Kamis, 07 April 2016

Timbul-Tumbuhnya Republik Indonesia


Revolusi Indonesia berbeda dengan Revolusi Perancis (1789, 1848, atau 1871) dan berbeda pula dengan revolusi Rusia pada tahun 1917. Sifat kelas, yang memegang kekuasaan di Indonesia, susunan dan sifat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat kemajuan perekonomian serta akhirnya sifat dan keadaan bumi iklim serta tehnik yang menjadi pendorong semua perubahan dan dasarnya ekonomi sosial, politik dan kebudayaan berlainan sekali dipelbagai tempat yang tersebut di atas.
Berperang untuk Indonesia ini, kepada kesimpulan (conclusion) yang ditetapkan oleh Marx dan Engels ketika 100 tahun lampau, kesimpulan mana dipertimbangkan menurut teknik ekonomi, sosial politik serta kebudayaan jiwa manusia di Eropa Barat di masa itu, ataupun berpegangan kepada semua kesimpulan Lenin yang dipertimbangkan menurut kupasan (analyse) masyrakat Rusia pada tahun 1917 serta menghafalkan semua kesimpulan tersebut buat dilaksanakan di Indonesia sekarang, bukanlah menjalankan hasilnya cara berpikir yang dialektis bersandar pada teori materialisme. Seorang Marxist yang mau dijadikan obor dalam menentukan sikap dan tindakan di Indonesia sekarang haruslah mempertimbangkan kesimpulan itu atas bahan berpikir (premise) yang diperoleh di Indonesia sekarang pula. Bahan berpikir itu adalah bayangan (reflection) dari semua faktornya  masyarakat Indonesia kini sendiri: teknik ekonomi Indonesia sendiri, sosial politik serta kebudayaan jiwa (psychology) rakyat Indonesia sendiri.
Dengan berbedanya hampir semua faktor ini di Indonesia dengan Perancis dan Rusia pada waktu yang berlainan pula, maka kesimpulan (conclusion) yang diperoleh seorang Marxist di Indonesia sekarang tentulah berbeda pula dengan kesimpulan Marx dan Lenin, seperti tersebut di atas, mungkin ada terdapat persamaan nama tetapi belum tentu sekali bersamaan isi.
Yang bersamaan dan tetap bersamaan bagi sekalian Marxist pada semua tempat dan semua waktu ialah:
Pertama: Cara (methode) menyelesaikan dan memahamkan soal masyarakat (sosial     
               problem) ialah dengan cara Dialektika (hukum pertentangan).

Kedua: Tafsiran, paham dan teori tentang kejadian (phenomena) dalam masyarakat itu 
             didasarkan atas teori materialisme (kebendaan).

Ketiga: Semangat pemeriksaan dan penjelasan soal masyarakat dan tindakan yang 
disandarkan kepada kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan revolusioner.

Belum tentu sekali seorang yang menepuk-nepuk dada dan mengakui dirinya seorang Marxist, Leninist dan Stalinist, karena sudah menghafalkan semua kesimpulan Marx dan Lenin dalam keadaan masyarakat di lain tempat dan di lain waktu belum tentu sekali kesimpulan yang diperoleh atas masyarakat Indonesia dengan cara, tafsiran dan semangat yang Marxistis. Ingat kita kepada kalimat yang dijunjung tinggi oleh kaum Bolsjewik tua di Rusia yang berbunyi: “Marxisme itu bukanlah suatu Dogma (hapalan), melainkan suatu pedoman untuk bertindak (Marxism is not a dogma but a guide to action).
Yang boleh jadi memberi jaminan kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxist, terutama dalam sesuatu revolusi, ialah 1). Cara penjelasan yang dialektis (cocok dengan hukum pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin) 2). Tafsiran yang materialistis (berdasarkan kebendaan), bukannya yang idealistis (khayal) dan 3). Semangat yang revolusioner, bukannya contra revolusioner, maju ke depan bukannya mundur kembali kepada keadaan yang lama.
Maka ujian yang terakhir tentangan salah-benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan pula oleh golongan yang berkepentingan sendiri, yakni:
I. Dalam soal revolusi nasioanal, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan hidupnya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.

II. Dalam hal revolusi borjuis, apakah kelas borjuis yang tertekan oleh kelas feodal dalam masyarakat feodal tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjuis sesungguhnya mendapatkan kekuasaan bagi menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kelas borjuis.

III. Dalam hal revolusioner proletar, apakah kelas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan tindakan borjuis (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang menuju ke arah komunisme.

Demikianlah pentingnya tafsiran (interpretation) tentan revolusi, yang harus kita utarakan kepada Revolusi Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan taktik strategi serta sikap dan tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.

Memperhatikan semua revolusi baik revolusi kelas melawan kelas (kelas borjuis melawan feodal, seperti di Perancis tahun 1789; proletar melawan feodal borjuis, seperti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun 1776-1782), maka selayang pandang tampaklah:
Bahwa timbulnya revolusi itu adalah pada suatu krisis, di mana pertentangan dua pihak (yang pada tingkat akhirnya berdasarkan pertentangan ekonomi), sedikit bertukar menjadi pertempuran. Revolusi itu jaya, apabila di mana krisis tadi nyata, bahwa yang lama tak sanggup lagi mengatur, dan yang baru sudah insyaf dan sanggup menyusun dan mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban sebesar-besarnya.
Saya tegaskan lagi: defenisi di atas ialah sekedarnya untuk meliputi semua jenis revolusi. Kalau dilaksanakan pada masyarakat Indonesia maka kita akan memperoleh seperti berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada krisis, 17 Agustus sanggup menyusun dan menggerakkan Murba dan membangun Republik dengan tidak memandang korban.
Proses pertentangan dalam kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat komunis asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi, lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Majapahit. Kedua Negara Feodal tersebut tentulah tidak berapa beda susunan sosial dan politiknya dengan Negara Feodal yang lain-lain di atas bumi ini. dalam masyarakat komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong menolong. Di masa masyarakat feodal, maka negara itu sudah tidak luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu golongan atas golongan yang lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman Sriwijaya dan Majapahit ialah bangsa Indonesia, sedangkan di kelas atasnya, ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama terdapat bangsa Hindu Asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa runtuhnya Majapahit, maka pada kelas atas itu terdapat pula Bangsa Arab, asli dan campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab-lah pula yang berturut-turut mengendalikan atau mempengaruhi perekonomian, terutama perdagangan Indonesia dengan negara luar.
Pada permulaan abad ke-17 imperialisme dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu dan Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tidak ada bandingnya di dunia ini. produksi tingkat manufacture yang terdapat di Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme awal (pre-capitalism) di Eropa yang agak lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula. Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan dari Indonesia ke Eropa dimonopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka semua kebon modern, semua tambang, semua pabrik, semua alat pengangkutan, semua Bank dan Insuransi, dan semua perdagangan export dan import boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa dan Arab, Amerika, Inggris, Belgia, dll.
Dengan timbulnya pemerasan oleh bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem Deandels, maka timbulah satu negara jajahan, yang tidak mengenal prikemanusiaan sama sekali. Pekerjaan membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas Belanda, ialah tentara penjajahannya, dipaksakan dengan kejam dan zonder bayaran oleh Belanda atas Bangsa Indonesia. Perampokan tenaga dan jiwa ribuan Bangsa Indonesia di masa itu memerlukan satu Negara Kolonial, dengan alat penindas yang amat kejam serta keji.
Alat penindas negara jajahan itu tidak berkurang keji kejamnya dengan pertukaran sistem rodi ala Daendels tadi dengan sistem rodicultuur stetsel ala Van den Bosch. Memang ada aturan yang tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel, itu (berapa tanahnya yang harus ditanami kopi dan lain-lain; dan berapa yang harus ditanami padi dll), tetapi dalam prakteknya petani Indonesia terpaksa menanami semua tanahnya buat barang dagangan Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat mengisi kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, maka petani Indonesia (Jawa) bertukar menjadi kaum kuli dan  kaum sunan, sultan, raja dan ningrat di seluruh Indonesia bertukar menjadi mandor kebun pabrik, pengairan dan juru tulis dalam kantornya semua alat penindas Belanda.
Sistem Cultuur Stelsel, yang lambat laun didorong oleh perubahan tehnik di Eropa, terpaksa pula dirubah menjadi sistem Vrije-Arbeid (kerja merdeka) ala Malefeit.
Seperti sudah kita sebut lebih dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak berhak atas apa-apa bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri. Tidak memperdulikan alat, pekerjaan serta hasil pekerjaannya. Sedikitpun mereka tidak memperlihatkan inisiatif. Bersama dengan sistem kerja merdeka, ala borjuis, maka kaum proletaris lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menundukkan inisiatif, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah  pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan sistem Vrije-Arbeid itu membawa perubahan semangat kerjanya kuli Indonesia. Seperti pula proletaria industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat proletaria, yang harus melayani mesin itu, begitu pula Rakyat Indonesia harus sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.
Bersama dengan tumbangnya kekuasaan feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara feodal.
Dengan demikian (bahasa Indonesia sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima yang sisa yang dilemparkan oleh kaum kapitalis itu kepadanya itu, demikianlah pula para ningrat penganggur menerima sembarangan “pekerjaan” yang dilemparkan oleh penjajah Belanda kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B Ambtenaren (pangreh projo).
Dari Bupati sampai ke lurah, dari sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara, dan algojo semuanya itu adalah inlanders alat untuk menindas bangsanya sendiri. Dimana pada semua badan alat pemerintah diperlukan satu reverse (cadangan), demikianlah pula alat penindas di Indonesia memerlukan reserve rendah, menengah dan tinggi. Cadangan ini setiap tahun dicetak oleh borjuis jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi pula buat inlanders alat dalam produksi, perdagangan, administrasi, ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.
Syahdan dalam garis besarnya kita melihat pertentangan yang ada dalam masyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942) seperti berikut:
Kaum berpunya yang terdiri dari bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan telunjuk, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya, ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi hidup dengan sisa yang dilemparkan kepadanya.
Gambaran yang lebih kongkrit tentang perbandingan bangsa Indonesia dan Belanda dalam masyarakat Indonesia, dalam waktu sebelum jatuhnya itu dapat ditegaskan dengan dua, tiga kalimat di bawah ini:
Dalam perekonomian: sedangkan si Inlander menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (heusch de inlanders kunnen wel met een benggol per dag leven) maka tiap-tiap tahun mengalir F.1.500,- juta rupiah ke negeri Belanda, sedangkan seorang pengemis di negeri Belanda bisa dengan mudah menjadi “Tuan Besar” di kebun atau di tambang Indonesia.
Dalam kesosialan: Diantara kaum tani di Jawa, yang berpenduduk 50 juta itu, sudah murah taksiran kita, kalau dikatakan, bahwa hanya lebih kurang 3% Tani, yang mempunyai sawah yang cukup buat penghidupannya (ialah lebih kurang 3 bahu). Yang mempunyai cuma 1/3 bahu mungkin sekali lebih daripada 50%. Tani Proletar yang tak berpunya apa-apa, yang luntang-lantung mencari pekerjaan kian kemari, sedikitnya ada 25%. Diantara sisa penduduk asli di Jawa, ialah sedikit saudagar tengahan, sebagian besar saudagar kecil, pangeh-praja, juru tulis dan intelek-gembel.
Dalam Politik: 70 juta Rakyat Indonesia cuma mempunyai dua tiga orang saja dalam Gedung Sandiwara (Volksraad) di Jakarta, sedangkan semua “key-position” (kekuasaan penting) dalam Pemerintahan, ketentaraan, kepolisian dan Urusan Luar Negeri berada di tangan Belanda.
Dalam Perguruan: Kata Belanda, bahwa untuk membasmi buta huruf dan mengadakan Undang-Undang wajib belajar (compulsory education) Indonesia memerlukan usaha lebih kurang 150 tahun. Sedangkan Nederland dengan penduduknya yang 7 juta mempunyai 5 University dan Sekolah Tinggi lainnya, maka Indonesia dengan 70 juta penduduknya belum lagi mempunyai satu University dan cuma 4 sekolah tinggi. (menurut ukuran perguruan di negara Belanda, maka Indonesia mestinya mempunyai 50 University dan 50 sekolah tinggi)
Pertentangan tajam antara rakyat Indonesia dengan imperialisme Belanda dalam segala-gala itu tidak dapat didamaikan, cuma dapat sementara waktu dininabobokkan oleh gerakan seperti P.E.B dan Legioen v.d. Geest (Gerakan Belanda) dengan inlanders-alatnya. Juga oleh gerakan intelektual dengan Parindra gerakan intelektuil dengan Parindra, Partai Pendidikan Nasional, Gerindo gerakan reformisme nasional.
Maka apabila topan kemiliteran dari satu bangsa berkulit kuning yang kecil itu, bertiup dari utara, maka Pemerintah “Hindia Belanda” ditiup oleh bangsa Jepang, sama mudahnya dengan angin meniup pasir dari alat batu. Tak ada seorangpun diantara pecinta Nusa dan Bangsa Indonesia yang merasa sedih melihat lenyapnya imperialisme Belanda dengan alat penindasnya pada tanggal 8 Maret tahun 1942.
Lebih kurang 30. 000 serdadu Jepang yang menyeberangi lautan sejarak 5.000 km yang lelah letih dapat menghalaukan dan mempertekuk-lututkan 95.000 serdadu yang bersenjata lebih lengkap dalam 8 hari saja. Mungkin sekali 3.000 buah jibakutai sanggup melakukan pekerjaan yang tersebut. Imperialisme Belanda tidak mempunyai urat sosial dan politik yang dalam dan sehat pada masyrakat Indonesia. Seandainya urat-sosial-politik itu ada, sebab adanya kerja sama dan derajat sama dalam perekonomian, dan seandainya dalam 350 tahun itu Belanda berusaha membangunkan semua kekuatan yang ada dalam tanah, air dan rohani jasmani 70 juta rakyat Indonesia, tentulah Jepang tak mempunyai harapan sama sekali buat menghampiri tanah, air dan udara Indonesia, jangankan pula hendak merampas tenaga, harta benda serta garis Indonesia.
Dalam 3 ½ tahun Jepang merampas sisa kekayaan, yang dipusatkan Belanda dan memeras tenaga, sedemikian rupa, sehingga yang tinggal pada rakyat jelata cuma rombongan celana karung dan tulang kering romusha, sebagai sisa daripada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam dan di  luar Indonesia.
Jepang mewarisi dan memperkokoh alat penindas yang dipusakakan oleh Belanda yang ditukar dengan alat penindas Jepang, yakni pemerintah Kempei, di bawah Saiko-Sikikan dengan alat peninabobokan seperti Chua-Sa-Ngi-In, 3 A, PUTERA, HOKOKAI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi ada pula organisasi, yang dibangunkan oleh Jepang untuk Jepang yang masih bisa membalik melawan Jepang seperti Organisasi Kaibodan, Seinendang, PETA, HEIHO dan JIBAKUTAI yang mendapat latihan kemiliteran yang cepat hebat imperialisme Jepang pun menggali kuburnya sendiri!
Setelah Jepang di atomi dan menyerah kepada Sekutu, maka yang baru di Indonesia, yakni pemuda yang insaf dan sanggup menyusun, dan menggerakkan rakyat Murba mengambil kesempatan baik untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar