Bagaimanakah rupanya Filipina, sesudah lebih kurang 450 tahun berpisah
dengan Indonesia Selatan? Inilah mestinya pertanyaan yang timbul dalam hatinya
seseorang yang mengenai sejarahnya Indonesia seluruhnya dan seorang penggemar
sejarah.
Dalam salah satu buku sekolah di Filipina tergambar “the first
Indonesian”, orang Indonesia yang pertama yang mendayung perahu. Perhubungan
politik dengan Majapahit tertera dengan pasti di sejarah Filipina.
Bukanlah maksud tulisan ini hendak memberi jawaban yang sempurna
terhadap pertanyaan diatas dalam arti politik, ekonomi, kebudayaan dan
lain-lain. Cuma sekedar memberi kesan selayang pandang atas Negara yang
sekarang katanya sudah merdeka itu, yang berpenduduk lebih kurang 10 juta itu,
dan bertempur mati-matian tak putus-putusnya kira-kira 400 tahun di bawah
Imperialis Spanyol dan pertama kali mendirikan republik dalam artian modern di seluruh
Asia, ialah pada masa revolusi 1898-1901.
Bumi iklim Filipina, kalau ada mengalami perubahan semenjak 450 tahun
tentulah tiada seberapa, kecuali hutan rimba sudah dijadikan sawah ladang.
Tetapi alat bekerja, perekonomian dan kebudayaan sudah mengalami perubahan yang
dalam dan luas sekali. Manusia Filipina, sebagai hasilnya dari kelilingnya,
dalam arti perubahan alam-alat perekonomian dan kebudayaan tadi, tampak juga
mengalami perubahan.
Sama sekali tak ada beda rupanya tani desa Filipina daripada tani di
Menado, Bugis Banjarmasin, Malaysia, Batak, Padang, Sunda atau Jawa. Yang kami
maksudkan rupa dalam arti yang disebutkan bangsa: bentuk badan dan muka,
perawakan (tinggi-rendahnya), warna kulit, mata dan rambut. Dalam hal ini tani
Filipina, dari Bigan di pulau Luzon sampai ke kota Bato di Mindano, sama dengan
penduduk asli di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Malaysia dan lain-lain.
Tetapi di kota-kota seperti Manila, Ho-Ho dan Cebu, memang tampak
perbedaan. Di sana kita berjumpakan orang Filipina yang sudah menerima darah
Spanyol dan Tionghoa dalam pembulu darahnya, sebagai hasilnya campuran
Indonesia-Tionghoa-Belanda.
Tetapi itu cuma terdapat pada kaum borjuis bahagian atas pula. Juan dan
Pedro yang bekerja pada pelabuhan, kereta api dan bengkel di kota Manila
sebagai kaum buruh, tak ada bedanya sedikitpun dengan Ali dan Darmo di Medan
atau Surbaya.
Bolehlah dikatakan lebih tinggi kita naik dalam tangga politik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan, lebih nyata warna kuning sampai putih. Lebih rendah
turun tangga tersebut, lebih nyata warna coklat, ialah warna terbanyak diantara
Indonesia asli. Lebih tinggi kita naiki tangga politik dari anggota Indonesia
asli. Lebih tingi kita naiki tangga politik dari anggota Haminte sampai Majelis
Rendah dan Tinggi, dari Walikota sampai ke Presiden lebih kelihatan turunan
campuran tiga bangsa, kaum Mestiza itu. Begitulah pula dalam perusahaan seperti
perkebunan, pabrik dan perkapalan, kita bertemu dengan kaum Mestiza itu. Tetapi
kalau saya tidak salah, maka dalam kebudayaan, sedikitnya, warna coklat tak
kurang banyaknya dengan warna kuning atau putih.
Kedudukan tinggi yang didapat oleh kaum Mestiza itu adalah akibat revolusi politik di Filipina, yang dipandang
dari penjuru politik sendiri tiadalah jaya. Apalagi dipandang dari sudut
ekonomi.
Hampir 100% dari “Veterano” ialah bekas prajurit revolusi tahun
1898-1901 yang mulanya berjuang melawan Spanyol, kemudian melawan Amerika,
terdiri dari Indonesia asli. Bapak revolusi itu sendiri ialah Andres Bonifacio,
yang menurut keterangan seorang veteran revolusi yang kenal sama Bonifacio
kepada saya, adalah orang Indonesia asli dari kampung Tondo, di sekitar Manila.
Presiden Revolusi, ialah Aguinaldo, Menteri Luar Negeri yang termashur ialah
Mabni dan akhirnya “Bapak Filipina” Jose Rizal, adalah Indonesia Asli, dan
kalau ada campuran darahnya, maka bolehlah dikatakan amat tipis sekali.
Revolusi Filipina adalah revolusi buruh tani dibawah pimpinan sebahagian
inteligensia yang benar-benar revolusioner.
Tetapi dengan tertangkapnya Presiden Aguinaldo oleh Amerika, maka
pimpinan revolusi menjadi pecah belah, dan perang gerilya tak dapat diteruskan.
Aguinaldo mengangkat sumpah di depan kekuasaan Amerika, akan menarik diri dari
politik, selama Filipina berada di pemerintahan Amerika (1900-1946). Mabini
yang l umpuh, tetapi tak sudi menjadi cooperator Amerika itu, dibuang ke Guam
dan mati di sana bersama banyak kawannya yang tak mau damai dengan Amerika.
Jenderal gerilya seperti Ricarte bisa lolos lari ke Jepang, dan tinggal di sana
sampai Filipina menyerah kepada Jepang. Andres Bonifacio yang pertama
mengibarkan bendera kemerdekaan dan menggempur barisan Spanyol, mati terbunuh,
katanya diserang oleh prajurit Aguinaldo, di masa revolusi.
Demikianlah, mereka yang paling terkemuka dalam revolusi, tak mengambil
bahagian dalam pemerintahan Amerika di belakang hari. Dan yang paling
terkemukia itu, apalagi para prajurit biasa, sebahagian besar terdiri dari
Indonesia asli.
Karena di masa Spanyol, anak
hartawan Spanyol dan Tionghoa yang sebagian besarnya sanggup memasuki sekolah
menengah dan tinggi di Filipina, maka merekalah bahan yang terutama yang
didapat oleh imperialisme Amerika buat membangun Filipina. Begitulah hampir
semua sektor administrasi Filipina di kaum terpelajar. Mestiza yang menjadi
warga negara dengan ikhlas “kerjasama” dengan imperialis Amerika. Di samping
itu, kebun, pabrik, perkapalan dan toko, kepunyaan Mestiza, atau yang dibeli
oleh Mestiza ketika revolusi dan sesudahnya itu, boleh dikatakan intact, tetap
genap ditangannya kaum Mestiza. Sedangkan para prajurit dari golongan petani,
sekembalinya dari medan pertempuran mendapati banyak sawah ladangnya yang
terjual atau tergadai. Kata orang Jakarta: tuan yang makan nangkanya, aku yang
mendapat getahnya.
Tetapi tiadalah sempurna gambaran diatas, kalau dikatakan, bahwa kaum
Mestiza memakai rakyat asli untuk merobohkan imperialisme Spanyol dan kemudian
membelokkan mereka ke bawah imperialisme Amerika. Hasil sejarah seperti
tersebut di atas adalah menurut proses alam. Ramai, massa, dalam pemberontakan,
ialah rakyat asli, karena merekalah yang paling tertindas sebagai buruh dan
tani. Buruh dan tani memili para pemimpin bangsa Filipina Asli, diantara kaum
inteligensia asli, karena merekalah yang langsung hidup di tengah-tengah
mereka, dan sama merasakan getirnya tindasan asing. Tetapi golongan penindas
dan tertindas di Filipina, walaupun berlainan bangsa, ada mempunyai banyak
persamaan. Persamaan itu terdapat pada agama (Kristen) dan pada kebudayaan
berdasarkan agama Kristen itu yang berkembang di Filipina. Persamaan dalam
agama dan kebudayaan itulah pula yang
mengaburkan atau melenyapkan perbedaan warna kulit antara rakyat asli dan
Mestiza, dan menarik Mestiza golongan rendahan ke taufan revolusi. Demikianlah,
maka kita bisa menyaksikan, bahwa seorang jenderal yang amat populer seperti:
Jenderal Luna, juga seorang Mestiza. Almarhum Presiden Manuel Quiezon yang di
masa revolusi baru berumur 24 tahun, teapi dengan bolo di tangannya dapat
merebut pangkat mayor dan amat dicintai prajuritnya, adalah juga Mestiza
sejati, campuran darah Filipina-Spanyol, fifty-fifty. Sampai di waktu penulis
masih di sana (tahun 1927) klas Mestiza bukanlah klas terpisah yang dicurigai
atau dibenci oleh rakyat asli Filipina, bahkan mungkin sebaliknya. Perkataan
Mestiza bukanlah satu ejekan, melainkan lambang dari satu golongan yang tinggi
derajatnya di masyarakat Filipina. Dalam “perlombaan kecantikan” Queen Contest,
pada tiap-tiap tahun, perawakan dan bentuk Mestiza adalah ukuran kecantikan.
Indo Tionghoa dan Indo Eropa, berapapun tipis darah Tionghoa atau Eropanya,
lebih suka menamai dirinya Mestiza daripada bangsa Bapa atau Ibunya sendiri.
Semuanya berhubungan dengan kedudukan yang tinggi yang ditempati oleh golongan
Mestiza dalam ekonomi, sosial dan politik.
Rasanya tiada berapa jauh dari kebenaran, bahwa rata-rata Indo Eropa
atau Indo Tionghoa di Filipina dimasa imperialisme Spanyol, jauh lebih radikal
dan lebih bercampur dengan rakyat asli
daripada Indo Eropa dan Indo Tionghoa di Indonesia. Seperti disebutkan diatas,
banyak diantara mereka yang mengambil bagian yang penting dalam revolusi.
Berhubung dengan persamaan bahasa, agama dan aksi di masa revolusi itu,
maka tiadalah pula mengherankan kalau mereka itu di masa imperialisme Amerika
memasuki kantor administrasi pemerintahan dan Badan Perwakilan Rakyat dengan
tiada mendapat gangguan dari rakyat jelata.
Kalau ada pertentangan dengan kaum Mestiza, hal mana lebih nyata di
belakang ini, maka pertentangan itu lahirnya dari pertentangan dalam ekonomi
dan sosial. Pertentangan itu lahirnya
dari pertentangan dalam ekonomi dan sosial. Pertentangan itu ialah pertentangan
buruh Indonesia (Filipina asli) dan kapitalis Mestiza. Kaum Mestiza yang
terbanyak memiliki tanah (harzinenderos), pabrik (gula, tembakau dan lain-lain)
perkapalan dan lain-lain. Pertentangan itu tiada menimbulkan perasaan
anti-Mestiza, karena golongan Mestizapun di belakang hari ini tak luput dari
proses proletarisasi.
Dalam revolusi sedang memuncakpun kaum revolusioner Filipina tiada
memusatkan serangannya atau memekikkan semboyannya terhadap warna asing. Cerita
yang lazim didengar di Filipina, dan penyaksian yang dituliskan oleh peninjau
Amerika sendiri, mengatakan bahwa hampir semua serdadu Spanyol yang ditawan
oleh prajurit Filipina dengan baik-baik, dikembalikan ke tempat pembesarnya,
sesudah dilucuti senapannya. Sering juga senjatanya itu dibiarkan, karena
prajurit Filipina cuma memerlukan dan gemar bertempur dengan bolo, ialah
parang. Tidak pula sedikit serdadu Spanyol yang sudah merasa tertipu oleh
pemerintahnya sendiri dan setelah mengenal orang Filipina yang sebenarnya,
takjub, menyesal dan tinggal sehidup semati dengan orang Filipina dan menolak
dikembalikan ke daerah Spanyol. Tetapi
kita dengar pula hukuman tembak atau siksaan yang diderita oleh para pendeta
Spanyol, karena dibenci oleh rakyat Filipina. Janganlah dilupakan bahwa para
pendetalah di masa imperialisme Spanyol yang memiliki sebagian besar dari
harta-benda (tanah, gereja) dan kekuasaan politik sosial di Filipina. Syahdan
maka dalam hakekatnya revolusi Filipina ditujukan kepada tuan tanah yang
berjubah pendeta Katolik. Bukanlah terhadap warna atau pun agama asing.
Jika di masa sebelum Perang Dunia II buruh tanah terutama di daerah
Mariquana yang tersusun dalam pemberontakan Sakdalista, dan sesudah perang
dunia II ini terbentuk dalam pemberontakan Hukbalahap terus menerus mengadakan
serangan terhadap tuan tanah (hazienderos), maka ini cuma memberi bukti, bahwa
revolusi agraria di Filipina pada tahun 1898-1901 dan berkali-kali sebelumnya
itu masih saja belum selesai.
Sekianlah tinjauan secepat kilat atas revolusi di Filipina yang paling
besar dan paling belakang. Rasanya disamping tinjauan kilat ini perlu pula
diperpenuh gambarannya dengan beberapa bukti terkhusus (detail).
Pemuda Filipina di masa sekarang berhak bangga atas 300 revolusi yang
besar kecil, diantaranya 150 yang agak besar, yang dilakukan oleh rakyat
Filipina, untuk melepaskan belenggunya dari imperialis Spanyol yang kolot kejam
itu, selama lebih kurang 400 tahun. Saya bilang “berhak bangga”, karena
revolusi yang tak putus-putusnya dilakukan itu, adalah lukisan yang paling
sempurna untuk menggambarkan watak yang tak mau dijajah itu. Tetapi tiadalah
kita sanggup meriwayatkan semuanya revolusi tadi. Marilah kita ambil beberapa
bukti saja dari revolusi Filipina yang terakhir yang wujudnya merobohkan
imperialis Spanyol dan Amerika (1898-1901).
Dengan revolusi terakhir ini tiada bisa dipisahkan nama “La Liga
Filipina” (Persatuan Filipina) serta bapak persatuan itu, ialah Dr. Jose Rizal
(baca Hose Rizal).
Untuk berpendek kalam dan memberi penerangan yang sekedarnya tepat,
baiklah saya mulai dari sejarah episode Filipina ini dengan perbandingan La
Liga Filipina kita bandingkan dengan “Studieclub” yang di belakangnya ditukar
dengan P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia) dan kemudian menjadi Parindra. Dokter
Rizal kita bandingkan saja dengan Dr. Sutomo, almarhum Pak Tom.
Perbandingan itu harus dianggap cuma sebagai daya upaya memberikan
penjelasan dengan pendek dan tepat saja. Sekali-kali bukan buat menyamakan
gerakan La Liga Filipina dengan PBI atau Parindra, dan Dr. Rizal dengan Dr.
Sutomo dalam segala-gala. Dalam hal bumi, iklim, kebangsaan dan pertanian
Indonesia dengan Filipina memang banyak sekali persamaannya. Tetapi dalam hal
luasnya daerah, perekonomian, pemerintahan dan kebudayaan, pada permulaan abad
ke-20 ini memang sedikit atau banyak perbedaan dengan Filipina pada abad ke 19
itu.
Bermula, maka La Liga Filipina yang didirikan oleh Dr. Rizal di Filipina
pada penghabisan abad ke 19 itu (1894) sekembalinya dia dari Eropa adalah satu
“Party of reforms” partai kaum Koperator, kaum reformis.
Maksudnya ialah memajukan Filipina dengan jalan mengadakan perbaikan
dalam perekonomian, pertanian dan perguruan, selangkah demi selangkah. La Liga
Filipina tiadalah menolak kerja bersama dengan Pemerintah Spanyol. Buat ahli
sejarah barangkali ada faedahnya membandingkan program dan sepak terjangnya La
Liga Filipina dengan Studie Club, Parindra. Berhadapan dengan imperialis yang
dikantongi oleh kasta pendeta tuan tanah Spanyol di Filipina, maka dari
semulanya berdiri La Liga Filipina dicurigai dan dimusuhi oleh kasta Katolik di
Filipina itu...sampai waktu pembubarannya.
Pendiri La Liga Filipina ialah Jose Rizal seperti bapak Studie Club dan
Parindra, Pak Tom, adalah tabib. Tidak saja sama bertitel Dr. tetapi juga
sama-sama cakap. Kita kenal kecakpan Pak Tom kita dalam hal kedokteran. Tetapi
tidak atau kurang kita kenal kecakapan Dr. Rizal dalam hal itu. Sesudah
mendapatkan titel Dr. di Madrid, dia juga mengunjungi Universitas di Paris dan
Berlin dan mendapat pujian pada ketiga
tiga perguruan tinggi tadi. Mungkin riwayat Dr. Rizal tentang mengobati seorang
putri Jerman yang oleh Dokter Jerman sendiri kabarnya dianggap tak bisa diobati
lagi, dilebih-lebihkan (saya sendiri tak bisa memutuskan benar atau tidaknya),
tetapi di Filipina Dr. Rizal memang amat populer, malah sampai di Tiongkok.
Tatkala ia berada di pembungannya di Dapitan, Mindano, dikunjungi oleh Konsul
Perancis dari Hongkong, beserta anak gadisnya. Konsul tadi menderita penyakit
mata, yang tak bisa diobati oleh bermacam-macam dokter. Sudah lama dia tak bisa
melihat, dan mesti dibimbing oleh anak gadisnya. Di Dapitan dia mendapat
kembali matanya (terang), tetapi kehilangan anak tunggalnya. Sang anak menjadi
pengagum dan pecinta thabib-sunyi-terbuang, dan sesudah mendapat izin bapaknya,
menjadi teman (selama) hidupnya Dr. Rizal, dan pernah ikut gerilya Filipina
bertempur, setelah suaminya mati ditembak cerita yang amat populer di Filipina.
Perkara intelek! Dalam buangannya di Dapitan, setelah menyaksikan kurang
banyak dan kurang bersihnya air, maka sesudah sebentar mempelajari pengairan,
Dr. Rizal mengadakan saluran air dengan alat sederhana. Pekerjaan ini sangat
dihargai oleh pemerintah Spanyol sendiri. Selain membasmi buta huruf di antara
kanak-kanak yang dicintainya sampai ke tulang sumsumnya di tempat yang suci
itu, Dr. Rizal mulai mengadakan pemeriksaan secara ilmu, tentang
tumbuh-tumbuhan dari hewan di darat dan di laut. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
belum dikenal oleh para ahli di masa itu, dikirimkannya kepada sahabat
karibnya, ialah Prof. Blumentritt di Viena (?). Hewan dan tumbuh-tumbuhan baru
itu terkenal sekarang dengan nama yang disamping Rizalia. Sebagai ahli gambar
dan ahli arca, Dr. Rizal mendapat hadiah
dalam pertunjukan di Paris. Tidak kurang dari tiga belas bahasa yang dikenalnya
dan bisa dipakainya buat bercakap-cakap. Sebagai pengarang du roman ialah “Noli
Me Tangore” dan “Filibus Trianismus”, ia dianggap sebagai nabi revolusi oleh
bangsanya, tetapi musuh mati-matian oleh kasta pendeta Filipina. Syair yang
dikarangnya beberapa jam sebelum dia ditembak matil, sampai sekarang dianggap
sebagai warisan yang tak ternilai harganya oleh rakyat yang berterima kasih.
Dengan Pak Tom kejujuran Rizal terhadap
prinsip dan rakyatnya, kalau tidak sama sekali sama, adalah banyak persamaan.
Keduanya insyaf akan kepentingan teristimewa perguruan dan perbaikan
perkonomian rakyat. Buat itu mereka sama merasa perlu mengadakan kerjasama
dengan pemerintah asing. Asal orang jujur dan konsekwen terhadap dasar sendiri,
dan benar-benar bekerja sama dengan rakyat untuk rakyat, menurut dasar yang
dijunjung sendiri, orang lain, penganut dasar apapun juga akan menghormati
pemimpin semacam itu................anggapan penulis ini.
Pak Tom tak mendapat ujian langsung tentang imannya. Tetapi Dr.Rizal
lulus dalam ujian itu, dan mengorbankan jiwanya atas pendiriannya dengan
ketenangan dan ketabahan yang tidak bisa diatasi oleh seseorang bangsa apapun
dan di abad manapun juga. Kalau ada kritik terhadap Dr. Rizal, maka kritik itu
cuma bisa didasarkan atas terlalu Dr. Rizal terlalu prinsipil dan terlalu jujur
berhadapan dengan lawan yang bersifat dan bertindak tidak jujur seperti ular
menjalar di bawah rumput.
Anaknya tani tengahan di desa Calamba di pulau Luzon, di tengah-tengah
masyarakat dan keluarga yang beragama Katolik, agama yang rakyat jelata di
Filipina memang dijunjung tinggi sekali dalam hidupnya sehari-hari dimana Rizal
thabib pembentuk Filipina ini, yang dari pihak para pendeta ada terdengar
tuduhan “atheist”, adalah seorang yang prinsipil dan berwatak baja berkata
menuruk pahamnya, dan berlaku cocok dengan perkataannya.
Tetapi diukur dengan jangka kerevolusioneran, Dr. Rizal bukanlah Marx,
Lenin, ataupun colleganya di tepi sungai Mutiara, Dr. Sun Yat Sen. Sedangkan
Dr. Rizal adalah seorang intelek yang besar dalam semua lapangan ilmu yang
ditempuhnya, dia bisa juga menyelami jiwa rakyat jelata sebagai pengarang.
Tetapi dia tidak mebelokkan inteleknya kepada keadaan, sifat, hasrat dan kodrat
dalam pergerakan revolusioner. Buat Dr. Rizal, kemerdekaan itu tergantung
kepada banyaknya para intelek dan melek huruf di Filipina, kuatnya
perindustrian, pertanian dan perdagangan Filipina dan terutama pula pada
persenjataan murba buat merebut kekuasaan. Bahwa dinamiknya revolusi bisa
menimbulkan kodrat yang tiada disangka-sangka dan bisa menentang senjata yang
lebih sempurna berlipat ganda dan menimbulkan semangat membangun dalam segala
lapangan, asal saja kodrat murba itu lebih dahulu diduga, ditaksir, dibangunkan
dan dikoordinir oleh satu pimpinan yang jujur, mengerti dan terdisiplin. Semua
ini rupanya tak masuk dalam perhitungan Dr. Rizal oleh karena kurang
perhubungannya dengan rakyat murba di Filipina pula sebab Dr. Rizal selalu diawasi
oleh pemerintah dan kasta pendeta Spanyol maka pengalaman tak sampai membuka
matanya Dr. Rizal terhadap kemungkinan tersebut. Dr.Rizal tetap tinggal seorang
intelek yang agak terpencil dari Murba.
Hal ini terbukti di masa pembuangannya di Dapitan. Apabila Dr. Rizal
dengan La Liga Filipinanya dicurigai oleh yang berkuasa dan dibuang ke Dapitan,
maka pemimpin yang ketinggalan rupanya agak ngeri meneruskan aksi
terang-terangan, walaupun dengan jalan lembut. Sekretarisnya La Liga Filipina
rupanya insyaf akan keadaan dan mulai bekerja di bawah tanah. Sekretaris ini
namanya Andres Bonaficio, terkenal dalam sejarah revolusi sebagai pendiri
Serikat Rahasia, dinamainya “Katipunan”. Ini kependekan saja dari satu kumpulan
yang diluarnya berupa kumpulan Free Mason, Vrij-Metsalerij, tetapi di dalamnya
mengikat kaum revolusioner yang sungguh-sungguh. Andres Bonifacio anak keluarga
buruh di Tondo, sekitar kota Manila, keluaran sekolah rakyat, seorang juru
tulis kecil dalam salah satu toko di Manila, dan perlu membanting tulang untuk
membantu adiknya yang bukan sedikit banyaknya. Sekolah buat mempelajari
pengetahuan tentang perkumpulan buat Andres, ialah La Liga Filipina dan
pengetahuan tentang masyarakat, politik dan revolusi diperolehnya dengan
membaca buku-buku revolusioner di waktu luang. Ketika revolusi meletus, dan
rumahnya digeledah, maka didapati beberapa jilid buku tentang revolusi
Perancis.
Sepeninggal Rizal rupanya ia giat bekerja di bawah tanah. Akhirnya dia
merasa cukup kuat, dan mengirimkan beberapa wakilnya ke Dapitan, menjumpai
pemimpin yang dianggap sebagai gurunya.
Demikianlah pada suatu hari tiba di Dapitan beberapa orang, mengantar
seorang “sakit mata”, seorang buta minta obat kepada thabib Rizal. Si “Buta”
dan satu dua orang pembimbing diizinkan oleh opsir muda Spanyol pengawas Rizal
yang dijatuh “pecinta dan pengagum” Dr. Rizal. Sebelum diobati si “Buta” sudah
membuka matanya dan mengajak sang thabib berunding tentang revolusi di kamar
pemeriksaan.
Si Buta menyampaikan salam dan usulnya Andreas Bonifacio sekretaris La
Liga Filipina! Sekarang Andres menganggap waktunya sudah sampai untuk
mengibarkan bendera kemerdekaan dengan Dr. Rizal sebagai pemimpin revolusi.
Andres sudah siap buat menyerbu dan siap pula menyerobot Dr. Rizal dari Dapitan
dengan pasukannya secara diam-diam asal saja Dr. Rizal mengizinkan lebih
dahulu.
Dr. Rizal intelek kaliber internasional universal, tercengang dan
menolak usulan Andres Bonifacio, dengan mentah-mentah. Keberatan yang
terpenting buat Dr. Rizal ialah kekurangan rakyat Filipina dalam hal
persenjataan.
Sebenarnya “kekurangan” itu
adalah kekurangan dari bangsa dan semua golongan tertindas dan pemberontak dari
jaman Nabi Musa yang kita kenal sampai sekarang, melalui revolusi Perancis
sendiri, revolusi Rusia dan..........revolusi Indonesia 17 Agustus 1945. Belum
pernah bangsa atau kasta terhisap dan tertindas melebihi atau menyamai
persenjataannya bangsa atau katanya yang menghisap dan menindas. Tak perlu
intelek kaliber internasional menyaksikan hal semacam itu. memangnya kalau
bangsa atau kasta tertindas itu bisa menyamai, jangan lagi melebihi musuhnya
dalam hal persenjataan, bukanlah dia satu bangsa atau kasta, golongan manusia
yang tertindas. Persamaan atau kelebihan bisa diperoleh dimasa revolusi atau
sesudahnya itu, tak pernah sebelumnya revolusi, kalau revolusi memangnya
bersifat sosial ekonomi atau kebangsaan, yang tersusun serta terdisiplin rapi.
Jawaban Dr. Rizal itu disampaikan oleh si “Buta” yang sekarang lebih
“Melek” daripda “Melek” dan heran tercengang-cengang mendengar putusan Dr.
Rizal tadi. Setelah jawab tadi disampaikan, maka Andres Bonifacio, buruh Tondo,
keluaran sekolah rendah, dengan pedas mengucapkan “Lintik” (petus, astaga), dimanakah Dr. Rizal membaca semacam itu?
Bukanlah pula dengan ucapan itu berarti Andres Bonifacio hilang kehormatan dan
hilang kecintaan kepada seorang yang dianggapnya guru dalam beberapa hal!
Keterangan tulisan ini kelak akan membuktikan!
Setelah perang Amerika-Spanyol meletus, maka Dr. Rizal menawarkan
dirinya menjadi palang merah di Cuba. Tawaran itu diterima oleh pemerintah
Spanyol dan Dr. Rizal berangkat ke Cuba. Tetapi para pendeta di Filipina segera
menghasut pemerintah dan Dr. Rizal dipanggil kembali. Di Hongkong dia
disongsong oleh adiknya perempuan Eleonara (?). Di pelabuhan Manila polisi
rahasia dan resmi sudah menanti. Komplotan pendeta memasukkan surat palsu ke
dalam petinya Eleonara. Surat itu dimasukkan untuk menjerat Dr. Rizal ke dalam
urusan satu perkumpulan rahasia, yang kata komplotan tadi ada hubungannya dengan
Dr. Rizal. Adiknya Rizal yang laki-laki disiksa sampai pingsan dua kali
berturut-turut. Supaya mau menjadi saksi terhadap saudaranya. Tetapi adiknya
tetap menyangkal.
Rizal ditawan dan dibawa ke hadapan pengadilan, dituduh sebagai
pendurhaka yang bermaksud merobohkan pemerintah Spanyol. Pemerintahan yang
dilakukan sama sekali tidak memenuhi
syaratnya pengadilan modern, semuanya berbau pemalsuan! Dr. Rizal ditangkap
buat dihukum dan dalam hakekatnya sudah dihukum, sebelum diperiksa Dr. Rizal
dihukum tembak!
Pada malam penghabisan Rizal mendapat kunjungan terakhir dai Ibu dan
adiknya. Syair “Selamat tinggal Filipina”,
warisannya yang terkenal itu, sudah disiapkan di lipatan lampu. Kirimkanlah
lampu ini sebagai tanda mata kepada sahabatku Prof. Blumentritt, katanya, “there is something insinde”,
dibisikkannya pula pada adiknya. Demikianlah bisa terpelihara dalam sejarah
Filipina, irama jiwa seorang pahlawan, pemikir dan budiman Filipina,
meninggalkan segala-galanya yang dicintainya dalam usian 36 tahun, menemui
pelor imperialisme Spanyol dengan tenang tabah.
Waktu subuh Dr. Rizal dibangunkan dan digiring ke lapangan Bagumbayan
buat ditembak mati dan ditontonkan kepada khalayak yang terdiri dari bangsa
Spanyol dan Filipina. Di pinggir lapangan penuh sesak wanita dan para pembesar
Spanyol, ingin dan gembira melihat robohnya seorang putra bumi yang berani
menentang kekuasaan Spanyol.
Jose Rizal berjalan dengan langkah yang tegap, di waktu udara masih
sejuk dan embun membasah mukanya untuk penghabisan. “Alangkah indahnya pagi
hari ini”, kata Rizal. “Anakku”, sahut seorang pendeta dikanannya, lebih indah
lagi kalau sekiranya.......kalimat pendeta yang baik budi ini tak bisa
dilangsungkan, karena dia dipisahkan daripada Rizal oleh pengiring berpakaian
dinas.
Rombongan yang akan menembak sudah siap, barisan depan yang akan
melepaskan tembakan terdiri dari bangsa Filipina. Barisan belakang dari serdadu
Spanyol sebagai pengawal, kalau-kalau serdadu putra bumi ingkar menembak
seorang pemimpin bangsanya!
Dr. Rizal memprotes kepada komandan rombongan penembak, ketika mau
diikat dan ditembak dari belakang.
“Saya bukan pengkhianat”, kata Dr. Rizal.
“Saya cuma menjalankan perintah saja”, jawab opsir tadi, “Kalau begitu
janganlah kepala saya ditembak”, kata Rizal.
Permintaan itu dikabulkan oleh Opsir!
Amatilah, alangkah tegapnya kesatria Filipina berdiri di tengah lapang
seolah-olah dia menentang kekuasaan Spanyol dengan sikap: badanku bisa roboh
tetapi jiwaku akan terus hidup! Dan, kerobohan badanku itu akan membawa
kerobohan kekuasaan Spanyol di Filipina”.
Seorang thabib Spanyol tercengang melihat ketenangan colleganya. Ia
meminta izinnya komandan untuk memerilksa pols (pergelangan) thabib Filipina
dihadapan maut. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala merasai
pergelangannya biasa saja pukulannya.
Jose Rizal menentang maut.......!
Beberapa senapan meletus serentak! Pahlawan Filipina sambil jatuh
kelihatan berusaha berputar beberapa kali, mendapatkan cara berbaring yang
dikehendakinya berlaku. Dia berbaring dengan muka yang tiadar rusak, menghadap
ke angkasa!
Demikianlah gugurnya ksatria Filipina pada tahun 1896, di tempat gugunya
itu oleh bangsa Filipina yang takjub dan berterima kasih didirikan tugu
peringatan. Tempat tragedi ini sekarang dinamai lapangan Luneta.
Adalah diantara penonton yang tidak dikenal oleh ramai, tetapi
diperingati oleh sejarah. Dengan bolo di pinggang: Andres Bonifacio, bekas
sekretaris La Liga Filipina, sekarang pemimpin Katipunan, menantikan saat buat
menyerbu, melepaskan Rizal, guru teman seperjuangannya, dari malapetaka. Tetapi
rombongan yang disampingnya sudah lama siap buat membatalkan maksud yang
dianggap sia-sia itu. Dan menunggu saat yang lebih baik buat menyerbu, sekali
jalan, serentak. Dengan air mata berlinang-linang, serta gigi yang menggertak,
sedangkan bolo terpaksa bernaung tinggal disarungnya saja, maka Andres
menurutkan nasihat para pengikutnya, dan melihatkan guru dan teman
seperjuangannya gugur ke tanah, tak berdaya memberin pertolongan.
Tetapi tiadalah lama bolo itu bersemayam dalam sarungnya. Apabila
saatnya dirasa tiba, di Balintawar, Andres Bonifacio pertama kali menghunus
bolo dari sarungnya, dan dengan segerombolan kecil tetapi nekad menyerang
benteng Spanyol di sekitar kota Manila, pada tahun 1898 (?)
Saat ini nyata tepat dipilihnya di seluruhnya pulau Luzon yang dibarengi
oleh pulau-pulau lain di Filipina, berkibarlah bendera kemerdekaan mengikuti
pekik Andres Bonifacio, pemimpin-pemimpin Katipunan, “Kawan sewarga,
pengharapan yang akhirn buat kita telah tiba saatnya”!
Di mana-mana timbulah barisan gerilnya. Hampir di semua medan
pertempuran tentara resmi memerintah Spanyol mengundurkan diri atau menyerah.
Siasat gerilya yang dilakukan oleh para opsir Filipina adalah bermacam-macam,
dan sangat mengagumkan seluruh dunia. Cari dan bacalah surat kabar di Eropa
ataupun Amerika di hari itu! dunia terganga dan kagum menyaksikan kecerdasan,
ketangkasan serta kesatriaan satu bangsa kecil di Lautan Teduh yang selama ini
tak tersebut-sebut, pertama kali memperkenalkan dirinya ke dunia luar dengan
suara merdu dan nyaring, menentang satu kerajaan besar. Nama barisan dan
pimpinannya, seperti barisan di bawah pimpinan Jenderal Luna, Malvat, Ricarte
dan lain-lain, berkumandang di sekalian kota dan desa di kepulauan Filipina. Di
atas segala-galanya berdengung nama Jenderal Aguinaldo, bekas guru desa cakap,
tangkas dan berpantang kalah, seorang ahli siasat gerilya yang paling ulung.
Akhirnya tentara Spanyol terusir dari semua pelosok, kecuali dari
Ibukota Manila. Pada saat inilah pula Amerika Serikat tiba dengan armadanya di
pelabuhan Manila, dengan maksud campur tangan. Setelah maks ud imperialis itu
nyata terbukti, maka rakyat Filipina mengerahkan laskarnya menghadapi tentara
Amerika yang amat modern itu. Lebih kurang setahun lamanya perjuangan yang
sengit dilakukan di bawah pimpinan Aguinaldo.
Selama dua tiga tahun peperangan kemerdekaan menghadapi dua negara besar
yang kaya, lengkap bersenjata dan cukup pengalaman di lapangan kemiliteran,
banyaklah yang terjadi di kalangan kaum pemberontak sendiri. Dalam kalangan
yang tersebut belakangan ini timbulah perbedaan paham yang kian lama kian
menjadi pertentangan, dan akhirnya menjadi permusuhan. Perbedaan paham antara
Aguinaldo dan Bonifacio berakhir pada pembunuhan atas dirinya Bonifacio.
Perbedaan paham antara Aguinaldo dan Mabini, menyebabkan yang di belakang ini
meninggalkan Aguinaldo.
Menurut terjemahan biasa di Filipina, maka pertentangan dan permusuhan
itu semata-mata disebabkan oleh perbedaan perseorangan. Pada hemat saya
pertentangan itu timbulnya dari perbedaan saya pertentangan itu timbulnya dari
perbedaan kemauan dari berbagai golongan yang berjuang, yang diwakili oleh
Aguinaldo, Mabini dan Bonifacio.
Ini cuma persangkaan saya saja! Memangnya ahli sejarah Filipina tiada
yakin, atau belum mengerahkan perhatiannya kepada perbedaan hasrat golongan apa
yang paling giat membantu masing-masing pemimpin tersebut, tiadalah saya sempat
mendapatkannya. Tetapi ada kemungkinan bahwa Aguinaldo terutama bersandar kalau
tiada pada permulaan mungkin pada akhir revolusi pada sebagian kaum tani dan
borjuis Filipina yang agak atasan. Mabini mewakili kaum intelegensia yang
radikal demokrasi serta sebagian rakyat, dan rupanya Bonifacio mewakili rakyat
murba di kota dan di desa.
Pada pertengahan revolusi, bintang Bonifacio, sebagai pendiri Katipunan
dan pembuka revolusi agak terlindung oleh bintang Aguinaldo, yang banyak
mendapat kemenangan gemilang di pelbagai medan pertempuran. Bukannya Bonifacio
kurang pertempuran atau kurang keberanian. Tetapi siasat perang gerilya memang
rupanya lebih dimiliki oleh Aguinaldo, seperti siasat partai dari politik
revolusioner memangnya berada di tangan Bonifacio. Alangkah baiknya jika kaum
pemberontak bisa bersatu dengan menyerahkan urusan partai politik kepada
Bonifacio, urusan kemiliteran kepada Aguinaldo dalam satu koordinasi yang
meliputi seluruhnya gerakan revolusioner! Tetapi tingkatan kemajuan masyarakat
Filipina di masa itu rupanya belum pula mengizinkan timbulnya semangat dan
pengalaman yang perlu buat koordinasi dalam organisasi, politik dan militer.
Keadaan kerja rahasia di bawah imperialisme Spanyol yang mashur kejam itu, tak
pula mengizinkan organisasi kuat dalam aksi di bawah tanah itu. Kaum
Revolusioner terpaksa kerja dengan rombongan kecil-kecil terutama di kota-kota
dan tak bisa banyak tahu menahu satu sama lainnya.
Pada satu permusyawaratan maka Aguinaldo dipilih sebagai Presiden dan
Mabini sebagai Menteri Luar Negeri. Perwakilan dalam permusyawaratan ini sama
sekali tidak membayangkan perbandingan kekuatan yang sebenarnya antara golongan
Aguinaldo dengan golongan Bonifacio. Boleh dikatakan Bonifacio cuma diwakili
oleh dirinya Bonifacio sendiri saja, yang seolah-olah terperangkap masuk ke
dalam “permusyawaratan”, bentukan Aguinaldo. Pada Bonifacio yang datang zonder
persiapan itu, selainnya dihadiahkan
satu pangkat “direktur” dari salah satu departemen pemerintah, juga
diperdengarkan perkataan penghinaan, seolah-olah Bonifacio tak cukup mempunyai
pengetahuan.
Tidak saja Bonifacio merasa tertipu oleh pemilihan bikinan Aguinaldo
itu, tetapi juga merasa dihina, Bonifacio memperlihatkan perasaan tersinggung,
dan pulang meninggalkan “pemilihan” tadi dengan gusar hati.
Di tengah jalan dia disusul oleh pasukan Aguinaldo. Rupanya Aguinaldo
mengerti bahwa Bonifacio di belakang hari mengadakan perlawanan yang teratur,
maka kemenangannya, seandainya bisa diperoleh tidak akan begitu mudah seperti
pada permusyawaratan yang diaturnya sendiri tadi. Sebab itulah Bonifacio mesti
dicederai, ditikam dari belakang sebelum dia bersiap diri! Memang inilah sikap
kebanyakan pemimpin rakyat yang mempunyai nafsu mashur berlebih-lebihan tetapi
didalam hal kecerdasan dan budi pekerti berada dalam keadaan serba kekurangan!
Dalam pertempuran di tengah perjalanan dimana Bonifacio cuma dibantu
oleh adiknya saja, dia menemui ajalnya sebagai pahlawan!
Aguinaldo masih hidup! Walaupun buku resmi tiada menerangkan seperti
diatas, tetapi bisikan umum memandang peristiwa Bonifacio itu tertera seperti
diatas.
Demikianlah matinya guru dan murid, ketua dan sekretaris La Liga
Filipina, Rizal dan Bonifacio, sama-sama tragis, sama-sama mati muda. Tetapi
ada bedanya. Jose Rizal mati ditembak oleh penindas bangsa asing
terang-terangan di depan lawan-kawan; Andreas Bonifacio mati dibunuh oleh
sewarga seperjuangannya dalam menentang kekuasaan asing. Jose Rizal mewakili
kaum tengah dan intelegensia Filipina, Andres Bonifacio mewakili rakyat murba.
Nyata pula perbedaan itu dimasa peringatan ulang tahun meninggalnya
kedua kesatria Filipina itu. Pada ulang tahun Rizal (31 Desember) kita
menyaksikan kaum klas atas modern yang memperingati kematiannya dengan pidato
dan nyanyian yang mengandung perasaan sedih bercampur terimakasih.
Pada peringatan ulang tahun
Kematian Andres Bonifacio (30 November) terutama di pojok-pojok kota Manila,
disekitarnya rakyat melarat, orang berpidato berapi-api, mengepalkan tinju,
seolah-olah berjanji meneruskan pekerjaan Andres Bonifacio yang terbengkalai,
karena pembunuhan politik atas dirinya.
Memangnya suatu revolusi tiada memantangkan bunuh membunuh, tetapi ada
yang bisa dibunuh dengan tiada menimbulkan akibat yang penting atas sang
revolusi sendiri. Revolusi tidak bisa membunuh golonga serta pemimpinnya, yang
selama itu menjadi pendorong revolusi sendiri. Teristimewa pula pada masa
hasrat revolusi itu belum tercapai. Tak bisa membunuh itu harus dipandang dari
dua sudut; pertama dipandang dari sudut lahir, kedua dari sudut batin.
Dipandang dari sudut batin, karena hasrat golongan dan pemimpinnya yang
mengandung jiwa revolusi yang berada di tengah perjuangan itu kelak, lekas atau
lambat akan diteruskan juga oleh turunan golongan dan pemimpin yang terdepan
dalam perjuangan revolusi itu akan menentukan sama sekali atau
sekurang-kurangnya melemahkan seluruh barisan revolusi itu. Tidak saja revolusi
akan kehilangan pendorong yang paling radikal, tetapi hal itu juga akan
melemahkan kaum moderate yang memukul. Jika dua golongan sama atau seimbang
kekuatannya, maka revolusi akan makan anak sendiri, dan revolusi akan gagal
dalam tempat yang singkat. Kalaupun moderatepun memang dalam pergolakan awak
lawan awak itu, maka revolusi seluruhnya
tetap kehilangan kekuatan yang berharga. Akhirnya mudah sekali ditaklukkan oleh
kaum reaksioner. Revolusi yang mempunyai dasar yang sebenarnya, tak akan
berhenti di tengah-tengah atau ia mati berhenti pada golongan radikal atau pada
yang paling reaksioner.
Hal yang terakhir ini kelihatan benar dalam jalannya revolusi Filipina,
dibelakangnya peristiwa Bonaficio. Entah karena ia sudah merasa lemah di
lapangan militer melawan Amerika, entah karena keduanya kaum borjuis Filipina
yang ingin damai, entah karena keduanya, maka Presiden Aguinaldo sudah lama
mengadakan perhubungan (rahasia) dengan Amerika. Aquinaldo sudah siap sedia
menerima kemerdekaan Filipina yang kurang dari 100%.
Mabini sudah lama gelisah tentang ini. Mabini adalah seorang ahli Yuris,
yang banyak memusingkan kepala laksamana Amerika dalam perdebatan tentang
kemerdekaan dan undang-undang internasional, dan tetap berpendirian merebut
kemerdekaan 100%. Tetapi karena sebenarnya Mabini baru memasuki gelanggang
revolusi dan mungkin juga berhubung dengan terganggunya kesehatannya “subleme
paralytic” orang lumpuh yang luhur, menteri luar negeri Filipina ini, belum
bisa mendalamkan paham serta pengaruhnya di kalangan rakyat. Setelah pecah
kabar, bahwa Aguinaldo hendak mengadakan perdamaian atas perjanjian yang
merugikan atas Filipina merdeka, maka ia sebagai Menteri Luar Negeri,
mengucapkan, bahwa perdamaian semacam itu adalah tanggungan Aguinaldo sendiri.
Jadi bukannya dengan persetujuan Menteri Luar Negeri, ataupun dengan
persetujuan rakyat. Sekian Mabini!
Apabila terdengar kabar, bahwa Aguinaldo, terpedaya dan ditangkap oleh
salah satu rombongan militer Amerika, maka orang Lumpuh Luhur kian kemari
menjumpai dan mengobarkan semangat pasukan dan pemimpin gerilya, untuk
meneruskan perjuangan.
Terkepung pada satu rumah tani
bersama-sama kaum gerilya berpakaian tani, maka opsir pemimpin rombongan
Amerika berteriak memerintahkan “Semua orang dalam rumah mesti berdiri”. Yang
tiada bisa berdiri, ialah orang Lumpuh Luhur, Menteri Luar Negeri Republik
Filipina yang pertama, Mabini segera dikenal dan ditangkap.
Aguinaldo, Presiden Revolusi Filipina, pada masa itu (1901) baru berumur
lebih kurang 30 tahun, bersumpah kepada pemerintah Amerika tiada akan
mencampuri politik, selama bendera Amerika berkibar di Filipina. Dengan subsidi
yang besar setiap tahun, presiden pertama di Republik, yang pertama pula timbul
di Asia, sampai sekarang hidup dengan damai di tengah ribuan Veteran Revolusi,
yang oleh pemerintah Amerika diizinkan melakukan ulang tahunnya.
Mabini dengan ratusan teman seperjuangan yang tak mau bersumpah setia
kepada bendera Amerika dibuang ke pulau Guam, yang diamasa itu penuh wabah
penyakit dan meninggal di sana.
Dalam perundingan perdamaian di Paris antara wakil Filipina dengan
Amerika, Filipina terbelit oleh ular diplomasi dan terjual oleh Spanyol kepada
Amerika, Filipina dijadikan “American Protectorate” nama lain untuk status
penjajahan.
Demikianlah akhiran sedih tragis Republik pertama di seluruh Asia,
Afrika, yang didirikan oleh satu suku bangsa Indonesia di Pacific, yang
mengagumkan dan menggemparkan dunia pada akhir abad ke 19.
Rupanya masyarakat dan sejarah Filipina dimasa itu belum membenarkan
pembagian pekerjaan serta koordinasi seperti berikut: urusan organisasi
revolusioner di bawah pimpinan Bonifacio, urusan negara dan kemiliteran di
bawah pimpinan Presiden Aguinaldo, dan urusan luar negeri di bawah pimpinan
yuris revolusioner Mabini.
Revolusi nasional dan sosial Filipina berhasil kepalang tanggung,
Amerika menjadi “pelindung” dan tuan tanah terus merajalela.
Imperialis Amerika segera mengadakan perubahan di segala lapangan. Jose
Rizal ikut diperingati, dan programnya dijalankan. Bukan terutama karana baik
hati. Tetapi karena sesuai dengan kepentingan kapitalisme modern di Amerika,
dan juta karena Uncle Sam mengakui hebatnya tikaman bolo gerilya Filipina di
medan pertempuran.
Bermula Uncle Sam memerangi nyamuk anopheles yang bermaharajalela di
mana-mana. Kesehatan rakyat nyata menjadi bertambah maju. Kelahiran bayi
bertambah-tambah naik dari 6 juta di penghabisan abad yang lalu, sampai 16 (?)
juga dimasa ini. Pemerintah Spanyol memperhatikan perguruan lebih darpada
pemerintah Belanda. Ketika Spanyol meninggalkan Filipina, Santa Thomas,
Universitas Filipina sudah lama berdiri, sedangkan di seluruhnya Nederlandsch
Indie di masa itu buat “inlanders” cuma Inlandsche Kweekschool dan School tot
Opleideng voor Inlandsche Bestuurs ambtenaren-lah yang dianggap sebagai perguruan
tinggi. Walaupun begitu, ketika Uncle Sam melangkah masuk, buta huruf di
Filipina masih luas sekali. Amerika membasmi buta huruf itu dengan teratur
menurut rencana. Universitas bertambah menjadi lima, sekolah menengah tinggi
dan rendah serta sekolah teknik dan dagang, tak terhitung lagi banyaknya.
Standard hidup dipertinggi dengan menambah gaji kaum buruh. Buruh pikul di kota
Manila (Pelabuhan) bisa mendapatkan +- 3 peso (1 peso F. 0.85) sehari. Kaum
buruh dalam pabrik cerutu di kota Manila bisa mendapat 3 P sampai 6 Peso
sehari. Hampir di semua kota besar, sedang dan kecil, bahkan kebanyakan desa
kelihatan rumah sekolah, rumah sakit dan pabrik listrik yang modern. Banyak
sekali perusahaan gula, cerutu, abaka (rami) dan pelayaran antara pulau dengan pulau
yang berada di tangan bangsa Filipina sendiri. Keretapun kepunyaan bangsa
Filipina.
Pada tahun 1915 (?) Filipina
mendapat Majelis Perwakilan Rakyat Rendah dan tinggi. Tak ada seorang Amerika
di dalamnya. Hampir semua jabatan administrasi (departemen) dipegang oleh
bangsa Filipina. Seperti juga dalam perguruan, beginilah pula dalam badan
administrasi para pemimpin dan penasehat Amerika kian tahun dikurangi menurut
rencana, sedangkan pemimpin bangsa Filipina kian tahun kian bertambah. Boleh
dikatakan, rakyat Filipinalah yang memegang kekuasaan ke dalam. Menurut John’s
Law, Undang-Undangnya John, maka jika kelak di kemudian hari Rakyat Filipina
sudah sanggup mengadakan “stable government” pemerintah yang tetap teratur,
maka kemerdekaan penuh akan diberikan Amerika kepadanya.
Kemajuan yang memang nyata di dunia perguruan sosial pengadilan,
standard of living (keperluan hidup) serta politik, ekonomi dan kebudayaan
tiada boleh kita pandang indahnya saja. Revolusi 1898-1901 yang berakhir dengan
setengah kemenangan tak bisa melenyapkan semua penyakit. Sisa penyakit dibawah
Spanyol itu tetap merusakkan masyarakat Filipina sampai sekarang.
Kekuasaan tuan tanah yang besar
pada masa revolusi itu tiada menjadi kurang di bawah pimpinan Amerika. Di
beberapa daerah di pulau Luzon dan daerah Visaya, keadaan proletaria tanah
sangat menyedihkan. Pertentangan antara tuan-tuan tanah dan tani melarat di
daerah tersebut tiada hilang. Tambahan gaji di masa imperialisme Amerika
dibarengi oleh melambungnya harga barang keperluan sehari-hari. Majelis Tinggi
dan Rendah Filipina yang sebagian besar terdiri dari wakil tuan tanah dan kaum
borjuis tiadalah ingin dan atau tiadalah berdaya untuk menjernihkan kekeruhan
disana. Buruh dan tani belum sanggup merebut kursi yang cukup dalam ke dua
Badan Perwakilan itu, seperti di Amerika sendiri, demokrasi Filipina hanya
berlaku buat kaum hartawan.
Sedangkan ke dalam rakyat Filipina memang ada berkuasa, keluar mereka
tiada berkuasa. Terusan keluar negeri, seperti perdagangan, diplomasi,
pertahanan, imigrasi dan keuangan, sama sekali di bawah kekuasaan Amerika,
dengan pimpinan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Manila. Sistem
kapitalisme yang diluarnya berupa liberal itu mengakibatkan mengalirnya hasil
perusahaan di Filipina ke pasar Amerika yang memang terbuka untuknya, baik yang
ditangan bangsa Filipina sendiri, bangsa Tionghoa atau Amerika, seperti:
tembakau, gula dan abaka. Barang dagangan tersebut memang bisa bersaing dengan
barang hasil perusahaan Amerika sendiri, sebab buruh Filipina lebih murah dari
buruh Amerika, baik yang di Amerika sendiri maupun yang di Cuba atau Hawai.
Tetapi barang-barang dagangan Filipina akan bersaing dengan barang yang berasal
dari Indonesia, umpamanya di pasar Tiongkok. Gaji buruh Filipina dipukul rata
lebih tinggi dari gaji buruh Indonesia, sehingga harga pokok (ongkos) gula,
tembakau, dan rami Filipina lebih besar daripada ongkos barang tersebut yang
datang dari Indonesia. Sebab itulah barang hasil Filipina terikat kepada pasar
Amerika yang duanenya terbuka buat barang hasil dari daerah perlindungannya,
Filipina dan menimpakan bea cukai yang tinggi atas barang dagangan dari negeri
yang bukan di bawah perlindungan Amerika. Sebagai akibat terikatnya barang
hasil Filipina kepada pasar Amerika, maka buat perimbangan dagang (balance of
trade) pasar Filipina terikat pula menerima hasil pabri Amerika buat keperluan
Filipina, seperti: mesin, auto, barang obat-obatan dan listrik. Sebagai akibat
dari ikat mengikat tadi, maka pertama kali bank dan transport Amerika memonopoli
atas hasil Filipina yang dikirim ke pasar Amerika. Dan sebaliknya bank dan
perkapalan, Amerika mendapat monopoli pula atas asuransi dan pengangkutan barang pabrik dari Amerika ke
Filipina. Demikianlah perdagangan (export dan import) bangsa Filipina dimonopoli
oleh saudagar dan bankir Amerika. Kedua, sebagai akibat perimbangan dagang yang
mengikat Filipina membeli mesin, obat-obatan dan mesin listrik Amerika, maka
perindustrian mesin, kimia dan listrik tersebut tak bisa timbul atau tumbuh di
Filipina. Walaupun kabarnya bahan besi di Filipina lebih banyak daripada yang
terdapat di Tiongkok atau Hindustan, dan kualitasnya serta logam campurannya
(nickel, gronium, bauxite, aluminium dan lain-lain) banyak yang baik pula,
tetapi perindustrian berat di Filipina belum juga muncul. Peridustrian besar
Filipina mati pucuk, tak sampai jadi perindustrian baja dan mesin. Universitas
Filipina cuma sanggup mencetak ribuan lawyers, abocado, yang sampai terpaksa
menjadi kucero alias kusir andong, karena melimpah banyaknya abocado itu.
ketiga, ikatan ekonomi yang dikenakan oleh Uncle Sam dalam tempo yang kurang
dari setengah abad itu akhirnya menyebabkan “kemerdekaan politik” yang
diperolehnya sebagai “goodwill” dari
Amerika itu adalah kemerdekaan hampa, yang oleh Amerika diisi dengan uang
pinjaman dan benteng buat bom atom, katanya buat menjamin kemerdekaan Filipina
itu.
Tangan besi imperialis Spanyol membentuk watak waja seperti terdapat
pada Rizal, Mabini, yang sanggup menghancur leburkan imperialis Spanyol itu
lahir batin.
Tangan karet imperialisme Amerika membentuk pemimpin yang berwatak
sedemikian rupa, sehingga walaupun seandainya dilemparkan oleh pembentuknya,
segera akan terbang kembali melekat ke tangan Amerika itu. Filipina yang pada
tahun 1946 itu diproklamirkan kemerdekaannya oleh Amerika, terpaksa pula
menerima bantuan uang dan bom atom Amerika, sekejap saja setelah ia merdeka.
Gambaran di atas adalah bayangan kabar dari kesan pengalaman lebih
kurang 20 tahun yang lampau. Ketika itu saya beruntung mendapatkan keterangan
dari semua golongan tua dan muda. Tetapi tentulah gambaran itu belum mendapat
“finishing touch”. Masih banyak kekurangan, dan masih perlu diperbaiki
disana-sini. Terserah kepada ahli sejarah di belakang hari yang lebih banyak
mempunyai kesempatan dan paham yang pertama.
Lupa saja menyebutkan dorongan yang pertama kali menyuruh saja pergi ke
Filipina, ialah hawa Filipina untuk mengembalikan kekuatan saja yang sangat
terganggu. Akibatnya, pertolongan dokter dan hawa yang cocok, maka lambat laun
sebagian kesehatan itu dapat kembali. Tetapi panggilan pergerakan di Indonesia
Selatan menyebabkan saya terpaksa juga memotong usaha mengembalikan kesehatan
itu semua.
Mulanya saya berniat hendak menuliskan hitam diatas putih, apa yang
sesungguhnya memaksa saya pergi ke Singapore, walaupun sebenarnya kesehatan
saya masih terganggu. Tetapi karena adanya fitnah di kiri kanan yang dibisikan
di sana sini serta tikam belakang yang dilakukan beberapa orang, diantaranya
saudara Alimin, maka saya terpaksa pula menambah sedikit (?) keterangan yang
sudah-sudah. Sepertinya selama ini saya cuma akan membela diri saja. Tiap-tiap
orang, walaupun dari dalam penjarapun, saya anggap berhak dan harus membantah
fitnah. Kata dijawab, gayung disambut, kata pepatah. Berhubung dengan sikap
ini, saya harap tiada akan melampaui maksud saya diatas, ialah sekedarnya
menambah keterangan buat semata-mata membela diri dan menangkis fitnah serta
kebohongan dibelakang saya.
Setelah beberapa bulan berada di Manila, saya menerima surat dari saudara
Alimin. Dia meminta pertolongan buat menjalankan keinginan hidup bersama saya
di Filipina dan menambah pengetahuannya. Dia merasa akan ditangkap oleh
pemerintah Belanda. Sayapun senang hidup bersama-sama saudara Alimin. Sudah dua
kali dia berjumpa dengan saya semenjak saya dibuang ke luar negeri. Saya senang
menjumpai dia ketiga kalinya, karena saya tahu, bahwa saudara Alimin pandai
bergaul, penggembira dan banyak mempunyai pengalaman dalam pergerakan (Serikat
Islam). Dengan para teman di Filipina hal ini saya bicarakan, supaya bisa
mendapatkan tempat dan kesempatan secara rahasia. Maklumlah, saya sendiri hidup
di Filipina secara ilegal, dan sewaktu-waktu mungkin pula ditangkap.
Pendeknya, akhirnya dia sampai ke Filipina dengan selamat, dan bisa
menumpang pada teman-teman saya. Sesudah beberapa waktu datanglah surat yang
pertama dari Singapore yang bermaksud memanggil saya kembali untuk membantu
mencari alat berhubung dengan putusan Prambanan.
Putusan itu saya anggap salah:
1. Diambil tergesa-gesa, kurang dipertimbangkan
2. Cuma akibat provokasi lawan dan
tidak seimbang dengan kekuatan sendiri.
3. Tak bisa dipertanggungjawabkan
kepada rakyat dan komintern.
4. Tidak cocok dengan taktik strategy
komunis, ialah massa aksi.
5. Akibatnya akan sangat banyak
merugikan pergerakan di Indonesia dan lain-lain sebagainya.
Surat itu saya perlihatkan kepada saudara Alimin dengan pertanyaan:
benarkan rakyat sudah siap sedia? Dijawabnya: paling banyak cuma rakyat Bekasi
yang akan keluar (menyerbu). Memangnya begitu! Saudara Alimin sendiri baru saja
menyaksikan kemelesetan pemogokan Semarang yang cuma terbatas kepada buruh
percetakan, prauwenveer Semarang dan para juru rawat Semarang, sebentar
menjalar kepada perusahaan besi di Surabaya, tetapi cuma sebentar! Buruh dan
tani gula (lebih kurang ½ juta), perkebunan teh, kopi, kina, getah, serat dan
sebagainya, tambang arang, cement, timah, minyak tanah dan sebagainya, kereta
api, kapal, tram, auto dan lain-lain.......Semuanya masih belum tersusun, masih
dingin sunyi senyap.....dipandang dari sudut organisasi, disiplin dan politik
belum berarti apa-apa!
Dari Manila saya usulkan supaya putusan Prambanan dirundingkan kembali
di Singapore dengan para wakil yang lebih lengkap. Ini hal saya rasa perlu juga
berhubung dengan tanggung jawab saya sendiri terhadap Komintern. Kalau putusan
itu kelak memang dibenarkan juga, saya sudah melakukan kewajiban saya. Sebagai
seksi komintern, sebenarnya PKI tak bisa mengabaikan usul saya begitu saja.
Singapore rupanya kurang mengerti
dan sekali dua kali surat dikirimkan kepada saya meminta datang. Akhirnya,
dalam gedungnya buruh percetakan di Manila, saudara Alimin mengusulkan kepada
saya, supaya dia sendiri diizinkan pergi ke Singapore buat mengadakan persiapan
untuk perundingan yang dimaksud diatas. Dia percaya akan sanggup memanggil para
teman yang berkewajiban, sementara saya meneruskan berobat. Kalau para teman
sudah siap sedia, dia akan memberi kabar dari Singapore meminta saya datang.
Kami aturlah code bersama-sama! Kalau setuju dengan usul saya apa
codenya, kalau tidak apa, dan kalau setengah apa pula. Dan lagi dengan pendek
saya tuliskan tinjauan saya atas keadaan Indonesia, dan saya usulkan taktik
strategi yang harus dijalankan. Semuanya code tinjauan dan usul, ditik oleh
Saudara Alimin sendiri.
Tinjauan itu adalah cocok dengan apa yang sudah saya tuliskan dalam
thesis, ringkasnya:
1. Partai belum terdisiplin
2. Buruh tani belum cukup tersusun
3. Rakyat dan partai yang lain-lain
(Budi Utomo, NIP, Serikat Islam, Perserikatan Minahasa dan lain-lain) belum
terikat oleh PKI.
4. Dunia imperialisme disekitar
Indonesia (Inggris, Perancis dan Amerika) masih kuat dan bersatu...dan
lain-lain.
Usul saya cocok pula dengan yang dua tahun yang lebih dahulu (1923) saya
tulis dalam “Naar de Republik Indonesia”, cocok dengan “Semangat Muda” yang
baru ditulis dengan “Massa Aksi” yang tergopoh-gopoh ditulis dan dicetak di
Singapore.
Ringkasnya usul itu dengan massa aksi menulis Indonesia Merdeka.
Jalannya massa aksi, jika semua syarat sudah ada, kira-kiranya seperti berikut:
1. Mogok umum dengan tuntutan ekonomi
2. Mogok demonstrasi dengan tuntutan
ekonomi dan politik
3. Mogok umum dan demonstrasi
bersenjata untuk kemungkinan melawan provokasi
4. Mogok umum dan demonstrasi menuntut
pemindahan kekusaan
5. Mengadakan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (National Assembly)
6. Memproklamirkan kemerdekaan dan
membentuk pemerintahan sementara.
7. Membentuk Undang-Undang Dasar.
8. Mengesahkan pemerintah, mengesahkan
atau merubah Undang-Undang Dasar tadi dan menentukan garis-garis besarnya dalam
politik.
9. Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
untuk membuat undang-undang (jalannya dalam praktek tentu saja bisa sedikit
berlainan)
Dari tingkat mogok umum sampai ke Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
bermacam-macam tuntutan dan aksi yang harus dijalankan. Baru setelah nyata
bahwa tiap-tiap tuntutan rakyat diatasi oleh massa (murba), barulah pukulan
terakhir dijalankan.
Bukankah semuanya ini membutuhkan partai yang ulung, berdisiplin,
mempunyai cukup banyak dan sifat (quantity dan quality) anggotanya buat
memberikan pimpinan kepada 70 juta rakyat yang tersebar di ratusan pulau yang
akan ditentang oleh tiga imperialisme terbesar di sekitarnya?
Bukankah buat mogok umum saja buruh tani Indonesia pada tahun 1926 belum
lagi siap? Berapakah para pemimpin PKI pada tahun 1926 yang menginsyafi
betul-betul arti tuntutan dan program pada tiap-tiap perjuangan sesuatu partai
proletar itu?
Tentulah pada tahun 1926 pun, bahkan pada tahun 1917 saya sudah siap
menyambut revolusi Indonesia! Tetapi apakah rakyat dan proletar Indonesia sudah
pula siap? Yang dibelakang inilah perkara yang penting. Kalau belum siap, tak
ada lain jalan buat seseorang pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada
rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi.
Kalau tiada bisa dengan jalan terbuka, maka harus dijalankan dengan jalan
tertutup. Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara massa aksilah yang harus
dilakukan oleh sesuatu PARTAI KOMUNIS.
Kalau ada partai lain dan anggota partai lain yang mempunyai jalan lain
tentulah saya tiada keberatan. Tetapi buat saya, yang merasa bertanggung jawab
kepada PKI. Rakyat Indonesia, dan Organisasi Internasional, tak bisa menyetujui
putusan Prambanan. Dulu pada tahun 1926 tidak, sekarangpun pada tahun 1947,
tidak! Sekarangpun saya tidak akan menyimpang daripada apa yang sudah saya
uraikan dalam semua, sebelum buku tersebut diatas, yang buat sementara
berunding di Singapore, saya memasukkan sarinya ke dalam tinjauan, dan usul
yang disetujui, ditik dan dibawa oleh saudara Alimin pada permulaan tahun 1926
dari Manila ke Singapore.
Sampai lebih sebulan lamanya saya menunggu di Manila, menunggu kawat
yang akan dikirimkan oleh Alimin sebagai hasil usahanya tadi. Jangankan kawat,
suratpun tak datang! Baru saya sangsi, apakah usul saya disampaikan. Barulah
saya kirimkan laporan ke Komintern tentang putusan Prambanan beserta sikap saya
tantangan itu. Dari pihak yang dipercaya saya dibelakangnya mendapat kabar,
bahwa sikap saya dibenarkan seluruhnya. Program yang diusulkan dibelakang oleh
Komintern kepada PKI berhubungan dengan putusan Prambanan itu, tiadalah bedanya
dengan paham saya.
Baru setelah hampir dua bulan saya berpisah dengan saudara Alimin, saya
mendapat surat yang pertama. Di dalamnya dikabarkan, bahwa perundingan tiada
dapat dijalankan di Singapore. Dia berangkat akan ikut pergi ke
Moskow.........Kalau ada uang. Dia tidak bisa menulis lebih lanjut, karena ada
teman (belum perlu saya sebut), yang selalu ada di sampingnya. Saudara Alimin
rupanya tak percaya kepada teman itu. Baru saya insyaf akan kejujuran saudara Alimin
terhadap saya sendiri, selama ini. Teman yang selama ini saya anggap jujur
terhadap saya, dan amat saya hargai selama ini, hilang di hati saya sebagai
teman seperjuangan. Kalau dia bersikap tiada percaya mempercayai terhadap teman
hidupnya di Singapore seperti tersebut diatas, teritimewa pula terhadap diri
saya yang baru setahun dia kenal. Apalagi kalau saya ingat sikapnya Alimin
terhadap bekas pemimpinnya Cokroaminoto dalam proses Afdeeling B.
Semenjak peristiwa tersebut, maka sebagai teman untuk bergembira, pun
sebagai teman pergaulan saudara Alimin masih saya hargai, tetapi sebagai teman
seperjuangan sudah saya sangsikan kejujurannya. Benar pula di Singapore di
belakang hari sesampai saya di sana, saudara Subakat mendapat surat tertutup
yang tak pernah dibuka. Didalamnya tinggal tersimpan tinjauan dan usul saya.
Almarhum Subakat dan almarhum Sugono tak mendengar tinjauan dan usul saya yang
dibawa oleh Alimin itu. Alimin sudah pergi meninggalkan Singapore! Kata
almarhum Sugono, ketua Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) dimasa itu kepada
almarhum Subakat, VSTP sendiri buat mogok umum saja belum siap. Apalagi dua
tiga juta buruh pabrik, tambang dan kebun yang sama sekali belum diorganisir
itu! jadi kalau almarhum Subakat dan Sugono, keduanya bersama Semauan, Darsono
termasuk golongan pemimpin komunis lama (Alimin baru masuk PKI) membaca
pemandangan dan usul saya, pasti mereka akan menyetujui!
Sekianlah sementara uraian sikap saudara Alimin terhadap saya dalam masa
partai terancam. Kepada saudara Alimin yang dalam ANALYSIS-nya tentang diri
saya menyebut-nyebut perkara “mengakui kelemahan” saya bertanya: Bisakah
sesuatu partai revolusioner berdiri, kalau para anggotanya tiada berlaku jujur
satu sama lainnya?
Seperti saya sebut lebih dahulu, kepentingan pergerakan di Indonesia,
berhubung dengan sikap Alimin terhadap sayalah, maka saya terpaksa menuju ke
Singapore tergopoh-gopoh....!
Saya terpaksa berangkat dengan setengah kesehatan, dan juga berhubung
dengan kesehatan pula memerlukan satu barang yang bukan sekali dua kali saya
perlukan dimasa perantauan. Hal ini dahulu adalah satu rahasia. Tetapi dengan
hilangnya kantor Gubernur Jenderal Amerika di Filipina, dan jatuhnya kantor itu
ditangan Filipina, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Tegasnya saya
sangat membutuhkan pasport, tetapi “a good false passport”, pasport palsu yang
baik “Good”, karena kertasnya memang baik dan capnya tulen “False” karena
pemegangnya bukan orang Filipina. Apa boleh buat! Berlawanan dengan
imperialisme yang tiada berdasarkan kejujuran, tiada bisa selalu dijalankan
kejujuran, terutama pula pada masa hendak meruntuhkan imperialisme itu.
Tiada mudah mendapatkan pasport dikantor Gubernur Jenderal itu sendiri.
Memerlukan banyak saksi, banyak jaminan banyak ujian dan banyak muslihat. Tetapi
dapat juga sesudah pegawai tinggi Filipina sendiri mesti memberikan jaminan.
Demikianlah akhirnya satu kapal Jerman berlabuh di Singapore, pada
permulaan tahun 1926, membawa penumpang bernama Hasan Gozali, berasal dari
Mindano di Filipina. Malangnya, atau lucunya pula, orang Inggris penyelidik
pemegang pasport dengan pembantunya seorang Melayu ialah orang Inggris dan
pembantunya itu pula yang belum selang beberapa lama menyelidiki pemegang surat
diploma bernama Estahislau Rivera. Hasan Gozali dan Estahislau Rivera, adalah
satu orang itu juga. Bersamaan orangnya tetapi perbedaan namanya, rupanya tidak
membangkitkan perhatian penyelidik Inggris dan pembantunya Melayu tadi. Bukan
dua kali itu saja hal itu melewati perhatian pemeriksaan pasport itu. Memangnya,
peraturan “pasport pasporten” itu mengandung banyak kelemahan. Buat orang yang
sabar, tak lepas putus asa atau terkejut, peraturan pasport itu bukanlah
halangan yang mustahil bisa diterpbos.
Bagaimana juga, Hasan Gozali ialah penulis ini, selamat sampai ditempat
yang dituju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar