Kamis, 07 April 2016

Di Hongkong

Ong Soong Lee, nama penuhnya, yang mengandung 13 nama reserve, dengan tidak membatalkan nama di atas pasportnya dengan kopor baru, kebetulan pula seharga $ 13, pada permulaan bulan Oktober tahun 1932, menyewa kamar No. 13 di Station Hotel Kowloon, kota di seberang bandar Hongkong.
Syahdan pada hari 2 x 10, ialah bulan 10 dan hari 10, hari ulang tahunnya Republik Tiongkok, maka angka 3 x 13 tersebut di atas, buat mereka yang percaya kepada kecelakaan angka 13 benar-benar menjalankan rohnya. Buat mereka yang bersandar atas barang yang nyata, tentulah kemalangan diri saya pada malam hari itu berhubungan dengan sebab dan akibat yang nyata pula.
Tetapi memangnya pula, entah karena perasaan apa, maka pada sorenya hari 2 x 10, hari double-ten itu saya mengadakan persiapan dengan kawan saya Dawood. Semua pesan yang perlu saya berikan pada malam hari itu, seolah-olah ada bahaya yang akan menimpa. Dawood datang dari Indonesia menjumpai saya di Shanghai. Kemudian dia berangkat dulu ke Hongkong dimana kami berjumpa lagi. Dia tinggal di kota Hongkong dengan memakai nama Phipino dan saya tinggal di Kowloon.
Di Hongkong di tepi pantai pada hari tersebut sampai jauh malam kami bercakap-cakap. Kami berpisah hampir jam 12 malam. Dia tinggal di Hongkong dan saya menumpang ferry boat, kapal yang pulang balik antara Hongkong dan Kowloon. Lamanya berlayar lebih kurang 5 menit. Setelah sampai di Kowloon, maka saya merasa diikuti oleh polisi rahasia Inggris. Seorang Tionghoa berpakaian biasa dan seorang Benggali, tinggi besar selalu saja di belakang saya.
Apabila sudah saya memperoleh kepastian bahwa kedua polisi rahasia tersebut benar-benar mengikuti saya, maka saya mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri. Dengan segala muslihat saya berusaha melepaskan diri dari mata mereka, tetapi karena keadaannya kota Kowloon, di tengah-tengah malam hari pula, tidaklah berhasil usaha itu. Saya tetap diikuti. Kowloon dikelilingi laut. Satu jalan yang menghubungkan Kowloon dengan Canton ialah jalan kereta api yang rupanya sudah dijaga pula.
Jalan keluar kota, sudah tertutup sama sekali. Apabila saya sampai ke depang hotel saya, maka saya merasa tidaklah aman masuk ke dalam hotel. Saya tidak jadi masuk ke dalam hotel, melainkan membelok ke kanan. Tiba-tiba saya diserang dari belakang oleh dua orang.
Si Tionghoa yang mengikuti saya tadi dengan tangan kirinya menekan leher saya sambil memegang tangan kanan saya dengan tangan  kanannya pula. Si Benggali, yang tinggi besar itu dengan tangan kanannya menekan leher bagian belakang saya dan memegang tangan kiri saya dengan kirinya pula. Serangan ini dilakukan sekoyong-konyong dengan kekerasan seperti polisi hendak menangkap seorang penjahat pembunuh orang.
Segera saya bertanya dalam bahasa Inggris: “What is the matter? (Apa perkaranya?), oleh Benggali pertanyaan itu cuma dijawab dengan perkataan “What is the matter” pula. Cuma perkataan itu diteriakkannya keras-keras sambil leher belakang saya ditekankannya lebih kuat ke depan.
Ditekan oleh dua kiri kanan itu saya hampir tidak bisa bernapas. Dengan sendirinya kaki saya sebelah kiri yang pernah mendapat “latihan kampung” bergerak ke lobang belakang lututnya menuju ke depan dan siku kiri saya bergerak menekan perutnya menuju ke belakang. Dia terpaksa melepaskan tekanannya atas leher saya, berbalik, sambil meraba hulu pistolnya.
Saya baru insyaf, bahwa saya berhadapan dengan polisi rahasia yang bersenjata lengkap itu. Karena si Tionghoa tidak bersikap keras seperti si Benggali dan melonggarkan pegangannya maka cuma satu jalan yang dapat saya tempuh untuk membela diri: menerjang si Tionghoa ke kiri (kalau perlu), dan menendang dengan cepat si Benggali, yang sudah setengah terbalik itu. Apa kelak akibatnya saya pada saat itu tidak pikirkan lagi. Menghadapi maut orang tak bisa berpikir panjang. Lagi pula penghinaan semacam itu walaupun dari dua orang bersenjata lengkap tidak dapat saya terima begitu saja.
Untunglah saya tidak menyabung jiwa, cuma buat membela kehormatan diri sendiri. Ada lagi kehormatan yang lebih tinggi yang akan dibela. Sekonyong-konyong keluarlah dari sudut yang gelap polisi resmi, polisi Inggris, dengan teriakan dalam bahasa Hindu kepada Benggali tadi sambil menghampiri saya dengan perkataan: “That is not the way to arrest a man”. (bukan demikian caranya menangkap orang).        
Oleh polisi resmi itu saya digiring ke kantor polisi, cabang Kowloon, yang tidak jauh dan agak tinggi letaknya. Di belakang kami kedua polisi rahasia tadi mengikuti, agak jauh jaraknya. Sambil berjalan polisi resmi berkata dalam suara rendah kepada saya: “I am a Punjabi Moslem”. Yang kedua kalilah saya berkenalan dengan Islam Hindustan, dalam keadaan sulit. Pertama ketika ditangkap di Manila. Seperti sudah saya katakan lebih dahulu dia memberikan sumbangan kaum Islam di Manila dengan berupa uang. Yang di Kowloon ini memberikan sumbangan dengan jalan memisahkan saya dari mereka yang menjadi kaki tangan imperialisme Inggris yang kesetiaannya kepada tuannya tak kurang daripada kesetiaan anjing pemburu, siap sedia menerkam mangsanya kalau diperintahkan oleh tuan yang memberi makan padanya. 
Di kantor polisi Kowloon lewat jam satu malam, saya disambut oleh para polisi, lima enam orang polisi Tionghoa di bawah pimpinan seorang sersan Inggris. Baru saja diserahkan oleh polisi Islam tadi ke sersan Inggris itu maka yang di belakang ini memerintahkan kepada orang bawahannya buat menggeledah saya. Saya digeledah habis-habisan sampai tak ada bagian badan yang tidak digeledahnya. Protes yang saya majukan kepada sersan Inggris tak ada gunanya.
Setelah digeledah saya disuruh duduk menunggu kedatangan orang, katanya dari Singapore. Antara jam 2 dengan jam 3, datanglah seorang Hindu, gemuk-pendek, dikenal di Singapore oleh kaum pelarian Komunis dengan nama Pritvy Chan, ialah anggota I.S. (Badan Penyelidik) Inggris.
Pritvy Chan, seorang Benggali (?) menghampiri saya seolah-olah hendak memukul. Dalam bahasa Indonesia kasar dia berteriak: “Lu bukan orang Filipina. Mana boleh lu orang Filipina. Lu bohong, lu bohong” Dari mulutnya keluar hawa berbau arak.
Saya diam saja. Tetapi dengan segera saya mengerti bahwa yang dimaksudkan dengan orang Filipina itu tentulah teman saya Dawood, di Hongkong, yang memang memakai nama Filipina. Saya mengerti pula, bahwa dia datang dari Singapore untuk mencari Dawood, bukan mencari saya. Saya seperti tersebut di atas saya memakai nama Tionghoa. Inilah salah satu contoh yang sering disebutkan salah raba.
Pritvy Chan, melihat saya berdiri dan tidak menyaut apa-apa rupanya bertambah marah. Dengan suara lebih keras dia berteriak-teriak terus. “Ayo coba lu akui, lu orang Filipina”, sambil mengacungkan tangannya hendak memegang rambut saya.
Tangan itu saya sambut dengan tangan dan perkataan: “I don’t understand you” (Saya tidak mengerti perkataan tuan).
Jawab ini menambah marahnya. Perkataan yang tidak senonoh berhamburan keluar bersama-sama hawa sopinya.
Protes saya tidak didengarkan. Sersan Inggrisnya terus menulis seolah-olah semuanya itu perkara biasa saja. Buat saya seorang Benggali gendut, seperti Pritvy Chan itu bukanlah perkara susah. Kalau mau, beradu kekuatan kasar atau halus. Caranya Benggali berkelahi, dimana kekuatannya dan dimana kelemahannya, cukuplah saya ketahui. Apalagi pula Benggali Chan, yang sedang mabuk itu, bukanlah lawan yang sebanding. Tetapi sekelilingnya Pritvy Chan ada setengah lusin agen polisi.
Dengan susah payah saya menekan kesabaran, walaupun provokasi dari Pritvy Chan sudah memuncak. Kalau saya dengarkan perkataannya, perhatikan potongan badannya dan caranya dan berteriak sambil mengacungkan tangannya itu sering pula saya tergoda hendak mematahkan tulang rusuknya. Tetapi saya merasa bahwa masih ada jalan buat menghindarkan malapetaka. Akhirnya saya berkata: I am a Hawaian born Chinese. I can show you my passport” (saya seorang Tionghoa Hawai. Saya bisa menunjukkan pasport saya kepada tuan). Setelah dia mempelajari pasport saya, maka dia termenung bermenit-menit lamanya. Akhirnya dia berdiri dan ajukan tangannya kepada saya buat bersalaman.
“Please for give me. Now I know you from the picture in your pasport. I have you as for Gandhi. Please forgive me, please for give me.” (Maafkan saya. Sekarang saya kenal tuan daripada gambar tuan dalam surat pas. Saya selalu menghormati tuan seperti saya menghormati Ghandi. Maafkan saya!)
Jadinya Pritvy Chan mengenal benar gambar saya. Di Singapore dia perlu mempelarinya baru menangkap saya. Tetapi mengenal gambar seseorang belum lagi berarti mengenal orangnya sendiri. Yang sebaliknya mungkin terjadi. Walaupun gambar Ong Soong Lee banyak berubah, karena langsung diambil dengan alat potret besar dan  dari gambar besar diambil gambar kecilnya, ukuran pasport, tetapi Pritvy Chan bisa juga mengenalnya.
Hampir jam empat pagi dini hari oleh Pritvy Chan dan seorang opsir Inggris saya dibawa menyeberang ke Hongkong, terus ke pusat-kantor polisi. Dalam perjalanan berulang-ulang Pritvy Chan mengucapkan seperti tersebut di atas. Ditambahnya pula dengan ucapan: Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau kejadian apa-apa, “that” shall be uppon my shoulder, akan menjadi tanggungan dipundak saya.
Berulang-ulang di belakang hari diucapkan: “that shall be upon my shoulder” itu. Sikap Pritvy Chan terhadap saya selama dalam penjara Hongkong membuktikan penjelasan akan kejadian pada malam hari pertama di kantor polisi Kowloon itu. Berkali-kali saya katakan, bahwa semuanya itu memang sudah saya lupakan dan harus saya maafkan, teristimewa pula karena salah raba. Lagi pula saya sudah bersiap sedia menanggung semua resiko perjuangan dan penyamaran. Tetapi Pritvy Chan, merasa tidak puas dan selalu diucapkan: “Saya harap tuan akan selamat saja. Kalau tidak, tanggung jawab juga akan terletak di pundak (bahu) saya”. Biasanya ditambah pula dengan: “I have many children, (saya beranak banyak). Tetapi apa perhubungannya “anak banyak itu” dengan ucapan, “saya harap tuan akan selamat saja”, itu kurang saya pahamkan. Barangkali berhubungan dengan agamanya Pritvy Chan dan dosa (?) yang dia sangka dijalankannya. Juga barangkali dengan pengetahuannya bahwa almarhum Subakat meninggal di dalam penjara Belanda.
Pada malam hari tangkapan itu sekejap matapun tidaklah dapat saya tidur. Sesampainya di kantor pusat di Hongkong, oleh Kepala Inspektur Polisi, Murphy, saya dihujani dengan pertanyaan yang mengenai kepolisian dan gerakan kemerdekaan. Seluruhnya riwayat hidup saya perlu diceritakan lagi. Semuanya pertanyaan yang oleh Inggris dianggap berguna buat keselamatan Negara dan jajahannya dimajukannya. Tentulah dia ingin mengetahui apa maksud saya pergi ke Birma seperti tercantum dalam surat pas saya. Lebih ingin dia pula dia hendak pergi ke Hindustan. Persoalan yang di belakang inilah yang melambatkan pemeriksaan dan amat memberatkan perkara saya dan melamakan saya tinggal di penjara Inggris di Hongkong. Walaupun Inggris kekurangan bukti dan semua pertanyaannya berupa abstrak, terpisah, tergantung di awang-awang saja dan berdasarkan “commited crime”, ialah pelanggaran yang dilakukan, pemerintah Hongkong tiada bisa memutuskan dengan cepat dan tepat. Dia keragu-raguan dan sayalah yang menjadi korban keragu-raguan itu. Dua-tiga bulan lamanya saya harus meringkuk di penjara Inggris di Hongkong itu.
Rupanya sesudah tiap-tiap soal-jawab berlaku hasilnya dilaporkan kepada Pemerintah Hongkong. Tiada mengherankan kalau tiap-tiap laporan tersebut menimbulkan pertanyaan baru pula. Pertanyaan baru itu disambungkan pula dengan catatan yang dirampas dari saya. Saya biasa sekali membikin catatan dan apa yang berhubungan dengan kejadian dan bukti yang saya kumpulkan dari hari ke hari. Kejadian dan bukti itu tidak ada hubungannya dengan gerak-gerik saya, tetapi penting buat pengetahuan saya di hari kemudian, umpamanya kejadian penting di Tiongkok, Filipina dan lain-lain yang berguna buat pengetahuan. Rupanya buat  pemerintah imperialis Inggris yang selalu hidup dengan kecurigaan atas keamanan jajahannya, catatan saya semacam itu bisa dikaitkan dengan aksi ini atau yang lain yang mungkin membahayakan British Empire itu. Saya masih geli tertawa, kalau mengingat bagaimana polisi Amerika di Filipina membesar-besarkan isi buku peringatan (note book) yang dirampasnya dari saya dari tahun 1927 di Manila sampai nyamuk bisa berubah menjadi gajah.
Sesudah tiga empat hari pemeriksaan berlangsung, kadang-kadang lama kadang-kadang sebentar saja, maka akhirnya inspektur Murphy, rupanya dengan suara sedikit terharu kepada saya: “I have at last carried out what I have considered my duty”. Akhirnya saya sudah jalankan apa yang yang saya anggap kewajiban saya. Perkataan “considered”, saya anggap, itu diucapkan dengan bibir yang mencemohkan dan bahu yang diangkat. Seolah-olah kemauannya Murphy sendiri tiada cocok dengan “kewajibannya” itu.
Murphy adalah nama yang lazim dipakai oleh orang Irlandia. Apakah Murphy seorang Irlandia yang bekerja di jajahan Inggris? Kalau Murphy seorang turunan Irlandia, Irlandianya de Valera, mungkinkah dia bersimpati pada gerakan kemerdekaan Irlandia yang berlaku sudah puluhan tahun itu? Kalalu begitu tidak mustahil, bahwa Murphy bersimpati juga terhadai pergerakan kemerdekaan bangsa lain yang bukan Bangsa Irlandia, seperti Bangsa Indonesia. Bagaimana juga kepada saya kepala Inspektur Murphy selalu berlaku ramah tamah.
Pada hari pertama saja, saya berada dalam tahanan, saya sudah mengajukan permintaan memakai pengacara orang Tionghoa. Bukannya karena saya tidak sanggup membela diri sendiri melainkan ini adalah hak tiap orang tahanan. Dengan adanya perhubungan dengan luar penjara maka saya akan mendapat jaminan bahwa perkara saya dan diri saya sendiri tak akan disimpan diam-diam saja atau akan dipermainkan begitu saja. Perkara saya akan diketahui juga oleh masyarakat Tionghoa. Permintaan itu karena memangnya hak dan adil tak pernah dibantah oleh pegawai rendahan Inggris, seperti oleh Murphy, tetapi tak pernah diluluskan oleh pemerintah Hongkong. Pegawai rendahan membenarkan, birokrasi menolak atau mensaboteer. Sikap imperialis yang biasa. Teristimewa pula terhadap seorang Indonesia yang terasing di luar negerinya, lepas dari masyarakatnya sendiri dan tak dikenal oleh masyarakat asing.
Ingat saya dan lebih-lebih pula saya hargai bangsa Indonesia-Filipina yang cepat memberi bantuan, ketika lima tahun lampau alangkah besar bedanya keadaan Hongkong dan di Manila. Di Hongkong terasing sunyi senyap cuma dikelilingi oleh kaki tangan pemerintahan imperialis. Di Manila dilepaskan oleh rakyat bersimpati dan terus dibantu lahir batin seberapa kuatnya Rakyat Filipina selama saya berada di Filipina. Memangnya pula dekat sekali rakyat Filipina yaitu dalam sejarahnya kepada rakyat Indonesia dan besar pula hak dan keinsyafan politik turunannya Rizal-Bonifacio-Mabini.
Tetapi tidak begitu saja saya memutuskan bahwa rakyat Tionghoa, walaupun yang di bawah bendera Inggris saja tidak memberikan perhatian terhadap perkara saya. Pada suatu hari Murphy bertanya kepada saya (tentulah atas suruhan birokrasi Hongkong) apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Karena pertanyaan itu dilakukan dengan tersenyum maka saya jawab pula dengan tersenyum: “tuan lihatlah saja sendiri”. Dia pergi dengan berkata: “sayapun sangka tidak”. Tetapi rupanya soal itu, adalah satu soal yang tiada bisa diselesaikan dengan senyum saja dari kedua belah pihak. Tidak berapa lama maka diulangilah pertanyaan tersebut apakah saya turunan Tionghoa atau bukan. Tetapi pertanyaan kali ini harus dijawab dengan tulisan dan ditandatangani. Sebab karena konsul, wakil pemerintah Kwantung di Hongkong mengakui bahwa Tan Malaka adalah turunan Tionghoa. Syahdan menurut Undang-Undang Negara Tiongkok, dimana saja dan bilamana saja seseorang yang setetespun mempunyai darah Tionghoa, akan diakui oleh pemerintah Tiongkok sebagai rakyat Tiongkok. Demikianlah dilakukan soal jawab yang bunyinya lebih kurang dibawah ini:
Tanya: “Are you Chinese?” (Apakah tuan seorang Tionghoa?)
Jawab: “Scientifically speaking yes” (menurut ilmu bangsa, memangnya begitu). (Menurut ahli bangsa, seperti Haddon, Smith, dll, maka bangsa Indonesia itu adalah salah satu suku daripada bangsa Mongolia. Kedalam bangsa Mongolia itu termasuk juga bangsa Tionghoa, Jepang, Korea, Tibet, dan bangsa Mongolia sendiri. Sering juga bangsa Indonesia, Siam, Filipina, Birma dan Annam disebut Oceanic Mongolia, ialah bangsa Mongolia Samudra).
Mendengar jawab “scientifically yes” itu semuanya orang tertawa. Pun saya sendiri. Murphy berkata bahwa bukanlah itu yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan ialah apakah saya warga Tiongkok apakah tidak. Dalam hal ini saya jawab “tidak”. Saya sendiri merasa bahwa pasport saya tak akan diakui sah, karena kekurangan syarat. Buat orang Indonesia kalau hendak menjadi warga Tionghoa perlulah beberapa syarat. Menurut Murphy, maka konsul Kwantung mengatakan bahwa darah Tionghoa yang ada pada saya ialah “from my mother side”, datangya dari pihak ibu saya.
Hal ini menurut sejarah yang masih kita kenal, tentulah tiada mungkin terjadi. Keluarga saya adalah keluarga yang beragama Islam dan beradat asli Minangkabau di desa kecil, yang berjauhan sangat dengan yang ada tempat orang Tionghoanya. Apalagi di masa ibu saya lahir. Mungkin di seluruh Padang Darat belum ada Tionghoa di masa ibu saya lahir itu. apalagi di masa nenek saya lahir, yang masih saya kenal dan anaknya seorang kiai (syeh) di abad lampau.
Tetapi memangnya Tionghoalah yang mempusakakan kepada bangsa Indonesia beberapa bukti kejadian Indonesia yang sebenarnya. Teristimewa pula di zaman lampau, seperti di zaman Sriwijaya, Sunda Kelapa, dls. Demikianlah kalau kita kembali lebih dari 500 tahun ke belakang, maka Sang Sejarah (bacalah buku sejarah Melayu). Mengabarkan kepada kita bahwa seorang sultan Kerajaan Malaka (Musafir atau Mansyur Syah) kawin dengan seorang puteri Tionghoa. Sekembalinya dia ke Malaka, maka puteri tadi diberi pula 500 oran dayang-dayang ialah para gadis anaknya para pembesar Tionghoa. Sesampainya di Malaka mereka di Islamkan dan dikawinkan dengan para pembesar di Malaka. Kuburan mereka masih terdapat di suatu tempat yang bernama “Bukit Cina”. Sesungguhnya pula kalau almarhum ibu saya berpakaian Tionghoa dan duduk di antara wanita Tionghoa tak akan banyak orang yang akan melihat perbedaan, karena perawakan dan warna kulitnya seperti sering terdapat pada wanita Indonesia lainnya memang banyak persamaan. Pula Minangkabau asli dan sekarang amat rapat perhubungannya dalam segala-galanya dengan Tanah Semenanjung Malaka. Walaupun saya tak akan merasa kecewa kalau dari pihak ibu, saya ada mewarisi darah Tionghoa, tetapi apa yang terjadi lebih daripada 500 tahun lampau itu tiadalah sanggup saya menyelidikinya, apakah pula membenarkan atau menyalahkan “teorinya”, Konsul pemerintah Kwantung di Hongkong itu. Di samping sejarahnya “Puteri Cina” di Malaka itu janganlah dilupakan banyaknya beberapa suku Indonesia asli dengan Tionghoa itu (Batak umpamanya). Kalau tiada banyak persamaan itu masakan pula para ahli akan memasukkan bangsa Indonesia ke dalam jenis manusia Mongolia.
Perhatian tuan Konsul sebenarnya amat menggembirakan saya di masa itu. Saya merasa kurang sunyi, karena suara dari luar senjata sudah ada yang masuk.
Sebenarnya yang mendorong saya memberikan jawaban tidak (bukan Tionghoa) itu ialah karena tiada pastinya bagi saya, apakah sifat dan bagaimanakah sikap pemerintah Kwantung di masa itu terhadap komunis di luar Tiongkok umumnya dan terhadap saya khususnya. Kalau pemeriintah Tiongkok Selatan 100% berdiri di belakang Chiang Kai Shek maka pasti apa saja dan siapa saja yang berhaluan komunis tiada akan diampuni. Berlainan halnya dengan kalau pemerintah Kwantung berhaluan sayap kiri atau mirip ke situ. Inilah hal yang tiada saya ketahui dan tiada pula saya bisa ketahui. Inilah hal yang amat menimbulkan kejengkelan saya terhadap pemerintah Hongkong, karena pemerintah dari negara demokratis ini membatalkan hak demokrasi saya ialah memakai seorang pembela hukum. Seandainya hak saya itu tiada dilanggar oleh pemerintah Hongkong, saya dapat mengetahui sifat dan sikapnya pemerintah Kwantung di masa itu. pelanggaran hak demokrasi itu di belakang hari lebih memukul pula. Peristiwa itu kelak akan lebih dimengerti pembaca yang bijaksana dan budiman!
Teranglah rasanya bahwa jawab tepat yang mengatakan bahwa saya bukan Tionghoa,dan mestinya mengecewakan konsul Kwantung itu, sama sekali tiada berhubungan dengan persoalan kebangsaan. Buat saya diakui oleh satu bangsa yang berkebudayaan luhur serta bersejarah gemilang seperti Tionghoa itu, sebagai anggota sendiri, adalah satu penghormatan yang luar biasa. Supaya hal ini juga diketahui oleh pembaca Tionghoa. Seandainya Dr. Sun masih hidup, dan berada dalam keadaan seperti sediakala, tentulah saya tiada akan ragu-ragu mengambil sikap dan tindakan. Dalam hal ini tiadalah saya akan mempelajari lebih dahulu usulnya konsul Kwantung, melainkan sendiri akan berusaha dengan segala akal dan tenaga masuk ke Canton Dr. Sun itu.
Meskipun saya ditangkap oleh imperialisme Inggris saya tiada berurusan dengan pemerintah Inggris saja. Rupanya entah hak apa, Inggris memberi kesempatan pula pada wakil pemerintah imperialisme lainnya, seperti konsul Amerika, Perancis dan Belanda buat melakukan pertanyaan. Kalau diterangkan lebih dahulu, bahwa pertanyaan itu langsung datangnya dari pihak yang bukan Inggris, tentulah dengan mentah-mentah bisa saya tolak menjawabnya itu. Tetapi pertanyaan itu biasanya dilakukan dengan cara Inggris (British way) ialah dengan cara licik. Maklumlah pemerintah Hongkong adalah wakil negara-negara yang menjalankan demokrasi buat negara atau buat borjuis negaranya sendiri, tetapi dalam hakekatnya dengan segala macam tipu muslihatnya selalu berusaha membatalkan hak demokratis itu kepada bangsa berwarna, yang tiada menyetujui imperialisme! Cuma kalau percakapan sudah sedikit lanjut, kita merassa, bahwa Inggris membiarkan dirinya dipakai oleh Amerika, Perancis, dan Belanda untuk mengetahui ini itu yang berhubungan dengan gerakan revolusioner di jajahannya masing-masing. Berhadapan denga solidarity, kesetiaan antara imperialis satu dengan yang lainnya itu maka saya anggap perlu juga saya hadapkan solidarity saya dengan para pemimpin gerakan kemerdekaan di mana saja, di bawah langit ini. Mungkin ada, mungkin pula tak ada seorang pemimpin revolusioner Annam, yang katanya ada dalam penjara Hongkong.....mungkin atau tak mungkin pula pemimpin Annam itu mengakui mengenal saya di Moskow atau di Canton....tetapi saya tolak mengenal siapapun pemimpin revolusioner, kecuali kalau memang tak bisa ditolak lagi. Bukannya saya juga tak pernah menanyakan siapakah spionnya Inggris yang mencari-cari saya dan para teman saya dimana-mana? Kesolideran (kesetiaan satu sama lainnya) musuh itu mesti zonder tawar menawar dibalas pula dengan kesolideran di kalangan teman seperjuangan, di dalam menghadapi musuh bersama. Sikap inilah pula yang memberatkan keadaan saya di belakang harinya, di Hongkong atau di mana saja saya berada dalam tangkapan.
Rupanya belum cukup lagi berhari-hari saya dihujani dengan pertanyaan yang timbul dari pemerintah Hongkong dan wakil teman dari imperialis sejawatnya di Hongkong itu. sesudah seminggu saya berada di penjara Hongkong maka tibalah pula wakil pemerintah Singapura, wakil Inggris di Shanghai dan dari Nangking. Semuanya ingin “berkenalan” dengan saya.
Bahwa sesungguhnya pula pada suatu malam saya dikeluarkan dari dalam sel, buat dijumpakan dengan beberapa orang wakil pemerintah Inggris di Singapura yang baru saja tiba di Hongkong. Saya dipersilahkan duduk di salah satu kamar di dekat sebuah meja. Di antara tiga orang tamu adalah satu orang yang sudah saya kenal, selama dalam penjara, ialah Pritvy Chan. Pritvy Chan cuma memperingatkan dirinya sendiri saja dengan perkataan: “nah tuan sudah kenal saya”. Segera menyusul salah seorang dari yang baru datang dari Singapura itu dengan perkataan: nama saya Dickenson. Saya sama sekali tiada berhubungan dengan “kepolisian”.
Roman mukanya tuan Dickenson amat menarik perhatian bentuk muka sangat harmonis, matanya sedang dan memandang dengan langsung, semuanya pantas dimasukkan ke dalam golongan Inggris budiman. Rupanya dia banyak menaruh perhatian pada Revolusi Siam. Ditarik ke jurusan itu saya cuma mengatakan bahwa pergerakan di Siam tidaklah mudah buat dipahamkan. Terlampau banyak terjadi di belakang layar yang tiada mudah dimengerti oleh orang luar. Tuan Dickenson yang katanya tak berhubungan dengan kepolisian, di belakang harinya menj abat pekerjaan sebagai kepala I.S. Inggris di Singapura.
Akhirnya tuan yang duduk di depan saya, yang selama ini berdiam diri bertanya kepada saya: “Do you know me?” (tuan kenal saya?)
Jawab: Yes!
Tanya: “Siapa nama saya?”
Jawab: “Onreadt”.
Tuan Onread adalah kepala Kepolisian di Singapura. Dikalangan kami, orang pelarian, dia cukup terkenal. Walaupun baru kali ini saya melihat mukanya, saya tidak dengan ragu-ragu menjawab seperti di atas. Keadaan saya sendiri dan pekerjaannya tuan Onreadt yang sudah-sudah, bentuk muka dengan kumis-seru-seram itu menarik saya pada kesimpulan, bahwa pada saat itu saya berhadapan bukan lagi dengan bayang-bayangan seperti di Singapura, melainkan dengan badannya sendiri. Tidaklah pula akan mengherankan, kalau seseorang yang selamanya ini mencari seseorang “musuhnya” dengan persangkaan, bahwa musuhnya itu tidak mengenal dirinya, maka setelah ternyata musuhnya itu mengenali dia, tidak mengherankan kalau dia terperanjat. Seolah-olah dia sekonyong-konyong insyaf bahwa gerak-geriknya yang disangkanya tersembunyi itu, semuanya diketahui oleh musuhnya. Demikianlah agaknya dengan tuan Onreadt.
Bentuk dan mukanya tuan Onreadt tidak pula memberi kesangsian sedikit pun akan pekerjaannya. Tuan Onreadt setelah mendapat jawaban yang mungkin tiada disangkanya tadi itu coba menyusun pertanyaan lain.
What is your porpuse of life!” (Apakah maksud hidup tuan?)
Jawab: “To do something useful for the society”. (Berbuat sesuatu yang berguna buat masyarakat).
Sesudah tidak beberapa lama maka dia berkata:
My heart is top side down. I see you are on the side of the front-line. And I on this side. But I can’t do otherwise. I have to protect the British Empire”. (Hati saya terbalik berputar. Saya melihat tuan di sebelah sananya di garis-perjuangan. Dan saya di sebelah sini. Tetapi saya tidak bisa berbuat lainnya. Saya harus membela Kerajaan Inggris).
Percakapan berhenti dengan begitu. Sebelumnya berpisah diucapkan lagi oleh tuan Onreadt perkataan seperti: “How your people will remember you after hundreds of years”. (Bagaimana bangsa tuan akan memperingati tuan selama ratusan tahun di belakang) dan ucapan lain yang maknanya, sedemikian juga sampai menyebut-nyebut dan membandingkan saya dengan Nabi Isa.
Ucapannya yang tiada berpadanan dengan taksiran saya sendiri atas diri saya sendiri itu dan apalagi tiada pula berpadanan dengan perlakuan kepolisian Inggris terhadap diri saya, ketika ditangkap segera saya potong dengan keterangan bagaimana caranya para polisi Inggris melakukan tangkapan terhadap diri saya. Tiada bedanya dengan penangkapan atas seorang penjahat pembunuh yang dijalankan di tengah malam.
Dengan amat malu-malu tuan Onreadt menjawab, bahwa ia sendiri amat menyesali peristiwa itu dan akan memeriksanya dengan segera. Buat saya peristiwa itu sudah terjadi dan tak bisa dicabut kembali. Seperti kata pepatah “Nasi sudah menjadi bubur”.
Sesudah berhari-hari vooronderzoek pemeriksaan semula dijalankan, maka pada suatu hari saya diiringkan ke suatu kamar besar di dalam pekarangan kepolisian juga. Di sana saya berhadapan dengan beberapa orang Inggris yang saya sudah sebut di atas, ialah wakil pemerintah Inggris dan Hongkong, Singapura, Shanghai, dan Nangking atau Peiping. Berpakaian resmi kelihatan pula wakil gubernur Hongkong, ialah sekretaris jenderal Halifax. Rupanya saya dihadapkan ke muka Police Count, pengadilan polisi.
Pertanyaan datang dari beberapa sudut. Yang terutama mengambil bagian dalam soal-jawab itu ialah wakil Inggris dari Shanghai (?) dia sudah pernah menjadikan tempat “pembuangan” untuk saya ialah Jamaica, sebuah pulau kerajaan Inggris di Amerika Tengah. Tetapi tak pernah dia memperkenalkan namanya kepada saya. Saya tak bisa memastikan apakah dia berhubungan dengan I-S Inggris atau dengan diplomasi. Tetapi dialah yang mengambil bagian terbesar dalam bersoal jawab dengan saya. Pertanyaan kecil-kecil, dari pihak para pegawai yang lain-lainnya tidak diizinkannya ditanyakan kepada saya.
 Caranya berbicara dan bertanya mirip kepada tukang-gertak. Matanya tak pernah memandang mata saya dengan tetap, seperti tuan Dickenson. Rambutnya dan kumisnya merah. Semua perawakan serta gerak-geriknya memperingatkan kepada kucing yang kalau mengintai mangsanya bisa berjalan di atas ujung kukunya dengan tidak kedengaran jalannya. Biasanya menurut naluri (instinct) saja, saya sesuaikan sikap saya dengan kesan-firasat yang saya peroleh daripada orang yang di depan saya itu. Begitu pula terhadap rambut merah dan kumis merah ini!
Dia mencoba menghujani saya dengan pertanyaan ala public prosecutor, officier van justitie, penuduh resmi. Taktik yang sebaiknya yang dipakai buat menghadapi lawan semacam itu ialah: tenang dan pendek berbicara. Setelah benar-benar kelak diketahui mau kemana ia pergi, barulah diberikan tangkisa yang jitu.
Dalam pertanyaan yang banyak diucapkan secara gertak sambal, saya mendapat kesimpulan, bahwa dia tiada mempunyai bukti yang bisa dimajukan kepada saya sebagai suatu “pelanggaran”. Dia cuma mengetahui pengetahuan umum tentang saya, yang tiada perlu saya sangkal kebenarannya seperti: saya dibuang dari Indonesia oleh pemerintah Belanda, dari Manila oleh pemerintah Amerika, pernah ke Moscow, pernah bekerja buat Komintern dan Profintern dan lain-lain sebagainya. Tentulah dia bisa mengambil kesimpulan sendiri, bahwa saya mengenal beberapa orang pergerakan revolusioner di mana-mana negeri. Tetapi yang penting buat dia tentulah mereka yang bekerja giat untuk merobohkan apa yang paling dekat sekali ke hati tiap-tiap orang imperialis Inggris ialah: “The British Empire where the sun never set”, kerajaan Inggris yang (karena luasnya) tak mengenal matahari tenggelam.
Dalam soal jawab, kami memegang pendirian bahwa hak saya menyimpan rahasia tentang segala hal yang berhubungan dengan kemanan para teman seperjuangan saya, tiadalah kurang dari haknya seseorang pegawai pemerintah Inggris buat  menyimpan rahasia tentang segala-galanya yang berhubungan dengan kejayaan para mata-mata imperialis Inggris. Selainnya daripada itu, maka hak Inggris untuk mengetahui organisasi yang bermaksud untuk merobohkan kapitalisme dan imperialisme tiadalah lebih dari hak saya untuk melindungi dan menyembunyikan semua organisasi yang bersifat demikian.
Apabila Inggris berambut merah tadi umpamanya bertanyakan, apakah saya kenal dengan beberapa orang  Hindu yang benar-benar termasuk organisasi yang menentang penjajahan Inggris, maka saya jawab, saya tiada kenal. Walaupun hal yang sesungguhnya adalah sebaliknya.
Sebagai satu “umpan” maka saya mengakui mengenal seorang Hindu yang saya sebenarnya tiada mengenal orangnya, tetapi kenal namanya seperti “Raja Mahindra Pratap”, seorang oppurtunist atau pengimpi atau keduanya, yang di belakang hari menjadi kolaborator Jepang. Beberapa pemimpin buruh Tionghoa, yang dulu saya kenal baik di Hongkong dan Canton, seperti saudara Sou dan Ho sudah meninggal dan tiada menjadi persoalan lagi. Teman seperjuangan Tionghoa yang lain-lain boleh dicari oleh Inggris sendiri, jadi pada waktu itu tak bisa dihadapkan ke depan saya.
Berhadapan dengan beberapa kesulitan, maka tuan Kumis Merah mengubah sikap mukanya dan dengan suara yang dia kira bisa memberi pengaruh di luar gedung sandiwara tiba-tiba saja berkata: “Pada jam ini kami mendapat kabar dari Singapura, bahwa Jamaludin Tamim dan teman-temannya ditangkap oleh pemerintah Inggris di Singapura. Segera sesudah dia mengambil kesan dari sambutan saya, dia bertanya pula: “Are you upset?” (Apakah tuan putus asa?) Dengan cepat saya jawab: “No
Memangya lebih dahulu saya sudah maklum akan hal itu. Kejadian atas diri saya sendiri dan sekitar saya sudah memberi petunjuk ke arah itu. Tak perlu hal tersebut dikatakan lagi kepada saya.
Mendengar keterangan tentang saudara Jamaludin itu saya berusaha tiada mengubah warna muka saya, meskipun kepastian penangkapan itu amat mengharukan saya. Saya ingin tahu, siapakah lagi yang ditangkap bersama-sama dengan saudara Jamaludin di Singapura dan Indonesia. Tetapi saya mencoba memberi kesan, bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia tiada tergantung kepada saudara Jamaludin atau pun pada saya sendiri.
Rupanya Kumis Merah mendapatkan suasana yang dikehendakinya dari saya. Maka dia sekarang memulai dengan soal jawab tentang Pan Pacific Trade Union, gabungan serikat sekerja di Pacific yang berkedudukan di Tiongkok. Ketika ditanyakan arti dan maksudnya serikat sekerja tersebut kepada saya maka saya jawab dengan arti yang biasa dan logisch dimaknakan oleh “The man on the street”, (yang diartikan oleh orang pasar saja). Berputar-putar Kumis Merah dan pegawai yang lain-lain bergerak mencoba mengadakan, lubang dalam benteng pertahanan saya tetapi rupanya sia-sia belaka. Saya berdiri tegak atas haknya si penuduh dan haknya si tertuduh.
Akhirnya sesudah beberapa lama tiada mendapat keterangan yang sedikitpun memberi keuntungan kepada I.S. Inggris, maka Kumis Merah yang serentak diikuti oleh seluruhnya para hadirin berdiri dan berkata: “If that is your attitude, we don’t know what tod do with you” (Kalau sikap tuan “terus” sedemikian, maka kami tiada bisa menjamin apa yang akan kami lakukan kepada tuan).
Segera saya berdiri pula dan jawab “But I know your law. And I know also that if your are violating your own law (or usage), I shall not come alive in the hand of my enemy” (Tetapi saya tahu Undang-Undang negeri tuan, juga saya tahu bahwa kalau tuan melanggar Undang-Undang tuan sendiri, saya tiada akan hidup sampai di tangannya musuh saya).
Setelah berdiri, kalau saya masih ingat, Pritvy Chan dan tuan-tuan Onreadt dan Dickenson menghampiri saya dengan bujukan: “Don’t do it! Britishers will stick to their own law”. (Jangan dijalankan. Orang Inggris akan pegang Undang-Undangnya sendiri).
Saya diantarkan sampai ke kamar tahanan oleh mereka itu dengan bujukan tersebut.
Pada masa itu dunia Tionghoa dan semuanya bandar perjanjian goncang disebabkan oleh “mogok makan” Noulens, komunis Rusia, sebagai protes atas tangkapan dan perlakuannya. Inilah yang ditakuti oleh para pegawai Inggris itu. Inggris sudah cukup mempunyai nama busuk di mana saja kuku penjajahannya dicengkeramkannya di dunia ini. Tiadalah perlu ditambah-tambah lagi dengan mogok makan baru oleh saya.
Negara Inggris memang taat juga menjalankan dasar demokrasi, sebagai negara kapitalis, yakni kalau dibandingkan dengan negara demokrasi kapitalistis yang lain-lain, memperlindungi pelarian itu dengan kekuasaan yang ada padanya; serta menolak permintaan negara yang bersangkutan memulangkan pelarian politik itu ke negerinya senantiasa dilakukan oleh pemerintah Inggris, rupanya dengan tiada memandang warna kulit. Selang beberapa lama Raja Spanyol yang didaulat oleh rakyatnya sendiri mendapat perlindungan pemerintah Inggris. Demikian pula halnya dengan raja berwarna yang didaulat oleh rakyatnya sendiri raja Pracha-Dipok dari Siam. Seorang revolusioner Tiongkok yang bermaksud membolehkan pemerintah Manchu, yang oleh agen Manchu itu ditangkap di London untuk dipulangkan dengan diam-diam ke Tiongkok, yakni Dr. Sun Yat Sen, dilepaskan oleh pemerintah Inggris dari kuku cengkeramannya Manchu itu.
Semuanya itu belum berarti bahwa mereka yang dianggapnya komunis, yang mempunyai kulit berwarna, yang berada dalam jajahannya pula, akan mendapat perlindungan yang dimaksudkannya itu. Tetapi kalau Inggris hendak berlaku jujur konsekuen, memangnya mereka yang berada dalam keadaan sedemikian rupa tiada boleh dikecualikan. Perkara yang prinsipil yang mengenai dasar-dasar demokrasi itu seharusnya tiada boleh digantungkan kepada setuju atau tidaknya pemerintah Inggris dengan politiknya si-pelarian, ialah sebelumnya ternyata dengan sah, bahwa si-pelarian melakukan pelanggaran penting terhadap undang-undang Inggris yang ada.
Rupanya para pengawal Inggris yang ada di Hongkong merasa juga in-konsekuen, ketidak jujurannya kepada saya, berhubung dengan ancaman tersembunyi di dalam pemeriksaan pengadilan polisi tadi. Pritvy Chan berjanji, zonder permintaan saya, akan berusaha keras supaya saya tiada akan dikembalikan ke tangan musuh. Berkali-kali diucapkan: “That would be uppon my shoulders”. (Tanggung jawab saya). Kepada rambut merah yang di belakang harinya lalu di depan terali kamar tahanan saya, ketika dia mau berangkat kembali ke tempatnya, saya sindirkan: “Wah, bagaimana halnya dengan pembuangan ke Jamaica yang dijanjikan dahulu kepada saya itu?” Dia mengangkat pundaknya sambil berkata: “That would be dangerous for the British Empire” (Itu akan membahayakan kerajaan Inggris).
Tiada berapa lama antaranya pintu kamar tahanan saya dibuka. Yang masuk ialah tuan Dickenson, untuk pamitan. Dia mengajukan tangannya buat berjabat tangan mengucapkan selamat tinggal, yang diucapkan dengan suara terharu berikut dengan perkataan: “I admire you very much for the attitude you have taken” (Saya mengagumi tuan, berhubung dengan sikap yang tuan ambil). Tiadalah baik saya sembunyikan di sini, bahwa beserta suaranya yang terharu itu, saya saksikan matanya yang basah. Bukan sekali dua saya berpisahan dengan orang Eropa dan mengalami tekanan tangan, suara dan air mata yang berasal dari perasaan yang jujur. Walaupun tuan Dickenson berada di garis front sebelah sana, seperti tuan Onreadt tetapi perasaan simpati semacam itu memangnya bukan sesuatu kemustahilan, walaupun di antara dua pihak yang berlainan paham.
Pritvy Chan pun tiada ketinggalan. Beberapa jam di belakangnya tuan Dickenson, Pritvy Chan menyelundupkan tangannya ke sela terali kamar saya, juga dengan suara terharu dan air mata berlinang: “Will you forgive me, will you forgive me.....that would be upon my shoulders.” (“Maukah tuan mengampuni saya, maukah tuan mengampuni saya......tanggung jawabnya akan di atas bahu saya).
Pritvy Chan belum lupa akan tingkah lakunya pada malam penangkapan saya di Kowloon. Pun Pritvy Chan tahu benar, bahwa almarhum Subakat mati dalam penjara Belanda.........!
Simpati memangnya tiada mustahil, pun dalam penjara imperialisme Inggris. Para pegawai yang menjaga saya selama berada di belakang terali itu tiada semuanya manusia yang jantungnya keras seperti besinya terali itu, tetapi ada juga yang lembut berisi darah manusia. Tiadalah semua jantungnya dingin seperti air beku, tetapi ada yang panas, bisa menggerakkan perasaan kemanusiaan. Saya masih ingat pada suatu malam hari sesudah kantor tertutup kepala polisi Murphy sendiri datang ke depan terali saya, pula penuh perasaan memberikan sebotol limonade yang dikeluarkan dari dalam kantongnya sendiri. Tak banyak perkataannya dan terus dia pergi.
Apakah pula artinya peristiwa yang tak pernah kejadian ini: Murphy sendiir memberikan minuman itu?
Besok harinya saya baru mengetahuinya. Pagi harinya kamar saya dibuka oleh seorang pegawai Inggris. Saya diantarkan ke gedung bagian hukuman orang Tionghoa. Sebelumnya saya ke “sel” saya harus mencatatkan saya pada satu kamar! Di depan kamar terlihat mayat seorang hukuman yang bertelanjang bulat. Entah bagaimana matinya, entah lantaran sakit, entah sesudah digantung. Mereka hukuman Tionghoa yang masuk untuk diappel, berjalan sambil jongkok. Saya masuk tetap berdiri tegak. Apa bila seorang Inggris di meja tulis berbisik kepada Inggris yang lain rupanya bertanyakan, siapakah saya, maka dijawab pula dengan bisikan: “Tan Malaka”. Tiada lama sesudahnya, maka saya dimasukkan ke “sel Cina” seperti “sel buat Inlanders” yang dikenal di Indonesia. Tiadalah perlu saya uraikan besar, bentuk dan keadaan “sel Cina” itu pada tulisan ini.
Pindah dari kamar buat tahanan Eropa ke “sel Cina” inilah rupanya yang menggerakkan hati kepala polisi Murphy, yang rupanya cuma sanggup memperlihatkan simpatinya dengan nasib saya itu, dengan hadiah sebotol limonade yang kabarnya dibeli sendiri.
Apakah pula sebabnya saya diturunkan “pangkat” itu dan apakah pula kemungkinan di hari depan? Waktu merenungkan di dalam gelap dalam “sel Cina” tentang kemungkinan sebabnya saya diturunkan dari kamar Eropa ke “Sel Cina” itu saya tiada mendapatkan kepastian. Sebab yang sebenarnya cuma diketahui oleh birokrasi imperialisme Inggris saja.
Mulanya saya pikir, bahwa saya segera akan dilepaskan atau diserahkan kepada Belanda (uitgeleverd). Tanda-tanda ke jurusan itu memangnya ada. Tetapi ada pula persangkaan, bahwa saya akan diam-diam dipenjara dalam hukuman. Maklumlah saya tiada mempunyai hubungan sama sekali dengan dunia luar, jadi tak bisa memastikan. Akhirnya ada pula pengiraan saya, bahwa kejadian ini adalah akibatnya satu dua peristiwa yang oleh satu dua orang pegawai rendahan Inggris dianggapnya sebagai “pelanggaran” atas ketertiban, ketika saya masih berada di kamar tahan Eropa.
Pada suatu hari ketika jauh malam apabila suasana rupanya mulai senyap maka serdadu India, ialah penjaga di depan kamar saya, sesudah melihat ke kiri-ke kanan, menghampiri terali kamar dan bertanyakan dalam bahasa Inggris: “Berapakah banyaknya orang Islam yang berada di Jawa?” Saya jawab: “+- 60 juta (tahun 1932).” Dia kelihatan gembira sekali dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Islam dari Punjab. Sedang dia menceritakan ini-itu dan asyik bertanyakan apa yang ingin diketahuinya, maka tiba-tiba dari gelap keluar seorang pegawai Inggris, kepada saya berkata: “You are not allowed to talk to the British soldier”. (Tuan tiada diizinkan berbicara dengan serdadu Inggris).
Rupanya kabar bahwa saya seorang pergerakan berasal dari Indonesia, rupanya sudah banyak diketahui. Sesudah kejadian di atas saya tiada pernah lagi melihat serdadu Islam di depan terali kamar tahanan Eropa itu. Yang saya lihat berganti-ganti menjaga adalah serdadu Sikh dan serdadu Hindu. Mulanya mereka berupa streng (keras). Tetapi tiada lama, serdadu Hindu atau Sikh, yang sudah mashur ketaatannya pun, menghampiri terali saya untuk bercerita dan bertanya kepada saya. Tentulah akan saya dengarkan ceritanya dan akan saya jawab pertanyaannya, teristimewa pula dalam keadaan tiada mempunyai teman untuk berbicara itu. Pada suatu malam itu pula, apabila seorang serdadu Sikh dengan suara agak keras memaki-maki Inggris, karena gajinya tak berbanding dengan gaji serdadu Inggris, sedangkan pekerjaan lebih berat dan lebih berbahaya kalau ada kerusuhan atau peperangan, maka tiba-tiba dari tempat gelap keluarlah pula pegawai Inggris yang rupanya sedang mengintip dekat tempat saya. Sekali lagi diperingatkan kepada saya, bahwa saya tiada boleh berbicara kepada serdadu Inggris. “Membela diri” tiada baik dalam keadaan sedemikian, karena bagaimanapun juga pembelaan itu dilakukan, semuanya akan memberatkan si serdadu saja. Dalam hal ini baik diperhatikan juga pepatah asing yang berbunyi “Zwijgen is goud, spreken is zilver” (berdiam diri itu adalah emas dan berbicara itu adalah perak).
Tetapi berdiam diri itu buat saya sendiri resikonya mungkin ada. Inilah pula salah satu daripada kemungkinan sebab, maka pangkat diturunkan dari tingkat Eropa ke tingkat “Cina”. Tiada berapa lama saya merenungkan semua kemungkinan apakah sebabnya saya dipindahkan itu, maka saya dengar ketukan perlahan-lahan di pintu saya. Apabila saya hampiri, maka saya dengar suara daril luar dengan suara kecil dengan bahasa Indonesia Tionghoa: “Gua ol (r) ang Cina. Gua dihukum empat tahun. Dulu gua tinggal lama tinggal di Medan. Sobat mau apa boleh gua tolong. Sobat mau daging gua cal (r) i. Mau telot (r) gua cali.
Saya: “Kenapa sobat dihukum?”
Jawab: “Keleja kuli di kebon”.
Saya: “Tak mau daging dan tak mau telur. Coba sobat tolong carikan kertas dan pena. Saya mau tulis surat. Nanti sobat tolong kirim. Apa sobat bisa apa tidak?”
Jawab: “Bisa”.

Apabila masih berada di kamar tahanan Eropa dan gagal mendesak mendapatkan “lawyer” (pembela hukum), maka akhirnya permintaan saya untuk mengirimkan surat dan kawat dibenarkan.
Kepada ketua Partai Sosialis Inggris, almarhum Lansbury, yang duduk dalam parlemen saya kirim kawat buat menerangkan keadaan saya. Saya tiada merasa pasti, bahwa kawat itu akan disampaikan atau tiada disampaikan dengan cepat dan tiada pula mengandung pengharapan banyak akan hasilnya. Sebab itu saya kirim lagi surat dengan secara gelap dengan perantaraan sobat tadi kepada almarhum Mackston, bekas pemimpin Independent Labour Party dan anggota Parlemen Inggris. Pemimpin kaum buruh yang lebih radikal yang menjadi anggota parlemen di waktu itu tiadalah saya kenal namanya. Surat kepada Mackston itu ternyata memberikan hasil. Setelah saya keluar dari tahanan, maka saya dapat membaca surat kabar, bahwa Mackston mengadakan pertanyaan dalam parlemen Inggris, yang berhubungan dengan penangkapan atas diri saya itu. Mungkin sekali inilah yang menyebabkan Inggris tak boleh lebih lama menahan saya dalam penjara dengan tiada mengadakan pemeriksaan pengadilan seperti lazimnya di dunia demokrasi.
Mungkin pula ada hasilnya surat yang kedua, ialah yang dikirimkan secara gelap dari “sel Cina” pula yang berhasil “menerobos” blokade Inggris dan menjumpai para sahabat saya di Manila. Dari Manila saya mendapat jawaban yang diantaranya berbunyi:
“Suratmu sudah kami terima. Semua sahabatmu berduka cita karena insyaf benar akan kesulitannya keadaanmu. Tetapi kami pula percaya akan “British Justice” (keadilan Inggris).
Pada permulaan tahanan, saya diizinkan keluar lebih kurang setengah jam sehari buat berjalan-jalan di pekarangan polisi yang tertutup oleh rumah kepolisian, penjara dan tembok batu. Saya selalu diiringi oleh dua serdadu Hindu, satu di kiri dan satu di kanan dan dijaga oleh serdadu pula di tiap-tiap sudut pekarangan dan pintu gerbang. Saya merasa penjagaan itu seperti juga pada malam hari, terlalu keras. Tampaknya Inggris takut benar akan penyerbuan dari luar. Apakah ada alasan buat ketakutan itu? Saya tak sanggup memastikan hal ini.
Di tempat hukuman Tionghoa saya juga diizinkan tiap-tiap hari setengah jam keluar. Pada suatu hari saya kebetulan melihat sdr. Dawood beberapa puluh meter jauhnya dari saya. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan teriakan “Hidup Indonesia Merdeka” berkali-kali.
Sesudah beberapa minggu berpisah barulah hari itu saya melihat dia kembali. Dia dan saya ditangkap berhubungan pula dengan penangkapan sdr. Jamaludin di Singapura. Rupanya alamat dialah yang dicari ke Hongkong, setelah sdr. Jamaludin ditangkap. Bagaimana perasaan saya melihat sikapnya Dawood tentulah mudah digambarkan. Dia selalu memegang teguh pendiriannya sampai saya menuliskan perkataan ini (Oktober 1947). Semenjak perpisahan kami di Hongkong sampai sekarang ialah selama 15 tahun ini, Dawood seperti banyak temannya yang lain-lain, yang sama pendirian, sudah melalui penjara di Hindia Belanda dan pembuangan di Digul. Dari Dawood baru saja saya mendapat surat dari Jakarta, sekembalinya dia dari Digul. Yang kedua kalinya ialah dari Australia bersama-sama dengan 22 orang temannya, yang oleh Belanda dianggap “overzoenlijken” (tak mau berdamai)
Di waktu berada di dalam “sel Cina” pun rupanya birokrasi tiada melupakan “kecantikan” untuk saya. Saya juga diizinkan keluar sel buat berpotong rambut. Rupanya Nyi Birokrasi juga berkewajiban menjaga supaya hair-dressing, potongan rambut saya dalam “sel Cina” itu tak kalah dengan potongan rambut seorang pegawai pemerintah Inggris di waktu “dansa” dengan para  ladies (wanita)nya.
Tetapi sesudah berpotong rambut saya tahu-tahu sudah dipotret dari depan, samping dan belakang. Lagi pula sekonyong-konyong dua tiga orang kuat memegang kedua tangan saya. Salah seorang pemegang jempol saya buat diambil capnya. Jadinya saya dipancing keluar “sel Cina” buat digambar dari empat penjuru dan buat diserobot “cap jempol” saya. Umpamanya ialah berpotong rambut.
Karena semuanya dilakukan dengan tiba-tiba, secara serobotan oleh beberapa orang Tionghoa suruhan, yang bersibisu, kalau ditanyai ini-itu, maka perlakuan semacam itu terpaksa dibiarkan saja. Di belakang harinya Murphy meminta maaf atas kejadian tersebut kepada saya. Dikatakannya pula, bahwa mereka itu harus minta izin lebih dahulu kepada saya dan saya sendiri berhak menolak. Tetapi tentang kejadian inipun seperti dengan penangkapan di Kowloon, saya dijumpakan dengan “fait accompli” ialah sesudah nasi menjadi bubur. Lebih tepat lagi kalau dikatakan: pukul dahulu, maaf kemudian. Inipun adalah salah satunya British way, caranya Inggris.
Entah apa sebabnya, maka setelah beberapa lama saya berada dalam “sel Cina” saya dikembalikan ke kamar tahanan Eropa. Bukan untuk tetap tinggal di sini. Di belakang harinya saya dipindahkan lagi ke “sel Cina” yang lebih terpencil lagi daripada yang bermula. Kemudian dikembalikan pula ke kamar tahanan masnusia atasan, ialah orang Eropa. Demikianlah saya dipulang balikkan en  tah dengan maksud apa. Tetapi Murphy berkata, bahwa dia tiada setuju, saya dimasukkan ke “sel Cina” itu. Tetapi perintahnya birokrasi dari atas khayangan tentulah mestik dijalankan.
Pada suatu hari ketika berada dalam kamar tahanan Eropa, maka saya dipanggil ke kantor. Diberitakan kepada saya, bahwa Hindia Belanda mengirimkan wakilnya ke Hongkong ialah Viesbeen yang semula bekerja pada PID dan kemudian pada parket. Dia meminta kepada pemerintah Hongkong untuk menginterview saya. Murphy bertanya kapada saya, ap akah saya mau diinterview oleh Viesben itu. dengan cepat saya jawab tidak. 
Balasan saya itu katanya disampaikan kepada Viesbeen. Di belakang harinya lagi Murphy menghampiri saya pula. Dia katakan, bahwa Viesbeen tiada percaya saya menolak permintaannya tadi. Supaya Viesbeen jangan menyangka, bahwa pemerintah Hongkong tiada menyampaikan permintaan Viesbeen meng-interview saya, maka Murphy meminta kepada saya, supaya mengizinkan dia (Viesbeen) dijumpakan dengan saya. Apa dan berapa nanti yang akan saya katakan, terserah kepada saya, kata Murphy. Diminta pula kepada saya supaya pembicaraan dilakukan dalam bahasa Inggris. Catatan akan diambil secara stenografis.
Begitulah pada suatu pagi hari Viesbeen dibawa masuk ke kantor polisi. Pembicaraan tiada diadakan langsung antara Viesbeen dan saya, melainkan dengan perantaraan Murphy. Kalau saya tak salah ada lagi orang Inggris yang lain-lain menyaksikan.
Tanya : “Gambar siapa ini?” (Ditunjukkan gambar saya dengan beberapa serdadu Tionghoa, ketika berada dalam Kikoq di desa Sionching. Rupanya gambar itu dirampas dari almarhum Subakat, ketika dia ditangkap di Bangkok!)
Jawab: “Boleh lihat sendiri”
Tanya: “Dimanakah serdadu itu sekarang?”
Jawab: “Di salah satu gua dekat kantornya Viesbeen. Awaslah” (semuanya tertawa!)
Tanya: “Benarkah Tan Malaka kembali ke Indonesia kira-kira tahun 1925?   
              Bagaimana jalan yang diambil?”
Jawab: “Pertanyaan semacam itu bukan “interview” tentang pemandangan dalam politik, seperti biasa dimaknakan. Pertanyaan yang berhubungan dengan kepolisian semacam itu saya tak ingin menjawabnya”.

Murphy lalu menoleh kepada saya. Dia bertanyakan, apakah yang mau saya katakan atau tanyakan. Saya berkata: “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
Murphy menyuruh mencatatkan ini kepada nona sekretaris baik-baik. Kemudian Murphy bertanya pula, apakah lagi yang akan saya katakan.
Saya sampaikan kepada pemerintah Hindia Belanda peringatan saya: “Storm ahead, don’t lose your head.” (Topan di depan, jangan kehilangan kepala).
Karena semuanya tertawa mendengar, maka nona sekretaris terpaksa bertanya lagi apa yang saya katakan tadi sepenuhnya. Saya ulang perlahan-lahan “Storm ahead, don’t lose your head”.
Kalimat ini mengandung dua arti. Arti yang pertama ialah: jangan kehilangan akal. Arti yang kedua ialah: jangan kehilangan kepala, karena dipotong.
Don’t lose your head” itu diucapkan pada bulan Desember 1932. Pada bulan Desember 1941 Jepang menyerang Singapura. Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda tiada saja kehilangan akal, tetapi juga kehilangan kepala. Sayang Viesbeend sebelumnya “nujum” itu terlaksana, sudah mati. Kabar ini kebetulan saja saya baca dalam salah satu surat kabar.
Di belakangnya interview tersebut, maka rupanya Viesbeen mendesak keras kepada pemerintah Hongkong supaya saya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Maksud interview itu boleh jadi cuma untuk menyaksikan apakah benar Tan Malaka yang ditangkap atau tidak. Bukankah sudah terlalu banyak kabar yang menyebutkan tangkapan dan matinya Tan Malaka di mana-mana negeri. Dua tiga kali dikatakan kepada saya, bahwa pemerintah Inggris “will stick to their own law” (akan pegang teguh Undang-Undangnya). Jawab saya kalau benar-benar kelak saya diserahkan kepada Hindia Belanda, sudah terang pada pengadilan polisi tempo hari. Pula sudah saya bayangkan dalam interview dengan Viesbeen: “Dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”. Di waktu itu memang saya bersiap menghadapi semua kemungkinan. Dan saya yakin benar bahwa kemerdekaan Indonesia memerlukan banyak korban.
Setelah berkali-kali saya dipulang balikkan dari kamar tawanan Eropa ke “sel Cina”, maka akhirnya pada penghabisan bulan Desember tahun 1932 kepada saya dimajukan pertanyaan: kemanakah saya ingin pergi, kalau saya disuruh keluar dari Hongkong. Saya peringatkan sekian kali, bahwa jika saya melakukan pelanggaran berhubung dengan Undang-Undang pemerintah Hongkong, maka sepatutnya saya dituntut di depan pengadilan. Kalau kelak dalam pemeriksaan ternyata saya bersalah, maka tentulah saya akan menerima hukuman. Tetapi kalau kelak ternyata saya tiada bersalah, maka sebenarnya menurut kebiasaan negara sopan di dunia ini, saya berhak tinggal di Hongkong. Sering pula saya peringatkan, bahwa Dr. Sun Yat Sen, ialah seorang revolusioner Tionghoa, selalu dapat perlindungan di Hongkong atau di bandar perjanjian seperti Shanghai. Pegawai Inggris tak pernah memberi jawab yang pasti terhadap peringatan saya seperti ini. Tetapi rupanya pemerintah Hongkong seolah-olah mau menjalankan lembaga negara sopan, ialah menyediakan tempat pembuangan lebih dahulu, sebelum calon pembuangan itu diusir.
Saya jawab, bahwa kalau saya akan dibuang juga, maka suka saya ingin pergi kembali ke Manila. Maka menurut pemerintah Hongkong, atas nama konsul Amerika di Hongkong, saya tiada diperbolehkan masuk ke Filipina. Kemudian saya bertanyakan, apakah keamanan diri saya akan dijamin kalau melalui Perancis dan Nederland. Saya berniat melanjutkan perjalanan saya sesudah mengambil kembali uang saya yang sepuluh tahun sebelumnya saya simpan di dua Bank di Nederland. Dengan uang itu dan pekerjaan sebagai wartawan surat kabar di Asia saya akan bisa menjamin kehidupan saya sendiri di salah satu negara di Eropa. Hal yang dibelakang ini perlu dimajukan, karena kebanyakan negara memangnya segan sekali menerima orang asing yang tiada berpencaharian pasti. Di belakang hari saya mendapat jawab, bahwa saya tiada boleh lalu di negara Nederland, karena katanya saya sudah kehilangan “Nederlandsche onderdaanschan” saya (kerakyatan Nederland). Setelah saya bertanya menurut Undang-Undang manakah saya kehilangan hak tersebut, maka dijawab, bahwa menurut peraturan Hinida Belanda, jika seseorang Indonesia lebih dari lima tahun tiada menghubungkan dirinya dengan salah satu wakil pemerintah Nederland (duta atau konsul), dimana orang Indonesia itu berada, maka orang itu akan kehilangan haknya sebagai rakyat Nederland. Jadi dengan begitu saya tiada berhak lagi mendapatkan pasport. Dengan demikian maka sendirinya pula, tiada saya bisa bepergian dengan legal, resmi. Dan kecuali ada negara yang mau menerima saya masuk ke negerinya, maka tiada lagi tempat yang lain buat saya sesudah jatuh ke tangan Inggris di Hongkong itu selainnya daripada rumah penjara. Ternyatalah pula bahwa penangkapan atas diri saya di Hongkong itu tiada saja menghilangkan kemungkinan buat bepergian atau tinggal di Hongkong, tetapi seterusnya menghilangkan semua kemungkinan untuk mencari nafkah hidup.
Rupanya diwaktu itu pemerintah  Hindia Belanda tiada berjumpa dengan persoalan yang mudah diselesaikan ataupun menjalankan pelanggaran yang mudah dilakukakan. Saya dengar pemerintah Hindia Belanda ingin mengambil saya kembali. Itulah pula maksudnya mengirimkan Viesbeen ke Hongkong. Tetapi maksud itu gagal berhubung dengan sikap pemerintah Hongkong dan sikap saya sendiri. Sebagai penjahat (criminal) saya tiada bisa dituntut, dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, karena saya tiada pernah melakukan kejahatan. Benar adanya saya di luar negara oleh pemerintah Hindia Belanda terus dianggap sebagai bahaya buat dirinya, tetapi saya tiada pernah melakukan kejahatan seperti pemalsuan uang atau pembunuhan atas pembesar Belanda. Dan sebenarnya tiadalah pula ada alasan buat menuntut kembali orang yang sudah dibuang menurut Exobitante Rechten, hak istimewanya gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tetapi rupanya para Conspirators, tuan-tuan besar imperialis yang berkomplotan terhadap seseorang berwarna yang tiada berdaya, yang tiada mempunyai negara, yang tiada diizinkan oleh negara sopan, seperti Inggris, Amerika, Perancis, dan Belanda, masuk ke negara atau melalui negara atau jajahannya mencari tempat buat hidup, rupanya para Conspirators satu hari mendapatkan “akal”. Saya katanya, boleh pergi ke Eropa. Pegawai Inggris tergesa-gesa hendak mengurus karcis saya. Ketergesa-gesaan itu menimbulkan kecurigaan di hati saya. Segera saya tanyakan dengan kapal apakah saya akan diberangkatkan. Setelah dikatakan bahwa kapal Perancislah yang akan membawa saya itu maka dengan tegas saya tolak kapal Perancis itu. Saya katakan bahwa kalau saya akan diberangkatkan ke jurusan Eropa, maka saya cuma mau menumpangi kapal Inggris saja. Saya katakan pula bahwa saya ditangkap oleh pemerintah Inggris dan Inggris pulalah yang harus bertanggung jawab atas keselamatan atau kemalangan, atas hidup dan matinya saya. Biarpun rakyat Indonesia masih bodoh, dan lemah, tetapi pada suatu masa Rakyat Indonesia akan mengerti juga peraturan Internasional. Kalau kemalangan atas diri saya itu dilakukan oleh pemerintah Inggris, biarlah kelak rakyat Indonesia tahu siapa yang bertanggung jawab. Di mata saya masih terbayang tingkah lakunya imperialisme Perancis terhadap almarhum Subakat. Kapalnya Perancis lah kabarnya yang membawa almarhum Subakat dari Bangkok ke Singapura apabila dia dibuang oleh bekas Raja Dipok. Kapal Perancis itulah dengan tiada malu-malu menyerahkan almarhum Subakat ke tangan pemerintah Hindia Belanda.
Siasat di atas rupanya gagal. Pada suatu hari saya oleh Murphy diperkenalkan kepada penggantinya, namanya kalau saya masih ingat ialah Thomson. Bersama tuan Thomson dan Murphy saya dibawa ke suatu kamar berhadapan dengan kepala I.S. Nama kepala I.S. saya sudah lupa, tetapi dikenal dengan mata palsunya. Sebelah matanya hilang diganti dengan kaca.
Setelah sebentar saya duduk, saya diberitahukan oleh Mata Kaca: “Tuan mesti berangkat”.
Jawab              : “Kemana?”
Mata Kaca       : “Kami tidak tahu”
Saya                 : “Bolehkah saya pergi ke Inggris?”
Jawab              : “Tidak”
Saya                 : “Dalam Parlemen cuma satu orang wakil komunis”
Jawab              : “Tak perlu tuan tambah lagi”
Saya                 : “Bukankah aturannya pemerintah Inggris biasanya menyediakan  
                            lebih dahulu tempat pembuangan dan menanggung jawab 
                            keselamatan orang buangan itu selama berada di jalan menuju ke 
                            tempat pembuangan yang seharusnya sudah ditetapkan lebih dahulu 
                            itu?”
Saya                 :  “Kenapa saya tiada mendapat perlakuan seperti biasa menurut
                 peraturan Inggris?”
            jawab               : “You are Tan Malaka”. (Tuan Tan Malaka).

Rupanya karena memang saya Tan Malaka, saya tiada mempunyai hak buat menggunakan ahli hukum sebagai pembela; tiada berhak dihadapkan kepada pengadilan umum (public trial); tiada berhak atas perlindungan (right of asylum); pun tiada berhak untuk dibuang ke tempat yang aman di jalan dan di tempat pembuangan. Karena saya tiada diizinkan memakai ahli hukum, maka tiadalah pula dapat saya mengetahui apakah tidak ada bagian Tiongkok yang mau mengizinkan saya masuk.
Sebagai akibat semua yang tersebut di atas ini, maka sebenarnya saya tiada diberi hak lagi buat bergerak, kecuali di dalam penjara imperialis, diikuti oleh agen imperialis.
Akhirnya Mata Kaca berkata: “Besok tuan boleh mengambil keputusan”. Tetapi setelah mendapat desakan tiba-tiba itu, saya menjawab: “Ini hari saya akan mengambil keputusan, nanti pukul satu”.
Di kantor polisi saya tanyakan kepada Thomson “Berapa lamakah saya akan dihukum, kalau saya menolak dibuang dari Hongkong?”
Jawab: “Satu tahun, ialah berhubungan dengan pelanggaran (misdemeaner)”.
Tanya: “Berapakah pula lama hukumannya kalau sesudah dihuku setahun itu saya tolak lagi dibuang?”
Jawab: “dua atau tiga tahun”.

Kemudian Thomson pergi keluar kantor. Yang tinggal cuma nona sekretaris dan saya. Nona itu biasanya mencarikan buku bacaan buat saya. Pada waktu itu saya meminta surat kabar yang paling belakang, di sinilah saya pelajari perjalanan kapal yang bertolak dari Hongkong ke semua penjuru.
Setelah Thomson akan kembali saya berkata, bahwa saya sudah memutuskan akan bertolak ke Shanghai. Kira-kira jam 2 akan ada kapal berangkat menuju ke Shanghai. Saya sendiri tahu, bahwa kapalnya kongsi yang akan saya tumpangi itu biasanya berhenti di Shanghai bagian Perancis. Seperti saya bayangkan di atas, pemerintah Perancis tentulah tiada akan segan-segan menangkap dan mengembalikan saya ke pemerintah Hindia Belanda.
Saya diantarkan ke kongsi kapal oleh seorang I.S. Inggris untuk membeli karcis. Setelah semuanya selesai saya diantarkan ke kapal oleh orang I.S Inggris tadinya dan rupanya juga diikuti oleh polisi lain.
Kapal yang katanya tadi akan berangkat pukul dua menunda bertolaknya sampai pukul empat atau lebih. Kapal itu kepunyaan sebuah kongsi Inggris dan kaptennya tentulah orang Inggris pula. Sesudah sekian lama saya menunggu di dalam kapal, maka masuklah pula seorang Inggris sebagai penumpang. Dia diperkenalkan kepada saya sebagai pegawai konsul Inggris di Amoy.
Demikianlah akhirnya sesudah meringkuk di dalam penjara Inggris, +- 2 ½ bulan lamanya pada penghabisan bulan Desember 1932, saya bertolak dari Hongkong bersama pegawai Inggris dengan kapal Inggris menuju ke Shanghai, ke bandar yang dikuasai oleh imperialis dan tak lebih aman buat saya daripada di Hongkong.
Seakan-akan saya menuju perangkap!
Biarlah para Conpirators imperialis bersuka cita!
Tunggu sajalah saya di Shanghai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar