COUPT D’ETAT TAN MALAKA KANDAS”, maka pada pertemuan pertama dengan para Wakil Kejaksaan, yakni tanggal 1 November 1946 di Mojokerto, sudah saya majukan: Supaya saya dihadapkan ke depan Pengadilan Umum.
Baru pada permulaan bulan Pebruari 1948, jadi hampir dua tahun lamanya di tahanan, barulah saya berhadapan kembali dengan soal tahanan atas diri saya dengan perantaraan Wakil Kejaksaan. Tetapi anehnya pula, pada pertemuan ini, di mana tuduhan tertulis dimajukan, saya sendiri, yang selama ini terkenal sebagai pemimpin “COUP D’ETAT” (dan saudara Sukarni) tidaklah termasuk ke dalam daftar tertuduh, ialahP: bekas Jendral Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Budhiarto, Dr. Buntaran, Dr. Buntaran, Moh. Saleh Djojoranoto dan lain-lain.
Semenjak permulaan Pebruari 1948 ini, maka Tan Malaka tidak lagi disangkutkan kepada “COUP D’ETAT TAN MALAKA” itu. Tetapi anehnya dia tidak pula dibebaskan dari tuduhan dari  penjara. Sebagai alasan buat terus menahan saya dituliskan saja secara tersambil sebagai tuduhan diri saya, ialah karena melakukan “opposisi yang illegal”.
Seolah-olah mudah ditentukan “oposisi yang legal” (yang sah menurut undang-undang) dalam satu masyarakat, yang sedang bergelora, memberontak, memperjuangkan kemerdekaannya. Seolah-olah gampang saja menetapkan pengertian “opposisi yang legal dan illegal”, sah atau tidak sah dalam satu masyarakat yang sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang memberontak, menghancurkan yang lama dan sedang membentuk yang baru, di mana pemerintah dan pengadilannya belum pernah dipilih dari, oleh dan untuk rakyat, bilamana sedang diadakan ujian untuk menentukan golongan manakah kelak dalam masyarakat Indonesia kita ini (feodal, borjuis, atau Murba?) orang tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa sesuatu revolusi itu, suatu pemberontakan itu, ialah suatu tindakan seluruhnya atau sebagian masyrakat, yang akan menentukan apa yang legal dan apa ilegal: De revolutie zelf is rechtsbroen schep pende rechtsbron, kata Crabe, salah seorang dari Maha Gurunya para jurist kita di Indonesia ini. (Revolusi itu sendiri adalah sebuah sumber hukum yang sedang membentuk sumber hukum!). Dan akhirnya seolah-olah Kejaksaan yang berpendidikan, berpengalaman dan masih bersemangat hukum kolonial itulah yang berhak menetapkan “legal atau tidaknya” sesuatu “opposisi”-nya Pimpinan Rakyat yang sedang memperjuangkan 100% merdeka dari status kolonial itu.
Dengan kandasnya tuduhan yang berdasarkan “Pengumuman Resmi”, sebenarnya menurut peraturan yang lazim dipakai, maka perkara saya sudah tidak bisa lagi dimajukan ke depan hakim. Pada saat itu juga, ialah pada permulaan Pebruari 1948 ini, sesudah hampir dua tahun saya ditahan zonder tuduhan dari kejaksaan sesungguhnya saya harus dibebaskan. Tidak lagi pada tempatnya, kalau Kejaksaan memajukan tuduhan kedua, ialah tuduhan “menjalankan illegal opposisi” tadi. Dengan mengadakan tuduhan yang kedua itu, maka kejaksaan sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Filsafat Hukum, yang terkenal dengan perkataan nobis in idem. Dilarang pula oleh Hukum Adat yang “tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas” yang mengucapkan kalimat tersebut dengan: Kata dahulu ditepati, kata kemudian dicari-cari. Artinya itu, “kata dahulu” atau “tuduhan yang bermulalah” yang boleh dianggap sah. Sedangkan “kata kemudian” atau tuduhan yang kemudian itu adalah tuduhan yang dicari-cari saja: tidak sah. Dalam hal ini, maka menurut Hukum Adat si-Tertuduh harus segera dibebaskan.
Bahwa sesungguhnya, maka dengan menukar “Pengumuman Resmi” itu dengan “illegal opposisi” perkara kami belum kami anggap selesai begitu saja. Karena, kalau tuduhan sepanjang “Pengumuman Resmi” memangnya mengandung sesuatu pelanggaran, maka saya harus lekas dituntut dan diadili atas tuduhan itu juga. Tetapi kalau “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” tidak benar, maka para Pembikin “Pengumuman Resmi” harus dituduh sebagai pembikin hasut-fitnah (slander) dan harus diadili. Dengan membiarkan terus adanya “Pengumuman Resmi” dengan segala akibatnya itu, atau berlaku pura-pura tidak tahu akan ada dan akibatnya “Pengumuman Resmi” itu, maka Badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang, atau Dewan Perwakilan) dan bebas dari Badan Eksekutif (Pengadilan Undang, ialah Pemerintah) Badan Pengadilan (Judical atau Pengawas Undang), yang katanya objektif (tak memihak) dan dipimpin oleh “para ahli” itu sudah menjadi alat dari golongan atau orang, yang memegang kekuasaan. Hukum Adat pun sudah melintasi hal semacam itu dengan pepatah: “Tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan” (Artinya: “Yang dekat diperut, ialah keluarga dan tiba di mata ialah sahabat tidak diadili). Sesuatu Undang menurut Hukum Adat, mestinya tidak pula memandang tinggi rendahnya kedudukan orang yang harus diadili: “Tinggi kayu arau dilangkahi, rendah ilang-bilang diseluduki”. Artinya : Undang berada lebih tinggi dari pada yang tinggi daripada yang tinggi dan lebih rendah daripada yang rendah (Murba). Seorang Raja di Minangkabau pernah diadili dan dipersalahkan oleh Pengadilan Rakyat. Bukan pula pernah seorang Presiden di Amerika Serikat diadili?
Sesungguhnya kalau satu tuduhan bisa ditukar dengan tuduhan lain ( dan memangnya pula tuduhan menjalankan “illegale opposisi” itu selama lebih kurang delapan bulan tak bisa dilaksanakan oleh kejaksaan!) maka dengan tukar menukar tuduhan terus-menerus ad infinitum, maka saya boleh mempersiapkan diri buat hidup terus (belum tentu hidup terus!) dalam penjara. Dan ini memangnya kehendak beberapa orang yang berada di dalam dan di luar Pemerintahan, karena politik saya bertentangan dengan politik mereka itu. Tetapi adalah beberapa faktor di luar kehendak lawan politik, yang kebetulan memegang kekuasaan itu!
Syahdan dari semula tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946, maka hampir semua kumpulan besar kecil, kecuali “Sayap Kiri” (kemudian bernama F.D.R) menuntut, supaya perkara kami lekas diperiksa. Kami tahu bahwa massa dalam Masyumi umumnya dan para pemuda G.P.I khususnya P.N.I umumnya (kecuali beberapa pemimpinnya!) dan Pemuda Demokrat khususnya cukup memberikan perhatian kepada perkara kami B.P.K.N.I.P dan Dewan Pertimbangan Agung pun di belakang hari mendesak supaya tahanan politik dibebaskan.
Salah satu Organisasi Pemuda, walaupun dalam keadaan terancam, tampil ke muka dan dengan tegas prawira menuntut pembebasan kami sambil membela bunyi ISI Minimum Program. Di mana-mana kami berada, Pemuda kami itu berada pula mengelilingi tembok penjara, sebagai anak harimau mencari ibunya. Setiap langkah yang kami langkahkan di dalam penjara atau dari penjara ke penjara, kami lakukan dengan keinsyafan, bahkan ada mata pemuda, yang mengikuti langkah kami. Veteran-Revolusi mana, yang tak akan merasa tetap tenang detak jantungnya serta tetap tegap langkahnya, kalau dia insyaf, bahwa di kiri kanannya berayun-ayun langkah derap tegap dari pemuda yang penuh dengan keikhlasan dan kesatriaan? Yang memegang kekuasaan pun tentu tahu akan sikap pemuda kami itu, dan siapa pemuda kami itu
.Partai Rakyat (kemudian bernama Partai Murba) dari suara sayup sampai ke suara tenang tegas menuntut pembebasan kami, baik dalam konferensi atau kongresnya.
Akhirnya Partai Rakyat pada kongresnya ke-1 di Yogya tanggal 10-11-12 Agustus 1948 ini mendesak Pemerintah supaya selekasnya TAN MALAKA Cs dibebaskan, sebab (1) alasan penangkapan (tuduhan) tidak cukup, karena penangkapan dilakukan atas permintaan Delegasi untuk dapat melangsungkan perundingan dengan musuh, (2) penahanan sudah cukup lama dan nyata, bahwa sesudah penangkapan Tan Malaka cs (17-3-1946) nyata-nyata perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah merosot dan sangat merugikan jalannya revolusi kita.
Partai Rakyat dan Akoma, bersama-sama dengan Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat yang dibantu oleh pelbagai kelaskaran (Laskar Rakyat Jawa Barat), Barisan Banteng, Tamtomo, Anak Pelaut dan lain-lain) menggabungkan diri dalam Gerakan Revolusi Rakyat (G.R.R). Suara G.R.R berkumandang di mana-mana dan terus terang, zonder tedeng aling-aling mengatakan, bahwa dia meneruskan Minimum Program Persatuan Perjuangan dan menuntut pelaksanaan demokrasi dengan membebaskan tahanan politik. Di samping organisasi politik itu tidak pula boleh dilupakan suatu dan tuntutan pers, seperti s.k. Murba, Pasifik, almarhum Genderang (Cirebon) dan Majalah Godam Jelata (Krawang), Obor Rakyat, Kedaulatan Rakyat dan sebagainya.
Seluruh Sumatera umumnya dan Sumatera Barat khususnya pada permulaan penangkapan bersikap bimbang, ragu-ragu mendengarkan hasut fitnah dari “Pengumuman Resmi” dan dari beberapa “Pemimpin Besar”. Tetapi akhirnya kebenaran dapat juga menerobos kabut hasut-fitnah yang jahanam terkutuk itu. Dari suara sayup yang dipelopori Pepari dan di belakang hari diperkuat pula oleh Partai Rakyat, maka rakyat Sumatera akhirnya menuntut pembebasan kami. Seorang wakil Rakyat Sumatera, yang dikirim oleh rakyat di sana dapat menerobos “tirai besi” Pemerintah dan Kejaksaan di Yogya, akhirnya dapat berjumpa dengan saya dalam penjara Magelang pada penghabisan bulan Juni tahun 1948 ini. Wakil Sumatera inilah saja yang diizinkan berbicara dengan saya dihadapan empat mata, sampai pada waktu itu, oleh yang memegang kekuasaan. Dari isinya dada dan kepala wakil Sumatera inilah saya dapat membaca isinya dada kepala Rakyat Sumatera. Isi dada-kepla wakil Sumatera (teman sekolah pula di masa muda) inilah pula, yang menambah kekuatan diri saya dan batin. Suara dari Sumatera itulah yang sangat memperkuat tuntutan pembebasan kami yang sudah berkumandang di sekitar penjara di Jawa.
Telah kami cantumkan lebih dahulu tuntutan dan aksi Laskar Rakyat Jawa Barat yang sudah mengalami sejarah turun naik sampai ke tragedi 13-17 April 1947, bilamana Laskar Rakyat Jawa Barat dilucuti di Krawang dan digempur oleh Tentara Resmi dari semua penjuru. Tetapi menurut kata musuh sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat tetap memperjuangkan Minimum Program. Baik juga di sini kita biarkan musuh itu sendiri berbicara tentang Laskar Rakyat dan dasar perjuangannya. Para pembaca yang budiman kelak dapat menguji beberapa kebenaran di dalamnya.
NIEUWSGIER, S.K. Belanda, 3 September 1948, jadi ketika kami masih berada dalam penjara Magelang, NIEUWSGIER dengan kepala:
“REPUBLIK STAAKT RATIONALITATIE VAN HAAR LEGER. TAN MALAKA ZET AKTIE GEVANGENIS UIT VOORT” antara lain-lain menulis salinan Indonesia, seperti berikut:
“Republik menghentikan rasionalisasi tentaranya. Tan Malaka meneruskan aksinya dari penjara”.
“Meskipung Tan Malaka sekarang berada dalam tahanan dan dijaga dengan rapi sekali, bisa juga dia meneruskan aksinya dari penjara. Tan Malaka adalah seorang yang dapat mempengaruhi orang lain dengan sangat. Juga para penjaganya tidak sanggup melepaskan diri dari pengaruhnya. Dengan demikianlah dia bisa terus mendapatkan perhubungan dengan dunia luar. Buat ini Republik mempunyai tanda bukti yang jelas, kata SIN PO”.
“Buat melakukan aksinya Tan Malaka dapat perhubungan dengan Laskar Rakyat Jawa Barat, yang sekarang mengundurkan diri dari Jawa Barat dan di bawah para pemimpinnya yang lama, menyusun dirinya kembali di Yogya. Laskar Rakyat Jawa Barat dahulu sudah dibersihkan oleh TNI; sebagiannya di bawah Pak Panji menggabungka diri dengan Belanda. Setelah dicerai-beraikan oleh “politionele actie”, maka Laskar Rakyat menyusun dirinya kembali, sehingga dia semakin bertambah kuat, sampai sekarang dia berani menuntut berhentinya “rasionalisasi politik”-nya Moh. Hatta.
“Pendirian Tan Malaka tak pernah berubah dan apa yang sekarang dipropagandakan oleh Muso adalah sama saja, yakni memperhatikan perundingan dengan Belanda”.
“Sekarang Tan Malaka sedang bekerja melaksanakan rencana ini. Kedatangan Muso buat Tan Malaka adalah satu keuntungan. Terbukti, bahwa usahanya membentuk Folksfront tiadalah berhenti karena penangkapannya, bahkan sebaliknya mendapat kemajuan yang tetap. Banyak para ahli politik, yang berpendapat, bahwa saat ini dia memperoleh kemenangan. Tan Malaka juga tak pernah setuju dengan rasionalisasi badang perjuangan. Dia menganjurkan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk membentuk pertahanan total dengan mempersenjatai rakyat”.
“Di belakang keadaan genting sekarang (3 September) Pemerintah Hatta menerima tuntutan pelbagai organisai, ialah memperhatikan rasionalisasi. Dia malah bertindak lebih lanjut. Pelbagai organisasi tersebut mendapatkan izin buat mengembang”.
Desakan Partai, Dewan Perwakilan, Dewan Pertimbangan Agung dan desakan rakyat sudah sangat kuat pada permulaan September 1948 ini. Menurut kabar yang boleh dipercaya, desakan itu akan sampai atau hampir sampai ke puncaknya pada tanggal 19 September. Pada tanggal ini, maka G.R.R. di Jawa dan rakyat di Sumatera berniat hendak mengadakan satu Aksi Murba Teratur untuk memperkeras tuntutan Partai, Dewan dan Rakyat, yang tidak dihiraukan selama 2½ tahun ini.
Kebetulan pula tanggal 19 September itu adalah tanggal yang sangat penting buat saya sendiri. Pada tanggal ini saya dengan mata kepala sendiri menyaksikan ketabahan hati lebih kurang 200.000 Rakyat Jakarta menghadapi meriam, tank, dan pedang samurai Jepang yang terhunus. Tanggal 19 September ini bagi saya adalah satu pelaksanaan MASSA AKSI, yang bersifat ujian kekuatan (krachtproef) yang saya usulkan dan diterima oleh beberapa para menteri, tetapi ditolak oleh Sukarno-Hatta dengan peletakan jabatan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. MASSA AKSI 19 September-lah yang menunjukkan bukti kepada saya, berapa kuatnya Jepang, berapa kuat dan tabahnya Rakyat, di samping berapa sanggupnya Sukarno-Hatta melayani kemauan rakyat yang memberontak! Tanggal 19 September (tahun 1948!),  yang saya tunggu-tunggu dalam penjara itu banyak mengandung kemungkinan.

Tetapi entah karena desakan rakyat itu, semata-mata, entah ditambah pula oleh hal yang lain-lain, maka pada tanggal 16 September, tahun ini, wakil kejaksaan menyampaikan putusan Pengadilan Negeri Surakarta, di mana diterangkan, bahwa “tiadalah cukup alasan buat memajukan saya ke depan Pengadilan”.
Seperti sudah tiada rahasia lagi, maka Mahkamah Tentara Agung serta Jaksa Agungnya sendiri tidak mau dan tidak sanggup, memajukan perkara saya ke depan Mahkamah Tentara Agung dan perkara saya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Surakarta.
Badan inipun tidak mau atau tidak sanggup meformulirkan tuduhan kepada saya. Sebab itu Pengadilan Negeri Surakarta memulangkan kembali perkara itu kepada Jaksa Agung. Dari sini rupanya perkara itu ditendang kembali ke Surakarta. Akhirnya Surakarta mengambil putusan seperti tersebut di atas tadi, 3 hari sebelumnya tanggal 19 September.
Pengalaman saya dari penjara ke penjara di pelbagai tempat di dunia, selama lebih seperempat abad tidak pernah berakhir dengan kepuasan rasa keadilan Pengadilan “Hindia-Belanda” pada bulan Maret 1922, tidak “mengizinkan” saya berhadapan dengan “Gerecht, Recht en Rechtvaardigheid” ala Belanda. Amerika Serikat yang menjunjung “democracy and justice” pun tak sudi “mengizinkan” saya berhadapan muka dengan mukanya para ahli hukumnya dalam “court of justice”-nya (pengadilannya) di Manila, pada permulaan tangkapan. Inggris yang berlagak-lagak “demokratis” dan membangga-banggakan “British Justice”-nya itu cuma sanggup menahan dan mengisolasir saya berbulan-bulan lamanya dalam penjara di Hongkong pada penghabisan tahun 1932. Republik “Negara Hukum” kita pun yang katanya mempunyai “alasan” menangkap kami di Madiun, harus “berpikir” dua setengah tahun buat menyusun “tuduhan” terhadap kami. Sampai saya (dan Sukarni) dikeluarkan pada tanggal 16 September 1948 ini dari penjara Magelang, maka “tuduhan” itu belum lagi diformulirkan dimajukan kepada kami.
Bisikan gelap, yang tidak bosan-bosannya menyemburkan racunnya semenjak Persatuan Perjuangan, bahkan sudah semenjak lahirnya Tan Malaka Palsu (tahun 1936) karena pembebasan kami dari tahanan, maka selama 2½ (yang sudah nyata tak beralasan sesuatu pelanggaran hukum itu!), meniup-niup racun baru di sekitar kami dengan bisikan-bisikan bahwa kami dibebaskan buat mengimbangi PKI Muso.
Seolah-olah kami tidak tahu akan kekuatan dan kelemahannya Musso semenjak tahun 1926! Dari mula berdirinya “Pemerintah P.K.I Muso” di Madiun sampai bubarnya setelah 12 hari berdirinya, kami sudah melihat beberapa kelemahan PKI Muso dalam pelbagai syarat: (1) syarat untuk teman politik (Amir, Setiajid, Maruto cs!). (2) Syarat Ekonomi (Madiun adalah daerah Minus!). (3) Syarat Sosial (Madiun adalah 99% kota Borjuis tengah dan kecil) (4) Syarat Strategis (Madiun terbuka terhadap semua penjuru). (5) Syarat kepartaian (Peleburan PKI, PBI dan Partai Sosialis belum lagi dijalankan), apalagi dikonsolidasi! (6) Syarat psykologis moment (7) dan lain-lain syarat....”Putch” Madiun adalah ulangan “Putch” Prambanan yang pada tahun 1926 untunglah tak dapat dilakukan menurut rencana bermula. Cuma kekuatan yang tersedia dan tersembunyi pada waktu PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun pada tanggal 18 September 1948 di Madiun pada tanggal 18 September 1948 ini adalah 1001 kali lebih besar dari pada yang tersedia pada tahun 1926.
Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukkan kekuatan kepada Belanda, maka segala daya upaya akan kami bantu, walaupun bantuan itu tidak diminta kepada kami, bahkan meskipun seandainya ditolak. Dalam hal ini tak perlulah rasanya kami dikeluarkan dari penjara untuk membantunya. Sendirinya kami akan mendapat jalan. Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan kepada Pemerintah Republik yang ada sekarang pertama sekali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela kekuasaannya. Tak bisa dua kekuasaan tertinggi (authority) dalam satu negara. Rakyat harus tahu, mana pemerintah yang harus diikutinya. Berhubung dengan inilah, maka pemerintah yang adalah, yang pertama berkewajiban membela kekuasaannya, walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.
Memangnya mereka yang mendesak kepada kami, supaya menentukan sikap terhadap “Pemerintah FDR-PKI pada hari pertama, (sudah tentu dengan maksud yang baik). Tetapi dengan tegas kami tolak. Kami dikeluarkan, karena Pengadilan Negeri Surakarta, “tidak  mendapatkan alasan untuk memajukan kami ke depan pengadilan”.
Kami merasa tidak pada tempatnya dan waktunya, apabila kami ketika masih berada di dalam penjara diserang berturut-turut oleh Alimin dan Muso. Kami merasa tidak jujur-konsekuen, kalau Muso yang sedang terlibat dalam “Pemerintah FDR-PKI-nya” akan kami serang pula. Apakah pula lagi, kalau kami membiarkan diri kami (yang tentulah pula akan-nyeret teman dan anak seperjuangan kami!) dipakai sebagai Alat Pemukul  PKI Muso oleh Pemerintah ini, yang 2½  tahun lamanya menyebabkan dan membiarkan kami meringkuk dalam bermacam-macam penjara.
Garis politik kami cukup jelas buat kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir tiga tahun ini. apabila kami dalam keadaan sunyi terasing serta sering dalam bahaya  dan dilingkungi oleh beberapa kawan seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula, masakan kami sesudah mendapatkan persetujuan dan kawan dari pelbagai pihak akan meninggalkan garis politik, yang sudah mengalami ujian itu. untuk melanjutkan perjuangan kami di atas garis itu tidaklah perlu kami berjual beli dalam hal politik dan moral.

Yogyakarta, Oktober 1948                                         

TAN MALAKA



























PANDANGAN HIDUP
(Weltanschauung)


1. MANUSIA MONYET

Puluhan ribu tahun lampau, dikala yang sudah gelap gulita bagi peringatan kita sekarang, di masa mungkin Kepulauan Indonesia masih bersatu antara yang sebuah dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia, bahkan mungkin juga dengan Australia, terjelmalah di sini, menurut ahli, dekat desa Trinil, suatu mahluk setengah hewan, setengah manusia, yang oleh ilmu dinamai Pithecantropus erectus, manusia monyet.
Lain tempat pun di muka bumi ini, seperti di Tiongkok Utara, di Afrika Selatan serta di Eropa Selatan dan Tengah, terdapatlah mahluk yang semacam itu pula.
Semenjak Charles Darwin, maka banyak sekali para ahli ilmu biologi mendapatkan pemandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selamanya ini tentang asal-usul dan hari akhirnya manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara juta-jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universos kita ini.

2. INDONESIA SEDERHANA

Kembali kita kepada alam kita ke Indonesia tadi serta kembali kita memperamati mahluk penduduknya! Maka kinipun Indonesia masih dapat mempersaksikan manusia pada tingkat yang sederhana-rendahnya, yang berada di antara hewan yang paling tinggi derajatny, seperti orang hutan, dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yng masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Papua di hutan dan gunung Pulau Papua masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya dari alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otak dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau manusia buas yang lainnya. Buah kayu berlainan tempat dan berlainan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidupnya mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting dan daun kayu dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran yang diatas yang memangnya lebih kurang masih terdapat beberapa bagian di Kepulauan Indonesia ini, saya majukan, untuk memberi penjelasan, betapa rapat dan tempatnya perhubungan alam dengan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tiadalah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak terus menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan buat membela diri terhadap mahluk yang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan memang belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi di mana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, maka di sana tenaga dan otak penduduk Indonesia pula menunjukkan kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyrakat yang berubah itu.
Sungguh besar perbedaan alam-jiwanya seorang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak dan Papua seperti tergambar di atas tadi dengan alam – jiwanya seorang Indonesia desa atau kota seperti: tani, buruh, dokter, insinyur atau jurist. Tetapi dengan tiada sangsi, dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan, bahwa seorang Dayak atau Papua pun, jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia beradab dengan sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan perkataan lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.

3. ANIMISME

Rupanya perbedaan alam sekitar itulah yang menjadi alat adanya perbedaan pandang hidup, Weltanschauung Indonesia beradab dengan Indonesia sederhana itu. Buat menginsafkan hal ini, maka baiklah kita sekejap mengandaikan kita sendiri berada ditengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan atau Papua. Buat penduduk kota, ataupun buat hampir semuanya penduduk Pulau Jawa, agak susah menginsafkan betapakah dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon kayu yang besar tinggi menyolok ke angkasa; cuaca yang selalu gelap gulia karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan binatang buas atau berbisa, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, sebagai manusia, menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam itu.
Bagi manusia yang bermula berpikir, yang bermula sekali mencerminkan alam luar yaitu kepada alam dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya itu disebabkan oleh jiwa yang berada di alam luar, yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa ditekan oleh jiwa pula, seperti pohon kecil cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar.
Demikianlah dimatanya orang sederhana itu semua benda yang dahsyat disekitarnya mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang – dahsyat; air mancur yang bergemuruh; binantang buas yang berbahaya bahkan batu dan kayupun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti thesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum begitu terpisah dalam pandangannya. Orang sederhana memuja bukan yng baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya yang baik dan buruk. Hantu yang jahat tiada kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang baik, ialah hantu kawanannya manusia. Tentulah di mana alam sangat dahsyat disanalah hantu jahat, harimau, raja hutan, atau sang Buaya lebih mendapat perhatian daripada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu, pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham, yang oleh para ahli dinamai kepercayaan Animisme. Semuanya yang ada di alam ini dianggap berjiwa, bernyawa.
Dalam perkenaan manusia sederhana, bangsa kita tadi dengan alamnya di mana manusia itu berlaku semata-mata passive, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa ini pun berlakulah hukum Dialektika, yakni perubahan bilangan, sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quality into quality). Dalam pencaharian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, maka lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala korban dan pujaan kepada salah satu yang paling ditakuti diantara banyak yang ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah maha pujaan kepada maha hantu,yang paling dipentingkan cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Di mana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sangat dipuja. Disinilah hantu pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai maha hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih daripada yang jahat. Kabarnya konon, adalah satu suku bangsa Papua yang menganggap pohon aren (enau), sebagai Tuhan dalam arti Maha Dewa. Bukanlah pula pohon aren, diantara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang tersebut di atas memberikan segala-gala yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu aren adalah makanan yang sehat dan mengandung kekuatan. Ijuknya (aren) boleh dipakai buat atap rumah. Rujungnya aren boleh pula dipakai sebagai tombak menangkap ikan dan pembela diri terhadap musuh.
Seorang Papua asli Cuma membutuhkan tujuh pohon aren yang berumur berturutan dari 1 sampai 7 tahun. Tebanglah pohon yang ketujuh, yang berumur 7 tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seseorang anggota, ialah memotong sepohon sagu sekali setahun dan menanam sepohon sagu sekali setahun. Selain itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau suka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pembikin segala-galanya dan berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Papua. Sederhana, Dewi Sagu disanjung dengan segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada mahluk manusia disekelilingnya.

4. KEPERCAYAAN INDIA

Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini juga, dan kemasyarakatan lain pula, ke India! Salah satu kesimpulan, yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarata, Ramayana dan Upanishad, dan tulisan tentang hidupnya Gautama Budha dan agama Budha, ialah bahwa pertama sekali India mempunyai penduduk asli dan penduduk yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan.
Kedua, bahwa masyarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas penghasilan yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari Komunis Asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa Raja dan Maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan Komunisme Asli.
Keempat, dan inilah yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakat di masa itu, buat mereka yang berpedoman Dialektisme Idealistis.
Memangnya dalam kitab suci itu sukar diperoleh Historicals Facts (kejadian sejarah) dan sukar pula didapat consistency, ialah persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sence. Malah tarich-pun ialah salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksud kita disini tiada pula akan mengambil sesuatu kesimpulan secara pasti dari buku suci yang tiada berdasarkan Historical Facts itu. Cuma sekedar menimbulkan bayangan sebagai sesuatu petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubung dengan dongeng Ramayana, maka sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet-putih Hanoman itu benar sesuatu penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tidak lebih tepat Hanoman, Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, ialah bangsa Kaukasia juga, yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula, bahwa perkataan monyet itu cuma suatu ejekan dari bangsa India Asli, yang berwarna hitam, seperti bangsa Keling? Kitapun di Indonesia ini mengenal ejekan itu terhadap orang Asing Putih penjajah ialah Kebo Bule-Siwer Matane.
Bagaimanapun juga, bagi saya dongeng moyet putih itu adalah suatu pentunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit tegap, yang kita peroleh dari dongengan monyet itu, ialah bahwa India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli ataupun yang masuk menyerbu.
Mungkin sekali pula perbedaan kasta, yang belum pasti berbentuk dalam Kitab Suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi lebih kurang 3.000 kasta pokok, cabang dan ranting di masa imperialisme Inggris, perbedaan kasta itu pada permukaannya bersandar kepada perbedaan bangsa.
Yang tidak kurang pula memberi suggesti kepada saya, ialah adanya Trimurti, adanya Tiga Maha Dewa Hindu, ialah Whisnu, Shiwa dan Brahma, Pembangun, Perusak dan Pemelihara. Banyak orang yang melihat pelaksanaan Dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memangnya pula banyak ahli Dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas Dialektika, walaupun Dialektika Idealisme, bukan Dialektika Materialisme, meskipun Hegel menganggap Dialektika Hindu itu kekurangan perkenaan antara satu faktor dengan faktor yang lain, ialah antara thesis dan anti thesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari Maha Dewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu adalah cocok sekali dengan pemandangan hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir maupun batin. Tiada sukar membelokkan proses tersebut kepada Trimurti-nya Hegel, ialah thesis, anti-thesis dan synthesis. Cuma buat Hegel, seorang profesor dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku di dalam otak manusia. Sedangkan buat orang Hindu Trimurti itu adalah Maha Dewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita ini termasuk juga hidup dan matinya manusia.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lainnya akhirnya mendapatkan Tiga Maharaja ataupun satu Maharaja yang terutama.
Terhadap Tiga Mahadewa itupun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya, yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Demikianlah di Hindustanlah sendiri pada satu waktu atau satu tempatlah Whisnulah yang dipuja. Pada lain waktu dan lain tempat Shiwa atau Brahma-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai Dewa dan Maha Dewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai Raja dan Maharaja di dunia lahir, ialah dunia politik, tetapi pula mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarakat Hindu itu berpuncak pula pada Tiga Kasta Pokok, ialah Kasta Brahma, Kasta Satria dan Kasta Waisa, atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat dan Kasta Saudagar. Semua kasta berpuncak pada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut hukum Karma dan Reincarnatie, seseorang harus melalui Kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang anggota Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam Surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria mendengarkan bacaan Kitab Suci-pun didunia fana inipun tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan kasta yang tidak boleh bercampur gaul dengan satu dan lainnya. Lama sebelum Nabi Isa-pun rupanya perpisahan masyarakat Hindia dalam beberapa Kasta itu sesudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung peri kemanusiaan. Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari Raja Kapilawastu. Gautama Budha membantah keras pembagian manusia didalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahma sajalah yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh.
Proses mendemokratisirkan masyarakat Hindu yang mulai pada lebih kurang 500 tahun sebelum Nabi Isa itu berakhir dengan kemenangan agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, ialah dibawah pemerintahannya Adji Soko.
Tetapi aksi yang dilakukan oleh Gautama Budha beserta para pengikutnya, yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya tahun 500 itu diikuti oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bermerajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke 14 maka masuklah dari jurusan Utara, agama baru, yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelumnya imperialisme Eropa memasuki India, maka orang Islamlah yang menjadi Maharaja di Hindustan.

5. INDONESIA – INDIA

Gerakan pandangan hidup di India seperti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini.
Disinipun kita mengenal beradanya diberlainan tempat dan diberlainan waktu Trimurti, Mahadewa Brahma, Whisnu dan Shiwa. Kita pun mengenal perkembangan dan penguasaan Agama Budha. Akhirnya Indonesiapun mengalami pengembangan dan penguasaan agama Islam.
Dengan mengembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun, maka mengembang dan berkuasalah pula bangsa Hindu (di belakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu mengembang dan berkuasalah pula agama Hindu dan Arab itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu, pada puncak kekuatan masing-masing agama Hindu atau Arab-pun maka kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, ialah animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarangpun para hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air mancur yang terus menerus menuangkan airnya itu, masih menekan jiwa seseorang Indonesia yang menghampirinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu adalah sesuai dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebu. Perdagangan dan Perusahaan Asing walaupun mengembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia belumlah pernah bangsa Indonesia dari tangannya. Tegasnya, sawah ladang serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah air dan udara masih tetap berada di dalam genggaman bangsa Indonesia asli.
Dengan demikian maka masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat dalam genggamannya, tanah, air dan udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya pemerasan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhanan sekali. Demikianlah pula cocok dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh-membunuh untuk mendapatkan nafkah, maka para arca dari bermacam-macam Maha Dewa pun bisa duduk berdampingan dalam satu gedung berhala. Berbeda dengan keadaan di negeri asalnya sendiri maka di Jawa-Surga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Whisnu, sambil bersenyum-senyum.

6. DISEKITAR NABI MUSA

Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah Sungai Nil di Mesir, ketika di bawah perintahnya Maharaja Firaun. Di sekitar bagian bumi disanalah kita mendapatkan bukti. Sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali diantara sekalian bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi manapun juga.
Egypte Mesir, di zaman ribuan tahun lampau itu mengenal bermacam-macam Dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, ialah Dewa Mataharilah yang mendapatkan kehormatan dan pujian sebagai Maha Dewa. Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rahlah yang memfirmankan, bumi, langit, sungai Nil, dan gurun pasir, beserta hewan dan  manusia. Semuanya itu berbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja, yaitu “Ptah”. Jadi berlainan dengan pemandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikianlah pengertian Maha Kuasa yang sanggup menciptakan yang ada, atau benda dari yang tak ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Maha Kuasa inipun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Firaun itu berada sebagai bangsa budak yang terhina, berhijrah di Kerajaan Firaun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing ditengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka pada suatu waktu bangsa Yahudi memutuskan hendak pindah ke “tanah susu dan madu”,yang menurut kepercayaan Yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
Buat suatu bangsa budak, yang hidupnya bergembala dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, makna satu daerah bumi, di mana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.
Seseorang yang memimpin pemindahan ke Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Firaun yang bersenjata lengkap patutlah dinamai seorang pemimpin dalam arti kata yang sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Firaun, kalau pemimpinnya bukan seorang pemimpin, seperti Nabi Musa. Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa akan dianggap sesuatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua, muda, bayi, laki-perempuan, sehat dan senang yang sering bercekcok satu sama lainnnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagiannya terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Firaun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar dibelakang, dalam keadaan sedemikian Cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifat manusia serta keadaan alam disekitarnya, yang dikandung oleh Nabi Musa; pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin berlaku di hari depan; kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan idaman; serta akhirnya, tetapi tiada kurang artinya kepercayaan yang tiada dapat dilunturkan oleh bahaya maut pun atas pertolongan yang sudah “dijanjikan oleh Jehovah, Yang Maha Kuasa kepada leluhurnya bangsa Yahudi” dalam waktu menuju ke “Tanah susu dan madu’ yang dijanjikan itu, yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi semua kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat dan zaman bahagia, dengan tiada berkompromis sedikitpun dengan musuhnya yang 1001 kali pula lebih kuat.
Pemimpin yang Maha Ulung dari satu orang yang mempunyai cuma satu tujuan dan satu tekad, bilamana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesukaran dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha Esa itu, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu benar-benar “the proof of the pudding is in the eating” (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah  dimakan!)
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atas beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala guna mengenal beberapa Dewa, menurut Sukunya, maka sempurna jayalah kepercayaan MONOTHEISME, percaya kepada ke-Esaan Tuhan diantara semua Suku Bangsa Yahudi.

7. DISEKITAR NABI ISA

Inconsistency, keputusan – logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal tarich, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang didapati oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua Kitab Suci, ialah Kitab Injil Tua dan Kitab Injil Baru, tiadalah menjadikan pusat perhatian saya disini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan dalam teknik dan ilmu bukti di masa Nabi Isa itu, maka semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab Suci sudah pada tempat dan waktunya.
Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah Moral (kesusilaan) dan Ketuhanan yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
Pertentangan arti dalam hal Susila dan Ketuhanan; yang say rasa terdapat dalam Kitab Suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti beberapa para ahli, bahwa Kitab Suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelumnya Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari Agama Kristen, yang bunyinya: “Kalau pipi kirimu dipukul orang, kasihkan pipi kananmu kepadanya biar dipukul pula”, dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi: “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”. Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ke-Tuhanan bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha Esa, yang diutamakan dalam Injil Lama dan oleh Nabi seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitynya, dengan Trimurtinya, karena Katolik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh Agama Kristen dan Ideal Keluhuran Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli penyelidik, yang mendapatkan kesimpulan, bahwa di masa bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah seorang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan berterang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum Pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi Kaki-Tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin Pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya Raja Yahudi, Mahdi; Yesus Nazarethnus Rex Jodeum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan didalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat memberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan, menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan”, maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi sesama Murba. Terhadap kaum Pendeta, dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, ialah kalau perlu dengan senjata ditangan menghancur leburkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki-tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasionil tentang dua susila yang berupa pertentangan itu. Salah satunya dikatakan, bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tiada berdaya menghadapi serdadu Romawi dan tiada berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi. Jadi menurut tafsiran itu sikap passive, sikap menerima yang dianjurkan oleh Nabi Isa itu berasal dari perasaan tiada berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki tangannya, “inlander-alatnya” kekuasaan Romawi itu. Bagi saya tafsiran yang dibelakang ini memang mengandung alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi terutama kaum Murbanya, di beberapa kota seperti di Yerusalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asalnya Nabi Isa sendiri, jauh daripada passive, menerima, pemberontakan, besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki-tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan sikap Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders alat itu, seperti tersebut di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan Tuhannya Nabi Isa dengan Tuhannya Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Maha Esa. Filsafat Ketuhanan, bahwa 1 + 1 + 1 = 1 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3 = 1 itu. Dibelakang harinya di masa revolusi Perancis banyak pula anasir masyrakat ini yang menumbangkan filsafat 3 = 1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tiadalah menjadi soal pokok.

8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD

Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1 = 1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula sosial yang bisa, yang praktis bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya. Dan dimaafkan seseorang bersalah yang mengakui kesalahanny dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah seorang Arab dari suku Quraish. Karena bangsa Arab dan bangsa Yahudi tiada berapa bedanya menurut Ilmu Kebangsaan, dan keduanya bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga Nabi besar itu yakni Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad itu sebangsa dan seturunan pula. Dalam Kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun-temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan mata kita ke seluruh muka bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita Cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi , malaise, mandegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan di Asia Barat sedang menderita keruntuhan sebagai akibatnya desakan dan serangan pelbagai bangsa Germania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa muda perkasa (Bulgaria dll), yang menyerbu kedalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi Almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain. Negara bekas-berkuasa disekitarnya Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan tumbuh-tidak, mati tidak.
Sedangkan Semenanjung Arabia, yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran karena perdagangan dengan negara luar; dengan perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada Kafilah yang kuat bersenjata tersusun sebagai laskar! Teristimewa pula, belum pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa Asing! Dengan demikian, maka bangsa Arab masih bersemangat tegak, gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri.
Cuma suku dan suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajar dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan pecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliah yang tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai synthesis dari pertentangan pelbagai ideologi sebagai synthesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu; inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa, Politik, Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan.
Persatuan tidak terdapat pada satu Maha-Patung, diantara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esa-an Tuhan dan Ke-Mahakuasaa-an Tuhan itu, yang tiada lagi takluk pada tempat dan waktu, seperti patung manapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf tidaklah berarti buta kecerdasan, buta keberanian, ataupun buta kejujuran.
Sebaliknya pula, University pun tidaklah menjamin keberania, keuletan, kejujuran.
Kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu keputusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness). Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia: “Jauh berjalan dilihat. Lama hidup banyak yang dirasakan.”
Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara di sekitar Arabia, bersama-sama dengan Kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan nabi di hari depan, bilamana Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otaknya pemuda Muhamad bin Abdullah itu dapat dipenuhi oleh masyarakat disekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya. Bumi dan langit Semenanjung Arabia, yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh seseorang yang memperamatinya dan menyempurnakan pengetahuan yang diproleh dengan percakapan dalam pulang pergi ke Mekah ke luar Negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti Kafilah, yang acapkali menghadapi pelbagai musuh, mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa pemuda Muhammad bin Abdullah.
Terlatih dan tergembleng dalam “University of Life” itu, maka apabila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-gala, maka tampillah Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandist, korban propaganda, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Waktu dan tempat amat sesuai dengan ke-Esa-an dan ke-Mahakuasa-an pada permulaan abad ketujuh itu!
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam Pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku, ialah kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di dunia. Semuanya keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Maha Kuasa, yang menguasai sekalian alam dengan manusia, bidadari dan malaikatny.
Semangat Islam yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, sangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai Pusat, Jiwa dan Filsafat serta prakteknya sesuatu kepercayaan, memangnya belum lagi dikenal dalam sejarahnya manusia. Agama baru, yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku di Arabia itu, tidaklah akan dibatalkan atau disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila pada suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam suatu rapat, supaya propaganda Islam itu diperhentikan saja, karena sangat menimbulkan persengketaan, dan sangat mengancam jiwanya Nabi Muhammad sendiri, maka Nabi Muhammad menjawab: bahwa, “walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tidak akan diindahkan.”
Syahdan, maka dengan semangat bersatu padu diantara kaum Muslimin, yang kian hari kian bertambah banyak anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa; dengan kepercayaan Kafir Jahiliah, maka di bawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya, setelah lebih kurang duapuluh tahun berlakunya propaganda, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kokoh-kuat diantara semua suku Arab, dengan semangat menyerah, Islam, zonder perjanjian kepada takdirnya Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap Negara dan Rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh keuntungan lahir dan batin, maka dalam lebih kurang 100 tahun bangsa Arab dapat menguasai hampir seluruh kelilingnya Lautan Tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh Dunia Kristen kepada Arab Islam, di zaman Tengah, dan sekarangpun, maka jasa Arab Islam tentang filsafat dan Ilmu Bukti, sesungguhnya belum mendapat nilai yang patut!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle, edaran Dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan, filsafat ketuhanan 1 = 1 sebagai thesis. Setelah Nabi Isa maka timbullah tentang 3 = 1, sebagai antithesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah kembali filsafat 1 = 1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada yang semula.
Sedikit saja, filsafat ketuhanan Islam, yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu, menoleh ke dunia Lama, ialah masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapat bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali Filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan Kerajaan Romawi, Filsafat Islam dapat memisahkan padi yang berisi daripada hampa, menanam yang berisi sampai tumbuh dengan suburnya di zaman Tengah.
Dengan demikian, sepatutnyalah kita menoleh  ratusan tahun ke belakangan masyarakat Islam yang jaya-mulya-makmur di Spanyol, Mesir dan Baghdad dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani Asli.

9. YUNANI ASLI

Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli, masih dianggap kebudayaan ibu. Plato, sebagai ahli filsafat masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafatnya Heraclit masih dianggap uratnya Materialisme dan Dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang oleh pelbagai ahli bukti (scientist) modern. Demikianlah, bermacam cabang kebudayaan modern dapat mencari uratnya pada kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada para mahasiswa yang harus menyelami segala ilmu modern itu lebih dalam, sampai ke uratnya.

10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU BUKTI

Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kita kepada dunia Barat ialah Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan yang terbentang semenjak lebih kung 2.500 tahun sejarahnya. Dunia Barat itu, ialah dari lebih kurang tahun 500 sebelum Nabi Isa sampai sekarang; tiga garis pokok itu, ialah garis Agama, garis filsafat dan garis ilmu (bukti). Semua cabang kebudayaan yang lain-lain termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia Barat yang 2.500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan kemunduran dan pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 sebelum Isa sampai tahun 1.500 sesudah Isa, keagamaanlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat Cuma mengabdi kepada keagamaan serta ilmu bukti boleh dianggap pelengah otak dan pikiran belaka. Waktu yang selama itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan zaman Tengah, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarakat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam pimpinan masyrakat dan politik. Tetapi pada zaman tengah, terutama di bagian permulaannya, maka kaum alim ulama dan pendetalah yang terutama memegang pimpinan masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, bahwa dalam garis besarnya maka dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah keagamaan terdesak ke belakang. Bahkan pada masa revolusi Perancis keagamaan itu mendapat tantangan sekeras-kerasnya seperti belum pernah dialaminya.
Sedangkan ilmu bukti makin mendesak ke muka dan sudah menjadi sandaran yang terutama bagi ilmu filsafat. Pada waktu ini, maka bukanlah lagi kaum Pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu bukti, ilmu nyata.
Akhirnya dari lebih kurang tahun 1.850 sampai sekarang, jadi semenjak lebih kurang 100 tahun ini, maka ilmu bukti (science) lah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi di dalam masyarakat dan negara Eropa dan Amerika modern itu. Ke-agamaan yang di masa revolusi Perancis itu mendapat tantangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun kembali, tetapi sekali-kali tidak mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelumnya revolusi Perancis itu. Pada pertengahan abad ke-19 itu ilmu filsafat dalam arti aslinya sudah mulai turun dari Singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, ialah filsafat Materialisme Dialektika, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan:  hari akhirnya filsafat. Semenjak itu ilmu masyarakatpun sudah didasarkan atas hukumnya ilmu bukti. Dan ilmu bukti dari pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai dan kedudukan yang tertinggi sampai sekarang. Benar juga kaum ahli bukti itu sendiri masih memakai perkataan filsafat, tetapi artinya sudah berlainan daripada yang semula. Artinya sekarang, yang terutama ialah “weaving up general principles” (penyusunan dasar besar), seperti salah seorang ahli ilmu bukti yang besar, mengatakannya.
Jelaslah rasanya, bahwa dalam tiga zaman, yang kita kemukakan buat Dunia Barat, seperti tersebut di atas saling beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayaan itu: keagamaan, filsfafat dan ilmu bukti.
Adapun perselisihan ketiga garis pokok yang sebaring pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para pemimpin masyarakat dan negara (sosial-political-regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada.

11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI

Di masa Pendeta dan Ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara, baik di Yunani, Romawi ataupun di Eropa Barat di masa zaman Tengah, yakni dari tahun lebih kurang 500 sebelum Isa sampai tahun 1500 setelah Isa, maka produksi itu dijalankan oleh tenaga budak belian (seperti di Yunani dan Romawi) serta oleh budak serf seperti di zaman Tengah di Eropa Barat. Pesawat (teknik) nya di zaman Tengah ialah kincir angin atau air.
Di masa Ningrat dan ahli filsafat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat, yakni kasarnya dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850 itu, maka produksi sudah lebih dipusatkan pada manufakturen dan pada permulaan pemakaian pabrik yang dijalankan oleh uap.
Akhirnya di masa Borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis); di masa Borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat dan Amerika, yakni kasarnya dari tahun 1.850 sampai sekarang (1948), maka produksi sudah dikuasai oleh Finance Capital (Modal Bank) dan monopoli. Dasar teknik maju dari kodrat uap, sampai ke kodrat listrik, minyak dan sekarang kodrat atom.

12. SOAL AGAMA

Adapun soal agama, kita semuanya lebih kurang sudah mengetahuinya.soal itu berpusat kepada: Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya bumi, bintang, langit pendeknya alam raya ini? Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ke-Tuhanan ialah agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada Kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia adalah ciptaan Tuhan.nasibnya manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasibnya itu dipertimbangkan pula bersama amal dan ibadatnya. Amal dan ibadatnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah upah atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadat dan bernasib akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkas ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia itu, tetapi menetapkan pula jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka. Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Gautama Budha mengemukakan lima jalan buat mendapatkan surga. Dan lebih dari tiga agama tersebut di atas, maka agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab sendiri dan perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut yang satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “Eine Privatsache”, dalam arti kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika dan matematika, maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan beberapa sendi agama itu. Tetapi yang jelas bagi satu penganut agama belum tentu jelas bagi penganut agama yang lain. Agama tinggal tetap kepercayaan bagi masing-masing orang.

13. SOAL FILSAFAT

Seperti soal keagamaan, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut memandang. Tetapi bagi kami sudut memandang yang bisa berhasil memuaskan dan soal yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Friedrich Engels pada abad yang lampau. Menurut Engels, maka kaum ahli filsafat itu bisa dibagi atas dua golongan, yakni golongan Materialist dan golongan Idealist. Di antara dua golongan besar itu sebagai dua kutub bertentangan terdapatlah pelbagai golongan yang kalau dikupas lebih mendalam sebenarnya termasuk ke dalam dua golongan Materialist dan Idealist tadi  juga. Kaum ahli filsafat itu berpecah dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh mereka atas filsafat, yang berbunyi: “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan idee (paham)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang mengerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah bertukar menjadi soal badan dan Nyawa –naluri. Di dala jenis manusia, soal itu menjadi berubah bertukar menjadi soal jasmani dan rohani pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau nyawa, dan jasmani atau rohani?

14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIST

Kaum materialis menjawab, bahwa benda dan jasmani itu yang asal, yang pokok: “tak ada kodrat zonder benda”! “Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. “Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi, maka bumi dan bintang itu sudah ada...”...kata kaum filsafat materialist.
Menurut kaum idealist, maka idee, kodrat dan rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealist extrimist, maka yang ada di alam raya ini cuma idee saja, ialah idee, yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan maha dewa rah, yang mengisi dunia kosong pada awal dunia ini dengan bintang, bumi, langit, sungai, tumbuhan, hewan dan manusia sekejap mata setelah kata ‘ptah’ difirmankan. Lihat Madilog.
Bagaimanapun juga perbedaan faham itu, tetapi teranglah sudah, bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealist kepada kaum materialist itu, bahwa kau materialist itu cuma memikirkan makan minum serta keplesiran hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.

15. AHLI FILSAFAT YUNANI.

Bahwasanya setelah para ahli pikir yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan berdasarkan ‘dogma’ semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, maka timbullah pertanyaan di dalam pikirannya, yang kira-kira berbunyi: apakah yang pokok, yang asal dari alam raya ini?
Kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, ialah tanah, air, udara dan api. Terkurung di dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini, serta terganggu oleh benda dan gerakan di luar pikirannya sendiri, maka zeno, idialist yunani, mengambil kesimpulan: bahwa ‘gerakan benda itu cuma impian panca indra manusia saja (ilusion of the senses). Pemikir ulung Masyhur diantara bangsa yunani juga, ialah plato, setelah memakai cara berpikir, yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan, bahwa yang asal itu ialah ide mutlak/absolut idea. Dengan cara berpikir yang abstract, pisah-memisahkan itu, dia sampai kepada dunia logos, dunia roh. Banyak persamaannya logos Plato itu dengan Atmannya Hindu.
Sebaliknya pula seorang pemikir tentangannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakannya benda itu, kita maksudkan ialah Heraclitus, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kami yaitu: sesuatu itu ada dan tidak ada karena semuanya itu cair, luntur senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap. Heraclit mengakui adanya benda, bahkan memajukan hypothesis molecule, yang lebih dua ribu tahun di belakangnya baru dibenarkan oleh ilmu bukti. Lagi pula bertentangan dengan Zeno  maka heractlit mengemukakan gerakan sebagai sifatnya benda dan menyebabkan benda itu senantiasa mengalami perubahan/’nict ist, alles wird’ menurut hukum gerakan ialah hukum dialektika.
Diantara atau disamping kedua golongan ahli filsafat tersebut berada raksasa pemikir yunani, ialah Aristoteles. Sebagai seorang tabib, yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapa daripada ilmu, terutama ilmu yang hidup/biology, maka Aristoteles memusatkan perhatiannya pada sesuatu susunan, sesuatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika. Dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidaklah sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraclit dan Demokrit.

16. AHLI FILSAFAT ZAMAN TENGAH

Besar sekali pengaruhnya para ahli filsafat Yunani umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya atas masyarakat di zaman tengah, yakni masyarakat islam dan nasrani. Dunia filsafat barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rosj, terkenal sebagai Averoes, dibaharui dan diserahkannya sebagai warisan ke masyarakat Nasrani. Plato pun banyak  mendapa penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman tengah.
Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengarkan nama Heraclit atau Democrit. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita. Masyrakat Islam di zaman tengah mengenal satu golongan pemikir, yang dinamai Muthazalit. Mereka terdapat di kota-kota besar di Kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan atheis. Keterangan yang lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka, tidaklah disampaikan kepada kita, selainnya daripada mereka dianggap kaum murtad oleh agama resmi. Ibnu Rosj sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Muthazalied kebebesan pahamnya itu amat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa/Nasrani yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan, kalau mereka kaum Muthazalied itu adalah Murba kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana/rudimentary. Tidaklah pula akan sangat mengherankan, kalau di Eropa Barat di zaman tengah itu, kita sedikit sekali mendengar namanya Plato dan Aristoteles. Hidup amat sukar sekali bagi budak serf di zaman Tengah Eropa Barta itu, hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak serf, oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah mengizinkan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini terserah kepada para pendeta yang tinggal dipekarangan Gereja yang besar, dikelilingi oleh kebon dan dilayani oleh rakyat. Budak sekitarnya, terpisah dari masyarakat pekerja, seperti logosnya Plato terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafatnya Plato dan Aristoteles. Logos dan rohani mutlaknya Plato cocok benar dengan sifat God yang berada, lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala-galanya itu. Dan paham mereka, para rahib dan pendeta inilah, pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini. Classificasi, penjenisan Aristoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah daripada tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya, sangat digemari oleh Schoolmen, scholasticus, ahli buku, di zaman tengah. Karena ahli buku, yang memangnya hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari tumbuhan dan hewan yang sesungghuhnya. Demikianlah pengetahuan bukunya ahli filsafat di zaman tengah itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsafat di zaman tengah itu.
Dari tahun 500 sebelum Isa sampai tahun 1.500 setelah Isa, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu bukti yang sederhana. Kaum idealist masih memakai kepercayaan keagamaan sebagai premis/bukti lantai dalam pembentukan sistem/karangannya. Tetapi kaum materialist tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis/bukti lantai. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis. Keduanya idealist dan materialist mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hidupnya yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dan dengan semakin majunya ilmu bukti itu, maka kita terdorong ke belakanglah penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principil).

17. AHLI FILSAFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS

Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu bukti sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato-Heraclit dan Aristoteles. Di Perancis saja kita mengenal raksasa matematika dan ilmu alam (physic) serta ilmu kodrat (mechanic) seperti Mauportuis, Clairut, D’Alembert, Langrange, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematik ilmu alam dan ilmu kodrat, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu pisah bangunlah seorang Perancis bernama Lavoiser yang menyusun mensistematiskan ilmu pisah yang mulai mengatasi Ibnu Sina, ilmu pisah Arab. Sedangkan Cuvier mengatasi Aristoteles. Perbandingan Pythagoras dengan Newton, Archimedes dengan Pascal dan sebagainya adalah perbandingan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan, kalau kemajuan ilmu bukti, yang membelakangkan zaman kuno dan zaman tengah seolah-olah puluh ribuan tahun lamanya itu, memberikan bahan yang tidak ternilai pula pada para ahli filsafat. Tetapi para ahli filsafat tetap terpecah dua dalam golongan Idealist dan Materialist. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu bukti itu sebagai penjelasan/proof kebenarannya masing-masing teori mereka.
Demikianlah bangkit di Inggris dua orang ahli filsafat yang terkemuka, ialah Pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohaniannya manusia si Pemandang, maka David Hume dengan tekad consequensi seorang ahli filsafat berkata, bahwa pada final analysis, pada kupasan terakhir, maka segala yang ada dalam raya ini, tidak lain hanyalah “a bundle of conceptions” (gabungan paham) tentang alam raya itu. Sampai Hume mengatakan, bahwa “kamu pun “ buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otaknya Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume membatalkan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan, bahwa seseorang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otaknya Hume saja, maka orang lain itupun bisa berkata, bahwa Hume sendiri tidak ada bagi orang lain itu, selain daripada satu “gambaran” dalam otaknya orang lain itu saja. Yang kamu buat Hume itu adalah saya buat orang lain itu. Dan sebaliknya, yang “saya” buat Hume adalah kamu buat orang lain itu. Kant ahli filsafat Jerman, yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekad seperti David Hume itu. Kant berdiri di tengah-tengah. Dia tidak bisa membatalkan yang ada di alam raya ini. Tetapi selainnya daripada mengakui yang ada itu dia lain pula kepada “Ding An Sich”, benda sendirinya, yang belum diketahuinya. Dengan bangunanya Emanuel Kant di Jerman, maka timbullah pula filsafat Idealisme yang diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel. Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat Idealist Inggris disekitar revolusi Borjuis itu mendapat tantangan tepat pesat dari ahli filsafat Materialist Perancis, yang termahsyur pula seperti Diderot dan Lamartine. Berdasarkan matematika, ilmu alam, dan ilmu kodrat yang maju pesat di masa itu, maka mereka membatalkan kemahakuasaan kerohaniaan ini di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan matter in move, benda bergerak. Seolah-olah tak ada dayanya manusia berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. manusia itu adalah mesin yang passive, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak, bergeraklah dia, kalau tiada berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang passive, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk dengan tiada perjanjian apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme semacam ini kami namai Mechanical Materialisme, ialah Materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya buat mengubah suasana dan keadaan lama disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat yang alam yang melekat pada semangatnya kaum Materialis Mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tidak berdaya terhadap lama disekitarnya, seperti manusia di zaman tengah tidak berdaya terhadap takdirnya Tuhan, demikianlah pula kaum Materialist di masa revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan dan gerakan kebendaan itu (Mechanism of matter).

18. MATERIALISME DIALEKTIS

Suara ahli filsafat Materialisme itu, seperti pula suaranya ahli filsafat Idealisme mendapat penerimaan yang baik pula di antara para pemikir Jermania. Ludwig Feuerbach seorang Prof. Jerman, mengambil oper Filsafat Materialisme di Perancis tadi, tetapi tersangkut pada apa yang dinamakan “Menschliche Taetigkeit” (Perbuatan Manusia). Menurut Marx, dalam 11 thesis tentang  Feuerbach, maka Feuerbach menyangkutkan “perbuatan manusia” itu pada idealisme, sedangkan bagi Marx, “perbuatan manusia” masuk kepada golongan kebendaan. Setelah Feuerbach diperhentikan oleh kaum borjuis dari pekerjaannya sebagai Mahaguru, sebab dianggap terlampau radikal, maka Feuerbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam caranya berpikir menurut cara Dialektika Materialisme, yang bersandar kepada Dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sepembangunannya ialah Friedrich Engels. Selainnya daripada keduanya pujangga ini adalah ahli dan penggemar Matematika, mereka pula mempergunakan Utopis Sosialisme Perancis dan Inggris, dan teori Evolusinya Charles Darwin serta teori Ekonominya Adam Smith dan David Ricardo, dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan “cause” atau lebih tepat “ condition” (keadaan) ialah sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme yang berdasarkan impian (Utopi) seperti yang dicetak oleh Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen, berubah menjadi Scientific Sosialisme, ialah Sosialisme berdasarkan Ilmu. Adapun yang dianggap menjadi “cause” (sebab) perubahan dan pertukaran masyarakat dari tingkat ke tingkat itu, ialah perubahan dan pertukaran sistem produksi. Ilmu sejarah yang disandarkan kepada sejarahnya perubahan sistem produksi, yang disandarkan kepada benda yang nyata itu, dinamai Historical Materialisme, Materialisme Sejarah!, yakni teori Materialisme tentang sejarah. Pandangan hidup yang berkenaan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis. Disebutkan pula Dialektis, karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya, ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, atau tumbang!
Setelah Marx dan Engels mendapatkan “cause” atau “condition”, sebabnya, dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka bertukar-bertukar pula sejarah manusia itu, dari satu kebetulan dari satu nasib, yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal , berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya sesuatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal.
Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini semenjak ahli Filsafat Yunani dipecah-pecah, dikupas, diselidiki dan dipastikan hukumnya, maka berubahlah, bertukarlah pula soal filsafat, yang berbunyi “what does this all mean” (apakah artinya semua ini), menjadi soal kaum ahli bukti yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu bukti.

19. ILMU BUKTI

Tepat pula kesimpulan Engels, yang mengatakan, bahwa dalam perulangannya ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu bukti, wissengschaff, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dengan pelbagai ilmu tentang alam raya (nature). Sisa dari filsfat itu menurut Engels, ialah Logika dan Dialektika.
Kembali kita dahulu kepada ilmu bukti, ke zaman Yunani, dan dari sini secepat kilat kita melangkah ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada Logika dan Dialektika, ialah oleh Engels dinamai sisanya filsafat itu!
Syahdan, dalam lebih kurang 2.500 tahun perantauannya itu, maka Science, ilmu bukti, yang boleh dianggap anak dari filsafat dan cucu dari agama, ilmu bukti, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum juga lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya itu dari alam raya, yakni dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu, sudah sampai ke dunia terkecil, yang tidak lagi tampak oleh mata, karena kecilnya itu. Satu Universe (alam) yang tak dapat dipandang oleh mata telanjang 2.500 tahun lampau itu sekarang dengan mata bersenjatakan teropong pembesar dan pendekatan sudah bertambah menjadi beberapa Universe. Molekul dan atom yang tercipta dalam hypothesis, persangkaan kedua Materilist Dialektis Heraclit dan Democrit itu sekarang sudah dibuktikan oleh mata dan teropong. Bahkan ilmu bukti sekarang sudah sampai kepada benda yang lebih kecil. Atom yang disangka tak dapat dibagi-bagi lagi itu sudah dibagi dua pula, ialah atom proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya; seperti satu Universe dengan Universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat tolak dan tarik (repulsion dan attraction), yang boleh dikatakan pula masuk jenisnya kodrat thesis dan anti thesis dalam Dialektika, maka demikianlah pula dua dunia terkecil tadi, ialah proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat tolak dan tarik menjadi satu atom, satu synthesis atom. Ringkasnya synthesis dari proton dan elektron ialah atom; synthesis atom dan atom ialah molecule; synthesis molecule dan molecule ialah badan; synthesis dari bumi dan matahari ialah keluarga matahari; synthesis dari satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya serta akhirnya satu Universe lainnya, adalah alam raya kita ini.
Dalam 2.500 tahun ini menurut Dialektika dan hukumnya thesis, anti thesis dan synthesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, ialah alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi.

20. PECAH BELAHAN ILMU BUKTI

Entah sampai ke mana ilmu bukti akan memecah-mecah lagi.
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atau ilmu bukti, maka kita peroleh dua klas ilmu bukti, ialah yang masuk klas sejarah dan yang masuk klas alam. Maka ilmu bukti yang mengenal sejarah manusia itu sudah berpecah-pecah menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusastraan dan lain-lain. Ilmu bukti yang mengenai alam raya ini sudah berpecah belah pula menjadi ilmu bintang, ilmu bumi, ilmu alam (physic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Di sampingnya itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti lantainya berdasarkan barang ciptaan seperti angka (number) dalam huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu algebra, trichonometri dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita  mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah pula contoh dari ilmu hukum, cabang ilmu hukum itu sudah terbagi pula atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (contituional laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya, kalau seorang yang ahli dalam sesuatu cabang ilmu bukti, tidak lagi mengenal perhubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain, sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya, kalau-kalau seorang Dokter ahli rambut hilang lenyap dalam “haarkloverij-nya” dan melupakan perhubungan rambut itu dengan seluruhnya tubuh dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang pula besar bahayanya, kalau seorang ahli kejahatan, criminal expert itu memandang tingkah laku seseorang dari sudut kejahatan, seolah-olah dia lupa, bahwa perbuatan seseorang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan di luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat diri sendiri.
Berhubung dengan bahaya pecah-belah, terpisah terasing itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu bukti untuk mengkoordinir, memperhubungkan kembali pelbagai ilmu yang pecah-belah disebabkan oleh kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientist ternama dengan “weaving up general principles”, sebagian tafsiran dari filsafat modern.

21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU BUKTI

Tidaklah mungkin, tetapi tidaklah pula perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semuanya atau sebagianpun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. sudah cukup bagi urusan kita di sini, mencoba menafsirkan maksudnya ilmu bukti, caranya ilmu bukti memperoleh maksudnya itu, serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya tadi.
Salah satu kalimat yang dipakai buat mendefenisikan (menetapkan) maksudnya ilmu bukti ialah: “simplication by generalization” atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal; atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah dikenal.
Kalimat yang lain, juga untuk menetapkan maksudnya ilmu bukti berbunyi: “the organization of facts” (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis. Berhubung  dengan inilah pula, maka Science itu saya terjemahkan dengan ilmu bukti.
Tetapi tidak kurang praktisnya formula yang lain, yang biasa diperdengarkan dalam dunia ilmu, sebagai maksudnya Science, ialah “to establish laws and systems”, untuk membentuk hukum dan karangan.
Sekian tentang maksudnya ilmu bukti.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan logika, klassifikasi, statistika dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara Dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamai induksi; deduksi dan verifikasi, dan dalam matematika dengan apa yang dinamai methode synthetic, analytic dan ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tidak berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan, ialah dalam buku Madilog. Di sini hanya hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum Scientist itu mendapatkan maksudnya ialah mendapatkan hukum dan karangan itu (laws and systems).
Bahan dan bukti yang dipergunakan oleh ahli bukti itu diperoleh dengan jalan observation (peramatan) atau experiment (peralaman). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena: sedangkan dengan jalan peramatan si penyelidik cuma passive, berdiam diri dan memperamati saja, maka dengan jalan peralaman si penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma dapat memperamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si Pengalam dapat mengawinkan tumbuhan atau hewan itu untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu bukti semenjak Galilei, pada permulaan abad ke-17 mengadakan experimentnya di Menara kota Pisa. Boleh dikatakan, bahwa jalan experiment itu membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani Asli yakni; tanah, air, udara dan api, maka ilmu pisah sekarang saja sudah mengenal 92 (sembilan puluh dua) elements, (anasir).
Akhirnya, dan tidak pula kurang pentingnya, maka semangat objectivity, (tenang di depan bukti) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup melompat dari dunia bukti, ke dunia hypothesis dan teori adalah satu sino qua num bagi seorang scientist. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti itu supaya bisa melayang ke dunia hypothesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk “laws and systems” seperti maksudnya Science itu. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.

22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU BUKTI

Kurang tepat kalau dikatakan, bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu bukti. Kurang benar, kalau disebutkan, bahwa India, Tiongkok dan lain-lain cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal Science, ilmu bukti. Kabarnya konon, maka Bapa ilmu ukur (Geometry) adalah seorang Hindu di Birma dan katanya pula India sudah mengenal Algebra juga. Juga Tiongkok sudah tahu bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memakai formula F/R yang kita kenal. Tidak ada yang tak akan kagum dan dipengaruhi oleh logikanya Mahaguru Kung Confusius, kalau membaca sistem kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak pula ada orang yang tak akan kagum mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mysticus Mahaguru Lao (Lao Tze), apabila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemanjuran obat orang Tionghoa. Bahkan dalam meramalkan hari depan, berhubung dengan hujan panas, ribut dan topan seringkali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu bukti Barat dengan weather firecast, weerbericht atau ramalan harinya. Dan bukanlah pengetahuan mencetak, obat-bedil dan pedoman diwariskan oleh Tiongkok kepada Barat, melalui Arabia?
Tetapi semuanya tersebut itu tidak mengatakan, bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat Science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun sebelum Isa. Mahaguru Kung, walaupun logis berpikir, belum sampai kepada tingkat membentuk ilmu logika sendiri, ialah memisahkan hukum berpikir itu dari proses (lakonnya) berpikir itu sendiri.
Mahaguru Lao belum pula bisa menarik hukum Dialektika dari prosesnya berpikir, yang memang dialektis. Demikianlah pula tukang ukur, ahli Kethabiban dan ahli hari di Tiongkok belum sampai lagi ke tingkat memisahkan hukum ilmu ukur, hukum kethabiban dan kimia dari proses ukur mengukur obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara dari pada prosesnya yang berlaku di udara itu. Kung-tze memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja.
Begitu pula Lao-tze  mempergunakan dialektiknya. Dan secara catatan, peringatan dan analogy saja pula, tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan hari di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tidak pernah lepas dari dunia bukti dan melompat dan melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan pengetahuan Yunani daripada dunia India dan Tiongkok, berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan hasil, tidak berapa majunya semenjak lebih kurang empat ribu tahun. India terpaku pada sistem Kastanya. Tiongkok terpaku pada Dunia Feodal yang bersandar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik sosial ekonomi politik serta kebudayaan yang berlainan corak dengan sistem di Eropa Barat. Seperti huruf alphabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambarannya sesuatu pengertian, menurut sistem menulis di Tiongkok (han-dji) begitu pula hukumnya ilmu bukti belum lepas terpisah, melompat melambung ke luar dari bukti itu sendiri.

23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU BUKTI

Dengan demikian, maka patutlah kita memberikan piala kehormatan tentang ilmu bukti itu ke tangannya bangsa Yunani sebagai pelopor dari ilmu bukti modern.
Dalam arti tulisan dan lisan memangnya Archimedes melompat melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.
Sekian lamanya Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri  tentang kenapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia menyemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama sekali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu Archimedes mendapatkan hukum, tentang benda yang terbenam, melayang atau merapung di dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegirangannya tidak saja Archimedes melompat ke luar air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana ke mari dengan melupakan pakaian, tetapi dia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkannya itu kian tahun kian mengembang dan melambung.
Hukum tadi dilakukan pada semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikut tertumbuk kepada air rasa (?). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air melainkan terapung. Nyatalah dibelakang hari, bahwa bukan hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Archimedes bahkan mendapatkan Verification (pengesahan), lantaran bukti baru tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak air rasa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya  menjadi sembarang benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Guy Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strasphere, ke mana Prof. Piccard ke dunia yang belum dialami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hypothesis saja. Merantau beraventure dari alam terkenal ke alam belum dikenal, seperti Colombus, Roald Amunsen dan lain-lain para ahli Satrya.
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verificasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu bukti itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari cause, sebab ialah dengan lima jalan yang sudah dikenal: 1. Method of Agreement (cara persamaan), 2. Method of Difference (cara perbedaan), 3. Joint Method (cara paduan), 4. Concomitant Variation (cara perubahan serempak) 5. Method of Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita, bahwa Pythagoras tidak tinggal menguji (to prove) teori sudut-siku yang kita kenal saja. Selainnya daripada pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori itu, pun Pythagoras cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh Mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia ke-Agamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita di sini, ialah dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras kita setelah hampir 2.500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori Relativitatnya Einstein, melalaui para ahli matematika raksasa, seperti Format, Laplace, Gauss, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran dan jasanya para ahli matematika itu sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasanya para ahli Islam, yang melakukan pemisahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai symbol (lambang)nya benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Algebra naik setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang.
Huruf X umpamanya boleh mewakili angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Zonder Aljabar tidaklah kita mungkin sampai kepada Trigonometri dan Relativitatnya Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Perlambungan benda ke angka dan perlambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Newton dan Einstein supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit itu dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai ke gerakan atom dan Sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik itu.
Dikatakan oleh beberapa para ahli, bahwa classificasi yang dilakukan Aristoteles amat dibekukan pengetahuan di zaman tengah. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah pula diperiksa berapakah keadaan produksi dan masyarakat di zaman tengah itu membekukan classificasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah classificasi, yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hidup (biology) itu menjadi perkakas yang penting, di samping Dialektika, bagi pelopor biology modern, ialah Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beaglenya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara, Darwin tak lepas dari cara classificasi, induksi, deduksi, dan cara menetapkan sebab, yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles, raksasa pemikir Yunani itu, yang terhenti di zaman tengah dan dibelakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan bangkitnya kembali dan maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ketangannya Charles Darwin dalam kandungan masyarakat Kapitalisme modern.
Demikianlah pula lebih daripada 2.000 tahun teori Molekul dan atom serta tafsiran Materialisme dan cara berpikir dialektis oleh Heraclit, democrit dan epicur harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas, seperti Marx, Engels dan Lenin, yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.

24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA

Sekianlah di sini tentang ilmu bukti.
Serba sedikit pula akhirnya akan kami uraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, dan daerah serta batasnya logika, seperti isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya Dialektika, sudah kami uraikan pula dengan panjang lebar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu dalam garis besarnya saja. Lagipula akan kami singgung pula dua jenis Dialektika, ialah Dialektika idealistis dan Dialektika Materialistis.
Dunia biasanya mengakui Aristoteles sebagai bapaknya logika. Dialah yang pertama sekali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan, bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak berapa lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam cabangnya ilmu pengetahuan, maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika ditangan Heraclit dan Democrit sudah sanggup melayani dunia benda sampai ke molekule dan atom yang tidak kelihatan di mata dan baru bisa dilihat dengan teropong di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dengan gerakannya benda, maka Dialektik sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya, di dunia static, berhenti dan passive tadi.
Ditangannya Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Germania, yang menentang feodal-autokratis, maka Dialektika Idealis melambung setinggi-tingginya seperti belum pernah dialaminya.
Ditangannya Marx dan Engels, sebagai pemimpin aliran proletariat komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis maka Dialektika Materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner proletariat bagi seluruhnya dunia.
Ditangannya kaum Bolsjewik di Rusia cara berpikir Dialektika Materialist dapat membentuk satu partai Murba dan sanggup menghancur-leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir atau cara berpikir. Tetapi Dialektikapun boleh ditafsirkan seperti itu.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu?
Menurut pandangan sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki itu oleh si penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu, dalam keadaan berhenti (static), terpisah (distinc) tak berubah (unchangeable) dan kekal. Sesuatu  itu harus diselidiki satu-persatu, terpisah-pisah dan dianggap tidak ada seluk-beluk dan perkenaan satu dengan lainnya menurut tempo dan tempat.
Pemakai Dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berseluk-beluk (connection), berubah-bertukar (change) dan bertentangan. Semua itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam sesuatunya dalam sesuatu waktu pula.
Bagi seseorang pemakai logika dalam menghadapi sesuatu soal dalam keadaan tersebut, maka dalam jawabnya, ia itu adalah ia dan tidak itu tidak. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg: “Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni, apakah sesuatu sifat yang tertentu dimiliki oleh sesuatu barang, harus dijawab dengan ia atau tidak. Tidak boleh dijawab denan ia dan tidak”. Tiga premis pokok bagi logika, ialah 1). A itu = A. 2). A itu bukannya non-A. 3). Tak ada jembatan antara A, dan Non-A. Berhubung dengan tiga premis pokok itu, maka sesuatu (barang) itu atau masuk jenis A atau masuk jenis Non-A dan sesuatu kesimpulan, yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duanya.
Contoh:
Apakah sapi itu dipandangn dari sebelah kiri ini hitam atau putih?
Memangnya pada warna yang tunggal, terbatas yang dimiliki oleh benda yang berhenti, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu, dipandang dari sebelah kiri adalah putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya hitam, bukannya putih. Jadi jawabanya boleh cocok dengan A=A dan A itu bukannya Non-A.
Apakah sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi di sini dialektik bisa melangkah masuk dan campur memberi jawaban seperti berikut:
Seluruhnya sapi itu putih ia  dan hitam ia. Atau dengan perkataan lain: Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu digerakkan sepanjang umurnya, ialah dari masa bayi sampai ke masa dewasa, bilamana warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum pula sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, ialah 300.000 km dalam sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia ke-2 penipuan warna (abberation aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh Armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah maka berhubungan dengan sesuatu yang sulit (komplex) tetapi masih dalam keadaan yang berhenti saja, logika, sudah terpaksa meminta bantuan kepada Dialektika. Apalagi dalam gerakan.
Memangnya sesuatu pertanyaan seperti: Apakah bola yang berguling cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Tidak dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawab itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik, yang dimaksudkan itu. kalau dijawab ia, maka jawab ini pun salah, karena belum lagi si penjawab habis mengucapkan ia itu, maka bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tidak berdaya apa-apa dalam hal ini. Logika harus meminta pertolongan kepada Dialektika untuk memberi jawaban ia dan tidak sekaligus.
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu  ilmu bukti sudah mengakui bahwa:
1.      Semua kodrat di alam raya ini (force, energie), yang terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light, heat and rays) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetism, listrik dan kodrat kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih dari bentuk ke bentuk. Dengan demikian, maka dengan timbulnya satu bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tidak berhenti-hentinya. Laplace menjelaskan Peralihan Molten Mass (benda cair) di alam raya pada permulaan dunia ini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan konetnya.
2.      Adanya Cell, sebagai satuan, dalam badan tumbuhan dan hewan. Karena pengembangan (multiplication) dan perbedaan (variation), ketika turun-temurun Cell itu, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa ini. oleh Charles Darwin dijelaskan, bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang ada sekarang di atas bumi kita ini, adalah hasil kemajuan dari ratus-ribuan tahun, dari beberapa cell-tunggal dalam suasana “struggle for existence” (perjuangan hidup) suasana “survival of the fittest” (kejayaan yang kuat) dan “adaptability” (kecakapan menyesuaikan diri). Dan beberapa cell tunggal ini maju dari putih telur dan protoplasma, menurut hukumnya ilmu kimia.

Joule dan Meyer menunjukkan, bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas atau listrik, kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa ekor kudakah kuatnya listrik. Pun bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau listri, dengan ia atau tidak. Tetapi apabila panas bukannya lagi panas, tetapi belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ia dan tidak sekaligus.
           
Demikianlah pula dalam keadaan, di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan; seperti air sedang berubah menjadi uap; kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik dan sebagainya atau satu zat sedang mengalami peralihan pula, atom beralih menjadi molekul, putih telur menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya maka logika, statika dan ukur mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka Dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Tetapi apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terdapat (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah pula dipergunakan logika, statistika, matematika, dan ukur mengukur serta timbang menimbang.
Dibelakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut: dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi bilamana kita berurusan dengan pelbagai sifat yang bertentangan, maka haruslah kita mengakui “coincidence of opposites” (perjumpaan beberapa pertentangan).
Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ia dan tidak sekaligus.
Dalam salah satu halaman buku karangannya bernama “logika”, maka Hegel seorang ahli filsafat Jerman yang besar berkata, lebih kurang: “dialektik nennen wir solche geistiche bewegung bei denen das getrennt scheinenden durch sichselbst, d.h. durch das, was sie sind in einander uebergehen, und so das getrennt scheinenden aufgehoben”.
(Saya terpaksa mencatat diluar kepala pula).
Indonesia lebih kurang: “yang kita nama dialektik, ialah gerakan pikiran (rohani), bilamana, yang berupa saling berpisah itu, olehnya sendiri, artinya itu terbawa oleh sifatnya sendiri, saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berupa perpisahan itu dibatalkan/artinya bersatu kembali)”.
Banyak persamaan antara Hegel dan bekas muridnya Marx itu. tetapi besar pula perbedaan diantara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan 1 : keduanya sama-sama menolak perpisahan kekal antara ya dan tidak itu. dalam gerakan thesis, anti thesis dan synthesis, maka akhirnya ia itu bisa menjadi tidak dan sebalikya. Dalam gerakan itu, maka perubahan quantity (jumlah) lambat-laun bertukar menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian maka tercapailah Negation der Negation (pembatalan kebatalan).
Syahdan, menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula dengan satu barang lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masingnya berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, ialah Hegel dan Marx keduanya sama berbeda sikapnya terhadap logika. Mereka sama-sama tidak setuju dengan perpisahan tetap dan pertentangan tetap antara ia dan tidak itu. Mereka sama-sama pula menyelediki sesuatu itu dalam suasana Dialektika (gerakan dan pertentangan). Tetapi ada pula perbedaan besar antara kedua penganut Dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektik itu kepada tafsiran dan teori Idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan Dialektik itu atas teori dan tafsiran Materialisme. Hegel adalah pengganti Dialektika Idealisme. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut Dialektika Materialisme.
Dalam dialektik dan logika maka Plekhanov mengikhtiarkan perbedaan dialektik Idealist dengan dialektik Materialist, sebagai berikut:
Dalam system Hegel, maka dialektik sama diri dengan metaphysika (ilmu gaib). Buat kami maka dialektik bersendi atas ilmu kealaman (hukum alam).
Dalam system hegel, maka Demiurge, crea atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau paham mutlak). Buat kami, maka paham mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terbikinlah semua perpaduan dan keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju, disebabkan oleh keinsafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (konsep). Menurut teori Materilist kami, maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada pada dunia nyata (phenomena), sebagai akibat dari pertentangan sifat yang terdapat pada lantainya bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (ideas). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu, dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata; kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali kaki yang di udara itu ke tanah dan kepala yang oleh Hegel itu ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenakan oleh Hegel kepada dialektik itu. Dengan begitu, maka ditangannya Marx dan Engels dialektik menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh Kudung Gaib, maka dialektik menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels, sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektik yang bersandar pada Materialismelah senjata yang tepat, tetap dan sempurna, terhadap keduanya kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang, kalau kita lebih dalam mengupas dan perbedaan. Cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx, dalam karangan ini, yang dimaksudkan cuma sebagai satu tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. Cuma sebagai pengunci, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan Materialisme Mekanis dengan Materialisme Dialektis.
Janganlah hendaknya kita menyangka, bahwa Engels terus melayang-layang di dunia pikiran saja, dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah bukti (reality). Sebaliknya pula, janganlah dikira, bahwa Marx dan Engels, tidak pernah melepaskan kakinya dari tanah bukti dan tidak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, idea itu.
Keduanya jenis pemikir tadi maju berpikir dengan berpandangan kepada keduanya dunia pikiran dan bumi bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikirarn dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh oleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikianlah Hegel pernah mengucapkannya, bahwa rohani (spirit), itu adalah dasar pendorong (motive-principle)-nya sejarah. Tetapi disampingnya itu diucapkan pula, bahwa keadaan ekonomi pada satu tingkat  menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Dan Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada pula mengucapkan, bahwa pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa menjadi kodrat, yang arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya dijelaskan pula bagi kita persamaan dan perbedaan antara Materialisme mekanis dengan Materialisme dialektis. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan. Tetapi bagi pengikut Materialisme mekanis, maka manusia dengan pikiran, perasan dan kemauannya, ringkasnya manusia dengan jiwanya itu seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya itu.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, maka dalam daerah yang terbatas oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya itu bukanlah benda passive, penerima, seperti mesin saja.
Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction), wiselwerking antara manusia dan alam di sekitarnya itu berbunyi lebih kurang:
“Bumi dikelilingi (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat produksi (forces of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dll) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk perhubungan baru antara manusia dan alam sekitarnya.”
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya itu, menukar sekitarnya itu dan dengan begitu menukar diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 thesisnya Marx mengucapkan:
Die filosophen haben die well nur verschieden interpretiert. Es kommt aber daraufan, die welt zu aendern”. (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini. Yang penting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan di atas ini nyatalah sudah, bahwa salah benar mereka, yang mengatakan, bahwa kaum Materialist itu cuma orang fatalis, penerima kodrat-alam saja, dan cuma memikirkan maka-minum dan keplesiran hidup semata-mata.
Tetapi sebaliknya bukanlah pula hasilnya pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas. Melainkan dibatasi oleh alat lahir dan batin yang telah dicapai oleh sesuatu masyarakat itu sendiri. (Ilmu, teknis, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dll).
Terbatas oleh alam dan masyarakat, yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, tafsirkan Materialisme dialektik itu, dipandang dari salah satu sudut ialah:
1.      Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa Barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelumnya proklamasi sudah membentuk satu sistem masyarakat, produksi distribusi, sosial politik yang ringkasnya boleh disebutkan masyarakat kapitalisme-jajahan-Belanda (Thesis).
2.      Dalam kandungan Imperialisme Belanda itu, diantara lain-lain, timbul dan timbullah paham yang bertentangan dengan paham masyarakat kapitalisme jajahan tersebut di atas, yang dalam hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru, yang memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu dalam sesuatu produksi berdasarkan tolong-menolong dan distribusi berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-thesis).
3.      Dengan Proklamasi 17 Agustus, maka rakyat/pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.















NEGARA (STATE)

Sebagai hasilnya cara berpikir yang berlandaskan logika, yang menyembunyikan  pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Nederland), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefenisikan negara itu, lebih kurang sebagai berikut: “Negara adalah daerah yang tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa) asli dan warga baru yang dibawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah: daerah yang tertentu, didiami oleh rakyat yang tertentu, untuk menyusun sesuatu pemerintah (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika, yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme maka Hegel mendefenisikan “Negara” itu sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral) atau “gambaran dan kenyataan akal”, atau pelaksanaan paham mutlak (absolute idee)”, atau “Kerajaan Tuhan di dunia di mana hakekat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir dialektis, yakni logika pertentangan, yang diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefenisikan Negara itu dengan kalimat yang terkenal: “Negara itu adalah hasil dari peryataan perjuangan klas yang tiada bisa diperdamaikan” (the state is the product and the manifestation of irreconcilability of  class-antagonism).
Dalam buku karangan Engels bernama Der Ursprung der Familier, der Privateigentums und der States” (1894) tertulis diantara lain-lainnya (Negara) adalah hasilnya masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (Negara) adalah suatu pengakuan, bahwa masyarakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tidak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam kesumat, yang tidak dapat disingkirkannya lagi. Tetapi supaya pertentangan ini (ialah pertentangan) dua klas yang berdasarkan pertentangan kepentingan ekonominya ini, jangan melenyapkan dirinya dan masyarakat itu sendiri oleh perjuangan sia-sia, maka perlulah ada sesuatu kekuasaan, yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat; untuk menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentaraan: dan kekuasaan ini, yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu ialah Negara”.
Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperti penjara dan bermacam rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam sesuatu masyarakat kekeluargaan”.
Lenin dalam brosure “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata:
“Dua badan yang teristimewa, yang menjadi syarat mutlaknya mesin negara, ialah: birokrasi dan tentara”.
“Tentara dan Polisi adalah alat, yang terutama bagi kekuasaan negara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada masyarakat borjuis lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membelah dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidupnya masyarakat itu”.
Sekianlah dulu catatan saya tentang negara itu, yang saya rasa perlu saya lakukan, sebelumnya saya memulai dengan uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan paham berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas, mendapatkan hasil pikiran yang berbeda bentuk dan isinya pula.
Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan. Tetapi dia mempergunakan dialektika itu atas pengertian, tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektis, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah daerah (territory), rakyat (people) dan kekuasaan (authority). Dalam defenisi tersebut di atas Hegel tiada mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (rede) atau paham (idee). Pun Engels dan Lenin tidak memasukkan daerah ke dalam defenisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan klas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu klas dalam rakyat itu untuk menindas klas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan ke negaraan, pun ketiga  jenis ahli di atas tadi, berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menjabarkan dan membatasi perjuangan.
Marx, Engels dan Lenin sebaliknya mempertajam dan memperluas perjuangan klas dari daerah Nasional ke daerah Internasional. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara Feodal, tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletariat.
Meskipun Marx-Engels dan Lenin tidak memasukkan daerah dan rakyat ke dalam defenisi negara itu dan walaupun  ketiga pemikir proletaria ini lahir dan batin adalah internasionalist, tetapi hal  ini tidak berarti, bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (national question), jauh daripada itu.
Semua persoalan yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebangsaan (national question), seperti soal bentuk negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation) atau republik; soal yang berhubungan dengan bumi-iklim, bahasa, kebudayaan dan sejarah, yang semuanya itu mengenai masing-masing negara, tidaklah luput dari perhatian, penyelidikan dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin dan Stalin. Dalam pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka sampai sekarang diantara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak sekali mendapatkan hasil dari segala usahanya (tahun 1947).
Internasionalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan “kaum buruh seluruh dunia bersatulah” adalah pekik proletaria, kepada klas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan internasionalisme itu.
Internasionalisme bukanlah menyuruh kaum buruh pada masing-masing negara di dunia, sambil berpangku tangan saja, mengharap-harap datangnya internasionalisme itu sebagai satu hadiah yang jatuh dari langit. Tiap-tiap Negara masih mempunyai daerah sendir, rakyat sendiri, kekuasaan sendiri, dan kebudayaan sendiri, sebagai hasil perjuangan klas lawan klas dalam negara itu sendiri, dan hasil peperangan negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletari masing-masing negara, masih harus berjuang memperluas daerahnya, atau harus menerobos batas-batas yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat tangan dengan proletaria dunia menghancurkan kapitalisme dunia.
Negara sosialis terbesar seperti Rusia, yang berdiri semenjak perang dunia pertama (1914-1918) bersama dengan beberapa negara sosialis lain disekitarnya, ialah Polandia, Tsjecho-Slowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, dan lain-lain, yang berdiri semenjak penghabisan perang dunia kedua (1935-1945). Soviet Rusia dan sekitarnya itu, sekarang (tahun 1947), ialah tepat 100 tahun semenjak Manifest Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas daerah negaranya, dan membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.
Bukanlah sekarang (Desember 1947) soal daerah dan rakyat, yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan utama adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itulah pula soal yang kita rasa penting dan hangat, soal mana bisa menggagalkan atau menjagakan, dengan langsung atau tidak, semua daya-upaya kita menegakkan kemerdekaan 100%.

TIMBUL – TUMBANGNYA NEGARA

Dimana dan bilamana dalam sesuatu masyarakat timbul dua klas yang pertentangan ekonominya tidak dapat didamaikan, maka di sana dan pada waktu itulah pula dalam masyarakat itu timbul satu kekuasaan untuk membatasi dan  menempatkan pertentangan itu dalam sesuatu ketentraman umum. Kekuasaan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin tajamnya pertentangan, semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas masyarakat itu sendiri, kekuasaan inilah yang oleh Marx dan Engels dinamai negara. Kekuasaan yang dalam telanjang-bulatnya berupa birokrasi, tentara, mahkamah, polisi dan penjara dalam lahirnya berupa berdiri ditengah-tengah sebagai wasit, tetapi dalam batinnya dia adalah alatnya kaum berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasannya klas berpunya atas klas tak berpunya, maka semakin tajamlah pertentangan diantara kedua klas itu. Dengan bertambah tajamnya pertentangan itu, maka bertambah teranglah pula sifatnya negara itu, sebagai satu alat penindas kaum berpunya atas klas tak berpunya.
Dimana dan bilamana tak ada pertentangan klas dalam masyarakat itu, karena tak ada pula pertentangan ekonomi dalam masyarakat itu, maka di sana dan pada waktu itu masyarakat itu tidaklah pula memerlukan satu kekuasaan yang teristimewa yang terpisah dari masyarakat itu, dan yang berdiri di atas masyrakat itu sendiri. Dengan perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state), yakni: tidak memerlukan alat penindas seperti birokrasi, tentara, mahkamah, polisi, rumah penjara, dan algojo. Selama pertentangan ekonomi diantara klas dan klas manusia dalam masyarakat itu belum ada, maka selama itulah pula masyarakat itu bisa berdamai dalam dirinya sendiri dengan mudah sekali.
Semua urusan perekonomian, sosial dan kebudayaan di dalam masyarakat itu, dan semua urusan pembelian terhadap keluar masyarakat, itu dapat diurus dengan dasar kemerdekaan, persamaan, persaudaraan dan pemufakatan. Paksaan dari salah satu alat penindasnya oleh satu klas yang lain tidaklah diperlukan dan tidaklah pula timbul. Dalam menghadapi semua persoalan, maka semua anggota masyarakat itu berunding atas dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya untuk bertindak bersama, keadaan masyarakat yang semacam itulah pula rupanya, yang oleh Engels, dinamai “masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (self acting armed organisation of the Population).
Masyarakat yang begini, ialah “masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” ini terdapat pada masyarakat yang berdasarkan komunisme asli (oerkomunisme).
Banyak sekali pelajaran, yang kita peroleh dari buku kecil, karangan Engels yang tersebut di atas. Semakin dalam kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat dahalu kala di Amerika (masyarakat Indian), yang diterima oleh Engels, sebagai hasil pemeriksaan seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H. Morgan dalam bukunya “Ancient Society”, semakin mengerti pula kita seluk beluknya masyrakat kita sendiri.
Saya sendiri ketika membaca buku Engels yang tersebut tadi acapkali merasa adanya beberapa persamaan di antara masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat pada beberapa daerah di Indonesia ini. Sebagai salah satu contoh tersambil saja, saya majukan, bahwa rasanya tidak berapa bedanya keadaan masyrakat Minangkabau di waktu lampau, di waktu luhurnya, dengan keadaan “masyrakat bersenjata yang bertindak sendiri itu”.
Dasar seiya-sekata menurut pepatah Minangkabau bukanlah satu perhiasan kata saja. Seiya sekata itu adalah suatu dasar yang dipegang teguh dalam sesuatu rapat umum. Rapat umum ini tidaklah pula satu kata yang kosong isinya. Laki perempuan, tua-muda boleh hadir  dan berhak penuh untuk berbicara dalam sesuatu rapat-umum, yang acapkali disebut: bersuluhkan bulan dan matahari, bergelanggangkan mata orang banyak, artinya berterang-terangan. Adapun permusyawaratan itu adalah cara yang wajib dilakukan untuk mendapatkan seiya-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah: bulat air dek (oleh) pembuluh bulat kata dek mufakat. Asasnya sesuatu permusyawaratan itu adalah kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda. Sesuatu permusyawaratan harus asing daripada kekerasan dan paksaan yang menjadi dasar perundingan itu ialah alur  (penjelasan yang logis menurut adat dan undang-undang), dan yang ditujukan kepada yang patut (adil). Bunyinya pepatah: “mufakat beraja kepada alur dan patut”. Setelah seiya-sekata atau kebulatan kata itu diperoleh, dengan cara permusyawaratan yang bebas daripada segala macam kekerasan dan paksaan, maka barulah masyrakat itu boleh bertindak bersama, cocok dengan dasarnya “masyarakat bersenjat, yang bertindak sendiri”, terhadap ke dalam dan ke luar.
Satu misal saja. Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum, di mana si tertuduh dan si penuduh di depan para hakim dan khalayak , berhak membela perkaranya sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Sesuatu hukum atas pelanggaran sepanjang adat, haruslah lebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelumnya hukuman itu dijalankan. Kata mufakatlah pula yang menetapkan beratnya pihak yang bersalah membayar denda (bangun) ialah hukuman seberat-beratnya menurut sistem Datuk Perpatih, walaupun dalam perkara bunuh-membunuh.
Dalam hal ini, oleh permufakatan, pihak yang salah diwajibkan memotong sekian banyaknya kerbau, untuk satu selamatan, di mana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan itu lari ke negeri Asing, membuang diri sendiri, atau membunuh diri karena malu).
Demikianlah pula dalam hal menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata itu diperoleh dengan jalan permufakatan. Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat Minangkabau bertindak cocok dengan dasar “rakyat bersenjata yang bertindak sendiri”.
Kata pepatah: tegak (tinggal) di kampung pagar kampung. Tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam”. Dan : “melompat sama patah, menyuruk (sembunyi) sama hilang”.
Keadaan di atas terdapat selama perekonomian di Minangkabau masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda, sebagian besarnya masih berada di tangannya suku (keluarga).
Harta pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali tak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga itu ternyata, bahwa ada seseorang saja anggota, laki atau perempuan (biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata di semua suku. Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat apalagi balai masih berdasarkan pertobohan ialah tolong-menolong.
Dengan sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini, bahwa menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat Arab; di masa Nabi Muhammad dan tiga Kafilah berikutnya, ialah Abu Bakar,  Umar dan Utsman, juga berada dalam tingkat dasar “masyrakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan beberapa negara yang kaya raya. Seperti Syria dan lain-lain, maka barulah masyarakat Muslimin belah dua, yang berpunya dan yang tak berpunya kian hari kian tajam dan kan tak dapat diperdamaikan. Sejajar dengan lanjutnya dan kian tajamnya pertentangan itu, maka kian berpusatlah kekuasaan pada Chalif yang mengikuti, lama-kelamaan bertukar menjadi satu negara, atau kerajaan (monarchy). Negara (kerajaan) dalam itu sering mengenal kemakmuran umum dan keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah Pemerintah Abdul Rachaman; Kerajaan Baghdad di bawah Chalif Harun Al Rasjid dan Kerajaan Hindustan Islam di bawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita kemelaratan dan kezaliman, bilamana Chalif, tentara, polisi, hakim dan algojo bertindak sewenang-wenang.
Syahdan benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima tingkat kemajuan masyarakat: 1) Masyarakat Komunisme Asli. 2) Masyrakat budak/slave. 3) Masyarakat feodal (budak-serf). 4) Masyarakat Kapitalis dan 5). Masyrakat Sosialis (Rusia, Polandia, Cekoslowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria). Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme asli) maka State, negara, sebagai alat penindasnya satu klas atas klas lain belum lagi dikenal. Setelah masyrakat di sana pecah menjadi klas berpunya dan klas budak (tingkat ke 2) seperti di Yunani Kuno dan Romawi, maka barulah diperlukan satu state, satu negara, sebagai alatnya kaum berpunya untuk menindas kaum budak, yang boleh dijual-belikan dan dibunuh. Kabarnya konon lebih kurang 25.000 anggota keluarga yang berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas lebih kurang 500.000 (setengah juta) kaum budak.
Semakin keras pemerasan, semakin kejamlah pula penindasan jadi semakin kejamlah pula tindakannya alat negara itu, ialah militer, polisi, penjara dan algojo.
Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh keluarga dan ninggrat untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada tanahnya, yang boleh dijual-belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya, oleh yang punya.

Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah untuk menindas dan memeras proletaria mesin dan tanah. Di samping birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo, maka kaum borjuis mempunyai pula alat bathin untuk menindas rohaninya kaum proletariat, ialah surat kabar, gambar hidup, sekolah dan gereja.
Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat penindas belum juga hilang. Negara itu pada tingkat ini berupa diktator proletaria, ialah kaum Proletaria. Sebagai klas yang berkuasa. Diktator Proletaria mendiktekan kemauannya atas masyarakat baru (sosialis); membangun dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara proletar itu terhadap serangan kapitalisme imperialisme dari luar.

TUMPANG TIMBULNYA NEGARA

Sesuatu negara itu bisa tumbuh, selama yang lama, ialah kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (tehnik, sosial, politik dan kebudayaan). Negara lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan dan klas baru dalam masyrakat, ialah yang selamanya ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.
Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal, seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis (revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodal-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (revolusi proletaria tahun 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara itu didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi. Perubahan ekonomi, ialah perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang serta pengangkutan dan keuangan, sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun berubah sampai pada suatu ketika, perubahan bilangan (quantity) berubah menjadi pertukaran sifat (quality), cocok dengan undangnya dialektika. Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme-asli, sedikit demi sedikit berganti menjadi pertukaran besar dan cepat, melompat atau meletus, menjadi pertukaran ekonomi perbudakan. Begitulah pula dalam puluhan tahun, bahkan ratusan  tahun sejarahnya masyarakat Eropa, perubahan sedikit demi sedikit dalam perekonomian budak terutama di Eropa-Selatan (Yunani-Romawi) lambat laun sampai kepada tingkat melompat meletusnya  menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang undang dialektika itu juga, perekonomian feodal bertukar menjadi perekonomian kapitalis. Kini (akhir tahun 1947) perekonomian kapitalis sudah bertukar pula menjadi perekonomian sosialis diantara lebih dari tiga ratus juta (300.000.000) manusia, yang mendiami Soviet Rusia dan beberapa negara disekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan pertukaran ekonomi dari sistem ekonomi komunis-asli, menjadi perekonomian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan dan pertukaran ekonomi yang berlaku berturut-turut dari perekonomian feodal ke perekonomian kapitalis dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosial. Mendorong pula kepada pertukaran bentuk negara dari negara budak berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis dan negara sosialis (diktator proletar).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, daris sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.
Apakah pula yang menjadi kodrat-pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu?
Marx dan Engels menjelaskan dengan segala bukti, yang dikemukakan oleh para ahli sejarah, dimasa mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lain-lain) itu digerakkan oleh kodrat penghasil (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat dan Mesin. Dengan berubah bertukarnya kodrat-penghasil ini, maka berubah bertukarlah pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup dan membela diri terhadap musuh, yang berupa manusia biadab dan binatang buas. Makan yang terutama, ialah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan yang terpenting ialah mencari buah-buahan, berburu dan berperang. Pekerjaan sedemikian cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tidak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar dan ganas itu. Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu sendirinya mendorong kepada milik bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal) dan milik bersama pula atas produksi ialah hasil pekerjaan bersama itu. Di sini dan di zaman ini tidak ada pemerasan manusia atas manusia lain ataupun pemerasan satu klas atas klas lainnya. Semuanya anggota masyarakat itu berpunya, yakni mempunyai alat dan hasil. Tidak ada yang tidak berpunya, tidak ada pula pertentangan antara klas yang berpunya dengan klas yang tidak berpunya. Jadinya masyarakat semacam itu tidak memerlukan satu negara sebagai alat penindas, yang teristimewa, “yang menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. masyarakat yang semacam ini ialah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2 pada masyarakat budak alat (produksi) itu bukan lagi batu, melainkan logam ialah tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat (produksi). Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat pemburu, yang belum lagi mengenal pertanian, seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam itu sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan serba  bersahaja) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pula sudah timbul pembagian pekerjaan (divition of labour) antara golongan peternak, petani dan tukang. Seseorang anggota masyarakat di zaman itu, tidak lagi seperti sebelumnya itu, yaitu (misalnya) pagi berburu, petang gembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat tersebut sudah terpisah-pisah dalam golongan gembala, pemburu petani dan tukang. Masing-masing golongan melakukan pekerjaannya saja. Dengan begitu, maka kepandaian dan kelancaran bekerja kian hari kian bertambah.
Demikian pula hasil terus bertambah-tambah. Dalam keadaan begini lahirlah pertukaran barang, antara orang dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyrakat itu sendiri serta akhirnya antara satu masyrakat dengan masyrakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (gandum) dengan yang mempunyai pakaian yang berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar, dan timbullah pula kemungkinan, bahwa sesuatu kodrat penghasil, ialah kaum budak serta alat jatuh terkumpul ditangannya beberapa yang berpunya. Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja paksa oleh klas yang berpunya atas klas budak, yang kebanyakan ialah orang tawanan dalam sesuatu peperangan atau turunannya orang tawanan itu atau orang yang berhutang, tetapi tidak sanggup membayar hutangnya lagi. Milik bersama atas alat dan hasil, seperti pada zaman  komunis asli bertukar menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga dan hasil. Klas yang kecil, ialah klas yang berpunya memeras dan menindas klas yang besar, tetapi tidak mempunyai apa-apa. Pertentangan yang sering bertukar menjadi perjuangan semakin menghebat dan bertambah tajamnya pertentangan dalam penghidupan. Di sinilah timbul satu alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyrakat itu”.
Di sinilah timbul dan tumbuh tentara dan polisi, ialah “alat yang terutama bagi kekuasaan negara”. Di sinilah bertukarnya masyarakat komunis asli, satu “masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri”, menjadi negara budak, dengan serdadu, resisir, polisi, jaksa, penjara dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, ialah pada masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah lazim dan bertambah baik. Bajak besi dan jentera, buat temu menemuan sedang mengembang peternakan, pertanian dan perusahaan susu, buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulailah timbul manufature (pabrik atas dasar kerja tangan) di samping pertukangan. Keluarga raja dan kaum ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan dijual-belikan, tidak lagi boleh dibunuh, tetapi masih boleh dijual belikan. Budak slave bertukar menjadi budak serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit perhatian serta inisiatip dalam pekerjaannya. Budak-slave tidak mempunyai kedua sifat itu sama sekali, karena memangnya badan dan jiwanya sendiri, bukanlah mereka yang punya, apalagi alat dan hasil. Budak serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (imploments). Dengan demikian, maka mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggp memegang sisa pajak itu buat hidup dia sendiri beserta keluarganya. Sebab itulah pula, maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan inisiatif dalam pekerjaanya. Di samping milik feodal berada milik perseorangan oleh tani dan tukang atas alat dan hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di zaman budak serf hampir tidak berapa bedanya dengan di zaman budak slave. Demikianlah pula pertentangan dan perjuangan antara klas ningrat dan klas budak serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dan knecht (majikan dan bujang) pada sesuatu manufacture tiada pula kurang daripada di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini, maka negara itu, dengan syaratnya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara dan algojo, di samping penekan batin, ialah gereja, terang sekali sifat dan coraknya, sebagai alat penindasnya satu klas atas klas yang lain.
Tingkat ke-4 ialah  zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas yang digerakkan dengan tangan, di masa manufacture dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kilogram di zaman manufacture, yang sudah sukar diayunkan oleh seorang pekerja, sekarang bertukar menjadi godam, yang beratnya sampai 50. 000 kg, yang dengan mudah diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik di zaman manufakture cuma bisa memusatkan 1.000 orang atau lebih kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup memusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik, dan ratusan-ribu dalam satu perusahaan (tambang atau kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran. Budak slave dan serf yang bodoh itu tidak dapat dipakai lagi oleh kapitalis zaman sekarang. Proletar masih harus disekolahkan lebih dahulu. Disinilah berasalnya undang-undang yang mewajibkan belajar setiap-tiap warganya negara demokratis (compulsory education). Seandainya jika tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau pertukangan, maka tak akan bisalah atau susah sekali buat seseorang kapitalist mendapatkan buruh buat dipekerjakannya.
Untunglah bagi kaum kapitalist, bahwa sesuat perusahaan besar di zaman kapitalist ini menindas dan melenyapkan perusahaan kecil. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka pabrik mesin melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, kebon-besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang.
Sebagian besar penduduk jauh melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu. Mereka proletar terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalist. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi burdjuis dari tanahnya Ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya, karena disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalist. Mereka “merdeka” pula menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena  mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan semurah-murahnya, lantaran saingan yang tajam antara seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta-benda Negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya. Syahdan didunia kapitalisme tulen, maka selusin dua orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan lain-lain. Dengan begitu, maka produksi jatuh ke tangan yang memiliki alat produksi itu pula. Sebagian besar rakyatnya tak mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang mengadukan hasi dengan cara kerja bersama-sama. Pertentangan selusin-dua lusin orang yang tiada bekerja. Tetapi memiliki alat produksi dan produksi dengan sebagian besar rakyat yang kerja membanting tulang, tetapi tiada memiliki alat produksi dan Produksi itu, pertentangan antar hak milik yang berdasarkan perseorangan dengan cara bekerja yang dilakukan bersama-sama, amat nyata dan amat bersahaja dimasa krisis ekonomi. Di masa inilah Negara Kapitalist beserta Birokrasi, Militer, Polisi, Kerajaan, Penjara, Algojo, Pendeta dan Profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa krisis inilah Negara Borjuis bertelanjang bulat menontonkan dirinya sebagai alat penindas oleh kaum Borjuis atas kaum Proletar dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri ditengah-tengah, yang “adil” tidak berpihak kesana atau kesini.
Revolusi Proletaria, yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyrakat ke tingkat ke-5, yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia diantara 150 juta manusia, semenjak perang dunia pertama dan di Rusia serta sekitarnya , diantara lebih daripada 300 juta manusia semenjak perang dunia kedua, tak ada lagi pertentangan antara hak milik atau alat produksi penting, yang berdasarkan perseorangan (prive) dengan cara bekerja yang berdasarkan bersama-sama (sosial). Alat produksi penting dimiliki bersama-sama oleh kaum pekerja dan hasil (produksi) dimiliki bersama-sama pula dan dibagi-bagi menurut aturan: “Siapa yang tiada bekerja tiadalah pula akan dapat makan”. Dengan Revolusi di Rusia maka timbullah kekuasaan baru, negara baru, ialah diktatornya proletar, yakni kaum  proletar sebagai klas yang menumbangkan Negara Feodal Kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan Penjara Proletar, buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, dan Kapitalist Rusia disertai semua bantuan konco-konconya kaum Kapitalist-Imperalist di luar Rusia.

THESIS, ANTI-THESIS dan SYNTHESIS

Sudah hampir nyata berlakuknya hukum dialektika, yang thesis, anti-thesis dan synthesis dalam ribuan tahun majunya masyarakat seluruh manusia di dunia dalam garis besarnya.
Sebagai thesis (awal) maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan miliki bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapat hampir seluruhnya dunia pada zaman komunisme asli.
Sebagai anti-thesis (pembatalan) maka masyarakat komunisme-asli tersebut terbelah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar kerja bersama terhadap milik perseorangan, pokok antara klas tak berpunya, tetapi bekerja melawan klas berpunya, tetapi tiada bekerja. Keadaan begini terdapat pada tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1) tingkat masyarakat budak-slave 2) masyarakat feodal dan 3) masyarakat kapitalisme.

Sebagai synthesis (kebatalan pembatalan), maka masyarakat manusia diseluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern. Di sini pertentangan di dalam masyarakat kapitalisme, ialah pertentangan diantara kerja bersama oleh yang tak berpunya melawan miliki perseorangan yang berpunya, tetapi tiada bekerja, akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern yang (seperti masyrakat sosialisme) berdasarkan kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil (produksi).
Dipandang dari sudut pemerintah, sejajar dengan cara menghasil dan memiliki hasil itu tadi, maka pada zaman komunisme asli, “rakyat bersenjata itu bertindak (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras) menjaga keberesan jalannya semua urusan masyarakat.
Pada tingkat komunisme yang terakhir (phase tertinggi), maka negara (state), sebagai alat penindas oleh satu klas atas klas yang lain hilang lenyap (withering-way), karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat; tak ada lagi pertentangan dalam masyrakat; tak ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah sudah bertukar menjadi sifat mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyrakat itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan persaudaraan yang sesungguhnya; semua kebiasaan yang diperlukan oleh komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam phase komunisme yang pertama, ialah phase sosialisme yang di diktatori oleh kaum pekerja.
Proses (lakon) yang berupa: komunisme asli, masyrakat ber-klas, komunisme modern, itu bukanlah peredaran dalam sesuatu lingkaran (circle), melainkan satu peredaran dalam suat lingkaran yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme-modern, sebagai ujungnya proses (synthesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan Dialektika pula dalam badannya sendiri!, komunisme-modern itu, akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terdapat dalam komunisme-asli, (pada thesis).
Kerja bersama pada komunisme modern, adalah kerja bersama yang lebih rational (teratur) dengan alat (mesin, listrik dan kodrat kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik bersama atas hasil (produksi) adalah milik bersama atas haisl yang beribu-juta kali lipat ganda banyak, sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Perhubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme modern, adalah perhubungan yang tidak memandang warna, kulit, darah dan kekeluargaan (suku) lagi, seperti pada zaman komunisme asli, melainkan perhubungan yang luas, berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruhnya manusia dalam puluhan, bahkan ratus ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator proletar itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah diktator proletar itu dikatakan zaman peralihan itu, maka masyrakat yang di diktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan menginjak masyarakat komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah terletaknya masyarakat komunisme modern, tingkat yang tertinggi.
Adapun diktator proletar itu masih mengandung sifat kenegaraan, ialah alat penindas, yang dibangunkan oleh kaum proletar untuk kaum proletar sebagai alat penumbangkan alat penindasnya kaum borjuis. Tetapi pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas borjuis itu, sedang menanam bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme. Setelah semua alat produksi, yang penting dijadikan miliknya masyrakat pekerja, maka semua sistem perekonomian, sosial dan kebudayaan didasarkan atas maksud menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunisme, phase tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja sendiri, untuk seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi ada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau zaman diktator proletar itu distribusi (pembagian hasil) masih dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: “siapa yang tidak bekerja tidak akan makan” dan kedua: “seseorang mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama”.
Keduanya hukum tersebut masih bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh Marx, orang itu memangnya tidak sama satu dengan lainnya; yang satu kuat dan yang lain lemah; yang satu kawin dan yang satu tidak; yang satu beranak banyak, yang lain tidak beranak. Maka oleh sebab itu tidaklah adil sama sekali, kalau yang lemah harus mengeluarkan sama banyak tenaga dengan yang kuat dan kalau sebaliknya yang kuat yang menghasilkan lebih banyak daripada yang lemah (dalam waktu yang sama) menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang tidak beristri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak, atau yang beranak banyak mendapat sama pula dengan yang tidak beranak.
Persamaan semacam itu, adalah persamaan untuk semua orang yang tidak sama dengan lainnya, satu persamaan yang palsu.
Tetapi Marx, Engels, Lenin dan Soviet Rusi merasa terpaksa mempergunakan dasar tersebut sebagai titik melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia kapitalisme itu haruslah mempunyai sesuatu pegangan buat melangkah. Masyarakat baru itu masih terpaksa tersambung dengan masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir masih disambung oleh ari-ari dengan ibunya, kelak setelah klas dan ideologi borjuis lenyap dari kebiasaan dan kemauan bekerja sudah merata diseluruhnya masyarakat, disamping produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian semua tehnik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat-ganda. Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka sendirinya berlaku dasar komunisme, yakni: “seseorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut keperluannya”.
Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya produksi, maka lenyaplah klas dan ideology borjuis dan akan lenyaplah pula akhirnya diktator proletar tadi (withering away) sebagai alat penindas oleh kaum pekerja atas kaum borjuis. Bersama dengan lenyapnya diktator proletar, maka timbullah komunisme, phase tertinggi. Zaman itu dibelakang ini tidak lagi mengenal negara beserta alat penindasnya, melainkan merupakan satu masyarakat yang makmur, rational, serta adil penuh prikemanusiaan.
Kaum anarkis berbuat (bukan yang berlagak-lagak anarkis), yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah memikirkan, apakah selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya,bahwa apabila semua orang yang memegang kekuasaan itu (Raja, Menteri, Jendral dan lain-lain) dibunuh saja, dimana dijumpai, maka keadaan seperti salam zaman komunisme, phase tertinggi akan timbul sendirinya saja. Mereka melupakan, bahwa semua sifat borjuis dari klas borjuis yang juga meresap ke dalam klas proletaria itu tidak akan lenyap begitu saja, dengan terbunuhnya semua orang pemegang kekuasaan negara.
Kaum Sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen saja. Dengan jalan membikin undang-undang oleh para wakilnya kaum terbesar dalam parlemen, ialah oleh para wakilnya kaum pekerja, maka mereka percaya, bahwa alat produksi bisa dijadikan miliki bersama oleh negara. Mereka lupa bahwa negara itu, ialah satu negara, sebagai alat penindas oleh yang berpunya atas yang tidak berpunya. Mereka lupa, bahwa dalam pemerintahan, seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan lain-lain, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin. Mereka ini bisa dan dalam prakteknya selain melakukan sabotage terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan kaum borjuis, yang sudah diterima oleh parlemen dan yang sesudahnya itu harus dijalankan oleh alat negara. Pengalaman kaum Sosialis di Jerman yang memegang kekuasaan sesudah perang dunia pertama (pemerintah Ebert, Nosko, Sheidemann) dan pemerintah Sosialis di Inggris yang sudah tiga kali dipraktekkan, semuanya itu membuktikan, bahwa kaum buruh tidak boleh dengan bulat begitu saja mewarisi alat Pemerintah Negara Borjuis. Baik Pemerintah Sosialis Jerman maupun Pemerintah Sosialis Inggris tidak berdaya menjalankan Undang-Undang Sosialis, yang tidak memotong akar-akar kapitalisme yang terpenting.
Mengambil pelajaran dari revolusi proletar di Perancis, yang mendirikan Comune kota Paris (pemerintah kota Paris) pada tahun 1870, maka Marx dalam bukunya “peperangan saudara di Perancis” memajukan bahwa “Kaum Proletar tidak boleh begitu saja mewarisi bulat-bulat alat perlengkapannya negara itu (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah dan lain-lain) dan menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar”.
Dari sinilah berasalnya pengertian diktator proletar, yang oleh kaum Bolsjewiki di Rusia, dibawah pimpinan Lenin dilaksanakan dann oleh Internasional kedua di bawah pimpinan Kautzsky selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.
Lenin (State and Revolution, halaman 30-31) setuju dengan Marx yang berpendapat, bahwa pada tahun 1871, bilamana Inggris masih satu contoh sebagai satu negara yang kapitalis tulen, tetapi tidak mempunyai militerisme dan hampir tidak pula mengenal birokrasi, bahwa pada masa itu “satu revolusi, malah satu revolusi rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku, dan tidak memerlukan satu jaminan, yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu haruslah dihancurkan”. Tetapi” kata Lenin seterusnya, sekarang dalam tahun 1917, dalam masa perang besar imperialis, maka pahamnya Marx tadi tidak tepat lagi; keduanya, Inggris dan Amerika, sebagai ciptaan kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir dalam arti, di mana militerisme dan birokrasi tidak terdapat sekarang (kedua negara itu) sudah terjun ke dalam berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak segala-galanya.
Sekarang baik di Inggris, ataupun di Amerika, yang terpenting, sebagai syaratnya setiap revolusi rakyat yang sesungguhnya, ialah memecahkan menghancurkan alat negara yang sudah siap itu (ready made state machine, yang dimasukkan ke dalam kedua negara itu antara tahun 1914 dan 1917).
Kata Lenin selanjutnya “yang kedua (ialah) perhatian istimewa harus ditujukan kepada peringatan Marxd yang penting itu, bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya”.
Sistem diktator proletar bukanlah satu impian atau ciptaan Marx. Sebagai seorang Scinetist (ahli ilmu bukti) maka Marx tak pernah memimpikan atau  menciptakan sesuatunya seperti kaum Utopis: Thomas More, Saint Simon, Touvier dan Robert Owen. Sebagai Scientist maka Marx membentuk sesuatu thesis atas sesuatu pengalaman, yakni sesuatu bukti. Perbuatan kaum proletar para Comune di Paris pada tahun 1871 itu, mewarisi alat negara secara bulat begitu saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam, terhadap kaum proletar yang memegang kekuasaan di masa itu. para pemimpin proletar tidak menukar alat negara borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.
Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap menjadi sebab yang terutama, maka “Comune Paris” dapat dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu yang pendek.
Proletar Rusia di bawah pimpinan partai komunis tidak mewarisi bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, yang berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan Profesor Miljukoff dan oleh Partai Sosialis Revolusioner yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky cs. Kaum komunis menghancurkan alat-alat negara Tsar dan Ningratnya, yang diwarisi bulat-bulat oleh Borjuis besar dan kecil itu, sambil menukar dengan alat negara proletar. Pemerintah lama bertukar dengan Soviet, tentara feodal-borjuis dengan tentara merah, polisi-feodal-borjuis dengan polisi proletar, mahkamah-feodal-borjuis dengan mahkamah proletar, didikan feodal-borjuis dengan didikan proletar dan sebagainya.
Dengan Diktator Proletarnya, maka Soviet Rusia sudah berdiri lebih daripada 30 tahun, dan sudah sanggup menukar negara setengah kapitalis menjadi negara industri klas satu; sudah berperang dan sudah memusatkan tenaga lebih daripada lebih kurang 300 juta manusia, atau lebih kurang 1/7 dari jumlah seluruhnya manusia, serta menduduki lebih kurang 1/7 dari seluruhnya daratan di dunia.
Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruhnya dunia, haruslah lebih dahulu melewati zaman peralihan, ialah zaman Diktator Proletar yang menguasai seluruhnya dunia pula. Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam bumi iklim serta kebudayaan pada lima benua itu, memangnya sedang mengorganisir dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum Ningrat Borjuis beserta kaki tangannya di seluruh dunia pula.















PROKLAMASI KEMERDEKAAN
REPUBLIK INDONESIA


Pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Sukarno Hatta atas paksaan rakyat Jakarta, yang dipimpin oleh Pemuda, yang bermarkas di Menteng 31, memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Bentuk pemerintahan yang dipilih ialah republik. Buat penulis ini sendiri, maka peristiwa yang sangat penting buat rakyat Indonesia itu, berarti melangkah dari dunia pikiran ke dunia sesungguhnya, dalam waktu sedikit lebih dari 20 tahun. Ke arah Republik Indonesia saya tulis pada bulan Januari tahun 1924 Singapore.
Republik Indonesia, yang diproklamirkan pada 17 Agustus, yang 100% lepas dari negara asing manapun juga, disambut oleh 70 juta rakyat di seluruh kepulauan Indonesia dengan persetujuan bulat. Dimana-mana terjadi pertengkaran dan pertumpahan darah antara tentara Jepang dengan rakyat Indonesia yang berhasrat keras seperti baja melaksanakan kemerdekaan itu.
Proklamasi 17 Agustus itu tidak lain daripada pelaksanaan hak mutlat rakyat Indonesia sendiri. Hak mutlak semacam itu sudah lama diakui oleh ilmu politik modern dan sudah dikeraskan pula oleh beberapa pernyataan, seperti oleh Presiden Wilson, oleh Atlantic Charter dan oleh UNO (Serekat Bangsa).
Sudah lama filsafat politik, yang resmi di dunia ini mengakui hak bangsa, diantaranya ialah seperti yang tersebut di bawah ini: 1) Hak atas kemerdekaan  (freedom). 2) Hak hidup dan membela diri (self-defence). 3) Hak bergaul dengan bangsa lain (right of intercourse). 4) Hak atas kehormatan (honcur??) sebagai bangsa. 5). Dan lain-lain hak.
Pada penghabisan perang dunia pertama, maka di lapangan politik dan diplomasi diseluruhnya dunia berkumandanglah dasar yang diformulir oleh Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat, yang mengemukakan bahwa “tiap-tiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri” (right of self determination). Jadinya tiap-tiap bangsa, berhak menentukan sendiri, apakah bangsa itu mau merdeka atau tidak; apakah dia akan membentuk sesuatu negara merdeka menurut bentuk yang disukainya sendiri, ataukah dia mau memperlindungkan atau memperhambakan dirinya pada sesuatu negara asing.
“The right of selfdetermination” itu diteruskan pula dalam bentuk lain, dalam satu persetujuan yang terkenal sebagai “Atlantic Charter” (Piagam Atlantik), yang dibentuk bersama-sama oleh Roosevelt kepala Negara Amerika Serikat dan Churcil, Perdana Menteri Inggris, yang dibelakang hari disetujui pula oleh Stalin Perdana Mentri Soviet Rusia.
Dalam suatu buku yang bernama “Pacific Charter” oleh Hallit Abend, tertulis (halaman 171), diantaranya:
“Inilah pengumuman bersama yang resmi tentang penanda tanganan Atlantic Charter, sebagai disiarkan di Washington dan London pada tanggal 14 Agustus 1941”.
Presiden Amerka (USA) dan Perdana Menteri Mr.Churchill yang mewakili Pemerintah Kesatuan Kerajaan Inggris berjumpa di laut”.
“Mereka diiringi oleh para pegawai dari kedua Pemerintah, termasuk juga pegawai tinggi dalam Tentara, Armada dan Angkatan Udara”.
“Mereka setuju tentang pernyataan bersama diantaranya seperti berikut”:
“Presiden Amerika dan Perdana Menteri Churchil, yang mewakili Pemerintah Kesatuan Kerajaan sesudah bermusyawarah, merasa perlu membikin dasar bersama tentang politik nasional kedua negara itu, atas nama mereka menyandarkan pengharapan mereka untuk hari depan yang lebih baik bagi dunia”.
“Pertama: Negara mereka tidaklah akan berusaha menambah kebesaran, tentang daerah atau lain-lainnya”.
“Kedua: Mereka tidak berkehendak melihat perubahan daerah yang tidak sesuai dengan kemauan, yang diucapkan dengan merdeka oleh rakyat, yang berkepentingan.”
“Ketiga: Mereka menghormati hak sesuatu bangsa memilih bentuk pemerintah, dibawahnya mana bangsa itu hendak bernaung; mereka ingin melihat hak-hak kedaulatan (sovereign rights), pemerintah sendiri (Self government) dikembalikan kepada bangsa yang sudah dirampasi (hak kedaulatan dan pemerintah sendiri) itu”.
“Keenam: sesudah hancurnya kekuasaan NAZI, mereka berharap melihat terbentuknya perdamaian, yang akan memberikan kepada semua bangsa (nations) segala alat penjamin keamanan dalam daerahnya sendiri dan yang akan menjamin, bahwa semua orang dalam negara bisa hidup dalam kehidupan yang terlepas daripada ketakutan dan kekurangan”.
“Kedelapan: mereka percaya bahwa semua negara di dunia, baik atas dasar kenyataan ataupun atas dasar kerohanian, haruslah melenyapkan pemakaian kekerasan. Karena tidak ada perdamaian di hari depan dapat dipertahankan apabila tentara, armada dan angkatan udara diteruskan dipakai oleh beberapa negara, yang mengancam atau bisa mengancam mengadakan agresi ke luar daerahnya, maka mereka percaya sambil menunggu terbentuknya satu peraturan menjamin yang lebih luas dan lebih kekal, bahwa perlucutan senjata beberapa negara tersebut adalah penting sekali”.
Tanda tangan
Franklin D.Roosevelt
Winston S.Churchil

Dalam buku tersebut juga (halaman 170) dituliskan perkataan Stalin (yang diucapkan) dalam perayaan 25 tahun berdirinya Soviet-Rusia, seperti berikut:
“Urgensi Programnya Sekutu Inggris, Soviet, Amerika ialah: penghapusan perbedaan segala bangsa, persamaan semua bangsa dan kebulatan daerahnya; kemerdekaan semua bangsa yang diperbudak dan pengambilan hak kedaulatannya; hak tiap-tiap bangsa untuk mengatur urusannya menurut kehendaknya; bantuan ekonomi kepada semua bangsa yang menderita; dan bantuan kepada mereka untuk mendapatkan kemakmurannya; pengembalian hak-hak demokrasi (dan) menghapuskan regiemnya (peraturan) Hitler”.
Akhirnya dalam Mukadimahnya Charter for Peace of the United Nations (Piagam Perdamaian UNO), yang ditanda tangani oleh para wakil beberapa negara di San Fransisco pada tanggal 20 Juni tahun 1945, maka diakui “Hak tiap-tiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri” dan dilarang sesuatu negara memaksakan kemauannya dengan senjata pada bangsa lain dipastikan pula.”
Dalam mukadimahnya Piagam UNO itu diantaranya tertulis: “dan menetapkan sekali lagi kepercayaan pada hak-hak manusia yang terpenting (fundamental human rights) pada kehormatan dan nilainya diri manusia, pada persamaan haknya, lelaki, perempuan dan negara besar atau kecil”.
Dan buat maksud tersebut di atas, untuk melaksanakan maaf-memaafkan dan hidup bersama satu sama lainnya dalam perdamaian sebagai tetangga yang baik, dan mempersatukan tenaga untuk memegang perdamaian, dan kepastian internasional, serta menjamin bahwa kesatuan senjata tidak akan dipakai lagi (that armed force shall not be used).
Dengan demikian, maka pemerintah kami dengan perantaraan para wakilnya yang berkumpul di San Fransisco setuju dengan Piagam Pergabungan Negara (UNO) dan dengan ini mendirikan Organisasi Internasional yang akan dikenal dengan nama Pergabungan Negara (United Nations).
Menurut Bab I, yang berkepala “MAKSUD dan DASAR”, dalam artikel 1, dituliskan pula sebagai maksudnya UNO, diantara lain-lain:
1.      Untuk menjaga keamanan dan kepastian Internasional dan berhubungan dengan maksud itu mengadakan tindakan bersama yang efetif (tegas) untuk menghindarkan dan menyingkirkan segala ancaman terhadap perdamaian dan buat membasmi semua tindakan agresi atau tindakan lain-lain yang mengancam perdamaian.
2.      Untuk memajukan persahabatan diantara semua negara yang didasarkan atas kehormatan terhadap dasar hak sama dan hak menentukan sendiri oleh semua bangsa dan mengambil tindakan  lain yang layak buat memperkuat perdamaian internasional.

Sekianlah catatan yang terpenting untuk sekadar penjelasan.
Teranglah sudah, bahwa memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus itu adalah hak mutlaknya bangsa Indonesia dan cocok dengan tulisan dan lisan yang terkandung dalam dasar kenegaraan serta perhubungan Internasional sebagai termaktub pada anak-kalimat: “Haknya tiap-tiap bangsa menentukan nasibnya sendiri”.
Teranglah pula, bahwa Organisasi Dunia, dimana Belanda sendiri menjadi anggotanya, pertama sekali bersandar atas pengakuan “hak sesuatu bangsa menentukan nasibnya sendiri itu, dan sendirinya pula mengakui hak sesuatu bangsa, membela kemerdekaan terhadap sesuatu bangsa, membela kemerdekaan terhadap sesuatu agresi dari negara lain”. Program yang terutama bagi UNO itu, ialah membasmi semua agresi, yakni membasmi pemakaian kekerasan  terhadap sesuatu negara yang merdeka atas dasar hak mutlaknya untuk menentukan nasibnya sendiri itu.




























TIMBUL-TUMBUHNYA
REPUBLIK INDONESIA


Revolusi Indonesia berbeda dengan Revolusi Perancis (1789, 1848, atau 1871) dan berbeda pula dengan revolusi Rusia pada tahun 1917. Sifat kelas, yang memegang kekuasaan di Indonesia, susunan dan sifat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat kemajuan perekonomian serta akhirnya sifat dan keadaan bumi iklim serta tehnik yang menjadi pendorong semua perubahan dan dasarnya ekonomi sosial, politik dan kebudayaan berlainan sekali dipelbagai tempat yang tersebut di atas.
Berperang untuk Indonesia ini, kepada kesimpulan (conclusion) yang ditetapkan oleh Marx dan Engels ketika 100 tahun lampau, kesimpulan mana dipertimbangkan menurut teknik ekonomi, sosial politik serta kebudayaan jiwa manusia di Eropa Barat di masa itu, ataupun berpegangan kepada semua kesimpulan Lenin yang dipertimbangkan menurut kupasan (analyse) masyrakat Rusia pada tahun 1917 serta menghafalkan semua kesimpulan tersebut buat dilaksanakan di Indonesia sekarang, bukanlah menjalankan hasilnya cara berpikir yang dialektis bersandar pada teori materialisme. Seorang Marxist yang mau dijadikan obor dalam menentukan sikap dan tindakan di Indonesia sekarang haruslah mempertimbangkan kesimpulan itu atas bahan berpikir (premise) yang diperoleh di Indonesia sekarang pula. Bahan berpikir itu adalah bayangan (reflection) dari semua faktornya  masyarakat Indonesia kini sendiri: teknik ekonomi Indonesia sendiri, sosial politik serta kebudayaan jiwa (psychology) rakyat Indonesia sendiri.
Dengan berbedanya hampir semua faktor ini di Indonesia dengan Perancis dan Rusia pada waktu yang berlainan pula, maka kesimpulan (conclusion) yang diperoleh seorang Marxist di Indonesia sekarang tentulah berbeda pula dengan kesimpulan Marx dan Lenin, seperti tersebut di atas, mungkin ada terdapat persamaan nama tetapi belum tentu sekali bersamaan isi.
Yang bersamaan dan tetap bersamaan bagi sekalian Marxist pada semua tempat dan semua waktu ialah:
Pertama: Cara (methode) menyelesaikan dan memahamkan soal masyarakat (sosial     
               problem) ialah dengan cara Dialektika (hukum pertentangan).

Kedua: Tafsiran, paham dan teori tentang kejadian (phenomena) dalam masyarakat itu 
             didasarkan atas teori materialisme (kebendaan).

Ketiga: Semangat pemeriksaan dan penjelasan soal masyarakat dan tindakan yang 
disandarkan kepada kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan revolusioner.

Belum tentu sekali seorang yang menepuk-nepuk dada dan mengakui dirinya seorang Marxist, Leninist dan Stalinist, karena sudah menghafalkan semua kesimpulan Marx dan Lenin dalam keadaan masyarakat di lain tempat dan di lain waktu belum tentu sekali kesimpulan yang diperoleh atas masyarakat Indonesia dengan cara, tafsiran dan semangat yang Marxistis. Ingat kita kepada kalimat yang dijunjung tinggi oleh kaum Bolsjewik tua di Rusia yang berbunyi: “Marxisme itu bukanlah suatu Dogma (hapalan), melainkan suatu pedoman untuk bertindak (Marxism is not a dogma but a guide to action).
Yang boleh jadi memberi jaminan kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxist, terutama dalam sesuatu revolusi, ialah 1). Cara penjelasan yang dialektis (cocok dengan hukum pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin) 2). Tafsiran yang materialistis (berdasarkan kebendaan), bukannya yang idealistis (khayal) dan 3). Semangat yang revolusioner, bukannya contra revolusioner, maju ke depan bukannya mundur kembali kepada keadaan yang lama.
Maka ujian yang terakhir tentangan salah-benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan pula oleh golongan yang berkepentingan sendiri, yakni:
I. Dalam soal revolusi nasioanal, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan hidupnya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.

II. Dalam hal revolusi borjuis, apakah kelas borjuis yang tertekan oleh kelas feodal dalam masyarakat feodal tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjuis sesungguhnya mendapatkan kekuasaan bagi menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kelas borjuis.

III. Dalam hal revolusioner proletar, apakah kelas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan tindakan borjuis (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang menuju ke arah komunisme.

Demikianlah pentingnya tafsiran (interpretation) tentan revolusi, yang harus kita utarakan kepada Revolusi Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan taktik strategi serta sikap dan tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.

Memperhatikan semua revolusi baik revolusi kelas melawan kelas (kelas borjuis melawan feodal, seperti di Perancis tahun 1789; proletar melawan feodal borjuis, seperti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun 1776-1782), maka selayang pandang tampaklah:
Bahwa timbulnya revolusi itu adalah pada suatu krisis, di mana pertentangan dua pihak (yang pada tingkat akhirnya berdasarkan pertentangan ekonomi), sedikit bertukar menjadi pertempuran. Revolusi itu jaya, apabila di mana krisis tadi nyata, bahwa yang lama tak sanggup lagi mengatur, dan yang baru sudah insyaf dan sanggup menyusun dan mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban sebesar-besarnya.
Saya tegaskan lagi: defenisi di atas ialah sekedarnya untuk meliputi semua jenis revolusi. Kalau dilaksanakan pada masyarakat Indonesia maka kita akan memperoleh seperti berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada krisis, 17 Agustus sanggup menyusun dan menggerakkan Murba dan membangun Republik dengan tidak memandang korban.
Proses pertentangan dalam kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat komunis asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi, lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Majapahit. Kedua Negara Feodal tersebut tentulah tidak berapa beda susunan sosial dan politiknya dengan Negara Feodal yang lain-lain di atas bumi ini. dalam masyarakat komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong menolong. Di masa masyarakat feodal, maka negara itu sudah tidak luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu golongan atas golongan yang lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman Sriwijaya dan Majapahit ialah bangsa Indonesia, sedangkan di kelas atasnya, ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama terdapat bangsa Hindu Asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa runtuhnya Majapahit, maka pada kelas atas itu terdapat pula Bangsa Arab, asli dan campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab-lah pula yang berturut-turut mengendalikan atau mempengaruhi perekonomian, terutama perdagangan Indonesia dengan negara luar.
Pada permulaan abad ke-17 imperialisme dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu dan Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tidak ada bandingnya di dunia ini. produksi tingkat manufacture yang terdapat di Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme awal (pre-capitalism) di Eropa yang agak lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula. Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan dari Indonesia ke Eropa dimonopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka semua kebon modern, semua tambang, semua pabrik, semua alat pengangkutan, semua Bank dan Insuransi, dan semua perdagangan export dan import boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa dan Arab, Amerika, Inggris, Belgia, dll.
Dengan timbulnya pemerasan oleh bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem Deandels, maka timbulah satu negara jajahan, yang tidak mengenal prikemanusiaan sama sekali. Pekerjaan membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas Belanda, ialah tentara penjajahannya, dipaksakan dengan kejam dan zonder bayaran oleh Belanda atas Bangsa Indonesia. Perampokan tenaga dan jiwa ribuan Bangsa Indonesia di masa itu memerlukan satu Negara Kolonial, dengan alat penindas yang amat kejam serta keji.
Alat penindas negara jajahan itu tidak berkurang keji kejamnya dengan pertukaran sistem rodi ala Daendels tadi dengan sistem rodicultuur stetsel ala Van den Bosch. Memang ada aturan yang tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel, itu (berapa tanahnya yang harus ditanami kopi dan lain-lain; dan berapa yang harus ditanami padi dll), tetapi dalam prakteknya petani Indonesia terpaksa menanami semua tanahnya buat barang dagangan Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat mengisi kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, maka petani Indonesia (Jawa) bertukar menjadi kaum kuli dan  kaum sunan, sultan, raja dan ningrat di seluruh Indonesia bertukar menjadi mandor kebun pabrik, pengairan dan juru tulis dalam kantornya semua alat penindas Belanda.
Sistem Cultuur Stelsel, yang lambat laun didorong oleh perubahan tehnik di Eropa, terpaksa pula dirubah menjadi sistem Vrije-Arbeid (kerja merdeka) ala Malefeit.
Seperti sudah kita sebut lebih dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak berhak atas apa-apa bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri. Tidak memperdulikan alat, pekerjaan serta hasil pekerjaannya. Sedikitpun mereka tidak memperlihatkan inisiatif. Bersama dengan sistem kerja merdeka, ala borjuis, maka kaum proletaris lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menundukkan inisiatif, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah  pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan sistem Vrije-Arbeid itu membawa perubahan semangat kerjanya kuli Indonesia. Seperti pula proletaria industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat proletaria, yang harus melayani mesin itu, begitu pula Rakyat Indonesia harus sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.
Bersama dengan tumbangnya kekuasaan feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara feodal.
Dengan demikian (bahasa Indonesia sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima yang sisa yang dilemparkan oleh kaum kapitalis itu kepadanya itu, demikianlah pula para ningrat penganggur menerima sembarangan “pekerjaan” yang dilemparkan oleh penjajah Belanda kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B Ambtenaren (pangreh projo).
Dari Bupati sampai ke lurah, dari sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara, dan algojo semuanya itu adalah inlanders alat untuk menindas bangsanya sendiri. Dimana pada semua badan alat pemerintah diperlukan satu reverse (cadangan), demikianlah pula alat penindas di Indonesia memerlukan reserve rendah, menengah dan tinggi. Cadangan ini setiap tahun dicetak oleh borjuis jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi pula buat inlanders alat dalam produksi, perdagangan, administrasi, ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.
Syahdan dalam garis besarnya kita melihat pertentangan yang ada dalam masyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942) seperti berikut:
Kaum berpunya yang terdiri dari bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan telunjuk, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya, ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi hidup dengan sisa yang dilemparkan kepadanya.
Gambaran yang lebih kongkrit tentang perbandingan bangsa Indonesia dan Belanda dalam masyarakat Indonesia, dalam waktu sebelum jatuhnya itu dapat ditegaskan dengan dua, tiga kalimat di bawah ini:
Dalam perekonomian: sedangkan si Inlander menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (heusch de inlanders kunnen wel met een benggol per dag leven) maka tiap-tiap tahun mengalir F.1.500,- juta rupiah ke negeri Belanda, sedangkan seorang pengemis di negeri Belanda bisa dengan mudah menjadi “Tuan Besar” di kebun atau di tambang Indonesia.
Dalam kesosialan: Diantara kaum tani di Jawa, yang berpenduduk 50 juta itu, sudah murah taksiran kita, kalau dikatakan, bahwa hanya lebih kurang 3% Tani, yang mempunyai sawah yang cukup buat penghidupannya (ialah lebih kurang 3 bahu). Yang mempunyai cuma 1/3 bahu mungkin sekali lebih daripada 50%. Tani Proletar yang tak berpunya apa-apa, yang luntang-lantung mencari pekerjaan kian kemari, sedikitnya ada 25%. Diantara sisa penduduk asli di Jawa, ialah sedikit saudagar tengahan, sebagian besar saudagar kecil, pangeh-praja, juru tulis dan intelek-gembel.
Dalam Politik: 70 juta Rakyat Indonesia cuma mempunyai dua tiga orang saja dalam Gedung Sandiwara (Volksraad) di Jakarta, sedangkan semua “key-position” (kekuasaan penting) dalam Pemerintahan, ketentaraan, kepolisian dan Urusan Luar Negeri berada di tangan Belanda.
Dalam Perguruan: Kata Belanda, bahwa untuk membasmi buta huruf dan mengadakan Undang-Undang wajib belajar (compulsory education) Indonesia memerlukan usaha lebih kurang 150 tahun. Sedangkan Nederland dengan penduduknya yang 7 juta mempunyai 5 University dan Sekolah Tinggi lainnya, maka Indonesia dengan 70 juta penduduknya belum lagi mempunyai satu University dan cuma 4 sekolah tinggi. (menurut ukuran perguruan di negara Belanda, maka Indonesia mestinya mempunyai 50 University dan 50 sekolah tinggi)
Pertentangan tajam antara rakyat Indonesia dengan imperialisme Belanda dalam segala-gala itu tidak dapat didamaikan, cuma dapat sementara waktu dininabobokkan oleh gerakan seperti P.E.B dan Legioen v.d. Geest (Gerakan Belanda) dengan inlanders-alatnya. Juga oleh gerakan intelektual dengan Parindra gerakan intelektuil dengan Parindra, Partai Pendidikan Nasional, Gerindo gerakan reformisme nasional.
Maka apabila topan kemiliteran dari satu bangsa berkulit kuning yang kecil itu, bertiup dari utara, maka Pemerintah “Hindia Belanda” ditiup oleh bangsa Jepang, sama mudahnya dengan angin meniup pasir dari alat batu. Tak ada seorangpun diantara pecinta Nusa dan Bangsa Indonesia yang merasa sedih melihat lenyapnya imperialisme Belanda dengan alat penindasnya pada tanggal 8 Maret tahun 1942.
Lebih kurang 30. 000 serdadu Jepang yang menyeberangi lautan sejarak 5.000 km yang lelah letih dapat menghalaukan dan mempertekuk-lututkan 95.000 serdadu yang bersenjata lebih lengkap dalam 8 hari saja. Mungkin sekali 3.000 buah jibakutai sanggup melakukan pekerjaan yang tersebut. Imperialisme Belanda tidak mempunyai urat sosial dan politik yang dalam dan sehat pada masyrakat Indonesia. Seandainya urat-sosial-politik itu ada, sebab adanya kerja sama dan derajat sama dalam perekonomian, dan seandainya dalam 350 tahun itu Belanda berusaha membangunkan semua kekuatan yang ada dalam tanah, air dan rohani jasmani 70 juta rakyat Indonesia, tentulah Jepang tak mempunyai harapan sama sekali buat menghampiri tanah, air dan udara Indonesia, jangankan pula hendak merampas tenaga, harta benda serta garis Indonesia.
Dalam 3 ½ tahun Jepang merampas sisa kekayaan, yang dipusatkan Belanda dan memeras tenaga, sedemikian rupa, sehingga yang tinggal pada rakyat jelata cuma rombongan celana karung dan tulang kering romusha, sebagai sisa daripada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam dan di  luar Indonesia.
Jepang mewarisi dan memperkokoh alat penindas yang dipusakakan oleh Belanda yang ditukar dengan alat penindas Jepang, yakni pemerintah Kempei, di bawah Saiko-Sikikan dengan alat peninabobokan seperti Chua-Sa-Ngi-In, 3 A, PUTERA, HOKOKAI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi ada pula organisasi, yang dibangunkan oleh Jepang untuk Jepang yang masih bisa membalik melawan Jepang seperti Organisasi Kaibodan, Seinendang, PETA, HEIHO dan JIBAKUTAI yang mendapat latihan kemiliteran yang cepat hebat imperialisme Jepang pun menggali kuburnya sendiri!
Setelah Jepang di atomi dan menyerah kepada Sekutu, maka yang baru di Indonesia, yakni pemuda yang insaf dan sanggup menyusun, dan menggerakkan rakyat Murba mengambil kesempatan baik untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.







Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno
Karena amat banyak menyinggung Pimpinan Negara Republik Indonesia dalam masa revolusi ini. Maka saya perlu sekali mengemukakan sedikit pandangan mengenai dirinya Presiden Soekarno. Barangkali ada baiknya juga saya ceritakan tentang perhubungan saya dengan Presiden Soekarno.
Sah dan perubahan jiwa manusia itu umumnya, sebagai cerminan perubahan masyarakat manusia umumnya pula, juga mengalami undang dialektika, yakni perubahan sedikit demi sedikit, dari abad ke abad pada suatu ketika menjadi pertukaran sifat. Dengan maju berubahnya masyarakat sedunia, dari zaman komunisme-asli ke zaman sosialisme modern melalui zaman perbudakan, zaman ningrat dan zaman kapitalisme, maka maju dan berubahnya kebudayaan kejiwaan (psychology) manusia itu dalam ratusan tahun.
Tetapi dalam dirinya seseorang (manusia) pada suatu masyarakat dalam hidupnya seseorang itu bisa berlaku gerakan kemajuan atau gerakan kemunduran. Seseorang dalam seumur hidupnya bisa bertukar dari revolusioner menjadi konservatif atau anti-revolusioner atau sebaliknya dari konservatif bertukar menjadi revolusioner. Yang menjadi pendorong dalam pertukaran paham itu biasanya perjuangan kelas dalam masyarakat itu. Filsafat atau pandangan hidup dan juga kemauan atau wataknya orang itu sendiri. Seseorang juga berwatak waja dan konsekwen dan mempunyai pandangan yang tepat tentang gerakan kelas dalam masyarakat itu, biasanya patah atau tegak dengan pahamnya semula. Tetapi orang yang tiada mempunyai filsafat atau pandangan hidup yang tepat dan masak tetapi mempunyai watak dan kemauan yang mudah diombang-ambing oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu diri sendiri atau pengaruh dari luar, biasanya kalau bertemu dengan rintangan mudah sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Satu dua di antara pelbagai ukuran yang biasanya kita pakai terhadap seseorang yang terjun terhadap seseorang, sebagai pemimpin, apakah pertama sekali ia dapat melihat ke depan dan yang kedua pakah dia cukup mempunyai watak yang konsekwen untuk memegang pandangan ke depan itu. Dalam prakteknya kita bertanya, apakah yang dijanjikan pemimpin itu kepada pengikut dan rakyatnya. Kedua, apakah dia jujur dan konsekwen melaksanakan apa yang sudah dijanjikannya itu sambil juga memperhatikan cara dan moral yang dijungjungnya untuk menepati janjinya itu.
Kita pertama bertanya; apa yang dijanjikan oleh  Ir.Soekarno kepada rakyat Indonesia ketika dia memimpin PNI di masa “Hindia Belanda”? kedua, apakah Ir.Soekarno jujur memegang janjinya itu?
Kita semua mengetahui bahwa Ir.Soekarno menuju kepada Indonesia merdeka atas dasar “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokrasi” dengan cara MASSA AKSI serta dengan semangat yang “tak kenal damai” (bukan serupa almarhum Dr Sutomo).
Ir Soekarno sudah menderita banyak kesengsaraan lantaran pahamnya itu dari pihak imperialisme Belanda, dan sebaliknya pula mendapat kehormatan, simpat dan pujian yang luar biasa dari seluruh golongan rakyat di Indonesia.
Tetapi bagaimanakah Ir Soekarno menepati janjinya?
Dengan Jepang yang imperialistis, militeristis dan teocratis Ir.Soekarno dari mulanya Jepang masuk sampai jatuhnya dari tahun 1942 sampai tahun 1945 dia bisa kerjasama bahkan bisa “sehidup semati” untuk mendirikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam lingkungan “Asia Timur Raya” yang pastilah cocok dengan filsafat hidup Tenno Heika dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan dan penghargaanTenno Heika oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Perang Jepang di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di Saigon.
Presiden Soekrano (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memmproklamasikam kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” serta dengan secara sandiwara membakar potret van der Plas (Roosevelt dan Churchill)—dengan “Naskah Linggarjati” dan “Renville principles” menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik.
Di masa Jepang sebetulnya banyak jalan lain bagi Gico Soekarno untuk menyingkiri ikatan halus maupun kasar yang dicoba dikenakan oleh kaki tangan Tenno Heika kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang menganjurkan atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan berlian rakyat Indonesia serta para gadis (untuk dilatih) untuk dikirim ke Tokyo. Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT, Borneo,dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda “mengosongkan kantong” dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan UNI Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus.
Seandainya Ir Sokerano tetap memegang pendiriannya semula dan bersandar atas kepercayaan kepada kekuatan 70 juta rakyat dan dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang dasar Indonesia Merdeka dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya” tetap pula memegang cara Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai (juga terhadap sembarangan imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa jepang kemerdekaan 100 % boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada yang disangka-sangka.
Tetapi kalau kita pelajari perbuatannya Ir Sokerno, maka kita terpaksa mengambil kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan analisanya masyarakat Indonesia. tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia. Tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian terhadap pertentangan yang antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada kelihatan pula dalam semua pidatonya itu perhatian terhadap pokok- pendorongnya gerakan rakyat di Indonesia, ialah gerakan murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan juga berdasarkan pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena kepintaran menggunakan Bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, menghipnotis sesuatu rapat rakyat murba.
Grande-eloquence beserta grande-elegance a’la Soekarno yang banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grand- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan  ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.
Berhubung dengan amat longgarnya cara Ir.Soekarno menafsirkan suatu paham itu, maka tak pastilah saya ini dalam menentukan apakah sikap  Ir Soekarno yang sebenarnya terhadao paham dan diri saya sendiri, walaupun di masa lampau kelihatan masih serba baik.
Buat sekadarnya membuktikan kerja itu di zaman lampau, ialah sebelumnya tangkapan saya pada tanggal 17 Maret 1946 di Madiun, maka tak ada salahnya kalau di sini saya mengemukakan beberapa peristiwa yang barangkali tidak begitu atau samasekali tidak diketahui oleh umum.
Sebermula, maka kebetulan saja, saya dalam tahanan di Mojokerto (13 Juli 1946 sampai 29 Januari 1947) saya terpandang satu buku yang berjudul “Indisch Schrift v/h Recht”. Dalam buku itu tercantum Ir Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember 1931.
Hampir setengahnya laporan proses itu yang menutupi lebih kurang 60 muka, mengambil bagian yang memperhubungkan aksi Ir Soekarno di masa PNI dengan saya sendiri, ialah dengan perantara buku Masa Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di Singapura pada pertengahan 1926.  Buku Masa Aksi itu sekarang sudah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia dan sudah disiarkan pada tahun lampau. Karena buku itu di masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada beberapa pemimpin yang berpengaruh besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali dan karena isi buku itu pula yang pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno kepada saya pada pertemuan bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan dari beberapa pemeriksaan itu.
Beberapa kalimat disalin ke Bahasa Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:
‘Landraad di Bandung ketua Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22 Desember 1931. Raad van justitie di Jakarta Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis 17 April 1931
Perkara terhadap para pemimpin PNI menurut artikel 153 bis dan 169 dari Weboek v.strafrecht. pada halaman 609 tertulis: Dalam Indische Tijdschrift v/h Recht Ir Soekarno, R.Gatot Mangkuprajo, Mas Kun, Supriadinata
Semenjak berdirinya PNI sampai tanggal 29 Desember 1929, yakni selama tahun tersebut teristimewa pada petengahan kedua tahun itu, di Bandung dan tempat lain-lain, ialah di Jawa dengan memimpin atau berbicara pada rapat umum kursus dan propaganda tertutup. Demikian pula dengan jalan memberikan pimpinan kepada dan memajukan massa aksinya partai mereka mengambil bagian dalam PNI dengan pengetahuan tentang tujuan partai. Maksud terakhir dari PNI dengan tegas dituliskan dalam statute..keterangan azas sebagai syarat yang pertama disebutkan’ kemerdekaan poitik, yakni berhentinya pemerintahanan Belanda di atas Indonesia itu.
“Sebagai alat yang paling baik Massa Aksi yang teraturlah yang dikemukakan.”
“Landraad menganggap penting sekali brosur Massa Aksi in Indonesie, terdapat pada produk FN ditulis oleh Tan Malaka, pemimpin komunis yang pada waktu itu berada di Singapura.” Pada halaman 639 Tidjs. v/h Rehct tertulis a.l:
“Menimbang bahwa produk AX juga menunjukan, memperbaiki, masyarakat oleh Murba (massa) dari Murba, untuk Murba perkataan mana satu persatu terdapat brosur Tan Malaka halaman 73..”
Menimbang bahwa thesis tentang pembagian imperialism atas corak dalam produk O (yang menurut saksi Kamaruddin dalam pemeriksaan adalah diktat pada kursus kepada calon anggota partai) yang juga terdapat dalam produk Bu; satu tulisan dari Inu Perbatasari, pemimpin kursus, disalin Woordelijk (kata demi kata) dari brosur Tan Malaka tersebut halaman 32 pada halaman 656 TIJDS. v/h RECHT:
“…………..Bahwa (menurut terdakwa Pen!) nasionale daad (perbuatan nasional) disebutkan akan berakhir tahun 1930.”
“………….sedangkan dengan sedikit perubahan istilah (sedikit perubahan itu adalah atas tanggungannya jaksa Belanda semata-mata,Pen!) Tan Malaka dalam produk FN mengemukakan bahwa salah satu syarat untuk menimbulkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan Hindia Belanda ialah bahwa pimpinan dari Massa Aksi harus senantiasa sanggup membentuk tuntutan dan semboyan yang baru dan bersemangat sehingga  kemauan Murba suatu saat bertukar menjadi perbuatan Murba.
Pada halaman 659 TIJDS v/h RECHT:
“………….Menimbang penolakan yang menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pemberontakan yang kecil-kecil dan tidak teratur tiadalah member jaminan bagi jayanya revolusi, sudah terdapat pada surat kode Tan Malaka dan Subakat dalam produk V, kepada para pemimpin komunis di negeri ini dari sudut mana berhubungan dengan produk LL, sama sekali tidak terbukti, seperti yang hendak dikemukakan oleh Pembelaan, bahwa PNI yakni para pemimpinnya tidak menghendaki  pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah, tetapi lebih tepat bahwa (PNI) menolak Putsch, revolusi yang tiada teratur sebagai siasat untuk mencapai maksudnya pengesahan yang pasti tantangan kesimpulan itu terdapat dalam uraian Tan Malaka sendiri dalam Brosur Produk FN, dimana penolakan yang pasti terhadap Putsch, sebagai siasat untuk mencapai tujuan nasional, ialah kemerdekaan juga diberi alas an penuh oleh PNI menurut produk FO dan OO dengan mempertentangkan Putsch yang tiada sempurna itu dengan Massa Aksi yang teratur sebagai alat efissient (sempurna) untuk mencapai maksud terakhir ialah kemerdekaan Indonesia sepanjang revolusi bersenjata.”
Pada halaman 660 tertulis:
“Putsch ialah hasil pekerjaan dua orang berputus asa, sedangkan revolusi adalah hasilnya suatu gerakan masyarakat. Satu revolusi seperti di Prancis dan Rusia timbul, setelah rakyat Murba disebabkan oleh suatu kejadian menunjukkan kemarahan serta kemurkaannya dengan protes pada rapat umum dan demostrasi yang disetujui oleh seluruh rakyat yang tak lain  melainkan Murba yang diorganisir.”
Catatan di atas bukan dimaksud untuk membenarkan tuduhan jaksa Hindia Belanda terhadap Ir Soekarno. Juga bukan membenarkan tafsiran jaksa dan PID Hindia Belanda tentang massa aksi tetapi atas catatan di atas oleh pihak ke tiga dapat diambil sekedarnya kesimpulan bahwa PNI dan Soekarno setuju dengan Massa Aksi sebagai alat yang paling baik untuk mencapai kemerdekaan politik. Dikatakan pula baik dalam rapat umum maupun dalam rapat terbuka dan dalam kursus partai, maka buku massa aksi banyak dipergunakan.
Rupanya tuduhan pengadilan di masa Hindia Belanda yang berkenaan dengan Massa Aksi itu tak seberapa jauhnya daripada kebenaran. Sesudahnya saya membaca laporan tentang proses Ir Soekarno cs dalam TIJDS v/h RECHT tersebut di Mojokerto, maka hal ini saja contohnya pula dengan keterangan beberapa pemimpin yang rapat perhubungannya dengan Ir Soekarno di masa lampau. Keterangan Hindia Belanda itu tentang perhubungan Ir Soekarno dengan buku Massa Aksi itu sama sekali dibenarkan. Malah ditambahi pula dengan keterangan bahwa bukan PNI dan Ir.Soekarno saja, tetapi ada lagi partai-partai lain dan para pemimpin lain yang mempergunakan brosur massa aksi dalam gerakan kemerdekaan sebagai petunjuk.
Perkataan yang pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada permulaan 1945 di rumah DR.Soeharto di mana saya pertama kali berkenalan dengan Presiden Soekarno dengan perantara Saudara Sajuti Melik atas nama yang sebenarnya setelah 3 ½ saya bersembunyi di Indonesia. Kempei perkataan itu ialah “…dalam buku Massa Aksi rupanya Saudara (Tan Malaka) anggap sifatnya imperialism Inggris berada di antara imperialisme Belanda dan Amerika!”
Inilah perkataan yang pertama yang diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam pertemuan yang sangat kami rahasiakan itu, karena Jepang masih bersenjata lengkap di Indonesia, yang sudah 20 minggu lebih memproklamirkan kemerdekaannya.
Baik juga saya ulangi di sini, bahwa pada permulaan September 1945 itulah Ir.Soekarno dan saya berkenalan nama dengan nama. Muka dengan muka seperti yang sudah saya ceritakan di lain tempat, sudah bertemu di Bayah satu tahun sebelumnya ketika saya menghidangkan minum kepada Gitjo Soekarno. Meskipun saya di Bajah itu belum puas dengan jawaban Soekarno atas pertanyaan saya (Husein) tentang kemerdekaan Indonesia dan amat kecewa denga PUTERA dan HOKOKAI yang berturut-turut dibangunkan dan dibubarkan, kecewa dengan panitia Penyeliidik dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada Soekarno saya masih memusatkan perhatian. Di masa Jepang berapa kali saya berniat melangkahkan kaki ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No.56, tetapi terhambat karena adanya Jepang itu! Saya yakin akan diterima oleh Ir.Soekarno, tetapi sebaliknya yakin pula tidak akan lepas dari cengkraman kenpei Jepang. Pada akhir percakapan yang tiada disaksikan oleh DR.Soeharto, tuan rumah sendiri, tetapi disaksikan oleh saudara Sajuti Melik, Presiden Soekarno sambil menunjuk berkata kepada saya lebih kurang sebagai berikut:
“Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan kepada saudara.”
Kami berpisah dengan sedikit sokongan uang  dari Presiden Soekarno kepada saya.
Yang kedua kalinya tiada lama sesudah itu dengan perantara Sdr. Sajuti Melik juga. Saya berjumpa dengan Presiden Soekarno di rumah Dr.Muwardi (Banteng) juga dalam keadaan rahasia.
Sekali Presiden Soekarno menganjurkan bahwa nanti pimpinan revolusi akan diserahkan kepada saya, sambil memberi sokongan uang pula.
Bagi saya di masa itu, perkara saya menerima hak pimpinan revolusi, atau haknya Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada saya, sebenarnya sekejap pun tidak mempengaruhi perasaan, paham dan sikap memberikan sambutan terhadap usul Presiden Soekarno. Saya sudah amat gembira bertemu muka dengan Presiden Republik Indonesia: Republik yang sudah lama saya idamkan yang presidennya adalah putra Indonesia sejati pula. Usul pemimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai tanda suatu kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda yang nyata, bahwa di masa lampau benar ada satu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya, walaupun kami hidup berjauhan.
Di belakang harinya sesudah demonstrasi 19 September 1945 di Jakarta yang saya dengar pula kabar dari pihak para menteri, bahwa dalam satu sidang presidentil cabinet , Presiden Soekarno berkata bahwa “…kelak dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam gerakan revolusioner.” Namanya itu belum disebutkan tetapi akan diumumkan dalam satu rapat tertutup.
Peristiwa penyerahan pimpinan revolusi itu saya bicarakan dengan Mr.Soebarjo yang pada saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Mr.Soebarjo saya kenal baik ketika di Nederland pada tahun 1922 dan saya jumpai di Jakarta pada 25 Agustus 1945 ialah seminggu lamanya setelah proklamasi kemerdekaa dan setelah seminggu lamanya saya sia-sia menjumpai kembali Soekarni cs dan Chaerul Shaleh cs. Mr.Soebarjo menganggap usul penyerahan pimpinan revolusi kepada saya sebagai usul yang penting juga. Desas-desus sudah terdengar di kiri-kanan bahwa Presiden Soekarno akan ditangkap oleh Inggris dan akan dituduh sebagai “war criminal” (penjahat perang) karena dianggap oleh sekutu sebagai membantu Jepang ialah musuhnya sekutu dalam perang dunia ke dua. Berhubung dengan kemungkinan penangkapan itu diperkuat pula oleh aksinya murba Jakarta pada tanggal 19 September yang tiada disetujui oleh Presiden Soekarno rupanya bertambah merasa perlu mengadakan payung sebelum hujan ialah mempersiapkan surat warisan mengenai pimpinan revolusi.
Kelihatan benar pada saya bahwa Mr.Soebarjo, Menteri Urusan Luar Negeri amat setuju dengan usul tadi.
Setelah keadaan di Jakarta mendesak karena Inggris hendak mendarat dan saya terpaksa meninggalkan Jakarta (keterangan lebih lanjut akan menyusul di belakang) maka Mr.Soebarjo berusaha dan berhasil mendapatkan surat warisan.
Yang terpenting dari surat warisan itu ialah bahwa kalau tiada berdaya lagi, maka mereka, Soekarno-Hatta akan menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Surat warisan itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta pada tanggal 1 Oktober 1945.
Mulanya yang mau menandatangani cuma Presiden Soekarno dan surat warisan itu akan diberikan kepada saya sendiri saja. Tetapi karena desakan Moh.Hatta (menurut Soebarjo), maka Wakil Presiden Moh.Hatta ikut menandatangani  dan menambah tiga orang lainnya untuk mewarisi.
Karena saya anggap perlu mengorganisir murba di luar kota Jakarta, sebab saya pandang Jakarta sudah terancam dan saya belum dapat berhubungan dengan para pemuda Jakarta dan sama sekali belum tahu adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat warisan yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta di dalam tas pada tanggal 1 Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai sekarang (17 Februari 1946).
Demikian perhubungan paham diri dengan Ir.Soekarno dengan saya semenjak berdirinya PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sampai satu setengah bulan berdirinya Republik Indonesia ialah 1 Oktober 1945.
Baik juga saya sebutkan di sini bahwa pada saat meninggalkan Jakarta dan membawa surat warisan yang ditandatangi oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta itu, tercamtuhlah di hati saya: kalau kelak Massa Aksi terhadap Inggris dan Belanda berhasil, maka gugurlah tuduhan “war criminals” tuduhan penjahat perang itu kepada Soekarno Hatta. Dan kalau Massa Aksi gagal, maka seluruh rakyatlah yang akan menanggung jawaban tuduhan “war criminals” ditambah “revolutionary –criminals”, tuduhan penjahat perang ditambah tuduhan penjahat revolusi. Tegasnya saya mengharapkan Soekarno-Hatta sehidup semati dengan rakyat/pemuda Indonesia.
Ringkasnya, pada nasib seluruhnya murba beraksi dan aksi murba lah saya anggap tergantungnya nasib para pemimpin Soekarno-Hatta.














DI SEKITAR PERISTIWA
PROKLAMASI


Dunia menganggap bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan oleh atas dasar inisiatif Sukarno Hatta. Cuma beberapa orang saja mengetahui, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh Sukarno Hatta, tetapi atas inisiatif, bahkan tidak dengan persetujuan Sukarno Hatta, Proklamasi 17 Agustus bukanlah oleh kemauan Sukarno Hatta. Proklamasi itu berlaku, walaupun tidak menurut kemauan Sukarno Hatta. Kalau ada PROKLAMASI yang mendapat persetujuan penuh dari Sukarno Hatta, maka Proklamasi semacam itu oleh Sekutu akan sudah dituduhkan sebagai PROKLAMASI JEPANG. Banyak orang yang akan tersinggung hatinya mendengarkan keterangan tersebut di atas itu. tetapi sesuatu sejarah bukanlah suatu impian, pengharapan atau dongeng buat menyenangkan hati para pendengar atau para pemegang kekuasaan belaka; melainkan suatu  kejadian yang memang sudah terbukti. Inilah maksudnya sedikit tulisan ini, ialah memberi sekedarnya penerangan tentang peristiwa sebelum sedang dan sedikit waktu setelah Proklamasi,  menurut penyaksian saya sendiri dan penyaksian beberapa orang lain, yang saya kenal.
Rupanya sudah ada usaha untuk menghitam-putihkan Sejarah Proklamasi. Untuk mengimbangi usaha semacam itu dan membela kebenaran dan mewariskan yang kami anggap kebenaran Sejarah Proklamasi yang benar itu kepada turunan kitalah, maksud saya memberikan sedikit keterangan tentangan sejarah proklamasi itu disini, yakni menurut pandangan dan pendengaran saya sendiri.
Pada bulan Juni 1945, saya sebagai Ketua Anak Ranting B.P.P Bajah diundang oleh Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga Peta) di Rangkas Bitung buat menghadiri satu rapat yang bermaksud menentukan sikap dan memilih wakil yang akan dikirim ke Jakarta. Di Jakarta akan diadakan pula konferensi para pemuda yang dibelakang hari menamai organisasinya Angkatan Baru Indonesia yang menuntut kemerdekaan Indonesia pada ketika itu juga dan menentang keras sikapnya Para Pemimpin Tua (resmi).
Di antara beberapa wakil dan seluruhnya daerah Banten yang hadir di Rangkas Bitung tadi, saya terpilih sebagai utusan ke Jakarta. Di Jakarta saya dengan nama HUSSEIN cuma baru dapat berjumpa dengan pemuda Anwar dan Harsono Tjokroaminoto, Chairul Saleh, Sukarni dan B.M. Diah. Saya belum dapat menjumpai para pemuda Pandu K. Wiguna dan Wikana yang namanya juga diperkenalkan kepada saya di Banten. Saya tidak dapat mengunjungi konferensi yang dimaksudkan itu, karena memangnya konferensi itu tidak jadi berlangsung, sebab Jepang tidak mengizinkan. Saya terpaksa lekas kembali ke Bajah, menjalankan pekerjaan saya sebagai pegawai ditambang arang.
Pada tanggal 15 Juni 1945 berdirilah Angkatan Baru Indonesia, yang “mempunyai Konsepnya sendiri” yang diurus oleh para pemuda Harsono, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Supeno, Wikana dan lain-lain.
Rakyat dan pemuda yang sudah amat bosan pula dengan HOKOKAI rupanya mendorong Jepang mendirikan gerakan yang bernama baru, tetapi berisi usang. Gerakan itu dinamai Gerakan Baru, sebagai calon pengganti HOKOKAI. Dalam sidang pertama pada tanggal 6 bulan Juli dipersoalkan nama, tujuan dan organisasi. Rapat ini diketuai oleh Gitjo Sukarno. Yang hadir juga para anggota Panitia kecil, yakni Mr. Subardjo, Mr.Moh.Yamin, Drs. Moh. Hatta, Abikusno dan lain-lain beserta para pemuda, yakni Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Supeno, Trimurti, Dr. Muwardi, Sudiro (mBah), Harsono, Sutomo (Bung Tomo) dan lain-lain.
Perdebatan terpusat pada istilah Republik. Usul Panitia Kecil supaya nama Republik dikurung saja, ditolak oleh Rapat. Rapat memutuskan supaya nama Republik dipakai terus terang saja.
Jepang Gunseikanbu, bernama Saito, tak setuju dengan nama itu dan melayangkan sepucuk surat, secara main belakang, kepada Ketua Rapat Sukarno. Menurut Jepang Saito ini soal bentuk Republik atau lain bentuk itu adalah soalnya Tenno Haika. Saito meminta kepada Sukarno membacakan surat yang ditulis oleh Jepang Saito kepada sidang. Rapat menjadi gaduh, kabarnya sangat gaduh, setelah mendengarkan isi surat kecil yang ditulis oleh Jepang Saito begitu saja, dengan menentang putusan para wakil rakyat dan pemuda Indonesia. Keterlibatan rapat kabarnya lepas dari tangannya Gitjo Sukarno. Akhirnya Adam Malik berdiri sambil mengucapkan perkataan kira-kira sebagai berikut: “Kami pemuda semuanya datang sebagai utusan rakyat. Kalau kami harus membatalkan putusan yang telah kami ambil bersama dengan rakyat, maka kami tak dapat bertanggung jawab kepada rakyat. Kami tak ada gunanya lagi buat berapat di sini dan saya terpaksa meninggalkan rapat”.
Perkataan Adam Malik membelah rapat menjadi yang ikut ke luar dan setuju dengan Republik dan yang tinggal duduk dan tak setuju lagi dengan nama Republik atau setuju, tetapi dengan Republik yang “dikurung” = tanda () = lantaran takut atau segan kepada Saito atau Simizu, Ular Jepang yang terkenal.
Perlu disebutkan nama mereka, yang mau “melompat sama patah” mengikuti sdr. Adam Malik keluar, ialah Chaerul Saleh, Sukarni, Pandu Wiguna, B.M.Diah, Trimurti, Wikana, Sudiro (mBah), Chalid Rasjidi, Supeno dan yang lain-lainnya tinggal duduk.
Banyak persamaan akibatnya perkataan Adam Malik dengan akibat Merabeau dan Siyes, pada salah satu saat yang mengandung bahaya di masa revolusi Perancis. Pemuda yang keluar rapat mengikuti Adam Malik itu terus diawasi, bahkan dikejar-kejar oleh Kempei Jepang buat ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Tetapi Jerman sudah menyerah. Rusia menyerang Jepang pada 9 Agustus 1945. Tidaklah lama sesudah sidang tersebut Bom-Atom akan dijatuhkan di Horosima.
Walaupun di Bajah saya tidak mendengar segala peristiwa tersebut, tetapi dalam surat kabar resmi yang terlampau banyak menyembunyikan kabar pahit buat Jepang dan cahaya mukanya orang Jepang yang tampak, saya sudah dapat membaca, bahwa Jepang sudah terdesak ke pinggir jurang. Jepang harus menyelesaikan peperangan dengan tentara merah dan bom-atom Amerika lebih dahulu, sebelumnya rakyat dan Pemuda Indonesia yang sudah benci kepada Jepang dan kaki tanganya di Indonesia sampai kerongkongan (tenggorokan).
Pada masa itu perhubungan saya dengan para pekerja tambang arang di Bajah, dengan rakyat Jelata di sekitar Bajah dan dengan satu Daidan Peta di Banten Selatan sudah agak rapat juga. Pada masa itu ancaman dari Sidokang Jepang dan ancaman Kempei-Ho terhadap jiwa saya, berhubung dengan pidato saya di gedung bioskop Bajah, bilamana saya mengusulkan ½ liter  beras sehari untuk seorang pekerja, saya rasa sudah tak begitu perlu saya hiraukan lagi.
Kesempatan yang kabarnya hendak diberikan oleh Gitjo Sukarno kepada para Pemuda (Angkatan Baru) untuk mengadakan pertemuan dengan para Pemuda itu, pada pertengahan bulan Agustus, menyebabkan pekerja pemuda Bajah mengirimkan saya (Hussein) sekali lagi ke Jakarta sebagai wakil untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Tibalah saya pada petang hari pukul 4 di jalan Padang No.3, di rumahnya pemuda Sukarni. Yang kedua kalinyalah saya berjumpa dengan pemuda ini.
Berhubung dengan beberapa tulisan para pemuda dalam s.k. Aria Raja dan berhubung pula dengan berdirinya Angkatan Muda (Bandung) dan Angkatan Baru (Jakarta), maka saya mulai insaf, bahwa jiwa baru dan semangat baru sudah mulai menjelma dalam dadanya para pemuda Indonesia dengan cepat pesat. Dari percakapan dengan para pemuda Sukarni dan Chaerul Saleh pada bulan Juni yang lampau, sudah sedikit saya mendapat kesan bahwa semenjak zaman Belanda sampai sekarang adalah juga perhubungan dengan pemuda ini, langsung atau tidak, dengan usaha kami di luar negeri (buku MASA AKSI dll). Tetapi saya masih memakai nama Hussein dan belum membicarakan perkara perhubungan tersebut lebih lanjut. Saya masih menunggu kesempatan dan saat yang lebih tepat.
Malangnya pula pemuda Sukarni kelihatan sangat sibuk pada tanggal 15 Agustus itu. banyak orang yang keluar masuk rumahnya dan banyak rupanya hal yang disembunyikannya. Setelah sekedarnya saya menguraikan pendapat saya tentang waktu itu, (saya belum tahu bahwa Jepang sudah menyerah) dan mengusulkan sikap dan persiapan yang harus dijalankan (pergerakan Murba), maka saya ditinggalkan oleh pemuda Sukarni. Saya diminta menunggu di asrama belakang rumahnya bersama satu dua orang lain yang belum pernah saya kenal. Tempat saya tidur sudah ditunjukkan pula.
Waktu jauh malam Sdr. Sukarni pulang sebentar. Tetapi sesudah itu saya tidak melihat mukanya lagi kurang lebih satu setengah bulan sesudah Proklamasi. Dengan putusnya perhubungan dengan Sdr. Sukarni dan Chaerul Saleh,  justru satu hari sebelum Proklamasi, sampai satu setengah bulan sesudah Proklamasi, maka putuslah hubungan saya dengan para pemuda yang kiranya sepaham dengan saya. Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan; hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan. Tetapi sejarah tidak memperdulikan penyesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia.

Apakah yang terjadi pada malam 15/16 Agustus itu?

Dari Sdr. Sukarni, Pandu Wiguna dan lain-lain baru dibelakang hari saya mendapat keterangan seperti berikut:
Atas nama Pemuda Jakarta, maka Sjahrir mendesak Sukarno Hatta, supaya menentukan “sikap yang tegas” terhadap Jepang sesudah Pemerintah Jepang menyerah (14Agustus 1945). Tetapi Sukarno Hatta tak setuju dengan maksud mengadakan MASSA AKSI terhadap Jepang. Maka oleh rapat antara Sjahrir dan Para Pemuda diputuskan (pada tanggal 15 Agustus 1945 jam 22.00) : (“Menyingkirkan Sukarno-Hatta sebagai penghalang Aksi Rakyat dan Pemuda. Sukarni ditunjuk untuk menyelenggarakan penyingkiran itu dan para pemuda yang lain-lain diharuskan mempersiapkan PROKLAMASI”.
Dikawali oleh para prajurit yang bersenjata, setelah beberapa pemuda lainnya gagal, maka akhirnya Sukarni berhasil menjumpai berturut-turut Hatta dan Sukarno yang dikawal pula oleh para prajurit. Sukarni terpaksa  menjalankan desakan tegas kepada Sukarno Hatta, supaya dapat berangkat ke Rengas Dengklok (jam 4 pagi tanggal 17 Agustus 1945).
Di Rengas Dengklok Sukarno Hatta disembunyikan dalam sebuah rumah peta. Setelah mengadakan persiapan yang cepat, maka pasukan (Daidah) Peta, dibawah pimpinan Tjuandantjo Subeno, menawan semua orang Jepang dan kaki-tangannya orang Indonesia (Wedanan dan lain-lain pengikut); menduduki semua tempat yang penting; menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) serta menaikkan bendera Indonesia (merah putih); dan akhirnya mempersiapkan rakyat untuk membela kemerdekaan Indonesia. Syahdan di Rengas Dengklok dengan bendera merah putih pertama sekali di seluruh Indonesia naik ke angkasa.
Atas pertanyaan Sukarno Hatta kepada Sukarni, mengapa mereka dibawa ke Rengas Dengklok dan berhubung dengan itu, maka dalam soal jawab antara Sukarno Hatta pemuda percaya, bahwa Jepang sudah menyerah. Bahwa menurut mereka, maka kabar penyerahan Jepang adalah “bohong”; bahwa pemuda banyak “terpengaruh oleh berita mata-mata musuh” dan kabar yang benar, ialah kabar yang didengar oleh Sukarno Hatta sendiri dari “hoogstand persoon” (seorang Jepang yang luhur, tak mungkin bohong), tetapi tidak disebut namanya.
(Bukankah menurut si Jepang, Profesor Bekki, bahwa Jepang itu selama sejarahnya dikenal, belum pernah dijajah? Bukankah pula nyata di sini, bahwa kabar yang diterima oleh para pemuda dengan pesawat rahasianya lebih benar daripada kabar yang diterima oleh Sukarno Hatta dari “hoogstand persoon” seperti Mijoshi atau “penasehat” Jepang yang lain-lain?
Dimajukan pula oleh Sukarno Hatta, bahwa Jepang masih bersenjata lengkap, serta “Sekutu akan datang pula ke Indonesia dengan senjata lengkap” dan bahwa Sukarno Hatta sendiri “tidak percaya kekuatan rakyat dan Pemuda”. Berhubung dengan semacam itu, maka perjuangan itu akan berakhir dengan “pengorbanan besar-besaran dan sia-sia saja”. Ditanyakan pula oleh Moh. Hatta kepada Sukarni : “Wat hebben wij?” (Senjata apa yang ada pada kita?)
Demikianlah rupanya paham MASSA AKSI, yang sekian tahun lamanya digembar-gemborkan oleh Ir.Sukarno di masa “Hindia Belanda” sudah beterbangan kian kemari oleh lambaian bendera Hinomaru.
Setelah beberapa lamanya perdebatan berlaku, pertanyaan Sukarni kepada Sukarno Hatta tentang maksud kedua pemimpin besar ini, diberi jawaban kira-kira sebagai berikut:
“Sebetulnya hari ini sudah saya putuskan, bahwa kami (para pemimpin besar) akan mengadakan voor vergadering (rapat semula). Besok tanggal 17 sampai tanggal 22, selambat-lambatnya tanggal 23, sudah selesai rapat di Gedung Tjuo Sangi-in, Pedjambon. Tanggal 24 semua putusan akan dikirimkan ke Tokyo. Tanggal 24 kita akan menerima balasan telegram (dari Markas Tentara Pendudukan Amerika? Pen.) dari Tokyo. Tanggal 25 Agustus 1945 selambat-lambatnya kita sudah merdeka”.
Komentar! Beruntunglah Indonesia yang tidak jadi menerima kemerdekaan dari tangannya Jepang itu. bahwasanya dengan tidak diketahui oleh Sukarno Hatta, maka pada tanggal 25 Agustus yang dijanjikan itu akan sudah 11 harilah Jepang menyerah zonder perjanjian apa-apa. Seandainya usul Sukarno Hatta itu dijalankan, dan seandainya pula Tenno Haika masih leluasa memutuskan, maka kemerdekaan Indonesia yang akan diterima dari Tokyo itu, 100% akan cocok dengan ciptaan Jepang. Dalam hal ini, maka Sekutu akan dapat pula berkata, bahwa Republik Indonesia adalah ciptaan Jepang dan Sekutu 100% berhak mewarisi Republik ciptaan Jepang itu, yakni mewarisi hak miliknya negara kalah perang. Tetapi lebih besar sekali kemungkinan, telegram Sukarno Hatta akan jatuh ke Markas Besar Tentara Amerika. Perkara dibalas atau tidaknya telegram itu, soal bagaimana cara membalasnya dan perkara bila akan dibalasnya semua itu akan terletak di tangan Mac Arthur! Kalau Rakyat/Pemuda sementara itu tidak mendesak Sukarno Hatta, mungkin Proklamasi tidak akan berlaku sama sekali. Sebagai inventarislah Indonesia dan rakyatnya bulat-bulat akan dikembalikan ke bawah Mahkota Belanda, zonder Linggarjati, Renville dan lain-lain.
Setelah Sukarni mengemukakan bahwa kemerdekaan Indonesia ala Sukarno Hatta itu adalah kemerdekaan ala Jepang dan apabila sekali lagi Sukarno Hatta mengemukakan tidak percayanya akan kekuatan rakyat/pemuda, untuk menghadapi Jepang bersenjata lengkap yang nanti bertambah pula dengan tentara Sekutu bersenjata lengkap, maka Sukarni akhirnya mengemukakan putusan rakyat/pemuda Jakarta yakni:
“Bahwa rakyat/pemuda sudah menentukan sikapnya yaitu tidak mau diserahkan oleh Jepang sebagai rakyat jajahan kepada sekutu dan Belanda”.
Bahwa rakyat/pemuda hendak menunjukkan sikapnya kepada dunia luar, berapapun juga besar korbannya”.
“Bahwa sekaranglah saat yang sebaik-baiknya buat bertindak, karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”.
“Bahwa, walaupun korban di Jakarta akan besar, kelak lain-lain tempat akan mengikuti, membela kemerdekaan”.
“Bahwa di Rengas Dengklok sendiri Jepang dan kaki tangannya sudah ditangkap; Hinomaru sudah diturunkan; bendera merah-putih sudah dinaikkan serta rakyat dan peta sudah dipersiapkan”.
“Bahwa Sukarno Hatta jangan menghalang-halangi kehendak rakyat/pemuda itulah, maka mereka disingkirkan ke Rengas Dengklok”.
Hatta menjawab: “Baiklah sejarah akan membuktikan”.
Di Rengas Dengklok penawanan dan penangkapan Jepang dan kaki tangannya diteruskan! Empat orang Sidokang dan Syotjokan Sutardjo dengan para pengikutnya yang tiba di Rengas Dengklok, katanya untuk mengadakan rapat, ditawan pula.
Pada tanggal 16 Agustus itu tiba-tiba Jusuf Kunto sampai di Rengas Dengklok (entah dari siapa di dapat mengetahui!) membawa Mr. Subardjo dan Sudiro (mbah). Atas pertanyaan Sukarni-Subeno dengan maksud apakah mereka datang di Rengas Dengklok, oleh Mr. Subardjo dijawab: “bahwa mereka setuju dengan aksi pemuda; bahwa mereka berjanji akan memberi bantuan kepada para pemuda dan memberikan kesanggupan mereka meyakinkan Sukarno-Hatta, supaya jangan menghalang-halangi aksi rakyat/pemuda yang sudah bersiap-siap untuk memproklamirkan kemerdekaan”.
Oleh Mr. Subardjo seterusnya dijanjikan pula, bahwa Sukarno-Hatta akan ikut memproklamirkan kemerdekaan! “Leher sayalah yang akan menjadi jaminan, kalau sekiranya Sukarno-Hatta tidak ikut memproklamirkan kemerdekaan”, jawab Mr. Subardjo atas pernyataan Sukarni-Subeno, yang menanyakan “jaminan apakah yang dapat diberikan oleh Mr. Subardjo”.
Barulah Mr. Subardjo dijumpakan oleh Sukarni-Subeno dengan Sukarno-Hatta pada suatu kamar di rumah Peta di Rengas Dengklok itu. Dalam perundingan yang berlaku, akhirnya ketiga pemimpin ialah Sukarno-Hatta dan Subardjo, mengatakan sanggup melaksanakan proklamasi, sebelum jam 10 malam tanggal 16 Agustus 1945. Mereka berjanji pula akan mengumpulkan semuanya pemimpin yang ada di Jakarta untuk mengadakan Proklamasi. Kalau mereka kelak tiada menepati janji, maka mereka akan ikhlas dijatuhi hukuman apapun juga oleh rakyat dan pemuda.
Sukarni-Subeno tiada keberatan lagi terhadap usul Mr. Subardjo, asal saja mendapat persetujuan dari pihak para pemuda Jakarta. Sebelum berangkat, maka Sukarno berjanji kepada Sukarni-Subeno akan melakukan Proklamasi. Kira-kira jam enam pagi dan paling lambatnya jam dua belas tengah hari tanggal 17 Agustus, kabar Proklamasi pastilah akan disiarkan di radio dan surat kabar. Sukarno meminta pula, supaya sebelumnya waktu yang dijanjikan itu, jangan mengadakan tindakan apapun juga.
“Tetapi kalau kelak Sukarni dikenai bahaya, awaslah pula akan jiwanya Sukarno-Hatta dan Subardjo”, demikianlah kata perpisahan daripada Subeno, pemimpin pasukan PETA di Rengas Dengklok itu.
Peringatan itu diterima oleh Sukarno sendiri dengan persetujuan! Dengan satu auto yang membawa Jusuf Kunto, Sudiro (mbah) dan Rachman, berjalan di depan, dan auto yang membawa Sutardjo di belakang, maka auto berisi Sukarno, laki-isteri dan putera, Moh. Hatta, Subardjo dan Sukarni berjalan di tengah-tengah dan tiba di Jakarta di depan rumahnya Hatta, lebih kurang jam 22.00. disinilah isteri dan puteranya Sukarno diturunkan.
Sekonyong-konyong Sukarno-Hatta dan Subardjo dijemput seorang Jepang, bernama Forada, untuk dibawa ke rumahnya Maeda (Kaigun). Sukarni diharuskan mengikutinya. Di tangga naik rumah Maeda, maka Sukarni diancam dengan pistol oleh seorang Jepang. Sukarno-Hatta dan Subardjo tampil melarang, dan mengemukakan. Bahwa kalau Sukarni dibunuh, maka mereka (Sukarno-Hatta-Subardjo) sendiri dan beberapa orang Jepang tawanan akan ikut dibunuh oleh para pemuda kawannya Sukarni.
Di rumah Maeda sudah ada B.M. Diah, yang baru dilepaskan Kempei dari tahanan. B.M. Diah ditawan sebagai Ketua Angkatan Baru Indonesia. Kelihatan juga Sayuti Melik. Jepang yang hadir, selainnya dari Maeda ialah Nishi Shima, Saito dan Mijoshi. Apabila pada jam 23.00 Jamamoto (Gunseikan) yang ditunggu-tunggu kedatangannya tidak juga kelihatan mukanya, maka Maeda mulai membuka perundingan. Dia mengemukakan bahwa dia mengerti dan setuju dengan hasrat pemuda, yakni Indonesia Merdeka. Malah dia sudah siap akan membantunya. Cuma dia menyesali perpecahan antara golongan tua dengan golongan muda Indonesia.
Hatta mengemukakan, bahwa pernyataan kemerdekaan pada malam hari itu tak bisa dihindarkan dan dihalang-halangi lagi. Hanya dia mengharap supaya bahaya pertempuran secara besar-besaran (antara Jepang dan rakyat/Pemuda Indonesia) dapat dihindarkan. Dan dikemukakan pula, kalau golongan tua tidak mengakui kehendak pemuda, maka merekapun (golongan tua) akan terancam oleh bahaya maut. Hatta menganjurkan mencari jalan yang baik.
Sukarno-Subardjo memperkuat pandangan Hatta dan mengatakan lebih kurang: kalau sampai lewat jam dua belas malam ini belum ada keputusan, maka gerakan pertama barangkali akan dilakukan oleh pemuda. Jepang dan lain-lain juga sudah banyak yang sudah ditawan. Kamipun (yang dimaksudkan ialah Sukarno Hatta Subardjo) adalah dalam bahaya.
Setelah perundingan selesai, maka Sukarno berangkat katanya hendak menjumpai Jamamoto (Gunseikan) yang ingin berbicara dan Sukarno berjanji akan menyelenggarakan Proklamasi dan mengumpulkan para pemimpin.
Sukarni dan Chaerul Saleh berangkat ke Manggarai menjumpai Sjahrir, Maruto, Pandu, Adam Malik, Kusnian, Djawoto dan lain-lain. Setelah Sukarni memberikan laporan perjalanannya ke Rengas Dengklok kepada mereka tersebut di atas ini, maka diputuskanlah, bahwa yang akan menanda tangani proklamasi ialah enam orang pemuda (bukan para pemimpin besar) dan Sukarni beserta Chaerul Saleh diwajibkan menghadiri rapat yang akan diadakan.
Yang hadir dalam rapat (lk. Jam 3.00 tanggal 1 Agustus 1945) ialah 1) Mr. Subardjo. 2) M. Sutardjo. 3) Tengku Moh. Hassan. 4) Mr. Latuharhary. 5) Dr. Radjiman Widyodininggrat. 6) Dr. Moh. Amir. 7) Mr. Dr. Supomo 8) G.S.S.J. Ratulangi 9) I.Gusti Ketut Pudja. 10) R. Oto Iskandar Dinata. 11) Ande Sultan Daeng Radja. 12) Mr. A. Abbas 13) Andi Pangeran. 14) Supeno. 15) Gunadi. 16). Semaun Bakri 17)Sajuti Melik 18) B.M.Diah. 19) Jusuf Kunto. 20) Chaerul Saleh 21) Sukarni. 22) Dr.Samsi 23) Dr. Buntaran. 24) Mr. Iwa Kusumasumantri 25). Kamidhan. 26). A.R.Rivai.

Baru hampir jam 4 pagi 17 Agustus Sukarno Hatta datang sesudah tulisan PROKLAMASI diselesaikan bersama-sama oleh Sajuti Melik, Chaerul Saleh dan Sukarni, yang disetuji rapat dan berbunyi:

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno Hatta

Berhubung dengan soal penanda tanganan Proklamasi, maka Chaerul Saleh, wakil pemuda memajukan enam nama yang sudah diputuskan dalam rapat di Manggarai. Tetapi rapat Proklamasi menghendaki supaya semuanya nama mereka yang hadir dicantumkan dalam Proklamasi, Sukarni berkeberatan mencampurkan nama enam pemuda tadi dengan nama mereka yang disetujui dan dimajukan oleh Kempei Jepang, dia mengemukakan, supaya nama enam pemuda tiada diumumkan sama sekali dan memajukan supaya Sukarno Hatta saja yang menanda tangani.
Usul ini disetujui dan Proklamasi dibacakan oleh Sukarno jam 4.00 pagi 17 Agustus 1945.
Sesudah Proklamasi, maka Chaerul Saleh dan Sukarni diajak oleh Nishima ke rumah no.70 Kebon Sirih, katanya untuk mengaso. Tetapi nyata, bahwa mereka dipancing ke sana buat ditahan. Sukarni yang selamanya ini berlaku sebagai pertindak atas nama pemuda Jakarta, oleh Jepang tadi diancam dengan pistol ketika hendak keluar. Tetapi usaha Chaerul Saleh hendak keluar sudah berhasil. Dia bisa mendapatkan auto menjemput Sukarni dan bersama-sama mereka berangkat ke tempat persembunyian.
Di Kepuh Selatan Jakarta para pemuda bermaksud mengadakan pertemuan. Tetapi Sjahrir tidak datang lagi dan cuma mengirimkan salah seorang pengikutnya saja. Di sini sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. Pada satu pihak, yang dibelakang hari tercemplung ke dalam diplomasi Linggarjati dan para pemuda di lain pihak yang dibelakang hari bersandar pada Minimum Program Persatuan Perjuangan serta membela kemerdekaan 100%, ialah para pemuda Maruto, Armunanto, Sukarni, Pandu, Chaerul Saleh, Adam Malik dan lain-lain.
Pada tanggal 18 Agustus Chaerul Saleh bersama Jusuf Kunto mengajak Sukarni berkumpul dengan para pemuda lain di Kramat, Asrama Ikadaigaku (Ketabiban). Di sini dibicarakan tentangan sesuatu rapat yang bermaksud hendak membentuk Undang-Undang Dasar, di Pejompongan, di mana juga nama Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik dan Wikana diputuskan, supaya empat pemuda tersebut pergi menghadiri rapat pembentukan UUD itu. Diputuskan pula, bahwa mereka Pemuda akan membentuk Panitia Kebangsaan Indonesia (Komite Nasional Indonesia), yang akan merancang segala urusan negara dan akan diserahkan kepada Sukarno Hatta untuk dijalankan. Kemudian ditetapkan pula akan membentuk KOMITE v. AKSI yang berkewajiban mengatur dan memimpin gerakan militer serta rakyat/pemuda.
Setelah di Pejambon terbukti bahwa masih ada orang Jepang (ialah Mijoshi, Saito dan Nishishima) dalam rapat pembentukan UUD tadi, maka empat pemuda tadi cocok dengan putusan rapat pemuda di asrama ketabiban seperti tersebut di atas MEMBOIKOT pembentukan UUD itu.
Di rapat Penjambon, yang dihadiri oleh lk.40 orang itulah atas usulnya Oto Iskandar Dinata, usul mana cocok dengan kehendak Jenderal Terauchi di Saigon (9 Agustus), yang menetapkan Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Moh. Hatta sebagai wakil ketua, jadi dengan tidak mengadakan tegen-candidaat (calon saingan) menurut cara demokrasi, maka Sukarno dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden ialah buat sementara waktu.
Beralaskan sekadarnya bukti yang saya kemukakan di atas cukuplah sudah keterangan buat menjelaskan, bahwa Proklamasi 17 Agustus bukanlah berlaku atas inisiatif dan persetujuan hati kecilnya Sukarno  Hatta. Mereka melakukan itu karena desakan pemuda Jakarta yang dibantu oleh rakyat.
Kalau soal Kemerdekaan Indonesia itu diserahkan begitu saja kepada Sukarno Hatta, maka menurut perhitungan mereka, kemerdekaan itu paling cepat akan diproklamirkan pada tanggal 24 Agustus 1945, dan kemerdeakaan Indonesia itu sudahlah tentu akan mempunyai bentuk dan isi menurut kehendak Kempei Jepang. Ada pula kemungkinan, bahwa dan akan diserahkan oleh Tenno Haika kepada Sekutu, sebagai milik (inventaris) negara kalah kepada negara menang.
Nyatalah sudah dari sejarah di sekitar Proklamasi seperti tersebut di atas:
1.      Bahwa Sukarno Hatta tidak  percaya akan kekuatan yang hebat tersembunyi dalam tiap-tiap bangsa yang masih berjiwa dinamis dan merdeka.
2.      Bahwa Sukarno Hatta cuma memperlihatkan senjata kekerasan, senjata lahir dari Jepang, Sekutu dan Belanda semata-mata.
3.      Bahwa Sukarno Hatta seperti dibuktikan oleh 3,5 tahun sejarah di bawah Jepang sudi menerima janji dan status di bawah Jepang sudi menerima janji dan status apa saja yang dihadiahkan oleh Jepang kepada rakyat Indonesia.

Tetapi rakyat/pemuda Indonesia dengan gembira menyambut dan dengan ketabahan, tekad dan pengorbanan tenaga, harta benda dan jiwa yang besarnya di luar semua dugaan membela kemerdekaan yang diproklamirkan ke seluruh Indonesia itu.
 Pertentangan antar paham, sikap dan tindakan Sukarno Hatta dengan paham sikap dan tindakan rakyat/pemuda terhadap hak kemerdekaan dan hak membela kemerdekaan itulah yang sampai sekarang (Maret 1948) menjadi kesedihan sejarah dan sejarah kesedihan Republik Indonesia.





































KE ARAH PERSATUAN
PERJUANGAN


Dari tanggal 15 Agustus, sampai 1 Oktober 1945 selama saya tinggal di Jakarta, saya rasa sudah cukup mendapat bukti, untuk menaksir hasrat dan kesanggupan Sukarno Hatta, sebagai pemimpin revolusi 17 Agustus.
Dari tanggal 15 Agustus sampai Desember 1945, sesudah sedikit mempelajari gerakan rakyat/pemuda di Anyer sampai ke Surabaya, maka saya merasa cukup mendapatkan alasan untuk mengambil inisiatif, mendirikan Persatuan Perjuangan. Maksud tulisan ini, ialah sekadarnya menguraikan pengalaman saya tentang hasrat dan tindakan Sukarno Hatta pada satu pihak dan hasrat/tindakan rakyat/pemuda di lain pihak dalam waktu tersebut diatas.
Setelah berpisah dengan Sukarni pada tanggal 15-16 Agustus dan dengan Chaerul Saleh pada tanggal 16 Agustus itu pula, sedangkan belum lagi saya mendapat kesempatan memperkenalkan nama saya kepada kedua pemuda tersebut, maka berpisahlah saya dengan pemuda Jakarta. Saya tidak lagi memperoleh kesempatan berjumpa dengan para pemuda lain yang dibelakang hari berpusat pada Markasnya Komite van Aksi di Menteng 31. Berkali-kali saya pergi mencari Sukarni dan Chaerul Saleh selama seminggu sesudahnya Proklamasi tetapi tidak dapat bertemu. Saya dapat berhubungan dengan sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto terkenal sebagai Bang Bejat, seorang Jurnalis yang berani menulis apa yang tidak enak di telinga Jepang dan yang amat populer diantara kami di Bayah. Beberapa kali saya mengunjungi sdr. Harsono dan sdr. Anwar Tjokroaminoto di kantor Asia-Raya dan rumahnya sendiri, tetapi pergabungan dengan para pemuda yang berpusat pada Menteng 31 dimana juga duduk Sukarni dan Chaerul Saleh, tiadalah saya peroleh. Malah baru di luar Jakarta dan jauh dibelakang harinya, saya mendengar tentang Markas Menteng 31. Demikianlah maksud saya bermula hendak memperkenalkan nama kepada para pemuda Jakarta dengan perantaraan Sukarni dan Chaerul Saleh tidaklah dapat saya lakukan selama berada di Jakarta tadi.
Apalagi niat itu tidak dapat saya lakukan, maka barulah saya mencoba memperhubungkan diri dengan seorang yang jarang sekali saya dengar namanya di masa Jepang, tetapi saya kenal baik di negeri Belanda (tahun 1919 dan 1922) ialah Mr. Subardjo yang menjabat Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidentil Pertama. Demikianlah pada tanggal 25 Agustus, yakni seminggu sesudahnya Proklamasi saya pergi menjumpai Mr. Subardjo di Cikini. Mulanya Mr. Subardjo kelihatan lupa kepada saya. Tetapi sesudah saya tanyakan, apakah dia sudah lupa kepada saya, maka oleh Mr. Subardjo, sambil berdiri kembali dijawab dengan “O, Tan Malaka, saya sangka sudah mati”.
Mr. Subardjolah yang pertama sekali mengucapkan nama saya yang sebenarnya, semenjak saya mendarat di Sumatera Timur, pada tanggal 10 Juni 1942. Ganjil benar bunyinya nama itu di telinga saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari. Nama itu malah memperingatkan kepada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1972 dan dalam penjara Inggris di Hongkong pada tahun 1932.
Segera Mr. Subardjo memanggil Mr. Iwa Kusuma Sumantri buat diperkenalkan kepada saya. Pada permulaan September saya oleh Sdr. Sayuti Melik diperkenalkan kepada Presiden Sukarno. Dan dengan wakil Presiden Moh. Hatta saya dijumpakan (Drs. Moh. Hatta saya kenal di Netherland pada tahun 1922) oleh Mr. Subardjo di rumahnya sendiri pada bulan September juga. Begitu pula dengan Sutan Syahrir, Mr. Gatot dan Dr. Buntaran.
Pada permulaan bulan September, setelah beberapa hari saja kami berjumpa kembali, maka Mr. Subardjo bertanya kepada saya, apakah pekerjaan yang sekiranya baik dilakukan di masa itu. Maka berhubungan dengan itu saya bentuklah bermacam-macam semboyan, seperti “The Government of the People, for the People and by the People”. Indonesia for Indonesians, “Hands off Indonesia” dan beberapa semboyan yang lain-lain. Semuanya semboyan itu, beberapa hari saja dibelakangnya, ditambah pula dengan beberapa semboyan lain oleh para pemuda sendiri sudah dicantumkan pada tembok-tembok, bangunan resmi, tram dan kereta di Jakarta. Segera kota-kota besar lainnya mengikuti. Kereta lambat dan cepat melarikan dan memperlihatkan semboyan itu ke seluruh pulau Jawa dari ujung ke ujung. Semboyan semacam itu sangat menimbulkan perhatian, serta membangkitkan semangat rakyat/pemuda dan bangsa asing yang bersimpati, tetapi sangat menerbitkan amarah, kebencian dan ketakutan mereka, yang tidak setuju dengan adanya Republik Indonesia, terutama Belanda Indo dan dibelakang hari bangsa Belanda Kolonial. Dengan maksud membelah dua yang pro dan yang anti Republik, memisahkan beras dan antah, maka tercapailah wujudnya semboyan tadi. Apabila Belanda kolonial mulai mencengkeramkan kembali kuku kekuasaannya di mana saja di Indonesia ini, maka semboyan itulah yang pertama kali dihapuskannya.
Pada tanggal 15 September saya rasa tibalah waktunya untuk mengusulkan apa yang saya sebutkan satu ujian kekuatan (kracht-proef). Saya maksudkan, ialah mengadakan satu demonstrasi, yang dapat memisahkan yang kawan daripada yang lawan, dan dapat menentukan berapa kuatnya kawan dan berapa pula kuatnya lawan pada ketika itu. sungguhpun pada masa itu Pemerintahan Republik sudah diadakan, tetapi kekuasaan administrasi, kepolisian dan ketentaraan masih berada di tangannya Jepang. Rupanya Jepang masih belum melepaskan maksudnya hendak menyerahkan Indonesia kepada Sekutu sebagai harta pindahan (inventaris kepada pihak yang menang oleh pihak yang kalah.)
Mr. Gatot segera setuju dengan demonstrasi semacam itu.
Demikianlah pula Mr. Subardjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan lain-lain, demonstrasi itu dijadikan usul dalam Sidang Kementrian.
Mulanya usul berdemonstrasi itu diterima oleh Kementrian Presidentil. Tetapi setelah dilarang oleh Jepang, maka Sukarno Hatta setuju pula dengan larangan Jepang kepada Indonesia merdeka itu dan tidak setuju lagi dengan persetujuan semula.
Mr. Gatot mendesak memegang persetujuan semula dan mendesak meneruskan demonstrasi, walaupun tidak disetujui oleh Jepang.
Mr. Gatot dengan amat bersemangat mendesak Presiden meneruskan! Tetapi seperti pada rapat Gerakan Baru (6Juli) Gitjo Sukarno tunduk kepada surat “Kalengnya” Jepang Saito, maka ini kalipun Presiden Sukarno (18/19 September) tunduk kepada “perintah” Jepang yang sudah sebulan lebih menyerah kalah itu. Sebagaimana Adam Malik meninggalkan rapat, sebagai protes terhadap pertukaran sikapnya Gitjo Sukarno dalam rapat Gerakan Baru, demikianlah pula Mr. Gatot meninggalkan Sidang Presidium Kementrian, sebagai protes terhadap pertukaran sikap Presiden Sukarno itu.
Sidang Kementrian kabarnya amat kacau. Kemudian nyata, bahwa Mr. Gatot, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Subardjo, Abikusno (Menteri Perhubungan), Dewantara dan lain-lain setuju meneruskan demonstrasi. Sukarno Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo dan lain-lain tidak setuju  menentang  kehendak Jepang dan setuju membatalkan persetujuan semula.
Maka berhubung dengan persoalan demonstrasi inilah, maka terjadilah suatu peristiwa, yang sedikit sekali hampir sama sekali tidak diketahui umum: rakyat/pemuda.
Sukarno Hatta yang tidak sanggup meneruskan demonstrasi yang tidak mendapat cap dari Jepang, walaupun capnya tentara yang menyerah kalah, Sukarno Hatta MELETAKKAN JABATANNYA. Jadinya Kabinet Presidentiel Sukarno Hatta yang pertama sudah DEMISIONER (berhenti). Cuma Jepang meminta Sukarno Hatta meneruskan pekerjaannya sebelum ada gantinya.
Benar Pengurus K.N.I besok harinya memutuskan mengangkut kembali Presidentil Kabinet itu, tetapi nyatalah sudah, bagaimana sikap Sukarno Hatta terhadap sesuatu pelaksanaan dari pada MASSA AKSI, ialah berdemonstrasi. Mereka meletakkan jabatan tak mau menanggung jawabkan dan Hatta mengakui di Gedung Hokokai (19 September bahwa mereka bukanlah “strijders” (orang berjuang). Di masa inilah pula keluarnya perkataan dari mulutnya Presiden Sukarno, bahwa dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang sudah mahir dalam gerakan revolusioner. (Perkataan tersebut diucapkan di depan para Menteri setelah dua kali berjumpaan dengan saya.
Sukarno sebagai Sorenggo Taitjo, Ketua Tertinggi seluruhnya PELOPOR memerintahkan, supaya demonstrasi jangan diteruskan. Tetapi pemuda Adam Malik (Wakil Ketua KNI Pusat) dan Menteri Abikusno dan lain-lain, setuju meneruskan. Pemuda Jakarta dengan giat membatalkan larangan demonstrasi dari Presiden Sukarno dan giat bekerja dimana-mana buat meneruskan.
Demonstrasi 19 September, di Jakarta yang dilakukan oleh kurang lebih 200.000 (dua ratus ribu) orang, terdiri dari rakyat/pemuda dari Jakarta, Pasar Minggu, Krawang dan Tangerang, disambut oleh Jepang di simpang jalan dan pintu jalan masuk ke Jakarta Kota dengan tank, mitraliur dan pedang terhunus. Tetapi di bawah pimpinan Pemuda Menteng 31, rakyat dengan BAMBU RUNCING saja, menentang Jepang pada beberapa tempat. Melihat rakyat bersiap dan MENGEPUNG, maka Jepang kelihatan gugup, ngeri dan membiarkan rakyat berduyun-duyun masuk ke lapangan Ikada.
Barulah Sukarno Hatta masuk mengikuti. Tetapi bukan dengan memperhebat demonstrasi dan mempergunakan sampai Jepang menyerahkan semua alat kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia melainkan untuk berpidato. Bukan pula berpidato memajukan tuntutan dan menggemborkan semangat berjuang dengan janji akan melakukan dan meneruskan “MASSA AKSI”, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi untuk meminta rakyat “percaya” dan “taat” kepadanya dan menyuruh rakyat pulang. Dalam kurang lebih 5 (lima) menit pidato Bung Karno, ini kali sudah selesai. Rakyat dan Pemuda kecewa dan pulang.
Sedangkan baru saja, ialah pada tanggal 29 Agustus dalam upacara pelantikan pertama Komite Nasional Pusat di Gedung Komidi Jakarta Presiden Sukarno berkata:....Kewajiban kita sekarang ialah mempersiapkan segala tenaga penyusunan Negara yang akan menghadapi dunia internasional tadi. Menyusun Negara dengan menjelmakan kebulatan kemauan dan cita-cita bangsa Indonesia seluruhnya. Keluar dan ke dalam maka kebulatan kemauan ini---algemeene volkswill ini---harus kita hidupkan, kita nyalakan, kita kobarkan sehingga orang Indonesia, dan buat kita sendiri hanyalah ada satu kenyataan saja: Bangsa Indonesia mau tetap merdeka...”
Perkataan yang terkenal pula, yang diucapkan oleh Presiden Sukarno di masa itu, ialah:
“Memproklamirkan kemerdekaan adalah gampang. Menyusun Undang-undang Dasar Negara adalh pekerjaan yang tidak sukar. Memilih Presiden adalah pekerjaan yang lebih gampang lagi. Tetapi menyusun administrasi negara, memberi isi kepada kemerdekaan itu, tegasnya: “Menguasai “politieke macht” itulah yang sukar.
Sumbangan saya dari jauh di masa lampau kepada Ir. Sukarno ialah brosur MASSA AKSI, yang dipakai oleh PNI dalam kursus dan propaganda umum. Sumbangan dari tempat tersembunyi, tetapi dari dekat, ialah pelaksanaan MASSA AKSI di masa DUALISME (19 September 1945), yakni bilamana administrasi dan senjata berada di tangan Jepang, tetapi ALGEMENE VOLKSWIL nyata pada saat itu diserahkan oleh rakyat/pemuda ketangannya Sukarno Hatta. Filsafat dan semangat revolusioner, perbuatan revolusioner yang kalau dilakukan dengan keberanian, ketabahan dan kebijaksanaan pada saat “die de seuwen beheerst” itu bisa memindahkan semua polietieke macht, ke tangan Republik, untuk meng-“ISI”-kan kemerdekaan itu. Dengan tabah dan ikhlas meleburkan diri dalam MASSA AKSI “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” sesungguhnya Sukarno Hatta semenitpun tak perlu menghiraukan ancaman Sekutu buat menuduh mereka  sebagai war-criminals. Karena sebagai akibatnya MASSA AKSI semacam itu rakyat akan bulat membela Presiden dan Wakil Presiden dan 70 juta rakyat Indonesia lebih dahulu harus ditangkap dan dihukum sebagai “war-criminal” sebelumnya Sekutu dapat menangkap dan menghukum Sukarno Hatta.
Tetapi sungguh besar pula perkataan Wakil Presiden Moh. Hatta, yang mengakui bahwa mereka bukannya “strijders”. Akan tetapi akan lebih nyata pula kebenaran perkataan semacam itu dalam waktu, yang menentukan timbul atau tenggelamnya Republik itu, kalau mereka bukan “striders” itu dengan ikhlas menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada mereka yang revolusioner dan “strijders”, walaupun selama perjuangan (kasar) saja.
Pertentangan antara perkataan “menyalakan dan mengobarkan ALGEMENE VOLKSWIL yang mau tetap merdeka itu” dan meng-ISI kemerdekaan sambil menguasai “politike macht” itulah berulang-ulang terjadi sebelumnya dan sesudahnya PERSATUAN PERJUANGAN.
Justru dalam beberapa hari pada permulaan PROKLAMASI kehendak rakyat/pemuda Jakarta, yang bermarkas pada Menteng 31 buat merebut senjata dari tangan Jepang, untuk meng-ISI kemerdekaan yang PROKLAMASI-nya dibacakan oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 dan menguasai “POLITIEKE MACHT” dipatahkan oleh Ir. Sukarno sendiri dengan perintah pembatalan (contra order), ialah pada saat perebutan itu akan dilakukan oleh rakyat dan pemuda.
Sebagian daripada Pemuda, yang dilarang melakukan perebutan senjata itu (di batalyon 12 di Matraman dan batalyon 13 di Manggarai), taat kepada Presiden, yang memangnya sebagai Kepala Negara harus ditaati.
Tetapi sebagian lainnya mau meneruskan perebutan itu, karena memangnya pula sudah dijanjikan putusan oleh mereka sendiri. Demikianlah perintah pembatalan itu pada ketika itu dan dibelakang hari selalu saja menimbulkan pertentangan dalam badan diri rakyat/pemuda sendiri, sehingga menyebabkan organisasi yang militant (bersifat penyerang) menjadi lumpuh, passive, kacau balau. Hasilnya tiap-tiap putusan hendak merebut senjata yang diketahui lebih dulu oleh Presiden Sukarno atau Wakil Presiden Moh. Hatta bolehlah dikatakan nihil, kosong. Itulah sebabnya kalau rakyat/pemuda yang bertempat jauh dari Presiden dan Wakil Presiden jauh lebih banyak dapat merebut senjata dari tangannya Jepang (Surabaya, Solo, Malang, Purwokerto dll) daripada rakyat/pemuda yang malangnya bertempat tinggal di dekat Presiden dan Wakil Presiden, karena pada saat perebutan itu akan dilaksanakan bersama-sama oleh pada saat perebutan itu akan dilaksanakan bersama-sama oleh sesuatu organisasi rakyat/pemuda, yang mungkin sekonyong-konyong datang satu perintah pembatalan, dari “Presiden Revolusi” kita, yang melumpuhkan perebutan senjata itu. Senjata pemuda Jakarta biasanya mereka peroleh dengan perkelahian seorang lawan seorang dari tangannya Gurka dan Inggris.
Saya sendiri sudah menyaksikan keragu-raguan Presiden Sukarno dalam keadaan genting. Dalam salah satu sidang yang kami namai “shadow cabinet” (Kabinet Bayangan), yang terdiri dari Sukarno, Hatta, Subardjo, Syahrir dan saya sendiri dan dibentuk atas persetujuan bersama atas usulnya Mr. Subardjo, di mana juga hadir Mr. Kasman Singodimejo, datanglah telpon dari Bandung yang meminta pertimbangan kepada pemerintah Republik, apakah interneeringskamp akan diserbu, untuk merebut senjata, yang kabarnya banyak disimpan di sana.
Presiden Sukarno segera melarang dengan muka pucat dan suara gugup. Saya sendiri sebenarnya sangat kecewa melihat muka yang begitu pucat dan mendengar suara yang begitu gugup dari seorang Presiden Revolusi menghadapi satu persoalan yang sebenarnya harus menggembirakan seorang revolusioner. Saya terperanjat menyaksikan sikap semacam itu dan memajukan dengan amat menyesal supaya perebutan senjata itu justru diteruskan. Jawab yang diberikan Sutan Syahrir atas pertanyaan Presiden Sukarno, tentang perebutan itu, adalah begitu “diplomatis” begitu terbungkus, sampai sama sekali saya tidak bisa menangkap isinya. Wakil Presiden yang kelihatannya tenang, akhirnya bertanya kepada saya: “jadi beiarkan saja?” jawab saya: “ya, biarkan saja mereka merebut”.
Saya kira urusan itu sudah selesai. Cuma saya heran melihat seorang bekas Chu-Dantjo pada ketika itu datang kepada Presiden dan dengan suara terharu serta air mata berlinang menjanjikan ketaatannya kepada Presiden. Saya tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan perintah apa yang ditaati itu. Tak pula saya tahu, bahwa Mr. Kasman Singodimejo, bekas Daidantjo sudah pergi ke belakang rumah Mr. Subardjo, ke tempat telpon. Baru besok harinya dari bekas Chudantjo tadi saya dengar kabar, bahwa penyerbuan ke interneeringskamp tak jadi dijalankan atas perintah bekas Chudantjo Mr. Kasman Singodimejo dengan telpon tadi malam.
Banyak saya memikirkan peristiwa itu di masa itu. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah gerangan nasibnya revolusi ini jika Presiden, sebagai Panglima Tertinggi melarang perebutan senjata ialah watak dan syaratnya tiap-tiap revolusi pada tiap-tiap Negeri atau tiap-tiap waktu di dunia ini. Alamat buruklah buat revolusi seluruhnya, bilamana permulaan revolusi itu, Panglima Tertinggi sudah memperlihatkan ketakutan memakai kekerasan: taku merebut “politieke macht” buat meng-ISI Kemerdekaan.
Terbukti di belakang hari, bahwa bukanlah kebetulan saja Panglima Tertinggi bertindak  seperti diatas, yakni melarang perebutan senjata dan melarang pertempuran. Setelah saya meninggalkan Jakarta (1 Oktober 1945), maka berulang-ulang Sukarno sebagai Panglima Tertinggi dan Moh. Hatta, yang disokong pula oleh Amir Syarifuddin melarang pertempuran di Surabaya dan Magelang. Rakyat yang melakukan MASSA AKSI, menyambut tindakan tentara Inggris yang ceroboh dan kejam di Surabaya, di ujungnya Solo Vallei (lihat: Naar de Republiek Indonesia, Januari 1924); rakyat tua muda, laki-perempuan dari semua golongan melawan “land, sea and air forces, with all the modern weapons of war” (senjata darat, laut dan udara dan semua senjata modern) yang dipergunakan oleh tentara Inggris, yang baru saja menang di medan perang dunia kedua; rakyat/pemuda Surabaya yang sudah berhasil mengepung ribuan serdadu Inggris yang bersenjata lengkap dan cuma tinggal menunggu ajalnya saja, dilarang oleh Panglima Tertinggi memusnahkan musuh yang ceroboh dan terang bersalah itu. Besok harinya tentara Inggris yang kemarinnya terkepung dan menunggu ajalnya saja itu (buat ditawan dan dilucuti senjatanya) kembali dengan kekuatan yang lebih besar dan akhirnya berhasil merebut seluruhnya kota Surabaya dan sekitarnya dalam waktu tiga minggu dan menimbulkan berupa harta benda dan mayat bertimbun-timbun.
Begitulah pula yang terjadi di Magelang, dan kemudian di Sukabumi karena tindakannya Sutan Syahrir, sebagai Perdana Menteri.
Sikap Sukarno Hatta terhadap agresi tentara asing di bumi Indonesia itu menyangsikan saya terhadap hasrat dan kesanggupan mereka. Demikianlah pula sikapnya Moh. Hatta terhadap perkara yang tak kurang pentingnya dari pada kemiliteran, ialah terhadap MILIK ASING.
Dalam salah satu pertemuan dengan para utusan dari Amerika, di mana saya diundang pula oleh Mr. Subardjo, sebagai Menteri Luar Negeri, maka terjadilah soal jawab yang penting.
Ketika Moh Hatta rupanya sebagai Ahli Ekonomi dalam Pemerintah Republik, berkata seolah-olah hendak mengakui dan mengembalikan semua milik dan perusahaan asing dengan tak ada syarat dan jaminan (umpamanya menuntut supaya tentara asing tidak boleh menempuh darat, laut dan udara Indonesia) maka saya sendiri merasa terpaksa tampil ke muka.
Karena pada masa itu (sebelum tentara Inggris mendarat, ialah sebelumnya tanggal 29 September) belum terbukti adanya agresi, walaupun sudah terdengar kabar, bahwa sekutu akan mengirimkan tentaranya ke Indonesia, maka saya cuma membayangkan, bahwa HAK MILIK ASING tak akan dikembalikan begitu saja.
Saya bayangkan pula, bahwa perusahaan penting akan dimiliki, diurus dan dikerjakan (owned, managed and operated) oleh Negara.
Sampai para utusan Amerika bertanya, dengan apakah kerugian akan diganti. Apabila saya sebut, bahwa Indonesia mempunyai karet, kina, kapas, minyak, emas dan lain-lain, maka mereka sambil tersenyum maklum, bahwa milik negara Asing, tetapi negara sahabat, yang akan kita ambil-kembali itu bisa kita ganti dengan hasilnya negara kita. Kalau agresi  terhadap Republik, yang merdeka 100% pada pertempuran tersebut sudah terbukti, tentulah saya akan mengemukakan, bahwa milik Negara Ceroboh, menurut kelaziman internasional akan di SITA oleh Republik dengan tidak ragu-ragu.
Sudah terbayang pada waktu itu, tetapi belum nyata bagi saya maksudnya Moh. Hatta hendak mengembalikan milik asing (musuh atau sahabat) seperti di kemudian hari ternyata  dalam maklumat, yang dikeluarkannya pada 1 Nopember 1945 yang sampai sekarang belum disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang syah, karena sampai sekarangpun belum ada Dewan Perwakilan Rakyat yang syah itu (dipilih oleh, dari dan untuk rakyat menurut cara pemilihan yang syah dan mempunyai hak-penuh, sebagai wakil rakyat).
Berhubung dengan tuduhan dalam pengumuman resmi pada tanggal 6 Juli 1947, yang mengatakan, bahwa pada sidang itu saya menyetujui “Trusteeship” maka disini saya terpaksa menerangkan, bahwa hampir akhir pertemuan saya memajukan empat pasal dan cuma empat pasal saja, yang dicatat penuh oleh para utusan Amerika tadi, dan saya anggap sebagai hasrat Republik yang terpenting:
1.      Speedy Negotiation (berunding selekas-lekasnya)
2.      Forming of a National Defence-Forces. (Membentuk Pertahanan Nasional)
3.      Withdrawal of all foreign forces (Penarikan kembali semua tentara Asing)
4.      International exhange of goods. (Penukaran barang dagang antara Republik dan Negara Asing)

Perkara lain tak ada yang saya majukan. “TRUSTEESHIP” tak mungkin saya pikirkan, jangan saya sebut, karena adanya “TRUSTEESHIP” itu belum saya ketahui dan perkara syaratnya “TRUSTEESHIP” pastilah tidak seorangpun  diantara yang hadir rapat mengetahui. Buat saya sendiri UNO-pun belum terbayang-bayang pada bulan September itu.
Lagi pula status “TRUSTEESHIP” tentulah berlawanan tepat dengan pasal 3 tersebut di atas, ialah penarikan kembali tentara asing, yakni penarikan kembali tentara Jepang ataupun tentara Sekutu yang terdengar-dengar hendak mendarat. Akhirnya “TRUSTEESHIP” pastilah berlawanan tepat dengan semua perkataan, tulisan dan perbuatan saya selama ini, dan berlawanan tepat dengan tindakan Belanda, tahun 1922, Amerika (1927) dan Inggris (1932) terhadap kemerdekaan diri saya selama saya berada di gelanggang gerakan revolusioner.
Keamanan dalam Republik akan dijamin oleh Pertahanan Nasional (menurut pasal 2). Bahwa UNO dengan DEWAN EKONOMINYA belum lagi saya ketahui di masa itu (maklumlah saya di waktu pendudukan Jepang lama terasing diam di Banten Selatan) ternyata pula oleh pasal 4, yang mengemukakan “pertukaran (barang) internasional”. Seandainya UNO dan peraturan UNO sudah saya ketahui, mungkin sekali pasal 4 di atas saya gandengkan ke UNO.
Empat pasal yang saya majukan itu oleh Sutan Syahrir disebutkan “a clear cut policy” (politik yang tegas). Karena sayalah rupanya di mata para utusan Amerika itu tampak terlampau banyak bicara pertemuan tersebut, sedangkan bukannya MENTERI, maka utusan Amerika itu bertanya kepada saya: “In what capacity are you speaking” (sebagai apakah tuan berbicara).
Untunglah Mr. Subardjo, yang sudah dikenal oleh para utusan tadi, sendiri menjawab dengan cepat: “He is one of ourstaff members” (dia adalah salah seorang anggota kementerian Luar Negeri).
Untunglah pula tak ada diantara anggota pemerintah yang membantah keempat atau salah satu dari empat pasal yang saya majukan itu.
Pada penghabisan bulan September, mulailah tentara Inggris, dengan ragu-ragu mendarat sedikit demi sedikit dan mengantongi Belanda. Para Wartawan Inggris yang ikut mendarat dan menyaksikan dengan mata sendiri demonstrasi rakyat pada tanggal 19 September menunjukkan kekagumannya yang amat sangat. Dari mulutnya para Wartawan itu, setelah melihat rakyat/pemuda berbaris bersaf-saf dengan rapi teratur, tabah tegap dengan dada membusung maju bergelombang dari semua penjuru menuju ke Jakarta kota, keluarlah perkataan : “Revolution-revolution-revolution”.
Tetapi dari mulut dan sikap Presiden dan Wakil Presiden Revolusi yang dapat saya baca cuma kecemasan dan ketakutan, kalau-kalau kelak oleh Sekutu akan dituduh sebagai “war-criminals”.
Inggris katanya cuma datang menjalankan Perintah Sekutu ialah untuk 1) Melucuti dan mengembalikan tentara Jepang. 2) Melepaskan dan mengembalikan tawanan Jepang. 3) Melepaskan APWI. Katanya pula Inggris tak akan mencampuri politik Indonesia.
Saya cukup mengenal janji Inggris di India Inggris, di Mesir dan di Tiongkok. Tak sekejappun di masa silam saya percaya kepada sesuatu janji Inggris, terhadap bangsa jajahan, atau bangsa yang dianggap inferior, rendah derajatnya, bilamana dia mempunyai kepentingan buat dirinya sendiri.
Takut kalau tak lama lagi tentara Inggris akan menduduki Jakarta dengan tak ada perlawanan dari pihak Pemerintah Republik, pada masa saya tak berhasil mengadakan perhubungan dengan pimpinan rakyat/pemuda, bahkan belum mendengar-dengar adanya MARKAS MENTENG 31, maka dengan SURAT WARISAN, yang dibuat atas inisiatif Presiden Sukarno dan diberikan serta ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta di mana diterangkan, bahwa kalau mereka tidak berdaya lagi memimpin revolusi ini, maka pimpinan revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dan lain-lain maka pada tanggal 1 (satu Oktober 1945 saya meninggalkan kota Jakarta dengan maksud hendak mengorganisir rakyat di luar Ibu Kota Jakarta).
Barulah di Bogor saya dapat bertemu kembali dengan Sukarni dan bertemu pertama kali dengan Adam Malik. Keduanya mereka mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap diri saya. Dikemudian hari, barulah saya mengerti mengapa pemeriksaan itu harus mereka lakukan ialah karena sudah berkali-kali di masa Jepang mereka tertipu dan dibahayakan oleh beberapa Tan Malaka Palsu. Tidak berapa lama sesudah pertemuan di Bogor itu, maka sekonyong-konyong datanglah pula Sukarni, Adam Malik dengan beberapa orang pemuda lain di waktu malam hari beserta orang berumur tinggi bekas teman sekolah saya di Bukit Tinggi, yakni Guru Halim. Maksud para pemuda ini ialah, supaya bekas teman sekolah itu dapat memastikan bahwa saya memangnya Tan Malaka yang sesungguhnya. Besok harinya Sutan Syahrir datang pula menjumpai saya.
Karena saya hendak berangkat ke Banten, maka kami berjanji akan bertemu kembali di Banten, ialah pada permulaan bulan Oktober juga.
Demikianlah pada suatu hari, saya mendapat kunjungan pula di Banten (Serang) dari beberapa pemuda terkemuka dari berbagai golongan. Diantaranya ialah Sutan Syahrir, Kusniani, Djohan Sjahruzah, Dr. Sudarsono (bekas Menteri), Sukarni, Maruto, Adam Malik, Pandu Wiguna, Djalil, Sugra, Karta Muhari dan lain-lain.
Pertanyaan yang dimajukan kepada saya, ialah, betapakah pandangan saya atas keadaan sekarang, dan apakah saya berkeberatan mengetuai Partai Sosiallah, yang akan didirikan di Jogya tidak lama lagi.
Bermula sekali saya kemukakan, teranglah sudah maksudnya Inggris, ialah cocok dengan perkataan, yang baru diucapkan oleh Perdana Menteri Inggris, Clement Attle, bahwa Inggris mempunyai “moral obligation” (berhutang budi) terhadap Belanda dan dia setuju dengan sikap Pemerintah Belanda, yang bermaksud mengadakan “KERJA SAMA” dengan “kaum moderat” Indonesia untuk menindas “Kaum Extremis”.
Terhadap maksud tamu hendak mendirikan Partai, maka saya kemukakan penganggapan saya, bahwa saatnya belum sampai, karena keadaan yang akan kita hadapi belum lagi terang! (Entah perang entah damai. Dalam masa perang tidaklah baik kalau mendirikan pelbagai Partai). Tetapi yang sudah terang bagi saya, ialah apabila satu Partai diizinkan berdiri, maka besok harinya pastilah berbagai-bagai Partai akan timbul, seperti jamur di musim hujan. Segala Partai dari pelbagai golongan dan corak itu akan amat susah dikendalikan menghadapi musuh seandainya Republik diserang musuh. Sementara suasana politik itu belum lagi terang, maka baiklah diperkuat saja Pemerintah yang ada dengan para pemimpin revolusioner yang masih ada di luar Pemerintahan!
Terhadap usul supaya saya mengetuai Partai Sosialis yang akan didirikan di Yogya itu, saya kemukakan, bahwa sikap saya terhadap sesuatu Partai Sosialis masih seperti dahulu saja; dan sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman se-partainya kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.
Jadi permintaan mengetuai Partai Sosialis itu bermula sudah saya tolak di Serang. Apabila salah seorang pemuda yang hadir menanyakan kepada Sutan Syahrir, apakah dia akan pergi juga ke Yogya buat mendirikan Partai Sosialis, maka dia tiada memberi jawaban apa-apa. Sepatah kata pun Sutan Syahrir tiada berbicara pada malam hari itu.
Sesampainya saya di Yogya, pada permulaan bulan Nopember, maka saya dikunjungi oleh beberapa para pemimpin lama, ialah Wijono, Marlan dan Marjohan dan diminta pula mengetuai Partai Sosialis yang akan didirikan itu. sikap dan jawaban saya adalah seperti di Serang juga. Usul yang bersifat juga dari pihak ketiga dan keempat tetap saya tolak saja. Saya menganggap belum sampai waktunya saya untuk keluar berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.
Di Yogya pada permulaan bulan Nopember itulah saya mendengarkan radio pemberontak Surabaya, yang mengatakan bahwa, “Tan Malaka berada di Surabaya sedang memimpin pemberontakan”.
Pada masa itu saya belum mengetahui adanya Tan Malaka Palsu, dan amat gembira mendengar, bahwa saya mempunyai banyak “anak  yang sedang bertempur di Surabaya, segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya.
Di hotel Mojokerto, pada suatu hari malam, sekonyong-konyong saya dikunjungi oleh sepasukan polisi tentara, bersenjata lengkap dan dengan sangkur terhunus menggeledah semua barang dan badan saya; menggiring saya ke kantor polisi buat dimasukkan ke sebuah kamar yang sempit, kotor, tak bertikar, penuh kutu busuk. Disinilah saya meringkuk sehari-semalam dengan tidak mengetahui atas alasan apakah sebenarnya saya ditangkap.
Baru di kemudian harinya saya mengetahui, bahwa pada suatu hari sdr. Sabarudin, kepala P.T. Surabaya di masa itu, kabarnya didatangi oleh beberapa Pemuda/Pemudi bersenjata lengkap yang mengancam dengan senjata, mendesak supaya saya dilepaskan dengan segera. Ancam-mengancam serta tembak-menembak memangnya amat lazim di waktu itu.
Tahu-tahu sudah datang beberapa pemuda menjemput saya ke Mojokerto dan membawa saya ke Surabaya, Gedung Tarokan. Di sinilah saya oleh para pemuda dijumpakan  dan dibandingkan dengan salah seorang Tan Malaka palsu, yang mendiami rumah istimewa, yang dipersiapkan oleh para pemuda baginya, untuk memberi “kursus” dan “memimpin” (katanya) ribuan pemuda yang berjuang. Disinilah saya tinggal berhari-hari di tengah –tengah dentuman meriam, mortir dan bom, sambil menulis beberapa brosur di tempat MARKASNYA P.R.I (Pemuda Republik Indonesia), yang memimpin perjuangan mati-matian. Satu jam saja setelah kami meninggalkan gedung Tarokan, maka serdadu Gurka masuk menduduki.
Mulanya saya coba tinggal di luar kota Surabaya. Tetapi karena gelagat sudah jelas, bahwa para pemuda akan meninggalkan Kota Surabaya, maka saya teruskan saja perjalanan ke Malang, buat memikirkan sikap dan tindakan apa yang harus dilakukan dengan cepat.
Bukti yang jelas terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga saya sendiri sesudah perjalanan saya dari Anyer ke Surabaya dan perhubungan dengan penangkapan atas diri saya di Mojokerto, kesan yang terang tertulis di kulit saya, ialah: .
1.      Kemauan Sukarno Hatta tak cocok dengan kemauan rakyat/pemuda seperti terbukti selama perjuangan rakyat/pemuda di Jakarta, Surabaya, Magelang dan lain-lain tempat.
2.      Partai Barisan dan Badan, yang timbul seperti jamur, setelah Partai diizinkan berdiri, satu sama lainnya curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, tangkap-menangkap, bahkan tembak-menembak.
3.      Penangkapan atas diri saya sendiri, dengan tidak sesuatu alasanpun dan dilepaskan oleh ancaman dari pihak golongan saja, adalah salah satu bukti bermerajalelanya kesalahan faham, kecurigaan dan kekacauan di antara awak sama awak.
4.      Propaganda saya di tempat bersembunyi, seperti saya lakukan selama ini, akan terus banyak terhalang oleh adanya Tan Malaka palsu, alat propaganda yang dipusakakan oleh imperialisme Belanda-Jepang untuk mengacau-balaukan gerakan revolusi.




















PERSATUAN PERJUANGAN

Mengingat 1) Pertentangan antara kemauan dan tindakan kepala negara dengan kemauan dan tindakan rakyat/pemuda di mana-mana; mengingat 2). Pertentangan dan permusuhan antara partai dengan partai (Islam contra Sosialis di Pekalongan, Cirebon dan Priangan); mengingat 3). Permusuhan antara pasukan dan pasukan seperti sudah terbukti di Surabaya (tembak-menembak dari belakang); mengingat 4). Sikap dan tindakan Inggris yang mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan dengan senjata memaksakan kedaulatan Belanda atas bangsa Indonesia, yang sudah memproklamirkan kemerdekaan itu; mengingat 5). Akhirnya kedatangan Van Mook dengan Usul Gemeene-best dan Rijksverband-nya, cocok dengan pidato Wilhelmina pada bulan Desember 1942.
Menghubungkan semuanya itu 1). Dengan terlaksananya kecemasan saya, yang saya ucapkan pada pertemuan di Serang, ialah akan timbulnya berbagai Partai, setelah satu Partai diizinkan berdiri, menghubungkan semuanya itu 2). Dengan pengalaman saya di Surabaya dan beberapa Negara di Luar Indonesia tentang sikap si penjajah terhadap si Terjajah, memperhubungkan semuanya itu 3). Dengan Tan Malaka Palsu yang berpropaganda di mana-mana.
Maka sendirinya saya sampai kepada kesimpulan perlunya mengkoordinir semua Partai, Laskar dan Badan yang pecah-belah untuk menantang diplomasinya Belanda, yang dibantu oleh Tentara Inggris yang bersenjata lengkap.
Sikap saya semula, ialah terus bekerja diam-diam, tersembunyi dan membantu dari belakang saja sambil meninjau dan mempelajari gerakan rakyat, yang sudah saya tinggalkan lebih daripada dua puluh tahun lalu lebih lanjut. Saya ingin lebih dahulu berkenalan dengan para pemimpin yang belum ada ketika saya meninggalkan Indonesia pada tahun 1922. Beberapa dengan keberatan yang mudah saya majukan di atas terhadap dirinya sesuatu partai, maka keinginan hendak mempelajari gerakan rakyat lebih lanjutlah yang menyebabkan saya menolak mengetuai sesuatu partai. Tetapi setelah mendapat pengalaman seperti di Surabaya tadi, maka mau tidak mau, saya merasa wajib ikut bertanggung jawab terhadap pembelaan Kemerdekaan Indonesia dengan cara terang-terangan.
Dalam keadaan begitu, maka saya insaf benar, bahwa bersama dengan lima/enam orang pemuda, yang baru saja saya kenal di masa itu, saya belum sanggup menggabungkan partai sendiri, yang kalau perlu, bisa memikul seluruhnya tanggung jawab terhadap pimpinan revolusi di masa itu. kedatangan Van Mook dengan usulnya itu, saya anggap sebagai bahaya yang mengancam persatuan, karena bisa memecah pemuda. Partai dan ketentaraan, sekurangnya dalam dua golongan, ialah: antara golongan yang mau berkompromi dengan golongan yang mau menegakkan kemerdekaan 100%; antara golongan lunak-moderat dengan golongan yang mau terus berjuang sampai Belanda terpaksa menarik diri.
Mempersatukan semua partai, ketentaraan dan badan itu, yang para pemimpinnya belum lagi dapat saya kenal baik atas dasar fusi, saya rasa adalah di luar kesanggupan saya pula dan tak pernah mempengaruhi pikiran saya.
Dalam saat tergesa-gesa menghadapi usul Van Mook, yang dibantu oleh Tentara Inggris itu, di samping Pemerintah Revolusi, yang tidak percaya akan kekuatan rakyat dan dialektiknya sesuatu gerakan revolusi dan takut akan tuduhan “war criminal” serta alat kekerasan kaum imperialis; dengan bantuan lima/enam orang pemuda, yang walaupun berpengalaman banyak, maka lain tidak, yang bisa saya lakukan, hanyalah mengundang semua Partai, Laskar dan Badan yang ada dengan maksud kerja sama dalam satu FEDERASI, yang sebebas mungkin dan selekas mungkin.
Kelak setelah terikat oleh satu PROGRAM, sebagai MAKSUD BERSAMA, terikat oleh KEPENTINGAN BERSAMA dan KERJA SAMA, terikat pula akhirnya oleh akibatnya saling kenal-mengenal dalam kandungan SANG WAKTU, maka barulah kelak dapat dipikirkan dan diusahakan federasi yang lebih rapat; bahkan perkara ber-FUSI-pun kelak akan dapat dipertimbangkan.
Mendesakkan satu organisasi yang rapat, bersifat FUSI, di masa itu, bilamana masing-masing organisasi sudah mempunyai ideologi yang kuat dan bersejarah (kebangsaan, keagamaan dan kemurbaan), tetapi baru saja keluar dari tindasan “Kempei” Jepang, bilamana party-life (hidup berpartai) dimustahilkan; “mendik-tekan sesuatu bentuk dan ISI Organisasi dengan tidak memperhatikan keadaan dan orang yang akan melaksanakan maksud organisasi itu, semuanya ini cuma akan memperkacau kekacauan belaka.
Karena saya anggap, sampai sekarang (Maret 1948), dasarnya persatuan dalam menyelesaikan revolusi ini ialah perjuangan untuk menghadapi MUSUH bersama, sampai tercapai kemerdekaan 100%, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, jadi bukannya persatuan untuk berkompromis, yang berarti berkhianat kepada kemerdekaan 100% menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, maka Persatuan Perjuangan itulah nama yang saya anggap paling tepat.
Mulanya konferensi mendirikan Persatuan Perjuangan dimaksudkan diadakan di Malang pada bulan Desember 1945, setelah Surabaya ditinggalkan oleh kelaskaran dan ketentaraan. Tetapi karena para wakil banyak yang berada di Jawa Barat dan pada waktu yang kami tentukan tak bisa sampai di Malang, maka kami terpaksa mengundurkan konferensi yang direncanakan di Malang itu. Saya berangkat ke Cirebon menjumpai para wakil dari beberapa organisasi yang ada di masa  itu. pertemuan yang pertama untuk beramah-tamah dengan para wakil organisasi dari pelbagai daerah di Jawa dapat diadakan di Demak Idjo, dekat Yogya, pada tanggal 1 Januari 1946. Baru pada 3-4-5 Januari dapat diadakan KONGRES PERSATUAN PERJUANGAN PERTAMA DI PURWOKERTO, yang dihadiri oleh 132 organisasi (Partai, tentara, Laskar, dan Badan). Di sinilah saya memajukan MINIMUM-PROGRAM yang 7 pasal buat dipahamkan dan dipelajari, selama sepuluh hari.
Baru pada KONGRES ke-DUA, di Solo pada tanggal 15-16 Januari 1946, yang dihadiri oleh 141 organisasi, oleh KONGRES ditetapkan nama PERSATUAN PERJUANGAN tadi dengan sedikit saja perubahan. Sebelumnya kedua KONGRES tersebut berlangsung, maka kepada Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri dikirimkan surat undangan. Tetapi yang datang cuma bekas Menteri Luar Negeri Mr. Subardjo, bekas Jaksa Agung, Mr.Gatot dan Panglima Besar Sudirman, kepada dua KONGRES di Solo, S.P.Sultan Jogja dan S.P. Susuhunan Solo mengirimkan wakil.
Baik juga dicatat di sini dari pidato wakil Tentara Republik (T.K.R.) yakni Panglima Besar Sudirman sendiri, di Kongres Purwokerto, pidato mana sangat menggembirakan dan menggemparkan para hadirin yang berbunyi: “Lebih baik kita diatom daripada merdeka kurang dari 100%”.

PUTUSAN KONGRES
PEMBENTUKAN
PERSATUAN PERJUANGAN


Pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 di Solo.
Dengan dihadiri oleh wakil-wakil 141 organisasi politik, ekonomi dan ketentaraan. Kongres pembentukan “Persatuan Perjuangan” di Solo pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 telah mengambil keputusan sebagai berikut:
I.                    NAMA:
Badan ini dinamai “PERSATUAN PERJUANGAN”
II.                 MINIMUM PROGRAM:
1.      Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100%
2.      Pemerintah rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat).
3.      Tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat.)
4.      Melucuti Tentara Jepang.
5.      Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6.      Menyita (membeslag), confiscate dan menyelenggarakan pertanian musuh (Kebun).
7.      Menyita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll)

III.               ORGANISASI:
Organisasi terdiri atas 3 bagian:
1.      Kongres
2.      Sekretariat:
a.       Penyelesaian Perselisihan
b.      Politik
3.      Badan Pekerja:
c.       Ekonomi
d.      Pertahanan.

KEWAJIBAN BADAN PEKERJA:
a.       Badan Pekerja MENYELESAIKAN PERSELISIHAN diwajibkan mengurus perselisihan antara kita sama kita. Jika Badan ini tak dapat menyelesaikan perselisihan, maka pertikaian itu dimajukan ke muka Sekretariat, yang terdiri atas pemimpin-pemimpin Badan-badan Pekerja tersebut. Jika sekretariat tidak dapat menyelesaikan soalnya, maka perselisihan itu dimajukan kepada Kongres, sebagai Dewan yang Tertinggi dalam Organisasi. Yang berselisih harus tunduk kepada putusan Kongres.
b.      Badan Pekerja POLITIK berkewajiban:
1.      Memberi garis besar program organisasi (Minimum Program)
2.      Menyelidiki apakah anggota-anggota organisasi melakukan kewajiban menurut pedoman organisasi.
3.      Menyelenggarakan Propaganda.
4.      Menyelenggarakan Organisasi
c.       Badan Pekerja EKONOMI berkewajiban mengurus dan memajukan:
1.      Tiap-tiap anggota “Persatuan Perjuangan” berkewajiban menjalankan putusan Kongres.
2.      Perselisihan antara anggota-anggota diserahkan pada Badan Pekerja Penyelesaian Perselisihan.


RESOLUSI KONGRES PEMBENTUKAN “PERSATUAN PERJUANGAN”

Rakyat Indonesia bersidang pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 di kota Surakarta dalam permusyawaratan pembentukan “Persatuan Perjuangan”, dihadiri oleh wakil-wakil susunan-susunan politik, ekonomi, sosial dan ketentaraan, terdiri dari 141 perhimpunan, mendessak pemerintah Republik Indonesia untuk bekerja bersama-sama melaksanakan dengan segera Program yang telah diputuskan oleh “Persatuan Perjuangan”, yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100%
2.      Pemerintah rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemuan rakyat).
3.      Tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat).
4.      Melucuti Tentara Jepang.
5.      Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6.      Menyita dan menyelenggarakan Pertanian Musuh (kebun)
7.      Menyita dan menyelenggarakan Perindustrian Musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain).

PANITIA “PERSATUAN PERJUANGAN”
Sebagai anggota Panitia “Persatuan Perjuangan”
1.      Perindustrian
2.      Pertanian
3.      Pasar
4.      Koperasi
Badan pekerja PERTAHANAN berkewajiban mengurus:
1.      Tentara
2.      Polisi
3.      Pemuda
4.      Latihan (jasmani dan rohani)

Latihan jasmani artinya: latihan militer, latihan rohani artinya: memberi pelajaran politik, hingga anggota-anggotanya mempunyai pendidikan politik yang teguh yang tidak mudah digoncangkan.

ANGGOTA
1.      Anggota “Persatuan Perjuangan” terdiri atas Organisasi Politik, Sosial dan Ketentaraan.
2.      Anggota Kongres terdiri atas wakil-wakil dari anggota-anggota “Persatuan Perjuangan”.
3.      Anggota Sekretariat terdiri atas anggota-anggota Badan Pekerja “Persatuan Perjuangan”.
4.      Anggota Badan Pekerja ialah mereka yang dipilih oleh anggota-anggota “Persatuan Perjuangan” ditambah dengan para ahli (dalam hal teknik, ekonomi administrasi dsb) yang disetujui oleh kongres buat menjalankan putusan Kongres.
DISCIPLINE
Ditetapkan anggota-anggota Panitia Penyelenggaraan Rapat Pembentukan “Persatuan Perjuangan” yang lama ditambah dengan wakil-wakil Partai Sosialis, Masyumi, Pesindo, PRD, Perwari, PKI, Pemuda Puteri Indonesia dan Pusat Pemberontakan Rakyat Indonesia yang akan bekerja sampai tanggal 27 Januari 1946.

VI. RAPAT LENGKAP
Pada tanggal 27 Januari 1946 untuk melanjutkan pembicaran tentang  organisasi seluruhnya akan dilangsungkan rapat lengkap yang dihadiri oleh wakil-wakil organisasi masing-masing dengan mengirimkan sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang utusan.
Yogyakarta, 22 Januari 1946
Panitia “Persatuan Perjuangan”
Ttd
(Penulis Sukarni)

Minimum Program “Persatuan Perjuangan”  (United Action)
1.      Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%
2.      Pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat)
3.      Tentara Rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat)
4.      Melucuti tentara Jepang
5.      Mengurus tawanan Bangsa Eropa
6.      Menyita (Membeslag) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun)
7.      Menyita (Membeslag) dan  menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll)
                                                                                                                                     
Keterangan Singkat
Nama Badan ini sudah diputuskan dalam Permusyawaratan di Solo pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946. Tetapi maksudnya badan itu ialah persatuan yang berdasarkan perjuangan atas minimum-program ini. Seboleh-bolehnya tuntutan itu jangan kurang dari yang tercantum di atas. Yang nyata tak boleh dikurangi ialah tuntutan kemerdekaan 100%. Tuntutan 1e itu berseluk-beluk pula terutama dengan tuntutan 6e dan 7e. Permusyawaratan di Purwokerto tanggal 4-5 Januari 1946 memutuskan bulat pada tuntutan kemerdekaan 100% itu.
Tuntutan 1e itu cocok dengan makna dan akibat Republik Indonesia Merdeka yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kalau tuntutan itu kurang dari yang tercantum dalam 1e itu, maka sikap semacam itu melanggar kemerdekaan dan kehormatan Rakyat Indonesia. Sikap semacam itu tidak akan sepadan dengan korban rakyat yang sudah diberikan dengan ikhlas semenjak tentara Inggris-Nica mendarat. Lagi pula sikap semacam itu akan bertentangan dengan kemauan rakyat Indonesia dan pasti akan memisahkan dan mungkin mempertentangkan rakyat dan pimpinan pemerintah.
2e-3e supaya kemauan dan tindakan rakyat jangan bertentangan dengan pimpinan atau pemerintah, seperti terjadi di Surabaya, Semarang, Magelang, Bandung, jakarta dan sebagainya, maka sepatutnyalah kemauan rakyat yang revolusioner itu tergambar pada satu pemerintah rakyat dan satu tentara rakyat.
Yang dimaksudkan dengan pemerintah rakyat ialah satu pemetah yang menjalangkan kemauan rakyat. Di masa sekarang di indonesia ini tentulah satu pemerintah yang revolusioner yang melawan imperialisme inggris belanda. Karena pengesehan yang berdasarkan pemilihan umum resmi atas pemerintah Republik yang sekarang dari pihak rakyat belum pernah dilakukan, maka tuntuntan percuma. Berhubung dengan kemungkinan dalam sehari, seminggu, paling lamanya sebulan di hari depan ini maka perlulah Rakyat Indonesia yang sedang berjuang sekarang mendapat pimpinan dari pemerintah yang berdasarkan perjuangan. Berhubung dengan itu patutlah pula tentara itu berhaluan dan bersemangat revolusioner. Dalam negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi, seperti maksudnya Republik Indonesia, nomor 2-3 tidaklah melanggar Undang-Undang Dasar Negara.
4e-5e berhubung dengan kemerdekaan Rakyat Indonesia yang terbentuk pada satu Republik dan pengalaman kita di Semarang, Bandung dan lain-lain tempat, di mana Tentara Jepang oleh Inggris dipersenjatai buat memerang Rakyat Indonesia, maka buat mempertahankan diri, wajiblah Rakyat Indonesia sendiri melucuti Tentara Jepang.
Bagaimana Tentara Jepang yang senjatanya sudah dilucuti itu mesti diperlakukan supaya jangan menambah korban rakyat yang sudah luar biasa besarnya itu patutlah diserahkan kepada rakyat sendiri pendirian yang cocok dengan kemerdekaan dan kehormatan Rakyat Indonesia yang berlaku juga terhadap tawanan Eropa atas pengalaman di Surabaya.
(6e-7e) seandainya Inggris Nica datang kembali dengan mengakui Republik Indonesia, dan bertindak atas dasar kata mufakat, maka persoalan harta benda itu tentu akan bisa diselesaikan dengan jalan damai. Tetapi karena Inggris Belanda masuk ke Indonesia dengan maksud dan tindakan melenyapkan Republik Indonesia dan menegakkan kembali penjajahan Belanda, walaupun berupa autonomi, Dominion, Commonwoulth, Gemeenebest atau lain-lain Status, maka rakyat Indonesia terpaksa mempertahankan dirinya. Perang yang tidak dinyatakan Inggris-Belanda itu terpaksa dijawab dengan perang yang tidak dinyatakan pula.
Sikap menyita kebun musuh (pertanian) dan pabrik, bengkel, tambang musuh (perindustrian) tidaklaha berlawanan dengan undang perang. Harta benda warga negara yang tentaranya membunuh puluhan ribu Rakyat Indonesia yang tidak bersalah dan menghancur-leburkan beberapa kota terbesar di Indonesia, dan masih terus berusaha menaklukkan dan menjajah Indonesia, wajib disita (dibeslag) dan diselenggarakan buat keperluan Rakyat Indonesia yang sedang berperang ini. lagi pula tidak bertentangan dengan sikap proletar revolusioner di dunia terhadap hak-milik si Kapitalis. Hak milik si Kapitalis seperti pabrik dan mesin, ialah hasil tenaga proletar yang tidak dibayar, dicuri oleh Kapitalis. Mengembalikan hak milik semacam itu kepada kapitalis, apalagi Kapitalis yang ceroboh, seperti di Indonesia, artinya mengakui “hisapan” Kapitalisme. Perbuatan itu berarti berkhianat terhadap proletar Indonesia yang suda mengorbankan jiwanya, membela Republik Indonesia. Perkataan “menyita” itu mesti digembor-gemborkan ke luar negara, supaya proletar dunia mendengarnya.
Penyitaan dilakukan terhadap hak milik musuh bukan hak miliknya bangsa Asing seperti Amerika, Tiongkok dan lain-lain. Hak milik Amerika dan Tiongkok itu, sebagai negara Sahabat sampai sekarang akan diatur dengan kata-mufakat, sesudah Indonesia mendapatkan kemerdekaan 100%.
Persatuan Perjuangan dengan minimum programnya telah mewujudkan kekuatan dan suara yang bulat dari semua partai dan rakyat revolusioner anti-imperialisme, kapitalisme. “Minimum Program” ini tidak dapat dikurangi atau ditawar-tawar lagi.
Yang terutama harus dicapai ialah Persatuan atas dasar bersama berjuang melawan imperialisme. Berhubung dengan desakan waktu, maka moga-moga persatuan itu akan lepas tercapai. Tidak saja diharapkan persatuan antara Partai dan Partai, tetapi juga diantara Persatuan Perjuangan dengan Pemerintah. Semakin pendek dan semakin tepat Minimum Program itu semakin lekas dipahamkan dan semakin dalam pula diresapkan oleh rakyat murba hingga dapat lekas dilaksanakan!!
Mudah-mudahan Minimum-Program semacam ini bisa menjadi coment antara organisasi dan pimpinan revolusioner dengan rakyat Indonesia yang dengan tidak menghitung laba rugi sudah berjuang melawan imperialisme Inggeris Belanda.
Dengan Terlaksananya “Minimum Program” Kita, Hidup Republik Indonesia.












PERTENTANGAN ANTARA:
DIPLOMASI Dengan MASSA AKSI


Tiap-tiap revolusi mengenai partai kanan, partai tengah (lunak-moderate) dan partai kiri serta extremisnya. Begitu revolusi Borjuis dan kemudian proletar di Rusia.
Sifat Kanan,  lunak dan Kiri itu, sebenarnya cuma dapat dipastikan oleh sejarah belaka, ialah setelah revolusi berlaku. Dalam revolusi itu sendiri boleh jadi sekali si kanan menamai dirinya moderat-progressif dan si lunak menamai dirinya “sayap-kiri” yang revolusioner progressif. Susahlah bagi seseorang bersikap tenang obyektif dalam waktu penggeloraan revolusi itu sendiri.
Demikialah dalam revolusi borjuis di Perancis (tahun 1789) Partai Gironde, ialah Club (kumpulan) borjuis tulen, yang dipimpin oleh Verginiaud, Brissort, Madame Roland dan lain-lain merasa dirinya Partai yang paling berhak memimpin revolusi itu. Berhubung dengan itu, maka mereka menganggap Club Jacobin, ialah Kumpulan Murba di bawah pimpinan Marat, Danten, Roberspiere dan lain-lain sebagai Kumpulan penghasut, pengacau dan perusak. Mereka yang dibelakang ini digelari “Ultras” atau “Yang lebih Kiri dan Kiri”. Begitulah pula di Russia (tahun 1917) Borjuis Kecil, ialah Partai Sosial Revolusioner, yang dipimpin oleh Kerensky, Isorotelli dan lain-lain menganggap dirinya sebagai pemimpin tulen (constructive) pada masa itu dan menganggap Partai Murba, ialah Partai Komunis Komunis (bolsjewik) sebagai penghasut, pengacau dan perusak (destructive). Tidak saja begitu! Mereka giat pula menyiarkan dan membisikkan di tengah-tengah rakyat, bahwa Lenin adalah spionnya Jerman. Baru setelah Gerakan Revolusi itu berhenti dan salah satu daripada kelas yang ber-revolusi itu berhasil merebut dan mempertahankan kekuasaan Negara serta memberikan kemerdekaan, kemakmuran dan kemajuan kepada masyarakat baru, dalam semua lapangan, barulah Ahli Sejarah dan Umum dapat menentukan, kaum mana dan Partai mana, yang sesungguhnya berhak memimpin revolusi itu.
Revolusi Indonesia tiadalah yang menjadi satu kekecualiaan! Kita pun sekarang (Maret 1948) mengenal gelaran “Sayap Kanan”, “Sayap Kiri” dan “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” atau aliran “Trotskyst”, pengacau dan perusak. Tetapi kalau gelaran itu misalnya harus ditentukan oleh “Aliran Lebih Kiri dari Kiri” sendiri maka boleh jadi sekali, mereka yang menamai dirinya itu “Sayap Kiri” akan diberi gelaran Curah (moderate). Dalam hal ini, maka menurut pandangan mereka yang “Lebih Kiri dari Kiri” itu juga mereka sendirilah Partai yang revolusioner. Mereka sendirilah pula yang berhak melanjutkan revolusi Titik-Berat (centre of Gravity) dalam gerakan revolusi ini tercapai dan gerakan revolusi itu terhenti di sekitar Titik-Berat itu dengan tenang. Dengan istilah tehnis, maka akan tercapailah keadaan equilibrium-sosial atau keseimbangan-kekuatan-sosial dalam masyarakat Indonesia.
Sang Sejarah sajalah kelak yang dapat memastikannya! Manusia yang berada dalam taufan-revolusi itu sendiri, terpaksalah diombang-ambingkan oleh kepentingan, paham dan perasaan diri disertai pula oleh Purbasangka (prejudico), kebencian serta ketakutan kepada lawan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan politik. Sesungguhnya baik juga dibatasi segala perkataan, nista, karena perasaan dalam segala-galanya dalam sesuatu revolusi itu, memangnya sedang memuncak penggeloraannya dan mudah sekali terlepas dari sekitar titik beratnya, dan dari equilibriumnya. Tetapi memangnya pula pengendalian diri terhadap lawan politik itu sukar sekali dipraktekkan, mungkin bagi saya sendiripun tiada terkecuali.
Berhubung dengan itu pula, maka tinjauan saya terhadap pertikaian antara kaum yang menganut diplomasi dengan kaum yang menganut Massa Aksi pada permulaan tahun 1946, bilamana bentuk, sikap dan sifatnya beberapa golongan dalam masyarakat kita di revolusi ini sudah mulai nyata, bukanlah dimaksudkan sebagai putusannya Sang Sejarah.
Tinjauan saya itu adalah tinjauan seorang manusia, yang bersifat khilaf, yang sekarang (Maret 1948) berada  dalam keadaan terikat (handicapped), yang membela dirinya terhadap lawan, yang memegang semua alat kekuasaan Negara dan Keuangan, dan yang akhirnya tak segan-segan memakai “blacklist” palsu, fluistercampagne dan fitnah resmi besar-besaran terhadap diri saya.
Semenjak lebih dari seperempat abad saya memajukan pertentangan tajam, pertentangan yang tiada dapat diperdamaikan antara kapitalisme-imperialisme Belanda dengan pemerasan-penindasan Rakyat Indonesia. Berhubung dengan pertentangan tajam itulah, maka Demarkasi Revolusi Indonesia ini dapatlah ditarik dengan sejelas-jelasnya.
Dari bermula sekali saya anggap Demarkasi Revolusi Indonesia itu bukanlah satu amban (girdle, band) melainkan satu garis. Artinya bukanlah satu garis yang mempunyai panjang dan mempunyai lebar, melainkan satu garis yang mempunyai panjang, tetapi tiada mempunyai lebar. Bukanlah satu amban, di mana borjuis-imperialis bisa berjabat tangan dengan borjuis-jajahan, buat kerja sama, memeras dan menindas murba di Indonesia. Melainkan satu garis, di mana Borjuis-Imperialis Belanda dengan memperkudakan Inlanders-Alat, memeras dan menindas Murba Indonesia.
Di Hindustan, Tiongkok dan Pilipina dan amban-sosial yang bisa dijadikan Demkarkasi antara kaum penjajah dengan Murba-terjajah. Di sana kepentingan bersama dalam ekonomi antara borjuis-imperialis dengan borjuis-jajahan dapat dijadikan dasar untuk mengadakan kerjasama dalam Politik. Di sana pertentangan antara borjuis-imperialis dengan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan (Tiongkok) boleh diperdamaikan. Dengan demikian, maka pergerakan revolusioner dapat dihalang-halangi atau dibelokkan kepada reformisme dan ke dalam status, di mana borjuis-imperialis menyerahkan sebagian besar kekuasaan politiknya kepada borjuis-jajahan (Hindustan dan Pilipina). Bahkan pada lahirnya semua kekuasaan politik adalah borjuis-imperialis boleh diserahkan kepada borjuis-jajahan, sambil tetap mengendali “Negara Merdeka” itu dengan “Perjanjian” Keuangan, “Perjanjian” Kemiliteran, “Perjanjian” Ekonomi dan “Perjanjian” Urusan Luar Negeri. Keadaan semacam itu terdapat lebih kurang pada perhubungan Amerika Serikat dengan Mexico dan beberapa Negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dengan Canada, Pilipina, Tiongkok, Turki dan lain-lain.
Karena tak adanya borjuis-besar dan borjuis-menengah yang kuat di Indonesia, dalam arti ekonomi, maka borjuis-imperialis tak bisa mengadakan ambas sebagai demarkasi di Indonesia. Borjuis-imperialis cuma bisa “kerja sama” dengan bangsa Indonesia, yang bisa diperalat semata-mata, dengan Inlanders-Alat untuk memeras dan menindas Murba Indonesia. Inlanders-Alat ini di zaman “Hindia Belanda” sebelumnya Belanda menyerah kalah kepada Jepang berpusat pada “Binnenlands Bestuur Amtenaaren”, Pangreh-Praja namanya di masa Jepang. B.B. Ambtenar itu adalah turunan dari Ningrat-Takluk, yang akan menjadi penganjur (MURBA), kalau sekiranya tiada diperalatkan oleh Belanda. Dengan didikan sekolah Ambteenar, serta dipersenjatai dengan “Undang-Undang Bumiputra” (Inlandsche Reglement) dan dengan bantuan politie, maka B.B. Ambtenaar inilah intinya, Kern-nya, Borjuis-Indonesia. Merekalah yang sudi “Kerja sama” dengan borjuis-imperialis, laksana sebuah centera (gilingan) yang “Kerja Sama” dengan pelayannya untuk memeras manisan tebu.
Ringkasnya di Indonesia tak dapat diadakan Amban-Demarkasi, ialah garis yang mempunyai lebar, yang dapat memperdamaikan borjuis-imperialis dengan borjuis-nasional. Di Indonesia cuma ada Garis-Demarkasi, ialah garis yang tiada mempunyai lebar, garis yang tajam, yang menghimpit, ialah Borjuis-Alat, bernama B.B. Ambtenaar, garis yang dengan terang-tajam memisahkan borjuis-imperialis Belanda dengan Murba Terjajah Indonesia.
Barang siapa yang berada di sebelah Sananya Garis Demarkasi itu adalah kelas pemeras-penindas. Barang siapa yang berada di sebelah sininya Garis Demarkasi itu adalah kelas Murba terperas-tertindas. Ketika gerakan kemerdekaan itu berlaku dalam waktu damai, maka garis demarkasi itu cuma dapat diketahui dengan filsafat revolusioner. Tetapi dalam masa revolusi, maka garis demarkasi itu menjadi Demarkasi Revolusi, yakni: Revolusi yang berdemarkasi, revolusi yang bertapal batas, yang jelas. Berhubung dengan itu, maka musuhilah dan gempurlah semuanya yang berada di seberangnya dan gempurlah pula mereka yang dulu berada di sebelah sini, tetapi oleh kesengitan perjuangan lari dari sini dan kini berada di sebelah sana.
Masih sulit kiranya bagi khalayak umumnya di masa “Hindia Belanda” untuk menentukan disebelah manakah Sukarno-Hatta Syahrir dan Amir akan berada pada permulaan revolusi, pada pertengahan revolusi dan pada penghabisan revolusi. Bagi manusia, sebagai kelas atau golongan, maka soal yang semacam itu lebih mudah diselesaikan daripada oleh manusia sebagai individu, sebagai seseorang.
Filsafat revolusi saja tak dapat memastikan lebih dahulu. Cuma prakteklah yang dapat memastikan. Bukan sedikit anak-Murba, yang meninggalkan Front-Murba. Bukan satu dua orang pula anggota Yang Bukan Murba, yang sampai pada napas terakhir berada di kalangan Murba. Bukankah Para Bapak dan Para Pemimpin Murba, seperti Marat, Marx, Engel, Lenin, Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg dan lain-lain semuanya berasal dari golongan Yang Bukan Murba? Ada yang mendapatkan paham kemurbaan dengan melalui otak pikiran serta jantung perasaan saja. Tetapi sampai pada napas terakhir, mereka setia kepada klas yang dibelanya dan paham-klas yang dianutnya itu. Ada pula yang memangnya lebih banyak lagi mereka yang berasal dari klas Murba sendiri, yang sampai titik darah penghabisan membela klasnya dan kepentingan serta paham klasnya sendiri.
Bahwasanya maka empat pemimpin terkemuka dalam revolusi ini, seperti tersebut di atas tadi, satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting, daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petitio-burgeois, borjuis Kecil Indonesia; sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda yang tertinggi dan sama-sama bercita-cita “kerja sama” dengan Imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbedaan tentang quality, sifat, sebagai orang (person) saja.
Sukarno mempunyai sifat terbuka, mudah percaya dan mudah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Tahu akan jiwanya rakyat Indonesia, mahir memakai perkataan, maka seandainya Sukarno mempunyai Filsafat Revolusi yang tegas, tujuan yang jelas, di samping hati yang teguh memegang filsafat dan tujuan itu, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya dari Rakyat Indonesia, mungkin sudah (Maret 1948) menjadi Liberator, Pembebas Indonesia, atau akan gugur sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi Sukarno tiada mempunyai tujuan yang nyata karena dia tiada mempergunakan cara berpikir revolusioner dan Filsafat Revolusi yang tepat. Dia tiada pula mempunyai hati yang teguh memegang tujuan bermula. Dengan menerima dan mengalamkan semua kemewahan hidup, yang dengan rencanan teratur sengaja diberikan oleh imperialisme Jepang kepadanya, Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat kemurbaan seperti bermula. Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme Inggris-Belanda, di samping tiada percaya kepada kekuatan Murba dan Dialektiknya Revolusi, maka Sukarno cocok dengan sifat borjuis-kecil dalam tiap-tiap revolusi, jatuh kembali kepada asalnya: reverting totype. Dia mengambil jalan yang paling sedikit membahayakan jalan “of the least resistance”.
Moh. Hatta bukanlah seorang revolusioner. Dia sepi kalau berdiri di depan Rapat Murba dan Murba lebih senang, kalau Hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya menghadiri pidato di lapangan Gambir Jakarta di masa Jepang. Hatta tiada bisa memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan kesanggupan Murba. Di kalangan intelekt-borjuis-kecil dia bisa juga mendapatkan pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambition, lebih besar daripada kecakapannya yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber akalnya itu! Sebab itulah Hatta terpaksa mencari dan memangnya pula (dia) mendapatkan gantian (compensation) pada buku bacaannya, yang mencocok idaman klasnya, ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (bukewurm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat cermat, serta teliti yang ada padanya, di waktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa melambung ke atas. Tetapi dalam revolusi terutama karena keyakinan dan sifatnya itu sepi daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling sedikit membahayakan, jalan “of the least resistance” cocok benar dengan sifat golongan keluarganya, ialah golongan saudagar yang agak berbeda.
Saya tiada kenal dengan dirinya Amir Sjarifuddin. Usul dari salah seorang pemuda, yang dulunya rapat sekali bekerja dengan Amir, yang ingin menjumpakan saya dengan Amir, yang katanya disetujui oleh Amir sendiri, selalu saja saya tolak. Lebih dahulu saya mau mendengar penerangan resmi tentang tindakannya di Jawa Barat, ialah melarang Rakyat/Pemuda menyerang Inggris, seperti isinya sepucuk surat, yang dibacakan oleh Armunanto dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto, pada tanggal 4-5 Januari 1946. Rupanya Amir menganggap semua tindakannya terhadap Rakyat/Pemuda di Jawa Barat itu sudah semestinya. Sekali lagi dia dengan perantaraan Dj.Maj. Djokosujono meminta berbicara dengan saya, ketika saya di tahan di Jetis Solo, ialah seperti dibelakang hari ternyata atas Surat Delegasi Indonesia kepada Pemerintah dari Yogya dan ata usahanya Amir sendiri. Saya hanya mau berbicara setelah kami ber-empat dimerdekakan. Pada masa itu (April 1946) saya belum mendapat keterangan, sebab apa saya ditangkap. Dari mereka yang paling dekat padanya, saya mendapat keterangan, bahwa di masa “Hindia Belanda” Amir tiada dibuang, meskipun aksinya oleh Belanda mulanya dianggap “berbahaya”. Bahkan sebaliknya, Amir “ditendang ke atas”, dijadikan “pegawai tinggi” dari Ekonomise Zaknn di bawah Van Mook, Idenburg dan Van Hoogsratraten. Dihukum buat seumur hidup oleh Jepang, bukan dia anti sembarang imperialisme, melainkan dia anti imperialisme Jepang, tetapi pro Belanda. Tiadalah mengherankan kalau Asal, didikan dan Pandangan Hidupnya dia berhasil mendapatkan “Perjanjian Renville”! Tetapi di samping mendapatkan “Renville” itu Amir, sebagai Menteri Pertahanan kehilangan Jawa Barat, kehilangan Pekalongan, kehilangan Banyumas dan kehilangan Malang, yang semuanya itu direbut oleh Belanda hampir dengan tak ada perlawanan.
Keuletan Amir mempertahankan, sebagai Menteri Pertahanan, cuma ternyata dalam perjuangan mempertahankan kedudukannya terhadap kaum opposisi dan terhadap Laskar Rakyat Jakarta-Raya, yang bersikap teguh mempertahankan kemerdekaan 100% dan sudah sanggup mempertahankan Krawang dan Cirebon terhadap Tentara Inggris dan Belanda lebih daripada satu tahun lamanya, sebelum dicerai-beraikan oleh T.R.I pada tanggal 13 sampai 17 April 1947, ialah di masa Amir memegang Kementrian Pertahanan.
Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Syahrir adalah paling dekat kepada para pemuda, karena dia paling jauh kepada Jepang, kalau dibandingkan dengan para pemimpin lain. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada tanggal 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Syahrir cs dengan para Pemuda, yang kemudian memusatkan aksinya pada Comite van Aksi di Menteng 31, Jakarta. Walaupun dibelakang hari Syahrir dalam Brosure “Perjuangan Kita” masih memakai para pemimpin cooleborator Jepang sebagai “anjing dan kaki tangan Jepang” dan “penghianat perjuangan”, tetapi sebenarnya Syahrir sudah bertindak sepadan dengan Sukarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang diantara Massa Aksi dan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih Salah Satunya, ialah pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil. Dalam kebimbangan begitulah rupanya, maka dia tiada sanggup memberi komentar sepatahpun, ketika di Serang, saya dimajukan kemungkinan kaum-lunak (moderate) akan muncul kaum-extremis, yang sudah disetujui Inggris-Belanda itu. Dalam keragu-raguan begitulah pula rupanya, Sutan Syahrir membatalkan sendiri janjinya, berjumpa dengan saya atas permintaannya sendiri dengan perantaraan Sukarni. Saya, yang pada tanggal 26 Februari (1946) tergopoh-gopoh datang dipanggil dari Kongres Semua Laskar di Magelang untuk menemui Syahrir di Yogya, tiada berhasil berjumpa. Begitupun di Solo, pula menurut janji Syahrir sendiri. Rupanya Syahrir sudah mengandung putusan tentang mana yang akan dipilihnya: Massa Aksi ataukah Diplomasi, yakni berjuang dengan Persatuan Perjuangan atau berunding dengan maling di dalam rumah. Tetapi Syahrir merasa perlu merahasiakan pilihannya itu.
Tiadalah saya ketahui di masa itu, bahwa:
1.      Badan Pekerja K.N.I Pusat sudah menunjukkan persetujuan dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
2.      Berhubung dengan itulah, maka Sutan Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena programnya tiada cocok dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan tadi.

Baik juga di sini saya catat tulisannya Dr. A. Halim, seorang anggota Badan Pekerja K.N.I. Pusat, dalam Revue Indonesia, Peringatan satu tahun Merdeka, Menuju ke Parlemen Sempurna, 1946, a.l seperti berikut:
“Pendek kata Pemerintahan pada waktu itu adalah Pemerintahan dari seorang, yaitu Presiden, yang kekuasaannya meliputi hampir seluruh kekuasaan Negara”.
“Bahwa kurang representatipnya Badan Pekerja dan K.N.I Pusat dibuktikan oleh berdirinya satu Badan yang bernama Persatuan Perjuangan, dipimpin oleh Tan Malaka cs. yang dengan mudah dapat memikat beberapa Partai-Politik, sosial dan bahan-bahan perjuangan, sehingga dengan demikian memperhebat pemusatan kehidupan politik di luar K.N.I. Pusat”!
“...Bahwasanya kedudukan Badan Pekerja lemah pada waktu itu, terbukti oleh pengumuman No.21, yang menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya Persatuan Perjuangan dan menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk memperkuat usaha itu” (tekanan dari saya).
“...Jatuhnya Kabinet Syahrir ke-I, buat sebagian besar disebabkan oleh “aksi exstra Parlementer”  tadi, yang aneh sekali disokong oleh Badan Pekerja K.N.I. Pusat”
“...Dalam Sidang K.N.I Pusat Pleno di Solo pada tanggal 28 Februari sampai tanggal 3 Maret 1946 dipersoalkannyalah badan manakah yang lebih representatif, Persatuan Perjuangan atau K.N.I Pusat”.
Sekianlah Dr.A.Halim

Peletakan jabatan Syahrir sebagai Perdana Menteri yang berlaku pada tanggal 23 Februari itu baru diketahui setelah Rapat K.N.I Pusat dibuka di Solo, pada tanggal 27/28 Februari.
Pada Rapat ini, yang dibuka oleh Mr.Asaat, Presiden Sukarno dengan menggemparkan mengumumkan, peletakan Syahrir rapat atas meletakkan jabatannya. Presiden juga meminta pengesahan permintaan peletakan jabatan itu. syahrir tampil di muka untuk memberikan tanggung jawab tentang kebijaksanaan Politik Kabinet dalam pidato lebih kurang satu jam lamanya.
Kesimpulan  tanggung jawabnya Syahrir ialah: bahwa dia merasa “yang kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menempuh jalan damai dan perundingan”.
Paham Syahrir yang nyata bertentangan dengan Minimum Program Persatuan Persatuan Perjuangan, yang sudah disetujui oleh Badan Pekerja K.N.I Pusat di Jakarta dan oleh Sidang K.N.I Pusat di Solo, diselingi pula dengan demonstrasi Tentara dan Laskar dan pemakaman para korban pahlawan kita.
Panglima Besar yang memberikan sambutan, mengharapkan, supaya rapat dengan cepat mendapatkan putusan yang segera dijalankan.
Pada tempatnyalah pula Chaerul Saleh, Ketua bagian Politik dari Persatuan Perjuangan tampil ke muka dengan perkataan: “Kita tak usah mempersoalkan pertanggungjawaban seseorang yang sudah meletakkan jabatannya. Kita tidak ada pimpinan Pemerintahan semenjak 23 Februari, jadi selama lebih dari empat hari. Maka sebab itulah saya mengharap, supaya pimpinan Pemerintah Negara dibentuk. Dan saya harap, supaya Presiden, segera membentuknya. Saya tunggu jawaban di mimbar ini sekarang juga”.
Rapat kelihatan terharu dan gelisah! Akhirnya Ketua Mr. Asaat menerangkan, bahwa atas pidato Chaerul Saleh itu, maka rapat ditunda sementara, sampai kelak ada pemberitahuan. Dikatakan pula, bahwa pimpinan Pemerintah kelak akan dibentuk oleh Presiden, ialah jam 16.00.
Pada Rapat tanggal 28 Februari di rumahnya Tn. Suroso, Komisaris Tinggi Surakarta, di mana hadir Presiden, Amir Syarifuddin, Abd. Madjid, Trimurti, Ny. Mangunsarkoro, Wali Al Fatah, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain. Presiden mencoba merancangkan nama mereka, yang akan duduk dalam Kabinet. Presiden meminta pula bantuannya para hadirin menyusun nama bagi Kabinet itu.
Setelah terbentuk susunan nama, dengan Syahrir sebagai Menteri Luar Negeri, Amir sebagai Menteri Pertahanan, Wikana sebagai..., maka Chaerul Saleh tampil bertanya: Bagaimana halnya Minimum Program Persatuan Perjuangan?
Menurut Chaerul Saleh, bahwa yang terpenting ialaha Programnya Pemerintah. Kalau Minimum Programnya Persatuan Perjuangan diterima, maka soal susunan mereka dalam Kabinet adalah perkara “sekunder”, perkara kedua.
Mr. Abdul Madjid “anggota Perhimpunan Indonesia di Nederland, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui pembentukan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda”, salah seorang dari “rombongan lima orang (Mr. Abdul Madjit, Setiadjit, Mr.Tamsil, Mr. Muwaladi, Drs. Maruto Darusman) yang dikirim Belanda ke Indonesia untuk menjamin terlaksananya maksud Belanda atas Tanah Air kita, yang telah merdeka”; Abd. Madjit yang dengan secepat kilat “mendapatkan tempat di Pemerintahan Agung kita” (bacalah harian Murba No.9, yang mengumumkan Rahasia Lima Serangkai Pembantu Belanda oleh Gerakan Revolusi Rakyat); Mr. Abd. Madjid yang pada bulan Desember 1945, setibanya dia dari Nederland dengan kapal Belanda dicurigai, diperiksa dan sementara ditahan oleh Pemuda Jakarta, yang bermarkas pada Menteng 31; Abd. Madjid yang ikut merundingkan dan ikut melakukan suara memutus dalam sidang pengesahan Minimum Program di Solo, pada tanggal 15-16 Pebruari; Mr. Abd. Madjid penghalang kerajaan Belanda itu, berkata bahwa tidak semua Partai terikat oleh Minimum Program.
Cukuplah sudah sikap Mr. Abd. Madjid buat ditafsirkan oleh mereka yang berdiri atas kemerdekaan 100% yang sekarang sudah bisa memeriksa sendiri siapa sebenarnya Mr. Abdul Madjid itu. Cukuplah pula buat kami sendiri pengetahuan, bahwa kalau pada masa itu diadakan undian (pemungutan suara) yang syah dalam Partai Sosialis, maka Mr. Abdul Madjid sendiri akan tercengang, berapa persen cabang atau anggota Partai Sosialis, yang setuju dengan kemerdekaan dalam lingkungan Kerajaan Belanda dan berapa persen pula yang setuju dengan kemerdekaan 100%.
Kembalilah pada rapat tadi
Mr. Amir Syariffudin mengemukakan “pemeliharaan continuiteit” (kelanjutan) da Kabinet dan juga dari pemerintahan, karena (menurut Amir yang pada masa Proklamasi berada dalam penjara Jepang dihukum seumur hidup atas tuduhan melakukan spionage buat Belanda)......karena Republik diproklamirkan oleh Sukarno Hatta. Merekalah, beserta mereka, yang pernah duduk dalam Kabinet-lah menurut Amir Syariffudin yang berhak meneruskan Pemerintahan.
Sukarni, salah seorang yang paling dekat dengan Sukarno-Hatta disekitar Proklamasi itu, segera menyambut usul Amir itu lebih kurang dengan perkataan: “bahwa bung Amir tidak tahu menahu dengan jalannya Proklamasi itu, maka tak usahlah dia banyak memberi komentar”.
Lantaran tak tampak arah yang pasti maka Rapat menjadi agak gaduh pula.
Atas permintaan Presiden supaya Persatuan Perjuangan memajukan putusan penghabisan dan Daftar-Nama-Calon, maka pengurus Persatuan Perjuangan berjanji menyampaikan putusan-terakhir dan daftar nama itu pada jam 10 malam, setelah nanti mengadakan Putusan Rapat Anggota lebih dahulu.
Dalam Rapat Anggota Persatuan Perjuangan di gedung KNIP Solo, pada tanggal 28-29 Pebruari 1946, jam 21.00, yang dihadiri oleh para wakil dari Masyumi, PBI, PNI, PPI, Dewan Perjuangan Jawa Timur, Dewan Perjuangan Jawa Tengah, Pesindo, BPRI (pemberontak), Koperasi Rakyat Cirebon dan Gas Listrik, maka dibicarakanlah laporan Rapat Presiden dan sikap yang harus diambil oleh Persatuan Perjuangan.
Dengan tegas semuanya organisasi-gabungan menghendaki terlaksananya Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Bahkan BPRI (pemberontak) yang diwakili oleh Bung Tomo dan Indartono mengancam dengan perkataan: “bahwa kalau Persatuan Perjuangan tidak sanggup mempertahankan Minimum Programnya, maka BPRI akan mengobrak-abrik Persatuan Perjuangan dan jika Pemerintah yang tidak sanggup menjalankan Minimum Program itu, maka dia (Bung Tomo) akan mengadakan “coup” terhadap Pemerintah sendiri”.
Dibicarakanlah pula Daftar Nama mereka, yang akan memikul tanggung jawab Pemerintahan, kalau Pemerintah tak sanggup menjalankan Minimum Program Persatuan Perjuangan. Dalam hal ini Pemerintah akan dibentuk oleh para wakil dari beberapa organisasi yang tergabung pada Persatuan Perjuangan.
Begitu pula beberapa tindakan yang akan dilakukan jika Pengurus Persatuan Perjuangan tak cakap  memperjuangkan Minimum Program itu.
Putusan yang diambil oleh Rapat Persatuan Perjuangan pada malam itu lebih kurang berbunyi.
1.      Menghendaki supaya Minimum Program Persatuan Perjuangan pada menjadi Programnya Pemerintah.
2.      Kalau Pemerintah tak sanggup menjalankan Programnya Persatuan Perjuangan, maka Persatuan Perjuangan sendiri mempertanggung jawabkan Pemerintahan.
3.      Kalau dua putusan itu ditolak, maka para pemimpin Persatuan Perjuangan akan menentukan satu sikap  pula.

Malamnya 28-29 Pebruari ketika Persatuan Perjuangan sedang bermusyawarah itu, maka Sukarni sebentar datang menjumpai saya, bertanyakan, apakah saya sudi duduk dalam Pemerintahan. Jawab saya, ialah, perkara duduk atau tidak dalam Pemerintahan itu adalah soal yang kedua. Yang menjadi soal pertama, ialah diterima atau tidaknya Minimum Program oleh Pemerintah.
Pagi harinya pada tanggal 29 Pebruari, apabila Sukarni dapat berjumpa dengan Presiden Sukarno, maka Sukarni mengemukakan soal Minimum Program. “Soal Program itu gampang tanggung beres. Hanya menunggu kedatangan Wakil Presiden nanti siang hari dari Yogya”. Demikianlah jawabnya Presiden.
“Bagaimanakah halnya kalau nanti Wakil Presiden menolak Minimum Program?”, tanya Sukarni pula.
“Ach, itu soal gampang. Saya tanggung, bahwa Program itu akan disetujui”, jawab Presiden.
Sekianlah soal jawab antara Presiden dengan Sukarni, sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan!
Tetapi memangnya cocok dengan dugaan saya sebelumnya itu tentang sikap Wakil Presiden tiadalah akan menyerah saja kepada kemauan 141 Organisasi Rakyat, yang menggabungkan diri pada Persatuan Perjuangan yang pada Kongresnya di Solo, tanggal 15-16 Januari sudah memutuskan akan menyita Miliknya musuh. Wakil Presiden dengan tiada mendapatkan persetujuan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia lebih dahulu dengan tiada memperbedakan sahabat dengan musuh, Pendamai dengan Ceroboh (agresor) diantara Asing itu, dalam maklumat pada tanggal 1 Nopember 1945 sudah menganjurkan kepada Belanda, bahwa “segala hutang Hindia Belanda” sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita dan segala Milik Bangsa Asing selain daripada yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh Negara sendiri, dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh Negara akan kerugiannya dengan seadil-adilnya.
Demikianlah selaras dengan isi Maklumat Presiden (apakah dengan pengetahuan dan persetujuan Presiden lebih dahulu?) dalam pertemuan di rumah Tn. Suroso yang dihadiri oleh Presiden, Moh. Hatta, Syariffudin, Abd. Madjid, Wali Alfatah, Sukiman, Tuan dan Ny. Mangunsarkoro, Trimurti, Chaerul Saleh, Sukarni dan lain-lain, pertemuan yang mulanya diketuai oleh Presiden, kemudian oleh Wakil Presiden, terjadi perdebatan antara Pelupessy (Sunda Kecil), Kasimo (Katolik) dan Abd. Madjid pada satu pihak dan Chaerul Saleh serta Wali Al Fatah (keduanya dan Persatuan Perjuangan) di lain pihak.
Akhirnya Moh. Hatta bertanya: “Apakah saudara-saudara dari Persatuan Perjuangan tidak tahu, bahwa dengan penyitaan seperti “dimaksudkan dalam pasal 6 dan 7 Minimum Program semua imperialis di dunia bersatu untuk menghantam Republik?”
Chaerul Saleh dengan segera menjawab pertanyaan Moh. Hatta itu dengan pertanyaan pula, ialah seperti berikut: “Apakah sdr. Hatta tidak insaf, bahwa dengan Proklamasi Kemerdekaan kita, kita sudah tentu akan berhadapan dengan semua imperialis dunia, terutama imperialis Belanda?”
Hatta tiada memberi jawaban apa-apa! Karena memangnya sukar dijawab tentang itu.
Perdebatan menjadi hebat dan kalut, tetapi walaupun sudah sampai jauh malam, keputusan tiada di dapat.
Pada tanggal 1 Maret pada Rapat KNIP yang dibuka oleh Mr. Asaat, dimana Wakil Presiden hadir, tetapi Presiden tidak hadir, maka diumumkanlah, bahwa Sutan Syahrir ditunjuk lagi sebagai Perdana Menteri. Pada siang harinya disiarkan Program Pemerintah Yang Lima Pasal.
Berhubung dengan peristiwa itu dan cocok dengan putusan Rapat Persatuan Perjuangan, seperti tersebut di atas, maka Wikana, tampil ke muka untuk mengumumkan, “Bahwa semua anggota Persatuan Perjuangan dilarang duduk dalam Kabinet, yang tidak menjalankan Minimum Program itu”.

Rapat amat gaduh! Program Pemerintah yang Lima Pasal itu tiada dibicarakan, jangankan lagi disyahkan oleh Rapat KNIP itu! Soal Kabinet-pun dipelantingkan begitu saja. Rapat KNIP selanjutnya (sampai 3 Maret) hanyalah menyatakan bubarnya KNIP dan menyerahkan pembentukan kepada Presiden.
Demikianlah kemauan Persatuan Perjuangan terhadap Badan mana, Badan Pekerja KNIP dengan Maklumat No. 21 “menyatakan kegirangan dan persetujuannya atas lahirnya dan menganjurkan kepada seluruh Rakyat untuk memperkuat usaha itu” diabaikan oleh Sukarno-Hatta, Amir dan Syahrir dengan bantuan Mr. Abdul Madjid, yang tidak setuju dengan kemerdekaan 100% dan hanya menyetujui Kemerdekaan dalam Lingkaran Kerajaan Belanda”.
Demikianlah pula Minimum Program, yang sudah dipelajari selama sepuluh hari, diperundingkan, dan diputuskan oleh 141 organisasi Rakyat Pemuda, Tentara (Panglima Besar pun ikut memutuskan), Laskar dan Badan itu, begitu saja dibatalkan oleh Program Pemerintah yang dibentuk oleh Sutan Syahrir, Moh. Hatta, dan Abd. Madjid, zonder perundingan dengan – dan zonder pengesahan dari Pemerintah seluruhnya dan BPKNIP ataupun sidang Pleno KN Pusat.
Demikianlah pula, Kabinet Syahrir yang menurut Dr. Halim seluruhnya ialah, “Disebabkan oleh aksi extra parlementer” itu yang pentingnya pula disokong oleh Badan Pekerja KNIP tidak diganti dengan kaum yang beroposisi, ialah kaum yang menjatuhkan untuk menjalankan Politik-nya mereka yang beroposisi itu, seperti yang lazim berlaku di dunia demokrasi, melainkan (aneh sekali!) oleh gerombolan Yang Kalah untuk menjalankan Politik yang sudah disalahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat sendiri yang pada masa itu berbentuk K.N. Pusat.
Demikianlah pula akhirnya Rapat K.N. Pusat di Solo itu, menarik garis pemisahan waktu, diantara Phase Bermula dengan Phase Kedua, yakni antara Phase Massa Aksi dengan Phase Diplomasi, dalam Revolusi Indonesia ini.
Pada Phase Massa Aksi, kasarnya antara 17 Agustus dengan 3-17 Maret 1946, maka hampirlah seluruhnya Rakyat menentang sembarang Penjajah (Jepang, Inggris dan Belanda) dengan senjata Bambu Runcing sebagai modal yang pertama. Phase Massa Aksi ini berhasil mendapatkan kemenangan luar biasa, lahir dan batin, senjata dan moril, nasional da internasional.
Pada Phase Diplomasi Berunding, kasarnya antara 3-17 Maret itu sampai sekarang 17 Maret 1948, maka gerombolan borjuis kecil Indonesia berusaha keras berkompromi dengan Inggris-Belanda dan berhasil mendapatkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Perjuangan ini berarti keruntuhan Repulik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran, perekonomian, sosial dan moril.





















SAMAKAH PROGRAM PEMERINTAH
DENGAN PROGRAM
PERSATUAN PERJUANGAN?

Pertanyaan di atas saya tulis (dan jawab) buat memenuhi permintaan beberapa anggota Persatuan Perjuangan, beberapa hari saja sebelum tangkapan Madiun. Tanya jawab yang berkepala “Samakah....?” Itu disiarkan oleh Sekretariat Persatuan Perjuangan di Yogya pada tanggal 14 Mei 1946.
Siaran dirasa perlu untuk menghadapi bisikan di kiri-kanan, bahwa Program pemerintah, yang dibentuk oleh Syahrir, Hatta-Madjid, ketika Rapat K.N. Pusat di Solo itu sama dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Dalam hakekatnya kedua Program itu malah menunjukkan pertentangan yang dalam. Kedua Program itu sebenarnya sudah menggambarkan pertentangan, di antara yang saya sebut di atas Phase Massa Aksi, selama enam bulan permulaan Revolusi dengan Phase Berdiplomasi semenjak penangkapan para pemimpin Persatuan Perjuangan di Madiun (17 Maret 1946).
Minimum Program tiada membuka pintu untuk berunding dengan maling di dalam rumah atau dengan musuh yang mengajukan pistolnya dengan kita. Minimum Program menuntut lebih dahulu pengakuan kemerdekaan 100% dan berhubung dengan itu pula menuntut lebih dahulu si Ceroboh (Agressor) menarik tentaranya dari pantai, laut dan udara Indonesia. Semua tuntutan ini dirasa cocok dengan kemerdekaan dan kehormatan Republik Indonesia dan dirasa perlua buat menjamin keamanan Rakyat Indonesia selain dan sesudah perundingan berlaku. Sifatnya perundingan itu kelak cuma untuk menentukan perhubungan diplomasi dan hubungan dagang antara Dua Negara Merdeka, (Indonesia terhadap Nederland) ialah menurut hukum internasional yang sudah lazim dipakai. Apabila tentara Asing masih ada di pantai, laut dan udara Indonesia. Semuanya tuntutan ini dirasa cocok dengan kemerdekaan dan kehormatan Republik Indonesia dan dirasa perlu buat menjamin keamanan keamanan Rakyat Indonesia selain dan sesudah perundingan berlaku. Sifatnya  perundingan itu kelak cuma untuk menentukan perhubungan diplomasi dan hubungan dagang antara Dua Negara Merdeka, (Indonesia terhadap Nederland) ialah menurut hukum internasional yang sudah lazim dipakai. Apabila tentara Asing masih ada di pantai, laut dan udara Indonesia, maka akan diteruskanlah perjuangan buat menghalaukan musuh dengan semua Alat Perang kemerdekaan (yang berlainan sifat dan bilangannya dengan alat perang untuk rebut-merebut Pasar dan Negara Asing). Berhubung dengan itu maka cocok dengan Hukum Perang, semua Harta-Benda dan Hak Milik Musuh akan di-sita (pasal 6 dan 7 Minimum Program). Jaminan buat kemenangan k ita yang terakhir diletakkan pada Pemerintah Rakyat (pasal 2 Minimum Program) dan Tentara Rakyat (pasal 3 Minimum Program).
Program Pemerintah membuka pintu seluas-luasnya untuk berunding, dengan pistol musuh diajukan lebih dahulu semua syarat untuk menjamin Kemerdekaan, Keamanan dan Kehormatan Rakyat Indonesia, sebagai Rakyat yang sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945. Dengan perkataan lain Program Pemerintah membuka pintu kepada Belanda untuk memperkuat serta mengumpulkan tenaga militer, ekonomi dan keuangan di masa berunding; memasukkan colonne kelimanya (bukan ke lima colonenya!!) ke dalam Daerah Republik, dengan maksud kelak menyerang Republik apabila kekuatannya sudah dirasa cukup. Dengan pengakuan atas kembalinya semua Hak Milik dan Harta Benda Belanda, yang dengan Milik Asing lainnya meliputi 99,99 % perindustrian, perkebunan, pertambangan, pengangkutan dan keuangan Indonesia, secara modern kapitalistis, maka IPSO-FACTO, seandainya kelak kekuasaan politik imperialisme Belanda dan Asing lainnya akan kembali meliputi seluruhnya daerah Indonesia ini.
Pertentangan yang tergambar dalam kedua Program itu, berasal dari pertentangan paham beberapa hal:
1e. Pertikaian-penaksiran tentang dalamnya pertentangan antara Pemeras-Penindas-Belanda yang kapitalis-imperialis dengan Rakyat Indonesia yang terperas tertindas.
2e. Pertikaian-penaksiran tentang kekuatan imperialis Belanda yang sebenarnya pada satu pihak, dan kekuatan yang ada dan tersembunyi yang sesungguhnya pada 70 juta Rakyat Indonesia di lain pihak.
3e. Pertikaian tafsiran tentang keadaan Internasional dan berhubung dengan itu pertikaian penaksiran tentang keuntungan dan kerugian yang akan kita peroleh dari keadaan dan kemungkinan Internasional itu.
4e. Pertikaian-penaksiran terhadap diplomasi-berunding atas “goodwill” dan “perikemanusiaan” bekas penjajah pemeras, penindas di satu pihak, dan diplomasi bambu runcing, yang disokong oleh pemboikotan da gerilya di semua lapangan di lain pihak.
Persatuan Perjuangan dengan Minimum Programnya mendasarkan kepercayaan kepada kemenangan terakhir terhadap Tentara Belanda yang didatangkan dan tempat, yang sepuluh ribu Km jauhnya itu, atas Massa Aksi, sebagai Alat dan Muslihat untuk Massa, ialah Massa-Rakyat atau Rakyat-Ramai umumnya dan Masa-Murba atau Murba Ramai khususnya.
Pemerintah Republik dengan Program Lima Pasalnya tiada bersandar kepada Massa Aksi, tetapi mempercayakan nasibnya Republik dan 70 juta Rakyat Indonesia kepada Diplomasi Berunding dan “Kerja Sama” dengan Belanda yang sudah 350 tahun menunjukkan kecakapannya sebagai Penjajah.
Apakah kemungkinan cara penyelesaian pertikaian yang sudah tergambar dalam Program Pemerintah dan Minimum Program itu?

Pertama:
Dengan benar-benar Pemerintah mengakui Hak Warga Negara Indonesia untuk “berkumpul dan bersidang” serta “Hak melahirkan pikiran dan lisan dan tulisan” seperti yang tercantum dalam UUD  Indonesia itu. Dalam hal ini, maka menurut aturan Demokrasi haruslah Pemerintah mengerjakan semua usaha untuk menentukan mana suara terbanyak berada: Di pihak 5 pasal Program Pemerintah-kah atau di pihak 7 pasal Minimum Program. Maka Program yang menang dalam undian itulah kelak yang harus dijadikan Program-nya Pemerintah Republik. Biasanya pula, maka menurut keadaan (fatsoen) politik demokratis, mereka yang menganut Program yang ternyata disetujui oleh Mayority (suara terbanyak) itulah pulah yang diserahi menjalankan Pemerintah.

Kedua:
Atau karena Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah disakan oleh Rakyat memangnya belum ada, maka Pemerintah mengakui suara Persatuan Perjuangan setidak-tidaknya sebagai suara Rakyat yang ingin membela kemerdekaan dan Republik dan cocok dengan isi Maklumat Badan Pekerja KNI Pusat No. 21, yang “menyetujui” dan memperkuat Persatuan Perjuangan. Berhubung dengan itu Pemerintah menyerahi Persatuan Perjuangan membentuk Pemerintahan, menurut dasar persatuannya, yakni Minimum Program, dengan tak tawar-menawar lagi.

Ketiga:
Atau Pemerintah dengan 1001 alasan menginjak-injak Hak Demokrasi Rakyat dan memegang terus semua Alat Perlengkapan Negara (Polisi, Tentara, Mahkamah, 13 macam Badan Penyelidikan serta keuangan Negara!) dengan maksud hendak membatalkan terlaksananya semua paham opposisi sambil mempergunakan fitnahan, blacklist, pengumuman resmi, tangkapan secara resmi atau secara “lettre de cachet”, oleh Badan Resmi atau Body Guard dan lain-lain, jalan yang bukan demokratis dan melanggar Hak Warga Negara.

Kelanjutan Perjuangan Rakyat Indonesia membela kemerdekaannya itu, semenjak Penangkapan Madiun telah memberi kepastian kepada tiga kemungkinan diatas.
Pertikaian antara Program Pemerintah dengan Minimum Program, seperti sudah saya jelaskan, tiga hari sebelum Tangkapan Madiun itu, memangnya sudah membayangkan kemungkinan yang akan dipilih oleh Pemerintah Republik.
Tulisan tersebut, sekarangpun (Maret 1948) belum lagi menjadi sejarah, yang tiada lagi mengikat politik Negara kita sekarang! Keduanya Program itu kinipun belum lagi lepas dari Kepentingan Kemerdekaan, Kemakmuran dan hari depannya 70 juta Rakyat Indonesia. Sebab itulah pula, maka kedua Program itu, belum lagi bisa dilepaskan dari pertanyaan setiap Warga Negara Republik Indonesia.
“Manakah yang benar, Program Pemerintah Sukarno Hatta atau Minimum Program Persatuan Perjuangan?”
Berhubung dengan yang tersebut di ataslah, maka dibawah ini saya catat sepenuhnya pertikaian kedua Program itu, seperti berikut:
Samakah Program Pemerintah Dengan Program Persatuan Perjuangan?
Oleh Anggota P.P.

Disiarkan – oleh Sekretariat Persatuan Perjuangan bagian Penyiaran.
Yogya, tanggal 14 Maret 1946

Baru sesudah Kabinet Syahrir meletakkan jabatannya dan pada penghabisan Rapat K.N.I. di Solo pada tanggal 28 Pebruari 1946 sampai 3 Maret 1946, Pemerintah mengeluarkan Programnya. Jadi sesudah lebih dari enam bulan berdirinya Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan Persatuan Perjuangan lebih kurang 2 bulan lampau dari Kongres Purwokerto sudah memproklamirkan Minimum Programnya.
Tak ada diantara para pembangun Persatuan Persatuan yang mengira, bahwa dalam tempo 2 bulan berdirinya Persatuan Perjuangan saja akan sampai kepada tingkat politik Negara Republik Indonesia di mana rakyat berhadapan dengan pernyataan memilih Pemerintah Sukarno Hatta atau Pemerintah Persatuan Perjuangan.
Hilanglah sekarang semua tuduhan yang tidak-tidak selama ini terhadap Persatuan Perjuangan, bahwa Persatuan Perjuangan mau merobohkan Pemerintah. Bukankah Pemerintah sendiri sesudah Kabinet Syahrir mengakui gagal politiknya ke dalam danke luar Negara, meminta bekerjasama dengan Persatuan Perjuangan?
Hilanglah tuduhan, bahwa Persatuan Perjuangan satu Staat di dalam Staat. Bukankah ada lagi Staat yang ganas kejam yang bukan terdiri atas bangsa Indonesia sudah berada di tengah-tengah Staat Indonesia dan mengancam jiwanya Negara dan Masyarakat Indonesia itu?
Bagaimanapun juga, haruslah dipuji Sikap Pemerintah yang mencoba menyesuaikan dirinya dengan satu gerakan Rakyat Indonesia yang cuma memakai haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Mudah-mudahan Pemerintah kita yang  muda ini akan lebih insaf lagi akan kegentingan keadaan sekarang dan mengakui kebenaran: “Kemauan Rakyat itulah kemauan Tuha”.
Pemerintah Sukarno-Hatta atau mereka yang di sekitarnya, mangatakan bahwa Program Pemerintah sama dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan. Kalau benar demikian, apakah gunanya membikin pula Program baru? Bukankah sepatutnya Pemerintah Sukarno-Hatta mengakui Minimum Program saja? Dengan begitu Pemerintah Sukarno-Hatta mengakui “yang pertama itulah yang semestinya dapat pengesahan dan penghargaan yang pertama”. Lebih-lebih pula Pemerintah Sukarno-Hatta sepatutnya bisa bergembira karena boleh membuktikan keluar Negara, bahwa Rakyat Indonesia sudah sanggup mengusul dan memilih haluan politik yang tepat jitu menurut keadaan: Ergo sudah masak dalam politik, karena “public opinion” sudah cukup kuat dalam Negara Republik Indonesia.
Sebaliknya pula dan pihak Persatuan Perjuangan walaupun sekarang ikhlas “mengalah” tetapi ia “tiada bisa” mengalah. Dalam hal “bentuk dan isinya”, maka program Pemerintah berbeda degan Program Persatuan Perjuangan, seperti perbedaan putih dengan merah. Dalam hal “bangun”, maka Program Pemerintah Sukarno-Hatta seolah-olah tak ada musuh yang ganas kejam yang sedang mengancam jiwanya Republik Indonesia. Sedangkan Minimum Program berdasarkan perjuangan di tengah-tengah Laskar musuh yang ceroboh. Selanjutnya dalam hal “isi” maka Program Pemerintah tiada membicarakan perkara tawanan Jepang dan interniran Eropa dan perkara “Menyita”. Sedangkan Minimum Program menganggap tawanan Jepang, ialah Pasal 4 dan perkara tawanan Eropa itu (pasal 5) dan perkara menyita (pasal 6,7) adalah perkara yang langsung mengenai perjuangan sekarang dan kelak akan langsung menguasai kalah-menangnya Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan 70 juta Rakyat Indonesia. Bukankah Jepang yang sudah dikasihkan kepada Inggris itu sekarang di mana-mana dipakai oleh Inggris buat membunuh Rakyat Indonesia, laki-perempuan, tua-muda? Bukankah Belanda interniran yang jatuh ke tangannya Inggris itu yang sekarang merampok, menculik, memperkosa, menyiksa dan membunuh rakyat dan terutama pemuda Indonesia, serta mendirikan Pemerintahan Nica di mana saja Inggris berduduk? (Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Sumatra, Bangka, Borneo, Menado dan lain-lain?) rupa-rupanya, akhirnya, “perkara menyita” hak milik musuh itu didiamkan saja oleh Pemerintah. Sedangkan proletar perindustrian dan pertanian harus diberi kepastian tentang sikap Pemerintah terhadap hak milik musuh itu. menyita hak milik musuh dalam perjuangan yang dahsyat dan mungkin lama ini buat proletar perindustrian dan pertanian Indonesia pertama sekali ialah satu “jaminan” yang pasti bahwa mereka tiada akan dipakai sebagai keledai penarik saja selama perjuangan ada dan kelak sesudah perjuangan akan dilemparkan kembali ke bawah telapak kaki-kapitalis-nasional, atau kapital asing. Tak satu hurufpun bisa dikurangi dan perkataan menyita itu. Ini bukannya perkara “taktis atau tidak” melainkan perkara sikap kapital umumnya dan Pemerintah Sukarno-Hatta khususnya terhadap kaum buruh dan perkara timbul tenggelamnya Kaum Buruh Indonesia sebagai kaum. Kaum Buruh Indonesia yang sedang mencurahkan tenaga dan darahnya dalam perjuangan ini, dan sudah mencurahkan keringat dan darahnya selama 350 tahun di bawah Belanda dan 3 ½ tahun di bawah Jepang, pada ketika karangan ini ditulis sebenarnya sudah menjalankan program menyita itu di mana-mana.
Jika Pemerintah Sukarno-Hatta atau kapital asing kelak mau mengambil kembali pabrik, tambang, kebun musuh itu dan tangannya kaum buruh, maka dia akan berhadapan dengan kaum buruh Indonesia yang sudah mengambil sebagian besar sekali dalam perjuangan kemerdekaan ini. Kaum buruh tidak mau mengembalikan harta musuh itu. Inilah artinya menyita hak milik musuh.
Pasal 1 dalam Minimum Program, ialah berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100% adalah rapat sekali hubungannya dengan pasal 6 dan 7, yakni perkara menyita perindustrian dan pertanian. Kalau Pasal itu diterima tetapi pasal 6 dan 7 ditolak oleh Pemerintah Sukarno-Hatta, maka ini berarti Pemerintah setuju menuntut kemerdekaan 100% tetapi memberi kemungkinan membenarkan kapital-asing kembali bermaharajalela di Indonesia. Persatuan Perjuangan berpendapat, bahwa dalam hal tersebut, di atas kemerdekaan politik nasional yang 100% itu akan segera pula 100% dibatalkan oleh kapital-asing Inggris-Belanda, walaupun umpamanya oleh Anglo-Dutch Shell saja; apalagi oleh Internasional kapital kalau semuanya dikembalikan seperti semula.
Inilah kupasan kita dalam garis besarnya tentang Program Pemerintah itu.
Marilah sekarang kita adakan kritik dengan ringkas saja terhadap Pasal itu, satu-persatu, Program Pemerintah berbunyi:
1.      Berunding atas pengakuan Negara Republik Indonesia (100%) Minimum Program Persatuan Perjuangan berbunyi:
Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100%.
Dilihat sepintas lalu makna kedua tuntutan itu sama. Tetapi sebenarnya lebih penting buat soal perundingan ini ialah perkara dasar atau syarat atau kapan perundingan itu bisa dijalankan.
Program Persatuan Perjuangan Purwokerto lebih sempurna dalam hal itu. bunyinya: “Berunding atas Kemerdekaan 100%, sesudah tentara  asing meninggalkan pantai dan lautan Indonesia”. (Di belakang ini ditambah lagi syarat perundingan itu dengan tuntutan lebih dahulu “melepaskan semua tawanan (pemuda) yang ditangan Nica dan melenyapkan Pemerintahan Nica di semua tempat yang diduduki Sekutu”).
Menurut isi formule Purwokerto itu, sebelumnya musuh meninggalkan pantai dan lautan Indonesia, maka Pemerintah Indonesia tak disetujui berunding.
Kebenaran tuntutan Purwokerto dua bulan lampau itu sekarang dikuatkan pula oleh tuntutan Rakyat Mesir dan 100 juta bangsa Arab ialah menuntut “diusirnya” tentara Inggris dan Mesir lebih dahulu sebelumnya. Pemerintah Mesir diizinkan oleh Rakyat Berunding dengan “Kancil” Inggris. Pun Independent Labour Party di Inggris menuntut supaya tentara Inggris diusir dari Hindustan. Demikianlah pula sesudahnya tuntutan Purwokerto dinyatakan, maka 9 Perkumpulan Besar di Amerika menuntut supaya tentara Inggris ditarik kembali dari Indonesia.

Sayang Persatuan Perjuangan tak dapat pengakuan umum tentang kebenaran tuntutan kebenaran tuntutan Purwokerto tadi. Banyak diantara anggota Persatuan Perjuangan yang merasa bahwa tuntutan Purwokerto itu terlalu berat. Sebab itulah maka dipendekkan seperti tuntutan sekarang. Tetapi tiadalah boleh disangkal bahwa tuntutan sekarang kurang jelas (explecit). Lantaran kurang jelasnya inilah maka bermacam-macam kawat yang dikirimkan oleh berbagai bagai Cabang Persatuan Perjuangan di Jawa dan di Sumatra kepada Pemerintah yang bersifat ragu-ragu dan setengah-setengah.
Apalagi pula kalau dasar, syarat atau kapannya perundingan itu mesti disusun seperti formulenya Pemerintah.
Pasal 2 Program Pemerintah rupanya sepadan dengan Pasal 3 Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Program Pemerintah berbunyi
Mempersiapkan Rakyat dan Negara di segala lapangan politik, ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Minimum Program Persatuan Perjuangan berbunyi:
Tentara Rakyat (dalam arti sesuainya haluan Tentara dengan kemauan Rakyat)
Perbedaan Pemerintah dan Persatuan Perjuangan di sini amat jelas dan amat besar. Persatuan Perjuangan tidak lagi “mempersiapkan” tetapi “sudah” mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, seperti niat di atas.
Pada Kongres Solo 27 Pebruari tahun ini semua Wakil Persatuan Perjuangan sudah mufakat sebulat-bulatnya “menggempur” Pemerintah Inggris-Nica di Jawa Barat, yang dianggap sebagai penyakit menular yang hingga pada sebagian Negara Indonesia. Bagian yang dihinggapi penyakit menular itu pasti dipotong dan dilenyapkan sebelum membawa runtuh seluruh Republik Indonesia.
Meskipun putusan Solo itu baru berusia satu bulan saja, tetapi rencana yang berhubungan dengan “politik”, ketentaraan, ekonomi dan sosial” seperti diniatkan oleh Pemerintah itu bagi Persatuan Perjuangan tidak lagi tinggal niat belaka, melainkan sudah menjadi tindakan yang sudah dijalankan.

Bagian politik, ekonomi dan pertahanan Persatuan Perjuangan sudah bekerja ke jurusan itu. cuma Persatuan Perjuangan tak bisa, tak boleh dan tak perlu mengumumkan semua tindakannya itu berhubung dengan telinga Nica di mana-mana tempat. Pula berhubungan dengan gerak-geriknya Inggris-Nica, yang memerangi Rakyat Indonesi zonder pengumuman perang.
Pasal 3 Program Pemerintah sepadan pula dengan Pasal 2 Persatuan Perjuangan.
Program Pemerintah berbunyi : 3. Mencapai susunan Pemerintah Pusat dan Daerah yang demokratis.
Minimum Program Persatuan Perjuangan berbunyi:
Pemerintah Rakyat (dalam arti sesuainya haluan Pemerintah dengan haluan rakyat)
Sampai ke mana “demokratisnya Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimaksudkan oleh Pemerintah itu tiadalah jelas buat kami.
Dalam arti umumnya Pemerintah yang demokratis itu ialah Pemerintah yang dibikin “oleh” Rakyat, “buat” Rakyat dan “dari” Rakyat.
Dalam Negara yang mempunyai kurang lebih 93% Rakyat buta huruf di masa perang pula, apalagi bilamana musuh sudah di tengah-tengah kita, sudahlah tentu dasar pemilihan semacam itu, tak bisa dan tak perlu dijalankan. Mungkin Pemerintah juga tiada bersikap atas dasar demokratis semacam  itu.
Tetapi bagaimanapun juga yang tiada dapat disingkirkan dalam satu pemilihan demokratis ialah: mempertimbangkan “merit”, verdienste yang menguntungkan dan “demerit” yang merugikan (Negara), semuanya mereka dengan tak ada kecualinya, para calon yang ingin menduduki kursi Pemerintahan Pusat dan Daerah itu, semenjak mereka melakukan kewajibannya terhadap Negara.
Supaya lebih tegas dan agaknya lebih actueel, ialah tepat-bukti baiklah kami kutip dengan penuh apa yang dituliskan oleh Perdana Menteri Syahrir dalam “Perjuangan Kita” sebelum beliau mendapat pekerjaan sebagai Perdana Menteri sekarang.
Dalam Perjuangan Kita, halaman 24, Revolusi dan Pembersihan, termaktub: Bahwa revolusi kita ini harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernaha membudak pada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis Militer Jepang.
Perjuangan demokrasi revolusioner itu memulai dengan membersihkan diri dari noda-noda fasis Jepang, mengungkung penglihatan orang-orang yang jiwanya masih terpengaruh oleh propaganda Jepang dan pendidikan Jepang.
Orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatan kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita (orang-orang yang pernah bekerja di dalam proganda polisi rahasia Jepang, umumnya dalam usaha kolonne ke 5 Jepang). Orang-orang itu harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan dan harus diperbedakan dari kaum buruh biasa dan bekerja hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi sekalian polietike collaboraten dengan fasis Jepang, seperti yang disebutkan di atas harus dipandang sebagai fasis sendiri atau anjing dan kaki tangan Jepang dan tentu sudah berdosa dan berkhianat kepada perjuangan revolusi Rakyat.
Negara Republik Indonesia yang kita jadikan alat dalam revolusi rakyat kita, harus kita jadikan perjuangan demokratis, dibersihkan dari sisa-sisa Jepang dan fasisme.
Undang-Undang Dasar yang belum sempurna demokratis itu ditukar dengan Undang-Undang Dasar demokrasi tulen, yang menerakan sebagai pokok segala susunan negara adalah hak-hak pokok rakyat, yaitu hal-hal kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan mendapat pendidikan, turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan Negara dan hak memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus Negara.
Tajam sekali penanya Perdanan Menteri yang ditujukan kepada satu “golongan Nasionalistis” yang tertentu itu, kita semuanya maklum, golongan mana yang dimaksudkan.
Tetapi apakah “perjuangan demokrasi revolusioner” yang dimaksudkan Perdana Menteri itu mesti “membersihkan” dari semuanya “yang sudah menjual” “jiwa kehormatannya” kepada fasis Jepang itu atau sebagian saja.
Persatuan Perjuangan berpendapat “belum” waktunya dalam perang ini mempertimbangkan “merit” dan “demerit” semua para calon dalam sesuatu pemilihan yang demokratis. Pemilihan yang semacam itu terpaksa akan membawa perdebatan habis-habisan dalam semua penyurat-kabaran dan permusyawaratan kalau tidak ala Amerika, sekurangnya ala Perancis atau Belanda.
Mungkin pemilihan demokratis semacam itu akan menambah kekacauan semata-mata dan memberi keuntungan sebesar-besarnya kepada musuh, pemilihan perlu dan perlu sekarang juga. Tetapi bukanlah seperti pemilihan di waktu damai, melainkan secara saringan yang revolusioner. Susunan Pemerintah Pusat dan Daerah yang demokratis itupun perlu diadakan sekarang juga.
Tetapi sekarang tiada bisa diadakan susunan yang “damai” demokratis, karena pemilihan “damai” demokratis tak bisa di adakan. Tiada dengan pemilihan damai-demokratis yang mempertimbangkan merit dan demerit itu dengan leluasa bagaimanakah kita memperoleh Pemerintah Pusat dan Daerah yang damai demokratis?
Persatuan Perjuangan pertama sekali menganggap masa sekarang sebagai masa berjuang. Rakyat mesti menolak serangan musuh terhadap kemerdekaan Rakyat Indonesia.
Minimum Program maksudnya pertama sekali mempersatukan puluhan organisasi yang ada. Persatuan itu bukan atas dasar mencari kedudukan di waktu damai, melainkan atas dasar berjuang di masa perang-kemerdekaan. Organisasi Persatuan Perjuangan, bukanlah susunan dalam waktu damai buat melakukan politik damai, melainkan susunan revolusioner buat mempertahankan kemerdekaan. Pemilihan ke dalam Organisasi Persatuan Perjuangan, bukanlah pemilihan dalam waktu damai buat melakukan politik damai, melainkan pemilihan revolusioner buat mempertahankan kemerdekaan Pemilihan ke dalam organisasi Persatuan Perjuangan ialah, pemilihan Rakyat yang revolusioner diantara para pemimpin yang revolusioner yang ikhlas dan berani menghadapi semua kemungkinan kekuatan musuh. Susunan Pemerintah (Pusat dan Daerah) yang kelak dipilih atas dasar revolusioner oleh Rakyat Revolusioner dari golongan revolusioner buat tindakan revolusionerlah yang dikehendaki oleh Persatuan Perjuangan. Inilah yang dimaksudkan dengan Pemerintahan Rakyat, ialah Rakyat Indonesia yang sedang berjuang.
Menilik Hukum “Logical-division”, pembagian dalam hukum berpikir, maka susahlah mencari pemisahan yang pasti antara pasal 4 dan 5. Satu sama lainnya banyak bersamaan, sehingga kita akan terpaksa berulang-ulang menguraikan dua perkara yang sebenarnya satu. Barangkali semangat “Panca Dharma” masih terbayang-bayang  di depan author, atau pembikinnya. Bagaimanapun juga baiklah pasal 4 dan 5 itu dituliskan di bawah ini sekaligus, berturut-turut.
Dua pasal itu akan kita bandingkan pula dengan pasal 6 dan 7 ialah bagian Minimum Program Persatuan Perjuangan yang amat penting.
Program Pemerintah berbunyi:
3.Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan produksi dan pembagian makanan dan pakaian.
4. Tentang perusahaan dan perkebunan yang penting hendaknya oleh Pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya, hingga memenuhi maksud sebagai termaktub dalam undang-undang dasar pasal 33 (hal kesejahteraan sosial).

Pasal 33 tersebut berbunyi:
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas Kekeluargaan.
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3.      Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negaa dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Program Persatuan Perjuangan:
6. Menyita (confiscate, membeslag) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun)
7. Menyita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik,  
    bengkel, tambang, dll)

Tiga perkara yang bisa menimbulkan perbedaan besar antara Program Pemerintah dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan (dan dalam organisasi Persatuan Perjuangan) ialah:
1.      Macamnya barang yang akan dihasilkan (produksi) dan pembagian hasil itu (distribusi).
2.      Caranya menjalankan produksi dan distribusi
3.      Hak milik dan kapital asing.

Berhubung dengan perkara 1, maka kami ingin sekali hendak mengetahui, apakah usaha Pemerintah yang “segiat-giatnya” untuk menyempurnakan produksi dan distribusi (Program Pemerintah pasal 4 itu terbatas pada “pakaian dan makanan” saja). Kita ingin tahu, apakah tiada perlu diberitahukan kepada rakyat, bahwa juga Pemerintah sudah berusaha, atau sedikitnya Inggris-Nica yang terus terang hendak menjajah Indonesia itu? Selamanya Rakyat memasuki medan pertempuran dengan bambu runcing dan sudah merebut bermacam-macam senjata darat, laut dan udara. Tetapi perebutan itu diperoleh dengan banyak korban. Lagi pula belum mencukupi keperluan ratus-ribuan pemuda yang ingin dan siap sedia untuk bertempur. Kita juga tahu, bahwa perkara di mana senjata itu didapat atau dibeli dan berapa atau dibeli tak boleh diumumkan. Tetapi semestinyalah rakyatnya sendiri saja mencari senjata modern dengan bambu runcing, sebagai modal permulaan. Kepercayaan Rakyat terhadap politik dan, diplomasi Pemerintah akan bertambah tinggil serta iman, keprawiraan dan tekad ketabahan rakyat akan bertambah tebal, kalau Pemerintah juga membayangkan perkara penambahan senjata itu. Sebaliknya kalau Pemerintah terus menyembunyikan saja perkara itu; dan di sana-sini dicoba melucuti rakyat yang bersenjata, maka janganlah heran kalau Pemerintah ini tidak saja tak mau mengusir Inggris-Nica, bahkan sebaliknya memberikan kesempatan kepada Inggris-Nica untuk masuk ke tengah-tengah Negara dan Masyarakat Indonesia.
Lagi pula “kegiatan Pemerintah buat menyempurnakan produksi dan pembagian makanan dan pakaian itu” sama sekali belum dirasa oleh Rakyat Murba. Banyak barang dan alat yang dibutuhkan oleh petani, alat pertanian, kain dan lain-lain yang bisa dibikin selama 6 bulan ini, tetapi tiada dibikin. Selama 6 bulan ini, tetapi tiada dibuat. Banyak barang (mobil, ban mobil, senjata, uang dll) yang bisa dilarikan dari tempat yang terancam ke tempat yang aman tetapi tiada dilarikan, sampai akhirnya jatuh ke tangan musuh. Bertimbun-timbun barang  (pakaian, gula, minyak tanah dll) yang sekarang juga bisa dibagi-bagikan kepada Rakyat yang butuh, tetapi dibiarkan begitu saja. Buat siapa?
Sekretariat Persatuan Perjuangan, sudah membuat rencana perkara produksi dan distribusi itu. Kalau kelak dibenarkan oleh Kongres yang akan datang, tanggal 15, 16 dan 17 bulan ini, maka Persatuan Perjuangan akan sampai ke tingkat tindakan yang perlu dan bisa diambil.

Berhubung dengan 2, ialah caranya menjalankan produksi dan distribusi, maka azas “kekeluargaan” itu, yakni Program Pemerintah yang berdasarkan Undang-Undang Dasar pasal 33 itu, amat keras berbau-bau kempei Jepang yang diwariskan oleh Panca Dharma itu kepada pembentuknya. Komentar kami tunda. Merdeka!!!
Bersama kaum buruh, maka Persatuan Perjuangan akan terus terang  menuntut bagian penuh dalam hal mengatur produksi dan distribusi atas azas kekeluargaan, melainkan atas dasar “tenaga dan kemasyarakatan”. Distribusi buat keperluan kota dan desa, sudah acap kali dilakukan oleh kaum buruh dan kaum tani sendiri dengan cara pertukaran barang dan barang. Buruh tani dan rakyat lainnya tak bisa lagi menunggu sampai Pemerintah mengedarkan uang yang kabarnya sedang dicetak tetapi sebagai (proses) percetakannya sudah jatuh ke tangan Nica. Kaum Buruh dan Tani akan membasmi habis-habisan catutan-nasional dan inflasi Nica, dengan cara pertukaran langsung barang dan barang dan dengan memboikot serapat-rapatnya semua tempat yang diduduki oleh Inggris dan Bonekanya ialah Nica.
Berhubung dengan 3 “hak milik dan kapital-Asing” maka selainnya daripada yang sudah disebutkan di atas dan yang tersebut dalam keterangan singkat tentang Minimum Program, maka cuma sedikit lagi yang perlu dikemukakan di sini. Perbedaan paham Pemerintah dengan Persatuan Perjuangan boleh dicari pada Program Pemerintah. Undang-Undang Dasar pasal 33 ayat 2 dan 3 di atas. Menurut program Pemerintah itu; maka “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara...2), serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 3) dikuasai oleh Negara.
Persatuan Perjuangan pertama sekali bertanya, apakah yang dimaksudkan dengan “dikuasai” itu ialah “beheeerd, managed” oleh Negara? Kalau begitu, apakah Negara itu kelak akan menerima kapital-asing memasuki perusahaan yang “dikuasai, beheeerd, managed” oleh Negara Republik Indonesia itu? Kalau “ya”, bagaimanakah kelak kedudukan Kapital Asing itu terhadap Negara?
Lebih penting lagi Persatuan Perjuangan mau tahu, apakah Pemerintah Sukarno-Hatta, kelak akan mengakui “Hak-Milik-Inggris-Nica” (Musuh Republik Indonesia itu) atas “perindustrian dan pertanian Inggris-Nica” yang sekarang sebagian besar sudah “dikuasai”, beheeerd, manages” oleh Negara Republik Indonesia itu?
Pokok kata perkataan “dikuasai” itu tidak menentukan sikap Pemerintah Sukarno-Hatta terhadap Hak-Milik musuh. Perkataan “menyita” yang termaktub dalam pasal 6 dan 7 itu dengan nyata memberi kepastian kepada kaum buruh yang sudah menyita pabrik, tambang dan kebun musuh itu. taktis atau tidak, kaum buruh Indonesia akan mempertahankan hasil tenaga, serta tebusan darah dan jiwanya turun temurun di Indonesia ini. Buat kaum buruh musuh yang kongkrit, nyata, tentang bertanah-air yang berseluk-beluk Hak Milik, Kapitalis dan Imperialis Asing yang ingin mendapatkan kaki-tangan diantara borjuis kecil dan Tengah Indonesia, haruslah tahu akan sikapnya proletar mesin dan tanah Indonesia terhadap Hak Milik Musuh itu!!

Kesimpulan
1.      Umumnya : Tak sama bentuk dan isi Program Pemerintah itu dengan Minimum Program Perjuangan.

Khususnya:
a.       Ke dalam.
Program Pemerintah tak memberi jaminan kekuasaan kepada proletar mesin dan tanah dalam hal memasyarakatkan hak-milik; produksi, distribusi, gaji dan kehidupan sosial. Dengan begitu, maka seandainya kemerdekaan 100% itu tercapai, kaum buruh mungkin kembali ke bawah telapak kakinya Kapitalisme Nasional atau Asing. Dalam suasana Program Pemerintah maka hari depannya kaum proletar mesin dan tanah tetap tinggal gelap, seperti di jaman jajahan.
Minimum Program Persatuan Perjuangan, atas pasal 6 dan 7-nya dengan segala kesadaran memberikan jaminan kekuasaan yang disebut di atas.
Dengan kekuasaan atas hak-milik, produksi, distribusi dan sebagainya itu proletar mesin dan tanah mendapat halaman tempat berdiri untuk menjaga supaya mereka kelak jangan dilemparkan kembali ke bawah telapak kapitalisme-nasional, atau internasional. Cuma terserah kepada proletar Indonesia, apakah mereka kelak akan sanggup mempergunakan kekuasaan tersebut terus-menerus.

b.      Keluar:
Program Pemerintah menutup (walaupun takut-takut) pintu depan terhadap Imperialisme Asing, tetapi membuka pintu belakang seluas-luasnya buat kapital asing. Dengan begitu maka “Negara Republik Indonesia (Merdeka 100%) yang dikehendaki Pemerintah segera akan dirubuhkan 100%.
Minimum Program Persatuan Perjuangan menutup pintu depan dan belakang terhadap Imperialisme Asing. Dengan rencana ekonomi untuk membuat mesin induk (industri berat) yang dilakukan dengan pertukaran bahwa Indonesia dengan mesin Amerika dan Eropa, maka Negara Republik Indonesia betul kelak akan menjadi Negara Merdeka dan terus terjaga kemerdekaanya (yang 100%) itu.

c.       Ke dalam dan keluar
Sikapnya yang penuh kesangsian, kalau terlampau menaksir-lebih (overschatten) kekuatan musuh itu dan terlalu menaksir-rendah (onders-chatten) (undermating) kekuatan Rakyat Murba itu, maka rupanya menurut Program-Pemerintah itu tak ada tindakan pasti yang yang akan diambil dihari depan seperti juga memang tak ada tindakan pasti yang diambil di masa lampau. Dalam Program Pemerintah tak ada disebutkan malah dibayangkan tidak, tindakan yang akan diambil Pemerintah terhadap perlindungan rakyat umumnya, terhadap ribuan pemuda yang diculik, disiksa, dibunuh, terhadap polisi dan Pengadilan Nica di semua bandar dan Kota besar di Jawa dan Seberang. Pun Pemerintah berdiam diri tentang sikap TRI di Banten, Bogor, Sukabumi, dan Bandung yang menahan Rakyat bertindak terhadap Inggris-Nica, tetapi melucuti dan menangkap Rakyat yang mempertahankan Republik Indonesia.

Minimum Program Persatuan Perjuangan tegas terus terang menunjukkan sikap terhadap kecerobohan Inggris Nica, terhadap tawanan Jepang dan Interniran Belanda yang dipakai Inggris membakar kota dan membunuh Rakyat Indonesia. Terus terang pula Minimum Program menyusun semua kekuatan revolusioner di dalam Negara yang berupa politik, ekonomi, sosial dan kemiliteran, dengan maksud yang nyata mendirikan Republik yang betul merdeka, dan terus merdeka.
Akhirulkalam, kepada Pemerintah kita harus berterima kasih, karena ia sudah memaklumkan Programnya. Tetapi kepada semua anggota Persatuan Perjuangan kita wajib memperingatkan, bahwa Program Pemerintah itu tidak sama dengan Minimum Program Persatuan Perjuangan.
Proses yang hebat sedang terjadi baik di kalangan Rakyat, atau pun dalam kalangan Persatuan Perjuangan. Banyak yang dulu musuh, tetapi lantaran jujur, sekarang berada dalam Persatuan Perjuangan. Ada yang dulu masuk ke Persatuan Perjuangan karena tertarik-tarik saja atau mengharapkan pangkat, tetapi sesudahnya krisis Kabinet ini mulai sangsi. Proses memisah dan memilih antara yang opportunist, avontuurlijk dengan yang benar revolusioner sedang bergelora. Persatuan Perjuangan tak  perlu cemas. Keadaan revolusioner akan mendapatkan kawan yang sungguh-sungguh revolusioner di mulut dan di hati. Bahkan sebaliknya kita harus lebih cemas kalau majunya Persatuan Perjuangan  terlampau cepat seperti sekarang. Besar bahaya Persatuan Perjuangan akan lupa daratan.
Dengan memegang teguh disiplin, marilah kita teruskan pekerjaan yang sudah kita mulai sampai pasal 7 Minimum Program yang sudah  mulai menarik mata umum seluruhnya, nasional dan internasional itu betul-betul meresap ke dalam pikiran dan hati sanubari Rakyat Indonesia. Apabila maksud ini tercapai, maka tak ada kekuatan jahiliah yang bisa membendung aliran paham dan akhirnya perbuatan Rakyat itu. Terbujur lalu, terbelintang patah!
Merdeka!!!

































LINGGARJATI DAN
RENVILE

                                                                                                                                        
Untuk menaksir sifat, tujuan akibatnya Perjanjian Linggarjati, yang ditanda tangani pada tanggal 25 Maret 1947 dan Perjanjian Renville, yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, maka perlulah lebih dahulu kita perhatikan suasana, bilamana kedua perjanjian antara Pemerintah Belanda denga Pemerintah Republik diadakan.
Seandainya kedua perjanjian itu diadakan dalam suasana damai, umpamanya dalam waktu antara Perang Dunia Pertama dengan Perang Dunia Kedua, sebagai sesuatu penyesalan dari pihak imperialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas pemerasan penindasan rakyat Indonesia selama lebih 300 tahun, sebagai sikap baru yang ikhlas hendak membetulkan kesalahan lama, sebagai pembayar “Ere-schuld” (hutang kehormatan), maka kedua perjanjian tadi dapat dianggap sebagai suatu kemajuan bagi perjuangan politik Rakyat Indonesia. Tetapi kalau diperhatikan kedua perjanjian itu dibentuk dalam suatu suasana, bilamana Rakyat Indonesia sudah mempergunakan hak mutlaknya, ialah memproklamirkan kemerdekaannya dan dengan sungguh banyak kejayaan, hak mutlaknya pula, ialah membela kehormatan negaranya dengan senjata yang ada padanya, maka kedua perjanjian itu berarti satu kekalahan besar dan bahaya yang tak terhingga bagi kemerdekaan Rakyat dan Republik Indonesia.
Jika di samping itu diperhatikan lagi, bahwa peristiwa pada masa mengadakan perjanjian itu imperialisme Belanda, adalah imperialisme yang gagal sebagai imperialis yang sudah miskin melarat, diinjak-injak facis Jerman selama lebih kurang lima tahun di negaranya sendiri serta dihalaukan ke dalam interneeeringskamp oleh sekepal dua kepal serdadu Jepang dan di hina, ditampar dan diperkosa oleh Jepang di depan mata rakyat Indonesia sendiri, selama tiga setengah tahun, maka perjanjian Linggarjati dan Renville itu adalah satu kemenangan Belanda yang tiada disangka-sangka, boleh jadi juga oleh Bangsa Belanda sendiri.
Tak boleh disangkal, bahwa Belanda dalam perundingan di Linggarjati, sambil mempertahankan “onderwerp overeenkomst-nya” (rencana perjanjiannya), yang terdiri atas 17 pasal (18 pasal dengan 1 pasal penutup) dengan diplomasi mulut manis, gertak dan janji kosong; dengan 100% bantuan “wasit” Clark Kerr dan Killearn, yang mempunyai kepentingan sendiri di Indonesia ini tak kurang pula dari 100%, maka Belanda dengan perubahan sedikit saja bagi “onderwerp overeenkomst-nya” itu melondong hanyutkan “usul Indonesia” yang terdiri dari 9 pasal (sepuluh pasal dengan pasal penutup). Ringkasnya Belanda dengan Linggarjatinya saja sudah jaya mengembalikan jajahannya di bumi Indonesia ini dalam bentuk bungkusan baru, yang mudah sekali meragukan hati rakyat Indonesia dan menyilaukan mata dunia internasional.
Walaupun perjanjian tadi di pandang dari sudut kemerdekaan, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus itu adalah satu kemunduran, bahwa satu pengkhianatan diplomasi, tetapi tiadalah pula dapat disangkal keberaniannya pihak para diplomat Indonesia, terutama dalam waktu penandatanganan, yang menganggap Perjanjian Linggarjati itu, sebagai satu kemenangan diplomasi, satu kemenangan yang dapat dipakai sebagai “batu loncatan”, sebagai “adem pauze” untuk “menukar banyak dengan traktor” dan untuk “menukar bambu runcing dengan tommy-gun dan pesawat terbang”.
Memang pula, kalau pengsulapan 9 pasal usul Indonesia bisa menjadi 17 pasal usul Belanda itu bisa di anggap satu kemenangan diplomasi, maka benarlah pula diplomasi Indonesia itu adalah satu keunggulan diplomasi dalam arti diplomasi unggul-unggulan.
Bermula dalam hakekatnya maka menurut Linggarjati Daerah dan rakyat Indonesia sudah dibagi-bagi antara de-facto Jawa-Sumatera dan daerah sisa Indonesia, antara 50 juta penduduk Jawa-Sumatra dengan 20 juta penduduk sisa Indonesia. Yang tak kurang pula pentingnya, ialah dengan pengakuan Mahkota Belanda, maka kekuasaan tertinggi, kedaulatan atau Sovereinity Republik (yang semestinya undivisible and unalionable, tak boleh dibagi-bagi dan dipindahkan) sudah dibagi-bagi dan dipindahkan ke Bangsa Asing, walaupun, dan “katanya” pula cuma buat sementara waktu saja. Akhirnya, tetapi tak punya kurang pentingnya ialah dengan pengakuan dan pengembalian hak milik Belanda, yakni musuh Republik 100%, menurut pasal 14 Linggarjati, maka kekuasaan politik rakyat Indonesia kelak akan menjadi fata morgana, bayangan lamunan semata.
Seolah-olah mode, kehabisanlah bagi orang cerdik pandai di masa sekarang, termasuk juga orang dalam kehakiman dan kejaksaan dan berpendapat, bahwa “di dunia” ini tak ada negara yang merdeka 100%.
Dalam arti filsafat dan arti absolut, mutlak, maka paham yang cocok dengan paham Belanda, Profesor Romme ini, memangnya tak ada! Orang tidak perlu mempelajari Teori Relativiteitnya Einstein atau Teori Dialektis Materialisme buat memahamkan, bahwa semua benda yang berjiwa atau tidak, tetapi yang bergerak di dunia ini (dan memang semua yang ada di dunia ini bergerak) semuanya itu berseluk beluk, berhubung dengan benda lain dan gerakan lain menurut tempat dan waktu. Atau menurut Frederich Engels, semuanya itu harus ditinjau dalam “Verkettung und Zusammunhang, werden und vergeven...”
Tetapi dalam arti relative (dalam perbandingan barang, benda atau gerakan satu dengan yang lainnya, menurut tempat dan waktu) memangnya ada kemerdekaan 100% itu!
Demikianlah dalam arti relative, tak ada orang yang berpikir sehat, yang bisa menyangkal, bahwa umpamanya negara raksasa seperti Russia dengan penduduknya kurang lebih 200 juta itu, dan Amerika Serikat dengan penduduknya 140 juta itu, adalah dua negara yang merdeka 100%. Pun negara kecil, negara nyamuk seperti negara Swiss, pada masa ini dengan penduduk cuma 5 juta saja, tak pernah orang katakan suatu Negara Jajahan ataupun Setengah Jajahan.
Benar sesuatu perjanjian militer, perjanjian diplomasi atau perjanjian dagang dapat mengikat sesuatu negara besar atau kecil tersebut di atas kepala sesuatu negara lain, jadi dalam arti relative memangnya terikat, jadi mengurangi kemerdekaan yang 100% tadi dengan x%, tetapi negara lain yang berjanji itupun harus mengurangi kemerdekaannya dengan x% pula. Ringkasnya kedua-duanya harus masing-masing mengurangi kemerdekaan 100% dengan x%. tetapi dapatkah Rusia, Amerika Serikat ataupun Swiss, negara nyamuk ini dikurangi kemerdekaan militer, diplomasi atau dagangnya begitu saja dengan tiada persetujuan rakyatnya, yang bisa melahirkan suaranya dengan perantaraan Dewan Perwakilan yang disahkan pada masa itu? Ataukah salah satu dari negara tersebut menerima sesuatu perjanjian yang cuma menguntungkan pihak lain saja, seperti kejadian dengan Tiongkok di masa dia terikat oleh equal-treaty (perjanjian pincang) seperti digelari oleh Almarhum Dr. Sun Yat Sen?
Tampaklah sudah, bahwa merdeka 100% itu tidak berarti absolute, mutlak, melainkan relative, ialah menurut perhubungan, seluk-beluk, perbandingan dan gerakan timbul, tumbuh dan tumbangnya. Bagaimanapun juga negara besar atau kecil tersebut diatas adalah merdeka 100% buat mengadakan perjanjian militer, diplomasi atau dagang dengan negara lain menurut kehendak dan persetujuan rakyatnya, walupun dalam masyarakat demokratis kapitalistis kehendak dan persetujuan rakyat itu tebatas. Dan dengan kemerdekaan 100% pula negara besar atau kecil itu mengurangi kemerdekaannya dengan x% dan menabungkan (pooling together!) yang x% itu ke dalam tabung bersama, celengan bersama yakni perjanjian bersama atas keikhlasan bersama. Maka menurut perhitungan masing-masing perjanjian itu memberikan keuntungan y% kepada masing-masingnya. Lagipula perjanjian itu tiada pula mengikat kedua belah pihak buat selama-lamanya, melainkan cuma buat selama waktu yang sudah ditetapkan bersama lebih dahulu dan biasanya salah satu pihak merdeka membatalkannya kalau kelak ternyata merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Syahdan, dalam keadaan seperti di ataslah, di mana tiap-tiap negara yang merdeka 100% dengan sukarela mengurangi dan menabungkan x% kemerdekaannya untuk sama-sama memperoleh keuntungan y%, jika yang satu dibandingkan dengan yang lain (relative) masih merdeka 100%
Memangnya pula, kalau Indonesia dengan Belanda jika seandainya “Belandalah” pula, yang disukai oleh Rakyat Indonesia diantara semua bangsa dan Negara di seluruh dunia ini!!! Jadi kalau Indonesia sebagai negara Merdeka 100%, menghendaki perjanjian ikhlas merdeka dengan Belanda sebagai Negara Merdeka pula, atas dasar sama rata, perjanjian mana yang menguntungkan pula bagi kedua belah pihak, maka perjanjian semacam itu boleh diminta pertimbangannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang sah itu tidak menyetujui perjanjian itu, atau menghendaki perjanjian yang semacam itu dengan negara lain daripada negara Belanda, maka perjanjian dengan negara Belanda itu tidak boleh diteruskan.
Tetapi perjanjian Linggarjati (apalagi perjanjian Renville) yang keduanya mengurangai kemerdekaan Indonesia dalam hal urusan luar negeri, kemiliteran, keuangan, perekonomian dan kebudayaan, entah sampai berapa % dan menguntungkan kepada Belanda, sedangkan sebaliknya Bangsa Indonesia tiada boleh mengurangi kemerdekaan perekonomian, keuangan, kemiliteran, diplomasi dan kebudayaan Belanda di Nederland...! Maka perjanjian yang tersebut di atas itu, adalah melanggar arti Proklamasi 17 Agustus dan terang-terangan membawa Indonesia kembali ke status penjajahan, cuma dalam bentuk bungkusan baru saja.
Apakah sebenarnya yang menentukan sifatnya, essencenya, patinya sesuatu perhubungan antara negara dengan negara atau antara satu masyarakat dengan masyarakat lain?
Buat saya bukanlah bentuk politiknya saja!
Memang bentuk politik bisa memberikan Schijnmacht, satu kekuasaan khayal. Tetapi perbandingan kekuasaan yang sebenarnya adalah terletak pada perbandingan kekuasaan ekonomi, yang dipegang oleh masing-masing pihak, dalam perhubungan ke duan negara atau masyarakat itu.
Walaupun hampir semua Negara Amerika Tengah dan Selatan dalam bentuk politiknya adalah Negara Merdeka, tetapi dengan merajalelanya kekuasaan ekonomi dan terutama keuangan Amerika Serikat (finance-capital) maka kemerdekaan politiknya hampir negara Amerika Tengah dan Selatan itu adalah satu khayal belaka.
Meskipun Canada, namanya Dominion Inggris, tetapi karena Amerikalah yang mempunyai kepentingan ekonomi yang terbesar di Canada itu, maka sesungguhnya kekuasaan tertinggi atas Dominion Canada sudah lama terpendam di Wall-Street, New York, dalam kas-nya Bank di sana.
Dengan pandangan seperti di atas, maka sekarang (Maret 1948) kalau kita memperhatikan Perjanjian Linggarjati, dan Renville, maka haruslah kita lebih dahulu menanyakan, dari sudut manakah yang harus kita pandang kedua perjanjian tersebut: dari sudut politik sajakah? Atau dari sudut ekonomi sajakah? Ataukah dari kedua sudut ialah politik dan ekonomi tetapi tercerai-berai satu sama lainnya? Ataukah dari kedua sudut politik dan ekonomi yang harus dianggap berseluk beluk dan kena mengenai?
Dengan pertanyaan lain, dengan cara berpikir logis, yuridis, staatsrechtelijk sajalah atau dengan cara berpikir dialektis yang berdasarkan pandangan materialisme?
Bagi saya terutama sekali dan pertama sekali, ialah dari sudut ekonomi dan dengan cara berpikir dialektis yang bersandar pada pandangan materialisme.
Ini berarti, bahwa perkara politik itu tiada penting! Bahkan tak kurang pentingnya, kalau ditafsirkan, bahwa politik itu adalah pemusatan ekonomi (consentration of economy)!
Jadi dari sudut perekonomianlah kita harus memandang lebih dahulu, karena perhubungan ekonomilah kelak pada titik terakhirnya yang akan menentukan perhubungan politik antara rakyat Indonesia dengan Belanda. Dari sudut perekonomianlah saya akan menghampiri dan mempersoalkan Perjanjian Linggarjati dan Renville itu.
Bahwasanya jika kelak Kapital Asing akan terus merajalela di Indonesia, seperti sebelum tahun 1942, maka politik imperialisme pula yang akan merajalela di Republik Indonesia di kemudian hari. Dalam hal itu, maka kelak kemerdekaan Republik adalah kata yang tidak isi, kata kosong atau omong kosong! Kemerdekaan 100% yang diproklamirkan oleh Rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka oleh pengembalian semua Milik Asing (Negara Sahabat ataupun Negara Musuh!) segera kelak akan merosot entah sampai berapa persen.
Jika sebaliknya semenjak permulaan berdirinya Republik, sebagian besar dari perekonomian Indonesia (perindustrian, perkebunan, pertambangan, keuangan, export-import dll)! dimiliki dikuasai dan dikerjakan (owned managed and operation) oleh Rakyat Indonesia sendiri, untuk Rakyat Indonesia sendiri, maka adalah pengharapan bahwa kelak kekuasaan tertinggi, Kedaulatan Rakyat Indonesia ke dalam dan ke luar negeri akan terancam.
Berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat kapitalis-imperialis par exelence, ialah di Deli, maka tiga puluh tahun lampau saya sudah menuliskan tinjauan saya atas masyarakat Indonesia dan menggambarkan hasil tinjauan itu dalam satu buku dengan nama, yang mengandung pertanyaan (dan jawab!) yakni: Parlemen atau Soviet?
Lebih dari seperempat abad lampau, di tengah-tengah perjuangan Rakyat Indonesia menghadapi Belanda dan berapa dalam persembunyian untuk menghindari buruan imperialisme Belanda, Inggris dan Amerika..saya ulangi lagi!....dalam persembunyian untuk menghindari Belanda, Inggris dan Amerika, maka dalam Brosure: “Naar de Republiek Indonesia” saya wujudkan bentuk Pemerintah Indonesia, sepatutnyalah Bentuk Republik  dan Taktik Strategy, yang harus dijalankan untuk melaksanakan, ialah Massa Aksi.
Lain daripada dua puluh tahun lampau saya keraskan pula cara Massa Aksi buat mencapai kemerdekaan dan Republik tadi dan menolak dengan sekeras-kerasnya jalan yang saya namai Parlementarisme semata-mata, ataupun jalan Putch!
Dalam waktu lebih dari tigapuluh tahun itu belumlah sedikit berubah pandangan saya tentang sifatnya kapitalisme dan imperialisme Belanda; tiadalah berubah pula tujuan saya dalam politik dan ekonomi: serta akhirnya tiadalah sedikitpun berubah paham saya tentang caranya Rakyat Indonesia harus mencapai tujuannya.
Sampai sekarang saya tidak percaya, bahwa akan bisa ada perdamaian kekal, atau dengan istilah baru, akan mungkin, akan terdapat “kerjasama” yang kekal antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat Indonesia selama asing umumnya dan Belanda khususnya masih memegang kekuasaan kapitalnya seperti dahulu.
Saya masih yakin, bahwa kekuasaan Kapital Asing umumnya dan kekuasaan Kapital Belanda khususnya, ditengah-tengah rakyat dan di atas bumi Indonesia harus dilenyapkan terlebih dahulu sampai ke akar-akarnya, barulah Rakyat Indonesia dapat bernafas dengan lega dan mulai menginjak jalan kemajuan dalam semua lapangan. (Tentulah Modal Asing yang tiada memegang kekuasaan politik dan tidak mempengaruhi jalannya politik Dalam dan Luar Negeri akan dipertimbangkan.
Tetapi ini cuma bisa berlaku, kalau Negara Indonesia sudah mendapatkan jaminan cukup buat kemerdekaannya!)
Sayapun dari dahulu insyaf, bahwa Kapital Asing dari Negara Sahabat tiada begitu saja dapat dilenyapkan! Tetapi kecerobohan Belanda terhadap Republik Indonesia ini, bagi saya adalah satu “golden oppurtunity”, satu saat baik, buat bertindak dan menempatkan Belanda pada tempat yang cocok dengan lakonnya sebagai Negara Penjajah yang sudah terbanting dan terpelanting pada 8 Maret 1942.
Dengan lenyapnya kapitalisme Belanda dari Bumi Indonesia ini, dengan senjata ekonomi yang akan pindah ke tangan Rakyat Indonesia dari tangan kapitalisme Belanda itu, maka rakyat Indonesia akan mendapatkan “modal bermula” (initial capital) untuk membela dan memperdalam kemerdekaan serta mempertinggi kemakmurannya. Dengan demikian dan secara jual-beli, maka Rakyat Indonesia kelak akan sanggup membeli kembali sisa perusahaan asing sekaligus atas berangsur-angsur dan mengadakan perhubungan dan dagang dengan bangsa Belanda atas dasar kemerdekaan dan persetujuan ikhlas dari kedua belah pihak.
Tetapi dengan membiarkan bulat kembalinya Kapital Belanda, maka rakyat Indonesia, walaupun “digelari” merdeka, nasibnya akan sama saja dengan para pedagang kelontong yang mau bersaing dengan pedagang besar-besaran. Dalam teori bisa dipikirkan persaingan semacam itu akan dapat memberikan hasil! Mungkin satu dua orang tukang kelontong bisa jaya, tetapi sebagai golongan, maka golongan tukang kelontong akan tetap berada di bawah haribaan golongan saudagar besar-besaran. Demikianlah pula, jika semuanya kebun, tambang, pabrik, pengangkutan dan Bank Asing, yang menurut dasar ekonomi sudah mengambil tempat yang strategis dalam perekonomian di Indonesia akan diduduki kembali oleh bangsa Asing, maka semua percobaan saudagar kecil dan perusahaan kecil Indonesia dengan cara apapun juga untuk persaingan dengan Kapital Asing yang bekerja besar-besaran dan modern itu, akan sia-sia belaka. Atau dengan perkataan asing akan berarti Don Quixottory! Satu Don Quixottory-lah pula pahamnya beberapa ekono borjuis kecil Indonesia, atau paham mereka yang menamai dirinya “sosialis”, bahwa dengan mengadakan 13 macam undang-undang, maka kelak Kapital Asing akan bisa ditundukkan atau dikendalikan.
Saya terlampau banyak menyaksikan contoh yang hidup di negeri lain; tak bisa lagi percaya kepada omongan borjuis kecil dan sosialis Indonesia seperti itu. Pertentangan kapitalis imperialis Belanda dengan Rakyat Terjajah Indonesia saya anggap “irrecencileable”, tak bisa diperdamaikan. Salah satunya harus menang atau lenyap dalam perjuangan yang tidak kenal damai.
Maka berhubungan denga pertentangan antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat terjajah Indonesia, antara pemeras penindas Belanda dengan terperas-tertindas Indoneisa inilah, maka satu Pemerintahan yang berdasarkan Parlementarisme Tulen, satu, Pemerintahan yang berdasarkan suara terbanyak (mayority), satu Pemerintahan Demokratis dalam Masyarakat Indonesia, dimana Kapital Belanda dan Asing lain kembali rekenkunding, ataupun dengan perhitungan jari saja, boleh dikatakan, bahwa sekepal dua kepal Belanda kapitalis-imperialis itu tak akan mau diperintahi, diatur kepentingan ekonominya oleh 70 juta Bangsa Indonesia, yang 99 % terdiri dari burger-kecil, dan  Rakyat Murba, ialah golongan rakyat yang tak berpunya apa-apa lagi, kecuali tenaganya. Belanda mustahil akan percaya kepada Pemerintah Demokratis semacam itu dan Belanda akan mendapatkan 1001 macam akal bulus buat memperkosa dan memalsukan demokrasi dan Parlementariasme dengan maksud hendak melaksanakan kekuasaan ekonomi mereka, sesungguhnya, yakni: Melaksanakan paksaan golongan Yang Terkecil, tetapi Berpunya atas Golongan Terbanyak, tetapi Tidak Berpunya.
Dengan adanya benteng perekonomian Indonesia di tangan Asing, maka kelak bentuk Pemerintahan Demokratis, yang bisa dibolehkan Belanda, adalah salah satu “Volksraad” dengan sedikit perubahan, di mana perbandingan kekuasaan Ekonomi Asing Modern dengan kekuatan Ekonomi Indonesia terbayang dengan jelas.
Menghendaki satu Parlementarisme Tulen di Indonesia, di mana 70 juta bangsa Indonesia dengan Suara Terbanyaknya, akan dapat memberantas atau mengendali Kapitalisme Asing, yang akan tetap terus diakui segala haknya, samalah adanya dengan sikap seorang fakir-pertapa, yang dalam otaknya menciptakan seekor ular-tedung yang tiada berbisa. Biarlah fakir pertapa itu mencoba bermain-main dengan ular-tedung itu ataupun membiarkan anak-anaknya bermain-main dengan ular tedung itu. Tetapi oleh kami, ular tedung itu tak akan dipercaya atau akan diberi ampun. Kalau perlu, maka fakir pertama yang mencoba memasukkan ular tedung ke dalam rumah kami itupun akan kami singkirkan bersama-sama ular tedung itu.
Biarlah borjuis-kecil atau mereka yang menamai dirinya sosialis itu menciptakan “Pemerintah-Bersama” antara Kapitalis-Imperialis Belanda dengan Rakyat-Terperas Tertindas Indonesia!!!
Selama tinggal ciptaan saja, kami akan membalas ciptaan itu dengan anti propaganda saja. Tetapi kalau mereka terus menerus membela “Pemerintahan-Bersama” semacam itu dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu, dengan bentuk manapun atau nama apapun juga dan mencoba menjalankan “Pemerintah Bersama” semacam itu, kami berasa berkewajiban pula menolak dan membatalka semuanya itu, dengan segala ikhtiar dan  tenaga yang ada pada kami. Kami anggap Hak mereka tadi untuk memasukkan “Pemerintah-Bersama” semacam itu ke masyarakat dan Bumi Indonesia, yang sudah merdeka 100% semenjak 17 Agustus 1945, tiadalah lebih daripada Hak kami membela terus kemerdekaan 100% dan kami akan tetap menganggap sesuatu “Pemerintahan-Bersama” itu sesuatu penghianatan terhadap Proklamasi.
“Nuchtere Realiteit” akhirnya.
Ketiga: Bahwa Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville adalah satu bukti, bahwa kapitalis-imperialis Belanda 100% berdiri atas “nurchtere realiteit”, ialah atas perbandingan tepat antara kekusaan ekonomi Belanda” di masa “Hindia Belanda” dengan perekonomian Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Renville menggambarkan dengan tepat perbandingan Kekuasaan Ekonomi di masa jajahan.
Syahdan, dengan pandangan yang terpaksa agak panjang ini, terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville, maka baiklah juga saya selidiki beberapa pasal dalam perjanjian itu.
Karena dalam Perundingan, yang mendapatkan Renvile Principles Perjanjian Linggarjati jugalah yang dijadikan sandaran, walaupun kedua-belah pihak sudah pernah membatalkan Perjanjian Linggarjati itu, maka baiklah kupasan yang berikut ini saya pusatkan kepada Perjanjian Linggarjati saja. Oleh karena Perjanjian Linggarjati itu sudah cukup dikenal timbul, tumbuh dan kembangnya, maka sudahlah cukup pula, kalau penyelidikan ini saya tujukan kepada beberapa pasal saja.
Tentulah karena berada di dalam penjara selama lebih dari dua tahun ini (Maret 1948) maka saya tidak sanggup mendapat laporan yang dilakukan atas nama Republik, baik dengan terbuka ataupun dengan rahasia oleh Syahrir dengan Kerr-Killearn dan Van Mook ataupun Amir dengan Van Hoogsraten, Idenburg dan Van Mook. Saya juga tidak mengetahui, “Notulen Rahasia”, korespondensi antara Delegasi Indonesia dengan Delegasi Belanda; isi pidato Mi’raj Nabi oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain pun akhirnya tidak saya ketahui.
Tetapi walaupun demikian, tidaklah berarti, bahwa saya akan terserah begitu saja, tak berdaya menaksir nilainya Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Saya sudah dapat membaca Perjanjian Linggarjati dan Renville pasal demi pasal. Saya juga dapat membaca pidato Yonkman, Prof. Romme dan Belanda terkemuka dll, di negeri Belanda. Teristimewa pula saya sudah dapat menyaksikan “tafsiran” Belanda dan Indonesia terhadap Perjanjian itu dan sampai sekarang (Maret 1948) sudah dapat pula saya satu tahun mengikuti sikap dan tindakan Belanda, sesudahnya penandatanganan Linggarjati setahun lampau.
Seandainya saya cuma dapat membaca pasal 14 saja dari Perjanjian Linggarjati dan tidak mengetahui perkara yang lain-lain, yang saya sebut di atas, maka saya akan sudah merasa sanggup menggambarkan Bingkai Politik, Militer dan Urusan Luar Negeri Indonesia di hari depan.
Cuvier, sebagai naturalist di abad ke 18 bisa berkata “Berikanlah saya satu gigi saja dari satu hewan. Saya akan berikan rancangan bentuk seluruhnnya badan hewan itu. demikianlah pula sebagai Materialis, sambil menghampiri sesuatu persoalan masyarakat dengan cara dialektis kami seharusnya dapat berkata: beritahukanlah kepada kami, bagaimana perhubungan ekonomi antara kedua bangsa dan kedua klas itu. kami akan dapa pula membentuk Bingkai politik antara kedua bangsa atau kedua golongan itu.
Economy relation enqendor political and legal atau....act” perhubungan ekonomi menciptakan perhubungan Politik dan Hukum dan sebagainya.” Kata Marx dalam salah satu tempat.
Demikianlah perhubungan ekonomi antara Indonesia Belanda yang digambarkan oleh pasal 14 dalam perjanjian Linggarjati akan menciptakan perhubungan politik, kemiliteran, keuangan, urusan Luar Negeri dan Kebudayaan antara Indonesia dan Nederland. Saya mulailah dengan pasal 14 Linggarjati, karena pasal inilah, yang saya anggap menjadi urat Perjanjian Linggarjati itu. Dengan pasal 14, ialah Perjanjian Ekonomi, sebagai urat, keuangan, urusan Luar Negeri dan kebudayaan sebagai kulit, daun, dan lain-lain, maka akan bangkitlah kembali pohon Penjajahan Belanda seluruhnya, seperti yang dikehendaki oleh zaman baru.
Dengan mendapatkan Linggarjati sebagai satu haidah yang jatuh dari langit, maka Belanda dengan Instinct (naluri) dan Logika seorang Kruidenier, seorang warung, meneropong ke semua kemungkinan buat keuntungan dan kerugian.
Filsafat hidupnya Belanda Kruidenier, ialah “hutang harus dibayar dan piutan harus diterima”. Filsafat hidupnya inilah yang dijadikannya dasar buat Linggarjati dan dasar buat “Hervormde Nederlands Indische Regeering”. Demikianlah harus dipastikan lebih dahulu, bahwa N.I.S (Negara Indonesia Serikat, bunyinya di telinga Delegasi Indonesia, tetapi Nederlands Indische Staat artinya buat Belanda Kruidenier) akan membayar hutang “Hindia Belanda” dahulu, serta semua Perjanjian. Ekonomi yang lama dan yang akan diadakakan harus dijamin pula. Dengan begitu, maka semua Hak dan Milik Belanda atas tanah, pabrik, tambang, kereta, rumah dan gedung yang ada di Indonesia haruslah diakui. Lebih kurang f.4000 juta uang lama, yakni lebih kurang $ USA 1.600 jut hutangnya “Hindia Belanda” mesti dibayar oleh N.I.S dan Hak Milik Asing seharga lebih kurang f.4000,-juta uang lama atau lebih kurang $1600 juta pula harus dikembalikan. Seolah-olah tak ada penyerahan Belanda 8 Maret kepada Jepang dan tak ada pula interneeringskamp bagi Belanda yang tinggal di Indonesia, karen tak bisa lagi lari tunggang-langgang ke Australia mencari tempat yang aman bagi dirinya sambil meninggalkan 70 juta bangsa Indonesia, yang katanya harus diperlindunginya.
Tidak saja begitu N.I.S mesti menjamin, supaya kelak produksi perdagangan, pengangkutan dan keuangan buat mencari untung yang cocok dengan perhitungan seorang Belanda, Tukang Warung jangan terganggu.
Dalam perkara mendapatkan tanah buat disewa, air buat perkebunannya, kaum buruh dan kuli untuk diperkulikan dalam hal mendapatkan alat pengangkutan serta kuli buat angkut-mengangkut dari pedalaman sampai ke pesisir, dari pantai ke pantai di ratusan kepulauan Indonesia, dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di dunia, maka tukang-warung Belanda yang sudah terperanjat dan pingsan melihat semangat baru, yang melayang ke dalam jiwanya Rakyat Indonesia, menghendaki jaminan “rechts en bedrijfszekerheid”, Kepastian Hukum dan Pencaharian.
Dalam perekonomian keamanan buat pulang pergi dari rumah ke kebun, ke tambang dan pabriknya, dan dalam kesenangan hidup! (memangnya tukang warung Belanda pandai mempergunakan segala kenikmatan hidup di dunia ini!) dalam hal keamanan untuk pulang pergi dari kebun ke kota buat mengunjungi restoran, rumah bola, concert, bioskop, rumah dansa, cabaret dan bermacam-macam alat penggembira dirinya sendiri beserta keluarganya, maka tukang warung Belanda yang sudah menyaksikan dahsyatnya bambu runcing tiada begitu saja mempercayakan dirinya kepada “kaum extremis” atau mereka yang dicap seperti itu. demikianlah mereka menuntut “persoonlijke zekerheid”, kepastian keamanan diri.
Menurut maksud bermula, ialah setelah semua kepastian dalam keuangan dan ekonomi, kepastian dalam hukum dan pencaharian, serta kepastian buat keamanan dan kesenangan dirinya itu terjamin, seperti termaktub dalam perjanjian Linggarjati, maka dia akan segera pergi ke Amerika, buat meninjau modal yang akan ditanamkannya di Indonesia.
Dengan kepastian, bahwa kelak, dia akan mendapatkan uang pinzaman sebagai yang dibutuhkannya, maka dia percaya, bahwa pastilah dia kelak akan mendapatkan tanah, air, kuli, bahan dan hasil serta mendapatkan alat pengangkutan serta kuli, mandor dan jurutulis buat mengangkut semua hasil Indonesia itu ke semua pasar kepulauan Indonesia dan di dunia lain.
Si kapitalist mestinya percaya, bahwa kalau ketentraman sudah terjamin, maka dengan tipu, gertak dan sogok, seperti di zaman “Hindia Belanda” dia akan mendapatkan tanah subur yang diperlukannya. Petani yang buta huruf yang kini merasai kekurangan belanja untuk selamatan ini dan itu, lebih daripada di masa sebelum Jepang tentulah dijerat dengan tipu muslihat dan yang uang sogok mandor air dan “B.B. Amtenaar” rendah atau tinggi “niewe stijl” (macam baru) yang selalu pula terikat oleh hutang, tentulah seperti di zaman “Hindia Belanda” akan dapat diikat dengan “rantai emas”. Terutama pula di pulau Jawa, di mana penduduk sudah amat rapat dan setiap tahun bertambah rapatnya dengan tiga perempat juta manusia, sedangkan sebagian besar daripada Rakyat terdiri dari Yang Tak Berpunya apa-apa atau dari Yang Berpunya Tak Cukup, dimana persaingan mencari sesuap nasi dan sepertegak pakaian amat sengit, maka mudah sekali buat kaum kapitalis mendapatkan kaum buruh dengan bayaran rendah. Berapapun juga dimajukan industrialisasi secara kolonial, tiadalah akan mengisap semua proletar atau setengah proletar Indonesia, terutama Jawa. Keadaan “suply and demand”, vraag en aanbond” atau persediaan dan permintaan, tentang tenaga Indonesia, menurut ukuran hidup (standard of living) Rakyat Indonesia dimasa sekarang, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Kapital Asing 1) untuk mengadu dombakan buruh dengan buruh yang ada dalam sesuatu perusahaan; 2) untuk mengadu dombakan buruh yang sudah ada dalam perusahaan dengan yang masih dalam reserve (cadangan buruh diluar perusahaan); 3) untuk mengadu dombakan Pemerintah Nasional dengan kaum buruhnya sendiri.
Dengan begitu, maka Kapital Asing dengan mudah sekali dapat menekan ke bawah upah pekerja sampai ke tingkat hidupnya seorang kuli, mengerjakan kuli selama dikehendaki oleh kaum kapitalis; menggagalkan sesuatu pemogokan dengan mengadakan sistem kaum penjilat (Yellow Union) dan akhirnya menyelundupi dengan jalan sogok atau sistem kaum penjilat segala undang-undang yang mungkin bisa diadakan oleh N.I.S yang sekiranya diatas kertas bisa merupakan jaminan bagi pekerja Indonesia.
Sedangkan di Amerika Serikat, Negara Menang, yang terkaya di dunia; dimana jutaan buruh mempunyai Serikat Sekerja Raksasa seperti A.F.L.dan C.I.O. ; dimana buruh mempunyai hak demokrasi, yang ditetapkan oleh Undang-Undang Negara; di mana persediaan dan permintaan (supply and demand) tentang kaum pekerja lebih banyak menguntungkan kaum buruh di Amerika daripada di Indonesia, di sana pun kaum buruh terpaksa saja berulang-ulang mengadakan pemogokan untuk mengerjar gaji yang terus menerus ketinggalan, disebabkan oleh terus-menerus naiknya harga barang untuk kehidupan sehari-hari. Malangnya pula dengan organisasi buruh di Amerika sebagian kuat; hak demokrasi rakyat begitu besar; dan produksi masyarakat begitu tinggi, tiadalah sanggup kau pekerja Amerika menolak krisis dan pengangguran hebat dan lama. Dan tiada pula kaum pekerja dalam negara, yang katanya paling demokratis itu, bisa menolak larangan pemerintah atas pemogokan umum, ialah hak mutlaknya serta senjata terakhirnya dan terpentingnya buat kaum buruh dalam dunia kapitalisme untuk mendapatkan upah yang lebih cukup, waktu kerja yang lebih singkat, serta pelayanan hidup yang lebih baik.
Seolah-olah golongan “orang kuat”, “Marxist”, “Lenist” dan “Stalinist” Indonesia percaya, bahwa kelak “undang-undang kerja dan sosial” yang akan dibikin (sebelum dan diwaktu N.I.S ??)  akan bisa membendung kekuasaan kapital internasional di Indonesia.
Dalam dunia roman, dunia khayal, tiadalah mengapa, kalau Servantos, pengarang bangsa Spanyol, mengejek Don Quizott, yang ingin mengembalikan keadaan feodal, yang sudah lampau itu ke zaman baru, ke zaman permulaan kapitalisme dalam masyarakat Spanyol. Servantos menggambarkan Don Quizott, sebagai seorang ksatria, yang hendak berkelahi dengan kincir berputar, karena dalam ciptaan kincir berputar itu adalah kaum penyamun, yang sedang menawan seorang gadis remaja yang paling cantik molek. Dalam keadaan begitu muka Pedro, sebagai pengikut yang taat setia mengikut saja, walaupun pikirannya tetap “nuchter” praktis.
Kita dalam dunia “besar hendak melindih” ini tidak bisa mengejek para “Don Quizott” kita saja atau hanya menonton mereka berkelahi menghadapi kincir berputar, ialah Kapital Internasional saja.
Kita harus melarang sama sekali Pedro Murba yang walaupun dengan pikiran nuchter mengikuti tuannya Don Quizott menghadapi kincir berputar itu, ialah Kapital Internasional di Indodnesia supaya mereka, Kaum Murba, jangan terbawa-bawa tergiling oleh perputaran-nya kincir kapital internasional itu.
Yang terang “nucter” dalam dunia diplomasi Indonesia Belanda ini, ialah para tukang warung Belanda. Sambil di pelopori oleh maklumat Wakil Presiden, yang menjanjikan pengembalian Hak Milik Asing pada tanggal 1 November 1945, mereka kruidernies Belanda dalam perjanjian Linggarjati berpegang teguh pada pasal 14 dan memagari pasal ini dengan beberapa pasal lain yang mengenai urusan politik, sosial dan kemiliteran. Bunyinya pasal 14 dalam bahasa Indonesia yang agak kurang lancar di telinga kita orang Indonesia, seakan-akan tulisan itu adalah terjemahan kata demi kata dari bahasa Belanda saja ialah:

Pasal 14:
“Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka, yang dilakukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.”  
Berhubung dengan pasal 14 itu, maka pasal 10 yang erat pula pertaliannya dengan pasal 14 yang berbunyi:
“Anggar-anggar Persekutuan Belanda Indonesia itu antara lain akan mengandung juga ketentuan-ketentuan tentang:
a)      Pertentangan hak-hak kedua belah pihak, yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menepati kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain.
b)      Hal kewarganegaraan untuk warga negara Belanda dan warga negara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya.
c)      Aturan bagaimana cara menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan persekutuan itu tidak dapat dicapai secara mufakat.
d)      Aturan bagaimana dan dengan syarat-syarat apa alat-alat kelengkapan kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak atau kurang cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
e)      Bertanggungan dalam kedua bagian persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebesan yang dimaksudkan juga oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tukang warung Belanda, yang mau menghitung laba rugi lebih dahulu memberikan tafsiran sendiri kepada pasal 14 dan 10 itu. Menteri Yonkman menerangkan sikapnya terhadap kedua pasal tersebut dalam pidatonya di Parlemen Nederlanda; yang dikawatkan oleh ANETA kepada DAGBLAT tanggal 11 Desember 1946, seperti berikut:
“Het zal noodzakelijk zijn, op den grondslag van het hestand en politik accord, ten spoedigste mede overeenstomming te verkrijgen over financieele en economische waar orgen, welke het beginsel van artikel 14 over een breeder terrein uitstrekken, rechts en bedrijfszekerheid onder art, 10a beheerend, nader te omschrijven en bijden opbouw der Federatie en der Unie ook de financieele en economische eischen volledig in acht te nemen”.

Indonesianya:
“Perlu sekali atas dasar pemberhentian tembak-menembak dan persetujuan politik, selekas-lekasnya diperoleh persetujuan keuangan dan ekonomi, yang dimaksud dengan dasarnya pasal 14 dalam arti yang lebih luas, (dan) kepastian hukum dan pencarian (perusahaan) yang termaksud dalam pasal 10a, dijelaskan lebih lanjut dan pada pembentukan Federasi dan Uni juga diperhatikan sepenuh-penuhnya tuntutan keuangan dan ekonomi”
Sekianlah pasal 14 Linggarjati! Sekian pula tafsiran Menteri Yonkman!
Adapun pengakuan pasal 14 yang mengenai hak milik dan pencarian Belanda itu tiadalah tergantung sendirinya di awang-awang saja. Dengan penerimaan pasal 14 itu, itu sebagai akibatnya, haruslah diterima sesuatu yang berkenaan dengan urusan Luar Negeri, urusan Keuangan, urusan Kemiliteran dan urusan Kebudayaan.
Berhubung dengan  itu, maka dipandang dari sudut perekonomian pasal 8, yang termashur buruk karena membatalkan kedaulatan Indonesia, sebenarnya akibat dari pengakuan atas pasal 14, ialah pengembalian hak milik Belanda. Dalam hakekatnya, maka pengembalian ratusan kebun Belanda, bermacam-macam tambang dan pabrik, hampir semuanya alat pengangkutan dan keuangan di Indonesia, berarti memerlukan dan mempermudah pula pengembalian Kedaulatan Belanda ke Indonesia.
Pengembalian Kedaulatan Ekonomi Belanda di Indonesia, esok atau lusa, langsung atau tidak, mengembalikan Kedaulatan Politik Belanda di Indonesia pula.
Sesungguhnya pula diplomat Belanda Inggris dengan pengluasan panggung diplomat “ulung” Indonesia, dan mendapatkan semua hak milik kembali, sendirinya sudah mengembalikan Mahkota Belanda ke Indonesia Merdeka, sama dengan kecepatan Aladdin memperoleh sebuah mahligai emas, setelah mengelus-elus lampu ajaibnya.
Begitulah sebenarnya dengan pengakuan kembalinya economy supremacy Belanda, Kekuasaan Tertinggi Ekonomi Belanda di Indonesia Merdeka, maka urusan Luar Negeri, keuangan, kemiliteran dan kebudayaan nolens volens mau tak mau, akan jatuh ke tangan Belanda. Kalau sudah sampai ke tingkat pengakuan, atas kerja sama dalam urusan luar negeri, kemiliteran dan keuangan itu, maka kedaulatan Belanda atas Indonesia “Merdeka” sudah termasuk walaupun tak disebutkan begitu. Dengan demikian maka Pemerintah Indonesia, apapun juga namanya, sebenarnya sudah menjadi Pemerintah Boneka Belanda.

TENTANG URUSAN EXPORT DAN IMPORT

Dengan adanya lebih dari 90% exportable goods barang yang dapat di perdagangkan ke Luar Negeri di tangan bangsa Asing dengan beradanya 100% alat perkapalan ke Luar Negeri di tangan Belanda atau Asing lain. Dengan beradanya Bank dan Asuransi 100% pula di tangan Belanda atau Asing lain; dengan akhirnya beradanya agencies, tengkulak atau makelar dan kantor dagangnya di pasar asing (Amerika, Eropa, dll) 100% pula di tangan Belanda, maka gila atau edanlah Belanda dan sombong tak tahu dirilah orang Indonesia, yang berani mengatakan, bahwa Belanda dan asing lain akan begitu saja menyerahkan urusan export-import kepada orang Indonesia. Sebanding dengan Share, bagian pedagang Indonesia dalam dagang keluar masuk (export-import) itulah pula, Belanda akan membiarkan Indonesia mengambil bagian kekuasaan dalam hal urusan kedutaan serta Duane.
Kalau bagian Indonesia dalam export-import cuma 10% atau 1%, karena onderneming, tambang dan pabrik berada di tangan asing, maka janganlah “diplomat” Indonesia tercengang, kalau Belanda, sesudah hak miliknya diakui penuh akan menuntut kekuasaan penuh pula. Dengan begitu, maka urusan kedutaan dan kekonsulan, dengan negara asing di mana kepentingan pasar dagang seperti di Amerika dan Eropa, terletak di tangannya Kapital Asing, yang ada di Indonesia, akan sendirinya di kuasai oleh Belanda. Di mana rakyat Indonesia ada sedikit mempunyai kepentingan dagang, seperti dari Siam ke Indonesia, seperti dahulunya; dengan beberapa negara Arab, lantaran urusan agama dan import kain, kurma dan minyak samin dari sana ke sini, maka boleh jadi sekali Belanda kelak, dikemudian hari tak akan berkeberatan membiarkan N.I.S menanam duta atau konsul bangsa Indonesia di tempat tersebut. Tetapi yang terang, ialah Belanda cuma akan mengerjakan segelintir dua Inlanders-alat, sebagai kerani dan opas pada Kedutaan Belanda, di sesuatu negeri luar itu, dimana kepentingan dagan Belandalah yang terbesar.
Itulah akibatnya pengakuan atas Haknya Belanda atas urusan Luar Negeri. Tetapi pengakuan itu membawa akibat buruk pula pada kemajuan perindustrian bangsa Indonesia. Dengan tergantungnya pedagan asing di Indonesia kepada pasar Amerika dan Eropa, maka pasar Indonesia sebaliknya tergantung pula kepada hasil pabrik Amerika, Eropa. Dengan terikatnya Amerika-Eropa kepada getah, minyak, timah, teh, kopi, kina dan lain-lain dari Indonesia, maka Indonesia pun akan diikat pula oleh auto, barang, mesin, barang kimia atau barang listrik Amerika Eropa. “Export pays for import” begitulah bunyinya pepatah dagang kapitalistis, artinya: barang dagang yang di jualkan di luar negeri akan membayar harga barang dagang, yang di beli dari luar negeri. Akibatnya perdagangan semacam ini, bagi Indonesia, walaupun penuh dengan bahan logam dan tumbuhan, walaupun mempunyai kaum pekerja yang pintar, rajin, dan melimpah, yang pertama sekali adalah, Indonesia tak akan berdaya mendirikan kebun, tambang atau pabrik baru, yang jenis hasilnya sudah di miliki, diusahakan dan dimonopoli oleh kapital-internasional yang sangat kuat dan berpengalaman banyak itu. rakyat Indonesia akan terus kalah dalam persaingan mati-matian (“cut throat competition”). Kedua, Bangsa Indonesia tak akan mendapat kesempatan mendirikan sendiri pabrik auto, lokomotif, mesin lain-lain, pabrik kimia, listrik dan atom, pabrik mesin kapal, pesawat terbang, kapal selam, tank dan meriam, dan lain-lain, “pabrik machine making machine” atau pabrik mesin pembikin mesin, yang semuanya perlu untuk kemakmuran dan pembelaan republik Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tak akan sampai menjadi negara berindustri induk, berindustri berat N.I.S cocok dengan watak dan kemauan Belanda pedagang dan kruidenier, akan tetap tinggal negara pertanian dengan selingan industri enteng di sana-sini. Dengan demikian, maka walaupun N.I.S itu akan disebut-sebut berdaulat, maka akan tetap tinggal negara boneka, yang terpaksa mempercayakan pembelian kemerdekaannya kepada “beleidnya” (kebijaksanaan) Belanda, yang lari tunggang-langgang dikejar oleh dua tiga gelintir Jepang pada bulan Maret 1942.

Keuangan I

Akibatnya pengakuan atas semuanya Kapital Asing pada keuangan bangsa Indonesia, tiadalah kurang buruknya daripada yang tersebut di atas.
N.I.S tiadalah akan membenarkan wakil bangsa Indonesia itu mengambil bea yang agak berat atas pengeluaran hasil kebun, tambang dan pabrik Asing, yang berada di Indonesia. Alasan yang sebenarnya, adalah “selv evident” nyata sendirinya. Tak ada sesuatu perusahaan atau seorang manusia yang akan memberatkan dirinya sendiri ataupun mengurangi keuntungan yang diperolehnya. Nafsu kaum saudagar tulen hendak menjadi kaya raya yang tak terbatas itu sudah terkenal di seluruh abad dan di seluruh tempat di dunia ini. dalam mempertahankan kepentingannya sendiri, ama haruslah barang Indonesia itu ditawarkan dengan harga yang semurah-murahnya”. Dengan besarnya bea, atas pengeluaran barang itu, maka naiklah harga barang Indonesia di luar negeri. Dengan demikian, katanya pula, maka barang Indonesia kelak, tak akan bisa bersaing dengan barang asing yang dijual  lebih murah di pasar asing. Lagi pula menurut filsafat dagang tadi juga, maka kaum buruh haruslah dikasih upah serendah-rendahnya, supaya kapitalis Belanda dan Asing lain di Indonesia bisa mendapatkan ongkos yang murah, dan bisa menjual barang dengan harga murah di pasar dunia. Demikianlah pula, katanya, Duane Indonesia janganlah memungut bea yang tinggi atas barang export. Akibatnya yang pertama dari keadaan sedemikian, ialah bahwa dari upah rendah kaum buruh Indonesia, tak bisa dipungut pajak yang besar buat kas negara. Kedua, dari bea barang export yang rendah itupun tak bisa didapatkan uang yang cukup untuk mengisi Kas Negara.
Bukan saja bea atas barang keluar, yaang harus direndahkan, tetapi sendirinya barang masukpun tak bisa dijatuhi cukai yang tinggi. Alasan pertama, ialah diambil dari filsafat dagang, pandangan kruidenier, tukang warung juga, yakni “kalau cukai barang masuk itu terlalu tinggi, maka, katanya, barang itu susah lakunya dalam pasar Indonesia, dan katanya pula, rakyat jugalah, yang akan menderita, karena terpaksa membayar mahal”. Adapula maxim lain, satu pepatah dagang lain, yang mengatakan bahwa, “kalau barang masuk ke Indonesia, yang datang dari luar negeri (Amerika atau Eropa!) dicukai terlampau tinggi, maka negara luar itu kelak akan mengadakan tindakan pembalasan (retaliation-measure) ialah mempertinggi cukai atas barang Indonesia, yang masuk ke negerinya dengan akibat bahwa barang Indonesia itu, katanya, akan susah lakunya di luar negeri”.
Dan ini menurut filsafat Kruidenier akan merugikan rakyat Indonesia pula.
Demikianlah ringkasnya, terbawa akibat buruk atas keuangan negara Indonesia, setelah hak milik Belanda Agresor itu dikembalikan, ialah: Pertama, upah buruh tetap rendah, seperti di zaman “Hindia Belanda”, Kedua, bea atas barang export tetap rendah dan Ketiga, cukai atas barang import tak bisa dipertinggi cukup. Ketiganya mengakibatkan sedikitnya uang yang dapat masuk ke dalam Kas Negara Republik. Sebagian besar daripada nilai lebih (surplus value, Morwert) yang diperas dari keringat pekerja Indonesia akan tetap mengalir keluar negeri, berupa bunga modal, keuntungan, asuransi, pensiun dan lain-lain, yang jatuh ke kantong rentenir (peminjam uang). Kapitalis industri, perkebunan, tambang, pabrik, perkapalan, Bank, asuransi dan perdagangan Asing. Semuanya mereka ini bebas dari tangannya pemungut pajak N.I.S
Keuangan Republik, yang daerahnya entah akan meliputi seluruh Jawa-Sumatera, entah tujuh daerah minus di Jawa Tengah saja, di tambah dengan Minangkabau dan daerah Aceh, yang keduanya, jauh terpencil dari Jawa Tengah dan bahkan pula daerah perindustrian atau perkebunan keuangan Republik, setelah pengakuan pengembalian Hak Milik Asing itu akan menjadi susut kecil, kalau tidak kocar-kacir, ialah hidup tidak, matipun tidak.
Kalau daerah Republik kelak tiada mau rapat dengan daerah lain seperti N.T.T, Borneo, Negara Jawa Barat dan lain-lain itu tak mau pula berdiri sendiri sederajat dengan beberapa Negara Boneka tersebut, melainkan bertentara merdeka, dan berkeuangan merdeka, maka keuangan Republik Merdeka semacam itu akan lebih dalam keadaan melarat lagi dari pada keuangan Tiongkok pedalaman, di mana semua pelabuhan Export-Import dan keuangan dikuasai asing. Akan lebih melarat pula dari keuangan Mexico, dimana tanahnya dimiliki oleh “Hasienderos” Indo Spanyol; tambah dan pengangkutan dimiliki oleh Amerika-Inggris; serta perdagangannya dikuasai oleh Jerman, Perancis dan lain sebagainya.
Dengan melaratnya keuangan, maka akan merosotlah pula pembayaran gaji kepada pegawai administrasi, kepada anggota polisi dan tentara Republik. Dengan merosotnya pegawai, polisi dan tentara itu, maka kelak janganlah “Pemerintah” Indonesia heran, kalau pemogokan, keributan dan coup d’etat dalam negara adalah kejadian sehari-hari, atau menurut pepatah Belanda, adalah “Schering en inslag”. Keadaan semacam itulah yang sudah diteropong lebih dahulu oleh kruidenier Belanda. Keadaan semacam itu, yang dapat merugikan, perusahaan dan perdagangannya di daerah Republik mau dihindarkan oleh Belanda dengan perjanjian “kerjasama” anara Tentara-Polisi Indonesia dengan Tentara-Polisi Belanda.
Tuntutan ini ada tuntutan yang cocok dengan “nuchter realiteit” ialah “nuchter realitiet”-nya kruidenier Belanda.
“Kerjasama” dalam perekonomian, urusan luar negeri, keuangan dan kemiliteran yang rapat antara tujuh (?) Negara Boneka, dalam N.I.S dan kerja sama antara N.I.S dan Nederland-Indonesia, dibawah Mahkota Belanda itu tentulah akan memerlukan kerja sama pula dalam kebudayaan.
Bangsa Belanda yang sudah rusak diinjak-injak selama 3 ½ tahun, di bawah telapak Jepang akan diangkat kembali dan diperjuangkan pula dengan Bahasa Indonesia, yang maju dibawah pemerintahan Jepang dan tumbuh dengan suburnya di masa Republik. Bahasa Belanda yang cuma dikenal oleh beberapa juta manusia yang berdiam lebih kurang 10.000 km jauhnya dari Indonesia itu,  kalau tidak akan menjadi bahasa voortaal, bahasa pengantar lagi, pasti akan mengambil bagian terpenting diantara beberapa bahasa asing, yang harus diajarkan di sekolah Indonesia. Sendirinya kebudayaan Indonesia kelak akan dipengaruhi kembali oleh semangat kruidenier, semangat jual-beli, semangat bercakaran perkara tetek-bengek dalam 1001 macam Partai politik dan semangat tunggang langgang, lari menyelematkan diri, kalau diserang oleh Negara Ceroboh:

Ikhtisar atas pandangan di atas ialah:
1.      Pengakuan atas pengembalian Hak-Milik dan Perusahaan Belanda Ceroboh, akan sendirinya membawa kepada pengakuan atas campur tangannya Belanda dalam urusan luar Negeri, keuangan, kemiliteran dan kebudayaan Negara Boneka atau setengah Boneka, yang dibentuk oleh imperialis Belanda dan disyahkan oleh Pemerintah Republik.
2.      Bentuk “Federasi” atau bentuk manapun juga bagi Indonesia, bentuk “Unie” atau bentuk apapun juga terlaksananya perhubungan Indonesia dengan Nederland, selama perekonomian masyarakat Indonesia, sebagian besarnya dan yang terpenting dikuasai oleh Belanda dan Asing-Lain, maka semua bentuk Pemerintahan Indonesia dan Perhubungan Indonesia itu, adalah pelaksanaan perhambaan politik Rakyat Indonesia kepada Kapitalis-Imperialis Belanda dan Asing lain (Amerika-Inggris).
3.      “Nuchtere Realiteit” buat Belanda dan kaki tangannya di Indonesia yang sebaik-baiknya, dan “Rencana Linggarjati dan Renville”.

Demikianlah pasal 7 dan 8 dari Perjanjian Linggarjati adalah akibat daripada pengakuan pasal 14, ialah pengembalian hak-milik dan Perusahaan Asing, seperti maksudnya Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 Nopember 1945.
Pasal 7 Ayat (3) Linggarjati berbunyi:
“Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu, ialah kerja sama dalam hal perhubungan luar negeri, pertahanan, seberapa perlunya keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan”.

Pasal 8 berbunyi pula:
“Dipucuk Persekutuan Belanda Indonesia itu duduklah Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan Kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh alat-alat kelengkapan persekutuan itu atas nama Baginda Raja!
Menurut sk. “Bakti”, 20 Nopember 1946, maka Presiden Sukarno, ketika memberi penjelasan tentang persetujuan Linggarjati di Kabupaten Garut tanggal 19 Nopember, menerangkan, bahwa, “Raja Belanda sama sekali tidak menyinggung kedaulatan pemerintah Republik Indonesia”, dan menegaskan pula, bahwa tidak ada satu artikel pun yang akan merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”.
Ada pula orang yang menafsirkan, bahwa Raja Belanda itu berlainan dengan Mahkota (Kroon). Menurut filsafat ini, maka istilah Raja itu mengenai dirinya sendiri saja, sedangkan istilah Mahkota itu berarti Raja dalam Sidang Menteri.
Tetapi menteri Yonkman dalam pidato di Parlemen seperti tersebut di atas tiadalah ragu-ragu tentang Kekuasaan Tertinggi, tentang kedaulatan Raja Belanda dalam persekutuan Nederland-Indonesia itu.

Kata Yonkman:
“Aan het hoofd van de unise staat volgens artikel 8 de koning der Nederlanden, aan wien volgens den toelichting van de commissie generaal Oppergezag werd opgedragen”.

Indonesianya:
“Menurut pasal 8 duduklah dipucuk pimpinan persekutuan (UNI) itu Raja Belanda, di tangan siapa, menurut komisi jenderal diletakkan kekuasaan tertinggi.

Belumlah cukup bagi “nuchtere realiteit” –nya kruidenier Belanda, kalau “rech dan bedrijfszekerheid-nya cuma dijamin oleh kekuasaan terpendam, yang terletak pada tiap-tiap “economy supremacy”, pada permarajalelaan Ekonomi saja! Mereka merasa perlu kembali mempergunakan politik manjur, terhadap sesuatu bangsa yang dikuasai. Politik devide et impera, politik mengadu dombakan golongan dengan golongan yang dikuasai, yang dengan berhasi dijalankan oleh bangsa Romawi, bangsa penakluk, terhadap beberap bangsa takluk, dalam beberapa abad lamanya diambil opper oleh Deuplex, seorang pemimpin penjajah Perancis di Hindustan, sebelumnya Inggris. Politik Deuplex inilah pula yang diambil oper oleh Inggris di “India Inggris” dan dengan jaya dipergunakannya sampai sekarang (Maret 1948). Belanda semenjak Jan Pieter Koen menjalankan politik semacam itu di kepulauan Indonesia selama lebih kurang 450 tahun.
Politik yang sudah terang kemanjurannya selama ratusan tahun itu, politik yang dapat dijalankan dengan halus dengan tiada memperlihatkan dalangnya itu, tiadalah begitu saja dilemparkan oleh Belanda, apabila dia mau memasuki masyarakat yang dikehendaki oleh Linggarjati dan Renville di Indonesia ini. Tendangan Jepang di perut disertai tinjunya di kepala Belanda, tiadalah dapat mengeluarkan akal bulus Belanda itu dari usus benaknya.
Dari pasal 1 sampai 7 sudah terselundup biji perpecahan Negara Republik Indonesia, yang merdeka 100% semenjak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu. Dengan pengakuan Republik yang merdeka 100% semenjak 17 Agustus itu, atas pembagian ‘de facto’ Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, Madura dan Indonesia sisa menurut pasal 1 Linggarjati ; dengan pengakuan ‘bersama-sama menyelenggarakan’ segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan demokrasi, yang berdasarkan perserikatan dan dinamai Negara Indonesia Serikat (pasal 2), oleh Republik, yang merdeka 100% dengan Negara Ceroboh dan bekas penjajah ; dengan pengakuan, bahwa bagian manapun juga dari Indonesia, yang merdeka 100% itu, menurut Linggarjati boleh bersama-sama dengan Belanda menentukan Kedudukan istimewa, terhadap negara Indonesia Serikat dan terhadap kerajaan Belanda (lihat pasal 3) ; dengan mengakui pula ‘haknya kaum penduduk daripada sesuatu bagian daerah ‘ mengatur kedudukannya dalam Indonesia Serikat itu dengan cara lain, yang tentulah lain daripada dasar kemerdekaan 100% dan cocok dengan caranya Belanda penjajah (pelajarilah pasal 4) dengan campur tangannya Belanda mengatur Undang-Undang Negara Indonesia Serikat (menurut pasal 5)....dsb....maka nyatalah benar maksudnya dan nyatalah pula terlaksananya maksud Belanda hendak memecah belah lebih kurang 4 ½ juta (empat setengah juta) mil persegi daerah tanah dan lautan Indonesia itu, antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu suku golongan dengan suku/golongan lainnya.
Sebermula, maka untuk menginsafi kelicikan politik memecah-belah dan kejayaan Belanda dalam perundingan diplomasi yang tergambar pada perjanjian Linggarjati itu perlulah kita lebih dahulu, mengadakan uraian yang agak lengkap, terutama tentang beberapa syaratnya sesuatu negara merdeka.
Ilmu Kenegaraan yang resmi, dalam mendefenisikan negara itu, cuma memajukan tiga syarat negara saja, ialah 1) Tentang daerah. 2) Tentang penduduk dan 3) Tentang pemerintah. Saya rasa disini perlu diadakan koreksi dan tambahan ! negara modern tak bisa hidup dengan aman, kalau cuma mempunyai tiga syarat itu saja. Saya rasa perlu dikemukakan sekurangnya tiga syarat yang lain : 1) Perindustrian. 2) Bahan logam yang mentah. 3) Geografis strategis, ialah tempat duduk yang penting untuk siasat perang dalam hal membela diri.
Tiongkok yang mempunyai penduduk yang terbesar di dunia, sebagai negara yang mempunyai daerah yang hampir sama luasnya dengan Amerika Serikat, yakni yang terkaya dan terkuat di dunia sekarang, Tiongkok yang mempunyai nasionalisme yang hidup dan persatuan yang kukuh kuat terhadap keluar, serta mempunyai rakyat yang rajin, berani, pintar dan berkebudayaan tua berumur 4.000 tahun. Tiongkok walaupun memiliki syarat seperti tersebut itu, teristimewa, semenjak 100 tahun di belakang ini cuma menjadi sasaran politik Imprialisme Asing saja. Perbedaan yang nyata antara Tiongkok dan Eropa ialah Tiongkok tiada mempunyai industri modern, untuk menggalang kemakmuran rakyatnya dan menggalang pembelaan kemerdekaannya.
Jerman yang melebihi tiap-tiap negara di Eropa dan Amerika dalam hal organisasi, ilmu teknik, perindustrian, persatuan, semangat perang, serta ilmu strategi, sudah dua kali menyerah dalam perang dunia, terutama disebabkan oleh kekurangan bahan mentah, ialah besi, minyak tanah, getah, timah dan lain-lain.
Tetapi negara Swiss walaupun cuma berpenduduk lima juta dan terdiri dari tiga bangsa dan tiga bahasa, tiada bisa ditarik ke dalam medan peperangan ketika dua perang dunia yang lalu, terutama pula lantaran letaknya yang baik buat siasat perang dan Swiss bermaksud hendak mempertahankan dirinya terhadap sembarang negara ceroboh disekitarnya.
Syahdan jikalau enam syarat diatas kita pakai untuk memeriksa keadaan Republik Indonesia, setelah Linggarjati dan Renville, maka kita akan tercengang melihat sudah sampai berapa persenkah merosotnya kemerdekaan 100% dengan penerimaan kedua perjanjian yang tiada berapa bedanya satu dengan lainnya itu.




Pertama tentang daerah

Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati, maka Republik akan menerima kasarnya lebih kurang 210.000 mil persegi tanah daratan. Kalau dibandingkan dengan luasnya tanah daerah “Hindia Belanda” dahulu, yang kasarnya lebih dari 700.000 mil persegi itu, maka daratan yang diterima oleh Pemerintah Republik menurut Linggarjati adalah lebih kurang 30%. Tetapi kalau diambil perbandingan tanah dan air, maka perlindungan itu menjadi kurang 225.000 mil persegi dengan 4.500.000 mil atau 1 (satu) dengan 20 (dua puluh). Jadi tanah air Republik merosot menjadi 5%. Saya mau sedikit optimis dalam hal ini dan andaikan saja Pemerintah pro Linggarjati mendapatkan 20% Tanah Air dengan diplomasinya. Tetapi dengan Perjanjian Renville hasil diplomasi berunding tadi sudah merosot lebih rendah lagi. Seoptimis-optimisnya orang, Tanah Air, yang dipegang oleh perjanjian Renville (menurut “de factonya”) tak bisa ditaksir lebih dari pada 2% (dua persen).

Kedua tentang penduduk

Dengan menerima “de facto” Jawa-Madura-Sumatra, menurut Linggarjati Republik akan menerima kasarnya 50 juta penduduk. Ini akan berarti sedikit lebih daripada 70% penduduk. Tetapi dengan penandatanganan Renville dan langsung berdirinya atau akan berdirinya Empat (?) Negara Baru dalam Daerah Jawa-Madura-Sumatera sendiri, (ialah negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Barat, dan Negara Jawa Timur!) maka Republik akan meliputi paling mujurnya cuma 33% dari seluruhnya penduduk Indonesia. Saya mau menghitung secara mewah dan naikkan angka itu sampai 35%.
Ketiga, keempat, dan kelima, tentang perindustrian, bahan mentah dan strategi:
Tak ada salahnya kalau ketiga syarat itu diambil sekaligus saja! Syahdan, dalam perindustrian modern, maka dengan kebun, pabrik, tambang, pengangkutan, Bank asuransi berada di tangan asing; dengan bahan logam seperti minyak tanah, besi di Sulawesi dan Kalimantan, timah, bauksit, dan aluminium berada di luar kekuasaan dan milik bangsa Indonesia menurut Linggarjati dan di luar mata dan tangan bangsa Indonesia sama sekali menurut Renville, dengan semua tempat strategis buat perang di darat, di laut, dan udara, sama sekali berada di tangan asing, maka tiadalah saya merasa terlampau pesimistis, mengatakan, bahwa Republik cuma mendapat 1% (satu persen) buat masing-masing perindustrian, bahan logam mentah dan untuk pangkalan strategi, baik menurut Linggarjati ataupun Renville, selama berdasarkan pengakuan atas pengembalian hak milik Asing.
Jadi kalau kita menghitung menurut aritmatika (ilmu hitung) dalam lima perkara tersebut di atas sesudah memukul rata, menurtu Linggarjati kita akan memperoleh:
20+70+1+1+1  =  93 =  18 3 % 
           
            5                5            5
  
Saya mau sedikit optimis dan naikkan angka itu menjadi 20%. Tetapi menurut persetujuan Renville maka angka itu akan turun menjadi:
1+35+1+1+1  =  39 =  7  4 % 
                        5     
        5          5

Atau kasarnya adalah 8%.
Dengan memperoleh 20% kekuatan lahir, (material), ialah dalam hal daerah, penduduk dan perindustrian, bahan logam mentah dan kedudukan strategis, menurut Linggarjati dan cuma mendapatkan kekuatan lahir (material) itu, lebih kurang 8% menurut Renville, saya bertanya apakah kelak nasibnya “Republik” dalam N.I.S. dan UNI???
Sebenarnya pula perhitungan menurut aritmatika di atas masih terlalu optimis. Dialektiknya persaingan ekonomi dalam masyarakat Linggarjati yang berdasarkan kedaulatan kapital asing itu, dimana perekonomian Rakyat Indonesia akan segera merosot kepada keadaan di zaman “Hindia Belanda”; kekuasaan Belanda atas bahan logam mentah di daerah Negara Bonekanya, sedangkan Republik berada di dalam daerah minus, dalam hal makanan dan miskin dalam hal logam mentah; masuknya Belanda dalam Benelux dan ke dalam Blok Eropa Barat itu, serta besarnya kemungkinan, bahwa modal Amerika kelak akan dipakai untuk memajukan perkebunan dan tambang di negara Boneka dan  menarik Indonesia ke dalam lingkaran pertahanan Amerika di Pacific; kemudian berlangsungnya politik devide et impera Belanda berhubung dengan berdirinya enam negara Boneka melawan Republik dan campur tangan Belanda dalam segala hal, sehingga dalam hal ekonomi, politik, militer, sosial dan kebudayaan, Belanda akan bisa mengadakan perbedaan, bahkan pertentangan antara satu negara dengan negara lainnya....maka berhubung dengan semua itu, tiadalah sukar bagi kita meneropong ke depan, bila mana kelak sesudahnya waktu yang singkat, seluruhnya Rakyat Indonesia akan kembali kepada keadaan lama, ialah seperti kuda beban yang dikendalikan oleh Kapitalisme Asing.
Dengan semua kunci perekonomian, bahan mentah dan pangkalan strategi berada di tangan asing, serta dengan adanya berjenis-jenis Negara Boneka di dalam N.I.S. maka kelak akan mudahlah Belanda menjalankan politik devide et impera-nya terhadap salah satu negara, yang berlainan paham dengan kapitalist Belanda. Pertentangan dan percekcokan yang mudah sekali bisa ditimbulkan oleh imperialis Belanda, antara negara dan negara dalam N.I.S itu, kelak akan membutuhkan satu negara sebagai “wasit” yang lahirnya berupa pemisah dan berupa berdiri di atas semua negara bagian dalam lingkungan Kerajaan Belanda, tetapi dalam hakekatnya membela kepentingan pihak yang tertentu. Raja Belanda, yang tentulah dalam semua perkara penting akan memihak kepada kapitalis Belanda itulah yang menjadi “wasit”, yang memegang “Kekuasaan Tertinggi” di atas Nusa dan Bangsa Indonesia seluruhnya.
Persetujuan Linggarjati dan Renville mengembalikan kedudukan Asing di Indonesia dalam lapangan ekonomi dan memungkinkan kembali berlakunya politik devide et impera diantara daerah dan daerah Indonesia, suku dan suku,  serta golongan dan golongan diantara Rakyat Indonesia sendiri.
Seakan-akan tak ada 8 Maret 1942 dan Interneeringskamp buat Belanda dan tak ada pula 17 Agustus dan Proklamasi bagi rakyat Indonesia, maka Yonkman, di Parlemen, seperti disebutkan di atas tadi juga mengucapkan perkataan sebagai berikut:
“Het Koningkrijk der Nederlanden is onder gods zegen en dank zij Oranje, een schepping van het Nederlansche volk, En Nederland had daarin tot den Japansche occupatie, ook in Indonesia de leiding”.
“Thans bieden wij, den Indonesischen volkeren aan, het Koninkrijk samen te herbouwen, en aan het vernieuwde staatsverband Nederland, Suriname en de Nederlandsche Autillen en Indonesia, in een Unie vereeenigd,
door gemeenschapapelijke organen, waaring deze allen vertegenwoordigd zijn, leiding te geven".
            "In dit aanbod is de richtlijn gevolgd overeenkomstig de Koningklijke rede van 7 December 1942..."

            Indonesianya:
            "Kerajaan Belanda di bawah rahmatnya Tuhan, dan atas jasanya Oranye, adalah satu bikinan bangsa Belanda. Dan diatasnya (kerajaan) itu sampai pendudukan Jepang Nederland
memegang pimpinan: juga di Indonesia"
            "Sekarang kami anjurkan kepada segala bangsa di Indonesia membangun kembali Kerajaan Belanda itu, dan memberikan pimpinan kepada Staatsverband (ikatan kenegaraan)
Baru, yakni Nederland, Suriname, Antillen Belanda dan Indonesia, yang terikat dalam satu Unie dengan perantaraan Alat Kelengkapan Bersama, yang mewakii semua bagian itu" Dalam anjuran ini diikutilah garis tujuan (richtlijn) menurut pidato Ratu pada tanggal 7 Desember 1942..."
            Belumlah kapitalis imperialis Belanda merasa sentosa di Indonesia, walaupun dia dengan perantaraan Linggarjati sudah memperoleh Kekuasaan Tertinggi dalam ekonomi, kedaulatan dalam urusan politik, serta mendapat kesempatan yang leluasa sekali kelak menjalankan politik memecah belah antara beberapa Negara Boneka dalam Negara Indonesia Serikat.
            Pemeras penindas Belanda masih memerlukan jaminan yang lebih nyata lagi. Buat menantang kehendak dan tindakan MURBA di Indonesia, karena kelak akan diperas dan ditindas lebih kejam daripada yang sudah-sudah, maka Belanda merasa memerlukan satu tentara sendiri. Tentara ini pulalah yang dimaksudkan untuk menyambut Tentara Sekutunya di Indonesia, kalau sekali lagi Belanda terseret ke dalam kancah perang dunia. Dengan berdirinya Blok Eropa Barat antara 16 negara (Maret 1948) dimana termasuk juga Nederland dengan Beneluxnya, serta dengan bersekutunya pula Blok Eropa Barat ini dengan Amerika Serikat menentang Soviet Rusia, maka tentara Belanda di Indonesia ini akan menjadi alat senjata menentang musuh di dalam dan di luar negeri. Bukankah tentara Belanda itu buat
sementara waktu saja seperti impiannya kaum borjuis kecil di Indonesia ini.
            Kata Jonkman:
            "De toelichting, door de commissie-generaal op de artikelen 1 en 16 versterkt, wat betreft de positie der bezette gebieeden, bevestigd, dat de voorbereiding van de rechtsorde in Nederlandsch-Indie, gelijk overal ter wereld, op voldoende machtsmiddelen zal moeten steunen en dat niet tot verzwakking of vermindering daarvan zal mogen worden overgegaan, voordat de waar orgen eener rechtsorde aanwezig zijn. Dit is ook het stellige standpunt der Regeering.

            Indonesianya:
            "Keterangan Komisi Jenderal atas pasal 1 dan 16 tentang posisinya Daerah Pendudukan, mengesahkan pula, bahwa persiapan untuk Rechtsorde (Keterlibatan Hukum) baru di "Hindia Belanda", seperti di mana-mana di dunia ini, haruslah bersandarkan kepada Alat Kekuasaan, yang cukup, dan tiadalah boleh alat kekuasaan itu diperlemah atau dikurangi, sebelumnya ada jaminan bagi ketertiban umum baru itu. Inilah pulah sikap
pemerintah (Belanda) yang tegas".
            Dengan jaminan yang sudah terlalu pasti itu untuk sesuatu Penjajah modern dalam hal perekonomian, politik dan kemiliteran, Belanda belum lagi merasa puas. Pasal 13 Linggarjati menetapkan pula, bahwa pemerintahan Nederlandlah kelak yang akan mengambil semua tindakan, setelah persekutuan Belanda Indonesia kelak berdiri, "supaya dapatlah negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggota UNO".
            Dalam prakteknya ini akan berarti, bahwa kalau kelak Belanda sendiri tak sanggup mempertahankan pemerasan dan penindasannya terhadap Rakyat/Murba Indonesia, maka Belanda akan meminta bantuan kepada konco-konconya, ialah semua wakil Negara Kapitalis Imperialis di dunia, yang merajalela di dalam UNO dan yang dengan mati-matian mempertahankan pemerasan dan penindasan dijajahannya  masing-masing!
            Demikianlah kedua Delegasi Indonesia dan Belanda "oleh karena" menurut mukadimahnya persetujuan Linggarjati keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia; dengan mengadakan cara dan bentuk bangun yang baru, bagi kerjasama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus dan sebagaimana dengan ketentuan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran, daripada
majelis-majelis perwakilan rakyat masing-masing..."..
Semua perkataan yang molek-molek ini dalam hakekatnya adalah satu pertolongan kepada Nederland, yang sedang terombang-ambing di atas gelombang kekalahan dan kemelaratan
untuk menaikkan Belanda kembali ke atas bumi Indonesia, sebagai "basung kemakmuran Belanda"...." op de kurk, waarop Nederlands welvaart drijft".
            Tentang Turunan Raja Loderwijk XVI, yang kembali ke atas tahta Kerajaan Perancis, sesudahnya Revolusi Perancis dan Kerajaan Napoleon berlaku, De Tallyrand mengatakan: "Zij leren niets en vergeten niets". Demikianlah pula Belanda, tiada mempelajari dan tiada pula melupakan sesuatupun dari pengalamannya yang pahit selama lebih dari empat tahun.
            Kecongkakan dan kekerasan kepala Belanda itu ternyata sekali dalam perdebatan di parlemennya, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati pada pertengahan bulan Desember 1946 dan ternyata pula dari suara Belanda terkemuka di luar Gedung Parlemen.
            Prof. Romme, pemimpin Katholieke Volksparty, mengemukakan, dalam Gedung Parlemen Nederland, ketika mempersoalkan Perjanjian Linggarjati tersebut diantara lain-lainnya, seperti berikut:
            "Allerlei gevoelige argumenten speelden hierbij een rol, maar na overleg aan alle zijden, na uitgebreide correspondentie, en na uran van eenzame over-peinzing, ben ik
tot de overtuiging gekomen, dat overeenkomst van Linggarjati in overeenstemmin is met de belangen van het Koninkrijk".
"----dat Nederland en Indie niet gescheiden kunnen worden"."Het gezag in indonesie in weer aan overgedragen. Wij beschikken in Indie over zooved macht, dat wij ons gezag zouden kunnen herstellen".
"---mar wij moeten dan ook begrijpen, dat de 100% merdeka een utopie is en dat geen enkel volk 100% merdeka. Deze eisch van 100% merdeka is voortgekomen uit overspannen nationalisme".

            Indonesianya:
            "Dalam hal ini, maka bermacam-macam alasan yang berupa perasaan, mempermainkan lakonnya, tetapi setelah meninjau dari semua sudut, setelah mengadakan korespondensi yang luas, dan sesudahnya berjam-jam merenungkan dalam kesunyian, maka saya sampai kepada keyakinan, bahwa Persetujuan Linggarjati adalah cocok dengan kepentingan Kerajaan".
            "----bahwa Nederland dan Hindia tidak bisa dipisahkan".
            "Kekuasaan di Indonesia sudah dikembalikan (oleh Linggarjati! Penulis) kepada kita. Di Hindia kita memegang kekuasaan (Militer! Pen.) sehingga kita akan dapat mengembalikan kekuasaan kita ini".
            "Tetapi kita juga haru mengerti, bahwa kemerdekaan 100% adalah suatu impian dan tak ada sesuatu bangsapun yang mengenal kemerdekaan 100%. Tuntutan kemerdekaan 100% itu lahirnya dari nasionalisme yang terlalu meluap".
Ketika diundang oleh Komisi Mahasiswa untuk Daerah Seberang di Groningen, maka menurut ANETA, bekas anggota Volksraad, Feuilleteau de Bruvn mengucapkan sebuah pidato yang berkepala: "Doodsklek klopt over ons Koninkrijk (Genderang kematian berbunyi di atas kerajaan)".
            Di sini de Bruyn mengulangi perkataan Komisi Jenderal Van Poll, yang berbunyi:
            "Indien het spaak loopt en de Republiek haat verplichtingen niet nakomt, zullen wij erop slaan" (Kalau gagal, dan Republik tiada menepati kewajibannya, maka kita lihat akan menggempur!) Menurut ANETA juga dari Den Haag (lihat DAGBLAD 17 Desember 1946), maka bekas Perdana Menteri Mr. P.M.Gerbrandy bersama-sama dengan bekas Menteri C.I.M. Welter, seorang Belanda yang bermodal besar di "Hindia Belanda" serta Jenderal Bajetto, sudah membentuk satu Komite Nasional bernama "Ter Handhaving van de Rijkseenheid" yang bermaksud menentang Persetujuan Linggarjati. Salah satu daripada 6 dasar yang dimajukan oleh Komite itu berbunyi: 2. "De handhaving van de Rijkseenheid, in de eerste plaats uitgedrukt in het reeele gezag van de Kroon, is een noodzakelijke voorwaarde in de regeling van de Indische kwestie".
           
Indonesianya:
            2. "Kesatuan Kerajaan, yang pertama sekali ditegaskan oleh Kekuasaan Mahkota yang nyata, adalah jaminan yang mutlak dalam penyelesaian soal Hindia".Sampai pula "Pahlawan" Belanda bekas komandan Tentara Mobil Letnan Jenderal Jonkeheer W. Roell, melompat ke depan radio dan berkata, bahwa dia dengan sengaja memakai perkataan
"Nederlans Indie" buat menentang perkataan "Indonesia". Dia berpendapat, bahwa jika Persekutuan Belanda Indonesia terlaksana, maka "Nederland akan jatuh melarat", serta
"Zending dan missie akan tak berarti lagi, kalau tidak akan rusak binasa" dan Bangsa Indonesia akan pecah-belah. Dia menutup pidato radionya dengan pandangan dan anjuran kepada bangsa dan golongan di Nederland seperti berikut:
            "De politiek van de commissie generaal leidt Nederland naar den afgrond en Nederlandsch Indie tot de chaos" "Houdt tct het uiterste stan tegen deze plannen: thans bovengronds, doch Indien de gevaren van het vaderland die van 1940 tot 1945 evenwaren of overtreffen, "als het moet" ook ondergronds".

            Indonesianya"
            "Politiknya Komisi Jenderal membawa Nederland ke dalam jurang dan membawa "Hindia Belanda" kepada kekacauan".
            "Lawanlah Rencana (Linggarjati) itu sampai nafas penghabisan: Kini di atas tanah, tetapi kalau bahaya yang mengancam Vaderland (Negeri Belanda) menyamai atau melebihi tahun 1940 sampai 1945" kalau perlu juga "di bawah tanah".
            Yang sedikit ada mengikat dan mengambil pelajaran dari Sejarah Belanda dalam empat tahun belakang ini, dan rupanya sedikit insyaf akan kesalahan dan kelemahan diri sendiri, serta sedikit mengerti akan idaman, sikap dan tindakan Rakyat Indonesia, ialah Prof. Logemann,bekas Menteri Seberang Lautan.
            Walaupun penulis ini sendiri tentulah dan semestinyalah sama sekali tiada setuju dengan Perjanjian Linggarjati itu, tetapi untuk memberikan pandangan Belanda dari beberapa penjuru, yang sangat mempengaruhi masyarakat Belanda, maka baiklah juga saya hidangkan di sini pendirian seorang Belanda, yang membela Persetujuan Linggarjati.
            Tentang pidatonya Prof.Logemann di Riviera Hall Rotterdam, maka sk. Dagblad, 16 Desember 1946, antara lain melaporkan:
            "Wij hebben niet het recht om onze maatstaven aan te leggen voor het bepalen van deze rijpheid".
            "Sommigen zijn van meening, dat reeds voor den oolog de koloniale mentaliteit aan het uitsterven zou zijn geweest. Dit is "onwaar" aldus Prof. Logemann die zeide, dat de koloniale mentalitiet zich juist ini Nederland heef uitgegraven en niet over het doode punt heen wenscht to stappen.
            "Tijdens den oorlog is de bevrijdende geste van de regeering uitgebleven".
            "In de overeenkomst van Linggarjati is zeker veel afkeuringswaardigs en onrustwekkends, doch een gewelddadig optreden zou "de" fout van het oogenblik zijn".
            "Nederland is niet machtig genoeg om de Republiek te verslaan".
            Spreker (Prof. Logemann) wilde niet ontkennen, dat er een zekere gezagswakte aanwezig is in de republiek, maar hij acht desniettemin het accoord de eenige oplossing".

            Indonesianya:
            "Kita tiada berhak untuk meletakkan ukuran kita tentang masaknya (Rakyat Indonesia untuk Kemerdekaan!)".
            "Beberapa orang berpendapat, bahwa sebelumnya perang, maka semangat kolonial itu sudah lenyap. Ini tidak benar" kata Longemann, yang mengemukakan, bahwa justru di Nederland, semangat kolonial itu sudah mendalam dan tak mau keluar dari pendamannya itu.
            "Selama perang, maka semangat Pemerintah untuk memerdekakan itu tiadalah ada".
            "Dalam Persetujuan Linggarjati memangnya banyak yang harus dicela dan menggelisahkan, tetapi dengan kekerasan adalah "kesalahan" besar pada saat ini".
            "Nederland tiadalah cukup kuat untuk mengalahkan Republik".
            "Prof. Logemann tak mau menyangkal, bahwa ada kelemahan-kekuasaan pada Republik, tetapi walaupun demikian, dia menganggap persetujuan itu sebagai satu penyelesaian yang harus diterima".

            Ketika mengupas revolusi Indonesia, dalam Parlemen maka Prof. Logemann menjelaskan sebagai berikut:
            "Dat het wezenlijke probleem niet word gevormd door het herstel van recht en veiligheid; het wezenlijke problem is dieper en ernstiger, netgeen ook blijk uit het feit, dat de
toestand in de Malino-gebieden zoo labiel blihjft. Het werkelijjke probleem is: het vinden van een heel nieuwe gezags legitimatie, dit in sociaal psychologischen zin bedoeld".
            "Linggarjati moet worden gezien als een act van pacificatie, welke de kloof van wantrouwen over brugt. Dat is het grondprobleem dat eerst moet worden opgelost en daartoe
leant zich dit ontwerp accoord".
            "Voorts wordt de internationale langstelling eeningszins terzijde geschoven en krijgt ons beleid van vaste richting". (DAGBLAD 18 Desember 1946).

            Indonesianya:
            "Bahwa yang sesungguhnya bukanlah perkara pengembalian Hukum dan Keamanan: soal yang sesungguhnya lebih dalam dan ebih sukar, yang juga ternyata dari bukti, bahwa keadaan di daerah Malino, tiadalah tetap. Soal yang sesungguhnya ialah: mendapatkan "gezags-legitimatie (Kekuasaan yang syah) yang baru sama sekali, yang mengenai kejiwaan dan pergaulan".
            "Linggarjati mesti dipandang sebagai Acte van Pacificatie (Aturan Perdamaian) yang melintangi jurang kecurigaan.
            Inilah yang soal pokok, yang harus diselesaikan lebih dahulu, dan buat ini naskah persetujuan adalah baik sekali".
            "Seterusnya maka "Internationale belangstelling" (perhatian dunia) akan tersingkir dan beleid kita mendapat tujuan yang pasti. (DAGBLAT 18 Desember 1946)

            Sekianlah Prof. Logemann

            Pertama, Prof. Logemann, rupanya insaf benar, bahwa "veroveringsrecht" Belanda (hak merampas negara lain), pada 8 Maret 1942 sudah dibatalkan oleh "Hak merampasnya" Jepang. Dan hak merampas dari kedua imperialis tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah dibatalkan pula oleh hak mutlak bangsa Indonesia atas kemerdekaannya 100%. Sebab itulah, maka oleh Prof. Logemann, Linggarjati itu dianggap sebagai penerusan "Gezags-Legitimatie" Belanda, yang sudah terputus di Indonesia selama 3 1/2 tahun. Dengan demikian,  maka menurut Prof. Logemann, selesailah sudah soal continuiteit pemerintah
"Hindia Belanda yang sudah berumur 350 tahun itu. Dan kembalilah dengan segala kemegahannya "Historisch recht" Belanda, yang sudah dibatalkan oleh Jepang selama 3 1/2tahun dan oleh bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Jepang semenjak 17 Agustus 1945.
            Kedua, Prof. Logemann. Juga insaf benar, bahwa selama di sekitar kebun, tambang, pabrik dan pengangkutan masih saja berkeliaran "kaum extremis" dengan "bambu runcing"-nya maka saat berbahayalah bagi "tuan besar" Belanda masuk dan pulang pergi ke tempat pekerjaannya. Linggarjati-lah pula yang dimaksudkan sebagai sesuatu perjanjian yang sebaik-baiknya buat menjelmakan kembali "kaum extremis" itu menjadi kaum opas, kuli dan jongos.
            Itulah yang dimaksudkan dengan perkataan "acte van pacificatie", ialah satu aturan untuk perdamaian dan ketertiban seperti di zaman "Hindia Belanda" dahulu.
            Ketiga, Prof. Logemann mungkin sekali berpendapat, bahwa selama dunia luar memandang perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu usaha membela hak mutlaknya, ialah kemerdekaan 100%, maka selama itulah pula dunia luar, sekurangnya dalam hati kecilnya memandang Belanda sebagai negara ceroboh, Negara Agresor. Selama itulah pula, simpati dunia yang adil tertumpah pada bangsa Indonesia. Buat menghindarkan "internationale belangstellig" (perhatian dunia luar) yang menurut Belanda amat berlebihan itu, haruslah perjuangan  di Indonesia, dibawa kepada suasana kerjasama antara Belanda dengan Indonesia,kepada perkara urusan rumah tangga saja, kepada soal "internal-affairs" atau "interneaangelegenheid" semata-mata. Menurut Prof. Logemann, maka persetujuan Linggarjati  tepat sekali menggambarkan suasana yang dikehendakinya itu.
            Tetapi "heethoofden", kepala batu diantara militeris dan Kapitalis Belanda, seperti terbukti oleh catatan yang kita lakukan di atas tadi, sama sekali tiada setuju dengan perjanjian semacam Linggarjati itu. Mereka mau mengembalikan "Nederlansch Indie" dengan sedikit perubahan, yang cocok dengan kepentingan dan paham mereka sendiri.
            Desakan militarist dalam kapitalist Belanda atas lunak-moderate seperti Prof. Logemann, yang setuju dengan Linggarjati di Nederland itu, terlaksana di Indonesia lebih
kurang sejajar dengan desakan Van Mook dan Spoor atas Prof. Logemann, pencipta Linggarjati.
            Didorong oleh kepentingan kapitalis-militarist di Nederland, maka oleh Van Mook Spoor Perjanjian Linggarjati itu cuma dipakai sebagai "batu loncatan" ke atas "Rijkseenheid-nya" Berbrandy-Welter, Bajetto. Buat para "diplomat" Indonesia, maka sesuatu perjanjian itu harus dianggap sebagai satu persetujuan, yang harus dijalankan dengan penuh perasaan khidmat, "goodwill", "good faith" dan "pri-kemanusiaan". Buat Van Mook-Spoor perjanjian dengan "inlanders" itu adalah secarik kertas buat dirobek-robek, apabila masanya sudah datang.
            Belum lagi reda sorak-sorainya para pengikut "diplomat ulung" setelah mendapatkan secarik kertas bernama Perjanjian Linggarjati. (en een kindderband is gauw gevuld) maka datanglah berita, yang agak mendinginkan kegembiraan golongan diplomasi tadi, ialah berita tentang "interpretasi" (tafsiran) Jonkman.
            Seakan-akan ada perbedaan antara kepentingan kapitalis, militaris Belanda dengan tafsiran terhadap kepentingan itu sendiri!!
            Mulanya para "diplomat" menolak berunding menurut tafsiran Jonkman. Tetapi dan disinilah pula terletaknya keulungan diplomasi Indonesia itu!! menolak bukannya berarti
membatalkan! Menolak cuma berarti menunda. Apabila umum sudah agak lupa, maka diplomasi berunding dengan musuh bersenjata di dalam rumah kita dan sudah berkali-kali terbukti tiada boleh dipercaya perkataan dan perjanjiannya itu, diteruskan kembali. Pun sebelumnya perundingan itu dilakukan dengan resmi, perundingan yang "tidak resmi" dijalankan juga.
            Van Mook bekerja terus dengan "overwerk". Dengan keuletan Belanda, dia terus melakukan usaha apa yang cocok dengan pengembalian "Nederlands Indie" dan yang bertentangan dengan tulisan dan lisan Linggarjati. Konperensi Malino dan Denpasar berjalan dengan tak ada gangguan atau hambatan yang
 berarti dari pihak Republik.

            N.I.T DIBENTUK! RAKYAT GELISAH!

            Pemerintah Republik memprotes! tetapi percaya terus kepada Linggarjati! Masih tetap taat kepada semangat "goodwill" sendiri dan "pri-kemanusiaan" yang tidak dibalas dengan "pri-kemanusiaan" oleh pihak lain.
            40.000 (empat puluh ribu) penduduk di Sulawesi Selatan, laki-perempuan, tua-muda, kanak-kanak, dan bayi disembelih dengan mata terbuka oleh serdadu Belanda ialah untuk mempertegakkan N.I.T, yang dibentuk oleh Belanda menurut kemauan kapitalis militaris Belanda!
            Walaupun begitu, para diplomat Indonesia, masih saja patuh taat kepada Linggarjati, kepada "goodwill" dan "pri-kemanusiaannya"! Perundingan terus saja dilakukan dengan maksud melaksanakan Linggarjati.
            Bogor diambil Belanda, pegawai Republik ditangkap, disiksa, Wakil Wali kota ditembak, seperti menembak celeng di hutan! Mojokerto dengan gulanya ribuan ton dirampas! Semuanya itu tiada membelokkan "diplomat" Indonesia dari jalan menurun menuju ke lembah penjajahan menurut tafsiran kapitalis militaris Belanda.
            Infiltrasi, yang berlaku dalam semua badan pemerintahan, kemiliteran dan dalam kabinet sendiri, dijalankan oleh pemerintah Belanda dengan hasil yang gemilang. Semua akibatnya infiltrasi terasa benar dimana-mana, walaupun mereka yang diselundupkan oleh Belanda itu tidak selalu dikenal rakyat (lima serangkainya s.k. Murba)
            Dalam urusan ekonomi, maka blokade terus dilakukan oleh Belanda terhadap perdagangan Republik dengan negara luar. Kecuali beras yang "dimaksudkan" oleh "diplomat" ulung, sebagai "pelor" yang menerobos blokade Belanda kecuali beras yang dengan macam tipu muslihat, dapat dibelokkan oleh Belanda ke semua kota yang didudukinya yang  menderita kekurangan makanan dimasa itu, maka semua barang-barang lain dilarang keluarnya oleh Belanda.
            Di samping itu Belanda merampas barang bikinan rakyat, selama pendudukan Jepang, seperti gula, karet, kopra dan lain-lain dan menjual barang tersebut di pasar dunia untuk
mendapatkan deviezen. Dengan deviezen itu, maka Belanda dapat memperkuat tentaranya yang terus berusaha memperbaiki kedudukannya dan menunggu saat, yang baik buat melanjutkan rencana agresinya yang pasti itu.
            Uang Republik O.R.I kalau dibandingkan dengan harga beras, maka pada permulaan keluarnya 15 sen O.R.I dapat membeli 1 L beras. Sekarang (Maret 1948), baru enam rupiah ORI dapat membeli beras sebanyak 1 L juga. Dengan ukuran praktis seperti itu, maka dalam waktu setahun lebih saja, nilai ORI di pedalaman saja sudah merosot 40 kali atau 400% dari nilai semula.
            Di daerah pendudukan Belanda, maka ORI yang mulanya jauh lebih tinggi harganya daripada uang Nica (Rp. 1 (ORI) = f. 33 1/3 (NICA). Sekarang menurut kedaulatan rakyat tanggal 13 maret 1948, Rp 100,- (ORI) = f.6 (NICA). Jadi merosot 528 kali atau 52.800 %. Merosotnya itu tidak saja disebabkan oleh semata-mata hukum ekonomi, yakni terutama karena barang dagang semakin kurang, di samping uang kertas semakin banyak, tetapi juga lantaran anasir psichologis, kejiwaan, karena kurang percayanya para saudagar atas keteguhan jaminan ORI; karena anasir politik, ialah merosotnya derajat Republik di mata dunia dagang; sebab berlakunya "pemalsuan" uang di daerah pendudukan serta akhirnya lantaran tipu muslihat yang lain, yang dijalankan oleh musuh dari daerah yang didudukinya
(melenyapkan uang kecil yang banyak diperedarkan oleh rakyat dan pedagang kecil di pasar-pasar) dan karena tipu muslihatnya kaum penukar uang (money changers!) di kota pendudukan.
            Di samping pemalsuan perjanjian Linggarjati; pemalsuan, politik, blokade, dan infiltrasi, yang dilakukan oleh Belanda dari daerah pendudukannya, sambil terus membentuk negara Boneka, maka Belanda terus menerus mengirimkan tentaranya dari Nederland ke Indonesia.
            Ketika "cease fire" yang pertama dilakukan, dalam bulan Oktober 1946, maka sebenarnya Inggris sudah didesak ke pinggir oleh perasaan umum di luar; di desak oleh keadaan yang membahayakan bagi dirinya "India-Inggris", Birma dan lain-lain; didesak dari dalam oleh rakyat Indonesia yang dengan bambu runcing-nya merebut senjata Gurka dan menyebabkan serdadu Gurka menyerah besar-besaran (Medan, Jawa Barat dll). Sebagian Rakyat Amerika, Rakyat Hindustan-Pakistan,serta sebagian rakyat Inggris sendiri sudah menuntut ditariknya kembali tentara Inggris dari Indonesia, dimana rakyat sudah mempergunakan hak mutlaknya menurut Atlantic Charter dan lain-lain itu. Tetapi pada masa itu Belanda sama sekali belum siap dengan tentara kolonialnya. Maka berhubung dengan saat
Inggris harus pergi, tetapi Belanda belum siap, maka Perjanjian Linggarjati, yang didahului oleh "cease fire" itu adalah satu saat buat "adem pauze"nya Belanda, tetapi sesuatu obat bius buat melalaikan dan menidurkan rakyat atau pemuda serta Tentara/Laskar Indonesia.
            Dalam keadaan demikian, bilamana Belanda, sehari demi sehari bertambah kuat dan kaum diplomasi sehari demi sehari pula semakin ditinggalkan oleh para pengikutnya dan ditentang oleh kaum oposisi, maka Belanda makin mendesak, makin mendorong perjanjian Linggarjati kepada tafsirannya kapitalis imperialis Belanda.
            Akhirnya hampir tercapailah olehnya lima persetujuan! Menurut tafsiran saya sendiri, maka lima persetujuan itu haruslah disusun seperti berikut: 1) Pengakuan atas pasal 14 Linggarjati, ialah pengembalian hak milik asing dan pengakuan atas hutang "Hindia Belanda". Ini mengakibatkan pengakuan 2)ialah kerja sama dalam urusan duane, onderneming, deviezen, dan makanan. Kedua pengakuan tersebut berakibat pula pada
pengakuan 3) Ialah pengakuan atas Mahkota Belanda. Sendirinya harus diakui pula perkara 4) Ialah penyesuaian status Indonesia itu dengan urusan Luar Negeri, berhubung dengan pengakuan atas Mahkota Belanda itu. Dalam hakekatnya maka pengakuan 5) Ialah gendarmeri bersama, adalah sendirinya pula akibatnya daripada pengakuan atas kedaulatan yang diletakkan pada Raja Belanda menurut 4) di atas, dan cocok dengan pasal 8. Persetujuan Linggarjati.
            Baik juga dikatakan disini, maka pengumuman resmi menyusun 5 titik pengakuan sebagai berikut:
            1. Pengakuan atas Mahkota Belanda; 2.Penyesuaian pengakuan Mahkota Belanda; 3.Kerja sama salam urusan Duane, Ondevneming, Deviezen dan makanan; 4.Pengakuan atas Pasal 14 Linggarjati; 5.Gendarmerie bersama. Sebenarnya dengan pengakuan empat perkara penting saja itu, Kedaulatan Republik sudah hilang sama sekali. Sesungguhnya pula dengan pengakuan seperti itu Belanda sudah dapat meminjam uang ke Wall-Street, New York. Tetapi karena Belanda, seperti biasa terlampau serakah, maka ia hendak mewujudkan kepastian "formeel". Berhubung dengan keserakahan-nya itulah, maka ia mendesak supaya juga "gendarmery-bersama"-pun harus lebih dahulu diakui hitam di atas putih.
            Diplomat "ulung" pun tidak berani membenarkan "gendarmery-bersama" itu terang-terangan terhadap Rakyat/Pemuda dan kaum oposisi, yang terasa pengaruhnya dimana-mana.
            Demikianlah, maka diplomasi berunding menjadi gagal, dan Belanda mendapat alasan, untuk memakai saat, yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu. Dengan tentara, yang jauh lebih kuat daripada masa "cease fire", Oktober 1946, maka pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba menyerbu ke daerah Republik, Rakyat/Pemuda, tentara/laskar, yang sudah dinina bobokan oleh diplomasi berunding selama satu tahun setengah, sudah banyak kehilangan keawasan, ketangkasan dan kegembiraan berjuang serta semangat berorganisasi.
            Sebagian dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dahulu berbulan-bulan dapat dipertahankan oleh rakyat/pemuda terhadap serangan Inggris yang dibantu oleh Jepang dan Belanda, hilang dalam waktu dua minggu saja.
            Pada saat inilah, datang UNO dan berhasil menyodorkan KTN ialah wakil dari tiga negara Imperialis, yang berusaha keras bagi kepentingan Negara Imperialis atas dasar Kapitalisme-Imperialisme pula.
            Mereka berhasil mendapatkan perjanjian "Renville" dari P.M. Amir Syariffudi dan dalam segala-galanya jauh lebih merosot daripada perjanjian Linggarjati lebih jauh pula mendekat kepada status "Rijkseenheid" ciptaan Gerbrandy, Welter, Bajetto, dan lain-lain.
            Belum lagi kering tintanya penanda tanganan "Renville" ini maka Van Mook-Spoor, di depan algojo daripada suatu badan perantara, mulai pula menjalankan rencana yang sudah siap dan tetap itu.
            Konferensi demi konferensi terus dilakukan Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat dan Negara Jawa Timur sudah hampir selesai. Negara Sumatera Selatan sedang dibentuknya.
            "Kantong" di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang diduduki oleh 35.000 tentara Republik, jadi yang sebenarnya adalah tempat yang paling baik buat taktik dan strategi gerilya, dan sudah berbulan-bulan tak dapat direbut oleh Belanda, tetapi dengan "badan perantara" bernama KTN begitu saja dikosongkan oleh Republik.
            Demikian empat negara Boneka Baru di Jawa dan Sumatra begitu saja "zonder slag of stroot", dengan tiada perjuangan apa-apa ditinggalkan oleh 35.000 Pahlawan Republik, yang "taat" pada perintah! Dengan begitu, maka kurang lebih 30 juta rakyat di Jawa dan Sumatra, semenjak pengosongan "kantong" itu, terserah pada PID serdadu dan algojo Belanda.
            Terserah pula pada pemuda, wanita dan gadis Indonesia ke bawah penjagaan PID, serdadu dan algojo Belanda itu.
            Akan kembalilah kelak pasal 135 bis en ter, pasal 161, exorbintante rechten dan lain-lain aturan Belanda, yang akan mengekang persurat-kabaran bangsa Indonesia, rapat inlanders dan kumpulan politik "bumi putera" (Maret 1948).
            Setelah kelak semua persurat-kabaran, organisasi politik, dan semua penyiaran paham dengan tulisan dan lisan sudah dikekang kembali oleh PID Belanda, maka akan sampailah
kelak Belanda kepada saat, bilamana dia sendiri akan mengizinkan mengadakan "plebisit" atau buat menetapkan sendiri, bahwa tak perlu diadakan "plebisit" itu sama sekali.
















PENANGKAPAN MADIUN


Setelah saya sampai di Madiun pada pertengahan bulan Maret 1946, dengan maksud hendak mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan ke empat, maka terdengarlah kabar, bahwa Laskar Pesindo dengan kekuatan lebih kurang 800 (delapan ratus) orang, yang sengaja didatangkan dari daerah-daerah lain, sudah berada di kota Madiun. Kabarnya pula, pada malam hari yang lalu, mereka mengadakan “machtsvertoon”, mempertunjukkan kekuatan. Dengan membawa bermacam-macam senjata, mereka berbaris berkeliling kota dan melakukan tembak-tembakan. Di jalan-jalan masih terdapat banyak sekali sarang pelor.
Dari semulannya Kongres berniat hendak mengadakan pertunjukkan keprajuritan, setelah Kongres selesai. Tetapi kami sengaja tiada mengizinkan para laskar membawa senjata api. Pada tanggal 17 Maret, sehabisnya Kongres, pada pagi hari, maka semua laskar, yang berada di dalam kota sudah hadir di alun-alun. Juga semua Laskar Pesindo meminta pula kepada Kongres, supaya dapat pula hadir di alun-alun katanya untuk ikut menjaga keamanan. Permintaan itu dikabulkan. Pada kira-kira jam 8 pagi, ketika rapat akan dimulai, kelihatanlah di alun-alun Madiun Laskar Rakyat, Laskar Hizbullah, Laskar Buruh, Pesindo dan lain-lain. Mungkin juga ada hadir polisi dan tentara, tetapi tiada bersenjata. Cuma Laskar Pesindo saja yang bersenjata lengkap dengan karabin, tommygun, mitraliur.
Meskipun gerak-gerik Pesindo pada satu dua hari yang lampau sudah agak menarik perhatian saya, tetapi tiada sekejap pun saya berniat hendak membatalkan janji saya akan berbicara pada Rapat Besar di alun-alun itu. hampir pukul 12 selesailah rapat di alun-alun dan selesailah Kongres di Madiun.
Apabila kira-kira pukul empat petang, saya bersiap-siap hendak berangkat ke Magetan sebentar beristirahat, maka datanglah seorang pemuda tergopoh-gopoh melaporkan bahwa jalan menuju ke Magetan dijaga oleh segerombolan prajurit.
Apabila ditanyakan, apakah maksudnya penjagaan semacam itu, maka dijawab, bahwa penjagaan itu dimaksudkan untuk menangkap Tan Malaka, apabila kelak dia akan meninggalkan kota Madiun. Saya belum mengerti, oleh siapa, sebab apa, atas nama Badan Resmi apa, dan menurut undang-undang pasal berapa, saya harus ditangkap. Kepada beberapa pemuda saya minta supaya jalan-jalan yang lain ke luar Madiun diperiksa, apakah juga diawasi. Benarlah begitu! Semuanya rapi dijaga oleh gerombolan Laskar Pesindo.
Kemungkinan buat pertempuran di kota Madiun memangnya ada. Tetapi kami memangnya pula sama sekali tiada memikirkan hendak mengadakan perang saudara pada waktu musuh masih berada di tanah air Indonesia. Persiapan hendak mengadakan perang saudara dengan Laskar manapun juga sama sekali tidak ada. Sebelumnya saya berangkat ke Madiun, Laskar Pesindo masih anggota Persatuan Perjuangan. Pesindo memisahkan diri dari Persatuan Perjuangan ialah pada Kongres di Madiun, yang diadakan pada waktu Persatuan Perjuangan berkongres pula. Kongres Pesindo dihadiri oleh Amir Syarifuddin. Pada ketika itu dia memangku jabatan Menteri Pertahanan. Rupanya Amir sedang berusaha keras menjalankan penangkapan atas diri saya, yang kini sudah nyata perhubungannya dengan permintaan dalam Surat Delegasi Indonesia kepada Pemerintah, cocok dengan keterangan Amir sendiri, di depan MTA tanggal 22 Maret tahun 1948 ini. Pada ketika itu saya sama sekali tiada tahu, bahwa Amir Menteri Pertahanan ada di belakang Pesindo dengan maksud menangkap saya, atas permintaan Delegasi Indonesia dan dengan persetujuan Pemerintah Republik itu. Hanya saya mendapat kabar, bahwa Laskar Hizbullah dalam kota Madiun sudah dikepung oleh Pesindo dan semua Laskar yang di luar kota, yang tadi hadir dalam rapat besar di alun-alun sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Kemungkinan bagi saya untuk meloloskan diri juga ada, walaupun amat tipis, karena bulan terang benderang dan penjagaan amat rapi. Tetapi kalau di luar negeri saya dapat meloloskan diri berkali-kali, di Indonesia pun mungkin dapat pula, kalau memangnya saya betul-betul bermaksud begitu. Tetapi dengan demikian, maka saya akan terpaksa melepaskan perhubungan terang-terangan dengan Persatuan Perjuangan. Sedangkan pada waktu itu sudah ramai dibisik-bisikkan, bahwa saya cuma “Berani mengkritik Pemerintah saja, tetapi tiada berani memikul tanggung jawab pemerintah” sedikitnya, ternyata pada Rapat KNI Pusat di Solo pada tanggal 28 Pebruari sampai Maret 1946, bilamana Syahrir meletakkan jabatannya. Dan di samping itu dibisikkan lagi, bahwa karena saya sering lari lolos di luar negeri, kelak kalau perjuangan menjadi hangat, maka, katanya saya akan mencoba meloloskan diri pula”. Demikianlah mulai dibisikkan, bahwa “saya tak sanggup bertanggung jawab, baikpun terhadap pimpinan negara ataupun pimpinan pergerakan rakyat”. Sekarang sesudah diketahui oleh adanya Lima Serangkai (Abdul Madjit cs) seperti tuduhan Surat Kabar Murba, maka bisikan ular semacam itu, lebih mudah dimengerti.
Sedangkan saya memikirkan, sikap apa yang baik diambil, maka datanglah Wali Al-Fatah, Wakil Masyumi, yang mengambil bagian terkemuka dalam Persatuan Perjuangan mengunjungi saya membawa usul. Bersama-sama dengan Wali Al Fatah, datang juga saudara Haji Mukti, Masyumi dan anggota staf MBT sdr. Ngabdu dari Hizbullah, anggota Persatuan Perjuangan Daerah Ngawi, dan sdr. Bustami dari Laskar Rakyat, juga anggota Persatuan Perjuangan. Menurut Wali Al Fatah, maka dengan persetujuan pihak yang berkuasa di Madiun saya akan diantar ke presiden untuk mengadakan perundingan. Di rumahnya Tn. Susanto Tirtoprojo, yang pada masa itu menjabat pangkat Residen di Madiun, dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada saya di alun-alun, maka wakil P.T berkata kepada saya: tuan akan diantarkan ke Yogya dengan wujud hendak berunding dengan Presiden.
Wali Al Fatah memajukan di muka Residen, supaya keamanan diri Tan Malaka dijamin. Demikianlah kami ketika sudah jauh tengah malam dengan enam auto berangkat menuju ke Yogya. Diantara enam auto itu, maka satu auto dikendarai oleh sdr. Hadji Mukti, dari Masyumi dan MBT serta sdr. Ngabdu dari Masyumi dan Hizbullah; satu auto lagi dari sdr. Bustami dari Laskar Rakyat dan satu lagi oleh Sukarni, saya sendiri beserta tiga orang prajarit Laskar Rakyat Jawa Barat, ialah Legimin, Nurdin dan Rusli. Tiga auto lainnya dikendarai oleh P.T (Polisi Tentara) dan Joko Suyono, kepala MBT bagian organisasi.
Di pinggir-pinggir jalan menuju ke Ngawi, banyak sekali pemuda (penyelidik?) yang menaruh perhatian kepada iringan auto kami. Pada sebuah jembatan di luar kota, sudah siap satu stelling, lengkap dengan tommya-gun dan mitraliur yang dikuasai oleh Pesindo.
Di kiri-kanan jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula mengadakan stelling
Di kiri-kanan jembatan tadi kelihatan gerombolan Pesindo, yang bersenjata lengkap pula mengadakan stelling pula ke arah jalan raya. Setelah pemeriksaan oleh mereka atas penumpang auto dilakukan, maka kami berangkat terus.
Sesampainya di Kadi Polo, Solo, maka saya lihat auto yang ada, cuma ada 2 buah saja, ialah autonya P.T. pengantar dan auto saya sendiri. Di belakang hari saya tahu, bahwa auto yang lain-lain ketinggalan di Jalan, karena sering mengalami kerusakan.
Pemimpin P.T. mempersilahkan kami masuk ke sebuah rumah P.T. di tepi jalan. Dalam rumah itu terletak bermacam-macam senjata api. Oleh pemimpin P.T.dalam rumah itu dipersilahkan sdr.Sukarni masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah senjatanya diminta, maka pintu kamar itu dikunci. Saya memprotes kepada kepala pengantar P.T.Madiun dan memperingatkan, bahwa perlakuan ini adalah melanggar perjanjian kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar P.T. Madiun menjawab, bahwa dia cuma melakukan perintah saja dari P.T.Solo itu, dibenarkan dan saya dipersilahkan menunggu dalam sebuah kamar pula. Sebentar saja saya duduk dalam kamar itu, maka sekonyong-konyong kamar itu dikunci dari luar. Tiada berapa lama antaranya, maka dari kamar sebelah, saya dengar suara dari Mr.Yamin. Dia
mengatakan, bahwa pada kamar sebelah lagi berada sdr.Abikusno yang juga ikut berbicara dalam Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun. Pada masa itu saya belum tahu, apa sebab, oleh siapa, dan atas nama Instansi apa, kami berempat ditahan begitu saja.
Pada bulan Juli, tahun itu juga ketika di Mojokerto, saya dengar dari sdr.Moh.Saleh, Pemimpin Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, dan di Ponorogo pada bulan Agustus tahun 1947 dan sdr.Haji Mukti, bahwa mereka berdua, beserta mengunjungi Presiden, untuk menanyakan hal kami dan miminta supaya kami semua dibebaskan. Tetapi teranglah sudah, bahwa mereka tiada mendapatkan hasil dan jawab yang memuaskan.
Tiba-tiba pada senja hari tanggal 22 Maret, kami dipindahkan oleh P.T. ke sebuah rumah di tengah sawah di Jetis, beberapa kilometer jauhnya dari Solo. Di sini kami
dijaga dengan rapi oleh dua belas orang P.T.dari Yogya dan pada malam harinya juga oleh Laskar Rakyat, Solo. Mereka anggota Laskar Rakyat kelihatan amat serem! Dengan bambu
runcing mereka berkawal di depan pintu kami. Mulanya saya tiada mengerti tentang penjagaan yang begitu serem dan menunjukkan semangat permusuhan terhadap kami. Setelah
kebetulan saya di belakang dan melihat satu tulisan dengan huruf besar di dinding belakang rumah, barulah saya mengerti. Tulisan itu menyebutkan "NICA YANG HARUS DIBERANTAS".
Kebetulan saja diantara satu dua orang anggota Laskar mengenal pula satu dua orang diantara kami. Sukarni dikenal oleh salah seorang, yang pernah sama ikut bertempur dengan dia di Jakarta dan saya dikenal oleh salah seorang pengikut Almarhum Haji Misbach. Hilang lenyaplah persangkaan diantara Laskar Rakyat di kampung-kampung sekitar kami, bahwa adalah kaki Nica, seperti yang ditujukan oleh tulisan tersebut dan mungkin juga dibisikkan lebih dahulu, sebelum kami ditempatkan di sana.
Sekarang timbul perseteruan antara Laskar yang sekonyong-konyong insyaf akan kedudukan kami dengan para pengawa kami, ialah 12 orang anggota P.T. tetapi perseteruan ini dapat kami selesaikan, dan suasana menjadi baik sama sekali.
Pada suatu hari saya dikunjungi oleh Dj.Maj.Joko Suyono, yang katanya, menyampaikan "salam penghargaan" Amir, Menteri Pertahanan kepada saya. Dimajukannya pula, apakah saya mau dijumpakan dengan Amir Syarifuddin. Saya menjawab, seperti sudah saya tuliskan dahulu, bahwa saya cuma mau berunding dengan Amir sebagai orang merdeka dan setelah kami berempat dibebaskan.
Pada tanggal 22 April, kami dijemput oleh polisi Solo buat dipindahkan ke Tawang Mangu. Di sana kami berempat mulanya ditempatkan dalam satu rumah. Kemudian dipisah-pisah Sdr.Abikusno yang dibelakang hari diikuti oleh keluarga keduanya tinggal agak jauh dari rumah di mana saya diam. Saya tinggal bersama-sama sdr. Sukarni, yang dibelakang hari juga diikuti oleh isteri dan anak-anaknya. Di Tawang-Mangu kami berada di bawah pengawasan tentara di sana, dan diikuti ke mana saja kami pergi.
Setelah seminggu atau lebih saya berada di Tawang Mangu, maka mulailah saya menderita akibat makanan yang kurang teratur, selama sebulan saya tinggal di Jetis, Solo tadi. Penyakit perut yang sering saya alami di Tiongkok dan lain negeri ialah, apabila makanan kurang teratur (lantaran kemiskinan), bangkitlah kembali di Tawang Mangu dengan
kekuatan mendadak. Karena kekurangan dokter dan obat di Tawang Mangu, maka saya terpaksa memakai obat kampung saja. Sesudah lebih daripada seminggu menderita demikian dengan sangat, maka barulah didatangkan seorang dokter dari Solo. Besoknya saya diangkat ke Solo, ke rumah sakit Jebres. Dikatakan, bahwa saya menderita "entsteking" (tusukan) di usus dan buah pinggang.
Para tukang, kalau berkumpul-kumpul, biasalah menyangkut-nyangkut perkara pertukangan. Demikialahlah kami orang pergerakan, apalagi karena sudah senasib, setempat dan serumah sepenanggungan, banyak menyangkut-nyangkut perkara pergerakan politik Indonesia. Hal semacam itu tak bisa dan tiadalah pula perlu disingkirkan. Baik di rumah di Jetis, sunyi daripada masyarakat dan keluarga ataupun di Tawang Mangu, di mana kami berada dalam pengawasan, maka pembicaraan tentang pergerakan itu adalah sambal yang paling disukai.
          Pembicaraan yang semacam itu membangunkan semua perhatian dan pengharapan yang kami taruhkan pada pergerakan Rakyat Indonesia: It is stimulating, menghidupkan, kata pepatah asing.
Buat saya sendiri percakapan dengan VETERAN pergerakan seperti Abikusno dan Yamin, serta dengan pemuda seperti Sukarni, adalah pelajaran, yang sangat berguna. Keterangan yang saya peroleh tentang pergerakan dan "Who's who", tentang sifat dan sejarahnya mereka yang terkemuka dalam pergerakan Indonesia, selama lebih kurang seperempat abad saya tinggalkan, adalah jembatan buat menyambungkan sejarah terpotong, ialah bagian sejarah antara saya meninggalkan pergerakan Indonesia pada bulan Maret 1942 dengan Januari 1946, ketika saya kembali berada di tengah-tengah rakyat jelata.
Terutama pula oleh banyak bukti yang dikemukakan oleh Yamin, yang masih ingat akan tanggal, tempat, orang dan kejadian, yang sukar buat dibantah; oleh Abikusno, yang berbahagia mengalami pergerakan Yang Lama dan Yang Baru, gerakan Sarekat Islam sampai ke Proklamasi; oleh Sukarni salah seorang pemuda Jakarta yang terkemuka dalam gerakan Proklamasi 17 Agustus oleh semuanya itulah banyak patung dewa, yang selamanya ini dipuja oleh umum dan saya hormati pula, jatuh pecah-belah, di depan kaki saya. Sebaliknya pula adalah "unknown greatheness", orang besar yang tak terkenal, yang
naik melambung di depan mata saya.
Seperti lebih sedikit dan seperempat abad lampau, bilamana saya, siang atau malam, saya menerobos ke kamarnya Subarjo, demikianlah pula di Tawang Mangu, apabila saya merasa perlu, diantarkan oleh para pengawas, saya menerobos ke rumahnya Subarjo. Pun dari orang yang sudah mengelilingi dunia ini banyak saya peroleh pengetahuan tentang "Who is who" yang berfaedah buat saya untuk menyeberangi banjir revolusi ini.
Tiadalah dapat saya lupakan percakapan dengan Iwa Kusumasumantri, seorang yang sangat menderita tindasan hidup dan kesunyian jiwa di zaman "Hindia Belanda" tiada kurang dari penderitaan para pemimpin nasionalis yang manapun juga.
Tetapi lebih daripada percakapan antara seorang dengan seorang tiadalah bisa dan tiadalah boleh saya lakukan dengan mereka tersebut di atas. Seperti masing-masingnya mereka tadi, mempunyai Program dan Ikatan Organisasi sendiri, saya pun merasa terikat kepada program saya sendiri, cara berjuang saya sendiri dan masih merasa terikat kepada semua keputusan yang sudah diambil oleh Persatuan Perjuangan. Saya merasa, tiadalah
boleh begitu saja memutuskan sendiri sesuatu hal, serta bertindak sendiri sebelumnya saya berjumpa kembali dengan teman seperjuangan, yang sudah dipaksa berpisah: semenjak
penangkapan 17 Maret di Madiun itu.
Ketika berlakunya peristiwa 3 Juli itu, maka saya berada bersama Sdr.Abikusno dan Sukarni di Tawang Mangu, lebih kurang 100 km jauhnya dari Yogyakarta. Apa yang sesungguhnya berlaku dan siapa yang melakukannya, sebenarnya barulah sesudah pemeriksaan M.T.A, yang dimulai pada 19 Pebruari 1948 ini saya ketahui. Tentang apa yang dinamakan "penculikan" itu, barulah saya dengan dari radio di Tawang Mangu, lebih kurang 5 Juli sore. Sampai pemeriksaan resmi dalam pengadilan M.T.A jadi selama lebih daripada satu setengah tahun di belakangnya masih tebal sekali kegelapan di depan mata saya terhadap
peristiwa tersebut.
Apalagi ketika peristiwa itu, semuanya adalah teka-teki belaka buat saya. Dalam keadaan begitu,  maka pada pagi hari tanggal 6 Juli kami didatangi oleh seorang opsir
T.R.I dari Solo, katanya buat "berunding" dengan Panglima Besar. Kami (Abikusno, Sukarni dan saya sendiri) tidak mau percaya begitu saja diundang tak dengan surat. Lagipula kami tiada begitu saja mau meninggalkan Tawang Mangu dengan tiada izinnya pemimpin tentara di sana, seperti sudah ditetapkan atas kami sebagai orang tahanan.
Kami meminta opsir T.R.I tadi kembali ke Solo mengambil surat undangan dari Panglima Besar. Sorenya datanglah dari Solo seorang opsir T.R.I juga bernama Fajar,
yang mengunjungi kami ke Solo pula untuk berunding dengan Panglima Besar Sudirman. Katanya pula, nanti malam hari ini juga kami boleh kembali ke Tawang Mangu.
Oleh karena kami sudah kenal sama opsir Fajar di Tawang Mangu dan Kepala Pasukan Tawang Mangu Sastro, berada di Solo pula, maka kami berangkat dengan auto menuju ke Solo.
           Oleh karena sedikit sekali kami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar Tawang Mangu dan percaya kepada perkataan Fajar, bahwa kami akan segera dikembalikan ke Tawang Mangu, maka tak ada diantara kami yang mengadakan persiapan buat
bermalam di lain tempat. Saya sendiri cuma berangkat dengan sepotong pakaian saja. Berhubung dengan mudahnya terganggu kesehatan maka hal itu tak pernah saya lakukan. Tetapi sebab percaya kepada perkataan opsir Fajar tadi, maka saya seperti juga Abikusno dan Sukarni tidalah memikirkan kemungkinan bermalam di tempat itu.
Sampai di Solo kami dibawa ke rumahnya Komandan Divisi VI dekat rumah sakit di Jebres. Di sana kami menunggu kabar, bila kami akan dijumpakan dengan Panglima Besar. Setelah lebih dari pada satu jam kami menunggu, maka datanglah kabar, bahwa katanya, Panglima Besar tadi siang hari berangkat ke Yogya oleh Mayor Mursito.
Kami tak mau begitu saja percaya atas undangan “berunding” dengan Presiden itu. Tiga setengah bulan lampau, saya juga diantarkan ke Yogya buat "berunding" dengan
Presiden, tetapi tersangkut di rumah tahanan di Kadipolo, Solo. Kami meminta diperjumpakan lebih dahulu dengan Komandan Tawang Mangu, yang berada di Solo, supaya kami dapat mengetahui hal ikhwal yang perlu kami ketahui. Kami mengancam akan pergi sendiri mencari Sastro, komandan pasukan Tawang Mangu. Beberapa kali saya ucapkan, "Apakah kami akan diserahkan begitu saja, entah kepada siapa pula".
Dalam pada itu suara radio sedang memperdengungkan sekali lagi "pengumuman resmi" tentang "coup d'etat Tan Malaka yang gagal, katanya itu. Dari opsir Fajar, datang pula sepucuk surat, yang mengatakan, bahwa "sejarahlah kelak yang akan
menentukan, apakah dia pengkhianat atau tidak terhadap kami" yang dialamatkannya sebagai bapak. Baru saya agak insyaf akan keadaan saya, walaupun sama sekali belum mengerti duduknya perkara yang sebenarnya.
Apabila komandan batalyon Tawang Mangu Sastro, datang dengan celana pendek dan baju kemeja saja, diapit pula kiri kanan dan di belakang oleh beberapa prajurit yang kelihatan mengawasi gerak-geriknya komandan Sastro itu, maka saya sudah insyaf benar, bahwa kami ditipu lagi oleh bujukan "berunding" mulanya dengan Panglima Besar, kemudian dengan Presiden.
           Komandan Sastro mengucapkan beberapa perkataan yang menunjukkan, bahwa dia tiada berdaya lagi, dan minta dengan suara yang amat menyedihkan supaya kami berangkat saja ke Yogya.
Satu auto buat kami bertiga dan Mayor Mursito dan satu lagi, ditambah pula dengan satu truk penuh dengan para prajurit bersenjata lengkap sudah siap di luar rumah untuk mengiringkan kami ke Yogya. Seperti dugaan saya, sesudah berjumpa dengan Sastro, komandan batalyon, maka benarlah kami bukan dibawa ke istana Presiden buat "berunding", melainkan buat dimasukkan ke penjara Sentul. Di sinilah akhirnya saya berada di atas tempat tidur batu dengan sehelai tikar tipis dan pakaian sepotong,kira-kira jam empat pagi.
Saya rasa benar akibatnya "Pengumuman Resmi", tentang "coup d'etat" Tan Malaka", yang didengung-dengungkan oleh semuanya radio pemerintah dan Badan, selama lebih kurang seminggu, dan disiarkan oleh semua surat kabar, oleh rapat terbuka dan tertutup, apalagi oleh bisikan berbisa di mana-mana tempat di masa itu oleh golongan lawan. Pelayanan yang saya alami dalam penjara dan di perjalanan dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, di masa itu tiadalah bedanya dengan pelayanan yang seharusnya ditimpakan kepada "Public Enemy No.1" (Musuh Umum No.1).
Di tengah-tengah rakyat yang sudah diracuni oleh "Pengumuman Resmi", yang dalam hakekatnya di luar penuduh dan penghukum, serta memutuskan saya sebagai kepala penjahat, sebelumnya sesuatu tuduhan yang berdasarkan sesuatu pelanggaran aturan yang sudah ada, terhadap diri saya, diperiksa serta diputuskan oleh satu pengadilan yang sah dan tidak berpihak sebelah di tengah-tengah dengungan radio, siaran surat kabar dan bisikan ular itulah paa tanggal 13 Juli, pagi hari kami bertiga (Abikusno, Sukarni dan saya), dikeluarkan dari penjara Wirogunan (Sentul) diiringi dengan bayonet terhunus ke suatu mobil, yang mengangkut kami ke sebelahnya stasiun Tugu. Sebelumnya naik gerobak "istimewa" yang penuh dengan pengawal, kami di "potret" oleh Tuan Sumarsono, inspektur Polisi, Yogya. Sebelumnya itu, di dalam penjara pun, di belakang tirai besi saya sudah mendapat kehormatan, seperti seorang penjahat mendapat kehormatan "dipotret" seperti itu juga. Di dalam kereta, kelihatan Mr.Yamin, dan Mr. Subarjo.
Oleh kepala pengawas, Tuan Mukojo saya diminta duduk tersendiri di tengah-tengah para prajurit pengawas.
            Demikianlah akhirnya kereta berangkat, bagi saya, di masa itu, entah ke mana......
Pada petang harinya tanggal 13 Juli kami berangkat itu, kami tiba di Mojokerto. Barulah saya tahu, bahwa inilah tempat yang dituju. Di luar stasiun Mojokerto, ketika saya berada di luar mobil, maka diantara khalayak ramai di pinggir jalan ada yang berteriak mengenal dan memanggil menyebut nama saya. Oleh pengawas di pinggir mobil, suaranya segera diperhentikan dengan acungan bayonet dan perkataan: "mau apa?"
Akhirnya mobil berhenti dan kami dimasukkan ke dalam sebuah kamar di kantor P.A.M. (Penyelidik Aliran Masyarakat) di samping kantor polisi di jalan Kabupaten. Di sana sudah ada beberapa orang tahanan yang lain ialah Domo Pranoto, Mr. Daljono, Ismangun Winoto, dan Jamaludin Tamin. Malam hari itu juga kami dipisah-pisah. Yang tinggal di Mojokerto di kamar P.A.M. tersebut cuma Mr.Yamin, Domo Pranoto, Mr. Daljono dan saya sendiri. Yang lain-lain, ialah Sukarni, Jamaludin, Mr. Subarjo, Abikusno dan lain-lain disebarkan pada beberapa tempat entah dimana.
Saya tiada mempunyai apa-apa, di luar sepotong, pakaian. Alat mandi sama sekali saya tiada punya. Selimut yang amat saya butuhkan, baru lebih kurang lima bulan di kemudian hari saya peroleh dari Yogya. Kutu-busuk dan nyamuk mengamuk
semau-maunya, sedangkan kami tak mempunyai kelambu. Pada beberapa hari permulaan, kami tiada diperbolehkan keluar kamar buat sedikit gerak badan. Keluar kamar mandi pun haruslah dengan izin penjaga lebih dahulu. Ke kamar mandi itu, pun kami diikuti oleh prajurit dengan sangkur terhunus.
Pada tanggal 19 Juli malam, kami sekonyong-konyong disuruh bersiap untuk diberangkatkan. "Kemana", atas perintah "siapa" tiadalah perlu ditanyakan, karena tak akan mendapat jawaban. Dalam keadaan begitu, maka filsafat saya biasanya cuma satu: "Saya dianggap musuh dan saya berada dalam keadaan tak berdaya. Tetapi saya menganggap berada dalam kebenaran!!!
Sebab itu senantiasa bersiap-siap menerima apa saja, yang akan dijatuhkan atas diri saya dengan hati tetap tabah". Ini memangnya adalah filsafat, yang sudah berkali-kali memberi kekuatan kepada saya dalam keadaan bahaya. Dalam suasana semangat semacam tersebut, maka semua macam kesangsian biasanya hilang lenyap, laksana kabut disinari matahari.
            Bahkan ada saat yang pernah saya rasa, bilamana saya anggap pelorpun akan melantun kembali mengenai jantung yang menembakkannya! Tidak saja terasa kodrat jiwa yang bangun bergelora, sebagai akibat merasa dalam kebenaran tetapi terasa pula kegembiraan yang menyala-nyala, karena terbayangnya pembalasan yang setimpal di depan mata.
Saya sungguh harapkan seseorang yang mempunyai jiwa revolusioner mengalami perasaan semacam itu tadi,yakni: Melihat pelor, yang ditembakkan menuju ke jantung orang yang tak bersalah itu melayang kembali ke penjuru yang menembakkan.
Apabila auto kami sampai dekat garis pertahanan, maka memangnya ada timbul sedikit kecurigaan di hati saya. Kalau-kalau auto ini menuju ke Surabaya, ke tempat Belanda. Kenapa tidak? Pelayanan yang saya terima dari pemerintah Republik, semenjak 6 Juli, malam juga semenjak 17 Maret 1946, tiada sedikitpun memberi kepercayaan kepada saya,bahwa saya masih dianggap "lawan politik" saja dan masih mempunyai hak sebagai manusia, dan hak sebagai warga negara Republik.
           Apalagi kini, setelah keterangan Amir di depan M.T.A tentang adanya permintaan Delegasi di bawah pimpinan Syahrir, untuk menangkap saya itu, maka kecurigaan saya itu lebih mendapat alasan lagi.
Setelah auto mulai naik gunung dan akhirnya berhenti di Pacet, maka barulah saya tahu, bahwa kami berempat dipindahkan ke sana. Di sini kami berempat dikunci dalam
sebuah kamar. Kasur tak ada. Dinginnya bukan kepalang. Apalagi karena kamar kecil itu berada di samping kamar mandi. Tikarlah yang dibuat menjadi kasur di atas ubin, dan tikarlah pula yang dijadikan selimut di Pacet, yang terletak di pinggang gunung itu.
Dari celah dinding, esoknya kami dapat melihat beberapa tahanan yang lain-lain, ialah Mr.Iwa, Abikusno, Karto Pandojo dan Surono.
Pada tanggal 24 sekonyong-konyong pula diperintahkan kepada kami, pada malam hari, bahwa kami harus pula bersiap-siap. Pada malam harinya itu kami dibawa kembali ke kamar P.A.M, Mojokerto, di jalan Kabupaten di tempat dahulu.
Apakah yang terjadi sepeninggal kami dalam empat lima hari itu? Baru berbulan-bulan di kemudian hari hal ini agak terang bagi saya.
Surat kabar BAKTI no.81, yang dikuasai oleh Pesindo, membuka tabir di depan apa yang terjadi pada tanggal 22 Juli 1946 ketika kami masih berada di Pacet itu.
Demikianlah dalam Induk Karangan sk BAKTI itu, dengan berkepala "TAN MALAKA dan KONCO-KONCONYA" tertulis antara lain"
"Kemarin (jadi tgl. 2 Desember 1946! Pen!)  tersiar berita dalam surat kabar, yang menerangkan: bahwa Tan Malaka cs. telah diperiksa dan berjalan lancar. Konon atas permintaan Tan Malaka sendiri, maka pemeriksaan akan dilakukan di dalam sidang pengadilan terbuka".
"Dengan tidak mendahului kebijasanaan Pemerintah, di sini kami kemukakan pendapat sekadarnya berpaut dengan soal besar tersebut".
"Kalau kita perhatikan pengumuman Pemerintah yang disiarkan oleh "Antara" tanggal 6 Juli 1946, tegaslah sudah, bahwa penculikan Perdana Menteri di Solo pada tanggal 27 masuk 28 Juni 1946 malam, adalah suatu pendahuluan daripada aksi Tan Malaka untuk merebut kekuasaan negara dengan perkosa".
"Pemerintah sendiri mengatakan, bahwa perbuatan Tan Malaka cs. adalah "coup d'etat" atau serobotan kekuasaan. Jadi nyatalah, aksi Tan Malaka itu betul-betul akan merobohkan Pemerintah".
"Seratus lima puluh ribu rakyat dari segala lapisan pada tanggal 22 Juli telah berkumpul di alun-alun Mojokerto perlu mendengarkan kelakuan Tan Malaka cs. Kemudian diambil putusan, yang antara lain memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah hendaknya mengambil sikap yang tegas dan nyata terhadap mereka yang sudah merobohkan Pemerintah, juga rakyat memutuskan: Menentang segenap usahaha "kompromi" terhadap mereka (Tan Malaka cs)".
"Mengingat suara rakyat yang menggelora itu kiranya tidak ada salahnya, manakala pemerintah dalam menghukum Tan Malaka cs.menerima pula suara rakyat itu yang lazim dikatakan oleh pujangga "Suara Tuhan"
Sekianlah sk. BAKTI.
Baru setelah lima enam bulan dalam keadaan terpisah dan tak tahu apa-apa, saya mendapatkan penjelasan yang agak lebih lengkap tentang rapat seratus lima puluh ribu Rakyat Mojokerto, yang dijalankan ketika saya berada di Pacet itu.
            Rapat raksasa di Mojokerto pada tanggal 22 Juli 1946 itu rupanya ada hubungannya dengan pemindahan kami pada malam hari ke Pacet pada tanggal 19 Juli itu, yang dilakukan dengan gugup dan tergopoh-gopoh itu.
Ada lagi keterangan yang saya peroleh, selainnya daripada laporan bahwa 150.000 orang yang "mendesak Pemerintah"...."mengambil sikap yang tegas dan nyata" terhadap
Tan Malaka cs. yang melakukan perbuatan "coup d'etat" atau merobohkan kekuasaan itu.
Sumarsono, Pesindo, kabarnya mengemukakan dalam rapat, yang dikunjungi oleh 150.000 orang itu, bahwa dia mempunyai "bukti yang nyata", bahwa Tan Malaka hendak merobohkan Pemerintah.
Kusnandar, Pesindo, juga berbicara: di depan 150.000 orang mengatakan, bahwa dia sudah memerintahkan laskarnya pergi ke Yogya membantu pemerintah dan memerintahkan pula supaya jangan kembali, selama golongan penyerobot kekuasaan
itu masih ada.
Muntalib, Pesindo, mendesak supaya Tan Malaka cs. dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Yang tiada menyinggung-nyinggung "coup d'etat" pada Rapat Besar di Mojokerto itu, ialah pembicara Sutomo B.P.R.I., lebih terkenal lagi dengan nama Bung Tomo. Malah ada orang lain yang mendengarkan pidato radio Bung Tomo di belakang hari, bilamana dia menyerukan kepada para pendengar, supaya disampaikan salah pahamnya semula terhadap saya dan memintakan maaf. Saya sendiri ragu-ragu apakah sendiri mendengar pidato
radio itu atau tidak. Tetapi pesan Bung Tomo itu saya mendengar bukan sekali dua saja, mungkin pula Bung Tomo, bekas anggota Persatuan Perjuangan itu, belum lagi lupa, bahwa dia pernah membela MINIMUM PROGRAM.
Tetapi ada lagi yang terpenting di sekitarnya. Rapat Raksasa di alun-alun Mojokerto itu. Sebelumnya Rapat itu dilakukan, maka di kampung-kampung sudah "ditanyakan" kepada
penduduk "hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepada Tan Malaka".
"Walaupun ini cuma berupa pertanyaan saja, tetapi bagi Rakyat Mojokerto, yang di masa Jepang dan Republik pernah menyaksikan "hukuman pancung" di alun-alun di depan ribuan khalayak, maka pertanyaan semacam itu banyak mengandung sugesti, petunjuk. Pertanyaan semacam itu mudah membangunkan hawa nafsu jahat yang tak dapat dikendali. Seperti dalam surat kabar BERDJOANG di Malang, maka di Mojokerto gambar Tan Malaka
juga dibalikkan, sebagai simbol orang jatuh terbalik. Gambaran itu dibesarkan dan dipanggul untuk dipertontonkan, ketika menuju ke alun-alun Mojokerto.
Takut akan diserobot, sebagai akibatnya "pidato" para pemimpin seperti Sumarsono, Kusnandar dan Muntalib diataslah, rupanya para polisi yang menjaga kami di P.A.M tergopoh-gopoh melarikan kami ke Pacet di waktu malam, dua tiga hari sebelumnya Rapat Raksasa diadakan di alun-alun itu.
Suasana yang hangat, karena sudah sangat dihangatkan pada rapat-raksasa di Mojokerto itu diperhangat oleh pidato-pidato dan rapat-besaran yang dilakukan oleh Presiden
dan Wakil Presiden di Malang dan oleh Amir sebagai Menteri Pertahanan di Sidoarjo. Suasana semacam itu sudah menimbulkan aksi-ramai ala "penyembelihan September" di masa revolusi Perancis! Inikah yang dikehendaki oleh lawan politik kami di
masa itu?
Di Pacet pun saya tiada berada dalam keadaan aman! Adapula di antara anggota Pesindo, yang tiada mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, yang mendesak supaya saya diserahkan kebawah penjagaannya. Tetapi ini rupanya mendapat sangkalan keras dari temannya sendiri. Kabarnya konon si "teman" menyuruh salah satu diantara dua pistol buat tembak menembak di antara mereka sendiri sebelumnya Tan Malaka diambil.
Pada bulan Agustus kami dipindahkan ke Dagusan, Mojokerto. Di sini kami berada dalam pengawasan P.I (Polisi Istimewa) dan memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik daripada semenjak permulaan bulan Juli. Di Bagusan saya berjumpa dengan sdr. Sudijono, P.B.Merdeka sekarang, dan dibelakang hari juga dengan Mr.Subarjo dan Sukarni.
Polisi Istimewa Mojokerto, dibawah pimpinan tegap Tuan Sucipto adalah polisi, yang terus menerus ikut bertempur di front Surabaya. Bukan ikut-ikutan saja. Polisi Istimewa Mojokerto di masa itu ikut berjuang sebagai pasukan, yang diakui patriotisme dan keprawiraannya. Mereka ikut bertempur semenjak perang Surabaya. Ikut mengundurkan diri sebagai siasat umum dan mereka mengandung semangat anti penjajahan sampai-sampai ke benak dan tulang sumsumnya.Dan pihak prajurit semacam ini, di mana saja, dan bilamana saja, kami senantiasa menerima pelayanan yang adil dan penuh prikemanusiaan. Kami
pun merasa aman, bahkan gembira, apabila di tengah-tengah pemuda perwira, pencinta serta pembela Republik dan Rakyat Murba serta bertindak membela kemerdekaan 100%. Terhadap anak buahnya sendiri Tuan Sucipto, selain menaruh perhatian penuh, seolah-olah bapak terhadap anaknya. Terhadap kami Tuan Sucipto beserta para pembantunya berlaku seperti anak terhadap bapaknya. Tetapi malangnya bagi kami, tiadalah selamanya kami dibolehkan tinggal di sana. Sekonyong-konyong kami dipisah-pisah pula. Saya dikembalikan ke kamar P.A.M. di jalan Kabupaten.
Di sini sudah berkumpul pula beberapa orang tahanan, di antaranya Sdr. Moh.Saleh, Mr. Yamin, Mr. Subarjo, Sukarni, Suryodininggrat, Jamaludin Tamim. Pada malamnya 30-31 Oktober 1946 itu tiba-tiba Sumarsono, Pesindo, ialah teman seperjuangannya di masa lampau. Apa yang dibicarakan oleh mereka tiadalah kami dengar. Tetapi besok pagi harinya, kami menyaksikan peristiwa yang agak ganjil.
Mulai pagi hari sekali kami melihat segerombolan Laskar Pesindo memanggul bedil dan mitraliur, yang ditaruh di belakang tembok, di depan rumah Kabupaten. Anehnya pula, mulut mitraliur itu ditujukan ke rumah tempat tinggal kami tinggal. Jarak rumah kami dengan mulut mitraliur Pesindo itu cuma kurang lebih 20 meter saja. Saya ingat lagi kepada mulut
mitraliur Pesindo, yang pada tanggal 17 Maret tahun tersebut juga, di alun-alun Madiun ditujukan ke mimbar saya berpidato.
            Cuma pada waktu itu di alun-alun Madiun ada ribuan bambu runcing dan pelbagai laskar di samping lebih kurang seratus orang anggota Pesindo yang bersenjata lengkap itu. Tetapi ini kali di Mojokerto saya beserta para tahanan lainnya dalam keadaan tak berdaya. Umumnya para pemuda, yang sungguh perwira, tak akan mengacungkan Tommy-gun dan mitraliur kepada mereka orang tua yang tidak berdaya dan cuma dianggap musuh,
karena perbedaan paham politik saja dengan para pemimpin itu sendiri. Teristimewa pula, kalau para pemuda itu sendiri.
            Teristimewa pula, kalau para pemuda tadi belum lagi mendapatkan penerangan dan kedua belah pihak dan cuma dari satu pihak yang berkepentingan saja.
Tetapi untunglah tiada semuanya pemuda Indonesia, bahkan tiada semua pemuda Mojokerto-pun, walaupun Mojokerto dibawah kekuasaan Pesindo, memandang kami orang tua sebagai musuh, yang zonder pengadilan teratur, harus dihadapi dengan mulut tommy-gun dan mitraliur begitu saja. Mungkin juga ada terpendam pada sanubari pemuda yang sabar perwira, bahwa sedikitnya kami orang-tua ini sudah lebih banyak memakan garam
politik daripada mereka sendiri.
Sedangkan Pesindo asyik membikin "stelling" 20 meter jauhnya di depan rumah kami itu, maka satu dua orang prajurit menyampaikan salamnya kepada saya atas nama para prajurit bersenjata lengkap pula yang berstelling pula di belakang rumah kami. Di sekitar rumah Kabupaten saya menyaksikan sedikit gerakan pula. Entah gerakan siapa dan dengan maksud apa, belum saya ketahui pada masa itu. Cuma setelah beberapa lama, maka Pesindo meninggalkan "steling"-nya dan memanggul tommy-gun dan mitraliurnya kembali ke Mojokerto.
Dari dua tiga pihak, yang boleh saya percaya, maka di belakang hari saya mendapat kabar, bahwa setelah Pesindo mengadakan "stelling" itu, maka segeralah timbul beberapa "steling-stelling lain, yang maksudnya bukan membantu, melainkan mengawasi "stelling" Pesindo tadi. Kabarnya konon di belakang rumah kami dan di jembatan kali Brantas, jadinya di depan dan di sebelah kanannya "stelling" Pesindo, maka P.I (Polisi Istimewa) mengadakan stelling pula. Seterusnya di belakang Kabupaten, jadi dibelakangnya "stelling" Pesindo,
maka oleh P.I. (Polisi) diadakan pula satu "stelling". Tiada begitu saja. Di sebelah kanan kami, jadi di sebelah kirinya "stelling" Pesindo, anggota B.P.R.I (Pemberontak) (bahkan
katanya di samping oleh beberapa anggota Pesindo sendiri) mengadakan stelling juga.
Semua stelling di depan dan di belakang, serta di kiri dan di kanannya "stelling" Pesindo ini depan kabarnya konon cuma menunggu satu letusan yang mungkin keluar dari mulut mitraliur kepada kami orang tua tahanan, yang berada dalam keadaan tak berdaya itu. Satu saja letusan keluar dari pihak Pesindo ke arah kami, maka akan dijawab oleh puluhan kalau perlu 1001 letusan dari kiri kanan serta muka dan belakang yang akan ditujukan ke arah "stelling" Pesindo itu.
`Memangnya pula, maka menurut dugaan saya sendiri, walaupun kami berada dalam tahanan, bilamana radio, surat kabar dan bisikan fluister kompagne, dengan leluasa menyemburkan racun fitnahan, tetapi ada kodrat kebenaran terpendam, yang dipegang teguh oleh segerombolan "unknownfriendly powers". Tentara-teman-terpendam inilah yang
memberikan perlindungan kepada kami, walaupun dengan diam-diam, karena dalam keadaan handicapped. Kemana saja saya dipergikan, selama dalam tahanan saya insyaf benar akan adanya .
            Tentara-teman-terpendam itu. Saya pun insyaf, akan berlakunya dalam sesuatu masyrakat manusia pepatah "teeth for teeth, eyes for eyes". Apa saja tindakan yang akan dijalankan kepada kami secara sewenang-wenang, akan dibalas pula menurut undang-undang balas-membalas, bayar-membayar, mungkin dengan rente yang tinggi sekali. Seolah-olah darah dan jiwa manusia, yang tiada bersalah (innocent), sanggup memanggil satu tentara
pembalasan. Banyak orang yang tiada gentar, bahkan sebaiknya dengan penuh semangat keprawiraan menghadapi maut, karena insyaf, akan timbulnya kelak pembalasan, sesudah jiwanya melayang.
Saya sendiri yakin, bahwa di masa itu pun, tiadalah semua anggota Pesindo, menentang Minimum Program dan yang memandang saya sebagai seorang  musuh, yang harus dilenyapkan begitu saja, dengan tiada pemeriksaan lebih dahulu. Apalagi mestinya sekarang dan setelah ternyata bahwa pada penangkapan di Madiun Pesindo diperalatkan buat memenuhi permintaan
Delegasi, yang sedang berunding dengan Belanda-Inggris, ialah wakil imperialisme, yang telah melakukan penangkapan dan pembuangan atas diri saya. Begitu juga anggota B.P.R.I. Mojekerto, yang akhirnya mengerti akan duduk perkara yang sebenarnya, sampai mereka ikut ber-"stelling" menghadapi Pesindo, seperti tersebut di atas, mengambil sikap dan
tindakan yang bertentangan dengan sikap dan tindakan ahli pidato radio pemberontak cabang Solo, bernama Purwanto yang dua malam berturut-turut membuka "kedok Tan Malaka" dan
bersertu-seru di depan radionya dengan semangat bernafsu, menganjurkan, supaya Tan Malaka "dipelori" saja.
Di belakang hari saya dengar kabar, bahwa stelling Pesindo tadi dimaksudkan untuk mengambil kami dan P.A.M supaya Pesindo sendiri, yang akan memberi "perlindungan". Dan satu pihak saya dengar kabar, karena kami dirasa terlampau leluasa dalam kamar P.A.M. itu. Dan pihak lain saya dengar, oleh karena beberapa orang Pesindo hendak memberikan perlindungan kepada kami. Entah mana yang benarnya! Cuma kami sendiri tak pernah memita "perlindungan" itu kepada Pesindo kata laporan lain pula, penyerahan kami kepada Pesindo itu sudah dibenarkan oleh Mr.Mulyanto, wakil Kejaksaan. Jika kabar itu benar, maka
Mr. Mulyanto sudah memberikan izin kepada Pesindo buat memberikan "perlindungan" kepada kami mudah-mudahan saja laporan ini tiada benar.
Tetapi "perlindungan" itu, kalau terjadi mungkin tidak akan memberikan "perlindungan" kepada persatuan buat perjuangan, melainkan sebaliknya, mungkin sekali akan memberikan "perlindungan" kepada sengketa dendam kesumat antara golongan Pesindo dengan golongan yang rupanya terlampau diabaikan oleh sebagian pemuda Pesindo, ialah golongan kami sendiri.
Di Trawas, setelah Suryodininggrat, Jamaludin dan lain-lain dipindahkan ke sana, tiada lama sesudah peristiwa main "stelling" di depan kami di Mojokerto tadi, maka pada
waktu jauh malam, segerombolan Pesindo datang pula dengan senjata lengkap, mulut ditutup dan sikap yang galak, bertanyakan kepada mereka tahanan tersebut di atas, apakah di sana ada Tan Malaka.
Tak ada diantara orang tawanan yang ada pada malam itu ragu-ragu akan maksud anggota Pesindo di Trawas itu. Rupanya PAM dan Polisi Istimewa Mojokerto insaf benar akan akibatnya penyerahan diri saya oleh Mr.Mulyatno itu, kepada Pesindo dan
menolak keras penyerahan itu.
Pada tanggal 1 Nopember 1946 itu, tiba-tiba saya disuruh bersiap buat menemui beberapa wakil dan Kejaksaan.
            Saya ingat adalah tujuh orang yang hadir dan Kejaksaan, dibawah pimpinan Mr. Mulyatno. Tanya jawab pada masa itu tiadalah perlu saya ulang di sini.
Kebanyakan pertanyaan itu adalah baru bagi saya. Demikian pula, beberapa pertanyaan, yang dimajukan oleh Tuan Suparto sendirian, beberapa hari kemudian di Bagusan, di gedung P.I. kepada saya. Pada tanya jawab itu saya tiada pernah menaruh perhatian. Pertama karena saya sedang menderita penyakit kaki, yang pernah menyerang saya, ketika di Bayah (Banten), penyakit mana menyebabkan susah berjalan dan sakit
di kepala, karena bergerak sedikit saja. Kedua saya tiada diberitahukan lebih dahulu, apakah maksudnya soal jawab itu, dan tiada pula "confronted with the accusation" dihadapkan
dengan tuduhan, seperti lazim dilakukan oleh Negara Hukum dan Negara Demokratis. Tiadalah pula saya ingin, berdebat tentang hak seseorang tertuduh. Saya merasa, bahwa terhadap diri saya sudah satu kebiasaan saja orang tiada perlu menghiraukan sesuatu tuduhan tentang pelanggaran undang-undang yang sudah diterapkan oleh Badan yang sah, menurut aturan demokrasi. Begitu oleh "Hindia Belanda" pada tahun 1922; begitu pula oleh Pemerintah Amerika di Manila pada tahun 1927 dan begitu pula oleh Pemerintah Inggris di Hongkong pada tahun 1932. Kalau Republik Indonesia, yang berunding dengan ketiga wakil
imperialisme di massa itu tiada pula maju ke depan dengan tuduhan pelanggaran yang nyata tertulis, hitam di atas putih, sama sekali tiada mengherankan saya lagi. Bertanyakan tentang
hal itu seperti saya lakukan di Manila dan Hongkong tiadalah saya rasa perlu. Protes tak akan ada gunanya. Sudahlah terang bagi saya duduknya perkara, apabila Tuan Suparto dengan suara tinggi pada suatu ketika, bertanyakan sesuatu hal kepada saya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Apabila pada ketika itu tanya jawab agak berlaku sedikit keras, maka saya lihat para pengawal bergerak dengan sangkur terhunus dari pendopo rumah Kabupaten menuju ke gang dan pintu kamar pemeriksaan. Cuma prajurit pemegang sangkur terhunus itu sudah saya  kenal lebih dahulu. Senyumnya kepada saya sudah saya maklumi.
Tetapi pemeriksaan ini ada memberi pengharapan baru, bahkan sedikit kegembiraan kepada saya, karena saya mendapat kepastian dari Mr. Mulyatno (yang sungguh salah seorang diantara beberapa pemeriksa lain-lainnya berlaku ramah-tamah dan sopan santun dalam pemeriksaan tadi) ialah kepastian, bahwa kelak pemeriksaan saya akan dilakukan di depan umum.
Alangkah bangganya saya kelak tentang Republik kita ini, kalau Republik ini memberikan hak kepada saya, ialah membela diri di depan umum, hal mana ditolak oleh imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris.
Pemeriksaan di depan umum "Public trial", salah satu daripada "the Rights of men" the Human Rights, beberapa hak Manusia, yang saya minta dan dijanjikan oleh Mr. Mulyatno
itulah yang rupanya dimaksudkan oleh sk.BAKTI, seperti yang  sudah saya catat di atas.
Sekembalinya saya di P.A.M maka saya ditempatkan tersendiri dalam sebuah kamar. Karena rupanya makanan ada sedikit lebih teratur daripada yang sudah-sudah di PAM ini dan
saya dipinjami selimut, maka dengan obat yang terpaksa saya bikin sendiri, penyakit kaki tadi dapat saya sembuhkan.
Bagaimanapun juga banyaknya perubahan pelayanan di kamar PAM tadi, saya merasa gembira ketika pada penghabisan bulan Desember tahun 1946, saya dipindahkan kedua kalinya ke Bagusan, di gedung P.I. Disinilah saya tinggal sampai 29 Januari, di mana lantaran pendudukan Krian oleh Tentara Belanda, maka sekonyong-konyong saya diantarkan ke stasiun Kertosono, buat diberangkatkan ke Yogya. Di dalam kereta saya berjumpa dengan Mr. Subarjo, Mr. Yamin dan Sukarni.
Pada malam harinya kami sampai di Yogya, bukan buat ditempatkan di luar penjara, seperti perjanjian di Mojokerto, melainkan buat dikembalikan ke sel di penjara Wirogunan.
Jauh tengah malam hampir jam tiga pagi pada tanggal 11 bulan Maret 1947, tiba-tiba pula kami tujuh orang, ialah
Mr.Yamin, Mr. Subarjo, Mr. Budhiarto, Mr.Iwa, Abikusno, Sukarni dan saya sendiri, dibangunkan dalam pejara Wirogunan, dengan maksud hendak diberangkatkan ke Magelang. Di sini kami ditempatkan dalam penjara biasa. Buat gerak badan, maka kami
diizinkan ke luar sel dan berjalan-jalan dalam pekarangan penjara, setengah jam pagi dan setengah jam petang. Tetapi saya merasa lebih merdeka sedikit di Mojokerto daripada di
Magelang. Di Mojokerto walaupun harus bergerak di tempat yang terbatas, tetapi mata bisa merdeka melayang ke jalan raya dan lain tempat. Di Magelang cuma tembok tinggi rumah penjara saja yang kelihatan, empat bulan setengah lamanya. Di penjara Magelang, seperti di lain-lain penjara acap kali saya teringat kepada pantun, yang kami murid klas II di salah satu desa di Sumatera Barat gemari sangat yang bunyinya:
            Seranti teluknya dalam
            Batang kapas lubuk tempurung
            Kami ini umpama balam
            Mata lepas, badan terkurung

Tak perlulah rasanya saya peringatkan di sini, bahwa menggemari sebuah pantun di masa kanak-kanak di atas bangku sekolah adalah berlainan dengan peringatan pantun di penjara Magelang, walaupun keduanya adalah pusakanya "Hindia Belanda".
Setelah pada tanggal 21 Juli, bilamana sudah ada Perjanjian Linggarjati dan  tanda tangan Belanda di atasnya, maka Belanda tiba-tiba menyerang, hal mana buat saya sendiri
sama sekali perkara yang sudah saya ramalkan dalam hati saya lebih dahulu, maka kami pada tanggal 23 Juli, hampir jam dua malam dibangunkan pula buat diberangkatkan ke Yogya. Di bawah pimpinan kepala P.I. sdr. Tahir yang memberi perhatian penuh kepada penghidupan kami sehari-hari selama di Magelang, maka kami pada pagi harinya tiba di Yogya. Mulanya sdr.Tahir dan kami mengharapkan, bahwa kami akan ditempatkan di luar penjara, tetapi akhirnya kami sampai di penjara Wirogunan juga.
Pagi harinya juga tanggal 23 Juli kami disuruh bersiap pula untuk diangkut entah ke mana pula lagi. Baru apabila sampai pada waktu jauh tengah malam, di rumah tahanan
Ponorogo, diantara empat dinding batu yang tinggi, dalam tempat orang tahanan, yang jauh lebih sempit dan kotor daripada di Magelang, barulah kami tahu, bahwa pengharapan
kami akan ditempatkan di luar penjara terbang melayang untuk
kesekian kalinya.
Pernah kami di Ponorogo dikumpulkan dengan para tahanan lain dari Yogya, sampai menjadi 46 orang. Makanan, tempat tidur dan kebersihan dipukul rata jauh kurang teratur
daripada di tempat yang lain-lain yang sudah saya alami. Di Ponorogo kami berdiam empat bulan lamanya. Pada tanggal 26 Nopember, kami yang tinggal 17 orang lagi dipindahkan ke rumah tahanan di Madiun. Saya sendiri merasa di sini lebih merdeka daripada di lain-lain tempat, kecuali di Bagusan, di tempat P.I. Mojokerto. Makanan pun ada cukup teratur.
Di sini saya ingin memberikan sedikit perbandingan di antara beberapa pengalaman saya dalam beberapa penangkapan yang saya rasa penting berkenaan dengan hukum.
Oleh Pemerintah "Hindia Belanda" saya ditangkap menurut perintah yang tertulis pada tanggal 13 Pebruari 1922. Dalam tempo yang singkat saja pemeriksaan bermula dilakukan oleh Residen dan bukan berdasarkan sesuatu pelanggaran Undang-Undang, walaupun misalnya Undang-Undang "Hindia Belanda" saja, melainkan berdasarkan "vraagpunten", yang disusun oleh P.I.D (Badan Penyelidik Belanda) dengan maksud
membuang saya, menurut "Hak Istimewa Gubernur. Jenderal Hindia Belanda", dengan tiada memberi kesempatan untuk membela diri di depan pengadilan umum (Public Trial) maka semua pertanyaan yang mengenai "activiteit" (aksi) politik, saya tolak memberi
jawaban. Saya dibuang ke luar negeri, menurut Hak Istimewa (exhorbitanten rechten) Gubernur Jenderal "Hindia Belanda" itu, atas tuduhan menulis beberapa risalah; mendirikan perguruan Rakyat Murba; mempersatukan perpecahan kaum Komunis dan Kaum Islam (Sarekat Islam); dan membantu pemogokan kaum pekerja pegadaian di masa itu. Katanya semuanya ini saya lakukan dengan "maksud" menjalankan "Program Moscow". Pada
tanggal 22 Maret 1922 saya berangkat ke luar negeri.
Pada permulaan Agustus 1927, di Manila, kira-kira jam sebelas malam, saya disergap oleh dua orang anggota Constabulary berpakaian preman, ketika saya meninggalkan
kantor sebuah surat kabar. Mulanya saya akan dinaikkan ke dalam sebuah kapal Belanda, yang berada di pelabuhan Manila dan hendak dikeluarkan dengan diam-diam sebagai seorang
pemasuk (immigrant) yang tidak sah (unlawful) dan tidak dikehendaki (undesirable). Perbuatan itu terhambat oleh karena beberapa hal di luar kemauan polisi Amerika. Sesudah dua hari saya ditahan, maka para teman-terpendam, maju ke depan menuntut pembebasan saya atas dasar "habeas corpus", dan menuduh polisi yang menangkap saya melakukan sesuatu pelanggaran, karena menangkap saya zonder "warrant" tak dengan perintah yang tertulis. Oleh para sahabat saya, perkara tangkapan ini diluaskan menjadi persoalan nasional yakni: "Apakah Pilipina, Protectorate Amerika itu, berhak memberikan "the right of Asylum" (Hak mendapat perlindungan) kepada seorang pelarian politik (political refugee)? Acting (wakil) Gubernur Jendral Gilmore sendiri, sebagai ahli hukum mulanya ingin hendak mengetahui pemecahan soal baru ini. Senate dan House of Representative, atau Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Pilipina, dibawah pimpinan Manuel Quezon dan Manuel Roxas, membenarkan saya tinggal di Pilipina, bahkan mengumpulkan 3.000 (tiga ribu) Peso, dan para anggota kedua Majelis tadi, buat membantu saya.
Yuan Fernandez, hartawan-patriot Pilipina, malah menarohkan "bail" (uang jaminan) 10.000 Peso buat memberi kebebasan (semacam stads-arrest) kepada saya, selama perkara
saya diurus. Empat Universities di kota Manila, mengambil putusan dalam rapatnya "untuk memberikan bantuan kepada saya, sebagai wakil dan "sister nation", ialah Indonesia, Negara
Saudara. Demikianlah pula semua persurat kabaran dalam semua bahasa (Tagalog, Spanyol, dan Inggris) di ibukota ataupun di propinsi memberi perhatian dan sokongan penuh. Perkara "right of Asylum" itu akan diteruskan ke Mahkamah Tinggi Pilipina.
            Kalau di sana tiada mendapat kemenangan, maka akan diadakan appeal ke Kongres dan Presiden Amerika. Tetapi setelah Sang Murba kota Manila mulai bergerak pesat dan apabila Rapat Raksasa yang dijanjikan akan diadakan dengan maksud mengumpulkan "uang sokongan" buat saya dan di mana saya akan dipersilahkan membentangkan perkara saya di depan Murba Filipina, apabila Rapat Raksasa ini, sudah mendekati waktunya, maka wakil Gubernur: Gilmore yang mulanya bersikap simpatik, mulai terkejut. Didesak oleh Publik dan Pers Amerika di Pilipina, maka pada malam hari, pemimpin para pembela saya, Dr.Jose Abad Santos, yang pada masa itu menjabat pangkat Ketua Supreme Court diberitahukan oleh waki Gubernur Jendral Gilmore, bahwa besok pagi, saya harus meninggalkan Manila dengan kapal Filipina, bernama Suzana II, yang akan berangkat menuju ke Amoy.
Sesampainya saya di Amoy, maka saya sudah ditunggui oleh pers imperialis-asing Kulangsu-Minicipal, Haminte Kulangsu, yang dipimpin oleh imperialis-internasional (Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda dll) sudah mengambil keputusan tadi malamnya buat menangkap saya kembali. Dan sebuah kapal Belanda Cisalak, sudah siap sedia pula menunggu saya.
Berturut-turut para polisi Kulangsu, Kepala Duane Amoy dan Konsul Amerika sendiri datang ke kapal dengan maksud ikut menangkap saya. Tetapi kemujuran adalah dipihak saya. Oleh perjumpaan berbagai-bagai kesempatan baik, maka saya dapat meloloskan diri dari jaring, yang rupanya sengaja dipasang dari Manila. Mulanya saya menyingkir ke dalam sebuah kapal inspeksi Tionghoa, yang kebetulan saja berada di pelabuhan Amoy. Kemudian saya pindah ke kota Amoy bagian Tiongkok dan akhirnya ke satu desa di pedalaman Tiongkok.
Pada tanggal 10 Oktober 1932, maka saya sekonyong-konyong dalam percobaan meloloskan diri dan buruan beberapa I.S.(PID) Inggris, di Kowloon, seberangnya Hongkong,
akhirnya disergap oleh dua orang bersenjata, tetapi berpakaian preman, ialah seorang Benggali dan seorang Tionghoa. Dalam pergulatan yang terjadi pada waktu jauh malam hari itu, di jalan yang sepi pula, diberhentikan oleh seorang polisi Islam yang berasal dari Pakistan sekarang, yang kebetulan "meronda" di sana. Saya digiring ke kantor polisi, di mana pada
permulaannya, saya menderita berbagai-bagai penghinaan dan seorang anggota I.S.Inggris yang sengaja didatangkan dari Singapura. Hampir pagi harinya saya dibawa menyeberang ke
Hongkong, ke penjara di sana. Saya memprotes atas tak adanya surat tuduhan. Saya minta diadakan seorang pembela, seorang ahli hukum Tionghoa buat membela perkara saya. Permintaan ini dibenarkan, tetapi tiada pernah dijalankan. Saya mendesak supaya diperiksa di depan pengadilan terbuka. Ini tiada dibenarkan! Selama ditahan dalam penjara, saya dihujani dengan pertanyaan yang datang dari semua pihak imperialis, seperti dari pihak Amerika, Perancis dan Inggris sendiri, berhubung dengan gerakan kemerdekaan di jajahan mereka masing-masing. Suatu ancaman kepada saya, bahwa saya akan diserahkan kepada Belanda, atas desakan "Hindia Belanda" dengan perantaraan Viesbeen yang dikirim ke Hongkong buat menuntut diri saya, saya jawab ancaman mogok makan habis-habisan. Saya peringatkan, bahwa saya tak akan hidup sampai di Indonesia.
Pada suatu hari, maka saya disuruh pergi saja dari Hongkong, sambil dilarang menginjak salah satu tempat di daerah Inggris. Baru kemudian hari saya dapat mengira, bahwa tindakan Inggris ini mungkin ada hubungannya dengan interpelasi anggota Mackston dalam Parlemen Inggris di London, yang menanyakan apakah alasan pemerintah Hongkong, maka Tan Malaka ditahan begitu lama dalam penjara Inggris. Mulanya Inggris, memangnya atas permintaan saya sendiri, katanya, sudah "mencoba" mendapatkan "tempat perlindungan" untuk saya di Pilipina, tetapi katanya pula ditolak oleh pemerintah Amerika. Saya minta izin kalau saja di Perancis buat pergi ke Eropa Tengah. Inipun tak dibenarkan, katanya, ditolak oleh Perancis. Inggris sendiri menolak permintaan saya berlindung di negeri Inggris, ataupun melalui Inggris, di mana katanya ada demokrasi yang luas. Pendeknya saya harus segera berangkat meninggalkan Hongkong. Soal kemananya bukanlah soal Inggris.
Dalam keadaan demikian, maka saya bilang saja, bahwa saya mau pergi ke Shanghai. Inggris tahu, bahwa kelak kapal saya akan berlabuh di Shanghai di bagian jajajahan Perancis.
Kalau sampai ke situ tentulah Perancis tak akan segan-segan menangkap saya dan tak akan segan-segan pula menyerahkan saya kepada Belanda. Tetapi dalam perjalanan menuju ke Shanghai itu saya dapat meloloskan diri di Amoy. Dari sini saya berangkat ke pedalaman Tiongkok buat bersembunyi. Juga saya mendapatkan kesempatan buat beristirahat dan berobat mempergunakan jamu Tionghoa, tiga-empat tahun lamanya.
Jadi ringkasnya demokrasi Inggris pun tak membenarkan Hak Demokrasi itu kepada saya. Inggris menangkap zonder surat tuduhan! Dia menahan saya hampir tiga bulan lamanya dalam penjara dengan tiada memberi kesempatan kepada saya buat membela diri di depan pengadilan umum. Dia mengusir saya dengan tiada menentukan lebih dahulu Negara yang mau menerima saya dan tiada memberi jaminan keamanan diri saya dalam perjalanan menuju ke tempat yang harus dipastikan lebih dahulu itu. Pendeknya Inggris cuma menangkap saya sebagai seorang "native" sebagai seorang "inlander" yang tak perlu diakui haknya sebagai warga negara sesuatu negara ataupun atas hak manusia, yang sudah lazim diakui bagi seseorang anggota bangsa berkulit putih.
Republik Indonesia tiada menangkap saya dengan surat perintah, yang beralasan pelanggaran atas sesuatu undang-undang yang pasti dan yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang sah pula dan dilakukan oleh instansi yang sah pula. Saya diajak berunding dengan Presiden oleh anggota P.I dan tiba-tiba dimasukkan ke dalam tahanan dengan cara tipuan. Setelah kira-kira tujuh setengah bulan lamanya sesudah dipindahkan dari tempat dan dari penjara ke penjara, maka barulah dimasukkan beberapa pertanyaan kepada saya yang bagi saya tiada diarahkan kepada tuduhan yang nyata, karena tak ada tuduhan yang nyata tersusun, yang dibacakan kepada saya lebih dahulu. Dalam masa saya tiada berdaya membela diri itu, maka pihak pemeritah sendiri mengadakan tuduhan dan kesimpulan yang amat memberatkan kepada saya (Pengumuman Resmi) diri Pemerintah Republik membiarkan saja berjalannya tulisan, pidato dan bisikan yang mengandung racun membahayakan diri saya selama berada dalam tahanan.
Tetapi semua penderitaan, penghinaan dan tuduhan pengkhianat, serta bahaya sebagai akibatnya pengumuman resmi, pidato radio, hasutan surat kabar dan bisikan beracun selama kami dalam tahanan itu buat saya tiada sebanding dengan kegembiraan yang saya peroleh lantaran sekali lagi menyaksikan kebenaran pepatah: Berapapun cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.
Yang tak kurang pula pentingnya dan berhubungan rapat pula dengan pepatah tadi juga, ialah bahwasanya sesuatu dasar, sesuatu prinsip, yang cukup mengandung kebenaran itu tak dapat ditindas dengan pengumuman resmis atau 1001 kebohongan Fluister-campagne. Pun tiada dapat ditindas dengan tangkapan atau penjara. Bahkan pelorpun tak berkuasa ....."
Demikianlah maka pada tanggal 17 Desember 1946, suara yang tertindas dalam Minimum Program Persatuan Perjuangan semenjak 17 Maret 1946, jadi dalam waktu sembilan bulan saja meletus keluar kembali, walaupun sebagian saja. Pada tanggal 17 Desember tersebut, maka Benteng Republik yang menggabungkan Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat, Akoma, Partai Rakyat Jelata, Partai Wanita Rakyat, Muhammadiyah, GPPI, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Bukit Tinggi), Dewan Partai PPI (Bukit Tinggi), Panitia Kemerdekaan Bulat, Angkasa Muda Guru, Barisan Banteng, KRIS, BPRI (pemberontak) dan Laskar Rakyat Jakarta Raya, memutuskan mengambil sebagai dasar ikatan: Mempertahankan Kemerdekaan 100% Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam program perjuangan ditetapkan antara lain 1)menginsafkan seluruh Rakyat untuk menolak Naskah Persetujuan Indonesia Belanda dengan mengadakan penerangan seluas-luasnya. 2) Menuntut adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mencerminkan kehendak seluruh Rakyat 3) Menuntut selekasnya pemeriksaan tahanan politik supaya yang ternyata tidak salah segera dimerdekakan. (lihat sk. Merdeka 18 Desember 1946!)
Aksi Benteng Republik yang pada permulaannya sangat menggembirakan itu berakibat menggerakkan pikiran, urat syaraf dan  tangannya pihak lawan dan mengakibatkan mereka ini mengeluarkan siaran-gelap, yang kebetulan jatuh di tangan kami, di masa itu. Siaran gelap itu, diantara lain-lainnya menyerukan kepada teman-temannya seperti berikuta:
"Ketahuilah!!! Ketahuilah, saudara-saudara Pecinta       Perjuangan, bahwa tidak lain lagi, tidak sah lagi":             Persatuan Perjuangan Berganti Corak Bulunya".
Jadinya para lawan kami memandang Benteng Republik itu seperti penjelmaan Persatuan Perjuangan. Baik juga hal ini kami peringati.
Sebenarnya jiwa Persatuan Perjuangan, ialah Minimum Program tak pernah bertukar corak. Apabila namanya ditukar menjadi Consentrasi Nasional, maka semua Partai yang mempertahankan kemerdekaan 100% segera bersekutu dalam Gabungan Revolusioner dalam Consentrasi Nasional itu sendiri. Dengan begitu, maksud ketuanya Saryono (Sibar) hendak membawa semuanya Partai,Laskar dan Badan, yang dahulunya tergabung dalam Persatuan Perjuangan kembali "kerja sama" dengan Belanda, cocok dengan dasarnya Sibar, gagal dan bermula. Saryono tak sanggup mengadakan Kongres, sekalipun tidak.
Diseluruhnya Sumatera Minimum Program itu, bukanlah suatu teori atau dalil mati ataupun satu dalil buat dipertengkarkan, melainkan sampai sekarang buat Rakyat, yang berjuang di sana, adalah batu ujian dalam praktek perjuangan. Namanya Persatuan Perjuangan-pun lama terus dipakai setelah di Jawa diganti. Pertukaran nama Persatuan Perjuangan di sana, rupanya berlaku atas desakan dari luar. Tetapi sampai sekarang Minimum Program masih disetujui oleh mereka, yang masih membela kemerdekaan 100% dan yang bermaksud mengusir tentara Belanda sampai serdadunya dari bumi, laut dan udara Indonesia kita ini.
Tetapi yang lebih tegas suara, sikap dan tindakan mereka, yang setuju dengan Minimum Program ialah dibuktikan oleh Laskar Rakyat Jawa Barat umumnya dan Laskar Rakyat Jakarta khususnya... and what is after all but a name!
Demikianlah dibawah ini saya kutip beberapa kalimat dari sk. MERDEKA Jakarta, tanggal 28 Nopember 1946, jadi ketika kami masih berada dalam tahanan di Mojokerto.
"Pada tanggal 23 Nopember (1946) dimulailah Konperensi Laskar Rakyat Jawa Barat, yang dikunjungi oleh wakil-wakil dari Markas Besar Laskar Rakyat Cirebon, Pekalongan, Purwokerto, Priangan, Bogor, Banten, dan Jakarta Raya".
"Setelah konperensi tersebut selesai, maka pada tanggal 24 Nopember diteruskan dengan Konperensi Laskar Rakyat Jakarta Raya. Pada paginya pukul 8 telah diadakan parade besar di alun-alun Krawang, kemudian berziarah ke makam pahlawan untuk melakukan janji perjuangan di tengah-tengah kuburan pahlawan".
Sorenya pukul 5 sebagai penutup ulang tahun Laskar Rakyat Jakarta Raya, diadakan rapat besar dialun-alun yang dihadiri oleh wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, Kol. Anwar Cokroaminoto, para utusan dan rakyat Murba. Rapat besar itu telah berlangsung dalam suasana hangat dan bernyala-nyala mengerahkan semangat 17 Agustus 1945, dimana pembicara tepat dengan kata-kata yang berapi-api menentang persetujuan 17 pasal perundingan Indonesia-Belanda, karena bertentangan dengan undang-undang dasar negeri dan tuntutan Rakyat Murba".
"Udara rapat sangat panas, tepuk tangan, teriakan, yang tajam serta tempik-sorak Rakyat gemuruh membelah bumi. Lebih-lebih ketika wakil Jenderal Sudirman berpidato, di mana diterangkannya, diterima atau tidak diterima oleh Pemerintah rencana persetujuan 17 pasal, tentara terus menjalankan kewajibannya".
"Amarah Rakyat kelihatan dengan jelas atas adanya rencana persetujuan 17 pasal, yang sudah melanggar tuntutan Rakyat 100% merdeka. Demikianlah rapat besar itu ditutup dengan udara yang sangat panas.
Laskar Rakyat Jawa Barat pada konperensi tersebut memutuskan diantara lain-lainnya:
1."Menuntut batalnya naskah rencana persetujuan 17 Pasal dengan mengirimkan surat-surat (kawat) kepada badan-badan Pemerintah, Presiden, Panglima Besar, Kabinet, KNIP, Konsentrasi Nasional Pusat, Partai-Partai, Badan Kongres Pemuda Indonesia dan Pers.
2."Menuntut dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang memperjuangkan kemerdekaan 100%"
3."Menuntut dimerdekakanya kawan-kawan laskar rakyat yang ditawan di Sukabumi dan lain-lain tempat serta menyatakan, bahwa kita tidak bertanggung jawab atas akibat-akibatnya jika tuntutan ini tidak terkabul".
4."Menuntut kembalinya senjata laskar rakyat di daerah yang dilucuti (dirampas) oleh pihak resmi atau tidak bertanggung jawab akan akibat-akibatnya jika tidak dipenuhi tuntutan tersebut".
5."Menuntut kepada pemerintah, supaya mencabut tuduhan-tuduhan terhadap dirinya pemimpin rakyat yang dianggap mengacau dengan jaminan, bahwa kejadian itu tak akan berulang lagi".
Seterusnya rapat umum tanggal 24 November di Krawang memutuskan:
1."Menentang dan menuntut batalnya rencanan persetujuan antara kedua Delegasi Indonesia Belanda serta menuntut memutuskan perundingan dengan Belanda".
2."Menyatakan tidak percaya keadaan Kabinet Syahrir dan menuntut bubarnya kabinet tersebut".
3."Menuntut terbentuknya pemerintahan revolusioner yang radikal untuk mempertahankan dan memperteguh kemerdekaan 100% serta memperkuat kebahagiaan hidup Rakyat Murba"
4."Menuntut dimerdekakannya tawanan-tawanan politik yang ditahan oleh kepolisian republik yang sudah memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia 100%.
Sekianlah catatan saya tentang rapat raksasa Laskar Rakyat Jawa Barat di Krawang pada bulan November 1946 itu, yang sekarang nyata sekali, banyak mengandung anasir yang bersejarah itu (historical elements)
Rasanya saya sedikit tahu akan pemerasan dan penindasan kapitalisme dan imperialisme di Jawa Barat, teristimewa pula di daerah tanah partikulir, seperti di daerah Jakarta Raya dan Cirebon. Saya pun sedikit kenal akan tegapnya sikap rakyat Jawa Barat, terutama di daerah Banten, Krawang, Indramayu dan Tasikmalaya terhadap pemerasan dan tindakan asing. Berhubung dengan itu, maka rasanya cukuplah mengerti saya akan merespnya tuntutan kemerdekaan 100% dan tuntutan menyita harta benda musuh, seperti termaktub dalam Minimum Program itu. Memangnya di daerah tersebutlah pertama sekali dan terutama sekali terbukti kekuatannya pemerintahan rakyat dan tentara rakyat seperti yang dikehendaki oleh Persatuan Perjuangan.
Biarpun kehendak dan tuntutan rakyat Jawa Barat itu dan sikap mereka, yang perwira terhadap tentara Jepang, Inggris dan Belanda dalam masa lebih setahun lamanya, akhirnya diganggu dan dipersukar oleh perang saudara, antara Tentara Resmi dan Laskar Rakyat, dari tanggal 13-17 April 1947 di Krawang; walaupun laskar Rakyat Jawa Barat berhubung dengan persetujuan Renville ditinggalkan oleh 35.000 Tentara Republik, namun perjuangan melawan penjajahan Belanda terus dilakukan oleh rakyat dan Laskar Rakyat Jawa Barat dari beberapa pusat yang strategis, sampai pada saat ini (Maret 1948)
Apalah musuh Persatuan Perjuangan, di dalam dan di luar Indonesia sudah pasti, bahwa jika persatuan perjuangan ialah Minimum Program, di lain-lain tempat di luar Jawa Barat, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatera, sudah lenyap dengan pergantian nama Persatuan Perjuangan.
Apakah tidak lebih benar, bahwa sesuatu aliran paham, yang sungguh mengandung dasar yang cukup kokoh tak dapat begitu saja di tindas dengan penjara ataupun pelor??
Apakah tidak akan berlaku juga di Indonesia ini hukum masyarakat, ialah bahwa darah dan jiwanya korban perjuangan kemerdekaan dari pemerasan dan tindasan itu kelak akan menjadi darah dan jiwanya aliran organisasi negara dan masyarakat baru.
Bagaimanapun juga, setelah penangkapan Madiun dan penggantian nama Persatuan Perjuangan dan menaksir kekuatan gerakan yang ada di atas dan teristimewa pula di bawah tanah sekarang, nasional dan internasional...maka tiadalah sekejappun juga saya sangsi mengucapkan:

Patah tumbuh hilang berganti!!
Le Roi est mort, Vive le Roi!!


                        (Maret 1948)






PENGUMUMAN RESMI
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Perihal: Komplotan untuk merebut kekusaan Negara.
 Sekarang telah nyata seterang-terangnya bahwa penculikan Perdana Menteri cs di Solo tanggal 27 masuk 28 Juli adalah satu permulaan dari aksi Tan Malaka, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Mr. Moh. Yamin dan lain-lain untuk merebut kekuasaan negara dengan paksa.
Komplotan mereka sudah lama diketahui oleh Pemerintah, dan inilah sebabnya mereka beberapa bulan yang lalu pemerintah menangkap Tan Malaka, Moh. Yamin, Abikusno, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Sayuti Melik. Berdasar atas pengetahuan itu, dan untuk mengetahui lebih lanjut gerak-gerik mereka selanjutnya, maka Pemerintah tidak mengumumkan alasan penangkapan tersebut.
Dalam pada itu mereka dalam tahanannya di Tawang Mangu memperoleh kemerdekaan bergerak, sehingga mereka dapat juga berhubungan dengan komplotan mereka seperti Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan lain-lainnya yang merancang coup d’etat mereka.
Menarik partai-partai lain masuk komplotannya
Mr. Subarjo dan Mr. Iwa Kusumasumantri mengerjakan perhubungan dengan lain-lain tempat. Mereka juga mencoba menarik partai-partai lain masuk komplotan mereka dan mencoba mempengaruhi tentara dan pasukan-pasukan rakyat dengan menggambarkan yang bukan-bukan tentang kabinet Syahrir. Dengan mempergunakan berita-berita penghasut dalam surat kabar “Het Dagblad” surat kabar yang diterbitkan oleh Nica di Jakarta, ditanamnya racun di dalam kalbu beberapa pemimpin pasukan supaya percaya, bahwa kabinet Syahrir telah menjual Indonesia kepada Belanda telah menerima penjajahan Belanda, katanya. Kekacauan-kekacauan di daerah Solo adalah juga usaha mereka dari belakang layar.
Di antara opsir tentara yang dibujuknya ialah bekas kepala divisi Yogya Sudarsono, yang sekarang telah diskors. Sesungguhnya Sudarsono ini telah lama dicurigai, maupun dari pihak tentara, ataupun dari pihak rakyat.
        Penangkapan besar-besaran, dokumen-dokumen dibeslag.
Coup d’etat, yaitu serobotan kekuasaan oleh mereka yang dapat didahului oleh Pemerintah, dengan mengadakan penangkapan besar-besaran.
Surat-surat dan dokumen-dokumen yang dapat dibeslag menyatakan bahwa mereka telah siap susunan pemerintahannya. Tanggal 7 Juli Presiden Republik Indonesia akan dipaksa memberhentikan apa yang disebut mereka: Kementrian Negara Sutan Syahrir, dan Amir Syarifuddin dan serentak dengan itu dipaksa Presiden menanda-tangani daftar susunan “Dewan Pimpinan Politik” dan susunan “Kemerdekaan Negara Baru”.
Rol kepada Divisi Sudarsono
Rupanya bekas kepala divisi Yogya, Sudarsono diserahi dengan melakukan tindakan itu. Dengan mencatut nama Panglima Besar, dia pada tanggal 3 Juli itu, datang  di Presiden dengan membawa gerombolannya yang akan mempersaksikan Coup d’etat-nya. Kebanyakan mereka yang dibawa itu ialah orang-orang yang telah ditangkap oleh Pemerintah, yang pagi itu dilepaskannya dari tahanan. Diantara mereka yang terdapat beberapa calon “Menteri Baru”. Dan pagi itu ada percobaan untuk menculik Menteri Pertahanan Amir Syariffudin. Syukurlah Mr. Amir Syarifuddin dapat meloloskan diri.


Presiden tidak dapat digertak
Presiden tidak dapat digertak. Tuan Sudarsono dilucuti senjatanya dan dia dengan pengikut-pengikutnya terus ditahan.
Komplotan Tan Malaka cs ini akan melakukan perampasan kekuasaan Negara dengan sebulat-bulatnya dalam dua tingkat. Tujuannya yang terakhir ialah menyingkirkan Bung Karno. Dalam tindakan pertama akan menyingkirkan pemimpin-pemimpin Negara dari mulai Wakil Presiden ke bawah Presiden dan Panglima Besar akan mereka pergunakan pada waktu itu. Kalau mereka merasa sudah cukup kuat, lalu disingkirkan pula Bung Karno dan Panglima Besar. Maka dengan itu bulatlah segala kekuasaan di tangan Tan Malaka, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Moh. Yamin, Sukarni dan kawan-kawannya.
Rencana Komplotan
Daftar “Dewan Pimpinan Politik” dan “Kementrian Negara Baru” yang akan dipaksakan kepada Presiden menanda tangani adalah seperti berikut:

I.                    Dewan Pimpinan Politik.
1.      Buntaran Martoatmojo
2.      Budhiarto Martoatmojo
3.      Chaerul Saleh
4.      Gatot
5.      Iwa Kusumasumantri
6.      Moh. Yamin
7.      Subarjo
8.      Sunarjo
9.      Tan Malaka
10.  Wahid Hasyim

II.                 Kementrian Negara:
1.      Menteri Dalam Negeri                                : Budhiarto Martoatmojo
2.      Menteri Luar Negeri                                   : Subarjo
3.      Menteri Pertahanan                         : akan disiarkan
4.      Menteri Kehakiman                                    : Supomo
5.      Menteri Kemakmuran                                 : Tan Malaka
6.      Menteri Agama                                           : Wahid Hasyim
7.      Menteri Sosial                                            : Iwa Kusumasumantri
8.      Menteri Bangunan Umum                            : Abikusno Cokrosuyono
9.      Menteri Keuangan                                      : A.A. Maramis
10.  Menteri Pengajaran                         : Ki Hajar Dewantara
11.  Menteri Penerangan dan Penyiaran  : Moh. Yamin
12.  Menteri Perhubungan                                  : Rooseno

Menteri Negara
1.      Chaerul
2.      Faturrachman
3.      Gatot
4.      Kartono
5.      Patty
6.      Sukiman
7.      Sunarjo
8.      Sartono
9.      Samsu H. Udaya
10.  Sukarni Kartowiryo
11.  Jodi
12.  Moh. Saleh

Pemerintah yakin bahwa beberapa orang yang ditaruh namanya dalam daftar Kementrian diatas, belum tahu menahu bahwa nama mereka dipakai untuk keperluan suatu komplotan meremehkan Pemerintah. Tetapi daftar itu cukup memberi gambaran, betapa luasnya komplotan mereka. Pemerintah tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi jika perlu pemerintah akan meminta keterangan kepada mereka yang namanya tersebut dalam daftar Kementrian tersebut.
Dimulai sejak 31-10-1945

Komplotan untuk mendudukkan “Presiden Tan Malaka” menjadi Kepala Negara Republik Indonesia telah sejak tanggal 31 Oktober 1945, sejak Sukarni datang kepada wakil Presiden, mengusulkan supaya Bung Karno diganti saja dengan Tan Malaka, sebab menurut anggapannya jiwa Tan Malaka lebih cocok dengan revolusi Indonesia sekarang.

“Persatuan Perjuangan” didirikan
Karena maksudnya itu tidak berhasil, maka didirikan “Persatuan Perjuangan” dengan ujud memobiliser segala partai-partai dan badan-badan perjuangan rakyat terhadap Pemerintah. Partai-partai yang tergabung diikat dengan disiplin “Minimum Program” yang tujuh pasal. Sejak lahirnya “Persatuan Perjuangan” ini pada tanggal 4 Januari 1946 di Purwokerto, maka timbullah perpecahan. Persatuan yang bulat antara Pemerintah dan Rakyat jadi pecah rupanya. Hal ini menguntungkan kepada Nica, merugikan kepada Republik Indonesia. Partai-partai besar dihasut dengan untuk mengroyok Pemerintah.
Pada sidang K.N.I Pusat di Solo pada penghabisan bulan Pebruari, dalang-dalang Persatuan Perjuangan ini telah bersedia untuk mengadakan “staatgreep”. Usaha ini gagal karena keawasan Pemerintah, dan juga karena di antara Partai-Partai “Persatuan Perjuangan” itu sendiri tidak dapat kesesuaian.

Kebiasaan Internasional
Sudah menurut kebiasaan internasional, bahwa tiap-tiap perunding yang dilakukan antara negara dengan negara tidak diumumkan, sebelum tercapai hasilnya.
Hasil itu menjadi “verdrag”, yakni perjanjian atau kosong sama sekali; yaitu tidak mendapat rancangan “verdrag”, maka “verdrag” itu diumumkan oleh kedua belah pihak, supaya diketahui oleh rakyat kedua belah negara, supaya mereka itu dapat membanding dan menimbang.
Sebelum “verdrag” itu diterima oleh “Dewan Perwakilan Rakyat” pada kita sekarang K.N.I Pusat dan sebelum ditanda tangani oleh Kepala Negara, “verdrag” itu belum lagi menjadi perjanjian yang mengikat negara.
Jika sebaliknya permusyawaratan tidak berhasil, maka kedua belah pihak biasanya mengeluarkan suatu buku keterangan Pemerintah untuk diumumkan, yang didalamnya diterangkan jalan permusyawaratan yang menyatakan apa sebab gagalnya.

Digunakan sebagai alat agitasi
Perundingan tentang Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah kita di Jakarta tak lain sifatnya.
Semuanya ini diketahui oleh Tan Malaka cs. Tetapi cara dan adat perundingan internasional itulah yang dipergunakan mereka sebagai alat agitasi untuk menjatuhkan Pemerintah. Dengan secara hasutan dalam surat kabar dan dari mulut ke mulut dikatakan, bahwa perundingan dirahasiakan karena Perdana Menteri Sutan Syahrir mau “menjual rakyat Indonesia” kepada Belanda, mau menerima kembali penjajahan katanya.
Seorang yang berani menebus cita-cita kemerdekaan Indonesia sampai di bui dibuang ke Digul, dituduh pengkhianat oleh gerombolan orang sebagai Subarjo, Mr. Budhiarto, Dr. Buntaran, Mr. Gatot yang sampai sekarang hanya ternyata sebagai “salon politicus” belaka.

Bersedia menerima “Trusteeship”
Malahan sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Subarjo dalam bulan Oktober 1945 telah bersedia menerima “trusteeship” internasional, tetapi dapat dicegah oleh Wakil Presiden dan Haji Agus Salim.
Juga Tan Malaka sendiri pada satu pertemuan di rumah Mr. Subarjo dalam bulan September 1945 telah menyatakan kerelaannya dengan “Trusteeship” itu.




Belanda menghasut
Surat kabar dan radio Belanda melantingkan kabar untuk menghasut kita dan memecah kita. Dikatakan bahwa Pemerintah dalam kontra usulnya hanya meminta pengakuan tentang kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatera.
Kabar bohong ini dipergunakan mereka sebagai alat penghasut rakyat terhadap Pemerintah.

Buku keterangan Pemerintah
Pemerintah nanati akan mengeluarkan buku keterangan pemerintah tentang jalannya perundingan dengan Belanda.
Untuk sementara waktu cukuplah jika diterangkan sebagai berikut:
Kita mengusulkan supaya Belanda menyetujui Negara Indonesia yang merdeka, yang batasnya meliputi seluruh batas Hindia Belanda dahulu.
Kalau itu disetujui, maka dimulai dengan mengakui kekuasaan yang nyata, daripada Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra. Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda bekerja bersama-sama memasukkan daerah yang lainnya itu ke dalam Republik Indonesia. Antara Negara Republik Indonesia yang merdeka dan Nederland yang merdeka akan diadakan suatu perjanjian bersahabat.
Kontra usul itu tetap didasarkan atas Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 dan tetap menuntut kemerdekaan Indonsia yang sepenuh-penuhnya.
Demikianlah supaya rakyat dapat mengetahui tipu-muslihat Tan Malaka cs untuk merebut kekuasaan negara. Rakyat insaflah!
Pemerintah akan bertindak terus, mempergunakan segala kekuasaan yang ada padanya, untuk membasmi aliran perusak dan kontra revolusioner ini dengan akar-akarnya.
Dengan mengingat seruan Presiden kita dalam pidato radionya tanggal 30 Juli 1946, berhubung dengan penculikan Perdana Menteri, maka kepada seluruh rakyat diharapkan membantu pemerintah dalam hal ini. Kalau ada nanti seruan Pemerintah untuk menunjukkan tempat orang yang dicari haraplah menolong mencari itu dan menunjukkan.
Sepatah dua patah tentangan “Pengumuman Resmi”.
“Pengumuman Resmi” Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 6 Juli 1946 itu menurut hemat saya saya sekali tidak bersifat kehukuman (juridis). Teranglah dia tidak bersandar kepada undang-undang yang sudah dibentuk dan disahkan oleh sesuatu Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh, dari dan untuk rakyat, yang sedang berevolusi ini. Tidaklah pula dia berdasarkan perbuatan yang dapat dibuktikan oleh sesuatu pemeriksaan “proper, reguler dan estabilished court” (sesuatu Pengadilan yang sah, teratur dan sudah terbentuk). Akhirnya sedikitpun dia tidak berpegangan kepada perhubungan yang logis (causality) antara undang-undang yang ada dan sah dengan perbuatan yang disangka pelanggaran.
“Pengumuman Resmi” boleh dianggap mengandung, sifat, menuduh, menangkap dan menghukum sekaligus. Dengan demikian, maka dia melanggar dasar yang lazim disebut TRIAS POLITICA, dimana si Penangkap (polisi) dipisahkan dari si Pemeriksa (Kejaksaan) dan dari si Penghukum (Hakim). “Pengumuman Resmi” ini sudah cukup jelas dikupas secara juridis oleh Mr. Moh. Yamin dalam pemeriksaan Peristiwa 3 Juli pada permulaan tahun ini. Dalam pemeriksaan itu sudah terbukti, bahwa Tan Malaka tidak bersangkut paut dengan “penculikan” Sutan Syahrir atau Amir Syarifuddin dan tidak tahu-menahu dengan peristiwa di istana Presiden. Para pembaca yang ingin mendapatkan kritik yang luas dalam sempurna atas “Pengumuman Resmi” itu saya persilahkan saja membaca Sapta Dharma, pembelaan Mr. Moh. Yamin yang sudah terkenal dan mendapat sambutan baik sekali dalam masyarakat yang sedang ber-revolusi ini, Sapta Dharma yang tetap akan menjadi suluh atas beberapa halaman sedih dalam sejarah-revolusi Indonesia ini.
Di sini saya cuma merasa perlu menambah dua tiga keterangan saja, yang bukan dimaksudkan sebagai sesuatu kupasan (analyse), yang sudah lebih daripada cukup dilakukan oleh teman-teman sepenjara yang tersebut di atas.

Pertama:
Kunjungan sdr. Sukarni kepada Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 31 Oktober 1945, yang disebut dalam “Pengumuman Resmi” sebagai pelaksanaan bermula dari maksud mendudukkan Tan Malaka menjadi Kepala Negara Republik Indonesia” itu baru saya ketahui sesudah membaca “Pengumuman Resmi” pada akhir tahun 1946 itu. Sebelumnya waktu tersebut mungkin Moh. Hatta cs dan Sukarni sajalah yang mengetahui hal itu.
Sampai sekarang (Maret 1948) saya masih berkeyakinan bahwa bukanlah kedudukan (status) Presiden itu saja, yang akan memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan kewajiban saya sebagai warga negara Indonesia buat menyokong revolusi ini. Bahkan disamping itu saya mempunyai pandangan, bahwa status Presiden, seperti yang dikenal di Indonesia sekarang ini, bukanlah satu sine qua non, satu jaminan mutlak bagi kejayaan sesuatu revolusi. Sebagai contoh boleh dimajukan, bahwa revolusi demokratis di Perancis pada tahun 1789 sebenarnya dipimpin oleh Club dan Komite saja. Revolusi melawan penjajahan di Amerika Utara (1776-1782) sesungguhnya berada dibawah pimpinan Kongres Baru setelah lebih kurang tujuh tahun revolusi Amerika Serikat selesai (ialah tahun 1789) jadi tiga belas tahun setelah revolusi meletus, barulah Presiden dipilih. Yang terpilih ialah seorang pemimpin pertempuran dalam revolusi itu sendiri (George Washington). Dalam hakekatnya, maka revolusi Bolsjewik di Rusia (7 November 1917) berada di bawah pimpinan Partai Bolsjewik dan Soviet (Rapat) Buruh, Tani, Tentara, walaupun Diktator Proletar Rusia juga mengenal Presiden.

Kedua:
Persatuan Perjuangan bukannya dibentuk karena kunjungan pemuda (1945), sekarang (1948) dewasa Sukarni kepada Drs. Moh. Hatta tidak berhasil. Persatuan Perjuangan dibentuk atas dasar yang lebih penting dan dasar yang lebih kuat-kokoh.
Persatuan Perjuangan dibentuk sesudah nasehat saya kepada Sutan Syahrir di Serang pada satu pertemuan pada permulaan Oktober 1945, yang dihadiri ± 20 orang pemimpin tidak berhasil. Saya memperingatkan kepada para pengunjung antara lain, bahwa kalau satu partai didirikan niscaya kelak akan timbul “partyen en partytjes” sebagai jamur di musim hujan. Dengan demikian maka akan sukar sekali mempersatukan perbagai partai itu dikemudian hari. Saya usulkan saja memperkuat pemerintahan dan alatnya yang ada dengan para pemimpin yang revolusioner, yang belum masuk pemerintahan.
Setelah memangnya “partyen en partyen” muncul seperti jamur itu, disamping berbagai badan da kelaskaran; setelah pengalaman saya sendiri dimasa pertempuran di Surabaya, memperingatkan betapa besarnya bahaya perpecahan diantara dan dalam partai, badan dan kelaskaran dan perlunya persatuan; setelah mendengar kabar datangnya Van Mook dengan usul “Rijksverband-nya” yang terkenal itu,  maka timbullah dalam pikiran saya maksud mendirikan dan mempelopori Persatuan Perjuangan dengan Program yang nyata-tegas, yang terkenal dengan MINIMUM PROGRAM.
Sesudah  menjalankan segala usaha persiapan di Malang, Cirebon dan Yogya (Desember 1945), maka akhirnya dapatlah dibentuk Persatuan Perjuangan itu pada tanggal 4-5 Januari 1946 di Purwokerto. Minimum Program, yang pada tanggal 5 Februari saya usulkan di Purwokerto itu buat dipelajari masak-masak dapatlah dirundingkan disahkan dalam Kongres Solo pada tanggal 15-16 Januari 1946.
Jadinya Minimum Program bukanlah satu Program yang “didektekan” oleh Tan Malaka, seperti, seperti yang dibisik-bisikkan kian kemari dan sama sekali tiada ditujukan kepada “kedaulatan Presiden”. Persatuan Perjuangan ditujukan terhadap usaha imperialis dan kaki tangannya, yang bermaksud melanggar ISI dan tujuan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta “merebut kekuasaan Negara (Indonesia) dengan perkosa” dan “mendudukkan” Belanda sebagai “kepala” penjajah atas Indonesia.

Ketiga:
Terpisah dari sikap setuju atau tidak setuju saja dengan aksi beberapa pemimpin seperti bekas Jenderal Mayor Sudarsono, Mr. Moh. Yamin, Mr. Subarjo, dan lain-lain pada tanggal 3 Juli 1946, maka seandainya (saya ulang lagi seandainya) saya bermaksud hendak “merebut kekuasaan Negara dengan perkosa” maka tentulah dan logisnya pula saya harus bertindak menurut “Aksi-Murba-Teratur” (Massa Aksi).
PARI didirikan pada bulan Juli 1927 sesudah PKI hancur, dengan maksud menegakkan cara “MASSA AKSI”. Sekarangpun  saya masih 100% percaya kepada sistem Aksi Murba Teratur buat merobohkan sesuatu pemerintahan yang ANTI KEMURBAAN dan untuk mendirikan sesuatu kekuasaan dari, oleh dan untuk Kaum Murba. Tak logis dan mustahillah saya akan menjalankan ataupun menyetujui sesuatu aksi yang oleh pihak resmi dinamakan “penculikan” dan “penyerobotan”, yang dikalangan kami sendiri biasa dinamakan “individual terror” (terror perseorangan).

Keempat:
Seperti sudah saya terangkan terlebih dahulu, maka sebagai akibat usul saya sendiri, ialah usul mengadakan Aksi Murba Teratur, pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta, sebagai suatu “krachtpoef”   (ujian kekuatan), maka diluar kemauan dan dugaan saya sendiri Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta “meletakkan jabatannya” (demissioner), sebab tidak menyetujui MASSA AKSI yang juga tiada disetujui Kempetai Jepang, tetapi disetujui oleh MURBA JAKARATA RAYA, walaupun dilarang.
Kabinet Syahrir pun, terpaksa meletakkan jabatannya pada penghabisan bulan Februari di Solo, setelah Sidang BPKNIP di Jakarta dan Sidang KNIP Pleno di Solo pada bulan Februari juga menyatakan persetujuannya dengan Persatuan Perjuangan serta MINIMUM PROGRAM-nya. Sedangkan Sutan Sjahrir tiada menyetujui keduanya itu.
Sudah sewajarlah, bahwa kedua corak pemeberontakan, baik presidentiil ataupun ministeriil yang tiada sanggup menjalankan massa-aksi, dan yang jatuh sendirinya dengan tiada disengajai itu, setelah berlangsungnya massa-aksi atas kemauan rakyat/pemuda itu...pemerintah semacam itu tak perlu pula sengaja dijatuhkan lagi.
Dan sesungguhnya pula, berhubung dengan masih berlakunya “SURAT WARISAN”, yang ditanda tangani oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas inisiatif Presiden Sukarno sendiri, tertanggal 1 Oktober 1945, dimana ditegaskan bahwa kalau Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiada berdaya lagi meneruskan Perjuangan Rakyat Indonesia ini,  maka pimpinan Revolusi ini akan diserahkan kepada Tan Malaka dll, maka sangatlah tidak cocok dengan pikiran sehat, kalau disangka, bahwa Persatuan Perjuangan itu didirikan dengan maksud hendak menjatuhkan Presiden Sukarno ataupun wakil Presiden Moh. Hatta yang dengan ikhlas membubuh tanda-tangannya di bawah Sura-Warisan tersebut, dan sampai waktu ini belum mencabut “SURAT WARISAN” itu.
Saya yakin, bahwa jika sekali saja Presiden Sukarno menerima undangan Persatuan Perjuangan yang berkali-kali dimajukan itu dan mengunjungi Kongres Persatuan Perjuangan dan dengan sepatah dua patah kata saja Presiden Sukarno mengucapkan persetujuannya, maka dengan sekejap mata saja akan terbentuklah persatuan yang erat antara rakyat, Persatuan Perjuangan (dengan 141 organisasinya) dan Pemerintahan. Dalam hal ini pastilah hasil sejarah-revolusi Indonesia akan berlainan dengan apa yang terdapat sampai sekarang (1948)
Persatuan Perjuangan yang dibisik-bisikkan kian kemari tak pernah mengucapkan “berdiri di belakang Pemerintah Sukarno-Hatta” itu boleh mengembalikan bisikan semacam itu dengan pertanyaan: “Apakah Bung Karno dan Bung Hatta mau berdiri di depan Persatuan Perjuangan di atas “MINIMUM PROGRAM”?

Kelima:
Setelah pemeriksaan perkara “peristiwa 3 Juli” oleh Mahkamah Tentara Agung, maka ternyata sudah, bahwa tangkapan Madiun tanggal 17 Maret 1946 itu dilakukan oleh Tiga Serangkai, teman separtai Sjahrir-Amir-Sudarsono (tentulah) dengan persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, kabarnya pula atas desakan Delegasi Inggris/Belanda, untuk melancarkan perundingan Indonesia-Belanda, dengan maksud mencapai “kerjasama” antara Belanda (tetap) Penjajah dengan rakyat Indonesia, yang sudah memproklamirkan kemerdekaan 100% pada tanggal 17 Agustus 1945. Perundingan itu menukar sifatnya perjuangan, yang dilakukan oleh Persatuan Perjuangan dengan perjuangan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai Separtai tadi yang disetujui oleh Sukarno-Hatta. Perundingan itu menukar dasar tujuan 7 pasal Minimum Program dengan 5 Program Pemerintah; menukar diplomasi bambu runcing dengan diplomasi berunding.
Hasil penukaran dasar Tujuan dan siasat Berjuang itu sudah menelorkan Perjanjian Linggarjati dan Renville, serta mendesak Republik Indonesia ke tepi jurang penjajahan.
Demikianlah, diukur dengan hasil diplomasi-berunding, maka Fitanah- Beracun, yang dikirimkan kepada kami, tiada sanggup mengenai diri dan jiwa kami, melainkan melantun berbalik kepada para pengirimnya sambil merusak binasakan Badan dan Jiwa Perjuangan Rakyat/Pemuda Indonesia.

Selesai ditulis di bulan Maret 1948 dalam Rumah Penjara Madiun

Ttd

Tan Malaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar