(Weltanschauung)
1. MANUSIA
MONYET
Puluhan ribu tahun lampau, dikala yang sudah gelap
gulita bagi peringatan kita sekarang, di masa mungkin Kepulauan Indonesia masih
bersatu antara yang sebuah dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia,
bahkan mungkin juga dengan Australia, terjelmalah di sini, menurut ahli, dekat
desa Trinil, suatu mahluk setengah hewan, setengah manusia, yang oleh ilmu
dinamai Pithecantropus erectus, manusia monyet.
Lain tempat pun di muka bumi ini, seperti di Tiongkok
Utara, di Afrika Selatan serta di Eropa Selatan dan Tengah, terdapatlah mahluk
yang semacam itu pula.
Semenjak Charles Darwin, maka banyak sekali para ahli
ilmu biologi mendapatkan pemandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan
dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selamanya ini tentang asal-usul dan
hari akhirnya manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti,
kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara juta-jutaan
bintang di alam raya kita ini, di Universos kita ini.
2. INDONESIA
SEDERHANA
Kembali kita kepada alam kita ke Indonesia tadi serta
kembali kita memperamati mahluk penduduknya! Maka kinipun Indonesia masih dapat
mempersaksikan manusia pada tingkat yang sederhana-rendahnya, yang berada di
antara hewan yang paling tinggi derajatny, seperti orang hutan, dengan pelbagai
penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yng masih berkeliaran di hutan rimba
Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan
Kalimantan seperti banyak orang Papua di hutan dan gunung Pulau Papua masih
bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya dari alam sekitarnya. Mereka belum
lagi terpaksa mengerahkan otak dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau
berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau
memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau manusia buas
yang lainnya. Buah kayu berlainan tempat dan berlainan musim, binatang liar dan
ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidupnya mereka. Kulit dan
daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan,
ranting dan daun kayu dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula
untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran yang diatas yang memangnya lebih kurang masih
terdapat beberapa bagian di Kepulauan Indonesia ini, saya majukan, untuk
memberi penjelasan, betapa rapat dan tempatnya perhubungan alam dengan manusia.
Alam Indonesia yang kaya raya ini tiadalah mendorong manusianya membanting
tulang serta memutar otak terus menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian
serta memperoleh senjata dan perlindungan buat membela diri terhadap mahluk
yang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan memang belum lagi memaksa, maka
tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya.
Tetapi di mana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, maka di sana
tenaga dan otak penduduk Indonesia pula menunjukkan kesanggupan penuh terhadap
segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan
masyrakat yang berubah itu.
Sungguh besar perbedaan alam-jiwanya seorang Indonesia
asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak dan Papua seperti tergambar di atas
tadi dengan alam – jiwanya seorang Indonesia desa atau kota seperti: tani,
buruh, dokter, insinyur atau jurist. Tetapi dengan tiada sangsi, dan bukan pula
dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan, bahwa seorang Dayak
atau Papua pun, jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai
mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan
kota. Perbedaan orang Indonesia beradab dengan sederhana (primitive) bukanlah
disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan
disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan perkataan lain,
disebabkan oleh kodrat pendorong.
3. ANIMISME
Rupanya perbedaan alam sekitar itulah yang menjadi
alat adanya perbedaan pandang hidup, Weltanschauung Indonesia beradab dengan
Indonesia sederhana itu. Buat menginsafkan hal ini, maka baiklah kita sekejap
mengandaikan kita sendiri berada ditengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan
atau Papua. Buat penduduk kota, ataupun buat hampir semuanya penduduk Pulau
Jawa, agak susah menginsafkan betapakah dahsyatnya suasana hutan rimba yang
sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon kayu yang besar tinggi menyolok ke angkasa;
cuaca yang selalu gelap gulia karena sang matahari tak sanggup menembus dinding
daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan
kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan binatang buas
atau berbisa, semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya,
semuanya itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya, sebagai manusia,
menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam itu.
Bagi manusia yang bermula berpikir, yang bermula
sekali mencerminkan alam luar yaitu kepada alam dalamnya, kepada jiwanya, cocok
benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya itu disebabkan oleh jiwa
yang berada di alam luar, yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran
orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa ditekan
oleh jiwa pula, seperti pohon kecil cuma bisa
dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar.
Demikianlah dimatanya orang sederhana itu semua benda
yang dahsyat disekitarnya mengandung jiwa
seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang – dahsyat; air mancur yang
bergemuruh; binantang buas yang berbahaya bahkan batu dan kayupun dianggapnya
berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti thesis antara buruk dan baik, yang
terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum begitu terpisah dalam
pandangannya. Orang sederhana memuja bukan yng baik saja, tetapi juga yang
jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya yang baik dan buruk. Hantu yang
jahat tiada kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu
yang baik, ialah hantu kawanannya manusia. Tentulah di mana alam sangat dahsyat
disanalah hantu jahat, harimau, raja hutan, atau sang Buaya lebih mendapat
perhatian daripada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu,
pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan
paham, yang oleh para ahli dinamai kepercayaan Animisme. Semuanya yang ada di
alam ini dianggap berjiwa, bernyawa.
Dalam perkenaan manusia sederhana, bangsa kita tadi
dengan alamnya di mana manusia itu berlaku semata-mata passive, menerima,
bahkan menderita ketakutan saja, di masa ini pun berlakulah hukum Dialektika,
yakni perubahan bilangan, sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quality into quality). Dalam pencaharian
hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan
menderita bermacam-macam penyakit, maka lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah
segala korban dan pujaan kepada salah satu yang paling ditakuti diantara banyak
yang ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air atau hantu
pemburu, akhirnya jatuhlah maha pujaan kepada maha hantu,yang paling
dipentingkan cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Di mana
pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang
sangat dipuja. Disinilah hantu pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai
maha hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam sekitar
sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih daripada
yang jahat. Kabarnya konon, adalah satu suku bangsa Papua yang menganggap pohon
aren (enau), sebagai Tuhan dalam arti Maha Dewa. Bukanlah pula pohon aren,
diantara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang tersebut
di atas memberikan segala-gala yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu aren
adalah makanan yang sehat dan mengandung kekuatan. Ijuknya (aren) boleh dipakai
buat atap rumah. Rujungnya aren boleh pula dipakai sebagai tombak menangkap
ikan dan pembela diri terhadap musuh.
Seorang Papua asli Cuma membutuhkan tujuh pohon aren
yang berumur berturutan dari 1 sampai 7 tahun. Tebanglah pohon yang ketujuh,
yang berumur 7 tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya.
Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seseorang anggota, ialah memotong sepohon
sagu sekali setahun dan menanam sepohon sagu sekali setahun. Selain itu dia boleh
memancing atau berburu, berkelahi atau suka ria. Dalam pergaulan semacam itu
Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pembikin segala-galanya dan berkuasa dalam
segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Papua. Sederhana, Dewi Sagu
disanjung dengan segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada
mahluk manusia disekelilingnya.
4.
KEPERCAYAAN INDIA
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini
juga, dan kemasyarakatan lain pula, ke India! Salah satu kesimpulan, yang kita
peroleh setelah membaca buku suci Mahabarata, Ramayana dan Upanishad, dan
tulisan tentang hidupnya Gautama Budha dan agama Budha, ialah bahwa pertama
sekali India mempunyai penduduk asli dan penduduk yang terdiri dari
bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari
Timur atau Selatan.
Kedua, bahwa masyarakat India di masa semua buku
tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas penghasilan yang dibuat dari
logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari
Komunis Asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa Raja dan Maharaja,
sedangkan aturan desanya berdasarkan Komunisme Asli.
Keempat, dan inilah yang perlu diperhatikan di sini,
bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan
masyarakat di masa itu, buat mereka yang berpedoman Dialektisme Idealistis.
Memangnya dalam kitab suci itu sukar diperoleh Historicals Facts (kejadian sejarah) dan
sukar pula didapat consistency, ialah persamaan dasar antara bagian dengan
bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sence. Malah tarich-pun
ialah salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil
akan didapat.
Maksud kita disini tiada pula akan mengambil sesuatu
kesimpulan secara pasti dari buku suci yang tiada berdasarkan Historical Facts itu. Cuma sekedar
menimbulkan bayangan sebagai sesuatu petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubung dengan dongeng Ramayana, maka sendirinya
timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet-putih Hanoman itu benar
sesuatu penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tidak lebih tepat
Hanoman, Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, ialah bangsa Kaukasia
juga, yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula, bahwa perkataan monyet itu cuma suatu ejekan dari bangsa India Asli, yang berwarna
hitam, seperti bangsa Keling? Kitapun di Indonesia ini mengenal ejekan itu
terhadap orang Asing Putih penjajah ialah Kebo
Bule-Siwer Matane.
Bagaimanapun juga, bagi saya dongeng moyet putih itu
adalah suatu pentunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan
yang sedikit tegap, yang kita peroleh dari dongengan monyet itu, ialah bahwa
India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli ataupun yang masuk
menyerbu.
Mungkin sekali pula perbedaan kasta, yang belum pasti
berbentuk dalam Kitab Suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi lebih kurang
3.000 kasta pokok, cabang dan ranting di masa imperialisme Inggris, perbedaan
kasta itu pada permukaannya bersandar kepada perbedaan bangsa.
Yang tidak kurang pula memberi suggesti kepada saya,
ialah adanya Trimurti, adanya Tiga Maha Dewa Hindu, ialah Whisnu, Shiwa dan
Brahma, Pembangun, Perusak dan Pemelihara. Banyak orang yang melihat
pelaksanaan Dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memangnya pula banyak
ahli Dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas Dialektika,
walaupun Dialektika Idealisme, bukan Dialektika Materialisme, meskipun Hegel
menganggap Dialektika Hindu itu kekurangan perkenaan antara satu faktor dengan
faktor yang lain, ialah antara thesis dan anti thesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari Maha Dewa Pembangun,
Perusak dan Pemelihara, itu adalah cocok sekali dengan pemandangan hidup yang
menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir maupun batin. Tiada sukar
membelokkan proses tersebut kepada Trimurti-nya Hegel, ialah thesis, anti-thesis
dan synthesis. Cuma buat Hegel, seorang profesor dalam ilmu filsafat, proses
itu berlaku di dalam otak manusia. Sedangkan buat orang Hindu Trimurti itu
adalah Maha Dewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita ini termasuk juga
hidup dan matinya manusia.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang
mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur
satu sama lainnya akhirnya mendapatkan Tiga Maharaja ataupun satu Maharaja yang
terutama.
Terhadap Tiga Mahadewa itupun ada tingkat kekuasaan
dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya, yang berbeda
dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Demikianlah di Hindustanlah sendiri
pada satu waktu atau satu tempatlah Whisnulah yang dipuja. Pada lain waktu dan
lain tempat Shiwa atau Brahma-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai Dewa dan Maha Dewanya Hindu di
dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai Raja dan Maharaja di dunia
lahir, ialah dunia politik, tetapi pula mendapatkan penyesuaian penuh pada
dunia sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarakat Hindu itu berpuncak pula
pada Tiga Kasta Pokok, ialah Kasta Brahma, Kasta Satria dan Kasta Waisa, atau
Kasta Pendeta, Kasta Ningrat dan Kasta Saudagar. Semua kasta berpuncak pada
Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan,
maka menurut hukum Karma dan Reincarnatie,
seseorang harus melalui Kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat.
Dalam hal itu seorang anggota Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam
Surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria mendengarkan bacaan Kitab Suci-pun
didunia fana inipun tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme
Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan kasta yang tidak
boleh bercampur gaul dengan satu dan lainnya. Lama sebelum Nabi Isa-pun rupanya
perpisahan masyarakat Hindia dalam beberapa Kasta itu sesudah menggelisahkan
para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung peri kemanusiaan. Reaksi
terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari Raja Kapilawastu. Gautama
Budha membantah keras pembagian manusia didalam beberapa kasta itu dan
mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahma sajalah yang dapat memasuki Nirwana
sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan
sungguh-sungguh.
Proses mendemokratisirkan masyarakat Hindu yang mulai
pada lebih kurang 500 tahun sebelum Nabi Isa itu berakhir dengan kemenangan
agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, ialah dibawah
pemerintahannya Adji Soko.
Tetapi aksi yang dilakukan oleh Gautama Budha beserta
para pengikutnya, yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya tahun 500 itu
diikuti oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh
dan sampai sekarang Hinduisme masih bermerajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke 14 maka masuklah dari jurusan Utara,
agama baru, yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat
Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik
dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelumnya
imperialisme Eropa memasuki India, maka orang Islamlah yang menjadi Maharaja di
Hindustan.
5. INDONESIA
– INDIA
Gerakan pandangan hidup di India seperti ditinjau
selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini.
Disinipun kita mengenal beradanya diberlainan tempat
dan diberlainan waktu Trimurti, Mahadewa Brahma, Whisnu dan Shiwa. Kita pun
mengenal perkembangan dan penguasaan Agama Budha. Akhirnya Indonesiapun
mengalami pengembangan dan penguasaan agama Islam.
Dengan mengembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di
Indonesia setahun demi setahun, maka mengembang dan berkuasalah pula bangsa
Hindu (di belakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa
Indonesia asli. Dengan begitu mengembang dan berkuasalah pula agama Hindu dan
Arab itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu, pada puncak kekuatan masing-masing
agama Hindu atau Arab-pun maka kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang
timbul dari alam Indonesia sendiri, ialah animisme, tak pernah dapat
dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarangpun
para hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air mancur yang
terus menerus menuangkan airnya itu, masih menekan jiwa seseorang Indonesia
yang menghampirinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu
itu adalah sesuai dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian
bangsa Indonesia di zaman tersebu. Perdagangan dan Perusahaan Asing walaupun
mengembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia belumlah pernah bangsa
Indonesia dari tangannya. Tegasnya, sawah ladang serta hutan, sungai dan
lautan, ringkasnya tanah air dan udara masih tetap berada di dalam genggaman
bangsa Indonesia asli.
Dengan demikian maka masih terjamin bagi bangsa
Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu
yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat dalam genggamannya,
tanah, air dan udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga
hebatnya pemerasan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu,
masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhanan sekali. Demikianlah pula
cocok dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya
berebut-rebutan dan bunuh-membunuh untuk mendapatkan nafkah, maka para arca dari
bermacam-macam Maha Dewa pun bisa duduk berdampingan dalam satu gedung berhala.
Berbeda dengan keadaan di negeri asalnya sendiri maka di Jawa-Surga-Loka, kita
dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun,
Whisnu, sambil bersenyum-senyum.
6. DISEKITAR
NABI MUSA
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah
Sungai Nil di Mesir, ketika di bawah perintahnya Maharaja Firaun. Di sekitar
bagian bumi disanalah kita mendapatkan bukti. Sejarah yang banyak sekali dan
paling tua sekali diantara sekalian bukti sejarah yang sudah diperoleh di
bagian bumi manapun juga.
Egypte Mesir, di zaman ribuan tahun lampau itu mengenal
bermacam-macam Dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, ialah Dewa
Mataharilah yang mendapatkan kehormatan dan pujian sebagai Maha Dewa. Maka
menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rahlah yang memfirmankan,
bumi, langit, sungai Nil, dan gurun pasir, beserta hewan dan manusia. Semuanya itu berbentuk sekaligus
dengan mengucapkan sepatah kata saja, yaitu “Ptah”. Jadi berlainan dengan
pemandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu
kala itu dunia dengan isinya ini menjelma kurang sekejap mata lamanya dari
dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikianlah pengertian Maha Kuasa yang sanggup
menciptakan yang ada, atau benda dari yang tak ada atau kosong, sudah tersebar
pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Maha Kuasa inipun sudah termasuk ke dalam
kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Firaun itu berada sebagai bangsa
budak yang terhina, berhijrah di Kerajaan Firaun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan,
penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing ditengah-tengah bangsa Mesir
asli itu, maka pada suatu waktu bangsa Yahudi memutuskan hendak pindah ke “tanah
susu dan madu”,yang menurut kepercayaan Yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan
kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang
dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah rebutan
antara Yahudi dan Arab itu.
Buat suatu bangsa budak, yang hidupnya bergembala
dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, makna satu daerah bumi,
di mana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan
kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang
sangat besar.
Seseorang yang memimpin pemindahan ke Palestina itu
yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang
dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar
oleh tentara Maharaja Firaun yang bersenjata lengkap patutlah dinamai seorang
pemimpin dalam arti kata yang sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan
terpaksa kembali ke bawah penindasan Firaun, kalau pemimpinnya bukan seorang
pemimpin, seperti Nabi Musa. Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi
pelbagai bahaya yang oleh orang biasa akan dianggap sesuatu yang mustahil akan
dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang
tua, muda, bayi, laki-perempuan, sehat dan senang yang sering bercekcok satu
sama lainnnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang
sebagiannya terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah
kepada Maharaja Firaun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar
dibelakang, dalam keadaan sedemikian Cuma seorang pemimpin yang lahir sekali
dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifat manusia
serta keadaan alam disekitarnya, yang dikandung oleh Nabi Musa; pandangan tepat
tentang kejadian yang mungkin berlaku di hari depan; kebijaksanaan, kesabaran
dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai
umur, pelbagai pengalaman dan idaman; serta akhirnya, tetapi tiada kurang
artinya kepercayaan yang tiada dapat dilunturkan oleh bahaya maut pun atas
pertolongan yang sudah “dijanjikan oleh Jehovah, Yang Maha Kuasa kepada
leluhurnya bangsa Yahudi” dalam waktu menuju ke “Tanah susu dan madu’ yang
dijanjikan itu, yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi semua kesulitan,
dan membawa bangsanya ke tempat dan zaman bahagia, dengan tiada berkompromis
sedikitpun dengan musuhnya yang 1001 kali pula lebih kuat.
Pemimpin yang Maha Ulung dari satu orang yang
mempunyai cuma satu tujuan dan satu tekad,
bilamana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesukaran dan
bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha Esa itu, pimpinan satu
orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, pimpinan yang membawa
bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada
keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi
bangsa Yahudi di zaman itu benar-benar “the
proof of the pudding is in the eating” (bukti enak atau tidaknya kue itu
baru terbukti setelah dimakan!)
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atas
beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala guna mengenal beberapa Dewa, menurut
Sukunya, maka sempurna jayalah kepercayaan MONOTHEISME, percaya kepada ke-Esaan
Tuhan diantara semua Suku Bangsa Yahudi.
7. DISEKITAR
NABI ISA
Inconsistency, keputusan – logika, pertentangan bagian dengan
bagian, pertentangan dalam hal tarich, pertentangan kejadian dengan hukum alam
dan common sense, yang didapati oleh
para ahli dan saya sendiri dalam kedua Kitab Suci, ialah Kitab Injil Tua dan
Kitab Injil Baru, tiadalah menjadikan pusat perhatian saya disini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan dalam
teknik dan ilmu bukti di masa Nabi Isa itu, maka semua kegaiban alam dan
kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab Suci sudah pada tempat dan
waktunya.
Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah Moral
(kesusilaan) dan Ketuhanan yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
Pertentangan arti dalam hal Susila dan Ketuhanan; yang
say rasa terdapat dalam Kitab Suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran
kita, kalau kita berpendirian seperti beberapa para ahli, bahwa Kitab Suci
tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah
diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelumnya Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari Agama
Kristen, yang bunyinya: “Kalau pipi kirimu dipukul orang, kasihkan pipi kananmu
kepadanya biar dipukul pula”, dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi: “Saya tidak
datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”. Itu dalam hal kesusilaan.
Dalam hal ke-Tuhanan bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha Esa, yang
diutamakan dalam Injil Lama dan oleh Nabi seperti kita bentangkan di atas
dengan Trinitynya, dengan Trimurtinya, karena
Katolik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh
Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau
diseluk-belukkan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, maka kuranglah pula
penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak
Tuhan. Buat saya sudah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh Agama Kristen
dan Ideal Keluhuran Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa.
Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli penyelidik, yang
mendapatkan kesimpulan, bahwa di masa bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa
Romawi, maka bangkitlah seorang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus
dan berterang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum Pendeta (Rabbi)
Yahudi, yang menjadi Kaki-Tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin
Pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya Raja Yahudi, Mahdi; Yesus Nazarethnus Rex Jodeum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah
semua pertentangan didalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih
sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat
hidupnya di masa itu dan memang bersemangat memberontak, terutama di daerah
Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan, menganjurkan sikap “pipi
kiri dipukul, berikanlah pipi kanan”, maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi
sesama Murba. Terhadap kaum Pendeta, dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap
menentang, ialah kalau perlu dengan senjata ditangan menghancur leburkan kaum
Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki-tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasionil tentang dua
susila yang berupa pertentangan itu. Salah satunya dikatakan, bahwa kaum Murba
Yahudi di masa itu tiada berdaya menghadapi serdadu Romawi dan tiada berdaya
pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan
Murba Yahudi. Jadi menurut tafsiran itu sikap passive, sikap menerima yang
dianjurkan oleh Nabi Isa itu berasal dari perasaan tiada berdaya menghadapi
kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki tangannya, “inlander-alatnya” kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang dibelakang ini memang mengandung alasan tetapi kurang
sempurna. Bangsa Yahudi terutama kaum Murbanya, di beberapa kota seperti di
Yerusalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asalnya Nabi Isa
sendiri, jauh daripada passive, menerima, pemberontakan, besar dan kecil untuk
melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki-tangannya acap
kali terjadi. Jadi cocok pula dengan sikap Nabi Isa sendiri ketika berhadapan
dengan para Rabbi, para inlanders alat itu, seperti tersebut di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak
perbedaan Tuhannya Nabi Isa dengan Tuhannya Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa
itu tetap Maha Esa. Filsafat Ketuhanan, bahwa 1 + 1 + 1 = 1 itu timbul dan
tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan
duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3 = 1 itu. Dibelakang harinya di
masa revolusi Perancis banyak pula anasir masyrakat ini yang menumbangkan filsafat
3 = 1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tiadalah menjadi soal pokok.
8. DI
SEKITAR NABI MUHAMMAD
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun
lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1 = 1 itu. Bersamaan dengan itu
kembalilah pula sosial yang bisa, yang praktis bagi masyarakat manusia, yakni
yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya. Dan dimaafkan seseorang
bersalah yang mengakui kesalahanny dan mengubah tingkah lakunya di hari depan
dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah
seorang Arab dari suku Quraish. Karena bangsa Arab dan bangsa Yahudi tiada
berapa bedanya menurut Ilmu Kebangsaan, dan keduanya bangsa itu disebutkan
bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga Nabi besar itu yakni Nabi Musa, Nabi Isa
dan Nabi Muhammad itu sebangsa dan seturunan pula. Dalam Kitab Injil sendiri
disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun-temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan mata kita ke seluruh muka bumi
yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita
Cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi , malaise, mandegnya,
tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan
Utara, di Afrika Utara dan di Asia Barat sedang menderita keruntuhan sebagai
akibatnya desakan dan serangan pelbagai bangsa Germania dari Utara. Romawi
Timur hanya dapat melayani bangsa muda perkasa (Bulgaria dll), yang menyerbu
kedalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan
anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan Romawi Timur hanya sanggup
memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi Almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain. Negara
bekas-berkuasa disekitarnya Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan
tumbuh-tidak, mati tidak.
Sedangkan Semenanjung Arabia, yang mungkin sudah
mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah
mencapai kemakmuran karena perdagangan dengan negara luar; dengan perantaraan
para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada Kafilah yang kuat
bersenjata tersusun sebagai laskar! Teristimewa pula, belum pernah Semenanjung
Arabia menderita penindasan dari bangsa Asing! Dengan demikian, maka bangsa
Arab masih bersemangat tegak, gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri
sendiri.
Cuma suku dan suku masih bertentangan dan perang
memerangi. Sejajar dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan
pun belumlah lagi bersatu, melainkan pecah belah dalam pelbagai kepercayaan,
yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliah yang
tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai
synthesis dari pertentangan pelbagai ideologi sebagai synthesis dari
pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu; inilah usaha yang pertama
sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan
bangsa, Politik, Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan.
Persatuan tidak terdapat pada satu Maha-Patung,
diantara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu,
melainkan pada ke-Esa-an Tuhan dan Ke-Mahakuasaa-an Tuhan itu, yang tiada lagi
takluk pada tempat dan waktu, seperti patung manapun juga, yang dibikin oleh
tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf tidaklah berarti buta kecerdasan, buta
keberanian, ataupun buta kejujuran.
Sebaliknya pula, University pun tidaklah menjamin
keberania, keuletan, kejujuran.
Kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari
depan dan mengambil sesuatu keputusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness). Sungguh banyak
kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia: “Jauh berjalan dilihat. Lama
hidup banyak yang dirasakan.”
Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah
ke negara di sekitar Arabia, bersama-sama dengan Kafilah memberikan semua
pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga
dan nabi di hari depan, bilamana Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan
membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otaknya pemuda
Muhamad bin Abdullah itu dapat dipenuhi oleh masyarakat disekitar Arabia, yang
sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat
memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab
semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya. Bumi
dan langit Semenanjung Arabia, yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan
oleh seseorang yang memperamatinya dan menyempurnakan pengetahuan yang diproleh
dengan percakapan dalam pulang pergi ke Mekah ke luar Negeri itu. Pengalaman
yang diperoleh ketika mengikuti Kafilah, yang acapkali menghadapi pelbagai
musuh, mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa pemuda
Muhammad bin Abdullah.
Terlatih dan tergembleng dalam “University of Life” itu, maka apabila Semenanjung Arabia
membutuhkan persatuan dalam segala-gala, maka tampillah Muhammad bin Abdullah
ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandist, korban
propaganda, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Waktu dan tempat amat sesuai dengan ke-Esa-an dan
ke-Mahakuasa-an pada permulaan abad ketujuh itu!
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan
kesatuan dalam Pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas
pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku, ialah kaum Muslimin, yang berdiri di
atas segala bangsa di dunia. Semuanya keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Maha Kuasa, yang menguasai
sekalian alam dengan manusia, bidadari dan malaikatny.
Semangat Islam yakni semangat menyerah kepada Kodrat
Tuhan, sangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu
sebagai Pusat, Jiwa dan Filsafat serta prakteknya sesuatu kepercayaan, memangnya belum lagi dikenal
dalam sejarahnya manusia. Agama baru, yang bertentangan dengan kepercayaan
pelbagai suku di Arabia itu, tidaklah akan dibatalkan atau disembunyikan oleh
Nabi Muhammad. Apabila pada suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam
suatu rapat, supaya propaganda Islam itu diperhentikan saja, karena sangat
menimbulkan persengketaan, dan sangat mengancam jiwanya Nabi Muhammad sendiri,
maka Nabi Muhammad menjawab: bahwa, “walaupun matahari di kiri dan bulan di
kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tidak akan diindahkan.”
Syahdan, maka dengan semangat bersatu padu diantara
kaum Muslimin, yang kian hari kian bertambah banyak anggotanya; dengan semangat
bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa; dengan kepercayaan
Kafir Jahiliah, maka di bawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya, setelah lebih
kurang duapuluh tahun berlakunya propaganda, persiapan dan pertempuran sengit
berulang-ulang maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kokoh-kuat diantara semua suku
Arab, dengan semangat menyerah, Islam, zonder
perjanjian kepada takdirnya Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder
mengenal damai terhadap Negara dan Rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh
keuntungan lahir dan batin, maka dalam lebih kurang 100 tahun bangsa Arab dapat
menguasai hampir seluruh kelilingnya Lautan Tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang
diberikan oleh Dunia Kristen kepada Arab Islam, di zaman Tengah, dan
sekarangpun, maka jasa Arab Islam tentang filsafat dan Ilmu Bukti, sesungguhnya
belum mendapat nilai yang patut!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle, edaran Dialektika! Dengan Nabi
Musa majulah ke depan, filsafat ketuhanan 1 = 1 sebagai thesis. Setelah Nabi
Isa maka timbullah tentang 3 = 1, sebagai antithesis. Dengan Nabi Muhammad
terbentuklah kembali filsafat 1 = 1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya
daripada yang semula.
Sedikit saja, filsafat ketuhanan Islam, yang tercantum
dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu, menoleh ke dunia
Lama, ialah masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapat bahan serta
petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali Filsafat Yunani
yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan Kerajaan Romawi, Filsafat Islam
dapat memisahkan padi yang berisi daripada hampa, menanam yang berisi sampai
tumbuh dengan suburnya di zaman Tengah.
Dengan demikian, sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakangan masyarakat Islam
yang jaya-mulya-makmur di Spanyol, Mesir dan Baghdad dan kembali sebentar
menoleh ke masyarakat Yunani Asli.
9. YUNANI
ASLI
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan
Yunani asli, masih dianggap kebudayaan ibu. Plato, sebagai ahli filsafat masih
menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafatnya Heraclit masih dianggap
uratnya Materialisme dan Dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang oleh
pelbagai ahli bukti (scientist)
modern. Demikianlah, bermacam cabang kebudayaan modern dapat mencari uratnya
pada kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli
itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada para mahasiswa yang harus
menyelami segala ilmu modern itu lebih dalam, sampai ke uratnya.
10. AGAMA,
FILSAFAT DAN ILMU BUKTI
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kita kepada
dunia Barat ialah Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis
pokok kebudayaan yang terbentang semenjak lebih kung 2.500 tahun sejarahnya.
Dunia Barat itu, ialah dari lebih kurang tahun 500 sebelum Nabi Isa sampai
sekarang; tiga garis pokok itu, ialah garis Agama, garis filsafat dan garis
ilmu (bukti). Semua cabang kebudayaan yang lain-lain termasuk ke dalam atau
bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia Barat
yang 2.500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan kemunduran dan
pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 sebelum Isa
sampai tahun 1.500 sesudah Isa, keagamaanlah yang memperoleh nilai dan
kedudukan yang tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat Cuma mengabdi kepada
keagamaan serta ilmu bukti boleh dianggap pelengah otak dan pikiran belaka.
Waktu yang selama itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan zaman Tengah, yang
dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarakat Nasrani. Pada zaman Yunani dan
Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam pimpinan masyrakat
dan politik. Tetapi pada zaman tengah, terutama di bagian permulaannya, maka
kaum alim ulama dan pendetalah yang terutama memegang pimpinan masyarakat dan
negara.
Boleh dikatakan pula, bahwa dalam garis besarnya maka
dari tahun 1.500 sampai tahun 1.850, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan
kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah
keagamaan terdesak ke belakang. Bahkan pada masa revolusi Perancis keagamaan
itu mendapat tantangan sekeras-kerasnya seperti belum pernah dialaminya.
Sedangkan ilmu bukti makin mendesak ke muka dan sudah
menjadi sandaran yang terutama bagi ilmu filsafat. Pada waktu ini, maka
bukanlah lagi kaum Pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara,
melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu bukti, ilmu
nyata.
Akhirnya dari lebih kurang tahun 1.850 sampai sekarang,
jadi semenjak lebih kurang 100 tahun ini, maka ilmu bukti (science) lah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi di
dalam masyarakat dan negara Eropa dan Amerika modern itu. Ke-agamaan yang di
masa revolusi Perancis itu mendapat tantangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun
kembali, tetapi sekali-kali tidak mendapatkan nilai dan kedudukan seperti
sebelumnya revolusi Perancis itu. Pada pertengahan abad ke-19 itu ilmu filsafat
dalam arti aslinya sudah mulai turun dari Singgasananya seperti terdapat di
zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, ialah filsafat Materialisme
Dialektika, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan: hari akhirnya filsafat. Semenjak itu ilmu
masyarakatpun sudah didasarkan atas hukumnya ilmu bukti. Dan ilmu bukti dari
pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai dan kedudukan yang
tertinggi sampai sekarang. Benar juga kaum ahli bukti itu sendiri masih memakai
perkataan filsafat, tetapi artinya sudah berlainan daripada yang semula.
Artinya sekarang, yang terutama ialah “weaving
up general principles” (penyusunan dasar besar), seperti salah seorang ahli
ilmu bukti yang besar, mengatakannya.
Jelaslah rasanya, bahwa dalam tiga zaman, yang kita
kemukakan buat Dunia Barat, seperti tersebut di atas saling beralihan nilai dan
kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayaan itu: keagamaan,
filsfafat dan ilmu bukti.
Adapun perselisihan ketiga garis pokok yang sebaring
pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para pemimpin masyarakat dan
negara (sosial-political-regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang
berdasarkan teknik yang ada.
11.
PERALIHAN SISTEM PRODUKSI
Di masa Pendeta dan Ningrat memegang tampuk pimpinan
masyarakat dan negara, baik di Yunani, Romawi ataupun di Eropa Barat di masa
zaman Tengah, yakni dari tahun lebih kurang 500 sebelum Isa sampai tahun 1500
setelah Isa, maka produksi itu dijalankan oleh tenaga budak belian (seperti di
Yunani dan Romawi) serta oleh budak serf seperti di zaman Tengah di Eropa
Barat. Pesawat (teknik) nya di zaman Tengah ialah kincir angin atau air.
Di masa Ningrat dan ahli filsafat memegang tampuk
pimpinan masyarakat dan negara di Eropa Barat, yakni kasarnya dari tahun 1.500
sampai tahun 1.850 itu, maka produksi sudah lebih dipusatkan pada manufakturen
dan pada permulaan pemakaian pabrik yang dijalankan oleh uap.
Akhirnya di masa Borjuis (yang dibantu atau ditentang
oleh kaum sosialis); di masa Borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan
negara di Eropa Barat dan Amerika, yakni kasarnya dari tahun 1.850 sampai
sekarang (1948), maka produksi sudah dikuasai oleh Finance Capital (Modal Bank) dan monopoli. Dasar teknik maju dari
kodrat uap, sampai ke kodrat listrik, minyak dan sekarang kodrat atom.
12. SOAL
AGAMA
Adapun soal agama, kita semuanya lebih kurang sudah
mengetahuinya.soal itu berpusat kepada: Dari mana asalnya dan bagaimana
akhirnya bumi, bintang, langit pendeknya alam raya ini? Dari mana asal dan
bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ke-Tuhanan ialah agama Yahudi, Nasrani,
dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada Kodrat Tuhan. Alam raya
itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia adalah
ciptaan Tuhan.nasibnya manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan.
Nasibnya itu dipertimbangkan pula bersama amal dan ibadatnya. Amal dan
ibadatnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah upah
atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadat dan bernasib akan
diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan
dimasukkan ke dalam neraka. Ringkas ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal
dan akhir manusia itu, tetapi menetapkan pula jalan buat mendapatkan surga dan
menghindarkan neraka. Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang
awal dan akhir manusia itu. Gautama Budha mengemukakan lima jalan buat
mendapatkan surga. Dan lebih dari tiga agama tersebut di atas, maka agama Budha
lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab sendiri dan
perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah
terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut
yang satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “Eine Privatsache”, dalam arti
kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika dan
matematika, maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan beberapa
sendi agama itu. Tetapi yang jelas bagi satu penganut agama belum tentu jelas
bagi penganut agama yang lain. Agama tinggal tetap kepercayaan bagi
masing-masing orang.
13. SOAL
FILSAFAT
Seperti soal keagamaan, maka soal filsafat juga banyak
tergantung kepada sudut memandang. Tetapi bagi kami sudut memandang yang bisa
berhasil memuaskan dan soal yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah
soal yang sudah dimajukan oleh Friedrich Engels pada abad yang lampau. Menurut
Engels, maka kaum ahli filsafat itu bisa dibagi atas dua golongan, yakni
golongan Materialist dan golongan Idealist. Di antara dua golongan besar itu
sebagai dua kutub bertentangan terdapatlah pelbagai golongan yang kalau dikupas
lebih mendalam sebenarnya termasuk ke dalam dua golongan Materialist dan
Idealist tadi juga. Kaum ahli filsafat
itu berpecah dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh
mereka atas filsafat, yang berbunyi: “Manakah yang asal (primus) dan manakah
yang turunan (derivative) diantara
benda (matter) dan idee (paham)? Di
alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang mengerakkan benda itu. Di dalam
jenis hewan soal itu berubah bertukar menjadi soal badan dan Nyawa –naluri. Di dala jenis
manusia, soal itu menjadi berubah bertukar menjadi soal jasmani dan rohani
pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan
atau nyawa, dan jasmani atau rohani?
14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIST
Kaum materialis menjawab, bahwa
benda dan jasmani itu yang asal, yang pokok: “tak ada kodrat zonder benda”!
“Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. “Syahdan sebelum manusia
itu ada di bumi, maka bumi dan bintang itu sudah ada...”...kata kaum filsafat
materialist.
Menurut kaum idealist, maka idee,
kodrat dan rohani itulah yang asal (primus)
dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative).
Kata idealist extrimist, maka yang ada di alam raya ini cuma idee saja, ialah
idee, yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada
hubungannya dengan kekuasaan maha dewa rah, yang mengisi dunia kosong pada awal
dunia ini dengan bintang, bumi, langit, sungai, tumbuhan, hewan dan manusia
sekejap mata setelah kata ‘ptah’ difirmankan. Lihat Madilog.
Bagaimanapun juga perbedaan faham
itu, tetapi teranglah sudah, bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealist
kepada kaum materialist itu, bahwa kau materialist itu cuma memikirkan makan
minum serta keplesiran hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.
15. AHLI FILSAFAT YUNANI.
Bahwasanya setelah para ahli pikir
yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan berdasarkan ‘dogma’
semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, maka timbullah
pertanyaan di dalam pikirannya, yang kira-kira berbunyi: apakah yang pokok,
yang asal dari alam raya ini?
Kita mengenal juga jawab yang
diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, ialah tanah,
air, udara dan api. Terkurung di dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik
alam raya ini, serta terganggu oleh benda dan gerakan di luar pikirannya
sendiri, maka zeno, idialist yunani, mengambil kesimpulan: bahwa ‘gerakan benda
itu cuma impian panca indra manusia saja (ilusion
of the senses). Pemikir ulung Masyhur diantara bangsa yunani juga, ialah
plato, setelah memakai cara berpikir, yang memisahkan benda dengan kodrat,
serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan, bahwa yang asal
itu ialah ide mutlak/absolut idea. Dengan cara berpikir yang abstract,
pisah-memisahkan itu, dia sampai kepada dunia logos, dunia roh. Banyak
persamaannya logos Plato itu dengan Atmannya Hindu.
Sebaliknya pula seorang pemikir
tentangannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta
gerakannya benda itu, kita maksudkan ialah Heraclitus, mengucapkan kesimpulan
yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kami yaitu: sesuatu itu ada dan
tidak ada karena semuanya itu cair, luntur senantiasa berubah, selalu timbul
dan lenyap. Heraclit mengakui adanya benda, bahkan memajukan hypothesis molecule, yang lebih dua ribu
tahun di belakangnya baru dibenarkan oleh ilmu bukti. Lagi pula bertentangan
dengan Zeno maka heractlit mengemukakan
gerakan sebagai sifatnya benda dan menyebabkan benda itu senantiasa mengalami
perubahan/’nict ist, alles wird’
menurut hukum gerakan ialah hukum dialektika.
Diantara atau disamping kedua
golongan ahli filsafat tersebut berada raksasa pemikir yunani, ialah
Aristoteles. Sebagai seorang tabib, yang senantiasa mengenal adanya benda dan
jiwa, sebagai bapa daripada ilmu, terutama ilmu yang hidup/biology, maka
Aristoteles memusatkan perhatiannya pada sesuatu susunan, sesuatu sistem.
Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato memperhatikan benda. Tetapi hukum
berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika. Dan hukum dialektika yang
dikemukakannya tidaklah sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraclit
dan Demokrit.
16. AHLI FILSAFAT ZAMAN TENGAH
Besar sekali pengaruhnya para ahli
filsafat Yunani umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya atas
masyarakat di zaman tengah, yakni masyarakat islam dan nasrani. Dunia filsafat
barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rosj, terkenal sebagai Averoes, dibaharui
dan diserahkannya sebagai warisan ke masyarakat Nasrani. Plato pun banyak mendapa penghargaan di masyarakat Islam dan
Nasrani di zaman tengah.
Pada kedua masyarakat itu kita
kurang mendengarkan nama Heraclit atau Democrit. Tetapi mungkin pengaruhnya
juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan
kepada kita. Masyrakat Islam di zaman tengah mengenal satu golongan pemikir,
yang dinamai Muthazalit. Mereka terdapat di kota-kota besar di Kerajaan Islam
dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan atheis. Keterangan
yang lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka, tidaklah disampaikan
kepada kita, selainnya daripada mereka dianggap kaum murtad oleh agama resmi.
Ibnu Rosj sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Muthazalied kebebesan
pahamnya itu amat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid
Eropa/Nasrani yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi
gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan, kalau mereka kaum Muthazalied itu
adalah Murba kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme
dialektis walaupun masih serba sederhana/rudimentary.
Tidaklah pula akan sangat mengherankan, kalau di Eropa Barat di zaman tengah
itu, kita sedikit sekali mendengar namanya Plato dan Aristoteles. Hidup amat
sukar sekali bagi budak serf di zaman Tengah Eropa Barta itu, hawa yang dingin,
kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup
lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak serf, oleh kaum ningrat
dan pendeta, tidaklah mengizinkan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini
terserah kepada para pendeta yang tinggal dipekarangan Gereja yang besar,
dikelilingi oleh kebon dan dilayani oleh rakyat. Budak sekitarnya, terpisah
dari masyarakat pekerja, seperti logosnya Plato terpisah dari benda yang kasar
fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji
filsafatnya Plato dan Aristoteles. Logos dan rohani mutlaknya Plato cocok benar
dengan sifat God yang berada, lepas dari segala-galanya dan berada di atas
segala-galanya itu. Dan paham mereka, para rahib dan pendeta inilah,
pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini. Classificasi, penjenisan
Aristoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah daripada
tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya, sangat digemari oleh Schoolmen,
scholasticus, ahli buku, di zaman tengah. Karena ahli buku, yang memangnya
hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari tumbuhan dan hewan
yang sesungghuhnya. Demikianlah pengetahuan bukunya ahli filsafat di zaman
tengah itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah
dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup
para ahli filsafat di zaman tengah itu.
Dari tahun 500 sebelum Isa sampai
tahun 1.500 setelah Isa, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu
bukti yang sederhana. Kaum idealist masih memakai kepercayaan keagamaan sebagai
premis/bukti lantai dalam pembentukan sistem/karangannya. Tetapi kaum
materialist tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai
premis/bukti lantai. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis.
Keduanya idealist dan materialist mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu
hidupnya yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dan dengan semakin majunya
ilmu bukti itu, maka kita terdorong ke belakanglah penjelasan yang berdasarkan
kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio
principil).
17. AHLI FILSAFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS
Di sekitar zaman Revolusi Perancis,
maka ilmu bukti sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan
zaman Plato-Heraclit dan Aristoteles. Di Perancis saja kita mengenal raksasa
matematika dan ilmu alam (physic)
serta ilmu kodrat (mechanic) seperti
Mauportuis, Clairut, D’Alembert, Langrange, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal
dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematik ilmu alam dan ilmu
kodrat, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu pisah bangunlah seorang Perancis
bernama Lavoiser yang menyusun mensistematiskan ilmu pisah yang mulai mengatasi
Ibnu Sina, ilmu pisah Arab. Sedangkan Cuvier mengatasi Aristoteles.
Perbandingan Pythagoras dengan Newton, Archimedes dengan Pascal dan sebagainya
adalah perbandingan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan, kalau
kemajuan ilmu bukti, yang membelakangkan zaman kuno dan zaman tengah
seolah-olah puluh ribuan tahun lamanya itu, memberikan bahan yang tidak
ternilai pula pada para ahli filsafat. Tetapi para ahli filsafat tetap terpecah
dua dalam golongan Idealist dan Materialist. Bahkan masing-masing golongan itu
mempergunakan kemajuan ilmu bukti itu sebagai penjelasan/proof kebenarannya
masing-masing teori mereka.
Demikianlah bangkit di Inggris dua
orang ahli filsafat yang terkemuka, ialah Pendeta Berkeley dan David Hume.
Berdasarkan atas kerohaniannya manusia si Pemandang, maka David Hume dengan
tekad consequensi seorang ahli filsafat berkata, bahwa pada final analysis,
pada kupasan terakhir, maka segala yang ada dalam raya ini, tidak lain hanyalah
“a bundle of conceptions” (gabungan
paham) tentang alam raya itu. Sampai Hume mengatakan, bahwa “kamu pun “ buat
dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otaknya Hume semata-mata.
Sesungguhnya dengan begitu maka Hume membatalkan dirinya sendiri. Karena kalau
Hume mengatakan, bahwa seseorang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam
otaknya Hume saja, maka orang lain itupun bisa berkata, bahwa Hume sendiri
tidak ada bagi orang lain itu, selain daripada satu “gambaran” dalam otaknya
orang lain itu saja. Yang kamu buat Hume itu adalah saya buat orang lain itu.
Dan sebaliknya, yang “saya” buat Hume adalah kamu buat orang lain itu. Kant
ahli filsafat Jerman, yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani
menarik kesimpulan nekad seperti David Hume itu. Kant berdiri di tengah-tengah.
Dia tidak bisa membatalkan yang ada di alam raya ini. Tetapi selainnya daripada
mengakui yang ada itu dia lain pula kepada “Ding
An Sich”, benda sendirinya, yang belum diketahuinya. Dengan bangunanya
Emanuel Kant di Jerman, maka timbullah pula filsafat Idealisme yang diteruskan
oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel. Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat
Idealist Inggris disekitar revolusi Borjuis itu mendapat tantangan tepat pesat
dari ahli filsafat Materialist Perancis, yang termahsyur pula seperti Diderot
dan Lamartine. Berdasarkan matematika, ilmu alam, dan ilmu kodrat yang maju
pesat di masa itu, maka mereka membatalkan kemahakuasaan kerohaniaan ini di
alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui
kemahakuasaan matter in move, benda
bergerak. Seolah-olah tak ada dayanya manusia berhadapan dengan benda dan hukum
gerakan benda di alam raya ini. manusia itu adalah mesin yang passive, menerima saja. Kalau ada kodrat
penggerak, bergeraklah dia, kalau tiada berhentilah dia. Jadi seperti mesin
yang passive, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk dengan tiada
perjanjian apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme semacam ini kami
namai Mechanical Materialisme, ialah Materialisme yang menganggap manusia itu
seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja.
Seolah-olah manusia itu tidak berdaya buat mengubah suasana dan keadaan lama
disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat yang alam yang melekat pada
semangatnya kaum Materialis Mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tidak
berdaya terhadap lama disekitarnya, seperti manusia di zaman tengah tidak
berdaya terhadap takdirnya Tuhan, demikianlah pula kaum Materialist di masa
revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan dan gerakan kebendaan
itu (Mechanism of matter).
18. MATERIALISME DIALEKTIS
Suara ahli filsafat Materialisme
itu, seperti pula suaranya ahli filsafat Idealisme mendapat penerimaan yang
baik pula di antara para pemikir Jermania. Ludwig Feuerbach seorang Prof.
Jerman, mengambil oper Filsafat Materialisme di Perancis tadi, tetapi
tersangkut pada apa yang dinamakan “Menschliche
Taetigkeit” (Perbuatan Manusia). Menurut Marx, dalam 11 thesis tentang Feuerbach, maka Feuerbach menyangkutkan
“perbuatan manusia” itu pada idealisme, sedangkan bagi Marx, “perbuatan
manusia” masuk kepada golongan kebendaan. Setelah Feuerbach diperhentikan oleh
kaum borjuis dari pekerjaannya sebagai Mahaguru, sebab dianggap terlampau
radikal, maka Feuerbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari
kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam caranya berpikir menurut
cara Dialektika Materialisme, yang bersandar kepada Dialektika dilanjutkan oleh
Marx dan teman sepembangunannya ialah Friedrich Engels. Selainnya daripada
keduanya pujangga ini adalah ahli dan penggemar Matematika, mereka pula
mempergunakan Utopis Sosialisme Perancis dan Inggris, dan teori Evolusinya
Charles Darwin serta teori Ekonominya Adam Smith dan David Ricardo, dalam
pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan “cause” atau lebih tepat “
condition” (keadaan) ialah sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme
yang berdasarkan impian (Utopi) seperti yang dicetak oleh Thomas More, Saint
Simon, Fourier dan Robert Owen, berubah menjadi Scientific Sosialisme, ialah
Sosialisme berdasarkan Ilmu. Adapun yang dianggap menjadi “cause” (sebab) perubahan dan pertukaran masyarakat dari tingkat ke
tingkat itu, ialah perubahan dan pertukaran sistem produksi. Ilmu sejarah yang
disandarkan kepada sejarahnya perubahan sistem produksi, yang disandarkan
kepada benda yang nyata itu, dinamai Historical Materialisme, Materialisme
Sejarah!, yakni teori Materialisme tentang sejarah. Pandangan hidup yang
berkenaan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme
Dialektis. Disebutkan pula Dialektis, karena cara menghampiri soal benda serta
kejadian di alam raya, ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni
dalam keadaan timbul, tumbuh, atau tumbang!
Setelah Marx dan Engels mendapatkan
“cause” atau “condition”, sebabnya, dari perubahan dan pertukaran sesuatu
masyarakat manusia itu, maka bertukar-bertukar pula sejarah manusia itu, dari
satu kebetulan dari satu nasib, yang tiada bersebab dan tiada pula
mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal ,
berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu
sejarah itu dari dunia gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta
lakonnya sesuatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal.
Setelah segala kebendaan dan semua
gerakannya dalam alam raya ini semenjak ahli Filsafat Yunani dipecah-pecah,
dikupas, diselidiki dan dipastikan hukumnya, maka berubahlah, bertukarlah pula
soal filsafat, yang berbunyi “what does
this all mean” (apakah artinya semua ini), menjadi soal kaum ahli bukti
yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu bukti.
19. ILMU BUKTI
Tepat pula kesimpulan Engels, yang
mengatakan, bahwa dalam perulangannya ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat
sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu bukti, wissengschaff, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dengan
pelbagai ilmu tentang alam raya (nature).
Sisa dari filsfat itu menurut Engels, ialah Logika dan Dialektika.
Kembali kita dahulu kepada ilmu
bukti, ke zaman Yunani, dan dari sini secepat kilat kita melangkah ke zaman
modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada Logika dan Dialektika,
ialah oleh Engels dinamai sisanya filsafat itu!
Syahdan, dalam lebih kurang 2.500
tahun perantauannya itu, maka Science, ilmu bukti, yang boleh dianggap anak
dari filsafat dan cucu dari agama, ilmu bukti, yang sampai sekarang sebagian
besarnya belum juga lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya itu
dari alam raya, yakni dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya
itu, sudah sampai ke dunia terkecil, yang tidak lagi tampak oleh mata, karena
kecilnya itu. Satu Universe (alam)
yang tak dapat dipandang oleh mata telanjang 2.500 tahun lampau itu sekarang
dengan mata bersenjatakan teropong pembesar dan pendekatan sudah bertambah
menjadi beberapa Universe. Molekul dan atom yang tercipta dalam hypothesis,
persangkaan kedua Materilist Dialektis Heraclit dan Democrit itu sekarang sudah
dibuktikan oleh mata dan teropong. Bahkan ilmu bukti sekarang sudah sampai
kepada benda yang lebih kecil. Atom yang disangka tak dapat dibagi-bagi lagi
itu sudah dibagi dua pula, ialah atom proton dan elektron. Seperti bumi dan
matahari; seperti satu keluarga matahari dengan keluarga matahari lainnya;
seperti satu Universe dengan Universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat
tolak dan tarik (repulsion dan attraction),
yang boleh dikatakan pula masuk jenisnya kodrat thesis dan anti thesis dalam
Dialektika, maka demikianlah pula dua dunia terkecil tadi, ialah proton dan
elektron tadi, diikat oleh kodrat tolak dan tarik menjadi satu atom, satu
synthesis atom. Ringkasnya synthesis dari proton dan elektron ialah atom; synthesis
atom dan atom ialah molecule; synthesis
molecule dan molecule ialah badan; synthesis dari bumi dan matahari ialah
keluarga matahari; synthesis dari satu keluarga matahari dengan keluarga
matahari lainnya serta akhirnya satu Universe lainnya, adalah alam raya kita
ini.
Dalam 2.500 tahun ini menurut
Dialektika dan hukumnya thesis, anti thesis dan synthesis, maka otak manusia
sudah mengenal alam terbesar, ialah alam raya kita dan alam terkecil ialah
elektron dan proton tadi.
20. PECAH BELAHAN ILMU BUKTI
Entah sampai ke mana ilmu bukti akan
memecah-mecah lagi.
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atau
ilmu bukti, maka kita peroleh dua klas ilmu bukti, ialah yang masuk klas
sejarah dan yang masuk klas alam. Maka ilmu bukti yang mengenal sejarah manusia
itu sudah berpecah-pecah menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan
sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusastraan dan
lain-lain. Ilmu bukti yang mengenai alam raya ini sudah berpecah belah pula
menjadi ilmu bintang, ilmu bumi, ilmu alam (physic), ilmu kimia, ilmu listrik
dan lain-lain. Di sampingnya itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti
lantainya berdasarkan barang ciptaan seperti angka (number) dalam huruf (letter).
Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu algebra,
trichonometri dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang
besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah
berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita
mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain.
Perpecahan ini adalah dalam cabang
besarnya saja. Tiap-tiap cabang itu sudah dipecah-pecah pula. Peramati sajalah
berapa banyaknya ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran saja. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli
hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah pula contoh dari ilmu hukum, cabang
ilmu hukum itu sudah terbagi pula atas beberapa ranting seperti ilmu hukum
undang-undang dasar (contituional laws)
dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya, kalau
seorang yang ahli dalam sesuatu cabang ilmu bukti, tidak lagi mengenal
perhubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain, sehingga dia hidup
terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya, kalau-kalau seorang
Dokter ahli rambut hilang lenyap dalam “haarkloverij-nya”
dan melupakan perhubungan rambut itu dengan seluruhnya tubuh dan seluruhnya
kesehatan manusia. Tak kurang pula besar bahayanya, kalau seorang ahli
kejahatan, criminal expert itu
memandang tingkah laku seseorang dari sudut kejahatan, seolah-olah dia lupa,
bahwa perbuatan seseorang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan di luar
dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk beluk dan
berkenaan pula dengan keadaan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan dalam
masyarakat diri sendiri.
Berhubung dengan bahaya pecah-belah,
terpisah terasing itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu
bukti untuk mengkoordinir, memperhubungkan kembali pelbagai ilmu yang
pecah-belah disebabkan oleh kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu
saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientist ternama dengan
“weaving up general principles”,
sebagian tafsiran dari filsafat modern.
21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU BUKTI
Tidaklah mungkin, tetapi tidaklah
pula perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semuanya atau
sebagianpun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. sudah cukup bagi urusan kita
di sini, mencoba menafsirkan maksudnya ilmu bukti, caranya ilmu bukti
memperoleh maksudnya itu, serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat
yang dikandungnya buat mencapai maksudnya tadi.
Salah satu kalimat yang dipakai buat
mendefenisikan (menetapkan) maksudnya ilmu bukti ialah: “simplication by generalization” atau mempermudah dengan memasukkan
sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal; atau
memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah dikenal.
Kalimat yang lain, juga untuk
menetapkan maksudnya ilmu bukti berbunyi: “the
organization of facts” (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat
praktis. Berhubung dengan inilah pula,
maka Science itu saya terjemahkan dengan ilmu bukti.
Tetapi tidak kurang praktisnya
formula yang lain, yang biasa diperdengarkan dalam dunia ilmu, sebagai
maksudnya Science, ialah “to establish
laws and systems”, untuk membentuk hukum dan karangan.
Sekian tentang maksudnya ilmu bukti.
Tentang caranya mendapatkan maksud
itu, ialah dengan logika, klassifikasi, statistika dan ukur-mengukur serta
timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara Dialektis. Dalam logika kita
berurusan dengan apa yang dinamai induksi; deduksi dan verifikasi, dan dalam
matematika dengan apa yang dinamai methode
synthetic, analytic dan ad absurdum.
Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tidak berapa bedanya.
Di tempat lain saya sudah uraikan, ialah dalam buku Madilog. Di sini hanya
hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum Scientist itu mendapatkan
maksudnya ialah mendapatkan hukum dan karangan itu (laws and systems).
Bahan dan bukti yang dipergunakan
oleh ahli bukti itu diperoleh dengan jalan observation
(peramatan) atau experiment
(peralaman). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena: sedangkan
dengan jalan peramatan si penyelidik cuma passive,
berdiam diri dan memperamati saja, maka dengan jalan peralaman si penyelidik
boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda
menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma dapat memperamati hidup
dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya,
tetapi si Pengalam dapat mengawinkan tumbuhan atau hewan itu untuk mendapatkan jenis
yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu
bukti semenjak Galilei, pada permulaan abad ke-17 mengadakan experimentnya di
Menara kota Pisa. Boleh dikatakan, bahwa jalan experiment itu membuka pintu
untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari
empat anasir yang dikenal oleh Yunani Asli yakni; tanah, air, udara dan api,
maka ilmu pisah sekarang saja sudah mengenal 92 (sembilan puluh dua) elements,
(anasir).
Akhirnya, dan tidak pula kurang
pentingnya, maka semangat objectivity,
(tenang di depan bukti) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup
melompat dari dunia bukti, ke dunia hypothesis
dan teori adalah satu sino qua num
bagi seorang scientist. Seorang ahli
yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti
itu supaya bisa melayang ke dunia hypothesis dan teori, tidaklah akan sanggup
membentuk “laws and systems” seperti
maksudnya Science itu. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.
22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU BUKTI
Kurang tepat kalau dikatakan, bahwa
masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu bukti. Kurang benar, kalau
disebutkan, bahwa India, Tiongkok dan lain-lain cuma mengenal agama dan
filsafat saja dan tidak mengenal Science, ilmu bukti. Kabarnya konon, maka Bapa
ilmu ukur (Geometry) adalah seorang
Hindu di Birma dan katanya pula India sudah mengenal Algebra juga. Juga
Tiongkok sudah tahu bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memakai formula
F/R yang kita kenal. Tidak ada yang tak akan kagum dan dipengaruhi oleh
logikanya Mahaguru Kung Confusius, kalau membaca sistem kekeluargaan dalam
empat bukunya. Tak pula ada orang yang tak akan kagum mengikuti cara dialektis
yang dipergunakan oleh mysticus Mahaguru Lao (Lao Tze), apabila dia menjelaskan
pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemanjuran obat orang Tionghoa.
Bahkan dalam meramalkan hari depan, berhubung dengan hujan panas, ribut dan
topan seringkali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para
rahib) di atas ilmu bukti Barat dengan weather
firecast, weerbericht atau ramalan harinya. Dan bukanlah pengetahuan
mencetak, obat-bedil dan pedoman diwariskan oleh Tiongkok kepada Barat, melalui
Arabia?
Tetapi semuanya tersebut itu tidak
mengatakan, bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat Science,
seperti masyarakat Yunani 500 tahun sebelum Isa. Mahaguru Kung, walaupun logis
berpikir, belum sampai kepada tingkat membentuk ilmu logika sendiri, ialah
memisahkan hukum berpikir itu dari proses (lakonnya) berpikir itu sendiri.
Mahaguru Lao belum pula bisa menarik
hukum Dialektika dari prosesnya berpikir, yang memang dialektis. Demikianlah
pula tukang ukur, ahli Kethabiban dan ahli hari di Tiongkok belum sampai lagi
ke tingkat memisahkan hukum ilmu ukur, hukum kethabiban dan kimia dari proses
ukur mengukur obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara dari pada
prosesnya yang berlaku di udara itu. Kung-tze memakai logika itu cuma menurut
nalurinya (instinct) saja.
Begitu pula Lao-tze mempergunakan dialektiknya. Dan secara
catatan, peringatan dan analogy saja pula, tukang ukur, ahli obat dan ahli
keadaan hari di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tidak pernah lepas dari
dunia bukti dan melompat dan melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan
pengetahuan Yunani daripada dunia India dan Tiongkok, berupa sistem produksi,
cara menghasilkan dan membagikan hasil, tidak berapa majunya semenjak lebih
kurang empat ribu tahun. India terpaku pada sistem Kastanya. Tiongkok terpaku
pada Dunia Feodal yang bersandar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada
teknik sosial ekonomi politik serta kebudayaan yang berlainan corak dengan
sistem di Eropa Barat. Seperti huruf alphabet (a,b,c) belum lagi lepas dari
gambarannya sesuatu pengertian, menurut sistem menulis di Tiongkok (han-dji) begitu pula hukumnya ilmu bukti
belum lepas terpisah, melompat melambung ke luar dari bukti itu sendiri.
23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU BUKTI
Dengan demikian, maka patutlah kita
memberikan piala kehormatan tentang ilmu bukti itu ke tangannya bangsa Yunani
sebagai pelopor dari ilmu bukti modern.
Dalam arti tulisan dan lisan
memangnya Archimedes melompat melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum
atas bukti yang nyata.
Sekian lamanya Archimedes bertanya
kepada dirinya sendiri tentang kenapa
dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia menyemplungkan dirinya
ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia
mendapatkan ilham dan pertama sekali menetapkan, sebab dan akibat, yang
dicarinya itu Archimedes mendapatkan hukum, tentang benda yang terbenam,
melayang atau merapung di dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di
sekolah. Dalam kegirangannya tidak saja Archimedes melompat ke luar air dan
berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya
dapat) ke sana ke mari dengan melupakan pakaian, tetapi dia sudah melompat
melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali
ditetapkannya itu kian tahun kian mengembang dan melambung.
Hukum tadi dilakukan pada semua
tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikut tertumbuk kepada air rasa
(?). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air melainkan terapung.
Nyatalah dibelakang hari, bahwa bukan hukum Archimedes yang salah melainkan
formulanya masih kurang luas. Hukum Archimedes bahkan mendapatkan Verification (pengesahan), lantaran
bukti baru tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak air rasa
dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula
daerahnya menjadi sembarang benda. Hukum
Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Guy Lusac dan lain-lain. Sampai
dilanjutkan ke udara, ke strasphere,
ke mana Prof. Piccard ke dunia yang belum dialami, ke dunia yang cuma dianggap
benar menurut hypothesis saja. Merantau beraventure dari alam terkenal ke alam
belum dikenal, seperti Colombus, Roald Amunsen dan lain-lain para ahli Satrya.
Dengan begitu sempurnalah cara
induksi, deduksi, verificasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu bukti itu.
Dan lebih sempurnalah pula mencari cause, sebab ialah dengan lima jalan yang
sudah dikenal: 1. Method of Agreement
(cara persamaan), 2. Method of Difference
(cara perbedaan), 3. Joint Method
(cara paduan), 4. Concomitant Variation
(cara perubahan serempak) 5. Method of
Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita,
bahwa Pythagoras tidak tinggal menguji (to
prove) teori sudut-siku yang kita kenal saja. Selainnya daripada pertama
sekali menegakkan teori dan cara menguji teori itu, pun Pythagoras cocok dengan
suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka
yang dianggap sakti oleh Mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras
mempengaruhi dunia ke-Agamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian
kita di sini, ialah dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras kita setelah
hampir 2.500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit
seperti teori Relativitatnya Einstein, melalaui para ahli matematika raksasa,
seperti Format, Laplace, Gauss, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran
dan jasanya para ahli matematika itu sekali-kali tidak dapat kita lupakan
kebesaran dan jasanya para ahli Islam, yang melakukan pemisahan (abstraction)
yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai symbol (lambang)nya benda sudah
dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga
prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Algebra naik setingkat
lagi mengangkat huruf menjadi lambang.
Huruf X umpamanya boleh mewakili
angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Zonder Aljabar tidaklah kita mungkin sampai
kepada Trigonometri dan Relativitatnya Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan
atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Perlambungan benda ke
angka dan perlambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Newton dan
Einstein supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit itu dan mengukur
segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi,
matahari sampai ke gerakan atom dan Sinar matahari yang laju 300.000 km dalam
sedetik itu.
Dikatakan oleh beberapa para ahli,
bahwa classificasi yang dilakukan Aristoteles amat dibekukan pengetahuan di
zaman tengah. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah
pula diperiksa berapakah keadaan produksi dan masyarakat di zaman tengah itu
membekukan classificasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah classificasi,
yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hidup (biology) itu
menjadi perkakas yang penting, di samping Dialektika, bagi pelopor biology
modern, ialah Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beaglenya
mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan
udara, Darwin tak lepas dari cara classificasi, induksi, deduksi, dan cara
menetapkan sebab, yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya
pula permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang
hidup, yang sudah dipelopori oleh Aristoteles dalam logikanya. Memangnya pula
permulaan abad ke 19-lah, abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup,
yang sudah dipelopori oleh Aristoteles, raksasa pemikir Yunani itu, yang
terhenti di zaman tengah dan dibelakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu
umumnya belum lagi mengizinkan bangkitnya kembali dan maju dengan pesat cepat,
seperti setelah sampai ketangannya Charles Darwin dalam kandungan masyarakat
Kapitalisme modern.
Demikianlah pula lebih daripada
2.000 tahun teori Molekul dan atom serta tafsiran Materialisme dan cara
berpikir dialektis oleh Heraclit, democrit dan epicur harus beku terpendam
menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas,
seperti Marx, Engels dan Lenin, yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan
cara yang beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.
24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA
Sekianlah di sini tentang ilmu
bukti.
Serba sedikit pula akhirnya akan
kami uraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, dan
daerah serta batasnya logika, seperti isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan
jenisnya Dialektika, sudah kami uraikan pula dengan panjang lebar dalam buku
Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari
kedua cara berpikir itu dalam garis besarnya saja. Lagipula akan kami singgung
pula dua jenis Dialektika, ialah Dialektika idealistis dan Dialektika
Materialistis.
Dunia biasanya mengakui Aristoteles
sebagai bapaknya logika. Dialah yang pertama sekali membentuk logika, yakni
cara berpikir sebagai ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu
sempurna, sehingga bolehlah dikatakan, bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke
zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak berapa lagi mengalami
perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam cabangnya ilmu pengetahuan, maka
logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita
kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika ditangan Heraclit dan
Democrit sudah sanggup melayani dunia benda sampai ke molekule dan atom yang
tidak kelihatan di mata dan baru bisa dilihat dengan teropong di zaman modern.
Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dengan gerakannya benda,
maka Dialektik sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya
mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya, di dunia static, berhenti dan
passive tadi.
Ditangannya Hegel, pemimpin aliran
borjuis demokratis Germania, yang menentang feodal-autokratis, maka Dialektika
Idealis melambung setinggi-tingginya seperti belum pernah dialaminya.
Ditangannya Marx dan Engels, sebagai
pemimpin aliran proletariat komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis
demokratis maka Dialektika Materialistis menjadi perkakas berpikir kaum
revolusioner proletariat bagi seluruhnya dunia.
Ditangannya kaum Bolsjewik di Rusia
cara berpikir Dialektika Materialist dapat membentuk satu partai Murba dan
sanggup menghancur-leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya
kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga
ditafsirkan sebagai hukum berpikir atau cara berpikir. Tetapi Dialektikapun
boleh ditafsirkan seperti itu.
Adakah perbedaan dan apakah
perbedaan kedua hukum berpikir itu?
Menurut pandangan sepintas lalu
saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali
terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki itu oleh si penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu
yang diperiksa itu, dalam keadaan berhenti (static),
terpisah (distinc) tak berubah (unchangeable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu-persatu,
terpisah-pisah dan dianggap tidak ada seluk-beluk dan perkenaan satu dengan
lainnya menurut tempo dan tempat.
Pemakai Dialektika menempatkan
sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berseluk-beluk (connection),
berubah-bertukar (change) dan
bertentangan. Semua itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan,
timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam sesuatunya dalam sesuatu waktu pula.
Bagi seseorang pemakai logika dalam
menghadapi sesuatu soal dalam keadaan tersebut, maka dalam jawabnya, ia itu
adalah ia dan tidak itu tidak. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa
liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg: “Pertanyaan yang pasti dalam arti yang
pasti pula, yakni, apakah sesuatu sifat yang tertentu dimiliki oleh sesuatu
barang, harus dijawab dengan ia atau tidak. Tidak boleh dijawab denan ia dan tidak”.
Tiga premis pokok bagi logika, ialah 1). A itu = A. 2). A itu bukannya non-A.
3). Tak ada jembatan antara A, dan Non-A. Berhubung dengan tiga premis pokok
itu, maka sesuatu (barang) itu atau masuk jenis A atau masuk jenis Non-A dan
sesuatu kesimpulan, yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar
kedua-duanya.
Contoh:
Apakah sapi itu dipandangn dari
sebelah kiri ini hitam atau putih?
Memangnya pada warna yang tunggal,
terbatas yang dimiliki oleh benda yang berhenti, pertanyaan semacam itu dapat
dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu,
dipandang dari sebelah kiri adalah putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang
dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya hitam, bukannya putih. Jadi
jawabanya boleh cocok dengan A=A dan A itu bukannya Non-A.
Apakah sapi itu seluruhnya hitam
atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi
dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi di sini dialektik bisa
melangkah masuk dan campur memberi jawaban seperti berikut:
Seluruhnya sapi itu putih ia dan hitam ia. Atau dengan perkataan lain:
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu digerakkan
sepanjang umurnya, ialah dari masa bayi sampai ke masa dewasa, bilamana
warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum pula sapi itu digerakkan dengan
kecepatan sinar, ialah 300.000 km dalam sedetik. Dalam hal ini, maka belum
tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia ke-2
penipuan warna (abberation aberratie)
itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan
antara), dipakai oleh Armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah maka berhubungan dengan
sesuatu yang sulit (komplex) tetapi
masih dalam keadaan yang berhenti saja, logika, sudah terpaksa meminta bantuan
kepada Dialektika. Apalagi dalam gerakan.
Memangnya sesuatu pertanyaan
seperti: Apakah bola yang berguling cepat ini pada detik ini berada di titik
ini atau tidak lagi? Tidak dapat dijawab dengan ia atau tidak saja. Kalau
dijawab tidak, maka jawab itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada
pada titik, yang dimaksudkan itu. kalau dijawab ia, maka jawab ini pun salah,
karena belum lagi si penjawab habis mengucapkan ia itu, maka bola itu sudah
melewati titik itu. Jadi logika tidak berdaya apa-apa dalam hal ini. Logika
harus meminta pertolongan kepada Dialektika untuk memberi jawaban ia dan tidak
sekaligus.
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak
abad yang lalu ilmu bukti sudah mengakui
bahwa:
1. Semua kodrat di alam raya ini (force, energie), yang terlaksana pada
cahaya, panas dan sinar (light, heat and
rays) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetism, listrik dan
kodrat kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih
dari bentuk ke bentuk. Dengan demikian, maka dengan timbulnya satu bentuk
kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya
berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tidak berhenti-hentinya.
Laplace menjelaskan Peralihan Molten Mass (benda cair) di alam raya pada
permulaan dunia ini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan
konetnya.
2. Adanya Cell, sebagai satuan, dalam
badan tumbuhan dan hewan. Karena pengembangan (multiplication) dan perbedaan (variation),
ketika turun-temurun Cell itu, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang
dikenal di masa ini. oleh Charles Darwin dijelaskan, bahwa semua tumbuhan,
hewan dan manusia yang ada sekarang di atas bumi kita ini, adalah hasil
kemajuan dari ratus-ribuan tahun, dari beberapa cell-tunggal dalam suasana “struggle for existence” (perjuangan hidup)
suasana “survival of the fittest”
(kejayaan yang kuat) dan “adaptability”
(kecakapan menyesuaikan diri). Dan beberapa cell tunggal ini maju dari putih
telur dan protoplasma, menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Meyer menunjukkan, bahwa
panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis
panas atau listrik, kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, dan
ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa
ekor kudakah kuatnya listrik. Pun bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah
ini panas atau listri, dengan ia atau tidak. Tetapi apabila panas bukannya lagi
panas, tetapi belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat
dijawab dengan ia atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ia dan
tidak sekaligus.
Demikianlah pula dalam keadaan, di
mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan; seperti air sedang berubah
menjadi uap; kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik dan
sebagainya atau satu zat sedang mengalami peralihan pula, atom beralih menjadi
molekul, putih telur menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan
1001 contoh lainnya maka logika, statika dan ukur mengukur secara matematika
itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka Dialektikalah yang sanggup memberi
jawaban.
Tetapi apabila kepastian dalam
peralihan itu sudah terdapat (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi
listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam
hal itu dapatlah pula dipergunakan logika, statistika, matematika, dan ukur
mengukur serta timbang menimbang.
Dibelakang hari Ueberweg juga
mengambil kesimpulan seperti berikut: dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi
bilamana kita berurusan dengan pelbagai sifat yang bertentangan, maka haruslah
kita mengakui “coincidence of opposites”
(perjumpaan beberapa pertentangan).
Jadinya dalam hal ini boleh
dipergunakan ia dan tidak sekaligus.
Dalam salah satu halaman buku
karangannya bernama “logika”, maka Hegel seorang ahli filsafat Jerman yang
besar berkata, lebih kurang: “dialektik
nennen wir solche geistiche bewegung bei denen das getrennt scheinenden durch
sichselbst, d.h. durch das, was sie sind in einander uebergehen, und so das
getrennt scheinenden aufgehoben”.
(Saya terpaksa mencatat diluar
kepala pula).
Indonesia lebih kurang: “yang kita
nama dialektik, ialah gerakan pikiran (rohani), bilamana, yang berupa saling
berpisah itu, olehnya sendiri, artinya itu terbawa oleh sifatnya sendiri,
saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berupa perpisahan itu
dibatalkan/artinya bersatu kembali)”.
Banyak persamaan antara Hegel dan
bekas muridnya Marx itu. tetapi besar pula perbedaan diantara guru dan murid,
setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan 1 : keduanya sama-sama
menolak perpisahan kekal antara ya dan tidak itu. dalam gerakan thesis, anti
thesis dan synthesis, maka akhirnya ia itu bisa menjadi tidak dan sebalikya.
Dalam gerakan itu, maka perubahan quantity (jumlah) lambat-laun bertukar menjadi
perubahan quality (sifat). Dengan demikian maka tercapailah Negation der
Negation (pembatalan kebatalan).
Syahdan, menurut ilmu logika dan
matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang
ketiga, kedua barang itu bersamaan pula dengan satu barang lainnya. Tetapi dua
barang yang masing-masingnya berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu
bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa
dua pemikir besar, ialah Hegel dan Marx keduanya sama berbeda sikapnya terhadap
logika. Mereka sama-sama tidak setuju dengan perpisahan tetap dan pertentangan
tetap antara ia dan tidak itu. Mereka sama-sama pula menyelediki sesuatu itu
dalam suasana Dialektika (gerakan dan pertentangan). Tetapi ada pula perbedaan
besar antara kedua penganut Dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektik
itu kepada tafsiran dan teori Idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan Dialektik
itu atas teori dan tafsiran Materialisme. Hegel adalah pengganti Dialektika
Idealisme. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut Dialektika
Materialisme.
Dalam dialektik dan logika maka
Plekhanov mengikhtiarkan perbedaan dialektik Idealist dengan dialektik
Materialist, sebagai berikut:
Dalam system Hegel, maka dialektik
sama diri dengan metaphysika (ilmu gaib). Buat kami maka dialektik bersendi
atas ilmu kealaman (hukum alam).
Dalam system hegel, maka Demiurge,
crea atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau paham
mutlak). Buat kami, maka paham mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction)
dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terbikinlah semua perpaduan dan keadaan
semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju,
disebabkan oleh keinsafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di
dalam pikiran (konsep). Menurut teori Materilist kami, maka semua pertentangan
yang ada dalam pikiran itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu
tafsiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada pada dunia
nyata (phenomena), sebagai akibat dari pertentangan sifat yang terdapat pada
lantainya bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan
yang nyata itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (ideas). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu, dapat
dijelaskan oleh kemajuan yang nyata; kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels
membalikkan kembali kaki yang di udara itu ke tanah dan kepala yang oleh Hegel
itu ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang
dikenakan oleh Hegel kepada dialektik itu. Dengan begitu, maka ditangannya Marx
dan Engels dialektik menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh Kudung Gaib, maka
dialektik menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan
Engels, sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektik yang bersandar pada
Materialismelah senjata yang tepat, tetap dan sempurna, terhadap keduanya kaum
feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang, kalau kita
lebih dalam mengupas dan perbedaan. Cara dan teori berpikir antara Hegel dan
Marx, dalam karangan ini, yang dimaksudkan cuma sebagai satu tinjauan yang
lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. Cuma sebagai
pengunci, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu,
serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan Materialisme Mekanis dengan
Materialisme Dialektis.
Janganlah hendaknya kita menyangka,
bahwa Engels terus melayang-layang di dunia pikiran saja, dengan tak pernah
menginjakkan kakinya ke tanah bukti (reality). Sebaliknya pula, janganlah
dikira, bahwa Marx dan Engels, tidak pernah melepaskan kakinya dari tanah bukti
dan tidak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, idea itu.
Keduanya jenis pemikir tadi maju
berpikir dengan berpandangan kepada keduanya dunia pikiran dan bumi bukti.
Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikirarn dan Marx-Engels berpangkalan
kepada bumi bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh oleh Marx dan
Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikianlah Hegel pernah
mengucapkannya, bahwa rohani (spirit), itu adalah dasar pendorong (motive-principle)-nya sejarah. Tetapi
disampingnya itu diucapkan pula, bahwa keadaan ekonomi pada satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan
perantaraan (instrumentality) rohani.
Dan Marx, walaupun pada titik
terakhir berpangkalan pada kebendaan ada pula mengucapkan, bahwa pada suatu
tingkat, maka rohani itu bisa menjadi kodrat, yang arahnya ditentukan oleh
keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya
dijelaskan pula bagi kita persamaan dan perbedaan antara Materialisme mekanis
dengan Materialisme dialektis. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan.
Tetapi bagi pengikut Materialisme mekanis, maka manusia dengan pikiran, perasan
dan kemauannya, ringkasnya manusia dengan jiwanya itu seolah-olah tidak berdaya
menghadapi alam raya dan hukumnya itu.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels
serta para pengikutnya, maka dalam daerah yang terbatas oleh keadaan masyarakat
sendiri, manusia dengan jiwanya itu bukanlah benda passive, penerima, seperti
mesin saja.
Beberapa ayat dari tulisan Marx yang
memperlihatkan perlantunan (interaction), wiselwerking antara manusia dan alam
di sekitarnya itu berbunyi lebih kurang:
“Bumi dikelilingi (geographical environment) mempengaruhi
manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi pada salah satu daerah, atas salah
satu kodrat produksi (forces of
production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom
dll) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini
membentuk perhubungan baru antara manusia dan alam sekitarnya.”
“Manusia sambil bertindak terhadap
alam sekitarnya itu, menukar sekitarnya itu dan dengan begitu menukar diri
(jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum
ahli filsafat, dalam 11 thesisnya Marx mengucapkan:
“Die
filosophen haben die well nur verschieden interpretiert. Es kommt aber
daraufan, die welt zu aendern”. (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam
menafsirkan dunia ini. Yang penting ialah mengubah dunia, yakni alam dan
masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan di atas ini
nyatalah sudah, bahwa salah benar mereka, yang mengatakan, bahwa kaum
Materialist itu cuma orang fatalis, penerima kodrat-alam saja, dan cuma
memikirkan maka-minum dan keplesiran hidup semata-mata.
Tetapi sebaliknya bukanlah pula
hasilnya pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas. Melainkan dibatasi oleh
alat lahir dan batin yang telah dicapai oleh sesuatu masyarakat itu sendiri.
(Ilmu, teknis, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dll).
Terbatas oleh alam dan masyarakat,
yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, tafsirkan Materialisme dialektik
itu, dipandang dari salah satu sudut ialah:
1. Alam dan masyarakat Indonesia,
dengan perantaraan bangsa Barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelumnya
proklamasi sudah membentuk satu sistem masyarakat, produksi distribusi, sosial
politik yang ringkasnya boleh disebutkan masyarakat kapitalisme-jajahan-Belanda
(Thesis).
2. Dalam kandungan Imperialisme Belanda
itu, diantara lain-lain, timbul dan timbullah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat kapitalisme jajahan tersebut di atas, yang dalam hakekatnya
bermaksud mendirikan satu masyarakat baru, yang memakai semua alat teknik dan
ilmu Barat itu dalam sesuatu produksi berdasarkan tolong-menolong dan
distribusi berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia
serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-thesis).
3. Dengan Proklamasi 17 Agustus, maka
rakyat/pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan
masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar