Kamis, 07 April 2016

Bagaimana Halnya Alat Cetak


Canton dimasa itu (tahun 1924) mempunyai penduduk lebih kurang dua juta orang. Menurut ukuran Eropa-Barat atau Amerika, memangnya termasuk kota besar dalam arti modern dalam segala-gala, pabrik raksasa dijalankan mesin up to date, lalu lintas dengan tram, kereta dibawah dan diatas tanah, serta percetakan uap atau listrik.
Sia-sia semuanya dicari di Canton pada pada masa itu. Yang ada, yang cocok sebagai namanya kota cuma kantor pos, cahaya lisrik dan tiga jalan besar. Sebahagian besar lalu lintas di darat dilakukan dengan ratusan, mungkin ribuan becak. Di jalan-jalan gelap, kecil yang membengkok meliku diantara puluh ribuan rumah besar kecil, dari tokoh intan, mas berlian sampai kedai bakmi. Jalan sempit gelap, dilalui oleh hartawan sampai ke pengemis, maha guru sampai si buta huruf, pemikul tandu gadis kawin sampai pemikul sayur dan barang yang sekotor-kotornya yang dipisahkan setiap hari oleh 2 juta manusia, di jalan kecil silang siur. Di jalan Tiongkok ini tak bisa masuk bus atau becak. Di pinggir jalan besar sepanjang sungai yang membelah kota Canton terdapat pelabuhan buat kapal yang menghubungkan Canton dengan Hongkong dan Macao. Di atas sungai itu sendiri siang dan  malam terdapat puluh ribuan sampan kecil-kecil gandengannya becak di darat. Kabarnya, konon 800.000 orang yang hidup berumah dalam semua sampan di sungai itu. Kalau kota Canton seluruhnya kita tinjau dri atap Hotel Asia yang tertinggi itu, maka kelihatannya satu cerobong asap pabrik buat semen, kalau saya tidak salah, di seberang Sungai Canton atau Sungai Mutiara. Cuma satu cerobong asap pabrik kecil, buat satu kota yang berpenduduk dua juta! Demikianlah keadaan Canton, ketika saya mencari satu percetakan buat majalah dalam bahasa Inggris, yang saya namai: THE DAWN (Fajar). Kota raksasa penuh dengan toko dan perusahaan secara zaman feodal, penuh dengan jalan sempit gelapnya, penuh pula dengan becak dan sampannya.
Memang benar juga, “Everything new comes from Canton”, semua yang baru datang dari Canton. Bukankah revolusi dalam politik dan sosial berasal dari Canton? Kota Canton pun tiada berapa tahun di belakangnya menjadi kota modern dalam segala-galanya. Tetapi baru di belakang hari dan THE DAWN memang lahirnya beberapa tahun terdahulu.
Akhirnya, sedang termenung memikirkan bagaimana melakukan Putusan Konferensi Canton, datanglah seorang saudara Tionghoa yang pandai berbicara Inggris buat menemani saya mengunjungi veteran revolusioner Tan Ping Shan. Tan Ping Shan cuma sedikit bisa mengerti bahasa Inggris, tetapi dianggap seorang terpelajar corak lama.
Tiap-tiap ucapan saya tentang kesulitan yang berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan saya sebagai orang asing yang sama sekali belum bisa bicara Tionghoa, apalagi kesulitan yang berhubungan dengan cetak-mencetak dalam bahasa Inggris dan huruf latin, buat huruf Tionghoa memangnya banyak sekali, semuanya itu dibalasnya dengan senyum yang cuma dimilikinya itu, semuanya itu benar, tetapi jangan putus asa! Lihatlah kesulitan kami dalam segala lapangan!”
Tan Ping Shan membantukan kepada saya seorang maha guru yang memimpin sekolah tinggi sendiri. Dulunya dia seorang guru dalam bahasa Inggris pada salah satu sekolah tinggi Zending dan memogoki serta meninggalkan Sekolah Zending itu bersama-sama beberapa muridnya. Sambil mengandung penghargaan besar saya dengan Prof. Huang, ialah pembantu tadi, memasuki kota Canton dengan jalan besar dan kecilnya. Akhirnya kami berada di muka satu percetakan, berbisik-bisik, menggeleng-gelengkan kepala dan senyum Prof. Huang menoleh kepada saya, Pencetak ini memang kawan kita! Percetakan raksasa bisa kita percayakan kepadanya: THE DAWN pun bisa dicetak disini. Tetapi hurufnya tak cukup, “Anyhow” kata Prof. Huang “This is the only one to be found in whole Canton”. Bagaimana juga cuma ini percetakan yang boleh kita pakai diseluruhnya. Canton. Ketawanya Prof Huang istimewa diantara kaum cerdas Tionghoa seolah-olah mau mengatakan buat Canton ini sudah luar biasa apa boleh buat. Di sini sajalah kita suruh kerjakan.
Saya merasa lega! Sedikitnya satu pekerjaan penting sudah bisa dijalankan. Majalah itu saya anggap satu alat yang bisa memperhubungkan batinnya sebahagian buruh Asia yang dimaksudkan. Sebelumnya majalah itu keluar, susahlah pekerjaan yang lain-lain bisa dijalankan! Majalah adalah langkah pertama!!
Alat yang lain buat meneruskan perhubungan adalah bahasa pengantar. Walaupun ada paham yang hendak kita maksudkan, tetapi kalau bahasa pengantar paham itu tidak cukup dikuasai, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita. Bahasa pengantar itu adalah bahasa Inggris! Saya pikir, kalau sesudah dua tiga bulan berusaha benar-benar buat mempelajari bahasa Jerman, saya sudah bisa menulis dan berpidato dalam bahasa Jerman sederhana, dalam Kongres Internasional, masakan saya tak bisa mendapat hasil sedemikian dengan bahasa Inggris! Demikianlah saya pengaruhi diri saya sendiri!
Rencana saya sudah siap! Usaha belajar saya pusatkan kepada Grammar ilmu sarap. Disamping itu saya coba mengikuti kejadian sehari-hari di Tiongkok, tetapi pula mempelajari bahasa Inggris disamping oleh keinginan yang keras mengetahui kabar Tiongkok tadi.
Tetapi ada beberapa faktor yang kurang saya perhatikan. Pertama bahasa Jerman, saya pelajari di tengah-tengah masyarakat Jerman, sedangkan bahasa Inggris terpaksa saya pelajari ditengah-tengah masyarakat Tionghoa. Kedua dan lebih penting lagi, iklim Jerman, walaupun di musim panas, sungguh segar bugar buat diri saya, menimbulkan nafsu makan terus-menerus, serta nafsu kerja dan kegembiraan. Sedangkan Canton yang takluk kepada Continental elimate iklim benua mengherankan sekali. Buat saya seolah-olah dapur roti di musim panas, dan kamar es di musim sejuk. Pula saya belum meleburkan diri dengan masyrakat Tionghoa, belum mengetahui “filsafat” makannya orang Tionghoa yang mencocokkan makannya dengan musim negerinya. Saya kenal cuma restoran Boston yang dikuasai oleh orang Canton yang kembali dari Amerika barat. Penuh gemuk, tak baik buat kita di musim panas. Walaupun kepala saya mulai pusing-pusing nafsu makan kurang demi kurang tidur larut demi larut demi larut malam, saya “bunuh”. Waktu yang memang ditengah-tengah masyarakat serba asing, “dengan menguasai bahasa Inggris”, dengan membaca sebanyak-banyaknya.
Nafsu makan makin kurang, tidur semakin larut malam, kepala semakin pusing, dan batuk mulai timbul. Semua menandakan bahwa kesehatan saya mulai merosot. Waktu sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Tetapi THE DAWN belum juga siap, Prof. Huang makin susah dijumpai. Dia terpaksa berpergian mengumpulkan uang buat sekolahnya yang dalam 1001 kesulitan pula.
Zoonder Prof. Huang, saya tak dapat berbicara dengan tauke cetak.
Satu kemajuan, tetapi cuma satu. Saya coba mengarang dalam bahasa Inggeris, tentang pemogokan di Shamsen, tempat istimewa buat orang Eropa di tengah-tengah kota Canton. Karangan itu saya perlihatkan kepada seorang yang lama tinggal di Amerika, dan paham benar dalam bahasa Inggris. Beginilah baiknya buat kaum buruh, yang tentulah Inggrisnya tak begitu dalam, katanya saudara memakai kalimat pendek-pendek dan perkataan mudah dimengerti. Saya minta buat saya sendiri, saudara menuliskan pemandangan buat seluruh Asia, kata dia pula.
Yang penting buat saya, ialah saya sudah sampai ketika dimana saya dengan “basic English” ialah Inggris sederhana sanggup berhubungan batin dengan para pemimpin buruh di Asia. “Basic English” banyak dipropagandakan di Tiongkok. Dengan mengetahui lebih kurang 800 kata pokok dalam bahasa Inggris kita sanggup menguraikan apa saja pikiran kita dalam bahasa itu asal kita pegang teguh hukum bahasanya. Tetapi saya belum puas dan tak bisa puas dengan basic English saja. Buku, majalah dan surat kabar Inggris tiadalah tertulis dalam basic English akan tetapi setelah saya sampai ke tingkat sedemikian dalam bahasa Inggris dan sudah siap pula beberapa artikel dalam bahasa Inggris buat THE DAWN, percetakan masih lenggang lenggok saja seperti gerobak rusak. Jilid pertama belum lagi habis setengah hurufnya tiada cukup. Perkataan “pacific” umpamanya, ditulis PacifiC, karena kekurangan huruf c kecil. Begitulah satu kata pernah ditulis dua tiga huruf besarnya. Janggal dipandang mata tetapi yang lebih buruk ialah sesudah tiga bulan belum juga selesai satu jilid. Saya merasa susah menanggung jawabkan ke Moskow yang tentu tak bisa tahu keadaan yang sebenarnya!
Pembantu baru Tionghoa, bekas murid sekolah Amerika di Tiongkok yang bagus Inggrisnya dan istimewa buat THE DAWN saja, akhirnya saya dapat dengan susah payah. Tetapi belum lagi dua hari disamping saya, dia sudah hilang, menghilang saja ditarik oleh berbagai organisasi di Canton untuk bahagian Inggris. Memang kekurangan tenaga di segala lapangan. Kurang huruf, kurang tenaga, kurang segala-galanya.
Sering kalau tak ada pembantu dengan kepala pusing di panas terik saya pergi mengunjungi tauke percetakan buat menemukan senyum menandakan pekerjaan belum selesai. Tidur saya semakin kurang dan bangun semakin pagi, terus menerurs berhari-hari. Baru pada suatu pagi sesudah mandi semua badan merasa beku. Mungkin juga sebentar saya tak sadar diri. Membaca sebarispun saya tak sanggup lagi!
Saya pergi ke seorang Dr. Tionghoa, Dr. Lee. Dr. Lee sering mengobati Dr. Sun, keluaran universitas di Jerman. Dia dibantu oleh dua orang temannya memberikan suntikan kepada saya. Mulanya satu suntikan, tetapi sesudahnya itu berturut-turut tiga, empat suntikan dilakukannya di beberapa tempat di badan saya.
Saya memang merasa lain daripada biasa! Dr. Lee berkata: “Saya tadi kasi Gold injection, suntikan emas. Tetapi pols tuan berhenti beberapa detik lamanya. Kemudian berturut-turut kami lakukan suntikan anti racun!
Saya jawab: Ya, mulanya tuan suntikan disini, kemudian disana, dan lain sebagainya.
Kata Dr. Lee pula, tetapi kami sangka tuan sudah meninggal. Polsnya (pergelangan) tak berjalan lagi. Tidak lekas rupanya tuan kehilangan akal.
Dr. Lee rupa hilap, dia sangka saya diserang penyakit tubercolose (sakit tering). Pada masa itu baru pula dia membaca teori  baru tentang suntikan emas, pendapatnya seorang Dr. Swedia. Memang, kalau benar saya diserang tubercolose, tak ada keberatan saya menjadi “proefkonin”. Tetapi persangkaan  itu salah!
Besoknya saya minta nasihatnya Dr. Rummel, dokter Jerman yang sudah lama bekerja di Canton. “Apakah yang menyusahkan hati tuan?” demikianlah pertanyaan Dr. Rummel itu. Saya dinasihatkan berhenti sama bekerja sama sekali. Walaupun membaca. Sebaiknyalah tuan pergi tinggal di tropic, di negeri panas, beristirahat”, dinasihatkan Dr. Rummel. Istilah yang dipakai buat penyakit itu ialah “physical breakdown”, kelumpuhan tenaga. 
Pergi beristirahat itu juga sudah dinasihatkan oleh Dr. Lee. Demikianlah saya pergi kepada Dr. Lee buat meminta keterangan dengan surat, bahwa saya memerlukan beristirahat. Keterangan Dr. Lee, bersama surat saya kepada pemerintahan Hindia Belanda, itulah yang dimaksudkan oleh ENCYCLOPAEDIE dalam catatan diatas. Surat itu saya kirimkan kepada PKI sambil meminta pertimbangan partai, apakah surat itu akan diteruskan atau tidak sebagai siasat maka surat itu diteruskan. Jawaban pemerintah Hindia Belanda kepada saya dengan perantaraan PKI sama sekali tiada memuaskan. Jawaban pemerintah itu saya jawab pula. Jawaban inilah yang menimbulkan topan di dalam cangkir. Salah satu surat kabar Belanda yang berani mengumumkan balasan saya itu kabarnya mendapat rintangan dari pemerintah HIndia Belanda! Surat itu bukan berwujud minta ampun, seperti cemohan salah satu pihak, yang dibantah almarhum Subakat dalam surat kabar API. Baik juga hal tersebut dijelaskan disini buat kebenaran, walaupun sesudah terpaksa didiamkan saja selama lebih dari dua puluh tahun.
Negeri tropic itu bukannya Hindia Belanda saja, Siam, Birma, Annam, Filipina dan Malaya, semuanya negeri di bawah khatulistiwa. Semuanya itu tertutup buat saya oleh pemerintahnya, tetapi kuncinya ada di tangan sendiri, pada kesanggupan menerobos. Yang pentingnya buat korespondensi dengan pemerintah Hindia Belanda itu bukannya tempat, melainkan “fair play” yang terpaksa dinyatakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, bahwa dia tidak memiliki sifat semacam itu. tulisan almarhum Subakat berhubung dengan korespondensi itu juga berpusat pada sifat unfair “tak satria” itu. Itulah asalnya usul mogok sebagai protes yang dikemukakan oleh PKI dan Serikat Sekerja, seperti tersebut dalam ENCYCLOPAEDIE diatas.
Tiada penyakit itu saja yang mendorong saya pergi ke khatulistiwa. Berturut-turut saya mendapat kawat dari selatan meminta saya datang. Tak pula diterangkan dan tentulah tak pula bisa diterangkan apa maksudnya. Saya cuma tahu, bahwa pada tahun 1925 itu PKI menghadapi suatu krisis yang hebat. Kawat memang tak memperdulikan antara 2500 km, ataupun lebih. Tetapi buat orang lemah yang tak sanggup berjalan 2500 km, yang tak mempunyai negara dan paspor 2.500 km yang digenangi air laut, bukanlah perkara kecil.
Segala macam suntikan dari Dr. Filipina, Dr. Inggris dan Dr. Portugis di Hongkong saya coba. Pun obat dukun Tionghoa dan nasihat pelaut Tionghoa di Hongkong pertama kali saya alamkan. Maksud saya ialah buat mendapatkan kekuatan untuk mengarungi lautan.
“Stow a way” penumpang sembunyi di dalam kapal, adalah seorang yang melakukan pelanggaran yang oleh hukum internasional dianggap berat sekali. Buat saya bahayanya kalau ketahuan tiada saja kemungkinan buat di penjara, tetapi juga dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda. Pelajaran seperti “Stow a way” yang dekat sekali saja, kalau saya mau meriwayatkannya akan memerlukan satu buku.
Buat orang yang sehat saja, orang Eropa pula dan dalam kapal Eropa pun, berlayar sebagai “Stow a way”itu jika sampai ke tempat yang dituju, sudah mesti mengalami 13 macam kesukaran, yang berhubungan dengan tempat, makanan, pemeriksaan dan sebagainya. Apalagi penderitaan yang mesti dialami oleh seorang Indonesia yang lemah, diantara ribuan penumpang Tionghoa Totok, rapat seperti ikatan sardencis, pada tempat yang teralih-alih tak keruan jalan dalam kapal buat menyingkiri pemeriksaan surat cacar, surat pos, surat keterangan lain-lain di semua pelabuhan yang dikuasai oleh Inggris. Pendek kata orang mesti bergembira kalau sampai dengan selamat, tiada mati kelaparan. Di dalam tempat bersembunyi dalam kapal.
Saya sampai ke salah satu tempat di Selatan, buat berjumpa dengan para teman. Tetapi belum lagi saya mengecap hawa chatulistiwa, datang pula kawat melalui 2500 km lagi. Saya diminta datang dengan segera, berhubung dengan kedatangan wakil Provintern dari Moskow, yang mau berjumpa dengan saya di Tiongkok Canton. “Dengan segera” itu buat orang yang tak tahu keadaan yang sebenarnya, tentulah berarti cuma dua-tiga hari saja. Tetapi buat orang  yang lengkap mempunyai syarat saja, pelajaran itu lebih kurang membutuhkan satu minggu. Buat saya waktu itu tak bisa lebih cepat dari pada dua minggu. Itupun sudah dengan segala tenaga yang ada pada saya dan memakai semua kemungkinan.
“Beck of” kata bahasa asing, kehabisan nafas sesudah dua minggu, maka saya tiba  di Canton. Tetapi orang yang memanggil saya sendiri rupanya sudah dipanggil pula buat kembali, yang dikejar tiada dapat yang dikandung berceceran.
Perkara antara alat kerja dan kesehatan semuanya menjadi sebab, maka kesehatan yang sedikit kembali disebabkan hawa “tropic” tadi hilang lenyap sama sekali, dan saya jatuh kembali tak berdaya. Tak ada gunanya baik buat diri saya sendiri maupun buat organisasi, untuk saya terus tinggal di Tiongkok. Sesudah saya bereskan pertanggungan jawab di Canton, berhubung dengan Buro Canton maka saya berusaha masuk Filipina untuk beristirahat.
Memasuki Selatan, dengan tiada mempunyai syarat yang cukup, buat seseorang sudah amat susah, berhubung dengan pembatasan pemasukan orang Tionghoa. Tetapi memasuki Filipina, dengan Emigration Law American-nya adalah perkara yang lebih susah lagi. Perlu penyelidikan yang seksama terlebih dahulu. Teristimewa buat saya perlu sekali suntik extra seolah-olah bola yang sudah kempis, harus dipompa lebih dahulu.
Suntikan extra, penyelidikan seksama untuk mempelajari caranya masuk Filipina, saya peroleh di Hongkong pada satu asrama Filipina. Nona Carmen, puteri seorang bekas pemberontak di Filipina, yang dengan ibunya menyelenggarakan asrama itu, berkenan memberi petunjuk yang berharga dalam hal lalu lintas dan cara hidup di Filipina. Berkenan pula memberi pelajaran bahasa “Tagalog”. Kalau bahasa Jerman dan Inggris bisa saya pelajari dalam dua tiga bulan, masa bahasa “Tagalog” salah satu suku Indonesia, akan ingkar!
Pengetahuan saya tentang jalan ke Filipina dan caranya menyesuaikan diri dengan orang Filipina setibanya disana dapat pula saya sempurnakan, selain dengan perkenalan dengan para tamu di asrama tadi, juga dengan perkenalan  luar biasa dengan seorang musafir terpelajar. Bersandar ke perjalanan saya atas firasat mengukur orang dengan kesan yang saya peroleh dari wajahnya saja, maka pada suatu hari saya terangkan seperlunya saja keadaan saya kepada musafir tadi dengan maksud minta penerangan yang jelas. Tiada sia-sia dan diluar dugaan saya, dia buktikan bahwa dia seorang penganut kesatuan bangsa Indonesia, pernah berbicara di muka para pelajar Indonesia di Nederland, dan diusir secara halus oleh pemerintah Nederland disana. Dia perlihatkan kepada saya daftar tanda tangan orang Indonesia di Nederland dalam buku peringatannya, daftar nama didahului oleh nama Semaun, diikut oleh Mr. Subardjo, Mr. Moh. Natzir dan lain-lain. Inilah sahabat karib Filipina yang pertama, yang jujur setia berhubungan rahasia dengan saya, dimanapun saya berada, sampai perang dunia II meletus, Dr. Mariano Santos namanya keluaran universitas Filipina, sudah meneruskan pelajaran ke Amerika, baru saja kembali dari perjalanan keliling Eropa, bakal menjadi wakil presiden Manila University.
Akhirnya buat berpendek kalau, pada suatu hari permulaan bulan Juni 1925, saya meninggalkan pelabuhan Hongkong, menumpangi kapal Samudera, salah satu kapal Presiden, bersama-sama dengan para penumpang lain dari semua bangsa di dunia, terutama bangsa Amerika dan Filipina. Dengan cara hidup di Eropa sebagai pengalaman, pengetahuan dalam dua tiga bahasa di Eropa terutama Inggris dan pengetahuan sekedarnya bahasa Tagalog dan last but not least bentuk warna badang dan muka yang 100% Filipina, bahkan lebih asli dari 20-30% Filipina campuran, maka bersenjatakan semua alat tersebut dalam percakapan “conversation” menjual lelucon “telling a joke” ala Amerika, bahkan pula dalam ikut serta berdansa, maka rupanya tak tampak kesangsian bahwa penulis ini benar seorang Filipina pulang ke negerinya.
Semua pemeriksaan surat cacar “pemeriksaan pasport” (yang tiada pada saya) pemeriksaan barang di duane, biasanya dilakukan dengan sangat teliti oleh pegawai Filipina, bisa dibereskan dengan lagak humbugnya. Pelajar Filipina pulang dari “United States” atau dengan lemah lembut kalau perlu dengan gerak sambalnya boxer Filipino dalam bahasa Tagalog, semuanya cocok dengan keadaan. Kunci rahasia buat semuanya ini ialah pertama jangan gentar menemui sesuatu, dan kedua tingkah laku jangan dibuat-buat.
Semuanya beres, lancar, memasuki beberapa lobang yang biasanya tak mudah diselundupi, apalagi tak dengan beberapa surat sampai akhirnya naik ke rumah orang tuanya Nona Carmen di Santa Mesa, disekitarnya kota Manila. Disinilah beristirahat seorang Filipina kembali dari “Negeri Asing” yang sudah lama ditinggalkannya. Nama Filipina ini “Elias Fuentes” tak lebih. Tetapi tiadalah pula kurang dari penulis ini sendiri! Kasihan Emigration Law buatan Amerika itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar