Revolusi Indonesia berbeda dengan
Revolusi Perancis (1789, 1848, atau 1871) dan berbeda pula dengan revolusi
Rusia pada tahun 1917. Sifat kelas, yang memegang kekuasaan di Indonesia,
susunan dan sifat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat
kemajuan perekonomian serta akhirnya sifat dan keadaan bumi iklim serta tehnik
yang menjadi pendorong semua perubahan dan dasarnya ekonomi sosial, politik dan
kebudayaan berlainan sekali dipelbagai tempat yang tersebut di atas.
Berperang untuk Indonesia ini,
kepada kesimpulan (conclusion) yang ditetapkan oleh Marx dan Engels ketika 100
tahun lampau, kesimpulan mana dipertimbangkan menurut teknik ekonomi, sosial
politik serta kebudayaan jiwa manusia di Eropa Barat di masa itu, ataupun
berpegangan kepada semua kesimpulan Lenin yang dipertimbangkan menurut kupasan
(analyse) masyrakat Rusia pada tahun 1917 serta menghafalkan semua kesimpulan
tersebut buat dilaksanakan di Indonesia sekarang, bukanlah menjalankan hasilnya
cara berpikir yang dialektis bersandar pada teori materialisme. Seorang Marxist
yang mau dijadikan obor dalam menentukan sikap dan tindakan di Indonesia
sekarang haruslah mempertimbangkan kesimpulan itu atas bahan berpikir (premise)
yang diperoleh di Indonesia sekarang pula. Bahan berpikir itu adalah bayangan
(reflection) dari semua faktornya
masyarakat Indonesia kini sendiri: teknik ekonomi Indonesia sendiri,
sosial politik serta kebudayaan jiwa (psychology) rakyat Indonesia sendiri.
Dengan berbedanya hampir semua
faktor ini di Indonesia dengan Perancis dan Rusia pada waktu yang berlainan
pula, maka kesimpulan (conclusion) yang diperoleh seorang Marxist di Indonesia
sekarang tentulah berbeda pula dengan kesimpulan Marx dan Lenin, seperti
tersebut di atas, mungkin ada terdapat persamaan nama tetapi belum tentu sekali
bersamaan isi.
Yang bersamaan dan tetap bersamaan
bagi sekalian Marxist pada semua tempat dan semua waktu ialah:
Pertama: Cara (methode)
menyelesaikan dan memahamkan soal masyarakat (sosial
problem) ialah dengan cara
Dialektika (hukum pertentangan).
Kedua: Tafsiran, paham dan teori
tentang kejadian (phenomena) dalam masyarakat itu
didasarkan atas teori materialisme
(kebendaan).
Ketiga: Semangat pemeriksaan dan
penjelasan soal masyarakat dan tindakan yang
disandarkan kepada
kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan revolusioner.
Belum tentu sekali seorang yang
menepuk-nepuk dada dan mengakui dirinya seorang Marxist, Leninist dan
Stalinist, karena sudah menghafalkan semua kesimpulan Marx dan Lenin dalam
keadaan masyarakat di lain tempat dan di lain waktu belum tentu sekali
kesimpulan yang diperoleh atas masyarakat Indonesia dengan cara, tafsiran dan
semangat yang Marxistis. Ingat kita kepada kalimat yang dijunjung tinggi oleh
kaum Bolsjewik tua di Rusia yang berbunyi: “Marxisme itu bukanlah suatu Dogma
(hapalan), melainkan suatu pedoman untuk bertindak (Marxism is not a dogma but
a guide to action).
Yang boleh jadi memberi jaminan
kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxist, terutama dalam sesuatu
revolusi, ialah 1). Cara penjelasan yang dialektis (cocok dengan hukum
pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin) 2). Tafsiran yang materialistis
(berdasarkan kebendaan), bukannya yang idealistis (khayal) dan 3). Semangat
yang revolusioner, bukannya contra revolusioner, maju ke depan bukannya mundur
kembali kepada keadaan yang lama.
Maka ujian yang terakhir tentangan
salah-benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan pula oleh
golongan yang berkepentingan sendiri, yakni:
I. Dalam soal revolusi nasioanal,
apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu
sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan hidupnya terhadap
bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.
II. Dalam hal revolusi borjuis,
apakah kelas borjuis yang tertekan oleh kelas feodal dalam masyarakat feodal
tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjuis sesungguhnya mendapatkan
kekuasaan bagi menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kelas borjuis.
III. Dalam hal revolusioner
proletar, apakah kelas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan
tindakan borjuis (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang
menuju ke arah komunisme.
Demikianlah pentingnya tafsiran
(interpretation) tentan revolusi, yang harus kita utarakan kepada Revolusi
Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada
tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan taktik strategi serta sikap dan
tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.
Memperhatikan semua revolusi baik
revolusi kelas melawan kelas (kelas borjuis melawan feodal, seperti di Perancis
tahun 1789; proletar melawan feodal borjuis, seperti di Rusia tahun 1917);
ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun
1776-1782), maka selayang pandang tampaklah:
Bahwa timbulnya revolusi itu adalah
pada suatu krisis, di mana pertentangan dua pihak (yang pada tingkat akhirnya
berdasarkan pertentangan ekonomi), sedikit bertukar menjadi pertempuran.
Revolusi itu jaya, apabila di mana krisis tadi nyata, bahwa yang lama tak
sanggup lagi mengatur, dan yang baru sudah insyaf dan sanggup menyusun dan
mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban
sebesar-besarnya.
Saya tegaskan lagi: defenisi di atas
ialah sekedarnya untuk meliputi semua jenis revolusi. Kalau dilaksanakan pada
masyarakat Indonesia maka kita akan memperoleh seperti berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang
tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada
krisis, 17 Agustus sanggup menyusun dan menggerakkan Murba dan membangun
Republik dengan tidak memandang korban.
Proses pertentangan dalam
kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat
komunis asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi,
lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal
berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Majapahit. Kedua
Negara Feodal tersebut tentulah tidak berapa beda susunan sosial dan politiknya
dengan Negara Feodal yang lain-lain di atas bumi ini. dalam masyarakat
komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar
kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong menolong. Di masa masyarakat feodal,
maka negara itu sudah tidak luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu
golongan atas golongan yang lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut
tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman
Sriwijaya dan Majapahit ialah bangsa Indonesia, sedangkan di kelas atasnya,
ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama
terdapat bangsa Hindu Asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa
runtuhnya Majapahit, maka pada kelas atas itu terdapat pula Bangsa Arab, asli
dan campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arab
mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu,
serta Arab dan Indo-Arab mengendalikan alat negara serta kebudayaan. Satu
tanda, bahwa Hindu dan Indo-Hindu, serta Arab dan Indo-Arab-lah pula yang
berturut-turut mengendalikan atau mempengaruhi perekonomian, terutama
perdagangan Indonesia dengan negara luar.
Pada permulaan abad ke-17
imperialisme dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu
dan Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tidak ada
bandingnya di dunia ini. produksi tingkat manufacture yang terdapat di
Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme awal (pre-capitalism) di Eropa
yang agak lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di
Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula.
Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli
Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda
kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan
dari Indonesia ke Eropa dimonopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda
kepada Jepang, maka semua kebon modern, semua tambang, semua pabrik, semua alat
pengangkutan, semua Bank dan Insuransi, dan semua perdagangan export dan import
boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa dan Arab, Amerika,
Inggris, Belgia, dll.
Dengan timbulnya pemerasan oleh
bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem Deandels, maka timbulah satu
negara jajahan, yang tidak mengenal prikemanusiaan sama sekali. Pekerjaan
membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas
Belanda, ialah tentara penjajahannya, dipaksakan dengan kejam dan zonder
bayaran oleh Belanda atas Bangsa Indonesia. Perampokan tenaga dan jiwa ribuan
Bangsa Indonesia di masa itu memerlukan satu Negara Kolonial, dengan alat
penindas yang amat kejam serta keji.
Alat penindas negara jajahan itu
tidak berkurang keji kejamnya dengan pertukaran sistem rodi ala Daendels tadi
dengan sistem rodicultuur stetsel ala Van den Bosch. Memang ada aturan yang
tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel, itu (berapa tanahnya
yang harus ditanami kopi dan lain-lain; dan berapa yang harus ditanami padi
dll), tetapi dalam prakteknya petani Indonesia terpaksa menanami semua tanahnya
buat barang dagangan Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat mengisi
kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah
perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, maka
petani Indonesia (Jawa) bertukar menjadi kaum kuli dan kaum sunan, sultan, raja dan ningrat di
seluruh Indonesia bertukar menjadi mandor kebun pabrik, pengairan dan juru
tulis dalam kantornya semua alat penindas Belanda.
Sistem Cultuur Stelsel, yang lambat
laun didorong oleh perubahan tehnik di Eropa, terpaksa pula dirubah menjadi
sistem Vrije-Arbeid (kerja merdeka) ala Malefeit.
Seperti sudah kita sebut lebih
dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak berhak atas
apa-apa bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri. Tidak memperdulikan
alat, pekerjaan serta hasil pekerjaannya. Sedikitpun mereka tidak
memperlihatkan inisiatif. Bersama dengan sistem kerja merdeka, ala borjuis,
maka kaum proletaris lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menundukkan
inisiatif, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan
sistem Vrije-Arbeid itu membawa perubahan semangat kerjanya kuli Indonesia.
Seperti pula proletaria industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat proletaria,
yang harus melayani mesin itu, begitu pula Rakyat Indonesia harus sekedarnya
diberi latihan dan pelajaran sekolah.
Bersama dengan tumbangnya kekuasaan
feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara
feodal.
Dengan demikian (bahasa Indonesia
sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana
dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima yang sisa yang
dilemparkan oleh kaum kapitalis itu kepadanya itu, demikianlah pula para
ningrat penganggur menerima sembarangan “pekerjaan” yang dilemparkan oleh
penjajah Belanda kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B Ambtenaren (pangreh
projo).
Dari Bupati sampai ke lurah, dari
sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara, dan algojo semuanya itu
adalah inlanders alat untuk menindas bangsanya sendiri. Dimana pada semua badan
alat pemerintah diperlukan satu reverse (cadangan), demikianlah pula alat
penindas di Indonesia memerlukan reserve rendah, menengah dan tinggi. Cadangan
ini setiap tahun dicetak oleh borjuis jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi
pula buat inlanders alat dalam produksi, perdagangan, administrasi,
ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.
Syahdan dalam garis besarnya kita
melihat pertentangan yang ada dalam masyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942)
seperti berikut:
Kaum berpunya yang terdiri dari
bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan
telunjuk, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya,
ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi
hidup dengan sisa yang dilemparkan kepadanya.
Gambaran yang lebih kongkrit tentang
perbandingan bangsa Indonesia dan Belanda dalam masyarakat Indonesia, dalam
waktu sebelum jatuhnya itu dapat ditegaskan dengan dua, tiga kalimat di bawah
ini:
Dalam perekonomian: sedangkan si
Inlander menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (heusch de
inlanders kunnen wel met een benggol per dag leven) maka tiap-tiap tahun
mengalir F.1.500,- juta rupiah ke negeri Belanda, sedangkan seorang pengemis di
negeri Belanda bisa dengan mudah menjadi “Tuan Besar” di kebun atau di tambang
Indonesia.
Dalam kesosialan: Diantara kaum tani
di Jawa, yang berpenduduk 50 juta itu, sudah murah taksiran kita, kalau
dikatakan, bahwa hanya lebih kurang 3% Tani, yang mempunyai sawah yang cukup
buat penghidupannya (ialah lebih kurang 3 bahu). Yang mempunyai cuma 1/3 bahu
mungkin sekali lebih daripada 50%. Tani Proletar yang tak berpunya apa-apa,
yang luntang-lantung mencari pekerjaan kian kemari, sedikitnya ada 25%.
Diantara sisa penduduk asli di Jawa, ialah sedikit saudagar tengahan, sebagian
besar saudagar kecil, pangeh-praja, juru tulis dan intelek-gembel.
Dalam Politik: 70 juta Rakyat
Indonesia cuma mempunyai dua tiga orang saja dalam Gedung Sandiwara (Volksraad)
di Jakarta, sedangkan semua “key-position” (kekuasaan penting) dalam
Pemerintahan, ketentaraan, kepolisian dan Urusan Luar Negeri berada di tangan
Belanda.
Dalam Perguruan: Kata Belanda, bahwa
untuk membasmi buta huruf dan mengadakan Undang-Undang wajib belajar
(compulsory education) Indonesia memerlukan usaha lebih kurang 150 tahun.
Sedangkan Nederland dengan penduduknya yang 7 juta mempunyai 5 University dan
Sekolah Tinggi lainnya, maka Indonesia dengan 70 juta penduduknya belum lagi
mempunyai satu University dan cuma 4 sekolah tinggi. (menurut ukuran perguruan
di negara Belanda, maka Indonesia mestinya mempunyai 50 University dan 50
sekolah tinggi)
Pertentangan tajam antara rakyat
Indonesia dengan imperialisme Belanda dalam segala-gala itu tidak dapat
didamaikan, cuma dapat sementara waktu dininabobokkan oleh gerakan seperti
P.E.B dan Legioen v.d. Geest (Gerakan Belanda) dengan inlanders-alatnya. Juga
oleh gerakan intelektual dengan Parindra gerakan intelektuil dengan Parindra,
Partai Pendidikan Nasional, Gerindo gerakan reformisme nasional.
Maka apabila topan kemiliteran dari
satu bangsa berkulit kuning yang kecil itu, bertiup dari utara, maka Pemerintah
“Hindia Belanda” ditiup oleh bangsa Jepang, sama mudahnya dengan angin meniup
pasir dari alat batu. Tak ada seorangpun diantara pecinta Nusa dan Bangsa
Indonesia yang merasa sedih melihat lenyapnya imperialisme Belanda dengan alat
penindasnya pada tanggal 8 Maret tahun 1942.
Lebih kurang 30. 000 serdadu Jepang
yang menyeberangi lautan sejarak 5.000 km yang lelah letih dapat menghalaukan
dan mempertekuk-lututkan 95.000 serdadu yang bersenjata lebih lengkap dalam 8
hari saja. Mungkin sekali 3.000 buah jibakutai sanggup melakukan pekerjaan yang
tersebut. Imperialisme Belanda tidak mempunyai urat sosial dan politik yang
dalam dan sehat pada masyrakat Indonesia. Seandainya urat-sosial-politik itu
ada, sebab adanya kerja sama dan derajat sama dalam perekonomian, dan
seandainya dalam 350 tahun itu Belanda berusaha membangunkan semua kekuatan yang
ada dalam tanah, air dan rohani jasmani 70 juta rakyat Indonesia, tentulah
Jepang tak mempunyai harapan sama sekali buat menghampiri tanah, air dan udara
Indonesia, jangankan pula hendak merampas tenaga, harta benda serta garis
Indonesia.
Dalam 3 ½ tahun Jepang merampas sisa
kekayaan, yang dipusatkan Belanda dan memeras tenaga, sedemikian rupa, sehingga
yang tinggal pada rakyat jelata cuma rombongan celana karung dan tulang kering
romusha, sebagai sisa daripada 3-4 juta romusha yang musnah di dalam dan di luar Indonesia.
Jepang mewarisi dan memperkokoh alat
penindas yang dipusakakan oleh Belanda yang ditukar dengan alat penindas
Jepang, yakni pemerintah Kempei, di bawah Saiko-Sikikan dengan alat
peninabobokan seperti Chua-Sa-Ngi-In, 3 A, PUTERA, HOKOKAI dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi ada pula organisasi, yang dibangunkan
oleh Jepang untuk Jepang yang masih bisa membalik melawan Jepang seperti
Organisasi Kaibodan, Seinendang, PETA, HEIHO dan JIBAKUTAI yang mendapat
latihan kemiliteran yang cepat hebat imperialisme Jepang pun menggali kuburnya
sendiri!
Setelah Jepang di atomi dan menyerah
kepada Sekutu, maka yang baru di Indonesia, yakni pemuda yang insaf dan sanggup
menyusun, dan menggerakkan rakyat Murba mengambil kesempatan baik untuk
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar