Ong Soong Lee,
nama penuhnya, yang mengandung 13 nama reserve, dengan tidak membatalkan nama
di atas pasportnya dengan kopor baru, kebetulan pula seharga $ 13, pada
permulaan bulan Oktober tahun 1932, menyewa kamar No. 13 di Station Hotel
Kowloon, kota di seberang bandar Hongkong.
Syahdan pada hari
2 x 10, ialah bulan 10 dan hari 10, hari ulang tahunnya Republik Tiongkok, maka
angka 3 x 13 tersebut di atas, buat mereka yang percaya kepada kecelakaan angka
13 benar-benar menjalankan rohnya. Buat mereka yang bersandar atas barang yang
nyata, tentulah kemalangan diri saya pada malam hari itu berhubungan dengan
sebab dan akibat yang nyata pula.
Tetapi memangnya
pula, entah karena perasaan apa, maka pada sorenya hari 2 x 10, hari double-ten
itu saya mengadakan persiapan dengan kawan saya Dawood. Semua pesan yang perlu
saya berikan pada malam hari itu, seolah-olah ada bahaya yang akan menimpa.
Dawood datang dari Indonesia menjumpai saya di Shanghai. Kemudian dia berangkat
dulu ke Hongkong dimana kami berjumpa lagi. Dia tinggal di kota Hongkong dengan
memakai nama Phipino dan saya tinggal di Kowloon.
Di Hongkong di
tepi pantai pada hari tersebut sampai jauh malam kami bercakap-cakap. Kami
berpisah hampir jam 12 malam. Dia tinggal di Hongkong dan saya menumpang ferry
boat, kapal yang pulang balik antara Hongkong dan Kowloon. Lamanya berlayar
lebih kurang 5 menit. Setelah sampai di Kowloon, maka saya merasa diikuti oleh
polisi rahasia Inggris. Seorang Tionghoa berpakaian biasa dan seorang Benggali,
tinggi besar selalu saja di belakang saya.
Apabila sudah saya
memperoleh kepastian bahwa kedua polisi rahasia tersebut benar-benar mengikuti
saya, maka saya mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri. Dengan segala
muslihat saya berusaha melepaskan diri dari mata mereka, tetapi karena
keadaannya kota Kowloon, di tengah-tengah malam hari pula, tidaklah berhasil
usaha itu. Saya tetap diikuti. Kowloon dikelilingi laut. Satu jalan yang
menghubungkan Kowloon dengan Canton ialah jalan kereta api yang rupanya sudah
dijaga pula.
Jalan keluar kota,
sudah tertutup sama sekali. Apabila saya sampai ke depang hotel saya, maka saya
merasa tidaklah aman masuk ke dalam hotel. Saya tidak jadi masuk ke dalam
hotel, melainkan membelok ke kanan. Tiba-tiba saya diserang dari belakang oleh
dua orang.
Si Tionghoa yang
mengikuti saya tadi dengan tangan kirinya menekan leher saya sambil memegang
tangan kanan saya dengan tangan kanannya
pula. Si Benggali, yang tinggi besar itu dengan tangan kanannya menekan leher
bagian belakang saya dan memegang tangan kiri saya dengan kirinya pula.
Serangan ini dilakukan sekoyong-konyong dengan kekerasan seperti polisi hendak
menangkap seorang penjahat pembunuh orang.
Segera saya
bertanya dalam bahasa Inggris: “What is
the matter? (Apa perkaranya?), oleh Benggali pertanyaan itu cuma dijawab
dengan perkataan “What is the matter”
pula. Cuma perkataan itu diteriakkannya keras-keras sambil leher belakang saya
ditekankannya lebih kuat ke depan.
Ditekan oleh dua
kiri kanan itu saya hampir tidak bisa bernapas. Dengan sendirinya kaki saya
sebelah kiri yang pernah mendapat “latihan kampung” bergerak ke lobang belakang
lututnya menuju ke depan dan siku kiri saya bergerak menekan perutnya menuju ke
belakang. Dia terpaksa melepaskan tekanannya atas leher saya, berbalik, sambil
meraba hulu pistolnya.
Saya baru insyaf,
bahwa saya berhadapan dengan polisi rahasia yang bersenjata lengkap itu. Karena
si Tionghoa tidak bersikap keras seperti si Benggali dan melonggarkan
pegangannya maka cuma satu jalan yang dapat saya tempuh untuk membela diri:
menerjang si Tionghoa ke kiri (kalau perlu), dan menendang dengan cepat si
Benggali, yang sudah setengah terbalik itu. Apa kelak akibatnya saya pada saat
itu tidak pikirkan lagi. Menghadapi maut orang tak bisa berpikir panjang. Lagi
pula penghinaan semacam itu walaupun dari dua orang bersenjata lengkap tidak
dapat saya terima begitu saja.
Untunglah saya
tidak menyabung jiwa, cuma buat membela kehormatan diri sendiri. Ada lagi
kehormatan yang lebih tinggi yang akan dibela. Sekonyong-konyong keluarlah dari
sudut yang gelap polisi resmi, polisi Inggris, dengan teriakan dalam bahasa
Hindu kepada Benggali tadi sambil menghampiri saya dengan perkataan: “That is not the way to arrest a man”.
(bukan demikian caranya menangkap orang).
Oleh polisi resmi
itu saya digiring ke kantor polisi, cabang Kowloon, yang tidak jauh dan agak
tinggi letaknya. Di belakang kami kedua polisi rahasia tadi mengikuti, agak
jauh jaraknya. Sambil berjalan polisi resmi berkata dalam suara rendah kepada
saya: “I am a Punjabi Moslem”. Yang
kedua kalilah saya berkenalan dengan Islam Hindustan, dalam keadaan sulit.
Pertama ketika ditangkap di Manila. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu dia
memberikan sumbangan kaum Islam di Manila dengan berupa uang. Yang di Kowloon
ini memberikan sumbangan dengan jalan memisahkan saya dari mereka yang menjadi
kaki tangan imperialisme Inggris yang kesetiaannya kepada tuannya tak kurang
daripada kesetiaan anjing pemburu, siap sedia menerkam mangsanya kalau
diperintahkan oleh tuan yang memberi makan padanya.
Di kantor polisi
Kowloon lewat jam satu malam, saya disambut oleh para polisi, lima enam orang
polisi Tionghoa di bawah pimpinan seorang sersan Inggris. Baru saja diserahkan
oleh polisi Islam tadi ke sersan Inggris itu maka yang di belakang ini
memerintahkan kepada orang bawahannya buat menggeledah saya. Saya digeledah
habis-habisan sampai tak ada bagian badan yang tidak digeledahnya. Protes yang
saya majukan kepada sersan Inggris tak ada gunanya.
Setelah digeledah
saya disuruh duduk menunggu kedatangan orang, katanya dari Singapore. Antara
jam 2 dengan jam 3, datanglah seorang Hindu, gemuk-pendek, dikenal di Singapore
oleh kaum pelarian Komunis dengan nama Pritvy Chan, ialah anggota I.S. (Badan
Penyelidik) Inggris.
Pritvy Chan,
seorang Benggali (?) menghampiri saya seolah-olah hendak memukul. Dalam bahasa
Indonesia kasar dia berteriak: “Lu bukan
orang Filipina. Mana boleh lu orang Filipina. Lu bohong, lu bohong” Dari
mulutnya keluar hawa berbau arak.
Saya diam saja.
Tetapi dengan segera saya mengerti bahwa yang dimaksudkan dengan orang Filipina
itu tentulah teman saya Dawood, di Hongkong, yang memang memakai nama Filipina.
Saya mengerti pula, bahwa dia datang dari Singapore untuk mencari Dawood, bukan
mencari saya. Saya seperti tersebut di atas saya memakai nama Tionghoa. Inilah
salah satu contoh yang sering disebutkan salah raba.
Pritvy Chan,
melihat saya berdiri dan tidak menyaut apa-apa rupanya bertambah marah. Dengan
suara lebih keras dia berteriak-teriak terus. “Ayo coba lu akui, lu orang Filipina”, sambil mengacungkan tangannya
hendak memegang rambut saya.
Tangan itu saya
sambut dengan tangan dan perkataan: “I
don’t understand you” (Saya tidak mengerti perkataan tuan).
Jawab ini menambah
marahnya. Perkataan yang tidak senonoh berhamburan keluar bersama-sama hawa
sopinya.
Protes saya tidak
didengarkan. Sersan Inggrisnya terus menulis seolah-olah semuanya itu perkara
biasa saja. Buat saya seorang Benggali gendut, seperti Pritvy Chan itu bukanlah
perkara susah. Kalau mau, beradu kekuatan kasar atau halus. Caranya Benggali
berkelahi, dimana kekuatannya dan dimana kelemahannya, cukuplah saya ketahui.
Apalagi pula Benggali Chan, yang sedang mabuk itu, bukanlah lawan yang
sebanding. Tetapi sekelilingnya Pritvy Chan ada setengah lusin agen polisi.
Dengan susah payah
saya menekan kesabaran, walaupun provokasi dari Pritvy Chan sudah memuncak.
Kalau saya dengarkan perkataannya, perhatikan potongan badannya dan caranya dan
berteriak sambil mengacungkan tangannya itu sering pula saya tergoda hendak
mematahkan tulang rusuknya. Tetapi saya merasa bahwa masih ada jalan buat
menghindarkan malapetaka. Akhirnya saya berkata: I am a Hawaian born Chinese. I
can show you my passport” (saya seorang Tionghoa Hawai. Saya bisa menunjukkan
pasport saya kepada tuan). Setelah dia mempelajari pasport saya, maka dia
termenung bermenit-menit lamanya. Akhirnya dia berdiri dan ajukan tangannya
kepada saya buat bersalaman.
“Please for give me. Now I know you from the picture in your
pasport. I have you as for Gandhi. Please forgive me, please for give me.” (Maafkan saya. Sekarang saya kenal tuan daripada gambar tuan
dalam surat pas. Saya selalu menghormati tuan seperti saya menghormati Ghandi.
Maafkan saya!)
Jadinya Pritvy
Chan mengenal benar gambar saya. Di Singapore dia perlu mempelarinya baru
menangkap saya. Tetapi mengenal gambar seseorang belum lagi berarti mengenal
orangnya sendiri. Yang sebaliknya mungkin terjadi. Walaupun gambar Ong Soong
Lee banyak berubah, karena langsung diambil dengan alat potret besar dan dari gambar besar diambil gambar kecilnya,
ukuran pasport, tetapi Pritvy Chan bisa juga mengenalnya.
Hampir jam empat
pagi dini hari oleh Pritvy Chan dan seorang opsir Inggris saya dibawa
menyeberang ke Hongkong, terus ke pusat-kantor polisi. Dalam perjalanan
berulang-ulang Pritvy Chan mengucapkan seperti tersebut di atas. Ditambahnya
pula dengan ucapan: Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau kejadian apa-apa,
“that” shall be uppon my shoulder,
akan menjadi tanggungan dipundak saya.
Berulang-ulang di
belakang hari diucapkan: “that shall be
upon my shoulder” itu. Sikap Pritvy Chan terhadap saya selama dalam penjara
Hongkong membuktikan penjelasan akan kejadian pada malam hari pertama di kantor
polisi Kowloon itu. Berkali-kali saya katakan, bahwa semuanya itu memang sudah
saya lupakan dan harus saya maafkan, teristimewa pula karena salah raba. Lagi
pula saya sudah bersiap sedia menanggung semua resiko perjuangan dan
penyamaran. Tetapi Pritvy Chan, merasa tidak puas dan selalu diucapkan: “Saya
harap tuan akan selamat saja. Kalau tidak, tanggung jawab juga akan terletak di
pundak (bahu) saya”. Biasanya ditambah pula dengan: “I have many children, (saya beranak banyak). Tetapi apa
perhubungannya “anak banyak itu” dengan ucapan, “saya harap tuan akan selamat
saja”, itu kurang saya pahamkan. Barangkali berhubungan dengan agamanya Pritvy
Chan dan dosa (?) yang dia sangka dijalankannya. Juga barangkali dengan
pengetahuannya bahwa almarhum Subakat meninggal di dalam penjara Belanda.
Pada malam hari
tangkapan itu sekejap matapun tidaklah dapat saya tidur. Sesampainya di kantor
pusat di Hongkong, oleh Kepala Inspektur Polisi, Murphy, saya dihujani dengan
pertanyaan yang mengenai kepolisian dan gerakan kemerdekaan. Seluruhnya riwayat
hidup saya perlu diceritakan lagi. Semuanya pertanyaan yang oleh Inggris
dianggap berguna buat keselamatan Negara dan jajahannya dimajukannya. Tentulah
dia ingin mengetahui apa maksud saya pergi ke Birma seperti tercantum dalam
surat pas saya. Lebih ingin dia pula dia hendak pergi ke Hindustan. Persoalan
yang di belakang inilah yang melambatkan pemeriksaan dan amat memberatkan
perkara saya dan melamakan saya tinggal di penjara Inggris di Hongkong.
Walaupun Inggris kekurangan bukti dan semua pertanyaannya berupa abstrak,
terpisah, tergantung di awang-awang saja dan berdasarkan “commited crime”, ialah pelanggaran yang dilakukan, pemerintah
Hongkong tiada bisa memutuskan dengan cepat dan tepat. Dia keragu-raguan dan
sayalah yang menjadi korban keragu-raguan itu. Dua-tiga bulan lamanya saya
harus meringkuk di penjara Inggris di Hongkong itu.
Rupanya sesudah
tiap-tiap soal-jawab berlaku hasilnya dilaporkan kepada Pemerintah Hongkong.
Tiada mengherankan kalau tiap-tiap laporan tersebut menimbulkan pertanyaan baru
pula. Pertanyaan baru itu disambungkan pula dengan catatan yang dirampas dari
saya. Saya biasa sekali membikin catatan dan apa yang berhubungan dengan
kejadian dan bukti yang saya kumpulkan dari hari ke hari. Kejadian dan bukti
itu tidak ada hubungannya dengan gerak-gerik saya, tetapi penting buat
pengetahuan saya di hari kemudian, umpamanya kejadian penting di Tiongkok,
Filipina dan lain-lain yang berguna buat pengetahuan. Rupanya buat pemerintah imperialis Inggris yang selalu
hidup dengan kecurigaan atas keamanan jajahannya, catatan saya semacam itu bisa
dikaitkan dengan aksi ini atau yang lain yang mungkin membahayakan British
Empire itu. Saya masih geli tertawa, kalau mengingat bagaimana polisi Amerika
di Filipina membesar-besarkan isi buku peringatan (note book) yang dirampasnya
dari saya dari tahun 1927 di Manila sampai nyamuk bisa berubah menjadi gajah.
Sesudah tiga empat
hari pemeriksaan berlangsung, kadang-kadang lama kadang-kadang sebentar saja,
maka akhirnya inspektur Murphy, rupanya dengan suara sedikit terharu kepada
saya: “I have at last carried out what I
have considered my duty”. Akhirnya saya sudah jalankan apa yang yang saya
anggap kewajiban saya. Perkataan “considered”,
saya anggap, itu diucapkan dengan bibir yang mencemohkan dan bahu yang
diangkat. Seolah-olah kemauannya Murphy sendiri tiada cocok dengan
“kewajibannya” itu.
Murphy adalah nama
yang lazim dipakai oleh orang Irlandia. Apakah Murphy seorang Irlandia yang
bekerja di jajahan Inggris? Kalau Murphy seorang turunan Irlandia, Irlandianya
de Valera, mungkinkah dia bersimpati pada gerakan kemerdekaan Irlandia yang
berlaku sudah puluhan tahun itu? Kalalu begitu tidak mustahil, bahwa Murphy
bersimpati juga terhadai pergerakan kemerdekaan bangsa lain yang bukan Bangsa
Irlandia, seperti Bangsa Indonesia. Bagaimana juga kepada saya kepala Inspektur
Murphy selalu berlaku ramah tamah.
Pada hari pertama
saja, saya berada dalam tahanan, saya sudah mengajukan permintaan memakai
pengacara orang Tionghoa. Bukannya karena saya tidak sanggup membela diri
sendiri melainkan ini adalah hak tiap orang tahanan. Dengan adanya perhubungan
dengan luar penjara maka saya akan mendapat jaminan bahwa perkara saya dan diri
saya sendiri tak akan disimpan diam-diam saja atau akan dipermainkan begitu
saja. Perkara saya akan diketahui juga oleh masyarakat Tionghoa. Permintaan itu
karena memangnya hak dan adil tak pernah dibantah oleh pegawai rendahan
Inggris, seperti oleh Murphy, tetapi tak pernah diluluskan oleh pemerintah
Hongkong. Pegawai rendahan membenarkan, birokrasi menolak atau mensaboteer.
Sikap imperialis yang biasa. Teristimewa pula terhadap seorang Indonesia yang
terasing di luar negerinya, lepas dari masyarakatnya sendiri dan tak dikenal
oleh masyarakat asing.
Ingat saya dan
lebih-lebih pula saya hargai bangsa Indonesia-Filipina yang cepat memberi
bantuan, ketika lima tahun lampau alangkah besar bedanya keadaan Hongkong dan
di Manila. Di Hongkong terasing sunyi senyap cuma dikelilingi oleh kaki tangan
pemerintahan imperialis. Di Manila dilepaskan oleh rakyat bersimpati dan terus
dibantu lahir batin seberapa kuatnya Rakyat Filipina selama saya berada di
Filipina. Memangnya pula dekat sekali rakyat Filipina yaitu dalam sejarahnya
kepada rakyat Indonesia dan besar pula hak dan keinsyafan politik turunannya
Rizal-Bonifacio-Mabini.
Tetapi tidak
begitu saja saya memutuskan bahwa rakyat Tionghoa, walaupun yang di bawah
bendera Inggris saja tidak memberikan perhatian terhadap perkara saya. Pada
suatu hari Murphy bertanya kepada saya (tentulah atas suruhan birokrasi
Hongkong) apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Karena pertanyaan itu
dilakukan dengan tersenyum maka saya jawab pula dengan tersenyum: “tuan lihatlah saja sendiri”. Dia pergi
dengan berkata: “sayapun sangka tidak”.
Tetapi rupanya soal itu, adalah satu soal yang tiada bisa diselesaikan dengan
senyum saja dari kedua belah pihak. Tidak berapa lama maka diulangilah
pertanyaan tersebut apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Tetapi pertanyaan
kali ini harus dijawab dengan tulisan dan ditandatangani. Sebab karena konsul,
wakil pemerintah Kwantung di Hongkong mengakui bahwa Tan Malaka adalah turunan
Tionghoa. Syahdan menurut Undang-Undang Negara Tiongkok, dimana saja dan
bilamana saja seseorang yang setetespun mempunyai darah Tionghoa, akan diakui
oleh pemerintah Tiongkok sebagai rakyat Tiongkok. Demikianlah dilakukan soal
jawab yang bunyinya lebih kurang dibawah ini:
Tanya: “Are you Chinese?” (Apakah tuan seorang Tionghoa?)
Jawab: “Scientifically speaking yes” (menurut
ilmu bangsa, memangnya begitu). (Menurut ahli bangsa, seperti Haddon, Smith,
dll, maka bangsa Indonesia itu adalah salah satu suku daripada bangsa Mongolia.
Kedalam bangsa Mongolia itu termasuk juga bangsa Tionghoa, Jepang, Korea,
Tibet, dan bangsa Mongolia sendiri. Sering juga bangsa Indonesia, Siam,
Filipina, Birma dan Annam disebut Oceanic Mongolia, ialah bangsa Mongolia
Samudra).
Mendengar jawab “scientifically yes” itu semuanya orang
tertawa. Pun saya sendiri. Murphy berkata bahwa bukanlah itu yang dimaksudkan.
Yang dimaksudkan ialah apakah saya warga Tiongkok apakah tidak. Dalam hal ini
saya jawab “tidak”. Saya sendiri merasa bahwa pasport saya tak akan diakui sah,
karena kekurangan syarat. Buat orang Indonesia kalau hendak menjadi warga
Tionghoa perlulah beberapa syarat. Menurut Murphy, maka konsul Kwantung
mengatakan bahwa darah Tionghoa yang ada pada saya ialah “from my mother side”, datangya dari pihak ibu saya.
Hal ini menurut
sejarah yang masih kita kenal, tentulah tiada mungkin terjadi. Keluarga saya
adalah keluarga yang beragama Islam dan beradat asli Minangkabau di desa kecil,
yang berjauhan sangat dengan yang ada tempat orang Tionghoanya. Apalagi di masa
ibu saya lahir. Mungkin di seluruh Padang Darat belum ada Tionghoa di masa ibu
saya lahir itu. apalagi di masa nenek saya lahir, yang masih saya kenal dan
anaknya seorang kiai (syeh) di abad lampau.
Tetapi memangnya
Tionghoalah yang mempusakakan kepada bangsa Indonesia beberapa bukti kejadian
Indonesia yang sebenarnya. Teristimewa pula di zaman lampau, seperti di zaman
Sriwijaya, Sunda Kelapa, dls. Demikianlah kalau kita kembali lebih dari 500
tahun ke belakang, maka Sang Sejarah (bacalah buku sejarah Melayu). Mengabarkan
kepada kita bahwa seorang sultan Kerajaan Malaka (Musafir atau Mansyur Syah)
kawin dengan seorang puteri Tionghoa. Sekembalinya dia ke Malaka, maka puteri
tadi diberi pula 500 oran dayang-dayang ialah para gadis anaknya para pembesar
Tionghoa. Sesampainya di Malaka mereka di Islamkan dan dikawinkan dengan para
pembesar di Malaka. Kuburan mereka masih terdapat di suatu tempat yang bernama
“Bukit Cina”. Sesungguhnya pula kalau almarhum ibu saya berpakaian Tionghoa dan
duduk di antara wanita Tionghoa tak akan banyak orang yang akan melihat
perbedaan, karena perawakan dan warna kulitnya seperti sering terdapat pada
wanita Indonesia lainnya memang banyak persamaan. Pula Minangkabau asli dan
sekarang amat rapat perhubungannya dalam segala-galanya dengan Tanah
Semenanjung Malaka. Walaupun saya tak akan merasa kecewa kalau dari pihak ibu,
saya ada mewarisi darah Tionghoa, tetapi apa yang terjadi lebih daripada 500
tahun lampau itu tiadalah sanggup saya menyelidikinya, apakah pula membenarkan
atau menyalahkan “teorinya”, Konsul pemerintah Kwantung di Hongkong itu. Di
samping sejarahnya “Puteri Cina” di Malaka itu janganlah dilupakan banyaknya
beberapa suku Indonesia asli dengan Tionghoa itu (Batak umpamanya). Kalau tiada
banyak persamaan itu masakan pula para ahli akan memasukkan bangsa Indonesia ke
dalam jenis manusia Mongolia.
Perhatian tuan
Konsul sebenarnya amat menggembirakan saya di masa itu. Saya merasa kurang
sunyi, karena suara dari luar senjata sudah ada yang masuk.
Sebenarnya yang
mendorong saya memberikan jawaban tidak (bukan Tionghoa) itu ialah karena tiada
pastinya bagi saya, apakah sifat dan bagaimanakah sikap pemerintah Kwantung di
masa itu terhadap komunis di luar Tiongkok umumnya dan terhadap saya khususnya.
Kalau pemeriintah Tiongkok Selatan 100% berdiri di belakang Chiang Kai Shek
maka pasti apa saja dan siapa saja yang berhaluan komunis tiada akan diampuni.
Berlainan halnya dengan kalau pemerintah Kwantung berhaluan sayap kiri atau
mirip ke situ. Inilah hal yang tiada saya ketahui dan tiada pula saya bisa
ketahui. Inilah hal yang amat menimbulkan kejengkelan saya terhadap pemerintah
Hongkong, karena pemerintah dari negara demokratis ini membatalkan hak
demokrasi saya ialah memakai seorang pembela hukum. Seandainya hak saya itu
tiada dilanggar oleh pemerintah Hongkong, saya dapat mengetahui sifat dan
sikapnya pemerintah Kwantung di masa itu. pelanggaran hak demokrasi itu di
belakang hari lebih memukul pula. Peristiwa itu kelak akan lebih dimengerti
pembaca yang bijaksana dan budiman!
Teranglah rasanya
bahwa jawab tepat yang mengatakan bahwa saya bukan Tionghoa,dan mestinya
mengecewakan konsul Kwantung itu, sama sekali tiada berhubungan dengan
persoalan kebangsaan. Buat saya diakui oleh satu bangsa yang berkebudayaan
luhur serta bersejarah gemilang seperti Tionghoa itu, sebagai anggota sendiri,
adalah satu penghormatan yang luar biasa. Supaya hal ini juga diketahui oleh
pembaca Tionghoa. Seandainya Dr. Sun masih hidup, dan berada dalam keadaan
seperti sediakala, tentulah saya tiada akan ragu-ragu mengambil sikap dan
tindakan. Dalam hal ini tiadalah saya akan mempelajari lebih dahulu usulnya
konsul Kwantung, melainkan sendiri akan berusaha dengan segala akal dan tenaga
masuk ke Canton Dr. Sun itu.
Meskipun saya
ditangkap oleh imperialisme Inggris saya tiada berurusan dengan pemerintah
Inggris saja. Rupanya entah hak apa, Inggris memberi kesempatan pula pada wakil
pemerintah imperialisme lainnya, seperti konsul Amerika, Perancis dan Belanda
buat melakukan pertanyaan. Kalau diterangkan lebih dahulu, bahwa pertanyaan itu
langsung datangnya dari pihak yang bukan Inggris, tentulah dengan mentah-mentah
bisa saya tolak menjawabnya itu. Tetapi pertanyaan itu biasanya dilakukan
dengan cara Inggris (British way)
ialah dengan cara licik. Maklumlah pemerintah Hongkong adalah wakil negara-negara
yang menjalankan demokrasi buat negara atau buat borjuis negaranya sendiri,
tetapi dalam hakekatnya dengan segala macam tipu muslihatnya selalu berusaha
membatalkan hak demokratis itu kepada bangsa berwarna, yang tiada menyetujui
imperialisme! Cuma kalau percakapan sudah sedikit lanjut, kita merassa, bahwa
Inggris membiarkan dirinya dipakai oleh Amerika, Perancis, dan Belanda untuk
mengetahui ini itu yang berhubungan dengan gerakan revolusioner di jajahannya
masing-masing. Berhadapan denga solidarity, kesetiaan antara imperialis satu
dengan yang lainnya itu maka saya anggap perlu juga saya hadapkan solidarity
saya dengan para pemimpin gerakan kemerdekaan di mana saja, di bawah langit
ini. Mungkin ada, mungkin pula tak ada seorang pemimpin revolusioner Annam,
yang katanya ada dalam penjara Hongkong.....mungkin atau tak mungkin pula
pemimpin Annam itu mengakui mengenal saya di Moskow atau di Canton....tetapi
saya tolak mengenal siapapun pemimpin revolusioner, kecuali kalau memang tak
bisa ditolak lagi. Bukannya saya juga tak pernah menanyakan siapakah spionnya
Inggris yang mencari-cari saya dan para teman saya dimana-mana? Kesolideran
(kesetiaan satu sama lainnya) musuh itu mesti zonder tawar menawar dibalas pula
dengan kesolideran di kalangan teman seperjuangan, di dalam menghadapi musuh
bersama. Sikap inilah pula yang memberatkan keadaan saya di belakang harinya,
di Hongkong atau di mana saja saya berada dalam tangkapan.
Rupanya belum
cukup lagi berhari-hari saya dihujani dengan pertanyaan yang timbul dari
pemerintah Hongkong dan wakil teman dari imperialis sejawatnya di Hongkong itu.
sesudah seminggu saya berada di penjara Hongkong maka tibalah pula wakil
pemerintah Singapura, wakil Inggris di Shanghai dan dari Nangking. Semuanya
ingin “berkenalan” dengan saya.
Bahwa sesungguhnya
pula pada suatu malam saya dikeluarkan dari dalam sel, buat dijumpakan dengan
beberapa orang wakil pemerintah Inggris di Singapura yang baru saja tiba di
Hongkong. Saya dipersilahkan duduk di salah satu kamar di dekat sebuah meja. Di
antara tiga orang tamu adalah satu orang yang sudah saya kenal, selama dalam
penjara, ialah Pritvy Chan. Pritvy Chan cuma memperingatkan dirinya sendiri
saja dengan perkataan: “nah tuan sudah
kenal saya”. Segera menyusul salah seorang dari yang baru datang dari
Singapura itu dengan perkataan: nama saya Dickenson. Saya sama sekali tiada
berhubungan dengan “kepolisian”.
Roman mukanya tuan
Dickenson amat menarik perhatian bentuk muka sangat harmonis, matanya sedang
dan memandang dengan langsung, semuanya pantas dimasukkan ke dalam golongan
Inggris budiman. Rupanya dia banyak menaruh perhatian pada Revolusi Siam.
Ditarik ke jurusan itu saya cuma mengatakan bahwa pergerakan di Siam tidaklah
mudah buat dipahamkan. Terlampau banyak terjadi di belakang layar yang tiada
mudah dimengerti oleh orang luar. Tuan Dickenson yang katanya tak berhubungan
dengan kepolisian, di belakang harinya menj abat pekerjaan sebagai kepala I.S.
Inggris di Singapura.
Akhirnya tuan yang
duduk di depan saya, yang selama ini berdiam diri bertanya kepada saya: “Do you know me?” (tuan kenal saya?)
Jawab: Yes!
Tanya: “Siapa nama
saya?”
Jawab: “Onreadt”.
Tuan Onread adalah
kepala Kepolisian di Singapura. Dikalangan kami, orang pelarian, dia cukup
terkenal. Walaupun baru kali ini saya melihat mukanya, saya tidak dengan
ragu-ragu menjawab seperti di atas. Keadaan saya sendiri dan pekerjaannya tuan
Onreadt yang sudah-sudah, bentuk muka dengan kumis-seru-seram itu menarik saya
pada kesimpulan, bahwa pada saat itu saya berhadapan bukan lagi dengan bayang-bayangan
seperti di Singapura, melainkan dengan badannya sendiri. Tidaklah pula akan
mengherankan, kalau seseorang yang selamanya ini mencari seseorang “musuhnya”
dengan persangkaan, bahwa musuhnya itu tidak mengenal dirinya, maka setelah
ternyata musuhnya itu mengenali dia, tidak mengherankan kalau dia terperanjat.
Seolah-olah dia sekonyong-konyong insyaf bahwa gerak-geriknya yang disangkanya
tersembunyi itu, semuanya diketahui oleh musuhnya. Demikianlah agaknya dengan
tuan Onreadt.
Bentuk dan mukanya
tuan Onreadt tidak pula memberi kesangsian sedikit pun akan pekerjaannya. Tuan
Onreadt setelah mendapat jawaban yang mungkin tiada disangkanya tadi itu coba
menyusun pertanyaan lain.
“What is your porpuse of life!” (Apakah
maksud hidup tuan?)
Jawab: “To do something useful for the society”.
(Berbuat sesuatu yang berguna buat masyarakat).
Sesudah tidak
beberapa lama maka dia berkata:
“My heart is top side down. I see you are on
the side of the front-line. And I on this side. But I can’t do otherwise. I have
to protect the British Empire”. (Hati saya terbalik berputar. Saya melihat
tuan di sebelah sananya di garis-perjuangan. Dan saya di sebelah sini. Tetapi
saya tidak bisa berbuat lainnya. Saya harus membela Kerajaan Inggris).
Percakapan
berhenti dengan begitu. Sebelumnya berpisah diucapkan lagi oleh tuan Onreadt
perkataan seperti: “How your people will
remember you after hundreds of years”. (Bagaimana bangsa tuan akan
memperingati tuan selama ratusan tahun di belakang) dan ucapan lain yang
maknanya, sedemikian juga sampai menyebut-nyebut dan membandingkan saya dengan
Nabi Isa.
Ucapannya yang
tiada berpadanan dengan taksiran saya sendiri atas diri saya sendiri itu dan
apalagi tiada pula berpadanan dengan perlakuan kepolisian Inggris terhadap diri
saya, ketika ditangkap segera saya potong dengan keterangan bagaimana caranya
para polisi Inggris melakukan tangkapan terhadap diri saya. Tiada bedanya
dengan penangkapan atas seorang penjahat pembunuh yang dijalankan di tengah
malam.
Dengan amat
malu-malu tuan Onreadt menjawab, bahwa ia sendiri amat menyesali peristiwa itu
dan akan memeriksanya dengan segera. Buat saya peristiwa itu sudah terjadi dan
tak bisa dicabut kembali. Seperti kata pepatah “Nasi sudah menjadi bubur”.
Sesudah
berhari-hari vooronderzoek pemeriksaan
semula dijalankan, maka pada suatu hari saya diiringkan ke suatu kamar besar di
dalam pekarangan kepolisian juga. Di sana saya berhadapan dengan beberapa orang
Inggris yang saya sudah sebut di atas, ialah wakil pemerintah Inggris dan
Hongkong, Singapura, Shanghai, dan Nangking atau Peiping. Berpakaian resmi
kelihatan pula wakil gubernur Hongkong, ialah sekretaris jenderal Halifax.
Rupanya saya dihadapkan ke muka Police
Count, pengadilan polisi.
Pertanyaan datang
dari beberapa sudut. Yang terutama mengambil bagian dalam soal-jawab itu ialah
wakil Inggris dari Shanghai (?) dia sudah pernah menjadikan tempat “pembuangan”
untuk saya ialah Jamaica, sebuah pulau kerajaan Inggris di Amerika Tengah.
Tetapi tak pernah dia memperkenalkan namanya kepada saya. Saya tak bisa
memastikan apakah dia berhubungan dengan I-S Inggris atau dengan diplomasi.
Tetapi dialah yang mengambil bagian terbesar dalam bersoal jawab dengan saya.
Pertanyaan kecil-kecil, dari pihak para pegawai yang lain-lainnya tidak
diizinkannya ditanyakan kepada saya.
Caranya berbicara dan bertanya mirip kepada
tukang-gertak. Matanya tak pernah memandang mata saya dengan tetap, seperti
tuan Dickenson. Rambutnya dan kumisnya merah. Semua perawakan serta
gerak-geriknya memperingatkan kepada kucing yang kalau mengintai mangsanya bisa
berjalan di atas ujung kukunya dengan tidak kedengaran jalannya. Biasanya
menurut naluri (instinct) saja, saya sesuaikan sikap saya dengan kesan-firasat
yang saya peroleh daripada orang yang di depan saya itu. Begitu pula terhadap
rambut merah dan kumis merah ini!
Dia mencoba
menghujani saya dengan pertanyaan ala public
prosecutor, officier van justitie, penuduh resmi. Taktik yang sebaiknya
yang dipakai buat menghadapi lawan semacam itu ialah: tenang dan pendek
berbicara. Setelah benar-benar kelak diketahui mau kemana ia pergi, barulah
diberikan tangkisa yang jitu.
Dalam pertanyaan
yang banyak diucapkan secara gertak sambal, saya mendapat kesimpulan, bahwa dia
tiada mempunyai bukti yang bisa dimajukan kepada saya sebagai suatu “pelanggaran”.
Dia cuma mengetahui pengetahuan umum tentang saya, yang tiada perlu saya
sangkal kebenarannya seperti: saya dibuang dari Indonesia oleh pemerintah
Belanda, dari Manila oleh pemerintah Amerika, pernah ke Moscow, pernah bekerja
buat Komintern dan Profintern dan lain-lain sebagainya. Tentulah dia bisa
mengambil kesimpulan sendiri, bahwa saya mengenal beberapa orang pergerakan
revolusioner di mana-mana negeri. Tetapi yang penting buat dia tentulah mereka
yang bekerja giat untuk merobohkan apa yang paling dekat sekali ke hati
tiap-tiap orang imperialis Inggris ialah: “The
British Empire where the sun never set”, kerajaan Inggris yang (karena
luasnya) tak mengenal matahari tenggelam.
Dalam soal jawab,
kami memegang pendirian bahwa hak saya menyimpan rahasia tentang segala hal
yang berhubungan dengan kemanan para teman seperjuangan saya, tiadalah kurang
dari haknya seseorang pegawai pemerintah Inggris buat menyimpan rahasia tentang segala-galanya yang
berhubungan dengan kejayaan para mata-mata imperialis Inggris. Selainnya
daripada itu, maka hak Inggris untuk mengetahui organisasi yang bermaksud untuk
merobohkan kapitalisme dan imperialisme tiadalah lebih dari hak saya untuk
melindungi dan menyembunyikan semua organisasi yang bersifat demikian.
Apabila Inggris
berambut merah tadi umpamanya bertanyakan, apakah saya kenal dengan beberapa
orang Hindu yang benar-benar termasuk
organisasi yang menentang penjajahan Inggris, maka saya jawab, saya tiada
kenal. Walaupun hal yang sesungguhnya adalah sebaliknya.
Sebagai satu
“umpan” maka saya mengakui mengenal seorang Hindu yang saya sebenarnya tiada
mengenal orangnya, tetapi kenal namanya seperti “Raja Mahindra Pratap”, seorang
oppurtunist atau pengimpi atau keduanya, yang di belakang hari menjadi
kolaborator Jepang. Beberapa pemimpin buruh Tionghoa, yang dulu saya kenal baik
di Hongkong dan Canton, seperti saudara Sou dan Ho sudah meninggal dan tiada
menjadi persoalan lagi. Teman seperjuangan Tionghoa yang lain-lain boleh dicari
oleh Inggris sendiri, jadi pada waktu itu tak bisa dihadapkan ke depan saya.
Berhadapan dengan
beberapa kesulitan, maka tuan Kumis Merah mengubah sikap mukanya dan dengan
suara yang dia kira bisa memberi pengaruh di luar gedung sandiwara tiba-tiba
saja berkata: “Pada jam ini kami mendapat kabar dari Singapura, bahwa Jamaludin
Tamim dan teman-temannya ditangkap oleh pemerintah Inggris di Singapura. Segera
sesudah dia mengambil kesan dari sambutan saya, dia bertanya pula: “Are you upset?” (Apakah tuan putus asa?)
Dengan cepat saya jawab: “No”
Memangya lebih
dahulu saya sudah maklum akan hal itu. Kejadian atas diri saya sendiri dan
sekitar saya sudah memberi petunjuk ke arah itu. Tak perlu hal tersebut
dikatakan lagi kepada saya.
Mendengar
keterangan tentang saudara Jamaludin itu saya berusaha tiada mengubah warna
muka saya, meskipun kepastian penangkapan itu amat mengharukan saya. Saya ingin
tahu, siapakah lagi yang ditangkap bersama-sama dengan saudara Jamaludin di
Singapura dan Indonesia. Tetapi saya mencoba memberi kesan, bahwa pergerakan kemerdekaan
Indonesia tiada tergantung kepada saudara Jamaludin atau pun pada saya sendiri.
Rupanya Kumis
Merah mendapatkan suasana yang dikehendakinya dari saya. Maka dia sekarang
memulai dengan soal jawab tentang Pan Pacific Trade Union, gabungan serikat sekerja
di Pacific yang berkedudukan di Tiongkok. Ketika ditanyakan arti dan maksudnya
serikat sekerja tersebut kepada saya maka saya jawab dengan arti yang biasa dan
logisch dimaknakan oleh “The man on the
street”, (yang diartikan oleh orang pasar saja). Berputar-putar Kumis Merah
dan pegawai yang lain-lain bergerak mencoba mengadakan, lubang dalam benteng
pertahanan saya tetapi rupanya sia-sia belaka. Saya berdiri tegak atas haknya
si penuduh dan haknya si tertuduh.
Akhirnya sesudah
beberapa lama tiada mendapat keterangan yang sedikitpun memberi keuntungan
kepada I.S. Inggris, maka Kumis Merah yang serentak diikuti oleh seluruhnya
para hadirin berdiri dan berkata: “If
that is your attitude, we don’t know what tod do with you” (Kalau sikap
tuan “terus” sedemikian, maka kami tiada bisa menjamin apa yang akan kami
lakukan kepada tuan).
Segera saya
berdiri pula dan jawab “But I know your
law. And I know also that if your are violating your own law (or usage), I
shall not come alive in the hand of my enemy” (Tetapi saya tahu
Undang-Undang negeri tuan, juga saya tahu bahwa kalau tuan melanggar
Undang-Undang tuan sendiri, saya tiada akan hidup sampai di tangannya musuh
saya).
Setelah berdiri,
kalau saya masih ingat, Pritvy Chan dan tuan-tuan Onreadt dan Dickenson menghampiri
saya dengan bujukan: “Don’t do it!
Britishers will stick to their own law”. (Jangan dijalankan. Orang Inggris
akan pegang Undang-Undangnya sendiri).
Saya diantarkan
sampai ke kamar tahanan oleh mereka itu dengan bujukan tersebut.
Pada masa itu dunia
Tionghoa dan semuanya bandar perjanjian goncang disebabkan oleh “mogok makan”
Noulens, komunis Rusia, sebagai protes atas tangkapan dan perlakuannya. Inilah
yang ditakuti oleh para pegawai Inggris itu. Inggris sudah cukup mempunyai nama
busuk di mana saja kuku penjajahannya dicengkeramkannya di dunia ini. Tiadalah
perlu ditambah-tambah lagi dengan mogok makan baru oleh saya.
Negara Inggris
memang taat juga menjalankan dasar demokrasi, sebagai negara kapitalis, yakni
kalau dibandingkan dengan negara demokrasi kapitalistis yang lain-lain,
memperlindungi pelarian itu dengan kekuasaan yang ada padanya; serta menolak
permintaan negara yang bersangkutan memulangkan pelarian politik itu ke
negerinya senantiasa dilakukan oleh pemerintah Inggris, rupanya dengan tiada
memandang warna kulit. Selang beberapa lama Raja Spanyol yang didaulat oleh
rakyatnya sendiri mendapat perlindungan pemerintah Inggris. Demikian pula
halnya dengan raja berwarna yang didaulat oleh rakyatnya sendiri raja
Pracha-Dipok dari Siam. Seorang revolusioner Tiongkok yang bermaksud
membolehkan pemerintah Manchu, yang oleh agen Manchu itu ditangkap di London
untuk dipulangkan dengan diam-diam ke Tiongkok, yakni Dr. Sun Yat Sen,
dilepaskan oleh pemerintah Inggris dari kuku cengkeramannya Manchu itu.
Semuanya itu belum
berarti bahwa mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna,
yang berada dalam jajahannya pula, akan mendapat perlindungan yang
dimaksudkannya itu. Tetapi kalau Inggris hendak berlaku jujur konsekuen,
memangnya mereka yang berada dalam keadaan sedemikian rupa tiada boleh
dikecualikan. Perkara yang prinsipil yang mengenai dasar-dasar demokrasi itu
seharusnya tiada boleh digantungkan kepada setuju atau tidaknya pemerintah
Inggris dengan politiknya si-pelarian, ialah sebelumnya ternyata dengan sah,
bahwa si-pelarian melakukan pelanggaran penting terhadap undang-undang Inggris
yang ada.
Rupanya para
pengawal Inggris yang ada di Hongkong merasa juga in-konsekuen, ketidak
jujurannya kepada saya, berhubung dengan ancaman tersembunyi di dalam
pemeriksaan pengadilan polisi tadi. Pritvy Chan berjanji, zonder permintaan
saya, akan berusaha keras supaya saya tiada akan dikembalikan ke tangan musuh.
Berkali-kali diucapkan: “That would be
uppon my shoulders”. (Tanggung jawab saya). Kepada rambut merah yang di
belakang harinya lalu di depan terali kamar tahanan saya, ketika dia mau
berangkat kembali ke tempatnya, saya sindirkan: “Wah, bagaimana halnya dengan
pembuangan ke Jamaica yang dijanjikan dahulu kepada saya itu?” Dia mengangkat pundaknya
sambil berkata: “That would be dangerous
for the British Empire” (Itu akan membahayakan kerajaan Inggris).
Tiada berapa lama
antaranya pintu kamar tahanan saya dibuka. Yang masuk ialah tuan Dickenson,
untuk pamitan. Dia mengajukan tangannya buat berjabat tangan mengucapkan
selamat tinggal, yang diucapkan dengan suara terharu berikut dengan perkataan:
“I admire you very much for the attitude
you have taken” (Saya mengagumi tuan, berhubung dengan sikap yang tuan
ambil). Tiadalah baik saya sembunyikan di sini, bahwa beserta suaranya yang
terharu itu, saya saksikan matanya yang basah. Bukan sekali dua saya berpisahan
dengan orang Eropa dan mengalami tekanan tangan, suara dan air mata yang
berasal dari perasaan yang jujur. Walaupun tuan Dickenson berada di garis front
sebelah sana, seperti tuan Onreadt tetapi perasaan simpati semacam itu
memangnya bukan sesuatu kemustahilan, walaupun di antara dua pihak yang
berlainan paham.
Pritvy Chan pun
tiada ketinggalan. Beberapa jam di belakangnya tuan Dickenson, Pritvy Chan
menyelundupkan tangannya ke sela terali kamar saya, juga dengan suara terharu
dan air mata berlinang: “Will you forgive
me, will you forgive me.....that would be upon my shoulders.” (“Maukah tuan
mengampuni saya, maukah tuan mengampuni saya......tanggung jawabnya akan di
atas bahu saya).
Pritvy Chan belum
lupa akan tingkah lakunya pada malam penangkapan saya di Kowloon. Pun Pritvy
Chan tahu benar, bahwa almarhum Subakat mati dalam penjara Belanda.........!
Simpati memangnya
tiada mustahil, pun dalam penjara imperialisme Inggris. Para pegawai yang
menjaga saya selama berada di belakang terali itu tiada semuanya manusia yang
jantungnya keras seperti besinya terali itu, tetapi ada juga yang lembut berisi
darah manusia. Tiadalah semua jantungnya dingin seperti air beku, tetapi ada
yang panas, bisa menggerakkan perasaan kemanusiaan. Saya masih ingat pada suatu
malam hari sesudah kantor tertutup kepala polisi Murphy sendiri datang ke depan
terali saya, pula penuh perasaan memberikan sebotol limonade yang dikeluarkan
dari dalam kantongnya sendiri. Tak banyak perkataannya dan terus dia pergi.
Apakah pula
artinya peristiwa yang tak pernah kejadian ini: Murphy sendiir memberikan
minuman itu?
Besok harinya saya
baru mengetahuinya. Pagi harinya kamar saya dibuka oleh seorang pegawai
Inggris. Saya diantarkan ke gedung bagian hukuman orang Tionghoa. Sebelumnya
saya ke “sel” saya harus mencatatkan saya pada satu kamar! Di depan kamar
terlihat mayat seorang hukuman yang bertelanjang bulat. Entah bagaimana
matinya, entah lantaran sakit, entah sesudah digantung. Mereka hukuman Tionghoa
yang masuk untuk diappel, berjalan sambil jongkok. Saya masuk tetap berdiri
tegak. Apa bila seorang Inggris di meja tulis berbisik kepada Inggris yang lain
rupanya bertanyakan, siapakah saya, maka dijawab pula dengan bisikan: “Tan
Malaka”. Tiada lama sesudahnya, maka saya dimasukkan ke “sel Cina” seperti “sel
buat Inlanders” yang dikenal di Indonesia. Tiadalah perlu saya uraikan besar,
bentuk dan keadaan “sel Cina” itu pada tulisan ini.
Pindah dari kamar
buat tahanan Eropa ke “sel Cina” inilah rupanya yang menggerakkan hati kepala
polisi Murphy, yang rupanya cuma sanggup memperlihatkan simpatinya dengan nasib
saya itu, dengan hadiah sebotol limonade yang kabarnya dibeli sendiri.
Apakah pula
sebabnya saya diturunkan “pangkat” itu dan apakah pula kemungkinan di hari
depan? Waktu merenungkan di dalam gelap dalam “sel Cina” tentang kemungkinan
sebabnya saya diturunkan dari kamar Eropa ke “Sel Cina” itu saya tiada
mendapatkan kepastian. Sebab yang sebenarnya cuma diketahui oleh birokrasi
imperialisme Inggris saja.
Mulanya saya
pikir, bahwa saya segera akan dilepaskan atau diserahkan kepada Belanda (uitgeleverd). Tanda-tanda ke jurusan itu
memangnya ada. Tetapi ada pula persangkaan, bahwa saya akan diam-diam dipenjara
dalam hukuman. Maklumlah saya tiada mempunyai hubungan sama sekali dengan dunia
luar, jadi tak bisa memastikan. Akhirnya ada pula pengiraan saya, bahwa
kejadian ini adalah akibatnya satu dua peristiwa yang oleh satu dua orang pegawai
rendahan Inggris dianggapnya sebagai “pelanggaran” atas ketertiban, ketika saya
masih berada di kamar tahan Eropa.
Pada suatu hari
ketika jauh malam apabila suasana rupanya mulai senyap maka serdadu India,
ialah penjaga di depan kamar saya, sesudah melihat ke kiri-ke kanan,
menghampiri terali kamar dan bertanyakan dalam bahasa Inggris: “Berapakah
banyaknya orang Islam yang berada di Jawa?” Saya jawab: “+- 60 juta (tahun
1932).” Dia kelihatan gembira sekali dan mengatakan bahwa dirinya adalah
seorang Islam dari Punjab. Sedang dia menceritakan ini-itu dan asyik
bertanyakan apa yang ingin diketahuinya, maka tiba-tiba dari gelap keluar
seorang pegawai Inggris, kepada saya berkata: “You are not allowed to talk to the British soldier”. (Tuan tiada
diizinkan berbicara dengan serdadu Inggris).
Rupanya kabar
bahwa saya seorang pergerakan berasal dari Indonesia, rupanya sudah banyak
diketahui. Sesudah kejadian di atas saya tiada pernah lagi melihat serdadu
Islam di depan terali kamar tahanan Eropa itu. Yang saya lihat berganti-ganti
menjaga adalah serdadu Sikh dan serdadu Hindu. Mulanya mereka berupa streng
(keras). Tetapi tiada lama, serdadu Hindu atau Sikh, yang sudah mashur
ketaatannya pun, menghampiri terali saya untuk bercerita dan bertanya kepada
saya. Tentulah akan saya dengarkan ceritanya dan akan saya jawab pertanyaannya,
teristimewa pula dalam keadaan tiada mempunyai teman untuk berbicara itu. Pada
suatu malam itu pula, apabila seorang serdadu Sikh dengan suara agak keras
memaki-maki Inggris, karena gajinya tak berbanding dengan gaji serdadu Inggris,
sedangkan pekerjaan lebih berat dan lebih berbahaya kalau ada kerusuhan atau
peperangan, maka tiba-tiba dari tempat gelap keluarlah pula pegawai Inggris
yang rupanya sedang mengintip dekat tempat saya. Sekali lagi diperingatkan
kepada saya, bahwa saya tiada boleh berbicara kepada serdadu Inggris. “Membela
diri” tiada baik dalam keadaan sedemikian, karena bagaimanapun juga pembelaan
itu dilakukan, semuanya akan memberatkan si serdadu saja. Dalam hal ini baik
diperhatikan juga pepatah asing yang berbunyi “Zwijgen is goud, spreken is zilver” (berdiam diri itu adalah emas
dan berbicara itu adalah perak).
Tetapi berdiam
diri itu buat saya sendiri resikonya mungkin ada. Inilah pula salah satu
daripada kemungkinan sebab, maka pangkat diturunkan dari tingkat Eropa ke
tingkat “Cina”. Tiada berapa lama saya merenungkan semua kemungkinan apakah
sebabnya saya dipindahkan itu, maka saya dengar ketukan perlahan-lahan di pintu
saya. Apabila saya hampiri, maka saya dengar suara daril luar dengan suara
kecil dengan bahasa Indonesia Tionghoa: “Gua ol (r) ang Cina. Gua dihukum empat
tahun. Dulu gua tinggal lama tinggal di Medan. Sobat mau apa boleh gua tolong.
Sobat mau daging gua cal (r) i. Mau telot (r) gua cali.
Saya: “Kenapa
sobat dihukum?”
Jawab: “Keleja
kuli di kebon”.
Saya: “Tak mau
daging dan tak mau telur. Coba sobat tolong carikan kertas dan pena. Saya mau
tulis surat. Nanti sobat tolong kirim. Apa sobat bisa apa tidak?”
Jawab: “Bisa”.
Apabila masih
berada di kamar tahanan Eropa dan gagal mendesak mendapatkan “lawyer” (pembela
hukum), maka akhirnya permintaan saya untuk mengirimkan surat dan kawat
dibenarkan.
Kepada ketua
Partai Sosialis Inggris, almarhum Lansbury, yang duduk dalam parlemen saya
kirim kawat buat menerangkan keadaan saya. Saya tiada merasa pasti, bahwa kawat
itu akan disampaikan atau tiada disampaikan dengan cepat dan tiada pula
mengandung pengharapan banyak akan hasilnya. Sebab itu saya kirim lagi surat
dengan secara gelap dengan perantaraan sobat tadi kepada almarhum Mackston,
bekas pemimpin Independent Labour Party
dan anggota Parlemen Inggris. Pemimpin kaum buruh yang lebih radikal yang
menjadi anggota parlemen di waktu itu tiadalah saya kenal namanya. Surat kepada
Mackston itu ternyata memberikan hasil. Setelah saya keluar dari tahanan, maka
saya dapat membaca surat kabar, bahwa Mackston mengadakan pertanyaan dalam
parlemen Inggris, yang berhubungan dengan penangkapan atas diri saya itu.
Mungkin sekali inilah yang menyebabkan Inggris tak boleh lebih lama menahan
saya dalam penjara dengan tiada mengadakan pemeriksaan pengadilan seperti
lazimnya di dunia demokrasi.
Mungkin pula ada
hasilnya surat yang kedua, ialah yang dikirimkan secara gelap dari “sel Cina”
pula yang berhasil “menerobos” blokade Inggris dan menjumpai para sahabat saya
di Manila. Dari Manila saya mendapat jawaban yang diantaranya berbunyi:
“Suratmu sudah
kami terima. Semua sahabatmu berduka cita karena insyaf benar akan kesulitannya
keadaanmu. Tetapi kami pula percaya akan “British
Justice” (keadilan Inggris).
Pada permulaan
tahanan, saya diizinkan keluar lebih kurang setengah jam sehari buat
berjalan-jalan di pekarangan polisi yang tertutup oleh rumah kepolisian,
penjara dan tembok batu. Saya selalu diiringi oleh dua serdadu Hindu, satu di
kiri dan satu di kanan dan dijaga oleh serdadu pula di tiap-tiap sudut
pekarangan dan pintu gerbang. Saya merasa penjagaan itu seperti juga pada malam
hari, terlalu keras. Tampaknya Inggris takut benar akan penyerbuan dari luar.
Apakah ada alasan buat ketakutan itu? Saya tak sanggup memastikan hal ini.
Di tempat hukuman
Tionghoa saya juga diizinkan tiap-tiap hari setengah jam keluar. Pada suatu hari
saya kebetulan melihat sdr. Dawood beberapa puluh meter jauhnya dari saya. Dia
melambai-lambaikan tangannya dengan teriakan “Hidup Indonesia Merdeka”
berkali-kali.
Sesudah beberapa
minggu berpisah barulah hari itu saya melihat dia kembali. Dia dan saya ditangkap
berhubungan pula dengan penangkapan sdr. Jamaludin di Singapura. Rupanya alamat
dialah yang dicari ke Hongkong, setelah sdr. Jamaludin ditangkap. Bagaimana
perasaan saya melihat sikapnya Dawood tentulah mudah digambarkan. Dia selalu
memegang teguh pendiriannya sampai saya menuliskan perkataan ini (Oktober
1947). Semenjak perpisahan kami di Hongkong sampai sekarang ialah selama 15
tahun ini, Dawood seperti banyak temannya yang lain-lain, yang sama pendirian,
sudah melalui penjara di Hindia Belanda dan pembuangan di Digul. Dari Dawood
baru saja saya mendapat surat dari Jakarta, sekembalinya dia dari Digul. Yang
kedua kalinya ialah dari Australia bersama-sama dengan 22 orang temannya, yang
oleh Belanda dianggap “overzoenlijken”
(tak mau berdamai)
Di waktu berada di
dalam “sel Cina” pun rupanya birokrasi tiada melupakan “kecantikan” untuk saya.
Saya juga diizinkan keluar sel buat berpotong rambut. Rupanya Nyi Birokrasi
juga berkewajiban menjaga supaya hair-dressing,
potongan rambut saya dalam “sel Cina” itu tak kalah dengan potongan rambut
seorang pegawai pemerintah Inggris di waktu “dansa” dengan para ladies (wanita)nya.
Tetapi sesudah
berpotong rambut saya tahu-tahu sudah dipotret dari depan, samping dan
belakang. Lagi pula sekonyong-konyong dua tiga orang kuat memegang kedua tangan
saya. Salah seorang pemegang jempol saya buat diambil capnya. Jadinya saya
dipancing keluar “sel Cina” buat digambar dari empat penjuru dan buat diserobot
“cap jempol” saya. Umpamanya ialah berpotong rambut.
Karena semuanya dilakukan
dengan tiba-tiba, secara serobotan oleh beberapa orang Tionghoa suruhan, yang
bersibisu, kalau ditanyai ini-itu, maka perlakuan semacam itu terpaksa
dibiarkan saja. Di belakang harinya Murphy meminta maaf atas kejadian tersebut
kepada saya. Dikatakannya pula, bahwa mereka itu harus minta izin lebih dahulu
kepada saya dan saya sendiri berhak menolak. Tetapi tentang kejadian inipun
seperti dengan penangkapan di Kowloon, saya dijumpakan dengan “fait accompli” ialah sesudah nasi
menjadi bubur. Lebih tepat lagi kalau dikatakan: pukul dahulu, maaf kemudian.
Inipun adalah salah satunya British way,
caranya Inggris.
Entah apa
sebabnya, maka setelah beberapa lama saya berada dalam “sel Cina” saya
dikembalikan ke kamar tahanan Eropa. Bukan untuk tetap tinggal di sini. Di
belakang harinya saya dipindahkan lagi ke “sel Cina” yang lebih terpencil lagi
daripada yang bermula. Kemudian dikembalikan pula ke kamar tahanan masnusia
atasan, ialah orang Eropa. Demikianlah saya dipulang balikkan en tah dengan maksud apa. Tetapi Murphy berkata,
bahwa dia tiada setuju, saya dimasukkan ke “sel Cina” itu. Tetapi perintahnya
birokrasi dari atas khayangan tentulah mestik dijalankan.
Pada suatu hari
ketika berada dalam kamar tahanan Eropa, maka saya dipanggil ke kantor. Diberitakan
kepada saya, bahwa Hindia Belanda mengirimkan wakilnya ke Hongkong ialah
Viesbeen yang semula bekerja pada PID dan kemudian pada parket. Dia meminta
kepada pemerintah Hongkong untuk menginterview saya. Murphy bertanya kapada
saya, ap akah saya mau diinterview oleh Viesben itu. dengan cepat saya jawab
tidak.
Balasan saya itu
katanya disampaikan kepada Viesbeen. Di belakang harinya lagi Murphy
menghampiri saya pula. Dia katakan, bahwa Viesbeen tiada percaya saya menolak
permintaannya tadi. Supaya Viesbeen jangan menyangka, bahwa pemerintah Hongkong
tiada menyampaikan permintaan Viesbeen meng-interview saya, maka Murphy meminta
kepada saya, supaya mengizinkan dia (Viesbeen) dijumpakan dengan saya. Apa dan
berapa nanti yang akan saya katakan, terserah kepada saya, kata Murphy. Diminta
pula kepada saya supaya pembicaraan dilakukan dalam bahasa Inggris. Catatan
akan diambil secara stenografis.
Begitulah pada
suatu pagi hari Viesbeen dibawa masuk ke kantor polisi. Pembicaraan tiada
diadakan langsung antara Viesbeen dan saya, melainkan dengan perantaraan
Murphy. Kalau saya tak salah ada lagi orang Inggris yang lain-lain menyaksikan.
Tanya : “Gambar
siapa ini?” (Ditunjukkan gambar saya dengan beberapa serdadu Tionghoa, ketika
berada dalam Kikoq di desa Sionching. Rupanya gambar itu dirampas dari almarhum
Subakat, ketika dia ditangkap di Bangkok!)
Jawab: “Boleh
lihat sendiri”
Tanya: “Dimanakah
serdadu itu sekarang?”
Jawab: “Di salah
satu gua dekat kantornya Viesbeen. Awaslah” (semuanya tertawa!)
Tanya: “Benarkah
Tan Malaka kembali ke Indonesia kira-kira tahun 1925?
Bagaimana jalan yang diambil?”
Jawab: “Pertanyaan
semacam itu bukan “interview” tentang pemandangan dalam politik, seperti biasa
dimaknakan. Pertanyaan yang berhubungan dengan kepolisian semacam itu saya tak
ingin menjawabnya”.
Murphy lalu
menoleh kepada saya. Dia bertanyakan, apakah yang mau saya katakan atau
tanyakan. Saya berkata: “Ingatlah, bahwa
dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
Murphy menyuruh
mencatatkan ini kepada nona sekretaris baik-baik. Kemudian Murphy bertanya
pula, apakah lagi yang akan saya katakan.
Saya sampaikan
kepada pemerintah Hindia Belanda peringatan saya: “Storm ahead, don’t lose your head.” (Topan di depan, jangan
kehilangan kepala).
Karena semuanya
tertawa mendengar, maka nona sekretaris terpaksa bertanya lagi apa yang saya
katakan tadi sepenuhnya. Saya ulang perlahan-lahan “Storm ahead, don’t lose your head”.
Kalimat ini
mengandung dua arti. Arti yang pertama ialah: jangan kehilangan akal. Arti yang
kedua ialah: jangan kehilangan kepala, karena dipotong.
“Don’t lose your head” itu diucapkan pada
bulan Desember 1932. Pada bulan Desember 1941 Jepang menyerang Singapura. Pada
tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda tiada saja kehilangan akal,
tetapi juga kehilangan kepala. Sayang Viesbeend sebelumnya “nujum” itu
terlaksana, sudah mati. Kabar ini kebetulan saja saya baca dalam salah satu
surat kabar.
Di belakangnya
interview tersebut, maka rupanya Viesbeen mendesak keras kepada pemerintah
Hongkong supaya saya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Maksud
interview itu boleh jadi cuma untuk menyaksikan apakah benar Tan Malaka yang
ditangkap atau tidak. Bukankah sudah terlalu banyak kabar yang menyebutkan
tangkapan dan matinya Tan Malaka di mana-mana negeri. Dua tiga kali dikatakan
kepada saya, bahwa pemerintah Inggris “will
stick to their own law” (akan pegang teguh Undang-Undangnya). Jawab saya
kalau benar-benar kelak saya diserahkan kepada Hindia Belanda, sudah terang
pada pengadilan polisi tempo hari. Pula sudah saya bayangkan dalam interview
dengan Viesbeen: “Dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari
atas bumi”. Di waktu itu memang saya bersiap menghadapi semua kemungkinan. Dan
saya yakin benar bahwa kemerdekaan Indonesia memerlukan banyak korban.
Setelah
berkali-kali saya dipulang balikkan dari kamar tawanan Eropa ke “sel Cina”,
maka akhirnya pada penghabisan bulan Desember tahun 1932 kepada saya dimajukan
pertanyaan: kemanakah saya ingin pergi, kalau saya disuruh keluar dari
Hongkong. Saya peringatkan sekian kali, bahwa jika saya melakukan pelanggaran
berhubung dengan Undang-Undang pemerintah Hongkong, maka sepatutnya saya
dituntut di depan pengadilan. Kalau kelak dalam pemeriksaan ternyata saya
bersalah, maka tentulah saya akan menerima hukuman. Tetapi kalau kelak ternyata
saya tiada bersalah, maka sebenarnya menurut kebiasaan negara sopan di dunia
ini, saya berhak tinggal di Hongkong. Sering pula saya peringatkan, bahwa Dr.
Sun Yat Sen, ialah seorang revolusioner Tionghoa, selalu dapat perlindungan di
Hongkong atau di bandar perjanjian seperti Shanghai. Pegawai Inggris tak pernah
memberi jawab yang pasti terhadap peringatan saya seperti ini. Tetapi rupanya
pemerintah Hongkong seolah-olah mau menjalankan lembaga negara sopan, ialah
menyediakan tempat pembuangan lebih dahulu, sebelum calon pembuangan itu
diusir.
Saya jawab, bahwa
kalau saya akan dibuang juga, maka suka saya ingin pergi kembali ke Manila.
Maka menurut pemerintah Hongkong, atas nama konsul Amerika di Hongkong, saya
tiada diperbolehkan masuk ke Filipina. Kemudian saya bertanyakan, apakah
keamanan diri saya akan dijamin kalau melalui Perancis dan Nederland. Saya
berniat melanjutkan perjalanan saya sesudah mengambil kembali uang saya yang
sepuluh tahun sebelumnya saya simpan di dua Bank di Nederland. Dengan uang itu
dan pekerjaan sebagai wartawan surat kabar di Asia saya akan bisa menjamin
kehidupan saya sendiri di salah satu negara di Eropa. Hal yang dibelakang ini
perlu dimajukan, karena kebanyakan negara memangnya segan sekali menerima orang
asing yang tiada berpencaharian pasti. Di belakang hari saya mendapat jawab,
bahwa saya tiada boleh lalu di negara Nederland, karena katanya saya sudah
kehilangan “Nederlandsche onderdaanschan” saya (kerakyatan Nederland). Setelah
saya bertanya menurut Undang-Undang manakah saya kehilangan hak tersebut, maka
dijawab, bahwa menurut peraturan Hinida Belanda, jika seseorang Indonesia lebih
dari lima tahun tiada menghubungkan dirinya dengan salah satu wakil pemerintah
Nederland (duta atau konsul), dimana orang Indonesia itu berada, maka orang itu
akan kehilangan haknya sebagai rakyat Nederland. Jadi dengan begitu saya tiada
berhak lagi mendapatkan pasport. Dengan demikian maka sendirinya pula, tiada
saya bisa bepergian dengan legal, resmi. Dan kecuali ada negara yang mau
menerima saya masuk ke negerinya, maka tiada lagi tempat yang lain buat saya
sesudah jatuh ke tangan Inggris di Hongkong itu selainnya daripada rumah
penjara. Ternyatalah pula bahwa penangkapan atas diri saya di Hongkong itu
tiada saja menghilangkan kemungkinan buat bepergian atau tinggal di Hongkong,
tetapi seterusnya menghilangkan semua kemungkinan untuk mencari nafkah hidup.
Rupanya diwaktu
itu pemerintah Hindia Belanda tiada
berjumpa dengan persoalan yang mudah diselesaikan ataupun menjalankan
pelanggaran yang mudah dilakukakan. Saya dengar pemerintah Hindia Belanda ingin
mengambil saya kembali. Itulah pula maksudnya mengirimkan Viesbeen ke Hongkong.
Tetapi maksud itu gagal berhubung dengan sikap pemerintah Hongkong dan sikap
saya sendiri. Sebagai penjahat (criminal) saya tiada bisa dituntut,
dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, karena saya tiada pernah melakukan
kejahatan. Benar adanya saya di luar negara oleh pemerintah Hindia Belanda
terus dianggap sebagai bahaya buat dirinya, tetapi saya tiada pernah melakukan
kejahatan seperti pemalsuan uang atau pembunuhan atas pembesar Belanda. Dan
sebenarnya tiadalah pula ada alasan buat menuntut kembali orang yang sudah
dibuang menurut Exobitante Rechten, hak istimewanya gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Tetapi rupanya
para Conspirators, tuan-tuan besar imperialis yang berkomplotan terhadap
seseorang berwarna yang tiada berdaya, yang tiada mempunyai negara, yang tiada
diizinkan oleh negara sopan, seperti Inggris, Amerika, Perancis, dan Belanda,
masuk ke negara atau melalui negara atau jajahannya mencari tempat buat hidup,
rupanya para Conspirators satu hari mendapatkan “akal”. Saya katanya, boleh
pergi ke Eropa. Pegawai Inggris tergesa-gesa hendak mengurus karcis saya.
Ketergesa-gesaan itu menimbulkan kecurigaan di hati saya. Segera saya tanyakan
dengan kapal apakah saya akan diberangkatkan. Setelah dikatakan bahwa kapal
Perancislah yang akan membawa saya itu maka dengan tegas saya tolak kapal
Perancis itu. Saya katakan bahwa kalau saya akan diberangkatkan ke jurusan
Eropa, maka saya cuma mau menumpangi kapal Inggris saja. Saya katakan pula
bahwa saya ditangkap oleh pemerintah Inggris dan Inggris pulalah yang harus
bertanggung jawab atas keselamatan atau kemalangan, atas hidup dan matinya
saya. Biarpun rakyat Indonesia masih bodoh, dan lemah, tetapi pada suatu masa
Rakyat Indonesia akan mengerti juga peraturan Internasional. Kalau kemalangan
atas diri saya itu dilakukan oleh pemerintah Inggris, biarlah kelak rakyat
Indonesia tahu siapa yang bertanggung jawab. Di mata saya masih terbayang
tingkah lakunya imperialisme Perancis terhadap almarhum Subakat. Kapalnya
Perancis lah kabarnya yang membawa almarhum Subakat dari Bangkok ke Singapura
apabila dia dibuang oleh bekas Raja Dipok. Kapal Perancis itulah dengan tiada
malu-malu menyerahkan almarhum Subakat ke tangan pemerintah Hindia Belanda.
Siasat di atas
rupanya gagal. Pada suatu hari saya oleh Murphy diperkenalkan kepada
penggantinya, namanya kalau saya masih ingat ialah Thomson. Bersama tuan
Thomson dan Murphy saya dibawa ke suatu kamar berhadapan dengan kepala I.S.
Nama kepala I.S. saya sudah lupa, tetapi dikenal dengan mata palsunya. Sebelah
matanya hilang diganti dengan kaca.
Setelah sebentar
saya duduk, saya diberitahukan oleh Mata Kaca: “Tuan mesti berangkat”.
Jawab : “Kemana?”
Mata Kaca : “Kami tidak tahu”
Saya : “Bolehkah saya pergi ke
Inggris?”
Jawab : “Tidak”
Saya : “Dalam Parlemen cuma satu
orang wakil komunis”
Jawab : “Tak perlu tuan tambah lagi”
Saya :
“Bukankah aturannya pemerintah Inggris biasanya menyediakan
lebih dahulu tempat pembuangan dan menanggung jawab
keselamatan orang buangan itu selama berada di jalan menuju ke
tempat pembuangan yang seharusnya sudah ditetapkan lebih dahulu
itu?”
Saya : “Kenapa saya tiada mendapat perlakuan seperti
biasa menurut
peraturan Inggris?”
jawab : “You are Tan Malaka”. (Tuan Tan
Malaka).
Rupanya karena
memang saya Tan Malaka, saya tiada mempunyai hak buat menggunakan ahli hukum
sebagai pembela; tiada berhak dihadapkan kepada pengadilan umum (public trial);
tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun tiada berhak untuk
dibuang ke tempat yang aman di jalan dan di tempat pembuangan. Karena saya
tiada diizinkan memakai ahli hukum, maka tiadalah pula dapat saya mengetahui
apakah tidak ada bagian Tiongkok yang mau mengizinkan saya masuk.
Sebagai akibat
semua yang tersebut di atas ini, maka sebenarnya saya tiada diberi hak lagi
buat bergerak, kecuali di dalam penjara imperialis, diikuti oleh agen
imperialis.
Akhirnya Mata Kaca
berkata: “Besok tuan boleh mengambil keputusan”. Tetapi setelah mendapat
desakan tiba-tiba itu, saya menjawab: “Ini hari saya akan mengambil keputusan,
nanti pukul satu”.
Di kantor polisi
saya tanyakan kepada Thomson “Berapa lamakah saya akan dihukum, kalau saya
menolak dibuang dari Hongkong?”
Jawab: “Satu
tahun, ialah berhubungan dengan pelanggaran (misdemeaner)”.
Tanya: “Berapakah
pula lama hukumannya kalau sesudah dihuku setahun itu saya tolak lagi dibuang?”
Jawab: “dua atau
tiga tahun”.
Kemudian Thomson
pergi keluar kantor. Yang tinggal cuma nona sekretaris dan saya. Nona itu
biasanya mencarikan buku bacaan buat saya. Pada waktu itu saya meminta surat
kabar yang paling belakang, di sinilah saya pelajari perjalanan kapal yang
bertolak dari Hongkong ke semua penjuru.
Setelah Thomson
akan kembali saya berkata, bahwa saya sudah memutuskan akan bertolak ke
Shanghai. Kira-kira jam 2 akan ada kapal berangkat menuju ke Shanghai. Saya
sendiri tahu, bahwa kapalnya kongsi yang akan saya tumpangi itu biasanya
berhenti di Shanghai bagian Perancis. Seperti saya bayangkan di atas,
pemerintah Perancis tentulah tiada akan segan-segan menangkap dan mengembalikan
saya ke pemerintah Hindia Belanda.
Saya diantarkan ke
kongsi kapal oleh seorang I.S. Inggris untuk membeli karcis. Setelah semuanya
selesai saya diantarkan ke kapal oleh orang I.S Inggris tadinya dan rupanya
juga diikuti oleh polisi lain.
Kapal yang katanya
tadi akan berangkat pukul dua menunda bertolaknya sampai pukul empat atau
lebih. Kapal itu kepunyaan sebuah kongsi Inggris dan kaptennya tentulah orang
Inggris pula. Sesudah sekian lama saya menunggu di dalam kapal, maka masuklah
pula seorang Inggris sebagai penumpang. Dia diperkenalkan kepada saya sebagai
pegawai konsul Inggris di Amoy.
Demikianlah akhirnya
sesudah meringkuk di dalam penjara Inggris, +- 2 ½ bulan lamanya pada
penghabisan bulan Desember 1932, saya bertolak dari Hongkong bersama pegawai
Inggris dengan kapal Inggris menuju ke Shanghai, ke bandar yang dikuasai oleh
imperialis dan tak lebih aman buat saya daripada di Hongkong.
Seakan-akan saya
menuju perangkap!
Biarlah para
Conpirators imperialis bersuka cita!
Tunggu sajalah
saya di Shanghai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar