Kamis, 07 April 2016

Filipina

Bagaimanakah rupanya Filipina, sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya pertanyaan yang timbul dalam hatinya seseorang yang mengenai sejarahnya Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar sejarah.
Dalam salah satu buku sekolah di Filipina tergambar “the first Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang mendayung perahu. Perhubungan politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di sejarah Filipina.
Bukanlah maksud tulisan ini hendak memberi jawaban yang sempurna terhadap pertanyaan diatas dalam arti politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang pandang atas Negara yang sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk lebih kurang 10 juta itu, dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya kira-kira 400 tahun di bawah Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan republik dalam artian modern di seluruh Asia, ialah pada masa revolusi 1898-1901.
Bumi iklim Filipina, kalau ada mengalami perubahan semenjak 450 tahun tentulah tiada seberapa, kecuali hutan rimba sudah dijadikan sawah ladang. Tetapi alat bekerja, perekonomian dan kebudayaan sudah mengalami perubahan yang dalam dan luas sekali. Manusia Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya, dalam arti perubahan alam-alat perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga mengalami perubahan.
Sama sekali tak ada beda rupanya tani desa Filipina daripada tani di Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak, Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan bangsa: bentuk badan dan muka, perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata dan rambut. Dalam hal ini tani Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke kota Bato di Mindano, sama dengan penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.
Tetapi di kota-kota seperti Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang Filipina yang sudah menerima darah Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya, sebagai hasilnya campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda.
Tetapi itu cuma terdapat pada kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan Pedro yang bekerja pada pelabuhan, kereta api dan bengkel di kota Manila sebagai kaum buruh, tak ada bedanya sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan atau Surbaya.
Bolehlah dikatakan lebih tinggi kita naik dalam tangga politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata warna kuning sampai putih. Lebih rendah turun tangga tersebut, lebih nyata warna coklat, ialah warna terbanyak diantara Indonesia asli. Lebih tinggi kita naiki tangga politik dari anggota Indonesia asli. Lebih tingi kita naiki tangga politik dari anggota Haminte sampai Majelis Rendah dan Tinggi, dari Walikota sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan campuran tiga bangsa, kaum Mestiza itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti perkebunan, pabrik dan perkapalan, kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi kalau saya tidak salah, maka dalam kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak kurang banyaknya dengan warna kuning atau putih.
Kedudukan tinggi yang didapat oleh kaum Mestiza itu adalah akibat  revolusi politik di Filipina, yang dipandang dari penjuru politik sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut ekonomi.
Hampir 100% dari “Veterano” ialah bekas prajurit revolusi tahun 1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol, kemudian melawan Amerika, terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu sendiri ialah Andres Bonifacio, yang menurut keterangan seorang veteran revolusi yang kenal sama Bonifacio kepada saya, adalah orang Indonesia asli dari kampung Tondo, di sekitar Manila. Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo, Menteri Luar Negeri yang termashur ialah Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina” Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan kalau ada campuran darahnya, maka bolehlah dikatakan amat tipis sekali. Revolusi Filipina adalah revolusi buruh tani dibawah pimpinan sebahagian inteligensia yang benar-benar revolusioner.
Tetapi dengan tertangkapnya Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka pimpinan revolusi menjadi pecah belah, dan perang gerilya tak dapat diteruskan. Aguinaldo mengangkat sumpah di depan kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari politik, selama Filipina berada di pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam dan mati di sana bersama banyak kawannya yang tak mau damai dengan Amerika. Jenderal gerilya seperti Ricarte bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana sampai Filipina menyerah kepada Jepang. Andres Bonifacio yang pertama mengibarkan bendera kemerdekaan dan menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh, katanya diserang oleh prajurit Aguinaldo, di masa revolusi.
Demikianlah, mereka yang paling terkemuka dalam revolusi, tak mengambil bahagian dalam pemerintahan Amerika di belakang hari. Dan yang paling terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa, sebahagian besar terdiri dari Indonesia asli.
 Karena di masa Spanyol, anak hartawan Spanyol dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah menengah dan tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang didapat oleh imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir semua sektor administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi warga negara dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping itu, kebun, pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli oleh Mestiza ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap genap ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani, sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang terjual atau tergadai. Kata orang Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang mendapat getahnya.
Tetapi tiadalah sempurna gambaran diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum Mestiza memakai rakyat asli untuk merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian membelokkan mereka ke bawah imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti tersebut di atas adalah menurut proses alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan, ialah rakyat asli, karena merekalah yang paling tertindas sebagai buruh dan tani. Buruh dan tani memili para pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum inteligensia asli, karena merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah mereka, dan sama merasakan getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas dan tertindas di Filipina, walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak persamaan. Persamaan itu terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan berdasarkan agama Kristen itu yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam agama dan kebudayaan  itulah pula yang mengaburkan atau melenyapkan perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan Mestiza, dan menarik Mestiza golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah, maka kita bisa menyaksikan, bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti: Jenderal Luna, juga seorang Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di masa revolusi baru berumur 24 tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat merebut pangkat mayor dan amat dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza sejati, campuran darah Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis masih di sana (tahun 1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai atau dibenci oleh rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan Mestiza bukanlah satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi derajatnya di masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest, pada tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan. Indo Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya, lebih suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri. Semuanya berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan Mestiza dalam ekonomi, sosial dan politik.
Rasanya tiada berapa jauh dari kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal dan lebih bercampur dengan  rakyat asli daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas, banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.
Berhubung dengan persamaan bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu, maka tiadalah pula mengherankan kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika memasuki kantor administrasi pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan tiada mendapat gangguan dari rakyat jelata.
Kalau ada pertentangan dengan kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di belakang ini, maka pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan  itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan buruh Indonesia (Filipina asli) dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang terbanyak memiliki tanah (harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain) perkapalan dan lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan anti-Mestiza, karena golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari proses proletarisasi.
Dalam revolusi sedang memuncakpun kaum revolusioner Filipina tiada memusatkan serangannya atau memekikkan semboyannya terhadap warna asing. Cerita yang lazim didengar di Filipina, dan penyaksian yang dituliskan oleh peninjau Amerika sendiri, mengatakan bahwa hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan oleh prajurit Filipina dengan baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya, sesudah dilucuti senapannya. Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena prajurit Filipina cuma memerlukan dan gemar bertempur dengan bolo, ialah parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya, takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak dikembalikan ke  daerah Spanyol. Tetapi kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.
Jika di masa sebelum Perang Dunia II buruh tanah terutama di daerah Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan Sakdalista, dan sesudah perang dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan Hukbalahap terus menerus mengadakan serangan terhadap tuan tanah (hazienderos), maka ini cuma memberi bukti, bahwa revolusi agraria di Filipina pada tahun 1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya itu masih saja belum selesai.
Sekianlah tinjauan secepat kilat atas revolusi di Filipina yang paling besar dan paling belakang. Rasanya disamping tinjauan kilat ini perlu pula diperpenuh gambarannya dengan beberapa bukti terkhusus (detail).
Pemuda Filipina di masa sekarang berhak bangga atas 300 revolusi yang besar kecil, diantaranya 150 yang agak besar, yang dilakukan oleh rakyat Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari imperialis Spanyol yang kolot kejam itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya bilang “berhak bangga”, karena revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu, adalah lukisan yang paling sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau dijajah itu. Tetapi tiadalah kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi. Marilah kita ambil beberapa bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir yang wujudnya merobohkan imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).
Dengan revolusi terakhir ini tiada bisa dipisahkan nama “La Liga Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal (baca Hose Rizal).
Untuk berpendek kalam dan memberi penerangan yang sekedarnya tepat, baiklah saya mulai dari sejarah episode Filipina ini dengan perbandingan La Liga Filipina kita bandingkan dengan “Studieclub” yang di belakangnya ditukar dengan P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter Rizal kita bandingkan saja dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.
Perbandingan itu harus dianggap cuma sebagai daya upaya memberikan penjelasan dengan pendek dan tepat saja. Sekali-kali bukan buat menyamakan gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr. Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi, iklim, kebangsaan dan pertanian Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali persamaannya. Tetapi dalam hal luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan kebudayaan, pada permulaan abad ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan dengan Filipina pada abad ke 19 itu.
Bermula, maka La Liga Filipina yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina pada penghabisan abad ke 19 itu (1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu “Party of reforms” partai kaum Koperator, kaum reformis.
Maksudnya ialah memajukan Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan dalam perekonomian, pertanian dan perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga Filipina tiadalah menolak kerja bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli sejarah barangkali ada faedahnya membandingkan program dan sepak terjangnya La Liga Filipina dengan Studie Club, Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang dikantongi oleh kasta pendeta tuan tanah Spanyol di Filipina, maka dari semulanya berdiri La Liga Filipina dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di Filipina itu...sampai waktu pembubarannya.
Pendiri La Liga Filipina ialah Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak saja sama bertitel Dr. tetapi juga sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom kita dalam hal kedokteran. Tetapi tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr. Rizal dalam hal itu. Sesudah mendapatkan titel Dr. di Madrid, dia juga mengunjungi Universitas di Paris dan Berlin dan mendapat pujian  pada ketiga tiga perguruan tinggi tadi. Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang putri Jerman yang oleh Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati lagi, dilebih-lebihkan (saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya), tetapi di Filipina Dr. Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok. Tatkala ia berada di pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul Perancis dari Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit mata, yang tak bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa melihat, dan mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat kembali matanya (terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi pengagum dan pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya, menjadi teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina bertempur, setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.
Perkara intelek! Dalam buangannya di Dapitan, setelah menyaksikan kurang banyak dan kurang bersihnya air, maka sesudah sebentar mempelajari pengairan, Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan alat sederhana. Pekerjaan ini sangat dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri. Selain membasmi buta huruf di antara kanak-kanak yang dicintainya sampai ke tulang sumsumnya di tempat yang suci itu, Dr. Rizal mulai mengadakan pemeriksaan secara ilmu, tentang tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang belum dikenal oleh para ahli di masa itu, dikirimkannya kepada sahabat karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?). Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping Rizalia. Sebagai ahli gambar dan ahli arca, Dr. Rizal  mendapat hadiah dalam pertunjukan di Paris. Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya dan bisa dipakainya buat bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli Me Tangore” dan “Filibus Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh bangsanya, tetapi musuh mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang dikarangnya beberapa jam sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap sebagai warisan yang tak ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.
 Dengan Pak Tom kejujuran Rizal terhadap prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak persamaan. Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri, dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.
Pak Tom tak mendapat ujian langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal lulus dalam ujian itu, dan mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan ketenangan dan ketabahan yang tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun dan di abad manapun juga. Kalau ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu cuma bisa didasarkan atas terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur berhadapan dengan lawan yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular menjalar di bawah rumput.
Anaknya tani tengahan di desa Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah masyarakat dan keluarga yang beragama Katolik, agama yang rakyat jelata di Filipina memang dijunjung tinggi sekali dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal thabib pembentuk Filipina ini, yang dari pihak para pendeta ada terdengar tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.
Tetapi diukur dengan jangka kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx, Lenin, ataupun colleganya di tepi sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan Dr. Rizal adalah seorang intelek yang besar dalam semua lapangan ilmu yang ditempuhnya, dia bisa juga menyelami jiwa rakyat jelata sebagai pengarang. Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat dalam pergerakan revolusioner. Buat Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung kepada banyaknya para intelek dan melek huruf di Filipina, kuatnya perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina dan terutama pula pada persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa dinamiknya revolusi bisa menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa menentang senjata yang lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat membangun dalam segala lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu diduga, ditaksir, dibangunkan dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur, mengerti dan terdisiplin. Semua ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr. Rizal oleh karena kurang perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula sebab Dr. Rizal selalu diawasi oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka pengalaman tak sampai membuka matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut. Dr.Rizal tetap tinggal seorang intelek yang agak terpencil dari Murba.
Hal ini terbukti di masa pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal dengan La Liga Filipinanya dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan, maka pemimpin yang ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi terang-terangan, walaupun dengan jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina rupanya insyaf akan keadaan dan mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari satu kumpulan yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya mengikat kaum revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga buruh di Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru tulis kecil dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk membantu adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari pengetahuan tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan pengetahuan tentang masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan membaca buku-buku revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan rumahnya digeledah, maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi Perancis.
Sepeninggal Rizal rupanya ia giat bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia merasa cukup kuat, dan mengirimkan beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.
Demikianlah pada suatu hari tiba di Dapitan beberapa orang, mengantar seorang “sakit mata”, seorang buta minta obat kepada thabib Rizal. Si “Buta” dan satu dua orang pembimbing diizinkan oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr. Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah membuka matanya dan mengajak sang thabib berunding tentang revolusi di kamar pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La Liga Filipina! Sekarang Andres menganggap waktunya sudah sampai untuk mengibarkan bendera kemerdekaan dengan Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi. Andres sudah siap buat menyerbu dan siap pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan dengan pasukannya secara diam-diam asal saja Dr. Rizal mengizinkan lebih dahulu.
Dr. Rizal intelek kaliber internasional universal, tercengang dan menolak usulan Andres Bonifacio, dengan mentah-mentah. Keberatan yang terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat Filipina dalam hal persenjataan.
Sebenarnya “kekurangan”  itu adalah kekurangan dari bangsa dan semua golongan tertindas dan pemberontak dari jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai sekarang, melalui revolusi Perancis sendiri, revolusi Rusia dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum pernah bangsa atau kasta terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai persenjataannya bangsa atau katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu intelek kaliber internasional menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau bangsa atau kasta tertindas itu bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya dalam hal persenjataan, bukanlah dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia yang tertindas. Persamaan atau kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau sesudahnya itu, tak pernah sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya bersifat sosial ekonomi atau kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.
Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan oleh si “Buta” yang sekarang lebih “Melek” daripda “Melek” dan heran tercengang-cengang mendengar putusan Dr. Rizal tadi. Setelah jawab tadi disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo, keluaran sekolah rendah, dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah Dr. Rizal membaca semacam itu? Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres Bonifacio hilang kehormatan dan hilang kecintaan kepada seorang yang dianggapnya guru dalam beberapa hal! Keterangan tulisan ini kelak akan membuktikan!
Setelah perang Amerika-Spanyol meletus, maka Dr. Rizal menawarkan dirinya menjadi palang merah di Cuba. Tawaran itu diterima oleh pemerintah Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba. Tetapi para pendeta di Filipina segera menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil kembali. Di Hongkong dia disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di pelabuhan Manila polisi rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta memasukkan surat palsu ke dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk menjerat Dr. Rizal ke dalam urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata komplotan tadi ada hubungannya dengan Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki disiksa sampai pingsan dua kali berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi terhadap saudaranya. Tetapi adiknya tetap menyangkal.
Rizal ditawan dan dibawa ke hadapan pengadilan, dituduh sebagai pendurhaka yang bermaksud merobohkan pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang dilakukan sama  sekali tidak memenuhi syaratnya pengadilan modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap buat dihukum dan dalam hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal dihukum tembak!
Pada malam penghabisan Rizal mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”, warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”, dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina, meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.
Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan dan digiring ke lapangan Bagumbayan buat ditembak mati dan ditontonkan kepada khalayak yang terdiri dari bangsa Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan penuh sesak wanita dan para pembesar Spanyol, ingin dan gembira melihat robohnya seorang putra bumi yang berani menentang kekuasaan Spanyol.
Jose Rizal berjalan dengan langkah yang tegap, di waktu udara masih sejuk dan embun membasah mukanya untuk penghabisan. “Alangkah indahnya pagi hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut seorang pendeta dikanannya, lebih indah lagi kalau sekiranya.......kalimat pendeta yang baik budi ini tak bisa dilangsungkan, karena dia dipisahkan daripada Rizal oleh pengiring berpakaian dinas.
Rombongan yang akan menembak sudah siap, barisan depan yang akan melepaskan tembakan terdiri dari bangsa Filipina. Barisan belakang dari serdadu Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau serdadu putra bumi ingkar menembak seorang pemimpin bangsanya!
Dr. Rizal memprotes kepada komandan rombongan penembak, ketika mau diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu janganlah kepala saya ditembak”, kata Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya kesatria Filipina berdiri di tengah lapang seolah-olah dia menentang kekuasaan Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan, kerobohan badanku itu akan membawa kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.
Seorang thabib Spanyol tercengang melihat ketenangan colleganya. Ia meminta izinnya komandan untuk memerilksa pols (pergelangan) thabib Filipina dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala merasai pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh kelihatan berusaha berputar beberapa kali, mendapatkan cara berbaring yang dikehendakinya berlaku. Dia berbaring dengan muka yang tiadar rusak, menghadap ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya itu oleh bangsa Filipina yang takjub dan berterima kasih didirikan tugu peringatan. Tempat tragedi ini sekarang dinamai lapangan Luneta.
Adalah diantara penonton yang tidak dikenal oleh ramai, tetapi diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang: Andres Bonifacio, bekas sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin Katipunan, menantikan saat buat menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi rombongan yang disampingnya sudah lama siap buat membatalkan maksud yang dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang lebih baik buat menyerbu, sekali jalan, serentak. Dengan air mata berlinang-linang, serta gigi yang menggertak, sedangkan bolo terpaksa bernaung tinggal disarungnya saja, maka Andres menurutkan nasihat para pengikutnya, dan melihatkan guru dan teman seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin pertolongan.
Tetapi tiadalah lama bolo itu bersemayam dalam sarungnya. Apabila saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres Bonifacio pertama kali menghunus bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan kecil tetapi nekad menyerang benteng Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun 1898 (?)
Saat ini nyata tepat dipilihnya di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi oleh pulau-pulau lain di Filipina, berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti pekik Andres Bonifacio, pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga, pengharapan yang akhirn buat kita telah tiba saatnya”!
Di mana-mana timbulah barisan gerilnya. Hampir di semua medan pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol mengundurkan diri atau menyerah. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir Filipina adalah bermacam-macam, dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan bacalah surat kabar di Eropa ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan kagum menyaksikan kecerdasan, ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di Lautan Teduh yang selama ini tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan dirinya ke dunia luar dengan suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan besar. Nama barisan dan pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal Luna, Malvat, Ricarte dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di kepulauan Filipina. Di atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo, bekas guru desa cakap, tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat gerilya yang paling ulung.
Akhirnya tentara Spanyol terusir dari semua pelosok, kecuali dari Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika Serikat tiba dengan armadanya di pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan. Setelah maks ud imperialis itu nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan laskarnya menghadapi tentara Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun lamanya perjuangan yang sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan kemerdekaan menghadapi dua negara besar yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup pengalaman di lapangan kemiliteran, banyaklah yang terjadi di kalangan kaum pemberontak sendiri. Dalam kalangan yang tersebut belakangan ini timbulah perbedaan paham yang kian lama kian menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi permusuhan. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Bonifacio berakhir pada pembunuhan atas dirinya Bonifacio. Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Mabini, menyebabkan yang di belakang ini meninggalkan Aguinaldo.
Menurut terjemahan biasa di Filipina, maka pertentangan dan permusuhan itu semata-mata disebabkan oleh perbedaan perseorangan. Pada hemat saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari perbedaan kemauan dari berbagai golongan yang berjuang, yang diwakili oleh Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.
Ini cuma persangkaan saya saja! Memangnya ahli sejarah Filipina tiada yakin, atau belum mengerahkan perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa yang paling giat membantu masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat mendapatkannya. Tetapi ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau tiada pada permulaan mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan borjuis Filipina yang agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang radikal demokrasi serta sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat murba di kota dan di desa.
Pada pertengahan revolusi, bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan dan pembuka revolusi agak terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak mendapat kemenangan gemilang di pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio kurang pertempuran atau kurang keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang rupanya lebih dimiliki oleh Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik revolusioner memangnya berada di tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum pemberontak bisa bersatu dengan menyerahkan urusan partai politik kepada Bonifacio, urusan kemiliteran kepada Aguinaldo dalam satu koordinasi yang meliputi seluruhnya gerakan revolusioner! Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat Filipina di masa itu rupanya belum pula mengizinkan timbulnya semangat dan pengalaman yang perlu buat koordinasi dalam organisasi, politik dan militer. Keadaan kerja rahasia di bawah imperialisme Spanyol yang mashur kejam itu, tak pula mengizinkan organisasi kuat dalam aksi di bawah tanah itu. Kaum Revolusioner terpaksa kerja dengan rombongan kecil-kecil terutama di kota-kota dan tak bisa banyak tahu menahu satu sama lainnya.
Pada satu permusyawaratan maka Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan Mabini sebagai Menteri Luar Negeri. Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama sekali tidak membayangkan perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan Aguinaldo dengan golongan Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili oleh dirinya Bonifacio sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke dalam “permusyawaratan”, bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder persiapan  itu, selainnya dihadiahkan satu pangkat “direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga diperdengarkan perkataan penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai pengetahuan.
Tidak saja Bonifacio merasa tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo itu, tetapi juga merasa dihina, Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung, dan pulang meninggalkan “pemilihan” tadi dengan gusar hati.
Di tengah jalan dia disusul oleh pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari mengadakan perlawanan yang teratur, maka kemenangannya, seandainya bisa diperoleh tidak akan begitu mudah seperti pada permusyawaratan yang diaturnya sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti dicederai, ditikam dari belakang sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!
Dalam pertempuran di tengah perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun buku resmi tiada menerangkan seperti diatas, tetapi bisikan umum memandang peristiwa Bonifacio itu tertera seperti diatas.
Demikianlah matinya guru dan murid, ketua dan sekretaris La Liga Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama tragis, sama-sama mati muda. Tetapi ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh penindas bangsa asing terang-terangan di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio mati dibunuh oleh sewarga seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose Rizal mewakili kaum tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili rakyat murba.
Nyata pula perbedaan itu dimasa peringatan ulang tahun meninggalnya kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang tahun Rizal (31 Desember) kita menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.
  Pada peringatan ulang tahun Kematian Andres Bonifacio (30 November) terutama di pojok-pojok kota Manila, disekitarnya rakyat melarat, orang berpidato berapi-api, mengepalkan tinju, seolah-olah berjanji meneruskan pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai, karena pembunuhan politik atas dirinya.
Memangnya suatu revolusi tiada memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada yang bisa dibunuh dengan tiada menimbulkan akibat yang penting atas sang revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa membunuh golonga serta pemimpinnya, yang selama itu menjadi pendorong revolusi sendiri. Teristimewa pula pada masa hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak bisa membunuh itu harus dipandang dari dua sudut; pertama dipandang dari sudut lahir, kedua dari sudut batin. Dipandang dari sudut batin, karena hasrat golongan dan pemimpinnya yang mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah perjuangan itu kelak, lekas atau lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan dan pemimpin yang terdepan dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama sekali atau sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak saja revolusi akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu juga akan melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau seimbang kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan gagal dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan awak lawan awak itu, maka revolusi  seluruhnya tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah sekali ditaklukkan oleh kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang sebenarnya, tak akan berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada golongan radikal atau pada yang paling reaksioner.
Hal yang terakhir ini kelihatan benar dalam jalannya revolusi Filipina, dibelakangnya peristiwa Bonaficio. Entah karena ia sudah merasa lemah di lapangan militer melawan Amerika, entah karena keduanya kaum borjuis Filipina yang ingin damai, entah karena keduanya, maka Presiden Aguinaldo sudah lama mengadakan perhubungan (rahasia) dengan Amerika. Aquinaldo sudah siap sedia menerima kemerdekaan Filipina yang kurang dari 100%. 
Mabini sudah lama gelisah tentang ini. Mabini adalah seorang ahli Yuris, yang banyak memusingkan kepala laksamana Amerika dalam perdebatan tentang kemerdekaan dan undang-undang internasional, dan tetap berpendirian merebut kemerdekaan 100%. Tetapi karena sebenarnya Mabini baru memasuki gelanggang revolusi dan mungkin juga berhubung dengan terganggunya kesehatannya “subleme paralytic” orang lumpuh yang luhur, menteri luar negeri Filipina ini, belum bisa mendalamkan paham serta pengaruhnya di kalangan rakyat. Setelah pecah kabar, bahwa Aguinaldo hendak mengadakan perdamaian atas perjanjian yang merugikan atas Filipina merdeka, maka ia sebagai Menteri Luar Negeri, mengucapkan, bahwa perdamaian semacam itu adalah tanggungan Aguinaldo sendiri. Jadi bukannya dengan persetujuan Menteri Luar Negeri, ataupun dengan persetujuan rakyat. Sekian Mabini!
Apabila terdengar kabar, bahwa Aguinaldo, terpedaya dan ditangkap oleh salah satu rombongan militer Amerika, maka orang Lumpuh Luhur kian kemari menjumpai dan mengobarkan semangat pasukan dan pemimpin gerilya, untuk meneruskan perjuangan.
 Terkepung pada satu rumah tani bersama-sama kaum gerilya berpakaian tani, maka opsir pemimpin rombongan Amerika berteriak memerintahkan “Semua orang dalam rumah mesti berdiri”. Yang tiada bisa berdiri, ialah orang Lumpuh Luhur, Menteri Luar Negeri Republik Filipina yang pertama, Mabini segera dikenal dan ditangkap.
Aguinaldo, Presiden Revolusi Filipina, pada masa itu (1901) baru berumur lebih kurang 30 tahun, bersumpah kepada pemerintah Amerika tiada akan mencampuri politik, selama bendera Amerika berkibar di Filipina. Dengan subsidi yang besar setiap tahun, presiden pertama di Republik, yang pertama pula timbul di Asia, sampai sekarang hidup dengan damai di tengah ribuan Veteran Revolusi, yang oleh pemerintah Amerika diizinkan melakukan ulang tahunnya.
Mabini dengan ratusan teman seperjuangan yang tak mau bersumpah setia kepada bendera Amerika dibuang ke pulau Guam, yang diamasa itu penuh wabah penyakit dan meninggal di sana.
Dalam perundingan perdamaian di Paris antara wakil Filipina dengan Amerika, Filipina terbelit oleh ular diplomasi dan terjual oleh Spanyol kepada Amerika, Filipina dijadikan “American Protectorate” nama lain untuk status penjajahan.
Demikianlah akhiran sedih tragis Republik pertama di seluruh Asia, Afrika, yang didirikan oleh satu suku bangsa Indonesia di Pacific, yang mengagumkan dan menggemparkan dunia pada akhir abad ke 19.
Rupanya masyarakat dan sejarah Filipina dimasa itu belum membenarkan pembagian pekerjaan serta koordinasi seperti berikut: urusan organisasi revolusioner di bawah pimpinan Bonifacio, urusan negara dan kemiliteran di bawah pimpinan Presiden Aguinaldo, dan urusan luar negeri di bawah pimpinan yuris revolusioner Mabini.
Revolusi nasional dan sosial Filipina berhasil kepalang tanggung, Amerika menjadi “pelindung” dan tuan tanah terus merajalela.
Imperialis Amerika segera mengadakan perubahan di segala lapangan. Jose Rizal ikut diperingati, dan programnya dijalankan. Bukan terutama karana baik hati. Tetapi karena sesuai dengan kepentingan kapitalisme modern di Amerika, dan juta karena Uncle Sam mengakui hebatnya tikaman bolo gerilya Filipina di medan pertempuran.
Bermula Uncle Sam memerangi nyamuk anopheles yang bermaharajalela di mana-mana. Kesehatan rakyat nyata menjadi bertambah maju. Kelahiran bayi bertambah-tambah naik dari 6 juta di penghabisan abad yang lalu, sampai 16 (?) juga dimasa ini. Pemerintah Spanyol memperhatikan perguruan lebih darpada pemerintah Belanda. Ketika Spanyol meninggalkan Filipina, Santa Thomas, Universitas Filipina sudah lama berdiri, sedangkan di seluruhnya Nederlandsch Indie di masa itu buat “inlanders” cuma Inlandsche Kweekschool dan School tot Opleideng voor Inlandsche Bestuurs ambtenaren-lah yang dianggap sebagai perguruan tinggi. Walaupun begitu, ketika Uncle Sam melangkah masuk, buta huruf di Filipina masih luas sekali. Amerika membasmi buta huruf itu dengan teratur menurut rencana. Universitas bertambah menjadi lima, sekolah menengah tinggi dan rendah serta sekolah teknik dan dagang, tak terhitung lagi banyaknya. Standard hidup dipertinggi dengan menambah gaji kaum buruh. Buruh pikul di kota Manila (Pelabuhan) bisa mendapatkan +- 3 peso (1 peso F. 0.85) sehari. Kaum buruh dalam pabrik cerutu di kota Manila bisa mendapat 3 P sampai 6 Peso sehari. Hampir di semua kota besar, sedang dan kecil, bahkan kebanyakan desa kelihatan rumah sekolah, rumah sakit dan pabrik listrik yang modern. Banyak sekali perusahaan gula, cerutu, abaka (rami) dan pelayaran antara pulau dengan pulau yang berada di tangan bangsa Filipina sendiri. Keretapun kepunyaan bangsa Filipina.
 Pada tahun 1915 (?) Filipina mendapat Majelis Perwakilan Rakyat Rendah dan tinggi. Tak ada seorang Amerika di dalamnya. Hampir semua jabatan administrasi (departemen) dipegang oleh bangsa Filipina. Seperti juga dalam perguruan, beginilah pula dalam badan administrasi para pemimpin dan penasehat Amerika kian tahun dikurangi menurut rencana, sedangkan pemimpin bangsa Filipina kian tahun kian bertambah. Boleh dikatakan, rakyat Filipinalah yang memegang kekuasaan ke dalam. Menurut John’s Law, Undang-Undangnya John, maka jika kelak di kemudian hari Rakyat Filipina sudah sanggup mengadakan “stable government” pemerintah yang tetap teratur, maka kemerdekaan penuh akan diberikan Amerika kepadanya.
Kemajuan yang memang nyata di dunia perguruan sosial pengadilan, standard of living (keperluan hidup) serta politik, ekonomi dan kebudayaan tiada boleh kita pandang indahnya saja. Revolusi 1898-1901 yang berakhir dengan setengah kemenangan tak bisa melenyapkan semua penyakit. Sisa penyakit dibawah Spanyol itu tetap merusakkan masyarakat Filipina sampai sekarang.
 Kekuasaan tuan tanah yang besar pada masa revolusi itu tiada menjadi kurang di bawah pimpinan Amerika. Di beberapa daerah di pulau Luzon dan daerah Visaya, keadaan proletaria tanah sangat menyedihkan. Pertentangan antara tuan-tuan tanah dan tani melarat di daerah tersebut tiada hilang. Tambahan gaji di masa imperialisme Amerika dibarengi oleh melambungnya harga barang keperluan sehari-hari. Majelis Tinggi dan Rendah Filipina yang sebagian besar terdiri dari wakil tuan tanah dan kaum borjuis tiadalah ingin dan atau tiadalah berdaya untuk menjernihkan kekeruhan disana. Buruh dan tani belum sanggup merebut kursi yang cukup dalam ke dua Badan Perwakilan itu, seperti di Amerika sendiri, demokrasi Filipina hanya berlaku buat kaum hartawan.
Sedangkan ke dalam rakyat Filipina memang ada berkuasa, keluar mereka tiada berkuasa. Terusan keluar negeri, seperti perdagangan, diplomasi, pertahanan, imigrasi dan keuangan, sama sekali di bawah kekuasaan Amerika, dengan pimpinan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Manila. Sistem kapitalisme yang diluarnya berupa liberal itu mengakibatkan mengalirnya hasil perusahaan di Filipina ke pasar Amerika yang memang terbuka untuknya, baik yang ditangan bangsa Filipina sendiri, bangsa Tionghoa atau Amerika, seperti: tembakau, gula dan abaka. Barang dagangan tersebut memang bisa bersaing dengan barang hasil perusahaan Amerika sendiri, sebab buruh Filipina lebih murah dari buruh Amerika, baik yang di Amerika sendiri maupun yang di Cuba atau Hawai. Tetapi barang-barang dagangan Filipina akan bersaing dengan barang yang berasal dari Indonesia, umpamanya di pasar Tiongkok. Gaji buruh Filipina dipukul rata lebih tinggi dari gaji buruh Indonesia, sehingga harga pokok (ongkos) gula, tembakau, dan rami Filipina lebih besar daripada ongkos barang tersebut yang datang dari Indonesia. Sebab itulah barang hasil Filipina terikat kepada pasar Amerika yang duanenya terbuka buat barang hasil dari daerah perlindungannya, Filipina dan menimpakan bea cukai yang tinggi atas barang dagangan dari negeri yang bukan di bawah perlindungan Amerika. Sebagai akibat terikatnya barang hasil Filipina kepada pasar Amerika, maka buat perimbangan dagang (balance of trade) pasar Filipina terikat pula menerima hasil pabri Amerika buat keperluan Filipina, seperti: mesin, auto, barang obat-obatan dan listrik. Sebagai akibat dari ikat mengikat tadi, maka pertama kali bank dan transport Amerika memonopoli atas hasil Filipina yang dikirim ke pasar Amerika. Dan sebaliknya bank dan perkapalan, Amerika mendapat monopoli pula atas asuransi dan  pengangkutan barang pabrik dari Amerika ke Filipina. Demikianlah perdagangan (export dan import) bangsa Filipina dimonopoli oleh saudagar dan bankir Amerika. Kedua, sebagai akibat perimbangan dagang yang mengikat Filipina membeli mesin, obat-obatan dan mesin listrik Amerika, maka perindustrian mesin, kimia dan listrik tersebut tak bisa timbul atau tumbuh di Filipina. Walaupun kabarnya bahan besi di Filipina lebih banyak daripada yang terdapat di Tiongkok atau Hindustan, dan kualitasnya serta logam campurannya (nickel, gronium, bauxite, aluminium dan lain-lain) banyak yang baik pula, tetapi perindustrian berat di Filipina belum juga muncul. Peridustrian besar Filipina mati pucuk, tak sampai jadi perindustrian baja dan mesin. Universitas Filipina cuma sanggup mencetak ribuan lawyers, abocado, yang sampai terpaksa menjadi kucero alias kusir andong, karena melimpah banyaknya abocado itu. ketiga, ikatan ekonomi yang dikenakan oleh Uncle Sam dalam tempo yang kurang dari setengah abad itu akhirnya menyebabkan “kemerdekaan politik” yang diperolehnya  sebagai “goodwill” dari Amerika itu adalah kemerdekaan hampa, yang oleh Amerika diisi dengan uang pinjaman dan benteng buat bom atom, katanya buat menjamin kemerdekaan Filipina itu.
Tangan besi imperialis Spanyol membentuk watak waja seperti terdapat pada Rizal, Mabini, yang sanggup menghancur leburkan imperialis Spanyol itu lahir batin.
Tangan karet imperialisme Amerika membentuk pemimpin yang berwatak sedemikian rupa, sehingga walaupun seandainya dilemparkan oleh pembentuknya, segera akan terbang kembali melekat ke tangan Amerika itu. Filipina yang pada tahun 1946 itu diproklamirkan kemerdekaannya oleh Amerika, terpaksa pula menerima bantuan uang dan bom atom Amerika, sekejap saja setelah ia merdeka.
Gambaran di atas adalah bayangan kabar dari kesan pengalaman lebih kurang 20 tahun yang lampau. Ketika itu saya beruntung mendapatkan keterangan dari semua golongan tua dan muda. Tetapi tentulah gambaran itu belum mendapat “finishing touch”. Masih banyak kekurangan, dan masih perlu diperbaiki disana-sini. Terserah kepada ahli sejarah di belakang hari yang lebih banyak mempunyai kesempatan dan paham yang pertama.
Lupa saja menyebutkan dorongan yang pertama kali menyuruh saja pergi ke Filipina, ialah hawa Filipina untuk mengembalikan kekuatan saja yang sangat terganggu. Akibatnya, pertolongan dokter dan hawa yang cocok, maka lambat laun sebagian kesehatan itu dapat kembali. Tetapi panggilan pergerakan di Indonesia Selatan menyebabkan saya terpaksa juga memotong usaha mengembalikan kesehatan itu semua.
Mulanya saya berniat hendak menuliskan hitam diatas putih, apa yang sesungguhnya memaksa saya pergi ke Singapore, walaupun sebenarnya kesehatan saya masih terganggu. Tetapi karena adanya fitnah di kiri kanan yang dibisikan di sana sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantaranya saudara Alimin, maka saya terpaksa pula menambah sedikit (?) keterangan yang sudah-sudah. Sepertinya selama ini saya cuma akan membela diri saja. Tiap-tiap orang, walaupun dari dalam penjarapun, saya anggap berhak dan harus membantah fitnah. Kata dijawab, gayung disambut, kata pepatah. Berhubung dengan sikap ini, saya harap tiada akan melampaui maksud saya diatas, ialah sekedarnya menambah keterangan buat semata-mata membela diri dan menangkis fitnah serta kebohongan dibelakang saya.
Setelah beberapa bulan berada di Manila, saya menerima surat dari saudara Alimin. Dia meminta pertolongan buat menjalankan keinginan hidup bersama saya di Filipina dan menambah pengetahuannya. Dia merasa akan ditangkap oleh pemerintah Belanda. Sayapun senang hidup bersama-sama saudara Alimin. Sudah dua kali dia berjumpa dengan saya semenjak saya dibuang ke luar negeri. Saya senang menjumpai dia ketiga kalinya, karena saya tahu, bahwa saudara Alimin pandai bergaul, penggembira dan banyak mempunyai pengalaman dalam pergerakan (Serikat Islam). Dengan para teman di Filipina hal ini saya bicarakan, supaya bisa mendapatkan tempat dan kesempatan secara rahasia. Maklumlah, saya sendiri hidup di Filipina secara ilegal, dan sewaktu-waktu mungkin pula ditangkap.
Pendeknya, akhirnya dia sampai ke Filipina dengan selamat, dan bisa menumpang pada teman-teman saya. Sesudah beberapa waktu datanglah surat yang pertama dari Singapore yang bermaksud memanggil saya kembali untuk membantu mencari alat berhubung dengan putusan Prambanan.
Putusan itu saya anggap salah:
1.      Diambil tergesa-gesa, kurang dipertimbangkan
2.      Cuma akibat provokasi lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan sendiri.
3.      Tak bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan komintern.
4.      Tidak cocok dengan taktik strategy komunis, ialah massa aksi.
5.      Akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan di Indonesia dan lain-lain sebagainya.

Surat itu saya perlihatkan kepada saudara Alimin dengan pertanyaan: benarkan rakyat sudah siap sedia? Dijawabnya: paling banyak cuma rakyat Bekasi yang akan keluar (menyerbu). Memangnya begitu! Saudara Alimin sendiri baru saja menyaksikan kemelesetan pemogokan Semarang yang cuma terbatas kepada buruh percetakan, prauwenveer Semarang dan para juru rawat Semarang, sebentar menjalar kepada perusahaan besi di Surabaya, tetapi cuma sebentar! Buruh dan tani gula (lebih kurang ½ juta), perkebunan teh, kopi, kina, getah, serat dan sebagainya, tambang arang, cement, timah, minyak tanah dan sebagainya, kereta api, kapal, tram, auto dan lain-lain.......Semuanya masih belum tersusun, masih dingin sunyi senyap.....dipandang dari sudut organisasi, disiplin dan politik belum berarti apa-apa!
Dari Manila saya usulkan supaya putusan Prambanan dirundingkan kembali di Singapore dengan para wakil yang lebih lengkap. Ini hal saya rasa perlu juga berhubung dengan tanggung jawab saya sendiri terhadap Komintern. Kalau putusan itu kelak memang dibenarkan juga, saya sudah melakukan kewajiban saya. Sebagai seksi komintern, sebenarnya PKI tak bisa mengabaikan usul saya begitu saja.
 Singapore rupanya kurang mengerti dan sekali dua kali surat dikirimkan kepada saya meminta datang. Akhirnya, dalam gedungnya buruh percetakan di Manila, saudara Alimin mengusulkan kepada saya, supaya dia sendiri diizinkan pergi ke Singapore buat mengadakan persiapan untuk perundingan yang dimaksud diatas. Dia percaya akan sanggup memanggil para teman yang berkewajiban, sementara saya meneruskan berobat. Kalau para teman sudah siap sedia, dia akan memberi kabar dari Singapore meminta saya datang.
Kami aturlah code bersama-sama! Kalau setuju dengan usul saya apa codenya, kalau tidak apa, dan kalau setengah apa pula. Dan lagi dengan pendek saya tuliskan tinjauan saya atas keadaan Indonesia, dan saya usulkan taktik strategi yang harus dijalankan. Semuanya code tinjauan dan usul, ditik oleh Saudara Alimin sendiri.
Tinjauan itu adalah cocok dengan apa yang sudah saya tuliskan dalam thesis, ringkasnya:
1.      Partai belum terdisiplin
2.      Buruh tani belum cukup tersusun
3.      Rakyat dan partai yang lain-lain (Budi Utomo, NIP, Serikat Islam, Perserikatan Minahasa dan lain-lain) belum terikat oleh PKI.
4.      Dunia imperialisme disekitar Indonesia (Inggris, Perancis dan Amerika) masih kuat dan bersatu...dan lain-lain.

Usul saya cocok pula dengan yang dua tahun yang lebih dahulu (1923) saya tulis dalam “Naar de Republik Indonesia”, cocok dengan “Semangat Muda” yang baru ditulis dengan “Massa Aksi” yang tergopoh-gopoh ditulis dan dicetak di Singapore.
Ringkasnya usul itu dengan massa aksi menulis Indonesia Merdeka. Jalannya massa aksi, jika semua syarat sudah ada, kira-kiranya seperti berikut:
1.      Mogok umum dengan tuntutan ekonomi
2.      Mogok demonstrasi dengan tuntutan ekonomi dan politik
3.      Mogok umum dan demonstrasi bersenjata untuk kemungkinan melawan provokasi
4.      Mogok umum dan demonstrasi menuntut pemindahan kekusaan
5.      Mengadakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (National Assembly)
6.      Memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan sementara.
7.      Membentuk Undang-Undang Dasar.
8.      Mengesahkan pemerintah, mengesahkan atau merubah Undang-Undang Dasar tadi dan menentukan garis-garis besarnya dalam politik.
9.      Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat undang-undang (jalannya dalam praktek tentu saja bisa sedikit berlainan)

Dari tingkat mogok umum sampai ke Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah bermacam-macam tuntutan dan aksi yang harus dijalankan. Baru setelah nyata bahwa tiap-tiap tuntutan rakyat diatasi oleh massa (murba), barulah pukulan terakhir dijalankan.
Bukankah semuanya ini membutuhkan partai yang ulung, berdisiplin, mempunyai cukup banyak dan sifat (quantity dan quality) anggotanya buat memberikan pimpinan kepada 70 juta rakyat yang tersebar di ratusan pulau yang akan ditentang oleh tiga imperialisme terbesar di sekitarnya?
Bukankah buat mogok umum saja buruh tani Indonesia pada tahun 1926 belum lagi siap? Berapakah para pemimpin PKI pada tahun 1926 yang menginsyafi betul-betul arti tuntutan dan program pada tiap-tiap perjuangan sesuatu partai proletar itu?
Tentulah pada tahun 1926 pun, bahkan pada tahun 1917 saya sudah siap menyambut revolusi Indonesia! Tetapi apakah rakyat dan proletar Indonesia sudah pula siap? Yang dibelakang inilah perkara yang penting. Kalau belum siap, tak ada lain jalan buat seseorang pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi. Kalau tiada bisa dengan jalan terbuka, maka harus dijalankan dengan jalan tertutup. Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara massa aksilah yang harus dilakukan oleh sesuatu PARTAI KOMUNIS.
Kalau ada partai lain dan anggota partai lain yang mempunyai jalan lain tentulah saya tiada keberatan. Tetapi buat saya, yang merasa bertanggung jawab kepada PKI. Rakyat Indonesia, dan Organisasi Internasional, tak bisa menyetujui putusan Prambanan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947, tidak! Sekarangpun saya tidak akan menyimpang daripada apa yang sudah saya uraikan dalam semua, sebelum buku tersebut diatas, yang buat sementara berunding di Singapore, saya memasukkan sarinya ke dalam tinjauan, dan usul yang disetujui, ditik dan dibawa oleh saudara Alimin pada permulaan tahun 1926 dari Manila ke Singapore.
Sampai lebih sebulan lamanya saya menunggu di Manila, menunggu kawat yang akan dikirimkan oleh Alimin sebagai hasil usahanya tadi. Jangankan kawat, suratpun tak datang! Baru saya sangsi, apakah usul saya disampaikan. Barulah saya kirimkan laporan ke Komintern tentang putusan Prambanan beserta sikap saya tantangan itu. Dari pihak yang dipercaya saya dibelakangnya mendapat kabar, bahwa sikap saya dibenarkan seluruhnya. Program yang diusulkan dibelakang oleh Komintern kepada PKI berhubungan dengan putusan Prambanan itu, tiadalah bedanya dengan paham saya.
Baru setelah hampir dua bulan saya berpisah dengan saudara Alimin, saya mendapat surat yang pertama. Di dalamnya dikabarkan, bahwa perundingan tiada dapat dijalankan di Singapore. Dia berangkat akan ikut pergi ke Moskow.........Kalau ada uang. Dia tidak bisa menulis lebih lanjut, karena ada teman (belum perlu saya sebut), yang selalu ada di sampingnya. Saudara Alimin rupanya tak percaya kepada teman itu. Baru saya insyaf akan kejujuran saudara Alimin terhadap saya sendiri, selama ini. Teman yang selama ini saya anggap jujur terhadap saya, dan amat saya hargai selama ini, hilang di hati saya sebagai teman seperjuangan. Kalau dia bersikap tiada percaya mempercayai terhadap teman hidupnya di Singapore seperti tersebut diatas, teritimewa pula terhadap diri saya yang baru setahun dia kenal. Apalagi kalau saya ingat sikapnya Alimin terhadap bekas pemimpinnya Cokroaminoto dalam proses Afdeeling B.
Semenjak peristiwa tersebut, maka sebagai teman untuk bergembira, pun sebagai teman pergaulan saudara Alimin masih saya hargai, tetapi sebagai teman seperjuangan sudah saya sangsikan kejujurannya. Benar pula di Singapore di belakang hari sesampai saya di sana, saudara Subakat mendapat surat tertutup yang tak pernah dibuka. Didalamnya tinggal tersimpan tinjauan dan usul saya. Almarhum Subakat dan almarhum Sugono tak mendengar tinjauan dan usul saya yang dibawa oleh Alimin itu. Alimin sudah pergi meninggalkan Singapore! Kata almarhum Sugono, ketua Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) dimasa itu kepada almarhum Subakat, VSTP sendiri buat mogok umum saja belum siap. Apalagi dua tiga juta buruh pabrik, tambang dan kebun yang sama sekali belum diorganisir itu! jadi kalau almarhum Subakat dan Sugono, keduanya bersama Semauan, Darsono termasuk golongan pemimpin komunis lama (Alimin baru masuk PKI) membaca pemandangan dan usul saya, pasti mereka akan menyetujui!
Sekianlah sementara uraian sikap saudara Alimin terhadap saya dalam masa partai terancam. Kepada saudara Alimin yang dalam ANALYSIS-nya tentang diri saya menyebut-nyebut perkara “mengakui kelemahan” saya bertanya: Bisakah sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur satu sama lainnya?
Seperti saya sebut lebih dahulu, kepentingan pergerakan di Indonesia, berhubung dengan sikap Alimin terhadap sayalah, maka saya terpaksa menuju ke Singapore tergopoh-gopoh....!
Saya terpaksa berangkat dengan setengah kesehatan, dan juga berhubung dengan kesehatan pula memerlukan satu barang yang bukan sekali dua kali saya perlukan dimasa perantauan. Hal ini dahulu adalah satu rahasia. Tetapi dengan hilangnya kantor Gubernur Jenderal Amerika di Filipina, dan jatuhnya kantor itu ditangan Filipina, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Tegasnya saya sangat membutuhkan pasport, tetapi “a good false passport”, pasport palsu yang baik “Good”, karena kertasnya memang baik dan capnya tulen “False” karena pemegangnya bukan orang Filipina. Apa boleh buat! Berlawanan dengan imperialisme yang tiada berdasarkan kejujuran, tiada bisa selalu dijalankan kejujuran, terutama pula pada masa hendak meruntuhkan imperialisme itu.
Tiada mudah mendapatkan pasport dikantor Gubernur Jenderal itu sendiri. Memerlukan banyak saksi, banyak jaminan banyak ujian dan banyak muslihat. Tetapi dapat juga sesudah pegawai tinggi Filipina sendiri mesti memberikan jaminan.
Demikianlah akhirnya satu kapal Jerman berlabuh di Singapore, pada permulaan tahun 1926, membawa penumpang bernama Hasan Gozali, berasal dari Mindano di Filipina. Malangnya, atau lucunya pula, orang Inggris penyelidik pemegang pasport dengan pembantunya seorang Melayu ialah orang Inggris dan pembantunya itu pula yang belum selang beberapa lama menyelidiki pemegang surat diploma bernama Estahislau Rivera. Hasan Gozali dan Estahislau Rivera, adalah satu orang itu juga. Bersamaan orangnya tetapi perbedaan namanya, rupanya tidak membangkitkan perhatian penyelidik Inggris dan pembantunya Melayu tadi. Bukan dua kali itu saja hal itu melewati perhatian pemeriksaan pasport itu. Memangnya, peraturan “pasport pasporten” itu mengandung banyak kelemahan. Buat orang yang sabar, tak lepas putus asa atau terkejut, peraturan pasport itu bukanlah halangan yang mustahil bisa diterpbos.
Bagaimana juga, Hasan Gozali ialah penulis ini, selamat sampai ditempat yang dituju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar