Kamis, 07 April 2016

Ke Arah Republik Indonesia

Sebermula, maka perlulah saya katakan disini, bahwa sekali-kali saya tidak menyetujui perkataan Gico Sukarno, yang selalu didengung-dengungkan pada hampir penghabisan pendudukan Jepang, yang berbunyi: “Saya (Gico Cuo Sangi In Sukarno) tidak memihak kepada Nippon atas perhitungan kalah menangnya tentara Nippon, melainkan karena Nippon berada dalam kebenaran, keadilan dan kesucian”.
(Baikpun radio ataupun surat-surat kabar cukup mengumumkan pendirian Gico Sukarno seperti diatas. Cuo Sangi In, ialah dewan serombongan “picked up men” (orang yang ditunjuk oleh tentara Jepang), untuk usaha militernya di Indonesia ini. Picked up men ini “dibolehkan” menjawab pertanyaan yang dimajukan oleh tentara Jepang kepadanya dan buat mengelabui mata rakyat juga “dibolehkan” memajukan usul. Gico, iala ketua dari picked up men tersebut. Nippon, ialah perkataan pengganti nama Jepang, atau Japs, ialah nama bangsa dan negara Jepang yang rupanya dianggap suatu penghinaan oleh “samurai” Jepang.
Kembali pada ucapan Gico Sukarno diatas, maka baiklah juga saya terangkan disini, bahwa menurut pikiran saya “kebenaran” Jepang itu tak lain dan tak bukan, melainkan kebenaran si penjajah. Keadilan itu ialah pengerahan hei-ho untuk pembantu tentara Jepang, perampasan padi dan pencurian atas tenaga jutaan romusha. Yang disebut “kesucian” itu, ialah perkosaan wanita dan gadis Indonesia terang-terangan atau sembunyi berupa “pelayan”, juru rawat dan “murid sekolah” ini atau itu ringkasnya: kebenaran, keadilan dan kesucian Jepang untuk menutup kebangsaan dan kebudayaan militerisme-imperialisme Jepang.
Buat saya, perhitungan kalah menangnya Jepang memangnya penting dan sudah saya selesaikan semenjak terdesak oleh tentara Jepang di Shanghai pada tahun 1932, terdesak dari Amoy pada tahun 1937 dan akhirnya dan terutama sekali dari Singapura pada tahun 1942, ketika Inggris menyerah. Semenitpun tak ada pada saya pikiran hendak “kerjasama” dengan tentara Jepang, baikpun kalau dia menang ataupun kalah. Tetapi caranya mengoreksi kekuasaan Jepang dan caranya mengatur penghidupan diri, memangnya banyak berhubungan dengan kalah menangnya Jepang dan lama lekasnya kalah menangnya Jepang itu. 
Berlainan sekali dengan anggapan “ahli militer” Barat, bahwa serdadu Jepang, “a drille d automata” atau “trained robbot” (boneka dilatih), maka bukti di Malaya dan Indonesia menyaksikan bahwa prajurit Jepang lebih mempunyai inisiatif, keberanian dan ketabahan daripada serdadu Inggris ataupun Belanda. Opsir Jepang lebih pintar, lebih berani dan siap untuk berjibaku. Strategy Jepang pasti pula tidak kalah oleh strategy Barat. Seandainya Jepang pada permulaan perang bisa memberikan pukulan hebat kepada Amerika yang belum siap itu dalam satu bulan, ataupun lebih sedikit, maka mungkin benar Jepang tidak akan menderita kekalahan seperti sudah terjadi. Dalam hal ini boleh jadi sekali Jepang lebih daripada selangkah maju kepada tujuannya terakhir, ialah mengangkangi seluruh Asia dan dunia.
Tetapi setelah lebih kurang 2 tahun tidak juga bertekuk lutut, maka mulailah kekuasaan-produksi Amerika mengejar kekurangannya dan memperlihatkan kelebihannya. Lama-kelamaan dia dapat mengatasi persenjataan Jepang sekian banyak, sehingga kekalahan Jepangs sebenarnya sudah dikantongi Serikat.
Serangan Jepang dengan cara mencedera di Hawai itu, cuma setengah saja memberi kemenangan militer di Hawai. Memang banyak kapal perang Amereika yang tenggelam atau rusak, tetapi hampir semua pelautnya berdansa di daratan. Keselamatan ribuan pelaut itu banyak memberi bantuan atas usaha Amerika buat menambah kekuatan armadanya di hari depannya. Di masa itu latihan pelaut dianggap mengambil waktu tak kurang daripada 9 tahun lamanya. Dengan kader yang belum rusak itu sambil mengangkat kapal yang tenggelam, serta memperbaiki yang rusak, Amerika sebenarnya cuma mendapat tempeleng di pipi saja, bukan bacaokan seperti di leher atau di dada. Sebab tamparan di pipi itu Amerika tidak kehilangan tenaga., bahkan sebaliknya mendapat dorongan moril dan politik yang tidak disangka-sangka kuatnya buat mengumpulkan semua tenaganya yang sudah lahir dan masih tersembunyi.
Sebelumnya serangan Hawai, maka public opinion, suara umum di Amerikan belum sampai mendidih buat diajak memerangi Serikat-Fascist-Jerman-Italia-Jepang. Tidak dengan public opinion, Kongres tidak dapat digerakkan dan tidak bisa diumumkan oleh Negara Amerika. Yang berhak menentukan perang hanya Kongres dengan suara lebihnya. Dengan pencederaan Japang di Hawai, ialah menyerang dengan tidak memberi peringatan (ultimatum) lebih dahulu, maka public opinion berbalik sama sekali, sehingga Finance-Capital Amerika mendapat kesempatan memakai Kongres untuk menetapkan perang kepada Jepang.
Rodanya mesin perang Amerika setelah serangan Hawai, dapat bergerak dengan lancar kencang. Kaum modal Amerika dapat membuka bermacam-macam pabrik perang membuat senjata seperti mitraliur, meriam, mesin, kapal perang, pesawat terbang, dll. Dengan begitu pengangguran yang mengancam perekonomian dan masyarakat Amerika bisa terbasmi dan kaum buruh dan tani dapat pula dikerahkan ke luar negeri buat meluaskan jajahannya, menanam modal Amerika.
Keuntungan Jepang yang sedikit di Teluk Mutiara tidak seimbang dengan kerugian moril dan politik yang diperolehnya. Moril dan politik itulah yang akan menggerakkan mesin perang Amerika yang sampai sekarang belum ada yang dapat mengatasinya di dunia ini.
Kelebihan dalam keuletan, keberanian dan kenekatan serdadu dan opsir Jepang di darat, di laut dan udara pada permulaan perang, sesudahnya pencederaan di pelabuhan Mutiara, sehari demi sehari dibandingi dan akhirnya diatasi oleh kelebihan Amerika dalam geography, cacah jiwa, keuangan dan produksi, bahan, tekhnik, science (pengetahuan) serta moril. Dalam perlombaan mengatasi persenjataan Jepang itu, maka bom atom cuma memberi pukulan memperlekas saja. Logisnya Jepang yang sudah terkepung di laut dan udara; Jepang yang kekurangan makanan dan bahan perang itu lambat laun mesti menyerah atauh hancur binasa secara perlahan-lahan. Tak ada negara asing yang sebenarnya membutuhkan Jepang. Tetapi sebaliknya Jepang membutuhkan makanan dan bahan perindustrian dari negara asing, karena rapat penduduknya disamping kurus tanahnya.
Karena armada Jepang tidak dapat memberikan knocked out blow (pukulan terakhir) di Hawai dan karena dalam perhitungan saya, Amerika kalau dibandingkan dengan Jepang mempunyai staying power (tahan lama) yang jauh lebih besar daripada Jepang, lamakah Jepang bisa bertahan? Berhubung dengan ini, dimanakah tempat yang baik buat saya untuk menunggu rubuhnya “soap bubble” buih sabunnya kekuasaan militer Jepang itu?
Dalam sehari saja tinggal di Jakarta, saya sudah yakin, bahwa saya tidak akan lama bisa bersembunyi di sini. Tauke Silungkang di hotel bertanya kepada saya: “Siapakah tuan yang sebenarnya?” Jawab: ya, saya ialah bekas juru tulis dari salah satu toko di Singapura. “Bukan begitu” katanya pula “saya ingin tahu siapa tuan yang sebenarnya. Sebab rupanya pembicaraan tuan ada lain daripada yang lain”. Saya tetap memegang nama Hussein, ialah bekas juru tulis di Singapura. Memangnya buat seorang pelarian politik bilmana masyarakat penuh dengan udara politik, semuanya serba susah, berbicara susah dan diam-diam mencurigakan.
 Penumpang Sri Renjet, juga berasal dari Silungkang pula, tetapi bekas pelarian politik sesudah keributan Silungkang terjadi, lebih cerdik. Dia tidak bertanyakan apa-apa. Rupanya bisa menduga siapa saya dan perkenalkan saja saya seorang sahabat baiknya dekat Pasar Senen.
Saya sudah mendapatkan beberapa bukti tentang penghargaan Rakyat Indonesia dimasa Hindia Belanda terhadap orang pergerakan. Mungkin juga ada yang mengenal saya di jalan antara Singapura dan Jakarta itu, tetapi mereka tidak berniat menimbulkan kesusahan bagi diri saya. Banyak bukti yang menyatakan, bahwa Rakyat jelata Indonesia dimana mereka dapat menyembunyikan pemimpin atau rahasia pemimpin mereka memberi pertolongan sedapat-dapatnya. Sifat rakyat jelata kita, selau menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi penghargaan buat hari depan. Tahu berterimakasih  dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang berusaha membela bangsa atau kaum itu, adalah sifat yang pertama dan terutama untuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!
Tetapi berhubungan dengan sifatnya pertanyaan dan sifat para penumpang Sri Renjet seperti saya tuliskan diatas tadi, maka saya merasa tidak aman bagi kerahasiaan diri saya, jika saya lebih lama tinggal di kota seperti Jakarta. Semakin kurang bercampur dengan orang “kota”, teristimewa kota Jakarta semakin baik, ialah buat saya.
Selainnya daripada alasan tersebut, saya merasa perlu mengambil tempat yang agak sunyi buat menulis beberapa buku. (Madilog dan sebagian dari Aslia pada tahun 1942-1943). Jakarta kota terlampau ramai dan panas buat manusia.
Akhirnya pula karena saya lebih daripada 20 tahun sudah meninggalkan Indonesia maka perlulah saya kembali mempelajari keadaan yang amat berubah itu. Bayi yang saya tinggalkan 20 tahun  lampau sudah menjadi orang dewasa dan teman pergerakan sudah menjadi orang tua. Kota Jakarta sendiri sudah bertukar rupa.
Supaya saya dapat menyingkiri banyak perhatian orang “pintar” dan orang yang suka mengobrol di kota, menghemat, belanja, menuliskan beberapa pengetahuan dan pengalaman serta mempelajari keduanya kota dan desa, maka saya pilih  Rawa Jati, dekat pabrik sepatu Kali Bata sebagai tempat tinggal, atau lebih tepat sebagai tempat mondok.
Tidak jauh dari pabrik Kali Bata, saya menyewa salah satu bilik dalam jejeran bilik yang dipersewakan kepada kaum pekerja dalam pabrik tersebut. Panjangnya bilik itu tak lebih daripada 5 meter dan lebarnya lebih kurang 3 meter. Dindingnya pelupuh dan atapnya sebagian genteng dan sebagian jalinan daun rumbia.
Tetangga saya adalah seorang pemuda, berasal dari Cirebon dan bekerja sebagai pelayan mesin dalam pabrik tersebut. Dia beristerikan perempuan dari Cirebon juga. Tidak jauh lagi tinggal seorang pekerja juga yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah bekerja di Seberang. Diapun mempunyai keluarga. Rapat benar perhubungan kami bertiga, di masa itu. Ada lagi sahabat saya dan lain-lain diantara kaum buruh dan orang kampung.
Penghidupan sebagai rakyat Rawa Jati, ialah bercocok tanam. Kebanyakan rumah penduduk berada dalam kebun sawo, sirih, nangka, salak, pepaya dll. Memborong buah-buahan dan menjualkannya ke kota Jakarta inilah pula pencarian hidupnya sebagian lainnya rakyat di sekitarnya Rawa Jati. Antara Rawa Jati dengan Pasar Minggu, yang terletak di sebelah Selatan, adalah sedikit kurang daripada satu jam perjalanan. Sekitar Pasar Minggulah tempat tanaman buah-buahan yang sesungguhnya. Jaraknya Rawa Jati dengan Bukit Duri, sekitar Jakarta kota adalah satu jam perjalanan pula. Disepanjang jalan ke Jakarta, kita  berjumpakan rumah penduduk ditengah-tengah kebun buah-buahan. Dekat Bukit Duri ada bengkel Manggarai, ialah bengkel kereta yang terbesar di masa Hindia Belanda. Diwaktu saya berada di Rawa Jati, tak kurang daripada 6000 buruh yang bekerja dalam bengkel Mangarai dan lebih kurang 600 orang yang bekerja pada pabrik sepatu Kalibata. Kabarnya konon angka-angka tersebut adalah rendah sekali, kalau dibandingkan dengan dahulu sebelumnya pendudukan Jepang.
Pertanian yang sebenarnya, barulah terdapat di sebelah selatannnya Pasar Minggu, atau lebih baik lagi di sebelah timurnya garis Jakarta-Pasar Minggu, ke arah Krawang. Disinilah kelihatan sawah yang luas dan subur. Demikianlah pula buat saya Rawa Jati cukup memenuhi syarat untuk mempelajari penghidupan rakyat di kota seperti Jakarta dan desa-desa sekitarnya, dan penghidupan kaum buruh dalam perusahaan besar. Inilah tempat yang amat saya perlukan untuk mencari pengalaman, sesudah meninggalkan Indonesia sekian lama.
Saya hidup amat murah, terpaksa pula saya murahkan dan dapat pula murahkan. Tak pernah saya selama setahun lebih berbelanja lebih daripada F 6,- (tertera enam rupiah) sebulan, baik sewa rumah serta makan minum. Sewa rumah adalah F 2,- sebulan dan belanja sehari adalah lebih kurang 13 sen. Tak pernah saya mengendarai becak atau tram, kalau saya pergi ke Jakarta. Saya beli beras, kayu, minyak dan sayur mayur sendiri dan masak sendiri. Pada ketika itu beras, ialah pokok perekonomian hidup rakyat cuma 6 sen saja seliter. 15 liter sebulan sudah lebih daripada cukup buat saya. Sayur, minyak dan kayu masih amat murah harganya pada tahun permulaan pendudukan Jepang itu.
 Seluruhnya pagi hari, dari pukul enam sampai pukul 12 atau satu, saya pakai buat menulis. Sesudahnya itu saya memasak, sore dan malam saya pergunakan waktu buat berjalan-jalan di sekita Rawa Jati dan bercakap-cakap dengan buruh, tani, pedagang kecil dan para “jago”. Tidak pernah kurang daripada 3 kali seminggu saya pergi ke Jakarta, untuk membaca buku dan surat kabar dalam perpustakaan di rumah arca (museum) di Gambir, Jakarta. Biasanya saya bangun jam setengah lima pagi, berangkat jam lima pagi dan sampai pada jam sembilan di Gedung Arca tadi. Lebih kurang jam satu perpustakaan saya tinggalkan. Biasanya saya bertualang di kota Jakarta untuk mempelajari keadaan didalam kotal. Kemudian para hari petangnya saya kembali berjalan kaki menuju ke “sarang” saya di Kali Bata. Demikianlah saya pertukarkan menulis dan membaca, bekerja dan berjalan, bercakap-cakap dan merenungkan percakapan itu lebih daripada setahun lamanya ditengah-tengah masyarakat yang bergelora, masyarakat seperti kabut yang mengandung hujan dan petir.
Kalau saya tidak lupa, maka Madilog saya tulis dalam jumlah 720 jam. Mulanya saya tidak mendapatkan pembacaan untuk membantu atau menambah peringatan saya, karena selainnya dari dua tiga jilid buku sekolah, saya sama sekali tak mempunyai buku semenjak tahun 1937. Di belakang hari saya mendapatkan perpustakaan di Gambir tadi. Sebagian besar Madilog, ialah semua yang berhubungan dengan tulisannya Marx, Engels, Mehring, Plechanoff dan Lenin terpaksa saya catat dari luar kepala saja. Yang sebagian berhubungan dengan Logika, sebagian (Russel) saya catat diluar kepala dan sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan pembacaan di perpustkaan Gambir. Demikian pula halnya dengan perkara yang berhubungan filsafat, ilmu bintang, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu yan hidup (biologi), matematika dll, sebagian saya catat dari peringatan dan sebagian dari buku yang didapat. Keterangan yang lebih lanjut ada tertulis dalam pendahuluan Madilog.
Buku ASLIA baru setengah saya tulis. Saya terpaksa meninggalkannya, dari tahun 1943 sampai sekarang (30 November 1947). Yang sudah saya uraikan ialah yang berhubungan dengan bumi-iklim, kebangsaan, sejarah politik dan sedikit perekonomian. Yang terpaksa belum saya jelaskan ialah bentuknya perhubungan antara satu bagiannya ASLIA dengan bagian ASLIA lainnya dan akhirnya perhubungan antara semua bagian dengan pusat. Amat saya sesalkan hal itu, tetapi saya terpaksa membiarkan pekerjaan saya itu terbengkalai sampai sekarang. Amat saya sesalkan, kaena kini sudah lebih nyata, bahwa kemerdekaan 100% buat Indonesia kita, terutama dihari depan lebih terjamin atas kekuatan sendiri, digantungkan dengan tenaga dengan tetangga yang bersamaan hawa iklim, kebangsaan/kewargaan, bahan mentah, perekonomian dan kebudayaan dengan perhitungan federasi, dari macam yang serenggang-renggangnya sampai federasi yang serapat-rapatnya dan sekolah-kolahnya. Dalam hal membentuk ASLIA, meskipun saya banyak juga mendapatkan bahan dalam perpustakaan di Gambir, tetapi amat saya sesalkan catatan yang terpaksa saya lemparkan ke laut ketika mendekati Rangoon, seperti sudah saya tuliskan lebih dahulu. Catatan tersebut banyak sekali mengandung bahan yang aktual, hidup, hasil observation, penglihatan saya sendiri, sekian tahun lamanya di Asia Tenggara dan Timur jauh.
Penghidupan rakyat di masa itu (1942-1943) belum berapa bedanya dengan di zaman Belanda. Harga uang Jepang pun belum berapa bedanya dengan uang Hindia Belanda. Upah buruh rendahan (unskilled) lebih kurang F. 0.50,- sehari dan buruh yang tukang lebih kurang F. 1.50,- sehari, juru tulis F.15,- sebulan sampai F.60,- atau lebih. Kerendahan upah buruh Indonesia, kalau dibandingkan dengan upah buruh di Eropa atau Amerika bolehlah rasanya digambarkan dengan upah seorang buruh tukang di Manggarai, yang menurut kabar, sesudah bekerja selama 25 tahun (dari murid, leerling sampai menjadi tukang) berhenti dengan gaji E.50,- (tertera lima puluh rupiah) sebulan. Sebelum perang dunia kedua ini, maka gajinya buruh tukang di Amerika adalah $ 16,- atau F. 40,- sehari.
Ada pencocok tanam yang umpamanya mempunyai 10 pohon sawo atau lebih. Ini sudah dianggap orang yang berpunya. Apalagi kalau dia bersama itu mempunyai pula pohon kelapa, singkong, rambutan atau nangka. Tetapi kebanyakan penduduk disekitarnya Rawa Jati tidak cukup mempunyai tanah dan tanaman yang memberikan hasil. Kebanyakan mereka terpaksa memburuh atau berdagang disamping bercocok tanam itu. Banyak yang membeli buah-buahan dan memperdagangkannya ke Jakarta. Kereta api Bogor – Pasar Minggu – Jakarta selalu penuh dengan pedagang buah-buahan semacam itu. Tidak pula sedikit mereka yang memikul dagangannya dari Pasar Minggu ke Jakarta. Biasanya mereka masuk kampung keluar kampung memperdagangkan barangnya. Biasanya dengan pokok F.1,- mereka setelah petang hari dapat kembali dengann jumlah F. 1.25,- jadi dengan untung F.0.25,- sehari. Kita baru mengerti nasibnya mereka, kalau diketahui pula, bahwa pedagang atau lebih tepat pemikul barang-barang ini harus membantu keluarganya dengan untung sedikit itu pula. Lebih kita insafi pula nasib ribuan si-kecil ini, yang hidupnya sudah terdesak dari kota ini, kalau kita ketahui, bahwa mereka harus berjalan kaki di musim hujan pada bulan Desember, Januari, Februari melalui hujan dan tanah yang lincah seperti sawah. Semakin lama Jepang berdiam semakin buruklah nasib mereka. Kaum buruh sering-sering mendapat pembagian makanan dan pakaian. Tetapi memikul barang dagang harus hidup dengan F.0.25 sehari itu. akhirnya mereka tak mempunyai lain daripada rombengan dan pakaian tempelan yang ada pada bagian dirinya dan anak istrinya.
Syahdan kisahnya seorang pedagang kecil!!! Dari Pasar Minggu dipikul barangnya ke Jakarta. Tak kurang daripada empat jam lamanya dia berjalan. Diletakkannya bakulnya berisi pisang yang diborongnya di Pasar Minggu disalah satu simpang jalan di depan salah satu kantor. Tempat ini sudah lama dan biasa didudukinya, karena banyak orang lalu lintas disini, jadi laku pisangnya. Tetapi bakul dengan pisangnya itu tidak memberi pemandangan yang indah dan lama kelamaan tidak dapat menahan hatinya “saudara tua” yang duduk diatas kursi di kantor tersebut. Pada suatu hari disuruhnya seorang “kai-sat-su” (agen polisi) melarang orang itu berjualan disana.
Kai-sat-su : “Bang, janganlah abang berjualan disini”!
Penjual     : “Sudah lama saya berjualan disini. Ada apa si?”
Kai-sat-su : “Saya disuruh Nippon melarang abang menjual pisang disini”.
Penjual     : “Masa bodoh! Kalau mau perkara, perkara deh! Kai-sat-su kembali 
kepada tuan Nippon menceritakan pengalamannya dengan penjual tadi. 
Sekarang tuan Nippon sendiri pergi berhadapan muka dengan penjual 
pisang.
            Tuan Nippon: “Sebab apa senang sekali?”
            Penjual      : “Dulu saya miskin, sekarang saya kaya!”
            Tuan Nippon: “Tercengang dan bertanya: “Apa betulkah?”
            Penjual      : “Betul tuan! Lihatlah baju saya dulu cuma satu macam. Sekarang tuan  
                                lihat sendiri, sudah berapa macam. Ada yang putih, yang hitam, hijau, 
                             dll”

Melihat baju tambalan dari bermacam-macam warna yang dimaksudkan itu, maka tuan Nippon senyum sambil menepuk-nepuk bahunya penjual itu dengan perkataan: ya sabar dulu saja!
Pedagang pisang pulang dan menyangka perkara itu sudah selesai. Besok harinya dia kembali ke tempat itu pula dengan bakulnya yang penuh dengan pisang. Tuan Nippon datang pula buat mengunjungi dan bertanya: “Ini pisang apa?”
Penjual : “Ini pisang raja tuan”.
Tuan Nippon tahu bahwa itu bukan pisang raja namanya. Dan melihat warna mukanya pedagang itu tuan Nippon merasa dikasih sindiran (Jakarta). Sebab itulah dia bertanya terus: “Pisang raja apa?”
Penjual yang rupanya sudah memuncak kejengkelannya menjawab: “Pisang raja Australi namanya.”
Si Jepang menjadi marah! Dia dengan sepatu kaplaarnya naik ke atas bakul menginjak-nginjak pisang sampai menjadi lumpur. Setelah kedua bakul penuh dengan lumpur pisang dan sepatunya berlumuran pisang pula, barulah si Jepang turun dengan lubang hidung terbuka dan suara mendengus-dengus seperti kerbau marah; hrm, hrm, hrm.
Untunglah si Jepang menimpakan kemarahannya kepada pisangnya si penjual saja. Abang Jakarta, kalau sudah terdesak tak akan segan-segan pula memakai parangnya yang selalu ada di pinggangnya. Tetapi buat penjual sendiri, lebih baiklah pulang menemui anak istri walaupun kehilangan pisang daripada memasuki kantor Kempe-tai dengan kemungkinan kehilangan kepala! Lagi pula dia juga sedikit merasa puas. Betul bakulnya berlumuran pisang. Yang lebih memuaskan pula, ialah perkataan raja Australia sudah disemburkannya kepada si Jepang tadi.
Yang selama ini disegani oleh Jepang antara prajurit berkulit putih ialah bangsa Australi. Pada masa itu tersebar pula kabar angin, bahwa kekalahan Jepang dekat Australi lebih berat daripada yang disembunyikan dalam surat-surat kabar di Indonesia. Kalimat seperti “Armada Nippon atau Garuda Nippon kembali ke pangkalan dengan selamat’ atau Armada musuh masuk perangkap di “Solomon” lazim sekali dipakai untuk menyembunyikan kekalahan Jepang.
Entah gara-gara saja, entah benar, tetapi kabar yang dibawah ini tepat benar menggambarkan temper, perasaan hati, serdadu Jepang pada masa pertempuran Solomon itu. Sikap pasti menang, ketika saudara tua baru masuk itu mulai bertukar dengan kesangsian, dan ucapan “Nippon Indonesia sama-sama” mulai bertukar dengan makian “genjumin bagero”.
Kabarnya, ada orang Indonesia yang bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa dia baru saja melihat 12 pesawat Jepang berangkat dan menyaksikan cuma 11 saja yang kembali. Dia dipanggil oleh Kempei-tai dan diberi entah teguran, entah tamparan, entah kedua-duanya. Kabarnya pula orang itu juga keesokan harinya, sengaja atau tidak, bercerita pula kepada kawan-kawannya, menceritakan, bahwa dia melihat 12 pesawat berangkat dan menyaksikan 13 yang kembali. Dia dipanggil pula oleh Kempei-tai dan pasti diberi tamparan untuk melarang menceritakan apa-apa tentang garuda Jepang yang tak mungkin dan tak pernah kalah itu.
Semakin kurang “kemenangan tentara Nippon” yang dapat dilaporkan oleh surat-surat kabar, lekas tersinggungnya perasaan “saudara tua” terhadap “saudara muda” dan semakin cepat keluarnya makian dan tamparan dan akhirnya semakin giat bekerja Kempei-tai dan kaki tangannya Kempei-ho. Sikap “ramah-tamah” dari “saudara tua” terhadap “saudara muda” yang sebangsa-seketurunan” seperti pada permulaan pendudukan Jepang, lambat laun bertukar menjadi sikap Tuan Besar Nippon terhadap genjumin bagero yang harus diawasi perkataan dan perbuatannya.
Dengan turunnya prestasi (hasil pekerjaan) Jepang dalam dunia kemiliteran, dimata rakyat Indonesia, maka bertambahlah rasanya kesempatan bagi saya, buat menjelaskan kelemahan dan membuka topengnya Jepang dimata rakyat. Perkataan yang pada permulaan harus saya bungkus sewaktu-waktu seawas-awasnya, maka pada para sahabat yang paling dekat lagi, lama-kelamaan, diantara empat mata, sudah dapat saya ucapkan tak lagi dengan tedeng aling-aling. Dengan semakin sukarnya penghidupan rakyat, semakin lekaslah kritik terhadap militerisme Jepang itu diterima oleh rakyat kita.
Tetapi memang kaki tangan sewaan berupa mata-mata banyak berkeliaran. Sedikit saja kelihatan tidak cocok dengan yang biasa, maka segeralah mereka pergi kepada tuannya.
Begitulah pada suatu hari dengan tiba-tiba saya didatangi oleh Assisten Wedana Pasar Minggu. Dia seorang muda terpelajar. Dia masuk ke bilik saya dan berkata, bahwa dia “terpaksa” memeriksa barang saya. Dimintanya saya membuka koper saya. Kutyo (Wijkmeester) tuan bek dan juru tulisnya tidak masuk. Mereka menunggu di depan pintu. Tidak berapa Assisten Wedana tadi membalik-balikkan pakaian saya, maka mukanya bertukar dari kecurigaan menjadi kemalu-maluan. Dia ambil saja satu catatan saya dalam bahasa Inggris, ialah catatan tentang keadaan sejarah Indo-China dalam bahasa Inggris dan Jerman yang saya kutip dari perpustakaan di Gambir. Dia bacakan catatan itu dengan suara yang agak keras, entah buat menunjukkan bahwa dia juga mengerti kedua bahasa asing itu, entah buat memperlihatkan, bahwa dia juga menaruh perhatian pada catatan semacam itu. Setelah dilihatnya buku karangan salah seorang pemimpin Indonesia yang saya beli di Jakarta, maka dia meminjam buku itu kepada saya. Saya tidak keberatan.
Untunglah pada jam itu saya tidak menulis lagi. Semua tulisan saya yang bukan kutipan, memangnya selalu saya simpan di tempat yang istimewa. Assisten Wedana cuma dapat mendapatkan barang, buku dan catatan yang boleh dibaca oleh semua orang saja.
Setelah semuanya selesai, maka malam harinya datanglah Kutyo dan juru tulis mengunjungi saya, untuk menyatakan penyesalannya. Mereka berkata, bahwa mereka menolak usulnya Asisten Wedana itu menggeledah barang saya, dan menerangkan bahwa mereka berani memberi jaminan, bahwa saya orang baik. Tetapi “orang muda” itu tidak mau mengindahkannya. “Buat menutup kemaluannya”, kata tuan Kutyo dan juru tulis tadi seterusnya, “maka dia pura-pura meminjam buku kepada tuan”. Tuan Kutyo dan juru tulis menerangkan pula kepada saya, bahwa pengaduan kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu dilakukan oleh seorang Dantyo (Mandor besar) di pabrik Kalibata. Dia seorang Tionghoa yang lahir di Padang dan mengaku sebagai orang Indonesia asli Padang. Saya sama sekali tidak berkenalan dengan dia, bahkan melihat mukanyapun saya belum pernah. Rupanya dia hendak berjasa kepada tuan Nippon, dan mungkin juga untuk menutupi kedoknya selama ini maka dia memfitnahkan saya kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu. Kalau dia mengaku bahwa dirinya orang Tionghoa, maka ia harus membayar F.100,- uang jaminan yang terkenal. Rupanya ia mau menyingkiri pembayaran ini.
Setelah hal penggeledahan Assisten Wedana saya ceritakan kepada tetangg saya, maka tidak dengan pengetahuan saya, tetangga ini pergi mengunjungi Tionghoa yang mengaku orang Indonesia itu. Rupanya mereka bertengkar. Tak lama diantaranya tetangga dan teman-temannya di pabrik mengadakan daftar buruh yang saban hari “dimakan” oleh Dantyo Tionghoa itu. Dia mau dirinya diakui sebagai orang Indonesia. Tetapi dia tidak segan-segan menghisap hasil tenaga orang Indonesia dibawahannya, yang sudah kurus kering dihisap Jepang itu dan mengorbankan orang Indonesia kepada Kempeitai. Di belakangnya, di depan tuan Jepang dia mengakui, bahwa semua buruh yang dimandorinya itu sudah lama dilintah-daratinya dan meminta maaf. Si Jepang rupanya memang lekas memaafkan kaki tangannya asal saja jangan merugikan kepada bangsa sesama, anak dewa sendiri. Di belakang hari orang Indonesia yang kedapatan “mencuri” beberapa buah paku, dijemuri dua tiga hari, ditampari dan diusir.
Meskipun saya sudah mendapat bukti, bahwa kaki tangan Jepang, yang kian hari kian banyak itu sudah menaruh perhatian kepada saya, tetapi saya belum menghilang, sebab saya ingin dan masih perlu mendapat kepastian, tentang satu hal yang penting ialah: Akan bagaimanakah jadinya status Indonesia dimasa pendudukan Jepang? Memangya saya ingin hendak mengetahui sampai manakah Jepang bisa dan mau memberikan hak politik kepada Indonesia. Dan berhubung dengan itu akan sampai manakah ada kemungkinan buat saya untuk hidup dan bekerja.
Saya baca dalam surat kabar dan tersiarlah kabar sampai ke Rawa Jati bahwa di kebun binatang Jakarta akan diadakan rapat raksasa. Yang akan bicara ialah Mr. Syamsudin, pemimpin 3A dan Ir. Sukarno yang baru kembali dari tempat pengasingannya yang paling belakang ialah Sumatera Barat. Di jalan-jalan sudah tertulis ditembok slogan yang berbunyi:
NIPPON cahaya Asia!
NIPPON pelindung Asia!
NIPPON pemimpin Asia!
Pada pertama kalinya saya melihat slogan semacam itu, maka dalam hati saya timbullah pertanyaan: Kenapa tidak 3N? Bukankah Nippon 3 kali disebut dalam slogan itu dan pertama kali pula disebut. Seakan-akan slogan itu hendak menyembunyikan arti yang sebenarnya ialah:
 NIPPON penggelapan Asia!
NIPPON perampas Asia!
NIPPON penipu Asia!
Saya tidak kenal dirinya Mr. Syamsuddin! Tetapi bagaimanapun juga saya pikir pemimpin Nasionalis Asia, seperti Tilak; Mustafa Kemal dan Sun Yat Sen akan berbalik dalam kuburnya kalau mendengar slogan 3A itu! Pendeknya gerakan 3 A sama sekali tidak memuaskan saya. Bahkan sebaliknya sangat mengecewakan. Tetapi siapa tahu barangkali nanti dalam rapat di kebun binatang itu akan mendapatkan apa yang saya harapkan dari Banteng Besar Indonesia selama ini. Tetapi sebelumnya Banteng Besar Indonesia keluar, hati saya sudah dipatahkan oleh tampil ke depan dan pidatonya seorang Jepang (entah benar orang Islam) yang mmperkenalkan dirinya sebagai Abdul Hamid Ono. Saya tidak dapat memastikan kealimannya dan kejujurannya Islam Jepang ini. Indonesia sudah cukup mempunyai pengalaman dengan Muslimin seperti Snouck Hurgronje dan Van de Plas. Saya pikir seorang Muslimin yang diperalat oleh imperialis-kafir majusi tak ada bedanya dengan seorang Muslimin yang diperalatkan oleh Imperialis-kafir-kitabi.
Selain daripada pemikat dengan agama, militerisme Jepang mengadakan pemikat dan mata-mata politik yang berupa manusia Simizu. Inggris yang pada Perang Dunia ke-I melahirkan Laurence of Arabia, buat memata-matai, memikat dan menipu bangsa Arab, demikianlah militer Jepang, penipu di Asia mencetak beberapa Laurence di Tiongkok, Philipina dan Indonesia. Cuma Laurence Jepang lebih kentara pekerjaannya. Kemana saja Banteng Besar Indonesia pergi diikutinya, sampai membosankan dan menjijikkan orang yang melihat. “Manusia” Simizu pun hadir dalam rapat tersebut diatas, dan tentulah berbicara pula.
Akhirnya tampillah ke depang yang ditunggu-tunggu selama ini, ialah Banteng Besar Indonesia Ir. Sukarno. Yang saya masih ingat diantaranya isi pidato Banteng Besar Indonesia ini sampailah sekarang ialah: pertama yang mengenai dirinya sendiri, dimasa serangan Jepang di Sumatera, kedua yang mengenai dasar politiknya. Kedua hal itu acap kali pula diucapkan dibelakang daripada beberapa rapat raksasa yang saya kunjungi di tanah lapang Gambir.  
Maka yang mengenai dirinya Banteng Besar Indonesia itu, ialah, dia dilarikan oleh Residen dari Bengkulen ke Padang, ketika Jepang menyerang. Yang mengherankan saya cuma, kenapa sebuah Residen, yang ketakutan seperti tikus tersempit itu masih bisa melarikan Banteng Besar Indonesia yang berada ditengah-tengah jutaan rakyat Indonesia yang cinta kepadanya dan benci kepada penjajahan Belanda itu. Sebenarnya saya, sebagai seorang pelarian, merasa malu mendengarkannya dan sebenarnya saya akan lebih suka mendengar kalau sebaliknya yang terjadi, ialah Banteng Besar Indonesia yang melarikan tikus Belanda yang sudah setengah mati ketakutan itu.
Maka yang mengenai dasar politiknya Banteng Besar Indonesia berbunyi lebih kurang: “Kalau Liong Barong-Sai dari Tiongkok, Gajah Putih dari Muangthai, Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Sphine dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia dengan disinari oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka Dunia Imperialisme sekutu akan hancur lebur”.
Tentulah spion Simizu cocok dengan isinya perkataan diatas! Pertama sekali buat spion Simizu perkataan bersatu yang diucapkan oleh Banteng Besar Indonesia itu ialah apa yang sudah ditaburkan oleh serdadu Jepang dimana-mana, ialah Nippon Indonesia sama-sama dan seterusnya persatuan Dai Toa, Asia Timur Raya, yang dalam hakekatnya berarti: Semua kekayaan, harta benda, tenaga, dan “kecantikan” Indonesia dan Asia untuk orang Jepang. Kedua “Disinari oleh matahari Dai Nippon” mempunyai maksud yang dalam, yang batin, mengenai kepercayaan bangsa Jepang. Inilah pula yang sebenarnya terselip dalam semboyan 3A pada garis pertama, ialah Nippon cahaya ASIA. Menurut kepercayaan Jepang, resmi dimasa itu, maka kepulauan Jepang dibikin oleh Dewi Amaterasu O Mikami, Dewi Matahari. Tidak disebutkan dari apa dibikinnya. Entah dari kosong (nothing) entah dari tanah dan air, entah dengan firman, entah dengan kaki tangannya. Tetapi Dewi MATAHARI tadi menurunkan (entah dengan apa pula!!) cucunya ke kepulauan Jepang. Namanya cucu ini ialah Jimu. Gelarnya Tenno Heika, dalam bahasa kita artinya lebih kurang, ialah anak Matahari. Rakyat Jepang yang 70 juta itu katanya berasal dari anak Langit itulah. Dewi Amaterasu tadi rupanya ada pula bapaknya, ialah Izatagi O Mikote. Ibunya ialah Izanagi O Mikote. Jelaslah sudah, bahwa MATAHARI itu penting sekali buat kepercayaan dan hidupnya Jepang. Disinari MATAHARI DAI NIPPON buat Jepang sendirinya disinari oleh kepercayaan Jepang.
Kalau seperti pidato Banteng Besar Indonesia, bahwa Asia, dari Liong Barong-sai-nya sampai ke Banteng Indonesia bersatu disinari pula oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka ucapan semacam itu  (yang benar-benar dipahamkan oleh tentara Dai Nippon dan Tenno Heika-nya), tentulah sangat menggembirakan hati mereka!
Spion Simizu tentulah senyum simpul mendengarkan pidato Bung Karno yang “berapi-api”, “bernyala-nyala” dan “berkobar-kobar” membangkitkan Rakyat Indonesia itu! Atau Hamid Ono (atau Ona?) mungkin pula bukan menganggapnya sebagai ucapan yang murtad ialah sebagai ucapan yang dianggapnya bertentangan dengan syahadat, sendi pokok agama Islam, yakni: Tidak ada Tuhan melainkan Allah (Laila-ha-illalah).
Pada petangnya saya kembali ke Rawa Jati dengan amat kecewa sekali. Dalam pidato Bung Karno yang berapi-api tadi, tujuan yang jelas sedikitpun tidak saya peroleh. Tetapi semenjak tahun 1927 saya menunggu-nunggu, maka ringanlah buat saya menunggu sedikit lama lagi. Siapa tahu (dan seharusnya pula), kalau-kalau Bung Karno bekerja secara “illegal”. Akhirnya saya bacalah pula dalam advertensi dan di dinding dimana saja, bahwa tentara Jepang memperkenankan bangsa-bangsa Indonesia mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan Empat Serangkai: Bung Karno, Moh. Hatta, Dewantoro dan Kyai Mansur.
Menurut desas-desus yang saya tangkap diluar golongan “Nippon-Indonesia sama-sama”, pada masa Banteng. Tetapi karena Barisan Banteng menunjukkan semangat radikal, maka barisan Banteng dibubarkan oleh tentara Jepang. Buat terus menerus menina-bobokkan Rakyat Indonesia dan memberi sedikit pekerjaan kepada “para pemimpin” Indonesia, maka tentara Jepang mengizinkan berdirinya PUTERA itu.
Sayapun tak ketinggalan mengunjungi “Rapat Raksasa” sebagai upacara berdirinya PUTERA. Agak besar juga mata saya mendengar ucapan Bung Karno yang mengatakan, bahwa Jepang tak turut campur tangan dalam “urusan PUTERA”. Inilah yang mau saya pastikan berhubung pula dengan janjinya Jepang hendak memerdekakan Indonesia “dikelak kemudian hari”. Dalam surat kabarpun dituliskan, Jepang tak akan turut campur dalam urusan PUTERA.
Tetapi seperti janji Jepang yang lain-lainnya, maka janji inipun segera dibatalkannya dengan perbuatan. Tidak berapa lama dibelakangnya, maka tercantumlah pula dalam surat-kabar namanya orang-orang Jepang sebagai “penasehat” – nya PUTERA.
Saya belum putus asa! Gedung No. 19 di Jalan Sunda Jakarta selalu saya perhatikan, tiga kali seminggu kalau saya lalu lalang dari Rawa Jati ke Gambir pulang pergi. Siapa tahu mungkin ada “aksi yang “illegal” yang diselimuti oleh PUTERA ini.
Saya sudah tua dalam gerakan “illegal” itu. saya juga dapat melihat-lihat tanda, kalau memang ada aksi illegal. Tetapi saya tidak melihat tanda apa-apa dan pidato Bung Karno yang dibelakang hari saya dengar di rapat raksasa di tanah lapang Gambir tak ada bedanya dengan yang saya dengar di kebun Binatang lebih kurang setahun yang lampau. Sebaliknya dari lamanya maka desas-desus, membubarkan PUTERA sudah terdengar pula. PUTERA sudah membosankan rakyat pula seperti 3A dahulunya. Setelah saya berada di Bayah, saya mendengar kabar bahwa PUTERA dibubarkan, diganti dengan Hokokai. Buat saya namanya saja sudah memuntahkan. Isinya boleh diterka sendiri.
Demikianlah tentara Jepang, sambil memakai harta benda dan tenaga rakyat Indonesia buat mencapai kemenangannya yang terakhir, dia menentramkan rakyat Indonesia dengan perkataan dan perjanjian yang bagus muluk dan melengah-lengah para pemimpin rakyat, dengan memberi izin bermain-main dengan perkumpulan demi perkumpulan, dari 3A sampai ke Hokokai, supaya jangan lekas bosan. Di samping itu rakyat jelata diperalatkan langsung sebagai Heiho, Kempei-ho dan Kaisatsu, dan diperdayakan serta dipersiapkan dalam bermacam-macam latihan dalam  barisan Keibodan, Seinendan, Suisintai, Peta dan Jibakutai. Kalau sekiranya dalam peperangan Asia Timur Raya ini Jepang menang, maka tenaga perburuhan dan kemiliteran Indonesia kelak dapat dipakainya dilain tempat di Asia buat menindas bangsa Asia yang lain atau mengusir imperialisme Barat dari Asia seluruhnya. Setelah akhirnya seluruh Asia dikangkanginya, maka Jepang bermaksud hendak mengangkangi seluruh dunia! (Menurut rencana Baron Tanaka).
Walaupun pidatonya Moh. Hatta, yang biasanya hambar itu dengan ucapan “lebih baik kita tenggelam di dalam dasar lautan, daripada dijajah kembali” sedikit menjadi asin, tetapi kalau saya ingat pula, bahwa “ahli ekonomi” ini berhasrat menjadikan Indonesia daerah Asia Timur Raya yang menghasilkan bahan mentah buat ditukarkan dengan hasil perindustrian di kota-kota Jepang, supaya ada pertukaran antara Indonesia dan Jepang serta menghindarkan bahaya industrialisasi di Indonesia. (Bacalah Nomor Peringatan berkepala Ekonomi Perang pada tahun 1944?), maka “ahli” ekonomi inipun tidak memberi harapan sedikitpun kepada saya. Bahkan “ahli” ekonomi inilah yang saya pandang dengan langsung menjalankan politik “co-prosperity” Jepang, “kemakmuran bersama” yang dalam prakteknya akan menjadikan Jepang pusat perindustrian, kemesinan, pengetahuan dan kebudayaan, disamping Indonesia yang akan dipaksakan menjadikan jajahan Jepang yang menghasilkan bahan mentah dan makanan. Indonesia yang tidak membutuhkan kemesinan, pengetahuan teknik dan ilmu Bukti, jadinya Indonesia yang terdiri dari kebun, tambang, hutan, lautan dengan kuli, romusha serta “ahli” seperti Doktorandus Mohammad Hatta cs.
Sudah cukup rasanya saya obori semua pemimpin yang “terkemuka” dan kumpulan yang berada di atas tanah selama lebih daripada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa akan datang perubahan dalam organisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi. Sebaliknya pula makin cepat masuknya padi, emas-intan, Prajurit dan gadis Indonesia ke tulang rahang, diantara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang, diangkut oleh para pemimpin resmi itu.
Cukuplah pula rasanya selama itu saya pelajari keadaan Rakyat Murba di kota Jakarta, pabrik, kampung dan desa sekitarnya. Buruh, tani, pedagang menengah kecil sudah cukup saya kenal dari dekat sekalip; rumah tangganya, keluarganya, pencahariannya dan senang susahnya serta pekik tangisnya.
Cukuplah pula rasanya saya menuliskan pengetahuan dan pengalaman saya buat hari depan dan akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya, sudah cukuplah rasanya saya memakai uang simpanan, hasil tenaga dan jerih payah selama bertahun-tahun lampau.
Berhubung dengan tiga soal tersebut diatas dan berhubung pula dengan bertambah banyaknya kaki tangan Jepang yang ingin berjasa kepada tuannya, maka saya merasa perlu sekali mendapatkan sekitar baru, suasana baru dan pekerjaan baru, dengan dasar “bekerja untuk hidup dan paham”. “Pekerjaan apa dan dimana” inilah yang menjadi pertanyaan dalam diri saya sendiri sehari-hari. Bekerja dalam kota Jakarta sama sekali tidak saya kehendaki, walaupun ada suatu pekerjaan. Dalam hal timbang menimbang dan cari mencari ini tampaklah berkali-kali dalam surat kabar tulisan yang kira-kira berbunyi:
“Orang-orang terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasehat Balatentara Dai Nippon, Pegangsaan Timur 36, dengan datang sendiri atau mengirimkan keterangan biografi lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak”.
Di pasar Senen saya sudah lama mendengar keterangan, bahwa yang duduk dalam kantor “Penasehat” Balatentara Dai Nippon itu tak kurang, tetapi juga tidak lebih daripada Drs Moh. Hatta, sebagai pegawai tinggi.
Kantor “Penasehat” Balatentara Dai Nippon saya ketahui benar letaknya, tetapi tak pernah menarik perhatian saya. Dan karena yang diminta mendaftarkan diri itu hanya “orang-orang terkemuka” saja dan satu daripada yang terkemuka yang menjadi “penasehat” kantor itu sudah bisa saya duga dalam dangkalnya, maka saya tidak merasa tertarik oleh golongan terkemuka itu.
Tetapi kembali pertanyaan dengan mendesak: “Pekerjaan apa dan dimana?”
Dengan pikiran yang sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang pasti dan dengan kaki yang diayunkan seolah-olah otomatis, tiba-tiba saya masuk ke Gedung Arca. Terus ke kamar perpustakaan. Pembaca agak banyak hari itu, sebagian besar rupanya mahasiswa. Sekonyong-konyong sedang saya membalik-balik halaman buku, pintu dibuka oleh seorang berusia lanjut dan berperawakan tinggi yang katanya dengan suara keras; “Maafkan saya bertanya, siapakah diantara tuan-tuan yang dapat membantu saya! Disini ada tulisan dalam bahasa Inggris, yang saya kurang mengerti!” Mendengar suara itu saya berdiri, agak kemalu-maluan, dibelakang kursi menutupi kemeja dan celana saya yang sudah usang dan tidak disetrika, menunjukkan bahwa mungkin saya sanggup membantu.
Tuan Purbocaroko dibelakangnya baru saya tahu bahwa penanya ini tak kurang dari Dr. Purbocaroko pengurus perpustakaan! Datang mendekati saya sambil membuka buku dan menunjukkan satu kalimat, yang kurang jelas dari pujangga yang masyhur itu. Saya belum pernah baca buku itu, tetapi segera maklum bahwa buku itu ialah buku sejarah. Setelah saya uraikan terjemahan saya, dan mulanya sedikit mendapat bantahan, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Dr. Purbocaroko, maka pujangga itu dengan senyum berkata: Tuan ini dari mana?
Jawab                          : Dari Singapura.
Dr. Pubocaroko           : Apakah pekerjaan tuan disini?
Saya                             : Belum dapat pekerjaan.
Dr. Purbocaroko          : Kenapa tuan tidak pergi ke kantor Sosial, Tanah Abang Oost?

Saya membilang terima kasih atas anjuran Dr. Purbocaroko, yang datang sebagai hadiah dari langit itu. Segera saya pergi ke kantor Sosial itu, menanyakan apakah ada pekerjaan buat saya. Rupanya kantor itu mengurus romusha.
Pegawai kantonr bertanya kepada saya, apakah saya mau bekerja di tambang arang di Bayah? Walaupun saya cuma bisa tahu, bahwa Bayah itu letaknya di Banten, tetapi mendengar perkataan tambang itu saya tidak pikir-pikir lagi. Pegawai meminta saya datang esok harinya. Berjumpa dengan seorang pegawai Indonesia yang datang dari Bayah yang mencari pekerja buat perusahaan arang tersebut.
 Besoknya saya datang. Setelah saya ketahui, bahwa yang dibutuhkan hanya lebih kurang 30 orang saja, tetapi orang yang melamar lebih dari 50 orang, lengkap dengan ijazah dan surat-surat keterangan, dari ijazah SMP sampai SMT dan HBS dimasa Hindia Belanda dan surat keterangan dari KPM, BPM sampai ke kantor post dimasa lampau tersebut, maka saya merasa “kekurangan” karena tidak mempunyai ijazah ataupun surat keterangan. Supaya jangan menghabiskan waktu dan untuk menghindari penolakan, kalau giliran kelak kepada saya, maka saya maju ke depan untuk mengatakan bahwa saya tidak mempunyai ijazah dan surat keterangan. Saya katakan pula, bahwa kalau ijazah dan surat keterangan itu menjadi syarat, yang terpenting, maka lebih baik saya minta izin kembali saja pulang, karena saya tidak mempunyai apa-apa. Tuan pengurus dengan ramah tamah sekali, setelah melihat muka saya dengan cepat, bertanya, apakah saya pernah bekerja, dimana, dan sekolah apakah yang pernah saya kunjungi. Saya jawab, bahwa saya sudah pernah bekerja pada salah satu kantor import Jerman di Singapura. Didikan saya kira-kira sekolah MULO kelas 2. “Jadinya tuan mesti tahu bahasa Inggris” katanya pula. Persangkaan itu saya benarkan. “Tentulah tuan juga tahu bahasa Jerman dan bahasa “Belanda” diteruskan pula. Inipun saya benarkan pula. “Kalau begitu” katanya “tuan tunggulah sebentar”. Setelah sampailah pada giliran saya, maka oleh tuan pengurus Bayah saya disuruh bersiap buat besok pagi berangkat ke Bayah dengan kereta api dari Tanah Abang.
Dengan rombongan lebih dari 30 orang, saya dari pagi hari berangkat ke Bayah. Perjalanan dengan kereta api antara Jakarta dengan Rangkas Bitung tidaklah banyak memberikan pemandangan yang mengandung arti. Buminya datar, adapula yang tanahnya kurus dan alam tidaklah permai. Di Rangkas rombongan kami berhenti. Disinilah jalan yang menuju ke Selatan bersimpang dua. Jalan di sebelah Barat, ialah jalan kereta api, ke selatan berujung di Saketi dan membelok ke Barat sampai ke Labuhan dan berputar kembali ke Jakarta. Jalan sebelah Timur ialah jalan raya yang di selatan berujung di Malimping. Jalan kereta api antara Saketi dan Bayah, melalui Malimping sedang dibikin, belum lagi habis. Tetapi jalan raya antara Malimping dengan Bayah sudah selesai. Jalan inilah yang kami ambil dengan truck.
Jalan Saketi-Bayah mengandung sejarah yang menyedihkan, tak kalah sedihnya dengan jalan dari Anyer ke Banyuwangi. Seperti pembikinan jalan Anyer-Banyuwangi, dimasa Daendels memakan tenaga paksa dan jiwa ribuan bangsa Indonesia buat Imperialisme Belanda, maka pembikinan jalan Saketi Bayah juga memakan ribuan tenaga percuma, tenaga romusha dan jiwanya romusha. Dengan tiada persiapan untuk perumahan, makanan dan kesehatan bagi romusha yang jatuh sakit dan mati disebabkan oleh berat dan susahnya kerja, kekurangan makanan dan obat-obatan beserta cambuknya serdadu Jepang, adalah laksana padi sabit.
Saketi” kata seorang penduduk asli kepada saya, saketi yang berarti seratus ribu itu sekarang sudah melaksanakan artinya! Menurut nujum, maka pada suatu waktu, Saketi Bayah yang jaraknya lebih kurang 150 km itu akan diperhubungkan dengan jalan besi oleh kuda besi. Jalan besi itu akan meminta korban tidak kurang daripada saketi manusia. Demikianlah nujum itu sekarang sudah berlaku!
Saya tidak dapat memastikan benar salahnya saketi (100.000) romusha yang mati buat mendirikan jalan kereta api dari Saketi ke Bayah itu. Saya juga tidak sanggup memeriksa, apakah dongeng dan nujum tersebut sudah terkenal, sebelumnya jalan kereta Saketi Bayah dibentuk. Tetapi dari semua pihak memang saya dengar kabar, bahwa tingginya angka kematian romusha, yang bekerja pada jalan Saketi Bayah sungguh mengerikan. Lagi pula kerusakan jasmani dan rohani serta kemusnahan jiwa, yang saya saksikan sendiri pada tahun pertama saya berada di Bayah, mudah sekali menimbulkan perasaan yang membenarkan nujumnya kampung Saketi itu.
Kira-kira 5-6 kmi jauhnya dari kampung Bayah, di pinggir laut, terletak satu tempat yang dinamai pulau Manuk inilah yang sangat ditakuti terus-menerus. Sedikit sekali diantara romusha yang bekerja disana, yang tidak dihinggapi penyakit yang bisa membawa maut, seperti borok, dysentri dan malaria. Jarang yang hidup kalau sudah dihinggapi salah satu penyakit tersebut. Romusha umumnya kekurangan makanan, obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan disini menuju ajalnya. Pun di kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu mau ini. Ada kalanya di sekitar Bayah terpaksa dikuburkan lebih dari 10 orang dalam satu kuburan, karena kekurangan penggali kubur dan kekurangan perhatian umum. Di musim hujan, mayat yang tertimbun-timbun itu terpaksa pula dimasukkan ke dalam kubur yang digenangi air itu! Dimanakah pula di sekitarnya Bayah itu terdapat masyarakat Indonesia asli, yang cukup besar dan menganut perasaan kebangsaan yang cukup luas dan dalam, yang bisa meluap memprotes dan menuntut pelayanan yang layak bagi romusha yang umumnya datang dari jauh itu, dari Jawa Tengah itu?
Pemandangan yang amat menyedihkan hati inilah yang sangat meliputi perasaan saya pada waktu pertama. Suasana masyrakat Bayah umumnya dan semangat kaum pekerja halus dan kasar khususnya belum membenarkan saya membuka paham, perasaan dan kemauan saya terhadap ribuan romusha yang bekerja mati-matian, yang menderita serangan penyakit berbahaya dan yang mati bergelimpangan di sana-sini itu. Saya sendiri masih perlu lebih dahulu mencari tempat berdiri yang agak tegap sebagai batu loncatan dan tempat yang agak baik untuk mengumpulkan tenaga dan mengerahkan tenaga itu selangkah demi selangkah menghadapi satu hisapan yang melampaui batas dan tindasan, yang asing dari semua perikemanusiaan.
Syahdan Bayah Kozan, adalah salah satu perusahaan arang yang namanya perusahaan partikelir, kepunyaan salah satu daripada keluarga kapitalis Jepang yang ternama ialah Sumitomo. Tetapi perusahaan ini berada dibawah pengawasan tentara Jepang. Modalnya ialah modal partikelir, yakni modalnya keluarga Sumitomo tadi, tetapi hasilnya harus dijual menurut keperluan militer Jepang yang sedang berperang itu.
Sebenarnya salahlah, kalau dikatakan, bahwa Sumitomo-lah yang membelanjai dan memiliki perusahaan Bayah-Kozan itu. Tentara Jepang menyita tanah kita di Banten yang berisi arang itu. Sebagian besar dari alat mesin dan alat tambang di-sita-nya pula dari masa Hindia Belanda. Tenaga dengan upah romusha, upah budak itupun, bisa dilakukan karena pertolongan sangkur-senapannya serdadu Jepang itu pula. Ringkasnya sangkur senapanlah yang mendapatkan tanah, mesin dan tenaga buat Bayah-Kozan itu dan keluarganya Sumitomo-lah yang membelanjai perusahaan “partikelir” dengan harga murah itu.
Dalam brosur RENCANA EKONOMI sudah saya jelaskan sekedarnya, bagaimana jalannya (proses) produksinya tambang arang Bayah-Kozan ini. Dalam brosur tersebut saya namakan perekonomian tersebut EKONOMI MERAMPOK, karena memang semua faktor produksi diperoleh secara rampokan, hal ini tidak perlu saya ulang lagi.
Yang perlu saya sebutkan disini, cuma efisiensinya Bayah-Kozan yang amat rendah itu. Hasil sebulan, kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 100 ton. Hasil yang rendah ini didapat oleh tak kurang daripada 10.000 tenaga romusha. Bahkan di masa permulaan tak kurang daripada 20.000 romusha yang bekerja pada semua bagian tambang Bayah-Kozan, ialah bagian menambang, bagian pengangkutan, listrik, bangunan dan administrasi.
Faktor yang terutama yang mengakibatkan rendahnya produksi, ialah karena memang sedikit sekali arang yang ada, yang bisa dipakai dan digali, kalau dibandingkan dengan tanah arang di Borneo. Kalau perhubungan Jawa dan Seberang tidak terganggu memangnya pembukaan tambang arang Bayah tidak akan dilakukan, karena tidak cukup memberi keuntungan (profitable).  Kecuali pada satu dua tempat arang itu mesti digali dalam sekali. Tebal arangnya biasanya hanya satu meter saja dan panjangnya pohon arang itu (ader) itupun tidak seberapa. Terutama pula arang Bayah masih muda sekali. Selainnya daripada itu mesinnya tidak pula modern, tenaganya, karena tidak mendapat makanan dan pelajaran yang cukup tidak kuat. Akhirnya organisasinya produksi dan administrasi memangnya kurang memuaskan.
20.000 pekerja halus dan kasar pada tahun permulaan dan lebih kurang 10.000 pada waktu hampir menyerahnya Jepang terpencar pada beberapa tempat penggalian arang, ialah di gunung Madur, di Tumang dan Ciahara. Tiap-tiap penggalian mempunyai beberapa lubang. Bayah ialah tempat untuk pusat administrasi.
Lima enam jam lamanya kami bersempit-sempit diantara orang dan barang di dalam truck, diasapi dan dimabukkan oleh asapnya minyak motor, kabarnya minyak tanah, dan terempas-empas, karena batu besar-besar di jalan antara Malimping dan Bayah. Lelah letih serta bingung mabuk kendaraan, maka pada sorenya kami sampai di Bayah. Berdesak-desak pula pada malam pertama kami tinggal di rumah serba bambu beratapkan rumbia.
 Besok kami dibawa ke kantor. Disini kami dipersilahkan menuliskan riwayat masing-masing. Sayapun tidak ketinggalan menuliskan “riwayat” saya. Tidak mudah menuliskan riwayat diri bagi siapapun juga dalam keadaan seperti saya dimasa itu dalam semua pertanyaan yang mesti diisi dalam satu formulir, nyatalah sekali Jepang ingin benar hendak mengetahui, apakah seorang pelamar itu pernah memasuki suatu perkumpulan. Kalau pernah, tentulah dia ingin pula hendak mengetahui kumpulan apakah! Tak perlu dikatakan disini, bahwa kumpulan yang ditindasnya dimana-mana, ialah kumpulan komunuis, orang yang dicarinya, dibencinya serta dihukum, disiksa dan dibunuhnya dimana-mana negeri, ialah orang komunis. Tetapi tak perlu dikatakan disini, bahwa dalam keadaan demikian sama susahlah pula mendapatkan seorang komunis, yang akan membiarkan dirinya ditangkap oleh surat formulir Jepang daripada mendapatkan macan yang menggantungkan diri. Caranya Jepang membasmi komunisme menunjukkan kekolotannya dalam ideology dan kesingkatan akal serta kekejamannya dalam siasat politik.
Ringkasnya “riwayat” saya diterima! Demikianlah sejarah di Bayah saya mulai dengan nama Ilyas Hussein, keluaran MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis sesuatu firma di Singapura. Dengan beberapa orang lagi, tua muda, saya kerjakan di Bayah-kota pada bagian gudang. 
Yang mengenai nama saya, ialah Hussein itu, pada permulaan tidaklah menarik perhatian pekerja dan pegawai Bayah Kozan. Memangnya pula Bayah terletak terpancir sekali di Indonesia dan pekerja serta pengawal di Bayah Kozan untunglah tak ada yang berkenalan dengan saya waktu 20 tahun lampau, walaupun mereka berasal dari hampir semuanya pulau di Indonesia ini.
Yang mengenai didikan, memangnya sedikit mendapat perhatian. Salah seorang Indonesia, kepala dari salah satu bagian kantor, keluaran MULO, sesudahnya kami agak lama kami saling kenal mengenal, merasa dididikan saya seperti yang sudah saya terangkan dalam formulir Jepang itu, agak tidak cocok dengan pendapatnya. Dia ada mempunyai kekuasaan, buat mengerjakannya dan atas kemauannya sendiri, dia mengganti keterangan saya dengan keterangannya sendiri, yang mengatakan, bahwa didikan saya sama dengan didikan dia sendiri, ialah keluaran MULO.
Yang, akhirnya mengenai pekerjaan saya dahulu, sebagai juru tulis mulanya tidak sama sekali cocok dengan pekerjaan saya di Bayah Kozan itu. Di gudang saya lebih banyak mengangkat barang daripada duduk menulis diatas kursi dan meja. Malah saya sama sekali tidak mempunyai meja tulis dan kursi. Kalau terpaksa menulis, maka saya buat meja sendiri dari peti yang agak tinggi dan kursi dari peti yang agak rendah. Selama bekerja itu biasanya saya berdiri, berjalan, atau mengangkat barang, buat diterima, dikirimkan atau dihitung. Tak ada tempat buat duduk, menulis di atas kursi yang empuk, bergoyang senderannya, dengan mesin tulis di atas meja yang licin lengkap dengan teleponnya.
Saya diwajibkan menyusun barang yang tidak tersusun, yang bertaburan dalam gudang. Bagaimana menyusunnya diserahkan kepada saya saja. Kami cuma mendapat seorang dua pembantu buat angkat mengangkat, tetapi karena kebanyakan kerja biasanya saya sendiri yang mengangkat di dalam gudang, yang gelap atau di atas pagu yang panas. 
Barang-barang tambang seperti mesin bor dan pompa, bagian mobil dll bergelimpangan disisi dan belakang gudang, ditimpa hujan dan digenangi air. Di dalam gudan drill (bor tambang) yang mahal harganya campur aduk dengan paku, belincung, baut, pahat, palu, kunci Inggris, gergaji, baja, pemotong, baja angin, bahkan ratusan ribu jumlahnya. Barang-barang itu terus bertambah saja banyaknya didatangkan dari Sukabumi dan Jakarta. Tetapi ada pula yang keluar atas permintaan dari beberapa cabang Bayah Kozan, ialah Tambang Madur, Cihara, dan Cimang. Yang mulanya sangat mengherankan saya, ialah melihat sikapnya sep Jepang, yang kantornya dekat gudang itu juga! Dia dengan senang saja berbulan-bulan melihatkan barang yang mahal dan murah, halus dan kasar campur aduk bertaburan disana-sini.
Tetapi dibelakangnya saya mengerti, bahwa ketidakpedulian Jepang itu, ialah terutama karena ratusan ribu potong barang itu, yang harganya mungkin sekali lebih dari satu juta rupiah (uang lama) adalah barang gedoran atau dibelakang hari dibeli dengan harga murah. Sep-Jepang tadi sudah lama tinggal di Indonesia dan dulu bekerja pada salah satu firma Jepang, tentulah insyaf benar akan pentingnya alat besi dan mesin diwaktu perang itu. Dimasa lampau, pastilah dia seperti teman sakuranya yang lain-lain, seorang pedagang Jepang yang hemat cermat, yang dengan teliti menghitung keluar masuknya satu dua sen, sepotong atau dua potong paku pun. Tetapi karena puluhan ribu barang tersebut diatas didapatnya dengan mudah sekali, maka sukarlah baginya memberikan perhatian penuh kepada barang itu.
Perhatian tak peduli itu segera bertukar menjadi perhatian penuh, malah kekuatiran, apabila akibatnya blokade Sekutu semakin terasa oleh militer Jepang di Indonesia dan barang lama dari besi semakin sukar diperoleh. Pertukaran sikap dari tak peduli menjadi kuatir inilah yang rupanya mendesak Bayah Kozan, supaya berhemat dengan barang yang lama. Janganlah barang itu dibuang-buang atau dibiarkan lapuk kena hujan seperti biasanya! Itulah rupanya sebabnya kami diterima buat dipekerjakan di gudang, untuk mengadakan perhitungan jenis dan jumlahnya barang, mengadakan pendaftaran barang, yang teratur, mencatatkan keluar masuknya barang setiap hari dan mengadakan perhitungan (stockopname) dua kali sebulan.
Mudah sekali buat sep-Jepang itu memerintahkan mengadakan perhitungan dua kali sebulan kepada kami, tetapi tidak semuanya diantara kami yang sanggup mengerjakannya. Tidak saja barang yang ada itu campur aduk, tak diketahui banyak dan jenisnya, tetapi datangnya bermacam barang juga tak ada batas dan ketentuan jamnya, siang dan malam. Permintaan atas barang ini atau itupun tidak terbatas waktunya. Ditambah pula kekurang-ajaran Jepang, yang keluar masuk gudang, melempar-lemparkan barang yang sudah disusun dan memilih barang yang bagus menurut pikirannya sendiri saja. Seringkali pula barang yang belum dicatatkan sudah dipegang, dan disuruh angkatnya ke tempat bekerjanya karena “bagus” menurut pikirannya. Adakalanya dengan tidak diketahui barang mahal umpamanya baja angin, sudah masuk ke dalam kantongnya dan setelah sampain dilain tempat, baru ketahuan oleh kami kemana perginya. Tentulah harus didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa didapatkan kembali. Bahwa kami tanggung jawab atas keluar masuknya barang itu dan bahwa tambang yang lain juga suka kepada barang yang “bagus” itu, tidak perlu dipikirkan oleh “saudara tua”. Kalau kita tidak sabar dan tidak tegap melarang atau menolak sikap Jepang yang tidak senonoh, maka perkelahianlah yang akan terjadi dengan anak dewa itu setiap hari.
Stockopname, perhitungan sisa keluar masuknya barang dua kali sebulan itu tidaklah dapat dilakukan, kalau barang yang sudah ada belum diketahui jenis dan banyaknya, setiap jenis. Jadi sebelumnya stockopname dijalankan, haruslah lebih dahulu diadakan pendaftaran! Inilah pekerjaan yang berat dan sukar. Ambillah saja satu jenis barang seperti kunci (slot). Kunci itu ada yang didatangkan dari Amerika yang made in “U.S.A”. Adapula kunci yang paling murah, tetapi paling buruk ialah “made in Japan”. Negara asalnya kunci itu harus dipisahkan. Pendaftaran yang begitu belum lagi memberi kepastian apa-apa. Namanya kunci tadi hatus dicatat pula, supaya yang datang dari Amerika tadi umpamanya Yale, jangan disamakan dengan nama “Yala” ialah bikinan Jepang. Atau lebih tepat tiruan atau penipuan Jepang. Maksud Jepang melanggar aturan internasional (yaitu hak paten Amerika itu), ialah supaya bisa menjual kunci yang sama bunyi namanya (Yale dan Yala) lebih murah harganya. Tetapi berlainan sekali qualitetnya, kekuatannya. Setelah selesai asal dan nama dipisahkan, barulah diambil ukurannya. Apabila dipikirkan, bahwa barang yang seasal seperti kunci tadi bertaburan disana-sini tertimbun oleh barang-barang lain, dan kunci yang seasal, senama dan seukuran itu tidak didapat pada suatu tempat saja, maka barulah dimengerti, bahwa untuk mendaftarkan satu macam barang, yang seasal, senama dan seukuran saja bisa menghabiskan waktu berhari-hari. Apalagi harus mendaftarkan berjenis-jenis barang, yang berasal dari berlainan negara, yang mempunyai cap dan ukuran yang berbeda!! Acapkali pula terjadi, apabila jenis, nama dan ukuran sesuatu barang sudah selesai didaftarkan, maka pada suatu ketika didapatlah pula di tempat lain barang sejenisnya dan senama dengan yang sudah didaftarkan itu. Daftar yang sudah selesai dan bagus rasanya itu harus dirobek-robek dan diganti dengan yang baru. Tambahan saja biasanya tidak memadai.
Pernah datang barang Jepang, yang tidak mempunyai cap dan nama, yang terdiri dari bermacam-macam onderdil, bagian mesin. Sep-Jepangpun tak tahu namanya! Bagaimana mendaftarkan barang semacam itu? Saya tahu, bahwa mungkin sekali dibelakang hari tiba-tiba datang pertanyaan tentang barang yang tidak seorang pun diantara kami yang mengetahui nama dan merk-nya itu. Sebagai persiapan dengan lekas, maka barang itu saya gambar dan susun pada tempat terpisah.
Kebetulan pula sep-Jepang pada suatu hari terdesak oleh Jepang yang lebih tinggi pangkatnya, yang baru datang dari Jakarta, menanyakan barang tadi. Ini kali saya melihat sep-Jepang itu ketakutan! Dengan suara kecil dan keringatan dia datang dan mendekati saya menanyakan tempat dan keadaan barang itu. Karena saya tahu, bahwa dia sendiri tidak mengetahui nama barang itu maka saya bertanyakan nama barang itu. Tentulah dia sendiri tidak dapat memberi jawab. Keringatnya semakin keluar! Barulah saya ambil gambaran barang itu dan bertanyakan, apakah barang itu yang dimaksudnya. Baru dia senyum, dan bernafas lega dan dengan suara yang jauh lebih rendah daripada biasa, sekarang dia minta kepada saya menunjukkan tempatnya barang-barang itu. Setelah saya bawa dia ke tempat yang saya pisahkan itu, maka dengan langkah lebih tegap dia pergi kembali ke kantornya mempersilahkan Jepang “sep dari sep-nya” itu melihat barang-barang yang dimaksudnya itu. Semenjak itu sep Jepang mulai berlaku sedikit merendah terhadap saya Hussein, pekerja gudang.
Jepang yang lancang dan kurang ajar, yang masuk ke gudang, mengangkat dan memilih barang yang “bagus” semau-maunya itu dengan “pengetahuan” bisa pula ditundukkan. Kalau dia dengan langkah dan suara congkaknya bertanyakan ini atau itu, maka saya dahului dengan pertanyaan: cap (merk) apa dan ukuran apa? Biasanya dia malu, kalau dia sendiri sebagai “ahli” ini atau itu tidak bisa menjawab. Tetapi kalau dia bisa menjawab dan dengan lekas pula kita bisa menunjukkan, yang dimaksudnya, maka kelancangannya turun. Memangnya dalam hal inipun “pengetahuan itu sudah kekuasaan”. Itulah memangnya guna pendaftaran itu bagi saya sendiri.
Berhubung dengan pekerjaan yang berat dan sukar itu, maka tidaklah mengharapkan, kalau hari-hari terjadi percekcokan antara kami pekerja Indonesia baru dengan yang baru, diantara kami pekerja Indonesia baru dengan pegawai Indonesia gudang lama, dan akhirnya diantara kami dengan sep-Jepang. Diantara kami tujuh orang baru, selainnya daripada saya sebagai orang termasuk golongan baru, adalagi dua orang tua yang lain-lain. Mereka banyak mempunyai pengalaman pada maskapai besar, seperti BPM, Borsumy dll, pada kantor pos, di masa Hindia Belanda. Tetapi mereka boleh dikatakan tidak sanggup bekerja di Gudang Bayah Kozan tadi. Mereka yang sudah biasa bekerja dengan sistem yang pasti, pembagian kerja yang jelas dan pekerjaan yang biasanya enteng, tak betah (tahan) kerja di gudang. Diantara empat pemuda yang sama masuk dengan saya cuma satu orang yang benar tahan uji. Yang lainnya minta berhenti, lari atau minta dipindahkan.
Setelah lebih kurang enam bulan lamanya kami merangkak dalam gelap mencari paku, pahat dll memanjat ke atas pagu mengumpulkan pipa karet, bor, pompa, kompas dan lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji, dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mendaftarkan barang itu, menerima yang baru dan mengeluarkan yang lama, serta dua kali sebulan mengadakan stockopname, maka selesailah pekerjaan kami. Tenaga yang muda yang kurang upah dan pengalamannya sudah boleh dipakai sebagai ganti. Beberapa orang diantara kami pada suatu hari dipindahkan ke kantor pusat. Tetapi tidak berapa lama dibelakangnya, maka diantara kami tiga orang tua yang pindah ke kantor cuma saya sendiri yang tinggal. Yang dua lagi diperhatikan. Diantara empat pemuda, maka cuma seorang pula yang tetap terpakai di Bayah. Demikianlah akhirnya sesudah lebih dari setengah tahun. Diantara tujuh orang yang masuk gudang cuma seorang muda dan saya sendiri yang “betah” bekerja di Bayah.
Pekerjaan kantor berlainan sifatnya dengan di gudang. Di kantor saya tidak lagi berurusan dengan barang, tetapi dengan orang. Pekerjaan saya ialah mendaftarkan romusha yang masuk dan keluar di Bayah Kozan setiap hari, dan mengadakan perhitungan sisa-sisa tiap bulan. Saya sudah diberi meja tulis, mesin tulis, laci, lemari dan kunci sendiri serta dua orang pemudi pembantu.
Sebenarnya semua pekerjaan halal menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas dan baik mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak “lekas beres”, dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur lebarnya kepala pakupun tidak terkecuali! Yang saya ingini sedang bekerja itu ialah supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah diperingati. Rupanya pada sejarah itu kita bekerjapun berlaku proses sebagai berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya, keberesanpun mempengaruhi pekerjaan kita. Tetapi dalam mengerjakan penerimaan dan pengiriman romusha ada hal yang lain-lain yang sangat menarik hati saya. Benar-benar disini keberesan itu memeluk semua perhatian saya.
Seperti diketahui, maka pemerintah tentara Jepang, memerintahkan semua daerah Jawa mengirimkan romusha kemana-mana di Indonesia dan luar Indonesia. Sebagian daripada romusha itu diperintahkan untuk dikirimkan ke Bayah. Biasanya tuan Son-Co (ass. Wedana) mendapat perintah menyiapkan sekian romusha buat dikirimkan ke Bayah pada sekian waktu. Seperti pada semua hal yang lain-lain, dalam hal pengiriman romusha pun, serdadu Jepang hanya tahu beres saja. Arang mesti dapat! Di Bayah ada Tambang Arang! Buat menggali arang di Bayah itu mesti ada romusha dan mesti lekas ada!!
Dalam hal tersebut diatas, maka seseorang anggota pamong projo bisa mengambil salah satu daripada beberapa sikap seperti di bawah ini:
1.      Dia bisa tolak perintah Jepang itu.
2.      Dia bisa minta berhenti.
3.      Dia bisa menerima perintah itu dan jalankan dengan jujur.
4.      Dia bisa menerima perintah itu tetapi mensabotir perjalanannya.

Seseorang anggota pamong projo, bukan anggota lagi, atau tidak akan adalagi sama sekali di dunia fana ini kalau dia jalankan sikap No. 1, ialah tolak perintah Jepang. Mungkin dia akan berada dalam penjara Jepang, atau di dalam kubur. Pun sikap No. 2 tidak mudah terjadi pula. Jepang mempunyai kekuasaan penuh buat menjalankan perintah dengan halus atau memaksa dengan pedang samurainya seorang “saudara muda” yang tidak mau “bekerja sama” dengan tentara Dai Nippon “untuk kemenangan Asia Timur Raya”.
Memang ada terdapat beberapa orang anggota pamong projo, yang menjalankan perintah mencari romusha itu dengan jujur. Kalau ada anggota pamong projo yang jujur bekerja di bawah telapak sepatu Belanda, kenapa tak ada yang jujur mencari kedudukan di bawah telapak kaki serdadu Jepang? Bahkan ada diantara mereka, yang menambah kejujurannya itu dengan persembahan anak gadisnya kepada anak dewa dari negara Matahari terbit itu.
Sikap yang juga diambil oleh anggota pangreh praja, dalam hal tersebut diatas, ialah sikap No. 4, terima perintah dan dijalankan dengan sabotase. Kalau Jepang meminta umpamanya 300 orang, buat Bayah, dari salah satu daerah, pada tanggal sekian, maka Son-Co disamping sebagian orang yang memang kuat, juga mengirimkan orang dari desanya, yang dianggap tidak baik, seperti pencuri, penganggur dan pengemis. Maksudnya cuma buat mengisi daftar nama 300 orang, buat dikirimkan pada hari yang ditetapkan oleh Jepang.
Tetapi tidak saja Jepang yang dikenali oleh Son-Co kita ini. buat memenuhi angka permintaan Jepang pada waktu itu, maka dia terpaksa atau dengan sekehendak hatinya melakukan tipu muslihat. Petani yang sedang mencangkul (umpamanya saja), diperintahkan datang ke kecamatan buat berlatih. Disana truck sudah siap untuk berangkat. Tetapi tidak lama di jalan barulah petani kita yang umpamanya buta huruf itu, bertanya pada diri sendiri, atau kepada teman-teman, dimanakah tempat latihan itu. Tentulah tidak seoranga pun tahu, kecuali pemimpin rombongan (dan-co). Yang diketahui oleh kebanyakan penumpang cuma cangkul masih terlantar di sawah, serta anak istri tidak diberitahukan lebih dahulu, bahwa mereka akan disuruh “berlatih”. Setelah sampai di Jakarta atau Rangkas, barulah kebanyakan mereka insyaf, bahwa mereka akan dipekerjakan di Bayah sebagai romusha.
Banyak yang putus asa, sesudah tipu muslihat seperti salah satu contoh diatas, diketahui oleh para penumpang. Mereka setelah merasa pasti akan dibawa ke Bayah, lari ketika kereta berhenti di stasiun atau meloncat dari kereta yang sedang berjalan. Kematian dan kerusakan badan, karena meloncat keluar kereta, ketika menuju ke Bayah itu banyak yang dilemparkan kepada kami.
Selain daripada mereka yang memang kuat, walaupun tertipu banyak pula penganggur atau pengemis yang ikut memancing uang “saku” sebelum berangkat, ada pula yang ditipu oleh Son-co buat mengisi daftar. Adapula yang menggantikan saudara ataupun bapaknya yang sudah dicatatkan dalam daftar, tetapi keberatan berangkat. Semuanya ini yang amat menyusahkan pekerjaan kami penerima romusha di Bayah. Bahwa diantara kiriman yang 300 di atas kertas itu biasanya cuma 200 orang ataupun kurang yan sampai di Bayah, setelah tiga atau empat hari di jalan. Perihal ini saja sudah sangat menyusahkan penermaan di kantor kami. Daftar yang kami terima dari daerah romusha, seperti Solo, Kediri dan lain-lain tentang nama, keluarga, umur, pekerjaan, desa, kabupaten dan daerah romusha harus kami cocokkan dengan romusha yang benar-benar kami terima. Kalau umpamanya 100 orang yang hilang, maka hal ini saja berhubung dengan balasan surat kami kepada daerah yang mengirimkan romusha itu dan berhubung dengan ongkos-ongkos di jalan sudah memusingkan pemeriksaan. Apalagi kalau mesti mencocokkan nama romusha Senen yang tertulis hitam diatas putih dengan romusha Rebo yang kita hadapi, sebagai pengganti atau penyelundup dengan tidak setahunya membuat daftar di daerahnya, maka pemeriksaan itu bisa banyak menghabiskan waktu. Kita berurusan dengan buta huruf yang enggan, yang tertipu, yang ingin kembali ke desa dan memakai seribu satu muslihat buat melepaskan diri dari ikatan sebagai romusha. Tetapi nama, keluarga dan lain-lain itu harus diketahui! Karena ada romusha yang hilang di jalan, maka tentulah kami sendiri tidak mau membiarkannya begitu saja. Buat Jepang yang hilang itu adalah perkara kecil. Dia mudah mendapatkan penggantinya. Buat kami perkara itu adalah perkara sakit sehatnya, hidup matinya seorang dari rakyat, yang biasanya bodoh tidak tahu jalan. Kalau hilang, kami mau tahu kemana hilangnya dan laporkan ke daerahnya, supaya diurus keselamatannya. Kejelasan tentang nama, keluarga, desa, daerah dan lain-lain itu perlu, karena pada ketika itu, juga atas anjuran kami orang Indonesia, Bayah Kozan, mengirimkan sokongan yang tertentu kepada keluarganya romusha yang bekerja pada Bayah Kozan. Pendeknya kami sendiri merasa berkewajiban menentukan berapa romusha yang dikirim, berapa yang sampai, berapa yang hilang, siapa dan dimana tempat dan siapa keluarganya yang sampai di Bayah atau hilang di jalan.
Setelah diketahui berapa yang sampai di Bayah, berapa yang hilang, maka barulah diadakan saringan. Yang tidak kuat, karena lemah atau mengandung penyakit segera dikirimkan kembali ke desanya. Mereka ini dinamakan pekiran (afkeeren). Yang sampai di Bayah dikurangi dengan pekiran itulah yang akan tinggal di Bayah Kozan, selama tiga bulan. Kepada mereka akan diberi pekerjaan menurut kekuatan badan dan pengalaman masing-masing. Yang tukang segera dipisahkan dengan yang bukan. Tukang besi, kayu, batu dan lain-lain, akan dipekerjakan pada tempat yang bersangkutan dengan ketukangannya dan mendapat pelayanan yang lebih baik daripada temannya yang lain-lain. Sisa yang terakhir, ialah yang unskilled (bukan tukang) dibagi-bagi pula, semata-mata menurut kekuatan badan. Biasanya mereka terbagi atas tiga golongan, ialah yang kuat, lemah dan sedang. Yang kuat dipekerjakan di dalam tambang dengan upah sampai F.1,- sehari dan beras 400 gram sehari. Yang lainnya bekerja memotong kayu di hutan, mencangkul dan mengangkut dan lain-lain dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras 250 gram seorang sehari. Menurut pengalaman saya, maka Kedirilah diantara semua daerah dipulau Jawa yang tinggi persentase, tentang kekuatan dan kesehatan romusha.
Demikianlah setelah saringan terakhir dijalankan, maka sisa dari yang tertulis diatas daftar pengiriman dikurangi dengan yang lari, sakit dan pekiraan dan lain-lain tidaklah berapa lagi banyaknya. Sisa bersih daripada yang datang dari Solo atau Bojonegoro biasanya tidak lebih daripada 50%. Sering pula kurang daripada itu, sehingga sangat memberatkan ongkos pengiriman pulang pergi. Kekecilan persentase itu sebagiannya disebabkan oleh kemiskinan rakyat daerah itu, tetapi mungkin juga menunjukkan akibat sabotase pamong praja atau akibat “siasat” yang dilakukan oleh rakyat sebagai akibat dari semua faktor tersebut diatas. Sebaliknya mungkin pula tingginya persentase Kediri, menunjukkan kekuatan badan rakyat disana, dan ketaatan pamong praja di Kediri.
Apabila pendaftaran sudah selesai, maka romusha yang akan dipekerjakan dipisahkan dari yang akan dikirim pulang kembali. Yang akan dipekerjakan itu dibagi-bagi buat dikirimkan di tiga cabang Bayah Kozan itu. pendaftaran mereka untuk masing-masing cabang segera dilakukan dengan cepat. Begitu pula pendaftaran mereka, yang akan dikembalikan ke desanya masing-masing. Truck-truck pengangkut ke cabang, dan tempat tinggal, serta makanan mereka harus dipersiapkan lebih dahulu. Sibuknya pekerjaan terjadi, kalau selainnya daripada menerima romusha, dari daerah, pada hari itu pula harus dipulangkan ratusan romusha, yang sudah habis perjanjiannya ke daerah masing-masing. Tidak jarang terjadi pada satu hari terpaksa kami mengurus romusha pulang pergi yang tidak berapa kurangnya daripada 1000 orang. Kalau dipikirkan pula betapa sempitnya semua “bangsal” romusha yang ada di Bayah, betapa sulitnya mendapatkan makanan dimasa itu, mengertilah pembaca bahwa pekerjaan kami membutuhkan waktu yang banyak sekali, perhatian sepenuhnya kesemua jurusan, teristimewa pula ke jurusan kesosialan. Sebelumnya saya mengerjakan pekerjaan menerima dan memulangkan romusha ini, maka sudah dua tiga orang yang berhenti karena tidak sanggup menjalankannya.
Bagi diri saya sendiri pekerjaan ini pula yang sekolah kesosialan yang selengkap-lengkapnya. Sehari saja berurusan dengan seratus romusha dari salah satu daerah, kita sudah bisa mendapatkan gambaran yang agak cocok dengan keadaan rakyat pada daerah itu. Dipandang dari sudut politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Disini pula kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia, yang menjadi korban militerisme Jepang dan korban persetujuan serta proganda para pemimpin.
Bermula dengan para dan co romusha, yang mendapat perhubungan dan kesempatan memberi nasehat yang dirasa berguna untuk keselamatan romusha, berhubung dengan upah dan kesehatan: “Jagalah supaya upah romusha yang sudah rendah itu semuanya sampai ke tangannya! Janganlah romusha disuruh kerja lebih dari waktunya atau di tempat yang tidak sehat atau berbahaya!” demikianlah biasanya bunyi nasehat itu! Selalu dijelaskan pula, bahaya bagi seorang romusha, yang tidak mempunyai uang sepeser di kantongnya, yang mencoba melarikan diri kembali ke desanya di Jawa Tengah. Kebanyakan diantara mereka akan tidak sampai pulang, melainkan sakit atau mati kelaparan di jalan. Ribuan romusha kurus kering bergelandangan diantara Bayah dan Jawa Tengah, terdiri dari mereka yang mencoba melarikan diri inilah. Selalu diusulkan, supaya pada dan co bersatu dengan yang dipimpinnya dalam kesenangan, apalagi dalam kesusahan. Pula dimajukan, bahwa kalau tambang, yang mau memegang romusha lebih daripada tiga bulan menurut perjanjian, maka kami di pusat akan mengurusnya.
Pula dengan rumah sakit, yang memeriksa kesehatan romusha, kami mendapat persetujuan, supaya sebanyak-banyaknya di pikir, supaya boleh dengan segera dipulangkan. Begitu pula dengan para pegawai cabangnya sendiri semangat melayani golongan terhisap tertindas dengan sebaik-baiknya didapati persetujuan. Disamping itu, diusahakan pula, supaya seboleh-bolehnya janganlah Jepang campur mengatur apa yang berhubungan dengan keselamatan romusha dan kalau perlu serempak bertindak melawan kekurangajaran dan keganasan Jepang. Pendeknya dari romusha sampai ke pegawai yang paling tinggi saya berusaha mengadakan persatuan dan keinginan tolong-menolong, menghadapi hisapan dan tindasan yang kejam dan keji dari penjajah yang bersenjata lengkap.
Lapang terlalu untuk kami buat langsung terbuka berpropaganda, apakah pula menganjurkan tindakan yang radikal kepada kaum romusha tambang Bayah. Romusha dikehendaki oleh tentara Jepang, disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan oleh para pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalankan oleh para pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalanka oleh pamong praja. Kami cumamenghadapi keadaan yang sudah ada saja, satu fait accompli saja. Kaum romusha terikat kepada perjanjian tiga bulan kerja, dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras pukul rata 250 gram sehari. Keadaan pekerja “sukarela” dibelakang hari, yang terdiri dari Seinendan, tidak berbeda dengan keadaan romusha biasa. Seinendan, yang datang dari Pekalongan dan Kedu dengan pakaian besih, koper, bendera berkibar serta berbaris sambil menyanyi, setelah perjanjian habis, ialah sebulan, maka pulangnya mereka, dengan jumlah yang kurang dari ketika datangnya di Bayah, dengan baju compang-camping, koper terjual, badan kurus kering dan sering dengan malaria, borok atau dysentri. Berhubung dengan singkatnya waktu buat romusha untuk dipekerjakan, yakni tiga bulan, bersangkutan pula dengan larangan Jepang mendirikan kumpulan yang diluar yang resmi dan takutnya romusha dan rakyat dimasa itu kepada Jepang, maka tidak dapat dipikirkan buat mendirikan Serikat Sekerja buat kaum romusha itu. Apalagi Serikat Sekerja untuk Seinendan, yang datang buat satu bulan saja dan bekerja denga “sukarela” pula. Diantara pegawai dan juru tulis kantor dan para tukang bengkel, atau pekerja dibagian listrikpun masih belum dapat didirikan Serikat Sekerja. Bukan saja larangan Jepang dan penjagaannya keras sekali, tetapi diantara pegawai dan tukang banyak pula orang terdapat yang tertipu oleh propaganda Jepang dan para “pemimpin” resmi. Pada permulaan saya diam di Bayah, banyak sekali diantara pegawai Indonesia yang lebih pro-Jepang daripada Jepangnya sendiri. Usaha membuat kumpulan rahasia di masa Jepang berarti menentang bahaya maut.
Tetapi semuanya ini tidak berarti, bahwa kita harus berpangku tangan saja. Cuma caranya  menjalankan propaganda rahasia berlainan dengan keadaan semacam itu! Walaupun organisasi resmi yang formal tidak boleh didirkan, tetapi “semangat” revolusioner boleh digembleng dan dikoordinir dan kalau waktunya datang, maka semangat yang sudah siap tergembleng dan dikoordinir itu dengan segera dapat menggerakkan ribuan pegawai, tukang dan romusha di Bayah Kozan itu. Persiapan kesana tidak cukup diadakan dengan bisikan atau kritikan dalam gelap saja, tetapi terutama dengan mengadakan perhubungan dari hari ke hari dengan Murba di Bayah, ialah kaum buruh, petani dan pegawai. Perhubungan yang sejitu-jitunya ialah usaha yang jujur dan terus menerus, melayani kepentingan Murba di bayah dengan tidak mengenal payah, putus asa, jemu dan takut akan konsekuensinya pekerjaan yang cuma dapat kita pertanggungjawabkan kepada masyarakat dan diri sendiri. Kepercayaan yang diperoleh dari Murba itu, adalah ibarat listrik yang terpendam yang kalau saatnya sampai dengan menekan knop saja, bisa membangunkan kekuatan yang nyata. Berapapun sempitnya lapang bekerja di bawah himpitan militerisme Jepang, tetapi masih cukup bahan dan kemungkinan untuk mengadakan bahan peledak dibawah himpitan itu!
Agak berpihak (one-sided) penjelasan yang saya berikan tentang Jepang selama ini. Terpaksa begitu, karena saya memandang dari sudut Kemerdekaan Indonesia terhadap militerisme Jepang. Tetapi tentulah sudah dimengerti oleh pembaca yang bijaksana, bahwa militerisme Jepang tidak sama dengan rakyat Jepang. Rakyat Jepang terdiri dari bermacam-macam golongan dan menganut berbagai aliran politik. Di Jepangpun tiada sedikit rakyat, terutama diantara buruh, tani dan intellegensia rendahan, yang terbuka atau tertutup menentang militerisme, kapitalisme dan imperialisme Jepang. Tentulah banyak pula diantara buruh, tani, intellegensia Jepang di negeri Jepang itu yang sepaham dengan sebagian buruh, tani dan intellegensia Indonesia.
 Dalam masyarakat Jepang yang kecil di Bayah Kozan itu tidak seluruhnya terbayang masyarakat Jepang umumnya. Tetapi sebagian kecil terbayang juga! Di bayah Kozan kita tidak mempunyai ular politik dan diplomasi seperti Simizu, Miyosi dan lain-lain, ataupun singa perang seperti Jenderal Imamura. Bayah Kozan bukanlah suatu instansi (tingkat) pemerintahan ataupun kemiliteran Jepang. Bayah Kozan cuma satu perusahaan arang swasta yang diawasi oleh Pemerintah Militer Jepang. Seperti dimana ada organisasi penting lainnya bagi tentara Jepang, begitu pula pada perusahaan penting, seperti ditambang arang ini Jepang menanam kempe-tai dengan kempei-ho pembantunya. Si Kempetai tentu menjaga supaya jangan terjadi sabotase ataupun pemogokan dalam perusahaan arang ini. tetapi selainnya dari seorang kempei dan dan seorang sidokang, pemimpin PETA, maka orang Jepang yang lain-lain adalah pemimpin perusahaan teknik dan dagang. Memang mereka umumnya pencinta negaranya, tetapi mereka umumnya warga negara Jepang biasa saja.
Pemimpin umum (So-moo) di pusat administrasi, ialah di Bayah Kota, adalah seorang ahli hukum yang muda. Mungkin pahamnya lebih kiri daripada paham liberal. Dikatakannya pada suatu hari kepada kami, bahwa ahli sejarah di Jepang ada bermacam-macam: “Ada ahli sejarah feodal, ahli sejarah liberal, ahli sejarah sosialistis, bahkan ada pula ahli sejarah yang berpaham komunistis”. Dengan tidak memberi kepastian sedikitpun, bahwa dia seorang radikal, tetapi dari perkataannya tadi sudah dapat dipahami bahwa dia sedikitnya mempunyai pandangan yang luas. Tingkah lakunya-pun menunjukkan keliberalannya. Dia mau diajak menonton sandiwara yang kami atur sendiri berjam-jam lamanya, meskipun dia sedikit saja mengerti.
Permintaan uang ribuah rupiah untuk sport, musik dan sandiwara, wayang dan lain-lain, buat menghibur pegawai dan romusha, makan dan sekedarnya pakaian buat penjamu dan pembantu romusha tak pernah ditolaknya.
Pengurus bagian pekerja dan romusha, bagian Romu, adalah seorang yang pula dengan perkataan dan perbuatan menunjukkan hati lapang dan pri kemanusiaan. Dia bukan keluaran sekolah tinggi dan pangkatnya dalam ketentaraan cuma kapten saja. Tak pernah dia ketinggalan menjemput romusha yang baru datang dari daerah atau mengantarkan romusha yang hendak pulang, walaupun dihari hujan. Jam empat pagi dia sudah ada di stasiun untuk mengantarkan romusha yang pulang, memberikan obat-obatan dan menjemur romusha. Kalau ada diantara romusha yang memang tidak berpakaian lagi, maka dengan tidak menunggu lagi dia memberikan kain sedapatnya kepunyaannya sendiri kepada romusha itu. Tingkah laku semacam ini jarang sekali terdapat diantara orang Jepang yang lain-lain di Bayah. Memangnya Jepang inipun membela kepentingan negaranya, tetapi tidak dengan cara yang menambah remuk rusaknya kaum romusha, yang tiada berdaya itu!
Tetapi jarang orang yang baik terdapat diantara Jepang yang bekerja pada cabang Bayah Kozan. Kebanyakan pemabuk, penampar dan pemelihara pelayan. Pernah mereka membuat huru-hara ke kantor pusat di Bayah, tetapi segera kami layani dengan cepat. Di belakang hari kami berusaha membasmi semua keterlaluan itu di cabang itu sendiri. Memang karena gara-garanya Jepang dari cabang itu satu dua kali hampir terjadi perkelahian antara pegawai Indonesia dengan semua sep Jepang dari semua bagian di kantor bagian di kantor pusat sendiri. Tetapi untunglah perkelahian itu dapat diundurkan, dapat diselesaikan dengan pembicaraan saja. Dan bentrokan itu menambah jernihnya suasana dan mempertinggi penghargaan orang Jepang di kantor pusat terhadap orang Indonesia.
Seperti di gudang, maka kantor pusatpun memang ada perselisihan paham antara sep-Jepang dengan saya. Tetapi tidak mengenai pekerjaan. Dalam pekerjaan saya jaga supaya si Jepang jangan mendapat alasan buat, mengkritik pekerjaan saya. Memangnya pula tak pernah terjadi. Dia membiarkan saya memakai sistem saya sendiri, malah selalu betanya sistem apa yang baik buat sesuatu pekerjaan.
Dalam suasana saya merasa sudah mendapatkan sedikit penghargaan sebagai pekerja dan persahabatan yang lebih rapat antara saya dengan para pegawai, pemuda dan pekerja Bayah umumnya, maka barulah saya rasa datang waktunya buat melangkahkan kaki lebih lanjut lagi. Pada suatu malam hiburan dan jadangkai rapat sambil mengomong untuk semuanya kantor, baik Jepang ataupun Indonesia, maka oleh pengurus Jepang ditanyakan kepada kami apakah yang kami rasakan sesuatu kekurangan.
Sesudah pegawai lama mengeluarkan pendapat masing-masing, maka sayapun tampil memajukan pemandangan saya. Tentu berlainan dengan pembicara yang sudah tidak memajukan nasib kami para pegawai sendiri. Memang gaji pegawai belum mencukupi buat diri sendiri dan keluarga (kebanyakan diantara F. 30,- dan F. 80,- sebulan dan satu dua orang F. 125,- dan F. 150,- sebulan), tetapi kalau dibandingkan dengan gaji romusha yang F 0,40,- sehari itu dengan kerja berat seperti kuda beban, maka perbandingan itu amat mencolok mata. Bagi seseorang “pecinta bangsa” perihal ini mestinya menggarut perasaan hati. Apalagi, kalau dipikirkan sandang dan pangan serta kesehatan para romusha. Angka kematian romusha sebulan pada masa itu berkisar antara 400 sampai 500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha. Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah belum lagi masuk hitungan.
Keadaan yang selalu menganggu perasaan hati saya itulah yang saya bentangkan pada malam itu. Saya kemukakan bahwa semua pelarian, penyakit bahkan kematian sebanyak itu bisa dihindarkan, kalau keperluan hidup romusha diperbaiki, maka tidak ada yang perlu Bayah Kozan mencari romusha, melainkan sebaliknya kaum buruh dari mana-mana akan datang dengan sendirinya mencari Bayah Kozan. Sebaliknya pula jika kaum tani yang kuat akan datang ke Bayah terus menerus, tetapi setelah tiga bulan bekerja di Bayah mereka kembali ke desanya dengan penyakit borok, dysentri dan malaria atau tidak akan kembali, karena sudah mati di Bayah atau di jalan, maka sesudah beberapa tahun saja Indonesia akan kehilangan tenaga, ialah harta nasional Indonesia yang tidak bisa ditaksir nilainya dengan uang. Dan Bayah akan terus menjadi momok buat rakyat Indonesia. Saya anjurkan supaya Bayah Kozan memperbaiki nasib kaum romusha seluruhnya sebelum terlambat. Saya sudahi pidato saya dengan perkataan “ Prevention is better than cure” (menolak penyakit itu lebih baik daripada mengobati).
Orang Jepang pengurus bagian umum (So-moo) dan pengurus bagian pekerja (Romu) rupanya memberikan perhatian penuh pada pidato saya. Pengurus So moo orang Indonesia, yang menerima saya di Jakartalah yang memberi sambutan dan melahirkan persetujuan. Kemudian tampillah seorang pemuda dari Jawa Tengah, yang juga menyatakan persetujuannya. Pemuda inilah yang dikemudian hari menjadi salah seorang pembantu yang paling rajin. 
Semenjak itu saya merasa benar-benar perbedaan penghargaan para pegawai terhadap saya. Pada permulaan bekerja, gaji kami dua-tiga orang, yang pokoknya dimulai dengan F.60,-sebulan itu menyebabkan amarahnya beberapa pegawai lama dan menyebabkan meminta berhentinya dua orang pegawai lama. Sebenarnya mereka masih muda, tetapi merasa lebih cakap dan berjasa daripada kami yang baru datang. Mereka merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka sudah bekerja di Bayah Kozan semenjak berdirinya, ialah ketika kantor dan rumah pegawai-pegawai masih diselimuti semak belukar. Mereka tamat MULO pula, sedangkan saya cuma keluaran kelas 2 MULO saja. Walaupun begitu cuma mendapat gaji masing-masing F. 45,- sampai F. 50,- saja sebulan. Perbedaan gaji sering dikemukakan di depan saya, bahkan pernah saya dihina karena gaji besar itu. tetapi sesudah saya memajukan nasib romusha dan menganjurkan perbaikan yang radikal dalam dalam rapat sambil duduk tadi, maka “gaji besar” saya tadi tak pernah disebut-sebut oleh para pegawai kantor pusat lagi. Bahkan seperti sudah saya sebutkan diatas oleh salah seorang pegawai Indonesia keluaran MULO, saya atas kemauannya sendiri dalam surat keterangan tentangan saya dinaikkan satu kelas dari kelas 2 ke kelas 3 MULO.
Di sekitar saya sudah terdapat beberapa orang pemuda yang cerdas dan jujur dan sudah insyaf akan kewajiban mereka ialah menaruh perhatian dan memberikan bantuan lahir-batin sepenuhnya kepada para romusha. Mereka berasal dari berbagai daerah Indonesia, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Tidaklah perlu dan tidak baik saya sembunyikan disini, bahwa walaupun “teori” kebangsaan sudah sekian lama didengung-dengungkan oleh para pemimpin nasionalis, tetapi provinsialisme masih amat mendalam di masyarakat Bayah seperti juga pada lain tempat di masa itu. Tetapi dalam keadaan hidup yang sama, menghadapi militerisme Jepang bersama pula, timbullah pula kebangsaan yang diikat oleh keperluan bersama ialah saling menghindarkan perbedaan tak berharga. Saya mendapat kesempatan untuk mengupas kekuatan perangnya Jepang, menunjukkan kebohongan surat kabar Indonesia yang dikendalikan oleh Jepang, kebohongan dan akibatnya “kerja sama” antara Jepang dan Indonesia. Disamping kamilah nyata terlihat salah satu dari akibatnya anjuran dan kemahiran pidato Bung Karno yang masyhur yang berbunyi “Setetes keringat romusha adalah racun bagi Sekutu”.
Golongan kami semakin besar dan kuat, apalagi tuan pengurus umum, orang Indonesia yang menjadi ketua Badan Pembantu keluarga tentara PETA, ringkasnya B.P.P bepergian itu sebulan-dua bulan lamanya. Selama bepergian itu tuan ketua B.P.P menunjuk saya sebagai wakil ketua. Angkatan itu tentulah bersifat resmi dan harus disetujui oleh Bayah Kozan dan Son-co. Angkatan itu memperluas daerah pekerjaan saya dan memperbesar golongan kami. Tidak saja saya dengan tak mendapat gangguan dan kecurigaan kempei-tai dan kempei-ho bisa mengadakan perhubungan dan permusyawaratan dengan para pengurus B.P.P disemua cabang Bayah Kozan, tetapi pula perhubungan dan permusyawaratan di semua desa di sekitar Bayah Kozan ialah tempat tinggalnya keluarga PETA (Prajurit Pembela Tanah Air) dan Heiho. Akhirnya dan tiada kurang pentingnya saya dapat dengan leluasa mengadakan perhubungan dengan tentara PETA sendiri. Kesempatan buat berhubungan dengan para pemuda di seluruh Bayah Kozan buat dibangunkan membantu dengan uang dan tenaga tentara PETA, yang dimasa itu adalah harapan bangsa, kesempatan perhubungan dengan “resmi” dengan semua desa di sekitarnya Bayah dan dengan para opsir dan prajurit PETA yang ditempatkan di Bayah, Malimping dan lain-lain saya pergunakan denga sepenuhnya. Dengan mengerahkan anggota B.P.P tidak saja didapat kesempatan untuk merapatkan para pemuda seluruhnya Bayah Kozan, tetapi juga merapatkan mereka dengan rakyat dan tentara PETA dan Hei-Ho.
Tak ada tempat yang terluang yang tidak kami pergunakan, Hari Ahad dan liburan kami pakai buat memberikan uang atau pakaian kepada keluarga prajurit di desa-desa. Hujan panas, lelah letih tidaklah menjadi halangan buat para pemuda buat menyeberangi sungai dan mendaki gunung mengunjungi desa Penggarangan, Cimancak, Cikotok, dan lain-lain. Berangkat pagi jam 4 barulah sore atau malam kami kembali ke rumah. Tetapi jerih payah itu dibalas dengan hasil yang nyata, ialah keinsyafan atas tertanamnya semangat tolong menolong diantara sama awak.
 Kas kami termasyhur kaya! Kas saya mendapat gelar kas-berjalan, karena seseorang keluarga PETA, yang ingin kelain tempat, atau terlantar atau kematian dengan tidak banyak formality, upacara, di jalan rayapun segera diberi bantuan. Yang perlu diketahui ialah benar tidaknya kesukarannya dan betul atau tidak orangnya. Pembagian sarung umpamanya ialah pembagian yang diselenggarakan oleh ranting Mallimping, buat Bayah (anak ranting) pembagian yang mewajibkan keluarganya PETA dan HEIHO membayar F.20,- buat sehelai, kami putuskan saja dengan hadiah kepada keluarga itu. Orang desa di daerah Bayah tidaklah sanggup membayar harga yang F.20,- itu, meskipun sebenarnya sudah 15-20 kali dimurahkan harganya. Kain sarung memangnya dibutuhkan penduduk, apalagi oleh keluarga PETA HEIHO yang kebanyakan di sekitar Bayah bukan keluarga orang kaya. Kita terpaksa memilih atau kain itu dihadiahkan saja atau dikembalikan saja ke Malimping. Para pemuda dan pegawai tidak keberatan memberi bantuan berupa uang, ataupun tenaga kepada PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama PETA dan sekurangnya sekali sebulan kami memberikan penghiburan berupa sandiwara atau pertandingan sepakbola kepada mereka. Para pekerja tua muda tak pernah keberatan mengeluarkan uang dan mencurahkan tenaga buat menunjukkan perhatian dan penghargaan kepada prajurit sukarela. Perhubungan saya sendiri dengan para opsir PETA yang berada di Bayah dan Malimping, pada ketika hampir menyerahnya Jepang amat rapat sekali. Diantara beberapa opsir dan saya, tak ada lagi rahasia tentang keadaan politik dan kemiliteran. Chu-dan co, kepala kompi PETA, yang berkedudukan di Bayah selalu memanggil saya kalau dia mendapatkan kabar yang penting.
Pada suatu hari kami di Bayah menerima kabar yang sangat menggembirakan. Kami dihormati dengan kunjungan yang luar biasa oleh para pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta. Hati pada pegawai berdebar-debar menunggu-nunggu hari yang mulia menggembirakan itu. Semua pegawai dari semua cabang Bayah Kozan, Jepang dan Indonesia bersiap-siap menantikan para tamu agung.
Sayapun, Ilyas Hussein yang dari pekerja gudang sudah naik menjadi pengurus pulang perginya romusha antara Bayah dengan desanya, wakil ketua dari Badan Pembantu Keluarga Prajurit Sukarela, di Bayah, anak ranting, mendapat kehormatan pula, sebagai limpahnya kehormatan yang diperoleh kota Bayah, karena para pemimpin besar bermurah hati datang mencemar-cemarkan kaki ke kota romusha itu. Oleh para pegawai saya diserahi kewajiban bersama dengan duat tiga pegawai lainnya menerima para tamu agung ini di pintu gerbang dan mengiringkan beliau-beliau ini ke tempat pertemuan. Selain daripada itu saya menerima kebahagiaan pula, ialah menghidangkan kue dan minuman kepada para pemimpin besar yang tercinta itu.
Alangkah besanya pula hati saya, melihat keiskhlasan hati salah seorang teman, yang berseri-seri wajahnya, ketika meminjamkan sehelai kemeja dan dasi kepada saya, pakaian mana yang perlu dan pantas saya pakai untuk berhadapan muka dengan para pemimpin besar. Saya sendiri sudah lama memakai pakaian potongan dan tambalan, tak sanggup lagi mengeluarkan pakaian yang bagus-bagus dari tempat simpanan.
Setelah beberapa lamanya kami bersiap menanti di pintu kantor pertemuan, maka sekonyong-konyong terdengarlah seruan bersiap diantara pekik “Hidup Bung Karno” dan “Hindup Bung Hatta”. Tidak berapa lama antaranya maka kedua pemimpin Besar melalui barisan kami para penerima tamu dan langsung duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Pidato Bung Karno, Cuo Sangi-In no Gico dan Bung Hatta, Fuku Gico tidaklah perlu lagi saya tuliskan disini. Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkan di rapat raksasa dan radio, serta ditulis dengan huruf raksasa pula dalam surat-surat kabar. Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang penjajah: “Kita mesti berbakti dulu kepada Jepang, “saudara tua”, yang sekarang berperang mati-matian menentang Sekutu yang jahanam itu (cocok dengan “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”!). Setelah Sekutu kalah, maka kita oleh “saudara tua” akan diberi kemerdekaan (cocok pula dengan isi Panca Dharma: “Sehidup semati dengan Jepang sebelum dan sesudahnya perang Asia Timur Raya”). Kewajiban kami, pekerja Bayah Kozan menurut Bung Karno, ialah memberi bantuan sepenuhnya untuk mendapatkan kemenangan akhir! Kewajiban itu berarti mempertinggi hasil arang.
Sehabisnya Bung Karno dan Bung Hatta berpidato, maka tuan Sukarjo Wiryopranoto mempersilahakan hadirin mengemukakan pertanyaan. Hadirin tidak diizinkan berpendapat. Jadinya sistem Jepang dengan Cuo Sangi-In-nya terbawa pula ke Bayah kota Romusha.     
Saya sedang memilih kue yang enak dan minuman yang lebih lezat untuk para tamu Agung. Ketika beberapa hadirin bertanya dan mendapat jawaban yang dilucukan, sering juga jawaban ejekan dari tuan Sukarjo. Kepada tuan Son-co Bayah umpamanya diusulkan, supaya dia sekali lagi menghadiri “kursus Pamong Projo” (Pangreh Praja namanya dimasa itu!).
Tergesa-gesa saya meletakkan talam kue dan minuman dan dari tempat yang paling belakang sekali saya meminta bertanya: “Kalau tidak salah, bahwa kemenangan berakhir dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Tanya saya: “Apakah tidak lebih tepat, bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?”
Sebagai satu automaton (perkakas yang bergerak sendiri), maka tuan Sukarjo segera duduk. Bung Karno, sebagai telah dimufakatkan lebih dahulu segera berdiri. Dengan sikap tak begitu memperdulikan, maka Bung Karno memberi penjelasan lebih lanjut, bahwa kalau kita diberi kemerdekaan sekarang, kita kelak toh akan terpaksa juga memperjuangkan kemerdekaan itu. Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita. Demikianlah isi jawaban Bung Karno!
Dengan tidak menunggu izin ketua rapat lagi saya segera memberi jawaban. Keringkasannya jawaban itu, ialah: bahwa saya juga insyaf benar akan perlunya memperjuangkan kemerdekaan itu pun, kalau diberikan sekarang kepada kita. Tetapi kita akan memperjuangkan dengan lebih bersemangat, karena kita tidak akan memperjuangkan kemerdekaan yang dijanjikan, melainkan memperjuangkan kemerdekaan yang sudah ada di tangan kita, yang sudah dirasakan.
Sebenarnya saya menyerobot berpidato terus dengan memberi dua contoh. Contoh yang pertama, ialah seorang gembala pengecut pada sebuah desa, yang dibelakangnya masyhur sebagai pemberani,  karena ia dengan sebuah parang saja menyerang macam disarangnya dan membunuh macam itu. keberaniannya itu timbul sesudah Raja Hutan tadi menerkam kerbaunya. Ketakutan bertukar menjadi keberanian, sebab membela hak yang nyata, yang ada di tangan. Contoh yang kedua menunjukkan sikap yang sebaliknya. Gibbon dalam sejarah “Jatuhnya Kerajaan Romawi” menunjukkan, bahwa sebab jatuhnya Kerajaan Romawi, yang terpenting ialah karena kaum pekerja dalam masyarakat Romawi sebagian besar terdiri dari budak belian. Mereka tak peduli sama sekali sama ternak, perkakas dan pekerjaannya, sehingga produksi merosot ke bawah. Dengan merosotnya produksi, maka merosot pula pertahanan negara.
Daripada dua contoh tersebut saya mengambil kesimpulan, bahwa semangat membela naik dengan adanya hak nyata itu di tangan kita manusia. Dengan adanya hak kemerdekaan di tangan kita, maka kita akan berjuang mati-matian membela hak itu. Sumbangan kita melawan imperialisme Sekutu, sambil membela kemerdekaan kita itu akan memperkuat jaminan untuk kemenangan terakhir. Itulah saya maksudkan dengan pertanyaan diatas yang berbunyi: “Apakah tidak lebih tepat bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin Kemenangan Terakhir??”
Tepat dengan berhentinya saya berpidato, Bung Karno berdiri pula! Beliau mengules-ngules lengan baju, merapikan pakaian, sambil memandang kri-kanan seolah-olah hendak menunjukkan kepada hadirin, bahwa tidak pantas Bayah, kota romusha (terkenal sebagai Kota Nyamuk Malaria kata tuan Sukarjo) membantah pahamnya Banteng Besar Indonesia. Sedang puluhan ribuan khalayak pada sembarangan rapat raksasa di pulau Jawa ini cuma tahu menyambut pidato Bung Karno yang “berapi-api” dengan tepuk sorak yang gemuruh saja. Bung Karno sekarang mengeluarkan suara yang menggetarkan kota kecil di Bayah dan pula mengakhiri pidatonya dengan kesimpulan yang saya dan beberapa pegawai lainnya menganggap amat penting, ialah: Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (ialah Sukarno!) tidak akan terima.”
Saya siap  kembali hendak melanjutkan perdebatan. Saya hendak mengkritik kesimpulan tersebut diatas dan ucapan Bung Karno yang lain-lain. Tuan Son-co pun yang selama ini seolah-olah lena kena ejekan tuan Sukarjo, minta berbicara pula. Tetapi apa yang sudah saya nanti-nanti selama ini sekarang terjadi. Seorang Indonesia, yang begitu mahir bahasa Jepang, sehingga bahasa Indonesia sendiri di-Jepangkannya, ialah pembantu Jepang di Bayah Kozan dan berlaku sebagai pengawas terhadap para pegawai Indonesia, yang pada tiap-tiap “jadangkai” menghalang-halangi saya, sekarang merasa sampai saatnya untuk memutuskan: “Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan Hussein berbicara”.
Yang penting buat saya pada waktu itu ialah politiknya Bung Karno sudah lebih jelas buat para pemuda dan pegawai Bayah Kozan. Ketika besok harinya Bung Karno berseru diantara diantara romusha tambang di Gunung Madur, cabang Bayah Kozan yang terbesar, mengatakan, bahwa “Bung Karno sendiri juga “sama” dengan saudara romusha yang hadir” maka diantara kaum romusha yang spontan terdengar perkataan: “Tetapi kami orang yang sudah remuk rusak”.
Kalau memangnya “setetes” ataupun 1001 tetes saja keringat romusha yang mengalir sebagai “racun” buat Sekutu itu, tidaklah peristiwa semacam itu berarti sama sekali. Tetapi kalau sampai 80%, kalau tidak lebih, yang mati, hilang atau rusak sama sekali, diantara 15.000 romusha yang tinggal kerja di Bayah Kozan, diperhubungkan dengan perhitungan yang sederhana, bahwa lebih kurang lima puluh ribu setahun yang ulang pergi antara beberapa daerah dan Bayah, maka angka ini sudah tiga tahun harus mengambil banyak perhatian kita. Kalau perihal ini diluaskan menjadi peristiwa romusha buat seluruhnya Indonesia yang dipekerjakan di Asia Tenggara untuk membuat jalan, benteng pertahanan dan lapangan terbang Jepang, maka kehilangan romusha yang ditaksir 3-4 juta banyaknya itu selama pendudukan Jepang tidak lagi berarti bencana daerah, melainkan sudah bencana nasional, lebih dahsyat dan lebih jauh akibatnya daripada letusan sebuah gunung. Apalagi kalau perampasan jiwa dan tenaga romusha itu diperhitungkan pula dengan kemusnahan para prajurit Heiho di Papua, Kalimantan, Birma atau dimana saja Jepang kelak hendak merampas tanah, harta benda dan gadis bangsa lain serta diperhubungkan pula dengan kekurangan makanan penting karena rampokan Jepang dari hari ke hari. Dalam beberapa keturunan saja kemusnahan tenaga kuat itu akan mengancam adanya bangsa Indonesia di muka bumi ini. Pidato Bung Karno yang mahir dan berapi-api tentang pemakaian romusha, pengumpulan padi, pengumpulan emas-intan dan persetujuan Bung Karno dengan perantaraan Hokokainya yang menyetujui dan membantu pengerahan wanita dan “pemudi” Indonesia disemua “lapangan pembelaan” cuma akan mempercepat demoralisasi atau kemusnahan orang Indonesia sebagai bangsa.
Belum kita insyaf akan kerusakan romusha, kalau belum pernah kita pergi mengantarkan romusha ke daerahnya masing-masing adalah pekerjaan yang dperebutkan oleh para pegawai. Buat siapa saja mengantarkan romusha berarti “beristirahat” dengan ongkosnya Bayah-Kozan. Walaupun pergi ke salah satu daerah itu biasanya memakan tiga-empat hari saja, tetapi pulang pergi saja sudah berarti seminggu lebih. Dan dengan 1001 alasan lain, seperti kurang “enak badan”, “ketinggalan kereta”, “tergelincir dari kulit pisang” dan lain sebagainya, maka istirahat yang 10 hari yang dianggap normal itu bisa diperpanjang menjadi dua minggu, bahkan sebulan. Semua ongkos perjalanan, penginapan, ongkos “luar biasa” dan lain-lain pula ditanggung oleh Bayah Kozan, dengan “uang” kertas Jepang, yang tidak pernah usang jatuh ke tangan para pegawai. Istirahat itu sebenarnya perlu buat para pegawai Bayah, karena hari liburan, lebih dari satu-dua hari belum saya kenal. Buat saya mengantarkan romusha atau lebih tepat, beristirahat untuk mengunjungi keluarga memang tidak pada tempatnya. Saya tidak punya seorangpun anggota keluarga di Jawa. Tetapi besar artinya mengantarkan romusha itu buat siapa saja, kalau dipandang dari sudut kesosialan dan pengalaman. Simpati terhadap romusha itu sudah umum meresap di hati sanubari pegawai dan pemuda di Bayah. Kebanyakan pengantar mengerti, bahwa mereka harus mengawasi para romusha dari stasiun ke stasiun supaya jangan keluar kereta dan ketinggalan, hal mana acap kali terjadi. Para romusha ingin membeli ini atau itu, ingin membuang air tidak memperdulikan lonceng kereta. Mereka buta huruf, banyak yang tidak mengerti bahasa Sunda atau Indonesia. Sekali ketinggalan maka bahayalah yang dihadapi oleh mereka. Maka buat betul-betul mengetahui keadaan romusha yang sesungguhnya di perjalanan, haruslah seorang pegawai mempunyai pengalaman mengantarkan sampai ke daerahnya, adalah salah satu usul dari pegawai Bayah Kozan juga, yang terbit dari perasaan tanggung jawab terhadap Nusa dan Bangsa.
Sebab pada suatu hari memangnya kekurangan pengantar, maka oleh pengurus Bayah Kozan, saya diminta mengantarkan romusha ke Jawa Tengah. Saya ambil kesempatan ini buat mendapatkan pengalaman dan buat istirahat, yakni mengelilingi beberapa daerah di Jawa Barat dan Tengah. Yang dibelakang inilah yang sangat saya harapkan pula setelah beberapa lama.
Tidaklah dapat dituliskan pada satu dua halaman saja kesusahan mengantarkan romusha bagi seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab dan perikemanusiaan. Penyakit borok Bayah yang kecil pada waktu berangkat dan dalam sehari perjalanan saja sudah meluas dan mendalam susah sekali dikendali. Biasanya romusha yang mempunyai surihan (garis) kecil saja waktu diperiksa diizinkan saja oleh dokter berangkat ke daerahnya. Surihan kecil itu besoknya sudah menjadi besar dan busuk. Romusha yang mengandung penyakit malaria ataupun dysentri, tidak suka mengatakannya kepada dokter dan berusaha menyembunyikannya supaya boleh dipulangkannya. Penyakit itulah yang menimbulkan bermacam-macam kesusahan bagi pengantarnya.
Urusan makanan pada tempat penginapan yang disediakan oleh Bayah Kozan buat para romusha seperti di Rangkas dan Jakarta tidak selalu memberi kepuasan. Biasanya romusha yang sudah lapar itu terpaksa menunggu makanan sampai jauh malam dan terpaksa mengambil tempat tidur dimana saja, atau sama sekali tidak tidur. Pagi benar, jam 4, mereka sudah dibangunkan buat berangkat terus. Di kereta tempat tidak selalu sedia, gerobak harus istimewa buat romusha saja. Penumpang biasanya akan lari meninggalkan tempatnya di kelas 2 atau 3 kalau seorang saja romusha yang sesat masuk. Apalagi kalau yang masuk itu borokan pula.
Kebetulan pula ketika pertama kali saya mengantarkan romusha, maka antara Bayah dan Jakarta terjadi kemalangan yang menyedihkan! Dua orang romusha meninggal berturut-turut di Rangkas dan Warung Panjang. Nama, keluarga dan desa mereka tidak terdapat dalam daftar yang saya bawa. Sep stasiun di Rangkas meminta saya memberikan keterangan yang jelas tentang mayat itu (nama, keluarga, desa dll), katanya supaya dia bisa menanggung-jawabkan kepada polisi yang akan menguburkannya kelak. Tentulah saya tidak bisa memberikannya. Saya bangunkan rasa kebangsaan kepada saudara sep itu. Tetapi dia menuntut keterangan cukup tentang mayat dan meminta supaya saya sendiri pergi ke kantor polisi memberi keterangan formil. Usul saya supaya telpon saja polisi ke Bayah dan keberatan saya, ialah kalau saya turun layani mayat yang satu ini, siapakah yang akan turun melayani mayat yang lebih banyak, kalau saya mesti meninggalkan kereta dan romusha yang saya antarkan mulanya tidak didengarnya. Tetapi setelah lama berunding maka dia membiarkan saya berangkat dan berjanji akan mengurusnya. Tuan sep di Warung Panjang dengan tidak meminta keterangan ini atau itu sendiri yang mengurus mayat yang kedua. Memangnya ada perasaan kebangsaan dan prikemanusiaan pun diantara tuan-tuan sep kereta.
Baru di Jakarta saya tahu, bahwa mereka yang mati di jalan tadi, ialah romusha yang sudah lama sesat dan ketinggalan di jalan, menderita penyakit dan mereka masuk di salah satu stasiun campur ke dalam romusha kami. Memangnya mereka berasal dari Jawa Tengah juga dan bekas romusha di Bayah pula. Tentulah mereka tidak  masuk ke dalam daftar saya.
Apakah ditolak mereka yang tidak masuk daftar, mereka yang menyelundup di jalan ini? menurut aturan harus; Tetapi menurut perasaan tidak! Dengan bersandarkan prikemanusiaan, maka bertambah banyaklah kesulitan yang saya alami berhubung dengan makanan, penginapan dan tempat dalam kereta.
Begitulah seperti yang di Rangkas, tempat penginapan pertama dan di Jakarta di Tanah Abang tempat penginapan kedua, saya tidak sempat tidur. Makanan dan tempat dikeduanya sudah susah didapat harus disediakan buat romusha yang berhak dan menyelundup.
Berhubung dengan banyaknya yang sakit, maka perjalanan antara Tanah Abang dan Jakarta Kota terpaksa saya lakukan dalam tiga-empat jam. Sering-sering saya terpaksa lari ke depan barisan yang ratusan meter panjangnya, terdiri dari tiga-empat ratus romusha, mengejar dan memberhentikan mereka yang cepat berjalan, yang terlampau maju ke depan, sehingga meninggalkan jauh di belakang mereka, yang lemah dan sakit, yang perlu dipapah atau digendong oleh teman-temannya. Disinilah saya insyaf yang sedalam-dalamnya akan arti yang sebenarnya tentang sengsara hidup manusia. Tetapi untunglah saya rasakan pula, bahwa kodrat simpati tidak kurang besar daripada amarah dan perasaan lain-lain, yang membangunkan semangat kita! Selama tiga-empat hari dalam perjalanan ke Purwokerto entah berapa kali langkah yang saya ayunkan dan percekcokan dengan pengurus penginapan, kereta, karcis yang harus saya selesaikan..........tetapi saya tidak merasa lelah sedikitpun walau dalam tiga-empat hari itu sedikit saya makan dan tidur. Inilah kodratnya perasaan simpati, perasaan hiba, sayang.
Pengalaman mengantarkan romusha sekali itu, besar sekali artinya buat saya untuk dijadikan perimbangan yang berharga dalam hal kirim-mengirim romusha. Berdasarkan pengalaman, maka dibelakang hari saya mengusulkan ini-itu yang berhubungan dengan makana, obat-obatan, penginapan, transport dan terutama pula dengan sifatnya pegawai pengantar yang diperlukan buat keselamatan romusha yang sudah remuk-rusak dipulangkan ke desanya itu. dengan semangat yang semakin lama semakin baik diantara pegawai tua dan muda di kantor Bayah, maka lama-kelamaan dapatlah dijaga supaya Romusha yang dikirimkan pulang itu sampai ke desanya dengan tidak kekurangan suatu apapaun dan mempunyai sedikit uang disakunya.
Selainnya daripada pengalaman yang berguna buat pemeliharaan romusha, maka saya juga dengan segala perhatian dan kegembiraan dapat mempelajari beberapa daerah di Jawa Barat dan Timur. Bisikan anti Jepang yang mulanya perlahan-lahan makin lama makin terdengar. “Kerja sama” Nippon Indonesia sudah mulai diejek-ejek. Setelah dua tiga minggu berputar-putar, maka kembalilah saya ke Bayah membawa pengalaman dan kesan yang baru tentang Rakyat Indonesia umumnya dan tentang arti “setetes keringat romusha khususnya”.
Golongan kami yang kecil, tetapi mempunyai tujuan yang nyata dan semangat yang sehat buat menjalankannya mempergiat usaha memperlindungi tenaga romusha, memperingati keperwiraan dan kepercayaan diri sendiri diantara prajurti sukarela dan mempererat perhubungan antara romusha pekerja Bayah Kozan dengan PETA-HEIHO dan dengan kaum tani di desa-desa sekitarnya Bayah.
Usul yang sudah lama kami ajukan, yakni membuat dapur umum untuk romusha, yang tinggal di kota Bayah, akhirnya oleh Bayah Kozan dijalankan. Lebih daripada 1000 orang romusha yang berpondok dekat dapur umum mendapat makanan dari dapur umum. Dengan begitu mereka lepas dari tangan mandor, pada siapa selamanya ini mereka membayar “makan”. Pada dapur umum mereka diwajibkan membayar 10 sen sehari (gajinya 40 sen sehari). Pagi hari mereka mendapat kopi dengan ubi atau ketan. Lohor dan sore mereka mendapat nasi, sayur dan sedikit ikan. Kalau saya tak lupa, ukuran berat buat seseorang romusha adalah 300 gram sehari. Urusan membeli dan memasak adalah di tangan pegawai yang  kami majukan kepada kantor Bayah Kozan. Kebersihan dan pemasakn selalu berada dibawah penjagaan kami. Walaupun semuanya belum sempurna, tetapi sudah lebih teratur dan lebih baik daripada selamanya ini. banyak diantara pegawai kantor sendiri yang diam-diam membeli nasi dan sayur dari dapur memangnya nasi adalah pokok persoalan makanan di masa serba susah itu. Dengan begitu buat romusha, baik pula buat para pegawai. Saya sendiri sering dihidangkan makanan dari dapur umum.
Karet, ialah nama satu tempat, dimana dahulu bergelimpangan romusha yang sakit dan mati sudah menjadi rumah sakit. Untuk romusha sudah diadakan tempat buat menerima 700 orang sakit. Rumah obat dan beberapa juru rawat sudah tersedia pula. Rumahnya memang masih berdinding pelepah (bambu) dan beratap rumbia, tetapi kebersihan dan air minum dan mandi sudah terjaga. Penguburan romusha seperti usul kami pula, sudah dilakukan menurut adat dan agama, dan dibawah pimpinan seorang kalifah yang diangkat oleh Bayah Kozan. Karet terletak diantara gunung Madur dan Bayah kota. Di Bayah sendiri sudah didirikan rumah sakit baru. Rumah sakit ini dipimpin oleh dua orang orang dokter Tionghoa, dibantu oleh beberapa juru rawat dan lengkap dengan obat-obatan. Perubahan yang menjamin kesehatan seperti di Bayah itu mulai dilakukan pula di cabang-cabang seperti Madur, Cimang, Cihara.
Pula boleh dikatakan sebagai usul kami, yakni para pegawai, maka dekat satu kampung bernama Tegal Lumbu, sudah diadakan kebun sayur dan buah-buahan. Pada akhirnya tahun 1944, maka kebun ini sudah memberi hasil cukup dan mengirimkan hasilnya setiap hari ke seluruh perusahaan Bayah Kozan. Dengan begitu tidak lagi perlu Bayah Kozan mencari sayur ke Sukabumi dan menerima sayur, yang sudah busuk sesampainya di Bayah. Sayur Tegal Lumbu adalah berbagai ragam dan memangnya baik sekali kualiteitnya.
Tidak saja dalam lapangan jasmani, tetapi dalam lapangan rohani pun tidaklah kami putus berusaha.
Bermula saya usulkan mendirikan satu sandiwara. Usul ini diterima dan dijalankan giat sekali oleh para pemuda. Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencuriga kempetai, maka sandiwara itu dijadikan saja “bagian hiburan” yang termasuk anggaran dasarnya B.P.P yang sudah diakui oleh tentara Jepang itu. Saya sendiri yang menulis lakonnya, memilih pemainnya dan melatih pemainnya.
Lakon pertama sekali bernama P2, huruf pangkal Prajurit Pekerja. Diceritakan disini nasibnya kaum romusha, dari mulanya dia dikumpulkan di desanya oleh Son-co sampai dia ke Bayah, dan akhirnya dia sampai kering dipekerjakan atau sakit dan mati bergelimpangan di jalan ibarat “sepah” yang dibuang sesudah manisnya habis”.
Lakon yang kedua masih terpaksa saya menuliskan, karena belum juga timbul tenaga  muda dan baru. Lakon itu berdasar “Hikayat Hang Tuah”. Walaupun Laksamana Hang Tuah dengan Hulubalangnya Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekin dan Hang Kasturi yang dijunjung tinggi, tetapi yang merasakan yang pertama sekali tentu para prajurit sukarela yang dipersilahkan duduk menonton di garis kursi yang paling depan.
Sesudah kedua lakon itu mendapat sambutan yang hangat dari Bayah Kota, dan cabang-cabang Bayah, maka keluarlah penyusun baru. Dengan sekedarnya bantuan saya, berikutnya dipermainkan lakon Diponegoro dan Puputan Bali. Disini dimajukan kritik yang tajam terhadap imperialisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit. Pemuda dan rakyat supaya bersatu dan menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan.
Disamping sandiwara tadi didirikan pula oleh satu Orkestra dan rombongan penyanyi buat pembantu sandiwara. Ongkos instrumen ditanggung oleh Bayah Kozan. Tidak saja untuk pegawai yang dipentingkan, tetapi juga para romusha yang berada di Bayah mendapat perhatian istimewa. Buat permainan wayang, maka dibeli pula gamelan yang tidak murah harganya. Ketoprak buat pekerja Sunda dan Bayah juga sering sekali dipertunjukkan.
Disamping sandiwara didirikan pula satu Sport club, pertama buat sepak bola. Dalam pertandingan dengan cabang, dengan pekerja di tambang emas Cikotok, dengan prajurit sukarela, malah juga dengan kesebelasan di daerah Banten, club kami sudah mendapatkan tempat yang baik sekali. Akan diusahakan pula memberi kesempatan bermain sepak bola kepada kaum tukang dan romusha. Untuk ini kami perlu mempunyai tanah lapang sendiri. Selamanya ini kami para pegawai meminjam tanah lapang rakyat Bayah. Mulanya Bayah Kozan menjanjikan mendirikan tanah lapang buat  kami. Tetapi apabila sesudah beberapa lama tidak juga ditepati, karena “kekurangan” romusha, maka atas usul saya, kami sendiri dan seluruhnya pegawai kantor, gudang, pembangunan, bengkel dan lain-lain tua-muda, pemuda-pemudi, mengerjakannya. Sehabis bekerja kantor, kami sendiri menebang kayu, membuang batu dan mencangkul. Setelah lebih daripada setengah pekerjaan itu selesai, maka barulah Bayah Kozan insyaf akan kelalaiannya dan ikut mencampuri pekerjaan itu. Tanah lapang itu baru selesai, ketika saya meninggalkan Bayah, yakni pada waktu Indonesia merdeka diproklamirkan.
Pada waktu belakangan, maka olah raga dan sandiwara digabungkan dalam satu badan yang bernama “Pantai Selatan”. Pantai Selatan sudah cukup dikenal di sekitarnya Bayah. Dari Rangkas Bitung sudah berkali-kali datang undangan untuk mempermainkan salah satu lakon tersebut diatas, katanya buat menambah semangat rakyat dan pemuda. Juga diusulkannya pertandingan sepakbola, untuk membalas kunjungan kesebelasan daerah Banten (atau Rangkas) yang tempo hari datang dari Bayah (Madur) untuk bertanding.
Rupanya Pantai Selatan bagian sandiwara sampai juga suaranya ke telinga para pemimpin Sendenbu yang dulu sering datang ke Bayah untuk menjalankan propaganda. Setelah salah seorang diantara kami bertanyakan, kenapa Sendenbu tidak lagi datang ke Bayah mempermainkan “lakonnya”, maka dengan senyum yang mengandung arti dijawab: “Kami yang sepatutnya memanggil Pantai Selatan ke Jakarta”.
Lakon kami juga tidak luput dari pengawasan sensor, pemeriksaan kaisatsu. Tetapi biasanya saya sendiri mengurusnya dengan pemuda polisi. Masakan pemuda polisi tadi sampai hati melarang pemuda PETA-HEIHO, dan pemuda lainnya menonton pertunjukan lakon yang berdasarkan sejarah awak, seperti Hikayat Hang Tuah, Perang Diponegoro, Puputan Bali dan lain-lain pada masa kita perlu membangkitkan semangat keprawiraan, menentang penindasan dan penghisapan. Siapakah pula diantara penonton Jepang yang semuanya hadir, yang bisa mengerti apa yang “terselip” dalam Bahasa Indonesia yang penuh dengan mengandung sindiran itu?
Teristimewa pula apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tidak mengeluarkan perkataan apa-apa?
Nyatalah bagi saya bahwa Jepang sendiri sudah mengunjungi beberapa lakon tentang kebudayaan, kebijaksanaan dan kesatriaan leluhurnya bangsa Indonesia, insyaf akan kekurangan penghargaan Jepang terhadap sejarahnya bangsa Indonesia selama ini. Pada pidato resmi dibelakang hari kepala urusan Bayah Kozan sendiri sudah mulai menyinggung-nyinggung kegemilangan sejarah Indonesia itu. Dengan begitu tidak saja kepercayaan diri dan keprawiraan pemuda Indonesia bisa kami bangkitkan tetapi juga penghargaan Jepang terhadap kita juga bisa dikoreksi dan dibetulkan.
Pada suatu hari saya dipanggil oleh Jepang pengurus bagian romusha. Ditanyakannya kepada saya, apakah saya mau memimpin K.U.P.P. ialah Kantor Urusan Prajurit Pekerja. Segera saya jawab: “Tidak karena terlalu berat”.
Kantor ini mengurus pembagian makanan, seperti pembagian beras, aci, kacang, gula, minyak tanah dan minyak kelapa, ikan, garam, dan lain-lain. Selain daripada itu, kantor tadi harus pula mengawasi dapur umum dan hidupnya lebih kurang 2000 tukang dan romusha di sekitar dapur umum, mengawasi penerimaan dan pengiriman romusha dari hari ke hari yang pulang pergi antara Bayah dan daerah di Jawa Tengah (penduduk Banten khususnya dan penduduk Jawa Barat umumnya menolak keras dijadikan romusha!): mengurus romusha yang sakit dan mati, mengurus perumahan dan lain-lain.
Jumlahnya pegawai kira-kira sama dengan jumlahnya pegawai di kantor pusat. Tidak mengherankan! Karena pusat umumnya mengerjakan pekerjaan tulis menulis, sedangkan K.U.P.P. selainnya pekerjaan tulis menulis, juga pekerjaan yang langsung berhubungan dengan makanan, perumahan, gaji, kesehatan dan sakit matinya 3000-4000 romusha, termasuk juga dibelakang hari penduduk kampung Bayah dan sekitarnya dalam beberapa hal. Pembagian minyak, yang berdasarkan seperempat botol seorang, pembagian beras yang 200 gram seorang, aci yang 100 gram dan sebagainya kecil-kecilan tetapi harus adil, adalah pekerjaan yang banyak mengambil waktu dan kesabaran. Family-system, kecurangan dari bujang, gundik atau kekasih Jepang, kecerobohan para pegawai bangsa sendiri, harus dibasmi, kalau perhitungan barang masuk dan keluar harus cocok (klop). Disinilah terutama terletaknya kesulitan! Yang menerima barang ialah kantor Jepang, bernama Minami. Yang membagikan barang itu ialah lain badan pula. Tetapi K.U.P.P harus tanggung jawab atas beresnya kartu pembagian. Barang tidak boleh jatuh ke tangan yang tidak berhak dan yang berhak harus mendapatkan barang sepenuhnya dengan tidak memperdulikan kekuasaan seorang pegawai Indonesia atau Jepang yang mencoba mendapat izin dari K.U.P.P. Tetapi si Jepang tidak lupa memendam 3 orang kempei-ho dan penyelidik dikanan kiri saya.
Seorang pemuda keluaran H.B.S. sudah gagal memimpin K.U.P.P! Seorang bekas wedana yang berumur tinggi pula tidak sanggup lagi mengerjakannya. Melihat kejadian ini, maka saya tolak usul Jepang, pengurus Ro-moo tadi yang meminta saya sebagai pemimin K.U.P.P., jadinya pemimpin yang ketiga.
Beberapa teman kepercayaan meminta kepada saya, supaya diterima saja, supaya saya dapat mengontrol pembagian barang dan tempat yang memang kalut itu, yang penting pula buat umum. Seorang Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia, melihat saya terus menolak, datang menghampiri saya dengan berkata: “Tuan Hussein selalu menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Jepang memangnya akan pergi! Cuma belum tentu kapan. Dalam hal ini siapa lagi yang akan mengurus Bayah Kozan sendiri, kalau bukan orang Indonesia. Tetapi kalau orang Indonesia mau merd eka, tetapi tidak berani tanggung jawab, bagaimana kemerdekaan itu bisa dijalankan”.
“Logika” ini sebagai logika memang tegap. Saya terpaksa terima, walaupun pekerjaan itu terus saya anggap berat. Memang pula begitu. Kecurangan, family system, kesulitan pekerjaan dan tak ada kerjasama antara Minami (penerima barang) dengan Haikyu (pembagian Makanan) maka banyak sekali kotoran yang sudah lama dan harus dibersihkan. “Catut” sudah tersohor di masa itu! Diantara pegawai kantor Minami dan Haikyu dan pengangkutan sering terdapat “kerjasama” buat menyembunyikan barang dan mencatutkan barang itu. hukuman jemur dan potong kepala tidak lagi diperdulikan. Minyak yang umpamanya menurut harga kantor cuma F. 6,- F.7,- sekaleng bisa dicatutkan dengan harga F. 200,- atau F. 300,- Yang menjadi korban tentulah rakyat jelata dan romusha juga, karena merekalah yang akan kekurangan atau tidak dakan mendapat apa-apa.
Pekerjaan K.U.P.P saya lakukan! Dengan begitu saya mendapatkan perhubungan yang lebih rapat lagi dengan romusha, tukang dan rakyat di Bayah. Lebih daripada yang sudah-sudah saya insyaf lagi akan keadaan hidupnya romusha. Dapur memang mudah memeriksanya di waktu siang hari. Tetapi pemeriksaan harus selalu dijalankan, supaya tiap-tiap romusha mendapatkan yang sudah ditetapkan. Banyak praktek dapur yang harus dibasmi. Tidur romusha pun harus kita jaga. Mereka takut tidur diatas lantai pelepuh (bambu) kaena penuh kepinding (kutu busuk). Mereka turun ke tanah dan tidur di tanah. Ini lebih membahayakan kesehatan mereka. Sesudah saya larang mereka kembali ke atas lantai, tetapi setelah saya pergi mereka kembali ke tanah. Sebab itulah saya biasanya sekali lagi saya terpaksa datang, menyaksikan, apakah mereka benar-benar tidur di lantai. Perkara kutu busuk sangat memusingkan kepala. Kami pegawai sendiri harus berperang dengan kutu busuk. Tetapi lebih berbahaya tidur di tanah Bayah, yang lembab (vochtig) itu daripada berperang dengan kutu busuk diatas lantai. Yang tak kurang memusingkan kepala saya ialah perkara kebersihan! Karena kejengkelan, maka beberapa romusha sengaja buang air di jalan-jalan. Sudah dua tiga kali mereka ditegur masalah ini. diterangkan betapa bahayanya kotoran manusia itu buat mereka sendiri. Didengarkan, tetapi tidak juga dijalankan! Akhirnya saya sendiri membersihkan! Semenjak itu berhentilah mereka membuang kotoran di tempat yang tidak pantas.
Karena susahnya mendapatkan ari diluar sungai Bayah yang agak jauh letaknya itu, maka pembikinan kakus dan sumur, adalah soal yang mengenai teknik dan ongkos. Tetapi kami memang sedang memejamkan soal tersebut.
Pada masa mengurus K.U.P.P itulah saya sedikit berkenalan dengan prakteknya “koperasi” ahli ekonomi Drs. Mohammad Hatta. Membaca keterangan tentang koperasi saya tahu-tahu sudah menggelengkan kepala. Bagaimanakah sesuatu teori ekonomi bisa dijalankan kalau yang menjalankan ini sama sekali tiada mempunyai kekuasaan politik, beginilah pikiran yang timbul di kepala saya di masa itu. Prakteknya koperasi di Bayah dan lain-lain tempat di Banten, lebih kurang seperti berikut:
Pengumuman koperasi: “Minyak datang Rakyat harus siap tanggal sekian jam sekian. Jangan lupa membawa botol. Yang terlambat tak akan mendapat minyak”.
Rakyat datang berkerumun dan antri (berjejeran). Mereka menunggu dengan teratur dan sabar, cocok dengan tabiatnya bangsa Indonesia. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, maka pembagian dijalankan.
Setelah dua tiga kaleng dibagikan maka tuan pengurus koperasi berteriak keras, supaya terdengar oleh khalayak yang berjejer panjang, yang dalam panas atau hujan menunggu bagiannya, mengucapkan: Saudara-saudara, pembagian diperhentikan karena minyak sudah habis. Memangnya tujuh atau delapan kaleng lainnya sudah lenyap dari kantor “koperasi”. Tetapi tidak lenyap jatuh ke tangan rakyat yang berhak, melainkan dicatutkan oleh “pengurus” di pasar gelap di waktu gelap.
Drs. Mohammad Hatta yang mestinya insyaf akan ketiadaan kekuasaan politik di tangan rakyat Indonesia di masa Jepang itu, oleh sebab mana dia sebenarnya tidak berdaya sedikitpun untuk membasmi berbagai-bagai kecurangan (termasuk kecurangan dan korupsi kempei sendiri!!!) mestinya lebih dulu berusaha supaya rakyat Indonesia mempunyai cukup kekuasaan. Barulah ambil kesempatan untuk menjalankan suatu teori, seperti teori koperasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi seluruhnya atau sebagian besar dari perekonomian rakyat.
Tetapi sebagai tukang hapal suatu teori ekonomi doktorandus ini tidak insyaf akan Naiviteitnya dalam politik. Pengurus ekonomi yang jujur tetapi menemui kegagalan di masa Jepang itu kalau datang mengunjungi Moh. Hatta, dengan tidak pemeriksaan lebih dalam biasanya dimarahi dengan perkataan: Saudara yang salah! Saudara yang bodoh! Saudara yang belum baca buku ini atau itu! Saudara yang tidak bisa kerja sama dengan Son-co dan lain-lain, dan sebagainya etc, etc.
Sekianlah sekadarnya gambaran tentang Bayah kota. Dalam setahun dua kampung kecil, terpencil tak terkenal, bernama Bayah, disebabkan adanya batu arang disekitarnya sudah menjadi sebuah kota, sebagai pusat administrasi, lengkap dengan bengkel, stasiun kereta api dan bangunana listrik. Jepang memang ahli dalam membuat kota baru. Terhadap Bayah dengan pelabuhan pulau Manuk, Jepang mempunyai rencana yang mengandung akibat jauh dan bercabang-cabang pula. Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Banten Selatan masih jarang penduduknya, tetapi ada mengandung logam yang berharga, seperti dibuktikan oleh tambang emas dan tembaga di Cikotok.
Dengan naiknya pengaruh Bayah Kozan di sekitarnya Bayah, maka sebanding dengan itu pula turunnya derajat pamong praja di daerah tersebut. Lama kelamaan Son-co Bayah sendiri sudah terdesak oleh Bayah Kozan dalam hal urusan kenegaraan, ekonomi dan sosial. Jika tuan Son-co insyaf akan pertukaran masa, bersemangat kebangsaan dan mencari perhubungan rapat dan kerja sama dengan kami para pegawai, maka kami akan membantu dia akan  menjadikan bapak rakyat. Tetapi karen Son-co di Bayah masih menganggap dirinya seperti Ass Wedana dimasa Belanda, bersemangat kedaerahan, bahkan kekeluargaan, serta mencoba bertentangan dengan kami terpaksa menaruhkan pada tempat yang selayaknya.
Pada permulaan saya menjalankan pekerjaan sebagai wakil ketua B.P.P ketika ketuanya bepergian, maka Bayah, anak ranting B.P.P didatangi oleh ketua cabang dari Rangkas. Ketua cabang mengadakan kritik tajam terhadap urusan uang B.P.P yang berada di tangan ketua lama. Dia mendesak kami mengadakan pembersihan dalam hal keuangan itu. Karena ketua tak ada dan kas lama berada di tangan ketua itu, maka jalan yang sebaiknya menurut persetujuan rapat pada masa itu, ialah mengadakan pemilihan pengurus yang sebenarnya belum pernah diadakan pada masa itu. Pemilihan berlaku dihadiri oleh Son-co sendiri. Menurut pemilihan itu, maka jabatan ketua jatuh ke tangan saya. Dengan begitu maka urusan uang saya pisahkan dari bulu lama dan tanggung jawab (di bawan penilikan saya), diberikan kepada yan biasa berhak, ialah bendahara. Sebelumnya saya, maka ketualah yang menerima uang dan membelanjakannya. Selainnya daripada penghiburan gamelan yang memakan ongkos ratusan ribu rupiah, belumlah ada bantuan yang diberikan kepada keluarga PETA dan Sukarela itu. Belum pernah ia selangkah berjalan menuju ke desa menjumpai keluarga PETA-HEIHO itu.
 Setelah ketua kembali, dan mendengar bahwa dia tidak lagi ketua, melainkan penasehat, maka atas desakan dia diadakan lagi pemilihan. Menurut pemilihan inipun saya diangkat menjadi ketua. Tetapi tuan Son-co tidak juga mau memberikan pengesahannya, ialah syarat yang ditetapkan oleh tentara Jepang di masa itu. Harus diketahui bahwa ketua lama pengurus umum bagian Indonesia di kantor Pusat, ialah karib baiknya tuan Son-co juga di masa Belanda pernah menjabat pekerjaan salah satu kantor pamong praja Banten umumnya dan golongan Tubagus (ninggrat di Jawa Tengah) khususnya, satu sama lainnya melekat seperti minyak dengan minyak dan air dengan air.
Akhirnya karena desakan saya, supaya pembersihan yang dulu dituntut oleh ketua cabang dari Rangkas dibereskannya sendiri di Bayah, maka pada suatu hari datanglah dia mengunjungi Bayah. Ketua Rangkas inipun tidak mau mendekati saya dan tidak mau menerangkan bila ada rapat dan apa acaranya B.P.P. yang akan diadakannya itu. Ketua lama mengusulkan supaya saya mengumpulkan orang, dimana saja. Dalam surat selebaran, maka saya panggil yang bersangkutan ke K.U.P.P dimana terdapat tempat yang lapang dan kursi yang lengkap. Tetapi karena hari hujan dan sedikit orang yang datang (ialah mereka yang membantu saya mengunjungi keluarga PETA-HEIHO di desa-desa), maka saya kira rapat itu tidak bisa berlangsung. Tetapi ketika saya pergi mengunjungi teman-teman, maka kira-kira jam 10 malam saya lihat banyak orang berkumpul di pendopo Son-co. Saya coba masuk. Oleh ketua lama saya dipersilahkan berbicara. Sebenarnya saya tidak siap berbicara lebih dahulu. Saya anggap ketua cabang yang akan mengusulkan ini-itu berhubung dengan desanya dahulu kepada kami mengadakan pembersihan. Diantara hadirin cuma satu dua orang yang saya kenal rajin membantu. Yang lainnya ialah mereka yang diundang oleh ketua lama sendiri dan orang-orang yang diangkatnya sendiri di kantor Bayah, karena ia memang kepala urusan personil (Son-moo!).
Tetapi saya tidak berpikir panjang dan percaya kepada pemuda dan para hadirin. Saya uraikan pekerjaan yang sudah kami lakukan diwaktu terluang. Saya peringatkan bahwa pembersihan yang dituntut oleh ketua cabang, kami jalankan dengan pemilihan yang berakhir dengan pilihan atas diri saya sebagai ketua. Saya meminta kepada ketua cabang supaya sekarang dia sendiri yang menentukan bagaimana cara yang dikehendakinya buat mengadakan pembersihan dalam hal keuangan, sebelumnya saya tahu menahu dengan urusan B.P.P. Buku keuangan selama di bawah pimpinan saya, sebagai ketua, adalah terbukanya bilamana saja dan buat siapa saja!
Perdebatan berlangsung sedikit lama, bukan tentang keuangan, melainkan tentang ke-ketuaan. Ketua cabang Rangkas, dengan persetujuan Son-co dan ketua lama mengusulkan mengadakan pemilihan sekali lagi.
Walaupun para pembantu saya, cuma saja yang hadir dan hampir semuanya yang hadir cuma saya kenal mukanya saja. Tetapi saya membenarkan  usul pemilihan ketiga kalinya itu. saya isyaf, bahwa saya ditipu masuk ke perangkap pemilihan, yang pemilihnya ditentukan oleh pihak sana. Sebab ini maka saya sendiri sangat heran ketika menyaksikan bahwa kecuali dua suara (Son-co dan ketua lama ikut pula mengundi) semua suara jatuh kepada saya. Mau tak mau Son-co harus mengesahkan keketuaan saya itu, atas B.P.P atau B.P.2.
Sekarang sedikit tentang B.P.3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja), walaupun mengandung sejarah yang tak kurang panjang dan sulit pula.
Setelah B.P.3 lahir, maka Son-co memanggil saya. Dia mengadakan pemilihan, dimana saya terpilih pula sebagai ketua. Pekerjaan ini tentulah mudah saya jalankan, karena hari-hari saya berurusan dengan pulang pergi dan keadaan romusha. Siapa saja orang lain yang mau menjadi ketua B.P.3 terkpaksa akan meminta pertolongan kepada saya.
Tetapi di belakang hari apabila seorang turunan Tubagus dan “memangnya” tuan Son-co dan ketua lama B.P.2 “memang” yang ingin menjadi ketua B.P.3, maka tuan Son-co mengubah sikapnya terhadap keketuaan saja, walaupun keketuaan saya itu diusulkan disaksikannya di rumah sendiri. Terpaksa lagi diadakan pemilihan. Tetapi pada pemilihan inipun saya dipilih menjadi ketua. Walaupun begitu tuan Son-co tidak juga memberi pengesahan. Bantuan pemberesan yang saya minta ke cabang B.P.3 Di Serang dan Pusat di Jakarta tidak memberikan hasil. Tak ada seorang pun yang mau datang mengurusnya ke Bayah, sampai akhirnya ke waktu penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Son-co ada mempunyai calon ketua B.P.3 dibawah pimpinan Moh. Hatta sendiri kabarnya, mau mengizinkan cabang atau ranting mendirikan “perusahaan” (sabun, minyak kelapa dll) dan memberi bantuan uang dari Pusat di Jakarta. Tetapi karena pekerjaan Bayah sudah memberikan kepercayaan kepada saya, dan karena saya tahu sejarahnya “Tubagus” tadi dalam hal keuangan, maka kami siap sedia mengawai, supaya uang pusat B.P.3 ialah hasil keringat rakyat jelata, yang akan dipinjamkan kepada Bayah itu jangan sekali-kali jatuh ke dalam kas bolong, kas yang tidak mempunyai lantai.
Tiap-tiap bulan Bayah Kozan mengirimkan 1.50.000,- kepada keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi puluhan ribu uang masih tertumpuk di kantor pamong praja, tidak sampai ke alamatnya. Kesulitan kirim mengirim itu sedang saya urus dengan perantaraan B.P.3 di daerah.
Sebenarnya kami tidak membutuhkan uang dari pusat buat dipinjamkan kepada perusahaan ini atau itu yang hasil bersihnya akan dipakai untuk “membantu romusha”!! Kami sendiri sebaliknya sudah siap mengirimkan uang ke pusat yang mudah kami peroleh dari para pegawai. Sokongan uang buat romusha Bayah Kozan lebih pasti akan lebih lekas kami dapatkan dari kantor dan para pegawai sendiri.
Tetapi berhubung dengan kemungkinan korupsi yang akan ditimbulkan oleh “perusahaan” B.P.3 seperti pada “koperasi” Moh. Hatta, maka kami selalu menjaga-jaga! Setelah nyata bahwa Son-co tidak mau mengesahkan kami sebagai pemimpin B.P.3, sedangkan pegawai dan pemimpin rakyat Bayah sudah memilih kami, sedangkan uang iuran akan keluar dari kantong kami pula dan pekerjaan bagi membagi serta hibur-menghibur kami pula yang akan melakukannya, maka pada suatu rapat diantara para wakil Bayah Kozan dan wakil rakyat Bayah sendiri, kami terpaksa mengambil satu putusan.
Perlulah lebih dulu diketahui, bahwa usahanya Pantai Selatan dalam sport, kebudayaan dan penghiburan amat memberi kebahagiaan kepada Son-co Bayah. Dialah yang dikemukakan dalam semua upacara perayaan yang dirayakan dengan permainan olah raga, sandiwara dll. Pada tanah lapang rakyatlah segala upacara dan keolah ragaan dilakukan. Dengan begitu maka Son-co, bapak rakyatlah yang mendapat bahan lengkap untuk “laporan” yang harus dikirimkannya kepada sep-nya.
Tetapi semuanya itu tidak masuk ke dalam pertimbangannya. Apabila pada suatu hari terjadi kematian lantaran hanyut di sungai, maka Son-co menolak mengurusnya penguburan orang mati itu karena katanya yang mati itu ialah seorang romusha. Kami sendiri dibelakangnya dapat memastikan, bahwa yang mati itu bukan romusha melainkan seorang penduduk Bayah asli yang menyeberangi sungai menuju ke sawahnya di seberang sungai dan hanyut karena derasnya arus. Dengan begitu nyata dia membedakan penduduk yang ada di Bayah. Perbedaan dan sistem kekeluargaan Son-co itu yang sangat kami sesali.
Demikianlah pada suatu hari perayaan, maka para wakil rakyat Bayah sendiri, yang selalu kerja sama dengan kami, baik dengan perantaraan B.P.2 ataupun B.P.3, menolak permintaan Son-co mengadakan permainan olah raga di tanah lapang rakyat, Bayah. Mereka mengusulkan supaya permainan dilakukan di lapangan kami dekat pemondokan romusha saja. Biarlah tuan Son-co mengerahkan rakyat asli Bayah ke lapangan kami itu. Usul itu sehabis perdebatan hangat dengan wakil rakyatnya sendiri itu, terpaksa diterima oleh tuan Son-co. Buat rakyat Bayah sudah kami siapkan tempat istimewa pada lapangan kami tadi. Memangnya kami tak pernah membedakan rakyat asli Bayah dengan romusha yang 100% berasal dari Jawa Tengah dan Timur. Bahkan sebaliknya kami berusaha keras memperhubungkan mereka.
Dari Bayah Kozan kami dapatkah 3 ekor kerbau untuk dipotong. Disamping itu diperoleh bermacam-macam hadiah buat yang menang berlomba. Semua istri para pegawai saya kerahkan untuk memasak. Buat perlombaan itu kami belikan barang yang berguna untuk romusha, seperti tudung, celana pendek, terompah dll. Semua pegawai menyerahkan bagiannya kepada tukang dan romusha yang akan berlomba. Para pegawai ikut berlomba dan menyelenggarakan permainan dan hiburan, tetapi tidak mengambil hadiah. Si Jepang pun ditarik ikut serta bermain. Pembagian hadiah dilakukan sedemikian rupa, sehingga hampir semua romusha akan mendapat bagian. Demikianlah pula rakyatnya Son-co Bayah diperkenankan makan minum dan diperkenankan mengambil bagian dalam perlombaan.
Tetapi......tetapi.......tetapi seorangpun rakyat Son-co tidak ada yang datang! Kalau tuan Son-co sendiri tidak membeda-bedakan mana yang rakyat dan mana yang romusha, yang Tubagus atau gembel, yang anggota keluarganya atau orang Indonesia yang diluar daerah atau propinsinya, maka sebenarnya mudah sekali buat Son-co mengambil hati pegawai, tukang dan romusha Bayah Kozan, apalagi hati rakyatnya sendiri dimasa serba sulit itu. Seperti kebanyakan anggota Pamong Praja, maka Son-co Bayah walaupun sudah dikursus oleh Jepang, tetapi tinggal product imperialisme Belanda.
Perundingan kami di Rangkas yang secara tidak resmi itu berpusat pada janji Jepang yang pada masa itu tersusun dalam perkataan: “Kemerdekaan bagi Indonesia dikelak kemudian hari”. Juga dibicarakan perkara perhubungan aliran baru itu dengan Hokokai dan para pemimpinnya. Saya kupas janji “kemerdekaan dikelak kemudian hari” itu semestinya dan saya tolak kerja sama dengan Hokokai dan pemimpinnya itu. Gerakan baru harus mempunyai organisasi sendiri, dasar perjuangan sendiri, dan pimpinan sendiri. Atau belum merasa kuat berlaku sedemikian, baiklah sama sekali jangan keluar membentuk organisasi sendiri itu. Membentuk organisasi baru yang tak akan bisa menolak Jepang atau kaki tangannya atau yang tidak sanggup menolak usaha Jepang dan kaki tangannya. Genjumin bakero, yang akan menggandengkan organisasi baru itu kepada Hokokai, cuma akan menambah kebingungan rakyat yang sudah bingung dan jemu itu saja.
Setelah diadakan pemilihan, maka saya terpilih menjadi wakil Banten ke Konferensi Jakarta tersebut diatas.
Sesampainya di Jakarta saya mendapat kabar, bahwa konferensi Angkatan Muda dan Angkatan Baru itu tidak jadi berlangsung. Jepang campur tangan dan melarang konferensi itu.
Jepanglah yang menjadi salah satu sebabnya perpecahan antara pemuda dan para pemimpin resmi. Jepang pula yang mencoba mempertautkan perpecahan itu. Itu rupanya maksud Jepang dengan Kongres Pemuda di Bandung. Tetapi setelah pemuda insyaf akan gerak-geriknya Jepang di belakang layar, maka mencoba melepaskan diri dari ikatan Jepang dan kaki tangannya dan mencoba mempersatukan diri, seperti maksudnya konferensi Jakarta. Tetapi setelah nyata pula sikap pemuda sedemikian, maka Jepang melarang berlakunya konferensi itu.
Kabarnya dibelakang layar, terdapat dua tangan yang mencoba memperalat beberapa orang pemuda yang berada dalam dua Angkatan tersebut diatas. Tangan yang satu ialah tangannya Kikakuka (planning Board) yang dikuasai oleh kaum politisi dan Kempei Jepang. Tangan yang lain ialah tangannya Sendenbu, organisasi Jepang dalam propaganda. Kedua tangan itu rupanya tidak berdaya lagi memegang pemuda untuk dipermainkan. Para pemuda tetap menolak digandengkan dengan Jepang, Hokokai dan pemimpin resmi dan tetap berusaha mempersatukan diri.
Saya merasa rugi tidak dapat mengunjungi konferensi itu, karena tidak dapat menyaksikan jiwa pemuda di ibu kota yang terasa getarnya di masa itu, tetapi dapat juga saya berjumpa dengan beberapa pemuda. Dua orang diantaranya sampai sekarang masih berada  pada golongan yang mempertahankan kemerdekaan 100%. Pada waktu itu, saya sudah merasa berhubungan batin dengan mereka, tetapi saya belum dapat berterus terang memperkenalkan nama saya yang sebenarnya. Mereka mengenal saya sebagai Hussein dari Banten.
Dengan penerimaan pilihan sebagai wakil ke konferensi Angkatan Muda di Jakarta pada bulan Juni 1945 itu dan dengan percakapan dengan beberapa anggota pemuda, maka saya merasa menginjak tingkat yang lebih dalam usaha saya mencari perhubungan yang lebih mendalam dan lebih meluas dengan rakyat Indonesia. Saya merasa agak kurangnya himpitan kemiliteran Jepang yang agak kuatnya tantangan dari prajurit sukarela (Blitar), Rakyat (Tasikmalaya dan Indramayu) dan dari pihak pemuda umumnya (Angkatan Muda dan Angkatan Baru).
Sebab itu maka saya tidak terkejut ataupun gentar ketika Jepang, kepala So-moo bertanya kepada saya, apakah maksudnya konferensi yang saya kunjungi di Jakarta yang tidak jadi itu. Seperti dalam perdebatan dengan Gico Sukarno di Bayah tempo hari itu, saya terangkan kepada Jepang itu, bahwa Indonesia merdeka akan lebih menjamin kemenangan terakhir.
Saya juga tidak heran, kalau sekembalinya dari Jakarta itu saya dari K.U.P.P dipindahkan kembali ke kantor pusat. Barangkali perhubungan saya dengan romusha, tukang, pegawai dan rakyat dengan perantaraan K.U.P.P itu menurut para kempei-ho, akan membahayakan Jepang, tuannya. Mungkin pula tuan “Tubagus” menghendaki K.U.P.P buat mudah melangkah menjadi ketua B.P.3 dan mendirikan “perusahaan” penyokong romusha. Dan K.U.P.P sendiri dengan pembagian kartunya bisa memberi kesempatan kepada tuan “Tubagus” (bagus turunan Arab), memangnya pengurus umum Indonesia, ketua lama B.P.2, mengesahkan kartu ini atau itu untuk kaum kerabatnya yang terus menduduki tempat yang baik-baik di kantor pusat, bagian pembangunan, K.U.P.P, listrik dan bengkelnya Bayah Kozan dengan tidak memandang pengalaman dan kecakapannya. Nyata “politiknya” tuan Tubagus hendak memonopoli semua “key position” (kedudukan yang strategis) dalam perusahaan Bayah Kozan, sedangkan yang mengerjakan pekerjaan pelopor yang paling berat pada permulaan bukanlah kaum Tubagus, melainkan mereka dari seberang dan Jawa Tengah. Family systemnya kepala bagian personil orang Indonesia, ialah ketua lama B.P.P, yang masuk golongan Tubagus juga di hari belakang diserang dan dibasmi oleh para pemuda.
Bagaimanapun juga pemindahan saya bukannya berarti penurunan tanggung jawab dan luasnya pekerjaan. Diantara empat bagian romu yang dikepalai oleh orang Indonesia, maka saya diharuskan mengepalai salah satu bagian. Pekerjaan saya mengenai pendaftaran (statistik) yang dulu terbagi atas dua bagian sekarang digabungkan menjadi satu bagian. Statistik itu pertama mengenai pengiriman dan penerimaan romusha untuk seluruh Bayah Kozan yang dulu dianggap satu bagian. Selainnya daripada itu, maka statistik itu pula meliputi keadaan sakit, sembuh dan matinya lebih kurang 15.000 yang berada seluruhnya perusahaan, yang dulunya termasuk satu bagian pula.
 Pekerjaan yang mengenai seluruh Bayah Kozan selalu susah dan sulit. Harus diketahui, bahwa cocok dengan keinginan Jepang untuk menjadi “Tuan besar” pada tiap-tiap bagian pekerjaan (jabatan) dan tiap-tiap cabang (Sayah, Madur, Cimang, Cihara) maka keinginan sep-sepan itu menular pada bangsa Indonesia. Cocok dengan main sep-sepan diantara jabatan di Pusat dan sep-sepan antara beberapa cabang, diantara “tuan Nippon”, demikianlah permainan sep-sepan itu dilakukan pula oleh orang Indonesia. Jadinya susah untuk seorang pemimpin di pusat seperti dalam jabatan statistik tadi, mendapatkan persamaan sistem dengan cabang, menerima laporan pada waktunya dari semua cabang, supaya boleh disusun statistik yang sempurna, yang mengenai Bayah, Pusat dan semua cabangnya, yang harus dikirimkan ke Jakarta pada tanggal yang sudah ditetapkan. Satu cabang saja gagal mengirimkan statistik yang harus dikerjakannya maka tidaklah di pusat dapat disusun statistik yang meliputi seluruhnya Bayah Kozan. Koordinasi antara pusat dan cabang amat susah didapat, banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Dengan menjabat pekerjaan statistik itu, maka saya mendapatkan tinjauan (view, overzicht) buat keadaan romusha yang mengenai seluruhnya perusahaan. Terutama pula dapat saya mempelajari seluk beluknya administrasi dari perusahaan, bukan saja dipandang dari sudut teknis, ialah bagaimana membuat statistik yang bagus, tetapi terutama pula dipandang dari sudut perhubungan orang dan orang. Tidak kita berurusan pekerjaan serta tanggung jawab bagian terhadap pusat saja, tetapi juga dengan soal pimpinan, soal mendapatkan semangat kerja sama antara kita dengan kita. Ini berarti soal kecakapan memimpin dalam suatu perusahaan besar. Buat itu tidak cukup pemimpin itu bergantung kepada telepon saja, meminta beresnya statistik ini atau itu, memperingatkan, memarahi atu menggertak, tetapi perlu pula dia mengadakan personal contact, perhubungan orang dengan orang. Biasanya kalau ada personal contact maka koordinasi yang sehat mudah dijalankan. Tetapi dengan gertak atau sentak, biasanya sebaliknya yang didapat, sebab cabang yang jauh letaknya itu mudah menjalankan sabotase dengan bermacam-macam alasan dan tipu muslihat. Sekali suasana kerja sama terganggu maka sukarlah kelak memperbaikinya. Saya melakukan koordinasi dengan sikap lain dan suara lain. Berharga amat saya anggap pengalaman dalam administrasi itu!
Tetapi keadaan sudah terbalik sama sekali. Jepang sudah terdesak ke sudut. Angkatan perang Amerika sudah menduduki Okinawa. Jerman dan Italia, ialah Serikat Jepang di Eropa sudah kalah perang. Pada ketika ini kami para pegawai dan penduduk Bayah diperingatkan supaya pada waktu sore hadir di gedung bioskop untuk mendengarkan pengumuman Jepang, pemimpin Bayah Kozan.
Apa yang dinamakan pengumuman itu sebenarnya ialah pidato dua orang Jepang, pemimpin Romu dan Direktur perusahaan sendiri, guna memperbaiki perasaan romusha, pegawai dan rakyat yang sangat gelisah, karena peraturan pembagian baru. Menurut pembagian baru ini maka seorang pekerja (pegawai atau romusha) akan menerima beras pukul rata 200 gram sehari, jadi turun 50 gram. Tetapi selainnya daripada penurunan tersebut, istri dan anak yang dahulu menerima 100 gram seorang, sekarang tidak akan menerima apa-apa lagi.
Akibat peraturan baru itu tentulah pekerja harus makan kurang daripada dahulu dan atau mengirimkan, anak istri ke lain tempat. Ini mudah disebutkan, tetapi tidak mudah dijalankan. Kemana anak istri akan dikirimkan? Dimana-mana rakyat kekurangan makanan. Dua ratus gram sehari buat seorang pekerja Bayah Kozan berarti, atau hidup bersama keluarga memakan 200 gram sehari, atau sendiri memakan 200 gram sehari dan membiarkan keluarga terlantar entah dimana. Perihal inilah yang sangat menggelisahkan seluruhnya pekerja Bayah Kozan.
Di Gedung Bioskop pemimpin Romu mencoba memberi penerangan tentang perlunya “persatuan”. Dia  mengambil perumpamaan dari rombongan lebah yang bersatu. Karena rombongan lebah dapat mengumpulkan madu bersama-sama. Disamping itu rombongan tadi dapat mengusir seorang “anak” yang nakal yang pada suatu hari mau membinasakan sarang lebah itu.
Yang dimaksudkan rombongan lebah yang bersatu itu ialah bangsa Jepang dan Indonesia dan yang dimaksudkan dengan madu itu ialah batu arang yang harus dihasilkan sebagai akibatnya “kerjasama” antara Jepang dan Indonesia. Akhirnya anak yang nakal yang mau membinasakan lebah itu ialah kaum Sekutu.
Direktur Bayah Kozan mengemukakan kepentingan batu arang buat perusahaan. Kalau tak ada batu arang,  maka kereta api tak akan berjalan dan pabrik akan terpaksa ditutup, katanya. Dengan begitu maka “kemenangan terakhir” masakan akan dicapai.
Semuanya orang Jepang, semuanya pegawai hadir di dalam gedung. Ada banyak pula tukang, romusha, mandor dan rakyat biasa yang berdiri di samping gedung bioskop yang terbuka itu. Mendengarkan pidatonya kedua orang Jepang tersebut, hadirin merasa kecewa, tetapi tentulah tidak seorang pun yang berani membantahnya.
Seorang pemuda meminta saya berbicara. Tetapi saya persilahkan dia sendiri dulu memberi sambutan. Beberapa surat kecil dilayangkan dri tangan ke tangan menuju kepada saya meminta saya memberi pandangan.
Beberapa bisikan dari dalam dan luar gedung, diteruskan pula kepada saya, mendesak untuk berbicara.
Pemuda tadi, walaupun sedikit sekali menyinggung keadaan makanan (dan pakaian) diantara semua golongan, yang dimaksudkan sebagai syarat yang terpenting buat persatuan dan efficiency, tetapi dengan segera dia mendapat persetujuan dari hadirin. Sesudah berbicara dia menuju ke tempat saya meminta saya sendiri berbicara.
Bukannya apa yang akan dibicarakan, yang saya pikirkan pada saat itu, melainkan apa akibatnya apa yang saya bicarakan. Tetapi sudah saya pertimbangkan kekuatan Jepang di masa itu dan keadaan Rakyat Indonesia umumnya dan keadaan penduduk Bayah khususnya. Kebenaran, akhirnya, harus saya tegakkan.
Keringkasan pidato saya yang agak panjang itu, adalah seperti berikut: Dengan memakai perumpamaan Jepang kepala Ro-moo tadi sebagai “batu loncatan”, maka pada permulaan saya benarkan maksud pidato itu, yakni: bahwa persatuan itu bisa mengakibatkan hasil yang bagus. Tetapi saya akhiri pidato saya dengan memajukan perbedaan lebah tadi dengan kami bangsa Indonesia, yakni: lebah itu adalah hewan yang merdeka, merdeka mencari temannya dan merdeka mengerjakan pekerjaannya. Jadi lebah tadi bekerja sama atas dasar kemerdekaan dan sama rata.
 Dengan memakai kesimpulan direktur Bayah Kozan, bahwa batu arang sangat penting buat kereta dan pabrik (tak ada batu arang, tak berjalan kereta dan pabrik), maka saya bandingkan batu arang buat kereta dan pabrik itu dengan makanan buat kita manusia, “Andaikan” kata akan berjalan ke Malimping kereta itu memerlukan sepikul arang, sampai kemanakah kereta sanggup berjalan dengan arang setengah pikul? Tanya saya. Setengah jalan ke Cihara”......begitulah disambut dengan serempak.
Khalayak yang ada diluar bioskop mulai mendesak masuk!
“Andaikan pula” tanya saja, “kereta cuma diberi batu arang dua tiga buah saja, sampai manakah dia sanggup berjalan?”
“Sejengkalpun tidak, barangkali mendesuspun tidak”.....demikianlah kiranya jawab hadirin, serempak pula. Tepuk tangan serta tertawa mulai diperdengarkan oleh khalayak yang selama ini berdiam, pasif saja. Saya lihat orang Jepang gelisah, agak ketakutan melihat ramai berduyun-duyun masuk dengan sikap yang agak agresif, berlainan daripada yang sudah-sudah.
Pertanyaan saya seterusnya kepada hadirin, apakah pada masa ini cukup untuk satu orang pekerja setengah liter sehari. Jawab dengan: “cukup”. Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan pembagian setengah liter untuk seorang pekerja dalam satu hari, kita sanggup bekerja delapan jam sehari, jawab “ya, sanggup”.
Tetapi tanya saya, kalau cuma dapat 200 gram sehari, sedangkan anak istri mesti hidup dengan 200 gram itu, karena jarang sekali terdapat seorang bapak Indondenesia yang sampai hati melihat anak dan istri kelaparan, berapa jamkah dia akan sanggup bekerja?
“Berjalan saja tak akan bisa”......begitulah dijawab oleh khalayak.” Bisa berjalan, ialah menuju ke Karet”.......saya sambut pula.
Mendengar komentar saya ini ramai bertepuk tangan dan bersorak, hal mana tidak disukai oleh Jepang. Karet ialah tempat rumah sakit dan dulunya tempat bergelimpangan romusha, yang sakit atau mati. Karet masih dianggap sebagai kuburan oleh penduduk Bayah.
Setelah saya memberikan salah satu kesimpulan, bahwa dengan gaji F.0.40,- sehari, romusha cuma dapat membeli sebutir pisang (harga sebuah sudah F.0.38,-), maka rapat menjadi sangat riuh, merupakan satu “angry mob”, ramai yang marah.
“Angry mob” dan “Jepang takut”, inilah kesan yang saya bawa pulang sekembalinya dari rapat itu.
“Akibatnya pidato di bioskop itu jauh sekali!
Di jalan-jalan pekerja dan penduduk Bayah bertanya kepada saya: “kapan kita menerima setengah seliter sehari?”
Pertanyaan semacam itu amat terburu-buru, tetapi menunjukkan betapa pentingnya soal beras untuk Bayah di masa itu. Di mana-mana tersiar kabar, bahwa sebagian besar romusha tambang, di gunung Madur mogok dan lari.
Seorang wakil, pusat dari B.P.3 dari Jakarta, yang datang di Bayah pada masa itu, setelah menengok ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan lebih dulu bahwa tak ada Jepang, kempei-ho atau telingan yang bisa membahayakan disamping kami, dengan berbisik-bisik bertanya kepada saya: “Benarkah ada keributan di Bayah baru-baru ini?”
   Apabila saya selidiki tanggal “keributan” yang dimaksudkan itu, maka nyatalah bahwa tanggal itu jatuh pada waktu pidato bioskop tadi diucapkan. Seorang petani terkemuka di Bayah, yang selalu kerja sama dengan kami, melaporkan kepada saya, bahwa seorang dari “lain tempat” datang kepadanya menanyakan, siapakah orang yang paling dianggap oleh rakyat Bayah, dan bahwa dia mengemukakan nama saya. Teman petani ini sangat mengharapkan, supaya kelak saya dimajukan menjadi anggota (Giin) Sangi Kai buat daerah Banten.
Setelah proklamasi Indonesia merdeka, maka saya mendapat kepastian, bahwa nama Hussein memang sudah tercatat di kantor Kempei di Jakarta, lengkap dengan ukuran tinggi, warna dan rupa dan semuanya tanda. Sesudah proklamasi pulalah saya tahu, bahwa seorang Kempei-ho Bayah ada berniat melakukan pekerjaan yang paling jahat dengan diam-diam terhadap saya, sebagai akibatnya pidato bioskop itu. Tetapi tanpa sepengetahuan saya pula, dua orang pemuda listrik selalu merapati si Kempei-ho tadi kalau dia berani mengangkat senjatanya terhadap saya. Maksud itu baru saya ketahui, sesudah Proklamasi. Kedua pemuda tadi datang menjumpai saya di Jakarta, menceritakan, bahwa apabila Bayah sudah mendirikan Komite Nasional dan Laskar pembelaan, kedua pemuda listrik tadi diboikot oleh teman-temannya tuan Hussein sendiri, karena kata mereka, kedua pemuda itu dulu terlampau rapat perhubungannya dengan si Kempei-ho tadi. Saya tak berkesempatan lagi menyelesaikan kesalah pahaman itu. Tetapi memangnya kedua pemuda itu saya kenal baik dan memangnya pula semua pengurus K.N.I dan laskar di Bayah sesudahnya Proklamasi adalah bekas pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang terkemuka dan rajin diwaktu sebelumnya Proklamasi.
Di kantor, rupanya pada waktu Jepang hampir menyerah, sudah lama si Jepang bertanya-tanya kepada orang Indonesia: “Siapakah Hussein itu yang sebenarnya?” tetapi tak ada seorangpun diantara penduduk Bayah yang akan dapat memberi jawaban yang sesungguhnya. Yang mungkin bisa memberikan penerangan yang sebenarnya, seperti bekas sahabat dan teman sekolah atau anggota keluarga selalu dapat saya singkiri. Dan bekas kawan separtai dengan saya, kebanyakan masih disingkirkan di Digul.
Gugup serta tergopoh-gopoh pada suatu hari seorang teman pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang bekerja pada bagian So-moo, datang menceritakan, bahwa pagi tadi sidokan (opsir penyelidik Jepang) datang ke kantor menanyakan surat permintaan Hussein, dimana riwayat saya dituliskan. Teman pembantu itu menceritakan pula, bahwa satu dua minggu lampau terjadi pula yang sedemikian, berhubung dengan dua orang Indo ditambang Cimang (Rosen namanya). Dibelakangnya kedua orang Indo itu dibawa oleh Sidokan tadi ke Serang. Yang seorang mati di dalau auto dan yang lain mati di tangan Kempei di Serang. Oleh teman pembantu tadi diusulkan supaya saya lekas bersiap lari saja.
Saya rasa tak perlu lari itu! Saya katakan bahwa semuanya sudah saya perhitungkan. Surat kabar dengan berita penyerahan Jerman, Italia dan pulau Okinawanya sudah cukup memberi keterangan yang sebenarnya kepada saya.
Besoknya saya dipanggil berjumpa dengan Jepang, kepala So-moo yang seperti saya sebutkan di atas mempunyai paham yang liberal. Dia bicarakan pidato bioskop. Dia peringatkan satu rapat di Jerman, dimana akan berbicara seorang pemimpin sosialis. Rakyat memutuskan akan pergi mengunjungi Presiden buat mengucapkan terimakasih. Tetapi sebelum berangkat seorang pembicara komunis mengucapkan pidato pula. Sesudah komunis itu berbicara, maka hadirin di rapat itu berangkat ke tempat Presiden dengan maksud bukan mengucapkan terima kasih, tetapi membunuh presiden.
“Begitu, ya, tuan Hussein”, katanya pula, “ini contoh saya kasih bagaimana satu pidato bisa diterima oleh “angry mob” (ramai yang amarah).
“Ya, tetapi rakyat lebih marah, kalau perut lapar dan janji tidak ditepati”, jawab saya.
“Tetapi dimana kita bisa dapat beras.....ditanyakannya.
“Di Cibaliung”...............jawab saya.
“Susah mengangkutnya”..........katanya.
“Cikar bisa dibikin berapa saja. Kayu ada! Besi dan bengkel ada! kerbau banyak sekali di Bayah! Jalan ada! Dahulu orang orang Indonesia juga mengangkut dengan cikar (pedati) kerbau. Kalau dari dahulu dikerjakan, sekarang tak akan kekurangan beras. Di Cibaliung beras bertumpuk-tumpuk. Dahulu juga kantor Bayah berkeberatan menanam sayur sendiri. Sekarang ternyata bisa dikerjakan. Kita sekarang selain kelebihan sayur. Banyak sayur yang busuk karena tak habis dimakan. Demikianlah isi uraian saya. Pengurus So-moo cuma mengeluarkan napas saja. Ia selalu menerima dan melakukan usul saya yang baik. Dia berani melihat paham melakukan usul yang baik. Dia berani melihat paham kami yang berlainan dengan pahamnya sendiri. Dia suka mempelajari bahasa dan adat istiadat orang Indonesia. Tetapi sekarang dia tampaknya lesu, lemah! Beberapa orang Jepang yang lain-lain cuma duduk di atas kursi, termenung kelihatan susah, dengan kedua kaki diangkat ke atas kursi dan dagu diatas lututnya. Waktu itu ialah permulaan Agustus 1945. Jepang kelihatan takut. Rupanya mereka tiada lagi memikirkan siapa orang Indonesia yang harus ditangkap oleh orang Jepang, melainkan sebaliknya orang Indonesia yang mungkin akan menangkap orang Jepang. Melihat suasana demikian maka saya sorongkan saja sehelai formulir, yang sudah saya isi lebih dahulu, ialah permintaan kepada kantor buat mengunjungi Konferensi Pemuda di Jakarta yang dijanjikan berlaku pada permulaan Agustus itu bilamana Bung Karno, Gico Cuo Sangi In akan berbicara. Izin mengunjungi konferensi itu dengan lekas saya peroleh, dan sebagai urusan jabatan, ialah atas ongkosnya kantor. Para pegawai memberikan mandat penuh kepada saya sebagai wakil Bayah Kozan. Mandat itu dibarengi pula dengan sepucuk surat kepada Bung Karno dan Bung Hatta.
Demikianlah akhirnya pada permulaan bulan Agustus saya menuju “ke arah Republik Indonesia” bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih daripada 20 tahun lampau melainkan dengan kedua kaki di atas Tanah Indonesia sendiri!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar