Sebermula, maka
perlulah saya katakan disini, bahwa sekali-kali saya tidak menyetujui perkataan
Gico Sukarno, yang selalu didengung-dengungkan pada hampir penghabisan
pendudukan Jepang, yang berbunyi: “Saya (Gico Cuo Sangi In Sukarno) tidak
memihak kepada Nippon atas perhitungan kalah menangnya tentara Nippon,
melainkan karena Nippon berada dalam kebenaran, keadilan dan kesucian”.
(Baikpun radio
ataupun surat-surat kabar cukup mengumumkan pendirian Gico Sukarno seperti
diatas. Cuo Sangi In, ialah dewan serombongan “picked up men” (orang yang
ditunjuk oleh tentara Jepang), untuk usaha militernya di Indonesia ini. Picked
up men ini “dibolehkan” menjawab pertanyaan yang dimajukan oleh tentara Jepang
kepadanya dan buat mengelabui mata rakyat juga “dibolehkan” memajukan usul.
Gico, iala ketua dari picked up men tersebut. Nippon, ialah perkataan pengganti
nama Jepang, atau Japs, ialah nama bangsa dan negara Jepang yang rupanya
dianggap suatu penghinaan oleh “samurai” Jepang.
Kembali pada
ucapan Gico Sukarno diatas, maka baiklah juga saya terangkan disini, bahwa
menurut pikiran saya “kebenaran” Jepang itu tak lain dan tak bukan, melainkan
kebenaran si penjajah. Keadilan itu ialah pengerahan hei-ho untuk pembantu
tentara Jepang, perampasan padi dan pencurian atas tenaga jutaan romusha. Yang
disebut “kesucian” itu, ialah perkosaan wanita dan gadis Indonesia
terang-terangan atau sembunyi berupa “pelayan”, juru rawat dan “murid sekolah”
ini atau itu ringkasnya: kebenaran, keadilan dan kesucian Jepang untuk menutup
kebangsaan dan kebudayaan militerisme-imperialisme Jepang.
Buat saya,
perhitungan kalah menangnya Jepang memangnya penting dan sudah saya selesaikan
semenjak terdesak oleh tentara Jepang di Shanghai pada tahun 1932, terdesak
dari Amoy pada tahun 1937 dan akhirnya dan terutama sekali dari Singapura pada
tahun 1942, ketika Inggris menyerah. Semenitpun tak ada pada saya pikiran
hendak “kerjasama” dengan tentara Jepang, baikpun kalau dia menang ataupun
kalah. Tetapi caranya mengoreksi kekuasaan Jepang dan caranya mengatur
penghidupan diri, memangnya banyak berhubungan dengan kalah menangnya Jepang
dan lama lekasnya kalah menangnya Jepang itu.
Berlainan sekali
dengan anggapan “ahli militer” Barat, bahwa serdadu Jepang, “a drille d
automata” atau “trained robbot”
(boneka dilatih), maka bukti di Malaya dan Indonesia menyaksikan bahwa prajurit
Jepang lebih mempunyai inisiatif, keberanian dan ketabahan daripada serdadu
Inggris ataupun Belanda. Opsir Jepang lebih pintar, lebih berani dan siap untuk
berjibaku. Strategy Jepang pasti pula tidak kalah oleh strategy Barat.
Seandainya Jepang pada permulaan perang bisa memberikan pukulan hebat kepada
Amerika yang belum siap itu dalam satu bulan, ataupun lebih sedikit, maka
mungkin benar Jepang tidak akan menderita kekalahan seperti sudah terjadi.
Dalam hal ini boleh jadi sekali Jepang lebih daripada selangkah maju kepada
tujuannya terakhir, ialah mengangkangi seluruh Asia dan dunia.
Tetapi setelah
lebih kurang 2 tahun tidak juga bertekuk lutut, maka mulailah
kekuasaan-produksi Amerika mengejar kekurangannya dan memperlihatkan
kelebihannya. Lama-kelamaan dia dapat mengatasi persenjataan Jepang sekian
banyak, sehingga kekalahan Jepangs sebenarnya sudah dikantongi Serikat.
Serangan Jepang
dengan cara mencedera di Hawai itu, cuma setengah saja memberi kemenangan
militer di Hawai. Memang banyak kapal perang Amereika yang tenggelam atau
rusak, tetapi hampir semua pelautnya berdansa di daratan. Keselamatan ribuan
pelaut itu banyak memberi bantuan atas usaha Amerika buat menambah kekuatan
armadanya di hari depannya. Di masa itu latihan pelaut dianggap mengambil waktu
tak kurang daripada 9 tahun lamanya. Dengan kader yang belum rusak itu sambil
mengangkat kapal yang tenggelam, serta memperbaiki yang rusak, Amerika
sebenarnya cuma mendapat tempeleng di pipi saja, bukan bacaokan seperti di
leher atau di dada. Sebab tamparan di pipi itu Amerika tidak kehilangan
tenaga., bahkan sebaliknya mendapat dorongan moril dan politik yang tidak disangka-sangka
kuatnya buat mengumpulkan semua tenaganya yang sudah lahir dan masih
tersembunyi.
Sebelumnya
serangan Hawai, maka public opinion, suara umum di Amerikan belum sampai
mendidih buat diajak memerangi Serikat-Fascist-Jerman-Italia-Jepang. Tidak dengan
public opinion, Kongres tidak dapat digerakkan dan tidak bisa diumumkan oleh
Negara Amerika. Yang berhak menentukan perang hanya Kongres dengan suara
lebihnya. Dengan pencederaan Japang di Hawai, ialah menyerang dengan tidak
memberi peringatan (ultimatum) lebih dahulu, maka public opinion berbalik sama
sekali, sehingga Finance-Capital
Amerika mendapat kesempatan memakai Kongres untuk menetapkan perang kepada
Jepang.
Rodanya mesin
perang Amerika setelah serangan Hawai, dapat bergerak dengan lancar kencang.
Kaum modal Amerika dapat membuka bermacam-macam pabrik perang membuat senjata
seperti mitraliur, meriam, mesin, kapal perang, pesawat terbang, dll. Dengan
begitu pengangguran yang mengancam perekonomian dan masyarakat Amerika bisa
terbasmi dan kaum buruh dan tani dapat pula dikerahkan ke luar negeri buat
meluaskan jajahannya, menanam modal Amerika.
Keuntungan Jepang
yang sedikit di Teluk Mutiara tidak seimbang dengan kerugian moril dan politik
yang diperolehnya. Moril dan politik itulah yang akan menggerakkan mesin perang
Amerika yang sampai sekarang belum ada yang dapat mengatasinya di dunia ini.
Kelebihan dalam
keuletan, keberanian dan kenekatan serdadu dan opsir Jepang di darat, di laut
dan udara pada permulaan perang, sesudahnya pencederaan di pelabuhan Mutiara,
sehari demi sehari dibandingi dan akhirnya diatasi oleh kelebihan Amerika dalam
geography, cacah jiwa, keuangan dan produksi, bahan, tekhnik, science
(pengetahuan) serta moril. Dalam perlombaan mengatasi persenjataan Jepang itu,
maka bom atom cuma memberi pukulan memperlekas saja. Logisnya Jepang yang sudah
terkepung di laut dan udara; Jepang yang kekurangan makanan dan bahan perang
itu lambat laun mesti menyerah atauh hancur binasa secara perlahan-lahan. Tak
ada negara asing yang sebenarnya membutuhkan Jepang. Tetapi sebaliknya Jepang
membutuhkan makanan dan bahan perindustrian dari negara asing, karena rapat
penduduknya disamping kurus tanahnya.
Karena armada
Jepang tidak dapat memberikan knocked out blow (pukulan terakhir) di Hawai dan
karena dalam perhitungan saya, Amerika kalau dibandingkan dengan Jepang
mempunyai staying power (tahan lama)
yang jauh lebih besar daripada Jepang, lamakah Jepang bisa bertahan? Berhubung
dengan ini, dimanakah tempat yang baik buat saya untuk menunggu rubuhnya “soap bubble” buih sabunnya kekuasaan
militer Jepang itu?
Dalam sehari saja
tinggal di Jakarta, saya sudah yakin, bahwa saya tidak akan lama bisa
bersembunyi di sini. Tauke Silungkang di hotel bertanya kepada saya: “Siapakah tuan yang sebenarnya?” Jawab: ya, saya ialah bekas juru tulis dari salah
satu toko di Singapura. “Bukan begitu”
katanya pula “saya ingin tahu siapa tuan
yang sebenarnya. Sebab rupanya pembicaraan tuan ada lain daripada yang lain”.
Saya tetap memegang nama Hussein, ialah bekas juru tulis di Singapura.
Memangnya buat seorang pelarian politik bilmana masyarakat penuh dengan udara
politik, semuanya serba susah, berbicara susah dan diam-diam mencurigakan.
Penumpang Sri Renjet, juga berasal dari
Silungkang pula, tetapi bekas pelarian politik sesudah keributan Silungkang
terjadi, lebih cerdik. Dia tidak bertanyakan apa-apa. Rupanya bisa menduga
siapa saya dan perkenalkan saja saya seorang sahabat baiknya dekat Pasar Senen.
Saya sudah
mendapatkan beberapa bukti tentang penghargaan Rakyat Indonesia dimasa Hindia
Belanda terhadap orang pergerakan. Mungkin juga ada yang mengenal saya di jalan
antara Singapura dan Jakarta itu, tetapi mereka tidak berniat menimbulkan
kesusahan bagi diri saya. Banyak bukti yang menyatakan, bahwa Rakyat jelata
Indonesia dimana mereka dapat menyembunyikan pemimpin atau rahasia pemimpin
mereka memberi pertolongan sedapat-dapatnya. Sifat rakyat jelata kita, selau
menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi
penghargaan buat hari depan. Tahu berterimakasih dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang
berusaha membela bangsa atau kaum itu, adalah sifat yang pertama dan terutama
untuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!
Tetapi berhubungan
dengan sifatnya pertanyaan dan sifat para penumpang Sri Renjet seperti saya
tuliskan diatas tadi, maka saya merasa tidak aman bagi kerahasiaan diri saya,
jika saya lebih lama tinggal di kota seperti Jakarta. Semakin kurang bercampur
dengan orang “kota”, teristimewa kota Jakarta semakin baik, ialah buat saya.
Selainnya daripada
alasan tersebut, saya merasa perlu mengambil tempat yang agak sunyi buat
menulis beberapa buku. (Madilog dan sebagian dari Aslia pada tahun 1942-1943).
Jakarta kota terlampau ramai dan panas buat manusia.
Akhirnya pula
karena saya lebih daripada 20 tahun sudah meninggalkan Indonesia maka perlulah
saya kembali mempelajari keadaan yang amat berubah itu. Bayi yang saya
tinggalkan 20 tahun lampau sudah menjadi
orang dewasa dan teman pergerakan sudah menjadi orang tua. Kota Jakarta sendiri
sudah bertukar rupa.
Supaya saya dapat
menyingkiri banyak perhatian orang “pintar” dan orang yang suka mengobrol di
kota, menghemat, belanja, menuliskan beberapa pengetahuan dan pengalaman serta
mempelajari keduanya kota dan desa, maka saya pilih Rawa Jati, dekat pabrik sepatu Kali Bata
sebagai tempat tinggal, atau lebih tepat sebagai tempat mondok.
Tidak jauh dari
pabrik Kali Bata, saya menyewa salah satu bilik dalam jejeran bilik yang
dipersewakan kepada kaum pekerja dalam pabrik tersebut. Panjangnya bilik itu
tak lebih daripada 5 meter dan lebarnya lebih kurang 3 meter. Dindingnya
pelupuh dan atapnya sebagian genteng dan sebagian jalinan daun rumbia.
Tetangga saya
adalah seorang pemuda, berasal dari Cirebon dan bekerja sebagai pelayan mesin
dalam pabrik tersebut. Dia beristerikan perempuan dari Cirebon juga. Tidak jauh
lagi tinggal seorang pekerja juga yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah
bekerja di Seberang. Diapun mempunyai keluarga. Rapat benar perhubungan kami
bertiga, di masa itu. Ada lagi sahabat saya dan lain-lain diantara kaum buruh
dan orang kampung.
Penghidupan
sebagai rakyat Rawa Jati, ialah bercocok tanam. Kebanyakan rumah penduduk
berada dalam kebun sawo, sirih, nangka, salak, pepaya dll. Memborong
buah-buahan dan menjualkannya ke kota Jakarta inilah pula pencarian hidupnya
sebagian lainnya rakyat di sekitarnya Rawa Jati. Antara Rawa Jati dengan Pasar
Minggu, yang terletak di sebelah Selatan, adalah sedikit kurang daripada satu
jam perjalanan. Sekitar Pasar Minggulah tempat tanaman buah-buahan yang
sesungguhnya. Jaraknya Rawa Jati dengan Bukit Duri, sekitar Jakarta kota adalah
satu jam perjalanan pula. Disepanjang jalan ke Jakarta, kita berjumpakan rumah penduduk ditengah-tengah
kebun buah-buahan. Dekat Bukit Duri ada bengkel Manggarai, ialah bengkel kereta
yang terbesar di masa Hindia Belanda. Diwaktu saya berada di Rawa Jati, tak
kurang daripada 6000 buruh yang bekerja dalam bengkel Mangarai dan lebih kurang
600 orang yang bekerja pada pabrik sepatu Kalibata. Kabarnya konon angka-angka
tersebut adalah rendah sekali, kalau dibandingkan dengan dahulu sebelumnya
pendudukan Jepang.
Pertanian yang
sebenarnya, barulah terdapat di sebelah selatannnya Pasar Minggu, atau lebih
baik lagi di sebelah timurnya garis Jakarta-Pasar Minggu, ke arah Krawang. Disinilah
kelihatan sawah yang luas dan subur. Demikianlah pula buat saya Rawa Jati cukup
memenuhi syarat untuk mempelajari penghidupan rakyat di kota seperti Jakarta
dan desa-desa sekitarnya, dan penghidupan kaum buruh dalam perusahaan besar.
Inilah tempat yang amat saya perlukan untuk mencari pengalaman, sesudah
meninggalkan Indonesia sekian lama.
Saya hidup amat
murah, terpaksa pula saya murahkan dan dapat pula murahkan. Tak pernah saya
selama setahun lebih berbelanja lebih daripada F 6,- (tertera enam rupiah)
sebulan, baik sewa rumah serta makan minum. Sewa rumah adalah F 2,- sebulan dan
belanja sehari adalah lebih kurang 13 sen. Tak pernah saya mengendarai becak
atau tram, kalau saya pergi ke Jakarta. Saya beli beras, kayu, minyak dan sayur
mayur sendiri dan masak sendiri. Pada ketika itu beras, ialah pokok
perekonomian hidup rakyat cuma 6 sen saja seliter. 15 liter sebulan sudah lebih
daripada cukup buat saya. Sayur, minyak dan kayu masih amat murah harganya pada
tahun permulaan pendudukan Jepang itu.
Seluruhnya pagi hari, dari pukul enam sampai
pukul 12 atau satu, saya pakai buat menulis. Sesudahnya itu saya memasak, sore
dan malam saya pergunakan waktu buat berjalan-jalan di sekita Rawa Jati dan
bercakap-cakap dengan buruh, tani, pedagang kecil dan para “jago”. Tidak pernah
kurang daripada 3 kali seminggu saya pergi ke Jakarta, untuk membaca buku dan
surat kabar dalam perpustakaan di rumah arca (museum) di Gambir, Jakarta.
Biasanya saya bangun jam setengah lima pagi, berangkat jam lima pagi dan sampai
pada jam sembilan di Gedung Arca tadi. Lebih kurang jam satu perpustakaan saya
tinggalkan. Biasanya saya bertualang di kota Jakarta untuk mempelajari keadaan
didalam kotal. Kemudian para hari petangnya saya kembali berjalan kaki menuju
ke “sarang” saya di Kali Bata. Demikianlah saya pertukarkan menulis dan
membaca, bekerja dan berjalan, bercakap-cakap dan merenungkan percakapan itu
lebih daripada setahun lamanya ditengah-tengah masyarakat yang bergelora,
masyarakat seperti kabut yang mengandung hujan dan petir.
Kalau saya tidak
lupa, maka Madilog saya tulis dalam jumlah 720 jam. Mulanya saya tidak
mendapatkan pembacaan untuk membantu atau menambah peringatan saya, karena
selainnya dari dua tiga jilid buku sekolah, saya sama sekali tak mempunyai buku
semenjak tahun 1937. Di belakang hari saya mendapatkan perpustakaan di Gambir
tadi. Sebagian besar Madilog, ialah semua yang berhubungan dengan tulisannya
Marx, Engels, Mehring, Plechanoff dan Lenin terpaksa saya catat dari luar
kepala saja. Yang sebagian berhubungan dengan Logika, sebagian (Russel) saya
catat diluar kepala dan sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan
pembacaan di perpustkaan Gambir. Demikian pula halnya dengan perkara yang
berhubungan filsafat, ilmu bintang, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu yan hidup
(biologi), matematika dll, sebagian saya catat dari peringatan dan sebagian
dari buku yang didapat. Keterangan yang lebih lanjut ada tertulis dalam
pendahuluan Madilog.
Buku ASLIA baru
setengah saya tulis. Saya terpaksa meninggalkannya, dari tahun 1943 sampai
sekarang (30 November 1947). Yang sudah saya uraikan ialah yang berhubungan
dengan bumi-iklim, kebangsaan, sejarah politik dan sedikit perekonomian. Yang
terpaksa belum saya jelaskan ialah bentuknya perhubungan antara satu bagiannya
ASLIA dengan bagian ASLIA lainnya dan akhirnya perhubungan antara semua bagian
dengan pusat. Amat saya sesalkan hal itu, tetapi saya terpaksa membiarkan
pekerjaan saya itu terbengkalai sampai sekarang. Amat saya sesalkan, kaena kini
sudah lebih nyata, bahwa kemerdekaan 100% buat Indonesia kita, terutama dihari
depan lebih terjamin atas kekuatan sendiri, digantungkan dengan tenaga dengan
tetangga yang bersamaan hawa iklim, kebangsaan/kewargaan, bahan mentah,
perekonomian dan kebudayaan dengan perhitungan federasi, dari macam yang
serenggang-renggangnya sampai federasi yang serapat-rapatnya dan
sekolah-kolahnya. Dalam hal membentuk ASLIA, meskipun saya banyak juga
mendapatkan bahan dalam perpustakaan di Gambir, tetapi amat saya sesalkan
catatan yang terpaksa saya lemparkan ke laut ketika mendekati Rangoon, seperti
sudah saya tuliskan lebih dahulu. Catatan tersebut banyak sekali mengandung
bahan yang aktual, hidup, hasil observation, penglihatan saya sendiri, sekian
tahun lamanya di Asia Tenggara dan Timur jauh.
Penghidupan rakyat
di masa itu (1942-1943) belum berapa bedanya dengan di zaman Belanda. Harga
uang Jepang pun belum berapa bedanya dengan uang Hindia Belanda. Upah buruh
rendahan (unskilled) lebih kurang F. 0.50,- sehari dan buruh yang tukang lebih
kurang F. 1.50,- sehari, juru tulis F.15,- sebulan sampai F.60,- atau lebih.
Kerendahan upah buruh Indonesia, kalau dibandingkan dengan upah buruh di Eropa
atau Amerika bolehlah rasanya digambarkan dengan upah seorang buruh tukang di
Manggarai, yang menurut kabar, sesudah bekerja selama 25 tahun (dari murid,
leerling sampai menjadi tukang) berhenti dengan gaji E.50,- (tertera lima puluh
rupiah) sebulan. Sebelum perang dunia kedua ini, maka gajinya buruh tukang di
Amerika adalah $ 16,- atau F. 40,- sehari.
Ada pencocok tanam
yang umpamanya mempunyai 10 pohon sawo atau lebih. Ini sudah dianggap orang
yang berpunya. Apalagi kalau dia bersama itu mempunyai pula pohon kelapa,
singkong, rambutan atau nangka. Tetapi kebanyakan penduduk disekitarnya Rawa
Jati tidak cukup mempunyai tanah dan tanaman yang memberikan hasil. Kebanyakan
mereka terpaksa memburuh atau berdagang disamping bercocok tanam itu. Banyak
yang membeli buah-buahan dan memperdagangkannya ke Jakarta. Kereta api Bogor –
Pasar Minggu – Jakarta selalu penuh dengan pedagang buah-buahan semacam itu.
Tidak pula sedikit mereka yang memikul dagangannya dari Pasar Minggu ke
Jakarta. Biasanya mereka masuk kampung keluar kampung memperdagangkan
barangnya. Biasanya dengan pokok F.1,- mereka setelah petang hari dapat kembali
dengann jumlah F. 1.25,- jadi dengan untung F.0.25,- sehari. Kita baru mengerti
nasibnya mereka, kalau diketahui pula, bahwa pedagang atau lebih tepat pemikul
barang-barang ini harus membantu keluarganya dengan untung sedikit itu pula.
Lebih kita insafi pula nasib ribuan si-kecil ini, yang hidupnya sudah terdesak
dari kota ini, kalau kita ketahui, bahwa mereka harus berjalan kaki di musim
hujan pada bulan Desember, Januari, Februari melalui hujan dan tanah yang
lincah seperti sawah. Semakin lama Jepang berdiam semakin buruklah nasib
mereka. Kaum buruh sering-sering mendapat pembagian makanan dan pakaian. Tetapi
memikul barang dagang harus hidup dengan F.0.25 sehari itu. akhirnya mereka tak
mempunyai lain daripada rombengan dan pakaian tempelan yang ada pada bagian
dirinya dan anak istrinya.
Syahdan kisahnya
seorang pedagang kecil!!! Dari Pasar Minggu dipikul barangnya ke Jakarta. Tak
kurang daripada empat jam lamanya dia berjalan. Diletakkannya bakulnya berisi
pisang yang diborongnya di Pasar Minggu disalah satu simpang jalan di depan
salah satu kantor. Tempat ini sudah lama dan biasa didudukinya, karena banyak
orang lalu lintas disini, jadi laku pisangnya. Tetapi bakul dengan pisangnya
itu tidak memberi pemandangan yang indah dan lama kelamaan tidak dapat menahan
hatinya “saudara tua” yang duduk diatas kursi di kantor tersebut. Pada suatu
hari disuruhnya seorang “kai-sat-su” (agen polisi) melarang orang itu berjualan
disana.
Kai-sat-su :
“Bang, janganlah abang berjualan disini”!
Penjual : “Sudah lama saya berjualan disini. Ada
apa si?”
Kai-sat-su : “Saya
disuruh Nippon melarang abang menjual pisang disini”.
Penjual : “Masa bodoh! Kalau mau perkara, perkara
deh! Kai-sat-su kembali
kepada tuan Nippon menceritakan pengalamannya dengan penjual
tadi.
Sekarang tuan Nippon sendiri pergi berhadapan muka dengan
penjual
pisang.
Tuan
Nippon: “Sebab apa senang sekali?”
Penjual :
“Dulu saya miskin, sekarang saya kaya!”
Tuan
Nippon: “Tercengang dan bertanya: “Apa betulkah?”
Penjual : “Betul tuan! Lihatlah
baju saya dulu cuma satu macam. Sekarang tuan
lihat sendiri,
sudah berapa macam. Ada yang putih, yang hitam, hijau,
dll”
Melihat baju
tambalan dari bermacam-macam warna yang dimaksudkan itu, maka tuan Nippon
senyum sambil menepuk-nepuk bahunya penjual itu dengan perkataan: ya sabar dulu
saja!
Pedagang pisang
pulang dan menyangka perkara itu sudah selesai. Besok harinya dia kembali ke
tempat itu pula dengan bakulnya yang penuh dengan pisang. Tuan Nippon datang
pula buat mengunjungi dan bertanya: “Ini pisang apa?”
Penjual : “Ini
pisang raja tuan”.
Tuan Nippon tahu
bahwa itu bukan pisang raja namanya. Dan melihat warna mukanya pedagang itu
tuan Nippon merasa dikasih sindiran (Jakarta). Sebab itulah dia bertanya terus:
“Pisang raja apa?”
Penjual yang
rupanya sudah memuncak kejengkelannya menjawab: “Pisang raja Australi namanya.”
Si Jepang menjadi
marah! Dia dengan sepatu kaplaarnya naik ke atas bakul menginjak-nginjak pisang
sampai menjadi lumpur. Setelah kedua bakul penuh dengan lumpur pisang dan
sepatunya berlumuran pisang pula, barulah si Jepang turun dengan lubang hidung
terbuka dan suara mendengus-dengus seperti kerbau marah; hrm, hrm, hrm.
Untunglah si
Jepang menimpakan kemarahannya kepada pisangnya si penjual saja. Abang Jakarta,
kalau sudah terdesak tak akan segan-segan pula memakai parangnya yang selalu
ada di pinggangnya. Tetapi buat penjual sendiri, lebih baiklah pulang menemui
anak istri walaupun kehilangan pisang daripada memasuki kantor Kempe-tai dengan
kemungkinan kehilangan kepala! Lagi pula dia juga sedikit merasa puas. Betul
bakulnya berlumuran pisang. Yang lebih memuaskan pula, ialah perkataan raja
Australia sudah disemburkannya kepada si Jepang tadi.
Yang selama ini disegani
oleh Jepang antara prajurit berkulit putih ialah bangsa Australi. Pada masa itu
tersebar pula kabar angin, bahwa kekalahan Jepang dekat Australi lebih berat
daripada yang disembunyikan dalam surat-surat kabar di Indonesia. Kalimat
seperti “Armada Nippon atau Garuda Nippon kembali ke pangkalan dengan selamat’
atau Armada musuh masuk perangkap di “Solomon” lazim sekali dipakai untuk
menyembunyikan kekalahan Jepang.
Entah gara-gara
saja, entah benar, tetapi kabar yang dibawah ini tepat benar menggambarkan
temper, perasaan hati, serdadu Jepang pada masa pertempuran Solomon itu. Sikap
pasti menang, ketika saudara tua baru masuk itu mulai bertukar dengan
kesangsian, dan ucapan “Nippon Indonesia sama-sama” mulai bertukar dengan
makian “genjumin bagero”.
Kabarnya, ada
orang Indonesia yang bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa dia baru saja
melihat 12 pesawat Jepang berangkat dan menyaksikan cuma 11 saja yang kembali.
Dia dipanggil oleh Kempei-tai dan diberi entah teguran, entah tamparan, entah
kedua-duanya. Kabarnya pula orang itu juga keesokan harinya, sengaja atau
tidak, bercerita pula kepada kawan-kawannya, menceritakan, bahwa dia melihat 12
pesawat berangkat dan menyaksikan 13 yang kembali. Dia dipanggil pula oleh
Kempei-tai dan pasti diberi tamparan untuk melarang menceritakan apa-apa
tentang garuda Jepang yang tak mungkin dan tak pernah kalah itu.
Semakin kurang
“kemenangan tentara Nippon” yang dapat dilaporkan oleh surat-surat kabar, lekas
tersinggungnya perasaan “saudara tua” terhadap “saudara muda” dan semakin cepat
keluarnya makian dan tamparan dan akhirnya semakin giat bekerja Kempei-tai dan
kaki tangannya Kempei-ho. Sikap “ramah-tamah” dari “saudara tua” terhadap
“saudara muda” yang sebangsa-seketurunan” seperti pada permulaan pendudukan
Jepang, lambat laun bertukar menjadi sikap Tuan Besar Nippon terhadap genjumin bagero yang harus diawasi
perkataan dan perbuatannya.
Dengan turunnya
prestasi (hasil pekerjaan) Jepang dalam dunia kemiliteran, dimata rakyat
Indonesia, maka bertambahlah rasanya kesempatan bagi saya, buat menjelaskan
kelemahan dan membuka topengnya Jepang dimata rakyat. Perkataan yang pada
permulaan harus saya bungkus sewaktu-waktu seawas-awasnya, maka pada para
sahabat yang paling dekat lagi, lama-kelamaan, diantara empat mata, sudah dapat
saya ucapkan tak lagi dengan tedeng aling-aling. Dengan semakin sukarnya
penghidupan rakyat, semakin lekaslah kritik terhadap militerisme Jepang itu
diterima oleh rakyat kita.
Tetapi memang kaki
tangan sewaan berupa mata-mata banyak berkeliaran. Sedikit saja kelihatan tidak
cocok dengan yang biasa, maka segeralah mereka pergi kepada tuannya.
Begitulah pada
suatu hari dengan tiba-tiba saya didatangi oleh Assisten Wedana Pasar Minggu.
Dia seorang muda terpelajar. Dia masuk ke bilik saya dan berkata, bahwa dia
“terpaksa” memeriksa barang saya. Dimintanya saya membuka koper saya. Kutyo (Wijkmeester) tuan bek dan juru tulisnya
tidak masuk. Mereka menunggu di depan pintu. Tidak berapa Assisten Wedana tadi
membalik-balikkan pakaian saya, maka mukanya bertukar dari kecurigaan menjadi
kemalu-maluan. Dia ambil saja satu catatan saya dalam bahasa Inggris, ialah
catatan tentang keadaan sejarah Indo-China dalam bahasa Inggris dan Jerman yang
saya kutip dari perpustakaan di Gambir. Dia bacakan catatan itu dengan suara yang
agak keras, entah buat menunjukkan bahwa dia juga mengerti kedua bahasa asing
itu, entah buat memperlihatkan, bahwa dia juga menaruh perhatian pada catatan
semacam itu. Setelah dilihatnya buku karangan salah seorang pemimpin Indonesia
yang saya beli di Jakarta, maka dia meminjam buku itu kepada saya. Saya tidak
keberatan.
Untunglah pada jam
itu saya tidak menulis lagi. Semua tulisan saya yang bukan kutipan, memangnya
selalu saya simpan di tempat yang istimewa. Assisten Wedana cuma dapat
mendapatkan barang, buku dan catatan yang boleh dibaca oleh semua orang saja.
Setelah semuanya
selesai, maka malam harinya datanglah Kutyo dan juru tulis mengunjungi saya,
untuk menyatakan penyesalannya. Mereka berkata, bahwa mereka menolak usulnya
Asisten Wedana itu menggeledah barang saya, dan menerangkan bahwa mereka berani
memberi jaminan, bahwa saya orang baik. Tetapi “orang muda” itu tidak mau
mengindahkannya. “Buat menutup kemaluannya”, kata tuan Kutyo dan juru tulis
tadi seterusnya, “maka dia pura-pura meminjam buku kepada tuan”. Tuan Kutyo dan
juru tulis menerangkan pula kepada saya, bahwa pengaduan kepada Assisten Wedana
Pasar Minggu itu dilakukan oleh seorang Dantyo
(Mandor besar) di pabrik Kalibata. Dia seorang Tionghoa yang lahir di Padang
dan mengaku sebagai orang Indonesia asli Padang. Saya sama sekali tidak
berkenalan dengan dia, bahkan melihat mukanyapun saya belum pernah. Rupanya dia
hendak berjasa kepada tuan Nippon, dan mungkin juga untuk menutupi kedoknya
selama ini maka dia memfitnahkan saya kepada Assisten Wedana Pasar Minggu itu.
Kalau dia mengaku bahwa dirinya orang Tionghoa, maka ia harus membayar F.100,-
uang jaminan yang terkenal. Rupanya ia mau menyingkiri pembayaran ini.
Setelah hal
penggeledahan Assisten Wedana saya ceritakan kepada tetangg saya, maka tidak
dengan pengetahuan saya, tetangga ini pergi mengunjungi Tionghoa yang mengaku
orang Indonesia itu. Rupanya mereka bertengkar. Tak lama diantaranya tetangga
dan teman-temannya di pabrik mengadakan daftar buruh yang saban hari “dimakan”
oleh Dantyo Tionghoa itu. Dia mau dirinya diakui sebagai orang Indonesia.
Tetapi dia tidak segan-segan menghisap hasil tenaga orang Indonesia
dibawahannya, yang sudah kurus kering dihisap Jepang itu dan mengorbankan orang
Indonesia kepada Kempeitai. Di belakangnya, di depan tuan Jepang dia mengakui,
bahwa semua buruh yang dimandorinya itu sudah lama dilintah-daratinya dan
meminta maaf. Si Jepang rupanya memang lekas memaafkan kaki tangannya asal saja
jangan merugikan kepada bangsa sesama, anak dewa sendiri. Di belakang hari
orang Indonesia yang kedapatan “mencuri” beberapa buah paku, dijemuri dua tiga
hari, ditampari dan diusir.
Meskipun saya
sudah mendapat bukti, bahwa kaki tangan Jepang, yang kian hari kian banyak itu
sudah menaruh perhatian kepada saya, tetapi saya belum menghilang, sebab saya
ingin dan masih perlu mendapat kepastian, tentang satu hal yang penting ialah:
Akan bagaimanakah jadinya status Indonesia dimasa pendudukan Jepang? Memangya
saya ingin hendak mengetahui sampai manakah Jepang bisa dan mau memberikan hak
politik kepada Indonesia. Dan berhubung dengan itu akan sampai manakah ada
kemungkinan buat saya untuk hidup dan bekerja.
Saya baca dalam
surat kabar dan tersiarlah kabar sampai ke Rawa Jati bahwa di kebun binatang
Jakarta akan diadakan rapat raksasa. Yang akan bicara ialah Mr. Syamsudin,
pemimpin 3A dan Ir. Sukarno yang baru kembali dari tempat pengasingannya yang
paling belakang ialah Sumatera Barat. Di jalan-jalan sudah tertulis ditembok
slogan yang berbunyi:
NIPPON cahaya
Asia!
NIPPON pelindung
Asia!
NIPPON pemimpin
Asia!
Pada pertama
kalinya saya melihat slogan semacam itu, maka dalam hati saya timbullah
pertanyaan: Kenapa tidak 3N? Bukankah Nippon 3 kali disebut dalam slogan itu
dan pertama kali pula disebut. Seakan-akan slogan itu hendak menyembunyikan
arti yang sebenarnya ialah:
NIPPON penggelapan Asia!
NIPPON perampas
Asia!
NIPPON penipu
Asia!
Saya tidak kenal
dirinya Mr. Syamsuddin! Tetapi bagaimanapun juga saya pikir pemimpin Nasionalis
Asia, seperti Tilak; Mustafa Kemal dan Sun Yat Sen akan berbalik dalam kuburnya
kalau mendengar slogan 3A itu! Pendeknya gerakan 3 A sama sekali tidak
memuaskan saya. Bahkan sebaliknya sangat mengecewakan. Tetapi siapa tahu
barangkali nanti dalam rapat di kebun binatang itu akan mendapatkan apa yang saya
harapkan dari Banteng Besar Indonesia selama ini. Tetapi sebelumnya Banteng
Besar Indonesia keluar, hati saya sudah dipatahkan oleh tampil ke depan dan
pidatonya seorang Jepang (entah benar orang Islam) yang mmperkenalkan dirinya
sebagai Abdul Hamid Ono. Saya tidak dapat memastikan kealimannya dan
kejujurannya Islam Jepang ini. Indonesia sudah cukup mempunyai pengalaman
dengan Muslimin seperti Snouck Hurgronje dan Van de Plas. Saya pikir seorang
Muslimin yang diperalat oleh imperialis-kafir majusi tak ada bedanya dengan
seorang Muslimin yang diperalatkan oleh Imperialis-kafir-kitabi.
Selain daripada
pemikat dengan agama, militerisme Jepang mengadakan pemikat dan mata-mata
politik yang berupa manusia Simizu. Inggris yang pada Perang Dunia ke-I
melahirkan Laurence of Arabia, buat
memata-matai, memikat dan menipu bangsa Arab, demikianlah militer Jepang,
penipu di Asia mencetak beberapa Laurence di Tiongkok, Philipina dan Indonesia.
Cuma Laurence Jepang lebih kentara pekerjaannya. Kemana saja Banteng Besar
Indonesia pergi diikutinya, sampai membosankan dan menjijikkan orang yang
melihat. “Manusia” Simizu pun hadir dalam rapat tersebut diatas, dan tentulah
berbicara pula.
Akhirnya tampillah
ke depang yang ditunggu-tunggu selama ini, ialah Banteng Besar Indonesia Ir.
Sukarno. Yang saya masih ingat diantaranya isi pidato Banteng Besar Indonesia
ini sampailah sekarang ialah: pertama yang mengenai dirinya sendiri, dimasa
serangan Jepang di Sumatera, kedua yang mengenai dasar politiknya. Kedua hal
itu acap kali pula diucapkan dibelakang daripada beberapa rapat raksasa yang
saya kunjungi di tanah lapang Gambir.
Maka yang mengenai
dirinya Banteng Besar Indonesia itu, ialah, dia dilarikan oleh Residen dari
Bengkulen ke Padang, ketika Jepang menyerang. Yang mengherankan saya cuma,
kenapa sebuah Residen, yang ketakutan seperti tikus tersempit itu masih bisa
melarikan Banteng Besar Indonesia yang berada ditengah-tengah jutaan rakyat
Indonesia yang cinta kepadanya dan benci kepada penjajahan Belanda itu.
Sebenarnya saya, sebagai seorang pelarian, merasa malu mendengarkannya dan
sebenarnya saya akan lebih suka mendengar kalau sebaliknya yang terjadi, ialah
Banteng Besar Indonesia yang melarikan tikus Belanda yang sudah setengah mati
ketakutan itu.
Maka yang mengenai
dasar politiknya Banteng Besar Indonesia berbunyi lebih kurang: “Kalau Liong
Barong-Sai dari Tiongkok, Gajah Putih dari Muangthai, Merak dari Birma, Lembu
Nandi dari India dan Sphine dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia
dengan disinari oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka Dunia Imperialisme sekutu akan
hancur lebur”.
Tentulah spion
Simizu cocok dengan isinya perkataan diatas! Pertama sekali buat spion Simizu
perkataan bersatu yang diucapkan oleh Banteng Besar Indonesia itu ialah apa
yang sudah ditaburkan oleh serdadu Jepang dimana-mana, ialah Nippon Indonesia
sama-sama dan seterusnya persatuan Dai Toa, Asia Timur Raya, yang dalam
hakekatnya berarti: Semua kekayaan, harta benda, tenaga, dan “kecantikan”
Indonesia dan Asia untuk orang Jepang. Kedua “Disinari oleh matahari Dai
Nippon” mempunyai maksud yang dalam, yang batin, mengenai kepercayaan bangsa
Jepang. Inilah pula yang sebenarnya terselip dalam semboyan 3A pada garis
pertama, ialah Nippon cahaya ASIA. Menurut kepercayaan Jepang, resmi dimasa
itu, maka kepulauan Jepang dibikin oleh Dewi Amaterasu O Mikami, Dewi Matahari.
Tidak disebutkan dari apa dibikinnya. Entah dari kosong (nothing) entah dari
tanah dan air, entah dengan firman, entah dengan kaki tangannya. Tetapi Dewi
MATAHARI tadi menurunkan (entah dengan apa pula!!) cucunya ke kepulauan Jepang.
Namanya cucu ini ialah Jimu. Gelarnya Tenno Heika, dalam bahasa kita artinya
lebih kurang, ialah anak Matahari. Rakyat Jepang yang 70 juta itu katanya
berasal dari anak Langit itulah. Dewi Amaterasu tadi rupanya ada pula bapaknya,
ialah Izatagi O Mikote. Ibunya ialah Izanagi O Mikote. Jelaslah sudah, bahwa
MATAHARI itu penting sekali buat kepercayaan dan hidupnya Jepang. Disinari
MATAHARI DAI NIPPON buat Jepang sendirinya disinari oleh kepercayaan Jepang.
Kalau seperti
pidato Banteng Besar Indonesia, bahwa Asia, dari Liong Barong-sai-nya sampai ke
Banteng Indonesia bersatu disinari pula oleh MATAHARI DAI NIPPON, maka ucapan
semacam itu (yang benar-benar dipahamkan
oleh tentara Dai Nippon dan Tenno Heika-nya), tentulah sangat menggembirakan
hati mereka!
Spion Simizu
tentulah senyum simpul mendengarkan pidato Bung Karno yang “berapi-api”,
“bernyala-nyala” dan “berkobar-kobar” membangkitkan Rakyat Indonesia itu! Atau
Hamid Ono (atau Ona?) mungkin pula bukan menganggapnya sebagai ucapan yang
murtad ialah sebagai ucapan yang dianggapnya bertentangan dengan syahadat,
sendi pokok agama Islam, yakni: Tidak ada Tuhan melainkan Allah
(Laila-ha-illalah).
Pada petangnya
saya kembali ke Rawa Jati dengan amat kecewa sekali. Dalam pidato Bung Karno
yang berapi-api tadi, tujuan yang jelas sedikitpun tidak saya peroleh. Tetapi
semenjak tahun 1927 saya menunggu-nunggu, maka ringanlah buat saya menunggu
sedikit lama lagi. Siapa tahu (dan seharusnya pula), kalau-kalau Bung Karno
bekerja secara “illegal”. Akhirnya saya bacalah pula dalam advertensi dan di
dinding dimana saja, bahwa tentara Jepang memperkenankan bangsa-bangsa
Indonesia mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan Empat
Serangkai: Bung Karno, Moh. Hatta, Dewantoro dan Kyai Mansur.
Menurut
desas-desus yang saya tangkap diluar golongan “Nippon-Indonesia sama-sama”,
pada masa Banteng. Tetapi karena Barisan Banteng menunjukkan semangat radikal,
maka barisan Banteng dibubarkan oleh tentara Jepang. Buat terus menerus menina-bobokkan
Rakyat Indonesia dan memberi sedikit pekerjaan kepada “para pemimpin”
Indonesia, maka tentara Jepang mengizinkan berdirinya PUTERA itu.
Sayapun tak
ketinggalan mengunjungi “Rapat Raksasa” sebagai upacara berdirinya PUTERA. Agak
besar juga mata saya mendengar ucapan Bung Karno yang mengatakan, bahwa Jepang
tak turut campur tangan dalam “urusan PUTERA”. Inilah yang mau saya pastikan
berhubung pula dengan janjinya Jepang hendak memerdekakan Indonesia “dikelak
kemudian hari”. Dalam surat kabarpun dituliskan, Jepang tak akan turut campur
dalam urusan PUTERA.
Tetapi seperti
janji Jepang yang lain-lainnya, maka janji inipun segera dibatalkannya dengan
perbuatan. Tidak berapa lama dibelakangnya, maka tercantumlah pula dalam
surat-kabar namanya orang-orang Jepang sebagai “penasehat” – nya PUTERA.
Saya belum putus
asa! Gedung No. 19 di Jalan Sunda Jakarta selalu saya perhatikan, tiga kali
seminggu kalau saya lalu lalang dari Rawa Jati ke Gambir pulang pergi. Siapa
tahu mungkin ada “aksi yang “illegal” yang diselimuti oleh PUTERA ini.
Saya sudah tua
dalam gerakan “illegal” itu. saya juga dapat melihat-lihat tanda, kalau memang
ada aksi illegal. Tetapi saya tidak melihat tanda apa-apa dan pidato Bung Karno
yang dibelakang hari saya dengar di rapat raksasa di tanah lapang Gambir tak
ada bedanya dengan yang saya dengar di kebun Binatang lebih kurang setahun yang
lampau. Sebaliknya dari lamanya maka desas-desus, membubarkan PUTERA sudah
terdengar pula. PUTERA sudah membosankan rakyat pula seperti 3A dahulunya. Setelah
saya berada di Bayah, saya mendengar kabar bahwa PUTERA dibubarkan, diganti
dengan Hokokai. Buat saya namanya saja sudah memuntahkan. Isinya boleh diterka
sendiri.
Demikianlah
tentara Jepang, sambil memakai harta benda dan tenaga rakyat Indonesia buat
mencapai kemenangannya yang terakhir, dia menentramkan rakyat Indonesia dengan
perkataan dan perjanjian yang bagus muluk dan melengah-lengah para pemimpin
rakyat, dengan memberi izin bermain-main dengan perkumpulan demi perkumpulan,
dari 3A sampai ke Hokokai, supaya jangan lekas bosan. Di samping itu rakyat
jelata diperalatkan langsung sebagai Heiho, Kempei-ho dan Kaisatsu, dan
diperdayakan serta dipersiapkan dalam bermacam-macam latihan dalam barisan Keibodan, Seinendan, Suisintai, Peta
dan Jibakutai. Kalau sekiranya dalam peperangan Asia Timur Raya ini Jepang
menang, maka tenaga perburuhan dan kemiliteran Indonesia kelak dapat dipakainya
dilain tempat di Asia buat menindas bangsa Asia yang lain atau mengusir
imperialisme Barat dari Asia seluruhnya. Setelah akhirnya seluruh Asia
dikangkanginya, maka Jepang bermaksud hendak mengangkangi seluruh dunia!
(Menurut rencana Baron Tanaka).
Walaupun pidatonya
Moh. Hatta, yang biasanya hambar itu dengan ucapan “lebih baik kita tenggelam di dalam dasar lautan, daripada dijajah
kembali” sedikit menjadi asin, tetapi kalau saya ingat pula, bahwa “ahli
ekonomi” ini berhasrat menjadikan Indonesia daerah Asia Timur Raya yang
menghasilkan bahan mentah buat ditukarkan dengan hasil perindustrian di
kota-kota Jepang, supaya ada pertukaran antara Indonesia dan Jepang serta
menghindarkan bahaya industrialisasi di Indonesia. (Bacalah Nomor Peringatan
berkepala Ekonomi Perang pada tahun 1944?), maka “ahli” ekonomi inipun tidak
memberi harapan sedikitpun kepada saya. Bahkan “ahli” ekonomi inilah yang saya
pandang dengan langsung menjalankan politik “co-prosperity” Jepang, “kemakmuran
bersama” yang dalam prakteknya akan menjadikan Jepang pusat perindustrian,
kemesinan, pengetahuan dan kebudayaan, disamping Indonesia yang akan dipaksakan
menjadikan jajahan Jepang yang menghasilkan bahan mentah dan makanan. Indonesia
yang tidak membutuhkan kemesinan, pengetahuan teknik dan ilmu Bukti, jadinya
Indonesia yang terdiri dari kebun, tambang, hutan, lautan dengan kuli, romusha
serta “ahli” seperti Doktorandus Mohammad Hatta cs.
Sudah cukup
rasanya saya obori semua pemimpin yang “terkemuka” dan kumpulan yang berada di
atas tanah selama lebih daripada satu tahun lamanya. Tak tampak tanda bahwa
akan datang perubahan dalam organisasi Rakyat dan jiwanya para pemimpin resmi.
Sebaliknya pula makin cepat masuknya padi, emas-intan, Prajurit dan gadis
Indonesia ke tulang rahang, diantara gerahamnya teokratis, imperialis Jepang,
diangkut oleh para pemimpin resmi itu.
Cukuplah pula
rasanya selama itu saya pelajari keadaan Rakyat Murba di kota Jakarta, pabrik,
kampung dan desa sekitarnya. Buruh, tani, pedagang menengah kecil sudah cukup
saya kenal dari dekat sekalip; rumah tangganya, keluarganya, pencahariannya dan
senang susahnya serta pekik tangisnya.
Cukuplah pula
rasanya saya menuliskan pengetahuan dan pengalaman saya buat hari depan dan
akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya, sudah cukuplah rasanya saya memakai
uang simpanan, hasil tenaga dan jerih payah selama bertahun-tahun lampau.
Berhubung dengan tiga
soal tersebut diatas dan berhubung pula dengan bertambah banyaknya kaki tangan
Jepang yang ingin berjasa kepada tuannya, maka saya merasa perlu sekali
mendapatkan sekitar baru, suasana baru dan pekerjaan baru, dengan dasar “bekerja untuk hidup dan paham”. “Pekerjaan apa dan dimana” inilah yang
menjadi pertanyaan dalam diri saya sendiri sehari-hari. Bekerja dalam kota
Jakarta sama sekali tidak saya kehendaki, walaupun ada suatu pekerjaan. Dalam
hal timbang menimbang dan cari mencari ini tampaklah berkali-kali dalam surat
kabar tulisan yang kira-kira berbunyi:
“Orang-orang
terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasehat Balatentara Dai Nippon,
Pegangsaan Timur 36, dengan datang sendiri atau mengirimkan keterangan biografi
lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak”.
Di pasar Senen
saya sudah lama mendengar keterangan, bahwa yang duduk dalam kantor “Penasehat”
Balatentara Dai Nippon itu tak kurang, tetapi juga tidak lebih daripada Drs
Moh. Hatta, sebagai pegawai tinggi.
Kantor “Penasehat”
Balatentara Dai Nippon saya ketahui benar letaknya, tetapi tak pernah menarik
perhatian saya. Dan karena yang diminta mendaftarkan diri itu hanya
“orang-orang terkemuka” saja dan satu daripada yang terkemuka yang menjadi
“penasehat” kantor itu sudah bisa saya duga dalam dangkalnya, maka saya tidak
merasa tertarik oleh golongan terkemuka itu.
Tetapi kembali
pertanyaan dengan mendesak: “Pekerjaan apa dan dimana?”
Dengan pikiran
yang sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang pasti dan dengan kaki yang
diayunkan seolah-olah otomatis, tiba-tiba saya masuk ke Gedung Arca. Terus ke
kamar perpustakaan. Pembaca agak banyak hari itu, sebagian besar rupanya
mahasiswa. Sekonyong-konyong sedang saya membalik-balik halaman buku, pintu
dibuka oleh seorang berusia lanjut dan berperawakan tinggi yang katanya dengan
suara keras; “Maafkan saya bertanya, siapakah diantara tuan-tuan yang dapat
membantu saya! Disini ada tulisan dalam bahasa Inggris, yang saya kurang
mengerti!” Mendengar suara itu saya berdiri, agak kemalu-maluan, dibelakang
kursi menutupi kemeja dan celana saya yang sudah usang dan tidak disetrika,
menunjukkan bahwa mungkin saya sanggup membantu.
Tuan Purbocaroko
dibelakangnya baru saya tahu bahwa penanya ini tak kurang dari Dr. Purbocaroko
pengurus perpustakaan! Datang mendekati saya sambil membuka buku dan
menunjukkan satu kalimat, yang kurang jelas dari pujangga yang masyhur itu.
Saya belum pernah baca buku itu, tetapi segera maklum bahwa buku itu ialah buku
sejarah. Setelah saya uraikan terjemahan saya, dan mulanya sedikit mendapat
bantahan, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Dr. Purbocaroko, maka
pujangga itu dengan senyum berkata: Tuan ini dari mana?
Jawab : Dari Singapura.
Dr. Pubocaroko : Apakah pekerjaan tuan disini?
Saya : Belum dapat
pekerjaan.
Dr. Purbocaroko : Kenapa tuan tidak pergi ke kantor
Sosial, Tanah Abang Oost?
Saya membilang
terima kasih atas anjuran Dr. Purbocaroko, yang datang sebagai hadiah dari
langit itu. Segera saya pergi ke kantor Sosial itu, menanyakan apakah ada
pekerjaan buat saya. Rupanya kantor itu mengurus romusha.
Pegawai kantonr
bertanya kepada saya, apakah saya mau bekerja di tambang arang di Bayah?
Walaupun saya cuma bisa tahu, bahwa Bayah itu letaknya di Banten, tetapi
mendengar perkataan tambang itu saya tidak pikir-pikir lagi. Pegawai meminta
saya datang esok harinya. Berjumpa dengan seorang pegawai Indonesia yang datang
dari Bayah yang mencari pekerja buat perusahaan arang tersebut.
Besoknya saya datang. Setelah saya ketahui,
bahwa yang dibutuhkan hanya lebih kurang 30 orang saja, tetapi orang yang
melamar lebih dari 50 orang, lengkap dengan ijazah dan surat-surat keterangan,
dari ijazah SMP sampai SMT dan HBS dimasa Hindia Belanda dan surat keterangan
dari KPM, BPM sampai ke kantor post dimasa lampau tersebut, maka saya merasa
“kekurangan” karena tidak mempunyai ijazah ataupun surat keterangan. Supaya
jangan menghabiskan waktu dan untuk menghindari penolakan, kalau giliran kelak
kepada saya, maka saya maju ke depan untuk mengatakan bahwa saya tidak mempunyai
ijazah dan surat keterangan. Saya katakan pula, bahwa kalau ijazah dan surat
keterangan itu menjadi syarat, yang terpenting, maka lebih baik saya minta izin
kembali saja pulang, karena saya tidak mempunyai apa-apa. Tuan pengurus dengan
ramah tamah sekali, setelah melihat muka saya dengan cepat, bertanya, apakah
saya pernah bekerja, dimana, dan sekolah apakah yang pernah saya kunjungi. Saya
jawab, bahwa saya sudah pernah bekerja pada salah satu kantor import Jerman di
Singapura. Didikan saya kira-kira sekolah MULO kelas 2. “Jadinya tuan mesti
tahu bahasa Inggris” katanya pula. Persangkaan itu saya benarkan. “Tentulah
tuan juga tahu bahasa Jerman dan bahasa “Belanda” diteruskan pula. Inipun saya
benarkan pula. “Kalau begitu” katanya “tuan tunggulah sebentar”. Setelah
sampailah pada giliran saya, maka oleh tuan pengurus Bayah saya disuruh bersiap
buat besok pagi berangkat ke Bayah dengan kereta api dari Tanah Abang.
Dengan rombongan
lebih dari 30 orang, saya dari pagi hari berangkat ke Bayah. Perjalanan dengan
kereta api antara Jakarta dengan Rangkas Bitung tidaklah banyak memberikan
pemandangan yang mengandung arti. Buminya datar, adapula yang tanahnya kurus
dan alam tidaklah permai. Di Rangkas rombongan kami berhenti. Disinilah jalan
yang menuju ke Selatan bersimpang dua. Jalan di sebelah Barat, ialah jalan
kereta api, ke selatan berujung di Saketi dan membelok ke Barat sampai ke
Labuhan dan berputar kembali ke Jakarta. Jalan sebelah Timur ialah jalan raya
yang di selatan berujung di Malimping. Jalan kereta api antara Saketi dan
Bayah, melalui Malimping sedang dibikin, belum lagi habis. Tetapi jalan raya
antara Malimping dengan Bayah sudah selesai. Jalan inilah yang kami ambil
dengan truck.
Jalan Saketi-Bayah
mengandung sejarah yang menyedihkan, tak kalah sedihnya dengan jalan dari Anyer
ke Banyuwangi. Seperti pembikinan jalan Anyer-Banyuwangi, dimasa Daendels
memakan tenaga paksa dan jiwa ribuan bangsa Indonesia buat Imperialisme
Belanda, maka pembikinan jalan Saketi Bayah juga memakan ribuan tenaga percuma,
tenaga romusha dan jiwanya romusha. Dengan tiada persiapan untuk perumahan,
makanan dan kesehatan bagi romusha yang jatuh sakit dan mati disebabkan oleh
berat dan susahnya kerja, kekurangan makanan dan obat-obatan beserta cambuknya
serdadu Jepang, adalah laksana padi sabit.
“Saketi” kata seorang penduduk asli
kepada saya, saketi yang berarti seratus ribu itu sekarang sudah melaksanakan
artinya! Menurut nujum, maka pada suatu waktu, Saketi Bayah yang jaraknya lebih
kurang 150 km itu akan diperhubungkan dengan jalan besi oleh kuda besi. Jalan
besi itu akan meminta korban tidak kurang daripada saketi manusia. Demikianlah
nujum itu sekarang sudah berlaku!
Saya tidak dapat
memastikan benar salahnya saketi (100.000) romusha yang mati buat mendirikan
jalan kereta api dari Saketi ke Bayah itu. Saya juga tidak sanggup memeriksa,
apakah dongeng dan nujum tersebut sudah terkenal, sebelumnya jalan kereta
Saketi Bayah dibentuk. Tetapi dari semua pihak memang saya dengar kabar, bahwa
tingginya angka kematian romusha, yang bekerja pada jalan Saketi Bayah sungguh
mengerikan. Lagi pula kerusakan jasmani dan rohani serta kemusnahan jiwa, yang
saya saksikan sendiri pada tahun pertama saya berada di Bayah, mudah sekali
menimbulkan perasaan yang membenarkan nujumnya kampung Saketi itu.
Kira-kira 5-6 kmi
jauhnya dari kampung Bayah, di pinggir laut, terletak satu tempat yang dinamai
pulau Manuk inilah yang sangat ditakuti terus-menerus. Sedikit sekali diantara
romusha yang bekerja disana, yang tidak dihinggapi penyakit yang bisa membawa
maut, seperti borok, dysentri dan malaria. Jarang yang hidup kalau sudah
dihinggapi salah satu penyakit tersebut. Romusha umumnya kekurangan makanan,
obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan
perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan
antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan
romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke
gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan disini menuju ajalnya. Pun di
kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir
jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu mau
ini. Ada kalanya di sekitar Bayah terpaksa dikuburkan lebih dari 10 orang dalam
satu kuburan, karena kekurangan penggali kubur dan kekurangan perhatian umum.
Di musim hujan, mayat yang tertimbun-timbun itu terpaksa pula dimasukkan ke
dalam kubur yang digenangi air itu! Dimanakah pula di sekitarnya Bayah itu
terdapat masyarakat Indonesia asli, yang cukup besar dan menganut perasaan
kebangsaan yang cukup luas dan dalam, yang bisa meluap memprotes dan menuntut
pelayanan yang layak bagi romusha yang umumnya datang dari jauh itu, dari Jawa
Tengah itu?
Pemandangan yang
amat menyedihkan hati inilah yang sangat meliputi perasaan saya pada waktu
pertama. Suasana masyrakat Bayah umumnya dan semangat kaum pekerja halus dan
kasar khususnya belum membenarkan saya membuka paham, perasaan dan kemauan saya
terhadap ribuan romusha yang bekerja mati-matian, yang menderita serangan
penyakit berbahaya dan yang mati bergelimpangan di sana-sini itu. Saya sendiri
masih perlu lebih dahulu mencari tempat berdiri yang agak tegap sebagai batu
loncatan dan tempat yang agak baik untuk mengumpulkan tenaga dan mengerahkan
tenaga itu selangkah demi selangkah menghadapi satu hisapan yang melampaui
batas dan tindasan, yang asing dari semua perikemanusiaan.
Syahdan Bayah
Kozan, adalah salah satu perusahaan arang yang namanya perusahaan partikelir,
kepunyaan salah satu daripada keluarga kapitalis Jepang yang ternama ialah
Sumitomo. Tetapi perusahaan ini berada dibawah pengawasan tentara Jepang.
Modalnya ialah modal partikelir, yakni modalnya keluarga Sumitomo tadi, tetapi
hasilnya harus dijual menurut keperluan militer Jepang yang sedang berperang
itu.
Sebenarnya
salahlah, kalau dikatakan, bahwa Sumitomo-lah yang membelanjai dan memiliki
perusahaan Bayah-Kozan itu. Tentara Jepang menyita tanah kita di Banten yang
berisi arang itu. Sebagian besar dari alat mesin dan alat tambang di-sita-nya
pula dari masa Hindia Belanda. Tenaga dengan upah romusha, upah budak itupun,
bisa dilakukan karena pertolongan sangkur-senapannya serdadu Jepang itu pula.
Ringkasnya sangkur senapanlah yang mendapatkan tanah, mesin dan tenaga buat
Bayah-Kozan itu dan keluarganya Sumitomo-lah yang membelanjai perusahaan
“partikelir” dengan harga murah itu.
Dalam brosur
RENCANA EKONOMI sudah saya jelaskan sekedarnya, bagaimana jalannya (proses)
produksinya tambang arang Bayah-Kozan ini. Dalam brosur tersebut saya namakan
perekonomian tersebut EKONOMI MERAMPOK, karena memang semua faktor produksi
diperoleh secara rampokan, hal ini tidak perlu saya ulang lagi.
Yang perlu saya
sebutkan disini, cuma efisiensinya Bayah-Kozan yang amat rendah itu. Hasil sebulan,
kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 100 ton. Hasil yang rendah ini
didapat oleh tak kurang daripada 10.000 tenaga romusha. Bahkan di masa
permulaan tak kurang daripada 20.000 romusha yang bekerja pada semua bagian
tambang Bayah-Kozan, ialah bagian menambang, bagian pengangkutan, listrik,
bangunan dan administrasi.
Faktor yang
terutama yang mengakibatkan rendahnya produksi, ialah karena memang sedikit
sekali arang yang ada, yang bisa dipakai dan digali, kalau dibandingkan dengan
tanah arang di Borneo. Kalau perhubungan Jawa dan Seberang tidak terganggu
memangnya pembukaan tambang arang Bayah tidak akan dilakukan, karena tidak
cukup memberi keuntungan (profitable). Kecuali pada satu dua tempat arang itu mesti
digali dalam sekali. Tebal arangnya biasanya hanya satu meter saja dan
panjangnya pohon arang itu (ader) itupun tidak seberapa. Terutama pula arang
Bayah masih muda sekali. Selainnya daripada itu mesinnya tidak pula modern,
tenaganya, karena tidak mendapat makanan dan pelajaran yang cukup tidak kuat.
Akhirnya organisasinya produksi dan administrasi memangnya kurang memuaskan.
20.000 pekerja
halus dan kasar pada tahun permulaan dan lebih kurang 10.000 pada waktu hampir
menyerahnya Jepang terpencar pada beberapa tempat penggalian arang, ialah di
gunung Madur, di Tumang dan Ciahara. Tiap-tiap penggalian mempunyai beberapa
lubang. Bayah ialah tempat untuk pusat administrasi.
Lima enam jam
lamanya kami bersempit-sempit diantara orang dan barang di dalam truck, diasapi
dan dimabukkan oleh asapnya minyak motor, kabarnya minyak tanah, dan
terempas-empas, karena batu besar-besar di jalan antara Malimping dan Bayah.
Lelah letih serta bingung mabuk kendaraan, maka pada sorenya kami sampai di
Bayah. Berdesak-desak pula pada malam pertama kami tinggal di rumah serba bambu
beratapkan rumbia.
Besok kami dibawa ke kantor. Disini kami
dipersilahkan menuliskan riwayat masing-masing. Sayapun tidak ketinggalan
menuliskan “riwayat” saya. Tidak mudah menuliskan riwayat diri bagi siapapun
juga dalam keadaan seperti saya dimasa itu dalam semua pertanyaan yang mesti
diisi dalam satu formulir, nyatalah sekali Jepang ingin benar hendak
mengetahui, apakah seorang pelamar itu pernah memasuki suatu perkumpulan. Kalau
pernah, tentulah dia ingin pula hendak mengetahui kumpulan apakah! Tak perlu
dikatakan disini, bahwa kumpulan yang ditindasnya dimana-mana, ialah kumpulan
komunuis, orang yang dicarinya, dibencinya serta dihukum, disiksa dan
dibunuhnya dimana-mana negeri, ialah orang komunis. Tetapi tak perlu dikatakan
disini, bahwa dalam keadaan demikian sama susahlah pula mendapatkan seorang
komunis, yang akan membiarkan dirinya ditangkap oleh surat formulir Jepang
daripada mendapatkan macan yang menggantungkan diri. Caranya Jepang membasmi
komunisme menunjukkan kekolotannya dalam ideology dan kesingkatan akal serta
kekejamannya dalam siasat politik.
Ringkasnya
“riwayat” saya diterima! Demikianlah sejarah di Bayah saya mulai dengan nama
Ilyas Hussein, keluaran MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis sesuatu firma di
Singapura. Dengan beberapa orang lagi, tua muda, saya kerjakan di Bayah-kota
pada bagian gudang.
Yang mengenai nama
saya, ialah Hussein itu, pada permulaan tidaklah menarik perhatian pekerja dan
pegawai Bayah Kozan. Memangnya pula Bayah terletak terpancir sekali di Indonesia
dan pekerja serta pengawal di Bayah Kozan untunglah tak ada yang berkenalan
dengan saya waktu 20 tahun lampau, walaupun mereka berasal dari hampir semuanya
pulau di Indonesia ini.
Yang mengenai
didikan, memangnya sedikit mendapat perhatian. Salah seorang Indonesia, kepala
dari salah satu bagian kantor, keluaran MULO, sesudahnya kami agak lama kami
saling kenal mengenal, merasa dididikan saya seperti yang sudah saya terangkan
dalam formulir Jepang itu, agak tidak cocok dengan pendapatnya. Dia ada mempunyai
kekuasaan, buat mengerjakannya dan atas kemauannya sendiri, dia mengganti
keterangan saya dengan keterangannya sendiri, yang mengatakan, bahwa didikan
saya sama dengan didikan dia sendiri, ialah keluaran MULO.
Yang, akhirnya
mengenai pekerjaan saya dahulu, sebagai juru tulis mulanya tidak sama sekali
cocok dengan pekerjaan saya di Bayah Kozan itu. Di gudang saya lebih banyak
mengangkat barang daripada duduk menulis diatas kursi dan meja. Malah saya sama
sekali tidak mempunyai meja tulis dan kursi. Kalau terpaksa menulis, maka saya
buat meja sendiri dari peti yang agak tinggi dan kursi dari peti yang agak
rendah. Selama bekerja itu biasanya saya berdiri, berjalan, atau mengangkat
barang, buat diterima, dikirimkan atau dihitung. Tak ada tempat buat duduk,
menulis di atas kursi yang empuk, bergoyang senderannya, dengan mesin tulis di
atas meja yang licin lengkap dengan teleponnya.
Saya diwajibkan
menyusun barang yang tidak tersusun, yang bertaburan dalam gudang. Bagaimana
menyusunnya diserahkan kepada saya saja. Kami cuma mendapat seorang dua
pembantu buat angkat mengangkat, tetapi karena kebanyakan kerja biasanya saya
sendiri yang mengangkat di dalam gudang, yang gelap atau di atas pagu yang
panas.
Barang-barang
tambang seperti mesin bor dan pompa, bagian mobil dll bergelimpangan disisi dan
belakang gudang, ditimpa hujan dan digenangi air. Di dalam gudan drill (bor
tambang) yang mahal harganya campur aduk dengan paku, belincung, baut, pahat,
palu, kunci Inggris, gergaji, baja, pemotong, baja angin, bahkan ratusan ribu
jumlahnya. Barang-barang itu terus bertambah saja banyaknya didatangkan dari
Sukabumi dan Jakarta. Tetapi ada pula yang keluar atas permintaan dari beberapa
cabang Bayah Kozan, ialah Tambang Madur, Cihara, dan Cimang. Yang mulanya
sangat mengherankan saya, ialah melihat sikapnya sep Jepang, yang kantornya
dekat gudang itu juga! Dia dengan senang saja berbulan-bulan melihatkan barang
yang mahal dan murah, halus dan kasar campur aduk bertaburan disana-sini.
Tetapi
dibelakangnya saya mengerti, bahwa ketidakpedulian Jepang itu, ialah terutama
karena ratusan ribu potong barang itu, yang harganya mungkin sekali lebih dari
satu juta rupiah (uang lama) adalah barang gedoran atau dibelakang hari dibeli
dengan harga murah. Sep-Jepang tadi sudah lama tinggal di Indonesia dan dulu
bekerja pada salah satu firma Jepang, tentulah insyaf benar akan pentingnya
alat besi dan mesin diwaktu perang itu. Dimasa lampau, pastilah dia seperti
teman sakuranya yang lain-lain, seorang pedagang Jepang yang hemat cermat, yang
dengan teliti menghitung keluar masuknya satu dua sen, sepotong atau dua potong
paku pun. Tetapi karena puluhan ribu barang tersebut diatas didapatnya dengan
mudah sekali, maka sukarlah baginya memberikan perhatian penuh kepada barang
itu.
Perhatian tak
peduli itu segera bertukar menjadi perhatian penuh, malah kekuatiran, apabila
akibatnya blokade Sekutu semakin terasa oleh militer Jepang di Indonesia dan
barang lama dari besi semakin sukar diperoleh. Pertukaran sikap dari tak peduli
menjadi kuatir inilah yang rupanya mendesak Bayah Kozan, supaya berhemat dengan
barang yang lama. Janganlah barang itu dibuang-buang atau dibiarkan lapuk kena
hujan seperti biasanya! Itulah rupanya sebabnya kami diterima buat dipekerjakan
di gudang, untuk mengadakan perhitungan jenis dan jumlahnya barang, mengadakan
pendaftaran barang, yang teratur, mencatatkan keluar masuknya barang setiap
hari dan mengadakan perhitungan (stockopname) dua kali sebulan.
Mudah sekali buat
sep-Jepang itu memerintahkan mengadakan perhitungan dua kali sebulan kepada
kami, tetapi tidak semuanya diantara kami yang sanggup mengerjakannya. Tidak
saja barang yang ada itu campur aduk, tak diketahui banyak dan jenisnya, tetapi
datangnya bermacam barang juga tak ada batas dan ketentuan jamnya, siang dan malam.
Permintaan atas barang ini atau itupun tidak terbatas waktunya. Ditambah pula
kekurang-ajaran Jepang, yang keluar masuk gudang, melempar-lemparkan barang
yang sudah disusun dan memilih barang yang bagus menurut pikirannya sendiri
saja. Seringkali pula barang yang belum dicatatkan sudah dipegang, dan disuruh
angkatnya ke tempat bekerjanya karena “bagus” menurut pikirannya. Adakalanya
dengan tidak diketahui barang mahal umpamanya baja angin, sudah masuk ke dalam
kantongnya dan setelah sampain dilain tempat, baru ketahuan oleh kami kemana
perginya. Tentulah harus didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu
tidak bisa didapatkan kembali, tetapi sering pula barang itu tidak bisa
didapatkan kembali. Bahwa kami tanggung jawab atas keluar masuknya barang itu
dan bahwa tambang yang lain juga suka kepada barang yang “bagus” itu, tidak
perlu dipikirkan oleh “saudara tua”. Kalau kita tidak sabar dan tidak tegap
melarang atau menolak sikap Jepang yang tidak senonoh, maka perkelahianlah yang
akan terjadi dengan anak dewa itu setiap hari.
Stockopname,
perhitungan sisa keluar masuknya barang dua kali sebulan itu tidaklah dapat
dilakukan, kalau barang yang sudah ada belum diketahui jenis dan banyaknya,
setiap jenis. Jadi sebelumnya stockopname dijalankan, haruslah lebih dahulu
diadakan pendaftaran! Inilah pekerjaan yang berat dan sukar. Ambillah saja satu
jenis barang seperti kunci (slot). Kunci itu ada yang didatangkan dari Amerika
yang made in “U.S.A”. Adapula kunci yang paling murah, tetapi paling buruk
ialah “made in Japan”. Negara asalnya kunci itu harus dipisahkan. Pendaftaran
yang begitu belum lagi memberi kepastian apa-apa. Namanya kunci tadi hatus
dicatat pula, supaya yang datang dari Amerika tadi umpamanya Yale, jangan
disamakan dengan nama “Yala” ialah bikinan Jepang. Atau lebih tepat tiruan atau
penipuan Jepang. Maksud Jepang melanggar aturan internasional (yaitu hak paten
Amerika itu), ialah supaya bisa menjual kunci yang sama bunyi namanya (Yale dan
Yala) lebih murah harganya. Tetapi berlainan sekali qualitetnya, kekuatannya.
Setelah selesai asal dan nama dipisahkan, barulah diambil ukurannya. Apabila
dipikirkan, bahwa barang yang seasal seperti kunci tadi bertaburan disana-sini
tertimbun oleh barang-barang lain, dan kunci yang seasal, senama dan seukuran itu
tidak didapat pada suatu tempat saja, maka barulah dimengerti, bahwa untuk
mendaftarkan satu macam barang, yang seasal, senama dan seukuran saja bisa
menghabiskan waktu berhari-hari. Apalagi harus mendaftarkan berjenis-jenis
barang, yang berasal dari berlainan negara, yang mempunyai cap dan ukuran yang
berbeda!! Acapkali pula terjadi, apabila jenis, nama dan ukuran sesuatu barang
sudah selesai didaftarkan, maka pada suatu ketika didapatlah pula di tempat
lain barang sejenisnya dan senama dengan yang sudah didaftarkan itu. Daftar
yang sudah selesai dan bagus rasanya itu harus dirobek-robek dan diganti dengan
yang baru. Tambahan saja biasanya tidak memadai.
Pernah datang
barang Jepang, yang tidak mempunyai cap dan nama, yang terdiri dari
bermacam-macam onderdil, bagian mesin. Sep-Jepangpun tak tahu namanya!
Bagaimana mendaftarkan barang semacam itu? Saya tahu, bahwa mungkin sekali
dibelakang hari tiba-tiba datang pertanyaan tentang barang yang tidak seorang
pun diantara kami yang mengetahui nama dan merk-nya itu. Sebagai persiapan
dengan lekas, maka barang itu saya gambar dan susun pada tempat terpisah.
Kebetulan pula
sep-Jepang pada suatu hari terdesak oleh Jepang yang lebih tinggi pangkatnya,
yang baru datang dari Jakarta, menanyakan barang tadi. Ini kali saya melihat
sep-Jepang itu ketakutan! Dengan suara kecil dan keringatan dia datang dan
mendekati saya menanyakan tempat dan keadaan barang itu. Karena saya tahu,
bahwa dia sendiri tidak mengetahui nama barang itu maka saya bertanyakan nama
barang itu. Tentulah dia sendiri tidak dapat memberi jawab. Keringatnya semakin
keluar! Barulah saya ambil gambaran barang itu dan bertanyakan, apakah barang
itu yang dimaksudnya. Baru dia senyum, dan bernafas lega dan dengan suara yang
jauh lebih rendah daripada biasa, sekarang dia minta kepada saya menunjukkan
tempatnya barang-barang itu. Setelah saya bawa dia ke tempat yang saya pisahkan
itu, maka dengan langkah lebih tegap dia pergi kembali ke kantornya
mempersilahkan Jepang “sep dari sep-nya” itu melihat barang-barang yang
dimaksudnya itu. Semenjak itu sep Jepang mulai berlaku sedikit merendah
terhadap saya Hussein, pekerja gudang.
Jepang yang
lancang dan kurang ajar, yang masuk ke gudang, mengangkat dan memilih barang
yang “bagus” semau-maunya itu dengan “pengetahuan” bisa pula ditundukkan. Kalau
dia dengan langkah dan suara congkaknya bertanyakan ini atau itu, maka saya
dahului dengan pertanyaan: cap (merk) apa dan ukuran apa? Biasanya dia malu,
kalau dia sendiri sebagai “ahli” ini atau itu tidak bisa menjawab. Tetapi kalau
dia bisa menjawab dan dengan lekas pula kita bisa menunjukkan, yang
dimaksudnya, maka kelancangannya turun. Memangnya dalam hal inipun “pengetahuan
itu sudah kekuasaan”. Itulah memangnya guna pendaftaran itu bagi saya sendiri.
Berhubung dengan
pekerjaan yang berat dan sukar itu, maka tidaklah mengharapkan, kalau hari-hari
terjadi percekcokan antara kami pekerja Indonesia baru dengan yang baru,
diantara kami pekerja Indonesia baru dengan pegawai Indonesia gudang lama, dan
akhirnya diantara kami dengan sep-Jepang. Diantara kami tujuh orang baru,
selainnya daripada saya sebagai orang termasuk golongan baru, adalagi dua orang
tua yang lain-lain. Mereka banyak mempunyai pengalaman pada maskapai besar,
seperti BPM, Borsumy dll, pada kantor pos, di masa Hindia Belanda. Tetapi
mereka boleh dikatakan tidak sanggup bekerja di Gudang Bayah Kozan tadi. Mereka
yang sudah biasa bekerja dengan sistem yang pasti, pembagian kerja yang jelas
dan pekerjaan yang biasanya enteng, tak betah (tahan) kerja di gudang. Diantara
empat pemuda yang sama masuk dengan saya cuma satu orang yang benar tahan uji.
Yang lainnya minta berhenti, lari atau minta dipindahkan.
Setelah lebih
kurang enam bulan lamanya kami merangkak dalam gelap mencari paku, pahat dll
memanjat ke atas pagu mengumpulkan pipa karet, bor, pompa, kompas dan
lain-lain, mengukur panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut,
pahat, gergaji, dan bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mengukur
panjang, lebar dan tebalnya barang seperti paku, baut, pahat, gergaji dan
bermacam-macam barang-barang yang lain-lain, mendaftarkan barang itu, menerima
yang baru dan mengeluarkan yang lama, serta dua kali sebulan mengadakan
stockopname, maka selesailah pekerjaan kami. Tenaga yang muda yang kurang upah
dan pengalamannya sudah boleh dipakai sebagai ganti. Beberapa orang diantara
kami pada suatu hari dipindahkan ke kantor pusat. Tetapi tidak berapa lama
dibelakangnya, maka diantara kami tiga orang tua yang pindah ke kantor cuma
saya sendiri yang tinggal. Yang dua lagi diperhatikan. Diantara empat pemuda,
maka cuma seorang pula yang tetap terpakai di Bayah. Demikianlah akhirnya
sesudah lebih dari setengah tahun. Diantara tujuh orang yang masuk gudang cuma
seorang muda dan saya sendiri yang “betah” bekerja di Bayah.
Pekerjaan kantor
berlainan sifatnya dengan di gudang. Di kantor saya tidak lagi berurusan dengan
barang, tetapi dengan orang. Pekerjaan saya ialah mendaftarkan romusha yang
masuk dan keluar di Bayah Kozan setiap hari, dan mengadakan perhitungan
sisa-sisa tiap bulan. Saya sudah diberi meja tulis, mesin tulis, laci, lemari
dan kunci sendiri serta dua orang pemudi pembantu.
Sebenarnya semua
pekerjaan halal menarik hati saya. Saya rasa, saya mempunyai nafsu buat lekas
dan baik mengerjakannya. Dalam bekerja saya cuma tertarik oleh kehendak “lekas
beres”, dan baik beresnya. Rupanya menghitung banyaknya paku atau mengukur
lebarnya kepala pakupun tidak terkecuali! Yang saya ingini sedang bekerja itu
ialah supaya semua barang itu tersusun sampai baik dipandang mata, masing-masing
jenis pada tempatnya, bagus, rapi pula diatas kertas sehingga semuanya mudah
diperingati. Rupanya pada sejarah itu kita bekerjapun berlaku proses sebagai
berikut: Pada permulaan pekerjaan kita dipengaruhi keberesan. Pada akhirnya,
keberesanpun mempengaruhi pekerjaan kita. Tetapi dalam mengerjakan penerimaan
dan pengiriman romusha ada hal yang lain-lain yang sangat menarik hati saya.
Benar-benar disini keberesan itu memeluk semua perhatian saya.
Seperti diketahui,
maka pemerintah tentara Jepang, memerintahkan semua daerah Jawa mengirimkan
romusha kemana-mana di Indonesia dan luar Indonesia. Sebagian daripada romusha
itu diperintahkan untuk dikirimkan ke Bayah. Biasanya tuan Son-Co (ass. Wedana)
mendapat perintah menyiapkan sekian romusha buat dikirimkan ke Bayah pada
sekian waktu. Seperti pada semua hal yang lain-lain, dalam hal pengiriman
romusha pun, serdadu Jepang hanya tahu beres saja. Arang mesti dapat! Di Bayah
ada Tambang Arang! Buat menggali arang di Bayah itu mesti ada romusha dan mesti
lekas ada!!
Dalam hal tersebut
diatas, maka seseorang anggota pamong projo bisa mengambil salah satu daripada
beberapa sikap seperti di bawah ini:
1.
Dia bisa tolak perintah Jepang
itu.
2.
Dia bisa minta berhenti.
3.
Dia bisa menerima perintah itu
dan jalankan dengan jujur.
4.
Dia bisa menerima perintah itu
tetapi mensabotir perjalanannya.
Seseorang anggota
pamong projo, bukan anggota lagi, atau tidak akan adalagi sama sekali di dunia
fana ini kalau dia jalankan sikap No. 1, ialah tolak perintah Jepang. Mungkin
dia akan berada dalam penjara Jepang, atau di dalam kubur. Pun sikap No. 2
tidak mudah terjadi pula. Jepang mempunyai kekuasaan penuh buat menjalankan
perintah dengan halus atau memaksa dengan pedang samurainya seorang “saudara
muda” yang tidak mau “bekerja sama” dengan tentara Dai Nippon “untuk kemenangan
Asia Timur Raya”.
Memang ada
terdapat beberapa orang anggota pamong projo, yang menjalankan perintah mencari
romusha itu dengan jujur. Kalau ada anggota pamong projo yang jujur bekerja di
bawah telapak sepatu Belanda, kenapa tak ada yang jujur mencari kedudukan di
bawah telapak kaki serdadu Jepang? Bahkan ada diantara mereka, yang menambah
kejujurannya itu dengan persembahan anak gadisnya kepada anak dewa dari negara
Matahari terbit itu.
Sikap yang juga
diambil oleh anggota pangreh praja, dalam hal tersebut diatas, ialah sikap No.
4, terima perintah dan dijalankan dengan sabotase. Kalau Jepang meminta
umpamanya 300 orang, buat Bayah, dari salah satu daerah, pada tanggal sekian,
maka Son-Co disamping sebagian orang yang memang kuat, juga mengirimkan orang
dari desanya, yang dianggap tidak baik, seperti pencuri, penganggur dan
pengemis. Maksudnya cuma buat mengisi daftar nama 300 orang, buat dikirimkan
pada hari yang ditetapkan oleh Jepang.
Tetapi tidak saja
Jepang yang dikenali oleh Son-Co kita ini. buat memenuhi angka permintaan
Jepang pada waktu itu, maka dia terpaksa atau dengan sekehendak hatinya
melakukan tipu muslihat. Petani yang sedang mencangkul (umpamanya saja),
diperintahkan datang ke kecamatan buat berlatih. Disana truck sudah siap untuk
berangkat. Tetapi tidak lama di jalan barulah petani kita yang umpamanya buta
huruf itu, bertanya pada diri sendiri, atau kepada teman-teman, dimanakah
tempat latihan itu. Tentulah tidak seoranga pun tahu, kecuali pemimpin rombongan
(dan-co). Yang diketahui oleh kebanyakan penumpang cuma cangkul masih terlantar
di sawah, serta anak istri tidak diberitahukan lebih dahulu, bahwa mereka akan
disuruh “berlatih”. Setelah sampai di Jakarta atau Rangkas, barulah kebanyakan
mereka insyaf, bahwa mereka akan dipekerjakan di Bayah sebagai romusha.
Banyak yang putus
asa, sesudah tipu muslihat seperti salah satu contoh diatas, diketahui oleh
para penumpang. Mereka setelah merasa pasti akan dibawa ke Bayah, lari ketika
kereta berhenti di stasiun atau meloncat dari kereta yang sedang berjalan.
Kematian dan kerusakan badan, karena meloncat keluar kereta, ketika menuju ke
Bayah itu banyak yang dilemparkan kepada kami.
Selain daripada
mereka yang memang kuat, walaupun tertipu banyak pula penganggur atau pengemis
yang ikut memancing uang “saku” sebelum berangkat, ada pula yang ditipu oleh
Son-co buat mengisi daftar. Adapula yang menggantikan saudara ataupun bapaknya
yang sudah dicatatkan dalam daftar, tetapi keberatan berangkat. Semuanya ini
yang amat menyusahkan pekerjaan kami penerima romusha di Bayah. Bahwa diantara
kiriman yang 300 di atas kertas itu biasanya cuma 200 orang ataupun kurang yan
sampai di Bayah, setelah tiga atau empat hari di jalan. Perihal ini saja sudah
sangat menyusahkan penermaan di kantor kami. Daftar yang kami terima dari
daerah romusha, seperti Solo, Kediri dan lain-lain tentang nama, keluarga,
umur, pekerjaan, desa, kabupaten dan daerah romusha harus kami cocokkan dengan
romusha yang benar-benar kami terima. Kalau umpamanya 100 orang yang hilang,
maka hal ini saja berhubung dengan balasan surat kami kepada daerah yang
mengirimkan romusha itu dan berhubung dengan ongkos-ongkos di jalan sudah
memusingkan pemeriksaan. Apalagi kalau mesti mencocokkan nama romusha Senen
yang tertulis hitam diatas putih dengan romusha Rebo yang kita hadapi, sebagai
pengganti atau penyelundup dengan tidak setahunya membuat daftar di daerahnya,
maka pemeriksaan itu bisa banyak menghabiskan waktu. Kita berurusan dengan buta
huruf yang enggan, yang tertipu, yang ingin kembali ke desa dan memakai seribu
satu muslihat buat melepaskan diri dari ikatan sebagai romusha. Tetapi nama,
keluarga dan lain-lain itu harus diketahui! Karena ada romusha yang hilang di
jalan, maka tentulah kami sendiri tidak mau membiarkannya begitu saja. Buat
Jepang yang hilang itu adalah perkara kecil. Dia mudah mendapatkan
penggantinya. Buat kami perkara itu adalah perkara sakit sehatnya, hidup
matinya seorang dari rakyat, yang biasanya bodoh tidak tahu jalan. Kalau
hilang, kami mau tahu kemana hilangnya dan laporkan ke daerahnya, supaya diurus
keselamatannya. Kejelasan tentang nama, keluarga, desa, daerah dan lain-lain
itu perlu, karena pada ketika itu, juga atas anjuran kami orang Indonesia,
Bayah Kozan, mengirimkan sokongan yang tertentu kepada keluarganya romusha yang
bekerja pada Bayah Kozan. Pendeknya kami sendiri merasa berkewajiban menentukan
berapa romusha yang dikirim, berapa yang sampai, berapa yang hilang, siapa dan
dimana tempat dan siapa keluarganya yang sampai di Bayah atau hilang di jalan.
Setelah diketahui
berapa yang sampai di Bayah, berapa yang hilang, maka barulah diadakan
saringan. Yang tidak kuat, karena lemah atau mengandung penyakit segera
dikirimkan kembali ke desanya. Mereka ini dinamakan pekiran (afkeeren). Yang sampai di Bayah
dikurangi dengan pekiran itulah yang akan tinggal di Bayah Kozan, selama tiga
bulan. Kepada mereka akan diberi pekerjaan menurut kekuatan badan dan
pengalaman masing-masing. Yang tukang segera dipisahkan dengan yang bukan.
Tukang besi, kayu, batu dan lain-lain, akan dipekerjakan pada tempat yang
bersangkutan dengan ketukangannya dan mendapat pelayanan yang lebih baik
daripada temannya yang lain-lain. Sisa yang terakhir, ialah yang unskilled (bukan tukang) dibagi-bagi
pula, semata-mata menurut kekuatan badan. Biasanya mereka terbagi atas tiga
golongan, ialah yang kuat, lemah dan sedang. Yang kuat dipekerjakan di dalam
tambang dengan upah sampai F.1,- sehari dan beras 400 gram sehari. Yang lainnya
bekerja memotong kayu di hutan, mencangkul dan mengangkut dan lain-lain dengan
upah F. 0,40,- sehari dan beras 250 gram seorang sehari. Menurut pengalaman
saya, maka Kedirilah diantara semua daerah dipulau Jawa yang tinggi persentase,
tentang kekuatan dan kesehatan romusha.
Demikianlah
setelah saringan terakhir dijalankan, maka sisa dari yang tertulis diatas
daftar pengiriman dikurangi dengan yang lari, sakit dan pekiraan dan lain-lain
tidaklah berapa lagi banyaknya. Sisa bersih daripada yang datang dari Solo atau
Bojonegoro biasanya tidak lebih daripada 50%. Sering pula kurang daripada itu,
sehingga sangat memberatkan ongkos pengiriman pulang pergi. Kekecilan
persentase itu sebagiannya disebabkan oleh kemiskinan rakyat daerah itu, tetapi
mungkin juga menunjukkan akibat sabotase pamong praja atau akibat “siasat” yang
dilakukan oleh rakyat sebagai akibat dari semua faktor tersebut diatas.
Sebaliknya mungkin pula tingginya persentase Kediri, menunjukkan kekuatan badan
rakyat disana, dan ketaatan pamong praja di Kediri.
Apabila
pendaftaran sudah selesai, maka romusha yang akan dipekerjakan dipisahkan dari
yang akan dikirim pulang kembali. Yang akan dipekerjakan itu dibagi-bagi buat
dikirimkan di tiga cabang Bayah Kozan itu. pendaftaran mereka untuk
masing-masing cabang segera dilakukan dengan cepat. Begitu pula pendaftaran
mereka, yang akan dikembalikan ke desanya masing-masing. Truck-truck pengangkut
ke cabang, dan tempat tinggal, serta makanan mereka harus dipersiapkan lebih
dahulu. Sibuknya pekerjaan terjadi, kalau selainnya daripada menerima romusha, dari
daerah, pada hari itu pula harus dipulangkan ratusan romusha, yang sudah habis
perjanjiannya ke daerah masing-masing. Tidak jarang terjadi pada satu hari
terpaksa kami mengurus romusha pulang pergi yang tidak berapa kurangnya
daripada 1000 orang. Kalau dipikirkan pula betapa sempitnya semua “bangsal”
romusha yang ada di Bayah, betapa sulitnya mendapatkan makanan dimasa itu,
mengertilah pembaca bahwa pekerjaan kami membutuhkan waktu yang banyak sekali,
perhatian sepenuhnya kesemua jurusan, teristimewa pula ke jurusan kesosialan.
Sebelumnya saya mengerjakan pekerjaan menerima dan memulangkan romusha ini,
maka sudah dua tiga orang yang berhenti karena tidak sanggup menjalankannya.
Bagi diri saya
sendiri pekerjaan ini pula yang sekolah kesosialan yang selengkap-lengkapnya.
Sehari saja berurusan dengan seratus romusha dari salah satu daerah, kita sudah
bisa mendapatkan gambaran yang agak cocok dengan keadaan rakyat pada daerah
itu. Dipandang dari sudut politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Disini pula
kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa
Indonesia, yang menjadi korban militerisme Jepang dan korban persetujuan serta
proganda para pemimpin.
Bermula dengan
para dan co romusha, yang mendapat perhubungan dan kesempatan memberi nasehat
yang dirasa berguna untuk keselamatan romusha, berhubung dengan upah dan
kesehatan: “Jagalah supaya upah romusha yang sudah rendah itu semuanya sampai
ke tangannya! Janganlah romusha disuruh kerja lebih dari waktunya atau di
tempat yang tidak sehat atau berbahaya!” demikianlah biasanya bunyi nasehat
itu! Selalu dijelaskan pula, bahaya bagi seorang romusha, yang tidak mempunyai
uang sepeser di kantongnya, yang mencoba melarikan diri kembali ke desanya di
Jawa Tengah. Kebanyakan diantara mereka akan tidak sampai pulang, melainkan
sakit atau mati kelaparan di jalan. Ribuan romusha kurus kering bergelandangan
diantara Bayah dan Jawa Tengah, terdiri dari mereka yang mencoba melarikan diri
inilah. Selalu diusulkan, supaya pada dan co bersatu dengan yang dipimpinnya
dalam kesenangan, apalagi dalam kesusahan. Pula dimajukan, bahwa kalau tambang,
yang mau memegang romusha lebih daripada tiga bulan menurut perjanjian, maka
kami di pusat akan mengurusnya.
Pula dengan rumah
sakit, yang memeriksa kesehatan romusha, kami mendapat persetujuan, supaya
sebanyak-banyaknya di pikir, supaya boleh dengan segera dipulangkan. Begitu
pula dengan para pegawai cabangnya sendiri semangat melayani golongan terhisap
tertindas dengan sebaik-baiknya didapati persetujuan. Disamping itu, diusahakan
pula, supaya seboleh-bolehnya janganlah Jepang campur mengatur apa yang
berhubungan dengan keselamatan romusha dan kalau perlu serempak bertindak
melawan kekurangajaran dan keganasan Jepang. Pendeknya dari romusha sampai ke
pegawai yang paling tinggi saya berusaha mengadakan persatuan dan keinginan
tolong-menolong, menghadapi hisapan dan tindasan yang kejam dan keji dari
penjajah yang bersenjata lengkap.
Lapang terlalu
untuk kami buat langsung terbuka berpropaganda, apakah pula menganjurkan tindakan
yang radikal kepada kaum romusha tambang Bayah. Romusha dikehendaki oleh
tentara Jepang, disetujui dan dianjurkan, bahkan digembar-gemborkan oleh para
pemimpin, terutama Bung Karno sendiri dan dijalankan oleh para pemimpin,
terutama Bung Karno sendiri dan dijalanka oleh pamong praja. Kami
cumamenghadapi keadaan yang sudah ada saja, satu fait accompli saja. Kaum romusha terikat kepada perjanjian tiga
bulan kerja, dengan upah F. 0,40,- sehari dan beras pukul rata 250 gram sehari.
Keadaan pekerja “sukarela” dibelakang hari, yang terdiri dari Seinendan, tidak
berbeda dengan keadaan romusha biasa. Seinendan, yang datang dari Pekalongan
dan Kedu dengan pakaian besih, koper, bendera berkibar serta berbaris sambil
menyanyi, setelah perjanjian habis, ialah sebulan, maka pulangnya mereka,
dengan jumlah yang kurang dari ketika datangnya di Bayah, dengan baju
compang-camping, koper terjual, badan kurus kering dan sering dengan malaria,
borok atau dysentri. Berhubung dengan singkatnya waktu buat romusha untuk dipekerjakan,
yakni tiga bulan, bersangkutan pula dengan larangan Jepang mendirikan kumpulan
yang diluar yang resmi dan takutnya romusha dan rakyat dimasa itu kepada
Jepang, maka tidak dapat dipikirkan buat mendirikan Serikat Sekerja buat kaum
romusha itu. Apalagi Serikat Sekerja untuk Seinendan, yang datang buat satu
bulan saja dan bekerja denga “sukarela” pula. Diantara pegawai dan juru tulis
kantor dan para tukang bengkel, atau pekerja dibagian listrikpun masih belum
dapat didirikan Serikat Sekerja. Bukan saja larangan Jepang dan penjagaannya
keras sekali, tetapi diantara pegawai dan tukang banyak pula orang terdapat
yang tertipu oleh propaganda Jepang dan para “pemimpin” resmi. Pada permulaan
saya diam di Bayah, banyak sekali diantara pegawai Indonesia yang lebih
pro-Jepang daripada Jepangnya sendiri. Usaha membuat kumpulan rahasia di masa
Jepang berarti menentang bahaya maut.
Tetapi semuanya
ini tidak berarti, bahwa kita harus berpangku tangan saja. Cuma caranya menjalankan propaganda rahasia berlainan
dengan keadaan semacam itu! Walaupun organisasi resmi yang formal tidak boleh
didirkan, tetapi “semangat” revolusioner boleh digembleng dan dikoordinir dan
kalau waktunya datang, maka semangat yang sudah siap tergembleng dan
dikoordinir itu dengan segera dapat menggerakkan ribuan pegawai, tukang dan
romusha di Bayah Kozan itu. Persiapan kesana tidak cukup diadakan dengan
bisikan atau kritikan dalam gelap saja, tetapi terutama dengan mengadakan
perhubungan dari hari ke hari dengan Murba di Bayah, ialah kaum buruh, petani
dan pegawai. Perhubungan yang sejitu-jitunya ialah usaha yang jujur dan terus
menerus, melayani kepentingan Murba di bayah dengan tidak mengenal payah, putus
asa, jemu dan takut akan konsekuensinya pekerjaan yang cuma dapat kita
pertanggungjawabkan kepada masyarakat dan diri sendiri. Kepercayaan yang
diperoleh dari Murba itu, adalah ibarat listrik yang terpendam yang kalau
saatnya sampai dengan menekan knop saja, bisa membangunkan kekuatan yang nyata.
Berapapun sempitnya lapang bekerja di bawah himpitan militerisme Jepang, tetapi
masih cukup bahan dan kemungkinan untuk mengadakan bahan peledak dibawah
himpitan itu!
Agak berpihak
(one-sided) penjelasan yang saya berikan tentang Jepang selama ini. Terpaksa
begitu, karena saya memandang dari sudut Kemerdekaan Indonesia terhadap
militerisme Jepang. Tetapi tentulah sudah dimengerti oleh pembaca yang
bijaksana, bahwa militerisme Jepang tidak sama dengan rakyat Jepang. Rakyat
Jepang terdiri dari bermacam-macam golongan dan menganut berbagai aliran
politik. Di Jepangpun tiada sedikit rakyat, terutama diantara buruh, tani dan
intellegensia rendahan, yang terbuka atau tertutup menentang militerisme,
kapitalisme dan imperialisme Jepang. Tentulah banyak pula diantara buruh, tani,
intellegensia Jepang di negeri Jepang itu yang sepaham dengan sebagian buruh,
tani dan intellegensia Indonesia.
Dalam masyarakat Jepang yang kecil di Bayah
Kozan itu tidak seluruhnya terbayang masyarakat Jepang umumnya. Tetapi sebagian
kecil terbayang juga! Di bayah Kozan kita tidak mempunyai ular politik dan
diplomasi seperti Simizu, Miyosi dan lain-lain, ataupun singa perang seperti
Jenderal Imamura. Bayah Kozan bukanlah suatu instansi (tingkat) pemerintahan
ataupun kemiliteran Jepang. Bayah Kozan cuma satu perusahaan arang swasta yang
diawasi oleh Pemerintah Militer Jepang. Seperti dimana ada organisasi penting
lainnya bagi tentara Jepang, begitu pula pada perusahaan penting, seperti
ditambang arang ini Jepang menanam kempe-tai dengan kempei-ho pembantunya. Si
Kempetai tentu menjaga supaya jangan terjadi sabotase ataupun pemogokan dalam
perusahaan arang ini. tetapi selainnya dari seorang kempei dan dan seorang
sidokang, pemimpin PETA, maka orang Jepang yang lain-lain adalah pemimpin
perusahaan teknik dan dagang. Memang mereka umumnya pencinta negaranya, tetapi
mereka umumnya warga negara Jepang biasa saja.
Pemimpin umum
(So-moo) di pusat administrasi, ialah di Bayah Kota, adalah seorang ahli hukum
yang muda. Mungkin pahamnya lebih kiri daripada paham liberal. Dikatakannya
pada suatu hari kepada kami, bahwa ahli sejarah di Jepang ada bermacam-macam:
“Ada ahli sejarah feodal, ahli sejarah liberal, ahli sejarah sosialistis,
bahkan ada pula ahli sejarah yang berpaham komunistis”. Dengan tidak memberi
kepastian sedikitpun, bahwa dia seorang radikal, tetapi dari perkataannya tadi
sudah dapat dipahami bahwa dia sedikitnya mempunyai pandangan yang luas.
Tingkah lakunya-pun menunjukkan keliberalannya. Dia mau diajak menonton
sandiwara yang kami atur sendiri berjam-jam lamanya, meskipun dia sedikit saja
mengerti.
Permintaan uang
ribuah rupiah untuk sport, musik dan sandiwara, wayang dan lain-lain, buat
menghibur pegawai dan romusha, makan dan sekedarnya pakaian buat penjamu dan
pembantu romusha tak pernah ditolaknya.
Pengurus bagian
pekerja dan romusha, bagian Romu, adalah seorang yang pula dengan perkataan dan
perbuatan menunjukkan hati lapang dan pri kemanusiaan. Dia bukan keluaran
sekolah tinggi dan pangkatnya dalam ketentaraan cuma kapten saja. Tak pernah
dia ketinggalan menjemput romusha yang baru datang dari daerah atau
mengantarkan romusha yang hendak pulang, walaupun dihari hujan. Jam empat pagi
dia sudah ada di stasiun untuk mengantarkan romusha yang pulang, memberikan
obat-obatan dan menjemur romusha. Kalau ada diantara romusha yang memang tidak
berpakaian lagi, maka dengan tidak menunggu lagi dia memberikan kain sedapatnya
kepunyaannya sendiri kepada romusha itu. Tingkah laku semacam ini jarang sekali
terdapat diantara orang Jepang yang lain-lain di Bayah. Memangnya Jepang inipun
membela kepentingan negaranya, tetapi tidak dengan cara yang menambah remuk
rusaknya kaum romusha, yang tiada berdaya itu!
Tetapi jarang
orang yang baik terdapat diantara Jepang yang bekerja pada cabang Bayah Kozan.
Kebanyakan pemabuk, penampar dan pemelihara pelayan. Pernah mereka membuat
huru-hara ke kantor pusat di Bayah, tetapi segera kami layani dengan cepat. Di
belakang hari kami berusaha membasmi semua keterlaluan itu di cabang itu
sendiri. Memang karena gara-garanya Jepang dari cabang itu satu dua kali hampir
terjadi perkelahian antara pegawai Indonesia dengan semua sep Jepang dari semua
bagian di kantor bagian di kantor pusat sendiri. Tetapi untunglah perkelahian
itu dapat diundurkan, dapat diselesaikan dengan pembicaraan saja. Dan bentrokan
itu menambah jernihnya suasana dan mempertinggi penghargaan orang Jepang di
kantor pusat terhadap orang Indonesia.
Seperti di gudang,
maka kantor pusatpun memang ada perselisihan paham antara sep-Jepang dengan
saya. Tetapi tidak mengenai pekerjaan. Dalam pekerjaan saya jaga supaya si
Jepang jangan mendapat alasan buat, mengkritik pekerjaan saya. Memangnya pula
tak pernah terjadi. Dia membiarkan saya memakai sistem saya sendiri, malah
selalu betanya sistem apa yang baik buat sesuatu pekerjaan.
Dalam suasana saya
merasa sudah mendapatkan sedikit penghargaan sebagai pekerja dan persahabatan
yang lebih rapat antara saya dengan para pegawai, pemuda dan pekerja Bayah
umumnya, maka barulah saya rasa datang waktunya buat melangkahkan kaki lebih
lanjut lagi. Pada suatu malam hiburan dan jadangkai rapat sambil mengomong
untuk semuanya kantor, baik Jepang ataupun Indonesia, maka oleh pengurus Jepang
ditanyakan kepada kami apakah yang kami rasakan sesuatu kekurangan.
Sesudah pegawai
lama mengeluarkan pendapat masing-masing, maka sayapun tampil memajukan
pemandangan saya. Tentu berlainan dengan pembicara yang sudah tidak memajukan
nasib kami para pegawai sendiri. Memang gaji pegawai belum mencukupi buat diri
sendiri dan keluarga (kebanyakan diantara F. 30,- dan F. 80,- sebulan dan satu
dua orang F. 125,- dan F. 150,- sebulan), tetapi kalau dibandingkan dengan gaji
romusha yang F 0,40,- sehari itu dengan kerja berat seperti kuda beban, maka
perbandingan itu amat mencolok mata. Bagi seseorang “pecinta bangsa” perihal
ini mestinya menggarut perasaan hati. Apalagi, kalau dipikirkan sandang dan
pangan serta kesehatan para romusha. Angka kematian romusha sebulan pada masa
itu berkisar antara 400 sampai 500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha.
Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah belum lagi
masuk hitungan.
Keadaan yang
selalu menganggu perasaan hati saya itulah yang saya bentangkan pada malam itu.
Saya kemukakan bahwa semua pelarian, penyakit bahkan kematian sebanyak itu bisa
dihindarkan, kalau keperluan hidup romusha diperbaiki, maka tidak ada yang
perlu Bayah Kozan mencari romusha, melainkan sebaliknya kaum buruh dari
mana-mana akan datang dengan sendirinya mencari Bayah Kozan. Sebaliknya pula
jika kaum tani yang kuat akan datang ke Bayah terus menerus, tetapi setelah
tiga bulan bekerja di Bayah mereka kembali ke desanya dengan penyakit borok,
dysentri dan malaria atau tidak akan kembali, karena sudah mati di Bayah atau
di jalan, maka sesudah beberapa tahun saja Indonesia akan kehilangan tenaga,
ialah harta nasional Indonesia yang tidak bisa ditaksir nilainya dengan uang.
Dan Bayah akan terus menjadi momok buat rakyat Indonesia. Saya anjurkan supaya
Bayah Kozan memperbaiki nasib kaum romusha seluruhnya sebelum terlambat. Saya
sudahi pidato saya dengan perkataan “
Prevention is better than cure” (menolak penyakit itu lebih baik daripada
mengobati).
Orang Jepang
pengurus bagian umum (So-moo) dan pengurus bagian pekerja (Romu) rupanya
memberikan perhatian penuh pada pidato saya. Pengurus So moo orang Indonesia,
yang menerima saya di Jakartalah yang memberi sambutan dan melahirkan
persetujuan. Kemudian tampillah seorang pemuda dari Jawa Tengah, yang juga
menyatakan persetujuannya. Pemuda inilah yang dikemudian hari menjadi salah
seorang pembantu yang paling rajin.
Semenjak itu saya
merasa benar-benar perbedaan penghargaan para pegawai terhadap saya. Pada
permulaan bekerja, gaji kami dua-tiga orang, yang pokoknya dimulai dengan
F.60,-sebulan itu menyebabkan amarahnya beberapa pegawai lama dan menyebabkan
meminta berhentinya dua orang pegawai lama. Sebenarnya mereka masih muda,
tetapi merasa lebih cakap dan berjasa daripada kami yang baru datang. Mereka
merasa dilangkahi oleh pengurus Bayah Kozan. Mereka merasa dilangkahi oleh
pengurus Bayah Kozan. Mereka sudah bekerja di Bayah Kozan semenjak berdirinya,
ialah ketika kantor dan rumah pegawai-pegawai masih diselimuti semak belukar.
Mereka tamat MULO pula, sedangkan saya cuma keluaran kelas 2 MULO saja.
Walaupun begitu cuma mendapat gaji masing-masing F. 45,- sampai F. 50,- saja
sebulan. Perbedaan gaji sering dikemukakan di depan saya, bahkan pernah saya
dihina karena gaji besar itu. tetapi sesudah saya memajukan nasib romusha dan
menganjurkan perbaikan yang radikal dalam dalam rapat sambil duduk tadi, maka
“gaji besar” saya tadi tak pernah disebut-sebut oleh para pegawai kantor pusat
lagi. Bahkan seperti sudah saya sebutkan diatas oleh salah seorang pegawai
Indonesia keluaran MULO, saya atas kemauannya sendiri dalam surat keterangan
tentangan saya dinaikkan satu kelas dari kelas 2 ke kelas 3 MULO.
Di sekitar saya
sudah terdapat beberapa orang pemuda yang cerdas dan jujur dan sudah insyaf
akan kewajiban mereka ialah menaruh perhatian dan memberikan bantuan
lahir-batin sepenuhnya kepada para romusha. Mereka berasal dari berbagai daerah
Indonesia, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Tidaklah perlu dan tidak baik
saya sembunyikan disini, bahwa walaupun “teori” kebangsaan sudah sekian lama
didengung-dengungkan oleh para pemimpin nasionalis, tetapi provinsialisme masih
amat mendalam di masyarakat Bayah seperti juga pada lain tempat di masa itu.
Tetapi dalam keadaan hidup yang sama, menghadapi militerisme Jepang bersama
pula, timbullah pula kebangsaan yang diikat oleh keperluan bersama ialah saling
menghindarkan perbedaan tak berharga. Saya mendapat kesempatan untuk mengupas
kekuatan perangnya Jepang, menunjukkan kebohongan surat kabar Indonesia yang
dikendalikan oleh Jepang, kebohongan dan akibatnya “kerja sama” antara Jepang
dan Indonesia. Disamping kamilah nyata terlihat salah satu dari akibatnya
anjuran dan kemahiran pidato Bung Karno yang masyhur yang berbunyi “Setetes keringat romusha adalah racun bagi
Sekutu”.
Golongan kami
semakin besar dan kuat, apalagi tuan pengurus umum, orang Indonesia yang
menjadi ketua Badan Pembantu keluarga tentara PETA, ringkasnya B.P.P bepergian
itu sebulan-dua bulan lamanya. Selama bepergian itu tuan ketua B.P.P menunjuk
saya sebagai wakil ketua. Angkatan itu tentulah bersifat resmi dan harus
disetujui oleh Bayah Kozan dan Son-co. Angkatan itu memperluas daerah pekerjaan
saya dan memperbesar golongan kami. Tidak saja saya dengan tak mendapat
gangguan dan kecurigaan kempei-tai dan kempei-ho bisa mengadakan perhubungan
dan permusyawaratan dengan para pengurus B.P.P disemua cabang Bayah Kozan,
tetapi pula perhubungan dan permusyawaratan di semua desa di sekitar Bayah
Kozan ialah tempat tinggalnya keluarga PETA (Prajurit Pembela Tanah Air) dan
Heiho. Akhirnya dan tiada kurang pentingnya saya dapat dengan leluasa
mengadakan perhubungan dengan tentara PETA sendiri. Kesempatan buat berhubungan
dengan para pemuda di seluruh Bayah Kozan buat dibangunkan membantu dengan uang
dan tenaga tentara PETA, yang dimasa itu adalah harapan bangsa, kesempatan
perhubungan dengan “resmi” dengan semua desa di sekitarnya Bayah dan dengan
para opsir dan prajurit PETA yang ditempatkan di Bayah, Malimping dan lain-lain
saya pergunakan denga sepenuhnya. Dengan mengerahkan anggota B.P.P tidak saja
didapat kesempatan untuk merapatkan para pemuda seluruhnya Bayah Kozan, tetapi
juga merapatkan mereka dengan rakyat dan tentara PETA dan Hei-Ho.
Tak ada tempat
yang terluang yang tidak kami pergunakan, Hari Ahad dan liburan kami pakai buat
memberikan uang atau pakaian kepada keluarga prajurit di desa-desa. Hujan
panas, lelah letih tidaklah menjadi halangan buat para pemuda buat menyeberangi
sungai dan mendaki gunung mengunjungi desa Penggarangan, Cimancak, Cikotok, dan
lain-lain. Berangkat pagi jam 4 barulah sore atau malam kami kembali ke rumah.
Tetapi jerih payah itu dibalas dengan hasil yang nyata, ialah keinsyafan atas
tertanamnya semangat tolong menolong diantara sama awak.
Kas kami termasyhur kaya! Kas saya mendapat
gelar kas-berjalan, karena seseorang keluarga PETA, yang ingin kelain tempat,
atau terlantar atau kematian dengan tidak banyak formality, upacara, di jalan
rayapun segera diberi bantuan. Yang perlu diketahui ialah benar tidaknya
kesukarannya dan betul atau tidak orangnya. Pembagian sarung umpamanya ialah
pembagian yang diselenggarakan oleh ranting Mallimping, buat Bayah (anak
ranting) pembagian yang mewajibkan keluarganya PETA dan HEIHO membayar F.20,-
buat sehelai, kami putuskan saja dengan hadiah kepada keluarga itu. Orang desa
di daerah Bayah tidaklah sanggup membayar harga yang F.20,- itu, meskipun
sebenarnya sudah 15-20 kali dimurahkan harganya. Kain sarung memangnya
dibutuhkan penduduk, apalagi oleh keluarga PETA HEIHO yang kebanyakan di
sekitar Bayah bukan keluarga orang kaya. Kita terpaksa memilih atau kain itu
dihadiahkan saja atau dikembalikan saja ke Malimping. Para pemuda dan pegawai
tidak keberatan memberi bantuan berupa uang, ataupun tenaga kepada PETA dan
keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke asrama
PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang dikirimkan ke
asrama PETA dan keluarganya. Biasanya sekali dua minggu ada makanan yang
dikirimkan ke asrama PETA dan sekurangnya sekali sebulan kami memberikan
penghiburan berupa sandiwara atau pertandingan sepakbola kepada mereka. Para
pekerja tua muda tak pernah keberatan mengeluarkan uang dan mencurahkan tenaga
buat menunjukkan perhatian dan penghargaan kepada prajurit sukarela.
Perhubungan saya sendiri dengan para opsir PETA yang berada di Bayah dan
Malimping, pada ketika hampir menyerahnya Jepang amat rapat sekali. Diantara
beberapa opsir dan saya, tak ada lagi rahasia tentang keadaan politik dan
kemiliteran. Chu-dan co, kepala kompi PETA, yang berkedudukan di Bayah selalu
memanggil saya kalau dia mendapatkan kabar yang penting.
Pada suatu hari
kami di Bayah menerima kabar yang sangat menggembirakan. Kami dihormati dengan
kunjungan yang luar biasa oleh para pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta.
Hati pada pegawai berdebar-debar menunggu-nunggu hari yang mulia menggembirakan
itu. Semua pegawai dari semua cabang Bayah Kozan, Jepang dan Indonesia
bersiap-siap menantikan para tamu agung.
Sayapun, Ilyas
Hussein yang dari pekerja gudang sudah naik menjadi pengurus pulang perginya
romusha antara Bayah dengan desanya, wakil ketua dari Badan Pembantu Keluarga
Prajurit Sukarela, di Bayah, anak ranting, mendapat kehormatan pula, sebagai
limpahnya kehormatan yang diperoleh kota Bayah, karena para pemimpin besar
bermurah hati datang mencemar-cemarkan kaki ke kota romusha itu. Oleh para
pegawai saya diserahi kewajiban bersama dengan duat tiga pegawai lainnya
menerima para tamu agung ini di pintu gerbang dan mengiringkan beliau-beliau
ini ke tempat pertemuan. Selain daripada itu saya menerima kebahagiaan pula,
ialah menghidangkan kue dan minuman kepada para pemimpin besar yang tercinta
itu.
Alangkah besanya
pula hati saya, melihat keiskhlasan hati salah seorang teman, yang berseri-seri
wajahnya, ketika meminjamkan sehelai kemeja dan dasi kepada saya, pakaian mana
yang perlu dan pantas saya pakai untuk berhadapan muka dengan para pemimpin
besar. Saya sendiri sudah lama memakai pakaian potongan dan tambalan, tak
sanggup lagi mengeluarkan pakaian yang bagus-bagus dari tempat simpanan.
Setelah beberapa
lamanya kami bersiap menanti di pintu kantor pertemuan, maka sekonyong-konyong
terdengarlah seruan bersiap diantara pekik “Hidup Bung Karno” dan “Hindup Bung
Hatta”. Tidak berapa lama antaranya maka kedua pemimpin Besar melalui barisan
kami para penerima tamu dan langsung duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Pidato Bung Karno,
Cuo Sangi-In no Gico dan Bung Hatta, Fuku Gico tidaklah perlu lagi saya
tuliskan disini. Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang
diucapkan di rapat raksasa dan radio, serta ditulis dengan huruf raksasa pula
dalam surat-surat kabar. Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang
penjajah: “Kita mesti berbakti dulu
kepada Jepang, “saudara tua”, yang sekarang berperang mati-matian menentang
Sekutu yang jahanam itu (cocok dengan “Amerika kita setrika dan Inggris
kita linggis”!). Setelah Sekutu kalah, maka kita oleh “saudara tua” akan diberi
kemerdekaan (cocok pula dengan isi Panca Dharma: “Sehidup semati dengan Jepang
sebelum dan sesudahnya perang Asia Timur Raya”). Kewajiban kami, pekerja Bayah
Kozan menurut Bung Karno, ialah memberi bantuan sepenuhnya untuk mendapatkan
kemenangan akhir! Kewajiban itu berarti mempertinggi hasil arang.
Sehabisnya Bung
Karno dan Bung Hatta berpidato, maka tuan Sukarjo Wiryopranoto mempersilahakan
hadirin mengemukakan pertanyaan. Hadirin tidak diizinkan berpendapat. Jadinya
sistem Jepang dengan Cuo Sangi-In-nya terbawa pula ke Bayah kota Romusha.
Saya sedang
memilih kue yang enak dan minuman yang lebih lezat untuk para tamu Agung.
Ketika beberapa hadirin bertanya dan mendapat jawaban yang dilucukan, sering
juga jawaban ejekan dari tuan Sukarjo. Kepada tuan Son-co Bayah umpamanya diusulkan, supaya dia sekali lagi menghadiri
“kursus Pamong Projo” (Pangreh Praja namanya dimasa itu!).
Tergesa-gesa saya
meletakkan talam kue dan minuman dan dari tempat yang paling belakang sekali saya
meminta bertanya: “Kalau tidak salah, bahwa kemenangan berakhir dahulu dan
dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Artinya itu kemenangan terakhir
dahulu dan dibelakangnya baru Kemerdekaan Indonesia”. Tanya saya: “Apakah tidak
lebih tepat, bahwa Kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin kemenangan
terakhir?”
Sebagai satu automaton (perkakas yang bergerak
sendiri), maka tuan Sukarjo segera duduk. Bung Karno, sebagai telah
dimufakatkan lebih dahulu segera berdiri. Dengan sikap tak begitu memperdulikan,
maka Bung Karno memberi penjelasan lebih lanjut, bahwa kalau kita diberi
kemerdekaan sekarang, kita kelak toh akan terpaksa juga memperjuangkan
kemerdekaan itu. Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya
jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita.
Demikianlah isi jawaban Bung Karno!
Dengan tidak
menunggu izin ketua rapat lagi saya segera memberi jawaban. Keringkasannya
jawaban itu, ialah: bahwa saya juga insyaf benar akan perlunya memperjuangkan
kemerdekaan itu pun, kalau diberikan sekarang kepada kita. Tetapi kita akan
memperjuangkan dengan lebih bersemangat, karena kita tidak akan memperjuangkan
kemerdekaan yang dijanjikan, melainkan memperjuangkan kemerdekaan yang sudah
ada di tangan kita, yang sudah dirasakan.
Sebenarnya saya
menyerobot berpidato terus dengan memberi dua contoh. Contoh yang pertama,
ialah seorang gembala pengecut pada sebuah desa, yang dibelakangnya masyhur
sebagai pemberani, karena ia dengan
sebuah parang saja menyerang macam disarangnya dan membunuh macam itu.
keberaniannya itu timbul sesudah Raja Hutan tadi menerkam kerbaunya. Ketakutan
bertukar menjadi keberanian, sebab membela hak yang nyata, yang ada di tangan.
Contoh yang kedua menunjukkan sikap yang sebaliknya. Gibbon dalam sejarah
“Jatuhnya Kerajaan Romawi” menunjukkan, bahwa sebab jatuhnya Kerajaan Romawi,
yang terpenting ialah karena kaum pekerja dalam masyarakat Romawi sebagian
besar terdiri dari budak belian. Mereka tak peduli sama sekali sama ternak,
perkakas dan pekerjaannya, sehingga produksi merosot ke bawah. Dengan
merosotnya produksi, maka merosot pula pertahanan negara.
Daripada dua
contoh tersebut saya mengambil kesimpulan, bahwa semangat membela naik dengan
adanya hak nyata itu di tangan kita manusia. Dengan adanya hak kemerdekaan di
tangan kita, maka kita akan berjuang mati-matian membela hak itu. Sumbangan
kita melawan imperialisme Sekutu, sambil membela kemerdekaan kita itu akan
memperkuat jaminan untuk kemenangan terakhir. Itulah saya maksudkan dengan
pertanyaan diatas yang berbunyi: “Apakah tidak lebih tepat bahwa Kemerdekaan
Indonesia kelak yang lebih menjamin Kemenangan Terakhir??”
Tepat dengan
berhentinya saya berpidato, Bung Karno berdiri pula! Beliau mengules-ngules
lengan baju, merapikan pakaian, sambil memandang kri-kanan seolah-olah hendak
menunjukkan kepada hadirin, bahwa tidak pantas Bayah, kota romusha (terkenal
sebagai Kota Nyamuk Malaria kata tuan Sukarjo) membantah pahamnya Banteng Besar
Indonesia. Sedang puluhan ribuan khalayak pada sembarangan rapat raksasa di
pulau Jawa ini cuma tahu menyambut pidato Bung Karno yang “berapi-api” dengan
tepuk sorak yang gemuruh saja. Bung Karno sekarang mengeluarkan suara yang
menggetarkan kota kecil di Bayah dan pula mengakhiri pidatonya dengan
kesimpulan yang saya dan beberapa pegawai lainnya menganggap amat penting,
ialah: Kalau Dai Nippon sekarang juga
memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (ialah Sukarno!) tidak akan
terima.”
Saya siap kembali hendak melanjutkan perdebatan. Saya
hendak mengkritik kesimpulan tersebut diatas dan ucapan Bung Karno yang
lain-lain. Tuan Son-co pun yang selama ini seolah-olah lena kena ejekan tuan
Sukarjo, minta berbicara pula. Tetapi apa yang sudah saya nanti-nanti selama
ini sekarang terjadi. Seorang Indonesia, yang begitu mahir bahasa Jepang,
sehingga bahasa Indonesia sendiri di-Jepangkannya, ialah pembantu Jepang di
Bayah Kozan dan berlaku sebagai pengawas terhadap para pegawai Indonesia, yang
pada tiap-tiap “jadangkai”
menghalang-halangi saya, sekarang merasa sampai saatnya untuk memutuskan: “Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan
Hussein berbicara”.
Yang penting buat
saya pada waktu itu ialah politiknya Bung Karno sudah lebih jelas buat para
pemuda dan pegawai Bayah Kozan. Ketika besok harinya Bung Karno berseru diantara
diantara romusha tambang di Gunung Madur, cabang Bayah Kozan yang terbesar,
mengatakan, bahwa “Bung Karno sendiri juga “sama” dengan saudara romusha yang
hadir” maka diantara kaum romusha yang spontan terdengar perkataan: “Tetapi kami orang yang sudah remuk rusak”.
Kalau memangnya
“setetes” ataupun 1001 tetes saja keringat romusha yang mengalir sebagai
“racun” buat Sekutu itu, tidaklah peristiwa semacam itu berarti sama sekali.
Tetapi kalau sampai 80%, kalau tidak lebih, yang mati, hilang atau rusak sama
sekali, diantara 15.000 romusha yang tinggal kerja di Bayah Kozan,
diperhubungkan dengan perhitungan yang sederhana, bahwa lebih kurang lima puluh
ribu setahun yang ulang pergi antara beberapa daerah dan Bayah, maka angka ini
sudah tiga tahun harus mengambil banyak perhatian kita. Kalau perihal ini
diluaskan menjadi peristiwa romusha buat seluruhnya Indonesia yang dipekerjakan
di Asia Tenggara untuk membuat jalan, benteng pertahanan dan lapangan terbang
Jepang, maka kehilangan romusha yang ditaksir 3-4 juta banyaknya itu selama
pendudukan Jepang tidak lagi berarti bencana daerah, melainkan sudah bencana
nasional, lebih dahsyat dan lebih jauh akibatnya daripada letusan sebuah
gunung. Apalagi kalau perampasan jiwa dan tenaga romusha itu diperhitungkan
pula dengan kemusnahan para prajurit Heiho di Papua, Kalimantan, Birma atau
dimana saja Jepang kelak hendak merampas tanah, harta benda dan gadis bangsa
lain serta diperhubungkan pula dengan kekurangan makanan penting karena
rampokan Jepang dari hari ke hari. Dalam beberapa keturunan saja kemusnahan
tenaga kuat itu akan mengancam adanya bangsa Indonesia di muka bumi ini. Pidato
Bung Karno yang mahir dan berapi-api tentang pemakaian romusha, pengumpulan
padi, pengumpulan emas-intan dan persetujuan Bung Karno dengan perantaraan
Hokokainya yang menyetujui dan membantu pengerahan wanita dan “pemudi”
Indonesia disemua “lapangan pembelaan” cuma akan mempercepat demoralisasi atau
kemusnahan orang Indonesia sebagai bangsa.
Belum kita insyaf
akan kerusakan romusha, kalau belum pernah kita pergi mengantarkan romusha ke
daerahnya masing-masing adalah pekerjaan yang dperebutkan oleh para pegawai.
Buat siapa saja mengantarkan romusha berarti “beristirahat” dengan ongkosnya
Bayah-Kozan. Walaupun pergi ke salah satu daerah itu biasanya memakan
tiga-empat hari saja, tetapi pulang pergi saja sudah berarti seminggu lebih.
Dan dengan 1001 alasan lain, seperti kurang “enak badan”, “ketinggalan kereta”,
“tergelincir dari kulit pisang” dan lain sebagainya, maka istirahat yang 10
hari yang dianggap normal itu bisa diperpanjang menjadi dua minggu, bahkan
sebulan. Semua ongkos perjalanan, penginapan, ongkos “luar biasa” dan lain-lain
pula ditanggung oleh Bayah Kozan, dengan “uang” kertas Jepang, yang tidak
pernah usang jatuh ke tangan para pegawai. Istirahat itu sebenarnya perlu buat
para pegawai Bayah, karena hari liburan, lebih dari satu-dua hari belum saya
kenal. Buat saya mengantarkan romusha atau lebih tepat, beristirahat untuk
mengunjungi keluarga memang tidak pada tempatnya. Saya tidak punya seorangpun
anggota keluarga di Jawa. Tetapi besar artinya mengantarkan romusha itu buat
siapa saja, kalau dipandang dari sudut kesosialan dan pengalaman. Simpati
terhadap romusha itu sudah umum meresap di hati sanubari pegawai dan pemuda di
Bayah. Kebanyakan pengantar mengerti, bahwa mereka harus mengawasi para romusha
dari stasiun ke stasiun supaya jangan keluar kereta dan ketinggalan, hal mana
acap kali terjadi. Para romusha ingin membeli ini atau itu, ingin membuang air
tidak memperdulikan lonceng kereta. Mereka buta huruf, banyak yang tidak
mengerti bahasa Sunda atau Indonesia. Sekali ketinggalan maka bahayalah yang
dihadapi oleh mereka. Maka buat betul-betul mengetahui keadaan romusha yang
sesungguhnya di perjalanan, haruslah seorang pegawai mempunyai pengalaman
mengantarkan sampai ke daerahnya, adalah salah satu usul dari pegawai Bayah
Kozan juga, yang terbit dari perasaan tanggung jawab terhadap Nusa dan Bangsa.
Sebab pada suatu
hari memangnya kekurangan pengantar, maka oleh pengurus Bayah Kozan, saya
diminta mengantarkan romusha ke Jawa Tengah. Saya ambil kesempatan ini buat
mendapatkan pengalaman dan buat istirahat, yakni mengelilingi beberapa daerah
di Jawa Barat dan Tengah. Yang dibelakang inilah yang sangat saya harapkan pula
setelah beberapa lama.
Tidaklah dapat
dituliskan pada satu dua halaman saja kesusahan mengantarkan romusha bagi
seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab dan perikemanusiaan. Penyakit borok
Bayah yang kecil pada waktu berangkat dan dalam sehari perjalanan saja sudah
meluas dan mendalam susah sekali dikendali. Biasanya romusha yang mempunyai
surihan (garis) kecil saja waktu diperiksa diizinkan saja oleh dokter berangkat
ke daerahnya. Surihan kecil itu besoknya sudah menjadi besar dan busuk. Romusha
yang mengandung penyakit malaria ataupun dysentri, tidak suka mengatakannya
kepada dokter dan berusaha menyembunyikannya supaya boleh dipulangkannya.
Penyakit itulah yang menimbulkan bermacam-macam kesusahan bagi pengantarnya.
Urusan makanan
pada tempat penginapan yang disediakan oleh Bayah Kozan buat para romusha
seperti di Rangkas dan Jakarta tidak selalu memberi kepuasan. Biasanya romusha
yang sudah lapar itu terpaksa menunggu makanan sampai jauh malam dan terpaksa
mengambil tempat tidur dimana saja, atau sama sekali tidak tidur. Pagi benar,
jam 4, mereka sudah dibangunkan buat berangkat terus. Di kereta tempat tidak
selalu sedia, gerobak harus istimewa buat romusha saja. Penumpang biasanya akan
lari meninggalkan tempatnya di kelas 2 atau 3 kalau seorang saja romusha yang
sesat masuk. Apalagi kalau yang masuk itu borokan pula.
Kebetulan pula
ketika pertama kali saya mengantarkan romusha, maka antara Bayah dan Jakarta
terjadi kemalangan yang menyedihkan! Dua orang romusha meninggal berturut-turut
di Rangkas dan Warung Panjang. Nama, keluarga dan desa mereka tidak terdapat
dalam daftar yang saya bawa. Sep stasiun di Rangkas meminta saya memberikan
keterangan yang jelas tentang mayat itu (nama, keluarga, desa dll), katanya
supaya dia bisa menanggung-jawabkan kepada polisi yang akan menguburkannya
kelak. Tentulah saya tidak bisa memberikannya. Saya bangunkan rasa kebangsaan
kepada saudara sep itu. Tetapi dia menuntut keterangan cukup tentang mayat dan
meminta supaya saya sendiri pergi ke kantor polisi memberi keterangan formil.
Usul saya supaya telpon saja polisi ke Bayah dan keberatan saya, ialah kalau
saya turun layani mayat yang satu ini, siapakah yang akan turun melayani mayat
yang lebih banyak, kalau saya mesti meninggalkan kereta dan romusha yang saya
antarkan mulanya tidak didengarnya. Tetapi setelah lama berunding maka dia
membiarkan saya berangkat dan berjanji akan mengurusnya. Tuan sep di Warung
Panjang dengan tidak meminta keterangan ini atau itu sendiri yang mengurus
mayat yang kedua. Memangnya ada perasaan kebangsaan dan prikemanusiaan pun
diantara tuan-tuan sep kereta.
Baru di Jakarta
saya tahu, bahwa mereka yang mati di jalan tadi, ialah romusha yang sudah lama
sesat dan ketinggalan di jalan, menderita penyakit dan mereka masuk di salah
satu stasiun campur ke dalam romusha kami. Memangnya mereka berasal dari Jawa
Tengah juga dan bekas romusha di Bayah pula. Tentulah mereka tidak masuk ke dalam daftar saya.
Apakah ditolak
mereka yang tidak masuk daftar, mereka yang menyelundup di jalan ini? menurut
aturan harus; Tetapi menurut perasaan tidak! Dengan bersandarkan
prikemanusiaan, maka bertambah banyaklah kesulitan yang saya alami berhubung
dengan makanan, penginapan dan tempat dalam kereta.
Begitulah seperti
yang di Rangkas, tempat penginapan pertama dan di Jakarta di Tanah Abang tempat
penginapan kedua, saya tidak sempat tidur. Makanan dan tempat dikeduanya sudah
susah didapat harus disediakan buat romusha yang berhak dan menyelundup.
Berhubung dengan
banyaknya yang sakit, maka perjalanan antara Tanah Abang dan Jakarta Kota
terpaksa saya lakukan dalam tiga-empat jam. Sering-sering saya terpaksa lari ke
depan barisan yang ratusan meter panjangnya, terdiri dari tiga-empat ratus
romusha, mengejar dan memberhentikan mereka yang cepat berjalan, yang terlampau
maju ke depan, sehingga meninggalkan jauh di belakang mereka, yang lemah dan
sakit, yang perlu dipapah atau digendong oleh teman-temannya. Disinilah saya
insyaf yang sedalam-dalamnya akan arti yang sebenarnya tentang sengsara hidup
manusia. Tetapi untunglah saya rasakan pula, bahwa kodrat simpati tidak kurang
besar daripada amarah dan perasaan lain-lain, yang membangunkan semangat kita!
Selama tiga-empat hari dalam perjalanan ke Purwokerto entah berapa kali langkah
yang saya ayunkan dan percekcokan dengan pengurus penginapan, kereta, karcis
yang harus saya selesaikan..........tetapi saya tidak merasa lelah sedikitpun
walau dalam tiga-empat hari itu sedikit saya makan dan tidur. Inilah kodratnya perasaan
simpati, perasaan hiba, sayang.
Pengalaman
mengantarkan romusha sekali itu, besar sekali artinya buat saya untuk dijadikan
perimbangan yang berharga dalam hal kirim-mengirim romusha. Berdasarkan
pengalaman, maka dibelakang hari saya mengusulkan ini-itu yang berhubungan
dengan makana, obat-obatan, penginapan, transport dan terutama pula dengan
sifatnya pegawai pengantar yang diperlukan buat keselamatan romusha yang sudah
remuk-rusak dipulangkan ke desanya itu. dengan semangat yang semakin lama semakin
baik diantara pegawai tua dan muda di kantor Bayah, maka lama-kelamaan dapatlah
dijaga supaya Romusha yang dikirimkan pulang itu sampai ke desanya dengan tidak
kekurangan suatu apapaun dan mempunyai sedikit uang disakunya.
Selainnya daripada
pengalaman yang berguna buat pemeliharaan romusha, maka saya juga dengan segala
perhatian dan kegembiraan dapat mempelajari beberapa daerah di Jawa Barat dan
Timur. Bisikan anti Jepang yang mulanya perlahan-lahan makin lama makin
terdengar. “Kerja sama” Nippon Indonesia sudah mulai diejek-ejek. Setelah dua
tiga minggu berputar-putar, maka kembalilah saya ke Bayah membawa pengalaman
dan kesan yang baru tentang Rakyat Indonesia umumnya dan tentang arti “setetes
keringat romusha khususnya”.
Golongan kami yang
kecil, tetapi mempunyai tujuan yang nyata dan semangat yang sehat buat
menjalankannya mempergiat usaha memperlindungi tenaga romusha, memperingati
keperwiraan dan kepercayaan diri sendiri diantara prajurti sukarela dan
mempererat perhubungan antara romusha pekerja Bayah Kozan dengan PETA-HEIHO dan dengan kaum tani di desa-desa
sekitarnya Bayah.
Usul yang sudah
lama kami ajukan, yakni membuat dapur umum untuk romusha, yang tinggal di kota
Bayah, akhirnya oleh Bayah Kozan dijalankan. Lebih daripada 1000 orang romusha
yang berpondok dekat dapur umum mendapat makanan dari dapur umum. Dengan begitu
mereka lepas dari tangan mandor, pada siapa selamanya ini mereka membayar
“makan”. Pada dapur umum mereka diwajibkan membayar 10 sen sehari (gajinya 40
sen sehari). Pagi hari mereka mendapat kopi dengan ubi atau ketan. Lohor dan
sore mereka mendapat nasi, sayur dan sedikit ikan. Kalau saya tak lupa, ukuran
berat buat seseorang romusha adalah 300 gram sehari. Urusan membeli dan memasak
adalah di tangan pegawai yang kami
majukan kepada kantor Bayah Kozan. Kebersihan dan pemasakn selalu berada
dibawah penjagaan kami. Walaupun semuanya belum sempurna, tetapi sudah lebih
teratur dan lebih baik daripada selamanya ini. banyak diantara pegawai kantor
sendiri yang diam-diam membeli nasi dan sayur dari dapur memangnya nasi adalah
pokok persoalan makanan di masa serba susah itu. Dengan begitu buat romusha,
baik pula buat para pegawai. Saya sendiri sering dihidangkan makanan dari dapur
umum.
Karet, ialah nama
satu tempat, dimana dahulu bergelimpangan romusha yang sakit dan mati sudah
menjadi rumah sakit. Untuk romusha sudah diadakan tempat buat menerima 700
orang sakit. Rumah obat dan beberapa juru rawat sudah tersedia pula. Rumahnya
memang masih berdinding pelepah (bambu) dan beratap rumbia, tetapi kebersihan
dan air minum dan mandi sudah terjaga. Penguburan romusha seperti usul kami
pula, sudah dilakukan menurut adat dan agama, dan dibawah pimpinan seorang
kalifah yang diangkat oleh Bayah Kozan. Karet terletak diantara gunung Madur
dan Bayah kota. Di Bayah sendiri sudah didirikan rumah sakit baru. Rumah sakit
ini dipimpin oleh dua orang orang dokter Tionghoa, dibantu oleh beberapa juru
rawat dan lengkap dengan obat-obatan. Perubahan yang menjamin kesehatan seperti
di Bayah itu mulai dilakukan pula di cabang-cabang seperti Madur, Cimang,
Cihara.
Pula boleh
dikatakan sebagai usul kami, yakni para pegawai, maka dekat satu kampung
bernama Tegal Lumbu, sudah diadakan kebun sayur dan buah-buahan. Pada akhirnya
tahun 1944, maka kebun ini sudah memberi hasil cukup dan mengirimkan hasilnya
setiap hari ke seluruh perusahaan Bayah Kozan. Dengan begitu tidak lagi perlu
Bayah Kozan mencari sayur ke Sukabumi dan menerima sayur, yang sudah busuk
sesampainya di Bayah. Sayur Tegal Lumbu adalah berbagai ragam dan memangnya
baik sekali kualiteitnya.
Tidak saja dalam
lapangan jasmani, tetapi dalam lapangan rohani pun tidaklah kami putus
berusaha.
Bermula saya
usulkan mendirikan satu sandiwara. Usul ini diterima dan dijalankan giat sekali
oleh para pemuda. Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencuriga kempetai, maka
sandiwara itu dijadikan saja “bagian hiburan” yang termasuk anggaran dasarnya
B.P.P yang sudah diakui oleh tentara Jepang itu. Saya sendiri yang menulis
lakonnya, memilih pemainnya dan melatih pemainnya.
Lakon pertama
sekali bernama P2, huruf pangkal Prajurit Pekerja. Diceritakan disini nasibnya
kaum romusha, dari mulanya dia dikumpulkan di desanya oleh Son-co sampai dia ke
Bayah, dan akhirnya dia sampai kering dipekerjakan atau sakit dan mati
bergelimpangan di jalan ibarat “sepah” yang dibuang sesudah manisnya habis”.
Lakon yang kedua
masih terpaksa saya menuliskan, karena belum juga timbul tenaga muda dan baru. Lakon itu berdasar “Hikayat
Hang Tuah”. Walaupun Laksamana Hang Tuah dengan Hulubalangnya Hang Jebat, Hang
Lekir, Hang Lekin dan Hang Kasturi yang dijunjung tinggi, tetapi yang merasakan
yang pertama sekali tentu para prajurit sukarela yang dipersilahkan duduk
menonton di garis kursi yang paling depan.
Sesudah kedua
lakon itu mendapat sambutan yang hangat dari Bayah Kota, dan cabang-cabang
Bayah, maka keluarlah penyusun baru. Dengan sekedarnya bantuan saya, berikutnya
dipermainkan lakon Diponegoro dan Puputan Bali. Disini dimajukan kritik yang
tajam terhadap imperialisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit. Pemuda
dan rakyat supaya bersatu dan menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan.
Disamping
sandiwara tadi didirikan pula oleh satu Orkestra dan rombongan penyanyi buat
pembantu sandiwara. Ongkos instrumen ditanggung oleh Bayah Kozan. Tidak saja untuk
pegawai yang dipentingkan, tetapi juga para romusha yang berada di Bayah
mendapat perhatian istimewa. Buat permainan wayang, maka dibeli pula gamelan
yang tidak murah harganya. Ketoprak buat pekerja Sunda dan Bayah juga sering
sekali dipertunjukkan.
Disamping
sandiwara didirikan pula satu Sport club,
pertama buat sepak bola. Dalam pertandingan dengan cabang, dengan pekerja di
tambang emas Cikotok, dengan prajurit sukarela, malah juga dengan kesebelasan
di daerah Banten, club kami sudah mendapatkan tempat yang baik sekali. Akan
diusahakan pula memberi kesempatan bermain sepak bola kepada kaum tukang dan
romusha. Untuk ini kami perlu mempunyai tanah lapang sendiri. Selamanya ini
kami para pegawai meminjam tanah lapang rakyat Bayah. Mulanya Bayah Kozan menjanjikan
mendirikan tanah lapang buat kami.
Tetapi apabila sesudah beberapa lama tidak juga ditepati, karena “kekurangan”
romusha, maka atas usul saya, kami sendiri dan seluruhnya pegawai kantor,
gudang, pembangunan, bengkel dan lain-lain tua-muda, pemuda-pemudi,
mengerjakannya. Sehabis bekerja kantor, kami sendiri menebang kayu, membuang
batu dan mencangkul. Setelah lebih daripada setengah pekerjaan itu selesai,
maka barulah Bayah Kozan insyaf akan kelalaiannya dan ikut mencampuri pekerjaan
itu. Tanah lapang itu baru selesai, ketika saya meninggalkan Bayah, yakni pada
waktu Indonesia merdeka diproklamirkan.
Pada waktu
belakangan, maka olah raga dan sandiwara digabungkan dalam satu badan yang
bernama “Pantai Selatan”. Pantai Selatan sudah cukup dikenal di sekitarnya
Bayah. Dari Rangkas Bitung sudah berkali-kali datang undangan untuk
mempermainkan salah satu lakon tersebut diatas, katanya buat menambah semangat
rakyat dan pemuda. Juga diusulkannya pertandingan sepakbola, untuk membalas
kunjungan kesebelasan daerah Banten (atau Rangkas) yang tempo hari datang dari
Bayah (Madur) untuk bertanding.
Rupanya Pantai
Selatan bagian sandiwara sampai juga suaranya ke telinga para pemimpin Sendenbu yang dulu sering datang ke
Bayah untuk menjalankan propaganda. Setelah salah seorang diantara kami
bertanyakan, kenapa Sendenbu tidak lagi datang ke Bayah mempermainkan
“lakonnya”, maka dengan senyum yang mengandung arti dijawab: “Kami yang
sepatutnya memanggil Pantai Selatan ke Jakarta”.
Lakon kami juga
tidak luput dari pengawasan sensor, pemeriksaan kaisatsu. Tetapi biasanya saya sendiri mengurusnya dengan pemuda
polisi. Masakan pemuda polisi tadi sampai hati melarang pemuda PETA-HEIHO, dan
pemuda lainnya menonton pertunjukan lakon yang berdasarkan sejarah awak,
seperti Hikayat Hang Tuah, Perang Diponegoro, Puputan Bali dan lain-lain pada
masa kita perlu membangkitkan semangat keprawiraan, menentang penindasan dan
penghisapan. Siapakah pula diantara penonton Jepang yang semuanya hadir, yang
bisa mengerti apa yang “terselip” dalam Bahasa Indonesia yang penuh dengan
mengandung sindiran itu?
Teristimewa pula
apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu
tidak mengeluarkan perkataan apa-apa?
Nyatalah bagi saya
bahwa Jepang sendiri sudah mengunjungi beberapa lakon tentang kebudayaan,
kebijaksanaan dan kesatriaan leluhurnya bangsa Indonesia, insyaf akan
kekurangan penghargaan Jepang terhadap sejarahnya bangsa Indonesia selama ini.
Pada pidato resmi dibelakang hari kepala urusan Bayah Kozan sendiri sudah mulai
menyinggung-nyinggung kegemilangan sejarah Indonesia itu. Dengan begitu tidak
saja kepercayaan diri dan keprawiraan pemuda Indonesia bisa kami bangkitkan
tetapi juga penghargaan Jepang terhadap kita juga bisa dikoreksi dan
dibetulkan.
Pada suatu hari saya
dipanggil oleh Jepang pengurus bagian romusha. Ditanyakannya kepada saya,
apakah saya mau memimpin K.U.P.P. ialah Kantor Urusan Prajurit Pekerja. Segera
saya jawab: “Tidak karena terlalu berat”.
Kantor ini
mengurus pembagian makanan, seperti pembagian beras, aci, kacang, gula, minyak
tanah dan minyak kelapa, ikan, garam, dan lain-lain. Selain daripada itu,
kantor tadi harus pula mengawasi dapur umum dan hidupnya lebih kurang 2000
tukang dan romusha di sekitar dapur umum, mengawasi penerimaan dan pengiriman
romusha dari hari ke hari yang pulang pergi antara Bayah dan daerah di Jawa
Tengah (penduduk Banten khususnya dan penduduk Jawa Barat umumnya menolak keras
dijadikan romusha!): mengurus romusha yang sakit dan mati, mengurus perumahan
dan lain-lain.
Jumlahnya pegawai
kira-kira sama dengan jumlahnya pegawai di kantor pusat. Tidak mengherankan!
Karena pusat umumnya mengerjakan pekerjaan tulis menulis, sedangkan K.U.P.P.
selainnya pekerjaan tulis menulis, juga pekerjaan yang langsung berhubungan
dengan makanan, perumahan, gaji, kesehatan dan sakit matinya 3000-4000 romusha,
termasuk juga dibelakang hari penduduk kampung Bayah dan sekitarnya dalam
beberapa hal. Pembagian minyak, yang berdasarkan seperempat botol seorang,
pembagian beras yang 200 gram seorang, aci yang 100 gram dan sebagainya
kecil-kecilan tetapi harus adil, adalah pekerjaan yang banyak mengambil waktu
dan kesabaran. Family-system, kecurangan dari bujang, gundik atau kekasih
Jepang, kecerobohan para pegawai bangsa sendiri, harus dibasmi, kalau perhitungan
barang masuk dan keluar harus cocok (klop). Disinilah terutama terletaknya
kesulitan! Yang menerima barang ialah kantor Jepang, bernama Minami. Yang
membagikan barang itu ialah lain badan pula. Tetapi K.U.P.P harus tanggung
jawab atas beresnya kartu pembagian. Barang tidak boleh jatuh ke tangan yang
tidak berhak dan yang berhak harus mendapatkan barang sepenuhnya dengan tidak
memperdulikan kekuasaan seorang pegawai Indonesia atau Jepang yang mencoba
mendapat izin dari K.U.P.P. Tetapi si Jepang tidak lupa memendam 3 orang
kempei-ho dan penyelidik dikanan kiri saya.
Seorang pemuda
keluaran H.B.S. sudah gagal memimpin K.U.P.P! Seorang bekas wedana yang berumur
tinggi pula tidak sanggup lagi mengerjakannya. Melihat kejadian ini, maka saya
tolak usul Jepang, pengurus Ro-moo tadi yang meminta saya sebagai pemimin
K.U.P.P., jadinya pemimpin yang ketiga.
Beberapa teman
kepercayaan meminta kepada saya, supaya diterima saja, supaya saya dapat
mengontrol pembagian barang dan tempat yang memang kalut itu, yang penting pula
buat umum. Seorang Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia, melihat saya
terus menolak, datang menghampiri saya dengan berkata: “Tuan Hussein selalu menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Jepang
memangnya akan pergi! Cuma belum tentu kapan. Dalam hal ini siapa lagi yang
akan mengurus Bayah Kozan sendiri, kalau bukan orang Indonesia. Tetapi kalau
orang Indonesia mau merd eka, tetapi tidak berani tanggung jawab, bagaimana
kemerdekaan itu bisa dijalankan”.
“Logika” ini
sebagai logika memang tegap. Saya terpaksa terima, walaupun pekerjaan itu terus
saya anggap berat. Memang pula begitu. Kecurangan, family system, kesulitan
pekerjaan dan tak ada kerjasama antara Minami (penerima barang) dengan Haikyu
(pembagian Makanan) maka banyak sekali kotoran yang sudah lama dan harus
dibersihkan. “Catut” sudah tersohor di masa itu! Diantara pegawai kantor Minami
dan Haikyu dan pengangkutan sering terdapat “kerjasama” buat menyembunyikan
barang dan mencatutkan barang itu. hukuman jemur dan potong kepala tidak lagi
diperdulikan. Minyak yang umpamanya menurut harga kantor cuma F. 6,- F.7,-
sekaleng bisa dicatutkan dengan harga F. 200,- atau F. 300,- Yang menjadi
korban tentulah rakyat jelata dan romusha juga, karena merekalah yang akan
kekurangan atau tidak dakan mendapat apa-apa.
Pekerjaan K.U.P.P
saya lakukan! Dengan begitu saya mendapatkan perhubungan yang lebih rapat lagi
dengan romusha, tukang dan rakyat di Bayah. Lebih daripada yang sudah-sudah
saya insyaf lagi akan keadaan hidupnya romusha. Dapur memang mudah memeriksanya
di waktu siang hari. Tetapi pemeriksaan harus selalu dijalankan, supaya
tiap-tiap romusha mendapatkan yang sudah ditetapkan. Banyak praktek dapur yang
harus dibasmi. Tidur romusha pun harus kita jaga. Mereka takut tidur diatas
lantai pelepuh (bambu) kaena penuh kepinding (kutu busuk). Mereka turun ke
tanah dan tidur di tanah. Ini lebih membahayakan kesehatan mereka. Sesudah saya
larang mereka kembali ke atas lantai, tetapi setelah saya pergi mereka kembali
ke tanah. Sebab itulah saya biasanya sekali lagi saya terpaksa datang,
menyaksikan, apakah mereka benar-benar tidur di lantai. Perkara kutu busuk
sangat memusingkan kepala. Kami pegawai sendiri harus berperang dengan kutu
busuk. Tetapi lebih berbahaya tidur di tanah Bayah, yang lembab (vochtig) itu daripada berperang dengan
kutu busuk diatas lantai. Yang tak kurang memusingkan kepala saya ialah perkara
kebersihan! Karena kejengkelan, maka beberapa romusha sengaja buang air di
jalan-jalan. Sudah dua tiga kali mereka ditegur masalah ini. diterangkan betapa
bahayanya kotoran manusia itu buat mereka sendiri. Didengarkan, tetapi tidak
juga dijalankan! Akhirnya saya sendiri membersihkan! Semenjak itu berhentilah
mereka membuang kotoran di tempat yang tidak pantas.
Karena susahnya
mendapatkan ari diluar sungai Bayah yang agak jauh letaknya itu, maka
pembikinan kakus dan sumur, adalah soal yang mengenai teknik dan ongkos. Tetapi
kami memang sedang memejamkan soal tersebut.
Pada masa mengurus
K.U.P.P itulah saya sedikit berkenalan dengan prakteknya “koperasi” ahli
ekonomi Drs. Mohammad Hatta. Membaca keterangan tentang koperasi saya tahu-tahu
sudah menggelengkan kepala. Bagaimanakah sesuatu teori ekonomi bisa dijalankan
kalau yang menjalankan ini sama sekali tiada mempunyai kekuasaan politik, beginilah
pikiran yang timbul di kepala saya di masa itu. Prakteknya koperasi di Bayah
dan lain-lain tempat di Banten, lebih kurang seperti berikut:
Pengumuman
koperasi: “Minyak datang Rakyat harus siap tanggal sekian jam sekian. Jangan
lupa membawa botol. Yang terlambat tak akan mendapat minyak”.
Rakyat datang
berkerumun dan antri (berjejeran). Mereka menunggu dengan teratur dan sabar,
cocok dengan tabiatnya bangsa Indonesia. Akhirnya setelah sekian lama menunggu,
maka pembagian dijalankan.
Setelah dua tiga
kaleng dibagikan maka tuan pengurus koperasi berteriak keras, supaya terdengar
oleh khalayak yang berjejer panjang, yang dalam panas atau hujan menunggu
bagiannya, mengucapkan: Saudara-saudara, pembagian diperhentikan karena minyak
sudah habis. Memangnya tujuh atau delapan kaleng lainnya sudah lenyap dari
kantor “koperasi”. Tetapi tidak lenyap jatuh ke tangan rakyat yang berhak,
melainkan dicatutkan oleh “pengurus” di pasar gelap di waktu gelap.
Drs. Mohammad
Hatta yang mestinya insyaf akan ketiadaan kekuasaan politik di tangan rakyat
Indonesia di masa Jepang itu, oleh sebab mana dia sebenarnya tidak berdaya
sedikitpun untuk membasmi berbagai-bagai kecurangan (termasuk kecurangan dan
korupsi kempei sendiri!!!) mestinya lebih dulu berusaha supaya rakyat Indonesia
mempunyai cukup kekuasaan. Barulah ambil kesempatan untuk menjalankan suatu
teori, seperti teori koperasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi seluruhnya
atau sebagian besar dari perekonomian rakyat.
Tetapi sebagai
tukang hapal suatu teori ekonomi doktorandus ini tidak insyaf akan Naiviteitnya dalam politik. Pengurus
ekonomi yang jujur tetapi menemui kegagalan di masa Jepang itu kalau datang
mengunjungi Moh. Hatta, dengan tidak pemeriksaan lebih dalam biasanya dimarahi
dengan perkataan: Saudara yang salah! Saudara yang bodoh! Saudara yang belum
baca buku ini atau itu! Saudara yang tidak bisa kerja sama dengan Son-co dan
lain-lain, dan sebagainya etc, etc.
Sekianlah
sekadarnya gambaran tentang Bayah kota. Dalam setahun dua kampung kecil,
terpencil tak terkenal, bernama Bayah, disebabkan adanya batu arang
disekitarnya sudah menjadi sebuah kota, sebagai pusat administrasi, lengkap
dengan bengkel, stasiun kereta api dan bangunana listrik. Jepang memang ahli
dalam membuat kota baru. Terhadap Bayah dengan pelabuhan pulau Manuk, Jepang
mempunyai rencana yang mengandung akibat jauh dan bercabang-cabang pula.
Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Banten Selatan masih jarang penduduknya, tetapi
ada mengandung logam yang berharga, seperti dibuktikan oleh tambang emas dan
tembaga di Cikotok.
Dengan naiknya
pengaruh Bayah Kozan di sekitarnya Bayah, maka sebanding dengan itu pula
turunnya derajat pamong praja di daerah tersebut. Lama kelamaan Son-co Bayah
sendiri sudah terdesak oleh Bayah Kozan dalam hal urusan kenegaraan, ekonomi dan
sosial. Jika tuan Son-co insyaf akan pertukaran masa, bersemangat kebangsaan
dan mencari perhubungan rapat dan kerja sama dengan kami para pegawai, maka
kami akan membantu dia akan menjadikan
bapak rakyat. Tetapi karen Son-co di Bayah masih menganggap dirinya seperti Ass
Wedana dimasa Belanda, bersemangat kedaerahan, bahkan kekeluargaan, serta
mencoba bertentangan dengan kami terpaksa menaruhkan pada tempat yang
selayaknya.
Pada permulaan
saya menjalankan pekerjaan sebagai wakil ketua B.P.P ketika ketuanya bepergian,
maka Bayah, anak ranting B.P.P didatangi oleh ketua cabang dari Rangkas. Ketua
cabang mengadakan kritik tajam terhadap urusan uang B.P.P yang berada di tangan
ketua lama. Dia mendesak kami mengadakan pembersihan dalam hal keuangan itu. Karena
ketua tak ada dan kas lama berada di tangan ketua itu, maka jalan yang
sebaiknya menurut persetujuan rapat pada masa itu, ialah mengadakan pemilihan
pengurus yang sebenarnya belum pernah diadakan pada masa itu. Pemilihan berlaku
dihadiri oleh Son-co sendiri. Menurut pemilihan itu, maka jabatan ketua jatuh
ke tangan saya. Dengan begitu maka urusan uang saya pisahkan dari bulu lama dan
tanggung jawab (di bawan penilikan saya), diberikan kepada yan biasa berhak,
ialah bendahara. Sebelumnya saya, maka ketualah yang menerima uang dan
membelanjakannya. Selainnya daripada penghiburan gamelan yang memakan ongkos
ratusan ribu rupiah, belumlah ada bantuan yang diberikan kepada keluarga PETA
dan Sukarela itu. Belum pernah ia selangkah berjalan menuju ke desa menjumpai
keluarga PETA-HEIHO itu.
Setelah ketua kembali, dan mendengar bahwa dia
tidak lagi ketua, melainkan penasehat, maka atas desakan dia diadakan lagi
pemilihan. Menurut pemilihan inipun saya diangkat menjadi ketua. Tetapi tuan
Son-co tidak juga mau memberikan pengesahannya, ialah syarat yang ditetapkan
oleh tentara Jepang di masa itu. Harus diketahui bahwa ketua lama pengurus umum
bagian Indonesia di kantor Pusat, ialah karib baiknya tuan Son-co juga di masa
Belanda pernah menjabat pekerjaan salah satu kantor pamong praja Banten umumnya
dan golongan Tubagus (ninggrat di Jawa Tengah) khususnya, satu sama lainnya
melekat seperti minyak dengan minyak dan air dengan air.
Akhirnya karena
desakan saya, supaya pembersihan yang dulu dituntut oleh ketua cabang dari Rangkas
dibereskannya sendiri di Bayah, maka pada suatu hari datanglah dia mengunjungi
Bayah. Ketua Rangkas inipun tidak mau mendekati saya dan tidak mau menerangkan
bila ada rapat dan apa acaranya B.P.P. yang akan diadakannya itu. Ketua lama
mengusulkan supaya saya mengumpulkan orang, dimana saja. Dalam surat selebaran,
maka saya panggil yang bersangkutan ke K.U.P.P dimana terdapat tempat yang
lapang dan kursi yang lengkap. Tetapi karena hari hujan dan sedikit orang yang
datang (ialah mereka yang membantu saya mengunjungi keluarga PETA-HEIHO di
desa-desa), maka saya kira rapat itu tidak bisa berlangsung. Tetapi ketika saya
pergi mengunjungi teman-teman, maka kira-kira jam 10 malam saya lihat banyak
orang berkumpul di pendopo Son-co. Saya coba masuk. Oleh ketua lama saya
dipersilahkan berbicara. Sebenarnya saya tidak siap berbicara lebih dahulu.
Saya anggap ketua cabang yang akan mengusulkan ini-itu berhubung dengan desanya
dahulu kepada kami mengadakan pembersihan. Diantara hadirin cuma satu dua orang
yang saya kenal rajin membantu. Yang lainnya ialah mereka yang diundang oleh
ketua lama sendiri dan orang-orang yang diangkatnya sendiri di kantor Bayah,
karena ia memang kepala urusan personil (Son-moo!).
Tetapi saya tidak
berpikir panjang dan percaya kepada pemuda dan para hadirin. Saya uraikan
pekerjaan yang sudah kami lakukan diwaktu terluang. Saya peringatkan bahwa
pembersihan yang dituntut oleh ketua cabang, kami jalankan dengan pemilihan
yang berakhir dengan pilihan atas diri saya sebagai ketua. Saya meminta kepada
ketua cabang supaya sekarang dia sendiri yang menentukan bagaimana cara yang
dikehendakinya buat mengadakan pembersihan dalam hal keuangan, sebelumnya saya
tahu menahu dengan urusan B.P.P. Buku keuangan selama di bawah pimpinan saya,
sebagai ketua, adalah terbukanya bilamana saja dan buat siapa saja!
Perdebatan
berlangsung sedikit lama, bukan tentang keuangan, melainkan tentang ke-ketuaan.
Ketua cabang Rangkas, dengan persetujuan Son-co dan ketua lama mengusulkan
mengadakan pemilihan sekali lagi.
Walaupun para
pembantu saya, cuma saja yang hadir dan hampir semuanya yang hadir cuma saya
kenal mukanya saja. Tetapi saya membenarkan
usul pemilihan ketiga kalinya itu. saya isyaf, bahwa saya ditipu masuk
ke perangkap pemilihan, yang pemilihnya ditentukan oleh pihak sana. Sebab ini
maka saya sendiri sangat heran ketika menyaksikan bahwa kecuali dua suara
(Son-co dan ketua lama ikut pula mengundi) semua suara jatuh kepada saya. Mau
tak mau Son-co harus mengesahkan keketuaan saya itu, atas B.P.P atau B.P.2.
Sekarang sedikit
tentang B.P.3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja), walaupun mengandung sejarah
yang tak kurang panjang dan sulit pula.
Setelah B.P.3
lahir, maka Son-co memanggil saya. Dia mengadakan pemilihan, dimana saya
terpilih pula sebagai ketua. Pekerjaan ini tentulah mudah saya jalankan, karena
hari-hari saya berurusan dengan pulang pergi dan keadaan romusha. Siapa saja
orang lain yang mau menjadi ketua B.P.3 terkpaksa akan meminta pertolongan
kepada saya.
Tetapi di belakang
hari apabila seorang turunan Tubagus dan “memangnya” tuan Son-co dan ketua lama
B.P.2 “memang” yang ingin menjadi ketua B.P.3, maka tuan Son-co mengubah
sikapnya terhadap keketuaan saja, walaupun keketuaan saya itu diusulkan
disaksikannya di rumah sendiri. Terpaksa lagi diadakan pemilihan. Tetapi pada
pemilihan inipun saya dipilih menjadi ketua. Walaupun begitu tuan Son-co tidak
juga memberi pengesahan. Bantuan pemberesan yang saya minta ke cabang B.P.3 Di
Serang dan Pusat di Jakarta tidak memberikan hasil. Tak ada seorang pun yang mau
datang mengurusnya ke Bayah, sampai akhirnya ke waktu penyerahan Jepang dan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Son-co ada mempunyai calon ketua B.P.3
dibawah pimpinan Moh. Hatta sendiri kabarnya, mau mengizinkan cabang atau
ranting mendirikan “perusahaan” (sabun, minyak kelapa dll) dan memberi bantuan
uang dari Pusat di Jakarta. Tetapi karena pekerjaan Bayah sudah memberikan
kepercayaan kepada saya, dan karena saya tahu sejarahnya “Tubagus” tadi dalam
hal keuangan, maka kami siap sedia mengawai, supaya uang pusat B.P.3 ialah
hasil keringat rakyat jelata, yang akan dipinjamkan kepada Bayah itu jangan
sekali-kali jatuh ke dalam kas bolong, kas yang tidak mempunyai lantai.
Tiap-tiap bulan
Bayah Kozan mengirimkan 1.50.000,- kepada keluarga romusha di desa tempat
tinggalnya. Tetapi keluarga romusha di desa tempat tinggalnya. Tetapi puluhan
ribu uang masih tertumpuk di kantor pamong praja, tidak sampai ke alamatnya.
Kesulitan kirim mengirim itu sedang saya urus dengan perantaraan B.P.3 di
daerah.
Sebenarnya kami
tidak membutuhkan uang dari pusat buat dipinjamkan kepada perusahaan ini atau
itu yang hasil bersihnya akan dipakai untuk “membantu romusha”!! Kami sendiri
sebaliknya sudah siap mengirimkan uang ke pusat yang mudah kami peroleh dari
para pegawai. Sokongan uang buat romusha Bayah Kozan lebih pasti akan lebih
lekas kami dapatkan dari kantor dan para pegawai sendiri.
Tetapi berhubung
dengan kemungkinan korupsi yang akan ditimbulkan oleh “perusahaan” B.P.3
seperti pada “koperasi” Moh. Hatta, maka kami selalu menjaga-jaga! Setelah
nyata bahwa Son-co tidak mau mengesahkan kami sebagai pemimpin B.P.3, sedangkan
pegawai dan pemimpin rakyat Bayah sudah memilih kami, sedangkan uang iuran akan
keluar dari kantong kami pula dan pekerjaan bagi membagi serta hibur-menghibur
kami pula yang akan melakukannya, maka pada suatu rapat diantara para wakil
Bayah Kozan dan wakil rakyat Bayah sendiri, kami terpaksa mengambil satu
putusan.
Perlulah lebih
dulu diketahui, bahwa usahanya Pantai Selatan dalam sport, kebudayaan dan penghiburan
amat memberi kebahagiaan kepada Son-co Bayah. Dialah yang dikemukakan dalam
semua upacara perayaan yang dirayakan dengan permainan olah raga, sandiwara
dll. Pada tanah lapang rakyatlah segala upacara dan keolah ragaan dilakukan.
Dengan begitu maka Son-co, bapak rakyatlah yang mendapat bahan lengkap untuk
“laporan” yang harus dikirimkannya kepada sep-nya.
Tetapi semuanya
itu tidak masuk ke dalam pertimbangannya. Apabila pada suatu hari terjadi
kematian lantaran hanyut di sungai, maka Son-co menolak mengurusnya penguburan
orang mati itu karena katanya yang mati itu ialah seorang romusha. Kami sendiri
dibelakangnya dapat memastikan, bahwa yang mati itu bukan romusha melainkan
seorang penduduk Bayah asli yang menyeberangi sungai menuju ke sawahnya di seberang
sungai dan hanyut karena derasnya arus. Dengan begitu nyata dia membedakan
penduduk yang ada di Bayah. Perbedaan dan sistem kekeluargaan Son-co itu yang
sangat kami sesali.
Demikianlah pada
suatu hari perayaan, maka para wakil rakyat Bayah sendiri, yang selalu kerja
sama dengan kami, baik dengan perantaraan B.P.2 ataupun B.P.3, menolak
permintaan Son-co mengadakan permainan olah raga di tanah lapang rakyat, Bayah.
Mereka mengusulkan supaya permainan dilakukan di lapangan kami dekat pemondokan
romusha saja. Biarlah tuan Son-co mengerahkan rakyat asli Bayah ke lapangan
kami itu. Usul itu sehabis perdebatan hangat dengan wakil rakyatnya sendiri
itu, terpaksa diterima oleh tuan Son-co. Buat rakyat Bayah sudah kami siapkan
tempat istimewa pada lapangan kami tadi. Memangnya kami tak pernah membedakan
rakyat asli Bayah dengan romusha yang 100% berasal dari Jawa Tengah dan Timur.
Bahkan sebaliknya kami berusaha keras memperhubungkan mereka.
Dari Bayah Kozan
kami dapatkah 3 ekor kerbau untuk dipotong. Disamping itu diperoleh
bermacam-macam hadiah buat yang menang berlomba. Semua istri para pegawai saya
kerahkan untuk memasak. Buat perlombaan itu kami belikan barang yang berguna
untuk romusha, seperti tudung, celana pendek, terompah dll. Semua pegawai
menyerahkan bagiannya kepada tukang dan romusha yang akan berlomba. Para
pegawai ikut berlomba dan menyelenggarakan permainan dan hiburan, tetapi tidak
mengambil hadiah. Si Jepang pun ditarik ikut serta bermain. Pembagian hadiah
dilakukan sedemikian rupa, sehingga hampir semua romusha akan mendapat bagian.
Demikianlah pula rakyatnya Son-co Bayah diperkenankan makan minum dan
diperkenankan mengambil bagian dalam perlombaan.
Tetapi......tetapi.......tetapi
seorangpun rakyat Son-co tidak ada yang datang! Kalau tuan Son-co sendiri tidak
membeda-bedakan mana yang rakyat dan mana yang romusha, yang Tubagus atau
gembel, yang anggota keluarganya atau orang Indonesia yang diluar daerah atau
propinsinya, maka sebenarnya mudah sekali buat Son-co mengambil hati pegawai,
tukang dan romusha Bayah Kozan, apalagi hati rakyatnya sendiri dimasa serba
sulit itu. Seperti kebanyakan anggota Pamong Praja, maka Son-co Bayah walaupun
sudah dikursus oleh Jepang, tetapi tinggal product imperialisme Belanda.
Perundingan kami
di Rangkas yang secara tidak resmi itu berpusat pada janji Jepang yang pada
masa itu tersusun dalam perkataan: “Kemerdekaan bagi Indonesia dikelak kemudian
hari”. Juga dibicarakan perkara perhubungan aliran baru itu dengan Hokokai dan
para pemimpinnya. Saya kupas janji “kemerdekaan dikelak kemudian hari” itu
semestinya dan saya tolak kerja sama dengan Hokokai dan pemimpinnya itu.
Gerakan baru harus mempunyai organisasi sendiri, dasar perjuangan sendiri, dan
pimpinan sendiri. Atau belum merasa kuat berlaku sedemikian, baiklah sama
sekali jangan keluar membentuk organisasi sendiri itu. Membentuk organisasi
baru yang tak akan bisa menolak Jepang atau kaki tangannya atau yang tidak
sanggup menolak usaha Jepang dan kaki tangannya. Genjumin bakero, yang akan
menggandengkan organisasi baru itu kepada Hokokai, cuma akan menambah
kebingungan rakyat yang sudah bingung dan jemu itu saja.
Setelah diadakan
pemilihan, maka saya terpilih menjadi wakil Banten ke Konferensi Jakarta
tersebut diatas.
Sesampainya di
Jakarta saya mendapat kabar, bahwa konferensi Angkatan Muda dan Angkatan Baru
itu tidak jadi berlangsung. Jepang campur tangan dan melarang konferensi itu.
Jepanglah yang
menjadi salah satu sebabnya perpecahan antara pemuda dan para pemimpin resmi.
Jepang pula yang mencoba mempertautkan perpecahan itu. Itu rupanya maksud
Jepang dengan Kongres Pemuda di Bandung. Tetapi setelah pemuda insyaf akan
gerak-geriknya Jepang di belakang layar, maka mencoba melepaskan diri dari
ikatan Jepang dan kaki tangannya dan mencoba mempersatukan diri, seperti
maksudnya konferensi Jakarta. Tetapi setelah nyata pula sikap pemuda
sedemikian, maka Jepang melarang berlakunya konferensi itu.
Kabarnya
dibelakang layar, terdapat dua tangan yang mencoba memperalat beberapa orang
pemuda yang berada dalam dua Angkatan tersebut diatas. Tangan yang satu ialah
tangannya Kikakuka (planning Board) yang dikuasai oleh kaum politisi dan Kempei
Jepang. Tangan yang lain ialah tangannya Sendenbu, organisasi Jepang dalam
propaganda. Kedua tangan itu rupanya tidak berdaya lagi memegang pemuda untuk
dipermainkan. Para pemuda tetap menolak digandengkan dengan Jepang, Hokokai dan
pemimpin resmi dan tetap berusaha mempersatukan diri.
Saya merasa rugi
tidak dapat mengunjungi konferensi itu, karena tidak dapat menyaksikan jiwa
pemuda di ibu kota yang terasa getarnya di masa itu, tetapi dapat juga saya
berjumpa dengan beberapa pemuda. Dua orang diantaranya sampai sekarang masih
berada pada golongan yang mempertahankan
kemerdekaan 100%. Pada waktu itu, saya sudah merasa berhubungan batin dengan
mereka, tetapi saya belum dapat berterus terang memperkenalkan nama saya yang
sebenarnya. Mereka mengenal saya sebagai Hussein dari Banten.
Dengan penerimaan
pilihan sebagai wakil ke konferensi Angkatan Muda di Jakarta pada bulan Juni
1945 itu dan dengan percakapan dengan beberapa anggota pemuda, maka saya merasa
menginjak tingkat yang lebih dalam usaha saya mencari perhubungan yang lebih
mendalam dan lebih meluas dengan rakyat Indonesia. Saya merasa agak kurangnya
himpitan kemiliteran Jepang yang agak kuatnya tantangan dari prajurit sukarela
(Blitar), Rakyat (Tasikmalaya dan Indramayu) dan dari pihak pemuda umumnya
(Angkatan Muda dan Angkatan Baru).
Sebab itu maka
saya tidak terkejut ataupun gentar ketika Jepang, kepala So-moo bertanya kepada
saya, apakah maksudnya konferensi yang saya kunjungi di Jakarta yang tidak jadi
itu. Seperti dalam perdebatan dengan Gico Sukarno di Bayah tempo hari itu, saya
terangkan kepada Jepang itu, bahwa Indonesia merdeka akan lebih menjamin
kemenangan terakhir.
Saya juga tidak
heran, kalau sekembalinya dari Jakarta itu saya dari K.U.P.P dipindahkan
kembali ke kantor pusat. Barangkali perhubungan saya dengan romusha, tukang,
pegawai dan rakyat dengan perantaraan K.U.P.P itu menurut para kempei-ho, akan
membahayakan Jepang, tuannya. Mungkin pula tuan “Tubagus” menghendaki K.U.P.P
buat mudah melangkah menjadi ketua B.P.3 dan mendirikan “perusahaan” penyokong
romusha. Dan K.U.P.P sendiri dengan pembagian kartunya bisa memberi kesempatan
kepada tuan “Tubagus” (bagus turunan Arab), memangnya pengurus umum Indonesia,
ketua lama B.P.2, mengesahkan kartu ini atau itu untuk kaum kerabatnya yang
terus menduduki tempat yang baik-baik di kantor pusat, bagian pembangunan,
K.U.P.P, listrik dan bengkelnya Bayah Kozan dengan tidak memandang pengalaman
dan kecakapannya. Nyata “politiknya” tuan Tubagus hendak memonopoli semua “key
position” (kedudukan yang strategis) dalam perusahaan Bayah Kozan, sedangkan
yang mengerjakan pekerjaan pelopor yang paling berat pada permulaan bukanlah
kaum Tubagus, melainkan mereka dari seberang dan Jawa Tengah. Family systemnya
kepala bagian personil orang Indonesia, ialah ketua lama B.P.P, yang masuk
golongan Tubagus juga di hari belakang diserang dan dibasmi oleh para pemuda.
Bagaimanapun juga
pemindahan saya bukannya berarti penurunan tanggung jawab dan luasnya
pekerjaan. Diantara empat bagian romu yang dikepalai oleh orang Indonesia, maka
saya diharuskan mengepalai salah satu bagian. Pekerjaan saya mengenai
pendaftaran (statistik) yang dulu terbagi atas dua bagian sekarang digabungkan
menjadi satu bagian. Statistik itu pertama mengenai pengiriman dan penerimaan
romusha untuk seluruh Bayah Kozan yang dulu dianggap satu bagian. Selainnya
daripada itu, maka statistik itu pula meliputi keadaan sakit, sembuh dan matinya
lebih kurang 15.000 yang berada seluruhnya perusahaan, yang dulunya termasuk
satu bagian pula.
Pekerjaan yang mengenai seluruh Bayah Kozan
selalu susah dan sulit. Harus diketahui, bahwa cocok dengan keinginan Jepang
untuk menjadi “Tuan besar” pada tiap-tiap bagian pekerjaan (jabatan) dan
tiap-tiap cabang (Sayah, Madur, Cimang, Cihara) maka keinginan sep-sepan itu
menular pada bangsa Indonesia. Cocok dengan main sep-sepan diantara jabatan di
Pusat dan sep-sepan antara beberapa cabang, diantara “tuan Nippon”, demikianlah
permainan sep-sepan itu dilakukan pula oleh orang Indonesia. Jadinya susah
untuk seorang pemimpin di pusat seperti dalam jabatan statistik tadi,
mendapatkan persamaan sistem dengan cabang, menerima laporan pada waktunya dari
semua cabang, supaya boleh disusun statistik yang sempurna, yang mengenai
Bayah, Pusat dan semua cabangnya, yang harus dikirimkan ke Jakarta pada tanggal
yang sudah ditetapkan. Satu cabang saja gagal mengirimkan statistik yang harus
dikerjakannya maka tidaklah di pusat dapat disusun statistik yang meliputi
seluruhnya Bayah Kozan. Koordinasi antara pusat dan cabang amat susah didapat,
banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Dengan menjabat
pekerjaan statistik itu, maka saya mendapatkan tinjauan (view, overzicht) buat keadaan romusha yang mengenai seluruhnya
perusahaan. Terutama pula dapat saya mempelajari seluk beluknya administrasi
dari perusahaan, bukan saja dipandang dari sudut teknis, ialah bagaimana
membuat statistik yang bagus, tetapi terutama pula dipandang dari sudut perhubungan
orang dan orang. Tidak kita berurusan pekerjaan serta tanggung jawab bagian
terhadap pusat saja, tetapi juga dengan soal pimpinan, soal mendapatkan
semangat kerja sama antara kita dengan kita. Ini berarti soal kecakapan
memimpin dalam suatu perusahaan besar. Buat itu tidak cukup pemimpin itu
bergantung kepada telepon saja, meminta beresnya statistik ini atau itu,
memperingatkan, memarahi atu menggertak, tetapi perlu pula dia mengadakan
personal contact, perhubungan orang dengan orang. Biasanya kalau ada personal
contact maka koordinasi yang sehat mudah dijalankan. Tetapi dengan gertak atau
sentak, biasanya sebaliknya yang didapat, sebab cabang yang jauh letaknya itu
mudah menjalankan sabotase dengan bermacam-macam alasan dan tipu muslihat.
Sekali suasana kerja sama terganggu maka sukarlah kelak memperbaikinya. Saya
melakukan koordinasi dengan sikap lain dan suara lain. Berharga amat saya
anggap pengalaman dalam administrasi itu!
Tetapi keadaan
sudah terbalik sama sekali. Jepang sudah terdesak ke sudut. Angkatan perang
Amerika sudah menduduki Okinawa. Jerman dan Italia, ialah Serikat Jepang di
Eropa sudah kalah perang. Pada ketika ini kami para pegawai dan penduduk Bayah
diperingatkan supaya pada waktu sore hadir di gedung bioskop untuk mendengarkan
pengumuman Jepang, pemimpin Bayah Kozan.
Apa yang dinamakan
pengumuman itu sebenarnya ialah pidato dua orang Jepang, pemimpin Romu dan
Direktur perusahaan sendiri, guna memperbaiki perasaan romusha, pegawai dan
rakyat yang sangat gelisah, karena peraturan pembagian baru. Menurut pembagian
baru ini maka seorang pekerja (pegawai atau romusha) akan menerima beras pukul
rata 200 gram sehari, jadi turun 50 gram. Tetapi selainnya daripada penurunan
tersebut, istri dan anak yang dahulu menerima 100 gram seorang, sekarang tidak
akan menerima apa-apa lagi.
Akibat peraturan
baru itu tentulah pekerja harus makan kurang daripada dahulu dan atau
mengirimkan, anak istri ke lain tempat. Ini mudah disebutkan, tetapi tidak
mudah dijalankan. Kemana anak istri akan dikirimkan? Dimana-mana rakyat
kekurangan makanan. Dua ratus gram sehari buat seorang pekerja Bayah Kozan
berarti, atau hidup bersama keluarga memakan 200 gram sehari, atau sendiri
memakan 200 gram sehari dan membiarkan keluarga terlantar entah dimana. Perihal
inilah yang sangat menggelisahkan seluruhnya pekerja Bayah Kozan.
Di Gedung Bioskop
pemimpin Romu mencoba memberi penerangan tentang perlunya “persatuan”. Dia mengambil perumpamaan dari rombongan lebah
yang bersatu. Karena rombongan lebah dapat mengumpulkan madu bersama-sama.
Disamping itu rombongan tadi dapat mengusir seorang “anak” yang nakal yang pada
suatu hari mau membinasakan sarang lebah itu.
Yang dimaksudkan
rombongan lebah yang bersatu itu ialah bangsa Jepang dan Indonesia dan yang
dimaksudkan dengan madu itu ialah batu arang yang harus dihasilkan sebagai
akibatnya “kerjasama” antara Jepang dan Indonesia. Akhirnya anak yang nakal
yang mau membinasakan lebah itu ialah kaum Sekutu.
Direktur Bayah
Kozan mengemukakan kepentingan batu arang buat perusahaan. Kalau tak ada batu
arang, maka kereta api tak akan berjalan
dan pabrik akan terpaksa ditutup, katanya. Dengan begitu maka “kemenangan
terakhir” masakan akan dicapai.
Semuanya orang
Jepang, semuanya pegawai hadir di dalam gedung. Ada banyak pula tukang, romusha,
mandor dan rakyat biasa yang berdiri di samping gedung bioskop yang terbuka
itu. Mendengarkan pidatonya kedua orang Jepang tersebut, hadirin merasa kecewa,
tetapi tentulah tidak seorang pun yang berani membantahnya.
Seorang pemuda
meminta saya berbicara. Tetapi saya persilahkan dia sendiri dulu memberi
sambutan. Beberapa surat kecil dilayangkan dri tangan ke tangan menuju kepada
saya meminta saya memberi pandangan.
Beberapa bisikan
dari dalam dan luar gedung, diteruskan pula kepada saya, mendesak untuk
berbicara.
Pemuda tadi,
walaupun sedikit sekali menyinggung keadaan makanan (dan pakaian) diantara
semua golongan, yang dimaksudkan sebagai syarat yang terpenting buat persatuan
dan efficiency, tetapi dengan segera dia mendapat persetujuan dari hadirin. Sesudah
berbicara dia menuju ke tempat saya meminta saya sendiri berbicara.
Bukannya apa yang
akan dibicarakan, yang saya pikirkan pada saat itu, melainkan apa akibatnya apa
yang saya bicarakan. Tetapi sudah saya pertimbangkan kekuatan Jepang di masa
itu dan keadaan Rakyat Indonesia umumnya dan keadaan penduduk Bayah khususnya.
Kebenaran, akhirnya, harus saya tegakkan.
Keringkasan pidato
saya yang agak panjang itu, adalah seperti berikut: Dengan memakai perumpamaan
Jepang kepala Ro-moo tadi sebagai “batu loncatan”, maka pada permulaan saya
benarkan maksud pidato itu, yakni: bahwa persatuan itu bisa mengakibatkan hasil
yang bagus. Tetapi saya akhiri pidato saya dengan memajukan perbedaan lebah
tadi dengan kami bangsa Indonesia, yakni: lebah itu adalah hewan yang merdeka,
merdeka mencari temannya dan merdeka mengerjakan pekerjaannya. Jadi lebah tadi
bekerja sama atas dasar kemerdekaan dan sama rata.
Dengan memakai kesimpulan direktur Bayah
Kozan, bahwa batu arang sangat penting buat kereta dan pabrik (tak ada batu
arang, tak berjalan kereta dan pabrik), maka saya bandingkan batu arang buat
kereta dan pabrik itu dengan makanan buat kita manusia, “Andaikan” kata akan
berjalan ke Malimping kereta itu memerlukan sepikul arang, sampai kemanakah
kereta sanggup berjalan dengan arang setengah pikul? Tanya saya. Setengah jalan
ke Cihara”......begitulah disambut dengan serempak.
Khalayak yang ada
diluar bioskop mulai mendesak masuk!
“Andaikan pula”
tanya saja, “kereta cuma diberi batu arang dua tiga buah saja, sampai manakah
dia sanggup berjalan?”
“Sejengkalpun
tidak, barangkali mendesuspun tidak”.....demikianlah kiranya jawab hadirin,
serempak pula. Tepuk tangan serta tertawa mulai diperdengarkan oleh khalayak
yang selama ini berdiam, pasif saja. Saya lihat orang Jepang gelisah, agak
ketakutan melihat ramai berduyun-duyun masuk dengan sikap yang agak agresif,
berlainan daripada yang sudah-sudah.
Pertanyaan saya
seterusnya kepada hadirin, apakah pada masa ini cukup untuk satu orang pekerja
setengah liter sehari. Jawab dengan: “cukup”. Pertanyaan selanjutnya, apakah
dengan pembagian setengah liter untuk seorang pekerja dalam satu hari, kita
sanggup bekerja delapan jam sehari, jawab “ya, sanggup”.
Tetapi tanya saya,
kalau cuma dapat 200 gram sehari, sedangkan anak istri mesti hidup dengan 200
gram itu, karena jarang sekali terdapat seorang bapak Indondenesia yang sampai
hati melihat anak dan istri kelaparan, berapa jamkah dia akan sanggup bekerja?
“Berjalan saja tak
akan bisa”......begitulah dijawab oleh khalayak.” Bisa berjalan, ialah menuju
ke Karet”.......saya sambut pula.
Mendengar komentar
saya ini ramai bertepuk tangan dan bersorak, hal mana tidak disukai oleh
Jepang. Karet ialah tempat rumah sakit dan dulunya tempat bergelimpangan
romusha, yang sakit atau mati. Karet masih dianggap sebagai kuburan oleh
penduduk Bayah.
Setelah saya
memberikan salah satu kesimpulan, bahwa dengan gaji F.0.40,- sehari, romusha
cuma dapat membeli sebutir pisang (harga sebuah sudah F.0.38,-), maka rapat
menjadi sangat riuh, merupakan satu “angry mob”, ramai yang marah.
“Angry mob” dan
“Jepang takut”, inilah kesan yang saya bawa pulang sekembalinya dari rapat itu.
“Akibatnya pidato
di bioskop itu jauh sekali!
Di jalan-jalan
pekerja dan penduduk Bayah bertanya kepada saya: “kapan kita menerima setengah
seliter sehari?”
Pertanyaan semacam
itu amat terburu-buru, tetapi menunjukkan betapa pentingnya soal beras untuk
Bayah di masa itu. Di mana-mana tersiar kabar, bahwa sebagian besar romusha
tambang, di gunung Madur mogok dan lari.
Seorang wakil,
pusat dari B.P.3 dari Jakarta, yang datang di Bayah pada masa itu, setelah
menengok ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan lebih dulu bahwa tak ada
Jepang, kempei-ho atau telingan yang bisa membahayakan disamping kami, dengan
berbisik-bisik bertanya kepada saya: “Benarkah ada keributan di Bayah baru-baru
ini?”
Apabila saya selidiki tanggal “keributan”
yang dimaksudkan itu, maka nyatalah bahwa tanggal itu jatuh pada waktu pidato
bioskop tadi diucapkan. Seorang petani terkemuka di Bayah, yang selalu kerja
sama dengan kami, melaporkan kepada saya, bahwa seorang dari “lain tempat”
datang kepadanya menanyakan, siapakah orang yang paling dianggap oleh rakyat
Bayah, dan bahwa dia mengemukakan nama saya. Teman petani ini sangat
mengharapkan, supaya kelak saya dimajukan menjadi anggota (Giin) Sangi Kai buat
daerah Banten.
Setelah proklamasi
Indonesia merdeka, maka saya mendapat kepastian, bahwa nama Hussein memang
sudah tercatat di kantor Kempei di Jakarta, lengkap dengan ukuran tinggi, warna
dan rupa dan semuanya tanda. Sesudah proklamasi pulalah saya tahu, bahwa seorang
Kempei-ho Bayah ada berniat melakukan
pekerjaan yang paling jahat dengan diam-diam terhadap saya, sebagai akibatnya
pidato bioskop itu. Tetapi tanpa sepengetahuan saya pula, dua orang pemuda
listrik selalu merapati si Kempei-ho tadi kalau dia berani mengangkat
senjatanya terhadap saya. Maksud itu baru saya ketahui, sesudah Proklamasi.
Kedua pemuda tadi datang menjumpai saya di Jakarta, menceritakan, bahwa apabila
Bayah sudah mendirikan Komite Nasional dan Laskar pembelaan, kedua pemuda
listrik tadi diboikot oleh teman-temannya tuan Hussein sendiri, karena kata
mereka, kedua pemuda itu dulu terlampau rapat perhubungannya dengan si
Kempei-ho tadi. Saya tak berkesempatan lagi menyelesaikan kesalah pahaman itu.
Tetapi memangnya kedua pemuda itu saya kenal baik dan memangnya pula semua
pengurus K.N.I dan laskar di Bayah sesudahnya Proklamasi adalah bekas pembantu
B.P.2 dan B.P.3 yang terkemuka dan rajin diwaktu sebelumnya Proklamasi.
Di kantor, rupanya
pada waktu Jepang hampir menyerah, sudah lama si Jepang bertanya-tanya kepada
orang Indonesia: “Siapakah Hussein itu yang sebenarnya?” tetapi tak ada
seorangpun diantara penduduk Bayah yang akan dapat memberi jawaban yang
sesungguhnya. Yang mungkin bisa memberikan penerangan yang sebenarnya, seperti
bekas sahabat dan teman sekolah atau anggota keluarga selalu dapat saya
singkiri. Dan bekas kawan separtai dengan saya, kebanyakan masih disingkirkan
di Digul.
Gugup serta
tergopoh-gopoh pada suatu hari seorang teman pembantu B.P.2 dan B.P.3 yang
bekerja pada bagian So-moo, datang menceritakan, bahwa pagi tadi sidokan (opsir penyelidik Jepang) datang
ke kantor menanyakan surat permintaan Hussein, dimana riwayat saya dituliskan.
Teman pembantu itu menceritakan pula, bahwa satu dua minggu lampau terjadi pula
yang sedemikian, berhubung dengan dua orang Indo ditambang Cimang (Rosen
namanya). Dibelakangnya kedua orang Indo itu dibawa oleh Sidokan tadi ke
Serang. Yang seorang mati di dalau auto dan yang lain mati di tangan Kempei di
Serang. Oleh teman pembantu tadi diusulkan supaya saya lekas bersiap lari saja.
Saya rasa tak
perlu lari itu! Saya katakan bahwa semuanya sudah saya perhitungkan. Surat
kabar dengan berita penyerahan Jerman, Italia dan pulau Okinawanya sudah cukup
memberi keterangan yang sebenarnya kepada saya.
Besoknya saya
dipanggil berjumpa dengan Jepang, kepala So-moo
yang seperti saya sebutkan di atas mempunyai paham yang liberal. Dia bicarakan
pidato bioskop. Dia peringatkan satu rapat di Jerman, dimana akan berbicara
seorang pemimpin sosialis. Rakyat memutuskan akan pergi mengunjungi Presiden
buat mengucapkan terimakasih. Tetapi sebelum berangkat seorang pembicara
komunis mengucapkan pidato pula. Sesudah komunis itu berbicara, maka hadirin di
rapat itu berangkat ke tempat Presiden dengan maksud bukan mengucapkan terima
kasih, tetapi membunuh presiden.
“Begitu, ya, tuan
Hussein”, katanya pula, “ini contoh saya kasih bagaimana satu pidato bisa
diterima oleh “angry mob” (ramai yang amarah).
“Ya, tetapi rakyat
lebih marah, kalau perut lapar dan janji tidak ditepati”, jawab saya.
“Tetapi dimana
kita bisa dapat beras.....ditanyakannya.
“Di
Cibaliung”...............jawab saya.
“Susah
mengangkutnya”..........katanya.
“Cikar bisa
dibikin berapa saja. Kayu ada! Besi dan bengkel ada! kerbau banyak sekali di
Bayah! Jalan ada! Dahulu orang orang Indonesia juga mengangkut dengan cikar
(pedati) kerbau. Kalau dari dahulu dikerjakan, sekarang tak akan kekurangan
beras. Di Cibaliung beras bertumpuk-tumpuk. Dahulu juga kantor Bayah
berkeberatan menanam sayur sendiri. Sekarang ternyata bisa dikerjakan. Kita
sekarang selain kelebihan sayur. Banyak sayur yang busuk karena tak habis
dimakan. Demikianlah isi uraian saya. Pengurus So-moo cuma mengeluarkan napas saja. Ia selalu menerima dan
melakukan usul saya yang baik. Dia berani melihat paham melakukan usul yang
baik. Dia berani melihat paham kami yang berlainan dengan pahamnya sendiri. Dia
suka mempelajari bahasa dan adat istiadat orang Indonesia. Tetapi sekarang dia
tampaknya lesu, lemah! Beberapa orang Jepang yang lain-lain cuma duduk di atas
kursi, termenung kelihatan susah, dengan kedua kaki diangkat ke atas kursi dan
dagu diatas lututnya. Waktu itu ialah permulaan Agustus 1945. Jepang kelihatan
takut. Rupanya mereka tiada lagi memikirkan siapa orang Indonesia yang harus
ditangkap oleh orang Jepang, melainkan sebaliknya orang Indonesia yang mungkin
akan menangkap orang Jepang. Melihat suasana demikian maka saya sorongkan saja
sehelai formulir, yang sudah saya isi lebih dahulu, ialah permintaan kepada
kantor buat mengunjungi Konferensi Pemuda di Jakarta yang dijanjikan berlaku
pada permulaan Agustus itu bilamana Bung Karno, Gico Cuo Sangi In akan berbicara. Izin mengunjungi konferensi itu
dengan lekas saya peroleh, dan sebagai urusan jabatan, ialah atas ongkosnya
kantor. Para pegawai memberikan mandat penuh kepada saya sebagai wakil Bayah
Kozan. Mandat itu dibarengi pula dengan sepucuk surat kepada Bung Karno dan
Bung Hatta.
Demikianlah
akhirnya pada permulaan bulan Agustus saya menuju “ke arah Republik Indonesia”
bukan lagi dengan pena di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih daripada
20 tahun lampau melainkan dengan kedua kaki di atas Tanah Indonesia sendiri!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar