Kamis, 07 April 2016

Pandangan Hidup

         (Weltanschauung)


1. MANUSIA MONYET

Puluhan ribu tahun lampau, dikala yang sudah gelap gulita bagi peringatan kita sekarang, di masa mungkin Kepulauan Indonesia masih bersatu antara yang sebuah dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia, bahkan mungkin juga dengan Australia, terjelmalah di sini, menurut ahli, dekat desa Trinil, suatu mahluk setengah hewan, setengah manusia, yang oleh ilmu dinamai Pithecantropus erectus, manusia monyet.
Lain tempat pun di muka bumi ini, seperti di Tiongkok Utara, di Afrika Selatan serta di Eropa Selatan dan Tengah, terdapatlah mahluk yang semacam itu pula.
Semenjak Charles Darwin, maka banyak sekali para ahli ilmu biologi mendapatkan pemandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selamanya ini tentang asal-usul dan hari akhirnya manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara juta-jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universos kita ini.

2. INDONESIA SEDERHANA

Kembali kita kepada alam kita ke Indonesia tadi serta kembali kita memperamati mahluk penduduknya! Maka kinipun Indonesia masih dapat mempersaksikan manusia pada tingkat yang sederhana-rendahnya, yang berada di antara hewan yang paling tinggi derajatny, seperti orang hutan, dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yng masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Papua di hutan dan gunung Pulau Papua masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya dari alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otak dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau manusia buas yang lainnya. Buah kayu berlainan tempat dan berlainan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidupnya mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting dan daun kayu dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran yang diatas yang memangnya lebih kurang masih terdapat beberapa bagian di Kepulauan Indonesia ini, saya majukan, untuk memberi penjelasan, betapa rapat dan tempatnya perhubungan alam dengan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tiadalah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak terus menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan buat membela diri terhadap mahluk yang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan memang belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi di mana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, maka di sana tenaga dan otak penduduk Indonesia pula menunjukkan kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyrakat yang berubah itu.
Sungguh besar perbedaan alam-jiwanya seorang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak dan Papua seperti tergambar di atas tadi dengan alam – jiwanya seorang Indonesia desa atau kota seperti: tani, buruh, dokter, insinyur atau jurist. Tetapi dengan tiada sangsi, dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan, bahwa seorang Dayak atau Papua pun, jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia beradab dengan sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan perkataan lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.

3. ANIMISME

Rupanya perbedaan alam sekitar itulah yang menjadi alat adanya perbedaan pandang hidup, Weltanschauung Indonesia beradab dengan Indonesia sederhana itu. Buat menginsafkan hal ini, maka baiklah kita sekejap mengandaikan kita sendiri berada ditengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan atau Papua. Buat penduduk kota, ataupun buat hampir semuanya penduduk Pulau Jawa, agak susah menginsafkan betapakah dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon kayu yang besar tinggi menyolok ke angkasa; cuaca yang selalu gelap gulia karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan binatang buas atau berbisa, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, sebagai manusia, menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam itu.
Bagi manusia yang bermula berpikir, yang bermula sekali mencerminkan alam luar yaitu kepada alam dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya itu disebabkan oleh jiwa yang berada di alam luar, yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa ditekan oleh jiwa pula, seperti pohon kecil cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar.
Demikianlah dimatanya orang sederhana itu semua benda yang dahsyat disekitarnya mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang – dahsyat; air mancur yang bergemuruh; binantang buas yang berbahaya bahkan batu dan kayupun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti thesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum begitu terpisah dalam pandangannya. Orang sederhana memuja bukan yng baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya yang baik dan buruk. Hantu yang jahat tiada kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang baik, ialah hantu kawanannya manusia. Tentulah di mana alam sangat dahsyat disanalah hantu jahat, harimau, raja hutan, atau sang Buaya lebih mendapat perhatian daripada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu, pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham, yang oleh para ahli dinamai kepercayaan Animisme. Semuanya yang ada di alam ini dianggap berjiwa, bernyawa.
Dalam perkenaan manusia sederhana, bangsa kita tadi dengan alamnya di mana manusia itu berlaku semata-mata passive, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa ini pun berlakulah hukum Dialektika, yakni perubahan bilangan, sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quality into quality). Dalam pencaharian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, maka lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala korban dan pujaan kepada salah satu yang paling ditakuti diantara banyak yang ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah maha pujaan kepada maha hantu,yang paling dipentingkan cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Di mana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sangat dipuja. Disinilah hantu pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai maha hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih daripada yang jahat. Kabarnya konon, adalah satu suku bangsa Papua yang menganggap pohon aren (enau), sebagai Tuhan dalam arti Maha Dewa. Bukanlah pula pohon aren, diantara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang tersebut di atas memberikan segala-gala yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu aren adalah makanan yang sehat dan mengandung kekuatan. Ijuknya (aren) boleh dipakai buat atap rumah. Rujungnya aren boleh pula dipakai sebagai tombak menangkap ikan dan pembela diri terhadap musuh.
Seorang Papua asli Cuma membutuhkan tujuh pohon aren yang berumur berturutan dari 1 sampai 7 tahun. Tebanglah pohon yang ketujuh, yang berumur 7 tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seseorang anggota, ialah memotong sepohon sagu sekali setahun dan menanam sepohon sagu sekali setahun. Selain itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau suka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pembikin segala-galanya dan berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Papua. Sederhana, Dewi Sagu disanjung dengan segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada mahluk manusia disekelilingnya.

4. KEPERCAYAAN INDIA

Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini juga, dan kemasyarakatan lain pula, ke India! Salah satu kesimpulan, yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarata, Ramayana dan Upanishad, dan tulisan tentang hidupnya Gautama Budha dan agama Budha, ialah bahwa pertama sekali India mempunyai penduduk asli dan penduduk yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan.
Kedua, bahwa masyarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas penghasilan yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari Komunis Asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa Raja dan Maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan Komunisme Asli.
Keempat, dan inilah yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakat di masa itu, buat mereka yang berpedoman Dialektisme Idealistis.
Memangnya dalam kitab suci itu sukar diperoleh Historicals Facts (kejadian sejarah) dan sukar pula didapat consistency, ialah persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sence. Malah tarich-pun ialah salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksud kita disini tiada pula akan mengambil sesuatu kesimpulan secara pasti dari buku suci yang tiada berdasarkan Historical Facts itu. Cuma sekedar menimbulkan bayangan sebagai sesuatu petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubung dengan dongeng Ramayana, maka sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet-putih Hanoman itu benar sesuatu penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tidak lebih tepat Hanoman, Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, ialah bangsa Kaukasia juga, yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula, bahwa perkataan monyet itu cuma suatu ejekan dari bangsa India Asli, yang berwarna hitam, seperti bangsa Keling? Kitapun di Indonesia ini mengenal ejekan itu terhadap orang Asing Putih penjajah ialah Kebo Bule-Siwer Matane.
Bagaimanapun juga, bagi saya dongeng moyet putih itu adalah suatu pentunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit tegap, yang kita peroleh dari dongengan monyet itu, ialah bahwa India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli ataupun yang masuk menyerbu.
Mungkin sekali pula perbedaan kasta, yang belum pasti berbentuk dalam Kitab Suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi lebih kurang 3.000 kasta pokok, cabang dan ranting di masa imperialisme Inggris, perbedaan kasta itu pada permukaannya bersandar kepada perbedaan bangsa.
Yang tidak kurang pula memberi suggesti kepada saya, ialah adanya Trimurti, adanya Tiga Maha Dewa Hindu, ialah Whisnu, Shiwa dan Brahma, Pembangun, Perusak dan Pemelihara. Banyak orang yang melihat pelaksanaan Dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memangnya pula banyak ahli Dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas Dialektika, walaupun Dialektika Idealisme, bukan Dialektika Materialisme, meskipun Hegel menganggap Dialektika Hindu itu kekurangan perkenaan antara satu faktor dengan faktor yang lain, ialah antara thesis dan anti thesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari Maha Dewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu adalah cocok sekali dengan pemandangan hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir maupun batin. Tiada sukar membelokkan proses tersebut kepada Trimurti-nya Hegel, ialah thesis, anti-thesis dan synthesis. Cuma buat Hegel, seorang profesor dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku di dalam otak manusia. Sedangkan buat orang Hindu Trimurti itu adalah Maha Dewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita ini termasuk juga hidup dan matinya manusia.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lainnya akhirnya mendapatkan Tiga Maharaja ataupun satu Maharaja yang terutama.
Terhadap Tiga Mahadewa itupun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya, yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Demikianlah di Hindustanlah sendiri pada satu waktu atau satu tempatlah Whisnulah yang dipuja. Pada lain waktu dan lain tempat Shiwa atau Brahma-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai Dewa dan Maha Dewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai Raja dan Maharaja di dunia lahir, ialah dunia politik, tetapi pula mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarakat Hindu itu berpuncak pula pada Tiga Kasta Pokok, ialah Kasta Brahma, Kasta Satria dan Kasta Waisa, atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat dan Kasta Saudagar. Semua kasta berpuncak pada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut hukum Karma dan Reincarnatie, seseorang harus melalui Kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang anggota Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam Surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria mendengarkan bacaan Kitab Suci-pun didunia fana inipun tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan kasta yang tidak boleh bercampur gaul dengan satu dan lainnya. Lama sebelum Nabi Isa-pun rupanya perpisahan masyarakat Hindia dalam beberapa Kasta itu sesudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung peri kemanusiaan. Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari Raja Kapilawastu. Gautama Budha membantah keras pembagian manusia didalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahma sajalah yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh.
Proses mendemokratisirkan masyarakat Hindu yang mulai pada lebih kurang 500 tahun sebelum Nabi Isa itu berakhir dengan kemenangan agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, ialah dibawah pemerintahannya Adji Soko.
Tetapi aksi yang dilakukan oleh Gautama Budha beserta para pengikutnya, yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya tahun 500 itu diikuti oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bermerajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke 14 maka masuklah dari jurusan Utara, agama baru, yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelumnya imperialisme Eropa memasuki India, maka orang Islamlah yang menjadi Maharaja di Hindustan.

5. INDONESIA – INDIA

Gerakan pandangan hidup di India seperti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini.
Disinipun kita mengenal beradanya diberlainan tempat dan diberlainan waktu Trimurti, Mahadewa Brahma, Whisnu dan Shiwa. Kita pun mengenal perkembangan dan penguasaan Agama Budha. Akhirnya Indonesiapun mengalami pengembangan dan penguasaan agama Islam.
Dengan mengembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun, maka mengembang dan berkuasalah pula bangsa Hindu (di belakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu mengembang dan berkuasalah pula agama Hindu dan Arab itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu, pada puncak kekuatan masing-masing agama Hindu atau Arab-pun maka kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, ialah animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarangpun para hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air mancur yang terus menerus menuangkan airnya itu, masih menekan jiwa seseorang Indonesia yang menghampirinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu adalah sesuai dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebu. Perdagangan dan Perusahaan Asing walaupun mengembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia belumlah pernah bangsa Indonesia dari tangannya. Tegasnya, sawah ladang serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah air dan udara masih tetap berada di dalam genggaman bangsa Indonesia asli.
Dengan demikian maka masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat dalam genggamannya, tanah, air dan udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya pemerasan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhanan sekali. Demikianlah pula cocok dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh-membunuh untuk mendapatkan nafkah, maka para arca dari bermacam-macam Maha Dewa pun bisa duduk berdampingan dalam satu gedung berhala. Berbeda dengan keadaan di negeri asalnya sendiri maka di Jawa-Surga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Whisnu, sambil bersenyum-senyum.

6. DISEKITAR NABI MUSA

Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah Sungai Nil di Mesir, ketika di bawah perintahnya Maharaja Firaun. Di sekitar bagian bumi disanalah kita mendapatkan bukti. Sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali diantara sekalian bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi manapun juga.
Egypte Mesir, di zaman ribuan tahun lampau itu mengenal bermacam-macam Dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, ialah Dewa Mataharilah yang mendapatkan kehormatan dan pujian sebagai Maha Dewa. Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rahlah yang memfirmankan, bumi, langit, sungai Nil, dan gurun pasir, beserta hewan dan  manusia. Semuanya itu berbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja, yaitu “Ptah”. Jadi berlainan dengan pemandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikianlah pengertian Maha Kuasa yang sanggup menciptakan yang ada, atau benda dari yang tak ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Maha Kuasa inipun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Firaun itu berada sebagai bangsa budak yang terhina, berhijrah di Kerajaan Firaun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing ditengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka pada suatu waktu bangsa Yahudi memutuskan hendak pindah ke “tanah susu dan madu”,yang menurut kepercayaan Yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
Buat suatu bangsa budak, yang hidupnya bergembala dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, makna satu daerah bumi, di mana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.
Seseorang yang memimpin pemindahan ke Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Firaun yang bersenjata lengkap patutlah dinamai seorang pemimpin dalam arti kata yang sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Firaun, kalau pemimpinnya bukan seorang pemimpin, seperti Nabi Musa. Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa akan dianggap sesuatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua, muda, bayi, laki-perempuan, sehat dan senang yang sering bercekcok satu sama lainnnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagiannya terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Firaun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar dibelakang, dalam keadaan sedemikian Cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifat manusia serta keadaan alam disekitarnya, yang dikandung oleh Nabi Musa; pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin berlaku di hari depan; kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan idaman; serta akhirnya, tetapi tiada kurang artinya kepercayaan yang tiada dapat dilunturkan oleh bahaya maut pun atas pertolongan yang sudah “dijanjikan oleh Jehovah, Yang Maha Kuasa kepada leluhurnya bangsa Yahudi” dalam waktu menuju ke “Tanah susu dan madu’ yang dijanjikan itu, yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi semua kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat dan zaman bahagia, dengan tiada berkompromis sedikitpun dengan musuhnya yang 1001 kali pula lebih kuat.
Pemimpin yang Maha Ulung dari satu orang yang mempunyai cuma satu tujuan dan satu tekad, bilamana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesukaran dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha Esa itu, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu benar-benar “the proof of the pudding is in the eating” (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah  dimakan!)
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atas beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala guna mengenal beberapa Dewa, menurut Sukunya, maka sempurna jayalah kepercayaan MONOTHEISME, percaya kepada ke-Esaan Tuhan diantara semua Suku Bangsa Yahudi.

7. DISEKITAR NABI ISA

Inconsistency, keputusan – logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal tarich, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang didapati oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua Kitab Suci, ialah Kitab Injil Tua dan Kitab Injil Baru, tiadalah menjadikan pusat perhatian saya disini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan dalam teknik dan ilmu bukti di masa Nabi Isa itu, maka semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab Suci sudah pada tempat dan waktunya.
Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah Moral (kesusilaan) dan Ketuhanan yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
Pertentangan arti dalam hal Susila dan Ketuhanan; yang say rasa terdapat dalam Kitab Suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti beberapa para ahli, bahwa Kitab Suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelumnya Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari Agama Kristen, yang bunyinya: “Kalau pipi kirimu dipukul orang, kasihkan pipi kananmu kepadanya biar dipukul pula”, dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi: “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”. Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ke-Tuhanan bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha Esa, yang diutamakan dalam Injil Lama dan oleh Nabi seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitynya, dengan Trimurtinya, karena Katolik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh Agama Kristen dan Ideal Keluhuran Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli penyelidik, yang mendapatkan kesimpulan, bahwa di masa bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah seorang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan berterang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum Pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi Kaki-Tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin Pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya Raja Yahudi, Mahdi; Yesus Nazarethnus Rex Jodeum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan didalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat memberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan, menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan”, maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi sesama Murba. Terhadap kaum Pendeta, dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, ialah kalau perlu dengan senjata ditangan menghancur leburkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki-tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasionil tentang dua susila yang berupa pertentangan itu. Salah satunya dikatakan, bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tiada berdaya menghadapi serdadu Romawi dan tiada berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi. Jadi menurut tafsiran itu sikap passive, sikap menerima yang dianjurkan oleh Nabi Isa itu berasal dari perasaan tiada berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki tangannya, “inlander-alatnya” kekuasaan Romawi itu. Bagi saya tafsiran yang dibelakang ini memang mengandung alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi terutama kaum Murbanya, di beberapa kota seperti di Yerusalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asalnya Nabi Isa sendiri, jauh daripada passive, menerima, pemberontakan, besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki-tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan sikap Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders alat itu, seperti tersebut di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan Tuhannya Nabi Isa dengan Tuhannya Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Maha Esa. Filsafat Ketuhanan, bahwa 1 + 1 + 1 = 1 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3 = 1 itu. Dibelakang harinya di masa revolusi Perancis banyak pula anasir masyrakat ini yang menumbangkan filsafat 3 = 1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tiadalah menjadi soal pokok.

8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD

Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1 = 1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula sosial yang bisa, yang praktis bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya. Dan dimaafkan seseorang bersalah yang mengakui kesalahanny dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah seorang Arab dari suku Quraish. Karena bangsa Arab dan bangsa Yahudi tiada berapa bedanya menurut Ilmu Kebangsaan, dan keduanya bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga Nabi besar itu yakni Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad itu sebangsa dan seturunan pula. Dalam Kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun-temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan mata kita ke seluruh muka bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita Cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi , malaise, mandegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan di Asia Barat sedang menderita keruntuhan sebagai akibatnya desakan dan serangan pelbagai bangsa Germania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa muda perkasa (Bulgaria dll), yang menyerbu kedalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi Almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain. Negara bekas-berkuasa disekitarnya Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan tumbuh-tidak, mati tidak.
Sedangkan Semenanjung Arabia, yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran karena perdagangan dengan negara luar; dengan perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada Kafilah yang kuat bersenjata tersusun sebagai laskar! Teristimewa pula, belum pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa Asing! Dengan demikian, maka bangsa Arab masih bersemangat tegak, gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri.
Cuma suku dan suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajar dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan pecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliah yang tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai synthesis dari pertentangan pelbagai ideologi sebagai synthesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu; inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa, Politik, Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan.
Persatuan tidak terdapat pada satu Maha-Patung, diantara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esa-an Tuhan dan Ke-Mahakuasaa-an Tuhan itu, yang tiada lagi takluk pada tempat dan waktu, seperti patung manapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf tidaklah berarti buta kecerdasan, buta keberanian, ataupun buta kejujuran.
Sebaliknya pula, University pun tidaklah menjamin keberania, keuletan, kejujuran.
Kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu keputusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness). Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia: “Jauh berjalan dilihat. Lama hidup banyak yang dirasakan.”
Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara di sekitar Arabia, bersama-sama dengan Kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan nabi di hari depan, bilamana Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otaknya pemuda Muhamad bin Abdullah itu dapat dipenuhi oleh masyarakat disekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya. Bumi dan langit Semenanjung Arabia, yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh seseorang yang memperamatinya dan menyempurnakan pengetahuan yang diproleh dengan percakapan dalam pulang pergi ke Mekah ke luar Negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti Kafilah, yang acapkali menghadapi pelbagai musuh, mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa pemuda Muhammad bin Abdullah.
Terlatih dan tergembleng dalam “University of Life” itu, maka apabila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-gala, maka tampillah Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandist, korban propaganda, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Waktu dan tempat amat sesuai dengan ke-Esa-an dan ke-Mahakuasa-an pada permulaan abad ketujuh itu!
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam Pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku, ialah kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di dunia. Semuanya keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Maha Kuasa, yang menguasai sekalian alam dengan manusia, bidadari dan malaikatny.
Semangat Islam yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, sangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai Pusat, Jiwa dan Filsafat serta prakteknya sesuatu kepercayaan, memangnya belum lagi dikenal dalam sejarahnya manusia. Agama baru, yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku di Arabia itu, tidaklah akan dibatalkan atau disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila pada suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam suatu rapat, supaya propaganda Islam itu diperhentikan saja, karena sangat menimbulkan persengketaan, dan sangat mengancam jiwanya Nabi Muhammad sendiri, maka Nabi Muhammad menjawab: bahwa, “walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tidak akan diindahkan.”
Syahdan, maka dengan semangat bersatu padu diantara kaum Muslimin, yang kian hari kian bertambah banyak anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa; dengan kepercayaan Kafir Jahiliah, maka di bawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya, setelah lebih kurang duapuluh tahun berlakunya propaganda, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kokoh-kuat diantara semua suku Arab, dengan semangat menyerah, Islam, zonder perjanjian kepada takdirnya Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap Negara dan Rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh keuntungan lahir dan batin, maka dalam lebih kurang 100 tahun bangsa Arab dapat menguasai hampir seluruh kelilingnya Lautan Tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh Dunia Kristen kepada Arab Islam, di zaman Tengah, dan sekarangpun, maka jasa Arab Islam tentang filsafat dan Ilmu Bukti, sesungguhnya belum mendapat nilai yang patut!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle, edaran Dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan, filsafat ketuhanan 1 = 1 sebagai thesis. Setelah Nabi Isa maka timbullah tentang 3 = 1, sebagai antithesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah kembali filsafat 1 = 1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada yang semula.
Sedikit saja, filsafat ketuhanan Islam, yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu, menoleh ke dunia Lama, ialah masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapat bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali Filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan Kerajaan Romawi, Filsafat Islam dapat memisahkan padi yang berisi daripada hampa, menanam yang berisi sampai tumbuh dengan suburnya di zaman Tengah.
Dengan demikian, sepatutnyalah kita menoleh  ratusan tahun ke belakangan masyarakat Islam yang jaya-mulya-makmur di Spanyol, Mesir dan Baghdad dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani Asli.

9. YUNANI ASLI

Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli, masih dianggap kebudayaan ibu. Plato, sebagai ahli filsafat masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafatnya Heraclit masih dianggap uratnya Materialisme dan Dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang oleh pelbagai ahli bukti (scientist) modern. Demikianlah, bermacam cabang kebudayaan modern dapat mencari uratnya pada kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada para mahasiswa yang harus menyelami segala ilmu modern itu lebih dalam, sampai ke uratnya.

10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU BUKTI

Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kita kepada dunia Barat ialah Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan yang terbentang semenjak lebih kung 2.500 tahun sejarahnya. Dunia Barat itu, ialah dari lebih kurang tahun 500 sebelum Nabi Isa sampai sekarang; tiga garis pokok itu, ialah garis Agama, garis filsafat dan garis ilmu (bukti). Semua cabang kebudayaan yang lain-lain termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia Barat yang 2.500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan kemunduran dan pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 sebelum Isa sampai tahun 1.500 sesudah Isa, keagamaanlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat Cuma mengabdi kepada keagamaan serta ilmu bukti boleh dianggap pelengah otak dan pikiran belaka. Waktu yang selama itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan zaman Tengah, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarakat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam pimpinan masyrakat dan politik. Tetapi pada zaman tengah, terutama di bagian permulaannya, maka kaum alim ulama dan pendetalah yang terutama memegang pimpinan masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, bahwa dalam garis besarnya maka dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah keagamaan terdesak ke belakang. Bahkan pada masa revolusi Perancis keagamaan itu mendapat tantangan sekeras-kerasnya seperti belum pernah dialaminya.
Sedangkan ilmu bukti makin mendesak ke muka dan sudah menjadi sandaran yang terutama bagi ilmu filsafat. Pada waktu ini, maka bukanlah lagi kaum Pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu bukti, ilmu nyata.
Akhirnya dari lebih kurang tahun 1.850 sampai sekarang, jadi semenjak lebih kurang 100 tahun ini, maka ilmu bukti (science) lah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi di dalam masyarakat dan negara Eropa dan Amerika modern itu. Ke-agamaan yang di masa revolusi Perancis itu mendapat tantangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun kembali, tetapi sekali-kali tidak mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelumnya revolusi Perancis itu. Pada pertengahan abad ke-19 itu ilmu filsafat dalam arti aslinya sudah mulai turun dari Singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, ialah filsafat Materialisme Dialektika, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan:  hari akhirnya filsafat. Semenjak itu ilmu masyarakatpun sudah didasarkan atas hukumnya ilmu bukti. Dan ilmu bukti dari pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai dan kedudukan yang tertinggi sampai sekarang. Benar juga kaum ahli bukti itu sendiri masih memakai perkataan filsafat, tetapi artinya sudah berlainan daripada yang semula. Artinya sekarang, yang terutama ialah “weaving up general principles” (penyusunan dasar besar), seperti salah seorang ahli ilmu bukti yang besar, mengatakannya.
Jelaslah rasanya, bahwa dalam tiga zaman, yang kita kemukakan buat Dunia Barat, seperti tersebut di atas saling beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayaan itu: keagamaan, filsfafat dan ilmu bukti.
Adapun perselisihan ketiga garis pokok yang sebaring pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para pemimpin masyarakat dan negara (sosial-political-regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada.

11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI

Di masa Pendeta dan Ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara, baik di Yunani, Romawi ataupun di Eropa Barat di masa zaman Tengah, yakni dari tahun lebih kurang 500 sebelum Isa sampai tahun 1500 setelah Isa, maka produksi itu dijalankan oleh tenaga budak belian (seperti di Yunani dan Romawi) serta oleh budak serf seperti di zaman Tengah di Eropa Barat. Pesawat (teknik) nya di zaman Tengah ialah kincir angin atau air.
Di masa Ningrat dan ahli filsafat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat, yakni kasarnya dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850 itu, maka produksi sudah lebih dipusatkan pada manufakturen dan pada permulaan pemakaian pabrik yang dijalankan oleh uap.
Akhirnya di masa Borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis); di masa Borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat dan Amerika, yakni kasarnya dari tahun 1.850 sampai sekarang (1948), maka produksi sudah dikuasai oleh Finance Capital (Modal Bank) dan monopoli. Dasar teknik maju dari kodrat uap, sampai ke kodrat listrik, minyak dan sekarang kodrat atom.

12. SOAL AGAMA

Adapun soal agama, kita semuanya lebih kurang sudah mengetahuinya.soal itu berpusat kepada: Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya bumi, bintang, langit pendeknya alam raya ini? Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ke-Tuhanan ialah agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada Kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia adalah ciptaan Tuhan.nasibnya manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasibnya itu dipertimbangkan pula bersama amal dan ibadatnya. Amal dan ibadatnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah upah atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadat dan bernasib akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkas ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia itu, tetapi menetapkan pula jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka. Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Gautama Budha mengemukakan lima jalan buat mendapatkan surga. Dan lebih dari tiga agama tersebut di atas, maka agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab sendiri dan perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut yang satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “Eine Privatsache”, dalam arti kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika dan matematika, maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan beberapa sendi agama itu. Tetapi yang jelas bagi satu penganut agama belum tentu jelas bagi penganut agama yang lain. Agama tinggal tetap kepercayaan bagi masing-masing orang.

13. SOAL FILSAFAT

Seperti soal keagamaan, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut memandang. Tetapi bagi kami sudut memandang yang bisa berhasil memuaskan dan soal yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Friedrich Engels pada abad yang lampau. Menurut Engels, maka kaum ahli filsafat itu bisa dibagi atas dua golongan, yakni golongan Materialist dan golongan Idealist. Di antara dua golongan besar itu sebagai dua kutub bertentangan terdapatlah pelbagai golongan yang kalau dikupas lebih mendalam sebenarnya termasuk ke dalam dua golongan Materialist dan Idealist tadi  juga. Kaum ahli filsafat itu berpecah dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh mereka atas filsafat, yang berbunyi: “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan idee (paham)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang mengerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah bertukar menjadi soal badan dan Nyawa –naluri. Di dala jenis manusia, soal itu menjadi berubah bertukar menjadi soal jasmani dan rohani pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau nyawa, dan jasmani atau rohani?

14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIST

Kaum materialis menjawab, bahwa benda dan jasmani itu yang asal, yang pokok: “tak ada kodrat zonder benda”! “Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. “Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi, maka bumi dan bintang itu sudah ada...”...kata kaum filsafat materialist.
Menurut kaum idealist, maka idee, kodrat dan rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealist extrimist, maka yang ada di alam raya ini cuma idee saja, ialah idee, yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan maha dewa rah, yang mengisi dunia kosong pada awal dunia ini dengan bintang, bumi, langit, sungai, tumbuhan, hewan dan manusia sekejap mata setelah kata ‘ptah’ difirmankan. Lihat Madilog.
Bagaimanapun juga perbedaan faham itu, tetapi teranglah sudah, bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealist kepada kaum materialist itu, bahwa kau materialist itu cuma memikirkan makan minum serta keplesiran hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.

15. AHLI FILSAFAT YUNANI.

Bahwasanya setelah para ahli pikir yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan berdasarkan ‘dogma’ semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, maka timbullah pertanyaan di dalam pikirannya, yang kira-kira berbunyi: apakah yang pokok, yang asal dari alam raya ini?
Kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, ialah tanah, air, udara dan api. Terkurung di dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini, serta terganggu oleh benda dan gerakan di luar pikirannya sendiri, maka zeno, idialist yunani, mengambil kesimpulan: bahwa ‘gerakan benda itu cuma impian panca indra manusia saja (ilusion of the senses). Pemikir ulung Masyhur diantara bangsa yunani juga, ialah plato, setelah memakai cara berpikir, yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan, bahwa yang asal itu ialah ide mutlak/absolut idea. Dengan cara berpikir yang abstract, pisah-memisahkan itu, dia sampai kepada dunia logos, dunia roh. Banyak persamaannya logos Plato itu dengan Atmannya Hindu.
Sebaliknya pula seorang pemikir tentangannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakannya benda itu, kita maksudkan ialah Heraclitus, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kami yaitu: sesuatu itu ada dan tidak ada karena semuanya itu cair, luntur senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap. Heraclit mengakui adanya benda, bahkan memajukan hypothesis molecule, yang lebih dua ribu tahun di belakangnya baru dibenarkan oleh ilmu bukti. Lagi pula bertentangan dengan Zeno  maka heractlit mengemukakan gerakan sebagai sifatnya benda dan menyebabkan benda itu senantiasa mengalami perubahan/’nict ist, alles wird’ menurut hukum gerakan ialah hukum dialektika.
Diantara atau disamping kedua golongan ahli filsafat tersebut berada raksasa pemikir yunani, ialah Aristoteles. Sebagai seorang tabib, yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapa daripada ilmu, terutama ilmu yang hidup/biology, maka Aristoteles memusatkan perhatiannya pada sesuatu susunan, sesuatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika. Dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidaklah sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraclit dan Demokrit.

16. AHLI FILSAFAT ZAMAN TENGAH

Besar sekali pengaruhnya para ahli filsafat Yunani umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya atas masyarakat di zaman tengah, yakni masyarakat islam dan nasrani. Dunia filsafat barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rosj, terkenal sebagai Averoes, dibaharui dan diserahkannya sebagai warisan ke masyarakat Nasrani. Plato pun banyak  mendapa penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman tengah.
Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengarkan nama Heraclit atau Democrit. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita. Masyrakat Islam di zaman tengah mengenal satu golongan pemikir, yang dinamai Muthazalit. Mereka terdapat di kota-kota besar di Kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan atheis. Keterangan yang lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka, tidaklah disampaikan kepada kita, selainnya daripada mereka dianggap kaum murtad oleh agama resmi. Ibnu Rosj sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Muthazalied kebebesan pahamnya itu amat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa/Nasrani yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan, kalau mereka kaum Muthazalied itu adalah Murba kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana/rudimentary. Tidaklah pula akan sangat mengherankan, kalau di Eropa Barat di zaman tengah itu, kita sedikit sekali mendengar namanya Plato dan Aristoteles. Hidup amat sukar sekali bagi budak serf di zaman Tengah Eropa Barta itu, hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak serf, oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah mengizinkan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini terserah kepada para pendeta yang tinggal dipekarangan Gereja yang besar, dikelilingi oleh kebon dan dilayani oleh rakyat. Budak sekitarnya, terpisah dari masyarakat pekerja, seperti logosnya Plato terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafatnya Plato dan Aristoteles. Logos dan rohani mutlaknya Plato cocok benar dengan sifat God yang berada, lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala-galanya itu. Dan paham mereka, para rahib dan pendeta inilah, pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini. Classificasi, penjenisan Aristoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah daripada tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya, sangat digemari oleh Schoolmen, scholasticus, ahli buku, di zaman tengah. Karena ahli buku, yang memangnya hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari tumbuhan dan hewan yang sesungghuhnya. Demikianlah pengetahuan bukunya ahli filsafat di zaman tengah itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsafat di zaman tengah itu.
Dari tahun 500 sebelum Isa sampai tahun 1.500 setelah Isa, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu bukti yang sederhana. Kaum idealist masih memakai kepercayaan keagamaan sebagai premis/bukti lantai dalam pembentukan sistem/karangannya. Tetapi kaum materialist tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis/bukti lantai. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis. Keduanya idealist dan materialist mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hidupnya yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dan dengan semakin majunya ilmu bukti itu, maka kita terdorong ke belakanglah penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principil).

17. AHLI FILSAFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS

Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu bukti sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato-Heraclit dan Aristoteles. Di Perancis saja kita mengenal raksasa matematika dan ilmu alam (physic) serta ilmu kodrat (mechanic) seperti Mauportuis, Clairut, D’Alembert, Langrange, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematik ilmu alam dan ilmu kodrat, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu pisah bangunlah seorang Perancis bernama Lavoiser yang menyusun mensistematiskan ilmu pisah yang mulai mengatasi Ibnu Sina, ilmu pisah Arab. Sedangkan Cuvier mengatasi Aristoteles. Perbandingan Pythagoras dengan Newton, Archimedes dengan Pascal dan sebagainya adalah perbandingan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan, kalau kemajuan ilmu bukti, yang membelakangkan zaman kuno dan zaman tengah seolah-olah puluh ribuan tahun lamanya itu, memberikan bahan yang tidak ternilai pula pada para ahli filsafat. Tetapi para ahli filsafat tetap terpecah dua dalam golongan Idealist dan Materialist. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu bukti itu sebagai penjelasan/proof kebenarannya masing-masing teori mereka.
Demikianlah bangkit di Inggris dua orang ahli filsafat yang terkemuka, ialah Pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohaniannya manusia si Pemandang, maka David Hume dengan tekad consequensi seorang ahli filsafat berkata, bahwa pada final analysis, pada kupasan terakhir, maka segala yang ada dalam raya ini, tidak lain hanyalah “a bundle of conceptions” (gabungan paham) tentang alam raya itu. Sampai Hume mengatakan, bahwa “kamu pun “ buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otaknya Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume membatalkan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan, bahwa seseorang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otaknya Hume saja, maka orang lain itupun bisa berkata, bahwa Hume sendiri tidak ada bagi orang lain itu, selain daripada satu “gambaran” dalam otaknya orang lain itu saja. Yang kamu buat Hume itu adalah saya buat orang lain itu. Dan sebaliknya, yang “saya” buat Hume adalah kamu buat orang lain itu. Kant ahli filsafat Jerman, yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekad seperti David Hume itu. Kant berdiri di tengah-tengah. Dia tidak bisa membatalkan yang ada di alam raya ini. Tetapi selainnya daripada mengakui yang ada itu dia lain pula kepada “Ding An Sich”, benda sendirinya, yang belum diketahuinya. Dengan bangunanya Emanuel Kant di Jerman, maka timbullah pula filsafat Idealisme yang diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel. Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat Idealist Inggris disekitar revolusi Borjuis itu mendapat tantangan tepat pesat dari ahli filsafat Materialist Perancis, yang termahsyur pula seperti Diderot dan Lamartine. Berdasarkan matematika, ilmu alam, dan ilmu kodrat yang maju pesat di masa itu, maka mereka membatalkan kemahakuasaan kerohaniaan ini di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan matter in move, benda bergerak. Seolah-olah tak ada dayanya manusia berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. manusia itu adalah mesin yang passive, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak, bergeraklah dia, kalau tiada berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang passive, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk dengan tiada perjanjian apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme semacam ini kami namai Mechanical Materialisme, ialah Materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya buat mengubah suasana dan keadaan lama disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat yang alam yang melekat pada semangatnya kaum Materialis Mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tidak berdaya terhadap lama disekitarnya, seperti manusia di zaman tengah tidak berdaya terhadap takdirnya Tuhan, demikianlah pula kaum Materialist di masa revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan dan gerakan kebendaan itu (Mechanism of matter).

18. MATERIALISME DIALEKTIS

Suara ahli filsafat Materialisme itu, seperti pula suaranya ahli filsafat Idealisme mendapat penerimaan yang baik pula di antara para pemikir Jermania. Ludwig Feuerbach seorang Prof. Jerman, mengambil oper Filsafat Materialisme di Perancis tadi, tetapi tersangkut pada apa yang dinamakan “Menschliche Taetigkeit” (Perbuatan Manusia). Menurut Marx, dalam 11 thesis tentang  Feuerbach, maka Feuerbach menyangkutkan “perbuatan manusia” itu pada idealisme, sedangkan bagi Marx, “perbuatan manusia” masuk kepada golongan kebendaan. Setelah Feuerbach diperhentikan oleh kaum borjuis dari pekerjaannya sebagai Mahaguru, sebab dianggap terlampau radikal, maka Feuerbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam caranya berpikir menurut cara Dialektika Materialisme, yang bersandar kepada Dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sepembangunannya ialah Friedrich Engels. Selainnya daripada keduanya pujangga ini adalah ahli dan penggemar Matematika, mereka pula mempergunakan Utopis Sosialisme Perancis dan Inggris, dan teori Evolusinya Charles Darwin serta teori Ekonominya Adam Smith dan David Ricardo, dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan “cause” atau lebih tepat “ condition” (keadaan) ialah sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme yang berdasarkan impian (Utopi) seperti yang dicetak oleh Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen, berubah menjadi Scientific Sosialisme, ialah Sosialisme berdasarkan Ilmu. Adapun yang dianggap menjadi “cause” (sebab) perubahan dan pertukaran masyarakat dari tingkat ke tingkat itu, ialah perubahan dan pertukaran sistem produksi. Ilmu sejarah yang disandarkan kepada sejarahnya perubahan sistem produksi, yang disandarkan kepada benda yang nyata itu, dinamai Historical Materialisme, Materialisme Sejarah!, yakni teori Materialisme tentang sejarah. Pandangan hidup yang berkenaan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis. Disebutkan pula Dialektis, karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya, ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, atau tumbang!
Setelah Marx dan Engels mendapatkan “cause” atau “condition”, sebabnya, dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka bertukar-bertukar pula sejarah manusia itu, dari satu kebetulan dari satu nasib, yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal , berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya sesuatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal.
Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini semenjak ahli Filsafat Yunani dipecah-pecah, dikupas, diselidiki dan dipastikan hukumnya, maka berubahlah, bertukarlah pula soal filsafat, yang berbunyi “what does this all mean” (apakah artinya semua ini), menjadi soal kaum ahli bukti yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu bukti.

19. ILMU BUKTI

Tepat pula kesimpulan Engels, yang mengatakan, bahwa dalam perulangannya ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu bukti, wissengschaff, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dengan pelbagai ilmu tentang alam raya (nature). Sisa dari filsfat itu menurut Engels, ialah Logika dan Dialektika.
Kembali kita dahulu kepada ilmu bukti, ke zaman Yunani, dan dari sini secepat kilat kita melangkah ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada Logika dan Dialektika, ialah oleh Engels dinamai sisanya filsafat itu!
Syahdan, dalam lebih kurang 2.500 tahun perantauannya itu, maka Science, ilmu bukti, yang boleh dianggap anak dari filsafat dan cucu dari agama, ilmu bukti, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum juga lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya itu dari alam raya, yakni dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu, sudah sampai ke dunia terkecil, yang tidak lagi tampak oleh mata, karena kecilnya itu. Satu Universe (alam) yang tak dapat dipandang oleh mata telanjang 2.500 tahun lampau itu sekarang dengan mata bersenjatakan teropong pembesar dan pendekatan sudah bertambah menjadi beberapa Universe. Molekul dan atom yang tercipta dalam hypothesis, persangkaan kedua Materilist Dialektis Heraclit dan Democrit itu sekarang sudah dibuktikan oleh mata dan teropong. Bahkan ilmu bukti sekarang sudah sampai kepada benda yang lebih kecil. Atom yang disangka tak dapat dibagi-bagi lagi itu sudah dibagi dua pula, ialah atom proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya; seperti satu Universe dengan Universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat tolak dan tarik (repulsion dan attraction), yang boleh dikatakan pula masuk jenisnya kodrat thesis dan anti thesis dalam Dialektika, maka demikianlah pula dua dunia terkecil tadi, ialah proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat tolak dan tarik menjadi satu atom, satu synthesis atom. Ringkasnya synthesis dari proton dan elektron ialah atom; synthesis atom dan atom ialah molecule; synthesis molecule dan molecule ialah badan; synthesis dari bumi dan matahari ialah keluarga matahari; synthesis dari satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya serta akhirnya satu Universe lainnya, adalah alam raya kita ini.
Dalam 2.500 tahun ini menurut Dialektika dan hukumnya thesis, anti thesis dan synthesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, ialah alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi.

20. PECAH BELAHAN ILMU BUKTI

Entah sampai ke mana ilmu bukti akan memecah-mecah lagi.
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atau ilmu bukti, maka kita peroleh dua klas ilmu bukti, ialah yang masuk klas sejarah dan yang masuk klas alam. Maka ilmu bukti yang mengenal sejarah manusia itu sudah berpecah-pecah menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusastraan dan lain-lain. Ilmu bukti yang mengenai alam raya ini sudah berpecah belah pula menjadi ilmu bintang, ilmu bumi, ilmu alam (physic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Di sampingnya itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti lantainya berdasarkan barang ciptaan seperti angka (number) dalam huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu algebra, trichonometri dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita  mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah pula contoh dari ilmu hukum, cabang ilmu hukum itu sudah terbagi pula atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (contituional laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya, kalau seorang yang ahli dalam sesuatu cabang ilmu bukti, tidak lagi mengenal perhubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain, sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya, kalau-kalau seorang Dokter ahli rambut hilang lenyap dalam “haarkloverij-nya” dan melupakan perhubungan rambut itu dengan seluruhnya tubuh dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang pula besar bahayanya, kalau seorang ahli kejahatan, criminal expert itu memandang tingkah laku seseorang dari sudut kejahatan, seolah-olah dia lupa, bahwa perbuatan seseorang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan di luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat diri sendiri.
Berhubung dengan bahaya pecah-belah, terpisah terasing itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu bukti untuk mengkoordinir, memperhubungkan kembali pelbagai ilmu yang pecah-belah disebabkan oleh kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientist ternama dengan “weaving up general principles”, sebagian tafsiran dari filsafat modern.

21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU BUKTI

Tidaklah mungkin, tetapi tidaklah pula perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semuanya atau sebagianpun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. sudah cukup bagi urusan kita di sini, mencoba menafsirkan maksudnya ilmu bukti, caranya ilmu bukti memperoleh maksudnya itu, serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya tadi.
Salah satu kalimat yang dipakai buat mendefenisikan (menetapkan) maksudnya ilmu bukti ialah: “simplication by generalization” atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal; atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah dikenal.
Kalimat yang lain, juga untuk menetapkan maksudnya ilmu bukti berbunyi: “the organization of facts” (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis. Berhubung  dengan inilah pula, maka Science itu saya terjemahkan dengan ilmu bukti.
Tetapi tidak kurang praktisnya formula yang lain, yang biasa diperdengarkan dalam dunia ilmu, sebagai maksudnya Science, ialah “to establish laws and systems”, untuk membentuk hukum dan karangan.
Sekian tentang maksudnya ilmu bukti.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan logika, klassifikasi, statistika dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara Dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamai induksi; deduksi dan verifikasi, dan dalam matematika dengan apa yang dinamai methode synthetic, analytic dan ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tidak berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan, ialah dalam buku Madilog. Di sini hanya hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum Scientist itu mendapatkan maksudnya ialah mendapatkan hukum dan karangan itu (laws and systems).
Bahan dan bukti yang dipergunakan oleh ahli bukti itu diperoleh dengan jalan observation (peramatan) atau experiment (peralaman). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena: sedangkan dengan jalan peramatan si penyelidik cuma passive, berdiam diri dan memperamati saja, maka dengan jalan peralaman si penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma dapat memperamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si Pengalam dapat mengawinkan tumbuhan atau hewan itu untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu bukti semenjak Galilei, pada permulaan abad ke-17 mengadakan experimentnya di Menara kota Pisa. Boleh dikatakan, bahwa jalan experiment itu membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani Asli yakni; tanah, air, udara dan api, maka ilmu pisah sekarang saja sudah mengenal 92 (sembilan puluh dua) elements, (anasir).
Akhirnya, dan tidak pula kurang pentingnya, maka semangat objectivity, (tenang di depan bukti) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup melompat dari dunia bukti, ke dunia hypothesis dan teori adalah satu sino qua num bagi seorang scientist. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti itu supaya bisa melayang ke dunia hypothesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk “laws and systems” seperti maksudnya Science itu. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.

22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU BUKTI

Kurang tepat kalau dikatakan, bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu bukti. Kurang benar, kalau disebutkan, bahwa India, Tiongkok dan lain-lain cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal Science, ilmu bukti. Kabarnya konon, maka Bapa ilmu ukur (Geometry) adalah seorang Hindu di Birma dan katanya pula India sudah mengenal Algebra juga. Juga Tiongkok sudah tahu bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memakai formula F/R yang kita kenal. Tidak ada yang tak akan kagum dan dipengaruhi oleh logikanya Mahaguru Kung Confusius, kalau membaca sistem kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak pula ada orang yang tak akan kagum mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mysticus Mahaguru Lao (Lao Tze), apabila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemanjuran obat orang Tionghoa. Bahkan dalam meramalkan hari depan, berhubung dengan hujan panas, ribut dan topan seringkali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu bukti Barat dengan weather firecast, weerbericht atau ramalan harinya. Dan bukanlah pengetahuan mencetak, obat-bedil dan pedoman diwariskan oleh Tiongkok kepada Barat, melalui Arabia?
Tetapi semuanya tersebut itu tidak mengatakan, bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat Science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun sebelum Isa. Mahaguru Kung, walaupun logis berpikir, belum sampai kepada tingkat membentuk ilmu logika sendiri, ialah memisahkan hukum berpikir itu dari proses (lakonnya) berpikir itu sendiri.
Mahaguru Lao belum pula bisa menarik hukum Dialektika dari prosesnya berpikir, yang memang dialektis. Demikianlah pula tukang ukur, ahli Kethabiban dan ahli hari di Tiongkok belum sampai lagi ke tingkat memisahkan hukum ilmu ukur, hukum kethabiban dan kimia dari proses ukur mengukur obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara dari pada prosesnya yang berlaku di udara itu. Kung-tze memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja.
Begitu pula Lao-tze  mempergunakan dialektiknya. Dan secara catatan, peringatan dan analogy saja pula, tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan hari di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tidak pernah lepas dari dunia bukti dan melompat dan melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan pengetahuan Yunani daripada dunia India dan Tiongkok, berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan hasil, tidak berapa majunya semenjak lebih kurang empat ribu tahun. India terpaku pada sistem Kastanya. Tiongkok terpaku pada Dunia Feodal yang bersandar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik sosial ekonomi politik serta kebudayaan yang berlainan corak dengan sistem di Eropa Barat. Seperti huruf alphabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambarannya sesuatu pengertian, menurut sistem menulis di Tiongkok (han-dji) begitu pula hukumnya ilmu bukti belum lepas terpisah, melompat melambung ke luar dari bukti itu sendiri.

23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU BUKTI

Dengan demikian, maka patutlah kita memberikan piala kehormatan tentang ilmu bukti itu ke tangannya bangsa Yunani sebagai pelopor dari ilmu bukti modern.
Dalam arti tulisan dan lisan memangnya Archimedes melompat melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.
Sekian lamanya Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri  tentang kenapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia menyemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama sekali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu Archimedes mendapatkan hukum, tentang benda yang terbenam, melayang atau merapung di dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegirangannya tidak saja Archimedes melompat ke luar air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana ke mari dengan melupakan pakaian, tetapi dia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkannya itu kian tahun kian mengembang dan melambung.
Hukum tadi dilakukan pada semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikut tertumbuk kepada air rasa (?). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air melainkan terapung. Nyatalah dibelakang hari, bahwa bukan hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Archimedes bahkan mendapatkan Verification (pengesahan), lantaran bukti baru tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak air rasa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya  menjadi sembarang benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Guy Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strasphere, ke mana Prof. Piccard ke dunia yang belum dialami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hypothesis saja. Merantau beraventure dari alam terkenal ke alam belum dikenal, seperti Colombus, Roald Amunsen dan lain-lain para ahli Satrya.
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verificasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu bukti itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari cause, sebab ialah dengan lima jalan yang sudah dikenal: 1. Method of Agreement (cara persamaan), 2. Method of Difference (cara perbedaan), 3. Joint Method (cara paduan), 4. Concomitant Variation (cara perubahan serempak) 5. Method of Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita, bahwa Pythagoras tidak tinggal menguji (to prove) teori sudut-siku yang kita kenal saja. Selainnya daripada pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori itu, pun Pythagoras cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh Mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia ke-Agamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita di sini, ialah dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras kita setelah hampir 2.500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori Relativitatnya Einstein, melalaui para ahli matematika raksasa, seperti Format, Laplace, Gauss, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran dan jasanya para ahli matematika itu sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasanya para ahli Islam, yang melakukan pemisahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai symbol (lambang)nya benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Algebra naik setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang.
Huruf X umpamanya boleh mewakili angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Zonder Aljabar tidaklah kita mungkin sampai kepada Trigonometri dan Relativitatnya Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Perlambungan benda ke angka dan perlambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Newton dan Einstein supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit itu dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai ke gerakan atom dan Sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik itu.
Dikatakan oleh beberapa para ahli, bahwa classificasi yang dilakukan Aristoteles amat dibekukan pengetahuan di zaman tengah. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah pula diperiksa berapakah keadaan produksi dan masyarakat di zaman tengah itu membekukan classificasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah classificasi, yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hidup (biology) itu menjadi perkakas yang penting, di samping Dialektika, bagi pelopor biology modern, ialah Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beaglenya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara, Darwin tak lepas dari cara classificasi, induksi, deduksi, dan cara menetapkan sebab, yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles, raksasa pemikir Yunani itu, yang terhenti di zaman tengah dan dibelakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan bangkitnya kembali dan maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ketangannya Charles Darwin dalam kandungan masyarakat Kapitalisme modern.
Demikianlah pula lebih daripada 2.000 tahun teori Molekul dan atom serta tafsiran Materialisme dan cara berpikir dialektis oleh Heraclit, democrit dan epicur harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas, seperti Marx, Engels dan Lenin, yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.

24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA

Sekianlah di sini tentang ilmu bukti.
Serba sedikit pula akhirnya akan kami uraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, dan daerah serta batasnya logika, seperti isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya Dialektika, sudah kami uraikan pula dengan panjang lebar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu dalam garis besarnya saja. Lagipula akan kami singgung pula dua jenis Dialektika, ialah Dialektika idealistis dan Dialektika Materialistis.
Dunia biasanya mengakui Aristoteles sebagai bapaknya logika. Dialah yang pertama sekali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan, bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak berapa lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam cabangnya ilmu pengetahuan, maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika ditangan Heraclit dan Democrit sudah sanggup melayani dunia benda sampai ke molekule dan atom yang tidak kelihatan di mata dan baru bisa dilihat dengan teropong di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dengan gerakannya benda, maka Dialektik sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya, di dunia static, berhenti dan passive tadi.
Ditangannya Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Germania, yang menentang feodal-autokratis, maka Dialektika Idealis melambung setinggi-tingginya seperti belum pernah dialaminya.
Ditangannya Marx dan Engels, sebagai pemimpin aliran proletariat komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis maka Dialektika Materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner proletariat bagi seluruhnya dunia.
Ditangannya kaum Bolsjewik di Rusia cara berpikir Dialektika Materialist dapat membentuk satu partai Murba dan sanggup menghancur-leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir atau cara berpikir. Tetapi Dialektikapun boleh ditafsirkan seperti itu.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu?
Menurut pandangan sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki itu oleh si penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu, dalam keadaan berhenti (static), terpisah (distinc) tak berubah (unchangeable) dan kekal. Sesuatu  itu harus diselidiki satu-persatu, terpisah-pisah dan dianggap tidak ada seluk-beluk dan perkenaan satu dengan lainnya menurut tempo dan tempat.
Pemakai Dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berseluk-beluk (connection), berubah-bertukar (change) dan bertentangan. Semua itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam sesuatunya dalam sesuatu waktu pula.
Bagi seseorang pemakai logika dalam menghadapi sesuatu soal dalam keadaan tersebut, maka dalam jawabnya, ia itu adalah ia dan tidak itu tidak. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg: “Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni, apakah sesuatu sifat yang tertentu dimiliki oleh sesuatu barang, harus dijawab dengan ia atau tidak. Tidak boleh dijawab denan ia dan tidak”. Tiga premis pokok bagi logika, ialah 1). A itu = A. 2). A itu bukannya non-A. 3). Tak ada jembatan antara A, dan Non-A. Berhubung dengan tiga premis pokok itu, maka sesuatu (barang) itu atau masuk jenis A atau masuk jenis Non-A dan sesuatu kesimpulan, yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duanya.
Contoh:
Apakah sapi itu dipandangn dari sebelah kiri ini hitam atau putih?
Memangnya pada warna yang tunggal, terbatas yang dimiliki oleh benda yang berhenti, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu, dipandang dari sebelah kiri adalah putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya hitam, bukannya putih. Jadi jawabanya boleh cocok dengan A=A dan A itu bukannya Non-A.
Apakah sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi di sini dialektik bisa melangkah masuk dan campur memberi jawaban seperti berikut:
Seluruhnya sapi itu putih ia  dan hitam ia. Atau dengan perkataan lain: Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu digerakkan sepanjang umurnya, ialah dari masa bayi sampai ke masa dewasa, bilamana warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum pula sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, ialah 300.000 km dalam sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia ke-2 penipuan warna (abberation aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh Armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah maka berhubungan dengan sesuatu yang sulit (komplex) tetapi masih dalam keadaan yang berhenti saja, logika, sudah terpaksa meminta bantuan kepada Dialektika. Apalagi dalam gerakan.
Memangnya sesuatu pertanyaan seperti: Apakah bola yang berguling cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Tidak dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawab itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik, yang dimaksudkan itu. kalau dijawab ia, maka jawab ini pun salah, karena belum lagi si penjawab habis mengucapkan ia itu, maka bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tidak berdaya apa-apa dalam hal ini. Logika harus meminta pertolongan kepada Dialektika untuk memberi jawaban ia dan tidak sekaligus.
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu  ilmu bukti sudah mengakui bahwa:
1.      Semua kodrat di alam raya ini (force, energie), yang terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light, heat and rays) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetism, listrik dan kodrat kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih dari bentuk ke bentuk. Dengan demikian, maka dengan timbulnya satu bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tidak berhenti-hentinya. Laplace menjelaskan Peralihan Molten Mass (benda cair) di alam raya pada permulaan dunia ini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan konetnya.
2.      Adanya Cell, sebagai satuan, dalam badan tumbuhan dan hewan. Karena pengembangan (multiplication) dan perbedaan (variation), ketika turun-temurun Cell itu, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa ini. oleh Charles Darwin dijelaskan, bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang ada sekarang di atas bumi kita ini, adalah hasil kemajuan dari ratus-ribuan tahun, dari beberapa cell-tunggal dalam suasana “struggle for existence” (perjuangan hidup) suasana “survival of the fittest” (kejayaan yang kuat) dan “adaptability” (kecakapan menyesuaikan diri). Dan beberapa cell tunggal ini maju dari putih telur dan protoplasma, menurut hukumnya ilmu kimia.

Joule dan Meyer menunjukkan, bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas atau listrik, kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa ekor kudakah kuatnya listrik. Pun bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau listri, dengan ia atau tidak. Tetapi apabila panas bukannya lagi panas, tetapi belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ia dan tidak sekaligus.
           
Demikianlah pula dalam keadaan, di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan; seperti air sedang berubah menjadi uap; kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik dan sebagainya atau satu zat sedang mengalami peralihan pula, atom beralih menjadi molekul, putih telur menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya maka logika, statika dan ukur mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka Dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Tetapi apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terdapat (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah pula dipergunakan logika, statistika, matematika, dan ukur mengukur serta timbang menimbang.
Dibelakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut: dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi bilamana kita berurusan dengan pelbagai sifat yang bertentangan, maka haruslah kita mengakui “coincidence of opposites” (perjumpaan beberapa pertentangan).
Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ia dan tidak sekaligus.
Dalam salah satu halaman buku karangannya bernama “logika”, maka Hegel seorang ahli filsafat Jerman yang besar berkata, lebih kurang: “dialektik nennen wir solche geistiche bewegung bei denen das getrennt scheinenden durch sichselbst, d.h. durch das, was sie sind in einander uebergehen, und so das getrennt scheinenden aufgehoben”.
(Saya terpaksa mencatat diluar kepala pula).
Indonesia lebih kurang: “yang kita nama dialektik, ialah gerakan pikiran (rohani), bilamana, yang berupa saling berpisah itu, olehnya sendiri, artinya itu terbawa oleh sifatnya sendiri, saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berupa perpisahan itu dibatalkan/artinya bersatu kembali)”.
Banyak persamaan antara Hegel dan bekas muridnya Marx itu. tetapi besar pula perbedaan diantara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan 1 : keduanya sama-sama menolak perpisahan kekal antara ya dan tidak itu. dalam gerakan thesis, anti thesis dan synthesis, maka akhirnya ia itu bisa menjadi tidak dan sebalikya. Dalam gerakan itu, maka perubahan quantity (jumlah) lambat-laun bertukar menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian maka tercapailah Negation der Negation (pembatalan kebatalan).
Syahdan, menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula dengan satu barang lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masingnya berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, ialah Hegel dan Marx keduanya sama berbeda sikapnya terhadap logika. Mereka sama-sama tidak setuju dengan perpisahan tetap dan pertentangan tetap antara ia dan tidak itu. Mereka sama-sama pula menyelediki sesuatu itu dalam suasana Dialektika (gerakan dan pertentangan). Tetapi ada pula perbedaan besar antara kedua penganut Dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektik itu kepada tafsiran dan teori Idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan Dialektik itu atas teori dan tafsiran Materialisme. Hegel adalah pengganti Dialektika Idealisme. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut Dialektika Materialisme.
Dalam dialektik dan logika maka Plekhanov mengikhtiarkan perbedaan dialektik Idealist dengan dialektik Materialist, sebagai berikut:
Dalam system Hegel, maka dialektik sama diri dengan metaphysika (ilmu gaib). Buat kami maka dialektik bersendi atas ilmu kealaman (hukum alam).
Dalam system hegel, maka Demiurge, crea atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau paham mutlak). Buat kami, maka paham mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terbikinlah semua perpaduan dan keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju, disebabkan oleh keinsafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (konsep). Menurut teori Materilist kami, maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada pada dunia nyata (phenomena), sebagai akibat dari pertentangan sifat yang terdapat pada lantainya bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (ideas). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu, dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata; kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali kaki yang di udara itu ke tanah dan kepala yang oleh Hegel itu ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenakan oleh Hegel kepada dialektik itu. Dengan begitu, maka ditangannya Marx dan Engels dialektik menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh Kudung Gaib, maka dialektik menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels, sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektik yang bersandar pada Materialismelah senjata yang tepat, tetap dan sempurna, terhadap keduanya kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang, kalau kita lebih dalam mengupas dan perbedaan. Cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx, dalam karangan ini, yang dimaksudkan cuma sebagai satu tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. Cuma sebagai pengunci, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan Materialisme Mekanis dengan Materialisme Dialektis.
Janganlah hendaknya kita menyangka, bahwa Engels terus melayang-layang di dunia pikiran saja, dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah bukti (reality). Sebaliknya pula, janganlah dikira, bahwa Marx dan Engels, tidak pernah melepaskan kakinya dari tanah bukti dan tidak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, idea itu.
Keduanya jenis pemikir tadi maju berpikir dengan berpandangan kepada keduanya dunia pikiran dan bumi bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikirarn dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh oleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikianlah Hegel pernah mengucapkannya, bahwa rohani (spirit), itu adalah dasar pendorong (motive-principle)-nya sejarah. Tetapi disampingnya itu diucapkan pula, bahwa keadaan ekonomi pada satu tingkat  menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Dan Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada pula mengucapkan, bahwa pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa menjadi kodrat, yang arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya dijelaskan pula bagi kita persamaan dan perbedaan antara Materialisme mekanis dengan Materialisme dialektis. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan. Tetapi bagi pengikut Materialisme mekanis, maka manusia dengan pikiran, perasan dan kemauannya, ringkasnya manusia dengan jiwanya itu seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya itu.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, maka dalam daerah yang terbatas oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya itu bukanlah benda passive, penerima, seperti mesin saja.
Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction), wiselwerking antara manusia dan alam di sekitarnya itu berbunyi lebih kurang:
“Bumi dikelilingi (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat produksi (forces of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dll) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk perhubungan baru antara manusia dan alam sekitarnya.”
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya itu, menukar sekitarnya itu dan dengan begitu menukar diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 thesisnya Marx mengucapkan:
Die filosophen haben die well nur verschieden interpretiert. Es kommt aber daraufan, die welt zu aendern”. (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini. Yang penting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan di atas ini nyatalah sudah, bahwa salah benar mereka, yang mengatakan, bahwa kaum Materialist itu cuma orang fatalis, penerima kodrat-alam saja, dan cuma memikirkan maka-minum dan keplesiran hidup semata-mata.
Tetapi sebaliknya bukanlah pula hasilnya pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas. Melainkan dibatasi oleh alat lahir dan batin yang telah dicapai oleh sesuatu masyarakat itu sendiri. (Ilmu, teknis, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dll).
Terbatas oleh alam dan masyarakat, yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, tafsirkan Materialisme dialektik itu, dipandang dari salah satu sudut ialah:
1.      Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa Barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelumnya proklamasi sudah membentuk satu sistem masyarakat, produksi distribusi, sosial politik yang ringkasnya boleh disebutkan masyarakat kapitalisme-jajahan-Belanda (Thesis).
2.      Dalam kandungan Imperialisme Belanda itu, diantara lain-lain, timbul dan timbullah paham yang bertentangan dengan paham masyarakat kapitalisme jajahan tersebut di atas, yang dalam hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru, yang memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu dalam sesuatu produksi berdasarkan tolong-menolong dan distribusi berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-thesis).
3.      Dengan Proklamasi 17 Agustus, maka rakyat/pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar