Canton dimasa itu (tahun 1924) mempunyai penduduk lebih kurang dua juta
orang. Menurut ukuran Eropa-Barat atau Amerika, memangnya termasuk kota besar
dalam arti modern dalam segala-gala, pabrik raksasa dijalankan mesin up to
date, lalu lintas dengan tram, kereta dibawah dan diatas tanah, serta
percetakan uap atau listrik.
Sia-sia semuanya dicari di Canton pada pada masa itu. Yang ada, yang
cocok sebagai namanya kota cuma kantor pos, cahaya lisrik dan tiga jalan besar.
Sebahagian besar lalu lintas di darat dilakukan dengan ratusan, mungkin ribuan
becak. Di jalan-jalan gelap, kecil yang membengkok meliku diantara puluh ribuan
rumah besar kecil, dari tokoh intan, mas berlian sampai kedai bakmi. Jalan
sempit gelap, dilalui oleh hartawan sampai ke pengemis, maha guru sampai si
buta huruf, pemikul tandu gadis kawin sampai pemikul sayur dan barang yang
sekotor-kotornya yang dipisahkan setiap hari oleh 2 juta manusia, di jalan
kecil silang siur. Di jalan Tiongkok ini tak bisa masuk bus atau becak. Di
pinggir jalan besar sepanjang sungai yang membelah kota Canton terdapat
pelabuhan buat kapal yang menghubungkan Canton dengan Hongkong dan Macao. Di
atas sungai itu sendiri siang dan malam
terdapat puluh ribuan sampan kecil-kecil gandengannya becak di darat. Kabarnya,
konon 800.000 orang yang hidup berumah dalam semua sampan di sungai itu. Kalau
kota Canton seluruhnya kita tinjau dri atap Hotel Asia yang tertinggi itu, maka
kelihatannya satu cerobong asap pabrik buat semen, kalau saya tidak salah, di
seberang Sungai Canton atau Sungai Mutiara. Cuma satu cerobong asap pabrik
kecil, buat satu kota yang berpenduduk dua juta! Demikianlah keadaan Canton,
ketika saya mencari satu percetakan buat majalah dalam bahasa Inggris, yang
saya namai: THE DAWN (Fajar). Kota raksasa penuh dengan toko dan perusahaan
secara zaman feodal, penuh dengan jalan sempit gelapnya, penuh pula dengan
becak dan sampannya.
Memang benar juga, “Everything new comes from Canton”, semua yang baru
datang dari Canton. Bukankah revolusi dalam politik dan sosial berasal dari
Canton? Kota Canton pun tiada berapa tahun di belakangnya menjadi kota modern
dalam segala-galanya. Tetapi baru di belakang hari dan THE DAWN memang lahirnya
beberapa tahun terdahulu.
Akhirnya, sedang termenung memikirkan bagaimana melakukan Putusan
Konferensi Canton, datanglah seorang saudara Tionghoa yang pandai berbicara
Inggris buat menemani saya mengunjungi veteran revolusioner Tan Ping Shan. Tan
Ping Shan cuma sedikit bisa mengerti bahasa Inggris, tetapi dianggap seorang
terpelajar corak lama.
Tiap-tiap ucapan saya tentang kesulitan yang berhubungan dengan
pekerjaan dan kehidupan saya sebagai orang asing yang sama sekali belum bisa
bicara Tionghoa, apalagi kesulitan yang berhubungan dengan cetak-mencetak dalam
bahasa Inggris dan huruf latin, buat huruf Tionghoa memangnya banyak sekali,
semuanya itu dibalasnya dengan senyum yang cuma dimilikinya itu, semuanya itu benar,
tetapi jangan putus asa! Lihatlah kesulitan kami dalam segala lapangan!”
Tan Ping Shan membantukan kepada saya seorang maha guru yang memimpin
sekolah tinggi sendiri. Dulunya dia seorang guru dalam bahasa Inggris pada
salah satu sekolah tinggi Zending dan memogoki serta meninggalkan Sekolah
Zending itu bersama-sama beberapa muridnya. Sambil mengandung penghargaan besar
saya dengan Prof. Huang, ialah pembantu tadi, memasuki kota Canton dengan jalan
besar dan kecilnya. Akhirnya kami berada di muka satu percetakan,
berbisik-bisik, menggeleng-gelengkan kepala dan senyum Prof. Huang menoleh
kepada saya, Pencetak ini memang kawan kita! Percetakan raksasa bisa kita
percayakan kepadanya: THE DAWN pun bisa dicetak disini. Tetapi hurufnya tak
cukup, “Anyhow” kata Prof. Huang “This is the only one to be found in whole
Canton”. Bagaimana juga cuma ini percetakan yang boleh kita pakai diseluruhnya.
Canton. Ketawanya Prof Huang istimewa diantara kaum cerdas Tionghoa seolah-olah
mau mengatakan buat Canton ini sudah luar biasa apa boleh buat. Di sini sajalah
kita suruh kerjakan.
Saya merasa lega! Sedikitnya satu pekerjaan penting sudah bisa
dijalankan. Majalah itu saya anggap satu alat yang bisa memperhubungkan
batinnya sebahagian buruh Asia yang dimaksudkan. Sebelumnya majalah itu keluar,
susahlah pekerjaan yang lain-lain bisa dijalankan! Majalah adalah langkah
pertama!!
Alat yang lain buat meneruskan perhubungan adalah bahasa pengantar.
Walaupun ada paham yang hendak kita maksudkan, tetapi kalau bahasa pengantar
paham itu tidak cukup dikuasai, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita.
Bahasa pengantar itu adalah bahasa Inggris! Saya pikir, kalau sesudah dua tiga
bulan berusaha benar-benar buat mempelajari bahasa Jerman, saya sudah bisa
menulis dan berpidato dalam bahasa Jerman sederhana, dalam Kongres
Internasional, masakan saya tak bisa mendapat hasil sedemikian dengan bahasa
Inggris! Demikianlah saya pengaruhi diri saya sendiri!
Rencana saya sudah siap! Usaha belajar saya pusatkan kepada Grammar ilmu
sarap. Disamping itu saya coba mengikuti kejadian sehari-hari di Tiongkok,
tetapi pula mempelajari bahasa Inggris disamping oleh keinginan yang keras
mengetahui kabar Tiongkok tadi.
Tetapi ada beberapa faktor yang kurang saya perhatikan. Pertama bahasa
Jerman, saya pelajari di tengah-tengah masyarakat Jerman, sedangkan bahasa
Inggris terpaksa saya pelajari ditengah-tengah masyarakat Tionghoa. Kedua dan
lebih penting lagi, iklim Jerman, walaupun di musim panas, sungguh segar bugar
buat diri saya, menimbulkan nafsu makan terus-menerus, serta nafsu kerja dan
kegembiraan. Sedangkan Canton yang takluk kepada Continental elimate iklim
benua mengherankan sekali. Buat saya seolah-olah dapur roti di musim panas, dan
kamar es di musim sejuk. Pula saya belum meleburkan diri dengan masyrakat
Tionghoa, belum mengetahui “filsafat” makannya orang Tionghoa yang mencocokkan
makannya dengan musim negerinya. Saya kenal cuma restoran Boston yang dikuasai
oleh orang Canton yang kembali dari Amerika barat. Penuh gemuk, tak baik buat
kita di musim panas. Walaupun kepala saya mulai pusing-pusing nafsu makan
kurang demi kurang tidur larut demi larut demi larut malam, saya “bunuh”. Waktu
yang memang ditengah-tengah masyarakat serba asing, “dengan menguasai bahasa
Inggris”, dengan membaca sebanyak-banyaknya.
Nafsu makan makin kurang, tidur semakin larut malam, kepala semakin
pusing, dan batuk mulai timbul. Semua menandakan bahwa kesehatan saya mulai
merosot. Waktu sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Tetapi THE DAWN belum juga
siap, Prof. Huang makin susah dijumpai. Dia terpaksa berpergian mengumpulkan
uang buat sekolahnya yang dalam 1001 kesulitan pula.
Zoonder Prof. Huang, saya tak dapat berbicara dengan tauke cetak.
Satu kemajuan, tetapi cuma satu. Saya coba mengarang dalam bahasa
Inggeris, tentang pemogokan di Shamsen, tempat istimewa buat orang Eropa di
tengah-tengah kota Canton. Karangan itu saya perlihatkan kepada seorang yang
lama tinggal di Amerika, dan paham benar dalam bahasa Inggris. Beginilah
baiknya buat kaum buruh, yang tentulah Inggrisnya tak begitu dalam, katanya
saudara memakai kalimat pendek-pendek dan perkataan mudah dimengerti. Saya
minta buat saya sendiri, saudara menuliskan pemandangan buat seluruh Asia, kata
dia pula.
Yang penting buat saya, ialah saya sudah sampai ketika dimana saya dengan
“basic English” ialah Inggris sederhana sanggup berhubungan batin dengan para
pemimpin buruh di Asia. “Basic English” banyak dipropagandakan di Tiongkok.
Dengan mengetahui lebih kurang 800 kata pokok dalam bahasa Inggris kita sanggup
menguraikan apa saja pikiran kita dalam bahasa itu asal kita pegang teguh hukum
bahasanya. Tetapi saya belum puas dan tak bisa puas dengan basic English saja.
Buku, majalah dan surat kabar Inggris tiadalah tertulis dalam basic English
akan tetapi setelah saya sampai ke tingkat sedemikian dalam bahasa Inggris dan
sudah siap pula beberapa artikel dalam bahasa Inggris buat THE DAWN, percetakan
masih lenggang lenggok saja seperti gerobak rusak. Jilid pertama belum lagi
habis setengah hurufnya tiada cukup. Perkataan “pacific” umpamanya, ditulis
PacifiC, karena kekurangan huruf c kecil. Begitulah satu kata pernah ditulis
dua tiga huruf besarnya. Janggal dipandang mata tetapi yang lebih buruk ialah
sesudah tiga bulan belum juga selesai satu jilid. Saya merasa susah menanggung
jawabkan ke Moskow yang tentu tak bisa tahu keadaan yang sebenarnya!
Pembantu baru Tionghoa, bekas murid sekolah Amerika di Tiongkok yang
bagus Inggrisnya dan istimewa buat THE DAWN saja, akhirnya saya dapat dengan
susah payah. Tetapi belum lagi dua hari disamping saya, dia sudah hilang,
menghilang saja ditarik oleh berbagai organisasi di Canton untuk bahagian
Inggris. Memang kekurangan tenaga di segala lapangan. Kurang huruf, kurang
tenaga, kurang segala-galanya.
Sering kalau tak ada pembantu dengan kepala pusing di panas terik saya
pergi mengunjungi tauke percetakan buat menemukan senyum menandakan pekerjaan
belum selesai. Tidur saya semakin kurang dan bangun semakin pagi, terus
menerurs berhari-hari. Baru pada suatu pagi sesudah mandi semua badan merasa
beku. Mungkin juga sebentar saya tak sadar diri. Membaca sebarispun saya tak
sanggup lagi!
Saya pergi ke seorang Dr. Tionghoa, Dr. Lee. Dr. Lee sering mengobati
Dr. Sun, keluaran universitas di Jerman. Dia dibantu oleh dua orang temannya
memberikan suntikan kepada saya. Mulanya satu suntikan, tetapi sesudahnya itu
berturut-turut tiga, empat suntikan dilakukannya di beberapa tempat di badan
saya.
Saya memang merasa lain daripada biasa! Dr. Lee berkata: “Saya tadi kasi
Gold injection, suntikan emas. Tetapi pols tuan berhenti beberapa detik
lamanya. Kemudian berturut-turut kami lakukan suntikan anti racun!
Saya jawab: Ya, mulanya tuan suntikan disini, kemudian disana, dan lain
sebagainya.
Kata Dr. Lee pula, tetapi kami sangka tuan sudah meninggal. Polsnya
(pergelangan) tak berjalan lagi. Tidak lekas rupanya tuan kehilangan akal.
Dr. Lee rupa hilap, dia sangka saya diserang penyakit tubercolose (sakit
tering). Pada masa itu baru pula dia membaca teori baru tentang suntikan emas, pendapatnya
seorang Dr. Swedia. Memang, kalau benar saya diserang tubercolose, tak ada
keberatan saya menjadi “proefkonin”. Tetapi persangkaan itu salah!
Besoknya saya minta nasihatnya Dr. Rummel, dokter Jerman yang sudah lama
bekerja di Canton. “Apakah yang menyusahkan hati tuan?” demikianlah pertanyaan
Dr. Rummel itu. Saya dinasihatkan berhenti sama bekerja sama sekali. Walaupun
membaca. Sebaiknyalah tuan pergi tinggal di tropic, di negeri panas,
beristirahat”, dinasihatkan Dr. Rummel. Istilah yang dipakai buat penyakit itu
ialah “physical breakdown”, kelumpuhan tenaga.
Pergi beristirahat itu juga sudah dinasihatkan oleh Dr. Lee. Demikianlah
saya pergi kepada Dr. Lee buat meminta keterangan dengan surat, bahwa saya
memerlukan beristirahat. Keterangan Dr. Lee, bersama surat saya kepada
pemerintahan Hindia Belanda, itulah yang dimaksudkan oleh ENCYCLOPAEDIE dalam
catatan diatas. Surat itu saya kirimkan kepada PKI sambil meminta pertimbangan
partai, apakah surat itu akan diteruskan atau tidak sebagai siasat maka surat
itu diteruskan. Jawaban pemerintah Hindia Belanda kepada saya dengan
perantaraan PKI sama sekali tiada memuaskan. Jawaban pemerintah itu saya jawab
pula. Jawaban inilah yang menimbulkan topan di dalam cangkir. Salah satu surat
kabar Belanda yang berani mengumumkan balasan saya itu kabarnya mendapat
rintangan dari pemerintah HIndia Belanda! Surat itu bukan berwujud minta ampun,
seperti cemohan salah satu pihak, yang dibantah almarhum Subakat dalam surat
kabar API. Baik juga hal tersebut dijelaskan disini buat kebenaran, walaupun
sesudah terpaksa didiamkan saja selama lebih dari dua puluh tahun.
Negeri tropic itu bukannya Hindia Belanda saja, Siam, Birma, Annam,
Filipina dan Malaya, semuanya negeri di bawah khatulistiwa. Semuanya itu
tertutup buat saya oleh pemerintahnya, tetapi kuncinya ada di tangan sendiri,
pada kesanggupan menerobos. Yang pentingnya buat korespondensi dengan
pemerintah Hindia Belanda itu bukannya tempat, melainkan “fair play” yang
terpaksa dinyatakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, bahwa dia tidak memiliki
sifat semacam itu. tulisan almarhum Subakat berhubung dengan korespondensi itu
juga berpusat pada sifat unfair “tak satria” itu. Itulah asalnya usul mogok
sebagai protes yang dikemukakan oleh PKI dan Serikat Sekerja, seperti tersebut
dalam ENCYCLOPAEDIE diatas.
Tiada penyakit itu saja yang mendorong saya pergi ke khatulistiwa.
Berturut-turut saya mendapat kawat dari selatan meminta saya datang. Tak pula
diterangkan dan tentulah tak pula bisa diterangkan apa maksudnya. Saya cuma
tahu, bahwa pada tahun 1925 itu PKI menghadapi suatu krisis yang hebat. Kawat
memang tak memperdulikan antara 2500 km, ataupun lebih. Tetapi buat orang lemah
yang tak sanggup berjalan 2500 km, yang tak mempunyai negara dan paspor 2.500
km yang digenangi air laut, bukanlah perkara kecil.
Segala macam suntikan dari Dr. Filipina, Dr. Inggris dan Dr. Portugis di
Hongkong saya coba. Pun obat dukun Tionghoa dan nasihat pelaut Tionghoa di
Hongkong pertama kali saya alamkan. Maksud saya ialah buat mendapatkan kekuatan
untuk mengarungi lautan.
“Stow a way” penumpang sembunyi di dalam kapal,
adalah seorang yang melakukan pelanggaran yang oleh hukum internasional dianggap
berat sekali. Buat saya bahayanya kalau ketahuan tiada saja kemungkinan buat di
penjara, tetapi juga dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda. Pelajaran
seperti “Stow a way” yang dekat
sekali saja, kalau saya mau meriwayatkannya akan memerlukan satu buku.
Buat orang yang sehat saja, orang Eropa pula dan dalam kapal Eropa pun,
berlayar sebagai “Stow a way”itu jika
sampai ke tempat yang dituju, sudah mesti mengalami 13 macam kesukaran, yang
berhubungan dengan tempat, makanan, pemeriksaan dan sebagainya. Apalagi
penderitaan yang mesti dialami oleh seorang Indonesia yang lemah, diantara
ribuan penumpang Tionghoa Totok, rapat seperti ikatan sardencis, pada tempat
yang teralih-alih tak keruan jalan dalam kapal buat menyingkiri pemeriksaan
surat cacar, surat pos, surat keterangan lain-lain di semua pelabuhan yang
dikuasai oleh Inggris. Pendek kata orang mesti bergembira kalau sampai dengan
selamat, tiada mati kelaparan. Di dalam tempat bersembunyi dalam kapal.
Saya sampai ke salah satu tempat di Selatan, buat berjumpa dengan para
teman. Tetapi belum lagi saya mengecap hawa chatulistiwa, datang pula kawat
melalui 2500 km lagi. Saya diminta datang dengan segera, berhubung dengan
kedatangan wakil Provintern dari Moskow, yang mau berjumpa dengan saya di
Tiongkok Canton. “Dengan segera” itu buat orang yang tak tahu keadaan yang
sebenarnya, tentulah berarti cuma dua-tiga hari saja. Tetapi buat orang yang lengkap mempunyai syarat saja, pelajaran
itu lebih kurang membutuhkan satu minggu. Buat saya waktu itu tak bisa lebih
cepat dari pada dua minggu. Itupun sudah dengan segala tenaga yang ada pada
saya dan memakai semua kemungkinan.
“Beck of” kata bahasa asing, kehabisan nafas sesudah dua minggu, maka
saya tiba di Canton. Tetapi orang yang
memanggil saya sendiri rupanya sudah dipanggil pula buat kembali, yang dikejar
tiada dapat yang dikandung berceceran.
Perkara antara alat kerja dan kesehatan semuanya menjadi sebab, maka
kesehatan yang sedikit kembali disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama
sekali, dan saya jatuh kembali tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya
sendiri maupun buat organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah
saya bereskan pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka
saya berusaha masuk Filipina untuk beristirahat.
Memasuki Selatan, dengan tiada mempunyai syarat yang cukup, buat
seseorang sudah amat susah, berhubung dengan pembatasan pemasukan orang
Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan Emigration Law American-nya adalah
perkara yang lebih susah lagi. Perlu penyelidikan yang seksama terlebih dahulu.
Teristimewa buat saya perlu sekali suntik extra seolah-olah bola yang sudah
kempis, harus dipompa lebih dahulu.
Suntikan extra, penyelidikan seksama untuk mempelajari caranya masuk
Filipina, saya peroleh di Hongkong pada satu asrama Filipina. Nona Carmen,
puteri seorang bekas pemberontak di Filipina, yang dengan ibunya
menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi petunjuk yang berharga dalam hal
lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan pula memberi pelajaran bahasa
“Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa saya pelajari dalam dua tiga
bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku Indonesia, akan ingkar!
Pengetahuan saya tentang jalan ke Filipina dan caranya menyesuaikan diri
dengan orang Filipina setibanya disana dapat pula saya sempurnakan, selain
dengan perkenalan dengan para tamu di asrama tadi, juga dengan perkenalan luar biasa dengan seorang musafir terpelajar.
Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya
peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja
keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas.
Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut
kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di
Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia
perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam
buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr.
Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang
pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya
berada, sampai perang dunia II meletus, Dr. Mariano Santos namanya keluaran universitas
Filipina, sudah meneruskan pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari
perjalanan keliling Eropa, bakal menjadi wakil presiden Manila University.
Akhirnya buat berpendek kalau, pada suatu hari permulaan bulan Juni
1925, saya meninggalkan pelabuhan Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah
satu kapal Presiden, bersama-sama dengan para penumpang lain dari semua bangsa
di dunia, terutama bangsa Amerika dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa
sebagai pengalaman, pengetahuan dalam dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris
dan pengetahuan sekedarnya bahasa Tagalog dan last but not least bentuk warna
badang dan muka yang 100% Filipina, bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina
campuran, maka bersenjatakan semua alat tersebut dalam percakapan “conversation”
menjual lelucon “telling a joke” ala Amerika, bahkan pula dalam ikut serta
berdansa, maka rupanya tak tampak kesangsian bahwa penulis ini benar seorang
Filipina pulang ke negerinya.
Semua pemeriksaan surat cacar “pemeriksaan pasport” (yang tiada pada
saya) pemeriksaan barang di duane, biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh
pegawai Filipina, bisa dibereskan dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina
pulang dari “United States” atau dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak
sambalnya boxer Filipino dalam bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan.
Kunci rahasia buat semuanya ini ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu,
dan kedua tingkah laku jangan dibuat-buat.
Semuanya beres, lancar, memasuki beberapa lobang yang biasanya tak mudah
diselundupi, apalagi tak dengan beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah
orang tuanya Nona Carmen di Santa Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah
beristirahat seorang Filipina kembali dari “Negeri Asing” yang sudah lama
ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi tiadalah
pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan Amerika
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar